JEJAK WARISAN SEJARAH AGAMA KHONGHUCU PADA MASYARAKAT CINA BENTENG DI TANGERANG

S u d e m i

Kerjasama MATAKIN Penerbitan dengan Gerbang Kebajikan Ru

Jakarta 2019 i

JEJAK WARISAN SEJARAH AGAMA KHONGHUCU PADA MASYARAKAT CINA BENTENG DI TANGERANG

Penulis/Hak Cipta @ S u d e m i Desain Sampul : Riano Layout : Sudemi

ISBN No.978-602-52538-2-9 xv+240 hlm.; 14.8x21 cm

Penerbit: Kerjasama MATAKIN Penerbitan dengan Gerbang Kebajikan Ru

Redaksi: Komplek Royal Sunter D-6 Utara 14350 Cetakan Pertama Juli 2019

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit

Dicetak oleh: Oz print,Ciputat Isi di luar tanggung jawab percetakan ii

JEJAK WARISAN SEJARAH AGAMA KHONGHUCU PADA MASYARAKAT CINA BENTENG DI TANGERANG

Tesis Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Agama (M.Ag)

Oleh S u d e m i NIM: 21150321000010

KONSENTRASI AGAMA KHONGHUCU PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA PROGRAM MAGISTER STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2570 K / 1440 H / 2019 M

iii

iv

v

ABSTRAK

Berbicara tentang jejak warisan sejarah pada masyarakat Cina Benteng di Tangerang tidak dapat dilepaskan dari kehadiran Agama Khonghucu yang dibawa oleh para imigran Tionghoa sejak awal kedatangannya, yang menjadi bukti adanya peradaban Agama Khonghucu di Indonesia pada umumnya dan khususnya masyarakat Tionghoa Tangerang. Peninggalan peradaban Agama Khonghucu baik berupa fisik maupun non fisik terpelihara dengan baik,diwariskan secara turun temurun dari leluhur mereka menjadi identitas keberadaan Agama Khonghucu sebagai bagian dari budaya dan tradisi masyarakat Tionghoa Tangerang yang lebih dikenal dengan Cina Benteng.

Namun identitas warisan Agama Khonghucu masyarakat Cina Benteng mengalami dampak dari perkembangan dinamika politik sejak Indonesia dibawah pemerintahan Orde Baru (1966- 1998). Pemerintah Orde Baru mengganggap Agama Khonghucu menghambat asimilasi. Untuk menyisihkan Agama Khonghucu pemerintah Orde Baru menerbitkan Inpres No.14 Tahun 1967beserta turunannya dengan upaya untuk membatasi ruang gerak kegiatan agama, budaya maupun tradisi Agama Khonghucu. Kebijakan pemerintah Orde Baru yang bernuansa politik mengakibatkan banyak orang Cina Benteng beragama Khonghucu melakukan konversi ke agama lain. Ditengah tekanan pemerintah Orde Baru, masih ada upaya tokoh-tokoh Agama Khonghucu di Tangerang mempertahankan identitas tradisi Agama Khonghucu dengan mengaburkan istilah Tionghoa yang tidak disukai pemerintah Orde Baru melalui lembaga keagamaan maupun pendidikan seperti Lithang dan Sekolah Confucius.

vi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk warisan Agama Khonghucu pada masyarakat Cina Benteng di Tangerang untuk mengungkap jejak sejarah yang terjadi di masa lalu. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif melalui pendekatan keilmuan antropologi dan sejarah. Penelitian ini juga melalui pengumpulan data dengan studi pustaka dan wawancara mendalam serta pengamatan dilapangan. Hasil penelitian ini menunjukkan selama periode kebijakan pemerintah Orde Baru mengakibatkan banyak generasi Cina Benteng sudah melupakan jejak warisan Agama Khonghucu yang pernah menjadi tradisi mereka sebelumnya.

Kata kunci : Jejak warisan, Cina Benteng, Orde Baru, Konversi agama.

vii

ABSTRACT

The Legacy of the historical heritage of the Chinese Fortress community in Tangerang could not be separated from the presence of Confucian religions which was brought by Chinese immigrants from the very beginning of their arrival, which become the evidence of Confucian religious civilization in Indonesia in general and particularly in the Chinese community in Tangerang. The Relics of Confucian religions both physical and non-physical were inherited from generation to generation as their identity as Confucian existence as part of the culture and traditions of the Chinese community in Tangerang which is known well as the Chinese Fortress.

Currently the identity of the Confucian religious as heritage of the Chinese Fortress community has been affected by the development of political dynamics especially since Indonesia was under the New Order government (1966-1998). The New Order government considered Confucian religions to inhibit assimilation. To set aside Confucianism the New Order government issued Inpres No. 14 of 1967 as well as its derivation with efforts to limite the space for activities of Confucian religions, culture and religious traditions. The policies of the New Order government which had a political nuance resulted in many Confucian Chinese Fortress to convert their religions to other religions. Amid the pressure of the New Order government, there were still attempts by Confucian figures in Tangerang to maintain the identity of Confucian religious traditions by obscuring Chinese terms that the New Order government disliked through religious and educational institutions such as Lithang and Confucius Schools.

This study aims to determine the forms of Confucian religious heritage in the Chinese Fortress community in Tangerang to reveal the legacy of history that occurred in the past. This research was

viii conducted using qualitative methods through the scientific approached to anthropology and history. This research is also conducted through data collection with literature studies and in- depth interviews and field observations. The results of this study indicated that during the period of the New Order government policy, many generations of the Chinese Fortress had forgotten the legacy of Confucian heritage that had been their former tradition.

Key Note : The Legacy, Chinese Fortress, New Order, Religions convertion

ix

Kata Pengantar

Puji syukur Kehadirat Shang Di Yang Maha Agung yang telah memberikan berkah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Jejak Warisan Sejarah Agama Khonghucu Pada Masyarakat Cina Benteng Di Tangerang”, hanya berkah bantuan-Nya tesis ini dapat diselesaikan penulis.

Penulis menyampaikan terima kasih atas segala bantuan dan dukungan dari berbagai pihak kepada penulis, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Amani Lubis, MA., Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Prof. Dr. Yusuf Rahman, M.A., Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Dr.Atiyatul Ulya, M.Ag., Ketua Program Magister Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Bapak Maulana, M.A., sekretaris Program Magister. 4. Bapak Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si., Wakil dekan Bidang Akademik, Dosen Pembimbing tesis dan pengajar Konsetrasi Agama Khonghucu Program Studi Perbandingan Agama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan bantuan, motivasi, bimbingan, arahan dan koreksi dalam proses penulisan tesis ini sejak awal sampai selesai. 5. Bapak Prof.Dr.M.Ridwan Lubis, sebagai Dosen Pembimbing tesis dan Pengajar, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan bantuan, motivasi, bimbingan, arahan dan koreksi dalam proses penulisan tesis ini sejak awal sampai selesai. 6. Para Dosen Pengajar Program Pasca Sarjana (S2) Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Para Dosen Pengajar antara lain: Prof.Dr.Zainun x

Kamaluddin F.M.A., Prof.Dr.Kautsar Azhari Noer, Dr.Sri Mulyati, M.A., Dr.Amin Nurdin, M.A., (Alm) Dr.Syamsuri,M.Ag, Ws.Ongky Setio Kuncono, S.H.,M.M., Dr. Drs. Ws. Chandra Setiawan, M.M.Ph.D., Xs.Dr.Drs.Oesman Arif, M.Pd., Dr.Ir.Drs.Adji Djojo, M.M., 7. Toto Tohari, M.Ag., dan segenap Staf Administrasi Program Pasca Sarjana (S2) Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 8. Pengurus Perpustakaan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 9. Dra.Hj.Emma Nurmawati, M.M, Kepala Bimbingan Masyarakat Khonghucu Kementerian Agama Republik Indonesia yang telah memberikan dukungan dan bantuan dalam memfasilitasi terselenggaranya Program S2 bagi mahasiswa Khonghucu hingga selesainya penulisan tesis ini. 10. Pimpinan Rohaniwan MATAKIN, antara lain: (alm) Xs.Masari Saputra, Xs.Tan Tjoe Seng, Ws. Budi Tanuwibowo, Ws.H.T.Saputra, Ws.Setianda Tirtarasa. 11. Pimpinan Dewan Pengurus MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) Pusat antara lain Drs.Uung Sendana L. Linggaraja, S.H., M.Ag., dan Ws.Ir.Budi Santoso Tanuwibowo yang telah memberikan fasilitas, kesempatan dan dukungan baik moril maupun materil hingga dapat diselesaikannya penulisan tesis ini. 12. Penulis sampaikan terima kasih kepada, Xs.Tan Tjoe Seng, Ws.Rudy Gunawijaya, Js. Djaya Soehendra, Js.Tan Tiang Kie, Js.Yap Cung Teh, Js.Yap Tjeng Goan, Js.Merry Agatha, Oey Tjin Eng, M.Sri Jastuti, Drs.Sergius Kelang, Edy Kurniawan, Waruna Sukoharjo, yang telah banyak membantu penulis dalam mendapatkan data-data dan masukan berharga dalam penulisan tesis ini. Rasa terima kasih penulis kepada para Beliau di atas, penulis antarkan pula dalam harap dan doa semoga selalu menerima karunia berkah, kesehatan dan kebahagiaan dari Huang Tian, Tuhan Yang Maha Esa.

xi

Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pra pembaca pada umumnya dan tentu dalam tulisan ini jauh dari kata sempurna, dengan segala kerendahan hati mohon diberikan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan penulisan tesis pada masa yang akan datang.

Jakarta, Februari 2019

Penulis,

S u d e m i

xii

Daftar Isi

LEMBAR JUDUL TESIS ...... iii LEMBARAN PERNYATAAN ...... iv LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... v ABSTRAK ...... vi KATA PENGANTAR ...... x DAFTAR ISI ...... xiii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah...... 11

1. Batasan Masalah ...... 11

2. Rumusan Masalah ...... 12

C. Tujuan Penelitian...... 12

D. Manfaat Penelitian...... 13

1. Manfaat Akademis ...... 13

2. Manfaat Praktis ...... 13

E. Tinjauan Pustaka ...... 14

F. Metodologi Penelitian ...... 20

1. Jenis Penelitian...... 20

2. Teknik Pengumpulan Data ...... 25

xiii

H. Sistematika Pembahasan...... 30

BAB II MASYARAKAT CINA BENTENG DI TANGERANG A. Kedatangan Imigran Tionghoa ...... 33

1. Kehadiran Para Pedagang Secara Bertahap...... 33

2. Karateristik Cina Benteng dan Akulturasi Budaya...... 44

B. Sistem Religi Agama Khonghucu Masyarakat

Cina Benten...... 58

C. Pemukiman Masyarakat Cina Benteng ...... 75

1. Sentiong Tanah Pemakaman...... 75

2. Rumah Kebaya Cina Benteng...... 78

D. Pertumbuhan Pendidikan Agama Khonghucu

Tradisional dan Modern ...... 85

BAB III KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP AGAMA KHONGHUCU A. Orde Lama ...... 103

B. Orde Baru...... 108

C. Orde Reformasi ...... 136

BAB IV BERDIRINYA PERKUMPULAN BOEN TEK BIO A. Kelenteng Boen Tek Bio...... 144

B. Makna Filosofi Oranamen Kelenteng Boen Tek Bio...... 152 xiv

C. Terbentuknya Perkumpulan Boen Tek Bio ...... 157

D. Peranan Perkumpulan Boen Tek Bio di Bidang

Keagamaan...... 168

E. Peranan Perkumpulan Boen Tek Bio di Bidang Sosial...177

F. Peranan Perkumpulan Boen Tek Bio di Bidang

Pendidikan...... 178

BAB V EKSISTENSI MASYARAKAT CINA BENTENG A. Mendirikan Lithang...... 181

B. Perjuangan Mempertahankan Agama Khonghucu...... 187

C. Mendirikan Sekolah Confucius...... 193

D. Masa Depan Agama Khonghucu Masyarakat

Cina Benteng...... 208

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan ...... 222

B. Saran ...... 227

DAFTAR PUSTAKA ...... 228

BIODATA PENULIS ...... 235

LAMPIRAN

xv

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam bab ini memaparkan latar belakang masalah tema penelitian yaitu Jejak Warisan Sejarah Agama Khonghucu Pada Masyarakat Cina Benteng sebagai bagian peradabana Agama Khonghucu di Tangerang. Agama Khonghucu yang menjadi dasar akar budaya dan tradisi masyarakat Tionghoa di Tangerang yang diturunkan dari generasi ke generasi. Namun agama yang sudah mengakar mengalami dampak dari kebijakan pemerintah Orde Baru dan menimbulkan disintegrasi identitas keagamaan pada masyarakat Cina Benteng. Dalam bab ini juga dipaparkan batasan dan rumusan masalah, tinjauan pustaka, serta metodologi peneltiian. A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang terdiri dari berbagai suku bangsa dengan ragam budaya yang berbeda dan memiliki kekayaan hayati aneka flora dan fauna yang tersebar di berbagai wilayah Nusantara. Letaknya yang merupakan jalur perdagangan internasional yang menyebabkan banyaknya pedagang asing seperti pedagang dari India, Tiongkok dan Arab, hal ini menjadikan masyarakat Indonesia cenderung terbuka untuk segala perubahan maupun masuknya pengaruh budaya asing yang menjadikan bagian dari tradisi masyarakat Indonesia. Para

1

2 pedagang Tiongkok yang berdagang di Pulau Jawa tidak serta merta meninggalkan Indonesia secara langsung melainkan mereka harus menunggu angin musim yang baik untuk kembali ke Tiongkok, mereka membentuk tempat persinggahan sementara. Komoditas barang dagangan yang dicari para pedagang di Nusantara adalah rempah-rempah yang mendatangkan keuntungan yang sangat besar. “Dari ahli geografi Cina, Wang Ta-yuan, bahwa perahu- perahu Cina dengan teratur mengunjungi Maluku tahun 1340-an untuk mengangkut sejumlah cengkih. Hal ini tepat apa yang dikatakan oleh orang Ternate dan Tidore kepada orang Portugis, bahwa nenek moyang mereka pertama kali mengetahui nilai cengkeh dari orang Cina yang pertama menginjak kepulauan itu dan perahunya datang dari arah utara, lalu orang Jawa dan Melayu mengikutinya belayar dari arah selatan.”1 Para pedagang Tiongkok juga menjalin hubungan dagang dengan kerajaan di Pulau Jawa. Hubungan antara kerajaan Tiongkok dan kerajaan di Pulau Jawa mulai terjalin kontak sekitar abad ke 5 masehi pada masa kerajaan Tarumanegara. “Jung-jung yang berangkat dari Tiongkok bulan Januari ke pelabuhan Sunda Kelapa dan menunggu angin musim

1Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2 Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara. Penerjemah R.Z. Leirissa, P. Soemitro (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2015),h. 5

3 baik untuk kembali ke Tiongkok pada bulan Juni.”2 Hubungan perdagangan Kerajaan Pajajaran mencapai peningkatan pada masa Dinasti Tang (618-907) sekitar abad ke-9. Jejak arkeologis dapat ditemukan dibekas aliran sungai Cisadane, Teluk Naga, Kampung Melayu. Hal ini memungkinkan karena Tangerang merupakan salah satu pelabuhan utama kerajaan Pajajaran pada waktu itu. Menurut Tom Pires, “Kerajaan Sunda memiliki beberapa pelabuhan, salah satu adalah Pelabuhan Tangerang merupakan pelabuhan keempat dari enam pelabuhan.”3 Pelabuhan Tangerang terletak disebelah timur Jakarta yang dihubungkan dengan anak sungai Cisadane. Pada masa itu pelabuhan Guangzhou merupakan pelabuhan utama di wilayah selatan yang disinggahi banyak pedagang asing seperti India, Arab, Persia dan juga dari Nusantara. Dinasti Tang giat membuka jalur-jalur pelayaran untuk meningkatkan hubungan ekonomi maupun mengembangkan tradisi budaya Tiongkok. Banyaknya lalu lintas perdagangan di Guangzhou mengakibatkan hubungan komunikasi timbal balik antara Dinasti Tang dengan negara lainnya semakin berkembang. Persinggahan kapal para pedagang di Guangzhou maupun pelabuhan di Nusantara oleh pedagang Tionghoa yang menunggu angin musim yang baik selama

2Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu Bagian II: Jaringan Asia Penerjemah Winarsih Partaningrat Arifin,dkk (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), h.269. 3Tome Pires, Suma Oriental. Penerjemah Adrian Perkasa dan Anggita Pramesti (Yogyakarta: Ombak, 2015), h.238

4 enam bulan untuk kembali ke Tiongkok menyebabkan para pedagang Tionghoa mulai ada yang menetap dan menikah dengan perempuan penduduk asli setempat di Nusantara dan melahirkan anak-anak peranakan. Sejak saat itu para imigran Tionghoa memulai kehidupan baru mereka dan mendapati bahwa wilayah baru ini cocok sebagai tempat tinggal mereka. Dalam perjalanan waktu yang panjang, proses akulturasi merupakan proses alami dan interaksi dengan suatu bangsa, imigran Tionghoa juga membawa tradisi dan budaya tempat asal mereka yang memberikan pengaruh baik bagi penduduk asli setempat. Selain berdagang mereka juga mengembangkan usaha pertanian, dan dalam kehidupan keagamaan tradisional mereka membawa serta tradisi ajaran agama Khonghucu. Berbicara tentang jejak warisan sejarah pada masyarakat Cina Benteng di Tangerang tidak dapat dilepaskan dari kehadiran agama Khonghucu yang dibawa oleh para imigran Tionghoa sejak awal kedatangannya yang menjadi bukti adanya peradaban agama Khonghucu khususnya di masyarakat Cina Benteng. Peradaban agama menghasilkan kekuatan tradisi akan sistem nilai budaya dan pandangan hidup yang kokoh. Sebagaimana dijelaskan Koentjaraningrat, adanya sistem budaya merupakan tingkat paling tinggi dan paling abstrak dari adat istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai-nilai budaya itu merupakan konsep-konsep

5 mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga suatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga dan penting dalam hidup, sehingga berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat tadi.4 Kedatangan orang Tionghoa di Tangerang diperkirakan telah terjadi pada abad ke-9 pada masa Dinasti Tang (618-907), namun gelombang kedatangan orang Tionghoa mulai terjadi pada abad ke-15 di Teluk Naga-Kampung Melayu, saat Laksamana Cheng Ho sebagai utusan dari Dinasti Ming (1368-1644) untuk menjalin hubungan persahabatan dan perdagangan dengan kerajaan- kerajaan di Nusantara. Seiring dengan kehadiran orang Tionghoa ke Tangerang masuk pula ajaran Agama Khonghucu, yang membentuk peradaban Agama Khonghucu, hal ini ditegaskan oleh Drs.Djohan Effendi yang mengatakan,”Berbarengan dengan kedatangan bangsa Tiongkok yang kebanyakan beragama Khonghucu, maka agama tersebut pun ikut memperkaya dunia keagamaan di Indonesia”5 Masyarakat Cina Benteng yang sudah bertempat tinggal di Tangerang, mulai membuka lahan pertanian serta peternakan dan membangun pemukiman mereka di Teluk Naga–Kampung Melayu, menyesuaikan diri mereka dengan lingkungan yang baru, mereka

4 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. (Jakarta: Aksara Baru, 1979),h.204 5 Majalah Prisma No.5 tahun 1978, hal.12.

6 membangun tempat tinggalnya yang dikenal Rumah Kebaya Cina Benteng. Rumah Kebaya Cina Benteng dibangun dengan bahan bangunan yang didapatkan dari lingkungan mereka seperti kayu nangka atau kayu jati. Masyarakat tradisional Khonghucu juga membangun tempat ibadah yang disebut Bio sebagai tempat berlindung dan pengharapan kemajuan perdagangan mereka supaya menghasilkan keberkahan dan keuntungan. Di Indonesia Bio lebih dikenal dengan nama Kelenteng. Bio yang dibangun mula-mula bentuknya sederhana sekali. Di tempat baru ini mereka membangun pemukiman dalam bentuk petak sembilan dengan Bio sebagai pusatnya. Menurut tata letak Hong Shui, kawasan pasar, pemukiman serta Bio setidak-tidaknya dilalui aliran sungai dan terlindung oleh perbukitan. Bio ini mulai-mula dibangun sekitar abad ke-16, yang dikenal dengan nama Boen Tek Bio. Kelenteng Boen Tek Bio dibangun dengan gaya arsitektur Tiongkok klasik yang dipengaruhi filosofi ajaran agama Khonghucu. Selain Boen Tek Bio di Tangerang terdapat tiga kelenteng yang dibangun setelah Kelenteng Boen Tek Bio dengan tata letak Hong Shui yang sama yakni Boen Hay Bio terletak di kawasan Pasar Lama Serpong serta Boen San Bio terletak dikawasan Pasar Baru dan Kelenteng Tanjung Kait. Arti pentingnya pengaruh pendidikan bagi masyarakat Tionghoa khususnya di Tangerang dimulai dari reformasi

7 pendidikan yang dicanangkan oleh Nabi Kongzi sejak ribuan tahun yang lalu di Tiongkok. Nabi Kongzi dianggap sebagai Guru Pertama di Tiongkok, ini bukan berarti di Tiongkok tidak ada guru yang mengajar sebelum Nabi Kongzi. Kebanyakan para guru memperioritaskan kepada kalangan bangsawan dan hartawan. Menurut Nabi Kongzi setiap orang berhak mendapat pendidikan tanpa ada perbedaan kelas, demikian sabda Nabi Kongzi dalam kitab Lun Yu XV : 39 “Ada pendidikan, tiada perbedaan.”6 Ketika Indonesia berada dibawah kolonial Belanda, pemerintah tidak memberi ruang pendidikan secara formal bagi masyarakat Tionghoa. Pemerintah kolonial umumnya acuh tak acuh terhadap pendidikan anak-anak Tionghoa. Akibat dari sikap diskriminasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda menimbulkan reaksi keras dari kalangan Tionghoa yang terdidik, mereka mengharapkan pemerintah memberikan hak yang sama bagi warga negaranya. Pada tanggal 17 Maret 1900 Perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan didirikan, maksud dan tujuan Perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) adalah Memperbaharuai adat istiadat sesuai ajaran Nabi Khongcu, mendirikan sekolah-sekolah untuk anak-anak Tionghoa, Pengadaan gedung bagi pertemuan anggota perkumpulan

6Si Shu, Kitab Yang Empat. (Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia,2016), h.281.

8 untuk membahas dan mencari pemecahan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat Tionghoa, sepanjang tidak melanggar peraturan-peraturan pemerintah/penguasa, menyelenggarakan perpustakaan untuk mening-katkan pengetahuan para anggota.7 Setahun kemudian Perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) pada tanggal 17 Maret 1901 mendirikan sekolah atau Tiong Hoa Hak Tong, sebagai sarana untuk mengembangkan ajaran Agama Khonghucu. Dalam waktu beberapa tahun Perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan telah berhasil mendirikan sekolah di Hindia Belanda. Pada tanggal 30 Juli 1904 Perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) mulai membuka cabang di Tangerang. Bangunan sekolah ini berada disamping Kelenteng Boen Tek Bio (sekarang Aula Boen Tek Bio). Berdirinya Sekolah Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) mengawali sekolah modern pertama di Tangerang dan menggantikan sekolah Tionghoa tradisional. Di wilayah Tangerang, ditemukan juga sejumlah sentiong, tradisi agama Khonghucu mewajibkan agar ketika orang tua atau anggota keluarga meninggal dunia dikuburkan bukan dikremasi, hal itu sesuai dengan ajaran agama Khonghucu. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Kitab Lun Yu II : 5

7Rahmat Ms, Buku Peringatan 100 Tahun Sekolah THHK/Pa Hoa Centennial of THHK School (Jakarta: Yayasan Pancaran Hidup, 2001), h.78.

9

“Pada saat hidup, layanilah sesuai dengan Kesusilaan; ketika meninggal dunia, makamkanlah sesuai dengan Kesusilaan; dan, sembahyangilah sesuai dengan Kesusilaan.”8

Selain tradisi persembahyangan dan pemakaman yang didasarkan pada tradisi ajaran agama Khonghucu, masyarakat Cina Benteng juga melestarikan tradisi perkawinan yang dikenal dengan sebutan Chio Tauw. Perkawinan adalah sesuatu yang sakral dan wajib dilaksanakan umat agama Khonghucu. Melanjutkan keturunan untuk keluarga merupakan wujud dari prilaku hauw (bakti), sebagaimana tertulis dalam kitab Meng Zi IVA : 26.1 Li Lou Meng Zi berkata,”Tidak berbakti itu ada tiga macam, tidak mempunyai pelanjut hari kemudian itulah yang terbesar!”9 Warisan jejak sejarah baik fisik maupun non fisik masyarakat Tionghoa di Tangerang telah membentuk nilai-nilai religius ajaran Agama Khonghucu membudaya sebagai pendoman hidup yang menjiwai masyarakat dan mengakar dalam jiwa mereka. Karena itu nilai-nilai religius yang telah membudaya tidak dapat diganti dengan pengaruh sistem nilai maupun agama lainnya dalam waktu singkat. Perkembangan Agama Khonghucu pada masyarakat Tionghoa di Tangerang mengalami masa-masa suram, karena adanya kebijakan pemerintah Orde Baru yang kurang menguntungkan umat Khonghucu. Ketika terjadi peristiwa G.30

8Si Shu, Kitab Yang Empat.,h.97. 9Si Shu, Kitab Yang Empat, h.566.

10

S/PKI pada tahun 1965, etnik Tionghoa secara individu maupun kelompok yang tergabung dalam kegiatan politik dianggap berafiliasi dengan komunisme. Padahal tidak semua etnik Tionghoa terlibat dalam kegiatan politik, semua itu bermuara kecurigaan pemerintah Orde Baru dan masukan-masukan dari kalangan orang Tionghoa yang pro asimilasi. Pemerintah Orde Baru menganggap segala sesuatu yang berbau Tionghoa harus dihilangkan. Pemerintah Orde Baru mengeluarkan Inpres No.14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan dan adat istiadat Cina. Diterbitkan Inpres No.14 Tahun 1967 turut menghilangkan dan menghapus jejak warisan sejarah Agama Khonghucu secara sistematis seperti Kelenteng dirubah menjadi Vihara, hilangnya pendidikan Agama Khonghucu dan terjadi konversi ke agama lain. Kebijakan pemerintah terhadap agama Khonghucu berdampak juga terhadap perkembangan agama Khonghucu pada masyarakat Tionghoa di Tangerang dan dimulailah tahap konversi ke agama lain seperti agama Buddha, Kristen atau Katolik dan sedikit ke agama Islam, namun sebagian besar masyarakat Cina Benteng lebih banyak ke agama Buddha dan dimulailah proses integrasi ke agama Buddha, selain itu proses integrasi ke agama Kristen atau Katolik juga terjadi, banyak anak-anak umat Khonghucu di sekolah Kristen dan Katolik pada akhirnya meninggalkan agama Khonghucu dan tertarik dengan agama Kristen atau Katolik. Kebijakan pemerintah yang bernuansa politik

11 mengakibatkan banyak orang Cina Benteng sebagian besar berpaling dari Agama Khonghucu dan menjadi penganut agama lainnya. Selama hampir 32 tahun, masa pemerintahan Orde Baru generasi Cina Benteng tidak mengetahui bahwa pengaruh ajaran agama Khonghucu turut membentuk budaya dan tradisi kehidupan masyarakat Cina Benteng. B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah Dalam penelitian tesis ini penulis menfokuskan pada masyarakat Tionghoa Tangerang khususnya Cina Benteng. Cina Benteng memiliki karakteristik sosial budaya yang berbeda dengan etnis Tionghoa lainnya yang ada di Indonesia. Untuk penelitian tesis ini penulis mengkaji kembali rangkaian sejarah warisan agama Khonghucu pada masyarakat Cina Benteng di Tangerang yang tertutup selama periode Orde Baru. Warisan Fisik yang merupakan warisan peninggalan berupa situs bangunan atau arsitektur yang berhubungan atau dipengaruhi dengan agama Khonghucu. Peninggalan ini berupa : Kelenteng atau Bio, Rumah Kebaya dan Pendidikan (Gedung Sekolah). Kata Jejak memiliki arti tingkah laku atau perbuatan yang telah dilakukan dahulu; perbuatan atau kelakuan yang

12

menjadi teladan.10 Sementara kata Warisan memiliki arti kata harta atau peninggalan; pusaka.11 Dalam penelitian tesis ini yang dimaksud dengan jejak warisan Agama Khonghucu adalah segala sesuatu yang diwariskan atau diturunkan atau diteruskan dari suatu kelompok atau komunitas sebagai anggota dengan cara diajarkan, diteladankan untuk diwariskan atau diturunkan atau diteruskan kepada satu orang atau kelompok masyarakat yang menjadi peninggalan atau pusaka baik berupa warisan fisik maupun warisan non fisik yang diwariskan secara berkelanjutan menjadi masyarakat yang bertradisikan agama Khonghucu. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan batasan masalah diatas maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut Apa bentuk warisan Agama Khonghucu dalam masyarakat Cina Benteng di Tangerang? C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui bentuk-bentuk warisan Agama Khonghucu pada masyarakat Cina Benteng di Tangerang.

10 W.J.S. Poewodorminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 2011), h.478. 11W.J.S. Poewodorminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, h.1363.

13

D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, baik manfaat akademis maupun manfaat praktis. 1. Manfaat akademis a. Jawaban atas pertanyaan dalam penelitian akan sangat menarik dan memberikan sumbangan besar bagi pemikiran dan kepustakaan agama Khonghucu. b. Membuka pintu bagi kajian yang lebih luas dan dalam mengenai topik yang berkaitan. 2. Manfaat praktis a. Bagi peneliti 1. Mempertajam kemampuan peneliti dalam membaca dan menganalisis buku-buku keagamaan dan sejarah Agama Khonghucu serta budaya Tionghoa. 2. Lebih toleran terhadap pandangan-pandangan yang berbeda dalam nuansa keagamaan. b. Bagi universitas Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi pendidik dan maha-siswa dalam memahami sejarah perkembangan Agama Khonghucu khususnya di daerah Tangerang c. Bagi masyarakat umum dan pemerintah

14

E. Tinjauan Pustaka Ada beberapa buku yang ditulis para peneliti yang menjadi kajian pustaka penulis yang berhubungan dengan kelenteng, pendidikan, Agama Khonghucu dan masyarakat Cina Benteng. 1. Charles A. Coppel, Dalam tulisannya yang berjudul Tionghoa Indonesia dalam Krisis (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994). Buku ini merupakan buku asili yang berjudul Indonesian Chinese In Crisis (Melbourne: Oxford University Press, 1983). Buku ini membahas keadaan sosial politik posisi orang Tionghoa menjelang akhir Pemerintah Orde Lama dan naiknya Pemerintah Orde Baru. Pemerintah Orde Baru yang banyak menaruh curiga terhadap sekelompok etnis Tionghoa yang berkaitan dengan kegiatan politik baik Partai Komunis Indonesia maupun individul atau kelompok melakukan hubungan politik dengan pemerintah Beijing. Dampak dari itu mengakibatkan dipinggirkannya kedudukan orang Tionghoa di Indonesia. Pemerintah Orde Baru dan kelompok pendukungnya menghendaki orang Tionghoa untuk berasimilsi secara total dengan meninggalkan budaya maupun agamanya dalam hal ini agama Khonghucu. Klenteng merupakan tempat ibadah agama Khonghucu yang dianggap menghambat asimilasi, karena itu ada usaha-usaha pihak-pihak tertentu baik dari tokoh Tionghoa sendiri maupun pemerintah Orde Baru dalam hal ini kalangan militer untuk menghilangkan dan menghapus kelenteng sebagai jejak dari Agama Khonghucu.

15

Berkaitan dengan objek penelitian, buku ini memiliki hubungan yang erat dengan penelitian tesis penulis. Salah satu bagian dari sub bab membahas konversi agama. Charles A. Coppel selain memaparkan permasalahan politik orang Tionghoa juga memaparkan kedudukan agama Khonghucu yang menghadapi tekanan terhadap masa depan keberadaan agama Khonghucu di Indonesia khsusunya pada masa Orde Baru. 2. Leo Suryadinata, Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia (Jakarta: PT.Gramedia, 1988). Buku ini merupakan buku asili yang berjudul The Culture of the Chinese Minority in Indonesia. Leo Suryadinata menyebutkan Sekolah Tionghoa tradisional pertama didirikan di Jakarta pada tahun 1729 dengan sekitar tiga puluh siswa. Sekolah Tionghoa tradisional dikenal sebagai sekolah Hokkian karena bahasa pengantar adalah bahasa Hokkian. Kurikulumnya didasarkan pada kitab-kitab Khonghucu dan tekanan diberikan lebih pada penghafalan daripada pemahaman. Keberadaan sekolah tradisional ini didirikan untuk meneruskan tradisi ajaran Khonghucu. Pada tahun 1900 Phoa Keng Hek berserta tokoh Tionghoa lainnya mendirikan organisasi modern yakni Tiong Hoa Hwee Koan, organisasi ini didirikan sebagai reaksi terhadap pemerintah kolonial Belanda yang tidak bersedia membuka sekolah untuk masyarakat Tionghoa pada waktu itu. Organisasi Tiong Hoa Hwee Koan didasarkan pada ajaran Khonghucu. Sekolah Tiong Hoa Hwee

16

Koan didanai dan dikelola oleh masyarakat Tionghoa setempat. Pada tahun 1901, baru ada satu sekolah Tiong Hoa Hwe Koan, namun dua tahun kemudian jumlahnya telah meningkat menjadi tiga belas, dan pada tahun 1908, ada lima puluh empat. Buku ini memaparkan sejarah hubungan agama Khonghucu dan Pendidikan yang didirikan Perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) dari permulaan hingga memasuki era Orde Baru. Buku ini juga mengulas bagaimana tokoh-tokoh THHK dalam memperjuangkan agama Khonghucu dalam menghadapi pihak- pihak yang anti terhadap agama Khonghucu. Kelebihan buku ini memaparkan sejarah hubungan agama Khonghucu dan Pendidikan yang didasarkan agama Khonghucu di Indonesia. Kelemahannya buku ini tidak membahas pengaruh pendidikan Tiong hoa Hwe Koan bagi perkembangan agama Khonghucu. 3. M.Ikhsan Tanggok, Jalan Keselamatan Melalui Agama Khonghucu (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2000). Buku ini dapat di bagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama membahas tentang Agama dan Kepercayaan Cina Tertua, bagian kedua membahas Perkembangan Agama Khonghucu di Indonesia dan bagian terakhir membahas Beberapa Pendapat Tentang Agama Khonghucu. Pada bagian pertama penulis membahas agama dan kepercayaan sebelum Konghucu lahir. Khonghucu bukan pencipta agama Cina, melainkan meneruskan agama sebelumnya dan kepercayaan yang memberatkan penganutnya karena itu

17

Khonghucu meluruskan ke arah yang lebih baik dan diberi makna. Sama seperti agama lainnya, Agama Khonghucu juga mengenal konsep Ketuhanan sebagai esensi yang tertinggi, memiliki kitab-kitab suci sebagai tuntunan bagi umatnya. Dibagian ini juga diceritakan riwayat hidup Khonghucu. Dibagian kedua dibahas Perkembangan Agama Khonghucu di Indonesia, dibagian ini dibahas hubungan Perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan dan Agama Khonghucu. Perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan memiliki peranannya untuk mereformasi kebiasaan buruk masyarakat Cina dengan ajaran Agama Khonghucu. Penulis juga membahas perkembangan agama Khonghucu pada masa Khong Kauw Hwee 1918 yang menjadi cikal bakal MATAKIN dan kedudukan Agama Khonghucu pada masa Orde Baru. Pada Bagian ini juga dibahas upacara perkawinan, kematian, tata cara ibadah berdasarkan agama Khonghucu serta hari raya umat Khonghucu. Pada bagian lain penulis juga memaparkan Hari Raya Umat Khonghucu. Pada bagian akhir dibahas berbagai pendapat tokoh maupun ahli agama mengenai kedudukan Khonghucu sebagai agama atau etika. Di bagian ini justru memperlihatkan Khonghucu adalah agama. Hal ini penting sebab selama periode pemerintah Orde Baru Agama Khonghucu dipolitisi secara sepihak. Buku ini ditulis dengan bahasa sederhana yang dimengerti masyarakat umum dan rasa simpati kepada umat Khonghucu. Dalam buku ini bagian yang terpenting

18

dari penelitian tesis penulis adalah Perkembangan Agama Khonghucu di Indonesia khsuusnya pada masa Orde Baru. Dibagian ini penelitian tesis penulis lakukan untuk menguatkan perjuangan umat Khonghucu dalam mempertahankan identitas keberadaannya sebagai sebuah agama. 4. Paulus Hariyono, Menggali Latar Belakang Stereotif dan Persoalan Etnis Cina di Jawa (Semarang: Mutiara Wacana, 2006). Buku ini menjelaskan latar belakang persoalan etnis Cina yang dibagi dalam tiga pembahasan. Pembahasan pertama mengungkapkan kedatangan etnis Cina di Pulau Jawa. Hubungan yang damai dan tidak menimbulkan persoalan. Dikatakan, Kerajaan Sriwijaya sempat memberikan bantuan materi, ketika suatu tempat ibadah di Cina terjadi kerusakan akibat suatu kerusuhan. Pada bagian lainnya diuraikan perkawinan etnis Cina dan orang Jawa dan akulturasi budaya. pada bagian kedua buku ini membahas Persoalan Yang Masih Menggantung. Dibagian ini memiliki hubungan erat dengan dengan tujuan penelitian tesis penulis. Pada bagian buku ini mengungkapkan persoalan yang tampak tidak mudah diurai begitu saja, melainkan membutuhkan suatu proses. Persoalan-persoalan itu misalnya tentang persoalan agama Khonghucu. Di masa Orde Baru posisi agama Khonghucu dibawah pengawasan BKMC-BAKIN. Dewan ini menjadi konsultan pemerintah untuk urusan masalah Tionghoa dan Agama Khonghucu. BKMC-BAKIN yang menentukan

19

Khonghucu itu agama atau bukan. Ini jelas merupakan kepentingan politik dan menimbulkan persepsi negatif padahal agama bagi penganutnya bersifat subjektif, tidak semua agama harus bersifat objektif atau sama semua dalam keyakinannya. 5. Stefanus Hansel Suryatenggara, Kelenteng Boen Tek Bio Tangerang Kajian Arsitektural Merupakan Skripsi dari Universitas Indonesia, Program Studi Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Depok Juli 2011. Dalam skripsi ini penulis melakukan pendekatan arkeologi yang memaparkan pemilihan denah bangunan berhalaman (couryard). Dalam skripsi ini juga dijelaskan bentuk bubungan atap dan ornamen-ornamen atau hiasan yang ada dalam kelenteng. Meski penulis menyatakan bahwa Kelenteng Boen Tek Bio merupakan bagian dari komunitas agama Khonghucu namun penulis tidak mejelaskan makna dalam simbol ornamen atau hiasan yang ada pada Kelenteng Boen Tek Bio yang dihubungan dengan Agama Khonghucu. 6. Wahyu Wibisana, CINBENG Eksistensi Peranakan Tionghoa Tangerang (Pustaka Klasik, 2016). Buku ini membicarakan etnis Tionghoa Tangerang atau dikenal sebutan Cina Benteng. Komunitas ini telah mendiami wilayah (Kota dan Kabupaten) Tangerang selama 300 tahun lebih. Dalam buku ini digambarkan bagaimana sejarah panjang masa-masa kehadiran kaum peranakan Cina Benteng di wilayah Tangerang sejak abad ke-14.

20

Ada banyak sekali pengaruh positif dari komunitas ini terhadap sejarah dan perkembangan Tangerang. Komunitas ini banyak menyumbangkan berbagai tradisi menarik khas Tangerang seperti kesenian gambang kromong dan cokek, serta berbagai makanan yang bukan lagi khas Cinbeng, tapi sudah menjadi Khas Tangerang. Buku ini menarik karena ditulis dalam gaya bahasa Jurnalistik sehingga pembaca mudah mencernanya. Buku ini berkaitan dengan penelitan tesis penulis yang membahas sejarah dan budaya Cina Benteng, namun dalam buku ini belum menjelaskan secara mendasar keterkaitan antara agama khususnya agama Khonghucu dengan kelenteng di Tangerang, hanya Sam Kauw atau Tridharma secara umum. F. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan data dan keterangan yang diperoleh dari berbagai sumber atau bahan sejarah dan hasil wawancara dari sejumlah tokoh masyarakat Cina Benteng atau pemuka agama Khonghucu. Pendapat-pendapat yang dikemukan dari wawancara, penulis perbandingkan berdasarkan sumber-sumber yang ada. Timbulnya metode kualitatif dipicu oleh pemahaman bahwa gejala kehidupan terdiri atas dua unsur yang berbeda, yaitu unsur yang terindra dan tak terindra. Dalam kehidupan sehari-hari dikenal sebagai bentuk jasmani dan rohani, fisik dan non fisik,

21 konkret dan asbstrak, kasar dan halus, nyata dan tidak nyata. Kedua gejala selalu dan secara terus menerus mempengaruhi kehidupan manusia. Bahkan, manusia itu sendiri terbentuk atas dasar kedua gejala tersebut. Pemahaman lebih jauh menunjukkan bahwa gejala rohanilah yang justru lebih dominan sebab gejala rohani seolah- olah tanpa batas. Di samping itu, sebagai akibat cirri-ciri abstraknya, gejala rohaniah memerlukan berbagai metode dan teori untuk memecahkannya. Konsekuensinya, dalam teori kontemporer metode kualitatiflah yang memerlukan perhatian yang lebih besar.12 Menurut Bogdan dan Taylor, kualitatif adalah metode yang pada gilirannya menghasilkan data deskriptif dalam bentuk kata- kata, baik tertulis maupun lisan.13 Dalam penelitian kualitatif data dianggap sebagai bagian dari suatu totalitas, latar secara utuh. Data dengan demikian telah diuji sejak awal penelitian, bahkan sejak penyusunan proposal. Menurut Miles dan Huberman justru merupakan kegagalan apabila seorang peneliti kualitatif yang sudah menggunakan banyak waktunya di lapangan tidak memanfaatkannya untuk sekaligus melakukan analisis. Pengumpulan data seolah-olah tidak didasarkan atas teori yang digunakan, melainkan semata-mata atas dasar data yang ditemukan pada saat itu. Peneliti tidak harus terikat pada suatu teori tertentu.

12Nyoman Kutha Ratna, Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010), h.89 13Nyoman Kutha Ratna Ratna, Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya, h.94.

22

Meski demikian pada umumnya penelitian ilmu sosial humaniora menggunakan teori yang sudah ada, sebagai teori formal, yang dilakukan pengumpulan data. Instrument penelitian adalah peneliti itu sendiri, dengan konsekuensi peneliti harus memiliki kompetensi baik teori maupun metode, sehingga mampu untuk mewawancarai, menganalisis, mencari makna di balik gejala.14 Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, data yang dinyatakan dalam bentuk kata-kata, kalimat, narasi, uraian dan berbagai bentuk pemahaman lainnya. Penelitian metode kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah manusia dan sosial. Penelitian metode kualitatif tidak semata-mata mendeskripsikan tetapi menemukan makna yang terkandung dibaliknya. Ada dua pendekatan yang menjadi landasan utama penelitian ini. Pertama pendekatan sejarah yang berkenaan dengan proses jejak sejarah yang mengungkapkan suatu peristiwa yang terjadi di sebuah komunitas dan berlangsung secara terus menerus. Untuk menjelaskan kajian sejarah ini, penulis menggunakan pendapat sejarawan dari Charles Victor Langlois dan Charles Seignobos yang menyebutkan bahwa, “Sejarawan bekerja berdasarkan berbagai dokumen. Dokumen adalah jejak pikiran dan perbuatan yang telah ditinggalkan oleh orang-orang zaman dulu.

14 Nyoman Kutha Ratna Ratna, Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya, h.96.

23

Namun, pikiran dan perbuatan ini sangat sedikit meninggalkan jejak yang terlihat dan jejak ini, kalau pun ada, jarang yang tahan lama; musibah dan bencana sering menghapus jejak tersebut. Sekarang setiap pikiran dan setiap tindakan yang tidak meninggalkan jejak yang terlihat, tidak ada, atau pernah hilang, maka peristiwa itu menghilang dari sejarah; seolah-olah peristiwa itu tidak pernah ada. Karena kekurangan dokumen, sejarah periode besar umat manusia di masa lalu ditakdirkan untuk selamanya tidak diketahui, sebab tidak ada pengganti bagi dokumen: tidak ada dokumen berarti tidak ada sejarah.”15 Dalam kajian sejarah ini, secara spesifik pendekatan ini menjelaskan proses politik yang terjadi pada masa lalu akibat kebijakan Pemerintah Orde Baru untuk meniadakan jejak warisan suatu komunitas dengan cara penekanan kelembagaan politik secara formal menggunakan peraturan-peraturan yang mengikat secara keseluruhan pada aspek pendidikan, keagamaan maupun sosial dan budaya. Dengan kata lain, teori ini ingin menjelaskan bagaimana cara sikap pemerintah menghilangkan jejak warisan dengan menggantikan pola baru yang sesuai dengan keinginan penguasa dan kelompok-kelompok tertentu. Kedua, pendekatan didasarkan antropologi yang berkenaan dengan proses berupa pesan-pesan dalam bentuk simbol-simbol

15Ch.V.Langlois & Ch.Seignobos, Pengantar Ilmu Sejarah. Penerjemah H.Supriyanto Abdullah (Yogyakarta, Indoliterasi Group,2015), h.25.

24 agama dalam hubungan dengan suatu komunitas. Clifford Geertz mendefinisikan agama sebagai : “Suatu sistem simbol yang bertindak memantapkan perasaan-perasaan (moods) dan motivasi- motivasi secara menyeluruh, kuat serta bertahan lama pada diri manusia dengan cara menformulasikan konsep-konsep tentang hukum (order) yang berlaku umum dan berkenaan dengan eksistensi (manusia) serta menyelimuti konsep-konsep ini dengan aura tertentu yang mencerminkan kenyataan sehingga perasaan- perasaan serta motivasi-motivasi tersebut secara tersendiri (unik) tampak nyata ada.”16 Dalam kajian ini, Geertz menggunakan simbol agama dalam menghubungkan sistem dalam proses sistem sosial yang sudah berjalan seperti ritual atau prosesi persembahyangan. Ritual atau prosesi persembahyangan mengingatkan manusia akan makna peran perilaku manusia. Simbol-simbol agama itu tidak akan menghilang meski terjadi peniadaan namun ia hanya mengalami semacam perubahan bentuk yang mungkin dimaknakan berbeda tetapi tidak bisa menghilangkan akar dasar dari simbol-simbol agama tersebut. Simbol dan makna yang digunakan oleh Geertz untuk menjelaskan makna ajaran Agama Khonghucu pada masyarakat Cina Benteng dalam pemujaan leluhur yang diwujudkan dalam bentuk Kong Po atau meja abu leluhur. Kong Po pada

16Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Penerjemah : Aswab Mahasin Cet.3 (Depok: Komunitas Bambu, 2017), h.563.

