ROMANTISISME DI INDONESIA DAN BELANDA PADA AWAL ABAD KE-20 Abstrak

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

ROMANTISISME DI INDONESIA DAN BELANDA PADA AWAL ABAD KE-20 Abstrak ROMANTISISME DI INDONESIA DAN BELANDA PADA AWAL ABAD KE-20 Almas Aprilia Damayanti E-mail: [email protected] Abstrak Keberadaan Romantisisme di Indonesia menjadi sangat istimewa semenjak masuknya aliran romantisisme pada awal abad 20, sedangkan romantisisme di Belanda sendiri sudah ada sejak abad 18 yang terus berkembang hingga awal abad 20. Angkatan Pujangga Baru di Indonesia banyak mendapat pengaruh dari bacaan dan karya sastra dari Belanda sehingga karya-karya literatur mereka terpengaruh angkatan 80. Sebagaimana diketahui, karya sastra romatisisme telah berlangsung jauh lebih dulu di Belanda, tepatnya pada akhir abad 17 hingga awal 18, jika dibandingkan di Indonesia yang baru masuk pada abad 19. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap sejarah pengaruh bacaan karya sastra dari Belanda bagi angkatan pujangga baru di Indonesia. Kata kunci: Angkatan Pujangga Baru; Angkatan 80; Romantisisme 1. Pendahuluan Romantisisme adalah sebuah gerakan seni, sastra dan intelektual yang berasal dari Eropa Barat abad ke18-, tepatnya pada masa Revolusi Industri. Istilah romantik dan romantisisme berasal dari kata romans, yakni bahasa (dialek) rakyat Prancis pada abad Pertengahan (1800‒1851). Istilah tersebut kemudian berkembang dan dimaknai sebagai cerita khayalan yang aneh 59 60 ALMAS APRILIA DAMAYANTI dan menarik, cerita yang penuh petualangan, serta cerita-cerita yang mengandung unsur percintaan (Ratna, 2005, hlm. 48). Romantisisme merupakan aliran dalam sastra yang menekankan pada ungkapan perasaan sebagai dasar perwujudannya. Aliran ini lahir dan berkembang pada abad ke-18 di Eropa sebagai gerakan untuk menentang klasikisme, yaitu aliran yang mengutamakan keteraturan dalam berpikir, bersikap, dan bersifat konvensional. Istilah romantik boleh dikatakan tidak dapat dilepaskan begitu saja dari kebudayaan Eropa. Kalaupun kita ingin memahami dan mencari ciri-ciri romantisisme dalam tradisi sastra Indonesia, mau tidak mau kita harus berurusan dengan perkembangan tradisi kesusastraan Eropa yang memperkenalkan istilah romantisisme tersebut. Istilah romantik berhubungan dengan penggunaan kata roman di Abad Pertengahan, yaitu suatu cerita dalam bahasa rakyat Roman. Roman Abad Pertengahan, terutama yang berupa cerita kesatria, kebanyakan ditulis dalam bentuk sajak. Setelah beberapa waktu, ciri-ciri yang menandai cerita ini bergeser menjadi kejadian- kejadian tegang dan sering tidak masuk akal, serta perasaan luhur tentang kehormatan dan cerita kebangsawanan yang langsung dihubungkan dengan pengertian roman dan romantik (Luxemburg et.al, 1989, hlm. 162). Periode romantik dalam sejarah perkembangan sastra Eropa sering dikaitkan dengan munculnya Revolusi Prancis, terutama pada abad ke-18. Ketika itu, idiom-idiom yang berkaitan dengan kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan muncul di berbagai sendi kehidupan (Samekto, 1975, hlm. 65). Idiom-idiom tersebut pada akhirnya menimbulkan keyakinan bahwa pada dasarnya, manusia adalah baik. Dengan demikian, perasaan ingin mencapai kebahagiaan secara sempurna menjadi hakikat kehidupan pada ROMANTISISME DI INDONESIA DAN BELANDA PADA AWAL ABAD KE-20 61 masa romantik. Kemunculan romantitisme memang tidak dapat dilepaskan dari Revolusi Prancis. Tokoh yang memberikan napas dalam romantisisme di Prancis adalah J. J. Rousseau. Ia dianggap sebagai bapak romantisisme lewat karya autobiografinya, Confessions. Di dalam bukunya, ia memaparkan bahwa diri (self ) merupakan sesuatu yang otonom dalam menentukan pilihannya. Dengan kata lain, Rousseau mengenalkan konsep individualisme dan subjektivisme dalam pemikiran filsafat (Heath dan Boreham, 1999, hlm. 23). Menurut Saini dalam Damono (2005: 51), romantisisme adalah gerakan