<<

76

BAB IV

RUANG KETIGA PERJUMPAAN KRISTEN DAN MINANGKABAU MUSLIM

4.1. Pendahuluan

Salah satu bukti yang dapat menunjukkan kuatnya pengaruh Islam di

kota Padang adalah ketiadaan tersedianya pilihan mata pelajaran agama lain

selain Islam di sekolah negeri. Akibatnya ketika jadwal mata pelajaran

agama berlangsung maka tidak jarang siswa dan siswi non-muslim diberi

izin ke perpustakaan untuk menggunakan jam pelajaran tersebut atau

bahkan diperbolehkan pulang duluan jikalau jadwalnya terletak di akhir jam

pelajaran. Hal ini menuntut siswa dan siswi non-muslim harus memiliki cara

lain untuk mendapatkan haknya yaitu memperoleh ilmu dari mata pelajaran

agama yang merupakan mata pelajaran wajib.

Situasi ini juga dialami oleh anak-anak Nias Padang Kristen yang

memilih bersekolah di sekolah negeri. Masalah ini pun ditanggapi oleh

pihak gereja yang merupakan lembaga keagamaan dan bekerjasama dengan

departemen agama kota Padang. Gereja BNKP yang ada di Padang

memberikan solusi kepada anggota jemaat yang menjadi siswa dan siswi

sekolah negeri dengan menyediakan tenaga pengajar untuk mata pelajaran

agama Kristen. Selain itu, departemen agama juga mengeluarkan blanko

penilaian yang sah kepada pihak gereja untuk dapat memenuhi kebutuhan

siswa dan siswi dalam penilaian raport di sekolah negeri. Sikap ini 77

merupakan satu dari sekian banyak hal yang terjadi di dalam ruang ketiga

orang Nias Padang Kristen.

Tindakan ini menjadi strategi yang mampu membantu mereka untuk

dapat bertahan sebagai masyarakat diaspora dan minoritas. Bhabha

mengatakan dalam teorinya bahwa hal yang dilakukan oleh pihak terjajah

di dalam ruang ketiga merupakan sesuatu yang “beyond” dimana ia tidak

meninggalkan masa lalu namun juga tidak sepenuhnya menyerahkan diri

kepada hal yang baru. Oleh sebab itu maka menurut Bhabha negosiasi yang

dilakukan terjajah di dalam ruang ketiga merupakan suatu aksi perlawanan

untuk dapat lepas dari otoritas kolonial. Hasil dari negosiasi tersebut hendak

memperlihatkan sesuatu bentuk hibrid yang berbeda namun dapat diterima

oleh semua pihak. Proses yang dialami oleh pihak terjajah di dalam ruang

ketiga menurut Bhabha yaitu negosiasi yang menghasilkan suatu hal hibrid

dan digunakan dengan cara mimikri.

4.2. Adat Nias Padang: Mirip Tapi Tak Sama

Kedatangan orang Nias di Padang menimbulkan suatu perjumpaan

baru dengan host. Bertemu dengan suku Minangkabau sebagai suku yang

besar dan terkenal dengan kekuatan adat istiadatnya bukanlah suatu hal yang

mudah bagi orang Nias. Terdapat banyak perbedaan yang mereka temui

ketika menjalani hidup di tengah-tengah masyarakat Minangkabau saat itu.

Ketakutan dan kegelisahan menjadi gejolak yang harus mereka terima setiap

hari. Karena itu relasi mutual dengan komunitas host memberikan perasaan

diterima dan rasa aman bagi komunitas Nias Padang. 78

Dalam proses perjumpaan itulah lahir suatu identitas baru yang mereka sebut dengan istilah Hada Nono Niha Wada (Adat Nias Padang).

Keputusan untuk membentuk dan merumuskan suatu adat baru membuat orang Nias harus melakukan suatu retakan (rupture) baru dalam ke-Nias- annya dan sekaligus membuka ruang baru untuk perjumpaannya dengan

Minangkabau. Dalam retakan baru inilah negosiasi dilakukan dalam ruang ketiga mereka. Mereka melakukan negosiasi baik dengan identitasnya sendiri maupun dengan identitas host. Bhabha mengatakan bahwa dalam batasannya, budaya membutuhkan sebuah perjumpaan dengan suatu kebaruan. Hal ini bukanlah bagian dari rangkaian masa lalu dan sekarang melainkan menciptakan suatu rasa baru yang merupakan bentuk dari tindakan pemberontakan terhadap penerjemahan budaya. Seni seperti ini tidak hanya mengingat masa lalu sebagai penyebab atau preseden estetika.

Ini justru memperbaharui masa lalu dengan melakukan penataan ulang di dalam ruang ketiga.1

Penataan ulang yang dilakukan masyarakat Nias Padang dimulai dari melakukan negosiasi terhadap bermacam-macam adat yang mereka miliki dari daerah asal mereka masing-masing. Jika dilihat dari struktur dan isi dalam adat ini maka mencerminkan suatu hibridasi di dalamnya. Menurut

Bhabha, bentuk hibrid merupakan sesuatu hal yang dilahirkan dari sebuah ruang antara yang dimiliki oleh pihak dominan dan minoritas. Ruang itulah yang dinamakan dengan istilah third space (ruang ketiga). Ruang ketiga adalah cara untuk mengartikulasikan kemungkinan baru. Sebuah ruang yang

1 Homi K.Bhabha, The Location of Culture, (New York : Routledge, 2004), 10. 79

menginterupsi, menginterogasi, dan mengungkapkan bentuk baru makna kultural sehingga menghasilkan batas-batas yang kabur.2

Memang di awal perjumpaan mereka berusaha menjadi orang Nias asli yang tetap mempertahankan adat istiadat mereka masing-masing ketika akan melaksanakan pesta adat. Namun, ternyata hal tersebut tidak berjalan dengan baik. Ketidaklancaran yang terjadi membuat mereka memikirkan sesuatu hal yang besar dan yang tidak pernah terjadi dalam kehidupan adat istiadat mereka sebelumnya yaitu menegosiasikan semua elemen adat istiadat yang mereka bawa dari daerah asal masing-masing menjadi sebuah kesatuan adat yang baru. Tidak diketahui memang waktu pastinya musyawarah ini dimulai dan ditetapkan. Namun, hal yang pasti adalah penetapan adat istiadat baru ini diakui dan disepakati bersama serta digunakan hingga saat ini dalam pesta adat Nias Padang.

