NAMA YANG TAK TERLUPAKAN: TIGA PENULIS AWAL CERITA PENDEK BERBAHASA MELAYU: SELAYANG PANDANG

Christopher A. Woodrich Sarjana Sastra Universitas Sanata Dharma Master of Arts FIB Universitas Gadjah Mada Email:[email protected]

ABSTRAK

Sejarah cerita pendek (cerpen) di Indonesia masih tidak pasti. Menurut catatan sejarah umum, cerpen baru muncul di wilayah yang kini menjadi Indonesia pada tahun 1920-an, ketika sejumlah karangan diterbitkan dalam majalah Pandji Pustaka; menurut pandangan ini, kumpulan cerpen pertama di Indonesia adalah Teman Doedoek (1936) karya M. Kasim. Namun, sebelum ini sudah banyak cerita pendek berbahasa Melayu yang diterbitkan, termasuk kumpulan cerpen. Nama- nama pengarangnya, bilamana dicantumkan, tidak banyak diketahui oleh pembaca sekarang. Oleh karena itu, tulisan ini menguraikan riwayat hidup tiga orang penulis cerpen yang cukup menonjol pada awal abad kedua puluh, yaitu H. F. R. Kommer, Juvenile Kuo, dan Marco Kartodikromo, sebagai usaha untuk melihat ciri-ciri umum yang mungkin melatarbelakangi usaha orang menggunakan bentuk cerpen yang masih baru pada tahun-tahun itu. Diperlihatkan ragam latar sosio-budaya yang dimiliki penulis-penulis ini, serta pekerjaan pokok mereka sebagai wartawan. Digambarkan pula kedudukan penulis-penulis ini dalam rangka masyarakat kontemporer dan mengapa mereka jarang mendapatkan perhatian dalam pembahasan sejarah sastra Indonesia. Kata kunci: H.F.R. Kommer, Juvenile Kuo, Marco Kartodikromo, Sejarah cerpen

1. PENGANTAR Namun, jika dilacak lebih jauh ternyata pendapat sedemikian rupa tidak benar. Teman Doedoek karya Muhammad Kasim Sebelum Teman Doedoek, dan bahkan kerap diakui sebagai kumpulan cerita pendek sebelum Pandji Poestaka, sudah ada cerpen (cerpen) pertama di Indonesia, dengan cerita- dalam bahasa Melayu dan bahasa-bahasa cerita yang dimuat dalam majalah Pandji lain. Menurut Jakob Soemardjo (2004: 103), Poestaka pada tahun 1920-an sebagai cerpen- sebelum Teman Doedoek sudah ada kumpulan cerpen paling awal. Pendapat sedemikian cerpen berbahasa Sunda, yaitu Dogdog dibenarkan oleh Ajip Rosidi (1976: 62), yang Pangrewong (Selingan Belaka) yang terbit pada menerangkan bahwa cerita-cerita ini (seperti tahun 1930. I Nyoman Darma Putra (2010: halnya kebanyak cerita pendek di masa itu) 8) menemukan cerpen-cerpen berbahasa berisikan lelucon dan bersifat menghibur. Bali yang diterbitkan dalam koran-koran Kumpulan cerpen Teman Doedoek ini, yang pada tahun 1913. Cerpen berbahasa Melayu berisikan 26 cerpen mengenai beberapa justru lebih tua lagi. Menurut Soemardjo aspek kehidupan di Hindia Belanda dan (2004: 107), kumpulan cerpen paling lama menggunakan bahasa Melayu Riau yang di Hindia-Belanda diterbitkan adalah Tiga diutamakan oleh penguasa Belanda, Tjerita (1896), yang dihasilkan seorang diterbitkan oleh Balai Pustaka. anonim. Di lain tempat Soemardjo

93 94 Jurnal Ilmiah Kebudayaan SINTESIS, Volume 8, Nomor 2, Oktober 2014, hlm. 93-102 menyatakan bahwa salah satu cerita H. R. karena dinilai representatif dari pengarang Hommer, yaitu “Si Marinem atau Mata cerpen berbahasa Melayu di Hindia-Belanda Gelap” yang berlatar di Hindia Belanda, dan kesemua mereka aktif sebelum Pandji adalah “cerita pendek yang tertua dan Poestakamulai terbit. Pengarang-pengarang asli”(2004: 112). Pernyataan ini juga tidak dalam bahasa daerah tidak diangkat, benar; Sapardi Djoko Damono dkk. (2005) mengingat bahwa kajian terhadap tulisan berhasil melacak karya-karya cerpen dalam mereka kurang berkembang sehingga sedikit koran berbahasa Melayu yang diterbitkan informasi biografis yang dapat diperoleh. pada tahun 1873, yaitu “Hikajat Amal- Riwayat hidup di sini ditemukan Beramal”. melalui kajian pustaka, dengan inferensi dari Siapakah mereka yang menghasilkan karya mereka seperlunya. Kajian pustaka cerpen-cerpen awal ini, yang kemudian dilakukan dengan mencari informasi mengenai seakan terlupakan dan jarang dicantumkan pengarang-pengarang cerita pendek di dalam dalam tulisan mengenai sejarah kesusastraan pelbagai buku, baik yang berkaitan dengan di Nusantara? Persoalan ini bukanlah hal cerita pendek atau tidak. Bilamana dianggap sepele. Melalui informasi biografis mengenai perlu, informasi mengenai ilham dan penulis-penulis ini (meski hanya sepintas), kebiasaan pengarang ditarik dari hasil alasan mengapa mereka menulis dan karangannya pengarang tersebut. Informasi mengapa isi cerpennya sedemikian rupa yang diperoleh ini kemudian diuraikan secara dapat dijelaskan. Pernyataan sedemikian kronologis deskriptif untuk menyediakan rupa ini berangkat dari paham bahwa penulis informasi yang paling berguna untuk kajian adalah makhluk yang dibentuk oleh lebih lanjut. Dari uraian riwayat hidup fenomena-fenomena sosial dan pengalaman tigapenulis ini kemudian ditarik kesimpulan dirinya sendiri. Pengertian mengenai riwayat mengenai kedudukan mereka di dalam hidup pengarang-pengarang ini juga dapat masyarakat dan warisan mereka, yang menjelaskan mengapa mereka seakan dilakukan dengan kajian pustaka yang terlupakan, mengingat sejumlah isu politik mengutamakan fenomena sosial. yang berdasarkan ideologi, etnisitas, dan bahasa yang telah berkembang di Hindia- Belanda dan Indonesia merdeka. 