Jalan Tasawuf Dalam Naskah Layang Ijo Koleksi Kyai Mohammad Thohari Sidoarjo, Jawa Timur
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo Koleksi Kyai Mohammad Thohari Sidoarjo, Jawa Timur Nur Said Ketua Pusat Studi Gender (PSG) STAIN Kudus [email protected] Abstrak Penelitian ini mengkaji empat hal: 1) dari mana asal-usul naskah Layang Ijo diperoleh?, 2) Apa deskripsi naskah Layang Ijo, mulai dari kondisi fisik sampai karakteristik ajarannya?, 3) Bagaimana sejarah naskah Layang Ijo dikumpulkan dan diajarkan?, 4) Apa nilai-nilai tasawuf apa yang dipetik dari ajaran Layang Ijo untuk kehidupan masyarakat Islam saat ini? Penelitian ini menggunakan prosedur filologis diikuti dengan analisis interpretatif untuk mengungkapkan jalan tasawuf dalam ajaran Layang Ijo. Kesimpulan dari penelitian menunjukkan bahwa tradisi menulis dalam periode Wali Sanga bukan hanya terkait ungkapan batin (qalb), tetapi juga sebagai respon terhadap masalah kemanusiaan dalam kehidupan nyata seperti perilaku (lelaku) Wali Sanga. Di dalamnya juga dijelaskan pentingnya pengetahuan yang benar (ilmu sejati), hubungan harmonis antara tarikat, syari’at, dan hakikat, serta misteri kematian Syekh Siti Djenar. Di bagian akhir juga dibahas jalan ma'rifatullah sebagai warisan para Nabi, Rasul, dan kekasih Allah (Waliyyullah). Kata Kunci: Sufisme, manuskrip, Layang Ijo, filologi, konflik dan harmoni Abstract This research examines four things: 1) Where do the origins of the manuscript Layang Ijo obtained by the collector?, 2) What is the description of the manuscript Layang Ijo ranging from physical conditions until characteristics of teaching?, 3) What the history of the manuscript Layang Ijo was collected dan taught?, 4) What are the values of Sufism anything that can be drawn from the Layang Ijo for the needs of the Islamic community life today? This research uses the philological procedures followed by interpretative analysis to find the path of Sufism in the Layang Ijo teaching. The conclusion of research shows that the tradition of writing in the time period of Wali Sanga is not just an expression of inner-sense (qalb) but also as response to the humanitarian concerns in the real life such as the mission and behavior (lelaku) of Wali Sanga, the importance of true knowledge (ilmu sejati), the Sufism, the harmony between tharikat, shari'ah and hakekat, as well as the mystery of the death of Sheikh Siti Djenar also reviewed in this manuscript. In the end it also discussed the way of ma'rifatullah as a legacy of the prophets, apostles and the lover of God (Waliyyullah). Keywords: Sufism, Layang Ijo manuscript, philology, conflict and harmony Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366 Pendahuluan Umat Islam di Jawa Tengah, khususnya di daerah Sragen, pernah dikejutkan oleh berita tentang aliran sempalan yang dipelopori oleh Padepokan Santri Aluwung Dukuh Bedowo Kecamatan Sidoharjo, Kabupaten Sragen. Padepokan ini dipimpin oleh Anto Miharjo yang biasa dipanggil Gus Anto. Aliran ini meresahkan umat Islam, karena ajaran-ajarannya nyleneh dan dipandang menyim-pang. Di antara ajaran-ajarannya yang dianggap menyimpang adalah: 1) Padepokan Santri Aluwung mengajarkan praktik mandi atau berendam bersama (kungkum) dalam satu lokasi di malam hari setelah pukul 24.00 WIB dengan tanpa lampu penerang dan dilakukan sebelum melaksanakan salat taubat; 2) Kitab Layang Ijo yang dijadikan pegangan oleh Padepokan Santri Aluwung dinilai mengandung ajaran yang menyimpang dari ajaran Islam, karena ada anjuran tidak salat dan tidak puasa ketika seseorang sudah sampai pada maqam hakekat, dan menganggap ajaran zakat adalah najis.1 Atas dasar itu, Majlis Ulama Indonesia (MUI) Sragen, melalui Komisi Fatwa, mengeluarkan Surat Rekomendasi bahwa ajaran yang dikembangkan oleh Padepokan Santri Aluwung Dukuh Bedowo termasuk ajaran yang sesat, maksiat, dan menyimpang. Salah satu isi rekomendasi tersebut, MUI Sragen meminta Kajari melarang peredaran dan penyebarluasan Kitab Layang Ijo — ada yang menyebut Risalah Hijau — yang menjadi pegangan kelompok pedepokan tersebut.2 Kitab Layang Ijo yang diributkan tersebut, seperti disebutkan dalam covernya, bersumber dari Kyai Mohammad Thohari Sidoarjo. Penulis pernah meneliti manuskrip Layang Ijo dalam 1 Salinan Surat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indoensia (MUI) Sragen tentang Padepokan Santri Aluwung, Dukuh Bedowo, Kecamatan Sidoharjo, Kabupaten Sragen, Propinsi Jateng tertanggal 28 Rabi’ul ’Awwal 1435 H/ 30 Januari 2014 M. 2 Selengkapnya baca, “MUI Sragen: Padepokan Santri Aluwung Menyimpang” dalam http://www.voaislam.com/read/indonesiana/2014/02/10/ 28997/-mui-sragen-padepokan-santri-aluwung-menyimpang/#sthash.mRsoabxS. dpbs (diakses, 15 Mei 2015). Baca juga, “Fatwa MUI Sragen: Padepokan Santri Alu-wung Maksiat & Menyimpang, dalam http://www.kompasislam.com/fatwa- mui-sragen-padepokan-santri-aluwung-maksiat-enyimpang/#sthash.Y1E5qVoR.