ANALISIS KOMUNITAS BAKTERI TANAH SULFAT MASAM DARI DUA TIPE LAHAN RAWA DI KALIMANTAN DENGAN PENDEKATAN Next Generation Sequencing (NGS)

EVA MOULIA

PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019 M / 1441 H

ANALISIS KOMUNITAS BAKTERI TANAH SULFAT MASAM DARI DUA TIPE LAHAN RAWA DI KALIMANTAN DENGAN PENDEKATAN Next Generation Sequencing (NGS)

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

EVA MOULIA

11150950000052

PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019 M / 1441 H

ii

ABSTRAK

Eva Moulia. Analisis Komunitas Bakteri Tanah Sulfat Masam dari Dua Tipe Lahan Rawa di Kalimantan dengan Pendekatan Next Generation Sequencing (NGS). Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2019. Dibimbing oleh Dr. Nani Radiastuti, M.Si dan Dr. Dwi Ningsih Susilowati, S.TP, M.Si. Lahan sulfat masam merupakan salah satu sumberdaya lahan yang dapat dikembangkan menjadi lahan pertanian. Namun, perlu didukung oleh perbaikan teknologi dan pemanfaatan bakteri di dalamnya. Penelitian ini dilakukan untuk menginvestigasi keanekaragaman bakteri tanah pada dua tipe tanah sulfat masam di Kalimantan sebagai informasi awal untuk mengoptimalkan peran mikroba dalam produktivitas tanah dan tanaman di lahan sulfat masam di masa mendatang. Komunitas bakteri lahan sulfat masam potensial tipe B di Kalimantan Selatan (SKB) dan aktual tipe C di Kalimantan Tengah (CKB) pada penelitian ini diamati dengan teknik Next Generation Sequencing. Identifikasi menggunakan analisis FLASH (V1.2.7) dan QIIME (V1.7.0). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar komunitas bakteri tanah pada tanah sulfat masam potensial Kalimantan Selatan (SKB) sangat mirip dengan komunitas bakteri yang ada di tanah sulfat masam aktual di Kalimantan Tengah (CKB). Jumlah Unit Taksonomi Operasional (OTU) tanah sulfat masam potential (SKB) lebih tinggi dibanding tanah sulfat masam aktual (CKB) yaitu 1677 OTU berbanding 1317 OTU. Filum dari komunitas bakteri tanah sulfat masam potensial (SKB) sebanyak 11 filum dan komunitas bakteri tanah sulfat masam aktual (CKB) sebanyak 10 filum. Filum yang mendominasi di kedua tipe tanah sulfat masam tersebut di antaranya adalah , Acidobacteria, dan Actinobacteria. Perbandingan sifat kimia tanah dan Total Plate Count berdasarkan analisis laboratorium menunjukkan tanah sulfat masam potensial Kalimantan Selatan memiliki tingkat kesuburan lebih baik dibandingkan dengan tanah sulfat masam aktual Kalimantan Tengah yang kemungkinan mempengaruhi keanekaragaman bakteri tanah yang ada di kedua tipe tanah sulfat masam tersebut. Kata kunci: Bakteri tanah; Next Generation Sequencing; Tanah sulfat masam; Unit Taksonomi Operational

vi

ABTRACT

Eva Moulia. Analysis of Acid Sulfate Soil Communities from Two Types of Swamp Land in Kalimantan with the Next Generation Sequencing (NGS) Approach. Undergraduete Thesis. Departement of Biology. Faculty of Science and Technology. State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta. 2019. Advised by Dr. Nani Radiastuti, M.Si and Dr. Dwi Ningsih Susilowati, S.TP, M.Si. Acid sulfate land is one of the land resources that can be developed into agricultural land. However, it needs to be supported by technological improvements and the use of microorganisms. This research was conducted to investigate the diversity of soil bacteria in two types of acid sulfate soils in Kalimantan as preliminary information to optimize the role of microbes in increasing soil and plant productivity in acid sulfate land in the future. Acid sulfate land bacterial communities in South Kalimantan (potential type B) and Central Kalimantan (actual type C) in this study were discussed with Next Generation Sequencing techniques. Identification using FLASH (V1.2.7) and QIIME (V1.7.0) analysis. The results of this study indicate that most of the soil bacterial communities in South Kalimantan potential acid sulfate soils (SKB) are similar to the bacterial communities that exist in actual acid sulfate soils in Central Kalimantan (CKB). The number of Operational Units (OTU) potentials for SKB acid sulfate soils is higher than the actual CKB acid sulfate soils, which are 1677 OTU compared to 1317 OTU. Phylum of potential sulfate soil bacterial community SKB was 11 phylum and the actual CKB sulfate soil bacterial community was 10 phylum. Domination phylum in the two acid sulfate soils mentioned are Proteobacteria, Acidobacteria, and Actinobacteria. Comparison of soil chemical properties and plate counts based on laboratory analysis shows South Kalimantan's potential acid sulfate soils have a better fecundity rate than Central Kalimantan's actual acid sulfate soils that enhance the compatibility of soil bacteria present in such acid sulfate soils Keywords: Acid sulfate soil; Next Generation Sequencing; Operational Taxonomy Unit; Soil bacteria

