SEJARAH SOSIAL KESULTANAN LANGKAT

Pagar, dkk SEJARAH SOSIAL KESULTANAN LANGKAT

Penulis: Pagar Fatimah Zuhrah Shiyamu Manurung Masmedia Pinem Dede Burhanudin Asep Saefullah

Desain Cover & Layout Isi: TitianArt

Diterbitkan oleh: LITBANGDIKLAT PRESS JL. M.H. Thamrin No. 6 Lantai 17 Jakarta Pusat Telepon: 021-3920688 Fax: 021-3920688 Website: balitbangdiklat.kemenag.go.id Anggota IKAPI No. 545/Anggota Luar Biasa/DKI/2017

Cetakan Pertama - September 2020

I S B N: 978-623-91689-9-5

ii KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah Swt. Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan nikmatnya tercurahkan kepada kita. Atas berkat rahmat dan rida Allah jua, penulisan sejarah Kesultanan Langkat ini dapat diselesaikan, dan kini hasilnya diterbitkan menjadi buku oleh LitbangDiklat Press (LD Press) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Sebagaimana diketahui Indonesia, dan Nusantara dalam konteks yang lebih luas, sungguh wilayah yang eksotis, subur makmur dan menarik perhatian banyak kalangan. Salah satu daya tariknya adakah keanekaragaman dalam berbagai hal, baik hayati maupun nabati, rasa, golongan, suku, maupun agama, serta warna-warni sosial budaya, seni, tradisi, dan lokalitasnya. Salah satu rekaman warna-warni sosial budaya dan lokalitasnya terdapat dalam sejarah lokal. Maka, dalam rangka melestarikan, memelihara, dan memanfaatkan warisan sejarah lokal tersebutlah digagas suatu kegiatan yang berkaitan dengan sejarah sosial keagamaan di berbagai wilayah di Indonesia. Salah satunya adalah Sejarah Kesultanan Langkat yang berada di Provinsi Sumatera Utara.

iii Kesultanam Langkat adalah fakta sejarah dan meninggalkan banyak peninggalan artefaktual, khazanah kebudayaan, dan warisan-warisan nonmaterial lainnya berupa falsafah hidup dan semangat perjuangan memajukan dan mencerdaskan rakyat serta membangun peradaban dan karakter bangsa. Kesultanan Langkat merupakan salah satu kerajaan di Provinsi Sumatera Utara dengan corak . Kesultanan Langkat dikenal sebagai Kerajaan Melayu yang dahulu termasuk wilayah Sumatera Timur; bermula dari Kerajaan Aru sekitar tahun 1500 sampai dengan terjadinya revolusi sosial pada 1946, yang mengakhiri sejarah Kesultanan Langkat. Kesultanan Langkat memiliki kekayaan berupa ladang minyak, yang merupakan yang pertama di Indonesia, dan juga perkebunan yang luas, yang menjadikannya sebagai kesultanan terkaya di Asia Tenggara hingga masa kolonial Belanda. Saat ini, Langkat merupakan salah satu Kabupaten di Sumatera Utara. Dinamika sosial-keagamaan, politik, ekonomi, budaya, dan pendidikan dalam perjalanan panjang sejarah Kesultanan Langkat sesungguhnya telah memberikan pengaruh yang kuat pada masyarakat, khususnya masyarakat Melayu di Langkat. Sampai saat ini, perilaku keislaman dapat dijumpai di sana-sini di Kabupaten Langkat; aktivitas keagamaan sehari-hari, seperti salat berjamaah, mengaji di langgar, dan pengajian-pengajian agama, dapat dengan mudah dijumpai dan masih ada hingga kini. Selain itu, sumbangan kesultanan ini kepada Republik Indonesia cukup membanggakan; salah satu pujangga besar dan Pahlawan Nasional berasal dari Langkat, yakni , dan Wakil Presiden RI ketiga, juga berasal dari sini, yaitu Adam Malik. Sedikit uraian tersebut dapat memberikan gambaran betapa pentingnya sejarah ditulis dan dipublikasikan. Oleh karena itu, dalam rangka mengambil inspirasi, hikmah, dan pelajaran yang sangat berharga tersebut, buku ini disajikan ke hadapan para pembaca yang budiman. Buku ini berasal dari hasil penelitian tentang sejarah sosial-keagamaan Kesultanan Langkat, kerjasama antara Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi dengan Lembaga Penelitian UIN- SU, Medan pada tahun 2018.

iv Selanjutnya, kepada LD Press diucapkan banyak terima kasih atas kesediaannya menerbitkan hasil penelitian ini. Semoga hasil usaha ini dapat memberikan manfaat seluas-luasnya bagi kepentingan ilmu pengetahuan dan juga untuk menggali warisan sejarah dan khazanah keagamaan di Indonesia. Kesemuanya diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam melestarikan, memelihara, dan memanfaatkan warisan dan nilai sejarah, serta dapat berguna bagi penguatan jati diri dan pembangunan karakter bangsa. Terakhir kami sampaikan permohonan maaf apabila masih terdapat kekurangan di sana sini. Saran, masukan, dan kritik membangun dapat disampaikan kepada kami untuk perbaikan di masa yang akan datang. Demikian, semoga bermanfaat dan mendapat rida Allah Swt. Tuhan Yang Maha Esa. Ãmîn Yâ Rabbal-‘âlamîn.

Jakarta-Medan, Februari 2020

Tim Penulis

v vi Daftar Isi

KATA PENGANTAR ...... iii DAFTAR ISI ...... vii

BAGIAN PERTAMA...... 1 PENDAHULUAN ...... 1

BAGIAN KEDUA ...... 17 SEJARAH DAN KEJAYAAN KESULTANAN LANGKAT ...... 17 A. Sejarah Berdirinya Kesultanan Langkat ...... 17 B. Peralihan Kerajaan Langkat Menjadi Kesultanan Langkat ...... 25 C. Raja-Raja pada Kesultanan Langkat Sejak 1568-1927 ...... 27

BAGIAN KETIGA ...... 41 MASA KEJAYAAN DAN KEMUNDURAN KESULTANAN LANGKAT ...... 41 A. Masa Merintis Kejayaan: Masa Kepemimpinan Sultan Musa ...... 41 B. Masa Puncak Kejayaan: Masa Kepemimpinan Sultan Abdul Aziz...... 45 C. Bukti Kejayaan Kesultanan Langkat ...... 54 D. Masa Kemunduran Kesultanan Langkat ...... 73

BAGIAN KEEMPAT...... 79 KESULTANAN LANGKAT DALAM BERBAGAI DIMENSI ...... 79 A. Dimensi Keagamaan ...... 79 B. Dimensi Sosial dan Budaya ...... 87 C. Dimensi Ekonomi ...... 90

vii D. Dimensi Politik ...... 91 E. Dimensi Intelektual ...... 94

BAGIAN KELIMA ...... 99 FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT MELAYU PADA MASA KESULTANAN LANGKAT ...... 99 A. Falsafah Adat Orang Melayu ...... 99 B. Falsafah Hidup Melayu Langkat ...... 105 C. Ciri-Ciri Budaya Melayu dalam Falsafah Hidup Melayu pada Masa Kesultanan Langkat ...... 109 D. Falsafah-Falsafah dalam Kesultanan Langkat ...... 111

BAGIAN KEENAM ...... 117 REVOLUSI SOSIAL DI KESULTANAN LANGKAT DAN KONTRIBUSI KESULTANAN LANGKAT UNTUK NKRI ...... 117 A. Latar Belakang Revolusi Sosial ...... 117 B. Terjadinya Revolusi Sosial ...... 121 C. Kontribusi Kesultanan Langkat dalam Penguatan Ke-Indonesia-an . 137

BAGIAN KETUJUH ...... 159 PENUTUP ...... 159

DAFTAR PUSTAKA ...... 163 INDEKS ...... 169 BIODATA PENULIS ...... 175

viii BAGIAN PERTAMA

PENDAHULUAN

Provinsi Sumatera Utara dengan berbagai cerita dan sejarahnya di kabupaten/kota di sana mengundang banyak kalangan, terutama sarjana dan pemerhati sejarah untuk mengkajinya. Ini merupakan sebuah upaya mengumpulkan informasi dan pelajaran berharga kepada generasi- generasi di masa mendatang. Informasi mengenai kerajaan-kerajaan dalam sejarah di Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu warisan budaya yang mengandung beragam dan berlimpah inspirasi sehingga keberadaannya perlu dipelihara, dilestarikan, dan didayagunakan oleh berbagai kalangan. Kabupaten Langkat sebagai salah satu kabupaten di Sumatera Utara memiliki sejarah kerajaan dengan corak ke-Islaman1 yang sangat kuat, yakni Kesultanan Langkat. Kesultanan ini dikenal masyarakat luas sebagai kerajaan Melayu terpandang serta masyhur ketika itu. Kesultanan Langkat,

1Ketika pada abad ke-13 Kerajaan Aru masih berdiri, terjadi proses peng-Islam-an ke daerah-daerah pedalaman, yaitu Karo, Simalungun, Padang Lawas. Sehingga sering disebut memeluk agama Islam sama dengan masuk Melayu. Lihat Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir dan Batak Pengunungan: Orientasi Nilai Budaya (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2010), h.

1 yang pada masa lalu dikenal sebagai wilayah Sumatera Timur2, dalam sejarahnya banyak menarik para pengkaji sejarah di kawasan Nusantara maupun manca negara dari berbagai aspek keilmuan, seperti sejarah, antropologi, sosiologi, linguistik, arkeologi, dan filologi.3 Oleh karena itu, mengkaji dan mengungkap dinamika kehidupan sosial- keagamaan Islam pada masa Kesultanan Langkat tersebut dapat membawa warna yang sangat menarik bagi daerah Langkat sendiri maupun masyarakat umum. Khazanah budaya dan warisan sejarahnya dijadikan pelajaran dan landasan hostoris bagi masyarakat Kabupaten Langkat khususnya dan bagi masyarakat lain pada umumnya dalam rangka membangun kebudayaan dan karakter bangsa berdasarkan nilai-nilai keagamaan (baca: Islam) di masa yang akan datang. Secara historis, Fachruddin Ray, seorang ahli sejarah Langkat, menjelaskan bahwa nama Langkat berasal dari nama sebuah pohon yang menyerupai pohon langsat. Pohon langkat memiliki buah yang lebih besar dari buah langsat namun lebih kecil dari buah duku. Rasanya pahit dan kelat. Pohon ini dahulu banyak dijumpai di tepian Sungai Langkat, yakni di hilir Sungai Batang Serangan yang mengaliri Kota Tanjung Pura. Nama tersebut melekat menjadi istilah pada Kesultanan Langkat.4

2Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara, Situs Sejarah Dunia Kilang Minyak Pangkalan Berandan (Medan: Balitbang Provinsi Sumatera Utara, 2011), h. 41. 3Sebagai tambahan bahwa dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan semakin pesat. Banyak perguruan tinggi yang membuka prodi ataupun jurusan baru. Untuk meningkatkan kualitas keilmuan yang ada maka perguruan tinggi banyak melakukan penelitian. Belakangan ini terdapat kecenderungan para ilmuwan untuk menggunakan beberapa metode dan pendekatan di dalam sebuah penelitian. Hal ini merupakan konsekuensi logis atas berbagai persoalan manusia yang semakin kompleks. Salah satu metode penelitian yang digunakan oleh para ilmuwann adalah metode penelitian sejarah. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan ilmu itu sendiri sejarah tidak lagi dianggap sekadar ceritera masa lalu yang kaya mitologis, mistis, dan herois, melainkan sejarah adalah ilmu yang perlu ditunjang pemahaman kritis dan metodologis. Penelitian sejarah menjadi penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan kita bisa mengambil berbagai pelajaran peradaban masa lalu. 4Wawancara dengan Fachruddin Ray di kediamannya di Stabat, tanggal, 24 maret 2018.

2 Kesultanan Langkat secara geografis berada di wilayah Sumatera Timur.5 Kesultanan ini memiliki kekayaan terbanyak jika dibandingkan dengan kesultanan di Deli dan kesultanan di Serdang6 Kekayaan Kesultanan Langkat sangat mendukung perkembangan keagamaan Islam ketika itu sehingga penyelenggaraan pendidikan keagamaan Islam sebagai sarana peningkatan pemahaman Islam dan praktik keislaman di masjid-masjid atau tempat lainnya sangat diperhatikan. Salah satu wujud perhatian itu adalah batuan dari kesultanan untuk penyelenggaraannya. Oleh karena itu, Kesultanan Langkat menjadi terkenal sebagai Kerajaan Melayu bercorak Islam yang kuat. Gambaran tersebut membawa pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan dan kebudayaan Islam khususnya di daerah Langkat. Sejarah Kesultanan Langkat secara ringkas sejak awal berdiri, masa kejayaan hingga masa berakhirnya, memiliki para sultan dengan silsilah berikut: Dewa Sahdan (1500-1580) di Kuta Buluh, Dewa Sakti (1580-1612) dan wafat pada Perang Aceh, Raja Abdullah atau Marhum Guri (1612- 1673), Raja Kahar (1673-1750) berkuasa di Kota Dalam Secanggang, Badiulzaman (1750-1814), Kejeruan Tuah Hitam (1814-1823), Raja Ahmad (1824-1870), Sultan Musa (1870-1896) di Tanjung Pura, Sultan Abdul Aziz (1896-1926) di Tanjung Pura, Sultan Mahmud (1926-1946) di Binjai.7 Perkembangan dan kebudayaan Islam yang terdapat dalam sejarah Kesultanan Langkat dapat dilihat dari sejumlah peninggalannya, antara lain seni arsitektur Islam yang terdapat di masjid, madrasah, dan bangunan- bangunan pemerintahan. Corak keislaman yang melekat pada Kesultanan

5Sebelum menjadi negara kesatuan, Indonesia sempat menyandang status sebagai negara federalis, Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949. Saat itulah terdapat banyak negara bagian di Indonesia, salah satunya adalah Negara Sumatera Timur (NST). Lihat Sinar Basarshah II, Tuanku Luckman, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur (Medan: Yayasan Kesultanan Serdang, 2006), h. 565. Sebagai informasi bahwa Negara Sumatera Timur yang disingkat NST didirikan oleh Belanda dalam usaha mempertahankan daerah kaya minyak, perkebunan tembakau dan karet. Lihat http:// lenteratimur.com. Diakses pada tanggal 15 Juli 2018. 6Anthony Reid, Sumatera: Revolusi dan EliteTradisional, Terj. Tom Anwar (Jakarta: Komunitas Bambu,2012), h. 64 7Sulaiman Zuhdi, Langkat dalam Kilatan Selintas Jejak Sejarah dan Peradaban (Stabat: Stabat Media, 2013), h. 80.

3 Langkat berdampak besar pengaruhnya terhadap masyarakat Melayu Kabupaten Langkat hingga kini. Sebagai contoh kebiasaan Kesultanan Langkat yang hingga saat ini masih menjadi tradisi di masyarakat Kabupaten Langkat adalah perayaan dan kegiatan agama berkaitan dengan hari-hari besar Islam, seperti pada bulan Ramadan. Pada masa Kesultanan Langkat, Raja selalu memberikan bantuan ke masjid-masjid berupa makanan dan minuman bagi masyarakat yang melaksanakan salat tarawih, witir dan tadarus serta memberikan bantuan berupa sedekah kepada masyarakat yang kurang mampu ketika menjelang Idul Fitri.8 Hal ini menjadikan masyarakat selalu menaruh simpati kepada para sultan, karena pihak kesultanan begitu aktif dalam memberikan bantuan yang bersifat keagamaan. Gambaran tersebut menurut Bungaran karena agama yang dominan dianut orang Melayu adalah agama Islam, sehingga sering disebut masuk Islam berarti masuk Melayu.9 Wilayah Langkat dijuluki sebagai Kota Islam karena secara keseluruhan penduduknya menganut agama Islam, dan sangat kental akan budaya Islamnya.10 Sebab kehadiran Islam sebagai agama pada kenyataannya memang tidak hanya bersifat kerohanian saja melainkan juga membawa konsepsi-konsepsi kemasyarakatan, kebudayaan, kesenian, dan bahkan politik kenegaraan pada Kesultanan Langkat. Istilah atau penyebutan “Islam itu adalah Melayu dan Melayu itu adalah Islam” merupakan keberhasilan Kesultanan Langkat menciptakan dasar-dasar agama Islam sebagai budaya hidup sehari-hari masyarakat Melayu.11 Budaya dan gerakan tersebut tercipta ketika kohesi antara pesisir (sultan-sultan) dan pedalaman (panglima-panglima) ditumbuhkan dalam

8Djohar dalam Seminar sehari bersama Deputi Menpora, Prof Dr Ir Djohar Arifin Husin, Sabtu (16/1) di gedung Darma Wanita Pertamina, Pangkalan Brandan, dikutip dari hasil wawancara Abdul Kadir Ahmadi dan M. Yusuf Thaif (tokoh masyarakat Tanjung Pura), tanggal 25 oktober 2005. 9Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir..., h. 13 10M. Kasim Abdurrahman, Studi Sejarah Masjid Azizi Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara, (Jakarta Selatan: Najm, 2011), h. 107. 11"Jadi suku Melayu itu sangat identik dengan agama Islam,”. Penuturan Djohar dalam Seminar sehari bersama Deputi Menpora, Prof Dr Ir Djohar Arifin Husin, Sabtu (16/1) di gedung Darma Wanita Pertamina, Pangkalan Brandan.

4 kelembagaan-kelembagaan “Datuk Empat Suku”.12 Usman menuturkan bahwa proses Melayunisasi dari kelembagaan “Datuk Empat Suku” sejalan dengan Islamisasi.13Dengan demikian, ruang kehidupan masyarakat Islam Melayu di bawah kepemimpinan para Sultan Langkat menjadikan Islam sebagai ideologi yang digunakan untuk mengatur hubungan terhadap pengaruh budaya kolonialisme. Walaupun, faktor keturunan sering merupakan penentu dalam mengetahui posisi seseorang di dalam masyarakat.14 Penuturan Usman dikuatkan oleh Sulaiman Zuhdi bahwa berkembangnya Kesultanan Langkat sebagaimana dimaksud terjadi pada tahun 1804 dipimpinan oleh Sultan Musa. Sistem pemerintahannya, raja dan datuk diakui sebagai kepala pemerintahan dan kepala adat.15 Akan tetapi perkembangan pendidikan keagamaan belum mengarah pada model pendidikan formal. Di masa Sultan Musa lahirlah tarekat Naqsabandiyah sebagai lembaga keagamaan yang perkembangannya didukung oleh Kesultanan Langkat sebagai kerajaan terkaya di Sumatera Timur.16 Selain itu juga Kesultanan Langkat sebagai suku bangsa Melayu mempunyai falsafah Melayu yang dijadikan dasar membangun sistem pemerintahan. Falsafah Melayu itu berbunyi bahwa Melayu itu Islam, yang sifatnya universal dan demokratis bermusyawarah. Melayu itu artinya berbudaya, yang sifatnya

12Usman Pelly, “Melayu dan Batak dalam Strategi Kolonial”, Simposium Disertasi Dr. Daniel Perret: Batak dan Melayu, Unimed Medan, 20 Juli 2010; Waspada 22 Juli 2010 dalam Etnisitas dalam Politik Multikultural (Medan, Casa Mesra Publisher, 2015), h. 503 13Ibid. 14Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir., h. 13 15Sulaiman Zuhdi, Langkat dalam Kilatan Selintas…, h. 91. 16Anthony Reid, Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional, Terj. Tom Anwar (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012), hlm. 64-65. Sedangkan kesultana lainnya semasa itu ialah Kesultanan Deli dan Kesultanan Serdang. Sebagai tambahan informasi bahwa Negara Sumatera Timur didirikan oleh Belanda dalam usaha mempertahankan daerah kaya minyak, perkebunan tembakau dan karet. Negara Sumatera Timur saat ini telah menjadi Provinsi Sumatera Utara. Bagi Belanda, hasil perkebunan karet dan minyak sangat penting dalam usaha penjajahan wilayah Indonesia saat itu. Sebelumnya pada 8 Oktober 1947, Belanda juga mendeklarasikan Daerah Istimewa Sumatera Timur dengan gubernur Dr. Tengku Mansur, seorang bangsawan Kesultanan Asahan yang juga ketua organisasi Persatuan Sumatera Timur.

5 nasional dalam bahasa, sastra, tari, pakaian, dan lain-lain. Melayu itu berarti beradat yang sifatnya regional dalam Bhineka Tunggal Ika dengan tepung tawar, balai, pulut kuning, dan sebagainya yang mengikat tua dan muda. Melayu itu artinya berturai, yaitu tersusun dalam masyarakat yang rukunn dan tertib, mengutamakan ketenteraman dan kerukunan, hidup berdampingan dengan saling menghargai secara timbal-balik. Melayu itu maksudnya berilmu, yang artinya pribadi diarahkan kepada ilmu pengetahuan dan ilmu kebathinan.17 Kehidupan sosial keagamaan Islam masyarakat Melayu di bawah kekuasaan Kesultanan Langkat menampilkan corak masyarakat Islam yang berbeda dengan masyarakat Islam lainnya. Kedamaian dan keharmonisan antara sesama warga tetap terjaga dalam budaya Islam Melayu walaupun masyarakat Langkat memiliki keragaman suku etnis dan agama. Selain itu, sebagaimana dijelaskan Sulaiman Zuhdi bahwa kebijakan Kesultanan Langkat menetapkan aturan-aturan keagamaan Islam pada masyarakatnya dengan mempertimbangkan adat, budaya, dan kearifan lokal Melayu. Tujuan dari kebijakan Kesultanan Langkat tersebut agar kebutuhan budaya masyarakat Melayu Langkat dapat diakomodir dalam aturan-aturan agama. Gambaran kebijakan itu menunjukkan bahwa tradisi-tradisi pra Islam yang masih ada dalam budaya Melayu tidak dapat dihilangkan begitu saja. Berhadarkan hal itu, penetapan hukum Islam sebagai dasar kebijakan Kesultanan Langkat terbentuk atas dasar adat istiadat dan kebiasaan masyarakat Melayu Langkat.18 Selanjutnya dari aspek perekonomian Kesultanan Langkat yang didukung oleh sejumlah perkebunan yang luas, dan pertambangan minyak19 sangat memperkuat dan mengharumkan Kesultanan Langkat sebagai kerajaan Islam Melayu.20 Kesultanan Langkat yang dipimpin oleh 14 sultan21

17Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir…, h.13 18Sulaiman Zuhdi, Langkat dalam Kilatan Selintas…, h. 90 19Ahmad Dahlan, Sejarah Melayu (Jakarta: Gramedia, 2014), h. 447. 20Perdagangan pada masa lalu telah mengalami kemajuan dengan adanya pelabuhan- pelabuhan di pantai timur Sumatera. Pada 1814-1815 seluruh Sumatera Timur mengekspor 2.846 pikul lada ke , dan pada 1822 mengekspor lada hingga mencapai 30.000 pikul. lihat Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir., h. 12

6 sampai berakhir kejayaannya meninggalkan lambang-lambang keagamaan Islam, antara lain Kesultanan Langkat sebagai lambang kekuatan politik Islam, Masjid Azizi sebagai lambang sosial-keagamaan, Jamaiyah Mahmudiyah sebagai lembaga pendidikan Islam, dan Kampung Babussalam sebagai pusat pengajaran dan penyebaran Tarekat Naqsabandiyah.22 Dalam mewujudkan suatu negara baru hasil perjuangan bangsa yang dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945, bukanlah hal yang mudah seperti apa yang direncanakan. Terlebih lagi di negara baru tersebut telah ada dan telah beratus tahun tumbuh kerajaan-kerajaan yang mempunyai kekuasaan dan wewenang secara otonom dan mandiri. Tiba-tiba, kerajaan- kerajaan ini harus bergabung dan berada di bawah satu kekuasaan, yakni di dalam satu negara Republik Indonesia. Hal ini tidak disetujui oleh kerajaan-kerajaan tersebut sehingga memunculkan revolusi sosial. Revolusi ini dengan secara paksa mengikis habis bentuk-bentuk lama dan menciptakan bentuk dan sistem baru, seperti yang terjadi pada revolusi sosial di Sumatera Timur dan Langkat. Berakhirnya Kesultanan Langkat di tangan revolusi sosial adalah dalam suasana yang sangat memilukan. Hampir semua kerajaan Melayu di Sumatera Timur mengalami kekacauan yang luar biasa pada bulan Maret 1946, tidak terkecuali sultan, keluarga sultan, para petinggi kerajaan, cerdik pandai, bahkan rakyat Kesultanan Islam dibantai habis-habisan. Banyak dari kerajaan tersebut hanya tinggal nama semata, dan puing-puing sisa keberadaan sejarah dan kejayaan masa silam. Sebagai contoh di Kesultanan Asahan, dikabarkan telah jatuh korban jiwa sebanyak 15.000 orang, demikian juga pada tempat-tempat lainnya, di Langkat dinyatakan sebagai tempat pembantaian paling parah. 23 Dengan demikian berakhirlah riwayat kesultanan di Sumatera Timur, termasuk Kesultanan Langkat.

21M. Kasim Abdurrahman, Studi Sejarah Masjid Azizi…, h. 50. 22Zainal Arifin, Jamaiyah Mahmudiyah Setelah 100 Tahun (Medan: Mitra Medan, 2013), h. 20. 23Andika Bakti, “Konstruksi Melayu Saat Revolusi Sosial Sumatera Timur Di Kesultanan Langkat Dalam Surat Kabar (Analisis Framing tentang Konstruksi Melayu Saat Revolusi Sosial Sumatera Timur di Kesultanan Langkat dalam Surat Kabar Pandji Ra’jat)”, https:// jurnal.usu.ac.id. Dilihat pada 12 September 2018.

7 Pada saat terjadi proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Kesultanan Langkat mendukung sepenuhnya terhadap Pemerintah Republik Indonesia. Demi eksistensi Negara Republik Indonesia yang sangat diharapkan dan telah lama ditunggu kehadirannya tersebut, Kesultanan Langkat menyerahkan kekuasaannya kepada Pemerintah Indonesia. Gelar Kesultanan pada Kesultanan Langkat memang tetap ada dan berlangsung terus, tetapi sejak saat ini dia tidak memiliki kekuasaan lagi karena telah diserkan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Maka, berlakulah situasi “Kesultanan tanpa Kekuasaan (Raja tanpa kerajaan dan rakyat).” Uraian sebelumnya memberikan daya tarik untuk membuka kembali sejarah Kesultanan Langkat dengan fokus kajian pada aspek sejarah sosial- keagamaan Islam di Kesultanan Langkat. Berdasarkan latar belakang dan pertimbangan tersebut, dilakukan penelitian mengenai “Sejarah Sosial Kesultanan Langkat”. Berbagai aspek sejarah Kesultanan Langkat sangat menarik untuk diungkap. Akan tetapi, karena beberapa keterbatasan seperti waktu, tenaga, dan dana, perlu dibatasi pada beberapa hal pokok yang menjadi fokus kajian saat ini. Fokus kajian yang dimaksud setidaknya meliputi enam rumusan masalah berikut: 1) Bagaimana sejarah lahir dan berdirinya Kesultanan Langkat? 2) Apa saja capaian Kesultanan Langkat pada masa kejayaannya? 3) Mengapa dan apa saja faktor-faktor kemunduran Kesultanan Langkat? 4) Bagaimana perkembangan Kesultanan Langkat dalam berbagai dimensi? 5) Bagaimana terjadinya revolusi sosial di Kesultanan Langkat? dan 6) Apa saja kontribusi Kesultanan Langkat untuk NKRI? Berdasarkan hal tersebut, maka kajian sejarah Kesultanan Langkat ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui sejarah lahir dan berdirinya Kesultanan Langkat; 2) Mengungkap capaian Kesultanan Langkat pada masa kejayaannya; 3) Mengetahui sebab-sebab dan faktor-faktor kemunduran Kesultanan Langkat; 4) Mengetahui perkembangan Kesultanan Langkat dalam berbagai dimensi; 5) Mengungkap peristiwa revolusi sosial di Kesultanan Langkat; dan 6) Mengetahui kontribusi Kesultanan Langkat untuk NKRI.

8 Selanjutnya, dalam penelitian ini terdapat keterbatasan-keterbatasan, antara lain: 1. Sejarah menurut Dudung Abdurrahman yang dikutipnya dari Kuntowijoyo adalah “kisah dan peristiwa masa lampau umat manusia”. Menurutnya definisi tersebut mengandung dua makna sekaligus, yakni sejarah sebagai kisah atau cerita merupakan sejarah dalam pengertian secara subjektif, karena peristiwa masa lalu itu telah menjadi pengetahuan manusia; sedangkan sejarah sebagai peristiwa merupakan sejarah secara objektif, sebab peristiwa masa lampau itu masih di luar pengetahuan manusia. Berdasarkan pengertian terakhir, peristiwa sejarah itu mencakup segala hal yang dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan, dan dialami oleh manusia.24 Berdasarkan pengertian di atas, maka sejarah di sini mengemukakan sejarah Kesultanan Langkat mencakup segala hal yang dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan, dan dialami oleh kalangan narasumber yang mengetahui tentang sejarah Kesultanan Langkat. 2. Kesultanan Langkat: kepemimpinan Kesultanan Langkat terdiri dari 14 sultan. Dalam penelitian ini dibatasi pada masa Kesultanan Langkat yang dimulai dari adanya penandatanganan perjanjian dengan Belanda, dan Raja Langkat diakui sebagai Sultan pada tahun 1877 hingga masa berakhirnya Kesultanan Langkat. Tahun 1877 merupakan masa kepemimpinan Sultan Musa yang merupakan Sultan kedelapan yang dianggap sebagai perintis Kesultanan Langkat. 3. Sejarah sosial adalah sejarah yang memusatkan perhatian pada masyarakat yang terabaikan, terasingkan, atau termarjinalkan yang merupakan aktor sejarah sosial. Peran-peran masyarakat dalam sebuah peristiwa di masa lampau menjadi fokus bahasan sejarah sosial. Sejarah sosial sendiri bertolak belakangan dengan sejarah politik, karena dalam sejarah politik lebih memusatkan perhatian pada tokoh- tokoh besar dalam kajiannya. Dalam kajian sejarah sosial memusatkan

24Dudung Abdurrahman, Metodologi Penelitian Sejarah Islam (Yogyakarta: Ombak, 2011), h. 1.

9 perhatian pada struktur sosial masyarakat. Misalnya, lapisan masyarakat kota dan desa dicermati untuk melihat golongan-golongan sosial yang beragam seperti elite, bangsawan, pedagang, buruh, petani, dan seniman. Dengan demikian sejarah sosial mempunyai bahan garapan yang luas, selain penulisan tetang lapisan masyarakat kota dan desa dalam penulisan sejarah sosial juga bisa mengkaji masalah perubahan pada masyarakat tradisional ke modern. Studi terhadap sejarah sosial Kesultanan Langkat secara khusus belum pernah dilakukan tetapi beberapa studi yang berkaitan dengan Sejarah Kesultanan Langkat, dapat dijadikan sebagai referensi dan kajian terdahulu untuk studi ini. Kajian-kajian yang terkait dengan masalah ini dapat dikelompokan menjadi tiga pembahasan, yakni: Pertama, sejarah Kesultanan Langkat; Kedua, perkembangan sosial-keagamaan Kesultanan Langkat dan kaitannya dengan dimensi keagamaan, pendidikan, budaya, politik, dan hokum; dan ketiga, rekontruksi sosial-keagamaan Kesultanan Langkat. Kajian-kajian tersebut dilakukan berdasarkan pengelompokan berikut: - Pemerintah Kabupaten langkat di Kota Stabat menerbitkan buku berjudul Biografi Ulama Langkat Syekh Abdul Wahab (Tuan Guru Babussalam). - Anthony Reid yang berjudul Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional, diterbitkan di Jakarta oleh penerbit Komunitas Bambu pada tahun 2012. - Tengkoe Hasjim, yang berjudul Riwajat Toean Sjeh Abdoel Wahab Toean Goeroe Besilam dan Keradjaan Langkat diterbitkan di Medan, oleh H. MIJ Indische Drukkerij Afd. - Devita Syahfitri sebagai Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan pada tahun 2014 melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan Judul “Peranan Kejeruan Bingai Terhadap Keberadaan Kesultanan Langkat Pada Tahun 1824-1896 Abad ke XIX”. - Ahmad Fuad Said yang berjudul Sejarah Syekh Abdul Wahab Tuan Guru Babussalam yang diterbitkan di Medan oleh Pustaka Babussalam, tahun 1991. - M. Kasim Abdurrahman yang berjudul Studi Sejarah Masjid Azizi

10 Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara yang diterbitkan di Jakarta Selatan oleh penerbit Najm pada tahun 2011. - Hapri Wannazemi sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan pada tahun 2013 melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “Eksistensi Thariqat Naqsabandiyah Besilam”. - Muhammad Alfin sebagai Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan pada tahun 2014 melaksanakan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “Kehidupan Sosial-Ekonomi Bangsawan Langkat 1942-1947”. - Djohar Arifin Husin yang berjudul Sejarah Kesultanan Langkat yang diterbitkan di Medan pada tahun 2013. - Hendri Dalimunte sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan tahun 2012 melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “Pemikiran dan Kebijakan Syekh Abdul Wahab Rokan Dalam Mengembangkan Dakwah Islam”. Secara umum, karya-karya sebelumnya yang telah dilakukan terhadap penelitian yang berkaitan dengan Sejarah Kesultanan Langkat lebih memfokuskan pada sejarah biografi seseorang atau sejarah Langkat dalam dimensi yang sangat umum. Sedangkan penelitian ini memfokuskan pada sejarah Kesultanan Langkat pada aspek sosial-keagamaan Islamnya. Sebagaimana yang telah diuraian di atas, bahwa penelitian ini mencoba mengungkapkan kembali sejarah Kesultanan Langkat berfokus pada dimensi sosial-keagamaan pada masa tersebut. Oleh karena itu, penelitian sejarah Kesultanan Langkat dilaksanakan dengan menggunakan metode penelitian sejarah.25 Adapun tahapan-tahapan tersebut antara lain:

25Metode itu sendri berarti cara, jalan, atau petunjuk pelaksanaan atau petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis. Metode disini dapat dibedakan dari metodologi adalah Sicience of Methods yakni ilmu yang membicarakan jalan. Secara umum metode penelitian dapat diartikan sebagai cara ilmia untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu dan Menurut Abdulrahman, Apa bila tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menganalisis peristiwa-pristiwa masa lampau maka metode yang digunakan adalah metode histiris. Metode historis itu bertumpun pada empat langkah

11 Pertama, heuristik adalah tahap pengumpulan data dan informasi. Ketrampilan peneliti untuk mengumpulkan data dan informasi dengan cara menemukan, menangani dan memperinci bibliografi, mengklasifikasikan dan memelihara catatan-catatan. Pengumpulan informasi dapat melalui buku-buku dari perpustakaan, dokumen resmi, arsip atau bahan tulisan yang bersifat kajian arkeologis serta seluruh yang dianggap relevan dengan penelitian sejarah Kesultanan Langkat. Informasi secara lisan akan dilakukan dengan teknik wawancara dengan narasumber. Kedua, verifikasi atau kritik sumber. Pada tahap ini dilakukan proses pengujian terhadap data sejarah Kesultanan Langkat. Cara pengujiannya dengan membandingkan dan menghadirkan sejumlah data lain dari persitiwa sejarah yang sama lainnya. Tahap verifikasi atau kritik sumber menurut Suhartono untuk mendapatkan keotentikan dan kredibilitas sumber melalui kritik yang dilakukan terhadap sumber-sumber.26 Pada tahap ini diuji keaslian sumber melalui kritik ekstern meliputi otensitas atau keaslian sumber. Selanjutnya keabsahan tentang kebenaran sumber melalui kritik intern, artinya peneliti diharapkan dapat berlaku obyektif dan netral dalam memperlakukan data yang telah diperolehnya sehingga peristiwa sejarah yang telah diteliti tidak hilang makna dan kebenaran sejarahnya. Ketiga, interpretasi. Tahap ini merupakan tahap menafsirkan data yang telah menjadi fakta dengan cara analisis (menguraikan) dan sintesis (mengumpulkan) data yang relevan.27 Pada tahap analisis, peneliti menguraikan sedetail mungkin ketiga fakta (mentifact, sociofact, dan artifact) dari berbagai sumber atau data sehingga unsur-unsur kecil dalam fakta tersebut menampakkan koherensinya. Tekhnik analisis data dalam penelitian ini bersifat analisis data kualitatif. Teknik analisis data kualitatif adalah analisis data yang bersifat menerangkan, bukan melalui kegiatan: Heuristik, kritik, Interprstasi, dan Histiografi. Lihat Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah Islam (Yogyakarta: Ombak, 2011), h.53 26Suhartono W. Pranoto, Teori dan Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h. 35. 27Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta, Bentang Budaya: 2013), h.102. sebagai tambahan bahwa tahap interpertasi dilakukan agar fakta-fakta yang tampaknya terlepas antara satu sama lain bisa menjadi satu hubungan yang saling berkaitan.

12 angka-angka, dan bentuknya berupa tulisan yang dikritisi oleh peneliti dan dapat ditangkap makna tersirat dari benda atau buku-buku atau dokumen. Oleh karena itu, pada proses menganalisis permasalahan dari penelitian ini, digunakan pendekatan sosiologi agama.28 Keempat, historiografi. Historiografi merupakan tahap akhir dari penelitian sejarah. Historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah. Pelaporan hasil penelitian sejarah dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian, sejak dari awal (fase perencanaan), penyajian hasil kritik dan analisis data yang meliputi pengantar, hasil penelitian, dan simpulan, serta dapat ditambah dengan rekomendasi.29 Pada tahap inilah hasil dari proses pencarian sumber, kritik sumber, dan penafsiran sumber dituangkan secara tertulis dalam sebuah sistematika penulisan yang baku, secara deskriptif- analitik, kronologis, dan terbagi dalam beberapa bab dan subbab. Adapun dalam tahap pengumpulan data, berikut ini teknik yang digunakannya, yaitu: 1. Observasi; Tehnik observasi yang digunakan adalah pengamatan tersamar (unobtrusive observation) dan bersifat non-partisipan, di mana peneliti hanya bertindak sebagai pengamat dan tidak terlibat langsung dalam kegiatan yang dilakukan subjek penelitian. Metode observasi ini sekaligus akan digunakan sebagai analisis silang terhadap data yang diperoleh melalui wawancara. 2. Wawancara; Penelitian ini menggunakan indepth interview dengan teknik semi terstruktur (semi structured interviews). Teknik ini dipilih karena peneliti ingin mengontrol informasi yang ingin diperoleh dari subjek dan informan penelitian dengan tetap membuka kemungkinan

28Oleh karenanya maka sosiologi agama di sini merupakan studi tentang fenomena sosial, dan memandang agama sebagai fenomena sosial. Sosiologi agama selalu berusaha untuk menemukan pinsip-prinsip umum mengenai hubungan agama dengan masyarakat. Sosiologi agama adalah suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya. 29M. Dien Madjid dan Johan Wahyudi. Ilmu Sejarah Sebuah Penganta (Jakarta: Kencana, 2014), h. 231

13 munculnya pertanyaan susulan ketika wawancara berlangsung. Dengan teknik ini, peneliti akan dibekali dengan interview guide yang berisi kisi-kisi pertanyaan untuk dikembangkan ketika melakukan wawancara dengan subjek penelitian. 3. Studi Dokumen dan Literatur; Penelitian ini juga akan mencakup penelusuran informasi dan data yang relevan atau yang dapat membantu pemahaman peneliti tentang sejarah sosial-keagamaan pada masa kekuasaan Kesultanan Langkat. Penelusuran ini dilakukan terhadap sumber berbeda seperti dokumen, arsip, buku, artikel, dan berita yang dipublikasi melalui majalah atau surat kabar, monograph, laporan penelitian, jurnal ilmiah, publikasi online di website dan sebagainya. Setelah data terkumpul, tahap selanjutnya adalah analisis data. Data kualitatif yang diperoleh dari wawancara dan studi dokumen atau literatur akan dianalisis secara kualitatif. Proses analisis data meliputi tiga tahap yang dilakukan secara siklus, yaitu reduksi data, tampilan data dan penarikan kesimpulan. Transksrip wawancara dan catatan-catatan lapangan akan direduksi, diberi kode dan dikategorisasikan berdasarkan jenis dan relevansinya dalam menjawab pertanyaan penelitian. Data yang telah terseleksi tersebut ditampilkan untuk memudahkan proses interpretasi atau pemaknaan dan penarikan kesimpulan. Sebelum sampai pada tahap penulisan laporan hasil, atau historiografi dalam konteks penulisan sejarah ini, dilakukan pula proses penjaminan keabsahan data. Adapun teknik penjaminan keabsahan data yang digunakan adalah teknik umum yang terdapat dalam penelitian kualitatif, yaitu kredibilitas dan transferabilitas (credibility and transferability). Untuk menjamin tingkat keterpercayaan data yang diperoleh, dilakukan dua hal berikut: a. Sedapat mungkin memperpanjang keterlibatan di lapangan penelitian untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang hal tertentu dan untuk menguji informasi tertentu yang mungkin disalahtafsirkan peneliti atau informan. b. Triangulasi sumber dan metode. Data yang diperoleh dicek ulang dengan menyilang informasi dari sumber berbeda, khususnya antara

14 hasil wawancara dengan data dokumen atau iteratur.30 Tahap akhir penelitian sejarah adalah historiografi, yakni menyajikan uraian sejarah berdasarkan data yang telah dikumpulkan, dikritisi, baik intern maupun ekstern, informasinya maupun sumbernya, kemudian diverifikasi dan diberikan interpretasi dan analisis. Sehubungan dengan itu, perlu disusun sistematika penyajiannya agar memudahkan para pembaca untuk mengetahui pokok-pokok bahasannya dan hasil yang ingin diketahuinya. Adapun sistematika pembahasan sejarah Kesultanan Langkat ini adalah sebagai berikut: Bagian Pertama, Pendahuluan. Bagian ini menjelaskan latar belakang dan pentingnya penulisan sejarah Kesultanan Langkat, khususnya aspek sosial-keagamaanya, kemudian pembatasan dan rumusan masalah, tujuan penulisan, batasan istilah, kajian terdahulu, dan metodologi, serta sistematika pembahasan. Bagian Kedua, uraian tentang Sejarah dan Kejayaan Kesultanan Langkat. Bagian ini meliputi Sejarah Berdirinya Kesultanan Langkat, Peralihan Kerajaan Langkat Menjadi Kesultanan Langkat, dan Raja-Raja pada Kesultanan Langkat sejak 1568-1927. Bagian Ketiga, yaitu tentang Masa Kejayaan dan Kemunduran Kesultanan Langkat. Pembahasan Bagian Ketiga mencakup Masa Merintis Kejayaan: Masa Kepemimpinan Sultan Musa, Masa Puncak Kejayaan: Masa Kepemimpinan Sultan Abdul Aziz, dan Bukti Kejayaan Kesultanan Langkat, serta Masa Kemunduran Kesultanan Langkat. Bagian Keempat tentang Kesultanan Langkat Dalam Berbagai Dimensi, yaitu Dimensi Keagamaan, Dimensi Sosial dan Budaya, Dimensi Ekonomi, Dimensi Politik, dan Dimensi Intelektual. Bagian Kelima berisi tentang Falsafah Hidup Masyarakat Melayu pada Masa Kesultanan Langkat, dan mencakup pembahasan hal-hal berikut: Falsafah Adat Orang Melayu, Falsafah Hidup Melayu Langkat, Ciri-ciri Budaya Melayu dalam Falsafah Hidup Melayu pada Masa Kesultanan Langkat, dan

30Miles, Matthew dan M. Hubberman, Analisis Data Kualitatif, Terj. Tjejep Rohandi, Jakarta, UI Press, 1992.

15 Falsafah-Falsafah dalam Kesultanan Langkat. Bagian Keenam menyajikan pembahasan mengenai Revolusi Sosial Di Kesultanan Langkat Dan Kontribusi Kesultanan Langkat untuk NKRI. Uraiannya meliputi Latar Belakang Revolusi Sosial, Terjadinya Revolusi Sosial, dan Kontribusi Kesultanan Langkat dalam Penguatan Ke- Indonesiaan. Bagian Ketujuh, sebagai bagian terakhir, adalah Penutup, terdiri atas Kesimpulan dan Saran. Kesimpulan mencakup saripati dari hasil kajian tentang sejarah Kesultanan Langkat ini, khususnya terkait social- keagamaannya. Adapun saran, khususnya untuk kajian sejarah Kesultanan Langkat secara khusus, dan kajian sejarah kesultanan secara umum diharapkan dapat terus ditingkatkan dan dijaga keberlangsungannya. Saran juga disampaikan untuk Pemerintah Daerah, baik Kabupaten Langkat maupun Provinsi Sumatera Utara, khususnya dalam pelestarian, pemeliharaan, dan pemanfaatan warisan sejarah dan khazanah kebudayaan agama bagi pembangunan bangsa dan penguatan karekter generasi yang akan datang.

16 BAGIAN KEDUA

SEJARAH DAN KEJAYAAN KESULTANAN LANGKAT

A. Sejarah Berdirinya Kesultanan Langkat 1. Penamaan Langkat Nama Langkat berasal dari nama sebuah pohon yang menyerupai pohon langsat. Penduduk Melayu setempat mengenalnya dengan sebutan “pohon Langkat”. Pohon langkat memiliki buah yang lebih besar dari buah langsat namun lebih kecil dari buah duku. Rasanya pahit dan kelat. Pokok Langkat sejenis dengan Pokok Pakam, yang membedakan, Pokok Langkat dicirikan oleh daging buah yang kenyal seperti rambutan Berahrang, diameter buah 2,2-2,9 cm dan diameter biji 1,25-1,40 cm. Sedangkan Pakam dicirikan oleh daging buahnya yang agak lembek dan lengket dengan diamater buah 1,4-2,0 cm. Tanaman ini mudah beraptasi dengan kondisi panas maupun dingin. Baik Pakam maupun Langkat, dahulu selain dimanfaatkan buahnya untuk ‘pencuci mulut’, ianya berfaedah untuk rawatan berubatan seperti penyembuh luka, bahan mandian untuk penyakit gatal dan peninggi tuah dan sebagainya.1 Pohon ini dahulu banyak dijumpai di

1http://datok zulanhar.blogspot.com/2016/10/pohon-langkat.html. diakses pada tanggal 18 Juli 2018.

17 tepian Sungai Langkat, yakni di hilir Sungai Batang Serangan yang mengaliri kota Tanjung Pura2 dan merupakan jalur pusat kegiatan nelayan dan perdagangan penduduk setempat dengan luar negeri terutama ke Penang/ . Banyaknya pohon Langkat di Sungai Batang Serangan lalu bertemu dengan Sungai Wampu, namanya kemudian menjadi Sungai Langkat. Kedua sungai tersebut masing-masing bermuara di Kuala langkat dan Tapak Kuda. Menurut penuturan Zainal Arifin AKA selaku sejarawan Langkat bahwa pohon langkat kini sudah jarang dikarenakan kayunya banyak dimanfaat oleh kalangan manusia untuk kebutuhan hidup atau tradisi budaya yang diyakini harus menggunakan kayu khusus tersebut, oleh karenanya jika pun ada pohon langkat dimungkinkan sangat cukup sulit menemukannya kembali.3 Pohon tersebut menurut beliau hanya terdapat di hutan-hutan pedalaman daerah Langkat.4 Oleh karena pusat kerajaan Langkat berada di sekitar sungai Langkat, maka kerajaan ini akhirnya populer dengan nama kerajaan Langkat.5 Menurut beberapa orang tua di Langkat, dan dibenarkan oleh penuturan Bapak Basri bahwa pokok Langkat memiliki tuah makanya Langkat makmur bertuah. Dahulunya pokok-pokok Langkat banyak ditebang salah satu etnis yang berstatus bukan pribumi atau etnis di luar negeri ini dengan ciri muka berpenampilan mata cipit membuat peti mati untuk jenazah mereka masa itu, karena mereka yakin si mayat akan bertuah di alam sana. Oleh karena itu, asumsi yang sangat kuat adalah akibat keyakinan mereka akhirnya memlangkakan pokok berbuah manis ini yang kini disebut Matoa, kayunya

2Nama Tanjung Pura berasal dari kata “Tanjung” yang berarti semenanjung ataupun daerah paling ujung, dan “Pura” yang menunjukkan pada keberadaan pura-pura kecil yang dahulu ada di sekitar Tanjung Pura. Dengan demikian, nama Tanjung Pura dinisbatkan pada proses didirikannya sebuah pura atau istana di daerah paling ujung yaitu antara pertemuan Sungai Batang Serangan dan Sungai Batang Durian. 3Wawancara dengan Bapak Zainal Arifin AKA tanggal 22 Agustus 2018 di Tanjung Pura. 4Ibid. 5Tim Peneliti Fakultas Sastra USU (J. Fachruddin Daulay, Nazief Chatib, Farida Hanum Ritonga, A. Samad Zaino, Jeluddin Daud), Sejarah Pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Langkat, Stabat, 1995, h. 20.

