TEMA PUISI INDONESIA MODERN PERIODE AWAL the Modern Indonesian Poetry Theme of Early Period

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

TEMA PUISI INDONESIA MODERN PERIODE AWAL the Modern Indonesian Poetry Theme of Early Period TEMA PUISI INDONESIA MODERN PERIODE AWAL The Modern Indonesian Poetry Theme of Early Period Amir Mahmud Peneliti Sastra Balai Bahasa Surabaya, Jalan Siwalanpanji, Buduran, Sidoarjo Telp./Faks. 031—8051752, Pos-el: [email protected] (Makalah diterima tanggal 4 Januari 2011–Disetujui tanggal 12 April 2011) Abstrak: Dunia puisi Indonesia modern terus mengalami perkembangan yang cukup baik sejak tahun 1800-an melalui terbitan majalah-majalah, seperti Bianglala (1870), Tjahaja Siang (1896), atau Pandji Poestaka (1923). Media seperti itu memunculkan nama-nama besar penyair Indonesia, seperti Or. Mandank, Sanusi Pane, dan Amir Hamzah. Perkembangan itu telah me- munculkan berbagai pemikiran generasi muda untuk meneliti dan menginventarisasikannya. Sampai saat ini banyak yang melakukan penelitian terhadap puisi Indonesia modern dari segi struktur, estetika, atau makna. Secara tidak langsung penelitian itu akan bersentuhan dengan masalah budaya dan penyairnya. Tidaklah lengkap kalau berbicara masalah perpuisian di Indonesia tanpa melibatkan penyair, sosial, dan budayanya. Namun, tulisan ini tidak melibatkan penyair, sosial, dan budayanya secara khusus, kajian ini hanya terfokus pada aspek tema, seperti tema cita-cita merdeka, keagamaan, kesatuan, nasihat, alam lingkungan, atau kritik sosial. Kata-Kata Kunci: puisi, tema, penyair, media massa, pribumi, dan Hindia Belanda Abstract: The world of modern Indonesian poetry has continued to have a fairly good development since the year of 1800s via magazine publications such as Bianglala (1870), Tjahja Siang (1986), or Pandji Poestaka (1923). Such medias had brought out great Indonesian poets like Or. Mandank, Sanusi Pane, and Amir Hamzah. The development has raised various ideas of the young generation to study and inventory them. Until now, there have been many studies on modern Indonesian poetry from the aspect of structure, aesthetic, and meaning. Indirectly, the studies would be involved with cultural issues and the poets. It is incomplete to discuss the Indonesian poetry issues without involving the poets and their social and culture in particular. Nevertheless, this study does not involve the poets and their social and culture in particular. Instead, this study focuses on the aspect of theme, such as the theme of desire for independence, religion, unity, advice, environment, or social critic. Key Words: poetry, theme, poet, mass media, native, and Netherlands East Indies PENGANTAR (1908—1913), Soeling Hindia (1910), Perkembangan puisi Indonesia modern Persekoetoean (1910), Penghiboer periode awal atau sebelum kemerdekaan (1914), Jong Sumatra (1919—1921), Sri RI tidak terlepas dari terbitan media Poestaka (1922), Al-Itqan (1922), Pandji massa. Media ini telah menjadi bacaan Poestaka (1923), Bintang Islam (1924), utama bagi masyarakat pribumi dan In- Berani (1925), Asjraq (1925), Zaman do-Belanda. Dalam Suyatno et al Baroe (1926), Warna Warta (1927), Ka- (2000:202) disebutkan media massa kala madjoean (1927), Panorama (1927), itu, antara lain: Bianglala (1870), Bin- Daroel Oeloem (1928), Tjaja Timoer tang Djohar (1873), Sahabat Baik (1928), Soeloeh Ra’jat (1928), Sri Poes- (1891), Bintang Hindia (1903—1927), taka (1929), Bintang Pagi (1929), Persa- Putri Hindia (1909), Soeloeh Peladjar toean (1929), Rasa (1929), Pandji 41 Poestaka (1930—1942), dan Poedjang- disuarakan dalam bentuk lirik dan nara- ga Baroe (1933—1939). tif. Terbitan tersebut tidak hanya mela- Perkembangan sastra pada masa itu hirkan penulis-penulis terkenal, tetapi ju- dipacu oleh pemikiran-pemikiran inte- ga memunculkan pembaruan gagasan lektual melalui dunia penerbitan media dan bentuk dalam puisi