vii

KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah azza wa jalla penulis ucapkan, karena berkat izin- Nya penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian yang berjudul “Analisis Komunitas Bakteri Tanah Sulfat Masam Dari Dua Tipe Lahan Rawa Di Kalimantan dengan Pendekatan Next Generation Sequencing (NGS)” dalam rangka Tugas Akhir sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Program Studi Biologi di Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis ingin mengucapkan terima kasih karena adanya dukungan dari banyak pihak terkait dalam penulisan proposal ini, untuk itu penulis berterimakasih kepada : 1. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M. Env. Stud. selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Priyanti, M. Si. selaku Ketua Program Studi Biologi, beserta jajarannya yang telah memberi izin penelitian. 3. Dr. Nani Radiastuti, M. Si dan Dr. Dwi Ningsih Susilowati, S.TP., M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan ilmu, nasihat dan saran yang membangun kepada penulis. 4. Dr. Megga Ratnasari Pikoli, M.Si dan Agustina Senjayani, M.Si selaku dosen penguji seminar proposal serta seminar hasil atas kesedian dalam memberikan arahan serta saran yang bermanfaat untuk skripsi yang lebih baik. 5. Dr. Agus Salim, M.Si dan Narti Fitriana, M.Si selaku dosen penguji sidang Munaqosyah yang telah memberikan arahan serta saran yang membangun dalam penulisan skripsi. 6. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB Biogen) atas kesedian dalam memberikan kesempatan, dan fasilitas pengerjaan penelitian. 7. Kedua orang tua Bapak Holid Halim dan Ibu Laela Bandarela, serta kedua kakak yakni Harts Muhasibi dan Lailatul Hikmah yang selalu memberikan dukungan baik berupa moril maupun materil.

viii

8. Bapak Jajang dan Ibu Aminah selaku keluarga BB-Biogen yang telah membantu selama proses penelitian. 9. Teman-teman seperjuangan Luftiara, Shabrina, Nurlaili, Adel, Ratna, Dara, Yulis, Maul, Lida, Nabila, dan Rafaliq silahudi yang telah memberi support kepada penulis selama penelitian. 10. Seluruh pihak yang terlibat dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat satu per satu. Jakarta, November 2019

Penulis

ix

DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ...... vi ABTRACT ...... vii KATA PENGANTAR...... viii DAFTAR ISI ...... x DAFTAR TABEL ...... xii DAFTAR GAMBAR ...... xiii DAFTAR LAMPIRAN ...... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...... 1 1.2 Rumusan Masalah ...... 3 1.3 Hipotesis ...... 3 1.4 Tujuan ...... 3 1.5 Manfaat ...... 3 1.6 Kerangka Berfikir...... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi dan Karakteristik Lahan Rawa di Kalimantan ...... 5 2.2 Tanah Sulfat Masam ...... 7 2.3 Bakteri Tanah ...... 8 2.4 Metode Identifikasi Komunitas Mikroba ...... 9 2.5 Next Generation Sequencing (NGS) ...... 11

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ...... 14 3.2 Alat dan Bahan ...... 14 3.3 Cara Kerja ...... 14 3.3.1 Pengambilan Sampel Tanah ...... 14 3.3.2 Analisis Fisik, Kimia, Sampel Tanah ...... 16 3.3.3 Total Plate Count Bakteri Tanah Mi ...... 17 3.3.4 Penentuan Komunitas Mikroba Dengan Pendekatan NGS ...... 18 3.3.4.1 Ekstraksi dan pemurnian DNA dari sampel tanah ...... 18 3.3.4.2 Amplifikasi gen 16S rRNA (PCR) ...... 19 3.3.4.3 Kuantifikasi dan Kualifikasi Produk PCR ...... 19 3.3.5 Analisis Data ...... 20

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat-sifat fisik, dan kimia tanah sulfat masam asal Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah ...... 21 4.2 Hasil Total Plate Count Bakteri Tanah ...... 27 4.3 Analisis Komunitas Bakteri Asal Sulfat Masam Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah dengan Menggunakan Metode NonKultur dengan NGS ...... 29

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ...... 38 5.2 Saran ...... 38

x

DAFTAR PUSTAKA ...... 39

LAMPIRAN-LAMPIRAN ...... 53

xi

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Perkiraan Luas Lahan Rawa di Indonesia (Sumber: BBSDLP, 2014) ...... 6 Tabel 2. Lokasi dan Titik Pengambilan Sampel Tanah ...... 15 Tabel 3. Sifat Fisik Tanah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah ...... 21 Tabel 4. Sifat Kimia Tanah Kalimantan Selatan (SKB) dan Kalimantan Tengah (CKB) ...... 22 Tabel 5. Sifat Kimia Tanah Kalimantan Selatan (SKB) dan Kalimantan Tengah (CKB) ...... 23 Tabel 6. Sifat Kimia Tanah Kalimantan Selatan (SKB) dan Kalimantan Tengah (CKB) ...... 26

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Kerangka Berfikir Penelitian ...... 4 Gambar 2. Peta Wilayah Titik Sampling ...... 16 Gambar 3. Konsentrasi Sel Bakteri Tanah Sulfat Masam Kalimantan Selatan (SKB) dan Tengah (CKB) yang ditumbuhkan pada pH normal serta dan yang ditumbuhkan pada pH Asam (SKB-Asam) dan (CKB-Asam)...... 27 Gambar 4. Keragaman Bakteri Berdasarkan OTU (Operational Taxonomy Unit) .... 29 Gambar 5. Diagram Venn Pola Tumpang Tindih antar sampel SKB dan CKB ...... 30 Gambar 6. Komposisi Komunitas Bakteri Tanah Sulfat Masam Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah ...... 31 Gambar 7. Kelimpahan Genus pada Tanah masam Kalimantan Selatan (SKB) dan Tengah (CKB) ...... 33

xiii

DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Perbandingan Teknologi Alat Sekuensing Generasi Kedua ...... 53 Lampiran 2. Kriteria Hasil Analisi Tanah ...... 54 Lampiran 3. Diagram Segitiga Tekstur menurut USDA ...... 56 Lampiran 4. Total Populasi Bakteri Asal Tanah Sulfat Masan Kalimantan Selatan (SKB) dan Kalimantan Tengah (CKB) ...... 57 Lampiran 5. Ekstraksi DNA menggunakan Norgen Soil DNA Isolation Plus Kit #64000 ...... 58 Lampiran 6. Visualisasi DNA Jasil PCR ...... 58 Lampiran 7. Keragaman Bakteri Berdasarkan OTU (Operational Taxonomy Unit)…59 Lampiran 8. Keseluruhan Filum, Kelas, Famili, dan Genus serta Kelimpahan Relatif (KR) Bakteri Tanah Sulfat Masam Kalimantan Selatan (SKB) dan Kalimantan Tengah (CKB) ...... 60

xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Lahan rawa di Indonesia memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian. Namun, lahan ini mempunyai beberapa kendala dalam hal kesuburan tanah, salah satunya yaitu lahan yang bersifat sulfat masam. Tanah sulfat masam memiliki karakteristik berupa ketersediaan hara P yang rendah karena difiksasi oleh Al dan Fe, serta rendahnya kejenuhan basa yang memicu larutnya unsur beracun dan meningkatnya kahat hara (kekurangan unsur hara) sehingga tanah menjadi tidak produktif (Suastika, Hartatik, & Subiksa, 2010). Menurut Widjaja dan Alihamsyah (1998) luas tanah sulfat masam di Indonesia mencapai 6.7 juta hektar dan sekitar 1.7 juta hektar lahan tersebut terdapat di Kalimantan (Haryono, Noor, Syahbuddin & Sarwani, 2013). Potensi lahan sulfat masam di Kalimantan yang luas inilah menjadi latar belakang diperlukannya pengelohan lahan sulfat masam agar berdaya guna untuk meningkatkan lahan produksi pertanian. Tanah sulfat masam di Kalimantan memiliki karakteristik dan tipe lahan yaitu Potensial tipe B dengan karakter lahan terluapi air pasang hanya pada musim hujan dan tipe lahan Aktual tipe C yakni dipengaruhi muka air tanah dengan kedalaman kurang dari 50 cm. Kedua tipe lahan tersebut banyak dijumpai di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Salah satu cara skrining sumber daya tanah sulfat masam yaitu mengidentifikasi keanekaragaman mikroba di dalamnya khususnya mikroba yang bersifat dapat mereduksi sulfat untuk mempelajari hubungan komunitas mikroba tersebut dalam berkontribusi pada peningkatan produktivitas tanah sulfat masam serta vegetasi di lingkungannya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Pranatasari (2012) bahwa vegetasi yang tumbuh pada lahan yang tidak ditanami tumbuhan pangan merupakan “seed bank” berbagai spesies mikroba yang berkontribusi untuk produktivitas tanah dan tanaman saat tanam berikutnya. Penelitian terdahulu oleh Kurniawati, Hamzah Muttaqin, dan Giyanto (2017) mengenai keanekaragaman bakteri pada pertanaman

1

2

padi di lahan rawa sulfat masam Desa Karang Indah, Kab. Barito Kuala, Kalimantan Selatan, memperoleh hasil isolat bakteri sebanyak 31,75%, di antaranya merupakan kelompok bakteri Actinomycetes, Bacillus, Cromobacterium dan Pseudomonas. Namun metode yang digunakan hanya terbatas mengkultivasi mikroba pada media tertentu seperti media tryptic soy agar (TSA), water yeast extract agar (WYE), dan nutrient agar (NA). Metode kultivasi dinilai kurang efisien dari segi waktu dan tenaga, serta kurang memadai untuk menganalisis komunitas mikroba pada lingkungan alaminya, sehubungan dengan adanya sejumlah besar bakteri yang belum dapat dikulturkan, sehingga diperlukan cara yang lebih valid dan akurat untuk mengetahui keragaman mikroba, salah satunya dengan menggunakan Next Generation Sequencing (NGS). NGS merupakan salah satu teknologi molekuler berdasarkan pada analisis DNA total komunitas mikroba dan diharapkan dapat mengatasi keterbatasan teknik pengkulturan. Penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Jarvis et al, (2013) menggunakan teknologi NGS memperoleh sebanyak 16.400 Operational Taxonomi Unit (OTU) terdiri dari filum Proteobacteria, Actinobacteria, Bacteroidetes, Cyanobacteria dan Verrucomicrobia dari sampel Sungai Mississippi, Amerika Serikat. Penerapan NGS lainnya pada digunakan pada studi metagenomik dari bakteri endofit pada tanaman lidah buaya (Akinsanya, Goh, Lim, & Ting, 2015). Penelitian mengenai keanekaragaman bakteri tanah sulfat masam dengan teknik NGS belum pernah dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu untuk mendukung analisis keanekaragaman bakteri tanah sulfat masam di Kalimantan Selatan (lahan Potensial tipe B) dan Kalimantan Tengah (Aktual tipe C) perlu dilakukan identifikasi keanekaragaman bakteri tanah sulfat masam di dalamnya melalui pendekatan molekuler menggunakan analisis NGS. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui informasi keanekaragaman komunitas bakteri tanah sulfat masam baik yang dapat dikulturkan maupun yang tidak dapat dikulturkan (viable but not culturable) dengan menggunakan analisis NGS. Informasi keanekaragaman mikroba tersebut diharapkan dapat mengidentifikasi genus unik sebagai plasma nutfah mikroba adaftif dan dapat mengoptimalkan peran mikroba

3

tersebut dalam strategi pengelolaan lahan sulfat masam untuk peningkatan produktivitas tanah dan tanaman.

1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dari penelitian ini adalah: 1) Bagaimana keanekaragaman komunitas bakteri pada tanah sulfat masam dari dua tipe lahan rawa potensial tipe B di Kalimantan Selatan (SKB) dan Aktual tipe C di Kalimantan Tengah (CKB) dengan pendekatan NGS? 2) Bagaimana tingkat kesuburan lahan sulfat masam pada kedua tipe rawa tersebut? 1.3 Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah: 1) Adanya perbedaan tipe lahan rawa (Potensial tipe B dan Aktual tipe C) di Kalimantan mempengaruhi perbedaan keanekargaman komunitas bakteri. 2) Semakin beragam struktur komunitas bakteri pada lahan rawa maka semakin baik kualitas atau tingkat kesuburan lahan tersebut untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian. 1.4 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) Mengetahui keanekaragaman komunitas bakteri tanah sulfat masam dari dua tipe lahan rawa, potensial tipe B di Kalimantan Selatan (SKB) dan Aktual tipe C di Kalimantan Tengah (CKB). 2) Mengetahui tingkat kesuburan lahan sulfat masam pada kedua tipe lahan rawa tersebut. 1.5 Manfaat Manfaat penelitian ini adalah : Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui hubungan keanekaragaman mikroba dari ekosistem tanah sulfat dengan aktivitas atau fungsi tanah yang dapat digunakan untuk menilai status kesuburan tanah. Adanya informasi tersebut diharapkan dapat dilakukan penelitian lanjutan yang mempelajari optimasi fungsi tanah sulfat masam untuk peningkatan produksi pertanian secara ramah lingkungan. Saran-