18 menjadi azimat rezeki dengan jampi tuah diri.6

Lambang Kesultanan Langkat

2. Sejarah Dewa Syahdan dan Kerajaan Aru Kerajaan Melayu Kesultanan Langkat awal mula terbentuknya dari Kerajaan Aru yang berpusat di Besitang.7 Sejumlah penulis sejarah Langkat menjelaskan bahwa di antara leluhur Kerajaan Langkat yang diketahui adalah seorang petinggi Kerajaan Aru Dewa Syahdan yang diperkirakan masa kekuasaannya tahun 1500 sampai 1580 M. Mengenai asal-usul Dewa Syahdan sebagai silsilah awal dari Kesultanan Langkat kalangan sejarahwan berbeda pendapat. Pertama, sebagian kalangan berpendapat, Dewa Syahdan lahir di tengah hutan belantara dan dibesarkan di Kuta Buluh (dekat kaki gunung Sinabung), dan diperkirakan hidup pada tahun 1500 sampai 1580 masehi. Kedua, sebagian ahli sejarah lainnya berpendapat bahwa Dewa Syahdan adalah putra Raja Kerajaan Haru yang dibungkus oleh istri raja, lalu diletakkan di bawah pohon buluh (bambu) di Kerajaan Kutabuluh.8Ketiga, sebagian lainnya

6Hasil wawancara dengan Bapak Basri di Desa Selesai, tanggal 15 Juli 2018. 7Tim Survai, Monografi Kebudayaan Melayu Di Kabupaten Langkat, (Proyek Pengembangan Permuseuman Sumatera Utara: Medan 1980), h. 28. 8Tim Survai, Ibid.,

19 berpendapat bahwa Dewa Syahdan sebagai saudara dari Putri Hijau, yang kemudian mendirikan Kerajaan Aru pertama di Besitang.9 Keempat, sebagian kalangan lain berpendapat terombo Kesultanan Langkat menyatakan bahwa nama leluhur dinasti Langkat yang paling awal adalah Dewa Syahdan. Diperkirakan masa kekuasaannya tahun 1500 sampai 1580. Menurut terombo Langkat, Dewa Syahdan datang dari arah pantai yang berbatasan dengan Kerajaan Aceh. Ia menjadi anak beru dari Sibayak Kota Buluh di Tanah Karo. Kemudian ia dikenal dengan gelar Sibayak Si Pintar Ukum oleh orang-orang Karo, menurut pihak Karo ia marga Perangin-angin Kuta Buluh. Ia mempunyai regalia rantai emas buatan Aceh dan kain Minangkabau. Tidak berapa lama kemudian ia turun ke Deli Tua, kemudian ia pindah ke Guri atau Buluh Cina sekarang.10 Sampai saat ini asal usul Dewa Syahdan masih menjadi simpang siur, artinya sejumlah perbedaan keterangan masih dijadikan variasi penjelasan, oleh karenanya maka secara subtansial muasal atau asal-usul Dewa Syahdan sesungguhnya memiliki keterkaitan dan keterikatan walaupun terkesan antara satu dan lainnya memiliki argumentasi sejarah yang cukup berbeda. Kerajaan Aru11 awalnya beragama Hindu/Buddha dan berganti keyakinan menjadi Islam. Menurut Hikayat Raja-raja Pasai, mereka

9Ibid. 10Lihat https://visit langkat.wordpress.com/2014/10/02/sejarah-kerajaan-langkat/. Diakses tanggal 30 Agustus 2018. Tulisan tersebut dikutip dalam buku karya Sultan Serdang Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, Bangun Dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Yayasan Kesultanan Serdang. Medan, 2006. Tetapi dari keterangan lain pengakuan dari para tetua Langkat, hingga kini yang menganggap dirinya adalah keturunan marga Perangin-angin. Utamanya yang berasal dari Bahorok mapun Tanjung Pura. Padahal, jika dilihat dari pandangan orang Karo semula ihwal Kerajaan Aru, tentu ini menjadi membingunkan. 11Selanjutnya lihat juga pada situs tersebut bahwa saat ini belum ada mufakat mengenai siapa Kerajaan Aru itu. Masyarakat Karo, misalnya, menyebutkan bahwa Aru merupakan Haru yang berasal dari kata “Karo”. Karena itu, masyarakat Aru merupakan masyarakat Karo yang didirikan oleh klan Kembaren. Dalam “Pustaka Kembaren” (1927), marga Kembaren disebut berasal dari Pagaruyung di Tanah Minangkabau. Orang Karo ini, menurut Majalah Inside Sumatera (November 2008), tak mau disamakan dengan marga Karo yang sekarang, yang disebut sebagai Karo-Karo (bukan asli). Orang Karo-Karo, seperti Tarigan, Sembiring, Perangin-angin, Sitepu, dan Ginting, baru turun ke Deli pada awal abad ke-17. Sejumlah sumber lain juga menyebutkan bahwa Kerajaan Aru merupakan

20 diislamkan oleh rombongan Nakhoda Ismail dan Fakir Muhammad.12 Dokumen lain menyebutkan melalui “Sejarah Melayu” bahwa rombongan Nakhoda Ismail dan Fakir mula-mula mengislamkan Fansuri (Barus Sekarang), kemudian Lamiri (Lamuri, Ramni) lalu ke Haru dan dari sana barulah Raja Samudera Pasai yang bernama Merah Silau yang kemudian menjadi Sultan Malikussaleh diislamkan.13 Peristiwa tersebut terjadi pada pertengahan abad ke-13 dan diketahui juga bahwasannya Marco Polo bertemu dengan Malikussaleh pada tahun 1292 M ketika mengunjungi Pasai. Hal ini juga dikuatkan dengan ditemukannya batu nisan Sultan yang bertarikh 1297 M dan masih dijumpai di Pasai.14 Pengislaman kerajaan tersebut, termasuk juga Aru menurut Zainal merupakan efek dari pertemuan-dagang antara negara.15Selanjutnya Islam merupakan agama yang lebih bisa kompromi dengan tradisi Hindu/ Buddha.16 Betapapun identitas Kerajaan Aru belum terkuak penuh, Tengku Luckman Sinar dalam buku “Sari Sejarah Serdang” (1971) mencatat bahwa nama Aru muncul pertama kali pada 1282 dalam catatan Tionghoa pada masa kepemimpinan Kublai Khan. Pada masa itu juga kota Cina yang terletak di antara Sungai Buluh Cina dan Sungai Belawan merupakan perdagangan dari Kerajaan Aru, terutama ketika masa Dinasti Sung Selatan (antara abad ke-13 dan ke-15) yang mana kapal-kapal Tiongkok langsung

kerajaan Melayu yang amat besar pada zamannya. Akan tetapi, Daniel Perret dalam buku “Kolonialisme dan Etnisitas” (2010), yang merujuk pada R. Djajadiningrat dalam buku “Atjehsch-Nederlandsch Woordenboek” (1934), mengatakan bahwa dalam bahasa Aceh “Haro” atau “Karu” berarti suasana bergejolak dan rusuh di sebuah wilayah. 12Rustam, Laporan Penelitian: Syekh Abdullah Afifuddin Langkat (Studi Pemikiran dan Perkembangan Gerakan (Medan, LP2M IAIN SU), h. 30 13T. Lukman Sinar, Bangun Dan Runtuhnya Kerajaan Melayu Di Sumatera Timur, (Medan: Penerbit Yayasan Kesultanan Serdang, 2006) h. 12 14T. Luckman Sinar, Beberapa Catatan tentang Perkembangan Islam di Sumatera Utara, paper dalam seminar dakwah Islam se-Sumatera Utara, tgl. 29-31 Maret 1981. Lihat juga harian Analisa tgl. 10 April 1981. 15Wawancara dengan Zainal Arifin AKA, tanggal 28 Juli 2018. 16Ahmad Y. Samantho, Oman Abdurrahman et.all, Peradaban Atlantis Nusantara: Berbagai Penemuan Spektakuler yang Makin Meyakinkan Keberadaannya (Jakarta, Ufuk Press: 2011), h. 214. Pergaulan budaya pun kembali memadat dan ketat, dalam regulasi semacam syariah, adat dan sebagainya.

21 berniaga dengan jajahan-jajahan Sriwijaya dan melihat pula pembuktian hasil penggalian yang dikemukakan di Kota Cina itu (Labuhan Deli sekarang).17 Lukman menuturkan bahwa kerajaan Aru I merupakan kerajaan Islam yang telah berdiri pada pertengahan abad ke-13,18 dan merupakan kerajaan yang cukup masyhur di masa itu. Pada abad ke-15, Kerajaan Aru atau Haru sudah menguasai Tamiang (Aceh Timur), Panai hingga Rokan (Provinsi Riau). Jelasnya, ia meliputi sepanjang pesisir Sumatera Timur. Posisinya yang menghadap ke Selat Melaka membuat kerajaan ini memainkan peranan penting dalam perniagaan dan aktivitas maritim. Selat Melaka merupakan jalur perdagangan laut yang amat aktif dalam periode yang begitu panjang, yakni mulai abad permulaan masehi hingga abad 19. Bahkan, Perret menyebutkan bahwa dalam hal tempat perdagangan,19 Aru merupakan negara yang setara dengan Kerajaan Melaka semasa dipimpin oleh Sultan Mansyur Shah yang berkuasa dari 1456 sampai 1477.20 Uraian di atas menunjukkan bahwa Kerajaan Aru menjadi kerajaan Islam yang setara dengan Pasai dan Melaka menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Malaka. Ini dibuktikan dengan catatan dari Tiongkok

17T. Luckman Sinar, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur.,h. 12. Sebagai tambahan informasi bahwa penyerangan ini dikenal dengan nama “Ekspedisi Pamalayu” dan dituliskan dalam kronik “Paraton” yang tercatat bahwa “Haru bermusuhan”. Tetapi setelah pulih dari penjajahan Jawa Timur ini, Haru kembali jaya dan perdagangan kembali makmur. Hal ini dicatat oleh pedagang Persia, Fadiullah bin Abdul Kadir Rasyiduddin dalam bukunya “Jamiul Tarawikh”, bahwa negeri utama di Sumatera selain Lamuri juga Samudera, Barlak (Perlak) dan Dalmyan (Tamiang) lalu adalah Haru pada tahun 1310 M. Tetapi tidak lama, musibah yang kedua menimpa Haru kembali. Tepatnya tahun 1350 M, Kerajaan Hindu Majapahit dari Jawa Timur berambisi juga menaklukkan seluruh negeri dalam Kepulauan Nusantara ini. Lihat T. Luckman Sinar, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur.,h. 13 18T. Lukman Sinar, Sejarah Medan Tempo Doeloe (Medan: Perwira, 2005), h. 4 19Nama Aru kembali muncul pada 1413 dalam catatan Tionghoa dengan nama “A-lu” sebagai penghasil kemenyan. Pada 1436, sumber Tionghoa lain kembali menyebutkan bahwa “A-lu” memiliki beras, kamper, rempah-rempah, dan pedagang-pedagang Tionghoa sudah berdagang emas, , dan benda-benda dari besi, keramik, dan tembaga di Tan-Chiang (Tamiang). 20Lihat http://archive.lenteratimur.com/2011/06/aru-dahulu-langkat-kemudian/. Diakses pada tanggal 2 Juli 2018

22 ketika Haru mengirimkan misi ke Tiongkok Pada tahun 1282 M.21 Kerajaan Aru sebagai kerajaan Islam sebaliknya juga mendapat kunjungan dari para pedagang Cina yang armadanya dikepalai oleh Laksamana Cheng Ho/Zeng He (beragama Islam) selama era abad ke 15 itu. Pada masa itu Haru telah mempunyai mata uang sendiri yang terbuat dari sepotong kain yang disebut “K’oni sebagai alat pembayaran raja dan rakyat negeri ini yang beragama Islam.22 Gambaran saling melakukan kunjungan antara Kerajaan Aru dan China sangat berdampak positif antara keduanya, terlebih posisinya yang strategis membuat Kerajaan Aru menjadi pentas politik dan perdagangan bagi negara-negara lain. Perdagangan rempah, terutama lada, yang menjadi komoditas penting di samping emas yang membuat sering terjadi peperangan di antara Pasai-Haru-Melaka sampai pada pertengahan abad ke-16 M.23 Peristiwa serangan dari Kesultanan Aceh terhadap Kerajaan Aru pertama berujung pada hancurnya Kerajaan Aru dan Dewa Shadan sebagai pimpinan kerajaan melarikan diri dengan beberapa pengikutnya yang kemudian mendirikan Kerajaan Aru II di kawasan Deli Tua.24 Akan tetapi, nasib Kerajaan Aru II yang dipimpin oleh Dewa Sakti sebagai pengganti Dewa Sahdan tetap mendapat serangan dari Kesultanan Aceh hingga mengalami kehancuran. Serangan yang dilakukan oleh Kerajaan Aceh terhadap Kerajaan Aru II dipimpin oleh panglima Gocah Pahlawan sekitar tahun 1612. Puing-puing peninggalan Kerajaan Aru II ini dibangun kembali

21T. Lukman Sinar, Sejarah Medan Tempo Doeloe.., h. 4. Pimpinan kelompok yang dikirim oleh kerajaan Aru ke Cina di tahun 1282 M sebagai penganut agama Islam. 22T. Lukman Sinar, Sejarah Medan Tempo Doeloe.,h. 5-6 23Ibid. 24Zainal Arifin AKA, menegaskan dalam bukunya “subuh Kelabu di Bukit Kubu” (2002) yang diterbtikan oleh Dewan Kesenian Langkat, Kerajaan Aru mendapat serangan dari kerajaan Aceh Darussalam dan berujung pada kekalahan peperangan itu merupakan peperangan yang cukup dahsyat hingga tujuh hari dan kerajaan Aceh menguasai ibukota Deli Tua (1539). Dewa Sahdan kembali menyelamatkan diri dan berhasil membangun kerajaan baru di Kota Rantang di daerah Hamparan Perak, dari keturunan kerajaan inilah kerajaan Langkat berdiri. Tetapi para keturunan pembesar Aru yang masih hidup dan berada di Besitang, Aru I, mereka kembali membangun reruntuhan kerajaan yang sudah luluh lantak.

23 dan merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Deli, dimana raja pertamanya adalah panglima perang Aceh tersebut, yaitu Gocah Pahlawan.25 Ketika itu Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda sedang meluaskan daerah kekuasaannya ke wilayah Sumatera Timur.26 Sebelum dan setelah meninggal dunia Dewa Syahdan, Kerajaan Aru mengalami perpindahan pusat kerajaan dari satu tempat ke tempat lainnya. Kondisi ini disebabkan situasi perang dengan Kesultanan Aceh yang cukup panjang serta situasi politik kekuasaan di dalam Kerajaan Langkat. Dewa Syahdan mempunyai seorang putra bernama Dewa Sakti yang bergelar Kejeruan Hitam, merupakan pengganti memimpin kerajaan Aru setelah wafatnya Dewa Syahdan.27 Melalui tulisan Zainal Arifin, bahwa Kerajaan Melayu yang bernama Kerajaan Aru (Haru) merupakan asal muasal lahirnya Kesultanan Langkat. Silsilah keturunan pada Kesultanan Langkat berasal dari keturunan Kerajaan Aru tersebut.28 Bagan 129

25Tuanku Gocah Pahlawan merupakan salah seorang Panglima Angkatan Perang Aceh yang perkasa, berpangkat Laksamana Kuda Bintan, ditugaskan menjadi wakil Sultan Aceh untuk bekas wilayah Aru berkedudukan di Deli. Baginda berasal dari keturunan Mani Purindam dari Deli Akbar yang neneknya pernah menjadi Bendahara Pasai, lalu mengabdi sebagai Panglima utama dari Sultan Iskandar Muda Aceh (1636). 26Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, h.

24 B. Peralihan Kerajaan Langkat Menjadi Kesultanan Langkat Subjudul ini menjelaskan sejarah Kerajaan Langkat30 setelah wafatnya Dewa Syahdan hingga diakuinya Kerajaan Langkat sebagai Kesultanan Langkat31 pada tahun 1877 M, atas penandatanganan perjanjian dengan Belanda pada tahun 1869. Langkat sebelumnya merupakan wilayah kepemimpinan Kesultanan Aceh, sebagaimana Raja Langkat berperan sebagai wakil atau penguasa lokal atas nama Sultan Aceh sampai awal abad ke-19. Namun, Kerajaan Langkat merasa tidak nyaman berada di bawah Kesultanan Aceh, maka raja-raja Langkat meminta perlindungan Kesultanan Siak. Akan tetapi, Kesultanan Aceh tetap melakukan pendekatan agar Langkat senantiasa berada di bawahnya namun usaha itu gagal, terlebih Kerajaan Langkat mendapatkan pengakuan sebagai Kesultanan Langkat oleh Belanda. Terpisahnya dari kesultanan Aceh oleh sejumlah kerajaan Langkat pada umumnya disebabkan budaya politik yang mengarah pada semangat kebersamaan, kekeluargaan, gotong royong, dan musyawarah dalam mengatasi persoalan dibawah kesultanan Aceh. Kesultanan Langkat yang dimaksud oleh keinginan Belanda tersebut adalah pemegang tampuk kekuasaan tertinggi, di bawahnya berada Luhak

209. Sebagai informasi lain bahwa Langkat sebelumnya merupakan bawahan Kesultanan Aceh sampai awal abad ke-19 ini perlu untuk dicari kembali dokumennya karena terdapat data yang sedikiit membutuhkan penjelasan dari dokumen kerajaan kesultanan Aceh. 27Sultan Serdang Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, Bangun Dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Yayasan Kesultanan Serdang. Medan, 2006), h. 22. 28Zainal Arifin AKA, Langkat Dalam Sejarah., h. 21-22. 29https://visit langkat.wordpress.com/2014/10/02/sejarah-kerajaan-langkat/. Diakses tanggal 30 Agustus 2018. 30Kerajaan Langkat adalah salah satu di antara lima Kerajaan-Kerajaan Melayu yang besar di Sumatera Timur yang berstatus “Lange Politiek Contract” yaitu mempunyai perjanjian politik yang tercantum di dalam berbagai pasal dimana ditentukan hak dan kekuasaannya oleh pemerintahan Hindia Belanda dan selebihnya sebagian besar wewenang tetap tinggal di dalam kekuasaan kerajaan. 31Demi kepentingan pelestarian Budaya Melayu Resam Langkat, maka tetap dilakukan pengangkatan Sultan Langkat, hingga saat ini pada tahun 2003 Y.M. Sri Paduka Tuanku Sultan Azwar ‘Abdu’l Jalil Rahmad Shah al-Haj ibni al-Marhum Tengku Maimun, cucu Sultan 7; anak dari putra ke10 Sultan, dinobatkan menjadi Sultan Langkat ke-13.

25 yang dipimpin pangeran. Di bawah luhak disebut kejeruan dipimpin oleh Datuk, yang merupakan raja kecil, kemudian distrik setingkat kecamatan seperti sekarang. Kejeruan dan distrik ini bertanggung jawab langsung kepada pangeran/kepada luhak. Sedangkan tingkat pemerintahan yang terendah adalah penghulu kampung yang boleh dipimpin oleh rakyat biasa dan bertanggung jawab langsung kepada datuk kejeruan. Sementara itu untuk mengepalai orang-orang Karo yang ada di Langkat maka diangkatlah penghulu balai (raja kecil Karo). Kesultanan Langkat32 merupakan salah satu Kesultanan Melayu terbesar yang ada di Sumatera Timur. Berdirinya Kesultanan Langkat berawal dari abad ke-16. Akan tetapi, eksistensi Kesultanan Langkat dan adanya pemimpin yang disebut sultan baru ada sejak tahun 1840. Ketika itu, pengertian sultan tidak hanya sebagai pemimpin pemerintahan dan ulil amri, tetapi juga sebagai pemimpin adat.33 Sejarah Langkat hingga mendapat pengakuan sebagai kesultanan menurut penuturan Zainal tidak terlepas dari peristiwa kedatangan orang Eropa di masa itu. Hal tersebut berdampak pada melemahnya kekuatan Aceh yang menguasai Kerajaan Langkat. Oleh karena itu, raja-raja Langkat terdorong untuk mencari dan membangun kemandirian mereka.34 Fenomena tersebut merupakan kemenangan sementara bagi raja- raja Langkat di dalam usaha perebutan kekuasaan dari Kesultanan Aceh. Perubahan ini telah memberikan dampak pada aspek budaya, ekonomi, dan psikologis yang menguntungkan bagi masyarakat Kerajaan Langkat. Peristiwa lepasnya Langkat dari kekuasaan Aceh terjadi pada 1857, yaitu

32Berpedoman kepada tradisi dan kebiasaan masyarakat Melayu Langkat, maka dapatlah ditetapkan kapan Raja Kahar mendirikan Kota Dalam yang merupakan cikal bakal Kerajaan Langkat kemudian hari. Setelah menelusuri beberapa sumber dan dilakukan perhitungan, maka Raja Kahar mendirikan kerajaannya bertepatan tanggal 12 Rabiul Awal 1163 H, atau tanggal 17 Januari 1750. Melalui seminar yang berlangsung di Stabat, pada tanggal 20 Juli 1994 atas kerjasama Tim Pemkab Langkat dengan sejumlah pakar dari jurusan sejarah Fakultas Sastra USU, maka dapat menentukan Hari Jadi Kabupaten Langkat yaitu 17 Januari 1750. 33Budi Agustono. “Kehidupan Bangsawan Serdang 1887-1946”, dalam TesisS2 belum diterbitkan. Yogyakarta : Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 1993, h. 30. 34Hasil wawancara dengan Zainal Arifin AKA, tanggal 18 Agustus 2018 di Stabat.

26 bahwa Belanda mengikat perjanjian persahabatan dengan Aceh sebagai dua bangsa yang merdeka. Dalam perjanjian tersebut diakui bahwa Deli, Langkat, dan Serdang berada di bawah pertuanan Aceh.35 Beberapa bulan kemudian, pada hari Senin 1 Februari 1858, Belanda mengikat perjanjian dengan Siak (Tractaat Siak). Salah satu isi perjanjian tersebut disebutkan bahwa Kerajaan Siak Sri Inderapura dan daerah taklukannya mengaku berada di bawah kedaulatan Belanda dan menjadi bagian dari Hindia-Belanda. Setelah itu, Langkat pun membuat kontrak yang terpisah dengan Belanda pada tahun 1869 untuk memerdekakan Langkat dari Aceh dan Siak, kemudian mengakui Raja Langkat sebagai Sultan pada tahun 1887. Dengan politik Devide et Impera, Belanda berhasil mengatasi penetrasi dan melemahkan kekuatan Aceh dan Siak serta menanamkan kekuasaannya secara nyata pada kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur.36

C. Raja-Raja pada Kesultanan Langkat sejak 1568-1927 Adapun raja-raja Langkat37 setelah wafatnya Dewa Syahdan hingga mendapat pengakuan sebagai Kesultanan Langkat dari Belanda di masa kepemimpinan Musa, adalah sebagai berikut: (1) 1568-1580: Panglima Dewa Shahdan, (2) 1580-1612: Panglima Dewa Sakti, anak raja sebelumnya. (3) 1612-1673: Raja Kahar bin Panglima Dewa Syahdan, anak raja sebelumnya. (4) 1673-1750: Bendahara Raja Badiuzzaman bin Raja Kahar, anak raja sebelumnya. (5) 1750-1818: Raja Kejuruan Hitam (Tuah Hitam) bin Bendahara Raja Badiuzzaman, anak raja sebelumnya. (6) 1818-1840: Raja Ahmad bin Raja Indra Bungsu, keponakan raja sebelumnya. (7) 1840-1896: Tuanku Sultan Haji Musa al-Khalid al-Mahadiah Muazzam Shah (Tengku Ngah) bin Raja Ahmad, anak raja sebelumnya. 1. Kepemimpinan Kesultanan Langkat di Masa Panglima Dewa Sakti (1580- 1612)

35Wawancara dengan Bapak Zainal Arifin AKA tanggal 7 Juli 2018. 36Ibid. 37Kesultanan Langkat dipimpin oleh 14 Raja atau Sultan. Lihat M. Kasim Abdurrahman, Studi Sejarah Masjid Azizi Tanjung Pura-Langkat-Sumatera Utara (Jakarta Selatan: Najm, 2000), h. 54

27 Dewa Sakti lahir tahun 1580-1612 dan wafat pada Perang Aceh. Ia merupakan putra dari Dewa Syahdan yang mendapatkan gelar dengan sebutan Kejeruan Hitam. Konon, Dewa Sakti yang dikenal dengan “Indra Sakti” merupakan adiknya Putri Hijau di Deli Tua. Suasana perperangan dengan Kesultanan Aceh di Deli Tua mengakibatkan hilangnya Dewa Sakti yang kemungkinan besar tewas dalam penyerangan. Peristiwa peperangan tersebut dalam rangka mempertahankan Kerajaan Haru II di Deli tua sekitar tahun 1612.Selanjutnya Dewa Sakti mangkat digantikan oleh putranya, yang setelah mangkatnya bergelar Marhom Guri (mungki sekali di Merah Milu kepada orang haru yang menentang Sultan Aceh Saidi Mukamil). Dimakamkan di Buluh Cina, Hamparan Perak sekarang. Marhom Guri digantikan oleh putranya Raja Kahar (1673). 2. Kepemimpinan Kesultanan Langkat di Masa Raja Kahar bin Panglima Dewa Syahdan (1612-1673) Bertahta Raja Kahar ibni al-Marhum Panglima Dewa Syahdan, Raja Langkat lahir tahun 1673-1750. Ketika mendirikan Kerajaan Langkat di Kota Dalam daerah antara Stabat dengan Kampung Inai (kecamatan Hinai), usianya sudah cukup tua kira-kira 77 tahun. Jadi, Raja Kahar diperkirakan hanya sebentar saja memerintah Langkat. Walaupun demikian menurut hasil wawancara dengan Bapak Haz menuturkan bahwa pada masa Raja Kahar nama Langkat sebagai sebuah kerajaan mulai terdengar walaupun daerah kekuasaannya masih belum begitu luas dan pusat kerajaan masih berpindah-pindah.38Raja Kahar berputra Badiulzaman bergelar Sutan Bendahara, dan merupakan penerus beliau setelah wafatnya Raja kahar. 3. Kepemimpinan Kesultanan Langkat di Masa Bendahara Raja Badiuzzaman bin Raja Kahar (1673-1750) Bertahta Sutan Bendahara Raja Badiuzzaman ibni al-Marhum Raja Kahar, Raja Langkat. Badiuzzaman merupakan pengganti Raja Kahar, seorang yang berpribadi kuat dan dengan cara damai telah memperluas daerahnya, kira-kira di abad ke-18. Ia dimakamkan di Punggai, bergelar Marhom Kaca Puri. Badiulzaman mempunyai 4 orang anak laki-laki

38Wawancara dengan Bapak Ray tanggal 19 April 2018.

28 yaitu Kejeruan Tuah Hitam, Raja Wan Jabar yang mendirikan Selesai, Syahban di Punggai dan Indra Bongsu yang tetap bersama Kerjeuran Hitam tinggal di Kota Dalam. Keempat orang putra ini membantu ayahandanya memerintah dan bolehlah dikatakan masing-masing sebagai Orang-orang Besar. Ketika Badiulzaman meninggal dunia ia digantikan oleh putranya yang tertua Kejeruan Tuah Hitam. Ia menetap di Jentera Malai, sebuah kampung dekat Kota Dalam. 4. Kepemimpinan Kesultanan Langkat di Masa Raja Kejeruan Hitam (1750- 1818) Bertahta Raja Hitam ibni al-Marhum Sutan Bendahara Raja Badiuzzaman (Kejeruan Tua), Raja Langkat pada tahun 1750-1818. Bentuk kerajaan di masa Raja Hitam tidak begitu jauh berbeda dengan ayahnya Badiuzzaman. Artinya keempat bersaudara ini memerintah dengan otonomi masing-masing. Menurut Zainal AK, bahwa Kejeruan Hitam tetap dijadikan oleh keempat kerajaan ini sebagai pemimpin tertinggi dan perkembangannya hingga memasuki abad ke 19. Raja Kejeruan Hitam merupakan seorang pemuda yang cekatan, bertekad merebut pemerintahan dengan bantuan Sultan Panglima dari Deli. Oleh karena itu perdagangan di negeri tersebut banyak terganggu sehingga perkelahian antara Kepala-kepala daerah pun tetap terjadi.39 Menurut informasi Anderson seorang penulis sejarah yang diungkapkan oleh Zainal bahwa Kejeruan Tuan Hitam pernah melakukan upaya bergabung dengan Sultan Panglima Mengedar Alam dari Deli untuk merebut pemerintahan kembali dari tangan Siak. Beliau mendatangi kerajaan Deli untuk mendapatkan bantuan prajurit, senjata dan amunisi. Tetapi dalam perjalanan menuju Langkat bantuan yang diperoleh dari kerajaan Deli tersebut meledak, peristiwa tersebut terjadi ketika menghilir sungai Deli.40 Gambaran perlawanan tersebut tidak menjadikan Langkat mampu berpisah dengan Kerajaan Siak, malah sebaliknya Langkat

39 Ibid 40 Tatkala itu merekapun sedang asik mandi. Akibat dari ledakan misui itu menewaskan mereka. Sebagai tambahan informasi di masa itu mulailah lahir daerah-daerah kekuasaan kecil di Langkat, kira-kira pada akhir abad ke-18.

29 ditaklukkan oleh Siak. Untuk jaminan kesetiaan Langkat, 2 orang putra Langkat, yaitu putra dari Kejuruan Tuah Hitam, bernama Nobatsyah, dan seorang putra dari Indra Bongsu, Raja Ahmad, dibawalah ke Siak untuk diindroktrinasi. Di Siak mereka dikawinkan dengan putri-putri Siak. Nobatsyah kawin dengan Tengku Fatimah dan Raja Ahmad kawin dengan Tengku Kanah. Tiada berapa kemudian Nobatsyah dan Ahmad dikembalikan ke langkat. Mereka bersama-sama memerintah di Langkat, yang pertama dengan gelar Raja Bendahara Kejeruan Jepura Bilad Jentera Malai (Nobatsyah anak pertama Kejeruan Tuah Hitam), sedangkan yang kedua bergelar Kejeruan Muda Wallah Jepura Bilad Langkat (anak Indra Bongsu adik ketiga Kejeruan Tuah Hitam). 5. Kepemimpinan Kesultanan Langkat di Masa Raja Ahmad 1818-1840 Bertahta Raja Ahmad ibn al-Marhum Raja Indra Bongsu, Raja Langkat pada tahun 1818-1840. Beliau bergelar Kejeruan Muda Wallah Jepura Bilad Langkat. Dimasa itu Langkat bukan dipimpin oleh satu Raja tetapi dua Raja yang memimpin Langkat. Raja Ahmad dan Raja Nobatsyah di awal mulanya mereka bersama-sama memerintah di Langkat akan tetapi berjalannya waktu keduanya mengalami perselisihan yang berujung pada peperangan. Perperang terjadi dikarenakan perebutan kekuasaan antara Raja Bendahara Nobatsyah dengan Kejeruan Muda Ahmad pada tahun 1820. Menurut Zainal bahwa Kerajaan Siak nampaknya dengan sengaja menciptakan raja ganda di Kerajaan Langkat dan sudah diperkirakan berujung pada sengketa kekuasaan antara keduanya.41 Di dalam perebutan kekuasaan itu, Nobatsyah dibantu oleh saudaranya Badaruddin, Tengku Panglima Besar Syahdan (anak dari Raja Syahdan Pungai), dan dibantu oleh iparnya Tuanku Zainal Abdidin (Serdang). Dipihak Kejeruan Muda Ahmad ialah semua anak-anak dari Raja Wan Punggai dan Selesai. Di dalam pertempuan yang terjadi antara kedua pihak ini di Punggai, tewaslah Tuanku Zainal Abidin Serdang dengan 40 lebih orang pahlawan- pahlawan dari Serdang sehingga ia digelar “Marhom Mangkat di Punggai”.

41 Hasil wawancara dengan Zainal Arifin AKA tanggal 5 Juni 2018.

30 Menurut riwayat pertempuan kedua belah pihak ini, sedikit banyaknya adalah atas ‘permainan’ Stabat, yang merasa bahwa bukan Nobatsyah atau Ahmad tetapi Stabatlah yang berhak menjadi raja di Langkat. Kemudian Raja Bendahara Nobatsyah mati terbunuh. Di Bingai Raja Wan Desan bin Raja Wan Jabar menjadi Kejeruan. Ketika matinya Raja Bendahara Nobatsyah, maka Kejeruan Ahmad-lah satu-satunya yang memimpin Langkat dan diakui oleh Siak. Demikianlah gambaran akhir peristiwa kepemimpinan sebuah kerajaan yang pimpin oleh dua Raja, menurut Zainal jika dalam satu kapal dipimpin dua nakhoda pasti tidak akan menemukan satu persepsi42 oleh karenanya maka pertikaian antara keduanya tak dapat dihindarkan. Nobatsyah yang gugur ditangan Raja Ahmad dan Raja Ahmad menjadi Raja Langkat merupakan keinginan dan rencana Raja Siak, sebagaimana yang dituliskan oleh Zainal bahwa dalam memangku jabatan sebagai raja Langkat dimasa datang memang sudah dipersiapkan oleh Sultan Siak yakni anak dari Nobatsyah yaitu Alamsyah, namun Alamsyah usianya tidak panjang ketika kanak-kanak ia meninggal dunia. Raja Ahmad menjadi raja Langkat antara tahun 1827 sampai 1870, dimana zetel kerajaan dipindahkan dari jentera Malay ke Gebang dipinggiran muara Sungai Serapuh.43 beliau membuat peraturan-peraturan di mana Raja-raja Selesai, Stabat, Bahorok dan Bingai mendapat otonomi luas. Di Bahorok oleh Kejeruan Muda Ahmad diangkat salah satu seorang anggota keluarganya menjadi Kejeruan44, karena dengan mempunyai status kemerdekaannya yang luas di Bahorok. Kepemimpinan Raja Ahmad dengan sejumlah keturunan mereka menguasai wilayah-wilayah di sekitar Langkat seperti Kejeruan Stabat, Bingai, Selesai dan lain-lain. Dengan demikian, Kerajaan Langkat menjadi besar dan luas wilayahnya lebih disebabkan pada pembagian kekuasaan

42 Zainal Arifin AKA, Langkat dalam Sejarah dan Perjuangan Kemerdekaan (Medan, Mitra Medan, 2002), h. 25. 43Ibid. Istilah Gebang berasal dari Gerbang (pintu gerbang/gapura) kerajaan. 44 Kejeruan adalah Daerah atau Distrik yang diakui kedaulatannya oleh Kesultanan dan Pemerintahan Hindia-Belanda. Lihat M. Kasim Abdurraham, Sejarah Masjid., h. 23.

31 antara keturunan-keturunan raja Langkat, masing-masing dari mereka mendapat otoritas untuk mengelola wilayahnya masing-masing. Menurut Bungaran bahwa faktor keturunan sering merupakan penentu dalam mengetahui posisi seseorang dalam masyarakat.45 Sebagai catatan sejarah bahwa Bahorok secara geografis merupakan taktik-politik yang sangat begitu banyak menuntut perhatian Kerajaan Langkat sebab wilayah tersebut terus menerus terancam oleh serangan- serangan dari Gayo dan Alas di wilayah Aceh, dan Bahorok haruslah menjadi buffer state. Kemudian berikut menyusul periode kelahiran sesama Kejeruan yang ingin berpengaruh. Dalam kondisi tersebut, Stabat muncul sebagai tokoh yang penting. Bahorok dan Selesai melihat saja tanpa daya akan bertambah pengaruh Stabat. Oleh karena Stabat menjadi begitu penting sehingga dapat menjalankan hegemoni di atas daerah-daerah lain. Penduduk-penduduk Jentera Malai, Kota Dalam dan Selesai tidak senang atas perintah Stabat ini dan banyak yang mengungsi ke daerah pesisir di mana mereka membuat kampung-kampung baru dan meminta bantuan dari Siak agar mengamankan kembali keadaan seperti semula. Demikianlah suasana politik kekuasaan yang terjadi di Langkat sehingga kerajaan Siak memberikan bantuannya untuk berkuasa lagi. Kejeruan Muda Ahmad telah meninggal dunia termakan racun di Pungai.46 Teringatlah orang bahwa di Siak masih tinggal putra dari Nobatsyah, tetapi telah pula meninggal dunia di Siak, dan Sultan Siak pun menetapkan putra Kejeruan Mudah Ahmad bernama Tengku Musa sebagai pengganti Raja Langkat.47 Tengku Musa kemudian berangkat ke Langkat dan menetap di Kota Dalam. Menurut Haz Raja Musa mempunyai kepribadian yang sangat kuat dan oleh orang Langkat ia dianggap sebagai pembangun daerah Langkat hingga kini.48 6. Kepemimpinan Kesultanan Langkat di Masa Raja Musa (1870-1896)

45Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir dan Batak Pengunungan: Orientasi Nilai Budaya (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2010), h. 13 46Zainal Arifin AKA, Langkat dalam.., h 26 47Ibid. 48Wawancara dengan Ray, tanggal 18 Juli 2018.

32 Bertahta Raja Musa ibni al-Marhum Raja Ahmad, Raja Langkat berkuasa tahun 1870-1896. Masa kepemimpinanya Langkat mulai mengarah pada perubahan atau perkembangan yang baik jika dibandingkan pada masa sebelumnya walaupun sistem pemerintahannya masih berbentuk tradisional, yaitu raja dan datuk diakui sebagai kepala pemerintahan dan adat. Raja Musa memimpin Kerajaan Langkat yang sudah diakui berubah sebutan menjadi Sultan iapun memindahkan zetel kerajaan dari Gebang ke kota Pati (Tanjung pura sekarang). Hal ini yang kemudian menjadikan Sultan Musa dianggap sebagai perintis Kerajaan Langkat di Tanjung Pura.49 Sebutan lengkap yang digelarkan oleh Belanda padanya Sultan Al Haji Musa Alhamdainsyah.50 Selanjutnya pada tahun 1881 Langkat dibagi atas 2 Onderafdeling, maka Pangeran mengangkat anaknya yang tertua, Tengku Sulung, sebagai wakilnya di Langkat Hulu yang beribukota di Binjai. Pada tahun 1884 Langkat berada langsung di bawah kedaulatan Hindia Belanda dan pada tahun 1887. Pemerintahan sultan Musa, kerajaan langkat masih mendapat tekanan dari pihak Aceh dan Belanda dan beberapa daerah di sekitar kerajaan Langkat, dengan ini sultan Musa lebih menekankan kepada perjanjian damai, sehingga pada masa pemerintahannnya kerajaan Langkat berkembang menjadi kerajaan yang megah dan besar. Ia secara damai meluaskan wilayahnya, sehingga wilayah kekuasaan Langkat bertambah luas mulai dari perbatasan Aceh Tamiang sampai di kawasan Binjai dan Bahorok, atau wilayah kesultanan Deli. Adapun batasan-batasan wilayah tersebut

49Djohar Arifin Husin, Sejarah Kesultanan Langkat (Medan: t.p, 2013), h. 16.; Zainal Arifin AKA, Langkat dalam Sejarah dan Perjuangan Kemerdekaan (Medan: Mitra Medan, 2013), h. 26. Tanjung Pura merupakan salah satu kota yang pernah menjadi pusat penyebaran Islam di Sumatera Utara. Ada empat pilar keagamaan di Tanjung Pura, yaitu Kerajaan Langkat sebagai lambang kekuatan politik Islam, Masjid Azizi sebagai lembaga sosial keagamaan, Jama’iyah Mahmudiyah sebagai lembaga pendidikan Islam, dan Kampung Babussalam sebagai pusat pengajaran dan penyebaran Tarekat Naqsabandiyah. Lihat Zainal Arifin AKA, Jama’iyah Mahmudiyah Setelah 100 Tahun (Medan: Mitra Medan, 2013), h. 20. 50Wawancara dengan Ray, tanggal 18 Juli 2018. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa Pangeran Musa pribadi dinaikkan derajatnya oleh Belanda dengan memperoleh titel Sultan Al Haji Musa Alhamdainsyah. Selain itu ditetapkan pula putra bungsunya Tengku Montel alias Tengku Abdul Aziz sebagai penggantinya.

33 antara lainnya: · Sebelah timur: berbatasan dengan Landschap Deli dan Serdang · Sebelah barat: berbatasan dengan Keresidenan Aceh · Sebelah utara dan selatan: berbatasan dengan Afdeeling Simalungun dan Tanah Karo.51 Pada masa Raja Musa, pusat kerajaan memiliki dua buah istana yang megah yang diberi nama istana Darul Aman dan istana Darussalam yang saling berdekatan.52 Istana Kerajaan Langkat Pertama

Istana pertama disebut dengan istana Darussalam yang berada di pinggiran Sungai Batang Durian Tanjung Pura53

Sebagai catatan bahwa semula istana Kerajaan Langkat dibangun di pinggir sungai Batang Durian Tanjung Pura di belakang Madrasah Jamaiyah.

51Zainal Arifin AKA, Riwayat Tengku Amir Hamzah: Cinta Tergadai, Kasih Tak Sampai, Langkat: Dewan Kesenian Langkat, 2002, h. 5. Jika diselidiki dari perjalanan perpindahan pusat kerajaan Langkat, selalu berada di daerah yang bernama kota, diantaranya pusat kerajaan Aru I bernama kota Sipinang di hlu sungat Besitang. Kota Sipinang ini telah punah dan menjadi hutan dikawasan Taman Nasional Gunung Lauser (TNGL). Setelah hancur kerajaan Aru II di Deli Tua Kemudian berpindah ke Kota Rantang Hamparan Perak dan saat sekarang daerah ini hanya sebuah desa kota Rantang, lalu berpindah ke Kota Dalam dan Kota Datar. Daerah Sicanggang sekarang menjadi sebuah dusun Kota Pati (Tanjung Pura) yang terus berkembang hingga kini. 52Observasi lapangan ke Museum Tanjung Pura Langkat pada tanggal, 12 Juli 2018. 53Zainal Arifin AKA, Riwayat Tengku Amir Hamzah: Cinta Tergadai, Kasih Tak Sampai, Langkat: Dewan Kesenian Langkat, 2002, h. 5

34 Kemudian istana dipindahkan dan dibangun ke arah kota. Istana baru itu bernama istana Darul Aman,54 istana lama bernama istana Darussalam. Istana Darul Aman55 bercirikan ornamen Arab dan terbuat dari batu bata. Sedangkan Istana Baru Darussalam terbuat dari kayu bercirikan ornamen Cina dan memiliki menara seperti pagoda di bagian tengah bangunannya. Istana ini menurut Zainal terletak di Kota Pati (Tanjung Pura sekarang) masih berbentuk rumah panggung berbahan dasar kayu papan. Istananya berhadapan dengan Sungai Batang Durian yang terletak di belakang Masjid Azizi.56 Istana Kerajaan Langkat Kedua

Istana kedua tersebut bernama Darul Aman yang terletak di Kota Pati (Tanjung Pura sekarang) masih berbentuk rumah panggung berbahan dasar kayu papan. Istananya berhadapan dengan Sungai Batang Durian yang terletak di belakang Masjid Azizi.57 Pada tahun 1850, Aceh kembali menyerang dan berusaha mendapatkan kembali kontrol atas tanah Langkat. Pemberian gelar megah untuk para penguasa lokal dan kehadiran administratif terjadi hanya untuk

54Zainal Arifin AKA, Riwayat, h. 26-27. 55Dari hasil kerjasama antara kaum planters dan Sultan Musa dalam konsesi onderneming, Sultan Musa mampu membangun istana Darul Aman (1880) yang cukup megah menurut ukuran masa itu. Istana itu letaknya agak ke kota yaitu di sekitar Jalan Istana (Jalan Amir Hamzah sekarang). Selain itu sultan mampu memiliki barang-barang mewah yang terpajang di dalam ruangan istana. 56Zainal Arifin AKA, Riwayat Tengku Amir Hamzah…, h. 5. 57Zainal Arifin AKA, Riwayat Tengku Amir Hamzah:…, h. 9

35 suatu periode. Akhirnya, kekuasaan Aceh bukan lagi menjadi tandingan bagi orang Eropa. Tujuh tahun kemudian, yakni tahun 1857, Belanda mengikat perjanjian persahabatan dengan Aceh sebagai dua bangsa yang merdeka. Dalam perjanjian tersebut diakui bahwa Deli, Langkat, dan Serdang berada di bawah pertuanan Aceh. Tetapi hanya beberapa bulan kemudian, pada hari Senin 1 Februari 1858 Belanda mengikat perjanjian dengan Siak (Tractaat Siak)58. Salah satu isi perjanjian tersebut disebutkan bahwa kerajaan Siak Sri Inderapura serta daerah taklukannya mengaku berada di bawah kedaulatan Belanda dan menjadi bagian dari Hindia-Belanda.59 Sikap Belanda terhadap daerah taklukannya benar-benar memberikan efek positif salah satunya bagi Kesultanan Langkat. Hal ini terbukti ketika bulan Februari 1862 Sultan Musa secara terang-terangan datang ke Siak untuk meminta bantuan Belanda mengamankan wilayahnya dari pemberontakan-pemberontakan yang sering terjadi di wilayahnya, serta ancaman dari Aceh. Oleh sebab itu, tidak mengherankan ketika E. Netscher melakukan ekspedisi pertamanya ke Sumatera Timur dalam rangka mengikat kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur di bawah kekuasaan Belanda, di Langkat Netscher tidak mendapat hambatan apapun. Tahun 1869 Kesultanan Langkat di bawah kepemimpian Raja Musa membuat kontrak yang terpisah dengan Belanda pada tahun 1869 untuk memerdekakan Langkat dari Aceh dan Siak untuk mengakui Raja Langkat sebagai Sultan pada tahun 1887. Dengan politik Devide et Impera Belanda berhasil mengatasi penetrasi dan melemahkan kekuatan Aceh dan Siak serta menanamkan kekuasaannya secara nyata pada kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur, salah satunya Kesultanan Langkat. Oleh karena itu kemerdekaan Kesultanan Langkat dari Aceh dan hasil kerjasama dengan Belanda dimasa Raja Musa membuat Langkat menjadi lebih makmur

58Traktaat Siak adalah perjanjian antara Belanda dengan Siak yang ditandatangani pada tanggal 1 Februari 1858. Salah satu isinya adalah Siak mengakui kedaulatan Belanda dan termasuk kerajaan-kerajaan yang ada di pantai timur Sumatera, seperti Deli, Serdang, Langkat, Asahan, dan Tamiang. 59Wawancara dengan Bapak Zainal Arifin AKA tanggal 7 Juli 2018.

36 melebihi harapan.60 Aspek keagamaan dari Raja Musa dapat dilihat dari sifat religiusnya, artinya tidak bisa dilepaskan dari peran seorang guru besar yang datang ke Langkat. Hal ini terlihat ketika kedatangan ulama tersebut yang bernama Syekh Abdul Wahab Rokan Al-Khalidi Naksabandi atau yang lebih dikenal dengan Tuan Guru Besilam. Kedatangan Tuan Guru ke Langkat merupakan permintaan dari Sultan Musa. Kehadiran Tuan Guru Besilam sangat memegang peranan penting bagi Sultan Musa dalam memimpin kerajaannya. Tuan Guru Besilam dijadikan sebagai penasehat religius oleh Sultan Musa. Oleh karenanya sebahagian besar dari adat-adat Melayu sangat erat kaitannya pada kehidupan keagamaan masyarakat Langkat, maka pihak Kesultanan Langkat di masa Raja Musa dengan sikap religiusnya mengatur adat-adat Melayu tersebut sebagaimana kebebasan yang diberikan oleh Hindia-Belanda. Antara lainnya mengaji Al-Qur'an, tepian mandi, syair dan hikayat, hiburan dan kesenian, pakaian dalam pergaulan, mengirik padi, mendirikan rumah dan lain sebagainya.61 Misalnya dalam mengaji Al-Qur'an, setiap orang tua yang mempunyai anak wajib mengajari anaknya membaca Al-Qur'an sampai tamat (khatam). Jika orang tua mempunyai anak batas usia masuk mengaji, harus membawa anaknya kepada seorang guru mengaji sambil membawa pulut setalam, beras secupak, minyak lampu sebotol dan sepotong rotan. Walaupun belum ada pendidikan formal62 akan tetapi kegiatan pendidikan keagamaan tetap berlangsung dengan baik. Seiring uraian sebelumnya bahwa Sultan Musa dikenal sebagai seorang pemimpin yang saleh, alim, dan warak. Ia juga sangat mencintai para ulama dan memberikan perhatian besar terhadap pendidikan agama di Tanjung Pura. Pada masanya juga Negeri Langkat terkenal sebagai negeri

60Ibid. 61Abdul Kadir Ahmadi, Sekilas Layang Adat Perkawinan Melayu Langkat, (Tanjung Pura-Langkat: Pustaka Babusalam, 1992) h. 12 62Sulaiman Zuhdi, Langkat dalam Kilatan Selintas Jejak Sejarah dan Peradaban (Stabat, Stabat Medio, 2013), 91-93.

