62 Perbandingan Puisi Doakarya Amir Hamzah Dan

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

62 Perbandingan Puisi Doakarya Amir Hamzah Dan PERBANDINGAN PUISI DOAKARYA AMIR HAMZAH DAN DOA KARYA SANUSI PANE Cindy Geofany Deby Triananda Erlinda Sari E. Universitas Muhammadiyah Malang Abstrak Penelitian ini mendeskripsikan tentang perbandingan puisi Doa karya Amir Hamzah dan Sanusi Pane. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan persamaan aspek-aspek religius pada puisi Doa karya Amir Hamzah dan puisi Doa karya Sanusi Pane. Penelitian ini menggunakan metode analisis isi yang sumber datanya diperoleh dari puisi Doa dengan menggunakan pendektan sastra bandingan yang berfokus pada teori Hutomo.Hasil dari penenlitian ini adalah adanya hubungan persamaan dengan puisi Doa karya Amir Hamzah dan Sanusi Pane. Persamaan tersebut dapat dilihat dari gaya penulisan, judul, makna, dan kedua penyair tersebut juga sama-sama menyebut Tuhan dengan sebutan kekasih. KataKunci: perbandingan, puisi, doa I. PENDAHULUAN Istilah religius membawa Membicarakan sastra dan konotasi pada makna agama, religius keagamaan berarti mempertautkan dan agama memang erat berkaitan, pengaruh agama dalam sebuah karya, berdampingan, bahkan dapat atau adanya suatu karya sastra yang melebur dalam satu kesatuan, namun bernafaskan agama. Sastra sebenarnya keduanya menyiratkan keagamaan menarik untuk dijadikan pada makna yang berbeda objek penelitian karena terdapat (Nurgiyantoro,2002: 326-327). kaitan erat antara karya sastra dan Agama lebih menunjukkan pada agama, sastra tumbuh dari sesuatu kelembagaan kebaktian kepada yang bersifat religius, sebagaimana Tuhan dan biasanya terbatas pada dikatakan oleh Mangunwijaya bahwa ajaran-ajaran dan peraturan- pada awal mulanya, segala sastra itu peraturan (Atmosuwito, 1998: 123). adalah religius (Mangunwijaya, Religius lebih melihat dari aspek 1982:11). yang di dalam lubuk hati, riak 62 getaran nurani pribadi, totalitas dipahami hanya dengan satu teks kedalaman pribadi manusia. Dengan saja, melainkan membutuhkan teks- demikian, religius bersifat mengatasi teks lain yang berkaitan. Seringkali lebih dalam dan lebih luas dari sebuah karya berlatarkan pada karya agama yang tampak formal dan sastra yang lain, baik menentang atau resmi (Mangunwijaya, 1982:11-12). meneruskan karya sastra yang Religius dalam Kamus Besar menjadi latar itu (Pradopo, 2009: Bahasa Indonesia, berarti bersifat 112). religi atau bersifat keagamaan Sastra bandingan merupakan (KBBI, 2002:944). Disini yang salah satu dari sekian banyak dimaksud dengan perasaan pendekatan yang ada dalam ilmu keagamaan ialah segala perasaan sastra. Sastra bandingan Pada batin yang ada hubungannya dengan awalnya adalah membandingkan Tuhan. Seperti perasaan dosa, karya sastra dengan karya sastra, perasaan takut, dan kebesaran Tuhan untuk mencari kefavoritan dan (Atmosuwito, 1998:124). keoriginalitasan karya. Perbandingan Menilai sebuah karya yang ituakan ditemukan karya-karya yang bertaraf nasional dan bahkan bertaraf bertema keagamaan, dapat dilihat tema dan persoalannya dengan Islam, internasional(Endraswara, jika semakin dekat tema dan 2008:130). persoalannya dengan Islam, maka Sastra bandingan juga tidak semakin kukuhlah nilai Islam dalam terpatok pada karya-karya besar sebuah karya tersebut (Husin,1995: walaupun kajian sastra bandingan 142). sering kali berkenaan dengan Karya sastra sejatinya merupakan penulis-penulis ternama yang suatu gagasan dalam tulisan yang mewakili suatu zaman. Kajian terkait dengan karya-karya sastra penulis baru yang belum mendapat yang lainnya. Pada hakikatnya karya pengakuan dunia pun dapat sastra merupakan karya yang tidak digolongkan dalam sastra bandingan. seutuhnya murni, melainkan abstrak. Batasan sastra bandingan tersebut Maka dari itu, suatu teks tidak dapat menunjukkan bahwa perbandingan tidak hanya terbatas pada