kesenian yang mengunggulkan perasaan (emotion, passion), imajinasi, dan intuisi. Para seniman romantik cenderung mengunggulkan sifat individualistis daripada konformistis. Karya seniman romantik menekankan hal yang bersifat spiritualitas atau fantastik. Minatnya pada alam yang masih liar dan belum diolah sangat besar. Tokoh-tokoh eskapisme romantis lebih menyukai tempat-tempat yang alami, natural, bunga-bunga, sinar mentari, atau bulan purnama. Sifat otentik kaum romantik adalah pandangan filosofis yang menolak hal-hal palsu atau artifisial, seperti ketentuan sosial, hukum material, dan penaklukan individu oleh hal-hal yang nonemotif. Romantik menjauhi kejenuhan atau kebiasaan, dan melihat sesuatu secara berbeda. Romantika menyeret orang sampai batas-batas yang tidak terduga. Lebih dari seabad sejak romantisisme pertama kali dicetuskan di Barat, tetapi pengaruhnya masih dapat dirasakan dalam dunia kesenian sampai sekarang. Pada faktanya, bentuk seni modern pun banyak yang masih bersifat romantik. Walaupun sudah muncul banyak konsep lain, seperti realisme, simbolisme, surealisme, dan lain-lain, adanya kebutuhan untuk mengekspresikan diri secara 62 ALMAS APRILIA DAMAYANTI subjektif, terlepas dari hukum sains dan logika, yang sering kali menjadi vital dalam penciptaan karya seni, merupakan warisan dari romantisisme. Romantisisme juga memegang peran penting dalam perkembangan seni rupa modern Indonesia, sebagai penggayaan seni lukis asing pertama yang masuk ke Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap sejarah pengaruh bacaan dan karya sastra dari Belanda terhadap angkatan Pujangga Baru di Indonesia. Ada dua tujuan dalam penelitian ini, yaitu secara teoretis, bertujuan mengungkap sejarah pengaruh bacaan asing bagi angkatan Pujangga Baru di Indonesia dan pengaruh dari bacaan di Belanda yang menempatkan perasaan manusia sebagai unsur paling dominan, serta sebuah cinta yang merupakan bagian dari perasaan yang paling menarik. Kemudian, secara akademis, dapat memberi sumbangan perkembangan ilmu sastra, khususnya dalam bidang sejarah sastra. Secara praktis, penelitian ini bertujuan memberikan pengetahuan kepada masyarakat bahwa romantisisme di Indonesia terpengaruh oleh aliran romantisisme di Belanda. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik. Langkahnya dimulai dari menelaah data yang berhubungan dengan teks, lalu mendeskripsikan secara koheren, kemudian mengutipnya. Terakhir, dilakukan tahap analisis dan menyimpulkan. Hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah bahwa terdapat pengaruh yang besar bagi karya-karya masa romantisisme di Indonesia oleh karya- karya literatur di Belanda. Ini semua terlihat dari unsur emosi (perasaan) yang dipakai pada karya literatur, baik di Indonesia maupun di Belanda, untuk mendorong orang lebih menghayati perasaan melalui penghayatan indera, serta lebih mempercayai intuisi daripada pikiran dan kebebasan berimajinasi. Namun, ada yang berbeda, yakni apabila karya bergenre romantisisme ROMANTISISME DI INDONESIA DAN BELANDA PADA AWAL ABAD KE-20 63 di Indonesia dinilai dengan pengungkapan yang romantis dan mendayu-dayu, di Belanda karya-karyanya sama sekali tidak terkait dengan persoalan cinta, asmara, atau ketertarikan antara lelaki dan perempuan sebagaimana yang selama ini dipahami, tetapi pada masa itu dianggap romantik jika pengarang atau penyair mampu memberikan titik tekan pada persoalan rasa dan perasaan yang amat terbuka dalam mengungkapkan perasaan mereka, hak-hak manusia, dan kebebasan individu (McMichael, 1997, hlm. 613). 