Indonesia. Pem- cetak. Karena itu, cukup berhasil sikap baruan gagasan terlihat pada tema uta- balas budi Belanda terhadap bangsa In- ma, yakni tema perjuangan. Karena itu, donesia masa itu karena telah membuka munculnya terbitan media massa tidak cakrawala pemikiran intelektual anak ne- hanya menguntungkan dunia sastra se- geri ini. Otomatis peta kekuatan pikiran mata, tetapi juga mendorong lahirnya anak-anak bangsa telah diketahui oleh masalah kebangsaan dan cita-cita bang- pemerintah Belanda sehingga terjadilah sa. Tidaklah sedikit jasa media massa seleksi karya yang akan diterbitkan me- terhadap cita-cita terwujudnya negara lalui Balai Pustaka. Pada umumnya, pe- kesatuan RI. nulis-penulis puisi masa itu adalah inte- Terbitnya majalah Pandji Poestaka lektual muda yang cukup terkenal sam- tahun 1923 menambah dorongan besar pai sekarang, seperti A. Hasjmy, J.E. bagi pengembangan budaya Indonesia Tatengkeng, Amir Hamzah, M. Jamin, dan peningkatan kreativitas bangsa In- Roestam Effendi, H.B. Jassin, dan donesia karena majalah itu telah memuat Sanoesi Pane. tulisan-tulisan kebudayaan secara umum dan juga memuat rubrik sastra, khu- TEORI susnya puisi. Tidak sedikit putra Indone- Puisi memiliki elemen-elemen yang ber- sia yang puisi-puisinya dimuat dalam bentuk struktur, baik struktur dalam majalah itu, seperti Or. Mandank, Sanusi maupun struktur luar. Struktur dalam ter- Pane, Amir Hamzah, dan Armijn Pane. jelma menjadi bentuk struktur semantik, Majalah itu telah mendorong semangat penataan kata yang berirama atau tak bangsa Indonesia untuk menulis sastra, berirama, dan ada keterkaitan maknawi khususnya puisi. antarkata (Zaidan, 1991:133). Struktur Majalah Pujangga Baru tersebut ju- luar berkaitan dengan penciptaan dan so- ga membangkitkan semarak pemikiran sial kehidupan masyarakat. Kata-kata untuk memunculkan budaya dan kaum yang disusun dalam sebuah puisi kemu- intelektual di Indonesia pada masa itu, dian membentuk unit bunyi dan makna yang kemudian melahirkan polemik ke- yang merupakan penentu estetis. Peng- budayaan untuk mempersoalkan iden- olahan kata untuk mencapai efek estetis titas kebudayaan Indonesia yang sedang disebut struktur. Struktur ini mencakupi dalam masa pencarian dan pembentukan isi dan bentuk, sejauh mempunyai fungsi identitas diri sebagai bangsa Indonesia. estetis. Dengan demikian, karya sastra Pada saat itu pula muncul majalah-ma- dapat dilihat sebagai suatu sistem tanda jalah yang didirikan oleh lembaga-lem- yang utuh, struktur tanda memiliki fung- baga keagamaan dengan menampilkan si dan tujuan estetis tertentu (Wellek dan tulisan-tulisan mengenai kebudayaan dan Austin Warren, 1989:158—159). karya sastra yang bercorak keagamaan Karya sastra merupakan struktur (Suyatno, 2000:1). Damono dan Melani yang otonom, yang dapat dipahami seba- Budianta (2009:2) menyatakan bahwa gai suatu kesatuan yang bulat dengan un- puisi yang ditulis pada periode awal ba- sur-unsur pembangunannya yang saling nyak bercorak keagamaan, di samping berjalinan (Pradopo et al, 1985:6). Untuk berbagai tema sosial dan personal yang memahami maknanya, karya sastra harus dikaji berdasarkan strukturnya, lepas dari 42 latar belakang sejarah, lepas dari niatan dan pelapor hasil penelitian (Moeliong, penulis, dan lepas pula dari efeknya pada 1998:121). Hasil penelitian ini berupa pembaca. Jadi, dalam kajian struktur, sebuah deskripsi yang disertai dengan yang penting adalah pembacaan secara kutipan-kutipan data yang berasal dari mikroskopi dari karya sebagai ciptaan puisi, yang telah diinterpretasi sesuai bahasa (Teeuw, 1984:134). dengan teknik kajian sastra. Perihal struktur, lebih lanjut Teeuw Teknik yang digunakan adalah tek- (1984:141) menyatakan bahwa penger- nik kajian pustaka. Maksudnya, setiap tian struktur mengandung tiga gagasan analisis data yang berupa kata, frase, utama. Pertama, gagasan keseluruhan atau wacana dalam puisi, peneliti di- (wholeness), maksudnya