25 masyarakat Cina Benteng diletakan di Ruang Tengah Rumah Kebaya. Kong Po dalam agama Khonghucu merupakan sebuah tradisi turun temurun yang diwariskan kepada anak laki-laki (patrilineal). Ornamen maupun hiasan simbol kelenteng untuk menjelaskan makna dari pengaruh ajaran Agama Khonghucu. Dalam menggunakan pendekatan sejarah maupun antropologi memiliki hubungan yang erat, sejarah terkait dengan arti pentingnya sebuah dokumen maupun peninggalan fisik untuk menelusuri kehidupan suatu masyarakat. Sementara peranan antropologi untuk menguatkan kembali nilai-nilai pengaruh pada suatu masyarakat maupun hubungan timbal balik saling mempengaruhi dalam kontak kebudayaan. 2. Teknik Pengumpulan Data Dengan melakukan pendekatan sejarah maupun budaya, maka pengumpulan data untuk objek penelitian dilakukan dengan teknik pengumpulan data sebagai berikut: a. Teknik Kepustakaan Teknik untuk memgumpulkan informsi yang berhubungan erat dengan objek penelitian. Informasi ini dapat diperoleh melalui sejumlah buku-buku, karya ilmiah, tesis, desertsi, internet dan sumber lainnya. Informasi ini yang ditulis oleh para ahli atau pemerhati yang turut memperkuat hasil kajian objek penelitian ini. b. Teknik Observasi

26

Teknik pengumpulan data, peneliti melakukan pengamatan secara langsung ke objek penelitian untuk melihat lebih dekat kegiatan yang dilakukan. Dengan teknik ini peneliti mendapatkan data primer dari pihak pertama untuk memperkuat penelitian ini. Observasi ini dilakukan peneliti melihat langsung peninggalan fisik seperti kelenteng, rumah kebaya maupun sekolah dan mengamati kegiatan sosial keagamaan umat Khonghucu di Tangerang c. Teknik Wawancara Mendalam

Teknik untuk memperoleh keterangan dengan wawancara dengan sejumlah narasumber secara intensif untuk mendapatkan bahan penelitian. Dalam wawancara ini bisa dilakukan beberapa kali dengan narasumber untuk memperkuat data dari responden yang berbeda. Wawancara ini melibatkan para informan yang terlibat langsung yang memahami permasalahan dalam mempertahankan keberadaan agama Khonghucu di Tangerang. Informan yang dimaksud di sini adalah mereka yang duduk dalam kepengurusan di Perkumpulan Boen Tek Bio, Lithang maupun Perguruan Setia Bhakti. Berikut ini adalah profil para informan kunci: Js. Djaya Soehendra Js.Djaya Soehendra kelahiran Tangerang asli Cina Benteng. Mulai aktif di Lithang Tangerang saat mengikuti kegiatan SGB (Seni Gerak Badan) tahun 1974. Di Masa Orde Baru turut aktif bersama rekan- rekan umat Khonghucu Tangerang memperjuangkan hak-hak sipil

27

Agama Khonghucu baik di Pemerintahan Kabupaten Tangerang maupun Perkumpulan Boen Tek Bio. Jabatan yang di duduki sebagai wakil Ketua II Perkumpulan Boen Tek Bio dan tahun 1995 menjadi pimpinan Redaksi Media Konfusiani serta Ketua Seksi Agama Khonghucu Perkumpulan Boen Tek Bio merangkap Ketua MAKIN Tangerang. Xs.Tan Tjoe Seng Xs.Tan Tjoe Seng aktivis Agama Khonghucu kelahiran Jakarta tahun 1949. Memiliki latar belakang pendidikan Agama Khonghucu dan penceramah Agama Khonghucu. Tahun 1967 menjadi Wakil Ketua LMCB (Lembaga Muda-Mudi Confucius Bogor). Tahun 1969 mengajar Agama Khonghucu di SD Kesatuan Bogor dan SD Negeri Rawakemiri I dan II di Kebayoran Lama Jakarta. Tahun 1975 mengajar Agama Khonghucu di SD Budi Bhakti Ciampea. Tahun 1978 berhenti mengajar Agama Khonghucu di SD dan SMP Kesatuan Bogor karena Agama Khonghucu dengan berlakunya Kurikulum 1975 tidak lagi dicantumkan. Aktif menulis di Majalah Gentrika (Genta Triusaka) MAKIN Semarang. Tahun 1979 diangkat sebagai Wakil Kepala SD Confucius Tangerang. Mengajar Agama Khonghucu di SD Confucius dan SMP Confucius (Setia Bhakti) Tangerang. Tahun 1986 diangkat sebagai Wakil Ketua I MAKIN Tangerang dan Tahun 1990 merintis penerbitan Media Berita Umat MAKIN Tangerang.

28

M. Sri Jastuti Lahir di Subang tahun 1951 dari keluarga Katolik. Tahun 1972 diterima mengajar dan menjadi guru TK Confucius pertama. Ikut berjuang merintis sekolah Confucius bersama para pendiri Sekolah Confucius di Lithang. Tahun 1975 diangkat menjadi pegawai negeri sipil (NS) namun Para pendiri Sekolah Confucius seperti Bapak Latif Budiriady (Tian Bun) keberatan Ibu M.Sri Jastuti meninggalkan Sekolah Confucius. Tahun itu juga Ibu M.Sri Jastuti mengembalikan surat pengangkatan sebagai guru PNS. Jabatan yang pernah dijalani selama di Sekolah Confucius sebagai Kepala TK Confucius, Kepala SD Setia Bhakti, Koordinator Perguruan Setia Bhakti dan bagian kepegawaian Perguruan Setia Bhakti. Tahun 2015 Ibu M. Sri Jastuti pensiun dari Perguruan Setia Bhakti. Selama masa pemerintahan Orde Baru Ibu M. Sri Jastuti diminta keterangan terkait mata pelajaran Agama Khonghucu dan ikut andil mempertahankan nama TK Confucius.. Js. Merry Agatha Ibu Js. Merry Agatha kelahiran tahun 1978 di Tangerang asli Cina Benteng. Mengenal Agama Khonghucu melalui kegiatan kepemudaan SGB (Seni Gerak Badan) Khongcu Bio Kota Tangerang sekitar tahun 1990. Dalam beberapa tahun sudah menduduki jabatan pengurus di MAKIN Tangerang diantaranya Bendahara MAKIN Tangerang 2001-2004, periode kedua juga sebagai Bendahara MAKIN Tangerang 2004-2007. Kariernya meningkat

29 menjadi Ketua MAKIN Tangerang 2011-2013, periode kedua 2013- 2016 terpilih kembali Ketua MAKIN Tangerang. Ibu Merry Agatha juga sudah dilantik sebagai rohaniwan muda Agama Khonghucu sebagai Jiaosheng 教生 (Penebar Agama). Saat ini menjadi Penasehat MAKIN Tangerang periode 2016-2019 dan juga Ketua Bidang Pendidikan Sekolah Confucius Perguruan Setia Bhakti Perkumpulan Boen Tek Bio Kota Tangerang periode 2016-2019. Js.Yap Cun Teh Lahir dari keluarga Cina Benteng sebagai anak petani dan beragama Khonghucu di Kabupaten Tangerang. Aktif memperjuangkan Agama Khonghucu pada masa pemerintah Orde Baru. Merintis berdirinya Lithang Ciakar pada tahun 1980-an dan tahun 2002 merintis berdirinya Lithang Ciapus – Kabupaten Tangerang. Pembangunan perumahan dan pertokoan modern ikut mengusur sejumlah lahan pertanian, namun bagi Yap Cun Teh masih ada sisa lahan untuk bercocok tanam dan musiman untuk Tahun Baru Imlek dan Lebaran membuat kue keranjang dan dodol. Js.Yap Cun Gwan Lahir dari keluarga Cina Benteng beragama Khonghucu di Panongan Kabupaten Tangerang. Aktivitas di Agama Khonghucu mengikuti kebaktian Sekolah Minggu di Lithang. Di angkat menjadi Ketua MAKIN di Khongcu Bio Kota Tangerang untuk periode 2016-2019. Dilantik menjadi rohaniwan Agama Khonghucu sebagai Jiaosheng 教生 (Penebar Agama) tahun 2003.

30 d. Teknik Dokumentasi Teknik pengumpulan data melalui sejumlah berkas yang berkaitan dengan objek penelitian baik kertas maupun digital seperti catatan, notulen, foto, audio video, surat kabar. Data-data dokumen lama sangat berguna untuk memperkuat hasil penelitian yang lebih intensif. H. Sistematika Pembahasan Hasil penelitian dalam wujud tesis ini akan membahas hal- hal berikut ini: pada bab satu membahas tentang latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka dan metodologi penelitian. Bab dua, penulis menyajikan pengaruh ajaran agama Khonghucu yang menjadi warisan peninggalan Agama Khonghucu dari sudut pandang sejarah dan antropologi. Di awali dengan pengaruh kontak budaya antara Imigran Tionghoa dengan penduduk setempat. Bentuk-bentuk sistem Agama Khonghucu yang melekat pada masyarakat Cina Benteng. Pengaruh Agama Khonghucu pada bentuk rumah kebaya Cina Benteng dan pertumbuhan pendidikan Agama Khonghucu pra kolonial hingga muncul Perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan tahun 1900. Bab tiga, penulis menyajikan kebijakan Agama Khonghucu setiap periode sebagai perbandingan dalam perlakuan terhadap Agama Khonghucu dan sejak Indonesia merdeka pada masa Orde Lama, Agama Khonghucu sudah diperlakukan sebagaimana sebuah

31 agama, namun di masa Orde Baru kedudukan Agama Khonghucu statusnya tidak jelas dan tidak diakui. Di Era Reformasi kedudukan Agama Khonghucu dikembalikan sebagai agama sesuai UU No.1 PNPS 1965. Bab empat, penulis menyajikan sejarah berdirinya Kelenteng Boen Tek Bio dan pengaruh Agama Khonghucu yang menjadi makna filosofi ornamen Kelenteng Boen Tek Bio. Penulis juga mengulas sejarah terbentuknya Perkumpulan Boen Tek Bio dan perjuangan umat Khonghucu di Tangerang dalam mempertahankan Agama Khonghucu di Perkumpulan Boen Tek Bio. Penulis memaparkan peranan kegiatan Perkumpulan Boen Tek Bio di bidang keagamaan, sosial dan pendidikan. Pada bab kelima, merupakan proses isi dari penelitian. Di bab ini penulis mengulas perjuangan umat Khonghucu di Tangerang dalam mempertahankan agama Khonghucu. Di mulai pendirian Lithang diteruskan pendirian Sekolah Confucius. Umat Khonghucu Tangerang berjuang melawan tekanan dari pemerintah Orde Baru melalui upaya-upaya dialog demi mempertahankan identitas keagamaan mereka. Di bagian akhir penulis mengulas bagaimana umat Khonghucu di Tangerang membangun kembali masa depan Agama Khonghucu pasca berakhirnya pemerintah Orde Baru. Bab penutup, penulis menyajikan kesimpulan dan saran. Kesimpulan merupakan rumusan masalah atas penelitian yang ditemukan di lapangan sesuai batasan dan rumusan masalah

32 dalam penelitian ini. Sedangkan saran merupakan rekomendasi penulis bagi penelitian akademik lebih lanjut dan merawat kembali situs-situs bersejarah dalam cagar budaya.

BAB II

MASYARAKAT CINA BENTENG DI TANGERANG

Pada bab ini, penulis memaparkan sejarah kedatangan orang Tionghoa di Tangerang melalui jalur perdagangan dan karakteristik masyarakat Cina Benteng. Hubungan yang harmoni antar budaya yang berbeda dan kontak budaya yang saling mempengaruhi. Di bab ini penulis menjelaskan tentang ajaran agama Khonghucu dan pengaruh Agama Khonghucu pada masyarakat Cina Benteng yang telah menjadi tradisi dalam uraian tentang sentiong, rumah kebaya, pendidikan (sekolah). A. Kedatangan Imigran Tionghoa 1. Kehadiran Para Pedagang Secara Bertahap Hubungan antara Tiongkok dan Nusantara sudah terjalin sejak lama, namun hubungan antara Tiongkok dan Nusantara menjadi lebih erat sejak dimulainya jalur perdagangan melalui lautan. “Jalur perdagangan ini berawal dari Raja Sun Quan dari Kerajaan Wu, yang mengutus utusannya Zhu Ying, Menteri Penerangan Tata Susila dan Kang Tai, Menteri Dalam sekitar abad ke 3 Masehi. Zhu Ying dan Kang Tai di utus secara khusus untuk menjalin hubungan persahabatan dengan negera-negara di Nusantara.”1 Kerajaan Wu berdiri sejak berakhirnya Dinasti Han

1Liang Liji, Dari Relasi Upeti Ke Mitra Strategis 2000 Tahun Perjalanan Hubungan Tiongkok-Indonesia (Jakarta: PT.Kompas Media Nusantara, 2012), h.30. 33

34 pada tahun 220 Masehi, Tiongkok mulai memasuki periode Zaman Tiga Negara (San Guo) yang terdiri dari kerajaa Wei, Shu dan Wu. Periode Zaman Tiga Negara didominasi oleh peperangan memperebutkan kekuasaan tertinggi. Kerajaan Wu yang terletak di selatan Tiongkok memungkinkan membuka perdagangan jalur lautan antara Tiongkok Selatan dengan India melalui Asia Tenggara. Hubungan perdagangan ini menimbulkan banyak tempat persinggahan bagi para pedagang di wilayah Asia Tenggara atau negeri Nusantara lainnya. Tome Pires, yang mengunjungi kerajaan Sunda (Pajajaran) antara tahun 1512-1515, dalam tulisannya Suma Oriental mengatakan bahwa kerajaan Sunda (Pajajaran) memiliki enam pelabuhan utama antara lain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tangerang, Sunda Kelapa dan Cimanuk. Pelabuhan-pelabuhan itu ramai dikunjungi pedagang-pedagang asing, banyak jung-jung Tiongkok belabuh di pelabuhan ini.2 Hubungan antara Kerajaan Pajajaran dan Tiongkok sudah terjalin sejak lama, sebelum kedatangan orang Barat, hal ini dapat dilihat dari penggunaan sistem mata uang Kerajaan Pajajaran, untuk pecahan kecil mereka menggunakan uang tunai dari Tiongkok. Banten merupakan bagian dari salah satu pelabuhan utama kerajaan Sunda, Banten menjadi pusat yang penting dan

2 Tome Pires, Suma Oriental, h.234.

35

Banten sudah lama dikenal oleh Tiongkok jauh sebelum kedatangan bangsa Barat. Jung jung Tiongkok banyak memuat lada merupakan komoditi hasil pertanian. Banten sudah lama menjalin hubungan dengan Tiongkok, hal ini dapat dibuktikan ditemukannya keramik Tiongkok di bekas situs kerajaan Banten. Ketika Kesultanan Banten berdiri tahun 1527, Tangerang merupakan bagian dari Banten dan Tangerang dalam tulisan Tome Pires sebagai Tamgara merupakan jalur perniagaan yang penting yang berbatasan dengan Sunda Kelapa (Jakarta) disebelah timur yang dilalui sungai Cisadane. “Di daerah Kampung Melayu, Tangerang, terdapat tempat yang digali untuk diambil pasirnya, guna memasok kebutuhan pasir dalam pembangunan lapangan terbang Sukarno-Hatta. Tempat yang digali itu ialah bekas sungai Cisadane yang dulu melewati daerah tersebut, namun kemudian menjadi kering dan aliran sungainya pindah melewati jalur sekarang. Pada waktu digali ditemukanlah barang-barang arkeologi, seperti bekas perahu, dayung dari kayu, keramik asing, mata uang baik Tiongkok maupun Belanda. Dari peninggalan keramik Tiongkok yang ditemukan di tempat tersebut, diketahui bahwa yang paling tua adalah dari masa Dinasti Tang, sekitar abad ke 9-10 Masehi. Menurut Wahyono M., Kepala Bidang Pembinaan Koleksi Sejarah dan Arkeologi Museum Nasional Jakarta, mengatakan ditemukannya bekas-bekas perahu dan banyak dayung, maka dapat diduga bahwa di tempat tersebut dahulu

36 terdapat pelabuhan yang ramai dan orang-orang Cina sudah berdatangan ke tempat tersebut dan bekerja serta menetap di situ.”3 Pintu masuk para pedagang dari Tiongkok adalah Teluk Naga yang juga berada dilokasi kampung Melayu, kemudian terus melalui sungai Cisadane. Kapal-kapal dagang dari Tiongkok memiliki ciri khas dimana haluan kapalnya dihiasi ukiran naga, sehingga saat kapal memasuki teluk, yang terlihat adalah kepala naga terlebih dahulu. Di daerah Kampung Melayu ditemukan juga nama Pangkalan teng lang tempat para pedagang berkumpul, hal yang sama juga ditemukan di lokasi yang tidak jauh dari Tanjung Kait, bernama Tua Siah tempat berkumpulnya para pedagang. Masyarakat Cina Benteng sampai saat ini menyebut diri mereka sebagai orang Teng Lang. Menurut Liang Liji, “Hubungan yang bersahabat antara Tiongkok dan Nusantara membuat banyak orang Tionghoa merantau ke Nusantara dan menjadi cikal bakal kelompok etnis Tionghoa di Nusantara. Oleh karena itu perantau Tionghoa menyebut dirinya sebagai Teng Lang (orang Tang) dan menyebut negerinya Teng Shua (Tanah Air Tang), sampai sekarang mereka masih menggunakan sebutan itu. Jadi sejarah kelompok etnis

3 Wahyono, ”Cina Benteng”, Busos, No.190 Th.XX Februari 1992: h.80.

37

Tionghoa di Nusantara setidaknya sudah berlangsung lebih dari 1.300 tahun”.4 Hubungan Tiongkok dengan Nusantara khususnya Pulau Jawa meningkat dengan pesat sejak terjadinya penggantian dinasti di Tiongkok, ketika Zhu Yuan Zhan dari keluarga petani bangsa Han berhasil mengakhiri kekuasaan Dinasti Yuan Mongol (1271-1368) dan mendirikan Dinasti Ming (1368-1644). Dinasti Ming pada tahun 1405 mengutus Laksamana Cheng Ho, menjalin hubungan baik dan peningkatan perdagangan dengan negara-negara yang berada di kawasan selatan. Menurut Liang Liji, “Hubungan diplomatik dan perdagangan tidak hanya mencakup wilayah Nusantara saja, tetapi mencakup wilayah yang disebut Samudera Barat, suatu kawasan laut yang luas sekali, dari Asia Tenggara, Asia Selatan sampai ke Asia Barat”.5 Menurut Wang Qizong dalam bukunya Dong Xi Yang kao (Telaah Samudera Timur dan Barat) yang diterbitkan pada tahun 1618, Ha-Kang6 nama lain Banten yang disebut orang Tionghoa, “ketika sebuah kapal Tiongkok tiba, seorang ketua akan naik ke kapal untuk mencari informasi. Sang ketua segera menulis surat kepada raja. Ketika kapal Tiongkok memasuki sungai, buah-buahan

4Liang Liji, Dari Relasi Upeti Ke Mitra Strategis 2000 Tahun Perjalanan Hubungan Tiongkok-Indonesia, h.70. 5Liang Liji, Dari Relasi Upeti Ke Mitra Strategis 2000 Tahun Perjalanan Hubungan Tiongkok-Indonesia, h.104. 6 Ha Kang diucapkan dalam dialek Hokkian yang artinya Pelabuhan Bawah.

38 dan kain sutera dikirimkan kepada raja sebagai hadiah. Raja memiliki empat penulis Tionghoa dan dua penulis pribumi untuk membantu dibidang administrasi. Ha Kang adalah pusat kontak utama. Kapal-kapal Tiongkok datang ke sana sebelum para pedagang dari negara lain tiba.”7 Ma Huan, seorang Tionghoa Muslim yang menjadi juru bahasa Laksamana Cheng Ho, dalam tulisannya Yengya Shenglan (Catatan Umum Pantai-Pantai Samudra), buku yang terbit tahun 1416, mengisahkan bahwa adanya pemukiman orang Tionghoa di Jawa dan pada umumnya mereka sebagai pedagang, dan ada juga orang Tionghoa beragama Islam.8 Pada umumnya para pedagang Tionghoa lebih banyak yang berasal dari suku Hokkian yang berasal dari Propinsi Fukian (Hokkian) dan ada juga dari Propinsi Guandong (Kanton). Di daerah Teluk Naga dan Tanjung Kait terdapat kawasan persinggahan para pedagang Tionghoa yaitu daerah Pangkalan, teletak di Teluk Naga dan Tua Siah yang terletak di Tanjung Kait. Muara Sungai Cisadane menjadi kawasan persinggahan perdagangan yang ramai. Dalam catatan Tome Pires, Tamgara (Tangerang) adalah pelabuhan ke empat terbesar di Kerajaan Sunda (Pajajaran), pelabuhan Tangerang memiliki fasilitas yang sama dengan pelabuhan lainnya seperti Banten, dengan sebuah kota yang

7W.P.Groeneveldt, Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Penerjemah : Gatot Triwira. Cet.1 (Depok: Komunitas Bambu, 2018),h.64. 8 W.P.Groeneveldt, Nusantara dalam Catatan Tionghoa, h.57.

39 bagus dan pedagangannya, memiliki seorang kapten dan menjadi tempat perdagangan seperti tiga pelabuhan sebelumnya yaitu Banten, Pontang, dan Cigede. Tangerang juga menghasilkan barang- barang yang dimiliki oleh pelabuhan lainnya. Selama mereka ada dipersinggahan sambil menunggu angin musim baik yang akan membawa mereka kembali ke Tiongkok, ada diantara para pedagang Tionghoa menikah dengan wanita penduduk setempat dan diantara para pedagang ada yang memutuskan untuk bertempat tinggal bersama wanita yang dinikahi, keturunan anak-anak dari hasil perkawinan inilah yang melahirkan etnik Peranakan Tionghoa di Tangerang. Jejak keberadaan masyarakat Cina Benteng yang telah menempati daerah Tangerang sejak lama dan memiliki penyebaran penduduk yang hampir merata di Tangerang. Masyarakat Cina Benteng sebagian besar berasal dari suku Hokkian yang datang dari Provinsi Hokkian (Fujian) dan ada juga dari suku Khe (Hakka). Gelombang kedatangan dan pemukiman orang Tionghoa di Tangerang dapat dibagi menjadi beberapa gelombang diantaranya : 1. Gelombang pertama

Kedatangan orang Tionghoa ke Tangerang sekitar abad ke 7 pada periode Dinasti Tang (618-907), hal ini ditandai dengan temuan arkeologi seperti keramik zaman Dinasti Tang sekitar wilayah Kampung Melayu, Tangerang. Para periode ini hadirnya para pedagang Tionghoa di pelabuhan Tangerang sekitar Teluk

40

Naga, Kampung Melayu. Para pedagang tinggal sementara menunggu angin musim baik untuk kembali ke Tiongkok, mereka membangun sejumlah pangkalan dagang yang tidak jauh dari pelabuhan untuk memasarkan barang dagangannya dan diantara para pedagang ada yang menikahi wanita penduduk setempat. Tempat berkumpulnya para pedagang diketahui bernama Pangkalan Teng Lang, saat ini telah menjadi Desa Pangkalan, Teluk Naga yang banyak dihuni orang Tionghoa dan Tua Siah di Tanjung Kait. 2. Gelombang kedua

Kedatangan orang Tionghoa pada masa Dinasti Ming sekitar abad ke-15. Dinasti Ming (1368-1644) mengutus Laksamana Cheng Ho untuk mempererat hubungan persahabatan dan perdagangan dengan kerajaan di Nusantara. Hubunngan persahabatan antara Tiongkok dan Nusantara sempat renggang pada masa Dinasti Yuan Mongol.(1271-1368) Kedatangan armada Laksamana Cheng Ho di Nusantara turut mengamankan Laut Selatan dari gangguan bajak laut, hal ini mendorong orang Tionghoa merantau ke Nusantara terutama yang berasal dari Provinsi Guangdong dan Fujian. Menurut Kitab Layang Parahyang9 pada sekitar tahun 1407 M, seorang adipati bernama Anggalarang, yang memerintah di Tegal

9Maria V. Soplanit, “Perkawinan Tradisional Peranakan Cina di , Tangerang,”. (Skripsi S1 Jurusan Sastra Asia Timur Program Studi Cina, Fakultas Sastra Universitas Indonesia: Depok,1988),h.12. Kitab Tina

41

Luwar, yakni salah satu wilayah kerajaan Pajajaran, pernah menerima kedatangan rombongan orang Cina (Wangsa Tanglang) dibawah pimpinan Alung (Halung). Di antara anggota rombongan tadi terdapat sembilan orang gadis dan beberapa orang anak. Semula mereka hendak menuju daerah Angke (Hangke), namun rencana tersebut terpaksa dibatalkan karena kerusakan perahu dan kehabisan perbekalan. Mereka menghadap Anggalarang untuk meminta bantuan dan perlindungan. Permintaan itu dikabulkan dan bahkan mereka diterima sebagai warga kadipatennya. Dalam perkembangan kemudian, beberapa hulubalang Anggalarang kawin dengan para gadis pendatang tadi. Sebagai mas kawinnya, rombongan Alung memperoleh sebidang tanah di pantai utara sebelah timur muara sungai Cisadane. Alung dan rombongannya bekerjasama dengan penduduk pribumi setempat mengolah tanah tersebut menjadi tanah pertanian yang subur. Lambat laun tanah milik mereka semakin meluas. Kemudian datanglah orang-orang Melayu (Malahu), dari daerah Jambi, Riau, Lampung dan sekitarnya untuk bekerja di tanah tadi. Mereka hidup membaur dengan

Parahyang merupakan sebuah kitab sejarah lokal berbahasa Sunda kuno. Dilatinisasikan oleh K.Kuswara dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Soedjarwo. Kisah kedatangan Halung dan rombongan di Teluk Naga pada abad ke-15 mengisyaratkan kehadiran kembali orang Tionghoa setelah runtuhnya Dinasti Yuan (Mongol) dan kembalinya Dinasti Ming (orang Han) yang memperbaiki hubungan dengan wilayah Nusantara melalui Laksamana Cheng Ho. Kisah kedatangan Halung ini akhirnya menjadi rujukan hampir semua karya skripsi maupun tesis sebagai rujukan kehadiran orang Tionghoa di Tangerang.

42

(keturunan) pendatang dari Cina tadi. Lama kelamaan tanah milik Alung dan kawan-kawannya dari Cina itu bekermbang menajdi sebuah pangkalan (pelabuhan) yang ramai dan sering dikunjungi para pedagang asing, seperti dari India (Kaling), Melayu (Malahu), Portugis (Petege) dan sudah barang tentu dari Cina. Pangkalan tersebut terkenal dengan nama Pangkalan Tanglang, namun orang- orang Melayu lebih sering menyebutnya Teluk Naga. Pelabuhan tersebut lama kelamaan berkembang menjadi pelabuhan dagang yang ramai, yang sering dikunjungi perahu-perahu berkepala naga dari Cina. 3. Gelombang Ketiga

Kedatangan orang Tionghoa ke Tangerang sekitar pertengahan abad ke 18. Diperkirakan setelah peristiwa huru hara atau pembantaian orang-orang Tionghoa oleh penguasa Belanda di Batavia tahun 1740. Sesudah peristiwa itu orang Tionghoa dilarang tinggal di kota dan hanya diperbolehkan tinggal di pinggir kota, mereka harus tinggal dalam satu kampung dengan tujuan mudah untuk mengawasi. Perkampungan Tionghoa di Tangerang dengan nama pondok seperti Pondok Jagung, Pondok Kacang, Pondok Aren, pondok Pinang dan sebagainya.10 Di sekitar daerah Tegal Pasir

10Nana Suryana, Sejarah Kabupaten Tangerang (Tangerang: Pemda Kabupaten Tk.II Tangerang, 1992),h.24.

43 sebelah Timur sungai Cisadane di daerah Pasar Lama, juga didirikan perkampungan Tionghoa dengan nama Petak Sembilan, perkampungan ini kemudian berkembang dan menjadi pusat perdagangan. Sejak saat itu orang Tionghoa mulai menyebar dan merata di wilayah Tangerang. Sejarawan Mona Lohanda dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) menyatakan, “Kedatangan orang Tionghoa di sekitar Tangerang terbagi dalam beberapa gelombang yang terjadi pada dinasti yang berbeda sebelum kedatangan orang Eropa. Sebutan Cina Benteng, lanjutnya baru muncul setelah Belanda hadir di Batavia. Sebutan itu berasal dari keberadaan komunitas Tionghoa Peranakan yang bermukim di dekat Benteng Kompeni.”11 Benteng pertahanan yang dibangun Belanda di tepian Sungai Cisadane pada akhir abad ke 17 dan awal abad 18. Belanda membangun benteng pertahanan di tepi timur Sungai Cisadane. Benteng tersebut dibangun menyusuri dari arah utara ke selatan sebagai orientasi sampai sekarang terdapat sebuah kampung di pusat kota yang dinamakan sebagai kampung Benteng Makasar. Mona Lohanda menambahkan, “Masyarakat Cina Benteng terbagi menjadi dua, ada yang disebut warga udik dan warga perkotaan. Warga yang tinggal di Tangerang Kota menyebut dirinya

11 Iwan Santoso dan Budi Suwarna, ”Bersatu Dalam Gambang Kromong,” Harian Umum Kompas, 30 Mei 2010, h.33.

44 warga Cina Benteng sementara warga yang tinggal di pedalaman seperti Cukang Galih, sebagai orang udik.” Dewasa ini masyarakat Cina Benteng baik yang tinggal di Tangerang Kota maupun di Udik lebih dikenal dengan sebutan Cina Benteng. Hal itu disebabkan banyaknya wilayah pendalaman Tangerang seperti Serpong dan digusur untuk proyek pembangunan perumahan, perkantoran dan pusat perbelanjaan. Selain itu banyaknya pendatang yang bermukim di Tangerang khususnya masyarakat Tionghoa yang datang dari wilayah Indonesia lainnya seperti dari Sumatra, Kalimantan yang memiliki budaya dan tradisi yang berbeda dengan para pendatang. Kota Tangerang atau masyarakat Cina Benteng menyebutnya Kota Benteng, dahulu perbatasan kotanya dari arah Barat wilayah Cimone sampai arah Timur wilayah Pintu Air, sementara dari arah Utara masuk wilayah Pasar Baru sampai Selatan Babakan. Pusat pemerintahan Kota Tangerang pada masa itu tidak jauh dari Pasar Lama sebagai pusat perekonomian. Pemerintah Kota Tangerang kini menyatakan Tugu Jam di sekitar Pasar Lama, sebagai titik nol kilometer Tangerang. 2. Karakteristik Cina Benteng dan Akulturasi Budaya Menurut Koentjaraningrat, “Akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam

45 kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.”12 Orang Cina Benteng sudah berakulturasi dan beradaptasi dengan lingkungan dan kebudayaan lokal. Sulit untuk membedakannya, apalagi banyak diantara mereka melakukan pernikahan dengan penduduk asli yang bukan dari etnis Tionghoa, sehingga warna kulitnya lebih gelap dan matanya pun tidak sipit. Pada umumnya orang Cina Benteng leluhurnya berasal dari suku Hokkian namun uniknya mereka tidak bisa berbahasa Hokkian, melainkan berbicara dengan dialek Betawi atau Sunda. Meski demikian orang Cina Benteng tetap mempertahankan dan melestarikan tradisi ajaran agama Khonghucu, hal ini dapat dilihat dari rangkaian tradisi ritual keagamaan dilaksanakan mulai dari Xin Cun (Sincia) atau Tahun Baru Imlek sampai tutup tahun Dong Zi (Tangcek) didasarkan pada kalender Imlek atau Kongzi Lek. Di rumah mereka memiliki meja sembahyang leluhur atau meja abu. Dalam upacara perkawinan dan kematian mereka mengikuti tradisi ajaran agama Khonghucu. Bagi masyarakat Cina Benteng biasanya mereka akan menggunakan kalender Imlek yang diterbitkan oleh Perkumpulan Boen Tek Bio. Kebiasaan orang Cina Benteng apabila bertemu dengan orang yang dihormati atau diantara komunitas mereka selalu menggunakan salam dalam Pai (soja), namun

12Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta : Aksara Baru, 1979), h.262.

46 kebiasaan ini di masa Orde Baru mulai berangsur-angsur menghilang dan diganti dengan sikap Anjali atau merangkap kedua belah tangannya. Seperti disampaikan Ang Yan Goan, seorang wartawan Sinpo sekitar tahun 1946 pada saat mengunjungi Tangerang. “Diseluruh pulau Jawa, hanya di Tangerang ada orang Tionghoa yang menjadi petani, terutama menanam padi. Mereka sama miskinnya dengan petani pribumi lainnya. Karena anggota keluarganya bertambah banyak, hanya bertani saja sudah sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Banyak yang terpaksa pindah ke tempat lain, atau pergi ke Jakarta dan sekitarnya untuk bekerja sebagai buruh harian, seperti pribumi lainnya. Mereka sudah tidak bisa berbahasa Tionghoa, dan berpakaian seperti warga kampung biasa, jadi kadang-kadang mereka disangka sebagai pribumi. Meski mereka sudah kehilangan ciri-ciri Tionghoanya, namun mereka tidak membuang nama Tionghoa dan mereka sangat ketat mematuhi adat istiadat Tionghoa. Di rumah, mereka mengkeramatkan meja sembahyang leluhur, mengadakan upacara sembahyang leluhur minimal 3 kali setahun. Dalam upacara perkawinan dan pemakaman, mereka menuruti kebiasaan orang Tionghoa. Bahkan waktu menjelang Tahun Baru Imlek mereka menempelkan kertas merah bertuliskan kuplet antitesis13 di kedua belah pintu rumah yang menandakan keberuntungan. Sedangkan kebiasaan ini telah lama ditinggalkan oleh warga Tionghoa yang bertempat tinggal di kota.” 14

13 Kuplet antitesis: bahasa Mandarinnya dui lian, sepasang kalimat yang bernuansa syair, dengan kata-kata indah, dan kata-kata dalam kedua kalimat itu harus berkaitan dan berlawanan maknanya. 14 Ang Yan Goan, Memoar Ang Yan Goan 1894-1984 Tokoh Pers Yang Peduli Pembangunan Bangsa Penerjemah Tan Beng Hok (Jakarta : Yayasan Nabil dan Hasta Mitra, 2009), h.182

47

Masyarakat Cina Benteng paling mudah berakulturasi dengan budaya setempat. Hal ini dapat dilihat dari kesenian yang dimiliki seperti gambang kromong dan tarian cokek yang merupakan akulturasi dengan budaya Betawi atau Sunda. Tidak hanya itu saja pengaruh budaya Betawi dan Sunda juga pada upacara perkawinan atau Chio Tauw. Sinolog dari Universitas Indonesia, Eddy Prabowo Witanto MA, berpendapat, “Secara realitas, masyarakat Cina Benteng memang sudah berakulturasi dengan lingkungan lokal, tetapi masih memegang adat istiadat kepercayaan nenek moyang dan leluhur mereka. Beberapa tradisi leluhur yang masih dipertahankan antara lain Cap Go Meh (Perayaan 15 hari setelah Imlek), Pek Cun. Demikian pula panggilan encek, encim, dan engkong masih digunakan sebagai tanda hormat kepada orang yang lebih tua. Yang khas dari pakaian pengantin Cina Benteng berbentuk campuran budaya Cina dan Betawi. Pakaian lelaki merupakan pakaian kebesaran dinasti Ching, seperti terlihat dari topinya, sedangkan pakaian pengantin perempuan hasil akulturasi Cina Betawi yang tampak pada kembang goyang.”15 Kim Siong, seorang kakek yang berusia 70 tahun di Tanjung Kait dan tinggal di Desa Marga Mulya, Kecamatan Mauk, Kabupaten

15Sofian Munawar Asgart, “Komunitas Cina Benteng (Cibet) di Tangerang: Potret Pembauran di Tingkat Lokal,” Riset Unggulan Kemitraan dan Kemasyarakatan (RUKK) Kementerian Riset dan Teknologi Tahun Anggaran 2005/2006, h.35.

48

Tangerang yang dituakan oleh warga Cina Benteng dan menjadi juru kunci Ema Dato di Tanjung Kait. Menurut Kim Siong, “Generasinya sudah berasimilasi dengan penduduk pribumi. Mertuanya seorang pribumi. Anaknya juga menikah dengan pribumi dan memiliki keyakinan yang berbeda. Yang penting mereka hidup dengan rukun dan damai. Seperti juga penduduk sini yang beragam agamanya.”16 Sementara seorang tokoh organisasi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Tangerang, H. Eddy Sulaeman menuturkan. “Fenomena Cina Benteng ini berbeda jauh dengan etnis Tionghoa yang tinggal di kota lainnya. Kaum Cina Benteng cenderung bisa hidup berdampingan secara baik dengan komunitas lain, karena mereka memiliki hubungan kekerabatan yang kuat dengan masyarakat dari etnis lain. Dia memberi contoh bahwa gen ayah/kakek kaum Cina Benteng yang masih kuat, dicampur dengan gen ibu/nenek yang merupakan penduduk lokal membuat mereka memiliki kesamaan fisik dengan komunitas setempat. Apalagi sebagian mayoritas kaum Cina Benteng sudah tidak bisa berbahasa Cina dan mereka hanya menggunakan ‘bahasa ibu’ dengan nuansa lokal yang kental (dialog Tangerang). Kalau ibunya bersuku Sunda, maka dialek yang digunakan dialek Sunda, tapi kalau ibunya

16 Majalah Swara Kartini Edisi 07/7-20 Februari 2000, Cina Benteng Tanjung Kait Sudah Lima Abad membaur. h.127

49 bersuku Betawi maka bahasa yang digunakan juga bahasa Betawi. Sehingga hal ini memudahkan proses pembauran alami secara turun temurun.”17 Berbeda dengan orang Tionghoa lainnya, yang bekerja sebagai pedagang dan pekerja profesional, sebagian besar etnis Cina Benteng hidup sederhana sebagai petani, peternak. Majalah Starweekly Edisi 14, November 1953, mencatat, petani Tionghoa terbagi dalam tiga kategori, yakni petani besar dengan lahan mencapai dua hektar lebih, petani sedang (1-2 hektar) dan buruh tani yang hanya punya sepetak tanah atau penggarap lahan petani besar. Golongan terakhir ini yang dominan dari komunitas petani Tionghoa. Berdasarkan cacah jiwa tahun 1930, diketahui ada 40.000 Tionghoa hidup di Tangerang sekitar 90 persen dari mereka adalah petani. Modernisasi nyaris menggilas habis keberadaan petani Tionghoa.18 Melalui proses akulturasi budaya menjadikan hubungan antara Cina Benteng dan Etnis Sunda berlangsung tanpa adanya prasangka buruk, selain itu etnis Cina Benteng juga ada yang membaur melalui agama Islam. “Seorang tokoh pemuda di Kedaung Wetan, Tangerang, Anharudin, berpendapat bahwa interaksi antara warga Cina

17Wahyu Wibisana, CINBENG Eksistensi Peranakan Tionghoa Tangerang. (Pustaka Klasik,2016),h.143 18Iwan Santoso, ”China Kebun Terakhir di Jakarta,” Harian Umum Kompas, 30 Januari 2006, h.28.

50

Benteng dengan pribumi sudah berlangsung ratusan tahun. Menurut keterangannya hampir seluruh tanah di kelurahan Kedaung Wetan dahulu dimiliki seorang keturunan Tionghoa yang bernama Abah Tempolong. Tanah-tanahnya diwariskan kepada isteri-isterinya kebanyakan merupakan pribumi. Melalui perkawinan ini warga Cina Benteng menjalani proses pembauran dengan warga pribumi.”19 Dalam tradisi Cina Benteng yang masih melestarikan perkawinan tradisional yang disebut dengan Chiao Tauw. Perkawinan adalah sesuatu yang sakral di dalam memuliakan Tian, Para Leluhur dan meneruskan keturunan. Sebagaimana yang dijelaskan kitab Li Ji XLI : 1. “Upacara pernikahan bermaksud akan menyatu-padukan kebaikan /kasih antara dua keluarga yang berlainan marga; keatas mewujudkan pengabdian kepada agama dan kuil leluhur (Zhong Miao), dan ke bawah meneruskan generasi.”20

Chiao Tauw merupakan rangkaian ritual perkawinan adat yang diawali oleh pengantin melakukan persembahyangan kehadapan Tian di meja samkay dan dilanjutkan dengan penghormatan kepada leluhur di altar meja abu leluhur. Pengantin wanita mengenakan pakaian berwarna merah yang disebut hua kun dengan model zaman Dinasti Ching (Manchu) dan pakaian

19Sofian Munawar Asgart, “Komunitas Cina Benteng (Cibet) di Tangerang: Potret Pembauran di Tingkat Lokal, h.38. 20 Li Ji, Catatan Kesusilaan. (Jakarta: Pelita Kebajikan,2005),h.686.

51 pengantin pria berwarna hitam dengan model zaman Dinasti Ching (Manchu). Dalam Chiao Tauw ini juga ditampilkan tau teng atau nasehat-nasehat berupa simbol-simbol perkawinan bagi keharmonisan kedua pengantin. Adanya hubungan akulturasi budaya antara budaya Sunda dan Tionghoa dalam tradisi Chiao Tauw terlihat pada saat penyambutan pengantin dengan upacara Saweran dengan taburan beras kuning, uang logam, bunga, biji buncis merah dan hijau. Para tamu undangan, khususnya anak muda akan berebut uang logam yang ditaburkan, sebagai lambang keberkahan bagi yang mendapatkannya. Selain itu akulturasi budaya Sunda dan Tionghoa juga dalam bentuk makanan yang disajikan berupa kue seperti kue lapis legit, kue Pepe, Kue Pisang, Roti Bakso, Bika Ambon, kue Bugis. Dewasa ini tradisi Chiao Tauw hampir hilang, hal ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain sejak keluarnya Undang- undang Perkwinan tahun 1974, salah satu syarat jika akan dicatat dikantor Catatan Sipil untuk mendapatkan akta perkawinan, harus melalui permberkatan perkawinan di rumah ibadah agama masing- masing. Sebelum undang-undang perkawinan tahun 1974, orang Cina Benteng di Tangerang yang beragama Khonghucu melangsungkan pernikahan adat atau Chiao Tauw dan dilanjutkan pengesahan perkawinan secara hukum formal di Kantor Catatan Sipil. Hal lain faktor ekonomi, bahwa dengan adanya undang- undang perkawinan tahun 1974, pengeluaran biaya perkawinan

52 menjadi lebih besar. Untuk menghindari biaya besar biasanya mereka hanya melakukan pemberkatan perkawinan saja sementara bagi mereka yang setia terhadap tradisi tetap melakukan upacara perkawinan Chiao Tauw disamping melaksanakan pemberkatan perakawinan di rumah ibadah. Sejak kehadiran orang Tionghoa di Tangerang yang turun temurun, orang Tionghoa mewarisi budaya dan tradisi yang sudah berakulturasi dengan budaya setempat dengan sebutan Cina Benteng. Mereka juga banyak memberikan sumbangsihnya bagi perkembangan ekonomi masyarakat Tangerang. Kapal-kapal dagang Tiongkok yang akan berlayar ke negeri lain tidak hanya memuat komoditas barang dagangan yang akan diperjualbelikan melainkan juga memuat jenis-jenis tanaman dan hewan. Menurut Gavin Menzies, “Kapal yang dikomandokan oleh Laksamana Cheng Ho pada masa Dinasti Ming, yang terdiri dari kapal pangan membawa tumbuhan yang oleh bangsa China sengaja akan ditanam di wilayah-wilayah asing sebagian sebagai keuntungan dari mengikuti sistem upeti dan sebagian untuk persediaan makanan.”21 Di Tangerang banyak tanaman yang diolah para petani Tionghoa menggunakan istilah Tionghoa seperti pecai (sejenis sawi), caisim (sejenis kubis), lokio (sejenis bawang), kucai (sejenis bawang), lobak, kailan (sejenis bayam), cincau. Selain itu

21Gavin Menzies, 1421 Saat China Menemukan Dunia. Penerjemah : Tufel Majid Musyadad.Cet.1 (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006), h.38.

53 para pedagang juga memperkenalkan tanaman kacang kedelai yang menjadi bahan olahan pangan seperti tahu, taoco dan kecap. Dari bahan kacang kedelai, orang Tionghoa juga membangun pabrik kecap. Selain itu kontak kebudayaan masyarakat Cina Benteng dengan budaya Sunda maupun Betawi juga memberikan sumbangsihnya terhadap pembendaharaan kata bahasa Indonesia yang digunakan bersama masyarakat tersebut seperti langseng, anglo, teh-si (sendok), teko, teh, tukang, ubin, peng-ki, becak, tauge, pangkeng, sosih, delemtu, loteng, topo, bakiak, bakpia, cakue, bihun, bakmi, bakso, bakpao, bakwan, bipang, kuetiau, lumpia, siomai, pangsit, kuaci, hebi, Hunkue (tepung hunkue), misua, tokwi, angpau, angkin, lihai, sue (sial), kongko, cukong, dacin, kongsi, ta-pang, langkan, cepe, gope, ceban. Selain itu pada abad ke-18 di sebelah barat Kota Batavia, yakni daerah Tanjung Kait dan Kampung Melayu dekat Desa Pangkalan, Teluk Naga, orang Tionghoa mengembangkan industri tebu. Tebu merupakan bahan baku untuk pembuatan gula. Gula yang dihasilkan digunakan untuk bahan pemanis minuman dan makanan. Budidaya tanaman tebu sudah dilakukan orang Tionghoa sekitar abad ke-16 di Banten. Sekitar tahun 1990-an jalan menuju desa Kampung Melayu dan Sewan Kongsi, Lebak Wangi dekat anak sungai Cisadane (belakang kelenteng Tjong Tek Bio) masih dapat ditemukan batu-batu yang berbentuk silinder dan berpasang- pasangan yang merupakan batu penggilingan tebu. Batu-batu

54 tersebut banyak diimpor dari daratan Tiongkok. Menurut Wahyono, “Tebu digiling dengan alat penggiling dari batu yang diputar oleh kerbau atau sapi. Air tebu ditampung dalam suatu wadah dan kemudian dipanaskan dalam suatu wajan yang diameternya 2 meter. Di desa Rawabuntu, kelurahan Ciater, Serpong, masih terlihat sebuah wajan besar terbuat dari besi yang dikeramatkan oleh penduduk. Penduduk percaya, apabila dipindahakn akan mendatangkan malapetaka.”22 Kuliner adalah bagian dari budaya, kuliner merupakan bagian dari olahan masakan berupa lauk pauk, penganan maupun minuman. Terbentuknya masyarakat Cina Benteng dengan tradisi Khonghucu yang membawa unsur-unsur hidangan tradisional memuat jejak budaya yang mempengaruhinya, namun pada mulanya makanan asal dimulai dari meja persembahyangan. Dalam kehidupan masyarakat Tionghoa yang bertradisikan ajaran agama Khonghucu tidak terlepas adanya simbol-simbol yang disajikan dalam persembahyangan mempunyai makna religi yang diwujudkan bakti seorang anak kepada orang tuanya. Sebagaimana disabdakan Nabi Kongzi dalam Zhong Yong XVIII : 1-3. 1. ”Sungguh sempurna laku bakti Raja Wen dan Pangeran Zhou.” 2. “Adapun yang dinamai berbakti ialah dapat baik-baik meneruskan pekerjaan mulia manusia / orang tuannya.” 3. “Di dalam Sembahyang Musim Semi dan Sembahyang Musim Rontok hendaklah dibangun kembali Zhu Miao (Bio

22Wahyono,”Cina Benteng,” Busos, No.190 Th.XX (Februari 1992): h.81.