sastra antar 63 bangsa, tetapi juga sesama bangsa berbagai literatur dalam rangka sendiri, misalnya antar pengarang penerapan dan pengembangan teori Antar genetik, antar zaman, antar sastra, khususnya untuk bidang bentuk, dan antar tema. kajian bandingan. Pusi yang akan kita kaji Penelitian ini diharapkan dapat merupakan puisi karya Amir memberikan manfaat bagi penulis Hamzah dan Sanusi Pane yang dan berjudul Doa,kedua puisi tersebut pembaca, baik manfaat secara teoritis memilikibeberapa maupun praktis. Secara teoritis hasil persamaandiantaranya jika ditinjau penelitian bermanfaat bagi dari segi judul, gaya penulisan, perkembangan ilmu sastra, terutama makna, dan sebutannya untuk tuhan. dalam kajian bandingan. Secara Berdasarkan uraian diatas, praktis, penelitian ini bermanfaat masalah dalam penelitian ini adalah bagi masyarakat pembaca untuk bagaimana persamaan yang terdapat mengetahui bahwa hadirnya sebuah pada puisi Doa karya Amir Hamzah karya baru tidak terlepas dari refleksi dan puisi Doa karya Sanusi Pane? zamannya. Tujuan dari penelitian ini adalah Dalam penelitian ini mendeskripsikan persamaan aspek- menggunakan pendekatan sastra aspek religius pada puisi Doa karya bandingan dengan menggunakan Amir Hamzah dan puisi Doa karya teori Hutomo yang berlandaskan diri Sanusi Pane. pada 3 hal yaitu (1) Afinitas yaitu Penelitianini belum pernah keterkaitan unsur-unsur intrinsik diteliti sebelumnya. Disini peneliti karya sastra (2) Tradisi yaitu unsur men gkaji pada persamaan aspek- yang berkaitan dengan kesejarahan aspek religius kedua teks puisi penciptaan karya sastra, (3) “Doa” karya Amir Hamzah Dan Pengaruh. Dalam penelitian ini, “Doa” Sanusi Pane. Terkait dengan landasan yang paling tepat rumusan dan tujuan diatas, hasil digunakan adalah landasan Afinitas, penelitian ini dapat dimanfaatkan sebab aspek-aspek yang ditemukan sebagai salah satu referensi atau dalam penelitian berkaitan dengan paling tidak sebagai pelengkap unsur instrinsik berupa persamaan 64 judul, pemaknaan, dan penyebutan bahwa sastra bandingan adalah kepada Tuhan. kajian interdisipliner atas teks-teks II. KAJIAN PUSTAKA secara lintas budaya yang terfokus Teori yang digunakan dalam pada pola-pola hubungan dalam penelitian ini adalah teori Pemikiran sastra yang berbeda baik yang Hutomoyang berlandaskan diri pada bersifat lintas ruang maupun lintas 3 hal yaitu (1) Afinitas yaitu waktu. keterkaitan unsur-unsur intrinsik Menurut Damono (2005:2), karya sastra (2) Tradisi yaitu unsur sastra bandingan adalah pendekatan yang berkaitan dengan kesejarahan dalam ilmu sastra yang tidak penciptaan karya sastra, (3) menghasilkan teori tersendiri. Boleh Pengaruh. Dalam penelitian ini, dikatakan teori apa pun bisa landasan yang paling tepat dimanfaatkan dalam penelitian sastra digunakan adalah landasan Afinitas, bandingan, sesuai dengan obyek dan sebab aspek-aspek yang ditemukan tujuan. dalam penelitian berkaitan dengan Bidang-bidang pokok yang unsur instrinsik berupa persamaan menjadi titik perhatian dalam judul, pemaknaan, dan penyebutan perhatian dalam penelitian kepada Tuhan. sastrabandingan menurut Kasim Dalam sastra bandingan, (dalam Endraswara, 2011: 81) adalah perbedaan dan persamaan yang ada sebagai berikut. 1. Tema dan motif, dalam sebuah karya sastra melingkupi (a) buah pikiran, (b) merupakan objek yang akan gambaran perwatakan, (c) alur (plot), dibandingkan. Dalam sastra episode, latar (setting), (d) bandingan yang dibandingkan adalah ungkapan-ungkapan 2. Genre dan kejadian sejarah, pertalian karya bentuk (form), stalistika, majas, sastra, persamaan dan perbedaan, suasana 3. Aliran (moventent) dan tema, genre, style,perangkat evolusi angkatan (generation)masuknya budaya, dan sebagainya (Remak, unsur-unsur lain kedalam sebuah 1990: 13). karya4. Hubungan karya sastra Bassnett (dalam Jurnal dengan ilmu pengetahuan, agama/ Kalam, 2004: 7) mengemukakan kepercayaan, dan karya-karya seni 5. 