<<

KALPATARU, Majalah Arkeologi Vo.27 No.2, November 2018 (105-116)

OMO HADA: ARSITEKTUR TRADISIONAL SELATAN DI AMBANG KEPUNAHAN

Traditional Architecture in South Nias on the Verge of Extinction

Nasruddin1 dan Fadhlan S. Intan2

1Pusat Penelitian Arkeologi Nasional [email protected]

2Pusat Penelitian Arkeologi Nasional [email protected]

Naskah diterima : 10 Agustus 2018 Naskah diperiksa : 14 Oktober 2018 Naskah disetujui : 5 November 2018

Abstract. The cultural heritage of South Nias is preserved in the form of both traditional and megalithic architectures. Those bring aesthetic values as well as a source of local wisdom for the people. This precious legacy must be preserved for the future. Nonetheless, people’s view towards their cultural heritage has changed as if those sacred values and local wisdom are no longer important for their lives. In order to find answer for the issue, this research used ethno- archeological approach to focus on architectural aspect of omo oada, including its megalithic remains. The research was conducted through field observation to cultural objects and social aspect so that it gave more lucid views of architectural components and ornaments related to the cultural context of South Nias in the past.

Keywords: Traditional architecture, Megalithic, Cultural heritage

Abstrak. Warisan budaya Nias Selatan yang dipresentasikan lewat peninggalan artefak, berupa bangunan berarsitektur tradisional maupun beragam bangunan batu megalit dengan segala rupa bentuknya, merupakan karya budaya leluhur yang tidak hanya mengandung nilai estetika, keunikan dan seni semata, tetapi juga mencerminkan kearifan lokal masyarakat pendukungnya. Warisan yang penting dan sangat berharga ini wajib dipelihara dan dilestarikan. Namun, sikap dan pandangan masyarakat terhadap warisan budayanya sedang berubah, seakan tidak lagi memiliki nilai-nilai sakral, bahkan nilai kearifan lokal pun mulai luntur seiring perjalanan waktu. Dari berbagai masalah warisan budaya Nias Selatan yang sedang dihadapi itu, penelitian ini mencoba menyoroti aspek arsitektur tradisional omo hada, termasuk unsur megalitik yang menyertainya, sebagai subyek yang penting untuk didalami dan dikaji dengan pendekatan etnoarkeologi. Penekanan pada metode ini terletak pada observasi melalui pengamatan langsung terhadap obyek- obyek budaya material dan aspek sosial di lokasi penelitian. Cara ini memudahkan kita mengamati secara langsung dan detail bentuk-bentuk arsitektur dan komponennya, baik eksterior dan interior maupun ragam hias dalam konteks budaya masa lalu Nias Selatan.

Kata kunci: Arsitektur tradisional, Megalitik, Warisan budaya

1. Pendahuluan Ruang lingkup arsitektur yang akan dibahas Fokus penulisan ini menyangkut tidak semata fisik dan bentuk, tetapi meliputi arsitektur tradisional masyarakat Nias yang ruang, tempat, dan makna karena bahasan sebagian masih kokoh berdiri, tetapi sebagian arsitektur tidak hanya terbatas pada bentuk dan lagi tidak lagi terpelihara, rusak, dan roboh. langgam serta susunan kolom bangunan, tetapi