2. Pembahasan 2.1 Ciri-Ciri Romantisisme Prinsip romantisisme adalah kembali pada alam, contohnya emphasis terhadap nilai-nilai kebajikan umat manusia, keadilan bagi seluruh umat, serta menggunakan perasaan daripada logika dan intelekual. Ada beberapa ciri-ciri yang sangat menonjol dalam aliran romantisme ini, di antaranya kembali ke alam, melankolis, keprimitifan, sentimental, dan individual (Noyes, 1956). Seni romantik berfokus pada emosi, perasaan, dan berbagai macam suasana hati, seperti spiritualitas, imajinasi, misteri, dan semangat perjuangan. Seniman romantik mengekspresikan emosi personal melalui karyanya, yang kontras dengan pengekangan dan nilai-nilai universal yang ada pada seni neoklasik. Subject matter bervariasi, contohnya lanskap, religi, revolusi, dan keindahan yang damai. Salah satu tema dalam puisi romantisisme adalah mengemukakan keindahan alam. Tema keindahan alam dalam karya romantisisme juga didengungkan melalui pernyataan Bapak Romantik Belanda, Williem Kloos, yang menyerukan untuk kembali ke alam dalam 64 ALMAS APRILIA DAMAYANTI karyanya yang berjudul “Zee”, atau dalam bahasa Indonesia bermakna “Laut” berikut. Zee karya Williem Kloos De Zee, de Zee klotst voort in eindelooze deining, De Zee, waarin mijn Ziel zich-zelf weerspiegelt ziet; De Zee is als mijn Ziel in wezen en verschijning, Zij is een levend Schoon en kent zich-zelve niet. Zij wischt zich-zelven af in eeuwige verreining, En wendt zich altijd òm en keert weer waar zij vliedt, Zij drukt zich-zelven uit in duizenderlei lijning En zingt een eeuwig-blij en eeuwig- klagend lied. O, Zee was Ik als Gij in àl uw onbewustheid, Dan zou ik eerst gehéél en gróót gelukkig zijn; Dan had ik eerst geen lust naar menschlijke belustheid Op menschelijke vreugd en menschelijke pijn; Dan wás mijn Ziel een Zee, en hare zelfgerustheid, Zou wijl Zij grooter is dan Gij, nóg grooter zijn. Keindahan alam yang didengung-dengungkan oleh Kloos ini juga ditemukan dalam puisi-puisi yang dimuat dalam majalah Pujangga Baru. Keindahan alam yang diceritakan dalam puisi- puisi tersebut biasanyan menggambarkan keindahan alam di pedesaan, keindahan gunung, sawah, suasana menjelang pagi, ROMANTISISME DI INDONESIA DAN BELANDA PADA AWAL ABAD KE-20 65 bahkan nyanyian dedaunan, dan batang-batang pimping yang ditiup angin. Semua fenomena alam tersebut menjadi inspirasi dalam penciptaan
Recommended publications
  • Conserving the Past, Mobilizing the Indonesian Future Archaeological Sites, Regime Change and Heritage Politics in Indonesia in the 1950S
    Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 167, no. 4 (2011), pp. 405-436 URL: http://www.kitlv-journals.nl/index.php/btlv URN:NBN:NL:UI:10-1-101399 Copyright: content is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 License ISSN: 0006-2294 MARIEKE BLOEMBERGEN AND MARTIJN EICKHOFF Conserving the past, mobilizing the Indonesian future Archaeological sites, regime change and heritage politics in Indonesia in the 1950s Sites were not my problem1 On 20 December 1953, during a festive ceremony with more than a thousand spectators, and with hundreds of children waving their red and white flags, President Soekarno officially inaugurated the temple of Śiwa, the largest tem- ple of the immense Loro Jonggrang complex at Prambanan, near Yogyakarta. This ninth-century Hindu temple complex, which since 1991 has been listed as a world heritage site, was a professional archaeological reconstruction. The method employed for the reconstruction was anastylosis,2 however, when it came to the roof top, a bit of fantasy was also employed. For a long time the site had been not much more than a pile of stones. But now, to a new 1 The historian Sunario, a former Indonesian ambassador to England, in an interview with Jacques Leclerc on 23-10-1974, quoted in Leclerc 2000:43. 2 Anastylosis, first developed in Greece, proceeds on the principle that reconstruction is only possible with the use of original elements, which by three-dimensional deduction on the site have to be replaced in their original position. The Dutch East Indies’ Archaeological Service – which never employed the term – developed this method in an Asian setting by trial and error (for the first time systematically at Candi Panataran in 1917-1918).
