<<

Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo Koleksi Mohammad Thohari Sidoarjo, Jawa Timur

Nur Said Ketua Pusat Studi Gender (PSG) STAIN Kudus [email protected]

Abstrak Penelitian ini mengkaji empat hal: 1) dari mana asal-usul naskah Layang Ijo diperoleh?, 2) Apa deskripsi naskah Layang Ijo, mulai dari kondisi fisik sampai karakteristik ajarannya?, 3) Bagaimana sejarah naskah Layang Ijo dikumpulkan dan diajarkan?, 4) Apa nilai-nilai tasawuf apa yang dipetik dari ajaran Layang Ijo untuk kehidupan masyarakat saat ini? Penelitian ini menggunakan prosedur filologis diikuti dengan analisis interpretatif untuk mengungkapkan jalan tasawuf dalam ajaran Layang Ijo. Kesimpulan dari penelitian menunjukkan bahwa tradisi menulis dalam periode Sanga bukan hanya terkait ungkapan batin (qalb), tetapi juga sebagai respon terhadap masalah kemanusiaan dalam kehidupan nyata seperti perilaku (lelaku) Wali Sanga. Di dalamnya juga dijelaskan pentingnya pengetahuan yang benar (ilmu sejati), hubungan harmonis antara tarikat, syari’at, dan hakikat, serta misteri kematian Syekh Siti Djenar. Di bagian akhir juga dibahas jalan ma'rifatullah sebagai warisan para Nabi, Rasul, dan kekasih Allah (Waliyyullah). Kata Kunci: Sufisme, manuskrip, Layang Ijo, filologi, konflik dan harmoni

Abstract This research examines four things: 1) Where do the origins of the manuscript Layang Ijo obtained by the collector?, 2) What is the description of the manuscript Layang Ijo ranging from physical conditions until characteristics of teaching?, 3) What the history of the manuscript Layang Ijo was collected dan taught?, 4) What are the values of anything that can be drawn from the Layang Ijo for the needs of the Islamic community life today? This research uses the philological procedures followed by interpretative analysis to find the path of Sufism in the Layang Ijo teaching. The conclusion of research shows that the tradition of writing in the time period of Wali Sanga is not just an expression of inner-sense (qalb) but also as response to the humanitarian concerns in the real life such as the mission and behavior (lelaku) of Wali Sanga, the importance of true knowledge (ilmu sejati), the Sufism, the harmony between tharikat, shari'ah and hakekat, as well as the mystery of the death of Sheikh Siti Djenar also reviewed in this manuscript. In the end it also discussed the way of ma'rifatullah as a legacy of the prophets, apostles and the lover of God (Waliyyullah). Keywords: Sufism, Layang Ijo manuscript, philology, conflict and harmony

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366

Pendahuluan Umat Islam di Jawa Tengah, khususnya di daerah Sragen, pernah dikejutkan oleh berita tentang aliran sempalan yang dipelopori oleh Padepokan Aluwung Dukuh Bedowo Kecamatan Sidoharjo, Kabupaten Sragen. Padepokan ini dipimpin oleh Anto Miharjo yang biasa dipanggil Gus Anto. Aliran ini meresahkan umat Islam, karena ajaran-ajarannya nyleneh dan dipandang menyim-pang. Di antara ajaran-ajarannya yang dianggap menyimpang adalah: 1) Padepokan Santri Aluwung mengajarkan praktik mandi atau berendam bersama (kungkum) dalam satu lokasi di malam hari setelah pukul 24.00 WIB dengan tanpa lampu penerang dan dilakukan sebelum melaksanakan salat taubat; 2) Kitab Layang Ijo yang dijadikan pegangan oleh Padepokan Santri Aluwung dinilai mengandung ajaran yang menyimpang dari ajaran Islam, karena ada anjuran tidak salat dan tidak puasa ketika seseorang sudah sampai pada maqam hakekat, dan menganggap ajaran zakat adalah najis.1 Atas dasar itu, Majlis Ulama (MUI) Sragen, melalui Komisi Fatwa, mengeluarkan Surat Rekomendasi bahwa ajaran yang dikembangkan oleh Padepokan Santri Aluwung Dukuh Bedowo termasuk ajaran yang sesat, maksiat, dan menyimpang. Salah satu isi rekomendasi tersebut, MUI Sragen meminta Kajari melarang peredaran dan penyebarluasan Kitab Layang Ijo — ada yang menyebut Risalah Hijau — yang menjadi pegangan kelompok pedepokan tersebut.2 Kitab Layang Ijo yang diributkan tersebut, seperti disebutkan dalam covernya, bersumber dari Kyai Mohammad Thohari Sidoarjo. Penulis pernah meneliti manuskrip Layang Ijo dalam

1 Salinan Surat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indoensia (MUI) Sragen tentang Padepokan Santri Aluwung, Dukuh Bedowo, Kecamatan Sidoharjo, Kabupaten Sragen, Propinsi Jateng tertanggal 28 Rabi’ul ’Awwal 1435 H/ 30 Januari 2014 M. 2 Selengkapnya baca, “MUI Sragen: Padepokan Santri Aluwung Menyimpang” dalam http://www.voaislam.com/read/indonesiana/2014/02/10/ 28997/-mui-sragen-padepokan-santri-aluwung-menyimpang/#sthash.mRsoabxS. dpbs (diakses, 15 Mei 2015). Baca juga, “Fatwa MUI Sragen: Padepokan Santri Alu-wung Maksiat & Menyimpang, dalam http://www.kompasislam.com/fatwa- mui-sragen-padepokan-santri-aluwung-maksiat-enyimpang/#sthash.Y1E5qVoR.- dpuf. Diakses, pada 15 Mei 2015.

342 Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said versi aslinya beberapa tahun sebelum kasus Sragen muncul, namun penulis tidak menemukan bagian yang menunjukkan penyimpangan seperti disebutkan di atas. Bahkan melalui asuhan Kyai Mohammad Thohari manuskrip Layang Ijo “masih hidup” hingga sekarang dan dibaca dalam tembang macapat setiap selapanan (35 hari) bersama jamaah tarekat Takmiliyah di Kriyan, Sidoarjo, Jawa Timur. Manuskrip Layang Ijo menarik perhatian bagi jamaah Kyai Mohammad Thohari, karena di dalamnya mengandung ajaran- ajaran tasawuf, seperti penyucian hati dan ilmu pengrasa menuju ma’rifatullah. Sejak awal, Kyai Mohammad Thohari telah dipesan oleh leluhurnya bahwa manuskrip Kitab Layang Ijo tersebut tidak boleh dibawa atau diamalkan oleh sembarang orang tanpa melalui guru, karena dikhawatirkan terjadi kesalahpahaman. Penulis pernah mencari informasi tentang keberadaan manuskrip Layang Ijo hingga sampai ke Anto Miharjo di Sragen, ternyata Kyai Mohammad Thohari menyatakan bahwa dirinya belum pernah menemukan langsung manuskripnya. Manuskrip tersebut ternyata sampai ke Anto Miharjo di Padepokan Santri Aluwung Sragen melalui orang ketiga, yakni kerabat dari Kyai Mohammad Thohari yang akhirnya diajarkan oleh Anto Miharjo dengan berbagai penyimpangan yang membuat dirinya berurusan dengan pi-hak keamanan.3 Untuk mengetahui isi manuskrip Layang Ijo, dalam tulisan ini penulis membahasnya secara detil, komprehensif, dan proporsional, agar mampu memberikan perspektif baru tentang manuskrip Layang Ijo. Dari ini kajian ini dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam memperlakukan sebuah manuskrip secara proporsional dan kontekstual. Dengan demikian, kajian filologis terhadap naskah Layang Ijo akan memperkaya khazanah sufisme Islam di Jawa, tidak hanya ajarannya, tetapi juga eksistensinya di tengah umat Islam pesisir.