2. H. F. R. KOMMER Sebagian besar penulis cerpen di Hindia-Belanda, setidaknya pada masa awal, Sedikit sekali catatan biografis tidak mencantumkan nama mereka. Dalam mengenai penulis pertama yang dibahas di Nona Koelit Koetjing (2005), misalnya, lima sini, H. F. R. Kommer, termasuk nama karangan yang dimuat adalah hasil penulis lengkapnya dan hubungannya (bilamana anonim; empat lagi dihasilkan oleh orang ada) dengan H. Kommer, seorang penulis yang menggunakan nama samaran seperti lain yang aktif pada tahun-tahun yang sama. Modern atau Que. Alasan-alasan mengapa Kommer, seorang wartawan Indo, sudah ini terjadi tidak akan dibahas di sini; cukup aktif dalam usaha penerbitan pers pada diketahui bahwa riwayat hidup tidak dapat tahun 1901, ketika ia menjadi redaktur dari dihadirkan untuk setiap penulis cerpen yang koran Hoekoem Hindiayang terbit di Batavia berkarya. Dalam tulisan ini akan dibahas tiga (Adam, 1995: 92); dari ini dapat ditarik orang penulis, dua yang hasil karangannya kesimpulan bahwa ia lahir paling lambat dimuat dalam antologi puisi Nona Koelit tahun 1880, dan kemungkinan besar ia Koetjing, yaitu H. F. R. Kommer, dan Juvenile dilahirkan sebelum itu. Kommer kemudian Quo, dan satu penulis yang karangannya menjadi redaktur dari beberapa koran, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh antara lain Primbon Surabaia (1900) dan Paul Tickell pada tahun 1981, yaitu Marco Pewarta Soerabaja (1903) (Soemardjo, 2004: Kartodikromo. Penulis-penulis ini dipilih 110). Christopher A. Woodrich – Nama yang tak Terlupakan: Tiga Penulis Awal Cerita Pendek .... 95

Selain menjadi wartawan, Kommer Cerita ini mengisahkan pembunuhan yang juga menulis fiksi. Novelnya yang paling tua dilakukan seorang prajurit asal Priangan yang dapat dilacak adalah Tjerita Rossinna, (Banten) terhadap seorang perempuan yang diterbitkan di Batavia pada tahun 1910. bernama Marinem dan suaminya karena Selebihnya ada dua novel lagi, yaitu sebuah cintanya ditolak. dongeng yang berjudul Tjerita Klatin dan Namun, sebagaimana dinyatakan oleh Klaton (1915) dan Tjerita Nona Leoni(1924), Soemohardjo (2005: 110), setidaknya satu yang terbit di Surabaya. Novel-novel ini karya yang dimuat di dalam Warna Sari cenderung berlatar di Hindia; Tjerita Rossinna adalah terjemahan dari karya orang lain danTjerita Nona Leoni mengangkat cerita tanpa menyebut sumbernya. Menurut “yang sungguh-sungguh terjadi” (sebuah Pramoedya Ananta Toer (1982: 28), pernyataan yang umum untuk novel di sebelumnya Kommer pernah menjiplak karya zaman itu, dan kerap tidak benar) di Batavia, orang lain saat menulis Tjerita Rossinna; sementara Tjerita Klatin dan Klatonberlatar Pramoedya menyatakan bahwa novel ini Kalimantan Barat.Tjerita Rossinna sempat sebenarnya diambil dari karya F.D.J. diterbitkan ulang dalam kumpulan Tempo Pangemanan yang berjudul sama yang Doeloeyang disunting Pramoedya Ananta pernah dimuat dalam koran Kabar Toer. Perniagaan. Dalam Warna Sari, hasil jiplakan Selain buku-buku ini, Kommer ini adalah “Tjerita Alksenoff”, yang diambil menghasilkan suatu kumpulan cerpen yang dari cerita Leo Tolstoy yang berjudul berjudul Warna Sari, yang diterbitkan Tan “ ” Swan Ie di Surabaya pada tahun 1912. (Tuhan Melihat Kebenaran, tetapi Lama Sejauh bacaan kami, ini merupakan Mengungkapkannya). kumpulan cerpen untuk dewasa pertama Sejauh ini belum dapat dilacak versi yang diterbitkan di Nusantara dengan apa yang digunakan sebagai dasar mencantumkan nama pengarangnya. terjemahan oleh Kommer. Akan tetapi, Menurut Soemardjo (2005: 107), kumpulan kesamaannya dengan garis besar cerita ini pada mulanya diterbitkan dalam dua jilid, Tolstoy sangat menonjol. Mulai dari nama dengan jilid kedua berisikan tujuh buah utama yang hanya selisih satu huruf cerita. Sementara, Damono dkk. (2005) tidak (Alksenoff dan Aksenoff), mimpi buruk istri membahas jumlah jilid karya ini. Kumpulan tokoh utama yang tidak dihiraukan oleh Nona Koelit Koetjing menghadirkan tujuh tokoh utama, sampai meninggalnya tokoh cerita karangan Kommer dari Warna Sari, utama, garis besar cerita sama