4

saran pengelolaan tanah dengan karakter keanekaragaman hayati dan daya dukung ekosistem yang dimiliki dapat dibuat untuk mengoptimalkan fungsinya dalam peningkatan produksi pertanian di tanah sulfat masam. Data-data yang diperoleh dapat menjadi basic data untuk pengembangan strategi dan teknologi adaptasi untuk penyesuaian kegiatan dan teknologi dengan kondisi ekosistem lahan rawa. 1.6 Kerangka Berfikir Kerangka berpikir dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut : Lahan rawa di Indonesia memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian

---- Kendala

Lahan Salin Lahan Sulfat Masam Lahan Gambut

Menggali potensi komunitas mikroba khas guna produktivitas

lahan sulfat masam

Mikroba yang dapat di kultur Mikroba yang tidak dapat di kultur (culturable mikroba) (viable but not culturable)

Isolasi dengan teknik Analisis Molekuler NGS TPC

Keanekaragaman komunitas bakteri tanah sulfat masam pada dua tipe lahan rawa di Kalimantan

Gambar 1. Kerangka Berfikir Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Potensi dan Karakteristik Lahan Rawa di Kalimantan Luas Pulau Kalimantan untuk wilayah Indonesia diketahui sebesar 544.150 km2, yang terbagi dalam lima provinsi yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara (Sosilowati et al., 2017). Secara geografis, Kalimantan Selatan memiliki kawasan dataran rendah di bagian barat dan pantai timur yang di dominasi berupa lahan gambut dan rawa, sedangkan dataran tingginya merupakan hutan hujan tropis (BPS KalSel, 2017). Vegetasi yang tumbuh pada ekosistem lahan rawa di Kalimantan Selatan secara umum didominasi oleh tanaman purun tikus (Eleo charisdulcis), karamunting (Melastoma sp.), Kalaikai (Stochleana palustris J.Sm), tanaman Lombok-lombokan, dan beberapa tanaman pada varietas lokal (Siam) (Erny et al.,2015) Wilayah terbesar lainnya yaitu Kalimantan Tengah yang memiliki luas 157.983 km² dan sebesar 80% dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Tengah merupakan hutan primer tersisa sekitar 25% dari luas wilayah (BPS Kalteng, 2017). Rata-rata curah hujan per tahun di Kalimantan Tengah 1.048-1.930 mm dengan hari hujan 166-169 hari. Kisaran suhu udara adalah Max. 32,4±0,62; Min. 24,23± 1,16 dan kelembapannya berkisar 86,6±2,23 (Haryono et al., 2013). Setiap tanah memiliki kandungan sesuai ukuran yang bermanfaat bagi kehidupan makhluk lain didalamnya, begitu juga dengan luas tanah rawa di Kalimantan yang berpotensi dikembangkan sebagai lahan pertanian. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Hijr: 19 bahwa segala sesuatu yang Allah SWT ciptakan di bumi ini sudah ada kadarnya masing-masing sesuai ukuran.

Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. (QS. AL-Hijr : 19)

5

6

Berdasarkan kompilasi beberapa peta rawa yang dilakukan Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP) tahun 2014, diketahui bahwa luas rawa di Indonesia sebesar 34.926.551 ha (Tabel 1). Tabel 1.Perkiraan Luas Lahan Rawa di Indonesia (Sumber: BBSDLP, 2014)

Rawa pasang Pulau Rawa lebak Rawa gambut Total luas surut …………………….…..x 1.000 ha…………………….... Sumatera 2.501.888 3.988.301 6.436.646 12.926.835 Jawa 896.122 0 0 896.122 Kalimantan 2.301.410 2.944.085 4.778.005 10.023.500 Sulawesi 318.030 706.220 23.844 1.048.094 Maluku 74.395 88.159 0 162.554 Papua 2.262.402 3.916.123 3.690.921 9.869.446 Indonesia 8.354.247 11.642.288 14.929.416 34.926.551

Lahan rawa umumnya tergenang dengan vegetasi hutan primer yang terdiri atas hutan kayu atau hutan sekunder yang mencakup hutan galam, serapat, belangiran dan sejenisnya. Faktor yang mempengaruhi pembentukan lahan rawa antara lain bahan induk penyusun, sedimentasi, vegetasi awal, intensitas pelapukan yang ditentukan oleh curah hujan, suhu, kelembaban sinar matahari, luapan pasang atau banjir, dan waktu (Haryono et al., 2013). Lahan rawa pasang surut adalah lahan yang airnya dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut atau sungai. Badan Litbang Pertanian membagi tipe luapan air lahan pasang surut berdasarkan pasang siklus bulanan menjadi tipe luapan A, B, C dan D (Wijaya, 1986). Lahan bertipe luapan A selalu terluapi air pasang, baik pada musim hujan maupun musim kemarau, sedangkan lahan bertipe luapan B hanya terluapi air pasang pada musim hujan saja. Lahan bertipe luapan C tidak terluapi air pasang tetapi dipengaruhi muka air tanahnya dengan kedalaman kurang dari 50 cm, sedangkan lahan

