Puisi Pujangga Baru: Konsep Estetik, Orientasi, Dan Strukturn*

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Puisi Pujangga Baru: Konsep Estetik, Orientasi, Dan Strukturn* Puisi Pujangga Baru: Konsep Estetik, Orientasi, dan Strukturn* Rachmat Djoko Jbibpo* ada itu irnprddstik, yaitu penetaahan ha- uisi Pujangga Baru gdatah awal pukii w mengd pdcolrpd<oma, aria- lndonesia modem. Unfttk memahami Iiiyang~,~~~- ring&. Penelitian puisi Pujangga khu d&ptrisi Indonearia sectam keselunrhan, yang tidak menyeluruh dan irnpresiorristik penelitian pltisi Pujangga Bant penting dii itu kelihatan &lam buku A. Teerrw: Pokuk f lakukan. Hal ini dis@babkm kgtya sash, dan Tokoh 1 (1995) yang kernudian d'ii I tmdpuisi, m $ti dam keko.ong menjadi Modem Indomerim Lbmtura an budaya (Teeuw, 1QR&11), temrasuk kar- (1967) yang kemudien dikljmawm kt! ya sastra. Qisamping itu, kaya dalam bahasa hrdm menjadi Sash BSN lwia1 (1978). sfcat yang demC m- m- -e m=w karya sastra sebelumnya (Riaterm vie kian itu tampak juga dalam buku Ajib Rosidi Teeuw, 1983:65). PLlisi 1- l(l97.5) den btlku Rachrnat Karya sastra, termasuk puisi, dita sasbrman Sastrawan sebagai an- ma- syarakat tidak terlepas dari latar sosial-bu- daya dm kesejh -. Be- gitu juga, penyeif P3mgga Baru ljdak lepasdariletar f-~hEtflbangsa Baru (19201942) hr hh* dnberkembang pada saat bgngsa Indam& memfnM ke- Dua Zgman dm Uraian Nymyian Sunyi merdekaewr dari pmjajalran BeQlllda. Oleh (1979). kmitu, perly ditditi wttjd perj~angan- nya, di samphg wujud latar sosia- nya. Untuk memahami prdsi seam ma- h,juga puisi Pujmgga Bewu, perfu diteliti pakan stfuktur kebndgan ymg brmkna secara ikniah keselunhn pcrisi itu, baik se- ckm kornpleks, anhammqa terjadi hu- cam struktur estetik mewpun muatan yang bungs erat (laheren). Tiap wnsur tekandung di dakmya. Akan sam- m rnempunyai makna cEslam hu- pai sekarang Mum ada penelitin puisi Pu- bmgmnya dengan unsur lain dalarrt struk- jangga Baru yang tuntas, sistematik, dan tur itu dan kessknuhannya (Hawk% 1978: mendalam. Siiatnya peneWkm yang sudah 17-18). Akan tetapi, stwtdura8sme mmi yensm-pada-dalam atas aatu bait saja (inner sfmfm)karya ssstra Skt mqp- dm tiap pmbdtls itu berupa kesatugn sintakeis (grrtra). 5. 0 flap gatra tdirri atas doa kata, dapet fuga satu kata, ticia kata, atau Wfh, tGEepi Fng parw banyak krdapat due kata. tyarakrrtnya. Oieh karena itu, karya ssslra 6. Dm bsuis ymg pettmw disebut sampir- an, sedangkan dua baris yang kedua di- &ut isi. yaituw Ldeh pdsi wt--- kan f=-=n pik'm yaw Ikib,dapat~tlntuk~rirwsihat- ygngfwu@cana~ckiptlisi&u SaStralamaymg~M~membe- Puisi~&benn~:pan-&an dimkepada pembaca ertau pent% tun, syair,, seldca, talibun, dm gurindam. AdaprrnGikcirisyairielaheb8@aiba- rikut. 1. Syairadalehpclisi~terdirialasem- pedbWbtwlp3baa. 2 Bisyak cukup serkr bait @a, bait sebab Amb (m,1953: 74). Pantun dm ritakan 8eb qedr sudah berumw ratusan tahun. OIett 3. Baris syair terdki atas dua keaahran !