105 Omo Hada: Arsitektur Tradisional Nias Selatan di Ambang Kepunahan, Nasruddin dan Fadhlan S. Intan sudah meluas tentang kualitas ruang dan kesan memahami karya budaya masyarakatnya. tempat yang dihasilkan dari penataan berbagai Penulisan ini bertujuan mengungkapkan unsur bangunan tersebut. kehidupan budaya masyarakat Nias Penghuni pulau ini menyebut dirinya Selatan, khususnya yang berkaitan dengan ono Niha (orang Nias). Sebagian antropolog pola pemukiman, bentuk rumah, dan ciri dan arkeolog meyakini bahwa keturunan arsitekturnya yang sangat unik dibanding Nias berasal dari puak Austronesia (leluhur dengan bentuk rumah tradisional lainnya di Nusantara) yang datang paling awal dari Nusantara. daratan Asia sekitar (abad 9-10). Tapi sebelum Kata “tradisi” dan “arsitektur tradisional” itu, diperoleh data penghunian masa prasejarah memiliki pengertian yang berbeda. "Tradisi sekitar 12000 tahun lalu di situs Gua Togi "merupakan sebuah kata sifat, sedangkan Ndrawa (Forestier, dkk 2005, 3). "arsitektur tradisional" merupakan sebuah Keunikan masyarakat Nias Selatan bukan objek. Tradisi dengan arsitektur vernakular semata-mata lingkungan alamnya, tetapi memiliki hubungan sebab-akibat. Tradisi lebih dari itu adalah warisan budaya yang membentuk sebuah arsitektur vernakular dimilikinya dalam bentuk rumah tradisional melalui kesinambungan tatanan sebuah yang membedakan dengan etnis-etnis lainnya arsitektur menggunakan sistem persepsi ruang di Nusantara. Sayangnya, potensi budaya yang tercipta, bahan, dan jenis konstruksinya. itu mengalami banyak perubahan yang Arsitektur tradisional dan arsitektur vernakular dapat diartikan terjadinya degradasi atau merupakan objek, oleh karena itu kedua kata penurunan pemeliharaan dan pelestariannya. tersebut memiliki objek yang sama, tetapi dengan Mengacu kepada kenyataan tersebut, maka tujuan yang berbeda (Gunawan 1998, 33). yang menjadi permasalahan adalah potensi Arsitektur vernakular memiliki konsistensi budaya yang demikian penting ternyata berupa aturan, bentuk, penggunaan bahan, belum difungsikan secara optimal untuk ornamen, dan dimensi. Konsistensi tersebut kepentingan kepariwisataan, bahkan banyak membutuhkan kesepakatan atau persetujuan yang mengalami kerusakan dan dari masyarakat pendukungnya. Kesepakatan diubah bentuk aslinya menjadi lebih modern, atau persetujuan tentunya didapat melalui proses adanya bahan material lain pengganti kayu penerimaan, menjadikan sebuah peraturan dan rumbia mengindikasikan bahwa adanya tersendiri dalam kehidupan sehari-hari yang kesulitan biaya yang harus ditanggung dikenal dengan tradisi (Wuisman 2009, 11). masyarakat dalam rangka pemeliharaan Banyak batasan yang diberikan para rumah adat. Permasalahan lainnya adalah ahli tentang arsitektur tradisional ini, di melemahnya tingkat kesadaran masyarakat antaranya adalah suatu bangunan dari segi Nias Selatan terhadap kekayaan budaya dan bentuk, struktur, fungsi, ragam hias, dan tradisi yang dimilikinya sebagai identitas yang cara pembuatannya diwariskan secara turun membedakannya dengan suku bangsa lain. temurun, serta dapat dipakai untuk melakukan Bertolak dari permasalahan di atas, aktivitas kehidupan dengan sebaik-baiknya. dan mengingat sektor kebudayaan menjadi Pengertian lain arsitektur dapat dilihat sebagai tren baru dalam dunia pelestarian warisan suatu bangunan yang dipergunakan sebagai budaya, maka dokumentasi, penelitian, dan tempat berlindung yang memberi rasa aman inventarisasi data, terutama yang berkaitan terhadap pengaruh alam seperti hujan, panas, dengan rumah tradisional yang memiliki nilai dan serangan binatang pemangsa. Sebagai kearifan lokal, arsitektur tradisional dan ilmu suatu bangunan hasil karya manusia, arsitektur pengetahuan, perlu dilakukan untuk lebih dapat dibagi atas beberapa komponen, yakni

106 KALPATARU, Majalah Arkeologi Vo.27 No.2, November 2018 (105-116) bentuk, struktur, fungsi, ragam hias serta cara Ciri khas dari metode penelitian etnografi pembuatannya yang diwariskan secara turun adalah sifatnya yang holistik-integratif, temurun. deskripsi yang dalam, dan analisis kualitatif dalam rangka mendapatkan pandangan- 2. Metode pandangan masyarakat yang diteliti. Ciri itu Metode penelitian merupakan cara ilmiah dibangun melalui teknik pengumpulan data yang digunakaan dalam mengumpulkan data dalam bentuk wawancara dan observasi- untuk mencapai tujuan penelitian. Dalam partisipasi, yang dilakukan dalam jangka waktu tulisan ini penulis bermaksud membahas yang relatif lama–bukan kunjungan singkat pandangan masyarakat Nias dalam kaitannya dengan kuesioner seperti dalam penelitian dengan perkampungan tradisional dan rumah survei. tradisional melalui pendekatan etnoarkeologi. Teknik pengumpulan data dalam kajian Sebelum memahami pengertian etnoarkeologi ini dilakukan melalui pengamatan, wawancara, yang akan diterapkan dalam penelitian dan penelaahan dokumen. Metode pangamatan ini, perlu kita lihat kembali dua kata yang arkeologi dilakukan melalui pengamatan membentuk istilah itu, yakni etnografi dan langsung tehadap objek yang diteliti. arkeologi, lalu gabungan keduanya sebagai Pengamatan terdiri atas tiga unsur, yaitu tempat sebuah kajian. (place), pelaku (actor), dan aktivitas (activity). Etnografi berarti tulisan atau laporan Dalam kajian ini, tempat adalah situs yang tentang other cultures, yang ditulis oleh terdapat di kawasan Baumataluo. Di lokasi ini antropolog berdasarkan catatan lapangan. Etno akan diamati berbagai aktivitas dan interaksi juga sering diartikan sebagai etnis atau suku interaksi sosial yang terjadi antara anggota bangsa. Namun, perlu dicatat bahwa saat ini masyarakat dan antara kelompok suku dalam etnografi tidak hanya dibatasi pada studi tentang kehidupan sehari-hari. Selain itu, juga diamati other cultures atau tentang masyarakat kecil berbagai upacara, tradisi, dan aktivitas yang yang terisolasi dan hidup dengan teknologi berkaitan dengan adat istiadat maupun religi sederhana, melainkan telah menjadi alat yang dan upacara ritual. Sementara itu, actor adalah fundamental untuk memahami masyarakat kita masyarakatnya (Nias) itu sendiri. sendiri dan masyarakat multikultural di mana Sesuai dengan tema dan masalah pun. Karenanya, etnografi juga bisa diartikan penelitian, dalam penelitian ini dipakai beberapa sebagai sebuah metode penelitian. metode untuk mengumpulkan data yaitu: Penelitian etnografi melibatkan aktivitas a. Kepustakaan, yaitu cara yang dipakai belajar mengenai dunia masyarakat secara memperoleh dan mempelajari bahan-bahan timbal-balik: tidak hanya mempelajari kepustakaan yang mempunyai konteks dengan masyarakat, tetapi lebih dari itu etnografi tema dan materi penelitian. Dengan metode ini, berarti pula belajar dari masyarakat. Hal pengalaman dan pengetahuan mengenai tema ini sejalan dengan tujuan utama penelitian penelitian dapat diperkaya untuk selanjutnya etnografi, yaitu untuk mendeskripsikan dan digunakan untuk melakukan penelitian membangun struktur sosial dan budaya suatu lapangan Di samping dapat juga digunakan masyarakat. Budaya didefinisikan sebagai the untuk menelusuri latar penelitian terdahulu way of life suatu masyarakat. Budaya bukanlah melalui publikasi dan dokumentasi yang ada. suatu fenomena material. Budaya tidak terdiri b. Wawancara, yaitu metode yang dipergunakan atas benda-benda, manusia, perilaku, atau melalui wawancara langsung dengan para emosi, melainkan sebuah pengorganisasian informan yang telah dipilih. Informan ini terdiri dari hal-hal tersebut. dari sejumlah masyarakat yang berada di sekitar

