PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

PENYIMPANGAN PERISTIWA SEJARAH DALAM NOVEL KEN AROK: BANJIR DARAH DI TUMAPEL KARYA GAMAL KOMANDOKO DENGAN TAFSIR SEJARAH KARYA SLAMET MULJANA PENDEKATAN HISTORIS

Tugas Akhir Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Sastra Indonesia

Oleh Athalia Wika Ningtyas NIM : 054114023

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2011 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

PENYIMPANGAN PERISTIWA SEJARAH DALAM NOVEL KEN AROK: BANJIR DARAH DI TUMAPEL KARYA GAMAL KOMANDOKO DENGAN TAFSIR SEJARAH NAGARAKRETAGAMA KARYA SLAMET MULJANA PENDEKATAN HISTORIS

Tugas Akhir Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia

Oleh Athalia Wika Ningtyas NIM : 054114023

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2011

i PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

TUGAS AKHIR

PENYIMPANGAN PERISTIWA SEJARAH DALAM NOVEL KEN AROK: BANJIR DARAH DI TUMAPEL KARYA GAMAL KOMANDOKO DENGAN TAFSIR SEJARAH NAGARAKRETAGAMA KARYA SLAMET MULJANA PENDEKATAN HISTORIS

Oleh Athalia Wika Ningtyas 054114023

Telah disetujui oleh:

Pembimbing I

Drs. B. Rahmanto, M.Hum. tanggal, 6 Desember 2010

Pembimbing II

S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum. tanggal, 6 Desember 2010

ii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

TUGAS AKHIR PENYIMPANGAN PERISTIWA SEJARAH DALAM NOVEL KEN AROK: BANJIR DARAH DI TUMAPEL KARYA GAMAL KOMANDOKO DENGAN TAFSIR SEJARAH NAGARAKRETAGAMA KARYA SLAMET MULJANA PENDEKATAN HISTORIS

Dipersiapkan dan ditulis oleh Athalia Wika Ningtyas NIM: 054114023

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 24 Januari 2011 dan dinyatakan memenuhi syarat

SUSUNAN PANITIA PENGUJI Nama Lengkap Tanda Tangan

Ketua : Drs. Heri Antono, M.Hum. ………………. Sekretaris : S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum. ………………. Anggota : 1. Dra. Fr. Tjandrasih, M.Hum. ………………. 2. Drs. B. Rahmanto, M.Hum. ………………. 3. S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum. ……………….

Yogyakarta, 28 Februari 2011 Dekan Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma

Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum

iii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

JANGAN MELIHAT MASA LAMPAU DENGAN PENYESALAN, JANGAN MELIHAT MASA DEPAN DENGAN KETAKUTAN, NAMUN, LIHATLAH MASA SEKARANG DENGAN PENUH KESADARAN!

iv PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Skripsi ini kupersembahkan untuk:

Mama, Papa, Dea, dan orang-orang yang menyayangiku dengan tulus.

v PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya dan dengan sebenarnya, bahwa tugas akhir atau skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 30 November 2010

Penulis

Athalia Wika Ningtyas

vi PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Athalia Wika Ningtyas NIM : 054114023

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul Penyimpangan Peristiwa Sejarah dalam novel Ken Arok Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko dengan Tafsir Sejarah Nagarakretagama karya Slamet Muljana Pendekatan Historis, beserta perangkat yang diperlukan (bila ada).

Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma untuk hak menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media yang lain untuk kepentingan akademis, tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 30 November 2010 Yang menyatakan,

Athalia Wika Ningtyas

vii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

ABSTRAK

Ningtyas, Athalia Wika. 2011. “Penyimpangan Peristiwa Sejarah dalam novel Ken Arok Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko dengan Tafsir Sejarah Nagarakretagama karya Slamet Muljana: Pendekatan Historis.” Skripsi Strata (S-1). Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji tentang penyimpangan alur sejarah dalam novel Ken Arok Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko dengan Tafsir Sejarah Nagarakretagama karya Slamet Muljana, sebuah tinjauan pendekatan historis sastra. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dan mendeskripsikan unsur alur dalam novel Ken Arok Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko, kemudian menunjukkan dan menganalisis kisah Ken Arok sampai Kertanagara dalam buku Tafsir Sejarah Nagarakretagama karya Slamet Muljana, serta menunjukkan dan mendeskripsikan penyimpangan alur sejarah yang terdapat dalam novel Ken Arok Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko, lalu membandingkannya dengan Tafsir Sejarah Nagarakretagama karya Slamet Muljana. Penelitian ini menggunakan teori struktural yang lebih memfokuskan unsur alur. Dari analisis alur yang meliputi: tahap penyituasian, pemunculan konflik, peningkatan konflik, klimaks, dan penyelesaian, terdapat peristiwa sejarah yang ada dalam novel Ken Arok Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko. Peristiwa alur sejarah tersebut kemudian dikomparatifkan dengan Tafsir Sejarah Nagarakretagama karya Slamet Muljana. Pendekatan historis dengan buku sejarah tersebut sangat berperan penting dalam mengangkat topik skripsi ini, khususnya pada analisis bab ketiga, yakni pada kisah Ken Arok sampai Kertanagara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis data, yang meliputi metode data komparatif dan metode analisis isi. Kemudian pada metode penyajian hasil analisis data, penulis menggunakan metode deskriptif analisis sebagai bahan kajiannya. Dalam penelitian ini, metode analisis data komparatif lebih digunakan untuk membandingkan alur peristiwa sejarah dengan sebuah novel sejarah. Perbandingan antara novel Ken Arok Banjir Darah di Tumapel dengan buku Tafsir Sejarah Nagarakretagama akan diulas secara lebih mendetail. Pada metode analisis isi, penulis mengkaji isi teks sastra tanpa melihat isi komunikasi (pesan yang diterima oleh pembaca) dari teks sastra tersebut. Pada metode penyajian hasil analisis data, penulis menggunakan metode deskriptif analisis, yang lebih menekankan pada pendeskripsian fakta-fakta yang disusul dengan analisis. Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Alur dalam Ken Arok Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko adalah alur lurus atau alur maju atau alur progresif. Alur lurus dalam sebuah novel dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis. Peristiwa awal dimulai ketika Maharaja Sri Kretajaya memerintah semena-mena di bumi Kadiri, , Tumapel, dan wilayah sekitarnya, lalu pembagian kisah selanjutnya adalah kisah Ken Endok yang menderita akibat pemerkosaan hina di Pura Agung, kemudian kelahiran Ken Arok di bumi marcapada ini, sampai Arok berhasil menjadi raja dan mendirikan kerajaan Singasari di tanah Jawa. (2) Kisah Ken Arok sampai Kertanagara dalam buku Tafsir Sejarah Nagarakretagama lebih mengungkapkan kisah-kisah yang pernah terjadi di masa lampau, karena sumber

viii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

pengisahannya tercantum pada kitab, pupuh, kidung, dan juga prasasti-prasasti, seperti kitab , pupuh Nagarakretagama, kidung Panji Wijayakrama, kidung Harsawijaya, prasasti Mula-Malurung, prasasti Maribong, prasasti Pakis Wetan, prasasti Penampihan, piagam Amoghapasa, dan piagam Padang Arca. Keseluruhan isinya akan ditunjukkan penulis sesuai dengan data-data yang diperoleh oleh Slamet Muljana, yang telah dituliskan beliau ke dalam buku Tafsir Sejarah Nagarakretagama. (3) Penyimpangan alur sejarah lebih menekankan pada beberapa alur yang menyimpang dalam novel Ken Arok Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko. Penyimpangan alur tersebut berjumlah 32 alur, yang meliputi: (1) kewaspadaan Kretajaya terhadap Arya Pulung; (2) dendam Arya Pulung terhadap Kretajaya; (3) keadaan Tumapel dalam kekuasaan Tunggul Ametung; (4) penokohan Resi Agung Sri Yogiswara Girinata; (5) pernikahan Ken Endok dengan Resi Agung Girinata; (6) Gajah Para bukanlah suami Ken Endok; (7) mulai tumbuhnya perasaan suka (perasaan Ken Endok terhadap Gajah Para); (8) terjalinnya cinta terlarang (antara Ken Endok dan Gajah Para); (9) peristiwa keji di Pura Agung; (10) kehamilan Ken Endok; (11) kebencian Ken Endok terhadap Gajah Para; (12) Arok bukanlah Putera Dewa; (13) Arok berandal yang baik; (14) pertemuan Arok dan Umang dikisahkan lebih awal; (15) penokohan tentang Gagak Inget; (16) penokohan Nyi Prenjak dan anak buahnya; (17) Umang mencintai Arok; (18) Umang istri pertama Arok; (19) sifat congkak Mpu Gandring; (20) prajurit Kadiri membuat rusuh Tumapel; (21) pengkhianatan Kebo Ijo; (22) rahasia Mpu Gandring terungkap; (23) kesetiaan Arok terhadap Tunggul Ametung; (24) pertempuran sengit Tumapel dengan Kadiri; (25) gelagat aneh ; (26) terbunuhnya Mpu Gandring oleh Kebo Ijo; (27) terbunuhnya Tunggul Ametung oleh Kebo Ijo; (28) penolakan Arok menggantikan Tunggul Ametung; (29) Dedes, istri kedua Arok; (30) penyerangan Kadiri kedua; (31) Arok menyayangi ; (32) misteri kematian Ken Arok.

ix PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

ABSTRACT

Ningtyas, Athalia Wika. 2011. “The Deviation of Historical Event in Gamal Komandoko’s novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel and Slamet Muljana’s Tafsir Sejarah Nagarakretagama: Letter Historical Approach.” Minithesis of Strata-1 (S-1). Yogyakarta: Study Program of Indonesian Letter, Department of Indonesian Letter, Faculty of Letter, Sanata Dharma University.

This research studied on the deviation of Historical Plot in Gamal Komandoko’s novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel and Slamet Muljana’s Tafsir Sejarah Nagarakretagama, a letter historical approach. The purpose of this research was to analyze and describe the element of plot in Gamal Komandoko’s novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel, and the represent and analyze the story of Ken Arok to Kertanagara in Slamet Muljana’s book Tafsir Sejarah Nagarakretagama, and represent and describe the existing deviation of historical plot in Gamal Komandoko’s novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel, and then compare it to Slamet Muljana’s Tafsir Sejarah Nagarakretagama. This research used structural theory of which more focused on the element of plot. From the plot analysis including: conditioning step, conflict emerging, conflict increase, climax, and solution, there was historical incident in Gamal Komandoko’s novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel. The incident of historical plot was then compared to Slamet Muljana’s Tafsir Sejarah Nagarakretagama. The historical approach has important role in emphasize the topic of this minithesis, in particularly in the analysis of chapter three, i.e. in the story of Ken Arok to Kertanagara in book Tafsir Sejarah Nagarakretagama which will be studied by the historical approach. The method used in this research was method of data analysis, including analysis of comparative data and method of content analysis. Then in the representing method of data analysis, the author used comparative analytical method as its studying material. In this research, method of comparative data analysis is preferred to use for comparing the plot of historical incident by a historical novel, as will be discussed later in the chapter four, that the comparison between novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel and book Tafsir Sejarah Nagarakretagama will be reviewed in detail. In this method of content analysis, the author studied the content of letter text without knowing the content of communication (the message accepted by readers) of the letter text. Finally, in the method of representation of result of data analysis, the author used descriptive analytical method, of which emphasized on the description of facts followed by analysis. The result research were following: (1) The plot in Gamal Komandoko’s novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel is straightforward plot or advance plot progressive plot. Straightforward plot in a novel is said as progressive if the incidents told are chronologic. The initial incident begun when Maharaja Sri Kretajaya governed arbitrarily in Kadiri, Janggala, Tumapel, and surrounding lands, and then the categorization of next story is the of Ken endok who suffered by the cruel violation in Pura Agung, and then the birth of Ken Arok in this world, until Arok became a king and established Singasari kingdom on land. (2) The story of Kne Arok to Kertanagara in book Tafsir Sejarah Nagarakretagama showed more the actual stories, because the descriptive source was appropriate and listed in the book, strophe, ballad, and epigraphs, likes book Pararaton,

x PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

strophe Nagarakretagama, ballad Panji Wijayakrama, ballad Harsawijaya, epigraph Mula-Malurung, epigraph Maribong, epigraph Pakis Wetan, epigraph Penampihan, treaty Amoghapasa, and theaty Padang Arca. The entire contens will be showed by the author appropriately to the data gained by Slamet Muljana, which has been written by him in the book Tafsir Sejarah Nagarakretagama. (3) The deviation of historical plot more emphasizes on some deviating plots in Gamal Komandoko’s novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel. These deviations of plot are 32 plots, includes: (1) awareness of Kretajaya to Arya Pulung; (2) revenge of Arya Pulung to Kretajaya; (3) condition of Tumapel under the governance of Tunggul Ametung; (4) characterization of Resi Agung Sri Yogiswara Girinata; (5) marriage of Ken Endok with Resi Agung Girinata; (6) Gajah Para is not Ken Endok’s husband; (7) the beginning of love emergence (Ken Endok’s feelings to Gajah Para); (8) the entanglement of forbidden love (between Ken Endok and Gajah Para); (9) cruel incident in Pura Agung; (10) Ken Endok’s pregnancy; (11) abhorrence of Ken Endok to Gajah Para; (12) Arok is not Putera Dewa; (13) Arok is a good rogue; (14) the meeting of Arok and Umang told earlier; (15) the characterization on Gagak Inget; (16) the characterization of Nyi Prenjak and her subordinates; (17) Umang loves Arok; (18) Umang is Arok’s first wife; (19) Mpu Gandring’s cocky trait; (20) Kadiri soldiers bring disturbance in Tumapel; (21) Kebo Ijo’s treachery; (22) Mpu Gandring’s secret is revealed (23) Arok’s obedience to Tunggul Ametung; (24) the fight with gloves off Tumapel and Kadiri; (25) strange symptoms of Ken Dedes; (26) the kill of Mpu Gandring by Kebo Ijo (27) the kill of Tunggul Ametung by Kebo Ijo; (28) the resistance of Arok to substitute Tunggul Ametung; (29) Dedes is Arok’s second wife; (30) the second aggression og Kadiri; (31) Arok cares of Anusapati; (32) mystery behind Ken Arok’s death. Between there 32 deviating plots, there are 10 plots very imminent in the deviation of historical plot aforementioned above, i.e: (1) the characterization of Resi Agung Sri Yogiswara Girinata; (2) Gajah Para is not Ken Endok’s husband; (3) cruel incident in Pura Agung; (4) Arok is not Putera Dewa; (5) Arok is a good rogue; (6) Umang is Arok’s first wife; (7) Kebo Ijo’s treachery; (8) the kill of Mpu Gandring by Kebo Ijo; (9) the kill of Tunggul Ametung by Kebo Ijo; (10) Dedes is Arok’s second wife. From the result of this study, it concludes that the deviation of historical plot in novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel is the wrong deviation of plot and inappropriate to the given historical incident. However, the author of free history novel creates a work by foundation or stuff from historical incident.

xi PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

KATA PENGANTAR

Rasa syukur dan ucapan terima kasih hamba panjatkan kehadirat Allah Swt atas segala rahmat, hidayah dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya skripsi ini dengan penuh perjuangan. Penulis menyusun tugas akhir ini dengan tujuan agar dapat menyelesaikan program strata satu (S-1) pada Program Studi Sastra Indonesia,

Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penulis mengakui bahwa skripsi ini tidak akan terwujud dan terlaksana tanpa bantuan, dukungan, doa, serta spirit dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis hendak mengucapkan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam terselesaikannya karya skripsi ini, yakni:

1. Bapak Drs. B. Rahmanto, M.Hum, sebagai pembimbing I, terima kasih atas

segala bimbingan, masukan, dan waktunya kepada penulis, sehingga dapat

memotivasi saya dalam pembuatan serta terselesaikannya karya skripsi ini.

2. Ibu S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum, sebagai pembimbing II, terima kasih atas

segala bimbingan, kesabaran, dan masukannya kepada saya, sehingga penulis

semakin semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Ibu Dra. Fr. Tjandrasih, M.Hum, yang pernah menjadi pembimbing akademik

angkatan 2005, terima kasih atas segala perhatian dan segala nasihat yang

pernah ibu berikan kepada saya, serta terima kasih pula atas segala ilmu yang

pernah ibu ajarkan.

4. Bapak Drs. Heri Antono, M.Hum, terima kasih atas segala kebaikan,

perhatian, dan nasihat-nasihat, serta ilmu yang telah diberikan kepada saya.

xii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

5. Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum, terima kasih atas segala kesabaran

dan kebaikan bapak, terutama ilmu yang telah diberikan ketika masa

perkuliahan saya dulu.

6. Bapak Drs. F.X. Santosa, M.S, terima kasih atas segala ilmu yang telah

diberikan kepada penulis.

7. Segenap para dosen: Pak Ari, Pak Yapi, Pak Widodo, Pak Bambang, Pak Heri

Santoso, Pak Heri Mardiyanto, Pak Putu, Pak Nur, Pak Sandiwan, Pak

Adisusilo, dan Almarhum Pak Arwan. Terima kasih atas segala kebaikan,

serta ilmu-ilmu yang selama ini telah diberikan kepada penulis.

8. Segenap karyawan perpustakaan Sanata Dharma, terima kasih atas segala

pelayanan, perhatian, dan keramahan kepada penulis, sehingga saya dapat

belajar dengan tenang dan nyaman.

9. Mbak Ros dan Mas Tri, terima kasih atas segala pelayanan dan keramahan

yang diberikan kepada penulis.

10. Mama dan Papaku yang paling kusayangi di dunia ini, Lia ucapkan rasa

terima kasih yang tak terbatas atas segala doa, ketulusan, kasih sayang,

semangat, nasihat, saran-saran, dukungan, kepercayaan, segala sarana dan

prasana yang telah diberikan untukku.

11. Adikku tercinta, Dea Editha Ningtyas. Terima kasih ya dik, atas segala doa,

kasih sayang, semangat, dan sudah menjadi teman curhat yang setia bagi mbk

selama ini. Tetap giat belajar ya dik dan raih cita-citamu setinggi mungkin!

12. Koko Che Chen (UMY H.I 2007), Youre My Spirit Soul.. Xie-Xie… =)

13. Indra Lei (Atmajaya Arsitektur 2004), terima kasih pernah menjadi bagian

terindah dalam hidupku…

xiii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

14. Mikael Andri (Atmajaya Ekonomi 2006), thanks Andri. Though you’re my

past tense lover, you’ll always be in my heart and my memory. Because,

however you’re my shining star. And, you are my best past lover.

15. Sahabat terbaikku, Norie Paramitha. Terima kasih atas persahabatan yang

telah kita rajut. Dukunganmu, semangatmu, nasihatmu selalu membekas di

hati. Terima kasih telah menjadi sandaran atas segala curahan-curahan di

hatiku, walaupun Oie telah di Jakarta, namun hati kita tetap satu sahabat.

16. Teman-teman Smansaku: Indra, Bmg, Iwan, Radius, Boy, Ida Bagus Tantra,

Landara, Santika Wayan, Kompyang, Mahayoga, Gusti, Panji, Dek Adi,

Komang Prima, Nyoman Aristadi, Putu Aries Pratama, Wisnu, Ova, Nadya,

Hez-tee, Nova, Ika, Jean, Ita, Aprini, Widhi, Titiek, Titien, Santiani, Trina,

Dewi, Prami, Dian Ayu, Putu Veronica. Terima kasih atas persahabatan yang

telah kita bina selama masih di SMA. Bagiku, takkan mungkin bisa terlupakan

akan persahabatan indah ini. Terima kasih kawan…

17. Gusti Lanang Segara, Komang Armada dan Ketut Ariasta, terima kasih buat

doa dan supportnya ya. Yakinlah, suatu saat aku akan kembali ke Bali. I Love

Bali…

18. Teman-teman Sastra Indonesia seluruh angkatan, terima kasih atas segala

pertemanannya selama ini, terutama teman-teman angkatan 2005, terima kasih

atas kebersamaannya pada masa perkuliahan dulu.

19. Seluruh pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu-persatu, namun telah

banyak membantu penulis karena terwujudnya karya skripsi ini, saya ucapkan

terima kasih dari lubuk hati yang terdalam.

xiv PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Penulis berharap, agar Tuhan Yang Maha Esa dapat membalas segala kebaikan yang telah diberikan. Penulis memohon maaf jika terjadi kesalahan dalam penulisan skripsi ini. Dengan demikian, segala bentuk tulisan dan hasil penelitian di dalam karya skripsi ini merupakan tanggung jawab penulis. Penulis sangat berharap agar skripsi ini bermanfaat bagi yang membutuhkan, terutama para pembaca. Terima kasih.

Yogyakarta, 30 November 2010

Penulis,

(Athalia Wika Ningtyas)

xv PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...... i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ……………………..… ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ……………………………... iii

HALAMAN MOTTO …………………………………………………. iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ……………………………………….. v

LEMBAR KEASLIAN KARYA ……………………………………… vi

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...... vii

ABSTRAK ……………………………………………………………… vii

ABSTRACT …………………………………………………………...... x

KATA PENGANTAR …………………………………………………. xii

DAFTAR ISI …………………………………………………………… xvi

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………… 1

1.1 Latar Belakang …………………………………………………… 1

1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………... 11

1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………………… 11

1.4 Manfaat Penelitian ……………………………………………….. 12

1.5 Tinjauan Pustaka …………………………………………………. 13

1.6 Landasan Teori …………………………………………………… 14

xvi PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

1.6.1 Analisis Struktural ……………………………………… 14

1.6.1.1 Alur ………………………………………….. 15

1.6.2 Penyimpangan ………………………………………….. 17

1.6.3 Sejarah …………………………………………………. 18

1.7 Metode Penelitian ………………………………………………… 19

1.7.1 Pendekatan Historis…………………….……………….. 19

1.7.2 Metode Penelitian ………………………………………. 20

1.7.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data…………………. 21

1.7.4 Sumber Data …………………………………………….. 22

1.7.5 Metode dan Teknik Analisis Data ……………………….. 23

1.7.5.1 Metode Komparatif ……………………………. 23

1.7.5.2 Metode Analisis Isi …………………………….. 25

1.7.6 Metode Penyajian Hasil Analisis Data …………………... 26

1.8 Sistematika Penyajian ……………………………………………. 27

BAB II ANALISIS ALUR NOVEL KEN AROK: BANJIR DARAH DI

TUMAPEL KARYA GAMAL KOMANDOKO …………... 28

2.1 Tahap Penyituasian (Situation) ...... 29

2.2 Tahap Pemunculan Konflik (Generating Circumstances) ...... 35

2.3 Tahap Peningkatan Konflik (Rising Action) ...... 48

2.4 Tahap Klimaks (Climax) ...... 79

2.5 Tahap Penyelesaian (Denouement) ...... 98

2.6 Rangkuman ...... 109

xvii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

BAB III KISAH KEN AROK SAMPAI KERTANAGARA DALAM

TAFSIR SEJARAH NAGARAKRETAGAMA KARYA

SLAMET MULJANA ...... 112

3.1 Ken Arok (Sang Amurwabhumi) (1222-1227 M) ...... 115

3.2 Raja Anusapati (1227-1248 M) ...... 128

3.3 Panji Tohjaya (1248 M) ...... 131

3.4 Wisnuwardhana (1248-1268 M) ...... 133

3.5 Kertanagara dan Runtuhnya Singasari (1268-1292 M) ………… 136

3.6 Rangkuman ……………………………………………………… 146

BAB IV PENYIMPANGAN ALUR SEJARAH DALAM NOVEL

KEN AROK: BANJIR DARAH DI TUMAPEL KARYA

GAMAL KOMANDOKO ……………………………… 154

4.1 Kewaspadaan Kretajaya terhadap Arya Pulung ...... 157

4.2 Dendam Arya Pulung terhadap Kretajaya ...... 161

4.3 Keadaan Tumapel dalam Kekuasaan Tunggul Ametung ...... 163

4.4 Penokohan Resi Agung Sri Yogiswara Girinata ...... 168

4.5 Pernikahan Ken Endok dengan Resi Agung Girinata ...... 169

4.6 Gajah Para bukanlah Suami Ken Endok ...... 172

4.7 Mulai Tumbuhnya Perasaan Suka (Perasaan Ken Endok terhadap

Gajah Para) ...... 178

4.8 Terjalinnya Cinta Terlarang (antara Ken Endok dan Gajah Para) 181

4.9 Peristiwa Keji di Pura Agung ...... 185

4.10 Kehamilan Ken Endok ...... 188

xviii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

4.11 Kebencian Ken Endok terhadap Gajah Para ...... 190

4.12 Arok bukanlah Putera Dewa ...... 192

4.13 Arok Berandal yang Baik ...... 194

4.14 Pertemuan Arok dan Umang Dikisahkan Lebih Awal ...... 198

4.15 Penokohan tentang Gagak Inget ...... 200

4.16 Penokohan Nyi Prenjak dan Anak Buahnya ...... 204

4.17 Umang Mencintai Arok ...... 206

4.18 Umang Istri Pertama Arok ...... 209

4.19 Sifat Congkak Mpu Gandring ...... 210

4.20 Prajurit Kadiri Membuat Rusuh Tumapel ...... 211

4.21 Pengkhianatan Kebo Ijo ...... 213

4.22 Rahasia Mpu Gandring Terungkap ...... 215

4.23 Kesetiaan Arok terhadap Tunggul Ametung ...... 219

4.24 Pertempuran Sengit Tumapel dengan Kadiri ...... 221

4.25 Gelagat Aneh Ken Dedes ...... 223

4.26 Terbunuhnya Mpu Gandring oleh Kebo Ijo ...... 226

4.27 Terbunuhnya Tunggul Ametung oleh Kebo Ijo ...... 230

4.28 Penolakan Arok Menggantikan Tunggul Ametung ...... 232

4.29 Dedes, Istri Kedua Arok ...... 235

4.30 Penyerangan Kadiri Kedua ...... 236

4.31 Arok Menyayangi Anusapati ...... 242

4.32 Misteri Kematian Ken Arok ...... 244

4.33 Rangkuman ...... 247

4.34 Tabel 1 ...... 257

xix PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

BAB V PENUTUP ...... 266

5.1 Kesimpulan ………………………………………………………. 266

5.2 Saran …………………………………………………………...... 270

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….. 272

BIODATA PENULIS ………………………………………………...... 275

xx PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sastra merupakan ungkapan spontan dari perasaan yang mendalam. Sastra adalah ekspresi pikiran dalam bahasa, sedangkan yang dimaksud “pikiran” adalah pandangan, ide-ide, perasaan, pikiran, dan semua kegiatan mental manusia. Karya sastra merupakan suatu ungkapan perasaan isi hati dan pikiran pengarang, apa yang dilihat, dirasakan, bahkan dialaminya. Karya sastra juga merupakan ekspresi atau pandangan kebudayaan

(Sumardjo, 1986:2).

Teeuw mengemukakan, bahwa sastra berasal dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengaruhkan, mengajarkan, memberi petunjuk, dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, secara leksikal sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik, seperti silpasastra (buku petunjuk arsitektur), kamasastra (buku petunjuk percintaan). Dalam perkembangan berikutnya, kata sastra sering dikombinasikan dengan awalan ‘su’, sehingga menjadi susastra yang berarti sebagai hasil ciptaan yang baik dan indah (Teeuw, 1958).

Menurut Wellek dan Warren (1990), sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. Sastra dibatasi hanya pada “mahakarya” (great books), yaitu buku-buku yang dianggap menonjol karena bentuk dan ekspresi sastranya. Sastra diterapkan pada seni sastra, yaitu dipandang sebagai karya imajinatif. Istilah “sastra imajinatif”

(imaginative literature) memiliki kaitan dengan istilah belles letters (“tulisan yang indah dan sopan”, berasal dari bahasa Prancis).

1 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Luxemburg dkk (1984), mengemukakan beberapa pengertian tentang sastra.

Pertama, sastra adalah sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan semata-mata sebuah imitasi.

Seorang sastrawan menciptakan dunia baru, meneruskan proses penciptaan di dalam semesta alam, bahkan menyempurnakannya. Kedua, sastra merupakan luapan emosi yang spontan. Ketiga, sastra menghidangkan sebuah sintesa antara hal-hal yang saling bertentangan. Pertentangan-pertentangan itu aneka rupa bentuknya. Ada pertentangan antara yang disadari dan tidak disadari, dan sebagainya. Keempat, sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan. Sastra mampu menghadirkan aneka macam asosiasi dan konotasi yang dalam bahasa sehari-hari jarang ditemui.

Selain itu, karya sastra merupakan suatu karya yang dihasilkan melalui proses kreatif pengarang. Dalam proses ini dibutuhkan suatu kreativitas dalam diri pengarang.

Kreativitas ini dapat bersumber pada imajinasi pengarang atau hasil observasi pengarang terhadap realitas yang dihadapinya. Hal ini juga dijelaskan oleh Sumardjo (1979:65) yang mengatakan karya sastra merupakan hasil pengamatan sastrawan terhadap kehidupan sekitarnya. Sardjono (1992:10) menambahkan bahwa novel sebagai salah satu genre sastra yang merupakan produk kehidupan yang banyak mengandung nilai-nilai sosial, politik, etika, religi, dan filsafat yang bertolak dari pengungkapan kembali fenomena kehidupan.

Selain berhubungan dengan masyarakat, karya sastra juga dapat bersumber dari peristiwa sejarah. Peristiwa sejarah yang merupakan motivasi seorang pengarang untuk menciptakan karya sastra. Menurut Kuntowijoyo (2006:171), objek karya sastra adalah realitas, apapun juga yang dimaksud dengan realitas oleh pengarang. Apabila realitas itu berupa peristiwa sejarah, maka karya sastra dapat: pertama, mencoba menerjemahkan

2 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

peristiwa sejarah itu dalam bahasa yang imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang. Kedua, karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarang untuk menyampaikan pikiran, perasaan, serta tanggapan mengenai suatu peristiwa sejarah. Ketiga, seperti juga karya sejarah, karya sastra dapat merupakan penciptaan kembali sebuah peristiwa sejarah sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang.

Sastra sejarah sebagai karya sastra mengandung unsur-unsur sejarah, dan novel sejarah, serta novel dengan unsur-unsur sejarah. Pendekatan sejarah paling tepat digunakan untuk meneliti sastra sejarah ataupun novel sejarah (Ratna, 2004:65). Seorang pengarang novel sejarah dapat menggunakan masa lampau yang luas untuk menolak atau mendukung suatu gambaran sejarah yang sudah ada. Hal ini dilakukan pula oleh Gamal

Komandoko, seorang pengarang novel sejarah yang mengangkat kisah Ken Arok dalam novelnya yang berjudul Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel. Novel tersebut adalah sebuah novel sejarah yang mengangkat kisah dan perjalanan hidup tokoh Ken Arok. Ken

Arok merupakan tokoh yang sangat fenomenal dalam kancah sejarah di tanah Jawa. Ia memang lelaki hebat yang dikaruniai kecerdasan dan keberanian memikat. Ia mampu memaksimalkan kelebihan-kelebihannya itu untuk menggapai cita-cita yang diinginkan.

Ken Arok tidak hanya menjungkalkan Tunggul Ametung dari jabatan Akuwu di

Tumapel, namun mampu pula meruntuhkan kewibawaan Sri Kretajaya, Sang Raja Kadiri.

Ia seakan menjungkirkan kemustahilan dalam pandangan manusia bahwa menjadi raja haruslah mereka yang berasal dari anak keturunan raja. Ken Arok memberikan contoh, meski siasat dan strategi yang dicontohkan kerap dinilai ‘kotor’ oleh sebagian pihak.

3 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko, menghadirkan sepak terjang seorang tokoh sejarah yang sangat fenomenal di negeri ini.

Dialah Ken Arok, pendiri Kerajaan Singasari. Kisahnya dimulai dari kelahirannya sebagai bayi buangan. Pergulatan batin pun terjadi pada diri Ken Endok (ibu kandung

Arok), saat membuangnya ketika masih bayi. Arok merupakan titisan Dewa , bahwa dari mulutnya memancarkan cahaya terang melebihi terangnya lampu. Ki

Lembong menemukan bayi tersebut di sebuah kuburan anak-anak. Setelah Arok tumbuh dewasa, pekerjaannya hanya bermain judi sehingga harta milik Ki Lembong habis terpakai untuk berjudi. Merasa bersalah, Arok pun melarikan diri dari kediaman rumah

Ki Lembong di dusun Lebak. Secara tidak sengaja, Arok bertemu dengan Bango

Samparan dan beliau mengangkatnya sebagai anak. Sepak terjang Arok tidak hanya sampai di situ, ia pun tidak sengaja bertemu dengan Tita (seorang anak Kepala Desa

Sagenggeng), kemudian mereka berdua bersahabat dan belajar bersama di perguruan tempat Bapa Tantripala. Setelah lulus, Bapa Tantripala menyuruh mereka menemui Dang

Hyang Lohgawe untuk berguru dengan beliau. Namun perintah Bapa Tantripala diabaikan begitu saja, hingga mereka memilih menjadi perampok yang paling ditakuti di seluruh Tumapel. Pada kesempatan yang tidak terduga-duga Arok bertemu dengan Mpu

Palot kemudian berguru padanya. Setelah berguru dengan Mpu Palot, kemudian beliau mempertemukan Arok dengan Dang Hyang Lohgawe. Akhirnya, Arok pun menjadi muridnya pula.

Selama proses belajar, tiba-tiba Dang Hyang Lohgawe menghadap Tunggul

Ametung untuk menawarkan dirinya dan Arok menjadi abdi istana. Awalnya, Sang

Akuwu sangat keberatan namun pada akhirnya, ia dapat menerima Arok sebagai prajurit

4 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Tumapel. Pesona Arok sungguh luar biasa, ia dapat mengambil hati Tunggul Ametung dan Sang Permaisuri, Ken Dedes. Diam-diam benih-benih cinta antara Arok dan Dedes mulai tumbuh. Pada kesempatan yang tidak terduga, Arok mendatangi Mpu Gandring untuk memesan sebuah keris pusaka. Dalam kisahnya ini, terjadi perbedaan cerita antara karya Gamal Komondoko dengan buku Tafsir Sejarah Nagarakretagama karya Slamet

Muljana. Disebutkan dalam karangan Gamal Komandoko, bahwa yang membunuh Mpu

Gandring dan Tunggul Ametung adalah Kebo Ijo, tidaklah Ken Arok. Dikisahkan, bahwa

Kebo Ijo mendapat tugas berat dari Baginda Kretajaya, untuk menyingkirkan Tunggul

Ametung yang telah berusaha mengkhianati Sang Raja Kadiri ini. Sebagai imbalannya, jika Kebo Ijo berhasil membunuh Sang Akuwu Tumapel, ia akan mendapatkan kekuasaan sebagai Adipati penguasa Tumapel dan menggantikan kedudukan Tunggul

Ametung. Kemudian dikisahkan pula, bahwa Mpu Gandring tewas ditangan Kebo Ijo sewaktu ia berusaha mengambil keris yang telah dipesan oleh Arok sebelumnya. Pada saat berada di kediaman Mpu Gandring, Kebo Ijo merebut paksa keris itu, lalu menusukkan keris tersebut pada dada Mpu Gandring hingga tewas mengenaskan.

Setelah kematian Tunggul Ametung, Arok berhasil menggantikan posisinya sebagai Akuwu karena pilihan dan dukungan dari rakyat Tumapel. Arok pun berhasil mempersunting Dedes sebagai istri, tentunya bersama Umang pula. Pada kesempatan yang ditunggu-tunggu, Arok beserta para pasukan berhasil mengalahkan Kerajaan Kadiri dan Raja Kretajaya pun melarikan diri. Setelah kemenangan itu, Arok dinobatkan menjadi raja serta mendirikan Kerajaan Singasari. Ia bergelar Sri Rajasa Batara Sang

Amurwabhumi. Arok memerintah kerajaannya dengan arif dan bijksana, serta disenangi para rakyat.

5 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama karya Slamet Muljana, cerita Ken Arok dikisahkan sesuai dengan kisah sejarah yang ada, yakni dengan beberapa penelitian yang dilakukan oleh beliau. Kisah-kisah yang berhasil ditelitinya mengacu pada kitab

Pararaton, pupuh Nagarakretagama, dan penemuan prasasti Mula-Malurung. Tafsir

Sejarah Nagarakretagama ini menghadirkan kehidupan Ken Arok ketika ia dilahirkan ke dunia tanpa seorang ayah kandung, keberadaan ayah kandungnya masih dianggap misterius. Konon, Bhatara Brahmalah yang selama ini menaruh benih pada rahim Ken

Ndok dan melarang Ken Ndok untuk berhubungan dengan Gajah Para. Saat bulannya tiba, Ken Ndok melahirkan bayi laki-laki yang segera dibuang di pekuburan, akibat rasa malu yang menderanya. Pada malam harinya, seorang pencuri bernama Lembong melewati pekuburan tersebut dan sangat tercengang melihat sinar berpancaran. Sinar itu didekatinya dan tampak padanya seorang bayi sedang menangis, kemudian ia membawa pulang bayi tersebut. Semenjak penemuan bayi misterius tersebut, tersiar kabar sampai ke pelosok desa hingga membuat Ken Ndok mengunjungi Ki Lembong untuk mengatakan, bahwa bayi tersebut adalah anaknya dan terlahir dari kekuasaan Bhatara Brahma, kemudian anak laki-laki itu diberi nama Ken Arok.

Ken Arok tinggal di desa Pangkur sampai dapat menggembalakan seekor kerbau, namun ia sangat suka berjudi. Harta kekayaan Ki Lembong habis diperjudikan, ketika ia disuruh mengembalakan kerbau milik kepala desa Lebak, kerbau itu pun dijual dan diperjudikan pula. Ki Lembong merasa kesal, akhirnya ia mengusir Ken Arok dari rumahnya. Di tengah perjalanan, ia tidak sengaja bertemu dengan Bango Samparan, si bandar judi dari desa Karuman. Arok selalu membawa keberuntungan bagi Bango

Samparan, sehingga beliau mengangkatnya sebagai anak pungut. Di Karuman, Ken Arok

6 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

merasa kesepian, karena ia tidak disukai oleh anak-anak Bango Samparan. Ia kemudian pergi dan bertemu dengan Tita, anak Ki Sahaja (kepala desa Siganggeng), dan belajar bersama dengan Ki Janggan. Selama belajar pada perguruan tempat Ki Janggan berada,

Arok menunjukkan aksi kenakalannya hingga ia pernah mendapat hukuman dari sang guru. Di saat malam hari, Ken Arok mendapat hukuman untuk tidur di luar di atas timbunan ilalang kering. Ketika Ki Janggan keluar sewaktu malam, beliau terkejut melihat sinar berpancaran dari timbunan ilalang. Ternyata sinar itu berasal dari Ken Arok yang sedang tertidur. Sejak saat itu, Ki Janggan percaya bahwa Ken Arok adalah titisan

Dewa Wisnu dan anak dari Dewa Brahma.

Setelah Ken Arok dan Tita menuntaskan belajarnya bersama Ki Janggan, mereka tidak jera menghentikan aksi kenakalannya. Mereka berani merampok dan memperkosa gadis di desa Kapundungan. Ken Arok menjadi terkenal karena selalu menganggu keamanan wilayah Tumapel dan menjadi buruan akuwu. Ia lari dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Tiap tempat yang didatanginya menjadi tidak aman, namun ia selalu berhasil lolos dari bahaya berkat perlindungan Bhatara Brahma. Tidak hanya itu, Ken

Arok pun pernah belajar pada Mpu Palot di Turyantapada, kemudian berguru pada

Brahmana Lohgawe yang sengaja datang dari India dengan hanya menumpang di atas helai daun kakatang. Beliau diutus oleh Bhatara Brahma untuk mencari orang bernama

Ken Arok di tempat perjudian. Bhatara Brahma berkata pada Lohgawe, bahwa Ken Arok adalah titisan Dewa Wisnu di suatu candi dan Sang Dewa telah menitis pada orang bernama Ken Arok yang berada di Pulau Jawa, sehingga Lohgawe ditugaskan untuk membimbingnya dan mengangkatnya menjadi murid.

7 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Sesampainya di Pulau Jawa, Brahmana Lohgawe segera menuju desa Taloka dan bertemu dengan Ken Arok. Setelah habis masa belajar, Ken Arok dibawanya menghadap akuwu Tumapel, bernama Tunggul Ametung. Brahmana Lohgawe menguraikan panjang lebar maksud kedatangannya serta menitipkan anak angkatnya, Ken Arok untuk diterima oleh Tunggul Ametung sebagai abdi istana. Selama menjadi pengawal sang akuwu, diam- diam Ken Arok menyimpan hati dan mengagumi kecantikan Ken Dedes yang maha dashyat. Pada saat Ken Arok mengawal Tunggul Ametung dan Ken Dedes untuk berjalan-jalan di taman Baboji, tidak sengaja kain yang dikenakan sang permaisuri terbuka dari betis hingga paha. Ken Arok sungguh takjub melihat sinar berpancaran dari

’kemaluan’ Ken Dedes. Sepulangnya dari taman, peristiwa itu diceritakan oleh Ken Arok kepada Mahaguru Lohgawe. Brahmana Lohgawe lalu memberitahukan tentang rahasia besar, bahwa “wanita yang rahasianya menyala, adalah wanita nareswari. Betapa pun nestapanya lelaki yang menikahinya, ia akan menjadi raja besar”. Mendengar ujaran itu,

Arok terdiam. Timbul niatnya untuk membunuh Tunggul Ametung, namun Brahmana

Lohgawe sangat tidak setuju.

Akhirnya Ken Arok menyusun siasat licik untuk membunuh Tunggul Ametung, kemudian merebut Ken Dedes untuk ia nikahi. Atas nasihat dari Bango Samparan, Ken

Arok diminta untuk menemui Mpu Gandring dan memesan sebuah keris sakti padanya.

Tanpa pikir panjang, Ken Arok memesan keris pusaka padanya, namun hanya diberi waktu lima bulan saja. Ketika tiba pada waktunya, Sang Mpu belum mampu memenuhi pesanan Ken Arok, karena sebenarnya waktu satu tahun adalah waktu yang tepat untuk menyelesaikan keris itu jadi dengan sempurna. Ken Arok yang tidak sabarkan diri, kemudian merebut keris tersebut lalu menancapkan pada perut Mpu Gandring. Sementara

8 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

itu, Mpu Gandring mengeluarkan sumpah serapahnya sebelum ia tewas. “Hei Arok!

Kamu dan anak cucumu sampai tujuh keturunan akan mati karena keris itu juga!”. Ken

Arok tidak memperdulikan ucapannya, lalu ia bergegas pergi meninggalkan jasad Mpu

Gandring. Setibanya di Tumapel, Ken Arok mempunyai sahabat karib, bernama Kebo

Hijo. Pada Kebo Hijo inilah, Ken Arok menunjukkan keris pusaka tersebut. Kebo Hijo langsung terpana melihatnya, kemudian ia memohon pada Arok untuk dipinjamkan sebentar saja. Kebo Hijo merasa bangga dan selalu memamerkan keris itu kepada orang- orang sambil mengaku-ngaku bahwa keris tersebut adalah miliknya. Tepat pada waktunya, siasat licik Ken Arok akan segera dilaksanakannya. Saat malam hari, keris

Mpu Gandring diambil oleh Ken Arok tanpa sepengetahuan Kebo Hijo, kemudian Ken

Arok masuk ke dalam istana dan langsung menuju tempat tidur Tunggul Ametung. Ken

Arok segera menikamnya hingga tewas. Pada pagi harinya, diketahui jika Tunggul

Ametung telah tewas dan keris Mpu Gandring masih tertancap pada dadanya. Kebo Hijo disergap oleh kerabat Tunggul Ametung, kemudian Ken Arok yang muncul bak pahlawan, segera membunuh Kebo Hijo menggunakan keris tersebut. Sepeninggalnya

Tunggul Ametung, Arok menggantikan posisinya menjadi Akuwu Tumapel, kemudian menikahi Ken Dedes.

Berdasarkan paparan di atas, penulis tertarik untuk mengangkat dan menganalisis alur novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko, kemudian peristiwa-peristiwa dalam alur novel tersebut akan dibandingkan dengan Tafsir Sejarah

Nagarakretagama karya Slamet Muljana. Setelah itu, penulis akan mencoba menemukan beberapa penyimpangan peristiwa yang ada dalam novel Ken Arok: Banjir Darah di

Tumapel. Pada penelitian ini pula, penulis akan menggunakan pendekatan historis.

9 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Menurut Ratna (2004:65-66), pendekatan historis pada umumnya lebih relevan dalam kerangka sejarah sastra tradisional, sejarah sastra dengan implikasi para pengarang, karya sastra, dan periode-periode tertentu, dengan objek karya-karya sastra individual. Dengan mempertimbangkan indikator sejarah dan sastra, maka beberapa masalah yang menjadi objek sasaran pendekatan historis, di antaranya sebagai berikut; (1) fungsi dan tujuan karya sastra pada saat diterbitkan. (2) kedudukan pengarang pada saat menulis.

Pada bab kedua, penulis akan menganalisis penelitian ini dengan menggunakan analisis struktural. Analisis struktural karya sastra dalam hal fiksi ini, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi serta hubungan antar unsur instrinsik fiksi yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasikan dan dideskripsikan, misalnya, bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, alur atau plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Setelah dijelaskan bagaimana fungsi masing-masing unsur itu dalam menunjang makna keseluruhannya, dan bagaimana hubungan antar unsur itu sehingga secara bersama membentuk sebuah totalitas dan kemaknaan yang terpadu

(Nurgiyantoro, 2007:37). Dalam penelitian ini, penulis hanya membahas unsur alur yang terkait dengan pengisahan Ken Arok dalam novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko. Selain itu, penulis juga akan memaparkan rangkaian kisah

Ken Arok sampai Kertanagara dalam buku Tafsir Sejarah Nagarakretagama karya

Slamet Muljana pada bab ketiga.

10 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dibahas, maka peneliti akan memfokuskan permasalahan yang akan dibahas dalam rumusan masalah ini, yakni sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimanakah unsur alur yang terdapat dalam novel Ken Arok: Banjir

Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko?

1.2.2 Bagaimanakah kisah Ken Arok sampai Kertanagara dalam buku Tafsir

Sejarah Nagarakretagama karya Slamet Muljana?

1.2.3 Apa sajakah penyimpangan peristiwa sejarah yang terdapat dalam novel

Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko, kemudian

membandingkannya dengan Tafsir Sejarah Nagarakretagama karya

Slamet Muljana?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan :

1.3.1 Menunjukkan dan mendeskripsikan bagaimana unsur alur pada novel Ken

Arok: Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko.

1.3.2 Menunjukkan dan mendeskripsikan bagaimanakah kisah Ken Arok sampai

Kertanagara dalam buku Tafsir Sejarah Nagarakretagama karya Slamet

Muljana.

1.3.3 Menunjukkan dan mendeskripsikan apa sajakah penyimpangan peristiwa

sejarah yang terdapat dalam novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel

karya Gamal Komandoko, kemudian membandingkannya dengan Tafsir

Sejarah Nagarakretagama karya Slamet Muljana.

11 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini memiliki beberapa manfaat, antara lain :

1.4.1 Manfaat Teoritis

1.4.1.1 Melengkapi perkembangan khazanah sastra Indonesia dalam hal

penelitian sastra, khususnya menganalisis novel-novel sejarah yang

berkaitan dengan sejarah masa lalu.

1.4.2 Manfaat Praktis

1.4.2.1 Penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan apresiasi

kesusastraan Indonesia, khususnya pada novel sejarah Ken Arok:

Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko.

1.4.2.2 Memperkenalkan sosok Ken Arok dan menyajikan kisah

kehidupan Ken Arok dalam novel sejarah tersebut.

1.4.2.3 Penelitian ini diharapkan dapat menjadi motivasi bagi pembaca

sastra untuk mengingatkan kembali akan kejadian sejarah

kerajaan masa lampau.

1.4.2.4 Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bagian dari studi

sejarah, khususnya sejarah yang terjadi pada masa Kerajaan

Singasari.

12 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

1.5 Tinjauan Pustaka

Pada tinjauan pustaka, sejauh pengamatan peneliti, belum ditemukan peneliti lain yang mengkaji dan menganalisis secara khusus novel Ken Arok: Banjir Darah di

Tumapel karya Gamal Komandoko dalam bentuk penelitian ilmiah. Hal ini dapat dimaklumi karena novel tersebut terbit pada tahun 2008. Namun, peneliti berhasil menemukan sebuah tulisan sederhana dari majalah Gong, (majalah seni budaya) edisi

115/X/2009 melalui www.google.com mengenai novel Ken Arok: Banjir Darah di

Tumapel karya Gamal Komandoko. Berikut ini adalah ulasannya.

Kisah Ken Arok, sesak dengan kisah-kisah yang dramatis dan kompleks. Ken Arok adalah gambaran lelaki hebat, cerdas, dan pemberani. Ia yang bukan keturunan raja tidak hanya berhasil menjungkalkan Tunggul Ametung, namun mampu pula meruntuhkan kedigdayaan Sang Raja Diraja Kadiri, Sri Kretajaya. Siasat politik yang dibangun dan ditempuhnya dalam beberapa aspek tampak kotor dan licik. Namun, dalam beberapa sisi kehidupan yang lain, terlihatlah bahwa Ken Arok tetap sosok yang menawan. Novel sejarah ini membabar dengan apik dan liris peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan Ken Arok, dari kisahnya sebagai cah angon berandalan, kondisi politik di saat ia bertumbuh hingga merebut kekuasaan, dan kisah cintanya yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari “ambisi” kekuasaan itu sendiri. “Kini tidak ada yang dapat menghentikanku -si anak desa- untuk memiliki Dedes dan menguasai tanah Jawa. Sebuah ambisi yang telah menjadi kutukan mendarah-daging dan akan terus kalian saksikan pada “raja-raja” Jawa berabad-abad lamanya setelah masaku.” Demikian kata Ken Arok dalam novel karya Gamal Kamandoko ini (www.gong.tikar.or.id/?mn=infobuku&kd=1 –Tembolok-Nimp).

13 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

1.6 Landasan Teori

Pada landasan teori ini, peneliti akan menggunakan tentang teori analisis

struktural, pengertian arti penyimpangan, dan sejarah. Dalam analisis struktural peneliti

akan membahas pula pengertian tentang alur.

1.6.1 Analisis Struktural

Analisis struktural karya sastra dalam hal fiksi ini, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi serta hubungan antar unsur instrinsik fiksi yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasikan dan dideskripsikan, misalnya, bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, alur atau plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Setelah dijelaskan bagaimana fungsi masing-masing unsur itu dalam menunjang makna keseluruhannya, dan bagaimana hubungan antar unsur itu sehingga secara bersama membentuk sebuah totalitas dan kemaknaan yang terpadu

(Nurgiyantoro, 2007:37). Pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah keseluruhan. Analisis struktural tidak cukup dilakukan hanya sekedar mendata unsur tertentu sebuah karya fiksi, misalnya peristiwa, plot, tokoh, latar, atau yang lain (Nurgiyantoro, 2007:37).

. Mursal Esten (1990:18) menambahkan, bahwa teori struktural merupakan sebuah pendekatan yang mengkaji unsur-unsur pembangun karya sastra. Struktur karya sastra terdiri atas unsur instrinsik dan ekstrinsik. Unsur instrinsik karya sastra meliputi tema, alur, latar, tokoh dan penokohan, serta gaya. Faktor politik, ekonomi, sosial, dan psikologi merupakan unsur-unsur ekstrinsik dalam karya sastra. Pada teori struktural ini, suatu

14 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

percobaan interpretasi karya sastra tidak dapat dimulai tanpa memahami bagian-bagiannya

(unsur instrinsik).

1.6.1.1 Alur

Plot atau alur merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang

yang menganggapnya sebagai yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi yang lain

(Nurgiyantoro, 2007:110). Pada tahapan alur, terdapat lima unsur alur yang meliputi: (1)

tahap penyituasian (situation), (2) tahap pemunculan konflik (generating circumstances),

(3) tahap peningkatan konflik (rising action), (4) tahap klimaks (climax), (5) tahap

penyelesaian (denouement) (Nurgiyantoro, 2007:l49).

Tahap penyituasian adalah tahap yang berisi pelukisan dan pengenalan situasi

latar serta tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian

informasi awal, terutama berfungsi untuk melandas tumpui cerita yang dikisahkan pada

tahap berikutnya (Nurgiyantoro, 2007:149). Tahap pemunculan konflik adalah tahap

yang berisi masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik

dan kemudian mulai dimunculkan. Tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik,

dan konflik itu sendiri akan berkembang atau dikembangkan menjadi konflik-konflik

pada tahap berikutnya. Pada tahap pembagian ini, tampaknya, berkesesuaian dengan

tahap awal pada penahapan seperti yang dikemukakan sebelumnya (Nurgiyantoro,

2007:149). Tahap peningkatan konflik adalah tahap yang berisi konflik-konflik yang

telah dimunculkan pada tahap sebelumnya, kemudian semakin berkembang dan

dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita

semakin mencengkam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi, baik internal,

15 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antar kepentingan, masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari (Nurgiyantoro, 2007:149-150). Tahap klimaks adalah tahap yang berisi konflik atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama.

Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks, atau paling tidak dapat ditafsirkan demikian (Nurgiyantoro, 2007:150). Tahap penyelesaian merupakan tahap dimana konflik telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, sub-sub konflik, atau konflik-konflik tambahan juga diberi jalan keluar, dan cerita diakhiri. Tahap ini berkesuaian dengan tahap akhir di atas (Nurgiyantoro, 2007:150).

Stanton dalam Nurgiyantoro (1965:14) mengemukakan, bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Kenny dalam Nurgiyantoro (1966:14) menyimpulkan plot sebagai peristiwa- peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat. Aminuddin menambahkan bahwa alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Istilah alur dalam hal ini sama dengan istilah plot maupun struktur cerita

(Aminuddin, 1991:83). Namun, dalam pengertian lain yang lebih khusus, plot sebuah cerita tidaklah hanya sekedar rangkaian peristiwa yang termuat dalam topik-topik

16 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

tertentu, melainkan mencakup beberapa faktor penyebab terjadinya peristiwa (Fananie,

2002:93).

Dalam penelitian ini, akan di bagi tahapan alur yang meliputi: tahap penyituasian, tahap pemunculan konflik, tahap peningkatan konflik, tahap peningkatan konflik, dan tahap klimaks. Tahapan alur tersebut digunakan dengan tujuan untuk menunjukkan peristiwa-peristiwa sejarah yang disusun secara kausalitas. Pada bagian selanjutnya, peristiwa-peristiwa tersebut diperbandingkan dengan peristiwa sejarah yang terdapat dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama.

1.6.2 Penyimpangan

Arti penyimpangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yakni: (1) proses, cara, perbuatan menyimpang atau menyimpangkan, (2) tidak menurut apa yang sudah ditentukan; tidak sesuai dengan rencana, dsb, (3) menyalahi (kebiasaan, dsb): tindakannya ~ dari adat di negeri itu, (4) menyeleweng (dari hukum, kebenaran, agama, dsb): ajarannya ~ jauh dari agama, (5) sesuatu yang memisah (membelok, bercabang, melencong, dsb), dari yang lurus (induknya) (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1990:841). Menurut Poerwadarminta, penyimpangan berarti hal (perbuatan, dsb), menyimpang atau menyimpangkan (Poerwadarminta, 1961:888).

Marhijanto mengatakan, bahwa menyimpang atau penyimpangan adalah sesuatu yang menyerong dari jalur, membelok, dan mencabang (Marhijanto, 1995:520).

17 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

1.6.3 Sejarah

Kata “sejarah” berasal dari bahasa Arab yaitu syajaratun yang berarti pohon.

Menurut bahasa Arab, sejarah sama artinya dengan sebuah pohon yang terus berkembang dan tumbuh, mulai dari bibit yang kemudian tumbuh menjadi sebuah pohon yang sangat kompleks, dan setiap bagiannya mempunyai cerita tentang proses tumbuhnya masing- masing (Taupan, 2007:3). Sejarah ialah cerita tentang raja-raja atau orang-orang besar yang betul-betul pernah ada. Pada mulanya menceritakan peristiwa-peristiwa yang penting dalam istana, kejadian-kejadian dalam negara yang berhubungan dengan kehidupan raja atau orang besar itu. Kejadian-kejadian itu disebutkan dengan jelas tentang waktu dan tempatnya (Subalidinata, 1979:9). Notosusanto menyebutkan, bahwa

“sejarah” itu sendiri berasal dari kata Arab, yakni sjadjarah yang berarti pohon. Dalam hal ini, pengertian sjadjarah sama dengan apa yang kini di Indonesia disebut silsilah, yakni daftar asal-usul atau daftar keturunan. Silsilah jika digambarkan secara sistematis, rupanya seperti pohon dengan cabang-cabang serta ranting-rantingnya (Notosusanto,

1964:9). Dalam bahasa Inggris, kata sejarah disebut history yang merupakan terjemahan dari bahasa Yunani yaitu histories yang bermakna suatu penyelidikan atau pengkajian.

Kedua kata itu mengandung makna sesuatu yang terjadi pada masa lampau kehidupan manusia. Oleh karena itu, sejarah dan manusia tidak dapat dipisahkan. Keduanya terus berkembang secara beriringan, mulai dari kehidupan manusia yang paling sederhana sampai ke tingkat modern, bahkan tingkatan yang lebih maju (Taupan, 2007:3).

Taupan menyebutkan kembali, bahwa Herodotus, seorang penulis sejarah pada zaman Yunani Kuno, mengatakan bahwa sejarah adalah satu kajian untuk menceritakan satu kitaran jatuh bangunnya seorang tokoh, masyarakat, dan peradaban. Aristoteles

18 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

mengungkapkan, bahwa sejarah merupakan satu sistem yang mengira kejadian tersusun dalam bentuk kronologi dan semua peristiwa masa lalu mempunyai catatan dan bukti- bukti yang kuat. Menurut Ibnu Khaldun, pengertian sejarah yakni catatan tentang masyarakat umat manusia atau peradaban dunia dan tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada watak masyarakat itu. R.Moh.Ali juga mengemukakan bahwa sejarah adalah;

(1) perubahan-perubahan, kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa dalam kenyataan sekitar kita, (2) sejarah ialah cerita tentang perubahan-perubahan, dan peristiwa yang merupakan realitas, (3) sejarah adalah ilmu yang bertugas menyelidiki perubahan- perubahan, kejadian-kejadian dan peristiwa yang merupakan realitas tersebut, sedangkan menurut R.G.Collingwood, sejarah yakni sejenis bentuk penelitian atau suatu penyiasatan tentang perkara-perkara yang telah dilakukan oleh manusia pada masa lampau (Taupan,

2007: 3-5). Setelah mengetahui pengertian dari penyimpangan dan sejarah, dapat dipetik kesimpulan bahwa pengertian penyimpangan sejarah adalah suatu kisah yang menyimpang dari alur kisah sejarah, atau, tidak sesuai dengan apa yang terjadi pada masa lampau.

1.7 Metode Penelitian

Pada bagian ini akan dikemukakan mengenai pendekatan dan metode.

1.7.1 Pendekatan Historis

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan historis.

Pendekatan historis mengkaji dan mempertimbangkan historisitas karya sastra yang diteliti. Pendekatan historis paling tepat digunakan untuk meneliti sastra sejarah dan novel sejarah. Pendekatan historis menelusuri arti dan makna bahasa sebagaimana yang

19 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

sudah tertulis, dipahami pada saat ditulis oleh pengarang yang benar-benar menulis.

Pendekatan historis sangat menonjol pada abad ke-19, dengan konsekuensi karya sastra sebagai sarana untuk memahami aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas. Dalam hubungan inilah pendekatan historis pada umumnya dikaitkan dengan kompetensi sejarah umum yang dianggap relevan dan sastra lama dengan kerajaan-kerajaan besar. Hakikat karya sastra adalah imajinasi tetapi imajinasi memiliki konteks sosial dan sejarah.

Pendekatan historis pada umumnya lebih relevan dalam kerangka sejarah sastra tradisional, sejarah sastra dengan implikasi para pengarang, karya sastra, dan periode- periode tertentu, dengan objek karya-karya sastra individual. Dengan mempertimbangkan indikator sejarah dan sastra, maka beberapa masalah yang menjadi objek sasaran pendekatan historis (Ratna, 2004: 65-66).

1.7.2. Metode Penelitian

Metode berasal dari bahasa Yunani, yakni meta yang berarti ‘dari’ atau ‘sesudah’ dan hodos, yang berarti ‘perjalanan’. Kedua istilah tersebut dipahami sebagai perjalanan atau mengejar suatu tujuan (Basuki, 2006:92). Metode dapat didefinisikan sebagai cara yang teratur dan terpikir baik untuk mencapai maksud atau juga cara kerja sistematis untuk memudahkan pelaksanaan sebuah kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan

(Basuki, 2006:93).

Ratna mengungkapkan, bahwa metode berasal dari kata methodos, bahasa Latin, sedangkan methodos itu sendiri berasal dari kata meta dan hodos. Meta berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah, sedangkan hodos berarti jalan, cara, arah. Dalam pengertian yang lebih luas metode dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas,

20 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya.

Sebagai alat, sama dengan teori, metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami (Ratna, 2004:34).

Metode-metode tersebut terdiri lagi atas tahapan-tahapan berupa metode dan teknik, yang meliputi: (1) metode dan teknik pengumpulan data; (2) metode dan teknik analisis data; (3) metode dan penyajian hasil analisis data. Tahapan-tahapan tersebut akan menjadi acuan dan sangat membantu penulis dalam mengangkat skripsi ini.

1.7.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan penelitian studi pustaka, maksudnya data-data tersebut diperoleh dari buku-buku yang sangat berkaitan dengan permasalahan penelitian. Data-data itu kemudian diklasifikasikan dan dikaji berdasarkan kriteria rumusan masalah hingga menemukan jawaban permasalahan.

Dalam teknik ini juga digunakan teknik simak dan teknik catat. Teknik simak digunakan untuk menyimak teks sastra yang telah dipilih sebagai bahan penelitian.

Teknik catat digunakan untuk mencatat hal-hal yang dianggap sesuai dan mendukung penulis dalam memecahkan rumusan masalah. Teknik catat merupakan tindak lanjut dari teknik simak (Sudaryanto, 1993: 133-135).

21 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

1.7.4 Sumber Data

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan dua sumber data, berupa sebuah novel sejarah dan buku pengetahuan sejarah, yakni:

1.7.4.1 Judul Novel : Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel

Pengarang : Gamal Komandoko

Tahun Terbit : 2008

Cetakan : Pertama

Penerbit : Narasi

Kota Terbit : Yogyakarta

Halaman : 334 halaman

1.7.4.2 Judul Buku : Tafsir Sejarah Nagarakretagama

Pengarang : Slamet Muljana

Tahun Terbit : 2008

Cetakan : Ketiga

Penerbit : LKiS Pelangi Aksara

Kota Terbit : Yogyakarta

Halaman : 456 halaman

22 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

1.7.5 Metode dan Teknik Analisis Data

Dalam metode dan teknik analisis data, penulis akan menggunakan metode analisis data berupa analisis data komparatif (perbandingan) dan analisis isi. Berikut ini adalah pembahasannya.

1.7.5.1 Metode Komparatif

Menyinggung arti dari komparatif, bahwa komparatif berkenaan atau berdasarkan dengan perbandingan (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan

Bahasa, 1991:516). Perbandingan di sini bertujuan untuk membandingkan karya sastra berupa novel sejarah dengan buku sejarah yang mengangkat tentang peristiwa sejarah.

Pada metode komparatif, penulis menggunakan perbandingan sastra dengan sejarah.

Sastra di sini menggunakan sebuah novel sejarah yang mengangkat alur cerita dalam novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel, sedangkan sejarah berhubungan dengan peristiwa sejarah masa lalu yang telah tertulis dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama.

Luxemburg dkk (1989:212) mengatakan bahwa ilmu sastra perbandingan meneliti sastra dalam kerangka sejarah. Ilmu ini mempelajari gejala-gejala sastra kongkret yang kait- mengkait dalam perkembangan sejarah.

Bagi karya sastra yang menggunakan peristiwa sejarah sebagai bahan baku, mempunyai ketentuan-ketentuan di samping kebebasannya. Novel sejarah yang secara sengaja menggunakan peristiwa sejarah sebagai bahan, mempunyai ikatan kepada historical truth, sekalipun kebenaran sejarah itu bersifat relatif. Pengarang novel sejarah dapat menggunakan masa lampau yang luas untuk menolak atau mendukung gambaran sejarah yang sudah mapan (Kuntowijoyo, 2006:178).

23 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Objek karya sastra adalah realitas, apapun juga yang dimaksud dengan realitas oleh pengarang. Apabila realitas itu berupa peristiwa sejarah, maka karya sastra dapat: pertama, mencoba menerjemahkan peristiwa sejarah itu dalam bahasa yang imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang. Kedua, karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarang untuk menyampaikan pikiran, perasaan, serta tanggapan mengenai suatu peristiwa sejarah.

Ketiga, seperti juga karya sejarah, karya sastra dapat merupakan penciptaan kembali sebuah peristiwa sejarah sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang.

Dalam karya sastra, yang menjadikan peristiwa sejarah sebagai bahan, ketiga peranan simbol itu dapat menjadi satu. Perbedaan masing-masing hanya dalam kadar campur tangan dan motivasi pengarangnya (Kuntowijoyo, 2006:171).

Berdasarkan paparan di atas, maka penulis akan menuliskan perbandingan alur sejarah yang terdapat dalam novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel karya Gamal

Komandoko, kemudian dibandingkan dengan Tafsir Sejarah Nagarakretagama karya

Slamet Muljana. Penulis juga akan membuatkan tabel perbandingan, berupa tabel 1 yang berisi perbandingan peristiwa sejarah dalam novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel, dengan Tafsir Sejarah Nagarakretagama karya Slamet Muljana, yang bersumber pada pupuh Nagarakretagama, Pararaton, prasasti Mula-Malurung, kidung Harsawijaya, kidung Panji Wijayakrama, dan prasasti Pananggungan pada kejayaan Dinasti Ken Arok

(Sang Amurwabhumi), Anusapati, Panji Tohjaya, Wisnuwardhana, serta Kertanagara.

Kemudian, pada tabel 2 berupa penyimpangan peristiwa sejarah dalam novel Ken Arok:

Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko dibandingkan dengan Tafsir Sejarah

Nagarakretagama karya Slamet Muljana.

24 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

1.7.5.2 Metode Analisis Isi

Metode analisis isi merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengkaji isi

dari suatu hal. Contohnya, pada karya sastra, yang dianalisis adalah isi karya tersebut

secara utuh dan pesan-pesan yang ada dengan sendirinya sesuai dengan hakikat sastra. Isi

dalam metode analisis terdiri atas dua macam, yakni isi laten dan isi komunikasi. Isi laten

ialah isi yang terkandung dalam dokumen dan naskah, sedangkan isi komunikasi yaitu

pesan yang terkandung sebagai akibat komunikasi yang terjadi. Isi laten di sini

merupakan isi sebagaimana dimaksudkan oleh penulis, sedangkan isi komunikasi

merupakan isi sebagaimana terwujud dalam hubungan naskah dengan konsumen. Objek

formal metode analisis ini adalah isi komunikasi. Analisis terhadap isi laten akan

menghasilkan arti, sedangkan analisis terhadap isi komunikasi akan menghasilkan makna

(Ratna, 2004: 48-49).

Dasar pelaksanaan metode analisis isi adalah penafsiran. Dasar penafsiran dalam analisis isi adalah menitikberatkan pada isi dan pesan. Oleh karena itu, metode isi dilakukan dalam dokumen-dokumen yang padat isi. Pada penelitian ini, penulis akan menggunakan metode analisis isi yang menganalisis isi laten dari sebuah naskah atau tulisan. Dalam hal ini, penulis akan memfokuskan penelitian isi yang terkandung dalam sebuah naskah tanpa melihat isi komunikasi dari naskah tersebut, karena isi komunikasi hanya menitikberatkan pada pesan yang diterima oleh pembaca, sedangkan isi laten lebih memfokuskan pada penafsiran karya sastra.

Data-data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan tujuan memaparkan secara tepat, sebagaimana unsur alur yang terdapat dalam novel Ken Arok: Banjir Darah di

Tumapel karya Gamal Komandoko dan menunjukkan kisah Ken Arok sampai Kertanagara

25 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

dalam buku Tafsir Sejarah Nagarakretagama karya Slamet Muljana. Kemudian, dua kisah tersebut dibandingkan dan peneliti akan menemukan penyimpangan peristiwa sejarah yang terdapat dalam novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko.

Adapun langkah-langkah yang akan dikaji oleh penulis, yakni sebagai berikut; pertama, menganalisis unsur alur yang terdapat dalam novel Ken Arok: Banjir Darah di

Tumapel karya Gamal Komandoko. Kedua, menunjukkan kisah Ken Arok sampai

Kertanagara dalam buku Tafsir Sejarah Nagarakretagama karya Slamet Muljana. Ketiga, menemukan dan menganalisis penyimpangan peristiwa sejarah dalam novel Ken Arok:

Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko, kemudian membandingkannya dengan

Tafsir Sejarah Nagarakretagama karya Slamet Muljana.

1.7.6 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Pada metode penyajian analisis data berikut ini, penulis menggunakan metode deskriptif analisis sebagai bahan kajiannya. Ratna (2004:53), mengungkapkan bahwa metode deskriptif dilakukan dengan cara mendeskriptifkan fakta-fakta yang disusul dengan analisis. Secara etomologis deskriptif dan analisis berarti menguraikan. Analisis berasal dari bahasa Yunani, analyein (‘ana’ = atas, ‘lyein’ = lepas, urai), berarti telah memberikan arti tambahan, tidak semata-mata menguraikan melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya. Pemahaman dan penjelasan di sini bertujuan untuk memahami isi teks sastra sekaligus memberikan penjelasan tentang penelitian yang dikaji oleh penulis.

Dalam penelitian ini, peneliti akan mendeskripsikan; (1) bagaimana unsur alur yang terdapat dalam novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko; (2) bagaimana kisah Ken Arok sampai Kertanagara dalam buku Tafsir Sejarah

26 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Nagarakretagama karya Slamet Muljana; (3) apa sajakah penyimpangan peristiwa sejarah yang terdapat dalam novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko, kemudian membandingkannya dengan Tafsir Sejarah Nagarakretagama karya Slamet

Muljana dengan cara mencatat, kemudian menganalisis dan menginterpretasikan data dengan diteliti.

1.8 Sistematika Penyajian

Pada sistematika penyajian, penelitian ini akan disajikan dalam lima bab. Bab

pertama, yakni pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, dan metode penelitian.

Pada bab kedua, penelitian ini akan menyajikan unsur alur yang terdapat dalam novel

Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko. Bab ketiga, peneliti akan

menyajikan kisah Ken Arok sampai Kertanagara dalam buku Tafsir Sejarah

Nagarakretagama karya Slamet Muljana. Pada bab keempat, peneliti akan menganalisis

dan menunjukkan penyimpangan peristiwa sejarah yang terdapat dalam novel Ken Arok:

Banjir Darah di Tumapel, kemudian peneliti akan membandingkannya dengan Tafsir

Sejarah Nagarakretagama. Bab kelima, yakni penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

Bagian terakhir berisi daftar pustaka serta biodata penulis.

27 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

BAB II

ANALISIS ALUR

NOVEL KEN AROK: BANJIR DARAH DI TUMAPEL

KARYA GAMAL KOMANDOKO

Dalam analisis bab kedua ini, penulis akan menganalisis unsur instrinsik yang lebih memfokuskan analisis alur yang terdapat dalam novel Ken Arok: Banjir Darah di

Tumapel.Alur di sini sangat berkaitan erat untuk mengangkat dan mengingatkan kembali pada sejarah masa lampau, khususnya pergolakan seorang Ken Arok terutama dalam menggantikan kedudukan Tunggul Ametung di Tumapel, memperistrikan Ken Dedes, berperang melawan Kadiri, dan berhasil menghancurkan Istana Sri Maharaja Kretajaya di

Kadiri, sampai dapat mendirikan kerajaan Singasari di tanah Jawa pada tahun 1222, kemudian bergelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi.

Ken Arok memang seorang tokoh yang sangat fenomenal dalam kancah sejarah di tanah Jawa. Ia memang lelaki hebat yang dikaruniai kecerdasan dan keberanian memikat.

Ia mampu memaksimalkan kelebihan-kelebihannya itu untuk menggapai cita-cita yang diinginkan. Ken Arok tidak hanya menjungkalkan Tunggul Ametung dari jabatan akuwu di Tumapel, namun dapat pula meruntuhkan kewibawaan Sri Kretajaya, Sang Raja

Kadiri. Ia seakan menjungkirkan kemustahilan dalam pandangan manusia bahwa menjadi raja haruslah mereka yang berasal dari anak keturunan raja. Ken Arok memberikan contoh, meski siasat dan strategi yang dicontohkan kerap dinilai ‘kotor’ oleh sebagian pihak. Tidak hanya itu, ia pun telah mengklaim bahwa dirinya merupakan anak dari

Dewa Brahma dan titisan Dewa Wisnu. Pancaran sinar terang dapat terpancar dari

28 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

tubuhnya, serta rajah telapak tangan kanannya berbentuk cakra, dan rajah telapak kirinya bertanda tutup kerap. Hal inilah yang membuktikan bahwa Ken Arok adalah sesosok pria yang luar biasa.

Dalam penelitian alur ini, penulis akan memfokuskan pada peristiwa-peristiwa penting dalam urutan waktu, latar dan pengenalan tokoh yang membentuk alur cerita Ken

Arok: Banjir Darah di Tumapel. Tahapan alur yang digunakan dalam kajian ini, menggunakan lima tahapan alur, yaitu: (1) tahap penyituasian (situation), (2) tahap pemunculan konflik (generating circumstances), (3) tahap peningkatan konflik (rising action), (4) tahap klimaks (climax), (5) tahap penyelesaian (denouement) (Nurgiyantoro,

2007:l49). Berikut di bawah ini adalah uraian lima tahapan unsur alur dalam novel Ken

Arok: Banjir Darah di Tumapel.

2.1 Tahap Penyituasian (Situation)

Tahap penyituasian adalah tahap yang berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar serta tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, terutama berfungsi untuk melandas tumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya (Nurgiyantoro, 2007:149). Tahap penyituasian dalam novel Ken Arok:

Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko adalah tahap awal pada penelitian ini. Dalam penelitian ini, peneliti akan menganalisis dan menunjukkan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita serta informasi awal yang melandasi cerita, kemudian akan dikisahkan pada tahap selanjutnya. Tahap penyituasian dalam novel Ken Arok: Banjir

Darah di Tumapel adalah sebagai berikut.

29 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Dalam sub judul Tumapel, alur di mulai pada tahun 1188, ketika zaman pemerintahan kerajaan Sri Maharaja Kretajaya yang berpusat di Kadiri sangat berkuasa.

Pada situasi tersebut, bahwa kekuasaan dan keserakahan Baginda Kretajaya begitu dibenci oleh rakyat, terutama penduduk Tumapel, Janggala, dan sekitarnya. Begitu sengsara dan menderitanya mereka yang terlahir jauh dari panggung kekuasaan, menjadi rakyat jelata yang hanya memperoleh rempah-rempah kecil dari hasil terperasnya keringat mereka. Sementara itu, Raja Kretajaya dan sanak kerabat serta sahabat dekatnya, dapat menikmati sepuasnya isi lumbung di Kadiri. Mereka bebas mengeruk isi lumbung negara untuk memuaskan hawa nafsu pribadi. Rakyat Tumapel hanya bisa terdiam, tidak berkutik. Tidak hanya kaum paria, sudra dan waisya, kaum brahmana pun sama-sama terdiam. Semuanya seolah ingin lebih lama dapat menghirup udara segar di marcapada dan sebisa mungkin menghindari kepala mereka terpisah dari badan, mengingat hanya kematian yang disediakan Raja Kretajaya bagi siapa pun yang menantangnya. Hidup berfoya-foya, menghambur-hamburkan lumbung-lumbung negara untuk kenikmatan pribadi, itulah perilaku Kretajaya, si Dandhang Gendhis tersebut (Komandoko, hlm 4-5).

Suatu ketika, Sri Maharaja Kretajaya terdiam dan bermuka tegang, dari pasukan sandhi telik yang disebarkannya, sang raja mendapat berita, bahwa ada gerakan-gerakan yang mencoba menggoyangkan kekuasaannya. Ada orang-orang tertentu di wilayah

Tumapel, Janggala dan pinggiran sungai Kali Berantas yang mulai menebar ketidaksenangan kepadanya dan mencoba ingin menjatuhkan kewibawaan sang raja.

Orang-orang kepercayaan Baginda Kretajaya kemudian dipanggil untuk mendiskusikan tentang suatu rencana. Pertama, Mpu Tanakung (Pandhita Agung Kadiri); kedua, Mahisa

Walungan (Senopati Perang Agung Kadiri sekaligus adik kandung Sri Kretajaya); ketiga,

30 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Gubar Baleman (Panglima Perang Kadiri); keempat, Arya Pulung atau Tunggul Ametung

(Perwira Kadiri, tangan kanan Kretajaya); kelima, Kebo Ijo (Perwira Kadiri, tangan kanan Tunggul Ametung) (Komandoko, hlm 6). Setelah semuanya berkumpul, suasana balairung Istana Kadiri hening sejenak. Mendadak Baginda Kretajaya berujar dan mengagetkan siapa pun yang menghadapnya. Berikut ini adalah kutipan percakapannya.

(1) “Apakah Kretajaya telah dianggap tak lagi pantas duduk di atas singgasana ini?” (Komandoko, hlm 7). (2) “Yang Mulia”, ujar Mpu Tanakung. “Tidak ada yang berpendapat seperti itu, Yang Mulia Sri Baginda Raja! Paduka Yang Mulia adalah penguasa sah atas takhta Kadiri. Singgasana itu tempat duduk sah Paduka Yang Mulia. Hanya Paduka Yang Mulia saja yang pantas mendudukinya. Hanya bahu Yang Mulia saja yang pantas menyangga Garuda-Mukha!” (Komandoko, hlm 7). (3) “Jadi, kemana saja bola mata kalian selama ini menatap?” suara Kretajaya tinggi menghentak. “Tertutup abu tebal muntahan gunung Kelud kah pandangan kalian hingga tak menyadari kondisi nyata rakyat Kadiri? Kalian digaji tinggi, mendapatkan kedudukan tinggi di Kadiri, semua itu untuk menjaga dan mempertahankan keutuhan Kadiri. Mengabdi pada Kadiri! Meluaskan kejayaan, keagungan, dan kebesaran Kadiri hingga segenap sembah dan bakti hanya tertuju pada Kadiri!” (Komandoko, hlm 9). (4) “Arya Pulung!”, Baginda Kretajaya kembali berucap. Kukira engkau tak cukup bebal untuk bisa memahami apa yang tengah kita perbincangkan kali ini. Maka, kuperintahkan engkau menuju Tumapel!” titah Kretajaya tiba-tiba. “Pulung! Tegakkan kewibawaan Kadiri dimana pun kedua kakimu tegak berdiri! Tumpas habis mereka yang berani mencoba berontak! Tumpas mereka hingga ke akar-akarnya yang ingin mencoba mengusik keutuhan Kadiri!” (Komandoko, hlm 10-11). (5) “Hamba, Yang Mulia. Hamba akan melaksanakan segenap titah Paduka Gusti junjungan hamba!”, sembah Arya Pulung sekali lagi (Komandoko, hlm 11).