adalah bagian- pandu dengan teori kajian sastra. Dengan bagian atau anasirnya menyesuaikan diri teori itu diharapkan ada perpautan antara dengan seperangkat kaidah intrinsik dunia imajinasi dan dunia ilmiah karena yang menentukan, baik keseluruhan sastra dapat dikaji secara ilmiah melalui struktur maupun bagian-bagiannya, se- pendekatan sastra. perti aspek tematisnya saja. Kedua, ga- Sumber data penilitian ini adalah ti- gasan transformasi, maksudnya adalah ga buah buku antologi puisi periode struktur itu menyanggupi prosedur trans- awal, yakni: (1) buku J.S. Badudu berju- formasi yang terus-menerus memung- dul Perkembangan Puisi Indonesia Ta- kinkan pembentukan bahan-bahan baru. hun 20-an hingga Tahun 40-an terbitan Ketiga, gagasan mandiri, maksudnya Pusat Pembinaan dan Pengembangan adalah tidak memerlukan hal-hal dari Bahasa tahun 1984, (2) buku antologi luar dirinya untuk mempertahankan pro- puisi, yang dikumpulkan oleh Suyono sedur transformasinya. Tulisan ini ber- Suyatno et al berjudul Antologi Puisi In- pijak pada gagasan yang pertama dengan donesia Periode Awal terbitan Pusat Ba- fokus pada tema atau pokok pikiran yang hasa tahun 2000, dan (3) buku Sapardi dijadikan dasar mengarang. Fowler Djoko Damono dan Melani Budianta (1987:248) mengatakan bahwa tema berjudul Meneer Perlentee: Antologi Pu- adalah dasar pemikiran (rationale) dari isi Periode Awal terbitan Pusat Bahasa citra dan simbol, bukan kuantitasnya. tahun 2009. Tema mengisyaratkan kelinearan atau perluasan sebuah karya yang tidak dibe- HASIL DAN PEMBAHASAN rikan oleh istilah-istilah pokok persoalan Tema Perjuangan untuk Merdeka yang lain. Perjuangan untuk meraih cita-cita ke- merdekaan adalah tema paling menonjol METODE pada puisi periode awal. Hal itu terjadi Metode yang digunakan dalam melaku- karena kesempatan untuk menyuarakan kan analisis adalah metode struktur, khu- cita-cita merdeka terasa telah terbuka le- susnya kajian tema. Kajian struktur me- bar. Kumandang kemerdekaan, khusus- ngutamakan
Recommended publications
  • Conserving the Past, Mobilizing the Indonesian Future Archaeological Sites, Regime Change and Heritage Politics in Indonesia in the 1950S
    Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 167, no. 4 (2011), pp. 405-436 URL: http://www.kitlv-journals.nl/index.php/btlv URN:NBN:NL:UI:10-1-101399 Copyright: content is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 License ISSN: 0006-2294 MARIEKE BLOEMBERGEN AND MARTIJN EICKHOFF Conserving the past, mobilizing the Indonesian future Archaeological sites, regime change and heritage politics in Indonesia in the 1950s Sites were not my problem1 On 20 December 1953, during a festive ceremony with more than a thousand spectators, and with hundreds of children waving their red and white flags, President Soekarno officially inaugurated the temple of Śiwa, the largest tem- ple of the immense Loro Jonggrang complex at Prambanan, near Yogyakarta. This ninth-century Hindu temple complex, which since 1991 has been listed as a world heritage site, was a professional archaeological reconstruction. The method employed for the reconstruction was anastylosis,2 however, when it came to the roof top, a bit of fantasy was also employed. For a long time the site had been not much more than a pile of stones. But now, to a new 1 The historian Sunario, a former Indonesian ambassador to England, in an interview with Jacques Leclerc on 23-10-1974, quoted in Leclerc 2000:43. 2 Anastylosis, first developed in Greece, proceeds on the principle that reconstruction is only possible with the use of original elements, which by three-dimensional deduction on the site have to be replaced in their original position. The Dutch East Indies’ Archaeological Service – which never employed the term – developed this method in an Asian setting by trial and error (for the first time systematically at Candi Panataran in 1917-1918).
