LALAMPAHAN SYEH ABDUL MA'RUF I

TIDAK DIPERJUALBELIKAN Proyek Bahan Pustaka Lokal Konten Berbasis Etnis Nusantara Perpustakaan Nasional, 2011

Lalampahan SYEH ABDUL MA'RUF 1 Petikan tina Dongeng 1001 Malam

Perpustakaan Nasional Balai Pustaka R e p u b l i k I n d o n e s i a Diterbitkan oleh Proyek Penerbitan Buku Sastra dan Daerah

Hak pengarang dilindungi undang-undang KATA PENGANTAR

Bahagialah kita, bangsa Indonesia, bahwa hampir di setiap daerah di seluruh tanah air hingga kini masih tersimpan karya-karya sastra lama, yang pada hakikatnya adalah cagar budaya nasional kita. Kesemuanya itu merupakan tuangan pengalaman jiwa bangsa yang dapat dijadikan sumber penelitian bagi pembinaan dan pengembangan kebudayaan dan ilmu di segala bidang. Karya sastra lama akan dapat memberikan khazanah ilmu penge- tahuan yang beraneka macam ragamnya. Penggalian karya sastra lama yang tersebar di daerah-daerah ini, akan menghasilkan ciri-ciri khas kebudayaan daerah, yang meliputi pula pandangan hidup serta landasan falsafah yang mulia dan tinggi nilainya. Modal semacam itu, yang ter- simpan dalam karya-karya sastra daerah, akhirnya akan dapat juga menunjang kekayaan sastra Indonesia pada umumnya. Pemeliharaan, pembinaan, dan penggalian sastra daerah jelas akan besar sekali bantuannya dalam usaha kita untuk membina kebudayaan nasional pada umumnya, dan pengarahan pendidikan pada khususnya. Saling pengertian antardaerah, yang sangat besar artinya bagi pemeliharaan kerukunan hidup antarsuku dan agama, akan dapat ter- cipta pula, bila sastra-sastra daerah yang termuat dalam karya-karya sastra lama itu, diterjemahkan atau diungkapkan dalam bahasa In- donesia. Dalam taraf pembangunan bangsa dewasa ini manusia-manusia Indonesia sungguh memerlukan sekali warisan rohaniah yang terkan- dung dalam sastra-sastra daerah itu. Kita yakin bahwa segala sesuatunya yang dapat tergali dari dalamnya tidak hanya akan berguna bagi daerah yang bersangkutan saja, melainkan juga akan dapat bermanfaat bagi seluruh bangsa Indonesia, bahkan lebih dari itu, ia akan dapat menjelma menjadi sumbangan yang khas sifatnya bagi pengembangan sastra dunia. Sejalan dan seirama dengan pertimbangan tersebut di atas, kami sa- jikan pada kesempatan ini suatu karya sastra daerah Sunda, yang berasal dari Penerbit Suka Asih, Bandung, dengan harapan semoga dapat men- jadi pengisi dan pelengkap dalam usaha menciptakan minat baca dan apresiasi masyarakat kita terhadap karya sastra, yang masih dirasa sangat terbatas.

Jakarta, 1983 Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah

DAFTAR ISI

Pengantar Penyunting 9 Ringkasan 11 Bukuka 15 1. Lalampahan Syeh Abdul Ma'ruf I 17 2. Lalampahan Syeh Abdul Ma'ruf II 41 3. Lalampahan Syeh Abdul Ma'ruf III 61

PNRI PNRI PENGANTAR PENYUNTING

Cerita Lalampahan Syekh Abdul Ma'ruf dipetik dari Hi- kayat Seribu Satu Malam yang terkenal itu. Semuanya ada 3 jilid, diterbitkan di Bandung. Tidak disebutkan tahun pener- bitan maupun nama pengarang, yang ada hanya nama toko bu- ku yang mengeluarkannya yaitu Toko Buku Asih Jalan Kabu- paten no. 1 H. Bandung. Seperti diketahui, cerita 1001 malam yang aslinya ditulis dalam bahasa Arab dengan judul "Alif laila wa laila" itu telah diteijemahkan ke dalam beberapa bahasa di dunia. Salah satu di antaranya: bahasa Sunda. Dalam sastra Indonesia lama, hikayat 1001 malam ini di- masukkan ke dalam jenis cerita Berbingkai (Clock Stories). Yang dimaksud sebenarnya dengan cerita berbingkai ialah ce- rita yang di dalamnya mengandung cerita lain, yang kadang- kadang tidak ada hubungannya dengan cerita pokok; sehingga kalau dilepas atau dihilangkan cerita-cerita sisipannya itu ma- ka tidak akan mempengaruhi jalan cerita pokoknya. Jadi di sini peranan dalam cerita bercerita lagi, sehingga terda- pat beberapa buah cerita yang tidak saling berhubungan. Dalam cerita sisipan itu mungkin ada cerita sisipan lagi, se- hingga pada akhirnya cerita itu menjadi panjang dan luas seka- li. Demikianlah terjadi beberapa cerita yang kadang-kadang agak sulit untuk dirangkaikan dengan cerita pokoknya karena terle- pas-lepas tidak berhubungan satu dengan lainnya. Namun wa- lau bagaimanapun harus diingat, dalam cerita Berbingkai ter- dapat sebuah cerita pokok yang mengikat (merangkaikan) se- mua cerita sisipan itu. Dan cerita pokok inilah yang biasa dise- but bingkai ceritanya. Biasanya tokoh-tokoh dalam cerita po- kok itu terdiri dari manusia, bukan binatang. Termasuk ke dalam kumpulan cerita berbingkai: Hikayat Kalila dan Damina, Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Bakh- tiar, Hikayat Gulam, Hikayat Bibi Sabariah dan Hikayat Seri-

9

PNRI bu Satu Malam. Sebagian besar dari hikayat-hikayat yang tersebut itu mengam- bil cerita-ceritanya dari Hikayat Seribu Satu Malam. Semua hikayat itu ada naskahnya di Museum Nasional, kecuali Hikayat Seribu Satu Malam. Hikayat Seribu Satu Malam cerita pokoknya mengisahkan ten- tang kepandaian seorang putri dalam bercerita sehingga dapat menggagalkan maksud raja (yang menjadi suaminya) untuk mem- bunuhnya. Semula raja itu mempunyai kesenangan membunuh pengantin-pengantinnya pada malam pertama perkawinan, de- mikian berlaku terhadap beberapa putri cantik yang telah men- jadi permaisurinya, sampai akhirnya tiba pada giliran putri se- orang perdana menteri yang terkenal cantik dan bijaksana. Dengan cara bercerita setiap malam, ia dapat memperdayakan suaminya itu sehingga tertolonglah nyawanya. Pada akhirnya raja yang terpesona mendengarkan cerita-cerita sang Putri men- jadi insaf akan kekejamannya dan berjanji akan mengubah ke- lakuannya, sehingga sang Putri yang bijaksana itu hidup ber- bahagia bersama raja. Seperti telah disebutkan pada permulaan, cerita Syekh Abdul Ma'ruf ini dipetik dari Hikayat Seribu Satu Malam. Beruntunglah kita memiliki salah satu cerita petikan dari Hika- yat itu serta telah diteijemahkan ke dalam bahasa Sunda. De- ngan demikian dapat memperkaya khasanah kebudayaan bang- sa Indonesia.

Jakarta, 6 Nov. '82

10

PNRI SINOPSIS LALAMPAHAN SYEKH ABDUL MA'RUF

Ceritanya terdiri dari 3 jilid. Jilid 1. Menceritakan tentang keadaan Syekh Abdul Ma'ruf se- masa hidup di Kairo bersama istrinya yang bernama Nyi Sa- rah. Jilid 2. Menceritakan tentang keadaan Syekh Abdul Ma'ruf ke- tika mengembara di Basrah, berpura-pura menjadi saudagar ka- ya sehingga dijadikan menantu oleh raja Basrah; dan mereka hidup berbahagia. Jilid 3. Menceritakan tentang keadaan Syekh Abdul Ma'ruf ke- tika pergi meninggalkan istana Basrah atas anjuran istrinya, ka- rena takut rahasianya terbuka oleh raja. Kemudian ia menda- patkan harta karun dan kembali lagi kepada istrinya itu.

Jilid 1. Di Kairo hidup seorang tukang sepatu miskin yang berna- ma Syekh Abdul Ma'ruf. Walaupun hidupnya sengsara, ia te- tap menjalankan ibadahnya dan selalu berbuat amal. Istrinya yang bernama Nyi Sarah bertabiat sangat buruk. Ia melawan kepada suami dan segala keinginannya harus dituruti. Karena penghasilan yang diperoleh tak pernah mencukupi, me- reka terpaksa harus menjual harta benda yang ada sehingga se- muanya habis. Pada suatu hari, Nyi Sarah ingin dibelikan yang berlapis madu. Dengan perasaan gundah, Syekh Abdul Ma'ruf berang- kat ke tempat pekeijaan diiringi ancaman Sang Istri jika per- mintaannya itu tidak dipenuhi. Rupanya nasib Abdul Ma'ruf memang sedang sial, karena ia tak mendapat rejeki sama sekali pada waktu itu. Sedangkan kue yang dipesan belum terbeli. Untunglah, di tengah perjalanan ia bertemu dengan seorang sahabat yang beijualan kue-kue. Setelah diceritakan persoalannya, lalu ia diberi kue-kue yang enak tapi kue yang diingini Nyi Sarah itu tidak ada lagi. Setiba di rumah, bukan kesenangan yang diperoleh Syekh Ab- 11

PNRI dul Ma'ruf melainkan sebaliknya. Nyi Sarah sangat marah ka- rena tidak terpenuhi keinginannya. Ia mencaci maki dan memukuli Syekh Abdul Ma'ruf, sehing- ga teijadilah keributan yang luar biasa. Akhirnya tetangganya turun tangan melerai mereka. Kelakuan Nyi Sarah makin bu- ruk. Ia sampai hati memfitnah suaminya kepada hakim, sehing- ga Syekh Abdul Ma'ruf harus berurusan dengan polisi. Untung ia dapat melarikan diri setelah diberitahu oleh sahabatnya. Da- lam pelariannya itu, ia ditolong oleh jin dan diterbangkan ke kota Basrah. Di kota ini, Syekh Abdul Ma'ruf bertemu dengan putra sahabatnya yang sekarang telah menjadi saudagar kaya; namanya Ali Kohia. Ia dibantu oleh Ah Kohia itu dan dibawa ke rumahnya. Sete- lah mendengar riwayatnya yang menyedihkan itu, Ali Kohia beijanji akan membantu hidupnya. Ia disuruh berpura-pura men- jadi saudagar kaya dari Kairo supaya memperoleh pinjaman uang dari para saudagar di Basrah. Nasehat Ali -Kohia itu ber- hasil dan Abdul Ma'ruf memperoleh pinjaman beberapa ratus ribu dinar dari mereka, dengan janji akan dibayar kelak bila kapalnya tiba.

Jilid 2. Tapi kemudian Syekh Abdul Ma'ruf tidak menepati jan- ji. Ia berbuat sesuka hatinya dihambur-hamburkannya uang ha- sil pinjaman tersebut sehingga akhirnya diadukan kepada raja Basrah sebagai penipu. Raja Basrah yang mendengar cerita itu menjadi salah penger- tian. Disangkanya Syekh Abdul Ma'ruf benar-benar saudagar kaya dari Kairo dan ia hendak menikahkan Abdul Ma'ruf de- ngan putrinya yang cantik. Semua hutangnya kepada para saudagar dilunasi oleh raja dan Syekh Abdul Ma'ruf dinikahkan dengan putri raja yang berna- ma Siti Aisah itu. Mereka berdua hidup rukun dan berbahagia. Beberapa lama kemudian, raja menaruh curiga kepada me- nantunya itu karena tidak pernah melakukan apa-apa kecuali menghambur-hamburkan uang negara saja untuk dibagikan ke-

12

PNRI pada fakir miskin. Sedangkan kapal-kapal yang dulu dijanjikan kepada raja tidak pernah datang (karena itu hanya khayalan belaka dari Abdul Ma'ruf). Akhirnya raja memanggil Siti Aisah untuk menyelidiki keada- an suaminya. Setelah ditanya oleh Siti Aisah, Syekh Abdul Ma'- ruf terpaksa berterus terang membukakan rahasianya, bahwa sebenarnya ia hanya seorang tukang sepatu miskin di Kairo. Istrinya itu ternyata bukan saja cantik rupanya, tetapi juga bi- jaksana dan lembut hatinya. Ia menyuruh Abdul Ma'ruf pergi dari Basrah jangan diketahui rahasianya oleh baginda, ser- ta diberinya bekal sebesar 50.000 dinar untuk usaha dagang. Syekh Abdul Ma'ruf pergi meninggalkan istana, mengembara tanpa tujuan sambil terus beramal kepada fakir miskin selama dalam perjalanannya.

Jilid 3. Beberapa lama kemudian, uang 50.000 dinar itu habis dan ia kelaparan. Akhirnya ia bertemu dengan seorang petani yang sedang mencangkul tanahnya. Dengan sukarela ia membantu petani itu. Ketika petani pulang ke rumahnya untuk mengam- bil makanan, Syekh Abdul Ma'ruf menemukan harta karun. Ternyata harta itu milik seorang jin yang telah dihukum oleh nabi Sulaiman. Jin tersebut merasa berterima kasih karena te- lah dilepaskan dari kutukan nabi Sulaiman, lalu menyerahkan semua harta itu kepada Abdul Ma'ruf. Ia sendiri masuk ke da- lam cincin Abdul Ma'ruf agar tidak diketahui orang lain. Jika Abdul Ma'ruf memerlukan bantuannya, ia harus menggosok cincin itu 3 kali. Tak lama kemudian Abdul Ma'ruf kembali ke Basrah akan menemui raja Basrah dan Siti Aisah. Ia membawa serta harta bendanya itu. Tersebutlah raja Basrah yang selalu menanti kedatangan Ab- dul Ma'ruf. Dulu oleh Siti Aisah telah diceritakan kepada raja, bahwa suaminya pergi akan menjemput kapal-kapalnya. Sam- pai saat itu raja Basrah percaya akan perkataan putrinya, dan

13

PNRI tetap menanti kedatangannya. Ketika mendengar berita kedatangan Abdul Ma'ruf di Basrah, segera baginda menyuruh menjemput ke pelabuhan. Ternya- ta memang benar menantunya itu datang membawa harta ben- da yang berlimpah-limpah. Hati baginda sangat gembira dan segera menyuruh Siti Aisah datang menyambut suaminya. Setelah bertemu, mereka berpe- lukan dengan penuh mesra karena sudah lama berpisah. Kemudian Abdul Ma'ruf membagi-bagikan harta bendanya itu kepada seluruh penghuni istana. Ketika raja Basrah turun tah- ta, baginda menunjuk Abdul Ma'ruf sebagai penggantinya. Pa- da waktu menjadi raja inilah Abdul Ma'ruf bertemu kembali dengan bekas istrinya Nyi Sarah yang sudah menjelma menja- di seekor anjing perburuan. Rupanya ia telah dikutuk oleh jin yang menolong Syekh Abdul Ma'ruf itu. Setelah minta maaf, Nyi Sarah kembali menjadi manusia dan meninggal dunia. Beberapa lama kemudian, Syekh Abdul Ma'ruf menyerahkan kembali tahtanya kepada raja Basrah; karena ia hendak pergi meninggalkan istana. Berdua bersama istrinya, Syekh Abdul Ma'ruf ingin menebus dosanya yang dahulu, karena telah sering melakukan penipu- an. Akhirnya ia menjadi seorang ajengan (kyai) dan mengajarkan agama kepada murid-muridnya.

14

PNRI BUBUKA

Teu kinten ngaraos bingahna, wireh Sunda lilir deui, midang mintonkeun ganda wawangen, seungit kaangin-angin, nyambuang ka samarcapada, boh kamonesan basana, boh kamonesan kase- niannana, nyakitu deui kamonesan kabudayaanana. Etang-etang turun kaul, ngiring ulubiung, ,,Lauk buruk milu mijah, piritan milu endogan" sanes reueus ngakukeun tiasa ngarang mah, ieu mah mung sakadar etang-etang „dogdog pang- rewong" bae, ngahaja metik ieu dongeng tina 1001 malem, etang- etang ngiring ngadeudeul, nambihan aosan, kangge aosan urang Sunda anu mikacinta kana basana ku anjeun. Upami undak usuk basana lepat, henteu beres entep seu- reuhna, sumangga dangdosan ku sadayana. Naha bade ku saha deui atuh didangdosannana, upami sanes ku sadayana sekeseler Sunda? Panyempad anu sehat, pamoyok anu kahartos, ditampi ku hate suci, iklas setra teu aya tiding aling-aling, tumamprah kalayan pinten-pinten kabingahan.

Wassalam, Nu metik.