Pada kutipan nomor (1) sampai (5) dapat dirasakan, bagaimana Sri Maharaja

Kretajaya begitu ketakutan dan khawatir bila tahta kekuasaannya jatuh ke tangan orang lain. Oleh karena itu, ia mempercayakan semuanya hanya kepada Arya Pulung untuk menumpas segala bentuk pergolakan dan kejahatan yang ada di wilayah Tumapel,

Janggala, dan sekitarnya. Selain itu, pengenalan tokoh-tokoh di atas merupakan tahap

31 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

penyituasian yang membentuk alur cerita pada penelitian yang akan diteliti pada sub judul berikutnya.

Peranan tokoh yang sangat dominan dalam kelanjutan kisah berikutnya, yakni tokoh dari Arya Pulung. Arya Pulung adalah seorang perwira Kadiri, dan orang kepercayaan Baginda Kretajaya yang tiada pernah sekalipun kalah di medan peperangan.

Meski dikenal sakti dan gagah, Arya Pulung juga dikenal tidak terlalu pintar. Baginda

Kretajaya kerap menyindirnya dengan sebutan bebal. Namun, kebebalan Arya Pulung membuat rasa suka Kretajaya padanya. Kretajaya memang menghendaki orang-orangnya setia, penurut, tetapi tidak terlalu pintar. Walaupun demikian, ada satu perilaku Arya

Pulung yang tidak disukai Kretajaya, yaitu ketampanan dan kegagahan Arya Pulung yang digunakan secara rakus untuk menjerat wanita-wanita ke dalam pelukannya. Baginda

Kretajaya sesungguhnya tidak ambil peduli jika para wanita jatuh dalam pelukan Arya

Pulung, asalkan jangan istri Kretajaya, karena beberapa kali, Kretajaya memergoki lirikan mata rakus Arya Pulung pada Sang Prameswari (Komandoko, hlm 20).

Selain Arya Pulung, pada tahap penyituasian ini, ada beberapa tokoh penting yang hadir dalam kisah Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel, semuanya berhubungan dengan pembentukan alur cerita di tahap awal. Dialah Astia atau Ken Endok, salah seorang gadis remaja dari desa Pangkur. Pada sub judul Ken Endok ini, alur berlatar pada suasana desa

Pangkur yang indah, yang terletak di timur Gunung Kawi. Di sinilah Ken Endok tinggal, ia terkenal karena parasnya yang cantik dan sangat dipuja-puja oleh banyak lelaki.

Usianya masih dua belas tahun, namun garis-garis kejelitaannya telah tegas mengemuka.

Sikapnya menarik, mempesona serta tutur bicaranya lemah lembut, ia adalah ‘kembang desa’ dusun Pangkur.

32 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Ken Endok membuat banyak lelaki desa Pangkur dan desa-desa sekitarnya jatuh hati, serta mengimpikan bisa memperistrinya. Bukan hanya para jejaka yang bertekuk lutut, melainkan lelaki yang telah beristri pula. Tetapi, ia tidak menunjukkan minat pada gencar datangnya angin tawaran dari berbagai penjuru. Ken Endok belum menunjukkan minatnya untuk diikat lelaki dalam sebuah rumah tangga. Ia tetap kukuh menjaga keutuhan keperawanannya. Sampai pada waktunya tiba, rencana Dewata Agung pada diri

Ken Endok berlaku kemudian. Datanglah pinangan seorang seorang brahmana terhormat yang berasal dari dusun Agung, Resi Agung Sri Yogiswara Girinata. Yang Suci Gurusi, begitu brahmana agung itu kerap disebut segenap warga dengan hormat. Sang Resi adalah pemimpin Padepokan Girilaya. Sang Resi terkenal sakti mandraguna. Ucapannya amat bertuah, memberikan kedamaian hati bagi pendengarnya ketika beliau memberi wejangan. Namun, dapat menjadi petaka ketika ia telah marah dan mengucapkan sumpah kutuknya. Resi Agung Sri Yogiswara Girinata telah sepuh usianya. Pernah pula ia berkeluarga, Ken Suraidah nama istrinya terdahulu tetapi telah meninggal dunia. Setelah meminang Ken Endok, si jelita dari desa Pangkur ini menerima pinangan Sang Resi meski perbedaan usia di antara mereka sangat jauh, bagaikan seorang kakek dan cucunya.

Menjadi istri brahmana merupakan kehormatan tertinggi bagi seorang sudra seperti Ken

Endok. Namun, itu dalam pandangan masyarakat umum, tidak bagi diri Ken Endok.

Bukan karena sikap Sang Resi itu buruk kelakuannya, melainkan fungsi suaminya tidak seperti seorang suami pada umumnya. Resi Girinata tiada sekalipun menyentuhnya.

Bahkan, hingga sepuluh tahun berlalu, Ken Endok tetap masih perawan suci. Sang Resi bagai gunung es yang dingin, seakan-akan kemolekan dan kecantikan sang istri tidak membuatnya berhasrat untuk menyentuhnya (Komandoko, hlm 28-31).

33 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Pengenalan tokoh berlanjut pada sub judul Gajah Para. Gajah Para dihadirkan sebagai pemuda tampan yang berasal dari golongan kasta sudra dan sangat memegang teguh ajaran Sang Begawan Agung Siddartha Gautama. Pengenalan tokoh Gajah Para di sini, sangat berkaitan erat dengan tokoh Ken Endok yang membentuk alur cerita di tahap awal.

Pertemuan Ken Endok dan Gajah Para terjadi di Pura Agung. Ketika itu, Ken

Endok hendak menuju Pura Agung, namun ia tersandung akar pohon hingga terjatuh.

Sesaji yang dibawanya tumpah berserakan di atas tanah bercampur air hujan, ia merintih menahan kesakitan pada kakinya. Ken Endok berteriak meminta tolong, namun teriakannya tertelan suara derasnya hujan. Ia memohon kepada Dewata Agung, agar pertolongan segera menghampirinya. Pertolongan pun tiba baginya kemudian. Seorang pemuda gagah, seusia dengannya, berjalan setengah berlari melintas tak jauh dari tempat

Ken Endok tergeletak. Pemuda itu adalah Gajah Para yang telah menolong Ken Endok

(Komandoko, hlm 36-39). Dari pertemuan inilah, mereka menjadi dekat dan semakin akrab, bahkan benih-benih cinta di antara keduanya mulai tumbuh pula. Dalam novel Ken

Arok: Banjir Darah di Tumapel, pengenalan tokoh dan latar tidak dijelaskan secara mendetail di tahap awal penyituasian ini, sebab novel Ken Arok: Banjir Darah di

Tumapel karya Gamal Komandoko ini masih terbagi lagi dalam sub-sub judul berikutnya, sehingga pengenalan tokoh dan latar akan terus terjadi dalam tiap sub judul setelahnya.

34 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

2.2 Tahap Pemunculan Konflik (Generating Circumstances)

Tahap pemunculan konflik adalah tahap yang berisi masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik dan kemudian mulai dimunculkan.

Jadi, tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. Pada tahap pembagian ini, tampaknya, berkesesuaian dengan tahap awal pada penahapan seperti yang dikemukakan sebelumnya (Nurgiyantoro, 2007:149).

Pemunculan konflik dalam alur Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel terjadi ketika

Arya Pulung berhasil menumpas segala bentuk kejahatan dan pemberontakan di

Tumapel, Janggala, pinggiran sungai Kali Berantas dan sekitarnya. Arya Pulung dan anggota pasukannya ternyata tidak hanya menghantam orang-orang yang terlibat dalam usaha meruntuhkan kewibawaan Sri Maharaja Kretajaya, tetapi juga menyerang orang- orang yang dicurigai. Kekejaman Arya Pulung dan pasukannya sungguh mengerikan.

Mereka seakan tidak mengenal kata ampun. Mati berkalang tanah dalam perlawanan atau kepala mereka dipenggal di pinggiran sungai Kali Berantas jika mereka memilih menyerah. Harta benda yang dimiliki pemberontak, dirampas oleh Arya Pulung dan anggota pasukannya. Rempah-rempah kecil yang hanya dimiliki rakyat Tumapel diperas habis untuk mengisi lumbung-lumbung Kadiri. Tidak hanya mengambil harta yang tersisa, tetapi juga anak-anak gadis dan para pemuda. Anak-anak gadis itu mereka jadikan pemuas nafsu, yang tercantik dan termolek hanya untuk dinikmati Arya Pulung, sementara para pemuda, mereka jadikan pasukan berkuda. Meski semula diculik, namun para pemuda akhirnya menikmati kesenangan menjadi bagian pasukan Arya Pulung, karena bisa bebas merampas harta dan menikmati wanita rampasan. Bahkan, gadis-gadis

35 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

cantik yang semula diculik untuk dinikmati oleh Arya Pulung merasa duka tak terkira, pada akhirnya berubah menjadi senang setelah mengetahui kehebatan Arya Pulung di atas ranjang. Arya Pulung yang tampan, meski mempunyai pandangan mata kejam laksana elang, tidak hanya piawai memainkan pedang di medan laga, tetapi jago pula dalam memuaskan wanita (Komandoko, hlm 16-17).

Sri Maharaja Kretajaya mengetahui sepak terjang Arya Pulung di Tumapel, namun ia tidak terlalu peduli dengannya. Baginya yang terpenting adalah langgengnya kekuasaan yang digenggamnya. Tidak ada satu pun orang yang berani meruntuhkannya dan upeti tetap deras mengalir mengisi lumbung-lumbung Kadiri. Ia dan sanak keluarga serta orang-orang terdekatnya tetap bisa menikmati sepuas-puasnya. Namun, Kretajaya merasa perlu memberikan penghargaan untuk Arya Pulung, punggawa andalannya itu.

Arya Pulung yang telah mampu menunaikan tugas mahapentingnya, maka segera dipanggilnya ia ke Istana Kadiri. Di hadapan seluruh petinggi dan perwira kerajaan

Kadiri, Sri Maharaja Kretajaya mengangkat Arya Pulung menjadi Akuwu Tumapel.

Diberinya gelar untuk Arya Pulung menjadi Sang Tunggul Ametung, yang berarti gada penghancur nan tangguh (Komandoko, hlm 18).

Pemunculan konflik mulai meningkat setelah memasuki sub judul Tunggul

Ametung. Disebutkan, setelah Arya Pulung yang telah berganti nama menjadi Tunggul

Ametung ini dan menjadi penguasa Tumapel, digambarkan bahwa kehidupan rakyat

Tumapel semakin hina dalam kenistaan dan kemaksiatan. Berikut ini adalah kutipan- kutipan yang menunjukkan suatu keadaan pada saat Tunggul Ametung telah menguasai

Tumapel. Ia bagaikan seorang raja baru yang semena-mena dan berkelakuan seperti seekor binatang.

36 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(6) “Di Tumapel, Tunggul Ametung hidup laksana raja muda. Sekalipun ia hanya seorang akuwu, ia bukan akuwu biasa. Tunggul Ametung adalah akuwu istimewa dan mendapat keistimewaan dari Kadiri. Ia punggawa unggulan Kadiri dan menjadi tangan kanan Sri Maharaja Kretajaya dalam menumpas pemberontakan. Ia juga terkenal sakti. Tubuhnya bagai terbuat dari baja, tidak mempan senjata. Sifatnya juga amat kejam, jauh dari sifat welas asih. Baginya, ia tidak perlu takut kepada siapa pun kecuali terhadap Sri Maharaja Kretajaya. Itu pun juga secara lahiriah semata. Secara batin, ia menentang bahkan sangat membenci Kretajaya. Ia berniat kuat menggulingkan kekuasaan Dandhang Gendhis itu. Sejak ia diangkat menjadi akuwu, Tunggul Ametung merasa bahwa sesungguhnya ia telah disingkirkan dari Kadiri. Ia tetap yakin, penyingkirannya itu karena rasa cemburu dan kekhawatiran Kretajaya perihal Sang Prameswari Kadiri. Memang, Tunggul Ametung amat tergoda dengan kecantikan sang permaisuri. Ia sungguh ingin memiliki si cantik jelita itu. Namun, kesempatan tersebut belum terbuka bagi dirinya selama si Dandhang Gendhis masih bernyawa” (Komandoko, hlm 21-22). (7) “Tunggul Ametung bertindak lebih jauh. Untuk menandingi sebutan Sri Maharaja Kretajaya, ia pun meminta segenap prajurit dan juga rakyat Tumapel untuk memanggilnya Yang Mulia Akuwu. Semua perubahan di Tumapel itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Padahal Kretajaya tetap dan terus meminta upeti, sesuatu yang membuat kebencian Tunggul Ametung padanya kian membumbung. Bahkan, dari waktu ke waktu terus saja meningkat jumlah permintaan Kretajaya” (Komandoko, hlm 23-24). (8) “Tunggul Ametung masih tetap menghendaki mendapat dana yang lebih besar untuk mewujudkan impiannya. Ia pun mendapatkan akal. Ia mengetahui, Tumapel adalah wilayah yang kerap didatangi para pendagang, baik yang sekedar melintas maupun yang sengaja datang. Ia mengerti, para pedagang yang kebanyakan lelaki itu membutuhkan kehangatan wanita dalam perjalanan mereka. Tunggul Ametung lantas melegalisasikan pelacuran di Tumapel. Maka, tak berapa lama setelah ia menjadi akuwu, rumah-rumah pelacuran berdiri menjamur bagai cendawan di musim hujan di Tumapel. Pajak pelacuran pun mulai memenuhi pundi-pundinya. Tidak hanya berhenti di situ, Tunggul Ametung juga memperbolehkan perjudian berlangsung di Tumapel dengan pajak tinggi yang harus disetor ke kas pakuwon. Para penjudi dari Tumapel dan wilayah lain lantas menjadikan Tumapel sebagai tempat paling nyaman dan aman untuk mengadu nasib. Kian lengkap prasarana yang disediakannya, setelah ia memperbolehkan berdirinya kedai-kedai tuak. Arak-arak lokal yang amat memabukkan dijual bebas. Para pedagang tuak mendatangkan pula dari luar Tumapel untuk memenuhi kebutuhan tuak yang terus meningkat” (Komandoko, hlm 24- 25).

37 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Dari kutipan nomor (6) sampai (8), dapat terlihat setelah Tunggul Ametung menjadi Akuwu Tumapel, ia menganggap dirinya bukan seorang akuwu biasa. Ia seorang akuwu istimewa dan mendapat keistimewaan dari Kadiri. Namun, walaupun demikian,

Tunggul Ametung menyimpan rasa benci terhadap Sri Maharaja Kretajaya. Kebencian

Tunggul Ametung semakin besar ketika Baginda Kretajaya meminta upeti lebih banyak lagi. Di sini, dapat dirasakan pula bahwa Kretajaya begitu khawatir jika Tunggul

Ametung akan merebut sang permaisuri dari dirinya. Maka dari itu, Kretajaya menghadiahkan jabatan akuwu terhadap Tunggul Ametung, tetapi pada kenyataannya ia ingin menyingkirkan Tunggul Ametung dari Istana Kadiri. Untuk sementara waktu, ia terpaksa mengalah dan menyimpan kegeraman, serta kemarahannya di dalam hati.

Namun, ia menunggu waktu yang tepat untuk menuntaskan dendamnya. Dengan tegas, ia berniat akan menggulingkan kekuasaan Sri Kretajaya. Ia tidak hanya berharap semoga si

Dandhang Gendhis itu segera mati, tetapi ingin sekali menghabisi nyawa Kretajaya dengan kedua tangannya, lalu merebut tahtanya dan juga si jelita, permaisurinya.

Berkeinginan seperti itu, Tunggul Ametung pun mulai giat dan aktif mempersiapkan diri.

Ia menyusun kekuatan di Tumapel sekuat-kuatnya, tentunya sebelum merobohkan singgasana Kadiri.

Oleh karena itu, Tunggul Ametung menghalalkan segala cara untuk dapat memperkaya Tumapel. Judi, pelacuran, dan minuman keras adalah tiga hal yang saling berhubungan erat. Kerusakan pada masyarakat yang menjadi buahnya, semakin lengkaplah sebuah keburukan. Pundi-pundi dan segala macam rempah-rempah harus disetor pada kas Tumapel, sehingga Tunggul Ametung semakin kaya dan rakyat miskin semakin merana. Bahkan, kegilaan Tunggul Ametung terhadap wanita-wanita perawan

38 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

kian gencar. Perawan-perawan desa dari penjuru Tumapel diculik paksa oleh sekelompok prajurit Tumapel demi kepuasan sang akuwu. Sisanya menjadi pelayan nafsu bagi para prajurit Tunggul Ametung. Para wanita yang semula terhormat dan kaya, jatuh bangkrut dan banyak yang menjadi pelacur setelah tidak menemukan jalan keluar. Lelaki yang semula terhormat segera bergabung dengan perampok dan pencuri setelah tidak lagi berharta. Mengetahui kondisi tersebut, Tunggul Ametung tetap diam saja dan tidak ambil peduli. Baginya yang terpenting adalah kekuatan laskar tempur Tumapel yang terus- menerus ditambah dan diasahnya. Tunggul Ametung terus menghitung kekuatan Kadiri yang hendak ditaklukkannya. Begitulah suasana alur yang terjadi pada sub judul Tunggul

Ametung.Alur semakin maju dan terlihatnya konflik mulai bermunculan.

Tahap pemunculan konflik juga dapat dilihat pada sub judul Ken Endok.

Pemunculan konflik dimulai saat Ken Endok memulai suatu pembicaraan dengan sang suami, yakni tentang suatu permasalahan serius yang tengah ia hadapi. Berikut ini adalah kutipan-kutipan yang menunjukkan perbincangan di antara mereka.

(9) “Apa yang salah padaku dalam pandanganmu, Kakang Resi? Mengapa Kakang membiarkanku seperti ini? Sebutkanlah! Apakah sikap dan tubuhku ini tak membuatmu tertarik dan berhasrat? Apakah terlalu hina bagi rahim sudraku untuk menerima benih-benih cinta dan kasih sayangmu?” ungkap Ken Endok (Komandoko, hlm 31). (10) “Bukan seperti itu, Istriku”, ujar Sang Resi (Komandoko, hlm 31). (11) “Lantas apa, Kakang?” (Komandoko, hlm 31). (12) “Sesungguhnya Dewata Nan Agung telah mempunyai rencana tersendiri padamu, Istriku” ujar Sang Resi lembut (Komandoko, hlm 31). (13) “Rencana apakah itu Kakang?” (Komandoko, hlm 32). (14) “Aku tak bisa memberitahukanmu, sayang. Namun yang perlu engkau ketahui, rencana Dewata Agung itu rencana yang indah untukmu” ungkap Sang Resi kembali (Komadoko, hlm 32).

39 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Pada kutipan nomor (9) sampai (14), menunjukkan bahwa Ken Endok sangat penasaran akan maksud perkataan suaminya. Ia mencoba untuk menerka-nerka, namun tidak juga menemukan suatu jawaban yang pasti. Pemunculan konflik semakin meninggi, setelah memasuki kutipan berikut ini.

(15) “Kakang Resi!” Ken Endok nekat memberanikan diri untuk bertanya lagi. “Apakah itu bukan hanya alasanmu saja? Apakah kehadiranku di sisimu bukan hanya sebagai pelengkap kehidupan Kakang selaku laki- laki? Bahwa lelaki belum lengkap disebut lelaki sejati jika belum terdapat wanita di sisinya?” (Komandoko, hlm 32). (16) “Bukan, bukan seperti itu, istriku” Sang Resi menimpali perkataan Ken Endok (Komandoko, hlm 32). (17) “Lantas?” (Komandoko, hlm 32). (18) “Karena Dewata Agung mempunyai rencana untukmu! Bersabarlah sampai menunggu ketentuan-Nya!”, jawab Sang Resi (Komandoko, hlm 32). (19) “Bersabar? Bersabar hingga kapan, Kakang?” (Komandoko, hlm 32). (20) “Hiduplah selaku brahmacari. Hiduplah dalam kesucian. Tak perlu kenikmatan berhubungan badan itu menganggu pikiranmu. Itu hanya percikan dari buah nafsu duniawi. Hidup selaku brahmacari akan membebaskanmu dari pikiran nafsu!” jelas Sang Resi (Komandoko, hlm 32-33). (21) “Tapi, bukankah nafsu itu karunia Dewata Agung, Kakang Resi?” (Komandoko, hlm 33). (22) “Memang, nafsu merupakan karunia Dewata Agung, Istriku. Namun ketahuilah, nafsu harus dikendalikan. Manusia yang tidak mampu mengendalikan nafsunya berarti bersiaplah menjerumuskan dirinya ke lembah kehinaan dan kesengsaraan!” tuah Sang Resi (Komandoko, hlm 33). (23) “Itu sebabnya Kakang Resi menjalankan laku pertapa yang tak mencoba merasakan nikmatnya berhubungan badan?” Ken Endok langsung menusuk pada pokok masalah tengah yang dialaminya. “Bisa jadi itu sangat baik bagimu. Tapi, bagaimana dengan diriku? Bukankah aku ini istrimu sahmu, Kakang Resi? Aku tak ingin hidup selaku yogini. Aku hanyalah wanita biasa dari dusun Pangkur yang kebetulan bersuamikan seorang dirimu, Kakang!”, tangis Ken Endok meledak (Komandoko, hlm 33-34). (24) “Aku bukannya tidak memahami keinginanmu, sayang” Sang Resi mencoba menghiburnya. “Hanya, bersabarlah engkau, sayangku! Tunggulah hingga rencana Dewata Agung itu terjadi padamu…” (Komandoko, hlm 34).

40 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Dari kutipan nomor (15) sampai (24), dengan jelas menunjukkan bahwa Ken

Endok sangat gencar meminta nafkah batin pada suaminya. Namun, pada kenyataannya sang suami tidak dapat menyanggupi permintaan Ken Endok. Dalam sepuluh tahun berumah tangga, Ken Endok masih tetap perawan, walaupun desakan Ken Endok semakin memaksa tetapi Sang Resi tidak juga untuk menggaulinya. Kecantikan sang istri tidak membuat Sang Resi berhasrat untuk menyentuh Ken Endok. Meskipun, telah diberi wejangan dari suaminya, hati Ken Endok tetap tidak bisa menerima. Baginya, yang dibutuhkan bukan hanya wejangan, melainkan sentuhan sang suami. Sentuhan untuk memenuhi kebutuhan batinnya yang selama sepuluh tahun berumah tangga. Ia merasa bukan seorang yogini yang harus membawa keperawanannya hingga mati.

Pemunculan konflik berikutnya, terjadi ketika kedekatan hubungan antara Ken

Endok dan Gajah Para semakin dekat. Keakraban di antara mereka menjadi buah bibir dan cibiran dari segenap masyarakat yang menghanguskan telinga keduanya. Berita tidak sedap mulai merebak, praduga dari para tetangga pun berbaur dengan fitnah dan dusta.

Sementara itu, Ken Endok dan Gajah Para, tidak ambil pusing dengan segala isu-isu yang mulai merebak. Mereka tetap saja mengakrabkan diri, seolah tidak peduli dengan semua bisik-bisik yang tertuju pada mereka. Bahkan, semakin rapat saja hubungan mereka.

Setiap pagi Ken Endok tidak langsung menuju Pura Agung, melainkan ke rumah Nyi

Colok (ibu Gajah Para) terlebih dulu. Dengan pedati milik Gajah Para, ia selalu mengantarkan Ken Endok menuju Pura Agung. Selama Ken Endok melakukan puja bhakti, Gajah Para akan menunggu di luar pura, kemudian mengantarkan Ken Endok kembali ke padepokan Girilaya. Sang Resi Girinata jelas mengetahui hal yang tidak

41 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

menyenangkan itu. Beliau menangkap perubahan yang sangat besar pada perilaku istrinya.

Alur pada tahap ini semakin lurus dan semakin menemukan pemunculan konflik ditahap selanjutnya. Pemunculan konflik terjadi lagi ketika memasuki sub judul Peristiwa

Pura Agung. Berikut ini adalah kutipan-kutipannya.

(25) “Ken Endok membeli setanggi untuk keperluan puja bhakti dari seorang pandhita. Ia tak terlalu memperhatikan wajah sang pandhita dan juga setanggi yang dibelinya yang ternyata berbeda dari biasanya. Setanggi itu lebih kecil, namun ketika dibakar baunya jauh lebih harum dari biasanya. Bau setanggi menyebar. Harum sekali. Ken Endok yang tengah berkonsentrasi tinggi melakukan puja bhakti, mencium aroma harum itu. Konsentrasinya sedikit buyar. Bau setanggi itu sangat menusuk, membuatnya mendadak didera rasa pusing dan mengantuk. Meski Ken Endok mencoba bertahan, tak kuat pula ia akhirnya. Ia rebah, terkulai lemah di lantai pura. Ken Endok tertidur” (Komandoko, hlm 63). (26) “Sang pandhita penjual setanggi menghentikan bacaan mantranya. Dengan gerak perlahan dan sikap berhati-hati, ia menggeser tubuh Ken Endok ke tempat tersembunyi di bagian dalam pura. Ia pun berlagak kembali meneruskan bacaan mantranya setelah memastikan tak ada orang yang melihat kelakuan busuknya” (Komandoko, hlm 64). (27) “Gajah Para yang menunggu di halaman pura menjadi keheranan. Tak biasanya Ken Endok membutuhkan waktu yang lama ketika melakukan puja bhakti. Beberapa lama ditunggunya lagi, tak juga Ken Endok muncul. Penasaran di hatinya pun menyeruak muncul. Ditinggalkannya pedati miliknya dan bergegas melihat ke dalam pura. Tak dilihatnya Ken Endok di dalam pura. Yang dilihatnya hanyalah seorang pandhita yang tengah membaca mantra” (Komandoko, hlm 64). (28) “Ki Sanak,” sang pandhita menghentikan bacaannya dan berujar kepada Gajah Para. “Tunggulah di tempat itu! Duduklah, sebentar lagi orang yang engkau tunggu akan selesai dengan hajatnya. Gajah Para terpaksa menurut. Ia duduk bersila di atas lantai pura. Bau harum setanggi membuat sesak napasnya. Beberapa lama kemudian ia pun telah terkulai lemas dan tertidur” (Komandoko, hlm 64). (29) “Peristiwa keji di Pura Agung terjadi. Sang Pandhita ternyata mempunyai maksud tercela terhadap Ken Endok. Ia bergegas mendekati Ken Endok, menyingkap kain penutup tubuh Ken Endok dan merenggut paksa kegadisan Ken Endok ketika kesadarannya tengah terbang ke langit. Setelah selesai dengan perbuatan tercelanya, sang pandhita menarik tubuh Ken Endok dan menjajarkan dengan tempat rebahnya Gajah Para. Ia pun kembali membaca mantra, seolah tak pernah melakukan

42 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

perbuatan nista. Beberapa saat kemudian, ia pergi begitu saja meninggalkan Ken Endok dan Gajah Para di Pura Agung itu ketika mereka tak sadarkan diri” (Komandoko, hlm 65). (30) “Ken Endok dan Gajah Para terbangun hampir bersamaan. Ken Endok merasakan sakit di bagian kewanitaannya. Sakit yang tidak wajar. Ia sangat terkejut. Namun, sejenak kemudian menghilang rasa terkejutnya dan berganti kelegaan. Ia mengerti dan menyadari, rasa sakit pada kewanitaannya itu karena ia telah kehilangan keperawanan. Ia sangat lega ketika mendapati Gajah Para berada di sampingnya” (Komandoko, hlm 65).

Pada kutipan nomor (25) sampai (30), menunjukkan bahwa peristiwa di Pura

Agung begitu nista bagi seorang pandhita yang dianggap suci. Peristiwa tersebut merupakan suatu kejadian yang sesungguhnya tidak pernah diketahui oleh Ken Endok sedikit pun. Ia menduga, bahwa Gajah Paralah yang telah merenggut keperawanan, lalu menyetubuhinya ketika ia tidak sadarkan diri. Namun, pada kenyataan yang sebenarnya, sang pandhita itulah yang telah menyengsarakan diri Ken Endok. Tidak hanya sampai di situ, sang pandhita itu pun telah menanamkan benih kelelakiannya pada rahim si jelita

Desa Pangkur itu. Gajah Para di sini adalah korban serta kambing hitam atas peristiwa keji tersebut.

Pemunculan konflik berikutnya terjadi kembali pada sub judul Penderitaan dan

Guncangan. Tokoh Ken Endok sangat berperan penting dalam alur cerita ini. Alur semakin lurus dan semakin menemukan konflik pada permasalahan yang sebenarnya.

Berikut di bawah ini adalah beberapa kutipan yang menunjukkan permasalahan tersebut.

(31) “Lebih dari sebulan dalam masa hukuman pingit, Ken Endok mendapati keanehan dalam tubuhnya. Ia kerap merasa mual dan muntah tanpa alasan yang jelas. Ia kerap ingin makan sesuatu yang biasanya membuat gigi ngilu. Payudaranya terasa gatal dan nampak membesar, dan Jagat Pramudita . . . datang bulannya tak lagi tiba! Oh, Dewata Nan Agung! Memikirkan kejanggalan yang terjadi pada tubuhnya dan juga menahan

43 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

gejolak rindunya untuk bertemu Gajah Para, membuat Ken Endok jatuh sakit” (Komandoko, hlm 72). (32) “Tak urung Resi Girinata cemas melihat jatuh sakitnya Ken Endok. Ia mengutus seorang muridnya untuk memanggil dukun perempuan yang tinggal tak jauh dari padepokan Girilaya. Maka, seandainya seribu petir menggelegar bersamaan pun akan kalah keras mengangetkannya di telinga Resi Girinata, dibandingkan ucapan dukun perempuan itu, “Selamat Hamba ucapkan, Yang Suci. Yang Suci Gurursi akan dikaruniai Dewata Agung seorang anak” (Komandoko, hlm 73). (33) “Resi Girinata keras terhenyak, dadanya amat perih laksana tertombak- tombak. Kejadian tersebut teramat sulit untuk bisa diterima dengan kesadarannya selaku manusia” (Komandoko, hlm 74).

Setelah membaca kutipan nomor (31) hingga (33) dengan jelas menunjukkan, bahwa Ken Endok yang tengah hamil justru membuat Sang Resi kecewa dan sakit hati.

Sang Resi sesungguhnya bisa saja menyerahkan masalah yang dialami istrinya kepada

Pemangku Adat. Dengan begitu, Ken Endok pasti akan dijatuhi hukuman bakar hidup- hidup jika diungkapkannya, bahwa istrinya itu telah melakukan perbuatan tercela dengan lelaki lain hingga hamil. Namun, sepertinya hal itu tidak dilakukan oleh Sang Resi, mengingat ia sangat mencintai Ken Endok. Sebagai manusia, Sang Resi merasa gagal mengarahkan istrinya pada jalan kebenaran. Sampai kapan pun juga hati Sang Resi akan tetap terluka.

Resi Girinata sejenak merenung atas kejadian yang menimpanya. Maka dari itu, ia memilih meninggalkan pedepokan untuk menyepi dan bertapa. Ia akan bertapa di suatu tempat yang hanya diketahuinya sendiri. Ia hanya berpesan pada murid-muridnya untuk menjaga padepokan selama ia bertapa. Dengan Sang Resi pergi bertapa adalah suatu peluang bagi Ken Endok untuk keluar dari kungkungan ketat padepokan. Peluang untuk bertemu Gajah Para, kekasih tercintanya sudah sangat ia tunggu-tunggu. Pelan-pelan ia menyusun siasat dan tiga hari setelah Sang Resi meninggalkan padepokan, Ken Endok telah matang dengan rencananya (Komandoko, hlm 74). Berikut ini adalah kutipan-

44 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

kutipan yang menunjukkan suatu siasat Ken Endok untuk dapat melarikan diri dari padepokan Girilaya.

(34) “Aku hendak menemui suamiku di tempat pertapaannya”, wajah Ken Endok menyakinkan ketika menemui salah satu murid Sang Resi yang bertugas mengawasinya” (Komandoko, hlm 74). (35) “Yang Suci Maharsi tak memperkenankan Gusti Ayu meninggalkan padepokan. Apalagi hukuman pingit Gusti Ayu juga belum dicabut Yang Suci Maharsi”, jawab si murid (Komandoko, hlm 74). (36) “Aku hendak menemui suamiku karena aku dititahkannya! Aku diperintahkan untuk menemuinya setelah tiga hari suamiku bertapa”, ujar Ken Endok dengan lagak sandiwaranya yang sangat menawan (Komandoko, hlm 74-75). (37) “Di mana Yang Suci Maharsi bertapa, Gusti Ayu?”, si murid menguji (Komandoko, hlm 75). (38) “Aku tak bisa menyebutkannnya padamu. Suamiku melarangku untuk menyebutkan tempat itu pada sekalian muridnya. Jelas! Hanya aku dan suamiku saja yang tahu tempat itu!” tegas Ken Endok (Komandoko, hlm 75). (39) “Bagaimanapun juga, saya tak dapat membiarkan Gusti Ayu keluar dari padepokan ini”, si murid tetap kukuh menjalankan amanat Sang Resi Gurursi (Komandoko, hlm 75). (40) “Silakan saja! Aku akan melaporkan tindakanmu ini pada suamiku jika beliau pulang nanti. Jangan salahkan aku jika cita-citamu menjadi brahmana akan kandas di tengah jalan. Suamiku akan menghukummu! Mengeluarkanmu dari pedepokan ini karena berani menentang perintah Sang Maharsi Gurursi. Pikirkan itu baik-baik!”, tantang Ken Endok (Komandoko, hlm 75).

Ken Endok berlagak hendak meninggalkan si murid yang sedang kebingungan. Si murid menjadi serba salah, bingung hendak berlaku bagaimana. Dengan lagak menyakinkan, Ken Endok mengancam akan melaporkan tindakan itu pada Yang Suci

Gurursi. Gertakan Ken Endok sangat manjur. Para murid menjadi ketakutan jika apa yang diucapkan Ken Endok menjadi kenyataan. Setelah berembuk, murid yang dituakan mengizinkan Ken Endok keluar dari padepokan. Namun, ia akan menemani Ken Endok sampai bertemu dengan Sang Resi. Ken Endok semakin kuat untuk menolak, bahkan ia semakin mengancam para murid jika tidak menuruti segala perintah baik dari dirinya

45 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

maupun Sang Resi, maka akan di keluarkan dari padepokan Girilaya ini. Tidak kuat rupanya si murid yang dituakan itu melawan siasat cerdik Ken Endok. Ia mengalah dan membiarkan Ken Endok keluar padepokan. Ken Endok melarang siapa pun juga dari sekalian murid untuk mengawasi kepergiannya, karena itu larangan Yang Suci Maharsi.

Maka bebaslah ia untuk menemui Gajah Para, kekasih hati tercintanya (Komandoko, hlm

75-76).

Masih sama pada sub judul Penderitaan dan Guncangan, alur semakin meningkat tajam. Peningkatan konflik di sini makin meninggi setelah Ken Endok berhasil nemui

Gajah Para. Berikut adalah kutipan yang menunjukkan perbincangan di antara keduanya.

(41) “Kakang,” suara Ken Endok mesra di dekat telinga Gajah Para. “Bawalah aku pergi secepatnya, sejauh-jauhnya! Jangan biarkan padepokan itu menjadi penjara yang membuatku sengsara! Lagipula, Dewata Agung telah menyatukan kita, mengekalkan penyatuan antara jiwa kita. Benihmu telah berbuah di rahimku, Kakang! Anak kita telah bersemayam dalam kandunganku!” desah Ken Endok (Komandoko, hlm 77). (42) “Apa, anak kita?”, gelagar melebihi seribu petir menerpa Gajah Para (Komandoko, hlm 77). (43) “Ya, Kakang! Anak kita! Kenapa Kakang tampak terkejut seperti itu? Bukankah ini sebuah kemenangan dan kebahagiaan besar bagi kita berdua? Benih kelelakian yang Kakang tanam di rahimku, ketika kita berada di Pura Agung telah berbuah! Kenapa Kakang terlihat tak bergembira dengan kenyataan ini?”, tukas Ken Endok yang sedikit kecewa melihat Gajah Para (Komandoko, hlm 77). (44) “Aku …, aku … tak merasa telah …, telah melakukan hal itu, sayang. Sungguh, aku tak merasa! Demi Dewata Agung Nan Mulia, sungguh, aku tak pernah merasa melakukan hal itu” ujar Gajah Para menjelaskan (Komandoko, hlm 78). (45) “Sudahlah, Kakang! Cukup engkau dengar penjelasanku ini! Jika engkau tak juga mengakui bayi di dalam kandunganku ini darah dagingmu, maka anak ini tak lain adalah anak Dewa Brahma! Bahwa, Dewa Brahma sajalah yang telah menghamiliku!” amarah Ken Endok telah memuncak, kemudian ia pergi meninggalkan Gajah Para (Komandoko, hlm 79).

46 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Ken Endok yang terluka tidak lagi mengurungkan niat. Betapa pun kuatnya Gajah

Para untuk mencegahnya, jauh lebih kuat niat Ken Endok untuk bertolak. Ia tidak ingin lagi bersatu dengan Gajah Para yang menurutnya tak lebih pengecut dibandingkan seekor tikus. Tidak ingin pula ia kembali kepada suaminya yang hanya menyediakan penderitaan berkepanjangan dalam hidup. Ia ingin pergi, membawa pergi bayi dalam kandungannya, yang diakuinya selaku titisan Dewa Brahma (Komandoko, hlm 80).

Konflik kehamilan Ken Endok menjadi konflik utama dalam tahap pemunculan konflik Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko ini. Konflik awal mengenai perlakuan Sang Pandhita yang bejat moral itu, tidak hanya menyengsarakan diri Ken Endok. Gajah Para yang tidak tahu dalam permasalahan ini pun terkena imbasnya. Sang Resi Gurursi pada akhirnya harus menanggung aib atas perlakuan istrinya tersebut. Pandangan negatif dari masyarakat semakin menuding ke arah Ken

Endok. Ken Endok semakin dicurigai, bahwa bayi yang dikandungnya adalah benih

Gajah Para yang tertanam di rahimnya, bukanlah benih dari Sang Resi. Celaan datang bertubi-tubi, sehingga membuat perasaan hati Ken Endok hancur. Nama baik Sang Resi pun menjadi jelek. Gajah Para menjadi sasaran empuk atas fitnah-fitnah yang bertebaran.

Tidak hanya itu, konflik awal juga terjadi akan perlakuan seorang akuwu Tunggul

Ametung yang memimpin daerah Tumapel dengan penuh kenistaan dan kemaksiatan.

Rakyat banyak yang menderita, daerah Tumapel menjadi daerah kotor yang dipenuhi pelacur-pelacur, minuman keras, serta tempat perjudian yang merajalela. Pemunculan konflik yang telah disebutkan di atas merupakan kesinambungan alur cerita yang nantinya akan semakin terlihat jelas pada tahap peningkatan konflik berikut ini.

47 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

2.3 Tahap Peningkatan Konflik (Rising Action)

Tahap peningkatan konflik adalah tahap yang berisi konflik-konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya, kemudian semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencengkam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi, baik internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antar kepentingan, masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari

(Nurgiyantoro, 2007:149-150).

Pada tahapan ini, konflik-konflik yang ada dalam sub judul sebelumnya semakin menunjukkan kadar intensitasnya. Konflik semakin mengalami peningkatan dari tahapan sebelumnya, terutama pada tahap pemunculan konflik. Peristiwa-peristiwa pada tahap peningkatan konflik di sini semakin menegangkan dan meninggi. Benturan-benturan setiap permasalahan mulai terlihat dengan jelas. Peningkatan konflik dalam novel Ken

Arok: Banjir Darah di Tumapel dimulai ketika Ken Endok telah berhasil melarikan diri dari desa Pangkur, akibat malu karena kehamilannya yang tidak jelas perihal siapa ayah biologis dari anak yang dikandungnya tersebut. Gajah Para di sini pun enggan mengakui jika anak tersebut bukanlah darah dagingnya, karena ia tidak pernah merasa melakukan hal keji di Pura Agung tersebut. Namun, Ken Endok tetap tidak mempercayai ucapan

Gajah Para. Ia menganggap bahwa Gajah Para adalah lelaki pengecut yang tidak mau bertanggung jawab.

Dikisahkan, Ken Endok menyepi ke daerah tersembunyi. Untuk sementara waktu, ia tidak ingin kembali ke desa Pangkur atau tempat-tempat lain yang dikenalnya.

Keberuntungan masih menaunginya. Seorang dukun pijat perempuan mengulurkan

48 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

tangan untuk membantunya. Tidak mempersoalkan membuncit perutnya berisi janin. Ia memberikan tempat tinggal, tempat tidur, makan, dan kehangatan kasih sayang. Si dukun pijat malah bersedia mengangkat Ken Endok selaku anak jika Ken Endok menginginkan.

Ia telah tegas menyebutkan pada orang-orang yang menanyakan perihal kehamilannya, bahwa bapak janin yang dikandungnya bukan Yang Suci Gurursi, Gajah Para, atau siapa pun juga, melainkan Dewa Brahma (Komandoko, hlm 81).

Ketika telah tua usia kandungannya, Ken Endok mendadak disergap rasa rindu pada desa Pangkur. Ia ingin menghabiskan sisa hidupnya di sana. Hidup sendiri, tanpa suami, tanpa anak. Ia berniat akan membuang bayi yang ramai diramalkan orang mempunyai tuah luar biasa. Kepada si wanita dukun pijat yang telah begitu baik menampungnya, Ken Endok pamit untuk pulang kampung. Dengan sengaja, Ken Endok memilih waktu selepas senja untuk berangkat. Perut Ken Endok terasa sangat mulas, tanpa pikir panjang ia memasuki sebuah pekuburan, mencari tempat yang bisa dijadikannya tempat untuk melahirkan. Dikerahkan semua tenaganya dengan iringan doa kepada Dewata Agung agar selamatlah ia dan bayinya dalam peristiwa itu (Komandoko, hlm 82-83).

Konflik semakin meningkat ketika Ken Endok telah meninggalkan bayinya seorang diri di pekuburan tersebut. Ketika itu pula datanglah seorang pencuri bernama Ki

Lembong hendak menjalankan aksi mencurinya. Ia adalah pencuri ulung yang tinggal di desa Lebak. Namun, ia hanya mencuri harta orang kaya yang tidak peduli terhadap nasib orang-orang miskin di sekitarnya. Menurutnya, mereka adalah kaum keparat yang pantas diambil harta bendanya, mencuri harta sebanyak-banyaknya untuk diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Sebagian kecil hasil pencuriannya barulah untuk makan

49 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

dirinya sendiri beserta sang istri. Warga Lebak yang menderita, mengenal Ki Lembong selaku sosok yang dermawan, baik hati, ramah dan menyenangkan. Dengan suka cita, mereka menerima bantuan serta uluran tangan Ki Lembong tanpa menyadari dan mengerti darimana sesungguhnya bantuan itu berasal. Di pekuburan tersebut, Ki

Lembong menemukan bayi laki-laki yang sedang menangis. Keanehan pun terjadi, ketika

Ki Lembong melihat bayi itu memancarkan cahaya terang melebihi terangnya lampu dari mulutnya. Dengan hati-hati Ki Lembong mengambil bayi itu dan kemudian ia bergegas membawa bayi temuannya kembali ke rumahnya. Ki Lembong yakin, jika sang istri pasti sangat bahagia.

Peningkatan konflik mulai meningkat pada sub judul Anak Pungut Ki Lembong.

Dikisahkan, dalam asuhan serta perawatan Ki dan Nyi Lembong, si bayi temuan yang diberi nama Temon itu tumbuh besar. Asuhan yang penuh cinta dan kasih sayang, kemanjaan, dan keistimewaan dari keduanya membentuk Temon menjadi anak yang nakal, bandel, egois, suka memaksa kehendaknya, pantang menerima kekalahan, serta pantang berlaku cengeng. Ia juga dikenal pemberani dan seolah tak kenal kata menyerah.

Ia benar-benar pendobrak sejati, hingga julukan dewasanya kelak, Ken Arok, yaitu gambaran yang benar dan sesungguhnya sesuai dengan perilaku dirinya. (Komandoko, hlm 92).

Sejak masih berusia dini, Temon paling benci melihat penindasan manusia atas manusia. Dengan gagah berani, ia membela yang lemah dan menghantam si penindas.

Ketika musuhnya menyatakan takluk padanya, ia akan memperlakukan musuhnya itu selaku sahabat. Dengan cara demikian, membuat dirinya tidak banyak mempunyai musuh melainkan banyak kawan. Temon pun telah menunjukkan kelebihan dan kepintarannya.

50 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Kecerdasan dan kecerdikannya jauh di atas rata-rata anak seusianya. Tampaknya titisan

Dewa Brahma memang telah dipersiapkan Dewata Agung untuk ia menjadi seorang pemimpin. Sejak kecil ia telah menunjukkan mutu kepemimpinannya, entah jadi apa ia kelak setelah dewasa. Mungkin ia akan menggantikan Yang Mulia Tunggul Ametung menjadi akuwu, atau bisa menjadi raja menggantikan Paduka Yang Mulia Sri Kretajaya.

Bisa jadi demikian adanya, karena Temon merupakan titisan Dewa Brahma. Dari dalam mulutnya keluar cahaya aneh, seperti pertanda jika kelak ucapannya akan didengar dan dipatuhi orang banyak. Daya ingatnya juga luar biasa, laksana mendapat curahan langsung dari Hyang Ganesha. Sedari kecil daya tahan tubuhnya tampak mengagumkan.

Ia akan menjadi kuat serta sakti mandraguna jika mendapat guru kanuragan yang hebat

(Komandoko, hlm 93-94).

Pada sub judul Anak Pungut Ki Lembong, disebutkan pula bahwa Temon telah mengetahui bahwa dirinya mempunyai seorang ibu kandung, maka berkunjung pulalah ia ke desa Pangkur, tempat Ken Endok tinggal. Di desa Pangkur itulah, Temon mempunyai kegiatan baru, yaitu berjudi. Pada awalnya, Temon sering menang. Namun, pada akhirnya ia selalu kalah, sesuatu yang sangat dibencinya. Ketika tidak ada lagi uang yang bisa digunakan untuk bertaruh, ia mulai melirik uang milik ibunya. Tapi, peruntungan

Temon tidak juga tiba, hingga habis harta kekayaan Ken Endok. Kecanduan Temon untuk berjudi memaksanya untuk kembali ke Lebak, meminta uang dan barang lain milik

Ki Lembong. Harta kekayaan Ki Lembong pun amblas tidak tersisa, setelah itu Temon tidak juga meraih kemenangan.

51 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Temon merasa harus mencari uang secara baik-baik untuk modalnya berjudi. Ia mendengar bahwa Ki Sakija (juragan kaya di desa Lebak), membutuhkan seorang penggembala untuk menggembalakan sepasang kerbau miliknya. Temon menyatakan kesediaannya menjadi penggembala. Ia bekerja dengan cukup baik, begitu mendapat bayaran, ia kembali ke arena perjudian. Sayang, uangnya habis tidak tersisa, ia tetap saja kalah. Tidak ada lagi uang atau harta yang bisa dijadikannya modal taruhan, sepasang kerbau milik Ki Sakija pun dijadikannya modal taruhan. Namun, amblas pula sepasang kerbau itu di meja perjudian. Temon kebingungan mencari pengganti sepasang kerbau.

Tidak tahu kemana lagi ia mencari, Temon pun mengadukan hal ini kepada orang tua angkatnya. Betapa marahnya Ki Lembong, sehingga beliau harus menanggung semuanya.

Temon tidak bisa menerima kenyataan itu. Ia merasa sangat bersalah hingga menyebabkan orang tua angkatnya menjadi pembantu Ki Sakija tanpa dibayar. Ia ingin pergi dari desa Lebak. Ketika malam tiba, dengan diam-diam berangkatlah ia meninggalkan Lebak (Komandoko, hlm 102).

Peningkatan konflik mulai terjadi kembali ketika memasuki sub judul Bandar

Bango Samparan.Bango Samparan adalah seorang lelaki berdarah Madura, berkasta waisya. Ia tinggal di desa Karuman, sifatnya keras dan gampang pula tersulut kemarahan.

Ia semula seorang petani, mengusahakan sawah dengan dibantu anak-anaknya. Namun, ia gemar berjudi serta membuka arena perjudian di Karuman. Suatu ketika, Bango

Samparan kalah berjudi melawan seorang bandar judi ternama. Sangat banyak jumlah kekalahannya. Harta kekayaan yang dimiliki tidak cukup untuk menutup kekalahannya itu. Seketika ia bangkrut, masih banyak pula ia menanggung hutang. Bango Samparan didera kebingungan, dalam kebingungan dan putus asa, ia lantas pergi berziarah ke

52 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

tempat keramat di Rabut Jalu. Di tempat keramat itulah biasanya Bango Samparan menyepi beberapa waktu dan meminta bantuan Hyang Gaib jika ia mengalami kesulitan.

Di Rabut Jalu, Bango Samparan memohon agar Hyang Gaib membantu mengatasi masalah berat yang tengah ia alami. Berhari-hari ia menyepi, bersemedi dengan sepenuh hati, tidak putus-putusnya meminta dan memohon. Pada akhirnya wangsit Hyang Gaib diterimanya pula. Didengar Bango Samparan dengan jelas, berikut ini kutipannya.

(46) “Jika engkau ingin menyelesaikan masalah kekurangan pembayaran hutang judimu, maka temuilah seorang anak remaja lelaki. Namanya Arok. Ia anak lelaki istimewa, bertanda cakra pada telapak tangan kanannya. Dari mulutnya keluar cahaya yang akan tampak terang ketika malam tiba. Temui dia, Samparan! Ajaklah Arok berjudi bersamamu dengan penjudi penagih hutangmu itu! Ia akan banyak membantumu dan hutang-hutang kekalahanmu akan terlunasi dengan bantuannya. Kini, pulanglah engkau ke Karuman!” (Komandoko, hlm 105).

Pada kutipan nomor (46) dengan jelas menunjukkan, bahwa Hyang Gaib telah memberi petunjuk kepada Bango Samparan akan masalah yang tengah ia hadapi. Bango

Samparan menghanturkan terima kasih atas pertolongan Hyang Gaib. Ia menghentikan penyepiannya dan segera mencari lelaki remaja dengan ciri-ciri khusus seperti yang disebutkan Hyang Gaib. Meskipun telah jelas namanya dan telah jelas pula tanda-tanda khusus pada anak itu, namun ternyata bukan pekerjaan mudah bagi Bango Samparan untuk mendapatkannya. Walau begitu, ia tidak menyerah begitu saja, ia terus gigih berusaha. Ia menyakini kebenaran wangsit Hyang Gaib dan menyakini pula akan menemukan remaja lelaki bernama Arok itu. Mustahil Hyang Gaib membohonginya, begitu keyakinan Bango Samparan.

Ternyata usaha Bango Samparan tidak sia-sia. Suatu sore dalam pencariannya, ia melihat Temon sedang berjalan sendirian, ia lalu menghentikan Temon. Berikut adalah kutipan percakapan keduanya.

53 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(47) “Nak, apakah namamu Arok?”, kata Bango Samparan dengan sikap ramah (Komandoko, hlm 106). (48) “Bukan, Bapa. Namaku Temon. Aku anak Ki Lembong dari desa Lebak”, ujar Temon (Komandoko, hlm 106). (49) “Apakah aku bisa melihat telapak tangan kananmu?”, ujar Bango Samparan kembali. Jagat Dewa Batara! terhenyak Bango Samparan mendapati tanda rajah pada telapak tangan kanan Temon berbentuk cakra (Komandoko, hlm 106). (50) “Ada apakah, Bapa? Apa yang Bapa lihat pada telapak tangan kananku ini?”, sahut Temon keheranan (Komandoko, hlm 106). (51) Pertanyaan Temon tak terjawab, malah pertanyaan pula yang kembali tertuju padanya, “Sungguh namamu bukan Arok?” (Komandoko, hlm 106). (52) “Bukan, Bapa. Namaku Temon!” (Komandoko, hlm 106). (53) Bango Samparan agak bingung. Rajah di telapak tangan kanan itu jelas menunjukkan tanda cakra, sesuai dengan ciri-ciri yang telah disebutkan Hyang Gaib, “Apakah engkau bersedia mengikutiku ke Karuman?”, desak Bango Samparan (Komandoko, hlm 106). (54) “Mengikutimu? Untuk apa, Bapa?” (Komandoko, hlm 107). (55) Bango Samparan menjelaskan masalah berat yang tengah dihadapinya. “Nah, setelah kuceritakan semua masalah yang sedang kualami, tolong bantu aku, Arok! Tolonglah aku hingga tak terjerat hutang yang amat melilitku ini. Rasa-rasanya, tak sanggup aku melunasinya. Sulit aku mencari uang dalam waktu yang sedekat ini. Hanya engkau yang bisa membantuku, Arok!”, ujar Bango Samparan memohon (Komandoko, hlm 107).

Dari kutipan nomor (47) sampai (55) dengan jelas menunjukkan, bahwa Bango

Samparan telah berhasil menemukan Arok sesuai wangsit dan petunjuk dari Hyang Gaib.

Ternyata usaha Temon ini membawa keberuntungan bagi Bango Samparan. Sungguh di luar dugaan, mereka mendapat kemenangan besar. Seluruh hutang-hutang Bango

Samparan lunas. Bisikan Hyang Gaib ternyata benar adanya. Sebagai tanda terima kasih,

Bango Samparan mengajukan tawaran kepada Temon untuk tinggal bersamanya di

Karuman dan menjadikan Temon sebagai anak angkatnya juga. Dengan senang hati,

Temon menyanggupi permintaan Bango Samparan itu. Temon tinggal di Karuman bersama lima anaknya dan dua istrinya. Bango Samparan dan Genuk Buntu, istri tertuanya sangat menyayangi Temon. Namun, empat anak laki-laki Bango Samparan

54 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

tidak menyukai kehadiran Temon di rumahnya, kecuali Cucu Puranti (anak bungsu

Bango Samparan) ini sangat menyayangi Temon. Mereka berempat selalu membuat

Temon jengkel dan membuat gara-gara. Temon tidak mampu menahan kesal dan kemarahannya, ia pun akhirnya memutuskan untuk mengalah. Tanpa berpamitan pada

Bango Samparan maupun Genuk Buntu, berangkatlah ia meninggalkan Karuman. Temon berniat menuju Kapundungan.

Alur terus bergerak lurus dan peningkatan konflik semakin meningkat pada sub judul Cah Angon Berandalan. Ada seorang anak lelaki menjelang remaja di desa

Sagenggeng bernama Tita. Sifat dan perilakunya tidak jauh berbeda dengan Temon, usianya pun sebaya. Tita dikenal berandal, nakal, suka berulah, dan kerap berbuat onar.

Tita dikenal jago berkelahi dan sulit dicari tandingannya. Kebanyakan warga Sagenggeng tidak menyukai Tita. Meski jengkel dengan ulah Tita, namun warga Sagenggeng tidak berani mengusik Tita lebih jauh. Mereka menghormati dan segan pada Ki Sahaja, kepala desa Sagenggeng, yang tidak lain adalah ayah Tita. Tita pun senang menggembalakan kerbau-kerbau milik ayahnya. Tita pun dijuluki cah angon berandalan Sagenggeng

(Komandoko, hlm 111).

Disebutkan pula, bahwa Tita akan berteman akrab dengan Temon. Awalnya, ketika bertemu, mereka sempat berkelahi hebat. Namun, Temonlah yang memenangkan perkelahian itu. Tita yang babak belur mengaku kekalahannya pada Temon. Saat itulah,

Tita akhirnya menawarkan diri untuk bersahabat dengan Temon. Tita pun mengajak

Temon untuk tinggal bersama di rumahnya bersama keluarganya. Sesampainya di rumah,

Tita mengenalkan Temon pada Ki Sahaja, beliau menerima kedatangan Temon, serta mengizinkan Temon untuk tinggal di rumahnya, bahkan beliau menyediakan satu kamar

55 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

khusus untuk Temon. Sejak saat itu, Temon menjadi anak angkat Ki Sahaja, bersaudara dengan Tita, dan keduanya bertugas menggembala kerbau-kerbau milik Ki Sahaja.

Ki Sahaja memandang perlu bagi Tita dan Temon untuk menguasai ilmu pengetahuan. Ki Sahaja lalu mengirimkan kedua anak itu pada Tantripala, guru sastra ternama yang tinggal di Kapundungan. Tantripala terkenal galak, keras, sangat disiplin pada aturan yang telah ditetapkannya. Beliau suka menghukum murid-murid yang lalai, malas, dan enggan mematuhi aturannya. Sebenarnya, Temon dan Tita yang baru saja belajar di sana merasa tidak menyukai sikap Bapa Tantripala ini. Namun, kelebihan kedua anak inilah yang nantinya akan membuat Bapa Tantripala tercengang. Meski demikian, Tantripala tidak terlalu suka pada Temon dan Tita. Keduanya kerap membuat ulah di kelas, gemar membuat keributan dan menciptakan keonaran. Menghadapi ulah

Temon dan Tita, Tantripala kerap menghukum keduanya. Namun, keduanya tetap juga tidak merasa jera. Bapa Tantripala hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dan tidak mengerti bagaimana cara menundukkan hati kedua anak itu. Pada suatu hari, ada suatu peristiwa yang akan membuat Bapa Tantripala marah besar kepada Temon dan Tita.

Berikut adalah kutipan-kutipan yang menunjukkan peristiwa tersebut.

(56) “Di halaman rumah Bapa Tantripala tumbuh subur sebatang pohon jambu. Pohon jambu yang sangat istimewa bagi Tantripala, karena beliaulah yang menanam sendiri pohon itu sejak dari bibit. Pohon itu amat besar buahnya hingga menerbitkan selera untuk memetik dan memakannya. Tantripala melarang siapa pun juga untuk memetik buah kesayangannya” (Komandoko, hlm 121). (57) “Tanpa izinku, maka siapa pun juga kularang memetik buah-buah jambu ini! Barang siapa yang berani melanggarnya, maka akan kutimpakan hukuman berat padanya! Kalian paham?” tegas Bapa Tantripala pada muridnya (Komandoko, hlm 121). (58) “Pahaaaaaam!!” serentak murid-murid menjawab, namun Temon tetap terdiam (Komandoko, hlm 121). (59) “Temon! Engkau dengar perintahku!” (Komandoko, hlm 121). (60) “Ya, Bapa Guru”, ucap Temon (Komandoko, hlm 121).

56 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(61) “Jika engkau berani melanggar laranganku, aku tidak segan-segan menghukummu lebih berat dibanding hukuman yang biasa kutimpakan padamu selama ini!”, ancam Tantripala (Komandoko, hlm 122).

Namun, bukan Temon namanya jika ia tidak menentang larangan gurunya. Sikap kerasnya sedari kecil tetap mengemuka. Jika ia dilarang, maka semakin keras niatnya untuk melanggar larangan itu, termasuk larangan Bapa Tantripala. Temon akan berniat memetik buah kesayangan Tantripala.

(62) “Aku akan memetik buah jambu Tantripala, engkau akan mengikutiku, Tita?” (Komandoko, hlm 122). (63) “Bukan saudaramu kalau aku tidak mengikutimu!” (Komandoko, hlm 122). (64) “Baguslah kalau begitu, nanti malam kita jarah buah jambu istimewa si Tantripala itu! Biar ia kebakaran jenggot kalau mengetahuinya. Dan, kita lihat, apa yang akan diperbuat guru kikir itu, hahahaha”, ucap Temon sambil tertawa (Komandoko, hlm 122). (65) “Ya, tak sabar aku melihat Bapa Guru uring-uringan, seperti kera yang terbakar ekornya, hahahahaha”, Tita pun ikut tertawa (Komandoko, hlm 122).

Ketika malam tiba, Temon dan Tita mengendap-endap mendekati halaman rumah

Bapa Tantripala. Semua murid-murid telah pulas tertidur dan begitu pula tampaknya dengan Tantripala. Dengan berjingkat-jingkat Temon dan Tita mendekati pohon jambu.

Temon langsung memanjat pohon jambu kesayangan Tantripala. Sebentar saja ia telah sampai di dahan besar dan terus bergerak memetik buah-buah jambu. Dilemparkannya buah-buah jambu dari atas dan diterima Tita yang tetap berjaga di bawah. Temon memakan buah-buah jambu itu. Masing-masing buah hanya digigitnya sedikit dan kemudian dibuangnya ke tanah. Tita yang keheranan dengan cara makan Temon, ia turut pula mengikuti. Sengaja tidak dihabiskannya semua, melainkan digigitnya sedikit dan kemudian dibuangnya. Temon dan Tita terus berpesta jambu hingga malam menjelang pagi. Temon menuruni pohon dan bergegas pergi bersama Tita, meninggalkan halaman

57 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

rumah Tantripala. Jambu-jambu yang hanya digigit sedikit tampak berserakan memerahi halaman rumah Bapa Tantripala (Komandoko, hlm 123).

Keesokan paginya, Bapa Tantripala terkejut melihat buah jambu yang habis tidak tersisa. Beliau marah besar dan menuduh Temon dan Tita sebagai pelakunya. Berikut ini adalah kutipan-kutipannya.

(66) “Jagat Pramudita! Siapa pencuri kurang ajar ini? Siapa?” teriak Bapa Tantripala. Lihat! Buka mata kalian semua! Siapa pelaku pencurian ini! Ayo mengakulah! Temon! Apakah engkau pelakunya? Apakah engkau mencuri buah jambu kesayanganku?” (Komandoko, hlm 123-124). (67) “Bapa, jika kulihat, jambu-jambu itu tidak dimakan semuanya. Masih disisakannya. Jadi menurut saya, buah-buah itu pasti dimakan codot!” (Komandoko, hlm 124). (68)“Codot katamu? Berapa banyak codot yang datang tadi malam hingga menghabiskan begitu banyak buah jambu kesayanganku? Buka matamu, Temon! Begitu banyak buah jambu berserakan di halaman rumahku ini, kurasa bukan codot pelakunya. Seluruh codot di desa ini pun tidak akan memakan jambu sedemikian banyaknya!” sentak Tantripala membentak (Komandoko, hlm 124). (69) “Tita!”, sentak Tantripala kembali. Apakah engkau pelaku perusakan ini?” (Komandoko, hlm 125). (70) “Tidak, Bapa. Saya sependapat dengan Temon. Buah-buah jambu ini pasti dimakan codot, bekas gigitannya menunjukkan bahwa…..” (Komandoko, hlm 125). (71) “Tutup mulutmu! Aku sudah memutuskan jika yang bersalah adalah kau Temon!”, bentak Tantripala. Aku yakin engkau pelakunya, meski engkau tak mau mengakuinya! Naluriku mengatakan demikian. Engkau hanya pintar bersandiwara! Dan, sebagai hukumannya malam ini, engkau harus tidur di lapangan terbuka di belakang pondok perguruan, berteman dengan rumput, ilalang, semak belukar, dan dinginnya malam! Paham!” (Komandoko, hlm 125-126).

Pada saat malam menjelang, suasana perguruan tampak sepi. Dari tempat tersembunyi, Tantripala melihat Temon tidur sendirian. Pandangannya lantas dialihkan ke pohon jambu kesayangannya. Tidak dilihatnya seekor codot satu pun. Ketika dialihkannya lagi ke tempat dimana Temon tidur, beliau terperanjat. Ia melihat nyala terang di dekat Temon tidur. Nyala yang sangat terang dalam kegelapan malam. Bapa

58 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Tantripala bergegas menghampirinya. Kian terperanjatlah ia saat melihat nyala terang itu berasal dari mulut Temon yang terbuka. Bapa Tantripala lantas membangunkan Temon dan menyuruhnya kembali ke tempat tidur biasanya. Temon jelas terheran-heran.

Sementara itu, Bapa Tantripala tidak bisa mengatupkan mata hingga pagi hari perihal kejadian itu (Komandoko, hlm 127-128).

Hanya beberapa bulan saja Temon mampu menyelesaikan pendidikannya di

Kapundungan. Semua pelajaran yang diberikan Bapa Tantripala telah habis dilahapnya.

Otaknya terlalu cerdas. Diam-diam maupun terang-terangan Tantripala mengaguminya, hingga tidak ada lagi pelajaran tersisa darinya yang perlu diketahui Temon. Tita juga dianggap telah lulus, meski tidak sesempurna Temon. Tantripala sengaja meluluskannya agar ia bisa tetap bersatu dengan Temon. Perihal Temon, Tantripala kerap menyayangkan kenapa anak itu begitu nakal dan kerap berbuat onar. Jika ia tidak begitu nakal, ia bisa menjadi brahmana. Bapa Tantripala makin menyadari, Dewata Agung pasti mempunyai rencana agung untuk Temon. Oleh karena itu, Tantripala menyuruh Temon dan Tita untuk berguru pada Dang Hyang Lohgawe agar ilmu mereka semakin sempurna.

Setelah menuntaskan belajar bersama Bapa Tantripala, Temon dan Tita kembali ke desa Sagenggeng. Mereka tidak bergegas berguru pada Dang Hyang Lohgawe seperti yang disarankan Bapa Tantripala, tetapi menggembala kerbau. Namun, Temon selalu disergap rasa bosan. Tugas menggembala tidak cocok untuk dirinya, hingga ia dan Tita akan berniat untuk tinggal dan menguasai Ladang Sanja. Di Ladang Sanja inilah, Temon yang akan menjadi pemimpin atau penguasa Ladang Sanja dan Tita menjadi patihnya. Di tempat sepi itulah mereka tinggal, membangun istana sendiri, yang hanya terbuat dari bambu-bambu, atapnya terbuat dari jalinan daun rumbia, singgasananya terbuat dari

59 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

potongan kayu-kayu hutan. Mereka hidup dengan bebas, tidak ada yang memerintah, serta tidak ada yang memaksa, yang dibutuhkan hanya makanan dan tidak perlu cemas kiranya mereka, karena hutan pun ternyata menyediakan segalanya. Tinggal memetik, mengambil, berburu kijang atau rusa, kemudian membakarnya.

Disebutkan pula, bahwa Temon sangat membenci perilaku Kretajaya yang selalu meminta upeti dari Tumapel. Temon pun sangat muak akan kelakuan busuk Tunggul

Ametung yang selalu doyan wanita-wanita perawan. Temon berniat ingin mengalahkan mereka semua dengan kekuatannya sendiri. Namun, Tita masih ragu-ragu. Sebenarnya, ia menyakini akan kecerdikan dan keberanian Temon. Namun, kekuatan Kretajaya dan

Tunggul Ametung teramat tangguh, apalagi didukung prajurit-prajurit pilihan. Walaupun demikian, Temon tidak padam semangat. Ia terus berfikir dan mencari cara, bagaimana secara perlahan-lahan dapat menyingkirkan Kretajaya dan Tunggul Ametung itu. Tiba- tiba bayangan Ki Lembong sejenak melintas di benak Temon. Teringat ia pada ajaran bapak pungutnya ketika dulu mengambil harta orang-orang kaya bejat, sehingga Temon berencana akan mencegat orang kaya yang lewat di sekitar Ladang Sanja. Harta mereka kemudian dijarah, sebagian hasil jarahan diberikan kepada orang-orang miskin. Sebagian sisanya Temon dan Tita simpan. Mereka berdua hendak mempersenjatai diri. Uang hasil rampasan, akan dibelikan senjata dari empu-empu pembuat keris, tujuannya untuk membangun dan memperlengkapi kekuatan. Tidak hanya itu, Temon dan Tita semakin memperbanyak kekuatan dengan merekrut para perampok serta para pemuda yang juga membenci Kretajaya dan Tunggul Ametung. Beberapa remaja dan juga lelaki dewasa mendatangi Temon dan Tita. Mereka semua menyatakan diri bergabung dan menyatakan setuju serta membenarkan tindakan keduanya. Setelah sekiranya kekuatan mereka telah

60 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

tangguh, barulah mereka akan menjarah prajuri-prajurit Tumapel yang membawa upeti untuk Kadiri.

Temon pun akan mengganti namanya menjadi Arok. Menurutnya, Arok adalah nama ia yang sesungguhnya. Nama pemberian Dewata Agung sesuai bisikan Hyang Gaib yang diterima oleh Bango Samparan. Tita juga mengamini, nama Arok adalah nama yang pantas untuk Temon. Arok memang seorang pemimpin, pedobrak, dan pembangun.

Dengan bergabungnya para pemuda dengan kelompok Arok, kekuatan pasukan Arok makin baik. Tindakan mereka semakin berani, kian luas wilayah yang tidak aman dari penjarahan mereka. Nama Arok dan kelompoknya menjadi momok yang menakutkan.

Tita pun semakin yakin, pilihannya mengangkat Arok menjadi pemimpin adalah pilihan yang benar.

Alur semakin maju dan menunjukkan peningkatan konfliknya kembali setelah memasuki sub judul Umang. Dikisahkan terlebih dahulu, bahwa Arok dan kelompok perusuh tengah berada di hutan Adiyuga, setelah Sanja dan sekitarnya diobrak-abrik oleh prajurit Tumapel. Kekuatan besar Tumapel ditumpahkan ke basis kekuatan Arok, mengemban perintah Yang Mulia Tunggul Ametung untuk membasmi Arok dan para perusuh pimpinannya. Pedang-pedang prajurit Tumapel disiapkan untuk memenggal leher Arok dan para perusuh lainnya, dimana pun juga mereka ditemukan. Arok memerintahkan kawan-kawannya untuk tidak melawan, tapi menghindar dan menyingkir dari Sanja. Segenap anggota menganggukkan kepala, seketika itu pulalah Arok tersentak.

Telinga tajamnya mendengar suara-suara mencurigakan dari kejauhan. Ia langsung meminta segenap anggota pimpinannya untuk diam dan mereka bergegas bersembunyi.

Dengan langkah ringan seperti yang diajarkan Ki Lembong, Arok menuju sumber suara

61 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

mencurigakan itu. Tita, mengiringinya dari kejauhan. Tangan kanannya bersiaga, kukuh memegang gagang pedang, menjaga segala kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.

Arok lincah bergerak, ringan melangkah namun bertenaga. Beberapa kali, ia berlindung di balik batang-batang pohon besar, beberapa kali ia melompati semak-semak dengan gerak ringan. Tita terengah-engah mengikuti Arok, ia tertinggal jauh. Sumber-sumber mencurigakan tersebut berada di daerah agak ke pinggir hutan Adiyuga. Dari tempat persembunyiannya, Arok melihat seorang lelaki tua dan perempuan remaja. Si lelaki tua itu sedang memanjat pohon kelapa. Pandangan Arok tertuju pada perempuan remaja yang berdiri di bawah pohon, seraya mendongak mengamati. Perempuan itu sepertinya anak dari lelaki tua tersebut. Arok tersenyum, melihat paras cantik si gadis. Dari kejauhan

Arok telah merasakan kecantikan itu, maka diam-diam ia bergerak mendekati si gadis untuk kian menikmati parasnya (Komandoko, hlm 140-142).

Setelah mereka bertemu dan cukup lama berbincang, ternyata perempuan cantik tersebut bernama Umang. Dikisahkan, bahwa Umang dan ayahnya sedang tertimpa suatu musibah. Ibu kandung Umang telah diculik paksa oleh sekelompok prajurit Tumapel, kemudian diperkosa beramai-ramai. Hal ini, membuat hati lelaki tua itu beserta Umang sedih tiada terkira. Arok yang mendengar kisah Umang, menjadi iba dan ikut merasakan penderitaan yang dirasakan oleh Umang dan ayahnya. Kebencian Arok semakin menggeludak dan Arok pun semakin muak melihat perbuatan prajurit Tumapel tersebut, terlebih lagi pada Tunggul Ametung. Mereka semua lebih pantas jika disebut dengan sebutan anjing-anjing Tumapel.

62 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Pertemuannya dengan Umang tidak mengendurkan semangat Arok untuk menjarah harta orang-orang kaya yang bejat moral. Ia semakin gencar melakukannya.

Terlebih lagi, setelah kekuatan kelompoknya kian bertambah dengan bergabungnya beberapa remaja dan juga lelaki dewasa. Arok tetap utuh mengendalikan kelompoknya, ia tetap didaulat menjadi pemimpin. Semua keputusannya didengar dan seruannya dipatuhi.

Ia berniat meningkatkan tindakan rusuhnya dengan mencegat prajurt-prajurit Tumapel yang tengah membawa upeti ke Kadiri. Setelah waktunya telah siap, maka petaka itu pun tiba. Arok, Tita, dan beberapa anak buahnya menyerang pasukan Tumapel, namun sebagian besar masih tampak ragu-ragu. Namun, itu semua tidak cukup membuat kemenangan berpihak pada Arok. Keragu-raguan di tubuh kelompok Arok membuat mereka menuai kegagalan. Arok dan segenap anak buahnya telah tersudut. Mereka bubar, masing-masing melarikan diri ke berbagai penjuru. Prajurit Tumapel pun pecah, memburu pencaran mengejar Arok dan anak buahnya. Namun, perburuan itu pun dihentikan sejenak, karena para prajurit harus cepat menuju Kadiri menyerahkan upeti untuk Kretajaya (Komandoko, hlm 146-147).

Sementara itu, Arok dengan cerdik melewati jalan-jalan yang tidak biasa dilalui orang. Setelah kejadian penghadangan tersebut, Arok menjadi musuh nomor satu bagi

Tunggul Ametung. Kemana pun Arok pergi, prajurit Tumapel berusaha mengejarnya.

Tunggul Ametung menurunkan perintah khusus untuk menangkap Arok, hidup atau mati.

Serasa tidak ada wilayah aman di Tumapel bagi Arok. Arok pun melarikan diri ke desa

Sagenggeng, tapi prajurit Tumapel mengejarnya hingga Arok terpaksa lari menuju Rabut

Gorontol. Tidak berapa lama ia di sana, ia harus bersembunyi sejenak di Wayang, dan seterusnya menuju Rabut Katu. Terus ia dikejar lagi, menujulah ia ke Jun Watu hingga

63 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

tibalah ia di Lulumbang. Ia menuju rumah Gagak Inget, seorang perwira Tumapel yang nantinya akan menjadi sahabat Arok (Komandoko, hlm 149-150).

Peningkatan konflik hadir kembali saat memasuki sub judul Perwira Rahasia.

Berikut ini adalah kutipan-kutipan yang menunjukkan percakapan antara Gagak Inget dan

Arok.

(72) “Telah gilakah engkau hingga berani datang ke tempatku ini?”, Gagak Inget tersentak mendapati kedatangan Arok di rumahnya. “Seharusnya engkau bersembunyi di hutan! Bukan di rumahku ini! (Komandoko, hlm 151). (73) “Sabarlah!”, Arok menghela napas. “Hutan-hutan di wilayah Tumapel kini bukan lagi tempat aman lagi tersembunyi bagiku. Anjing-anjing akuwu, maaf Inget, mereka terus memburuku.” (Komandoko, hlm 151). (74) “Tak perlu engkau meminta maaf, Arok! Hanya kusayangkan, sangat kusayangkan, kenapa engkau bersembunyi di rumahku ini. Itu akan membuka kedok penyamaran kebencianku pada Yang Mulia Akuwu dan Sri Kretajaya. Bayangkan Arok! Musuh nomor satu Tumapel berlindung di rumah seorang perwira Tumapel! Jagat Pramudita! Lakon gila macam apa ini?” (Komandoko, hlm 151-152). (75) “Berlindung di rumahmu adalah siasat terbaik, Inget! Siapa yang akan menyangka, orang yang mereka cari berada dekat di antara kalangan mereka sendiri? Tak akan ada yang menyangka, bukan? Bahkan darimu pula, aku bisa mengetahui ke mana para prajurit itu akan mencariku. Jika engkau berfikir jernih, tindakanku berlindung di rumahmu ini adalah siasat yang baik. Siapa yang bisa menyangka, buronan utama Tumapel bersembunyi di rumah ini? Siapa pula yang akan curiga? Aku akan berniat menyusun sebuah sandiwara yang jitu!” (Komandoko, hlm 152-153). (76) “Ada baiknya engkau bersembunyi di sini. Namun kita semua perlu waspada. Benar katamu Arok, perlu adanya sandiwara yang hebat untuk ini!” ujar Gagak Inget (Komandoko, hlm 153). (77) “Untuk urusan sandiwara, aku pemain yang mumpuni, Inget!” Arok menyakinkannya. Inget, masih ingatkah engkau dengan Borang?” mendadak Arok mengungkapkan tanya (Komandoko, hlm 153). (78) “Borang?” Maksudmu, Borang anak bekas abdi Bapaku dulu? Kenapa dengannya? Bukankah ia telah meninggal tak lama setelah kematian Bapanya? Kudengar Borang tewas mengenaskan, diterkam macan di tengah hutan Adiyuga ketika sedang berburu.” tukas Gagak Inget mengingatkan kembali (Komandoko, hlm 153-154).

64 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(79) “Cerita bohong itu, Inget! Borang masih hidup. Ia tidak kembali ke Kapundungan melainkan memilih tetap tinggal di hutan. Aku akan bersandiwara menjadi Borang. Lagipula usia Borang, seumuran denganku. Sekarang, aku anak bekas abdi Bapamu yang berasal dari Kapundungan. Anak bekas abdi yang kemudian menjadi pelayanmu pula. Engkau boleh mengujiku apapun juga perihal Borang. Aku pasti bisa menjawabnya. Ingat, aku pelakon sandiwara yang mumpuni.”, lancar Arok menjelaskan siasatnya (Komandoko, hlm 154).

Pada kutipan percakapan nomor (72) sampai (79) dengan jelas disebutkan, bahwa

Arok meminta perlindungan kepada Gagak Inget, bahkan siasat dan rencana Arok memainkan sandiwaranya sebagai Borang pasti akan berhasil. Gagak Inget, sang perwira

Tumapel yang sesungguhnya sangat membenci Tunggul Ametung dan Sri Maharaja

Kretajaya ini, sungguh sangat menaruh harapan besar pada Arok.

Arok sangat piawai memainkan sandiwaranya. Sebagian kecil warga Lulumbang mengenalnya selaku Borang, pembantu Gagak Inget. Warga menilai, bahwa ia pembantu yang rajin. Ia juga dikenal sangat pendiam, lebih banyak berada di dalam rumah sesuai peranannya selaku pembantu. Yang tidak diketahui warga, Arok tetap keluar rumah secara sembunyi-sembunyi pada saat tertentu untuk memimpin kelompoknya. Ia tetap menjarah harta orang kaya yang bejat moral dan juga melakukan penghadangan prajurit- prajurit Tumapel yang hendak mempersembahkan upeti kepada Sri Kretajaya. Informasi yang didapatkannya dari Gagak Inget sangat membantu kelancaran operasi Arok, agar kian sempurna penyamarannya, Arok mengenakan topeng ketika sedang merampok atau menghadang. Nama Arok selaku kepala perampok kian menggetarkan, hingga membuat

Tunggul Ametung gemas bukan main untuk dapat segera menangkapnya. Gagak Inget tetap hebat berperan bagi operasi Arok. Sandiwaranya terhadap Tunggul Ametung tidak menaruh curiga atas kesetiaanya (Komandoko, hlm 156).

65 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Alur masih bergerak lurus, kemudian peningkatan konflik semakin menunjukkan intensitasnya. Ketika Arok sedang berada di daerah Banjar Kacopet, tidak jauh dari

Lulumbang, Ia tidak sengaja bertemu dengan seorang tua berjanggut putih panjang yang tampak kebingungan. Berikut ini adalah beberapa kutipan percakapan yang menunjukkan pertemuan di antara mereka.

