Putu Prana Darana – Trilogi Blambangan 1
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Karya : Putu Praba Drana Dibuat ebook berdasarkan DJVU yang di scan oleh BBSC yang dapat di download di Djvu 01 dan Djvu 02 Ebook oleh : Dewi KZ http://kangzusi.com/ atau http://dewi.0fees.net/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ BUKU KE SATU KATA PENGANTAR Semenanjung Blambangan adalah semenanjung timur di Pulau Jawa dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Jawa bahkan Indonesia. Namun dalam sejarahnya Blambangan memang memiliki kisah-kisah unik yang terlepas dari pengaruh Mataram, sehingga seolah terpisah dari sejarah Jawa. Semenanjung Blambangan kini lebih dikenal dengan sebutan Banyuwangi. Berbagai pengaruh masuk ke wilayah ini, sehingga membentuk Banyuwangi dalam warna budaya seperti sekarang. Pada zaman Bhree Wirabhumi negeri ini dipasok senjata dan sukarelawan oleh Cina untuk melawan pengaruh Majapahit. Maka tidak mustahil terjadi kontak budaya. Hubungan dekatnya dengan Bali pun membuat suatu kultur yang seolah bukan Jawa. Selain itu, sebagai kota pelabuhan terbesar nomor dua di Jawa Timur saat itu, Blambangan pasti tak luput dari jamahan pengaruh asing. Wilayah ini—seperti juga wilayah-wilayah budaya lainnya—bisa tumbuh dan mengembangkan warna budaya karena sanggup membentuk suatu tata pemerintahan yang mapan, tak lepas dari pergulatan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Masa lalu Blambangan kini tinggal mitos dan legenda, seperti juga masa lalu kerajaan-kerajaan lain di Jawa. Salah satu tokoh legendaris yang punya realitas yang kuat dalam sejarah Blambangan, dan kini masih menjadi pujaan di wilayah itu, adalah Wong Agung Wilis, tokoh kisah ini. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Selama ini sebagian besar novel sejarah mengambil Mataram dan Majapahit sebagai latar belakang cerita. Tanah Semenanjung karya Putu Praba Darana mengetengahkan kisah di bagian timur Pulau Jawa dengan latar belakang sejarah Blambangan, yang merupakan bagian dari suatu integral, yaitu sejarah Jawa khususnya dan sejarah Indonesia umumnya. Penerbit Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ I. KEMBALI DARI LAGA Neraka itu sudah tertinggal jauh.—Surabaya. Dan kini mereka menuju ke bumi kelahiran, setelah empat tahun ikut perang di Surabaya; Perang selamanya merupakan aniaya. Namun diperlukan untuk mempertahankan kehormatan, membendung kerakusan manusia lainnya, dan banyak alasan lain. Umbul Songo, pemimpin laskar darat Blambangan itu, berulang menoleh ke belakang untuk mengetahui keadaan anak buahnya. Ah... jumlah mereka tinggal separuh. Yang lain sudah punah dimakan meriam kompeni Belanda. Tiba-tiba lamunan menyeretnya kembali pada Tumenggung Surabaya, Adipati Ngabehi Sawunggaling. — Muda. Perkasa!—Berapa kira-kira usia adipati itu? Belum lebih dari dua puluh lima tahun. Semuda itu mampu menciptakah neraka bagi VOC maupun Mataram. Sahkan juga bagi sekutu Mataram lainnya. Kini adipati itu telah gugur^ersama cita-citanya yang luhur. Pemuda yang mampu membuat hampir semua perwira kompeni putus asa. Bahkan mampu mewariskan semangat tinggi bagi segenap kawulanya. Dan kini ia tetap tinggal hidup dalam hati Umbul Songo. Dengan melamun kelelahan agak terlupakan. Hanya kadang-kadang saja Umbul Songo memperhatikan jalan di depannya. Lebih sering memperhatikan panorama cantik di kiri-kanan jalan, ada akar yang tergantung di ranting-ranting pohon, ada sarang lebah... Ah, Pencipta Alam sungguh mahabesar. Keindahan yang tak mungkin diciptakan manusia tanpa anugerah Hyang Maha Dewa. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Peperangan tinggal merupakan kenangan pahit. Tapi juga pelajaran mahal. Peperangan telah membuat mereka seperti baja. Juga menjadi lebih trampil menggunakan senjata-senjata yang sebelumnya tidak pernah mereka jamah. Lamunannya tiba-tiba terhenti oleh mendekatnya kuda Teposono. "Ada apa?" tanya Umbul Songo pada wakilnya itu. "Kita perlu istirahat," Teposono menjawab lunglai. Wajahnya sayu, garis ketuaan membayang samar. Teposono menyadari ia mulai tua. Sedang Umbul Songo masih kelihatan kuat. Perang malah menyegarkan jiwanya. "Pasukan sudah lelah?" "Kuda pun sudah lelah," Teposono menegaskan. Umbul Songo mendengus. Kembali menoleh. Dan... mendadak ia memerintahkan pasukannya berhenti. Perintah itu disambung oleh tiap pimpinan pasukan. Para prajurit segera mencari tempat untuk bersantai. Ada yang mencari air. Ada yang langsung melempar diri ke tempat teduh dengan tanpa peduli debu masih mengotori tubuhnya. Di bagian lain Baswi, seorang perwira muda dari pasukan penempur, mendekati salah seorang anak buahnya. Sambil berjalan Baswi melihat anak buahnya berbincang dalam istirahat be-riung-riung. Berbagai masalah berkecamuk di dada mereka. Tidak kurang-kurang yang takut kehilangan kesetiaan istri mereka, karena tidak bersambung berita. Ada... yang... ah... macam-macam. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Bagi Baswi, Tumpak, seorang anak buahnya yang sedang ia dekati, mengesankan. Betapa tidak! Anak itu pernah menangis menghadapi hujan kanon Belanda di dekat Bangil. Dan mereka semua merasa itu adalah pengalaman pahit yang pertama. "Tumpak..." sapa Baswi lirih. "Ya... Tuan," Tumpak menoleh. "Ada perintah baru?" "Ha... halia... ha!" Meledak suara tawa Baswi. "Kenapa Tuan tertawa?" "Lucu sekali, kau sekarang menjadi orang gagah berani." "Ya, dulu hamba masih belum terlatih. Hamba hanya ingin mewakili Ayah yang sudah tua." Tumpak tersipu- sipu. "Kekasihmu tentu bangga menjemputmu." Wajah Tumpak memerah mendengar itu. "Ah... Tuan, ada-ada saja." "Cinta adalah bagian dari hidup. Kenapa malu, Tumpak?" "Tapi... belum pernah sempat bercinta...." Baswi mengangguk-angguk. Ia memaklumi Tumpak memang terlalu muda waktu masuk laskar dulu. Bahkan ia hampir menolak Tumpak ditempatkan di pasukannya. Karena bisa menjadi beban belaka. Namun kala ia merencanakan merebut sebuah meriam Belanda di seberang Sungai Porong, Tumpak memaksa ikut. Dan anak muda itu membuktikan diri tak pernah menangis lagi. Tumpak pernah mendapat pelajaran dari Daeng Sampala, pemimpin laskar Makasar yang bergabung dengan Surabaya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kenapa belum sempat?" Baswi mencari bahan. Tumpak tergagap. Tak tahu bagaimana menjawab. Baswi tersenyum. "Orang muda seperti kita selalu mencari kesempatan untuk bercinta. Dan bila sudah mendapatkannya, orang tak akan pernah lupa lagi. Namun sayang, tidak sedikit karena sudah mendapat cinta orang