    [Show full text]
  • Bab V Penutup 5.1
    23 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan 1. Keberadaan kesusasteraan Indonesia sebelum berkaryanya Sutan Takdir adalah dimulai dengan kesusasteraan Melayu klasik yang berisikan hikayat, syair dan pantun yang pada umumnya masih bannyak dipengaruhi oleh penulisan yang sangat tradisional yang belum membedakan antara legenda ataupun mitos 2. Sebelumya masa Pujangga Baru ekspresi isi karya-karya sastra adalah lebih berisikan tentang keadaan yang kolot dimana bertemakan; pernikahan paksa, paksaan adat, kekangan orangtua dan kehidupan desa, namun dengan kemunculan Pujangga Baru kebebasan dan kehidupan urban sudah mulai menjadi tema-tema dalam karya sastra yang dihasilkan 3. Penerbitan Poedjangga Baroe merupakan realisasi dari hasrat untuk menyatukan tenaga cerai berai pengarang Indonesia yang sebelumnya telah kelihatan hasilnya dalam berbagai majalah . Umumnya kelahiran Pujangga Baru disambut gembira oleh penyair dan pengarang muda, para pelajar dan golongan intelektual yang sedikit jumlahnya . Namun selanjutnya reaksi hebat terhadap pujangga baru datang dari pihak guru-guru bahasa Melayu. Pujangga Baru dituduh merusak bahasa Melayu karena memasukkan kata- kata yang tidak lazim dalam bahasa melayu (sekolah). misalnya mereka keberatan terhadap pengambilan kata-kata daerah dan kata-kata asing yang tambah banyak dipergunakan dan sadar oleh pembaharu bahasa golongan 24 Pujangga Baru. Juga mengenai persajakan Pujangga Baru dikritik karena memasukkan bentuk-bentuk puisi yang menyalahi pantun dan syair. 4. Selain dalam bidang kesusasteraan Sutan takdir juga menaruh perhatian terhadap filsafat. Lebih tepatnya filsafat kebudayaan. Pemikiran dia tentang pemisahan antara zaman Prae-Indonesia dengan zaman Indonesia merupakan awal tinjuan dia terhadap kebudayaan Indonesia. Menurut dia kedua masa itu harus dipisahkan dan bahkan harus ditinggalkan karena dia menganggap bahwa itu layaknya zaman jahiliah Indonesia dimana Indonesia terkekang oleh kebudayaan lama.
    [Show full text]
  • INDO 23 0 1107118712 39 58.Pdf (950.7Kb)
    PERCEPTIONS OF MODERNITY AND THE SENSE OF THE PAST: INDONESIAN POETRY IN THE 1920s Keith Foulcher Nontraditional Malay poetry in Indonesia, the forerunner of "modern Indonesian poetry," is generally said to have begun in the decade be­ tween 1921 and 1931 in the publications of three young Dutch-educated Sumatrans, Muhammad Yamin (born in Sawahlunto, Minangkabau, 1903), Rustam Effendi (born in Padang, 1903), and Sanusi Parid (born in Muara Sipongi, Tapanuli, 1905). Through their writing of Western-influenced poetry in Malay or Bahasa Indonesia, all three saw themselves as con­ tributing to the birth of a modern Sumatran (later Indonesian) culture, the basis of a new Sumatran (later Indonesian) nation. As such, they were among those who laid the foundation of the cultural nationalism which in the repressive conditions of the 1930s came to represent an alternative to the overtly political expression of Indonesian national­ ism . In the following pages, I wish to suggest (1) that through their writing Yamin, Rustam, and Sanusi all articulated a cultural stance which involved both a response to what they knew of European culture and their sense of an indigenous cultural heritage; (2) that there were important differences between the stances of Yamin and Rustam in this regard; and (3) that the poetry of Sanusi Pan6, evolving out of Yarnin's, established an approach to modernity which became the conventional stan­ dard for the burgeoning "Indonesian" poets of the 1930s. * * * CINTA Galiblah aku duduk bermenung Melihatkan langit penuh cahaya Taram-temaram bersuka raya Melenyapkan segala, fikiran nan renung. Apa dikata hendak ditenung Hatiku lemah tiada bergaya Melihatkan bintang berseri mulia Jauh di Sana di puncak gunung.