(80) Arok mendatangi seorang tua itu dan berkata, “Maafkan Hamba, Tuan”, katanya dengan hormat. “Hamba Borang, pakatik dari Lulumbang. Hamba lihat Tuan tampak kebingungan..” (Komandoko, hlm 156). (81) Lelaki tua itu menatap tajam wajah Arok. Terpengarah ia setelah menatap bola mata Arok, namun segera ditutupnya sikap terkejutnya itu. “Siapa namamu tadi anak muda?” (Komandoko, hlm 157). (82) “Borang, Tuan” (Komandoko, hlm 157). (83) “Borang? Ehm… nama yang cocok untukmu. Sesuai kebaikan hatimu. Namaku adalah Palot. Kebanyakan orang memanggilku Mpu Palot, Turyantapada asalku. Di daerah asalku aku dikenal selaku tukang emas. Aku baru saja datang dari Kabalon, Borang. Hendak pulang ke Turyantapada, namun aku takut dengan keganasan perampok bernama Arok. Kudengar ia sangat keji. Duhai Dewata Agung, begitu banyak tempat sepi yang harus kulewati hingga tiba di Turyantapada. Aku takut sekali dirampok Arok! Apalagi aku membawa bahan emas seberat lima tahil ini!” (Komandoko, hlm 157). (84) “Jika Tuan tidak berkeberatan, Hamba bersedia menemani Tuan hingga sampai ke Turyantapada” (Komandoko, hlm 157). (85) “Benarkah? Betapa baik hatimu anak muda. Tapi Borang, bagaimana jika di tengah perjalanan nanti kita dihadang Arok? Aku tak bisa membayangkan kejadian mengerikan itu. Apalagi aku hanya lelaki tua renta. Jangan melawannya, didorongnya saja tubuh tuaku ini, aku tidak berdaya” (Komandoko, hlm 158). (86) “Hamba akan melawannya, Tuan!”, Borang sangat menyakinkan (Komandoko, hlm 158). (87) “Jagat Dewa Batara! Betapa mulianya hatimu. Semoga Dewata Agung membalas kebaikan hatimu itu!” (Komandoko, hlm 158).

Alur terus berjalan maju, hingga hampir setahun Arok bersama Gagak Inget.

Selama itu, keduanya tetap rapat menjaga rahasia dalam permainan sandiwara yang mereka lakukan. Hingga pada suatu saat, Gagak Inget menyarankan kepada Arok untuk berguru pada Mpu Palot. Betapa terkejutnya Arok, setelah mendengar nama Mpu Palot

66 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

ini, karena sesungguhnya ia telah mengenalnya ketika hendak mengantarkan beliau ke

Turyantapada. Berikut ini adalah kutipan percakapan antara Gagak Inget dengan Arok.

(88) “Aku menyarankan, sebaiknya engkau berguru, dan menambah ilmu kedigdayaan terlebih dahulu sebelum bertarung dengan akuwu dan para prajuritnya!”, saran Gagak Inget (Komandoko, hlm 160). (89) “Lalu menurutmu, kemana sebaiknya aku menuntut ilmu?”, ujar Arok (Komandoko, hlm 160). (90) “Langsung berguru pada guru kanuragan Tunggul Ametung dulu, Arok” (Komandoko, hlm 160). (91) “Siapa guru yang engkau maksud?” (Komandoko, hlm 160). (92) “Mpu Palot!”, ucap Gagak Inget (Komandoko, hlm 160). (93) “Mpu Palot?” bola mata Arok membesar. “Maksudmu, Mpu Palot si tukang emas dari Turyantapada?” (Komandoko, hlm 160). (94) “Engkau kenal dengannya, Arok?” (Komandoko, hlm 160). (95) “Ya”, Arok menganggukkan kepalanya. “Mpu Palot mengaku padaku selaku tukang emas. Bahkan, ia mengaku takut pada hadangan Arok, hingga kuantar beliau pulang seraya membawa lima tahil bahan emas” (Komandoko, hlm 160). (96) “Takut padamu, hahaha?” Gagak Inget tertawa. “Sepuluh orang sepertimu belum tentu mampu mengalahkannya, Arok!” (Komandoko, hlm 160). (97) “Mpu Palot memang dikenal orang selaku tukang emas jempolan. Namun, tak banyak orang tahu, sesungguhnya ia guru kanuragan yang hebat!”, ujar Gagak Inget kembali (Komandoko, hlm 161).

Peningkatan konflik semakin meningkat kembali, ketika memasuki sub judul

Garuda Kaum Brahmana. Disebutkan, saat Arok mendatangi tempat Mpu Palot di

Turyantapada, tidak membuat beliau terkejut melihatnya. Sesungguhnya, Mpu Palot telah mengetahui maksud kedatangan Arok, yaitu untuk berguru kepadanya. Kejadian dan pertemuan saat penyamaran Arok menjadi Borang pun, beliau telah mengetahuinya.

Namun, Mpu Palot hanya berpura-pura tidak tahu. Ia ingin menguji, apakah Arok benar- benar tergiur melihat lima tahil bahan emas yang dibawanya. Tapi ternyata tidak, Arok mengakui memang dirinya adalah seorang perampok. Namun, ia hanya merampok harta orang-orang kaya yang tidak mempunyai kepedulian terhadap sesamanya. Arok juga merampok upeti yang dipersembahkan untuk Sri Baginda Kretajaya. Semua harta hasil

67 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

rampasan akan dibagi-bagikan kepada rakyat miskin, sisanya untuk ia simpan beserta untuk para kelompoknya. Mpu Palot mengetahui jika dulu, Arok pernah berguru pada

Bapa Tantripala di Kapundungan. Beliau semakin yakin, dengan kedatangan Arok untuk berguru padanya, maka ilmu kanuragan Arok akan semakin sempurna. Beliau berniat menurunkan ilmu-ilmu simpanannya, termasuk ilmu yang dahulu tidak diturunkan pada

Tunggul Ametung.

Seperti halnya Tantripala, Mpu Palot juga terkesan dengan kecerdasan Arok dan kesungguhannya dalam menerima ilmu. Arok tidak membutuhkan waktu lama untuk menguasai suatu pelajaran, jauh melebihi yang bisa dilakukan murid-murid lainnya. Mpu

Palot sungguh-sungguh menaruh harapan pada Arok yang kemudian dijadikannya selaku anak angkat. Kedigdayaan Arok semakin menjadi-jadi setelah ia berguru pada Mpu Palot.

Kekhawatiran Gagak Inget akan kemampuan Arok ketika bertarung dengan Tunggul

Ametung tidak perlu diragukan lagi. Mpu Palot sangat bangga dengan kemampuan Arok.

Bahkan, beliau berniat akan mengenalkan Arok dengan Dang Hyang Lohgawe.

Mpu Palot menyarankan agar Arok berguru padanya pula. Dang Hyang Lohgawe adalah maharsi sakti yang berasal dari Jawadwipa. Tersohorlah kesaktian linuwihnya, hingga mampu datang dari Jawadwipa hanya dengan menaiki rumput kekatang tiga helai.

Ia mengemban perintah Sang Hyang Wisnu untuk mencari seorang anak titisan Dewa

Brahma, bernama Ken Arok. Dang Hyang Lohgawe telah menjalin hubungan dengan

Mpu Palot dan kaum Brahmana lainnya di Jawadwipa untuk turut mencarinya.

Terkejutnya Lohgawe setelah bertemu dengan Arok. Anak itulah titisan Dewa Brahma yang tengah dicarinya. Mata Arok demikian tajam menusuk, kuat menyedot. Seakan

68 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

semua mata takluk karena tertusuk dan tersedot oleh ketajamannya (Komandoko, hlm

166-168).

Percakapan di antara mereka pun terjadi kembali dan dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

(98) “Tak sia-sia kedatanganku jauh-jauh dari Jawadwipa ini, kutemukan engkau pada akhirnya. Arok, itulah kebenaran namamu. Engkau sang pendobrak. Tatanan Jagat Pramudita yang telah rusak akan kembali karena dobrakanmu. Para Brahmana akan kembali sesuai perannya, dan begitu pula kaum Ksatria. Tak ada Ksatria yang begitu congkak dengan meminta kaum Brahmana untuk menyembahnya!” Hyang Lohgawe menjelaskan (Komandoko, hlm 168). (99) “Maaf Maharsi Agung,” potong Arok dengan iringan sembahnya. “Apakah Yang Baginda Sri Kretajaya yang Maharsi maksudkan?” tanya Arok (Komandoko, hlm 168). (100) “Aku tidak menyebutkan nama,” Hyang Lohgawe tersenyum. “Aku hanya menyebutkan, sebuah kecongkakkan luar biasa bagi seorang Ksatria jika meminta kaum Brahmana menyembahnya! Sungguh kemurtadan yang luar biasa keinginan itu, karena telah merusak dan menolak tatanan Agung Hyang Dewata!” (Komandoko, hlm 168). (101) “Arok, pada dirimu terletak harapan besar kaum Brahmana. Untuk itu kaum Brahmana berkewajiban membekalimu. Sungguh benarlah apa yang telah dilakukan Mpu Palot terhadapmu. Benarlah pula tindakan Bapa Tantripala”, sambung Hyang Lohgawe (Komandoko, hlm 169). (102) “Sebelumnya Hamba ucapkan terima kasih atas kesediaan Yang Mulia Maharsi untuk menurunkan ilmu kepada Hamba”, sembah Arok tertuju pada Dang Hyang Lohgawe (Komandoko, hlm 169). (103) “Kuterima sembahmu, Anakku. Dan, untukmu Arok, sebelum engkau berguru padaku, mintalah restu pada orang-orang terdekatmu terlebih dahulu. Orang-orang berperan besar membentuk dirimu. Mintalah restu kepada mereka, karena restu mereka adalah pedang tertajam marcapada untukmu. Berangkatlah Anakku, temui aku di Taloka setelah restu mereka telah engkau dapatkan!” (Komandoko, hlm 169-170).

Pada kutipan nomor (98) sampai (103) disebutkan, Arok telah dipertemukan oleh

Dang Hyang Lohgawe. Arok pun telah diangkat menjadi anak muridnya. Hyang

Lohgawe yakin, dengan diangkatnya Arok menjadi murid, Arok akan mampu meluruskan tatanan marcapada yang telah rusak oleh kerakusan Sri Kretajaya dan Tunggul Ametung.

Setelah diangkatnya menjadi murid, Hyang Lohgawe menganjurkan agar Arok meminta

69 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

restu terlebih dahulu pada orang-orang terdekatnya. Setelah berpamitan pada Hyang

Lohgawe dan juga Mpu Palot, berangkatlah Arok. Pertama, ia berniat menuju desa

Pangkur, tempat Ken Endok (ibu kandungnya). Kedua, menuju Lebak tempat Ki

Lembong, kediaman orang tua pungut pertamanya. Ketiga, menuju Karuman, tempat

Bango Samparan. Keempat menuju desa Sagenggeng, tempat Ki Sahaja (orang tua Tita).

Alur maju masih tetap tampak dalam pengisahan ini. Pada sub judul perjumpaan- perjumpaan, dikisahkan ketika Arok hendak menuju Pangkur, ia melewati jalan-jalan yang tidak biasa dilewati orang. Ketika melewati pinggiran hutan lebat, mendadak lima orang wanita nampak meloncat bersamaan dari pohon-pohon seraya ingin menodong

Arok. Sejenak Arok menguasai keterkejutannya. Dihadapannya berdiri lima wanita muda, berwajah lumayan cantik meski menegaskan kebringasannya. Mereka hanya mengenakan cawat tanpa mengenakan penutup dada. Payudara yang montok, indah bergayut di dada para pencegat, sejenak membuyarkan konsentrasi Arok. Belum pernah ia melihat pemandangan yang menggetarkan kelelakiannya seperti itu. Seorang diantara lima wanita itu, berjalan perlahan mendekati Arok. Cukup cantik paras si wajah hitam manis ini. Pedang besar ia genggam pada tangan kanannya, makin menegaskan keganasannya. Ia pemimpin pencegat tersebut dan ternyata mereka adalah para perampok wanita. Berikut ini adalah kutipan percakapan yang menunjukkan pertemuan Arok dan lima orang perampok wanita.

(104) “Siapa kalian?” datar pertanyaan Arok, tak menunjukkan rasa terkejut. Arok tetap tenang, sesekali mencuri pandang pada payudara indah yang mengobarkan birahi kelelakiannya (Komandoko, hlm 172). (105) “Siapa kami, hahaha?” si wanita paling depan tertawa. “Telah butakah, hei lelaki muda hingga tak mengerti siapa kami?!” (Komandoko, hlm 172). (106) “Aku tak pernah merasa mengenal kalian! Sungguh! Bukankah kita baru berjumpa kali ini?”, tukas Arok (Komandoko, hlm 173).

70 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(107) “Setan laknat!” maki si wanita. “Berikan saja harta yang engkau bawa, baru engkau kenal kami! Atau kepalamu itu yang harus engkau tinggal di sini!” (Komandoko, hlm 173). (108) Arok hanya tersenyum dan berkata, “Kalau kalian ingin merampok, pintar-pintarlah kalian mencari mangsa! Anak muda sepertiku mana membawa barang berharga. Hanya selembar celana, itu pun tak muat untuk salah satu diantara kalian! Hahaha” (Komandoko, hlm 173). (109) “Banyak bicara kau ini! Mungkin kau anggota sandi telik si anjing akuwu itu, bukan?!”, tanya si wanita itu (Komandoko, hlm 173). (110) “Bisa jadi, kita tebas saja batang lehernya!”, sambung seorang wanita lainnya (Komandoko, hlm 173).

Si wanita paling depan langsung menyerang Arok. Pedang ganasnya hampir mengenai kepala Arok. Arok dengan mudah dapat menghindarinya. Dalam situasi seperti ini pun, mata nakalnya masih sempat melirik payudara-payudara indah kelima perampok itu. Kemudian kelimanya langsung menyerang Arok tanpa aba-aba. Namun, sebentar saja mereka kembali jatuh terpental terkena pukulan dan tendangan Arok. Tidak juga jera, kelimanya kembali bersiap menyerang sebelum suara keras menghentikan mereka. Suara seorang wanita tua tiba-tiba bergema.

(111) “Hentikan! Kalau kalian mau menghadang, lihat-lihat dulu siapa yang kalian hadang! si wanita setengah baya menghardik. “Buka mata kalian! Anak remaja yang kalian hadang itu adalah Arok! Murid unggulan Bapa Tantripala sekaligus perampok ternama Tumapel! Musuh utama si anjing Akuwu! Seandainya kita semua turun melawannya, tentu amat mudah baginya megalahkan kita!” (Komadoko, hlm 174-175). (112) “Maafkan ketololan kami, Arok”, si wanita pemimpin penyerangan mengiba dan berlutut bersama keempat kawannya. “Benar ucapan Nyi Prenjak, mata kami tertutup, tidak melihat siapa engkau ini sesungguhnya” (Komandoko, hlm 175). (113) “Akulah Nyi Prenjak itu, Arok”, si wanita setengah baya mendekati Arok. “Maafkan kelancangan kami. Sungguh tak kusangka, Arok yang sangat menggetarkan serta menakutkan di Tumapel itu ternyata cah bagus! Pantas Umang, anak angkatku ini, berbinar-binar matanya ketika menceritakan sosokmu!” Nyi Prenjak melirik Umang (Komandoko, hlm 175).

71 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(114) “Umang??” ucap Arok terkejut. Umang langsung menundukkan wajah dan tersenyum malu. Arok tersenyum pula melihat Umang yang diterpa perasaan malu. Ujung mata nakalnya kembali melirik dada Umang (Komandoko, hlm 175). (115) Kemudian Arok mendekati lima perampok yang tetap berlutut. “Bangunlah!”, katanya. “Aku memang Arok. Bukan anjing akuwu yang haus disujudi itu. Sungguh berlebihan kiranya Nyi Prenjak menyebutku demikian tinggi” (Komandoko, hlm 175). (116) “Jangan terlalu merendah Arok!”, Nyi Prenjak berujar. “Siapakah di Tumapel ini yang tak mengenal namamu? Tidak hanya akuwu anjing itu, babi keparat Kretajaya juga! Puiihh! Hanya saja seandainya Umang tak menceritakan siapa dirimu tadi, niscaya aku pun tak akan mengenalmu. Engkau terlalu muda untuk nama besar yang amat menggetarkan Tumapel!” (Komandoko, hlm 176). (117) “Sudahlah Nyi”, Arok mengalihkan pembicaraan. “Jika Nyi Prenjak tak berkeberatan, bisakah aku berbicara sebentar saja dengan Umang?” (Komandoko, hlm 176). (118) “Sama sekali tidak, Arok! Silahkan kau bicara dengannya!” ujar Nyi Prenjak (Komandoko, hlm 176).

Nyi Prenjak beserta anak buahnya segera menyingkir, membiarkan Arok dan

Umang berbicara. Umang menumpahkan tangisnya saat berbicara berdua dengan Arok.

Ia kini sebatang kara. Ibunya telah dibawa paksa prajurit-prajurit Tumapel entah kemana, dan sang ayah akhirnya tewas di tangan prajurit Tumapel karena dituduh terlibat dalam pergolakan Tumapel. Mendidih darah Arok mendengar kisah sedih Umang. Ia semakin muak kepada para anjing Tumapel tersebut. Berikut ini adalah kutipan percakapan antara

Arok dan Umang.

(119) “Sepeninggal bapaku, aku telah berusaha keras mencarimu, Arok!”, kata Umang disela isak tangisnya (Komandoko, hlm 176). (120) “Tenanglah Umang”, hibur Arok (Komandoko, hlm 176). (121) “Kemana-mana engkau telah kucari, namun tak kutemukan juga. Aku akhirnya bergabung dengan Nyi Prenjak setelah aku ditolongnya dari percobaan serangan sekelompok anjing akuwu. Sangat berharap aku, suatu ketika akan bertemu denganmu. Oh, Dewata Agung! Kutemukan engkau juga akhirnya!” (Komandoko, hlm 176).

72 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Umang lantas menceritakan siapa Nyi Prenjak dan juga kelompoknya. Semua anggota kelompok itu senasib sepenanggungan. Semuanya adalah korban kekerasan prajurit-prajurit Tumapel. Ada yang suami atau bapaknya ditangkap dan dibunuh oleh prajurit Tumapel. Ada yang menjadi budak nafsu para prajurit. Nyi Prenjak paling parah nasibnya di antara yang lain. Keluarganya ditumpas habis, sementara dirinya menjadi budak nafsu para prajurit lalu diperkosa beramai-ramai.

(122) “Setelah bertemu denganku, apa yang hendak engkau lakukan?” tanya Arok (Komandoko, hlm 177). (123) “Tak ingatkah engkau dengan janjimu dulu? Aku pasti akan bergabung denganmu! Nah, Arok, kini bawalah aku pergi! Bawalah aku, jadikan aku anggota kelompokmu dan bawalah aku pergi bersamamu! Aku tak punya siapa-siapa lagi” (Komandoko, hlm 177-178). (124) “Umang, aku akan menunaikan tugas dari Dang Hyang Lohgawe dulu. Setelah bertemu dengannya di Taloka, aku pasti akan mencarimu. Aku janji, Umang. Engkau pasti akan kuajak bersamaku” (Komandoko, hlm 178). (125) “Selamanya? Apakah selamanya engkau akan mengajakku, Arok?”, Umang kian menyudutkan (Komandoko, hlm 178). (126) “Ya, Umang. Aku akan mengajakmu selamanya”, Arok menyakinkan (Komandoko, hlm 178). (127) “Arok, kemuliaan lelaki itu terletak pada ucapannya. Pada janjinya. Aku ingin melihat, apakah engkau dapat menepati janjimu itu?? Aku akan menunggumu dan biarlah pepohonan ini menjadi saksi!” (Komandoko, hlm 178-179). (128) “Tenanglah, Umang! Aku pasti akan menepati janjiku. Tak akan kuingkari. Setelah kutunaikan perintah Hyang Lohgawe, aku pasti akan mencari dan membawamu pergi. Biarlah Dewata Agung menjadi saksi atas janjiku ini!” (Komandoko, hlm 179).

Berdasarkan beberapa kutipan nomor (122) hingga (128), dapat dipastikan, bahwa

Umang sangat menaruh hati dan harapan yang sangat besar kepada Arok. Arok pun nampaknya juga memiliki perasaan yang sama terhadap Umang. Arok berjanji, akan membawa Umang untuk hidup bersamanya. Namun, bagaimanapun juga, ia harus mengemban perintah dari Mahagurunya terlebih dahulu. Kemudian, peningkatan konflik

73 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

semakin meningkat kembali, ketika memasuki sub judul Dua Harapan Besar. Di sub judul ini, dikisahkan bagaimana situasi dan suasana hati yang tengah dihadapi oleh

Tunggul Ametung pada saat itu. Berikut ini adalah kutipan-kutipan yang menunjukkan permasalahan yang tengah dihadapi oleh Sang Akuwu tersebut.

(129) “Kejengkelan Tunggul Ametung kian memuncak saat mendapati perintah Sri Kretajaya yang terus saja memintanya untuk mengirimkan upeti. Jumlahnya terus saja meningkat dari waktu ke waktu. Diiringi dengan ancamannya pula, jika Tunggul Ametung tak bisa memenuhinya, berarti ia tak becus memenuhi keinginan Kretajaya dan harus siap-siap menyerahkan kekuasaan kepada si Dhandang Gendhis itu. Bisa-bisa, Maharaja Kadiri itu akan memberikan jabatan akuwu untuk Mahisa Walungan” (Komandoko, hlm 182). (130) “Di saat Tunggul Ametung diterpa kebingungan yang amat sangat, datang kepadanya berita yang memberi harapan. Harapan yang besar. Seorang pandhita Tumapel menjelaskan padanya sebuah rahasia besar. Yang Mulia Akuwu, sesungguhnya terdapat sebuah rahasia besar yang perlu kiranya Yang Mulia ketahui”, tutur Sang Pandhita (Komandoko, hlm 183). (131) “Rahasia besar apakah itu Yang Suci Pandhita?” (Komandoko, hlm 183). (132) “Sesungguhnya di wilayah Tumapel ini ada sebuah keajaiban Hyang Dewata Agung yang dikaruniakan kepada seorang perempuan. Dari kewanitaan paling rahasia memancar cahaya jika dipandang. Nareswari perempuan itu. Perempuan utama maknanya. Siapa pun juga yang mampu menembus kewanitaan rahasia perempuan itu. Dan, bisa menanamkan benih kelelakiannya ke dalam rahim perempuan nareswari itu, maka keturunannnya bisa menjadi maharaja!” (Komandoko, hlm 183-184). (133) “Yang Suci Pandhita, jika hal itu adalah benar, lantas, siapa perempuan nareswari itu?” (Komandoko, hlm 184). (134) “Dedes nama perempuan itu. Putri kandung Yang Suci Mpu Purwa dari Panawijen” (Komandoko, hlm 184).

Angin baik tampaknya kembali menghampiri Tunggul Ametung. Datanglah kepadanya seorang Brahmana asing yang baru pertama kali ia lihat. Brahmana asing itu rupanya Dang Hyang Lohgawe. Bapa angkat Arok itu diterima di ruang paseban pakuwon Tumapel. Berikut adalah kutipan percakapannya.

74 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(135) “Ada persoalan apakah hingga Yang Mulia Brahmana berkenan mengunjungi Hamba?”, tanya Tunggul Ametung (Komandoko, hlm 187). (136) “Jauh-jauh Hamba datang dari Jawadwipa khusus untuk mengabdi pada Yang Mulia Akuwu”, jawab Hyang Lohgawe. Hamba juga mempunyai saran, jika Yang Mulia Akuwu berkenan, untuk mengatasi kerusuhan yang marak di Tumapel ini.” (Komandoko, hlm 187). (137) “Bagaimana saran Yang Suci Brahmana?” (Komandoko, hlm 188). (138) “Hamba mempunyai seorang anak pungut. Digdaya dan tangguh ia. Menurut Hamba, ia akan sangat membantu Yang Mulia Akuwu dalam mengatasi kerusuhan di Tumapel ini. Ia Mempunyai kemampuan untuk itu” (Komandoko, hlm 188). (139) “Siapa nama anak pungut Yang Suci Brahmana itu?” (Komandoko, hlm 188). (140) “Arok!”, jawab Hyang Lohgawe (Komandoko, hlm 188). (141) “Arok? Maksud Yang Suci, keparat Arok pemimpin perampok di Tumapel ini?” (Komandoko, hlm 188). (142) “Benar sekali, Yang Mulia Akuwu! Hamba mohon Yang Mulia Akuwu mendengarkan penjelasan Hamba dahulu” (Komandoko, hlm 188). (143) “Apa yang hendak Yang Suci jelaskan?” (Komandoko, hlm 188). (144) “Benar jika Arok adalah perampok di Tumapel ini. Benar pula ia menjadi pemimpin perampok. Namun, sesungguhnya Arok bukan perampok biasa. Ia hanya merampok upeti yang hendak dihaturkan kepada Paduka Yang Mulia Sri Kretajaya. Arok jelas mengetahui, mana perusuh yang sesungguhnya di Tumapel ini dan mana yang bukan. Jika Yang Mulia berkenan mengangkat Arok selaku abdi Yang Mulia Akuwu, ia pasti akan mampu mengatasi kerusuhan yang ditimbulkan para perusuh yang sesungguhnya. Jangan juga Yang Mulia Akuwu lupakan, di belakang Arok terdapat banyak orang. Jika Arok, diterima selaku abdi, barang tentu anak-anak buahnya akan turut menghentikan tindakan onarnya”, jelas Dang Hyang Lohgawe kembali (Komandoko, hlm 189-190). (145) “Lantas, bagaimana dengan usul Hamba berkenaan dengan Arok?”, tanya Hyang Lohgawe kembali (Komandoko, hlm 192). (146) “Silakan Yang Suci Brahmana membawanya ke sini. Kedua tanganku akan terbuka lebar-lebar menerimanya” (Komandoko, hlm 192).

Berdasarkan kutipan nomor (135) sampai (146) menjelaskan, bahwa Tunggul

Ametung begitu terkejut mendengar permintaan Hyang Lohgawe untuk menawarkan dirinya beserta Arok menjadi abdi Tunggul Ametung. Namun, setelah mendengarkan penjelasan Hyang Lohgawe yang masuk akal, ia bersedia menerima Arok. Peningkatan konflik semakin meningkat tajam, setelah memasuki sub judul Janji-Janji Yang Ditepati.

75 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Disebutkan, Hyang Lohgawe telah berbicara kepada Arok perihal pertemuannya dengan

Tunggul Ametung dan menawarkan agar Arok menjadi abdi Sang Akuwu tersebut. Pada awalnya, Arok menolak keras, namun setelah Hyang Lohgawe memberi penjelasan yang masuk akal. Arok akhirnya menurut. Ia percaya sepenuhnya pada Dang Hyang Lohgawe.

Ia yakin, bapa angkatnya itu akan menuntunnya pada arah yang benar. Menuju harapan yang akan diraihnya, meski belum jelas benar akan harapannya sendiri di masa datang.

Kegemparan pun terjadi. Balairung paseban pakuwon Tumapel menjadi saksi pertemuan antara Arok dan Tunggul Ametung. Semua berlangsung menegangkan hingga

Dang Hyang Lohgawe mencoba bertindak selaku penengah. Tunggul Ametung duduk laksana Sri Maharaja Kretajaya di singgasana pakuwon yang telah dipercantiknya, hingga tidak kalah indah dibanding tempat duduk Kretajaya. Dang Hyang Lohgawe duduk di depannya, di kursi tamu yang telah tersedia. Sementara Arok berdiri di samping mahagurunya. Pandangannya menatap lurus, tanpa jelas apa yang ia tatap meski jelas meninggi kewaspadaan sikapnya. Percakapan di antara ketiga dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

(147) “Seperti janji Hamba”, Dang Hyang Lohgawe membuka percakapan. “Hamba ajak anak pungut Hamba ini untuk menghadap Yang Mulia Akuwu” (Komandoko, hlm 196). (148) “Engkau ini Arok?”, tanya Tunggul Ametung (Komandoko, hlm 197). (149) Arok baru menjawab setelah tepukan lembut Hyang Lohgawe menerpa bahunya, “Benar …, Yang Mulia” (Komandoko, hlm 197). (150) “Jika saja mataku tak melihat langsung kenyataan ini, sulit kiranya dapat kupahami”, ujar Tunggul Ametung. “Engkau masih anak kemarin sore, bau kencur, namun keberanianmu merusuh di Tumapel begitu melangit! Amat mengetarkan pula namamu bagi nyali cecurut-cecurut yang penakut!” (Komandoko, hlm 197). (151) “Yang Mulia Akuwu”, Dang Hyang Lohgawe kembali menjawab. “Anakku, Arok, telah menunjukkan niat besarnya untuk menjadi abdi Yang Mulia. Ia akan membantu Yang Mulia untuk mengatasi banyaknya pergolakan di Tumapel ini” (Komandoko, hlm 198).

76 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(152) “Yang Suci Brahmana!”, Tunggul Ametung kemudian menyentak. “Menjadi prajurit Tumapel bukan urusan mudah. Tidak semua orang dapat menyatakan diri menjadi prajurit Tumapel dan langsung diterima. Dibutuhkan kedigdayaan serta sosok-sosok yang perkasa. Jika Yang Suci Brahmana menjanjikan anak itu mampu membantuku, aku ingin membuktikannya sendiri terlebih dahulu. Aku ingin mengetahui dulu kemampuannya!” kata Akuwu lagi. “Ijo! Lekas kau siapkan sepuluh anak buah terbaikmu! Aku ingin melihat apakah Arok mampu menglahkannya?” (Komandoko, hlm 198). (153) “Baik Yang Mulia Akuwu”, jawab Kebo Ijo (Komandoko, hlm 198).

Sesungguhnya telah gatal tangan Arok untuk menghajar mulut besar yang keparat

Akuwu itu. Inilah kesempatan baginya untuk menghajar prajurit-prajurit Tumapel sebagai pelampiasan keinginannya. Arok dibawa ke alun-alun di depan gedung pakuwon.

Tunggul Ametung bersama Kebo Ijo dan Hyang Lohgawe berdiri di pinggir alun-alun.

Sang Akuwu itu berkacak pinggang seraya mengamati. Sepuluh prajurit khusus bersiap untuk melawan Arok. Lengkap dengan pedang tajam tergenggam kuat-kuat di tangan.

Tunggul Ametung memerintahkan Arok hanya bersenjatakan tangan telanjang. Sepuluh prajurit dengan pedang terhunus menyerang Arok. Namun, Arok adalah kijang emas yang gesit berkelit. Ia juga macan perkasa yang menerkam dan mencabik-cabik tanpa membutuhkan senjata. Maka, sejenak kemudian sepuluh prajurit terbaik tumbang berjatuhan, bagai daun jati tua tersapu angin beliung. Serasa belum puas, Arok masih ingin menghajar mereka namun kesepuluh prajurit tersebut telah pingsan (Komandoko, hlm 198-199).

(154) “Yang Mulia Akuwu”, ujar Hyang Lohgawe kemudian. “Apakah akan Yang Mulia siapkan seluruh prajurit Tumapel setelah Arok mengalahkan lima puluh prajurit itu? Maaf Yang Mulia Akuwu, prajurit-prajurit itu bukan tandingan Arok. Mereka hanya akan menjadi bulan-bulanan murid Yang Mulia Mpu Palot” (Komandoko, hlm 201). (155) “Yang Mulia Mpu Palot dari Turyantapada?” Tunggul Ametung tersentak (Komandoko, hlm 201).

77 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(156) “Benar, Yang Mulia. Sebelum Arok berguru pada Hamba. Ia telah menamatkan pelajarannya di padepokan Turyantapada terlebih dahulu” (Komandoko, hlm 201). (157) Suasana paseban hening. Tunggul Ametung tampak gemas saat menatap Arok. “Arok!” suaranya menggelegar (Komandoko, hlm 202). (158) “Hamba Yang Mulia Akuwu”, sembah Arok (Komandoko, hlm 202). (159) “Apakah kau benar-benar akan mengabdi dan setia terhadapku dan juga Tumapel?”, tanya Sang Akuwu (Komandoko, hlm 202). (160) “Tentu Yang Mulia”, Arok menghaturkan sembahnya lagi. “Hamba berjanji akan menjaga keutuhan dan kekukuhan Tumapel. Hamba berjanji akan menjaga keselamatan Yang Mulia semampu yang bisa Hamba perbuat” (Komandoko, hlm 202). (161) “Melihat sepak terjangmu dan kebesaran nama Yang Mulia Mpu Palot selaku guru ternama dan juga Yang Suci Lohgawe selaku bapa angkatmu ini. Kurasa kau bukan lelaki pengecut yang akan puas menjilat air ludahmu sendiri!”, ucap Sang Akuwu (Komandoko, hlm 202). (162) “Ijo! Mulai sekarang ini kutetapkan . . . Arok menjadi wakilmu! Tunjukkan tugas-tugas dan kehormatan selaku anggota prajurit pengawal khusus Akuwu!”, perintah Sang Akuwu (Komandoko, hlm 202). (163) “Baik, Yang Mulia Akuwu”, sembah Kebo Ijo (Komandoko, hlm 202).

Jabatan Arok memang wakil kepala pengawal khusus Akuwu. Namun, lebih banyak dihabiskan waktunya untuk memadamkan pergolakan dan kerusuhan yang merebak di Tumapel. Kebo Ijo berikut pasukan yang dibawahinya sangat mengandalkan

Arok. Dang Hyang Lohgawe kembali mengingatkan janji Tunggul Ametung untuk mengangkat kawan-kawan Arok menjadi prajurit Tumapel. Arok juga menjanjikan kesetiaan kawan-kawan untuk mengabdi pada Sang Akuwu dan Tumapel. Jadilah Tita dan kawan-kawan Arok lainnya menghentikan perannya selaku perampok dan berganti seragam prajurit Tumapel. Pergolakan, pemberontakan, dan kejahatan jauh menurun jumlahnya, meski tak habis seluruhnya terbabat. Terutama jika menyangkut gangguan pengiriman upeti ke Kadiri. Sepak terjang Arok membela Tumapel sangat memuaskan

Tunggul Ametung. Namun, Akuwu itu tidak juga menugaskan Arok mengawal upeti ke

Kadiri meski Kebo Ijo berulang-ulang telah menyarankan padanya. Akuwu tetap

78 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

menolak saran dari tangan kanannya itu. Sang Akuwu tak menginginkan Sri Kretajaya mengetahui jika Arok mengabdi pada Tunggul Ametung (Komandoko, hlm 203-204).

Setelah membahas keseluruhan alur pada peningkatan konflik, maka pada pembahasan terakhir ini, dapat dilihat dengan cermat bahwa Arok yang dahulu sangat menentang Tunggul Ametung, sekarang berbalik menjadi pengawal khusus Sang Akuwu.

Jabatannya memang wakil Kebo Ijo, namun sepak terjangnya sangat memukau. Tunggul

Ametung sesungguhnya sangat salut padanya. Namun, kesombongan di hati Sang Akuwu tidak menampakkan jika ia sangat mengagumi kedigdayaan seorang Arok.

2.4 Tahap Klimaks (Climax)

Tahap klimaks adalah tahap yang berisi konflik atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks, atau paling tidak dapat ditafsirkan demikian (Nurgiyantoro, 2007:150).

Tahap klimaks di sini dimulai pada sub judul Dedes. Pengenalan Dedes di tahap klimaks merupakan salah satu pembentukan alur cerita yang langsung menuju tahap klimaks dalam kisah ini. Telah disebutkan oleh Yang Suci Pandhita pada tahap peningkatan konflik, bahwa Dedes adalah wanita nareswari. Ia perempuan istimewa, seolah tiada duanya. Tidak hanya cantik menawan laksana berlian, terpuji pula sikapnya.

Satu keistimewaan yang tidak akan dijumpai pada wanita lain di marcapada ini adalah tanda pada kewanitaannya yang memancarkan cahaya terang jika dipandang. Lelaki

79 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

mana pun juga, bila dapat menyiramkan benih kelelakiannya ke rahim Dedes, maka ia dan keturunannya akan menjadi maharaja. Dedes merupakan putri tunggal Mpu Purwa,

Brahmana Buddha yang tersohor namanya di timur gunung Kawi. Beliau berdiam di

Panawijen, kawasan larangan bagi pasukan perang untuk menginjak atau memasukinya.

Panawijen adalah kawasan yang hanya diperuntukkan bagi para pertapa saja, tempat mencari ketenangan dan ketentraman batin.

Sementara itu, kecantikan dan kemolekan Dedes luar biasa mempesona, seakan gambaran kesempurnaan wajah dan tubuh wanita ada padanya. Semua pujian untuk wanita serasa jadi miliknya. Dialah sekar ayu Panawijen yang membuat para lelaki berlomba-lomba untuk menyuntingnya. Namun, Dedes tidak peduli dengan kerling mata nakal para lelaki penggoda. Dedes, sang jelita ini belum menunjukkan minatnya untuk diikat selaku istri dalam rumah tangga. Ia dingin bagai puncak gunung es, tidak terpengaruh hembusan angin hasrat lelaki. Waktunya hanya dihabiskan untuk beribadah, berbakti kepada Para Dewa dan mengurus bapa terkasihnya.

Dedes tumbuh mewangi dalam kemolekan wajah, tubuh dan perangai, serta memegang teguh ajaran luhur Sang Begawan Agung Siddartha Gautama. Kecantikan dan keagungan Dedes mengharum hingga memenuhi udara Tumapel, sampai pula ke

Kutaraja, tempat bermukim Akuwu Tumapel. Sungguh-sungguh menggoda hasrat

Akuwu untuk segera memperistrinya. Meski belum sempat melihat, Sang Akuwu telah merasa tergila-gila dan memenuhi benaknya dengan berbagai siasat untuk mendapatkan si jelita tiada tara tersebut. Maka dari itu, Tunggul Ametung memimpin sendiri pasukannya dengan berkuda menuju Panawijen. Ia telah siapkan siasat setibanya di sana.

Diperintahnya segenap anggota pasukannya untuk diam menunggu di luar Panawijen.

80 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Kuda Sang Akuwu dihentikan biksu pengawas kawasan Panawijen. Tunggul Ametung dengan sifat congkaknya menuruni kuda yang ditungganinya. Ia bertolak pinggang di depan biksu tersebut. Matanya lalu menyorot tajam seakan menunjukkan keperkasaan dan kekuasaan ksatria yang berlebih di hadapan seorang biksu itu (Komandoko, hlm 207-

210).

Berikut ini akan dihadirkan beberapa kutipan yang menunjukkan tahapan klimaks dalam penculikan Dedes oleh Tunggul Ametung, yang kemudian Dedes pun akan dipaksa menikah dengan Sang Akuwu tanpa restu Mpu Purwa.

(164) “Yang Suci Biksu, apakah aku yang harus menghadap Yang Mulia Mpu Purwa atau beliau yang akan menemuiku di tempat ini? Bagaimana aturan Panawijen ini? Ingat, aku ingin menunjukkan kepada Yang Suci Biksu perihal beradabnya seorang ksatria. Betapa aku menghargai kebebasan wilayah ini sesuai perintah Yang Mulia Baginda Kretajaya”, ujar Tunggul Ametung seraya menyombongkan diri (Komandoko, hlm 210-211). (165) “Yang Mulia Akuwu, sesungguhnya Yang Mulia Mpu Purwa sedang bertapa. Beliau tidak bisa diganggu, tak bisa menerima tamu”, jelas Sang Biksu (Komandoko, hlm 211). (166) “Lalu, apakah kedatanganku ke Panawijen ini hanyalah sebuah kesia- siaan?” bibir Tunggul Ametung mencibir. Matanya tetap ganas menatap biksu yang menghadapinya dengan kesopanan. “Apakah tak ada sosok di Panawijen ini yang bisa menerima Akuwu Tumapel sebagai tamu kehormatan?” (Komandoko, hlm 211). (167) “Yang Mulia Mpu Purwa telah mewakilkan kepada putri beliau untuk menerima tamu” (Komandoko, hlm 211). (168) “Lalu, mengapa Yang Suci Biksu tak segera mengantarkanku pada putri Yang Mulia Mpu Purwa?” (Komandoko, hlm 211).

Tidak beberapa lama, Sang Biksu pengawas kawasan Panawijen mempersilakan

Tunggul Ametung untuk memasuki kawasan Panawijen. Tidak ada cara lagi baginya untuk menolak kedatangan Akuwu yang sikapnya semakin congkak saja. Dengan langkah gagah, Sang Akuwu menuju ruang penerima tamu. Sementara itu, Dedes yang tengah beristirahat di ruang pesanggrahan didatangi pelayannya seraya berlari-lari kecil.

81 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(169)“Yang Mulia Putri, ada seorang tamu untuk Yang Mulia Mpu Purwa” (Komandoko, hlm 211). (170) “Siapa tamu itu?” (Komandoko, hlm 212). (171) “Akuwu Tunggul Ametung” (Komandoko, hlm 212). (172) “Katakan saja, aku sedang ada urusan sangat penting!” (Komandoko, hlm 212). (173) Belum selesai Dedes pergi, Sang Akuwu Tunggul Ametung telah masuk ruang pesanggrahan. Setelah menatap kejelitaan seorang Dedes, Sang Akuwu pun berkata, “Jagat Pramudita! Tak berlebihan omongan orang- orang ternyata! Luar biasa cantiknya putri Yang Mulia Mpu Purwa ini! Jagat Pramudita! Sungguh, kurasa aku kini berada di nirwana dan melihat ratu bidadarinya!” (Komandoko, hlm 212). (174) Dedes tersentak kemudian berkata, “Yang Mulia Akuwu, ayahanda tengah bertapa. Beliau tak bisa menerima tamu saat ini!” (Komandoko, hlm 212). (175) “Jelita tiada tara, aku hendak menjelaskan kepadamu. Sebenarnya, ada beberapa perusuh, penjahat, dan pemberontak yang lari dan berlindung ke kawasan Panawijen ini. Aku, Akuwu Tunggul Ametung, wakil sah Sri Maharaja Kretajaya di Tumapel ini, akan menangkap mereka. Aku menghargai kemerdekaan wilayah Panawijen, hingga perlu bagiku untuk meminta izin Yang Mulia Mpu Purwa. Namun, jika Yang Mulia Mpu Purwa tidak mengizinkan, tetap akan kutangkap para penjahat itu!”, jelas Tunggul Ametung (Komandoko, hlm 213). (176) “Jika telah demikian, untuk apa lagi Yang Mulia Akuwu perlu meminta izin ayahandaku?” (Komandoko, hlm 213). (177) “Aku tak ingin dianggap ksatria yang tidak tahu sopan santun. Maka dari itu, aku meminta izin terlebih dahulu. Namun, aku tetap menangkap para bajingan itu, baik diberi izin dari Yang Mulia Mpu Purwa atau tidak!” (Komandoko, hlm 213). (178) “Jika demikian, silakan Yang Mulia Akuwu menangkap orang-orang yang dianggap perusuh itu!” (Komandoko, hlm 214). (179) Tunggul Ametung mengedipkan sebelah matanya. Seringai senyum serigalanya tertuju pada Dedes. “Ada yang lebih penting dan perlu kutangkap lebih dulu dibanding para bajingan itu!” (Komandoko, hlm 214). (180) “Maksud Yang Mulia?” (Komandoko, hlm 214). (181) “Engkau Dedes!” (Komandoko, hlm 214). (182) “Aku? Mengapa aku hendak Yang Mulia tangkap? Apa kesalahanku? (Komandoko, hlm 214). (183) “Kesalahanmu? Karena wajahmu demikian mempesona! Kecantikanmu luar biasa, telah menghilangkan seleraku menangkap para bajingan itu! Aku akan menangkapmu dan memboyong ke istanaku, Dedes! Menjadi prameswariku tentunya!” (Komandoko, hlm 214).

82 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Tunggul Ametung meraih lengan Dedes. Sekuat tenaga Dedes mengibaskan tangannya, namun cengkeraman Tunggul Ametung begitu kukuh. Dedes tidak mampu melepaskan cengkeraman tersebut. Kukunya bebas mencakar Tunggul Ametung, agar cengkeraman Akuwu itu terlepas. Namun, Akuwu Tumapel itu malah gembira, tidak merasa sakit.

(184) “Cakarlah yang keras Cah Ayu! Lebih keras! Gairahku akan semakin bergolak, Cah Ayu! Ayo, lakukan, lebih keras lagi, sayang!”, gumam Tunggul Ametung (Komandoko, hlm 216). (185) Dedes kian panik. Ia kuat meronta, namun tenaganya tak mampu terlepas dari cengkeraman Tunggul Ametung. Dedes meludahi wajah Akuwu Tumapel itu, “Cuihhh!” (Komandoko, hlm 216). (186) “Ayo ludahi lagi Putri Cantik! Ludahi lagi aku Juwitaku! Makin bergelora hasratku untuk memilikimu, Juwita! (Komandoko, hlm 216). (187) “Aku bukan juwitamu, Keparat!” (Komandoko, hlm 216). (188) “Ahhh, maki-makilah aku, sayang! Tambahilah dengan cakaran dan ludahanmu! Engkau memang pintar meninggikan gairahku! Ayo Putri Jelita! Tak akan kulepaskan engkau dari pelukanmu!” tawa Sang Akuwu mengiringi (Komandoko, hlm 216).

Dalam puncak kepanikan dan putus asa, Dedes pun terkulai lalu pingsan. Tunggul

Ametung tertawa gembira. Dipanggulnya tubuh molek putri tunggal Mpu Purwa itu.

Bergegas setengah berlari ia keluar dari ruang paseban. Biksu pengawas Panawijen hendak mencegah, namun Tunggul Ametung telah mendorongnya hingga Sang Biksu jatuh terjerembab. Kesempatan itu digunakan Tunggul Ametung untuk terus membawa

Dedes. Bergerak cepat ia hingga sampai di kudanya. Dinaikkan tubuh molek putri Mpu

Purwa itu dan bergegas memacu kudanya cepat-cepat. Setelah Mpu Purwa pulang dari bertapanya, beliau begitu terkejut dan tercabik-cabik pula hati serta perasaannya. Dalam kesedihannya yang melangit, keluarlah kutuk Mpu Purwa atas diri Tunggul Ametung.

83 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(189) “Semoga engkau, hei Akuwu bejat moral pembawa lari anakku, kiranya tak akan lama engkau mengenyam kenikmatan! Engkau akan mati binasa tertusuk keris dan istrimu diambil orang!” kutuk Mpu Purwa berkumandang diiringi suara petir yang menggelegar (Komandoko, hlm 217).

Klimaks pada tahap alur selanjutnya berlanjut pada sub judul Berlabuhnya

Asmara. Disebutkan, bahwa Tunggul Ametung telah memerintahkan pandhita Tumapel untuk menikahkannya dengan Dedes. Tanpa kehadiran Mpu Purwa dan tanpa harus menunggu berlama-lama, nafsu Tunggul Ametung untuk segera meniduri Dedes telah bergelora. Bukan hanya ingin segera merampas keperawanan Dedes, melainkan berusaha mendapatkan rahasia luar biasa putri nareswari itu. Meski terus-menerus diwarnai tangis penyesalan Dedes, Tunggul Ametung mendudukannya sebagai permaisuri Tumapel, mengalahkan berpuluh-puluh wanita yang hanya menyandang status selir Sang Akuwu.

Namun, bagaimanapun juga Dedes hanya menginginkan kebebasannya selaku manusia, yang bebas beribadah, berbakti kepada Hyang Dewata, dan mengurus bapanya. Dedes semakin menumpahkan tangisnya bila mengingat ayahandanya.

Jika jalan hidup Dedes sangat menyedihkan, berbeda pula halnya dengan Arok.

Arok diberikan izin khusus untuk menemui dan melamar Umang. Dang Hyang Lohgawe,

Tita dan kawan-kawan Arok lainnya turut mendampingi setelah mendapat izin pula. Arok dan rombongannya segera menuju hutan tempat Arok dahulu mendapat hadangan. Arok teringat perihal payudara yang menggelorakan kelelakiannya itu. Lalu pantaskah mata suci Dang Hyang Lohgawe menatapnya? Ternyata, Nyi Prenjak cukup jeli membaca situasi. Seluruh anak buahnya diminta untuk mengenakan celana sebatas lutut dan kain rapat penutup dada. Umang pun juga demikian. Tampillah Umang seperti perawan desa yang lugu, ayu, dan kian membangkitkan niat Arok untuk segera memilikinya. Hyang

84 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Lohgawe secara resmi menikahkan Arok dan Umang untuk bersatu sebagai sepasang suami istri. Umang sangat bahagia dan semakin bahagialah ia melihat Arok, karena Arok telah menjadi suami yang sah bagi Umang. Nyi Prenjak dan segenap anak buahnya, serta

Tita dan kawan-kawan Arok lainnya, larut dalam kegembiraan dan suka cita

(Komandoko, hlm 222).

Setelah kembalinya Arok ke Kutaraja, kerusuhan di Tumapel kembali menghebat.

Pergolakan marak dimana-mana. Padahal, sejak Arok dan kawan-kawannya menjadi prajurit Tumapel, telah begitu banyak wilayah Tumapel yang kembali aman. Namun, mendadak daerah-daerah aman itu kembali bergolak, terjadi di luar perkiraan. Tunggul

Ametung memanggil Arok, ia memberikan titah khusus untuk mencari tahu penyebab pergolakan tersebut. Arok melakukan penyamaran dan menanggalkan seragam prajurit

Tumapel. Arok terus menyelidiki dan akhirnya ia mendapat berita jika para pembuat ulah itu kemungkinan berasal dari kekuatan asing, bukan warga Tumapel.

Ketika suatu malam, kesempatan Arok terbuka lebar melakukan pengintaian, sendirian di hutan-hutan perbatasan Tumapel-Kadiri. Sengaja ia mendatangi wilayah- wilayah sepi yang terlepas dari pengawasan prajurit Tumapel. Arok melihat sekelompok orang, sekitar lima belas orang jumlahnya. Dari wilayah Kadiri, mereka menyeberang memasuki wilayah Tumapel. Beberapa saat berjalan, Arok mendapati pos paling depan wilayah Kadiri yang dijaga para prajurit. Dari tempat persembunyiaanya, ia melihat lima belas orang itu bertubuh besar, kekar, tegap, sigap, dan gesit gerakannya. Mereka orang- orang terlatih dalam keprajuritan. Ternyata Arok mencurigai, bila mereka adalah prajurit- prajurit Kadiri, namun lima belas orang Kadiri tersebut lalu berganti baju, berseragam

Tumapel. Arok terus mengintai mereka. Sampai menjelang pagi, Arok melihat lima belas

85 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

orang penyusup wilayah Tumapel telah kembali. Mereka membawa barang jarahan, meski tidak banyak jumlahnya. Seragam Tumapel tidak lagi dikenakan. Ternyata benar dugaan Arok, jika mereka adalah prajurit-prajurit Kadiri. Seketika darah Arok mendidih dan kemarahannya semakin memuncak. Ia merasa harus membalas kelakuan busuk para prajurit Kadiri yang telah menghancurkan ketentraman rakyat Tumapel (Komandoko, hlm 227-228).

Di keremangan menjelang datangnya pagi, Arok mulai bertindak. Dengan gerak mengendap-endap, Arok mendekati pos penjagaan itu dari arah belakang. Dua orang prajurit Kadiri yang tengah berbicara santai, seketika menjadi korban. Keduanya kehilangan nyawa setelah Arok melancarkan serangan mematikan. Tanpa menimbulkan suara mencurigakan, Arok terus bergerak gesit. Korban-korban terus berjatuhan tanpa disadari para prajurit Kadiri. Ketika Arok tiba di istal, segera dibakarnya kandang kuda itu. Kegemparan dan kepanikan terjadi di kubu prajurit Kadiri. Sementara itu, Arok bergerak gesit meninggalkan tempat yang tengah membara itu tanpa diketahui seorang prajurit Kadiri pun. Keesokan paginya, Arok menghadap Tunggul Ametung dan menceritakan kejadian yang terjadi tadi malam. Betapa terkejut Sang Akuwu, ternyata orang-orang yang menjadi perusuh adalah prajurit-prajurit Kadiri. Tunggul Ametung menyuruh Arok untuk bergabung dalam pasukan Kalasewu. Kalasewu sangat bergembira mendapati Arok selaku anggota pasukannya (Komandoko, hlm 229).

Alur terus bergerak maju dan mengisahkan saat pertama kalinya Arok berjumpa dengan Dedes. Dikisahkan, ketika Arok dan Kalasewu menghadap Tunggul Ametung, perihal siasat yang hendak dilancarkan oleh Arok dalam menumpas habis para perusuh

Kadiri. Arok melihat Dedes tengah berada disamping Sang Akuwu. Pancaran kecantikan

86 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

luar biasa Sang Prameswari itu begitu mengejutkan Arok, meski dengan piawai ia tutupi keterkejutannya. Hatinya bergetar hebat, Arok begitu terpesona, serasa melihat ratu bidadari yang tengah berada di marcapada ini. Dedes pun merasakan hatinya bergetar hebat saat pertama kali melihat Arok. Ketampanan wajahnya, kesopanan perilaku, dan juga kegagahannya selaku prajurit Tumapel, membuatnya terpesona. Ia melihat sosok sempurna yang seharusnya menjadi belahan jiwanya, bukan Akuwu yang congkak.

Namun seperti halnya Arok, ia pun segera menutupi keterkejutan dan keterpesonaan pada

Arok. Tiba-tiba Tunggul Ametung mengubah keputusannya, agar Arok tetap tinggal di

Kutaraja, dan Kebo Ijo yang menggantikannya. Arok diperintahkan untuk tetap menjalankan tugas-tugas pengawalan serta penjagaan terhadap keselamatannya dan prameswari. Dedes tampak senang dengan keputusan suaminya. Wajahnya berbinar hingga kecantikannya kian terpancar.

Tahap klimaks terjadi lagi ketika memasuki sub judul Siasat dan Pengkhianatan.

Saat suasana panas tengah mencekam Tumapel, mendadak datang utusan dari Kadiri. Sri

Kretajaya menitahkan Tunggul Ametung untuk segera datang menghadapnya di Kadiri.

Balaiurang istana Kadiri terasa mencekam, terutama pada saat Tunggul Ametung menghadap Baginda Kretajaya. Mpu Tanakung, Mahisa Walungan, serta Gubar Baleman turut hadir pula. Berikut ini adalah kutipan percakapan di antara mereka.

(190) “Pulung! Apakah kau ingin menjungkalkanku dari singgasana ini?”, tanya Kretajaya (Komandoko, hlm 239). (191) “Terpikir dalam benak Hamba pun sama sekali tidak, Yang Mulia”, jawab Sang Akuwu (Komandoko, hlm 239). (192) “Manis bicaramu, tapi busuk kelakuanmu, Pulung! Di depanku engkau menyatakan kesetiaanmu, namun di belakangku, engkau menginjak- injak kehormatanku! Pulung! Apakah atas perintahmu pembakaran dan penghancuran pos penjagaan terdepan Kadiri di dekat perbatasan Tumapel?”, sambung Kretajaya (Komandoko, hlm 240).

87 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(193) “Sama sekali bukan Hamba atau prajurit-prajurit Tumapel, Paduka Yang Mulia. Hamba sama sekali tidak mengerti, mendengar pun baru sekarang ini”, Tunggul Ametung berkata dusta (Komandoko, hlm 240). (194) “Kalau begitu, lantas siapa yang merusak dan membakar pos penjagaan itu menurutmu?”, tanya Kretajaya lagi (Komandoko, hlm 240). (195) “Ampun, Yang Mulia Baginda, sungguh Hamba tidak tahu. Hamba akan bertanggung jawab penuh jika memang ada prajurit Tumapel yang terlihat dalam peristiwa pembakaran atau perusakan pos penjagaan Kadiri itu” (Komandoko, hlm 240).

Pergerakan alur tetap berjalan lurus. Dikisahkan, Dedes tengah mendapati Sang

Akuwu yang sedang kesal dan marah perihal pertemuannya dengan Baginda Kretajaya.

Oleh karena itu, untuk meredakan kemarahan suaminya, Dedes berusaha menghibur serta membujuknya berjalan-jalan ke taman Boboji. Dedes juga meminta, agar Sang Akuwu menyuruh Arok mengawal mereka saat sedang berada di taman Boboji. Tanpa ada rasa curiga sedikit pun, Tunggul Ametung mengabulkan permintaan Dedes. Ia sangat bahagia, melihat sikap permaisurinya yang manja dan lembut, lain dari biasanya. Dengan begitu, hilanglah perasaan kesal Tunggul Ametung terhadap Dhandang Ghendis itu untuk sejenak. Arok pun sangat senang mendengar permintaan Sang Akuwu. Namun, Arok tetap piawai menekan gelora perasaan hatinya. Ia tetap bersikap sopan dihadapan

Tunggul Ametung dan Dedes. Arok bisa menjaga jarak, mengatur sikap, hingga Tunggul

Ametung tidak bisa melihat gelora dan getaran hebat di dalam dada Arok. Dengan berkuda, Arok mengawal Sang Akuwu dan Dedes yang menaiki kereta kencana pakuwon.

Taman Boboji telah terhidang di depan mata. Cuaca cerah, indah, bunga-bunga bermekaran, mata terasa terbius akan keindahan yang tersaji. Arok turun dari kudanya, ia bergegas membuka pintu kereta dan mempersilahkan Sang Akuwu turun dari kereta.

Arok pun bergegas ke pintu kereta kembali, dibukanya pintu dan mempersilakan Sang

88 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Prameswari turun. Tersingkaplah satu rahasia besar yang terdapat pada diri Dedes. Ketika

Dedes melangkah turun, angin nakal bertiup, menyibak kain yang dikenakannya. Sibakan yang panjang hingga menyingkap keseluruhan kaki hingga pangkal paha Dedes. Arok luar biasa tersentak. Dilihatnya seberkas cahaya terang memancar keluar dari kewanitaan paling rahasia Sang Nareswari itu. Hal ini membuat Arok bertanya-tanya dalam hati.

Sepulangnya dari taman Boboji, Arok menceritakan peristiwa itu kepada Mahagurunya.

Dang Hyang Lohgawe tersenyum, kemudian beliau memberitahu jika seorang wanita memancarkan sinar terang pada daerah kewanitaannya, maka siapapun lelaki yang memperistrinya, kelak akan menjadi maharajalah ia beserta keturunannya (Komandoko, hlm 246-247).

Alur terus bergerak maju, ketika Tunggul Ametung menitahkan Arok kembali pada pasukan Kalasewu di perbatasan. Sebagai ganti ketiadaan Arok, Kebo Ijo ditarik ke

Kutaraja. Untuk sementara waktu, Arok harus bersiaga di garis terdepan wilayah

Tumapel dan sejenak melupakan bayang-bayang indah kemaluan Dedes yang bercahaya luar biasa itu. Tiba-tiba, Tita mendadak mengajak Arok berada di tempat sepi ketika keduanya tengah berpatroli. Berikut kutipan bercakapannya.

(196) “Kubawakan berita maha penting untukmu, Arok!” (Komandoko, hlm 249). (197) “Berita apa, Tita? Lekas kau sebutkan agar aku tak mati penasaran!” (Komandoko, hlm 250). (198) “Pasukan rahasia kita menangkap seorang brahmana yang melarikan diri dari Kadiri. Ia mempunyai berita yang bisa jadi membuatmu benar- benar mati terkejut. Arok, akan ada peristiwa besar di Tumapel! Dhandang Ghendis tampaknya sungguh-sungguh ingin mengganti Akuwu” (Komandoko, hlm 250). (199) “Siapa pengganti Tunggul Ametung? Mahisa Lawungan?” tanya Arok (Komandoko, hlm 250). (200) Tita menggelengkan kepala kemudian berkata, “Penggantinya adalah Kebo Ijo! Kebo Ijo mendapat tugas khusus dari Baginda Kretajaya

89 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

untuk menghabisi Tunggul Ametung! Upah keberhasilannya adalah menjadi akuwu” (Komandoko, hlm 250). (201) “Tita! Kau yakin berita brahmana itu dapat dipercaya?” (Komandoko, hlm 250). (202) “Ya, sangat akurat! Beberapa kawan kita telah melapor padaku, mereka kerap melihat Kebo Ijo beberapa kali melintas menuju Kadiri tanpa sepengetahuan Tumapel. Kawan-kawan kita juga melihatnya melakukan tindakan rahasia, persiapan khusus nampaknya. Ia menggalang kekuatan dengan Empu Gandring untuk melaksanakan tugas rahasianya itu!” (Komandoko, hlm 250). (203) “Empu dari desa Lulumbang itu?” (Komandoko, hlm 250). (204) “Benar, Arok! Lantas, apa yang harus kita lakukan?” (Komandoko, hlm 250). (205)“Sekarang, secepatnya kita menuju Lulumbang, menemui empu itu! Kita pikirkan rencana selanjutnya dalam perjalanan nanti” (Komandoko, hlm 251).

Tahap klimaks selanjutnya berlanjut kembali pada sub judul Empu Gandring.

Disebutkan Empu Gandring adalah seorang empu yang jempolan dan pembuat senjata ternama dari Lulumbang. Empu Gandring mempunyai bengkel pembuatan senjata di dekat rumahnya. Beberapa orang dijadikannya panjak untuk membantu pekerjaannya.

Bukan hanya keris yang bisa dipesan darinya, melainkan aneka senjata lainnya. Pedang, tombak, trisula, dan senjata lainnya. Sungguh berkelas senjata buatan Empu Gandring dan panjak-panjaknya ini. Khusus untuk keris-keris berharga pesanan tinggi, Empu

Gandring membuatnya sendiri. Keris buatannya terkenal bertuah. Siapa pun juga, betapa pun saktinya orang itu, akan tewas jika tertusuk keris buatan Empu Gandring. Meski terkenal sakti, sang empu terkenal pula akan sifat sombongnya. Ia orang yang licik.

Baginya, uang dan kekuasaan di atas segalanya, mengalahkan keagungan Hyang

Pancagina sekalipun. Siapa yang berani membayar tinggi akan dilayaninya terlebih dahulu. Bahkan, biasanya ia meminta uang panjar terlebih dulu sebelum pesanan itu dibuat, kecuali pada Baginda Kretajaya dan Tunggul Ametung.

90 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Alur terus bergerak maju, dikisahkan bahwa Arok dan Tita bertandang ke

Lulumbang menemui Empu Gandring ini. Mereka hendak memesan sebuah keris sakti padanya. Namun, setelah Sang Empu memandang mereka berdua, ia begitu meremehkan keduanya. Seakan-akan Arok tidak mempunyai banyak uang untuk memesan keris darinya. Tapi, pada kenyataannya Arok mempunyai cukup uang untuk memesan keris sakti itu dari sang empu. Sebelum menuju Lulumbang, ia menyempatkan diri menuju

Karuman terlebih dahulu, untuk meminjam uang kepada bapak angkatnya, yakni Bango

Samparan. Arok pun mempunyai siasat cerdik dan segera menyakinkannya serta sedikit mengancam Empu Gandring, sehingga sang empu pun menuruti apa kemauan Arok.

Arok meminta agar keris pesanannya harus selesai dalam jangka waktu seminggu, namun sang empu sepertinya keberatan dan meminta waktu satu tahun. Arok merasa satu tahun adalah waktu yang lama untuk menunggu keris itu jadi. Arok pun menawar kembali dan keris tersebut harus selesai dalam waktu lima bulan. Awalnya, Empu Gandring merasa keberatan, tapi ia sanggup menuruti keinginan Arok.

Arok merasa telah berada dalam situasi yang menentukan. Berbagai keterangan yang telah didapatkannya telah dirasa cukup, membawanya mampu memahami situasi yang tengah terjadi, baik di Tumapel dan di Kadiri. Menurut perhitungannya, Sri

Kretajaya sungguh-sungguh telah berniat menggantikan Tunggul Ametung. Penyebabnya karena sering terlambatnya Tumapel mengirim upeti ke Kadiri. Maharaja Kadiri itu merasa Akuwu Tumapel merencanakan suatu gerakan rahasia yang bisa mengancam kekuasaannya di kemudian hari. Untuk menerapkan rencananya, ia meminta para prajuritnya merusuh di Tumapel dengan mengenakan seragam prajurit Tumapel. Dengan demikian, ia telah menciptakan permusuhan di antara prajurit dan rakyat Tumapel.

91 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Khusus untuk melenyapkan Tunggul Ametung, Sri Kretajaya menyuruh Kebo Ijo untuk melenyapkan Sang Akuwu untuk selama-lamanya. Jika berhasil, Sri Kretajaya akan memberikan jabatan selaku pengganti Tunggul Ametung. Hal ini, membuat Kebo Ijo mau saja melaksanakan perintah Kretajaya, betapa pun setianya ia pada Tunggul Ametung. Ia tahu kedigdayaan Tunggul Ametung dan tahu pula bagaimana melawannya, dengan keris buatan Empu Gandring tentunya. Melawan siasat-siasat itu, Arok menerapkan siasatnya pula. Ia tahu, Empu Gandring hanya bisa menyelesaikan satu keris ampuhnya dalam waktu lebih dari setahun. Dengan sedikit gertakan, Arok telah memintanya untuk menyelesaikan keris pesanannya dalam waktu lima bulan. Dengan cara demikian, empu itu akan kesulitan seandainya Kebo Ijo memesan keris padanya, sehingga nyawa Tunggul

Ametung masih ada harapan untuk terselamatkan (Komandoko, hlm 257-259).

Tahap klimaks semakin menunjukkan peningkatan dan alur terus bergerak maju, ketika memasuki sub judul Penyerangan Kadiri. Dikisahkan, bahwa Baginda Kretajaya begitu marah dan bermuka murka. Belum pernah ia tampak semurka ini. Firasat Sri

Kretajaya ternyata benar adanya, jika Tunggul Ametung sungguh-sungguh telah berkhianat padanya. Bukan hanya diam-diam, melainkan terang-terangan. Tunggul

Ametung telah memperkuat diri dan bermaksud menyaingi kekuasaan Kadiri. Oleh karena itu, Baginda Kretajaya menyuruh Gubar Baleman beserta para prajurit Kadiri pilihan untuk menyerbu Tumapel serta menghabisi Tunggul Ametung. Persiapan penyerbuan pun digelar Kadiri, senjata-senjata pemusnah disiagakan, kuda-kuda dan kereta-kereta perang dikeluarkan. Tamtama, perwira, bersiap dalam masing-masing barisan di bawah perintah senopati perang Gubar Baleman. Persiapan penyerbuan itu segera merambat hingga ke perbatasan Kadiri. Prajurit-prajurit Kadiri di wilayah yang

92 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

langsung berhadapan dengan Tumapel menjadi sibuk luar biasa. Semua persiapan itu tidak lepas dari pengamatan sandi telik Tumapel dan pengamatan kawan-kawan lama

Arok. Sesungguhnya, Arok tidak terlalu terkejut jika Kretajaya berencana menyerang

Tumapel. Sesuai perkiraannya, Kebo Ijo berada di balik semua itu.

Pertempuran dahsyat pun pecah di luar Kutaraja. Tunggul Ametung memimpin langsung prajurit Tumapel. Ia mengamuk laksana banteng terluka, ganas menerjang dan menghantam prajurit-prajurit Kadiri. Mendapati amukan Tunggul Ametung, Gubar

Baleman memberi aba-aba bagi pasukan pemanah Kadiri. Maka, melesatlah puluhan anak panah tertuju pada Akuwu Tumapel yang tengah mengamuk ganas. Namun, tubuh

Sang Akuwu bagai terbuat dari baja, rontok semua anak-anak panah yang menerpanya.

Tak satu pun anak panah mampu menancap atau melukai kulit Sang Akuwu. Baru terbuka kesadaran Gubar Baleman, jika Tunggul Ametung bukan sosok yang mudah ditaklukkan. Tumapel ternyata telah menyiapkan diri sebaik-baiknya, hingga mampu menahan serangan Kadiri. Perang kembali berlanjut, masing-masing pasukan kembali terlibat dalam tikam-menikam dan berusaha keras untuk saling mematikan. Tunggul

Ametung kembali menggila. Tidak juga anak panah, pedang dan tombak yang mengena tubuhnya. Ia mengamuk, pedang tajamnya menyebabkan puluhan prajurit Kadiri kehilangan nyawa. Memuncak kemarahan Gubar Baleman, ia segera menyerang. Keris saktinya mengarah pada dada Tunggul Ametung, namun tidak mampu membuat Tunggul

Ametung terluka, melainkan membuat ujung keris itu bengkok laksana menerpa baja.

Gubar Baleman terkejut, tidak disangka keris sakti andalannya tumpul pada tubuh

Tunggul Ametung. Keterkejutannya belum reda, ia telah kehilangan nyawa setelah

93 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

pedang tajam Tunggul Ametung berkelebat ganas memenggal lehernya. Panglima Gubar

Baleman tewas mengenaskan, tanpa sempat menjerit (Komandoko, hlm 270-272).

Alur semakin bergerak maju dan klimaks semakin meningkat kembali, ketika memasuki sub judul Terbukanya Kesempatan Agung. Berikut ini merupakan kutipan percakapan antara Arok dan Dedes yang menunjukkan suatu peristiwa yang terjadi pada sub judul di atas.

(206) Arok menghadap Dedes. Ia menghaturkan sembah. “Yang Mulia Prameswari, Hamba menghadap” (Komandoko, hlm 279). (207) “Arok! Aku butuh pertolonganmu!”, ujar Dedes (Komandoko, hlm 279). (208) “Katakan saja Yang Mulia Prameswari inginkan. Semampu mungkin akan Hamba laksanakan” (Komandoko, hlm 279). (209) “Permintaanku pertama, hendaklah engkau tak perlu menyebutku Yang Mulia Prameswari jika suamiku tak disisiku. Cukup kau panggil aku Dedes, karena Dedes itu namaku! Yang kedua, maukah engkau membawaku pergi dari Kutaraja ini?” (Komandoko, hlm 279-280). (210) “Membawamu pergi? Ke mana? (Komandoko, hlm 280). (211) “Ke mana pun engkau mau!” (Komandoko, hlm 280). (212) “Dedes, engkau prameswari Tumapel. Istri sah Yang Mulia Akuwu. Membawamu pergi dari sisinya adalah pengkhianatan besar. Tugasku adalah mengawalmu, bukan membawamu lari dari istana pakuwon ini!” (Komandoko, hlm 280). (213) “Aku memang istri akuwu, tapi aku diperistrinya tanpa restu bapaku. Tanpa iringan rasa cintaku. Akuwu memang menguasai tubuhku, namun tidak jiwa dan rasa cintaku! Lekas, bawa aku dari sini, Arok! Aku akan ikut denganmu ke mana pun kau pergi” (Komandoko, hlm 280). (214) “Dedes, suamimu tak akan membiarkanmu pergi! Ia akan mencarimu, hingga ke lubang semut sekalipun!” (Komandoko, hlm 281). (215) Mendadak Dedes menangis. “Jika engkau tak bersedia, anggap saja tak ada pertemuan dan pembicaraan di antara kita ini, Arok! Percuma aku meminta jika kau tidak mempunyai nyali untuk melakukannya!” (Komandoko, hlm 281). (316) “Dedes, aku perlu memikirkannya terlebih dahulu. Diperlukan siasat yang baik untuk memenuhi permintaanmu ini” (Komandoko, hlm 281).

94 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Dari kutipan nomor (206) sampai dengan (216), menunjukkan bahwa Dedes begitu mengharapkan jika Arok membawanya pergi dari istana pakuwon. Walaupun pada kenyataannya, Dedes adalah Sang Prameswari, sesungguhnya ia sudah tidak tahan dengan keadaan yang menderanya. Arok pun tersentak setelah mendengar pengakuan dan keputusan dari Sang Prameswari. Dengan begitu, Arok berniat akan menyusun siasat, namun ia pun masih bingung siasat apakah yang hendak ia lakukan.

Tahap klimaks berikutnya semakin memuncak setelah memasuki sub judul Tikam

Menikam. Disebutkan, bahwa Kebo Ijo di sini melakukan pembunuhan terhadap Empu

Gandring. Setting tempat berada di kediaman rumah Empu Gandring. Berikut ini adalah kutipan-kutipan yang menunjukkan terjadinya peristiwa berdarah tersebut.

(317) Kebo Ijo terdiam, kemudian pandangannya mendadak tertumbuk pada sarung tangan Empu Gandring. Ia bertanya kembali. “Empu, sarung keris milik siapa itu?” (Komandoko, hlm 286). (318) “Seseorang, tak tahu siapa namanya” (Komandoko, hlm 286). (319) “Engkau tak tahu namanya, tapi mau mengerjakan pesanannya? Jagat Batara! Sandiwara apa pula ini, Empu?” (Komandoko, hlm 286). (320) “Ijo, aku tak sedang bersandiwara! Aku sungguh-sungguh tak tahu nama pemesan keris ini. Demi Sang Hyang Pancagina! Orang itu datang padaku, memesan keris ini, memberikan uang dan berlalu begitu saja!” (Komandoko, hlm 286-287). (321) “Aneh!”, Kebo Ijo bergumam. “Engkau begitu penurut membuatkan pesanan keris padanya…” (Komandoko, hlm 287). (322) “Jangan asal bicara kau, Ijo! Orang itu tahu sepak terjangku. Ia bahkan mengancamku untuk membawaku ke Kutaraja” (Komandoko, hlm 287). (323) “Jagat Dewa Batara! Jangan-jangan dia Arok!” (Komandoko, hlm 287). (324) “Aku sungguh-sungguh tak tahu namanya! Dia datang kepadaku begitu saja, lalu memesan keris ini dengan bayaran tinggi, dan mengancamku! Jika aku tak memenuhi permintaannya, akan segera dibawanya aku menghadap Akuwu. Ia punya bukti pedang buatanku dan juga prajurit Kadiri perusuh yang berhasil ditawannya” (Komandoko, hlm 287). (325) “Bisa engkau tunjukkan keris itu padaku, Empu?” (Komandoko, hlm 288). (326) “Untuk apa?” (Komandoko, hlm 288). (327) “Ingin tahu saja!” (Komandoko, hlm 288).

95 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(328) “Empu, apakah kira-kira, keris itu mampu membelah tubuh Akuwu?” (Komandoko, hlm 288). (329) “Meskipun Akuwu keparat itu sakti mandraguna dan kebal tubuhnya, pasti akan terbelah tubuhnya terkena keris ini. Inilah keris penangkal kekebalan Akuwu keparat itu!” (Komandoko, hlm 289). (330) “Empu, bisakah aku meminjam keris itu?” (Komandoko, hlm 289). (331) “Untuk apa? Untuk membunuh Akuwu?” (Komandoko, hlm 289). (332) “Jika ya, apa masalahnya?” (Komandoko, hlm 289). (333) “Masalah ada padaku, Ijo. Bukan padamu. Sebentar lagi si pemesan keris ini datang untuk mengambil keris ini. Jika keris ini tak ada di sini, aku pasti akan dibawanya ke pakuwon. Maaf Ijo, tak akan kupinjamkan keris ini padamu!” (Komandoko, hlm 289). (334) “Aku hanya meminjamnya sebentar. Aku akan bekerja secepatnya dan secepatnya pula akan kukembalikan” (Komandoko, hlm 290). (335) “Keparat sepertimu bisa bekerja cepat? Puih! Setelah bertahun-tahun di dekat Akuwu itu pun, kau tak bisa berbuat apapun terhadapnya. Engkau menjanjikan kerja cepat? Puih!” (Komandoko, hlm 290). (336) “Boleh atau tidak, aku tetap akan meminjam keris itu, Empu! Dengan kekerasan sekalipun, akan kudapatkan keris itu!” (Komandoko, hlm 290). (337) “Bedebah kau Ijo! Kubelah tubuhmu!” (Komandoko, hlm 290).

Bersamaan dengan ucapannya, keris yang dibawa Empu Gandring diperebutkan begitu saja oleh Kebo Ijo. Keris sakti yang telah berada dalam genggaman tangan Kebo

Ijo, langsung ditusukkannya pada dada Sang Empu. Empu Gandring menahan kesakitan yang sangat pada dadanya. Tubuhnya bergetar hebat. Darahnya deras mengucur, matanya mulai mengabur. Ia merasa, tidak lama lagi nyawanya akan tercabut meninggalkan marcapada ini. Maka, kutuknya tertumpah pada Kebo Ijo.

(338) “Hei, Ijo! Engkau juga akan mati terkena keris ini! Tujuh nyawa akan mati pula karena keris ini, camkan itu!” ucap Empu Gandring di saat- saat terakhirnya (Komandoko, hlm 290).

Di lain sisi, kegembiraan Tunggul Ametung kian meledak perihal kemenangannya terhadap Kadiri. Ditambah lagi, Sang Prameswari saat ini tengah mengandung benih- benih yang ditanamkan Sang Akuwu pada rahimnya. Pakuwon berubah laksana arena pesta meriah setelah kaum brahmana Tumapel memberikan berkahnya untuk Dedes dan

96 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

janin yang dikandungnya. Tuak Tumapel yang terkenal sangat memabukkan itu dihidangkan. Tunggul Ametung larut dalam kegembiraan yang amat sangat. Bergelas- gelas tuak telah ditenggaknya. Dedes muak menyaksikan semua itu. Ditinggalkan suasana pesta liar yang sangat tidak disukainya dan memilih untuk tiduran. Seraya mengelus-elus perutnya, direnungkannya kejadian yang dialaminya kini. Entah berapa lama ia berada dalam perenungan seraya tiduran, kemudian mendadak ia bangkit.

Didengarnya di balairung pakuwon tidak lagi ramai. Ia tidak menuju balairung melainkan ke Bilik Agung. Di Bilik Agung itulah biasanya sang suami tertidur pulas setelah mabuk.

Terhenyak luar biasa saat Dedes tiba di Bilik Agung. Dilihatnya Tunggul Ametung bersimbah darah. Dilihatnya pula Kebo Ijo berdiri tidak jauh dari tubuh suaminya, seraya menggenggam keris berlumuran darah. Dedes menjerit sekeras-kerasnya dan Kebo Ijo kemudian tersentak. Ia mendekati Dedes dan hendak membunuhnya pula. Namun, sebelum keris itu mengenai tubuh Dedes, Kebo Ijo merasakan hentakan sangat kuat pada tangannya, hingga membuat tangan kanan berkerisnya terangkat. Ternyata, pukulan keras

Arok menghentakkan dada Kebo Ijo, hingga ia jatuh terjengkang. Keris ditangannya pun seketika terlepas. Arok segera meraih keris itu dan bergegas menuju Kebo Ijo. Kebo Ijo yang terkejut dan kesakitan segera bangkit, tidak melawan Arok tapi lari sekuat tenaga keluar dari Bilik Agung. Beberapa prajurit Tumapel yang mendengar jeritan dan teriakan

Dedes segera mengejar Kebo Ijo pula. Akhirnya Arok berhasil menangkap Kebo Ijo.

Pada mulanya, Kebo Ijo berusaha berkelit dan tidak mau mengakui apa yang telah diperbuat. Namun, Arok yang begitu geram padanya segera menghujamkan keris itu ke tubuh Kebo Ijo. Seketika itu pula, Kebo Ijo mati tanpa berucap apa-apa. Tumapel pun berkabung. Yang Mulia Akuwu Tunggul Ametung meninggal akibat pembunuhan. Kebo

97 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Ijo adalah pelaku tunggal yang mereka percaya selaku pembunuhnya. Mereka bisa memahami tindakan Arok menghabisi nyawa Kebo Ijo, pengkhianat biadab yang terus menolak mengaku membunuh Tunggul Ametung hingga detik terakhir kehidupannya

(Komandoko, hlm 294-297).

2.5 Tahap Penyelesaian (Denouement)

Tahap penyelesaian merupakan tahap dimana konflik telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, sub-sub konflik, atau konflik-konflik tambahan juga diberi jalan keluar, dan cerita diakhiri. Tahap ini berkesuaian dengan tahap akhir di atas (Nurgiyantoro, 2007:150).

Tahap penyelesaian pada kisah ini, akan segera berakhir pada sub judul Tumapel

Dalam Genggaman. Namun, masih ada dua sub judul terakhir dalam tahap penyelesaian kisah ini, yakni Pukulan Kedua dan Runtuhnya Kadiri. Disebutkan pada sub judul

Tumapel Dalam Genggaman, kematian Tunggul Ametung disambut lega oleh rakyat

Tumapel. Mereka bersyukur dapat terlepas dari penindasan dan kekejaman Sang Akuwu.