37 yang sangat religius terutama setelah terbentuknya Kampung Babussalam.63 Meskipun terdapat campur tangan politik Pemerintahan Kolonial Belanda di dalam unsur pemerintahan kesultanan, tetapi Belanda masih memberikan keleluasaan terhadap sultan agar kekuasaan pemerintahan Kesultanan Langkat berjalan sesuai dengat adat yang berlaku selama ini. Oleh karenanya pada masa pemerintahannya Sultan Musa (1871) mencontoh Siak dan membentuk Lembaga Datuk Berempat, yang susunannya diambil dari kedatukan yang tidak mempunyai hubungan darah langsung dengan Raja-Raja Langkat (zuriat-zuriat yang paling banyak membantu tegaknya pemerintahan yang dibangun sejak awal masa kekuasaan Raja Ahmad).64 Selanjutnya dalam menjalankan pemerintahan di Kesultanan Langkat masa Raja Musa, sultan masih tetap mempercayai keluarga dan kerabat dekatnya yang memiliki potensi dan dapat dipercaya untuk menjalankan tugas tersebut. Artinya faktor keturunan sering merupakan penentu dalam mengetahui posisi seseorang dalam masyarakat.65 Misalnya, anak-laki-laki Sultan Musa yang bernama Tengku Sulong yang diangkat menjadi wakil (luhak) Langkat Hulu (1884-1896), dan Tengku Hamzah yang diangkat menjadi pangeran Langkat Hilir (1887-1899). Selain itu, sultan juga merekomendasi golongan bangsawan untuk menduduki jabatan di kerapatan (pengadilan) kesultanan dan perusahaan perkebunan asing. Dengan demikian sudah dapat dipastikan orang-orang yang memiliki jabatan tinggi dalam tatanan birokrasi pemerintahan kesultanan adalah golongan bangsawan. Pada tahun 1892, oleh karena usianya yang telah lanjut, Sultan Musa mengadakan abdikasi dan mengangkat Tengku Abdul Azis sebagai penggantinya dengan gelar Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahkmatsyah tahun 1893. Di akhir masa tuanya Baginda Sultan Musa kemudian bersuluk di

63M. Kasim Abdurrahman, Studi Sejarah Masjid., h 46.; Tengkoe Hasjim, Riwajat Toean Sjeh Abdoel Wahab Toean Goeroe Besilam dan Keradjaan Langkat (Medan: H. Mij. Indische Drukkerij, t.t.), h. 7. 64Wawancara Ray, tanggal 2 Juni 2018. 65Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir., h. 13

38 Pesantren Naqsabandiyah “Babussalam” yang didirikan oleh Tuan Syekh Abdul Wahab.

7. Kepemimpinan Kesultanan Langkat di Masa RajaSultan Abdul Aziz (1827-1927 M)

Tengku Abdul Aziz66

Pemerintahan Kesultanan Langkat kemudian dilanjutkan oleh Tengku Abdul Aziz (1897-1927 M). Dia adalah putra ketiga dari Sultan Musa sebagai sultan ketujuh di Kesultanan Langkat. Ibunya bernama Tengku Maslurah binti Tengku Besar Desan dari Binjai, dia mendapat gelar Tengku Permaisuri. Semasa anak-anak dan remaja Tengku Abdul Aziz dididik oleh Sultan Musa di dalam istana. Tengku Abdul Aziz dikarunia 13 putra dan 10 putri. Tengku Abdul Aziz adalah seorang yang bijaksana dan berwibawa. Dia hidup dalam lingkungan istana. Semasa kanak-kanak sampai remaja dia mendapatkan pendidikan secara non-formal, yaitu sultan mendatangkan guru-guru ke istana untuk memberikan ceramah dan pengajaran kepada keluarga sultan. Tengku Abdul Aziz telah membawa Langkat pada zaman keemasannya. Ia

66https://visit langkat.wordpress.com/2014/10/02/sejarah-kerajaan-langkat/. Diakses tanggal 30 Agustus 2018.

39 meninggal dunia pada tanggal 1 Juli 1927 M akibat menderita sakit gangguan pernafasan selama lebih kurang satu bulan dan dimakamkan di dekat Masjid Azizi Tanjung Pura. Ia mendapat gelar Marhum Darul Aman.67 Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Aziz, Kesultanan Langkat mengalami kejayaan. Sultan Abdul Aziz terkenal sebagai orang yang bijaksana, berwibawa, dan memerhatikan rakyatnya. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Aziz banyak masyarakat dari Pulau Jawa dan daerah di luar kekuasaan Kesultanan Langkat bermukim dan belajar di sana. Kejayaan masa Sultan Abdul Aziz diraih berkat kecakapan kepemimpinannya yang didukung oleh kebijakan pemerintahannya, baik dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, maupun keagamaan.

67M. Eko Hendramawan Sembiring, “Sejarah Kota Tanjung Pura Tahun 1896-2014”, Skripsi (Medan: Unversitas Negeri Medan, 2014), hlm. 36.

40 BAGIAN KETIGA

MASA KEJAYAAN DAN KEMUNDURAN KESULTANAN LANGKAT

A. Masa Merintis Kejayaan: Masa Kepemimpinan Sultan Musa Nama Kabupaten Langkat diambil dari nama Kesultanan Langkat. Dahulu, penyebutan Langkat tertuju pada pusat pemerintahan Kesultanan Langkat yang pernah jaya dan sangat ramai, yaitu Tanjung Pura. Saat ini, Tanjung Pura hanya sebagai kota kecil dengan status ibu kota kecamatan. Setelah Indonesia merdeka, kondisi dan kapasitas kota ini jauh merosot, kendatipun sebagiaan bekas peninggalan sejarah kejayaannya masih dapat ditemukan di tempat ini. Dari aspek Historis, pusat pemerintahan di Langkat ini telah berkali- kali mengalami perubahan. Pada masa kekuasaan Raja Ahmad di Kerajaan Langkat, pusat pemerintahan berada di Gebang. Ketika anaknya, Sultan Musa, menggantikannya, ia memindahkannya ke Tanjung Pura. Akhirnya, pada masa Sultan Mahmud, pusat pemerintahannya dipindah ke Kota Binjai. Setelah Indonesia merdeka, pusat pemerintahan Langkat dipindahkan ke Stabat. Di tempat inilah pusat pemerintahan Kabupaten Langkat

41 berkedudukan sampai sekarang. Sebagaimana halnya kerajaan-kerajaan lain, Kejayaan/Kesultanan Langkat tidak mucul tiba-tiba tetapi melalui proses panjang yang terbangun secara bertahap dan terkait dengan banyak aspek. Dalam paparan berikut, proses perjalanan panjang Kesultanan Langkat menuju puncak kejayaannya dibagi menjadi dua tahap, yaitu; Pertama, ada banyak hal baru yang diperoleh Sultan Musa pada masa kekuasaannya. Ia adalah raja pertama yang diberi gelar kehormatan sultan pada masa Kerajaan Langkat. Nama besar yang disandangnya ini sejalan dengan kemajuan pesat kerajaan yang diraih pada masanya, di mana hal ini berbeda dengan semua pendahulunya. Pemberian gelar sultan ini sekaligus memperlihatkan simbol keislaman yang melekat pada kerajaan Langkat ini. Penganugerahan gelar”Sultan” ini kepadanya adalah sebagai pemberian gelar pertama kalinya pada raja-raja Karajaan Langkat, yang sekaligus merubah peristilahnya menjadi “Kesultanan Langkat”, sedangkan pada masa sebelumnya adalah “Kerajaan Langkat”. Raja ketujuh ini miliki sederet gelar kehormatan. Ia dipanggil dengan gelar Sultan (Raja) Tengku Musa Abdul Jalil Rahmadsyah Al-Halidy Al- Muazzamsyah Al-Haj raja Kerajaan Langkat, yang bergelar Pangeran Indra Diraja Amir yang dianugerahi pada tahun 1869. Ia memperoleh kekuasaan ini sebagai warisan dari ayahnya Raja Ahmad yang ketika itu berpusat dan berkedudukan di Gebang. Untuk kepentingan kesultanan yang lebih kuat dan strategis maka setelah Sultan Musa memangku jabatan, ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Tanjung Pura, yang pada masa itu dikenal dengan nama Kota Pati. Hampir semua raja Islam hanya berani memberi gelar tertinggi sultan kepada rajanya sebagai penguasa pada daerah tertentu yang sifatnya lokal. Sementara ada keyakinan yang terbentuk dalam sejarah islam bahwa gelar penguasa tertinggi Islam adalah khalifah, dan kepemimpinan yang disandang oleh khalifah adalah bersifat umum, yaitu untuk seluruh umat manusia di seluruh penjuru jagat raya ini. Hal ini tidak pernah ada lagi sampai sekarang ini sejak jatuhnya Kekhalifahan Turki Usmani di Turki. Sultan Musa telah membawa Kerajaan Langkat menuju masa

42 keemasannya. Berkat temuan dan rintisan ladang minyak pertama di Indonesia, dan usaha perkebunan yang berjalan dengan sukses pada masanya telah mengantarkan Kerajaan Langkat mejadi Kerajaan terkaya yang tiada tandingannya di Asia Tenggara. Ia telah mendirikan istana Darul Aman yang cukup megah di Kota Pati (sekarang bernama Tanjung Pura) sebagai singgasana kerajaan, sekaligus simbol kejayaan Kerajaan Langkat. Ia juga telah memiliki 4 (empat) buah kapal tanker (kapal besi) untuk pengangkut minyak yang senantiasa berlabuh di Pangkalan Berandan, dan Pangkalan Berandan dibuka menjadi sebuah kota perminyakan, di mana putra tertua Raja Gayo yang datang mohon suaka atas perseteruannya dengan adik kandungnya sendiri di Gayo dalam perebutan tahta kerajaan, maka Sultan Musa memberi kesempatan kepadanya untuk menjadi pengawas perminyakan dan ditunjukkah dia sebagai Datok Lepan. Berkat usaha perminyakan ini. Kejayaan Kerajaan/Kesultanan Langkat ini semakin dekat dan turut mengukir sejarah panjang, dan kesuksesan Kerayaan/ Kesultanan Islam di Sumatera Timur pada masa kolonial Belanda. Sultan Musa adalah raja pertama pembuat terobosan baru tentang sistem aturan putra mahkota yang dapat dipersiapkan menjadi raja. Semula semua putra mahkota yang berasal dari “Anak Non Graha”, yaitu ayahnya Tengku dan ibunya berasal dari anak Datuk sudah berhak menjadi raja tetapi pada masa Sultan Musa, persyaratannya ditingkatkan menjadi “Anak Graha”, yaitu calon raja harus berasal dari keturunan yang setara antara ayah dan ibunya, ayahnya keturunan Tengku, demikian juga ibunya adalah keturunan Tengku (kedua-duanya adalah keturunan Tengku). Dengan perpaduan dua keturunan yang istimewa ini maka lahirlah anaknya Tengku asli. Sejalan dengan kebijakan ini maka keturunannya yang berhak menjadi sultan adalah Sultan Abdul Aziz. Dia adalah anak yang lahir dari perkawinan Sultan Musa dengan Masrurah yang juga keturunan Tengku setelah terlebih dahulu Sultan Musa terlibat perang dengan mantan suaminya Raja Bingai dan suami Masrurah kalah/ wafat dalam peperangan tersebut, lalu Sultan Musa menikahinya. Sultan Musa adalah keturunan Tengku, demikian juga Masrurah adalah keturunan Tengku, jadi keduanya adalah keturunan

43 Tengku, maka Abdul Aziz adalah anak Tengku sempurna, dengan ini dia berhak menjadi raja. Karenanya, Sultan Musa akan mempersiapkan anaknya Abdul Aziz yang akan menggantikannya menjadi Raja/Sultan. Sultan Musa cukup lihai dan kuat untuk mengendalikan kesultanan. Sejak dari awal kekuasaannya dia sudah memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan dari Gebamp ke Tanjung Pura, dan ini dilakukannya dalam rangka optimalisasi fungsi dan kiprah kerajaan dalam pengembangannya. Di bawah kekuasaan Sultan Musa, daerah kekuasaannya menjadi cukup luas, yaitu meliputi perbatasan Aceh Tamiang sampai di kawasan Binjai dan Bahorok. Tidak heran kalau Sultan Musa dipahami sebagai seorang yang sangat sukses dalam pemerintahannya. Sebagai raja yang bijaksana, ia sangat mengerti dalam menjalankan dan mengendalikan kesultanan. Para ulama dekat kepadanya, ia juga bersahabat dengan Belanda, dan ia didukung oleh rakyatnya. Maka, tidak heran kalau pada masa ini diperoleh ketenteraman dan kedamaian. Sebagai seorang sultan yang kuat, ia dinyatakan sultan yang rajin perang; ia sering melakukan peperangan dengan raja-raja lain di sekitarnya, di antaranya perang melawan Raja Bingei, dan ia dapat memenangkan peperangan tersebut. Peperangan dengan Raja Bingei telah dimenangkannya. Dahulu, Raja Bingei tunduk di bawah kekuasaannya, tetapi belakangan Raja Bingei merasa sudah kuat dan ingin memperkokoh eksistensinya. Lalu ia pun memberontak, dan Sultan Musa memerangi dan menaklukkannya kembali. Raja Bingei kalah dan meninggal di tangannya. Hal ini menjadi bukti tentang ketangguhan Sultan Musa dalam mengendalikan kerajaannya. Kekalahan Raja Bingei di tangan Sultan Musa tidak saja berakhir sampai di situ, tetapi dia meminang dan mengawini Masrurah (mantan istri Raja Bingei) tersebut. Dengan wafatnya Raja Bingei, lalu Sultan Musa pun melamar Masrurah, dan Masrurah menerima lamarannya dengan satu syarat permintaan, yaitu; “Kalau nanti suatu saat lahir anaknya laki-laki, maka Sultan harus mempersiapkan dan mengangkatnya menjadi raja. Permintaan pun ini dikabulkan oleh Sultan Musa, maka pernikahan yang meriah pun dilangsungkan.

44 Skema sederhana komposisi keluarga Sultan Musa adalah sebagai berikut:1

Pernikahan T. Amir HAmzah dan Tengku Kamalia

B. Masa Puncak Kejayaan: Masa Kepemimpinan Sultan Abdul Aziz Ada dua alasan tentang pengangkatan Abdul Aziz menjadi sultan oleh ayahandanya Sultan Musa. Pertama, Abdul Aziz adalah anak yang terlahir dari kedua ayah dan ibunya bergelar Tengku (perkawinan Ghara). Sesuai

1Hasil wawancara dengan Zainal Ak. (Budayawan Kabupaten Langkat) pada hari Rabu tanggal 15 Agustus di rumahnya.

45 dengan kebijakan baru yang dibuat oleh Sultan Musa, maka ia memenuhi syarat untuk menjadi sultan. Kedua, Sultan Musa memiliki hak veto untuk mengangkat anak kandungnya yang mana ditentukan menjadi raja, ternyata ia menginginkan Abdul Aziz untuk diangkat menjadi raja. Sejak dari awal pernikahan Sutan Musa dengan Masrurah, Masrurah sudah mempersyaratkan terlebih dahulu tentang keinginannya untuk menjadikan anaknya yang akan lahir nanti dari perkawinan mereka, jika ternyata laki- laki harus dijadikan menjadi Raja. Dengan hal ini Sultan Musa bersikukuh dengan keinginannya untuk menjadikan anak kandungnya dari istri ketiga ini, yaitu Abdul Aziz menjadi Raja. Sehubungan dengan usianya yang sudah tua, Sultan Musa mengangkat anaknya Tengku Abdul Aziz sebagai penggantinya. Meskipun Abdul Aziz masih terbilang cukup muda, pada tahun 1892 Sultan Musa menyampaikan kehendaknya tersebut kepada seluruh keluarga dan rakyat kerajaan. Pada tahun tahun 1893 Sultan Musa secara resmi mengangkat anaknya Tengku Abdul Azis menjadi sultan dengan gelar Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahkmatsyah. Untuk selanjutnya Sultan Musa lebih memperbanyak ibadah, dalam hal ini memilih bersuluk di Pesantren Naqsabandiyah “Babussalam” yang didirikan oleh Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan karena konon kabarnya bahwa Sultan Musa adalah saudara satu susu dengan Syekh Abdul Wahab itu, meskipun asalnya dari Siak.

Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan

46 Mengingat usianya yang masih muda, Sultan Abdul Aziz belum dapat menjalankan pemerintahan secara sempurna. Sultan Abdul Aziz masih memerlukan pihak lain untuk menopang kekuasaannya, dalam hal ini ia dibantu oleh abang-abangnya, di antaranya; Tengku Sulung dan Tengku Hamzah. Berkat kerjasama ini, dan atas pantauan Sultan Musa maka kerajaan tetap berjalan dengan baik. Setelah waktu berjalan selama 3 (tiga) tahun, tepatnya pada tahun 1896, Sultan Abdul Azis pun dilantik secara resmi oleh Residen dan dinyatakan sudah mandiri. Sultan Abdul Aziz dipahami telah siap untuk mandiri melaksanakan tugas kesultanannya. Kebijakan awal yang dilakukannya adalah memberikan perhatian khusus terhadap daerah Pangkalan Berandan. Daerah ini dipandang semakin penting dengan adanya sumber minyak di sana, maka Sultan menganggap perlu menumbuhkan Luhak ketiga yang baru. Diambil dari Luhak Langkat Hilir daerah-daerah Besitang, Pulau Kampai, Pangkalan Berandan dan Lepan dan dijadikan masuk Luhak Teluk Haru dengan kedudukan Pangkalan Berandan dan ini dipimpin oleh putra dari Tengku Sulung. Tengku Sulung sendiri minta berhenti sebagai kepala Luhak Langkat Hulu dan ia digelar Mangkubumi. Sebagai gantinya di Langkat Hulu diangkat Tengku Adil putra dari Tengku Hamzah. Kondisi Kesultanan Langkat pada saat peralihan dari Sultan Musa (seorang ayah) kepada anaknya Sultan Abdul Aziz (1897 – 1927 M.) cukup maju. Situasi politik Kesultanan Langkat saat diawali oleh Sultan Abdul Aziz dalam pemerintahannya cukup terkendali, situasi Pendidikan baik, keagamaan cukup baik, bahkan kondisi ekonomi kuat. Secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi Kesultanan langkat berjalan dengan cukup meyakinkan. Kenyataan ini menjadi modal awal yang sangat berharga bagi Sultan Abdul Aziz untuk lebih memajukan kesultanan Langkat pada masa berikutnya. Puncak kejayaan Kesultanan Langkat diraih pada masa Sultan Abdul Aziz. Situasi yang cukup membanggakan yang diwariskan oleh pendahulunya disempurnakan oleh Sultan Abdul Aziz dengan sangat baik, tidak membutuhkan waktu yang cukup lama, Abdul Aziz telah dapat memoles

47 keberhasilan yang sudah dicapai sebelumnya, dan membuat stimulus kesuksesan sehingga kemajuan itu lebih berdaya guna dan berkesinambungan. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Aziz, Asisten Residen berkedudukan di Tanjung Pura, dijabat oleh Asisten Residen yang disebut Controuler Luit Willer sampai tahun 1903 M. Hindia Belanda (Nederlandsche- indie) yang dikuasai langsung oleh Belanda, diperintah secara sentralistis sesuai ketentuan yang diatur dalam Regering Reglement (RR) 1854 M. Secara administratif daerah Hindia Belanda dibagi atas beberapa tingkatan wilayah yang diperintah oleh Pangreh Praja Eropa.2 Meskipun kesuksesan ini bukan sebagai kesuksesan yang berdiri sendiri, tetapi kelanjutan yang sudah dipancangkan oleh ayahnya, akhirnya pohon Kesultanan Langkat ini tumbuh subur dan berbuah dengan sangat lebat dan menggiurkan. Kejayaan ini terlihat juga pada urusan keluarganya. Sultan Abdul Aziz memiliki istri yang banyak, yaitu 10 orang, dari istri-istrinya ini, Dia memiliki23 orang anak, kemudian dari mereka ini telah melahirkan 97 orang cucu. Anak keturunan yang banyak ini dia harapkan akan memperkokoh Kesultanan Langkat pada masa sesudahnya. Sultan Abdul Aziz adalah seorang sultan yang ahli dalam ilmu pemerintahan. Terpancar darinya kepribadian positif, perduli terhadap sesama, dan memerhatikan rakyatnya. Ia menjabat sebagai sultan dengan mengembangkan usaha-usaha yang telah dilakukan oleh ayahnya Sultan Musa, yaitu mengembangkan kebijakan politik, ekonomi, pendidikan, dan keagamaan. Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Langkat mencapai puncak kejayaannya. Tidak heran kalau pada masa ini kejayaan Kesultanan Langkat tersohor ke seluruh dunia. Sultan Abdul Aziz mangkat pada tahun 1927 M. Wafatnya beliau sekaligus digantikan oleh anaknya Sultan Mahmud sebagai Sultan pada masa sesudahnya. Era keemasan yang diraih oleh Sultan Abdul Aziz ini hanya berlangsung pada masanya, secara perlahan keemasan ini turut

2 Eko Hendramawan Sembiring, Sejarah Kota Tanjung Pura Tahun 1896-2014, Skripsi, hlm. 28-29.

48 bergeser seiring bergantinya kepemimpinan kesultanan. Dengan demikian berakhirlah kisah golden age Kesultanan Langkat di tangan Sultan Mahmud dan sultan-sultan sesudahnya. Pada masa kepemimpinan Sultan Abdul Aziz, Kesultanan Langkat mencapai puncak kemakmuran. Pada tahun 1897 M, Sultan Abdul Aziz membangun istana baru yang bernama “Darul Makmur” terletak di Kota Baru yang berlokasi di depan istana Sultan Musa.3 Untuk memajukan pemerintahannya Sultan Abdul Aziz menerapkan beberapa kebijakan. Kebijakan yang dibuat oleh Sultan Abdul Aziz pada dasarnya diadopsi dari kebijakan Sultan Musa, namun sebagian besar diperbarui sehingga kebijakan tersebut semakin berkembang. Kebijakan- kebijakan tersebut antara lain:

1. Kebijakan Politik

Kantor Kerapatan di Binjai 19334

Kebijakan politik Sultan Abdul Aziz dapat dilihat dengan adanya hubungan kerjasama internal dan eksternal. Hubungan kerjasama internal

3Sulaiman Zuhdi, Langkat Dalam Kilatan Selintas Jejak Sejarah dan Peradaban, hlm. 106. 4https://visit langkat.wordpress.com/2014/10/02/sejarah-kerajaan-langkat/. Diakses tanggal 30 Agustus 2018.

49 yaitu hubungan kerjasama yang dijalin antara Kesultanan Langkat dengan kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Kesultanan Langkat, seperti Kejeruan Bingai, Kejeruan Stabat, Kejeruan Bahorok, Kejeruan Selesai, Kedatukan Besitang, Kedatukan Terusan/Pantai Cermin, Kedatukan Hinai, Kedatukan Padang Tualang, Kedatukan Pulau Kampai, Kedatukan Sei Lepan, Kedatukan Salapian,Kedatukan Punggai, Kedatukan Secanggang, Kedatukan Sei Bingei, dan Kedatukan Salahaji.5 Pada awalnya hubungan Kesultanan Langkat dengan kerajaan- kerajaan kecil sudah baik. Oleh karena itu, Sultan Abdul Aziz menjalin kembali hubungan tersebut agar kerajaan-kerajaan tersebut tetap berada dalam kedaulatan Kesultanan Langkat dan dapat membantu pemerintahan Kesultanan Langkat. Hubungan kerjasama internal yang terjadi membuat masyarakat Langkat menjadi masyarakat yang majemuk. Tidak hanya berasal dari etnis Melayu, akan tetapi ada etnis Batak, Karo, Jawa, dan lain sebagainya di wilayah Kesultanan Langkat. Selain itu, dengan dibukanya perkebunan dan tambang minyak di wilayah Langkat, terjadilah urbanisasi secara besar-besaran ke wilayah Tanjung Pura (pusat pemerintahan Kesultanan Langkat) untuk menjadi buruh kontrak. Hubungan kerjasama eksternal yaitu menjalin hubungan baik dengan Belanda, dimulai dari kontrak politik Sultan Langkat dengan Belanda yakni mengizinkan Belanda menjalankan pemerintahan yang otonom dan menjalankan kekuasaan hukum berdasarkan bentuk aristokrasi Melayu sepenuhnya. Hal ini kemudian membuat sultan mengizinkan pihak Belanda untuk mendirikan kantornya di Tanjung Pura sehingga apabila terjadi kekacauan di wilayah Kesultanan Langkat maka pihak Belanda bersedia membantu sultan kapanpun sultan minta. Bentuk awal kerjasama itu diawali ketika Belanda ingin menguasai seluruh wilayah Nusantara termasuk Pulau Sumatera. Belanda menandatangani perjanjian dengan Raja Langkat pada tanggal 21 Oktober 1865 M.6

5M. Kasim Abdurrahman, Studi Sejarah Masjid Azizi Tanjung Pura-Langkat-Sumatera Utara, hlm. 24. 6Sulaiman Zuhdi, Langkat Dalam Kilatan Selintas Jejak Sejarah dan Peradaban, hlm. 222.

50 2. Kebijakan Pendidikan Dalam bidang pendidikan Sultan Abdul Aziz membangun beberapa madrasah-madrasah untuk mempelajari ilmu agama, salah satu bukti peninggalannya saat ini yaitu Masjid Azizi yang dulunya merupakan tempat bermusyawarah dan tempat untuk melakukan kajian agama Islam. Selain itu ialah lembaga Jam’iyyah Mahmudiyyah yang masih berdiri hingga sekarang. Beberapa tokoh nasional banyak yang belajar di sana, salah satunya adalah Adam Malik (wakil presiden RI). Di samping pendidikan agama Islam, Sultan Abdul Aziz juga membangun sekolah umum bagi masyarakat Langkat, yaitu HIS (Hollandsch Inlandsche School) yang dibentuk berdasarkan kerjasama dengan Belanda dan Sekolah Melayu. HIS dan Sekolah Melayu pada umumnya hanya menyajikan materi-materi pelajaran umum. Pada tahun 1900 M, Sultan Abdul Aziz mendirikan Sekolah Rakyat 7 tahun “Langkatsche School”, gurunya didatangkan dari Nederland, yang bernama J.F. Itterson, tahun 1814 M digantikan oleh Hensius dibantu Mevrouw Hensius Zoniville dan W.F.Th. Eygelsheim, guru khusus bahasa Melayu B.R. Sojuangan, dan juga didirikan Sekolah Rakyat, 5 tahun dan 3 tahun di beberapa tempat.

3. Kebijakan Keagamaan Wilayah Langkat dijuluki sebagai kota Islam, karena mayoritas penduduknya menganut agama Islam, sehingga sangat kental akan budaya Islamnya. Dalam penerapan syariat Islam, Kesultanan Langkat memiliki guru-guru agama yang sekaligus dijadikan sebagai penasihat sultan untuk dimintai pendapatnya berkaitan dengan permasalahan hukum Islam. Dalam sistem kehidupan masyarakat Melayu, seluruh warganya terikat dengan Adat Resam Melayu. Adat ini sebagian besar dipengaruhi oleh agama Islam. Kegiatan keagamaan Kesultanan Langkat dapat dilihat dengan adanya Masjid Azizi dan Tarekat Naqsabandiyah. Masjid Azizi dibangun dengan sangat megah dan menjadi simbol kebanggaan rakyat Kesultanan Langkat. Dengan dibangunnya Masjid Azizi yang megah pada waktu itu, kita dapat melihat kekayaan negeri Langkat pada masa pemerintahan Sultan Abdul Aziz berkuasa.

51 Dinamika keagamaan yang begitu kuat, dapat dilihat dengan keberadaan Kota Babussalam sebagai pusat kegiatan Tarekat Naqsabandiyah. Pusat tarekat tersebut muncul dan berkembang menjadi sebuah simbol keagamaan pada masa tersebut dan bahkan sampai saat ini. Tarekat Naqsabandiyah di Langkat didirikan dan dikembangkan oleh Syekh Abdul Wahab Rokan. Dalam kegiatan keagamaan seperti tarekat Naqsabandiyah, memberikan pengaruh yang cukup kuat, yakni membuat masyarakat mengerti akan hukum-hukum Islam.7 Selain itu, dengan ikut sertanya sultan dan beberapa pembesar kerajaan dalam kegiatan Tarekat tersebut membuat masyarakat juga ikut dalam kegiatan tarekat tersebut. Masyarakat menjadi simpati dan hormat kepada sultan, karena sultan dapat memberikan contoh yang baik untuk membawa masyarakat kepada ajaran Islam, sehingga pemikiran masyarakat Langkat saat itu tidak kolot dan fanatik terhadap hukum adat. Dengan kebijakan keagamaan yang telah dibentuk dan dikembangkan oleh Sultan Abdul Aziz, membuat Kesultanan Langkat menjadi masyhur dan semakin diminati oleh para pencari ilmu agama Islam (Tarekat Naqsabandiyah) dan para wisatawan yang ingin melihat kemegahan Masjid Azizi. Bahkan kemegahan Masjid Azizi tidak pernah luntur dan selalu menjadi konsumsi wisatawan yang ingin berkunjung ke wilayah Langkat saat ini. Selain itu, masyarakat Kesultanan Langkat dikenal sebagai masyarakat yang agamis dan berpedoman pada syariat Islam. 4. Kebijakan Ekonomi

Stasiun Kereta di Besitang

7Di dalam tarekat, termasuk Tarekat Naqsabandiyah, perjalanan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dilakukan dengan cara menyucikan diri atau perjalanan

52 Kebijakan ekonomi Kesultanan Langkat masa Sultan Abdul Aziz tidak lepas dari hubungan kerjasama eksternal dengan Belanda. Kekuasaan pemerintahan kolonial di Kesultanan Langkat telah merubah sistem dan berdampak pada kebijakan ekonomi. Dominasi pemerintahan kolonial dapat dilihat dari dibukanya perkebunan-perkebunan dan pertambangan minyak. Keberadaan perkebunan dan pertambangan minyak menambah pemasukan bagi Kesultanan Langkat melalui pembayaran izin konsesi yang dilakukan pemerintah Belanda dengan sultan dan bangsawan kerajaan. Bentuk kerjasama yang dilakukan oleh sultan dengan pihak Belanda maupun kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Kesultanan Langkat, membuahkan hasil dan semakin maju dengan pesat. Hal itu kemudian dapat membantu masyarakat yang kekurangan. Sultan juga membangun fasilitas-fasilitas umum untuk membantu masyarakat. Fasilitas-fasilitas itu diberikan secara gratis oleh sultan untuk rakyatnya, seperti Rumah Sakit dan pendidikan. Di samping itu, dengan banyaknya masyarakat dari etnis lain yang datang dan menetap di wilayah Kesultanan Langkat, membuat eksistensi masyarakat Melayu Langkat semakin menyempit, seperti dalam hal perdagangan digantikan oleh etnis Tionghoa. Dengan berkembang pesatnya perkebunan dan perminyakan di wilayah Kesultanan Langkat, hal ini kemudian membutuhkan tenaga kerja dari luar, seperti Cina, Penang, Singapura, India. Selain itu juga mendatangkan buruh-buruh dari Pulau Jawa.8 Terwujudnya Kerajaan Langkat dan Tanjung Pura sebagai negeri yang kaya raya ditopang oleh kegiatan ekonominya yang bergerak di bidang maritim dan agraris. Kerajaan Melayu ini juga terkenal sebagai daerah

yang harus ditempuh oleh seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah yang dibina dengan cara taubat, uzlah (pengasingan diri), zuhud, takwa, kanaah (bagian dari sikap zuhud yaitu merasa cukup dengan apa yang dimiliki), dan taslim (berserah diri). Lihat Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Langkat, Biografi Ulama Langkat Syekh Abdul Wahab (Tuan Guru Babussalam), hlm. 24 dan Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid 4 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), hlm. 8. 8Sulaiman Zuhdi, Langkat Dalam Kilatan Selintas Jejak Sejarah dan Peradaban, hlm. 100.

53 yang kaya akan tambang dan perkebunan. Aktivitas perdagangan yang pesat di Selat Malaka juga menjadi faktor pendorong bagi masyarakat Langkat untuk ikut andil dan berperan aktif dalam kegiatan perdagangan internasional tersebut.9 Di bidang agraris, komoditas yang dihasilkan adalah hasil hutan dan perkebunan, seperti kayu, rotan, kamper, sawit, pala, dan lain-lain. Komoditas lain yang juga dihasilkan di Langkat adalah lada putih. Aktivitas perekonomian Langkat pada masa itu tidak hanya berorientasi pada perdagangan di Selat Malaka, namun mereka juga telah menjalin kerja sama dalam hal perdagangan dengan Kerajaan Aceh. Aktivitas perdagangan tersebut terjadi di Sungai Wampu. Adapun sistem perkebunan, baru dijalankan ketika Belanda berekspansi ke Langkat.

C. Bukti Kejayaan Kesultanan Langkat Banyak bukti kejayaaan Kesultanan Langkat di masa silam yang menjadi warisan dan situs budaya di kerajaan langkat yang bisa dilihat sampai saat ini. Beberapa bukti tersebut adalah;

1. Masjid Azizi

Masjid ini dibangun oleh Sultan Abdul Aziz. Pembangunan masjid ini dilakukan oleh Abdul Aziz atas wasiat orang tuanya Sultan Musa yang belum sempat mengimplementasikan pembangunannya. Sejak semula

9Nurhairina, “Dampak Pemerintahan Kolonial Belanda terhadap Perubahan Ekonomi Kesultanan Langkat”, Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, tidak

54 pembangunan masjid ini sudah direncanakan, dan akan berdampingan dengan Rumah Suluk Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan yang barusan dibangun di tempat ini, namun kerena sultan keburu wafat maka pembangunan masjid ini ditindaklanjuti oleh Sultan Abdul Aziz.10 Pembangunan masjid ini dilakukan oleh Sultan Abdul Aziz dengan biaya sendiri. Banyak pembesar kerajaan yang menawarkan untuk membantu pembangunan masjid ini, akan tetapi kerena sikap kemandirian Sultan Abdul Aziz dan mengingat wasiat orang tuanya, dan berkeyakinan bahwa ini adalah amanah orang tuanya yang harus diwujudkannya, maka kalau ada pihak yang ingin berpartisipasi untuk membantu secara finansial dia memberi kesempatan pada kegiatan lain dalam pembangunan sarana dan prasarana kemasyarakatan yang ada di Kesultanan Langkat yang segera aka ada lagi nantinya setelah pembangunan masjid ini selesai. Dengan hal ini dia menolak tawaraan para donatur-donatur tersebut. Salah satu kebanggaan masyarakat Langkat yang ada sampai saat ini adalah Masjid Azizi. Masjid Azizi ini dibangun pada masa Sultan Abdul Aziz, sesuai dengan Namanya Sultan Abdul Aziz maka dibuatlah nama masjid ini dengan Masjid Azizi. Masjid ini menjadi istimewa karena didesain oleh seorang arsitektur Jerman dengan menonjolkan masjid bergaya perpaduan Ottoman Turki dengan Hindia. Sebenarnya awal mula pembangunan masjid ini dalam tarap yang masih sederhana sudah dimulai pada masa Sultan Musa, namun selesai dan peresmiannya baru dilaksanakan pada masa Sultan Abdul Aziz pada tahun 1902 M. Masjid ini mampu menampung ribuan orang, dan menjadi lebih istimewa lagi, karena di samping kanan sebelah depan dibangun Menara setinggi 35 meter, dan juga sebuah perpustakaan yang bernama “Balai Pustaka Tengku Amir Hamzah”. Berbeda halnya dengan masjid pada umumnya, masjid ini menggunakan bahan-bahan bangunan dari luar negeri. Di samping desainernya orang luar, juga bahan-bahan yang diperlukan pun didatangkan diterbitkan, hlm. 24. 10https://visit langkat.wordpress.com/2014/10/02/sejarah-kerajaan-langkat/. Diakses tanggal 30 Agustus 2018.

55 dari luar negeri. Hampir semua bahan bangunannya didatangkan dari luar negeri, terutama Itali sebagai negara maju saat itu, kapal-kapal sultan itu berkali-kali singgah di Penang, kemudian ke Pelabuhan Tanjung Pura (sekarang lokasi itu sudah menjadi perumahan, persisnya di depan kantor koramil) untuk membongkar bahan bangunan yang dibawa dalam rangka membangun masjid tersebut, akhirnya masjid ini selesai, berdiri kokoh dan megah, sampai sekarang masjid ini terlihat khas dan memiliki keistimewaan pada orisinilitasnya, masjid ini masih terjaga dengan baik. Kehadiran masjid ini dimaksudkan sebagai masjid induk termegah dan terbaik di seluruh Kesultanan Langkat, dan hal itu terbukti sampai saat ini. Belakangan terjadi kesulitan untuk mengganti bahan bangunan masjid tersebut. Setelah berjalan masa sampai waktu yang lama, suatu ketika ada yang jatuh ke lantai mengakibatkan marmarnya pecah maka sulit untuk mencari penggantinya, akhirnya terpaksalah dicarikan saja marmar biasa yang mirip dan ada di Indonesia ini lalu dipasang untuk mengisi tempat yang rusak tersebut. Terjadilah ketidak serasian lantai marmar masjid dengan penggantian marmar lokal yang tersedia dengan apa adanya tersebut. Perbandingan masjid Azizi Kesultanan Langkat lebih cantik dibanding dengan Masjid Nabawi Medinah. Suatu ketika Sofyan Saha berkhutbah di Masjid Azizi, dan dia menyampaikan dalam khotbahnya bahwa pada masa 100 tahun yang lalu masjid Azizi masih lebih cantik dibanding dengan masjid Madinah. Pada masa itu adalah masa kejayaan Kerajaan Langkat, hasil tambang minyak sudah melimpah di Langkat ini, dan masjid Azizi masih barusan dibangun dan menjadi pusat perhatian Sultan Langkat, sementara masjid Madinah belum ada perhatian yang besar dari pihak Pemerintah, dan ladang minyak belum dijumpai di Saudi pada masa ini, maka belum ada pembangunan besar-besaran untuk masjid Nabawi Madinah. Hal ini mengantarkan kesimpulan bahwa pada masa tersebut masjid Azizi lebih bagus dari masjid Nabawi di Madinah.11

11Hasil wawancara dengan Drs. Mukhlis, MA., mantan Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Jamaiyah Mahmudiyah, di kantornya pada hari Selasa tanggal 10 Juli 2019.

56 Dalam rangka memperkokoh pemerintahan dalam bidang agama, maka selain masjid Azizi dibangun pula masjid-Masjid yang megah di setiap daerah penyangga kekuasaan. Pada saat ini dibangunlah masjid Stabat yang berjarak sekitar 18 Km. dari Pusat Kesultanan Langkat di Tanjung Pura, kemudian masjid Selesai di ibu kota Kecamatan Selesai (sekarang) yang berjarak sekitar 30 Km. dari Stabat, atau sekitar 48 Km. dari Tanjung Pura, demikian juga Masjid Babalan Kec. Babalan (Sekarang) di Pangkalan Brandan yang berjarak sekitar 45 Km. dari Stabat, atau 33 Km, dari Tanjung Pura. Demikian juga masjid Binjai, dan daerah-daerah penting lainnya di Kesultanan Langkat.

2. Tempat Pendidikan: Madrasah Jam’iyah Mahmudiyah Setelah selesai pembangunan masjid Azizi tersebut maka dilanjutkan lagi dengan pembangunan madrasah Jam’iyah Mahmudiah. Sehubungan dengan janjinya telah terlaksana, yaitu pembangunan masjid Azizi secara mandiri, maka Sultan Abdul Aziz memberi peluang kepada donator unuk turut memdukung pembangunan yang lain maka, untuk hal ini Dia merencanakan pembangunan madrasah Jam’iyah Mahmudiyah yang melibatkan donator. Sultan Abdul Aziz membangun madrasah ini dengan menggelontorkan dana sebesar 40 % dari total rencana dana keseluruhan. Sisa 60% diberi peluang kepada pihak yang ingin membantu untuk berwakaf dalam rangka penyelesaian madrasah tersebut.

Sekolah Jam’iyah Mahmudiyyah (Foto diambil ketika wawancara ke Madrasah Jamaiyah Mahmuddiyah Tanjung Pura)

57 Madrasah Jam’iyah Mahmudiyah dibangun pada tahun 1912. Suatu ketika, di tahun 1937 dilaksanakanlah ulang tahun Jamaiyah yang ke-25 ataupun jebelium yang ke-5, berarti 1937 dikurangi 25 sama dengan 1912, dan inilah saat berdirinya Jam’iyah. Pada waktu itu yang menjadi sultan di kesultanan Langkat adalah Sultan Abdul Aziz, dan dia hadir dalam acara tersebut. Peristiwa ini bertepatan pada hari Jumat, dari Jamaiyah yang sesungguhnya bersebelahan, dia berangkat ke masjid untuk menunaikan shalat Jumat, dia diantar oleh para siswa yang waktu itu sudah mencapai jumlah 1500 orang. Untuk memeriahkan jebelium atau ulang tahun tersebut maka diadakan tahlilan, bukan yang lain-lain. Sedang di masjid pada waktu itu tidak ada pengeras suara, tetapi di atas Menara itu ada empat orang tukang azan dengan suara yang kuat maka panggilan shalat itu kedengaran sampai jarak yang cukup jauh. Ini adalah gambaran tentang betapa besarnya perhatian sultan terhadap agama, sekaligus menempatkan dia sebagai tokoh agama dan tokoh Pendidikan yang sangat perduli.12 Pada masa ini pulalah di bangun Jam’iyah Mahmudiyah. Jamaiyah Mahmudiyah ini adalah nama terhadap Lembaga Pendidikan Agama yang didirikan oleh Sultan Abdul Aziz di Kesultanan Langkat. Jamaiyah ini telah berperan banyak dalam mencerdaskan anak bangsa bukan hanya di Langkat semata, tepi juga di Nusantara dan manca negara. Di sinilah tempatnya para santri menggali ilmu dari para ulama besar yang senantiasa berkarya. Selanjutnya untuk Pendidikan umum, Sultan Abdul Aziz membangun juga Lembaga Pendidikan Holland Indonesian School (HIS), dan juga Sekolah Melayu, Europese Logare School (ELS), serta untuk anak-anak keturunan Cina didirikan Holland Chinese School (HCS). Semua ini menjadi bukti sejarah tentang keperdulian Sultan Abdul Aziz terhadap Pendidikan semua pihak dengan tanpa memandang etnis dan agama para rakyatnya. Sebelum pemerintahan Sultan Abdul Aziz sekitar tahun 1900-an, Kesultanan Langkat belum memiliki Lembaga pendidikan formal sama sekali. Secara umum, pendidikan masih berjalan secara tidak formil dan tidak

12Sementara sekarang ini saja pun kondisi pelajar di Jamaiyah ini hanya berjumlah 1600 orang., hasil wawancara dengan Drs. Mukhlis, MA., mantan Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Jam’iyah Mahmudiyah, di kantornya pada hari Selasa tanggal 10 Juli 2018.

58 terkordinir, Pendidikan lebih banyak dilakukan dengan mengundang guru ke istana dengan tanpa kurikulum yang jelas. Tradisi seperti ini berlngsung sampai pada masa awal kekuasaan Sultan Abdul Aziz. Salah satu kemajuan Pendidikan adalah dengan adanya pembaharuan yang dilakukan oleh Sultan Abdul Aziz. Ia mulai membangun lembaga pendidikan formal yang dinamakan maktab (madrasah) yang menjadi sarana pendidikan agama bagi masyarakat Langkat. Madrasah Al-Masrurah didirikan pada 1912, Madrasah Aziziah tahun 1914 dan Madrasah Mahmudiyah tahun 1921. Dengan adanya masdrasah-madrasah tersebut, Langkat menjadi tujuan pendidikan para santri. Bukan hanya masyarakat Langkat yang belajar di tempat ini, tetapi juga banyak santri yang datang dari luar daerah, seperti Riau, Jambi, Tapanuli, Kalimantan Barat, bahkan dari luar negeri, seperti; Brunei, Malaysia, dan daerah lainnya. Pada awalnya madrasah (maktab) ini hanya disediakan untuk anak- anak keturunan raja dan bangsawan saja, namun pada perkembangannya maktab ini memberikan kesempatan kepada siapa saja yang berminat untuk belajar dan menuntut ilmu di tempat ini. Beberapa tokoh Nasional yang pernah belajar di maktab ini antara lain adalah Tengku Amir Hamzah (Penyair Nasional) dan Adam Malik (politisi dan mantan Wakil Presiden RI). Al-Masrurah sebagai contoh, termasuk lembaga pendidikan modern terbaik pada masa itu. Al-Masrurah telah didesain sebagai Lembaga Pendidikan Modern, anak-anak diinapkan di tempat ini, setiap anak memiliki kamar sendiri, sistem pendidikan yang dijalankan di sini sama dengan sistem pendidikan umum di Inggris, di mana anak laki-laki usia 12 tahun mulai dipisahkan dari orang tua mereka untuk tinggal di kamar-kamar tersendiri dalam suasana yang penuh disiplin. Fasilitas olah raga tersedia, seperti lapangan bola, kolam renang, dan lain sebagainya telah disediakan secara memadai oleh Sultan. Belakangan ketiga lembaga pendidikan tersebut disatukan namanya menjadi Jam’iyah Mahmudiyah. Dalam rangka upaya peningkatan pendidikan di tempat ini, pada tahun 1923 Jam’iyah Mahmudiyah telah memiliki 22 ruang belajar, 12 ruang asrama, dan di luar fasilitasyang secara

59 langsung untuk kepentingan belajar, tersedia pula fasilitas pendukung lainnya seperti adanya 2 buah aula, sebuah rumah panti asuhan untuk yatim piatu, kolam renang, lapangan bola dan lain sebagainya. Dengan demikian dipahamai bahwa Jmaiyah Mahmudiah telah tampil sebagai lembaga pendidikan yang cukup representatif dan siap untuk mencerdaskan santrinya. Dari aspek mutu Jam’iyah ini dipandang unggul dibanding dengan lembaga pendidikan yang ada pada masa itu. Pada umumnya tenaga pengajar yang ada di sana adalah guru-guru yang pernah belajar ke Timur tengah seperti Mekah, Medinah, dan Mesir. Mereka semua dikirim atas biaya sultan setelah sebelumnya diadakan seleksi untuk itu. Sekitar tahun 1930, santri yang belajar di perguruan ini sudah mencapai sekitar 2000 orang, dan mereka berasal dari berbagai daerah di Nusantara dan mancanegara.