3 Akibat ulah Anto Miharjo yang mengajarkan Kitab Layang Ijo dengan serampangan dan mengalami salah paham membuat Kyai Mohammad Thohari juga terkena dampaknya, sehingga pada awal tahun 2014 sempat didatangi sejumlah pihak keamanan utusan dari Kapolres Sragen dan MUI Sragen melakukan konfirmasi langsung di rumahnya, Sidoarjo. Wawancara peneliti dengan Kyai Mohammad Thohari, pada 13 Mei 2015. 343 Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366

Dalam artikel ini akan dibahas empat hal pokok, yaitu: 1) menganalisis asal-usul diperolehnya naskah Layang Ijo; 2) mendeskripsikan kondisi fisik, karakteristik dan isinya; 3) sejarah penulisan naskah Layang Ijo; dan 4) mengungkapkan nilai-nilai sufisme dalam naskah Layang Ijo serta kaitannya dengan kehidupan umat Islam sekarang.

Kerangka Teori Kerangka teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori filologi, ilmu sosial modern, dan ilmu sastra. Filologi menekankan penelitian naskah klasik yang di dalamnya juga mengkaji isi teks agar bisa dipahami, dan selanjutnya menempatkannya dalam keseluruhan sejarah masyarakat. Dengan menemukan keadaan teks dalam konteks seperti semula, maka teks dapat terungkap secara utuh. Dengan demikian, kebudayaan suatu masyarakat di mana teks berada dapat diketahui, baik dari segi pandangan hidup, seni, sastra maupun religiusitas sufistiknya.4 Tugas filologi adalah mendapatkan naskah yang bersih dari kesalahan. Hal ini berarti memberikan pengertian yang sebaik-baik dan bisa dipertanggungjawabkan se-hingga dapat mengetahui naskah yang paling dekat dengan aslinya dan sesuai dengan kebudayaan yang melahirkannya.5 Sementara disiplin ilmu sosial-modern dan ilmu sastra akan membantu dalam menelaah isi teks dalam hubungannya dengan konteks sekarang, sehingga relevansi nilai-nilai yang terkandung dalam naskah Layang Ijo bisa dimanfaatkan dalam merespon kegelisahan sosial dan spiritual masyarakat kontemporer. Fenomena sastra sufi dalam Islam lebih tampak menonjol dalam bentuk hikayat hagiografis, yaitu karangan tentang riwayat hidup atau legenda para nabi, orang-orang suci dan dalam bentuk sastra tasawuf. Keduanya sangat lekat dengan penggunaan lambang-lambang dalam menyampaikan pesannya, baik dalam bentuk 'tasawuf kitab' yang cara menyampaikan idenya lebih ilmiah

4 Siti Baroroh Baried, Pengantar Teori Filologi, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan DepDikBud, 1985), h. 5-6. 5 Edward Djamaris, Metode Penelitian Filologi, (Jakarta: CV. Manasco, 2002), h. 7.

344 Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said dan dalam bentuk 'tasawuf puitik' yang cara menyampaikan idenya lebih emo-sional dan lebih berpegang pada citra simbolis.6 Di samping itu, keberadaan naskah sastra sufi karakternya juga ditentukan oleh di mana naskah itu ditulis dan 'dihidupkan'. Misalnya dalam kaidah sastra Jawa seringkali muncul pendekatan dikotomis yang melihat sastra Jawa sebagai suatu dunia karya cipta yang otonom di satu pihak, dan sebagai upaya budaya yang senantiasa terkait dengan kepentingan-kepentingan sosial tertentu pada pihak lain.7 Dari segi substansi isi, berbagai karya satra Jawa Lama banyak dijumpai kisah-kisah petualangan tokoh fiktif atau tokoh historis yang bertemakan sejarah. Dengan kata lain, dalam karya sastra Jawa Lama banyak dijumpai peristiwa sejarah yang dijadikan bahan karyanya. Meskipun demikian, basis utama sebagai karya fiksi tetap dipertahankan, yaitu sifat imaginatif dari karya. Oleh karena itu faktor 'keaslian sejarah' (historical authenticity) bukan masalah yang paling utama. Meskipun demikian, karya-karya sastra Jawa Lama yang berlatar sejarah sebagai bahan penciptaannya selalu memiliki keterikatan kepada aspek historical truth, sekalipun kebenaran itu bersifat relatif.8 Dalam posisi seperti itu, penelitian terhadap naskah Layang Ijo yang gaya penulisannya dalam bentuk tembang Jawa — seperti Sinom, Asmaradhana, Dhandanggulo dan sejenisnya — akan diposisikan. Dengan kata lain Naskah Layang Ijo, sebagai bagian dari karya sastra Jawa Lama berlatar sejarah sufisme di Jawa, tetap memiliki nilai-nilai kesejarahan bahkan akan menjadi semacam 'atlas sufisme Jawa', karena penonjolan pada aspek locus yang banyak disebutkan secara eksplisit sebagaimana ketika menemukan makam Sultan Abdul Djalil alias Syaikh Lemah Abang di Jepara. Penelitian atas naskah Layang Ijo ini merupakan langkah yang pertama, karena menurut penuturan kolektornya, belum ada yang mengkajinya secara lebih mendalam. Apalagi dengan pendekatan filologi.

6 V.I. Braginsky, Yang Indah, Berfaedah dan Kamal; Sejarah Sastra Melayu Dalam Abad 7-19, (Jakarta: INIS, 1998), h. 435. 7 Edi Sedyawati, dkk (eds), Sastra Jawa, Suatu Tinjauan Umum, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h. 118-119. 8 Ibid., h. 178. 345 Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366

Signifikansi dan Kegunaan Penelitian Ada dua siginifikansi utama dari penelitian ini. Pertama, secara teoritis, hasil penelitian ini menawarkan alternatif konsep-konsep sufistik yang berkembang pada periode kewalian serta gambaran jejak perjuangan para wali dalam mentransmisikan Islam di pesisir Jawa. Kedua, secara praktis, penelitian ini dapat dijadikan atlas jejak para sufi pada periode kewalian, dan sekaligus sebagai pendukung dalam merekonstruksi sejarah wali dengan berbasis pada manuskrip. Dengan signifikansi tersebut, penelitian ini berguna untuk memberikan bukti akademik bahwa jejak para wali tidak hanya terekam dalam sejarah lisan (oral history), tetapi juga terdokumentasi dalam catatan manuskrip yang sarat dengan nilai- nilai sastra tingkat tinggi. Di samping itu, hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai alternatif sumber nilai dalam mengembangkan karakter bangsa dengan meneladani para wali dan para sufi yang telah teruji dan terbukti keluhuran dan kearifannya. Pada saat bangsa ini mengalami krisis karakter dan identitas, maka hasil riset ini dapat digunakan sebagai penopang bagi penguatan pendidikan karakter yang berbasis pada warisan budaya lokal, sebagaimana dikembangkan oleh para wali yang terekam dalam naskah ini.

Metodologi Penelitian a. Pendekatan Penelitian ini menggunakan pendekatan filologi dan sosiologi modern. Pendekatan filologi ditekankan dalam kajian ini dengan harapan mampu mendapatkan naskah yang paling dekat dengan aslinya, sehingga sesuai dengan konteks kebudayaan yang melahirkannya, dan agar naskah terhindar dari interpretasi yang salah. Sedangkan penggunaan disiplin sosiologi modern sebagai alat bantu dalam membedah teks naskah Layang Ijo dan relevansinya bagi kehidupan masyarakat agama di era sekarang.