15

PNRI PNRI Jaman baheula di nagara Kairo, aya hiji tukang sapatu, pohara miskirma. Imah-imahna di jaba kota. Demi tempat ma- nehna muka pausahaannana, di lebah pasar, jauhna ti imahna ka tempat pausahaannana teh kira-kira tujuh atawa dalapan ki- lometer kituh. Ana usaha unggal poe oge manehna sok ngadug- dag bae, dikeureuyeuh sanajan ngarasa cape jeung ripuh, ma'- lum kajurung ku butuh, kana kasab sejen euweuh nu kaerong ku manehna, da pangabisana ngan sakitu, ngomean sapatu anu geus raruksak. Ari ngaranna nu katelah mah Syeh Abdul Ma'ruf. Sanajan manehna, cek paribasa, nyatu sore henteu isuk oge, tapi ari kana ibadah mah manehna teh pohara pisan le- ketna, henteu dur bedug anggur murungkut, trong kohkol kalah morongkol, tapi manehna eStu dur bedug sujud tapakur, mene- kung ka Maha Agung, trong kohkol sila meneko madep mantep ka Yang Manon. Ngan hanjakal aya cacadna, nyaeta ku Nyi Sarah, bojona Syeh Abdul Ma'ruf, eta pohara pisan goreng adatna, awewe teu daek ngawula ka wayahna, hiji awewe teu daek ngajenan kana jasa-jasana nu jadi salaki. Awewe gakang, ninggang di lalaki ci- cing jelema sabar, tumamprah kana sagala pangersana Pangeran, atuh jadi ngalunjak beubeulieun. Teu kaop kahayangna dipung- pang sok babari murang-maring nepikeun ka salakina mindeng kabarerangan, mindeng jadi wadal pamajikan, nampa panyiksa atawa panyarekan bojona, anu leuwih ti misti. Syeh Abdul Ma'ruf ngartieun oge kana ajen dirina sorangan yen upama dilawanan kagakangan pamajikannana, karo-karo gelo. Kulantaran kitu salawasna ku manehna diayunkeun bae kahayangna pamajikannana, menta naon menta naon oge, ari sakira kadada kaduga mah ku manehna sok dicumponan bae. Pangala saeutik, ari lalaguan ngan ngawowoy bae pama- jikan, antukna mah, cek paribasa Syeh Abdul Ma'ruf teh: „Awak ruksak banda beak", burindil, da hayoh bae dipake nyumponan kahayang pamajikan, anu teu kaudag ku laladangan ngala. Geus linyih beresih bandana dihantem dijualan, duitna dibeuli-beuli- keun ka sakur nu dipikahayang ku pamajikannana, kayaning:

17

PNRI meuli papakean aralus nurutan enon-enon, meulian kadaharan anu ngareunah tur marahal, jeung sajabana. Syeh Abdul Ma'ruf awakna regeng, begang alahbatan cong- corang murus; begung alah manan cakung; balas nagenan atawa nampa panyiksa ti pamajikannana unggal poe. Di imahna geus meh parongpong, imah nu dicicingan eu- weuh dangiangan, gumblung-gamblang. Da kumaha atuh, geus puguh korsi meja mah beak dijualan, dipural-perol, dapon payu kana duit, kajeun teu ngimbangan kana harga pameuliannana, sok asal katampa duitna, keur ngan- teur karep pamajikan ih clung-clung bae, ka eunteung-eunteung, ka pigura-pigura ah pendekna naon bae anu beunang diduitkeun mah kabeh beak dicehcel, dijualan. Syeh Abdul Ma'ruf geus teu boga naon-naon, ngan iwal ti parabot ngomean sapatu anu diteundeunna di pasar tempat pausahaannana, anu henteu, atawa acan bae boa ieu oge, ari kadesek-desek teuing mah dijual. Harita mah acan soteh dijual tina Syeh Abdul Ma'ruf ngingetkeun euweuh deui parabot keur tatalang pangupa jiwa manehna sapopo'ena. Kacaritakeun dina hiji subuh, waktu Syeh Abdul Ma'ruf balik ti cai tas abdas, nyampak pamajikannana geus nyaring sarta ngomong ka salakina kieu: „Kang Ma'ruf, po'e ieu kuring hayang ngadahar ku'eh anu ditinyuh ku madu. Omat kudu meu- nang, nya? Awas, lamun teu meunang, taur rasa keh, ari balik ka imah". Syeh Abdul Ma'ruf ngawalon ka pamajikannana „Insya Allah, mugi-mugi Allah marengkeun kana pangersa Nyi Sarah, akang sing diijabah bisa nohonan sakumaha kapalay, margi ari nurutkeun sare at mah akang teh geus teu ngabogaan duit sape- ser peser acan. Ngan sugan bae Allah marengkeun ka akang po'e ieu sing aya nu ngengken nyieun sapatu". „Ulah rea catur nu tanpa bukur", ceuk Nyi Sarah, bari baeud. Lamun teu bukti engke sore mawa ku'eh nu make madu, alamat tulak dangsa dina tarang, ngarti?" „Gusti Allah sipat Rachman jeung Rachim", ceuk Syeh Abdul Ma'ruf, bari indit rek salat subuh heula.

18

PNRI Satutasna salat Subuh, manehna prak dikir, bari neda-neda ka Pangersa, muga sing diijabah, meunang rejeki keur nyumponan pamentana Nyi Sarah, pamajikannana. Saberesna babacaan jung bae manehna indit ti imahna, moro ka tempat manehna diga- we. Saking dumadak Syeh Abdul Ma'ruf keur meujeuhna meu- nang cocoba ti Pangeran kawasna, da sakitu manehna ngaleleng- kur ti isuk jeput, nepi ka geus meh sareupna deui, estuning sepi, euweuh nu datang saurang urang acan, anu ngadon, ngengken sapatu ka manehna. Atuh lapur kahayang bojona teh moal ka- cumponan. Syeh Abdul Ma'ruf pohara ngerikeunnana dina hatena, cipanonna geus ngalembereh kana pipina bari ngucap jero pi- kirna: „Emh, naha aing teh keur pareng didoja kabina-bina teuing. Manaha teuing ngambekna Nyi Sarah engkeh, kahayangna ku aing teu kacumponan". Bari mikir kitu manehna jung nangtung tina urutna diuk, rumanggieung kawas anu hudang gering; laleuleus satulang-sandi, jumarigjeug maksakeun maneh nangtung, nutup-nutupkeun tingkeban di tempat pagaweannana kawantu lapar, dumeh sapo'e jeput manehna acan kararaban sangu saremeh-remeh acan, pi- kirannana ngalangkabut sieun ku pamajikannana, pedah teu bisa barang bawa naon-naon. Horeng enggeus takdir diri, henteu beunang disingkahan, nampa panyiksa ti bojo, pedah teu bisa nyumponan, kueh nu dimaduan, muringis Syeh Abdul Ma'ruf, ka cipta baris disiksa.

Beres ningkreb ningkrebkeun tangkebannana, koloyong leumpang bangun nguyung, rungsing pinuh ku kapusing, gan- drung-gandrung kapirangrung, sajalan jalan ceurik bari tungkul. Tepi ka hareupeun hiji imah tukang kueh, manehna masih jongjon leumpang tungkul, teu rarat reret babakuna kebek ku

19

PNRI kasusahan. Pareng katembongeun ku tukang ku'eh, Syeh Abdul Ma'- ruf leumpang bangun nguyung, tukang kueh panasaraneun, gero ngageroan ka Syeh abdul Ma'ruf bari ngagupay: „Heeeeeey! Sadulur, ka dieu heula!!" Abdul Ma'ruf rungah ringeuh, ngadenge aya nu gegeroan ka manehna ret kareret beulah kaler, sihoreng nu ngageroan teh Umar, tukang kueh, sobat manehna. Syeh Abdul Ma'ruf kolo- yong nyampeurkeun, pok nembalan: „Aya naon, kang Umar?" „Lain, kieu puguh sadulur", ceuk Umar „Ditilik-tilikna anjeun ku kuring, katembongna jiga nu nguyung, bangun aya anu dipikiran. Upama kuring meunang nyaho. Naha keur mi- kiran naon sadulur teh, mana mesum-mesum teuing?" Syeh Abdul Ma'ruf: „Puguh nyaeta kuring teh keur kacida susahna, kang Umar, nyaeta sieun dipahala ku pamajikan". Umar nanya bangun kaget: „Naha make sieun dipahala sagala rupa? Naha boga naon sadulur teh?" Syeh Abdul Ma'ruf: „Ih, lain sing boga dosa. Kapan kang Umar oge nyaho kana adat Nyi Sarah, pamajikan kuring, kapan sakitu gakangna?" Umar: „Enya, naha kumaha kitu?" Syeh Abdul Ma'ruf: „Puguh nyaeta, manehna teh hayangeun kueh nu make madu, tapi po'e ieu kuring usaha teh teu beubeu- nangan sapeser lenyon. Naha ku naon dibeulina? Nganjuk teu untupan, euweuh caya keur mayarna, anu matak pohara bingung- na rek balik teh". Umar, ngadenge omongan Syeh Abdul Ma'ruf kitu, pohara karunyaeunana, pok manehna ngomong deui, kieu: „Atuh kitu-kitu bae mah entong dipake sieun, sadulur. Kuring bisa nu- lungan; tur sadulur teu kudu ngaduitan. Mayang sabaraha siki anjeun ku'eh?" Syeh Abdul Ma'ruf: „Nuhun kana pangasih, tapi ari kitu mah kuring teu narima, sabab sarua jeung ku'eh beunang mu- sapir. Kapan musapir teh pikeun jalma anu jagjag belejag, anu bisaeun keneh tarekah sejen mah, teu diwenangkeun. Wenang soteh baramaen, pikeun anu rarempo, anu geus teu bisa nyiar

20

PNRI rejeki, lantaran cacad ku tanpa daksa, atawa anu geus ripuh ku kakolotan, tur teu boga akhli-waris puntanganeun". Umar ngadenge kitu, beuki karunyaeun bae, tuluy ngomong deui: „Is puguh, lamun sadulur anu menta mah, musapir ngaran- na, tapi ieu mah kuring nu niat mere, seja sidekah karena Allah, kudu ditarimakeun, estu milik ti Kadim anu iseli, Cing hayang sabaraha siki, kueh teh?" Syeh Abdul Ma'ruf: „Ah, teu loba, tilu ge cukup sugan, asal keur nyumponan pamentana Nyi Sarah bae". Umar: „Heug, ku kuring dibere, tapi hanjakal, kulantaran waktu ieu keur pareng teu aya madu, jadi sadulur baris dibere kueh teh, lain anu ditinyuh ku madu, tapi anu ditinyuh ku kinca (cai peu- eut gula kawung). Jeung deui kuring rek mere nasehat ka sadu- lur, cik atuh ti semet ayeuna mah hirup teh ulah noong teuing ka kolong. Awewe kitu mah kudu diwarah, tuman, da sadulur teh lalaki. Hayu ayeuna mah tuturkeun kuring, urang nyokot kueh". Syeh Abdul Ma'ruf pohara atoheunnana, ngadenge pasang- gupan Umar kitu, jung nuturkeun, ngajarugjug imahna Umar. Sadatang-datang pok Umar ngomong deui: „Tah ieu kueh keur pamajikan sadulur reana tilu siki, jeung bisi sadulur aya keneh kahayang anu aya di kuring, kop-kop bae nyokotan, teu kudu meuli, malah kuring jangji, sanajan pangasilan kuring henteu gede oge, satungtung sadulur acan aya nu ngengken sapatu, sa- dulur meunang datang nyokotan kueh kadieu, unggal poe. Sad kuring ngan sakadar seja karna Allah bae, tina ngingetkeun ka- ranya ka sadulur, sajabana ti kitu, ieu kuring seja ibadah ka dulur, duit reana 10 dirham. Jig ayeuna sadulur geura balik, geura suka-suka jeung pamajikan sadulur." Syeh Abdul Ma'ruf dina bathinna muji sukur ka Pangeran, dumeh aya nu haat ka manehna, hiji jelema balabah, anu nga- bogaan jiwa sosial, daek nulung ka nu keur butuh, daek nalang ka nu keur susah, henteu malar naon-naon. Manehna gancang nganuhunkeun ka Umar, sarta gancang balik ka imahna, kalawan hatena pinuh ku kagumbiraan, dumeh manehna balikna rebo mawa kueh, keur nyumponan kahayang

21

PNRI pamajikannana. Sadatang-datang ka imahna, sok Syeh Abdul Ma'ruf nye- renkeun beubeunangan balangsiar. Kumaha Nyi Sarah nyeu'eung salakina rebo mawa beu- beunangan usaha, bungaheun? Henteu, tapi estu sabalikna pisan, ieu mah gantawang bae nyarekan laklak dasar, sapedah Syeh Abdul Ma'ruf mawana ku'eh, henteu cocog jeung sakumaha nu dipikahayang ku Nyi Sarah, cenah: „Naha ngagubug ku'eh teh bet nu kieu patut? Nu kieu mah kami teh teu beuki, henteu! Hayang sotenan ku'eh madu, ku'eh madu, conge! Nu kieu mah ku'eh nanahaon? Hu- mayua make hayang gableg pamajikan, ari teu wejes nyumponan kahayangna sakitu-kitu acan mah. Komo deui lamun menta emas berlian. Hayoh serahkeun bae kami teh, serahkeun!" Syeh Abdul Ma'ruf beak-beak sasadu ka pamajikannana. Ku manehna didongengkeun, yen uyuhan meunang ku'eh kitu, eta oge lamun lain pamere mah, moal hasil, sarta ku manehna diterangkeun, sapo'e eta usahana teu beubeunangan sapeser- peser acan. Dibejaan kitu teh pamajikannana, batan leler mah napsuna, kalah beuki angot, nyarekan deui ceuceuleuweungan, cenah ba- sana: „Lalaki tayoh ka lelegedna, usaha pilakadar neangan ku'- eh madu, teu berek. Hemh, teu gableg kakenyos!" Bari ngomong kitu gabrug Nyi Sarah ngarontok ka salakina, habek-habek neunggeulan bari nyakaran kana pipina, kerewek, ngerewesan buukna, sarta dibarung jeung nyarekan, ngesek- ngesekeun. Atuh sireum ge, ari ditincak-tincak teuing mah nya ngegel. Nyakitu deui Syeh Abdul Ma'ruf anu dirina ngarasa dihantem diteunggeulan, dikerewesan jeung dirangsang, nya kapo'ekan, leungit kasabarannana, lali kana „Purwa daksina", gampleng- gampleng Nyi Sarah diteunggeulan, meunang 2 kali, ditampiling lebah pipina. Jerit Nyi Sarah ngajerit bari ngarontok sarta ngagugunyeng buuk salakina, dibarung ku bari jeung cecerewetan, atuh tatangga- tatanggana rabul daratang, nya nu eukeur parasea teh pada nya-

22

PNRI rapih. Kalah ku pada ngalelemu ku sarerea, nu keur bentrok perang kurenan teh, aman deui, ngayakeun perletakan senjata „cakar". Sanggeus diayakeun kompromi ku tatangga-tatanggana, sarta sanggeus kanyahoan alakur deui, lus-les nungtutan baralik ka saimah-imahna. Ayeuna anu tinggal teh ngan Syeh Abdul Ma'ruf bae kadua bojona, Nyi Sarah anu masih keneh murukusunu di juru te- pas. Nyi Sarah jangji, moal daek ngadahar kueh bawa salakina, tapi ari duit pamere Umar tukang ku'eh tea mah, anu sapuluh dirham, disakuan ku Nyi Sarah. Beda deui jeung kaayaan Syeh Abdul Ma'ruf. Ari manehna mah, kulantaran geus ngarasa pohara laparna, jeung capeeun, deuih ongkoh urut dikekesek ku Nyi Sarah, celtfbek bae ngada- haran kueh, cacamuilan, panonna peureum beunta, bangun anu ni mateun pisan. „Kop telih (maksudna pek dahar) ku sia, engke ge dina gegembung sia moal teu jadi racun!" ceuk Nyi Sarah, bari judad- jadeud. „Moal tiasa kulan", ceuk Syeh Abdul Ma'ruf, bari jong- jon ngahuap-huapkeun kueh. Gusti Allah sipat welas-asih. Teu matak naon isuk atawa pageto akang dipasihan rijki ajang meuli kueh nu ditinyuh madu, pikeun hakaneun maneh sasoranga- neun". Satuluyna Syeh Abdul Ma'ruf hantem ngalelemu ka bojo- na, sangkan henteu terus ambekna, Tapi da dasar: „kuat adat batan warah," Nyi Sarah teh ngabogaan topek „goreng tekad", tetap bae sapeuting harita ambek-ambekan, teu eureun-eureun. Nepi ka wanci Subuh Syeh Abdul Ma'ruf teu bisaeun sare sakerejep-kerejep acan, lantaran pamajikannana ngecom bae sungutna teu eureun-eureun, kutuk-gendeng, teu beda ti seeng anu dibeuleum biritna, geuning renyom seuneuna. Sanggeus nyumponan kawajibannana, nyaeta salat Subuh, Syeh Abdul Ma'ruf rebun-rebun keneh oge geus indit, ka paga- weannana. Deker ngadeluk digawe, itung-itung mopohokeun

23

PNRI kakeuheul ka pamajikannana. Barang kira-kira pukul 10 beurang, keur waktu manehna jongjong ngadeluk digawe, kurutak bae aya upas duaan, anu daratang ka manehna, maksudna ngangkiran Syeh Abdul Ma'- ruf, supaya harita keneh kairingkeun ka nagara, baris dipariksa dilandrat. Atuh Syeh Abdul Ma'ruf teh pohara reuwaseunana, kawan- tu manehna teu rumasa atawa teu ngarasa boga dosa. Tapi teu majar kumaha, jung bae manehna indit, nuturkeun ka upas nu ngangkiran manehna. Ari jol teh ka kantor landrat, manehna hookeun sabab nyampak geus aya Nyi Sarah, leungeunna dibebed ku lamak bodas dibeungkeutkeun kana taktakna. Sihoreng Nyi Sarah teh geus lapor ka pulisi di Kairo, nge- lakeun Syeh Abdul Ma'ruf, magarkeun teh cenah geus disiksa ku salakina, diparieuskeun leungeunna, datangka babareuhan. Syeh Abdul Ma'ruf geus dipariksa ku Jaksa, pananyana: „Abdul Ma'ruf, geus tarima maneh neunggeulan pamajikan ma- neh, kalawan geus marieuskeun leungeunna, datangka bareuh?" Walon Syeh Abdul Ma'ruf: „Upami abdi ngalakukeun nu teu merenah, sumangga geura hukuman, sakumaha kedahna. Abdi parantos rumaos nampiling pun bojo 2 kali, tina bangeting ka- po'ekan, namung ari nyiksa pama, atanapi marieuskeun leu- ngeun mah, estu teu rumaos, malah teu wasa. Malah sawang- sulna ti kitu, abdi anu wareg nampi panyiksa ti nu janten bojo, upami kahoyongna teu kacumponan ku abdi". Derekdek ku Syeh Abdul Ma'ruf didongengkeun, lalampahan manehna, waktu peutingna pasea jeung Nyi Sarah tea. Jaksa, barang ngadenge katerangannana Syeh Abdul Ma'- ruf kitu, pohara ngarasa karunyaeunnana, golosor bae mere duit 20 dirham, bari ngomong: „Geus bae Abdul Ma'ruf, Sarah. Perkara maneh diputus ku kaula serek dieu. Ngan ti waktu ieu Abdul Ma'ruf kudu layeut jeung pamajikan. Sarah, maneh oge teu meunang harak ka nu jadi salaki, pamali, matak kawalat, Heh ieuh Abdul Ma'ruf, kaula tina banget karunya ka maneh, mare duit, reana 20 dirham keur meuli ku'eh make madu. Jig