3. Tarekat Naqsabandiyah di Basilam

Persulukan Tarekat Naqsabandiyah di Besilam (Foto diambil ketika Melakukan Penelitian di Kampung Besilam)

Raja-raja Sumatera Timur yang paling kuat keislamannya adalah Kesultanan Langkat. Di tempat ini bukan hanya dibangun masjid megah

60 dan madrasah Jam’iyah Mahmudiyah yang besar dengan bimbingan ulama- ulama terkemuka yang ada pada waktu itu, tetapi dilengkapi juga dengan aspek religiusitas yang dapat menentramkan batin, maka dibangun pulalah pusat tarikat naqsabandiyah di Babussalam yang dikenal luas dan masih eksis sampai saat ini. Ketiga pilar ini menjadi fakta sejarah karya Sultan Abdul Aziz yang luar biasa dan sangat bermanfaat bagi umat sampai saat ini. Sebenarnya, pihak yang turut berjasa dalam menjadikan Kesultanan Langkat dengan identitas tarikat adalah Sultan Musa. Demikian kesohornya tarikat naqsabandi Babussalam Langkat, bukan hanya di Nusantara tetapi juga sampai ke manca negara, dan masih eksis sampai saat ini, maka sesungguhnya di masa awal, Sultan Musalah pihak yang membawa Tuan Guru Tarikat Naqsabandi Syekh Abdul Wahab Rokan ini dari Riau ke Langkat. Sultan Musa sangat dekat dengan Syekh Abdul Wahab Rokan (pembawa tarekat ini dari Riau). Dikabarkan bahwa kedekatan mereka ini tak obahnya mereka saudara kandung, mereka pernah mengadakan sumpah setia antar satu sama lainnya, mereka berikrar dengan ungkapan; “kalau engkau meninggal dunia terlebih dahulu maka saya yang akan mengurusi fardhu kifayahmu (memandikan, mengkafani, menyalatkan dan memakamkannya) demikian juga sebaliknya kalau saya yang meninggal dunia terlebih dahulu maka engkaulah yang mengurusi fardhu kifayah saya”. Keduanya setuju dan berketetapan hati untuk melaksanakannya, dan ternyata Sultan Musalah yang terlebih dahulu meninggal dunia, maka Syekh Abdul Wahab Rokan pun melaksanakan ikrar setianya. Sejarah awal tarekat Naqsabandiyah Babussalam memasuki Kesultanan Langkat adalah pada masa Sultan Musa (1840-1897 M.). Persahabatan yang baik antara Sultan Musa dengan Syekh Abdul Wahab Rokan (tokoh tarikat Naqsabandiyah) memberi peluang masuknya dan menetapnya ulama besar suluk ini mengembangkan ajarannya di Langkat. Perjalanan panjang Syekh Abdul Wahab Rokan dari Rokan, Riau, menelusuri pesisir pantai Timur Sumatera Siak, Tembusai di Riau hingga ke Kerajaan Kota Pinang, Bilah Panai, Asahan, Kualuh, Deli Serdang, akhirnya mengantarkannya ke Langkat. Sultan menyambut dan memberi tempat

61 kepadanya di Besilam. Sebelum ke Besilam, pertama sekali Sultan sudah memberi tempat kepadanya di Tanjung Pura. Semula Tuan Syekh ini sudah membangun Rumah Suluk di sebelah masjid azizi, tepatnya di tempat parkir masjid azizi yang ada sekarang. Di belakang tempat parkir itu dahulu adalah tempat pembakaran Al-Qur‘an (Al-Qur‘an yang usang dan tidak bisa dipakai lagi, karena khawarir akan berceceran maka dilakukan pembakaran), lalu dibuang ke sungai (dahulu di belakang tempat ini ada sungai besar yang menghubungkan satu kampung dengan kampung lain, termasuk Besilam. Dalam rangka kebersamaan ini, Sultan Musa sudah berencana untuk membangun masjid bersebelahan dengan Rumah suluk tersebut. Beliau berwasiat kepada anaknya tentang pembangunan masjid di tempat ini (tempat masjid Azizi sekarang), dia mengatakan; “kalau umurku tidak sampai nanti untuk mengimplementasikan hal ini maka tolong dibangun masjid di tempat ini”. Ternyata, umurnya pendek maka dapat dipastikan bahwa makam Sultan Musa yang ada di sebelah masjid sekarang adalah lebih dahulu ada dari pada masjid dibangun. Dalam memulai kiprahnya, Syekh Abdul Wahab membangun madrasah Babussalam. Untuk mencapai kebahagiaan yang sesungguhnya, dia berkeyakinan harus menciptakan keseimbangan hidup dunia dan akhirat. Dia tidak hanya menganjurkan berzikir dan bersuluk saja, tetapi dia juga membuka lahan pertanian, seperti perkebunan karet, jeruk manis dan lada hitam, juga menggalakkan peternakan, perikanan, bahkan dia juga mendirikan percetakan. Lebih jauh dari itu, Beliau juga ikut dalam perbincangan politik. Lewat tarekat ini, Dia berusaha mengajak umat melewati perjalanan sipiritual yang panjang dengan cara memperbanyak ibadah kepada Allah, instropeksi diri yang tinggi, sampai akhirnya bisa meraih maqam tertentu dalam pencapaian tarekat yang diinginkan, demikian juga Dia berusaha mengajak umat untuk meraih dunia secara maksimal dalam rangka bekal mendekatkan diri kepada Allah Swt., termasuk politik, di antaranya terlihat dari sikapnya mengutus dua orang puteranya ke musyawarah SI di Jawa Pada tahun 1913, kemudian ia mendirikan Syarikat Islam cabang Babussalam yang mana Dia (Syekh Abdul Wahab

62 Rokan) menjadi salah seorang pengurusnya. Raja kesultanan Langkat memberi apresiasi yang besar kepada suluk Besilam ini. Situasi yang berbeda pada pengangkatan pejabat di Kesultanan Langkat ini dibanding dengan pengangkatan pejabat pada tempat-tempat lainnya adalah adanya satu kesestian; “Setiap pejabat yang akan diangkat pada Kesultanan Langkat, apakah dia Datok atau jabatan-jabatan lainnya maka dia harus terlebih dahulu mengikuti suluk selama minimal 2 (dua) minggu (setengah bulan). Hal ini berlangsung terus sampai kesultanan ini berakhir, termasuk Amir Hamzah sebelum dilantik menjadi Raja Muda, dia sudah terlebih dahulu mengikuti suluk tersebut. Suluk tersebut menjadi terapi bathin yang sangat bermakna bagi setiap pejabat. Sultan mengatakan; “Kita tidak khawatir dengan mereka para pejabat yang sudah diangkat, mereka itu telah memiliki mental yang siap, dan mereka akan bekerja dengan baik, karena mereka telah memperoleh terapi batin yang memadai, yaitu kegiatan suluk yang dilaksanakan. Sultan yakin bahwa pembinaan mental lewat suluk ini menjadi terapi terbaik bagi setiap pejabat. Perjalanan spiritual lewat suluk tersebut menempatkan harga mati terhadap pendekatan diri kepada Allah Swt. Apa pun yang ada di alam ini harus ditempatkan statusnya sebagai sarana dalam rangka taqarrub ila Allah (pendekatan diri kepada Allah Swt.). Hilangnya pengaruhinteres lain yang dapat menodai hati umat manusia untuk mengejarkebutuhan sesaat, dan bersifat duniawi menjadi pemicu kinerja pejabat-pejabat tersebut untuk bekerja dengan ikhlas dan maksimal.

4. Kantor Pengadilan Kesultanan Langkat (Land Raad)

Kerapatan Kadhi Kerajaan Langkat (Foto diambil ketika melakukan Penelitian di Tanjung Pura)

63 Land Raad adalah istilah untuk Lembaga Pengadilan Agama yang ada pada masa kolonial Belanda. Pada saat ini rakyat tidak hanya bercerita soal mendapatkan makan dan minum lagi, soal mencari pekerjaan, tidak juga soal mempertahankan hidup dari kesulitan ekonomi semata, tetapi sudah mulai bercerita soal kebenaran, Kebersamaan, Keadilan dan Penegakan hukum. Untuk keperluan ini maka Sultan Abdul Aziz membangun Land Raad untuk pertama kalinya pada Kesultanan Langkat ini yang bertempat di Tanjung Pura, tepatnya berseberangan jalan dengan masjid Azizi. Berdirinya Lembaga peradilan ini benar-benar menjadi indikasi tentang kemajuan Kesultanan Langkat telah dicapai pada masa Sultan Abdul Aziz. Sistem pemerintahan yang ada pada masa ini adalah Kesultanan yang dipahami cenderung memiliki karakter otoriter, di mana sultan ditempatkan sebagai sumber kebenaran. Berbeda halnya dengan apa yang berlaku saat ini, Sultan sebagai pegegang tampuk kekuasaan tertinggi melepas nilai- nilai kebenaran itu untuk diuji oleh pakarnya, diberi kebebasan kepada publik untuk dibedah dan dipertontonkan secara transparan. Akhirnya hukum diputus lewat Lembaga peradilan ini.

5. Ulama-Ulama Besar dan Ternama Pada masa Kesultanan Langkat ada banyak ulama besar yang dikenal dalam sejarah.Di antara mereka ada ulama yang telah lama belajar di Arab Saudi, baik karena disekolahkan oleh Sultan Langkat13 ataupun karena berangkat sendiriatas biaya mandiri. Di antara mereka itu adalah: a. Syekh Mohammad Ziadah Dia adalah ulama besar Kesultanan Langkat. Di samping kedudukannya sebagai mufti Kesultanan Langkat yang senantiasa berfatwa terhadap berbagai hal yang dipertanyakan kepadanya sesuai peristiwa dan situasi

13Ada tradisi Kesultanan Langkat untuk memajukan daerahnya dengan cara merekrut orang-orang pintar untuk belajar ke Timur Tengah, terutama mereka yang aktif mengajar di Jamai‘ah Mahmudiyah., Hasil wawancara dengan Zainal AK, di rumahnya di Pangkalan Berandan Langkat pada hari Rabu tanggal 15 Agustus 2018.

64 yang sedang di hadapi oleh umat, beliau juga menjabat sebagai Pimpinan Madrasah Masrurah (sekolah yang pertama sekali di bangun oleh Sultan yang diperuntukkan bagi anak perempuan), dan juga Kepala Jam’iyah Mahmudiyah (sekolah yang dibangun kemudian oleh Sultan dan diperuntukkan bagi anak laki-laki). Kiprahnya tersebut membuat Namanya dikenal sebagai ulama besar di Kesultanan langkat. Dari segi biografinya, Syekh Mohammad Ziadah dinyatakan lahir di Tanjung Pura Kabupaten Langkat pada tahun 1858 M. Dia lahir dari keluarga hartawan, ayahnya fanatik agama bernama H. Syamsuddin, ibunya juga demikian, bernama Hj. Safiyah. kedua sama-sma penduduk asli dan menetap di Tanjung Pura. Sebagaimana anak-anak pada umumnya, sejak kecil Mohammad Ziadah diasuh oleh kedua orang tuanya. Bersama mereka dia banyak belajar secara tradisional dengan cara berhalaqah, dia belajar Al-Quran, fardhu ain dan sebaginya. Sewaktu umur beliau sudah mencapai 20 tahun, yaitu pada tahun 1878 M. dia melanjutkan studinya ke Mekkah sekaligus untuk menunaikan ibadah haji bersama para hujjaj lainnya. Usai menunaikan ibadah haji maka dia pun bermukin di sana, dia banyak belajar di masjidil haram dan tempat-tempat lainnya. Dikabarkan dia tinggal di sana semasa dengan ulama besar Indonesia syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawy, dan dia belajar di Mekkah ini selama 8 (delapan) tahun. Sejak masih di Mekkah, eksistensinya sebagai seorang ulama sudah mulai diapresiasi. Pada waktu-waktu tertentu, dia sudah mulai dipercaya untuk ikut mengajar di Masjidil Haram, dia menguasai banyak ilmu, di antaranya; Ilmu Tariqat Naqsabandiyah, Matan Alfiyah, Matan Zubad, dan Bahjat al-Tullab. Di samping mengajar, dia tetap belajar untuk memperdalam ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Setelah lama belajar di Mekkah, pada tahun 1886 dia pun menyimpulkan untuk pulang ke Tanjung Pura, Langkat. Ternyata Langkat pada waktu itu belum memiliki madrasah untuk tempat dia mengabdi, tapi ada banyak keluarga, dan sahabat beliau yang tinggal di Malaysia yang membutuhkannya, maka dia pun meninggalkan Tanjung Pura, dan berangkat ke Ipoh, Malaysia. Di sana dia disambut dengan hangat dan

65 berkiprah sebagai seorang ulama. Dia menetap di tempat ini selama empat tahun. Pada tahun 1890 M., Syekh Mohammad Ziadah kembali pulang kampung. Sewaktu Syekh Abdul Wahab Rokan Besilam (guru tarekat) memanggilnya pulang untuk turut berpartisipasi mengajar di Babussalam Besilam, maka dia pun memperkenankannya, lalu dia meninggalkan Malaysia dan memilih tinggal menetap di Tajung Pura langkat. Baru dua tahun dia mengajar di Besilam, lalu di tahun 1892 Sultan Abdul Azis pun memintanya untuk memimpin Madrasah Masrurah Tanjung Pura, belakangan di bangunlah Jamaiyah Mahmudiyah, dan dia juga diminta untuk memimpin madrasah ini. Pada masa Syekh Mohammad Ziadah, dia melakukan modernisasi terhadap sistem Pendidikan pada kedua madrasah ini. Di tempat ini sudah diajarkan Bahasa Arab, Ibnu Aqil (Kitab Nahu), Syarh al- Maqsud (Kitab Sharf), Fathul Mu’in (Kitab Fikih), Addasuqy (kitab Tauhid), Al Jalalain (Kitab Tafsir), Abi Jumrah (Kitab Hadis), Minhajul Abidin (Kitab Tasawuf), Warqat/ lathaif al-Isyarah (Usul Fikih), Assulam (Mantiq), dan Kitab Bayan Jawahir al-Maknun. Kemudian, dia mengatur krikulum dan membuat kelas sesuai tingkatan kemampuan siswa. Madrasah ini berkembang dengan pesat. Sampai suatu ketika santri kedua madrasah ini sudah mencapai 1600 orang, proses Pendidikan pun dibuat dua shift, yaitu ada kelas pagi dan ada pula kelas sore, dan santri pun berdatangan dari berbagai daerah yang ada di Indonesia. Para ulama terkemuka saat itu direkrut menjadi guru, termasuk mendatangkan mereka dari Timur Tengah, di antaranya; 1). Syekh Abdurrahman 2). Syekh Said Ahmad 3). Syekh Said Abu Bakar, dan juga 4). Syekh Ibrahim Al-Hindy. Sultan berkenan menggaji mereka ini dengan cukup mahal sehingga mereka betah untuk mengajar di madrasah ini. Akhirnya Syekh Mohammad Ziadah mengakhiri pengabdiannya. Dia wafat di rumahnya Jalan Sudirman Tanjung Pura pada usia 83 tahun, dia telah berkiprah mengembangkan agama pada Kesultanan Langkat selama 50 tahun, dan dia pun telah melahirkan ulama-ulama besar pula pada masa sesudahnya, di antaranya; Syekh Abdullah Afifuddin, Syekh Abdul Rahim, Syekh Abdul Hamid Azzahid, Ustadz Salim Fakhry, Tuan Kadhi Hasyim

66 ‘Isya, dan yang lainnya. Syekh Mohammad Ziadah pun berangkat dengan damai untuk selamanya.14 b. Syekh H. Abdullah Afifuddin al-Khalidi Beliau adalah ulama terkemuka di Langkat. Dia lahir pada tanggal 3 Maret 1895 di Kabupaten Langkat, termasuk dari keturunan Tuk Ungku Syekh Yusuf Al - Khalidi. Semasa kecil, dia belajar di Madrasah Mahmudiyah Tanjung Pura, disini dia memperoleh ilmu pengetahuan dari; Syekh Muhammad Nur Abdul Karim (Mufti Langkat), Haji Muhammad Noor Ismail (Qadhi Langkat) dan juga Tuan Guru Besilam. Belakangan Sultan Langkat memberangkatkannya untuk studi ke Mekah, kemudian dia juga pergi ke al-Azhar di Mesir. Dia banyak belajar ilmu falak kepada Syekh Al ‘Ala Al Falaki. Di antara teman-temannya semasa adalah Syekh Idris Al Marbawi, Syekh Junid Thoha,dan Syekh Nassir Al Jauhari. Dianya adalah seorang ulama yang pandangannya diterima oleh masyarakat dan kesultanan Langkat, dan dia telah berada pada banyak tempat untuk mewakili ulama Langkat, misalnya pertemuaan Ulama Tanah Melayu dan Sumatera di Singapura pada masa penjajahan Jepang, bahkan dia banyak berjasa dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.15 c. Syekh H. Abdul Hamid Zahid Dia ini adalah ulama langkat yang disekolahkan Sultan Langkat ke Mesir. Semula, orang yang hendak disekolahkan Sultan tersebut adalah abang dari Abdul Hamid Zahid, tetapi karena abangnya ini sudah hendak melangsungkan pernikahan maka ayahnya Abdul Hadi tidak mengizinkan beliau untuk pergi sekolah ke tempat yang jauh, yaitu Mesir, lalu digantikan dengan adiknya Abdul Hamid Zahid. Setelah dia berangkat ke Mesir maka

14http://tenteraislam.blogspot.com/2012/09/mengenal-ulama-terkemuka-sumatera- timur.html., di down-load pada hari Selasa tanggal 28 Agustus 2018. 15http://shahrirkamil.blogspot.com/2015/08/Syekh-abdullah-afifuddin-langkat.html., di down-load pada hari Selasa, tangal 28 Agustus 2018., juga Hasil wawncara dengan cucunya Yaumul Khair, di Jamaiyah Mahmudiyah pada hari Rabu tanggal 15 Agustus 2018, juga Hasil wawancara dengan Zainal AK, di Rumahnya Pangkalan Berandan pada hari Rabu tanggal 15 Agustus 2018.

67 dia menetap di sana selama 10 tahun, sampai suatu ketika di sana dia diberi gelar Zahid. Sepulangnya dari Mesir maka dia aktif mengajar di Jam’iyah dan di tengah masyarakat. Belakangan dia dijeput oleh Daud Brueh dari Aceh untuk dibawa kesana bersamanya, akhirnya dia ikut dan menetap di Aceh sampai suatu ketika karena sakit lalu dia wafat dan dimakamkan di Banda Aceh.16

6. Sumber Minyak Bumi Sumber utama kejayaan Kesultanan Langkat adalah minyak. Pertama kali ditemukan minyak ada di Langkat ini adalah pada tahun 1860 saat itu dikatakan bahwa kadar minyak ada dalam perut bumi Langkat. Di atas keawaman Kesultanan Langkat terhadap pengolahan minyak ini maka dia bermitra dengan Belanda, lalu Belanda bertindak sebagai pihak yang akan mengekplorasi, lalu ditemukanlah minyak bumi tersebut di Telaga Said Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat. Tempat ini terletak di posisi sekitar 110 kilometer barat laut Medan, ibukota Sumatera Utara. Penemu sumur minyak pertama ini adalah seorang warga Belanda bernama Aeliko Janszoon Zijlker, dia seorang ahli perkebunan tembakau pada Deli Tobacco Maatschappij, perusahaan perkebunan yang ada di daerah ini pada masa itu. Penemuan sumber minyak ini merupakan hasil penjejakan yang dilakukan secara sungguh-sungguh. Tindak lanjut berikutnya diawali oleh Zijlker dengan cara menghubungi teman dan para ahli di Belanda untuk mengumpulkan dana dan persiapan guna melakukan eksplorasi lebih lanjut. Setelah permodalan terpenuhi, perizinan pun diurus kepada kesultanan Langkat, maka pada tanggal 8 Agustus 1883 persetujuan dari Sultan Musa sebagai Sultan Langkat pun sudah di tangan. Tak membuang waktu lebih lama, eksplorasi pertama pun dilakukan oleh Zijlker. Untuk pertama kalinya, pada tanggal 17 November 1884 Zijlker telah berhasil memperoleh minyak. Ekplorasi pertama ini telah dapat

16 Hasil wawancara dengan cucunya Usmanidar (guru di Jamaiyah) di Jamaiyah pada hari Rabu tanggal 15 Agustus 2018.

68 menghasilkan minyak bumi, namun jumlahnya masih sangat sedikit meskipun telah menghabiskan waktu yang agak lama. Dia hanya berhasil memperoleh minyak bumi lebih kurang 200 liter, semburan gas pertama kali ini dari sumur Telaga Tiga, membuyarkan harapan untuk mendapatkan minyak yang banyak. Zijlker dan rekannya dengan sungguh-sungguh bekerja terus walau dengan cara berpindah-pindah tempat, kemudian mereka mencoba lagi di Desa Telaga Said. Di lokasi kedua ini juga masih mengalami kendala karena struktur tanah yang keras, akan tetapi kesulitan ini berakhir saat pengeboran sudah mencapai kedalaman 22 meter, maka minyak pun berhasil diperoleh sekitar 1.710 liter pada waktu yang lebih singkat, yaitu 48 jam kerja. Terakhir sewaktu pengeboran sudah mencapai kedalaman 31 meter, minyak pun langsung mengalir deras sehingga diperoleh 86.402 liter. Pada tanggal 15 Juni 1885, sewaktu pengeboran terus dilanjutkan sampai pada kedalaman 121 meter maka muncullah semburan kuat gas dari dalam tanah yang berisi minyak mentah dan material lainnya. Sumur, dengan identifikasi kesuksesan pertama ini disebut namanya dengan Telaga Tunggal I. Inilah sejarah penemuan minyak pertama di Indonesia, dan keberhasilan dunia sejak 26 tahun sebelumnya (pada tanggal 27 Agustus 1859) di Titusville, negara bagian Pensylvania, yang diprakarsai Edwin L. Drake dan William Smith dari Seneca Oil Company. Akhirnya pengelolaan minyak ini dikelola oleh Beteshti Petrolium Maskapai (BPM), yaitu Perusahaaan Perminyakan Belanda. Berkat penemuan ladang minyak ini menjadikan Kesultanan Langkat menjadi kaya raya. Kesultanan Langkat memperoleh pembagian kerjasama yang luar biasa banyak atas semburan minyak yang sungguh banyak ini. Dengan sumur minyak yang ada tersebut menjadikan Kesultanan Langkat ini menjadi jauh lebih kaya dibanding dengan Kesultanan Melayu lainnya yang ada di Sumatera Timur, seperti Kesultanan Siak, Kesultanan Kutai Kartanegara, Kesultanan Bulungan, dan kesultanan lainnya di Indonesia. Kesultanan Langkat menjadi salah satu kerajaan terkaya di Indonesia. Lewat hasil minyak bumi tersebut, Kesultanan Langkat telah berhasil membangun fasilitas Kerajaan. Sultan sudah berhasil membangun banyak masjid, di antaranya; Masjid Azizi Tanjung Pura, Masjid Raya Stabat dan

69 Masjid Raya Binjai, demikian juga membangun sekolah dan madrasah, membayar gaji Nazir masjid, dan guru-guru, dan hakim, bahkan operasional dan pemeliharaan Gedung-gedung pemerintahan dan publik. Termasuk juga ke dalam hal ini, biaya hari-hari besar Islam, seperti bulan Ramadhan, Sultan memberi bantuan ke masjid-masjid, dan memberi sedekah kepada masyarakat kurang mampu. Semua ini dibiayai oleh kesultanan sendiri yang diambil dari dana bagi hasil minyak.

7. Bidang Pertanian Selain dari minyak, Kesultanan Langkat juga mengembangkan usaha pertanian. Kesultanan Langkat dikenal sebagai kerajaan yang memiliki usaha perkebunan yang dapat diandalkan. Di antara usaha perkebunan tersebut adalah sebagai berikut; a. Tembakau Jacobus Nienhuys adalah perintis pertama usaha perkebunan di Sumatera Timur, termasuk Kesultanan Langkat. Bersadar hasil survey yang dilakukan oleh Pengusaha Belanda Jacobus, dia menyimpulkan bahwa tanah di Indonesia Timur sangat cocok untuk usaha perkebunan, terutama tembakau. Untuk kepentingan mendapatkan areal perkebunan yang luas maka dia melobi Sultan Mahmud, lalu pada tahun 1863, dia telah berhasil memperoleh izin mengusahakan tanah perkebunan seluas 4.000 bau (bouw) dari Sultan Mahmud sebagai penguasa Kesultanan Langkat. Jacobus berhasil dalam usahanya. Setelah dia mengolah lahan tersebut dan menanaminya dengan tembakau ternyata hasilnya melampaui dari apa yang diperkirakan sebelumnya, dia berhasil memproduksi daun tembakau pembungkus cerutu yang halus, dan ini sangat mahal harganya di pasaran dunia. Sewaktu dia sudah mengirim ke Rotterdam Belanda, kemudian dijual di pasaran Eropa, ternyata harganya mencapai 48 sen gulden per ½ kilogram. Harga itu naik terus di pasaran Eropah, hingga pada tahun 1865, harganya mencapai 149 sen gulden per ½ kilogram. Van der Wal memberi kalkulasi nilai tinggi terhadap tembakau dari Sumatera Timur, harganya mencapai 4 (empat) kali lipat dari harga daun tembakau

70 Kuba, dan lebih 4 (empat) kali lipat dari harga tembakau Pulau Jawa.17 Keberhasilan usaha Jacobus ini mempengaruhi pengusaha Belanda lainnya, bahkan pengusaha-pengusaha Eropa dan belahan dunia lainnya untuk berbondong-bondong datang ke Sumatera Timur. Tanpa terkecuali pengusaha; Inggris, Perancis, Amerika Serikat, dan Swiss, mulai melirik usaha perkebunan di Sumatera Timur, mereka ingin berinvestasi di Kesultanan Langkat ini dalam rangka mendapatkan keuntungan yang besar dari aspek perkebunan. Hal ini terdukung juga oleh politik ekonomi liberal yang sudah diterapkan kolonial Belanda dan harapan keuntungan pajak sewa tanah yang besar dari Sultan yang akan memberi izin usaha. Kehadiran pengusaha lainnya ke Sumatera Timur ini telah menambah lebih semaraknya lagi usaha perkebunan tembakau di daerah ini. Kal J. Pelzer mengatakan, menginjak tahun 1920-an, usaha perkebunan di Sumatera Timur telah mencapai jumlah yang sangat fantastis luas, dan sangat mencengangkan, perkebunan ini berpusat di sekitar Kota Medan, kemudian terhampar luas pada areal sejauh mata memandang sampai 100 kilometer ke arah timur-laut yang tinggal berbatasan dengan Aceh, demikian juga terhampar luas lagi 100 kilometer ke arah selatan di sekitar pegunungan kecil di balik kota Pematang Siantar, lebih dari itu lagi, terhampar luas lebih dari 200 kolimeter ke arah tenggara, yaitu ke arah dataran tinggi di sekitar Prapat, dan juga Asahan. Realitas ini memperlihatkan betapa daerah Sumatera Timur telah menjadi lautan perkebunan yang sungguh mencengangkan. b. Karet Salah satu usaha pertanian yang dikembangkan oleh Kesultanan Langkat adalah karet. Lewat tangan J. Nienhuys yang datang ke Deli di tahun 1863 adalah sebagai kedatangan pihak Belanda untuk pertama kalinya menetap di Deli dalam rangka mengelola perusahaan perkebunan tembakau, dan selanjutnya dalam rangka memperluas perusahaannya

17William Joseph O’Malley, “Perkebunan 1830-1940: Ikhtisar” dalam Anne Booth, William J.O’Malley, dan Anna Wiedemann (Ed.), Sejarah Ekonomi Indonesia, Terjemahan (Jakarta: Penerbit LP3ES, 1988), 24-25

71 sampai ke Sumatera Timur. Sekitar tahun 1872, Pemerintah Belanda telah membuka perkebunan tembakau di areal Kesultanan Langkat. Dengan pelaksanaan perkebunan di areal Kesultanan Langkat ini maka pajak lahan perkebunan tembakau oleh Belanda ini telah memberi kontribusi besar bagi Kesultanan Langkat.18 c. Kelapa dan kelapa sawit Andalan pertanian lainnya adalah kelapa dan kelapa sawit. Seperti halnya pada perkebunan karet maka pada perkebunan kelapa dan kelapa sawit ini pun, pihak Kesultanan Langkat tetap saja menjadi pihak yang mengutip pajak perkebunan dari Pemerintah Belanda. Perkebunan kelapa dan kelapa sawit ini telah meberi kontribusi berharga bagi kemajuan Kesultanan Langkat. d. Lada Pada tahun 1823, Gubernur Inggris yang berkedudukan di Pulau Penang telah mengutus John Anderson untuk pergi ke Pesisir Sumatera Utara, dan dari catatannya disebutkan bahwa di sana ada sebuah kampung bernama Ba Bingai (Binjai) dengan penghasilan lada yang cukup bagus dan jumlahnya banyak. Sebenarnya sejak tahun 1822 Binjai telah dijadikan salah satu lokasi Bandar/Pelabuhan Kesultanan Langkat, dimasa ini hasil pertanian lada yang ada pada daerah sekitarnya diekspor melalui Pelabuhan ini, dan lada ini berasal dari perkebunan di sekitar Ketapangai (Pungai) sekarang disebut Kelurahan Kebun Lada/Damai. Sejalan dengan hal tersebut, John Anderson yang bertindak sebagai wakil Pemerintah Inggris yang berdomisili di Pineng memberi laporan yang memuat bahwa Kerajaan Langkat adalah suatu kerajaan yang kaya raya. Dia memiliki lada terbaik dunia, dan ekspornya telah mencapai 800.000,- kg atau setara dengan 20.000 pikul untuk satu tahun.

18http://digilib.unimed.ac.id/18328/6/8.%203103121062%20BAB%20I.pdf., di down- load pada hari Selasa tanggal 28 Agustus 2018.

72 8. Hasil Hutan dan tambang Hasil hutan juga menjadi penyumbang besar bagi kejayaan Kesultanan Langkat. Selain dari hasil pertanian, juga ditemui hasil hutan dan tambang yang cukup banyak jumlahnya. Misalnya, rotan, damar, gambir, lilin, kayu pewarna, kanper, dan buah-buahan, bahkan terdapat pula tambang emas.19

D. Masa Kemunduran Kesultanan Langkat Masa kemunduran dan masa berakhirnya Kesultanan Langkat berada di tangan Sultan Mahmud. Tahun 1926 adalah awal mula berkuasanya Sultan Mahmud pada Kerajaan Langkat. Saat ini Sultan Abdul Aziz secara resmi telah menobatkan dan mempermaklumkan bahwa putranya Tengku Mahmud menjadi Sultan Langkat. Sejak saat ini terjadilah peralihan kekuasaan dari kepemimpinan Sultan Abdul Aziz kepada anak kandungnya Tengku Mahmud (Sultan Mahmud). Sultan Mahmud ternyata tidak sebijak ayahandanya Sultan Abdul Aziz. Dia kurang mampu mengayomi masyarakat, manajemen kerajaan berjalan monoton di tangannya, dia hanya meneruskan tradisi dan kebijaksanaan yang sudah berlangsung lama pada masa ayahnya Sultan Abdul Aziz. Penanganan kerajaan yang kurang progressif dan inovatif seperti ini mengakibatkan kerajaan tidak berjalan kearah yang lebih maju lagi, tapi justru kelesuan dan kemunduran yang diperoleh. Salah satu kebijakan yang lahir dari Sultan Mahmud adalah memindahkan pusat kerajaan ke Binjai. Semula, sejak masa kekuasaan Sultan Musa sampai kepada Sultan Abdul Aziz pusat kekuasaan kerajaan ini berada di Tanjung Pura, dengan berbagai pertimbangan yang ada, maka Sultan Mahmud memindahkannya ke Binjai. Untuk keperluan ini, maka di Binjai dibangunlah Singgasana/ istana baru yang berdiri kokoh dan megah hingga terjadinya revolusi sosial pada tahun 1946. Sejak saat ini pusat kekuasaan Sultan Mahmud berada di Binjai. Pada masa kekuasaan Jepang Kerajaan Langkat ini sudah mulai lemah. Masuknya Jepang ditandai dengan melemahnya kewibawaan kesultanan.

19http://digilib.unimed.ac.id/18328/6/8.%203103121062%20BAB%20I.pdf., di down- load pada hari Selasa tanggal 28 Agustus 2018.

73 Hak-hak istimewa mereka dianulir, tanah-tanah yang semula dikuasai Kesultanan beralih ke tangan Jepang, lokasi perkebunan mulai ditanami dengan padi dan jagung. Lewat manajemen Jepang, jelas keadaan ini membawa angin segar bagi kaum buruh, dan petani perkebunan. Banyak dari mereka ini adalah Jawa, Toba, dan Karo, bahkan orang-orang Cina pun turut mengambil lahan perkebunan, menguasai dan menganggap hal itu adalah miliknya sendiri. Ada beberapa banyak yang mempercepat terjadinya revolusi sosial. Pertama, meskipun Jepang melarang kegiatan politik, namun kondisi pemahaman nasionalisme yang sudah mulai dewasa membuat Jepang semakin bertoleransi dengan hal-hal yang bersifat ke-Indonesiaan, dan ini sangat membantu dalam sosialisasi nasionalisme. Kedua, saat Jepang telah minggat dari Indonesia maka terjadilah kekosongan kekuasaan. Pada bulan Oktober 1945, informasi proklamasi kemerdekaan Indonesia sudah kedengaran di Sumatera Timur. Kekosongan kekuasaan ini menjadi celah terbukanya peluang munculnya pergolakan. Semua pihak merasa berhak untuk mengendalikan kekuasaan. Ketiga, pemimpin pergerakan dan sebagian masyarakat memandang bahwa pihak kesultanan yang secara akrab bersama dengan pihak kolonial Belanda dipahami sebagai penghalang perjuangan nasionalisme Indonesia, dan ini harus segera ditumpas. Keempat, masyarakat bawah yang selama ini merupakan objek eksploitasi kolonial Belanda yang berkolaborasi dengan pihak kaum bangsawan/ kesultanan memandang bahwa ini adalah saat yang tepat untuk melepaskan dendam kesumatnyanya yang tertekan selama ini. Kelima, banyaknya organisasi politik yang bermunculan di daerah-daerah, seperti; Serikat Islam, tahun 1918, PKI tahun 1952, dan Gerindo tahun 1937, serta yang lainnya. Semua ini berkumulasi dan saling bersinergi dalam mengerakkan Revolusi Sosial tersebut. Sultan Mahmud terkenal dengan orang yang bersahabat dengan Belanda. Dia malah sudah menjadi kebelanda-belandaan, dikabarkan justru dia suka bersenang-senang, berfoya-foya, dan dia punya hubungan intim dengan perempuan Belanda. Secara fisik Belanda pada masa ini tidak mengancam eksistensi kekuasaan Kesultanan Langkat, namun kilas balik

74 pemahaman yang muncul dari persahabatan tersebut menimbulkan kebencian dari banyak masyarakat. Muncul polarisasi pendapat menyangkut nasib Sumatera Timur saat itu. Di antara opini yang berkembang adalah “pihak Belanda akan datang lagi”. Dugaan akan hal ini menjadi semakin kuat karena pasukan terjun payung sekutu membawa spanduk publikasi yang memperkokoh keyakinan bahwa asumsi ini benar. Suatu hal yang lebih fatal lagi dikabarkan bahwa panitia penyambutan akan datangnya Belanda tersebut sudah terbentuk, dan mereka itu adalah terdiri dari para Sultan. Kedatangan pihak sekutu juga turut menambah semakin hangatnya situasi politik Sumatera Timur. Tidak heran kalau pihak bangsawan (para keluarga Sultan) dipandang berpihak kepada kaum kolonialis dalam rangka mengambil kembali kekuasaan yang sudah pernah mereka miliki sebelumnya. Situasi ini mengantarkan pihak birokrat Melayu semakin terperosok ke dalam posisi yang sulit. Di sisi lain, terdapat polarisasi kelompok nasionalis pejuang kemerdekaan kepada dua pihak, yaitu; Pertama, Kelompok moderat yang terbilang lebih mengupayakan pendekatan kooperatif untuk bisa menyadarkan kaum kesultanan Melayu sehingga di antara sesama anak bangsa akan secara bersama sama memperjuangkan dan membangun Indonesia yang baru saja diproklamirkan. Kedua, kelompok radikal yang lebih mengedepankan cara-cara kekerasan untuk menyelesaikan masalah, mereka ini terdiri dari pada umumnya kelompok generasi muda. Kompleksitas kepentingan inilah yang turut memicu pergolakan tersebut. Sultan Mahmud ini memang terbilang lemah. Dia sakit-sakitan, sehingga dia kurang mampu untuk mengendalikan kerajaan, sehubungan dengan ini Dia mengangkat dr. Amir (orang Padang) sebagai dokter pribadinya, maka pada tahun 1930, dalam rangka memperkokoh eksistensi Dr. Amir sebagai dokter pribadinya dibangunlah Rumah Sakit Tanjung Pura yang ada sekarang, lalu diangkatlah dr. Amir sebagai Kepala Rumah Sakit tersebut untuk pertama kalinya. Sebagai dokter pribadi, belakangan dr. Amir ini sangat dekat dengan Sultan Mahmud. Kedekatannya dengan Sultan Mahmud membuatnya

75 mengetahui banyak hal tentang Sultan Mahmud, sampai-sampai dia mengetahui hal yang pribadi dari Sultan Mahmud. Kedekatan ini menjadi modal baginya untuk lebih banyak berperan pada Kesultanan Langkat. Keaktifan dr. Amir dalam dunia politik membuatnya menjadi pejabat teras di Propinsi Sumatera. dr. Amir diangkat menjadi Wakil Gubernur Sumatera dari Gubernur pertamanya saat itu adalah Tengku Muhammad Hasan. Kedudukan strategis ini membuatnya memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan politik di Sumatera, termasuk untuk Sumatera Timur dan Kesultanan Langkat. Situasi mencekam telah terjadi di Tanjung Balai Asahan. Saat itu adalah pagi hari di tanggal 3 Maret 1946, ribuan masa telah berkerumun dengan semangat bela negaranya. Terdengar kabar bahwa sebentar lagi Belanda akan mendarat di tempat ini, namun tetap saja tidak pernah muncul. Sesaat kemudian, kerumunan massa ini secara cepat dan tiba-tiba menjadi berubah haluan mengepung istana Sultan Asahan. Mereka memang dihadang oleh Tentara Republik Indonesia (TRI) namun karena jumlah mereka yang sedikit, massa berhasil menerobos brikade dan melampiaskan dendam kesumat serta kebencian mereka terhadap simbol-simbol kesultanan tersebut. Besoknya, semua kelompok pria dari bangsawan Melayu Sumatera Timur ditangkap dan dibunuh, di antara mereka itu adalah para penghulu, pegawai didikan Belanda, dan sebagian besar kelas tengku. Kemudian, pada tanggal 8 Maret 1946, Revolusi Sosial menjalar dan berlanjut lagi, bahkan terus memakan korban yang dahsyat. Sultan Bilah dan Sultan Langkat ditangkap lalu dibantai dan terbunuh. Berita yang sangat memilukan memperdengarkan bahwa telah terjadi pekosaan terhadap dua orang putri Sultan Langkat pada malam jatuhnya istana tersebut di tangan kelompok Revolusi Sosial pada tanggal 9 Maret 1946, dan dieksekusinya secara sadis pujangga Nasional kebanggaan bangsa Indonesia Tengku Amir Hamzah. Semua ini mengakhiri riwayat Kesultanan Langkat dalam seketika.19

19Universitas Islam Sumatera Utara, Patologi Sebuah Revolusi: Catatan Anthony Reid tentang Revolusi Sosial di Sumatera Timur, dalam Sudut Sejarah, tulisan, Wara Sinuhaji, Staf Pengajar Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Sastra USU, Edisi No. 23/ Tahun XI/Januari 2007Maret 19461, hlm. 59-60.

76 Perayaan di Kerajaan Langkat20

20 https://visit langkat.wordpress.com/2014/10/02/sejarah-kerajaan-langkat/. Diakses tanggal 30 Agustus 2018.

77 78 BAGIAN KEEMPAT

KESULTANAN LANGKAT DALAM BERBAGAI DIMENSI

A. Dimensi Keagamaan 1. Masuknya Islam di Kesultanan Melayu Islam di kerajaan Melayu tidak terlepas dari proses Islamisasi yang berlangsung di kepulauan Indonesia. Berdasarkan hasil seminar masuknya Islam ke Indonesia di Medan tahun 1963 disimpulkan bahwa Islam masuk pada abad 1 Hijrah atau abad 7-8 Masehi di pantai Sumatra tepatnya di Perlak, Aceh Timur, sedangkan kerajaan Islam pertama berada di Samudra Pasai, Aceh Utara.1 Beberapa faktor penyebab diterima dan masuknya Islam di Indonesia: pertama: peranan yang dibawa oleh para saudagar yang berasal dari Gujarat, Bengal dan Arab yaitu dengan menempatkan diri mereka sebagai penduduk lokal bersikap dan mengikuti kebiasaan penduduk lokal seperti menikah dengan pribumi sehingga dengan peranan tersebut mereka masuk dan merubah hukum adat penduduk pribumi dan mengenalkan metode

1M. Daud Ali, The Position of Islamic Law in the Indonesian Legal System, dalam Islam and Society in Southeast Asia, edited by Taufiq Abdullah, et. all, (Singapore: ISEAS, 1983), hlm. 187.

79 baru tentang ajaran dan hukum Islam. Kedua, peranan para missionaris sufi tidak hanya sebagai guru/da’i tetapi mereka juga berfungsi sebagai pedagang, dan ahli politik, dan dengan cara ini mereka berinterksi dengan penduduk pribumi, melalui pola interaksi mereka menyebarkan misi agamanya dengan metode yang lebih dekat dan sesuai dengan kepercayaan penduduk Indonesia pada saat itu. Ketiga, nilai-nilai ajaran Islam yang diajarkan para da’i dan pedagang sesuai dengan sikap masyarakat dan diterima oleh masyarakat, seperti sikap toleransi.2 Sedangkan menurut Arnold mudahnya interakasi Islam ke Indonesia adalah karena penyebaran Islam di Indonesia dilakukan secara damai penetration pacifique, dan tidak menggunakan peperangan dan kekerasan “no gun was fired nor was any sword drawn for the propagation of Islam in Indonesia soil”.3 Adapun mengenai masuknya agama Islam ke Kerajaan Melayu Langkat adalah pada abad XVII. Melalui kekuasaan Raja Aceh yaitu Sultan Iskandar Muda di Samudra Pasai yang pada saat itu menguasai hampir seluruh wilayah kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur.4 Para sultan-sultan yang berasal dari kerajaan Aceh tersebut adalah penganut mazhab Syafi’iyah.5 Islamisasi yang berlangsung di kerajaan-kerajaan Melayu,6 sama halnya dengan proses Islamisasi di seluruh Indonesia, pengaruhnya tak

2Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, second edition, (United Kingdom, Cambridge University Perss, 2002), hlm. 383-384. 3Thomas W. Arnold, The Preaching of Islam: a history of the propagation of the Muslim faith, (London: Constable, 1913), hlm. 363. 4Jhon D Mc Meelain, Langkat Brief History, hlm. 1. 5Seperti Hamzah al-Fansuri, Sultan Malikul Zahir dari Samudra Pasai seorang yang disebut Fukaha Syafi’iyah yang menyebarkan Islam pada pertengahan abad XIV M, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin Ar-raniri (w.1068H/1658M) yang menulis kitab Sirat al-Mustqim sebuah kitab yang berstandarkan pada fikih Syafi’iyah,dan Abd Rauf Singkel (1042-1105 H). Peonah Daly, Hukum Perkawinan Islam: suatu studi perbandingan dalam kalangan ahlus-Sunnah dan negara-negara Islam, Cet. I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. 12. 6Menurut MB. Hooker terdapat beberapa persamaan hukum yang berkembang di kerajaan-kerajaan Melayu, termasuk Melayu yang ada di Perak, , dan dan melayu-melayu di pesisir pantai lainnya. Contohnya dalam hal pemerintahan yang berbentuk kerajaan dan turun temurun, juga adanya kesamaan pakaian yang berwarana kuning, sangat menghargai hak-hak orang lain, menghargai kaum wanita dan orang tua,

80 hanya pada agama saja (ibadah), tetapi juga paling nampak pada bagian perkawinan dan kekeluargaan (hukum kekeluargaan). Pada masa itu selalu terdapat pegawai-pegawai khusus yang mempunyai keahlian dalam hal mengurusi agama Islam yang berkaitan dengan urusan masjid dan perkawinan.7 Kondisi ini menurut penulis disebabkan pada proses awal islamisasi di Indonesia, para dai dan ulama yang mengembangkan Islam tidak hanya mengajarkan dimensi spiritual seperti tauhid dan ibadah tetapi juga mencakup hubungan kemanusiaan, seperti perkawinan dan kewarisan, yaitu melalu asimilasi dan interaksi sosial antara saudagar dan masyarakat pribumi sehingga melahirkan aturan baru yang berbeda dengan aturan masyarakat pribumi (baca: adat) seperti dalam hukum kekeluargaan (perkawinan dan kewarisan). Hukum Islam khususnya mazhab Sunni-Syafi’i, di dalam pelaksanaannya di Kerajaan Melayu, dikembangkan serta dipedomani sebagai hukum Kerajaan Melayu dan menjadi literatur yang dipergunakan dalam memutuskan di pengadilan adalah fikih dengan mazhab Syafi’i. Berkaitan dengan ini Azra menilai bahwa tradisi politik yang ingin di bentuk dan dikembangkan oleh raja-raja Melayu adalah tradisi politik Sunni, yang menekankan kesetiaan rakyat pada penguasa, dan kepatuhan penguasa pada prinsip-prinsip hukum Islam dan nilai-nilai akhlak. Berbagai kitab undang-undang yang ditulis pada masa-masa awal Islam di Nusantara yang menjadi panduan hukum bagi negara dan masyarakat, memang bersumber dari kitab-kitab karya para ulama Sunni di berbagai pusat keilmuan dan kekuasaan Islam di Timur Tengah. Kitab undang-undang

sehingga bagi yang melanggar akan mendapatkan hukuman mati ataupun ditangkap, adanya pungutan pajak dan lain-lain. Lebih lanjut menurutnya hal ini dimungkinkan pertama, karena berhubungan dengan kondisi geografis daerah hunian masyarakat Melayu yang selalu berada di sekitar pantai (related to specific area), dan kedua, karena adanya kajian yang berasal dari teks-teks keislaman (recitations of Islamic provisions in the texts). MB. Hooker, The Challenge of Malay Adat Law in The Realm of Comparative Law, The International and Comparative Law Querterly, Vol. 22, No. 3 (Juli.1973), hlm. 493-495. 7Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan, hlm. 21.

81 Melayu-yang biasanya ditulis oleh perintah raja atau sultan-menunjukkan ajaran-ajaran Syari’ah sebagai bagian integral dalam pembinaan tradisi politik di kawasan ini.8 Kedudukan sebagai pemuka agama (tokoh agama) secara langsung dijabat oleh sultan/raja. Sehingga kedudukan dan tugas sultan/raja bukan saja sebagai kepala pemerintahan dan kepala adat, tetapi juga pemimpin Islam, ulil amri atau julukan yang sering ialah khalifatullah. Dalam menangani setiap persoalan hukum Islam yang muncul di masyarakat, Sultan didampingi seorang ulama dengan sebutan Tuan Haji Cut/Kadi atau Mufti. Posisi Tuan Haji Cut/Kadi atau Mufti hampir setingkat dengan Sultan, sehingga jika Sultan meninggal dan belum didapat penggantinya, maka Tuan Haji/Cut atau Kadi bertindak dan menjalankan semua fungsi kerajaan menggantikan posisi sultan/raja.9 Lev, dalam penelitiannya membuktikan bahwa hampir di seluruh daerah-daerah yang menerima dan memberlakukan hukum Islam dengan kuat terdapat Pengadilan Islam yang mengunakan hukum Islam sebagai rujukannya. Hanya saja bentuk dan keadaan Pengadilan Agama tersebut berbeda satu daerah dengan daerah lainnya. Di beberapa daerah, seperti Aceh dan Jambi di Sumatera, Kalimantan Selatan dan Timur, Sulawesi Selatan dan beberapa tempat lain, hakim-hakim Islam diangkat oleh para penguasa setempat. Sedang di daerah-daerah lain seperti Sulawesi Utara, dan beberapa daerah di Sumatera Utara, seperti Tapanuli, Gayo dan Alas di Aceh, serta Sumatera Selatan, tidak ada kedudukan tersendiri bagi Pengadilan Agama, tetapi pemuka-pemuka agama melakukan peradilan.10 Sebagai contoh dikerajaan Melayu Deli, didapat lima ulama (baca: lembaga pengadilan) bertugas sebagai sumber pemberi putusan hukum pada masyarakat, kelima ulama tersebut yaitu: Kadi/mufti selaku kepala/

8Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: Rosdakarya, 1999), hlm. 101. 9T. Luckman Sinar, Sejarah Medan, hlm. 35. 10Daniel S Lev, Islamic courts in Indonesia A Study in the Political Bases of Legal Institutions, (Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1972), hlm. 10.

82 ketua, kemudian Imam, Kalif, Bilal dan Penghulu Masjid.11 Kelima alim ulama inilah yang berhak dan berwenang untuk memutuskan dan menentukan segala hal yang berhubungan dengan masalah keagamaan dan hukum Islam yang meliputi: pelaksanaan (ibadah), hukum perdata; (perkawinan dan perceraian, kematian dan warisan (mawaris), dan tata cara bergaul (muamalah). Demikian pula untuk urusan hukum pidana. Hal ini disebabkan sumber putusan pidana maupun perdata berasal dari sumber yang sama yaitu hukum syari’ah (hukum Islam). Adanya kelima ulama kampung tersebut memudahkan masyarakat untuk meminta dan mendapat kepastian hukum. Jika masyarakat ingin memperoleh suatu putusan yang bersifat keagamaan, maka ia menemui penghulu masjid yang telah ditunjuk, dan jika ia tidak puas, maka ia bisa mengajukan kepada Bilal, dan seterusnya. Berdasarkan data tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pada masa-masa awal pelaksanaan hukum Islam di kerajaan Melayu Langkat, hukum Islam ala mazhab Sunni-Syafi’i telah tumbuh, berkembang dan bahkan menjadi sebuah kekuatan dan “dasar” hukum bagi kerajaan Melayu serta dipedomani oleh seluruh masyarakat Muslim di daerah ini.

2. Kondisi Keagamaan di Kesultanan Langkat

Masjid Azizi Tanjung Pura (Foto diambil ketika melakukan penelitian di Kota Tanjung Pura)

11T. Luckman Sinar, Sejarah Medan, hlm. 37.