65 Teori sastra, sejarah sastra, dan teori III. METODE kritik sastra Jenis penelitian yang Dalam pendapat ini Kasim digunakan dalam mengkaji puisi Doa cukup banyak memberikan batasan karya Amir Hamzah dan Sanusi Pane dalam hal bidang apa saja yang dapat menggunakan penelitian kualitatif. dibandingkan dalam sebuah Penelitian kualitatif ini sebagai penelitian sastra bandingan. Menurut prosedur penelitian yang Endraswara (2011: 163) objek menghasikan data deskriptif berupa berkaitan dengan muatan apa yang kata-kata tertulis atau lisan (Bogdan terdapat dalam sastra, yang dominan dan Taylor dalam Moleong 1994:3). dan layak dibandingkan dapat terkait Untuk mengkaji puisi Doa dengan tema, tokoh, aspek sosial, karya Amir Hamzah dan Sanusi Pane kecerdasann emosi dan sebagainya. diperlukan Pendekatan sastra Dari pendapat di atas dapat bandingan untuk mengkaji disimpulkan bahwa tidak ada batasan persamaan aspek-aspek yang ataupun patokan dalam objek yang terkandung dalam puisi tersebut. dijadikan kajian dalam satra Adapun Sumber data bandingan biarlah peneliti yang lebih penelitian ini berupa puisi Doa karya kreatif menemukan kebaharuan. Amir Hamzah dan Sanusi Pane . Apapun boleh dijadikan kajian yang sumber data menurut (Arikunto, terpenting adalah adanya kesamaan 2010:17) mengenai bagaimana data dan perbedaan diantara bahan yang itu diperoleh. Data yang digunakan dijadikan penelitian. dalam penelitian ini berupa teks Dari beberapa uraian di atas, puisi. dapat disimpulkan bahwa sastraperbandingan adalah studi Teknik pengumpulan data sastra yang membandingkan dua yang digunakan dalam penelitian ini buah karya sastra atau lebih. Karya yaitu teknik studi pustaka. Melalui sastra yang diperbandingkan bisa dokumen terhadap pustaka-pustaka berupa sastra tulis maupun sastra yang relevan dan ditunjang dengan lisan. jurnal, penelusuran artikel-artikel melalui internet (Sugiarti, 2014:138) 66 Teknik analisis data yang Hamzah dapat dilihat
Recommended publications
  • Conserving the Past, Mobilizing the Indonesian Future Archaeological Sites, Regime Change and Heritage Politics in Indonesia in the 1950S
    Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 167, no. 4 (2011), pp. 405-436 URL: http://www.kitlv-journals.nl/index.php/btlv URN:NBN:NL:UI:10-1-101399 Copyright: content is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 License ISSN: 0006-2294 MARIEKE BLOEMBERGEN AND MARTIJN EICKHOFF Conserving the past, mobilizing the Indonesian future Archaeological sites, regime change and heritage politics in Indonesia in the 1950s Sites were not my problem1 On 20 December 1953, during a festive ceremony with more than a thousand spectators, and with hundreds of children waving their red and white flags, President Soekarno officially inaugurated the temple of Śiwa, the largest tem- ple of the immense Loro Jonggrang complex at Prambanan, near Yogyakarta. This ninth-century Hindu temple complex, which since 1991 has been listed as a world heritage site, was a professional archaeological reconstruction. The method employed for the reconstruction was anastylosis,2 however, when it came to the roof top, a bit of fantasy was also employed. For a long time the site had been not much more than a pile of stones. But now, to a new 1 The historian Sunario, a former Indonesian ambassador to England, in an interview with Jacques Leclerc on 23-10-1974, quoted in Leclerc 2000:43. 2 Anastylosis, first developed in Greece, proceeds on the principle that reconstruction is only possible with the use of original elements, which by three-dimensional deduction on the site have to be replaced in their original position. The Dutch East Indies’ Archaeological Service – which never employed the term – developed this method in an Asian setting by trial and error (for the first time systematically at Candi Panataran in 1917-1918).