24

PNRI ayeuna mah geura baralik". Syeh Abdul Ma'ruf: „Boooooo, abdi mah teu wasa nampi pamasihan, teu karana panggawe, da abdi mah teu aya kahoyong. Pasea atanapi peperkawisan, eta oge kahoyongna Nyi Sarah. Ari bade maparin mah, pasihkeun bae ka pun bojo". Jaksa: „Heeh, kitu nya kitu. Heh ieu Nyi Sarah duit teh geura tampanan, milik andika. Beulikeun kana kueh kadituh". Nyi Sarah gancang nampanan duit anu 20 dirham ti Jaksa, sarta ti harita tuluy bubar, henteu kapapanj angan per karana. Balikna kumaha, naha layeut, pedah geus diputus ku Jaksa? Is henteu, estu sewang-sewangan bae, sapaira sapaisun, Nyi Sarah mah balikna teh ka imahna, demi Syeh Abdul Ma'- ruf mah, balikna teh ka pagaweannana, rek nuluykeun hancaan- na anu acan anggeus. Kakara oge gek diuk, kesang oge acan , geus kuru- nyung deui upas nu ngangkiran Syeh Abdul Ma'ruf waktu tadi tea daratang duaan, maksudna rek marenta buruh ngangkiran tadi, dumeh katarembongeun ku maranehna, yen Syeh Abdul Ma'ruf meunang peresen ti Jaksa, reana 20 dirham. Kulantaran duitna, tadi ge ti Jaksa teu ditampanan ku ma- nehna, nyaeta ditampana ku Nyi Sarah, atuh Syeh Abdul Ma'- ruf kekepehan teu daek mere tapi upas-upas tea keukeuh maren- 'tana, cenah basana, lamun henteu mere atawa ngabagi pame- resen tea, Syeh Abdul Ma'ruf rek di panjara. Duit teu boga sapeser bengo, ari nu menta keukeuh mamaksa, antukna Syeh Abdul Ma'ruf eleh deet kapaksa harita keneh ngajualan atawa ngalelangkeun heula parabot paranti manehna baranggawe sapopo'e, teu loba parabotna teh, kayaning: 1 saron, tatakan paranti makuan sapatu, 2 palu, palu gede jeung palu leutik, 2 jara, paranti ngaput sapatu jeung 3 peso paranti nurih kulit. Da ngan sakitu kituna parabot digawena teh. Sang- geus payu, ladangna gancang dibikeun ka upas-upas tea. Ayeuna Syeh Abdul Ma'ruf geus ngaligincing, teu boga naon, teu boga naon, usahana pugag, da geus teu ngabogaan pa- rabot. Manehna diuk cindeluk, ngahurun balung, ku tulang, cipa-

25

PNRI nonna ngalembereh kana pipina, mikiran nasib dirina, anu keur meujeuhna ninggang di: „nete semplek nincak semplak", kitu salah kieu salah, tungtungna manehna ngarasa aral subaha, pek humandeuar, kieu: „Emh, naha milik teh goreng-goreng teuing, estu teu parok reujeung batur. Hayang teuing aing bisa lunta ti nagara ieu, supaya ulah aya gangguan naon-naon. Meureun tibra hate teh. Lamun bisa pindah ti dieu, aing jangji hayang ichtiar neangan kasenangan, rek diajar pindah cai pindah tampian". Keur manehna mikir kitu, dor-dor aya anu ngagedoran, kana panto tempat usahana. Syeh Abdul Ma'ruf curinghak, bray ku manehna dibukakeun. Ana breh teh sihoreng tatanggana di tempat pausahaannana, batur sakulah-sakolih manehna, nyaeta tukang dagang barang karajinan tina taneuh, ngaranna Mutholib. Mutholib ngomong hariweusweus ka Syeh Abdul Ma'ruf, pokna: „Sadulur, buru-buru sampean geura ingkah tidieu, sabab bojo sampean, Nyi Sarah tadi katembong ku kaula indit ka nagara, cenah omongna rek merkarakeun sadulur ka nu leuwih luhur, nyaeta ka Jaksa Agung di nagara Kairo. Kaula mah ngingetan, bae bisi sadulur jadi cilaka". Syeh Abdul Ma'ruf pohara reuwaseunnana, manehna estu poho di naon-naon, bijil ti tempat pagaweannana, jepret pantona disosi, leos ngaleos ti dinya, indit gura-giru, leumpang sakaparan- paran, hanteu puguh tujuan. Leumpangna kalunta-lunta, nya tepi ka wates kota. Gek diuk dina batu ngareureuhkeun cape, urut ngejat dibarengan ku risi, bari nyarande kana sisi kuta. Jaman harita mah di nagara Kairo teh perwatesannana kota sok make kaca-kaca nyaeta cirina, kuta tembok ngadingding anu jangkungna kira-kira 15 meter. Tah, Syeh Abdul Ma'ruf oge nya nyarande kana kuta kaca- kaca tea. Kulantaran harita geus waktu asar, Syeh Abdul Ma'ruf teu lila reureuhna, jung cengkat dek salat Asar heula, sarta baba- caan kalawan husu, neda-neda ka Pangeran anu Murbeng Reh, hayang laksana bisa ingkah ti nagara Kairo, supaya ulah kapanggih ku Nyi Sarah, bojona.

26

PNRI Keur jongjon manehna uleng manteng menekung mujasmedi teu kanyahoan deui, ana gebray teh kuta benteng kaca-kaca beulah, marapat ti luhur ka handap; anu pameulahannana (ben- carna) eta benteng teh kira-kira sarubak panto imah, anu dibu- kakeun. Kurunyung tina jero eta tembokan teh aya anu kaluar, hiji adeg-adeg manusa, rupana estu pikagilaeun pisan. Awakna nga- jungkiring, sagede munding pelen, sarta tandukan ranggakgak, teu beda ti tanduk banteng nu aya di Ujung kulon (Banten), Kuku suku jeung kuku leungeunna paranjang sarta, ngareluk saperti kuku ramo meong. Sirah bedegul dugul, irung pegeg, ari bangus monyong jiga babi, sihungna pasalit ka luhur ka han- dap Panonna sagede gede' jengkol, beureum, sarta molotot lir panon bueuk. Awakna; nya gede, nya hideung mani lestreng, lir birit seeng, nya seseg deui, sepirna mani beberehilan, ti dada, nepi kana leungeunna teh mani maronjotol. Dangdanannana, teu pira ngan saukur dicawet. Kolongkrong nyampeurkeun ka Syeh Abdul Ma'ruf. Syeh Abdul Ma'ruf ngejat bakating reuwas, undur-unduran bari pupuringisan, sieuneun diranggeum diteu- reuy buleud ku nu jiga ulon-ulon. Anu jiga ulon-ulon, ngilikan Syeh Abdul Ma'ruf undur-unduran teh kalah nyampeurkeun, bari ngomong ngagoronggong: „Waduuuuuuh, walakadalah, haaaah!! Heeeeh, urang manusa! Naon sababna anjeun geus ngaganggu ka kaula, ku salat di hareupeun kaula, datang ka awak kaula ngarasa panas? Geus dua ratus taun lilana kaula nya ngeng- gon didieu, euweuh anu ngagomeng-gomeng ka kaula. Kakarek ayeuna sampean geus ngarerab awak kaula ku doa sampean. Kaula rumasa kasoran jajaten ku sampean, anu sabenerna mah kaula teh tara mundur ku naon-naon. Kasieun awak kaula euweuh deui, lian ti ku Seuweu putu Kangjeng Nabi A.dam, anu daek ngalakonan ibadah, saperti sampean ayeuna. Kulantaran kaula rumasa tunduk ka sampean, bisi sampean hayang naon bae, pok nyarita ka kaula, ku kaula moal burung ditedunan". Syeh Abdul Ma'ruf ngadenge nu jiga ulon-ulon nyarita kitu, hatena rada teteg, lalaunan nyampeurkeun pok nanya sorana rada ngeleper: „A-a-a-r-r-ri sam-sam-sampean teh bangsa nanaha- ha-haon?" 27

PNRI Ceuk nu jiga ulon-ulon: „Kaula anu katelahkeun Jin Gangga Indra! Padumukan kaula nya ieu dina benteng Guha Gupita. Pok anjeun geura wakca, hayang naon, haaaaah?" Syeh Abdul Ma'ruf, sanggeus teteg pisan pikirna, galan- tang bae ngadongengkeun lalampahannana ka Jin Gangga In- dra, yen manehna keur meujeuhna nyeri ku pamajikannana, kitu, kitu, kituuuuu, cenah. Jin Gangga Indra sediheun ngadenge lalakonna Syeh Abdul Ma'ruf, nepikeun ka salesma jeung beresin sababaraha kali. „Haaraciiiih, geus, geus, hat-hat-hat-ciiiih! Geus ulah dituluy- keun deui dongeng sampean. Haat-hat ha-ciiiih! Matak sedih ka kaula. Kumaha upama kieu bae. Daek kira-kirana sampean dipindahkeun ku kaula ti dieu ka nagara sejen, supaya paang- gang jeung pamajikan sampean?" ceuk Jin Gangga Indra. Syeh Abdul Ma'ruf: „Nya sukur lamun enya maneh bisa mindahkeun kaula Ngan kumaha petana?" „Gek geura naek bae kana tonggong kaula", tembal Jin Gangga Indra. Teu ngengkekeun deui, terekel bae Syeh Abdul Ma'ruf naek kana tonggong Jin Gangga Indra, muntang nangkod pageun kana beuheungna, teu beda jiga rnunding anu ditumpakan ku budak angon, naklek dina tonggongna, bari muntang kana beuheung munding. Biur jin teh ngapung ka luhur awang-awang ngalayang di jomantara, gancang lir kilat, cepet nyoloyongna ka beulah kidul. Syeh Abdul Ma'ruf muntang kana buuk jin tarik pisan, bari peureum, bakating paureun tayohna, ku ngarasa siriwikna angin anu nebak kana ceulina, awahing tarikna hiber jin tea. Wanci subuh geus nepi ka luhureun hiji nagara, anu kate- lah nagara Basrah. Jin Gangga Indra nyirorot ka handap, gujrag kana lemah meneran tapel watesna eta nagara. Sok Syeh Abdul Ma'ruf diecagkeun lebah dinya, pok Jin Gangga Indra teh ngo- mong: „Heug sasemet dieu bae sampean dianteurkeun ku kau- la. Tuh itu, bisi sampean acan terang, anu katelah nagara Ba- srah. Ayeuna mah sampean geus papisah jeung bojo sampean.

28

PNRI Ku kaula sampean didoakeun sing hasil nu dimaksud, sing bisa nyiar kipayah di nagara deungeun, kaula rek balik. Sampean ti semet ieu geus bebas, geus teu dijajah bathin sampean ku bojo sampean. Ayeuna mah sampean teh geus laluasa, geus merde- ka. Geus Merdekaaa! Hahahahhah! Geus merdekaaaa! Sing bisa ngudag kamerdekaan jiwa anjeun, anu sabenerna huuhhuuh, haah hah hah hah hah!" Kalapak bae jin teh hiber deui ka luhur awang-awang, bari seuseurian, tarik batan mimis bedil, gancang alahmanan kilat, sajorelat geus teu katembong ku Syeh Abdul Ma'ruf. Saditinggalkeunnana ku Jin Gangga India, Syeh Abdul Ma'ruf kebat lampahna asup ka jero nagara Basrah. Kulantaran jaman harita nagara Basrah teh pohara resik- na, parentul gedong-gedongna aralus pisan, Syeh Abdul Ma'ruf pohara ngarasa barieukeunnana, gawena palanga-polongo nen- joan rupa-rupa kaanehan-kaanehan didinya, anu saumurna kakara nyaho. Manehna palanca-polonco lir hayam panyambungan. Ku urang nagara Basrah, anu papanggih jeung Syeh Abdul Ma'ruf bol-bol katangan bae yen teh lain pribumi di dinya, tapi urang asing, dumeh kahiji, nilik kalakuannana Syeh Abdul Ma'ruf teh semu nu dusun, kadua, papakean nu dipake ku Syeh Abdul Ma'ruf beda pisan jeung papakean kabangsaan urang nagara Basrah. Saurang ti antarana urang dinya pangangguran nanya ka Syeh Abdul Ma'ruf: „Andika saperti anu tumamu, kawas-kawas ti nu jauhna. Naha nu ti mana sampean?" „Kaula ti nagara Kairo", tembal Syeh Abdul Ma'ruf. "Iraha sampean indit ti Kairo? ceuk nu nanya. „Kamari wanci Magrib", tembal Syeh Abdul Ma'ruf. Barakatak bae anu nanya teh nyeungseurikeun mani ku- kusekan. Syeh Abdul Ma'ruf hookeun, ngilikan anu kitu pamolah- na, tuluy nanya: „Naha make nyeungseurikeun?" Nu nyeung- seurikeun teh jongjon seuseurian, bari mencetan beuteungna sarta dodongkoan, pek nunjuk ka Syeh Abdul Ma'ruf bari ngo- mong: „Atuda, atuda heuheuy ideuh! Atuda aya andar, nga-

29

PNRI bohong teh hahahah, sataker kebek teuing, sampean mah haduh, haduh, haduh, halaaah, mani nyeri kulit beuteung ieuh, haduuuh, hahahah!" cenah. Syeh Abdul Ma'ruf: „Bohong kumaha, ngomong sabener-be- ner?" Nu nyeungseurikeun teh rada leler seurina, tayohna seubeuheun, pok ngomong: „Nu gejul, gelo sampean mah. Piraku kamari Magrib indit ti Kairo, ari ayeuna geus aya di dieu? Urang dieu oge, anu sok nyaba ka Kairo, di jalanna make aya bulanna, ari ieu ngan sapeuting, pamohalan". "Puguh sampean anu gelo tea mah, teu percaya ka omong jelema. Kaula mah tara bohong. Memang, kamari kaula di Kairo, ayeuna di dieu", ceuk Syeh Abdul Ma'ruf. Ceuk nu nanya: „Enya sampean mah tara bohong soteh, tara bohong kakapeungan, ngan osok bohong salawasna nya? Hah hah hah! Batur-batur geura reungeukeun. Mupakat henteu ieu, ki Silah, nyebutkeun: „Kamari ba'da Magrib aya di Kairo, ari ayeuna geus aya di dieu, di nagara urang?" „Wadul, wadul, montong dipercaya. Eta mah nu gelo, pa- pakeannana oge kaciri kapan etah, beda jeung urang", omong nu sejenna, anu kapareng aya di dinya. Ger bae Syeh Abdul Ma'ruf pada nyeungseurikeun, tuluy- na pada ninggalkeun, sarta kabeh baroga sangkaan, Syeh Abdul Ma'ruf teh jelema kurang sacetet, kurang saeundan, alias disangka gejul. Keur waktu Syeh Abdul Ma'ruf pada nyeungseurikeun kitu, aya hiji jelema anu jongjon ngabandungan kana caritaan Syeh Abdul Ma'ruf. Papakean eta jelema ginding kacida mawa pangi- ring duaan, heg bae nyampeurkeun ka Syeh Abdul Ma'ruf, tu- luy ngajakan nuturkeun ka manehna. Keur mah Syeh Abdul Ma'ruf teh palanca-polonco, kawas hayam panyambungan, ari ieu ujug-ujug aya anu ngaku bae, tur ulatna someah pisan, atuh bol-bol keren bae, ngilitik nutur- keun nu ginding tea, rek dibawa ka imahna. Horenganan eta teh hiji sudagar beunghar kacida, gedongna alus, paparabotannana alagreng, rea ingon-ingonna, kayaning:

30

PNRI onta, sapi, geus puguh ernbe mah, ku rea-reana mani geus teu ka bilang. Syeh Abdul Ma'ruf, teu weleh hookeun ku eta jelema anu ngaku, ditungtun dibawa ka jero imahna, heg dihormat dahar leueut, sarta dipisalin papakean anu sing sarwa aralus. Satutasna dipisalin sarta dituang leueutkeun, pok sudagar teh nanya ka Syeh Abdul Ma'ruf, kieu: „Di Kairona sampean teh dijalan mana nya matuh?" Syeh Abdul Ma'ruf: „Haaar, naha sampean parantos terang Kai- ro?" Sudagar: „Atuh puguh terang mah, malah dijurukeun ge di ditu. Di dieu mah kaula teh ngan sakadar ngumbara". Syeh Abdul Ma'ruf: „Euh karah kitu? Atuh anjeun terang ka Pasar Merah, nya?" „Is, komo bae, malah pang ulinan eta mah", ceuk suda- gar. Syeh Abdul Ma'ruf: „Tah, tempat kaula muka pausahaan mah nya di dinya, di Pasar Merah, nyaeta kana jadi tukang sapatu. Ngan ari pamatuhan mah jauh deui ti dinya di jaba kota". Sudagar: „Naha anjeun wawuh jeung Ahmad, tukang ubar-ubaran, di Pasar Merah?" Syeh Abdul Ma'ruf: „Euh jeung Ahmad Katamsi, tukang obat? Atuh komo bae, sobat medok kaula eta mah. Sakalieun kaula butuh ubar-ubaran, tara ieuh kudu meuli ka manehna mah, da salampakna salawasna sok dipangnambalankeun ku kaula." Sudagar: „Kumaha waktu memeh ditinggalkeun ku sampean. Naha eta nu jenengan Ahmad Katamsi teh daramang sadaya- na?" Syeh Abdul Ma'ruf: „Pangesto, waktu kamari mah sarehat, teu kurang naon-naon." Sudagar: „Sukur, sukur. Kumaha Ahmad Katamsi teh, kagungan sabaraha hiji putrana?" Syeh Abdul Ma'ruf: „Ari kabehna mah aya tilu. Lalaki kabehan- nana oge. Nu hiji ngaranna Mustapa, jadi guru ngaji apan didituna Nu kadua Muhamad, nya ieu mah nuluykeun talapakan bapana, jadi tukang ubar-ubaran. Demi nu bungsu, Ali Kohia ngarana.

