BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG NAHDLATUL ULAMA

A. Sejarah Lahirnya Nahdlatul Ulama

Banyaknya perbadaan ideologis dan perbedaan pandangan dalam merespon fenomena yang ada, baik dalam skala nasional dan internasional khususnya dunia Islam maka pada tanggal 16 rajab 1344

H atau 31 Januari 1926 di Surabaya.1 lahirlah Nahdlatul Ulama2 sebagai representatif dari kaum tradisionalis, yang merupakan jawaban dari umat Islam terhadap problem dan fenomena yang berkembang dalam dunia Islam di Indonesia dan untuk berkiprah dalam memperkuat barisan kebangkitan naisonal. Nahdlatul Ulama‟ berasal dari bahasa arab. Nahdlatul artinya bangkit atau bergerak.

Nama Nahdlatul Ulama‟ adalah usulan dari Ulama‟-ulama‟ pada zaman dahulu. Nahdlatul Ulama‟ sebagai organisasi masyarakat dan

1 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (: Hidakarya Agung, 1996), h. 239. 2 Nahdlatul Ulama berasal dari bahasa Arab “nahdlah" yang berarti bangkit atau bergerak, dan “ulama”, jamak dari alim yang berarti mengetahui atau berilmu. Kata “nahdlah” kemudian disandarkan pada “ulama” hingga menjadi Nahdlatul Ulama yang berarti kebangkitan ulama atau pergerakan ulama. Lihat Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Yayasan Penerjemah/Penafsir Alquran, 1973), hal. 278 dan 471

37

38

keagamaan yang mempunyai lambaga yang menggambarkan dasar tujuan dan cita-cita dari keberadaan organisasi.3

Nahdlatul Ulama lahir pada tanggal 31 Januari 1926 sebagai reprensentatif dari ulama tradisionalis, dengan haluan ideologi ahlus sunnah waljamaah tokoh-tokoh yang ikut berperan diantaranya K.H.

Hasyim Asy‟ari. K.H. Wahab Hasbullah dan para ulama pada masa itu pada saat kegiatan reformasi mulai berkembang luas, ulama belum begitu terorganisasi namun mereka sudah saling mempunyai hubungan yang sangat kuat. Perayaan pesta seperti haul, ulang tahun wafatnya seorang kiai, secara berkala mengumpulkan para kiai, masyarakat sekitar ataupun para bekas murid mereka yang kini tersebar luas diseluruh nusantara.4

Nahdlatul Ulama mulanya hanya sebuah kepanitiaan yang disebut Komite Merebuk Hijaz, namun atas beberapa inisiatif kalangan ulama waktu itu, telah menempatkan K.H. Hasyim Asy‟ari sebagai tokoh pendiri dan langsung mengetuainya.5 Selain itu, ada alim ulama lain dari tiap-tiap daerah di Jawa Timur. Diantaranya

3 Masykur Hasyim, Merakit Negeri Berserakan, (Surabaya: Yayasan 95, 2002), hal. 65 4 Masykur Hasyim, Merakit Negeri Berserakan,…hal. 66 5 Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran :Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), hal. 216. 39

adalah: K.H. Hasyim Asy‟ari Tebuireng, K.H. Abdul Wahab

Hasbullah, K.H. Bisri Jombang, K.H. Ridwan Semarang, K.H.

Nawawi Pasuruan,

K.H.R. Asnawi Kudus, K.H.R Hambali Kudus, K. Nakhrawi Malang,

K.H. Doromuntaha Bangkalan, K.H.M. Alwi Abdul Aziz.6

Kelahiran Nahdlatul Ulama merupakan respons terhadap munculnya gagasan pembaharuan Islam di Indonesia yang banyak di pengaruhi pemikiran atau faham Wahabi serta ide-ide pembaharuan

Jamaluddin Al-Afgani dan Muhammad Abduh. Gerakan pembaharuan

Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, dipelopori oleh KH.

Ahmad Dahlan yang kemudian pada 1912 membentuk organisasi

Muhammadiyah yang banyak melakukan kritik terhadap praktik- praktik keagamaan yang dilakukan kelompok muslim tradisional, seperti menolak tarikat atau praktik seperti talqin yang berkembang sebagai tradisi keagamaan muslim tradisional.

Kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926 silam sebenarnya tak bisa dilepaskan dengan perkembangan kelompok Islam yang secara relatif berhaluan pembaruan ke arah “yang disebut” pemurnian

6 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), hal. 178

40

(purifikasi) ajaran Islam. Organisasi Muhammadiyah didirikan di

Yogyakarta pada 1912 oleh KH Ahmad Dahlan yang kemudian gerakannya dianggap cenderung berbeda dengan kebiasaan praktik- praktik keagamaan (Islam) masyarakat lokal merupakan bagian dari efek picu (trigger effect) yang mempercepat lahirnya NU. Ditambah lagi pada saat itu gerakan pembaruan Islam di Timur Tengah di bawah pengaruh kuat ajaran Muhammad bin Abdul Wahab (Wahabi) dianggap sudah kebablasan karena sudah sampai pada keinginan membongkar makam Rasulullah SAW. Kalangan ulama Indonesia berhaluan Sunni akhirnya membentuk komite (yang disebut Komite

Hijaz) yang selanjutnya diutus khusus untuk menemui Raja Fahd di

Arab Saudi.7

Berdirinya Nahdlatul Ulama tak bisa dilepaskan dengan upaya mempertahankan ajaran ahlus sunnah wal jamaah (aswaja). Aswaja merupakan paham keagamaan NU, bagi NU aswaja merupakan jiwa dan haluan organisasi paham keagamaan dalam menentukan pola, sikap, pikiran, perilaku dan kenegaraan.8

