Dari Bugis Klasik Ke Bugis Islam: Studi Sastra Atas Bottinna I La D Ếwata Sibawa I W Ế Attaweq (Bda)
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
DARI BUGIS KLASIK KE BUGIS ISLAM: STUDI SASTRA ATAS BOTTINNA I LA D ẾWATA SIBAWA I W Ế ATTAWEQ (BDA) Classic to Islamic Buginess: Literary Study towards I La Dewata Sibawa I We Attaweq (BDA) Andi Muhammad Akhmar Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin Jalan Perintis kemerdekaan, Km.10, Makassar Ponsel 081392121488 Pos-el: [email protected] Abstrak Para penyusun buku Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Sulawesi Selatan memasukkan sejumlah naskah yang berisi kisah perkawinan La Déwata dan Wé Attaweq ini dalam kelompok naskah La Galigo /sastra Galigosementara, Kern dan Matthes justru menganggap naskah –naskah tersebut bukan bagian dari siklus ( cyclus ) La Galigo . Perbedaan pandangan pendapat ini memunculkan masalah yang menjadi fokus utama penelitian ini, yaitu bagaimana pergeseran bentuk-bentuk formula dan komposisi cerita dari kedua pandagan terasebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap bagaimana pergeseran bentuk-bentuk formula dan komposisi cerita dalam BDA dalam kerangka pergeseran penciptaan teks dan tanggapan pembaca. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan metode resepsi sastra dalam analis datanya. Selain itu, kedua naskah BDA diperiksa dengan menggunakan teori rumus, semiotika, dan penerimaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari segi komposisi puisi, teks BDA versi klasik mengikuti sistem formula puisi La Galigo. Sementara itu, teks BDA versi islam memperlihatkan dua jenis kombinasi formula, yaitu kombinasi bersifat tetap dan kombinasi bersifat tidak tetap. Demikian pula struktur penceritaan pada kedua teks yang diamati memperlihatkan perbedaan yang menonjol. Pada teks BDA versi klasik hanya memuat memuat satu téreng (episode) yang isinya menceritakan satu peristiwa upacara perkawinan. Sementara itu, teks BDA versi Islam, memaut kisah yang luas, yaitu tujuh kali peristiwa perkawinan, dengan perluasan-perluasan cerita yang terdapat di dalamnya. Kata kunci : BDA, komposisi, formula, pergeseran Abstract The authors of Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Sulawesi Selatan entered some texts that contains the story ofthe wedding of La Dewata sibawa Attaweq in La Galigo texts meanwhile, Kern and Matthes actually considered the manuscripts are not the part of La Galigo cyclus. The difference of this point of view raises a problem that becomes the main focus of this study , how the form shift in two compositions of both point of view. The purpose of this study was to reveal how the shifting shapes and composition 1 formula in the story within the framework of the shift BDA text creation and reader response . This research was a qualitative descriptive method with used literary reception in the data analyst . In additio , both texts BDA examined using the formula theor , semiotics, and acceptance. The results showed that in terms of the composition of poetry ,BDA text version of the classic poem follows the formula La Galigo system. Meanwhile, BDA text version of Islam shows two types of combination formulas, namely a combination of permanent and non-permanent character combinations. Similarly, the structure of storytelling in both the observed texts show marked difference . In the classic version of the BDA text contains only load one Tereng ( episodes ) that tells the events of the wedding ceremony. Meanwhile , BDA text version of Islam , bind extensive story , which is seven times the event of marriage ,with extensions stories contained there in . Keywords : BDA , composition , formula , shifting PENDAHULUAN Naskah Bottinna I La Déwata sibawa I Wé Attaweq (selanjutnya disingkat, BDA) yang dijadikan sebagai objek material dalam penelitian ini adalah sejumlah naskah ( manuscript ) Bugis yang berisi kisah tentang asal-usul, proses kelahiran, dan perkawinan dua orang keturunan dewa, yaitu La Déwata dan Wé Attaweq. Tokoh La Déwata adalah putra dari Téjjarisompa Lettémangkellang Batara Wéwang, pendiri kerajaan Wéwangriu dari dunia bawah tanah, Peretiwi ,yang pada saat masih dalam rahim ibunya, Patotoé (Sang Penentu Nasib) memindahkannya ke dalam kerang emas (Kern, 1989:540-666). Demikian pula Wé Attaweq, diciptakan oleh Patotoé dari buah maléwé dan dari biji mata Datu Paligeq (isteri dari Patotoé), lalu berubah menjadi kerang emas yang kemudian dititipkan dalam rahim seorang perempuan (Paeni, dkk, 2003:391-2). Pesta perkawinan kedua keturunan dewa ini berlangsung di bumi (dunia tengah atau Kawaq) dan dihadiri sejumlah dewa-dewi dari langit, dunia atas atau Boting Langi (Paeni, 2003: 460-1). Para penyusun buku Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Sulawesi Selatan memasukkan sejumlah naskah yang berisi kisah perkawinan La Déwata dan Wé Attaweq ini dalam kelompok naskah La