346 Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said

b. Tahapan Penelitian Penelitian ini mengikuti prosedur penelitian filologi dengan tahapan-tahapan khusus.9 Pertama, melakukan inventarisasi naskah sebagai pertimbangan dalam penentuan naskah. Dalam hal ini peneliti melakukan pelacakan naskah Layang Ijo kepada kolektornya yaitu Kyai Muhammad Thohari yang berasal dari Kriyan, Sidoarjo, Jawa Timur, sebagai kolektor naskah utama yang asli, dan H. Syafi’i, juru kunci makam Ratu Kalinyamat Mantingan, Jepara, Jawa Tengah yang memiliki koleksi turunannya. Kedua, membuat deskripsi naskah, mulai dari kondisi fisik naskah, karakteristik, hingga substansi isinya. Ketiga, perbandingan antar naskah dan teks, diawali dengan pengelompokan naskah-naskah yang ditemukan yang mempunyai kesamaan judul dan isi. Kondisi fisik dari setiap naskah sangat menentukan dalam membandingkan antar naskah dan memilih satu naskah yang akan dikaji. Pilihan dilakukan berdasarkan keutuhan dan fisibilitasnya untuk dibaca. Keempat, kritik teks. Kegiatan ini diawali dengan melakukan reproduksi teks dengan menfotokopi setiap halaman naskah memakai kamera digital. Selanjutnya, dari print out hasil digital itu dilakukan tahapan-tahapan: a) tanskip, yaitu pengalihaksaraan dari akarasa Pegon ke aksara Roman, paling tidak pada bagian awal, tengah, dan akhir; b) pemberian fungtuasi (tanda baca) yang sekiranya sesuai dengan kehendak teks dengan menggunakan panduan tertentu; c) memberikan penjelasan seperlunya dengan melampirkan catatan khusus agar pembaca lebih mudah menangkap substansi maknanya. Kelima, menganalisis teks. Kerangka analisis yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan penalaran sintesis-induktif, yaitu penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena khusus (individual), lalu memadukannya untuk menurunkan suatu kesimpulan yang bersifat umum dari semua fenomena yang ditemukan. Model penalaran ini digunakan untuk melakukan

9 Titik Pudjiastuti, Naskah dan Studi Naskah, (Jakarta: Akademia, 2006), h. 161. 347 Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366 kategorisasi dan tema-tisasi atas teks Layang Ijo, serta situasi- situasi kontekstual yang mengitari informasi dalam teks tersebut10 didukung dengan kutipan hasil pengalihaksaraan dari aksara Pegon ke aksara Latin.

Deskripsi data dan Pembahasan 1. Perjumpaan dengan Naskah Layang Ijo Perjumpaan peneliti dengan naskah Layang Ijo diawali ketika peneliti melakukan penelitian seorang tentang Ratu Kalinyamat di Jepara sekitar tahun 2005. Pada suatu kesempatan, peneliti bertemu H. Ali Syafi’i, informan yang berprofesi Juru Kunci Makam Kramat Ratu Kalinyamat, Mantingan, Jepara. Ia mengoleksi buku- buku tua termasuk salinan dalam bentuk fotokopian naskah Layang Ijo. Peneliti tertarik untuk melihat naskah itu secara langsung. Lalu peneliti datang ke rumahnya, dan hanya membaca sekilas naskah itu. Pada tahun 2008, peneliti mengakajinya lebih serius untuk melacak asal-usul naskah dan berkunjung ke kolektornya, Kyai Mo-hammad Thohari, di Sidoarjo, Jawa Timur. Sebelum menemukan naskah Layang Ijo versi asli, peneliti terlebih dahulu mencermati edisi fotokopian naskah yang dimiliki oleh H. Ali Syafi’i di Mantingan, Jepara. H. Ali Syafi’i memiliki dua macam kopian: pertama, fotokopian Naskah Layang Ijo berbahasa Jawa dengan aksara Latin dan yang kedua berbahasa Jawa dengan aksara Pegon. Pada kolofon naskah versi aksara Latin terdapat penjelasan bahwa kopian naskah tersebut merupakan turunan dari naskah Layang Ijo beraksara Pegon yang ditulis ulang oleh Asmudji Al-Asmu’in Mujianto dengan Aksara Latin, yang dimulai pada 10 Oktober 1998 dan diakhiri pada 29 Juli 1999.11 Adapun pada naskah Layang Ijo koleksi H. Ali Syafi’i versi Pegon pada kolofon dijelaskan bahwa naskah tersebut adalah tulisan ulang K. Muhammad Thohari yang penulisannya dimulai pada 27 Rajab 1409 H./1989 M. Setelah dilakukan pengamatan lebih serius terhadap naskah dikoleksi oleh H. Ali Syafi’i, ternyata

10 Gillian Brown & George Yule, Analisis Wacana, (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 35-40. 11 Observasi peneliti di kediaman Kyai Mohammad Thohari, Kriyan, Jawa Timur, sebagai kolektor naskah Layang Ijo dalam versi aslinya, pada 30 Juli 2008.

348 Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said kedua naskah tersebut foto kopian dari naskah Layang Ijo yang ditulis ulang oleh Asmudji Al-Asmu’in Mujianto versi aksara Latin dan oleh Kyai Mohammad Thohari yang versi aksara Pegon. Hal ini dibenarkan oleh H. Ali Syafi’i. Menurut penjelasan H. Ali Syafi’i, kedua naskah tersebut diperoleh dari Kyai Mohammad Thohari, Kriyan, Sidoarjo setelah melakukan suatu proses lelaku tertentu. Adapun naskah Layang Ijo yang asli disimpan oleh Kyai Mohammad Thohari, Sidoarjo.12 Dengan demikian, peneliti berusaha menemukan naskah asli yang dikoleksi dan simpan oleh Kyai Mohammad Thohari, Sidoarjo. Informasi awal dari H. Ali peneliti gunakan untuk melacak lebih lanjut keberadaan naskah asli Layang Ijo yang disimpan oleh Kyai Mohammad Thohari. Dalam observasi ke Kriyan, Sidoarjo, peneliti sampai di kediaman Kyai Mohammad Thohari. Rumahnya cukup sederhana. Di ruang tamu tidak menampakkan kemewahan, justru beberapa kitab masih berserakan di meja dan hiasan kaligrafi di dinding-dinding ruang tamu. Di sinilah peneliti ditunjukkan naskah Layang Ijo hasila penulisan ulang yang ia kerjakan, se-dangkan yang asli disimpan di rumah peninggalan orangtuanya yang berjarak sekitar 2 km dari rumahnya.

