DARI BUGIS KLASIK KE BUGIS ISLAM: STUDI SASTRA ATAS BOTTINNA I LA D ẾWATA SIBAWA I W Ế ATTAWEQ (BDA)

Classic to Islamic Buginess: Literary Study towards I La Dewata Sibawa I We Attaweq (BDA)

Andi Muhammad Akhmar Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin Jalan Perintis kemerdekaan, Km.10, Makassar Ponsel 081392121488 Pos-el: [email protected]

Abstrak Para penyusun buku Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Sulawesi Selatan memasukkan sejumlah naskah yang berisi kisah perkawinan La Déwata dan Wé Attaweq ini dalam kelompok naskah /sastra Galigosementara, Kern dan Matthes justru menganggap naskah –naskah tersebut bukan bagian dari siklus ( cyclus ) La Galigo . Perbedaan pandangan pendapat ini memunculkan masalah yang menjadi fokus utama penelitian ini, yaitu bagaimana pergeseran bentuk-bentuk formula dan komposisi cerita dari kedua pandagan terasebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap bagaimana pergeseran bentuk-bentuk formula dan komposisi cerita dalam BDA dalam kerangka pergeseran penciptaan teks dan tanggapan pembaca. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan metode resepsi sastra dalam analis datanya. Selain itu, kedua naskah BDA diperiksa dengan menggunakan teori rumus, semiotika, dan penerimaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari segi komposisi puisi, teks BDA versi klasik mengikuti sistem formula puisi La Galigo. Sementara itu, teks BDA versi islam memperlihatkan dua jenis kombinasi formula, yaitu kombinasi bersifat tetap dan kombinasi bersifat tidak tetap. Demikian pula struktur penceritaan pada kedua teks yang diamati memperlihatkan perbedaan yang menonjol. Pada teks BDA versi klasik hanya memuat memuat satu téreng (episode) yang isinya menceritakan satu peristiwa upacara perkawinan. Sementara itu, teks BDA versi Islam, memaut kisah yang luas, yaitu tujuh kali peristiwa perkawinan, dengan perluasan-perluasan cerita yang terdapat di dalamnya. Kata kunci : BDA, komposisi, formula, pergeseran

Abstract The authors of Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Sulawesi Selatan entered some texts that contains the story ofthe wedding of La Dewata sibawa Attaweq in La Galigo texts meanwhile, Kern and Matthes actually considered the manuscripts are not the part of La Galigo cyclus. The difference of this point of view raises a problem that becomes the main focus of this study , how the form shift in two compositions of both point of view. The purpose of this study was to reveal how the shifting shapes and composition

1

formula in the story within the framework of the shift BDA text creation and reader response . This research was a qualitative descriptive method with used literary reception in the data analyst . In additio , both texts BDA examined using the formula theor , semiotics, and acceptance. The results showed that in terms of the composition of poetry ,BDA text version of the classic poem follows the formula La Galigo system. Meanwhile, BDA text version of Islam shows two types of combination formulas, namely a combination of permanent and non-permanent character combinations. Similarly, the structure of storytelling in both the observed texts show marked difference . In the classic version of the BDA text contains only load one Tereng ( episodes ) that tells the events of the wedding ceremony. Meanwhile , BDA text version of Islam , bind extensive story , which is seven times the event of marriage ,with extensions stories contained there in . Keywords : BDA , composition , formula , shifting

PENDAHULUAN Naskah Bottinna I La Déwata sibawa I Wé Attaweq (selanjutnya disingkat, BDA) yang dijadikan sebagai objek material dalam penelitian ini adalah sejumlah naskah ( manuscript ) Bugis yang berisi kisah tentang asal-usul, proses kelahiran, dan perkawinan dua orang keturunan dewa, yaitu La Déwata dan Wé Attaweq. Tokoh La Déwata adalah putra dari Téjjarisompa Lettémangkellang Batara Wéwang, pendiri kerajaan Wéwangriu dari dunia bawah tanah, Peretiwi ,yang pada saat masih dalam rahim ibunya, Patotoé (Sang Penentu Nasib) memindahkannya ke dalam kerang emas (Kern, 1989:540-666). Demikian pula Wé Attaweq, diciptakan oleh Patotoé dari buah maléwé dan dari biji mata Datu Paligeq (isteri dari Patotoé), lalu berubah menjadi kerang emas yang kemudian dititipkan dalam rahim seorang perempuan (Paeni, dkk, 2003:391-2). Pesta perkawinan kedua keturunan dewa ini berlangsung di bumi (dunia tengah atau Kawaq) dan dihadiri sejumlah dewa-dewi dari langit, dunia atas atau Boting Langi (Paeni, 2003: 460-1). Para penyusun buku Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Sulawesi Selatan memasukkan sejumlah naskah yang berisi kisah perkawinan La Déwata dan Wé Attaweq ini dalam kelompok naskah La Galigo /sastra Galigo (Paeni, 2003:972-3). Sebagaimana diketahui bahwa La Galigo adalah sebuah epik-mitologis orang Bugis yang berasal dari zaman pra-Islam (lih. Pelras, 2006:63). Karya ini adalah sebuah epos yang berisi tentang penciptaan dunia dan penciptaan manusia atau asal-usul manusia pertama yang mendiami dunia (Arsuka, 2003: 208-211). Karya ini juga mengisahkan saat dinasti I La Galigo berkuasa dan hidup selama enam generasi turun-temurun pada beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan dan daerah atau pulau-pulau sekitarnya (Pelras, 2006:35). Tokoh-tokoh dari kalangan dewa dan keturunannya yang dikenal, antara lain Patotoé, yang bertakhta di langit dengan putranya yang diutus memerintah ke bumi dan menjadi cikal bakal raja-raja yang memerintah di kerajaan Luwuq. Dapat diduga bahwa sekurang-kuranya ada tiga alasan utama tim penyusun katalog di atas memasukkan naskah BDA ke dalam kategori La Galigo . Pertama, sejumlah tokoh dalam La Galigo , seperti Patotoqé, Paligéqé, Téjjarisompa, dan lain-lain memiliki kaitan