Galigo /sastra Galigo (Paeni, 2003:972-3). Sebagaimana diketahui bahwa La Galigo adalah sebuah epik-mitologis orang Bugis yang berasal dari zaman pra-Islam (lih. Pelras, 2006:63). Karya ini adalah sebuah epos yang berisi tentang penciptaan dunia dan penciptaan manusia atau asal-usul manusia pertama yang mendiami dunia (Arsuka, 2003: 208-211). Karya ini juga mengisahkan saat dinasti I La Galigo berkuasa dan hidup selama enam generasi turun-temurun pada beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan dan daerah atau pulau-pulau sekitarnya (Pelras, 2006:35). Tokoh-tokoh dari kalangan dewa dan keturunannya yang dikenal, antara lain Patotoé, yang bertakhta di langit dengan putranya Batara Guru yang diutus memerintah ke bumi dan menjadi cikal bakal raja-raja yang memerintah di kerajaan Luwuq. Dapat diduga bahwa sekurang-kuranya ada tiga alasan utama tim penyusun katalog di atas memasukkan naskah BDA ke dalam kategori La Galigo . Pertama, sejumlah tokoh dalam La Galigo , seperti Patotoqé, Paligéqé, Téjjarisompa, dan lain-lain memiliki kaitan 2 langsung dengan tokoh dan peristiwa dalam BDA. Kedua, tempat berlangsungnya peristiwa yang diceritakan dalam BDA sama dengan tempat yang diceritakan dalam La Galigo , seperti Boting Langi (langit atau dunia atas), Peretiwi (dunia bawah), Wéwangriu , dan lain-lain. Ketiga, adanya persamaan ciri-ciri bahasa, seperti penggunaan metrum dan irama (suku kata). Berbeda dengan pandangan tim penyusun katalog di atas, Kern dan Matthes justru menganggap naskah ini bukan bagian dari siklus ( cyclus ) La Galigo (Akhmar, 2012:76). Hal ini terlihat pada katalog La Galigo baik yang disusun oleh Matthes maupun Kern yang tidak mencantumkan naskah BDA di dalamnya. Menurut Kern (1954, 263-4; lih juga Koolhof, 2003:25), BDA hanya merupakan tiruan dari La Galigo . Bahkan tiruan itu dipandang buruk karena terdapat formula-formula Arab dalam bentuk doa-doa agama Islam yang terserak di sekelilingnya, seperti sadakahumullahu alaihi tawakkalna astagfirullahu rabbahu yang artinya ‘Maha benar kebenaran-Mu ya Allah yang senantiasa tertuju kepadaku dan aku berserah diri kepada-Mu dan ampunilah segala kesalahanku,’ syahadat mula terciptanya dunia, dan lain-lain (Paeni dkk, 2003: 365, 367). Adapun tokoh La Déwata sesungguhnya adalah salah satu tokoh dalam La Galigo , meski perannya bukan sebagai tokoh utama. Dalam katalog La Galigo yang disusun oleh Kern (1989:540-666), terdapat tiga bab yang memuat kisah tokoh La Déwata, yaitu pada bab XXV kisah Wé Somparitimo, bab XXVI kisah Datu Pammusu dan bab lanjutannya, serta bab XXVIII kisah La Tenriliweng hidup kembali. Nama lengkap tokoh ini adalah I La Déwata La Walinono Tunruannge Awanalangi’ I To Angkau I La Sangiang, adalah raja Wéwangriu. Namun, ketiga bab tersebut tidak memuat kisah perkawinan La Déwata dan Wé Attaweq sebagaimana terdapat dalam naskah-naskah BDA. Cerita dalam naskah-naskah BDA adalah cerita tersendiri, meskipun tokoh atau tempat yang diceritakan di dalamnya mengacu pada tokoh dan tempat yang terdapat dalam La Galigo . Perbedaan pandangan mengenai naskah-naskah BDA dari kedua pihak yang disebutkan di atas adalah hal yang wajar dan biasa. Namun, hal yang lebih menarik dari perbedaan itu jika naskah-naskah BDA dipandang sebagai sebuah wujud dari pertumbuhan atau perkembangan sastra Galigo (lih. Koolhof, 2003: 24—5; Akhmar, 2012: 717—718). Artinya, kehadiran unsur-unsur baru atau formula-formula Arab dalam teks BDA sebagaimana dikemukakan oleh Kern di atas sesungguhnya merupakan varian baru La Galigo . Bentuk varian ini memberikan gambaran pergeseran nuansa, yaitu dari Bugis klasik ke Bugis Islam. La Galigo adalah teks yang merupakan ekspresi pandangan dunia dengan latar kepercayaan Bugis kuno sedangkan sejumlah teks salinannya sebagaimana terdapat dalam naskah-naskah BDA bercorak Islam atau mendapatkan pengaruh Islam. Kehadiran unsur-unsur baru dalam tradisi sastra dan naskah di Nusantara dipandang sebagai hal yang lazim. Kratz (1981) menegaskan bahwa tradisi naskah Melayu merupakan tradisi yang hidup. Artinya, penyalinan naskah Melayu bukan sebagai suatu proses yang mekanis dari sebuah reproduksi, melainkan sebagai suatu proses kreatif. Perbedaan yang muncul akibat dari penyalinan merupakan manifestasi kebebasan seorang penulis atau penyalin dalam memperlakukan teks. Kratz memberikan 3 contoh penulis Melayu, Raja Ali Haji yang pada tahun 1865 membuat catatan yang mendorong kepada anak cucunya untuk meneruskan karyanya. Kenyataan ini juga berlangsung dalam tradisi naskah Bugis, seperti naskah La Galigo yang senantiasa mengalami perubahan atau perkembangan dari satu periode ke periode yang lain. Dengan demikian, naskah-naskah BDA dapat dipandang sebagai versi dari La Galigo . Varian baru yang diperlihatkan oleh naskah-naskah ini merupakan suatu peristiwa yang disebut oleh Jauss (1983) dengan ‘semangat zaman’ ( the spirit of the age ). Pergeseran nuansa tersebut