Gambar 1: Kesederhanaan Kyai Mohammad Thohari (Sidoarjo), Kolektor Naskah Layang Ijo

12 Diolah berdasarkan wawancara peneliti dengan H. Ali Syafi’i pada 3 Maret 2008 dan 2 Juli 2008. 349 Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366

Menurut penuturan Kyai Mohammad Thohari, naskah Layang Ijo versi aksara Pegon sudah mengalami penulisan ulang yang dia lakukan sebanyak empat kali, antara tahun 1989-1997. Tujuan penyalinan itu adalah untuk menjaga agar naskah Layang Ijo yang asli tetap terjaga dan tidak rusak. Hasil salinan tersebut kemudian dia bagikan kepada anak dan saudara-saudaranya, agar ajaran tasawuf yang ada dalam kitab tersebut tetap terjaga dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, peneliti melacak lebih lanjut naskah yang benar- benar asli yang disimpan di rumah orangtuanya, yang kini didiami adik Kyai Mohammad Thohari. Ternyata naskah Layang Ijo tersebut masih tersimpan rapi di kotak kayu warna coklat. Peneliti melakukan pengamatan secara detil, dan di bagian kolofon justru tidak ada keterang tentang kapan dan oleh siapa naskah tersebut ditulis. Dengan mempertimbangkan kriteria naskah adalah tulisan tangan dan berusia 50 tahun, maka peneliti memutuskan naskah yang dikoleksi oleh Kyai Mohammad Thohari, yang masih tersimpan di kotak kayu sebagai naskah yang dipilih sebagai objek kajian. Naskah salinan yang lain merupakan tulisan ulang yang baru berusia sekitar 15 tahun. Meski demikian, tulisan ulang atau fotokopiannya tetap peneliti posisikan sebagai naskah pembantu dalam memahami isi naskah yang dijadikan objek kajian. Naskah Layang Ijo ini semula merupakan koleksi K. Jaelani desa Watu Tulis, Kriyan, Sidoarjo. Menurut keterangan Kyai Mohammad Thohari, K. Jaelani hidup pada masa penjajahan Belanda. K. Jaelani dikenal sebagai sosok yang kaya dan memiliki hubungan yang akrab dengan M. Fadel, yaitu ayah dari M. Thohari. Kebetulan K. Jaelani tidak memiliki anak. Dia miliki dua anak angkat, namun dinilai tidak cocok menyimpan naskah tersebut. Tidak lama setelah K. Jaelani meninggal, istrinya bermimpi. Dalam mimpi itu, ia mendapat pesan dari suaminya agar kitab ini disimpan itu diserahkan kepada orang yang benar-benar bisa menjalani isinya. “Kitab iki ojo diwehno sopo-sopo, wenehno marang wong kang iso ngelakoni” (Kitab ini jangan diberikan kepada siapapun, kecuali kepada orang yang benar-benar bisa mengamalkannya), demikian pesan dalam mimpi itu sebagaimana

350 Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said yang ditirukan oleh M. Thohari.13 Atas petunjuk yang dimiliki akhirnya kitab itu diserahkan kepada K. Fadel yang dikenal senang mela-kukan tirakat dan berpuasa bertahun-tahun, serta hidupnya hanya untuk mengabdi kepada Allah. Sedangkan M. Thohari adalah salah seorang anak dari K. Fadel yang dianggap cocok meneruskan ajaran-ajaran yang ada dalam Kitab Layang Ijo hingga sampai sekarang.

2. Deskripsi Naskah Layang Ijo Naskah ini tidak memiliki nama dan tidak diketahui pengarangnya. Dinamakan Kitab Layang Ijo (surat warna hijau) oleh kolektornya, karena kertas yang digunakan untuk menulis seluruhnya berwarna hijau (telur asin) termasuk sampulnya. Secara keseluruhan tebalnya 611 halaman dengan penomoran menggunakan angka Arab yang warnanya kurang jelas karena tinta sudah agar melebar. Ukuran naskah 31 x 14 cm, sedangkan ukuran teksnya adalah 25 x 13 cm, kecuali pada halaman 1 dan 2 yang ukuran teksnya hanya 12 x 15 cm. Sedangkan jumlah barisnya dalam setiap halaman 21 baris, kecuali halaman 1 dan 2 yang hanya 12 baris dalam garis kotak berukuran 13 x 16 cm. Sedangkan teks yang terdapat mulai halaman 3 seterusnya tanpa menggunakan kotak. Tulisan teks menggunakan bahasa Jawa aksara Pegon kecuali pada kalimah lā ilāha illallāh Muhammadurrasūlullāh yang terdapat pada bagian akhir suatu sub topik bahasan. Tulisan berwarna hitam kecuali pada kalimah lā ilāha illallāh Muhammadur-rasūlullāh setiap awal fashl yang selalu menggunakan warna merah. Warna merah juga terdapat pada baris tertentu yang memiliki penekanan arti atau maksud yang ditonjolkan. Sedangkan aksara yang digunakan adalah aksara Pegon, dengan tanpa garis panduan dan tanpa iluminasi. Teks ditulis di atas kertas Eropa warna hujau tanpa ada keterangan cap kertas. Naskah dijilid dengan hard cover berbahan karton tebal warna hijau dengan lapisan plastik putih polos. Kondisi naskah masih baik, namun pada

13 Wawancara peneliti dengan Kyai Mohammad Thohari, Kriyan, Jawa Ti- mur, kolektor naskah Layang Ijo dalam versi asli, pada 30 Juli 2008. 351 Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366 jilidan ada sebagian lembar yang mulai sobek hampir terlepas. Meskipun demikian, masih bisa diketahui bahwa naskah ini terdiri dari 30 kuras, dengan masing-masing kurang kira-kira 20-22 lembar.

Gambar 2: Cover Layang Ijo

Terkait penulis atau penyalin naskah, tidak terdapat informasi — baik di cover maupu di kolofon — yang menjelaskannya. Menurut keterangan M. Thohari, naskah ini ditulis pada zaman penjajahan Belanda sekitar abad akhir 18 M. Informasi ini sesuai dengan jenis kertas Eropa yang digunakan yang menurut para filolog sebagai jenis kertas yang dibuat pada era abad 18-an. Tidak dimunculkannya nama penulis dimaksudkan sebagai siasat politik, agar sang penulis tidak ditangkap Belanda. Karena kolonial Belanda selalu mencari tokoh-tokoh Islam yang menyebarkan wawasan pencerahan keislaman maupun gerakan yang membahayakan kekuasaannya. Agama Islam, dalam hal ini, diang-gap sebagai ancaman bagi kolonial Belanda, karena sedari awal Islam menentang penindasan dan perampasan hak-hak kemanusia-an. Itulah sebabnya, pada zaman Belanda banyak naskah yang tanpa judul dan tidak diketahui pengarangnya. Menariknya, pada saat kebebasan berpikir terbelenggu, ternyata masih ada para intelektual dari masyarakat pinggiran yang produktif menulis, demi pencerahan kepada masyarakat dan menyemaikan nilai-nilai kema-nusiaan, dan ketuhanan. Kehadiran

352 Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said

Kitab Layang Ijo adalah sebagai penanda atas gerakan intelektual yang datang dari masyarakat bawah dan pinggiran tersebut. 3. Ringkasan dan Kutipan Isi Layang Ijo Tema pokok dalam naskah ini tentang seluk beluk fenomena tasawuf dalam masyarakat perkampungan di pelosok Jawa dengan para tokoh wali sebagai figurnya. Oleh karena itu, seluk beluk tasawuf dalam wacana, kisah, sejarah, dan jejaknya sangat mewar- nai dalam naskah ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran Islam di Jawa telah memperkaya khazanah intelektual yang telah ada dan salah satunya adalah tasawuf. Bahkan tasawuf telah menjadi media islamisasi yang efektif lantaran wataknya yang toleran dan akomodatif terhadap khazanah budaya lokal sebagaimana dilakukan oleh Walisongo. Hal-hal yang tertuang dalam naskah Layang Ijo juga tidak terlepas dari hal yang telah diwariskan oleh para wali berikut ajaran tauhid yang kental serta jejak kiprahnya di tanah Jawa. Hal yang tak kalah menarik dalam naskah Layang Ijo ini adalah terekam peti- lasan dan makam sebagian wali yang setelah dirunut oleh kolektor kitab ini terbukti kebenarannya. Sebelum mendalami lebih jauh keutuhan identifikasi isi kitab ini, berikut peneliti sajikan kutipan naskah bagian awal, tengah, dan akhir.