2

langsung dengan tokoh dan peristiwa dalam BDA. Kedua, tempat berlangsungnya peristiwa yang diceritakan dalam BDA sama dengan tempat yang diceritakan dalam La Galigo , seperti Boting Langi (langit atau dunia atas), Peretiwi (dunia bawah), Wéwangriu , dan lain-lain. Ketiga, adanya persamaan ciri-ciri bahasa, seperti penggunaan metrum dan irama (suku kata). Berbeda dengan pandangan tim penyusun katalog di atas, Kern dan Matthes justru menganggap naskah ini bukan bagian dari siklus ( cyclus ) La Galigo (Akhmar, 2012:76). Hal ini terlihat pada katalog La Galigo baik yang disusun oleh Matthes maupun Kern yang tidak mencantumkan naskah BDA di dalamnya. Menurut Kern (1954, 263-4; lih juga Koolhof, 2003:25), BDA hanya merupakan tiruan dari La Galigo . Bahkan tiruan itu dipandang buruk karena terdapat formula-formula Arab dalam bentuk doa-doa agama Islam yang terserak di sekelilingnya, seperti sadakahumullahu alaihi tawakkalna astagfirullahu rabbahu yang artinya ‘Maha benar kebenaran-Mu ya Allah yang senantiasa tertuju kepadaku dan aku berserah diri kepada-Mu dan ampunilah segala kesalahanku,’ syahadat mula terciptanya dunia, dan lain-lain (Paeni dkk, 2003: 365, 367). Adapun tokoh La Déwata sesungguhnya adalah salah satu tokoh dalam La Galigo , meski perannya bukan sebagai tokoh utama. Dalam katalog La Galigo yang disusun oleh Kern (1989:540-666), terdapat tiga bab yang memuat kisah tokoh La Déwata, yaitu pada bab XXV kisah Wé Somparitimo, bab XXVI kisah Datu Pammusu dan bab lanjutannya, serta bab XXVIII kisah La Tenriliweng hidup kembali. Nama lengkap tokoh ini adalah I La Déwata La Walinono Tunruannge Awanalangi’ I To Angkau I La Sangiang, adalah raja Wéwangriu. Namun, ketiga bab tersebut tidak memuat kisah perkawinan La Déwata dan Wé Attaweq sebagaimana terdapat dalam naskah-naskah BDA. Cerita dalam naskah-naskah BDA adalah cerita tersendiri, meskipun tokoh atau tempat yang diceritakan di dalamnya mengacu pada tokoh dan tempat yang terdapat dalam La Galigo . Perbedaan pandangan mengenai naskah-naskah BDA dari kedua pihak yang disebutkan di atas adalah hal yang wajar dan biasa. Namun, hal yang lebih menarik dari perbedaan itu jika naskah-naskah BDA dipandang sebagai sebuah wujud dari pertumbuhan atau perkembangan sastra Galigo (lih. Koolhof, 2003: 24—5; Akhmar, 2012: 717—718). Artinya, kehadiran unsur-unsur baru atau formula-formula Arab dalam teks BDA sebagaimana dikemukakan oleh Kern di atas sesungguhnya merupakan varian baru La Galigo . Bentuk varian ini memberikan gambaran pergeseran nuansa, yaitu dari Bugis klasik ke Bugis Islam. La Galigo adalah teks yang merupakan ekspresi pandangan dunia dengan latar kepercayaan Bugis kuno sedangkan sejumlah teks salinannya sebagaimana terdapat dalam naskah-naskah BDA bercorak Islam atau mendapatkan pengaruh Islam. Kehadiran unsur-unsur baru dalam tradisi sastra dan naskah di Nusantara dipandang sebagai hal yang lazim. Kratz (1981) menegaskan bahwa tradisi naskah Melayu merupakan tradisi yang hidup. Artinya, penyalinan naskah Melayu bukan sebagai suatu proses yang mekanis dari sebuah reproduksi, melainkan sebagai suatu proses kreatif. Perbedaan yang muncul akibat dari penyalinan merupakan manifestasi kebebasan seorang penulis atau penyalin dalam memperlakukan teks. Kratz memberikan

3

contoh penulis Melayu, Raja Ali Haji yang pada tahun 1865 membuat catatan yang mendorong kepada anak cucunya untuk meneruskan karyanya. Kenyataan ini juga berlangsung dalam tradisi naskah Bugis, seperti naskah La Galigo yang senantiasa mengalami perubahan atau perkembangan dari satu periode ke periode yang lain. Dengan demikian, naskah-naskah BDA dapat dipandang sebagai versi dari La Galigo . Varian baru yang diperlihatkan oleh naskah-naskah ini merupakan suatu peristiwa yang disebut oleh Jauss (1983) dengan ‘semangat zaman’ ( the spirit of the age ). Pergeseran nuansa tersebut hakikatnya merupakan bentuk transformasi yang mengikuti ‘selera zaman’ dari Bugis klasik ke Bugis Islam atau sebaliknya. Jika diperhatikan pengelompokkan terhadap keempat belas naskah BDA, terdapat 12 naskah yang mendapatkan pengaruh Islam, dan 2 naskah yang tidak mendapat pengaruh unsur Islam. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat dua kekuatan yang tarik-menarik dalam penciptaan teks BDA. Pada satu pihak, ada upaya untuk mempertahankan konvensi bahasa dan sastra sebagaimana terlihat pada naskah F dan J, serta pada pihak lain adalah upaya yang memberontaki konvensi tersebut, sebagaimana terlihat pada naskah A, B, C, D, E, G, H, I, K, L, M, dan N (Akhmar, 2012: 161). Fenomena kesastraan teks BDA di atas, memperlihatkan dua sisi yang berbeda. Pertama, kehadiran unsur-unsur Islam dalam BDA jelas menampilkan nuansa baru, yang sebelumnya tidak dikenal dalam tradisi La Galigo . Namun, pada sisi yang lain, konvensi-konvensi sastra ( sureq ), seperti bahasa, metrum, dan irama serta keberadaan tokoh-tokoh mitologi dalam epos La Galigo berusaha dipertahankan. Kehadiran unsur- unsur baru diletakkan dalam kerangka pergeseran penciptaan teks dan tanggapan pembaca. Masalah inilah yang akan menjadi fokus utama penelitian ini, yaitu bagaimana pergeseran bentuk-bentuk formula dan komposisi cerita. Pergeseran bentuk- bentuk formula dan komposisi cerita perlu dikaji guna mengungkap bagaimana Islam memberikan pengaruh terhadap sastra Galigo yang berasal dari masa lampau, serta sebaliknya bagaimana sastra Galigo mengakomodir unsur luar tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap bagaimana pergeseran bentuk-bentuk formula dan komposisi cerita dalam BDA dalam kerangka pergeseran penciptaan teks dan tanggapan pembaca.

KERANGKA TEORI Teks yang berasal dari masa lampau, dalam penyalinan atau penurunannya senantiasa mengalami perubahan, sebagaimana terlihat dalam tradisi naskah Eropa Klasik dan tradisi naskah Melayu. Perubahan itu terlihat pada naskah-naskah salinannya berupa bentuk yang rusak atau bacaan yang berbeda (variant ) (Kratz, 1981: 235-6, Soeratno, 2011: 29). Semakin banyak jumlah naskah salinan, semakin banyak pula variasi teks yang lahir (Reynolds dan Wilson, 1974: 137-162). Dalam konteks inilah pertama-tama ilmu filologi diperlukan agar teks dari masa lampau tersebut dapat dibaca atau dimengerti oleh pembaca masa kini (Robson, 1988:10; Soeratno, 2003). Dalam perspektif filologi modern, munculnya varian atau variasi teks dalam penurunan naskah dipandang bukan sebagai kesalahan atau korup, melainkan sebuah kreasi atau kreativitas penyalin atau pengarang. Konsep kreativitas menunjuk pada pengertian menghasilkan atau menciptakan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata yang