7 Hartono Margono, Jurnal KH. Hasyim Asyari dan Nahdlatul Ulama :Perkembangan Awal dan Kontemporer, (Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011), hal. 339-340 8 Ali Masykur Musa, Nasionalisme di Persimpangan Jalan, (Jakarta: Erlangga, 2011), hal.30 41

Ajaran ini bersumber dari Alquran, Sunnah, Ijma‟(keputusan- keputusan para ulama‟sebelumnya). Dan Qiyas (kasus-kasus yang ada dalam cerita Alquran dan Hadits) seperti yang dikutip oleh Marijan dari K.H. Mustofa Bisri ada tiga substansi, yaitu (1) dalam bidang- bidang hukum-hulum Islam menganut salah satu ajaran dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi‟I, dan Hanbali), yang dalam praktiknya para NU menganut kuat madzhab Syafi‟I. (2) dalam soal tauhid (ketuhanan), menganut ajaran Imam Abu Hasan Al-

Asy‟ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi. (3) dalam bidang tasawuf, menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qosim Al- Junaidi.

Proses konsulidasi faham Sunni berjalan secara evolutif. Pemikiran

Sunni dalam bidang teologi bersikap elektik, yaitu memilih salah satu pendapat yang benar.9

Hasan Al-Bashri (w. 110 H/728) seorang tokoh Sunni yang terkemuka dalam masalh Qada dan Qadar yang menyangkut soal manusia, memilih pendapat Qodariyah, sedangkan dalam masalah pelaku dosa besar memilih pendapat Murji‟ah yang menyatakan bahwa sang pelaku menjadi kufur, hanya imannya yang masih (fasiq).

9 PWNU Yogyakarta, Ke-NU-an Ahlusuunah Wal Jama’ah Annahdliyah, (Yogyakarta: LP Ma‟arif NU, 2017), hal. 4-5.

42

Pemikiran yang dikembangkan oleh Hasan AL-Basri inilah yang sebenarnya kemudian direduksi sebagai pemikiran Ahlus sunnah waljama‟ah.10

Nahdlatul Ulama (NU) sejak kelahirannya merupakan wadah perjuangan untuk menentang segala bentuk penjajahan dan merebut kemerdekaan negara Republik Indonesia dari penjajah Belanda dan

Jepang, sekaligus aktif melakukan dakwah-dakwahnya untuk senantiasa menjaga kesatuan negara Republik Indonesia dalam wadah

NKRI. NU sejak dahulu sampai sekarang dan sampai kapanpun akan senantiasa berjuang demi kepentingan umat. Dalam perjuangannya

NU masuk ke dalam berbagai segi, di antaranya adalah melalui politik kebangsaan, pemberdayaan ekonomi, dan peningkatan sumber daya manusia.11 Bagaimana NU dalam peranannya yang begitu besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, mempertahankan keutuhan

NKRI dapat dilihat atas latar belakang lahirnya ormas terbesar di dunia Nahdlatul Ulama (NU). Paling tidak ada tiga alasan besar yang melatarbelakangi lahirnya Nahdlatul Ulama 31 Januari 1926, yaitu

10 Laode Ida, NU Muda, (Jakarta: Erlangga, 2004), hal. 7 11 LP Ma‟arif NU, Ke-NU-an Ahlussunah Wal Jama’ah Annahdliyah, (Yogyakarta: Lembaga Pendidikan Ma‟arif Nahdlatul Ulama, 2017), hal. 96. 43

Pertama, motif agama. Kedua, motif mempertahankan paham Ahlu al-

Sunnah wa ‟l-Jamā‟ah, dan ketiga, motif nasionalisme.12

Motif nasionalisme timbul karena NU lahir dengan niatan kuat untuk menyatukan para ulama dan tokoh-tokoh agama dalam melawan penjajahan. Semangat nasionalisme itu pun terlihat juga dari nama

Nahdlatul Ulama itu sendiri yakni “Kebangkitan Para Ulama”.13 NU pimpinan Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari sangat nasionalis.

Sebelum RI merdeka, para pemuda di berbagai daerah mendirikan organisasi bersifat kedaerahan, seperti Jong Cilebes, Pemuda Betawi,

Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatera, dan sebagainya, akan tetapi kiai-kiai NU justru mendirikan organisasi pemuda bersifat nasionalis.

Pada tahun 1924 para pemuda pesantren mendirikan Shubban al-Waṭān (Pemuda Tanah Air). Organisasi pemuda itu kemudian menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) yang salah satu tokohnya adalah Kiai Muhammad Yusuf Hasyim. Selain itu dari rahim

Nahdlatul Ulama (NU) lahir laskar-laskar perjuangan fisik, di kalangan pemuda muncul laskar-laskar Ḥizbullāh (Tentara Allah) dengan panglimanya KH. Zainul Arifin seorang pemuda kelahiran

12 Amin Farih, Jurnal Nahdlatul Ulama dan Kontribusinya Dalam Memperjuangkan Kemerdekaan dan Mempertahankan NKRI, (Volume 24, Nomor 2, November 2016), hal. 252 13 Zudi Setiawan, Nasionalisme NU, (Semarang: Cv Aneka Ilmu, 2007), hal. 76.