83 Dengan berdirinya Tarekat Naqsabandiyah dan beberapa pengajian keagamaan yang dibentuk oleh istri sultan, yaitu Maslurah, dan adanya pusat peribadatan di wilayah Langkat yaitu Masjid Azizi, maka terlihatlah hidupnya sunnah-sunnah Islam, menghilangkan bid’ah-bid’ah, mengembangkan hukum-hukum Allah serta menghilangkan stratifikasi ras.12 Hal ini dikarenakan masyarakat Langkat yang memegang teguh ajaran- ajaran syariat Islam. Kerajaan Langkat terutama setelah berpusat di Tanjung Pura, menjadikan agama Islam sebagai pedoman dan legitimasi terhadap kebijakan-kebijakan sultan dan kerajaan secara umum. Masyarakat yang mayoritas beragama Islam dalam berbagai dinamika kehidupannya telah mencerminkan perilaku keislaman yang kuat, walaupun di sana-sini masih terdapat kepercayaan-kepercayaan peninggalan Hindu, Animisme dan lain sebagainya. Dalam hal ini, ibadah-ibadah praktis selalu dapat ditemukan dalam dinamika masyarakat Langkat, seperti shalat berjamaah, mengaji di langgar, dan pengajian-pengajian agama yang banyak bertemakan akidah dan tasawuf. Selanjutnya untuk mendukung hal tersebut, maka sultan-sultan Langkat membangun fasilitas-fasilitas peribadatan, masjid-masjid yang megah dan indah bentuknya seperti Masjid Azizi di Tanjung Pura, Masjid Raya Stabat dan Binjai serta beberapa madrasah yang dibangun untuk pendidikan rohani rakyat.13 Mengenai gaji-gaji guru dan pegawai (nazir) masjid, demikian juga untuk pemeliharaan gedung-gedung tersebut semuanya ditanggung oleh pihak kerajaan.14

12Stratifikasi ras merupakan suatu pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat atas dasar kekuasaan, hak-hak istimewa, dan prestise. Pembedaan ras disini berkaitan dengan suku yang menonjol dalam Kesultanan Langkat yaitu suku Melayu. Dengan adanya pendidikan Islam sultan membuat suatu kebijakan untuk menghilangkan sistem stratifikasi ras tersebut agar masyarakat dapat belajar sesuai dengan kemampuannya, dan tidak dibedakan berdasarkan ras maupun status ekonominya. M. Kasim Abdurrahman, Studi Sejarah Masjid Azizi Tanjung Pura-Langkat- Sumatera Utara, hlm. 33. 13T.M Lah Husni, Biografi-Sejarah Pujangga Nasional Tengku Amir Hamzah, Penerbit Husni, Medan, 1971, h. 4. 14Ibid., h. 5

84 Berkaitan dengan hari-hari besar Islam, seperti pada bulan Ramadhan, maka Kesultanan Langkat memberikan bantuan-bantuan ke masjid-masjid berupa makanan-makanan dan minuman bagi masyarakat yang melaksanakan shalat tarawih, witir dan tadarus serta memberikan bantuan berupa sedekah kepada masyarakat-masyarakat yang kurang mampu ketika menjelang Idul Fitri hal ini menjadikan masyarakat selalu menaruh simpati kepada para sultan, karena pihak kerajaan begitu aktif dalam memberikan bantuan-bantuan yang bersifat keagamaan. Dalam penerapan syariat Islam, kesultanan Langkat memiliki guru- guru agama yang sekaligus dijadikan sebagai penasihat sultan untuk dimintai pendapatnya berkaitan dengan permasalahan hukum Islam. Dalam sistem kehidupan masyarakat melayu, seluruh warganya terikat dengan adat dan pola melayu. Adat ini sebagian besar dipengaruhi oleh agama Islam. Maksudnya, kebiasaan-kebiasaan yang tidak sesuai dengan yang diajarkan atau yang diatur dalam agama Islam berangsur-angsur akan dihilangkan. Jadi adat resam melayu adalah adat dan kebiasaan masyarakat melayu yang telah diislamisasi. Di sini, peran guru-guru agama cukup besar dalam menginternalisasi nilai-nilai Islam kedalam masyarakat Langkat. Dinamika keagamaan yang begitu kuat, dapat dilihat dengan keberadaan Babussalam sebagai pusat kegiatan Tarekat Naqsabandiyah. Yaitu pada masa Sultan Musa berkuasa di Tanjung Pura. Pusat tarekat tersebut muncul dan berkembang menjadi sebuah simbol keagamaan pada masa tersebut dan bahkan sampai saat ini. Pendiri Tarekat Naqsabandiyah di Langkat adalah Syekh Abdul Wahab Rokan.15 Syekh ini lahir dari keluarga yang taat beragama, ia mengaji di berbagai surau di Riau daratan dan pergi belajar ke Mekkah untuk menyambung pelajarannya di sana selama

15 Almarhum Syekh Abdul Wahab Rokan Al-khalidi Naqsabandi adalah pendiri Tariqat Naqsabandiyah di desa Besilam (babussalam) nama kecilnya adalah Abu al-Qasim. Dilahirkan pada tanggal 10 rabiul Akhir 1230 Hijriah atau pada 28 September 1811 di kampung Danau Runda, Rantau Binuang Sakti, Negeri Tinggi, Rokan Tengah, Kabupaten Kampar, Riau. Nama rokan di ambil dari asal daerahnya yaitu Rokan Tengah. Menurut riwayat usia beliau kurang lebih 115 tahun. Wafat pada tanggal 21 Jumadil Awal 1345 Hijriah (27 Desember 1926). Untuk mengetahui dengan jelas, lihat; Ahmad Fuad Said, Syekh Abdul Wahab Rokan, Tuan Guru Babussalam, Pustaka Babussalam, Cetakan III, Medan, 1983

85 lima atau enam tahun pada tahun 1860-an.Tarekat Naqsabandiyah ini akhirnya membawa pengaruh yang besar di kawasan Sumatera dan semenanjung Malaysia. Menurut Martin Van Bruinessen, hanya dengan sendirian saja, ia telah mampu menandingi dengan apa yang dicapai para syekh di Minangkabau seluruhnya.16 Syekh Abdul Wahab adalah murid dari syekh Sulaiman Zuhdi di Mekkah. Sekembalinya ke tanah air, ia aktif mengajar agama dan tarekat di beberapa kerajaan, seperti wilayah Langkat, Deli Serdang, Asahan Kualuh, Panai di Sumatera Utara, dan Siak Sri Inderapura, Bengkalis, Tambusai, Tanah Putih Kubu di Propinsi Riau. Sampai kini murid-muridnya tersebar luas di propinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Slawesi Selatan. Khalifah-khalifah beliau yang giat mengembangkan tarekat Naqsabandiyah di luar negeri, telah berhasil mendirikan rumah-rumah suluk dan peribadatan, di Batu Pahat, Johor, Pulau Pinang, , dan Thailand.17 Setelah mengunjungi berbagai tempat, akhirnya syekh Abdul Wahab memutuskan untuk tinggal dan menetap di kampung Besilam daerah Langkat. setelah terlebih dahulu diminta oleh sultan Musa, maka Syekh Abdul Wahab ditempatkan di sekitar kota Tanjung Pura, setelah beberapa hari syekh tersebut memohon kepada sultan Musa untuk diberikan sebidang tanah untuk perkampungan agar ia dapat beribadah dan mengajarkan ilmu agama dengan leluasa, sultan menyetujuinya dan keesokan harinya berangkatlah sultan Musa beserta Syekh Abdul Wahab dan beberapa orang lainnya menyusuri sungai Batang Serangan, hingga dapatlah sebuah tempat yang cocok. Tempat ini akhirnya diberi nama oleh Syekh Abdul Wahab dengan nama kampung Babussalam. Belakangan daerah ini terkenal dengan nama kampung Besilam.18 Beberapa waktu kemudian yaitu pada tanggal

164Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah Di Indonesia, Mizan, Bandung, 1992, h. 135 17Ahmad Fuad Said, Hakikat Tarikat Naqsabandiah, Pustaka Al Husna Baru, Jakarta, 2005, h. 12 18A. Fuad Said, Syekh Abdul Wahab Rokan, Tuan Guru Babussalam, Pustaka Babussalam, Cetakan III, Medan, 1983, h. 61

86 15 Syawal 1300 H. (1876) berangkatlah Syekh Abdul Wahab beserta keluarga dan murid-muridnya pindah ke Babussalam. Dengan berdirinya Babussalam, maka kegiatan keagamaan yang bercirikan tarekat mulai berkembang di kerajaan Langkat, pengaruh yang kuat bagi perkembangan Tarekat Naqsabandiyah, adalah turut sertanya sultan Langkat dalam kegiatan tarekat tersebut, beserta beberapa pembesar kerajaan, sehingga masyarakat yang memiliki simpati terhadap sultan, ikut serta dalam kegiatan tersebut, di samping dengan nama besar syekh Abdul Wahab, sebagai ulama terpandang membuat masyarakat Langkat, maupun yang berada di luar kawasan Langkat seperti dari daerah Batu bara, Tapanuli, Riau dan beberapa daerah lain berdatangan untuk mengaji dan bersuluk. Beberapa dari mereka akhirnya menetap di daerah Langkat. Berdasarkan pemaparan dapat terlihat bahwa kondisi keagamaan Kesultanan Langkat saat itu menjadikan agama Islam sebagai pedoman dan legitimasi terhadap kebijakan-kebijakan sultan dan kerajaan secara umum. Masyarakat yang mayoritas beragama Islam dalam berbagai dinamika kehidupannya telah mencerminkan perilaku keislaman yang kuat, meskipun masih terdapat kepercayaan-kepercayaan peninggalan Hindu, animisme dan lain sebagainya. Dalam hal ini, ibadah-ibadah praktis selalu dapat ditemukan dalam dinamika masyarakat Langkat, seperti shalat berjamaah, mengaji di langgar, dan pengajian-pengajian agama yang banyak bertemakan akidah dan tasawuf. Kondisi keagamaan saat itu menjadikan Kesultanan Langkat terkenal sebagai kota Islam. Hal ini disebabkan oleh Sultan Musa yang saat itu menjabat sebagai sultan suka memelihara alim ulama.

B. Dimensi Sosial dan Budaya Di masa Kesultanan Langkat, dalam masyarakat dikenal pelapisan masyarakat atau kelas-kelas sosial yang membedakan keturunan bangsawan dan rakyat biasa. Golongan bangsawan adalah keturunan raja- raja yang dikenali dengan gelar-gelar tertentu, seperti tengku, sultan dan datuk. Dalam hal ini peninggalan Hinduisme masih melekat pada

87 masyarakat. Bahkan sisa-sisa pelapisan sosial lama masih nampak dalam masyarakat melayu saat ini. Misalnya masih ditemukan sekelompok orang yang berasal dari keturunan sultan-sultan dulu, mereka biasanya dipanggil dengan gelar Tengku. Lalu, bekas pegawai kesultanan dengan keturunannya biasanya dipanggil dengan gelar Datuk. Sedangkan keturunan tengku dan datuk kebanyakan dipanggil dengan gelar Wan.

Gambar: Museum Tanjung Pura, pada masa kesultanan, tempat ini merupakan pengadilan pidana di kerajaan (Foto diambil ketika melakukan penelitian di Kota Tanjung Pura)

Dengan adanya pelapisan sosial pada masyarakat, maka keturunan raja dan aristokrat di Langkat mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk hidup makmur dibandingkan dengan rakyat biasa. Mereka masing- masing diberi jabatan dan diberi kekuasaan untuk mengatur atau mengelola kejeruan-kejeruan (kecamatan) di daerah Langkat. Pembagian kekuasaan dan hasil daerah membuat golongan bangsawan Langkat dapat hidup berkecukupan dalam bidang materi. Ini berbeda dengan golongan rakyat biasa yang harus membayar pajak (upeti/blasting) dari hasil pertanian dan perkebunannya kepada kesultanan. Namun ada dari rakyat biasa yang dapat hidup mewah dan berkecukupan dan biasanya mereka adalah tuan- tuan tanah atau orang-orang kepercayaan sultan. Dalam bidang kebudayaan, sebagaimana yang telah disinggung diatas bahwa mayoritas masyarakat Langkat sudah beragama Islam dan ajaran- ajaran Islam tersebut terlihat jelas dalam kebudayaan dan adat istiadat

88 masyarakat melayu Langkat. Misalnya dalam membicarakan suatu permasalahan dalam sebuah kampung, biasanya akan dimusyawarahkan di masjid. Begitu juga dengan acara-acara lainnya seperti acara turun ke sawah, kerja bakti, ataupun menyelesaikan suatu perselisihan maka sebelumnya telah ada kesepakatan antara warga setempat. Musyawarah tersebut biasanya akan dihadiri oleh Penghulu (kepala kampung), Pengetua adat dan Imam Masjid. Sebagian dari adat-adat Melayu tersebut juga diatur oleh pihak kesultanan, di antaranya mengaji Al-Qur’an, tepian mandi, syair dan hikayat, hiburan dan kesenian, pakaian dalam pergaulan, mengirik padi, mendirikan rumah dan lain sebagainya. Misalnya dalam mengaji Al-Qur’an, setiap orang tua yang mempunyai anak wajib mengajari anaknya membaca Qur’an sampai tamat (khatam). Jika orang tua mempunyai anak batas usia masuk mengaji, harus membawa anaknya kepada seorang guru mengaji sambil membawa pulut setalam, beras secupak, minyak lampu sebotol dan sepotong rotan.19 Begitu juga dengan urusan mandi dan mencuci di sungai yang disebut tepian mandi. Peraturan yang berlaku adalah bahwa para wanita mandi di daerah hulu, sedangkan pihak laki-laki mandi di daerah hilir, hal ini diatur agar kaum wanita khususnya para gadis tidak bertemu dengan pihak laki- laki ketika hendak mandi. dan lain sebagainya. Pengamalan ajaran Islam yang begitu kuat pada masyarakat Melayu lama, ternyata belum bisa menepis kepercayaan-kepercayaan bersifat animisme dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya kepercayaan yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada dalam dunia ini mempunyai jiwa atau roh. Jiwa orang yang sudah mati yaitu roh, mampu mempengaruhi kehidupan manusia yang masih hidup. Karena itu harus dipuja supaya tidak mengganggu. Selain itu kepercayaan terhadap hantu dan jin, serta pohon-pohon kayu besar, batu-batu besar dan tanaman-tanaman yang banyak bermanfaat seperti pohon kelapa dan enau memiliki roh.Sehingga dalam masyarakat Melayu lama banyak di temukan upacara-upacara yang

19Abdul Kadir Ahmadi, Sekilas Layang Adat Perkawinan Melayu Langkat, Tnjung Pura- Langkat, 1992, h. 12.

89 sering dilaksanakan dan memiliki pengaruh dengan kepercayaan Hindu dan Animimisme seperti; upacara tepung tawar pada saat hendak melaksanakan pernikahan, ibadah haji dan lain sebagainya, jika seseorang baru terkena musibah atau bencana, maka ia harus memakai pilis, hal ini dilakukan agar mengembalikan semangatnya dan terhindar dari gangguan- gangguan hantu dan jin-jin dan seterusnya20 Kepercayaan-kepercayaan ini pada umumnya telah ditemukan pada masa masyarakat Melayu lama sepanjang pesisir pulau Sumatera baik di daerah Langkat, Deli, Serdang, Batu Bara, Siak dan seterusnya. Dalam hal ini masyarakat Melayu pada umumnya masih sering melaksanakan upacara- upacara tersebut khususnya dalam acara-acara pernikahan, kelahiran anak, menempati rumah baru, membuka hutan untuk dijadikan perladangan dan lain sebagainya. Adanya asimilasi antara kepercayaan-kepercayaan pra- Islam dengan ajaran-ajaran Islam sendiri telah menimbulkan budaya dan adat-istiadat tersendiri bagi masyarakat Melayu, khususnya bagi komunitas Melayu pesisir Sumatera.

C. Dimensi Ekonomi Saat itu kondisi perekonomian kesultanan Langkat meningkat dengan ditemukannya sumber minyak di wilayah Langkat, namun kondisi perkebunan menurun, akibat pembaruan buruh kontrak dan pekerja. Hak atas tanah dibatasi dan masyarakat mendapat konsesi yang sedikit. Royalty yang didapatkan saat itu dibagi menjadi tiga, yaitu untuk sultan, Belanda, dan pekerja. Pemerintahan Kesultanan Langkat termasuk kepada kerajaan yang makmur, ini terlihat dari bangunan-bangunan yang didirikan pada masa kerajaan ini seperti istana-istana yang megah, lembaga pendidikan dan masjid yang berdiri dengan indah dan kokoh. Menurut Laporan John Anderson selaku wakil pemerintahan Inggris di Penang bahwa pada tahun 1823 kerajaan Langkat merupakan sebuah kerajaan yang kaya. Ekspor ladanya bermutu sangat baik, mencapai 20.000 pikul (+ 800.000 kg) dalam

20T. Lukman Sinar, Sari sejarah.., h. 190

90 setahun. Hasil-hasil lainnya dari Langkat seperti rotan, lilin, buah-buahan hutan, gambir, emas (dari Bahorok), gading, tembakau dan beras.21 Sumber penghasilan kesultanan Langkat, terutama berasal dari hasil pertanian, pajak perkebunan asing (Deli Maatschappij yang sekarang menjadi PTPN), perdagangan dan hasil pertambangan minyak bernama “De Koniklijke” (Koniklijke Nederlandsche Maatschappij Tot Exploitatie Petroleumbronnen In Nederlandsche-Indie) atau juga dikenal dengan nama BPM (Bapapte Petroleum Maatschappij) sehingga Kesultanan Langkat terkenal sebagai kerajaan yang kaya.22 Kekayaan kerajaan turut dinikmati oleh rakyatnya, ini dibuktikan bahwa setiap tahun sultan mengeluarkan zakat atau sedekah dengan mengumpulkan seluruh rakyat di masjid atau istana pada malam 27 Ramadhan. Kepada mereka diberikan uang sebesar f 2,50 per-orang. Ketika itu jumlah ini cukup untuk membeli beras sebanyak 50 kati serta memberikan bantuan-bantuan lainnya seperti minyak lampu yang digunakan untuk penerangan di bulan Ramadhan.

D. Dimensi Politik Berkaitan dengan masalah politik, Kesultanan Langkat tidak dapat dipisahkan dengan kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya. Ada dua kerajaan besar yang selalu disebut-sebut dalam sejarah kerajaan Langkat yaitu kerajaan Aceh dan kerajaan Siak. Selain itu, tidak dapat dikesampingkan juga mengenai pemerintahan kolonial Belanda yang pada akhirnya berhasil menguasai kerajaan-kerajaan Melayu yang ada di sepanjang pesisir timur pulau Sumatera, termasuk kerajaan Langkat pada pertengahan abad ke- 19. Akhirnya menjelang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, penjajahan Jepang juga berhasil menguasai kerajaan Langkat, hingga pada tahun 1946 terjadi revolusi sosial di Sumatera Timur yang menjadi akhir masa pemerintahan Kesultanan Langkat dan digantikan menjadi wilayah

21Tim Peneliti Fakultas Sastra USU (J. Fachruddin Daulay, Nazief Chatib, Farida Hanum Ritonga, A. Samad Zaino, Jeluddin Daud), Sejarah Pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Langkat, Stabat, 1995, , h. 23 22Ibid., h. 36

91 kabupaten. Peristiwa-peristiwa berikut akan dijelaskan secara ringkas dalam bagian ini. Ketika pusat Kesultanan Langkat masih berpindah-pindah, wilayah teritorial dan kekuasaan hanya terbatas pada wilayah yang kecil dan di sekitar berdirinya pusat kerajaan tersebut. Beberapa hal yang dapat di ketahui dari berpindah-pindahnya pusat kerajaan Langkat adalah berkaitan dengan masalah keamanan dan penyerbuan oleh kerajaan-kerajaan lain, serta pemilihan tempat yang strategis bagi perkembangan kerajaan. Ketika itu Langkat bukan merupakan kerajaan yang memiliki angkatan armada perang yang kuat, sehingga dengan mudah dapat dikuasai dan dikalahkan oleh kerajaan yang besar seperti Aceh dan Siak. Setelah kalah dan pusat kerajaan dihancurkan oleh kerajaan lain maka raja Langkat berhasil melarikan diri dan kembali membangun kerajaan di tempat yang lain. Pada awal abad ke-19 kerajaan Siak Sri Inderapura berhasil menaklukkan Langkat di mana ketika itu yang berkuasa adalah Kejeruan Tuah Hitam maka untuk menjamin kesetiaan Langkat kepada Siak, maka putra kerajaan Langkat yang bernama Nobatsyah dan Raja Ahmad dibawa ke Siak untuk dinikahkan dengan putri-putri kerajaan Siak. Salah satu dari keturunan mereka yang bernama Tengku Musa dinobatkan menjadi raja Langkat berkedudukan di Tanjung Pura. Seperti kerajaan-kerajaan lainnya, kerajaan Langkat juga tidak luput dari perang saudara. Perang saudara yang sering disebutkan adalah antara Nobatsyah (Raja Bendahara) dengan Raja Ahmad. Setelah mereka dinikahkan di Siak, tidak berapa lama kemudian mereka dipulangkan dan menjadi penguasa Langkat secara bersamaan. Dapat diketahui bahwa sebelum 1865 struktur pemerintahan kerajaan Langkat masih sangat sederhana. Menurut laporan John Anderson selaku wakil pemerintahan Inggris di Penang ketika mengunjungi Langkat pada tahun 1823, Siak belum mengangkat Raja untuk Langkat namun telah memberikan gelar “Raja Muda” kepada Ahmad dan gelar “Bendahara” kepada Nobatsyah yang masing-masing memiliki istana yang berdekatan. Mungkin Siak membiarkan mereka berduel siapa yang menang akan diangkat menjadi raja. Tapi menurut Anderson bahwa pengikut Ahmad lebih banyak dan lebih

92 berwibawa. Akhirnya antara Nobatsyah dan Raja Ahmad terjadi peperangan dalam memperebutkan kekuasaan. Dalam perang saudara yang terjadi, Nobatsyah tewas sehingga Raja Ahmad tampil sebagai penguasa tunggal, yang kemudian diakui oleh Siak. Setelah Raja Ahmad berkuasa, maka ia memberi otonomi luas kepada kejeruan-kejeruan kecil di wilayah kekuasaan Langkat.23 Dalam pada itu, keturunan-keturunan mereka yang lain menguasai wilayah-wilayah di sekitar Langkat seperti kejeruan Stabat, Bingai, Selesai dan lain-lain. dengan demikian, kerajaan Langkat menjadi besar dan luas wilayahnya lebih disebabkan pada pembagian kekuasaan antara keturunan- keturunan raja Langkat, masing-masing dari mereka mendapat otoritas untuk mengelola wilayahnya masing-masing. Setelah Raja Ahmad meninggal maka kemudian digantikan oleh putranya Tengku Musa yang ketika itu masih tinggal bersama Ibunya di Siak. Setelah pemerintahan sultan Musa, sistem pemerintahan di kesultanan Langkat dilaksanakan berdasarkan sistem otonomisasi wilayah. Kekuasaan sultan tidak mencampuri urusan-urusan wilayah yang ditaklukkannya, tetapi memberikan kebebasan kepada setiap kejeruan (kecamatan) untuk mengatur daerahnya sendiri. Namun untuk beberapa daerah strategis dan vital untuk sumber kekayaan kesultanan, seperti Bandar-bandar pelabuhan akan ditempatkan orang-orang perwakilan Sultan.24 Pada masa Kesultanan Langkat, wilayah teritorial terkecil yang berada dalam satu pemerintahan kejeruan disebut “Kampung”. Sedangkan “kejeruan” adalah pemerintahan yang membawahi beberapa kampung yang dikepalai oleh seorang kepala kejeruan dengan gelar “datuk”. Datuk sebagai penguasa dalam satu kejeruan memerintah di daerahnya atas nama Sultan. Wilayah yang setingkat dengan kejeruan adalah wilayah pesisir sebagai pusat Bandar perhubungan air dan juga pusat perdagangan. Biasanya sebagai penguasa di daerah ini ditempatkan tokoh-tokoh dari

23Tim Peneliti Fakultas Sastra USU., h. 64-65 24Pemerintahan Propinsi Tingkat I Sumatera Utara, Sumatera Utara Dalam Lintasan Sejarah, Medan, 1995, h. 105.

93 pusat kesultanan sebagai wakil Sultan. Mereka yang menduduki jabatan ini adalah berstatus bangsawan, seperti “tengku”. Tetapi bisa juga dari golongan rakyat biasa atau orang kepercayaan Sultan yang bergelar Datuk Syahbandar.25 Pada tahun 1857, Belanda mengikat perjanjian persahabatan dengan Aceh sebagai dua bangsa yang merdeka. Dalam perjanjian tersebut diakui bahwa Deli, Langkat, dan Serdang berada di bawah pertuanan Aceh. Tetapi hanya beberapa bulan kemudian, pada hari Senin 1 Februari 1858 Belanda mengikat perjanjian dengan Siak (Tractaat Siak). Salah satu isi perjanjian tersebut disebutkan bahwa kerajaan Siak Sri Inderapura serta daerah taklukannya mengaku berada di bawah kedaulatan Belanda dan menjadi bagian dari Hindia-Belanda. Adapun bagian dari kerajaan Siak adalah meliputi: Negeri Tanah Putih, Bangko, Kubu, Bilah, Panai, Kualuh, Asahan, Batu Bara, Bedagai, Padang, Serdang, Percut, Perbaungan, Deli, Langkat dan Tamiang. Dengan politik Devide et Impera Belanda berhasil mengatasi penetrasi dan melemahkan kekuatan Aceh dan Siak serta menanamkan kekuasaannya secara nyata pada kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur, hingga pada tahun 1942 Jepang berhasi menduduki Indonesia (Hindia- Belanda). Pada masa pemerintahan Jepang, raja-raja di Sumatera Timur ditugaskan untuk membantu pelaksanaan kebijaksanaan politik pemerintah Jepang, di mana raja atau sultan hanya bertugas mengurus persoalan adat istiadat saja.26 Dengan demikian raja-raja yang diangkat oleh pemerintah Belanda sebelumnya termasuk para pegawainya masih tetap menjalankan tugas-tugasnya sesuai dengan garis-garis yang telah ditetapkan Jepang.

E. Dimensi Intelektual Berdasarkan data yang didapatkan bahwa sebelum tahun 1900, Kesultanan Langkat belum memiliki lembaga pendidikan formal. Pendidikan

25Ibid., h. 104-105. 26Tim Peneliti Fakultas Sastra USU., h. 29.

94 yang dilaksanakan masih dengan pendidikan non formal, yaitu dengan belajar kepada guru-guru agama ataupun ahli-ahli dalam bidang tertentu. Bagi keluarga kerajaan juga diberikan pendidikan yang seperti ini. Para guru-guru itu diundang ke istana untuk memberikan ceramah dan pengajaran kepada raja beserta keluarganya. Ketika itu dinamika intelektual khususnya dalam bidang pendidikan belum menjadi fokus perhatian para sultan. Nampaknya mereka masih sibuk dengan masalah politik yang terjadi, yaitu berkaitan dengan perluasan wilayah kekuasaan dan lain sebagainya. Hal tersebut menjadikan dinamika intelektual di Langkat tidak berkembang dengan baik dan kurang mendapat perhatian. Baru, setelah sultan Abdul Aziz menjadi sultan Langkat, lembaga pendidikan formal yang dinamakan maktab (baca: madrasah) dapat berdiri dan menjadi pusat pendidikan agama bagi masyarakat Langkat. Kondisi Kesultanan Langkat saat itu dalam bidang pendidikan lebih mempelajari ilmu agama, apalagi saat itu agama Islam sudah masuk ke wilayah Nusantara. Saat itu, sudah menjadi tradisi masyarakat Melayu Langkat untuk menyerahkan anak-anaknya kepada guru untuk mengaji Al- Qur’an. Selain itu, anak laki-laki diwajibkan untuk belajar ilmu bela diri. Dengan berdirinya Madrasah Al-Masrullah tahun 1912, madrasah Aziziah pada tahun 1914 dan Madrasah Mahmudiyah tahun 1921, maka Langkat menjadi salah satu dari tempat yang dituju oleh pencari-pencari ilmu dari berbagai daerah. Disebutkan bahwa selain dari masyarakat Langkat yang belajar pada kedua maktab tersebut, maka banyak pelajar- pelajar yang datang dari dalam dan luar pulau Sumatera, seperti Riau, Jambi, Tapanuli, Kalimantan Barat, Malaysia, Brunei dan lain sebagainya.27 Pada awalnya madrasah (maktab) ini hanya disediakan untuk anak- anak keturunan raja dan bangsawan saja, namun pada perkembangannya maktab ini memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk dapat belajar dan menuntut ilmu. Beberapa tokoh nasional yang pernah belajar di maktab

27A. Kadir Ahmadi, Sejarah Perkembangan Pendidikan Jama’iyah Mahmudiyah, Terbitan Khusus Pengurus Besar Jama’iyah Mahmudiah Li Thalabil Khairiyah, Tanjung Pura-Langkat, 1985, h. 14-15.

95 ini antara lain adalah Tengku Amir Hamzah dan Adam Malik (mantan wakil presiden RI). Dalam biografinya Adam Malik meyebutkan bahwa Madrasah Al- Masrullah termasuk lembaga yang mempunyai bangunan bagus dan modern menurut ukuran zaman tersebut. Di mana masing-masing anak dari keluarga berada (kaya) mendapat kamar-kamar tersendiri. Sistem pendidikan yang dijalankan pada sekolah ini sama seperti sistem sekolah umum di Inggris, di mana anak laki-laki usia 12 tahun mulai dipisahkan dari orang tua mereka untuk tinggal di kamar-kamar tersendiri dalam suasana yang penuh disiplin. Fasilitas-fasilitas olah raga juga disediakan di sekolah tersebut seperti lapangan untuk bermain bola dan kolam renang milik Kesultanan Langkat.28 Ketiga lembaga pendidikan tersebut didirikan oleh sultan Abdul Aziz yang kemudian diberi nama dengan perguruan Jam’iyah Mahmudiyah. Pada tahun 1923 perguruan Jam’iyah Mahmudiyah telah memiliki 22 ruang belajar, 12 ruang asrama, disamping berbagai fasilitas lainnya seperti 2 buah Aula, sebuah rumah panti asuhan untuk yatim piatu, kolam renang, lapangan bola dan sebagainya. Untuk meningkatkan mutu pendidikan pada perguruan Jam’iyah Mahmudiyah, maka tenaga pengajarnya sebagian besar merupakan guru-guru yang pernah belajar ke Timur tengah seperti Mekkah, Medinah dan Mesir. Mereka semua dikirim atas biaya sultan setelah sebelumnya diseleksi terlebih dahulu, hingga sekitar tahun 1930 siswa- siswa yang belajar di perguruan ini sekitar 2000 orang yang berasal dari berbagai macam daerah.29 Selanjutnya Sultan Abdul Azis kemudian mendirikan lembaga pendidikan umum bagi masyarakat Langkat yaitu sekolah HIS dan Sekolah Melayu, yang banyak memberikan materi-materi pelajaran umum. Mengenai gaji-gaji guru dan biaya perawatan bangunan semuanya ditanggung oleh pihak Kesultanan Langkat, dalam hal ini dapat dikatakan

28Adam Malik, Mengabdi Repoblik, (Adam dari Andalas), Cet. Ketiga, Gunung Agung, Jakarta, 1982, h. 2. 29A. Kadir Ahmadi, Sejarah Perkembangan., h. 16-17.

96 bahwa segala biaya yang berkaitan dengan fasilitas-fasilitas pendidikan di Langkat ditanggung sepenuhnya oleh pemerintahan kerajaan. Memang pada awal tahun 1900-an Pemerintahan Belanda telah mendirikan sekolah Langkatsche School30 (baca: Sekolah Belanda). Namun penerimaan siswanya masih sangat terbatas, di masa itu yang diterima hanya anak-anak bangsawan dan dan anak pegawai Ambtenaar Belanda serta orang-orang kaya yang berharta, dalam bahasa pengantarnya lembaga pendidikan ini menggunakan bahasa Belanda. Selain itu didirikan juga ELS (Europese Logare School) dan untuk anak-anak keturunan Cina didirikan Holland Chinese School atau HCS. Bagi masyarakat yang ingin memperdalam ajaran agama melalui buku- buku Islam, dalam hal ini Tuan guru Babussalam Syekh Abdul Wahab Rokan telah menerbitkan dan mencetak buku-buku yang bertemakan masalah- masalah keislaman, antara lain: buku Aqidah Islam, Kitab Sifat Dua Puluh, Adab Az-Zaujain dan lain-lain, karena di Babussalam pada saat itu telah ada mesin cetak, yang dibeli guna untuk menerbitkan buku-buku yang ditulis oleh Syekh Abdul Wahab sendiri. Mesin cetak tersebut sebagian besar didanai oleh Sultan Musa. Berkaitan dengan masalah intelektual, Kesultanan Langkat memiliki seorang Amir Hamzah yang dikenal sebagai seorang penyair, sastrawan dan pahalawan Nasional. Ia lahir pada tanggal 28 Februari 1911 di Tanjung Pura, berasal dari keturunan Sultan Langkat, ayahnya yang bernama Tengku Pangeran Adil adalah cucu dari sultan Musa. Pendidikannya diawali setelah ia menamatkan sekolahnya di Tanjung Pura, Amir Hamzah dikirim orang tuanya ke MULO di Medan. Setelah satu tahun di Medan ia dipindahkan ke MULO Jakarta. Setelah tamat di MULO Jakarta, ia melanjutkan pendidikannya di A.M.S. Bagian ketimuran di Solo. Pada saat di Jawa ia banyak terlibat organisasi pergerakan kemerdekaan Indonesia yaitu Gerakan Indonesia Muda bersama dengan Bung Karno, Bung Hatta, dan M. Yamin. Amir juga aktif menulis artikel di Majalah Timbul serta editor di majalah Pujangga Baru, di samping itu ia juga menjadi tenaga pengajar di

30T.M. Lah Husni., Buku Biografi., h. 5.

97 Taman Siswa dan Perguruan Muhammadiyah. Pada saat di Jawa ia banyak menerbitkan sajak-sajak yang terhimpun dalam dan Nyanyian Sunyi. Menurut Shafwan Hadi Umri (ketua Dewan Kesenian Sumatera Utara) Amir Hamzah dalam sajak-sajaknya banyak terinspirasi dengan sajak- sajak Li Tai Po (Tiongkok), Basho (Jepang), Rav-Das (India) dan Umar Khayyam di Persia. Melihat pergerakan Amir Hamzah di Jawa, maka Belanda meminta kepada sultan Mahmud yang saat itu berkuasa untuk menyuruh Amir Hamzah Pulang ke Langkat, dengan ancaman jika Amir Hamzah tidak menghentikan kegiatannya maka Kerajaan Langkat akan dihancurkan Belanda. Kesultanan Langkat yang pada saat itu telah dikendalikan oleh Pemerintahan Belanda tidak dapat berbuat banyak kecuali meminta Amir Hamzah pulang ke Langkat untuk menghentikan kegiatannya di Jawa. Amir Hamzah dengan terpaksa akhirnya menuruti permintaan pamannya Sultan Mahmud. Ketika tiba di Langkat ia diserahkan tugas sebagai ketua umum pengurus besar Maktab Jam’iyah Mahmudiyah. Di Langkat Amir Hamzah sempat menuliskan sajak-sajak seperti Insaf dan Sebab Dikau. Namun sajak-sajaknya lebih banyak bertemakan kebencian dan keputusasaan. Hingga pada tahun 1946 Amir Hamzah diculik dan dibunuh oleh pihak yang mengaku sebagai pejuang RI karena dituduh sebagai kaki tangan penjajah Belanda.

98 BAGIAN KELIMA

FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT MELAYU PADA MASA KESULTANAN LANGKAT

A. Falsafah Adat Orang Melayu Falsafah sebagai sebuah nilai bagi seseorang atau kelompok masyarakat berfungsi menjadi alat atau cara untuk sebuah tindakan, oleh karenanya maka falsafah orang Melayu yang merupakan bangsa Austronesia di semenanjung Tanah Melayu1 memiliki nilai-nilai dasar universal. Orang- orang Austronesia tersebut terdapat di Malaysia, Thailand, Filipina dan Madagaskar yang lazimnya berbahasa Melayu, mayoritas beragama Islam dan berkebudayaan Melayu.2 Umumnya mata pencaharian orang Melayu yakni menangkap ikan, tetapi ada juga yang bermata pencaharian lain, seperti berburu, berladang, berternak dan bermacam-macam kerajinan tangan3, sebagaimana yang terjadi dalam sejarah Kesultanan Langkat.

1Usman Abdullah, Kata Sambutan Walikota Langsa dalam Acara Festival Rentak Budaya Melayu di kota Langsa, 29 September 2018. 2Ibid. 3Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir dan Batak Pengunungan: Orientasi Nilai Budaya (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2010), h. 12

99 Istilah Melayu merupakan istilah yang dekat dengan alam oleh karenanya selain orang Melayu beragama Islam, alam mempunyai kedudukan dan pengaruh penting dalam adat Melayu, ternyata dari fatwa adat sendiri yang menyatakan bahwa alam hendaklah dijadikan guru. Yang dimaksud dengan adat sebenar adat adalah yang tidak lapuk karena hujan dan tak lekang karena panas biasanya ketentuan-ketentuan alam atau hukum alam, atau kebenarannya yang datang dari Tuhan Yang Mahakuasa. Oleh karena itu adat Melayu falsafahnya berdasarkan kepada ketentuan- ketentuan dalam alam, maka adat Melayu itu akan tetap ada selama alam ini ada.4 Secara umum falsafah adat orang Melayu yang sebahagian besar memiliki kesamaan nilai-nilai dasar yang universal bagi adat orang Melayu Langkat. Artinya melayu Langkat merupakan salah satu dari bahagian suku Melayu yang ada di Provinsi Sumatera Utara dan memiliki konsep falsafah hidup yang sama dengan suku melayu lainnya. Adapun nilai-nilai dasar yang universal itu antara lainnya hakekat hidup, hakekat kerja, hakekat kehidupan manusia dalam ruang waktu, hakekat hubungan manusia dengan alam, dan hakekat hubungan manusia dengan manusia.5 Pertama; Hidup dalam Falsafah Melayu. Tujuan hidup bagi orang Melayu adalah untuk berbuat jasa. Kata pusaka orang Melayu mengatakan bahwa “hidup berjasa, mati berpusaka”. Jadi orang Melayu memberikan arti dan harga yang tinggi terhadap hidup. Untuk analogi terhadap alam, maka pribahasa yang dikemukakan adalah: “Gajah mati meninggakan gading, Harimau mati meninggalkan belang, Manusia mati meninggakan nama”. Pengertian yang dapat ditarik pada falsafah tersebut, bahwa orang Melayu itu hidupnya jangan seperti hidup hewan yang tidak memikirkan generasi selanjutnya, dengan segala yang akan ditinggalkan setelah mati.

4http://ijhadwalataksaloke.blogspot.com/2015/06/falsafah-hidup-masyarakat- melayu.html. diakses pada tanggal 13 Juni 2018. 5Ibid

100 Karena itu orang Melayu bekerja keras untuk dapat meninggalkan, mempusakakan sesuatu bagi anak cucunya dan masyarakatnya. Mempusakakan bukan maksudnya hanya dibidang materi saja, tetapi juga nilai-nilai adatnya. Oleh karena itu semasa hidup bukan hanya kuat mencari materi tetapi juga kuat menunjuk mengajari anak cucunya sesuai dengan norma-norma adat yang berlaku. Ungkapan adat juga mengatakan; “Pulai bertingkat naik meninggalkan ruas dan buku, manusia bertingkat turun meninggakan nam dan pusaka”. Dengan adanya kekayaan segala sesuatu dapat dilaksanakan, sehingga tidak mendatangkan rasa malu bagi dirinya ataupun keluarganya.6 Kedua, Kerja dalam Falsafah Melayu. Sejalan dengan makna hidup bagi orang Melayu, yaitu berjasa kepada kerabat dan masyarakatnya, kerja merupakan kegiatan yang sangat dihargai. Kerja merupakan keharusan. Kerjalah yang dapat membuat orang sanggup meninggalkan pusaka bagi anak kemenakannya. Dengan hasil kerja dapat dihindarkan “hilang warna karena penyakit, hilang bangsa karena tidak beremas’. Artinya harga diri seseorang akan hilang karena miskin, oleh sebab itu bekerja keras salah satu cara untuk menghindarkannya. Dengan adanya kekayaan segala sesuatu dapat dilaksanakan sehingga tidak mendatangkan rasa malu bagi dirinya atau keluarganya.7 Orang Melayu disuruh untuk bekerja keras, sebagaimana yang diungkapkan juga oleh fatwa adat, “ Kayu hutan bukan andalas, Elok dibuat untuk lemari, Tahan hujan berani berpanas, Begitu orang mencari rezeki”. Pesan yang dapat diambil dari falsafah ini adalah etos kerja. Artinya, anak- anak muda yang punya tanggungjawab di kampung disuruh merantau. Mereka pergi merantau untuk mencari apa-apa yang mungkin dapat disumbangkan kepada kerabat dikampung, baik materi maupun ilmu. Misi budaya ini telah menyebabkan orang Melayu terkenal dirantau sebagai

6Ibid. Banyaknya seremonial adat seperti perkawinan dan lain-lain membutuhkan biaya. Dari itu usaha yang sungguh-sungguh dan kerja keras sangat diutamakan Orang Melayu. Selanjutnya bahwa nilai hidup yang baik dan tinggi telah menjadi pendorong bagi orang Melayu untuk selalu berusaha, berprestasi, dinamis, kreatif dan inovatif 7Ibid. Banyaknya seremonial adat itu seperti perkawinan membutuhkan biaya. Dari itu usaha yang sungguh-sungguh dan kerja keras sangat diutamakan.

101 makhluk ekonomi ulet.8 Ketiga, “Waktu dalam Falsafah Melayu”. Bagi orang Melayu waktu berharga merupakan pandangan hidup orang Melayu. Orang Melayu harus memikirkan masa depannya dan apa yang akan ditinggalkannya serta bekal apa yang dibawa sesudah mati. Mereka dinasehatkan untuk selalu menggunakan waktu untuk sesuatu yang bermakna. Dimensi waktu, masa lalu, masa sekarang, dan yang akan datang merupakan ruang waktu yang harus menjadi perhatian bagi orang Melayu. “Melihat contoh ke yang sudah”. “Bila masa lalu tak menggembirakan dia akan berusaha memperbaikinya. Duduk meraut ranjau, tegak meninjau jarah merupakan manifestasi untuk mengisi waktu dengan sebaik-baiknya pada masa sekarang. Membangkit batang terandam merupakan refleksi dari masa lalu sebagai pedoman untuk berbuat pada masa sekarang. Sedangkan mengingat masa depan adat berfatwa;”hemat sebelum habis,sediakan payung sebelum hujan”. Keempat.” Alam dalam Falsafah Melayu”. Pepatah adat menyebutkan: “Menyimak alam, mengkaji diri” Nilai ini mengajarkan agar dalam merancang dan melaksanakan pembangunan, haruslah diawali dengan penelitian yang cermat terhadap alam dan semua potensi yang ada (sumber daya alam), serta mengkaji pula kemampuan diri (sumber daya manusia). Melalui kajian inilah dibuat rancangan yang diharapkan dapat memenuhi harapan semua pihak. Orangtua-tua mengakatan: “menyimak alam luar dan dalam, mengkaji diri untuk mengukur kemampuan sendiri”; atau dikatakan: “mengkaji alam dengan mendalam, diri diukur dengan jujur”.9 Nilai tersebut memberi peluang terjalinnya hubungan kerjasama dengan berbagai pihak yang dianggap ahli dan berkemampuan, termasuk pemodal luar sepanjang tidak merugikan masyarakat dan menjatuhkan harkat, martabat, tuah dan marwahnya. Orangtua-tua mengatakan: bila

8Ibid. Etos kerja keras yang sudah merupakan nilai dasar bagi orang Melayu ditingkatkan lagi oleh pandangan ajaran Islam yang disabdakan Nabi saw: “‘i’mallidunyaka kaanaka tamuusu abada, wa’mal li akhiratika tamuutu ghada” Jadi masyarakat dituntut bekerja keras seakan-akan dia hidup untuk selama-lamanya, dia harus beramal terus seakan-akan dia akan mati besok. 9Ibid.

102 tidak mampu, cari yang mampu; bila tidak pandai, cari yang pandai; bila tidak tahu, cari yang tahu; atau dikatakan: untuk membangun yang berfaedah, jangan malu merendah (maksudnya, untuk mewujudkan pembangunan, jangan malu-malu menggunakan tenaga luar yang dianggap patut dan layak). Dengan demikian, pembangunan dapat berjalan tanpa memaksakan diri bila benar-benar tidak memiliki daya dan kemampuan. Perhatian orang Melayu terhadap alam sekitarnya sangat tinggi. Orang Melayu selalu menjaga keseimbangan dan harmonisasi alam tersebut, sehingga alam merupakan bagian dari tata kehidupan mereka. Seperti dalam ungkapan berikut:

“kalau terpelihara alam lingkungan, banyak manfaat dapat dirasakan: ada kayu untuk beramu ada tumbuhan untuk ramuan ada hewan untuk buruan ada getah membawa faedah ada buah membawa berkah ada rotan penambah penghasilan”.

Selanjutnya membangun jangan merusak, membina jangan menyalah. Nilai ini mengajarkan, agar dalam merancang dan melaksanakan pembangunan jangan sampai menyalahi ketentuan agama dan nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial masyarakatnya. Agama dan budaya hendaklah dijadikan ruh, teraju, pucuk jala pumpunan ikan dalam merancang pembangunan. Karenanya, para perancang dan pelaksana pembangunan haruslah memahami seluk beluk agama dan budaya serta norma-norma sosial masyarakatnya, agar pembangunan itu benar-benar bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat. Orangtua mengingatkan:

“bila membangun tidak senonoh, hasil tak ada masyarakat bergaduh”; atau dikatakan:

103 “apabila membina tidak semenggah, lambat laun menjadi musibah”.10 Ungkapan adat menegaskan:

“adat membangun negeri, jangan lupakan diri; adat membangun desa, jangan lupakan agama; adat membangun masyarakat, jangan tinggalkan adat”

Ungkapan lain mengatakan: dalam melaksanakan pembangunan, agama dimuliakan, budaya diutamakan, adat dikekalkan. Selanjutnya dikatakan:

“apabila agama tidak dipakai, alamat masyarakat akan meragai (sengsara dunia akhirat); apabila budaya tidak dipandang, alamat negeri ditimpa malang; apabila adat tidak diingat, lambat laun sengsaralah umat.”11

Ungkapan adat juga mengatakan:

“apabila pembangunan hendakkan berkah, agama jangan dipermudah; apabila membina hendak bermanfaat, jangan sekali meninggalkan adat.

Ungkapan yang lain menjelaskan:

“apabila alam sudah binasa, balak turun celaka tiba hidup melarat terlunta-lunta pergi ke laut malang menimpa pergi ke darat miskin dan papa

10Ibid 11Ibid

104 apabila alam menjadi rusak, turun temurun hidup kan kemak pergi ke laut di telan ombak pergi ke darat kepala tersundak hidup susah dada pun sesak periuk terjerang nasi tak masak

siapa suka merusak alam, akalnya busuk hatinya lebam siapa suka membinasakan alam, akal menyalah hati pun hitam

siapa suka merusak lingkungan, tanda hatinya sudah menyetan”

B. Falsafah Hidup Melayu Langkat Perkembangan kerajaan Aru sebagai muasal dari terbentuknya kerajaan Kesultanan Langkat merupakan Kerajaan Melayu yang sangat maju di masanya. Kerajaan kesultanan Langkat terkenal sebagai Kerajaan Islam Melayu, sebagaimana yang dijelaskan oleh Bungaran bahwa penduduk Melayu Langkat yang berada di kawasan Sumatera Timur merupakan percampuran dari berbagai suku bangsa.12 Ketika pada abad ke-13 Kerajaan Aru masih berdiri, terjadi proses pengislaman ke daerah-daerah pedalaman, yaitu Karo, Simalungun, Padang Lawas. Sehingga sering disebut memeluk agama Islam sama dengan masuk Melayu.13 Seiring penjelasan tersebut, maka sudah dipastikan seluruh lini kehidupan kerajaan Kesultanan Langkat secara mendasar dan universal yang terbentuk dalam konsep falsafah hidup Melayu berasal dari nilai-nilai ajaran Islam. Falsafah hidup14 melayu Langkat yang terpelihara dalam

12Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir., h. 12 13Ibid 14Falsafah berarti anggapan, gagasan, dan sikap batin yang paling dasar yang dimiliki oleh orang atau masyarakat; pandangan hidup. Lihat https://www.apaarti.com/ falsafah.html. diakses pada tanggal 18 September 2018.

105 budaya-melayu dapat dijadikan bukti dasar utama kemajuan Kesultanan Langkat. Oleh karenanya budaya melayu dalam kerajaan Kesultanan Langkat bersumberkan dari nilai-nilai ajaran Islam sebagai identitas yang sangat melekat. Bukti sejarah dapat dilihat dari dokumen kepemimpinan Sultan Musa tentang budaya-melayu yang tetap menjaga harmonisasi keragaman, artinya walaupun masyarakat Langkat majemuk akibat kunjungan berbagai suku dan agama namun tetap menjaga suasana dalam kerukunan. Kerukunan tersebut berasal dari resam,15 menurut Bungaran bahwa setiap pendukung kebudayaan Melayu, walaupun berada di manapun, pasti mempunyai resam (perasaan) yang sama.16 Resam ini tercermin di dalam setiap gerak kehidupan orang Melayu.17 Masa Kerajaan Langkat dari kepemimpinan Raja Syahdan hingga Raja Abdul Aziz kehidupan masyarakat dan pimpinan kerajaan senantiasa menjadikan budaya Melayu bersumberkan dari nilai-nilai ajaran Islam. Berkaitan dengan itu maka dapat dikatakan falsafah budaya-Melayu adalah berbahasa Melayu, beradat istiadat Melayu, dan beragama Islam. Pertumbuhan kerajaan Kesultanan Langkat tidak terlepas dari falsafah Melayu bersendikan hukum agama Islam atau sebuah ketentuan dan hukum harus bersandarkan Al-Qur’an. Agama Islam sebagai falsafah hidup budaya Melayu telah menjadikan Kesultanan Langkat maju dan mewarnai perkembangan zaman ketika itu. Menurut Haz bahwa dengan falsafah hidup Melayu kerajaan Langkat dikenal sebagai orang Melayu yang sangat cerdik, pintar dan manusia yang memiliki tata aturan diri bersopan-santun jika dibandingkan dengan warga negera lainnya.18 Umumnya falsafah hidup Melayu yang direpleksikan oleh masyarakat Melayu Langkat dimasa Kesultanan Langkat berasal dari proses pendidikan dalam keluarga atau proses pendidikan dalam lembaga pendidikan keagamaan semisal Jam’iyah Mahmudiyah. Selanjutnya Haz

15Resam itu artinya perasaan. 16Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir., h. 12 17Ibid. 18Wawancara dengan Bapak Haz, tanggal 14 Juni 2018.