4

relatif berbeda dengan apa yang telah ada. Karya-karya klasik yang terekam dalam naskah-naskah yang dijumpai sekarang, dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami berbagai perubahan dan interpolasi, merupakan saksi bagi dirinya sendiri tentang sambutan masyarakat dalam horizon harapan dari tradisi budaya tertentu, ruang dan waktu tertentu (lihat Kratz, 233). Penyair dalam menyusun baris-baris puisi dan merakit cerita La Galigo versi BDA menggunakan formula dan ekspresi formulaik (Akhmar, 2012: 832-833). Teori formula dikembangkan oleh Lord (1981) dalam meneliti puisi lisan Yugoslavia, yang membuktikan bahwa karya Homeros pada satu pihak memanfaatkan dan menggali kekayaan tradisi lisan sezaman; dan berdasarkan konvensi sastra lisan itu dia menciptakan karya sastranya sebagai keseluruhan yang utuh dan sempurna. Ada tiga kunci teknik penciptaan puisi lisan oleh seorang guslar (penyanyi). Pertama, pemakaian sejumlah besar unsur bahasa (kata, kata majemuk, dan frasa) yang siap pakai ( stock-in- trade ). Unsur bahasa yang dimaksudkan tersebut adalah penguasaan formula. Formula adalah kelompok kata yang secara teratur digunakan dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan ide yang hakiki (Lord, 1981: 4, 30). Formula itu digunakan oleh penyair untuk meng-ungkapkan tokoh, peristiwa yang berlangsung dalam cerita, dan meng-identifikasi waktu dan tempat. Kejadian utama ( the main action ) yang menonjol adalah unsur perulangan verbal (Lord, 1981: 34-5). Kedua, pemakaian unsur bahasa yang lain adalah ungkapan formulaik, yaitu larik atau separuh larik yang disusun atas dasar formula (Lord, 1981: 4). Ketiga, penyair lisan menguasai juga sejumlah tema atau adegan yang siap pakai. Yang dimaksud dengan tema adalah peristiwa atau adegan yang diulang dan bagian-bagian deskriptif dalam cerita (Lord, 1981: 4, 68). Untuk melukiskan peristiwa-peristiwa yang diulang yang biasanya ada dalam epos, penyair lisan memakai kelompok kata tertentu yang siap pakai sesuai dengan keperluannya di dalam situasi terten-tu. Jadi, tema adalah juga kelompok ide yang digunakan secara teratur dan digunakan pada penciptaan suatu cerita dalam gaya formulaik. Tema tersusun dari adegan-adegan yang telah ada dalam pikiran penyair lisan dan digunakan untuk merakit cerita itu (Lord, 1981: 68). Dalam kaitan dengan kelengkapan makna sebagaimana disebutkan pada pembahasan terdahulu, pembaca merupakan salah satu aspek yang perlu mendapatkan perhatian. Pembaca sebagai pemberi makna adalah variabel menurut ruang, waktu, dan golongan sosial-budaya (Jauss, 1983). Hal ini berarti bahwa pembacaan, pemahaman, dan penilaian karya sastra selalu berubah dari waktu ke waktu atau suatu masyarakat pembaca ke masyarakat pembaca yang lain. Dalam memberikan sambutan terhadap sebuah karya sastra, pembaca diarahkan oleh horizon harapan ( horizon of expectation ). Wujud perubahan penerimaan sastra berdasarkan kesejarahan sastra bersama sifat komunikasinya mengandaikan hubungan dialog dan sekaligus hubungan proses antara karya, sidang pembaca, dan karya baru (Jauss, 1983: 20-1). Itulah sebabnya sehingga karya yang baru sering disebut sebagai variasi-variasi bagi teksnya.

METODE Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode resepsi sastra untuk analisis datanya. Untuk menganalisis bentuk pergeseran teks

5

BDA, dipilih dua naskah BDA dari ke-14 naskah yang telah disebutkan di atas. Satu naskah dipilih yang mewakili teks yang masih klasik dan satu naskah yang mewakili teks yang telah mendapatkan pengaruh Islam. Teks BDA kelompok klasik yang dipilih adalah naskah J, sedangkan teks BDA yang telah mendapatkan pengarus Islam dipilih naskah H. Pemilihan naskah J dilakukan dengan pertimbangan naskah ini lengkap dan tulisan yang mudah dibaca. Naskah J (selanjutnya disebut dengan BDA versi klasik) ini telah ditransliterasi dan diterjemahkan oleh Akhmar (2013). Demikian pula pemilihan naskah H (selanjutnya disebut dengan BDA versi Islam) dilakukan karena unggul kualitasnya dan materi teksnya lebih lengkap dibandingkan dengan naskah BDA lainnya, Naskah ini telah disunting oleh Akhmar (2012). Terdapat beberapa hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam studi BDA sebagai bentuk penelitian sastra adalah (1) objek penelitian, (2) peneliti, dan (3) data. Pertama, setiap metode yang digunakan memiliki objek penelitian sendiri. Apabila objek material semua penelitian sastra adalah bentuk kegiatan bersastra, maka objek formalnya ditentukan oleh sudut pandang yang diperlukan oleh penelitian, misalnya, dalam masalah yang berhubungan dengan resepsi pembaca, objek formalnya berupa reaksi pembaca (Chamamah-Soeratno, 1994:218). Kedua, dalam penelitian sastra, peneliti adalah pembaca juga. Ia berada dalam rangkaian jajaran pembaca. Ia adalah pembaca dalam jajaran terakhir. Ia digolongkan ke dalam ideal reader dalam konsepnya tentang realized function , dalam kaitannya dengan faktor objektivitas metode ilmiah. Bagi penelitian sastra, objektivitas berada dalam tingkat tertentu, tidak sama dengan objektivitas dalam ilmu lain. Peneliti yang hakikatnya pembaca, tidak mungkin melepaskan diri dari subjektivitasnya. Ketiga, penetapan dan pengumpulan data perlu mempertimbangkan eksistensinya sebagai suatu unsur. Jadi, korpus yang ada bersifat parsial dan terbuka (Soeratno, 1994:218-219). Sebagaimana telah disebutkan bahwa terdapat 14 naskah BDA, yang kemudian dikelompokkan atas naskah BDA yang klasik dan naskah BDA yang telah mendapatkan pengaruh Islam. Pemilihan masing-masing satu naskah BDA pada dua kelompok tersebut didasarkan kualitas dan representasi. Berdasarkan tafsiran, naskah J adalah naskah yang unggul kualitasnya dibandingkan dengan naskah F, yang diperiksa dari sudut bahasa dan kesastraan sehingga dapat dinyatakan sebagai naskah yang mengandung paling banyak bacaan yang baik. Naskah inilah yang dijadikan landasan atau induk teks untuk edisi. Metode ini disebut juga metode induk atau metode legger (landasan) (Baried dkk., 1994:67). Adapun sampel dalam telaah formula dan resepsi sastra dipilih secara purposif dari baris-baris dan struktur teks BDA. Data lain dalam tataran perspektif ini adalah teks-teks lain atau konteks sosial budaya lain yang berkaitan dengan ciri-ciri teks yang terdapat dalam BDA, yang meliputi isi, tema, genre, dan bentuk konvensi sastra lainnya. Penarikan sampel dilakukan sejauh ketersediaan informasi yang diperlukan. Pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dapat dilakukan dengan bertolak dari objek formal dan permasalahan penelitian. Pelaksanaannya sebagian besar dengan cara mempertentangkan, membandingkan, mereplikasi, menyusun katalog, dan mengklasifikasi objek (Miles dan Huberman, 1992:47). Data yang dikumpulkan harus memenuhi persyaratan, antara lain relevan dengan masalah dan tujuan penelitian, akurat,