55

Leluhur), diatur rapi barang-barang warisannya, diatur rapi pakaian-pakaiannya dan disajikan makanan sesuai dengan musimnya.”23

Umat Khonghucu mengenal persembahyangan empat musim, pada musim Semi (sembahyang Tahun Baru Imlek) disebut Yue, pada musim Panas disebut Di (sembahyang Twan Yang), pada musim Rontok disebut Chang (sembahyang Tiong Chiu) dan pada musim Dingin disebut Zheng (sembahyang Tang Cek), sebagaimana tercantum dalam Kitab Li Ji XXII. (24) Makanan yang disajikan tentu disesuaikan dengan musim yang sedang berjalan, saat tiba musim semi menyambut Tahun Baru Imlek yang disajikan penganan seperti kue Keranjang, yaitu tepung ketan dan gula merah yang dimasak lalu ditempatkan dalam keranjang-keranjang beralas daun sebelum dikukus berjam-jam. Penganan ini disebut juga Ni Kwe. Kue keranjang sebagai simbol keharmonisan keluarga. Di Tangerang kue keranjang in juga disebut kue China, yang menjadi usaha industri kecil selain itu dikembangkan dodol. Kata kue istilah kata dari bahasa Hokkian24, di Tahun Baru Imlek juga disajikan sejumlah kue seperti Huatkue (kue Mangkok), huat artinya mekar biasanya diberi warna merah jambu atau merah yang melambangkan warna rejeki. Kue ku, ketan merah

23 Si Shu, Kitab Yang Empat.(Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia,2016),h.54 24 Fadly Rahman, Jejak Rasa Nusantara Sejarah Makanan Indonesia. (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2016), h.42

56 dan dicetak berbentuk kura-kura yang melambangkan umur panjang. Pada saat memasuki musim panas dilaksanakan persembahyangan Duan Yang (Twan Yang). di Tangerang lebih dikenal dengan nama Pehcun atau lomba perahu naga. Kue yang disajikan berupa bakcang. Bakcang adalah nasi ketan diisi dengan daging, telur atau vegetarian dan dibungkus dengan daun bambu, berbentuk segi lima. Pada musim rontok dilaksanakan persembahyangan Zhong Qiu (Tiong Chiu) dengan sajian makanan khas berupa kue bulan atau Tiong Chiu Phia. Di Tangerang, kue bulan, yang bentuknya bulat terbuat dari tepung terigu, garis tengahnya sekitar 10 cm dan tebalnya sekitar 1 cm. luarnya berwarna putih, isinya bisa berupa cokelat, keju, biji jambu monyet (kacang mete), duren bahkan cempedak. Selain itu ada kue bulan berukuran kecil yang sebut phia, ada yang menyebutnya bak phia, uniknya bukan berisi daging melainkan kacang hijau. Di musim dingin dilaksanakan persembahyangan Dong Zhi (Tangcek), makanan yang disajikan berupa ronde yang terbuat dari tepung ketan yang dibentuk bulat-bulat kecil seukuran kelereng. Pada umumnya diberi dua warna yakni merah dan putih yang melambangkan unsur yin dan yang. Dalam perkembanganya ronde mengalami perubahan misalnya diisi dengan kacang, kuahnya pun bisa berupa sirup gula merah dan juga warna ronde tidak dua

57 warna lagi dan ada juga wedang ronde atau sekoteng yang merupakan akulturasi dengan budaya setempat. Makanan yang pada mulanya disajikan untuk persembahyangan, kini tidak perlu lagi menunggu untuk selama setahun, tapi makanan itu sudah mudah didapatkan di pasar dan makanan tersebut juga mengalami akulturasi dengan budaya setempat dan modifikasi Dalam sturuktur sosial masyarakat Cina Benteng tidak mengenal pemimpin yang dominan, hanya orang kaya atau yang paling kaya yang berhak menjadi pemimpin atau memimpin sebuah perkumpulan atau organisasi sosial. Pada umumnya pengusaha atau pedagang lebih banyak berperan dalam memimpin suatu organisasi atau perkumpulan sosial dan keagamaan. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda orang Tionghoa ada yang diangkat menjadi pegawai pemerintahan Belanda dengan tiga kepangkatan yang dikenal dengan mayoor, kapitein dan luitenant. Untuk bisa menduduki jabatan ini, pemerintah Belanda memberikan tiga persyaratan yakni, “kekayaan, koneksi bisnis dan kedekatan dengan orang-orang pemerintahan Belanda”.25 Tiga unsur persyaratan ini menjadi sebuah kelanjutan hingga saat ini. Pengusaha atau orang kaya di masyarakat Cina Benteng, lebih disukai untuk menduduki jabatan dalam

25 Twang Peck Yang, Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940-1950 Penerjemah Apri Danarto. (Yogyakarta : Niagara, 2004),h.28.

58 perkumpulan atau organisasi. Dengan kekayaan mereka dihormati, adanya koneksi bisnis memungkinkan mereka memperkuat perkumpulan atau organisasi serta kerjasama jaringan bisnis diantara individu dan kedekatan dengan birokrat pemerintah tentu untuk menjamin keamanan perkumpulan atau organisasi sosial atau keagamaan yang mereka pimpin. Beberapa perkumpulan atau organisasi sosial maupun keagamaan berdiri di Tangerang lebih banyak dipimpin oleh para pengusaha atau pedagang kaya, dalam struktur kepengurusan mereka jarang menempatkan para budayawan untuk duduk dalam kepengurusan, padahal keberadaan budayawan turut andil untuk melestarikan budaya masyarakat Cina Benteng. Keberadaan warisan situs budaya masyarakat Cina Benteng kurang mendapat perhatian dari golongan kaya Cina Benteng. Sementara pemuka agama Khonghucu tentu dihormati dalam batas-batas tentang urusan keagamaan dan menduduki jabatan dalam kepengurusan dibidang keagamaan atau sebagai penasehat. B. Sistem Religi Agama Khonghucu Masyarakat Cina Benteng Pada umumnya masyarakat Tionghoa menganut berbagai agama dan kepercayaan, antara komunitas Tionghoa dengan komunitas Tionghoa lainnya di daerah lain wilayah Indonesia memiliki perbedaan. Seringkali agama yang dianut mencampuradukkan dengan kepercayaan tradisi turun temurun maupun dengan kepercayaan lokal. Secara umum masyarakat Cina

59

Benteng saat ini menganut agama Khonghucu dan Buddha. Meskipun KTP Orang Cina Benteng beragama Buddha, mereka tetap menjalani tradisi ajaran Khonghucu seperti upacara kematian, berkabung selama tiga tahun dan mendirikan altar meja abu leluhur di rumah. Dalam sistem kepercayaan orang Tionghoa di masa lalu tidak terlepas dari pengaruh kuat agama Ru Jiao (Agama Khonghucu) yang disempurnakan kembali Nabi Kongzi di dalam kitab suci tentang Tata Ibadah dan Kesusilaan atau Li Ji antara lain kepercayaan dan pemujaan terhadap Tian, Sheng Ming dan leluhur. Nama lain dari Agama Khonghucu adalah Ru Jiao 儒 教 yang berarti agama untuk berbakti bagi kaum lembut lembut budi pekerti yang mengutamakan perbuatan baik, selaras dan berkebajikan. Ru Jiao memiliki perjalanan sejarah yang panjang, Ru Jiao ada jauh sebelum Nabi Kongzi lahir. Dimulailah dengan sejarah Nabi-Nabi suci Fuxi (2836 SM), Shen-nong (2838 – 2698 SM), Huang-di (2698–2596 SM), Yao (2357–2255 SM), Shun (2255 – 2205 SM), Da-yu (2205– 2197 SM), Shang-tang (1766–1122 SM),Wen, Wu Zhou-gong (1122–255 SM), sampai Nabi Agung Kongzi (551–479 SM) dan Mengzi (371–289 SM). Para nabi inilah peletak Ru jiao. Sedangkan Nabi Kongzi adalah penerus, pembaharu dan penyempurna, maka Ru jiao juga disebut Kong Jiao atau Agama Khonghucu.

60

Kalau dimulai dari zaman Raja Suci Tang Yao naik takhta (2357 SM) sampai dengan wafat Mengzi (289 SM) meliputi masa 2068 tahun, maka Kitab Suci Agama Khonghucu dapat dibagi menjadi dua kelompok : Wu Jing 五经 (Kitab Suci Yang Lima) dan Si

Shu 四書(Kitab Yang Empat) serta Xiao Jing 孝经(Kitab Bakti).

Wu Jing 五经 (Kitab Suci Yang Lima) terdiri dari :

1. Shi Jing 詩經 (Kitab Sanjak) Berisi kumpulan nyanyian rakyat berbagai negara, nyanyian pujian untuk upacara di istana dan nyanyian pujian untuk mengiringi upacara ibadah. 2. Shu Jing 書經 (Kitab Dokumen Sejarah Suci) Berisi dokumen sejarah suci Ru Jiao yang dihimpun dan disusun oleh Nabi Kongzi dari berbagai naskah yang berasal dari zaman Tang Yao (2357-2255 SM), Yu Shun, Dinasti Xia, Dinasti Shang, dan Dinasti Zhou serta yang termuda berasal dari zaman Rajamuda Qin Mu Gong (659-621 SM) berkuasa, atau zaman pemerintahan Kaisar Zhou Xiang Wang (651-618 SM). 3. Yi Jing 易經 (Kitab Kejadian dengan segala perubahan dan peristiwa) Kitab Wahyu yang mempunyai nilai universal, dalam hal kepurbaan maupun dalam hal pengertian yang tidak terukur kedalamannya, tersembunyi di bawah simbol-simbolnya yang ajaib.

61

4. Li Jing 禮經 (Kitab Kesusilaan / Peribadahan) Li Jing sebenarnya terdiri atas Tiga Kitab yaitu Zhou Li, Yi Li, dan Li Ji. Pengaruh Kitab ini sangat besar, kewibawaannya terasa di seluruh negara bagian. Saat Qin Shi Huang menjadi kaisar, Kitab ini dianggap sangat membahayakan kekuasaan, maka secara intensif dicari untuk dimusnahkan. 5. Chun Qiu Jing 春秋經 (Kitab Sejarah Zaman Chun Qiu) Nabi Kongzi yang hidup pada akhir zaman Chun Qiu membukukan Kitab Chun Qiu karena keprihatinan Beliau atas zaman itu dan oleh rasa tanggung jawab selaku Mu Duo木 鐸, Genta Rohani Tian Yang Maha Esa. Di dalam Chun Qiu Jing, Nabi Kongzi tidak hanya mencatat berbagai peristiwa yang terjadi, tetapi juga memberikan penilaian, yang baik dipuji dan yang tidak baik dicela. Si Shu 四書(Kitab Suci Yang Lima) terdiri dari : 1. Da Xue 大學 (Kitab Ajaran Besar) Da Xue merupakan tuntunan pembinaan diri, dari pembinaan batin yang terdalam dan terlembut, mengimankan tekad, meluruskan hati, sampai kepada pembinaan diri, keluarga, masyarakat, negara dan dunia. 2. Zhong Yong 中庸 (Kitab Tengah Sempurna) Zhong Yong merupakan kitab keimanan bagi umat Khonghucu. Zhong Yong didahului kata pengantar Zhu Xi yang diambil dari pandangan Cengzi, antara lain diungkapkan bahwa, “Yang tidak

62

menyeleweng itulah Zhong (Tengah), yang tidak berubah/tidak luntur itulah Yong (Sempurna). Zhong itulah Jalan Lurus Dunia dan Yong itulah Hukum Pasti Dunia.” 3. Lun Yu 論語 (Kitab Sabad Suci) Berisi sabda-sabd Nabi Kongzi, percakapan Nabi dengan murid- murid dan orang-orang zaman itu, percakapan antara murid- murid serta khususnya bab X membicarakan kehidupan sehari- hari Nabi Kongzi. 4. Meng Zi 孟子(Kitab Meng Zi) Kitab ini berisi percakapan Mengzi dengan raja-raja zaman itu dan tokoh-tokoh berbagai aliran yang ada pada waktu itu, seperti aliran Yangzhu, Mozi, juga dengan tokoh-tokoh pemikir lain seperti Gaozi, Baigui, Song Qing, Meng Jizi. Xiao Jing (Kitab Bakti) walaupun tidak termasuk salah satu diantara Wu Jing atau Si Shu, tetapi juga salah satu Jing atau Kitab Suci Agama Khonghucu, yang isinya merupakan tuntunan tentang perilaku bakti. Laku bakti adalah perilaku utama yang wajib dibina sebagai dasar untuk merawat dan membina perilaku kebajikan lain yang lebih luas. Di dalam Xiao Jing ditulis, “Sesungguhnya Laku Bakti ialah Pokok Kebajikan. Dari situ Agama berkembang.” Istilah Agama Khonghucu muncul sejak Matteo Ricci, seorang misionaris Katolik yang datang ke Tiongkok pada masa Dinasti Ming abad ke-17. Matteo Ricci melatinkan Kong Fu Zi

63

(Khong Hu Cu) menjadi Confucius dan Ru Jiao sebagai Confucianisme.26 Objek-objek pemujaan dalam Agama Khonghucu meliputi tiga objek pemujaan : 1. Tian 天 atau Shang Di 上帝 Agama Khonghucu adalah agama yang monotheis, yakni agama yang mempercayai dan menyakini atau percaya adanya satu Tuhan. Istilah Tuhan dalam Agama Khonghucu dinamakan Tian atau Shang Di Kedua istilah ini memiliki arti yang sama atau zat yang sama yang diartikan sebagai penguasa tertinggi yang menciptakan alam semesta. Thian atau Shang Di sebagai Penguasa Tertinggi memimpin segala sesuatu dan merupakan pengatur yang selalu hadir yang memberikan anugerah atau peringatan (hukuman) kepada manusia di bumi. Sifat Kuasa Kebajikan Tian yang dilambangkan dalam Kitab Suci Yi Jing dengan Si Xiang meliputi Yuan, Heng, Li, Zhen.27 Yuan 元 yang artinya sumber dari segala yang ada, yang rohani maupun yang fisik, benda atau makhluk hidup, Tian dengan Kuasa-

26 Isme ini menunjukkan suatu ajaran atau paham yang bersumber dari agama tersebut atau agama Induk. Confucianisme berarti sebuah agama atau ajaran yang didasari agama Ru yang disempurnakan kembali oleh Nabi Kongzi 27Tjhie Tjay Ing, Panduan Pengajaran Dasar Agama Khonghucu. (Solo: MATAKIN, 2006),h.6

64

Nya yang bersifat Causa Prima dan Causa Finalis, Yang Maha Sempurna, Maha Esa. Yuan, Khalik Sang Pencipta semesta alam dengan segenap benda dan makhluk di dalamnya, berlaksa benda bermula daripada- Nya dan akan pulang atau kembali kepada-Nya. Heng 亨 yang berarti mengatur, mengendalikan, Tian dengan Kuasa-Nya bersifat Maha Meliputi, Maha Menjalin, Maha Menembusi dimanapun, Maha Indah. Awan berlalu, hujan dicurahkan, beragam benda mengalir berkembang dalam bentuk masing-masing, dan tiap-tiap benda lurus atau menepati watak sejatinya. Menjadikan berlaksa benda bergerak menepati waktu dan jalannya masing-masing dalam Keharmonisan Agung, demikianlah Kuasa-Nya yang menyertai segenap wujud, tiada yang Tanpa Dia, yang berkuasa atas ruang dan waktu. Li 利 yang artinya memberi Berkah, Tian dengan Kuasa-Nya yang bersifat Maha Pemberkah, Yang menurunkan Berkah, Yang menjadikan orang menuai hasil perbuatannya. Maha Besar Tian yang memberi Berkah dan Karunia-Nya kepada segenap wujud tanpa membedakan sesuai dengan sifatnya, pohon yang condong dibantu roboh, tunas yang bersemi dibantu tumbuh. Maka berkah atau bencana sebenarnya asal mulanya berasal dari diri sendiri, apakah ingin menjadi pohon yang condong atau tunas yang bersemi, hal itu merupakan pilihan dari masing-masing individu. Apakah ingin berhasil dalam usaha atau tidak itu juga tergantung pada tiap

65 individu. Tian akan memberikan Karunia sesuai dengan usaha masing-masing individu. Zhen 貞artinya Meluruskan dan Melindungi, Tian dengan Kuasa-Nya bersifat Maha Kokoh, Maha Benar, Maha Abadi Hukum- Nya. Hukum Tian Yang Abadi, Teguh, tidak berubah sampai kapan pun, Yang Maha Benar, mengandung sifat Melindungi yang selaras harmonis dengan Hukum Tian dan Meluruskan yang melenceng atau melanggar Hukum-Nya. Tian dengan Kuasa-Nya melakukan Penciptaan atas semesta alam beserta isinya, menetapkan Hukum- Nya sehingga menjadikan semua benda dan makhluk berjalan sesuai dengan watak sejatinya masing-masing, yang selaras dan harmonis dengan Hukum-Nya yang Abadi akan terlindungi dan mendapat berkah dan kesentosaan, demikianlah sifat Kuasa Kebajikan Tian. Dalam masyarakat Cina Benteng yang dipengaruhi tradisi Khonghucu sebelum mereka melakukan sembahyang di depan meja abu leluhur, terlebih dahulu melakukan persembahyangan kehadapan Tian atau Shang Di di depan pintu utama rumah. Di sejumlah kelenteng, sebelum dilakukan penghormatan terhadap para Shen Ming di altar utama, terlebih dahulu melakukan penghormatan kepada Tian di depan Kelenteng. Altar yang dipersembahkan terhadap Tian harus tampak lebih agung dibandingkan altar para Shen Ming. Syair-syair dan nyanyian pujian

66 terhadap Tian atau Shang Di dapat ditemui dalam Kitab Suci Si Shu Wu Jing Agama Khonghucu, beberapa kutipan ayat suci dibawah ini. Shang Di, Tuhan Yang Maha Tinggi, itu tidak terus menerus mengaruniakan hal yang sama kepada seseorang; kepada yang berbuat baik akan diturunkan beratus berkah; kepada yang berbuat tidak baik akan diturunkan beratus kesengsaraan (Shu Jing IV : IV, 8) 28

Huang Tian tidak mengasihi hanya satu golongan, hanya kebajikan yang dibantu (Su Jing V.XVII : 4)29

Hanya Kebajikan berkenan Tian, tiada jarak jauh tidak terjangkau, kesombongan mengundang rugi, dan kerendahan hati menerima berkah (Su Jing II.II:21)30

Sungguh milikilah yang satu-satunya itu : kebajikan. Sungguh kepadanya Tuhan berkenan akan menerima Firman Tuhan yang gemilang itu. Bukannya Tuhan memihak kepadaku, hanya Tuhan melindungi yang satu ialah kebajikan (Su Jing VI : VI : 3-4)31

Maka seorang yang mempunyai kebajikan besar niscaya mendapat kedudukan, mendapat berkah, mendapat nama dan mendapat panjang usia. (Zhong Yong XVI : 2)32

1. Hormat, hormatlah! Maha Mulia Tian Yang Maha Esa Firman-Nya sungguh tak mudah Jangan berkata Dia tinggi-tinggi di atas

28 MATAKIN, Shu Jing, Kitab Dokumen Sejarah Suci (Jakarta: MATAKIN, 2004),h.77. 29 MATAKIN, Shu Jing, Kitab Dokumen Sejarah Suci, h.230. 30 MATAKIN, Shu Jing, Kitab Dokumen Sejarah Suci, h.25. 31 MATAKIN, Shu Jing, Kitab Dokumen Sejarah Suci, h.86. 32 Si Shu Kitab Yang Empat (Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia 2016),h.51.

67

Dia naik-turun di tempat orang berkarya dan hari-hari memeriksa kami di sini 2. Aku hanya anak kecil, Tidak pandai menaruhkan hormat. Namun, dengan majunya hari dan bulan, Aku belajar memegang teguh gemerlapnya pengetahuan Sehingga boleh cerah-cemerlang. Bantulah aku memdukung beban, dan Tunjukkan aku betapa menggemilangkan Kebajikan. (Shi Jing IV Sang Song I :III)33

Dalam melaksanakn ritual keagamaan kepada Tian bagi umat Khonghucu melaksanakan Thiam Hio setiap pagi dan sore hari sebagai sujud syukur kepada-Nya. 3. Shen Ming 神明 Shen Ming disini diartikan sebagai roh yang gemilang atau roh suci. Shen Ming merupakan orang yang berjasa ketika ia masih hidup dan saat meninggal ia dikenang oleh masyarakat luas. Dalam perkembangannya, ketika seseorang telah meninggal dunia karena nilai kebajikannya yang dirasakan manfaat oleh masyarakat luas melakukan penghormatan besar. Atas dasar keyakinan umat beragama Khonghucu mereka mendirikan Miao atau Bio untuk menghormati dan mengenang jasa kebaikan yang dijadikan suri teladan, seperti di Indonesia mereka membangun Kelenteng Sam Po Kong untuk mengenang jasa baik Laksamana Cheng Ho di Semarang dan Kelenteng Kwan Kong di Tuban.

33 MATAKIN, Shi Jing , Kitab Sanjak (Jakarta : Pelita Kebajikan, 2010),h.502.

68

Pada umumnya Shen Ming ditempatkan di Miao atau Bio, pada saat bersembahyang di Bio, setelah bersembahyang di Altar Kehadirat Tian, sebagai sembah sujud kepada Sang Pencipta Semesta Alam, umat Khonghucu bersembahyang kepada para Shen Ming sebagai wujud hormat kepada para suci, orang-orang besar yang dijadikan suri teladan. Keberadaan Shen Ming memiliki dasar dalam agama Khonghucu yang terdapat dalam kitab Lun Yu XVI : 8 dan Li Ji Bab Tan Gong III : 3 Nabi Kongzi bersabda, “Seorang Junzi memuliakan tiga hal, memuliakan Firman Tian, memuliakan orang-orang besar dan memuliakan sabda para Nabi”.34

Nabi Kongzi bersabda, “Terhadap orang yang telah mati, bila memperlakukan benar-benar sama sekali sudah mati, itu tidak berperi cinta kasih, maka jangan dilakukan. Terhadap orang yang sudah mati, memperlakukannya seperti benar-benar masih hidup, itu tidak bijaksana dan janganlah dikerjakan... Dengan demikian, orang yang mati itu diperlakukan sebagai Shen Ming.”35

4. Leluhur祖宗(Cu Cung) Leluhur adalah orang tua yang telah berpulang. Umat Khonghucu wajib melakukan sembahyang kepada leluhur. Leluhur adalah orang tua, bukan berhala dan bukan setan. Leluhur adalah orang yang telah selama hidupnya, mereka membesarkan, merawat dan membantu anaknya bisa sukses dalam hidup, maka terhadap

34 Si Shu, Kitab Yang Empat.,h.290. 35Li Ji, Catatan Kesusilaan. (Jakarta: Pelita Kebajikan,2005),h.74

69 leluhur harus hormat dan melanjutkan cita-citanya. Hanya dengan cara demikian baru dikatakan sebagai orang yang berbakti.36 Laku bakti merupakan sendi utama dalam Agama Khonghucu, iman yang tidak terpisahkan dari ajaran Agama Khonghucu, melalui kedua orang tua, manusia menerima hidup jasmani dan rohani, menerima kasih sayang, budi pekerti sebagai bimbingan hidup. Hubungan orang tua dan anak adalah sikap yang alami dan suci, dengan kata lain laku bakti adalah memuliakan hubungan yang menjadi sendi utama Agama Khonghucu dan menjadi pokok kebajikan sikap dan perbuatan manusia. Sikap dan perbuatan memuliakan hubungan yaitu hubungan manusia dengan Tian Yang Maha Esa sebagai pencipta, hubungan manusia dengan alam sebagai sarana hidup, dan hubungan antara manusia dengan sesama manusia. Maka di dalam hubungan antara sesama manusia terikat pada apa yang dikenal sebagai dasar Lima Hubungan Kemasyarakatan (Wu Lun). Sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Hau King (Kitab Bakti) I : 4-6. Nabi Kongzi bersabda, “Sesungguhnya Laku Bakti itu ialah pokok kebajikan, daripadanya ajaran agama berkembang. Tubuh, anggota badan, rambut dan kulit, diterima dari ayah dan bunda, perbuatan tidak berani membiarkannya rusak dan luka, itulah permulaan laku bakti. Menegakkan diri hidup menempuh Jalan Suci, meninggalkan nama baik di jaman kemudian sehingga memuliakan ayah bunda, itulah akhir laku bakti. Adapun laku bakti itu, dimulai dengan

36Ongky Setio Kuncono, Tomorrow Spirit Sebuah Pemahaman Khonghucu dari Sisi Lain (Jakarta : Gerbang Kebajikan Ru, 2015), h.53.

70 melayani orang tua, selanjutnya mengabdi kepada pemimpin dan akhirnya menegakkan diri.”37

Dari ayat di atas, dapat diketahui bahwa laku bakti merupakan sendi utama iman dalam agama Khonghucu yakni memuliakan hubungan antara manusia dan Tian melalui adanya ayahbunda dalam sikap satya kepada Tian. Menurut Xs.Tjhie Tjay Ing, “Di dalam menegakkan Firman, menggemilang-kan Kebajikan dan mengamalkannya itu, ajaran agama Khonghucu menunjukkan dan membimbingkan agar dimulai dengan merawat semangat dan melaksanakan laku bakti. Ini adalah landasan dasar yang paling dasar dan manusiawi karena hidup mengemban Firman, lahir di dunia ini adalah lewat orang tua dan leluhurnya, maka selalu ingat dan taqwa terhadap Tian, tidak melupakan orang tua dan leluhur adalah sikap hidup tidak melupakan yang pokok, yang diridhoi Tian.”38 Sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Lun Yu II : 7

Zi You bertanya hal laku bakti, Nabi menjawab,“Sekarang yang dikatakan laku bakti katanya asal dapat memelihara, tetapi anjing dan kudapun dapat memberi pemeliharaan.Bila tidak disertai hormat, apa bedanya?”39

Selanjutnya dijelaskan dalam kitab Lun Yu II : 5

37 MATAKIN, Hau King, Kitab Bakti. (MATAKIN, 1989),h.1. 38Tim Penyusun, Kumpulan ceritera anak-anak berbakti pelengkap Kitab Bakti (Hauw King) (Solo : MATAKIN, 1988), h.33. 39Si Shu, Kitab Yang Empat.,h.98

71

“Pada saat hidup, layanilah sesuai dengan kesusilaan, ketika meninggal dunia, makamlah sesuai dengan kesusilaan dan sembahyangilah sesuai dengan kesusilaan.”40

Sembahyang kepada leluhur wajib dilaksanakan sebagai sikap laku bakti kepada leluhur sebab manusia tidak dapat dilahirkan ke dunia ini tanpa sarana, yaitu orang tua. Dalam melaksanakan ritual keagamaan mereka mengacu kepada penanggalan Imlek. Untuk menghormati leluhur atau orang tua yang telah meninggal, mereka mendirikan meja abu atau Kong Po. Dalam melaksanakn ritual keagamaan kepada leluhur dibagi menjadi empat antara lain :  Setiap tanggal 1 dan 15 Imlek melakukan puja bakti atau tuang teh untuk menghormati orang tua mereka yang telah meninggal, dengan sajian teh di cu ceng dan kue atau buah- buahan.  Cho Gie atau memperingati hari wafat orang tua yang diperingati tanggal wafatnya berdasarkan penanggalan Imlek.  Cheng Beng atau ziarah ke makam orang tua biasanya dilakukan pada pagi hari yang jatuh pada tanggal 4 atau 5 April dihitung dari hari Tangcek 104 hari.  Sembahyang Chiet Gwee Pua, persembahyangan untuk memperingati arwah dari anggota keluarga yang tidak memiliki keturunan atau meninggal dalam usia yang muda. Dalam tradisi

40Si Shu, Kitab Yang Empat, h.97.

72

masyarakat Cina Benteng mereka memantangkan pada bulan Chiet Gwee untuk melangsungkan pernikahan. Masyarakat Cina Benteng memiliki struktur keluarga dan sistem kekerabatan berdasarkan keturunan laki-laki (partrilineal). Misalnya ayah bermarga Tan, sementara ibu bermarga Lim, maka anak-anaknya semua bermarga atau she Tan. Hal ini terjadi karena mereka menganut tradisi ajaran Khonghucu. Ada atau tidaknya keturunan anak laki-laki dari suatu keluarga pada masyarakat Tionghoa sangat menentukan sekali diteruskan atau tidaknya marga atau she nama keluarga dari garis ayahnya, sementara anak perempuan tidak dapat meneruskan marga atau nama keluarga dari garis ayahnya karena aturan kekerabatan masyarakat Tionghoa, perempuan yang sudah menikah akan keluar dari keluarganya dan masuk ke dalam keluarga suami, sehingga anak-anak yang lahir akan meneruskan marga dari garis suaminya. Sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Mengzi IVA : 26.1

“Mengzi berkata, “Tidak berbakti itu ada tiga macam, tidak mempunyai pelanjut hari kemudian itulah yang terbesar!.”41

Menurut Ongky Setio Kuncono, “Berbakti dengan mempunyai pelanjut dikemudian hari sebetulnya bukan diartikan mempunyai anak laki-laki tetapi mempunyai pelanjut cita-cita mulia orang tua dan leluhur, yang meneruskan Jalan Suci orang tua dan leluhur. Kalau perbuatan kita tidak meninggalkan nama baik yang

41Si Shu, Kitab Yang Empat, h.566.

73 bisa diwariskan dan diteladani oleh generasi penerus itulah yang dimaksud tidak berbakti. Namun demikian, tak dapat dipungkiri, dari masa ke masa makna pelanjut dalam ayat ini diartikan sebagai seorang anak laki-laki. Bahkan Nabi Kongzi sendiri lahir dari Ibu Yan Zheng Zai, karena ayahnya merindukan lahirnya seorang putera yang dapat menjadi pelanjutnya. Ini menunjukkan pengaruh budaya patrilineal yang demikian kuat dalam masyarakat Tiongkok dari masa ke masa.”42 Panggilan Kekerabatan Keluarga Masyarakat Cina Benteng

AYAH IBU Engkong dari Ayah : Lai Kong Engkong dari Ibu Goa Kong (Engkong Dalam) (Engkong Luar) Ayah punya engkong Co : Engkongco Co Ibu punya Ema-Poco Emapoco-Co Ayah punya engkong : Engkong Co Ibu punya Ema Ema Poco Ayah punya ayah : Engkong Ibu punya Ibu Ema AYAH DAN IBU (ORANG TUA) Ayah / Ibu punya anak : Namanya Saja Anak punya anak : Cucu Cucu punya anak : Buyut Buyut punya anak : Cicit Adik panggil Kakak Laki-laki : Engko Istrinya Eng so Adik panggil Kakak Laki-laki 1 : Twako Istrinya Twa so Adik panggil Kakak Laki-laki 2 : Jiko Istrinya Ji so Adik panggil Kakak Laki-laki 3 : Shako Istrinya Sha so Adik panggil Kakak Perempuan : Engci Suaminya Ci hu Ayah dan Ibu pada Besannya : Pria : Cinkee Wanita : Ce’em Menantu pada ayah dan Ibu : Pria : Eng Tia Wanita : Eng Nio Menantu laki-laki pada Kakak : Suami: Twaku Istri : Twa kim Istrinya 1 Menantu laki-laki pada Kakak : Suami: Jiku Istri : Ji kim Istrinya 2 Menantu laki-laki pada Kakak : Suami: Shaku Istri : Sha kim

42Ongky Setio Kuncono, Khonghucu Poligami? dan Gender Dalam Budaya dan Agama Khonghucu (Jakara : Gerbang Kebajikan Ru, 2015), h.85.

74

Istrinya 3 Menantu laki-laki pada adik istrinya : Suami: Engku Istri : Eng kim Menantu perempuan pada kakak : Suami : Twape Istri : Twa em suaminya 1 Menantu perempuan pada kakak : Suami : Jipe Istri : Ji em suaminya 2 Menantu perempuan pada kakak : Suami : Shape Istri : Sha em suaminya 3 Menantu perempuan pada adiknya : Suami : Engcek Istri : Eng cim Menantu perempuan punya Engci 1 : Istri : Twa ko Suami : Twa thio Menantu perempuan punya Engci 2 : Istri : Ji ko Suami : Ji thio Menantu perempuan punya Engci 3 : Istri : Sha ko Suami : Sha thio Menantu perempuan punya Adiknya : Istri : ko Suami : Ko thio Menantu laki-laki punya Engci 1 : Istri : Twa ie Suami : Twa thio Menantu laki-laki punya Engci 2 : Istri : Ji ie Suami : Jie thio Menantu laki-laki punya Engci 3 : Istri : Sha ie Suami : Sha thio Menantu laki-laki punya Adiknya : Istri : I e Suami : Ie thio Kakak Perempuan punya Suami : Ci Hu Adik Perempuan punya Suami : Mai Hu Adik Perempuan punya Anak punya : Sun Sai Suami Adik Laki-laki punya Istri : Te Hu ANAK-ANAK MEMANGGIL Twa Pe Menjadi : Twa Pe Kong Twa’em menjadi Twa’em Po Eng Cek : Engcek Kong Eng cim menjadi Cim Po Cucu-Cucu Twape Kong Menjadi Twa pekong Co Twa ie Po Menjadi Twa ie po Co Engcek Kong Menjadi Engcek kong Co Cimpo Menjadi Cimpo Co. TAMBAHAN ORANG CINA BENTENG DALAM MENYAPA Untuk orang yang lebih tua (rasa : Owe (Saya) hormat) kakak laki-laki yang pertama : Koh De kakak laki-laki yang kedua : Koh Nga kakak laki-laki yang ketiga : Koh Cing kakak laki-laki yang keempat : Koh Cit Kakak perempuan yang pertama : Cik De Kakak perempuan yang kedua : Cik Nga Kakak perempuan yang ketiga : Cik Cing Kakak perempuan yang keempat : Cik Cit Panggilan untuk anak laki-laki Cina : Weweh Benteng Panggilan untuk anak perempuan Cina : Yayah Benteng Nama-nama panggilan menggunaka istilah Dialek Hokkian kecuali bagian tambahan percampuran bahasa.

75

C. Permukiman Masyarakat Cina Benteng 1. Sentiong Tanah Pemakaman Dilingkungan baru ini mereka juga membangun pemakaman, yang pada mulanya dibangun untuk anggota keluarga mereka yang meninggal. Pemakaman di Tangerang dikenal dengan nama Sentiong. Ada beberapa Sentiong yang diketahui diantaranya Sentiong Gudang Balok, yang pada tahun 1812 dipindahkan ke Tanah Gocap. Di wilayah Gang Sinar Hati juga ada Sentiong yang diperuntukan untuk anggota keluarga marga Lim, namun juga ada beberapa marga yang dianggap bagian dari anggota keluarga marga Lim misalnya menantu dari marga lain. Di Karawaci juga ditemukan Sentiong keluarga dari marga Tan, yang diperkirakan tahun 1913. Selain itu terdapat juga beberapa Sentiong keluarga seperti makam Kapitan Oey Giok Koen43 di Priuk – Kota Tangerang. Dibeberapa daerah seperti Kedaung, Curug, Cikupa juga terdapat sentiong. Salah satu pemakaman terbesar adalah Tanah Gocap dan Tanah Cepe yang berada di Karawaci yang dikelola oleh Perkumpulan Boen Tek Bio. Di tanah pemakaman, mereka mendirikan batu nisan yang disebut bong pay. Pada zaman dahulu sebelum Nabi Kongzi, orang yang telah meninggal dunia tidak dikubur melainkan di dibuang atau

43Oey Giok Koen adalah salah satu anggota pendiri Perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) tahun 1900. Pada tahun 2008, makam itu dipindahkan oleh keluarganya dan diatas lahan pemakaman keluarga sekarang menjadi Perumahan Global Mansion Kota Tangerang.

76 diletakkan begitu saja di hutan, hanya keluarga kerajaan yang menguburkan. Jenazah yang dimakamkan tidak semestinya menimbulkan bau tidak sehat yang bisa mendatangkan penyakit. Sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Meng Zi III A, 5 : 4 Teng Wen Gong. “Pada jaman dahulu ada orang-orang yang tidak mengubur jenazah orang tuanya. Bila orang tuanya meninggal dunia, dipikullah jenazahnya dan dibuang di sebuah jurang. Lewat beberapa hari, dilihatnya rubah dan kucing hutan memakan jenazah itu, lalat dan nyamuk mengerumuni dan menghisapnya. Maka bercucuranlah keringat dari dahi orang-orang itu, tidak tahan melihatnya. Mengalirnya keringat itu bukan bermaksud untuk diperlihatkan kepada orang lain, tetapi timbul dari lubuk hati dan nampak di muka serta di matanya. Mereka segera pulang mengambil keranjang dan cangkul untuk menimbuni jenazah itu. Kalau perbuatan penuh Iman ini benar, maka anak berbakti yang berperi Cinta Kasih, yang mengubur jenazah orang tuanya dengan cara sebaik-baiknya sesuai pula dengan jalan Suci.”44

Memakamkan orang tua yang sudah meninggal merupakan sebuah kewajiban, hal itu sesuai dengan sabda Nabi Kongzi, ketika orang tua meninggal makamkanlah sesuai dengan kesusilaan. Ini juga sesuai dengan pengalaman hidup Nabi Kongzi, ketika ibunya meninggal dunia, Nabi Kongzi sedih untuk menguburkan ibunya karena tidak berhasil menemukan makam ayahnya.

44 Kitab Suci Su King (Jakarta: Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama Republik Indonesia, 2015),h.503

77

“Ketika ibunya meninggal, hal itu merupakan kepedihan yang luar biasa. Sampai tiga tahun Konfusius meratapi kepergiannya. Ingin dimakamkan sang ibu dalam satu liang lahat bersama ayahnya,45 namun tak bisa dilakukan karena makam sang ayah tidak diketahui keberadaannya. Demi penghormatan kepada orang tua, Konfusius tak kenal lelah mencari tahu letak makam ayahnya dengan pergi ke Wufu, di luar kota Qufu, sambil membawa peti mati berisi jenazah ibunya. Setelah sekian lama akhirnya seorang nenek lewat didepannya. Ketika ditanyai, ternyata ia adalah teman lama ibunya, dan dari nenek itu Konfusius tahu bahwa ayahnya dimakamkan di lereng gunung Fengshan, di sebelah timur Qufu. Konfusius segera berlutut mengungkapkan rasa terima kasihnya. Konfusius memakamkan jenazah ibunya satu liang lahat dengan ayahnya. Konfusius lalu membuat batu nisan dan mengadakan upacara kematian untuk kedua orangtuanya.”46 Kehadiran sejumlah sentiong sebagai bentuk ritual masyarakat Cina Benteng untuk mendoakan arwah leluhur yang dikenal dengan Qing Ming (Cheng Beng) atau ziarah kubur dalam tradisi agama Khonghucu yang dihitung 104 hari saat memasuki persembahyangan Dong Zhi (Tangcek), sehingga selalu jatuh pada

45 Siankong istilah dialek Hokkian yang digunakan masyarakat Tionghoa Tangerang yang berarti memakamkan jenazah kedua orang tuanya masing- masing dua topang (peti mati) dalam satu liang lahat. 46Jansen Sinamo & Eben Ezer Siadari, The Chinese Ethos Memahami Adidaya China Abad 21 dari Perspektif Budaya dan sejarah (Jakara : Institut Darma Mahardika, 2013), h.32.

78 penanggalan masehi antara tanggal 4 atau 5 April. Masyarakat Cina Benteng senantiasa melaksanakan persembahyangan berdasarkan Kalender Imlek yang diawali Persembahyangan Tahun Baru Imlek sebagai sujud syukur kehadapan Tian Yang Maha Esa sampai saat dipenghujung akhir penanggalan Imlek atau Kongzi Lek saat memasuki Persembahyangan Dong Zhi (Tangcek). 2. Rumah Kebaya Cina Benteng Sebagai manusia yang beradab, tentulah setiap orang menginginkan tempat tinggal yang manusiawi, tempat tinggal yang layak dihuni, demikianlah masyarakat Cina Benteng yang sudah bertempat tinggal di Tangerang, juga membangun pemukiman mereka, menyesuaikan diri mereka dengan lingkungan yang baru, mereka membangun rumah sebagai tempat tinggal. Rumah bukan hanya sekadar tempat tinggal saja melainkan setiap sisinya memiliki nilai-nilai filosofi. Masyarakat Cina Benteng menyebut rumah mereka dengan nama Rumah Kebaya. Pada umumnya masyarakat Cina Benteng di masa lalu sebagian besar hidup dari pertanian dan. penyebaran Rumah Kebaya sebagian besar berada didaerah udik. Karena itu bentuk bangunan Rumah Kebaya mencerminkan masyarakat agraris. Rumah Kebaya Cina Benteng merupakan arsitektur yang berkembang pada masa itu adalah cerminan dari budaya tradisi dan nilai-nilai religi yang dianut masyarakat Cina Benteng pada masa itu. Hal ini dikatakan oleh Haryadi dan B Setiawan, faktor yang

79 mempengaruhi perwujudan arsitektur rumah tinggal, antara lain pendekatan enviromental determinism yang menekankan bahwa bentuk dan pola rumah, terutama rumah tradisional merupakan respon pragmatis terhadap situasi iklim dan lingkungan tempat rumah tersebut berada. Arsitektur juga dipahami sebagai strategi adaptif (kolektif) terhadap ekologi. Faktor religi atau kepercayaan juga dipandang sangat berpengaruh pada bentuk dan pola rumah, bahkan dalam masyarakat tradisional cenderung merupakan faktor dominan dibandingkan faktor-faktor lain.47 Rumah Kebaya Cina Benteng merupakan warisan leluhur masyarakat Cina Benteng yang bersendikan pada ajaran agama Khonghucu. Rumah ini menjadi tempat berkumpulnya saudara maupun kerabat mereka menyatukan semua perbedaan dan merekatkan hubungan persaudaraan. Di ruang tengah atau ruang keluarga terdapat altar leluhur yang menurunkan keturunan mereka, tempat mereka berkumpul untuk bersembahyang mengenang kebaikan leluhur mereka. Pada umumnya Rumah Kebaya ini akan dilanjutkan oleh anggota keluarga mereka dari saudara laki-laki tertua atau pertama yang dianggap sebagai pelanjut Rumah Kebaya dimana altar leluhur itu menjadi tanggung jawab dirinya. Penghormatan leluhur merupakan sikap bakti

47Ida Bagus Putu Prajna Yogi, “Joglo Gudang Sebuah Bukti Eksistensi Cina di Kalimantan Selatan”, Naditira Widya - Balai Arkeologi Banjarmasin Vol.8 No.3/2014, h.70.

80 kepada orang tua, berbakti kepada orang tua merupakan jalan kebajikan menuju kepada Tian Yang Maha Esa. Struktur bangunan Rumah Kebaya Cina Benteng menyesuaikan dengan lingkungan alam disekitarnya. Material bangunan Rumah Kebaya Cina Benteng pada umumnya dibangun dengan bahan bangunan yang didapatkan dari lingkungan mereka seperti kayu nangka atau kayu jati. Pola tata letak bangunan dan lingkungan merupakan pencerminan keselarasan dan harmonisasi dengan alam. Ajaran Khonghucu dimanifestasikan dalam bentuk keseimbangan dan harmonisasi terhadap adanya konsep ganda. Keseimbangan antara formal dan nonformal. Formalitas dicapai dengan bentuk denah rumah atau peletakan bangunan yang simetris. Non formalitas dicapai dalam bentuk penataan taman yang khas dinamis dan tidak simetris. Keduanya membentuk satu kesatuan yang seimbang dan harmonis.48 Pembangunan Rumah Kebaya Cina Benteng menerapkan pola feng shui. Menurut Doni Swadarma, sebelum dibalok kayu, rumah kebaya harus ditandai bagian mana yang dekat dengan akar. Ujung kayu harus menghadap arah tertentu. Pemasangan tiong chit

48Antariksa, Teori dan Metode Pelestarian Kawasan Pecinan (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016), h.60.

81 atau belandar utama harus dilakukan pada saat tiba bulan purnama. Sebelum gelap bulan, seluruh pekerjaan atap sudah harus rapi.49 Dari hasil penelitian pada Rumah Kebaya milik keluarga Yap Cun Teh seorang keluarga petani dan juga pengusaha kue tradisional musiman khususnya pembuatan kue keranjang dan dodol khas Tangerang. Dari hasil penelitian ini Rumah Kebaya Cina Benteng dibagi menjadi beberapa ruang diantaranya : 1. Ruang Pelataran (Lamporan), halaman depannya sudah diperkeras dengan semen berfungsi untuk menjemur padi. Disudut halaman tergeletak alat tradisional pengurai padi dengan beras. Sedangkan disebelah kiri rumah terlihat kandang kerbau. Di dalam gudang berfungsi sebagai lumbung padi tradisional dengan tenaga kerbau yang kini sudah digantikan dengan mesin modern. Di ruang pelataran di bagian depan biasanya terdapat altar untuk Tian. 2. Ruang Paseban, memasuki rumah bagian depan yang terbuat dari kayu nangka ini. Paseban aslinya terdiri hanya ditopang tiang-tiang dan tidak berdinding. Namun saat ini pemilik rumah menambahkan jeruji untuk tujuan keamanan rumah. Selain itu bambu-bambu yang berfungsi sebagai penopang genting saat ini sudah diganti dengan atap baja ringan. Pembangunan Tangerang yang pesat turut menghilangkan perpohonan bambu,

49Doni Swadarma dan Yunus Aryanto, Rumah Etnik Betawi (Depok: Griya Kreasi, 2013), h.117.