31

PNRI Manehna mah estu budak bangor, malah mindeng ka pagawean kaula, gawena sok mentaan kulit paneukteukan nyieun sapatu, keur ulin. Barang eta Ali Kohia sed gede, beuki nalaktak, ulinna jarambah, nepi ka dina hiji po'e manehna kungsi pasea jeung hiji jelema, anu nyekel agama Nasrani, sawala bebeneran, der pasea rongkah. Eta urang Nasrani teh habek-habek diteunggeulan ku manehna, nepika ngajehjerna, tapi teu kungsi paeh. Belesat Ali Kohia ngejat ti nagara Kairo, sieuneun keuna hukuman. Blengles, ti harita teu embus-embus, euweuh bejana, di mana ayana Ali Kohia, nepika ayeuna, itungan ti jaman harita geus sawindu (8 taun) lilana". Sudagar: „Kieu sabenerna mah. Bisi sampean acan terang, nya kaula Ali Kohia anu kakaburan teh. Anumatak sampean entong asa-asa aya di kaula. Cing sakalian caritakeun lalampahan sam- pean, pangna ayeuna aya di dieu, sabab kaula oge ngarasa heran, cenah sampean kamari ba'da Magrib masih keneh di Kairo, ari ayeuna geus aya di dieu?" Derekdek bae ku Syeh Abdul Ma'ruf didongengkeun la- lampahan manehna, dibejer beaskeun ka sobat batur salembur- na, Sudagar Ali Kohia tea, estu euweuh anu dingding kelir, tina lebah dibawa hiber jeung ditulungan ku Jin Gangga Indra oge dicaritakeun. Sudagar Ali Kohia: „Boooo, nya pantes, upama kitu ja- lanna mah, sampean ayeuna bisa aya di dieu". Tutas Syeh Abdul Ma'ruf ngadongengkeun lalampahanna- na, galantang deui Ali Kohia medarkeun lalampahan manehna, sainditna ti lemburna, kieu:„Pangna kaula aya di nagara ieu, nagara Basrah, henteu tereh-tereh kawas sampean, ngan ukur sapeuting, ari kaula mah aprak-aprakan heula, ka saban nagara, nyaeta sajeroning jadi jelema pakaburan teh, bari neangan luang di nagara-nagara sejen. Berekah genep taun aber-aberan ka mana-mana, nyaho, Kolombo, nyaho Mesir, nyaho Heiderabad, nya pamustungan nyangsang di dieu. Mimitina datang ka nagara ieu teh, teu boga duit sapeser lenyon, tapi ku akal kaula, kalawan make jalan ngakukeun hiji

32

PNRI sudagar anu keur katambias, nya meunang nginjeum duit reana sarebu dinar, ti hiji Sudagar di dieu. Estu bohong kaula harita, anu ka sampean mah moal rek dibuni-buni, teu katohyan, di- anggap, ku eta sudagar teh, anu ngaranna Sudagar Hasanudin, bol-bol golosor bae dibere nginjeum, kalawan make peijang- jian ti heula, di mana barang-barang kaula datang ti Kairo eta hutang Kaula baris dibayar. Duit meunang nginjeum tea ku kaula gancang bae dibeulikeun imah, sesana dimodalkeun, dipake meulian barang-barang. Sa- king dumadak dagang teh payu pisan, dina sajero sataun, hutang kaula impas kaula mucekil. Nya tuluy tumuluy pada mercaya ku itu ku ieu. Anumatak nepika sakieu beungharna teh kaula mah ngan saukur ladang bohong, ladang jelema-jelema neun- deun kapercayaan ka kaula. Tah, anumatak sampean oge Syeh Abdul Ma'ruf, kudu nurutan talajak kaula, geura, sabulan ge bisa beunghar. Ka sampean acan rea anu kenal, entong nerang- keun asal tukang sapatu, kakaburan pasea jeung pamajikan, masing ka sasaha oge, tapi sampean kudu ngakukeun hiji sudagar, anu keur nunggu barang dagangan, anu ayeuna masih di jalan keneh, kitu". Syeh Abdul Ma'ruf: „Ngabohong etah, teu idin kapan. Eta teh larangan gede". Ali Kohia: „Eum eta sampean mah sok bodo, ieu mah bohong ge bohong wenang, elmu dagang, sangkan ka sampean rea nu mercaya, unggah darajat. Tuh bireungeuh, batur ge da- ragang ubar-ubaran di pasar, nyebutkeun matih, ubar ajaib, ubar manjur rupa-rupa. Padahal mah ubar-ubar, nu gering-gering, tapi ku pinter ngabarohongna nepika napuk nu meuli. Sawareh mah ngarasa satengah katipu. Ari kaula jeung sampean mah lain sing rek nipu.'Ieu mah ngakukeun jadi sudagar soteh, sang- kan sampean naek harkat, heg pada mercaya, atawa apes-apesna aya nu mercaya mere nginjeum pimodaleun, heug golangkeun kalawan junun, cara kaula, engke lamun geus maju, punahan hutang sampean. Beres lain? Kapan geuning kolot urang baheula sok mapatahan kieu: „Lamun teu daek ngakal moal ngakeul, lamun teu bisa ngarah moal ngarih". Kaharti ayeuna ku sam-

33

PNRI pean?" Syeh Abdul Ma'ruf: „Euh, enya, enya kaharti. Jadi hartina bohong sakeudeung, keur ngabela diri saendeng-endeng". Ali Kohia: „Hah, hah, hah! Tah geuning kaharti. Heeh kitu. Sukur. Moal matak doraka, da dibayar, malah make renten. Ieu mah ngan sakadar ngarah kapercayaan bae, sabab lamun teu kitu sampean moal bisa maju, da taya saratna pikeun ngama- jukeun. Isukan ku kaula sampean baris dibere nginjeum papa- kean, duit sarebu dinar, jeung hiji onta katut rarahabna, tumpa- kaneun sampean. Itung-itung keur pamikatna, lamun dina ngala manuk mah. Sampean ibarat jontrotna. Sanggeus kitu, sampean kudu dangdan, nyeta-nyeta hiji sudagar, tuluy tumpak onta ngajugjug ka Pasar. Tah engke, di Pasar kaula baris mapagkeun ka sampean, sarta tangtu sampean ku kaula dihormat, saperti ngahormat ka hiji sudagar sobat kaula, anu pangbeungharna di nagara Kairo. Omat sampean sing bisa miceun semu, sing ceples niron-niron lagam sudagar, ambeh jadi sudagar enyaan, ulah kaciri asal kekere. Di Pasar engke, kaula baris nanyakeun hargana barang-barang ka sampean. Tah di dinya sampean kudu aktipna teh, kudu bisa nembal ka kaula, sakur pananya kaula, sarta sakur pesenan-pesenan kaula kabeh kudu disanggupan ku sampean, sarta sampean kudu jangji ka kaula, engke di mana kapal sampean anu dimomotan ku barang-barang datang ti nagara Kairo, tangtu barang-barang pesenan kaula dikirimkeun kituh, ngarti?" Syeh Abdul Ma'ruf: „Puguh bae leuwih ti kaharti ari kitu jalanna mah". Ali Kohia: „Tah, heug sukur, tapi kula rek amanat ka sampean, kieu: „Lamun aya, malah tangtu engke teh di Pasar rea anu ngaremis (baramaen). Tah sampean ulah asa-asa, sok-sok bae duit nu pamahanan kaula 1000 dinar tea, bikeunan ku sampean, naha sapuluh perak-sapuiuh perak saurangna kadinyah, ngarah sampean disangka royal, enyaan disangka sudagar anu pangbeung- harna teh da buktina ka nu baramaen ge merena gede cena meu- reunan, beuki ngandelan kapercayaan para sudagar didinya. Engke kaula di Pasar rek ngahaja ngayakeun pesta gede, kabeh para sudagar-sudagar nu baleunghar arek diondang, rek ditepung-

34

PNRI tepungkeun jeung sampean supaya sampean engkena bisa beung- har cara kaula. Nurutan ogel, dogdog pondok ngelentrung, ieu lalakon ge urang pondokeuri bae ulah aya catur tanpa bukur, rea itungan tanpa kandungan, carita diboro perluna, kocapkeun sanggeus isukna, sakumaha anu geus asak dibadamikeun tadi, Syeh Abdul Ma'ruf geus dangdan ku papakean anu sing sarwa endah, beunang nginjeum ti Ali Kohia, niron-niron sudagar beunghar ti tanah Kairo, didastar koneng ngerab-ngerab, make kamis jeung jubah hejo, janggot dibeberes pondokna kira santunjuk dipuril-puril sina seukeut kahareup kumisna dicengklik-cengklik, ana pek numpak onta petingan anu sakeduk jeung sebrakna oge tina sutra dewangga, ditabur ku inten rinukmi, ting karetip ting ba- ranyay, sisi-sisina sebrak dipalisir ku emas dipaselangkeun jeung benang sutra. Leungit sipat butin. Leungit Syeh Abdul Ma'ruf tukang sapatu, janggelek jadi sudagar beunghar ti nagara Kairo, jadi sudagar Tuan Syeh Abdul Ma'ruf. Ah Kohia geus indit ti heula ka Pasar, numpakan hiji onta, onta anu kitu bae, onta lumbrah. Sakeduk jeung rarahabna henteu nandingan ka onta nu dipake ku Syeh Abdul Ma'ruf, tapi ngahaja anu basajan, malar henteu nyaruaan kagindingan Tuan Syeh Abdul Ma'ruf, sudagar anu pangbeungharna ti tanah Kairo, dipa- lar ka Syeh Abdul Ma'ruf rea nu moho nenjo, dipambrih rea nu muji kana kasugihannana Tuan Syeh Abdul Ma'ruf, engke di Pasar. Enyaan Ah Kohia ngajungjungkeun darajat Syeh Abdul Ma'ruf teh, da buktina manehna di Pasar nagara Basrah geus ngondangan para sudagar-sudagar anu baleunghar, anu ngaradon dagang di dinya, saperti: Sudagar ti nagara Habesi, sudagar In- dia, sudagar nagri Cina, sudagar ti Arab, Keling, malah sudagar ti Indonesia ge aya harita teh, jeung ti sejen-sejen nagara. Para sudagar geus karumpul, palanasaraneun, lantaran meu- nang beja ti Ah Kohia, yen AU Kohia keur ngaleunggeuh suda- gar, sobatna ti nagara Kairo, anu kamashur jegud, rek ditepung- tepungkeun jeung para sudagar di dinya, pikeun ngareaan hu-

35

PNRI bungan perdagangan, malar nambahan kauntungan. Eta sudagar jenengannana katelah „Tuanku Syeh Abdul Ma'ruf" cenah. Leugeudeut aleutan ti ditu- ti dieu, gotongan-gotongan sababaraha dongdang, kintunan oleh-oleh ti para sudagar, keur ngahormat para sudagar deui, gegedena keur baris ngahormat hormateun gede, nyaeta: „Tuanku Syeh Abdul Ma'ruf'. Itung- itung nyambungan ka Sudagar Ali Kohia, basana. Barang geus beres ngabaris, sudagar batik geus caralik, sudagar barang geus ngabarak, sudagar tehnik ing arilik, aeh pahili, alam harita mah acan aya tehnik nya? Nu ngarang tiso- ledat kalamna, lain sudagar barang tehnik, tapi sudagar kendi, nangkoda barang barabalan, anu dijieunna tina, taneuh saperti di Palered. Keur pada ngarep-ngarep kitu, kurunyung Sudagar Syeh Abdul Ma'ruf datang, ungkleuk-ungkleukan dina luhur onta, gancang dipapag ku Ah Kohia, hormat mendek-mendek mani dedepengan, isin serab ku hiji sobat beunghar ti tanah Kairo, ontana ditungtun ku Ali Kohia. Sanggeus Syeh Abdul Ma'ruf turun tina onta, gancang dikaleng ku Ali Kohia, demi ontana diserenkeun ka hiji Abid (budak beulian alam harita). Sudagar Syeh Abdul Ma'ruf dibawa ka jero hiji tempat, anu geus beunang mapaesan. Ku Ali Kohia heg didongengkeun ka para Sudagar nu araya di dinya, yen Syeh Abdul Ma'ruf teh, hiji Sudagar anu pang- mulya-mulyana ti saantero nagara Kairo, malah kawasna saantero dunya kakayaanana moal aya nu nanding, di tiap-tiap nagara ngabogaan toko-toko anu galede, kapalna mangratus-ratus, pasu- liwer ka manca nagara. Cenah komo pangkat kaula mah, upama dibandingkeun kabeungharannana jeung Tuanku Syeh Abdul Ma'- ruf, aaah teu aya jere-jerena acan, paling-paling ngan saukur bisa nyaruaan kana kaboga bujangna, kitu ge boa. Der Ali Kohia nyaritakeun tina su'al perdagangan jeung Syeh Abdul Ma'ruf, pesen ituh pesen inih, hargana sakitu rebu, sakitu ratus, anu ku Syeh Abdul Ma'ruf disanggupan, di mana engke upama kapal bayang dagangannana geus datang, cena kitu.

36

PNRI Syeh Abdul Ma'ruf harita estu norek, dangah wani ka te- ngah, teu ngerakeun ka Ah Kohia. estu sonagar pisan, sempal guyon jeung para sudagar nu balaleunghar, semu nu heueuh, ketak adat siga nu geus biasa hirup kitu. Keur uplek Syeh Abdul Ma'ruf cacarita jeung para sudagar, rajol nu baramaen daratang kadinya, pakir miskin irid-iridan, dumeh pada mareunang beja yen aya hiji Sudagar beunghar ti nagara Kairo, anu kasohor kabeungharannana, ngaluhuran raja, ngaranna „Tuanku Syeh Abdul Ma'ruf" Datangna beja ieu kana ceulina nu baramaen, teu beda ti sato galak anu ngambeu jelema, atawa ucing ngambeu paisan, ting aringus, ting puncengis, maroro paboro-boro, ngambeu pi- rejekieun anu nampeu, atuh teu kaampeuh, mani: Nu deog pada ngaronyok, nu sengkong pada ngaronom bengkung lolong milu kumpul, nu butin pating puncengis, lauk buruk milu mijah, leungeun namprak narampanan, ka Sudagar anu sugih.

Dasar „Tuanku Syeh Abdul Ma'ruf' caritana, jelema ba- labah. Duit sarebu dinar, anu beunang nginjeum ti Ali Kohia tea, dibagikeun ka nu baramaen, saurangna geus teu dibilang deui, estu matak hookeun nu nenjo, sarawu sarawu, antukna duit teh nepi ka beak koredas, bari ngomong sarta gogodeg siga nu heuheuh, pokna teh

Baris disambung.

37

PNRI PNRI Lalampahan SYEH ABDUL MA'RUF 2

PNRI PNRI SYEH ABDUL MA'RUF JILID KA DUA

"Ambu-ambu, kutan di ieu nagara teh masih rea keneh anu ba- ramaen? Boro kaula ngan mekel duit saeutik. Da di nagara kaula mah di Kairo, estu euweuh nu karieu teh, sabab rata-rata jelema di aiiu mah jaregud bae. Anu kawilang pangmiskinna di Kairo, nya kitu ari kana sarebu dinar emas mah dina kantongna masih ba- roga keneh. Nyana nyana pikieueun mah kaula mekel duit nu rea, ajang bagikeuneun, resep". Para Sudagar kabeh pada garogodeg, nyeueung kabalabaha- nnana "Tuanku Syeh Abdul Ma'ruf' Keur kitu pok deui Syeh Abdul Ma'ruf nyarita: "Kumaha kaula ieuh, bingung? Nu baramaen sakieu ngaleutakna, duit geus beak. Kudu dikumahaken ku kaula?" "Gampil" ceuk hiji saudagar ti nagara Cekotlan (Scotland di tanah Inggris). Persabenan bae kalayan karena Allah, teu boga duit ayeuna mah kituh". "Eum, teu bisa kaula mah kikituan teh, teu tega. Cing lanan nyelang heula sarebu dinar mah ti sampean, ieu karunya" ceuk Syeh Abdul Ma'ruf. "Sae", ceuk sudagar ti Sekotlan teh. Golosooor mere 1000 dinar. Der deui bae dibagi-bagikeun ku Syeh Abdul Ma'ruf ka nu baramaen, sakedap ambrin. Ngeclok deui ti sudagar Keling 1000 dinar Ieu oge henteu mogongan, golosor mere, da percaya tea ka Syeh Abdul Ma'ruf. Pek dibagi-bagi, sakeudeung linyih. Kitu jeung kitu bae gawena teh. Eta bae dina sajero sajam hutang Syeh Abdul Ma'ruf geus aya duaratus rebu dinarna, jangji rek mayarna, dimana kapal barang dagangananna datang, bakal, malah tangtu dibayar kabeh. Kabeh para sudagar palercayaeun pisan ka Syeh Abdul Ma'ruf, tina nilik kana kalakuannana, nyarita kitu teh teu kireum-kireum, siga nu enya bae. Tapi beda deui jeung Ali Kohia, anu nyahoeun kana sa-

41

PNRI jarahna Syeh Abdul Ma'ruf. Gawena ngurutan dadana bae bari gogodeg, manginggiskeun ku kalakuan Syeh Abdul Ma'ruf. Caritana waktu harita riungan teh bubar, pesta lekasan, sarta unggal sudagar geus pada nganjukeun duit, saurangna 5000 dinar sewang ka Syeh Abdul Ma'ruf. Teu hareneg nganjukeun sakitu teh, da engke oge baris digantian ku barang dagangan, anu tangtu baris batian mangrebu-rebu. Syeh Abdul Ma'ruf akon-akonna ka kabeh sudagar, maneh- na saheulaanan rek nganjrek di sudagar Ali Kohia, dumeh pada- pada urang nagara Kairo, moal corentam, basana, ari ngahiji jeung batur salembur mah. Pada ngaku ku para sudagar oge, ma'lum ka nu beunghar, ih godeg bae. Harita Syeh Abdul Ma'ruf geus an- jeucleu deui dina luhur onta, ngarendeng jeung Ali Kohia. Di jalan Ali Kohia ngagelendeng ka Syeh Abdul Ma'ruf, kieu. "Syeh Abdul Ma'ruf, kalepasan teuing tah bohong sampean teh". Syeh Abdul Ma'ruf: "Naha kumaha, kitu?" Ali Kohia: "Eta nganjukna loba teuing. Naha ti mana ajang ma- yarna?" Syeh Abdul Ma'ruf: "Naha teu percaya sampean ka kaula? Kapan engke lamun kapal-kapal kaula datang tangtu dibayar kabeh? Tong kasieunan sampean". Ali Kohia: "Nu gelo, kapan eta mah bobodoan, ngarah piandel itu, nitah kitu soteh, lain mudu teterusan Syeh Abdul Ma'ruf, bari ngenyed tali eles ontana: "Komo teterusan mah tangtu leuwih diandel. Mana wani nganjuk rea, meureun kabeungharanna oge leuwih rea". Ali Kohia: "Nu burung. Mangsa bodo, ngan engke upama aya akibatna, sampean nepi ka cilaka, tanggung jawab sorangan ulah mamawa ka kaula". Syeh Abdul Ma'ruf: "Insya Allah". Kacaritakeun, dina poe kahiji jempling, poe kaduana teu aya bejana, poe katilu nyakitu, suwung, kapalna "Tuanku Syeh Abdui Ma'ruf' teu muntruk-muntruk. Poe kaopatna sugan, ceuk nu ngararep-ngarep, lenas, kalima, kagenep lebeng, nepika antuk- na geus sabulan lilana, teu aya beja kalawan carita, teu embol-

42

PNRI embol puguh ge kapal "Rahul". "Nyaho, kumaha tah ari geus kitu?" ceuk Ali Kohia, dina hiji poe nyarita ka Syeh Abdul Ma'ruf. "Ti mana sampean nya mayar hutang? Mangka-mangka make aya kana 200.000 dinarna?" Masing sampean usaha banting tulang oge, dug hulu pet nyawa, ceuk kaula mah pamohalan bisa ngayakeun duit sakitu, da hamo kaberik ku bati, moal kaudag ku laladangan, estu hamo bisa, ari sampean kudu ngayakeun duit sakitu reana mah". "Emmmh", ceuk Syeh Abdul Ma'ruf, bari ngajebengkeun biwirna: "Naha sampean make manghoreamkeun ka kaula? Kakarek oge pangaji duit 200.000 dinar, bet acan sapira. Engke ge sabatae, di mana kapai dagangan kaula geus datang, geus tangtu hutang-hutang kaula baris dilunasan. Anu hayang dibayar ku barang, tangtu dibayar ku barang, kalawan tangtu baris dibere potongan (korting), sangkan sudagar-sudagar tea aruntung. Cenah hayang ku duit, moal burung dibayar jeung rentenna sakalian". "Ituh-ituh, Syeh Abdul Ma'ruf jadi ngacaprak. Bet teu puguh, asa ngomong jeung nu gejul. Kapan eta aturan, nyarita- keun baris datang kapal ka para sudagar teh, estu pangaturan kaula, ngarah supaya para sudagar palercayaeun, yen sampean hiji sudagar beunghar", ceuk Ali Kohia, bari gagaro kana sirahna. "Naha ari sampean teu percaya ka kaula, kitu? Piraku kaula make kudu bohong? Engke oge, geus tepi kana waktuna, moal burung daratang kapal dagangan kaula, mawa intcn, jamrut, ber- lian, barang rupa-rupa, cita-cita nu aralus", ceuk Syeh Abdul Ma'ruf. "lyeh, iyeh, tetela ieuh Syeh Abdul Ma'ruf jadi ngaco, naek kaluhur, olab ku kabeungharan lamunan. Hah-hah-hah-hah! Pek bae geura kunjal barang sampean ti kapal, top tah kudang kaula nu beulah kulon, kabeneran kosong. Upama datang mah, tong asa-asa, eusikeun bae barang sampean teh kabeh. Hah-hah- hah-hah! Intcn, jumanten, jambrut, jibrut, cambcrut beberelihan, pek bae eusikeun. Cenah bisi kurang puas keneh, kudang sampean eusikeun kana kudang kaula, hade, Sampean bae cenah rek nyi- rekem dina kudang kaula, ngendog cara hayam, teu dicarek.