6

valid, dan dapat dipertanggungjawabkan (Nazir, 1988: 211). Penentuan teknik pengumpulan data terkait erat dengan jenis instrumen yang digunakan. Sumber data penelitian ini terdiri atas dua kategori, yaitu (1) dokumen kepustakaan berupa manuskrip (naskah) serta hasil penelitian; dan (2) sejumlah individu atau unit. Dokumen berupa manuskrip yang menjadi sumber data penelitian ini adalah naskah-naskah BDA dan beberapa naskah episode La Galigo lainnya, sedangkan dokumen kepustakaan adalah hasil-hasil penelitian, terjemahan La Galigo versi BDA (naskah H), dan dokumen lain yang diperlukan.

PEMBAHASAN Pergeseran Struktur Teks BDA Dalam bagian ini dibahas mengenai pergeseran struktur teks Bottinna I La Déwata sibawa I Wé Attaweq (BDA), baik struktur perpuisiannya maupun struktur penceritaannya. Analisis dilakukan dengan bertolak dari teori formula, yaitu teknik- teknik yang digunkan oleh penyair dalam menyusun baris-baris puisi dan merakit ceritanya. 1. Pergeseran Struktur Puisi Secara umum, penyusunan baris-baris puisi kedua versi naskah BDA yang diamati ini, memperlihatkan memiliki persamaan, yakni menggunakan sistem perpuisian La Galigo sebagai dasarnya. Dari segi satuan iramanya, puisi BDA menggunakan satuan irama lima atau empat suku setiap segmen. makkalinong / ri wajang-mpajang (Brs. 83, Nsk. H) 4 5 Nagiling ronnang / Patotoqé (Brs. 236, Nsk. H) 5 4 tarakkaqénno / molai wi / makkunraimmu (Brs. 6, Nsk. J) 5 4 5 palingkajona / lé bottingngé (Brs. 24, Nsk. J) 5 4 Berdasarkan contoh baris-baris puisi di atas, setiap baris terdiri atas dua atau tiga segmen, da bahkan dalam beberapa kasus baris terdiri atas empat atau lima segmen. Setiap segmen dapat terdiri atas lima atau empat suku kata sebagaimana terlihat pada contoh baris di atas, yang dikutip dari naskah J dan H. Perbedaan yang cukup menonjol. Naskah J merupakan salah satu versi naskah BDA, yang meskipun telah menyerap kata-kata baru, tetapi masih barusaha mematuhi kaidah-kaidah persajakan puisi La Galigo . Sebaliknya, naskah H telah menyerap unsur- unsur baru, banyak di antara baris-barisnya yang tidak mengikuti kaidah perpuisian La Galigo . Golongan kelima adalah kata-kata yang tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu kelima golonga di atas, misalnya damacokkong ‘duduk’, bung palallo ‘pesta besar’, coré-coré ‘janin itu’. Kata-kata ini dapat dipandang sebagai keliru tulis saja, karena kemunculan bersifat okasional. Mungkin pada awalnya mendapatkan tambahan lé atau tmbahan lain yang lebih sesuai. Misalnya, kata coré-coré , mungkin pada awalnya kata ini memperoleh tambahan é sehingga dibaca coré-coré é . Namun, karena pengucapan

7

kata dua suku kata terakhir yang memiliki bunyi vokal yang sama sehingga lambat laun bunyi vokal yang terakhir tidak terdengar lagi. Buktinya, dalam konteks yang lain kata coré-coré digunakan dengan mendapatkan tambahan na di belakannya sehingga kata ini memiliki satuan irama dengan lima suku kata. Dalam kedua naskah yang telah disunting terdapat kata-kata baru yang merupakan pinjaman dari bahasa Arab dan mantra bissu . Namun, dalam naskah J pada umumnya istilah baru tersebut disesuaikan dengan satuan irama galigo , dengan lima atau empat suku kata. Sebaliknya, naskah BDA versi Islam memanfaatkan istilah Arab dan mantra-mantra bissu secara bebas. Berikut ini adalah penggunaan bahasa pinjaman dari bahasa Arab pada naskah BDA versi klasik. (1095) uaé moni / passapu alé / liseq suruga : 5-5-5 (1096) polé manaiq / ri araseq : 5-4 (2548) lé makkétimu / akoq Masséréq : 5-5 (3712) Salamaq : 3 Semua kata yang dicetak miring di atas adalah kata pinjaman dari bahasa Arab. Namun, sebagian besar kata pinjaman itu disesuaikan dengan ketentuan satuan irama galigo , yaitu empat atau lima suku kata. Kecuali kata salamaq ‘selamat’ hanya terdiri dari tiga suku kata saja. Kata ini memang digunakan sebagai kata penutup teks yang berdiri sendiri. Selain kata di atas, terdapat pula mantra bissu dalam naskah BDA versi klasik, yang tidak dimasukkan sebagai bahasa Galigo adalah sebagai berikut. “Talinréng na o / cumiri wija / tangka mabélo : 5-5-5 temmarukkelleng / to Atawareng. : 5-5 Muassuq niaq / lé ri lammingngé, : 5-5 ara naiq ko / lé kotaqé, : 5-4 mupékkua na / ri salogeqé.” : 5-5 (Brs. 2495 – 2499, Nsk. J) Baris-baris di atas adalah mantra yang diucapkan oleh Puang ri Buluq dan Puang ri Lompoq, bissu yang menjalankan upacara kerajaan. Meski tidak digolongkan sebagai bahasa Galigo , kata-kata di atas memiliki satuan irama lima atau empat suku kata. Jika pemakaian kata-kata pinjaman dalam jumlah yang relatif terbatas tampak pada naskah BDA versi klasik, maka sebaliknya pada naskah BDA versi Islam ditemukan dalam jumlah yang relatif banyak. Bahkah dalam naskah BDA versi Islam terdapat banyak doa-doa dalam bahasa Arab dan mantra bissu , yang formula baris- barisnya tidak mengikuti satuan irama puisi galigo . Berikut ini adalah baris-baris dalam naskah H yang tidak dapat dimasukkan ke dalam bahasa Galigo . Sirupa to pi sadda to makarameqé, dio mallangiq taué, nainappa mala jénnéq sembajang , natomassembajang dua nrakang . Tabacang ni patéha nabitta , enrengngé wallié ia maneng ,