82

mengingat sulit untuk mendapatkan bambu tua selain harganya juga mahal. Ruang Paseban berfungsi untuk menerima tamu. 3. Ruang Thia atau Ruang Tengah, memasuki pintu Ruang Thia terdapat dua pasang jendela berjeruji kayu di sisi kiri dan kanan. Dahulu lewat jeruji jendela anak-anak perawan mengintip wajah calon suami yang datang bersama orang tuanya untuk melamar. Di kusen pintu masuk ruang utama bagian atas dan kiri-kanan pintu masih terlihat bekas Dui Lian (syair berpasangan dalam bahasa Tionghoa) di atas kertas merah dengan tinta Tionghoa hitam, dan juga ada kertas hu yang berfungsi sebagai penolak bala. Ruang Tengah merupakan ruang sakral, saat memasuki ruang thia di bagian tengah terdapat Kong Po atau Meja Abu Leluhur, ruang berkumpulnya kerabat dekat melakukan persembahyangan. Meja Kong Po memiliki makna simbol agama terhadap keluarga sebagai penerus keturunan. Meja Kong Po terdiri dari dua meja yaitu tinggi, panjang dan pendek. Yang pendek terdiri dari dua meja sehingga kalau dijadikan satu menjadi empat persegi, panjangnya sama. Meja yang tinggi-panjang melambangkan Langit, sedang yang pendek empat pesegi panjang melambangkan Bumi. Hio Kong (tempat menyimpan hio) melambangkan persatuan di dalam rumah tangga, tempat pekerjaan, perkumpulan, rumah ibadah dan negara. Hio lou tempat menancapkan hio yang melambangkan kesatuan hati. Di

83

atas meja ada sepasang lilin merah yang menyala dengan terangnya dan dibiarkan sampai mati, melambangkan orang tua yang memberi penerangan sampai hari tuanya dan akhir hayat. Di atas meja tinggi panjang tergantung foto almarhum orang tua. Beberapa keluarga menggunakan sinci (papan prasasti yang memuat nama-nama leluhur dalam bahasa Mandarin) dan San Sui (Gunung dan Air) yang merupakan warisan terdahulu namun saat ini umat Khonghucu di Tangerang lebih banyak menggunakn foto almarhum orang tua. San Sui yang berarti gunung dan air. San Sui adalah istilah untuk seni lukis Tiongkok klasik untuk lukisan pemandangan alam, dengan gunung dan air yang menguasai keadaan sekelilingnya. Tetapi ada perbedaan pada lukisan San Sui di meja abu leluhur. Pada gambar yang mengambil kedudukan bukanlah gunung dan air, melainkan sebuah bangunan dalam bentuk Villa. Gunung dan Air hanya sebagai latar belakangnya, yang terpenting adalah Villanya yang lengkap dengan perabotan rumah tangga, gambar itu dimaksudkan sebagai tempat tinggalnya leluhur yang abunya diletakan di depan lukisan itu. Meja tempat penyimpanan Hio Lo (Xiang Lu) itulah dikenal sebagai meja abu.50

50 Js.Gunadi. Makna Pemujaan Kepada Leluhur dan Pengaruhnya Terhadap Keutuhan Keluarga,h.14.

84

Di sisi kiri dan kanan ruang utama tampak pang keng (kamar tidur). Di kiri kanan meja abu ada pintu yang masing-masing menuju ruang dapur, antara ruang thia dan dapur terdapat satu ruangan atau gang pendek yang tidak begitu besar disamping sisi kiri dan kanan terdapat ruangan yang salah satunya berfungsi sebagai gudang. 4. Ruang Dapur atau Ruang Belakang, ruangan ini berada dibelakang ruang thia. Saat memasuki ruang belakang terdapat Cemceh tempat masuknya udara dan air hujan. Namun saat ini cemceh sudah ditutup pemiliknya dengan genteng atau genteng kaca dengan alasan keamanan. Dibelakang Cemceh terdapat ruang makan dan ruang keluarga, sementara dapur ada di sisi kiri atau kanan. Bagi keluarga yang sudah menikahkan anaknya, di ruangan ini juga ada altar untuk Cokun Kong (Dewa Dapur). 5. Ruang Hocu, merupakan selasar samping. Dahulu di selasar samping terdapat peti mati. Pada masyarakat Cina Benteng, anggota keluarga menyiapkan peti mati meskipun anggota keluarganya belum ada yang meninggal. Nio Joe Lan, menuturkan, “Seorang ayah yang sudah lanjut umurnya, akan merasa senang sekali, jika ia pada hari ulang tahunnya diberikan sebagai hadiah sebuah peti jenazah yang terbuat dari kayu yang bagus.”51 Meski terkesan “angker” namun hal itu

51 Nio Joe Lan. Peradaban Tionghoa Selayang Pandang. ( Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2013).h.256

85

sudah terbiasa pada masyarakat Tionghoa di Tangerang pada waktu itu. Mereka menyebut peti jenazah itu dengan nama siu pan yang berarti peti panjang umur. Peti yang sudah dibeli biasanya terbuat dari kayu jati dan didalamnya diletakkan golok. Orang Cina Benteng menyebutnya ngelindi artinya sebagai syarat agar anggota keluarga lain tidak ikut terbawa. D. Pertumbuhan Pendidikan Agama Khonghucu Tradisional dan Modern Pendidikan mempunyai peran yang sangat penting dalam membangun dan memajukan bangsa. Dengan pendidikan dapat mengembangkan masyarakat menjadi cerdas dan terampil. Masyarakat Tionghoa memandang pendidikan adalah segalanya, hal ini ditandai dengan berdirinya Dinasti Han (206 SM-220 M) di Tiongkok. Pada masa Dinasti Han Ajaran Agama Khonghucu dijadikan sebagai agama negara. Pada zaman kaisar Wu dan seterusnya, Konfusianisme secara bertahap berkembang menjadi agama negara, dan pengetahuan seseorang akan kitab-kitab Konfusianisme merupakan materi pokok ujian masuk yang wajib bagi calon pejabat negara.52 Pada zaman Dinasti Han, pendidikan di Tiongkok sudah berkembang dengan pesat. Sekolah-sekolah didirikan dengan tujuan untuk merekrut pegawai-pegawai pemerintahan yang

52Michael Wicaksono,Han Kaisar Petani (Jakarta: PT.Elex Media Komputindo, 2015), h.398.

86 berkualitas. Rakyat Tiongkok yang ingin menjadi pegawai kerajaan pada masa itu tidak dipandang dari status sosialnya. Selama mereka bisa melewati berbagai tahapan ujian yang ditetapkan kerajaan, siapa pun berhak menjadi pegawai kerajaan. Hal ini sesuai dengan ajaran agama Khonghucu yang tidak memandang asal usul, status sosial maupun jabatan. Sebagaimana disampaikan oleh Nabi Kongzi dalam Kitab Suci Lun Yu VII :7. Nabi bersabda, “Siapapun yang membawa seikat dendeng (sebagai tanda mohon diterima menjadi murid) datang kepadaku, tidak pernah Aku menolak memberi pendidikan.”53 Selanjutnya ditegaskan dalam kitab Lun Yu XV : 39

Nabi bersabda, “Ada pendidikan, tidak ada perbedaan”.54

Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada sikap diskriminasi dalam memberikan perlakuan pendidikan terhadap siswa dari golongan manapun. Berbeda dengan pendidikan modern, materi pelajaran yang disampaikan pada zaman Dinasti Han mengacu pada Kitab Klasik Agama Khonghucu Si Shu Wu Jing. Di dalam kitab klasik terkandung beragam prinsip ilmu yang disajikan dalam bentuk kisah dan sastra. Para murid tidak hanya paham akan isi Kitab Klasik Si Shu Wu Jing tetapi juga diharuskan untuk bisa menghafal. Setiap murid diharapkan bisa mengembangkan sendiri isi kitab klasik Agama

53Si Shu, Kitab Yang Empat.(Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia,2016),h.149 54Si Shu, Kitab Yang Empat.,h.281.

87

Khonghucu yang dituangkan dalam bentuk puisi. Dengan konsep dan pemikiran seperti ini, sebagaimana dikatakan Raymond Dawson, Tiongkok telah memberikan status yang sangat tinggi pada kegiatan belajar, lebih dari masyarakat mana pun.55 Pendidikan tradisional yang didasari pada Kitab Klasik Agama Khonghucu berlangsung lebih dari 4000 tahun sejak berdirinya Dinasti Han. Orang Tionghoa yang bermigrasi dari Tiongkok ke Nusantara pada umumnya membawa tradisi keagamaan dan budaya Khonghucu. Menurut Nio Joe Lan, bahwa sejak orang Tionghoa bertempat tinggal di negeri ini Indonesia, pendidikan sudah diberikan kepada anak-anak Tionghoa. Tidak menutup kemungkinan orang Tionghoa sudah membuka sekolah sementara para hartawan kaya mengundang satu atau dua guru untuk mendidik anak-anak maupun cucu-cucu mereka dirumah mereka sendiri.56 Hal yang sama juga terjadi pada orang Tionghoa di Tangerang, pendidikan banyak diajarkan di rumah penduduk yang dianggap mampu membiayai para guru. Menurut laporan surat kabar terbitan Surabaya yakni Bintang Timur No.43 edisi 29 Mei 1875, bahwa ada seorang Letnan dari Batavia yang bernama Souw Siauw Tjong membangun sekolah di Mauk-Tangerang, sebelumnya

55 Raymond Dawson, Khonghucu Penata Budaya Kerajaan Langit (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1999), h.16. 56Nio Joe Lan, Riwajat 40 Taon T.H.H.K. Batavia (Batavia: Tiong Hoa Hwe Koan, 1940), h.21.

88

Tan Tiang Po pada tanggal 01 Mei 1874 membangun sekolah di wilayah partikelir miliknya di Batu Ceper-Tangerang. Hal ini memperlihatkan kemuliaan orang Tionghoa untuk menaruh kepedulian terhadap pentingnya pendidikan bagi penduduk setempat. Tidak ada sekolah yang tercatat di Tangerang selain yang disebutkan. Pendidikan Sekolah yang diajarkan bagi kalangan orang Cina Benteng lebih banyak bersifat tradisional. Anak-anak diberi pelajaran Kitab Klasik Agama Khonghucu dengan cara menghafal dan mengeja dalam dialek Hokkian. Menurut Ang Yan Goan, yang mengawali masa kanak-kanak sekolah di Bandung, “Sekolah privat dimulai subuh jam 5, dan membawa lampion untuk penerangan di jalan pergi ke sekolah. Jam 7 pulang ke rumah untuk sarapan dan jam 8 masuk sekolah lagi, hingga jam 12 baru pulang untuk makan siang. Sekolah dilanjutkan pukul 13.00 hingga pukul 17.00 sore. Minggu pun kami masuk sekolah, hanya tanggal 1 dan 15 setiap bulan penanggalan Imlek dinyatakan libur. Setelah San Zi Jing57 habis dipelajari dan sudah dihafal di luar

57 San zi Jing (三 字 经) atau Kitab Tiga Untaian Huruf adalah kitab tuntunan dalam dunia pendidikan kuno. Kitab ini diwajibkan untuk tiap anak didik yang mulai belajar membaca menghafalkannya dan anak didik pengertian didalamnya dibimbing memahaminya. San Zi Jing mulai digunakan pada zaman dinasti Song, ditulis oleh Wang Bo Hou, salah seorang pengikut Zhu Xi dan terus masih dipergunakan sampai permulaan abad 20. Saat ini baik di Republik Rakyat Tiongkok maupun di Taiwan ternyata mendapat perhatian kembali untuk pendidikan anak-anak.

89 kepala, aku mulai belajar Lun Yu, cara belajar tetap sama, cuma membacanya dan menghafalnya”.58 Usaha-usaha untuk meningkatkan kemajuan pendidikan bagi masyarakat Tionghoa pernah dilakukan di Batavia pada tahun 1729, mereka mendirikan sekolah bernama Beng Seng Su Yuan, namun sekolah itu tidak bisa meningkatkan kemajuan dalam pendidkan dan tidak bisa mengubah kebiasaan buruk masyarakat Tionghoa. Sama halnya dengan sekolah privat lainnya, sekolah ini memiliki pola yang sama dengan materi pelajaran pada kitab klasik Agama Khonghucu hanya membaca dan menghafal tanpa adanya pengembangan. Pemerintah kolonial Belanda umumnya acuh tak acuh terhadap pendidikan anak-anak Tionghoa dan tidak memberi ruang pendidikan secara formal untuk masyarakat Tionghoa. Menurut Leo Suryadinata, “Baru pada akhir abad kesembilan belas anak-anak Tionghoa, terutama anak laki-laki Opsir-opsir Tionghoa dan pengusaha yang kaya sekali, diterima masuk sekolah pemerintah kolonial Belanda.”59 Melihat sikap pemerintah kolonial Belanda yang tidak peduli, kalangan muda Tionghoa merasa prihatin akan keterbelakangan masyarakat Tionghoa. Mereka berupaya untuk

58.Ang Yan Goan, Memoar Ang Yan Goan 1894-1984 Tokoh Pers Yang Peduli Pembangunan Bangsa , h.4. 59Leo Suryadinata, Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia. Penerjemah Dede Oetomo (Jakarta : PT.Gramedia, 1988), h.5.

90 meningkatkan pendidikan dan kesejahteraan masyarakat Tionghoa, bertempat di rumah Phoa Keng Hek, Jalan Mangga Besar, Batavia bersama tokoh lainnya antara lain Tan Kim San, Oey Koen Ie, Lie Hin Liam, mereka bermusyarawah untuk mendirikan Perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) dan tanggal 17 Maret 1900 Perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan didirikan. Di dalam Anggaran Dasarnya, dinyatakan tujuan Perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan antara lain60 : 1. Untuk mengembangkan adat istiadat dan tradisi Tionghoa sesuai dengan ajaran Nabi Kongzi dan mengembangkan ilmu pengetahuan terutama dibidang tulis menulis dan bahasa; 2. Mendirikan gedung perkumpulan untuk tempat pertemuan para anggota guna membicarakan masalah-masalah dalam melaksanakan hal-hal seperti dinyatakan pada butir 1 di atas dan hal-hal lain yang bermanfaat untuk kepentingan umum sebatas tidak melanggar undang-undang yang berlaku, 3. Menambah koleksi dari berbagai buku-buku atau perpustakaan untuk menambah pengetahuan para anggotanya. Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) merupakan organisasi modern yang pertama yang didrikan masyarakat Tionghoa dari kalangan Agama Khonghucu di Indonesia. Ada beberapa faktor yang mendorong berdirinya Perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) 1. Faktor Internal

60Nio Joe Lan, Riwajat 40 Taon T.H.H.K. Batavia, h.6-7.

91 a. Pada akhir abad XIX, orang Tionghoa banyak mengalami diskriminasi dari pemerintah kolonial Belanda. Mereka diharuskan tinggal di dalam kawasan Pecinan dan jika bepergian harus membawa surat ijin jalan, selain itu anak- anak mereka sulit untuk mendapatkan pendidikan yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah kolonial Belanda tidak menfasilitasi kepentingan pendidikan untuk orang Tionghoa. Hanya keturunan orang yang kadang beruntung keluarga kaya yang bisa mengikuti pendidikan di sekolah Belanda. b. Keprihatinan terhadap merosotnya akhlak orang Tionghoa yang tidak sesuai dengan ajaran Agama Khonghucu seperti berjudi membuat orang miskin menjadi lebih sengsara. Salah satu tokoh Tiong Hoa Hwe Koan ialah Phoa Keng Hek Ketua pertama THHK, meminta pemerintah Hindia Belanda untuk menutup kasino dan ia bersedia membayar ke kas pemerintah Hindia Belanda dan kasinonya pun ditutup. Berapa lama dan berapa banyak uang yang dibayarkan ke kas pemerintah, tidak ada yang tahu. Pemerintah menghentikan setoran tersebut karena dianggap tidak adil. Pengabdian dan pengorbanan Phoa Keng Hek diakui pemerintah dan mendapat anugerah dari Ratu Belanda tanda kehormatan Bintang Oranje Nassau, merupakan orang

92

Tionghoa Hindia Belanda pertama kali memperoleh penghormatan semacam ini.61 c. Keadaan sosial budaya orang Tionghoa pada waktu itu juga sangat memprihatinkan. Di kalangan orang Tionghoa peranakan masih berlangsung terus pemborosan uang yang berlebihan untuk pesta perkawinan dan kematian. Upacara perkawinan dan kematian dilakukan oleh masyarakat Tionghoa tidak sesuai dengan ajaran Agama Khonghucu. 2. Faktor Ekternal Adanya gerakan reformasi yang dipelopori Kang Yu Wei tahun 1898 di Tiongkok dan gerakan menghidupkan kembali ajaran Khonghucu di Singapura oleh Lim Boon Keng, menumbuhkan identitas Tionghoa yang kuat serta persatuan di kalangan kaum muda di Batavia yang pada akhirnya mereka mendirikan organisasi modern pertama, Tiong Hoa Hwe Koan pada tanggal 17 Maret 1900. Perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan adalah organisasi pertama yang menggunakan istilah Tionghoa untuk menggantikan istilah Tjina (Cina).62 Hal itu terjadi sebelum berdirinya Perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan, masyarakat Cina tidak homogen masing-masing memiliki bahasa dan budaya yang

61 Ang Yan Goan, Memoar Ang Yan Goan 1894-1984 Tokoh Pers Yang Peduli Pembangunan Bangsa Penerjemah Tan Beng Hok, h.55 62Nio Joe Lan, Riwajat 40 Taon T.H.H.K. Batavia, h.7

93 berbeda. Organisasi atau sekolah yang didirikan pun berdasarkan sifat kesukuan atau kedaerahan. Perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan menyatukan semua perbedaan dari suku Hokkian, Hakka, Konghu dan kaum peranakan, sejak itu istilah Tionghoa dianggap mewakili kepentingan bersama. Sebutan istilah Tionghoa untuk menggantikan kata Tjina (Cina) hanya dikenal di Indonesia. Pada masa Orde Baru istilah Cina digunakan kembali melalui Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No.06 Tahun 1967 tentang Masalah Cina. Seperti diketahui kata Tionghoa yang dicetuskan oleh tokoh-tokoh Agama Khonghucu saat mendirikan Perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan dengan harapan menyatukan sub suku Cina pada masa kolonial Belanda dengan nama Tionghoa. Untuk mewujudkan maksud dan tujuan dari anggaran dasar Perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan, maka didirikan sekolah-sekolah yang didalamnya diajarkan ajaran budi pekerti Agama Khonghucu. Setahun kemudian pada tanggal 17 Maret 1901, para pengurus Tiong Hoa Hwe Koan mendirikan sekolah Tionghoa pertama dengan nama Tiong Hoa Hak Tong (Sekolah Tionghoa) yang berlokasi di Jalan Patekoan (sekarang Jalan Perniagaan), untuk membedakan dengan Sekolah Tiong Hoa Hwe Koan yang lain maka lokasi berdirinya Tiong Hoa Hwe Koan menjadi Patekoan Tiong Hoa Hwe Koan. Sekolah Tiong Hoa Hwe Koan berkembang pesat, bahasa pengantarnya bukan bahasa Hokkian seperti sekolah tradisional sebelumnya melainkan bahasa Kuo Yu (bahasa Manadarin),

94 kemudian Sekolah Tiong Hoa Hwe Koan membuka cabang dan menyebar luas ke seluruh Hindia Belanda. Sejak Tiong Hoa Hwe Koan mendirikan sekolah Tionghoa pertama di Jalan Patekoan pada tahun 1901, dalam kurun waktu 18 tahun, pada tahun 1919, sekolah Tiong Hoa Hwe Koan di Indonesia sudah mencapai 250 lebih sekolah.63 Sebelum kemunculan sekolah modern Perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan atau Tiong Hoa Hak Tong (Sekolah Tionghoa) pada abad ke-20, sangat sedikit orang Tionghoa di Tangerang mendapatkan pendidikan sama sekali. Hanya sekolah swasta kecil didirikan oleh pedagang kaya, terutama untuk anak-anak mereka sendiri. Para guru yang mengajar, biasanya didatangkan dari Tiongkok, anak-anak hanya diajarkan membaca dan menulis dengan dialek tertentu di Tangerang mereka menggunakan dialek Hokkian. Mereka didik dengan disiplin yang keras, jam yang panjang, dan hari libur hanya pada hari Ce It (tanggal 1 Imlek) dan Cap Go (tanggal 15 Imlek). Anak-anak terkadang juga belajar menghitung dengan sempoa. Satu-satunya buku teks pelajaran yang digunakan oleh guru mereka adalah Kitab Klasik Agama Khonghucu Si Shu Wujing, yang harus mereka baca berulang kali sampai mereka bisa membacanya dengan keras dari awal sampai akhir.

63Iskandar Jusuf. Dari Tiong Hoa Hwe Koan 1900 sampai Sekolah Terpadu Pahoa 2008. (Tangerang : Sekolah Terpadu Pahoa,2013).h.66

95

Pada tahun 1904 Perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) membuka cabang di Tangerang dan membangun sekolah atau Tiong Hoa Hak Tong dan menunjuk Kapitan Oey Djie San sebagai Ketua Cabang Tiong Hoa Hwe Koan (THHK). Pada tahun 1907 Perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) melakukan renovasi dengan membangun gedung yang lebih besar dan perkarangan yang lebih luas serta ditempat yang strategis di Jalan Cilame, berdampingan bagian belakang dan disamping Kelenteng Boen Tek Bio. Di sekolah ini anak-anak Tionghoa belajar membaca dan menulis huruf Han Zi (bahasa Mandarin) dan keberadaan sekolah yang didirikan Perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan mendapat sambutan yang sangat berarti dari masyarakat, yang selama ini anak-anak mereka tidak mendapat pendidikan yang baik karena sikap diskriminasi pemerintah Hindia Belanda. Sebelum berdirinya sekolah Tiong Hoa Hwe Koan di Tangerang, pemerintah Hindia Belanda membuka sekolah dengan nama ELS (Europeesche Lagere School). ELS adalah sekolah dasar yang dibuka pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1817 dengan menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan belajar mengajarnya. Sekolah ini awalnya dibuka bagi orang Belanda, namun juga memberi kesempatan kepada orang- orang pribumi dari golongan yang mampu dan khusus untuk orang Tionghoa harus lancar berbahasa Belanda serta dari golongan kedudukan yang terhormat seperti anak Kapiten sehingga sekolah

96 ini mendapat julukan dari orang Tionghoa dengan nama Holan Tun Phoa atau Belanda Seperak Setengah. Pemerintah Hindia Belanda baru mulai membuka sekolah untuk orang Tionghoa pada tahun 1908 dengan nama HCS (Hollandsch Chinesesche School).64 Untuk membantu kemajuan dan keuangan Perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan khususnya Tiong Hoa Hak Tong (Sekolah Tiong Hoa), pada tahun 1911 kaum muda Tionghoa Tangerang yang memiliki kepedulian sosial meminjam gedung Tiong Hoa Hwe Koan yang akan digunakan untuk kegiatan amal. Dengan suara bulat mengangkat Lie Soen Tjoan selaku pimpinan Tonil (sandirwara) Tionghoa Djin Ho Hie (T.H.D.H.H.). Naskah rombongan teater amatur ini berjudul lengkap : BOEKOE ROL OPERA DERMA T.H.D.H.H. DI TANGERANG, TJERITA HARTA JANG BERBAHAJA. Satoe Nasehat jang Baek aken sebagi Toeladan. Penerbitnya adalah Typ. Hoa Siang in Kiok, 1912, Batavia. Buku ini dicetak untuk dijual menjelang adanya pementasan dramanya dengan pembagian rezeki yang ditulis pula dalam buku itu, yakni 25% untuk T.H.H.K Batavia, 25% untuk T.H.H.K. Tangerang dan 50% untuk Tiong Hoa Djien Ho Hie di Tangerang. Pertunjukan drama amatur ini biasanya untuk keperluan

64 Oey Hok Tjay. Kelenteng Boen Tek Bio Di Tangerang. Tangerang, 1979,h.4.

97 rombongan amatur juga untuk mencari sumbangan untuk keperluan organisasi sosial.65 Lie Soen Tjoan merekrut para pemuda sebanyak 50 orang dan membuka pertunjukkan selama lima bulan, akhirnya Sandirwara Tionghoa Djin Ho Hie mendapat sambutan hangat dari masyarakat, ini menandakan bukti bahwa kaum pemuda memiliki semangat untuk membantu kemajuan bagi Tiong Hoa Hak Tong (Sekolah Tionghoa Hwe Koan). Berdirinya Tiong Hoa Hak Tong yang mengemban misi ajaran agama Khonghucu turut menpengaruhi para pemuda Tionghoa di Tangerang melakukan gerakan pembaharuan yang sejalan dengan Perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan untuk mengikis kebodohan dan kemiskinan. Beberapa organisasi sosial atau keagamaan meski umurnya tidak lama, namun ini membuktikan bahwa pengaruh besar dari Sekolah Tiong Hoa Hwe Koan.66 Pada tahun 1919 di Tangerang para pemuda Tionghoa mendirikan Hua Chiao Tsing Nien Hui (Perhimpunan Pemuda Tionghoa) untuk mempererat persaudaraan dan memajukan olah raga seperti sepak bola, tenis, musik, taman bacaan dan agama Khonghucu, dibawah pimpinan Liem Tek Shie, namun perhimpunan ini hanya berjalan selama empat tahun.

65Jacob Sumardjo, Kesusastraan Melayu-Rendah Masa Awal (Yogyakarta : Galang Press, 2004), h.129. 66Oey Hok Tjay, Catatan-catatan Sejarah Masyarakat Tionghoa Tangerang di Zaman Dahulu dan Sekarang. Tangerang, 1981,h.20.

98

Kehadiran Perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan banyak memberikan inspirasi untuk mengembangkan agama Khonghucu, pada tahun 1932 Teng Giok Seng mendirikan Perkumpulan Kung Chiao Yen Tsie Hui yang bertujuan untuk mengembangkan dan menyebarkan ajaran agama Khonghucu di Tangerang, namun perkumpulan ini hanya bertahan selama dua tahun. Pada tahun 1935 berdirilah perkumpulan yang dimotori kaum wanita yang mengembangkan olah raga bola volly dengan nama Chie Cheng Sporting Club dibawah pimpinan Khouw Tjiang Nio, bertempat di gedung Tiong Hoa Hwe Koan Tangerang. Perkumpulan ini mendapat sambutan hangat dari kalangan wanita. Dua tahun kemudian perkumpulan ini diganti nama menjadi Chie Cheng Women Assosiation karena tidak hanya bergerak dibidang bola volly saja melainkan ketrampilan memasak, membuat kue juga mengadakan les bahasa Mandarin dan Inggris. Dari tahun 1939 sampai dengan akhir tahun 1941, Perkumpulan Chie Cheng Women Assosiation dibawah pimpinan Khouw Kwie Nio melakukan pekerjaan sosial untuk mendukung keberlangsungan Perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan Tangerang. Mereka membuat macam-macam kue yang dijual ke masyarakat, hasil penjualannya dimasukkan ke kas Perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan Tangerang. Hal yang menarik untuk mendukung kegiatan amal Perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan, pada tahun 1940 Perkumpulan Chie Cheng Women Assosiation dengan semangat suci dan bersatu

99 mereka mengadakan sebuah Petunjukan Panggung (Sandiwara) dengan anggota pemainnya terdiri dari 26 gadis tanpa seorang pria yang ikut. Pentas ini dipimpin oleh Khouw Tjiang Nio dan mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Pada tahun 1938 berdiri perkumpulan dari kalangan pemuda-pemuda dengan nama Tangerang Chinese Recreation Club (T C R C) bertujuan mempersatukan pemuda-pemuda Tangerang dalam gerakan olahraga, pendidikan, musik dan lain-lain. Perkumpulan ini dipimpin oleh Oey An Siok, selain dibidang yang disebutkan perkumpulan ini juga aktif dibidang sosial. Berdirinya Tiong Hoa Hak Tong sebagai sekolah untuk mengembangkan perbaikan akhlak bagi masyarakat Tionghoa yang berciri ajaran agama Khonghucu, tidak luput dari persaingan dalam mendapat jumlah murid. Sekolah Tiong Hoa Hwe Koan sangat bergantung kepada para donatur dan bersifat sosial (bagi murid dari keluarga miskin tidak dipungut biaya), selain itu Sekolah Tiong Hoa Hwe Koan tidak mendapat bantuan subsidi dari pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1908 pemerintah Hindia Belanda mendirikan Sekolah Dasar Belanda Pertama bagi anak Tionghoa, Hollandsch Chineesche School (HSC), dengan bahasa pengantar Belanda. Kehadiran HCS menarik minat orang Tionghoa Peranakan untuk memasukkan anak-anaknya ke sekolah dengan harapan mendapat pekerjaan di dinas pemerintahan selain itu tidak dikenakan

100 diskriminasi sosial dan digaji kurang dari orang Tionghoa berpendidikan Belanda.67 Kelemahan dari Sekolah Tiong Hoa Hwe Koan ternyata dapat dilihat dari berdirinya sejumlah sekolah swasta di Tangerang yang cukup melemahkan Sekolah Tiong Hoa Hwe Koan meskipun belakangan Sekolah Tiong Hoa Hwe Koan mulai mereformasi seperti memasukkan bahasa asing (Inggris dan Belanda) ke dalam kurikulumnya. Pada pertengahan Juli 1922 seorang pemuda kelahiran Tangerang bernama Ong Tiang Biauw68, putra ke empat anak dari mendiang Ong Thiam Hok, pedagang beras agen besar di Kota Tangerang. Ong Tiang Biauw lulusan dari Saint Jhon University Singapore dengan sertifikat diploma gelar Bachlor of Art (sarjana muda atau ahli madya), yang baru kembali dari Singapura. Pada tahun 1923, Ong Tiang Biauw, mendirikan sekolah bahasa Inggris dengan nama Tangerang English School, yang dimulai hanya delapan murid dan dua orang pembantunya bertempat disebuah rumah besar di Jalan Tengah berdekatan dengan sungai Cisadane, sementara sore harinya diadakan les private pembelajaran untuk

67Leo Suryadinata, Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia. Penerjemah Dede Oetomo, h.9. 68Ong Tiang Biauw berkenalan baik dengan The Boan An (Bhiksu Ashin Jinarakhita). Ong Tiang Biauw pada tahun 1952 pernah memimpin Perkumpulan Sam Kauw. Pada tanggal 21 Mei 1959, Ong Tiang Biauw dari Tangerang ditahbiskan menjadi Bhikkhu di Semarang oleh H.E.Somdach Choun Nath Mahatthera dari Kamboja dengan nama Jinaputta.

101 para pemuda yang diwaktu siang hari tidak mempunyai waktu untuk belajar. Dalam waktu satu tahun Tangerang English School mengalami perkembangan yang pesat, karena murid-muridnya bertambah banyak akhirnya Tangerang English School pindah dari Jalan Tengah ke Jalan Petak Sembilan (sekarang Jalan Saham). Perkembangan yang pesat dari Tangerang English School menjadi beban berat bagi Tiong Hoa Hak Tong (Sekolah Tiong Hoa Hwe Koan), banyak murid-murid Tionghoa Hwe Koan yang pindah ke Tangerang English School dan mengakibatkan pendapatan sekolah Tionghoa Hwe Koan menurun. Ong Tiang Biauw selaku pimpinan Tangerang English School yang lahir dan dibesarkan di Tangerang tidak ingin melihat sekolah Tionghoa Hwe Koan mengalami keruntuhan dengan berjiwa besar, Ong Tiang Biauw akhirnya dengan mengorbankan penghasilannya menutup Tangerang English School dan mengajak seluruh murid-murid dari sekolahnya dari empat kelas agar kembali ke Sekolah Tionghoa Hwe Koan. Dalam pertemuannya dengan pengurus Tionghoa Hwe Koan Tangerang, Ong Tiang Biauw berjanji pada pengurus Tionghoa Hwe Koan dalam jangka dua tahun ia akan berada di Tiong Hoa Hak Tong dengan dibantu oleh seorang Guru Besar Mr.Liem Yauw Tiang,.M.A. untuk mengajar bahasa Han Yi (Mandarin) dan Inggris. Pada tahun 1925 Ong Tiang Biauw memenuhi janjinya dan keluar dari Sekolah Tionghoa Hwe Koan Tangerang. Ong Tiang Biauw akhirnya pergi ke

102

Batavia (sekarang Jakarta) dan membangun69 Batavia English School di Batavia.70 Pada tahun 1930-an Sekolah Tiong Hoa Hwe Koan, kembali mendapat tantangan berat dengan berdirinya Gedung Sekolah Christelijike Hollandch Chineesche School, Sekolah berbahasa Belanda dan agama Kristen. Kehadiran sekolah itu membuat masyarakat Tionghoa di Tangerang sebagian besar memasukkan anak-anaknya ke sekolah berrbahasa Belanda. Pada tahun 1939 Pengurus Tiong Hoa Hwe Koan Tangerang menyerahkan kembali mandatnya kepada Tiong Hoa Hwe Koan Pusat di Batavia (Jakarta), karena kondisi keuangan yang mengalami defisit dan tidak bisa membayar gaji guru sedangkan pendapatan dari uang sekolah tidak mencukupi, sehingga harus ditutup, setelah pertemuan dengan pengurus pusat Tiong Hoa Hwe Koan, maka disepakati bahwa Tiong Hoa Hak Tong harus tetap berjalan, namun sekolah ini terus mengalami kemunduran karena kekurangan anak-anak yang masuk ke sekolah Tiong Hoa Hwe Koan.

69Batavia English School yang didirkan tahun 1931 oleh Ong Tiang Biauw, pernah ditutup pada zaman penjajahan Jepang, kemudian dibuka kembali dengan nama Sin Hwa English School tahun 1945 dan terakhir menjadi Sekolah Sariputra pada tahun 1955 di jakarta. Ong Tiang Biauw menjadi orang pertama yang mendirikan Sekolah Buddha Pertama di Indonesia yakni Sekolah Sari Putra. 70Oey Hok Tjay, Catatan-catatan Sejarah Masyarakat Tionghoa Tangerang di Zaman Dahulu dan Sekarang. Tangerang, 1981,h.21

BAB III KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP AGAMA KHONGHUCU Dalam bab ini, penulis memaparkan kebijakan Pemerintah Indonesia untuk setiap masa yang berbeda, di Masa Orde Lama adanya Agama Khonghucu mendapat pengakuan resmi dan perlindungan dari pemerintah. Di Masa Orde Baru Agama Khonghucu dilarang oleh pemerintah melalui Inpres No.14 tahun 1967 yang membatasi seluruh kegiatan peribadatan. Penulis juga memaparkan tahapan-tahapan untuk menghilangkan Agama Khonghucu di Indonesia. Pada masa Reformasi, Agama Khonghucu mendapatkan pengakuan kembali yang ditandai dengan dicabutnya Inpres No.14 tahun 1967 dengan diterbitkannya Keppres No.6 tahun 2000. Upaya-upaya untuk memulihkan Agama Khonghucu dan dampak dicabutnya Inpres No.14 Tahun 1967 bagi Umat Khonghucu. A. Masa Orde Lama Keberadaan orang Tionghoa di Indonesia yang menganut nilai-nilai tradisi ajaran Agama Khonghucu mengalami sejarah panjang, proses asimilasi dan akulturasi dengan nilai-nilai budaya dan tradisi ajaran Agama Khonghucu. Meski Agama Khonghucu termasuk minoritas namun kebebasan menjalankan ibadah dan kepercayaannya mendapat jaminan dari negara, satu hari sejak pernyataan kemerdekaan Republik Indonesia, Undang-undang

103

104

Dasar 1945 disahkan, Sila Pertama dari Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa yang dimanisfestasikan dalam pasal 29 ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945 yang menjadi sumber hukum negara tertinggi. Di bawah pemerintahan Presiden Soekarno, Agama Khonghucu menikmati kebebasan menjalankan dan mengembangkan Agama Khonghucu mendapat pengakuan dan perlindungan dari negara sebagai manifestasi dari UUD 1945. Satu tahun setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya 17 Agustus 1945, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan kebijakan terhadap hari raya keagamaan yaitu Penetapan Pemerintah RI No.2/OEM-1946 Tentang Hari Raya. Pasal 1 Hari Raya Umum 1. Tahun Baru, 1 Januari 2. Hari Proklamasi Kemerde- kaan 17 Agustus Pasal 2 Hari Raya Islam 1. Tahun Baru Islam, 1 Muharram 2. Asyura 3. Hidiah K Nabi Muhammad S.A.W 4. Garebeg Maulud 5. Mi’radj K Nabi Muhammad S.A.W 6. 1 Ramadan 7. Idul Fitri (1,2 Syawal) 8. Idul Adha (Gerebeg Besar) Pasal 3 Hari Raya Kristen 1. Wafat K.Nabi Isa (Hari Djumat Besar) 2. Hari Bangun K.N.Isa (Hari Pasen) 3. Mi’rad K.Nabi Isa

105

4. Plaskteren 5. Hari Natal Isa al Masih Pasal 4 Hari Raya Tionghoa 1. Tahun Baru (Imlek) 2. Wafat Nabi Khonghucu 3. Ceng Beng 4. Hari lahir Nabi Khonghucu Pasal 5 Pada Hari Raya Umum, Islam dan Kristen maka semua kantor pemerintah ditutup, kecuali kantor-kantor pejabat penting yang menurut pendapat kepalanya harus dibuka sehari atau setengah hari. Pada hari raya Tionghoa maka semua kantor pemerintah dibuka setengah hari, kecuali kantor-kantor pejabat penting yang menurut pendapat kepalanya harus dibuka sehari, sedang pegawai bangsa Tionghoa tidak diwajibkan masuk kantor. Pasal 6 Aturan khusus. (Penetapan tanggal hari raya pada tahun ybs). Pasal 7 Untuk seterusnya, buat tiap-tiap tahun, Hari Raya tersebut di atas ditetapkan oleh Menteri Agama. Pasal 8 Aturan tambahan: Aturan ini mulai berlaku pada hari diumumkan.

Demikian sejarah mencatat peristiwa Penetapan Pemerintah yang diumumkan pada tanggal 18 Juni 1946 ditetapkan di Yogyakarta, ditanda tangani oleh Presiden Republik Indonesia, Menteri Agama H.Rasjidi dan diumumkan oleh Sekretaris Negara A.G. Pringgodigdo sebagai bukti nyata akan keberadaan Agama Khonghucu di Indonesia. Pada tanggal 27 Januari 1965 Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan / Atau

106

Penodaan Agama.1 Dalam penjelasan Penpres RI No.1 Tahun 1965 dibagian umum alasan dikeluarkannya Penetapan Presiden RI ini, bahwa akhir-akhir ini hampir di seluruh Indonesia tidak sedikit timbul aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebathinan/ kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum agama. Di antara ajaran-ajaran/peraturan-peraturan pemeluk aliran tersebut sudah banyak menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama. Dari kenyataan teranglah, bahwa aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan yang menyalahguna- kan dan mempergunakan agama sebagai pokok, pada akhir-akhir ini bertambah banyak telah sangat membahayakan agama-agama yang sudah ada. Untuk mencegah hal diatas yang dapat membahayakan persatuan bangsa dan negara maka dalam rangka kewaspadaan nasional dan dalam demokrasi terpimpin dianggap perlu dikeluarkan Penetapan Presiden sebagai realisasi Dekrit Presiden tanggal 5 Juli yang merupakan salah satu jalan untuk meyalurkan ketatanegaraan dan keagamaan, agar oleh segenap rakyat di seluruh wilayah Indonesia dapat menikmati ketentraman beragama dan jaminan untuk menunaikan ibadah menurut agamanya masing-masing. Dalam penjelasan pasal 1 dijelaskan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah

1Kompilasi Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Hidup Umat Beragama (Jakarta, Badan Litbang dan Diklat Dapartemen Agama RI,2006), h.97.

107

Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khonghucu. Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Karena 6 agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan pasal 29 ayat 2 Undang- undang Dasar juga mereka mendapat bantuan dan perlindungan. Penetapan Presiden Republik Indonesia No.1 Tahun 1965 sampai saat ini masih berlaku. Dalam surat balasannya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No.356/PAN.MK/XII/2005 kepada Ws.Budi Tanuwibowo, Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) tertanggal 28 Desember 2005 memberikan penjelasan bahwa Undang-undang No.1/PNPS/1965 jo UU No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2727) masih berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat.2 Pada tanggal 13 sampai dengan 15 Desember 1965 Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan menyelenggarakan Seminar Pentavipan Kurikulum Pendidikan Agama pada Perguruan Tinggi yang diwakili komisi Agama Islam, Komisi Agama Katolik, Komisi Agama Kristen Protestan, Komisi Agama Hindu, Buddha dan Khonghucu. Hasil seminar ini dapat

2Kompilasi Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Hidup Umat Beragama, h.213.

108 mengembangkan satuan kurikulum untuk memberikan mata pelajaran Pendidikan Agama di perguruan tinggi. Keseluruhan hasil seminar dari semua komisi agama menghasilkan sebuah ketetapan yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan No.282 Tahun 1965 tentang Pendidikan Agama pada Perguruan Tinggi, ditetapkan di Jakarta pada tanggal 15 Desember 1965 dan ditanda tangani oleh dr.Sjarif Thajeb selaku Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan. Dengan demikian bahwa kedudukan Agama Khonghucu pada awal kemerdekaan Republik Indonesia atau Masa Pemerintah Orde Lama tidaklah dipermasalahkan bahkan kedudukannya sebagai agama yang dipeluk penduduk Indonesia mendapat bantuan dan dilindungi, yang dikukuhkan dalam Penetapan Presiden No.1 Tahun 1965 oleh Presden Republik Indonesia Sukarno. B. Masa Orde Baru Pada masa Pemerintahan Presiden Sukarno, Agama Khonghucu tumbuh dan berkembang dengan wajar, tanpa ada yang mempermasalahkannya. Tragedi G.30S/PKI yang melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap sejumlah perwira tinggi militer ikut mengakhiri pemerintah Orde Lama. Dalam situasi yang tidak terkendali pemerintah orde lama terpaksa menyerahkan kekuasaan penuh kepada kekuatan baru yang dikemudian hari dikenal Orde Baru.

109

Perkembangan dinamika politik di Indonesia, pasca Gerakan 30 September 1965 dan mengawali berdirinya pemerintahan Orde Baru. Pada masa itu pertentangan politik dikalangan Tionghoa Indonesia yang melahirkan dua kubu kekuatan yakni kubu asimilasi dan kubu integrasi. Kubu asimilasi menghendaki etinis Tionghoa mengasimilasikan dirinya secara total ke dalam suku-suku yang ada di Indonesia dengan meninggalkan budaya dan tradisi Tionghoa. Kubu asimilasi yang lahir saat diselenggarakan Seminar Kesadaran Nasional Pada tanggal 13-15 Januari 1961 di Bandungan (Ambarawa) yang menghasilkan Piagam Asimilasi. Kubu asimilasi yang dimotori antara lain Ong Hok Ham, Lauw Chuan Tho, Kwik Hway Gwan. Menurut Ong Hok Ham, satu-satunya jalan agar minoritas peranakan meninggalkan kedudukannya sebagai minoritas dan menjadi loyal kepada negara adalah dengan melakukan asimilasi atau melakukan peleburan seratus persen menjadi orang-orang Indonesia asli. Ia juga berpendapat kalau orang-orang Tionghoa masih tetap mempertahankan cara-cara hidup mereka sendiri seperti tradisi-tradisi “imlek” dan adat istiadat lainnya, dalam keadaan biasa mungkin konflik-konflik dengan golongan minoritas dapat dihindarkan. Tapi, bila timbul keadaan krisis, entah krisis

110 ekonomi, politik, atau lain-lain maka konflik-konflik akan timbul. Diskriminasi juga tak akan dapat dihilangkan sama sekali.3 Kubu asimilasi berhasil memainkan peran dari fungsi sosial politik di pemerintahan Orde Baru. Kubu asimilasi bertindak sebagai penasihat yang memberikan sumbang saran mengenai orang Tionghoa kepada pemerintah melalui sejumlah seminar, diskusi maupun penelitian. Pada tanggal 6 Desember 1967, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Dalam instruksi tersebut ditetapkan bahwa seluruh ritual agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Menurut M.Ikhsan Tanggok, “Pemerintah Orde Baru pada masa itu, mengasumsikan semua budaya Cina dan agama tradisional Cina dianggap dapat menjembatani masuknya paham Komunis dari Cina dan mengekalkan faham komunis yang sudah terlanjur masuk ke Indonesia pada masa itu. Adat istiadat Cina itu dapat berupa barongsai, naga atau liong dan lain-laninya. Tidak hanya itu, mereka yang ingin mendirikan rumah ibadah (klenteng) juga tidak diperbolehkan, yang diperbolehkan hanya memperbaiki, mengecat, atau memelihara klenteng. Istilah klenteng yang menunjukkan

3 Benny G.Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik (Jakarta : TransMedia,2008), h.740.

111 tempat ibadah orang Cina tidak lagi boleh digunakan dan diganti dengan Wihara (tempat ibadah umat Buddha).”4 Instruksi Presiden ini bertujuan melikuidasi pengaruh seluruh kebudayaan Tionghoa termasuk kepercayaan, tradisi, adat isiadat dan agamanya dan mendorong terjadinya asilimasi secara total sesuai dengan yang dicita-citakan Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB). Kristoforus Sindhunatha alias Ong Tjong Hay, mengaku secara gamblang bahwa ia yang mengusulkan kepada Presiden Soeharto agar seluruh tradisi, adat istiadat, kepercayaan dan agama etnis Tionghoa dilarang secara total. Dengan dikeluarkannya Inpres No.14/1967 seluruh perayaan tradisi dan keagamaan etnis Tionghoa termasuk Imlek, Capgomeh, Pehcun dan sebagainya dilarang dirayakan secara terbuka. Demikian juga tari- tarian barongsai (tarian singa) dan lang liong (tarian naga) dilarang dipertunjukkan.5 Pemerintah yang mendukung kelompok asimilasi cenderung secara sepihak hanya mendengarkan masukan-masukan dari kelompok asimilasi yang anti terhadap Agama Khonghucu namun tidak mengundang atau mendengarkan masukan-masukan yang datang dari kalangan rohaniwan atau tokoh-tokoh Agama Khonghucu. M.F. Liem Hok Liong (M.F. Basuki Soedjatmiko), yang

4M.Ikhsan Tanggok,”Di Era Orde Baru, Budaya Cina Berbau Komunis,” artikel diakses pada 4 -11-2018 darihttps://www.uinjkt.ac.id/id/di-era-orde- baru-budaya-cina-berbau-komunis 5Benny G.Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik, h. 1008.

112 beragama Katolik dan kepala seksi Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB) Jawa Timur, dalam artikelnya di mingguan Liberty Surabaya menyerang praktek-praktek orang Tionghoa Indonesia mengenai pemujaan leluhur dan menantang ajaran Khonghucu untuk digambarkan sebagai agama. Berkaitan dengan pernyataan komandan militer Jawa Timur mengenai kelenteng-kelenteng Tionghoa, Liem menyarankan agar semua kelenteng orang Tionghoa menghapuskan semua tanda-tanda “kebudayaan asing” dari bangunannya dan pemujaan dalam kelenteng tersebut hanya dibatasi pada Buddhisme saja. Ia juga menyarankan agar pemerintah tidak lagi mengakui ajaran Khonghucu sebagai suatu agama.6 Kebijakan Pemerintah Orde Baru dengan mengeluarkan Inpres No.14 Tahun 1967 dijadikan landasan bagi negara untuk melegitimasi menerapkan pelakuan diskriminatif dan rasial terhadap orang Tionghoa Indonesia khususnya umat Khonghucu. Untuk menghilangkan keberadaan Agama Khonghucu pemerintah Orde Baru melakukannya secara sistematis, dalam hal melalui sejumlah kebijakan politik pemerintah Orde Baru. Tahap Koversi Agama Meski pembatasan tersebut sebenarnya bertentangan dengan hak asasi manusia, Pancasila, Undang-undang Dasar 1945

6 Charles A Coppel. Tionghoa Indonesia dalam Krisis. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994),h.208.

113 dan Undang-undang No.1/PNPS/1965, namun kemudian melahirkan banyak peraturan yang semakin memasung kehidupan beragama, khususnya umat beragama Khonghucu. Pembatasan itu mencapai puncaknya dengan dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri, Nomor 477/74054, 18 Nopember 1978, perihal: “Petunjuk Pengisian Kolom Agama pada lampiran S.K. MENDAGRI Nomor 221a Tahun 1975. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri ini, mengundang kontroversi tentang agama resmi pemerintah Orde Baru. Kutipan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri, Nomor 477/74054 :

Berdasarkan Ketetapan MPR No.IV/MPR/1978, tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, dan sesuai dengan Instruksi Menteri Agama No.4 Tahun 1978 jelas dinyatakan bahwa aliran kepercayaan adalah bukan agama. Agama yang diakui oleh pemerintah ialah: Islam, Katolik, Kristen/Prostestan, Hindu dan Buddha. Dan memperhatikan juga hasil Sidang Kabinet Terbatas Bidang Polkam tanggal 27 September 1978 No.K-212/SetNeg/10/78 maka perlu dikeluarkan petunjuk pengisian kolom “agama” pada lampiran formulir Keputusan Menteri Dalam Negeri No.221a Tahun 1975. Untuk itu...... maka bagi yang tidak menganut salah satu dari kelima Agama yang resmi diakui oleh pemerintah seperti antara lain penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lain- lain maka pada kolom Agama pada formulir dimaksud diisi dengan tanda garis pendek mendatar (-). Dengan keluarnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri ini, maka posisi umat Khonghucu diturunkan sebagai aliran kepercayaan dalam kehidupan beragama di Indonesia. Menurut

114

M.Ikhsan Tanggok, “Meski dikatakan sebagai aliran kepercayaan namun Agama Khonghucu tidak di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan maupun Departemen Agama melainkan Agama Khonghucu dibawah pengawasan BAKIN.”7 . Sejak keluarnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 477/74054, 18 Nopember 1978, maka sejak saat itu status Agama Khonghucu menjadi tidak jelas di pemerintahan Indonesia khususnya dalam hukum Indonesia, maka banyak penganut Agama Khonghucu pindah ke agama lain seperti Kristen, Katolik, dan Buddha. Sebelum keluarnya surat edaran menteri dalam negeri, Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) dalam suratnya No.2065/MAT/XI/78 tertanggal 07 Nopember 1978 dikeluarkan di Solo yang ditujukan kepada Badan Pengurus MAKIN, Kelenteng dan Lembaga Agama Khonghucu di Indonesia menyatakan bahwa umat Khonghucu dalam pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP) petugas-petugas kelurahan memaksakan umat beragama Khonghucu memilih agama lain (diantara lima agama) sebagai agamanya dan siswa-siswa yang beragama Khonghucu dipaksa oleh beberapa peraturan diharuskan untuk mengikuti pelajaran agama lain yang bukan menjadi agama keyakinannya di sekolah-sekolah. Dalam seruanya MATAKIN

7Hasyim Ashari, ”Drs.M.Ikhsan Tanggok; Sosok dan Kiprahnya : Khonghucu, Korban Dominasi Kekuasaan Pemerintah,” Pontianak Post, Minggu, 29 April 2001.