Bagian Awal: “Lā ilāha illallāh Muhammadurrasūlullāh. Ingsun ami-witiamuji anyebut asmaning Allah. Kang murah ing dunya mangke kang asih ing akhirat. Pamijine pamujine datan pegat. Angganjar wong mukmin kang tuhu. Angapura dosa-nira. Faslun sigeg kang winarni. Anutur lampah kang kino. Saking Adam iku asale. Ana kang dadi maulana. Ono kang dadi auliyak. Saking Adam asalipun. Nabi Adam apeputra. Wolung dasa sanga iki. Putrane Nabi Adam. Nabi Sys ninggih putrane. Nabi Sys apeputra kaleh sami Jalu nira. Kang sepuh wastanipun. Raden Anwas wastanira. Nurcahya ingkang weragil. Raden Anwas apeputra. Raden Kinad nenggeh wastanira. Raden Kinad apeputra. Raden Mustakhil wastanira. Raden Mustakhil asesunu. Raden Majid wasta-nira. Raden Majid asesiwi. Nabi Idris wastanira.”14

14 Bagian awal naskah Layang Ijo, koleksi Kyai Mohammad Thohari, Kriyan, Sidoarjo, Jawa Timur. 353 Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366

Gambar 3: Bagian Awal Naskah Layang Ijo

Bagian Tengah: “Lā ilāha illallāh Muhammadurrasūlullāh. Wonten kawruh jenenge ahurip. Azalullah kang denwicara. Martabat pitu arane. Iku wiwita nguyup. Dzat semata ngaweruhi diri. Tan mawi kenyataan nafi jatinipun. Pan dereng amawi kersa. Martabate. Ahadiyah kang amiwiti. Aran Sarihul Adam. Akasara La ingkang amiwiti. Ahadiyah dunungi ing La. Pan sekawan kathahe nafine...ingkang dingin nafi maslub. Kaping kalih ingaranan tahlil. Kaping tiga tasbih ika.Sekawan punika. Tegese maslub. Tan ana. Werna rupa ora ruh ora jisim. Jisime wewangunan. Tegese ingkang nafi tahlil. Tan wiwitan….maha sici ing Yang Agung…Anging Allah ingkang Tunggal. Tan loro tetelu. Tan ana pangeran liyan. Anging Allah kang sinembah kang sinuji”15

15 Bagian tengah naskah Layang Ijo, koleksi Kyai Mohammad Thohari, Kriyan, Sidoarjo, Jawa Timur.

354 Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said

Gambar 4: Bagian Pertengahan Naskah Layang Ijo

Bagian Akhir: “Nyata Ratu kang luwih mulya. Derajate para wali. Perintahe lir gula derawa. Ewestoke sukma jati. Ambune kebak Gesturi. Nerus Sapta ganda aruum. Lir gandane suwarga. Angalih wonten jasmani. Dewe ruhiyah sukmajati dadi tunggal. Pepegane kang anyurat. Oleha berkate para Wali. Oleha berkate Qur’an. Oleha berkate para Nabi. Oleh berkate Jeng Gusti. Rasulullah Gusti kang Luhur.Oleha berkate wong tuwa. Para ulama lan para mukmin. Lan oleha pangapuraning kang burbeng alam. Tammat. Wallāhuhu a’lam”16

16 Bagian akhir naskah Layang Ijo, koleksi Kyai Mohammad Thohari, Kriyan, Sidoarjo, Jawa Timur. 355 Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366

Gambar 5: Bagian Akhir Naskah Layang Ijo

4. Jejak dan Tema-Tema Tasawuf dalam Layang Ijo Tasawuf merupakan bagian dari salah satu cabang ilmu dalam tradisi Islam selain Kalam, Fiqh, dan Falsafat. Di Jawa, proses transmisinya tidak terlepas dari sentuhan para wali yang menjadikan Islam di Jawa lebih berwarna sufistik dengan segala macam modelnya. Hal ini juga seperti disinyalir oleh yang menilai bahwa suasana tasawuf telah meliputi Indonesia selama berabad-abad, sejak awal perkembangan Islam pada abad ke-13 dan ke-14 M. Sampai pula ke Indonesia tarekat-tarekat dan tasawuf dengan berbagai tokoh dan coraknya.

356 Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said

Fenomena tersebut diperkuat dengan rekaman jejak tasawuf yang tertuang dalam naskah Layang Ijo yang kalau dipetakan setidaknya mencakup hal-hal sebagai berikut: a. Jejak Petilasan Para Wali Semua informasi yang terdapat dalam Naskah Layang Ijo selalu diilustrasikan dalam wujud tembang Jawa dengan segala macamnya. Oleh karena itu, penekanan pada sajak dan panjang suku kata sangat diperhatikan dalam deskripsi kalimatnya. Tentang jejak petilasan wali dapat dicermati pada perjalanan Raden Abdul Jalil yang sebagian kelompok masyarakat mengenal sebagai Syekh Siti Jenar, dalam kutipan berikut:

(SINAMBIR DANDANG TEMBANG): “Wus pamit Ra-den Abdul Jalil. Ing Jeng dento mulyo. Tumulya lumampah mudun jurang amunggah gunung. Lampah ira Raden Abdul Jalil. Tan kawerno ing marga. Jepara wus rawuh. Tumulyo kendel ning wono Siti Jenar wono parek ning pesisir. Abdul Jalil adedekah.17

Kutipan ini menunjukkan bahwa Raden Abdul Jalil yang tidak lain sebagai murid dari Sunan Ampel setelah keilmuannya dianggap cukup, akhirnya ‘turun gunung’ dan memasuki kawasan Jepara, di sekitar perkampungan Siti Jenar daerah pesisir. Informasi awal ini menjadi menginspirasi K. Muhammaad Thohari untuk membuktikan kebenarannya. Maka ia berkunjung ke Jepara, sekitar tiga tahun yang lalu, untuk mencari bukti terkait petilasan Raden Abdul Jalil di Jepara. Ternyata keberadaannya memang benar, bahkan makam-nya bisa ditemukan di komplek makam Kramat Ratu Kalinyamat Mantingan, Jepara. b. Misi Para Wali (BERONTO KINGKENG TEMBANG) “Mangkono sang adi murti. Umatur ing . Dawek kang emas kesah mangke. Talabul ilmu kelawan amba. Munggah haji da-teng Mekah. Sunan bonang kang anurut semedyo ing kakbah tullah … Kinon ngislam aken singgeh. Yudane tanah Jawa…”18

17 Naskah Layang Ijo, koleksi Kyai Mohammad Thohari, Kriyan, Sidoarjo, Jawa Timur, h. 166. 18 Ibid., h. 123. 357 Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366

Kutipan di atas memberikan informasi bahwa para murid Sunan Bonang, yaitu para Wali di Jawa, diberikan mandat untuk mengislamkan tanah Jawa, baik melalui menuntut ilmu maupun ritual ibadah haji. Artinya setelah menjalankan ibadah haji, sebaiknya seseorang kembali ke Jawa untuk menyebarkan ilmu dan islam di tanah Jawa. c. Lelakon Para Wali (RONDRA TILAR TEMBANG) “Kacapo lampahe auliyah. Nejo tafakur alinggih. Kelanggung beronto nira. Amicoro ilmu sejati. Angen-angen wahdatut tauhid lawan ngaji ilmu junun. Ushuluddin lan makrifat. Lawan ngaji ilmu fana’i. pan punika lampahe para auliya. Tafakure ahadiyah mboten den alem jalmi. Lan mboten nejo ganjaran. Netepi bekti Widi. Lan mboten manah ajreh. Neraka samning makhluk.”19