44

Barus Sumatera Utara tahun 1909, dan di kalangan orang tua

Sabīlillāh (Jalan menuju Allah) yang di komandoi KH. Masykur, laskar-laskar NU di atas siap berjuang jihad menegakkan agama dan bangsa, mengusir para penjajah Belanda dan Jepang untuk merebut kemerdekaan negara kesatuan Republik Indonesia.14

Perjuangan yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (NU) dengan upaya yang kuat menggerakan para ulama, santri dan umatnya untuk bangkit menghimpun kekuatan melawan pemerintahan asing yang dianggap kafir, merupakan bukti sejarah yang tidak dapat dipungkiri. Bahkan menurut hitungan rasional kemerdekaan negara

Indonesia ini tidak akan pernah terwujud, mengingat rakyat Indoneisa pada saat itu merupakan rakyat yang miskin, serba kekurangan, untuk makan saja masih sulit akibat kejamnya penjajahan, demikian juga minimnya persenjataan yang dimiliki oleh pasukan dan relawan pejuang rakyat kita, apabila dibandingkan dengan persenjataan yang dimiliki oleh penjajah Belanda.15 Akan tetapi berkat motivasi para ulama kita termasuknya adalah ulama NU yang berupaya mentranspormasi gerakan-gerakan yang bersifat spontanitas kepada

14 Amin Farih, Jurnal Nahdlatul Ulama dan Kontribusinya Dalam Memperjuangkan Kemerdekaan dan Mempertahankan NKRI, (Volume 24, Nomor 2, November 2016), hal. 253 15 A. Helmy Faishal Zaini, Nasionalisme Kaum Sarungan, (Jakarta: Buku Kompas, 2018), 74-75 45

mekanik atau organik dari doa dan wirid-wirid yang diberikan oleh ulama-ulama NU (bisa berupa asmā‟, ḥizb, dhikir, ṣalawāt dan lain sebagainya) menjadi sebuah sugesti besar pensakralan dan kekuatan besar untuk melawan peperangan melawan penjajah, maka dengan sugesti yang kuat ini perjuangan para ulama bisa menghantarkan ke sebuah kemerdekaan berkat rahmat Allah.16

Jika dahulu salah satu factor pendorong lahirnya Nahdlatul

Ulama adalah untuk menghadapi globalisasi wahabi maka sekarang ini tantangan yang dihadapi NU lebih kompleks karena NU dikepung oleh berbagai kelompok Islam berjenis lain yang meski secara masa tidak terlalu besar, tetapi berpotensi menarik kelompok-kelompok baru.17

Nahdlatul Ulama (NU) pra kemerdekaan tampil sebagai organisasi yang disegani oleh penjajah. Sehingga kekuatan Ulama yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama (NU) mampu menjembati kepentingan Islam dan juga kepentingan bangsa Indonesia yang menjadi pilar pengantar terhadap lahirnya negara kesatuan republik

Indonesia. Menurut seorang bekas murid pesantren Kiyai Hasyim

16 Amin Farih, Jurnal Nahdlatul Ulama dan Kontribusinya Dalam Memperjuangkan Kemerdekaan dan Mempertahankan NKRI,…hal. 254 17 Nur Kholik Ridwan, NU dan Neoliberalisme, (Yogyakarta : 2008), hal. 3

46

Asy‟ari di Tebuireng, para santri menyanyikan lagu kebangsaan tiap hari kamis, setelah pengajian selesai,18 ini artinya para ulama sejak zaman dulu sudah menanamkan kepada para santrinya nilai-nilai nasionalisme.

Meskipun tidak melibatkan diri secara langsung dalam dunia politik, para pimpinan NU memperhatikan juga bentuk Negara

Indonesia yang akan datang. Pada muktamar XV yang berlangsung bulan juni 1940 (muktamar terakhir masa pemerintahan colonial belanda) NU mengadakan rapat tertutup yang dihadiri oleh sebelas ulama di bawah pimpinan KH. Mahfudz Shiddiq membicarakan calon yang pantas untuk dijadikan presiden pertama Indonesia mendatang.

Sebelas tokoh NU menetukan pilihan di antara dua nama yang disebut pada rapat tertutup itu adalah soekarno dan Muhammad Hatta. Para ulama memilih Soekarno dengan suara 1 berbanding 10.19

Keputusan ini perlu mendapatkan perhatian khusus karena diambil pada saat berlangsungnya perdebatan seru mengenai

Indonesia akan dijadikan Negara Islam atau bukan. Di samping itu

Muhammad Hatta yang berasal dari Sumatra Barat memiliki citra lebih “santri” dibanding Soekarno, orang Jawa Timur yang mulai

18 Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara, (Yogyakarta : 2017), hal. 14-15 19 Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara,...hal. 18. 47

memperdalam pengetahuan Islamnya sewaktu berada dipengasingan, yang menyatakan jelas kekagumannya kepada Kemal Attaruk.

Sejak September 1945, pasukan Inggris mendarat di Jawa, mewakili sekutunya, Belanda yang berusaha menanamkan kembali kekuasaannya di Hindia Belanda. Jakarta, Bandung dan Semarang telah jatuh ketangan mereka dan kedatangan pasukan Inggris ditunggu di Surabaya. Mengahadapi ancaman ini, para ulama NU berkumpul pada tanggal 22 oktober 1945 dan menyatakan Perang Jihad (Djihad fi

Sabilillah) melawan sekutu Inggris-Belanda.