115 meminta Badan Pengurus MAKIN, Kelenteng dan Lembaga Agama Khonghucu untuk membantu dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi umat Khonghucu. Surat ini juga ditembuskan kepada Presiden, Menteri, BAKIN, DPR hingga pemerintah daerah. MATAKIN sebagai lembaga keagamaan Khonghucu di Indonesia berjuang terus menerus untuk mengembalikan hak-hak umat Khonghucu yang “di rampas” yang bertentangan dengan hak asasi manusia. Status Khonghucu sebagai suatu agama yang menimbulkan polemik di masyarakat akhirnya dipertegas kembali oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat mengeluarkan surat dengan No surat 764/MENKO/KESRA/X/1983 yang ditanda tangani H.Alamsjah Ratu Prawiranegara ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri dengan merujuk surat No.450/3718/Sospol tanggal 9 September 1983 perihal pada pokok surat sehubungan dengan surat MATAKIN tanggal 9 Agustus 1983 Nomor 087/MTK/VII/1983, dengan ini kami menyampaikan, pokok-pokok kebijaksanaan yang selama ini menjadi pedoman kita yaitu: 1. Pengarahan Presiden Republik Indonesia: a. dalam sidang kabinet tanggal 27 Januari 1979 beliau telah menginstruksikan antara lain ialah bahwa aliran Khong Hu Cu bukanlah agama, tetapi dapat terus dipeluk oleh penganutnya asal tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 serta tidak bertentangan dengan usaha-usaha Pemerintah dalam mempersatukan bangsa. b. Selanjutnya dalam rangka pemecahan sementara sebelum adanya perubahan UU No.1/PNPS/1965, Bapak Presiden

116

pada tanggal 21 Februari 1979 telah memberikan petunjuk bahwa pemeluk-pemeluk Khong Hu Cu diserahkan pengurusannya kepada Direktorat Jenderal Hindu dan Budha Departemen Agama dalam rangka penggintegrasiannya dalam Tridharma sebagai sekte agama Budha. 2. Dalam surat Menteri Agama tanggal 22 September 1980 Nomor MA/608/1980 kepada Menteri Kehakiman, perihal masalah Khong Hu Cu dalam hubugannya dengan RUU Perubahan UU No.1/PNPS/1965, antara lain dikemukakan: a. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Badan LITBANG Departemen Agama dan BAKIN ternyata Khong Hu Cu tidak mengajarkan tentang Tuhan dan tentang peristiwa sesudah mati. Hasil penelitian ini ditunjang oleh pendapat-pendapat para ahli DS.Pouw Peng Hong, Kwe Tek Hoay, Helmer Ringgren, Ake V Storm dan H.Kreamer) yang pendapat- pendapatnya dapat disimpulkan; bahwa ajaran Khong Hu Cu adalah suatu ajaran filsafat hidup, bukan suatu agama. Penyebutan Khong Hu Cu dalam memori penjelasan UU Nomor 1/PNPS/1965 tidak berarti bahwa undang-undang mengakui Khong Hu Cu sebagai agama. b. BKMC-BAKIN (dalam memonya tanggal 17 Nopember 1973 Nomor: M.C35/XI/1973 kepada Menteri Agama RI) menjelaskan bahwa ajaran Khong Hu Cu bukanlah suatu Agama, karena tidak mengenal “afterlife”, tidak mengenal nabi dan kitab suci. 3. BKMC-BAKIN (dalam suratnya tanggal 26 Januari 1981 Nomor R-004/I/1981 BKMC kepada Bapak MENKO KESRA perihal organisasi-organisasi kerokhanian sebagai Badan keagamaan dan Badan Hukum) menyatakan pada pokoknya bahwa Khong Hu Cu dimanapun selalau dianggap sebagai falsafah hidup.

Dalam surat keputusan tersebut terlihat jelas pemerintah Orde Baru dan kelompok asimilasi memang ingin menghilangkan Agama Khonghucu. Hal itu terlihat bahwa BAKIN (Badan Intelijen

117

Negara) meneliti Agama Khonghucu, padahal agama menyangkut iman dan keyakinan umat yang memeluknya dan yang sebut pendapat ahli justru bukan penganut agama Khonghucu dan pemerintah tidak pernah meminta pendapat ahli dari Agama Khonghucu. Pemerintah Orde Baru memaksa umat Khonghucu agar diintegrasikan ke dalam sekte Buddha Tridharma, padahal Agama Khonghucu bukan bagian dari sekte Buddha Tridharma. Sejak adanya Instruksi Presiden Soeharto sesuai sidang kabinet pada 27 Januari 1979 yang menyatakan bahwa agama Khonghucu bukan agama turut memperkuat keputusan-keputusan pemerintah Orde Baru sebelumnya terhadap kebijakann Agama Khonghucu. Kebijakan tersebut berdampak terhadap beberapa hal antara lain : 1. Pencatatan Administrasi Hilangnya kolom Agama Khonghucu di Kartu Tanda Penduduk, umat Khonghucu harus memilih satu dari lima agama yang diakui oleh pemerintah. Diberlakukannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Bab I Pasal 2 ayat 1 “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Dalam penjelasan pasal demi pasal dijelaskan tentang pasal 2, “Dengan perumusan pada pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan

118 kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan-nya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.”

Surat Keterangan Penduduk tahun 1971-1974 dikeluarkan Pemda Kotamadya Tanjung Karang Teluk Betung mencantumkan Agama Khonghucu

Terkait dengan agama yang ada di Indonesia, UU No.1/1974 telah dijabarkan dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.477/74054 tanggal 18 Nopember 1978 jo instruksi No.477/74054 tanggal 18 Nopember 1978 jo Instruksi Menteri Agama No.4/1978 yang membatasi hanya 5 (lima) agama yang diakui oleh pemerintah (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha). Perkawinan harus melalui lembaga keagamaan sebelum disahkan oleh Kantor Catatan Sipil berdasarkan Undang-undang Perkawinan tahun 1974. Hal ini menimbulkan terjadinya konversi agama sejak pemerintah memberlakukan undang-undang

119 perkawinan tahun 1974. Perkawinan dianggap sah di hukum Indonesia, apabila melangsungkan perkawinan yang dikukuh oleh masing-masing pemuka agama dari salah satu diantara lima agama tersebut. Tentu hal ini membuat umat Khonghucu tidak memiliki pilihan untuk mendapatkan akte perkawinan yang diterbitkan kantor catatan sipil, mereka harus “berteduh” untuk berpindah ke agama lain atau tetap melangsungkan perkawinan di Lithang yang dikukuhkan pemuka agama Khonghucu dengan konsekuensi tidak mendapatkan akte perkawinan dan mendapatkan anak-anak yang lahir dengan catatan anak diluar nikah pada akte kelahiran anak. 2. Kurikulum Pendidikan Nasional 1975

Di bidang pendidikan pemerintah mengeluarkan Kurikulum Pendidikan Nasional 1975 yang menghapuskan mata pelajaran agama Khonghucu di setiap jenjang pendidikan. Kebijakan ini mengakibatkan murid-murid yang beragama Khonghucu dipaksa mengikuti mata pelajaran agama lain sesuai tuntutan kurikulum Pendidikan 1975.

120

Buku Pelajaran Agama Khonghucu untuk tingkat SLA Cetakan Pertama tahun 1975 disusun Hs.Tjhie Tjay Ing

Mata pelajaran Agama Khonghucu tidak diajarkan hal ini didasarkan oleh keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah No.03a/c/I/Kep/78 tanggal 17 April 1978 : “3. Pelaksanaan Pendidikan Agama Program pendidikan agama yang diberikan kepada murid harus sesuai dengan agama yang dipeluk oleh murid yang bersangkutan, dan agama tersebut adalah salah satu dari lima agama yang tercantum dalam kurikulum 1975.”8

Padahal kurikulum sebelumnya Pendidikan Agama Khonghucu masih terus diajarkan sampai keluarnya keputusan pemerintah tentang pelaksanaan kurikulum pendidikan tahun 1975. Murid-murid yang beragama Khonghucu dipaksa untuk

8Sardjono Sigit, Asimilasi Pendidikan Pokok-Pokok Riwayat dan Permasalahannya (Jakarta, Departemen Pendidikan & Kebudayaan Direktorat Sekolah Swasta Ditjen Dikdasmen Bagian Proyek Pembinaan Sekolah Swasta Pembauran,1983), h.210.

121 mengikuti pendidikan agama lain yang harus mereka pilih berdasarkan kebijakan pemerintah yang hanya mengakui lima agama tersebut. Dalam beberapa kasus setiap daerah berbeda, di Kabupaten Kepulauan Riau (sekarang Propinsi Kepulauan Riau) yang dominan etnik Tionghoa sebagian besar menganut Agama Khonghucu, beberapa siswa atau orang tua siswa memilih dari lima agama yang ajukan kepada siswa yang bersangkutan namun terbatasnya guru Agama Buddha. Ijazah yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1984 tidak mencantumkan nilai Pendidikan Agama. Sementara di Tangerang siswa atau orang tua siswa lebih memilih Agama Islam sebagai Pendidikan Agama baik pada saat pembelajaran maupun saat EBTA SD tahun 1988 salah satu siswa bernama Wulansari, hal ini bisa saja terjadi karena pemerintah dalam hal ini Dirjen Bimas Agama Hindu dan Buddha belum siap sepenuhnya untuk mengisi kekosongan untuk menggantikan guru Agama Khonghucu. Kebanyakan etnik Tionghoa sejak Agama Khonghucu ditiadakan secara hukum di Indonesia, mereka lebih banyak memilih Agama Buddha untuk dicantumkan di KTP (Kartu Penduduk). Menurut Oka Diputhera, ”Tahun 1967 Agama Buddha mulai diajarkan di sekolah dan Perguruan Tinggi. Guru-guru Agama Buddha dalam tahun 1967 sangat langka, waktu itu belum ada Pendidikan Guru Agama Buddha. Guru-guru Agama Buddha waktu

122 itu adalah guru-guru Agama Buddha yang bermodalkan kemauan keras membaja untuk mengabdi dengan modal pengetahuan Agama Buddha yang sangat minim”.9 Hal itu juga dinyatakan Ibu U.P. Suktadharmi, “Guru Agama Buddha sangat langka, Beliau diajak oleh Drs.Oka Diputhera mengikuti kursus kilat Agama Buddha yang diselenggarakan Departemen Agama di bekas Sekolah Pahoa (SMAN 19) untuk dipersiapkan menjadi guru Agama Buddha volunteer.”10 Dalam kurikulum 1975, Pelajaran Agama merupakan mata pelajaran wajib diikuti semua siswa baik di sekolah negeri maupun swasta. Hilangnya Pelajaran Agama Khonghucu di sekolah, dengan sendirinya para siswa dipaksa untuk mengambil dan mengikuti keyakinan agama lain yang berbeda dari agama yang dianut mereka berdasarkan kebijakan pemerintah menyediakan lima agama yang diakui yang berada dibawah Bimas Agama Buddha di Departemen Agama. Apabila siswa tidak mengikuti pelajaran agama bisa berakibat siswa itu dinyatakan tidak naik kelas maupun lulus sekolah di tingkat akhir. Kebanyakan siswa atau orang tua murid memilih Agama Buddha, namun Pelajaran Agama Buddha yang diajarkan guru

9Diputhera, Agama Buddha Bangkit, h.305. 10Fadly Lie On Fat, Jejak Langkah Ibu U.P. Suktadharmi Setitik Embun, Seberkas Cahaya, Menerangi Jalan Biografi dan Sharing Dharma (Jakarta : Komunitas Mantan Murid Ibu U.P. Suktadharmi & Prajna Indra Production, 2007), h.45.

123 kepada para siswa berbeda dengan tradisi ajaran Agama Khonghucu. Pada umumnya Pelajaran Agama Buddha yang diajarkan di sekolah berasal dari Agama Buddha (Theravada) yang memiliki doktrin yang berbeda yang dipahami oleh orang tua siswa maupun para siswa. Ada kalanya guru atau sekolah mewajibkan siswa untuk mengikuti kebaktian agama di vihara dengan alasan siswa atau orang tua KTP nya beragama Buddha. Selain itu orang tua murid juga banyak memasukkan anak-anak mereka di sekolah swasta Kristen atau Katolik, untuk mendapatkan insentif nilai, siswa mengikuti kegiatan keagamaan di gereja, sementara orang tua siswa tidak punya pilihan untuk melarangnya. Berbeda dengan siswa yang mengambil mata pelajaran Agama Islam, kebanyakan ada di sekolah negeri, para siswa tidak diwajibkan untuk mengikuti praktik keagamaan seperti shalat lima waktu (sembahyang), puasa, mereka hanya menerima pembelajaran agama saja. Konversi agama pada generasi yang akan datang mulai terjadi hal itu disebabkan banyak dari mereka memiliki ketertarikan terhadap agama yang baru mereka kenal. Tahap Penghilangan Warisan Fisik Dalam beberapa tahun kemudian sejumlah kelenteng akhirnya harus bersalin rupa seperti yang diungkapkan Claudine Salmon dan Denys Lombard yang berkunjung ke Jakarta tahun 1978, “Keadaan krisis hebat ini terpantul juga pada klenteng- klenteng yang terbuka bagi semua orang. Di mana-mana tulisan

124 aksara Tionghoa dihapus, papan-papan nama ditanggalkan dan disimpan dalam gedung, naskah yang dipahat pada batu ditutup dengan kertas. Di sebelah luar, papan tempat nama klenteng tertera dalam bahasa Tionghoa, secara sistematis diganti papan baru dengan tulisan aksara Latin yang kuning di atas dasar hitam. Adapun nama-nama baru, yang bunyinya terasa agak aneh dan berbau Sansekerta. Nama seperti ini kiranya diberi oleh suatu lembaga baru pula, yakni Dewan Wihara Indonesia (disingkat DEWI) atau persatuan bihara-bihara, dengan menitikberatkan sifat Buddhis klenteng-klenteng tersebut.” 11 Oka Diputhera dalam kesaksiannya menyatakan bahwa, “Demonstrasi di depan Kedutaan Besar RRT makin hari semakin marak karena RRT dianggap menjadi dalang dibelakang G.30 S.PKI. Kemudian terbetik kabar, bahwa KAMI dan KPI akan menyerbu dan menduduki klenteng. Oka Diputhera bersama-sama dengan Kolonel Suraji Arya Kertawijaya segera bertindak. Kami menghadap Pembantu Utama Menteri Agama Bapak I Bagus Putu Mastra. Kami disarankan untuk segera mengadakan pertemuan dengan pengurus klenteng dan vihara untuk menyelamatkan klenteng di Jakarta. Kami mengadakan rapat pengurus klenteng dan pengurus vihara. Dalam rapat tersebut berhasil dibentuk Dewan Vihara Indonesia (DEVI), yang menjadi Ketua Umum DEVI Kolonel Suradji Arya

11Cl.Salmon dan D.Lombard, Klenteng-klenteng dan Masyarakat Tionghoa di Jakarta (Jakarta, Yayasan Cipta Loka, edisi kedua 2003), h.9.

125

Kertawijaya, Oka Diputhera sebagai Sekretaris Umum dan Nasrung Lupollo sebagai Bendahara. Yang harus kami segera laksanakan adalah untuk mendatangi kelenteng-kelenteng untuk menurunkan papan nama klenteng yang beraksara Cina, mengganti papan nama tersebut dengan nama vihara dengan bahasa Indonesia atau Sanskerta. Misalnya klenteng Kim Tek Ie diganti dengan Vihara Avalokitesvara. Dan pengurus klenteng juga diminta untuk memasang pratima Buddha Sakyamuni dan juga memasang papan nama sebagai anggota DEVI.”12 Pada tahun 1988, pemerintah mengeluarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 455.2-360 tentang Penataan Klenteng. Dalam intruksi ini dijelaskan tentang klenteng.13 Klenteng adalah setiap tempat, bangunan yang terbuka bagi umum apapun sebutannya digunakan untuk peribadatan/pemujaan arwah leluhur menurut kepercayaan dan adat kebiasaan tradisional Cina yang biasanya dihiasi atau berisi hiasan simbol-simbol yang berasal dari falsafah dan kepercayaan tradisional rakyat Cina seperti naga, burung hong, kilin, macan, patkwa, patung-patung dewa, tokoh- tokoh bersejarah, orang-orang suci, tulisan-tulisan dalam aksara Cina dan lain-lain.

12Oka Diputhera, Otobiografi Oka Diputhera : Agama Buddha Bangkit (Jakarta : Arya Suryacandra Okaberseri, 2006), h.318. 13 Kompilasi Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Hidup Umat Beragama, h.159.

126

Sementara pada bagian kedua intruksi disebutkan bahwa Dalam rangka penataan Klenteng tidak memberikan izin untuk : a. Memperoleh hak atas tanah untuk pembangunan Klenteng dan atau perluasan Klenteng lama. b. Membangun dan atau mendirikan Klenteng baru. c. Memperluas bangunan dan atau menambah fasilitas bangunan Klenteng lama untuk berbagai keperluan baik langsung maupun tidak langsung yang berhubungan dengan Klenteng. d. Menggunakan tempat, bangunan, ruang dari suatu bangunan untuk Klenteng e. Merehabilitasi bangunan Klenteng lama kecuali sekedar untuk pemeliharaan.

Pemerintah Orde Baru menganggap Kelenteng merupakan benalu yang menghambat program asimilasi dan melalui berbagai cara yang ditempuh oleh pemerintah untuk menghilangkan atau mengubah kelenteng menjadi vihara. Hal ini dapat dilihat dari berbagai masukan kalangan intelijen dan pejabat pemerintah mengenal kelenteng. Menurut W.D.Sukisman, seorang sinalog yang bekerja bagi Badan Intelijen Negara, berpendapat wihara adalah tempat ibadat bagi penganut Agama Buddha, kelenteng untuk penganut Agama Khonghucu dan Tao. Kegiatan di kelenteng meliputi upacara pengambilan sumpah, menyelenggarakan upacara perkawinan, mengadakan upacara pengangkatan anak, dan tempat pertemuan organisasi untuk menjaga kebudayaan Tiongkok tradisional. Sukisman mengetahui bahwa Soeharto sudah lama ingin melarang

127 pemakaian kelenteng sebagai tempat pertemuan organisasi sosial tetapi tidak berhasil. Sementara pada tanggal 29 Februari 1984, WALUBI menyelenggarakan pertemuan untuk membahas “masalah” kelenteng. Oka Diphuthera Direktur Urusan Agama Hindu dan Buddha pada Departemen Agama, membahas rencana departemen untuk mengubah kelenteng menjadi wihara. Menurut Oka, ada tiga macam kelenteng. Pertama, wihara penuh jika di dalamnya ada patung Buddha/Bodhisatva, naga, atau dewa-dewa dalam kelenteng. Kedua, wihara adalah kelenteng yang memiliki unsur- unsur Buddhis. Ketiga, tempat ibadat tradisional Tionghoa, yaitu kelenteng yang tidak mempunyai unsur-unsur Buddhis, tetapi bisa menjadi Buddhis. Jenis ketigalah yang kemudian diminta untuk diubah menjadi wihara. Jenderal Sunarso, Kepala BKMC, tidak setuju dengan pendapat Oka. Pada rapat tanggal 17 Maret 1984, Sunarso menjelaskan bahwa kelenteng adalah tempat ibadat tradisional Tionghoa, bukan wihara. Dia menyatakan bahwa sekaranglah saat yang paling cocok untuk memisahkan kelenteng dari tempat-tempat ibadat Buddhis, dan membangun wihara yang “sejati” yang cocok dengan kebudayaan lokal. Sunarso ingin memisahkan Buddhisme dari kebudayaan Tionghoa dan dengan demikian meminggirkan Agama Buddha berciri Tionghoa. Pada Agustus 1984 WALUBI mengadakan kongres dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah agar kelenteng-kelenteng segera diubah menjadi wihara. Sam Kauw Hwee yang juga dikenal dengan

128 nama Tridharma menolak usulan itu. Meskipun demikian, pemerintah memutuskan untuk mengimplementasikan rencana itu. Beberapa kelenteng menolak diubah, tetapi sebagian besar tunduk. Pada 1990 Menteri Agama menerbitkan sebuah surat edaran, meminta agar para penganut Agama Buddha tidak merayakan hari- hari raya orang Tionghoa ataupun Tahun Baru Imlek di wihara karena tidak ada hubungannya dengan agama Buddha.14 Tahap Penghilangan Warisan non Fisik Pemerintah Orde Baru juga memasung kebebasan untuk menjalankan kegiatan Agama Khonghucu seperti Tahun Baru Imlek. Menteri Agama dalam tahun 1990 juga mengeluarkan surat edaran agar tidak merayakan Tahun Baru Imlek di vihara sementara kelenteng sebagai tempat ibadah Agama Khonghucu sudah dirubah menjadi vihara. Hal ini membingungkan umat, yang mereka ketahui tempat ini dari dulu adalah kelenteng dan bukan vihara, dan baru kali ini dilarang untuk beribadah. Umat Khonghucu terutama generasi penerusnya berangsur- angsur terdesak meninggalkan tradisi Tahun Baru Imlek karena kebijakan pemerintah yang mengakibatkan sebagian dari mereka beralih agama, meninggalkan tradisi lama sambil mengadopsi tradisi baru. Namun bagi mereka yang masih tetap mempertahankan tradisi lama mereka memilih Agama Buddha,

14Leo Suryadinata. Editor I.Wibowo dan Thung Jun Lan. Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998 (Jakarta : Buku Kompas, 2010), h.86.

129 karena beberapa sekte Agama Buddha memiliki hubungan pada tradisi Agama Khonghucu dengan menggunakan penanggalan Imlek. Menyambut Tahun Baru Imlek pada tanggal 23 Januari 1993 Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Departemen Agama, Drs.I Gusti Agung Gde Putra tanggal 11 Januari 1993 meminta kepada seluruh pimpinan/pengurus tempat ibadah Agama Budha di seluruh Indonesia agar tidak merayakan Tahun Baru Imlek yang jatuh pada tanggal 23 Januari ini di vihara. Hal itu, karena Tahun Baru Imlek, bukan termasuk salah satu Hari Raya Umat Buddha. Menyambut anjuran ini, Direktur Urusan Agama Buddha Departemen Agama Pusat, Drs.Budi Setiawan menyatakan, larangan tersebut didasarkan atas Instruksi Presiden No.14 tahun 1967 yang menyangkut agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina tersebut. Imlek termasuk dalam adat Cina, selain tidak boleh di Vihara, juga tidak boleh dilakukan secara mencolok. Menurut Dirjen, perayaan itu sesungguhnya berakar dari tradisi Cina dalam meyambut musim semi. Dan kultur itu sebenarnya dilarang dan tidak dibenarkan dihidup-hidupkan di sini. Begitu pula Agama Khonghucu. Tahun Baru Imlek memang bukan hari raya Agama Buddha, Dirjen Urusan Agama Buddha juga menghimbau WALUBI (Perwalian Umat Buddha Indonesia) agar tidak mengadakan kegiatan ritual keagamaan untuk menyambut Tahun Baru Imlek

130 tahun 1993. Kebijakan Dirjen tidak lain adalah untuk memurnikan ajaran Agama Buddha dari pengaruh-pengaruh tradisi Khonghucu yang mana banyak orang Tionghoa yang mengaku beragama Buddha namun belum sepenuhnya menjadi umat Buddha sejati. Orang Tionghoa yang mengaku beragama Buddha seharusnya memeriahkan Hari Raya Waisak, bukan memeriahkan Tahun Baru Imlek dan ini sangat bertentangan dengan Inpres No.14 Tahun 1967, usaha untuk melarang Tahun Baru Imlek sebenarnya sudah dilakukan tahun 1990 oleh Departemen Agama, namun larangann dalam tahun 1993 mulai menyentuh nilai-nilai ritual keagamaan. Tahun Baru Imlek merupakan hari raya suci agama Khonghucu, tidak bisa diingkari fakta bahwa Tahun Baru Imlek berasal dari teks-teks kitab suci Agama Khonghucu. Tahun Baru Imlek bukan Tahun Baru Tionghoa karena Tahun Baru Imlek juga dirayakan oleh masyarakat seperti Korea dan Vietnam yang mendapat pengaruh ajaran Agama Khonghucu pada masa Dinasti Han. Pada zaman dahulu untuk menunjukkan kekuasaannya, setiap dinasti menggunakan penanggalan yang berbeda. Perbedaan penanggalan adalah saat menentukan datangnya hari dan bulan pertama Cia Gwee atau awal Tahun Baru. Penetapan awal Tahun Baru memiliki peranan penting bagi rakyat jelata sebagai pedoman untuk memulai pekerjaan. Pada zaman dahulu, rakyat tidak memiliki catatan penanggalan, tidak seperti sekarang ini, mereka

131 menanti datangnya Tahun Baru dari petugas kerajaan yang memberitakan amanat-amanat kerajaan. Tiap tahun pada permulaan musim semi, para utusan yang membawa Muduo berkeliling sepanjang jalan dan berseru, ”Para pejabat, kamu wajib mampu langsung mempersiapkan petunjuk-petunjuk. Kamu para pekerja hendaklah segera menyiapkan peralatan untuk pekerjaan-pekerjaan. (Shu Jing III. Xia Shu II:3).15

Tahun Baru Imlek merupakan hari suci Agama Ru Jiao (Khonghucu), karena itu Tahun Baru Imlek tidak lepas dari adanya kegiatan persembahyangan sebagai sujud syukur kehadirat Shang Di Tuhan Yang Maha Agung dalam menyongsong datangnya musim semi untuk memulai pekerjaan dan mengharapkan berkah serta menggemilangkan kebajikan. Di dalam Kitab Suci Li Ji IVA bagian Yue Ling I sampai III diperintahkan untuk melakukan persembahyangan dan menaati larangan-larangan untuk menjaga keseimbangan alam dan mengamalkan kebajikan. Berikut beberapa kutipan Kitab Suci Li Ji IVA Yue Ling II dan III “Pada bulan ini, pada hari pertama. Tianzi melakukan doa kepada Shang Di untuk dikarunia tahun yang berlimpah; selanjutnya dipilih saat pagi pertama, Tianzi langsung membawa luku dan garu di dalam kereta ditempatkan di ruang antara tempat

15Kitab Suci Su King (Jakarta: Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama Republik Indonesia, 2015),h.60.

132 penumpang dan kusir memimpin ketiga pangeran...(Li Ji IV A Yue Ling II 1:13).”16

“Dikeluarkan larangan menebang pohon-pohonan (Li Ji IV A Yue Ling II 1:18).”17

“Jangan melempar jatuh sarang-sarang. Jangan dibunuh serangga yang berbentuk. Demikian pula hewan yang masih di dalam kandungan; makhluk yang masih muda; burung-burung yang baru belajar terbang; juga anak-anak rusa dan telur-telur ((Li Ji IV A Yue Ling II 1:19).”18

“Tianzi menggelar kebajikannya dan mengamalkan kemurahan hati. Diperintahkan kepada para petugas untuk membagikan apa-apa yang tersimpan di dalam gudang dan ruang bawah tanah untuk dianugerahkan kepada orang-orang miskin dan yang tidak punya kerabat untuk menutup dan kemiskinan...( Li Ji IV A Yue Ling III 3:9).”19

Umat Khonghucu melaksanakan Er Si Sheng An 二四升安 (Hari Persaudaraan) menyambut datang Tahun Baru Imlek yang merupakan perintah bagi mereka yang mampu secara ekonomi untuk memberikan santunan kepada kaum yang tidak mampu. Hal ini sesuai dengan teladan yang dilakukan Raja Suci Wen. Dalam Kitab Suci Mengzi bagian IB, 5 : 3 dikisahkan tentang kebajikan Raja Suci Wen didalam menjalankan pemerintahannya mengutamakan Cinta Kasih dan memerintahkan kepada segenap

16Kitab Suci Li Ji, Catatan Kesusilaan. (Jakarta: Pelita Kebajikan,2005),h.155. 17Kitab Suci Li Ji, Catatan Kesusilaan, h.156. 18Kitab Suci Li Ji, Catatan Kesusilaan, h.156. 19Kitab Suci Li Ji, Catatan Kesusilaan, h.161.

133 bawahan untuk memberikan perlindungan dan bantuan terhadap empat golongan. Raja Suci Wen ketika menjalankan pemerintahan, Beliau mengutamakan cinta kasih terhadap empat golongan yakni 1. Orang tua yang tidak beristri atau duda 2. Orang tua yang tidak bersuami atau janda 3. Orang tua yang tidak mempunyai anak atau sebatang kara 4. Anak yang tidak memiliki ayah atau yatim Mengapa Raja Suci Wen mengutamakan empat golongan di atas? Karena keempat golongan inilah orang-orang yang paling sengsara dan tidak ada tempat untuk meminta pertolongan dari sesamanya. Di dalam Shi Jing tertulis, “Masih bahagia orang yang kaya, namun sungguh menyedihkan nasib orang yang sebatang kara.” (Mengzi IB,5:3)20

“Kalender Imlek diciptakan Huang Di (2696-2598 SM) dan digunakan pertama kali oleh Dinasti Xia (2205-1766 SM). Awal tahun baru ditetapkan jatuh pada awal musim semi. Ketika Dinasti Xia jatuh diganti Dinasti Shang (1766-1122 SM), awal tahun baru dimajukan satu bulan bersamaan dengan akhir musim dingin. Ketika Dinasti Shang digantikan Dinasti Zhou (1122-255 SM), awal tahun baru dimajukan lagi sebulan, tepat pada puncak musim dingin. Nabi Kongzi hidup pada zaman Dinasti Zhou (551-479 SM). Suatu ketika Beliau menganjurkan agar Dinasti Zhou kembali menggunakan Kalender Xia, karena tahun barunya jatuh pada musim semi, sehingga cocok dijadikan pedoman bercocok tanam.

20 Si Shu, Kitab Yang Empat.(Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia,2016),h.385.

134

Namun nasihat ini baru dilaksanakan Kaisar Han Wu Di dari Dinasti Han (140-86 SM), pada tahun 104 SM. Sejak itu Kalender Xia, yang kini dikenal sebagai Kalender Imlek diterapkan kembali. Sebagai penghormatan kepada Nabi Kongzi, perhitungan tahun pertama Kalender Imlek ditetapkan oleh Kaisar Han Wu Di dihitung sejak kelahiran Nabi Kongzi, yaitu tahun 551 SM. Itulah sebabnya Kalender Imlek lebih awal 551 tahun ketimbang Kelender Masehi. Jika sekarang Kalender Masehi bertahunkan 2019 ditambah tahun kelahiran Nabi Kongzi 551 menghasilkan tahun 2570 Kongzi lek. Pada saat bersamaan Agama Khonghucu (Ru Jiao) ditetapkan sebagai agama negara”.21 Beberapa keputusan pemerintah pada masa Orde Baru baik di tingkat pusat maupun daerah turut memasung Agama Khonghucu akibat dari Inpres No.14 Tahun 1967. 1. Surat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah Propinsi Sulawesi Utara, Menado. No.721/B8/6-1977. Menado, 22-6-1977 Ditanda tangani Kepala Kantor Wilayah Dep P & K Propinsi Sulawesi Utara JPD.Takaendengan. Tentang Mata Pelajaran Agama Khonghucu. (Pendidikan agama di sekolah disesuaikan dengan Dirjen Pembinaan Agama, agama Khonghucu tidak termasuk). 2. Surat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan Umum Semarang No.2684/C.2/I./77. Semarang, 18- 10-1977 Ditanda tangani Drs.Martono H.S. Tentang EBTA Pendidika Agama. (Pendidikan agama di sekolah disesuaikan dengan Dirjen Pembinaan Agama, khsuus siswa

21 Budi Santoso Tanuwibowo, “Imlek & Sistem Lunisolar.” dalam MATAKIN, Perayaan Tahun Baru Imlek 2555 (MATAKIN: Jakarta, 2004)

135

beragama Khonghucu diberikan pelajaran agama yang resmi sesuai dengan pilihan mereka). 3. Surat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah Jawa Timur. No.325/Io4.1.4/T4-78. Surabaya, 2-9-1978. Ditanda tangani Kepala Kantor Wilayah Dep.P & K Propinsi Jawa Timur Drs.Widarso Gondodiwiryo Tentang Ajaran Khonghucu pada buku Pendidikan Moral Pancasila untuk SLTA Jilid I. (dalam buku PMP SLTA Jilid I susunan Lab.Pancasila IKIP Malang bahwa ajaran Konghucu adalah agama. Hal itu salah Konghucu bukan agama). 4. Surat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah Propinsi Jawa Barat. No.3843/I02.1/I77. Bandung, 3 Nopember 1977. Di tanda tangani Kepala Kanwil Dep.P & K Drs.Taudin Iskandar. Tentang Edaran mengenai EBTA Kepercayaan Kong hu Chu. (Kepercayaan Kong Hu Chu tidak boleh dijadikan bahan EBTA 1977 baik di sekolah negeri maupun swasta) 5. Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung RI No.67 Tahun 1980, No.224 Tahun 1980 dan No.Kep-III/JA/10/1980 tentang Petunjuk Pelaksanaan Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967, tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Jakarta, 15-10- 1980. Ditanda tangani H.Alamsyah Ratuperwiranegara, Amir Machmud dan Ali Said. 6. Surat Departemen Dalam Negeri RI. Dirjen.Sosial Politik No.450.3070. Jakarta, 22-3-1982 ditanda tangani Dirjen Sosial Politik Prapto Prajitno. Tentang Konghucu dan ijin mendirikan Klenteng. (ajaran Konghucu bukan agama dan ijin mendirikan klenteng baru bagi penganut Konghucu tidak perlu diberikan). 7. Surat Departemen Agama RI. Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha. No.H.III/BA.01.2/VI/92. Jakarta, 1-6-1992. Ditanda tangani Direktur Urusan Agama Budha, Drs.Budi Setiawan.

136

Tentang Status Majelis Agama Khonghucu/MAKIN. (Majelis Agama Khong hu cu/MAKIN status pembinaannya tidak di bawah Departeman Agama RI).

C. Masa Reformasi Pada tahun 1997 Indonesia memasuki krisis ekonomi yang menimbulkan ketidakstabilan ekonomi dan satu tahun kemudian 1998 terjadi krisis moneter yang menimbulkan ketidakpuasan di masyarakat. Demonstrasi sejumlah mahasiswa di Jakarta yang kemudian meluas di sejumlah kota-kota lainnya menuntut reformasi dan perbaikan ekonomi, namun berbagai upaya pemerintah Orde Baru tidak berhasil dan tidak mendapat kepercayaan dari rakyat yang menginginkan pemerintah melakukan reformasi ekonomi dan politik.. Menurut Benny G. Setiono, “Kebijaksanaan ekonomi pemerintah yang dianggap hanya menguntungkan keluarga Presiden Soeharto dengan kroninya segelintir konglomerat etnis Tionghoa. Situasi ini dengan mudah digunakan oleh para provokator untuk melakukan aksi-aksi rasialis anti-Tionghoa”.22 Pada tanggal 12 Mei 1998, sejumlah mahasiswa Trisakti melakukan aksi unjuk rasa di halaman kampusnya ditembaki polisi dan militer yang mengepung kampus tersebut. Beberapa mahasiswa ikut tewas diantaranya Elang Mulya Lesmana, Hery Hartanto, Hafidin Royan dan Hendrawan Sie. Tewasnya sejumlah

22 Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, h.1080.

137 mahasiswa Trisakti menyulut kemarahan rakyat Indonesia. Pada tanggal 13 Mei 1998, kembali terjadi aksi mahsiswa di depan kampus Trisakti yang memprotes penembakan tersebut. Namun ternyata aksi tersebut ditunggangi para provakator yang kemudian berubah menjadi aksi rasialis anti-Tionghoa dan meluas ke seluruh kota Jakarta, Tangerang dan .23 Pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri, berdasarkan Undang-undang Dasar 1945, maka Wakil Presiden B.J.Habibie diambil sumpahnya untuk menjadi Presiden Republik Indonesia yang ketiga, Indonesia memasuki masa transisi pemerintahan. Untuk memperbaiki citra buruk yang di alami etnis Tionghoa dan untuk menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap masalah perlakuan diskriminasi di Indonesia, pada tanggal 16 September 1998, Presiden B.J.Habibie mengeluarkan Inpres No.26 Tahun 1998. Inpres ini menginstruksikan kepada seluruh jajaran pemerintahan untuk menghentikan penggunaan istilah Pribumi dan Non Pribumi, dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Pada tanggal 5 Mei 1999 Presiden B.J.Habibie melalui Inpres No.4 tahun 1999, yang menyatakan dicabutnya SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) untuk berbagai pengurusan administrasi. Meski keputusan Presiden B.J.Habibie untuk memperbaiki citra buruk Indonesia dalam penghormatan terhadap hak asasi manusia,

23Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, h.1083.

138 belum sepenuhnya menyentuh kepada hal yang mendasar khususnya bagi Umat Khonghucu yang mengalami diskriminatif yang mencakup agama dan kepercayaan. Ke dalam umat Khonghucu masih bisa melaksanakan keyakinannya namun ke luar atau terbuka umat Khonghucu tidak bisa melaksanakan kegiatan ritual keagamaan secara bebas dan aman.. Masalah Agama Khonghucu mendapat perhatian banyak kalangan sejak ditolaknya pengesahan hukum perkawinan Budi Wijaya dan Lany Guito di kantor catatan sipil Surabaya pada tahun 1996. Dua organisasi besar Islam yakni NU dan Muhammadiyah mendesak pemerintah untuk mengembalikan hak-hak sipil umat beragama Khonghucu. Ketua Umum PB.NU K.H.Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sejak awal memperjuangkan nasib umat Khonghucu. Menurut Gus Dur, Penolakan perkawinan umat Khonghucu di catatan sipil merupakan diskriminasi dan pelanggaran HAM”. Sementara itu Muhammadiyah dalam sidang Tanwir Muhammadiyah pada bulan Desember tahun 1999 di Bandung mendesak pemerintah mengakui secara hukum keberadaan Khonghucu.24 Naiknya Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke empat menandai Masa Reformasi Indonesia dan membawa perubahan bagi Agama Khonghucu, sebagai Bapak

24 “Muhammadiyah Desak Pemerintah Akui Konghucuisme.” Kompas, 06 Desember 1999.

139

Bangsa, Abdurrahman Wahid tokoh yang mau mengayomi kaum minoritas, diantaranya umat beragama Khonghucu, maka pada tanggal 17 Januari 2000, Beliau mengeluarkan Keputusan Presiden No.6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Inpres No.14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Kepres No.6 Tahun 2000 menjadi simbol Pembebasan Hak Asasi Manusia dan membebaskan umat beragama Khonghucu untuk melaksanakan agama serta kepercayaannya yang selama ini dirintangi dengan berbagai aturan kebijakan Orde Baru. Kepres No.6 Tahun 2000 untuk mengembalikan hak-hak sipil umat Khonghucu pada kedudukan yang semula dan bukan meresmikan Agama Khonghucu sebagai agama baru atau agama yang keenam. Pencabutan Inpres No.14 Tahun 1967 bertepatan dengan beberapa hari umat Khonghucu akan merayakan Tahun Baru Imlek. Meski pemerintah telah mencabut Inpres No.14 Tahun 1967, ada beberapa hal yang dimiliki umat Khonghucu di masa lalu yang tidak bisa kembali seperti sediakala diantaranya kelenteng yang sudah dirubah menjadi vihara, beberapa tempat di daerah malah menjadi perselisihan dan mereka yang beralih ke agama lain atau kedua orang tua mereka masih menganut Agama Khonghucu dan anak- anak mereka berbeda keyakinan dengan orang tua mereka. Dipulihkannya kembali Agama Khonghucu sejak masa reformasi menimbulkan beberapa permasalahan seperti sengketa kepemilikan kelenteng di beberapa wilayah di Indonesia, umat

140

Khonghucu menghendaki agar kelenteng difungsikan semula sebagai tempat ibadah Agama Khonghucu, namun beberapa pengurus menolak usulan tersebut. Dibeberapa daerah seperti Kelenteng Cung Ling Bio, Banjar Tengah Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Bali, akhir Februari 2004, isinya melarang kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh umat di luar sekte Buddha Tri Dharma secara organisasi, karena larangan itu, Yuslim meminta FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) Provinsi Bali melakukan mediasi agar umat Khonghucu kembali diizinkan melaksanakan persembahyangan di Klenteng Cung Ling Bio. Dari hasil mediasi terjadi beberapa kesepakatan penyelesaian konflik. Klenteng Cung Ling Bio, tidak melarang umat Khonghucu beribadah, asalkan mereka mendapat restu dari pengelola. Di Samarinda, sengketa lahan pengelola Klenteng Thian Gie Kiong di Jalan Yos Sudarso menyebabkan ratusan penganut Khonghucu tak bisa menjalankan kebaktian di klenteng sejak Maret 2011. Padahal sejak seratus tahun dibangunnya klenteng, kami bersama-sama menggunakan klenteng sebagai tempat ibadah,” kata Tundra Kosasih, Ketua Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia Kalimantan Timur. Menurut Tundra umat Khonghucu memilih mengalah. Dalam setahun terakhir mereka tidak melakukan kebaktian di klenteng, seorang penganut Agama Khonghucu meminjamkan rukonya di Samarinda untuk digunakan tempat kebaktian. Sengketa kepemilikan kelenteng

141 terjadi akibat dampak dari Inpres No.14 tahun 1967, hal itu terjadi umat Khonghucu tidak punya pilihan selain menyelamatkan aset kelenteng, maka umat Khonghucu bergabung dalam wadah Perhimpunan Tempat Ibadah Tri Dharma salah satu sekte Agama Buddha yang diakui pemerintah pada masa Orde Baru dan disitulah aset berpindah kepemilikan ke Yaysan yang banyak dikelola umat Buddha, sementara umat Khonghucu yang ada dalam kepengurusan terdesak sebab Agama Khonghucu tidak dilindungi negara.25 Permasalahan lainnya perbedaan keyakinan dalam keluarga, dalam Film Dokumenter The Last Confucian, dikisahkan keluarga Tjeng San di Tangerang masih menganut Agama Khonghucu, tapi anak-anaknya yang mengalami Kurikulum Nasional 1975 yang mewajibkan siswa memilih satu dari lima agama yang diakui oleh pemerintah. Anak-anak Tjeng San sudah mengenal Agama Buddha sejak sekolah, lebih tertarik kepada Agama Buddha dan lebih senang mengikuti kebaktian di vihara daripada ke Lithang.26 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2000 Tentang Pencabutan Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina yang ditanda tangani Presiden Republik Indonesia Abdurrahman Wahid memiliki

25Erwin Zachri,dkk,”Klenteng Siapa Punya,”Majalah Tempo, 17-23 Maret 2014, h.70. 26 Kurniawan Biantoro,dkk, “Film Dokumenter: The Last Confucian”, 2011Blissvideo Production.