7

bertipe luapan D adalah seperti tipe C hanya kedalaman air tanahnya lebih dari 50 cm (Susilawati, Nursyamsi, & Syakir, 2016). Walaupun lahan rawa pasang surut potensial dan strategis dikembangkan sebagai lahan pertanian namun, lahan ini mempunyai beberapa permasalahan dari segi kesuburan tanah, antara lain pH tanah dan kandungan hara yang rendah, kandungan Fe dan aluminium yang tinggi, genangan air yang sering tidak dapat dikendalikan

(Purnomo et al., 2005), serta kandungan H2S dan Mn yang dapat mencapai tingkat racun (Andriesse & Sukardi, 1990). Salah satu masalah tersebut ditemukan pada tanah sulfat masam. Tanah sulfat masam yang mengalami oksidasi karena didrainase akan menghasilkan logam Fe dalam jumlah yang mencapai racun dan kemasaman yang sangat tinggi (Shamshuddin et al., 2004). 2.2 Tanah Sulfat Masam Tanah sulfat masam terbentuk sekitar ribuan tahun yang lalu setelah proses peningkatan muka air laut atau transgresi dalam membentuk pirit. Pembentukan pirit dapat terjadi karena kondisi lingkungan anaerob, adanya sumber sulfat (sebagai aseptor elektron terakhir) terlarut biasanya dibawa dari air laut, bahan organik sebagai sumber energi bakteri, sumber besi (umumnya berasal dari sedimen yang mengandung besi oksida dan hidroksida (Dent & Pons, 1995). Reduksi ion sulfat menjadi sulfida dilakukan oleh bakteri pereduksi sulfat. Sulfida-sulfida yang terbentuk selanjutnya mengalami oksidasi parsial menjadi sulfur elemental dan ion polisulfida. Reaksi sulfida terlarut dengan besi menghasilkan besi monosulfida (FeS) (Susilawati et al., 2016). Reaksi monosulfida dengan sulfur ini yang membentuk pirit. Persamaan reaksi keseluruhan proses pembentukan pirit dinyatakan sebagai berikut: 2- - Fe2O3(s) + 4SO4 (aq) + 8CH2O + 1/2O2(aq) ------2FeS2(s) + 8HCO3 (aq) + 4H2O Pada keadaan tereduksi, pirit bersifat stabil sesuai dengan suasana lingkungan pembentukannya. Namun, penurunan air tanah yang dapat disebabkan peristiwa alam seperti gerakan tektonik, atau pembuatan drainase yang tidak ramah lingkungan dapat menyebabkan oksigen dapat menembus ke dalam tanah dan menyebabkan oksidasi pirit. Produk akhir oksidasi pirit adalah Fe3+oksihidroksida, proton, dan sulfat: + 2− FeS2 + 3.75O2 + 3.5H2O → Fe (OH)3 + 4H + 2SO4

8

Peristiwa oksidasi pirit secara abiotik dan dilakukan oleh aktivitas mikroba asidofilik pengoksidasi pirit diistilahkan dengan peristiwa “leaching” yaitu aktivitas mikroba mempercepat laju reaksi oksidasi pirit dengan co-oksidasi Fe(OH)3 yang menghasilkan Fe3+ yang berperan sebagai pengoksidasi kuat pirit (Wu et al., 2013).

Oksidasi pirit juga menghasilkan oksida besi (Fe2O) dalam bentuk karat (Yu et al., 2012). Sedangkan dampak ion sulfat (SO4-2) dan hidrogen (H+) menyebabkan penurunan pH tanah atau air menjadi sangat masam yang selanjutnya menyebabkan kelarutan Al3+, Fe2+ dan Mn2+ tinggi dalam tanah sehingga kejenuhan basa menjadi rendah dan terjadi kekahatan unsur hara di dalam tanah (Widjaja & Alihamsyah, 1998). Berdasarkan kedalaman pirit dan tingkat intensitas oksidasi yang terjadi, Widjaja et al., (1986) dalam Suastika et al., (2010) mengklasifikasikan lahan sulfat masam menjadi tiga golongan yaitu lahan potensial (Sulfat masam Potensial) dengan kadar pirit <2% pada kedalaman 50 cm dari permukaan tanah; lahan sulfat masam potensial dengan ciri kadar lapisan pirit sebesar >2% tidak/belum mengalami proses oksidasi, dan terletak lebih dangkal <50 cm; serta lahan sulfat masam actual dicirikan keadaan pH tanah <3,5. Sifat fisika tanah utama sulfat masam adalah tekstur tanah yang umumnya liat (clay), lempung (loam), dan sebagian berpasir (sandy), kerapatan tergolong rendah, yaitu berkisar 0,52 – 0,95 g cm-3, dan porositas antara 64,2-80,4% (Nugroho et al., 1998). Tanah sulfat masam mempunyai karakteristik kimia tanah yang kurang baik yakni ketersediaan fosfat rendah karena diikat oleh besi atau aluminium dalam bentuk besi fosfat atau aluminum fosfat. Sumber kemasaman tanah sulfat masam berasal dari senyawa pirit (FeS2) yang teroksidasi melepaskan ion-ion hidrogen dan sulfat yang diikuti oleh penurunan pH menjadi sekitar 3 (Subagyo & Widjaja, 1998). 2.3 Bakteri Tanah Bakteri indigenous yaitu bakteri yang secara alami hidup bebas di alam dan memiliki berbagai macam manfaat bagi manusia. Beberapa hasil penelitian yang memanfaatkan bakteri indigenous telah banyak dilaporkan misalnya sebagai agen bioremediasi limbah (Diswanto & Kardena, 2010) agen pengendali hayati tanaman; penghasil antibiotik (Ta, 2011); agen pelarut fosfat (Marista et al., 2013); penghasil