    [Show full text]
  • Bab V Penutup 5.1
    23 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan 1. Keberadaan kesusasteraan Indonesia sebelum berkaryanya Sutan Takdir adalah dimulai dengan kesusasteraan Melayu klasik yang berisikan hikayat, syair dan pantun yang pada umumnya masih bannyak dipengaruhi oleh penulisan yang sangat tradisional yang belum membedakan antara legenda ataupun mitos 2. Sebelumya masa Pujangga Baru ekspresi isi karya-karya sastra adalah lebih berisikan tentang keadaan yang kolot dimana bertemakan; pernikahan paksa, paksaan adat, kekangan orangtua dan kehidupan desa, namun dengan kemunculan Pujangga Baru kebebasan dan kehidupan urban sudah mulai menjadi tema-tema dalam karya sastra yang dihasilkan 3. Penerbitan Poedjangga Baroe merupakan realisasi dari hasrat untuk menyatukan tenaga cerai berai pengarang Indonesia yang sebelumnya telah kelihatan hasilnya dalam berbagai majalah . Umumnya kelahiran Pujangga Baru disambut gembira oleh penyair dan pengarang muda, para pelajar dan golongan intelektual yang sedikit jumlahnya . Namun selanjutnya reaksi hebat terhadap pujangga baru datang dari pihak guru-guru bahasa Melayu. Pujangga Baru dituduh merusak bahasa Melayu karena memasukkan kata- kata yang tidak lazim dalam bahasa melayu (sekolah). misalnya mereka keberatan terhadap pengambilan kata-kata daerah dan kata-kata asing yang tambah banyak dipergunakan dan sadar oleh pembaharu bahasa golongan 24 Pujangga Baru. Juga mengenai persajakan Pujangga Baru dikritik karena memasukkan bentuk-bentuk puisi yang menyalahi pantun dan syair. 4. Selain dalam bidang kesusasteraan Sutan takdir juga menaruh perhatian terhadap filsafat. Lebih tepatnya filsafat kebudayaan. Pemikiran dia tentang pemisahan antara zaman Prae-Indonesia dengan zaman Indonesia merupakan awal tinjuan dia terhadap kebudayaan Indonesia. Menurut dia kedua masa itu harus dipisahkan dan bahkan harus ditinggalkan karena dia menganggap bahwa itu layaknya zaman jahiliah Indonesia dimana Indonesia terkekang oleh kebudayaan lama.