43

PNRI Hah-hah-hah. Huuuh", Ali Kohia ngusek seuseurian, bari men- cetan beuteungna, nyeungseurikeun karahulan Syeh Abdul Ma'ruf. Ari jinisna mah jongjon bae teu kireum-kireum ngaku-ngaku yen baru kadatangan barang anu pohara reana. Caturkeun deui para sudagar, anu geus nganjuk-nganjukeun duit ka Syeh Abdul Ma'ruf, karageteun, dumeh geus sabulan lilana, barang-barang dagangan "Tuanku Syeh Abdul Ma'ruf' acan datang keneh bae. Unggal-unggal poe para sudagar ting ta- rempo, lur-lar ngalanglangan palabuan, sugana aya kapal bogana "Tuanku Syeh Abdul Ma'ruf' balabuh, kabeh ngarep ngarep, sarta palercayaeun kana kabohongannana Syeh Abdul Ma'ruf, katambah ku Ah Kohia dipindingan, teu betus, ngingetkeun ka sobat, sanajan Ali Kohia ngarasa teu panuju oge kana talajakna Syeh Abdul Ma'ruf. "Boa-boa tukang giringsing, atawa tukang tipu "Tuanku Syeh Abdul Ma'ruf teh", ceuk salasahiji sudagar ka baturna. "Kumaha lamun kieu", ceuk sudagar anu sejenna. "Kaula oge rada teu percaya ka Tuanku Syeh Abdul Ma'ruf teh", Hayang nyoba rek dikelakeun ka Raja di dieu yen urang geus ngarasa diti- pu ku nu ngaran Syeh Abdul Ma'ruf, reana 5000 dinar sewang. Mupakat?" "Enya, kitu bae atuh nya?" ceuk para sudagar. Satuluyna, der baradami, ngararancang perkara ngalaporkeun ka raja didinya. Kumaha, da euweuh pikeun bukti, yen urang geus nginjeum- keun duit ka manehna, kapan teu make surat teu naon?" tanya hiji sudagar ka baturna. "Ah, urang angkat sumpah bae, ari ragem sararea mah, tangtu dipercayana, sarta bebeja terus terang, tina hal perkara nganjukeun teu make surat sinurat soteh, pedah percaya ka ma- nehna gembleng, 100 persen," tembal baturna. Sanggeus asak baradami, bring bae para sudagar, anu nga- ranjukeun duit ka Syeh Abdul Ma'ruf teh kabeh arindit, ngada- reuheus ka Raja di nagara Basrah, sadatang datang der karelak, nyaritakeun kalakuan Syeh Abdul Ma'ruf geus nipu ka para sudagar, ku jalan nginjeum duit ka saurangna 5000 dinar, sarta

44

PNRI duitna kabeh dibagikeun ka pakir miskin. Caturkeun raja di dinya, barang ngadangu perkelakanna sarta dongeng para sudagar, yen Syeh Abdul Ma'ruf geus wani nganjukan duit mangpirang-pirang, gunana ngan saukur dibagi- bagikeun ka pakir miskin, kaemutna ku raja di dinya, kieu: "Syeh Abdul Ma'ruf, bawa rasa hate aing, estu lain tukang tipu, da buktina, duit anu beunang nginjeum teh dibagi-bagi- keun ka pakir miskin. Upama enya eta jelema tukang tipu, piraku make dimonyah-monyah kitu. Moal salah taksiran aing, manehna teh tangtu jelema mulya jelema beunghar. Nya barodo para sudagar teh, Keun, ayeuna hutang-hutangna Syeh Abdul Ma'ruf rek diberesan ku aing kabeh, ambeh engke, di mana barang- barang dagangan Syeh Abdul Ma'ruf daratang, manehna moal kungsi mayaran hutang ka para sudagar, da geus ditalangan ku aing, tangtuna ge ka aing Engke aing sajabana ti meunang pa- mayaran hutang ti Syeh Abdul Ma'ruf, oge baris meunang ka- untungan." Saparantos gilig mamanahanna Kanjeng Raja, lajeng bae miwarangan ngangkiran Syeh Abdul Ma'ruf. Kocapkeun bae Syeh Abdul Ma'ruf geus marek dipayuneun Kangjeng Raja, teras Kangjeng Raja ngadawuhan: "Syeh Abdul Ma'ruf, pangna ku kaula diangkiran, nyaeta dumeh andika geus pada ngelakeun ku para sudagar, cenah andika geus ngeclokan duit, ti saurangna 5000 dinar. Naha bener eta teh, kitu?" "Leres sadawuhan Gusti," ceuk Syeh Abdul Ma'ruf. "Na- mung eta para sudagar teh rupina marasih keneh cangcaya ka abdi Gusti, kasieunan, pedah janji abdi Gusti ka aranjeunna rada jalir, jalaran kapal abdi Gusti teu acan darugi kadieu, rupina bae aya wagelan dijalan, tangtos ku kituna mah aranjeunna aludar ka- percantenan ka abdi Gusti. Kitu kaulanun," tembal Syeh Abdul Ma'ruf. Kangjeng raja mireng kitu, mastakana unggut-unggutan, tawis ngaenyakeun kana caritaan Syeh Abdul Ma'ruf, teras nyanggem deui, kieu: "Bisa jadi, bisa jadi, sarta tangtu kana carangcayana teh. Kumaha upama kieu bae ayeuna mah, Syeh Abdul Ma'ruf. Hutang-hutang andika ka para sudagar ku kaula

45

PNRI rek dibayaran kabeh, ambeh engke upama kapal-kapal andika da- ratang, andika tinggal mayar ka kaula, supaya ulah ranyed boga hutang ka ditu, ka dieu. Mupakat atawa henteu?" Syeh Abdul Ma'ruf: "Boooo, pinten-pinten sewu nuhun ing kabingahan, wireh dampal Gusti parantos wening galih, nga- gaduhan emutan, seja mangmayarankeun sambetan abdi Gusti, malah abdi Gusti janji ka payuneun dampal Gusti, yen engke... di mana kapal-kapal atanapi kakayaan abdi Gusti darugi ka dieu, sajabina ti abdi Gusti ngalunasan sambetan ka dampal Gusti, oge maksad gaduh panadaran, nyaeta ka saeusining ieu karaton seja ngahaturkeun inten sareng mutiara anu aragengna sagede-gede muncang sarawu sewang mah. Kitu kaulanun". Kangjeng Raja bingah manahna, teras ngadawuhan ka Juru Simpen, miwarang nyandak hiji inten anu pangageungna, teras ditingalikeun ka Syeh Abdul Ma'ruf, bari nyanggem, etang-etang ngujina lamun ayeuna mah, hoyong terang enyaan weruhna Syeh Abdul Ma'ruf kana barang nu aya pangajina: "Cing hayang nyaho kaula, ieu inten ku andika taksir. Sabaraha pihargaeun- nana?" Syeh Abdul Ma'ruf tuluy nampanan inten ti Kangjeng Raja, pek dialak-ilik, sarta saenggeusna tuluy disanggakeun deui ka Kangjeng Raja, bari ngawaleran ka Kangjeng Raja: "Atuh ieu mah Gusti, emmmh, inten alit, mung ukur saageng jeruk paseh, moal sakinten pangaosna. Upami dibanding sareng inten cocooan abdi Gusti mah, anu pantaran kieu wungkul, inten pitasbeeun ngagaduhan sakaranjang tur nu pangaos hijina tara kirang ti 7500.000 dinar, kaulanun. Malah abdi Gusti ngagaduhan dua inten kenging ngagosok, agengna sami-sami sareng jeruk . Pamak- sadan abdi Gusti eta inten anu dua, pimataeun hiji Candi dirupi- keun buta, anu ngabedega di lawang rorompok abdi Gusti, mung Candina (arcana) ayeuna, dipidamel ku lima puluh jalmi, parantos 2 taun, teu acan parantos bae, .margi tina langkung ageungna. Kitu kaulanun". Atuh Kangjeng Raja teh wuwuh guligah manahna, ngadangu ca- ritaan Syeh Abdul Ma'ruf kitu. Mantenna wuwuh ageng kaper- cantenanna ka Syeh Abdul Ma'ruf wuwuh keyeng manahna, hoyong ngabeungkeut hatena Syeh Abdul Ma'ruf, sangkan ka-

46

PNRI kayaannana henteu ngencar ka nu lian. Uleng Kangjeng Raja ngamanahan, kumaha piakaleunnana, anu salajengna Kangjeng Raja teh ngeunaan kana paribasa: "Adam lali ing tapel", dugi ka lali, yen mantena teh anu janten Ratu, henteu asak pamilih, kage- lo ku nu ngabohong, dugi ka lali kana kajatnikaan, ngahaja mi- warang ngangkeran Enden Putri, putra puputon Kangjeng Raja, anu mung hiji-hijina, jenengannana Siti Aisah, ditepungkeun jeung Syeh Abdul Ma'ruf, ngarah ngeunaan kana sisindiran kieu: Ngahaja rek ngangeun waluh, angeun waluh digawingkeun, ngahaja disina wawuh, geus wawuh rek dikawinkeun. Lamun enggeus digawingkeun, sing karasa sambarana, lamun enggeus dikawinkeun, bandana moal keur saha. Saparantos Enden Putri emok di payuneun Kangjeng Raja, teras ku Kangjeng Raja ditepangkeun jeung Syeh Abdul Ma'ruf, minangka "Belajar kenal". Ninggang di ucing, disandingkeun paisan, Syeh Abdul Ma'ruf nyeueung kageulisan Putri Siti Aisah, mani kumetap, peureum beunta, ngaruyu uruy teu beda ti nu nyiram ngilikan rujak asem', hayang geura kop nga dahar. Eta deuih anehna teh ku Enden Putri Siti Aisah, ditepung- keun jeung Syeh Abdul Ma'ruf teh: Pisin pabaur jeung pinggan, batok nangkub na rampadan, nu isin campur jeung hayang, hayoh deuih dilayanan. atuh nya jadi: Batu turun keusik naek, nu taringgul nu lalimit, itu purun ieu daek, sili tinjui sili ciwit.

47

PNRI Anu janten ramana nya sipatna Kangjeng Raja, wuwuh bingah, asa-asa eupanna rek nyanggut. Gancanging carita, hutang pihutang Syeh Abdul Ma'ruf dilunasan kabeh ku Raja Basrah. Atuh Syeh Abdul Ma'ruf babalagonjangan nanyaan Enden Putri Siti Aisah ka Kangjeng Raja, malah make dipirig ku kacapi, aeh, ku jangji, rek mayar maskawinna wungkul, jaba ku jamrut sarajut jeung berlian sawadah, jaba emas golondongan sababaraha gereleng deuih. Teu kumarekeg, Kangjeng Raja mah doa bae, da puguh beunang hayang, atuh teu mangkuk sawatara poe, der pesta di nagara Basrah, mestakeun rendengannana, Putri Siti Aisah binti Abdurachman Ratu nagara Basrah ku sudagar "Tuanku Syeh Abdul Ma'ruf bin Manap, anu pangbeungharna di satanah Kairo. Ngageder pestana ayeuh-ayeuhan, sabulan tetebengan, beu- rang peuting euweuh eureunna. Lalajoaneun sagala rupa diaya- keun, karasmenan-karasmenan atuh cukup. Geura urang sebutan, aya terebang aya genjringan modern, da make disindenan sagala, ku sinden anu geus moyan di nagara Basrah, aya badaya Arab. Ah pendekna sagala rupa, kasenian diayakeun malah ogel Eon oge aya asana mah. Watir ku nu lalajo, abong kena sagala rupa lalajoaneun teu kudu mayar, atuh mangpang-meungpeung lalajo beurang peuting, cul naon-cul naon antukna nepika regung jeung belek, atuda ku- maha kurang dahar kurang sare, balas dipake lalajo, mangka- mangka eta teh kakarek lalajo dina jero saminggu, ari pesta sabu- lan. Maksakeun maneh, teu weudeu, lalajo, tungtungna gering nangtung ngalanglayung. Dua poe gering payah, Ahli warisna dikumpulkeun kabeh. Gelendut nyarita ka nu araya, amanat, itung-itung nurunkeun warisan, samemeh hos, cenah basana: "Euweuh deui pamen tana teh, ieu geus teu kuat awak jeung panon,taruluykeun lalajo." Ngomongna kitu teh haroshos naker. "Lebar, moal manggih deui saumur hirup urang oge pesta Raja anu sakieu ramena." Sanggeus ngomong kitu, kerelek bae.... maot biasana mah, lain? Tapi ieu mah lain, kerelek bae, sare nyegrek, mani ngageubra tilu poe tilu peuting sare tetebengan. Ana

48

PNRI korejat hudang teu kacai-cai acan, celebek bae dadaharan ponyo pisan, wantu lapar, urut lalajo bae. Tas dahar teh teu sibanyo heula deuih, ngan saukur ngusap-ngusap remeh bae anu narapel di- na bulu bitisna, sorodot nyusut sungut ku leungeunna, jung nang- tung, iiih kencling deui bae indit, nuluykeun lalajo pesta Raja tea. Dina sajero pesta anu sakitu gedena, aya anu teu milu bungah, teu milu belek, nyaeta Patih Jamaludin, Patih Basrah, malah sering ngemutan ka Kangjeng Raja, yen ulah rongkah teuing percanten ka Syeh Abdul Ma'ruf, bisi katipu. Namung Kangjeng Raja tibatan ngagugu atanapi numutkeun kana nasehatna Patih, kalahka bendu, sanggemna: "Upama enya Syeh Abdul Ma'ruf tukang tipu, piraku maka daek mere . maweh ka pakir miskin. Patih, bisi teu nyaho, ari tipu mah, hawek, moal rek dibagi-bagikeun atawa dimonyah- monyah mun endek oge, beunangna nipuan teh. Geuning tali anu sok karorupsi, ladangna dipake nyieunan gedong, meulian barang- barang nu aralus, eukeurna. Ngarti? Cicing bae enggeus, kumaha kaula. Da maneh mah jadi buntut, kumaha nu ngepotkeun bae. Lamun dikepotkeun, tah kudu ngepot." Patih Jamaludin ngabedeb teu tiasa ngawaler, rumaos jan- ten buntut, kantun gegetun, ngeluk tungkul, kawas bueuk beunang mabuk, isin ku nu janten Ratu. Beda deui jeung kaayaan Syeh Abdul Ma'ruf, anu keur meujeuhna icikibung dina sagara kabungahan, oleng panganten jeung Putri Siti Aisah, anu seungit ngangge lisah, jauh pisan ti kasusah, meunangkeun Bentangna Basrah. Siti Aisah jeung Syeh Abdul Ma'ruf, hirup rukun sauyunan, kacai jadi saleuwi, kadarat jadi salebak, keur meujeuhna layeut geugeut suka asih. Syeh Abdul Ma'ruf sok mukpruk-mukpruk ku saur anu maranis ka Siti Aisah, saupamana bae kieu: "Emh, Enden Putri. Hanjakal kapal pun engkang acan keneh darugi kadieu, saupami seug parantos aya mah, Enden teh tangtos ku pun engkang baris ditabur ku inten berlian, malah sadayana para emban oge ku pun engkang baris dibagi berlian sacanggeum sewang.