Hanya satu suara orang keramat, (seseorang harus mandi terlebih dahulu,

8

lalu mengambil air wudhu, lalu kita shalat dua rakaat. Bacakanlah Fatiha kepada nabi kita, dan kepada semua wali,). (Brs. 4783 - 4788, Nsk. H)

Jelas kata-kata yang dicetak tebal di atas adalah kata-kata yang bersumber dari bahasa Arab, seperti kata nrakang ‘rakaat’, patéha ‘fatihah’ (surah yang pertama pada Al-Qur’an), nabitta ‘nabi kita’ (maksudnya Nabi Muhammad SAW), serta kata wallié ‘waliullah’ (wali Allah). Adapun kata sembajang ‘sembahyang’, adalah sebuah kata majemuk berasal dari kata ‘sembah’ dan ‘’. Kata ‘sembah’ berarti memuja atau tindakan menyembah, sedangkan kata ‘hyang’ berasal dari bahasa Jawa Kuno yang berarti Tuhan. Meskipun ini tidak berasal dari bahasa Arab, tetapi kata itu umum digunakan untuk sebuah kegiatan melakukan shalat yang merupakan kewajiban umat Islam sehingga kata ini dapat digolongkan sebagai istilah ibadah, khususnya Islam. Kata-kata yang disebutkan di atas merupakan istilah yang sebelumnya tidak ditemukan dalam tradisi puisi galigo . Kata-kata atau susunan katanya merupakan kata- kata yang dapat dijumpai dalam percakapan sehari-hari dalam masyarakat Bugis. Kata- kata itu dimanfaatkan oleh penyair dalam menyusun baris-baris puisinya dengan tanpa berdasar pada formula satuan irama lima atau empat suku kata. Selain itu, dalam naskah H terdapat doa-doa dalam bahasa Arab yang ada kalanya bercampur dengan doa-doa bissu . Doa-doa ini diucapkan oleh tokoh La Déwata dan Wé Attaweq pada saat melakukan acara merogoh di dalam tempayan. Pada saat merogoh itulah sang pengantin mengucapkan doa-doa agar dapat memperoleh sejumlah harta-benda di dalam tempayan itu. Baris-baris dengan formula seperti ini ditemukan dalam jumlah yang relatif banyak, sebagaimana contoh berikut. (186) Méng rabbi rahimi (Min rabbi rahiim ) ‘Dari Tuhan Yang Maha Penyayang.’

(239) Allahumma nareng pissui ruhung (Allahumma naarun fiissui ruhin ) ‘Ya Allah, jauhkanlah kami dari api neraka dan roh jahat.’

(312) Astagepirullahu lasi (Astaghfirullahu al-adziim ) ‘Ampunilah aku ya Allah Yang Maha Agung.’

(1415) Padamedama alaihing rabbuhong bisabihéng pasawwaha (fa damdama ’alaihim rabbuhum bizambihim fa sawwaahaa ) ‘Oleh karena itu, Tuhan menimpakan siksa kepada mereka tanpa pilih bulu, karena dosa mereka.’

9

Selain itu, terdapat pula sejumlah baris-baris yang tidak dapat dimasukkan dalam kategori tradisi puisi galigo , yaitu mantra yang adakalanya bercampur dengan doa-doa dalam bahasa Arab. Baris-baris yang dimaksud dapat dilihat pada contoh berikut ini. Kalallahu sapi satahaa, simongkailahu taépuru kennaha sayahu kamilalong haluketahu marayahahuu sasaha pii hongku urong lalahu sutuhi kaiyya rakabong.” (Brs. 1930 – 1934, Nsk. H) Baris-baris di atas adalah mantra yang dibacakan oleh Wé Attaweq saat merogoh, lalu berhasil menarik uang yang melahirkan hati batara dari dalam tempayan. Baris (1930) terbaca dalam bahasa Arab Qaalallahu syafisataha , ‘Allah berkata, Kamu sembuh.’ Namun pada baris berikutnya adalah mantra, yang tidak diketahui artinya. Baik baris yang berhasa Arab maupun mantra, kedua-duanya tidak dikenal dalam tradisi galigo dan memiliki metrum tetap. Doa-doa atau mantra seperti ini jumlahnya cukup banyak dalam naskah BDA versi Islam. Selain perpaduan antara doa-doa dalam bahasa Arab dengan mantra, ada pula baris-baris dalam naskah H, berupa doa-doa dalam bahasa Bugis, dan beberapa di antaranya berupa kata-kata yang sering digunakan dalam galigo , sebagaimana terlihat pada kutipan berikut. La Mappamala / asekku polé / ri babuana / To Palanroé, uotiq maneng ngi liseqna linoé. (Namaku La Mappamala waktu masih dalam perut To Palanroé, lalu aku merogoh semua isi bumi ini.) (Brs. 685 – 686, Nsk. H) Jika diperhatikan baris (685) di atas memiliki kesatuan irama 5-5-5-5 dan kelompok kata tersebut lazim digunakan dalam tradisi galigo . Namun, baris (686) tidak dapat digolongkan sebagai puisi galigo karena kesatuan iramanya terdiri atas enam suku kata. Kata lino ‘bumi’ (dua suku kata) sering digunakan dalam La Galigo , tetapi dengan formula to lino na o ‘engkau tetap manusia’ (lima suku kata), ri Alé Lino ‘di Alé Lino’ (lima suku kata), nonnoq ri lino ‘turun ke bumi’ (lima suku kata), dan lain-lain. Demikian kedua naskah BDA yang telah disunting, secara umum memanfaatkan bahasa Bugis kuno dalam menyusun baris-barisnya dengan ketentuan lima atau empat suku kata setiap segmen. Setiap dua satuan irama dengan sebuah jedah di tengah ditetapkan sebagai dasar kesatuan larik. Adakalanya satu larik harus terdiri atas tiga atau empat satuan irama dengan jumlah suku kata lima belas atau dua puluh suku kata, mengingat pertalian maknanya sehingga tidak bisa dipecah lagi. Memang pada naskah H terdapat sejumlah kata yang tidak mengikuti kaidah sistem perpuisian di atas, tidak dapat dikategorikan sebagai puisi galigo . Kata-kata itu adalah mantra-mantra, doa-doa dalam bahasa Arab dan ayat Alquran. 2. Pergeseran Struktur Cerita Kumpulan peristiwa, kata Luxemburg (1984: 151-152), terlalu besar sehingga harus diseleksi. Pada seleksi awal, peristiwa-peristiwa dapat dikelompokkan ke dalam (1) peristiwa-peristiwa fungsional, (2) peristiwa-peristiwa kaitan, dan (3) peristiwa-