    [Show full text]
  • ASPECTS of INDONESIAN INTELLECTUAL LIFE in the 1930S
    PUDJANGGA BARU: ASPECTS OF INDONESIAN INTELLECTUAL LIFE IN THE 1930s Heather Sutherland Pudjangga Baru, the "New Writer," was a cultural periodical put out in the colonial capital of Batavia by a group of young Indonesian intellectuals from 1933 until the invasion of the Netherlands Indies by Japan in 1942.1 In Bahasa Indonesia, the term pudjangga means "literary man, man of letters; author, poet; linguist, philologist."2 34 The choice of this term for the title of the monthly was no doubt also influenced by an awareness of its historical connotations, for the word can be traced back through such Old Javanese forms as bhujanga to an original Sanskrit root associated with sacred and priestly learning. It implied nobility and integrity as well as literary ability; and it is therefore no accident that the writings appearing in it claimed high idealism and a sense of mission. The purpose proclaimed by Pudjangga Baru became more fervent as the years passed. In the beginning, it described itself simply as a literary, artistic, and cultural monthly. At the start of its third year it declared itself a "bearer of a new spirit in literature, art, culture, and general social affairs."^ At the beginning of its fifth year it claimed to be the "leader of the new dynamic spirit to create a new culture, the culture of Indonesian unity."1* In 1928, when the second All-Indonesia Youth Congress swore the famous oath to work for "one fatherland, one people, and one language" Pudjangga Baru pledged itself to work for the development of the national language and also to strive for a national culture, adding "one culture" to its 1.
    [Show full text]
  • Nationalism and National Culture in Indonesian Art Music and Performances (1900-2018): Reflections from Postcolonial Perspectives
    Nationalism and National Culture in Indonesian Art Music and Performances (1900-2018): Reflections from Postcolonial Perspectives Aniarani Andita 5837456 MA Thesis Musicology Utrecht University First Reader/Supervisor: Dr. Floris Schuiling Second Reader: Dr. Barbara Titus 2018 ABSTRACT Partha Chatterjee (1997) affirms that the attitude to modernity in formerly-colonized societies is always deeply ambiguous, because the modernity that the colonizers used as justification for colonialism also taught the colonized societies of its values. Indonesia is not an exception; having been colonized for centuries by a European nation, Indonesian nationalism arose from the desire for freedom from the colonizer. However, this nationalism, and the subsequent attempts for the creation of national culture has have always been replete with ambivalencies—with negotiations between the need to create a distinct national identity and the values of European cultures as imposed in the colonial time. This thesis looks at the discourses of nationalism, national culture, and national music in Indonesia since the beginning of the twentieth century to the present day, and examine its manifestations in the field of Indonesian art music and its performances by Indonesian symphony orchestras. I argue that these discourses and actions have always been embedded with a legacy of colonialism in the form of xenocentrism in its broad sense: the tendency among Indonesians to continue to concern about the Western others as they try to define their own identity and culture. Moreover, through case studies such as the compositions Varia Ibukota by Mochtar Embut and Suvenir dari Minangkabau by Arya Pugala Kitti, and the practices of contemporary symphony orchestras Gita Bahana Nusantara and Jakarta City Philharmonic, I employ postcolonial theories to view those works as reflections of the entanglement between colonial history and Indonesia-specific visions, as well as as endeavours to decolonize the knowledge of European classical music and performance form.