142 implikasi yang luas yang menandakan bahwa kebijakan pemerintah Orde Baru di masa lalu yang memasung hak-hak asasi umat Khonghucu dinyatakan tidak berlaku lagi. Beberapa kebijakan pemerintah di masa Reformasi terhadap Agama Khonghucu yang dapat penulis tampilkan dalam bentuk kolom dibawah ini. Keputusan No Tentang Penetapan Pemerintah 1 Surat Menteri Pencabutan Surat Jakarta, 31-01-2000 Dalam Negeri Edaran Menteri Dalam Menteri Dalam Negeri R I Negeri No.477/74054 RI No.477/805/ Perihal pengisian Surjadi Soedirdja Sj. kolom “Agama” dinyatakan tidak berlaku lagi. 2 Keputusan Imlek Sebagai Hari Jakarta, 23-1-2001 Menteri Libur Fakultatif dan A.N.Menteri Agama Agama R I Hari Libur Fakultatif Sekretaris Jendral No.13 dan 14 Imlek Tahun 2001 Drs.H.Mubarok Tahun 2001 3 Keputusan Hari Tahun Baru Imlek Jakarta, 09 April 2002. Presiden R I sebagai Hari Libur Presiden R I No.19 Tahun Nasional Megawati 2002 Soekarnoputri 4 Surat Menteri Penjelasan Mengenai Jakarta, 24 Januari Agama R I Status Perkawinan me- 2006 No.MA/12/20 nurut Agama Menteri Agama RI 06 Khonghucu dan Muhammad M.Basyuni Pendidikan Agama Khonghucu. (perkawinan para penga-nut agama Khonghucu dinyatakan sah dan Depag

143

menfasilitasi guru- guru Agama Khonghucu). 5 Surat Menteri Pelayanan Jakarta, 24-2-2006 Dalam Negeri administrasi kepen- Menteri Dalam Negeri R I dudukan penganut R I No.470/336/ agama Khonghucu Moh.Ma’ruf SJ (ditujukan kepada guber-nur, bupati/walikota bah- wa UU No.1/PNPS/1965 masih berlaku agar mem-berikan pelayanan admi- nistrasi untuk penga- nut Agama Khonghucu) 6 Instruksi Sosialisasi Status Per- Jakarta, 16-3-2006 Menteri kawinan, Pendidikan Menteri Agama R I Agama R I dan PelayananTerhadap No.1 Tahun Pe-nganut Agama 2006 Khonghucu 7 Peraturan Standar Isi Mata Jakarta, 1-9-2008 Menteri Pelajaran Agama Menteri Pendidikan Pendidikan Khonghucu Nasional Nasional Bambang Sudibyo No.47 Tahun 2008

BAB IV

KELENTENG BOEN TEK BIO

Pada bab ini, penulis memaparkan sejarah berdirinya Kelenteng Boen Tek Bio. Boen Tek Bio menjadi penting bagi Umat Khonghucu Tangerang, sebab Boen Tek Bio adalah basis perjuangan umat Khonghucu Tangerang dalam mempertahankan keberadaan Agama Khonghucu. Dari empat Kelenteng yang ada di Tangerang, tiga sudah dirubah menjadi vihara. Dalam bab ini juga diuraikan akan makna filosofi pengaruh Agama Khonghucu pada Kelenteng Boen Tek Bio dan peranan kegiatan keagamaan, sosial dan pendidikan Perkumpulan Boen Tek Bio. A. Kelenteng Boen Tek Bio Menurut beberapa sumber berdirinya Kelenteng Boen Tek Bio masih memiliki perbedaan pendapat. Dalam buku Prosesi 12 Tahunan Dewi Kwan Im Ke-14 2563/2012 yang diterbitkan Perkumpulan Boen Tek Bio diperkirakan berdiri pada tahun 1684, namun naskah yang ditulis Oey Hok Tjay, Sekretaris Perkumpulan Boen Tek Bio periode 1934-1942, diperkirakan Kelenteng Boen Tek Bio didirikan pada tahun 1771 sementara prasasti tertua tahun 1805 dan menurut Claudine Salmon dan Anthony K.K.Siu, tradisi lisan menyatakan bangunan ini didirikan pada tahun 1775, prasasti tertua berasal dari tahun 1805, tetapi klenteng ini mungkin sudah ada pada abad ke-18, sebab Junghuhn, mengunjungi klenteng ini

144

145 pada tahun 1884, mencatat bahwa klenteng ini tidak jauh berbeda dengan klenteng di Batavia.1 Menurut Budayawan Suma Miharja, “Ciri budaya awal adalah suku Hakka (Khe) yang mendominasi Pasar Lama (Tegal Pasir), sementara suku Hokkian mendominasi wilayah pesisir dan udik, namun suku Hakka sudah lebur dengan suku Hokkian sebagai ciri dominan, khususnya dalam nama. Pasar lama yang memiliki Kelenteng Boen Tek Bio dengan model ruang terbuka atau tampak terlihat dari luar merupakan ciri khas kelenteng yang dibangun oleh donasi suku Hakka.”2 Bandingkan dengan kelenteng yang dibangun oleh suku Hokkian didominasi dengan ruang tertutup seperti Kelenteng Boen San Bio dan Khongcu Bio dengan tembok tinggi menutupi area halaman kelenteng. Di daerah Cukanggalih, Tangerang, ditemukan sebuah makam seorang wanita yang bernama Wen Gan Niang yang bermarga Wen atau Oen dalam dialek Hokkian. Makam itu terletak di daerah persawahan dan di bong pay atau batu nisan bertarikh tahun pertama pemerintah Dinasti Ching Guang Xi atau tahun 1875. Hal yang menarik adalah di dalam bong pay atau batu nisan tertera nama sebuah kampung bernama Jia Ying Zhou yang terletak di

1Claudine Salmon and Anthony K.K.Siu, Chinese Epigraphic Materials In Indonesia (Singapore: South Seas Society, 1997), h.282. 2Seminar Budaya Tionghoa Peranakan Tangerang” oleh Suma Miharja di Gedung Pertemuan Hengky, Kampung Melayu Tangerang, Penyelenggara Panitia Festival Budaya Etnis Tionghoa Pemuda Tridharma Indonesia Provinsi Banten, 20 Februari 2011.

146

Provinsi Guandong, tempat asal komunitas Suku Hakka, ini membuktikan bahwa orang Hakka sudah lama bermukim di Tangerang. Masyarakat Tionghoa Tangerang secara umum berkeyakinan bahwa Kelenteng tersebut berasal dari sebuah rumah tiang bambu dan ditutup dengan atap. Pemugaran Kelenteng Boen Tek Bio dilakukan setelah 100 tahun berselang, dimana saat itu kepengurusan dipimpin oleh Tuan Tanah (Te Tauw Tjoe), sehingga Kelenteng Boen Tek Bio menjadi rumah ibadah yang indah dengan ukiran dan bangunan khas gaya klasik Tiongkok.3 Boen Tek Bio berasal dari bahasa Hokkian dan menurut Anggaran Dasar Perkumpulan Boen Tek Bio tahun 2000, “Perkumpulan ini bernama Perkumpulan Boen Tek Bio terdiri dari kata : Boen = Intelektual, Tek = Kebajikan, Bio = Tempat Ibadah, artinya adalah suatu tempat bagi manusia untuk menjadi insan yang penuh Kebajikan dan Intelektual”. Kelenteng Boen Tek Bio terletak dipersimpangan Jalan Cilame dan Jalan Bhakti, Pasar Lama Kota Tangerang, tepatnya Jalan Bhakti No.14, dilihat dari struktur bangunannya pada tahap renovasi, Boen Tek Bio mendapat pengaruh dari suku Hakka, bangunannya terlihat dari luar tanpa dihalangi pagar berbentuk tembok tinggi.

3Sejarah Singkat Boen Tek Bio (Perkumpulan Boen Tek Bio, 2000), h.15.

147

Kelenteng Boen Tek Bio dibangun dan didedikasikan untuk menghormati Dewi Kwan Im, salah satu Shen Ming yang dihormati umat Khonghucu. Dewi Kwan Im seorang putri kerajaan yang berasal dari sebuah negeri bernama Xing Lin pada zaman Dinasti Zhou (1122-255 SM). Kerajaan ini dipimpin oleh Raja Miao Zhuang dan memiliki tiga orang putri salah satunya adalah Miao Shan yang menolak kehendaknya ayahnya untuk menikah, dengan alasan untuk mencari kesempurnaan hidup dan ingin agar dapat menolong umat manusia yang menderita dan membalas budi kebaikan ayah bunda yang telah melahirkan. Raja Miao Zhuang marah dan memerintahkan pengawalnya untuk menghukum mati putrinya. Dewi Kwan Im dihormati tokoh teladan sebagai anak yang berbakti dan yang mencintai rakyatnya yang menderita. Sebagaimana yang dijelaskan kitab Lun Yu XVI : 8.1

“Nabi Kongzi bersabda,”Seorang Jun Zi memuliakan tiga hal: memuliakan Tian Ming, memuliakan orang-orang besar dan memuliakan sabda para Nabi”.4

Memuliakan orang-orang besar mengartikan untuk menghormati akan jasa-jasa besar yang telah dilakukan dan untuk disuriteladankan. Kelenteng merupakan nama lain dari Bio dari bahasa Hokkian dan Miao dari bahasa Han (Mandarin). Nama Kelenteng

4 Si Shu, Kitab Yang Empat.(Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia,2016),h.290.

148 adalah nama khas yang hanya ada di Indonesia. Bio merupakan sarana tempat ibadah kaum Ru Jiao (Agama Khonghucu) yang ada pada Kitab Suci Agama Khonghucu baik Si Shu maupun Wu Jing, hal ini dapat dilihat dari kisah sejarah Giauw dan Sun tentang Bio sebagai tempat ibadah kehadapan Tian dan leluhur. Ketika Agama Buddha masuk ke Tiongkok, para bhikkhu yang tiba pada masa Dinasti Han, penguasa Dinasti Han menempatkan para bhikkhu di Bio yang lambat laut digunakan sebagai vihara. Pada awal mula masuknya Agama Buddha ke Tiongkok, salinan kitab-kitab sucinya diangkut dengan kuda putih, maka kemudian di tempat perhentian kuda tersebut (ada di luar kota Luoyang) didirikan Vihara Kuda Putih (Bai Ma Si). Contoh lain Shao Lin Si, Fu Guang Si di Provinsi Shanxi dibangun tahun 857. Jadi Si awalnya menunjuk tempat ibadah agama asing dari luar Tiongkok, bahkan aslinya berarti tempat menambat kuda.5 Sejak masuk dan berkembangnya Agama Buddha yang menggunakan Bio sebagai fungsi wihara yang sama dengan tradisi Kaum Ru Jiao menjadi kian kabur. Namun sejak masa Dinasti Tang (618-906), ada klasifikasi yang lebih terarah untuk membedakan tempat ibadah bagi ke tiga agama tersebut.6

5 Tjan K dan Kwa Tong Hay, Berkenalan dengan Adat dan Ajaran Tionghoa (Yogyakarta, Kanisius, 2013), h.13. 6Sofyan Jimmy Yosadi, Klenteng Makna Agama dibalik Tradisi dan Sekilas Tentang Klenteng Kwan Kong Manado (Manado, Panitia Peringatan Kelahiran Yang Suci Kwan Seng Ta Tie Ke-1843,2005), h.5.

149

1. Untuk Ru Jiao (Agama Khonghucu) yang berdasarkan Di dan Cu, maka ada Miao (Bio) dan Ci (Su). 2. Untuk Tao Jiao (Agama Tao) yang lebih tinggi derajatnya dinamakan Gong (Kiong) dan yang lebih rendah atau dibawahnya dinamakan Guan (Kuan). 3. Untuk Shi Jiao (Agama Buddha Mahayana), kediamana biksu laki-laki (hwesio) dinamakan Si dan untuk biksuni wanita (nikhu) dinamakan An. Makna dan fungsi kelenteng sebagai tempat ibadah mengandung satu ajaran dalam iman Agama Khonghucu yakni Jing Tian Zun Zu yakni memuliakan keagungan Tuhan, menghormati leluhur dan diteruskan dengan menghormati Shen Ming dengan disertai usaha beroleh pencerahan dalam kesuriteladanan. Imigran Tionghoa awal pada abad ke 15 yang datang dan bertempat tinggal di Tangerang sebagian dari mereka adalah pedagang yang pernah mengenyam pendidikan di Tiongkok berasaskan Kitab Klasik Khonghucu. Para pedagang yang berhimpun dalam suatu organisasi dagang atau kongsi berinisiatif membangun Bio sebagai sarana ibadah dan penghormatan terhadap Shen Ming. Pembangunan Bio pada umumnya didasarkan pada seruan yang tersurat dalam Kitab Li Ji Bab Ji Fa XX:9, Seseorang dikatakan berjasa dan dihormati dalam sebuah Bio yang menjadi Shen Ming.

150

“Berdasarkan peraturan para raja suci tentang upacara sembahyang, sembahyang dilakukan kepada orang yang menegakkan hukum bagi rakyat, kepada orang yang gugur menunaikan tugas, kepada orang yang telah berjerih payah membangun kemantapan dan kejayaan negara, kepada orang yang dengan gagah berhasil menghadapi serta mengatasi bencana besar dan kepada yang mampu mencegah terjadinya kejahatan / penyesalan besar.”7

Hal ini dapat dilihat dari kunjungan Nabi Kongzi, pada saat Beliau memasuki sebuah Bio atau Kelenteng yakni Cong Bio (Bio Leluhur) Dinasti Zhou (1111-249 SM). Di dalam Bio terlihat lukisan- lukisan orang-orang suci seperti Fu Xi, Giau, Sun yang didirikan untuk menghormati dan mengenang jasa kebaikan mereka. Setelah melihat lukisan-lukisan itu, Nabi Kongzi menyatakan bahwa Beliau bisa mengetahui betapa kesucian Pangeran Zhou dan sebab Dinasti Zhou mampu menciptakan kesejahteraan dan perdamaian. Nabi Kongzi mengingatkan kepada murid-muridnya untuk bisa mengikuti suri teladan yang telah mereka perbuat. Kelenteng Boen Tek Bio yang didirikan masyarakat Cina Benteng untuk menghormati Dewi Kwan Im, sebagai seorang Shen Ming yang menjadi teladan sebagai anak yang berbakti kepada orang tuanya dan peduli terhadap penderitaan rakyatnya. Kelenteng Boen Tek Bio dibangun pada awalnya bukanlah sebuah Vihara, ciri khas sebuah Vihara, di dalamnya terdapat Kutti (tempat

7 Li Ji, Catatan Kesusilaan. (Jakarta: Pelita Kebajikan,2005),h.506.

151 tinggal para bikkhu atau bikkhuni), dan ruang Dhammasala dengan altar Buddha. Ciri khas Bio meliputi altar utama di depan untuk bersujud kehadapan Tian (Tuhan Yang Maha Esa) pada umumnya altar utama harus lebih agung atau lebih tinggi dibandingkan ruang altar utama bagi shen ming. Persembahyangan kepada Tian, ini menunjukkan Tuhan sebagai yang tertinggi dan utama dalam keyakinan umat. Persembahyangan kepada Tuhan selalu menjadi acara tetap dan permulaan ketika melaksanakan persembahyangan, dan ini dilaksanakan menghadap ke depan, tanpa ada tanda apapun sebagai lambang Tuhan karena Tuhan tidak dapat diperkirakan dan ditetapkan menurut kemampuan manusia yang serba terbatas ini. Sebagaimana yang dijelaskan kitab Zhong Yong XV : 1-4.

1. “Nabi bersabda, “Sungguh Maha Besarlah Kebajikan Gui Shen (Tian Yang Maha Rokh).” 2. Dilihat tidak nampak, didengar tidak terdengar, namun tiap wujud tiada yang tanpa Dia. 3. Demikianlah menjadikan umat manusia di dunia berpuasa, membersihkan hati dan mengenakan pakaian lengkap sujud bersembahyang kepada-Nya. Sungguh Maha Besar Dia, terasakan di atas dan di kanan kiri kita! 4. Di dalam Kitab Sanjak (Shi Jing) tertulis, “Adapun kenyataan Tian Yang Maha Rokh itu tidak boleh diperkirakan, lebih- lebih tidak dapat ditetapkan.”(Shi Jing III.3.2.7).”8

Pada Bio yang menjadi ciri khas kaum Ru Jiao selalu ada Jinshen kimsin suci atau Shenzhu papan nama suci berhuruf Tionghoa. Ada ornamen altar sepasang Lung (naga), Qilin, burung

8 Si Shu, Kitab Yang Empat.,h.49.

152

Feng Huang. Pada tiap altar disediakan hio lou tempat menancapkan hio dan cek tai tempat untuk lilin berwarna merah. Meski demikian Kelenteng Boen Tek Bio terbuka untuk umat yang melakukan persembahyangan dan penghormatan untuk para Shen Ming yang didalamnya ada Shen Ming untuk umat Khonghucu, Tao dan Buddha. Kelenteng Boen Tek Bio juga mengalami beberapa kali pemugaran yang melibatkan sejumlah donatur dengan tradisi dan kepercayaan yang berbeda. B. Makna Filosofi Ornamen Kelenteng Boen Tek Bio Kelenteng Boen Tek Bio dengan ukiran dan bangunan dengan keindahan khas gaya klasik Tiongkok kuno merupakan salah satu Kelenteng tua di Tangerang. Di dalam Kelenteng terdapat sejumlah ornamen-ornamen atau hiasan baik berupa ukiran, lukisan, kaligrafi yang memiliki nilai seni dan mengandung makna filosofi akan pengaruh ajaran Agama Khonghucu. Pada bagian atas Kelenteng Boen Tek Bio, terlihat sepasang naga (liong) bermain dengan mustika. Naga melambangkan kekuatan dan kekuasaan. Sementara di bawahnya terdapat Burung Hong adalah rajanya semua burung, ia melambangkan keindahan dan kedamaian. Dalam kisah Agama Khonghucu Burung Hong apabila terlihat disuatu negeri ini menandakan negeri ini akan damai sejahtera. Di sebelah kanan pintu masuk Kelenteng Boen Tek Bio terdapat Genta atau Lonceng Besar disalah satu bagian genta

153 terdapat dekorasi motif naga di dalam awan dan ikan, selain itu tertera bahwa genta ini merupakan sumbangan Oei Heng Goan pada tahun ke-15 periode To Kong It Bi atau tahun 1835. Genta memiliki sejarah yang sangat tua dalam sejarah agama Khonghucu. Genta atau Mu Duo pada awalnya sebagai sarana pembawa amanat. Rujukan Kitab Suci Shi Jing, tertulis: “Tiap awal tahun pada bulan pertama musim semi, ditugaskan petugas yang membawa Mu Duo berkeliling, dan diserukan,”Para pejabat, kamu wajib mampu mempersiapkan petunjuk-petunjuk. Para pekerja, kamu hendaknya segera mempersiapkan peralatan dan segera bekerja. Kecamlah jangan lengah dan gegabah hingga tak beres dan waspada untuk hal ikwal yang tak benar”. (Shi Jing III. Xia Shu II:3). Genta menjadi simbol dalam agama Khonghucu, ketika Nabi Kongzi memulai perjalanan berkeliling ke berbagai negeri menebarkan ajaran agama mengajak dunia kembali ke Jalan Suci (Dao). Perjalanan selama 13 tahun inilah mengukuhkan kenabian Kongzi, maka hari sembahyang besar Tang Cik bagi umat Khonghucu juga diperingati sebagai Hari Bok Tok atau Genta Rohani. “Sudah lama dunia ingkar dari Dao (Jalan Suci), kini Tian mengutus dan menjadikan Guru selaku Mu Duo (Genta Rohani)- Nya.” (Lun Yu III : 24)

154

Di Kelenteng Boen Tek Bio genta hanya tergantung tanpa pernah difungsikan lagi melainkan menggunakan tambur untuk pemberitahuan. Pada umumnya tambur dipukul pada sore saat malam tiba menjelang tanggal 1 (Ce It) dan 15 (Cap Goh) penanggalan Imlek sebagai pemberitahuan kepada umat melaksanakan persembahyangan kepada leluhur di rumah masing- masing. Selain itu juga pada hari-hari suci para Shen Ming di Kelenteng Boen Tek Bio. Di halaman depan terdapat Tian Shin Lou utama yang merupakan tempat menancapkan hio untuk Tian Yang Maha Esa. Tian Shin Lou artinya hio lou untuk bersembahyang kepada Tian Yang Maha Esa disumbangkan oleh Oei Goat Hoa pada tahun ke-19 periode To Kong Ki Hai (1839). Hio Lou ini diselubungi dengan warna emas dan dihiasi aksara Tionghoa warna merah serta terdapat empat buah singa yang saling berhadapan di keempat sisinya. Kaki dari hio lou segiempat ini berbentuk kaki singa di letakkan di atas landasan batu andesit segiempat. Pada umumnya Hio Lou Tian tampak agung dan kokoh artinya kedudukan Tian tidak boleh rendah daripada Shen Ming dan umat harus terlebih dahulu bersembahyang dihadapan Tian. Di Hio Lou Tian tidak ada lambang untuk mewujudkan Tuhan. Di bagian dalam terdapat Hio Lou bertuliskan Kwan Im Hud Couw (Dewi Kwan Im), tertulis bulan 6 tahun ke-23 periode Kong Si atau tahun 1897. Hio Lou ini diletakan di atas meja, bagian sisi

155 samping meja berbentuk segi delapan ukiran atau relief berupa kumpulan 24 kisah anak berbakti dalam tradisi Agama Khonghucu atau Ji Si Hao. Dalam Agama Khonghucu Laku bakti merupakan pokok kebajikan, daripadanya ajaran agama berkembang karena itu menjaga, merawat dan mengembangkan semangat berbakti merupakan tangga menunaikan kewajiban hidup manusia sebagai makhluk ciptaan Tian Yang Maha Esa. Kisah Ji Si Hao menjadi teladan umat Khonghucu dalam memacu semangat menjaga dan merawat cita berbakti. Di belakang Hio Lou ini terdapat meja altar persembahyangan, dibagian sisi depannya terdapat lukisan hewan suci Qilin. Dalam kisah kelahiran Nabi Kongzi, Qilin menampakkan dirinya dihadapan Ibunda Nabi Kongzi yang sedang mengandung, datanglah kepadanya hewan suci Qilin, dari mulutnya menyembur- kan sepotong kitab dari batu kumala yang bertuliskan, “Putera sari air suci akan menggantikan Dinasti Chou yang sudah lemah dan akan menjadi raja tanpa mahkota”. Qilin muncul kembali tidak lama wafatnya Nabi Kongzi. Hewan suci Qilin terbunuh saat perburuan. Raja Muda Lu mengundang Nabi Kongzi melihat hewan hasil buruannya. Ketika Nabi Kongzi melihat hewan yang terbunuh itu, dengan suara haru dan tangis, Nabi Kongzi berseru,”...Itulah Qilin. Mengapa engkau menampakkan diri? Mengapa engkau menampakkan diri? Selesai pulalah perjalanananku sekarang ini.” Selanjutnya Nabi Kongzi dengan penuh haru menyanyikan sebuah

156 lagu, “Pada zaman Tong Giau dan Gi Sun, muncul Qilin dan Burung Hong. Kini bukan waktumu, apa yang hendak kaucari? Qilin, Qilin, sungguh aku bersedih...” Salah satu yang diajarkan Nabi Kongzi kepada murid- muridnya adalah menulis puisi atau syair. Tradisi ini telah melahirkan suatu kemampuan dalam memelihara kesinambungan tulis menulis dalam bentuk kaligrafi yang menjadi budaya tradisional sampai saat ini. Di masa kerajaan dahulu, para calon pegawai yang ingin menjadi pejabat kerajaan harus lulus dalam tiga seni keindahan yakni lukisan, kaligrafi dan syair. Di semua kelenteng memiliki syair kaligrafi berpasangan atau Dui Lian. Dui Lian biasanya dipasang simetris di altar, pilar atau di pintu masuk. Aksara pada dui lian dibaca dari atas ke bawah. Pada umumnya fungsi dui lian di kelenteng untuk memberikan qi pada kelenteng dan kewibawaan shen ming tersebut. Di Kelenteng Boen Tek Bio terdapat banyak Dui Lian, salah satu sumbangan dari Lin Qin He pada tahun 1851. Disebelah kiri bertuliskan “Wen Shan Gong Miau, Ri Zeng Fu Zhi Qian Kun Man” artinya Bio/Kelenteng yang dilindungi gunung peradaban, semakin menambah kebahagiaan memenuhi alam semesta. Disebelah kanan bertuliskan “De Shui Chao Tang, Yue Zhen Xiang Guang Tian Xia Ping” artinya Air moral/bakti berkumpul menuju Bio, semakin menambah kedamaian di bumi”.

157

C. Terbentuknya Perkumpulan Boen Tek Bio Kelenteng Boen Tek Bio sejak berdirinya dari tahun ke tahun mengalami perkembangan dan perubahan dan meningkatnya populasi masyarakat Cina Benteng sehingga diperlukan suatu perkumpulan yang mampu mengurus kegiatan Kelenteng Boen Tek Bio. Boen Tek Bio yang letaknya strategis di Pasar lama tempat berkumpulnya para pedagang Tionghoa yang membentuk kongsi dagang sepakat membentuk suatu perkumpulan untuk mengorganisir kegiatan keagamaan masyarakat Cina Benteng. Dalam Statuten (Peraturan) Perkumpulan Boen Tek Bio di Tangerang (Batavia) pada Fatsal 16 menyebutkan Pada bulan Januari 1912, sejumlah pengurus Perkumpulan Boen Tek Bio antara lain Souw Sian Tjong, Loa Seng Kie, Khouw Ke Tjiauw mengajukan permohonan untuk sebuah legalitas Perkumpulan Boen Tek Bio kepada Sri Paduka Governeur General Pemerintah Hindia Belanda.9 Pada tanggal 6 Januari 1912 Pemerintah Hindia Belanda mengakui dan mengesahkan Perkumpulan Boen Tek Bio yang berkedudukan di Tangerang dengan Besluit Gouvernement tanggal 6 Januari 1912 No.28 (Berita Negara 30-1-1912 No.9, halaman 137).

9Statuten (Peratoeran) dari Perkumpulan Boen Tek Bio. (TYP.V.Drunkerij , Batavia).h.4

158

Susunan pengurus Perkumpulan Boen Tek Bio Tangerang pertama masa kerja dari 1 Januari 1912 sampai dengan 8 Desember 1912 President : Souw Sian Tjong Sia10 Vice President : Tan Nay Toen Secretaris I : Loa Seng Kie Secretaris II : Khouw Khe Tjiauw Thesaurier I : Lim Hok Tjiang Thesaurier II : Lim It Long Commissaris-2 : Oey Tek Ho, Lim Joe Tong, Pang Njim Kiam dan Lim Tjoei Koen Kepengurusan Perkumpulan Boen Tek Bio dalam masa kerja periode dari tahun 1912 sampai dengan 1946, belum ada catatan yang penting. Kepengurusan hanya bertugas menjalankan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Perkumpulan Boen Tek Bio antara lain memperkembangkan agama Tionghoa, urusan tanah pemakaman, persembahyangan dan perayaan yang berkaitan dengan Kelenteng Boen Tek Bio.11 Sebagaimana disebutkan dalam Fatsal 1 Anggaran Dasar Perkoempoelan Boen Tek Bio tahun 1912 bertujuan mengurus rumah ibadah atau klenteng yang sudah ada dalam hal

10Keturunan para opsir Tionghoa di Pulau Jawa mengemban gelar secara turun temurun. 11Oey Hok Tjay. Susunan Pengurus Perkumpulan Boen Tek Bio Tangerang 1912-1979

159 persembahyangan serta mengembangkan agama Tionghoa dan mengurus tanah pemakaman seperti Tanah Gocap dan Tanah Cepek yang terletak di Karawaci, Tangerang. Sementara keanggotaan bersifat lokal seperti dalam Fatsal 9 bahwa hanya orang Tionghoa yang tinggal di Tangerang yang boleh menjadi anggota Perkumpulan Boen Tek Bio. Namun Perkumpulan Boen Tek Bio yang didirikan ternyata memiliki masa waktu yang ditentukan sebagaimana tertulis dalam Fatsal 2 Anggaran Dasar Perkoempoelan Boen Tek Bio, bahwa “Ini perkoempoelan didiriken boeat lamanja doea poeloe sembilan taon dan sablas boelan, teritoeng dari harian ini peratoeran diakoe sah oleh pemerenta. Untuk memperbaruai perubahan serta pengesahan anggaran dasar Perkumpulan Boen Tek Bio12, maka pada tanggal 24 April 1949 diadakan Rapat Umum Anggota yang menyetujui perubahan anggaran dasar Perkumpulan Boen Tek Bio. Pada tanggal 6 Desember 1949, Souw Hong Tjoen mewakili Perkumpulan Boen Tek Bio mengajukan permohonan pengesahan Anggaran Dasar Perkumpulan Boen Tek Bio kepada Pemerintah dalam hal ini Departemen Kehakiman Republik Indonesia Serikat dan baru disahkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia Serikat tanggal 14 Februari 1950 No. J.A. 5. 2/3/24.

12Anggaran Dasar (Statuten) dan Anggaran Rumah Tangga (Huishoudelijk Reglement) Perkumpulan Klenteng Boen Tek Bio Tangerang. (Tangerang, Toko Tjitak Ong Giok Eng, 1950), h.1.

160

Untuk membiayai keberadaan Perkumpulan Boen Tek Bio, Perkumpulan Boen Tek Bio memiliki harta yang bergerak maupun tidak bergerak yang diperolehnya dari sumbangan para donatur. Boen Tek Bio memiliki belasan petak rumah tinggal yang terletak di Pasar Lama disewakan kepada masyarakat Tionghoa. Menurut naskah Oey Hok Tjay, pada tahun 1914 hasil keputusan rapat pengurus Boen Tek Bio, diantara belasan rumah petak, ada 14 rumah yang akan dijual kepada penghuninya berdasarkan harga yang sudah ditetapkan menurut keadaan rumah tersebut dijual mulai dari F.125 sampai dengan F.1.100 jumlah uang yang diterima dari 14 petak rumah berjumlah F.8.478 (delapan ribu empat ratus tujuh puluh delapan gulden). Perkumpulan Boen Tek Bio juga mengurusi tanah pemakaman untuk masyarakat Tionghoa Tangerang yang terletak di Tanah Gocap dan Tanah Cepek- Karawaci, kedua sentiong merupakan tanah pemakaman terbesar di Tangerang. Seiring dengan perkembangan dan tuntutan untuk mengembangkan Perkumpulan Boen Tek Bio di bidang keagamaan, sosial maupun pendidikan untuk menambah kas di perkumpulan maka pada tahun 1973 Perkumpulan Boen Tek Bio untuk pertama kali menerima masyarakat Tionghoa di luar Tangerang seperti Jakarta untuk pemakaman di Tanah Gocap maupun Tanah Cepek. Pada masa Pemerintahan Orde Baru, Perkumpulan Boen Tek Bio menghadapi dampak sehubungan dengan kebijakan pemerintah dan dikeluarkan Inpres No.14 tahun 1967 dan

161 pernyataan Presiden Republik Indonesia dalam sidang kabinet pada tanggal 27 Januari 1979 yang menyatakan bahwa aliran Khonghucu bukanlah agama yang berdampak terhadap perkumpulan dan keberadaan agama Khonghucu di Perkumpulan Boen Tek Bio, sebagaimana diketahui bahwa agama Khonghucu masuk dalam lindungan Perkumpulan Boen Tek Bio. Faktor eksternal ini salah satu yang memberikan dampak pemikiran dari sekelompok orang yang menganggap agama Khonghucu bukan agama sehingga perkembangan di Pekumpulan Boen Tek Bio ikut terhambat. Perbedaan pendapat di antara pengurus Perkumpulan Boen Tek Bio yang duduk dalam kepengurusan untuk mengurusi Perkumpulan Boen Tek Bio baik umat Khonghucu maupun umat Buddha terhadap nama perkumpulan yang berbeda antara nama Perkumpulan Boen Tek Bio atau Perkumpulan Padumuttara. Sejak pemerintah Orde Baru nama Padumuttara pernah digunakan sebagai nama perkumpulan dan nama vihara sebagai pengganti nama Klenteng Boen Tek Bio, Meski demikian anggaran dasar Perkumpulan Boen Tek Bio pada tahun 1979 dan tahun 1986 belum bisa untuk pengesahannya oleh Departemen Kehakiman Republik Indonesia. Perbedaan pendapat ini menjadikan adanya mereka yang pihak yang setuju perubahan nama dan tidak setuju perubahan. Pihak setuju menghendaki agar nama perkumpulan adalah Perkumpulan Padumuttara dan tempat ibadah dengan nama Vihara Padumuttara, mereka beranggapan

162 semata-mata untuk melindungi dan menyelematkan perkumpulan dan rumah ibadah dari kebijakan pemerintah sehubungan dengan adanya Insturksi Menteri Dalam Negeri Nomor 455.2-360 tahun 1988 tentang Penataan Klenteng. sementara pihak yang tidak menyetujui tetap menghendaki nama Perkumpulan Boen Tek Bio dan tempat ibadah dengan nama Kelenteng Boen Tek Bio mereka beranggapan perkumpulan maupun kelenteng tidak terlepas dari sejarah masa lalu yang tidak dapat dihilangkan begitu saja dan dalam anggaran dasar nama Boen Tek Bio masih diakui sah oleh pemerintah. Mengganti nama menjadi Padumuttara itu berarati bahwa Perkumpulan dan Kelenteng Boen Tek Bio dengan sendirinya berubah menjadi Perkumpulan Padumuttara dan Vihara Padumuttara yang dianggap menghilangkan jejak sejarah masa lalu sementara dalam anggaran dasar Perkumpulan Boen Tek Bio sendiri tidak hanya mengayomi satu agama saja melainkan juga agama Khonghucu, Tao dan Buddha. Dalam Rapat Pengurus Perkumpulan Boen Tek Bio pada tanggal 22 Juni 1999 membahas tentang perubahan anggaran dasar dan masalah nama Perkumpulan Boen Tek Bio atau Padumuttara, menyimpulkan adanya perbedaan pendapat diantara mereka yang menghendaki penggantian nama dengan alasan penyelamatan, ”Nama Padumuttara pernah mengayomi nama Boen Tek Bio, yaitu ketika awal Orde Baru nama-nama berbau Tionghoa tidak diijinkan

163 oleh pemerintah maka nama Padumuttara mulai dikenal orang sebagai pengganti nama Boen Tek Bio. Dengan nama Padumuttara, akhirnya pemerintah tidak bisa membubarkan kegiatan keagamaan di perkumpulan pada waktu itu. Sampai sekarang bangunan- bangunan seperti sekolah Buddhi lebih dikenal sebagai di bawah naungan Perkumpulan Padumuttara. Perubahan nama tersebut adalah sesuai dengan himbaun pemerintah untuk menggunakan nama berbahasa Indonesia.” dan yang tidak menghendaki perubahan nama mengganggap itu bagian sejarah yang tidak bisa dihilangkan, “Pemakaian nama ”Padumuttara” pada anggaran dasar tahun 1979 maupun tahun 1986 tidak ada dasar hukum yang kuat karena belum disahkan oleh Departemen Kehakiman R.I. (Dep. Keh. R.I.). Di dalam anggaran dasar tahun 1950 tidak ada klausula yang menyebutkan tentang perubahan nama”13. Dalam rapat tersebut tidak ada kesepakatan tentang penggantian nama perkumpulan, maka pimpinan rapat memutuskan masalah penggantian nama perkumpulan akan diputuskan dalam Rapat Umum Anggota (R U A). Namun masalah ini akhirnya terhenti ketika Pemerintah Orde Baru tumbang dan Indonesia memasuki era reformasi berbagai kebijakan diskriminasi

13Dalam Rapat Pengurus Lengkap Yang diperluas pada tanggal 22 Juni 1999 yang dimulai dari jam 20.00 sampai dengan 23.00 WIB yang dihadiri 67 anggota pengurus di Ruang Rapat Vihara Padumuttara / Boen Tek Bio. Perihal Perubahan Rancangan Penyempurnaan Anggaran Dasar Perkumpulan Boen Tek Bio (Padumuttara).

164 pemerintah di masa lalu terhadap etnis Tionghoa mulai dicabut. Dalam masa era reformasi inilah nama Boen Tek Bio akhirnya disepakati bersama kedua belah pihak menyetujui bahwa nama Boen Tek Bio digunakan kembali sebagai nama perkumpulan dan kelenteng. Sementara nama Padumuttara dijadikan nama Vihara Padumuttara sebagai bagian dari Seksi Kerohanian Agama Buddha dibawah naungan Perkumpulan Boen Tek Bio demikian juga Seksi kerohanian Agama Khonghucu dibawah naungan Perkumpulan Boen Tek Bio. Semenjak pemerintah tidak mengakui keberadaan agama Khonghucu sebagai agama sementara agama Buddha diakui sebagai agama mendapat pengayoman dari pemerintah, sehingga mereka memiliki akses untuk melaksanakan kegiatan keagamaan. Hal ini terjadi dalam peristiwa Prosesi Arak-Arakan 12 Tahunan pada tahun 1988, sesuatu yang dianggap tidak lazim. Pada bulan Oktober 1988 Prosesi Arak-arakan 12 Tahun yang merupakan kegiatan Gotong Toapekong yang meliputi Kim Sin Dewi Kwan Im, Kimsin Hok Tek Cheng Sin, Kim Sin Kha Lam Ya dan Kim Sin Kwan Kong setiap tahun saat Shio Naga dan dilaksanaan diluar area Perkumpulan Boen Tek Bio (dimulai dari rute keluar dari Pasar lama kemudian melewati Kelenteng Boen San Bio-Pasar Baru), namun kegiatan ini gagal dilaksanakan karena ada perintah dari BKMC yang melarang Perkumpulan Boen Tek Bio melaksanakan Prosesi Arak-arakan 12 Tahun, BKMC menganggap kegiatan ini

165 merupakan bagian dari budaya Cina karena itu bertentangan dengan Inpres No.14 Tahun 1967. Peristiwa ini berawal dari kegiatan yang memerlukan izin tertulis, Panitia Prosesi 12 Tahunan (Umat Khonghucu dan Buddha) meminta Pengurus Perkumpulan Boen Tek Bio mengurus izin Prosesi 12 Tahunan dengan bantuan pemuka agama Buddha, karena jika menggunakan izin dari agama Buddha kegiatan ini bisa berjalan dengan lancar. Sebagian dari umat Buddha meminta agar Prosesi 12 Tahun ini yang diarak adalah Rupang Buddha selain Dewi Kwan Im, namun permintaan mereka ditolak dalam rapat Pengurus Perkumpulan Boen Tek Bio. Menurut Djaya Soehendra, “Prosesi Arak-arakan untuk kimsin dari dulu tidak berubah yakni kimsin Dewi Kwan Im, Kongco Kha Lam Ya, Kongco Kwan Kong sejak dulu tidak ada perubahan, bukan menciptakan hal yang baru tetapi meneruskan apa yang sudah berjalan, namun sebagian umat Buddha keberatan kalau ijinnya melalui pemuka agama Buddha mengapa Rupang Buddha tidak di arak. Mengapa kimsin Buddha tidak diarak, kita tetap berpendapat bahwa arak-arakan ini bukan budaya yang datang dari China, ini adalah budaya masyarakat Tangerang, pada saat dulu ada renovasi di Boen Tek Bio, kimsin-kimsin ini dipindahkan ke Boen San Bio di Pasar Baru dititipkan dan setelah renovasi selesai dikembalikan. Hal seperti ini dijadikan tradisi, keluarnya kimsin dan kembalinya kimsin.”.

166

BKMC mengeluarkan larangan Prosesi Arak-arakan 12 Tahun dan hanya mengizinkan di dalam area Perkumpulan Boen Tek Bio. Bertepatan dengan Prosesi 12 Tahun itu meninggalnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX14 yakni pada tanggal 2 Oktober 1988, pemerintah menetapkah hari berkabung nasional. Dalam kejadian ini Pengurus Perkumpulan Boen Tek Bio mengambil jalan tengah dalam menyelesaikan masalah gagalnya pelaksanaan Prosesi Arak- arakan 12 Tahun dengan meniadakan Prosesi Arak-Arakan 12 Tahun keluar dari area Perkumpulan Boen Tek Bio sebagai hari berkabung nasional ini bagian dari suasana untuk menenangkan umat jangan sampai terjadi gejolak.15 BKMC menganggap belum sepenuhnya kelenteng berfungsi sebagai vihara karena kelenteng masih mengusung kegiatan sosial budaya Tionghoa dan keagamaan Khonghucu. Dipenghujung masa pemerintahan Orde Baru, BKMC dibawah koordinasi BAKIN melakukan pendekatan dengan Pengurus Perkumpulan Boen Tek Bio, Ketua BKMC, Ganjar Angkawijaya mengundang Pengurus Perkumpulan Boen Tek Bio antara lain Kurnia Hermawan, Djaya Soehendra, Rusli Wijaya mereka ke Kantor BKMC di Jakarta. Dalam pertemuan ini menurut Djaya Soehendra, Ganjar Angkawijaya meminta agar Perkumpulan Boen Tek Bio dijadikan Perkumpulan Masyarakat Tangerang (PERMATA) dengan catatan PERMATA

14Sultan Yogyakarta ke IX (1940-1988) dan Mantan Wakil Presiden RI ke-2 (1973-1978). 15 Wawancara dengan Bapak Djaya Soehendra 14 April 2017.

167 menjadi tempat berkumpulnya organisasi sosial kemasyarakatan terbuka untuk umum dan bukan kegiatan agama namun bersifat budaya, Ganjar Angkawijaya mengharapkan Perkumpulan Boen Tek Bio mengikuti jejak Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) dengan menghilangkan identitas keagamaan. Djaya Soehendra yang mewakili Pengurus Perkumpulan Boen Tek Bio mengatakan, “Dari dulu juga ini Perkumpulan Keagamaan dan Sosial...... ”.16 Seperti diketahui Perkumpulan Boen Tek Bio bersifat lokal di wilayah Tangerang, didirikan untuk mengurusi keagamaan umat di Klenteng Boen Tek Bio khususnya masyarakat Tionghoa yang beragama Khonghucu, Tao dan Buddha. Namun hal itu tidak terjadi, situasi politik pasca huru hara dan tumbangnya pemerintah Orde Baru Mei 1998, mengurung harapan BKMC terhadap Perkumpulan Boen Tek Bio, seperti Perkumpulan Masyarakat Surakarta. Kebijakan politis pemerintah terhadap agama Khonghucu sangat berpengaruh terhadap hubungan umat beragama di lingkungan Boen Tek Bio, generasi yang lahir dalam tahun 1980 atau setelah penerapan Kurikulum Pendidikan tahun 1975, memberikan pemahaman bahwa Khonghucu itu bukan agama, padahal tradisi Khonghucu sudah berpengaruh lama di kalangan orang Cina Benteng maupun dilingkungan Kelenteng Boen Tek Bio. Sementara mereka yang mencantumkan agama Buddha di kartu penduduk juga memiliki pandangan yang berbeda terhadap tradisi

16 Wawancara dengan Bapak Djaya Soehendra 14 April 2017.

168

Khonghucu atau kebiasaan orang Tionghoa tidak semuanya bersikap untuk menghilangkan tradisi Khonghucu. D. Peranan Perkumpulan Boen Tek Bio di Bidang Keagamaan Dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Perkumpulan Boen Tek Bio pertama didirikan tahun 1912 memiliki tujuan mengurus rumah ibadah dalam hal persembahyangan serta mengembangkan agama Tionghoa. Perkumpulan Boen Tek Bio dalam perubahan anggaran dasar Perkumpulan Boen Tek Bio mengembangkan Agama Khonghucu, Tao dan Buddha, namun dalam perkembangan selanjutnya hanya ada dua agama yang berkembang yaitu Agama Khonghucu dan Agama Buddha. Perkumpulan Boen Tek Bio menyediakan Khongcu Bio sebagai tempat ibadah bagi Umat Khonghucu yang dibangun pada tahun 1969 dan bertempat di Jalan Kisamaun No.145 Kota Tangerang, sementara Bhumidharmmasala sebagai tempat ibadah bagi Umat Buddha yang dibangun pada tahun 1988 dan bertempat di Jalan Bhakti atau di belakang dalam Kelenteng Boen Tek Bio. Kegiatan dan aktivitas keagamaan Perkumpulan Boen Tek Bio terbagi menjadi tiga tempat diantaranya 1. Kelenteng Boen Tek Bio Sebagai pusat kegiatan dan aktivitas keagamaan bagi kedua pemeluk agama, baik umat Khonghucu maupun umat Buddha. Kelenteng Boen Tek Bio di buka setiap hari, umat bisa melakukan persembahyangan, kadang kala umat ada yang

169 melakukan fang seng, memberikan dana bisa berupa uang di kotak dana, minyak sayur untuk sin teng atau beras untuk mereka yang membutuhkan. Pada umumnya persembahyangan di Kelenteng Boen Tek Bio didasarkan kepada penanggalan Imlek17 atau Khongcu Lek. Dalam anggaran rumah tangga yang ditetapkan pada tanggal 26 Maret 1950 adalah mengurus persembahyangan pada Dewi Kwan Im dan shenming pada hari shejit dan hari-hari suci lainnya yang dimulai pada bulan Cia Gwee bulan pertama penanggalan Imlek sampai dengan Cap Jie Gwee bulan dua belas (tutup tahun) penanggalan Imlek dan sajian persembahan bisa berupa buah- buahan atau samseng. Dengan menggunakan penanggalan Imlek maka ritual persembahyangan di Kelenteng Boen Tek Bio dibagi menjadi beberapa bagian : 1. Sembahyang pengucapan syukur setiap pagi dan sore atau Tuang Teh yang dilaksanakan oleh Bio kong. 2. Sembahyang atau Thiam Hio setiap tanggal 1 (Ce It) dan 15 (Cap Go) penanggalan Imlek.

17Pada masa pemerintahan Kaisar Han Wu Dimenetapkan Penanggalan Dinasti Xia kembali yang dikenal penanggalan Imlek menjadi penanggalan resmi Dinasti Han. Hal ini sesuai atau mengikuti anjuran Nabi Kongzi untuk menggunakan penanggalan Dinasti Xia, dimana tahun barunya, jatuh pada sekitar pertengahan Januari sampai dengan pertengahan Februari dan untuk menghormati dan menghargai jasa-jasa Nabi Kongzi yang menganjurkan pemakaian penanggalan Dinasti Xia ini, maka ditetapkan tahun pertama dari penanggalan resmi Dinasti Han ini pada tahun kelahiran Nabi Kongzi tahun 551.

170

3. Hari-hari suci melaksanakan ibadah secara berkala, pada hari- hari suci ini sebagian atau seluruh pengurus ikut hadir dalam melaksanakan persembahyangan. a. Sembahyang Ci Sembahyang sujud kehadapan Tian yang bermaknakan pengagungan dan kebesaran Tuhan atau sembahyang Jing Tian Gong. Dilaksanakan pada saat Tahun Baru Imlek di musim semi, yang jatuh pada tanggal 8 malam tanggal 9 (saat tengah malam) bulan 1 (Cia Gwee) penanggalan Imlek. b. Sembahyang Yue Sembahyang Taqwa kepada Tian yang bermaknakan manusia diingatkan untuk selalu eling akan kekuasaan-Nya disertai taqwa kepada-Nya, manusia memohon untuk selalu diberi kekuatan dalam cobaan dalam hidup dan diberi jalan kemudahan dalam hidup ini. Persembahyangan ini dilaksanakan pada saat alam dalam keadaan ekstrim yaitu pada musim panas tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek (Go Gwee Ce Go) atau persembahyangan Duan Yang (Twan Yang). Pada hari Duan Yang, Perkumpulan Boen Tek Bio mendirikan altar untuk Tian di pinggiran sungai Cisadane Kota Tangerang, prosesi persembahyangan dilaksanakan pada jam 11.50 menjelang tengah hari yang dipimpin oleh rohaniwan umat Khonghucu. Pada hari itu digelar lomba

171

perahu naga atau Perayaan Pe Cun dan juga musik tradisional gambang kromong, masyarakat disuguhkan makanan khas bak cang dan kwe cang. c. Sembahyang Chang Sembahyang syukur dan yakin kepada Tian yang bemaknakan kepada-Nya segala doa dan harapan dipanjatkan. Dilaksanakan pada saat semesta dalam kedudukan yang harmonis sehingga dipercaya sebagai keadaan aura terbaik untuk memanjatkan doa. Dilaksanakann pada musim gugur pada tanggal 15 bulan 8 penanggalan Imlek (Pe Gwee Cap Go atau Sembahyang Zhong Qiu, dengan sajian makanan yang khas yaitu kue bulan. d. Sembahyang Zheng Sembahyang syukur dan yakin kepada Tian yang bermakna rasa syukur dan yakin akan berkah-Nya. Dilaksanakan pada saat Dong Zhi di musim dingin saat matahari di titik balik selatan, yaitu tanggal 22 Desember dengan sajian makanan khas onde. 4. Shejit para Shen Ming 5. Sembahyang untuk Leluhur a. Qing Ming (Cheng Beng) Biasanya dilaksanakan setiap tanggal 4 atau 5 April. Sebagian pengurus hadir pada acara persembahyang Cheng

172

Beng. Perkumpulan Boen Tek Bio menyiapkan seluruh perangkat ritual persembahyangan seperti makanan dan peralatan persembahyangan dan altar untuk persembahyangan. Persembahyangan Qing Ming dilaksanakan di Pemakaman Tanah Gocap secara bergantian dipimpin dari dua agama yakni rohaniwan agama Khonghucu dan agama Buddha membacakan doa untuk para arwah leluhur. Selesai ritual persembahyangan, umat mengambil dengan berebutan seluruh makanan maupun sembako yang ada dimeja persembahyangan. b. Jing Hee Ping (Keng Hoo Peng) Dikenal juga sembahyang untuk arwah umum atau umum mengenalnya sebagai sembahyang rebutan, dilaksanakan tangal 29 bulan 7 penanggalan Imlek (Cit Gwee Ji Cap Kau) sebagian pengurus Perkumpulan Boen Tek Bio turut hadir. Perkumpulan Boen Tek Bio menyiapkan seluruh perangkat ritual persembahyangan seperti makanan dan peralatan persembahyangan dan altar untuk persembahyangan. Persembahyangan Jing Hee Ping dilaksanakn di Gang Cilangkap diseberang jalan berhadapan dengan pintu masuk Kelenteng Boen Tek Bio. secara bergantian dipimpin dari dua agama yakni rohaniwan agama Khonghucu dan agama Buddha membacakan doa untuk para arwah leluhur. Selesai ritual persembahyangan, umat mengambil dengan

173

berebutan seluruh makanan maupun sembako yang ada dimeja persembahyangan. 6. Prosesi 12 Tahunan YMS (Yang Mulia dan Suci) Dewi Kwan Im Prosesi YMS (Yang Mulia dan Suci) Dewi Kwan Im 12 tahunan atau dikenal dengan Perayaan Arak-arakan Gotong Toapekong biasanya disambut meriah oleh masyarakat Tangerang umumnya maupun Perkumpulan Boen Tek Bio Tangerang pada khususnya. Pengunjung yang menyaksikan perayaan ini tidak terbatas dari masyarakat Tangerang saja, tetapi juga berdatangan dari berbagai propinsi di Indonesia. Perayaan ini biasanya dilaksanakan bertepatan dengan tahun Shio Naga (liong) pada bulan 8 penanggalan Imlek (Pe Gwee). Perayaan tahun 2012 merupakan yang ke 14 kalinya. Dalam perayaan ini, jalan-jalan dipadati oleh ribuan bahkan puluhan ribu orang yang ingin menyaksikan jalannya perayaan tersebut. Untuk kelancaran perjalanan tiga joli yang berisi kimsin YS (Yang Suci) Kongco Kha Lam Ya, Kimsin YS Kongco Kwan Seng Tee Kun, dan Kimsin YMS Kwan Im Nio, permainan tarian liong mendahului bergerak di depan untuk membuka jalan. Dengan adanya liong ini maka secara otomatis penonton akan bergeser karena takut terkena kepala atau ekornya liong. Menurut kisahnya, Kelenteng Boen Tek Bio sebelum tahun 1844 masih merupakan rumah. Kemudian direnovasi secara besar-besaran terhadap Kelenteng Boen Tek Bio tersebut yang telah direncanakan pada tahun

174

Naga (liong). Pekerja atau ahlinya pun didatangkan dari Tiongkok, sehingga kimsin yang dipuja Dewi Kwam Im, kimsin Kongco Kha Lam Ya, kimsin Kongco Hok Tek Ceng Sin, Kimsin Kongco Kwan Seng Tee Kun dipindahkan sementara ke Kelenteng Boen San Bio (Pasar Baru) yang jaraknya tidak begitu jauh dari Kelenteng Boen Tek Bio. Setelah direnovasi Kelenteng Boen Tek Bio yang selesai pada tahun itu juga, kimsin-kimsin yang dipindahkan sementara di Kelenteng Boen San Bio dikembalikan ke tempat semula pada bulan 8 penanggalan Imlek (Pe Gwee). Ketika perpindahan kimsin diiringi oleh masyarakat (umat) Kelenteng Boen Tek Bio. Untuk memperingati perpindahan tersebut, maka arak-arakan Gotong Toapekong ke-1 jatuh pada tahun 1856. Perayaan ini menjadi tradisi masyarakat Tangerang pada umumnya dan khususnya umat di Kelenteng Boen Tek Bio Tangerang.