9

enzim-enzim potensial yang pemanfaatannya dapat digunakan dalam bermacam bidang industri dan sebagainya (Baehaki et al., 2011). Secara garis besar komunitas bakteri, fungi aktinomisetes, dan archea di dalam tanah berperan dalam siklus C, N, P, dan unsur lainnya. Seperti diketahui spesies- spesies mikroba dari kelompok bakteri, fungi, dan aktinomisetes mampu berperan sebagai penyedia hara di dalam tanah atau secara langsung bagi tanaman seperti bakteri penambat N, pelarut fosfat dan Kalium (Pambudi, 2017). Ketersediaan fosfat dalam tanah umumnya rendah, karena fosfat terikat dalam bentuk Fe-fosfat dan Al-fosfat pada tanah asam atau dalam bentuk Ca3(PO4)2 pada tanah basa, sehingga fosfat tidak dapat begitu saja digunakan oleh tanaman (Suliasih & Rahmat, 2007). Tanah sulfat asam merupakan jenis tanah yang secara alami mempunyai produktivitas rendah. Tanah jenis ini didominasi oksida Al dan Fe serta daya ikat P yang tinggi sehingga menyebabkan unsur P rendah atau tidak tersedia dalam tanah (Silitonga & Priyani, 2013). Bakteri pelarut fosfat (BPF) di dalam tanah mempunyai kemampuan melepas Fosfor (P) dari ikatan Fe, Al, Ca dan Mg, sehingga P yang tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman (Rao, 1994). Bakteri yang mempunyai kemampuan sebagai pelarut fosfat dalam tanah beberapa diantaranya adalah dari genus Pseudomonas, Bacillus dan Rhizobium yang diisolasi dari negara tropis, juga dilaporkan dapat melarutkan fosfat (Rodríguez & Fraga, 1999). Sebagian besar bakteri tanah bersifat heterotroph, yang memanfaatkan sumber energi organik yang sudah jadi seperti gula, tepung pati, selulosa, dan protein, sedangkan sebagian kecil bakteri tanah yang ditemukan pada tanah sulfat masam bersifat autotroph, yakni memanfaatkan energi dari sumber anorganik, salah satunya berasal dari genus Ferrobacillus yang memanfaatkan Fe dan yang memanfaatkan belerang (Haryono et al., 2013). 2.4 Metode Identifikasi Komunitas Mikroba Metode yang umum digunakan untuk identifikasi komunitas mikroba terbagi menjadi dua, yaitu: (1) metode menggunakan teknik molekuler untuk analisis DNA; dan (2) metode yang hanya mengidentifikasi mikroba yang dapat dikulturkan.

10

Beberapa metode molekuler yang melibatkan ekstraksi dan analisis DNA dari seluruh komunitas mikroba meliputi Terminal Restriction Fragment Length Polymorphism (T- RFLP), Denaturing Gradient Gel Electrophoresis (DGGE), Thermal Gradient Gel Electrophoresis (TGGE), Single Strand Conformation Polymorphism (SSCP), Automated Ribosomal Intergenic Spacer Analysis (ARISA), amplifikasi fragmen- fragmen asam nukleat dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR), dan Fluorescent In Situ Hybridization (FISH). Struktur dari profil-profil yang didapatkan selanjutnya dianalisis melalui Principal Component Analysis (PCA) atau analisis komputasi (misalnya analisis kluster dan dendrogram) (Susilowati, Suwanto, Sudiana, & Mubarik, 2015). Metode identifikasi mikroba yang dapat dikulturkan dilakukan dengan mengkultivasi berbagai tipe mikroba di dalam sampel pada nutrisi selektif untuk memacu pertumbuhannya, kemudian diidentifikasi isolat-isolat dari koloni yang dominan. Prosedur ini tidak efisien dari segi biaya dan tenaga, karena setiap isolat harus dipelajari lebih lanjut dengan mengamati sifat fisiologi, taksonomi, dan reaktivitasnya terhadap pewarna (Susilowati et al., 2015). Populasi bakteri yang diambil dari sampel alam mungkin tidak terwakili secara akurat pada saat ditumbuhkan pada media agar-agar (Hattori, 1988). Teknik pengkulturan kurang memadai untuk menganalisis komunitas mikroba pada lingkungan alaminya, sehubungan dengan adanya sejumlah besar bakteri yang belum dapat dikulturkan (Amann et al., 1995). Pendekatan culture memiliki kelemahan dalam hal selektivitas yang rendah dan tidak efisien karena periode pengkulturan yang lama, dan teknik ini juga kurang akurat menggambarkan komunitas bakteri yang disebabkan oleh perubahan kondisi lingkungan (Liu et al., 1997). Menurut Hugenholtz et al, (1998) metode molekuler berdasarkan pada analisis DNA total komunitas mikroba tanah dapat mengatasi keterbatasan teknik pengkulturan. Cara analisis komunitas berdasarkan gen 16S rRNA yang melibatkan PCR DNA lingkungan, membuat pustaka klon, memilah klon ke dalam Operational Taxonomical Units (OTUs) dengan analisis RFLP dan sekuensing bersifat sangat efektif untuk analisis komunitas (Grobkopf et al., 1998). Analisis klon-klon sekuen gen