107 Omo Hada: Arsitektur Tradisional Nias Selatan di Ambang Kepunahan, Nasruddin dan Fadhlan S. Intan kampung/desa tradisional, tokoh masyarakat, sebelah barat Pulau Sumatera yang jaraknya ± dan petugas daerah dan perorangan yang 92 mil laut dari Kota atau Kabupaten memiliki pengetahuan mengenai masalah yang Tapanuli Tengah. Kabupaten Nias Selatan sedang dikaji. Agar wawancara dapat dilakukan berada di sebelah selatan Kabupaten Nias dengan lancar, terlebih dahulu disiapkan daftar yang berjarak ± 120 km dari Gunung Sitoli pertanyaan sebagai pedoman dalam melakukan ke Teluk Dalam (ibu kota Kabupaten Nias wawancara untuk memperoleh data yang Selatan). Kabupaten Nias Selatan berbatasan dibutuhkan. dengan Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias c. Pengamatan (observasi), yaitu metode Barat di sebelah utara, dengan Pulau-pulau yang dilakukan melalui pengamatan langsung Mentawai Provinsi Sumatera Barat di sebelah terhadap objek tertentu di lokasi penelitian. selatan, dengan Kabupaten Mandailing Natal Cara ini memudahkan peneliti mengamati dan Pulau-pulau Mursala Kabupaten Tapanuli secara langsung dan detail bentuk-bentuk Tengah di sebelah timur, dan dengan Samudera rumah baik secara eksterior dan interior Hindia di sebelah barat (Tim Penyusun 2015). maupun ragam hias hingga pada seluruh Kabupaten Nias Selatan terletak di daerah bagian yang berkaitan dengan arsitektur rumah khatulistiwa, dengan curah hujan rata-rata tradisional masyarakat Nias Selatan.

3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Lingkungan Geologi Pulau Nias terletak antara 0º 12”-1º 32” Lintang Utara dan 97º--98º Bujur Timur. Pulau Nias berbatasan dengan Pulau Banyak di wilayah Provinsi Nanggroe Darussalam di sebelah utara, Pulau Mursala di wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah di sebelah timur; dan Pulau Mentawai di wilayah Provinsi Barat di sebelah selatan. Adapun di sebelah barat berbatasan langsung dengan Samudra . Sebagai sebuah kawasan pulau yang tidak terlalu besar dan dikelilingi oleh Samudera Indonesia yang luas, secara geografis Pulau Nias berada di bagian barat wilayah Sumatera. Dari seluruh gugusan pulau itu, ada empat pulau besar, yakni Pulau Tanah Bala (39,67 km2) Pulau Tanah Masa (32,16 km2), Pulau Tello (18 Gambar 1. Peta Pulau Nias di Provinsi Sumatera Utara km2), dan Pulau Pini (24,36 km2). Tidak seluruh pulau berpenghuni. Masyarakat Nias Selatan 298,60 mm/bulan dan banyaknya hari hujan tersebar di 21 pulau dalam 8 kecamatan. dalam setahun 250 hari atau rata-rata 21 hari Kabupaten Nias Selatan mempunyai luas per bulan pada tahun 2011. Akibat banyaknya wilayah 1.825,2 km² dan wilayah ini terdiri curah hujan, kondisi alamnya sangat lembab dari 104 buah pulau. Kabupaten Nias Selatan dan basah. Musim kemarau dan silih berganti terdiri dari 18 kecamatan, 2 kelurahan, dan dalam setahun. Keadaan iklim dipengaruhi 354 desa. Kabupaten Nias Selatan berada di oleh Samudera Hindia. Suhu udara berkisar