175

Perayaan Tahun Keterangan

1 1856 Arak-arakan pertama pada tahun Shio Naga

2 1868 Prosesi 12 Tahunan 3 1880 Prosesi 12 Tahunan 4 1892 Prosesi 12 Tahunan 5 1904 Prosesi 12 Tahunan 6 1916 Prosesi 12 Tahunan 7 1928 Prosesi 12 Tahunan 8 1940 Prosesi 12 Tahunan Prosesi 12 Tahunan pertama sejak Indonesia 9 1952 merdeka 10 1964 Prosesi 12 Tahunan Karena tidak mendapat izin dari pemerintah untuk sampai ke Boen San Bio (Pasar Baru), maka 11 1976 rute yang dilalui dipersingkat dengan melalui jalan Cilangkap, jalan Cirarab, jalan Kisamaun sampai ke bundaran dekat Pendopo Kabupaten, masuk jalan Cilame, jalan Bhakti dan selesai. Tidak ada kesepahaman diantara Panitia Penyelenggara dimana sebagian pemuka agama Buddha yang menghendaki prosesi ini juga mengikutsertakan rupang Buddha Gautama, namun panitia menolak dengan alasan sejarah 12 1988 peristiwa hanya membawa kimsin Dewi Kwan Im, Kha Lam Ya dan Kwan Kong pada waktu itu. kemudian ijin tidak dikeluarkan pemerintah, hanya di dalam lingkungan Boen Tek Bio sesuai dengan Inpres No.14 tahun 1967. Panitia akhirnya membatalkan arak-arakan keluar dari lingkungan Boen Tek Bio. Prosesi 12 tahunan dipulihkan kembali dengan 13 2000 rute semula. 14 2012 Prosesi 12 Tahunan

176

2. Khongcu Bio (Seksi Kerohanian Agama Khonghucu) Merupakan kegiatan dan aktivitas agama Khonghucu yang dilakukan secara rutin antara lain:  Sembahyang syukur setiap pagi dan sore  Sembahyang setiap tanggal 1 (Ce It) dan 15 (Cap Go) penanggalan Imlek.  Hari-hari suci keagamaan antara lain Hari Persaudaraan, Tahun Baru Imlek, Jing Tian Gong, Cap Goh Meh, Hari Wafat Nabi Kongzi, Duan Yang, Zhong Qiu, Dong Zhi.  Sembahyang untuk leluhur seperti Qing Ming (Cheng Beng) dan Jie Heng ping (King Hoo Peng).  Kebaktian setiap hari Jum’at untuk orang dewasa dan kebaktian setiap hari minggu untuk anak-anak, yang diisi dengan ceramah-ceramah keagamaan. 3. Vihara Padumuttara (Seksi Kerohanian Agama Buddha) Merupakan kegiatan dan aktivitas agama Buddha yang dilakukan secara rutin antara lain:  Kebaktian untuk orang dewasa, remaja dan anak-anak yang dijadwalkan pada hari yang telah ditentukan yang diisi dengan penceramah dengan mengundang sekte-sekte agama Buddha yang berlainan di waktu yang berbeda.

177

Vihara Padumuttara dibawah Perkumpulan Boen Tek Bio tidak berafiliasi dengan sekte agama Buddha tertentu..  Hari-hari suci keagamaan seperti Hari Kathina, Trisuci Waisak, Asadha  Kegiatan keagamaan lainnya seperti Pindapatta. E. Peranan Perkumpulan Boen Tek Bio di Bidang Sosial Perkumpulan Boen Tek Bio Tangerang didirikan selain mengembangkan agama dalam masyarakat Tionghoa Tangerang, Perkumpulan Boen Tek Bio juga menaruh perhatian kehidupan sosial masyarakat di Tangerang. Agama merupakan sumber keyakinan dalam masyarakat memiliki seruan terhadap umatnya untuk saling menolong dan membantu sesama umat manusia sehingga tercipta lingkungan yang kondusif. Dalam tradisi agama Khonghucu umat diminta untuk saling menghargai dan toleransi serta kepekaan sosial terhadap lingkungan masyarakat, sebagaimana seruan dalam agama Khonghucu Di empat penjuru lautan semua saudara. Atas dasar keyakinan keagamaan Perkumpulan Boen Tek Bio menyelenggarakan kegiatan-kegiatan sosial diantaranya menyelenggarakan donor darah dan pengobatan gratis setiap hari ulang tahun Perkumpulan Boen Tek Bio 12 Januaari dan Hari lahri Nabi Kongzi, memberikan bantuan beasiswa untuk anak asuh untuk semua lintas agama dibidang pendidikan baik disekolah negeri maupun swasta, memberikan bantuan kebutuhan pokok

178 seperti beras pada saat Jie Siang Ang (Hari Persaudaraan) kepada warga yang membutuhkan, menyelenggarakan kegiatan pengobatan gratis pada waktu tertentu, menyelenggarakan program bedah rumah, selain itu Perkumpulan Boen Tek Bio memiliki dua klinik pengobatan yakni Klinik Pengobatan Perguruan Buddhi di Karawaci selain untuk guru dan karyawan juga untuk umum dan Klinik Pengobatan Boen Tek Bio di Kalipasir, Pasar Lama. Dengan adanya keterlibatan sosial Perkumpulan Boen Tek Bio mendukung hubungan yang harmoni di antara masyarakat di Tangerang dan membawa perubahan yang positif tidak hanya orang Tionghoa saja, namun untuk semua lapisan masyarakat. F. Peranan Perkumpulan Boen Tek Bio di Bidang Pendidikan Kondisi sekolah Tiong Hoa Hwe Koan cabang Tangerang yang kian mengalami kemuduran dan mulai berkembangnya sekolah-sekolah di Tangerang menjadi keprihatinan bagi Perkumpulan Boen Tek Bio. Pada tahun 1949 Ketua Perkumpulan Boen Tek Bio, Ong Kim Tiat mengajukan permohonan kepada Perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan di Jakarta, agar gedung dan inventaris-inventaris milik masyarakat Tionghoa di Tangerang diserahkan kepada Perkumpulan Boen Tek Bio yang akan mengadakan gedung sekolah untuk masyarakat Tionghoa di Tangerang, namun permintaan ini tidak bisa dipenuhi pihak Tiong Hoa Hwe Koan di Jakarta mengingat Anggaran Dasar Perkumpulan Boen Tek Bio hanya mengurus dan memgembangkan agama

179

Tionghoa dan urusan pemakaman, pihak Perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan meminta agar menambah kata SOSIAL dalam anggaran dasar. Pada tahun 1950 terjadi penggantian Ketua Perkumpulan Boen Tek Bio dari Ong Kim Tiat ke Phoa Tjin Houw. Phoa Tjin Houw melanjutkan harapan dari mantan Ketua Perkumpulan Boen Tek Bio, Ong Kim Tiat dengan bantuan Souw Hong Tjoen seorang pengacara di Jakarta dan duduk sebagai penasehat di kepengurusan Tiong Hoa Hwe Koan Pusat di Jakarta, bersedia membantu dan mengurus ke Kementerian Kehakiman Republik Indonesia Serikat di Jakarta. Pada tahun 1951 Souw Hong Tjoen menyampaikan keinginan Perkumpulan Boen Tek Bio untuk mengelola sekolah kepunyaan Tiong Hoa Hwe Koan terwujud, akhirnya Pengurus Tiong Hoa Hwe Koan Pusat di Jakarta menghibahkan gedung dan seluruh inventaris baik yang bergerak maupun tidak bergerak diserahkan kepada Perkumpulan Boen Tek Bio. Bekas gedung Tiong Hoa Hwe Koan yang berada disamping Kelenteng Boen Tek Bio kini telah berubah menjadi ruang Aula Perkumpulan Boen Tek Bio. Meski gedung Tiong Hoa Hwe Koan telah diambil alih Perkumpulan Boen Tek Bio, namun Perkumpulan Boen Tek Bio belum sepenuhnya bisa mewujudkan gedung sekolah untuk masyarakat Tionghoa di Tangerang. Pada tahun 1973 tokoh-tokoh agama Khonghucu berkumpul di Lithang (Khongcu Bio) untuk membicarakan sekolah Taman Kanak-Kanak untuk anak-anak sekolah minggu di Lithang dan ini

180 menandai awal berdirinya Sekolah Nasional Confucius pertama sejak Tionghoa Hak Tong (sekolah Tiong Hoa Hwe Koan) dihibahkan ke Perkumpulan Boen Tek Bio, namun perkumpulan belum bisa sepenuhnya mewujudkan harapan untuk membangun sekolah nasioanl akibat persaingan dengan sekolah-sekolah lainnya yang ada di Tangerang pada waktu itu.

BAB V

EKSISTENSI MASYARAKAT CINA BENTENG

Pada bab ini penulis memaparkan, perjuangan umat Khonghucu Cina Benteng dalam mempertahankan keyakinan dan kepercayaannya. Penulis memaparkan dalam penelitian terhadap umat Khonghucu Cina Benteng dalam memiliki Lithang sebagai tempat ibadah dan Sekolah Confucius sebagai pendidikan untuk generasi penerus. Perjuangan dalam mempertahankan identitas keagamaan ditengah tekanan pemerintah Orde Baru. Di bagian akhir penulis merekontruksikan kembali akan masa depan Agama Khonghucu di kalangan masyarakat Cina Benteng. A. Mendirikan Lithang Berdasarkan prasasti dan catatan Riwayat Berdirinya Lithang Tangerang, berdirinya tempat ibadah bagi umat Agama Khonghucu di Tangerang, tidak terlepas dari peran tokoh-tokoh pemangku jabatan Pengurus Perkumpulan Boen Tek Bio (Padumuttara). Sebelum berdirinya Lithang Tangerang, kebaktian dilaksanakan di Kelenteng Boen Tek Bio dan memiliki personil susunan Pengurus Seksi Kerohanian Agama Khonghucu / Tao dengan Ketua Dirun Lohanda (Loa Tjeng Po) yang disahkan pada tanggal 23 Januari 1969. Mengingat ruang yang terbatas sementara jumlah umat bertambah sehingga dibutuhkan satu tempat terpisah untuk kegiatan keagamaan. Pada tahun 1969, atas prakarsa Bapak Loa Tjeng Po (Lohanda Dirun) dan Bapak Lim Tjeng Soen 181

182

(Udayasusila Halim), maka dibangunlah sebuah tempat ibadah bagi umat Khonghucu di Jalan Ki Samaun No.145 Tangerang yang dipandang cocok sebagai tempat untuik bangunan rumah ibadah untuk umat Agama Khonghucu. Pendirian Lithang sebagai tempat ibadah Agama Khonghucu memungkinkan mengingat mereka yang duduk dalam kepengurusan Perkumpulan Boen Tek Bio antara tahun 1960 sampai dengan tahun 1970-an banyak didominasi umat Khonghucu, hal ini disebakan pengaruh sekolah Tiong Hoa Hwe Koan dengan misi Agama Khonghucu di masa lalu. Pembangunannya dimulai pada tanggal 19 Januari 1969 dan diselesaikan pada tanggal 3 Mei 1970. Pembangunan Lithang Khongcu Bio mendapat dukungan dan persetujuan dari Pengurus Perkumpulan Boen Tek Bio pada masa kepengurusan Bapak Tirta Hirawan, Ketua Umum Perkumpulan Boen Tek Bio, seorang tokoh agama Khonghucu (Periode Tahun 1967 sampai dengan 1977). Bapak Tirta Hirawan menunjuk Bapak Deva Lilie sebagai Ketua Panitia Pembangunan Lithang Tangerang. Menurut Bapak Deva Lilie, “Beliaulah yang memberi kepercayaan kepada saya sebagai Ketua Panitia Pembangunan dengan dibantu oleh Bapak Lim Tiang Tjie sebagai pelaksana pembangunan, Bapak Udayasusila Halim sebagai bendahara, dibantu pula oleh Bapak Lim Hin Tay, Bapak Tan Tjeng Hoa, Bapak Lauw Kim Hok dan lain-lainnya. Boleh dikatakan saya mendapat tugas itu tanpa berbekal modal sepeserpun, karena keuangan Perkumpulan pada waktu itu belum

183 ada. Namun saya tak putus asa lalu kehilangan akal. Dengan modal kepercayaan, kami mencoba meminta sumbangan dari pintu ke pintu ke para pedagang. Tapi ketika sumbangan sukarela sudah mengering, sedangkan bangunan Lithang masih belum juga rampung, kami terpaksa menjual obligasi Perkumpulan.....” senada dengan pernyataan Bapak Deva Lilie, Bapak Udayasusila Halim ketika itu bertugas sebagai bendahara kemudian merangkap Pelaksana Bangunan menggantikan Bapak Lim Tiang Tjie, mengatakan bahwa, “Obligasi yang dikeluarkan oleh Perkumpulan merupakan jaminan atas pinjaman umat dan pribadi-pribadi pengurus. Setelah beberapa waktu berselang, pinjaman tersebut secara berangsur dapat dikembalikan seluruhnya.”1 Pembangunan Lihtang mendahului pembangunan Bhumi Dhammasala tempat ibadah Agama Buddha di Kelenteng Boen Tek Bio yang diresmikan pada tanggal 31 Mei 1988. Pembangunan Lithang Khongcu Bio mendapat ijin dari pemerintah Kabupaten Tangerang yang dikeluarkan oleh D.P.U (Djawatan Pekerdjaan Umum) Kabupaten Tangerang pada tahun 1968. Setelah Lithang sudah diresmikan, umat Khonghucu Tangerang mengadakan suatu musyawarah memilih pimpinan yang menghasilkan suatu keputusan mengangkat Yap Keng Tun (Yahya Soekarta) sebagai Ketua Seksi Agama Khonghucu dari Perkumpulan

1Proposal Rencana Peremajaan Gedung Lithang Khongcu Bio Tangerang. (Perkumpulan Padumuttara Tangerang, 1988), h.

184

Boen Tek Bio yang pertama dan dibantu oleh para rohaniwan Agama Khonghucu antara lain Bapak Tjan Kim Tjiang (Tangerang), Bapak Ang Hway Eng (Bandung) dan Haksu Tjan Djoen Hie (Sdh.Chandra).. Pada masa periode kepemimpinan Yap Keng Tun, pengurus mengajukan surat permohonan kepada Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia untuk bisa diterima sebagai anggota dan pada tanggal 28 Oktober 1970, Seksi Agama Khonghucu Perkumpulan Boen Tek Bio di Jalan Ki Samaun No.145 Tangerang resmi diterima sebagai anggota Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia yang berpusat di Solo dengan nomor urut ke tiga puluh satu. Pada bulan April 1970, atas usaha Haksu Tjan Djoen Hie (Sdh.Chandra) dan Bapak Tirta Hirawan, tempat ibadah umat Agama Khonghucu Lithang Tangerang secara resmi terdaftar di Direktorat Urusan Agama Hindu Bali dan Buddha No.103/Dd/H/DAH/c/70 dengan nama Lithang Padumuttara / Boen Tek Bio, dalam pengawasan/penelitian Direktorat Urusan Agama Hindu Bali dan Buddha Departemen Agama ditetapkan di Jakarta pada bulan April 1970 dan ditandatangani oleh I Gede Puja. Adapun pimpinan pengurus Seksi Agama Khonghucu Perkumpulan Boen Tek Bio / Padumuttara atau Majelis Agama Khonghucu Indonesia Tangerang yang dimulai sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 1986 sebagai berikut: 1. Periode 1969-1971 di pimpin oleh Bapak Yap Keng Tun (Yahya Soekarta) 2. Periode 1971-1973 di pimpin oleh Bapak Lim Tjin Kwee

185

3. Periode 1973-1974 di pimpin oleh Bapak Tjiam Yan Gie (Suryadi) 4. Periode 1974-1975 di pimpin oleh Bapak Hs.Sdh Chandra 5. Periode 1975-1977 di pimpin oleh Bapak Lim Djin Houw (Djaya Soehendra) 6. Periode 1977-1979 di pimpin oleh Bapak Oey Tjin Siang (Wiguna) 7. Periode 1979-1981 di pimpin oleh Bapak Kasim Gunawijaya 8. Periode 1981-1983 di pimpin oleh Bapak Loa Tjeng Goan (Tirta Lohanda) 9. Periode 1983-1985 di pimpin oleh Bapak Ks. Tan Tiang Kie (Rusli Wijaya) 10. Periode 1985-1986 di pimpin oleh Bapak Lim Tjin Keng (Udayananda Halim) 11. Periode 1986-1987 di pimpin oleh Bapak Lie Min Kim. Agar tidak terjadi konflik dan saling pengertian diantara dua organisasi keagamaan dalam hal ini Pengurus Seksi Agama Khonghucu Perkumpulan Padumuttara / Boen Tek Bio dan Majelis Agama Khonghucu Indonesia Tangerang, maka Perkumpulan Padumuttara (Boen Tek Bio) pada tanggal 8 Agustus 1979 dengan nomor surat 084/P/8/79 mengeluarkan surat edaran perihal Ijin Pemakaian Gedung Lithang yang ditanda tangani Ketua Umum Perkumpulan Padumuttara (Boen Tek Bio) Bapak Deva Lilie. Inti dari surat ini adalah memberikan pinjam tempat ibadah dan sarana

186 keagamaan lainnya pada Seksi Agama Khonghucu Perkumpulan Padumuttara (Boen Tek Bio) Tangerang, dalam jangka waktu tidak ditentukan lamanya, selama dipergunakan untuk kegiatan penyuluhan dan pengembangan Agama Khonghucu di Tangerang. Tindak lanjut dari surat ini menimbulkan terjadinya pemisahan secara organisasi pada masa periode kepengurusan Kasim Gunawijaya antara Seksi Agama Khonghucu yang berpusat pada Perkumpulan Boen Tek Bio / Padumuttara dan Majelis Agama Khonghucu Indonesia Tangerang yang berpusat ke Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia, dengan demikian Seksi Agama Khonghucu Perkumpulan Boen Tek Bio / Padumuttara bukan lagi disebut Majelis Agama Khonghucu, meski demikian keduanya memiliki hubungan kerjasama yang baik dalam mengembangkan Agama Khonghucu, dengan kata lain Seksi Agama Khonghucu Perkumpulan Boen Tek Bio sebagai pemilik sah tanah dan bangunan Lithang menyediakan sarana dan prasarana untuk umat Khonghucu sementara Majelis Agama Khonghucu Indonesia menyediakan pemuka agama atau rohaniwan yang disetujui Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia yang berpusat di Solo. Namun jabatan rangkap mulai terjadi pada masa-masa ketika Agama Khonghucu mengalami ketidakjelasan dalam pemerintahan masa Orde Baru.

187

Rohaniwan agama Khonghucu yang telah mendedikasikan dirinya dalam mengembangkan agama Khonghucu di Lithang Tangerang sebagai berikut: Bapak Alm.Ks.Ang Hway Eng, Bapak Alm.Bs.Purna Sukmana Noor, Bapak Alm. Ks.Tan Sun An, Bapak Alm. Ks. Budi Setiadharma, Bapak Ks. Tan Tiang Kie (Rusli Wijaya), Bapak Alm. Ks. Ongko Wijoyo, dan Bapak Ks. Tan Tjoe Seng. Dalam perkembangannya Seksi Agama Khonghucu Perkumpulan Boen Tek Bio / Padumuttara maupun Majelis Agama Khonghucu Indonesia Tangerang di Lithang Tangerang menyelenggarakan kegiatan rutin keagamaan untuk umat diantaranya : 1. Kebaktian anak-anak setiap hari Minggu pagi jam 09.00 WIB - 11.00 WIB 2. Kebaktian umum setiap hari Jum’at malam jam 19.30 WIB - 22.00 WIB 3. Pelayanan umat dalam perkawinan, kematian dan lain-lain 4. Pelayanan tenaga pengkhotbah untuk kebaktian di daerah- daerah seperti Rawakucing, Tanjung Kait, Maruga, Kebon Sayur, Ciakar. 5. Susi Studi yakni pendalaman ayat-ayat suci Agama Khonghucu B. Perjuangan Mempertahankan Agama Khonghucu Menurut M. Ikhsan Tanggok, Tempat ibadah umat Khonghucu disebut Lithang. Dulu tempat ibadah orang Cina itu

188 adalah klenteng, namun pada zaman Orde Baru klenteng banyak diubah fungsinya menjadi wihara, tempat ibadah umat Buddha. Di beberapa daerah, seperti di Pontianak, Kalimantan Barat, ada juga umat Khonghucu menggunakan klenteng untuk tempat ibadah.2 Sejak adanya kebijakan Pemerintah Orde Baru terhadap Agama Khonghucu, mereka mengupayakan dengan menggunakan nama Lithang, nama Lithang jauh dari hal-hal yang bersifat Tionghoa, hal ini akibat dari Inpres No.14 Tahun 1967 yang antara lain membatasi Agama Khonghucu. Nama Lithang hanya digunakan di Indonesia, pengertian Lithang adalah tempat melaksanakan kebaktian. Lithang dapat diartikan Li yang berarti susila dan Thang yang berarti ruangan, jadi Lithang adalah Ruang kesusilaan. Sejak berdirinya Lithang sebagai rumah ibadah agama Khonghucu di Tangerang, umat Khonghucu menghadapi rintangan, dalam tahun 1990-an, menurut Djaya Soehendra, Plang Nama Lithang sempat diturunkan oleh Kodim (Komando Distrik Militer) Tangerang, alasannya karena ada kata agama didepan Khonghucu, Seksi Agama Khonghucu, sementara menurut Kodim, Khonghucu itu bukan agama dan tak layak di pasang dan harus diturunkan. Untuk mengatasi masalah ini, pengurus menemui pejabat yang lebih tinggi ke Pangdam Jaya (Panglima Komando Daerah Militer) di Jakarta dan

2 M.Ikhsan Tanggok, Jalan Keselamatan Melalui Agama Khonghucu, h.173.

189

Pangdam Jaya meminta Kodim untuk mengembalikan Plang Nama Lithang, kerena Kodim tidak perlu mencampuri urusan agama.3 Sesuai dengan arahan Presiden Soeharto tanggal 21 Februari 1979 agar pemeluk Khonghucu diserahkan ke Dirjen Hindu dan Budha Departemen Agama untuk mengintegrasikan pemeluk Khonghucu ke dalam sekte Budha Tridharma. Pemerintah melihat ajaran agama Khonghucu ada di sekte Agama Buddha dengan mengupayakan perleburan ke dalam wadah agama Buddha Tridharma. Hal ini dapat diketahui dari surat undangan yang ditujukan kepada Tan Tjoe Seng selaku Pemuka Agama Khonghucu di Tangerang dan mereka melakukan pendekatan. Pada tanggal 10 Desember 1980 Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Jawa Barat–Bandung, dengan nomor Nota Dinas, perihal Konsultasi Wadah Organisasi yang ditanda tangani oleh Pembina Masyarakat Hindu dan Budha Propinsi Jawa Barat I Nengah Wadrana BA mengundang Tan Tjoe Seng di Tangerang guna membicarakan masalah organisasi yang mengelola umat Khonghucu di beberapa daerah di Jawa Barat. Menurut Xs. Tan Tjoe Seng, pihak Pembina Masyarakat Hindu dan Budha meminta supaya agama Khonghucu di Tangerang bisa terintegrasi ke dalam Agama Buddha sekte Tridharma, namun Tan Tjoe Seng menolaknya dengan alasan masalah organisasi ini bukan tanggungjawabnya dan pihak Pembina

3 Wawancara dengan Djaya Soehendra

190

Masyarakat Hindu dan Budha harus membicarakan dengan Pihak MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia).4 Masalah pengesahan hukum perkawinan di Kantor Catatan Sipil yang berdasarkan Undang-undanga Perkawinan 1974 harus ada surat pemberkatan perkawinan dari lembaga agama tertentu. Dalam Undang-undang Perkawinan tahun 1974 Bab I Dasar Perkawinan Pasal 2 ayat 1 berbunyi :”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Di setiap daerah wilayah Indonesia memiliki perbedaan kasus dalam menangani perkawinanan Agama Khonghucu yang menurut hukum pemerintah Orde Baru tidak dilayani untuk dicatatkan secara hukum. Dalam kasus boleh tidaknya umat Agama Khonghucu mengesahkan secara hukum di Kantor Catatan Sipil Tangerang, memiliki keunikan tersendiri melalui hasil negosiasi atau dialog antara pihak Kantor Catatan Sipil Tangerang dengan pengurus Perkumpulan Padumuttara (Boen Tek Bio) yang diwakili pengurus Lithang Tangerang (Agama Khonghucu) sekitar tahun 1995. Menurut Djaya Soehendra, umat Khonghucu yang melangsungkan perkawinan bisa disahkan oleh Kantor Catatan Sipil, apabila Kop suratnya tidak mencantumkan kata-kata Agama Khonghucu.

4 Wawancara dengan Xs.Tan Tjoe Seng 13 Januari 2017

191

Hal ini dapat dilihat dari perbandingan dua kop yang berbeda yang dikeluarkan oleh Seksi Agama Khonghucu Perkumpulan Padumuttara (Boen Tek Bio) setelah disetujui Pengurus Inti Perkumpulan Padumuttara (Boen Tek Bio), Kop Surat Persidian Pernikahan yang terakhir tanpa ada kata-kata Agama Khonghucu dan ditandatangani oleh Ketua Umum Perkumpulan Padumuttara dengan stempel Vihara Padumuttara Kwan Im Hud Tjo Agama Buddha Dharma. Ini merupakan hasil negosiasi antara Pihak Kantor Catatan Sipil Tangerang dan Pengurus Lithang dalam mengesahkan perkawinan umat beragama Khonghucu secara hukum di Kantor Catatan Sipil Tangerang.

192

Kop Surat Pernikahan (Lama) Kop Surat Pernikahan (Baru) berlogo Agama Khonghucu tanpa logo / kata Agama Khonghucu

Umat Khonghucu di Tangerang dapat melangsungkan pernikahan menurut Agama Khonghucu dan mendapatkan akta perkawinan yang dikeluarkan Kantor Catatan Sipil Tangerang. Pemberkatan tetap dilangsungkan di Lithang Tangerang dengan Kop Pernikahan Jalan Kisamaun No.145 dan nama rohaniwan tidak menggunakan nama Tionghoa melainkan nama Indonesia, Bs.Tan Tjoe Seng menjadi Bs.Eddy Mulyana.

193

Akta Pernikahan Umat Khonghucu dikeluarkan Kantor Catatan Sipil Tangerang

C. Mendirikan Sekolah Confucius Pada bulan Oktober 1965 terjadi pergolakan terbesar dalam sejarah Indonesia modern, yang menandai awal berdirinya Pemerintah Orde Baru. Pada tanggal 19 Mei 1966, Wakil Perdana Menteri Roeslan Abdul Gani mengumumkan keputusan kabinet untuk menutup sekolah-sekolah asing (Tionghoa), disusul surat keputusan Menteri P & K tanggal 06 Juli 1966 yang mengatur pelaksanaannya. Akibat keputusan tersebut berimplikasi terhadap pelajar-pelajar Tionghoa, anak-anak Tionghoa didorong agar masuk sekolah-sekolah berbahasa pengantar bahasa Indonesia baik swasta

194 maupun negeri, akan tetapi tempat di sekolah-sekolah Indonesia yang ada terbatas. Sementara aset THHK beruapa gedung sekolah diambil alih oleh pemerintah dijadikan sekolah negeri, asrama tentara, ada pula dijadikan gedung perkantoran dan ruko. Dengan terbatasnya sekolah untuk anak Tionghoa, akhirnya pemerintah mengeluarkan sebuah peraturan yang dikenal sebagai Peraturan Presiden No.B12/Pres./I/1968, yang mengizinkan didirikannya sekolah-sekolah yang disponsori oleh kelompok-kelompok swasta di dalam masyarakat Tionghoa. Sekolah-sekolah ini dinamakan Sekolah Nasional Proyek Chusus (SNPC). Pada tahun 1974 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mashuri mengeluarkan peraturan menghapuskan SNPC dan menyatakan bahwa periode transisi bagi anak-anak Tionghoa sudah selesai.5 Tangerang, pada saat itu masih berstatus sebagai wilayah Tingkat II Kabupaten, di Tangerang hanya ada beberapa sekolah negeri dan sekolah swasta. Pada umumnya masyarakat Cina Benteng menjalani kebiasaan budaya dan tradisi Khonghucu yang sudah menyatu dalam kehidupan mereka. Keberadaan Kelenteng Boen Tek Bio sebagai sentral spritualitas masyarakat Cina Benteng. Sekitar tahun 1969 Pengurus Perkumpulan Boen Tek Bio memprakasai pendirian Lithang, tempat ibadah umat Khonghucu, di atas sebidang tanah terletak di Jalan Ki Samaun No.145.

5 Benny G.Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik (Jakarta : TransMedia,2008), h.979.

195

Pembangunan Lithang Tangerang dimulai pada tanggal 19 Januari 1969 dan diresmikan penggunaannya pada tanggal 03 Mei 1970. Lithang tempat ibadah umat Khonghucu, mendapat sambutan luas dari masyarakat Tangerang khususnya etnis Tionghoa yang beragama Khonghucu, kebaktian umum yang dihadiri ratusan orang dilaksanakan setiap satu kali dalam seminggu. Pada mulanya hanya ada kebaktian umum, mengingat banyaknya kanak-kanak yang ikut hadir kebaktian umum, atas usul Kasim Gunawijaya dan Bs.Rusnadi kepada Ketua Lithang Yap Keng Thung untuk mengadakan kebaktian kanak-kanak atau sekolah minggu. Usul mereka diterima baik oleh Yap Keng Thung dan menyerahkan pembinaan kerohanian sekolah minggu kepada Bs.Rusnadi. Anak-anak sekolah minggu kebanyakan berasal dari Kapling, Babakan, Pasar Lama, Benteng Makasar, Karawaci dan daerah sekitarnya, jumlah mereka terus meningkat yang dihadiri lebih dari seratus pengunjung demikian menurut penuturan Kasim Gunawijaya. Kanak-kanak yang mengikuti sekolah minggu, ditahun selanjutnya sudah ada yang mesti masuk sekolah khususnya Taman Kanak-Kanak, mengingat jumlah mereka cukup banyak sementara orang tua mereka menginginkan anak-anaknya di sekolah mendapat pendidikan agama Khonghucu. Anak-anak dari keluarga beragama Khonghucu di sekolah menerima pendidikan agama yang berbeda dengan keyakinan orang tuanya menimbulkan perbedaan paham dan anak mereka lebih tertarik dengan agama lain. Di

196

Tangerang ada beberapa sekolah swasta nasional seperti Strada yang bermisikan ajaran Agama Katolik namun pendidikan agama Khonghucu tidak diajarkan di sekolah tersebut. Sekolah negeri yang jumlahnya terbatas disamping itu orang Tionghoa yang mendaftarkan anaknya harus memiliki akta lahir serta surat kelengkapan lainnya. Melihat perkembangan sedemikian rupa yang didorong oleh beberapa faktor antara lain : 1. Berdirinya sekolah swasta nasional di Tangerang 2. Semangat untuk mengembangkan agama Khonghucu Hal ini menjadi pemikiran para tokoh dan pemuka agama Khonghucu, maka diadakan pertemuan di Lithang Tangerang, Jalan Ki Samaun No.145 yang dihadiri Bs.Rusnadi (Tjan Kim Tjiang) sebagai Rohaniwan, Latif Budiriady (Tian Bun) Sekerataris Lithang Tangerang, Kasim Gunawijaya (Gouw Kim Siu) dan Gouw Kim Sui. Dalam pertemuan tersebut disampaikan gagasan untuk mendirikan sekolah, Taman Kanak-Kanak. Latif Budiriady mengusulkan Taman Kanak-Kanak dengan nama Taman Kanak- Kanak Confucius atau TK Confucius. Menurut penuturan Latif Budiriady, dipilihnya nama Confucius tapi bukan Khonghucu supaya tidak terlalu kechinaan dan juga tidak terlalu terkenal disamping itu orang Barat mengenalnya dengan nama Confucius. Dalam pertemuan tersebut Bs.Rusnadi diminta kesediaannya untuk memimpin sekolah tersebut mengingat Bs.Rusnadi adalah rohaniwan dan pengalaman pendidikannya.

197

Pada akhir tahun 1972, mereka meminta Yap Keng Thung (Yahya Soekarta) sebagai Ketua Lithang Tangerang mengundang seluruh jajaran pengurus untuk mengadakan rapat. Mereka menyampaikan gagasan untuk mendirikan sekolah yakni Taman Kanak-Kanak. Dalam keputusan rapat ini disetujui sekolah dengan nama Taman Kanak-Kanak Confucius atau TK Confucius serta menunjuk dan mengangkat Bs.Rusnadi (Tjan Kim Tjiang) sebagai Pimpinan TK Confucius. Maksud dan Tujuan didirikan Taman Kanak-Kanak Confucius atau TK Confucius 1. untuk mengembangkan agama Khonghucu 2. membantu program pemerintah untuk mencerdaskan bangsa melalui pendidikan. Keputusan rapat yang menyetujui sekolah dengan nama Taman Kanak-Kanak Confucius, menunjukkan sikap keberanian dan keyakinan yang teguh dari para pendiri, meski pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No.14 / 1967 yang antara lain membatasi Agama Khonghucu. Inpres ini juga berdampak terhadap pendidikan, dikemudian hari mata pelajaran Agama Khonghucu tidak diijinkan untuk diajarkan di sekolah. Para pengambil keputusan dalam rapat yakin bahwa nama Confucius tidak ada masalah mengingat Undang-undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 2, menjamin kebebasan beragama dan U U No.1 PnPs tahun 1965, mengakui agama Khonghucu adalah salah satu agama yang

198 dipeluk warga negara Indonesa, seperti penjelasan Pasal 1 tertulis: “Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Semangat untuk mengembangkan Agama Khonghucu menjadi motivasi para pendiri, meskipun banyak kendala yang mereka hadapi. Kendala yang dihadapi pada saat merintis pendirian Taman Kanak-Kanak Confucius seperti sumber dana, perijinan operasional dan sumber daya manusia dalam hal guru yang profesional. Kasim Gunawijaya ditugaskan untuk mengurus perijinan pendirian sekolah ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dinas P & K) Kabupaten Tangerang. Kasim Gunawijaya melapor ke Dinas P & K Kabupaten Tangerang untuk minta rekomendasi pendirian sekolah Taman Kanak-kanak Confucius. Damang Saputra selaku Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tangerang bersedia membantu membuatkan surat rekomendasi pendirian sekolah, setelah mendapat surat perihal pendirian sekolah dari pengurus Lithang. Kasim Gunawijaya memiliki hubungan baik dengan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dinas P & K), Damang Saputra. Kasim Gunawijaya sering diminta bantuan untuk mendistribusikan buku pelajaran ke sekolah didalam 17 kecamatan wilayah Kabupaten Tangerang, setahun dua kali Kasim Gunawijaya mendistribusikan buku pelajaran ke sekolah tingkat SD. Ketekunan dan kerelaan Kasim Gunawijaya dalam membantu Dinas P & K Kabupaten Tangerang turut memperlancar

199 pekerjaan Dinas P & K Kabupaten Tangerang, karena pekerjaan membantu Dinas P & K, Kasim Gunawijaya mendapat tawaran untuk direkrut menjadi pegawai di Dinas P & K Kabupaten Tangerang, namun Kasim Gunawijaya lebih memilih untuk menekuni usaha bisnis es ketimbang menjadi pegawai. Untuk pekerjaan ini, Kasim Gunawijaya memang tidak di gaji hanya mendapat honour saja. Nama Confucius yang dipilih untuk nama sekolah Taman Kanak-kanak bukan nama Khonghucu, menurut M. Sri Jastuti, para pejabat pemerintah tidak mengetahui kalau nama Confucius adalah Khonghucu, mereka mengira Confucius nama yang sebanding dengan nama-nama sekolah Katolik atau Kristen seperti Thomas Aquino, Fransiskus, pernah dalam perlombaan mereka memberi nama sekolah Strada Confucius. M. Sri Jastuti baru lulus sekolah PGTK (Pendidikan Guru Taman Kanak-Kanak) di Tangerang pada tahun 1972 dari keluarga non Tionghoa beragama Katolik dan masih belum kerja. Pada akhir tahun 1972, Bs.Rusnadi menerima M. Sri Jastuti untuk direkrut sebagai guru mengajar di Taman Kanak-kanak Confucius. Saat diterima mengajar di sekolah Taman Kanak-kanak Confucius, M. Sri Jastuti masih berumur 22 tahun dan belum menikah. Penampilannya yang bersahaja, wanita kelahiran 5 Mei 1951 di Subang, menjadi guru pertama di sekolah Taman Kanak-kanak Confucius. Seorang guru yang cakap mengajar dan mendidik siswa,

200 meski seorang Katolik yang taat, dia memiliki toleransi terhadap lingkungan kerjanya, dalam kegiatan keagamaan di Lithang seperti perayaan Hari Lahir Nabi Kongzi dan ceebun, dia selalu mendukung dan mendampinginya. Bs.Rusnadi terkesan akan keberaniannya saat menyanggupi untuk mengawali tahun ajaran baru tahun 1973. M. Sri Jastuti yang mendharmabaktikan untuk sekolah Confucius selama 43 tahun dan mengembalikan surat pengangkatannya sebagai guru negeri tahun 1975 demi kecintaan dan keyakinan bahwa sekolah Confucius akan memberikan masa depannya yang lebih baik. Keinginan untuk meninggalkan sekolah Confucius tidak bisa diterima oleh pengurus Sekolah Confucius pada waktu itu, seperti diutarakan Latif Budiriady bahwa, Ibu M. Sri Jastuti guru pertama yang memiliki dedikasi dan kecakapan mengajar dibandingkan dengan guru lainnya serta kesetiaannya terhadap sekolah Taman Kanak-kanak Confucius tidak diragukan. Pada akhir tahun 1972, Bs.Rusnadi dan Gouw Kim Sui melakukan lobi ke Boen Tek Bio yang diterima Bapak Lim Tjeng Soen (Udaya Susila Halim) saat itu menjabat sebagai bendahara merangkap bidang logistik Perkumpulan Padumuttara (Boen Tek Bio). Pertemuan beberapa kali dengan pengurus Perkumpulan Padumuttara (Boen Tek Bio) yang menghasilkan keputusan bahwa pengurus Perkumpulan Padumuttara (Boen Tek Bio) menyetujui dan mendukung penuh akan adanya sekolah Taman Kanak-kanak Confucius. Lim Tjeng Soen (Udaya Susila Halim), Wiguna (Oey Tjin

201

Siang), Intang Mulyadinata adalah mereka yang memiliki peranan untuk berjuang di Perkumpulan Boen Tek Bio agar sekolah Confucius memperoleh sebidang lahan tanah untuk gedung sekolah sendiri. Awal Februari 1973 pendaftaran dan penerimaan murid baru di sekolah Taman Kanak-kanak Confucius mulai dibuka di Lithang, pada waktu itu belum bernama Khongcu Bio, bertempat Jalan Ki Samaun No.145. Pada bulan Maret 1973 siswa Tamak Kanak-kanak Confucius memulai pembelajaran yang menandai awal tahun ajaran baru, meski demikian penerimaan murid terus berlangsung hingga Desember 1973 dengan jumlah murid sebanyak 25 murid. Pada tahun berikutnya, jumlah murid bertambah sementara ruang tidak mencukupi, Perkumpulan Padumuttara (Boen Tek Bio) menawarkan sebidang tanah di Tanah Gocap namun hal itu ditolak oleh pengurus Lithang. Penolakan itu dengan alasan bahwa sekolah tidak boleh dekat tanah pemakaman, selain itu transportasi pada saat itu sulit dan biaya becak juga cukup mahal, demikian menurut penuturan M. Sri Jastuti. Pengurus Lithang mengajukan lahan yang tidak jauh dari Lithang dan disetujui Perkumpulan Padumuttara (Boen Tek Bio), lahan untuk sekolah dibeli dari rumah penduduk setahap demi setahap dan bertempat di Jalan Ki Samaun No.171 sekarang. Meski telah memiliki gedung sekolah sendiri, masyarakat

202

Tangerang pada waktu itu lebih mengenal Sekolah Confucius dengan nama Sekolah Lithang. Pada tahun 1974 SD Confucius didirikan bagi lulusan murid TK Confucius. Tahun 1976 ijin pendirian SD Confucius tidak diberikan, sebab pihak Dinas P dan K telah mengetahui Confucius sama dengan Khonghucu. Dalam perundingannya Pengurus Lithang seperti Latif Budiriady, Kasim Gunawijaya, Bs.Rusnadi lebih mengusulkan nama Setia Bhakti, sejalan dengan ajaran Agama Khonghucu Setia sama dengan sikap Tiong (Chung) dan Bhakti sama dengan sikap Hauw (Xiao) diartikan memiliki sikap setia dan berbakti. Dinas P dan K hanya memberi ijin SD dan SMP dengan nama Setia Bhakti kecuali TK Confucius sejak awal ijin pendiriannya sudah terdaftar dengan nama TK Confucius sejak tahun 1974. . Sejak berdirinya TK Confucius sampai dengan SMP Setia Bhakti tahun 1979, sekolah ini memiliki misi yang tidak berubah seperti yang dirintis para pendiri Sekolah Setia Bhakti yang dimulai dari Lithang yaitu mengembangkan ajaran Agama Khonghucu. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tidak memasukkan mata pelajaran Pendidikan Agama Khonghucu ke dalam kurikulum pendidikan tahun 1975, hal ini menimbulkan keresahan bagi umat Khonghucu karena anak didiknya harus mengikuti pelajaran agama lain. Untuk mengatasi permasalahan mata pelajaran pendidikan agama, pihak Perguruan Setia Bhakti dan Pengurus Lithang mengambil sikap untuk

203 menyelesaikan dengan memasukan mata pelajaran Pendidikan Agama Khonghucu sebagai mata pelajaran Budi Pekerti dan memasukan Agama Buddha sebagai mata pelajaran pendidikan agama, meski demikian ciri khas Perguruan Setia Bhakti tidak berubah, yakni peserta didik mengawali pelajaran dengan do’a Agama Khonghucu dan memberi salam dengan cara Pai (soja) demikian menurut penuturan Hs.Tan Tjoe Seng. Dampak langsung penerapan Kurikulum tahun 1975 terhadap Perguruan Setia Bhakti sangat dirasakan oleh peserta didik, seperti yang dikatakan Hs.Tan Tjoe Seng, pada tahun 1979 saat mengurus soal EBTA Agama Khonghucu untuk siswa SD Confucius ke Dinas P dan K Kabupaten Tangerang, mereka menolaknya dengan alasan Agama Khonghucu tidak masuk ke dalam kurikulum Pendidikan 1975. Dinas P dan K juga meminta Perguruan Setia Bhakti menyediakan guru mata pelajaran Pendidikan Agama Buddha untuk disediakan dan diajarkan di sekolah. Selain itu berdasarkan surat edaran sebelumnya dari Kepala Kantor Wilayah Departemen P Dan K Propinsi Jawa Barat yang ditanda tangani Drs.Taudin Iskandar yang ditujukan kepada Kepala Bidang Pendidisan Dasar, Menengah Umum dan Kejuruan Kantor Wilayah Dep.P dan K Jawa Barat agar tidak boleh mengijinkan kepercayaan Khonghucu dijadikan bahan EBTA pada tahun 1977 baik di sekolah negeri maupun swasta. Masalah mata pelajaran Pendidikan Agama Khonghucu tidak boleh diajarkan di Sekolah Setia Bhakti menjadi permasalahan di

204 internal kepengurusan Sekolah Setia Bhakti maupun Lithang. Para pendiri Sekolah Confucius maupun pengurus Lithang menghadapi dilema dan belum bisa menerima kenyataan bahwa mata pelajaran Pendidikan Agama Khonghucu itu tidak boleh diajarakan kepada peserta didik yang ada di Sekolah Setia Bhakti. Pengurus Perkumpulan Boen Tek Bio menyadari benar akan permasalahan tersebut dan tentu harus ada jalan untuk menyelesaikannya. Melalui Ketua Seksi Pendidikan Padumuttara, Ir.K.Yoswandi dengan nomor surat 04/VIII/Spd/V/81 pada tanggal 4 Agustus 1981, mengundang Pengurus Seksi Agama Khonghucu untuk bertukar pikiran mengenai kurikulum – pelajaran agama di Perguruan Setia Bhakti. Untuk menghormati umat Khonghucu dalam undangan tersebut, disampaikan bertempat di Lithang, tempat ibadah umat Agama Khonghucu. Hambatan Perguruan Setia Bhakti sebagai sebuah Sekolah Confucius tidak hanya datang dari internal saja melainkan juga dari external, Perguruan Setia Bhakti mendapat pengawasan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setelah mereka mengetahui bahwa Confucius itu sama dengan Khonghucu dan juga laporan-laporan dari pihak-pihak lain mengenai pembelajaran agama Khonghucu di sekolah, dalam surat peringatan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah Propinsi Jawa Barat kepada Kepala Sekolah dari unit TK SD dan SMP Perguruan Setia Bhakti dengan

205

No.6327/I02/U/1989 pada tanggal 25 November 1989 perihal Peringatan yang isinya antara lain: Dengan ini kami beritahukan berdasarkan hasil monitoring pengawas tanggal 22 Agustus 1989 sebagai berikut: 1. terdapat bidang studi Budi Pekerti diisi oleh Etika Moral Konfusius yang tidak sesuai dengan kurikulum. 2. dengan surat nomor 98/I02.04/SMP.SB/B/89 tanggal 31 Agustus 1989, Kepala SMP Setia Bhakti Tangerang dengan diketahui oleh Direktorat Perguruan Padumuttara telah melakukan penyesuaian / perbaikan. 3. Berdasarkan laporan Ka.Kandepdikbud Kab.Tangerang No.1026/I02.4/U/89 tanggal 24 Oktober 1989 pada SMP dan SD Setia Bhakti masih diajarkan Budi Pekerti yang berisikan ajaran Kong Hu Chu. Dengan memperhatikan surat Direktur Sekolah Swasta Ditjen Dikdasmen No.328/07/I/1989 tanggal 16 Maret 1989, No.667/07/I/1989 tanggal 7 Agustus 1989 dan No.689/07/I/1989 tanggal 16 Agustus 1989, perihal kasus sekolah-sekolah dibawah yayasan ”Padumuttara” Tangerang, kami peringatkan agar Saudara- saudara: 1. Melaksanakan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan kurikulum 2. Segera mengambil langkah-langkah, untuk tidak mempergunakan nama yang eksklusif bagi Taman Kanak- Kanak.