persis. Namun, sehingga bisa dinyatakan bahwa Warna Sari masih terjadi perubahan yang cukup pernahditerbitkan ulang pada tahun 2005. signifikan, sehingga dapat disimpulkan Berdasarkan sejarah penerbitan karya-karya bahwa Kommer melakukan perubahan ini, nampak bahwa Kommer sempat untuk kepentingannya sendiri. Salah satu menghabiskan waktu yang cukup panjang di yang menonjol ialah penggambaran tokoh Surabaya. antagonis. Dalam cerita Tolstoy tokoh Tujuh cerita yang dihadirkan oleh antagonis bernama Semenovitch, sementara Kommer mengambil latar yang berbeda- dalam versi Koffer antagonis (mesti masih beda. Ada yang dinyatakan terjadi di Eropa, merupakan seorang tua yang telah membuat seperti “Tjerita Alksenoff” yang berlatar tokoh utama dipenjarakan) tidak diberi Rusia dan “Tjerita Di Toeloeng Saekor nama; ia hanya disebut “orang Yahudi”. Andjing” yang berlatar Perancis, serta cerita- Pada akhir cerita Kommer juga menambahkan cerita yang berlatar Arab seperti “Malaikat suatu amanat eksplisit mengenai pesan Djibrail dan Doea Orang Bersaoedara”. utama cerita menurut dia, yaitu “dari ini Hanya satu cerita yang berlatar Hindia, cerita boleh diliat orang yang dihukum tiada yaitu “Tjerita Si Marinem atau Mata Gelap”. salah, akhirnya tak dapet tiada, tentu musti nyata betul tiada salahnya”. 96 Jurnal Ilmiah Kebudayaan SINTESIS, Volume 8, Nomor 2, Oktober 2014, hlm. 93-102

Berdasarkan uraian isi Warna Sari dapat Resia; sudah barang tentu ia beranjak disimpulkan bahwa Kommer cukup banyak dewasa saat karya ini diterbitkan. Sementara, membaca karya-karya Eropa dan Hindia. novelnya Prampoean ..., karangan terakhirnya Bilamana pernyataan Pramoedya dianggap yang dapat kami lacak, diterbitkan pada benar, tidak mungkin tidak Kommer juga tahun 1932. Semua novelnya diterbitkan oleh mengenal tulisan-tulisan yang dimuat di usaha penerbitan yang milik Kwee sendiri koran-koran besar. Kommer juga dapat dan terletak di Batavia, sehingga dapat membayangkan dan menuliskan pelbagai disimpulkan bahwa ia tinggal di ibu kota daerah yang berada di Bumi. Kemungkinan kolonial itu setidaknya selama hampir dua besar ia hanya memperoleh pemahaman ini puluh tahun. melalui membaca, mengingat bahwa ia Kwee lebih dikenal sebagai seorang barang tentu tidak memperoleh uang banyak novelis dan penerjemah, tetapi ia juga dari pekerjaannya sebagai redaktur koran; menghasilkan cerpen. Salah satunya, yang tidaklah mungkin ia sendiri mendatangkan dimuat dalam Nona Koelit Koetjing, setiap negara yang dibahas. Kedua hal ini diterbitkan pada tahun 1914 dalam majalah menawarkan kemungkinan bahwa Kommer Penghiboer. Cerita pendek yang berjudul sempat memperoleh pendidikan formal, “Satoe Perboeatan Djahat Dibales dengan meskipun tidak jelas di mana. Agama Kabaekan” ini mengisahkan seorang saudagar Kommer masih tidak jelas, tetapi karena ia di Italia yang bernama Galbajo. Meskipun telah mengubah Semenovitch menjadi orang dikhianati oleh rekaannya Antenore sehingga Yahudi dapat dipahami bahwa Kommer ia diasingkan, Galbajo sangat baik hati. mewariskan rasa kebencian dan kecurigaan Ketika anak Antenore diculik oleh pasukan terhadap bangsa Yahudi yang sudah lama Turki, yang menduduki negara Italia, berkembang di Belanda. Galbajo-lah yang menyelamatkan anak itu dan mengembalikannya kepada ayah. Karena kebaikan itu, Antenore menjadi 3. JUVENILE KUO menyesal perbuatannya dan membantu Galbajo kembali ke Italia. Berbeda dari Kommer, Juvenile Kuo Karangan ini tidak mencantumkan adalah seorang penulis peranakan Tionghoa suatu sumber apa pun, sehingga terkesan yang bernama asli Kwee Seng Tjoan; ia juga sebagai karangan Kwee sendiri. Namun, dikenal dengan nama pena Neptunus, sebenarnya cerita ini jika dilacak ternyata ini berdasarkan nama dewa Yunani. Penulis ini merupakan suatu terjemahan dari cerita yang dikenal sebagai seorang penerjemah yang diuraikan James De Mille pada tahun 1877 memiliki tokoh buku dan penerbit di Batavia dalam bukunya The Winged Lion, or, Stories (A.S. dan Hamiyati, 2003: 623). Ia menulis of Venice.Meskipun versi de Mille lebih dalam bahasa Melayu Pasar,seperti juga panjang, masih nampak beberapa bagian halnya Kommer. Selain itu, sedikit sekali yang merupakan terjemahan harifiah; yang diketahui mengenai kehidupannya. dengan demikian, tidak ada perbedaan jauh Berdasarkan periode aktifnya, Kwee antara cerpen karangan Kommer dan Kwee barang tentu dilahirkan pada abad dari segi orisinalitas. Contoh yang paling kesembilan belas, tetapi tahunnya tidak menonjol terletak dalam surat Galbajo dapat diketahui dengan pasti; atas dasar kepada Antenore, yaitu: yang dijelaskan di bawah, dapat disimpulkan bahwa ia dilahirkan antara tahun 1890 dan “With this letter you will receive back 1895. Setidaknya pada tahun 1911 Kwee to your heart your only son, the last of sudah aktif menulis. Pada tahun itu ia your line. It is not because he is an menerbitkan novel yang berjudul Sasoedanja Antenore that I have helped him, but Berdjasa Baroe Dipoengoet Mantoe atawa because I was won, in spite of myself, Sapasang Orang Moeda Menjamar Djadi Politie by his face, by his looks, and by the Christopher A. Woodrich – Nama yang tak Terlupakan: Tiga Penulis Awal Cerita Pendek .... 97