49

PNRI "Aduh, engkang," ceuk Siti Aisah. "Kadermawanan engkang ku abdi katampi, anamung da waktos tadi oge abdi mah estu sanes bade bogoh kana dunya baranana, mung nyaah soteh, cinta soteh ka salira engkang, estu teu aya pangarahan naon-naon. Hanas eta saupami barang-barang engkang darugi ka dieu sareng maksad bade masihan tetesan ka abdi, abdi ngahaturkeun sewu nuhun laksa ing kabingahan." Keur geulis wuwuh berbudi, kasipuh manah raspati, kacaroge teh ngabakti, nungtun kana jalan mukti, Ku nguping halimpuna gentrana nu geulis Siti Aisah, Syeh Abdul Ma'ruf wuwuh nambihan asih, dugi ka dirangkulan dumeh kayungyung ku pisanggemna Siti Aisah. Sok saupama dibanding- keun jeung Nyi Sarah, bojona Syeh Abdul Ma'ruf anu disingkah- an, tebihna teh lir ibarat bumi jeung langit. Paingan aya babasan, jelema mah sok tara salawasna cicing dina hiji martabat, geus aya ti Lochmahpudna, ayeuna senang engke susah, nanjak mudun. Saperti kaayaan Syeh Abdul Ma'ruf. Urut anu sakitu dinyenyerina, dihina-hinana ku Nyi Sarah, direken lalaki euweuh hargana, ari harita ku Siti Aisah sabalikna estu dijieun jimat karaton, puputon sembaheunnana, dipunjung disem- bah-sembah dianggap pameget anu "berharga", ceuk barudak ayeu- na mah. Syeh Abdul Ma'ruf keur cicing dina puncak kasugemaan, keur mah nyandingkeun putri geulis, diwuwuh ku diwowoy ku mertuana, kahoyongna tara dipogogan, malah parantos digadang- keun kana janten Perbu Anom, saupami Ratu Sepuh, mertuana erpol tina karajaan, ngecagkeun kalungguhanna. Pagawean Syeh Abdul Ma'ruf, tilas tukang sapatu, anu ayeuna geus jadi gadang Raja Anom, unggal poe oge ngan ngabagi-bagi dunya barana bae ka pakir miskin, mere maweh anu kekere. Geus kaceluk sanagara eta mah manehna teh jelema balabah, daek ibadah. Henteu nyaah ku rejeki jadi panyaluhuan anu butuh, pamuntangan anu sangsara. Beunang disebutkeun rahayatna sanagara eta ngadaroakeun pisan.

50

PNRI hayang diratuan ku Syeh Abdul Ma'ruf, meureun cenah ceuk nu geus kaweureu seubeuheun ku rejekina Syeh Abdul Ma'ruf mah, untung upama diratuan ku Syeh Abdul Ma'ruf, tangtu nagara teh aman, sepi paling roncong rampog, sabab anu jadi ratuna sabar adil palamarta jeung balabah ka rahayatna. Ngan orokaya kudang uang nagara, artos mertuana orot, unggal poe diurut dikaluarkeun, anu antukna meh koredas, kalah ku hayoh diawur-awur ku mantu anu dermawan, kawilangkeun, ari kapal-kapal rajakayana Syeh Abdul Ma'ruf, . muntruk- muntruk daratang, da puguh ge kapal bohong. Kangjeng Raja ngawitan ngaraos cangcaya, ngagaduhan emut- an, boa-boa enya Syeh Abdul Ma'ruf teh, leres sakumaha pisang- gem patih Jamaludin, tukang tipu atawa tukang ngagiringsing. Buktina Syeh Abdul Ma'ruf raos-raos bae, euweuh caritana tina pasal harta kakayaannana, sabab emutannana, upama enya mah Syeh Abdul Ma'ruf ngabogaan kapal dagangan, tada teuing eje- gelerna, ngarep-ngarep atawa ngalongokan ka palabuan, tapi ieu mah diserangkeunnana ku Kangjeng Raja teh, iiiih genah-genah bae, siga teu aya nu didago-dago. Siang wengi Kangjeng Raja sumpeg mamanahannana, nge- mut-ngemut bae talajakna nu jadi mantu, estu siga teu aya guam, iwal ti ngabagi-bagi dunya mah. Dina hiji dinten Kangjeng Raja ngangkeran Patih Jamaludin, dicandak ka kamar, diajak badami, ting karuwes, paduduaan. Atuh keur mah Patih Jamaludin teh neundeun hate ka Syeh Abdul Ma'ruf, dumeh bareto ngemutan ka Kangjeng Raja, teu dipirosea, direken buntut, asa dicacampah, ari ayeuna diajak ba- dami, asa mobok manggih gorowong, keur mah eukeur patih Ja- maludin teh sirik ka Syeh Abdul Ma'ruf, pedah ujug-ujug di- senangkeun jeung digenahkeun bae ku Kangjeng Raja, turta teu aya jasa naon-naon ka nagara. Ari patih Jamaludin anu lali rabi tegang pati, cek wiwilangannana, henteu dikitukeun teuing ku Kangjeng Raja; atuh kantenan mah puguh bae manah Raden Patih morongkol siga jengkol, ngunek-ngunek hayang morosot- keun darajatna Syeh Abdul Ma'ruf. Harita oge diajak badanten ku Kangjeng Raja teh, enggal

51

PNRI bae anjeunna masihan bongbolongan, ngadamel "reka perdaya", sangkan Syeh Abdul Ma'ruf kabuka rasiahna. Kieu sanggemna: " Nun Kangjeng Gusti. Ti kapengker oge abdi Gusti parantos masihan wewengan ka dampal Gusti, anamung ku dampal Gusti henteu dimanah. Ku pangemut abdi Gusti yakin, Syeh Abdul Ma'ruf, mantu Gusti teh tukang tipu. Ayeuna sang- kan kaboker rasiahna; langkung sae mantu Gusti teh kedah diosol ku Enden Putri, dipalar budal rasiahna, margi lintang Enden Putri nu jasa ngosol ka mantenna mah, kaulanun, margi teu aya sanes pameget mah paruhna teh amung ku istri. Engke oge. sa- upami leres mantu Gusti tukang ngarinah, tangtos betus rasiah- na". "Heeh bener ki Patih", sanggem Kangjeng Raja. Urang akalan kitu bae ambeh rikip". Enggalna Nyi Putri Siti Aisah parantos dipiwarang ngosol- ngosol Syeh Abdul Ma'ruf, sangkan beunang rasiahna. Numutkeun sakumaha kapalay sepuh, Nyi Putri Siti Aisyah parantos ngajalankeun rolna, ngaguliksek ka carogena, naroskeun riwayat anu saleresna. Syeh Abdul Ma'ruf, ku nguping renghikna Nyi Putri nu geulis, bari ngalendean, dibarung ku imut bari ngeletan, leeh manahna, keleciiiis bae rasiahna budal kabeh, yen satemenna mah cenah manehna teh lain sing hiji sudagar beunghar, tapi nyaeta asalna hiji tukang ngomean sapatu anu pohara waluratna, anu kakaburan ti nagarana, nyingkahan bojona Nyi Sarah, anu galak ka salaki, Ari pangna manehna ngaku-ngaku jelema beunghar, sudagar beunghar, ti nagara Kairo, bane bae cenah dititah ngabo- hong ku Ali Kohia, akal dagang basana, sabab cena ge bohong dagang mah wenang, upama henteu kitu, moal bisa maju, sa- buktina ayeuna oge manehna bisa unggah darajat, yen sajabana hirupna senang teh oge gede batina, nyaeta bisa meunangkeun putri geulis, puputon bentang karaton". Upama jelema jaman kiwari, atanapi wanita ayeuna, ngu- ping kitu, tangtos enggal mundut talak kacarogena, jalaran ngaraos asa ditipu, asa diunghak, margi jaman kiwari mah istri-istri teh parantos ngaragem didikan sampurna, sering ngaosan buku-buku,

52

PNRI sering campur gaul, sili nasehatan, ku ayana persatuan-persatuan kaom wanita, janten tangtos upami tea mah nguping kitu teh, ngajengketkeun kelom geulisna, bari ngadilak. Namung duka kumaha jaman harita mah, mamanahannana Nyi Putri Siti Aisah, da saparantosna nguping Syeh Abdul Ma'ruf nyarita kitu teh hookeun lamun ceuk barudak ayeuna mah ngaraos "KAGUM" atawa "BUKA TOPI" cenah, muji kana akal Syeh Abdul Ma'- ruf, da buktosna kalah nyanggem kieu: "Ambu-ambu engkang teh kutan jalmi luhung, jalmi berbudi. Buktosna Kangjeng Ratu dugi ka kapalsu, dugi ka tiasa kawon ku "akal dagang" engkang. Ana kitu abdi oge wajib guguru ka engkang. Diwuwuh, pangemut abdi engkang teh jalmi dermawan, buktosna kapan artosna ku engkang teh dibagi-bagikeun ka pakir miskin, tawis engkang hiji jalmi sae manah, kersa nulung ka nu butuh, nalang ka nu susah. Ku jalaran kitu, abdi jangii bade tetep mi- cinta ka salira engkang. Diwuwuh abdi oge wajib terus terang ka engkang. Saleresna mah abdi teh dipiwarang ku ama, dipi- warang ngadongdon kaayaan salira engkang. Upami ieu rasiah engkang diunjukeun ka ama, tangtos eng- kang ditelasan atanapi dihukum, namung ku jalaran abdi nyaah ka engkang, ayeuna langkung sae kieu: Ieu abdi maksad mekelan artos seueurna lima puluh rebu dinar. Artos ieu ku engkang kedah digolangkeun, sareng engkang kedah lunta ti nagara ieu. Di mana engke upami engkang parantos niajeng tina sua! perdagangan, upamina parantos tiasa meseran kapal dagang anu saleresna tah sae mulih deui kadicu, supados ama ratu percanteneun, yon engkang teh enyaan beungharna, janten dosa urang anu parantos- parantos, tiasa kasimbutan. Perkawis dadakuna ka ama mah keun kumaha abdi. Sareng engkang niugi percanten, sanaos dugi ka iraha oge abdi moal weleh ngantosan". Syeh Abdul Ma'ruf, barang ngadenge cariosan Nyi Putri kitu, bungah anu teu aya papadana. lamun ceuk ki dalang mah, bungah amarwatasuta, wireh Nyi Putri Siti Aisah sakitu bumela- na, kersa nyimbutan wiwirang raka, tapi sanajan bungah oge bet teu ku hanteu, dibarung jeung cipanon ngucur, dumeh inget bakal papisah jeung Nyai Putri, rek ninggalkeun anu keur meujeuhna

53

PNRI dipisono kapaksa kudu paturay tineung, anu acan bisa ditangtu- keun bulan mana, taun iraha, baris bisa ditepungkeun deui jeung "Si Manehna". Gancanging carita, teu dicatur sosonoannana Syeh Abdul Ma'ruf jeung Nyi Putri, kacaritakeun manehna geus ngalolos ti karanton, inditna ti peuting kekelemetan, malah nyamur, niron- niron papakean derwis (pakir), seja nyumponan pamundut "Beubeureuh maneuh", Nyai Putri Siti Aisah, ngungsi-ngungsi milik diri, neangan pibagjaeun, keur nyimbutan wiwirang ka mertua, kalawan nyakuan bekel 50.000 dinar. Kocapkeun enjingna, Nyi Putri Siti Aisah disaur ku nu janten ramana, ditaros hasil henteuna pepeletekan kaayaan ingkang raka, anu saleresna, nyaeta Syeh Abdul Ma'ruf, kalayan disaksian ku patih Jamaludin, hoyong ngabandungan kengingna Nyi Putri ngadongdon. Galantang Nyi Putri cacarios: "Mama saparantos ku abdi dipaluruh kaayaan pun lanceuk, kujalan diosol sina buka rasiahna, sihoreng saleresna pisan anjeunna teh jalmi beunghar, samalah kaleresan kamari teh aya hiji abid Oelema beulian) anu sumping, ngadeuheus ka pun lanceuk Syeh Abdul Ma'ruf, maksadna nyang- gakeun serat. Salajengna serat tea ku abdi mdwah pun lanceuk diaos, anu ungelna nyarioskeun kapal-kapal pun lanceuk teh si- horeng, pangna lami di jalan, kukurilingan heula, ayeuna teh nuju singgah (balabuh) di palabuan Pulo Jawa, ngamomot pirang- pirang barang dupi abid tea, numutkeun dina lebet seratna piwa- rang ngawartosan ti payun, etang-etang ngiberan, supados ulah deudeupeun. Sakitu ungelna serat, ditawis ku Kapten Kapal. Kitu mama. Numutkeun katerangan pun abid, anjeunna kadieuna ti Pulo Jawa teh numpang kana kapal ti Nagri Cina. Atuh pun lanceuk teh saparantos ngaos serat tea, tina awa- hing bingah rupina, teras mios bae harita keneh oge, diiring ku abidna, nyanggemna ka abdi, bade nyusul kapal kagungannana. Kujalaran kitu Ama mugi kersa ngahapunten kana kalepatan pun lanceuk, mios teu unjukan heula, tina margi rusuh tea". Kangjeng Raja mireng cariosan Nyi Putri kitu teu kinten bingaheunnana, tawis mantuna leres-leres jalmi jujur, teras nyang-

54

PNRI gem: "Sukur ari bener mah kitu, sarta Ama ngahampura kana kasalahan Abdul Ma'ruf, dumeh indit teu bebeja heula ka ama. Ayeuna mah urang daragoan bae nepika daratangna, boh Syeh Abdul Ma'rufna, boh padagang padagangna". Patih Jamaludin, anu harita aya didinya, rada oge lingsem ku Kangjeng Raja, dumeh akal tarekahna gaplah. Tunda Kangjeng Raja, anu keur ngantos-ngantos mantu, numutkeun cariosan Nyi Putri nuju nyusul barang dagangan, ayeuna urang nyaritakeun Syeh Abdul Ma'ruf, anu lunta ti Ka- raton Basrah, mekel duit 50.000 dinar ti Nyi Putri. Dasar kuat adat batan warah, ongkoh kawasna Syeh Abdul Ma'ruf mah ngabogaan watek ahli balabah, daek ibadah, da bukti- na duit anu sakitu reana teh, lain digolangkeun, sajeroning maneh- na lumaku lunta ti nagara Basrah, iiih naha da nyerekclek bae dibikeunan ka sakur pakir miskin. Upama manehna eureun di hiji warung kadeharan, heug manehna barang dahar, sakur nu baramaen, anu sok ngagimbung di hareupeun warung, ngadagoan seredan, ari ku manehna mah dititah menta kadaharan sawaregna ka tukang warung tea, ka- lawan dibayar tina kantong Syeh Abdul Ma'ruf. Atuh gunung oge, ari hantem ditugaran bae mah antukna koredas, tah ieu oge nyakitu. Tapi ari pikeun Syeh Abdul Ma'ruf mah genah bae, sakitu geus teu nyakuan duit sapeser-peser acan teh, dumeh di- bagi-bagikeun, gerentes hatena oge kieu: "Ah keur naon dunya, karidu-ridu mamawa, bijil ka ieu alam dunya oge ngan kadua bali, teu mawa naon teu mawa naon, katambah aing teh boga oge dunya, ngan saukur pamere ratu, sawajibna diibadahkeun ka nu kekere, itung-itung ngalebur dosa" Syeh Abdul Ma'ruf ayeuna geus balik deui ka asal tadi, duit geus teu nyakuan sapeser bengo, leumpang sakaparan-paran, henteu puguh anu dijugjug. Duit geus linyih, mangkilang kakarek dua poe, beuteung gerak geruk menta eusi, antukna baju dibuka, dastar dicuplak, dijualan, ditukeurkeun kana sangu, keur nangsel beuteung. Syeh Abdul Ma'ruf geus bulucun, anu napel keneh teh ngan tinggal calana pokek jeung kerepus tarbus (kerepus beureum

55

PNRI make kukucir), iwal ti eta mah, geus teu make nanaon deui, awakna ngabuliglag. Tapi sanajan kitu manehna tetep pasrah, sumerah ka Pangeran, henteu pasek teu munapek, jongjon lumaku nuturkeun indung suku, teu puguh anu dijugjug. Tengah poe mentrang-mentring, keur meujeuhna panas en- tak-entakan, Syeh Abdul Ma'ruf leumpangna geus anjog ka lebah tegai Si Awat-awat, anu langka katinggang ku hujan, anu kasebat sagara keusik tea. Leumpang jongjon, rumpual-rampeol, rumanggieung siga anu hudang gering, kesang ngoprot saluar awak, sukuna dijengkat jengkatkeun, peureuseun jeung panaseun kawasna, dumeh leum- pang mapay nincakan keusik-keusik lalembut anu pohara panasna, dumeh katojo ku panasna cahaya panonpoe, ari katurug-turug su- kuna Syeh Abdul Ma'ruf teu didamparan ku nanaon, nya moal boa ngarasa panas nereptepna keusik-keusik anu ditincakan ku manehna. Syeh Abdul Ma'ruf, sanajan dina jero hatena geus nyaho, yen lumaku di sagara keusik teh bakal nyorang picilakaeun, boh kalempohan, paeh langlayeuseun ku teu manggih dahareun, boh leuleus, ku teu manggih inumeun, tapi manehna geus nekadkeun maneh, estu hirup neut paeh hos, geus tetekadan narohkeun umur, ingetannana hirup ge cumah ari sakadar sangsara bae mah. Tapi nyakitu, teu mungguhing kaadilan Gusti Anu Maha Suci, ari rek ngaganjar ka mahlukna estu sakedet netra pisan. Barang keur Syeh Abdul Ma'ruf keur lumaku di Sagara keu- sik, tukangeun manehna aya anu ngaburudul, ngaleut barisan onta mangpirang-pirang. Sihoreng eta teh aleutan jelema-jelema anu keur lalumaku, rek ngajarugjug ka nagara Sam, marawa pirang- pirang dagangan. Tiap-tiap onta ditarungtun ku Kafilah-kafilahna, para Sudagarna aranjeucleu tarump^k onta. Syeh Abdul Ma'ruf asa mobok manggih gorowong, keur mah keueung, euweuh batur lumaku, ari ieu jadi bareng mani ngaleut, katurug-turug para sudagar teh pohara balageurna, daek mawa, marengan kanu keur katarajang tunggara. Nyakitu deui para Kafilahna, sanajan bangsa badewi, awak harideung lalestreng, tapi hatena mah saroleh, sung-song ka Syeh Abdul Ma'ruf, aya nu

56

PNRI mere kadaharan sabangsa gandum, aya nu mere cai, atuh Syeh Abdul Ma'ruf medah meduh, teu kakurangan dahareun bekelna lumaku di sagara keusik. Barang geus kira-kira meunang lalampahannana 40 poe di sagara keusik aleutan onta geus tepi ka nu dijugjug, tapel wates nagara Sam. Ti kajauhan geus katembong ting jarumpluk ancal-ancalan gundukan tangkal , daunna ting aroyag katebak ku angin, siga nu ngagupayan, ngahiap-hiap, bangun nitah geura ngiuhan handapeunnana, ku nu keur carapeeun mentas lumaku. Antos jilid ka 3

57

PNRI PNRI Lalampahan SYEH ABDUL MA'RUF 3

PNRI PNRI LALAMPAHAN

Syeh AuJ-'l Ma'ruf

Jilid ka 3 Tamat.