Beberapa dari mereka berterima kasih pada Kebo Ijo yang mampu menghabisi akuwu congkak itu. Namun, cara Kebo Ijo dianggap bukan cara ksatria. Mereka pun sangat berterima kasih pada Arok yang tegas menerapkan hukuman mati bagi pembunuh. Nama

Arok kerap disebut-sebut rakyat Tumapel sebagai pengganti Tunggul Ametung. Mereka menghendaki ia menjadi akuwu. Selama Arok menjadi prajurit, begitu banyak wilayah

Tumapel yang kembali aman dari perampokan. Ia juga tetap menunjukkan kesetiaannya pada Tumapel. Begitulah keinginan rakyat, begitu pula yang diungkapkan Dewan

Penasihat Pakuwon Tumapel ketika membahas pengganti akuwu Tunggul Ametung di

98 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

hadapan Dedes dan para perwira Tumapel. Semuanya sepakat menunjuk Arok selaku akuwu baru Tumapel. Namun, Arok menolak halus penunjukkan atas dirinya. Berikut adalah kutipan percakapannya.

(339) “Menurut Hamba, sosok yang paling pantas menggantikan Yang Mulia Akuwu Tunggul Ametung adalah Yang Mulia Prameswari”, ujar Arok (Komandoko, hlm 301). (340) “Aku?” Dedes tersentak (Komandoko, hlm 301). (341) “Benar Yang Mulia! Yang Mulia adalah istri Yang Mulia Akuwu Tunggul Ametung. Yang Mulia Prameswari adalah sosok yang paling pantas menduduki jabatan selaku akuwu Tumapel. Adapun Hamba, jika masih dipercaya akan tetap menjadi prajurit pengawal Yang Mulia Prameswari”, ungkap Arok (Komandoko, hlm 301). (342) “Baiklah, aku bersedia menerima penunjukkan ini. Namun, hanya bersifat sementara” (Komandoko, hlm 301). (343) “Hanya untuk menunjukkan bahwa pemerintahan di Tumapel tetap dapat dilangsungkan setelah kematian suamiku. Menurutku, dibutuhkan sosok yang kuat untuk memimpin Tumapel. Terlebih lagi ketika Tumapel berada dalam kondisi bersiaga perang melawan Kadiri seperti ini. Aku bersedia menjabat akuwu sementara, untuk seterusnya kuserahkan kepada yang paling pantas”, sambung Dedes (Komandoko, hlm 301). (344) “Jadi, menurut Yang Mulia Prameswari, siapa sosok yang paling pantas menjadi Akuwu Tumapel?” ucap Dewan Penasihat Pakuwon Tumapel (Komandoko, hlm 301). (345) “Arok!” (Komandoko, hlm 301).

Semua yang hadir menganggukkan kepala dan sangat setuju atas penunjukan

Dedes terhadap Arok, kecuali Arok seorang. Arok menyebutkan, penunjukan atas dirinya itu belum tepat. Tumapel tengah berperang melawan Kadiri. Ia mengajukan diri menjadi pemimpin pasukan Tumapel untuk menghadapi Kadiri. Ia tetap menyarankan agar Dedes diangkat menjadi Akuwu Tumapel. Pada akhirnya, Dewan Penasihat Pakuwon pun menetapkan putri Mpu Purwa menjadi penjabat akuwu sementara dan menunjuk Arok selaku pemimpin pasukan Tumapel. Setelah tercapainya kesepakatan di antara mereka,

Arok menyarankan agar Tumapel terlepas dari Kadiri, menjadi negeri yang berdaulat.

99 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Bukan wilayah jajahan yang harus terus-menerus mengantarkan upeti yang sangat menyengsarakan rakyat Tumapel. Semua yang hadir sangat setuju dan mendukung Arok sepenuhnya. Arok segera berbenah. Menurut perhitungannya, Kadiri pasti akan segera mengerahkan serangan besar-besaran ke Tumapel. Arok akan membuktikan pada Sri

Kretajaya, walaupun Tunggul Ametung telah tiada, Tumapel tetap perkasa. Arok menunjuk orang-orang yang mempunyai kesetiaan yang tinggi terhadap Tumapel.

Kalasewu, Gagak Inget, Tita adalah orang-orang utama yang ditunjuk Arok. Begitu pula dengan kawan-kawan lama Arok, ia pun menunjuk mereka untuk membantu Tumapel dalam penyerangan terhadap Kadiri.

Di lain sisi, Arok tiba-tiba teringat ucapan Dang Hyang Lohgawe sebelum Arok menikahi Umang dulu. Beliau menyebutkan Umang adalah salah satu istrinya. Apakah

Dedes akhirnya menjadi istri yang kedua? Arok tidak berniat mengajukan pertanyaannya pada bapa angkatnya itu. Namun, bagaimanapun juga, tekad Arok telah bulat, bahwa nantinya ia akan tetap menikahi Dedes. Betapa kagetnya Arok saat Umang mengatakan padanya, jika ia tengah mengandung. Arok memeluk istrinya dengan tawa bahagia.

Betapa pun berat untuk mengungkapnya dan mengingat situasi siaga yang tengah diterapkan Tumapel, Arok menjelaskan niatnya memperistri Dedes. Umang dapat memahami keinginan suaminya, meski semula tampak agak keberatan, yang terpenting,

Arok mampu berlaku adil padanya maupun Dedes. Legalah hati Arok mendengar ucapan dan kepercayaan Umang. Ia pun begitu bersyukur akan kehendak Hyang Dewata Agung yang ditujukan padanya.

Setting kembali berpindah pada suasana di Kadiri. Disebutkan, setelah kematian

Tunggul Ametung, Sri Maharaja Kretajaya begitu puas dan lega. Sedikit menaikkan

100 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

pamornya di mata rakyat Kadiri serta mengobati kemarahan hatinya akibat kekalahan yang dialami Kadiri. Menerbitkan harapan baginya untuk segera menggulung dan menumpas kekuatan penentangnya di Tumapel, kemudian hendak menempatkan adik kandungnya menjadi akuwu. Seketika ia geram kembali, saat pasukan sandi telik mengabarkan padanya bahwa Dedes kini menjadi akuwu Tumapel dan Arok ditetapkan menjadi pemimpin pasukan Tumapel. Sumpah serapah, caci-maki, dan kutuk Kretajaya tertumpah pada Tunggul Ametung. Ia merasa dikhianati akuwunya sejak lama, karena tanpa sepengetahuannya, Tunggul Ametung ternyata telah menjadikan Arok selaku prajurit Tumapel sekaligus tangan kanannya. Padahal, Kretajaya telah memerintahkan

Tunggul Ametung untuk menangkap hidup atau mati Arok sebelumnya. Kretajaya berencana akan menggempur Tumapel, ia mengutus Mahisa Walungan serta para prajurit

Kadiri untuk segera menumpas habis Tumapel (Komandoko, hlm 307).

Tahap penyelesaian kembali muncul setelah memasuki sub judul Pukulan Kedua.

Dikisahkan Tumapel tidak ingin menunggu lagi. Arok bergegas memimpin langsung prajurit-prajuritnya menuju perbatasan. Arok tidak ingin para prajurit Kadiri menyerang wilayah Tumapel terlebih dahulu, dan menimbulkan kerugian serta kesengsaraan rakyat

Tumapel yang tidak berdosa. Dari pasukan sandi telik, Arok mendapat laporan, jika pasukan Kadiri dalam jumlah besar hendak menyeberangi kali Brantas menuju Tumapel.

Arok segera memimpin prajuritnya untuk mencegat pasukan Kadiri tersebut. Dibaginya, pasukan menjadi dua kelompok besar. Satu pasukan dipimpinnya langsung dan berjaga di daerah Pendem, sebuah utara kali Brantas. Satu pasukan lainnya, dipimpin panglima

Kalasewu, diperintahkan Arok berjaga di daerah Tegalgondo, selatan kali Brantas.

101 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Saat tengah menunggu seraya bersembunyi, mendadak Arok dikejutkan dengan kedatangan para wanita tanpa busana, sekitar tiga puluh jumlahnya. Mareka berenang- renang di kali Brantas, tidak jauh dari tempatnya berada. Arok tersenyum, bukan karena melihat keindahan tubuh-tubuh telanjang yang membangkitkan kelelakian itu, melainkan karena ia tahu siapa wanita-wanita itu sesungguhnya. Mereka para perampok wanita anak buah Nyi Prenjak, teman-teman Umang dahulu. Arok kembali tersenyum. Ia dapat menebak apa yang hendak dilakukan anak buah Nyi Prenjak, yang pasti, Nyi Prenjak dan seluruh anak buahnya hendak membantu Arok dalam melawan Kadiri. Mereka mempunyai siasat demikian, karena ingin membuyarkan konsentrasi para prajurit Kadiri.

Kemudian, Arok menempatkan para pemanah jitu dari pasukannya dengan pimpinan

Gagak Inget untuk mengambil posisi di tempat-tempat tertentu. Keberadaan wanita- wanita tanpa busana itu akan menguntungkan bagi Arok dan pasukannya (Komandoko, hlm 311-312).

Tidak berapa lama kemudian, datanglah para pasukan Kadiri. Para prajurit di barisan paling depan begitu terkejut mendapati wanita-wanita bertubuh molek tengah berenang-renang tanpa busana. Mereka becanda memamerkan kemolekan, kemulusan tubuhnya, seolah mengundang kedatangan para prajurit untuk turut bersenang-senag dengan mereka. Tanpa diberikan aba-aba, sekitar lima puluh prajurit Kadiri di barisan depan bergegas memasuki kali Brantas dengan gembira untuk mengejar para wanita penggoda birahi itu. Wanita-wanita tanpa busana itu keluar dari sungai Brantas. Mereka berlarian menuju hutan di pinggir kali, bersebelahan dengan pasukan Arok yang bersiaga siap menyerang. Prajurit-prajurit Kadiri yang telah lepas kendali seolah tidak lagi mempedulikan situasi dan kondisi. Mereka mengejar para wanita tanpa busana itu.

102 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Mendadak terdengar teriakan memilukan dan jeritan menyayat hati. Secara tak terduga, anak buah Nyi Prenjak muncul dari balik pohon dan semak belukar serta melakukan serangan tiba-tiba. Lebih dari dua puluh prajurit Kadiri seketika tewas mengenaskan di tangan anak buah Nyi Prenjak. Sementara para prajurit Kadiri yang terluka berusaha menghindar dari tempat itu dan terus dikejar anak buah Nyi Prenjak (Komandoko, hlm

312-313).

Arok memberikan aba-aba kepada Gagak Inget. Anak-anak panah segera berterbangan menghujani pasukan Kadiri. Jerit kesakitan, teriakan memilukan kembali terdengar. Tubuh-tubuh prajurit Kadiri bergelimpangan tidak berdaya, begitu juga para prajurit Kadiri yang tengah mengejar anak buah Nyi Prenjak. Mereka terkepung dari dua arah, di depan melawan anak buah Nyi Prenjak dan dari belakang dihujani anak-anak panah para prajurit Tumapel pimpinan Gagak Inget. Mahisa Walungan terperanjat luar biasa. Begitu cepatnya ia kehilangan banyak prajurit oleh jebakan maut itu. Suaranya pun menggelegar memerintahkan segenap prajuritnya untuk mengurungkan menyeberang kali

Brantas. Arok membagi dua pasukannya. Diperintahkannya Tita untuk memimpin pasukan dan berhadapan langsung dengan pasukan Kadiri. Ia perintahkan untuk melawan pasukan Kadiri yang berani menyeberang kali Brantas. Sementara Arok dengan para pasukannya melawan prajurit Kadiri yang telah terkepung. Arok mengamuk sejadi- jadinya. Pedang tajam berkelebat membabat, menusuk, dan membacok setiap prajurit

Kadiri yang ditemuinya. Sepak terjang Arok menimbulkan kengerian yang sangat di kalangan prajurit Kadiri. Tak berapa lama prajurit-prajurit Kadiri itu berhasil dikalahkan.

Sebagian besar kehilangan nyawa dan sebagiannya lagi memilih untuk menyerah. Mahisa

103 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Walungan memerintahkan segenap pasukannya untuk mundur dan kembali ke Kadiri

(Komandoko, hlm 313-314).

Kekalahan Kadiri membuat Sri Kretajaya benar-benar murka. Ingin sesungguhnya ia menghukum mati Mahisa Walungan karena kegagalannya menaklukkan Tumapel.

Mahisa Walungan dinilainya lebih pengecut dibanding Gubar Baleman, ia lebih memilih untuk mundur dibandingkan mati di medan peperangan. Namun, dipertimbangkannya kembali untuk menjatuhkan hukuman mati. Mau tidak mau, Mahisa Walungan adalah adik kandungnya sendiri. Jika hukuman mati diterapkannya, Kretajaya akan kehilangan saudara kandung sekaligus tangan kanan kepercayaannya. Berbeda dengan keruwetan yang berlangsung di Kadiri, aroma kemenangan menyebar di segenap wilayah Tumapel.

Peran besar dan sepak terjang Arok menjadi buah bibir setiap prajurit dan setiap rakyat.

Untuk pertama kalinya rakyat Tumapel bangga dengan pemimpin prajuritnya itu. Dewan

Penasihat Pakuwon Tumapel dan para perwira tinggi Tumapel mengusulkan agar Arok diangkat selaku wakil akuwu. Sebagian rakyat Tumapel malah mengusulkan agar Arok diangkat menjadi akuwu. Sebagian lainnya mengusulkan agar Arok menikahi Dedes terlebih dahulu sebelum memangku jabatan akuwu. Dengan begitu, Arok pun meminta saran pada Dang Hyang Lohgawe, beliau menyarankan agar Arok menerima jabatan sebagai wakil akuwu dan segera menikahi Dedes (Komandoko, hlm 318-319).

Tanpa harus menunggu berlama-lama, pernikahan itu dilangsungkan. Maka, tak terkira bahagia hati Dedes ketika ia bersanding dengan Arok selaku pasangan suami istri, setelah dari rahimnya lahir seorang anak lelaki bernama Anusapati. Arok adalah lelaki sejati yang dapat memenuhi setiap janjinya. Ia telah menganggap Anusapati selaku anaknya, meski ia juga telah mempunyai seorang anak laki-laki dari Umang, bernama

104 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Tohjaya. Sepakatlah seluruh Tumapel mengangkat Arok selaku akuwu. Dang Hyang

Lohgawe dan kaum Brahmana merestui penobatannya itu. Tidak perlu meminta izin dan restu Sri Kretajaya, karena Tumapel bukan lagi menjadi wilayah kekuasaan Kadiri

(Komandoko, hlm 320).

Tahap penyelesaian selanjutnya akan berakhir pada sub judul Runtuhnya Kadiri.

Dikisahkan, bahwa selama hidup Sri Kretajaya, ia tidak pernah mengenal kata kalah. Ia dimanjakan oleh keadaan dan terus meminta serta menuntut agar keadaan mematuhi perintahnya, menuruti kehendaknya. Bahkan, keadaan yang telah digariskan Hyang

Dewata sekalipun dipaksanya tunduk pada kemauannya. Ia perintahkan kaum brahmana untuk menyembahnya. Di hadapan sekalian para Brahmana Kadiri, Sri Kretajaya unjuk kesaktian untuk membuktikan keunggulan kaum ksatria dibanding kaum brahmana. Ia menancapkan tombak dengan gagang menancap ke dalam tanah dan segera duduk di atas mata tombak itu.

(346) “Lihatlah! Apakah kaum brahmana mampu melakukan seperti yang kulakukan ini? Aku mudah melakukannya karena aku Batara Guru! Semua pemeluk agama Syiwa, semua pemeluk agama Buddha sudah seharusnya bersujud menyembahku! Aku tahu, sejak zaman dahulu, tidak ada brahmana yang menyembah raja. Maka, sembahlah aku mulai sekarang! Jangan terpaku pada peraturan beku yang salah itu!” (Komandoko, hlm 321-322).

Sri Kretajaya memang keras kepala, kesombongannya meninggi. Ia tidak kenal pada pembangkangan dan penolakan. Tidak terima pada kekalahan dan kegagalan, maka, ketika dua kali pasukannya mengalami kekalahan dari Tumapel, tersentaklah akan kesadarannya. Namun, ia menutup keterkejutannya itu. Menurutnya, kekalahan dua kali

Kadiri karena ketololan para panglima perang Kadiri. Bukan karena kehebatan Tunggul

105 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Ametung maupun Arok. Ia tegaskan tidak ada kekalahan lagi bagi Kadiri. Ia akan berencana memimpin sendiri pasukan Kadiri untuk meluluh lantakkan Tumapel.

Di lain sisi, gerakan Kretajaya telah tercium oleh Arok. Dikumpulkannya seluruh panglima perang, seluruh perwira, seluruh pemimpin prajurit si balairung pakuwon. Para brahmana juga diundangnya. Dang Hyang Lohgawe diharapkan memberi saran dan pendapatnya. Semuanya menyatukan diri untuk menghadapi Sri Kretajaya dan juga

Kadiri. Setelah perundingan usai, digelarlah pasukan Tumapel di alun-alun pakuwon.

Para prajurit bersenjata lengkap berbaris dengan pemimpin prajurit di ujung depan.

Panglima Kalasewu, Tita, Gagak Inget, dan para perwira tinggi Tumapel bersiaga di barisan depan. Bergemuruhlah suara prajurit saat melihat Arok keluar dari gedung pakuwon. Dedes di sisi kanannya dan Umang di sisi kiri. Hyang Lohgawe, Mpu Palot, dan para brahmana mengiring di belakang. Gemuruh sorak dan pekik bersiaga semua prajurit Tumapel membahana. Pedang, parang, tombak, dan panah diacung-acungkan pertanda kesiapan untuk berrtempur. Mendadak timbul kegaduhan lagi. Terdengar sorak sorai dari arah utara. Arok bergegas menaiki kudanya dan bersiaga penuh. Begitu pula para prajurit Tumapel. Namun, bukan pasukan Kadiri yang datang, melainkan Bango

Samparan beserta ratusan pemuda Madura. Mereka bersenjatakan celurit. Semakin bergemuruhlah suasana saat itu, ketika orang-orang Madura bergabung dengan prajurit

Tumapel untuk menumpas Kadiri. Kemudian, mendadak terdengar kegaduhan lagi dari arah selatan alun-alun. Mendadak datang barisan panjang orang-orang Ponorogo dipimpin para warok. Ratusan orang jumlah mereka. Para warok menyatakan diri bergabung dengan Tumapel untuk melawan serangan dari Kadiri. Kekuatan Arok pun semakin bertambah banyak (Komandoko, hlm 322-326).

106 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Waktu yang menentukan bagi Arok telah tiba. Ganter menjadi saksi bisu ketika prajurit Kadiri menyerang Tumapel. Aroma kematian begitu kentara di Ganter, darah tumpah mengalir, dan jerit kesakitan meraung. Arok menunjukkan kedigdayaannya. Ia adalah macan perkasa dan kijang lincah. Terkaman dan terjangannya menawarkan luka dan kematian. Tubuhnya yang kebal membuat para musuh sejenak keheranan sebelum pedang Arok menebas dan menusuknya. Kretajaya juga mengamuk. Para prajurit

Tumapel yang mendekatinya dibuatnya porak poranda. Telah banyak pula prajurit yang ditewaskannya meski tidak sebanyak yang diperbuat Arok.

Cerita Mahisa Walungan perihal kedigdayaan Arok bukan omong kosong.

Dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat kehebatan Arok yang luar biasa. Keterkejutan

Kretajaya kian menjadi-jadi saat dilihatnya Mahisa Walungan tewas di tangan Arok.

Adik kandungnya yang telah disiapkan menduduki kursi akuwu meregang nyawa di depan matanya sendiri. Kretajaya kembali mendapati kenyataan, harapannya terbang jauh. Kondisi dan situasi yang dialaminya sangat jauh dari yang ia kehendaki. Ia pun memerintahkan para prajuritnya untuk mundur. Arok seketika mengamuk kembali dan menimbulkan malapetaka bagi prajurit Kadiri di dekatnya. Arok terus berusaha mendekati keberadaan Dhandang Gendhis. Tidak ada ampun bagi Raja Kadiri itu. Ia ingin menusukkan keris saktinya ke tubuh Kretajaya, maka, mati-matian para prajurit dan pengawal Sri Kretajaya untuk melindungi pemimpin mereka. Tibalah titik akhir perlawanan itu. Para prajurit Kadiri yang tersisa tidak sanggup lagi bertahan. Begitu pula dengan Kretajaya. Raja congkak itu memilih melarikan diri dan mengungsi ke tempat lain. Sorak-sorai kemenangan pasukan Tumapel. Di atas kuda, Arok mengangkat tinggi-

107 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

tinggi pedangnya. Kian bergemuruhlah prajurit Tumapel menyambutnya (Komandoko, hlm 327-329).

Kemenangan Tumapel atas Kadiri adalah titik balik munculnya kekuasaan di

Tumapel dan runtuhnya Kadiri. Setelah puluhan tahun terjajah, terinjak-injak harkat dan kehormatannya oleh Kadiri, Tumapel kini berbalik menggenggam Kadiri. Rahasia agung marcapada yang terdapat pada diri Dedes telah tersingkap dan terwujud pada diri Arok.

Arok diangkat selaku maharaja dengan kekuasaan melebihi Kretajaya. Tumapel tetap dijadikannya selaku pusat pemerintahan. Kutaraja diganti menjadi Singasari. Gelar baginya menjulang lagi menggetarkan, yakni: Sri Rajasa Batara Sang Amurwabhumi.

Dari dirinyalah wangsa Rajasa dimulai, wangsa yang menjadi cikal bakal raja-raja di tanah Jawa. Arok sadar dan tahu diri, banyak sosok yang berperan dalam kehidupannya yang mewujudkan impiannya hingga akhirnya ia bertakhta. Tidak dilupakan semua jasa baik itu. Dibalasnya dengan kebaikan pula darinya. Dang Hyang Lohgawe didudukkan pada kemuliaan selaku pandhita istana. Mpu Palot diminta dengan hormat menjadi penasihat istana. Begitu pula dengan Bango Samparan, Tita, diberinya jabatan mahapatih.

Kalasewu menjabat panglima perang agung dan panglima perang dijabat Gagak Inget.

Arok juga mempererat hubungan keluarga antara dua bapa angkatnya, Dang Hyang

Lohgawe dan Ki Bango Samparan. Anak lelaki Lohgawe, yakni Wangbang Sadang dinikahkan dengan Cucu Puranti, anak bungsu Bango Samparan (Komandoko, hlm 331-

332).

Tidak hanya itu, Arok mengangkat Mahisa Randi, putra Kebo Ijo untuk menjabat sebagai pejabat istana. Begitu pula dengan anak buah Empu Gandring, bagi para pandai besi Lulumbang, Arok memberikan hak-hak istimewa dalam hal pembuatan benda

108 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

pusaka. Arok memberikan kemakmuran dan kesejahteraan selama ia memerintah, hingga berakhir masa hidupnya. Kematian Arok bukanlah di medan laga, melainkan di tempat tidurnya yang mewah. Seorang pengalasan dari dusun Batil berhasil menyelinap masuk ke ruang tidurnya, seraya menggenggam keris buatan Empu Gandring yang didapatkannya dari Anusapati. Ketika Arok tengah terlelap, saat itulah keris bertuah

Empu Gandring menghujam tubuhnya. Arok yang perkasa, piawai dalam bersiasat, sangat cerdik bagai pancaran Hyang Ganesha, harus mati karena pengkhianatan berdarah dalam keluarganya sendiri, oleh Anusapati yang telah diakuinya selaku anak sendiri, sejak Anusapati masih berupa janin dalam kandungan Dedes (Komandoko, hlm 333).

2.6 Rangkuman

Dalam penelitian ini setelah diteliti dengan saksama, bahwa alur cerita Ken Arok:

Banjir Darah di Tumapel termasuk dalam kategori alur lurus atau alur maju atau alur progresif. Alur lurus dalam sebuah novel dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis. Peristiwa yang pertama diikuti oleh (atau yang menyebabkan terjadinya) peristiwa-peristiwa kemudian. Atau secara runtut cerita dimulai dari tahap awal, yakni: penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik. Tahap tengah, yakni: konflik meningkat, klimaks. Terakhir adalah penyelesaian (Nurgiyantoro,

2007:154).

Pada lima tahapan alur di atas, peristiwa awal dimulai dengan menghadirkan kondisi Tumapel yang pada waktu itu sangat kacau. Kekuasaan atas Baginda Kretajaya justru membawa petaka dan kesengsaraan, khususnya bagi masyarakat Tumapel. Banyak sekali pergolakan di Tumapel, hingga Kretajaya mengutus Arya Pulung untuk menumpas

109 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

habis pergolakan tersebut. Keberhasilan Arya Pulung membawa berkah bagi dirinya.

Maharaja Kretajaya menghadiahkan jabatan akuwu kepadanya dan menyerahkan kekuasaan Tumapel atas dirinya. Arya Pulung pun diberi gelar oleh Kretajaya menjadi

Tunggul Ametung, artinya gada penghancur nan tangguh.

Tidak hanya itu, kisah kehidupan Ken Endok juga dipaparkan pada peristiwa awal tahap penyituasian. Pada tahap penyituasian, pengenalan tokoh Kretajaya, Tunggul

Ametung, Ken Endok, Gajah Para telah dipaparkan di atas. Pada tahap pengenalan konflik, alur maju terus terjadi sesudah pengenalan tokoh Ken Endok berkenalan dengan tokoh Gajah Para, sehingga hubungan mereka semakin akrab dan semakin dekat, tidak peduli status Ken Endok telah bersuamikan Yang Suci Gurursi, hingga petaka pun kembali muncul pada diri Ken Endok. Peristiwa di Pura Agung yang membuat diri Ken

Endok harus kehilangan keperawanan, akibat perbuatan bejat Sang Pandhita yang kebetulan sedang berada di Pura Agung juga. Ken Endok akhirnya hamil dan ia mengira, bahwa Gajah Para yang melakukannya.

Alur terus bergerak lurus ketika memasuki sub judul Putra Ken Endok yang dipaparkan pada tahap peningkatan konflik. Pada tahap peningkatan konflik banyak sekali peristiwa yang terjadi di dalamnya, hingga berakhir pada sub judul Janji-Janji

Yang Ditepati.Pada tahap klimaks dalam Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel, yang paling menonjol setelah memasuki sub judul Tikam-Menikam. Disebutkan bahwa Kebo

Ijolah yang membunuh Empu Gandring dan Tunggul Ametung, sebagai balasannya, Arok membunuh balik Kebo Ijo dengan keris sakti buatan Empu Gandring pula.

110 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Pada tahap penyelesaian, saat Kadiri menyerang Tumapel, kekuatan laskar perang

Arok dan kawan-kawan begitu tangguh, sehingga Kretajaya dan para pasukannya menyatakan kalah. Berbicara mengenai latar atau setting tempat, telah dipaparkan bahwa suasana Tumapel sangat dominan dalam menggerakkan alur ini. Tidak hanya itu, Kadiri pun tidak lepas dari latar tempat pembahasan kisah ini, hingga desa Pangkur, Lebak,

Karuman, Kapundungan, Sagenggeng, Lulumbang, dan Panawijen merupakan tempat- tempat penting dalam pergerakan suasana alur cerita ini.

111 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

BAB III

KISAH KEN AROK SAMPAI KERTANAGARA

DALAM TAFSIR SEJARAH NAGARAKRETAGAMA

KARYA SLAMET MULJANA

Dalam analisis bab ketiga ini, penulis akan menunjukkan dan memaparkan kisah

Ken Arok sampai Kertanagara dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama karya Slamet

Muljana. Pada kajian ini pula, penulis menggunakan pendekatan historis. Tafsir Sejarah

Nagarakretagama lebih mengungkapkan kisah sejarah yang mengacu pada beberapa kitab, pupuh, kidung, dan prasasti, seperti kitab Pararaton, pupuh Nagarakretagama, kidung Panji Wijayakrama, kidung Harsawijaya, prasasti Mula-Malurung, prasasti

Maribong, prasasti Pakis Wetan, prasasti Penampihan, prasasti Pananggungan, piagam

Gunung Wilis, piagam Amoghapasa, dan piagam Padang Arca.

Pendekatan historis pada umumnya lebih relevan dalam kerangka sejarah tradisional, sastra sejarah dengan implikasi para pengarang, karya sastra, dan periode- periode tertentu, dengan objek karya-karya sastra individual. Dengan mempertimbangkan indikator sejarah dan sastra, maka beberapa masalah yang menjadi objek sasaran pendekatan historis, di antaranya sebagai berikut: (1) perubahan karya sastra dengan bahasanya sebagai akibat proses penerbitan ulang; (2) fungsi dan tujuan karya sastra pada saat diterbitkan; (3) kedudukan pengarang pada saat menulis; (4) karya sastra sebagai wakil tradisi zamannya (Ratna, 2004:66).

112 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Penulis akan menunjukkan pula tentang bagaimanakah kisah dan sepak terjang

Anusapati, Panji Tohjaya, Wisnuwardhana, sampai Kertanagara, serta runtuhnya

Singasari. Pada saat Anusapati berkuasa di Singasari, ia memerintah dalam jangka waktu pemerintahan yang cukup lama (1227-1248 M). Anusapati sama sekali tidak melakukan pembaruan-pembaruan, karena ia lebih senang mengurusi serta larut dengan kegemarannya sendiri, yaitu menyabung ayam, sehingga masyarakat kurang mendapat perhatian. Kematiannya pun terbilang sangat mengenaskan, ia terbunuh oleh saudara tirinya, yakni Panji Tohjaya, pada saat permainan sabung ayam yang berlangsung di balai istana. Alasan Panji Tohjaya melakukan pembunuhan terhadap Anusapati, karena ia ingin membalaskan kematian Sang Amurwabhumi yang telah terbunuh oleh Sang Pengalasan dari Batil (suruhan Anusapati). Nagarakretagama pupuh XLI/1 menyatakan bahwa Sang

Anusapati mangkat pada tahun Saka 1170 (1248 M). Jenazahnya dicandikan di Kidal.

Candi Kidal terletak di sebelah timur kota . Di dalamnya terdapat arca Dewa Siwa dan Sang Anusapati diarcakan sebagai Dewa Siwa (Muljana, 2008:102).

Setelah Anusapati wafat, kedudukannya segera digantikan oleh Panji Tohjaya.

Tohjaya memerintah kerajaan Singasari hanya beberapa bulan saja (1248 M).

Kehidupannya selalu diliputi perasaan ketakutan dan curiga, terutama kepada Rangga

Wuni, putera Anusapati dan Mahisa Campaka, putera Mahisa Wunga Teleng. Oleh karena itu, Panji Tohjaya yang tidak ingin kekuasaannya direbut oleh mereka, lalu ia menyuruh Lembu Ampal untuk menyirnakan keduanya dari bumi marcapada ini. Jika gagal, maka nyawa Lembu Ampal menjadi taruhan, begitulah ancaman Panji Tohjaya terhadapnya. Singkat cerita, kematian Tohjaya berujung pada saat penyerangan pasukan regu Sinelir dan regu Rajasa yang serentak menyerbu istana. Ketika penyerangan

113 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

berlangsung, Panji Tohjaya terkena tikam keris Mpu Gandring pada saat Rangga Wuni menyerangnya. Seketika itu pula, Tohjaya tidak dapat berjalan dan akan merenggang nyawa. Ia dibawa oleh pengikut-pengikutnya dan diungsikan ke Katang Lumbang.

Sampai di Katang Lumbang, Panji Tohjaya akhirnya meninggal dunia (Muljana,

2008:104).

Dengan mangkatnya Panji Tohjaya, maka kedudukannya pun segera digantikan oleh Rangga Wuni. Rangga Wuni dinobatkan menjadi raja, kemudian mengambil nama abhiseka Wisnuwardhana, sedangkan, Mahisa Campaka menjadi Ratu Angabhaya, yakni menjadi patih atau pembantu utama sang Prabu yang bergelar Bhatara Narasingamurti.

Mereka memerintah bersama kerajaan Singasari pada tahun 1248-1268 M. Pada saat

Wisnuwardhana memerintah, daerah Singasari kian hari bertambah makmur dan rakyat hidup dengan damai sejahtera. Demi memajukan kemakmuran negara, Wisnuwardhana membuat pelabuhan di Sungai Brantas yang kemudian terkenal dengan nama Canggu.

Peresmian pembukaannya dilakukan pada tahun Saka 1193 (1271 A.D), setahun sesudah

Wisnuwardhana mangkat. Negarakretagama pupuh 41/4 mencatat bahwa beliau mangkat terjadi pada tahun Saka 1192 (1270 A.D). Wisnuwardhana dicandikan di Waleri dengan lambang arca Siwa dan di Jajagu (candi Jago) dicandikan dengan lambang arca Buddha.

Pada tahun yang sama, Bhatara Narasingamurti pun pulang ke Surapada, kemudian meninggal di sana dan dicandikan di Kumeper dengan lambang arca Siwa (Muljana,

2008:106-107).

Setelah Wisnuwardhana mangkat, maka tahta kekuasaan digantikan oleh puteranya, yakni Kertanagara. Prabu Kertanagara memerintah pada tahun 1268-1292 M.

Segenap rakyat Janggala dan Panjalu datang ke Tumapel untuk menghadiri upacara

114 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

penobatan tersebut. Setelah dinobatkan, kemudian putera mahkota mengambil nama abhiseka Sri Kertanagara, dan Ibu kota Kutaraja berganti nama menjadi Singasari.

Sepeninggal Wisnuwardhana dan Bhatara Narasingamurti, Prabu Kertanagara segera mengadakan perubahan besar-besaran dalam bidang administrasi untuk disesuaikan dengan pelaksanaan politik ekspansinya. Para pembesar yang telah lama mengabdi dalam pemerintahan Wisnuwardhana, tidak dapat menyesuaikan diri dengan politik baru yang akan dijalankan oleh Kertanagara, maka mereka disingkirkan, serta diganti oleh tenaga- tenaga baru. Perubahan itu menimbulkan kegelisahan di antara para abdi istana dan seluruh rakyat. Singkat cerita, kematian Kertanagara disebabkan karena ia gugur dalam perlawanan gigih melawan pasukan yang mendadak datang menyerbu

Kerajaan Singasari. Sejarah Singasari berakhir dengan mangkatnya Prabu Kertanagara pada tahun 1292. Nagarakretagama pupuh 43/5 mencatat bahwa Sri Kertanagara pulang ke Jinalaya pada tahun Saka 1214 (1292 A.D) dan diberi gelar “Yang Mulia di Alam

Siwa-Buddha” (Muljana, 2008:110).

3.1 Ken Arok (Sang Amurwabhumi) (1222-1227 M)

Dalam kisahnya ini, Slamet Muljana memulai penceritaan kisah Ken Arok saat

Bhatara Brahma bertemu dengan Ken Ndok di Ladang Lalateng. Pertemuan rahasianya itu berlanjut pada tahap yang lebih intim. Dengan kata lain, Dewa Brahma akan berniat menanamkan benih yang segera menitis dalam rahim Ken Ndok. Kemudian beliau berpesan, agar Ken Ndok jangan berkumpul lagi dengan suaminya. Larangan Dewa

Brahma itu mengakibatkan perpisahan Ken Ndok dengan suaminya, yakni Gajah Para.

Akhirnya, Ken Ndok pulang ke desa Pangkur dan Gajah Para kembali ke desa Campara.

115 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Lima hari kemudian, Gajah Para meninggal dunia, karena ia melanggar larangan Dewa

Brahma dan panasnya anak yang masih dalam kandungan Ken Ndok. Setelah sampai bulannya tiba, Ken Ndok melahirkan bayi laki-laki. Ken Ndok merasa malu karena merasa tidak mempunyai seorang suami dari bayi yang dilahirkannya. Tanpa berfikir panjang, Ken Ndok membuang bayinya tersebut di tengah kuburan pada malam hari.

Pada malam itu juga, setelah Ken Ndok meninggalkan kuburan, datanglah seorang pencuri bernama Ki Lembong ke kuburan tersebut. Ia sungguh tercengang melihat sinar berpancaran. Sinar itu didekatinya dan tampak padanya seorang bayi yang sedang menangis. Ki Lembong merasa kasihan melihat bayi tersebut, maka bayi itu dibawa pulang. Dengan hati yang gembira Ki Lembong menunjukkannya kepada sang istri.

Mereka berdua sangat bersyukur karena sampai saat ini belum diberi keturunan oleh

Dewata Agung. Dengan penemuan bayi tersebut, segera tersiar berita bahwa Ki Lembong mempunyai seorang anak pungut yang ditemukannya di tengah pekuburan. Mendengar berita itu, Ken Ndok datang mengunjungi Ki Lembong dan mengakui bayi itu adalah anaknya. Ia menjelaskan, bahwa bayi tersebut lahir dari kekuasaan Bhatara Brahma dan anak itu diberi nama Ken Arok (Muljana, hlm 90).

Setelah Ken Arok beranjak dewasa, ia tinggal di desa Pangkur sampai dapat menggembalakan kerbau, namun ia suka berjudi. Harta kekayaan Ki Lembong habis diperjudikan. Ketika Arok disuruh menggembalakan kerbau milik kepala desa Lebak, kerbau itu pun diperjudikannya pula. Akibatnya, bapa angkatnya harus membayar uang ganti rugi, karena kesalnya, Arok diusir dari rumah Ki Lembong. Di tengah perjalanan, ia tidak sengaja bertemu dengan Bango Samparan, penjudi dari desa Karuman. Ken Arok lalu dibawa ke tempat perjudian. Pada waktu itu Bango Samparan menang, menurut

116 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

anggapannya berkat kehadiran Ken Aroklah, ia selalu memenangkan perjudian tersebut dan Arok selalu membawa keberuntungan bagi dirinya. Oleh karena itu, Ken Arok diajak pulang serta dijadikan anak angkat istri tertua Bango Samparan yang kebetulan mandul.

Di Karuman, Ken Arok merasa kesepian karena ia tidak dapat bergaul dengan anak-anak

Tirtaja, dari istri kedua Bango Samparan. Kemudian, Arok pun pergi dari Karuman dan tidak sengaja bertemu Tita. Tita adalah anak Ki Sahaja, kepala desa Siganggeng. Berkat persahabatannya dengan Tita, Ken Arok menetap di Siganggeng dan belajar bersama pada Ki Janggan. Di padepokan tempat Ki Janggan berada, Arok mulai menunjukkan kenakalannya. Buah jambu milik Ki Janggan yang masih belum masak dirayah dan diruntuhkannya. Melihat perbuatan itu, Ki Janggan marah besar. Beliau menghukum Ken

Arok, lalu menyuruhnya untuk tidur di luar, di atas timbunan ilalang kering. Ketika Ki

Janggan keluar sewaktu malam hari, beliau terkejut melihat sinar berpancaran dari timbunan ilalang. Ketika didekatinya, ternyata sinar itu berasal dari Ken Arok. Sejak saat itu, rasa sayang Ki Janggan tertumpah pada Ken Arok. Ki Janggan percaya, bahwa sinar yang terdapat pada diri Ken Arok bukanlah sinar biasa. Ki Janggan menyadari, jika Ken

Arok merupakan titisan Dewa Wisnu dan anak dari Dewa Brahma (Muljana, hlm 91).

Setelah lulus dari padepokan tempat Ki Janggan, Ken Arok dan Tita mondok di sebelah timur desa Siganggeng untuk menghadang para pedagang yang lewat. Namun kenakalannya tidak berhenti sampai di situ saja, ia berani pula merampok dan merogol gadis di desa Kapundungan kemudian memperkosanya. Ken Arok menjadi perusuh yang menganggu keamanan wilayah Tumapel dan menjadi buruan Akuwu Tunggul Ametung.

Arok lari dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Tiap tempat yang didatanginya

117 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

menjadi tidak aman, namun ia selalu dapat lolos dari bahaya berkat perlindungan Bhatara

Brahma (Muljana, hlm 91).

Arok merasa setelah selesai berguru dengan Ki Janggan, ia perlu menimba ilmu kanuragan lebih dalam lagi kepada seorang guru yang sakti. Oleh karena itu, Ken Arok menemukan guru yang terbaik bagi dirinya. Dialah Mpu Palot, guru kanuragan yang sakti mandraguna berasal dari Turyantapada. Uniknya, waktu Arok berguru pada Mpu Palot, ia diutus untuk mengambil emas pada kepala desa Kabalon. Penduduk Kabalon tidak percaya bahwa Arok utusan Mpu Palot. Arok merasa kesal dan emosi, tiba-tiba salah seorang di antara mereka ditikamnya. Melihat kejadian itu, Arok berusaha melarikan diri meninggalkan desa Kabalon. Segenap penduduk desa mengejarnya, masing-masing bersenjatakan golok ataupun palu. Tiba-tiba terdengar suara dari langit kemudian berkata seperti berikut ini.

(347) “Jangan kau bunuh orang itu! Ia adalah puteraku! Belum selesai tugasnya di dunia!”, ucap Dewa Brahma (Muljana, hlm 92).

Pada kutipan nomor (347), dijelaskan bahwa perkataan Dewa Brahma begitu menggetarkan bagi orang-orang yang mendengarnya. Setelah mendengar suara itu, para pengejar Ken Arok berhenti kemudian bubar. Sementara itu, diketahui oleh orang-orang

Daha, bahwa Ken Arok bersembunyi di Turyantapada. Dalam kejaran orang-orang Daha,

Ken Arok lari ke desa Tugaran. Dari Tugaran kemudian ke Gunung Pustaka dan dari situ mengungsi ke desa Limbahan. Dari desa Limbahan ke desa Rabut, akhirnya sampai di

Panitikan. Atas nasihat seorang nenek, Ken Arok bersembunyi di Gunung Lejar. Dalam persembunyiannya di Gunung Lejar, ia mendengar keputusan para dewa, bahwa ia telah ditakdirkan menjadi raja yang akan menguasai Pulau Jawa.

118 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Dikisahkan pula bahwa Brahmana Lohgawe sengaja datang dari India ke Pulau

Jawa dengan hanya menumpang di atas tiga helai daun kakatang, beliau diutus oleh

Bhatara Brahma untuk mencari orang yang bernama Ken Arok. Ciri-cirinya: tangan panjang melebihi lutut, rajah telapak tangan kanannya berbentuk cakra, dan rajah telapak kirinya bertanda tutup kerang. Bhatara Brahma menuturkan, Ken Arok adalah titisan

Dewa Wisnu di suatu candi. Dengan jelas diberitahukan kepadanya, bahwa Dewa Wisnu sudah tidak ada lagi di candi pemujaan, karena telah menitis pada orang yang bernama

Ken Arok di Pulau Jawa. Brahmana Lohgawe diperintahkan untuk mencarinya di tempat perjudian. Oleh karena itu, sesampainya di Pulau Jawa, ia segera menuju desa Taloka dan bertemu dengan Ken Arok. Setelah cukup lama Ken Arok berguru pada Dang Hyang

Lohgawe, beliau akhirnya membawa Arok menghadap Akuwu Tunggul Ametung.

Mendengar uraian Brahmana Lohgawe, bahwa ia datang dari Jawadwipa dan bermaksud untuk menitipkan anak angkatnya agar diterima oleh Tunggul Ametung sebagai abdi istana. Awalnya, Tunggul Ametung merasa keberatan menerima Arok sebagai abdi, namun setelah melihat kesungguhan Arok, maka Sang Akuwu pun menerima Arok menjadi pengawal pribadinya (Muljana, hlm 92-93).

Dikisahkan kembali, bahwa isteri Tunggul Ametung sangat cantik luar biasa. Ia bernama Ken Dedes, anak tunggal Mpu Purwa (seorang pendeta Buddha dari Panawijen).

Dikisahkan, ketika Tunggul Ametung datang ke Panawijen untuk meminang Ken Dedes yang kebetulan Mpu Purwa sedang bertapa di suatu tempat. Sang Akuwu ini, tidak dapat menahan nafsunya saat melihat kecantikan Dedes yang maha dahsyat. Maka dari itu, Ken

Dedes dilarikannya ke Tumapel kemudian dikawininya. Ketika Mpu Purwa pulang dari pertapaan, beliau mendapatkan rumahnya yang kosong tanpa Ken Dedes. Mpu Purwa

119 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

mengetahui jika puterinya telah diculik paksa oleh Tunggul Ametung, kemudian dikawininya dengan cara pemaksaan pula tanpa restu dari Mpu Purwa. Oleh karena itu, sumpah serapah Mpu Purwa pun berkumandang.

(348) “Semoga yang melarikan anak saya, tidak akan selamat hidupnya! Semoga ia mati kena tikaman keris. Semoga sumur dan sumber di Panawijen semuanya akan kering sebagai hukuman kepada para penduduknya, karena mereka itu segan memberitahukan pencurian anak saya. Semoga anak saya akan tetap selamat dan mendapatkan kebahagiaan!”, sumpah Mpu Purwa (Muljana, hlm 93).

Pada kutipan nomor (348), diyakini bahwa sumpah serapah yang dilontarkan oleh

Mpu Purwa akan benar-benar terjadi. Mpu Purwa begitu kecewa atas perilaku dan kelakuan Tunggul Ametung yang nekat membawa puterinya untuk dinikahi tanpa izin darinya.

Kisah berlanjut kembali, ketika Ken Arok telah resmi menjadi pengawal khusus bagi Tunggul Ametung dan Ken Dedes. Ken Arok bekerja dengan sangat baik dan menjadi pengawal yang setia bagi mereka berdua. Tunggul Ametung semakin kagum akan kesetiaan Arok, terlebih lagi sikap Ken Dedes padanya. Ternyata diam-diam Dedes mengagumi sosok Ken Arok dan Arok pun mulai menyimpan benih-benih cinta kepada

Sang Nareswari tersebut. Pada saat itu pula, Ken Dedes tengah mengandung dan ia sangat ingin berjalan-jalan ke taman Baboji. Dikisahkan, pada suatu sore saat Dedes sedang bersama suaminya, ia naik kereta berpesiar ke taman Baboji. Sewaktu turun dari kereta, kainnya terbuka dari betis hingga paha. Arok terpesona melihatnya karena rahasia

Sang Nareswari berpancaran sinar terang (Muljana, hlm 93).

120 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Sepulangnya dari taman Baboji, peristiwa itu diceritakan oleh Ken Arok kepada

Mahaguru Lohgawe, sehingga Brahmana Lohgawe pun menjawabnya seperti kutipan berikut ini.

(349) “Arok, anakku… Wanita yang rahasianya menyala adalah wanita nareswari. Betapa pun nestapanya lelaki yang menikahinya, ia akan menjadi raja besar!” (Muljana, hlm 93).

Pada kutipan nomor (349), ditunjukkan bahwa perkataan Dang Hyang Lohgawe telah membuat Arok terkejut. Ia begitu tersentak akan ucapan Mahagurunya. Arok menganggap, hal tersebut merupakan kabar baik dan kesempatan ini tidak akan mungkin disia-siakan begitu saja.

Setelah mendengar ujaran itu, Ken Arok terdiam dan memikirkan siasat jahat untuk mencapai segala keinginannya. Timbul niatnya untuk membunuh Tunggul

Ametung, namun dengan berat hati, Brahmana Lohgawe sangat tidak setuju, serta menentang keras niat Arok membunuh Sang Akuwu. Ken Arok yang begitu nekat lalu meminta izin untuk mengunjungi bapa angkatnya, Bango Samparan di Karuman.

Sesampainya di sana, ia menceritakan segala kisahnya saat di taman Baboji kepada

Bango Samparan. Arok menegaskan niatnya untuk tetap membunuh Tunggul Ametung serta mengawani Ken Dedes. Bango Samparan memberi nasihat kepadanya, bahwa sebelum melaksanakan niatnya, Arok disarankan untuk pergi ke Lulumbang menemui seorang pembuat keris sakti bernama Mpu Gandring. Kebetulan pula, Mpu Gandring adalah sahabat karib Bango Samparan. Siapa pun yang terkena tikam keris buatannya, sudah dapat dipastikan akan mati mengenaskan. Ternyata, nasihat Bango Samparan sangat membantu Arok untuk melaksanakan niatnya. Ia akan tetap membunuh Tunggul

121 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Ametung, tentunya setelah keris sakti buatan Mpu Gandring itu jadi dengan sempurna

(Muljana, hlm 94).

Ken Arok berangkat ke Lulumbang dan memesan keris kepada Mpu Gandring.

Arok memaksa dalam waktu lima bulan, keris itu harus sudah selesai. Namun, Mpu

Gandring keberatan dengan permintaan Arok. Beliau menawarkan agar dibutuhkan waktu satu tahun supaya keris sakti tersebut jadi dengan sempurna, serta matang pembuatannya.

Akan tetapi, Ken Arok terus memaksa dan tetap pada permintaannya, lalu pergi begitu saja. Lima bulan kemudian, Arok datang kembali ke Lulumbang untuk mengambil keris pesanannya, namun keris itu sungguh-sungguh belum selesai dengan sempurna dan masih memiliki hawa maut. Arok begitu marah, keris itu direbut dan ditikamkan pada tubuh Mpu Gandring. Ken Arok yakin bahwa keris itu benar-benar ampuh dan sakti mandraguna. Sementara itu, Mpu Gandring yang telah sekarat memberikan kutukan bagi

Arok dan keturunannya kelak. Berikut ini adalah kutipannya.

(350) “Hei Arok! Ingatlah, kamu dan keturunanmu sampai tujuh turunan akan mati karena keris itu juga!” ungkap Mpu Gandring yang setelah itu ia mati seketika (Muljana, hlm 94). (351) “Kalau kelak saya benar menjadi orang besar, anak cucu Gandring akan mendapat balas jasa!”, umpat Ken Arok (Muljana, hlm 94).

Pada kutipan nomor (350) dan nomor (351), ditunjukkan bahwa sumpah serapah yang dilontarkan Mpu Gandring kepada Arok akan menjadi kenyataan di kemudian hari.

Ken Arok tampak menyesal melihat Mpu Gandring telah tewas ditangannya. Namun ia berjanji, jika perkataan Mpu Gandring benar-benar terbukti dan Arok berhasil menjadi raja, maka keturunan Mpu Gandring kelak akan diangkat menjadi abdi di istananya.

Setelah membunuh Mpu Gandring, dengan tergesa-gesa Arok pun pulang ke

Tumapel. Di Tumapel, Ken Arok mempunyai sahabat kental bernama Kebo Hijo. Kebo

122 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Hijo sangat dikasihi oleh Tunggul Ametung, tetapi sayang wataknya sangat suka pamer.

Ketika ia melihat keris Ken Arok yang berukiran kayu cangkring, ia memaksa Arok untuk dipinjamkan padanya, lalu dipamer-pamerkan kepada orang banyak sehingga hampir segenap orang Tumapel tahu, bahwa Kebo Hijo mempunyai keris baru. Ken Arok menduga bahwa saat yang dinanti-nantikannya telah tiba. Keris tersebut diambil oleh Ken

Arok tanpa sepengetahuan Kebo Hijo. Pada malam hari sewaktu telah sepi orang di dalam istana, Ken Arok langsung memasuki ke tempat dimana Tunggul Ametung berada.

Di saat Tunggul Ametung sedang tertidur nyenyak, segera ditikamnya dengan keris Mpu

Gandring. Baru keesokan harinya, diketahui bahwa Tunggul Ametung telah mati karena terkena tikaman keris yang masih tertancap di dadanya. Kebo Hijo disergap oleh sanak saudara Tunggul Ametung dan orang-orang di istana. Ken Arok yang muncul bak pahlawan, kemudian menangkapnya, dan tanpa ragu-ragu segera menghujam tubuh Kebo

Hijo dengan keris Mpu Gandring itu. Anak Kebo Hijo yang bernama Kebo Randi menangisi kematian ayahnya. Melihat peristiwa itu, iba hati Ken Arok dan berjanji akan mengambilnya sebagai abdi (Muljana, hlm 94-95).

Sepeninggalnya Tunggul Ametung, Ken Arok menjadi akuwu di Tumapel dan menikahi Ken Dedes. Di antara orang Tumapel tidak ada seorang pun yang berani menentang. Pada waktu itu, Tumapel adalah daerah bawahan Kediri yang diperintah oleh

Raja Kretajaya. Dikisahkan, Raja Kretajaya yang biasa disebut Dhandang Ghendis ini sedang berselisih dengan para Brahmana Shiwa-Buddha, berpangkal pada keinginannya untuk disembah. Keinginannya itu selalu ditolak, karena belum pernah terjadi jika para brahmana menyembah seorang raja. Untuk memperlihatkan kemampuannya, Kretajaya menancapkan tombaknya di tanah dan duduk di atas ujungnya. Namun, para brahmana

123 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

tetap pada pendiriannya, mereka menolak menyembah Sri Maharaja Kretajaya. Bahkan, karena muak akan kelakuan Raja Kretajaya, banyak brahmana yang meninggalkan Kediri untuk mencari perlindungan di Tumapel, sehingga jumlah pengikut Ken Arok semakin bertambah banyak. Keturunan dan orang-orang yang pernah berbuat baik kepada Ken

Arok dipanggil ke Tumapel untuk menerima balas jasa dan diminta untuk menetap di

Tumapel. Oleh para pengikutnya, Ken Arok diangkat sebagai raja dan mengambil nama

Abhiseka Rajasa Sang Amurwabhumi. Sejak saat itu, Ken Arok tidak lagi menghadap

Raja Kretajaya di Kediri. Hal ini menimbulkan rasa curiga Kretajaya, sehingga Sang

Baginda mengira jika Ken Arok akan memberontak. Kretajaya percaya bahwa Kediri tidak akan dapat ditundukkan oleh siapa pun, kecuali oleh Bhatara Guru (Shiwa).

Mendengar hal itu, Ken Arok memanggil para brahmana dan rakyat untuk menyaksikan bahwa ia mengambil nama Bhatara Guru dan memerintahkan prajurit Tumapel bergerak menyerbu Kediri. Pertempuran sengit terjadi antara prajurit Tumapel dengan prajurit

Kediri yang berkobar di sebelah utara desa Ganter. Dalam pertempuran itu, Mahisa

Walungan dan Gubar Baleman, serta hulubalang Kediri tewas mengenaskan. Para prajurit

Kediri berhamburan dan Baginda Kretajaya lari mencari perlindungan di dalam candi

Dewalaya. Kediri pun jatuh dalam kekuasaan Tumapel pada tahun 1222 dan Singasari adalah nama kerajaan yang didirikan oleh Ken Arok (Muljana, hm 95-96).

Dipaparkan kembali dalam bukunya Slamet Muljana, bahwa pernikahan Ken

Arok dengan Ken Dedes, dikaruniai tiga orang putera dan seorang puteri, yakni Mahisa

Wunga Teleng, Panji Saprang, Agnibaya, dan Dewi Rimbu, sedangkan, pernikahannya dengan Ken Umang, Ken Arok juga mempunyai tiga orang putera dan seorang puteri, yaitu Panji Tohjaya, Panji Sudatu, Tuan Wregola, dan Dewi Rambi. Putera sulung Ken

124 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Dedes keturunan Tunggul Ametung bernama Anusapati. Bertahun-tahun lamanya, kisah pembunuhan Tunggul Ametung dirahasiakan oleh Ken Dedes bagi Anusapati. Namun, ketika Anusapati sudah beranjak dewasa dan merasa diperlakukan lain daripada saudara- saudaranya oleh Sang Amurwabhumi, timbul curiga di dalam hatinya. Atas desakan

Anusapati, ia kemudian bertanya kepada Ken Dedes. Berikut ini kutipan percakapan diantara mereka.

(352) “Ibu, mengapa Sang Amurwabhumi bersikap demikian?”, tanya Anusapati (Muljana, hlm 96). (353) “Jika engkau ingin tahu, ayahmu yang sebenarnya ialah mendiang Tunggul Ametung. Ayah kandungmu telah mati ketika engkau masih di dalam kandungan. Setelah kematian ayahmu, ibu dinikahi oleh Sang Amurwabhumi”, jawab Ken Dedes (Muljana, hlm 96). (354) “Apa sebabnya ayah meninggal?”, Anusapati bertanya kembali (Muljana, hlm 96). (355) “Dibunuh oleh Sang Amurwabhumi menggunakan keris sakti Mpu Gandring, anakku!”, pada saat itu Ken Dedes tiba-tiba terdiam, merasa telah membocorkan rahasia (Muljana, hlm 96). (356) “Ibunda, bolehkah saya melihat keris Gandring pusaka ayahanda?” (Muljana, hlm 97).

Pada kutipan nomor (352) sampai nomor (356), dengan jelas disebutkan bahwa rahasia besar yang selama ini dipendam dan ditutup rapat-rapat, pada akhirnya diketahui pula oleh Anusapati. Anusapati begitu terkejut dan sangat marah setelah mendengar pengakuan dari sang ibu. Dengan sedikit memaksa, Anusapati meminta agar sang ibu menunjukkan keris maut itu kepadanya. Setelah keris tersebut ditunjukkan oleh Ken

Dedes kepada Anusapati, Anusapati pun berniat hendak membalaskan dendam akan kematian ayah kandungnya. Kebetulan, Anusapati mempunyai seorang pengalasan berasal dari desa Batil. Pengalasan itu segera dipanggilnya dan diberi perintah untuk membunuh Sang Amurwabhumi dengan keris bertuah buatan Mpu Gandring itu. Tanpa membantah, sang pengalasan tersebut segera berangkat. Sesampainya di istana, Sang

125 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Amurwabhumi yang sedang bersantap ditikam dari belakang, seketika itu pula Ken Arok mati mengenaskan.

Kejadian pembunuhan Sang Amurwabhumi terjadi pada hari Kamis Pon, wuku

Landep, sewaktu senja saat matahari baru saja terbenam, sekitar tahun Saka 1169 (1247

A.D). Setelah berhasil menikam, pengalasan bergegas lari untuk memberi laporan kepada

Anusapati yang berharap menerima hadiah dari Anusapati (Muljana, hlm 97).

(357) “Paduka Yang Mulia, telah mati terbunuh oleh Hamba, ayah Paduka!” (Muljana, hlm 97).

Dari kutipan nomor (357), sang pengalasan begitu puas akan keberhasilannya karena telah melakukan tugas maha pentingnya itu. Sebagai imbalannya, sang pengalasan meminta hadiah kepada Anusapati, ia meminta agar dapat bekerja di istana serta memperoleh jabatan yang tinggi. Namun sangat disayangkan, ternyata pengalasan itu dihabisi pula nyawanya oleh Anusapati dengan keris Mpu Gandring. Oleh karena itu, tersiarlah kabar, jika Sang Amurwabhumi mati terkena amuk orang Batil dan Anusapati telah membalasnya dengan membunuh pengalasan tersebut.

Slamet Muljana kembali menuturkan, bahwa uraian pada prasasti Mula-Malurung menyebutkan, raja-raja Kediri setelah tahun 1222 adalah keturunan Raja Rajasa Bhatara

Sang Amurwabhumi, yakni Bhatara Prameswara (Mahisa Wunga Teleng), Guning Bhaya

(Agni Bhaya), dan Panji Tohjaya. Dikisahkan, bahwa penobatan Mahisa Wunga Teleng sebagai raja Kediri menimbulkan perasaan dengki, iri hati dan kegusaran pada Anusapati yang menganggap dirinya adalah putera sulung Raja Rajasa. Itulah kiranya latar belakang keluhan Anusapati kepada ibunya Ken Dedes. Pararaton menguraikan, Ken Dedes menjelaskan bahwa sebenarnya Anusapati adalah putera Tunggul Ametung yang lahir setelah Ken Dedes dinikahi oleh Sang Amurwabhumi. Kemudian Sang Anusapati

126 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

mempertanyakan ‘mengapa sikap Raja Rajasa terhadap Anusapati berbeda dengan sikapnya terhadap saudara-saudaranya?’. Hal ini mempunyai latar belakang yang diuraikan oleh penyusun Pararaton.Pertanyaan itu kiranya harus ditafsirkan: ‘mengapa bukan saya, melainkan adik saya Mahisa Wunga Teleng yang dinobatkan sebagai raja

Kediri?’. Dalam hatinya, Anusapati memberontak akan penobatan Mahisa Wunga

Teleng, sehingga ia merasa mempunyai hak yang besar daripada Mahisa Wunga Teleng.

Setelah mengetahui bahwa pada hakikatnya, bahwa ia hanya anak tiri Raja Rajasa, ia bernafsu untuk membalaskan dendam kematian ayahnya, sekaligus merampas kekuasaan

Raja Rajasa. Ternyata niatnya itu terlaksana. Pararaton mengatakan, bahwa Raja Rajasa

Bhatara Sang Amurwabhumi mati terbunuh oleh orang Batil, suruhan Anusapati dengan tusukan keris Mpu Gandring, sewaktu senja ketika Sang Rajasa sedang bersantap sore.

Ternyata, uraian Pararaton itu cocok dengan uraian prasasti Mula-Malurung yang mengatakan bahwa Sang Rajasa, pendiri kerajaan Singasari wafat di tahta kencana. Sri

Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi dicandikan di Kagenengan dan diarcakan sebagai

Bhatara Siwa. Itulah sebabnya, dalam prasasti Mula-Malurung, pendiri kerajaan

Singasari tersebut digelari Bhatara Siwa. Sepeninggal Raja Rajasa pada tahun 1227,

Anusapati dinobatkan menjadi raja pengganti Sang Amurwabhumi di Singasari. Dengan penobatan itu, kerajaan Singasari dibelah menjadi dua, yakni kerajaan Kediri di bawah pemerintahan Mahisa Wunga Teleng (Bhatara Parameswara) dan kerajaan Singasari di bawah pemerintahan Anusapati (Muljana, hlm 97-98).

127 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

3.2 Raja Anusapati (1227-1248 M)

Sepeninggalnya Rajasa Sang Amurwabhumi, tahta kerajaan Singasari digantikan oleh Anusapati yang kemudian dinobatkan sebagai raja. Ia memerintah dalam jangka waktu pemerintahan yang cukup lama (1227-1248 M). Anusapati sama sekali tidak melakukan pembaruan-pembaruan, karena ia lebih senang mengurusi serta larut dengan kegemarannya sendiri, yaitu menyabung ayam, sehingga masyarakat kurang mendapat perhatian. Peristiwa kematian Sang Rajasa lambat laun terbongkar dan terdengar oleh

Panji Tohjaya, yakni putera sulung dari pernikahan Ken Arok dengan Ken Umang. Panji

Tohjaya mengetahui segala taktik Anusapati. Ia tidak senang melihat kematian Sang

Amurwabhumi dan berjanji akan membalas dendam, namun bagaimanapun Anusapati tetap waspada. Bilik tempat tidurnya dikelilingi parit, halamannya selalu dijaga ketat oleh orang-orang kepercayaannya. Panji Tohjaya mengetahui jika Anusapati gemar dalam permainan menyabung ayam, kesempatan inilah yang akan digunakan Tohjaya untuk membalaskan dendamnya. Pada suatu hari, Panji Tohjaya membawa sabungan ayam menghadap Anusapati, tujuannya untuk mengajaknya bertarung dengan ayam jago andalan Anusapati. Anusapati sangat senang menerima tantangan Panji Tohjaya, karena bagaimanapun Anusapati begitu gemar bermain sabung ayam sedari ia kecil. Di saat istirahatnya pertandingan, Panji Tohjaya yang saat itu sedang berbincang-bincang hangat dengan Anusapati, tiba-tiba berkata demikian.

(358) “Kakanda, bolehkan saya meminjam keris Mpu Gandring sebentar saja?” (Muljana, hlm 102). (359) Tanpa curiga sedikitpun, Anusapati mengulurkan kerisnya, “Ini adik, keris maha dahsyat itu!” (Muljana, hlm 102). (360) “Kakanda, mari kita bersabung ayam sekali lagi!” (Muljana, hlm 102). (361) Tanpa ada rasa curiga sedikitpun, ajakan itu disambut dengan baik. “Mari adik, kali ini kau pasti kalah lagi, hahaha”, tawa senang Anusapati menggelegar (Muljana, hlm 103).

128 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Pada kutipan nomor (358) sampai nomor (361), ditunjukkan bahwa Anusapati begitu saja memperlihatkan keris tersebut pada Tohjaya. Ia tidak menaruh sedikit pun rasa curiga pada saudara tirinya itu. Panji Tohjaya sangat mengetahui jika Anusapati begitu menyukai permainan sabung ayam. Cara inilah yang dipakai Tohjaya untuk segera membalaskan kematian Sang Amurwabhumi. Setelah mereka mempertarungkan ayam mereka masing-masing, ayam tersebut dilepaskan untuk kedua kalinya dalam permainan sabung ayam. Anusapati mencurahkan perhatiannya kepada ayamnya yang sedang bertarung, tanpa menaruh perhatian sedikit pun pada gerak-gerik Tohjaya. Kesempatan baik itu tidak dibiarkan berlalu oleh Panji Tohjaya. Ia segera menghunuskan keris sakti buatan Mpu Gandring dan langsung menikam Anusapati sampai mati.

Menurut Negarakretagama pupuh 41/1 mencatat tahun kematian Anusapati pada tahun Saka 1170 (1248 A.D) dan Anusapati dicandikan di Candi Kidal. Namun, dalam kitab Pararaton, kematian Anusapati dituliskan pada tahun Saka 1171 (1249 A.D)

(Muljana, hlm 102-103). Pararaton menyajikan uraian tentang mangkatnya Sang

Anusapati akibat tusukan keris Mpu Gandring oleh Panji Tohjaya, ketika mereka sedang menyabung ayam. Berikut ini adalah terjemahannya dalam kitab Pararaton.

‘Sang Anusapati tahu bahwa jiwanya akan diancam oleh Tohjaya. Waspadalah Sang Anusapati. Tempat tidurnya dikelilingi dengan parit; di halaman ditaruh penjaga bersenjata. Orang kepercayaan Sang Anusapati ikut membantu menjaga. Sesudah lama datanglah Panji Tohjaya menghadap Sang Anusapati dengan membawa seekor ayam jantan. Berkatalah Panji Tohjaya: ‘Kakanda, adakah pada Kakanda keris ayahanda yang berasal dari Pu Gandring? Bolehkah saya meminjamnya?’ Memang sudah masanya Anusapati mangkat. Diberikan keris buatan Pu Gandring itu oleh Anusapati itu oleh Anusapati, diterima oleh Tohjaya, lalu dipakainya. Berkatalah Tohjaya: ‘Marilah Kakanda, kita mengadu ayam!’ Jawab Anusapati: ‘Baiklah adik!’. Lalu memberi perintah untuk mengambil ayam jantan kepada penjaga sangkar ayam. Jawab Tohjaya: ‘Baiklah’. Kedua-duanya memasang taji. Kedua ayam berdiri berhadap-hadapan. Sang Anusapati mencurahkan perhatian sepenuhnya. Sungguh sudah tiba saat mangkatnya. Ketika Anusapati sedang asyik memperhatikan ayam sabungannya, ia ditusuk oleh Panji Tohjaya. Matilah Sang Anusapati pada tahun Saka 1171 (1249 M) dicandikan di Kidal.

129 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Panji Tohjaya menggantikan Sang Anusapati sebagai raja di Singasari……….’ (Muljana, 1983:75).

Nagarakretagama pupuh 41/1 menyatakan bahwa Sang Anusapati mangkat pada tahun Saka 1170 (1248 M). Jenazahnya dicandikan di Kidal. Candi Kidal terletak di sebelah timur kota Malang. Di dalamnya terdapat arca Dewa Siwa. Demikianlah setelah mangkat Sang Anusapati diarcakan sebagai Dewa Siwa. Uraian Nagarakretagama pupuh

41/1 memang cocok dengan keadaan candi Kidal di sebelah timur kota Malang. Badan candi itu dihias dengan relief Garuda, di antaranya ialah Garuda yang sedang membawa kapal berisi air amreta dan Garuda yang sedang mendukung ibunya (Muljana, hlm 76).

Dalam bukunya, Slamet Muljana menunjukkan bahwa Prasasti Mula-Malurung sama sekali tidak menyinggung nama Anusapati, apalagi tentang bagaimana mangkatnya.

Boleh dipastikan bahwa Anusapati mangkat dalam keadaan biasa, tidak dibunuh oleh

Tohjaya dengan keris Empu Gandring pada tahun 1248, karena telah dibuktikan bahwa

Nararya Tohjaya adalah raja Kediri, pengganti Raja Guning Bhaya. Jadi, Tohjaya tidak menggantikan Anusapati sebagai raja Singasari seperti diuraikan dalam Pararaton. Jika uraian Pararaton itu mengandung unsur-unsur kebenaran, maka pembunuhan itu dilakukan oleh Nararya Tohjaya terhadap Raja Guning Bhaya, tidak terhadap Anusapati.

Pembunuhan itu dilaksanakan tidak dengan maksud membalaskan kematian Raja Rajasa, melainkan untuk merebut kekuasaan karena Guning Bhaya tidak pernah membunuh Raja

Rajasa. Tohjaya mempunyai anggapan bahwa ia memiliki hak yang sama seperti saudara- saudaranya. Hanya saja, menurut Pararaton, ia dilahirkan dari isteri selir, yakni Ken

Umang (Muljana, hlm 104).

130 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

3.3 Panji Tohjaya (1248 M)

Setelah kematian Anusapati, tahta kerajaan dipegang oleh Panji Tohjaya. Tohjaya memerintah kerajaan Singasari hanya beberapa bulan saja (1248 M). Namun, bagaimanapun juga kehidupan Tohjaya selalu diliputi perasaan ketakutan dan curiga, terutama kepada Rangga Wuni, putera Anusapati dan Mahisa Campaka, putera Mahisa

Wunga Teleng. Saat mereka berdua datang menghadiri penobatan Panji Tohjaya naik tahta, Tohjaya berbisik pada Pranaraja, sepertinya mereka hendak merencanakan sesuatu yang tidak baik. Berikut ini percakapan antara Panji Tohjaya dan Pranaraja.

(362) “Hei, Pranaraja! Lihatlah kedua kemenakanku itu! Alangkah bagusnya rupa dan perawakan mereka! Melebihi musuh-musuhku di Nusantara. Untuk apa mereka datang ke mari?”, ucap Tohjaya (Muljana, hlm 105). (363) “Memang mereka itu sangat bagus dan gagah berani. Namun, mereka itu dapat diumpamakan bisul di pusat. Jika pecah, pasti membahayakan!”, ujar Pranaraja (Muljana, hlm 105). (364) Tohjaya terdiam mendengar ujaran itu. Hatinya bertambah marah. Kemudian ia memanggil Lembu Ampal dan berbisik di telinganya, “Musnahkan mereka! Jika engkau tidak berhasil menyirnakan mereka, engkau sendiri yang akan kusirnakan!” ancam Tohjaya kepada Lembu Ampal (Muljana, hlm 105).

Dari kutipan nomor (362) hingga (364), dikatakan bahwa Panji Tohjaya tidak menyukai kehadiran Rangga Wuni dan Mahisa Campaka pada saat hari penobatannya berlangsung. Tohjaya begitu menaruh curiga kepada dua kemenakannya ini. Pranaraja sepertinya memanas-manasi dan memperingatkan Tohjaya, agar selalu waspada serta berhati-hati kepada mereka. Maka dari itu, Panji Tohjaya yang tidak ingin kekuasaannya direbut oleh mereka, lalu menyuruh Lembu Ampal untuk menyirnakan keduanya dari bumi marcapada ini. Jika gagal, maka nyawa Lembu Ampal menjadi taruhan, begitulah ancaman Panji Tohjaya terhadapnya. Tanpa sengaja, ternyata ada seorang brahmana mendengar perintah bisik-bisik Panji Tohjaya, beliau segera mendatangi serta menasehati

131 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Rangga Wuni dan Mahisa Campaka untuk bersembunyi di rumah Panji Patipati. Sangat disayangkan, ternyata Lembu Ampal tidak berhasil menyirnakan mereka dan harus menjalani hukuman mati, karena takut, ia kemudian memihak Rangga Wuni dan Mahisa

Campaka. Dalam percakapannya dengan Rangga Wuni dan Mahisa Campaka, Lembu

Ampal pun berkata. Berikut ini adalah kutipannya.

(365) “Hamba datang ke mari mohon perlindungan dari Paduka sekalian. Hamba berjanji akan setia kepada Paduka. Jika Paduka tidak percaya, hamba akan mengangkat sumpah!” (Muljana, hlm 105).

Dari kutipan nomor (365), dijelaskan, Lembu Ampal telah gagal menjalankan perintah Panji Tohjaya dan akan segera dijatuhi hukuman mati. Namun, ia masih sangat sayang dengan nyawanya serta berubah pikiran untuk bergabung dengan Rangga Wuni dan Mahisa Campaka. Ia berjanji akan setia kepada mereka berdua dan berani bersumpah dihadapan keduanya. Setelah Lembu Ampal bergabung dengan Rangga Wuni dan Mahisa

Campaka, maka ia menemukan suatu siasat untuk dapat menghancurkan kekuasaan Panji

Tohjaya. Atas hasutan Lembu Ampal, timbul suatu perselisihan antara regu Rajasa dan

Sinelir. Setelah mengetahui hal tersebut, Panji Tohjaya berniat akan menyirnakan kedua belah pihak yang berselisih. Mengetahui hal itu, kepala regu Rajasa maupun kepala regu

Sinelir, kemudian mencari Rangga Wuni memohon perlindungan dan bersumpah untuk tetap setia kepada Rangga Wuni dan Mahisa Campaka. Pada waktu senja, para pasukan dari regu Sinelir dan Rajasa yang bersenjata lengkap kemudian berkumpul di kediaman tempat Panji Patipati, bersama Rangga Wuni dan Mahisa Campaka, dari situlah mereka bergerak serentak menyerbu istana. Panji Tohjaya sangat terkejut melihat serangan musuh dan berusaha melarikan diri. Namun, ia terkena tikam keris Mpu Gandring saat

Rangga Wuni menyerangnya. Seketika itu pula Panji Tohjaya tidak dapat berjalan dan

132 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

akan merenggang nyawa. Ia dibawa oleh pengikut-pengikutnya dan diungsikan ke

Katang Lumbang. Sesampainya di Katang Lumbang, Panji Tohjaya akhirnya meninggal dunia. Pararaton mencatat wafatnya Panji Tohjaya pada tahun Saka 1172 (1250 A.D).

(Muljana, hlm 105).

3.4 Wisnuwardhana (1248-1268 M)

Pararaton menjelaskan bahwa persatuan antara Rangga Wuni dan Mahisa

Campaka bagaikan dua ular dalam satu liang. Setelah sepeninggalnya Panji Tohjaya, mereka tetap bersatu dalam pemerintahan, mereka juga saling memahami dan tetap seia sekata. Rangga Wuni dinobatkan menjadi raja, kemudian mengambil nama abhiseka

Wisnuwardhana, sedangkan, Mahisa Campaka menjadi Ratu Angabhaya, yakni menjadi patih atau pembantu utama sang Prabu yang bergelar Bhatara Narasingamurti. Mereka memerintah bersama di kerajaan Singasari pada tahun 1248-1268 M. Tertulis dalam

Nagarakretagama pupuh 41/2 mengiaskan pemerintahan antara Wisnuwardhana bersama

Narasingamurti bagaikan kerjasama antara Dewa Wisnu dengan Dewa Indra (Muljana, hlm 105-106). Disebutkan, bahwa Panji Patipati yang menyelamatkan hidup mereka dari ancaman Panji Tohjaya. Panji Patipati diangkat sebagai dharmadikarana (hakim tinggi), seperti tertera pada piagam Gunung Wilis yang dikeluarkan pada tahun Saka 1191 (1269

A.D). Berulang kali nama Panji Patipati disebutkan dalam piagam itu. Menurut piagam

Pananggungan (1269 A.D), Panji Patipati bergelar Mpu Kapat dan diangkat sebagai dharmmadyaksa kasaiwan pada zaman pemerintahan Prabu Kertanagara. Hubungan antara Panji Patipati dan Wisnuwardhana serta Narasingamurti dipelihara dengan baik sampai keturunan mereka (Muljana, hlm 106).

133 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Saat Wisnuwardhana memerintah, daerah Singasari kian hari bertambah makmur dan rakyat hidup dengan damai sejahtera. Demi memajukan kemakmuran negara,

Wisnuwardhana membuat pelabuhan di Sungai Brantas yang kemudian terkenal dengan nama Canggu. Peresmian pembukaannya dilakukan pada tahun Saka 1193 (1271 A.D), setahun sesudah Wisnuwardhana mangkat. Negarakretagama pupuh 41/4 mencatat bahwa mangkat beliau terjadi pada tahun Saka 1192 (1270 A.D). Wisnuwardhana dicandikan di Waleri dengan lambang arca Siwa dan di Jajagu (candi Jago) dicandikan dengan lambang arca Buddha. Pada tahun yang sama, Bhatara Narasingamurti pun pulang ke Surapada, kemudian meninggal di sana dan dicandikan di Kumeper dengan lambang arca Siwa (Muljana, hlm 106-107).

Disebutkan kembali oleh Slamet Muljana dalam bukunya Tafsir Sejarah

Nagarakretagama, bahwa prasasti Mula-Malurung menyebutkan, yang mempunyai hak waris atas kerajaan Kediri ialah Mahisa Campaka, putera Mahisa Wunga Teleng atau

Bhatara Parameswara. Ketika ayahnya mangkat, mungkin Mahisa Campaka belum dewasa hingga perlu diembani oleh pamannya, bernama Guning Bhaya. Sepeninggal

Guning Bhaya bukan Mahisa Campaka yang naik tahta, melainkan Nararya Tohjaya.

Lagipula, melalui perkawinannya dengan Puteri Waning Hyun (puteri Mahisa Wunga

Teleng), Nararya Seminingrat juga mempunyai hak waris atas kerajaan Kediri. Dengan sendirinya, Nararya Tohjaya curiga terhadap Mahisa Campaka dan Seminingrat. Ia mencurigai bahwa mereka berdua akan mengadakan komplotan untuk menggulingkan kekuasaan Tohjaya. Oleh karena itu, ia memahami pendapat Pranaraja bahwa mereka berdua dapat diibaratkan bagaikan bisul didekat pusat yang sangat membahayakan, jika pecah pada suatu saat akan sangat berbahaya (Muljana, hlm 107).

134 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Duet Mahisa Campaka dengan Seminingrat terjadi di Kediri, tidak terjadi di

Singasari yang seperti diuraikan dalam Pararaton. Sebab-sebabnya, yakni: pertama,

Nararya Tohjaya adalah raja Kediri, bukan raja Singsari. Kedua, Pranaraja yang berbicara dengan Raja Tohjaya adalah pembesar Kediri seperti dinyatakan dengan jelas dalam prasasti Mula-Malurung. Prasasti ini menguraikan bahwa Pranaraja mengabdi kepada

Nararya Tohjaya (tertera pada lempengan III) dan Pranaraja dianugerahi Desa Mula dan

Malurung sebagai desa Swatantra. Mula-Malurung letaknya di sebelah utara ibu kota

Daha. Jadi, Pranaraja adalah pembesar Kediri. Ketiga, Panji Patipati yang menurut

Pararaton, bahwa yang menyembunyikan Rangga Wuni atau Seminingrat dan Mahisa

Campaka adalah pembesar Kediri. Nama lengkapnya ialah Sang Pamegat Diranu

Kabayan Sang Apanji Patipati. Ia adalah penyokong kuat Nararya Seminingrat untuk memperoleh tahta kerajaan Kediri, sepeninggal Nararya Tohjaya. Berkat dukungan Sang

Apanji Patipati, Nararya Seminingrat berhasil menyatukan kembali kerajaan Singasari yang diwarisinya dari Raja Anusapati pada tahun 1248 dan kerajaan Kediri yang diwarisinya melalui perkawinannya dengan Puteri Waning Hyun, dari Bhatara

Parameswara sepeninggal Nararya Tohjaya (Muljana, hlm 107-108).

Di antara keluarga raja Kediri ada yang menaruh keberatan terhadap penyatuan

Kediri dan Singasari di bawah pemerintahan Seminingrat, yakni Maharaja Lingga Chaya

(tertera pada lempengan X.A dan lempengan XI.A). Keberatan itu hanya dinyatakan secara samar-samar dengan ucapan sebagai berikut.