- dpuf. Diakses, pada 15 Mei 2015. 342 Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said versi aslinya beberapa tahun sebelum kasus Sragen muncul, namun penulis tidak menemukan bagian yang menunjukkan penyimpangan seperti disebutkan di atas. Bahkan melalui asuhan Kyai Mohammad Thohari manuskrip Layang Ijo “masih hidup” hingga sekarang dan dibaca dalam tembang macapat setiap selapanan (35 hari) bersama jamaah tarekat Takmiliyah di Kriyan, Sidoarjo, Jawa Timur. Manuskrip Layang Ijo menarik perhatian bagi jamaah Kyai Mohammad Thohari, karena di dalamnya mengandung ajaran- ajaran tasawuf, seperti penyucian hati dan ilmu pengrasa menuju ma’rifatullah. Sejak awal, Kyai Mohammad Thohari telah dipesan oleh leluhurnya bahwa manuskrip Kitab Layang Ijo tersebut tidak boleh dibawa atau diamalkan oleh sembarang orang tanpa melalui guru, karena dikhawatirkan terjadi kesalahpahaman. Penulis pernah mencari informasi tentang keberadaan manuskrip Layang Ijo hingga sampai ke Anto Miharjo di Sragen, ternyata Kyai Mohammad Thohari menyatakan bahwa dirinya belum pernah menemukan langsung manuskripnya. Manuskrip tersebut ternyata sampai ke Anto Miharjo di Padepokan Santri Aluwung Sragen melalui orang ketiga, yakni kerabat dari Kyai Mohammad Thohari yang akhirnya diajarkan oleh Anto Miharjo dengan berbagai penyimpangan yang membuat dirinya berurusan dengan pi-hak keamanan.3 Untuk mengetahui isi manuskrip Layang Ijo, dalam tulisan ini penulis membahasnya secara detil, komprehensif, dan proporsional, agar mampu memberikan perspektif baru tentang manuskrip Layang Ijo. Dari ini kajian ini dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam memperlakukan sebuah manuskrip secara proporsional dan kontekstual. Dengan demikian, kajian filologis terhadap naskah Layang Ijo akan memperkaya khazanah sufisme Islam di Jawa, tidak hanya ajarannya, tetapi juga eksistensinya di tengah umat Islam pesisir. 3 Akibat ulah Anto Miharjo yang mengajarkan Kitab Layang Ijo dengan serampangan dan mengalami salah paham membuat Kyai Mohammad Thohari juga terkena dampaknya, sehingga pada awal tahun 2014 sempat didatangi sejumlah pihak keamanan utusan dari Kapolres Sragen dan MUI Sragen melakukan konfirmasi langsung di rumahnya, Sidoarjo. Wawancara peneliti dengan Kyai Mohammad Thohari, pada 13 Mei 2015. 343 Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366 Dalam artikel ini akan dibahas empat hal pokok, yaitu: 1) menganalisis asal-usul diperolehnya naskah Layang Ijo; 2) mendeskripsikan kondisi fisik, karakteristik dan isinya; 3) sejarah penulisan naskah Layang Ijo; dan 4) mengungkapkan nilai-nilai sufisme dalam naskah Layang Ijo serta kaitannya dengan kehidupan umat Islam sekarang. Kerangka Teori Kerangka teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori filologi, ilmu sosial modern, dan ilmu sastra. Filologi menekankan penelitian naskah klasik yang di dalamnya juga mengkaji isi teks agar bisa dipahami, dan selanjutnya menempatkannya dalam keseluruhan sejarah masyarakat. Dengan menemukan keadaan teks dalam konteks seperti semula, maka teks dapat terungkap secara utuh. Dengan demikian, kebudayaan suatu masyarakat di mana teks berada dapat diketahui, baik dari segi pandangan hidup, seni, sastra maupun religiusitas sufistiknya.4 Tugas filologi adalah mendapatkan naskah yang bersih dari kesalahan. Hal ini berarti memberikan pengertian yang sebaik-baik dan bisa dipertanggungjawabkan se-hingga dapat mengetahui naskah yang paling dekat dengan aslinya dan sesuai dengan kebudayaan yang melahirkannya.5 Sementara disiplin ilmu sosial-modern dan ilmu sastra akan membantu dalam menelaah isi teks dalam hubungannya dengan konteks sekarang, sehingga relevansi nilai-nilai yang terkandung dalam naskah Layang Ijo bisa dimanfaatkan dalam merespon kegelisahan sosial dan spiritual masyarakat kontemporer. Fenomena sastra sufi dalam Islam lebih tampak menonjol dalam bentuk hikayat hagiografis, yaitu karangan tentang riwayat hidup atau legenda para nabi, orang-orang suci dan dalam bentuk sastra tasawuf. Keduanya sangat lekat dengan penggunaan lambang-lambang dalam menyampaikan pesannya, baik dalam bentuk 'tasawuf kitab' yang cara menyampaikan idenya lebih ilmiah 4 Siti Baroroh Baried, Pengantar Teori Filologi, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan DepDikBud, 1985), h. 5-6. 5 Edward Djamaris, Metode Penelitian Filologi, (Jakarta: CV. Manasco, 2002), h. 7. 344 Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said dan dalam bentuk 'tasawuf puitik' yang cara menyampaikan idenya lebih emo-sional dan lebih berpegang pada citra simbolis.6 Di samping itu, keberadaan naskah sastra sufi karakternya juga ditentukan oleh di mana naskah itu ditulis dan 'dihidupkan'. Misalnya dalam kaidah sastra Jawa seringkali muncul pendekatan dikotomis yang melihat sastra Jawa sebagai suatu dunia