10

peristiwa acuan. Sebuah peristiwa dianggap fungsional jika peristiwa itu secara signifikan berpengaruh langsung terhadap perkembangan alur utama. Sementara itu, peristiwa-peristiwa kaitan adalah peristiwa-peristiwa yang mengaitkan peristiwa- peristiwa penting. Peristiwa semacam itu tidak secara kuat terkait ke dalam alur utama, tetapi berfungsi mengendurkan ketegangan bentangan peristiwa-peristiwa fungsional. Adapun peristiwa-peristiwa acuan adalah peristiwa yang mengacu pada unsur-unsur lain, seperti watak tokoh atau suasana yang meliputi para pelaku. Dalam membandingkan kedua naskah yang diamati, maka perbedaan yang segera terhat adalah ruang lingkup ceritanya. Naskah BDA versi Islam memiliki ruang lingkup cerita yang luas, yang memuat tujuh kisah perkawinan antara Wé Attaweq dengan La Déwata yang berlangsung pada tempat yang berbeda. Sementara itu, ruang lingkup cerita naskah BDA versi klasik hanya memuat satu dari tujuh kisah perkawinan antara Wé Attaweq dan La Déwata, yaitu yang berlangsung di Bérébaja. Dengan demikian, cerita yang terdapat dalam naskah BDA versi klasik merupakan bagian dari cerita yang terdapat pada naskah BDA versi Islam. Diduga pada awalnya kisah BDA diturunkan dalam naskah yang berisi satu atau dua kisah perkawinan Wé Attaweq dan La Déwata. Hal ini terlihat dari ke-14 naskah BDA yang dijangkau, hanya terdapat satu naskah yang memuat tujuh kisah perkawinan dan satu naskah memuat empat kali kisah perkawinan antara Wé Attaweq dengan La Déwata. Sementara itu, dua belas naskah yang lain hanya memuat satu atau dua kisah perkawinan. Berikut ini adalah bagan yang memperlihatkan kisah perkawinan keempat belas naskah BDA (lih. Akhmar, 2012). Dalam naskah H (BDA versi Islam) terdapat satu bagian yang memuat kisah perkawinan di Bérébaja (Baris 710 – 880). Bagian ini hanya secara singkat memuat kisah pelaksanaan perkawinan antara Wé Attaweq dengan La Déwata di Bérébaja. Sementara itu, naskah J (BDA versi klasik) memuat secara lengkap kisah perkawinan di Bérébaja tersebut. Berikut ini dibandingkan antara bagian naskah versi Islam yang memuat kisah perkawinan di Bérébaja dengan kisah dalam naskah BDA versi klasik. Cerita dalam naskah BDA versi klasik memuat susunan peristiwa secara lengkap, yang dimulai dari peristiwa persiapan, peminangan, hingga pelaksanaan perkawinan dan acara merogoh. Sementara itu, episode ketiga naskah BDA versi Islam yang berisi kisah perkawinan di Bérébaja hanya memuat sebahagian kecil peristiwa yang terdapat dalam naskah BDA versi klasik. Episode ini, tiba-tiba dimulai dari peristiwa sang angin (salarengngé ) datang menghembus dan mengenai wajah Wé Attaweq hingga peristiwa perkawinan dan acara merogoh di dalam tempayan. Jadi, dalam episode perkawinan di Bérébaja yang terdapat dalam naskah BDA versi Islam mengalami sejumlah penghilangan peristiwa. Peristiwa penyampaian pesan oleh sang angin terdapat pada kedua naskah. Namun, dalam naskah BDA versi klasik, peristiwa penyampaian pesan oleh sang angin berlangsung setelah Wé Attaweq siuman. Sementara itu, dalam naskah BDA versi Islam, sang angin bertiup lalu menyanyikan menyampaikan keadaan La Déwata di luar perkampungan dan sekaligus menyanyikan kerinduan La Déwata terhadap Wé Taweq. Kehadiran unsur nyayian ini dapat dilihat sebagai bentuk penambahan.

11

Selain itu, dalam naskah BDA versi Islam diceritakan bahwa pada saat sang angin bertiup, Wé Attaweq langsung terjatuh, lalu segera dibawa ke dekat jendela, lalu dihembus angin dari Cina (anging to Cina ) sehingga membuat perasaan sang putri ini menjadi baik kembali. Adapun dalam naskah BDA versi klasik, peristiwa pada saat angin bertiup, Wé Attaweq terjatuh lalu dibawa ke dekat jendela, lalu diperciki angin buatan ( bejeq rimangkeq ) sehingga sang putri menjadi siuman kembali. Perbedaan utamanya dalam peristiwa ini adalah pada naskah BDA versi Islam, Wé Attaweq dihembus angin dari Cina sehingga menjadi siuman, sedangkan dalam naskah BDA versi klasik, Wé Attaweq diperciki angin buatan sehingga menjadi siuman. Unsur penambahan dalam naskah BDA versi Islam, juga terlihat setelah peristiwa penyampaian pesan oleh sang angin, yaitu tokoh Wé Attaweq mengucapkan sumpah tentang perjodohannya dengan La Déwata. Sebelumnya, ia berdoa dalam bahasa Arab: Sadaqa kumullahu alaihi tawakkalnaa astaghfirullah rabbahu ‘Allah telah membernarkanmu, atas-Nya kami memperoleh ampunan, dari Tuhan-Nya.’ Setelah membaca doa tersebut, maka tiba pulalah rombongan La Déwata di istana Bérébaja, lalu disandingkanlah Wé Attaweq dengan La Déwata di atas pelaminan. Jelas, episode perkawinan di Bérébaja yang terdapat pada naskah BDA versi Islam ini sifatnya sangat ringkas. Jika dibandingkan dengan naskah BDA versi klasik, terdapat banyak rintangan yang dihadapi oleh La Déwata untuk memasuki Bérébaja sehingga dapat bersanding dengan Wé Attaweq di atas pelaminan. Pada awalnya La Déwata dihalangi oleh segenap bangsawan muda yang meminta harta-benda. Selanjutnya, muncul bermacam-macam binatang buas yang menghadang La Déwata dan pengiringnya, lalu datang pula ular dedduq yang melintang di depan tangga istana, dan yang terakhir munculnya ular lassa yang melilit pada kaki La Déwata. Selain itu, peristiwa lain yang tidak terdapat dalam naskah BDA versi Islam, yaitu perkawinan antara Sinrang Mpatara dengan Wé Cora Tikkaq. Dalam naskah BDA versi klasik, perkawinan yang berlangsung di Bérébaja adalah perkawinan kembar. Dalam naskah BDA versi klasik terdapat peristiwa merogoh pada tempayan yang dilakukan oleh Wé Attaweq dan La Déwata, dengan tanpa mengucapkan doa-doa dalam bahasa Arab. Adapun dalam naskah BDA versi Islam, acara merogoh ditempatkan pada episode menyeruduknya Wé Attaweq dan La Déwata ke dalam kelambu. Namun, peristiwa merogoh di sini bukan merupakan peristiwa langsung, melainkan dikisahkan kembali lewat dialog antara tokoh Wé Attaweq dengan La Déwata. Dalam peristiwa merogoh di Bérébaja, kedua tokoh tersebut secara bergantian memasukkan tangannya ke dalam tempayan, mengucapkan berbagai doa-doa bahasa dalam bahasa Arab yang bercampur dengan matra, serta kedua tokoh ini menarik berbagai macam harta-benda dari dalam tempayan. Episode ini dapat dipandang sebagai bentuk pengembangan cerita. Demikianlah secara garis besar terdapat empat macam perbedaan pokok urutan peristiwa naskah BDA versi Islam jika dibandingkan dengan naskah BDA versi klasik. Pertama, secara umum naskah BDA versi klasik hanya memuat satu episode ( téreng ) saja, yang berisi kisah perkawinan di Bérébaja, sedangkan naskah BDA versi Islam merupakan kompilasi sejumlah episode ( téreng ) kisah BDA, yang memuat tujuh kali kisah perkawinan antara Wé Attaweq dengan La Déwata. Kedua, kisah dalam naskah BDA versi klasik yang hanya merupakan salah satu bagian kisah dalam naskah BDA