108 KALPATARU, Majalah Arkeologi Vo.27 No.2, November 2018 (105-116)

Gambar 2. Keletakan Situs Bawomataluo dalam peta topografi (Sumber: Peta Topografi Lembar Teluk Dalam, Edition 1- AMS, 1954) antara 21,7°--31,3° dengan kelembaban sekitar Bawah, terdiri dari napal, batu lempung 88% dan kecepatan rata-rata angin 6 knot/ gampingan, batu pasir, konglomerat, dan tufa. jam. Curah hujan tinggi dan relatif turun hujan Satuan ini terutama ditemukan di Pulau Nias sepanjang tahun dan sering kali dibarengi bagian timur (Pujowalujo 1987, 862-876). dengan badai besar. Musim badai laut biasanya Secara tektonik makro, kedudukan Pulau berkisar antara bulan September sampai Nias tepat di timur zona penunjaman lempengan November, tetapi terkadang terjadi badai pada Samudera Hindia ke bawah lempengan Asia, bulan Juni, jadi cuaca bisa berubah secara dan merupakan kedudukan tempat terjadinya mendadak (Tim Penyusun 2015). pembumbungan. Letak zona penunjaman yang Dasar Pulau Nias adalah satuan sejajar dengan Pulau Sumatera menyebabkan tektonostratigrafi melange yang disebut pola struktur Pulau Nias searah dengan struktur Kompleks Oyo berumur Eosen (Moore 1979, regional Pulau Sumatera, menonjol dalam 161-180). Satuan ini terdiri dari batuan lempung arah N.NW (north.northwest) – S.SW (south. bersifat plastis yang mengandung berbagai southwest). Batas antara Kompleks Oyo dan jenis dan ukuran batuan, terutama tersingkap Nias Beds tidak jelas. Di Pulau Nias bagian di Pulau Nias bagian barat (Pujowalujo 1987, tengah, kedua satuan tersebut bercampur aduk 862-876). Satuan yang lebih muda adalah Nias dalam suatu zona yang searah dengan elongasi Beds berumur Miosen Bawah hingga Pliosen regionalnya. Walaupun demikian, di bagian

Gambar 3. Peta Geologi Situs Bawomataluo (Sumber Djamal dkk, 1994 dengan perubahan)

109 Omo Hada: Arsitektur Tradisional Nias Selatan di Ambang Kepunahan, Nasruddin dan Fadhlan S. Intan tenggara, batas antara Nias Beds yang masih Apabila dilakukan perbandingan antara utuh dan campuran kedua satuan tersebut satu kampung dengan kampung tradisional masih dapat dikenali sebagai sesar naik yang lainnya. Secara kasat mata Kampung berkemiringan ke arah SW (south-west). Selain Bawomataluo dapat tergolong lebih padat itu, refleksi seismik yang ada memperlihatkan dan luas dari segi bentuk pemukiman dengan adanya sesar naik sebagai penampakan yang kondisi sosial lebih sejahtera dibanding dengan umum pada outer-arc ridge (Hamilton 1979). kampung tradisional lainnya. Gejala tersebut di atas memperlihatkan adanya Perkampungan tradisional masyarakat gerak tektonik yang menerus. Berdasarkan terletak di punggung bukit dengan pola linier tafsiran lingkungan pengendapan pada Nias dengan gaya arsitektur rumah panggung beratap Beds bagian bawah dibandingkan terhadap rumbia yang menjulang berbentuk kerucut kedudukan sekarang, maka ditaksir adanya yang tampak dari sisi samping. Desain rumah proses pengangkatan dengan kecepatan sebesar tradisional itu begitu unik dan mengagumkan 20 cm/1000 tahun (Moore 1979, 161-180). bagi setiap pendatang yang mengunjungi Struktur geologi yang melewati Situs kampung tersebut. Tentu tidak semata-mata Bawomataluo dan sekitarnya adalah patahan bentuk arsitekturnya yang menarik, tetapi segi (fault) dan lipatan (fold). Berdasarkan rancang bangun rumah tradisional tersebut kenampakan fisiografis dan pengamatan memang unik. Setelah diamati, rumah tersebut lapangan, maka struktur geologi yang dibangun tanpa menggunakan paku, melainkan ditemukan adalah sesar naik (thrust fault) dan menggunakan sistem kait dan pasak pada setiap sinklin (sincline) (Billing 1972). Sesar naik tiang, balok dan papan dinding dan lantai rumah. (thrust fault) terletak di sebelah barat dan timur Sebuah banua tradisional memiliki dari Situs Bawomataluo, sedangkan sinklin beberapa elemen yang menjadi ciri-ciri (sincline) terletak di sebelah barat daya dari tertentu, yaitu meliputi (1) tangga batu, (2) Situs Bawomataluo. batu lompat, (3) rumah besar (omo hada) yang dimiliki seorang kepala adat atau raja (siulu 3.2 Potensi Warisan Budaya: Kayu Dan atau salawa), (4) dan batu-batu megalitis Batu Dalam Ruang Kosmologi sebagai sarana kegiatan upacara adat. Manusia adalah makhluk berpikir yang Umumnya, rumah panggung tradisional dalam menghadapi lingkungannya mampu di Indonesia memakai tiang penyangga mengubah lingkungan alam menjadi lingkungan vertikal. Namun, tidak demikian halnya budaya, dengan maksud untuk mempermudah dengan rumah tradisional Nias Selatan. Rumah hidupnya. Salah satu bentuk tindakan mengubah tradisional Nias memakai tiang penyangga lingkungan alam adalah dengan menggunakan dengan model V atau berbentuk dua tiang ruang-ruang tersebut sesuai dengan konsep- miring yang bertumpu pada satu titik di konsep yang ada dalam kebudayaannya. bagian tengah. Tiang-tiang menyilang ini tidak Pada waktu sebuah ruang ditata untuk suatu hanya pada bagian depan, tetapi setiap tiang kegiatan tertentu dan berguna dengan baik bagi vertikal diselingi dengan tiang silang hingga masyarakat tersebut, maka model tata ruang bagian belakang. Semua tiang penyangga itu menjadi baku dan dipergunakan secara menggunakan kayu log (bulat utuh) dan lurus meluas bagi masyarakat yang bersangkutan dan yang telah dihaluskan. Penggunaan tiang log cenderung tidak berubah dari generasi satu ke memang menakjubkan dari segi jumlah, tidak generasi lainnya. Maka tata ruang tersebut telah hanya pada tiang peyangga badan rumah, menjadi bercorak tradisional pada masyarakat tetapi rangka balok untuk peyangga atap tersebut (Suparlan 1986, 1-5). dalam jumlah yang besar. Pemakaian tiang