Mengenai nama Confucius yang ada pada nama TK (Taman Kanak-kanak) Confucius, menurut penuturan Ibu M.Sri Jastuti, “Ada salah satu guru TK Confucius (dari etnis Tionghoa), ingin mengganti nama Confucius.” Ibu M. Sri Jastuti selaku kepala TK Confucius menyakinkan kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan saat bertemu dengan pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan,

206 menyatakan bahwa “Nama Confucius yang ada pada Taman Kanak- kanak tidak ada masalah dan tidak perlu diganti dengan nama lain”.6 Guru yang bersangkutan terpengaruh oleh kebijakan pemerintah mengenai keberadaan agama Khonghucu di bidang pendidikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan juga memberikan pengarahan dan pengawasan terpadu dengan menerbitkan buku panduan Petunjuk Pelaksanaan Pembauran Bidang Pendidikan di Sekolah Dasar (SD) yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Sekolah Swasta tahun 1995 yang juga ditujukan kepada pihak Perguruan Setia Bhakti. Dalam buku panduan pada halaman 13 berisi antara lain: “Kebijaksanaan yang berkaitan dengan program pembauran di bidang pendidikan dapat dilaksanakan antara lain melalui: 1.Kegiatan di sekolah a. melaksanakan kurikulum nasional dan mengembangkan ciri khasnya sebagai “sekolah pembauran” dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. b. Dilarang mengajarkan bahasa/huruf Cina kepada peserta didik, merayakan Hari Besar Sin Tjia, mengajarkan ajaran Khong Hu Tju, melakukan upacara-upacara/ajaran Khong Hu Tju, meliburkan sekolah pada hari Sin Tjia.”

Selain tidak boleh mengajarkan Mata Pelajaran Pendidikan Agama Khonghucu, juga tidak boleh merayakan Sincia atau Tahun Baru Imlek, Perguruan Setia Bhakti pada saat hari raya Tahun Baru

6 Wawancara dengan Ibu M.Sri Jastuti 01 Juni 2017

207

Imlek memang tidak meliburkan sekolah, tetapi memberikan dispensasi kepada siswa, pegawai dan guru yang merayakan Tahun Baru Imlek seperti pada saat satu hari persembahyangan dan memulangkan siswa pada jam lebih awal atau meliburkan siswa dengan alasan ada Rapat Dewan Guru. Adanya ketidakpercayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Barat terhadap Perguruan Setia Bhakti yang mengikuti peraturan pemeritah terhadap pelaksanaan kurikulum nasional hal ini berkaitan dengan pihak lain yang melaporkan bahwa Perguruan Setia Bhakti masih mengajarkan ajaran agama Khonghucu dalam bentuk mata pelajaran Budi Pekerti, sehingga Perguruan Setia Bhakti mendapat pengawasan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Tangerang. Usaha untuk menyakinkan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Tangerang pernah dilakukan pihak Perguruan Setia Bhakti Pada tanggal 23 Oktober 1989, Direktur Perguruan Setia Bhakti Gunawan Hanadi membuat surat pernyataan untuk semua unit dari TK SD SMP yang disampaikan ke Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tangerang, yang isinya menyatakan bahwa TK Confucius, SD dan SMP Setia Bhakti senantisa mengikuti kurikulum dan peraturan pemerintah serta untuk pelajaran Budi Pekerti di unit SD dan SMP sejak awal tahun ajaran 1989-1990 telah ditiadakan. Meski adanya larangan untuk mengajarkan mata pelajaran agama Khonghucu, untuk sementara pihak Perguruan Setia Bhakti

208 dan Lithang menyiasatinya dengan mengajarkan mata pelajaran Pendidikan Agama Khonghucu dalam bentuk Budi Pekerti agama Khonghucu di ajarkan di kelas atau di ruang aula yang disediakan. D. Masa Depan Agama Khonghucu Pada Masyarakat Cina Benteng Keberadaan Agama Khonghucu pada masa Pemerintah Orde Baru tidak bisa berkembang seperti agama lainnya karena pemerintah tidak mengakui keberadaan Agama Khonghucu. Perjuangan umat Khonghucu untuk mempertahankan keberadaannya di Kelenteng Boen Tek Bio menghadapi rintangan, kelompok lain yang ingin mengubah Kelenteng Boen Tek Bio dengan nama Vihara Padumuttara dengan alasan untuk menyelamatkan aset Perkumpulan Boen Tek Bio. Tokoh-tokoh agama Khonghucu yang duduk dalam kepengurusan maupun umat Khonghucu yang menjadi anggota Perkumpulan Boen Tek Bio menolak dirubahnya anggaran dasar menjadi Perkumpulan maupun Vihara Padumuttara sebab dengan sendirinya menghilangkan sejarah akan keberadaan agama Khonghucu. Sementara permasalahan yang sama juga dialami Kelenteng Boen San Bio di Pasar Baru Tangerang, dalam tahun 1977 Perkumpulan Boen San Bio dirubah menjadi Yayasan Vihara Nimmala dan Kelenteng Boen Hay Bio di Pasar Lama Serpong Tangerang mejadi Vihara Karuna Jala dalam wadah Agama Buddha Tridharma dan Kelenteng Tanjung Kait yang pada tahun 1990

209

Kebaktian Agama Khonghucu dihentikan. Umat Khonghucu diarahkan olen Pembina Masyarakat Hindu Buddha untuk bergabung ke dalam wadah Agama Buddha Tridharma. Dibawah kepengurusan Tirta Hirawan, tokoh Agama Khonghucu yang menjabat sebagai Ketua Perkumpulan Boen Tek Bio, dalam tahun 1969 memberikan harapan untuk umat Khonghucu agar bisa memiliki rumah ibadah sendiri. Untuk menghindari sesuatu nama yang bersifat Tionghoa, para tokoh Agama Khonghucu memilih nama Lithang ketimbang Khongcu Bio dan izin pendirian rumah ibadah dengan nama Lithang Padumuttara (Boen Tek Bio). Tidak hanya itu saja bahkan Kitab Suci Agama Khonghucu pun menggunakan istilah dialek Hokkian dalam tulisan bahasa Indonesia sebagai bahasa kitab dan bukan menggunakan huruf Hanzi (bahasa Mandarin), padahal umat Khonghucu tidak hanya dari suku Hokkian. Namun tidak ada pilihan bagi umat Khonghucu untuk mempertahankan keberadaannya. Kini Kitab Suci Agama Khonghucu di masa Reformasi sudah banyak menggunakan huruf Hanzi serta terjemahan dalam bahasa Indonesia dan diteribitkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia. Pada tahun 1973 saat mendirikan Taman Kanak-Kanak mereka pun memilih nama Confucius untuk pendirian sekolah, dipilihnya nama Confucius jauh dari ketionghoaan ketimbang nama Khonghucu. Beberapa tahun kemudian Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tangerang baru mengetahui nama

210

Confucius sama dengan Khonghucu. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan mengira Confucius itu sama seperti nama-nama Katolik seperti Fransiskus. Untuk selanjutnya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tangerang tidak memberikan izin pendirian sekolah lanjutan setelah TK dengan nama Confucius. Pemerintah pun melarang mata pelajaran Pendidikan Agama Khonghucu sesuai dengan Kurikulum Pendidikan Tahun 1975 dan harus diganti dengan mata pelajaran Agama Buddha. Para tokoh agama Khonghucu pun menggunakan nama Setia Bhakti untuk nama SD dan SMP serta mengganti mata pelajaran Pendidikan Agama Khonghucu dengan nama Pendidikan Budi Pekerti. Memasuki Masa Reformasi Agama Khonghucu mulai dipulihkan, Sekolah Confucius Perguruan Setia Bhakti, dalam tahun 1999 saat merintis berdirinya SMK Setia Bhakti mulai mengajarkan mata pelajaran Pendidikan Agama Khonghucu selain mata pelajaran Agama Buddha dan juga Pelajaran Bahasa Mandarin. Dalam tahun 2000-an, Perkumpulan Boen Tek Bio meminta agar murid-murid Perguruan Setia Bhakti memberi salam khas Agama Khonghucu dengan Pai (Soja) kepada guru atau karyawan dan mengucapkan dengan mengucapkan Wi De Dong Tian (Hanya Kebajikan Tuhan Berkenan). Pada periode Bapak Dedy Hidayat selaku Ketua Bidang Pendidikan Perguruan Setia Bhakti Perkumpulan Boen Tek Bio tahun 2011, Sekolah Confucius Perguruan Setia Bhakti menerbitkan buku pelajaran Pendidikan Budi Pekerti Pedoman Perilaku Siswa

211 atau Di Zi Gui7 yang dikembangkan dengan nilai-nilai ajaran Agama Khonghucu. Patung Confucius yang berdiri di halaman depan Sekolah Peguruan Setia Bhakti yang diresmikan pada tanggal 28 September 2012 menjadi simbol semangat dalam pendidikan sebagaimana sabda Nabi Kongzi Ada Pendidikan Tidak Ada Perbedaan. Diharapkan para guru bisa mendidik dan membimbing anak didiknya yang datang dari lapisan bawah untuk bisa mencapai ketempat yang lebih tinggi dan sejahtera. Sejak pencabutan Inpres No.14 tahun 1967 oleh Presiden Abdurahman Wahid dengan Kepres No. 6 Tahun 2000 pada tanggal 17 Januari 2000, umat Khonghucu telah menjadi manusia yang merdeka, pada masa pemerintah Orde Baru umat Khonghucu hidup dibawah tekanan yang tidak bisa menunjukkan jati dirinya sebagai umat beragama Khonghucu secara terbuka. Menurut Ari Novi Purnama mantan camat Panongan 2006/2007, “Masyarakat Cina Benteng sebagai wujud bakti kepada leluhur, menolak mendatangi vihara. Mereka tidak bisa menerima Lithang atau klenteng, yang notabane rumah ibadah Khonghucu tiba-tiba menjadi vihara, dengan patung Buddha di dalamnya”.8 Pada masa Orde Baru umat Khonghucu di Panongan tidak diizinkan

7Buku ini mengajarkan tentang Budi Pekerti seorang anak yang merujuk langsung dari Kitab Suci Agama Khonghucu, yang ditulis oleh Li Yu Xiu pada abad ke-17. 8 Teguh Setiawan, Cina Muslim dan Runtuhnya Republik Bisnis (Jakarta: Republika, 2012), h.100.

212 untuk membangun rumah ibadah sehubungan adanya Inpres No.14 Tahun 1967. Menurut Yap Cun Teh mantan Ketua Lithang Ciapus dan pendiri Lithang Ciapus pada tahun 2004, menuturkan, “Umat Khonghucu tadinya meminjam rumah penduduk untuk melaksanakan kebaktian sekitar tahun 1982, umat bertambah banyak dan dirasa perlu untuk memiliki rumah ibadah sendiri. Keinginan untuk membangun Lithang sebagai tempat ibadah sudah dimulai sejak tahun 1982, dan sempat dibangun di Cukanggalih, namun karena agama Khonghucu tidak diakui oleh pemerintah, pondasi bangunan Lithang dirobohkan oleh Polisi”.9 Meskipun pemerintah tidak mengijinkan berdirinya Lithang, umat Khonghucu di Panongan tetap beribadah dan menjaga tradisi ajaran Khonghucu dengan baik. Betapa pentingnya sebuah rumah ibadah, sebagai ruang perekat bagi mereka dalam membentuk keyakinan yang teguh diantara komunitas yang seiman. Menurut M.Ridwan Lubis, “Fungsi rumah ibadat menjadi dua, yaitu sebagai tempat bersama melaksanakan ibadat penajaman spiritualitas dan yang kedua menjadi sarana tempat berkumpulnya komunitas guna membicarakan hal yang berkenaan dengan proses intensifkan pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran serta membahas berbagai hal berkaitan denga persoalan keummatan.”10

9 Wawancara dengan Bapak Yap Cun Teh 16 Februari 2019 10M.Ridwan Lubis, Agama dan Perdamaian Landasan, Tujuan, dan Realitas kehidupan Beragama di Indonesia (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2017),h.267

213

Di masa Reformasi umat Khonghucu Panongan mendambakan Lithang, selama ini mereka meminjam rumah penduduk yang beragama Khonghucu untuk melaksanakan kebaktian. “Saat masyarakat Cina Benteng Panongan berniat membuat Lithang, Ari Novi Purnama tak segan membantu. Ia sangat merasakan betapa menderitanya sekelompok pemeluk agama hidup tanpa tempat ibadah selama 32 tahun, atau selama pemerintahan Orde Baru. Betapa penting Menurut Ari Novi Purnama mahasiswa lulusan ITB dari keluarga muslim yang bersimpati dengan penderitaan umat Khonghucu, menuturkan, tidak sedikit yang telah menjadi pemeluk Buddha, Yosep misalnya mengaku menganut Buddha Theravada meski dirumahnya menjalani semua tradisi leluhur agama Khonghucu. Ari mengatakan ketika ia masih menjadi staf di keluarahan masih banyak umat Khonghucu yang enggan mencantumkan agama Khonghucu di KTP-Nya” 11 Pada saat penulis mengurus program pembuatan e-KTP (Kartu Tanda Penduduk Elektronik) Nasional pada tahun Juni 2012 tidak ada hambatan untuk mengganti kolom agama, saat ditanya petugas kelurahan Mekarsari kolom agama, penulis minta diganti dari agama Buddha ke agama Khonghucu. Namun kini mengurus e- KTP untuk mengganti kolom agama harus mendapat surat pengantar dari Khongcu Bio atau Lithang setempat dan ini

11Teguh Setiawan, Cina Muslim dan Runtuhnya Republik Bisnis (Jakarta: Republika, 2012), h.99 .

214 membuat mereka segan untuk mengurusnya. Meski demikian Usaha-usaha untuk mengembalikan umat Khonghucu sebagai umat beragama Khonghucu giat dilakukan oleh pengurus MAKIN Tangerang dan mensosialisasikan penggantian KTP dari agama lain ke agama Khonghucu melalui seminar dan kunjungan ke Lithang daerah Tangerang. Ibu Merry Agatha mantan Ketua Khongcu Bio Kota Tangerang (2012-2016) dan Penasehat Khongcu Bio (2016- 2019) mengatakan, “Saat ini di Provinsi Banten sudah tercatat delapan MAKIN (Majelis Agama Khonghucu Indonesia) yang berfungsi sebagai Lithang dan umat Khonghucu sudah tercatat di pemerintahan, walaupun masih banyak yang belum mengganti KTP- nya menjadi agama Khonghucu. Saudara-saudara kita yang belum mengganti agamanya, sebenarnya secara ajaran agamanya yang ia lakukan seperti persembahyangan di meja abu leluhur sudah menunjukkan ia beragama Khonghucu, hanya saja mereka belum mengganti KTP-nya. Kalau ditanya berapa jumlah umat Khonghucu di Kota Tangerang bisa dikatakan mereka yang sebagian besar bersembahyang di bio dan di rumah punya meja abu mereka sudah menjalankan ajaran agama Khonghucu.” Usaha-usaha untuk memajukan agama Khonghucu di Tangerang melalui pemuka agama Khonghucu dalam memberikan pelayanan seperti bimbingan perkawinan dan diskusi agama, namun dikalangan remaja Khongcu Bio juga memberikan pelayanan yang utama seperti pendidikan dan memfasilitasi penggantian kolom agama lain menjadi agama

215

Khonghucu, menurut Js.Merry Agatha, “Usaha yang dilakukan dimulai dari dasarnya yaitu pendidikan, menyediakan guru agama Khonghucu di sekolah bagi siswanya yang beragama Khonghucu seperti sekolah negeri, apabila ada anak yang beragama Khonghucu dari lembaga akan menyediakan guru agama Khonghucu dan sosialisasi ke umat atau sosialisasi ke lingkungan masing-masing seperti di MAKIN-MAKIN mengenai proses penggantian KTP, masih ada daerah yang sulit untuk menggantinya, kita ikut membantunya agar mereka dengann mudahnya mengganti KTP-nya.”12 Meski demikian bukan berarti bahwa proses penggantian kolom agama KTP, tidak semudah yang dilakukan, butuh waktu dan kesabaran dalam memberikan pemahaman kepada orang Cina Benteng yang kolom agamanya bukan Khonghucu tapi mengimani ajaran agama Khonghucu dan terhadap generasi penerusnya melalui pembinaan-pembinaan keagmaan. Hal ini diungkapkan oleh Bapak Js.Yap Cun Gwan Ketua Khongcu Bio MAKIN Kota Tangerang periode 2016-2019, “Tidak semudah membalikkan telapak tangan apa yang sudah terjadi untuk bisa mengembalikan kepada kebenaran yang ada, karena orang- orang yang sudah beragama tidak diperkenankan kembali dipengaruhi atau dipaksa untuk kembali ke agama yang semula (agama Khonghucu). Upaya yang bisa kami lakukan melalui pembinaan-pembinaan yang masih mereka imani dalam agama

12 Wawancara Ibu Merry Agatha tanggal 2 Februari 2019

216

Khonghucu sehingga generasi penerusnya kita pupuk sekolah minggu, kebaktian kepemudaan dan kepada mereka yang berkeinginan untuk melaksanakan ibadah agama Khonghucu dengan sungguh-sungguh beriman agama Khonghucu dengan kembali mengganti KTP-nya, karena iman itu tidak bisa dibohongin dengan ucapan atau tulisan.”13 Kendala-kendala yang dihadapi tidak hanya datang dari lingkungan sendiri namun juga hambatan datangnya dari pemerintah, karena usaha untuk memulihkan kedudukan agama Khonghucu khususnya di Tangerang membutuhkan dukungan dari pemerintah Tangerang. Pemerintah daerah belum sepenuhnya menyadari bahwa Agama Khonghucu sudah dipulihkan kembali sehingga pengisian kolom agama di pemerintahan Tangerang tidak ada. Hal ini terjadi di Tangerang Selatan, umat Khonghucu melalui pemuka agama Khonghucu protes, mereka merasa tidak diakui sebagai warga Kota Tangerang Selatan, karena Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tidak mencantumkan kolom agama Khonghucu pada formulir permohonan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP). “Di dalam formulir permohonan pembuatan KTP tidak tercantum Agama Khonghucu. Kami ditulis sebagai pemeluk Agama Buddha,” kata HS. HT Saputra, Rohaniawan Agama Khonghucu asal Ciputat. Menurut rohaniawan tersebut, seharusnya dalam formulir pembuatan KTP tidak hanya mencantumkan lima

13 Wawancara Bapak Yap Cun Gwan tanggal 1 Februari 2019

217 agama saja, tetapi masukan pula Agama Khonghucu. Sebab menurutnya, pemerintah telah mengakui Agama Khonghucu sebagai salah satu agama di tanah air. Hal itu sesuai dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 470/336/SJ/Tahun 2006, tentang Pelayanan Administrasi Kependudukan Penganut Agama Khonghucu. “Kenapa Pemerintah Kota Tangerang Selatan mengkategorikan kami sebagai pemeluk Agama Buddha,” tandas Saputra. Walaupun pemeluk agama Khonghucu adalah minoritas, namun menurut Saputra, pemerintah harus tetap memperhatikan keberadaannya. Karena, di Kota Tangerang Selatan pemeluk Agama Khonghucu mencapai 1,8 persen dari total penduduk 1,4 juta jiwa. Ini namanya diskriminasi. Sementara itu menurut Suryani Staf Bagian Kependudukan pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Tangerang Selatan, ini hanya kesalahan teknis, bagi pemohon Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang beragama Khonghucu cukup menuliskan di form tersebut.”14 Bagi masyarakat Cina Benteng khususnya Umat Khonghucu tradisional mereka terkesan tidak mau repot dan umat Khonghucu tradisional beranggapan tidak apa-apa karena tidak menghambat keyakinnan mereka padahal tidak demikian halnya pembiaran seperti ini turut melemahkan kedudukan agama Khonghucu. Jika kolom agama Khonghucu tidak ada mereka memilih kolom agama

14 Surat Kabar Radar Tangerang Satelit News Edisi Kamis, 25 Maret 2010

218

Buddha, sementara staf pemerintah Tangerang belum bisa membedakan agama Khonghucu dan agama Buddha. Ini merupakan kendala yang harus disosialisasikan terus menerus dilingkungan MAKIN di tiga wilayah Tangerang, agar mereka memiliki pemahaman serta berkordinasi dengan pemerintah setempat. Penduduk Menurut Wilayah dan Agama Khonghucu Provinsi Banten

No. Nama Kabupaten/Kota Agama Khonghucu 1 Pandeglang 4 2 Lebak 23 3 Tangerang 1.052 4 Serang 60 5 Kota Tangerang 1.243 6 Kota Cilegon 21 7 Kota Serang 42 8 Kota Tangerang Selatan 787 Provinsi Banten 3.232 Sumber: Data Sensus Penduduk 2010 – Badan Pusat Statistik Republik Indonesia

Penduduk Menurut Wilayah dan Agama Khonghucu Kabupaten Tangerang

No Nama Kecamatan Agama Khonghucu 1 11 2 9 3 18 4 Jambe 0 5 Cikupa 73 6 Panongan 282 7 Curug 59 8 79

219

9 Legok 43 10 7 11 97 12 56 13 11 14 24 15 Jayanti 4 16 6 17 0 18 Gunung Kaler 0 19 1 20 Mekar Baru 0 21 Mauk 19 22 Kemiri 1 23 0 24 11 25 9 26 11 27 13 28 Teluknaga 145 29 Kosambi 63 Sumber: Data Sensus Penduduk 2010–Badan Pusat Statistik Republik Indonesia

Penduduk Menurut Wilayah dan Agama Khonghucu Kota Tangerang

No Agama Khonghucu Agama Khonghucu 1 Ciledug 19 2 Larangan 16 3 Karang Tengah 84 4 Cipondoh 214 5 Pinang 54 6 Tangerang 93 7 Karawaci 88 8 Jati Uwung 16

220

9 Cibodas 85 10 Periuk 62 11 Batuceper 85 12 Neglasari 148 13 Benda 279 Kota Tangerang 1.243 Sumber: Data Sensus Penduduk 2010 – Badan Pusat Statistik Republik Indonesia

Penduduk Menurut Wilayah dan Agama Khonghucu Kota Tangerang Selatan

No Nama Kecamatan Agama Khonghucu 1 Setu 30 2 Serpong 240 3 Pamulang 353 4 Ciputat 38 5 Ciputat Timur 28 6 Pondok Aren 34 7 Serpong Utara 64 Kota Tangerang Selatan 787 Sumber: Data Sensus Penduduk 2010 – Badan Pusat Statistik Republik Indonesia

Sebuah bangunan berupa gapura atau pintu gerbang utama Khongcu Bio di Jalan Kisamaun No.145 berdiri dengan megah di atas terukir aksara Mandarin dan di sisi kiri dan kanan juga terpatri ukiran relief antara lain Qilin binatang suci agama Khonghucu yang baru diresmikan Pengurus Perkumpulan Boen Tek Bio pada tanggal 22 Desember 2012, sebuah bangunan yang menunjukkan ketegasan kehadiran agama Khonghucu dan ini menandakan umat Khonghucu Tangerang membuka diri dan menunjukkan identitas diri mereka beragama Khonghucu tanpa perlu rasa takut.

221

Di masa lalu bangunan Lithang sekarang Khongcu Bio tampak sederhana dan tidak menunjukkan jati diri secara terbuka, mungkin masyarakat luar tidak tahu kalau itu rumah ibadah seandainya di pintu utama tidak ada sepasang patung singa dan papan nama Lithang dibawah tertulis tempat ibadah umat Khonghucu. Papan nama Lithang mengalami beberapa kali perubahan mulai nama Lithang dibawahnya tertera tempat ibadah umat Khonghucu kemudian diganti tempat ibadah Confucius dan setelah renovasi dan peresmian tahun 1998 diberi nama Khongcu Bio, terakhir memasuki masa Reformasi, papan nama tetap Khongcu Bio, namun dibawah mengalami perubahan dari tulisan Tempat Ibadah Umat Khonghucu menjdi Tempat Ibadah Agama Khonghucu meski demikian dua organisasi keagamaan tetap tertera di papan nama sejak Lithang mulai difungsikan sebagai tempat ibadah agama Khonghucu, yakni Perkumpulan Boen Tek Bio dan MAKIN (Majelis Agama Khonghucu Indonesia). Umat Khonghucu Cina Benteng di Tangerang, sudah menunjukkan eksistensi keberadaannya yang selama ini belum bisa menunjukkan jati dirinya secara nyata.

BAB VI PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian penulis lakukan seperti telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya dan kesimpulan terutama diberikan untuk menjawab pertanyaan diajukan dalam batasan dan rumusan masalah pada Bab Pendahuluan. Selain kesimpulan, Penulis memberikan saran untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang tema ini. A. Kesimpulan Warisan Fisik merupakan warisan peninggalan berupa situs bangunan atau arsitektur yang berhubungan atau dipengaruhi oleh Agama Khonghucu. Peninggalan ini berupa : Kelenteng atau Bio, Rumah Kebaya dan Pendidikan (Gedung Sekolah). 1. Kelenteng Boen Tek Bio merupakan salah satu kelenteng yang bangunannya tertua di Kota Tangerang dibangun sekitar abad ke-17. Ornamen-ornamen atau hiasannya merupakan simbol- simbol dalam tradisi Agama Khonghucu yang masih terjaga dan terawat sampai hari ini. Sejumlah kelenteng di Tangerang pada masa Orde Baru sudah banyak yang berubah menjadi Vihara hal itu dilakukan dengan alasan menyelamatkan aset kelenteng. Departemen Agama melalui Pembina Masyarakat Hindu- Buddha tahun 1980 mengarahkan agar umat Khonghucu di Tangerang menginduk dalam sekte Buddha Tridharma, sebagian besar umat Khonghucu di Tangerang tidak bisa 222

223

menerimanya. Momentum baik saat kepengurusan di Perkumpulan Boen Tek Bio masih ada umat Khonghucu yang memimpin Perkumpulan Boen Tek Bio pada waktu itu. Pengurus Perkumpulan Boen Tek Bio dibawah kepengurusan Tirta Hirawan menfasilitasi tempat ibadah untuk umat Khonghucu diluar dari Kelenteng Boen Tek Bio. Pada tahun 1970 umat Khonghucu sudah memiliki tempat ibadah dengan nama Lithang. Nama Lithang yang dipilih bukan Khongcu Bio, para pemuka Agama Khonghucu menghindari nama bersifat Tionghoa yang tidak disukai pemerintah Orde Baru dan ketika izin pendiriannya atas nama Lithang Padumuttara (Boen Tek Bio), pemerintah menganggap keberadaan Lithang Padumuttara merupakan bagian dari Buddha Tridharma, meski kenyataannya Lithang adalah tempat ibadah umat Khonghucu. 2. Rumah Kebaya Cina Benteng banyak ditemukan di daerah kawasan pertanian. Salah satu ciri khas rumah kebaya Tionghoa Benteng memiliki Kong Po atau meja abu leluhur yang terletak di ruang tengah. Dari hasil penelusuran di kawasan Panongan rumah kebaya Cina Benteng yang ditempati oleh keluarga Yap Cun Teh sudah memasuki tiga generasi, rumah kebaya ini diperkirakan telah berusia sekitar 200 tahun. Saat ini rumah kebaya Cina Benteng sudah mendekati kepunahan, hal ini disebabkan kawasan udik yang identik dengan wilayah pertanian, lahan tanahnya banyak digusur untuk proyek

224

pembangunan perumahan modern dan pusat pebelanjaan modern sementara di Tangerang Kota untuk perluasan pembangunan bandara. Bagi masyarakat Cina Benteng yang tinggal dikawasan udik dan hidup dari lahan pertanian banyak yang tergoda untuk menjual lahannya ke pengembang perumahan. Saat ini Rumah Kebaya mengalami banyak perubahan seperti tiang-tiang bambu sudah diganti dengan Atap Baja Ringan mengingat langkanya pohon bambu di Tangerang saat ini dan biayanya relatif murah. Selain itu dengan alasan keamanan ruangan paseban dibuatkan jeruji dan ruangan cemceh sebagai ruang sirkulasi udara dan air hujan di dapur juga ditutup dengan genteng atau genteng kaca dengan alasan yang sama. Belum adanya usaha pemerintah daerah Tangerang maupun kepedulian pengembang sebagai pelaku ekonomi untuk melestarikan rumah kebaya Cina Benteng, hanya ada usaha perorangan untuk melestarikan rumah kebaya Cina Benteng yang dilakukan Gunawan, ahli ukir kayu Tionghoa dari Padang dengan membeli rumah kebaya dari masyarakat Cina Benteng dan membangun kembali rumah kebaya Cina Benteng di desa Ciakar, Panongan sebagai cagar budaya. 3. Pendidikan (Gedung Sekolah) sebagaimana diketahui di Tangerang pada tahun 1904. Perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan mendirikan Tionghoa Hak Tong atau Sekolah Tionghoa di samping Kelenteng Boen Tek Bio. Perkumpulan Tiong Hoa

225

Hwee Koan mengembangkan ajaran Agama Khonghucu. Kini gedung sekolah tersebut sudah tidak ada dan berubah fungsi sebagai Ruang Aula Perkumulan Boen Tek Bio. Semenjak gedung sekolah milik Perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan dihibahkan kepada Perkumpulan Boen Tek Bio pada tahun 1951, Perkumpulan Boen Tek Bio belum sepenuhnya bisa mengembangkan sekolah, berdirinya sekolah swasta nasional turut mempengaruhi persaingan untuk membangun kembali gedung sekolah dan banyaknya orang tua murid tidak mampu membayar, sehingga pengelolaan sekolah banyak mengalami kerugian dan dihenitikan. Tiga tahun sejak Lithang diresmikan, Tahun 1973 oleh Perkumpulan Boen Tek Bio, umat Khonghucu kesulitan memasukkan anak-anak mereka yang biasa mengikuti kebaktian anak-anak pada hari minggu di Lithang ke sekolah mengingat sekolah negeri yang jumlahnya terbatas dan sekolah swasta lainnya mengemban misi. Pada tahun 1973 Perkumpulan Boen Tek Bio menyetujui Bidang Agama Khonghucu mendirikan TK Confucius yang berada dilingkungan Lithang Tangerang. Dipilihnya nama Confucius untuk menghindari sifat ketionghoaan. Beberapa tahun kemudian Dinas Pendidikan Kabupaten Tangerang baru mengetahui ternyata Confucius itu adalah Khonghucu. Selama ini mereka mengira bahwa Confucius itu bagian dari nama Katolik seperti Fransiskus. Selanjutnya izin untuk SD dan SMP sudah tidak

226

boleh menggunakan nama Confucius. Para tokoh Agama Khonghucu seperti Latif Budiriady memilih nama Setia Bhakti dan berdasarkan Kurikulum Pendidikan Tahun 1975 mata pelajaran Pendidikan Agama Khonghucu dihilangkan, namun pihak Lithang dan Perguruan Setia Bhakti menyepakati menjadikan mata pelajaran Agama Khonghucu sebagai mata pelajaran Budi Pekerti. 4. Warisan non fisik merupakan warisan peninggalan berupa tradisi dan persembahyangan yang masih dilakukan oleh masyarakat Cina Benteng. Beberapa warisan non fisik seperti tradisi perkawinan atau Chiao Tauw, mereka melakukan ritual penghormatan terhadap Tian dan leluhur sementara dalam hal kematian, tradisi Agama Khonghucu masih berlangsung meski saat ini terjadi perubahan kepercayaan. Sebelumnya masyarakat Cina Benteng yang masih dipengaruhi tradisi Agama Khonghucu umumnya menguburkan jenazah atau dimakamkan, namun semenjak Agama Buddha mulai diperkenalkan kini keluarga ada yang memilih untuk dikremasi. Rangkaian upacara persembahyangan seperti Tahun Baru Imlek, Cheng Beng (ziarah kubur), Twan Yang (pehcun), Tangcek (onde) merupakan tradisi keagamaan Khonghucu masih dijalankan oleh masyarakat Cina Benteng.

227

B. Saran

Setelah penulis melakukan penelitian, mempelajari berbagai macam literatur dalam tema ini dan menyelesaikan penulisan tesis ini, penulis mengajukan saran lebih lanjut untuk dapat dipahami secara baik. 1. Diharapkan jejak warisan sejarah Agama Khonghucu yang telah menjadi budaya maupun tradisi masyarakat Cina Benteng untuk dapat dilestarikan dalam bentuk cagar budaya sebagai bukti keberadaan Agama Khonghucu. 2. Perlu dilakukan kajian kembali sumbangsih atas kehadiran etnis Tionghoa yang datang dengan budaya dan tradisi Agama Khonghucu di Nusantara untuk mempererat akulturasi budaya yang terjalin dengan harmoni.

Daftar Pustaka

Antariksa. Teori dan Metode Pelestarian Kawasan Pecinan. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016.

Badan Koordinasi Masalah Cina-BAKIN. Pedoman Penyelesaian Masalah Cina di Indonesia. Jilid I. Jakarta: BAKIN, 1979

Benteng Heritage The Pearl of Tangerang Museum Warisan Budaya Peranakan Tionghoa Benteng. Tangerang: Museum Benteng Heritage, 2011.

“Buddhisme di Indonesia Zaman Kemerdekaan dan Orde Lama.” Artikel diakses pada 1 Desember 2018 dari https://bhagavant.com/buddhisme-di-indonesia-zaman- kemerdekaan-dan-orde-lama

Budiriady,Latif dan Tan, Tjoe Seng. “Riwayat Berdirinya Lithang Tangerang.” 11 Nopember 1986 : h.1-3.

Buku Peringatan 100 Tahun Sekolah THHK / Pa Hoa 1901-2001 Centennial Of THHK School. Jakarta: Yayasan Pancaran Hidup, 2001.

Buku Kenangan Prosesi 12 Tahunan YMS Kwan Im Hud Couw Ke-14. Tangerang: Perkumpulan Boen Tek Bio, 2012.

Coppel, Charles A. Tionghoa Indonesia Dalam Krisis diterjemahkan Tim Penerjemah PSH dari Indonesia Chinese in Crisis (1983). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.

Dawson, Raymond. Khonghucu Penata Budaya Kerajaan Langit. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999.

228

Diputhera, Oka. Otobiografi Oka Diputhera Agama Buddha Bangkit. Jakarta: Arya Suryacandra Berseri, 2006.

“Europeesche Lagere School.” Artikel diakses pada 28 Nopember 2018 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Europeesche_Lagere_School

Fat, Fadly Lie On. Biografi dan Sharing Dharma Jejak Langkah Ibu U.P.Suktadharmi: Setitik Embun, Seberkas Cahaya Menerangi Jalan. Jakarta: Komunitas Mantan Murid Ibu U.P.Suktadharmi & Prajna Indra Production, 2007.

Geertz, Clifford. Agama Jawa Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa. Diterjemahkan Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto dari The Religion of Java (1960). Depok: Komunitas Bambu, (cet.ke-3) ,2017.

Goan, Ang Yan. Memoar Ang Yan Goan 1894-1984 Tokoh Pers Yang Peduli Pembangunan Bangsa diterjemahkan Tan Beng Hok dari Ang Yan Goan Memoires. Jakarta: Yayasan Nabil dan Hasta Mitra, 2009.

Groeneveldt, W.P. Nusantara dalam Catatan Tionghoa diterjemahkan Gatot Triwira dari Notes on the Malay Archipelago and Melacca Compiled from Chinese Sources (1888). Depok: Komunitas Bambu, 2018.

Guillot, Calude. Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII diterjemahkan Hendra Setiawan,dkk. Jakarta: KPG bekerjasama Ecole francaise d’Extreme-Orient, Forum Jakarta-Paris, Pusat Litbang Arkeologi Nasional, 2008.

Jusuf, Iskandar. Dari Tiong Hoa Hwe Koan 1900 sampai Sekolah Terpadu Pahoa 2008. Tangerang: Sekolah Terpadu Pahoa, 2013.

229

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru, 1979.

Kompilasi Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Hidup Umat Beragama. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Dapartemen Agama RI, 2006.

Kuncono, Ongky Setio. Tomorrow Spirit Sebuah Pemahaman Khonghucu dari Sisi Lain. Jakarta: Gerbang Kebajikan Ru, 2015

Kuncono, Ongky Setio. Khonghucu Poligami? dan Gender Dalam Budaya dan Agama Khonghucu. Jakara: Gerbang Kebajikan Ru, 2015.

Indradi Kusuma. Telaah dan Pemikiran Indradi Kusuma Diskriminasi Dalam Praktek. Jakarta: DPP Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa, 2002.

Langlois, Ch.V. dan Ch.Seignobos. Pengantar Ilmu Sejarah. Diterjemahkan H.Supriyanto Abdullah dari Introduction To The Study of History (1904).Yogyakarta: Indoliterasi Group, 2015.

Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu Bagian II Jaringan Asia diterjemahkan Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S.Hidayat, Nini Hidayati Yusuf dari Le Carrefour Javanais Essai d’histoire globale II. Les reseaux asiatiques (1990). Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Liang, Liji. Dari Relasi Upeti Ke Mitra Strategis: 2.000 Tahun Perjalanan Hubungan Tiongkok-Indonesia. Jakarta: Buku Kompas, 2012.

Lim, Khung Sen, ed., Hidup Bahagia dalam Jalan Suci Tian. Pendekatan Hati dan Pikiran Agama Ru-Khonghucu. Jakarta: Gerbang Kebajikan Ru, 2010. 230

Maria V. Soplanit, “Perkawinan Tradisional Peranakan Cina di Teluk Naga, Tangerang,” (Skripsi S1 Fakultas Sastra, Universitas Indonesia Depok, 1988), h.12-13.

MATAKIN, Hau King, Kitab Bakti. MATAKIN, 1989

MATAKIN. Li Ji (Catatan Kesusilaan). Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005.

MATAKIN. Shu Jing, Kitab Dokumen Sejarah Suci. Jakarta: MATAKIN, 2004.

MATAKIN. Shi Jing , Kitab Sanjak. Jakarta : Pelita Kebajikan, 2010.

M.Ridwan Lubis. Agama dan Perdamaian Landasan, Tujuan, dan Realitas kehidupan Beragama di Indonesia. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2017.

Menzies, Gavin. 1421 Saat China Menemukan Dunia diterjemahkan Tufel Majid Musyadad dari 4121 The Year China Discovered The World. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006.

Oey, Hok Tjay. “Klenteng Boen Tek Bio di Tangerang.” 19 Desember 1979:h.4-5.

Oey, Hok Tjay. “Catatan-catatan Sejarah Masyarakat Tionghoa Tangerang di Zaman Dahulu dan Sekarang.” 12 Desenber 1981 : h.20-22

Nio, Joe Lan. Peradaban Tionghoa Selayang Pandang. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2013.

Nio, Joe Lan, Riwajat 40 Taon T.H.H.K. Batavia. Batavia: Tiong Hoa Hwe Koan, 1940.

231

Pires, Tome. Suma Oriental diterjemahkan Adrian Perkasa dan Anggita Pramesti dari The Suma Oriental of Tome Pires An Account of The East, From The Sea to China and The Book of Francisco Rodrigues. Yogyakarta: Ombak, 2015

Poewodorminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, (Edisi III Cet.IV) 2011.

Proposal Rencana Peremajaan Gedung Lithang Khongcu Bio Tangerang. Tangerang: Perkumpulan Padumuttara, 1988.

Rahman, Faddly. Jejak Rasa Nusantara Sejarah Makanan Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2016

Ratna, Nyoman Kutha. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Reid, Anthony. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2: Jaringan Perdagangan Global diterjemahkan R.Z.Leirissa dan P.Soemitro dari Southeast Asia in the age of Commerce 1450- 1680 (1993). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2015

Salmon, Claudine and Anthony K.K.Siu. Chinese Epigraphic Materials In Indonesia. Singapore: South Seas Society, 1997.

Salmon, CL. dan D.Lombard. Klenteng-Klenteng Dan Masyarakat Tionghoa Di Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2003.

Sejarah Singkat Boen Tek Bio. Tangerang: Perkumpulan Boen Tek Bio, 2000.

Setiawan, Teguh. Cina Muslim dan Runtuhnya Republik Bisnis. Jakarta: Republika, 2012.

232

Setiono, Benny G. Tionghoa Dalam Pusaran Politik: Mengungkap Fakta Sejarah tersembunyi Orang Tionghoa di Indonesia. Jakarta: TransMedia, 2008.

Si Shu (Kitab Yang Empat). Jakarta : Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016.

Sigit, Sardjono. Asimilasi Pendidikan Pokok-Pokok Riwayat dan Permasalahannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sekolah Swasta, Ditjen Dikdasmen Bagian Proyek Pembinaan Sekolah Swasta Pembauran, 1993.

Sinamo, Jansen dan Eben Ezer Siadari. The Chinese Ethos: Memahami Adidaya China Abad 21 dari Perspektif Budaya dan sejarah. Jakara : Institut Darma Mahardika, 2013.

Suryadinata, Leo. Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia diterjemahkan Dede Oetomo dari The Culture of the Chinese Minority in Indonesia. Jakarta: PT.Gramedia, 1988.

Suryana, H.Nana, Ed, dkk. Sejarah Kabupaten Tangerang. Tangerang: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang bekerjasama Lembaga Penelitian Pengabdian Masyarakat (LPPM) UNIS Tangerang, 1992.

Swadarma, Doni dan Yunus Aryanto. Rumah Etnik Betawi. Depok: Griya Kreasi, 2013.

Tanggok, M.Ikhsan. Jalan Keselamatan Melalui Agama Khonghucu. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2000.

Tanggok, M.Ikhsan. Di Era Orde Baru, Budaya Cina Berbau Komunis. artikel diakses pada 4 November 2018 dari https://www.uinjkt.ac.id/id/di-era-orde-baru-budaya-cina- berbau-komunis

233

Tim Penyusun. Kumpulan ceritera anak-anak berbakti pelengkap Kitab Bakti (Hauw King). Solo: MATAKIN, 1988

Tjan K dan Kwa Tong Hay. Berkenalan Dengan Adat dan Ajaran Tionghoa. Yogyakarta: Kanisius, 2010.

Tjhie, Tjay Ing. Panduan Pengajaran Dasar Agama Khonghucu. Solo: MATAKIN, 2006.

Wibisana, Wahyu. Cinbeng Eksistensi Peranakan Tionghoa Tangerang. Pustaka Klasik, 2016.

Wicaksono, Michael. Han Kaisar Petani. Jakarta: PT.Elex Media Komputindo, 2015.

Yogi, Ida Bagus Putu Prajna, Joglo Gudang Sebuah Bukti Eksistensi Cina di Kalimantan Selatan. Jurnal Naditira Widya - Balai Arkeologi Banjarmasin Vol.8 No.3/2014. hlm.70

Yosadi, Sofyan Jimmy. Klenteng Makna Agama dibalik Tradisi dan Sekilas Tentang Klenteng Kwan Kong Manado. Manado: Panitia Peringatan Kelahiran Yang Suci Kwan Seng Ta Tie Ke-1843, 2005.

234

BIODATA PENULIS

Penulis : Sudemi lahir di Dabo Singkep (Pulau Singkep) Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, pada tanggal, 04 Desember 1968. Sejak tahun 1985 mulai merantau ke Jakata. Setelah menyelesaikan pendidikan SMA, di SMAN II Kota Tangerang, ia melanjutkan studi D3 di AMIK Masa Depan jurusan Manajemen Informatika Komputer dan selesai tahun 2005. Studi S1 Dilanjutkan di STMIK Masa Depan jurusan Sistem Informatika Komputer dan selesai tahun 2008. Studi S2 di Program Pasca Sarjana Universitas Islam Syarif Hidayatullah, Jakarta dan selesai tahun 2019. Ia memulai kariernya di bidang pendidikan pada tahun 1996 menjadi Kepala Perpustakaan di Perguruan Setia Bhakti dan mulai mengajar di SMK Setia Bhakti sejak tahun 2000 sampai dengan sekarang.

235

Lampiran

Prasasti Pembangunan Lithang

Ruang Kebaktian Lithang Tangerang tahun 1970-an 236

Halaman Depan Lithang Tangerang (Khongcu Bio) tahun 1995

Khongcu Bio saat ini di Jalan Ki Samaun No.145 Kota Tangerang tahun 2012 237

Halaman Depan Lithang Tangerang Tahun 1986

Papan Nama Khongcu Bio Tangerang saat ini di Halaman Depan

238

Pintu Gerbang TK Confucius tahun 1980-an

Pintu Gerbang Utama menggunakan nama Perguruan Setia Bhakti tahun 1980-an 239

Lampiran

Prasasti Pembangunan Lithang

Ruang Kebaktian Lithang Tangerang tahun 1970-an 236

Halaman Depan Lithang Tangerang (Khongcu Bio) tahun 1995

Khongcu Bio saat ini di Jalan Ki Samaun No.145 Kota Tangerang tahun 2012 237

Halaman Depan Lithang Tangerang Tahun 1986

Papan Nama Khongcu Bio Tangerang saat ini di Halaman Depan

238

Pintu Gerbang TK Confucius tahun 1980-an

Pintu Gerbang Utama menggunakan nama Perguruan Setia Bhakti tahun 1980-an 239

Surat Peringatan kepada Sekolah Setia Bhakti tahun 1989

240