Hasil dari negosiasi adat ini sangatlah asing bagi orang Nias asli.

Tidak jarang ketika orang Nias asli mengikuti pesta adat Nias Padang akan merasa risih, terganggu, bahkan muncul sebuah penolakan akan adat baru ini. Model pesta adat ini masih terbilang dalam kategori adat kuno jika dibandingkan dengan pesta adat yang dilakukan oleh orang Nias asli di zaman sekarang ini. Adat baru ini masih memegang falsafah adat kuno Nias yang dikemas dengan perspektif yang lebih terbuka. Contoh konkretnya adalah dalam pesta adat pernikahan dimana sibaya (paman/saudara ibu) memiliki peran penting dalam kehidupan seorang pengantin. Perumpamaan sibaya dalam kehidupan orang Nias adalah sebagai akar pohon yang

2 Darwin Darmawan, Identitas Hibrid Orang Cina, (Yogyakarta: LKIS, 2014), 27. 80

menjadi sumber kekokohan keluarga, sedangkan orangtua anak merupakan pohon dari buah yang adalah sang anak. Dari falsafah hidup inilah maka sibaya memiliki posisi spesial dalam pesta adat pernikahan. Sibaya memiliki hak bagian dari jujuran yang diterima oleh orangtua sang anak.

Besarnya jumlah yang diterima sibaya ditempuh dalam sebuah musyawarah dalam keluarga. Tidak jarang hal ini menjadi masalah besar dalam pesta adat

Nias asli. Sibaya dapat secara tiba-tiba meminta kenaikan jujuran kepada pengantin pria ketika pesta adat berlangsung. Ia dapat membatalkan pernikahan jikalau penambahan jujuran tidak dipenuhi.

Berkaca dengan permasalahan tersebut maka dalam adat Nias Padang hal ini dikemas dengan pola pikir yang terbuka. Mereka tidak menghilangkan peranan sibaya dalam pesta adat pernikahan tetapi jauh menelaah fungsi dari sibaya dalam kehidupan orang Nias. Ketika fungsi sibaya sebagai akar dipahami dengan baik maka seyogyanya sibaya bukanlah menjadi suatu penghalang terlaksananya pesta adat pernikahan melainkan sebagai sosok yang dihormati dan dihargai. Penghargaan kepada sibaya yang biasanya diberikan dalam bentuk uang yang cukup besar diganti dengan simbol keping perak di masa lalu yang direalisasikan dengan uang logam rupiah. Jadi dalam adat Nias Padang sibaya akan diberi uang logam yang bernilai ribuan rupiah (biasanya seribu rupiah dan seterusnya) sesuai dengan jujuran. Sibaya tidak lagi menerima uang banyak karena konsep yang diterapkan adalah sebagai simbol penghargaan. Hal ini sangat meringankan beban yang ditanggung oleh keluarga dibandingkan dengan 81

pesta adat Nias asli yang seringkali mengorbankan keluarga untuk terlilit hutang setelah pesta adat pernikahan selesai.

Adat Nias Padang ini lahir dari hasil negosiasi yang dilakukan terhadap beberapa3 adat lama. Proses negosiasi ini menuntut mereka untuk membicarakan, membahas, dan mempertimbangkan berbagai resiko yang akan terjadi dalam setiap keputusan yang disepakati. Negosiasi merupakan suatu proses dialog yang “beyond” sehingga menghasilkan sesuatu yang baru tetapi tidak meninggalkan yang lama. Hal ini berbeda dengan

Breakwell yang berpendapat bahwa individu atau kelompok akan melakukan penyerapan informasi baru dalam struktur identitas dan melakukan penyesuaian untuk membentuk identitas baru. Proses ini disebut dengan asimilasi-akomodasi. Namun dalam teori ruang ketiganya Bhabha menekankan ini sebagai negosiasi bukan asimilasi.

Jika dibandingkan dengan proses yang dialami oleh Nias Padang dalam ruang ketiganya untuk bagian adat baru ini maka tampaklah yang mereka alami adalah sebuah proses negosiasi. Dimana mereka mengalami perdebatan dan pembicaraan yang rumit dalam menegosiasikan bagian- bagian adat yang akan mereka bangun menjadi suatu adat baru sesuai dengan visi mereka.

Didorong dengan kebutuhan akan perlengkapan pesta adat maka pada awal abad ke-16 orang Nias yang ada di Padang sepakat untuk menghadap

Sutan yang berkuasa di masa itu yaitu Sutan Alang Laweh dengan tujuan

3 Penekanan kata “beberapa” hendak mengacu bahwa Nias Padang melakukan negosiasi terhadap beberapa adat yang berbeda di setiap wilayah Nias. 82

meminta izin agar dapat menggunakan perangkat adat Minangkabau dalam pesta adat Nias Padang. Permintaan ini disambut baik dengan prasyarat bahwa orang Nias harus mampu memenuhi persyaratan yang diajukan oleh pihak suku Minangkabau. Ketika orang Nias sudah memenuhi semua pesyaratan yang diberikan maka mereka diberi izin menggunakan beberapa perangkat adat Minangkabau seperti pakaian pengantin dan hiasan rumah dalam pesta perkawinan. Hal ini secara tidak langsung membuat Nias

Padang menjadi bagian dari suku Minangkabau yang mana dapat bersama- sama menggunakan perangkat adat Minangkabau sekalipun berasal dari suku yang berbeda. Inilah yang dimaksudkan Bhabha sebagai cara mimikri.