    [Show full text]
  • Bab V Penutup 5.1
    23 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan 1. Keberadaan kesusasteraan Indonesia sebelum berkaryanya Sutan Takdir adalah dimulai dengan kesusasteraan Melayu klasik yang berisikan hikayat, syair dan pantun yang pada umumnya masih bannyak dipengaruhi oleh penulisan yang sangat tradisional yang belum membedakan antara legenda ataupun mitos 2. Sebelumya masa Pujangga Baru ekspresi isi karya-karya sastra adalah lebih berisikan tentang keadaan yang kolot dimana bertemakan; pernikahan paksa, paksaan adat, kekangan orangtua dan kehidupan desa, namun dengan kemunculan Pujangga Baru kebebasan dan kehidupan urban sudah mulai menjadi tema-tema dalam karya sastra yang dihasilkan 3. Penerbitan Poedjangga Baroe merupakan realisasi dari hasrat untuk menyatukan tenaga cerai berai pengarang Indonesia yang sebelumnya telah kelihatan hasilnya dalam berbagai majalah . Umumnya kelahiran Pujangga Baru disambut gembira oleh penyair dan pengarang muda, para pelajar dan golongan intelektual yang sedikit jumlahnya . Namun selanjutnya reaksi hebat terhadap pujangga baru datang dari pihak guru-guru bahasa Melayu. Pujangga Baru dituduh merusak bahasa Melayu karena memasukkan kata- kata yang tidak lazim dalam bahasa melayu (sekolah). misalnya mereka keberatan terhadap pengambilan kata-kata daerah dan kata-kata asing yang tambah banyak dipergunakan dan sadar oleh pembaharu bahasa golongan 24 Pujangga Baru. Juga mengenai persajakan Pujangga Baru dikritik karena memasukkan bentuk-bentuk puisi yang menyalahi pantun dan syair. 4. Selain dalam bidang kesusasteraan Sutan takdir juga menaruh perhatian terhadap filsafat. Lebih tepatnya filsafat kebudayaan. Pemikiran dia tentang pemisahan antara zaman Prae-Indonesia dengan zaman Indonesia merupakan awal tinjuan dia terhadap kebudayaan Indonesia. Menurut dia kedua masa itu harus dipisahkan dan bahkan harus ditinggalkan karena dia menganggap bahwa itu layaknya zaman jahiliah Indonesia dimana Indonesia terkekang oleh kebudayaan lama.
    [Show full text]
  • INDO 23 0 1107118712 39 58.Pdf (950.7Kb)
    PERCEPTIONS OF MODERNITY AND THE SENSE OF THE PAST: INDONESIAN POETRY IN THE 1920s Keith Foulcher Nontraditional Malay poetry in Indonesia, the forerunner of "modern Indonesian poetry," is generally said to have begun in the decade be­ tween 1921 and 1931 in the publications of three young Dutch-educated Sumatrans, Muhammad Yamin (born in Sawahlunto, Minangkabau, 1903), Rustam Effendi (born in Padang, 1903), and Sanusi Parid (born in Muara Sipongi, Tapanuli, 1905). Through their writing of Western-influenced poetry in Malay or Bahasa Indonesia, all three saw themselves as con­ tributing to the birth of a modern Sumatran (later Indonesian) culture, the basis of a new Sumatran (later Indonesian) nation. As such, they were among those who laid the foundation of the cultural nationalism which in the repressive conditions of the 1930s came to represent an alternative to the overtly political expression of Indonesian national­ ism . In the following pages, I wish to suggest (1) that through their writing Yamin, Rustam, and Sanusi all articulated a cultural stance which involved both a response to what they knew of European culture and their sense of an indigenous cultural heritage; (2) that there were important differences between the stances of Yamin and Rustam in this regard; and (3) that the poetry of Sanusi Pan6, evolving out of Yarnin's, established an approach to modernity which became the conventional stan­ dard for the burgeoning "Indonesian" poets of the 1930s. * * * CINTA Galiblah aku duduk bermenung Melihatkan langit penuh cahaya Taram-temaram bersuka raya Melenyapkan segala, fikiran nan renung. Apa dikata hendak ditenung Hatiku lemah tiada bergaya Melihatkan bintang berseri mulia Jauh di Sana di puncak gunung.