tones of his voice for they all brought kerna kau ada ia punya ayah; ini ada back before me my beloved, my lost satu ganjaran dari saorang, yang kau Venice. Banished by you, I came to pandang sebagai kau punya musu Alexandria, and live here in disguise yang paling besar. Sekarang kau suda as a Greek, but my heart clings to my tau bahua penulungnya kau punya country, and for me there is nothing anak yang kau sanget cinta, ada but misery in exile. I have wealth and orang buangan. comforts, but these are nothing. I met your son by chance, and I loved him as Galbajo” (Damono dkk., 2005: 175) my own son, for he was a Venetian. Willingly would I have kept him with Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa me to soothe my exile, but I loved him Kwee adalah orang yang lancar berbahasa too well for that, and so I send him Inggris; pendapat sedemikian didukung oleh home. Take him, then, for you are his hadirnya kamus Inggris–Indonesia yang father. Take him — a gift from the man diterbitkan Kwee pada tahun 1918. Ketika you most hate; take him from the man kesimpulan ini digabung dengan kenyataan whom you never expected to find your bahwa Kwee merupakan seorang penulis benefactor; for know, Antenore, that the keturunan Tionghoa, dapat disimpulkan deliverer of your only boy from slavery bahwa ia kemungkinan besar pernah belajar is — the banished: di sekolah Tiong Hoa Hwe Koan (THHK). Sebuah sekolah yang didirikan untuk Galbajo” (De Mille, 1877: 63–64) memajukan hak orang Tionghoa di Indonesia, THHK mengutamakan bahasa Melayu Dalam cerpen Kwee surat ini ditulis sebagai bahasa pengantar dan bahasa Inggris sebagaimana berikut, dengan bagian yang sebagai bahasa internasional; kedua bahasa sama diberi cetakan tebal;ejaan ini diajarkan pada siswa. Mengingat bahwa disesuaikandengan EYD oleh penulis. sekolah THHK baru didirikan pada tahun 1900, dapat disimpulkan bahwa Kwee – “Bersama ini surat kau nanti bilamana menjadi siswa THHK sebagaimana trima kembali kau punya anak diduga di atas – dilahirkan antara tahun yang kau paling cinta. Jika mau tau, 1890 dan 1895. siapa adanya aku, yang telah tulung kau punya anak, yalah orang yang kau telah keniaya, lantaran mana ia 4. MARCO KARTODIKROMO dibuang di Alexandria, di mana ia idup dengen menyamar seperti Penulis terakhir yang akan dibahas di saorang Griek. Betul aku ada idup sini, Marco Kartodikromo, sudah jauh lebih senang di ini tempat, tapi toh aku masih familiar untuk pembaca modern – meski inget aken balik kembali ka tanah air sempat pernah dilupakan juga. Marco, yang sendiri. Lantaran peruntungan kau juga dikenal dengan nama pena Mas Marco, punya anak ada sangat bagus, maka dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, sekitar aku suda ketemukan padanya, dan tahun 1900. Ia dibesarkan dalam lingkungan merasa sayang dia seperti anakku priyayi yang menyempatkannya memperoleh sendiri, kerna ia ada berasal dari pendidikan sederhana. Setelah menjadi Venetie. Sebetulnya aku boleh seorang pegawai di usaha perkeretaapian, bikin apa yang aku suka dengan pada tahun 1911 ia mulai bekerja sebagai ia punya diri buat memoles sakit wartawan untuk Medan Prijaji di bawah hati, tetapi aku tida mau dan tida tega pimpinan Tirto Adhi Soerjo. Ia sudah mulai berbuat demikian, dari itu maka aku menulis fiksi setidaknya pada tahun 1914, kirim pulang. Ambillah anakmu, ketika ia menerbitkan novelnya yang berjudul 98 Jurnal Ilmiah Kebudayaan SINTESIS, Volume 8, Nomor 2, Oktober 2014, hlm. 93-102