Pesantren-pesantren sering dijadikan tempat berlindung dan berkumpul pasukan Hizbullah dan pasukan Sabillah.20 NU sejak dari dulu selalu berjuang untuk kemerdekaan NKRI dari tangan penjajah kolonial Belanda. Keterlibatan fisik dan moral para ulama, santri dan kiyai “sakti”, yang harus memimpin pasukan atau memberikan kekuatan moral untuk mencapai kemenangan, tercantum dalam

Resolusi Jihad NU.21

Mulai 1946, NU secara penuh mengambil bagian dalam pemerintahan dengan diberikannya jabatan menteri Agama yang

20 Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara,… hal. 37. 21 Gunaji, Resolusi Jihad NU 1945 Peran Politik dan Militer NU Dalam Mempertahankan Kedaulatan NKRI, (Yogyakarta: Fakultas Syari‟ah, 2009), hal. 13.

48

dibentuk pada tahun 3 Januari 1946.22 Departemen Agama ini baru dibentuk beberapa waktu sesudah kemerdekaan, selain itu dibentuknya Departemen Agama juga akan menyebabkan terjadinya sentralisasi lembaga-lembaga Islam. Bagi Nahdlatul Ulama amanah ini merupakan kunci yang membuatnya berada pada posisi yang sangat menguntungkan jangkan panjang karena memberikan landasan yang sah bagi aktivitas social keagamaanya. Kemudian diangkatlah

KH. Wahid Hasyim untuk menjadi Menteri Agama RI dari tokoh

Nahdlatul Ulama.

Keterlibatan NU dalam dunia politik semakin terlihat ketika

NU bergabung dalam Masyumi sebagai partai politik. Namun kedudukan NU dalam kepengurusan Masyumi tidak terwakili di badan eksekutif dan hanya menduduki dewan syuro yang tidak banyak menentukan terhadap kebijakan partai bahkan sampai akhirnya dewan syuro diturunkan, kedudukannya hanya menjadi penasehat partai.

Keretakan ditubuh Masyumi akibat berbagai polemik membuat NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi pada tahun 1952. Setelah keluar dari Masyumi, NU secara institusi telah siap berubah 39

22 Menteri Agama pertama adalah H.M. Rasyidi, yang digantikan beberapa bulan kemudian oleh seorang menteri dari NU, atas permintaan dari kaum tradisonalis. 49

orientasi visi dan misi jika semula NU sebagai organisasi keagamaan maka sekarang menjadi organisasi politik.23

Pemilu pertama yang diikuti NU setelah resmi menjadi partai politik adalah pada tahun 1955. Hasil yang cukup memuaskan yaitu

NU berada pada posisi ketiga dibawah PNI dan Masyumi. Meskipun

NU merupakan partai baru namun mengingat NU merupakan suatu organisasi yang mempunyai massa yang cukup banyak, tidak heran jika NU mampu menjadi tiga besar saat pemilu 1955. Ketika Soekarno memberlakukan Demokrasi Terpimpinnya, hingga muncul slogan

NASAKOM, membuat posisi NU sangat dilematis. Di satu sisi NU mempunyai kedudukan yang dekat dengan Soekarno namun disisi lain

NU sangat membenci PKI.24

Sikap tegas NU pun diambil, ia lebih mementingkan kemaslahatan umat dan oleh karena itu ia akan ikut berperan aktif dalam penumpasan PKI. NU sejak lama telah curiga dan membenci

PKI, kebencian NU semakin menjadi ketika PKI melancarkan gerakan yang dikenal dengan “Aksi Sepihak”. Kader-kader PKI terutama aktivis-aktivis organisasi tani BTI (Barisan Tani Indonesia) secara

23 Titik Triwulan Tutik dan Joenaedi Efendi, Membaca Peta Politik Nahdlatul Ulama; Sketsa Politik Kiai & Perlawanan Kaum Muda NU , (Jakarta: Lintas Pustaka, 2008), hal. 42-43. 24 Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara,… hal. 95.

50

sepihak memaksa pembagian tanah dan hasil pertanian kepada petani- petani diberbagai desa khususnya di pulau Jawa. NU kemudian melakukan konsolidasi secara matang dan barisan NU.25

Yang terdiri dari Pertanu, Lesbumi, Sarbumusi, Fatayat,

Muslimat, IPNU, IPPNU, PMII dan khususnya Pemuda Anshor dan

Banser telah siap menghadapi kemungkinan terburuk dari aksi sepihak

PKI tersebut. NU melalui Pemuda Anshor dan massa NU lainnya berhasil mematahkan aksi sepihak tersebut diberbagai wilayah seperti

Banyuwangi, Kediri, Blitar, Mantingan, Pemalang, Indramayu dan daerah lainnya.26 Sejarah mencatat peranan NU dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia tidak diragukan lagi, puncaknya dalam membentuk pondasi negara Indonesia, Kh. Wahid Hasyim di utus oleh ayahnya Kh. Hasyim Asy‟ari dalam perumusan konstitusi dan fondasi dasar Negara Indonesia pada masa awal kemerdekaan NKRI bersama dengan para tokoh lain, seperti soekarno, Mohammad Hatta,

Muhammad Yamin, Achmad Soebardjo, Abiekoesno Tjokrosoejono,

Haji Agus Salim, A.A. Maramir, dan Abdul Kahar Muzakir, inilah para tokoh yang menyusun dasar Negara Indonesia, kemudian yang lebih dikenal dengan panitia Sembilan.27

25 Abdul Mun‟im Dz, Benturan NU-PKI 1948-1965, (Jakarta: Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, 2014), hal. 55. 26 Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara,… hal. 95. 27 Zudi Setiawan, Nasionalisme NU,… hal. 132. 51