110 KALPATARU, Majalah Arkeologi Vo.27 No.2, November 2018 (105-116)

Gambar 4. Bentuk dengan bahan dan ukuran bangunan skala besar, diperuntukan untuk kalangan bangsawan di Bawomataluo. Di halaman depan dilengkapi bangunan batu megalitik sebagai sarana upacara ritual (Sumber: Dokumentasi pribadi) kayu bulat, baik model miring dan vertikal, pemukiman Bawomataluwo menyerupai huruf memang sangat boros, sehingga tampak sangat ”T”. Sementara rumah hunian dan rumah adat padat dan menyisakan ruang (space) yang hanya terdapat pada pinggir dari pemukiman, sempit. Kolom bawah rumah seolah-olah sementara di bagian belakang rumah sebagian dirancang bukan untuk dimanfaatkan bagi terdiri dari jurang yang dalam. Berdasarkan suatu aktivitas, tetapi hanya dijadikan jalan informasi dari para tetua masyarakat, dahulu dengan menambahkan lantai kayu menuju Bawomataluo juga dilengkapi dengan tangga dan tembus hingga di bagian belakang. parit-parit dalam, disusul dengan pohon- Tampaknya, seluruh aktivitas di luar rumah pohon bambu berduri yang bertujuan untuk dilakukan di halaman depan (public area) yang mempersulit musuh yang akan menyerang sekaligus dimanfaatkan sebagai ruang aktivitas (Sukendar, dkk 2008, 1-42). bagi setiap anggota masyarakat adat. Permukiman mempunyai pola linier, yaitu rumah-rumah terdiri dari 2 baris memanjang, 3.3 Pola Permukiman saling berhadapan, dan berjajar rapat. Antara Bentuk permukiman Bawomataluo rumah yang satu dengan yang lain hampir tidak tampaknya sesuai dengan bentuk bukit yang ada jarak sehingga terkesan saling menempel. ada. Pemerataan bukit dilakukan pada tempat Orientasi pola linier mengikuti arah morfologi yang penting dengan cara memangkas dan bukit sehingga tidak ada ketentuan mengenai menguruk. Dengan demikian, diperoleh lahan arah hadapnya. Di tengah-tengah permukiman yang diinginkan dimana dapat didirikan terdapat halaman desa yang memanjang dan rumah-tinggal maupun rumah adat. Bentuk lantainya diperkeras dengan batu. Halaman