Mata Gelap dalam tiga volume. Dalam tahun- seperti tuan tanah, dengan mereka yang tahun berikutnya ia menerbitkan sejumlah miskin dan tertindas karena sistem yang karya, termasuk novelnya yang paling sama, seperti pelacur dan pengemis; akhirnya terkemuka Student Hidjo (1918), antologi puisi ia menyimpulkan bahwa pemilikan pribadi Sair-sair Rempah (1918), dankarya drama adalah sebab dasar munculnya kejahatan. Kromo Bergerak(1924). Masalah yang serupa dimunculkan dalam Ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) “Roesaknja Kehidoepan di Kota Besar”. didirikan pada tahun 1921, Marco menjadi Sementara, “Tjermin Boeah Kerojalan” salah satu anggota pertamanya. Ia sudah mengangkat masalah gengsi. Seorang berkenalan baik dengan ketua PKI pertama, pegawai, yang gajinya tidak banyak setiap Semaun, sejak tahun 1918, ketika ia menjadi bulan, hendak menjalani malam Minggu anggota Sarekat Islam. Marco merupakan yang mewah seperti halnya para pemilik anggota partai yang sangat percaya pada modal, sampai menonton drama dan ideologinya. Dalam tulisannya, baik yang menghabiskan setengah bulan gaji untuk tiga fiktif maupun jurnalistik, ia terus mendesakkan malam bersama seorang pelacur. Ketika ia masyarakat untuk meninggalkan bentuk pulang ia ditantang oleh orang-orang kaya feudalisme tradisional dan menekankan yang menuntut agar barang yang ia pinjam pentingnya kemandirian. Selain itu, ia menolak dikembalikan atau dibayar, sehingga dapat sistem kapitalis yang mengagungkan disimpulkan bahwa cerpen ini mengandung kepemilikan harta. Untuk tulisannya yang pesan bahwa kapitalisme hanya dapat kerap kritis terhadap pemerintah kolonial, menawarkan kebahagiaan sementara. Marco dipenjarakan berulang kali. Ketika PKI berusaha memulai revolusi di Sumatra pada tahun 1926, Marco-lah salah satu anggota 5. MENJADI(KAN) SASTRAWAN yang dituduh terlibat. Akibatnya, ia dibuang TERMARJINALKAN ke Boven-Digoel di Papua. Marco meninggal di sana akibat malaria pada tahun 1932. Dari uraian di atas ada beberapa Hasil cerpen Marco ada setidaknya kesamaan yang dapat ditarik. Pertama, tiga, yang kesemuanya pernah diterjemahkan penulis-penulis cerpen berasal dari pelbagai Paul Tickell pada tahun 1981; masih latar belakang dan etnisitas. Mereka adalah dimungkinkan adanya cerpen-cerpen lain cermin dari penduduk Hindia yang beraneka yang diterbitkan dalam salah satu koran yang ragam, yang tidak hanya mengenal satu ras pernah dipimpin Marco yang belum dapat dan kebudayaan saja, melainkan berbagai dihadirkan. Tiga cerpen ini berjudul kelompok etnis dan kebudayaan. Berbeda dari “Semarang Hitam”, “Roesaknja Kehidoepan konteks politik di Hindia Belanda, yang di Kota Besar”, dan “Tjermin Boeah secara hukum menempatkan orang Belanda, Kerojalan”. Seperti halnya Kommer dan Indo, dan Jepang di strata yang paling tinggi, Kwee, karya-karya Marco ini menggunakan orang Tionghoa di strata dua, dan orang bahasa Melayu pasar; menurut Hendrik pribumi di strata paling rendah, tidak ada Maier (1996: 186), Marco menulis dalam stratifikasi di dalam cerpen yang dihasilkan. bahasa ini karena bahasa Jawa dinilai terlalu Mereka sama-sama menggunakan bahasa kaku dan kurang menarik. Melayu pasar, sehingga etnisitas mereka Kesemuanya mengisahkan hal-hal seakan tidak membedakan mereka lagi. yang berkaitan dengan kekurangan yang Yang kedua, penulis-penulis cerpen di terjadi dalam sistem kapitalis. Dalam awal abad kedua puluh tidak hanya “Semarang Hitam” Marco menggambarkan menghasilkan cerpen, tetapi juga banyak seorang pemuda beraliran Marxis yang menulis karya sastra lain. Baik Kommer, melihat keramaian di pusat kota Semarang Kwee, maupun Marco juga menulis novel, pada malam Minggu; ia membandingkan yang jumlah halamannya jauh lebih banyak mereka yang kaya akibat sistem kapitalis, dan gaya bahasanya sudah berbeda. Tidak Christopher A. Woodrich – Nama yang tak Terlupakan: Tiga Penulis Awal Cerita Pendek .... 99 terjadi spesialisasi seperti di pertengahan dan sempat menghasilkan sekian banyak karya, akhir abad kesembilan belas, ketika muncul mengapa mereka dan cerita pendek mereka tokoh seperti Idrus, Danarto, dan Agus Noor seakan tidak dihitung dalam uraian sejarah yang paling dikenang untuk hasil cerpen kesastraan Indonesia? Untuk menjawab mereka.Karena karya cerpen mereka kerap pertanyaan tersebut, harus dilihat pada tiga dimuat dalam media massa, tulisan-tulisan masalah sosial yang muncul di Hindia- tersebut mudah sekali hilang dari ingatan dan Belanda dan masih berpengaruh di peredaran. Indonesia setelah kemerdekaan. Pernyataan ini mungkin terkait dengan Pertama, penulis-penulis cerpen yang kenyataan bahwa penulis-penulis pada dikemukakan di sini menggunakan bahasa periode ini, seperti yang dapat dilihat dari Melayu pasar, yaitu bahasa Melayu yang contoh Kommer, Kwee, dan Marco, tidak berkembang secara organik dalam masyarakat hanya menulis karya sastra. Mereka dan digunakan sebagai lingua franca (bahasa mempunyai usaha lain, di luar menulis fiksi, persatuan) oleh masyarakat Hindia Belanda yang dapat menafkahi mereka; meskipun dari pelbagai latar belakang. Bahasa Melayu demikian, mereka cenderung bekerja di pasar ini kerap digunakan dalam kesusastraan bidang yang mewajibkan