menjadi pengecut." "Orang begitu selalu menghindari maut, bahkan tidak jarang yang melalaikan tugas," sahut Tumpak ketus. "Contoh sudah banyak sekali, Tuan. Biasanya orang celaka karena cinta." "Kau benar," sambung Baswi. "Mereka yang lalai itu salah. Gila dan buta...," kata Baswi sambil mengambil tempat di rerumputan. Sebentar kemudian ia melanjutkan. "Namun cinta itu tak terbatas pada kekasih, istri. Aku berangkat ke Surabaya ini karena cinta negeri. Kau cinta bapamu. Kau tak rela bapamu menjadi umpan pelor Belanda. Bukankah begitu, Tumpak?" "Ya... ya... Tuan." "Sekali lagi cinta adalah sebagian dari hidup. Maka orang tak akan pernah lepas daripadanya. Para dewa di langit pun terpaut oleh urusan cinta ini." Kini Tumpak mengangguk-angguk. "Teman-temanmu ada yang nekat menggunakan kesempatan dalam kesempitan ini untuk bercinta. Tanpa mengingat gadis atau janda. Islam atau agama Ciwa. Dan batasan itu menjadi kabur." Tumpak tersenyum. Sudut hatinya terdalam tersentuh. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Sekarang aku melihat seleret kekecewaan dalam hati mereka. Tapi aku tak dapat menolong. Dengan jalan apa pun. Kecuali mereka bersedia tinggal di Surabaya." Baswi berhenti lagi sambil mengawasi pemuda kesayangannya itu. Dan dengan tergagap Tumpak buru- buru menjawab : "Ah... Tuan, semua memaklumi. Sebagai laskar harus patuh pada atasannya. Kehadiran kita di Ibukota nanti akan membawa kesegaran baru. Karena tak lagi terganggu oleh perang." Karena tak lagi terganggu oleh perang? Baswi mengulang dalam hati. Ah, ternyata hampir setiap orang takut mati. Atau dia belum dengar tentang Blambangan sekarang? Ibukota sudah dipindahkan dari Wijenan ke Lateng. Dan Gusti Macana-pura telah diganti oleh Gusti Purba. Yah... Tum-pak tak mengerti di Blambangan ada peralihan kekuasaan____ Memang peralihan kekuasaan di Blambangan tak sampai ke telinga para prajurit yang sedang bertempur. Juga pemindahan ibukota. Namun keheranan merayapi relung hati mereka kala di Pa-narukan iring-iringan tidak berbelok ke Wijenan. Jalan yang mereka lalui dibangun sejak zaman Majapahit. Dan pernah dilalui oleh Hayam Wu-ruk waktu anjangkarya. Namun baik Baswi maupun anak buahnya tidak pernah mengetahui sejarah jalan itu. Juga tidak mengetahui bahwa keadaannya masih tetap seperti semula. Yang paling celaka lagi adalah ketidaktahuan mereka tentang korban dalam pembuatan jalan itu. Tawanan perang dari negeri-negeri yang memberontak terhadap tirani Majapahit telah dikerahkan dalam pembangunan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ jalan itu. Kekalahan harus mereka bayar dengan mahal sekali. Menjadi budak, menebang hutan di bawah pengawasan ujung senjata laskar Majapahit. Di antara mereka ada juga laskar Blambangan sendiri. Hampir semua budak-budak itu mati kelaparan seperti anjing kurap di tengah hutan. Lamunan Baswi pudar kala tiba-tiba Tumpak memberi tahu bahwa ia dipanggil Umbul Songo. Ia bangkit dan bergegas ke tempat Umbul Songo dikelilingi oleh para perwira lainnya. Umbul Songo duduk di bawah pohon besar dan rindang, beralaskan akar pohon itu sendiri, sedang berhadapan dengan wakilnya, Teposono. Sardola, perwira pasukan meriam dan cetbang, duduk di tanah dengan tanpa alas di sebelah kiri Umbul Songo. Di sebelah