    [Show full text]
  • Plagiat Merupakan Tindakan Tidak Terpuji
    PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI WACANA KEBUDAYAAN INDONESIA PADA MASA PERGERAKAN KEMERDEKAAN: POLEMIK KEBUDAYAAN (1935 – 1939) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah Oleh: Flavianus Setyawan Anggoro NIM: 054314005 PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2011 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI ii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI iii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI MOTTO “Selalu Memandang Ke Depan adalah Sebuah Pilihan Hidup” (NN) iv PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI HALAMAN PERSEMBAHAN Skripsi ini Aku Persembahkan untuk: Yang Maha Penyayang Kedua Orangtua Ku Adik Ku Teodosia Marwanti Ety dan Gabriel Aprisriwanto Serta semua orang yang menyayangiku v PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI vi PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI ABSTRAK (Indonesia) Skripsi berjudul “Wacana Kebudayaan Indonesia Pada Masa Pergerakan Kemerdekaan: Polemik Kebudayaan (1935 – 1939)” ini merupakan suatu telaah Ilmu Sejarah terhadap pewacanaan kebudayaan yang pernah terjadi di Indonesia. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis:1) latar belakang munculnya peristiwa Polemik Kebudayaan, 2) dinamika
    [Show full text]
  • Hersri Translated and Introduced by Keith Foulcher
    A r t a n d E ntertainment in t h e N e w O r d e r ' s Ja il s Hersri Translated and Introduced by Keith Foulcher Introduction "Art and Entertainment in the New Order's Jails" is one of three long essays on the ex­ perience of political imprisonment in Indonesia's New Order, written between 1991 and 1993 and published by the author from his home in the Netherlands, in the middle of 1993.1 It forms part of a large corpus of writing, including the 276 page manuscript by Pramoedya Ananta Toer, Nyanyian Tunggal Seorang Bisu [The Lone Song of a Mute], which documents the deprivation and suffering of those imprisoned in the wake of the New Order's rise to power in 1965/66. For periods of up to fourteen years, tens of thousands of Indonesians found themselves imprisoned without trial in brutal and inhuman conditions for no other reason than their past membership of organizations having connections to the pre-1965 left, and the political and ideological commitments which association with these organizations was seen to imply. Hersri Setiawan, the writer of this essay, was at the time of his imprisonment a former member of Lekra, the "People's Cultural Institute" that had connections with the PKI, the Indonesian Communist Party. Between 1958 and 1960, he had held a leadership position in the Central Java office of the organization, before taking up a position as Indonesia's repre­ sentative at the Asia-Africa Writers' Bureau in Colombo, Sri Lanka, which he held between 1961 and August 1965.
    [Show full text]
  • Indonesian National History Textbooks After the New Order What’S New Under the Sun?
    Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 170 (2014) 113–131 bki brill.com/bki Indonesian National History Textbooks after the New Order What’s New under the Sun? Agus Suwignyo Gadjah Mada University, Yogyakarta [email protected] Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, R.P. Soejono, and R.Z. Leirissa (eds), Sejarah nasional Indonesia. Volumes 1–6, updated edition. Ja- karta: Balai Pustaka, 2008. [first edition 1975–7; second edition 1981–3] (Paper- back). Vol. 1: Zaman prasejarah di Indonesia, xxxix + 515 pp. ISBN 9794074071 Vol. 2: Zaman kuno (Awal M-1500M), xxxix + 534 pp. ISBN 979407408X Vol. 3: Zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan Islam di Indonesia (±1500–1800), xxxii + 421 pp. ISBN 9794074098 Vol. 4: Kemunculan penjajah di Indonesia (±1700–1900), xxxiv + 511 pp. ISBN 9794074101 Vol. 5: Zaman kebangkitan nasional dan masa Hindia Belanda (±1900–1942), xxxii + 450 pp. ISBN 979407411X Vol. 6: Zaman Jepang dan zaman Republik Indonesia (±1942–1998), xlv + 807 pp. ISBN 9794074128 Taufik Abdullah and A.B. Lapian (eds), Indonesia dalam arus sejarah. Vol- umes 1–8 + additional Vol. 9, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2012. (Hardback). Vol. 1: Prasejarah, xxxvi + 380 pp. ISBN 9789799226938 Vol. 2: Kerajaan Hindu-Buddha, xxi + 372 pp. ISBN 9789799226945 Vol. 3: Kedatangan dan Peradaban Islam, xxii + 452 pp. ISBN 9789799226952 Vol. 4: Kolonisasi dan Perlawanan, xxiv + 690 pp. ISBN 9789799226969 Vol. 5: Masa pergerakan kebangsaan, xxii + 436 pp. ISBN 9789799226976 Vol. 6: Perang dan Revolusi, xxii + 579 pp. ISBN 9789799226983 Vol. 7: Pascarevolusi, xxii + 547 pp. ISBN 9789799226990 Vol. 8: Orde Baru dan Reformasi, xxii + 684 pp.
