POLEMIK BUKU 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH Editor: Satrio Arismunandar Polemik Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh Editor Satrio Arismunandar Konsep dan Pengembangan Desain Futih Aljihadi Eksekusi Heri Saparirudin (Desain Cover) Sisko Amin Pratama (Lay Out) Cetakan Pertama, April 2015 ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X Penerbit PT Cerah Budaya Indonesia Menara Kuningan lt. 9G Jalan HR. Rasuna Said Kav V Blok X-7, Jakarta Selatan [email protected] | http://inspirasi.co POLEMIK BUKU 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH Editor: Satrio Arismunandar Daftar Isi Pengantar Editor | 9 BAB 1 - Awal Polemik | 13 BAB 2 - Gerakan Kontra Baru | 81 BAB 3 - Tanggapan Peminat dan Pegiat Satra Lain terhadap buku | 219 BAB 4 - Perdebatan di Media Sosial dan Tanggapan Denny JA | 439 POLEMIK BUKU 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH Editor: Satrio Arismunandar PENGANTAR DARI EDITOR Jagat sastra Indonesia, yang biasanya terkesan adem ayem, di sepanjang tahun 2014 jadi “gonjang ganjing.” Para pegiat sastra dari berbagai daerah angkat bicara, bahkan sebagian melibatkan diri dalam aksi-aksi kampanye tertentu, terkait dengan terbitnya sebuah buku yang memancing sikap pro-kontra dan polemik panjang. Polemik ini cukup keras di media sosial. Buku sastra Indonesia yang jadi bahan perdebatan ini adalah buku berjudul 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (Kepustakaan Populer Gramedia, 2014, 734 halaman). Buku itu disusun oleh Tim 8, yang terdiri atas 8 orang penulis. Mereka adalah: Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshauser, Joni Ariadinata, Maman S. Mahayana, Nenden Lilis Aisyah, dan diketuai Jamal D. Rahman. Perdebatan awalnya masih “sehat,” karena baru seputar ketidaksepakatan tentang figur sastra tertentu yang dimasukkan atau tidak dimasukkan ke dalam daftar 33 tokoh sastra paling berpengaruh. Sayangnya, polemik kemudian menjadi kurang sehat, karena ada upaya untuk mengundang POLEMIK BUKU 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH 9 intervensi pemerintah agar melarang (walaupun “untuk sementara”) peredaran buku itu. Terlepas dari semua ekses negatif tersebut, polemik tentang buku ini sangat penting dan bernilai bagi kemajuan dunia sastra Indonesia. Polemik ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi para pegiat, peneliti, pengkaji, peminat, dan penikmat sastra Indonesia. Karena pertimbangan itulah, kami mencoba menerbitkan berbagai tulisan yang terserak dan termuat di media massa dalam kaitan polemik tersebut dalam satu buku utuh. Perdebatan di media sosial yang cukup gencar, yang bernada pro atau kontra terhadap buku itu, juga kami sajikan. Untuk menampilkan nuansa asli perdebatan tersebut, gaya bahasa yang ada di berbagai tulisan di media cetak, media online, dan media sosial, hanya diedit sekadarnya. Bisa dikatakan hampir seluruh tulisan yang termuat di buku ini diambil dari dokumentasi yang sudah ada di situs inspirasi.co. Hanya sedikit proses penyuntingan dari segi bahasa yang dilakukan pada tulisan-tulisan itu. Penyunting tidak mengutak- atik kontennya. Sedangkan khusus untuk Bab 2, ini 10 POLEMIK BUKU 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH adalah rangkuman yang dilakukan oleh penyunting atas berbagai tulisan lain, yang sudah beredar di media sosial di luar inspirasi.co. Dengan demikian, secara umum bisa dikatakan bahwa buku ini hanya pemuatan ulang dari berbagai tulisan yang sudah beredar di media massa, terkait dengan polemik tentang buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Penyunting hanya membuat kategorisasi dalam pemuatan ulang tulisan-tulisan tersebut di buku ini, untuk memudahkan membacanya. Penerbitan buku ini juga sama sekali tidak bertujuan komersial, karena seluruh isi buku ini bisa di-download secara gratis. Penerbitan buku ini lebih sebagai upaya berkontribusi, lewat pemberian informasi bagi publik tentang polemik yang paling trendy dan hangat di dunia sastra Indonesia di sepanjang 2014. Demikianlah, semoga buku yang sederhana ini bisa memberi sumbangan bagi pemahaman yang lebih baik, dan ikut mendorong kemajuan dunia sastra Indonesia. Satrio Arismunandar Editor POLEMIK BUKU 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH 11 BAB 1 Awal Polemik 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH Mencari Tokoh bagi Sastra Pengantar Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh Oleh: Tim 8 Negara lahir dari tangan penyair. Jaya dan runtuhnya di tangan para politisi. Mohammad Iqbal Jika kekuasaan membawa orang pada arogansi. Puisi mengingatkan kita akan keterbatasan manusia. Jika kekuasaan mempersempit kepedulian kita, puisi mengingatkan mereka akan kaya dan beragamnya eksistensi manusia. Jika kekuasaan kotor, puisi membersihkannya. John F. Kennedy Peranan kesusastraan dalam kehidupan masyarakat tidak jarang dipertanyakan, terutama saat sebuah negara sibuk dengan pembangunan ekonomi. Hal ini terjadi