&in- ksrenakpantundians)rairwdahmmjadi taksis ettau terd'm atas dua per#dus. wWpldsi-&-dalam Tiapperiodusitubenspasatuke&~ta~ Indonesia. Oleh karena Ru, sintaksis. apat begitu saja cliting- 4 Biesanyatiapoperr?rdtrsterdkiatasdua I- I- mum- kataEdauM,t~yang~ba- nya, penyair pads kh- Pam rryak atasduakata penyair- modem yrrng mengingifikan pem- 5. Pola akhlan: 9-a-a-e. baharuan 'bergulaR melawma benkdc lanrPl 6. Keempat baris itu unMr mengiesnukakan yang tWwadi tradisi ini. Akarr t-i, isi. pada-naya--cCspat menghbgkan atau membuang sama se- Kepu'ttisan bentuk qmir tertetak wh kati. Barangkali bentuk luamya dapat dC berrtuknya yang teratur rapi, yrrng &met& tinggdkan, tetapi bentuk dalamnya secara shingga memberikan suasana pdk pada tidakdisadari-berpenosnrhslantidek P-jfm=-Jf=@-m dapat ditbrggagcan Witu we. Meskipunwun-w- Pantun mempwyai bentuk sebagai be- pc#bedaan benhtk dan kep&isan, Wepi ke- rikut . dm bentuk sajak itu mempunyai pemm- I teratwdanskne- ifarna Yaw-l elk$?,dan juga, member&an hayang monodone &at dan pada ak- wadi Mi yangtidakmudah Kuons dah -rsi Wah p ngaruhnya =%# bsar kepadn para mirabupun kepada masyarakat. PohpoQ1 yang bertainan dengan pola ha tiWas masuk ke dalam he& Pada ww'v pew pa Banrmenulls sajak', lama itu gUdCg( ada dm dikemid mereka. OM karena itu, sewam tidak ter- hindarkan puiei teYna ini menjadi latar juga penulisan mjak modem itu. Para mir Pya- Baru bemaha memyimpart@kon- vensi-kormensi puisi lama itu, tetapi pclisi lamaymgsudahmm@mbtuC@at dihiirkan dan dguPakm =ma sekali. Dengan demikjan, kwpuU lama itu terbwa juga ke daim sajak-ajak blah ter- h konrPep keindabnnye. Konsep kekwhhan astra IamainidR~~~oleh V.I. Bmghky, sarjerna sa&m Rush, daEenn rnakabhnya 'The Coma@ of 'the Beautiful' in Malay Classical and itst Rootsn (1979) (via Teeuw, 1983:, 71-72). Diiemukakan Teeuw bahwa Braginsky aecara sistematik Jamal, wng Makwbk) dilresankm Qada durh gejah (husn: indah), khususnya da- lam seni a;astra. Kemudm, aspek henen, yang indah itu kmm$wka &lam keda- kata dan m, tur, baik dalwn ahm maupun datam keg@- C murrgki; I untaian rangkaian sek beta buang, beta singkii, / sdmb laguku menurut sukma." Pam penyair P4anggsl baru memper- Wah kalauh@dwpnsganya gunakm bragam bent& pubi baru yang KWJm n mi bukan syair dan pantun: soneta, balada, Aduh kalau begird laku rupanya sejak dua seuntai, tiga seuntai, empat se- Tentukth bh&n Idcastah fani. untrpi, Sia seuntai, sampai dekpan seuntai. Akan tetapi, ciri-ciri sajak lama: rapi, temtur, UWMM seringkali baris sajak ha- dan simetris, masih tarnpak jelas dalam nya terdiri atas satu periodus, tenffri'atas sajak-sajak Pujangga Baru; begitu juga, pe- dua kata; atau sestmgguhnya satu baris, te- riodisii dan korespodensinya. tapi Biputus menjadi dua baris, masing-ma- Ciriciti sajak~ujanggabaru sebagai be;% sing satu periodus, juga dimki dehgan tikut: pofa sajak akhir Wambahan" wi sajak 1. bentuknya rapi, simestris; 'Perssaan Sen? J.E. Tetengkeng (1974: 2. mempunyai persajakan akhir (yang ter- 32) berikut. f atur); 3. banyak mempequnakan pola sajak pantun dan syair ada pda yang hm. '( Demikii Rasa, 4. sebagiin besar puisi empat seuntai; datang sernasa, 5. taw-t'ibarisnya atas sebuah gatra (ke- Mengalir, menimbun, mendesak, me- sanwm Sbtaksis); ngepuryJ 6. tiip gatmqe tetdiri atas dua kata (se- Memenuhi sukma, menawan tubuh. ~@NIh?): 4-5 Suku k-. Contohnya semi berikut. Sajak-sajak P3angga baru pads mum- nya tidak mempefgu~ankatrdEgta kkm Sanusi Pane yang ambiiu, kakr-kata 'denotati, satu katar menunjuk satu pengertian. HubungMl antara karma? yang satu dengan kaihat AhchbkuIWbenrvatakl, secara hng~ulg.Ham Tiik di/ temW ram. kiasan berarti gam, Sukma mby%mg IWi di atas, Gaya wjak dem'dt'i d Tiidd<dipagar/tembdcrasa. (diafm, poles). Dapat dinhasp.lpu WaMu mendesik / melirrtas daku, sernua sajak Pujgngga Baru bergaya demi- Ahcliam, 1 dud& bemila, ki. Gap Mm ini seswltgguhnya juga Hidup dm mati / d&agdan lab, gaya phi kma. Aku diam, / dud& bersila. Di