Beuki deukeut, beuki bruh-breh kemah-kemah (saung-saung anu dijieunna tina mota, aya oge anu tina kulit onta) ting pa- rentul, ting parenclot, siga supa jadi. Jelema-jelema anu araya di dinya rupa-rupa pamolahna. Aya anu ting rariung bae, dariuk hareupeun panto kemahna masing-masing, ngadariukan kulit domba, bari arudud hoga, sawareh aya anu keur tinggareret narimba, ngaralaan cai tina sumur nu aya di dinya. Awewe-awewena meh kabeh dikaruku- dung, henteu katarembong beungeut, ngan panonna bae culak- cileuk, nurutkeun sakumaha adat istiadat urang dinya, ting ala- bring bari nyaruhun kendi wadah cai tina taneuh, anu rupana siga botol, ngan bedana teh ieu mah gedena sagede pariuk, kaluhurna dipancritkeun siga beuheung kendi di urang. Nyuhunna oge pa- raham pisan, leumpang gancang bari nyuhun kendi dina sirahna, tur henteu dicekelan, leungeunna keupat sabiasa jongjon bae siga anu leumpang henteu barangbawa naon-naon, keupat nga- gandeuang, siga anu henteu aringgiseun bari nyuhun wadah cai, kawantu geus bariasa kitu, geus ngabiasakeun ti Nini Buyutna, yen upama ngarala cai teh, marawana kitu carana. Paingan aya paribasa „Ciri sabumi, cara sadesa". Syeh Abdul Ma'ruf oge kandeg leumpangna, ninggalkeun maneh ti aleutan Sudagar-sudagar anu marawa onta tea, ngajeng- jen nangtung, ngahuleng ngabuntel tineung waas ngilikan pa- lataran tapel wates nagara Sam, anu sakitu legana, ku manehna dipencrong pirang-pirang jongjongan. Syeh Abdul Ma'ruf leum- pang, mapay-mapay handapeun tangkai-tangkai korma, bari ngawaskeun pamolahna jalma-jalma tea. Di luhureun manehna, manuk-manuk ting kalayang, disa- rada patembalan jeung baturna. Malah aya manuk anu sadana

61

PNRI teu beda ti manuk heulang ruyuk di urang, keur disada, nambahan kelar, nambahan hate waas, ka anu eukeur ngalalana, geura ieuh sadana:

Geliiiik, geliiiiik Manuk hiber nangtang hujan, geliiiiik, geliiiiik Di luhur kakalayangan, geliiiiik, geliiiiik Nyukcruk neangan kabagjan, geliiiiik, geliiiiik Abdul Ma'ruf nu nyorangan, Geliiiik, geliiiiik Nyiriwik neangan cai, geliiiiik, geliiiiik Sugan pareng kahujanan, geliiiiik, geliiiiik Nyungsi-nyungsi milik diri, geliiiiik, geliiiiik Sugan pareng tinekanan.

Kagagas, sajeroning leumpang, bari ngadengekeun manuk disada, nyurucud cipanon, rus-ras inget kana rupa-rupa lalampahan manehna, anu geus kasorang. Ku manehna kacipta, keur waktu manehna icikibung dina sagara kasenangan, sagara kabungahan, keur waktu manehna pada ngugung-ngugung di jero karaton. „Astagfirulah hal adim!" Syeh Abdul Ma'ruf maca istig- par. „Naha aing teh pira ngadenge manuk disada, make inget kana kasenangan anu geus kaliwat. Kapan tadi oge ka aing, je- natna Abah, nganasehatan, cenah: „Lamun urang keur senang, suka bungah, eta kudu nganuhunkeun ka Pangeran, sabab urang keur meujeuhna diganjar ku Allah ta Allah. Sabalikna, lamun keur kieu, keur butin, keur prihatin, kudu muji sukur ka Pa- ngeran, sabab eta hiji tanda keur meujeuhna dicoba ku Allah ta Allah, hiji tanda diaku umat Allah. Emh, nuhun Gusti, abdi ayeuna nuju dipasihan ganjaran, margi boh senang boh susah eta geus dipasti, sami-sami ganjaran ti Allah ta Alla". Syeh Abdul Ma'ruf sanggeus ingeteun kana papasten dirina, papasten jelema hirup, gurat tapel ti dituna, reugreug hatena, tetep deui imanna, tuluy leumpang nyampeurkeun hiji jelema anu keur ngecruk macul rek melakeun korma. Syeh Abdul Ma'- ruf pangangguran pok nanya ka nu keur macul: „Euleuh, ku getol bapa baranggawe teh. Naha teu cape?" Tukang macul reg eureun maculna, tuluy ngalieuk ka nu

62

PNRI nanya, pok nembalan bari seuri: „Ih puguh ieu mah lain getol, tapi keur ngagetol-getol maneh bae". Syeh Abdul Ma'ruf: „Naha ngagetol-getol maneh kumaha bapa?" Tukang macul: „Anumatak, pangna bapa ngagetol-getol maneh teh kieu, da ari capena mah nataku, ngan itung-itung ngabrang- brangkeun bae. Geura, kahiji, lamun bapa teu ngagetol- getol maneh, tangtu anak pamajikan bangkoreakan kurang hakaneun, nya bapa digawe, buburuh melak-melakeun tangkal korma, ka hiji sudagar anu bogana ieu kebon korma, nengah jeung nu boga. Kadua, lamun teu getol tangtu moal cukul beubeunangan, ak- hirna kalibet ku hutang, da bibitna oge beunang nganjuk, ti Sudagar eta keneh, mayarna sesa nengah, di mana lamun usum mupu buah korma. Katilu ieu puguh bapa teh itung-itung nga- brangbrangkeun, pedah sakieu panonpo'e geus menggok ka kulon, nu nganteuran acan datang keneh, teungteuingeun ku indung barudak bae teu nganyahokeun kana beuteung anu keur barang- gawe". Syeh Abdul Ma'ruf pohara karunyaeunnana ngadenge eta jelema nyarita kitu teh, pok bae ngomong deui: „Kieu atuh Bapa, mangga bae mulih heula, ari bade tuang mah. Keun hanca paculeun mah ku kuring rek dipaju". „Sukur Elu atuh ari rido, daek .mangnalangankeun ka Bapa mah, pek tuluy keun, bapa rek ny elang balik heula ka imah. Engke Elu oge rek dipangmentakeun dahareun ka Ambuna". Syeh Abdul Ma'ruf: „Kuring mah lain pandang buruh Bapa, seja nulung bae ka Bapa". Gancangna, saenggeusna eta jelema seren sumeren pacul ka Syeh Abdul Ma'ruf, leos bae balik ka imahna. Ari Seyah Abdul Ma'ruf gap kana doran pacul, kecruk macul, nuluykeun hanca jelema nu tadi, segut pisan, nepika luut leet kesang. Sanajan manehna geus bobolokot ku kesang, ongkoh-ongkoh bae macul, ngabangbrangkeun kasusah, tayoh- na. Barang geus sawatara jongjongan maculna, manehna reu- waseun pohara, sabab paculna ngabelentrang keuna kana barang teuas. Ana heg teh diilikan paculna, rompang. „Ambu-ambu

63

PNRI ieu pacul nepika rompang kieu. Upama ku aing diantep, eta batu anu matak ngarompangkeun pacul, karunya ku Bapa, tangtu matak kaganggu baranggawena, jadi leuwih hade eta batu ku aing rek dikali", kitu pamikirna Syeh Abdul Ma'ruf, da sangka- annana pacul teh, pangna nepika rompang, tangtu mancong hiji batu. Teu ngengkekeun deui rompang-rompang oge pacul teh tuluy bae dipake deui maculan taneuh di sakurilingna barang anu ngagetruk kana pacul tea, teu beda ti nu rek nyieun sumur. Watara sapanyeupahan maculna, gorehel bae manehna ngilikan aya nu siga ali-ali, dijieunna tina beusi, gedena teu beda jeung beusi ringen, kabehna dua, paanggang kira-kira dua jeungkal sarta di antara eta dua ali-ali tea aya beusi anu siga pariuk nang- kub. Syeh Abdul Ma'ruf beuki panasaraneun ku eta barang, anu disangka tadi batu tea, maculan taneuhna beuki getol, ha- yangeun nyaho barang naon buktina. Kecruk deui, kecruk deui, jongjon bae manehna ngecruk macul, nepika jerona meh sasemet tuur, breh bae katembong atra, yen anu siga ali-ali gua patarenggang teh sihoreng, cacang- klek hiji goci beusi gede, ti kenca katuhu, Ari anu siga pariuk nangkub teh buktina mah turubna eta goci, anu dijieunna oge tina beusi. Ku Syeh Abdul Ma'ruf ali-ali cacangklek goci tea di- jungjung-jungjung, tapi gocina teu kaangkat meueus-meueus acan, da puguh gedena ge aya kana sagede gentongna. Pangang- guran cocok eta goci teh ditakol-takol ku tonggong beusi pacul, naaaa ana polocon, ana beledug teh disada, sada gugur di ka- pitu, sada gelap di kasanga, bumi eundeur kawas ku lini. Beleg- beg haseup mani mulek bijil tina liang eta goci, sagede gunung anakan, siga haseup bom ATUM' Syeh Abdul Ma'ruf kapecleng- keun ku eta sora, aya kana 10 meterna, ragragna ngajehjer nang- karak bengkang, ngayekyek teu bisa usik, gawena molohok bari kasima, ngawaskeun kana haseup anu mumbul sagede gunung anakan. Haseup teh beuki meber beuki meber, antukna jleg bae mangrupa siga adeg-adeg jelema, ngan gede, sagede nana- haon. Urut rupa haseup bodas, ayeuna ganti sipat jadi hideung.

64

PNRI Lila-lila jleg bae ngabangun siga badawang, tapi tuluyna ngaleu- tikan deui, ngaleutikan, ngaleutikan, nepika jadi segede jelema biasa, ngan pendek, kawas teher, lamun disaruakeun jeung Syeh Abdul Ma'ruf mah jangkungna eta nanahaon teh ngan sasemet tuurna. Ari janggotna kawas embe badot, panjangna meh ngang- sar kana taneuh, sukuna calengkrong siga nu singkang, geang- geang nyampeurkeun ka Syeh Abdul Ma.ruf, bangun nu egang, dumeh sukuna cengkrong, nyampeurkeun ka nu keur nangkarak bengkang, pek kerei (tabe) kawas bangsa jepang, ngong ngomong sorana tenge mani matak ngajelengeng: „Aya naon Gusti nyauran ka abdi?" Aya jelema pandena kitu di hareupeun manehna, sanajan acan cageur tina urut reuwas ku geledug sora tea, pok bae Syeh Abdul Ma'ruf ngomong, tapi lain nembalan kana pananya eta nana- haon, tapi manehna kalah malik nanya: „Ari maneh jelema naon, jeung anu ti mana?" „Euh Gusti, abdi teh anu kasebat bangsa jin Islam. Ngaran abdi Abusangar. Parantos langkung ti 2000 taun abdi cicing dina ieu jero goci pependeman Nabi Sulaeman. Abdi teh jin anu pa- rantos kawaiat ti Nabi Sulaeman, Kawitna pisan mah abdi teh Jurusimpen kudang dunya barana Nabi Sulaeman, namung tina jalaran abdi sarakah ku kadunyaan harita abdi dipercaya ngajaga kudang dunya barana teh, teu kalis ku disenangkeun, dicukup sagala rupa, abdi tetep masih heroy ku dunya barana, nya harita abdi ngajalankeun serong, basilat ka nu janten Ratu (mun ayeuna mah ngajalankeun Korupsi), ngadamel ieu goci pependeman. Saban dinten abdi ngeusi-ngeusikeun inten sareng jamrut, ber- lian, sakur permata nu ageng pangaosna kana ieu goci. Enggalna abdi katohyan ku Nabi, abdi kenging supata, dilebetkeun kana ieu goci anu dieusi dunya barana kenging abdi ngempelkeun tea, bari diragragan supata ku Nabi, kieu: „Kulantaran maneh makmak mekmek teuing ku kadunyaan, ayeuna ulah kapalang, maneh ku kaula dihijikeun jeung emas inten kahayang maneh, dihukum, bongan kadedemes, sarta ku kaula baris dibuang ti dieu. Isuk jaganing geto, upama ieu turub goci geus aya nu muka, maneh kakara bebas tina hukuman, sarta eusina ieu goci kudu dipake

65

/ PNRI muruhan ka nu nulungan ka maneh. Sajabana ti kitu oge maneh kudu kumawula, kudu nurutkeun sakumaha parentahna". Saparantos Nabi nyarios kitu, teras goci teh ku Nabi Su- laeman dibuka turubna, abdi dijiwir ku panangannana nu te- ngen, dilebetkeun kana ieu goci, krup ditutupan pageuh. Lung bae goci anu dieusi abdi katut dunya barana teh dialungkeun, nya ragrag di dieu, ambles ka lebet bumi. Ti harita dugi ka ayeu- na waktosna parantos 2000 taun. Ayeuna nembe tinekanan aya anu nulungan ka abdi, Gusti sipatna. Anumawi abdi masrah- keun ieu harta, emas inten sareng abdina, numutkeun dada- wuhan Nabi kapungkur. Sumangga ayeuna Gusti bade miwa- rang naon ka abdi, kaulanun?" Syeh Abdul Ma'ruf pohar-a hookeunnana ngadenge dongeng- na jin tea, pok nanya: „Ke, upama bener maneh rek kumawula, coba ieu goci angkat ka luhur tina ieu jero taneuh". „ Unjuk sumangga", ceuk jin Abusangar. Pek jin teh pepeta, kiliwing bae guci beusi teh diangkat, bangun anu pohara hampa- ngeunnana, dicekel lebah cacangklekna, beusi anu jiga ringen tea, duanana ti kenca katuhu. Barang dijungjungkeun, ana be- rangkai teh gocina katembong kabeh, mokaha leutik, ngan sau- kur sagede munding kabiri, dijieunna tina beusi campur waja. Upama diangkat ku jelema ayeuna kawasna moal ka angkat ku dua puluh urang. Syeh Abdul Ma'ruf panasaraneun tuluy ngodok kana jero goci tea, ana pek teh dicokotan ti jerona, dikaluar-luarkeun sawareh, estu matak hookeun nu nenjo, da mani ruhay, ngage- bray, awor jeung cahaya siang, nyaeta, berlian, inten-inten mang- pirang-pirang, makuta emas, geulang emas ditaretes ku jamrut, ali, suweng, kongkorong, rupa-rupa perhiasan aya, anu kabeh di- jieunna tina emas. Malah aya inten anu ngadakom sagede ucing, asana mah. Aya paribasa, sanajan Syeh Abdul Ma'ruf geus nyorang ka- senangan keur basa di nagara Basrah oge, ngucel duit saban po'e, tapi ari ngabogaan hak sorangan kana dunya barana anu sakitu reana mah, kakara harita. Atuh „Kokoro manggih Mulud, puasa manggih Lebaran", antukna sawan, kelepek bae kapaehan, nga-

66

PNRI jehjer teu usik malik, atuh jin Abusangar gancang mapatkeun ajiannana, nepika Syeh Abdul Ma'ruf eling deui. Caturkeun jelema, anu tadi melak korma, anu nyelang balik rek dahar heula tea, harita datang kadinya, bari mawa kadaharan keur anu mantuan mangmaculkeun, nyaeta Syeh Abdul Ma'- ruf. Barang eta jelema nyeueung aya jin pendek janggot pan- jang, panon beureum, reuwaseun, wur bae kadaharan teh dia- wurkeun ka luhureunnana, rek lumpat, sieuneun ku jin Abu- sangar, anu keur ngabedega nangtung di tengah-tengah kebon garapannana tea, bari molotot merong ka manehna. Ngan ha- dena kaburu dicalukan ku Syeh Abdul Ma'ruf, sarta dicecep minangkana mah, bro dibere inten sapuluh siki anu sagede-gede kaleci. Saumur kakara nimu nu kitu, lenggerek eta. jelema teu eling, ari cengkat tuluy nyembah acong-acongan ka Syeh Abdul Ma'ruf. Beres nyembah, kiciprit lumpat bari sisirig, teu beda ti budak leutik, engklak-engklakan sajajalan ngigel rerengke- nekan, lagam urang dinya, ditabeuhan ku sungutna, lagu „gam- bus" kasedepna, balik ka imahna bakating ku atoh, boga inten pamere, sapuluh, tangtu bisa mayaran hutangna, leupas tina „sistim ijon", sajabana bisa cukup keur bekel hirupna, kalawan senang. Syeh Abdul Ma'ruf ngilikan popolahan eta jelema mani ngagikgik, nyeungseurikeun, angot jin Abusangar mah seuseurian cacalawakan, da sungutna pohara rubakna, dibarung ku teurab jeung sisidueun sagala rupa. Samulangna eta jelema ka imahna, Syeh Abdul Ma'ruf ngarasa lapar, pok ngomong ka badegana, nyaeta jin Abusangar: „Coba kaula menta kadaharan". Sakedet netra, teu kanyahoan ti mana jolna, geus sadia meja jeung korsi, sarta dina eta meja pinuh ku rupa-rupa ka- daharan nu ngareunah, sadiaan raja-raja, kasaktiannana jin Abu- sangar. Celebek Syeh Abdul Ma'ruf barangdahar, cacamuilan so- rangan, nepi ka wareg, kalawan dilayanan ku jin tea. Tutas dadaharan Syeh Abdul Ma'ruf sasadiaan bawaaeun-

67

PNRI balik ka nagara Basrah, nyaeta ngurihit ka jin, menta disadiakeun Abid (jelema beulian lalaki) reana saratus. Djariah G'elema beu- lian awewe) reana saratus, onta-onta pikeun mawa goci pepen- deman tea reana sapuluh. Sajabana ti eta onta. anu samakta ra- rahabna tumpakaneun manehna hiji, anu ulesna alus, sarta u- tama bisa, hayang diiring ku Balatentara reana 200.000. Kawantu badega lain samanea, sakiceup oge pamundut geus jagrag, mani po'ek, tegai sakitu upluk-aplakna teh kaidek kabeh ku peijurit. Genaheun nu baroga kebon di dinya bae, teu kudu nga- wuluku atawa macul, da geus kaidek ku tentarana Syeh Abdul Ma'ruf. Pek jin Abusangar ngatur barisan. Mimiti nu nyekel ban- dera kebangsaan duaan; diiring ku aleutan nu marawa cecem- peh digagangan, anu ditulisan poster-poster saperti: Hidup Ratu Basrah, Hidup Syeh Abdul Ma'ruf. Hidup Sudagar anu pang- mulyana ti nagara Kairo, jeung sejen sejenna. Ditema ku aleutan Jariah saratus, awewe gareulis naker ditariung ku kukudung, nandakeun serah sumerah ka sudagar anu mulya, ditema deui ku Abid saratus, awakna sareseg, wareweg baredegul, harideung mani lestreng tur teu dibaraju, ngan dicarawet barodas, jeung didalastar barodas, rata. Ditema deui ku Tentara mangpirang- pirang, dibariskeun. Ari leugeudeut teh aleutannana, ngaleut ngeungkeuy nga- bandaleut, ngembat-ngembat nyatang pinang. Sudagar Syeh Abdul Ma'ruf ungkleuk-ungkleukan diluhureun onta, pohara gindingna diiring ku balad mangpirang-pirang, rek ngajugjug ka ingkang mertua, Ratu Agung di nagara Basrah. Demi jin Abusangar teu milu kana aleutan, ngarumasakeun maneh goreng dodonges (goreng patut), bisi sarieuneun barudak kota, anu keur jongjon sarakola heg pugag teu daraek nuluy- keun sakola, sarieuneun ngilikan Jin Abu Sangar, anu antukna Nagara Basrah teh Rayatna moal maju, da katungkulkeun ku gila nyeueung jin. Abusangar mah ngelehan maneh bae, nyumput dina jero ah pirus jimat bawana, anu ayeuna dipake ku Syeh Abdul Ma'ruf-,• ngan amanat bae, samemeh ngenggon dina ali

68

PNRI teh, kieu basana: „Upami Gusti ngagosokeun ieu lelepen 3 kali kana soca Gusti anu tengen, tangtos aya karerepet, abdi kaluar ngabantu ka Gusti. Namung upami ngagosokeunnana sering, tangtos sanes digosokeun ku Gusti, abdi kaluarna tangtos bari sadia, siap pikeun nyerang anu jail ka saiira Gusti. Omat, cenah, Gusti; ulah lali. Aya karerepet, gosokeun kana soca nu tengen, tilu kali, omat tilllluuu kaaalllliii, Gusti". Ari geus nyarita kitu mah sup bae jin teh ngaringkuk dina jero batu ali pirus, gena- heun euweuh nu ngaharu biru.