11

16S rRNA dari DNA lingkungan dapat memfasilitasi deteksi dan identifikasi mikroba yang tidak dapat dikulturkan (Lueders & Friedrich, 2000). 2.5 Next Generation Sequencing (NGS) Metode sekuensing DNA yang pertama kali digunakan adalah metode Sanger (Sanger dideoxy sequencing). Metode ini menggunakan DNA templat dan memerlukan primer spesifik untuk reaksi sekuensing. Panjang sekuen yang dihasilkan berkisar antara 1.000-1.200 pasang basa (bp) dan tidak mampu mencapai lebih dari 2.000 bp (Tinning & Genome, 2013). Generasi kedua teknologi sekuensing setelah generasi pertama Sanger dikenal dengan next generation sequencing (NGS). Filosofi dasar pembentukan mesin NGS diadaptasi dari metode sekuensing shotgun (Shendure, Mitra, Varma, & Church, 2004). Istilah NGS secara kolektif digunakan untuk mendeskripsikan semua teknologi sekuensing selain teknologi sekuensing Sanger. Teknologi ini berpotensi menekan biaya sekuensing satu genom manusia hanya dengan USD1.000 (Kling, 2005). Pada metode NGS, templat DNA dipotong dengan enzim restriksi lalu fragmen DNA diklon pada vektor sekuensing dan individu fragmen DNA setiap klon disekuen terpisah. Hasil sekuen lengkap dari fragmen DNA yang panjang dapat diperoleh dengan menjajarkan (alignment) dan menyambung (assembly) sekuen fragmen DNA berdasarkan bagian sekuen yang berkomplemen (overlapping), yang memungkinkan pemetaan genom manusia dapat diselesaikan (Tasma, 2015). Teknologi NGS dapat membaca templat DNA secara acak (random) sepanjang seluruh genom dengan membuat potongan-potongan pendek DNA genom, kemudian menyambungkannya dengan adapter (potongan DNA pendek yang didesain khusus untuk tujuan ini) agar dapat dibaca oleh mesin NGS secara random selama proses sintesis DNA (Oecd, 2017). Oleh karena itu teknologi NGS sering disebut dengan sekuensing paralel secara masif (massively parallel sequencing). Panjang bacaan sekuen DNA yang dihasilkan mesin NGS jauh lebih pendek dibandingkan bila menggunakan mesin sekuensing dengan metode Sanger. NGS menghasilkan panjang sekuen DNA antara 50-500 bp (Tinning & Genome, 2013). Karena sekuen yang dihasilkan NGS pendek, sekuensing setiap fragmen DNA mesti dilakukan lebih dari

12

sekali ukuran genom (genome sequence coverage), hal ini dilakukan untuk menjaga akurasi data hasil sekuensing (Oecd, 2017). Tiga teknologi NGS utama yang tersedia saat ini adalah Roche/454 pyrosequencing platform, Illumina Solexa polymerase sequencing platform, dan ABI/SOLID ligase sequencing technology. Jika dibandingkan dengan metode sekuensing Sanger, ketiga teknologi NGS ini menghasilkan data sekuen yang jauh lebih banyak dalam sekali menjalankan alat. Oleh karena itu alat ini dikenal dengan high throughput sequencing platforms (Ansorge, 2009). Prinsip dasar ketiga alat NGS tersebut berbeda, baik dalam menghasilkan data sekuen, kualitas data yang dihasilkan maupun biaya sekuensing terlamppir pada (Lampiran 1). Alat Roche/454 menghasilkan data sekuen terpanjang, tetapi kuantitas data sekuennya terendah (lowest throughput). Jumlah sekuen basa yang dihasilkan Illumina/Solexa tertinggi (highest throughput), tetapi panjang bacaannya hanya sekitar 100 basa. Panjang bacaan yang dihasilkan ABI/SOLID terpendek, hanya sekitar 50 basa, tetapi tingkat kesalahan pembacaan DNA pada proses sekuensing (error rate) paling rendah. Teknologi NGS merupakan revolusi metode sekuensing dan menghasilkan data sekuen yang luar biasa besar dalam waktu relatif singkat dibandingkan dengan metode sekuensing Sanger (Gao et al., 2012). Beberapa penelitian terkait penerapan teknologi NGS dalam mempelajari keanekaragaman mikroba antara lain yaitu (1) penelitian yang dilakukan oleh Jarvis et al, (2013) menggunakan teknologi NGS dan hypervariable V6 dari 16S rDNA, memperoleh sebanyak 16.400 Operational Taxonomi Unit (OTU) yang diamati (4594±824 OTU per sampel). Proteobacteria, Actinobacteria, Bacteroidetes, Cyanobacteria dan Verrucomicrobia dicatat 93.6 ±1.3% dari semua urutan yang terbaca, dan 90.5 ± 2.5% dari OTU dibagi di antara semua situs (n = 552). (2) penelitian oleh Akinsanya et al, (2015) terkait studi metagenomik dari bakteri endofit pada tanaman lidah buaya, dengan menilai amplitudo PCR-nya. Urutan 16S rDNA (wilayah V3-V4) dengan teknik metagenomics Illumina digunakan untuk menghasilkan total 5.199.102 pembacaan dari sampel. Analisis mengungkapkan

13

Proteobacteria, Firmicutes, Actinobacteria dan Bacteriodetes sebagai genera dominan. (3) penelitian terkait pusaka genom kakao oleh Tasma, Satyawan, dan Rijzaani (2012) menggunakan sequencing HiSeq2000, menghasilkan konstruksi pustaka genom berukuran 300 pasang basa (bp) dengan masing-masing konsentrasi 14,70 ng/µl (ICCR02), 15,20 ng/µl (ICCR04), dan 12,90 ng/µl (SUL02). Sekuensing ketiga genom tersebut menghasilkan data sekuen 52,9 x 109bp. Klaster DNA pustaka genom memiliki nilai Q scores>30 (75,0%) dengan tingkat kesalahan pembacaan basa rendah (1,47%). Berdasarkan hasil kualitas klaster pustaka genom ketiga genotipe kakao tersebut termasuk kategori pustaka ideal. (4) penelitian dengan pengurutan Illumina-MiSeq dari amplikon gen 16S rRNA dan 18S rRNA oleh Wang et al, (2017) menemukan bahwa komposisi dan keanekaragaman mikroba tanah berbeda antara tanah yang terinfeksi bakteri layu (Ralstonia solanacearum) dengan tanah yang sehat. Komunitas mikroba tanah bervariasi pada berbagai tahap pertumbuhan tanaman karena perubahan komposisi eksudat akar dan pH tanah. Tanah yang sehat menunjukkan keanekaragaman mikroba yang lebih tinggi daripada tanah yang terinfeksi bakteri layu. Mikroba menguntungkan yang lebih berlimpah termasuk Bacillus, Agromyces, Micromonospora, Pseudonocardia, Acremonium, Lysobacter, Mesorhizobium, Microvirga, Bradyrhizobium, Acremonium dan Chaetomium lebih banyak ditemukan pada tanah sehat daripada tanah yang terinfeksi bakteri yang layu.