    [Show full text]
  • Pengaturan Calon Independen Pada Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Padang Lawas
    Jurnal Ilmu Administrasi Publik 2 (2) (2014): 129-136 Jurnal Administrasi Publik http://ojs.uma.ac.id/index.php/publikauma Pengaturan Calon Independen Pada Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Padang Lawas Afri Azwar Hasan Harahap, Rosmala Dewi * Program Studi Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Medan Area, Indonesia Diterima Agustus 2014; Disetujui Oktober 2014 Dipublikasikan Desember 2014 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mngetahui pengaturan pencalonan independen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan calon independen tidaklah bertentangan dengan undang-undang dasar tahun 1945 pasal 18 ayat(4), yang bukan merupakan perbuatan darurat ketatanegaraan yang terpaksa harus dilakukan, dimana pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah agar sesuai dengan sistem demokrasi. Dalam tata cara pencalonan independen pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah: surat pencalonan ditanda tangani calon, berkas dukungan yang dilampiri fotocopy KTP dan surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri sebagai calon tanpa adanya alasan yang tepat. Apabila sudah mencalonkan sebagai calon independen jabatan sementara sebelum mencalonkan akan dinonaktifkan sampai selesai pemilihan kepala daerah serta jika pencalonan sudah selesai ternyata dinyatakan kalah, maka jabatan yang sebelumnya kembali dijabatnya dengan alasan tidak adanya masalah dalam pemilihan yang telah berlangsung. Kata Kunci : Calon independen; Pemilihan Umum; Pemerintah Daerah Abstract This research aims to know regulation independent candidate.The
    [Show full text]
  • SINTESIS Sampul Muka
    NAMA YANG TAK TERLUPAKAN: TIGA PENULIS AWAL CERITA PENDEK BERBAHASA MELAYU: SELAYANG PANDANG Christopher A. Woodrich Sarjana Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Master of Arts FIB Universitas Gadjah Mada Email:[email protected] ABSTRAK Sejarah cerita pendek (cerpen) di Indonesia masih tidak pasti. Menurut catatan sejarah umum, cerpen baru muncul di wilayah yang kini menjadi Indonesia pada tahun 1920-an, ketika sejumlah karangan diterbitkan dalam majalah Pandji Pustaka; menurut pandangan ini, kumpulan cerpen pertama di Indonesia adalah Teman Doedoek (1936) karya M. Kasim. Namun, sebelum ini sudah banyak cerita pendek berbahasa Melayu yang diterbitkan, termasuk kumpulan cerpen. Nama- nama pengarangnya, bilamana dicantumkan, tidak banyak diketahui oleh pembaca sekarang. Oleh karena itu, tulisan ini menguraikan riwayat hidup tiga orang penulis cerpen yang cukup menonjol pada awal abad kedua puluh, yaitu H. F. R. Kommer, Juvenile Kuo, dan Marco Kartodikromo, sebagai usaha untuk melihat ciri-ciri umum yang mungkin melatarbelakangi usaha orang menggunakan bentuk cerpen yang masih baru pada tahun-tahun itu. Diperlihatkan ragam latar sosio-budaya yang dimiliki penulis-penulis ini, serta pekerjaan pokok mereka sebagai wartawan. Digambarkan pula kedudukan penulis-penulis ini dalam rangka masyarakat kontemporer dan mengapa mereka jarang mendapatkan perhatian dalam pembahasan sejarah sastra Indonesia. Kata kunci: H.F.R. Kommer, Juvenile Kuo, Marco Kartodikromo, Sejarah cerpen 1. PENGANTAR Namun, jika dilacak lebih jauh ternyata pendapat sedemikian rupa tidak benar. Teman Doedoek karya Muhammad Kasim Sebelum Teman Doedoek, dan bahkan kerap diakui sebagai kumpulan cerita pendek sebelum Pandji Poestaka, sudah ada cerpen (cerpen) pertama di Indonesia, dengan cerita- dalam bahasa Melayu dan bahasa-bahasa cerita yang dimuat dalam majalah Pandji lain.
    [Show full text]
  • INDO 23 0 1107118712 39 58.Pdf (950.7Kb)
    PERCEPTIONS OF MODERNITY AND THE SENSE OF THE PAST: INDONESIAN POETRY IN THE 1920s Keith Foulcher Nontraditional Malay poetry in Indonesia, the forerunner of "modern Indonesian poetry," is generally said to have begun in the decade be­ tween 1921 and 1931 in the publications of three young Dutch-educated Sumatrans, Muhammad Yamin (born in Sawahlunto, Minangkabau, 1903), Rustam Effendi (born in Padang, 1903), and Sanusi Parid (born in Muara Sipongi, Tapanuli, 1905). Through their writing of Western-influenced poetry in Malay or Bahasa Indonesia, all three saw themselves as con­ tributing to the birth of a modern Sumatran (later Indonesian) culture, the basis of a new Sumatran (later Indonesian) nation. As such, they were among those who laid the foundation of the cultural nationalism which in the repressive conditions of the 1930s came to represent an alternative to the overtly political expression of Indonesian national­ ism . In the following pages, I wish to suggest (1) that through their writing Yamin, Rustam, and Sanusi all articulated a cultural stance which involved both a response to what they knew of European culture and their sense of an indigenous cultural heritage; (2) that there were important differences between the stances of Yamin and Rustam in this regard; and (3) that the poetry of Sanusi Pan6, evolving out of Yarnin's, established an approach to modernity which became the conventional stan­ dard for the burgeoning "Indonesian" poets of the 1930s. * * * CINTA Galiblah aku duduk bermenung Melihatkan langit penuh cahaya Taram-temaram bersuka raya Melenyapkan segala, fikiran nan renung. Apa dikata hendak ditenung Hatiku lemah tiada bergaya Melihatkan bintang berseri mulia Jauh di Sana di puncak gunung.