B. Sejarah Nahdlatul Ulama di

Tidak banyak yang menulis bahwa pada pembentukan NU pada tanggal 16 Rajab 1344 H. atau 31 Januari 1926 di Tebu Ireng

Jombang Jawa Timur itu ada beberapa Kiai Banten yang hadir dan ikut terlibat langsung dalam pendirian NU. Pada pembentukan itu hadir KH. Mas Abdurrahman bin Jamal yang sudah beroleh sebutan

Bahrul Ulum dan KH. E. Moh. Yasin, kedua „ulama tersebut selain menyetujui di dirikan nya Nahdlatul „Ulama selanjutnya menyetujui pula konsensus Tebu Ireng tentang penambahan nama pada setiap lembaga yang di khadami para peserta Konsensus Tebu Ireng untuk menambahkan kllimat 'li Nahdatil Ulama' di setiap lembaga yang dipimpin oleh peserta konsensus.28

Konsensus itupun di laksanakan oleh para peserta termasuk peserta dari Banten Kiai Mas Abdurrahman dan Kiai Muhammad

Yasin yg keduanya merupakan pendiri Matlaul Anwar Menes. sehingga nama Matlaul Anwar menjadi Matlaul Anwar linahdlatil

Ulama. Kiayi Mas Abdurrahman kemudian masuk dalam struktur pertama Nahdlatul Ulama sebagai bagian dari jajaran Syuriah.

28 KH. Imadudin, https://www.aisbanten.or.id/berita/santri-banten/sejarah- nu-di-banten/ , diakses pada tanggal 16 April 2019.

52

Kongres nu ke-13 di Banten Kamis, 16 Juni 1938. Saat itu, sekira pukul 13.00 WIB terdengar sebuah dentuman bom di Menes

Banten. Namun aneh, Tak ada histeria warga. Tak ada jeritan kesakitan atau raungan merana dari orang-orang sekitar daerah ledakan bom itu. Padahal yang meledak itu adalah betul-betul bom, bukan bom dalam pengertian kiasan. Sebaliknya, warga malah bersorak-sorai. Raut muka mereka menunjukkan kegembiraan yang kuat. Tua-muda, pria-wanita, dengan wajah sumringah malah semakin berusaha mendekat pada sumber suara ledakan itu.29

Dengan berdirinya NU di Banten, banyak ulama Banten khususnya Pandeglang- yang menjadi anggota NU, dan masuk dalam struktural PCNU Cabang Menes. Terdapat sebuah dokumen yang sangat penting untuk diketahui. Karena ia diterbitkan pada tahun 1347

H atau 1928 M. Angka yang sangat tua, lama sebelum kemerdekaan.

"Majalah Suara Nahdlatul Ulama". Di masa itu, NU sudah dapat menerbitkan majalah dengan menggunakan bahasa Jawa Pegon.

Terdapat beberapa kemungkinan mengapa bahasa yang digunakan adalah bahasa jawa pegon. 30

29 KH. Imadudin, https://www.aisbanten.or.id/berita/santri-banten/sejarah- nu-di-banten/ , diakses pada tanggal 16 April 2019. 30 Abdul Wahab Moesa, Majalah Swara Nahdlatul Ulama, (Soerabaya: HBNO, 1938), hal. 2. 53

Mungkin karena bahasa jawa pegon dapat dimengerti oleh ulama-ulama banten, atau karena terdapat kemiripan antara bahasa jawa pegon dengan bahasa sunda. Apapun itu, pada dasarnya bahasa yang digunakan di dalam majalah tersebut adalah jawa pegon. Dan

Menes memang menjadi pusat kegiatan NU pada masa itu, wajar jika beberapa tahun kemudian tempat muktamar yang ke 13 yang diselenggarakan pada tahun 1938. Tepat sepuluh tahun dari terbitnya majalah suara NU yang kedua.31

Ada sebuah pertanyaan: Apa hubungan antara NU dengan ulama menes, sampai-sampai Hadhrotus Syeh KH Hasyim Asyari mengutus dua orang utusan untuk bertemu dan bermusyawarah dengan ulama-ulama Menes?. Dapat dipastikan bahwa sebelum pendirian NU tentunya ulama-ulama Menes dengan Hadhrotus Syeh sudah ada hubungan. Yaitu sama-sama berstatus murid dari Syeh

Nawawi Banten, ulama yang harum namanya dari masanya sampai sekarang. Dan untuk alat transportasi yang digunakan adalah kereta.

Sehingga tidak perlu bingung untuk memikirkan, bagaimana dalam jarak yang jauh dapat ditempuh hanya dengan beberapa hari saja. Di dalam majalah tersebut, tidak hanya mememuat struktural Pengurus

31 Abdul Wahab Moesa, Majalah Swara Nahdlatul Ulama, (Soerabaya: HBNO, 1938), hal. 2.

54

Cabang Nahdlatul Ulama di Menes saja, tetapi juga memuat beberapa lembaga pendidikan (Madrasah) yang sefaham dengan NU dan materi pengajiannya juga distandarkan dengan materi-materi NU.32

Penulis muatkan redaksi pegon-nya, kemudian dialih- bahasakan ke Bahasa Indonesia. "Nahdlatul Ulama Cabang Menes

Nahdlatul Ulama sampu anggadahi cabang ing Menes (Banten), inggih puniko naliko tanggal 1 Rajab 1347. Sampun dipun wontenaken musyawarah ageng ing kadu hauk, Menes. Dipun hadiri dining para kyai-kyai saha a'yan ahlu menes wau, ahli Cimanuk,