sampirpg itu, yang me pada puisi Pujanggg Baru lmta ng mernpergumkan *k-- kata yang binp disebut Keteaturan, imma yang monofone, ke- 'kata-kah nan indah", yaitu kata-kata yang simetrisan, periodisitas: (no. 5 dan no. 6 dti &pat dikatakan tidak dipeqmdmn ateu di atas) rnerupakan wahpuisi lanoa yang jamg sskali dipqunaken Wrn petca- ditgruskan puisi Pya- Bcwu. Me- kapan seharkhari. lah tradisi itu wkar diti-lkan. Hmpir se- Seperti di &pan, dfkutip Takdk Abjah- mua @ak Pyangga Baru be&&= mi barn Mwa penyair mempuwi ik krurai itu, setidak4d;ilknya 90-95% bq$?u. dhiKfu&as seixMhRb'i yaw menonjd. Seringkdi bentuk pantun pun mash di- Ternyata, individualitas %ti an pads pergunakan okh Puja- Bant m&i kemmgm memM 'bmfuk bard yrng dengan vgrissi bmu, rnisalnya tampak da- bukan pafftun dm waif. Di sampiiQ L, lam 8ajak-mjak sanusi Pane dan Amk juga lcqamml mmbuat M M Harnzah. Misalnya bait pantun yang disii Itrenhdc %usu~tnbawm (ukiin'ben- Pqsi I- modem ngaruh puisi modern Empa khuwsnya Gedcan 80 (De Tacht@er B& weging). Para sastrawan Yaw berpena& #-=da PW Banr adatah Wbm kioas, van Deyssel, Fredertk van Eeden, dan Albert Venivey (,&?ssin, 19631, 29). Mereka blir- an rcwnar$kne. Seni mereka s&je&tif, indi- megsh". Lodewi)k van hymel mnpsrts hankan sikap sard untuk mi (rad paur I'arf)(Jdn, 1963: 29). Para sastmvm Gwakm 80 menentang sastra-m=we- ikut mboyan 'Seni adalah ekspesi yam pring individual individual", t&ap seni" dwakrya serstrewan Brrjengga Baru beqmdmm.. bahwa bsdmstmn itu perlu mempunyai fungsi pendidm. SastraG 80ituWmKmrantik, besh jw p~jmgga&ar~ adalah n 89 mmyhi so- Mal prosa t=~@ jugs para perryak Pujalgga 5am 13i lfldonersia 00- nets peltma kali diunekan oleh Mu- hammad Yarnin, WlJdian did msas- trawatn Pujangga Bani )"ang lam (Wn, 19sz: 27). Jadi, pngaruh Gfdm80 Ibu merlSprrti aliFsanrirnsmtiame,gaya,~ciSacitasers- langsung dihadapi m-. Pada perssnmcasi Wm- garBaauerdalahmbhdalarn aFti ymg d'w- bnd&bmh tmokoh (kankret). woraP Bm tklnk bsqak. Pada umumnys ~~- w==ll (b) gaya wmk-n (@a- hgdinya. Miinyol bentukan Psrjengga -h)cferngan ah: bi,poh, angin, itu: lenhlan lwu, -ng -, -a Yaw (c) gaya - kslrang hati. Penyaicyangagak* nam (dam),--cfan (d w,plemyateran bswyak mempergdan cmbfma adah* ~&iran:-watt pandam hidup, ;rrtau . kegmi, yaitu rnebfora pq fkifat. Gap curahan bertfftixlngan dengen si- ~r enyaw Pujangga Bsnt, misalnya 'Te- fat mntik sajakqak Bl&jangga Baru W*)(Sanusi Pane), 'hknuju ke W (St. yana mengmanperaagan. Dab ga- Takdii Alisjahbana). ya ini Ide diiudkan &dm pya pmsim. Coralc~~rakstaw banyak dipergumbm kata-bta sem 0, ~(metoric%/dre aduh, addmi, wahrti, atahai, ah, t6f~t~kanatau sesuai dengen gaylp sajak- gutlakan samna Fetwik retfsanoe. M nya, aliran, paham, serb konursnsi, dan sajak Amir Hamzah 'ha Byangku", kansep estdcanya. Begitu juga, sajak-sa- Amgn Pane 'Masgut". jak Pujangga Baru mempmyai ccmk4 Gaya pmakapan dengPln atarn iahih dan jenis sarana retorika tertentu. $arana cam penyek me-n khya diw@d- wMka Pujangga Baru sesmi dengan kon- sep ~~yang menghendaki k-irn- bangan yang bersifat sirnetr5s dan juga ak- In", 'KmW. ' tad). Sarana retorika yzuq tam & jup, te- patk;en wuiM fapi sedacii (&a@ !3qxM pamdoks, wir- pada pembaca. MWnya St. Takdir Alii* W, mrryaan retw&, klimaks, dm ki bana: 'B%yafq-tqm#,, I'SesUs%h Dibs- mus. jak"; Serb Pane: 'Slsfak", 53 Untuk mencjapat kepLdtisan clan menarlk yang"; dan Samd: 'Dengar", serta membuat pembMas masuk da- Ah*.