    [Show full text]
  • ASPECTS of INDONESIAN INTELLECTUAL LIFE in the 1930S
    PUDJANGGA BARU: ASPECTS OF INDONESIAN INTELLECTUAL LIFE IN THE 1930s Heather Sutherland Pudjangga Baru, the "New Writer," was a cultural periodical put out in the colonial capital of Batavia by a group of young Indonesian intellectuals from 1933 until the invasion of the Netherlands Indies by Japan in 1942.1 In Bahasa Indonesia, the term pudjangga means "literary man, man of letters; author, poet; linguist, philologist."2 34 The choice of this term for the title of the monthly was no doubt also influenced by an awareness of its historical connotations, for the word can be traced back through such Old Javanese forms as bhujanga to an original Sanskrit root associated with sacred and priestly learning. It implied nobility and integrity as well as literary ability; and it is therefore no accident that the writings appearing in it claimed high idealism and a sense of mission. The purpose proclaimed by Pudjangga Baru became more fervent as the years passed. In the beginning, it described itself simply as a literary, artistic, and cultural monthly. At the start of its third year it declared itself a "bearer of a new spirit in literature, art, culture, and general social affairs."^ At the beginning of its fifth year it claimed to be the "leader of the new dynamic spirit to create a new culture, the culture of Indonesian unity."1* In 1928, when the second All-Indonesia Youth Congress swore the famous oath to work for "one fatherland, one people, and one language" Pudjangga Baru pledged itself to work for the development of the national language and also to strive for a national culture, adding "one culture" to its 1.
    [Show full text]
  • Nationalism and National Culture in Indonesian Art Music and Performances (1900-2018): Reflections from Postcolonial Perspectives
    Nationalism and National Culture in Indonesian Art Music and Performances (1900-2018): Reflections from Postcolonial Perspectives Aniarani Andita 5837456 MA Thesis Musicology Utrecht University First Reader/Supervisor: Dr. Floris Schuiling Second Reader: Dr. Barbara Titus 2018 ABSTRACT Partha Chatterjee (1997) affirms that the attitude to modernity in formerly-colonized societies is always deeply ambiguous, because the modernity that the colonizers used as justification for colonialism also taught the colonized societies of its values. Indonesia is not an exception; having been colonized for centuries by a European nation, Indonesian nationalism arose from the desire for freedom from the colonizer. However, this nationalism, and the subsequent attempts for the creation of national culture has have always been replete with ambivalencies—with negotiations between the need to create a distinct national identity and the values of European cultures as imposed in the colonial time. This thesis looks at the discourses of nationalism, national culture, and national music in Indonesia since the beginning of the twentieth century to the present day, and examine its manifestations in the field of Indonesian art music and its performances by Indonesian symphony orchestras. I argue that these discourses and actions have always been embedded with a legacy of colonialism in the form of xenocentrism in its broad sense: the tendency among Indonesians to continue to concern about the Western others as they try to define their own identity and culture. Moreover, through case studies such as the compositions Varia Ibukota by Mochtar Embut and Suvenir dari Minangkabau by Arya Pugala Kitti, and the practices of contemporary symphony orchestras Gita Bahana Nusantara and Jakarta City Philharmonic, I employ postcolonial theories to view those works as reflections of the entanglement between colonial history and Indonesia-specific visions, as well as as endeavours to decolonize the knowledge of European classical music and performance form.