Labuan. Ing musyawarah dipun terang-terang-aken faidah-ipun jam'iyah wau, murabathoh utawi mu'awanah bainal muslimin, khususon ahlul mutamadzhibin. Sa' sampuni lajeng para hadirin amutusaken muwafaqoh ing mriku (Menes). Dipun jenengaken cabang saking Nahdlatul Ulama, saha milih pilihan pester(?) wau katepa'an kados ing ngandap puniko"33

Nahdlatul Ulama sudah memiliki cabang di Menes (Banten), yaitu pada tanggal 10 Rajab 1347 H (23 Desember 1928). Sudah diadakan musyawarah besar (Mubes) di Kadu Hauk, Menes. Dihadiri oleh para kyai dan tokoh-tokoh masyarakat Menes, Cimanuk dan

32 Abdul Wahab Moesa, Majalah Swara Nahdlatul Ulama,…hal. 4 33 Abdul Wahab Moesa, Majalah Soera Nahdlatul Ulama,…hal. 4 55

Labuan.34 Di dalam musyawarah tersebut dijelaskan faidah keorganisasian NU, murobathoh (saling berhubungan), dan mu'awanah bainal muslimin (saling tolong menolong antara sesama muslim), lebih khususnya ahlul mutamadzhibin (para pengikut madzhab). Setelahnya para hadirin memutuskan muwafaqoh

(persetujuan) di sana (Menes) untuk dinamakan dengan Cabang dari

Nahdlatul Ulama. Serta memilih pilihan pister (??) tadi, kebetulan seperti yang di bawah ini:

(1) KH. Abdurrahman (Ro'is)

(2) KH. Muhammad Yasin (Na'ib Ro'is)

(3) Mas Haji Muhammad Ro'is (Katib)

(4) Entol Danawi (Na'ib Katib)

(5) Raden Haji Rusydi Sandu Kemih (A'wan)

(6) KH. Umar Haya, Menes. (A'wan)

(7) KH. Hilmi, Cimanuk. (A'wan)

(8) KH. Syama'un, Cening, Labuan. (A'wan)

(9) KH. Syarwani, Menes. (A'wan)

(10) KH. Arja', Menes. (A'wan)

(11) KH. Mustahal, Cening, Labuan. (A'wan)

(12) KH. Amin, Timbang, Menes. (A'wan)

34 Wawancara dengan KH. Rd. Yusuf Al-Mubarok.

56

(13) KH. Ajun, Kupluk, Menes. (A'wan)

(14) Muhammad Husain, Menes. (A'wan)

(15) Muhammad Sholeh, Menes. (A'wan)

(16) Tubagus Ahmad, Menes. (A'wan)

(17) Haji Muhammad Isa. Menes. (A'wan)

(18) Haji Arsyad, Ciherang. (A'wan)

(19) Haji Muhammad Junaidi, Menes. (A'wan)

(20) Haji Abdurrahim. (A'wan)

Musytasyar

(1) KH. Arsyad, Menes. (Mustasyar)

(2) KH. Sulaiman, Menes. (Mustasyar)

(3) KH. Abdul Mu'thi, Menes. (Mustasyar)

(4) KH. Siroj, Cimanuk. (Mustasyar)

(5) Kh. Daud, Menes. (Mustasyar)

(6) Kh. Subri, Cimanuk. (Mustasyar)

(7) Kh. Syamil, Cimanuk. (Mustasyar).

Itulah redaksi dari majalah Suara Nahdlatul Ulama tentang pembentukan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Menes. Dapat disimpulkan bahwa masyarakat Menes pada waktu iku adalah masyarakat yang dipenuhi ulama, dan bertradisi aswaja. Tetapi karena keterbatasan bahan dan data, maka ini saja yang dapat penulis sajikan. 57

Dan biografi dari masing-masing ulama tersebut juga masih minim, dan memerlukan kelengkapan.35

Pada masa lalu NU di Banten banyak memiliki tokoh besar, masa pertama. Sebut saja KH. Abdul Kabir Kubang Petir, KH.

Syam‟un, KH. Maani Rusydi, KH. Mohammad Amin, KH. Syanwani

Tirtayasa, KH. Dzamzami Kaloran, KH. Abuya Muhammad Dimyati,

KH. Mufti Asnawi Binuang, KH. Ahmad Najiullah Cibeber, KH.

Ghomrowi Ardani. Sebagian dari mereka terlibat langsung dalam struktur NU dan sebagiannya lagi adalah para kesepuhan yang setia mengawal ajaran ahlussunnah wal jama'ah annahdiyyah.

Kemudian pada masa sekarang NU di Banten banyak sekali telah melahirkan ulama dan cendikiawan, seperti: KH. Abuya Muhtadi

Dimyati, KH. Abuya Murtadho Dimyati, Prof Dr. KH. Ma‟ruf Amin,

KH. Tubagus Abdul Hakim, KH. Bunyamin, KH. Ariman Anwar,

KH. A. Maimun Alie, KH. Zaenudin Abdillah, Habib Ali Alwi Bin

Thohir, KH. Matin Djawahir, KH. Imadudin Ustman, KH. Tubagus

Hamdi Ma‟ani, KH. Ulfi Zaini Thohir, KH. Encep Subandi, KH.