12

versi Islam, telah mengalami pengurangan, terutama pada bagian awal cerita dan pengembangan konfliknya. Ketiga, meskipun hanya memuat cerita ringkas perkawinan di Bérébaja, tetapi naskah BDA versi Islam mendapatkan penambahan, yaitu nyanyian sang angin dan doa-doa dalam bahasa Arab yang diucapkan oleh Wé Attaweq. Keempat, terdapat pula pergeseran peristiwa dalam naskah BDA versi Islam, yaitu peristiwa merogoh di Bérébaja ditempatkan pada episode yang lainnya. Selain perbedaan yang disebutkan di atas, kedua naskah yang disunting ini sebenarnya juga memiliki persamaan, meskipun hal itu sangat kecil. Persamaan tersebut meliputi peristiwa (1) penyampaian pesan oleh sang angin, (2) perkawinan, dan (3) acara merogoh. Peristiwa-peristiwa atau episode-episode yang sama dalam BDA yang selalu diulang dalam setiap penyajian kisah itu disebut oleh Lord (1981: 68) sebagai peristiwa pokok ( basic incident ). Dalam pengamatan Lord, perulangan peristiwa pokok dalam epos lisan tidak terbatas hanya di Yugoslavia saja, melainkan juga di negeri-negeri lain. Namun, pandangan Lord ini tampaknya tidak sepenuhnya dapat berlaku dalam BDA. Dalam beberapa naskah BDA yang lain memiliki persamaan peristiwa-peristiwa atau adegan, seperti peristiwa perjalanan darat, adegan pertemuan, adegan penyampain pesan, dan adegan meminang, tetapi ternyata peristiwa-peristiwa ini tidak terdapat pada naskah BDA versi Islam. Di sini penyair dapat saja mengabaikan atau mengangkat suatu peristiwa, tergantung dari situasi audiens atau kebutuhan pembaca. Peristiwa-peristiwa yang mengalami penghapusan, perluasan, dan pengembangan dalam BDA terlihat sangat bervariasi sehingga pengertian “peristiwa pokok” di atas dengan yang bukan menjadi sangat kabur. Hal sama juga terlihat dalam naskah-naskah Hikayat Meukuta Alam ( HMA )(lih. Abdullah, 1991: 566-567). Apa yang disebut oleh Lord dengan tema mayor ( major theme )(1981: 4, 68, 71) tampaknya lebih tepat digunakan untuk melihat peristiwa atau episode pokok dalam BDA. Kecuali bagian proses perkawinan pada naskah BDA versi klasik, peristiwa- peristiwa dalam kedua belas naskah BDA mengalami perulangan dalam naskah BDA versi Islam. Misalnya, naskah kisah perkawinan di Bérébaja terangkum dalam yang kedua belas naskah BDA yang lainnya memperlihatkan persamaan tema mayor. Naskah D, L, dan N memperlihatkan perulangan peristiwa yang sama, yaitu perkawinan di Bérébaja dan naiknya La Déwata ke Dunia Atas menemui Sang Pencipta. Naskah F dan G memperlihatkan pelurangan peristiwa yang sama, yaitu perkawinan di Alé Paccing atau Alé Mampu. Peristiwa-peristiwa yang terdapat pada naskah F dan G juga terdapat dalam naskah A dan M, namun kedua naskah yang disebutkan ini memiliki jangkuan kisah yang lebih luas, yaitu kisah perkawinan di Coppoq Méru dan di Toddang Toja (Dunia Bawah). Naskah B juga memuat cerita yang terdapat dalam naskah A, C, D, K, L, dan N. Naskah J (yang mewakili naskah BDA versi klasik) memiliki beberapa persamaan peristiwa dengan naskah E. Naskah yang paling luas jangkauannya adalah naskah H, kecuali bagian awal naskah J, naskah ini memaut semua peristiwa yang terdapat dalam ketigabelas naskah BDA yang lain. Berdasarkan uraian di atas, peristiwa pokok atau tema mayor BDA adalah sebagai berikut: (1) Penciptaan dan perkawinan I Wé Taoni dan I La Taoni, (2) Perkawinan dan acara merogoh Wé Attaweq dan La Déwata di Alé Paccing, (3) Perkawinan Wé Attaweq dan La Déwata di Bérébaja, (4) menyeruduknya Wé Attaweq

13

dan La Déwata di dalam kelambu dan perbicangan di antara keduanya mengenai doa- doa yang diucapkan Wé Attaweq saat merogoh pada tempayan di Bérébaja, (5) perkawinan antara Wé Attaweq dengan La Déwata di Coppoq Méru, (6) perkawinan dan acara merogoh Wé Attaweq dan I La Déwata di gunung Sadda, (7) perkawinan dam acara merogoh Wé Attaweq dan La Déwata di Alé Mampu, (8) perkawinan dan acara merogoh Wé Attaweq dan La Déwata di Toddang Toja (Dunia Bawah). Susunan peris- tiwa pokok BDA ini dapat dipersamakan dengan susunan peristiwa pokok naskah H (BDA versi Islam). Adapun peristiwa dalam naskah J (BDA versi klasik) dapat disejajarkan dengan peristiwa (3) dan (4), meski telah mengalami penghilangan atau penyesuaian cerita. Susunan peristiwa pokok dalam naskah ini sebagai berikut: (1) persiapan La Déwata (ILD) untuk melangsungkan perkawinan dengan Wé Attaweq di Bérébaja, (2) perjalanan darat menuju ke Bérébaja, (3) persiapan dan penerimaan tamu di istana Bérébaja, (4) mengungkap asal-usul Wé Attaweq, (5) pertemuan di Dunia Atas, (6) istana sao kuta diturunkan dan pelaksanaan pesta di Bérébaja, (7) pertemuan membicarakan persiapan perkawinan di Bérébaja, (8) penyambutan tamu agung di Bérébaja, (9) upacara mandi pengantin, (10) penyampaian pesan oleh sang angin, (11) La Déwata berhasil masuk dalam istana Bérébaja, (12) pelaksanaan perkawinan, (13) acara merogoh. Peristiwa pokok yang paling sering diulang dalam BDA adalah peristiwa perkawinan dan merogoh. Kedua peristiwa terdapat pada ketigabelas naskah BDA. Kedua peristiwa ini terus mengalami pengembangan dalam setiap episode sehingga muncul berbagai variasi. Bahkan dalam peristiwa ini secara jelas penyair telah memasukkan unsur-unsur Islam lewat doa-doa merogoh yang diucapkan oleh tokoh Wé Attaweq dan La Déwata.