Recommended publications
  • Conserving the Past, Mobilizing the Indonesian Future Archaeological Sites, Regime Change and Heritage Politics in Indonesia in the 1950S
    Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 167, no. 4 (2011), pp. 405-436 URL: http://www.kitlv-journals.nl/index.php/btlv URN:NBN:NL:UI:10-1-101399 Copyright: content is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 License ISSN: 0006-2294 MARIEKE BLOEMBERGEN AND MARTIJN EICKHOFF Conserving the past, mobilizing the Indonesian future Archaeological sites, regime change and heritage politics in Indonesia in the 1950s Sites were not my problem1 On 20 December 1953, during a festive ceremony with more than a thousand spectators, and with hundreds of children waving their red and white flags, President Soekarno officially inaugurated the temple of Śiwa, the largest tem- ple of the immense Loro Jonggrang complex at Prambanan, near Yogyakarta. This ninth-century Hindu temple complex, which since 1991 has been listed as a world heritage site, was a professional archaeological reconstruction. The method employed for the reconstruction was anastylosis,2 however, when it came to the roof top, a bit of fantasy was also employed. For a long time the site had been not much more than a pile of stones. But now, to a new 1 The historian Sunario, a former Indonesian ambassador to England, in an interview with Jacques Leclerc on 23-10-1974, quoted in Leclerc 2000:43. 2 Anastylosis, first developed in Greece, proceeds on the principle that reconstruction is only possible with the use of original elements, which by three-dimensional deduction on the site have to be replaced in their original position. The Dutch East Indies’ Archaeological Service – which never employed the term – developed this method in an Asian setting by trial and error (for the first time systematically at Candi Panataran in 1917-1918).
    [Show full text]
  • Bab V Penutup 5.1
    23 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan 1. Keberadaan kesusasteraan Indonesia sebelum berkaryanya Sutan Takdir adalah dimulai dengan kesusasteraan Melayu klasik yang berisikan hikayat, syair dan pantun yang pada umumnya masih bannyak dipengaruhi oleh penulisan yang sangat tradisional yang belum membedakan antara legenda ataupun mitos 2. Sebelumya masa Pujangga Baru ekspresi isi karya-karya sastra adalah lebih berisikan tentang keadaan yang kolot dimana bertemakan; pernikahan paksa, paksaan adat, kekangan orangtua dan kehidupan desa, namun dengan kemunculan Pujangga Baru kebebasan dan kehidupan urban sudah mulai menjadi tema-tema dalam karya sastra yang dihasilkan 3. Penerbitan Poedjangga Baroe merupakan realisasi dari hasrat untuk menyatukan tenaga cerai berai pengarang Indonesia yang sebelumnya telah kelihatan hasilnya dalam berbagai majalah . Umumnya kelahiran Pujangga Baru disambut gembira oleh penyair dan pengarang muda, para pelajar dan golongan intelektual yang sedikit jumlahnya . Namun selanjutnya reaksi hebat terhadap pujangga baru datang dari pihak guru-guru bahasa Melayu. Pujangga Baru dituduh merusak bahasa Melayu karena memasukkan kata- kata yang tidak lazim dalam bahasa melayu (sekolah). misalnya mereka keberatan terhadap pengambilan kata-kata daerah dan kata-kata asing yang tambah banyak dipergunakan dan sadar oleh pembaharu bahasa golongan 24 Pujangga Baru. Juga mengenai persajakan Pujangga Baru dikritik karena memasukkan bentuk-bentuk puisi yang menyalahi pantun dan syair. 4. Selain dalam bidang kesusasteraan Sutan takdir juga menaruh perhatian terhadap filsafat. Lebih tepatnya filsafat kebudayaan. Pemikiran dia tentang pemisahan antara zaman Prae-Indonesia dengan zaman Indonesia merupakan awal tinjuan dia terhadap kebudayaan Indonesia. Menurut dia kedua masa itu harus dipisahkan dan bahkan harus ditinggalkan karena dia menganggap bahwa itu layaknya zaman jahiliah Indonesia dimana Indonesia terkekang oleh kebudayaan lama.