Matin Syarkowi, KH. Ahmad Baidowi Thowi, KH. Raden Yusuf Al-

Mubarok, KH. Romli. Dan Tokoh Intelektual NU di Banten seperti, yang dikenal keilmuannya dalam bidang pemikiran Islam di dunia

35 Abdul Wahab Moesa, Majalah Soera Nahdlatul Ulama,…hal. 6

58

perguruan tinggi seperti, Prof. Dr. KH. Fauzul Iman, Prof. Dr. KH.

Soleh Hidayat, Prof. Dr. KH. Yunus Ghozali, Dr. KH. Wawan

Wahyuddin, Dr. H. Subhan Mughni, Dr. H. Endad Musaddad, DR. H.

Su‟adi Sa‟ad, DR. KH. Amasy Tajudin, Dr. Apud. Dr. Ali Muhtarom

Dr. Dede Permana, Dr. Maskur Wahid dan yang lainnya.

C. Khittoh NU

Khittah artinya garis yang diikuti, garis yang biasa atau selalu ditempuh. Kalau kata khittah dirangkai dengan Nahdhatul

Ulama‟(selanjutnya disingkat NU), maka artinya garis yang biasa ditempuh oleh orang orang NU dalam kiprahnya mewujudkan cita cita yang dituntun oleh faham keagamaannya sehingga membentuk kepribadian khas NU.36 Jadi pengertian Khitthah NU adalah landasan berfikir, bersikap, dan bertindak warga NU, secara individual maupun organisatoris. Landasan yang dimaksud adalah faham Ahlussunnah wal jama‟ah yang diterapkan menurut kondisi masyarakat Indonesia.

Itulah hakikat khittah NU yang kemudian dirumuskan dalam “Khittah

NU” oleh Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo.37

Penjelasan tentang Pengertian Khittah

36 Muhammad Khaerul Hadi, Kembali Ke Khittoh 1926 Dan Upaya Penyelesaian Masalah-masalah NU Pasca Muktamar Ke-27 Situbondo 1984-1999, (Yokyakarta: 2018), hal. 5 37 Forum Kajian Ke NU-an, Khittah dan Khidmah, (Pati: Majma' Buhuts An-Nahdliyah, 2014), hal. 131. 59

1. Khittah artinya “garis”. Dalam hubungan dengan Nahdlatul

Ulama, kata khittah berarti garis-garis pendirian, perjuangan dan

kepribadian Nahdlatul Ulama, baik yang berhubungan dengan

urusan keagamaan, maupun urusan kemasyarakatan, baik secara

perorangn maupun secara organisasi. Garis-garis termaksud,

sesungguhnya sudah dimiliki para ulama pengasuh pesantren

secara membudaya, memasyarakat dan mentradisi. Ketika dia

mendirkan jamiyah (organisasi) Nahdlatul Ulama, maka garis-

garis tersebut dituangkan di dalamnya, untuk dilestarikan, di

pelihara dan di kembangkan.

2. Fungsi garis-garis itu di rumuskan sebagai “landasan berfikir,

bersikap dan bertindak warga Nahdlatul Ulama yang harus

dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi

serta dalam setiap proses pengambilan keputusan”. Artinya :

a. Fikiran, sikap dan tindakan warga NU harus berlandaskan atas

khittah NU, baik secara perorangan maupun secara

organisatoris.38

b. Demikian pula, setiap kali mengambil keputusaan, maka

proses, prosedur dan hasil keputusan itu hanya sesuai dengan

38 MKNU, Khittah Nahdlatul Ulama, (Jakarta: Madrasah Kader Nahdlatul Ulama, 2017), hal. 9.

60

khittah NU. Contohnya, NU menghadapi masalah Negara

Republik Indonesia. Sebagai jam‟iyah diniyah (organisasi

keagamaan) yang pertama kali dipertanyakan adalah : Apakah

NKRI itu sah menurut hukum Islam atau tidak ? bagaimana

sikap dan tindakan NU menghadapinya : dibela kehadirannya,

disempurnakan kekurangan-kekurangannya diluruskan

kekeliruan-kekeliruan pengelolaan nya didukung program-

programnya atau bagaimana ? semuanya diambil keputusan

melalui jalur musyawarah, dengan mempertimbangkan segala

kepentingan secara seimbang dengan menggunakan dalil-dalil

dan kaidah-kaidah keagamaan. Tidak hanya mengikuti emosi

atau kepentingan sesaat, mengabaikan berbagai pertimbangan

yang wajar dan proporsional (wadl‟u syai-in fi masailihi :

meletakkan sesuatu pada tempatnya).

c. Materi, landasan atau garis-garis termaksud (khittah) adalah :

“faham Islam ahlussunnah wal jama‟ah yang diterapkan

menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia, meliputi dasar-

dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan”.

d. Faham ahlussunah wal jama‟ah atau Islam menurut

pemahaman ahlussunah wal jama‟ah, bagi NU tidak hanya

terbatas pada bidang atau urusan aqidah saja, tetapi juga 61

mengenai bidang-bidang fiqh, tashawuf atau akhlak, bahkan

meluas, tercermin di dalam sikap-sikap kemasyarakatan

tertentu. Seperti : tawassuth (moderat), i'tidal (adil), tasamuh

(toleran), tawazun (seimbang), amar ma’ruf nahi mungkar

(mendorong berbuat baik dan mencegah perbuatan mungkar)

dan sebagainya. Mungkin ini merupakan salah satu ciri khas

NU di dalam memahami, menghayati dan mengamalkan Islam

ahlussunah wal jama‟ah.39

3. Khittah NU juga digali dari intisari perjalanan sejarah

kehidupannya dari masa ke masa.40 Artinya khittah NU secara

terwujud” Islam ahlussunah wal jama‟ah yang diterapkan menurut

kondisi kemasyarakatan di Indonesia”, juga dilengkapi dan

diperkaya dengan intisari pelajaran dari pengalamannya selama

berjuang (berkhidmah), sepenjang sejarah. Dengan demikian

khittah NU menjadi bersifat jelas, kenyal, luwes dan dinamis.