Tunda Syeh Abdul Ma'ruf, anu keur di jalan, urang nya- ritakeun deui Ratu Basrah, anu keur ngajeng-ngajeng ingkang mantu. Waktu harita nuju linggih dina „Korsi gading Gilangkan- cana" dideuheusan ku Patih Jamaludin. Ngong Kangjeng Raja nyabda ka Patihna: „Geus saminggu lilana patih, Syeh Abdul Ma'ruf, mantu kaula luntana ti dieu, taya beja kalawan pawarta. Dina unggal-unggal surat kabar anu katarima ku kaula, henteu dimuat deuih, naha kumaha nya?" Patih Jamaludin: „Numutkeun pangemut abdi Gusti mah mantu Gusti teh tangtos moal sumping deui ka dieu, margi abdi wantun tatarohan, yen Syeh Abdul Ma'ruf teh jalmi serong, tukang giringsing. Sami bae Gusti sareng mangpengkeun kuya ka cai, nanggel moal ka dieu deui". Barang patih keur nyarios kitu, kurunyung bae aya nu seja ngadeuheusan, dua perejurit. saregud pisan, duanana sapa- sang. marake pakean kadinesan Tentara maranehannana, nyaeta dastarna hejo, anu dijieunna tina sutra, dijubah koneng, anu dibeubeuran ku beubeur bodas. Lajeng ditaros ku Patih Jama- ludin, ana pok teh ngawaler, cenah utusan Sudagar Mulya ti nagara Kairo, anu katelah Sudagar „Tuanku Syeh Abdul Ma'- ruf", dipiwarang ngiberan, minangka pengav/al, yen Sudagar Besar, dinten eta baris sumping ngadeuheusan ka Ratu Basrah. Atuh Kangjeng Raja teu kinten bingahna, dag-dag-deg-deg samar cabak, enggal miwarang ngangkeran Nyi Putri Siti Aisah, dipiwarang dangdos mapag carogena. Patih Jamaludin pohara isineunnana ku Kangjeng Raja,

69

PNRI damelna kalamas-kelemes, lingsem dumeh norahna nyalahan. Teu kungsi lila ti harita, der kakuping, sada nu surak ayeuh- ayeuhan Enggal ku Kangjeng Raja dipiwarang didongdon ku hiji Mantri. Mantri indit ti padaleman, maksudna ngaronda nu surak, ari balikna deui unjukan ka Kangjeng Raja, yen anu surak teh Rayat di alun-alun, dumeh Sudagar, „Tuanku Syeh Abdul Ma'- ruf' tawar (ngawur-ngawur) artos atuh ribut bari sarurak parebut duit. „Abdi Gusti oge ieu kenging artos ngiring mulungan, ka- bagean 200 dirham, tuh geuning Gusti tarang abdi bancunur kieu, tilas tidagor kana tuur hiji aki-aki, waktos ngiring mulungan artos, kaulanun", cenah. „Notorogan Ki Mantri, kadedemes, naha teu cukup gajih ti nagara?" Sanggern Kangjeng "Raja bari gumujeng. „Sumuhun, eheh, sanes sumun, mung maksad ngiring bi- ngah bae, dumeh mantu Gusti sumping, sanes karooh ku artos kaulanun", tembal Mantri, bari balaham belehem. „Heueuh, sukur ari kitu mah Mantri atuh", sanggem Kang- jeng Raja. Bujengkeun enggalna, Syeh Abdul Ma'ruf geus asup ka karaton, munjungan ka Kangjeng Raja. Satutasna munjungan lajeng nepangan ingkang garwa, nu geulis Nyi Putri Siti Aisah. Nyi Putri Siti Aisah teu kinten bingaheunnana, ningal ca- roge sumping, dugi ka ngarangkul bari nangis, bingah wireh nu dipikangen salamina sumping deui, diwuwuh ku nyandak dunya barana mangpirang-pirang. Syeh Abdul Ma'ruf nohonan jangjina kapungkur tea, nyaeta harita parantos ngabagi-bagikeun berlian ka saeusi karaton sarawu sewang, walatra kabeh. Patih Jamaludin nyeueung nu ngabagi dunya teh lain atoh, tapi kalah ngentab, panas hatena, dumeh Syeh Abdul Ma'ruf pada ngugung-ngugung ku para Pangagung, diayab ku para emban, diaping ku para ceti anu garelis, Dina hatena Patih Jamaludin keukeuh bae cangcaya ka Syeh Abdul Ma'ruf, tuluy ngagunakeun akal, nyaeta jku jalan „handap lanyap", Syeh Abdul Ma'ruf dibere budi anu sarehseh naker ku Patih, sarta dijamu ku rupa-rupa i- numan, ngahormat basana.

70

PNRI Atuh puguh bae, anu keur meujeuhna bungah disuwuk ku inuman, kayaning: Barendi, Janiwer (Jenever), Sopi jeung sabang- sana, estu teu boga curiga naon naon, diloloh ku inuman teh, lek- lek bae, nepika Syeh Abdul Ma'-ruf mabok, sarta ngacambling, ngomongna sabelong-bentor. „Tah, di dieu kasempetan aing teh, yeuh", pamikir Patih Jamaludin. Tuluy nu keur mabok teh diguliksek, ditanya tina rupa-rupa hal, pangpangna ti mana Syeh Abdul Ma'ruf bogana harta kakayaan sakitu reana. Anu keur mabok ditalek, gubrag-gubrag bae ngomong sa- tarabasna, kieu cenah: „Mamang Patih hayang nyaho, ti mana kaula bogana kakayaan? Hayang? Hayang nyaho? Bisi Mamang teu ngarti, ti dieu yeuh tinu ngageugeuh dina ieu ali pirus, bu- jang kaula, jin islam, ngaranna Abusangar, Asal digosokeun bae kana panon anu katuhu, tangtu jin Abusangar nyampeurkeun, sarta pamenta kaula dicumponan". Patih Jamaludin: „Cobi ningalan lelepenna sakedap, siga kumaha rupina?" Ali pirus, anu dieusi jin teh pek ku Syeh Abdul Ma'ruf di- laan, dipasihkeun ka Patih Jamaludin. Abong Patih rek niat julig, barang nampanan ali ajaib teh, gancang bae digosok-gosokeun kana panonna nu katuhu sababa- raha kali, maksudna supaya jin Abusangar, kaluar tina ali. Upama geus kaluar rek sina maehan Syeh Abdul Ma'ruf. Tariking cilaka,ongkoh Patih Jamaludin mah teu acan nyaho- eun kudu sabaraha kali ngagosokeunnana eta ali kana panonna, samarukna kudu mindeng atuh hantem bae digosok-gosok leu wih ti tilu kali. Jin Abusangar, anu keur kerek nyegrek di jero ali pirus, reuwaseun, lantaran karasana ku manehna aya nu ngagubrag- gubrag sababaraha kali, atuh ngambek top kana gegendir beusi, tuluy kaluar tina ali, rek neunggeulan anu ngaguyah-guyah, da pamikirna pamohalan Syeh Abdul Ma'ruf mah kitu peta, kapan tadi oge geus dipapatahan ku manehna, yen ngagosokeun ali kana panon teh kudu tilu kali ari ieu leuwih, tetela digosokeunna- na kunu sejen. Sanggeus bijil tina jero ali, kareret teh Patih

71

PNRI Jamaludin masih keur ngadeluk keneh bae ngagoscsk-gosokeun ah pirus kana panonna. Ana pirikitingting teh jin Abusangar ngambek, panon beu- reum buncelik, heat jebet bae Patih Jamaludin diteunggeul pu- hu ceulina ku gegendir beusi. Atuh teu engap deui, harita keneh oge Patih Jamaludin ngaleupaskeun nyawa.. Sanggeus katingal Patih Jamaludin perlaya, ret jin Abusangar ngareret ka Syeh Abdul Ma'ruf anu keur jajarigjeugan, nangtung- na teu ajeg, dumeh mabok, regeyeng bae ku jin teh dipangku, di- kedengkeun kana bale-bale nu dikasuran, dek ditawa (dijampe) harita keneh oge mabokna leungit, ngan tinggal hareugeueun bae pedah Patih Jamaludin geus ngajolor, paeh. Ku jin Abusangar diterangkeun, yen Patih Jamaludin teh, patih julig, anu matak ku manehna dipaehan. Harita keneh oge ku Syeh Abdul Ma'ruf dipupulihkeun ka Kangjeng Raja, kalawan disaksian ku jin Abusangar, yen Patih Jamaludin ku kajuliganana, ayeuna geus ngajolopong jadi ba- batang. Atuh Kangjeng Raja oge teu majar kumaha, nya kapak- sa, dihin pinasti anyar pinanggih, Patih Jamaludin harita diku- rebkeun. Ti semet Syeh Abdul Ma'ruf balik deui ka karaton Basrah, nepi ka sataun lilana, euweuh halangan harungannana, nagara harja basuki, rayatna pada gumbira, nepika ka waktuna Syeh Ab- dul Ma'ruf diangkat jadi Perebu Anom ngagentos Ratu Sepuh. Kakocapkeun dina hiji dinten Ratu Abdul Ma'ruf bade ngersakeun bubujeng ka leuweung, diiring ku pirang-pirang tam- tama jeung kapetengan, sareng pirang-pirang paninggaran pe- tingan, anu geus mareunang ijazah jeung bintang kahormatan, tina pasal moro. Der ngalasan rame kacida, anjing-anjingna geus kang-keng disarada bari maroro sato udaganana. Gaaiiik anjing anu diteung- gar ku bagong, jedooor sora bedil, deeeer surak ayeuh-ayeuhan, bagongna beunang, Gaiiiik anjing, dooor bedil, der surak. Gaik anjing, dor bedil, der surak. Rupa-rupa buburonan sato leuweung bareunang ku paninggaran, dikumpulkeun mani mangpirang- pirang. Eta beubeunangan moro anu sakitu reana teh, sajabana

72

PNRI ti palinterna pamatang-pamatang (paninggaran) ngagunakeun pakarangna, oge ku jasa-jasa para anjing-anjing paragi moro, anu pohara haridengna, daraekannana." Komo eta mah hiji anjing, anu ngaranna oge si Hoskut, bogana hiji paninggaran, estu panggalakna, pangdaekannana moro udagannana teh. Eta bae sajongjongan mani geus bisa nga- hasilkeun 4 kidang jeung 2 banteng. Kangjeng Raja Abdul Ma'ruf pohara bingahna, ningal an- jing sakitu daekannana kana moro. Ku bingan-bingahna, datangka Si Hoskut teh ditungtun ku Raja Abdul Ma'ruf, rek diparaban, sakalian jeung anjeunna barangtuang. Brak bae caritana riungan tuang di jero leuweung, estu ni'mat kacida, entas cape moro, ayeuna tuang rupa-rupa ka- tuangan, aya Martabak, aya Roti jeung rupa-rupa kueh, malah aya ku'eh anu ditinyuh ku madu sagala. Raja Abdul Ma'ruf nu keur barangtuang, barang ningalan kana kueh nu make madu, kagagas manahna, emuteun ka popotongannana di Kairo, anu dikantun, ditambang teu diserahkeun, nyaeta Nyi Sarah, anu galak ka salaki. Eta kueh anu ditinyuh ku madu ku Raja teu dituang, kalahka lung bae dibikeun ka anjing anu aya digigireunnana, nyaeta ka Si Hoskut, anu keur harang-hereng hayangeun dibere. Naaaa atuh, barang lung kueh anu make madu teh dialung- keun ka Si Hoskut, kop dirontok ku Si Hoskut, gep digegel, mani samutut. Kakarek oge Si Hoskut nyapek eta kueh, aneh beh ditueun ti aneh, ujug-ujug les bae Si Hoskut euweuh, leu- ngit tanpa lebih, ilang tanpa karana, ngan dina lebahna Si Hos- kut depa, aya hiji awewe ngagoler, anu sungutna pinuh ku kueh tadi tea, kueh nu make madu. Raja Abdul Ma'ruf kageteun ku ayana kajadian kitu, tuluy eta awewe disidik-sidik, ana breh teh, gebeg anjeunna ngage- beg, sabab sidik awewe anu ngagoler teh, sihoreng tilas istrina kapengker, nyaeta Nyi Sarah. Atuh tuluy ku Raja Abdul Ma'ruf disampeurkeun. Sanggeus deukeut, Nyi Sarah beunta tuluy mencrong ka Sy^h Abdul Ma'ruf, panonna ceuleuyeu, sarta ngomong lala-

73

PNRI unan: „Emh kang Ma'ruf, sanajan abdi ngingiring ka kang Ma'- ruf taun-taun, dumeh abdi ditenung jadi anjing Si Hoskut, teu acan tiasa palemek sareng kang Ma'ruf, sumawonten nyuhun- keun dihapunten, nembe ayeuna tiasa kedai lisan, abdi hiji awewe kawalat ti salaki, hukumullah jadi anjing, mugi kang Ma'ruf kersa ngahapunten kana kalepatan abdi anu parantos-parantos." Syeh Abdul Ma'ruf ngadenge Nyi Sarah nyarita kitu, tuluy nembalan: „Emh nyai, perkara menta dihampura ka akang, ti bareto oge akang mah ngahampura pisan, teu aya geuneuk ma- leukmeuk naon-naon. Ngan cing akang hayang nyaho, kumaha asalna pangna Nyai nepika jadi kieu?" Nyi Sarah: „Emh kieu kang Ma'ruf. Kapungkur saparantos kang Ma'ruf lunta ti Kairo, abdi kungsi kasumpingan ku jin pikasieun- eun pisan, iiiiiy kadeuleu keneh bae sihungna ranggeteng, bari ngagigila ka abdi ngakukeunnana mah ceneh Jin Gangga Indra", padumukannana di Guha Gupita. Abdi ku eta jin dicarekan lak- lak dasar, bongan abdi doraka ti kang Ma'ruf. Emh abdi atos rumaos. Nya harita abdi ku eta jin ditenung dijieun anjing, sarta dititah lunta ka nagara Basrah, dititah neangan kang Ma'ruf, dikudukeun kumawula, nya kapan abdi jadi hiji anjing, anu ku kang Ma'ruf dingaranan Si Hoskut, kapan dicacandak moro ku kang Ma'ruf. Sanggem jin Gangga Indra, engke upami abdi pa- rantos dialungan kueh nu make madu ku kang Ma'ruf, tah di dinya baris seep tenungan jin Gangga Indra teh, sarta abdi bakal jadi deui jelema biasa, mung bae, oge, upami abdi parantos di- hapunten kalepatan ku kang Ma'ruf, 5 menit antawisna abdi baris pupus. Ayeuna parantos dugi kana ugana, sakali deui abdi nyu- hunkeun dihapunten tina sagala rupi kalepatan, abdi permios bade wang — wang — wang " Kerelek bae Nyi Sarah hilang. Syeh Abdul Ma'ruf pohara hareugeueunnana. Sanajan Nyi Sarah hiji awewe kawalat, sanajan anu tadina pohara gakangna, teu burung Syeh Abdul Ma'ruf ragragan cisoca, ningali Nyi Sarah geus perlaya. Carita gancangna, mayit geus dipulasara, dipendem di leu-

74

PNRI weung eta, kalawan dibantuan ku para pangiring-pangiringna Syeh Abdul Ma'ruf. Sarengsena tuluy budal, marulih ka nagara Basrah. Di karaton ku Syeh Abdul Ma'ruf didongengkeun ka Nyi Putri Siti Aisah, tina perkawis lalampahan anjeunna bubujeng sareng kajantenan aneh di leuweung, nyaeta kajajaden Si Hos- kut tea. Satuluyna Syeh Abdul Ma'ruf, sanggeusna jadi Raja sataun, ngecagkeun deui karajaanana, seren sumeren balik deui ka mertua, Ratu Sepuh ngadeg deui, dumeh cita-cita Syeh Abdul Ma'ruf jeung Nyi Putri Siti Aisah, seja ngalebur dosa, urut waktu tadi ngudagna jalan kasenangan teh, lain beunang halal, tapi beunang ngakal ku ekol. Anu matak saterusna Syeh Abdul Ma'ruf jeung Nyi Putri ngecagkeun kasenangannana, tuluyna leuwih husu nga- jalankeun ibadah, ngaralih masisian, nyingkurkeun maneh ka jaba kota, jadi ajengan, ngawirid ngaji jeung ngajar nulis ka sakur anu baruta huruf.

Wallahu alam bissawab.

75

PNRI PNRI