111 Omo Hada: Arsitektur Tradisional Nias Selatan di Ambang Kepunahan, Nasruddin dan Fadhlan S. Intan desa ini yang menjadi pusat aktivitas nifolasara (rumah yang dihias dengan lasara), masyarakat desa. sekaligus juga merupakan salah satu variasi Meskipun denah permukiman mempunyai dari omo hada (rumah adat). Omo sebua pola dasar linier dan menyerupai dua garis didirikan di depan orahua newali atau batu- yang sejajar, dalam kenyataannya, tiap-tiap batu di halaman untuk tempat duduk dalam desa tradisional mempunyai denah yang musyawarah desa, berseberangan dengan omo berbeda-beda. Perbedaan denah tersebut lebih bale atau Osali. disebabkan oleh perkembangan penduduk sehingga sebagian harus mendirikan rumah 3.3.3 Omo Hada (Rumah Adat) di lahan yang baru. Rumah-rumah yang Omo hada (rumah adat) di desa-desa didirikan pada masa yang lebih kemudian akan tradisional untuk Nias Selatan berbentuk memanfaatkan struktur punggung bukit yang rumah panggung dengan atap menjulang tinggi masih landai dan dapat dipergunakan untuk berbentuk kerucut. Tiang, lantai, dan dinding permukiman. bangunan terbuat dari kayu, sedangkan atap dari daun rumbia, namun sekarang pada umumnya 3.3.1 Pagar Batu telah diganti dengan seng. Denah bangunan Pagar batu yang diamati pada penelitian berbentuk empat persegi panjang. Antara ini terletak pada kordinat 0° 37’ 10,4” Lintang balok kayu satu dan balok yang lain dikaitkan Utara dan 97° 46’ 21,8” Bujur Timur, yaitu dengan sistem pasak, tanpa menggunakan di sebelah utara Situs Bawomataluo, berjarak paku. Tiang-tiang kolong terbuat dari batang sekitar 300 meter dari pintu keluar kampung. kayu berukuran besar, dipasang dalam jarak Pagar yang masih tampak di lokasi ini yang rapat dalam kombinasi dua posisi, yaitu berbahan batu gamping, dengan bentuk tidak vertikal dan diagonal. Hal ini dimaksudkan beraturan dengan bagian lebarnya berkisar 50 agar rumah-rumah tahan terhadap gempa bumi cm memiliki panjang sekitar 30 meter, lebar 2 yang memang sering melanda Pulau Nias. meter dan tinggi dari dalam kampung berkisar Tinggi tiang kolong pada omo hada berkisar 2 1 meter. Lokasi pagar yang membentang meter, sedangkan tinggi tiang kolong pada omo mengikuti alur sungai dan bentuk lahan itu sebua berkisar 3 m. berada di bahu Sungai Lumono dengan lahan Dinding pada bagian depan rumah yang miring sehingga ketinggian tembok batu menjorok keluar dengan lubang ventilasi itu berkisar 1,5 meter dari luar pagar. Dari udara yang lebar. Ventilasi ini sekaligus juga informasi masyarakat, diketahui bahwa panjang berfungsi sebagai jendela untuk mengamati tembok yang ada di sekitar lokasi itu adalah 150 keadaan di depan rumah. Kisi-kisi jendela meter (Sukendar, dkk 2008, 1-42). dipasang dengan reng kayu horizontal. Sedangkan atapnya mengerucut tinggi dengan 3.3.2 Omo Sebua kemiringan atap yang curam. Ujung bawah Adanya stratifikasi masyarakat ini atap melewati batas dinding untuk memberi menyebabkan dalam suatu desa tradisional perlindungan dinding dari cucuran air hujan. terdapat sebuah bangunan rumah yang Jendela dan ventilasi di samping rumah tidak berukuran lebih besar daripada rumah-rumah ada karena jarak yang rapat antara rumah yang lainnya, yang disebut omo sebua. Rumah ini satu dengan yang lain. merupakan tempat tinggal raja/kepala desa. Omo sebua pada umumnya berada di 3.3.4 Tangga Naik/ Gerbang Desa bagian tengah dari salah satu deretan rumah di Sebagaimana disebutkan di atas, desa- desa tradisional. Omo sebua juga disebut omo desa tradisional didirikan di punggung bukit

112 KALPATARU, Majalah Arkeologi Vo.27 No.2, November 2018 (105-116) atau tanah yang tinggi. Pada bagian depan dan dan harakana (tawanan karena kalah perang belakang desa terdapat gerbang masuk berupa atau pernah melakukan kejahatan). Meskipun tangga naik. Kemiringan lereng dan jumlah demikian, sejalan dengan perkembangan anak tangga berbeda-beda, tetapi berdasarkan zaman, lapisan sosial tersebut sekarang pengamatan jumlahnya bervariasi antara 20 hanya tinggal 3, yakni si ulu, si ila, dan sato. hingga 80 anak tangga, tergantung pada kontur (Wiradnyana, dkk 2002). tanah yang dilalui. Pada ujung atas tangga, di sisi kiri dan kanan pintu gerbang terdapat 3.3.6 Omo Bale/Osali sepasang patung lasara. Lasara adalah sejenis Sebagaimana telah disebutkan di atas, binatang mitologis berbentuk seekor naga yang di samping golongan si ulu, terdapat golongan merupakan simbol pelindung/penjaga desa. si ila (pemangku adat). Mereka terdiri dari beberapa orang tetua adat yang bertugas 3.3.5 Batu Megalitik mengatur kehidupan adat-istiadat masyarakat Batu-batu megalitik terdapat di bagian setempat. Apabila mengadakan musyawarah, depan rumah-rumah penduduk, baik yang mereka menggunakan bangunan ini. Omo bale berbentuk batu besar maupun patung-patung atau osali biasanya berupa bangunan terbuka antropomorfis. Batu megalitik di depan omo yang mampu menampung banyak orang dan sebua berukuran paling besar daripada batu terletak di bagian tengah dari halaman desa. megalitik di depan rumah masyarakat biasa. Adapun patung-patung antropomorfis disebut 3.3.7 Ombo Batu (Batu Lompat) gowe, yakni patung manusia, baik dalam posisi Ombo batu atau batu lompat adalah duduk maupun berdiri. susunan batu berbentuk kerucut terpotong Berkaitan dengan fungsi pada saat dengan tinggi sekitar 2 meter. Susunan batu ini pendiriannya, ada dua jenis batu megalitik, merupakan tempat melakukan aktivitas lompat yaitu yang berkaitan dengan pendirian desa dan batu. Batu loncat, tidak jauh dari batu lingkaran yang berkaitan dengan status hidup seseorang. sebagai pusat perkampungan terdapat batu Batu yang berkaitan dengan pendirian desa loncat berbentuk piramid dengan bagian atas antara lain: datar. Batu ini merupakan simbol keperkasaan a. Füso newali (tali pusar desa) dan melatih pemuda dalam mempertahankan b. Orahua newali (batu untuk duduk pada saat diri dari musuh di masa lampau. Fungsi ini rapat orahua/para pemuka adat) sekarang berubah menjadi atraksi ketangkasan c. Nio bawa lawölö (patung penjaga desa). bagi turis. Adapun ukuran batu loncat adalah Batu-batu yang menandai jenjang sosial panjang 1 meter, panjang alas 1,4 meter, lebar seseorang, antara lain: 60 cm, lebar alas 1,1 meter, dan tinggi 2,1 a. Nitaruo (batu tegak laki-laki) meter (Sukendar, dkk 2008, 1-42). b. Naha gama-gama (batu tegak untuk Tradisi lompat batu dimaksudkan untuk menandai pergantian kepala desa) mengukur kekuatan dan keperkasaan pria c. Daro-daro nichölö (meja bundar untuk untuk maju ke perang. Dahulu desa- perempuan) desa di Nias Selatan dikelilingi oleh pagar batu d. Osa-osa (kursi/tahta batu) untuk menghalangi musuh. Apabila menyerang e. Omo Sebua (Rumah Besar). desa, musuh harus mampu melompati pagar- Masyarakat di desa-desa tradisional pada pagar tersebut. Namun, sekarang pagar desa zaman dulu terbagi atas 5 lapisan sosial, yaitu kebanyakan sudah tidak bersisa lagi. Tradisi si ulu (bangsawan/raja), si ila (pemangku lompat batu berubah fungsi hanya sebagai adat), sato (rakyat biasa), sawuyu (budak), atraksi wisata semata-mata.