    [Show full text]
  • Persepsi Siswa Kelas Viii Smp Negeri 4 Bojonegoro
    AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 3, No. 2, Juli 2015 PEREMPUAN TAHUN 1938-1940 DALAM ROMAN BELENGGU KARYA ARMIJN PANE Khomaria Nurhidah 11040284010 Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya Email: [email protected] Corry Liana, M.Pd Jurusan Pendidikan SejarahFakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya Abstrak Penelitian ini mengungkapkan keadaan perempuan pada tahun 1938-1940 di Indonesia lewat pandangan roman Belenggu karya Armijn Pane. Roman Belenggu banyak menggambarkan kehidupan perempuan tahun 1938- 1940, yang mana ada yang benar-benar merepresentasikan kehidupan perempuan tahun 1938-1940 namun, ada juga yang hanya imajinasi penulis semata. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan mendeskripsikan keadaan perempuan tahun 1938-1940 yang sebenarnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian sejarah. Sumber penelitian di bagi menjadi dua yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer antara lain koran dan majalah sezaman, sedangkan sumber sekunder didapat dari buku-buku pendukung judul penelitian. Sumber yang sudah terkumpul ditelaah otentisitas dan kredibilitas sumber. Setelah dilakukan kritik sumber, maka selanjutnya dilakukan interpretasi atau penafsiran terhadap sumber-sumber yang diperoleh kemudian dianalis. Berdasarkan analisis sumber yang dilakukan dihasilkan sebuah kesimpulan, bahwa roman Belenggu karya Armijn Pane merupakan representasi kehidupan perempuan tahun 1938-1940. Namun tidak semua kehidupan perempuan dalam roman Belenggu merupakan representasi kehiudpan perempuan tahun 1938-1940, ada beberapa kehidupan perempuan dalam roman Belenggu merupakan imajinasi pengarang. Kata Kunci: Kedudukan Perempuan, Roman, Belenggu Abstract This research revealed the state of women in 1938 and 1940 in Indonesia, seen from Armijn Pane's Belenggu. Belenggu novel describing the life of women's in 1938 and 1940, which is really represent female life in 1938 and 1940, however there are also some that were only imagination writer.
    [Show full text]
  • ROMANTISISME DI INDONESIA DAN BELANDA PADA AWAL ABAD KE-20 Abstrak
    ROMANTISISME DI INDONESIA DAN BELANDA PADA AWAL ABAD KE-20 Almas Aprilia Damayanti E-mail: [email protected] Abstrak Keberadaan Romantisisme di Indonesia menjadi sangat istimewa semenjak masuknya aliran romantisisme pada awal abad 20, sedangkan romantisisme di Belanda sendiri sudah ada sejak abad 18 yang terus berkembang hingga awal abad 20. Angkatan Pujangga Baru di Indonesia banyak mendapat pengaruh dari bacaan dan karya sastra dari Belanda sehingga karya-karya literatur mereka terpengaruh angkatan 80. Sebagaimana diketahui, karya sastra romatisisme telah berlangsung jauh lebih dulu di Belanda, tepatnya pada akhir abad 17 hingga awal 18, jika dibandingkan di Indonesia yang baru masuk pada abad 19. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap sejarah pengaruh bacaan karya sastra dari Belanda bagi angkatan pujangga baru di Indonesia. Kata kunci: Angkatan Pujangga Baru; Angkatan 80; Romantisisme 1. Pendahuluan Romantisisme adalah sebuah gerakan seni, sastra dan intelektual yang berasal dari Eropa Barat abad ke18-, tepatnya pada masa Revolusi Industri. Istilah romantik dan romantisisme berasal dari kata romans, yakni bahasa (dialek) rakyat Prancis pada abad Pertengahan (1800‒1851). Istilah tersebut kemudian berkembang dan dimaknai sebagai cerita khayalan yang aneh 59 60 ALMAS APRILIA DAMAYANTI dan menarik, cerita yang penuh petualangan, serta cerita-cerita yang mengandung unsur percintaan (Ratna, 2005, hlm. 48). Romantisisme merupakan aliran dalam sastra yang menekankan pada ungkapan perasaan sebagai dasar perwujudannya. Aliran ini lahir dan berkembang pada abad ke-18 di Eropa sebagai gerakan untuk menentang klasikisme, yaitu aliran yang mengutamakan keteraturan dalam berpikir, bersikap, dan bersifat konvensional. Istilah romantik boleh dikatakan tidak dapat dilepaskan begitu saja dari kebudayaan Eropa. Kalaupun kita ingin memahami dan mencari ciri-ciri romantisisme dalam tradisi sastra Indonesia, mau tidak mau kita harus berurusan dengan perkembangan tradisi kesusastraan Eropa yang memperkenalkan istilah romantisisme tersebut.