106 menegaskan bahwa untuk menjaga falsafah hidup Melayu19 di lembaga pendidikan Mahmudiyah mereka senantiasa mempelajari bahasa Melayu dan berusaha memperluas pengetahuan mereka dan juga memperdalami bahasa Arab.20 Falsafah hidup Melayu yang lahir dari nilai-nilai dasar universal ajaran Islam hingga menjadi konsepsi dalam kesatuan sosial masyarakat Melayu Langkat merupakan cara, alat dan tujuan Kesultanan Langkat dan masyarakatnya secara bersama memelihara dan mengutuhkan orientasi budaya Melayu. Oleh karenanya disadari bahwa falsafah hidup Melayu sejalan dengan fungsinya sebagai gagasan yang bersifat solutif terhadap respon dari kebutuhan dan tuntutan zaman Kesultanan Langkat hingga masyarakat Langkat kini. Pertumbuhan kerajaan Langkat dengan falsafah hidup Melayu bercirikan Islam merupakan jati diri yang tak dapat dipisahkan. Sehingga semangat menyebarkan Islam oleh Kerajaan Kesultanan Langkat dirasakan oleh kolega dagang-dagang lainnya.21 Menurut Zainal hubungan dagang Kesultanan Langkat hingga menjadi kerajaan yang terkaya Melayu dimasanya dikarenakan mereka sangat enerjik dan penuh keinginan untuk maju.22 Kebiasaan nenek moyang dari kesultanan Langkat dalam hal; berdagang dan berani mengarungi lautan, jarang terlibat dalam soal kriminal, sangat suka kepada tegaknya hukum melekatnya diri dari aspek kesenian membawa mereka sebagai suku atau kelompok masyarakat yang

19Falsafah sangat demikian penting sebagai perkembangan hidup budaya Melayu, dan mengenal Melayu berdasarkan falsafah hidupnya merupakan hal-hal yang tidak dapat dipisahkan. 20Wawancara dengan Bapak Haz, tanggal 14 Juni 2018. 21Perdagangan pada masa dahulu telah mengalami kemajuan dengan adanya pelabuhan-pelabuhan di pantai timur Sumatera. Pada tahun 1814-1815 seluruh Sumatera Timur mengekspor 2.846 pikul lada ke Penang, dan pada tahun 1822 mengekspor lada hingga mencapai 30.000 pikul. lihat Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir., h. 12 22Wawancara Zainal, tanggal 18 Juli 2018. Sebagai tambahan bahwa sewaktu masa kolonial dulu, ada beberapa komoditi yang menghasilkan banyak pemasukan bagi Sultan Langkat yaitu antara lain: Karet, Kelapa sawit, kopi dan minyak. Pada periode tahun 1920-1930-an permintaan untuk komoditi industri karet dan minyak meningkat, hal ini mengakibatkan naiknya harga karet dan minyak saat itu. Dengan otomatis maka Sultan

107 disegani oleh yang lainnya. Secara umum Melayu Langkat dan Melayu lainnya memiliki persamaan dalam hal falsafah hidup dan mereka memiliki kebudayaan pantai yang bercorak perkotaan dan kegiatannya dalam bidang perdagangan dan kelautan. Menurut Bungaran yang membedakan Melayu yang satu dengan yang lainnya hanya bidang bahasa, yakni dalam cara pengucapannya (dialek).23 Perbedaan dialek timbul karena adanya percampuran dengan bahasa-bahasa dari suku bangsa lain.24 Tetapi makna pengucapan demikian tidak membedakan arti dan prisinpil falsafah-falsafah Melayu yang berkembang di tengah-tengah masyarakatnya. Sejarah masyarakat melayu Langkat merupakan tempat masyarakat majemuk dari berbagai suku dan agama sehingga adaptasi dan asimilasi- sosial25 yang terjadi membawa ke arah perubahan masyarakat dari masyarakat tradisional berpindah ke masyarakat modern yang rasional, di kabupaten Langkat. Walaupun demikian halnya dalam kehidupan sehari- hari masyarakat Langkat masih menjaga dan memelihara terciptanya kerukunan sebagaimana warisan budaya melayu yang sudah berlangsung sejak dahulu. Artinya masyarakat Melayu Langkat tetap menjaga falsafah hidup Melayu dan tetap memposisikan diri mereka sebagai orang Melayu yang identik dengan budaya Islam. Budaya Melayu yang terdapat di Kabupaten Langkat dalam sejarahnya sangat memberikan inspirasi kepada generasi kini. Gambaran tersebut

Langkat yang memegang konsesi tanah menjadi sangat kaya dari usaha kerjasama (kontrak) dengan perkebunan milik orang Eropa. Kilang minyak di pangkalan Brandan menjadi salah satu penyumbang terbesar untuk pemasukan bagi Sultan Langkat. Lihat http://srilangkatku.blogspot.com/2014/02/sejarah-singkat-langkat.html. diakses pada tanggal 15 Juni 2018. Dikutip dari tulisan Tengku Luckman Sinar, Sejarawan Melayu Langkat. 23Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir., h. 11 24Ibid 25Asimilasi dapat terjadi apabila memenuhi sejumlah persyaratan. Pertama, adanya kelompok manusia berbeda kebudayaan. Kedua, secara individu perindividu sebagai anggota kelompok tadi saling bergaul dan intensif dalam waktu yang lama. Ketiga, kebudayaan kelompok manusia tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri. Lihat Abdullah Idi, Dinamika Sosiologis Indonesia: Agama dan Pendidikan dalam Perubahan Sosial (Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara, 2015), h. 55

108 dapat diperhatikan banyaknya sejumlah falsafah-falsafah hidup Melayu dijadikan dasar utama mendukung kehidupan bersosial dan bernegara. Menurut Mutholib selaku Budayawan Langkat menuturkan bahwa Melayu itu bukan rupa, bukan kulit, bukan bahasa dan bukan orang, akan tetapi Melayu itu Alam, Melayu itu Dunia, Melayu itu Pemikiran Ketuhanan, Melayu itu budaya yang memerintah.26 Munculnya Kerajaan Melayu Langkat dengan corak falsafah hidup budaya Melayu dengan corak keIslaman, paling tidak membawa pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan dan kebudayaan Islam khususnya di daerah Langkat. Suku bangsa Melayu langkat mempunyai falsafah di dalam hidupnya, antara lainnya menurut Bungaran bahwa Melayu itu Islam, maka sifatnya universal dan demokratis bermusyawarah. Melayu itu berbudaya, maka sifatnya nasionalis. Melayu itu beradat maka sifatnya regional dalam Bhineka Tunggal Ika. Melayu itu berturai maka sifatnya mengutamakan ketenteraman dan kerukunan. Melayu itu berilmu, maka sifatnya berkepribadian menuju keilmuan.27 Seiring penjelasan di atas maka falsafah hidup Melayu sebagai bagian pendukung pembangunan kejayaan Kesultanan Langkat tetap harus digali dan dipelihara keberadaannya dalam budaya Melayu Langkat terkini.

C. Ciri-ciri Budaya Melayu dalam Falsafah Hidup Melayu pada Masa Kesultanan Langkat Hasil penuturan Zainal dan Haz, terkait dengan falsafah hidup melayu Langkat di masa Kesultanan Langkat yang terpelihara dalam budaya Melayu dapat diperhatikan pada ciri-ciri budaya melayu itu sendiri, di antaranya: 1. Peluang kesultanan Langkat mengatur sistem pemerintahannya dalam aspek keagamaan dan sosial-budaya berdampak kepada kebebasan Raja mengeluarkan kebijakan sesuai semangat nilai-budaya melayu Langkat. Gambaran tersebut dapat dilihat pada ciri-ciri budaya Melayu dalam falsafah hidup melayu bahwa seseorang disebut Melayu apabila

26Wawancara Bapak Mutholib di Medan, Tanggal 20 Juni 2018. 27Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir., h. 13

109 ia beragama Islam, berbahasa melayu dalam sehari-harinya, dan beradat istiadat Melayu. Sebagaimana falsafah tersebut berbunyi “adat Melayu itu bersendikan hukum syarak, syarak bersendikan kitabullah”. Oleh karenanya masa Kesultanan Langkat hingga kini memahami orang melayu adalah etnis secara kultural bukan genealogis.28 2. Dibangunnya lembaga tarikat Babussalam oleh Raja Musa memperlihat bahwa falsafah hidup orang melayu itu harus berpijak pada yang Esa. Artinya setiap manusia Melayu dalam menjalankan kehidupan sehari- hari setelah berusaha ia tetap menerima takdir, pasrah dan selalu bertawakkal kepada Allah Swt. 3. Masyarakat melayu dimasa Kesultanan Langkat banyak melakukan interaksi sosial dengan kalangan orang di luar Langkat. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengalaman menuju perubahan yang lebih baik menjadi hal terpenting bagi masyarakat Langkat ketika itu, maka falsafah hidup yang selalu mementingkan penegakan hukum menjadi ciri khas melayu langkat. 4. Diseganinya kerajaan Melayu Langkat sebagai kerajaan Islam di Sumatera Timur oleh kalangan kolega dagang, disebabkan bahwa kesultanan Langkat memegang falsafah hidup yang mengharuskan setiap manusia melayu mengutamakan budi dan bahasa, hal ini menunjukkan sopan-santun dan tinggi peradaban orang Melayu. 5. Alasan dibangunnya lembaga pendidikan Mahmudiyah di masa Kesultanan Langkat menunjukkan bahwa falsafah hidup orang melayu harus mengutamakan pendidikan dan ilmu. 6. Falsafah hidup melayu sangat berkaitan erat dengan budaya-melayu, oleh karenanya ciri-ciri tersebut dapat diperhatikan pada setiap orang melayu jika bercakap tidak kasar, berbaju menutup aurat, menjauhkan pantangan larangan dan dosa dan biar mati dari pada menanggung malu dirinya atau keluarganya, karena bisa menjatuhkan marwah keturunannya sebaliknya tidak dengan kasar mempermalukan orang lain.

28Genealogis adalah persamaan keturunan darah.

110 7. Falsafah hidup masyarakat melayu di masa Kesultanan Langkat adalah kegiatan musyawarah dan mufakat sebagai sendi kehidupan sosial kemasyarakatan melayu Langkat. Gambaran tersebut dapat diperhatikan pada acara perkawinan, kematian, selamatan mendirikan rumah dan lain-lain. Falsafah musyawarah dan mufakat ini merupakan ciri khas yang harus dipelihara terlebih terhadap kalangan kerabat atau handai taulan. 8. Kemajemukan masyarakat Langkat dengan sejumlah keragaman suku dan etnis yang senantiasa berdampingan dengan rukun sangat dipengaruhi oleh falsafah hidup melayu yang ramah dan terbuka kepada tamu, keramahtamahan dan keterbukaan orang Melayu terhadap segala pendatang (tamu) terutama yang beragama Islam.29

D. Falsafah-Falsafah dalam Kesultanan Langkat Hidupnya falsafah-falsafah masyarakat Melayu dalam sejarah Kesultanan Langkat mengandung arti berlakunya kepercayaan masyarakat Melayu Langkat pada sisi kehidupan yang paling dasar dan universal. Sebab, dengan adanya falsafah-falsafah tersebut masyarakat dapat mencari solusi, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat dalam menjalankan kehidupan bagi masyarakat Melayu, baik dalam beragama, berbudaya, bersosial, maupun berpengetahun. Adalah sasuatu yang penting untuk memahami dan mengenal falsafah hidup masyarakat Melayu Langkat dalam sejarah Kesultanan Langkat karena falsafah hidup masyarakat Melayu merupakan pandangan hidup mereka terhadap dunianya. Pandangan hidup ini menjadi azas dalam keputusan yang mereka perbuat setiap harinya, dan juga untuk mencari tahu tujuan

29Hasil wawancara dengan Bapak Zainal, tanggal 12 Juni 2018, dan Bapak Haz pada tanggal 14 Juni 2018. Beliau menambahkan bahwa Melayu dalam arti kata yang sebenarnya yaitu kepribadian dari batinnya yang patut kita warisi bukan hanya bersandar akan tubuh fisikalnya saja yang menjadi takrif akan arti Melayu itu. Inilah fitrah kita orang Melayu mewarisi akan nilainya sebagai Melayu dari mereka keturunan kita yang hebat ketika dahulu.

111 dalam kehidupan masyarakat Melayu Langkat dalam kesehariannya.30 Sejarah merupakan guru yang membimbing dan mengarahkan masa depan, maka petuah-petuah yang ada dalam budaya Kesultanan Langkat dapat menjadi inspirasi masyarakat Langkat terkini. Keinginan mengetahui hal-hal tentang pengalaman bathin maka kesultanan Langkat menyediakan lembaga Babussalam sebagai sarananya. Lalu masyarakatnya diperintahkan atau dianjurkan mengerjakan sesuatu, maka kesultanan menyediakan aturan dari agama Islam sebagai solusinya. Selanjutnya bagaimana pengharapan masyarakat Melayu Langkat untuk masa yang akan datang, kesultanan Langkat menyediakan lembaga pendidikan Jamaiyah Mahmudiyah dan Masjid Azizi sebagai tempat mengadu. Demikianlah simbol-simbol filosofi sosial keagamaan sejarah masyarakat Melayu Langkat di masa Kesultanan Langkat. Seiring penjelasan di atas, maka sejarah Kesultanan Langkat dalam menjalankan pemerintahannya sangat terikat dengan falsafah hidup masyarakat Melayu Langkat. Oleh karena itu, ketika Hindia-Belanda memberikan kebebasan bagi Kesultanan Langkat menjalankan adat dan istiadat kehidupan berbudaya masyarakatnya merupakan pengakuan identitas yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Kesultanan Langkat yang dikenal dengan adat-istiadat Melayu, bahasa Melayu, dan agama Islam merupakan simbol sejarah yang hingga kini patut untuk dilestarikan. Menurut Zainal bahwa ketiga hal tersebut (adat-sitiadat, bahasa Melayu, agama Islam) merupakan kepribadian orang Melayu Langkat.31 Artinya adat-istiadat Melayu Langkat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah menjadi dasar bagi setiap individu Melayu Langkat dalam kehidupan hariannya. Penjelasan di atas menyiratkan norma sopan-santun dan tata pergaulan orang Melayu, terlebih ketika acara-acara berlangsung di dalam Kerajaan Kesultanan Langkat mengenai ungkapan, pepatah, perumpamaan, , syair. Seiring penjelasan tersebut, sudah menjadi inspirasi bagi masyarakat Langkat bahwa Adat Bersandikan Syarak dan Syarak Bersandikan Kitabullah

30Wawancara dengan Bapak Zainal, tanggal 18 Juli 2018. 31Wawancara Zainal, tanggal 12 Juli 2018 di Pangkalan Brandan.

112 telah menjadi dasar masyarakat Melayu Langkat menjalani kehidupan sosial mereka baik antara sesama masyarakat Melayu Langkat maupun masyarakat lainnya terlebih terhadap orang asing semisal bangsa Hindia- Belanda, Cina, Delhi ketika dalam sejarah Kesultanan Langkat. Falsafah Adat Bersandikian Syarak, dan Syarak Bersandikan Kitabullah merupakan alasan yang sangat mendasar bahwa wilayah Langkat dijuluki sebagai Kota Islam. Ketika Falsafah tersebut terbentuk di tengah-tengah mayoritas penduduknya yang menganut agama Islam, dan sangat kental akan budaya Islamnya32 maka kehadiran Islam sebagai agama pada kenyataannya tidak hanya bersifat kerohanian saja melainkan juga membawa konsepsi konsepsi kemasyarakatan, kebudayaan, kesenian, dan bahkan politik-kenegaraan. Oleh karenyanya dalam sejarah Kesultanan Langkat dikenal dengan istilah penyebutan “Islam itu adalah Melayu dan Melayu itu adalah Islam”. Gambaran bukti sejarah tersebut merupakan keberhasilan kesultanan Langkat menciptakan dasar-dasar agama Islam sebagai budaya hidup sehari-hari masyarakat Melayu. Falsafah masyarakat Melayu di masa Kesultanan Langkat dapat ditarik sebuah pengantar kalimat yang sangat begitu memukau dituliskan oleh T.H.M Lah Husny,33 antara lainnya: 1. Melayu itu Islam, yang sifatnya universal dan demokratis bermusyawarah. 2. Melayu itu berbudaya, yang sifatnya nasional dalam bahasa, sastra, tari, pakaian, tersusun dalam tingkah laku. 3. Melayu itu beradat, yang sifatnya regional (kedaerahan)dalam bhineka tunggal ika, dengan tepung tawar, balai pulut kuning dan lain-lain yang mengikat tua dan muda. 4. Melayu itu berturai, yaitu tersusun dalam masyarakat yang rukun tertib34 mengutamakan ketenteraman dan kerukunan, hidup berdampingan

32M. Kasim Abdurrahman, Studi Sejarah Masjid Azizi Tanjung Pura-Langkat-Sumatera Utara (Jakarta Selatan: Najm, 2011), h. 107. 33Buku Butir Butir Adat Melayu Pesisir Sumatera Timur yang disusun oleh T.H.M. Lah Husny. 34Rukun tertib yang dimaksudkan puak melayu adalah keadilan dan kebenaran yang harus dapat dirasa dan dilihat.

113 dengan harga menghargai timbal balik, bebas tapi terikat dalam masyarakat. 5. Melayu itu berilmu, artinya pribadi yang diarahkan kepada ilmu pengetahuan dan ilmu kebathinan (agama dan mistik), agar bermarwah dan disegani orang, untuk kebaikan umum.35 Kebijakan-kebijakan pemerintahan Kesultanan Langkat dengan mengambil falsafah kehidupan sosial budaya keberagamaannya dikarenakan beberapa hal antara lainnya: 1. Islam tidak bertentangan dengan masyarakat yang berperikemanusiaan dan yang ber-Tuhan di kalangan masyarakat Melayu Langkat 2. Budaya tidak bertentangan dengan masyarakat Melayu yang ingin beradab dan mengingkat lahiriah dan batiniah. 3. Adat tak bertentangan dengan peradaban masyarakat Melayu Langkat yang ada rasa kekeluargaan, bukan individualistis. 4. Berturai tak bertentangan dengan masyarakat Melayu Langkat yang tahu harga diri, yang ingin kebenaran, keadilan dan kemakmuran yang merata dalam kehidupan. 5. Berilmu tak bertentangan dengan masyarakat Melayu Langkat yang ingin maju untuk kepentingan diri dan masyarakatnya. Bukti tersebut dapat diperhatikan Masjid Azizi dan Lembaga pendidikan Mahmudiyah merupakan simbol pengabdian pada Allah, manusia dan lingkungan, untuk kebahagiaan diri sekarang dan pada nantinya. Sejumlah falsafah-falsafah kehidupan masyarakat Melayu pada masa Kesultanan Langkat tidak terlepas dari penerapan syariat Islam oleh Kesultanan. Kalangan guru-guru agama Islam selain dijadikan sebagai sosok yang mengeluarkan patuah-patuah dalam bentuk nasehat-nasehat kepada Sultan mereka juga dimintai pendapatnya berkaitan dengan permasalahan hukum Islam. Falsafah Melayu yang terdapat dalam pemerintahan Sultan Langkat juga hidup sebagai sistem kehidupan masyarakat melayu Langkat, seluruh

35Sebagaimana hal juga yang dituliskan oleh Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir., h. 12-13.

114 warga yang berada dalam perlindungan Sultan Langkat terikat dengan adat Resam Melayu. Adat ini sebagian besar dipengaruhi oleh agama Islam. Maksudnya, kebiasaan-kebiasaan yang tidak sesuai dengan yang diajarkan atau yang diatur dalam agama Islam berangsur-angsur akan dihilangkan. Jadi falsafah hidup yang tertuang dalam adat resam36 melayu adalah adat dan kebiasaan masyarakat melayu yang telah diislamisasi. Oleh karena itu, peran guru-guru agama cukup besar dalam menginternalisasi falsafah nilai-nilai Islam ke dalam masyarakat Langkat.

36Artinya perasaan. Resam ini tercermin di dalam setiap gerak kehidupan orang Melayu. Lihat Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir., h. 12.

115 116 BAGIAN KEENAM

REVOLUSI SOSIAL DI KESULTANAN LANGKAT DAN KONTRIBUSI KESULTANAN LANGKAT UNTUK NKRI

A. Latar Belakang Revolusi Sosial Dalam mewujudkan suatu negara baru bukanlah suatu hal yang mudah, apalagi di wilayah bakal negara baru tersebut terdapat kerajaan-kerajaan yang telah lama berkuasa. Ketika kerajaan-kerajaan tersebut harus bergabung dan berada di bawah satu kekuasaan negara baru, sebagian di antaranya menyatakan tidak setuju. Akibatnya, muncullah revolusi sosial mengikis bentuk-bentuk kekuasaan lama dan menciptakan bentuk dan sistem baru. Peristiwa seperti ini pun terjadi setelah Negara Republik Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Salah satu peristiwa revolusi sosial tersebut terjadi di Langkat. Langkat adalah salah satu wilayah yang disebutkan dalam peristiwa revolusi sosial. Di sana, banyak raja-raja dan diturunkan dan dibunuh. Raja yang ada di Langkat adalah bangsa Melayu. Revolusi sosial di Langkat adalah suatu proses perubahan yang tidak banyak diketahui oleh rakyat,

117 begitu pula dengan penyebabnya. Yang diketahui oleh rakyat hanyalah raja-raja yang diturunkan dari jabatannya. Akibat revolusi sosial di Sumatera Timur, 34 orang keluarga Sultan Langkat dibunuh dan bangsa Melayu yang terlibat dalam pemerintahan kesultanan menjadi sasaran dari peristiwa revolusi sosial.1 Berakhirnya Kesultanan Langkat di tangan revolusi sosial adalah dalam suasana yang sangat memilukan. Hampir semua kerajaan di Sumatera mengalami kekacauan yang luar biasa pada bulan Maret 1946, tidak terkecuali sultan, keluarga sultan, para petinggi kerajaan, cerdik pandai, bahkan rakyat kesultanan Islam dibantai habis-habisan. Banyak dari kerajaan tersebut hanya tinggal nama semata, dan puing-puing sisa keberadaan sejarah dan kejayaan masa silam. Di Asahan, dikabarkan telah jatuh korban jiwa sebanyak 15 ribu orang, demikian juga pada tempat- tempat lainnya, di Langkat dinyatakan sebagai tempat pembantaian paling parah. Dengan demikian berakhirlah riwayat kesultanan Sumatera Timur, termasuk Kesultanan Langkat. Pada saat terjadi proklamasi kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Langkat mendukung sepenuhnya terhadap Pemerintah Republik Indonesia. Demi eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat diharapkan dan telah lama ditunggu kehadirannya tersebut, Kesultanan Langkat menyerahkan kekuasaannya kepada Pemerintah Indonesia. Gelar kesultanan pada Kesultanan Langkat memang tetap ada dan berlangsung terus, tapi sejak saat ini dia tidak memiliki kekuasaan lagi, karena kekuasaan tersebut telah diserkan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Berlakukan situasi “Kesultanan tanpa Kekuasaan (Raja tanpa kerajaan dan rakyat).” Dalam mewujudkan suatu Negara baru hasil perjuangan bangsa yang dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945, bukanlah hal yang mudah semudah apa yang direncanakan. Terlebih lagi di Negara tersebut telah ada dan telah beratus tahun tumbuh yakni negara-negara kerajaan yang

1Andika Bakti, “Konstruksi Melayu Saat Revolusi Sosial Sumatera Timur Di Kesultanan Langkat Dalam Surat Kabar (Analisis Framing tentang Konstruksi Melayu Saat Revolusi Sosial Sumatera Timur di Kesultanan Langkat dalam Surat Kabar Pandji Ra’jat)”, https:// jurnal.usu.ac.id. Dilihat pada 12 September 2018.

118 telah lama berkuasa dan mempunyai wewenang secara otonomi sendiri. Tiba-tiba saja kerajaan-kerajaan ini harus dipaksakan untuk bergabung dan berada di bawah satu kekuasaan rakyat dalam satu negara republik, pastilah hal ini tidak disetujui oleh kerajaan-kerajaan tersebut. Maka satu- satunya jalan untuk mewujudkan hal tersebut diatas adalah dengan jalan revolusi dengan secara paksa mengikis habis bentuk-bentuk lama dan menciptakan bentuk dan sistem baru sesuai dari yang direncanakan. Seperti yang terjadi pada revolusi sosial di Sumatera Timur dan Langkat mempunyai Latar belakang sebagai berikut: 1. Adanya kendala yang dialami dalam mewujudkan Pengumuman Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 serta upaya pembentukan Pemerintah RI dengan Komite Nasionalnya di Sumatera Timur disesabkan Para Raja dan Sultan kerajaan menolak dan tidak mendukung sama sekali, kalau pun mendukung sifatnya kamuflase belaka. Hal ini dapat dibuktikan ketika Dr. M.Amir selaku anggota panitia persiapan Kemerdekaan Indonesia yang pada tanggal 3 September 1945, mengundang tokoh-tokoh Tyou SangiKai (badan Permusyaratan sejenis DPR ala Jepang) yang anggotanya adalah Para Raja dan Sultan se Sumatera Timur serta Amtenaren dimana mereka menolak untuk mendukung pemerintahan RI di Sumatera Timur, satu satunya sultan yang mendukung adalah Tengku Syarif Kasim Sri Indrapura Kerajaan Siak. 2. Informasi tentang gagalnya kebijakan yang ditempuh oleh Mr. T.M. Hasan dan Dr. M.Amir pada point di atas telah diketahui oleh pemuda dan Rakyat, sudah tidak menjadi rahasia umum lagi sehingga menimbulkan emosi terpendam bagi rakyat. 3. Setelah diumumkan secara resmi oleh Syou Tyouskan Kaka Gunseikanbu Tashuro Nakasima Gubnur Militer Jepang untuk Sumatera Timur dalam siding Tyou Sangi Kai pada tanggal 24 Agustus 1945 di Medan membentuk Panitia penyambutan (comite van onstvangst) dalam menyambut kedatangan tentara sekutu (tentara Inggris dan Belanda) untuk kembali menjajah Indonesia. Panitia ini di ketuai Sultan Mahmud Abdul Azis dan Dr. Mansyur sebagai wakil ketua.

119 4. Mr.T.Hasan telah menyadari kekeliuran selama ini untuk mewujudkan proklamasi 17 Agustus 1945 di Sumatera Timur dan pembentukan Pemerintahan RI Sumatera Timur serta pembentukan Komite Nasional tertunda sampai 30 hari. Dengan terbentuknya Barisan Pemuda yang merupakan tulang punggung pemerintah Ri di Sumatera Timur, maka tanggal 3 Oktober 1946 dengan resmi diumumkan Pemerintah RI Provinsi Sumatera dengan Gubernur dan wakil Mr.T.M.Hasan dan Dr. M. Amir. Dan hari itu juga ditetapkan pengangkatan staf gubernur para presiden se Sumatera, antara lain: Tengku Nya Arif residen Aceh, Luat Siregar residen Wali Kota Medan, Tengku Hafas residen Sumatera Timur, dr.F.L. Tobing Residen Tapanuli, Dr. M.Syafei Residen Sumatera Barat, Ir. Indra Cahaya Residen Bengkulu, Dr. Amiruddin residen Riau, Mr. Abbas residen Lampung, M.A. Ayarief residen Bangka Belitung dan Dr.A.K Gani residen Sumatera Selatan. Serta keesokan harinya tanggal 4 oktober 1945, Gubernur Sumatera untuk pertama sekali mengeluarkan pernyataan sebagai berikut: “ semangat rakyat Indonesia dewasa ini sesudah perang pasifik adalah sangat berbeda sekali dengan semangat sebelum perang pasifik”. 5. Keberadaan tentara Inggris dan Belanda dibawah komando Brigjen TED Kelly telah memperburuk suasana, dengan sengaja melakukan teror dan provokasi memancing terjadinya bentrok dan pertempuran di Kota Medan. Dengan hasutan Nica Raja-Raja dan Sultan Se- Sumatera Timur telah dibentuk pula organisasi PADI (Persatuan Anak Deli Islam) dengan ketuanya Dr.T.Mansyur, Raja Kaimsyah Sinaga, T.hafas dan OK.Ramli. Melalui PADI dibentuk pula pasukan ke 5 (vijfd kolone) yang dipersenjatai pihak NICA. Adanya Maklumat tanggal 1 Desember 1945 yang ditanda tangani bersama Mayjen H.M Chambers Panglima Inggris dan Jenderal Tanabe Panglima tentara Jepang di Sumatera dengan isi Maklumat yaitu: a. Segala tempat-tempat, kota-kota yang belum diduduki tentara Inggris mesti diserahkan kembali kepada tentara Jepang. b. Tentara Jepang akan menjaga pengawalan dan keamanan dengan jumlah tentara yang telah ditentukan.

120 c. Tentara Jepang melaksanakan perintah sipil. Dengan dikeluarkannya maklumat tersebut, jelas bahwa Inggris tidak mengakui kedaulatan RI, tentulah menimbulkan kemarahan Rakyat. Usaha terakhir dilakukan Gubernur Sumatera tanggal 3 Februari 1946 dengan mengundang para sultan, raja-raja dan Sibayak-Sibayak se Sumatera dan hasilnya tidak merubah paham politik raja-raja yang memihak kepada Nica.

B. Terjadinya Revolusi Sosial Berdasarkan permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah Provinsi Sumatera dan Barisan Pemuda serta latar belakang sebagaimana dijelaskan di atas, emosi dan kemarahan Rakyat tidak terbendung. Maka pada 3 Maret 1946 terjadilah apa yang disebut revolusi sosial di Sumatera Timur.186 Rakyat menuntut agar membubarkan pemerintahan istimewa (Sistem kerajaan di Sumatera Timur) serta mendirikan pemerintahan dari rakyat untuk rakyat. Revolusi sosial ini ditujukan kepada orang-orang dan golongan yang ternyata berkhianat kepada bangsa dan tanah air Indonesia, rakyat mulai menyerang istana Raja-raja Deli, Langkat, Asahan, Siantar, Tanah Karo dan lain-lain. Sementara itu Sultan Deli yang berada di Istana Maimun

2Sultan Langkat, Tuanku Azwar Abdul Jalil Rahmatsyah sempat memaparkan sejarah singkat Revolusi Sosial 1946. Revolusi Sosial Sumatera Timur merupakan gerakan sosial dalam melenyapkan kebaradaan Kesultanan dan Kerajaan Melayu. Revolusi ini dipicu gerakan kaum Komunis yang berusaha menghapuskan sistem kerajaan dengan alasan antifeodalisme dengan melibatkan sejumlah orang secara terorganisir. Dalam peristiwa itu, terjadi pembunuhan sejumlah Sultan dan keluarganya, golongan menengah pro republik dan pimpinan lokal administrasi Rebublik Indonesia. Seperti yang terjadi di Kesultanan Kualuh, salah satu Kerajaan Melayu yang berada di Tanjung Pasir, Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura) pada 3 Maret 1946 lalu. Sultan Kualuh, Tuanku Al Hadji Moehammad Sjah diseret saat sedang salat malam di rumahnya oleh sekelompok orang, kemudian di bawa ke kawasan Kuburan Cina, sebuah komplek perkuburan etnis Tionghoa. Kelompok orang bersenjata tajam juga membawa Tengku Mansyoer Sjah gelar Tengku Besar, putera Sultan Kualuh ke lokasi yang sama. Demikian juga Tengku Dirman Sjah, adik kandung Tengku Mansyoer Sjah. Ketiganya kemudian disiksa lalu ditinggalkan begitu saja dalam keadaan sekarat. Beruntung, pada pagi hari seorang nelayan yang sedang melintas menemukan ketiganya kemudian membawa ke para korban ke istana untuk mendapatkan perawatan. Sekitar pukul 11 siang, datang sekelompok orang berbeda menjemput ketiganya dengan alasan akan membawa ke rumah sakit. Sejarawan Melayu Tengku

121 dapat terlindungi dari amukan rakyat dengan digelarnya revolusi sosial dikerenakan Istana Maimun berada dalam pendudukan serdadu Inggris di

Haris Abdullah Sinar dalam sebuah literatur mengatakan, para petinggi Kesultanan Kualuh tersebut dibunuh saat azan sedang berkumandang.”Saat hendak dibunuh, Tuanku sempat berkata; Bila kalian hendak membunuh kami, tunggulah Obang (azan) selesai dikumandangkan dan izinkan kami sembahyang sekejap,” pinta Tuanku saat itu. Permintaan tersebut tidak dikabulkan. Sultan Kualuh dan kedua puteranya tewas dibunuh. Peristiwa serupa juga terjadi di Kesultanan Panai, Kota Pinang, Negeri Padang Tebing Tinggi dan Kesultanan Bilah yang menewaskan Tuanku Hasnan. Kesultanan Langkat juga mengalami nasib serupa. Tidak sedikit perempuan keluarga Kesultanan diperkosa dihadapan orangtua dan keluarganya. Sedangkan lelaki dibantai dengan sadis. Akibatnya, Kesultanan Langkat banyak kehilangan petinggi kerajaan dan sejumlah pakar. Dalam peristiwa ini, seorang sastrawan Tengku Amir Hamzah, Pangeran Langkat Hulu dan Wakil Pemerintah Republik Indonesia saat itu, turut terbunuh. Peristiwa pembunuhan Tengku Amir Hamzah terjadi pada 7 Maret 1946. Dalam peristiwa itu, Tengku Amir Hamzah dan sejumlah petinggi Kesultanan Langkat dijemput paksa menggunakan truk terbuka oleh sekelompok orang kemudian di kumpulkan di Jalan Imam Bonjol, Binjai. Bersama tahanan lainnya, Tengku Amir Hamzah disiksa kemudian dibunuh di perladangan di kawasan Kuala Begumit oleh Mandor Iyang Wijaya yang tidak lain adalah pelatih kesenian silat kuntau Istana Langkat. Sebelum melakukan pembunuhan, algojo mengabulkan dua permintaan Tengku Amir Hamzah. Pertama; Tengku Amir Hamzah minta penutup matanya dibuka karena ingin menghadapi ajal dengan mata terbuka. Kedua; Tengku Amir Hamzah meminta waktu untuk salat sebelum hukuman dijatuhkan. Pembantaian dan pembunuhan juga terjadi di Negeri Padang, salah satu Kerajaan Melayu di Tebing Tinggi pada 3 Maret 1946. Dalam peristiwa ini, cucu Tengki Tebing Pangeran, Tengku Sortia, tewas ditangan sekelompok orang. Peristiwa terjadi saat Tengku Sortia sedang sholat di rumahnya di kawasan Tongkah, perkebunan tembakau milik kerajaan Negeri Padang, bersama isterinya Puang Maimunah. Perkebunan Tongkah berada diantara Kabupaten Simalungun dan Serdang Bedagai (Sergai). Tengku Sortia diseret dari rumah kemudian dibunuh. Jasadnya dihanyutkan ke sungai tidak jauh dari rumahnya. Di malam yang sama, 3 Maret 1946, Kesultanan Asahan di Tanjung Balai juga mengalami nasib serupa. Sebelum azan Shubuh berkumandang, Tengku Muhammad Yasir menyambut sang ayah di rumahnya yang baru tiba dari istana setelah bersiaga akibat tersiar khabar akan terjadi penyerangan. Rumah Cucu Sultan Asahan X ini berada di lingkungan Istana Kesultanan Asahan, di lingkaran Kota Raja Indra Sakti yang ditengahnya terhampar lapangan hijau. Tengku Muhammad Yasir yang saat itu masih berusia 15 tahun, melihat sejumlah orang mengendap-endap kea rah istana saat membukakan pintu untuk ayahnya. Karena takut, Tengku Muhammad Yasir kemudian masuk ke dalam rumah bersama ayahnya. Pukul 6 pagi, Istana Kesultanan Asahan diserang sekelompok orang. Sultan Asahan saat itu, Tuanku Sjaiboen Abdoel Djalil Rachmatsjah, berhasil melarikan diri melalui pintu belakang istana. Satu jam kemudian, sekelompok orang datang ke rumah Tengku Muhammad Yasir dan membawa ayahnya. Tengku Muhammad Yasir tidak turut di bawa karena sedang menderita sakit pada bagian

122 mana pasukan sekutu menempatkan markas mereka di istana Maimun, sehingga gerakan revolusi sosial ini tidak sanggup menyerang Istana Maimun. Pada hari itu juga setelah digelarnya revolusi sosial wakil gubernur Sumatera tanggal 5 Maret 1946 mengeluarkan pernyataan sebagai berikut dengan tiba-tiba rakyat di seluruh Sumatera Timur telah bertindak menegakkan revolusi sosial yang maha hebat. 1. Tindakan rakyat yang menyapu bersih segala musuh-musuh Negara RI di dalam negeri saya ucapkan terima kasih dengan perasaan syukur, dengan harapan segala tindakan diperhitungkan laba dan ruginya dan dilakukan dengn prikemanusiaan untuk menghindarkan korban revulusi sosial sedikit mungkin. 2. Kepada rakyat diharapkan tetap aman dan bekerja ditempatnya masing- masing seperti biasa agar pemerintah RI berjalan lancar, saya yakin yang tidak berdosa kepada bangsa dan tanah air tidak akan mendapat gangguan dari pihak manapun. 3. Kepada bangsa asing untuk tidak mencampuri revolusi sosial bersikap tidak memihak dan loyal terhadap Negara RI. 4. Dalam situasi yang genting ini perlu diambil tindakan yang luar biasa, susunan dan cara kerja pemerintah Provinsi Sumatera akan dirubah sesuai dengan Undang-Undang dasar dan keinginan rakyat. Sehubungan dengan itu pemerintah keresidenan sumatera Timur, mulai hari ini 5 Maret 1946 dilaksanakan oleh M.Yunus Nasution sebagai Residen Sumatera Timur menggantikan T.hafas. dalam tugasnya M. Yunus Nasution dibantu oleh Badan Pekerja Komite Nasional Sumatera

kaki yang mengalami pembusukan hingga mengeluarkan aroma tidak sedap. Pasca penangkapan ayahnya, Tengku Muhammad Yasir menyelamatkan diri ke rumah kakak sepupunya, Tengku Haniah. Ternyata, Tengku Muhammad Yasir tidak menemukan seorangpun lelaki di rumah itu. Semua telah ditangkap sekelompok orang. Dokumen Belanda memperkirakan, pembantaian di wilayah Kesultanan Asahan tahun 1946 menelan korban mencapai 1.200 orang. Belum lagi di sejumlah Kerajaan Melayu dan Kesultanan di Sumatera Timur lainnya. Banyak kerangka korban yang terkubur tak beraturan di Sungai Londir. Bahkan ada di dinding-dinding tanah. http://beritasumut.com/peristiwa/ Mengenang-70-Tahun-Revolusi-Sosial-Sumatera-Timur.

123 Timur dan Badan Persatuan Perjuangan (Volksvront) serta membantu Mr. Luat Siregar dalam menyusun kembali pemerintah RI di daerah- daerah. Revolusi sosial sudah menjalar mulai dari Langkat sampai ke Kualuh dan Rantau Perapat, pasukan Jepang yang berada di daerah memang tidak mencampuri sama sekali.Gejolak revulusi sosial diawali tanggal 3 Maret 1946 pukul 20.00 wib dengan menculik beberapa tokoh feodalis Kerajaan Langkat yang dianggap sebagai pengkhianat bangsa semuanya diculik bahkan beberapa orang dibunuh di antaranya adalah Sekretaris Sultan Langkat Datuk M.Jamil yang sangat radikal memihak pada Pemerintahan Kolonial Belanda, ketika akan dibawa ia mencoba membela diri serta menghadang rombongan yang akan memasuki istana, akhirnya Datuk Jamil tewas dibunuh. Dalam penyerangan yang mengatas namakan rakyat ini dipelopori oleh tokoh Partai Komunis PKI Langkat yaitu Usman Parinduri, Marwan, Sanusi dan Arifin Enesri serta dilapisi baris kedua dari tokoh Pesindo Langkat, sementara itu pihak Partai MASYUMI Langkat memang tidak ikut campur tangan sama sekali, malam itu juga partai Masyumi yang dikoordinir oleh Pimpinannya Syekh H.Abdullah Afifuddin dan Syekh Abdurrahim Abdullah berkumpul di Masjid Azizi sebanyak lebih 300 orang anggota Masyumi berkurung di Masjid Azizi untuk tidak mencampuri kegiatan revolusi sosial ini yang di gelar malam itu. Sebab antara Masyumi dengan PKI memang bersebrangan jalan dan bersebrangan ideologi. Masyumi adalah partai Islam yang berlandaskan Kitabullah dan Sunnah Rasul dan memang dilarang untuk merampok apalagi membunuh orang-orang yang memang belum tentu bersalah. Sementara PKI adalah Partai Komunis memang tidak mengenal agama sama sekali dengan dapat demikian menghalalkan segala cara demi kepentingan pribadi ataupun kelompok. Yang sangat menyedihkan serta menyayat hati adalah sifat kebinatangan dari beberapa tokoh PKI ini di antaranya Usman Parinduri dan Marwan dalam melakukan penyerangan di Istana Sultan Langkat di samping mengambil kesempatan merampok atau menjarah perhiasan emas milik permaisuri dan putri Sultan Mahmud bahkan memperkosa dua orang putri Sultan Mahmud. Inilah makna dan hikmah dari revolusi sosial

124 di atas suatu perjuangan suci dalam menegakkan kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang menjiwai proklamasi 17 Agustus 1945. Pada tanggal 3 Maret 1946 pukul 20.00 malam itu juga dilakukan penangkapan kepada Sultan Mahmud Abdul Azis selaku Sultan Langkat beserta keluarganya di istana Sultan Langkat di Tanjung Pura, Sultan Mahmud serta putra mahkotanya T.Musa dan permaisurinya dilakukan tahanan rumah, sementara para pembesar kerajaan dan pengawal diculik bahkan dibunuh di tempat, sehingga banyak memakan korban di pihak kerabat istana Sultan Langkat termasuk Mr. Darus Umar seorang komponis kerajaan Langkat yang hingga kini tidak tahu di mana pusaranya. Beberapa hari kemudian tanggal 6 Maret 1946 Sultan Mahmud beserta permaisuri dan putra Mahkotanya T. Musa diculik oleh tokoh PKI ini dan dibawa ke Batang Serangan, karena kantor perkebunan Batang Serangan ini merupakan Markas PKI. Serta beberapa hari kemudian Sultan Mahmud beserta permaisuri dan putra mahkotanya T.Musa dijemput oleh kelompok Volkvront dan dibawa ketahanan Brastagi. Perampokan dan Penjarahan harta benda milik Sultan dari istananya di Tanjung Pura tidak mengherankan lagi, tokoh pergerakan yang mengatas namakan amarah rakyat tentulah mencari kepentingan dan keuntunga pribadi di dalam suatu kesempatan yang sangat berarti bagi mereka. Apakah wajar dari satu kesalahan beberapa pembesar negeri Kesultanan Langkat yang tidak mendukung berdirinya sebuah Negara republik hasil keringat dari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, lalu orang yang berada di sekitarnya yang memang tidak mengerti sama sekali ikut menjadi korban penculikan, pembunuhan, dan pemerkosaan. Apakah demikian rencana sebuah revolusi digelar, orang-orang yang tidak bersalah ikut rantan menjadi korban. Namun itulah resiko dari suatu revolusi. Sementara itu Bung Karno dalam suatu kesempatan pernah berpidato “revolusi kita adalah revolusi nasional dan bukan revolusi sosial yang saling menghancurkan”. Setelah beberapa hari terjadinya revolusi sosial di istana Sultan Langkat dengan korban keluarga besar Sultan Mahmud, maka oleh Volkfront Langkat di antaranya, Amar Hanadiah, Ibnu Ja’Far Syekh. H. Abdullah Afifuddin, Syekh H. Abdurrahim, Mahmuddin, dan lain lain mengevaluasi dari

125 keuntungan pribadi seperti Arifin Esneri, Usman Parinduri, Marwan, dan Sanusi ditangkap oleh Volkfront. Kepada Arifin Esneri ditugaskan jika kesalahan ingin dimaafkan lakukan hukum tembak kepada pelaku pemerkosa putri Sultan Langkat. Oleh Arifin Esneri membujuk ketiga temannya Usman Parinduri dan Marwan untuk bersama ke Batang Serangan dalam melaksanakan satu tugas, tanpa ada kecurigaan keduanya mengikuti ajakan Arifin Esneri, sesampai di Tanjung Selamat keduanya dibunuh oleh Arifin Esneri dengan tembakan pistol. Tengku Amir Hamzah semasa hidupnya ketika masih menjadi mahasiswa di Jakarta dikenal oleh Sastrawan teman seangkatannya sebagai raja Penyair Pujangga Baru. Di dalam dunia penyair dan sastrawan beliau termasuk angkatan tahun 20-an, karena kemampuan beliau mempermainkan kata dengan kalimat sastranya dalam karya puisi yang diciptakan yang terkadang puisinya dianggap misteri, namun ada yang beranggapan Amir Hamzah beraliran sufi. Dalam aktivitasnya ketika menuntut ilmu di Pulau Jawa, beliau termasuk orang pergerakan dalam menuju Indonesia merdeka, ketika pulang ke kampung halaman di negeri Langkat diawal kemerdekaan beliau diangkat menjadi asisten residen wilayah Langkat dalam sebuah Negara Republik Indonesia. Namun sayang seperti pepatah Melayu mengatakan tuah ada celaka menanti, fitnah menerpa dirinya ia pun dituduh sebagai pengkhianat bangsa yang akhirnya hidup diterpa hukuman pancung tanpa terlebih dahulu diadili dalam suatu Mahkamah Pengadilan benar ia bersalah atau tidak. Tengku Amir Hamzah dengan panggilan kecilnya Tengku Bungsu lahir di Tanjung Pura pada tanggal 11 Februari 1911 dari pasangan ayah dan bundanya T. Pangeran Adil dan T. Mah Jiwa. Amir Hamzah masih keturunan dan pewaris dari tahta Kerajaan Langkat. Kakek kandungnya adalah Tengku Hamzah atau Tengku Sulung putra tertua dari Tengku Musa (Sultan Musa). Sejak kecil ia telah diajarkan tentang nilai luhur budaya adat Melayu dan nilai Islam. Ia mulai menapaki jenjang pendidikan di HIS Tanjung Pura, kemudian melanjutkan ke MULO Medan hanya satu tahun lalu meneruskannya ke MULO Jakarta. Usai dari Mulo Jakarta Amir Hamzah melanjutkan pendidikan AMS ketimuran Solo. Selama berada di Solo beliau aktif dalam pergerakan

126 kebangsaan menuju Indonesia merdeka, ketika itu pergerakan kebangsaan ini masih bersifat kedaerahan seperti adanya Jong Ambon, Jong Celebes, Jong , Jong Batavia, Jong Sumatera, Jong Bataksbon, dan lain sebagainya. Atas kesadaran dan kesepakatan mereka bersama organisasi kedaerahan tersebut dilebur menjadi satu dengan nama gerakan Indonesia Muda. Ketika dilaksanakan kongres Indonesia Muda di Solo tanggal 29 Desember 1930 sampai 2 Januari 1931, Amir Hamzah terpilih sebagai ketua delegasi Solo. Setelah menamatkan pendidikan AMS di Solo, beliau melanjutkan ke Perguruan Tinggi di Jakarta yaitu di Sekolah Hakim Tertinggi Recht Hoge School (RHS) Jakarta tahun 1932. Ketika di Jakarta inilah Amir Hamzah mulai aktif dalam kancah politik bersama kaum pergerakan dan tokoh Pemuda Nasional seperti Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, Rustam Efendi, Syafruddin Prawiranegara, Armin Pane serta Sutan Takdir Ali Syahbana teman satu kamarnya rumah kontrakan di jalan Sabang Jakarta. Tahun pertama pendidikannya di RHS ibunya meninggal dunia, namun tidak menurunkan semangatnya untuk belajar. Sambil kuliah ia juga aktif menulis di Majalah Timbul dan Majalah Pujangga Baru bersama teman dekatnya Sutan Takdit Ali Syahbana, Armin Pane dan Achdiat Kartamiharja. Di samping tulisan sastra dan puisi ia juga menulis artikel politik yang mengarah pada kritikan tajam terhadap pemerintahan Belanda, namun dalam tulisan ia selalu menggunakan nama samaran. Ketika pendidikannya berada tahun ketiga ayahnya T. Pangeran Adil wafat, biaya perkuliahan pun terputus, terpaksa Amir Hamzah menjadi guru honorer di Perguruan Taman Siswa dan Perguruan Muhammadiyah Jakarta demi menunjang biaya perkuliahan. Pada hal sekolah-sekolah Belanda yang ada di Jakarta menawarkan padanya untuk menjadi guru dan akan diberi beasiswa melanjutkan studi ke Nederland. Namun Amir Hamzah menolaknya, ia lebih senang menjadi guru di sekolah kebangsaan negeri seperti Taman Siswa dan Perguruan Muhammadiyah. Beberapa bulan setelah wafat ayahnya T Pangeran Adil, oleh Sultan Langkat mengambil alih tanggung jawab biaya perkuliahan Amir Hamzah. Gerak gerik aktivitas politik organisasi pergerakan dan tulisan