kemampuan dan jurnalistik pada akhir abad kesembilan berbahasa yang cukup baik, sehingga mereka belas dan awal abad kedua puluh. Koran- juga dapat mengenali dan menulis fiksi. koran seperti Pembrita Betawi (1884–1916) Kommer dan Marco adalah wartawan, yang menggunakan bahasa Melayu pasar agar dalam kehidupan sehari-hari harus bekerja dapat dibaca oleh jumlah orang yang paling dengan kata dan banyak membaca. Kerja banyak, dan penulis-penulis seperti G. sebagai wartawan inilah yang, selain Francis dan Lie Kim Hok mengembangkan membuat mereka lancar berbahasa Melayu, kesusastraan Melayu dengan novel seperti menawarkan pemasukan yang lebih regular, Njai Dasima dan syair seperti Sair Tjerita Siti sehingga mereka mendapatkan kesempatan Akbari. Penulis-penulis cerpen tidak bergerak untuk menulis fiksi. Sementara, Kwee adalah sendiri dalam menggunakan bahasa Melayu pemilik usaha penerbitan yang mungkin semacam ini. berperan dalam pemilihan naskah untuk Namun, pada awal abad kedua puluh diterbitkan. Ia mendapatkan hasil yang pemerintah kolonial Belanda mulai regular dari usaha ini, meski tidak dicatat meluncurkan program untuk meningkatkan berapa untungnya, dan juga dapat mengenali penggunaan bahasa Melayu Riau dan bentuk-bentuk buku dan sastra. menjadikannya sebagai lingua franca untuk Mengingat bahwa penulis-penulis ini urusan administratif di Hindia Belanda. tidak menjadi spesialis cerpen dan tidak Untuk itu, pada tahun 1901 Professor Charles menafkahi kehidupan mereka dari menulis van Ophuijsen dari Universitas Leiden fiksi, mereka tidak dapat dinyatakan cerpenis. mulai menerapkan sistem ejaan standard, Menulis cerpen untuk mereka seakan hanya yang diterapkan oleh Commissie voor de merupakan kerja sampingan, yang dihasilkan Inlandsche School en Volkslectuur. Pada untuk penambahan modal atau (dalam tahun 1917 Kantoor voor de Volklectuur, kasus Marco) untuk memperjuangkan yang kemudian berubah nama menjadi Balai kepentingan politik. Bentuk cerpen atau Pustaka, didirikan dengan mandat untuk novel seakan tidak dihiraukan; yang penting menyediakan bahan bacaan yang “layak” ialah bahwa hasil tulisan sempat beredar. untuk pembaca pribumi; kelayakan dinilai, Mereka, pada intinya, tetaplah wartawan antara lain, dengan penggunaan bahasa atau pemilik penerbit. Melayu Riau yang baik dan penceritaan yang Setelah melihat kebiasaan umum yang tidak bertentangan dengan kepentingan dicerminkan dalam riwayat hidup Kommer, politik Belanda. Akibatnya, bahasa Melayu Kwee, dan Marco, muncullah satu pertanyaan Riau dijuluki bahasa Melayu “tinggi”, dan lagi. Jikalau penulis-penulis seperti mereka penulis-penulis Balai Pustaka dengan sangat 100 Jurnal Ilmiah Kebudayaan SINTESIS, Volume 8, Nomor 2, Oktober 2014, hlm. 93-102 fasih. Sementara itu, bahasa Melayu pasar Hindia Belanda terjadistratifikasi legal dinamakan bahasaMelayu “rendah”, dan terhadap etnis-etnis tertentu. Setelah bacaan yang menggunakannya – yang lebih Indonesia merdeka, stratifikasi ini justru sukar disensor sehingga memungkinkan terbalik. Orang pribumi, yang tadinya mengandung tema eksplisit anti-Belanda – menduduki posisi yang paling lemah dalam dianggap “sastra sampah” atau “bacaan liar”. hukum, menjadi penguasa; mereka juga Paradigma sedemikian rupa dipegang jumlahnya yang paling banyak, lebih dari 90 oleh penulis-penulis Balai Pustaka dan persen penduduk Nusantara. Merekalah Poedjangga Baroe, yang dibentuk oleh yang menetapkan kurikulum di sekolah dan pendidikan mereka yang diperoleh dari menulis sejarah Indonesia, sehingga peran sekolah-sekolah Belanda. Pada umumnya dan sudut pandang orang pribumi selalu penulis-penulis ini, seperti Sutan Takdir diutamakan. Alisjahbana dan Armijn Pane, merupakan Sementara, orang Tionghoa tetap orang Sumatra yang lebih menguasai bahasa berada di tingkatan menengah, hanya kali Melayu Riau daripada bahasa Melayu ini mempunyai kedudukan secara non- rendah, sehingga karya-karya mereka yang formal di bawah orang pribumi, meskipun sampai sekarang diagungkan dalam sejarah mereka mempunyai kekuatan ekonomi sastra Indonesia konvensional selalu yang signifikan. Mereka tidak dipercaya menggunakan bahasa Melayu Riau. Bahasa dan dianggap asing, sehinggapada tahun Melayu Riau juga digunakan dalam Sumpah 1958 mereka dinyatakan harus memilih Pemuda oleh kaum intelektual muda (sekali kewarganegaraan: Indonesia atau Tiongkok. lagi hasil didikan Belanda), sehingga bahasa Selama pemerintahan Orde Baru mereka Melayu Riau memperoleh konotasi bahasa menduduki posisi yang lebih rendah lagi. “nasionalis”; kaum intelektual inilah yang Mereka dipaksa, melalui undang-undang, kemudian menjadi politikus