Strategi hibriditas dapat ditempuh dengan cara mimikri, peniruan yang kabur atas “warisan” kolonial yang tidak sekadar anti padanya, tetapi mau melampauinya sambil memanfaatkan “warisan” kolonial tersebut. Ini juga suatu proses yang juga dipaksakan oleh penjajah tetapi dengan pura-pura diterima oleh terjajag hingga menghasilkan keadaan almost the same, but not quite. Berbeda dengan antikolonial yang menarik garis tegas untuk menolak “warisan” kolonial, justru hibriditas mengarahkan perhatiannya pada interaksi yang penuh kontradiksi dan ambivalensi namun sekaligus member ruang dan kesempatan di pihak manapun untuk bicara dan mempertahankan daya kristisnya sendiri.4 Akibatnya mimikri menghasilkan sesuatu yang familiar tapi sepenuhnya baru.5 Hal ini seiring dengan ungkapan Bhabha di dalam tulisannya mengatakan:

4 Martin Lukito SInaga, Identitas Poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKIS, 2004), 18. 5 Darmawan, Identitas Hibrid…, 28. 83

Orang tidak akan mengetahui identitasmu sepanjang kamu tidak membicarakannya. Kamu adalah bagian dari dialog yang pada awalnya digembar-gemborkan dan kamu diabaikan, yang pada akhirnya dirimu sendiri tidak dapat mereka tolak. Dalam pergerakannya maka kamu akan menemukan sesuatu hal yang baru dimana dulu kamu disebut orang asing dan kemudian disebut sebagai teman.6

Hal yang menarik dari upacara adat penerimaan ini adalah tidak adanya syarat yang merujuk kepada hal yang berbau agama seperti harus memeluk agama Islam. Padahal salah satu pepatah Minangkabau yang terkenal adalah adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah yang artinya adat bersendi syariat, syariat bersendi Al-Quran.7 Pepatah ini menggambarkan bahwa hubungan antara Minangkabau dengan agama

Islam sangatlah erat. Bahkan seseorang yang disebut sebagai orang Minang dapat dipastikan bahwa dia adalah seorang muslim. Namun, kekuatan hubungan adat dan agama ini tidaklah muncul dari syarat-syarat yang diajukan pihak tetua adat Minangkabau di Padang saat itu.

Orang Minangkabau memang sudah mengenal Islam sejak permulaan abad ke-8 melalui perdagangan. Bahkan telah ada raja di Minangkabau

Timur yang memeluk agama Islam.8 Namun, belum banyak orang

Minangkabau memeluk agama Islam. Pada abad ke-15 kerajaan

Minangkabau yang dikenal dengan Pagaruyung masih memeluk agama

Buddha dan sebagian dari daerah kekuasaan Minangkabau sudah memeluk agama Islam. Agama Islam baru dianut oleh seluruh anggota kerajaan dan

6 Bhabha, The Location ..., xxv. 7 Martin Ramstedt dan Fadjar Ibnu Thufail, Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas dan Kewarganegaraan Pasca-Orde Baru, ( : Kompas Gramedia. 2011), 17. 8 M.D Mansoer, Amrin Imran, Mardanas Safwan, Asmaniar Z, Idris, dan Sidi I. Buchari, Sedjarah Minangkabau, (Jakarta: Brahtara, 1970), 80. 84

orang Minangkabau pada pertengahan abad ke-16 saat kerajaan mendominasi politik dan ekonomi Minangkabau.9 Hal ini memperjelas kemungkinan alasan yang muncul atas ketiadaan syarat untuk memeluk agama Islam ketika orang Nias diterima dalam wilayah Minangkabau.

Tampaknya di awal abad ke-16 itu pun orang-orang Minangkabau masih belum sepenuhnya memeluk agama Islam. Sebagian dari mereka bahkan anggota kerajaan Pagaruyung pun masih ada yang memeluk agama Buddha yang mana tidak memiliki hubungan erat dengan adat mereka. Hal ini membuat mereka tidak memberi perhatian penuh untuk memberi syarat di dalam bidang agama. Mereka jauh lebih menekankan syarat-syarat yang berhubungan dengan adat secara langsung untuk dapat dipenuhi oleh orang

Nias.

Mimikri adalah suatu strategi hibriditas yang dilakukan dengan cara peniruan yang kabur atas warisan dominan yang tidak sekedar anti terhadapnya namun mampu melampaui dan memanfaatkannya dan menghasilkan suatu keadaan yang disebut oleh Bhabha dengan istilah almost the same, but not quite. Teori Bhabha ini pun mendapat kritikan oleh

Richard King berpendapat bahwa mimikri sebagai strategi untuk menyerang balik dominasi subjek kolonial dapat membuat kita mengalami kesulitan untuk membedakan antara mimikri representatif dengan mimikri. Ia pun mempertanyakan sejauh mana parodi dari mimikri ini berfungsi terhadap prakti-praktik dominasi, apakah ini sebuah seringai tanpa gigi yang berarti

9 Mansoer,Sedjarah Minangkabau...,63. 85

kritik hinaan yang tidak benar-benar menggigit?10 Namun, Bhabha meyakinkan bahwa mimikri adalah strategi yang mengintesifkan pengawasan dan ancaman terhadap normalisasi dan kekuatan dominan.11

Hal ini dialami oleh orang Nias dalam membentuk adat Nias Padang.