juga di Indonesia. Di satu sisi, para penguasa kerap merasa terganggu oleh sikap sastrawan tentang pembangunan dan POLEMIK BUKU 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH 15 beberapa kebijakan politik menyangkut aspek- aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Mereka cenderung menganggap sastrawan hanya bisa mengkritik kebijakan dan kerja keras pemerintah, mengecam para politikus busuk, dan menghujat para pejabat korup. Di lain sisi, masyarakat umum memandang bahwa peranan sastra dalam pembangunan dan kehidupan masyarakat luas tidak begitu jelas, atau bahkan menganggap sastra cuma berisi lamunan dan kata- kata indah mendayu. Tapi John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat yang legendaris, mengemukakan bahwa jika kekuasaan membawa orang pada arogansi, puisi mengingatkan kita akan keterbatasan manusia. Jika kekuasaan mempersempit kepedulian kita, puisi mengingatkan manusia akan kaya dan beragamnya eksistensi manusia. Jika kekuasaan kotor, puisi membersihkannya. Puisi dan sastra pada umumnya di mata Kennedy adalah bagian penting dari kehidupan berbangsa sebagai pengimbang — bahkan anti toksin— bagi penguasa dan kekuasaan. Dalam pada itu, Mohammad Iqbal, penyair dan filsuf terkenal asal Pakistan itu, mengemukakan bahwa negara lahir justru dari tangan para penyair. Untuk bangsa-bangsa pada umumnya, ungkapan 16 POLEMIK BUKU 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH tersebut benar secara metaforis. Namun, bagi bangsa- bangsa terjajah, khususnya Indonesia, pernyataan Iqbal bahkan benar secara faktual. Kelahiran sastra Indonesia tidak dapat dipisahkan dari gejolak sosial-politik pada masa-masa berseminya gagasan tentang lahirnya negara Indonesia di awal abad ke- 20. Konsep Indonesia sebagai sebuah negara- baru dicanangkan lewat Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Bukankah Sumpah Pemuda — bertanah air dan berbangsa satu, yaitu Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia— adalah deklarasi politik dalam bentuk puisi? Bukankah rumusan itu pula yang menggelindingkan kesadaran bersama dalam kesatuan tanah air Indonesia; kesatuan bangsa Indonesia meski terdiri dari berbagai etnis, budaya, dan agama; dan kesadaran untuk menjunjung Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan? Ya, Sumpah Pemuda —yang dikonsep oleh Muhammad Yamin— adalah puisi. Dengan demikian, Indonesia sebagai negara-baru sesungguhnya dideklarasikan lewat puisi. Tentu saja perumusan konsep itu tidak datang seketika. Ada proses pemikiran yang terjadi sebelumnya. Dan proses itu bermula dari POLEMIK BUKU 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH 17 sebuah puisi yang berjudul “Tanah Air” (1920) karya Muhammad Yamin, di mana sang penyair mengemukakan konsepnya tentang tanah air yang mula-mula bersifat kedaerahan, hingga akhirnya sampai pada konsep Indonesia sebagai tanah air dalam puisi “Indonesia Tumpah Darahku” (1928), yang ditulis Yamin dua hari sebelum Sumpah Pemuda dikumandangkan. Hal itu menegaskan bahwa kesusastraan lahir dari kecamuk pemikiran, bukan dari bahasa berbunga-bunga, bukan pula dari sebuah khayalan yang tidak berpijak pada realitas. Perjalanan sastra Indonesia beriringan dengan perkembangan pemikiran tentang sebuah bangsa bernama Indonesia. Sekali lagi, Indonesia lahir dari sebuah puisi yang ditulis secara bersama-sama oleh kaum muda Indonesia, yakni Sumpah Pemuda. Tentu pada waktu itu, semua pernyataan dalam Sumpah Pemuda merupakan metafora, setidaknya masih imajinatif dan bukan kenyataan. Namun, dengan rumusan metaforis dan imajinatif itulah seluruh bangsa diajak untuk bersama-sama mengimajinasikan kemungkinan lahirnya sebuah bangsa dan tanah air baru: Indonesia. Berdasar pada Sumpah Pemuda itulah para sastrawan dari berbagai wilayah Nusantara menulis karya 18 POLEMIK BUKU 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH sastra dalam bahasa Indonesia serta mangacu dan menggemakan satu tanah air dan bangsa yang sama: Indonesia. Lahirlah kemudian negara yang kita tinggali bersama ini. Setelah lahir dari puisi Sumpah Pemuda dan kemudian tumbuh lewat pewacanaan sastra, nasib bangsa Indonesia selanjutnya memang berada di tangan para politisi. Di masa-masa awal nasionalisme Indonesia, hubungan politik dengan sastra sedemikian dekatnya. Saat Indonesia berada di bawah kolonialisme dan —sebagai akibatnya— pengaruh kerajaan dan/atau kesultanan di Indonesia mulai menurun, masyarakat tampak kehilangan acuan nilai. Pada saat itulah para sastrawan memainkan peranan baru, menawarkan nilai-nilai baru bagi kehidupan, mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar, antara lain menimbang ketegangan antara modernitas dan tradisi, menggali dan mendedahkan kegelisahan dan impian manusia Indonesia. Sejurus dengan itu, para sastrawan menarasikan lahirnya bangsa dan tanah air baru yang merdeka
Details
-
File Typepdf
-
Upload Time-
-
Content LanguagesEnglish
-
Upload UserAnonymous/Not logged-in
-
File Pages532 Page
-
File Size-