Teks di atas memperkenalkan lelaku para wali yang selalu menunjukkan sikap tafakur untuk menemukan ilmu sejati. Tafakur menjadi kata kunci dalam lelampahan (sikap) para wali sehingga mereka bisa mencapai derajat yang tinggi. Hal ini sejalan dengan spirit Islam yang populer di telinga: ad-dīn huwa al-’aqlu lā dīna liman lā aqla lahu. Agama itu membutuhkan nalar (tafakur), maka bagi yang beragama tapi meninggalkan tafakur, maka keberagamaannya tentu disangsikan. Hal yang menarik dari tafakur para wali bukan karena ingin mendapatkan ganjaran atau takut kepada neraka, atau ingin dipuji orang lain, tetapi semua itu dilakukan semata-mata bentuk cintanya kepada Sang Pencipta. Tafakur inilah yang akan mengantarkan mereka pada wahdatut tauhid, ilmu junun, ushuluddin, hingga ma’rifah kepada Allah. d. Ilmu Roso Pangrasa (ASMARADANA TEMBANG) “Jeng amurwani. Anrerembug ing ilmu roso. Mengkono pangandikane. Man arafa nafsahu ing pamanggih kawulo. Faqad ‘arafa rabbahu. Sesucine raga nira; Hadas akbar lan asghare. Syahadat shalat lan puasa. Anenggeh ing

19 Ibid.

358 Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said

wulan Ramadhan. Zakat fitrah munggah hajiya. Mung angen-angenira. Turune nafas ireku. Howonipun lawwamah”20

Kutipan di atas memberikan pelajaran kepada pembaca perihal ajaran Sunan Giri tentang ilmu rasa pangrasa. Ilmu rasa pangrasa hanya bisa ditemukan manakala setiap insan memahami kesejatian dirinya (man ‘arafa nafsahu) atau dalam bahasa Jawa sering dikenal dengan eling wetone, ingat jatidirinya. Hal inilah yang mengantarkannya hingga ma’rifah kepada Allah (faqad ‘arafa rabbahu). Oleh karena itu, agar manusia mampu menemukan jatidirinya perlu melakukan perenungan-perenungan dengan menjaga kesucian jiwa dan raga dengan tetap melakukan ibadah sebagai jalan syari’at: shalat, puasa, zakat dan seterusnya yang dilandasi dengan semanat tauhid (syahadah) agar menghadirkan emosi positif dan menghindarkan nafsu negatif. e. Jalan Ṭariqah Jenenge torekot iki dedalane wong lumampah. Dumateng Allah kersane. Pepitu kang lumampahan. Sawiji iku atobat. Tegese tobat puniko. Anuwun ing pangapuro: ing dzat kang maha suci. Lamun dosa maring Allah. Ingkang akeh pane-bute. Lamun dosa ing manungso. Kebat sira anjaluko. Halale wong puniko. yaiku kaweruhana: kaping kaleh amertapi. Tegese topo puniko. Munkir donyo ing manahe. Ananging ngalap sekedar. Cukupe sangu ibadah. Sedino lawan sedalu. Ibadah marang pangeran: ingkang kaping tiga niki ang-ngangguwa ati kuna’ah. Anenggih kuna’ah. Anerimo pandume Allah. Ngalap cukup ingkang ana. Yen kurang tan kena wadol. ing Allah miwah sesama: kang kaping sekawan niki puniko apan tawakal. Nenggih tawakal meniko tegese. An-rima pasrah ing Allah. Lir kadio jalmo kang pejah. Sinirom miwah den bungkus. Kang pejah mendel kewala: ora jaluk dipun dusi miwah jaluk datheng liyan. Naliko mayit adusi. Nanging wong kang gesang. Puniko kang gadah kerso. Ngedusi miwah ambungkus. Dumateng tiyang kang pejah: ingkang kaping lima niki anganggowa ati kang shobar. Ninggih shobar iku tegese ambahu rekso ing manah. Derapun aja ngresulo. Ngabekti mareng yang agung. Siang dalu ora pegot: lan malihe aja sedeh anyegah laku maksiyat sumerto fekir miskine. Puniko aja susah kena coba. Belahi saking yang agung. Tumibo dumateng sira: ingkang kaping nenem niki. Puniko syukur ing Allah. Anenggih syukur tegese, wuningo sedaya nikmat. Kang tumiba ing badan. Iku Allah kang maha agung. Paring nikmat ing kawulo: … ingkang kaping pitu niki anganggowo ati kang ikhlas. Pan ikhlas iku

20 Ibid., h. 145. 359 Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366

tegese sedoyo amal ibadah. Anediyo bekti ing Allah. Dateng nediyo ing liyanipun. Allah ingkang maha mulya.”21

Kutipan di atas menunjukkan jalan (ṭariqah) yang dilakukan oleh para wali. Di antara tahapan jalan ṭariqah itu antara lain: 1) melakukan taubat, yaitu memohon ampunan kepada Allah dengan tekad untuk tidak mengulanginya. Bila dosa berhubungan dengan manusia lain (horizontal) juga harus segera meminta maaf. Saling memaafkan adalah bagian dari jalan taubat; 2) tidak terperdaya oleh hal-hal duniawi. Materi tidak dijadikan sebagai tujuan, sehingga dalam berhubungan dengan urusan keduniawian tidak sampai melalaikan urusan cintanya kepada Allah. Dunia sebagai sarana untuk ibadah kepada Allah; 3) qana’ah, yaitu menerima hal-hal yang dimilikinya namun tetap berusaha untuk lebih maju. Kekurangan atau kegagalan tidak menjadikannya merendahkan diri apalagi kepada Allah; 4) tawakkal, yaitu sikap pasrah total kepada Allah atas semua persoalan yang dihadapi, baik yang pahit maupun yang manis. Sikap pasrah ini dianalogikan bagaikan mayat yang tidak minta dimandikan, tetapi biarlah orang yang masih hidup yang memandikannya. Artinya, sikap pasrah itu tidak akan menyalahkan pihak lain, apalagi menuntutnya secara berlebihan atas masalah yang dihadapi manusia; 5) syukur, yaitu selalu mengingat atas nikmat yang diberikan Allah bahkan dari yang nampak sepele sekalipun. Seperti nikmat bernapas secara gratis atau aktivitas tubuh lain yang seringkali dinafikan oleh manusia. f. Menyatunya Syariat dan Hakikat (RONDRA TILAR TEMBANG) “Jenenge hakikat iki. Kawulo sampun tumeko. Lumampahan dateng gustine. Opan sampun pepanggihan. Allah weruh ing kawulo. Kawulo we-ruh yang Agung. Nanging Allah weruh tanpa werno: Sapa ingkang seja kepanggeh ing Allah. Kang Maha mulya. Nge-lampahi tharikate. Syariat iku den tinggal. Sejatine tan tumeko. Lir kadyo wong nunggang perahu. Layaran ning daratan… ono wong seja kepanggeh. Duamteng Allah kang Mulya. Ngelampahi syare’ate. Tharikat iku den tinggal. Seja-tine tan tumeko. Lir kadi wong nyeberang laut. Ning tengah tanpa tunggangan”22