Sebagaimana dengan dampak penerimaan suku Nias terhadap suku

Minangkabau bahwa suku Nias diberi izin untuk menggunakan seperangkat pakaian dan hiasan adat perkawinan Minangkabau, berupa pakaian pengantin, sunting, dan perhiasan rumah berupa langit-langit berwarna kuning. Ketika hal ini digunakan dalam pesta adat perkawinan Nias Padang akan menampilkan suatu kemiripan dari kerangka pesta adatnya. Orang yang melihat acara pesta dari luar maupun kejauhan pastilah akan mengira bahwa itu pesta adat Minangkabau dikarenakan penampilan luarnya.

Namun, mereka pasti tidak akan mengira ketika masuk ke dalam pesta justru yang ditemukan adalah pesta suku Nias yang bukanlah dari Minangkabau.

Dalam serangkaian essainya, Bhabha mengemukakan bahwa peniruan merupakan kemungkinan cara yang diambil untuk menghindari kendali. Bhabha memberi contoh bahwa “buku Inggris” dianggap menyimbolkan otoritas Inggris itu sendiri terhadap India. Bhabha mengatakan bahwa otoritas kolonial dibuat “hibrid” dan “ambivalen” oleh proses peniruan ini sehingga membuka ruang-ruang bagi penjajah untuk menyelewengkan wacana induk. Kegagalan dari otoritas kolonial untuk mereproduksi diri itulah yang memungkinkan pemberontakan dari pihak

10 Richard King, Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme (Yogyakarta : Qalam, 2001), 396. 11 Bhabha, Location of ..., 154. 86

terjajah. Namun, sayangnya dari pembahasannya ini Bhabha tidak membahas sumber-sumber pribumi tentang kegiatan intelektual dan politis pihak terjajah.12

Hal ini berbeda dengan yang dialami oleh orang Nias Padang dimana mimikri yang mereka lakukan benar-benar suatu kemurnian dari pengalaman hidup mereka sehari-hari. Bentuk mimikri yang dari hasil penelitian Bhabha merupakan berdasarkan sesuatu yang telah tampak secara visual dan dapat dibaca untuk menganalisa penyebab dari peniruan dalam bahasa Inggris tersebut. Namun, hal yang dialami oleh Nias Padang jauh lebih dalam. Dimana mimikri yang dilakukan tidak sebatas soal bahasa melainkan berusaha menegosiasikan perbedaan budaya dengan menggunakannya menjadi kesatuan dalam budaya baru Nias Padang. Ia tidak hanya sekedar topeng namun justru Nias Padang benar-benar menghidupi budaya Minangkabau itu dengan tidak melupakan ke-Nias- annya. Hal ini diungkapkan oleh orang Nias Padang dalam wawancara di

Bab III dimana mereka mengatakan bahwa cara hidup mereka dengan menggunakan budaya Minangkabau seperti mengikuti Kato Nan Ampek sebagai suatu acuan dalam hidup bermasyarakat membuat mereka dapat diterima menjadi bagian di Padang. Mimikri bentuk adat ini merupakan benteng yang terkuat dimiliki oleh orang Nias Padang dalam mempertahankan eksistensi mereka di Padang. Dengan model adat Nias

12 Ania Loomba, Colonialism/Postcolonialism, (New York: Routledge, 2000) 117- 119. 87

Padang mereka akan diterima sebagai bagian dari masyarakat bukan bagaikan orang asing.

Penerimaan ini berdampak cukup besar terhadap keberlangsungan hidup masyarakat Nias di Padang. Memang di dalam sistem pemerintahan orang Nias di Padang berada di bawah kekuasaan orang Minangkabau.

Mereka harus mengikuti berbagai ketentuan dan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Namun, di sisi lain mereka sebenarnya tidak benar-benar berada dalam kungkungan yang membatasi kebebasan mereka. Mereka masih memiliki hak dan diberi ruang untuk dapat mengekspresikan diri mereka baik dalam hal budaya, adat istiadat, dan keagamaan. Hal itu dibuktikan dengan penggunaan adat Nias Padang dalam pesta adat, eksistensi gereja suku Nias yang bernama Banua Niha Keriso Protestan

(BNKP) yang tetap terjaga, penggunaan bahasa Nias baik dalam ibadah, pesta adat, dan pergaulan sehari-hari, penampilan atraksi budaya Nias

Padang maupun Nias asli dalam kegiatan budaya dan munculnya calon- calon legislatif dari suku Nias.

Dalam merumuskan adat barunya mereka tetap memegang teguh prinsip ke-Nias-an mereka dengan tidak berubah menjadi Minangkabau akibat dominasinya. Perubahan yang terjadi dalam beberapa bagian adat

Nias Padang seperti perangkat adat Minangkabau dalam pesta perkawinan seperti hiasan rumah dan pakaian pengantin serta perubahan bahan baku sumange dalam adat dari babi menjadi ayam merupakan suatu strategi menolak hegemoni dengan melakukan mimikri terhadap pihak

Minangkabau. 88

Hal inilah yang dimaksudkan Bhabha sebagai suatu aksi perlawanan

dari pihak minoritas terhadap dominan. Sekalipun sesungguhnya suku

Minangkabau memiliki masalah internal atau ketidaksenangan dengan suku

Nias namun mereka tidak dapat mengusir keberadaan orang Nias di tanah

mereka dikarenakan penerimaan yang telah dilakukan di masa lampau.

Identitas suku Minangkabau sebagai suku yang eksklusif tidak mampu

mengekang perkembangan suku Nias di tanah mereka.