113 Omo Hada: Arsitektur Tradisional Nias Selatan di Ambang Kepunahan, Nasruddin dan Fadhlan S. Intan

Gambar 5. Skema tata ruang Desa Bawomataluwo (Sumber: Hämmerle 1986) 3.3.8 Makam Desa tidak ada ketentuan mengenai arah hadap Makam-makam desa pada umumnya kepala jenazah. Seperti halnya tangga naik terletak di luar desa. Berbeda dengan di gerbang desa, makam-makam juga dihiasi masyarakat daerah lain di Indonesia yang dengan patung lasara sebagai batu nisannya. menempatkan makam di tempat-tempat yang (Ozdemir, Johnson, and Whittington 2016). lebih tinggi dari permukiman, seperti bukit atau tebing, masyarakat Nias Selatan justru 4. Penutup menempatkan makam di lereng bukit di Tradisi, seni dan budaya material bawah permukiman. Di samping itu, dalam (tangibel) berupa bangunan batu megalitik konsep pemakaman jenazah di Nias Selatan dan rumah arsitektur tradisional yang sangat

Gambar 6. Skema pembagian ruang. Ruang ahebate dan fury terletak di dalam bangunan induk omo hada dengan lantai di atas tiang-tiang kolong, sedangkan ruang-ruang lain berada di dalam bangunan tambahan, dengan lantai langsung bersentuhan dengan tanah (Sumber: Hämmerle 1986)