(366) “Sungguh takutlah para pengikut Lingga Chaya kepada Paduka Prabu Sri Maharaja Jagannatha?” (Muljana, hlm 108).

135 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Kalimat pada nomor (366) sekiranya perlu dihubungkan dengan Pararaton dan

Nagarakretagama yang mengatakan bahwa pada tahun 1252, Wisnuwardhana memberantas pemberontak bernama Linggapati, tanpa memberi keterangan lebih lanjut: siapa yang dimaksud dengan Linggapati dan mengapa ia diberantas. Prasasti Mula-

Malurung menghubungkan nama Sri Maharaja Lingga Chaya dengan anugerah Desa

Mula-Malurung, serta Singasari di bawah pemerintahan Seminingrat. Atas dasar uraian di atas, kiranya Sri Maharaja Lingga Chaya terdapat dalam prasasti Mula-Malurung itu menjadi Linggapati dalam Nagarakretagama dan Pararaton. Tertulis pula dalam prasasti

Mula-Malurung, nama Wisnuwardhana tidak pernah disinggung, yang disebut ialah

Seminingrat Jagannatha, kedua-duanya dinyatakan secara jelas sebagai ayah Sri

Kertanagara dan dianggap sebagai titisan Wisnu atau Wisnwawatara (lempengan IX B).

Nama Jagannatha adalah singkatan dari Wisnu-Jagannatha dalam mitologi India, jadi sejajar dengan Wisnwawatara atau Wisnuwardhana. Dalam Nagarakretagama dan

Pararaton, nama Wisnuwardhana dianggap sebagai abhiseka. Menurut Pararaton, setelah penyatuan kerajaan Kediri dan Singasari, Mahisa Campaka mengambil nama abhiseka Narasingamurti dan menjadi Ratu Angabhaya (wakil raja). Nagarakretagama pupuh 41/2 mengibaratkan pemerintahan bersama Wisnuwardhana dan Narasingamurti sebagai pemerintah Indra dan Madhawa (Muljana, hlm 108-109).

3.5 Kertanagara dan Runtuhnya Singasari (1268-1292 M)

Nagarakretagama pupuh 61/2 menguraikan bahwa pada tahun 1254, Raja

Wisnuwardhana menobatkan puteranya menjadi raja. Tetapi, karena ditahun 1254

Wisnuwardhana belum mangkat, maka ia sendiri tidak turun tahta melainkan memerintah

136 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

terus untuk anaknya. Setelah tahun 1268, walaupun Wisnuwardhana masih hidup, kekuasaannya dilimpahkan pada Kertanagara, serta menggantikan kedudukan ayahanda di Singasari. Kertanagara memerintah pada tahun 1268-1292 M. Segenap rakyat Janggala dan Panjalu datang ke Tumapel untuk menghadiri upacara penobatan tersebut. Setelah dinobatkan, kemudian putera mahkota mengambil nama abhiseka Sri Kertanagara, dan ibu kota Kutaraja berganti nama menjadi Singasari. Uraian tersebut memberi kesan, bahwa seolah-olah pada tahun 1254, Wisnuwardhana menyerahkan kekuasaannya kepada

Kertanagara. Akan tetapi, hal itu tidak benar dalam prasasti Mula-Malurung yang menyatakan dengan jelas bahwa pada tahun 1255, Raja Wisnuwardhana masih tetap memerintah di Singasari sebagai raja agung yang menguasai Janggala dan Panjalu. Raja

Kertanagara dinobatkan di Daha sebagai raja bawahan. Berkat kelahirannya dari pernikahan Wisnuwardhana dengan Permaisuri Waning Hyun, Kertanagara mempunyai kedudukan sebagai raja mahkota yang mengepalai raja-raja bawahan lainnya. Sebagai raja bawahan yang memerintah di Daha, ia mempunyai hak untuk mengeluarkan prasasti di wilayahnya. Prasasti Pakis Wetan tahun 1269 dan prasasti Penampihan tahun 1269, kedua-duanya dikeluarkan oleh Kertanagara pada waktu Wisnuwardhana masih hidup.

Setelah meninggalnya Raja Wisnuwardhana pada tahun 1270, Kertanagara bertindak sebagai raja agung yang menguasai Singasari dan wilayah Kediri seperti mendiang

Wisnuwardhana (Muljana, hlm 110).

Kidung Panji Wijayakrama pupuh 1 menguraikan watak Sri Kertanagara yang juga bergelar Siwa-Buddha, seperti dipaparkan pada kutipan berikut ini.

(367) “Raja Kertanagara mempunyai maha menteri, bernama Mpu Raganata. Mpu Raganata adalah orang yang bijak, jujur, dan pemberani. Tanpa ragu, ia berani mengemukakan keberatan- keberatannya terhadap sikap dan pimpinan sang prabu. Prabu

137 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Kertanagara yang berwatak angkuh dan sadar akan kekuatan serta kekuasaannya, menolak mentah-mentah pendapat dan keberatan atas pendapat Mpu Raganata. Bahkan beliau menjadi muram lagi murka, setelah mendengar ujaran Mpu Raganata yang tidak sesuai dengan keinginan sang prabu. Maka dari itu, Mpu Raganata dipecat dari jabatannya, kemudian digantikan oleh Mahisa Anengah Panji Angragani” (Muljana, hlm 111).

Dalam Kidung Harsawijaya pupuh 1/28b sampai 30a, disebutkan dengan jelas bahwa Prabu Kertanagara melepaskan jabatan Mpu Raganata dari kedudukannya sebagai patih amangkubhumi menjadi ramadhyaksa di Singasari. Mpu Raganata sangat kecewa dan tidak senang terhadap pemerintahan sang prabu. Disebutkan pula dalam kidung tersebut, Wiraraja dicopot jabatannya sebagai demung menjadi adipati di Madura Timur, karena ia tidak menyukai pemerintahan Prabu Kertanagara. Dikatakan kembali dalam

Kidung Harsawijaya, jika Tumenggung Wirakreti dilepaskan kedudukannya sebagai tumenggung menjadi mantri angabhaya atau pembantu menteri. Kidung Harsawijaya pupuh 1/28b menguraikan bahwa penurunan Wiraraja dari jabatan demung menjadi adipati sangat melukai hatinya dan menimbulkan kemarahan. Oleh karena itu, dari percakapan Wirondaya dengan Jayakatwang yang tertera dalam pupuh 2/16a sampai 16b dengan jelas diceritakan, bahwa sejak pemecatan para wreddha mantri dan pengangkatan para yuwa mantri atau menteri muda, rakyat semakin tidak senang terhadap sikap Prabu

Kertanagara yang sombong dan angkuh (Muljana, hlm 111).

Demikianlah sepeninggal Wisnuwardhana dan Bhatara Narasingamurti, Prabu

Kertanagara segera mengadakan perubahan besar-besaran dalam bidang administrasi untuk disesuaikan dengan pelaksanaan politik ekspansinya. Para pembesar yang telah lama mengabdi dalam pemerintahan Wisnuwardhana dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan politik baru yang akan dijalankan oleh Kertanagara, maka mereka disingkirkan,

138 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

serta diganti oleh tenaga-tenaga baru. Perubahan itu menimbulkan kegelisahan di antara para abdi istana dan seluruh rakyat. Tanpa diduga sebelumnya, timbullah pemberontakan bersenjata yang mengejutkan Prabu Kertanagara. Kidung Panji Wijayakrama pupuh 1 menyebutkan pemberontakan itu berasal dari Kelana Bhayangkara dan Nagarakretagama pupuh 41/4 pemberontakan itu berasal Cayaraja. Pemberontakan-pemberontakan itu, meskipun akhirnya dapat ditumpas, tetapi menghambat pelaksanaan gagasan politik perluasan wilayah. Maka, untuk dapat mengirim pasukan ke seberang lautan, kekeruhan di dalam negeri harus diatasi terlebih dahulu (Muljana, hlm 112).

Pararaton, Kidung Panji Wijayakrama, Kidung Harsawijaya, Nagarakretagama pupuh 41, semuanya menyebutkan jika pengiriman pasukan Singasari ke negeri Malayu

(Suwarnabhumi) pada tahun Saka 1187 (1275 A.D), terjadi sekitar lima tahun setelah pecahnya pemberontakan Kelana Bhayangkara ataupun Cayaraja. Dalam Kidung

Harsawijaya, dinyatakan bahwa nasihat Mpu Raganata tentang penolakan pengiriman pasukan ke Malayu ditolak oleh Kertanagara. Mpu Raganata mengingatkan agar sang prabu tetap waspada tentang kemungkinan balas dendam Jayakatwang dari Kediri terhadap Singasari. Apalagi, jika Singasari berada dalam keadaan kosong tanpa pasukan

Singasari yang handal, akibat pengiriman pasukannya ke Malayu. Prabu Kertanagara berpendapat, jika raja bawahan Jayakatwang tidak akan memberontak karena beliau telah berhutang budi kepada sang prabu. Jayakatwang adalah mantan pengalasan keraton

Singasari yang diangkat sebagai raja bawahan di Kediri oleh Kertanagara. Gagasan pengiriman pasukan ke Malayu dapat dukungan penuh dari Mahisa Anengah, pengganti

Mpu Raganata. Demikianlah keputusan Sri Kertanagara untuk mengirimkan pasukan

Singasari ke Malayu. Keputusan itu dilaksanakan pada tahun 1275 A.D. Dalam sastra

139 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

sejarah Jawa Kuna, ekspedisi ke Malayu itu disebut Pamalayu atau perang melawan

Malayu (Muljana, hlm 112-113).

Ekspedisi ke Malayu berhasil dengan baik. Para pasukan Singasari berhasil menundukkan raja Malayu, Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa di Dharmasraya yang berpusat di Jambi dan Selat Malaka. Hal itu, terbukti dalam isi piagam Amoghapasa atau piagam Padang Arca yang dikeluarkan oleh Sri Kertanagara pada bulan Bharadapada pada tahun Saka 1208 (sekitar bulan Agustus sampai September 1286 A.D). Di bawah ini adalah bunyi yang tertulis pada kutipan berikut.

(368) “Salam bahagia! Pada tahun Saka 1208, bulan Bharadapada, hari pertama bulan naik, hari Mawulu, Wage, hari Kemis, wuku Madangkungan, letak raja bintang di barat daya, tatkala itulah arca paduka Amoghapasa Lokeswara dengan empat belas pengikut serta tujuh ratna pertama, dibawa dari bumi Jawa ke Suwarnabhumi, ditegakkan di Dharmasraya sebagai hadiah Sri Wiswarupa. Untuk tujuan tersebut, Sri Kertanagara memerintahkan rakryan mahamantri Dyah Adwayabrahma, rakryan sirikan Dyah Sugatabrahma, payanan Hyang Dipangkaradasa, rakryan demung Wira untuk menghantar paduka Arca Amoghapasa. Semoga hadiah itu membuat gembira segenap penduduk negeri Malayu, termasuk para brahmana, ksatria, waisya, sudra, dan terutama pusat segenap arya, Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa” (Muljana, hlm 113).

Nagarakretagama pupuh 41/4 menguraikan bahwa Prabu Kertanagara dengan pengiriman pasukan itu sebenarnya mengharapkan agar Sri Maharaja Tribhuwanaraja

Mauliwarmadewa tunduk dan mengakui akan kesaktian sang prabu. Ekspedisi ke negeri

Malayu yang berjaya begitu gilang-gemilang, mempunyai akibat yang sangat buruk di dalam negeri. Pada tahun 1280 A.D timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Mahisa

Rangkah menurut pemberitaan dalam Nagarakretagama pupuh 41/4. Disebutkan jika pembesar-pembesar yang telah dipecat oleh sang prabu, terutama adipati Wiraraja

140 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

mendapat kesempatan baik untuk membalas dendam dan melampiaskan kemarahannya kepada Sri Kertanagara. Kemudian, Wiraraja menghasut Jayakatwang di Kediri dengan cara mengirimkan surat untuk memberontak melawan Sri Maharaja Kertanagara. Berikut adalah kutipan yang menunjukkan isi pesan Wiraraja kepada Jayakatwang.

(369)“Patik memberitahukan kepada sang prabu. Padukanata dapat disamakan dengan orang yang sedang berburu. Hendaklah sekarang inilah saat yang paling baik dan paling tepat. Tegal sedang tandus; tak ada rumput, tak ada lalang; daun-daun sedang gugur berhamburan di tanah. Bukitnya kecil-kecil; jurangnya tidak berbahaya, hanya didiami harimau tua yang sama sekali tidak menakutkan. Tak ada kerbau, sapi, rusa yang bertanduk. Jika mereka itu sedang menyenggut rumput, baiklah mereka itu diburu. Pasti tidak berdaya. Satu-satunya harimau yang tinggal adalah harimau guguh, sudah tua renta, yakni Mpu Raganata” (Muljana, hlm 114).

Pada kutipan nomor (459), surat hasutan dari Wiraraja, nyata sekali bahwa

Singasari dalam keadaan kosong. Tidak ada lagi orang yang dapat diandalkan. Mpu

Raganata adalah satu-satunya pembesar yang terpandang sebagai pahlawan, namun ia sudah tua renta seperti harimau yang tidak lagi bergigi. Meskipun demikian, Raja

Kertanagara segan menyadari kenyataan itu. Di lain sisi, beliau berani menolak permintaan Meng Khi, utusan kaisar Cina yakni Kubilai Khan untuk mengakui kekuasaan kaisar dan mengirim utusan ke Tiongkok dengan membawa upeti sebagai tanda takhluk.

Sri Kertanagara marah besar dan menghinanya, serta mengusir Meng Khi dari istana.

Hinaan terhadap utusan kaisar Tiongkok itu berlangsung pada tahun 1289 A.D.

Kertanagara tidak mau tunduk kepada keinginan Kaisar Kubilai Khan, apalagi takhluk pada kekuasaannya (Muljana, hlm 114-115).

141 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Setelah Jayakatwang membaca surat Wiraraja, maka tahulah beliau akan makna ibarat yang disuarakan oleh Wiraraja dan segera bertanya pada Wirondaya, pembawa surat tersebut, tentang bagaimana keadaan Singasari sebenarnya. Berikut ini adalah kutipan yang menyatakan jawaban dari Wirondaya.

(370) “Semenjak Kertanagara memegang tampuk pimpinan kenegaraan, segala nasihat Mpu Raganata dan para wreddha menteri diabaikan. Para wreddha menteri digeser dari kedudukan mereka dan diganti oleh menteri muda. Sang prabu cenderung menerima segala nasihat para menteri baru. Rakyat tidak puas dengan sikap yang demikian” (Muljana, hlm 115).

Jayakatwang lalu menanyakan lagi pendapat Patih Mahisa Mundarang. Di bawah ini adalah kutipan yang menyatakan jawaban dari Patih Mahisa Mundarang.

(371) “Moyang Paduka adalah Prabu Dandhang Ghendis (Sri Baginda Maharaja Kertajaya), beliau binasa akibat pemberontakan anak petani desa Pangkur, anak Ni Ndok. Itulah raja Singasari yang pertama dan bergelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi. Para prajurit Kediri sirna bagaikan gunung disambar halilintar. Sri Baginda Maharaja Kertajaya serta para prajuritnya musnah karena tindakan Ken Arok. Kenyataannya, Kediri memang dijajah Singasari. Padukalah yang mempunyai kewajiban membangun kembali kerajaan Kediri dan membalas kekalahan Prabu Kertajaya!” (Muljana, hlm 115).

Setelah mendengar nasihat Adipati Wiraraja dan pendapat Patih Mundarang, Raja

Jayakatwang segera mengeluarkan perintah menyerbu Singasari. Jaran Guyang berangkat menyerang Singasari dari arah utara, sedangkan Patih Mundarang menyerang dari arah selatan. Para prajurit Daha di bawah pimpinan Jaran Guyang melintasi sawah ke arah utara, dengan membawa kereta, bende, gong, dan tunggul, kemudian mereka berhenti di desa Mameling. Banyak orang desa yang ketakutan, lari mengungsi ke Singasari, yang berani melawan, banyak yang menderita dan luka parah. Salah satu penduduk Mameling

142 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

berlari menuju istana Singasari dan melaporkan bahwa prajurit Kediri telah sampai di

Mameling, sepertinya hendak memberontak. Namun, Prabu Kertanagara tidak percaya begitu saja pada perkataannya. Setelah menyaksikan sendiri banyak para pangungsi berlari ke kota, beliau percaya akan kebenaran laporan tersebut. Namun apa boleh buat, semuanya telah terlambat. Nararya Sanggramawijaya dengan para prajuritnya yang tidak siap berperang, mendadak diperintahkan berangkat ke Mameling untuk menanggulangi musuh. Sementara itu, Prabu Kertanagara yang berada di istana, sedang mengenyam kenikmatan hidup, seolah-olah tidak ada bahaya mengancam. Kemudian Pani Angragani menghadap sang prabu memberitahukan tentang ancaman bahaya yang telah terjadi.

Beliau terperanjat mendengar sorak sorai kemenangan para prajurit Daha. Kidung

Harsawijaya menguraikan bahwa Mpu Raganata dan menteri angabhaya Wirakreti memberi nasihat kepada sang prabu, berikut ini kutipan yang berisi nasihat beliau.

(372) “Adalah haram bagi seorang raja mati terbunuh oleh musuh. Lawanlah musuh yang datang menyerang!” (Muljana, hlm 116).

Demikianlah Raja Kertanagara mendengar nasihat Mpu Raganata dan menteri angabhaya Wirakreti, akhirnya sang prabu pun menuruti nasihat mereka. Maka dari itu,

Sri Maharaja Kertanagara, Panji Angragani, Mpu Raganata, dan Wirakreti gugur dalam perlawanan gigih melawan musuh yang mendadak datang menyerbu Kerajaan Singsari.

Sejarah Singasari berakhir dengan mangkatnya Prabu Kertanagara pada tahun 1292.

Nagarakretagama pupuh 43/5 mencatat bahwa Sri Kertanagara pulang ke Jinalaya pada tahun Saka 1214 (1292 A.D) dan diberi gelar “Yang Mulia di Alam Siwa-Buddha”

(Muljana, hlm 116).

143 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Dalam bukunya, Slamet Muljana memaparkan jika versi Nagarakretagama dan

Pararaton mengatakan bahwa Jayakatwang adalah raja Kediri perlu dibetulkan, karena dalam prasasti Mula-Malurung, Jayakatwang adalah raja Geleng-Geleng berkat pernikahannya dengan Nararya Turukbali, puteri Sang Prabu Seminingrat, yang menjadi raja Kediri sejak tahun 1254 sampai 1292 ialah Raja Kertanagara. Jadi, serangan

Jayakatwang terhadap Singasari pada tahun 1292 dilancarkan dari Geleng-Geleng, bukan dari kerajaan Kediri seperti yang diuraikan dalam Pararaton dan Nagarakretagama serta beberapa kidung. Prasasti Mula-Malurung mengatakan dengan jelas bahwa Jayakatwang adalah kemenakan Raja Seminingrat, jadi saudara sepupu dengan Sri Kertanagara.

Barulah setelah berhasil memusnahkan Sri Kertanagara, menurut prasasti Pananggungan tahun 1296, Jayakatwang menduduki ibu kota Daha dan memerintah Singasari sebagai negara bawahan. Kidung Harsiwijaya berulang kali menyebut Jayakatwang adalah raja

Kediri, sehingga utusan Bupati Wiraraja dari Sumenep datang ke Kediri untuk memberitahu sang prabu supaya serangan terhadap Singasari segera dilancarkan, kesempatan yang baik jangan dibiarkan begitu saja untuk dilewati. Mahisa Mundarang memberi nasihat yang serupa dan menyebut Jayakatwang keturunan Raja Kertajaya

(Muljana, hlm 116-117).

Berdasarkan prasasti Mula-Malurung, utusan Wiraraja itu dikirim ke Geleng-

Geleng, tidak ke Kediri. Kidung Harsawijaya mengatakan bahwa Sri Kertanagara tidak khawatir tentang akan adanya kemungkinan serangan dari raja Kediri, karena ia percaya bahwa Jayakatwang tidak akan menyalah gunakan kebaikan sang prabu yang telah sudi mengangkatnya sebagai raja Kediri. Uraian di atas tidak tepat, karena yang mengangkat

Jayakatwang sebagai raja ialah Nararya Seminingrat yang tertera dalam prasasti Mula-

144 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Malurung, bukanlah Prabu Kertanagara. Lagipula, Jayakatwang tidak diangkat sebagai raja Kediri, melainkan sebagai raja Geleng-Geleng, seperti ditunjukkan di atas, ketika tahun 1292, Jayakatwang menjadi raja Kediri (Muljana, hlm 117).

Di antara raja-raja Singasari, Sri Kertanagara adalah raja yang pertama kali melepaskan pandangannya ke luar Jawa. Ia meninggalkan politik tradisional yang berkisar pada Janggala-Panjalu. Ia ingin mempunyai kerajaan yang lebih luas dan lebih besar daripada sekadar kerajaan Janggala-Panjalu warisan Raja Erlangga. Ia mendobrak politik tradisional dan menganut paham baru. Ternyata, paham baru mendapat pertentangan dari pihak penganut politik kuno, karena golongan ini telah berakar pada yang lama. Untuk menlancarkan aliran poltiknya, ia tidak segan-segan menyingkirkan para pembesar yang menghalanginya, lalu menggantinya dengan orang baru pendukung paham barunya. Dalam gelanggang politik dan kehidupan agama, Kertanagara membawa pembaruan dan sanggup melaksanakan yang diidam-idamkannya. Namun, ia kurang waspada sehingga berhasil dijegal di tengah jalan oleh lawannya. Kematiannya yang serba mendadak merupakan sebab utama dari kegagalan pelaksanaan cita-citanya

(Muljana, hlm 117).

Berikut ini adalah kesimpulan yang menunjukkan segala cita-cita Kertanagara yang telah terwujud demi usahanya menyatukan nusantara: (1) melaksanakan Ekspedisi

Pamalayu tahun 1275 dan 1286 M, tujuannya untuk menguasai Kerajaan Malayu, serta melemahkan posisi kerajaan Sriwijaya di Selat Malaka; (2) menguasai Bali pada tahun

1284 M; (3) menguasai Jawa Barat pada tahun 1289 M; (4) menguasai Pahang (Malaya) dan Tanjung Pura (Kalimantan). Garis Pahang-Tanjung Pura mempunyai tiga fungsi: pertama, untuk menguasai lalu lintas pelayaran perdagangan di Laut Cina Selatan.

145 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Kedua, untuk pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan Cina-Mongol. Ketiga, untuk mengepung wilayah kekuasaan Sriwijaya. Di lain sisi, Raja Kertanagara berusaha menguasai jalur perdagangan atas Selat Malaka itu, tujuannya untuk membangun dan mengembangkan aktivitas perekonomian kerajaan. Dengan kata lain, Kertanagara berusaha menarik perhatian para pedagang untuk melakukan kegiatannya di wilayah kerajaan Singasari. Tidak hanya itu, Raja Kertanagara juga menjalin persekutuan dengan kerajaan Campa melalui pernikahan adik Raja Kertanagara yang bernama Tapasi dengan

Raja Campa. Walaupun menempuh segala upaya, pasukan Cina-Mongol berhasil menerobos pertahanan Singasari dan mendarat di Pulau Jawa. Akan tetapi, sebelum pasukan Cina-Mongol tiba, Raja Kertanagara telah meninggal dunia akibat serangan

Jayakatwang dari kerajaan Kediri (Badrika, 2006:38-39).

3.6 Rangkuman

Dari uraian bab III di atas, dapat dipetik kesimpulan bahwa kisah sejarah yang terdapat dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama merupakan kisah sejarah yang pernah terjadi pada sejarah masa lampau. Slamet Muljana sebagai penulis, telah menelitinya berdasarkan beberapa sumber yang ada, seperti yang tercantum dalam kitab Pararaton, pupuh Nagarakretagama, kidung Panji Wijayakrama, kidung Harsawijaya, prasasti

Mula-Malurung, prasasti Maribong, prasasti Pakis Wetan, prasasti Penampihan, prasasti

Pananggungan, piagam Gunung Wilis, piagam Amoghapasa, dan piagam Padang Arca.

Namun, walaupun beliau telah melakukan penelitian berdasarkan beberapa kitab, kidung, dan prasasti tersebut, ternyata masih ada sedikit perbedaan di dalamnya. Tetapi, perbedaannya itu tidaklah banyak dan kebenaran-kebenarannya telah terbukti dengan

146 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

ditemukan beberapa kitab, kidung, dan prasasti-prasasti sejarah. Misalnya,

Nagarakretagama pupuh 41/1 sama sekali tidak pernah menyebutkan siapa nama ayah dan ibu Sri Rajasa atau Ken Arok pendiri kerajaan Singasari ini. Apa yang dikatakan dalam Nagarakretagama, bahwa Ken Arok dibesarkan di daerah timur Gunung Kawi. Ia lahir pada tahun Saka 1104. Tidak diketahui siapa ibunya. Ungkapan bahwa Ken Arok lahir tanpa ibu hanya dapat ditafsirkan, bahwa Ken Arok tidak diketahui asal-usulnya.

Dengan kata lain, ia adalah anak orang kebanyakan, bukan keturunan ningrat. Berbeda dengan pernyataan Pararaton yang menyebutkan jika pendiri kerajaan Singasari adalah anak Ni Ndok dari desa Pangkur di daerah Malang Selatan. Untuk menunjukkan bahwa

Ken Arok bukan anak sembarangan, Pararaton menyatakan bahwa sebenarnya ia adalah putra Bhatara Brahma. Dengan kata lain, Ken Arok adalah putera dewa. Oleh karena itu, ia mampu mendirikan kerajaan Singasari dan menjadi Raja di Pulau Jawa (Muljana, hlm

42).

Pada uraian prasasti Mula-Malurung menyebutkan, raja-raja Kediri setelah tahun

1222 adalah keturunan Raja Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi, yakni Bhatara

Prameswara (Mahisa Wunga Teleng), Guning Bhaya (Agni Bhaya), dan Panji Tohjaya.

Penobatan Mahisa Wunga Teleng sebagai raja Kediri menimbulkan perasaan dengki, iri hati dan kegusaran pada Anusapati yang menganggap dirinya adalah putera sulung Raja

Rajasa. Pararaton menguraikan, bahwa Ken Dedes menjelaskan sebenarnya Anusapati adalah putera Tunggul Ametung yang lahir setelah Ken Dedes dinikahi oleh Raja Rajasa.

Pararaton juga mengatakan, bahwa Raja Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi mati terbunuh oleh orang Batil, suruhan Anusapati dengan tusukan keris Mpu Gandring, sewaktu senja ketika Sang Rajasa sedang bersantap sore. Uraian Pararaton itu ternyata

147 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

cocok dengan uraian prasasti Mula-Malurung yang mengatakan bahwa Sang Rajasa, pendiri kerajaan Singasari wafat di tahta kencana. Sri Rajasa Bhatara Sang

Amurwabhumi dicandikan di Kagenengan dan diarcakan sebagai Bhatara Siwa. Itulah sebabnya, dalam prasasti Mula-Malurung, pendiri kerajaan Singasari tersebut digelari

Bhatara Siwa. Dalam uraian Nagarakretagama tertulis, tentang candi makam Sri Rajasa

Bhatara Sang Amurwabhumi di Kagenengan. Kagenengan terletak di daerah makam pendiri kerajaan Singasari. Meskipun demikian, uraian Nagarakretagama tentang kunjungan Prabu Rajasanagara Hayam Muruk di Kagenengan pada tahun 1359 merupakan suatu bukti, bahwa candi di makam Sang Amurwabhumi benar terletak di

Kagenengan. Dengan adanya candi makam tersebut, merupakan bukti kesejarahan Sang

Amurwabhumi. Demikianlah tentang adanya kebenaran sejarah, terutama dalam pengisahan cerita Ken Arok atau Sang Amurwabhumi yang bersumber pada prasasti

Mula-Malurung, kitab Pararaton, dan Nagarakretagama.

Selain itu, dibuktikan pula pada masa Sang Anusapati berkuasa, Pararaton,

Nagarakretagama, dan prasasti Mula-Malurung juga membuktikan bahwa eksistensi sejarah masa lampau benar-benar terjadi, walaupun ada sedikit perbedaan. Misalnya, dalam Negarakretagama pupuh 41/1 mencatat tahun kematian Anusapati pada tahun

Saka 1170 (1248 A.D) dan Anusapati dicandikan di Candi Kidal. Namun, dalam kitab

Pararaton, kematian Anusapati dituliskan pada tahun Saka 1171 (1249 A.D).

Nagarakretagama pupuh XLI/1 menyatakan bahwa Sang Anusapati mangkat pada tahun

Saka 1170 (1248 M). Jenazahnya dicandikan di Kidal. Candi Kidal terletak di sebelah timur kota Malang. Di dalamnya terdapat arca Dewa Siwa. Demikianlah setelah mangkat,

Sang Anusapati diarcakan sebagai Dewa Siwa. Uraian Nagarakretagama pupuh XLI/1

148 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

memang cocok dengan keadaan candi Kidal di sebelah timur kota Malang. Badan candi itu dihias dengan relief Garuda, di antaranya ialah Garuda yang sedang membawa kapal berisi air amreta dan Garuda yang sedang mendukung ibunya (Muljana, hlm 76).

Namun, berbeda halnya dalam prasasti Mula-Malurung. Prasasti Mula-Malurung sama sekali tidak menyinggung nama Anusapati, apalagi tentang bagaimana mangkatnya.

Boleh dipastikan bahwa Anusapati mangkat dalam keadaan biasa, tidak dibunuh oleh

Tohjaya dengan keris Empu Gandring pada tahun 1248, karena telah dibuktikan bahwa

Nararya Tohjaya adalah raja Kediri, pengganti Raja Guning Bhaya. Jadi, Tohjaya tidak menggantikan Anusapati sebagai raja Singasari seperti diuraikan dalam Pararaton. Jika uraian Pararaton itu mengandung unsur-unsur kebenaran, maka pembunuhan itu dilakukan oleh Nararya Tohjaya terhadap Raja Guning Bhaya, tidak terhadap Anusapati.

Pembunuhan itu dilaksanakan tidak dengan maksud membalaskan kematian Raja Rajasa, melainkan untuk merebut kekuasaan karena Guning Bhaya tidak pernah membunuh Raja

Rajasa. Tohjaya mempunyai anggapan bahwa ia memiliki hak yang sama seperti saudara- saudaranya. Hanya saja, menurut Pararaton, ia dilahirkan dari isteri selir, yakni Ken

Umang.

Dalam pemerintahan Wisnuwardhana, Pararaton menjelaskan bahwa persatuan antara Rangga Wuni dan Mahisa Campaka bagaikan dua ular dalam satu liang. Setelah sepeninggalnya Panji Tohjaya, mereka tetap bersatu dalam pemerintahan, mereka juga saling memahami dan tetap seia sekata. Rangga Wuni dinobatkan menjadi raja, kemudian mengambil nama abhiseka Wisnuwardhana, sedangkan, Mahisa Campaka menjadi Ratu

Angabhaya, yakni menjadi patih atau pembantu utama sang Prabu yang bergelar Bhatara

Narasingamurti. Mereka memerintah bersama kerajaan Singasari pada tahun 1248-1268

149 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

M. Nagarakretagama pupuh 41/2 mengiaskan pemerintahan antara Wisnuwardhana bersama Narasingamurti bagaikan kerjasama antara Dewa Wisnu dengan Dewa Indra.

Terakhir adalah pemerintahan Prabu Kertanagara. Pada masa pemerintahan

Kertanagara inilah banyak sekali ditemukan kebenaran akan pembuktian sejarah, yakni dengan ditemukannya prasasti-prasasti, kidung, dan juga bersumber pula pada Pararaton dan Nagarakretagama. Misalnya, prasasti Pakis Wetan tahun 1269 dan prasasti

Penampihan tahun 1269, kedua-duanya dikeluarkan oleh Kertanagara pada waktu

Wisnuwardhana masih hidup. Setelah meninggalnya Raja Wisnuwardhana pada tahun

1270, Kertanagara bertindak sebagai raja agung yang menguasai Singasari dan wilayah

Kediri seperti mendiang Wisnuwardhana. Selain itu, pembuktian berikutnya dengan ditemukannya Kidung Harsawijaya pupuh 1/28b sampai 30a, yang menjelaskan bahwa

Prabu Kertanagara melepaskan jabatan Mpu Raganata dari kedudukannya sebagai patih amangkubhumi menjadi ramadhyaksa di Singasari. Mpu Raganata sangat kecewa dan tidak senang terhadap pemerintahan sang prabu. Disebutkan pula dalam kidung tersebut,

Wiraraja dicopot jabatannya sebagai demung menjadi adipati di Madura Timur, karena ia tidak menyukai pemerintahan Prabu Kertanagara. Dikatakan kembali dalam Kidung

Harsawijaya, jika Tumenggung Wirakreti dilepaskan kedudukannya sebagai tumenggung menjadi mantri angabhaya atau menteri pembantu. Kidung Harsawijaya pupuh 1/28b menguraikan bahwa penurunan Wiraraja dari jabatan demung menjadi adipati sangat melukai hatinya dan menimbulkan kemarahan.

Kisah lainnya terurai kembali dalam Pararaton, Kidung Panji Wijayakrama,

Kidung Harsawijaya, Nagarakretagama pupuh 41, semuanya menyebutkan jika pengiriman pasukan Singasari ke negeri Malayu (Suwarnabhumi) pada tahun Saka 1187

150 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(1275 A.D), terjadi sekitar lima tahun setelah pecahnya pemberontakan Kelana

Bhayangkara ataupun Cayaraja. Dalam Kidung Harsawijaya, dinyatakan bahwa nasihat

Mpu Raganata tentang penolakan pengiriman pasukan ke Malayu ditolak oleh

Kertanagara. Mpu Raganata mengingatkan agar sang prabu tetap waspada tentang kemungkinan balas dendam Jayakatwang dari Kediri terhadap Singasari. Apalagi, jika

Singasari berada dalam keadaan kosong tanpa pasukan Singasari yang handal, akibat pengiriman pasukannya ke Malayu. Prabu Kertanagara berpendapat, raja bawahan

Jayakatwang tidak akan memberontak karena beliau telah berhutang budi kepada sang prabu. Jayakatwang adalah mantan pengalasan keraton Singasari yang diangkat sebagai raja bawahan di Kediri oleh Kertanagara. Gagasan pengiriman pasukan ke Malayu dapat dukungan penuh dari Mahisa Anengah, pengganti Mpu Raganata. Demikianlah keputusan Sri Kertanagara untuk mengirimkan pasukan Singasari ke Malayu. Keputusan itu dilaksanakan pada tahun 1275 A.D. Dalam sastra sejarah Jawa Kuna, ekspedisi ke

Malayu itu disebut Pamalayu atau perang melawan Malayu (Muljana, hlm 112-113).

Nagarakretagama pupuh 41/4 menguraikan bahwa Prabu Kertanagara dengan pengiriman pasukan itu sebenarnya mengharapkan agar Sri Maharaja Tribhuwanaraja

Mauliwarmadewa tunduk dan mengakui akan kesaktian sang prabu. Ekspedisi ke negeri

Malayu yang berjaya begitu gilang-gemilang, mempunyai akibat yang sangat buruk di dalam negeri. Pada tahun 1280 A.D timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Mahisa

Rangkah menurut pemberitaan dalam Nagarakretagama pupuh 41/4. Disebutkan jika pembesar-pembesar yang telah dipecat oleh sang prabu, terutama adipati Wiraraja mendapat kesempatan baik untuk membalas dendam dan melampiaskan kemarahannya

151 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

kepada Sri Kertanagara. Kemudian, Wiraraja menghasut Jayakatwang di Kediri dengan cara mengirimkan surat untuk memberontak melawan Sri Maharaja Kertanagara.

Slamet Muljana memaparkan jika versi Nagarakretagama dan Pararaton mengatakan bahwa Jayakatwang adalah raja Kediri perlu dibetulkan, karena dalam prasasti Mula-Malurung, Jayakatwang adalah raja Geleng-Geleng berkat pernikahannya dengan Nararya Turukbali, puteri Sang Prabu Seminingrat, yang menjadi raja Kediri sejak tahun 1254 sampai 1292 ialah Raja Kertanagara. Jadi, serangan Jayakatwang terhadap Singasari pada tahun 1292 dilancarkan dari Geleng-Geleng, bukan dari kerajaan

Kediri seperti yang diuraikan dalam Pararaton dan Nagarakretagama serta beberapa kidung. Prasasti Mula-Malurung mengatakan dengan jelas, bahwa Jayakatwang adalah kemenakan Raja Seminingrat, jadi saudara sepupu dengan Sri Kertanagara. Barulah setelah berhasil memusnahkan Sri Ketanagara, menurut prasasti Pananggungan tahun

1296, Jayakatwang menduduki ibu kota Daha dan memerintah Singasari sebagai negara bawahan. Kidung Harsiwijaya berulang kali menyebut Jayakatwang adalah raja Kediri, sehingga utusan Bupati Wiraraja dari Sumenep datang ke Kediri untuk memberitahu sang prabu supaya serangan terhadap Singasari segera dilancarkan, kesempatan yang baik jangan dibiarkan begitu saja untuk dilewati. Mahisa Mundarang memberi nasihat yang serupa dan menyebut Jayakatwang keturunan Raja Kertajaya (Muljana, hlm 116-117).

Berikut ini adalah kesimpulan yang menunjukkan segala cita-cita Kertanagara yang telah terwujud demi usahanya menyatukan nusantara: (1) melaksanakan Ekspedisi

Pamalayu tahun 1275 dan 1286 M, tujuannya untuk menguasai Kerajaan Malayu, serta melemahkan posisi kerajaan Sriwijaya di Selat Malaka; (2) menguasai Bali pada tahun

1284 M; (3) menguasai Jawa Barat pada tahun 1289 M; (4) menguasai Pahang (Malaya)

152 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

dan Tanjung Pura (Kalimantan). Garis Pahang-Tanjung Pura mempunyai tiga fungsi: pertama, untuk menguasai lalu lintas pelayaran perdagangan di Laut Cina Selatan.

Kedua, untuk pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan Cina-Mongol. Ketiga, untuk mengepung wilayah kekuasaan Sriwijaya. Di lain sisi, Raja Kertanagara berusaha menguasai jalur perdagangan atas Selat Malaka itu, tujuannya untuk membangun dan mengembangkan aktivitas perekonomian kerajaan. Dengan kata lain, Kertanagara berusaha menarik perhatian para pedagang untuk melakukan kegiatannya di wilayah kerajaan Singasari. Tidak hanya itu, Raja Kertanagara juga menjalin persekutuan dengan kerajaan Campa melalui pernikahan adik Raja Kertanagara yang bernama Tapasi dengan

Raja Campa. Walaupun menempuh segala upaya, pasukan Cina-Mongol berhasil menerobos pertahanan Singasari dan mendarat di Pulau Jawa. Akan tetapi, sebelum pasukan Cina-Mongol tiba, Raja Kertanagara telah meninggal dunia akibat serangan

Jayakatwang dari kerajaan Kediri (Badrika, 2006:38-39).

Uraian-uraian mengenai Kertanagara sungguh banyak ditemukan pada beberapa prasasti, kidung, dan juga kitab. Untuk melihat dan memastikannya kembali, dapat dilihat pada sub judul Kertanagara dan runtuhnya Singasari dalam uraian bab tiga ini. Tafsir

Sejarah Nagarakretagama ini sangat berfungsi sebagai bandingan sejarah, yang intisari dari pengisahan ini akan dibandingkan dengan Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel pada analisis bab IV.

153 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

BAB IV

PENYIMPANGAN PERISTIWA SEJARAH

NOVEL KEN AROK: BANJIR DARAH DI TUMAPEL

KARYA GAMAL KOMANDOKO

Dalam analisis bab keempat ini, penulis akan memaparkan tentang penyimpangan alur sejarah yang terdapat dalam novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel karya Gamal

Komandoko. Penyimpangan alur yang berhasil ditemukan oleh penulis sebanyak tiga puluh dua alur yang menyimpang. Setelah diteliti, ternyata alur-alur tersebut tidak sesuai dengan kisah sejarah Ken Arok (Sang Amurwabhumi) yang sebenarnya. Kisah yang sesungguhnya telah dituliskan kembali oleh Slamet Muljana, sesuai dengan kejadian sejarah yang pernah terjadi pada masa lampau, dan keseluruhannya telah tertulis dalam

Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Setelah berhasil menemukan beberapa penyimpangan yang terdapat dalam karya Gamal Komandoko ini, penulis akan membandingkannya kembali dengan karya Slamet Muljana tersebut.

Kisah Ken Arok sudah sering ditemui dan seringkali ditulis oleh sebagian orang, kisah yang bersumber dari kitab Pararaton dan Nagarakretagama ini disajikan dengan berbagai versi sesuai talenta dan imajinasi penulisnya. Secara umum, isi kitab Pararaton menceritakan cikal-bakal berdirinya kerajaan Singasari yang dipimpin oleh Ken Arok.

Berdirinya kerajaan Singasari penuh dengan kisah-kisah tragis yang cukup banyak memakan korban. Ken Arok pendiri kerajaan Singasari ini merupakan sosok yang kadangkala melekat pada diri siapa saja yang haus akan kekuasaan. Untuk kepentingan kekuasaan, strategi Ken Arok seringkali dipakai oleh orang-orang yang bermental kotor,

154 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

menghalalkan segala cara demi memperoleh jabatan tinggi. Tapi, siapa yang menabur angin pasti akan menuai badai, siapa yang menanam pasti akan mengetam hasil perbuatannya. Oleh karena itu, walaupun Ken Arok sukses meraih kekuasaan namun usianya tidak terlalu panjang, ia harus terkapar mandi darah di ujung keris yang dahulu dipakainya untuk menikam Mpu Gandring, Tunggul Ametung, dan Kebo Ijo (Ikranegara,

2004:3).

Berbicara mengenai arti penyimpangan, bahwa penyimpangan adalah suatu perbuatan yang menyimpang atau menyimpangkan (Poerwadarminta, 1961:888).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yakni: (1) proses, cara, perbuatan menyimpang atau menyimpangkan, (2) tidak menurut apa yang sudah ditentukan; tidak sesuai dengan rencana, dsb, (3) menyalahi (kebiasaan, dsb): tindakannya ~ dari adat di negeri itu, (4) menyeleweng (dari hukum, kebenaran, agama, dsb): ajarannya ~ jauh dari agama, (5) sesuatu yang memisah (membelok, bercabang, melencong, dsb), dari yang lurus

(induknya) (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,

1990:841). Marhijanto mengatakan, bahwa penyimpangan berarti sesuatu yang menyimpang atau sesuatu yang menyerong dari jalur, membelok, dan mencabang

(Marhijanto, 1995:520).

Selain itu, pengertian sejarah telah disinggung dalam landasan teori, bahwa sejarah adalah cerita tentang raja-raja atau orang-orang besar yang betul-betul pernah ada.

Pada mulanya menceritakan peristiwa-peristiwa yang penting dalam istana, kejadian- kejadian dalam negara yang berhubungan dengan kehidupan raja atau orang besar itu.

Kejadian-kejadian itu disebutkan dengan jelas tentang waktu dan tempatnya

(Subalidinata, 1979:9). Kata “sejarah” berasal dari bahasa Arab yaitu syajaratun yang

155 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

berarti pohon. Menurut bahasa Arab, sejarah sama artinya dengan sebuah pohon yang terus berkembang dan tumbuh, mulai dari bibit yang kemudian tumbuh menjadi sebuah pohon yang sangat kompleks, dan setiap bagiannya mempunyai cerita tentang proses tumbuhnya masing-masing (Taupan, 2007:3).

Setelah mengetahui pengertian dari penyimpangan dan sejarah, dapat dipetik kesimpulan bahwa pengertian penyimpangan sejarah adalah suatu kisah yang menyimpang dari alur kisah sejarah, atau, tidak sesuai dengan apa yang terjadi pada masa lampau. Penulis akan memfokuskan alur sejarah yang menyimpang dalam Ken Arok:

Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko. Tiga puluh dua penyimpangan alur yang akan dibahas satu-persatu dalam bab IV ini. Namun, sebelum membahas secara keseluruhan, perlu diketahui terlebih dahulu ke-32 alur yang menyimpang itu antara lain:

(1) kewaspadaan Kretajaya terhadap Arya Pulung; (2) dendam Arya Pulung terhadap

Kretajaya; (3) keadaan Tumapel dalam kekuasaan Tunggul Ametung; (4) penokohan Resi

Agung Sri Yogiswara Girinata; (5) pernikahan Ken Endok dengan Resi Agung Girinata;

(6) Gajah Para bukanlah suami Ken Endok; (7) mulai tumbuhnya perasaan suka

(perasaan Ken Endok terhadap Gajah Para); (8) terjalinnya cinta terlarang (antara Ken

Endok dan Gajah Para); (9) peristiwa keji di Pura Agung; (10) kehamilan Ken Endok;

(11) kebencian Ken Endok terhadap Gajah Para; (12) Arok bukanlah Putera Dewa; (13)

Arok berandal yang baik; (14) pertemuan Arok dan Umang dikisahkan lebih awal; (15) penokohan tentang Gagak Inget; (16) penokohan Nyi Prenjak dan anak buahnya; (17)

Umang mencintai Arok; (18) Umang istri pertama Arok; (19) sifat congkak Mpu

Gandring; (20) prajurit Kadiri membuat rusuh Tumapel; (21) pengkhianatan Kebo Ijo;

(22) rahasia Mpu Gandring terungkap; (23) kesetiaan Arok terhadap Tunggul Ametung;

156 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(24) pertempuran sengit Tumapel dengan Kadiri; (25) gelagat aneh Ken Dedes; (26) terbunuhnya Mpu Gandring oleh Kebo Ijo; (27) terbunuhnya Tunggul Ametung oleh

Kebo Ijo; (28) penolakan Arok menggantikan Tunggul Ametung; (29) Dedes, istri kedua

Arok; (30) penyerangan Kadiri kedua; (31) Arok menyayangi Anusapati; (32) misteri kematian Ken Arok.

4.1 Kewaspadaan Kretajaya terhadap Arya Pulung

Kretajaya adalah seorang raja yang memerintah di Kerajaan Kadiri. Kretajaya juga dikenal dengan sebutan Dhandang Ghendis. Ia bergelar Sri Maharaja Kretajaya yang memiliki makna Raja Diraja Gajah Nan Jaya. Ketika Baginda Kretajaya bertahta dengan segala kebesarannya di Kadiri, rakyat Tumapel yang hidup dalam kemiskinan begitu menderita, mereka hanya bisa diam membisu, tidak berani melawan. Para petani dan peladang terbiasa bertani dan berladang dalam ketundukan dan ketaatan semu. Hasil panen yang terkecil boleh mereka mereka nikmati. Sementara itu, bagian terbesar dari hasil mereka harus diserahkan ke Kadiri sebagai upeti bulu bhekti, pengisi lumbung- lumbung kerajaan Kadiri. Semuanya harus dilakukan sebagai pertanda pengakuan akan kekuasaan Maharaja Kretajaya. Hidup berfoya-foya, menghambur-hamburkan lumbung- lumbung negara untuk kenikmatan pribadi adalah kecongkakan dari perilaku Kretajaya, si Dhandang Ghendis itu.

Disebutkan, bahwa Sri Maharaja Kretajaya sedang dihadapkan dengan suatu masalah yang akan mengancam tahta kekuasaannya. Pasukan sandhi telik yang disebarkannya, dikabarkan jika sang raja mendapat berita, bahwa ada gerakan-gerakan yang mencoba menggoyangkan kekuasaannya. Ada orang-orang tertentu di wilayah

157 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Tumapel, Janggala dan pinggiran sungai Kali Berantas yang mulai menebar ketidaksenangan padanya dan mencoba ingin menjatuhkan kewibawaan Sang Raja.

Dengan tegas Sri Kretajaya menunjuk Arya Pulung untuk menumpas pemberontakan- pemberontakan tersebut. Arya Pulung dapat melaksanakan tugas maha pentingnya itu dengan baik. Kretajaya sangat berbangga memiliki perwira Kadiri yang tangguh. Namun, ada satu yang tidak disukai Kretajaya dari sikap Arya Pulung. Berikut ini adalah kutipannya.

(373) “Meski dikenal sakti dan gagah, Arya Pulung juga dikenal tidak terlalu pintar. Kretajaya kerap menyindirnya dengan sebutan bebal. Namun, ‘kebebalan’ Arya Pulung membuat rasa suka Kretajaya jatuh padanya. Kretajaya memang menghendaki orang-orang yang setia, penurut, digdaya, tetapi tidak terlalu pintar. Kretajaya beranggapan, bahwa kepintaran hanya akan mendatangkan kesulitan dan bahaya bagi diri dan kekuasaannya. Semua syarat-syarat itu melekat pada Arya Pulung. Namun, ada satu perilaku Arya Pulung yang tidak disukai Kretajaya, yaitu ketampanan dan kegagahan Arya Pulung yang digunakan secara rakus untuk menjerat para wanita ke dalam pelukannya. Kretajaya sesungguhnya tidak ambil peduli jika para wanita jatuh dalam pelukan Arya Pulung, asalkan jangan istrinya! Jangan prameswarinya! Karena beberapa kali Kretajaya memergoki lirikan mata rakus Arya Pulung pada Sang Permaisuri. Jelas Kretajaya menangkap isyarat bahwa Arya Pulung tertarik pada kecantikan prameswarinya” (Komandoko, hlm 14). (374) “Itulah dosa Arya Pulung terhadapnya. Maka, agar lirikan itu tidak berbuah pengkhianatan dan penikaman cinta istrinya pada dirinya di kemudian hari, ia perlu mengirim Arya Pulung ke Tumapel, pusat segala keruwetan dalam wilayah pemerintahannya. Dengan cara itu, Kretajaya bisa lebih menilai kesetiaan Arya Pulung pada Kadiri, pada titahnya, dan menghindarkan prameswarinya untuk terpesona dengan prajurit gagah unggulannya itu” (Komandoko, hlm 14). (375) “Arya Pulung cukup memahami bahwa pengirimannya ke Tumapel adalah usaha penjauhan dirinya dengan prameswari Kadiri yang kejelitaanya laksana menyaingi bidadari. Untuk sementara itu, ia tak terlalu peduli. Ia ingin segera menuntaskan tugas yang diembannya dan segera kembali ke Kadiri serta berharap, Dhandang Ghendis itu segera mati hingga ia bisa merengkuh sang prameswari ke dalam pelukannya, meski ia belum mengetahui bagaimana caranya” (Komandoko, hlm 15).

158 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Setelah membaca kutipan nomor (373) sampai dengan nomor (375), dijelaskan bahwa sebenarnya Maharaja Kretajaya telah mengetahui gerak-gerik Arya Pulung yang menginginkan Sang Prameswari jatuh ke dalam pelukannya. Lirikan mata elang Arya

Pulung, dapat mencuri perhatian Sang Prameswari untuk jatuh hati kepadanya. Arya

Pulung memang seorang perwira Kadiri yang setia dan patuh akan titah Kretajaya. Ia mampu menuntaskan segala tugas yang dibebankan kepadanya. Arya Pulung tidak pernah mengecewakan Kretajaya sekalipun. Ia rela mempertaruhkan nyawanya demi kelanggengan Kadiri. Kedigdayaannya juga tidak diragukan lagi, bahkan tidak kalah pula ia seandainya diadu kekuatan dengan Gubar Baleman dan Mahisa Walungan. Meskipun,

Arya Pulung terkenal dengan sebutan bebal dan ia telah menunjukkan kesetiaannya kepada Baginda Kretajaya, namun, dengan ketampanan serta kegagahan yang dimiliki

Arya Pulung untuk menjerat Sang Permaisuri, maka Kretajaya segera bertindak dengan mengirimkan ia ke Tumapel untuk memberantas segala bentuk kejahatan di sana.

Hal tersebut di atas, dapat dibuktikan dalam kutipan nomor (373) dan (374).

Kutipan nomor (373), tertulis sebagai berikut.

“Meski dikenal sakti dan gagah, Arya Pulung juga dikenal tidak terlalu pintar. Kretajaya kerap menyindirnya dengan sebutan bebal. Namun, ‘kebebalan’ Arya Pulung membuat rasa suka Kretajaya jatuh padanya. Kretajaya memang menghendaki orang- orang yang setia, penurut, digdaya, tetapi tidak terlalu pintar. Kretajaya beranggapan, bahwa kepintaran hanya akan mendatangkan kesulitan dan bahaya bagi diri dan kekuasaannya. Semua syarat-syarat itu melekat pada Arya Pulung. Namun, ada satu perilaku Arya Pulung yang tidak disukai Kretajaya, yaitu ketampanan dan kegagahan Arya Pulung yang digunakan secara rakus untuk menjerat para wanita ke dalam pelukannya. Kretajaya sesungguhnya tidak ambil peduli jika para wanita jatuh dalam pelukan Arya Pulung, asalkan jangan istrinya! Jangan prameswarinya! Karena beberapa kali Kretajaya memergoki lirikan mata rakus Arya Pulung pada Sang Permaisuri. Jelas Kretajaya menangkap isyarat bahwa Arya Pulung tertarik pada kecantikan prameswarinya” (Komandoko, hlm 14).

159 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Pembuktian selanjutnya dapat dilihat pada kutipan nomor (374), yakni tertulis sebagai berikut.

“Itulah dosa Arya Pulung tehadapnya. Maka, agar lirikan itu tidak berbuah pengkhianatan dan penikaman cinta istrinya pada dirinya di kemudian hari, ia perlu mengirim Arya Pulung ke Tumapel, pusat segala keruwetan dalam wilayah pemerintahannya. Dengan cara itu, Kretajaya bisa lebih menilai kesetiaan Arya Pulung pada Kadiri, pada titahnya, dan menghindarkan prameswarinya untuk terpesona dengan prajurit gagah unggulannya itu” (Komandoko, hlm 14).

Dengan melihat kutipan nomor (373) dan (374), dapat disimpulkan bahwa

Baginda Kretajaya ternyata cemburu akan ketampanan dan lirikan maut Arya Pulung terhadap Sang Prameswari. Kretajaya sangat mencintai istrinya dan secara tegas Baginda

Kretajaya menitahkan Arya Pulung untuk berangkat ke Tumapel. Hal ini dilakukannya, demi menjauhkan Arya Pulung dengan Sang Permaisuri, yang sesungguhnya istri

Kretajaya ini pun terpesona melihat kegagahan Arya Pulung.

Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, tidak ada disebutkan bahwa Kretajaya memiliki kewaspadaan terhadap Arya Pulung, apalagi dalam urusan wanita. Baginda

Kretajaya begitu percaya dan mengasihi Arya Pulung sebagai perwira andalannya. Arya

Pulung yang nantinya akan berganti nama menjadi Tunggul Ametung ini, sangat setia dan patuh terhadap titah Sri Maharaja Kretajaya, serta rela berkorban demi keutuhan

Kadiri.

160 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

4.2 Dendam Arya Pulung terhadap Kretajaya

Telah dijelaskan pada sub judul sebelumnya, hanya satu cacat yang dilihat Sri

Kretajaya pada perwira unggulannya itu, yakni lirikan mautnya kepada Sang Prameswari.

Sri Kretajaya tidak ingin lirikan itu akan berbuah perselingkuhan yang menikamnnya di kemudian hari. Ketika Tumapel bergolak, ia mempunyai cara untuk menyingkirkan Arya

Pulung dari Kadiri. Pengiriman Arya Pulung untuk memberantas pergolakan di Tumapel adalah salah satu cara Kretajaya untuk menjauhkan Arya Pulung dari Sang Prameswari.

Setelah Arya Pulung berhasil melaksanakan tugas mahapenting yang dititahkan Kretajaya kepadanya, maka ia berhak mendapatkan penghargaan dari Sang Maharaja. Di hadapan seluruh petinggi dan perwira kerajaan Kadiri, Maharaja Kretajaya mengangkat Arya

Pulung menjadi akuwu Tumapel. Diberinya gelar untuk Arya Pulung, yakni Sang

Tunggul Ametung yang berarti gada penghancur nan tangguh. Arya Pulung terpaksa menerima penunjukkan itu meski ia tidak suka. Ia tahu, ia makin disingkirkan dari Kadiri dan dijauhkan dari wanita impiannya. Dendam di hatinya pada Sri Kretajaya semakin membara, menjulang, dan menguat. Untuk sementara waktu, ia terpaksa mengalah.

Namun, ia tinggal menunggu waktu yang tepat untuk menuntaskan rasa dendamnya itu.

Dengan tegas, ia berniat akan menggulingkan kekuasaan Sri Kretajaya. Ia segera menyusun kekuatan di Tumapel sekuat-kuatnya, sebelum menyerang Kadiri dan merobohkan singgasana Kretajaya. Berikut ini adalah kutipan-kutipan yang menunjukkan kebencian Arya Pulung kepada Sri Maharaja Kretajaya.

(376) “Bagi Tunggul Ametung, ia tidak perlu takut kepada siapa pun kecuali terhadap Sri Maharaja Kretajaya. Itu pun juga secara lahiriah semata. Secara batin, ia menentang bahkan sangat membenci Kretajaya. Ia berniat kuat menggulingkan kekuasaan Dandhang Gendhis itu” (Komandoko, hlm 22).

161 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(377) “Sejak ia diangkat menjadi akuwu, Tunggul Ametung merasa bahwa sesungguhnya ia telah disingkirkan dari Kadiri. Ia yakin, penyingkirannya itu karena rasa cemburu dan kekhawatiran si Dhandang Gendhis, begitu ia menyebut Sri Maharaja Kretajaya dengan jengkel di dalam hati. Ia tetap akan merebut Sang Prameswari dari tangan Kretajaya. Memang, ia amat tergoda dengan kecantikan Sang Prameswari Kadiri. Ia sungguh ingin memiliki si cantik jelita itu. Namun, kesempatan itu belum terbuka bagi dirinya selama si Dhandang Gendhis itu masih bernyawa. Kebencian Tunggul Ametung pada Sri Maharaja Kretajaya kian berkobar. Terlebih setelah ia diasingkan ke Tumapel, kian tinggi melangit dendam kesumat dan kebenciannya” (Komandoko, hlm 22). (378) “Untuk sementara waktu, Tunggul Ametung hanya menyimpan kegeraman dan kemarahannya di dalam hati. Menyimpan dendam yang seolah memenuhi seluruh relung-relung hatinya. Ia tidak hanya berharap semoga si Dhandang Gendhis segera mati, tetapi ingin sekali ia sendiri menghabisi nyawa Dhandang Gendhis dengan kedua tangannya. Lalu merebut takhtanya dan juga si jelita, prameswarinya. Berkeinginan seperti itu, Tunggul Ametung pun mulai giat dan aktif mempersiapkan diri” (Komandoko, hlm 22-23). (379) “Kebencian Tunggul Ametung kepada Kretajaya lainnya, yakni Maharaja tersebut selalu meminta upeti dalam jumlah yang banyak. Sesuatu yang membuat kebencian Tunggul Ametung kian membumbung. Bahkan, dari waktu ke waktu terus saja meningkat jumlah permintaanya” (Komandoko, hlm 24).

Setelah membaca kutipan nomor (376) sampai dengan nomor (379), disebutkan bahwa kebencian Tunggul Ametung kepada Kretajaya kian membumbung tinggi. Perihal didepaknya Tunggul Ametung dari Kadiri, merupakan salah satu cara Kretajaya untuk menjauhkannya dari Sang Prameswari. Belum lagi, permasalahan upeti yang harus dikirim ke Kadiri dengan jumlah yang tidak sedikit. Hal inilah yang membuat Tunggul

Ametung semakin muak kepada Dhandang Gendhis itu dan ingin sekali menghabisi nyawanya. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan nomor (377), yakni sebagai berikut.

“Sejak ia diangkat menjadi akuwu, Tunggul Ametung merasa bahwa sesungguhnya ia telah disingkirkan dari Kadiri. Ia yakin, penyingkirannya itu karena rasa cemburu dan kekhawatiran si Dhandang Gendhis, begitu ia menyebut Sri Maharaja Kretajaya dengan jengkel di dalam hati. Ia tetap akan merebut Sang Prameswari dari tangan Kretajaya. Memang, ia amat tergoda dengan kecantikan Sang Prameswari Kadiri. Ia sungguh ingin memiliki si cantik jelita itu. Namun, kesempatan itu belum terbuka bagi

162 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

dirinya selama si Dhandang Gendhis itu masih bernyawa. Kebencian Tunggul Ametung pada Sri Maharaja Kretajaya kian berkobar. Terlebih setelah ia diasingkan ke Tumapel, kian tinggi melangit dendam kesumat dan kebenciannya” (Komandoko, hlm 22).

Tunggul Ametung merasa bahwa kekuatan dan laskar tempurnya masih di bawah

Kretajaya. Namun, dendam di hatinya masih tetap bergejolak. Hal itu dapat dilihat lagi pada kutipan nomor (378), yakni sebagai berikut.

“Untuk sementara waktu, Tunggul Ametung hanya menyimpan kegeraman dan kemarahannya di dalam hati. Menyimpan dendam yang seolah memenuhi seluruh relung- relung hatinya. Ia tidak hanya berharap semoga si Dhandang Gendhis segera mati, tetapi ingin sekali ia sendiri menghabisi nyawa Dhandang Gendhis dengan kedua tangannya. Lalu merebut takhtanya dan juga si jelita, prameswarinya. Berkeinginan seperti itu, Tunggul Ametung pun mulai giat dan aktif mempersiapkan diri” (Komandoko, hlm 22- 23). Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, tidak ditemukan hal-hal yang membuat

Tunggul Ametung membenci Kretajaya, apalagi sampai menyimpan rasa dendam perihal wanita. Dalam karya Slamet Muljana tersebut, Tunggul Ametung tetap seorang akuwu yang menjalankan tugasnya dengan baik.

4.3 Keadaan Tumapel dalam Kekuasaan Tunggul Ametung

Novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel, menyebutkan bahwa keadaan

Tumapel dalam kekuasaan Tunggul Ametung sangat memprihatinkan. Masyarakat

Tumapel hidup dalam kenistaan. Pelacuran, perjudian, dan minuman keras semakin merajalela, bahkan moral masyarakat bertambah bejat kelakuannya. Akuwu Tunggul

Ametung memimpin dan memerintah Tumapel sesuai dengan kehendaknya. Ia tidak memperdulikan nasib rakyat Tumapel yang miskin. Ia hidup dalam kemewahan dan dikelilingi oleh wanita-wanita cantik tanpa dinikahi. Tunggul Ametung tiada pernah kehabisan wanita, karena setiap saat para prajuritnya menghadapkan perawan-perawan tercantik dari seluruh penjuru Tumapel, yang khusus dipersembahkan untuk Yang Mulia

163 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Tunggul Ametung. Hanya perawan asli dan Tunggul Ametung menolak wanita biasa yang tidak lagi suci, kecuali Sang Prameswari Kadiri, si jelita yang menggoda hasratnya sejak ia masih di Kadiri. Sri Maharaja Kretajaya jelas mengetahui sepak terjang Tunggul

Ametung di Tumapel, namun ia tidak terlalu ambil peduli. Baginya yang terpenting adalah langgengnya kekuasaan yang digenggamnya, tidak ada orang yang berani mencoba meruntuhkannya, dan upeti tetap deras mengalir mengisi lumbung-lumbung di

Kadiri. Ia dan sanak keluarga serta orang-orang terdekatnya tetap dapat menikmati sepuas-puasnya. Bagi Sri Maharaja Kretajaya, itulah yang terpenting. Tunggul Ametung sanggup memenuhi permintaan Kretajaya, namun di dalam hatinya tersimpan rencana besar untuk menghancurkan Dhandang Gendhis tersebut. Hal itu dapat dilihat pada kutipan-kutipan berikut ini.

(380) “Di Tumapel, Tunggul Ametung hidup laksana raja muda. Sekalipun ia hanya seorang akuwu, ia bukan akuwu biasa. Tunggul Ametung adalah akuwu istimewa dan mendapat keistimewaan dari Kadiri. Ia punggawa unggulan Kadiri dan menjadi tangan kanan Sri Maharaja Kretajaya dalam menumpas pemberontakan. Ia juga terkenal sakti. Tubuhnya bagai terbuat dari baja, tidak mempan senjata. Sifatnya juga amat kejam, jauh dari sifat welas asih. Baginya, ia tidak perlu takut kepada siapa pun kecuali terhadap Sri Maharaja Kretajaya. Itu pun juga secara lahiriah semata. Secara batin, ia menentang bahkan sangat membenci Kretajaya. Ia berniat kuat menggulingkan kekuasaan Dandhang Gendhis itu” (Komandoko, hlm 21-22). (381) “Untuk memperkuat diri, Tunggul Ametung merekrut pemuda-pemuda Tumapel menjadi prajurit-prajuritnya dan persenjataan dalam jumlah banyak. Ia perintahkan empu-empu bekerja lebih keras lagi, guna membuat aneka jenis senjata untuk mempersenjatai para prajurit Tumapel. Jika semula ia mengambil secara paksa pemuda-pemuda untuk dijadikan anggota pasukannya, ketika dahulu pertama tiba di Tumapel, kini ia menjanjikan bayaran yang besar bagi pemuda yang mau menjadi prajurit Tumapel. Bayaran besar dan kehormatan tinggi selaku prajurit, membuat para pemuda rela meninggalkan sawah, ladang, dan lahan garapannya untuk beralih menjadi prajuritnya. Tunggul Ametung bertindak lebih jauh. Untuk menandingi sebutan Sri Maharaja Kretajaya, ia pun meminta segenap prajurit dan juga rakyat

164 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Tumapel untuk memanggilnya Yang Mulia Akuwu. Tunggul Ametung benar-benar laksana raja muda Kadiri!” (Komandoko, hlm 23-24). (382) “Meski telah berlaku demikian, Tunggul Ametung masih tetap menghendaki mendapat dana yang lebih besar untuk mewujudkan impiannya. Ia pun mendapatkan akal. Ia mengetahui, Tumapel adalah wilayah yang kerap didatangi para pendagang, baik yang sekedar melintas maupun yang sengaja datang. Ia mengerti, para pedagang yang kebanyakan lelaki itu membutuhkan kehangatan wanita dalam perjalanan mereka. Tunggul Ametung lantas melegalisasikan pelacuran di Tumapel. Maka, tak berapa lama setelah ia menjadi akuwu, rumah-rumah pelacuran berdiri menjamur bagai cendawan di musim hujan di Tumapel. Pajak pelacuran pun mulai memenuhi pundi- pundinya” (Komandoko, hlm 24). (383) “Tak hanya berhenti di situ, Tunggul Ametung juga memperbolehkan perjudian berlangsung di Tumapel dengan pajak tinggi yang harus disetor ke kas pakuwon. Para penjudi dari Tumapel dan wilayah lain lantas menjadikan Tumapel sebagai tempat paling nyaman dan aman untuk mengadu nasib. Kian lengkap prasarana yang disediakan Tunggul Ametung, setelah ia memperbolehkan berdirinya kedai-kedai tuak. Arak-arak lokal yang amat memabukkan dijual bebas. Para pedagang tuak mendatangkan pula dari luar Tumapel untuk memenuhi kebutuhan tuak yang terus meningkat” (Komandoko, hlm 24-25). (384) “Semua yang diupayakan Tunggul Ametung itu menghasilkan keuangan yang besar baginya. Sebagian kecil hasilnya dikirimkan Tunggul Ametung untuk mengisi lumbung-lumbung Kadiri sesuai permintaan Kretajaya dan sebagian besar memasuki kantongnya sendiri. Tunggul Ametung pun hidup berlimpah ruah kekayaan. Dikelilingi wanita-wanita cantik yang dianggap sebagai selir-selirnya. Ia tiada pernah kehabisan wanita, karena setiap saat para prajuritnya menghadapkan perawan-perawan tercantik dari seluruh penjuru Tumapel yang khusus dipersembahkan bagi Yang Mulia Akuwu. Hanya perawan asli! Tunggul Ametung menolak wanita biasa yang tak lagi suci, kecuali Sang Prameswari Kadiri, si jelita yang menggoda hasratnya sejak ia masih di Kadiri” (Komandoko, hlm 25). (385) “Judi, pelacuran, dan minuman keras adalah trisula yang saling erat berhubungan. Dua hal yang kemudian biasa mengikuti adalah madat alias menggunakan candu, dan maling atau mencuri. Jika lima hal itu telah bergabung, maka kerusakan pada masyarakat yang menjadi buahnya. Makin lengkaplah sebuah keburukan. Itu pulalah yang terjadi di Tumapel. Tumapel seketika menjadi daerah paling rusak di seluruh wilayah bekas Janggala. Segala bentuk kejahatan terdapat di sana. Perampokan, penjarahan, pencurian, pemerkosaan, pembunuhan, dan berbagai bentuk kejahatan lainnya tumbuh subur menjamur” (Komandoko, hlm 25-26).

165 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(386) “Di Tumapel, yang kaya memang bisa bertambah kaya, meski banyak pula yang jatuh miskin setelah kekayaannya ludes di meja-meja perjudian. Atau habis untuk membayar ‘ongkos’ kehangatan para pelacur. Wanita-wanita yang semula terhormat dan kaya, jatuh bangkrut, dan banyak yang menjadi pelacur setelah tidak menemukan jalan lainnya. Laki-laki yang semula terhormat segera bergabung dengan perampok dan pencuri setelah tak lagi berharta” (Komandoko, hlm 26). (387) “Mengetahui kondisi itu, Tunggul Ametung tetap diam mematung. Hati batunya tak tersentuh dengan kondisi yang memilukan itu. Baginya yang terpenting adalah kekuatan laskar tempur Tumapel yang terus-menerus ditambah dan diasahnya. Ia terus menghitung kekuatan Kadiri yang hendak ditaklukkannya dan tidak terpengaruh dengan kondisi rakyat Pakuwon yang dipimpinnya. Ia segera bergerak untuk menumpas pemberontakan dan kejahatan jika gerakan-gerakan itu mulai mengancam keutuhan Kadiri dan Tumapel. Terlebih lagi, jika berani merongrong kewibawannya selaku akuwu. Dengan tangan besi, ia dapat menghukum siapa saja yang dianggapnya berani berbuat onar di Tumapel. Namun, itu tak juga membuat kejahatan dan pemberontakan segera menghilang di Tumapel, tetapi justru kian banyak adanya” (Komandoko, hlm 26-27).

Dari kutipan nomor (380) hingga nomor (387), sudah dapat dipastikan bahwa situasi dan keadaan Tumapel saat Tunggul Ametung berkuasa begitu memprihatinkan.

Seolah-olah Tunggul Ametung tidak ambil peduli melihat kondisi Tumapel yang serba kacau-balau. Sang Akuwu hanya memikirkan keuntungan sebanyak-banyaknya untuk mengisi kas di pakuwon. Hal demikian, terlihat jelas pada kutipan nomor (382), yang tertulis:

“Tunggul Ametung masih tetap menghendaki mendapat dana yang lebih besar untuk mewujudkan impiannya. Ia pun mendapatkan akal. Ia mengetahui, Tumapel adalah wilayah yang kerap didatangi para pendagang, baik yang sekedar melintas maupun yang sengaja datang. Ia mengerti, para pedagang yang kebanyakan lelaki itu membutuhkan kehangatan wanita dalam perjalanan mereka. Tunggul Ametung lantas melegalisasikan pelacuran di Tumapel. Maka, tak berapa lama setelah ia menjadi akuwu, rumah-rumah pelacuran berdiri menjamur bagai cendawan di musim hujan di Tumapel. Pajak pelacuran pun mulai memenuhi pundi-pundinya” (Komandoko, hlm 24).

166 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Terlihat pula pada kutipan nomor (383), yang tertulis sebagai berikut.

“Tunggul Ametung juga memperbolehkan perjudian berlangsung di Tumapel dengan pajak tinggi yang harus disetor ke kas pakuwon. Para penjudi dari Tumapel dan wilayah lain lantas menjadikan Tumapel sebagai tempat paling nyaman dan aman untuk mengadu nasib. Kian lengkap prasarana yang disediakan Tunggul Ametung, setelah ia memperbolehkan berdirinya kedai-kedai tuak. Arak-arak lokal yang amat memabukkan dijual bebas. Para pedagang tuak mendatangkan pula dari luar Tumapel untuk memenuhi kebutuhan tuak yang terus meningkat” (Komandoko, hlm 24-25).

Kelakuan busuk Sang Akuwu disebutkan pula dalam kutipan nomor (384), yang tertulis:

“Semua yang diupayakan Tunggul Ametung itu menghasilkan keuangan yang besar baginya. Sebagian kecil hasilnya dikirimkan Tunggul Ametung untuk mengisi lumbung-lumbung Kadiri sesuai permintaan Kretajaya dan sebagian besar memasuki kantongnya sendiri. Tunggul Ametung pun hidup berlimpah ruah kekayaan. Dikelilingi wanita-wanita cantik yang dianggap sebagai selir-selirnya. Ia tiada pernah kehabisan wanita, karena setiap saat para prajuritnya menghadapkan perawan-perawan tercantik dari seluruh penjuru Tumapel yang khusus dipersembahkan bagi Yang Mulia Akuwu. Hanya perawan asli! Tunggul Ametung menolak wanita biasa yang tak lagi suci, kecuali Sang Prameswari Kadiri, si jelita yang menggoda hasratnya sejak ia masih di Kadiri” (Komandoko, hlm 25).

Dalam kutipan nomor (384), dijelaskan jika kegemaran Tunggul Ametung adalah bermain cinta dengan banyak wanita-wanita cantik, terutama wanita yang masih perawan.

Ia memang lelaki gagah, berwajah tampan, dan bertubuh kekar. Banyak wanita yang terjerat dengan ketampanannya lalu terjerat pula ke dalam pelukannya. Tunggul Ametung yang tampan, meski mempunyai pandangan mata tajam laksana elang, tidak hanya piawai memainkan pedang di medan laga, tetapi sangat lihai dalam memuaskan wanita. Dalam

Tafsir Sejarah Nagarakretagama tidak dijelaskan tentang situasi maupun keadaan

Tumapel saat Tunggul Ametung berkuasa.

167 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

4.4 Penokohan Resi Agung Sri Yogiswara Girinata

Berbicara mengenai penokohan Resi Agung Sri Yogiswara Girinata, dalam novel

Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel ini dijelaskan, bahwa beliau merupakan seorang brahmana terhormat yang berasal dari dusun Agung. Yang Suci Gurursi, begitu brahmana agung itu kerap disebut segenap warga dengan rasa hormat. Sang Resi Gurursi adalah pemimpin Padepokan Girilaya. Banyak para murid yang berbondong-bondong untuk menimba ilmu dan menyerap ilmu darinya. Sang Resi juga terkenal sakti mandraguna.

Ucapannya sangat bertuah, memberikan kedamaian hati bagi pendengarnya ketika beliau memberikan wejangan. Akan tetapi, dapat pula menjadi petaka ketika ia telah marah dan mengucapkan sumpah kutuknya. Resi Agung Sri Yogiswara Girinata telah sepuh usianya.

Pernah juga beliau berkeluarga dan Ken Suraidah adalah nama istri Sang Resi terdahulu.

Istri tercintanya telah meninggal dunia karena mempertahankan kesucian dan kehormatannya, ketika wilayahnya mendapat serbuan pasukan musuh. Ken Suraidah merupakan sesosok wanita yang tegas mengutamakan kesucian serta kehormatan diri, hingga ia rela membayar dengan nyawanya sendiri ketika kehormatannya hendak diusik paksa (Komandoko, hlm 29-30).

Setelah kematian istrinya, beberapa tahun kemudian Sang Resi menikah lagi.

Disebutkan, bahwa Sang Resi Gurursi menikahi seorang kembang desa yang berasal dari

Pangkur. Dialah Astia atau Ken Endok, salah seorang gadis remaja desa Pangkur yang kecantikannya sangat mempesona. Ia terkenal karena parasnya yang cantik, elok, dan sangat dipuja-puja oleh banyak lelaki. Usianya masih dua belas tahun, namun garis-garis kejelitaannya telah tegas mengemuka. Molek, sintal, kulitnya terawat, tiada cacat, cemerlang, berwarna putih kekuningan. Dihiasi pula kemolekan wajah itu dengan

168 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

keindahan sikap perangainya. Sikapnya menarik, mempesona serta tutur bicaranya lemah lembut, sungguh ia ‘kembang desa’ dusun Pangkur. Ken Endok membuat tidak sedikit lelaki desa Pangkur dan desa-desa sekitarnya mabuk kepayang serta mengimpikan bisa memperistrinya. Bukan hanya para jejaka yang bertekuk lutut, melainkan lelaki yang telah beristri pula. Ia tetap kukuh menjaga keutuhan keperawanannya. Sampai pada waktunya tiba, rencana Dewata Agung pada diri Ken Endok berlaku kemudian. Hingga pinangan seorang seorang brahmana, Resi Agung Sri Yogiswara Girinata pada akhirnya diterimanya (Komandoko, hlm 28-30). Sang Resi Gurursi mendapati jiwa Ken Suraidah menitis pada diri Astia atau Ken Endok ini. Beliau tidak ragu untuk meminang si jelita remaja desa Pangkur itu. Astia menerima pinangan Sang Resi meski perbedaan usia di antara mereka sangat jauh, bagai seorang kakek dengan cucunya. Jadilah Astia selaku istri sah Yang Suci Gurursi dan kemudian lebih dikenal dengan sebutan Ken Endok

(Komandoko, hlm 30).

Setelah diteliti dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, ternyata tidak ditemukan maupun tidak disinggung sama sekali mengenai sosok seorang brahmana bernama Resi

Agung Sri Yogiswara Girinata ini.

4.5 Pernikahan Ken Endok dengan Resi Agung Girinata

Telah dibahas dalam sub judul sebelumnya, jika Ken Endok bersedia menerima pinangan dari seorang brahmana, yakni Resi Agung Sri Yogiswara Girinata. Walaupun usia mereka terpaut sangat jauh, pernikahan di antara keduanya tetap dilangsungkan.

Sang Resi sungguh berbahagia mendapatkan istri kedua yang sifatnya hampir memiliki kesamaan dengan istrinya terdahulu. Sang Resi tetap menyakini, bahwa jiwa Ken

169 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Suraidah telah menitis pada diri Ken Endok. Menjadi istri seorang brahmana merupakan sebuah kehormatan tertinggi bagi seorang sudra seperti Ken Endok. Namun, itu dalam pandangan masyarakat umum, tetapi tidak untuknya. Bagi Ken Endok, pernikahannya dengan Resi Girinata laksana ujian berat dalam hidup yang seakan tiada berkesudahan.

Bukan karena sikap Sang Resi itu buruk kelakuannya, melainkan fungsi suaminya tidak seperti seorang suami pada umumnya. Resi Girinata tidak sekalipun menyentuhnya.

Bahkan, hingga sepuluh tahun berlalu, Ken Endok tetap perawan suci. Sang Resi bagai gunung es yang dingin, seakan kemolekan dan kecantikan istrinya tidak membuatnya berhasrat untuk menyentuhnya. Berikut ini adalah dua buah kutipan yang menunjukkan betapa gundah-gulana hati Ken Endok setelah menjalani kehidupannya dengan Sang

Resi.

(388) “Sepuluh tahun hidup berumah tangga tanpa sekalipun dipenuhi gejolak birahinya, sungguh merupakan sebuah siksaan yang sangat berat bagi Ken Endok. Apalagi saat di puncak usia remaja, ketika gairahnya tengah memuncak. Sang Resi bagai gunung es yang sangat dingin, seakan kemolekan dan kecantikan istrinya tak membuatnya berhasrat untuk menyentuh istrinya. Ia memang pelindung dan penjaga raga serta keselamatan Ken Endok, tapi bukan penjawab gairah Ken Endok. Keinginan Ken Endok untuk berhubungan badan bagai satu tangan yang hendak bertepuk!” (Komandoko, hlm 30-31). (389) “Berulang-ulang Ken Endok telah meminta nafkah bathin itu, baik secara rahasia maupun terang-terangan, namun Sang Resi tak juga memenuhinya. Sekalipun juga selama mereka berumah tangga!” (Komandoko, hlm 31).