21 Ibid., h. 156-157. 22 Ibid., h. 150.

360 Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said

Kitab Layang Ijo lewat kutipan di atas memberikan pemahaman bahwa antara syari’at dan haqiqah harus berjalan beriringan dan tidak menafikan yang lain. Haqiqah itu bagian dari bentuk kehadiran diri yang terasa begitu dekat dengan Allah, bahkan sempat ‘bertemu’ untuk komunikasi secara lebih dekat. Atau paling tidak hamba merasa melihat Allah, demikian sebaliknya Allah melihat hamba-Nya, sehingga ada komunikasi dua arah begitu mesra. Apabila ada hamba ingin berjumpa dengan Allah hanya menempuh jalan haqiqah dan mengabaikan syari’at, hal ini diumpamakan orang naik perahu di daratan. Demikian juga sebaliknya, menja-lankan syari’at, tetapi mengabaikan haqiqah bagaikan menyebe-rang lautan tetapi tanpa perahu. Maka keduanya harus berjalan secara seimbang dan saling menguatkan. g. Ilmu sejati (SINOM TEMBANG) Raden Abdul Jalil punika meksih wonten ing ngampel Gading. Sekelangkung beronto nira. Amicara ngelmu sejati. Nulya ngaji wahdatut tauhid. Lawan ngaji ilmu junun. Ushuluddin lan makrifat. Lawan ngaji fanak. Ingkang mulang kanjeng Sunan Ngampel dento; … kailmuan gangsal punika. ngelmu kang bakal dadi terange manah kawula. Kanjeng Sunan sabda aris. Ilmu wahdatut tauhid iku tegesera.: sanubari kang amicara. Kawula tunggal lan gusti. Gusti tunggal ing kawula. Apan kumpul dadi siji. Ing dalem kalimat takbir. Munajat maring Yang Agung. Tan ana gusti kawulo. Kawula pan dadi gusti. Pan sanepo kadi jeni awor tembaga: Wus ilang jenenge tembaga. Sumerta arane jeni. Ananging ingkang gumebyar. Iku cahyanipun jeni:Abdul Jaling sira kang titi. Kinayah kang kaya iku. Pan Gusti dudu kawulo. Lebure papan lan tulis. Allah iku kumpule tanpa gepokan. Ilmu Junun teges ira. Kawulo tan biso amikir. Ing Dzate Allah ta’ala. Wujude amung satunggal. Sumerta tan owah gingser. Pangeran kang Maha Agung. Sedaya kawulanira satingkah polahe pasti. Bebarengan ing Allah kang Maha Mulya: Ushuluddin teges ira. Tafakure sanubari. Kawula iku lumampah. Ing Allah kang Maha Suci. Anangung Allah barengi. Ing kawula lampahipun. Lumampah tan mawi pisah. Kalan manungsa: Tegese ilmu makrifat. Tafakure sanubari. Arep weruh pangeran ira. Ningali dumateng diri. Tan bisa wujud pribadi. Sarta wujude suwung. Cangkeme tan bisa ngucap mata kaleh tan paget ningali sumertane badane tan bisa polah: sedoyo tingkahe jalma. Pangucap lawan ningali. Puniko Allah kang karyo manuso iku barengi. Ananging datan dayani.

361 Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366

Kawulo pertingkahipun. Mung Allah kang maha mulya. Anduweni sifat qodar. Dadi pasti anane Allah Taala”.23

Ilmu sejati merupakan ilmu yang dipegang teguh oleh para wali yang menurut versi kitab Layang Ijo setidaknya meliputi empat poin: a) ilmu wahdatut tauhid, yaitu menyatunya hamba dengan Tuhan, namun menyatunya tanpa bersentuhan. Meskipun tidak bersentuhan, namun efek pencerahannya begitu terasa bahkan dampaknya mampu melahirkan cahaya suci yang menjadikannya pribadi memperoleh derajat baru yang lebih tinggi; b) Ilmu Junun, yaitu kesadaran akan kehadiran Allah dalam segala aktivitas dalam dirinya, lahir maupun batin, sehingga proses transendensi selalu terjadi dalam melihat realitas yang dihadapinya; c) ushuluddin, yaitu hati sanubari yang bertafakur, dalam meniti kehidupan nyata, sehingga seakan tidak ada ruang untuk berpisah dengan-Nya; d) Ilmu ma’rifah, yaitu kerinduan ingin berjumpa dengan Allah dan menemukan nikmat kehadiran-Nya, meski dalam suka maupun duka, sehingga memperkuat eksistensi wujud Ilahi secara mutlak. h. Ramuan Bening Hati (SINOM TEMBANG) “Abdul Jalil matur enggal. Dateng Sunan Ngampel gading. Duh gusti tinggal kawulo. Ing Allah kang Maha Suci. Punika dereng bening. Peningal meksih belawur. Jeng Sunan Lajeng Sabdanya. Atinira Meksih sakit. Jampinan racikan lima kathahe; Sawiji amaca Qur’an. Sarta weruh makna neki. Peng kalih ngurangi pangan. Derapun padang ingkang ati. Peng tiga melek ing wengi. Tafakur marang Haynag Agung. Kaping pat anyegah hawa. Peng lima nyebut. Datan pegot nebut Allah den sareng nafas.”24

Di saat banyak orang mengalami dan dihantui kegelisahan dan stress, kitab Layang Ijo memiliki konsep bening hati yang bisa dilakukan sebagai terapi dengan tahapan sebagai berikut: 1) membaca Al-Qur’an dengan merefleksikan maknanya; 2) mengurangi makan dan makan secukupnya; 3) banyak tadabur dan tafakur pada malam hari, sehingga menemukan kesejatian dirinya; 4) mencegah hawa nafsu yang mengajak pada kemunkaran; dan 5) banyak zikir kepada Allah dalam setiap napas.

23 Ibid., h. 161. 24 Ibid., h. 162.

362 Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said

i. Jalan Kematian Syekh Siti Djenar: (RONDA TILAR TEMBANG) “Kawula ngutus gusti. Wahu Kanjeng Sunan Bonang. Kinen animbali wiyose. Ing paduka Siti Jenar. Saringa lampah kawula. Siti Jenar Lajeng amuwus. Maturo ing gusti nira: Siti Jenar ora ana ngriki. Amung Allah ingkang ana. Punang utusan lon ature. Lingsir saking wisma nira. Tan adangu sampun perapto. Ngersane jeng sinuwun. Jeng Sunan Lan ngendika.”25 Kang duta matur agelis. Siti Jenar lawan Allah karo tinimbalan age. Sesarengan lawan kawula. Yato angleng siti Jenar. Iya duta ingsun melu. Sigera sareng lawan kang duta: yato wahu sampun perapti. Siti Jenar ning ngarso Sunan. Wus sami atata linggihe. Siti Jenar uneng tengah. Para wali ngapet sedaya. Sunan bonang ngandika arum. Maring ika: Lah Sunan Kudus den agelis. Siri Jenar anarik pedang. Siti Jenar giya pinedang. Gulune pegar wus rampung. Rahnya pethak nulya amedal: Gondone emerebuk wangi. Siti Jenar pan wus Seda. Nenggeh wahu punag layune. Mumbul dateng angkasa. Sunan Kudus angandika. Eh Siti Jenar sira iku. Patimu lir perayangan;”26

Kitab Layang Ijo juga merekam jejak kematian Syekh Siti Jenar. Teks di atas menunjukkan bahwa jalan kematian Syekh Siti Jenar tidak lepas dari keputusan para wali, dengan Sunan Kudus sebagai eksekutornya. Namun alasan di balik keputusan para wali mengeksekusi Syekh Siti Jenar tidak lepas dari perbedaan pandangan yang tampaknya Syekh Siti Jenar lebih mengedepankan haqiqah, kurang memberi tempat pada syari’ah, sementara Dewan Wali mendudukkan haqiqah dan syari’at secara beriringan. Kalau melihat konstrusksi sosial keagamaan masyarakat Jawa pada zaman itu, keislamannya masih awam, sehingga pemikiran Syekh Siti Jenar dengan manunggaling kawulo gusti, belum bisa dipahami secara benar dan akan mudah menyesatkan orang awam. Atas pertimbangan itu, Dewan Wali memutuskan untuk mengeksekusinya. Begitu Syekh Siti Jenar wafat, ternyata bau harum menebar di sekitar jenazahnya. Hal ini sebagai isyarat bahwa jalan kematian Syekh Siti Jenar penuh misteri. Sedangkan ajarannya bisa jadi sebagai bentuk keyakinan sufistiknya yang lebih tinggi. Namun kearifan Dewan Wali juga tidak bisa diabaikan,

25 Ibid., h. 146. 26 Ibid., h. 147. 363 Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366 karena mereka sadar akan kondisi keberagamaan umat ketika itu yang imannya masih lemah, karena baru mengenal Islam.