D. Kiai Nahdlatul Ulama

Kiai adalah orang yang memiliki ilmu agama (Islam) plus amal dan akhlak yang sesuai dengan ilmunya. Menurut Saiful Akhyar

39 Ali Masykur Musa, Nasionalisme di Persimpangan Jalan,…hal. 41. 40 PBNU, Keputusan Alim Ulama dan Konbes NU di Bandar lampung (Jakarta: PBNU, 1992), hal. 28.

62

Lubis, menyatakan bahwa “Kiai adalah tokoh sentral dalam suatu pondok pesantren, maju mundurnya pondok pesantren ditentukan oleh wibawa dan kharisma sang Kiai. Karena itu, tidak jarang terjadi, apabila sang Kiai di salah satu pondok pesantren wafat, maka pamor pondok pesantren tersebut merosot karena Kiai yang menggantikannya tidak sepopuler Kiai yang telah wafat itu”.41

Menurut Mustafa Al-Maraghi, Kiai adalah orang-orang yang mengetahui kekuasaan dan keagungan Allah SWT sehingga mereka takut melakukan perbuatan maksiat. Menurut Sayyid Quthb mengartikan bahwa Kiai adalah orang-orang yang memikirkan dan menghayati ayat-ayat Allah yang mengagumkan sehingga mereka dapat mencapai ma`rifatullah secara hakiki. Sedangkan menurut

Nurhayati Djamas mengatakan bahwa “Kiai adalah sebutan untuk tokoh ulama atau tokoh yang memimpin pondok pesantren”.42

Nahdlatul Ulama merupakan perkumpulan para Kiai yang mencoba membangkitkan semangat para jamaahnya, dan juga masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, Kiai pesantren didalam NU memikili kedudukan yang sangat sentral, baik secara pendiri,

41 Saiful Akhyar Lubis, Konseling Islami Kyai dan Pesantren, (Yogyakarta: ELSAQ Press, 2007), hal. 169. 42 Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca kemerdekaan, (Jakarta : PT RajaGrafinda Persada, 2008), hal. 55. 63

pemimpin, dan pengendali organisasi maupum panutan yang menjadi rujukuan warga nahdliyyin.

Lahirnya organisasi NU ini tidak terlepas dari konteks saat itu, yakni menjaga eksistensi “jamaah tradisional” ketika harus berhadapan dengan gerakan pembaharuan islam, dan kelompok ekstrimis.43 Artinya NU berdiri untuk membentengi paham yang bertentangan dengan Aswaja masuk ke Indonesia.

NU adalah organisasi keagamaan, keislaman dan kemasyarakatan (jamiyah diniyyah, Islamiyyah, ijtima’iyyah) yang didirikan pada bulan 16 rajab 1433 H, bertepatan dengan tanggal 26

Januari 1926 M. organisasi NU dirintis oleh para Kiai dipesantren yang berpaham Ahlusunnah Wal Jam‟ah, sebagai wadah mempersatukan diri dan menyatukan langkah dalam tugas memelihara, melestarikan, memperjuangkan, dan mengamalkan Islam

Ahlusunnah Wal Jam‟ah. Ahl al-Sunnah memiliki tiga sendi utama dalam ajarannya, yaitu iman, islam dan ihsan.44 Dalam pandangan ilmu fiqh NU mengikuti madzhab empat dalam bidang fiqh (Hanafi,

Maliki, Syafi‟i, Hambali), dalam bidang tauhid mengikuti dua

43 A. Ghaffar Karim, Metamorfosis NU dan POlitisasi Islam Indonesia, (LKIS, Yogyakarta : 1995), hal. 47. 44 Abdul Halim, Aswaja Politisi Nahdlatul Ulama, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2014), Hal. 27.

64

madzhab theologi (Al-Asy‟ari dan Maturidi), dalam bidang tasawuf

(Al-Ghozali dan Junaidi Al-Baghdadi).45

Nama Nahdlatul Ulama (kebangkitan para Kiai), yang biasa disingkat menjadi NU, tidak hanya kebetulan dipilih untuk organisasi para Kiai pesantren ini. Dipilihnya nama NU, dan bukannya Nahdlatul

Muslimin (kebangkitan muslim), atau Nahdlatul Umah (Kebangkitan umat) umpamanya, membuktikan betapa tinggi dan khas para Kiai dalam organinasi NU ini. Ada dua factor yang menjadi Kiai mempunyai posisi yang dominan didalam NU.

Pertama, sebagai organisasi keagamaan, NU harus memilih kekuatan sentralnya pada tokoh-tokoh yang paling bisa dipertanggungjawabkan secara personal, baik moral maupun keilmuan keagamaannya. Kiai yang didalam hadist nabi disebutkan sebagai

“pewaris nabi” tentulah yang mendekati tuntunan ini. Kedua memiliki kewibawaan dan pengaruh atas santri dan para pengikutnya.46

45 Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai: Kontruksi Sosial Berbasis Agama, (LKIS, Yogyakarta :2007), hal. 106-108. 46 Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai: Kontruksi Sosial Berbasis Agama,…hal. 109.