127 tajamnya di majalah Timbul dan Pujangga Baru, diketahui oleh pemerintahan Belanda lalu melaporkan hal tersebut kepada Tengku Mahmud Abdul Azis selaku sultan Langkat agar Amir Hamzah ditegur dan dinasehati. Kemudian Sultan Langkat mengirim surat agar Amir Hamzah pulang sejenak halamannya di Tanah Langkat. Sesampai di Kerajaan Langkat di hadapan kerabat Kesultanan Amir mendapat teguran keras dari Sultan Mahmud yang merupakan pamannya sendiri, ia diberi dua pilihan terus kuliah dan dibiayai oleh sultan serta menghentikan aktivitas politiknya atau terus berpolitik dan Kerajaan Langkat mendapat masalah dengan pemerintahan Belanda. Pilihan yang sangat berat bagi Amir Hamzah yang akhirnya ia kembali ke Jakarta meneruskan kuliah namun secara sembunyi- sembunyi ia terus aktif berpolitik dalam menentang Pemerintahan Belanda. Ia selalu berkonsultasi mencurahkan perasaan dan hati yang sedang dilanda keresahan untuk menghentikan perjuangan karena rintangan Sultan Langkat ini terutama kepada kekasihnya sendiri yaitu Ilik Sundari seorang gadis Solo juga ikut dalam dunia pergerakan. Gerak-gerik Amir Hamzah selama di Jakarta tetap diawasi oleh pemerintahan Belanda dan mengirim surat teguran kers kepada Sultan Langkat yang akhirnya Amir Hamzah terpaksa panggil Pulang dan menghentikan kuliahnya yang belum selesai. Amir Hamzah pun dinikahkan dengan putri Sultan Mahmud yaitu Tengku Kamaliah sehingga dengan terpaksa aktivitas politiknya terkubur, karena ia harus menetap di Tanjung Pura. Amir pun mendapat jabatan baru sebagai Raja Muda dengan gelar Tengku Pangeran Indra Putra Kesultanan Langkat. Sejak itu pula semangatnya hilang jiwanya seakan mati lalu terhimpunalah puisi puisinya dalam kumpulan puisi masing-masing buah rindu, nyanyi sunyi, dan setanggi Timur. Ketika Amir Hamzah dipaksa pulang ke Langkat menghentikan kuliah dan cita-cita politiknya menuju Indonesia merdeka lalu dipaksa menikah dengan putri pamannya adalah orang yang dianggap berjasa dalam hidupnya, maka sejak itu pula dirinya terbelenggu, dia pasrahkan jiwanya dan jasadnya untuk kepentingan paman sekaligus mertuanya Sultan Mahmud. Dirinya bagai boneka yang dipermainkan, ia benar-benar frustasi, perjuangan mencapai Karier kehidupan, perjuangannya mencapai

128 kemerdekaan, dan perjuangannya mencapai cinta dengan gadis Solo Ilik Sundari harus hancur begitu saja, yang terpikir di hatinya adalah kematian dan maut. Oleh sebab itu ketika tanggal 24 Oktober 1945 tim khusus pemerintahan republik yang dipimpim oleh DR. M. Amir Wakil Gubernur Sumatera melakukan perundingan mengangkat Amir Hamzah sebagai asisten residen wilayah Langkat, ia juga pasrah tanpa banyak protes, karena ini bukan kemauannya sang mertua. Lebih lengkap perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan: 1. Bahwa Kesultanan Langkat di bawah perlindungan dan naungan pemerintahan Republik Indonesia, yaitu Gubernur Provinsi Sumatera. 2. Tengku Amir Hamzah diangkat dan ditetapkan menjadi asisten dari pemerintah RI untuk wilayah Langkat berkedudukan di Kota Binjai. Maka tanggal 26 oktober 1945 oleh Gubernur Sumatera dikelurakanlah surat keputusan penetapan dan pengangkatan Amir Hamzah sebgai asisten residen wilayah Langkat dan tanggal 29 Oktober 1945 dilaksanakan pelantikannya di Istana Sultan Langkat di Tanjung Pura. Belum tiga bulan jabatan itu dipikulnya, pada tanggal 31 Desember 1945 Amir Hamzah mendapat teguran keras dari residen Sumatera Timur M. Yunus Nasution yang mengantikan T. Hafas bahwa Amir dituduh masih menjalin hubungan dengan pemerintahan Belanda (Nica) yang ada di Medan, antara lain tuduhan tersebut: 1. Tanggal 1 Desember 1945 T. Amir Hamzah bersama Datuk M. Jamil sekretaris Sultan Langkat menemui Dr. AJ Oranje Van Der Beck residen Hindia Belanda (Nica) “ comite van ontvangst” oranje boven Sumatera Timur bertempat di Hotel Boer (Darma Deli) Medan. 2. Tanggal 7 Desember 1945 pukul 07.00 wib di depan istana Sultan Langkat di Binjai, sudah terpasang spanduk yang berisikan selamat datang buat pemerintahan NICA. 3. Pembentukan pasukan ke-5 yang dipimpin oleh Raja Ngena Sitepu Kepala Polisi Luhak Langkat Hulu Kerajaan Langkat serta persenjataan mendapat bantuan oleh Ch.Ovan Der Plank kepal polisi istimewa Balanda Sumatera Timur Medan. M. Yunus Nasution selaku residen Sumatera Timur memberi

129 peringatan keras kepada Amir Hamzah dan diberi waktu memperbaiki sikap, jika masih tetap melakukan hubungan dengan pemerintah Belanda maka kedudukan sebagai asisten residen wilayah Langkat akan dicopot. Sebenarnya Amir Hamzah mencoba untuk memperbaiki, namun dibelakang beliau ada satu figur yang sangat mempengaruhi aktivitasnya di samping Sultan Langkat adalah Datuk M. Jamil yang sangat kontra pada republik dan terus menjilat pada NICA. Amir Hamzah adalah sosok manusia yang sedikit tertutup, sehingga prinsipnya sulit untuk dimengerti. Terlebih lagi ketika dia harus pulang ke Langkat dipaksa menikah dengan T. Kamaliah sementara cintanya masih bersemi dengan seorang gadis Solo bernama Iil Sundari, sehingga jiwa dan semangatnya sebagai seorang repbuliken dalam perjuangannya di Jakarta kandas di tengah jalan terlebih lagi karier pendidikannya tidak mencapai hasil puncak. Sebab itu pula jiwanya seakan mati, hidupnya ia pasrahkan pada kepentingan politik Sultan Langkat, ketegasan dan tekadnya punah. Di saat Amir Hamzah mendapat peringatan dari residen Sumatera Timur, dia tidak membantah sama sekali yang terpikir di hati dan jiwanya adalah mati dan memanggil maut. Situasi politik di Langkat ketika itu semakin genting, Amir Hamzah dianggap tidak mampu bertindak tegas sebagai seorang bupati (asisten residen), peringatan keras yang pernah diberikan kepadanya dianggap seakan tidak diindahkan. Maka tanggal 3 Maret 1945, ketika ia bersama istri dan anak tunggalnya T. Tahura Alautiah yang masih kecil akan pulang ke Tanjung Pura sembari menunggu mobil jemputan, sekira pukul 17.00 wib sebuah kendaraan menjemputnya di rumah Binjai yang semula dianggap adalah mobil jemputan. Namun setelah dilihatnya beberapa pemuda pergerakan, ia pun berpesan kepada istrinya agar anak mereka dipelihara dengan penuh kasih dan apa yang terjadi jangan timbulkan kedendaman. Jauh sebelumnya Amir Hamzah telah mempunyai firasat akan terjadi sesuatu pada dirinya, karenanya ia selalu menulis rangkaian puisinya yang selalu mengundang maut dan keputusasaan, bagi mereka yang mengertilah yang mampu menerjemahkan puisinya penuh misteri itu. Beberapa pemuda tersebut dengan paksa membawa Amir Hamzah sementara istri dan anaknya tidak dibawa serta. Saat itu pula Amir Hamzah

130 di bawa ke markas pemuda di Binjai untuk selanjutnya dipindahkan ke sebuah tempat di kebun Lada Binjai. Dan beberapa hari kemudian ia dipindahkan sebgai tawanan ke sebuah gudang di Perkebunan Tembakau Kuala Begumit arah pedalaman Binjai. Dua hari setelah Amir Hamzah diculik yakni tanggal 5 maret 1945 pukul 16.00 diadakan rapat kilat yang dihadiri Komite Nasional, tokoh Volksvront dan dihadiri juga utusan dari Kesultanan Langkat rapat dipimpin oleh M.Yunus Nasution Residen Sumatera Timur dan M. Saleh Umar residen diperbantukan Gubernur Sumatera, maka rapat pun mengambil keputusan sebagai berikut: 1. Memecat dan memberhentikan dengan tidak hormat Tengku Amir Hamzah dari jabatannya selaku asisten residen Republik Indonesia wilayah Langkat. 2. Menghapuskan daerah keistimewaan Kerajaan Langkat dari Negara RI. Maka sebagai penggantinya untuk sementara diangkatlah M. Nasib Nasution yang sangat ambisi menggantikan jabatan Amir Hamzah ketika itu masih menjabat ketua Komite Nasional Langkat Hulu yakni pada hari itu juga tanggal 5 Maret 1946. Beberapa hari kemudian karena situasi politik yang semakin memanas untuk sementara kepemimpinan pemerintah daerah diambil alih oleh militer oleh panglima divisi IV/TRI maka diganti M.Nasib Nasution ketika itu menjabat pelaksana Bupati Langkat dengan mayor Wiji Alfisah komandan Batalyon 1 TRI di 25 Maret 1945 yang merupakan keputusan Sidang KNI Sumatera Timur di Medan maka Mayor Wiji Alfisah digantikan oleh Adnan Nur Lubis Sebagai Bupati Langkat berada di wilayah Aceh, sehingga tidak aktif melaksanakan aktivitasnya sebagai bupati oleh residen Sumatera Timur mengangkat Sutan Naposo Parlindungan sebagai Pelaksana Bupati tahun 1948. Dalam tahun yang sama Matseh ditunjuk sebagai pejabat Bupati Langkat disebabkan Sutan Naposo Parlindungan meninggal dunia. Beberapa hari kemudian di tahun 1948 diangkatlah H.OK. Salamuddin sebagai bupati definitif oleh gubernur militer daerah Langkat, Tanah Karo, dan Aceh. Barangkali tuduhan yang begitu tajam dihadiahkan kepada Amir Hamzah sebagai seorang pengkhianat bangsa memang tidak pada

131 tempatnya. Semenjak remaja ketika ia melangakah ke tanah Jawa, kemudian merantau ke Solo sampai kembali kuliah ke Jakarta, ia telah berbuat banyak dalam pergerakan kebangsaan. Di kota Solo ia menggabungkan diri di organisasi Indonesia muda, bahkan ketika dilaksanakan konfrensi bahasa di Solo untuk menentukan bahasa persatuan Indonesia maka Amir Hamzah salah seorang peserta yang mengusulkan Bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan yang digunakan hingga sampai saat ini. Ketika kuliah di Jakarta Amir Hamzah bergabung dengan organisasi pergerakan bersama bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir. Prof. M. Yamin, Sutan Takdir Ali Syahbana, Rustam Efendi, Armen Pane dan lain-lain. Ketika biaya kuliahnya terhenti disebabkan meninggalnya kedua orang tuanya demi untuk menanggulangi biaya perkuliahannya ia melamar menjadi guru di Taman Siswa dan perguruan Muhammadiyah, di mana kedua perguruan ini tempatnya tokoh-tokoh pergerakan, lalu kenapa ia harus menolak ketika perguruan sekolah Belanda mengajaknya bergabung bahkan ia ditawarkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke Negara Belanda. Sambil kuliah dan mengajar Amir Hamzah menulis artikel di Majalah Timbul dan Pujangga Baru, penanya sangat tajam dalam mengkritik pemerintahan Hindia Belanda sehingga Belanda meminta Sultan Langkat untuk menghentikan segala aktivitas politik Amir Hamzah yang akhirnya Amir Hamzah dipaksa pulang ke Langkat serta dinikahkan dengan putri Sultan Mahmud. Diawal Kemerdekaan ia diangkat menjadi asisten residen wilayah Langkat, Amir Hamzah dalam melaksanakan tugasnya selalu mendapat tekanan baik dari Sultan Mahmud sang mertua yang sangat dipengaruhi oleh Datuk M. Jamil maupun dari pemerintahan republik terutama tokoh penting PKI, PNI dan Gerindo sehingga pada bulan Februari 1946 secara diam-diam ia telah membuat pengunduran diri dari jabatan asisten residen belakangan ia di fitnah sebagai kaki tangan Belanda dan pengkhianat bangsa. Disebabkan Adnan Nur Lubis sangat berambisi menggantikan Amir Hamzah atas persetujuan KNI Langkat. Tanggal 19 Maret 1946 diperhitungkan pukul 23.15 Wib Amir Hamzah bersama 18 orang tokoh aristocrat Melayu dan tokoh-tokoh pasukan ke V yang ditangkap tanggal 3 Maret 1946 lalu ditawan bersama-sama Amir Hamzah dijemput dari tawanan di gudang perkebunan

132 tembakau Kuala Begumit dibawa ke suatu tempat lebih kurang 1 km jaraknya ke arah Stabat. Maka diperhitungkan dini hari pukul 1.15 wib tanggal 20 Maret 1946 Amir Hamzah bersama 18 orang pada Datuk dan Tengku lainnya dieksekusi dipancung mati di sebuah lubang. Lalu dikuburkan tidak jauh dari lubang tersebut. Beberapa hari sebelum terjadi eksekusi terhadap diri Amir Hamzah Bung Hatta mengrimkan surat kepada Gubernur Sumatera agar Amir Hamzah dapat diselamatkan. Namun sayang surat tersebut terlambat sampai dan ketika itu juga Gubernur Sumatera Mr. T.M. Hasan tidak berada di Medan. Beberapa bulan setelah kematian Amir Hamzah, Bung Karno melakukan kunjungan kerja di Medan, begitu Bung Karno tiba di Medan langsung bertanya kepada T.M Hasan dan Dr. Amir “mana Amir Hamzah”, T. M. Hasan diam tak menjawab hanya pandangannya tertuju pada Dr. Amir yang hanya tertunduk diam. Beberapa tahun kemudian kerangka Amir Hamzah dipindahkan dan dimakamkan di pekuburan Masjid Azizi Tanjung Pura. Salah seorang sahabatnya yakni Maria Ulfah saat menjadi Menteri Sosial di Tahun 1947 lalu berkunjung ke Medan. Dalam kunjungan tersebut diundang pula para janda dan kebetulan hadir T. Kamalilah istri Amir Hamzah”, spontan Maria Ulfah kembali bertanya “ apa janda Amir Hamzah, maksud Janda itu apa.” Suami saya dijemput pada tanggal 3 Maret 1946 dan tidak pernah kembali, kabarnya ia dibunuh,” keduanya saling berpelukan dan bertangisan. Kemudian dengan sedikit kesal bercampur emosi Maria Ulfah menjelaskan “rasa-rasanya tidak mungkin ada orang yang sampai hati membunuh Amir, saya tahu betul bagaimana perjuangannya di Jakarta, saya salah satu di antara para sahabat seperjuangannya, dia sangat cinta kepada rakyat yang mana saja, tingkah dan sikapnya tidak sedikitpun menunjukkan ke feodalannya dia ditunjuk sebagai asisten residen Langkat atas saran Bung Karno kepada Gubernur Sumatera T.M Hasan ketika itu.” Riskannya seorang Amir Hamzah seorang berjiwa repbuliken menjabat sebagai asisten residen Langkat justru diculik dan diekskusi oleh orang-orang yang berjiwa republik dengan cara yang sangat kejam mati dengan leher dipancung, tanpa terlebih dahulu diadili di depan mahkamah hakim dalam satu persidangan, ada

133 apa sebenarnya yang terjadi, apakah ada unsur iri hati atau unsur balas dendam dari seorang atau sekelompok dengan mengatasnamakan rakyat lalu menggelar suatu aktivitas dengan dalih revolusi sosial, lalu menculik, merampok, membunuh, dan memperkosa, siapa sesungguhnya di belakang revolusi sosial. Berakhirnya Kesultanan Langkat di tangan revolusi sosial adalah dalam suasana yang sangat memilukan. Hampir semua kerajaan di Sumatera mengalami kekacauan yang luar biasa pada bulan Maret 1946, tidak terkecuali sultan, keluarga sultan, para petinggi kerajaan, cerdik pandai, bahkan rakyat kesultanan Islam dibantai habis-habisan. Banyak dari kerajaan tersebut hanya tinggal nama semata, dan puing-puing sisa keberadaan sejarah dan kejayaan masa silam. Di Asahan, dikabarkan telah jatuh korban jiwa sebanyak 15 ribu orang, demikian juga pada tempat- tempat lainnya, di Langkat dinyatakan sebagai tempat pembantaian paling parah. Dengan demikian berakhirlah riwayat kesultanan Sumatera timur, termasuk Kesultanan Langkat. Ada beberapa pihak yang menjadi otak Revolusi Sosial yang terjadi di Sumatera Timur. Pendeta Juandaha Raya Purba Dasuha, menyebutkan dalam artikelnya yang berjudul “Revolusi Sosial Berdarah di Simalungun Tahun 1946”, menyebutkan bahwa otak dibalik serangkaian pembantaian bengis yang luar biasa terjadi di SumateraTimur adalah mereka yang tergabung dalam “Markas Agung yang dilaksanakan Volksfront dengan pimpinan utamanya Sarwono Sastro Sutardjo, Zainal Baharuddin, M. SalehUmar, Nathar Zainuddin, dan Abdul Karim MS. Mereka inilah orang- orang yang bekerja di balik layar. Laskar yang berperan dalam aksi ini adalah Pesindo, Napindo, Ken Ko Ku Tui Sin Tai (Barisan Harimau Liar), Barisan Merah (PKI), Kaikyo Seinen Teishintai (Hizbullah), dan didukung oleh buruh Jawa dari perkebunan serta kaum tani.” Dengan demikian maka gerakan ini cukup tangguh untuk meluluhlantakkan semua kerajaan Islam di Sumatera Timur. Tahun 1946 adalah sejarah kelam Kesultanan Langkat. Masyarakat Langkat membumihanguskan Kerajaan Langkat dan membunuh orang- orang yang dianggap antek-antek penjajah. Dalam hal ini keluarga kerajaan

134 tak luput dari pembunuhan tersebut. Ada dua hal yang membuat masyarakat membakar istana-istana kesultanan Langkat, pertama; mereka beranggapan bahwa Kesultanan Langkat telah mendukung pemerintahan Belanda, dalam usaha penjajahan di Indonesia. Kedua; membakar istana- istana kesultanan Langkat, agar pemerintah Belanda tidak menggunakannya dalam mempertahankan diri dari para pejuang kemerdekaan, begitu juga para pejuang membakar sumur minyak di Pangkalan Berandan tahun 1947 karena khawatir akan dikuasai oleh Belanda. Kurang dapat dipastikan tentang keikutsertaan Dr. Amir dibalik terjadinya revolusi sosial tersebut. Dr. Amir memang diketahui sebagai orang yang konsern dengan paham sosialis, tidak begitu jelas tentang keberpihakannya dalam peristiwa ini, ada literatur yang mengatakan bahwa Dr. Amir berperan dalam mengatur perjalanan Teuku Mohamad Hassan sebagai gubernur Sumatera keluar dari Sumatera Timur untuk mempermudah usaha penghancuran kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur. Berbeda halnya dengan literatur lain yang mengatakan sebaliknya, justru hal itu yang membuat Dr. Amir terpaksa hengkang dari Sumatera Timur ke beberapa tempat, seperti Sabang, Gorontalo, Palu,Makassar, dan Belanda.3 Sebagai seorang politisi, Dr. Amir ini berambisi juga untuk menjadi gubernur. Dipahami bahwa dia berkeinginan untuk menggulingkan Gubernur aktif Tengku Muhammad Hasan, untuk hal ini dimanfatkannya ketua PKI Sumatera Timur Luat Siregar untuk membikin kerusuhan. Kemudian ada logika dan momen empuk yang bisa dimanfaatkan untuk mempengaruhi orang banyak, yaitu Sultan dan keluarganya sudah berkawan dekat dengan Belanda selama ini, sementara Belanda adalah bangsa penjajah yang harus diusir dari Indonesia ini. Sikap sultan ini dipahami melawan kehendak rakyat dan bangsa Indonesia. Dengan hal ini keterlibatan Dr. Amir dipertanyakan dalam gerakan revolusi sosial ini.

3Tulisan Dr. J. J. van de Velde mengenai Amir kurun 1945-1946 ini dikirimkan oleh Tengku Mansoer Adil Mansoer. http://www.lenteratimur.com/author/tengku-mansoer- adil-mansoer di Belanda dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu/Indonesia oleh Anna Kharisma dari Sastra Belanda Universitas Indonesia.

135 Kedekatan sultan dengan Belanda ini dijadikan alasan untuk mempersamakan sultan dengan Belanda. Sewaktu Wilhelmina (Ratu Belanda) datang ke Medan, raja-raja ini senang, dan sultanlah sebagai ketua panitia penyambutan. Meskipun peristiwa ini terjadi sebelum Indonesia merdeka, namun ingatan orang masih segar tentang peristiwa tersebut, dan komunitas ini menjadikannya sebagai konsumsi politis untuk menuduh sultan-sultan ini adalah orang yang tidak menginginkan kemerdekaan, karena dia dituduh sebagai pihak pendukung Belanda untuk tetap menjajah Indonesia. Pengkondisian seperti ini membuat posisi kesultanan ini dalam keadaan sulit, dan tidak bisa membela diri, bahkan tidak memiliki kesempatan untuk membela diri.4

Foto Revolusi Sosial di Kesultanan Langkat5

C. Kontribusi Kesultanan Langkat dalam Penguatan Ke- Indonesia-an Kontribusi Kesultanan Langkat dalam Penguatan Ke-Indonesiaan dapat disebutkan beberapa hal sebagai berikut:

4Hasil wawancara dengan Zainal AK di rumahnya pada hari Rabu tanggal 15 Agustus 2018 di rumahnya. 5http://beritasumut.com/peristiwa/Mengenang-70-Tahun-Revolusi-Sosial-Sumatera- Timur

136 1. Proklamasi Kemerdekaan Tidak benar tentang adanya pandangan segelintir orang yang mengatakan bahwa Kesultanan Langkat berpihak kepada Belanda dalam mempertahankan penjajahannya di Indonesia. Sejarah memperlihatkan bahwa Kesultanan Langkat memang dekat dengan pihak kolonial Belanda, namun kedekatan tersebut tidak dapat dimaknai sebagai bentuk dukungan Kesultanan Langkat kepada Belanda supaya mereka tetap menjajah Indonesia. Kedekatan tersebut hanyalah sebatas kerjasama dagang dalam bidang perminyakan dan perkebunan yang terbangun dalam kurun waktu yang cukup lama selama ini. Kedekatan tersebut adalah suatu keharusan yang harus dilaksanakan, dengan pertimbangan; a. Tidak dapat dipungkiri bahwa Belanda sudah berkuasa di Indonesia ini sejak masa yang lama (3 1/2 abad), dan mereka adalah negara kuat, karenanya tidak mudah untuk mengusir dan mengalahkan mereka. b. Indonesia saat itu belum berdiri, sementara kekuasaan yang ada adalah terdiri dari kekuasaan kerajaan-kerajaan yang otonom tersebar di seluruh daerah Indonesia, maka pihak kerajaanlah yang dapat bertindak waktu itu untuk memikirkan kesejahteraan rakyatnya. c. Rakyat Indonesia waktu itu masih berada dalam ketertinggalan dan kebodohan, karenanya tidak mampu untuk mengolah sendiri hasil tambang dan hasil buminya, karenanya diperlukan kerja sama dengan pihak lain. d. Belanda saat itu adalah negara yang sudah maju, pemilik ilmu pengetahuan yang tinggi dan pemilik alat-alat teknologi yang canggih, karenanya mereka mampu mengolah sumber daya alam yang ada di Indonesia ini, seperti perminyakan dan pertanian. e. Belanda pantas diterima sebagai mitra dalam mengelola sumber daya alam Indonesia dengan ketentuan bagi hasil yang berimbang, karenanya pihak Kesultanan memperoleh keuntungan yang dipergunakan untuk kepentingan kesultanan dan kemakmuran rakyatnya. f. Atas pertimbangan tersebut maka pantas dibangun kemitraan, dalam rangka kerjasama yang langgeng, dan saling menguntungkan.

137 Kemitraan Belanda dengan Kesultanan Langkat tidak terkait dengan masalah politik. Tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran Belanda ke Indonesia adalah dalam rangka politik, yaitu untuk melakukan penjajahan, menguras hasil kekayaan Indonesia semaksimal mungkin untuk dibawa kenegaranya, dan menguasai Indonesia. Berbeda halnya dengan Kesultanan Langkat sebagai orang Indonesia yang lahir, hidup, besar, dan akan mati serta dimakamkan di Indonesia, pastilah cinta terhadap tanah tumpah darahnya sendiri. Kesultanan Langkat memiliki nasionalisme yang kuat, dan hal itu diterjemahkan dalam nuansa kebaikan dan kemajuan Kesultanan Langkat yang berbeda dengan tafsiran segelintir orang yang tidak sepaham dengannya. Pihak Kesultanan Langkat sependapat dengan rakyat Indonesia dalam menperjuangkan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada peristiwa-peristiwa beriku: a. Kesultanan Langkat menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah Indonesia Pada saat terjadi Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), Kesultanan Langkat mendukung sepenuhnya terhadap Pemerintah RI. Demi eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat diharapkan dan telah lama ditunggu kehadirannya tersebut, kesultanan langkat menyerahkan kekuasaannya kepada Pemerintah Indonesia. Gelar kesultanan pada Kesultanan Langkat memang tetap ada dan berlangsung terus, tapi sejak saat ini dia tidak memiliki kekuasaan lagi, karena kekuasaan tersebut telah diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Berlaku situasi “Kesultanan tanpa Kekuasaan (Raja tanpa kerajaan dan rakyat).” b. Kesultanan Langkat Membantu Pemerintah Indonesia Di samping dukungan moril, Kesultanan Langkat memberi dukungan materil kepada Pemerintah Indonesia. Sultan Mahmud sebagai sultan yang secara resmi menjabat pada Kesultanan Langkat saat itu membantu Pemerintah Indonesia sebanyak 10.000 Gulden untuk keperluan modal dalam perjuangan. Meskipun Indonesia sudah dimerdekakan, namun upaya perjuangan yang besar masih sangat dibutuhkan karena suasana belum

138 kondusif, dan pihak Belanda pun masih banyak berkeliaran di Indonesia, bahkan isu akan kembalinya Belanda pun masih muncul. Bantuan ini sangat bermanfaat bagi Pemerintah untuk memperkokoh perjuangannya dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang baru diproklamirkan.

2. Bahasa Indonesia Jauh sebelum Indonesia merdeka rakyat Indonesia telah memiliki perasaan dan sikap nasionalisme yang sama. Meskipun Indonesia terdiri dari kepulauan yang terpisah-pisah antara satu sama lain, bahkan berjauhan, juga memiliki pluralitas suku bangsa dan agama yang jumlahnya cukup banyak dan berbeda-beda, namun rakyat Indonesia bersatu dalam komitmen kebersamaan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hal ini terlihat secara jelas pada komitmen; tanah air, bangsa, dan Bahasa Sumpah Pemuda yang diikrarkan tanggal 28 Oktober 1928, sebagai berikut;

Pertama: Kami putra dan putri Indonesia, mengakui bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kedua: Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Ketiga: Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Salah satu dari 3 (tiga) poin Sumpah Pemuda tersebut, yakni poin ketiga adalah tentang bahasa. Secara jelas terlihat dalam redaksinya berbunyi; “Ketiga: Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Meskipun bangsa Indonesia memiliki jumlah bahasa suku masing-masing yang berbeda dan jumlahnya cukup banyak, namun rakyat Indonesia bersatu pada bahasa, yaitu menjadikan Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia. Kesultanan Langkat dipahami memiliki andil besar dalam penetapan Bahasa Melayu untuk dinyatakan sebagai Bahasa Indonesia secara resmi. Dalam kenyataan yang ada sampai saat ini Bahasa Melayu ini dinyatakan

139 sebagai Bahasa Nasional bangsa Indonesia. Meskipun para pejuang kemerdekaan itu banyak dari berbagai penduduk Nusantara dan sangat sedikit yang berasal dari dari Langkat, proklamator kemerdekaan RI. Bukan suku Melayu, Presiden RI. Tidak pernah dari suku melayu, suku terbanyak di Indonesia ini juga bukan suku Melayu, tapi Bahasa yang dinyatakan sebagai Bahasa resmi Negara Indonesia itu adalah Bahasa Melayu. Meskipun perannya tidak diketahui secara jelas, saat proses Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 itu berjalan, Amir Hamzah ikut bergabung di sana. Amir Hamzah dinyatakan baru berusia 16 tahun atau 17 tahun. Artinya ia memang masih dalam usia belia sebagai seorang pemuda yang sudah mulai ikut dalam pergerakan-pergerakan yang ada di Pulau Jawa, dia pada waktu itu memiliki status sebagai pelajar, dan sedang berada atau menetap di Solo. Sewaktu diadakan “Kongres Bahasa”, Amir Hamzah diketahui sebagai ketua panitia karena waktu itu dia sedang menjabat sebagai “Ketua Indonesia Muda” di Solo. Diperkirakan Amir Hamzah sebagai seorang sastrawan turut menyarankan supaya bahasa Melayu itu dinyatakan sebagai bahasa Indonesia, dan kawan-kawannya, seperti Armin Pane, Sanusi Pane, Rustam Efendi, dan yang lainnya, turut mendukung sarannya tersebut. Berikutnya dipahami bahwa bahasa Melayu ini sudah dikenal dan memasyarakat di kalangan bangsa Indonesia. Seiring dengan selat Malaka sebagai lalu lintas pelayaran internasional yang terbilang sibuk dari sejak jaman kolonial Belanda di Indonesia, maka bahasa yang digunakan di sini adalah bahasa Melayu, misalnya Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand dan sebagainya. Dari aspek penggunaannya dapat dikatakan bahwa bahasa Melayu itu sebagai penyumbang bahasa yang signifikan secara nasional. Waktu itu bahasa Melayu (Indonesia) lebih top dibanding dengan bahasa Jawa, atau Bahasa-bahasa suku lainnya di Indonesia, maka dalam perbincangan kongres Bahasa tersebut pun mudah menggolkannya. Di samping kesadaran penggunaan bahasa Melayu ini lebih memasyarakat di Indonesia maka peran Amir Hamzah turut mempengaruhi pensuksesan ide dan tercapainya kesepakatan bahwa bahasa Melayu itu menjadi bahasa Indonesia. Jumlah orang pada komunitas tersebut lebih

140 banyak orang Jawa, dan jumlah penduduk pun lebih banyak orang Jawa, konsentrasi pergerakan perjuangan pun lebih terlihat ada di Pulau jawa, bahkan jumlah tokoh-tokoh Indonesia Muda pun lebih banyak orang Jawa, namun peran Amir Hamzah sebagai seorang ahli bahasa ini dipahami memiliki nilai tambah untuk meyakinkan publik dalam mensukseskan ide bahasa Indonesia resmi tersebut. Jika penetapan Bahasa Melayu ini menjadi bahasa Indonesia dianalisis, maka hal ini bisa dilihat dari berbagai sudut pandang, di antaranya; Berdasar Sensus Penduduk (SP) tahun 2010, dinyatakan ada sebanyak 1.320 suku bangsa di Indonesia. Penduduk Indonesia yang tersebar luas sejak dari Sabang sampai Merauke, dan dari Miangas sampai Pulau Rote (Sabang sebagai daerah terbarat, Merauke sebagai daerah paling Timur, Miangas sebagai daerah terdepan dan Pulau Rote sebagai daerah terluar Indonesia) dengan pluralitas penduduk dalam aspek suku bangsa ini telah bersepakat membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sungguh luar biasa ternyata kebhinekaan Indonesia telah teruji sampai saat ini. Pluralitas suku bangsa ini menjadi sangat menakjubkan lagi di saat diketahui bahwa di dalamnya juga terdapat keanekaragaman bahasa. Indonesia ternyata adalah negara kedua dengan jumlah bahasa daerahnya terbanyak di dunia, yaitu 742 bahasa, sementara negara terbanyak pertama ditempati oleh Papua Nugini dengan bahasa daerah sebanyak 867 bahasa. Sungguh benar bahwa bahasa daerah Indonesia itu cukup kaya, meskipun ada kemiripan antara satu sama lain, yang pasti semunya dapat dibedakan dan dapat diidentifikasi. Sekedar contoh, penyebutan bahasa Daerah dalam suku bangsa yang ada di Indonesia ini dapat dikemukakan pada ungkapan “Apa Kabar ?”6 Dari aspek jumlah penduduk jumlah suku bangsa dihubungkan kepada jumlah bahasa baerah serta persentasenya terlihat tidak ada perimbangan antara satu sama lain di Indonesia. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut;

6Peu Haba? Boa Kaba? Kengken Kabare? Ahado Kabar? Aga Kareba? Berembe Kabare? Teembe Bawo Mui? Kayapa Habar? Hapa Bilita? Walolo Habari? Umba Susi Kareba? Narai Kabar? Piye Kabare? Dha~ramma Kabara? Kune Kebar? Kumaha Damang? Nuapa Karena? On Me?

141 Jumlah dan Persentase Suku Bangsa di Indonesia

Jika hal ini kita analisis maka akan terlihat bahwa komposisi jumlah suku Melayu terbilang kecil, namun bisa mendominasi tampilnya bahasa Melayu menjadi bahasa resmi Indonesia. Jumlah suku Melayu di Indonesia terbilang kecil, yaitu 5.365.399, setara dengan 2,27 % penduduk Indonesia, namun bahasanya diterima menjadi bahasa Nasional Indonesia, sementara ada suku yang jumlah penduduknya jauh lebih besar, seperti suku Jawa, Sunda, dan Batak, tapi tidak diakomodasi bahasanya untuk menjadi bahasa nasional seperti terlihat pada tabel di atas.

142 Dari aspek jumlah penduduk dihubungkan kepada jumlah bahasa yang dimiliki padanya ternyata tidak memiliki keseimbangan. Dari total 742 jumlah bahasa daerah yang ada di Indonesia ini ternyata untuk masyarakat penduduk pulau Jawa sebagai jumah penduduk terbanyak, yaitu 123 juta penduduk, hanya memiliki bahasa daerah yang tidak lebih dari 20 (dua puluh) bahasa. Berbeda halnya dengan daerah Papua Barat yang jumlah penduduknya hanya 2 (dua) juta saja, tetapi mempunyai bahasa yang cukup banyak, yaitu 271 bahasa. Indikasi yang muncul adalah semakin banyak penduduk akan semakin kecil jumlah bahasanya, tetapi semakin sedikit jumlah penduduk menjadi semakin banyak jumlah bahasanya.

3. Sastra Indonesia Dinamika perkembangan sastra Indonesia turut diramaikan oleh putra Kesultanan Langkat, Tengku Amir Hamzah. Ia dikenal dengan “Raja Penyair Melayu”. Dari aspek asal usul, beliau terlahir dari keturunan bangsawan Melayu. Oleh HB Jassin (1986), atas kepiawiannya dalam bidang sastra ini memberi julukan kepadanya dengan “Raja Penyair Pujangga Baru”. Diketahui bahwa sejak usia Amir Hamzah menginjak 19 tahun, tepatnya pada tahun 1930, puisinya sudah mulai diterbitkan di media.7 Sesuai latar belakang daerahnya, terkadang karya-karyanya dipandang terlalu Melayu. Para kritikus sastra memberi banyak tanggapan kepadanya, di antaranya pandangan tentang karya-karyanya dinilai kurang moderen akibat konten yang sarat dengan muatan melayu tersebut. Hal ini sangat terasa bila dibanding dengan sastrawan lain, seperti . Amir Hamzah, di mana dia sering terkooptasi dengan ke- Melayuannya, sementara ke-Indonesiaannya terkurangi.Teeuw (1979) memberi julukan kepadanya sebagai “penutup tradisi Melayu” kurang mendukung terhadap prestasinya untuk terkategori sebagai penyair modern. Berbeda halnya dengan apresiasi Chairil Anwar (1945) sendiri yang memandang “Melayunya” bahasa puisi Amir Hamzah bukan sebagai kekurangan kepadanya, tetapi justru sebagai kelebihan dan kekuatannya

7Kratz, E. Ulrich, New Poem By Amir Hamzah, (Indonesia Circle 21: 1980), hlm. 263

143 sebagai seorang penyair. Dia sangat kagum terhadap puisi-puisi Amir Hamzah tersebut. A.H. Johns juga merasakan dengan peka dan menaggapi secara sensitif tentang kemelayuan Amir Hamzah dalam karya-karyanya ini. Hal ini dituliskannya pada karyanya dengan judul; “Amir Hamzah, Malay Prince, Indonesia Poet”. Di sini dia dengan jelas membedakan Amir Hamzah yang seorang suku Melayu dengan seorang penyair yang berbahasa Melayu Indonesia.8 Dalam dinamika Pujangga Baru yang tercatat selama 9 (Sembilan) tahun, puncaknya adalah Amir Hamzah dengan menyodorkan prosa lyris, sajak-sajak lepas, 2 (dua) ikatan sajak; “Buah Rindu”, Nyanyian Sunyi”, Salinan dari banyak sastrawan timur yang kesohor, dipadukannya pada “Setanggi Timur”. Sebagai analisis dari teman segenerasinya, mereka mengatakan Amir Hamzah diperkirakan dipengaruhi oleh penyair-penyair sufi, dan Parsi. Khusus pada “Nyanyian Sunyi”, dia telah meneriakkan sajak- sajak dengan bahasa yang murni dan baru, dengan ciri khasnya yang lebih bebas dan leluasa, kalimatnya padat, kritikannya tajam, sehingga bersinar cemerlang bagi munculnya gerakan bahasa puisi baru. Komposisi seperti ini menjadikan puisi-puisinya berbeda dengan tradisi bahasa puisi lama. Para pengamat puisi Amir Hamzah, di samping memberi masukan, juga menyadari betapa totalitasnya Amir Hamzah pada kedalaman rasa individualitasnya, dan kepekaan batin yang sangat sensitif, serta religiusitas yang dimilikinya. Hal ini dapat dicontohkan pada konten sifat religiusitas yang ditampilkan seperti ditulis oleh Md. Salleh Yaafar (1995) setelah menelitinya dengan pendekatan kebahasaan. Namun di sisi lain, terdapat perbedaan di antara ilmuan sastra ini, dalam pengkategorian puisi-puisi Amir Hamzah tersebut untuk dinyatakan sebagai puisi yang sarat menukil tentang “percintaan duniawi” semata, atau juga sebagai “percintaan seorang sufi dengan Tuhannya. Sehingga mendekatkan hubungan yang fana dan baqa sebagai sesuatu yang wajar serta dapat terjadi atau sesuatu

8Teeuw, A, Modern Indonesia Literature, (The Hague: 1979, Martinus Nijhoff (Terjemahan KITLV, 10), Edisi I, 1967), hlm. 103.

144 yang dikhotomis di luar nalar dan sulit untuk dipersentasikan.9 Amir Hamzah tidak dapat dipungkiri sebagai sastrawan besar yang telah mengukir prestasi pada pentas sejarah di masanya.

4. Penyumbang Tokoh Nasional dan Internasional Ada banyak tokoh nasional dan internasional yang pernah punya akses dengan Langkat, di antaranya adalah: a. Amir Hamzah

Amir Hamzah

Gelar Pahlawan Nasional diberikan kepada Amir Hamzah setelah Presiden mengeluarkan SK Nomor 106/TK/Tahun 1975 tanggal 3 November 1975, tentang Penetapan Gelar Pahlawan Nasional. Pada konsideran Menimbang disebutkan: Bahwa untuk menghargai tindak kepahlawanannya yang cukup mempunyai mutu dan nilai perjuangan dalam suatu tugas perjuangan untuk membela Negara dan Bangsa, perlu menganugerahkan/menetapkan Gelar Pahlawan Nasional kepada mereka yang namanya tersebut dalam Lampiran Surat Keputusan ini. SK Presiden tersebut merujuk kepada Surat Menteri Sosial RI/Ketua Badan Pembina Pusat No. K. 286/BPPP/X/74 tanggal 25 Oktober 1974 dan surat No. L. 238/BPPP/IX/1975 tanggal 9 September 1975, tentang Usul

9Alisjahbana, Sutan Takdir, Amir Hamzah Penyair Besar Antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyi Sunyi, (Jakarta:1979, Dian Rakyat), hlm.12.

145 Penganugerahan/Penetapan Gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Agung Angyokrokusumo dkk (3 orang). Sebelum SK tersebut, tampaknya penting juga nilai sebuah surat dari Duta besar RI di Prancis dan Spanyol Letjen TNI A. Tahir kepada Sekjen Departeman Sosial/Ketua Harian Badan Pembina Pahlawan Pusat. Surat tanggal 24 Februari 1975 itu menjawab surat tertuju tanggal 31 Januari 1975. Isi balasan surat itu menyatakan Amir Hamzah bukan dan tidak pernah menjadi kaki tangan CVO. Daerah Langkat di mana Amir Hamzah tinggal adalah daerah de facto RI, dan belum dimasuki Belanda. Yang dimaksud CVO mungkin adalah Centrale Verkooporganisatie van Ondernemings land bouw producten, yang dibentuk dengan Ordonantie Staatsblad 1947 No. 140 tanggal 4 Agustus tahun 1947. Ini semacam organisasi yang menagih dan menyelesaikan utang dari Belanda. Sebagaimana dimaklumi, pada waktu itu saya adalah pemimpin perjuangan kemerdekaan di Sumut dan Komandan Tentara. Jadi dalam ingatan saya Tengku Amir Hamzah bukan seorang pengkhianat perjuangan, ujar Letjen A Tahir.10 Sampai tahun 2010, ada 156 orang yang dinyatakan sebagai pahlawan Nasional di Indonesia, maka salah satu dari mereka adalah Amir Hamzah. Hal ini terlihat pada daftar nama Pahlawan Nasional yang dirilis oleh Kementerian Sosial pada bulan Januari 2010, dan diakses pada tanggal tanggal 7 November 2012. Nama Amir Hamzah terdapat pada urutan ke 86, dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional sesuai Kepres Nomor: 106/TK/1975 yang ditetapkan pada tanggal 3 Nepember 1975.11 Sebagaimana layaknya Pahlawan Nasional, Nama Amir Hamzah dikenal bukan hanya di Langkat, dan Indonesia tetapi juga di Belanda dan tingkat internasional. Di samping Amir Hamzah telah turut membesarkan Kesultanan Langkat, ia juga turut meramaikan karya sastra Indonesia, dan juga Pergerakan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Semua ini

10https://narakata.com/2017/04/16/pernah-diusulkan-menjadi-pahlawan-nasional- amir-hamzah-diangkat-chairil-ditolak/, dan juga 11https://min.wikipedia.org/wiki/Pahlawan_Nasional_Indonesia.,diakses pada tanggal 23 Agustus 2018.

146 membuat namanya dikenal banyak orang, sekaligus menjadikannya sebagai tokoh nasional. Nama lengkapnya adalah Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera. Ia lahir pada tanggal 28 Pebruari 1911 di kota kecil tanah Melayu yang bernama Tanjung Pura Kabupaten Langkat Sumatera Utara, ayahnya bernama Tengku Haji Adil dengan gelar Tengku Pangeran Bendhara Paduka Raja yang merupakan anak saudara Sultan Langkat yang tuan Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmadsyah. Semasa kecil Amir Hamzah belajar di Langkat, kemudian dilanjutkan ke Pulau Jawa. Pertama sekali, dia belajar di Sekolah Rendah, setelah itu yang dalam istilah Belanda disebut Hollands Inlandse School (HIS) di Tanjung Pura Langkat, setelah tamat dilanjutkannya ke Sekolah Menengah Tingkat Pertama Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di kota Medan, belum tamat dari sekolah ini, dia pindah ke MULO yang ada di ibu kota, Jakarta. Sesudah menyelesaikan studinya di tempat tersebut, pada tahun 1930 dia melanjutkannya ke Sekolah Menengah Tingkat Atas Algemeene Middelbare School (AMS) di Kota Solo. Kemudian direncanakan akan dilanjutkan ke Sekolah Hakim Tinggi di Jakarta, namun untuk yang terakhir ini belum sampai dilaksanakan karena dia segera pulang untuk memenuhi panggilan Sultan Langkat, karena dia akan dinikahkan dengan seorang putri sulung raja tersebut yang bernama Tengku Puteri Kamaliah. Dengan hal ini Amir Hamzah kembali meninggalkan Pulau Jawa. Semasa di Surakarta, Amir Hamzah menjalin hubungan cinta dengan seorang teman kelasnya Ilik Sundari. Kedua insan ini saling mencintai, bahkan sewaktu Amir Hamzah sudah berada di Jakarta pun dalam rencana melanjutkan studi ke Sekolah Hakim Tinggi, mereka masih jalan terus dekat. Akhirnya percintaan ini kandas sewaktu Amir Hamzah pulang untuk memenuhi panggilan Sultan Langkat, tinggal menetap di Langkat, dan akhirnya menikah di sana. Amir Hamzah mulai berkarya sejak masih masa remaja. Banyak dari karyanya tidak mencantumkan tanggal, namun dapat diperkirakan bahwa yang paling awal itu adalah sewaktu dia berangkat pertama sekali ke pulau Jawa. Hal ini dikenal dan berpengaruh pada karyanya yang tercermin dari

147 latarbelakangnya; Melayu asli sebagai sukunya, Islam sebagai agamanya, Kekristenan yang hidup berdampingan dengannya dan ciri khas Sastra Timurnya. Ia telah menulis sekitar 50-an puisi, yang terdiri dari 18 buah kategori puisi prosa, dan selebihnya sebagai karya lain, termasuk di dalamnya beberapa terjemahan. Pada tahun 1932 bersama teman-teman yang lain, ia turut berperan mendirikan majalah sastra . Lewat majalah ini, ia banyak mengaktualisasikan dirinya, Banyak dari puisi-puisinya diterbitkan dalam dua koleksi besar, yaitu; “Nyanyi Sunyi” pada tahun 1937 dan “Buah Rindu” pada tahun 1941. Semua karya ini dimuat pada Poedjangga Baroe, belakangan diterbitkan menjadi sebuah buku. Kepulangan Amir Hamzah sekaligus turut memperkokoh Kesultanan Langkat. Mengawali kariernya, ia mulai diberi jabatan Pembantu Setia Usaha di Pejabat Kesultanan Langkat di Tanjung Pura, setelah beberapa bulan mengabdi di sana dan mulai menimba ilmu dan pengalaman tentang pengelolaan dan siyasah Kesultanan Langkat maka dia pun dinikahkan dengan Tengku Puteri Kamaliah yang diselenggarakan dalam upacara adat kebesaran kerajaan yang cukup meriah, sekaligus pada saat itu beliau dianugerahi gelar kebangsawanan “Tengku Pangeran Indera Putera” secara langsung dikukuhkan oleh Sultan Langkat. Saat ini Amir Hamzah sudah mulai menjadi birokrat kesultanan. Karier Amir Hamzah dengan cepat melejit. Tak lama setelah melangsungkan pernikahan, Amir Hamzah pun diberi kepercayaan baru dan dilantik menjadi Wakil Kepala Luhak Langkat Hilir di Tanjung Pura, kemudian dinaikkan lagi jabatannya menjadi Kepala Luhak Teluk Haru di Pangkalan Brandan, dia senantiasa berada pada posisi jabatan penting, sampai pada jabatan terakhirnya sebagai Kepala Luhak Langkat Hulu. Kesultanan Langkat sangat mengapresiasi kehadirannya pada pengelolaan kesultanan. Karier Amir Hamzah cukup cemerlang, namun usianya tidak terlalu panjang. Setelah Indonesia merdeka terjadilah gerakan Revolusi Sosial yang merata di seluruh daerah Indonesia. Gerakan ini terindikasi ditunggangi oleh komunisme secara terselubung, mereka sukses menggaet

148 hati rakyat dengan membawa slogan anti kolonial Belanda. Secara umum Belanda telah kalah, lebih jauh mereka berhasil juga menciptakan kebencian terhadap pihak-pihak yang bersahabat dengannya, dalam hal ini termasuklah sultan-sultan yang ada di Indonesia Timur. Dengan mudah gerakan ini menyatu bersama rakyat menggelinding dengan sangat kejamnya menghancurkan kesultanan dan semua simbol-simbol yang ada padanya. Gerakan ini dengan sangat mudah menghancurkan seluruh kesultanan yang ada di Indonesia Timur pada tanggal 3 Maret 1946. Dalam hal ini tidak terkecuali Kesultanan Langkat yang di dalamnya ada Amir Hamzah. Amir Hamzah pun meninggal dunia pada masa ini. Amir Hamzah wafat dengan sangat tragis. Tanggal 4 Maret 1946, terdengar nyaring himbauan kelompok pemuda sembari masuk istana, bendera kerajaan diturunkan, lagu “Darah Rakyat” menggema, secara serta merta mereka merusak ruangan istana kerajaan, sementara petinggi Kesultanan Langkat hanya terdiam membiarkan saja barisan gerakan yang mengatasnamakan rakyat itu berbuat semaunya. Dalam saat yang singkat, istana Kesultanan Langkat itu menjadi puing dan rata dengan tanah. Langkah berikutnya adalah penangkapan sultan, dan keluarga, termasuk Amir Hamzah. Mereka dituduh telah bersekongkol dengan penjajah Belanda, lalu mereka ditangkap satu persatu. Penangkapan ini terjadi pada tanggal 7 Maret 1946 oleh Laskar yang menamakan diri dengan Laskar Pesindo, Amir Hamzah diciduk dan diangkut dengan mobil pick up dan dibawa ke Jalan Bonjol Binjai, kemudian dibawa lagi ke Kuala Begumit. Untuk sementara waktu, di tempat inilah mereka dikumpulkan dan menjadi tahanan. Areal Kuala Begumit inilah menjadi saksi bisu tentang betapa kejamnya Tentara Rakyat Revolusi Sosial ini menghabisi nyawa Amir Hamzah. Pakaian Amir Hamzah dilucuti dan diganti dengan goni, dia dan tahanan lainnya disuruh menggali lubang yang akan menjadi kuburan mereka sendiri, satu persatu mereka ditutup matanya, dan tangannya diikat kuat ke belakang. Oleh algojo Mandor Iyang Wijaya, pelatih kesenian dan silat kuntau di Istana Langkat kesayangan Amir Hamzah bertindak menjadi eksekutor mereka, dan ia telah bersiap untuk menghabisi mereka semua.