4.3. Kekristenan Nias Padang

Dalam tulisannya Bhabha mengatakan bahwa ruang ketiga juga

memberikan cara ambivalensi dalam memproduksi identitas hibrid bagi

kaum minoritas. Ambivalensi ini merupakan salah satu model yang berbeda

ketika digunakan dalam proses bermasyarakat. Ia memiliki dua elemen

sekaligus di dalam satu tubuh. Ia dapat menerima dan sekaligus menolak

terhadap kekuasaan dominan. Penerimaan yang ia lakukan dapat bermakna

sebuah penolakan dalam waktu yang bersamaan.13

Ketika pemerintah kota Padang mengeluarkan peraturan daerah

yang mewajibkan seluruh siswi yang bersekolah di sekolah negeri untuk

menggunakan hijab maka hal ini menjadi suatu tantangan baru bagi orang

Nias Padang khusus yang beragama Kristen. Untuk menanggapi hal ini

maka orang Nias Padang Kristen melakukan perlawanan dengan mematuhi

peraturan daerah tersebut. Mereka mengizinkan anak-anak mereka untuk

menggunakan hijab selama bersekolah. Peraturan yang seharusnya menjadi

hambatan bagi orang Nias Padang Kristen untuk bersekolah di sekolah

13 Bhabha, Location of ..., 54. 89

negeri justru menjadi salah cara dalam mereka memperlihatkan kekristenan mereka. Ketika siswi Nias Padang Kristen menggunakan hijab ke sekolah maka ia akan menjadi sorotan bagi guru dan murid muslim yang lain. Ia akan menjadi contoh bagi murid muslim yang lain sebagai bentuk kepatuhan terhadap peraturan pemerintah. Hal ini akan membuat ia tidak merasa dikucilkan secara langsung dikarenakan ia memiliki penampilan luar yang sama dengan murid lain meskipun di balik itu ia memiliki agama yang berbeda.

Jika dikaitkan dengan masa lalu dimana orang Nias Padang Kristen pernah mengalami teror dan perang yang berakhir dengan tewasnya orang

Nias Padang Kristen di tahun 1902 akibat dituduh sebagai mata-mata

Belanda dikarenakan beragama Kristen. Maka peraturan penggunaan hijab ini bisa dianggap sebagai bentuk menorehkan luka lama yang telah tertutup.

Sebagaimana dikatakan Bhabha mengatakan bahwa memori adalah jembatan yang penting dan kadang berbahaya antara penjajah dan persoalan identitas. Hal ini disebabkan karena memori merupakan kenangan yang menyakitkan, peletakkan bersama dari masa lalu dan memaknai trauma masa kini.14 Catatan Bhabha tentang sisi trauma pengenangan ini dibangun berdasarkan peribahasa bahwa ingatan merupakan fondasi dasar dan konstiturif dari eksistensi yang sadar. Beberapa kenangan bisa diakses menuju kesadaran, dan yang lainnya dapat diblokir ataupun disembunyikan dengan alasan-alasan yang baik. Kesakitan-kesakitan yang dialami di masa lalu dapat dihilangkan dengan baik menurut Bhabha dengan cara

14 Bhabha, The Location.., 63.. 90

melepaskan kenangan-kenangan yang menyakitkan dari kungkungan mereka.15

Hal inilah yang dilakukan oleh Nias Padang Kristen. Mereka tidak memilih untuk berada dalam kungkungan memori yang menyakitkan itu.

Mereka justru lebih memilih untuk melakukan perlawanan atas tuduhan di masa lalu dengan mengizinkan anak-anak mereka mengikuti peraturan dalam menggunakan hijab. Bentuk ini tidak dapat dilihat sebagai bentuk kepatuhan atas tindakan diskriminatif. Jika diperhadapkan dengan tulisan

Bhabha yang memberikan tanggapan yaitu memenuhi dua fungsi yang berhubungan dalam mengatasi memori menyakitkan ini. Pertama, berupaya untuk mengungkapkan ingatan yang menyakitkan dari kekerasan penjajah yang melimpah dan masih tersisa. Kedua, melakukan pendamaian dalam usahanya untuk membut masa lalu yang antagonistik menjadi lebih ramah dan oleh karena itu muda didekati.16 Maka tindakan yang dilakukan oleh orang Nias Padang Kristen dalam penggunaan hijab bagi siswi sekolah negeri merupakan cara mereka untuk melawan memori masa lalu yang menyakitkan. Hal ini justru menunjukkan kemampuan mereka yang tangguh dapat bertahan dengan tetap menjadi Kristen sekalipun menggunakan hijab dalam rangka memenuhi peraturan daerah.

Strategi ambivalensi yang dialami oleh siswi Nias Padang Kristen adalah dengan tidak menjadi muslim namun bersedia memakai simbol

15 Leela Gandhi, Teori Poskolonial Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat, (Yogyakarta: Qalam, 2007), 12. 16 Leela Gandhi, Teori Poskolonial..., 13-14. 91

muslim. Mereka tidak anti terhadap peraturan yang bertentangan dengan agamanya, namun menerimanya dan menjadikan hal itu sebagai alat misi memperkenalkan agamanya kepada khalayak luas. Ia menerima dan menolak dominasi itu sekaligus. Dengan menggunakan strategi ini maka siswi Nias Padang Kristen dapat memperoleh hak dan kewajiban yang sama sebagai warga kota Padang.

Orang Nias Padang Kristen terdiri dari bermacam-macam denominasi. Namun, gereja yang dikenal dan menyimbolkan eksistensi suku

Nias adalah Gereja Banua Niha Keriso Prostestan (BNKP). Sebagaimana yang dijelaskan dalam bab III bahwa orang Nias Padang menerima kekristenan pertama kalinya di Padang karena sebelum ke Padang mereka masih memeluk agama suku. Perjumpaan mereka dengan kekristenan di

Padang dimulai sejak Belanda menjajah Indonesia. Dapat dikatakan dengan keberadaan Belanda mereka mendapatkan keamanan dalam beribadah.

Namun, ternyata keamanan yang mereka terima tidak hanya semasa penjajahan. Hal itu terbukti hingga kini gereja BNKP masih eksis dan berkembang di Padang.