    [Show full text]
  • View Annual Report
    2014 Annual Report SUSTAINABLE COMPETITIVE GROWTH Through Digital Business SUSTAINABLE COMPETITIVE GROWTH THROUGH DIGITAL BUSINESS Investing in the digital business is a necessity for us to improve our competitiveness while maintaining sustainable growth in the future. In 2014, one of our main programs was to continue developing infrastructure to support growth of the digital business. We have continued to develop our optical fiber-based access network, which at the end of 2014 had 13.2 million homes passed. Subsequently, weplan to deploy optical fiber connections to homes and buildings to revive ourfixed line business. In the cellular business unit, during 2014 we have built 15,556 new BTS, 75% of which are 3G/4G BTS. At the end of 2014, we had 85,420 BTSs, of which 45% were 3G/4GBTSs. Our BTS infrastructure demonstrates our superiority in terms of coverage and capacity and also reflects our commitment to provide the best digital experience. Telkomsel is the first commercial operator in Indonesia to provide 4G services to further enhance the digital experience of our customers. In addition, we have also installed 170,000 Wi-Fi access points to help off-load our mobile customer data traffic. Our fixed line broadband services and Telkomsel's cellular services are supported by a superior backbone network. At the end of 2014, we have built 76,700 kilometers of fiber-optic backbone network. We are continuing to build our backbone network so as to eventually reach all parts of the archipelago. We have also built a 54,800 m2 data center to support cloud computing services (cloud services).
    [Show full text]
  • ASPECTS of INDONESIAN INTELLECTUAL LIFE in the 1930S
    PUDJANGGA BARU: ASPECTS OF INDONESIAN INTELLECTUAL LIFE IN THE 1930s Heather Sutherland Pudjangga Baru, the "New Writer," was a cultural periodical put out in the colonial capital of Batavia by a group of young Indonesian intellectuals from 1933 until the invasion of the Netherlands Indies by Japan in 1942.1 In Bahasa Indonesia, the term pudjangga means "literary man, man of letters; author, poet; linguist, philologist."2 34 The choice of this term for the title of the monthly was no doubt also influenced by an awareness of its historical connotations, for the word can be traced back through such Old Javanese forms as bhujanga to an original Sanskrit root associated with sacred and priestly learning. It implied nobility and integrity as well as literary ability; and it is therefore no accident that the writings appearing in it claimed high idealism and a sense of mission. The purpose proclaimed by Pudjangga Baru became more fervent as the years passed. In the beginning, it described itself simply as a literary, artistic, and cultural monthly. At the start of its third year it declared itself a "bearer of a new spirit in literature, art, culture, and general social affairs."^ At the beginning of its fifth year it claimed to be the "leader of the new dynamic spirit to create a new culture, the culture of Indonesian unity."1* In 1928, when the second All-Indonesia Youth Congress swore the famous oath to work for "one fatherland, one people, and one language" Pudjangga Baru pledged itself to work for the development of the national language and also to strive for a national culture, adding "one culture" to its 1.