149 Sebelum menjalani eksekusi Amir Hamzah memiliki dua permintaan yang seraya serta merta mereka kabulkan. Pertama, ia meminta supaya tutup matanya dibuka karena dia ingin menghadapi ajalnya dengan mata terbuka. Kedua, ia mohon diberi waktu untuk menunaikan salat terlebih dahulu. Usai permintaan ini dikabulkan, maka Amir Hamzah sang Pujangga legendaris itu pun telah tiada, karena ajal telah datang menjemputnya, kepalanya putus terpisah dari bandannya. Akhirnya dia menghembuskan nafas terakhir, dan tutup usia pada umur 35 tahun. Indikasi kuat memperlihatkan bahwa kuburan massal di tempat eksekusi adalah tempat bersemayamnya Amir Hamzah bersama para keluarga Kesultanan Langkat. Pada bulan Nopember 1949, ada inisiatif penggalian kembali kuburan massal di Kuala Begumit tersebut. Seorang dari mereka diperkirakan adalah kerangka Amir Hamzah, sebuah cincin emas bermata nilam, berwarna bunga kecubung, dan sebuah jimat yang terbuat dari benda timah milik Amir Hamzah yang ada padanya menjadi petunjuk kuat bahwa ini adalah benar kerangka Amir Hamzah. Sewaktu dilakukan pemeriksaan perkara di pengadilan, Mandor Iyang Wijaya mengaku perbuatannya telah melakukan pemancungan atas leher puluhan manusia di Kuala Begumit, di antara mereka termasuk Amir Hamzah. Selanjutnya kerangka Amir Hamzah pun dibawa ke Tanjung Pura, diurus secara layak berdasar agama Islam, dan dimakamkan di sebelah Masjid Azizi Tanjung Pura, Langkat, bersebelahan dengan makam ibu dan bapaknya. b. Adam Malik Adam Malik adalah seorang peraih gelar Pahlawan Nasional. Gelar ini diberikan kepadanya tanggal 6 Nopember tahun 1988 sesuai Keppres Nomor 107/TK/1998. Dalam rilis Kementerian sosial terdapat nama beliau pada urutan 105 dari 156 Pahlawan Nasional yang ada sampai tahun 2010. Meski bukan kelahiran Langkat, namun Adam Malik Batubara diperkirakan pernah belajar di Langkat. Dikabarkan bahwa Adam Malik adalah seorang yang pernah bersekolah di Langkat miliknya Sultan Langkat, dia diakui seorang santri yang cerdas dan memiliki akhlak mulia. Suatu

150 ketika sewaktu ia hendak menjadi Wakil Presiden, dia kampanye dan datang ke Langkat untuk menjumpai beberapa orang tokoh, termasuk guru-gurunya untuk meminta restu, di sana dia bertemu dengan Haji Abdurrahim (gurunya sewaktu bersekolah di sana pada Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah). Bukan hanya pada waktu itu saja, jauh sebelumnya pun ia sudah sering menjumpai Haji Abdurrahim tersebut. Ia termasuk pihak yang turut membela Imaduddin saat ditahan oleh Pihak yang berwajib atas perintah Pangkomkamtib Sudomo karena ceramah-ceramahnya yang dianggap menyimpang. Nama lengkapnya adalah H. Adam Malik Batubara, lahir di Pematangsiantar, Sumatera Utara pada 22 Juli 1917 M., dan wafat di Bandung, Jawa Barat pada 5 September 1984 M., pada usia 67 tahun. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, dan juga pernah menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia yang ketiga. Atas pengabdiannya yang paripurna di negara ini, maka ia dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia lewat Keppres Nomor 107/TK/1998 pada tanggal 6 November 1998. Adam Malik adalah anak ketiga dari seorang pengusaha kaya Abdul Malik Batubara dengan ibunya Salamah Lubis. Semasa kecil, Adam Malik bersekolah di Hollandsch-Inlandsche School di Pematang Siantar. Kemudian ia melanjutkan sekolahnya ke Madrasah Sumatera Thawalib Parabek di Bukittinggi. c. Anak Cucu Keturunan Kesultanan Langkat (Tokoh Internasional) Salah seorang dari cucu Sultan Musa menjadi tokoh internasional. Dikabarkan bahwa Sultan Slangor Malaysia memiliki silsilah dari Sultan Musa, yaitu melalui perkawinana dari salah seorang cucu sultan Musa. Dahulu pernah terjadi, seorang dari Sultan Slangor meminang anak perempuan dari Sultan Aziz, lalu mereka menikah, dan dari sinilah lahir anak cucu dan keturunan Sultan Musa yang bertempat tinggal di Slangor. Anak cucu serta keturunan Sultan Musa yang hidup pada Kesultanan Slangor ini pun ada yang menjadi sultan pada Kesultanan Slangor tersebut untuk menggantikan kedudukan ayahnya.

151 Demikian juga halnya dengan Kesultanan , dan Perak. Lewat perkawinan anak cucu kedua kesultanan ini dengan anak cucu Kesultanan Langkat menjadikan keturunan Kesultanan Langkat ada pada Kesultanan Kedah dan Perak Malaysia. Sampai saat ini hubungan anak cucu Kesultanan Langkat dengan Malaysia tertutama Slangor, Kedah, dan Perak masih memiliki kedekatan. Sewaktu terjadi revolusi sosial di Langkat maka keturunan raja-raja Melayu Langkat ini banyak yang berlindung ke Malaysia. Sewaktu api gelora revolusi sosial membakar habis Kesultanan Langkat, banyak dari pihak keluarga yang melarikan diri ke Malaysia, mereka menetap dan berlindung di sana. Kesultanan Malaysia ini pun menerima dan melindungi mereka dengan baik. Sampai sekarang, mereka dan keturunan mereka berintegrasi pada Kerajaan yang ada di Malaysia. Indikasi pertemuan silsilah ini terlihat pada pertemuan budanyanya. Masjid besar yang ada di Kedah mirip dengan masjid raya Azizi yang ada di Tanjung Pura. Baik bentuk, demikian juga dengan karya seni yang ada pada masjid tersebut memperlihatkan kedua masjid ini susah dibedakan. Bedanya hanya pada menaranya, yaitu Masjid Azizi memiliki satu menara, sementara di Kedah ada empat menara, dan halaman masjid Azizi lebih luas dari masjid Kedah tersebut. Tidak heran di saat anak-anak Langkat di bawa ke sana maka mereka berkata bahwa masjid itu (masjid Kedah) adalah masjid mereka. Perkawinan menjadi momen pertukaran budaya kedua kesultanan tesebut. Sewaktu Sultan Aziz meminang anak raja Sultan Kedah, dan perkawinan pun berlangsung maka pada saat itu juga Sultan Kedah meminta gambar Masjid Azizi tersebut untuk keperluan rencana pembangunan masjid Kesultanan yang ada di Kedah. Karya seni masjid Azizi inipun diadopsi oleh Sultan Kedah dalam pembangunan masjid kerajaaan Kedah ini. Baik ornament, seni ukir, bentuk dan topokrasi kedua masjid ini pun terlihat sangat mirip. Integrasi ini terjadi tidak hanya sebatas perkawinan, tetapi juga migrasi. Meskipun hubungan keluarga Kesultanan Malaysia dengan Langkat sudah terasa tipis namun respon positif yang diperlihatkan Kesultanan Malaysia

152 terhadap masyarakat Langkat membuat arus migrasi masyarakat Langkat ke Malaysia terbilang banyak. Sekarang ini ada banyak sekali masyarakat asal Langkat yang berdomisili dan menetap di Malaysia (terutama Slangor, Kedah dan Perak). Ada upaya untuk memberi kemudahan bagi masyarakat Langkat yang ada di Slangor oleh pihak kesultanan. Sewaktu informan (Zainak AK) pergi ke Slangor, oleh sekretaris kesultanan dikatakan, “Tolong carikan dulu tanah di Langkat sekitar 100 Ha. atau lebih, dengan posisi dekat dengan garis pantai. Zainal AK. menjawab, Tuanku, untuk apa tanah seluas itu di Langkat. Dia menjawab, kita akan buat perkebunan, yang akan kita tanami dengan pohon naga, harga buah naga ini di Malaysia cukup mahal, dan yang paling luas punya kebun naga ini di Malaysia adalah sekretaris kerajaan yang meminta dicarikan tanah 100 ha. di Langkat ini, lalu dia mengatakan; “Kasihan dengan orang Langkat ini, mereka yang banyak bekerja di kebun naga miliknya orang Langkat, jadi kalau kebun ini kita buat di Langkat maka mereka tidak perlu jauh-jauh meninggalkan istri, anak, dan keluarganya untuk datang ke Malaysia ini”. Inilah gambaran perhatian yang diberikan oleh Kesultanan yang ada di Malaysia kepada masyarakat Langkat. Dahulu masih ada kunjungan antar kedua keturunan kesultanan ini. Misalnya setahun sekali, dalam rangka ziarah mereka datang ke Langkat, bahkan suatu ketika mereka sengaja membawa tim sepak bola ke Langkat untuk mengadakan pertandingan persahabatan dengan Persatuan Sepak bola Langkat (PSL) di Langkat. Hal ini selalu dilakukan, namun sekarang tradisi itu sudah hilang, dan komunikasi pun mulai terputus. Hubungan batin antar Kesultanan ini masih tetap terasa sampai sekarang ini, namun wujud implementasinya sudah mulai hilang.

5. Peci Hitam sebagai Pakaian Nasional Khusus peci hitam dinyatakan sebagai pakaian Nasional adalah berupa andil dari Kesultanan Langkat. Sewaktu Sumpah Pemuda telah dipermaklumkan secara umum ke publik, Soekarno waktu itu masih berada dalam semangat dan hiruk pikuk pergerakan perjuangan kemerdekaan di sekitar Jakarta dan Solo, maka pada waktu itu diperbincangkan juga tentang

153 “Pakaian Nasional”. Muncul tanggapan bahwa, blankon tak cocok, sorban tak cocok, waktu itu Amir Hamzah memakai peci hitam, dia sedang berada di sekitar Bung Karno, lalu Bung Karno tertarik dengan peci hitam yang dipakai oleh Amir Hamzah, terus Bung Karno menunjuk peci hitam yang dipakai Amir Hamzah tersebut dan mempertegasnya sebagai pakaian Nasional yang diikuti dengan penerimaan komunitas yang ada di sana. Meskipun sederhana, namun peci hitam ala Langkat tersebut telah diakui oleh bangsa Indonesia sebagai pakaian Nasional.12 Boleh saja ada banyak bentuk peci hitam, akan tetapi peci hitam ala Kesultanan Langkat lah yang dinyatakan sebagai peci hitam Pakaian Nasional tersebut. Meskipun sesama peci hitam, namun dalam kenyataan, peci hitam ini bervariasi bentuknya, hal ini bisa dilihat dari aspek tinggi dan rendahnya, juga bisa dilihat dari bulat dan ovalnya, bahkan bisa dilihat dari segi pekat hitam, atau pudar warnanya. Peci hitam Kesultanan Langkat itu memiliki kekhasan tersendiri. Belakangan, Bung Karno mensosialisasikan peci hitam pakaian nasional tersebut. Di samping menyampaikan kepada rekan-rekan sesana kaum pergerakan pada pertemuan tersebut, peci hitam yang berasal dari Kesultanan Melayu Langkat ini pun di pakai oleh Bung Karno. Tradisi ini juga diikuti oleh yang lain, maka dikenal sampai sekarang bahwa peci hitam itu adalah pakaian Nasional Indonesia. Saat pelaksanaan Kongres Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1928, Soekarno memakai peci hitam dan menganjurkan kepada partainya untuk mengenakannya. Dalam pidatonya dia menyampaikan; “… Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia merdeka.” Sejak itu, Soekarno selalu mengenakan peci hitam saat tampil di depan publik. Hal ini sejalan dengan tulisan George Quinn dalam The Learner’s

12Hasil wawancara dengan Fachruddin Ray di rumahnya pada hari Selasa tanggal 3 Juli 2018.

154 Dictionary of Today’s Indonesia yang mendeskripsikan peci hitam, lalu mencontohkannya kepada Soekarno. “Soekarno sat in the courtroom wearing white trousers, a white jacket and a black cap (Soekarno duduk di depan sidang pengadilan, memakai celana putih, jas putih, dan peci hitam).”13 Peci hitam sebagai pakaian nasional Indonesia tersebut sudah terpublikasi di kancah internasional. Hal ini terlihat pada pemberian hadiah kehormatan oleh Presiden Republik Indonesia kepada Kepala Negara Asing berupa Peci Hitam. Misalnya, sewaktu Presiden Republik Indonesia mengadakan kunjungan kenegaraan ke Afganistan pada hari Senin tanggal 29 Januari 2018, setelah terlebih dahulu sudah mendapatkan hadiah berupa kopiah khas Afganistan, Presiden Joko Widodo pun balik memberikan hadiah kehormatan kepada Presiden Afganistan berupa songkok atau Peci Hitam khas Indonesia.14

6. Peninggalan Sejarah Peninggalan sejarah Kesultanan Langkat yang berfungsi sebagai kontribusi budaya dan pelajaran sejarah bagi generasi bangsa yang masih bisa ditemukan sampai saat ini di antaranya adalah: a) Museum Langkat Museum ini berdiri pada tahun 1905 pada masa kesultanan Langkat. Dahulu, museum ini berfungsi sebagai Gedung Kerapatan atau Gedung Pengadilan. Sebagaimana layaknya Gedung Pengadilan, maka di tempat inilah persengketaan diajukan, dipaparkan, dan diuji kebenarannya berdasarkan argumentasi dan keabsahan data pendukungnya, akhirnya hakim menyimpulkan dan memberi keputusan terhadap setiap persoalan

13Ditemukan pada memoar, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis Cindy Adams., lihat https://travel.kompas.com/read/2014/06/09/1554590/ Presiden.Soekarno. Hadir.di.Madame. Tussauds.Hongkong., didown-load pada hari Minggu tanggal 2 September 2018. 14http://jabar.tribunnews.com/2018/01/30/jokowi-hadiahkan-peci-simbol-pejuangan- sukarno-ke-presiden-afghanistan., didown-load pada hari Minggu tanggal 2 September 2018.

155 yang diajukan kepadanya. Gedung ini menjadi saksi tentang keperdulian Kesultanan Langkat terhadap penegakan hokum dan keadilan. Mengingat fungsi Gedung Pengadilan ini sudah tidak maksimal lagi maka dirubah menjadi museum. Gedung ini sudah tidak difungsikan lagi sebagaimana layaknya Gedung Pengadilan yang dibutuhkan saat ini, dan pada tahun 2003 oleh Pemda setempat, gedung ini dirintis untuk menjadi Musem Daerah. Dengan cara ini Gedung ini tetap fungsuinal dalam bentuk penggunaan yang lain. Museum mini ini terletak di jalan Tengku Amir hamzah yang tidak seberapa jauh dari Masjid Azizi. Bentuk museum ini adalah bulat, dan di dalamnya terdapat ruangan-ruangan kecil berbentuk segi tiga, yang dahulunya digunakan sebagai tempat untuk orang-orang yang melakukan kesalahan sebelum dijatuhi hukumannya. Keberadaan gedung ini dalam kiprahnya terus diusahakan untuk melengkapi benda-benda khazanah peninggalan sejarah, dan juga beberapa benda-benda budaya dari beberapa etnis dari Kabupaten Langkat, seperti, Melayu, Karo, dan Jawa. Gedung ini memiliki luas sekitar 1500 M. Setelah Indonesia merdeka, Gedung ini sudah pernah direnovasi, namun dalam rangka mempertahankan nilai-nilai kesejarahan maka renovasi tersebut dilakukan dengan tetap mempertahankan bentuk keasliannya. b) Gerbang Kerajaan Darul Aman Gerbang Kerajaan Darul Aman adalah bagian yang masih tersisa dari istana Kesultanan Langkat yang sungguh megah tersebut. Saat terjadinya Revolusi Sosial, gedung ini dihancurkan oleh massa secara membabi buta beserta menangkap dan membunuh secara sadis seluruh penghuninya. Secara keseluruhan Gedung ini musnah tanpa tersisa kecuali secuil yang terkait dengannya, di antaranya adalah Gerbang Kerajaan Darul Aman. Gerbang Kerajaan Darul Aman ini ada dua. Gerbang Pertama terletak di pinggir jalan, di depan rumah penduduk. Gerbang Kedua, letaknya di pinggir jalan juga, tapi sekarang sudah dialihfungsikan menjadi gerbang sekolah Madrasah Aliyah Negeri 2 Tanjung Pura. Gedung istana Kesultanan Darul Aman ini telah hancur pada tahun 1946 saat terjadinya Revolusi

156 Sosial di Langkat. c) Parit Istana Selain dari gerbang seperti dikemukakan di atas, di depannya ada parit istana Darul Aman. Dari dahulu sampai sekarang ini, tempat ini berfungsi sebagai parit, hanya saja dahulu sebagai parit/ saluran pembuangan air yang sesungguhnya pembuangan air kerajaan Darul Aman, dan hal ini terlihat jelas dari bentuknya yang memiliki ukiran yang khas Melayu Langkat, dengan bangunannya yang kokokh. d) Dapur Kerajaan Darus Salam Tidak jauh dari tempat ini, juga ditemukan dapur kerajaan Darus Salam (Kesultanan Langkat). Di tempat ini terlihat tembok-tembok yang panjang, dan tembok inilah yang difungsikan sebagai dapur pada masa kerajaan Darul Aman. Sekarang tembok ini tidak terurus dan tidak berfungsi lagi, tetapi hanya dijadikan oleh masyarakat sebagai tempat menaman sayur-sayuran. Sekarang tempat ini berada di belakang salah satu Sekolah Dasar di Tanjung Pura, dahulu tempat ini berupa pemukinan di mana masyarakat kerajaan Darus Salam bermukim, sekarang telah berdiri SD Negeri Nomor: 050729 Tanjung Pura.

157 158 BAGIAN KETUJUH PENUTUP

Awal terbentuknya Kesultanan Langkat bermula dari Kerajaan Aru yang berpusat di Besitang. Rajanya bernama Dewa Syahdan yang kekuasaannya diperkirakan antara tahun 1500 sampai 1580 M. Kerajaan Aru I merupakan kerajaan Islam yang telah berdiri pada pertengahan abad ke-13, dan merupakan kerajaan yang cukup masyhur pada masa itu. Masa kejayaan Kesultanan Langkat dicapai pada masa kekuasaan Sultan Musa. Kekayaan Kesultanan Langkat adalah ladang minyak, yang merupakan yang pertama di Indonesia, termasuk perkebunan. Kedua sumber tersebut menjadikan Kesultanan Langkat tergolong kesultanan terkaya di Asia Tenggara hingga pada masa kolonial Belanda. Agama Islam merupakan pedoman dan dasar pengambilan keputusan dan kebijakan di Kesultanan Langkat. Oleh karena itu pula Kesultanan Langkat menjadi identik dan atau disebut Kesultanan Melayu. Masyarakat yang mayoritas beragama Islam dalam berbagai dinamika kehidupannya telah mencerminkan perilaku keislaman yang kuat, walaupun di sana-sini masih terdapat kepercayaan-kepercayaan peninggalan Hindu, Animisme, dan lain sebagainya. Dalam kehidupan sosial keagamaan, ibadah-ibadah praktis dapat ditemukan dinamika masyarakat Langkat, seperti salat

159 berjamaah, mengaji di langgar, dan pengajian-pengajian agama, yang banyak bertemakan akidah dan tasawuf. Tarekat Naqsabandiyah merupakan salah satu tarekat yang berkembang di Langkat. Sejalan dengan itu, terdapat pula beberapa pengajian keagamaan yang dibentuk oleh istri sultan, yaitu Maslurah. Sedangkan pusat peribadatan di wilayah Langkat adalah Masjid Azizi. Suasana keislaman menjadi warna Kesultanan Langkat; terlihat hidupnya tradisi Islam, terkikisnya bid’ah, dan terlaksananya hukum Allah serta tidak ada pula stratifikasi ras. Hal ini dikarenakan masyarakat Langkat yang memegang teguh ajaran-ajaran syariat Islam. Dalam masyarakat dikenal kelas sosial yang membedakan keturunan bangsawan dan rakyat biasa. Golongan bangsawan adalah keturunan raja- raja yang dikenali dengan gelar-gelar tertentu, seperti tengku, sultan dan datuk. Dalam hal ini peninggalan Hinduisme masih melekat pada masyarakat. Bahkan sisa-sisa pelapisan sosial lama masih nampak dalam masyarakat melayu saat ini. Misalnya masih ditemukan sekelompok orang yang berasal dari keturunan sultan-sultan dulu, mereka biasanya dipanggil dengan gelar tengku. Lalu, bekas pegawai kesultanan dengan keturunannya biasanya dipanggil dengan gelar Datuk. Sedangkan keturunan tengku dan datuk kebanyakan dipanggil dengan gelar Wan. Dengan adanya pelapisan sosial pada masyarakat, maka keturunan raja dan aristokrat di Langkat mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk hidup makmur dibandingkan dengan rakyat biasa. Mereka masing-masing diberi jabatan dan diberi kekuasaan untuk mengatur atau mengelola kejeruan-kejeruan (kecamatan) di daerah Langkat. Pembagian kekuasaan dan hasil daerah membuat golongan bangsawan Langkat dapat hidup berkecukupan dalam bidang materi. Ini berbeda dengan golongan rakyat biasa yang harus membayar pajak (upeti/blasting) dari hasil pertanian dan perkebunannya kepada kesultanan. Namun ada dari rakyat biasa yang dapat hidup mewah dan berkecukupan dan biasanya mereka adalah tuan-tuan tanah atau orang- orang kepercayaan sultan. Dalam bidang pendidikan, Kesultanan Langkat lebih memilih untuk mengajarkan ilmu agama, apalagi saat itu agama Islam sudah masuk ke

160 wilayah Nusantara. Saat itu, sudah menjadi tradisi masyarakat Melayu Langkat untuk menyerahkan anak-anaknya kepada guru untuk mengaji Al- Qur’an. Selain itu, anak laki-laki diwajibkan untuk belajar ilmu bela diri. Dengan berdirinya Madrasah Al-Masrurah tahun 1912, Madrasah Aziziah tahun 1914, dan Madrasah Mahmudiyah tahun 1921, maka Langkat menjadi salah satu dari tempat yang dituju oleh pencari-pencari ilmu dari berbagai daerah. Disebutkan bahwa selain dari masyarakat Langkat, banyak juga pelajar-pelajar yang datang dari dalam dan luar Pulau Sumatera, seperti Riau, Jambi, Tapanuli, Kalimantan Barat, Malaysia, Brunei dan lain sebagainya. Kesultanan Langkat berakhir dengan adanya revolusi sosial pada 1946. Hampir semua kerajaan di Sumatera mengalami kekacauan pada Maret 1946. Revolusi sosial hampir menyasar semua kalangan kesultanan, mulai dari sultan, keluarga sultan, para petinggi kesultanan, cerdik pandai, hingga rakyat kesultanan menjadi korban dan banyak yang meninggal dunia. Ada dua hal yang membuat masyarakat membakar istana-itana kesultanan Langkat, Pertama, mereka beranggapan bahwa Kesultanan Langkat telah mendukung pemerintahan Belanda, dalam usaha penjajahan di Indonesia; dan kedua, agar pemerintah Belanda tidak menggunakannya untuk mempertahankan diri dari para pejuang kemerdekaan. Selain itu, para pejuang membakar sumur minyak di Pangkalan Berandan tahun 1947 karena khawatir akan dikuasai oleh Belanda. Pada saat terjadi proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Kesultanan Langkat mendukung sepenuhnya terhadap Pemerintah Republik Indonesia. Kesultanan Langkat menyerahkan kekuasaannya kepada Pemerintah Indonesia. Gelar Kesultanan pada Kesultanan Langkat memang tetap ada dan berlangsung terus, tetapi tidak lagi memiliki kekuasaan karena kekuasaannya telah diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Dalam konteks ini, berlaku bagi Kesultanan Langkat sebagai “Kesultanan tanpa Kekuasaan (Raja tanpa kerajaan dan rakyat).” Membuka kembali sejarah Kesultanan Langkat dan mengkajinya bukan saja sebagai upaya merekonstruksi masa lalu tetapi juga dapat menyajikan data, informasi, dan pelajaran berharga bagi generasi-generasi di masa

161 mendatang. Informasi mengenai kerajaan-kerajaan dalam lintasan sejarah di Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu warisan budaya yang sangat beragam dan mengandung inspirasi berlimpah. Sehubungan dengan itu, adalah suatu keharusan bagi berbagai kalangan untuk memeliharanya. Pengungkapan sejarah dan informasi ini akan membawa warna yang sangat menarik bagi daerah Langkat mengenai khazanah sejarahnya, warisan budayanya, dinamika sosial keagamaaannya, termasuk politik dan ekonominya. Hal ini setidaknya dapat secara khusus dijadikan pelajaran bagi masyarakat Kabupaten Langkat dan masyarakat umum lain terkait kehidupan sosial-keagamaan Islam untuk masa yang akan datang. Dalam konteks ini, Pemerintah Daerah, baik Kabupaten Langkat maupun Provinsi Sumatera Utara perlu melakukan upaya pelestarian, pemeliharaan, dan pemanfaatan warisan sejarah dan khazanah kebudayaan agama tersebut bagi pembangunan bangsa dan penguatan karakter generasi yang akan datang. Kepada Pemerintah Kabupaten Langkat sebagai salah satu kabupaten di Sumatera Utara yang memiliki sejarah kerajaan dengan corak keIslaman yang sangat kuat, yakni Kesultanan Langkat-dikenal masyarakat luas sebagai Kerajaan Melayu-diperlukan program strategis dan upaya sistematis untuk menjadikan kajian sejarah kesultanan ini menjadi menarik, bukan bagi para pengkaji sejarah tetapi juga bagi masyarakat umum. Kajian sejarah Kesultanan Langkat dapat dilakukan dari berbagai sudut pandang, seperti antropologi, sosiologi, linguistik, arkeologi, filologi, dan juga keagamaan. Kepada Pemerintah Daerah, baik tingkat Kabupaten Langkat maupun Provinsi Sumatera Utara diperlukan usaha serius dan terus menerus untuk melestarikan dan memelihara warisan sejarah dan khazanah kebudayaan Islam yang terdapat dalam sejarah Kesultanan Langkat. Berbagai peninggalannya seperti seni arsitektur Islam yang terdapat di masjid, madrasah, serta bangunan-bangunan pemerintahan di Kesultanan Langkat perlu segera dijadikan menjadi situs budaya dan agama bagi Indonesia. Terlebih jika dilihat fakta sosial-keagamaan saat ini bahwa materi dan corak keIslaman yang melekat pada Kesultanan Langkat berdampak besar pengaruhnya terhadap masyarakat Melayu Kabupaten Langkat secara khusus, dan masyarakat luas lainnya secara umum.[]

162 DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M. Kasim. Studi Sejarah Masjid Azizi Tanjung Pura-Langkat- Sumatera Utara (Jakarta Selatan: Najm, 2000) Agustono, Budi. “Kehidupan Bangsawan Serdang 1887-1946”, dalam Tesis S2 belum diterbitkan. Yogyakarta: Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 1993. Ahmadi, Abdul Kadir. Sekilas Layang Adat Perkawinan Melayu Langkat, (Tanjung Pura-Langkat: Pustaka Babusalam, 1992) h. 12 Ahmadi, Kadir. Sejarah Perkembangan Pendidikan Jama’iyah Mahmudiyah, Terbitan Khusus Pengurus Besar Jama’iyah Mahmudiah Li Thalabil Khairiyah, Tanjung Pura-Langkat, 1985 Aka, Zainal Arifin. Riwayat Tengku Amir Hamzah: Cinta Tergadai, Kasih Tak Sampai, Langkat: Dewan Kesenian Langkat, 2002 ——————————, Langkat dalam Sejarah dan Perjuangan Kemerdekaan (Medan, Mitra Medan, 2002). Ali, M. Daud. The Position of Islamic Law in the Indonesian Legal System, dalam Islam and Society in Southeast Asia, edited by Taufiq Abdullah, et. all, (Singapore: ISEAS, 1983) Alisjahbana, Sutan Takdir. Amir Hamzah Penyair Besar Antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyi Sunyi, (Jakarta:1979, Dian Rakyat. Arnold, Thomas W. The Preaching of Islam: a history of the propagation of the Muslim faith, (London: Constable, 1913). Azra, Azyumardi. Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: Rosdakarya, 1999. Basarshah II, Sultan Serdang Tuanku Luckman Sinar. Bangun Dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Yayasan Kesultanan Serdang. Medan, 2006) Bruinessen, Martin Van. Tarekat Naqsabandiyah Di Indonesia, Mizan, Bandung, 1992

163 Daly, Peonah. Hukum Perkawinan Islam: suatu studi perbandingan dalam kalangan ahlus-Sunnah dan negara-negara Islam, Cet. I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988) Hasjim, Tengkoe. Riwajat Toean Sjeh Abdoel Wahab Toean Goeroe Besilam dan Keradjaan Langkat (Medan: H. Mij. Indische Drukkerij, t.t.), Hooker, MB. The Challenge of Malay Adat Law in The Realm of Comparative Law, The International and Comparative Law Querterly, Vol. 22, No. 3 (Juli.1973) Husin, Djohar Arifin. Sejarah Kesultanan Langkat (Medan: t.p, 2013), h. 16.; Zainal Arifin, Langkat dalam Sejarah dan Perjuangan Kemerdekaan (Medan: Mitra Medan, 2013), h. 26. Lihat Zainal Arifin, Jama’iyah Mahmudiyah Setelah 100 Tahun (Medan: Mitra Medan, 2013) Husni, T.M Lah. Biografi-Sejarah Pujangga Nasional Tengku Amir Hamzah, Penerbit Husni, Medan, 1971 Lapidus, Ira M. A History of Islamic Societies, second edition, (United Kingdom, Cambridge University Perss, 2002), hlm. 383-384. Lev, Daniel S. Islamic courts in Indonesia A Study in the Political Bases of Legal Institutions, (Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1972) Malik, Adam. Mengabdi Repoblik, (Adam dari Andalas), Cet. Ketiga, Gunung Agung, Jakarta, 1982, h. 2. O’Malley, William Joseph. “Perkebunan 1830-1940: Ikhtisar” dalam Anne Booth, William J.O’Malley, dan Anna Wiedemann (Ed.), Sejarah Ekonomi. Perret, Daniel. “Kolonialisme dan Etnisitas” (2010), yang merujuk pada R. Djajadiningrat dalam buku “Atjehsch-Nederlandsch Woordenboek” (1934), mengatakan bahwa dalam bahasa Aceh “Haro” atau “Karu” berarti suasana bergejolak dan rusuh di sebuah wilayah. Rustam, Laporan Penelitian: Syekh Abdullah Afifuddin Langkat (Studi Pemikiran dan Perkembangan Gerakan (Medan, LP2M IAIN SU)

164 Said, A. Fuad. Syekh Abdul Wahab Rokan, Tuan Guru Babussalam, Pustaka Babussalam, Cetakan III, Medan, 1983 ——————-, Hakikat Tarikat Naqsabandiah, Pustaka Al-Husna Baru, Jakarta, 2005 Samantho, Ahmad Y. Oman Abdurrahman et.all. Peradaban Atlantis Nusantara: Berbagai Penemuan Spektakuler yang Makin Meyakinkan Keberadaannya (Jakarta, Ufuk Press: 2011. Simanjuntak, Bungaran Antonius. Melayu Pesisir dan Batak Pengunungan: Orientasi Nilai Budaya (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2010. Sinar, T. Luckman Beberapa Catatan tentang Perkembangan Islam di Sumatera Utara, paper dalam seminar dakwah Islam se-Sumatera Utara, tgl. 29-31 Maret 1981. Lihat juga harian Analisa tgl. 10 April 1981. —————————-, Bangun Dan Runtuhnya Kerajaan Melayu Di Sumatera Timur, (Medan: Penerbit Yayasan Kesultanan Serdang, 2006) —————————, Sari Sejarah Serdang, Lembaga Pnelitian Fakultas Hukum USU, 1971 —————————-, Sejarah Medan Tempo Doeloe (Medan: Perwira, 2005) Teeuw, A, Modern Indonesia Literature, (The Hague: 1979, Martinus Nijhoff (Terjemahan KITLV, 10), Edisi I, 1967). Tim Peneliti Fakultas Sastra USU (J. Fachruddin Daulay, Nazief Chatib, Farida Hanum Ritonga, A. Samad Zaino, Jeluddin Daud), Sejarah Pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Langkat, Stabat, 1995. Tim Survai, Monografi Kebudayaan Melayu Di Kabupaten Langkat, (Proyek Pengembangan Permuseuman Sumatera Utara: Medan 1980). Ulrich, Kratz, E. New Poem By Amir Hamzah, (Indonesia Circle 21: 1980) Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000 Zuhdi, Sulaiman. Langkat dalam Kilatan Selintas Jejak Sejarah dan Peradaban (Stabat, Stabat Medio, 2013)

165 Informan: Wawancara dengan Bapak Basri di selesai, tanggal 15 Juli 2018. Wawancara dengan Bapak Haz tanggal 19 April 2018. Wawancara dengan Bapak Zainal tanggal 7 Juli 2018. Wawancara dengan Bapak Zainal tanggal 7 Juli 2018. Wawancara dengan Bapak Zainal, tanggal 22 Agustus 2018 di Tanjung Pura. Wawancara dengan cucunya Usmanidar (guru di Jamaiyah) di Jamaiyah pada hari Rabu tanggal 15 Agustus 2018. Wawancara dengan Drs. Mukhlis, MA., mantan Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Jamaiyah Mahmudiyah, di kantornya pada hari Selasa tanggal 10 Juli 2019. wawancara dengan Fachruddin Ray di rumahnya pada hari Selasa tanggal 3 Juli 2018. Wawancara dengan Haz, tanggal 18 Juli 2018. wawancara dengan Zainal AK di rumahnya pada hari Rabu tanggal 15 Agustus 2018 di rumahnya. Wawancara dengan Zainal AK, di rumahnya di Pangkalan Berandan Langkat pada hari Rabu tanggal 15 Agustus 2018. wawancara dengan Zainal Ak. (Budayawan Kabupaten Langkat) pada hari Rabu tanggal 15 Agustus di rumahnya. Wawancara dengan Zainal tanggal 5 Juni 2018. wawancara dengan Zainal, tanggal 18 Agustus 2018 di Stabat. Wawancara dengan Zainal, tanggal 28 Juli 2018. Wawancara dengan Zainal, tanggal 3 Juni 2018. Wawancara dengan Zainal, tanggal 3 Juni 2018. Wawancara Ray, tanggal 2 Juni 2018.

166 Website: http://digilib.unimed.ac.id/18328/6/8.%203103121062%20BAB%20I.pdf., di down-load pada hari Selasa tanggal 28 Agustus 2018. http://digilib.unimed.ac.id/18328/6/8.%203103121062%20BAB%20I.pdf., di down-load pada hari Selasa tanggal 28 Agustus 2018. http://www.lenteratimur.com/author/tengku-mansoer-adil-mansoer/> di Belanda dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu/Indonesia oleh Anna Kharisma dari Sastra Belanda Universitas Indonesia. https://min.wikipedia.org/wiki/Pahlawan_Nasional_Indonesia., diakses pada tanggal 23 Agustus 2018. http://archive.lenteratimur.com/2011/06/aru-dahulu-langkat-kemudian/. Diakses pada tanggal 2 Juli 2018 http://tenteraislam.blogspot.com/2012/09/mengenal-ulama-terkemuka- sumatera-timur.html., di down-load pada hari Selasa tanggal 28 Agustus 2018. https://visitlangkat.wordpress.com/2014/10/02/sejarah-kerajaan-langkat/ . Diakses tanggal 30 Agustus 2018. http://shahrirkamil.blogspot.com/2015/08/syeikh-abdullah-afifuddin- langkat.html., di down-load pada hari Selasa, tangal 28 Agustus 2018., juga Hasil wawncara dengan cucunya Yaumul Khair, di Jamaiyah Mahmudiyah pada hari Rabu tanggal 15 Agustus 2018, juga Hasil wawancara dengan Zainal AK, di Rumahnya Pangkalan Berandan pada hari Rabu tanggal 15 Agustus 2018. http://datokzulanhar.blogspot.com/2016/10/pohon-langkat.html. diakses pada tanggal 18 Juli 2018. https://narakata.com/2017/04/16/pernah-diusulkan-menjadi-pahlawan- nasional-amir-hamzah-diangkat-chairil-ditolak/, dan juga http://jabar.tribunnews.com/2018/01/30/jokowi-hadiahkan-peci-simbol- pejuangan-sukarno-ke-presiden-afghanistan., didown-load pada hari Minggu tanggal 2 September 2018.

167 168 INDEKS

A

A.H. Johns 144 Abdul Aziz 48 Aceh 33, 36, 68 Aceh Tamiang 33, 44 Aceh Timur 79 Adam Malik 51, 59, 96, 150 Aeliko Janszoon Zijlker 68 Al-Masrurah 59 Amir Hamzah 97, 130, 140 Asia Tenggara 43 Austronesia 99

B

Bahorok 33, 44 Belanda 38, 76 Bendahara Raja Badiuzzaman 27 Besilam 62 Besitang 19, 20, 159 Beteshti Petrolium Maskapai 69 Binjai 44, 130

C

Cina 35

D

Darul Aman 157 Datuk 160 Dewa Sakti 24, 27, 28

169 Dewa Syahdan 19, 20, 24, 159 Dr. Amir 75

E

Europese Logare School 58, 97

F

Fachruddin Ray 2 Falsafah Melayu 100, 115

G

Gerindo 74

H

Haji Musa Alhamdainsyah 33 Heuristik 12 Hindia Belanda 48 Historiografi 13, 14 Holland Chinese School 58, 97 Holland Indonesian School 58 Hukum Islam 6

I

Islam Melayu 5, 6

J

Jacobus Nienhuys 70 Jamaiyah Mahmudiyah 58, 61, 112 John Anderson 72, 90

K

Kabupaten Langkat 2, 4 Kal J. Pelzer 71

170 Kampung Babussalam 7 Kejeruan Hitam 29 Kejeruan Tuah Hitam 92 Kerajaan Aceh 80 Kerajaan Aru 19, 20, 21, 22, 105, 159 Kerajaan Langkat 42, 84 Kesultanan 148 Kesultanan Asahan 7 Kesultanan Langkat 2, 5, 6, 8, 9, 10, 27, 40, 47, 69, 70, 137, 143, 152, 159, 161 Kesultanan Melayu 159 Kolonial Belanda 74, 159 Kuala Begumit 150 Kublai Khan 21 Kuta Buluh 19

L

Laksemana Cheng Ho 23 Langgar 85 Langkat 29, 31, 33, 36, 54, 61, 88, 109, 117, 140 Langkatsche School 97 Laskar Pesind 149

M

Madrasah 34, 59, 66 Madrasah Al-Masrurah 161 Madrasah Aziziah 161 Madrasah Jamaiyah Mahmudiyah 58 Madrasah Mahmudiyah 161 Malikulsaleh 21 Marco Polo 21 Masjid 3 Masjid Azizi 7, 51, 52, 55, 84, 112, 114, 124, 133, 150

171 Masjid Raya Stabat 85 MASYUMI 124 Matoa 18 Melayu 4, 5, 6, 17, 50, 75, 90, 99, 143 Melayu Deli 82 Melayu Langkat 112 MULO 97, 147

N

Nasionalisme 74 Nobatsyah 30, 32, 92 Nusantara 2, 50, 60, 161

O

Observasi 14

P

Partai Nasional Indonesia (PNI) 154 Peci hitam 155 Perguruan Jama’iyah Mahmudiyah 96 PKI 124, 132, 135 PNI 132

R

Raja Ahmad 27, 30, 31, 38, 42, 92 Raja Bingei 44 Raja Kahar bin Panglima Dewa Syahdan 27 Raja Kejuruan Hitam 27 Raja Kerajaan Haru 19 Raja Langkat 50 Raja Musa 34, 37, 110 Raja Syahdan 106 Republik 130

172 Revolusi Sosial 118, 135, 157

S

Samudera Pasai 21 Sejarah sosial 9 Selat Malaka 22 Seneca Oil Company 69 Serikat Islam 74 Siak 30, 31, 36, 38 Stabat 31, 32, 57 Sulaiman Zuhdi 6 Sultan Abdul Aziz 43, 54, 55 Sultan Bilah 76 Sultan Iskandar Muda 80 Sultan Langkat 67, 76, 132 Sultan Mahmud 128 Sultan Mahmud Abdul Azis 120 Sultan Mansyur Shah 22 Sultan Musa 5, 15, 33, 36, 37, 41, 42 Sumatera Timur 2, 5, 7, 22, 37, 43, 60, 70, 75, 80, 91, 94, 110, 119, 123, 135 Sumatera Utara 1, 16 Syekh Abdul Wahab Rokan 52, 55, 61, 97 Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawy 65 Syekh Mohammad Ziadah 65, 66 Syekh Sulaiman Zuhdi 86

T

Tahlilan 58 Tamiang 22, 33 Tanjung Balai Asahan 76 Tanjung Pura 57, 65, 73, 84, 157 Tarekat Naqsabandiyah 51, 52, 84, 87, 160

173 Tengku 160 Tengku Abdul Azis 38 Tengku Amir Hamzah 59, 76, 96 Tengku Luckman Sinar 21 Tengku Mahmud 73 Tengku Muhammad Hasan 76, 135 Tengku Musa 32, 92 Tengku Musa Abdul Jalil Rahmadsyah Al-Halidy Al-Mu 42 Tengku Puteri Kamaliah 148 Tengku Syarif Kasim 119 Tentara Republik Indonesia 76 Teuku Mohamad Hassan 135 Timur Tengah 81 Tionghoa 21, 53 Tradisi 6 Tuan guru Babussalam syekh Abdul Wahab Rokan 97 Tuan Guru Besilam 37 Tuanku Zainal Abdidin 30

V

Van der Wal 70 Volkfront 126 Volksvront 131

Z

Zainal Arifin AKA 18 Zijlker 68

174 BIODATA PENULIS

Pagar, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara, Medan. Selain Guru Besar ia juga menjabat sebagai Ketua LP2M di kampus tersebut.

Fatimah Zuhrah, lahir 28 Februari 1976 di Dolok Masihul, Sumatera Utara. Saat ini merupakan peneliti pada LP2M UIN-SU Medan, pernah mengukuti Short Course Research Methodology di Leiden University, tahun 2015. Kursus yang lain juga pernah diikuti pada tahun 2013 di Vreijt University, Amsterdam, dan di Melbourne University 2005-2006 tentang Training on Strengthening Research Capacity Building. Tahun 2005 ia berkesempatan ke negeri Kanggoru untuk mengikuti Introductory Academic Program, Partnership in Educatian and Training di Australian National University (ANU), Canberra.

Shiyamu Manurung, merupakan peneliti pada LP2M UIN-SU Medan, kelahiran 8 Agustus 1979 di Desa Penggalangan, Sumatera Utara. Selain peneliti, ia juga mengajar di beberapa kampus swasta di Medan yaitu, STAI Al-Hikmah Tebing Tinggi, STAI Panca Budi Medan, Dosen STAI Abdur Rauf Singkil, serta Dosen di Universitas Al-Muslim di Pematang Lhoksukon Aceh. Ia juga aktif mengisi pengajian di Majlis Taklim di Kota Medan sampai saat ini.

Masmedia Pinem, M.Ag., lahir di Kabanjahe, Tanah Karo, Sumatera Utara 8 Mei 1973. Putra kedua dari empat bersaudara ini merupakan peneliti di Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama sejak 2010. Pendidikan Dasarnya di Kampungnya, SMP lanjut ke Pondok Pesantren Darul Arqom Kerasaan, Simalungun. Setelah selesai dari Pondok melanjutkan Aliyah ke Ranah Minang, tepatnya di KMM Kauman Padangpanjang, 1989-1992, sekolah yang pernah dipimpin oleh tokoh besar bangsa ini yaitu Prof. Dr. Buya HAMKA. Pascatamat Aliyah, sempat pontang-panting di Jakarta selama setahun menjadi kuli kasar yaitu ‘kernet bus’ Jakarta-Bandung.

175 Tahun 1993 melanjutkan kuliah Perbandingan Agama di Universitas Muhammadiyah Surakarta, selesai tahun 1998. Selesai kuliah sambil mengajar di Pondok Shobron UMS, sembari kuliah S2 di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta 2000-2003. Blessing indisguisse setelah PNS, bisa kuliah S3 dengan biaya mandiri di tahun 2013 di Universitas Padjadjaran Bandung, alhamdulillah selesai tahun 2018. Selain meneliti, saat ini ia juga menjadi tenanga pengajar di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA.

Dede Burhanudin, lahir di Garut, 4 Mei 1967. Peneliti Balai Litbang Agama Jakarta, sebelumnya peneliti Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat. Studi di KOKAR/SMKI (Konservatori Karawitan/ Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) Bandung tahun 1987. UNINDRA Jakarta Tahun 1993 S-1 Sejarah, th 2006 Magister di Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta di Fakultas Ilmu pendidikan dan keguruan konsentrasi seni Kontemporer keagamaan. Tahun 2018 menyelesaikan pendidikan doktoral di FIB/Filologi UNPAD Disertasi membahas Citra Perempuan Dalam Wawacan Nyi Zaojah: Edisi Teks dan analisa Nilai-nilai Keislaman. Karya tulis yang sudah dipublikasikan antara lain: Dendang Syarir-syair Rhoma Irama, Pustaka Izfam, Jakarta, 2012, Carios Babad Sumedang, Jurnal Lektur Keagamaan, Jakarta, 2012, Tembang dalam Tradisi Orang Sunda: Kajian Naskah Guguritan Haji Hasan Mustapa, Jurnal Lektur Keagamaan, Jakarta, 2013, Rumah Ibadah bersejarah, Puslitbang Lektur Khasanah Keagamaan, Jakarta, 2013, Karya Ulama di Lembaga Pendidikan Keagamaan di Sulawesi Tengah, dkk, Buletin Al-Turas 2014, Ensiklopedi Pemuka Agama Nusantra, Puslitbang Lektur Khazanah Keagamaa, Jakarta, 2016, Inskripsi Keagamaan Nusantara di Palu Sulawesi Tengah, Jurnal Lektur Keagamaan, Jakarta, 2016, Klenteng Kuno Boen Bio di Surabaya (Nilai dan Makna Ajaran Khonghucu) Jurnal Lektur Keagamaan, Jakarta , tahun 2017, Vihara Dhanagun dan Komunikasi Budaya di Kota Bogor, Jawa Barat, Jurnal Lektur Keagamaan, Jakarta, 2018, The Religious Meaning Of Islamic Inscription In Kota Tinggi Cemetery, Siak, Riau Province. Heritage Of Nusantara: International Journal Of Religious Literature, Jakarta, 2017, , Potret Khazanah Keagamaan Pattani dan Indonesia, Lintas Budaya

176 PT. RANESS MEDIA RANCAGE (2020)121-133, Tradisi Ziarah Dalam Katolik (JKBH) Jurnal Kajian Budaya Humaniora Vol 2, No 1, (2020) 1-9, Kiprah K.H. Hasyim Mujadi Dalam Khazanah Kagamaan dan Bernegara Lintas Budaya PT. RANESS MEDIA RANCAGE (2020) 29-48, dll.

Asep Saefullah, lahir di Kuningan pada Oktober 1971. Pendidikan S1 dan S2 diselesaikan di IAIN (skr. UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta; S1 Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), tamat 1997, dan S2 Prodi. Sejarah Peradaban Islam (SPI), tamat 2000. Pada tahun 2000, selama enam bulan, mengikuti Program “Pembibitan Calon Dosen IAIN/STAIN Se-Indonesia Angkatan XIII” di IAIN (skr. UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. S3-nya diselesaikan di Fakiltas Ilmu Budaya (FIB) UNPAD Bandung-Jatinangor, Kosentrasi Filologi pada 2018.

177 REVIEWER LITBANG DIKLAT PRESS

1. Prof. H. Abd. Rachman Mas’ud, Ph.D 2. Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar 3. Prof. Dr. Ridwan Lubis 4. Prof. Dr. Oman Fathurrahman 5. Prof. Dr. Imam Tholhah 6. Prof. Dr. H. Moh. Isom, M.Ag 7. Dr. Choirul Fuad Yusuf 8. Prof. Dr. M. Adlin Sila, M.A. 9. Dr. H. Agus Ahmad Safei 10. Dr. Kustini 11. Arif Zamhari, Ph.D 12. Dr. Anik Farida 13. Dr. Fakhriati

178