dan tokoh untuk berusaha membaurkan diri sebagai pergerakan lain, sehingga bahasa Melayu orang Indonesia yang, dalam prakeknya, Riau menjadi sangat berpengaruh dalam berarti mengikuti kebudayaan pribumi. ilmu politik, sastra, dan pendidikan, sehingga Golongan ketiga, orang Indo, memiliki mampu menggeserkan bahasa Melayu pasar kedudukan yang lebih dinamis. Pada periode bahkan setelah kemerdekaan Indonesia. revolusi menduduki posisi yang sangat Dalam perkembangan penulisan lemah; mereka kerap dituduh sebagai mata- sejarah kesusastraan Indonesia, bacaan- mata Belanda dan dibunuh, meskipun ada bacaan dalam bahasa Melayu pasar dinilai orang seperti Ernest Douwes Dekker yang berorientasi komersial dan tidak berjiwa ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. nasionalis, sehingga tidak layak disebut Dalam periode pasca-perang mereka masih susastra. Karya-karya dalam bahasa ini juga dicurigai dan tidak mudah diterima sebagai sangat jarang diterbitkan ulang sehingga orang Indonesia. Meskipun pada akhirnya tidak mudah dicari dan dibaca; ini berbeda orang Indo mulai mendapatkan kesempatan sekali dengan hasil penulis Balai Pustaka, untuk masuk ke bidang budaya populer, yang terus dicetak ulang. Akibatnya, penulis- seperti film, dalam bidang sastra mereka penulis sastra Melayu pasar serta karya sampai sekarang jarang mendapatkan mereka yang dinilai kurang bermutu tidak perhatian. diajarkan di sekolahan, dan jarang sekali Karena perubahan hierarki sosial masuk ke dalam pembahasan formal yang tersebut serta identifikasi keindonesiaan disusun oleh pakar seperti H.B. Jassin dan dengan kepribumian, penulis-penulis yang A. Teeuw. Dengan demikian penulis dan menguraikan sejarah sastra Indonesia kerap hasilnya tidak terkemuka dan akhirnya tidak memasukkan hasil karya orang non- terlupakan. pribumi dalam kanon mereka. Nama-nama Masalah kedua ialah masalah etnisitas. yang dihadirkan dalam tulisan HB Jassin dan Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, di Armijn Pane semua nama orang pribumi, Christopher A. Woodrich – Nama yang tak Terlupakan: Tiga Penulis Awal Cerita Pendek .... 101 seperti Merari Siregar, Abdul Muis, Marah penerbitan karya-karya Lekra melalui Rusli, dan Achdiat Karta Mihardja. Semua Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan karya yang dinyatakan “pertama” di Kebudayaan nomor 1381/1965 (Rosidi, 1976: Indonesia, seperti Azab dan Sengsara (novel; 234). Selama Orde Baru paham-paham 1920; Merari Siregar), Bebasari (drama; 1926; komunis dan Marxis menjadi bahan tabu Rustam Effendi), dan Teman Doedoek untuk diskusi, sehingga pembahasan mengenai (kumpulan cerpen; 1936; M. Kasim), justru Marco nyaris tidak ada. Kemampuannya merupakan pendatang belakangan; Lie Kim dalam menulis karya sastra seakan dihapus Hok sudah menulis novel berjudul Tjhit Liap karena aliran politiknya yang digambarkan Seng pada tahun 1886, Kwee Tek Hoay penuh kejahatan dan kezaliman oleh rezim sudah menghasilkan Allah jang Palsoe pada yang berkuasa. Pandangan seperti ini masih tahun 1919, dan Kommer sudah menerbitkan terbawa sampai sekarang; ketika Soemardjo Warna Sari pada tahun 1912. Orang-orang (2004: 113) membahas Marco, ia seakan- non-pribumi tidak mempunyai kekuatan akan meminta maaf karena harus membahas sosial untuk mengubah pandangan ini, dan seorang komunis; Soemardjo menulis bahwa kalaupun mereka menulis mengenai sejarah Marco “pernah hadir dalam kancah sejarah sastra mereka biasanya tunduk pada versi kesusastraan Indonesia, apa pun ideologi yang dihadirkan oleh kelompok yang politiknya” dan menekankan bahwa ia tidak berkuasa. Hasil tulisan serta penulis Tionghoa hendak “mengagung-agungkan tokoh dan Indoakhirnya terlupakan karena ditutupi tersebut”. oleh kekuatan sosial yang mengutamakan Dari pembahasan di atas, dapat hasil karya orang pribumi. disimpulkan bahwa ada setidaknya tiga Persoalan yang ketiga terkait dengan sebab sosial yang menyebabkan penulis- paham politik. Dari pengarang-pengarang penulis cerpen masa awal menjadi yang dibahas di sini, hanyalah Marco yang terlupakan, yaitu masalah bahasa, etnisitas, lumayan sering disebut dalam sejarah sastra dan ideologi. Kesemua hal ini berkaitan Indonesia. Ini karena ia diangkat lagi pada dengan hubungan kekuasaan. Hal-hal yang tahun 1960-an, ketika penulis-penulis Lekra dinilai bertentangan dengan kepentingan mulai mengangkat penulis yang berpahaman penguasa dikesampingkan agar tidak dapat Marxis yang dapat dicontohkan sebagai menentang kekuasaan yang sudah ada. penulis sastra Indonesia yang baik dan Ketika kelompok yang berkuasa adalah berpaham nasionalis; hal ini dapat kami orang-orang