    [Show full text]
  • Nationalism and National Culture in Indonesian Art Music and Performances (1900-2018): Reflections from Postcolonial Perspectives
    Nationalism and National Culture in Indonesian Art Music and Performances (1900-2018): Reflections from Postcolonial Perspectives Aniarani Andita 5837456 MA Thesis Musicology Utrecht University First Reader/Supervisor: Dr. Floris Schuiling Second Reader: Dr. Barbara Titus 2018 ABSTRACT Partha Chatterjee (1997) affirms that the attitude to modernity in formerly-colonized societies is always deeply ambiguous, because the modernity that the colonizers used as justification for colonialism also taught the colonized societies of its values. Indonesia is not an exception; having been colonized for centuries by a European nation, Indonesian nationalism arose from the desire for freedom from the colonizer. However, this nationalism, and the subsequent attempts for the creation of national culture has have always been replete with ambivalencies—with negotiations between the need to create a distinct national identity and the values of European cultures as imposed in the colonial time. This thesis looks at the discourses of nationalism, national culture, and national music in Indonesia since the beginning of the twentieth century to the present day, and examine its manifestations in the field of Indonesian art music and its performances by Indonesian symphony orchestras. I argue that these discourses and actions have always been embedded with a legacy of colonialism in the form of xenocentrism in its broad sense: the tendency among Indonesians to continue to concern about the Western others as they try to define their own identity and culture. Moreover, through case studies such as the compositions Varia Ibukota by Mochtar Embut and Suvenir dari Minangkabau by Arya Pugala Kitti, and the practices of contemporary symphony orchestras Gita Bahana Nusantara and Jakarta City Philharmonic, I employ postcolonial theories to view those works as reflections of the entanglement between colonial history and Indonesia-specific visions, as well as as endeavours to decolonize the knowledge of European classical music and performance form.
    [Show full text]
  • TEMA PUISI INDONESIA MODERN PERIODE AWAL the Modern Indonesian Poetry Theme of Early Period
    TEMA PUISI INDONESIA MODERN PERIODE AWAL The Modern Indonesian Poetry Theme of Early Period Amir Mahmud Peneliti Sastra Balai Bahasa Surabaya, Jalan Siwalanpanji, Buduran, Sidoarjo Telp./Faks. 031—8051752, Pos-el: [email protected] (Makalah diterima tanggal 4 Januari 2011–Disetujui tanggal 12 April 2011) Abstrak: Dunia puisi Indonesia modern terus mengalami perkembangan yang cukup baik sejak tahun 1800-an melalui terbitan majalah-majalah, seperti Bianglala (1870), Tjahaja Siang (1896), atau Pandji Poestaka (1923). Media seperti itu memunculkan nama-nama besar penyair Indonesia, seperti Or. Mandank, Sanusi Pane, dan Amir Hamzah. Perkembangan itu telah me- munculkan berbagai pemikiran generasi muda untuk meneliti dan menginventarisasikannya. Sampai saat ini banyak yang melakukan penelitian terhadap puisi Indonesia modern dari segi struktur, estetika, atau makna. Secara tidak langsung penelitian itu akan bersentuhan dengan masalah budaya dan penyairnya. Tidaklah lengkap kalau berbicara masalah perpuisian di Indonesia tanpa melibatkan penyair, sosial, dan budayanya. Namun, tulisan ini tidak melibatkan penyair, sosial, dan budayanya secara khusus, kajian ini hanya terfokus pada aspek tema, seperti tema cita-cita merdeka, keagamaan, kesatuan, nasihat, alam lingkungan, atau kritik sosial. Kata-Kata Kunci: puisi, tema, penyair, media massa, pribumi, dan Hindia Belanda Abstract: The world of modern Indonesian poetry has continued to have a fairly good development since the year of 1800s via magazine publications such as Bianglala (1870), Tjahja Siang (1986), or Pandji Poestaka (1923). Such medias had brought out great Indonesian poets like Or. Mandank, Sanusi Pane, and Amir Hamzah. The development has raised various ideas of the young generation to study and inventory them. Until now, there have been many studies on modern Indonesian poetry from the aspect of structure, aesthetic, and meaning.