Pada kutipan nomor (388) dan (389), disebutkan bahwa selama sepuluh tahun usia pernikahan mereka, Sang Resi enggan menyetubuhinya. Selama sepuluh tahun, Ken

Endok mesih tetap perawan suci. Walaupun desakan Ken Endok kian memaksa tetapi

Sang Resi tidak juga menggaulinya. Sepuluh tahun hidup berumah tangga tanpa sekalipun dipenuhi gejolak birahinya, sungguh merupakan siksaan yang sangat berat bagi

170 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

diri Ken Endok. Apalagi saat di puncak usia remaja, ketika gairahnya tengah memuncak,

Sang Resi tetap menolak untuk bersetubuh dengan istrinya, seakan kecantikan dan kemolekan sang istri tidak membuatnya berhasrat untuk menyentuh Ken Endok. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam kutipan nomor (388), yang tertulis sebagai berikut.

“Sepuluh tahun hidup berumah tangga tanpa sekalipun dipenuhi gejolak birahinya, sungguh merupakan sebuah siksaan yang sangat berat bagi Ken Endok. Apalagi saat di puncak usia remaja, ketika gairahnya tengah memuncak. Sang Resi bagai gunung es yang sangat dingin, seakan kemolekan dan kecantikan istrinya tak membuatnya berhasrat untuk menyentuh istrinya. Ia memang pelindung dan penjaga raga serta keselamatan Ken Endok, tapi bukan penjawab gairah Ken Endok. Keinginan Ken Endok untuk berhubungan badan bagai satu tangan yang hendak bertepuk!” (Komandoko, hlm 30-31).

Terlihat pula pada nomor (389), yang berbunyi:

“Berulang-ulang Ken Endok telah meminta nafkah bathin itu, baik secara rahasia maupun terang-terangan, namun Sang Resi tak juga memenuhinya. Sekalipun juga selama mereka berumah tangga!” (Komandoko, hlm 31).

Setelah ditelisik lebih lanjut, mengapa Sang Resi menolak untuk menggauli Ken

Endok? Jawabannya dapat dilihat kembali dalam kutipan percakapan berikut ini.

(390) “Sesungguhnya Dewata Nan Agung telah mempunyai rencana tersendiri padamu, Istriku” ujar Sang Resi lembut (Komandoko, hlm 31). (391) “Rencana apakah itu Kakang?” (Komandoko, hlm 32). (392) “Aku tak bisa memberitahukanmu, sayang! Namun yang perlu engkau ketahui, rencana Dewata Agung itu rencana yang indah untukmu. Bersabarlah istriku, tunggu waktunya tiba! Untuk saat ini, hiduplah selaku brahmacari, istriku! Hiduplah dalam kesucian! Tak perlu kenikmatan berhubungan badan itu menganggu pikiranmu. Itu hanya percikan dari buah nafsu duniawi. Hidup selaku brahmacari akan membebaskanmu dari pikiran nafsu!” jelas Sang Resi” ungkap Sang Resi kembali (Komadoko, hlm 32-33).

Dengan melihat kutipan percakapan nomor (390) sampai nomor (392), disebutkan bahwa Sang Resi mengetahui rahasia agung yang telah direncanakan oleh Dewata Agung pada diri Ken Endok. Namun, Sang Resi enggan memberitahukan rahasia besar itu

171 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

kepada istrinya. Ken Endok tampaknya tidak mau mengerti apa yang telah disampaikan oleh suaminya. Baginya, yang dibutuhkan bukan sekedar wejangan, melainkan sentuhan sang suami. Sentuhan untuk memenuhi kebutuhan batinnya yang selama sepuluh tahun berumah tangga. Ingin sekali Ken Endok merasakan bagaimana menjadi seorang istri yang mendapatkan kasih sayang suami berupa benih yang ditanamkan pada rahimnya.

Ingin sekali ia mengetahui bagaimana rasa kenikmatan berhubungan suami istri itu. Ia merasa bukan seorang yogini yang harus membawa keperawanannya hingga mati.

Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, disebutkan bahwa suami dari Ken

Endok bukanlah Yang Suci Gurursi, melainkan Gajah Para. Hal itu dapat dibuktikan dengan melihat kutipan berikut ini.

(393) “Dewa Brahma melarang Ken Endok untuk berkumpul lagi dengan suaminya, Gajah Para. Larangan Dewa Brahma mengakibatkan perpisahan antara Ken Endok dengan Gajah Para. Ken Endok pulang ke desa Pangkur dan Gajah Para kembali ke desa Campara” (Muljana, hlm 90).

Pada kutipan nomor (393), dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, disebutkan bahwa suami Ken Endok adalah Gajah Para bukan Sang Resi Gurursi. Berbicara mengenai siapakah Sang Resi Gurursi itu, dalam karya Slamet Muljana sama sekali tidak disinggung. Untuk mengetahui siapakah Gajah Para tersebut dan bagaimana latar belakang keluarganya, mari kita simak dalam sub judul berikutnya.

4.6 Gajah Para bukanlah Suami Ken Endok

Telah disinggung pada sub judul sebelumnya bahwa Gajah Para bukanlah suami dari Ken Endok. Suami sah Ken Endok adalah Sang Resi Gurursi, seorang brahmana

Agung yang memimpin Padepokan Girilaya. Begitulah kisah yang disajikan dalam novel

Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel. Lalu, siapakah sosok Gajah Para yang dikisahkan

172 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

dalam karya Gamal Komandoko ini? Oleh Gamal Komandoko, tokoh Gajah Para dihadirkan sebagai pemuda tampan yang berasal dari golongan kasta sudra dan sangat memegang teguh ajaran Sang Begawan Agung Siddartha Gautama. Dalam kutipan- kutipan berikut ini akan ditunjukkan bagaimana pertemuan awal antara Ken Endok dengan Gajah Para. Berikut ini adalah kutipannya.

(394) “Suatu pagi dalam rinai gerimis, Ken Endok tersandung akar pohon hingga terjatuh ketika menuju Pura Agung. Sesaji yang dibawanya tumpah berserakan di atas tanah bercampur air hujan, ia merintih menahan kesakitan yang amat sangat pada kakinya. Ken Endok berteriak meminta tolong, namun teriakannya tertelan suara derasnya hujan. Ia mengaduh kesakitan, tetapi suara aduhannya tak mampu mengalahkan kerasnya suara air hujan yang tercurah. Berulang-ulang ia berteriak, semua usahanya berbuah kesia-siaan. Tak ada satu orang pun yang mendengar. Deras air hujan sepertinya memupus permintaan tolong dan suara mengaduhnya. Ken Endok terjebak dalam hujan lebat, basah kuyup, dalam kesakitan pada kakinya yang sangat” (Komandoko, hlm 38). (395) “Maka, pertolongan pun tiba baginya kemudian. Seorang pemuda gagah, seusia dengannya, berjalan setengah berlari melintas tak jauh dari tempat Ken Endok tergeletak. Sang pemuda tersentak mendapati tubuh Ken Endok rebah. Dengan langkah lebar ia bergegas menghampiri Ken Endok.” (Komandoko, hlm 38-39). (396) “Tak perlu menunggu lama, si Pemuda lalu mengerahkan tenaganya untuk menggendong Ken Endok. Ia berjalan agak terhuyung-huyung menahan berat tubuh Ken Endok. Sementara, Ken Endok merangkul leher kukuh si Pemuda itu, agar tak terjatuh ketika si Pemuda melangkah. Hujan yang kian lebat membuat langkah si Pemuda kian tersendat-sendat. Namun, ia kuat maju, gagah melangkah menerobos curahan lebat air hujan serta jalan tanah licin berlumpur” (Komandoko, hlm 38-39). (397) “Tenanglah Nyi,” si Pemuda tetap menyemangati. Ia berusaha memajukan kepalanya dengan posisi tubuh agak membungkuk, agar Ken Endok tak semakin basah, meski tak mampu jua menghindarkan Ken Endok dari luruhan derasnya air hujan. “Rumahku tak jauh dari sini, Nyi. Sebentar lagi kita akan tiba di sana. Ken Endok menganggukkan kepala. Satu tangannya tetap kukuh merangkul leher penolongnya dan ujung hidung mancungnya menyentuh baju basah di Pemuda itu. Hanya kain tipis basah yang menjadi jarak pemisah antara hidung Ken Endok dan dada bidang si Pemuda itu” (Komandoko, hlm 39). (398) “Hujan masih tetap deras. Tubuh Ken Endok kian basah kuyup diterpanya. Namun, ia merasakan damai yang sangat. Ia merasakan kehangatan yang luar biasa saat berada dalam bopongan pemuda penolongnya. Beduk di hatinya keras bertalu-talu ketika kulit halusnya bersentuhan dengan tubuh

173 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

kukuh itu, dalam genggaman otot-otot kuat penolongnya. Sepuluh tahun berumah tangga, tak pernah sekalipun ia mendapatkan kehangatan dekapan lelaki seperti yang dialaminya kini. Ini pertama kali baginya, meski diganggu derasnya hujan! Maka, ia pasrah dalam bahagia, meski sejenak kemudian dicoba ditepisnya rasa itu kuat-kuat mengingat penolongnya adalah lelaki asing. Bukan Resi Girinata, suami sahnya. Alangkah bahagia hatinya jika pembopongnya adalah Sang Resi. Ia mengeluh dalam hati, menggigil tubuhnya menahan gejolak rasa bahagia yang aneh itu” (Komandoko, hlm 40).

Setelah menyimak kutipan nomor (394) hingga nomor (398), telah ditunjukkan bagaimana awal pertemuan antara Ken Endok dengan si Pemuda yang tidak lain adalah

Gajah Para. Pertemuan yang mengesankan bagi Ken Endok itu dapat membuatnya terbuai, karena baru pertama kalinya ia mendapat dekapan hangat saat si Pemuda tersebut menggendongnya. Apalagi dalam suasana hujan deras yang mengguyur keduanya, sehingga gejolak di dalam hati Ken Endok kian berkobar. Hal tersebut, dapat dilihat pada kutipan nomor (396), yang berbunyi:

“Tak perlu menunggu lama, si Pemuda lalu mengerahkan tenaganya untuk menggendong Ken Endok. Ia berjalan agak terhuyung-huyung menahan berat tubuh Ken Endok. Sementara, Ken Endok merangkul leher kukuh si Pemuda itu, agar tak terjatuh ketika si Pemuda melangkah. Hujan yang kian lebat membuat langkah si Pemuda kian tersendat-sendat. Namun, ia kuat maju, gagah melangkah menerobos curahan lebat air hujan serta jalan tanah licin berlumpur. Dilewatinya semak-semak belukar kecil yang menyembul di kiri kanan jalan tanah yang becek. Dengan ucap terima kasih atas pertolongan Dewata Agung, Ken Endok merasa aman bersama sang pemuda penolongnya” (Komandoko, hlm 38-39).

Selain itu, dapat terlihat jelas saat membaca kutipan nomor (398) yang berbunyi:

“Hujan masih tetap deras. Tubuh Ken Endok kian basah kuyup diterpanya. Namun, ia merasakan damai yang sangat. Ia merasakan kehangatan yang luar biasa saat berada dalam bopongan pemuda penolongnya. Beduk di hatinya keras bertalu-talu ketika kulit halusnya bersentuhan dengan tubuh kukuh itu, dalam genggaman otot-otot kuat penolongnya. Sepuluh tahun berumah tangga, tak pernah sekalipun ia mendapatkan kehangatan dekapan lelaki seperti yang dialaminya kini. Ini pertama kali baginya, meski diganggu derasnya hujan! Maka, ia pasrah dalam bahagia, meski sejenak kemudian dicoba ditepisnya rasa itu kuat-kuat mengingat penolongnya adalah lelaki asing. Bukan Resi Girinata, suami sahnya. Alangkah bahagia hatinya jika pembopongnya adalah Sang

174 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Resi. Ia mengeluh dalam hati, menggigil tubuhnya menahan gejolak rasa bahagia yang aneh itu” (Komandoko, hlm 40).

Si Pemuda itu juga merasakan hal yang sama dengan Ken Endok, ia begitu senang dapat menolong dan menggendong Ken Endok pada saat hujan deras menimpa mereka tadi. Si jelita dari desa Pangkur yang kecantikannya sungguh tiada tara ini, ternyata dapat menyedot perhatian Gajah Para untuk mengaguminya. Namun, tiba-tiba ia dikejutkan setelah mendengar ibunya berbicara, bahwa wanita yang telah ditolongnya itu adalah istri

Sang Resi Gurursi, yang tidak lain seorang brahmana pemimpin Padepokan Girilaya yang sangat disegani dan dihormati masyarakat. Gajah Para pun kecewa, karena wanita yang dikaguminya itu telah memiliki seorang suami, hingga ia pun menjadi serba salah.

Kutipan berikut ini akan memperjelas bagaimana sikap Gajah Para setelah mengetahui jika Ken Endok telah bersuamikan Sang Resi Gurursi.

(399) “Ken Endok keheranan saat melihat si Mbok dan pemuda penolongnya mendadak berubah sikap terhadapnya. Mereka tampak takut-takut, datang mendekat kepadanya dengan jalan setengah membungkuk. Si Pemuda lalu tegak berdiri, ngapurancang sikapnya, matanya tertuju lantai tanah. Ken Endok mencoba menegakkan badan, lalu bertanya untuk mengungkap keheranannya, “Kenapa, Mbok?” (Komandoko, hlm 44). (400) “Ampuni kami atas kelancangan kami yang tidak bisa melayani Gusti Ayu dengan baik,” si Mbok berjongkok di depan kaki Ken Endok. Sang Pemuda turut berjongkok di belakang ibunya” (Komandoko, hlm 44). (401) “Ken Endok nampak kikuk mendengar sebutan Gusti Ayu yang diperuntukkan baginya. Ia merasa tak enak hati. Baginya ia tetap Ken Endok, meski suaminya adalah Yang Suci Gurursi. Ia juga merasa tak enak hati mendapat perlakuan yang amat istimewa seperti itu” (Komandoko, hlm 44). (402) “Aku memang Astia, Mbok! Ken Endok kini aku biasa disapa. Benar, aku istri Kakang Resi Agung Sri Yogiswara Girinata. Namun, aku bukan Gusti Ayu, Mbok! Aku tak beda jauh dengan Mbok atau anak Mbok yang berbaik hati telah menolongku. Jangan panggil aku Gusti Ayu, Mbok! Panggil saja aku Astia atau Ken Endok, karena itulah namaku!” (Komandoko, hlm 44). (403) “Giliran si Mbok dan juga si Pemuda yang kebingungan menghadapi permintaan Ken Endok, meski tidak juga reda rasa hormat mereka.

175 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

“Sudahlah, Mbok! Jika bersedia, aku memohon tolong untuk mengobati kaki terkilirku ini” (Komandoko, hlm 45). (404) “Dengan senang hati, Gusti Ayu”, si Mbok menganggukkan kepalanya dengan hormat. Tak juga diubahnya panggilan untuk Ken Endok. “Dan, jika Gusti Ayu berkenan, biarkan anak hamba itu mengurut kaki Gusti Ayu. Ia mengerti urat-urat tubuh dan biasa mengurut dan memijat, Gusti Ayu!” (Komandoko, hlm 45). (405) “Ken Endok kian merasa tak enak hati. Permintaannya untuk tidak dipanggil dengan sebutan Gusti Ayu tak dituruti si Mbok. Didera rasa sakit di kakinya, Ken Endok akhirnya hanya berujar, “Silahkan, Mbok! Sebelumnya, terima kasih kuucapkan atas pertolongan dan budi baik kalian kepadaku” (Komandoko, hlm 45). (406) “Debar hati Ken Endok kembali bergemuruh saat tangan kekar si Pemuda meraba kakinya. Perasaan aneh itu kembali muncul, menghangatkan tubuh. Dengan gerakan lembut si Pemuda memeriksa dan menelusuri jalan urat di kaki Ken Endok. Dari ujung jari-jari kaki hingga sedikit di atas lutut. Denyut darah Ken Endok dirasanya lebih kencang berdesir setelah kulit halusnya disentuh si Pemuda, putra si Mbok yang baik hati itu. Sayang, lagi-lagi Ken Endok mengeluh dalam hati, penyentuhnya bukan Sang Resi Girinata! Si Pemuda itu memang seorang pemuda biasa, namun menebarkan pesona tersendiri baginya dan sedikit mampu membasahi dahaganya akan elusan tangan lelaki yang tiada penah sekalipun didapatkannya dari suaminya sendiri” (Komandoko, hlm 45). (407) “Si Pemuda itu duduk di atas amben. Dengan hati-hati diangkatnya kaki kanan Ken Endok dan diletakkannya di atas kedua pahanya. Ia mulai memijat dan mengurut, mengembalikan urat menyimpang pembuat Ken Endok kesakitan” (Komandoko, hlm 46). (408) “Darah di tubuh Ken Endok kembali berdesir-desir. Agak sakit memang pijat urut si Pemuda, namun kesakitan itu tak mampu mengalahkan rasa aneh yang bersemayam di hati Ken Endok. Ia memang menjerit saat tangan kekar sang pemuda membetulkan urat menyimpang pada kakinya, namun lebih keras jeritan hatinya yang dahaga akan elusan tangan lelaki yang selama itu tak pernah dilakukan suaminya. Hingga berselang beberapa saat kemudian, sang pemuda menghentikan pijatannya. Dengan hati-hati lagi diangkatnya kaki Ken Endok dan diletakkan di atas amben. Si Pemuda lalu bersila di dekat kaki Ken Endok. Giliran si Mbok membedaki kaki Ken Endok dengan param campuran beras dan kencur. Dengan kain kering, si Mbok membebat kaki Ken Endok” (Komandoko, hlm 46).

176 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Pada kutipan nomor (399) hingga nomor (408), disebutkan bahwa sikap si

Pemuda seketika berubah setelah mengetahui bahwa Ken Endok telah bersuamikan seorang brahmana Agung, Sang Resi Gurursi. Hal tersebut dapat terlihat pada kutipan nomor (399) yang berbunyi:

“Ken Endok keheranan saat melihat si Mbok dan pemuda penolongnya mendadak berubah sikap terhadapnya. Mereka tampak takut-takut, datang mendekat kepadanya dengan jalan setengah membungkuk. Si Pemuda lalu tegak berdiri, ngapurancang sikapnya, matanya tertuju lantai tanah. Ken Endok mencoba menegakkan badan, lalu bertanya untuk mengungkap keheranannya, “Kenapa, Mbok?” (Komandoko, hlm 44).

Kemudian pada kutipan nomor (400), yang berbunyi:

“Ampuni kami atas kelancangan kami yang tidak bisa melayani Gusti Ayu dengan baik,” si Mbok berjongkok di depan kaki Ken Endok. Sang Pemuda turut berjongkok di belakang ibunya” (Komandoko, hlm 44).

Selain itu, ditunjukkan pula pada kutipan nomor (406), jika Ken Endok memiliki perasaan aneh yang mendera dirinya, ketika pemuda gagah itu mulai mengurut bagian yang sakit pada kakinya.

“Debar hati Ken Endok kembali bergemuruh saat tangan kekar si Pemuda meraba kakinya. Perasaan aneh itu kembali muncul, menghangatkan tubuh. Dengan gerakan lembut si Pemuda memeriksa dan menelusuri jalan urat di kaki Ken Endok. Dari ujung jari-jari kaki hingga sedikit di atas lutut. Denyut darah Ken Endok dirasanya lebih kencang berdesir setelah kulit halusnya disentuh si Pemuda, putra si Mbok yang baik hati itu. Sayang, lagi-lagi Ken Endok mengeluh dalam hati, penyentuhnya bukan Sang Resi Girinata! Si Pemuda itu memang seorang pemuda biasa, namun menebarkan pesona tersendiri baginya dan sedikit mampu membasahi dahaganya akan elusan tangan lelaki yang tiada penah sekalipun didapatkannya dari suaminya sendiri” (Komandoko, hlm 45).

Kutipan nomor (408), yang berbunyi:

“Darah di tubuh Ken Endok kembali berdesir-desir. Agak sakit memang pijat urut si Pemuda, namun kesakitan itu tak mampu mengalahkan rasa aneh yang bersemayam di hati Ken Endok. Ia memang menjerit saat tangan kekar sang pemuda membetulkan urat menyimpang pada kakinya, namun lebih keras jeritan hatinya yang dahaga akan elusan tangan lelaki yang selama itu tak pernah dilakukan suaminya. Hingga berselang beberapa saat kemudian, sang pemuda menghentikan pijatannya. Dengan hati-hati lagi diangkatnya kaki Ken Endok dan diletakkan di atas amben. Si Pemuda lalu bersila di dekat kaki Ken

177 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Endok. Giliran si Mbok membedaki kaki Ken Endok dengan param campuran beras dan kencur. Dengan kain kering, si Mbok membebat kaki Ken Endok” (Komandoko, hlm 46).

Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, tidak disebutkan secara mendetail mengenai siapakah sosok Gajah Para tersebut. Tafsir Sejarah Nagarakretagama hanya menyebutkan jika Gajah Para adalah suami sah Ken Endok, yang nantinya harus berpisah karena perintah Dewa Brahma.

4.7 Mulai Tumbuhnya Perasaan Suka (Perasaan Ken Endok terhadap Gajah Para)

Pada sub judul berikut ini, disebutkan bahwa perasaan suka dan rasa ketertarikan

Ken Endok terhadap Gajah Para mulai tumbuh mengisi relung-relung di hatinya.

Peristiwa hujan deras yang menimpanya waktu itu merupakan suatu peristiwa yang tidak dapat ia lupakan. Apalagi perihal digendong ia dalam dekapan hangat tubuh Gajah Para, selamanya akan terus terkenang dalam pikiran dan hati Ken Endok. Setelah rasa sakit di kakinya telah banyak berkurang, ia pun segera pamit dan kembali ke Padepokan Girilaya.

Si Pemuda gagah itu tetap menjaga jarak, lalu memberikan penghormatan besarnya untuk

Ken Endok. Dengan pedati miliknya yang ditarik kerbau, sang pemuda kemudian mengantarkan Ken Endok menuju padepokan. Tiba-tiba Ken Endok memulai suatu pembicaraan, yang dalam pembicaraannya itu akan membawa hubungan mereka semakin dekat. Berikut adalah kutipan percakapan di antara keduanya.

(409) “Hingga kini”, kata Ken Endok membuka percakapan di antara mereka. “Aku belum tahu nama Mbokmu dan juga namamu?” (Komandoko, hlm 47). (410) “Nyi Colok nama mbok hamba” (Komandoko, hlm 47). (411) “Namamu sendiri?” (Komandoko, hlm 47). (412) “Hamba hanyalah sudra biasa, Gusti Ayu” (Komandoko, hlm 47). (413) “Sudah kubilang, jangan panggil aku Gusti Ayu! Panggil aku Astia saja! Bisakah engkau melakukannya untukku? Nah, siapakah namamu?” (Komandoko, hlm 48).

178 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(414) “Gusti . . . hamba hanyalah seorang sudra. Kalangan terhina dari tingkatan kasta. Sungguh tak ada baiknya sama sekali bagi seorang brahmana mulia seperti paduka untuk mengetahui jati diri hamba yang hina ini. Selain sudra yang hina, hamba hanyalah seorang hina yang memegang teguh ajaran Sang Begawan Agung Siddartha Gautama. Hamba hanya merasa, seorang brahmana seperti halnya Gusti Ayu yang juga menyandang status terhormat selaku istri Yang Suci Gurursi tak pantas kiranya mengetahui nama hamba yang hina ini” (Komandoko, hlm 48-49). (415) “Jagat Pramudita! Tak bisakah engkau menghentikan panggilan Gusti Ayu padaku? Aku bukan Dewata Agung yang bisa menetapkanmu untuk berkasta tertentu dan keyakinan tertentu. Aku hanya wanita biasa! Untuk engkau ketahui, sebelum aku menikah dengan Kakang Resi Girinata, aku hanyalah wanita sudra bernama Astia yang berasal dari desa Pangkur! Lantas, apa yang salah dengan status kastamu? Setelah engkau mengetahui, tak bisakah kita lebih dekat bersahabat tanpa harus dibumbui perbedaan kasta maupun perbedaan keyakinan di antara kita? Tak bisakah kita berteman karena persamaan kita selaku manusia?”, ucap Ken Endok dengan suara melunak (Komandoko, hlm 49-50). (416) “Si Pemuda kembali menatap wajah Ken Endok diiringi senyum menawannya. “Sungguh bahagia dan beruntungnya aku bisa mengenal wanita sebaik engkau, Astia. Amatlah berharga pengalaman yang bisa kupetik dari kemuliaan sifat dan sikapmu. Untuk engkau ketahui, namaku…..” (Komandoko, hlm 50). (417) “Ssst!” Ken Endok mendadak meletakkan jari telunjuknya di tengah- tengah bibir mungilnya, meminta si Pemuda tak melanjutkan ucapannya. “Bolehkah aku memberimu sebutan nama istimewa yang menjadi awal hubungan persahabatan di antara kita? Nama istimewamu adalah….. Gajah Para! Ya, Gajah Para! Makna nama istimewamu adalah sahabat untuk menggembirakan hati. Engkau sungguh-sungguh Gajah Para bagiku. Semoga engkau menyukai nama itu!” (Komandoko, hlm 50). (418) “Ken Endok dan Gajah Para tertawa bersamaan. Mencair kekikukan di antara mereka, berganti kecerahan. Laju kerbau penarik pedati yang lambat itu terasa sangat cepat bagi dua hati yang mulai terikat dalam sebuah persahabatan. Tanpa dipisahkan oleh kasta dan juga keyakinan. Hanya berlandaskan persamaan selaku sesama manusia yang sama- sama menghuni marcapada. Persahabatan yang erat bisa menyatukan mereka dalam sebuah hubungan percintaan, jika mereka terus mengumbar rasa suka di antara keduanya. Dan, tampaknya bibit-bibit ke arah itu mulai terbuka…” (Komandoko, hlm 50-51).

179 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Setelah membaca beberapa kutipan pada nomor (409) hingga nomor (418), dapat dipastikan bahwa Ken Endok begitu sangat berharap jika pemuda gagah itu mau menjadi sahabatnya. Awalnya, si Pemuda tidak ingin memberitahu siapa jati dirinya, karena ia merasa seorang sudra yang hina dan pemegang teguh ajaran Sang Begawan Agung

Siddartha Gautama. Ia merasa tidak sebanding dengan status Ken Endok yang seorang istri dari brahmana Agung yang sangat dihormati di kalangan masyarakat. Namun, Ken

Endok tetap bersikeras, anggapan Gajah Para tentang dirinya sangat keliru. Ken Endok mengakui bahwa ia memang dinikahi oleh seorang brahmana Agung, Resi Girinata. Akan tetapi, ia menjelaskan pula, bahwa sebelum ia menjadi istri seorang brahmana. Ken

Endok adalah seorang wanita sudra yang berasal dari Pangkur. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam kutipan percakapan nomor (414), yang berbunyi:

“Selain sudra yang hina, hamba hanyalah seorang hina yang memegang teguh ajaran Sang Begawan Agung Siddartha Gautama. Hamba hanya merasa, seorang brahmana seperti halnya Gusti Ayu yang juga menyandang status terhormat selaku istri Yang Suci Gurursi tak pantas kiranya mengetahui nama hamba yang hina ini” (Komandoko, hlm 49).

Selanjutnya pada kutipan nomor (415), yang berbunyi:

“Jagat Pramudita! Tak bisakah engkau menghentikan panggilan Gusti Ayu padaku? Aku bukan Dewata Agung yang bisa menetapkanmu untuk berkasta tertentu dan keyakinan tertentu. Aku hanya wanita biasa! Untuk engkau ketahui, sebelum aku menikah dengan Kakang Resi Girinata, aku hanyalah wanita sudra bernama Astia yang berasal dari desa Pangkur! Lantas, apa yang salah dengan status kastamu?” (Komandoko, hlm 49).

Setelah si Pemuda itu mendengar kisah yang sebenarnya dari pengakuan Ken

Endok, ia mulai menebarkan sebuah senyuman manis padanya. Ken Endok pun merasa senang setelah melihat senyuman si Pemuda yang kemudian ia memanggil pemuda dengan sebutan Gajah Para, yang artinya sahabat yang menggembirakan. Hal itu dapat dilihat kembali pada kutipan nomor (416), yang berbunyi:

180 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

“Si Pemuda kembali menatap wajah Ken Endok diiringi senyum menawannya. “Sungguh bahagia dan beruntungnya aku bisa mengenal wanita sebaik engkau, Astia. Amatlah berharga pengalaman yang bisa kupetik dari kemuliaan sifat dan sikapmu. Untuk engkau ketahui, namaku…..” (Komandoko, hlm 50).

Kemudian pada kutipan nomor (417), yang berbunyi:

“Ssst!” Ken Endok mendadak meletakkan jari telunjuknya di tengah-tengah bibir mungilnya, meminta si Pemuda tak melanjutkan ucapannya. “Bolehkah aku memberimu sebutan nama istimewa yang menjadi awal hubungan persahabatan di antara kita? Nama istimewamu adalah….. Gajah Para! Ya, Gajah Para! Makna nama istimewamu adalah sahabat untuk menggembirakan hati. Engkau sungguh-sungguh Gajah Para bagiku. Semoga engkau menyukai nama itu!” (Komandoko, hlm 50).

Dari kutipan yang telah disebutkan di atas, telah disebutkan bahwa perbincangan antara Ken Endok dan Gajah Para akan membawa hubungan mereka ke depannya akan semakin akrab. Terlihat sangat jelas, pada kutipan (418) yang berbunyi:

“Ken Endok dan Gajah Para tertawa bersamaan. Mencair kekikukan di antara mereka, berganti kecerahan. Laju kerbau penarik pedati yang lambat itu terasa sangat cepat bagi dua hati yang mulai terikat dalam sebuah persahabatan. Tanpa dipisahkan oleh kasta dan juga keyakinan. Hanya berlandaskan persamaan selaku sesama manusia yang sama-sama menghuni marcapada. Persahabatan yang erat bisa menyatukan mereka dalam sebuah hubungan percintaan, jika mereka terus mengumbar rasa suka di antara keduanya. Dan, tampaknya bibit-bibit ke arah itu mulai terbuka…” (Komandoko, hlm 50- 51).

Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, sama sekali tidak disebutkan tentang bagaimana penceritaan antara Ken Endok dan Gajah Para secara mendetail, apalagi mengisahkan hubungan mereka secara sembunyi-sembunyi. Dalam Tafsir Sejarah

Nagarakretagama tidak menguaknya sama sekali.

4.8 Terjalinnya Cinta Terlarang (Antara Ken Endok dan Gajah Para)

Pada sub judul berikut ini, akan ditunjukkan bagaimana kedekatan hubungan antara Ken Endok dengan Gajah Para. Cinta terlarang di antara keduanya pun akan diuraikan pada uraian berikut. Dikisahkan, kedekatan hubungan antara Ken Endok dan

181 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Gajah Para semakin akrab. Kedekatan di antara mereka menjadi buah bibir dan cibiran dari segenap masyarakat yang menghanguskan telinga keduanya. Bisik-bisik jahat merebak, praduga dari para tetangga pun berbaur dengan fitnah dan dusta. Sementara itu,

Ken Endok dan Gajah Para, tidak ambil pusing dengan segala isu-isu yang mulai merebak. Mereka tetap saja mengakrabkan diri, seolah tidak peduli dengan semua bisik- bisik yang tertuju pada mereka. Bahkan, hubungan mereka semakin mesra. Setiap pagi

Ken Endok tidak langsung menuju Pura Agung, melainkan ke rumah Nyi Colok (ibu

Gajah Para) terlebih dulu. Dengan pedati milik Gajah Para, ia akan mengantarkan Ken

Endok menuju Pura Agung. Selama Ken Endok melakukan puja bhakti, Gajah Para akan menunggu di luar pura, kemudian mengantarkan Ken Endok kembali ke Padepokan

Girilaya. Resi Girinata mengetahui bisik-bisik rahasia yang tidak menyenangkan itu.

Mata waspadanya jelas menangkap perubahan yang sangat besar pada perilaku istrinya.

Ken Endok kini terlihat makin berseri-seri wajahnya, sikapnya cerah-ceria laksana sinar

Sang Surya tanpa halangan kumpulan awan (Komandoko, hlm 54-55).

Bayangan pada peristiwa mendebarkan ketika ia dibopong Gajah Para di tengah hujan lebat, menimbulkan perasaan aneh yang terus berkecamuk di dalam hatinya. Sangat sulit ia hapus dari ingatannya. Ingin ia mengulangnya, ingin ia merasakan debar aneh itu kembali. Berduaan dengan Gajah Para adalah usahanya untuk melestarikan debar aneh yang dirasakannya itu. Jika memungkinkan, ia tidak ingin ada orang ketiga yang menyertainya ketika berduaan dengan Gajah Para. Sang Resi Gurursi yang telah menangkap kejanggalan atas sikap istrinya ini, lalu menyuruh salah satu muridnya untuk mengikuti ke mana pun Ken Endok pergi, tentu secara sembunyi-sembunyi. Tanpa mengetahui adanya pengawasan secara sembunyi-sembunyi, Ken Endok tetap menjalin

182 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

persahabatan dengan Gajah Para. Bahkan, hubungan mereka semakin akrab dan lebih terbuka. Kepada Gajah Para, Ken Endok menceritakan apa pun permasalahan yang dialaminya, termasuk duka yang dialaminya selama ia menjadi istri Resi Girinata. Ketika mereka berangkat menuju Pura Agung, kerbau dan kayu-kayu pedati menjadi saksi curahan hati Ken Endok pada Gajah Para. Berikut ini adalah kutipan percakapan yang menunjukkan curahan hati Ken Endok pada Gajah Para.

(419) “Jadi, benarkah engkau masih perawan suci meski telah sepuluh tahun berumah tangga dengan Yang Suci Gurursi?” Gajah Para bertanya dengan keheranan (Komandoko, hlm 59). (420) “Benar Kakang!”, jawab Ken Endok yang tak lagi memanggil nama melainkan Kakang. “Berkali-kali aku telah berusaha meminta, namun suamiku tak juga memberi. Suamiku tampaknya sama sekali tak tertarik pada diriku! Lalu, apa yang harus aku lakukan, Kakang?” (Komandoko, hlm 60). (421) “Bersabarlah Astia! Mohonlah kepada Dewata Agung agar diberi-Nya jalan pemecahan atas masalah pelikmu itu, Astia” (Komandoko, hlm 60). (422) “Kakang, nistakah seorang wanita yang meminta digauli suami sahnya sendiri?” (Komandoko, hlm 61). (423) “Tidak Astia! Tidak ada yang nista dalam hal itu. Itu sebuah kewajaran, laksana wajarnya tanah tersiram air hujan. Wanita tidak disebut nista perangainya jika meminta hal itu pada suaminya” (Komandoko, hlm 61). (424) “Kakang, kuminta engkau jujur menjawab!”, kejar Ken Endok lagi. “Sayangkah engkau kepadaku seperti sayangnya seorang lelaki terhadap perempuan? Jawablah dengan jujur, Kakang!” (Komandoko, hlm 61). (425) “Gagap Gajah Para makin menjadi. Sungguh sulit menjawab pertanyaan sangat sederhana itu. Dan, pada akhirnya Gajah Para pun menjawab, “Aku …., aku sayang padamu, Astia” (Komandoko, hlm 62). (426) “Seperti halnya rasa sayang antara laki-laki dan perempuan?” tanya Ken Endok kembali (Komandoko, hlm 62). (427) “Ya!”, jawab Gajah Para (Komandoko, hlm 62). (428) “Syukurlah”, kelegaan nampak di wajah Ken Endok. Makin berbinarlah ia dengan rona kecantikan yang terbiaskan dari kelegaan hati itu. “Untuk engkau ketahui, aku sangat sayang padamu, Kakang! Aku mencintaimu, Kakang! Rasa cintaku kian tumbuh, sejak hujan deras mempertemukan kita pertama kali” (Komandoko, hlm 62). (429) “Aku juga mencintaimu, Astia”, terbukalah kata hati Gajah Para yang sesungguhnya (Komandoko, hlm 62).

183 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Setelah menyimak kutipan percakapan nomor (419) hingga nomor (429), terlihat dengan jelas jika Ken Endok telah mencurahkan segala isi hatinya kepada Gajah Para.

Gajah Para sungguh terkejut bercampur rasa heran, setelah mendengar pengakuan Ken

Endok, bahwa dirinya masih tetap perawan suci, walaupun statusnya sekarang sudah bersuamikan Sang Resi Gurursi, dan, yang tidak kalah menghebatkan lagi, Ken Endok memiliki rasa sayang dan rasa cinta yang besar kepada Gajah Para, padahal pada kenyataannya Ken Endok telah memiliki seorang suami. Ternyata perasaan yang sama itu pun juga dirasakan oleh Gajah Para. Hal tersebut, dapat dilihat kembali pada kutipan nomor (424), yang berbunyi:

“Kakang, kuminta engkau jujur menjawab!”, kejar Ken Endok lagi. “Sayangkah engkau kepadaku seperti sayangnya seorang lelaki terhadap perempuan? Jawablah dengan jujur, Kakang!” (Komandoko, hlm 61).

Pada kutipan nomor (428), yang berbunyi:

“Untuk engkau ketahui, aku sangat sayang padamu, Kakang! Aku mencintaimu, Kakang! Rasa cintaku kian tumbuh, sejak hujan deras mempertemukan kita pertama kali” (Komandoko, hlm 62).

Kemudian, pada kutipan nomor (), yang berbunyi:

“Aku juga mencintaimu, Astia!”, terbukalah kata hati Gajah Para yang sesungguhnya (Komandoko, hlm 62).

Perkataan Ken Endok sungguh mengejutkan bagi Gajah Para. Sebagai laki-laki normal, Gajah Para sesungguhnya sangat tertarik dengan kebaikan perilaku, kecantikan, kemolekan tubuh Ken Endok. Namun, ia tidak berani melanggar susila. Ia berusaha kuat memegang teguh ajaran Sang Begawan Agung Siddartha Gautama. Ia tidak ingin mengotori kesucian dirinya dengan perbuatan tercelanya itu. Ia sangat takut, dikutuk oleh

Dewata Agung jika ia semakin jauh mencintai istri Yang Suci Gurursi itu.

184 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, tidak dijelaskan bagaimanakah jalannya penceritaan antara hubungan Ken Endok dengan Gajah Para itu. Tafsir Sejarah

Nagarakretagama tetap menyebutkan bahwa Ken Endok adalah istri sah bagi Gajah Para, yang nantinya harus berpisah karena larangan Dewa Brahma agar mereka tidak bersatu kembali.

4.9 Peristiwa Keji di Pura Agung

Pada sub judul berikut ini, akan ditunjukkan tentang suatu kejadian tragis yang menimpa diri Ken Endok. Suatu peristiwa yang sungguh memilukan dan tidak disangka- sangka sebelumnya. Dengan adanya kejadian keji di Pura Agung, sungguh membuat diri

Ken Endok semakin tersudut, fitnah-fitnah keji semakin berdatangan saja, baik itu diperuntukkan bagi Ken Endok, Gajah Para, serta nama baik Sang Resi ini pun menjadi tercemar.

Dikisahkan, Ken Endok membeli setanggi untuk keperluan puja bhakti dari seorang pandhita. Ia tidak terlalu memperhatikan wajah sang pandhita dan juga setanggi yang dibelinya yang ternyata berbeda dari biasanya. Setanggi itu lebih kecil, namun ketika dibakar baunya jauh lebih harum dari biasanya. Bau setanggi menyebar dan harum sekali. Ken Endok yang tengah berkonsentrasi tinggi melakukan puja bhakti, mencium aroma harum itu. Konsentrasinya sedikit buyar. Bau setanggi itu sangat menusuk, membuatnya mendadak didera rasa pusing dan mengantuk. Meski Ken Endok mencoba bertahan, tidak kuat pula ia akhirnya. Ia rebah, terkulai lemah di lantai pura dan Ken

Endok pun tertidur. Sang pandhita penjual setanggi menghentikan bacaan mantranya.

Dengan gerak perlahan dan sikap berhati-hati, ia menggeser tubuh Ken Endok ke tempat

185 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

tersembunyi di bagian dalam pura. Ia pun berlagak kembali meneruskan bacaan mantranya setelah memastikan tidak ada orang yang melihat kelakuan busuknya. Gajah

Para yang menunggu di halaman pura menjadi keheranan, karena tidak biasanya Ken

Endok membutuhkan waktu yang lama ketika melakukan puja bhakti. Beberapa lama ditunggunya lagi, Ken Endok tidak juga tampak. Penasaran di hatinya pun muncul.

Ditinggalkannya pedati miliknya dan bergegas melihat ke dalam pura. Tidak dilihatnya

Ken Endok di dalam pura, yang dilihatnya hanyalah seorang pandhita yang tengah membaca mantra. “Ki Sanak,” sang pandhita menghentikan bacaannya dan berujar kepada Gajah Para. “Tunggulah di tempat itu! Duduklah, sebentar lagi orang yang engkau tunggu akan selesai dengan hajatnya”. Gajah Para terpaksa menurut. Ia duduk bersila di atas lantai pura. Bau harum setanggi membuat sesak napasnya. Beberapa lama kemudian ia pun telah terkulai lemas dan tertidur (Komadoko, hlm 63-64).

Pada kutipan berikut ini akan ditunjukkan tentang bagaimanakah kelakuan bejat

Sang Pandhita yang dilakukannya terhadap Ken Endok.

(430) “Peristiwa keji di Pura Agung terjadi. Jagat Pramudita! Sang Pandhita ternyata mempunyai maksud tercela terhadap Ken Endok. Ia bergegas mendekati Ken Endok, menyingkap kain penutup tubuh Ken Endok dan merenggut paksa kegadisan Ken Endok ketika kesadarannya tengah terbang ke langit” (Komandoko, hlm 64). (431) “Hanya sekejap peristiwa itu terjadi. Dalam hitungan menit, Ken Endok sudah tak lagi utuh selaku perawan. Kegadisannya terenggut ketika ia tak sadarkan diri, dan sang pandhita bejat moral itu meninggalkan benih-benih kelelakiannya di rahim Ken Endok. Selesai dengan perbuatan tercelanya, sang pandhita menarik tubuh Ken Endok dan menjajarkan dengan tempat rebahnya Gajah Para. Ia pun kembali membaca mantra, seolah tak pernah melakukan perbuatan nista. Beberapa saat kemudian, ia pergi begitu saja meninggalkan Ken Endok dan Gajah Para di Pura Agung itu ketika mereka tak sadarkan diri” (Komandoko, hlm 64-65). (433) “Ken Endok dan Gajah Para terbangun hampir bersamaan. Ken Endok merasakan sakit di bagian kewanitaannya. Sakit yang tidak wajar. Ia sangat terkejut. Namun, sejenak kemudian menghilang rasa

186 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

terkejutnya dan berganti kelegaan. Ia mengerti dan menyadari, rasa sakit pada kewanitaannya itu karena ia telah kehilangan keperawanan. Ia sangat lega ketika mendapati Gajah Para berada di sampingnya” (Komandoko, hlm 65).

Pada kutipan nomor (430) sampai nomor (433), ditunjukkan bahwa peristiwa keji di Pura Agung begitu nista bagi seorang pandhita yang dianggap suci. Kejadian yang sesungguhnya, tidak pernah diketahui oleh Ken Endok sedikit pun. Ia menyangka bahwa

Gajah Para yang telah merenggut keperawanan dan menyetubuhinya ketika ia tidak sadarkan diri. Namun, pada kenyataan yang sebenarnya, sang pandhita itulah yang telah menyengsarakan diri Ken Endok dan menanamkan benih kelakiannya pada rahim si jelita, desa Pangkur itu. Gajah Para di sini adalah korban serta kambing hitam dari peristiwa tersebut. Hal itu, dapat dilihat lagi pada kutipan nomor (430), yang berbunyi:

“Peristiwa keji di Pura Agung terjadi. Jagat Pramudita! Sang Pandhita ternyata mempunyai maksud tercela terhadap Ken Endok. Ia bergegas mendekati Ken Endok, menyingkap kain penutup tubuh Ken Endok dan merenggut paksa kegadisan Ken Endok ketika kesadarannya tengah terbang ke langit” (Komandoko, hlm 64).

Kemudian pada kutipan nomor (431), yang berbunyi:

“Hanya sekejap peristiwa itu terjadi. Dalam hitungan menit, Ken Endok sudah tak lagi utuh selaku perawan. Kegadisannya terenggut ketika ia tak sadarkan diri, dan sang pandhita bejat moral itu meninggalkan benih-benih kelelakiannya di rahim Ken Endok” Selesai dengan perbuatan tercelanya, sang pandhita menarik tubuh Ken Endok dan menjajarkan dengan tempat rebahnya Gajah Para. Ia pun kembali membaca mantra, seolah tak pernah melakukan perbuatan nista. Beberapa saat kemudian, ia pergi begitu saja meninggalkan Ken Endok dan Gajah Para di Pura Agung itu ketika mereka tak sadarkan diri” (Komandoko, hlm 64-65).

Ketika Ken Endok tersadar, ia begitu bahagia karena mendapati Gajah Para berada di samping tidurnya. Ken Endok mengira, jika Gajah Paralah yang telah mengambil keperawanan saat ia sedang tertidur. Hal tersebut, dapat dibuktikan pada kutipan nomor (433), yang berbunyi:

187 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

“Ken Endok dan Gajah Para terbangun hampir bersamaan. Ken Endok merasakan sakit di bagian kewanitaannya. Sakit yang tidak wajar. Ia sangat terkejut. Namun, sejenak kemudian menghilang rasa terkejutnya dan berganti kelegaan. Ia mengerti dan menyadari, rasa sakit pada kewanitaannya itu karena ia telah kehilangan keperawanan. Ia sangat lega ketika mendapati Gajah Para berada di sampingnya” (Komandoko, hlm 65).

Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama tidak disebutkan jika Ken Endok telah disetubuhi oleh seorang Pandhita. Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, menyebutkan bahwa Ken Endok berkasih mesra dengan Bhatara Brahma di Ladang Lalateng, yang kemudian Bhatara Brahma menanamkan benih ke dalam rahim Ken Endok. Hal itu, dapat dilihat pada kutipannya berikut ini.

(434) “Bhatara Brahma bertemu dengan Ken Ndok di Ladang Lalateng. Pertemuan rahasianya itu berlanjut pada tahap yang lebih intim. Dengan kata lain, Dewa Brahma akan berniat menanamkan benih yang segera menitis dalam rahim Ken Ndok. Kemudian beliau berpesan, agar Ken Ndok jangan berkumpul lagi dengan suaminya. Larangan Dewa Brahma itu mengakibatkan perpisahan Ken Ndok dengan suaminya, yakni Gajah Para. Akhirnya, Ken Ndok pulang ke desa Pangkur dan Gajah Para kembali ke desa Campara” (Muljana, hlm 90).

4.10 Kehamilan Ken Endok

Kehamilan Ken Endok dalam Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel tidak dibuahi oleh Bhatara Brahma, melainkan oleh Sang Pandhita yang bertemu Ken Endok ketika berada di Pura Agung. Tidak hanya itu, yang lebih menganehkannya lagi, Ken Endok menyakini bahwa anak yang dikandungnya adalah hasil hubungannya dengan Gajah

Para. Namun, Gajah Para di sini tidak merasa jika ia telah menyetubuhi Ken Endok pada saat Ken Endok tidak sadarkan diri. Kehamilan Ken Endok sungguh mengejutkan bagi

Sang Resi Gurursi. Harapannya telah hancur dan beliau sangat sakit hati terhadap istrinya ini. Namun, tidak bagi Ken Endok, ia sangat bahagia karena telah dikaruniai seorang bayi oleh Dewata Agung. Ken Endok sangat senang karena ia menganggap anak yang

188 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

dikandungnya itu merupakan siraman kelelakian Gajah Para yang telah bersemayam di dalam rahimnya. Hal tersebut di atas akan dilihat dalam beberapa kutipan berikut ini.

(435) “Lebih dari sebulan dalam masa hukuman pingit, Ken Endok mendapati keanehan dalam tubuhnya. Ia kerap merasa mual dan muntah tanpa alasan yang jelas. Ia kerap ingin makan sesuatu yang biasanya membuat gigi ngilu. Payudaranya terasa gatal dan nampak membesar, dan Jagat Pramudita . . . datang bulannya tak lagi tiba! Oh, Dewata Nan Agung!” (Komandoko, hlm 72). (436) “Memikirkan kejanggalan yang terjadi pada tubuhnya dan juga menahan gejolak rindunya untuk bertemu Gajah Para, membuat Ken Endok jatuh sakit” (Komandoko, hlm 72). (437) “Tak urung Resi Girinata cemas melihat jatuh sakitnya Ken Endok. Ia mengutus seorang muridnya untuk memanggil dukun perempuan yang tinggal tak jauh dari padepokan Girilaya” (Komandoko, hlm 73). (438) “Gusti Ayu tengah mengandung,” dukun perempuan itu meneruskan ucapannya tanpa terpengaruh sikap Sang Resi. “Seorang anak pewaris kemuliaan perangai Yang Suci Gurursi telah tumbuh nyaman di dalam kandungan Gusti Ayu. Hamba ucapkan selamat sekali lagi dan Hamba turut berdoa kepada Dewata Agung, semoga Dewara Nan Agung memberi keselamatan hingga tibanya anak paduka di marcapada ini” (Komandoko, hlm 73). (439) “Resi Girinata keras terhenyak, dadanya amat perih laksana tertombak- tombak. Ia memang dikenal selaku lelaki berperangai mulia, Yang Suci, yang petuah dan wejangannya mampu mengurai berbagai masalah yang tengah dihadapi seseorang. Namun, menghadapu masalah yang terjadi pada dirinya sendiri, tak kuat pula ia menanggungnya. Kejadian tersebut teramat sulit untuk bisa diterima dengan kesadarannya selaku manusia” (Komandoko, hlm 73-74).

Setelah membaca kutipan nomor (435) hingga (439) dengan jelas menunjukkan, bahwa Ken Endok yang tengah hamil sangat membuat Sang Resi sakit hati dan kecewa.

Sang Resi sesungguhnya bisa menyerahkan masalah yang dialami istrinya kepada

Pemangku Adat. Ken Endok pasti akan dijatuhi hukuman bakar hidup-hidup jika diungkapkannya, bahwa istrinya itu telah melakukan perbuatan tercela dengan lelaki lain hingga hamil. Namun, sepertinya hal itu tidak dilakukan oleh Sang Resi, mengingat ia sangat mencintai Ken Endok. Sebagai manusia, Sang Resi merasa gagal mengarahkan

189 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

istrinya pada jalan kebenaran. Sampai kapan pun hati Sang Resi akan tetap terluka dan perih di hatinya.

Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, dengan jelas menyebutkan bahwa yang menanam benih pada rahim Ken Endok adalah Bhatara Brahma. Bhatara Brahma memerintahkan agar Ken Endok tidak berkumpul lagi dengan suaminya, Gajah Para.

Larangan Dewa Brahma itu mengakibatkan perpisahan Ken Ndok dengan suaminya, yakni Gajah Para. Akhirnya, Ken Ndok pulang ke desa Pangkur dan Gajah Para kembali ke desa Campara. Lima hari kemudian, Gajah Para meninggal dunia, karena ia melanggar larangan Dewa Brahma dan panasnya anak yang masih dalam kandungan Ken Ndok.

4.11 Kebencian Ken Endok terhadap Gajah Para

Kebencian Ken Endok terhadap Gajah Para seketika muncul karena Gajah Para tidak mau mengakui jabang bayi yang dikandung oleh Ken Endok. Bagi Gajah Para, ia tidak pernah merasa menghamili Ken Endok, apalagi melakukan perbuatan tidak senonoh pada saat kejadian di Pura Agung. Namun di sini, Ken Endok begitu yakin bahwa yang menghamili dirinya adalah Gajah Para. Padahal, pada kenyataan yang sesungguhnya,

Sang Pandhita bejat moral itulah yang telah menyengsarakan nasib Ken Endok, sampai pada akhirnya ia harus kehilangan keperawanan dan mengandung jabang bayi yang tidak tahu siapa ayah kandungnya. Hal tersebut, dapat dibuktikan dalam kutipan percakapan antara Ken Endok dan Gajah Para sebagai berikut.

(441) “Kakang,” suara Ken Endok mesra di dekat telinga Gajah Para. “Bawalah aku pergi secepatnya, sejauh-jauhnya! Jangan biarkan padepokan itu menjadi penjara yang membuatku sengsara!” (Komandoko, hlm 76). (442) “Ya sayangku, akan kupikirkan caranya dulu. Semua perlu kematangan”, ujar Gajah Para (Komandoko, hlm 77).

190 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(443) “Tak ada waktu untuk berpikir, Kakang! Selekas mungkin kita harus bergerak, sebelum semuanya terlambat! Lagipula, Dewata Agung telah menyatukan kita, mengekalkan penyatuan antara jiwa kita. Benihmu telah berbuah di rahimku, Kakang! Anak kita telah bersemayam dalam kandunganku!” desah Ken Endok (Komandoko, hlm 77). (444) “Aku…, aku… tak merasa telah…, telah melakukan hal itu, sayang. Sungguh, aku tak merasa!” (Komandoko, hlm 77). (445) “Kakang!” kekecewaan Ken Endok bertambah. “Kenapa Kakang berbicara seperti itu? Kenapa Kakang menampik perbuatan Kakang sendiri? Kita telah melakukannya, Kakang! Meski agak kusayangkan kenapa Kakang melakukannya ketika aku tak sadarkan diri, namun aku cukup mengerti. Setelah benih ini menjelma menjadi bayi di dalam kandunganku ini. Aku bahagia sekali, Kakang! Tapi, kenapa Kakang bersikap demikian?” (Komandoko, hlm 76-77). (446) “Sayang, Demi Dewata Agung Nan Mulia, sungguh, aku tak pernah merasa melakukan hal itu” ujar Gajah Para menjelaskan (Komandoko, hlm 78). (447) “Sudahlah, Kakang! Tak perlu kita berdebat lagi! Cukup engkau dengar penjelasanku ini! Dengarkan Kakang! Jika engkau tak juga mengakui bayi di dalam kandunganku ini darah dagingmu, maka anak ini tak lain adalah anak Dewa Brahma! Bahwa, Dewa Brahma sajalah yang telah menghamiliku!”, amarah Ken Endok telah memuncak, kemudian ia pergi meninggalkan Gajah Para (Komandoko, hlm 79).

Pada kutipan percakapan nomor (441) sampai (447), telah jelas disebutkan bahwa

Ken Endok sangat kecewa atas sikap Gajah Para yang tidak mau mengakui perbuatannya dan jabang bayi yang ada dalam kandungan Ken Endok. Ken Endok yang begitu terluka, tidak ingin lagi mengurungkan niat. Betapa pun kuatnya Gajah Para untuk mencegahnya, jauh lebih kuat niat Ken Endok untuk bertolak. Ia tidak ingin lagi bersatu dengan Gajah

Para yang menurutnya tidak lebih pengecut dibandingkan seekor tikus. Ia tidak ingin kembali kepada suaminya yang hanya menyediakan penderitaan berkepanjangan dalam hidup. Ia ingin pergi, membawa pergi bayi dalam kandungannya, yang diakuinya selaku titisan Dewa Brahma. Secara tegas, ia telah menyebutkan pada orang-orang yang menanyakan tentang kehamilannya, bahwa bapak janin yang dikandungnya bukanlah

Yang Suci Gurursi, Gajah Para, atau siapa pun, melainkan Dewa Brahma (Komandoko, hlm 81).

191 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, tidak disebutkan adanya rasa kebencian yang ditunjukkan oleh Ken Endok terhadap Gajah Para.Tafsir Sejarah Nagarakretagama, hanya menyebutkan bahwa Gajah Para meninggal dunia, karena ia melanggar larangan

Dewa Brahma dan panasnya anak yang masih dalam kandungan Ken Ndok (Muljana, hlm 90).

4.12 Arok bukanlah Putera Dewa

Dalam Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel, djelaskan bahwa Arok bukanlah putera Dewa Brahma, melainkan ia terlahir karena adanya pemerkosaan Sang Pandhita yang dilakukannya terhadap Ken Endok di Pura Agung. Ken Endok yang sampai saat ini tetap mengira, bahwa Gajah Para yang telah menggaulinya pada saat ia tertidur. Gajah

Para telah menyakinkan jika dirinya tidak pernah melakukan perbuatan yang tidak senonoh itu kepada Ken Endok. Gajah Para pun menduga-duga bahwa Sang Pandhita itulah yang telah melakukan perbuatan keji. Namun, Ken Endok tetap tidak percaya jika

Sang Pandhita tega melakukan hal yang demikian. Ken Endok, beranggapan Sang

Pandhita yang suci dan terhormat, tidak akan mungkin melakukan perbuatan hina seperti itu. Tetapi, pada kenyataan yang sebenarnya, Sang Pandhita tersebut yang telah merenggut keperawanan Ken Endok, dan menanamkan benih kelelakiannya pada rahim

Ken Endok, sewaktu ia tidak sadarkan diri. Setelah menyelesaikan perbuatan kotornya,

Sang Pandhita segera membaringkan tubuh Gajah Para yang juga tidak sadarkan diri di samping tubuh Ken Endok, seolah-olah Gajah Paralah pelakunya.

Ken Endok merasa dirinya telah hancur, telah kotor. Ia tidak dapat menjaga kesucian atas dirinya. Ia pun segera meninggalkan Gajah Para dan tidak ingin lagi

192 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

kembali ke Padepokan Girilaya. Dengan hati yang terluka, Ken Endok menyepi ke daerah tersembunyi. Untuk sementara waktu, ia tidak ingin kembali ke desa Pangkur atau tempat-tempat lain yang dikenalnya. Keberuntungan masih menaunginya. Seorang dukun pijat perempuan mengulurkan tangan untuk membantunya. Tidak mempersoalkan membuncit perutnya berisi janin. Ia memberikan tempat tinggal, tempat tidur, makan, dan kehangatan kasih sayang. Si dukun pijat bersedia mengangkat Ken Endok selaku anak, sedikit keberuntungan bagi Ken Endok. Ia telah tegas menyebutkan pada orang-orang yang menanyakan perihal kehamilannya, bahwa bapak janin yang dikandungnya bukan

Yang Suci Gurursi, Gajah Para, atau siapa pun juga, melainkan Dewa Brahma. Orang- orang yang bertanya padanya telah menganggap, jika Ken Endok telah kehilangan kewarasan atau putus asa karena penolakan Gajah Para mengakui si bayi tersebut selaku anaknya (Komandoko, hlm 81-82).

Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, menyebutkan bahwa Arok adalah putera

Bhatara Brahma. Hal demikian, dapat dibuktikan pada kutipan berikut ini.

(448) “Bhatara Brahma bertemu dengan Ken Ndok di Ladang Lalateng. Pertemuan rahasianya itu berlanjut pada tahap yang lebih intim. Dengan kata lain, Dewa Brahma akan berniat menanamkan benih yang segera menitis dalam rahim Ken Ndok. Kemudian beliau berpesan, agar Ken Ndok jangan berkumpul lagi dengan suaminya. Larangan Dewa Brahma itu mengakibatkan perpisahan Ken Ndok dengan suaminya, yakni Gajah Para. Akhirnya, Ken Ndok pulang ke desa Pangkur dan Gajah Para kembali ke desa Campara. Lima hari kemudian, Gajah Para meninggal dunia, karena ia melanggar larangan Dewa Brahma dan panasnya anak yang masih dalam kandungan Ken Ndok. Setelah sampai bulannya tiba, Ken Ndok melahirkan bayi laki- laki yang diberi nama Ken Arok” (Muljana, hlm 90).

Hal lain yang menunjukkan jika Arok adalah putera Dewa Brahma, ketika Arok berusaha melarikan diri meninggalkan desa Kabalon. Segenap penduduk desa

193 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

mengejarnya, masing-masing bersenjatakan golok ataupun palu. Tiba-tiba terdengar suara dari langit kemudian berkata seperti berikut ini.

(449) “Jangan kau bunuh orang itu! Ia adalah puteraku! Belum selesai tugasnya di dunia!”, ucap Dewa Brahma (Muljana, hlm 92).

Pada kutipan nomor (449), dijelaskan bahwa perkataan Dewa Brahma begitu menggetarkan bagi orang-orang yang mendengarnya. Setelah mendengar suara itu, para pengejar Ken Arok berhenti kemudian bubar.

4.13 Arok Berandal yang Baik

Dalam Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel, disebutkan bahwa Arok adalah sesosok pria yang tangguh, bersahaja, dan juga seorang berandal yang baik. Semenjak kecil, ia sudah membenci segala bentuk penindasan yang dilakukan orang-orang kaya terhadap orang-orang miskin. Dikisahkan dalam asuhan serta perawatan Ki dan Nyi

Lembong, si bayi temuan yang diberi nama Temon itu tumbuh besar. Asuhan yang penuh cinta dan kasih sayang, kemanjaan, dan keistimewaan dari keduanya membentuk Temon menjadi anak yang nakal. Ia bandel sekali, maunya menang sendiri, suka memaksa kehendaknya, pantang menerima kekalahan, serta pantang berlaku cengeng. Ia juga dikenal pemberani dan seolah tak kenal kata menyerah. Ia benar-benar pendobrak sejati, hingga julukan dewasanya kelak, Ken Arok, yaitu gambaran yang benar dan sesungguhnya sesuai dengan perilaku dirinya. Temon kerap bergelut dan berkelahi. Tidak hanya melawan anak-anak sebaya dengannya saja, anak yang lebih besar badannya atau lebih tua umurnya pun tak membuat nyali Temon menciut. Ia tetap gigih meraih kemenangan. Kerap ia pulang ke rumah dengan wajah biru-biru lebam pada wajah dan tubuhnya, namun tidak sekalipun ia terdengar merintih atau mengaduh. Sejak masih

194 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

anak-anak, ia telah menunjukkan sikap selaku petarung sejati. Naluri bertarungnya tinggi.

Pintar dan cerdik ia menggunakan kepalan tangan serta tendangan kaki dalam berkelahi.

Sangat keras pula hentakan pukulan maupun tendangannya (Komandoko, hlm 92-93).

Sejak masih berusia dini, Temon paling benci melihat penindasan manusia atas manusia. Dengan gagah berani, ia membela yang lemah dan menghantam si penindas.

Ketika musuhnya menyatakan takluk padanya, ia akan memperlakukan musuhnya itu selaku sahabat. Dengan cara demikian, membuat dirinya tidak banyak mempunyai musuh melainkan banyak kawan. Temon pun telah menunjukkan kelebihan dan kepintarannya.

Kecerdasan dan kecerdikannya jauh di atas rata-rata anak seusianya. Daya ingatnya tajam. Jika ia diberi tahu perihal sesuatu, maka sesuatu itu seolah cepat menempel dan sulit untuk terlepas dari ingatannya. Tampaknya titisan Dewa Brahma memang telah dipersiapkan Dewata Agung untuk ia menjadi seorang pemimpin. Sejak kecil ia telah menunjukkan mutu kepemimpinannya, entah jadi apa ia kelak setelah dewasa. Mungkin ia akan menggantikan Yang Mulia Tunggul Ametung menjadi akuwu, atau bisa menjadi raja menggantikan Paduka Yang Mulia Sri Kretajaya. Bisa jadi demikian adanya, karena

Temon merupakan titisan Dewa Brahma, dari dalam mulutnya keluar cahaya aneh, seperti pertanda jika kelak ucapannya akan didengar dan dipatuhi orang banyak. Daya ingatnya juga luar biasa, laksana mendapat curahan langsung dari Hyang Ganesha. Sedari kecil daya tahan tubuhnya tampak mengagumkan. Ia akan menjadi kuat serta sakti mandraguna jika mendapat guru kanuragan yang hebat (Komandoko, hlm 93-94).

Disebutkan, bahwa Arok atau Temon ini pernah belajar di Padepokan Bapa

Tantripala, bersama sahabatnya Tita. Setelah menuntaskan belajarnya, Temon dan Tita kembali ke desa Sagenggeng. Mereka tidak bergegas berguru pada Dang Hyang Lohgawe

195 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

seperti yang disarankan Bapa Tantripala, tetapi menggembala kerbau. Namun, Temon selalu disergap rasa bosan. Tugas menggembala tidak dirasa cocok untuk dirinya, hingga ia dan Tita akan berniat untuk tinggal dan menguasai Ladang Sanja. Di Ladang Sanja inilah, Temon yang akan menjadi pemimpin atau penguasa Ladang Sanja dan Tita menjadi patihnya. Di tempat sepi itulah mereka tinggal, membangun istana sendiri, yang hanya terbuat dari bambu-bambu, atapnya terbuat dari jalinan daun rumbia, singgasananya terbuat dari potongan kayu-kayu hutan. Mereka hidup dengan bebas, tidak ada yang memerintah, serta tidak ada yang memaksa, yang dibutuhkan hanya makanan dan tidak perlu cemas kiranya mereka, karena hutan pun ternyata menyediakan segalanya. Jika lapar, tinggal memetik, mengambil, berburu kijang atau rusa, kemudian membakarnya.

Disebutkan pula, bahwa Temon sangat membenci perilaku Kretajaya yang selalu meminta upeti dari Tumapel. Temon pun sangat muak akan kelakuan busuk Tunggul

Ametung yang selalu doyan wanita-wanita perawan. Temon berniat ingin mengalahkan mereka semua dengan kekuatannya sendiri. Namun, Tita masih tampak ragu-ragu.

Sebenarnya, ia menyakini akan kecerdikan dan keberanian Temon. Namun, kekuatan

Kretajaya dan Tunggul Ametung masih terbilang tangguh, apalagi didukung prajurit- prajurit pilihan. Walaupun demikian, Temon tidak padam semangat. Ia terus berfikir dan mencari cara, bagaimana secara perlahan-lahan dapat menyingkirkan Kretajaya dan

Tunggul Ametung itu. Tiba-tiba bayangan Ki Lembong sejenak melintas di benak

Temon. Teringat ia pada ajaran bapak pungutnya ketika dulu mengambil harta orang- orang kaya bejat. Temon berencana akan mencegat orang kaya yang lewat di sekitar

Ladang Sanja. Harta mereka kemudian dijarah, sebagian hasil jarahan diberikan kepada

196 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

orang-orang miskin. Sebagian sisanya Temon dan Tita simpan. Mereka berdua hendak mempersenjatai diri. Uang hasil rampasan, akan dibelikan senjata dari empu-empu pembuat keris, tujuannya untuk membangun dan memperlengkapi kekuatan. Tak hanya itu, Temon dan Tita semakin memperbanyak kekuatan dengan merekrut para perampok, serta para pemuda yang juga membenci Kretajaya dan Tunggul Ametung. Beberapa remaja dan juga lelaki dewasa mendatangi Temon dan Tita. Mereka semua menyatakan diri bergabung dan menyatakan setuju serta membenarkan tindakan keduanya. Setelah kekuatan mereka telah tangguh, barulah mereka akan menjarah prajuri-prajurit Tumapel yang membawa upeti untuk Kadiri. Selain itu pula, Temon pun akan mengganti namanya menjadi Arok. Menurutnya, Arok adalah nama ia yang sesungguhnya. Nama pemberian

Dewata Agung sesuai bisikan Hyang Gaib yang diterima oleh Bango Samparan. Tita juga mengamini, jika nama Arok adalah nama yang pantas untuk Temon. Arok memang seorang pemimpin, pedobrak, dan pembangun. Dengan bergabungnya para pemuda dengan kelompok Arok, kekuatan pasukan Arok semakin baik. Tindakan mereka lebih berani, semakin luas wilayah yang tidak aman dari penjarahan mereka. Nama Arok dan kelompoknya menjadi momok yang menakutkan. Tita pun semakin yakin, pilihannya mengangkat Arok menjadi pemimpin adalah pilihan yang benar.

Dengan bertambahnya beberapa anggota, baik remaja maupun lelaki dewasa dalam kelompok Arok, maka Arok pun semakin membangkitkan semangatnya untuk menjarah harta orang-orang kaya yang bejat moral. Semakin gencar Arok dan kelompoknya untuk melakukan penjarahan tersebut. Terlebih-lebih setelah kekuatan kelompok Arok semakin bertambah. Arok tetap utuh mengendalikan kelompoknya, tetap didaulat menjadi pemimpin. Semua keputusannya didengar dan dipatuhi. Tidak ada

197 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

pembangkangan dan pengkhianatan, karena Arok menetapkan hukuman mati bagi mereka yang berani membangkang maupun berkhianat. Arok pun berniat meningkatkan tindakan rusuhnya dengan mencegat prajurit-prajurit Tumapel yang tengah membawa upeti ke Kadiri. Jika berhasil, maka upeti tersebut akan dibagikan terlebih dahulu kepada rakyat miskin, dan sisanya akan disimpan untuk keperluan kelompok Arok.

Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, dijelaskan bahwa Arok dan Tita adalah dua berandal yang sangat meresahkan masyarakat Tumapel. Kisahnya, setelah lulus dari padepokan tempat Ki Janggan, Arok dan Tita mondok di sebelah timur desa Siganggeng untuk menghadang para pedagang yang lewat. Namun, kenakalannya tidak berhenti sampai di situ saja, ia berani pula merampok dan merogol gadis di desa Kapundungan kemudian memperkosanya. Ken Arok menjadi perusuh yang menganggu keamanan wilayah Tumapel dan menjadi buruan Akuwu Tunggul Ametung. Arok lari dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Tiap tempat yang didatanginya menjadi tidak aman, namun ia selalu dapat lolos dari bahaya berkat perlindungan Bhatara Brahma (Muljana, hlm 91).

4.14 Pertemuan Arok dan Umang Dikisahkan Lebih Awal

Pada sub judul berikut ini, akan dijelaskan bagaimana awal petemuan Arok dan

Umang yang dikisahkan dalam novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel. Kisah pertemuan keduanya dapat dilihat dalam beberapa kutipan berikut ini.

(450) “Pandangan Arok tertuju pada perempuan remaja yang berdiri di bawah pohon, seraya menunggu ayahnya yang sedang memanjat pohon kelapa. Arok tersenyum, cantik juga wajah itu! Dari kejauhan ia telah merasakan kecantikannya, maka diam-diam ia bergerak mendekati si pemilik wajah cantik si gadis itu untuk kian menikmati” (Komandoko, hlm 142).

198 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(451) “Si lelaki tua telah turun ketika Arok keluar dari persembunyiannya seraya membentak, “Siapa kau?”. Dengan gerak cekatan si lelaki tua segera meraih sabit dari pinggangnya setelah sejenak diterpa kekagetan yang amat sangat” (Komandoko, hlm 142). (452) “Arok tersenyum, langkahnya semakin mendekat kemudian berkata, “Aku Arok!” (Komandoko, hlm 142). (453) “Jagat Batara! Engkau perampok keji itu rupanya!” si lelaki tua kembali disergap rasa terkejut. Tangannya kian bergetar menahan ketakutan untuk melawan perampok yang namanya menggetarkan bumi Tumapel” (Komandoko, hlm 142). (454) “Arok kembali tersenyum. Mendadak si gadis keluar dari perlindungan tubuh bapaknya. Ia langsung berjalan menuju Arok dan makin mendekati Arok. Arok menatap heran atas keberanian si gadis. Tiba- tiba, gadis itu berucap, “Akhirnya aku bertemu dengan mantan murid kebanggaan Bapa Guru Tantripala!” (Komandoko, hlm 142-143). (455) “Apa katamu?”, ucap Arok (Komandoko, hlm 143). (456) “Tak usah berlagak terkejut, Temon!” (Komandoko, hlm 143). (457) “Apa kau murid Bapa Guru Tantripala pula?” tanya Arok (Komandoko, hlm 143). (458) “Ya, namun hanya murid biasa. Telah keluar pula aku sebelum lulus. Beda jauh denganmu, murid istimewa kebanggaan Bapa Guru! Wahai, murid luar biasa cerdas laksana Hyang Ganesha, hendak kau apakan aku dan bapakku ini? Ayo titisan Brahma, hendak berlaku apa engkau pada kami?” (Komandoko, hlm 144). (459) “Sebentar”, Arok jadi kebingungan. “Kenapa tidak engkau selesaikan pendidikanmu pada Bapa Guru?” (Komandoko, hlm 144). (460) “Otakku terlalu bebal, Temon! Tidak sepertimu. Lagipula hilangnya ibuku membuat nafsu belajar jadi menghilang pula” (Komandoko, hlm 144). (461)“Gendhuk!” si lelaki tua berseru. Ia seperti mencegah anaknya tak meneceritakan masalah keluarganya (Komandoko, hlm 144). (462) “Biarkan saja, Bapa! Biarlah murid kebanggaan Bapa Tantripala ini tahu bagaimana keadaan keluarga kita! Setelah anjing-anjing Tumapel itu mengambil paksa ibuku!” (Komandoko, hlm 144). (463) “Ibumu telah diambil paksa oleh anjing-anjing Akuwu?” Arok tersentak (Komandoko, hlm 144). (464) “Ya! Anjing-anjing Akuwu itu membawa ibuku pergi dari kehidupan kami! Ah, sudahlah! Tak perlu engkau ketahui masalah keluargaku!” tegas jawaban si gadis (Komandoko, hlm 144).

Setelah membaca kutipan percakapan nomor (450) hingga (464), dijelaskan bahwa pertemuan Arok dan Umang terjadi karena unsur ketidak sengajaan. Pertama kali Arok melihat Umang, ia sudah cukup tertarik melihat paras cantik gadis itu. Setelah cukup lama berbincang, ternyata Umang dan Ayahandanya sedang terkena suatu musibah

199 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

yang begitu menyedihkan. Ibu kandung Umang telah diculik paksa oleh sekelompok prajurit Tumapel, kemudian diperkosa beramai-ramai. Hal ini, membuat hati lelaki tua itu beserta Umang sedih tidak terkira. Arok yang mendengar kisah Umang, menjadi iba dan ikut merasakan penderitaan yang dirasakan oleh Umang dan ayahnya. Kebencian Arok semakin menggeludak dan Arok pun semakin muak melihat perbuatan prajurit Tumapel tersebut, terlebih lagi pada Tunggul Ametung. Mereka semua lebih pantas jika disebut dengan sebutan anjing-anjing Tumapel.

Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, tidak disebutkan bagaimana pertemuan

Arok dengan Umang secara mendetail. Tafsir Sejarah Nagarakretagama hanya menyebutkan:

“Setelah menikahi Ken Dedes, Sang Amurwabhumi kemudian menikah untuk kedua kalinya dengan istri kedua yang bernama Ken Umang. Pernikahannya dengan Ken Umang, ia meperoleh empat anak juga, yakni: Panji Tohjaya, Panji Sudatu, Tuan Wregola, dan Dewi Rambi. Pada zamannya, seorang raja mempunyai lebih dari seorang isteri adalah hal yang biasa, baik pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang. Jadi tidak aneh, jika pernyataan pada Pararaton yang mengatakan bahwa Sri Rajasa mempunyai dua orang isteri yakni, Ken Dedes dan Ken Umang. Ken Dedes adalah isteri pertama, sedangkan Ken Umang adalah isteri mudanya” (Muljana, hlm 96).

4.15 Penokohan tentang Gagak Inget

Berbicara mengenai penokohan tentang Gagak Inget, dalam novel Ken Arok:

Banjir Darah di Tumapel disebutkan bahwa Gagak Inget adalah seorang Perwira

Tumapel, (orang kepercayaan Sang Akuwu Tunggul Ametung). Ia seorang Perwira yang sejatinya sangat membenci kelakuan busuk Tunggul Ametung dan Baginda Kretajaya.

Dijelaskan dalam sub judul ini, bahwa Gagak Inget nantinya akan menjadi sahabat bagi

Arok, serta melindungi Arok dari kejaran prajurit Tumapel. Kisahnya, setelah kejadian penghadangan perebutan upeti yang hendak dikirimkan ke Kadiri, Arok menjadi musuh nomor satu bagi Tunggul Ametung. Ke mana pun Arok pergi, prajurit Tumapel berusaha

200 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

mengejarnya. Tunggul Ametung menurunkan perintah khusus untuk menangkap Arok, hidup atau mati. Serasa tidak ada wilayah aman di Tumapel bagi Arok. Arok pun melarikan diri ke desa Sagenggeng, tapi prajurit Tumapel mengejarnya hingga Arok terpaksa lari menuju Rabut Gorontol. Tidak berapa lama ia di sana, ia harus bersembunyi sejenak di Wayang, dan seterusnya menuju Rabut Katu. Terus ia dikejar lagi, menujulah ia ke Jun Watu hingga tibalah ia di Lulumbang. Ia menuju rumah Gagak Inget, seorang perwira Tumapel yang nantinya akan menjadi sahabat Arok. Berikut ini adalah kutipan percakapan yang menunjukkan pertemuan Arok dengan Gagak Inget di kediamannya.

(465) “Telah gilakah engkau hingga berani datang ke tempatku ini?”, Gagak Inget tersentak mendapati kedatangan Arok di rumahnya. “Seharusnya engkau bersembunyi di hutan! Bukan di rumahku ini! (Komandoko, hlm 151). (466) “Sabarlah!”, Arok menghela napas. “Hutan-hutan di wilayah Tumapel kini bukan lagi tempat aman lagi tersembunyi bagiku. Anjing-anjing akuwu, maaf Inget, mereka terus memburuku!” (Komandoko, hlm 151). (467) “Tak perlu engkau meminta maaf, Arok! Hanya kusayangkan, sangat kusayangkan, kenapa engkau bersembunyi di rumahku ini. Itu akan membuka kedok penyamaran kebencianku pada Yang Mulia Akuwu dan Sri Kretajaya. Bayangkan Arok! Musuh nomor satu Tumapel berlindung di rumah seorang perwira Tumapel! Jagat Pramudita! Lakon gila macam apa ini?” (Komandoko, hlm 151-152). (468) “Sebentar Inget, dengar dulu penjelasanku! Kalau nanti engkau anggap penjelasanku tak baik. Boleh engkau usir aku dari Lulumbung ini. Aku akan pergi dari rumahmu ini. Tapi, dengarlah aku dulu! Jangan engkau besar-besarkan dulu kecemasanmu itu! Berlindung di rumahmu adalah siasat terbaik, Inget! Siapa yang akan menyangka, orang yang mereka cari berada dekat di antara kalangan mereka sendiri? Tak akan ada yang menyangka, bukan? Bahkan darimu pula, aku bisa mengetahui ke mana para prajurit itu akan mencariku” jelas Arok (Komandoko, hlm 152). (469) “Memang itu bisa jadi baik bagimu, Arok! Namun tidak begitu bagiku! Begitu engkau diketahui berada di sini, maka tumpaslah aku beserta keluargaku! Kepalaku dan seluruh kepala keluargaku akan dipenggal oleh Yang Mulia Akuwu!”, ujar Gagak Inget menimpali (Komandoko, hlm 153). (470) “Jika engkau berfikir jernih, tindakanku berlindung di rumahmu ini adalah siasat yang baik. Siapa yang bisa menyangka, buronan utama

201 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Tumapel bersembunyi di rumah ini? Siapa pula yang akan curiga? Aku akan berniat menyusun sebuah sandiwara yang jitu!” (Komandoko, hlm 153). (471) “Ada baiknya engkau bersembunyi di sini. Namun kita semua perlu waspada. Benar katamu Arok, perlu adanya sandiwara yang hebat untuk ini!” ujar Gagak Inget (Komandoko, hlm 153). (472) “Untuk urusan sandiwara, aku pemain yang mumpuni, Inget!” Arok menyakinkannya (Komandoko, hlm 153). (473) “Inget, masih ingatkah engkau dengan Borang?” mendadak Arok mengungkapkan tanya (Komandoko, hlm 153). (474) “Borang?” Maksudmu, Borang anak bekas abdi Bapaku dulu? Kenapa dengannya? Bukankah ia telah meninggal tak lama setelah kematian Bapanya? Kudengar Borang tewas mengenaskan, diterkam macan di tengah hutan Adiyuga ketika sedang berburu.” tukas Gagak Inget mengingatkan kembali (Komandoko, hlm 153-154). (475) “Cerita bohong itu, Inget! Borang masih hidup. Ia tidak kembali ke Kapundungan melainkan memilih tetap tinggal di hutan” (Komandoko, hlm 154). (478) “Jagat Pramudita!”, decak Gagak Inget (Komandoko, hlm 154). (479) “Aku akan bersandiwara menjadi Borang. Lagipula usia Borang, seumuran denganku. Sekarang, aku anak bekas abdi Bapamu yang berasal dari Kapundungan. Anak bekas abdi yang kemudian menjadi pelayanmu pula. Engkau boleh mengujiku apapun juga perihal Borang. Aku pasti bisa menjawabnya. Ingat, aku pelakon sandiwara yang mumpuni.”, lancar Arok menjelaskan siasatnya (Komandoko, hlm 154).