    [Show full text]
  • Bab V Kesimpulan Dan Saran
    BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukukan, maka diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Penulis Indonesia Amir Hamzah (1911–1946) telah menulis 50 puisi, 18 prosa lirik, 12 artikel, 4 cerita pendek, 3 koleksi puisi, dan 1 buku. Ia juga telah menerjemahkan 44 puisi, 1 prosa lirik, dan 1 buku. Meioritas puisi asli buatan Hamzah disertakan dalam antologinya, Njanji Soenji (1937) dan Boeah Rindoe (1941), keduanya pertama kali diterbitkan di Poedjangga Baroe. Puisi-puisi terjemahannya diantologikan di Setanggi Timoer (1939). Pada tahun 1962, pembuat dokumenter HB Jassin menyatukan semua karya Hamzah yang tersisa – termasuk Sastera Melajoe Lama dan Radja-Radja'nja – menjadi buku Amir Hamzah: Radja Penjair Pudjangga Baru. 2. Amir mulai menulis puisi saat masih remaja: meskipun karya-karyanya tidak bertanggal, yang paling awal diperkirakan telah ditulis ketika ia pertama kali melakukan perjalanan ke Jawa. Menggambarkan pengaruh dari budaya Melayu aslinya, Islam, Kekristenan, dan Sastra Timur, Amir menulis 50 puisi, 18 buah puisi prosa, dan berbagai karya lainnya, termasuk beberapa terjemahan. Pada tahun 1932 ia turut mendirikan majalah sastra Poedjangga Baroe. Setelah kembali ke Sumatera, ia berhenti menulis. Sebagian besar puisi-puisinya diterbitkan dalam dua koleksi, Njanji Soenji (EYD: "Nyanyi Sunyi", 1937) dan Boeah Rindoe (EYD: "Buah Rindu", 1941), awalnya dalam Poedjangga Baroe, kemudian sebagai buku yang diterbitkan. Puisi-puisi Amir sarat dengan tema cinta dan agama, dan puisinya sering mencerminkan konflik batin yang mendalam. Diksi pilihannya yang menggunakan kata-kata bahasa Melayu dan bahasa Jawa dan memperluas struktur tradisional, dipengaruhi oleh kebutuhan untuk ritme dan metrum, serta simbolisme yang berhubungan dengan istilah-istilah tertentu.
    [Show full text]
  • INDO 23 0 1107118712 39 58.Pdf (950.7Kb)
    PERCEPTIONS OF MODERNITY AND THE SENSE OF THE PAST: INDONESIAN POETRY IN THE 1920s Keith Foulcher Nontraditional Malay poetry in Indonesia, the forerunner of "modern Indonesian poetry," is generally said to have begun in the decade be­ tween 1921 and 1931 in the publications of three young Dutch-educated Sumatrans, Muhammad Yamin (born in Sawahlunto, Minangkabau, 1903), Rustam Effendi (born in Padang, 1903), and Sanusi Parid (born in Muara Sipongi, Tapanuli, 1905). Through their writing of Western-influenced poetry in Malay or Bahasa Indonesia, all three saw themselves as con­ tributing to the birth of a modern Sumatran (later Indonesian) culture, the basis of a new Sumatran (later Indonesian) nation. As such, they were among those who laid the foundation of the cultural nationalism which in the repressive conditions of the 1930s came to represent an alternative to the overtly political expression of Indonesian national­ ism . In the following pages, I wish to suggest (1) that through their writing Yamin, Rustam, and Sanusi all articulated a cultural stance which involved both a response to what they knew of European culture and their sense of an indigenous cultural heritage; (2) that there were important differences between the stances of Yamin and Rustam in this regard; and (3) that the poetry of Sanusi Pan6, evolving out of Yarnin's, established an approach to modernity which became the conventional stan­ dard for the burgeoning "Indonesian" poets of the 1930s. * * * CINTA Galiblah aku duduk bermenung Melihatkan langit penuh cahaya Taram-temaram bersuka raya Melenyapkan segala, fikiran nan renung. Apa dikata hendak ditenung Hatiku lemah tiada bergaya Melihatkan bintang berseri mulia Jauh di Sana di puncak gunung.