    [Show full text]
  • Plagiat Merupakan Tindakan Tidak Terpuji
    PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI WACANA KEBUDAYAAN INDONESIA PADA MASA PERGERAKAN KEMERDEKAAN: POLEMIK KEBUDAYAAN (1935 – 1939) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah Oleh: Flavianus Setyawan Anggoro NIM: 054314005 PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2011 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI ii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI iii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI MOTTO “Selalu Memandang Ke Depan adalah Sebuah Pilihan Hidup” (NN) iv PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI HALAMAN PERSEMBAHAN Skripsi ini Aku Persembahkan untuk: Yang Maha Penyayang Kedua Orangtua Ku Adik Ku Teodosia Marwanti Ety dan Gabriel Aprisriwanto Serta semua orang yang menyayangiku v PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI vi PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI ABSTRAK (Indonesia) Skripsi berjudul “Wacana Kebudayaan Indonesia Pada Masa Pergerakan Kemerdekaan: Polemik Kebudayaan (1935 – 1939)” ini merupakan suatu telaah Ilmu Sejarah terhadap pewacanaan kebudayaan yang pernah terjadi di Indonesia. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis:1) latar belakang munculnya peristiwa Polemik Kebudayaan, 2) dinamika
    [Show full text]
  • Hersri Translated and Introduced by Keith Foulcher
    A r t a n d E ntertainment in t h e N e w O r d e r ' s Ja il s Hersri Translated and Introduced by Keith Foulcher Introduction "Art and Entertainment in the New Order's Jails" is one of three long essays on the ex­ perience of political imprisonment in Indonesia's New Order, written between 1991 and 1993 and published by the author from his home in the Netherlands, in the middle of 1993.1 It forms part of a large corpus of writing, including the 276 page manuscript by Pramoedya Ananta Toer, Nyanyian Tunggal Seorang Bisu [The Lone Song of a Mute], which documents the deprivation and suffering of those imprisoned in the wake of the New Order's rise to power in 1965/66. For periods of up to fourteen years, tens of thousands of Indonesians found themselves imprisoned without trial in brutal and inhuman conditions for no other reason than their past membership of organizations having connections to the pre-1965 left, and the political and ideological commitments which association with these organizations was seen to imply. Hersri Setiawan, the writer of this essay, was at the time of his imprisonment a former member of Lekra, the "People's Cultural Institute" that had connections with the PKI, the Indonesian Communist Party. Between 1958 and 1960, he had held a leadership position in the Central Java office of the organization, before taking up a position as Indonesia's repre­ sentative at the Asia-Africa Writers' Bureau in Colombo, Sri Lanka, which he held between 1961 and August 1965.
    [Show full text]
  • Indonesian National History Textbooks After the New Order What’S New Under the Sun?
    Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 170 (2014) 113–131 bki brill.com/bki Indonesian National History Textbooks after the New Order What’s New under the Sun? Agus Suwignyo Gadjah Mada University, Yogyakarta [email protected] Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, R.P. Soejono, and R.Z. Leirissa (eds), Sejarah nasional Indonesia. Volumes 1–6, updated edition. Ja- karta: Balai Pustaka, 2008. [first edition 1975–7; second edition 1981–3] (Paper- back). Vol. 1: Zaman prasejarah di Indonesia, xxxix + 515 pp. ISBN 9794074071 Vol. 2: Zaman kuno (Awal M-1500M), xxxix + 534 pp. ISBN 979407408X Vol. 3: Zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan Islam di Indonesia (±1500–1800), xxxii + 421 pp. ISBN 9794074098 Vol. 4: Kemunculan penjajah di Indonesia (±1700–1900), xxxiv + 511 pp. ISBN 9794074101 Vol. 5: Zaman kebangkitan nasional dan masa Hindia Belanda (±1900–1942), xxxii + 450 pp. ISBN 979407411X Vol. 6: Zaman Jepang dan zaman Republik Indonesia (±1942–1998), xlv + 807 pp. ISBN 9794074128 Taufik Abdullah and A.B. Lapian (eds), Indonesia dalam arus sejarah. Vol- umes 1–8 + additional Vol. 9, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2012. (Hardback). Vol. 1: Prasejarah, xxxvi + 380 pp. ISBN 9789799226938 Vol. 2: Kerajaan Hindu-Buddha, xxi + 372 pp. ISBN 9789799226945 Vol. 3: Kedatangan dan Peradaban Islam, xxii + 452 pp. ISBN 9789799226952 Vol. 4: Kolonisasi dan Perlawanan, xxiv + 690 pp. ISBN 9789799226969 Vol. 5: Masa pergerakan kebangsaan, xxii + 436 pp. ISBN 9789799226976 Vol. 6: Perang dan Revolusi, xxii + 579 pp. ISBN 9789799226983 Vol. 7: Pascarevolusi, xxii + 547 pp. ISBN 9789799226990 Vol. 8: Orde Baru dan Reformasi, xxii + 684 pp.
    [Show full text]