    [Show full text]
  • A Study of the Cultural Pages of Harian Rakjat in the Early 1950S
    The Communist Imagination: A Study of the Cultural Pages of Harian Rakjat in the Early 1950s Stephen Miller A thesis in fulfilment of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy School of Humanities and Social Sciences, UNSW@ADFA, Canberra, Australia August 2015 2 Acknowledgements This dissertation would not have been possible without the enthusiasm, good humour, intelligence and patience of my primary supervisor, Paul Tickell. I cannot thank him enough for his continuing support and faith. He was well supported by my co-supervisors, Emeritus Professor Barbara Hatley and Dr. Edwin Jurriens. I want to especially thank Barbara for her patience in reading drafts in the final throes of thesis production. Dorothy Meyer saw the project through from the beginning of candidature until submission, providing companionship, coding advice, proof reading, and general editing support. Her enthusiasm and passion for my work were central to the thesis reaching the point of submission. The keen grammar sense of my mother, June Miller, helped improve the readability of many sections of the writing. Dr. Kaz Ross also deserves to be mentioned for a late reading of a complete draft and pushing me to submit. It is great to have good colleagues in your corner. I would also like to thank the administrative staff at UNSW at ADFA, especially Bernadette McDermott, who has always been flexible and helpful when dealing with a candidature that lasted far too long. During the prolonged revision process Rifka Sibarani’s support, enthusiasm, and affection was much appreciated, as it continues to be post-thesis. So many other people have also helped me out at various times—students, colleagues, friends, family, comrades.
    [Show full text]
  • Puisi Pujangga Baru: Konsep Estetik, Orientasi, Dan Strukturn*
    Puisi Pujangga Baru: Konsep Estetik, Orientasi, dan Strukturn* Rachmat Djoko Jbibpo* ada itu irnprddstik, yaitu penetaahan ha- uisi Pujangga Baru gdatah awal pukii w mengd pdcolrpd<oma, aria- lndonesia modem. Unfttk memahami Iiiyang~,~~~- ring&. Penelitian puisi Pujangga khu d&ptrisi Indonearia sectam keselunrhan, yang tidak menyeluruh dan irnpresiorristik penelitian pltisi Pujangga Bant penting dii itu kelihatan &lam buku A. Teerrw: Pokuk f lakukan. Hal ini dis@babkm kgtya sash, dan Tokoh 1 (1995) yang kernudian d'ii I tmdpuisi, m $ti dam keko.ong menjadi Modem Indomerim Lbmtura an budaya (Teeuw, 1QR&11), temrasuk kar- (1967) yang kemudien dikljmawm kt! ya sastra. Qisamping itu, kaya dalam bahasa hrdm menjadi Sash BSN lwia1 (1978). sfcat yang demC m- m- -e m=w karya sastra sebelumnya (Riaterm vie kian itu tampak juga dalam buku Ajib Rosidi Teeuw, 1983:65). PLlisi 1- l(l97.5) den btlku Rachrnat Karya sastra, termasuk puisi, dita sasbrman Sastrawan sebagai an- ma- syarakat tidak terlepas dari latar sosial-bu- daya dm kesejh -. Be- gitu juga, penyeif P3mgga Baru ljdak lepasdariletar f-~hEtflbangsa Baru (19201942) hr hh* dnberkembang pada saat bgngsa Indam& memfnM ke- Dua Zgman dm Uraian Nymyian Sunyi merdekaewr dari pmjajalran BeQlllda. Oleh (1979). kmitu, perly ditditi wttjd perj~angan- nya, di samphg wujud latar sosia- nya. Untuk memahami prdsi seam ma- h,juga puisi Pujmgga Bewu, perfu diteliti pakan stfuktur kebndgan ymg brmkna secara ikniah keselunhn pcrisi itu, baik se- ckm kornpleks, anhammqa terjadi hu- cam struktur estetik mewpun muatan yang bungs erat (laheren). Tiap wnsur tekandung di dakmya. Akan sam- m rnempunyai makna cEslam hu- pai sekarang Mum ada penelitin puisi Pu- bmgmnya dengan unsur lain dalarrt struk- jangga Baru yang tuntas, sistematik, dan tur itu dan kessknuhannya (Hawk% 1978: mendalam.
    [Show full text]