Gereja BNKP di Padang berkembang dengan mengikuti alur yang ada. Ketika pemerintah mengeluarkan peraturan daerah yang mewajibkan seluruh siswa/siswi untuk mengikuti pesantren selama bulan Ramadhan maka gereja BNKP memfasilitasi hal itu bagi anak-anak warga jemaat untuk melaksanakan pesantren yang disebut dengan istilah pastoralia selama bulan

Ramadhan. Selain hal itu, dalam proses pendidikan di sekolah negeri maka tidak disediakannya guru agama Kristen sehingga hal ini dapat menghambat 92

proses belajar siswa/siswi yang Kristen. Dalam hal ini gereja BNKP memfasilitasi anak-anak warga jemaat mereka untuk melaksanakan pendidikan agama Kristen di gereja setiap hari minggu dan gereja memperoleh hak untuk mengeluarkan nilai yang diakui oleh sekolah untuk dimasukkan di dalam nilai raport.

Hubungan lintas agama mencakup berbagai bentuk perjumpaan sesuai dengan konteks dan lokasi. Sebuah model dari perjumpaan lintas agama dapat menjadi efektif dan bermanfaat dalam sebuah masyarakat tertentu dan bisa saja tidak berjalan di beberapa konteks yang lain.

Contohnya di sebuah kelompok masyarakat yang menghasilkan pengetahuan melalui tulisan-tulisan yang dipublikasi dapat menggunakan model hubungan lintas agama dengan bentuk dialog antaragama yang fokus kepada percakapan formal dan diskusi tertulis. Sedangkan di kelompok masyarakat yang hidup dengan kebiasaan bercerita atau menggunakan verbal sehari-hari dapat menggunakan model interreligious engagement dalam hubungan lintas agama mereka. Model interreligious engagement ini dapat menggunakan kebiasaan yang sudah dialami dan dijalani masyarakat tersebut sebagai alat berkomunikasi untuk menerima satu sama lain dalam hal hubungan lintas agama. Ini tidak terlihat seperti dialog antaragama yang dilakukan secara formal melainkan lebih alami dan normal karena dilakukan seperti kehidupan sehari-hari. Beberapa ahli berpendapat bahwa dialog formal menjadi model penting dalam hubungan lintas agama. Tetapi ternyata interreligious engagement jauh lebih mengikat dalam hubungan lintas agama. Hal ini dibuktikan dengan pengalaman hidup orang Maluku. 93

Dimana interreligious engagement melibatkan semua kelompok dan menggunakan cara yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari dan simbol- simbol. 17

Dalam hubungan dengan ruang publik maka gereja BNKP Padang selalu menghimbau dan mengingatkan seluruh warga jemaatnya untuk hidup saling menghargai, terutama ketika di masa bulan Ramadhan. Gereja biasanya menghimbau warga jemaat untuk tidak melakukan aktivitas makan dan minum sembarangan di luar lingkungan gereja. Selain itu pihak gereja biasanya melarang adanya penjual makanan dan minuman yang biasanya beroperasi di luar gedung gereja. Dari hal ini maka gereja BNKP memperoleh keamanan pula selama beribadah setiap hari minggu. Mereka dapat menutup jalan utama selama ibadah berlangsung dengan alasan menjaga ketertiban ibadah. Dinas perhubungan menyediakan jalan alternatif setiap minggunya kepada pengendara umum.

Model kekristenan Nias Padang ini merupakan bentuk dari pola adat

Nias Padang yang dibentuk untuk menerima perbedaan dan meraciknya menjadi kesatuan. Kekuatan pengaruh adat Nias Padang sangatlah tampak dalam kehidupan keseharian orang Nias Padang. Pendeta Jemaat Padang,

Pendeta Natalisman Telaumbanua mengungkapkan bahwa ada adat Nias

Padang menjadi kekuatan tersendiri yang dimiliki oleh masyarakat Nias

Padang dimana segala sesuatu yang hendak diputuskan haruslah dibawa ke hadapan adat sekalipun itu urusan agama.18 Hal ini menunjukkan

17 Lattu, Izak Y.M.2014. Orality and Interreligious Relationship: The Role of Collective Memory in Christian-Muslim Engagements in Maluku, Indonesia. Disertasi, California: Doctor Of Philosophy Universitas Berkeley. 18 Natalisman Telaumbanua, wawancara Penulis, 22 Mei 2018. 94

kekristenan yang dimiliki oleh orang Nias Padang bukanlah sesuatu yang

mimikri dari colonial atau badan misi justru memiliki corak tersendiri

karena berakar dari adat Nias Padang.

4.4. Kesenian yang menjadi Wadah Perjumpaan

Seni adalah disiplin spiritual, jalan hidup, model kontemplasi dan ini

sama pentingnya dengan aktif menyebarluaskan pengetahuan dan

membudidayakan budaya di dunia pada umumnya. Seni juga dapat disebut

sebagai “dialog nyata” karena ia tidak hanya meliputi soal dialog verbal

yang tampak seperti sesuatu yang formal saja melainkan jauh lebih detail

dalam proses dialog yang terjadi. Kapasitas seni ini untuk membatasi antara

kontemplatif dan aktif, intrasubjektif dan intersubjektif, orientasi

membuatnya menjadi sumber yang sangat cocok untuk dialog antar agama

yang sebagian besar memiliki trasisi budaya material yang kaya. Bagi seni,

perbedaan memiliki kemampuan untuk membangunkan jalur yang belum

dipetakan unuk memahami semakin banyak peristiwa yang disebut “dialog

antara agama”. Hal yang tampak biasa namun sarat makna dialog terdapat

dalam seni. Dimana seni menawarkan terjadinya dialog antar-agama dalam

kosakata dan praktek yang interstitial, ambivalen, hibrida, yang masuk akal

dan liminal. Seni mampu memunculkan diskusi yang positif tentang

perbedaan. Hal ini dapat terwujud dengan menggunakan visual sensorik, 95

dan puitis yang dilakukan dengan segala perbedaan konseptual tanpa menghapus, mengambil atau menolak yang lain.19

Dalam seni, pemahaman tentang asal muasal dari segala sesuatu adalah perbedaan. Dunia relasi terbentuk karena ada perbedaan satu sama lain. Seni inilah yang memproses perbedaan-perbedaan ini menjadi sebuah makna. Maka dalam hal ini perbedaan antara tradisi agama atau keyakinan dan antara estetika dan agama sudut pandang, dapat dilihat sebagai pertanda makna. Perbedaan bukanlah rintangan yang harus ditakuti, ditransmisikan, dilompati, diubah, diabaikan, atau dibubarkan, tetapi diundang, dilihat, didengar dan dibicarakan dengan hati yang tulus karena perbedaan itu memiliki makna yang sangat kaya dan misterius.