Penutup Kehadiran kitab Layang Ijo memberikan pelajaran kepada pembaca bahwa tradisi menulis di Jawa sebenarnya telah tumbuh dari zaman ke zaman dan sekaligus sebagai respon dan rekam jejak kehidupan yang menonjol pada zamannya. Naskah kitab Layang Ijo hidup dalam konteks sejarahnya pada kehidupan Wali Sanga, meskipun isinya melampaui dari sekedar cerita Wali Sanga. Kehadirannya merupakan sebuah bukti bahwa menulis adalah perlawanan, karena tradisi menulis yang anonim tidak lepas dari strategi politis agar identitas pribadinya tidak diketahui oleh pihak lawan. Kalau direnungkan dari sisi isi naskah, naskah ini memberi semangat bagi pembaca untuk selalu memikirkan atas realitas yang dihadapinya. Misalnya tentang perilaku para Wali yang selalu menunjukkan sikap tafakur, hal ini tidak lepas dari penekanan pada potensi pikir dan zikirnya, agar manusia paham akan realitas, termasuk realitas jatidirinya, baik sebagai individu, makhluk sosial, budaya, maupun politik. Tafakur yang ditarik pada ranah yang lebih luas, beyond transendental akan melahirkan kesadaran kritis yang melahirkan kesadaran relasi antara yang menguasi dan dikuasai, yang mendominasi dan didominasi, dan hingga kesadaran antara yang dijajah dengan yang menjajah. Wajarlah bila kolonial Belanda, sebagaimana dituturkan oleh kolektor naskah ini, selalu melakukan operasi besar-besaran terhadap para penulis naskah yang menggugah semangat rakyat. Kitab Layang Ijo juga menjadi panduan singkat tentang jejak para Wali dan sekaligus dapat dijadikan sebagai atlas Wali Sanga yang hingga sekarang jejak dan eksistensinya masih kontroversial. Hal yang paling menarik, nilai-nilai ajaran tasawuf, pendidikan akhlak, dan resep bening hati yang ditawarkan dalam naskah ini memberikan inspirasi bagi pihak yang sedang dilanda krisis moral dan tekanan hidup yang berkepanjangan sebagaimana yang dialami bangsa ini. Ajaran-ajaran kehidupan dalam naskah ini tampak begitu sederhana, namun penerapannya bukan hal yang mudah. Misalnya bagaimana memosisikan dunia materi di tengah hiruk

364 Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said pikuk manusia yang berpikir materialistis; segalanya diukur dengan aspek material, sedangkan aspek spiritual-mental nyaris termarginalkan. Kitab Layang Ijo ini mengajak pada hidup secara seimbang antara hakikat dan syariat, lahir dan batin, material-spiritual, hingga urusan dunia dan akhirat. Jejak para Wali yang terekan dalam naskah ini sekaligus menghadirkan figur imaginer yang meskipun sudah tidak ada bisa didaur ulang sebagai figur yang dihidupkan dalam konteks sekarang. Ketika bangsa kita sedang dihadapkan pada krisis keteladanan, maka kehadiran para Wali yang sarat dengan nilai-nilai kearifannya bisa memberikan api pengobar dan sekaligus menyadarkan bahwa masih banyak teladan di masa lalu yang bisa dihadirkan kembali. Bukan untuk mengkultuskan, tetapi darinya kita bisa belajar tentang kepemimpinan, jejaring dakwah, hingga menajemen kader. Dalam banyak hal Wali Sanga cukup memiliki kekayaan pengalaman, sehingga meskupun mereka memiliki generasinya masing-masing, namun jaringan pendidikan dan dakwahnya begitu membumi dan mengakar, bahkan hingga seka-rang warisan budayanya masih terlihat hingga sekarang. Pada saat bangsa ini sedang bangkit menggerakkan pentingnya pendidikan karakter dan budaya, maka warisan nilai-nilai sufistik yang sarat dengan keluhuran etis-estetis dan kesadaran spiritualitas yang tinggi sebagaimana diajarkan para wali tersebut, dapat dijadikan sumber inspirasi dan peringatan pentingnya menjadi bening hati agar manusia tetap bermartabat. Karena kitab Layang Ijo dinarasikan dalam bahasa Jawa yang kaya akan bahasa simbolik dengan nilai sastra yang tinggi, maka mengkajinya membutuhkan guru atau mursyid, agar kesalahpahaman — sebagaimana terjadi di Padepokan Santri Aluwung, Sragen, Jawa Tengah — tidak terulang kembali. Pendidikan karakter perlu memperhatikan pendidikan hati nurani sebagaimana difokuskan dalam ajaran tasawuf, agar hati tetap bercahaya, sebagaimana para Wali mengamalkannya. Melalui ajaran para wali yang terekam dalam naskah ini, generasi kita dapat belajar bagaimana karakter bisa dibangun bersendikan nilai-nilai sufistik dengan menyeimbangkan antara kebutuhan ruhiah dan badaniah. Wall±hu a’lam bi al-£aw±b.

365 Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366

Daftar Pustaka Baried, Siti Baroroh. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Dep.Dik.Bud. Braginsky, V.I. 1988. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal; Sejarah Sastra Melayu Dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS. Brown, Gillian & Yule, George. 1996. Analisis Wacana. Jakarta: Gramedia. Djamaris, Edward. 2002. Metode Penelitian Filologi. Jakarta: CV. Manasco. Drewes, G.J.W. 2002. Perdebatan Walisongo Seputar Ma’rifa-tullah. : Al-Fikr. Huda, Nurul. 2005. Darma Gandhul, Tragedi Sosial Historis dan Keagamaan di Penghujung Kekuasaan . Yogyakarta: Purapustaka. Labib MZ. t.th. Kisah Lehidupan Walisongo, Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa. Surabaya: CV. Bintang Timur. Mas’ud, Abdurrahman. 2004. Intelektual ; Perhelatan Agama dan Tradisi. Yogyakarta: LKIS. Mulkhan, Abdul Munir. 2001. Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar. Yogyakarta; Krasi Wacana. Pudjiastuti, Titik. 2006. Naskah dan Studi Naskah. Jakarta: Akademia. Purwadi. 2001. Babad Tanah Jawa, Menelusuri Jejak Konflik. Yogyakarta; Pustaka Alif. Sedyawati, Edi, dkk (eds). 2001. Sastra Jawa, Suatu Tinjauan Umum. Jakarta: Balai Pustaka. Shihab, Alwi. 2001. Islam Sufistik; Islam Pertama dan Pengaruhnya hingga kini di Indonesia. Bandung: Mizan.

366