    [Show full text]
  • TEMA PUISI INDONESIA MODERN PERIODE AWAL the Modern Indonesian Poetry Theme of Early Period
    TEMA PUISI INDONESIA MODERN PERIODE AWAL The Modern Indonesian Poetry Theme of Early Period Amir Mahmud Peneliti Sastra Balai Bahasa Surabaya, Jalan Siwalanpanji, Buduran, Sidoarjo Telp./Faks. 031—8051752, Pos-el: [email protected] (Makalah diterima tanggal 4 Januari 2011–Disetujui tanggal 12 April 2011) Abstrak: Dunia puisi Indonesia modern terus mengalami perkembangan yang cukup baik sejak tahun 1800-an melalui terbitan majalah-majalah, seperti Bianglala (1870), Tjahaja Siang (1896), atau Pandji Poestaka (1923). Media seperti itu memunculkan nama-nama besar penyair Indonesia, seperti Or. Mandank, Sanusi Pane, dan Amir Hamzah. Perkembangan itu telah me- munculkan berbagai pemikiran generasi muda untuk meneliti dan menginventarisasikannya. Sampai saat ini banyak yang melakukan penelitian terhadap puisi Indonesia modern dari segi struktur, estetika, atau makna. Secara tidak langsung penelitian itu akan bersentuhan dengan masalah budaya dan penyairnya. Tidaklah lengkap kalau berbicara masalah perpuisian di Indonesia tanpa melibatkan penyair, sosial, dan budayanya. Namun, tulisan ini tidak melibatkan penyair, sosial, dan budayanya secara khusus, kajian ini hanya terfokus pada aspek tema, seperti tema cita-cita merdeka, keagamaan, kesatuan, nasihat, alam lingkungan, atau kritik sosial. Kata-Kata Kunci: puisi, tema, penyair, media massa, pribumi, dan Hindia Belanda Abstract: The world of modern Indonesian poetry has continued to have a fairly good development since the year of 1800s via magazine publications such as Bianglala (1870), Tjahja Siang (1986), or Pandji Poestaka (1923). Such medias had brought out great Indonesian poets like Or. Mandank, Sanusi Pane, and Amir Hamzah. The development has raised various ideas of the young generation to study and inventory them. Until now, there have been many studies on modern Indonesian poetry from the aspect of structure, aesthetic, and meaning.
    [Show full text]
  • Plagiat Merupakan Tindakan Tidak Terpuji
    PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI WACANA KEBUDAYAAN INDONESIA PADA MASA PERGERAKAN KEMERDEKAAN: POLEMIK KEBUDAYAAN (1935 – 1939) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah Oleh: Flavianus Setyawan Anggoro NIM: 054314005 PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2011 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI ii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI iii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI MOTTO “Selalu Memandang Ke Depan adalah Sebuah Pilihan Hidup” (NN) iv PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI HALAMAN PERSEMBAHAN Skripsi ini Aku Persembahkan untuk: Yang Maha Penyayang Kedua Orangtua Ku Adik Ku Teodosia Marwanti Ety dan Gabriel Aprisriwanto Serta semua orang yang menyayangiku v PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI vi PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI ABSTRAK (Indonesia) Skripsi berjudul “Wacana Kebudayaan Indonesia Pada Masa Pergerakan Kemerdekaan: Polemik Kebudayaan (1935 – 1939)” ini merupakan suatu telaah Ilmu Sejarah terhadap pewacanaan kebudayaan yang pernah terjadi di Indonesia. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis:1) latar belakang munculnya peristiwa Polemik Kebudayaan, 2) dinamika
    [Show full text]
  • Hersri Translated and Introduced by Keith Foulcher
    A r t a n d E ntertainment in t h e N e w O r d e r ' s Ja il s Hersri Translated and Introduced by Keith Foulcher Introduction "Art and Entertainment in the New Order's Jails" is one of three long essays on the ex­ perience of political imprisonment in Indonesia's New Order, written between 1991 and 1993 and published by the author from his home in the Netherlands, in the middle of 1993.1 It forms part of a large corpus of writing, including the 276 page manuscript by Pramoedya Ananta Toer, Nyanyian Tunggal Seorang Bisu [The Lone Song of a Mute], which documents the deprivation and suffering of those imprisoned in the wake of the New Order's rise to power in 1965/66. For periods of up to fourteen years, tens of thousands of Indonesians found themselves imprisoned without trial in brutal and inhuman conditions for no other reason than their past membership of organizations having connections to the pre-1965 left, and the political and ideological commitments which association with these organizations was seen to imply. Hersri Setiawan, the writer of this essay, was at the time of his imprisonment a former member of Lekra, the "People's Cultural Institute" that had connections with the PKI, the Indonesian Communist Party. Between 1958 and 1960, he had held a leadership position in the Central Java office of the organization, before taking up a position as Indonesia's repre­ sentative at the Asia-Africa Writers' Bureau in Colombo, Sri Lanka, which he held between 1961 and August 1965.