Resiko yang harus ditanggung oleh seni dalam perbedaan ini adalah bersedia menerima keberadaan orang lain dengan konsepnya dan tidak memungkiri kelemahan yang dimiliki oleh konsep kita sendiri. Dialog antar agama bercita-cita memberi dan menerima saksi seperti itu, menjadi tuan rumah religius lainnya dengan cara yang istimewa dan berniat mendengarkan, yang menawarkan kredibel bersaksi antara diri sendiri dan lainnya dalam pengertian ontologis. Melalui perubahan dan batasan tertentu maka dibuatlah ruang untuk kehadiran yang lain, untuk tempat tinggal orang lain. Melalui mediasi seni dapat menumbuhkan sikap hormat terhadap manusia lain.

19 Mary Anderson, “Art and Inter-religious Dialogue”, dalam The Willey- Blackwell Companion to Inter-Religious Dialogue,ed. Catherine Cornille, (West Sussex: John Willey & Sons, 2013), 112. 96

Ketika dialog antaragama dipahami sebagai seni dan disiplin spiritual, maka akan terbentuk sebuah perbaikan pendekatan relasional setiap individu terhadap realitas. Mempertimbangkan potensinya untuk keterlibatan antar-agama, seni memiliki kapasitas untuk menciptakan tempat visibilitas untuk membayangkan antar-agama, untuk koreografi bentuk-bentuk antaragama persekutuan yang membuat perbedaan nyata dan cinta mungkin dengan memimpikan diri religius dan religius lainnya dalam berat badan penuh, kelincahan, dan kerutan. Dalamnya kemampuan untuk membawa dunia lebih dekat kepada kita, mungkin dua kali lebih banyak daripada saat sebelumnya, seni mengungkapkan lintasan etika antara yang terlihat dan tidak terlihat.20

Maka hal yang dilakukan oleh masyarakat Nias Padang adalah menggunakan kacamata seni dalam dialog antaragama. Hal ini dapat dibuktikan dalam kegiatan adat yang mereka lakukan, dimana acara adat

Nias Padang sudah mengalami proses perubahan yang bermakna dialog antaragama. Selain itu, mereka juga memiliki suatu kesenian yang disebut

Tari Sampayang Barampek. Tarian ini merupakan tarian yang dibentuk dalam rangka dialog antaragam. Barampek artinya berempat. Hal ini menunjukkan keempat suku atau kelompok orang yang turut dalam tarian ini adalah orang Minangkabau, Nias Padang, Cina dan Keling (orang India).

Tarian ini menggambarkan bahwa keempat kelompok atau suku ini merupakan saudara, dimana mereka akan saling melengkapi dalam tarian ini. Tarian ini menggunakan puisi atau pantun berbalasan. Bahasa yang

20 Anderson, “Art and Inter-Religious …, 120. 97

digunakan adalah bahasa Minang. Orang yang memainkan alat musiknya

adalah orang Nias Padang. Alat musik yang dunakan adalah biola, kardion,

gendang, mandolin, dan violin. Kelompok Cina dan Keling mengambil

bagian sebagai penarinya.

Melalui seni inilah masyarakat Nias Padang mampu menghargai dan

menerima keberadaan mereka di Padang. Mereka memaknai segala

peraturan yang diberlakukan di Padang merupakan bagian dari dialog

antaragama yang mereka jalani. Mereka tidak menganggap peraturan

menggunakan jilbab sebagai bentuk diskriminasi melainkan sebagai bentuk

penerimaan mereka terhadap perbedaan dengan suku Minangkabau.

Bahkan, ketika terjadi pelarangan pengadaan kebaktian lingkungan di

rumah-rumah, mereka maknai sebagai bagian kesalahan mereka dalam hal

menghargai umat lain sehingga mereka berusaha memperbaiki diri untuk

lebih menghargai lagi agar dialog antaragama dapat terjalin kembali. Dalam

hal ini tergambarkanlah ketika seni mampu menjadi media dialog

antaragama.

4.5. Perjumpaan dan Identitas Baru

Ruang ketiga adalah ruang yang dimiliki oleh setiap individu dan

kelompok dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagaimana Bhabha

mengatakan bahwa ruang ini menyediakan wadah bagi individu dan

kelompok untuk dapat menegosiasikan sesuatu yang baru demi

mempertahankan dirinya. Hal inilah yang dialami oleh orang-orang Nias

yang berdiaspora di kota Padang. Perjumpaan mereka selama berabad-abad 98

dengan suku Minangkabau yang merupakan suku host di kota Padang memaksa mereka untuk menggunakan ruang ketiga dalam membuat suatu identitas baru. Identitas baru yang mereka miliki bukanlah sesuatu yang benar-benar baru, melainkan suatu identitas hibrid yang merupakan sebuah hasil dari negosiasi, mimikri, dan ambivalensi yang terjadi di dalam ruang ketiga.