PENUTUP Jika diperhatikan struktur puisi dan struktur cerita naskah J (BDA versi klasik) dan naskah H (BDA versi Islam), jelas terlihat sejumlah perbedaan. Perbedaan yang paling menonjol terlihat adalah komposisi puisi, yang disebabkan oleh munculnya kosa kata Arab pada kedua naskah. Pada naskah BDA versi klasik, terlihat ada kosa kata Arab tetapi jumlahnya sangat sedikit jika dibandingkan dengan naskah H (BDA versi Islam) yang hampir menyebar pada seluruh narasinya. Demikian pula dalam struktur penceritaan terlihat adanya perubahan. Dari segi komposisi puisi, teks BDA versi klasik mengikuti sistem formula puisi La Galigo. Sementara itu, teks BDA versi islam memperlihatkan dua jenis kombinasi formula, yaitu kombinasi bersifat tetap dan kombinasi bersifat tidak tetap. Kombinasi yang berisifat tetap adalah baris-baris yang pasangan katanya tetap yang disebabkan oleh faktor semantik. Adapun kombinasi yang bersifat tidak tetap dibagi dalam dua kategori, yaitu tertutup dan terbuka. Kombinasi baris yang tertutup adalah kombinasi baris-baris yang setiap kata pembangunnya hanya boleh berpasangan dengan partikel atau kata-kata tertentu, yang terutama disebabkan oleh faktor irama dan semantik. Sementara itu, kombinasi yang bersifat terbuka adalah baris-baris memiliki pola yang sama, yang

14

segmennya diisi oleh jenis kata kata yang sama. Ada pula kombinasi terbuka yang segmen pertama barisnya bersifat tetap, tetapi pada segmen kedua atau ketiga diisi oleh kata yang berbeda, yang mengandung lima atau empat suku kata. Adapun bentuk kombinasi formula-formula Arab, seperti nama-nama Allah dapat dimasukkan dalam kombinasi tetap karena pasangan katanya juga bersifat tetap. Sementara itu, unsur mantranya tidak dapat diidentifikasi karena tidak memiliki pola dasar pembentukan baris yang jelas. Demikian pula struktur penceritaan pada kedua teks yang diamati memperlihatkan perbedaan yang menonjol. Pada teks BDA versi klasik hanya memuat memuat satu téreng (episode) yang isinya menceritakan satu peristiwa upacara perkawinan. Sementara itu, teks BDA versi Islam, memaut kisah yang luas, yaitu tujuh kali peristiwa perkawinan, dengan perluasan-perluasan cerita yang terdapat di dalamnya. Pergeseran sebagaimana diutarakan di atas tidak hanya merupakan bentuk pengaruh bahasa dan sastra, melainkan juga terjadi islamisasi sastra. Sastra La Galigo yang merupakan mitologi orang Bugis diislamkan, karena sastra ini juga dijadikan sebagai media islamisasi itu sendiri. Selain itu, teks BDA menunjukkan akulturasi, pertemuan dua budaya yang saling mempengaruhi; yang mana teks Bugis mengalami proses islamisasi, dan sebaliknya teks Islam juga mengalami Bugisiasi. Peristiwa pertemuan ini memperlihat proses akulturasi dalam kurun waktu tertentu di masa lampau, antara budaya Bugis dan unsur Islam Bugis.

DAFTAR PUSTAKA

Akhmar, Andi M. 2009. “Naskah-Naskah I La Déwata dan Islamisasi di Sulawesi Selatan,” Hasil penelitian Fak. Sastra Unhas, Belum dipublikasikan.

Akhmar, Andi M. 2012. “Islamisasi Bugis; Kajian Sastra atas La Galigo versi Bottinna I La D Déwata sibawa I Wé Attaweq (BDA),” Disertasi Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Arsuka, Nirwan Ahmad. 2003. “La Galigo dan Kanon Sastra Dunia: Penciptaan dan ‘Penemuan’ Manusia” dalam Nurhayati Rahman dkk. (eds.), La Galigo Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia . Makassar: Pusat Studi La Galigo bekerjasama Pemerintah Kab. Barru.

Baried, Siti Baroroh dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPF) Seksi Filologi Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada

Soeratno, Siti Chamamah. 1991. “Variasi Sebagai Bentuk Kreativiti Pengarang Kedua dalam Dunia Sastra Melayu: Hikayat Banjar” dalam Pengarang dan Kepengarangan Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

15

Soeratno, Siti Chamamah. 2011. Sastra Teori dan Metode . Yogyakarta: Jurusan Sastra Fakultas Ilmu Budaya UGM, Program S2 Ilmu Sastra Fakultas Ilmu Budaya UGM bekerjasama dengan Penerbit Elmatera.

Jauss, H.R. 1982. Toward An Aesthetic of Reception (Theory & History of Literature). Minneapolis: University of Minnesota Press.

Robson, S. 1988. Principles of Indoensian Phylology. Dordrecht: Foris Publications.

Kratz, E. Ulrich (ed). 1981. Southeast Asian Languages and Literatures: A Bibliographic Guide to Burmese, Cambodian, Indonesian, Malay, Minagkabau, Thai, and Vietnamese .London: Tauris Academic Studies.

Kern, R.A. 1989. I La Galigo, Cerita Bugis Kuno . Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Koolhof, Sirtjo. 1995. “Pendahuluan” dalam I La Galigo Menurut Naskah NBG 188 Disusun oleh Arung Pancana Toa , disunting oleh Muhammad Salim, Fachruddin Ambo Enre, Nurhayati Rahman (jilid 1). Jakarta: KITLV bekerjasama Penerbit Djambatan.

Koolhof, Sirtjo.. 2003. “The La Galigo A Bugis Encyclopedia and its Growth,” dalam Nurhayati Rahman dkk. (eds.), La Galigo Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia . Makassar: Pusat Studi La Galigo bekerjasama Pemerintah Kab. Barru.

Lord, Albert. 1981 The Singer of Tales . Cambridge: Harvard University Press.

Miles, M.B. dan A.M. Huberman.1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UI Press.

Nazir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian . Jakarta: Ghalia Indonesia

Paeni, Mukhlis dkk. 2003. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Sulawesi Selatan . Jakarta: ANRI kerjasama dengan The Ford Foundation, UNHAS, dan Gadjahmada University Press.

Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis . Jakarta: Nalar bekerja sama dengan Forum Jakarta-Paris, EFEO.

16

Reynolds, L. D. dan N.G. Wilson.1974. Scribes and Scholars: A Guide to the Transmission of Greek and Latin Literature (3rd edition). Oxford: Clarendon Press.

17