Dari kutipan percakapan nomor (465) sampai (479) dengan jelas disebutkan, bahwa siasat Arok memainkan sandiwaranya sebagai Borang pasti akan berhasil. Gagak

Inget, sang perwira Tumapel yang sesungguhnya sangat membenci Tunggul Ametung dan Sri Maharaja Kretajaya ini, menaruh harapan besar pada Arok.

Arok sangat piawai memainkan sandiwaranya. Sebagian kecil warga Lulumbang mengenalnya selaku Borang, pembantu Gagak Inget. Warga menilai, bahwa ia pembantu yang rajin. Ia juga dikenal sangat pendiam, lebih banyak berada di dalam rumah sesuai peranannya selaku pembantu, yang tidak diketahui warga, Arok tetap keluar rumah secara sembunyi-sembunyi pada saat tertentu untuk memimpin kelompoknya. Ia tetap

202 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

menjarah harta orang kaya yang bejat moral dan juga melakukan penghadangan prajurit- prajurit Tumapel yang hendak mempersembahkan upeti kepada Sri Kretajaya. Informasi yang didapatkannya dari Gagak Inget sangat membantu kelancaran operasi Arok. Agar semakin sempurna penyamarannya, Arok mengenakan topeng ketika sedang merampok atau menghadang. Nama Arok selaku kepala perampok sungguh menggetarkan. Hal ini membuat Tunggul Ametung gemas bukan main untuk dapat segera menangkapnya.

Gagak Inget tetap hebat berperan bagi operasi Arok. Sandiwaranya terhadap Tunggul

Ametung tidak menaruh curiga atas kesetiaanya (Komandoko, hlm 156).

Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, tidak pernah disebutkan adanya tokoh

Gagak Inget di dalamnya. Berbicara mengenai perwira andalan Sang Akuwu Tunggul

Ametung, Tafsir Sejarah Nagarakretagama hanya menyebutkan jika Kebo Ijolah orang kepercayaan bagi Akuwu Tunggul Ametung. Berbicara mengenai tempat persembunyian

Ken Arok, Tafsir Sejarah Nagarakretagama menyebutkan Ken Arok bersembunyi di

Turyantapada. Dalam kejaran orang-orang Daha, Ken Arok lari ke desa Tugaran. Dari

Tugaran kemudian ke Gunung Pustaka dan dari situ mengungsi ke desa Limbahan. Dari desa Limbahan ke desa Rabut, akhirnya sampai di Panitikan. Atas nasihat seorang nenek,

Arok bersembunyi di Gunung Lejar. Dalam persembunyiannya di Gunung Lejar, ia mendengar keputusan para dewa, bahwa ia telah ditakdirkan menjadi raja yang akan menguasai Pulau Jawa (Muljana, hlm 92).

203 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

4.16 Penokohan Nyi Prenjak dan Anak Buahnya

Berbicara mengenai tokoh Nyi Prenjak dan anak buahnya, Gamal Komandoko mengisahkan bahwa mereka adalah sekumpulan perampok wanita yang menjadi korban pemerkosaan atas prajurit-prajurit Tumapel. Saat melaksanakan aksi rampoknya, mereka tidak pernah mengenakan penutup dada, hingga payudara mereka dibiarkan terbuka dan bergayut indah. Untuk penutup vagina, mereka hanya menggunakan cawat atau mengenakan celana dalam yang sangat minim. Mereka menggunakannya hanya untuk memancing lawan, sehingga para lawan terkecoh saat melihat tubuh sintal mereka.

Sesungguhnya, mereka merupakan wanita-wanita yang menderita karena telah menjadi korban pemerkosaan atas prajurit-prajurit Tumapel. Namun, setelah bertemu dengan Nyi

Prenjak, mereka bangkit dan berkumpul menjadi satu, serta berniat akan membalaskan dendamnya kepada anjing-anjing akuwu untuk suatu saat nanti.

Mengenai tokoh siapakah sesosok Nyi Prenjak itu, novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel menyebutkan jika Nyi Prenjak adalah korban pemerkosaan para prajurit

Tumapel. Kondisinya paling parah dengan yang lain. Keluarganya ditumpas habis, sementara dirinya menjadi budak nafsu para prajurit lalu diperkosa beramai-ramai.

Seluruh anggota kelompok Nyi Prenjak senasib sepenanggungan, termasuk Umang.

Umang pun juga ikut bergabung dalam kelompok Nyi Prenjak, setelah Ayahanda tercinta telah tewas dibunuh para prajurit Tumapel. Untunglah Nyi Prenjak berhasil menolong nyawanya, sehingga Umang belum sempat diperkosa oleh para prajurit itu. Semuanya adalah korban kekerasan prajurit-prajurit Tumapel. Ada yang suami atau bapaknya ditangkap dan dibunuh oleh prajurit Tumapel. Bagi yang perempuan, mereka menjadi budak nafsu para prajurit.

204 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Pada sub judul berikut ini akan dijelaskan bagaimana awal perjumpaan Arok dengan mereka. Kisahnya, ketika Arok hendak menuju Pangkur, ia melewati jalan-jalan yang tidak biasa dilewati orang. Ketika melewati pinggiran hutan lebat, mendadak lima orang wanita nampak meloncat bersamaan dari pohon-pohon seraya ingin menodong

Arok. Sejenak Arok menguasai keterkejutannya. Dihadapannya berdiri lima wanita muda, berwajah lumayan cantik meski menegaskan kebringasannya. Mereka hanya mengenakan cawat tanpa mengenakan penutup dada. Payudara yang montok, indah bergayut di dada para pencegat, sejenak membuyarkan konsentrasi Arok. Belum pernah ia melihat pemandangan yang menggetarkan kelelakiannya seperti itu. Seorang diantara lima wanita itu, berjalan perlahan mendekati Arok. Cukup cantik paras si wajah hitam manis ini. Pedang besar ia genggam pada tangan kanannya, makin menegaskan keganasannya. Ia pemimpin pencegat tersebut dan ternyata mereka adalah para perampok wanita. Si wanita paling depan langsung menyerang Arok. Pedang ganasnya hampir mengenai kepala Arok. Arok dengan mudah dapat menghindarinya. Dalam situasi seperti inipun, mata nakalnya masih sempat melirik payudara-payudara indah kelima perampok itu. Kemudian kelima bangkit langsung menyerang Arok tanpa aba-aba. Namun, sebentar saja kelimanya kembali jatuh terpental terkena pukulan dan tendangan Arok. Tidak juga jera, kelimanya kembali bersiap menyerang sebelum suara keras menghentikan mereka.

Suara seorang wanita tua tiba-tiba bergema.

(480) “Hentikan! Kalau kalian mau menghadang, lihat-lihat dulu siapa yang kalian hadang! si wanita setengah baya menghardik. “Buka mata kalian! Anak remaja yang kalian hadang itu adalah Arok! Murid unggulan Bapa Tantripala sekaligus perampok ternama Tumapel! Musuh utama si anjing Akuwu! Seandainya kita semua turun melawannya, tentu amat mudah baginya megalahkan kita!” (Komadoko, hlm 174-175).

205 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(481) “Maafkan ketololan kami, Arok”, si wanita pemimpin penyerangan mengiba dan berlutut bersama keempat kawannya. “Benar ucapan Nyi Prenjak, mata kami tertutup, tak melihat siapa engkau ini sesungguhnya” (Komandoko, hlm 175). (482) “Nyi Prenjak??” tanya Arok (Komandoko, hlm 175). (483) “Akulah Nyi Prenjak itu, Arok”, si wanita setengah baya mendekati Arok. “Maafkan kelancangan kami. Sungguh tak kusangka, Arok yang sangat menggetarkan serta menakutkan di Tumapel itu ternyata cah bagus! Pantas Umang, anak angkatku ini, berbinar-binar matanya ketika menceritakan sosokmu!” Nyi Prenjak melirik Umang (Komandoko, hlm 175).

Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, tidak pernah menyebutkan tentang siapakah Nyi Prenjak dan anak buahnya itu. Tafsir Sejarah Nagarakretagama tidak pernah menyinggung tentang adanya sekelompok wanita yang selalu memasang aksi rampoknya dengan busana demikian.

4.17 Umang Mencintai Arok

Pada sub judul berikut ini, akan dijelaskan bagaimana kisah percintaan yang terjalin antara Arok dan Umang. Setelah pertemuan awal mereka, ternyata Umang diam- diam telah mengagumi sosok Arok. Umang tidak mempungkiri jika Arok adalah sesosok pria sejati yang gagah, tampan, cerdas, dan tangguh. Dikisahkan, Arok bertemu dengan

Umang untuk kedua kalinya. Dalam pertemuaannya yang kedua ini, ternyata Umang sudah sebatang kara. Ayahanda tercintanya telah tewas mengenaskan dibunuh para prajurit Tumapel karena dituduh terlibat dalam pergolakan di Tumapel. Namun, Umang akhirnya selamat setelah nyawanya ditolong oleh Nyi Prenjak. Umang selamat dari percobaan permerkosaan yang hendak dilakukan oleh prajurit-prajurit Tumapel kepadanya. Hal demikian, dapat dilihat dalam kutipan percakapan antara Arok dan

Umang berikut ini.

206 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(484) “Sepeninggal bapaku, aku telah berusaha keras mencarimu, Arok!”, kata Umang disela isak tangisnya (Komandoko, hlm 176). (485) “Tenanglah Umang”, hibur Arok (Komandoko, hlm 176). (486) “Kemana-mana engkau telah kucari, namun tak kutemukan juga. Aku akhirnya bergabung dengan Nyi Prenjak setelah aku ditolongnya dari percobaan serangan sekelompok anjing akuwu. Sangat berharap aku, suatu ketika akan bertemu denganmu. Oh, Dewata Agung! Kutemukan engkau juga akhirnya!” (Komandoko, hlm 176).

Umang kemudian menceritakan siapakah Nyi Prenjak dan juga kelompoknya.

Semua anggota kelompok itu senasib sepenanggungan. Semuanya adalah korban kekerasan prajurit-prajurit Tumapel. Ada yang suami atau bapaknya ditangkap dan dibunuh oleh prajurit Tumapel. Ada yang menjadi budak nafsu para prajurit. Nyi Prenjak paling parah nasibnya di antara yang lain. Keluarganya ditumpas habis, sementara dirinya menjadi budak nafsu para prajurit lalu diperkosa beramai-ramai.

(487) “Setelah bertemu denganku, apa yang hendak engkau lakukan?” tanya Arok (Komandoko, hlm 177). (488) “Tak ingatkah engkau dengan janjimu dulu? Aku pasti akan bergabung denganmu! Nah, Arok, kini bawalah aku pergi! Bawalah aku, jadikan aku anggota kelompokmu!”, rengek Umang (Komandoko, hlm 177). (489) “Sebenarnya, aku hendak berguru pada Dang Hyang Lohgawe. Aku pun belum tahu rencana beliau selanjutnya terhadapku, Umang. Untuk sementara ini, aku serahkan kepemimpinan kelompokku pada Tita selama aku menjalankan perintah Hyang Lohgawe. Jadi, aku belum bisa menerimamu menjadi anggota kelompokku. Ikutlah dengan Nyi Prenjak dulu! Tak berbeda sesungguhnya kelompokku dengan kelompok Nyi Prenjak. Kita sama-sama berjuang membebaskan Tumapel dari Tunggul Ametung dan juga Kretajaya” (Komandoko, hlm 177). (490) “Arok, bawalah aku pergi bersamamu! Aku tak punya siapa-siapa lagi” (Komandoko, hlm 178). (491) “Umang, aku akan menunaikan tugas dari Dang Hyang Lohgawe dulu. Setelah bertemu dengannya di Taloka, aku pasti akan mencarimu. Aku janji, Umang. Engkau pasti akan kuajak bersamaku” (Komandoko, hlm 178). (492) “Selamanya? Apakah selamanya engkau akan mengajakku, Arok?”, Umang kian menyudutkan (Komandoko, hlm 178). (493) “Ya, aku akan mengajakmu selamanya, aku janji!” (Komandoko, hlm 178).

207 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(494) “Arok, kemuliaan lelaki itu terletak pada ucapannya. Pada janjinya. Aku ingin melihat, apakah engkau dapat menepati janjimu itu?? Aku akan menunggumu dan biarlah pepohonan ini menjadi saksi!” (Komandoko, hlm 178-179). (495) “Tenanglah, Umang! Aku pasti akan menepati janjiku. Tak akan kuingkari. Setelah kutunaikan perintah Hyang Lohgawe, aku pasti akan mencari dan membawamu pergi. Biarlah Dewata Agung menjadi saksi atas janjiku ini!” (Komandoko, hlm 179).

Berdasarkan kutipan percakapan nomor (487) hingga (495), dapat dipastikan, jika

Umang sangat menaruh hati dan harapan yang sangat besar kepada Arok. Umang telah jatuh cinta dengan sosok Arok yang diyakininya, bahwa Arok seorang lelaki sejati dan dapat menepati janji. Hal demikian dapat dilihat kembali pada kutipan nomor (494), yang berbunyi:

“Arok, kemuliaan lelaki itu terletak pada ucapannya. Pada janjinya. Aku ingin melihat, apakah engkau dapat menepati janjimu itu?? Aku akan menunggumu dan biarlah pepohonan ini menjadi saksi!” (Komandoko, hlm 178-179).

Arok pun nampaknya juga memiliki perasaan yang sama terhadap Umang. Arok berjanji, akan membawa Umang untuk hidup bersamanya. Namun, bagaimanapun juga, ia harus mengemban perintah dari Mahagurunya terlebih dahulu. Hal itu dapat dilihat pula pada kutipan nomor (495), yang berbunyi:

“Tenanglah, Umang! Aku pasti akan menepati janjiku. Tak akan kuingkari. Setelah kutunaikan perintah Hyang Lohgawe, aku pasti akan mencari dan membawamu pergi. Biarlah Dewata Agung menjadi saksi atas janjiku ini!” (Komandoko, hlm 179).

Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, tidak dicantumkan bagaimana kisah percintaan yang terjalin antara mereka berdua. Namun, Tafsir Sejarah Nagarakretagama ini hanya menyatakan bahwa Umang adalah istri kedua Arok, setelah Arok menikah terlebih dulu dengan Ken Dedes.

208 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

4.18 Umang Istri Pertama Arok

Telah disebutkan pada sub judul sebelumnya, bahwa Arok berjanji akan membawa Umang untuk hidup bersamanya. Tentunya, setelah Arok berhasil menunaikan perintah dari Mahagurunya, Dyang Hyang Lohgawe. Ternyata benar, Arok memang seorang pria sejati yang dapat menepati janji. Kisahnya, setelah Arok telah resmi menjadi punggawa bagi Tunggul Ametung. Arok diberikan izin khusus untuk menemui Umang dan melamarnya. Dang Hyang Lohgawe, Tita dan kawan-kawan Arok lainnya turut mendampingi setelah mendapat izin pula. Arok dan rombongannya segera menuju hutan tempat Arok dahulu mendapat hadangan. Arok teringat perihal payudara yang membangkitkan kelelakiannya. Dengan hal ini, maka pantaskah mata suci Dang Hyang

Lohgawe menatapnya? Ternyata, Nyi Prenjak cukup jeli membaca situasi. Seluruh anak buahnya diminta untuk mengenakan celana sebatas lutut dan kain rapat penutup dada.

Umang pun juga demikian. Maka, tampillah Umang seperti perawan desa yang lugu, ayu, dan kian membangkitkan niat Arok untuk segera memilikinya. Hyang Lohgawe secara resmi menikahkan Arok dan Umang untuk bersatu sebagai sepasang suami istri. Umang sangat bahagia dan kian bahagialah ia melihat Arok, karena Arok telah menjadi suami yang sah bagi Umang. Nyi Prenjak dan segenap anak buahnya, serta Tita dan kawan- kawan Arok lainnya larut dalam kegembiraan dan suka cita (Komandoko, hlm 223-224).

Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, sudah sangat jelas disebutkan bahwa

Umang adalah istri kedua Arok. Umang bukanlah istri pertama Arok! Hal demikian dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

(496) “Setelah menikahi Ken Dedes, Sang Amurwabhumi kemudian menikah untuk kedua kalinya dengan istri kedua yang bernama Ken Umang. Dari pernikahannya dengan Ken Umang, ia meperoleh empat anak, yakni: Panji Tohjaya, Panji Sudatu, Tuan Wregola, dan Dewi Rambi.

209 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Pada zamannya, seorang raja mempunyai lebih dari seorang isteri adalah hal yang biasa, baik pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang. Jadi tidak aneh, jika pernyataan pada Pararaton yang mengatakan bahwa Sri Rajasa mempunyai dua orang isteri yakni, Ken Dedes dan Ken Umang. Ken Dedes adalah isteri pertama, sedangkan Ken Umang adalah isteri mudanya” (Muljana, hlm 96).

4.19 Sifat Congkak Mpu Gandring

Mpu Gandring merupakan seorang empu yang jempolan, beliau pembuat senjata ternama dari Lulumbang. Mpu Gandring mempunyai bengkel pembuatan senjata di dekat rumahnya. Beberapa orang dijadikannya pembantu untuk membantu pekerjaannya.

Bukan hanya keris yang bisa dipesan darinya, melainkan aneka senjata lainnya, seperti pedang, tombak, trisula, dan lainnya. Tidak diragukan, jika senjata buatan Mpu Gandring memang berkelas dan tidak perlu diragukan lagi kesaktiannya. Khusus untuk keris-keris berharga pesanan tinggi, Mpu Gandring sendiri yang membuatnya. Keris buatannya terkenal bertuah. Sesaktinya seseorang jika telah terkena tusukan keris buatannya, pasti akan tewas mengenaskan. Meski terkenal sakti, sang empu terkenal sombong. Ia licik dan picik. Baginya, uang dan kekuasaan di atas segala-galanya, bahkan mengalahkan keagungan Hyang Pancagina sekalipun. Siapa yang berani membayar tinggi, maka akan dilayaninya terlebih dulu. Bahkan, biasanya ia meminta uang panjar dahulu sebelum pesanan itu dibuat, kecuali pada Baginda Kretajaya dan Tunggul Ametung saja. Ia masih sayang dengan nyawanya jika berani meununda-nunda atau mengakhiri pesanan mereka

(Komandoko, hlm 230-231).

210 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, tidak dijelaskan bagaimanakah sifat maupun perilaku dari Mpu Gandring ini. Tafsir Sejarah Nagarakretagama hanya menyebutkan, bahwa Mpu Gandring adalah seorang pembuat keris sakti berasal dari

Lulumbang dan beliau sahabat baik Bango Samparan.

4.20 Prajurit Kadiri Membuat Rusuh Tumapel

Tidak hanya Tunggul Ametung yang keheranan, Arok pun juga merasa heran.

Kerusuhan di Tumapel kembali menghebat. Pergolakan terjadi dimana-mana. Padahal, sejak Arok dan kawan-kawannya menjadi prajurit Tumapel, telah begitu banyak wilayah

Tumapel yang kembali aman. Namun, mendadak daerah-daerah aman itu kembali bergolak, terjadi di luar perkiraan. Tunggul Ametung memanggil Arok. Ia memberikan titah khusus untuk mencari tahu penyebab pergolakan tersebut. Arok melakukan penyamaran dan menanggalkan seragam prajurit Tumapel. Arok terus menyelidiki dan akhirnya, ia mendapat berita jika para pembuat ulah itu kemungkinan berasal dari kekuatan asing, bukan dari warga Tumapel. Hanya Arok sendirian yang mengemban titah

Sang Akuwu.

Kronologis kisahnya, saat itu Arok melakukan penyamaran dan menanggalkan seragam prajurit Tumapel. Dihubunginya para perampok yang masih tetap beroperasi menjegal upeti untuk Kadiri. Dari mereka, Arok mendapat berita, jika para perampok pembuat ulah itu kemungkinan berasal dari kekuatan asing, bukan warga Tumapel.

Kesempatan Arok terbuka lebar melakukan pengintaian. Ia melakukan pengintaian hanya seorang diri di hutan-hutan perbatasan Tumapel-Kadiri. Sengaja ia mendatangi wilayah- wilayah sepi yang terlepas dari pengawasan prajurit Tumapel. Arok melihat sekelompok

211 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

orang, sekitar lima belas orang jumlahnya. Dari wilayah Kadiri, mereka menyeberang memasuki wilayah Tumapel. Beberapa saat berjalan, Arok mendapati pos paling depan wilayah Kadiri yang dijaga para prajurit. Dari tempat persembunyiannya, ia melihat lima belas orang itu bertubuh besar, kekar, tegap, sigap, dan gesit gerakannya. Sepertinya, mereka orang-orang terlatih dalam keprajuritan. Ternyata Arok mencurigai, bila mereka adalah prajurit-prajurit Kadiri. Namun, lima belas orang Kadiri tersebut lantas berganti baju, berseragam Tumapel. Arok terus mengintai mereka. Sampai menjelang pagi, Arok melihat lima belas orang penyusup wilayah Tumapel telah kembali. Mereka membawa barang jarahan, meski tidak banyak jumlahnya. Seragam Tumapel tidak lagi dikenakan.

Ternyata benar dugaan Arok, jika mereka adalah prajurit-prajurit Kadiri. Seketika darah

Arok mendidih dan kemarahannya semakin memuncak. Ia merasa harus membalas kelakuan busuk para prajurit Kadiri yang telah menghancurkan ketentraman rakyat

Tumapel (Komandoko, hlm 226-227).

Di keremangan menjelang datangnya pagi, Arok mulai bertindak. Dengan gerak mengendap-endap, Arok mendekati pos penjagaan itu dari arah belakang. Dua orang prajurit Kadiri yang tengah berbicara santai, seketika menjadi korban. Keduanya kehilangan nyawa setelah Arok melancarkan serangan mematikan. Tanpa menimbulkan suara mencurigakan, Arok terus bergerak gesit. Korban-korban terus berjatuhan tanpa disadari para prajurit Kadiri. Ketika Arok tiba di istal, segera dibakarnya kandang kuda itu. Kegemparan dan kepanikan terjadi di kubu prajurit Kadiri. Sementara itu, Arok bergerak gesit meninggalkan tempat yang tengah membara itu tanpa diketahui seorang prajurit Kadiri pun. Keesokan paginya, Arok menghadap Tunggul Ametung dan

212 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

menceritakan kejadian yang terjadi tadi malam. Betapa terkejut Sang Akuwu, ternyata orang-orang yang menjadi perusuh adalah prajurit-prajurit Kadiri.

Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, tidak disebutkan bahwa kerajaan Kadiri berselisih paham dengan Tumapel, apalagi dengan memakai kedok para prajurit Kadiri untuk membuat rusuh di wilayah Tumapel. Tafsir Sejarah Nagarakretagama tidak menyebutkan sama sekali. Hanya saja, Tafsir Sejarah Nagarakretagama menyebutkan bahwa Kadiri pernah bertempur dengan Tumapel ketika Ken Arok berkuasa, dan keberadaan Tunggul Ametung pun pada saat itu telah tiada.

4.21 Pengkhianatan Kebo Ijo

Pada sub judul berikut ini, akan dijelaskan bagaimanakah kisah pengkhianatan

Kebo Ijo terhadap Sang Akuwu Tunggul Ametung dan juga Tumapel. Berikut ini adalah kutipan percakapan antara Arok dan Tita yang menunjukkan adanya sebuah pergerakan rahasia, yakni pengkhianatan dari Kebo Ijo.

(497) “Ada berita apa yang hendak kau sampaikan padaku, Tita?” tanya Arok (Komandoko, hlm 249). (498) “Kubawakan berita maha penting untukmu, Arok! Pasukan rahasia kita menangkap seorang brahmana yang melarikan diri dari Kadiri. Ia mempunyai berita yang bisa jadi membuatmu benar-benar mati terkejut, Arok!” (Komandoko, hlm 249-250). (499) “Lekas ceritakan padaku, Tita!” (Komandoko, hlm 250). (500) “Arok! Akan ada peristiwa besar di Tumapel! Dhandang Ghendis tampaknya sungguh-sungguh ingin mengganti Akuwu” (Komandoko, hlm 250). (501) “Siapa pengganti Tunggul Ametung? Mahisa Lawungan?” tanya Arok (Komandoko, hlm 250). (502) Tita menggelengkan kepala kemudian berkata, “Penggantinya adalah Kebo Ijo!” (Komandoko, hlm 250). (503) “Jagat Pramudita! Kebo Ijo hendak menggantikan Tunggul Ametung?” (Komandoko, hlm 250).

213 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(504) “Kebo Ijo mendapat tugas khusus dari Baginda Kretajaya untuk menghabisi Tunggul Ametung! Upah keberhasilannya adalah menjadi akuwu” (Komandoko, hlm 250). (505) “Tita! Kau yakin berita brahmana itu dapat dipercaya?” (Komandoko, hlm 250). (506) “Ya, sangat akurat! Beberapa kawan kita telah melapor padaku, mereka kerap melihat Kebo Ijo beberapa kali melintas menuju Kadiri tanpa sepengetahuan Tumapel. Kawan-kawan kita juga melihatnya melakukan tindakan rahasia, persiapan khusus nampaknya. Ia menggalang kekuatan dengan Empu Gandring untuk melaksanakan tugas rahasianya itu!” (Komandoko, hlm 250). (507) “Empu dari desa Lulumbang itu?” (Komandoko, hlm 250). (508) “Benar, Arok! Lantas, apa yang harus kita lakukan?” (Komandoko, hlm 250). (509) “Sekarang, secepatnya kita menuju Lulumbang, menemui empu itu! Kita pikirkan rencana selanjutnya dalam perjalanan nanti” (Komandoko, hlm 251).

Setelah membaca kutipan percakapan nomor (497) hingga (509), sudah dapat dipastikan bahwa Kebo Ijo benar-benar telah berkhianat kepada Sang Akuwu, yang lebih mengejutkan lagi, Baginda Kretajaya telah menyuruh Kebo Ijo untuk membunuh

Tunggul Ametung dan sebagai imbalannya, jika berhasil maka Kebo Ijo berhak atas jabatannya sebagai akuwu menggantikan Tunggul Ametung. Sungguh di luar dugaan, ternyata Kebo Ijo bersedia mengemban titah yang dperintahkan Kretajaya kepadanya.

Demi kekuasaan, apa pun akan Kebo Ijo lakukan, sekalipun ia harus membungkam nyawa Tunggul Ametung untuk selama-lamanya. Hal demikian, dapat dilihat dalam kutipan nomor (504), yang berbunyi:

“Kebo Ijo mendapat tugas khusus dari Baginda Kretajaya untuk menghabisi Tunggul Ametung! Upah keberhasilannya adalah menjadi akuwu” (Komandoko, hlm 250).

Bukan hanya itu, ternyata Kebo Ijo ikut terlibat dalam pergerakan perusuhan di

Tumapel. Ia bekerja sama dengan prajurit-prajurit Kadiri yang menyamar menjadi

214 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

prajurit Tumapel untuk membuat kekacauan di sana. Hal itu, dapat dilihat kembali pada kutipan nomor (506), yang berbunyi:

“Ya, sangat akurat! Beberapa kawan kita telah melapor padaku, mereka kerap melihat Kebo Ijo beberapa kali melintas menuju Kadiri tanpa sepengetahuan Tumapel. Kawan-kawan kita juga melihatnya melakukan tindakan rahasia, persiapan khusus nampaknya. Ia menggalang kekuatan dengan Empu Gandring untuk melaksanakan tugas rahasianya itu!” (Komandoko, hlm 250).

Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, sama sekali tidak menyebutkan jika

Kebo Ijo telah berkhianat kepada Akuwu Tunggul Ametung, ataupun sampai akan menghabisi nyawanya. Apalagi, titah Kretajaya yang ditujukan kepada Kebo Ijo untuk menyingkirkan Tunggul Ametung, hal demikian tidak ada sama sekali disebutkan dalam

Tafsir Sejarah Nagarakretagama ini.

4.22 Rahasia Mpu Gandring Terungkap

Rahasia Mpu Gandring terungkap sejak kedatangan Arok dan Tita ke kediamanan rumahnya di desa Lulumbang. Atas saran dan informasi yang diterima dari Nyi Prenjak sebelumnya, Arok dan Tita tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Mereka berdua lekas berkunjung ke sana, menemui Mpu Gandring sekaligus memesan sebuah keris darinya pula. Ditambah lagi, dengan ada informasi lain yang mengatakan, bahwa Kebo Ijo menggalang kekuatan dengan Empu Gandring untuk melaksanakan tugasnya membunuh

Tunggul Ametung. Hal tersebut, membuat Arok semakin geram melihat tingkah Kebo

Ijo, dan sepertinya Arok akan menyusun suatu siasat pula. Berikut ini kutipan percakapan yang menunjukkan adanya sebuah rahasia yang ditutupi oleh Mpu Gandring, dan pada akhirnya terungkap pula setelah Arok mendesaknya.

215 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(510) “Aku tahu siapa engkau, Mpu! Engkau adalah seorang empu ternama Lulumbang. Pemimpin bengkel senjata terpandang! Segala senjata buatanmu sangatlah baik kualitasnya!” ucap Arok (Komandoko, hlm 253). (511) “Pengetahuanmu cukup baik rupanya, tamtama rendahan!” jawab Mpu Gandring sambil memandang rendah Arok (Komandoko, hlm 253). (512) “Aku tahu” kata Arok lagi. “Senjata-senjata bengkel milikmu ini berbeda- beda kualitasnya. Sayang, senjata yang digunakan untuk merampok dan menjarah rakyat miskin Tumapel terbaik kualitasnya!” (Komandoko, hlm 253). (513) “Eh, jaga mulutmu!” telunjuk Mpu Gandring mengarah ke wajah Arok. “Kuadukan tuduhan ngawurmu ini pada Yang Mulia Akuwu, pasti habis riwayatmu! Sebutkan namamu jika engkau ingin membuktikan omonganku!” (Komandoko, hlm 253). (514) “Apa bukan sebaliknya, Mpu?” Arok mendengus. Amat bergidik Mpu Gandring menatap mata Arok yang laksana bernyala itu. “Jika Yang Mulia Akuwu mengetahui tindakanmu, kepalamu itu sudah pasti menggelinding!” (Komandoko, hlm 254). (515) Sang empu congkak mencoba menekan ketakutannya. “Lancang benar mulutmu! Telah menghilangkan kesopanan pada para prajurit Tumapel” (Komandoko, hlm 254). (516) Arok tak menanggapi ucapan Mpu Gandring. Ia menyerahkan pedang berselimut kain yang dibawanya. “Lihatlah baik-baik! Ini pedang buatan bengkel pimpinanmu, bukan?” (Komandoko, hlm 254). (517) Mpu Gandring sejenak mengamati. ‘Ya, benar! Ini memang pedang buatan bengkel ini!” (Komandoko, hlm 254). (518) Arok mengeluarkan pedang dari sarung pedang Tita. “Ini pedang buatan bengkel ini pula, bukan?” (Komandoko, hlm 254). (519) Mpu Gandring menganggukkan kepala. “Lantas, mengapa engkau tunjukkan pedang-pedang ini kepadaku?” (Komandoko, hlm 254). (520) “Tanpa harus mengujinya aku tahu dua pedang ini berbeda jauh kualitasnya. Pedang untuk prajurit Tumapel tak sebaik kualitasnya dibandingkan pedang yang digunakan untuk merusuh di Tumapel ini” (Komandoko, hlm 254). (521) Mpu Gandring terdiam. Mata culasnya melirik-lirik ke kiri dan kanan. (Komandoko, hlm 254). (522) “Pedang yang baik kualitasnya itu milik Banang, seorang prajurit Kadiri yang kerap merusuh di Tumapel. Pedang itu telah menumpahkan banyak darah rakyat miskin Tumapel ketika Banang merusuh!” jelas Arok (Komandoko, hlm 254). (523) “Tidak ada urusannya denganku!” cepat menyergah Mpu Gandring. Mencibir lagi bibirnya. “Aku memang mpu pembuat senjata. Dengarkan telingamu baik-baik hei tamtama rendahan Tumapel, aku pembuat senjata! Jika pedang ini digunakan untuk merusuh, merampok, atau menebas leher orang, itu murni kesalahan si pelaku! Tak ada sangkut pautnya denganku!” (Komandoko, hlm 254-255).

216 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(524) “Memang benar ucapanmu, Empu! Jika engkau tidak mengetahui untuk apa pedang itu akan digunakan. Namun, jika sejak semula engkau telah tahu untuk apa pedang itu akan digunakan, maka tidak hanya Banang yang salah. Engkau juga! Bahkan, kesalahanmu jauh lebih besar jika dibanding para pelaku kerusuhan itu. Pasti kepalamu akan terpisah dari tubuhmu jika Yang Mulia Tunggul Ametung mengetahui kesalahanmu!” jelas Arok (Komandoko, hlm 255). (525) Wajah Mpu Gandring memucat. Dicobanya mencari jalan selamat. “Aku tidak kenal Banang!” (Komandoko, hlm 255). (526) “Tenang Mpu! Banang kini ada padaku, menjadi tawananku. Ia bersaksi kepadaku demi Hyang Dewata Agung, ia dan dua orang temannya biasa memesan pedang dan tombak kepadamu yang akan digunakan merusuh di Tumapel. Engkau tahu itu! Engkau senantiasa memenuhi pesanannya karena engkau menghendaki Yang Mulia Akuwu Tunggul Ametung dicopot dari jabatannya? Engkau pembenci Yang Mulia Akuwu!” desak Arok (Komandoko, hlm 255). (527) “Pendusta!” teriak Mpu Gandring yang sesungguhnya kian tersudut (Komandoko, hlm 255). (528) “Baiklah! Aku akan bawakan Banang kepadamu untuk membuktikan bahwa aku tidak berdusta. Bersiap-siaplah kubawa ke Kutaraja untuk menghadap Yang Mulia Akuwu! Engkau harus mempertanggung jawabkan perbuatan busukmu! Nikmatilah hari-hari terakhirmu, Mpu!” Arok meraih dua pedang dari tangan Mpu Gandring dan meraih lengan Tita untuk berlalu (Komandoko, hlm 255). (529) “Sebentar!” Mpu Gandring mencegah kepergian Arok. Wajahnya melunak. Kecemasannya kini kentara. Arok bisa merasakan gemetar tangan tua saat memegang lengannya. “Bagaimana dengan rencana pesanan kerismu? Jangan takut, aku akan membuatkan keris yang terbaik untukmu. Keris yang akan kubuat dengan tanganku sendiri. Asalkan engkau mampu membayar dan juga tak kau bawa masalah beratku ke Yang Mulia Akuwu” (Komandoko, hlm 256). (530) Arok tersenyum. “Jangan khawatir, Mpu! Jika kau menuruti perintahku, Banang akan kubinasakan. Masalahmu akan terkubur bersama matinya perusuh itu!” (Komandoko, hlm 256). (531) “Aku percaya kepadamu, tamtama perkasa!”, Mpu Gandring mencoba ramah dan menepuk-nepuk bahu Arok (Komandoko, hlm 256).

Setelah membaca kutipan percakapan nomor (510) hingga (531), jelas tampak sekali jika Mpu Gandring menyimpan suatu rahasia, yakni beliau membantu pergerakan

Kadiri untuk membuat rusuh di Tumapel. Dengan senjata buatannya, Banang yang berhasil ditangkap oleh Arok, telah menjadi bukti atas campur tangan Mpu Gandring

217 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

dalam pembuatan senjatanya itu. Mpu Gandring sebenarnya sangat membenci Sang

Akuwu Tunggul Ametung, maka dari itu ia membantu membuatkan senjata untuk prajurit

Kadiri dengan tujuan merusuh di Tumapel. Setelah Arok mengancam akan membawa

Banang maupun Mpu Gandring ke Kutaraja untuk menghadap Sang Akuwu, Sang Mpu begitu ketakutan. Sebagai jaminannya, Mpu Gandring bersedia membuatkan keris sakti untuk Arok. Hal demikian, dapat dilihat kembali dalam kutipan nomor (526), yang berbunyi:

“Tenang Mpu! Banang kini ada padaku, menjadi tawananku. Ia bersaksi kepadaku demi Hyang Dewata Agung, ia dan dua orang temannya biasa memesan pedang dan tombak kepadamu yang akan digunakan merusuh di Tumapel. Engkau tahu itu! Engkau senantiasa memenuhi pesanannya karena engkau menghendaki Yang Mulia Akuwu Tunggul Ametung dicopot dari jabatannya? Engkau pembenci Yang Mulia Akuwu!” desak Arok (Komandoko, hlm 255).

Selanjutnya, pada kutipan nomor (528), yang berbunyi:

“Baiklah! Aku akan bawakan Banang kepadamu untuk membuktikan bahwa aku tidak berdusta. Bersiap-siaplah kubawa ke Kutaraja untuk menghadap Yang Mulia Akuwu! Engkau harus mempertanggung jawabkan perbuatan busukmu! Nikmatilah hari- hari terakhirmu, Mpu!” Arok meraih dua pedang dari tangan Mpu Gandring dan meraih lengan Tita untuk berlalu” (Komandoko, hlm 255).

Setelah mendengar ancaman Arok, tiba-tiba Mpu Gandring merasa ketakutan, sehingga ia berkata sesuai dengan kutipan nomor (529), yang berbunyi:

“Sebentar!” Mpu Gandring mencegah kepergian Arok. Wajahnya melunak. Kecemasannya kini kentara. Arok bisa merasakan gemetar tangan tua saat memegang lengannya. “Bagaimana dengan rencana pesanan kerismu? Jangan takut, aku akan membuatkan keris yang terbaik untukmu. Keris yang akan kubuat dengan tanganku sendiri. Asalkan engkau mampu membayar dan juga tak kau bawa masalah beratku ke Yang Mulia Akuwu” (Komandoko, hlm 256).

Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, tidak pernah disinggung sama sekali tentang permasalahan Mpu Gandring jika ia menyimpan suatu rahasia. Selain itu, dalam

Tafsir Sejarah Nagarakretagama, disebutkan bahwa Bango Samparan memberi nasihat

218 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

kepada Arok, bahwa sebelum melaksanakan niatnya, Arok disarankan untuk pergi dahulu ke Lulumbang menemui seorang pembuat keris sakti bernama Mpu Gandring. Kebetulan pula, Mpu Gandring adalah sahabat karib Bango Samparan. Barang siapa yang terkena tikam keris buatannya, sudah dapat dipastikan akan mati mengenaskan (Muljana, hlm

94). Berbeda dengan Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel yang menyebutkan jika Arok mengetahui informasi mengenai Mpu Gandring itu, diinformasikan dari Nyi Prenjak.

Dalam Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel tidak menyebutkan adanya hubungan pertemanan antara Bango Samparan dengan Mpu Gandring tersebut.

4.23 Kesetiaan Arok terhadap Tunggul Ametung

Dalam sub judul berikut ini, dijelaskan bahwa Arok merupakan punggawa

Tunggul Ametung yang setia. Sang Akuwu sangat bersimpati atas kesetiaan yang ditunjukkan oleh Arok kepadanya. Oleh karena itu, Tunggul Ametung menaikkan jabatan

Arok menjadi wakil Kebo Ijo. Selain itu, Sang Akuwu Tunggul Ametung menetapkan

Arok untuk ikut bergabung dalam regu Kalasewu. Hal demikian merupakan suatu tanda kehormatan bagi Arok, yang lebih mengejutkan lagi, ternyata Akuwu Tunggul Ametung mempercayai Arok untuk menjadi pengawal khusus bagi Tunggul Ametung dan juga Ken

Dedes. Ini pun suatu keberuntungan bagi Arok, karena setiap harinya ia dapat bertemu dengan Ken Dedes dan sesekali mencuri pandang akan paras cantiknya. Ken Dedes memang seorang nareswari yang kecantikannya laksana ratu bidadari, sehingga membuat

Arok jatuh hati. Namun, bagaimanapun juga ia tetap menyadari, jika memiliki Ken Dedes adalah suatu hal yang mustahil. Arok tetap bekerja dengan baik, menjadi pengawal yang setia, patuh, dan bertanggung jawab. Tidak hanya itu, dengan adanya keberadaan Arok di

219 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Tumapel, keadaan Tumapel yang dulunya kacau balau, dengan mudahnya dapat ia atasi, sehingga wilayah Tumapel menjadi aman dan tentram. Akuwu Tunggul Ametung pun telah menyadari kesalahannya tempo dulu. Dengan adanya Arok sekarang, Sang Akuwu dapat menata pemerintahannya dengan baik, tanpa harus menjamurnya kembali pelacuran, minuman keras, perjudian, dan penggencetan terhadap rakyat miskin. Hanya saja, Tumapel kembali bergejolak karena hadirnya para prajurit Kadiri yang membuat kacau. Saat inilah tantangan terberat bagi Arok untuk mengatasi pergolakan-golakan itu.

Kesetiaan Arok terlihat dalam situasi yang sedang dihadapinya saat ini. Arok merasa telah berada dalam situasi yang menentukan. Berbagai keterangan yang telah didapatkannya telah dirasa cukup, sehingga membawanya mampu memahami situasi yang tengah terjadi, baik di Tumapel dan di Kadiri. Menurut perhitungannya, Sri

Kretajaya sungguh-sungguh akan berniat mencopot jabatan Tunggul Ametung sebagai

Akuwu Tumapel. Penyebabnya, karena sering terlambatnya Tumapel mengirim upeti ke

Kadiri. Maharaja Kadiri juga merasa, jika Akuwu Tumapel telah merencanakan suatu gerakan rahasia yang bisa mengancam kekuasaannya di kemudian hari. Untuk menerapkan rencananya, ia meminta para prajuritnya merusuh di Tumapel dengan mengenakan seragam prajurit Tumapel. Dengan demikian, ia telah menciptakan permusuhan di antara prajurit dan rakyat Tumapel. Khusus untuk menyingkirkan

Tunggul Ametung, Kretajaya telah menyuruh Kebo Ijo untuk melenyapkan nyawa Sang

Akuwu untuk selama-lamanya. Jika berhasil, Sri Kretajaya akan memberikan jabatan selaku pengganti Tunggul Ametung. Hal ini, membuat Kebo Ijo mau saja melaksanakan perintah Kretajaya, betapa pun setianya ia pada Tunggul Ametung. Ia tahu kedigdayaan

Tunggul Ametung dan tahu pula bagaimana melawannya, dengan keris buatan Empu

220 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Gandring tentunya. Melawan siasat-siasat itu, Arok menerapkan siasatnya pula. Ia tahu,

Empu Gandring hanya bisa menyelesaikan satu keris ampuhnya dalam waktu lebih dari setahun. Dengan sedikit gertakan, Arok telah memintanya untuk menyelesaikan keris pesanannya dalam waktu lima bulan. Dengan cara demikian, empu itu akan kesulitan seandainya Kebo Ijo memesan keris padanya, sehingga, nyawa Tunggul Ametung masih ada harapan untuk terselamatkan (Komandoko, hlm 257-259).

Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, Arok bukanlah seorang punggawa setia bagi Tunggul Ametung. Arok berniat akan menghabisi nyawa Sang Akuwu, apalagi setelah Arok mengetahui jika Ken Dedes mempunyai rahasia agung pada rahim dan kemaluannya. Hal demikian terlihat dalam kutipan berikut ini.

(532) “Arok, anakku… Wanita yang rahasianya menyala adalah wanita nareswari. Betapa pun nestapanya lelaki yang menikahinya, ia akan menjadi raja besar!” (Muljana, hlm 93). (533) “Setelah mendengar ujaran itu, Ken Arok terdiam dan memikirkan siasat jahat untuk mencapai segala keinginannya. Timbul niatnya untuk membunuh Tunggul Ametung. Namun dengan berat hati, Brahmana Lohgawe sangat tidak setuju, serta menentang keras niat Arok membunuh Sang Akuwu. Ken Arok yang begitu nekat, lalu meminta izin untuk mengunjungi bapa angkatnya, Bango Samparan di Karuman. Sesampainya di sana, ia menceritakan segala kisahnya saat di taman Baboji kepada Bango Samparan. Arok menegaskan niatnya untuk tetap membunuh Tunggul Ametung serta mengawani Ken Dedes” (Muljana, hlm 93).

4.24 Pertempuran Sengit Tumapel dengan Kadiri

Pertempuran dahsyat pun pecah di luar Kutaraja. Tunggul Ametung memimpin langsung prajurit Tumapel. Ia mengamuk laksana banteng terluka, ganas menerjang dan menghantam prajurit-prajurit Kadiri. Mendapati amukan Tunggul Ametung, Gubar

Baleman memberi aba-aba bagi pasukan pemanah Kadiri. Melesatlah puluhan anak

221 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

panah tertuju pada Akuwu Tumapel yang tengah mengamuk ganas. Namun, tubuh Sang

Akuwu bagai terbuat dari baja, rontok semua anak-anak panah yang menerpanya. Tidak satupun anak panah mampu menancap atau melukai kulit Sang Akuwu. Baru terbuka kesadaran Gubar Baleman, jika Tunggul Ametung bukan sosok yang mudah ditaklukkan.

Tumapel ternyata telah menyiapkan diri sebaik-baiknya, hingga mampu menahan serangan Kadiri. Perang kembali berlanjut, masing-masing pasukan kembali terlibat dalam tikam-menikam dan berusaha keras untuk saling mematikan. Tunggul Ametung kembali menggila. Tidak juga anak panah, pedang dan tombak yang mengena tubuhnya.

Ia mengamuk, pedang tajamnya menyebabkan puluhan prajurit Kadiri kehilangan nyawa.

Memuncak kemarahan Gubar Baleman, ia segera menyerang. Keris saktinya mengarah pada dada Tunggul Ametung, namun tidak mampu membuat Tunggul Ametung terluka, melainkan membuat ujung keris itu bengkok laksana menerpa baja. Gubar Baleman terkejut, tidak disangka keris sakti andalannya tumpul pada tubuh Tunggul Ametung.

Keterkejutannya belum reda, ia telah kehilangan nyawa setelah pedang tajam Tunggul

Ametung berkelebat ganas memenggal lehernya. Panglima Gubar Baleman tewas mengenaskan, tanpa sempat menjerit (Komandoko, hlm 270-272).

Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, tidak pernah disebutkan bahwa Tumapel pernah berperang melawan Kadiri pada saat Tunggul Ametung masih bernyawa, apalagi sampai terbunuhnya Gubar Baleman oleh Sang Akuwu Tunggul Ametung. Tafsir Sejarah

Nagarakretagama, menyebutkan jika Tumapel di bawah pimpinan Aroklah yang nantinya akan menyerang Kadiri, hingga menewaskan nyawa Mahisa Walungan dan

Gubar Baleman di tangan Ken Arok.

222 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

4.25 Gelagat Aneh Ken Dedes

Dalam sub judul ini, akan dijelaskan bagaimanakah sikap dan gelagat aneh Dedes terhadap Arok, khususnya pada saat mereka sedang membicarakan suatu hal yang sangat serius dan bersifat rahasia. Berikut ini adalah kutipan percakapan di antara keduanya.

(534) “Hati Arok begitu berdebar ketika seorang prajurit mengatakan jika ia diminta untuk menemui Yang Mulia Prameswari. Kebetulan, Tunggul Ametung tidak ada di tempat” (Komandoko, hlm 279). (535) Arok menghadap Dedes. Ia menghaturkan sembah. “Yang Mulia Prameswari, Hamba menghadap” (Komandoko, hlm 279). (536) “Arok! Aku butuh pertolonganmu!”, ujar Dedes (Komandoko, hlm 279). (537) “Katakan saja Yang Mulia Prameswari inginkan. Semampu mungkin akan Hamba laksanakan” (Komandoko, hlm 279). (538) “Permintaanku pertama, hendaklah engkau tak perlu menyebutku Yang Mulia Prameswari jika suamiku tak disisiku. Cukup kau panggil aku Dedes, karena Dedes itu namaku! Yang kedua, maukah engkau membawaku pergi dari Kutaraja ini?” (Komandoko, hlm 280). (539) “Dedes, engkau prameswari Tumapel. Istri sah Yang Mulia Akuwu. Membawamu pergi dari sisinya adalah pengkhianatan besar. Tugasku adalah mengawalmu, bukan membawamu lari dari istana pakuwon ini!” (Komandoko, hlm 280). (540) “Aku memang istri akuwu, tapi aku diperistrinya tanpa restu bapaku. Tanpa iringan rasa cintaku. Akuwu memang menguasai tubuhku, namun tidak jiwa dan rasa cintaku! Lekas, bawa aku dari sini, Arok! Aku akan ikut denganmu ke mana pun kau pergi” (Komandoko, hlm 280). (541) “Dedes, suamimu tak akan membiarkanmu pergi! Ia akan mencarimu, hingga ke lubang semut sekalipun!” (Komandoko, hlm 281). (542) Mendadak Dedes menangis. “Jika engkau tak bersedia, anggap saja tak ada pertemuan dan pembicaraan di antara kita ini, Arok! Percuma aku meminta jika kau tak punya nyali untuk melakukannya!” (Komandoko, hlm 281). (543) “Dedes, aku perlu memikirkannya terlebih dahulu. Diperlukan siasat yang baik untuk memenuhi permintaanmu ini” (Komandoko, hlm 281).

Dari kutipan nomor (534) sampai (543), menunjukkan bahwa Dedes begitu mengharapkan jika Arok membawanya pergi dari istana pakuwon. Walaupun pada kenyataannya, Dedes hidup dalam kemewahan sebagai prameswari, sesungguhnya ia sudah tidak tahan lagi dengan keadaan seperti ini. Arok pun tersentak setelah mendengar

223 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

pengakuan dan keputusan dari Sang Prameswari Tumapel itu. Dengan begitu, Arok berniat akan menyusun siasat, namun ia pun masih bingung siasat apakah yang hendak ia lakukan. Setelah membaca dialog di atas, ada suatu kejanggalan di dalam novel Ken

Arok: Banjir Darah di Tumapel ini. Sejatinya, Dedes adalah seorang Prameswari yang sangat dimuliakan. Ia seorang wanita bermartabat dan dianugerahi oleh Dewata Agung sebagai wanita Nareswari. Dengan membaca dialog-dialog di atas, menunjukkan bahwa tokoh Dedes yang ada dalam karya Gamal ini tidak mempunyai harkat dan martabat sebagai wanita nareswari. Sebab sebagai wanita nareswari, ia begitu mudahnya memaksa seorang punggawa untuk membawanya pergi dari istana, hanya karena gejolak cinta yang baru tumbuh di antara keduanya. Arok pun menjadi serba salah, sungguh ia tidak mengira jika Dedes dapat berkata demikian. Arok berusaha mencegah dan mempertegas, bahwa dirinya hanyalah seorang punggawa biasa. Arok telah memperingatkannya, jika Tunggul

Ametung tidak akan membiarkan Dedes pergi. Sang Akuwu akan tetap mencari, hingga ke lubang semut sekalipun. Hal demikian, dapat dibuktikan setelah membaca kutipan nomor (538), yang berbunyi:

“Arok, maukah engkau membawaku pergi dari Kutaraja ini?” (Komandoko, hlm 280). Kemudian, pada kutipan nomor (539), yang berbunyi:

“Dedes, engkau prameswari Tumapel. Istri sah Yang Mulia Akuwu. Membawamu pergi dari sisinya adalah pengkhianatan besar. Tugasku adalah mengawalmu, bukan membawamu lari dari istana pakuwon ini!” (Komandoko, hlm 280).

Selanjutnya, kutipan nomor (542), yang berbunyi:

Mendadak Dedes menangis. “Jika engkau tak bersedia, anggap saja tak ada pertemuan dan pembicaraan di antara kita ini, Arok! Percuma aku meminta jika kau tak punya nyali untuk melakukannya!” (Komandoko, hlm 281).

224 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Pada kutipan nomor (542) ini, jelas sekali terlihat jika Dedes begitu memaksa

Arok dan begitu mudahnya berkata, “Percuma aku meminta jika kau tak punya nyali untuk melakukannya!”. Hal demikian menunjukkan, bahwa Dedes terlihat kekanak- kanakan, tidak dewasa, dan tidak mencerminkan sebagai seorang wanita nareswari.

Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, menjelaskan bahwa Ken Dedes adalah wanita yang mulia. Slamet Muljana menuturkan, Ken Dedes akan menjadi ibu dari semua raja di Singasari dan . Panawijen adalah cikal bakal raja-raja Singasari dan juga

Majapahit. Benihnya berasal dari Panawijen, sebagai tempat pembenihan Ken Dedes yang telah dibekali ilmu oleh ayahnya berupa karma amamadangi. Kata purwa dalam bahasa Jawa Kuna berarti mula. Jadi, brahmana Panawijen Mpu Purwa merupakan awal atau mula dari segala ajaran yang akan diturunkan melalui Ken Dedes kepada para raja

Singasari dan Majapahit. Seorang wanita yang nantinya akan menjadi ibu dan menurunkan raja-raja, mempunyai status yang sangat mulia. Pilihannya jatuh pada anak perempuan seorang brahmana yang giat dalam bertapa. Berkat khusyuknya tapa sang ayah, puterinya yang mendapatkan hasilnya. Dalam kisahnya ini, Ken Dedes memperoleh pahala tapa sang ayah berupa wahyu cakraningrat, yakni anugerah untuk menurunkan para raja Singasari dan Majapahit. Ken Dedes mempunyai status yang sangat mulia, maka ia bukan wanita sembarangan. Wanita yang dapat mempunyai status semulia Ken

Dedes adalah seorang wanita bangsawan atau keturunan brahmana yang khusyuk dalam bertapa. Ken Dedes itu sangat cantik, ia juga seorang wanita yang sopan, patuh, dan telah matang dalam ilmunya, karena ia telah mempelajari karma amamadangi: laku utama yang menuntunnya dalam kesempurnaan. Karma amamadangi adalah ajaran Buddha yang terdiri dari delapan laku utama, yakni: pandangan yang benar, pikiran yang benar,

225 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

bicara yang benar, tindak laku yang benar, kehidupan yang benar, usaha yang benar, ingatan yang benar, dan samadi (Muljana, 1983:53-54).

4.26 Terbunuhnya Mpu Gandring oleh Kebo Ijo

Hal yang menarik dalam sub judul berikut ini adalah terbunuhnya Mpu Gandring bukan karena ulah Ken Arok, melainkan pembunuhan tersebut terjadi karena ulah Kebo

Ijo, yang hendak merebut keris sakti pesanan Arok dari tangan Mpu Gandring. Dalam

Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel, bahwa kematian Mpu Gandring oleh Kebo Ijo sungguh di luar dugaan, karena hal ini merupakan pelencengan sejarah dari kisah sejarah yang sebenarnya. Untuk membuktikannya, pada kutipan percakapan berikut ini akan ditunjukkan percakapan antara Kebo Ijo dan Mpu Gandring, yang kemudian akan ditunjukkan pula bagaimana terbunuhnya Mpu Gandring di tangan Kebo Ijo.

(544) Kebo Ijo memandang pada sarung tangan Empu Gandring. Ia bertanya kembali. “Empu, sarung keris milik siapa itu?” (Komandoko, hlm 286). (545) “Seseorang, tak tahu siapa namanya” (Komandoko, hlm 286). (546) “Engkau tak tahu namanya, tapi mau mengerjakan pesanannya? Jagat Batara! Sandiwara apa pula ini, Empu?” (Komandoko, hlm 286). (547) “Ijo, aku tak sedang bersandiwara! Aku sungguh-sungguh tak tahu nama pemesan keris ini. Demi Sang Hyang Pancagina! Orang itu datang padaku, memesan keris ini, memberikan uang dan berlalu begitu saja!” (Komandoko, hlm 286-287). (548) “Aneh!”, Kebo Ijo bergumam. “Engkau begitu penurut membuatkan pesanan keris padanya…” (Komandoko, hlm 287). (549) “Jangan asal bicara kau, Ijo! Orang itu tahu sepak terjang kita! Ia bahkan mengancam untuk membawaku ke Kutaraja” (Komandoko, hlm 287). (550) “Kutaraja? Ia… orang Tumapel?” (Komandoko, hlm 287). (551) “Prajurit Tumapel tepatnya!” (Komandoko, hlm 287). (552) “Jagat Dewa Batara! Jangan-jangan dia Arok!” (Komandoko, hlm 287). (553) “Aku sungguh-sungguh tak tahu namanya! Dia datang kepadaku begitu saja, lalu memesan keris ini dengan bayaran tinggi, dan mengancamku! Jika aku tak memenuhi permintaannya, akan segera dibawanya aku menghadap Akuwu. Ia punya bukti pedang buatanku dan juga prajurit Kadiri perusuh yang berhasil ditawannya” (Komandoko, hlm 287).

226 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(554) “Bisa engkau tunjukkan keris itu padaku, Empu?” (Komandoko, hlm 288). (555) “Untuk apa?” (Komandoko, hlm 288). (556) “Ingin tahu saja!” (Komandoko, hlm 288). (557) Kebo Ijo terus memaksa ingin melihat, hingga Empu Gandring menjadi geram dibuatnya. Diambilnya keris itu dan diacungkannya pada muka Kebo Ijo. “Ini keris itu! Puas engkau melihatnya?” (Komandoko, hlm 288). (558) “Jangan engkau acungkan ke dekat wajahku, Empu! Kalau saja keris itu ampuh, bisa celaka aku!”, ujar Kebo Ijo (Komandoko, hlm 288). (559) “Jelas, keris ini ampuh! Engkau meragukan keampuhan keris buatanku ini, Ijo?” (Komandoko, hlm 288). (560) “Empu, apakah kira-kira, keris itu mampu membelah tubuh Akuwu?” (Komandoko, hlm 288). (561) “Meskipun Akuwu keparat itu sakti mandraguna dan kebal tubuhnya, pasti akan terbelah tubuhnya terkena keris ini. Inilah keris penangkal kekebalan Akuwu keparat itu!” (Komandoko, hlm 289). (562) “Aku ingin meminjamnya sebentar. Aku akan bekerja secepatnya dan secepatnya pula akan kukembalikan” (Komandoko, hlm 290). (563) “Keparat sepertimu bisa bekerja cepat? Puih! Setelah bertahun-tahun di dekat Akuwu itu pun, kau tak bisa berbuat apa pun terhadapnya. Engkau menjanjikan kerja cepat? Puih!” (Komandoko, hlm 290). (564) “Boleh atau tidak, aku tetap akan meminjam keris itu, Empu! Dengan kekerasan sekalipun, akan kudapatkan keris itu!” (Komandoko, hlm 290). (565) “Bedebah kau Ijo! Kubelah tubuhmu!” (Komandoko, hlm 290). (566) “Bersamaan dengan ucapannya, keris yang dibawa Empu Gandring diperebutkan begitu saja oleh Kebo Ijo. Keris sakti yang telah berada dalam genggaman tangan Kebo Ijo, langsung ditusukkannya pada dada Sang Empu. Empu Gandring menahan kesakitan yang sangat pada dadanya. Tubuhnya bergetar hebat. Darahnya deras mengucur, matanya mulai mengabur. Ia merasa, tidak lama lagi nyawanya akan tercabut meninggalkan marcapada ini. Maka, kutuknya tertumpah pada Kebo Ijo” (Komandoko, hlm 290). (567) “Hei, Ijo! Engkau juga akan mati terkena keris ini! Tujuh nyawa akan mati pula karena keris ini, camkan itu!” ucap Empu Gandring di saat- saat terakhirnya (Komandoko, hlm 290).

Setelah membaca kutipan nomor (544) hingga (567), dengan jelas menunjukkan bahwa nyawa Mpu Gandring benar-benar terbunuh di tangan Kebo Ijo. Hal ini, dapat di lihat kembali pada petikan nomor (566), yang berbunyi:

227 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

“Bersamaan dengan ucapannya, keris yang dibawa Empu Gandring diperebutkan begitu saja oleh Kebo Ijo. Keris sakti yang telah berada dalam genggaman tangan Kebo Ijo, langsung ditusukkannya pada dada Sang Empu. Empu Gandring menahan kesakitan yang sangat pada dadanya. Tubuhnya bergetar hebat. Darahnya deras mengucur, matanya mulai mengabur. Ia merasa, tidak lama lagi nyawanya akan tercabut meninggalkan marcapada ini. Maka, kutuknya tertumpah pada Kebo Ijo” (Komandoko, hlm 290).

Sumpah serapah Sang Mpu terlihat lagi pada kutipan nomor (567), yang berbunyi:

“Hei, Ijo! Engkau juga akan mati terkena keris ini! Tujuh nyawa akan mati pula karena keris ini, camkan itu!” ucap Empu Gandring di saat-saat terakhirnya (Komandoko, hlm 290).

Berbeda dengan Tafsir Sejarah Nagarakretagama, yang menjelaskan bahwa kematian Mpu Gandring terjadi karena ulah Ken Arok. Ken Arok yang begitu marah karena keris pesanannya belum selesai, maka dengan geramnya ia segera merebut keris sakti itu dari tangan Mpu Gandring. Tanpa mengulur-ulur waktu, Arok menghujamkan keris ampuh tersebut pada tubuh Sang Empu. Sebelum Mpu Gandring meninggal dunia, beliau sempat mengeluarkan sumpah serapahnya pada Ken Arok. Bukan kepada Kebo Ijo yang sebagaimana tertulis dalam novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel.Dalam kutipan berikut ini akan ditunjukkan bagaimana kisah pembunuhan Mpu Gandring yang dilakukan oleh Ken Arok menurut Tafsir Sejarah Nagarakretagama.

(568) “Ken Arok berangkat ke Lulumbang dan memesan keris kepada Mpu Gandring. Arok memaksa dalam waktu lima bulan, keris itu harus sudah selesai. Namun, Mpu Gandring keberatan dengan permintaan Arok. Beliau menawarkan agar dibutuhkan waktu satu tahun supaya keris sakti tersebut jadi dengan sempurna, serta matang pembuatannya. Akan tetapi, Ken Arok terus memaksa dan tetap pada permintaannya, lalu pergi begitu saja. Lima bulan kemudian, Arok datang kembali ke Lulumbang untuk mengambil keris pesanannya, namun keris itu sungguh-sungguh belum selesai dengan sempurna dan masih memiliki hawa maut. Karena Arok begitu marah, keris itu direbut dan ditikamkan pada tubuh Mpu Gandring. Ken Arok yakin bahwa keris itu benar-benar ampuh dan sakti mandraguna” (Muljana, hlm 94).

228 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(569) Sementara itu, Mpu Gandring yang telah sekarat memberikan kutukan bagi Arok dan keturunannya kelak. “Hei Arok! Ingatlah, kamu dan keturunanmu sampai tujuh turunan akan mati karena keris itu juga!” ungkap Mpu Gandring yang setelah itu ia mati seketika (Muljana, hlm 94).

Perbedaan selanjutnya, dalam Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel, tujuan Kebo

Ijo menginginkan keris sakti buatan Mpu Gandring dan pada akhirnya Sang Empu itu tewas di tangan Kebo Ijo, dikarenakan Kebo Ijo akan berniat menghabisi nyawa Tunggul

Ametung. Baginda Kretajaya ternyata menitahkan tugas berat kepadanya, untuk segera menghabisi nyawa Tunggul Ametung. Jika Kebo Ijo berhasil dalam melaksanakan tugasnya, maka Baginda Kretajaya berjanji akan memberikan hadiah kepadanya, yakni menggantikan kedudukan Tunggul Ametung sebagai seorang Akuwu di Tumapel. Oleh karena itu, Kebo Ijo tidak mungkin membuang kesempatan emas ini.

Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, tujuan Ken Arok memesan keris sakti

Mpu Gandring yang kemudian Sang Empu harus terbunuh di tangan Ken Arok, disebabkan karena Arok berniat akan membunuh Tunggul Ametung. Apalagi, setelah

Arok mendengar ucapan Dang Hyang Lohgawe mengenai rahasia agung seorang Dedes, yang menyebutkan jika wanita yang rahasianya menyala adalah wanita nareswari. Betapa pun nestapanya lelaki yang menikahinya, ia akan menjadi raja besar. Setelah mendengar ujaran itu, Ken Arok memikirkan siasat jahat untuk mencapai segala keinginannya.

Timbul niatnya untuk membunuh Tunggul Ametung, namun dengan berat hati, Brahmana

Lohgawe sangat tidak setuju, serta menentang keras niat Arok membunuh Sang Akuwu itu. Arok yang terpesona oleh kecantikan Ken Dedes begitu menginginkan Dedes menjadi istrinya, serta menjadikan keturunannya kelak menjadi raja-raja di tanah Jawa, maka Arok tidak bersabar untuk segera menyusun rencana jahatnya. Ia memang telah

229 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

berhasil membunuh nyawa Mpu Gandring, namun sebelum Sang Mpu meninggal dunia, beliau sempat mengeluarkan sumpah serapahnya, yang berbunyi: “Hei Arok! Ingatlah, kamu dan keturunanmu sampai tujuh turunan akan mati karena keris itu juga!” ungkap

Mpu Gandring yang setelah itu ia mati seketika (Muljana, hlm 94).

4.27 Terbunuhnya Tunggul Ametung oleh Kebo Ijo

Dalam sub judul berikut ini, pengisahannya juga diceritakan menarik, karena terbunuhnya Tunggul Ametung di sini dilakukan oleh Kebo Ijo. Padahal, dalam kisah sejarah yang sebenarnya, jika pembunuh Tunggul Ametung adalah Ken Arok, yang kemudian Kebo Ijo hanya dijadikan korban atau kambing hitam atas peristiwa pembunuhan tersebut.

Dikisahkan, penyimpangan alur sejarah tersebut terjadi pada saat kegembiraan

Tunggul Ametung kian meledak perihal kemenangannya terhadap Kadiri. Ditambah lagi,

Sang Prameswari saat ini tengah mengandung benih-benih yang ditanamkan Sang Akuwu pada rahimnya. Pakuwon berubah laksana arena pesta meriah, setelah kaum brahmana

Tumapel memberikan doa untuk Ken Dedes dan janin yang dikandungnya. Makanan enak-enak disajikan. Tuak Tumapel yang terkenal sangat memabukkan dihidangkan.

Tunggul Ametung larut dalam kegembiraan yang amat sangat. Bergelas-gelas tuak telah ditenggaknya. Ia menari-nari laksana telah kehilangan kewarasan dan terus meminta gelasnya untuk kembali diisi dengan tuak baru. Dedes muak menyaksikan semua itu.

Ditinggalkannya suasana pesta liar yang tidak disukainya dan memilih untuk tiduran.

Seraya mengelus-elus perutnya, direnungkannya kejadian yang dialaminya kini. Entah berapa lama ia berada dalam perenungan seraya tiduran, kemudian mendadak ia bangkit.

230 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Didengarnya di balairung pakuwon tidak lagi ramai. Ia tidak menuju balairung melainkan ke Bilik Agung. Di Bilik Agung itulah biasanya sang suami tertidur pulas setelah mabuk.

Terhenyak luar biasalah saat Dedes tiba di Bilik Agung. Dilihatnya Tunggul Ametung bersimbah darah. Dilihatnya pula Kebo Ijo berdiri tidak jauh dari tubuh suaminya, seraya menggenggam keris berlumuran darah. Dedes menjerit sekeras-kerasnya dan Kebo Ijo kemudian tersentak. Ia mendekati Dedes dan hendak membunuhnya pula. Namun, sebelum keris itu mengenai tubuh Dedes, Kebo Ijo merasakan hentakan amat kuat pada tangannya, sehingga membuat tangan kanan berkerisnya terangkat. Ternyata, pukulan keras Arok menghentakkan dada Kebo Ijo, hingga ia jatuh terjengkang. Keris ditangannya pun seketika terlepas. Arok segera meraih keris itu dan bergegas menuju

Kebo Ijo. Kebo Ijo yang terkejut dan kesakitan segera bangkit, tidak melawan Arok, tapi

Kebo Ijo lari sekuat tenaga keluar dari Bilik Agung. Beberapa prajurit Tumapel yang mendengar jeritan dan teriakan Dedes segera mengejar Kebo Ijo pula. Akhirnya Arok berhasil menangkap Kebo Ijo. Pada mulanya, Kebo Ijo berusaha berkelit dan tidak mau mengakui apa yang telah diperbuat. Namun, Arok yang sudah begitu geram kepadanya dan segera menghujamkan keris itu ke tubuh Kebo Ijo. Seketika itu pula, Kebo Ijo mati tanpa berucap apa-apa. Tumapel pun berkabung. Yang Mulia Akuwu Tunggul Ametung meninggal akibat pembunuhan. Kebo Ijo adalah pelaku tunggal yang mereka percaya selaku pembunuhnya. Masyarakat Tumapel bisa memahami tindakan Arok menghabisi nyawa Kebo Ijo (Komandoko, hlm 294-297).

Berbeda jauh dengan Tafsir Sejarah Nagarakretagama, yang menyebutkan bahwa kematian Tunggul Ametung dilakukan oleh Ken Arok. Kebo Ijo hanyalah sebagai korban atau kambing hitam. Tafsir Sejarah Nagarakretagama, mengisahkan setelah membunuh

231 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Mpu Gandring, dengan tergesa-gesa Arok pun pulang ke Tumapel. Di Tumapel, Ken

Arok mempunyai sahabat kental bernama Kebo Hijo. Kebo Hijo sangat dikasihi oleh

Tunggul Ametung, tetapi sayang wataknya sangat suka pamer. Ketika ia melihat keris

Ken Arok yang berukiran kayu cangkring, ia memaksa Arok untuk dipinjamkan padanya, lalu dipamer-pamerkan kepada orang banyak sehingga hampir segenap orang Tumapel tahu, bahwa Kebo Hijo mempunyai keris baru. Ken Arok menduga bahwa saat yang dinanti-nantikannya telah tiba. Keris tersebut diambil oleh Ken Arok tanpa sepengetahuan Kebo Hijo. Pada malam hari sewaktu telah sepi orang di dalam istana,

Ken Arok langsung memasuki ke tempat dimana Tunggul Ametung berada. Di saat

Tunggul Ametung sedang tertidur nyenyak, segera ditikamnya dengan keris Mpu

Gandring. Baru keesokan harinya, diketahui bahwa Tunggul Ametung telah mati karena kena tikaman keris yang masih tertancap di dadanya. Dengan serta merta Kebo Hijo disergap oleh sanak saudara Tunggul Ametung dan orang-orang di istana. Ken Arok yang muncul bak pahlawan, kemudian menusuki tubuh Kebo Hijo dengan keris Mpu

Gandring. Anak Kebo Hijo yang bernama Kebo Randi menangisi kematian ayahnya.

Melihat peristiwa itu, iba hati Ken Arok dan berjanji akan mengambilnya sebagai abdi

(Muljana, hlm 94-95).

4.28 Penolakan Arok Menggantikan Tunggul Ametung

Dikisahkan dalam Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel, bahwa Arok menolak menggantikan kedudukan Tunggul Ametung sebagai akuwu. Banyak rakyat Tumapel yang menghendaki jika Arok pantas menjadi akuwu di Tumapel. Hal ini dikarenakan, selama Arok menjadi prajurit, begitu banyak wilayah Tumapel yang kembali aman dari

232 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

perampokan. Ia juga tetap menunjukkan kesetiaannya pada Tumapel. Begitulah keinginan rakyat. Begitu pula yang diungkapkan Dewan Penasihat Pakuwon Tumapel, ketika membahas pengganti akuwu Tunggul Ametung di hadapan Dedes dan para perwira Tumapel. Semuanya sepakat menunjuk Arok selaku akuwu baru Tumapel.

Namun, Arok menolak halus penunjukkan atas dirinya. Berikut adalah kutipan percakapannya.

(570) “Menurut Hamba, sosok yang paling pantas menggantikan Yang Mulia Akuwu Tunggul Ametung adalah Yang Mulia Prameswari”, ujar Arok (Komandoko, hlm 301). (571) “Aku?” Dedes tersentak (Komandoko, hlm 301). (572) “Benar Yang Mulia! Yang Mulia adalah istri Yang Mulia Akuwu Tunggul Ametung. Yang Mulia Prameswari adalah sosok yang paling pantas menduduki jabatan selaku akuwu Tumapel. Ada pun Hamba, jika masih dipercaya akan tetap menjadi prajurit dan pengawal bagi Yang Mulia Prameswari”, ungkap Arok (Komandoko, hlm 301). (573) “Baiklah, aku bersedia menerima penunjukkan ini. Namun, hanya bersifat sementara!” (Komandoko, hlm 301). (574) “Hanya untuk menunjukkan bahwa pemerintahan di Tumapel tetap dapat dilangsungkan, setelah kematian suamiku. Menurutku, dibutuhkan sosok yang kuat untuk memimpin Tumapel. Terlebih lagi ketika Tumapel berada dalam kondisi bersiaga perang melawan Kadiri seperti ini. Aku bersedia menjabat akuwu sementara, untuk seterusnya kuserahkan kepada yang paling pantas”, sambung Dedes (Komandoko, hlm 301). (575) “Jadi, menurut Yang Mulia Prameswari, siapa sosok yang paling pantas menjadi Akuwu Tumapel?” ucap Dewan Penasihat Pakuwon Tumapel (Komandoko, hlm 301). (576) “Arok!” (Komandoko, hlm 301).

Pada kutipan nomor (570) sampai (576), menunjukkan bahwa Arok menolak secara halus atas penunjukkannya menjadi akuwu di Tumapel. Arok menyarankan, jika kedudukan Tunggul Ametung lebih pantas digantikan oleh Dedes. Dengan alasan Dedes adalah istri sah Tunggul Ametung, sehingga ia yang lebih berhak. Dedes menerima tawaran Arok, namun hanya untuk sementara waktu. Setelah mendengar keputusan

233 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

tersebut, semua yang hadir menganggukkan kepala dan sangat setuju atas penunjukkan

Dedes menggantikan Tunggul Ametung untuk sementara waktu. Arok menyebutkan, penunjukkan atas dirinya itu belum tepat, karena Tumapel tengah berperang melawan

Kadiri. Ia mengajukan diri menjadi pemimpin pasukan Tumapel untuk menghadapi

Kadiri. Ia tetap menyarankan agar Dedes diangkat menjadi Akuwu Tumapel. Dewan

Penasihat Pakuwon pun menetapkan putri Mpu Purwa menjadi penjabat akuwu sementara dan menunjuk Arok selaku pemimpin pasukan Tumapel. Setelah tercapainya kesepakatan di antara mereka, Arok menyarankan agar Tumapel terlepas dari Kadiri.

Menjadi negeri yang berdaulat. Bukan wilayah jajahan yang harus terus-menerus mengantarkan upeti yang sangat menyengsarakan rakyat Tumapel. Semua yang hadir sangat setuju dan mendukung Arok sepenuhnya. Arok segera berbenah. Menurut perhitungannya, Kadiri pasti akan segera mengerahkan serangan besar-besaran ke

Tumapel. Arok akan membuktikan pada Sri Kretajaya, walaupun Tunggul Ametung telah tiada, Tumapel tetap perkasa. Arok menunjuk orang-orang yang mempunyai kesetiaan yang tinggi terhadap Tumapel. Kalasewu, Gagak Inget, Tita adalah orang-orang utama yang ditunjuk Arok. Begitu pula dengan kawan-kawan lama Arok, ia pun menunjuk mereka untuk membantu Tumapel dalam penyerangan terhadap Kadiri.

Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, menyebutkan bahwa Arok sangat menginginkan jabatan akuwu di Tumapel. Tanpa ragu ia menyatakan, jika ia lebih pantas menjadi akuwu Tumapel dibandingkan Tunggul Ametung. Bahkan, ia akan berniat mendirikan kerajaan baru yang didirikannya, tanpa harus tunduk dalam aturan Kediri.

Oleh karena itu, sepeninggal Tunggul Ametung, Ken Arok mentahbiskan dirinya menjadi

234 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

akuwu di Tumapel dan menikahi Ken Dedes. Di antara orang Tumapel tidak ada seorang pun yang berani menentang.

4.29 Dedes, Istri Kedua Arok

Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel, menyebutkan bahwa Dedes merupakan istri kedua bagi Arok. Berbeda dengan Tafsir Sejarah Nagarakretagama, yang menyebutkan jika Ken Dedes adalah istri pertama Ken Arok. Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel, mengisahkan, Arok tiba-tiba teringat ucapan Dang Hyang Lohgawe sebelum Arok menikahi Umang dulu. Hyang Lohgawe menyebutkan jika Umang adalah salah satu istrinya. Apakah Dedes akhirnya menjadi istri yang kedua? Arok tidak berniat mengajukan pertanyaannya pada bapa angkatnya itu. Namun, bagaimanapun juga, tekad

Arok telah bulat, bahwa nantinya ia akan tetap menikahi Dedes. Betapa kagetnya Arok saat Umang mengatakan padanya, bahwa ia tengah mengandung. Arok memeluk istrinya dengan tawa bahagia. Betapa pun berat untuk mengungkapnya dan mengingat situasi siaga yang tengah diterapkan Tumapel, Arok menjelaskan niatnya memperistri Dedes.

Umang dapat memahami keinginan suaminya, meski semula tampak agak keberatan, yang terpenting, Arok mampu berlaku adil padanya maupun Dedes. Legalah hati Arok mendengar ucapan dan kepercayaan Umang. Ia pun begitu bersyukur akan kehendak

Hyang Dewata Agung yang ditujukan padanya.

Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, disebutkan bahwa Ken Arok menikahi

Ken Dedes lebih dulu, setelah beberapa lama kemudian, barulah Ken Arok menikahi Ken

Umang. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

235 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

(577) “Setelah menikahi Ken Dedes, Sang Amurwabhumi kemudian menikah untuk kedua kalinya dengan istri kedua yang bernama Ken Umang. Dari pernikahannya dengan Ken Dedes, ia dikaruniai tiga orang putera dan seorang puteri, yakni Mahisa Wunga Teleng, Panji Saprang, Agnibaya, dan Dewi Rimbu. Sedangkan, pernikahannya dengan Ken Umang, ia meperoleh empat orang anak, yakni: Panji Tohjaya, Panji Sudatu, Tuan Wregola, dan Dewi Rambi. Pada zamannya, seorang raja mempunyai lebih dari seorang isteri adalah hal yang biasa, baik pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang. Jadi tidak aneh, jika pernyataan pada Pararaton yang mengatakan bahwa Sri Rajasa mempunyai dua orang isteri yakni, Ken Dedes dan Ken Umang. Ken Dedes adalah isteri pertama, sedangkan Ken Umang adalah isteri mudanya” (Muljana, hlm 96).