114 KALPATARU, Majalah Arkeologi Vo.27 No.2, November 2018 (105-116) unik yang dimiliki masyarakat Nias Selatan bangunan-bangunan megalitik itu dijadikan merupakan warisan yang penting dan sangat tempat-tempat duduk dan bermain anak-anak. berharga untuk tetap dipelihara dan dilestarikan. penyelenggaraan pesta dan upacara-upacara Segala bentuk peninggalan tersebut di atas yang bersifat ritual tak pernah lagi dilakukan oleh para pakar antropologi disebut sebagai sehingga hampir seluruh peninggalan batu bagian dari warisan budaya masyarakat megalitik itu kini hanya menjadi benda-benda prasejarah. Konteks pengertian prasejarah yang pajangan yang berfungsi sebagai bagian dari dimaksudkan adalah bukan pada masyarakat eksterior sebuah kampung yang dibiarkan yang belum beradab, tetapi lebih merujuk pada berlumut dan merana. pengertian belum berbudaya tulis (literacy), Pesan yang hendak disampaikan melainkan berbudaya tutur (pre-literacy). dalam tulisan singkat ini, bahwa dengan Disadari atau tidak, kondisi kekinian menggali dan kembali mempelajari nilai- masyarakat dan budaya Nias Selatan sedang nilai warisan budaya yang masih tersisa di dalam perubahan yang disebabkan oleh Nias Selatan, misalnya konstruksi bangunan banyak faktor, baik internal maupun eksternal. tradisional rumah panggung yang diketahui Proses perubahan itu terutama terlihat pada tahan terhadap goncangan gempa. Ternyata ketidakberlanjutan pewarisan nilai budaya dalam rancang bangun tradisional tersebut (budaya tutur), seperti kearifan lokal atau terdapat sistem pengetahuan dan teknologi sistem pengetahuan yang berkaitan dengan yang sangat bermanfaat untuk diterapkan lembaga adat, pranata sosial, dan pengetahuan dan dikembangkan dalam pembangunan subsistensi pertanian. Hal yang paling nyata perumahan masyarakat sekarang. dari ketidakberlanjutan pelestarian budaya Perkampungan tradisional atau dikenal antara lain tampak pada bentuk-bentuk rumah dengan istilah banua arsitektur setempat tradisional yang telah banyak berganti dengan yang menakjubkan dan keanekaragaman seni, kontruksi batu batako dan semen. Begitu pula kerajinan dan adat istiadat. Kekayaan ini patut dengan atap. Atap rumah-rumah di Nias tidak menjadi perhatian bersama, lebih khusus lagi terbuat dari rumbia dan daun nipah, tetapi masyarakat pendukungnya sendiri, untuk tetap tergantikan dengan seng dan asbes. diperhatikan dan dilestarikan dari berbagai Kenyataan yang dihadapi warisan ancaman kerusakan. Masyarakat luar (dunia) arsitektur Nias ini adalah proses alamiah akibat hanya dapat memberikan bantuan berupa pelapukan karena perjalanan usia. Diperlukan bimbingan dan pendampingan agar segala upaya konservasi secara rutin yang merupakan warisan budaya tersebut tetap terpelihara dan langkah preventif yang mestinya dapat terawat dengan baik. Kelak, di masa yang akan dilakukan terhadap peninggalan arsitektur Nias datang generasi berikutnya, sebagai pewaris, tersebut. dapat melanjutkannya warisan budaya tersebut Sikap dan pandangan masyarakat terhadap menjadi kebanggaan dan keagungan identitas peninggalan megalitiknya juga sedang berubah budaya masyarakat Nias secara keseluruhan. seolah-olah peninggalan itu tidak lagi memiliki Rumah di Nias adalah potret tradisi nilai sakral. Mungkin hal itu disebabkan oleh nenek moyang suku Nias yang secara rasional pemahaman tentang konsep kepercayaan menyiasati ancaman sekaligus potensi alam dan ritual yang telah luntur, bahkan telah dalam mendirikan bangunan. Titik berat lenyap, pada generasi sekarang. Kondisi itu rancangan adalah untuk memenuhi kebutuhan diperparah lagi dengan penempatan kain- bertempat tinggal. Namun, nilai estetika justru kain pakaian yang dicuci dan dijemur pada lahir dari logika bahan, konstruksi dan geometri bangunan-bangunan megalitik. Bahkan, yang sederhana, jujur, dan tidak rumit. Sayang,

115 Omo Hada: Arsitektur Tradisional Nias Selatan di Ambang Kepunahan, Nasruddin dan Fadhlan S. Intan apabila warisan dan karya besar masyarakat Lucas P.Koestoro. 2002. “Gua Togi Nias ini telantar, apalagi terabaikan. Ndrawa, Hunian Mesolitik di Pulau Nias.” Berita Penelitian Arkeologi 8. Daftar Pustaka Wuisman, Jan J.J.M. 2009. Masa Lalu dalam Billing, M.P. 1972. Structural Geology. New Masa Kini Arsitektur Indonesia: Posisi Jersey: Inc. Englewood Cliggs,. dan Peran Tradisi-Tradisi Vernakular Forestier H., Truman Simanjuntak, Guillaud, D., Indonesia dan Langgam Bangunan Masa Dubel Driwantoro, Ketut Wiradnyana, Lalu dan Masa Kini. : KITLV Darwin Siregar and Rokus Due Awe. Press. 2005. “Le Site de Tögi Ndrawa, Île de Nias, Sumatra Nord: Les Premières Traces d’une Occupationhoabinhienne En Grotte En Indonésie.” Gunawan, Tjahjyono. 1998. Architecture as the Volume 6 of Indonesian Heritage Series. Singapore: Archipelago Press. Hamilton, W. 1979. Tectonic of Indonesia Region, United State of Landscape. New York: Mc Graw Hill Book Company inc. Hämmerle, P. Johanes M. 1986. Ritus Patung Harimau dan Pemahaman Tentang Arti Lowalangi di Nias Masa Agama Purba. Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias. Moore, G.F. 1979. “Sendimentology and Paleobathymetry of Neogene Trench- Slope Deposit, Nias Island,Indonesia.” Journal of Geology 88: 161–80. Ozdemir, S.,.Johnson, F.R. dan Whittington, D. 2016. “Ideology, Public Goods and Welfare Valuation : An Experiment on Allocating Goverment Budgets.” The Journal of Choice Modeling. Pujowalujo, Hilman. 1987. “Tektonik Kuarter Sumatera Utara, Gempabumi Sarulla Tarutung, Dan Rumah Adat Tapanuli – Nias: Sumbangan Pemikiran Geologi Terhadap Rancangan Arsitektur Bangunan Rumah.” In . Sukendar Haris, Arifin A. Fadhila, Intan S. Fadhlan M, Diniasti Aliza, Wiradnyana Ketut. 2008. “Laporan Penelitian Arkeologi Pariwisata (Arkeowisata) Di Kabupaten Nias Selatan.” Jakarta. Suparlan, Parsudi. 1986. “Kebudayaan dan Tata Ruang: Struktur Kehidupan Manusia, Tradisi, dan Perubahan.” In . Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tim Penyusun. 2015. Nias Selatan dalam Angka. Teluk Dalam: BPS Kabupaten Nias Selata. Wiradnyana, Ketut, Nenggih Susilowati dan

116