pribumi yang berbahasa Melayu simpulkan sebagai usaha untuk melegitimisasi Riau (bahasa Indonesia) dan berpaham kedudukan Lekra, yang juga beraliran politik nasionalis kapitalis, orang-orang Marxis, di Indonesia. Marco kemungkinan yang tidak memiliki tiga ciri itu akan besar dipilih karena paham Marxisnya yang dikesampingkan, sementaraperan orang sangat ketat, yang terwujud dalam karya dan yang lebih sesuai dengan ciri-ciri tersebut kehidupan pribadi Marco, sekaligus hasil akan diagungkan. karyanya cukup banyak dan dinilai Selain alasan sosiologis di atas, masih bermutu. (1964: 25), misalnya, dimungkinkan adanya landasan-landasan menulis bahwa Marco “yang pertama kali lain mengapa tokoh-tokoh ini terlupakan, melemparkan kritik terhadap feodalisme dan yang berkaitan dengan ketersediaan bahan. kolonialisme, atas dasar perjuangan kelas Banyak sekali hasil tulisan dari awal abad yang sadar”. kedua puluh yang sudah hilang atau rusak, Setelah gagalnya Gerakan 30 September entah karena usia atau karena usaha orang; pada tahun 1965, yang dinyatakan oleh misalkan, dapat terjadi banyak tulisan ikut Tentara Nasional Indonesia sebagai usaha terbakar dalam peristiwa Lautan PKI, semua lembaga yang berbau-bau Api saat terjadi perang kemerdekaan. komunis ditutup; pada tanggal 30 November Kemungkinan ini perlu ditelusuri lebih 1965, misalnya, pemerintah melarang dalam. 102 Jurnal Ilmiah Kebudayaan SINTESIS, Volume 8, Nomor 2, Oktober 2014, hlm. 93-102

3. SIMPULAN diskusi konvensional mengenai sastra Indonesia. Perkembangan cerpen di Nusantara Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa tidak sesederhana yang dipaparkan dalam masih banyak informasi mengenai penulis- tulisan konvensional, yang meletakkan penulis awal, baik mereka yang menulis Muhammad Kasim sebagai salah satu penulis cerpen maupun yang menghasilkan bentuk cerpen Indonesia yang paling awal. Sebelum lain, yang belum dapat dipastikan. Namun, itu ada sejumlah penulis yang sudah hasil dari mereka-mereka yang “tidak menghasilkan cerpen, bahkan pada tahun ternama” ini justru sangat beragam dan 1870-an. Dari tiga penulis cerpen yang dapat banyak jumlahnya. Dari penulis peranakan dilacak sedikit informasi biografis, yaitu Tionghoa saja, Claudine Salmon mencatat H.R.F. Kommer, Kwee Seng Tjoan (= Juvenile 3,005 buah karya yang dihasilkan 806 orang Kuo), dan Marco Kartodikromo, dapat (dikutip dalam Soemohardjo, 2004: 51); disimpulkan bahwa penulis-penulis awal belum tercatat semua hasil-hasil penulis Indo ini banyak membaca karya asing dan dan pribumi yang menggunakan bahasa meminjamnya, serta menggunakan cerpen Melayu pasar. Mengingat jumlah karya dan untuk modal ekonomi dan politik. Meski penulis yang sangat banyak tersebut, yang mereka tidak dapat dinyatakan cerpenis hampir kesemuanya belum dapat dihadirkan dalam arti modern, mereka cukup memahami riwayat hidup, nampak sekali perlunya soal bahasa dan sastra, yang antara lain usaha untuk menguraikan informasi biografis disebabkan karena pekerjaan utama mereka mengenai penulis-penulis awal. Dengan kerap berkaitan dengan bahasa. Karena demikian, perkembangan pelbagai bentuk bahasa yang mereka gunakan, etnisitas sastra di Nusantara – termasuk cerpen – mereka, dan paham politik mereka, mereka dapat dilacak secara lebih mendalam. lama-kelamaan dikesampingkan dalam

DAFTAR PUSTAKA Student Hidjo. Southeast Asian Studies. 34: 1. 184–210. Adam, A. (1995). The Vernacular Press and the Putra, I N. D. (2010). Tonggak Baru Sastra Bali Emergence of Modern Indonesian Modern. Denpasar: Pustaka Larasan. Consciousness (1855–1913). Ithaca: Tolstoy, L. (1911) “Master and Man”, and Other Cornell University Press. Parables and Tales. New York: E.P. A.S., M. dan Hamiyati, Y. (peny.). (2003). Dutton & Co. Kesusastraan Melayu Tionghoa dan Rosidi, A. (1976). Ikhtisar Sejarah Sastra Kebangsaan Indonesia Jilid 7. : Indonesia. Bandung: Binacipta. Kepustakaan Populer Gramedia. Siregar, B. (1964). Sedjarah Sastera Indonesia Damono, S. D. dkk. (peny.). (2005). Nona Modern. Jakarta: Akademi Sastra dan Koelit Koetjing: Antologi Cerita Pendek Bahasa “Multatuli”. Indonesia Periode Awal. Jakarta: Pusat Sumardjo, J. (2004). Kesusastraan Melayu Bahasa. Rendah Masa Awal. Yogyakarta: Galang De Mille, J. (1877). The Winged Lion, or, Stories Press. of Venice. Boston: Lee and Shepard. Tickell, P. (1981). Three Early Indonesian Short Kasim, M. (1936). Teman Doedoek. Batavia: Stories. Melbourne: Monash University. Balai Pustaka. Toer, P. A. (peny.) (1982). Tempo Doeloe: Maier, H. (1996). Phew! Europeesche Antologi Sastra pra-Indonesia. Jakarta: beschaving! Marco Kartodikromo’s Hasta Mitra.