    [Show full text]
  • Indonesian National History Textbooks After the New Order What’S New Under the Sun?
    Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 170 (2014) 113–131 bki brill.com/bki Indonesian National History Textbooks after the New Order What’s New under the Sun? Agus Suwignyo Gadjah Mada University, Yogyakarta [email protected] Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, R.P. Soejono, and R.Z. Leirissa (eds), Sejarah nasional Indonesia. Volumes 1–6, updated edition. Ja- karta: Balai Pustaka, 2008. [first edition 1975–7; second edition 1981–3] (Paper- back). Vol. 1: Zaman prasejarah di Indonesia, xxxix + 515 pp. ISBN 9794074071 Vol. 2: Zaman kuno (Awal M-1500M), xxxix + 534 pp. ISBN 979407408X Vol. 3: Zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan Islam di Indonesia (±1500–1800), xxxii + 421 pp. ISBN 9794074098 Vol. 4: Kemunculan penjajah di Indonesia (±1700–1900), xxxiv + 511 pp. ISBN 9794074101 Vol. 5: Zaman kebangkitan nasional dan masa Hindia Belanda (±1900–1942), xxxii + 450 pp. ISBN 979407411X Vol. 6: Zaman Jepang dan zaman Republik Indonesia (±1942–1998), xlv + 807 pp. ISBN 9794074128 Taufik Abdullah and A.B. Lapian (eds), Indonesia dalam arus sejarah. Vol- umes 1–8 + additional Vol. 9, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2012. (Hardback). Vol. 1: Prasejarah, xxxvi + 380 pp. ISBN 9789799226938 Vol. 2: Kerajaan Hindu-Buddha, xxi + 372 pp. ISBN 9789799226945 Vol. 3: Kedatangan dan Peradaban Islam, xxii + 452 pp. ISBN 9789799226952 Vol. 4: Kolonisasi dan Perlawanan, xxiv + 690 pp. ISBN 9789799226969 Vol. 5: Masa pergerakan kebangsaan, xxii + 436 pp. ISBN 9789799226976 Vol. 6: Perang dan Revolusi, xxii + 579 pp. ISBN 9789799226983 Vol. 7: Pascarevolusi, xxii + 547 pp. ISBN 9789799226990 Vol. 8: Orde Baru dan Reformasi, xxii + 684 pp.
    [Show full text]
  • Persepsi Siswa Kelas Viii Smp Negeri 4 Bojonegoro
    AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 3, No. 2, Juli 2015 PEREMPUAN TAHUN 1938-1940 DALAM ROMAN BELENGGU KARYA ARMIJN PANE Khomaria Nurhidah 11040284010 Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya Email: [email protected] Corry Liana, M.Pd Jurusan Pendidikan SejarahFakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya Abstrak Penelitian ini mengungkapkan keadaan perempuan pada tahun 1938-1940 di Indonesia lewat pandangan roman Belenggu karya Armijn Pane. Roman Belenggu banyak menggambarkan kehidupan perempuan tahun 1938- 1940, yang mana ada yang benar-benar merepresentasikan kehidupan perempuan tahun 1938-1940 namun, ada juga yang hanya imajinasi penulis semata. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan mendeskripsikan keadaan perempuan tahun 1938-1940 yang sebenarnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian sejarah. Sumber penelitian di bagi menjadi dua yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer antara lain koran dan majalah sezaman, sedangkan sumber sekunder didapat dari buku-buku pendukung judul penelitian. Sumber yang sudah terkumpul ditelaah otentisitas dan kredibilitas sumber. Setelah dilakukan kritik sumber, maka selanjutnya dilakukan interpretasi atau penafsiran terhadap sumber-sumber yang diperoleh kemudian dianalis. Berdasarkan analisis sumber yang dilakukan dihasilkan sebuah kesimpulan, bahwa roman Belenggu karya Armijn Pane merupakan representasi kehidupan perempuan tahun 1938-1940. Namun tidak semua kehidupan perempuan dalam roman Belenggu merupakan representasi kehiudpan perempuan tahun 1938-1940, ada beberapa kehidupan perempuan dalam roman Belenggu merupakan imajinasi pengarang. Kata Kunci: Kedudukan Perempuan, Roman, Belenggu Abstract This research revealed the state of women in 1938 and 1940 in Indonesia, seen from Armijn Pane's Belenggu. Belenggu novel describing the life of women's in 1938 and 1940, which is really represent female life in 1938 and 1940, however there are also some that were only imagination writer.