    [Show full text]
  • SETTING HISTORY STRAIGHT? INDONESIAN HISTORIOGRAPHY in the NEW ORDER a Thesis Presented to the Faculty of the Center for Inte
    SETTING HISTORY STRAIGHT? INDONESIAN HISTORIOGRAPHY IN THE NEW ORDER A thesis presented to the faculty of the Center for International Studies of Ohio University In partial fulfillment of the requirements for the degree Master of Arts Sony Karsono August 2005 This thesis entitled SETTING HISTORY STRAIGHT? INDONESIAN HISTORIOGRAPHY IN THE NEW ORDER by Sony Karsono has been approved for the Department of Southeast Asian Studies and the Center for International Studies by William H. Frederick Associate Professor of History Josep Rota Director of International Studies KARSONO, SONY. M.A. August 2005. International Studies Setting History Straight? Indonesian Historiography in the New Order (274 pp.) Director of Thesis: William H. Frederick This thesis discusses one central problem: What happened to Indonesian historiography in the New Order (1966-98)? To analyze the problem, the author studies the connections between the major themes in his intellectual autobiography and those in the metahistory of the regime. Proceeding in chronological and thematic manner, the thesis comes in three parts. Part One presents the author’s intellectual autobiography, which illustrates how, as a member of the generation of people who grew up in the New Order, he came into contact with history. Part Two examines the genealogy of and the major issues at stake in the post-New Order controversy over the rectification of history. Part Three ends with several concluding observations. First, the historiographical engineering that the New Order committed was not effective. Second, the regime created the tools for people to criticize itself, which shows that it misunderstood its own society. Third, Indonesian contemporary culture is such that people abhor the idea that there is no single truth.
    [Show full text]
  • ASPECTS of INDONESIAN INTELLECTUAL LIFE in the 1930S
    PUDJANGGA BARU: ASPECTS OF INDONESIAN INTELLECTUAL LIFE IN THE 1930s Heather Sutherland Pudjangga Baru, the "New Writer," was a cultural periodical put out in the colonial capital of Batavia by a group of young Indonesian intellectuals from 1933 until the invasion of the Netherlands Indies by Japan in 1942.1 In Bahasa Indonesia, the term pudjangga means "literary man, man of letters; author, poet; linguist, philologist."2 34 The choice of this term for the title of the monthly was no doubt also influenced by an awareness of its historical connotations, for the word can be traced back through such Old Javanese forms as bhujanga to an original Sanskrit root associated with sacred and priestly learning. It implied nobility and integrity as well as literary ability; and it is therefore no accident that the writings appearing in it claimed high idealism and a sense of mission. The purpose proclaimed by Pudjangga Baru became more fervent as the years passed. In the beginning, it described itself simply as a literary, artistic, and cultural monthly. At the start of its third year it declared itself a "bearer of a new spirit in literature, art, culture, and general social affairs."^ At the beginning of its fifth year it claimed to be the "leader of the new dynamic spirit to create a new culture, the culture of Indonesian unity."1* In 1928, when the second All-Indonesia Youth Congress swore the famous oath to work for "one fatherland, one people, and one language" Pudjangga Baru pledged itself to work for the development of the national language and also to strive for a national culture, adding "one culture" to its 1.
    [Show full text]
  • H. Maier We Are Playing Relatives; Riau, the Cradle of Reality and Hybridity
    H. Maier We are playing relatives; Riau, the cradle of reality and hybridity In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Riau in transition 153 (1997), no: 4, Leiden, 672- 698 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl Downloaded from Brill.com10/02/2021 08:25:11PM via free access HENK MAIER 'We Are Playing Relatives' Riau, the Cradle of Reality and Hybridity In a world propelled by disintegration and renewal, 'literature' is still able to offer some of us the ultimate salvation from our anxiety. Is it not tempting, in these days of disquiet, to turn to Hikayat Hang Tuah, that encyclopedia of Malay writing, to soothe our worries, to enlighten our uneasiness about life? Following conventions and subverting them in one and the same movement, the Tale of Hang Tuah is full of irony - and irony is what we may need in order not to be torn apart by our ambivalent desires of intervention and disavowal. Evasive and inconclusive, Hikayat Hang Tuah is exemplary for each and every form of Malay writing. It shows us how to play with love and life, with power and money. One of the many fragments of the Tale that should be able to soothe our anxiety is the one in which Hang Tuah, the merchant's son turned admiral and confidant of the Sultan of Malacca, is expelled from the Malacca court. The expulsion is the result of the slanderous suggestions of Karma Wijaya, the man from Java who has spread a rumor that Hang Tuah has been playing with the ladies in the palace; His Majesty, the Sultan, enraged and humiliated, decides that his most loyal servant should be eliminated.