4.30 Penyerangan Kadiri Kedua

Dalam sub judul berikut ini, disebutkan bahwa Kadiri menyerang Tumapel untuk kedua kalinya. Setelah Baginda Kretajaya mengetahui jika Tunggul Ametung telah tewas mengenaskan, Sri Maharaja Kretajaya begitu puas dan lega. Seketika ia geram kembali, saat pasukan sandi telik mengabarkan padanya bahwa Dedes kini menjadi akuwu

Tumapel dan Arok ditetapkan menjadi pemimpin pasukan Tumapel. Sumpah serapah, caci-maki, dan kutuk Kretajaya tertumpah pada Tunggul Ametung. Ia merasa dikhianati akuwunya sejak lama, karena tanpa sepengetahuannya, Tunggul Ametung ternyata telah menjadikan Arok selaku prajurit Tumapel sekaligus tangan kanannya. Padahal, Kretajaya telah memerintahkan Tunggul Ametung untuk menangkap hidup atau mati Arok sebelumnya. Kretajaya berencana akan menggempur Tumapel, ia mengutus Mahisa

Walungan serta para prajurit Kadiri untuk segera menumpas habis Tumapel.

Informasi yang didapatkan dari pasukan sandi telik, Arok mendapat laporan, jika pasukan Kadiri dalam jumlah besar hendak menyeberangi kali Brantas menuju Tumapel.

Arok segera memimpin prajuritnya untuk mencegat pasukan Kadiri tersebut. Dibaginya,

236 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

pasukan menjadi dua kelompok besar. Satu pasukan dipimpinnya langsung dan berjaga di daerah Pendem, sebuah utara kali Brantas. Satu pasukan lainnya, dipimpin panglima

Kalasewu, diperintahkan Arok berjaga di daerah Tegalgondo, selatan kali Brantas. Saat tengah menunggu seraya bersembunyi, mendadak Arok dikejutkan dengan kedatangan para wanita tanpa busana, sekitar tiga puluh jumlahnya. Mareka berenang-renang di kali

Brantas, tidak jauh dari tempatnya berada. Arok tersenyum, bukan karena melihat keindahan tubuh-tubuh telanjang yang membangkitkan kelelakian itu, melainkan karena ia tahu siapa wanita-wanita itu sesungguhnya. Mereka para perampok wanita anak buah

Nyi Prenjak, teman-teman Umang dahulu. Arok kembali tersenyum. Ia bisa menebak apa yang hendak dilakukan anak buah Nyi Prenjak. Nyi Prenjak dan seluruh anak buahnya hendak membantu Arok dalam melawan Kadiri. Mereka mempunyai siasat demikian, karena ingin membuyarkan konsentrasi para prajurit Kadiri. Arok menempatkan para pemanah jitu dari pasukannya dengan pimpinan Gagak Inget untuk mengambil posisi di tempat-tempat tertentu. Keberadaan wanita-wanita tanpa busana itu akan menguntungkan bagi Arok dan pasukannya (Komandoko, hlm 311-312).

Tidak berapa lama kemudian, datanglah para pasukan Kadiri. Para prajurit di barisan paling depan begitu terkejut mendapati wanita-wanita bertubuh molek tengah berenang-renang tanpa busana. Mereka becanda memamerkan kemolekan, kemulusan tubuhnya, seolah mengundang kedatangan para prajurit untuk turut bersenang-senag dengan mereka. Tanpa diberikan aba-aba, sekitar lima puluh prajurit Kadiri di barisan depan bergegas memasuki kali Brantas dengan gembira untuk mengejar para wanita penggoda birahi itu. Wanita-wanita tanpa busana itu keluar dari sungai Brantas. Mereka berlarian menuju hutan di pinggir kali, bersebelahan dengan pasukan Arok yang bersiaga

237 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

siap menyerang. Prajurit-prajurit Kadiri yang telah lepas kendali seolah tak lagi mempedulikan situasi dan kondisi. Mereka mengejar para wanita tanpa busana itu.

Mendadak terdengar teriakan memilukan dan jeritan menyayat hati. Secara tidak terduga, anak buah Nyi Prenjak muncul dari balik pohon dan semak belukar serta melakukan serangan tiba-tiba. Lebih dari dua puluh prajurit Kadiri seketika tewas mengenaskan di tangan anak buah Nyi Prenjak. Sementara para prajurit Kadiri yang terluka berusaha menghindar dari tempat itu dan terus dikejar anak buah Nyi Prenjak (Komandoko, hlm

312-313).

Arok memberikan aba-aba kepada Gagak Inget. Anak-anak panah segera berterbangan menghujani pasukan Kadiri. Jerit kesakitan, teriakan memilukan kembali terdengar. Tubuh-tubuh prajurit Kadiri bergelimpangan tidak berdaya, begitu juga para prajurit Kadiri yang tengah mengejar anak buah Nyi Prenjak. Mereka terkepung dari dua arah, di depan melawan anak buah Nyi Prenjak dan dari belakang dihujani anak-anak panah para prajurit Tumapel pimpinan Gagak Inget. Mahisa Walungan terperanjat luar biasa. Begitu cepatnya ia kehilangan banyak prajurit oleh jebakan maut itu. Suaranya pun menggelegar memerintahkan segenap prajuritnya untuk mengurungkan menyeberang kali

Brantas. Arok membagi dua pasukannya. Diperintahkannya Tita untuk memimpin pasukan dan berhadapan langsung dengan pasukan Kadiri. Ia perintahkan untuk melawan pasukan Kadiri yang berani menyeberang kali Brantas. Sementara Arok dengan para pasukannya melawan prajurit Kadiri yang telah terkepung. Arok mengamuk sejadi- jadinya. Pedang tajam berkelebat membabat, menusuk, dan membacok setiap prajurit

Kadiri yang ditemuinya. Sepak terjang Arok menimbulkan kengerian yang sangat di kalangan prajurit Kadiri. Tidak berapa lama para prajurit Kadiri itu berhasil dikalahkan.

238 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Sebagian besar kehilangan nyawa dan sebagiannya lagi memilih untuk menyerah. Mahisa

Walungan memerintahkan segenap pasukannya untuk mundur dan kembali ke Kadiri

(Komandoko, hlm 313-314).

Kekalahan Kadiri membuat Sri Kretajaya benar-benar murka. Ingin sesungguhnya ia menghukum mati Mahisa Walungan karena kegagalannya menaklukkan Tumapel.

Mahisa Walungan dinilainya lebih pengecut dibanding Gubar Baleman, ia lebih memilih untuk mundur dibandingkan mati di medan peperangan. Namun, dipertimbangkannya kembali untuk menjatuhkan hukuman mati. Mau tidak mau, Mahisa Walungan adalah adik kandungnya sendiri. Jika hukuman mati diterapkannya, Kretajaya akan kehilangan saudara kandung sekaligus tangan kanan kepercayaannya. Waktu yang menentukan kembali hadir, bagi Arok inilah saat yang ditunggu. Ganter menjadi saksi bisu ketika prajurit Kadiri menyerang Tumapel. Aroma kematian begitu kentara di Ganter, darah tumpah mengalir, dan jerit kesakitan meraung. Arok menunjukkan kedigdayaannya. Ia adalah macan perkasa dan kijang lincah. Terkaman dan terjangannya menawarkan luka dan kematian. Tubuhnya yang kebal membuat para musuh sejenak keheranan sebelum pedang Arok menebas dan menusuknya. Kretajaya juga mengamuk. Para prajurit

Tumapel yang mendekatinya dibuatnya porak poranda. Telah banyak pula prajurit yang ditewaskannya meski tak sebanyak yang diperbuat Arok. Cerita Mahisa Walungan perihal kedigdayaan Arok bukan omong kosong. Dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat kehebatan Arok yang luar biasa. Keterkejutan Kretajaya kian menjadi-jadi saat dilihatnya Mahisa Walungan tewas di tangan Arok. Adik kandungnya yang telah disiapkan menduduki kursi akuwu meregang nyawa di depan matanya sendiri. Kretajaya kembali mendapati kenyataan, harapannya terbang jauh. Kondisi dan situasi yang

239 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

dialaminya sangat jauh dari yang ia kehendaki. Ia pun memerintahkan para prajuritnya untuk mundur. Arok seketika mengamuk kembali dan menimbulkan malapetaka bagi prajurit Kadiri di dekatnya. Arok terus berusaha mendekati keberadaan Dhandang

Gendhis. Tak ada ampun bagi Raja Kadiri itu. Ia ingin menusukkan keris saktinya ke tubuh Kretajaya. Maka, mati-matian para prajurit dan pengawal Sri Kretajaya untuk melindungi pemimpin mereka. Tibalah titik akhir perlawanan itu. Para prajurit Kadiri yang tersisa tak sanggup lagi bertahan. Begitu pula dengan Kretajaya. Raja congkak itu memilih melarikan diri dan mengungsi ke tempat lain. Sorak-sorai kemenangan pasukan

Tumapel. Di atas kuda, Arok mengangkat tinggi-tinggi pedangnya. Kian bergemuruhlah prajurit Tumapel menyambutnya (Komandoko, hlm 327-329).

Kemenangan Tumapel atas Kadiri adalah titik balik munculnya kekuasaan di

Tumapel dan runtuhnya Kadiri. Setelah puluhan tahun terjajah, terinjak-injak harkat dan kehormatannya oleh Kadiri, Tumapel kini berbalik menggenggam Kadiri. Rahasia agung marcapada yang terdapat pada diri Dedes telah tersingkap dan terwujud pada diri Arok.

Arok diangkat selaku maharaja dengan kekuasaan melebihi Kretajaya. Tumapel tetap dijadikannya selaku pusat pemerintahan. Kutaraja diganti menjadi Singasari. Gelar baginya menjulang lagi menggetarkan, yakni: Sri Rajasa Batara Sang Amurwabhumi, dari dirinya lah wangsa Rajasa dimulai, wangsa yang menjadi cikal bakal raja-raja di tanah Jawa.

Berbeda dengan Tafsir Sejarah Nagarakretagama yang menyebutkan, bahwa

Tumapel di bawah pimpinan Ken Aroklah yang menyerang Kediri terlebih dahulu.

Dikisahkan pada waktu itu, Tumapel adalah daerah bawahan Kediri yang diperintah oleh

Raja Kretajaya. Kisahnya, Raja Kretajaya yang biasa disebut Dhandang Ghendis ini

240 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

sedang berselisih dengan para Brahmana Shiwa-Buddha, berpangkal pada keinginannya untuk disembah. Keinginannya itu selalu ditolak, karena belum pernah terjadi jika para brahmana menyembah seorang raja. Untuk memperlihatkan kemampuannya, Kretajaya menancapkan tombaknya di tanah dan duduk di atas ujungnya. Namun, para brahmana tetap pada pendiriannya, segan untuk menyembah Sri Maharaja Kretajaya. Bahkan, karena muaknya akan kelakuan Raja Kretajaya, banyak brahmana yang meninggalkan

Kediri untuk mencari perlindungan di Tumapel, sehingga jumlah pengikut Ken Arok semakin bertambah banyak. Keturunan dan orang-orang yang pernah berbuat baik kepada

Ken Arok dipanggil ke Tumapel untuk menerima balas jasa dan diminta untuk menetap di Tumapel. Oleh para pengikutnya, Ken Arok diangkat sebagai raja dan mengambil nama Abhiseka Rajasa Sang Amurwabhumi. Sejak saat itu, Ken Arok tidak lagi menghadap Raja Kretajaya di Kediri. Hal ini menimbulkan rasa curiga Kretajaya, sehingga Sang Baginda mengira jika Ken Arok akan memberontak. Kretajaya percaya bahwa Kediri tidak akan dapat ditundukkan oleh siapa pun, kecuali oleh Bhatara Guru

(Shiwa). Mendengar hal itu, Ken Arok memanggil para brahmana dan rakyat untuk menyaksikan bahwa ia mengambil nama Bhatara Guru dan memerintahkan prajurit

Tumapel bergerak menyerbu Kediri. Pertempuran sengit terjadi antara prajurit Tumapel dengan prajurit Kadiri yang berkobar di sebelah utara desa Ganter. Dalam pertempuran itu, Mahisa Walungan dan Gubar Baleman, serta hulubalang Kediri tewas mengenaskan.

Para prajurit Kediri berhamburan dan Baginda Kretajaya lari mencari perlindungan di dalam candi Dewalaya. Kediri pun jatuh dalam kekuasaan Tumapel pada tahun 1222 dan

Singasari adalah nama kerajaan yang didirikan oleh Ken Arok (Muljana, hm 95-96).

241 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

4.31 Arok Menyayangi Anusapati

Dalam Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel, menyebutkan bahwa Arok sangat menyayangi Anusapati seperti anak kandungnya sendiri. Anusapati memang putera

Tunggul Ametung dan Dedes. Tetapi, Arok tidak mempermasalahkan hal itu. Rasa sayang Arok begitu besar kepadanya. Arok pun tidak pilih kasih dalam hal kasih sayang atau hal apa pun, ia tetap bersikap adil, baik terhadap Anusapati maupun Tohjaya. Hal tersebut, dapat dilihatkan dalam kutipan di bawah ini.

(578) “Maka, tidak terkira bahagia hati Dedes ketika ia bersanding dengan Arok selaku pasangan suami istri, setelah dari rahimnya lahir seorang anak lelaki bernama Anusapati. Arok adalah lelaki sejati yang dapat memenuhi setiap janjinya. Ia telah menganggap Anusapati selaku anaknya, meski ia juga telah mempunyai seorang anak laki-laki dari Umang, bernama Tohjaya” (Komandoko, hlm 319-320).

Pada kutipan percakapan antara Arok dan Dedes berikut ini, juga akan dibuktikan jika Arok telah mengakui Anusapati sebagai anak kandungnya sendiri, pada waktu

Anusapati masih dalam kandungan Dedes.

(579) Dedes menghela napas kemudian berkata, “Aku bingung, Arok?” (Komandoko, hlm 304). (580) “Bingung?”, tanya Arok heran (Komandoko, hlm 304). (581) “Sebagian dari hatiku gembira, namun sebagian lagi turut mengiringi kematian suamiku. Janin di dalam perutku ini, Arok! Bagaimanapun juga, bapa kandungnya telah mati!” (Komandoko, hlm 304). (582) Arok tertawa. “Dedes, masalah itu yang membuatmu sedih, hingga menghilang rona kecantikan luar biasa di wajahmu?” Arok memeluk tubuh Dedes dari arah belakang, berbisik mesra di dekat telinga Dedes. “Hilangkanlah kesedihanmu, Dedes! Sekarang ini, akulah bapa anak yang engkau kandung itu!” (Komandoko, hlm 304). (583) Dedes melirik ke arah Arok. “Engkau mau mengakui selaku bapa bagi Anakku?” (Komandoko, hlm 305). (584) “Ya!”, Arok mencium telinga Dedes. “Asalkan engkau masih tetap menghendaki aku selaku suamimu!” (Komandoko, hlm 305).

242 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Setelah membaca kutipan nomor (579) sampai nomor (584), menunjukkan bahwa

Dedes merasa kebingungan akan jabang bayi yang dikandungnya. Namun, setelah Arok bersedia mengakui anak yang dikandung Dedes, maka kelegaan dan kebahagiaan muncul di rona cantik Sang Nareswari itu. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan nomor (582), yang berbunyi:

“Dedes, masalah itu yang membuatmu sedih, hingga menghilang rona kecantikan luar biasa di wajahmu?” Arok memeluk tubuh Dedes dari arah belakang, berbisik mesra di dekat telinga Dedes. “Hilangkanlah kesedihanmu, Dedes! Sekarang ini, akulah bapa anak yang engkau kandung itu!” (Komandoko, hlm 304).

Setelah mendengar ungkapan Arok, maka hati Dedes pun senang bercampur kelegaan, karena anak yang dikandungnya telah membuatnya bingung dan gusar. Namun, setelah Arok bersedia mengakuinya selaku anak, legalah perasaan Dedes.

Berbeda dengan Tafsir Sejarah Nagarakretagama yang menyebutkan, bahwa Ken

Arok tidak pernah menyayangi Anusapati seperti anak kandungnya sendiri. Arok merasa

Anusapati hanyalah putera kandung Tunggul Ametung yang tidak harus dipedulikan.

Arok pun tidak bersikap adil kepadanya. Sebagai bukti, putera pertama Ken Arok dan

Ken Dedes, yaitu Mahisa Wunga Teleng diperintahkan untuk memimpin Istana di Kadiri.

Hal demikian, membuat Anusapati bertanya-tanya dan merasa tidak ada keadilan.

Padahal bagi Anusapati, dialah anak pertama. Seharusnya, dialah yang lebih pantas menjadi raja bawahan di Kadiri, bukanlah Mahisa Wunga Teleng. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini.

(585) “Penobatan Mahisa Wunga Teleng sebagai raja Kediri menimbulkan perasaan dengki, iri hati dan kegusaran pada Anusapati yang menganggap dirinya adalah putera sulung Raja Rajasa. Itulah kiranya latar belakang keluhan Anusapati kepada ibunya Ken Dedes. Pararaton menguraikan, jika Ken Dedes menjelaskan bahwa sebenarnya Anusapati adalah putera Tunggul Ametung yang lahir setelah Ken Dedes dinikahi oleh Raja Rajasa. Pertanyaan Anusapati

243 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

‘mengapa sikap Raja Rajasa terhadap Anusapati berbeda dengan sikapnya terhadap saudara-saudaranya?’. Hal ini mempunyai latar belakang yang diuraikan oleh penyusun Pararaton. Dan, pertanyaan itu kiranya harus ditafsirkan: ‘mengapa bukan saya, melainkan adik saya Mahisa Wunga Teleng yang dinobatkan sebagai raja Kediri?’ Dalam hatinya, Anusapati memberontak akan penobatan Mahisa Wunga Teleng, sehingga ia merasa mempunyai hak yang besar daripada Mahisa Wunga Teleng” (Muljana, hlm 96-97). (586) “Bertahun-tahun lamanya, kisah pembunuhan Tunggul Ametung dirahasiakan oleh Ken Dedes bagi Anusapati. Namun, ketika Anusapati sudah beranjak dewasa dan merasa diperlakukan lain daripada saudara-saudaranya oleh Sang Amurwabhumi, timbul curiga di dalam hatinya” (Muljana, hlm 96).

4.32 Misteri Kematian Ken Arok

Dalam Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel, menyebutkan bahwa kematian Arok masih terbilang misteri, tidak dijelaskan bagaimana secara detail alur peristiwa kematian

Sang Amurwabhumi ini. Tidak pula dijelaskan alasan Anusapati menyuruh pengalasan dari Batil untuk membunuh Sang Amurwabhumi. Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel, hanya mengisahkan jika kematian Arok bukanlah di medan laga, melainkan di tempat tidurnya yang mewah. Seorang pengalasan dari dusun Batil berhasil menyelinap masuk ke ruang tidurnya, sambil menggenggam keris Empu Gandring yang didapatkannya dari

Anusapati. Ketika Arok tengah terlelap, ketika itulah keris bertuah Empu Gandring menghujam tubuhnya. Arok yang perkasa, piawai dalam bersiasat, amat cerdik bagai pancaran Hyang Ganesha, harus mati karena pengkhianatan berdarah dalam keluarganya sendiri, oleh Anusapati yang telah diakuinya selaku anak sendiri, sejak Anusapati masih berupa janin dalam kandungan Dedes.

244 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Berbeda dengan Tafsir Sejarah Nagarakretagama yang menyebutkan, bahwa

Anusapati menyuruh pengalasannya untuk menghabisi nyawa Ken Arok, karena ingin membalaskan dendam atas kematian ayah kandungnya, Tunggul Ametung. Hal demikian dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

(587) “Bertahun-tahun lamanya, kisah pembunuhan Tunggul Ametung dirahasiakan oleh Ken Dedes bagi Anusapati. Namun, ketika Anusapati sudah beranjak dewasa dan merasa diperlakukan lain daripada saudara-saudaranya oleh Sang Amurwabhumi, timbul curiga di dalam hatinya. Maka, atas desakan Anusapati, ia lantas bertanya kepada Ken Dedes” (Muljana, hlm 96). (588) “Ibu, mengapa Sang Amurwabhumi bersikap tidak adil kepadaku?”, tanya Anusapati (Muljana, hlm 96). (589) “Jika engkau ingin tahu, ayahmu yang sebenarnya ialah mendiang Tunggul Ametung. Ayah kandungmu telah mati ketika engkau masih di dalam kandungan. Setelah kematian ayahmu, ibu dinikahi oleh Sang Amurwabhumi”, jawab Ken Dedes (Muljana, hlm 96). (590) “Apa sebabnya ayah meninggal?”, Anusapati bertanya kembali (Muljana, hlm 96). (591) “Dibunuh oleh Sang Amurwabhumi menggunakan keris sakti Mpu Gandring, anakku!”, pada saat itu Ken Dedes tiba-tiba terdiam, merasa telah membocorkan rahasia (Muljana, hlm 96). (592) “Ibunda, bolehkah saya melihat keris Gandring pusaka ayahanda?” (Muljana, hlm 97).

Pada kutipan nomor (587) sampai nomor (592), dengan jelas disebutkan bahwa rahasia besar yang selama ini dipendam dan ditutup rapat-rapat, pada akhirnya diketahui pula oleh Anusapati. Anusapati begitu terkejut dan sangat marah setelah mendengar pengakuan dari sang ibu. Maka dengan sedikit memaksa, Anusapati meminta agar sang ibu menunjukkan keris maut itu kepadanya. Setelah keris tersebut ditunjukkan oleh Ken

Dedes kepada Anusapati, Anusapati pun berniat hendak membalaskan dendam akan kematian ayah kandungnya. Kebetulan, Anusapati mempunyai seorang pengalasan berasal dari desa Batil. Pengalasan itu segera dipanggilnya dan diberi perintah untuk

245 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

membunuh Sang Amurwabhumi dengan keris bertuah buatan Mpu Gandring itu. Tanpa membantah, sang pengalasan tersebut segera berangkat. Sesampainya di istana, Sang

Amurwabhumi yang sedang bersantap ditikam dari belakang, seketika itu pula Ken Arok mati mengenaskan. Kejadian pembunuhan Sang Amurwabhumi terjadi pada hari Kamis

Pon, wuku Landep, sewaktu senja saat matahari baru saja terbenam, sekitar tahun Saka

1169 (1247 A.D) (Muljana, hlm 97).

246 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

4.33 Rangkuman

Dalam analisis bab IV, dapat disimpulkan bahwa novel Ken Arok: Banjir Darah di

Tumapel, memiliki 32 alur yang menyimpang. Setelah dianalisis, pelencengan ke-32 alur tersebut tidaklah sesuai dengan kisah sejarah yang tertulis dalam Tafsir Sejarah

Nagarakretagama. Beberapa penyimpangan kisah dalam Ken Arok: Banjir Darah di

Tumapel ini pun, tidak tertulis dalam buku-buku sejarah yang ada. Oleh karena itu, penulis dapat menyimpulkan, bahwa penyimpangan alur sejarah yang ada dalam karya

Gamal ini cukup banyak untuk dianalisis. Setelah diteliti, dari ke-32 penyimpangan alur tersebut, ada 10 penyimpangan alur sejarah yang sangat menonjol.Ke-10 alur tersebut sangat melenceng dari kisah sejarah yang terungkap dalam buku Tafsir Sejarah

Nagarakretagama.Penulis akan menyebutkan kembali tentang ke-10 penyimpangan alur yang menonjol itu secara singkat. Ke-10 penyimpangan alur tersebut, diantaranya adalah:

(1) Penokohan Resi Agung Sri Yogiswara Girinata (2) Gajah Para bukanlah suami

Ken Endok. (3) Peristiwa keji di Pura Agung. (4) Ken Arok bukanlah putera Dewa.

(5) Arok berandal yang baik. (6) Umang istri pertama Arok. (7) Pengkhianatan

Kebo Ijo. (8) Terbunuhnya Mpu Gandring oleh Kebo Ijo. (9) Terbunuhnya Tunggul

Ametung oleh Kebo Ijo. (10) Dedes istri kedua Arok.

Pada sub judul nomor (1), mengenai Penokohan Resi Agung Sri Yogiswara

Girinata itu, dijelaskan bahwa beliau seorang brahmana terhormat yang berasal dari dusun Agung. Sang Resi Gurursi adalah pemimpin Padepokan Girilaya. Banyak para murid yang berbondong-bondong untuk menimba ilmu dan menyerap ilmu darinya. Sang

Resi juga terkenal sakti mandraguna. Ucapannya sangat bertuah, memberikan kedamaian hati bagi pendengarnya ketika beliau memberikan wejangan. Resi Agung Sri Yogiswara

247 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Girinata telah sepuh usianya. Pernah juga beliau berkeluarga. Ken Suraidah nama istri

Sang Resi terdahulu. Istri tercintanya telah meninggal dunia karena mempertahankan kesucian dan kehormatannya karena serangan musuh. Setelah kematian istrinya, beberapa tahun kemudian Sang Resi menikah lagi. Disebutkan, bahwa Sang Resi Gurursi menikahi seorang kembang desa yang berasal dari Pangkur. Dialah Astia atau Ken Endok, salah seorang gadis remaja desa Pangkur yang kecantikannya sangat mempesona. Ken Endok membuat tak sedikit lelaki desa Pangkur dan desa-desa sekitarnya mabuk kepayang serta mengimpikan bisa memperistrinya. Bukan hanya para jejaka yang bertekuk lutut, melainkan lelaki yang telah beristri pula. Ia tetap kukuh menjaga keutuhan keperawanannya. Sampai pada waktunya tiba, rencana Dewata Agung pada diri Ken

Endok berlaku kemudian. Hingga pinangan seorang seorang brahmana, Resi Agung Sri

Yogiswara Girinata pada akhirnya diterimanya. Sang Resi Gurursi mendapati jiwa Ken

Suraidah menitis pada diri Astia atau Ken Endok ini. Maka, beliau tidak ragu untuk meminang si jelita remaja desa Pangkur itu. Astia menerima pinangan Sang Resi meski perbedaan usia di antara mereka sangat jauh. Seperti seorang kakek dengan cucunya, maka jadilah Astia selaku istri sah Yang Suci Gurursi dan kemudian lebih dikenal dengan sebutan Ken Endok. Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, tidak pernah disebutkan tentang adanya seorang tokoh brahmana bernama Resi Agung Sri Yogiswara Girinata.

Apalagi sampai beliau menikahi Ken Endok. Tafsir Sejarah Nagarakretagama menyebutkan bahwa suami Ken Endok adalah Gajah Para, bukanlah Yang Suci Gurursi.

Kemudian, pada sub judul nomor (2), tentang Gajah Para bukanlah suami Ken

Endok adalah penyimpangan alur yang tidak sesuai dengan kisah sejarah yang ada dalam

Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Dikisahkan dalam Ken Arok: Banjir Darah di

248 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Tumapel, bahwa sosok Gajah Para adalah seorang pemuda tampan yang berasal dari golongan kasta sudra dan sangat memegang teguh ajaran Sang Begawan Agung

Siddartha Gautama. Usianya pun hampir sama dengan Ken Endok. Setelah mengenal sosok Gajah Para, ternyata Ken Endok jatuh cinta kepadanya. Hubungan mereka pun semakin akrab saja, awalnya hanya teman biasa. Namun, seiring berjalannya waktu, benih-benih cinta di antara mereka pun mulai tumbuh. Jadi kesimpulannya, Ken Arok:

Banjir Darah di Tumapel menyebutkan jika Gajah Para bukanlah suami Ken Endok.

Suami sah Ken Endok adalah Yang Resi Gurursi. Peran Gajah Para di sini hanyalah sebagai teman dekat Ken Endok, yang nantinya akan berubah menjadi rasa cinta dan terjalinnya hubungan mereka sebagai sepasang kekasih. Berbeda dengan Tafsir Sejarah

Nagarakretagama yang menyebutkan jika Gajah Para adalah suami sah bagi Ken Endok, yang pada akhirnya mereka harus berpisah karena perintah Dewa Brahma.

Selanjutnya, pada sub judul nomor (3), yakni Peristiwa keji di Pura Agung, menceritakan tentang penderitaan Ken Endok. Dikisahkan, Ken Endok membeli setanggi untuk keperluan puja bhakti dari seorang pandhita. Ia tidak terlalu memperhatikan wajah sang pandhita dan juga setanggi yang dibelinya. Baunya jauh lebih harum dari biasanya, harum sekali. Ken Endok yang tengah berkonsentrasi tinggi melakukan puja bhakti, mencium aroma harum itu, kemudian konsentrasinya sedikit buyar. Bau setanggi itu sangat menusuk, membuatnya mendadak didera rasa pusing dan mengantuk. Meski Ken

Endok mencoba bertahan, namun tidak kuat pula ia akhirnya. Ia rebah, terkulai lemah di lantai pura dan Ken Endok pun tertidur. Sang pandhita penjual setanggi menghentikan membaca mantra. Dengan gerak perlahan dan sikap berhati-hati, ia menggeser tubuh Ken

Endok ke tempat tersembunyi di bagian dalam pura. Ia pun berlagak kembali meneruskan

249 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

membaca mantra setelah memastikan tidak ada orang yang melihat kelakuan busuknya.

Gajah Para yang menunggu di halaman pura menjadi keheranan. Beberapa lama ditunggunya, Ken Endok tidak juga muncul. Penasaran di hatinya pun menyeruak muncul. Ia bergegas melihat ke dalam pura. Tidak dilihatnya Ken Endok di dalam pura, yang dilihatnya hanyalah seorang pandhita yang tengah membaca mantra. Pandhita itu menyuruhnya untuk menunggu sebentar. Gajah Para terpaksa menurut. Ia duduk bersila di atas lantai pura. Bau harum setanggi membuat sesak napasnya. Beberapa lama kemudian, ia pun telah terkulai lemas dan tertidur. Peristiwa keji di Pura Agung terjadi.

Sang Pandhita ternyata mempunyai maksud tercela terhadap Ken Endok. Ia bergegas mendekati Ken Endok, menyingkap kain penutup tubuh Ken Endok dan merenggut paksa kegadisan Ken Endok ketika kesadarannya tengah terbang ke langit. Hanya sekejap peristiwa itu terjadi. Dalam hitungan menit, Ken Endok sudah tidak lagi utuh selaku perawan. Kegadisannya terenggut ketika ia tak sadarkan diri, dan sang pandhita bejat moral itu meninggalkan benih-benih kelelakiannya di rahim Ken Endok. Selesai dengan perbuatan tercelanya, sang pandhita menarik tubuh Ken Endok dan menjajarkan dengan tempat rebahnya Gajah Para. Ia pun kembali membaca mantra, seolah tidak pernah melakukan perbuatan nista. Beberapa saat kemudian, ia pergi begitu saja meninggalkan

Ken Endok dan Gajah Para di Pura Agung itu, ketika mereka tidak sadarkan diri.

Beberapa saat kemudian, Ken Endok dan Gajah Para terbangun hampir bersamaan. Ken

Endok merasakan sakit di bagian kewanitaannya. Sakit yang tidak wajar. Ia sangat terkejut. Namun, sejenak kemudian menghilang rasa terkejutnya dan berganti kelegaan.

Ia mengerti dan menyadari, rasa sakit pada kewanitaannya itu karena ia telah kehilangan keperawanan. Ia sangat lega ketika mendapati Gajah Para berada di sampingnya. Dalam

250 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Tafsir Sejarah Nagarakretagama tidak pernah disebutkan jika Ken Endok disetubuhi oleh seorang Pandhita. Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, menyebutkan bahwa

Bhatara Brahma bertemu dengan Ken Ndok di Ladang Lalateng. Pertemuan rahasianya itu berlanjut pada tahap yang lebih intim. Dengan kata lain, Dewa Brahma akan berniat menanamkan benih yang segera menitis dalam rahim Ken Ndok. Kemudian beliau berpesan, agar Ken Ndok jangan berkumpul lagi dengan suaminya. Larangan Dewa

Brahma itu mengakibatkan perpisahan Ken Ndok dengan suaminya, yakni Gajah Para.

Akhirnya, Ken Ndok pulang ke desa Pangkur dan Gajah Para kembali ke desa Campara.

Berlanjut lagi pada sub judul nomor (4), yaitu Ken Arok bukanlah putera

Dewa. Sudah dapat dipastikan, dengan terjadinya peristiwa keji di Pura Agung mengakibatkan Ken Endok mengandung. Logikanya, anak yang ada dalam kandungan

Ken Endok adalah anak dari Sang Pandhita, karena bagaimanapun ia telah memperkosa

Ken Endok secara tidak sadarkan diri. Sang Pandhita bejat moral itu juga meninggalkan benih-benih kelelakiannya di rahim Ken Endok, sehingga mau tidak mau Ken Endok harus mengandung anaknya. Berbeda dengan Tafsir Sejarah Nagarakretagama yang menyebutkan, jika Ken Arok adalah putera Dewa Brahma. Dengan pertemuan rahasia antara Bhatara Brahma dan Ken Ndok di Ladang Lalateng, lantas Dewa Brahma menanamkan benih yang segera menitis dalam rahim Ken Ndok. Kemudian beliau berpesan, agar Ken Ndok jangan berkumpul lagi dengan suaminya, agar benih yang telah tertanam tidak bercampur dengan benih Gajah Para.

Kemudian, pada sub judul nomor (5), adalah Arok berandal yang baik.

Dijelaskan di sini, bahwa Arok merupakan sosok berandal yang baik dan peduli tehadap nasib orang-orang miskin. Sejak masih berusia dini, Arok paling benci melihat

251 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

penindasan manusia atas manusia. Dengan gagah berani, ia membela yang lemah dan menghantam si penindas. Ketika musuhnya menyatakan takluk padanya, ia akan memperlakukan musuhnya itu selaku sahabat. Dengan cara demikian, membuat dirinya tidak banyak mempunyai musuh melainkan banyak kawan jua adanya. Disebutkan pula, jika Arok sangat membenci perilaku Kretajaya yang selalu meminta upeti dari Tumapel.

Arok pun sangat muak akan kelakuan busuk Tunggul Ametung yang selalu doyan wanita-wanita perawan. Arok berniat ingin mengalahkan mereka semua dengan kekuatannya sendiri. Namun, Tita masih tampak ragu-ragu. Sebenarnya, ia menyakini akan kecerdikan dan keberanian Arok. Namun, kekuatan Kretajaya dan Tunggul

Ametung teramat tangguh, apalagi didukung prajurit-prajurit pilihan. Walaupun demikian, Arok tak padam semangat. Ia terus berfikir dan mencari cara, bagaimana secara perlahan-lahan dapat menyingkirkan Kretajaya dan Tunggul Ametung itu. Tiba- tiba bayangan Ki Lembong sejenak melintas di benak Arok. Teringat ia pada ajaran bapak pungutnya ketika dulu mengambil harta orang-orang kaya bejat, sehingga Arok berencana akan mencegat orang kaya yang lewat di sekitar Ladang Sanja. Harta mereka kemudian dijarah, sebagian hasil jarahan diberikan kepada orang-orang miskin. Sebagian sisanya Arok dan Tita simpan. Mereka berdua hendak mempersenjatai diri. Uang hasil rampasan, akan dibelikan senjata dari empu-empu pembuat keris, tujuannya untuk membangun dan memperlengkapi kekuatan. Tidak hanya itu, Arok dan Tita semakin memperbanyak kekuatan dengan merekrut para perampok serta para pemuda yang juga membenci Kretajaya dan Tunggul Ametung. Beberapa remaja dan juga lelaki dewasa mendatangi Arok dan Tita. Mereka semua menyatakan diri bergabung dan menyatakan setuju serta membenarkan tindakan keduanya. Setelah sekiranya kekuatan mereka telah

252 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

tangguh, barulah mereka akan menjarah prajuri-prajurit Tumapel yang membawa upeti untuk Kadiri. Berbeda dengan Tafsir Sejarah Nagarakretagama yang menyebutkan bahwa Arok dan Tita adalah dua berandal yang sangat meresahkan masyarakat Tumapel.

Dikisahkan, setelah lulus dari padepokan tempat Ki Janggan, Arok dan Tita mondok di sebelah timur desa Siganggeng untuk menghadang para pedagang yang lewat. Namun kenakalannya tidak berhenti sampai di situ saja, ia berani pula merampok dan merogol gadis di desa Kapundungan kemudian memperkosanya. Ken Arok menjadi perusuh yang menganggu keamanan wilayah Tumapel dan menjadi buruan Akuwu Tunggul Ametung.

Arok lari dari tempat yang satu ke tempat yang lain.

Pada sub judul nomor (6), yakni Umang istri pertama Arok, dikisahkan dalam

Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel bahwa Arok memperistri Umang terlebih dahulu, sedangkan Dedes berperan sebagai istri kedua Arok. Kisahnya, Hyang Lohgawe secara resmi menikahkan Arok dan Umang untuk bersatu sebagai sepasang suami istri. Umang sangat bahagia dan kian bahagialah ia melihat Arok, karena Arok telah menjadi suami yang sah bagi Umang. Nyi Prenjak dan segenap anak buahnya, serta Tita dan kawan- kawan Arok lainnya, larut dalam kegembiraan dan suka cita. Dalam Tafsir Sejarah

Nagarakretagama, sudah sangat jelas disebutkan jika Umang adalah istri kedua Arok.

Bukan istri pertama Arok, karena Ken Arok menikahi Ken Dedes terlebih dahulu, setelah beberapa lama kemudian, barulah Ken Arok menikahi Ken Umang.

Selanjutnya, pada sub judul nomor (7), tentang Pengkhianatan Kebo Ijo.

Disebutkan bahwa Kebo Ijo merupakan orang kepercayaan bagi Tunggul Ametung, namum telah berbalik untuk berkhianat kepadanya. Kebo Ijo berniat akan menghabisi nyawa Akuwu Tumapel dari bumi marcapada ini. Alasannya cukup sederhana, yakni

253 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

kekuasaan. Ternyata, Baginda Kretajaya telah menyuruh Kebo Ijo untuk membunuh

Tunggul Ametung dan sebagai imbalannya, jika berhasil maka Kebo Ijo berhak atas jabatannya sebagai akuwu menggantikan Tunggul Ametung. Sungguh di luar dugaan, ternyata Kebo Ijo bersedia mengemban titah yang dperintahkan Kretajaya kepadanya.

Demi kekuasaan, apapun akan Kebo Ijo lakukan, sekalipun ia harus membungkam nyawa

Tunggul Ametung untuk selama-lamanya. Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, sama sekali tidak menyatakan bahwa Kebo Ijo telah berkhianat kepada Akuwu Tunggul

Ametung ataupun menghabisi nyawanya. Apalagi, tentang titah Kretajaya yang ditujukan kepada Kebo Ijo untuk menyingkirkan Tunggul Ametung, hal demikian tidak ada sama sekali dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama ini. Tafsir Sejarah Nagarakretagama juga menyebutkan Kebo Ijo adalah orang sangat dikasihi oleh Tunggul Ametung, walaupun sifatnya suka pamer, namun Kebo Ijo adalah orang yang cukup polos dan Tunggul

Ameung sangat mempercayainya.

Kemudian pada sub judul nomor (8), yakni Terbunuhnya Mpu Gandring oleh

Kebo Ijo, merupakan suatu kisah yang sangat menyimpang dari alur sejarah. Ken Arok:

Banjir Darah di Tumapel mengisahkan bahwa Kebo Ijo yang bertandang ke rumah Mpu

Gandring melihat sebuah keris sakti buatan Sang Empu. Kebo Ijo sangat penasaran akan keris tersebut. Ternyata keris yang dibuat oleh Sang Empu telah dipesan oleh Arok. Kebo

Ijo seketika naik darah dan memaksa Mpu Gandring untuk meminjamkannya sebentar, namun beliau menolaknya. Kemarahan Kebo Ijo telah menjulang tinggi, maka keris itu direbutnya dari tangan Sang Empu. Mpu Gandring berusaha mempertahankan kerisnya agar tidak jatuh ke tangan Kebo Ijo, namun sangat disayangkan Kebo Ijo menghujamkan keris tersebut pada dada Sang Empu. Empu Gandring menahan kesakitan yang sangat

254 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

pada dadanya. Tubuhnya bergetar hebat. Darahnya deras mengucur, matanya mulai mengabur. Ia merasa, tidak lama lagi nyawanya akan tercabut meninggalkan marcapada ini. Maka, kutuknya tertumpah pada Kebo Ijo. “Hei, Ijo! Engkau juga akan mati terkena keris ini! Tujuh nyawa akan mati pula karena keris ini, camkan itu!” ucap Empu

Gandring di saat terakhirnya. Berbeda dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, yang menjelaskan bahwa kematian Mpu Gandring terjadi karena ulah Ken Arok. Ken Arok yang begitu marah lantaran keris pesanan belum selesai, maka dengan geramnya ia segera merebut keris sakti itu dari tangan Mpu Gandring. Tanpa mengulur-ulur waktu,

Arok menghujamkan keris ampuh tersebut pada tubuh Sang Empu. Sebelum Mpu

Gandring meninggal dunia, beliau sempat mengeluarkan sumpah serapahnya pada Ken

Arok, yang berbunyi : “Hei Arok! Ingatlah, kamu dan keturunanmu sampai tujuh turunan akan mati karena keris itu juga!” ungkap Mpu Gandring yang setelah itu ia mati seketika.

Berlanjut kembali pada sub judul nomor (9), yaitu Terbunuhnya Tunggul

Ametung oleh Kebo Ijo merupakan suatu kisah yang sangat melenceng dari alur sejarah.

Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel mengisahkan bahwa kematian Tunggul Ametung dilakukan oleh Kebo Ijo. Alasannya, telah disebutkan pada sub judul Pengkhianatan

Kebo Ijo, yakni karena titah Kretajaya dan juga kekuasaan. Setelah berhasil membunuh

Mpu Gandring, Kebo Ijo pun telah berhasil pula membunuh Sang Akuwu Tunggul

Ametung. Berbeda jauh dengan Tafsir Sejarah Nagarakretagama, yang menyebutkan jika kematian Tunggul Ametung dilakukan oleh Ken Arok dan Kebo Ijo hanyalah sebagai korban. Tafsir Sejarah Nagarakretagama, mengisahkan setelah membunuh Mpu

Gandring, dengan tergesa-gesa Arok pun pulang ke Tumapel. Di Tumapel, Ken Arok mempunyai sahabat kental bernama Kebo Hijo. Kebo Hijo sangat dikasihi oleh Tunggul

255 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Ametung, tetapi sayang wataknya sangat suka pamer. Ketika ia melihat keris Ken Arok yang berukiran kayu cangkring, ia memaksa Arok untuk dipinjamkan padanya, lalu dipamer-pamerkan kepada orang banyak sehingga hampir segenap orang Tumapel tahu, bahwa Kebo Hijo mempunyai keris baru. Ken Arok menduga bahwa saat yang dinanti- nantikannya telah tiba. Keris tersebut diambil oleh Ken Arok tanpa sepengetahuan Kebo

Hijo. Pada malam hari sewaktu telah sepi orang di dalam istana, Ken Arok langsung memasuki ke tempat dimana Tunggul Ametung berada. Di saat Tunggul Ametung sedang tertidur nyenyak, segera ditikamnya dengan keris Mpu Gandring.

Terakhir pada sub judul nomor (10), tentang Dedes istri kedua Arok merupakan sesuatu yang menyimpang pula alur kisahnya dari kisah sejarah pada umumnya. Ken

Arok: Banjir Darah di Tumapel menyebutkan Dedes adalah istri kedua Arok, setelah

Arok menikahi Umang lebih dulu. Berbeda dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, menyebutkan setelah menikahi Ken Dedes, Sang Amurwabhumi kemudian menikah untuk kedua kalinya dengan istri kedua yang bernama Ken Umang. Dari pernikahannya dengan Ken Dedes, ia dikaruniai tiga orang putera dan seorang puteri, yakni Mahisa

Wunga Teleng, Panji Saprang, Agnibaya, dan Dewi Rimbu, sedangkan, pernikahannya dengan Ken Umang, ia meperoleh empat orang anak, yakni: Panji Tohjaya, Panji Sudatu,

Tuan Wregola, dan Dewi Rambi. Pada zamannya, seorang raja mempunyai lebih dari seorang isteri adalah hal yang biasa, baik pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang. Jadi tidak aneh, jika pernyataan demikian mengatakan bahwa Sri Rajasa mempunyai dua orang isteri yakni, Ken Dedes dan Ken Umang. Ken Dedes adalah isteri pertama, sedangkan Ken Umang adalah isteri mudanya.

256 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Berikut ini adalah peristiwa sejarah yang menyimpang dalam novel Ken Arok:

Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko yang diperbandingkan dengan Tafsir

Sejarah Nagarakratagama karya Slamet Muljana yang dituliskan ke dalam tabel 1.

TABEL 1

Penyimpangan Alur Sejarah dalam Novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko dibandingkan dengan Tafsir Sejarah Nagarakretagama karya Slamet Muljana

No. Ken Arok: Banjir Darah di Tafsir Sejarah Nagarakretagama Tumapel karya Gamal karya Slamet Muljana. Komandoko 1. Kewaspadaan Kretajaya terhadap Arya Pulung - Maharaja Kretajaya telah - Tidak ada disebutkan bahwa Kretajaya mengetahui gerak-gerik memiliki kewaspadaan terhadap Arya Arya Pulung yang Pulung, apalagi dalam urusan wanita. menginginkan Sang Baginda Kretajaya begitu percaya dan Prameswari jatuh ke dalam mengasihi Arya Pulung sebagai perwira pelukannya. andalannya. Arya Pulung yang nantinya - Baginda Kretajaya ternyata akan berganti nama menjadi Tunggul cemburu akan ketampanan Ametung ini, sangat setia dan patuh dan lirikan maut Arya terhadap titah Sri Maharaja Kretajaya dan Pulung terhadap Sang juga Kadiri. Prameswari. Kretajaya sangat mencintai istrinya dan secara tegas Baginda Kretajaya menitahkan Arya Pulung untuk berangkat ke Tumapel.

2. Dendam Arya Pulung terhadap Kretajaya - Pengiriman Arya Pulung - Tidak ditemukan hal-hal yang membuat untuk memberantas Tunggul Ametung membenci Kretajaya, pergolakan di Tumapel apalagi sampai menyimpan rasa dendam adalah salah satu cara perihal wanita. Dalam karya Slamet Kretajaya untuk Muljana tesebut, Tunggul Ametung tetap menjauhkan Arya Pulung seorang akuwu yang menjalankan tugasnya dari Sang Prameswari. dengan baik. - Dendam di hatinya kepada

257 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Sri Kretajaya semakin menguat. Untuk sementara waktu, ia terpaksa mengalah. Namun, ia tinggal menunggu waktu yang tepat untuk menuntaskan rasa dendamnya itu. Dengan tegas, ia berniat akan menggulingkan kekuasaan Sri Kretajaya. Ia segera menyusun kekuatan di Tumapel sekuat-kuatnya, sebelum menyerang Kadiri dan merobohkan singgasana Kretajaya.

3. Keadaan Tumapel dalam Kekuasaan Tunggul Ametung - Pelacuran, perjudian, dan - Tidak dijelaskan bagaimana situasi minuman keras semakin maupun keadaan saat Tunggul Ametung merajalela, bahkan moral berkuasa. masyarakat bertambah bejat kelakuannya. Akuwu Tunggul Ametung memimpin dan memerintah Tumapel sesuai dengan kehendaknya. - Ia tidak memperdulikan nasib rakyat Tumapel yang miskin. Ia hidup dalam kemewahan dan dikelilingi oleh wanita-wanita cantik tanpa dinikahi. - Tunggul Ametung tiada pernah kehabisan wanita, karena setiap saat para prajuritnya menghadapkan perawan-perawan tercantik dari seluruh penjuru Tumapel yang khusus dipersembahkan untuk Yang Mulia Tunggul Ametung.

258 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

4. Penokohan Resi Agung Sri Yogiswara Girinata - Beliau merupakan seorang - Setelah diteliti dalam Tafsir Sejarah brahmana terhormat yang Nagarakretagama, ternyata tidak berasal dari dusun Agung. ditemukan maupun disinggung sama sekali Yang Suci Gurursi, begitu mengenai sosok seorang brahmana brahmana agung itu kerap bernama Resi Agung Sri Yogiswara disebut segenap warga Girinata ini. dengan rasa hormat. - Sang Resi Gurursi adalah pemimpin Padepokan Girilaya yang akan meminang Ken Endok, gadis desa Pangkur, usia mereka terlampau jauh.

5. Pernikahan Ken Endok dengan Resi Agung Girinata - Ken Endok menikah dengan Resi - Suami dari Ken Endok bukanlah Yang Agung Girinata, ia tidak merasa Suci Gurursi, melainkan Gajah Para. bahagia. Berbicara mengenai siapakah Sang Resi - Sepuluh tahun berlalu, Ken Endok Gurursi itu, dalam karya Slamet Muljana tetap perawan suci. Sang Resi bagai sama sekali tidak disinggung. gunung es yang dingin, seakan kemolekan dan kecantikan istrinya tidak membuatnya berhasrat untuk menyentuhnya.

6. Gajah Para bukanlah suami Ken Endok - Gajah Para bukanlah suami Ken - Tidak disebutkan secara mendetail Endok. Suami sah Ken Endok bagaimanakah sosok Gajah Para itu. Tafsir adalah Sang Resi Gurursi, seorang Sejarah Nagarakretagama menyebutkan brahmana Agung yang memimpin bahwa Gajah Para adalah suami sah Ken Padepokan Girilaya. Endok, yang nantinya harus berpisah karena perintah Dewa Brahma.

7. Mulai Tumbuhnya Perasaan Suka (Perasaan Ken Endok terhadap Gajah Para) - Perasaan suka dan rasa - Sama sekali tidak disebutkan bagaimana ketertarikan Ken Endok terhadap penceritaan antara Ken Endok dan Gajah Gajah Para mulai tumbuh mengisi Para secara mendetail, apalagi relung-relung di hatinya. Ken Endok mengisahkan hubungan mereka secara mulai jatuh cinta pada pandangan sembunyi-sembunyi. Tafsir Sejarah pertama, yakni saat pertemuannya Nagarakretagama tidak menguaknya sama dengan Gajah Para di waktu hujan sekali. deras mengguyur, pada saat Ken Endok hendak menuju Pura Agung.

259 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

8. Terjalinnya Cinta Terlarang (Antara Ken Endok dan Gajah Para) - Kedekatan hubungan antara - Tidak dijelaskan bagaimanakah jalannya Ken Endok dan Gajah Para penceritaan antara hubungan Ken Endok semakin akrab dan menjadi dengan Gajah Para itu. Tafsir Sejarah buah bibir dan cibiran dari Nagarakretagama tetap menyebutkan jika segenap masyarakat yang Ken Endok adalah istri sah Gajah Para, menghanguskan telinga yang nantinya harus berpisah karena keduanya. larangan Dewa Brahma untuk mereka - Hubungan mereka semakin bersatu lagi. mesra. Setiap pagi Ken Endok tidak langsung menuju Pura Agung, melainkan ke rumah Nyi Colok (ibu Gajah Para) terlebih dulu. Kemudian pergi bersama Gajah Para menuju Pura Agung secara bersamaan.

9. Peristiwa Keji di Pura Agung - Kejadian tragis yang menimpa - Tidak disebutkan jika Ken Endok diri Ken Endok. Suatu peristiwa keji disetubuhi oleh seorang Pandhita. Dalam di Pura Agung, yakni tragedi Tafsir Sejarah Nagarakretagama, pemerkosaan yang dilakukan oleh menyebutkan bahwa Ken Endok berkasih Sang Pandhita terhadap Ken Endok. mesra dengan Bhatara Brahma di Ladang Lalateng, yang kemudian Bhatara Brahma menanamkan benih ke dalam rahim Ken Endok. 10. Kehamilan Ken Endok - Kehamilan Ken Endok bukanlah - Bahwa yang menanam benih pada rahim karena dibuahi oleh Bhatara Ken Endok adalah Bhatara Brahma. Brahma, melainkan oleh Sang Bhatara Brahma memerintahkan agar Ken Pandhita yang bertemu saat Ken Endok tidak berkumpul lagi dengan Endok berada di Pura Agung. suaminya, Gajah Para. - Ken Endok tetap mengira jika yang menghamilinya adalah Gajah Para. 11. Kebencian Ken Endok terhadap Gajah Para - Kebencian itu seketika muncul - Tidak adanya rasa kebencian yang karena Gajah Para tidak mau ditunjukkan oleh Ken Endok terhadap mengakui jabang bayi yang Gajah Para. Tafsir Sejarah dikandung oleh Ken Endok. Bagi Nagarakretagama, hanya menyebutkan Gajah Para, ia tidak pernah merasa bahwa Gajah Para meninggal dunia, karena menghamili Ken Endok, apalagi ia melanggar larangan Dewa Brahma dan melakukan perbuatan tidak senonoh panasnya anak yang masih dalam pada saat kejadian di Pura Agung. kandungan Ken Ndok.

260 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

12. Arok bukanlah Putera Dewa - Arok bukanlah putera Dewa - Arok adalah putera Bhatara Brahma. Brahma, melainkan ia terlahir karena adanya pemerkosaan oleh Sang Pandhita yang dilakukannya terhadap Ken Endok di Pura Agung.

13. Arok Berandal yang Baik - Arok adalah sesosok pria yang - Arok dan Tita adalah dua berandal yang tangguh, bersahaja, dan juga seorang sangat meresahkan masyarakat Tumapel. berandal yang baik. Ia merupakan sosok yang menawan.

14. Pertemuan Arok dan Umang Dikisahkan Lebih Awal - Awal petemuan Arok dan Umang - Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, yang dikisahkan lebih awal. Di sini, tidak disebutkan bagaimana pertemuan Arok memiliki ketertarikan kepada Arok dengan Umang secara mendetail. Umang, dan Umang pun memiliki perasaan yang sama.

15. Penokohan tentang Gagak Inget - Gagak Inget adalah seorang - Berbicara mengenai perwira andalan Sang Perwira Tumapel, (orang Akuwu Tunggul Ametung, Tafsir Sejarah kepercayaan Sang Akuwu Tunggul Nagarakretagama hanya menyebutkan jika Ametung). Ia seorang Perwira yang Kebo Ijolah orang kepercayaan bagi Sang sejatinya sangat membenci kelakuan Akuwu Tunggul Ametung. busuk Tunggul Ametung dan Baginda Kretajaya, yang nantinya akan menjadi sahabat bagi Arok.

16. Penokohan Nyi Prenjak dan Anak Buahnya - Mereka adalah sekumpulan - Tidak pernah menyebutkan tentang perampok wanita yang menjadi penokohan Nyi Prenjak dan anak buahnya korban pemerkosaan atas prajurit- itu. Tafsir Sejarah Nagarakretagama tidak prajurit Tumapel. pernah menyinggung tentang adanya - Mereka wanita-wanita yang sekelompok wanita yang selalu memasang menderita karena telah menjadi aksi rampoknya dengan busana demikian. korban pemerkosaan atas prajurit- prajurit Tumapel. Namun, setelah bertemu dengan Nyi Prenjak, mereka bangkit dan berkumpul menjadi satu, serta berniat akan membalaskan dendamnya suatu saat nanti.

261 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

17. Umang Mencintai Arok - Setelah pertemuan awal mereka, - Tidak dicantumkan bagaimana kisah ternyata Umang diam-diam telah percintaan yang terjalin antara mereka mengagumi sosok Arok. Umang berdua. Namun, Tafsir Sejarah tidak mempungkiri jika Arok adalah Nagarakretagama ini hanya menyatakan sesosok pria sejati yang gagah, jika Umang adalah istri kedua Arok, tampan, cerdas, dan tangguh. setelah Arok menikah terlebih dulu dengan Ken Dedes.

18. Umang Istri Pertama Arok - Umang adalah istri pertama Arok. - Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, Dikisahkan, jika Hyang Lohgawe sudah sangat jelas disebutkan bahwa secara resmi menikahkan Arok dan Umang adalah istri kedua Arok. Umang Umang untuk bersatu sebagai bukanlah istri pertama Arok. sepasang suami istri.

19. Sifat Congkak Mpu Gandring - Mpu Gandring adalah seorang - Tidak dijelaskan bagaimanakah sifat yang congkak. Meski terkenal sakti, maupun perilaku dari Mpu Gandring ini. sang empu terkenal sombong. Ia Tafsir Sejarah Nagarakretagama hanya licik dan picik. menyebutkan, jika Mpu Gandring adalah seorang pembuat keris sakti berasal dari Lulumbang dan beliau sahabat baik Bango Samparan.

20. Prajurit Kadiri Membuat Rusuh Tumapel - Prajurit Kadiri membuat rusuh - Tidak disebutkan jika kerajaan Kadiri Tumapel. Pergolakan terjadi berselisih paham dengan Tumapel, apalagi dimana-mana. Padahal, sejak Arok dengan memakai kedok para prajurit Kadiri dan kawan-kawannya menjadi untuk membuat rusuh di wilayah Tumapel. prajurit Tumapel, telah begitu Tafsir Sejarah Nagarakretagama tidak banyak wilayah Tumapel yang menyebutkan sama sekali. Hanya saja, kembali aman. Namun, mendadak Tafsir Sejarah Nagarakretagama daerah-daerah aman itu kembali menyebutkan bahwa Kadiri pernah bergolak, terjadi di luar perkiraan. bertempur dengan Tumapel ketika Ken Arok berkuasa, dan pada saat itu keberadaan Tunggul Ametung pun telah tiada.

21. Pengkhianatan Kebo Ijo - Kebo Ijo berniat akan berkhianat - Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, kepada Tunggul Ametung, yang sama sekali tidak menyebutkan jika Kebo lebih mengejutkan lagi, bahwa Ijo telah berkhianat kepada Akuwu Baginda Kretajaya telah menyuruh Tunggul Ametung, ataupun sampai akan Kebo Ijo untuk membunuh Tunggul menghabisi nyawanya. Apalagi, titah Ametung dan sebagai imbalannya, Kretajaya yang ditujukan kepada Kebo Ijo

262 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

jika berhasil maka Kebo Ijo berhak untuk menyingkirkan Tunggul Ametung, atas jabatannya sebagai akuwu hal demikian tidak ada sama sekali menggantikan Tunggul Ametung. disebutkan dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama ini.

22. Rahasia Mpu Gandring Terungkap - Rahasia Mpu Gandring - Tidak pernah disinggung sama sekali terungkap sejak kedatangan tentang permasalahan Mpu Gandring Arok dan Tita ke menyimpan suatu rahasia. kediamanan rumahnya di desa Lulumbang. Atas saran dan informasi yang diterima dari Nyi Prenjak sebelumnya, Arok dan Tita tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. - Mpu Gandring melakukan pengkhianatan terhadap Tunggul Ametung, dengan membuatkan senjata untuk prajurit Kadiri, guna menghancurkan Tumapel.

23. Kesetiaan Arok terhadap Tunggul Ametung - Arok merupakan punggawa - Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, Tunggul Ametung yang setia. Sang Arok bukanlah seorang punggawa setia Akuwu sangat bersimpati atas bagi Tunggul Ametung. Arok malah kesetiaan yang ditunjukkan oleh berniat untuk menghabisi nyawa Sang Arok kepadanya. Akuwu, apalagi setelah Arok mengetahui jika Ken Dedes mempunyai rahasia agung pada rahim dan kemaluannya.

24. Pertempuran Sengit Tumapel dengan Kadiri - Pertempuran sengit antara Tumapel - Tidak pernah disebutkan jika Tumapel dengan Kadiri. Pertempuran ini pernah berperang melawan Kadiri pada melibatkan Tunggul Ametung saat Tunggul Ametung masih bernyawa, bertarung dengan Gubar Baleman, apalagi sampai terbunuhnya Gubar sehingga nyawa Gubar Baleman Baleman oleh Sang Akuwu Tunggul akhirnya tewas di tangan Tunggul Ametung. Tafsir Sejarah Ametung. Nagarakretagama, menyebutkan bahwa Tumapel di bawah pimpinan Aroklah yang nantinya akan menyerang Kadiri, hingga menewaskan nyawa Mahisa Walungan dan Gubar Baleman di tangan Ken Arok.

263 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

25. Gelagat Aneh Ken Dedes - Terjadi suatu sikap atau gelagat - Ken Dedes adalah wanita yang mulia, Ken Dedes yang berbeda dari biasa. seorang wanita nareswari sehingga tidak Dedes meminta Arok untuk mungkin melakukan hal yang serendah itu. membawa pergi dari istana. Permintaan Dedes pun terjadi secara tiba-tiba, sehingga membuat Arok terkejut, dan tidak dapat berbuat apa-apa.

26. Terbunuhnya Mpu Gandring oleh Kebo Ijo - Terbunuhnya Mpu Gandring - Tujuan Ken Arok memesan keris sakti bukan karena ulah Ken Arok, Mpu Gandring yang kemudian Sang Empu melainkan pembunuhan tersebut harus terbunuh di tangan Ken Arok, terjadi karena ulah Kebo Ijo, yang disebabkan karena Arok berniat akan hendak merebut keris sakti pesanan membunuh Tunggul Ametung pula. Arok dari tangan Mpu Gandring.

27. Terbunuhnya Tunggul Ametung oleh Kebo Ijo - Terbunuhnya Tunggul Ametung di - Kematian Tunggul Ametung dilakukan sini dilakukan oleh Kebo Ijo. oleh Ken Arok dan Kebo Ijo hanyalah sebagai korban atau kambing hitam.

28. Penolakan Arok Menggantikan Tunggul Ametung - Arok menolak menggantikan - Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, kedudukan Tunggul Ametung menyebutkan bahwa Arok sangat sebagai akuwu. Padahal banyak menginginkan jabatan akuwu di Tumapel. rakyat Tumapel yang menghendaki Tanpa ragu ia menyatakan, jika ia lebih jika Arok pantas menjadi akuwu di pantas menjadi akuwu Tumapel Tumapel. dibandingkan Tunggul Ametung.

29. Dedes, Istri Kedua Arok - Dedes merupakan istri kedua bagi - Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, Arok, sedangkan Umang merupakan disebutkan bahwa Ken Arok menikahi Ken istri pertama. Dedes terlebih dulu, setelah beberapa lama kemudian, barulah Ken Arok menikahi Ken Umang.

30. Penyerangan Kadiri Kedua - Peperangan ini mengakibatkan - Berbeda dengan Tafsir Sejarah banyak prajurit antara kedua kubu Nagarakretagama yang menyebutkan, yang tewas. Arok memimpin bahwa Tumapel di bawah pimpinan Ken peperangan itu dengan gagah berani. Aroklah yang menyerang Kediri terlebih Mahisa Walungan pun akhirnya dahulu. harus tewas di tangan Arok, di sangat peperangan itu terjadi. Tidak

264 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

hanya itu, Kretajaya yang memimpin langsung peperangannya itu akhirnya menyerah.

31. Arok Menyayangi Anusapati - Arok sangat menyayangi - Ken Arok tidak pernah menyayangi Anusapati seperti anak kandungnya Anusapati seperti anak kandungnya sendiri. sendiri. Anusapati memang putera Arok merasa Anusapati hanyalah putera Tunggul Ametung dan Dedes. kandung Tunggul Ametung yang tidak - Arok tidak mempermasalahkan harus dipedulikan. Arok pun tidak bersikap hal itu. Rasa sayang Arok begitu adil kepadanya. besar kepadanya. Arok pun tidak pilih kasih dalam hal kasih sayang atau hal apapun, ia tetap bersikap adil, baik terhadap Anusapati ataupun Tohjaya.

32. Misteri Kematian Ken Arok - Kematian Arok masih terbilang - Berbeda dengan Tafsir Sejarah misteri, tidak dijelaskan bagaimana Nagarakretagama yang menyebutkan, secara detail alur peristiwa kematian bahwa Anusapati menyuruh pengalasannya Sang Amurwabhumi ini. Namun untuk menghabisi nyawa Ken Arok, karena yang membunuhnya adalah ingin membalaskan dendam atas kematian pengalasan dari Batil suruhan ayah kandungnya, Tunggul Ametung. Anusapati, karena sebuah pengkhianatan.

265 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko ini, memiliki pengisahan alur yang menyimpang dari kisah sejarah yang ada, khususnya bila dibandingkan dengan Tafsir Sejarah Nagarakretagama karya Slamet Muljana.

Penyimpangan alur sejarah tersebut sebanyak tiga puluh dua alur yang melenceng dari kooridor sejarah. Di antara ke-32 alur tersebut, terdapat sepuluh alur yang sangat menonjol atau melenceng dari kisah sejarah. Keseluruhan kisahnya tersebut tidak sesuai, baik yang tertulis dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama maupun buku-buku sejarah, sedangkan, dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama, kisah sejarah yang pernah terjadi di masa lalu kemudian dituliskan kembali oleh Slamet Muljana dalam karyanya tersebut.

Beliau pun melakukan penelitiannya itu berdasarkan pada beberapa kitab, pupuh, kidung, dan prasasti, seperti yang ada dalam kitab Pararaton, pupuh Nagarakretagama, kidung

Panji Wijayakrama, kidung Harsawijaya, prasasti Mula-Malurung, prasasti Maribong, prasasti Pakis Wetan, prasasti Penampihan, prasasti Pananggungan, piagam Gunung

Wilis, piagam Amoghapasa, dan piagam Padang Arca.

Untuk mengetahui bagaimana alur kisah yang terjadi dalam Ken Arok: Banjir

Darah di Tumapel, maka pada analisis bab II penulis menggunakan analisis struktural sebagai bahan kajiannya. Dalam penelitian alur tersebut, penulis lebih memfokuskan pada peristiwa-peristiwa penting dalam urutan waktu, latar dan pengenalan tokoh yang

266 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

membentuk alur cerita Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel. Tahapan alur tersebut menggunakan lima tahapan alur, yaitu: (1) tahap penyituasian (situation), (2) tahap pemunculan konflik (generating circumstances), (3) tahap peningkatan konflik (rising action), (4) tahap klimaks (climax), (5) tahap penyelesaian (denouement). Setelah diteliti dengan saksama pada analisis bab II, bahwa alur cerita Ken Arok: Banjir Darah di

Tumapel termasuk dalam kategori alur lurus atau alur maju atau alur progresif. Alur lurus dalam sebuah novel dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis. Peristiwa yang pertama diikuti oleh (atau yang menyebabkan terjadinya) peristiwa-peristiwa kemudian. Atau secara runtut cerita dimulai dari tahap awal, yakni: penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik. Tahap tengah, yakni: konflik meningkat, klimaks. Terakhir adalah penyelesaian (Nurgiyantoro, 2007:154).

Pada lima tahapan alur di atas, peristiwa awal dimulai dengan menghadirkan kondisi Tumapel yang pada waktu itu sangat kacau. Kekuasaan atas Baginda Kretajaya justru membawa petaka dan kesengsaraan, khususnya bagi masyarakat Tumapel. Banyak sekali pergolakan di Tumapel, hingga Kretajaya mengutus Arya Pulung untuk menumpas habis pergolakan tersebut. Keberhasilan Arya Pulung membawa berkah bagi dirinya.

Tidak hanya itu, kisah kehidupan Ken Endok juga dipaparkan pada peristiwa awal tahap penyituasian. Pada tahap penyituasian, pengenalan tokoh Kretajaya, Tunggul Ametung,

Ken Endok, Gajah Para telah dipaparkan pada bab II. Pada tahap pengenalan konflik, alur maju terus terjadi sesudah pengenalan tokoh Ken Endok berkenalan dengan tokoh Gajah

Para, sehingga hubungan mereka semakin akrab dan semakin dekat, tidak peduli status

Ken Endok telah bersuamikan Yang Suci Gurursi, hingga petaka pun kembali muncul pada diri Ken Endok. Peristiwa di Pura Agung yang membuat diri Ken Endok harus

267 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

kehilangan keperawanan, akibat perbuatan bejat Sang Pandhita yang kebetulan sedang berada di Pura Agung juga. Ken Endok akhirnya hamil dan ia mengira, bahwa Gajah Para yang melakukannya. Alur terus bergerak lurus ketika memasuki sub judul Putra Ken

Endok yang dipaparkan pada tahap peningkatan konflik. Pada tahap peningkatan konflik banyak sekali peristiwa yang terjadi di dalamnya, hingga berakhir pada sub judul Janji-

Janji Yang Ditepati.Pada tahap klimaks dalam Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel, yang paling menonjol setelah memasuki sub judul Tikam-Menikam. Disebutkan bahwa

Kebo Ijo lah yang membunuh Empu Gandring dan Tunggul Ametung, sebagai balasannya, Arok membunuh balik Kebo Ijo, dengan keris sakti buatan Empu Gandring tentunya. Pada tahap penyelesaian, saat Kadiri menyerang Tumapel, kekuatan laskar perang Arok dan kawan-kawan begitu tangguh, sehingga Kretajaya dan para pasukannya menyatakan kalah.

Kemudian dalam bab III, penulis lebih banyak menunjukkan tentang kebenaran- kebenaran sejarah yang tertulis pada Tafsir Sejarah Nagarakretagama karya Slamet

Muljana. Dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama ini, penulis lebih memfokuskan pengisahan Ken Arok (Sang Amurwabhumi). Penulis juga akan menunjukkan tentang kisah keturunan Ken Arok pada saat berkuasa di masa pemerintahan kerajaan Singasari.

Baik pada masa pemerintahan Raja Anusapati, Panji Tohjaya, Wisnuwardhana, sampai

Kertanagara, serta runtuhnya Singasari.

Terakhir adalah bab IV. Dalam bab IV ini, penulis telah berhasil menemukan dan memaparkan tentang apa sajakah penyimpangan alur sejarah yang terdapat dalam novel

Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko. Penyimpangan alur tersebut telah berhasil ditemukan sebanyak tiga puluh dua alur yang menyimpang dari

268 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

kooridor sejarah. Setelah diteliti, ternyata alur-alur tersebut tidak sesuai dengan kisah sejarah Ken Arok (Sang Amurwabhumi) yang sebenarnya. Setelah penulis berhasil menemukan ke-32 penyimpangan alur sejarah yang terdapat dalam karya Gamal

Komandoko ini, kemudian penulis membandingkannya kembali dengan karya Slamet

Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Pengisahan dari ke-32 penyimpangan alur tersebut, ada 10 penyimpangan alur sejarah yang sangat menonjol. Ke-10 alur tersebut sangat melenceng dari kisah sejarah yang sebagaimana terungkap dalam Tafsir

Sejarah Nagarakretagama. Ke-10 penyimpangan alur tersebut, diantaranya adalah: (1)

Penokohan Resi Agung Sri Yogiswara Girinata. (2) Gajah Para bukanlah suami

Ken Endok. (3) Peristiwa keji di Pura Agung. (4) Ken Arok bukanlah putera Dewa.

(5) Arok berandal yang baik. (6) Umang istri pertama Arok. (7) Pengkhianatan

Kebo Ijo. (8) Terbunuhnya Mpu Gandring oleh Kebo Ijo. (9) Terbunuhnya Tunggul

Ametung oleh Kebo Ijo. (10) Dedes istri kedua Arok.

Pada analisis yang telah dilakukan, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa kisah sejarah sungguh menarik untuk dibahas. Dengan mengingat dan mengulas kembali tentang kisah-kisah sejarah di bumi Indonesia ini, maka kita telah menghargai dan melestarikan budaya bangsa. Betapa berharganya, bila kita memupuk rasa kecintaan kita pada sejarah tanah air dan sastra-sastra sejarah, serta novel-novel yang mengulas tentang sejarah. Salah satunya dengan membaca novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel karya

Gamal Komandoko ini, walaupun terdapat banyak penyimpangan sejarah di dalamnya, namun sebagai anak bangsa, kita patut menghargai karyanya. Sebab sebagai penikmat sastra, kita dapat memahami dan juga menikmati karya-karyanya yang telah disajikan.

Selain itu, dalam novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel ini, Gamal Komandoko

269 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

menuliskan jika Ken Arok sesosok pria yang memukau dan luar biasa. Ken Arok merupakan tokoh yang sangat fenomenal dalam kancah sejarah di tanah Jawa. Ia memang lelaki hebat yang dikaruniai kecerdasan dan keberanian memikat. Melihat hal ini, dapat disimpulkan jika Gamal Komandoko sangat menyukai sosok Ken Arok, dan mengangkat penokohan Ken Arok sebagai tokoh protagonis yang memukau.

5.2 Saran

Novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel ini masih memiliki permasalahan yang dapat diangkat untuk penelitian. Novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel dapat diteliti lagi dengan pendekatan sosiologi sastra maupun psikologi sastra. Jika diteliti dengan pendekatan sosiologi sastra, maka pendekatan ini lebih mengkaji tentang kondisi yang dihadapi oleh masyarakat di Tumapel, Janggala, dan sekitarnya pada masa pemerintahan Baginda Kretajaya. Selain itu, dapat dianalisis mengenai kondisi sosial masyarakat yang terjadi pada masa Tunggul Ametung berkuasa sebagai seorang akuwu.

Bila ditinjau dari sudut pendekatan psikologi sastra, maka dapat dianalisis dari segi penokohan-penokohan dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi sang tokoh.

Misalnya, bagaimana tekanan batin yang dialami tokoh Ken Endok ketika ia dihamili oleh Sang Pandhita, atau, bagaimana ambisi seorang Ken Arok disaat ia masih menjadi perampok, perusuh, dan berandalan, yang sesungguhnya Arok pun muak akan perilaku

Maharaja Kretajaya maupun Tunggul Ametung. Tekanan psikis yang dialami oleh tokoh

Dedes pun dapat pula dianalisis, terutama saat ia diculik oleh Tunggul Ametung dan dinikah paksa dengan Sang Akuwu itu, tanpa izin dari Mpu Purwa. Pada akhirnya, Ken

270 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Dedes diangkat menjadi permaisuri Tumapel, walaupun ia hidup dalam kemewahan, namun batinnya sangat tersiksa.

Tidak hanya itu, Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel dapat pula menghadirkan permasalahan-permasalahan bila diteliti dari pendekatan biografis dan pendekatan mitopoik. Ratna menjelaskan, pendekatan biografis di sini merupakan studi sistematis mengenai proses kreativitas. Subjek kreator dianggap sebagai asal-usul karya sastra, arti sebuah karya sastra dengan demikian secara relatif sama dengan maksud, niat, pesan, dan bahkan tujuan-tujuan tertentu pengarang. Dalam menganalisis penelitian dengan menggunakan pendekatan biografis, maka penelitian harus mencantumkan biografi, surat-surat, dokumen penting pengarang, foto-foto, bahkan wawancara langsung dengan pengarang. Oleh karena itu, pendekatan biografis sesungguhnya bagian penulisan sejarah sebagai historiogtafi (Ratna, 2004:56). Jadi, dalam Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel, bila menggunakan pendekatan biografis, dapat menampilkan apa yang ingin disampaikan oleh Gamal Komandoko tentang novel sejarah ciptaannya. Mengapa beliau mengarang alur sejarah dengan banyak sekali penyimpangan. Kemudian, bagaimana pula sudut pandang Gamal Komandoko dalam pengisahan kisah sejarah Ken Arok yang beliau tulis.

Semua itu dapat dianalisis dengan pendekatan biografis ini. Selain itu pula, dapat pula melakukan wawancara langsung dengannya dan menampilkan riwayat hidup, foto-foto, sampai pada kehidupan pribadinya, sedangkan, pada pendekatan mitopoik, analisis penelitian akan lebih mendalam lagi karena pada pendekatan ini, hampir semua unsur kebudayaan dimasukkan, seperti: sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi, agama, filsafat, dan kesenian.

271 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1991. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Jakarta: Gramedia.

Badrika, I Wayan. 2006. Sejarah Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Basuki, Sulistyo. 2006. Metode Penelitian. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Endarmoko, Eko. 2006. Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Fananie, Zainuddin. 2002. Telaah Sastra. : Muhammadiyah University Press.

Fang, Liaw Yock. 1993. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik Jilid 2. Jakarta: Penerbit

Erlangga.

Hamdani, Hamzah. 1988. Konsep dan Pendekatan Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ikranegara, Tira. 2004. Ken Arok: Keris Pusaka Haus Darah. Jakarta: Yudhistira.

Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:

Gramedia.

Komandoko, Gamal. 2008. Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel. Yogyakarta: Narasi.

Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta: Tiara

Wacana.

Luxemburg, Jan Van, dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra, diterjemahkan dalam Bahasa

Indonesia oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.

Marhijanto, Bambang. 1995. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Populer. Surabaya:

Bintang Timur.

Muljana, Slamet. 1983. Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit. Jakarta: Inti

Idayu Press.

272 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Muljana, Slamet. 2008. Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Yogyakarta: LKis Pelangi

Aksara.

Notosusanto, Nugroho. 1964. Hakekat Sedjarah dan Metode Sedjarah. Jakarta: Mega

Bookstore.

Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Poerwadarminta, W.J.S. 1961. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Dinas

Penerbitan Balai Pustaka.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan

Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Reprensentasi Fiksi dan

Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Santosa, F.X, dkk. 2004. Pedoman Penulisan Skripsi. Yogyakarta: Prodi Sastra Indonesia

Universitas Sanata Dharma.

Sardjono, Maria A. 1992. Paham Jawa: Menguak Falsafah Hidup Manusia Jawa Lewat

Karya Fiksi Mutakhir Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.

Sarwadi, H. 2004. Sejarah Sastra Indonesia Modern. Gama Media: Yogyakarta.

Sayuti, Suminto A. 2000. Berkenalan Dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media.

Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa Bandung.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana

University Press.

273 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Sudjiman, Panuti. 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.

Sumardjo, Yakob. 1979. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: CV. Nur.

Sumardjo, Yakob. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

Sundari, Siti, et.al. 1985. Memahami Cerpen-Cerpen Danarto. Jakarta: Pusat Pembinaan

dan Pengembangan Bahasa.

Taupan, Muhamad. 2007. Sejarah Bilingual. Bandung: CV.Yrama Widya.

Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Teeuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990. Kamus

Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1991. Kamus

Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Wellek, Rene and Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan, diterjemahkan dalam

Bahasa Indonesia oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

Widyawati, Wiwien. 2008. Ken Dedes: Wanita Agung yang Menurunkan Raja-Raja di

Tanah Jawa. Yogyakarta: Pura Pustaka.

Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.

Website: (www.gong.tikar.or.id/?mn=infobuku&kd=1 -Tembolok-Nimp - majalah Gong, (majalah seni budaya) edisi 115/X/2009)

274 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Athalia Wika Ningtyas, yang akrab dipanggil Lia atau Wika ini, dilahirkan di Kota Palembang, Sumatra Selatan pada tanggal 26 Mei 1987 dari pasangan Bapak Dwiyono Widayat dan Ibu Gartika Penjaswati Permana. Athalia Wika memulai pendidikan sekolahnya sejak tahun 1991 di TK PUSRI Palembang, SD PUSRI Palembang (1993-1999), SLTP PUSRI Palembang (1999-2002), SMU PUSRI Palembang (hanya satu tahun ajaran, yakni pada tahun 2002-2003). Kemudian pada tanggal 1 Juli 2003, Lia hijrah ke Pulau Bali dan pada tanggal 8 Juli 2003, ia diterima di sebuah sekolah negeri, yakni SMA 1 Kuta-Bali, hingga ia lulus di akhir bulan Juni tahun 2005. Pada bulan Agustus 2005, Lia melanjutkan perkuliahannya kembali di sebuah perguruan tinggi swasta Universitas Sanata Dharma Jurusan Sastra Indonesia Yogyakarta, hingga Lia berhasil menuntaskan studinya di perguruan tinggi tersebut di tahun ini. Berbicara mengenai hobi, Lia sangat tertarik dengan dunia tari. Sewaktu masih duduk di bangku SD, Lia hobi menari dan aktif dalam sanggar tari di sekolahnya. Lia pernah mengikuti pementasan Tari Tradisional Sumatra Selatan, Tari Tradisional Sumatra Barat, hingga tarian Melayu. Bahkan, sewaktu Lia masih duduk di bangku SMA, ia pun semakin aktif dalam kegiatan cheersleaders yang diadakan di sekolah, maupun di salah satu agency di Pulau Bali. Sampai pada jenjang perkuliahan, ia pun tetap cinta akan dunia tari dan modelling, serta aktif dalam berbagai agency dan management artist di Yogyakarta. Saat ini, Lia masih tinggal bersama orang tuanya dan menetap di alamat Mrican Baru 9 Yogyakarta. Harapannya, Lia ingin selalu melakukan yang terbaik dan ingin selalu membuat orang tuanya bangga atas segala prestasi yang telah dilakukannya selama ini.

275