NIAS MINANGKABAU NIAS PADANG KRISTEN

Gambar 3. diagram ruang ketiga yang dialami Nias Padang Kristen dalam teori Bhabha

Proses yang mereka alami ini bukanlah sesuatu yang mudah. Banyak hal yang harus mereka lepaskan dan tidak sedikit pula hal baru yang mereka ambil. Mulai dari sistem kepercayaan, adat istiadat, dan gaya hidup. Mereka tidak lagi hanya menjadi seorang “Nias” yang dulu tetapi telah menjadi seorang “Nias Padang”. Identitas baru inilah yang membuat mereka tidak mampu kembali ke pulau Nias seutuhnya. Selain alasan filosofi hidup yang selalu menyuarakan pantang untuk mundur ke belakang, hasil hibridasi ini pun membuat mereka enggan untuk kembali ke kampung halaman karena mereka sudah berbeda. Memang mereka tidak berbeda secara keseluruhan tetapi perbedaan yang mereka miliki tidaklah dapat diterima sepenuhnya di tempat asal. 99

Tidak sekadar itu agama pun menjadi salah satu elemen identitas baru bagi mereka di ruang ketiga. Kepercayaan kepada Adu yang mereka bawa dari pulau Nias menjadi hilang ketika mereka berada dalam ruang ketiga.

Mereka memilih menjadi Islam seperti agama host atau menjadi Kristen seperti agama baru yang dibawa dari Nias setelah memperoleh penginjilan.

Sekalipun kekristenan yang mereka terima berasal dari hasil utusan misionaris Jerman dari Nias. Namun, model kekristenan mereka berbeda dengan yang berkembang di Nias. Hal ini disebabkan karena situasi yang dialami oleh orang Nias Kristen dengan Nias Padang Kristen sangatlah berbeda. Dimana orang Nias Kristen menjadi pihak dominan di pulau Nias sehingga memiliki kekuasaan dan cenderung bebas dalam mengekspresikan iman mereka, sedangkan orang Nias Padang Kristen menjadi pihak minoritas yang harus bernegosiasi di dalam ruang ketiga ketika hendak mengekspresikan iman mereka di ruang publik. Perbedaan ini membuat model kekristenan mereka pun juga berbeda baik dalam pengungkapan iman maupun respon terhadap perbedaan agama, ras, suku dan golongan.

Hal yang terpenting dalam membangun dan menjembatani hubungan antar agama adalah ritual. Komunitas berakar dari pengalaman masa lalu yang dibentuk dengan rasa memiliki yang menuju kepada solidaritas kolektif.Efektivitas suatu ritual tergantung pada pemahaman masyarakat tentang representasi kolektif ; mereka mengakui makna, mengingat norma- norma sosial dan merebut kembali solidaritas sosial. Kolektif representasi membantu anggota anggota komunitas dapat terhubung tidak hanya dengan 100

sesama anggota namun juga dengan orang-orang diluar komunitas atau lingkaran ritual.21

Berbeda dengan essai Bhabha yang menekankan posisi penjajah dan terjajah, justru ketika perjumpaan terjadi antara Nias dan Minangkabau berada di posisi yang sama sebagai pihak yang terjajah. Mereka sedang sama-sama berada di dalam otoritas Kolonial Belanda. Dalam tekanan itulah justru orang Nias mencoba bergerak di dalam ruang ketiganya. Hal ini memperlihatkan bahwa ruang ketiga tidak hanya terjadi dalam kondisi antara penjajah dengan pihak terjajah saja melainkan dapat terbentuk pula dalam situasi perjumpaan antara sesama pihak terjajah.

Namun demikian, sekalipun dari kacamata nasional memiliki posisi sama-sama sebagai pihak terjajah, di masa perjumpaan antara Nias dan Minangkabau di Padang mereka tetap memiliki perbedaan posisi dalam kacamata wilayah yaitu antara host dan pendatang. Dalam pembahasannya

Bhabha sangat menekankan bahwa hal yang datang dari luar itu adalah sesuatu yang dominan, menjajah, merampas, memimpin, dan menguasai.

Hal ini berbeda dengan yang dialami oleh orang Nias yang menjadi pendatang di Padang. Mereka tidak menjadi sesuatu yang dominan, menguasai, merampas, dan menjajah, justru menjadi posisi yang tunduk dan harus menjalani persyaratan agar memperoleh penerimaan dari pihak host.

Fakta ini juga memperlihatkan bahwa tidak selamanya status sebagai yang

21 Lattu, Izak Y.M.2014. Orality and Interreligious Relationship: The Role of Collective Memory in Christian-Muslim Engagements in Maluku, Indonesia. Disertasi, California: Doctor Of Philosophy Universitas Berkeley. 101

terjajah berada di pihak host atau pribumi. Kekuatan otoritas Minangkabau

menunjukkan bahwa sesungguhnya pihak host memiliki kemampuan untuk

dapat mempertahankan dirinya agar tidak dirampas atau dikuasai oleh pihak

pendatang.

4.6. Kesimpulan

Teori Bhabha memberikan tiga model proses yang dialami di

dalam ruang ketiga yaitu negosiasi, mimikri, dan ambivalensi. Ketiga proses

ini sudah dijalani oleh orang Nias diaspora di Padang di dalam ruang ketiga

mereka dan menghasilkan suatu identitas hibrid yang mereka namakan Nias

Padang. Namun, dalam proses ruang ketiga yang mereka alami justru

mereka menghasilkan sebuah model kekristenan yang tidak mimikri. Hal

inilah yang berbeda dari teori Bhabha ketika ia memberikan contoh tindakan

mimikri terhadap kekristenan di India yang meniru kekristenan Inggris.

Kekristenan yang dimiliki oleh orang Nias Padang sangatlah khas sebagai

Nias Padang Kristen. Kekristenan ini berbeda dengan kekristenan yang

dimiliki oleh orang Nias.

Ruang ketiga membantu orang Nias Padang untuk

mengekspresikan iman kekristenan mereka dengan pola adat Nias Padang

yang sudah mampu menyatukan berbagai perbedaan dalam satu wadah.