    [Show full text]
  • Nationalism and National Culture in Indonesian Art Music and Performances (1900-2018): Reflections from Postcolonial Perspectives
    Nationalism and National Culture in Indonesian Art Music and Performances (1900-2018): Reflections from Postcolonial Perspectives Aniarani Andita 5837456 MA Thesis Musicology Utrecht University First Reader/Supervisor: Dr. Floris Schuiling Second Reader: Dr. Barbara Titus 2018 ABSTRACT Partha Chatterjee (1997) affirms that the attitude to modernity in formerly-colonized societies is always deeply ambiguous, because the modernity that the colonizers used as justification for colonialism also taught the colonized societies of its values. Indonesia is not an exception; having been colonized for centuries by a European nation, Indonesian nationalism arose from the desire for freedom from the colonizer. However, this nationalism, and the subsequent attempts for the creation of national culture has have always been replete with ambivalencies—with negotiations between the need to create a distinct national identity and the values of European cultures as imposed in the colonial time. This thesis looks at the discourses of nationalism, national culture, and national music in Indonesia since the beginning of the twentieth century to the present day, and examine its manifestations in the field of Indonesian art music and its performances by Indonesian symphony orchestras. I argue that these discourses and actions have always been embedded with a legacy of colonialism in the form of xenocentrism in its broad sense: the tendency among Indonesians to continue to concern about the Western others as they try to define their own identity and culture. Moreover, through case studies such as the compositions Varia Ibukota by Mochtar Embut and Suvenir dari Minangkabau by Arya Pugala Kitti, and the practices of contemporary symphony orchestras Gita Bahana Nusantara and Jakarta City Philharmonic, I employ postcolonial theories to view those works as reflections of the entanglement between colonial history and Indonesia-specific visions, as well as as endeavours to decolonize the knowledge of European classical music and performance form.
    [Show full text]
  • TEMA PUISI INDONESIA MODERN PERIODE AWAL the Modern Indonesian Poetry Theme of Early Period
    TEMA PUISI INDONESIA MODERN PERIODE AWAL The Modern Indonesian Poetry Theme of Early Period Amir Mahmud Peneliti Sastra Balai Bahasa Surabaya, Jalan Siwalanpanji, Buduran, Sidoarjo Telp./Faks. 031—8051752, Pos-el: [email protected] (Makalah diterima tanggal 4 Januari 2011–Disetujui tanggal 12 April 2011) Abstrak: Dunia puisi Indonesia modern terus mengalami perkembangan yang cukup baik sejak tahun 1800-an melalui terbitan majalah-majalah, seperti Bianglala (1870), Tjahaja Siang (1896), atau Pandji Poestaka (1923). Media seperti itu memunculkan nama-nama besar penyair Indonesia, seperti Or. Mandank, Sanusi Pane, dan Amir Hamzah. Perkembangan itu telah me- munculkan berbagai pemikiran generasi muda untuk meneliti dan menginventarisasikannya. Sampai saat ini banyak yang melakukan penelitian terhadap puisi Indonesia modern dari segi struktur, estetika, atau makna. Secara tidak langsung penelitian itu akan bersentuhan dengan masalah budaya dan penyairnya. Tidaklah lengkap kalau berbicara masalah perpuisian di Indonesia tanpa melibatkan penyair, sosial, dan budayanya. Namun, tulisan ini tidak melibatkan penyair, sosial, dan budayanya secara khusus, kajian ini hanya terfokus pada aspek tema, seperti tema cita-cita merdeka, keagamaan, kesatuan, nasihat, alam lingkungan, atau kritik sosial. Kata-Kata Kunci: puisi, tema, penyair, media massa, pribumi, dan Hindia Belanda Abstract: The world of modern Indonesian poetry has continued to have a fairly good development since the year of 1800s via magazine publications such as Bianglala (1870), Tjahja Siang (1986), or Pandji Poestaka (1923). Such medias had brought out great Indonesian poets like Or. Mandank, Sanusi Pane, and Amir Hamzah. The development has raised various ideas of the young generation to study and inventory them. Until now, there have been many studies on modern Indonesian poetry from the aspect of structure, aesthetic, and meaning.