    [Show full text]
  • ROMANTISISME DI INDONESIA DAN BELANDA PADA AWAL ABAD KE-20 Abstrak
    ROMANTISISME DI INDONESIA DAN BELANDA PADA AWAL ABAD KE-20 Almas Aprilia Damayanti E-mail: [email protected] Abstrak Keberadaan Romantisisme di Indonesia menjadi sangat istimewa semenjak masuknya aliran romantisisme pada awal abad 20, sedangkan romantisisme di Belanda sendiri sudah ada sejak abad 18 yang terus berkembang hingga awal abad 20. Angkatan Pujangga Baru di Indonesia banyak mendapat pengaruh dari bacaan dan karya sastra dari Belanda sehingga karya-karya literatur mereka terpengaruh angkatan 80. Sebagaimana diketahui, karya sastra romatisisme telah berlangsung jauh lebih dulu di Belanda, tepatnya pada akhir abad 17 hingga awal 18, jika dibandingkan di Indonesia yang baru masuk pada abad 19. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap sejarah pengaruh bacaan karya sastra dari Belanda bagi angkatan pujangga baru di Indonesia. Kata kunci: Angkatan Pujangga Baru; Angkatan 80; Romantisisme 1. Pendahuluan Romantisisme adalah sebuah gerakan seni, sastra dan intelektual yang berasal dari Eropa Barat abad ke18-, tepatnya pada masa Revolusi Industri. Istilah romantik dan romantisisme berasal dari kata romans, yakni bahasa (dialek) rakyat Prancis pada abad Pertengahan (1800‒1851). Istilah tersebut kemudian berkembang dan dimaknai sebagai cerita khayalan yang aneh 59 60 ALMAS APRILIA DAMAYANTI dan menarik, cerita yang penuh petualangan, serta cerita-cerita yang mengandung unsur percintaan (Ratna, 2005, hlm. 48). Romantisisme merupakan aliran dalam sastra yang menekankan pada ungkapan perasaan sebagai dasar perwujudannya. Aliran ini lahir dan berkembang pada abad ke-18 di Eropa sebagai gerakan untuk menentang klasikisme, yaitu aliran yang mengutamakan keteraturan dalam berpikir, bersikap, dan bersifat konvensional. Istilah romantik boleh dikatakan tidak dapat dilepaskan begitu saja dari kebudayaan Eropa. Kalaupun kita ingin memahami dan mencari ciri-ciri romantisisme dalam tradisi sastra Indonesia, mau tidak mau kita harus berurusan dengan perkembangan tradisi kesusastraan Eropa yang memperkenalkan istilah romantisisme tersebut.
    [Show full text]
  • A Study of the Cultural Pages of Harian Rakjat in the Early 1950S
    The Communist Imagination: A Study of the Cultural Pages of Harian Rakjat in the Early 1950s Stephen Miller A thesis in fulfilment of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy School of Humanities and Social Sciences, UNSW@ADFA, Canberra, Australia August 2015 2 Acknowledgements This dissertation would not have been possible without the enthusiasm, good humour, intelligence and patience of my primary supervisor, Paul Tickell. I cannot thank him enough for his continuing support and faith. He was well supported by my co-supervisors, Emeritus Professor Barbara Hatley and Dr. Edwin Jurriens. I want to especially thank Barbara for her patience in reading drafts in the final throes of thesis production. Dorothy Meyer saw the project through from the beginning of candidature until submission, providing companionship, coding advice, proof reading, and general editing support. Her enthusiasm and passion for my work were central to the thesis reaching the point of submission. The keen grammar sense of my mother, June Miller, helped improve the readability of many sections of the writing. Dr. Kaz Ross also deserves to be mentioned for a late reading of a complete draft and pushing me to submit. It is great to have good colleagues in your corner. I would also like to thank the administrative staff at UNSW at ADFA, especially Bernadette McDermott, who has always been flexible and helpful when dealing with a candidature that lasted far too long. During the prolonged revision process Rifka Sibarani’s support, enthusiasm, and affection was much appreciated, as it continues to be post-thesis. So many other people have also helped me out at various times—students, colleagues, friends, family, comrades.
    [Show full text]