    [Show full text]
  • Plagiat Merupakan Tindakan Tidak Terpuji
    PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI WACANA KEBUDAYAAN INDONESIA PADA MASA PERGERAKAN KEMERDEKAAN: POLEMIK KEBUDAYAAN (1935 – 1939) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah Oleh: Flavianus Setyawan Anggoro NIM: 054314005 PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2011 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI ii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI iii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI MOTTO “Selalu Memandang Ke Depan adalah Sebuah Pilihan Hidup” (NN) iv PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI HALAMAN PERSEMBAHAN Skripsi ini Aku Persembahkan untuk: Yang Maha Penyayang Kedua Orangtua Ku Adik Ku Teodosia Marwanti Ety dan Gabriel Aprisriwanto Serta semua orang yang menyayangiku v PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI vi PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI ABSTRAK (Indonesia) Skripsi berjudul “Wacana Kebudayaan Indonesia Pada Masa Pergerakan Kemerdekaan: Polemik Kebudayaan (1935 – 1939)” ini merupakan suatu telaah Ilmu Sejarah terhadap pewacanaan kebudayaan yang pernah terjadi di Indonesia. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis:1) latar belakang munculnya peristiwa Polemik Kebudayaan, 2) dinamika
    [Show full text]
  • Hersri Translated and Introduced by Keith Foulcher
    A r t a n d E ntertainment in t h e N e w O r d e r ' s Ja il s Hersri Translated and Introduced by Keith Foulcher Introduction "Art and Entertainment in the New Order's Jails" is one of three long essays on the ex­ perience of political imprisonment in Indonesia's New Order, written between 1991 and 1993 and published by the author from his home in the Netherlands, in the middle of 1993.1 It forms part of a large corpus of writing, including the 276 page manuscript by Pramoedya Ananta Toer, Nyanyian Tunggal Seorang Bisu [The Lone Song of a Mute], which documents the deprivation and suffering of those imprisoned in the wake of the New Order's rise to power in 1965/66. For periods of up to fourteen years, tens of thousands of Indonesians found themselves imprisoned without trial in brutal and inhuman conditions for no other reason than their past membership of organizations having connections to the pre-1965 left, and the political and ideological commitments which association with these organizations was seen to imply. Hersri Setiawan, the writer of this essay, was at the time of his imprisonment a former member of Lekra, the "People's Cultural Institute" that had connections with the PKI, the Indonesian Communist Party. Between 1958 and 1960, he had held a leadership position in the Central Java office of the organization, before taking up a position as Indonesia's repre­ sentative at the Asia-Africa Writers' Bureau in Colombo, Sri Lanka, which he held between 1961 and August 1965.
    [Show full text]
  • Indonesian National History Textbooks After the New Order What’S New Under the Sun?
    Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 170 (2014) 113–131 bki brill.com/bki Indonesian National History Textbooks after the New Order What’s New under the Sun? Agus Suwignyo Gadjah Mada University, Yogyakarta [email protected] Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, R.P. Soejono, and R.Z. Leirissa (eds), Sejarah nasional Indonesia. Volumes 1–6, updated edition. Ja- karta: Balai Pustaka, 2008. [first edition 1975–7; second edition 1981–3] (Paper- back). Vol. 1: Zaman prasejarah di Indonesia, xxxix + 515 pp. ISBN 9794074071 Vol. 2: Zaman kuno (Awal M-1500M), xxxix + 534 pp. ISBN 979407408X Vol. 3: Zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan Islam di Indonesia (±1500–1800), xxxii + 421 pp. ISBN 9794074098 Vol. 4: Kemunculan penjajah di Indonesia (±1700–1900), xxxiv + 511 pp. ISBN 9794074101 Vol. 5: Zaman kebangkitan nasional dan masa Hindia Belanda (±1900–1942), xxxii + 450 pp. ISBN 979407411X Vol. 6: Zaman Jepang dan zaman Republik Indonesia (±1942–1998), xlv + 807 pp. ISBN 9794074128 Taufik Abdullah and A.B. Lapian (eds), Indonesia dalam arus sejarah. Vol- umes 1–8 + additional Vol. 9, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2012. (Hardback). Vol. 1: Prasejarah, xxxvi + 380 pp. ISBN 9789799226938 Vol. 2: Kerajaan Hindu-Buddha, xxi + 372 pp. ISBN 9789799226945 Vol. 3: Kedatangan dan Peradaban Islam, xxii + 452 pp. ISBN 9789799226952 Vol. 4: Kolonisasi dan Perlawanan, xxiv + 690 pp. ISBN 9789799226969 Vol. 5: Masa pergerakan kebangsaan, xxii + 436 pp. ISBN 9789799226976 Vol. 6: Perang dan Revolusi, xxii + 579 pp. ISBN 9789799226983 Vol. 7: Pascarevolusi, xxii + 547 pp. ISBN 9789799226990 Vol. 8: Orde Baru dan Reformasi, xxii + 684 pp.
    [Show full text]