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan sejak bulan April sampai Agustus 2019 di Laboratorium Mikrobiologi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB Biogen), Jalan Tentara Pelajar 3A Bogor. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dengan pendekatan teknologi Next Generation Sequencing (NGS) dan didukung dengan data kuantitatif berupa hasil perhitungan total populasi mikroba yang dapat dikulturkan. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain adalah neraca analitik, autoklaf, oven, alat sentrifugasi (Microfuge 22R Beckman CoulterTM), laminary air flow, penangas air, pH meter, refrigerator, freezer -20℃, deep freezer -80℃ (Laxicon® ult freezer ESCO), tabung mikro berukuran 2 ml, 1.5 ml, 0.5 ml dan 0.1 ml, pipet mikro, tip pipet mikro (putih, kuning dan biru), alat Mini Beads Cell Disrupter, nanodrop (Thermo Scientific nanodrop 2000 spectrophotometer), mesin PCR (Swift Maxi R- ESCO), alat elektroforesis (Mupid-EXU Sub Marine Electrophoresis System), UV transiluminator, dan kamera digital, komputer, GPS, bor tanah, peralatan untuk analisis tanah, plastik zip lock, label, ice box, dan peralatan gelas mikrobiologi. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain akuades, kit Wizard DNA genomic extraction kit (Promega), kit ZIMOBIOMIC, bufer Tris-Acetic acid-EDTA (TAE) (50x, 1x, dan 0.5x), bufer Tris-EDTA (TE), kloroform, ethanol 70%, natrium asetat 3 M, GoTaq® Green Master Mix, loading dye (Promega, Madison), nuclease free water, marker DNA ladder 100 bp dan 1 kb, primer-primer 16S rRNA, agarosa, gel red serta bahan-bahan habis pakai. 3.3 Cara Kerja 3.3.1 Pengambilan Sampel Tanah Pengambilan sampel dilakukan dengan metode Purposive Sampling, dimana pengambilan sampel dilakukan pada tiga titik dari masing-masing ekosistem tanah

14

15

sulfat masam. Sampel tanah diambil dari dua lokasi lahan rawa sulfat masam yang berbeda pada Gambar 2, dengan masing-masing keterangan tertera pada Tabel 2. Tabel 2. Lokasi dan Titik Pengambilan Sampel Tanah

Lahan Komposit Potensial Tipe B Lokasi Ordinat (SKB) Lahan sudah dibuka namun belum (3º10’11’’S- Desa Tanjung ditanami berbagai jenis tanaman 114º36’20’’E)

Harapan, Kec. Lahan yang sudah dibuka dan telah (3º10’09’’- Alalak, Kab. Barito ditanami terus-menerus berbagai 144º36’16’’E); Kuala, Kalimantan macam tanaman Selatan. (Lokasi Lahan yang masih hutan atau belum berjarak 1.5 jam dibuka dan belum (3º10’08’’S- perjalanan dari ditanami/diusahakan berbagai 144º36’13’’E). Banjarbaru macam tanaman Lahan Komposit Aktual Tipe C Lokasi GPS (CKB)

Desa Tamban Baru Lahan sudah dibuka namun belum (3º12’33’’S- Tengah, Kec. ditanami berbagai jenis tanaman 114º25’44’’E) Tamban Catur, Kab. Lahan yang sudah dibuka dan telah (3º12’32’’S- Kuala Kapuas, ditanami terus-menerus berbagai 114º25’43’’E) Kalimantan Tengah macam tanaman

(Lokasi berjarak 3.5 Lahan hutan atau belum dibuka dan (3º16’12’’S- jam perjalanan dari belum ditanami/diusahakan 114º25’16’’E) Banjarbaru) berbagai macam tanaman

16

Gambar 2. Peta Wilayah Titik Sampling Sampel tanah diambil sampai kedalaman ± 20 cm dan setiap titik merupakan merupakan komposit dari tiga blok pada tiap lokasi, setelah itu sampel dihomogenkan dan dimasukan ke dalam kantong plastik zip lock. Kedua tipe lahan rawa masam tersebut akan dipelajari dan dibandingkan keanekaragaman mikrobanya. 3.3.2 Analisis Fisik, Kimia, Sampel Tanah Sifat fisik dan kimia tanah dari dua tipe lahan rawa sulfat masam daerah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah dianalisis terlebih dahulu meliputi total C, total N, P2O5, K2O, pH, Kapasitas Tukar Kation (KTK), dan Kejenuhan Basa (KB) dilakukan di Bagian Pelayanan Jasa, Balai Penelitian Tanah. Cara kerja analisis sifat kimia fisik tanah dilakukan berdasarkan buku panduan analisis kimia tanah, tanaman, air dan pupuk oleh Balai Penelitian Tanah (Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk, 2009) berdasarkan SK Mentan no: 28/Permentan/SR.130/B/2009.

17

3.3.3 Total Plate Count Bakteri Tanah Mi Analisis total bakteri dilakukan di laboratorium mikrobiologi BB. Biogen. Metode yang digunakan adalah metode plate count agar (PCA). Metode PCA atau sering disebut dengan Standard Methods Agar (SMA) merupakan sebuah media pertumbuhan mikroorganisme yang umum digunakan untuk menghitung jumlah bakteri total (semua jenis bakteri) yang terdapat pada setiap sampel. Metode PCA juga dapat bertujuan untuk dapat membuat kluster bakteri-bakteri tertentu. Kultur mikroba yang berhasil didapatkan dari analisis total bakteri digunakan untuk aplikasi lebih lanjut. Pertama, medium Nutrien Agar (NA) dan Soil Ekstrak Agar (SEA) dibuat untuk menumbuhkan bakteri. Pembuatan media NA dilakukan dengan cara dimasukkan 11 g nutrient broth dan 4 g Agar powder dilarutkan dengan akuades 500 mL. Sedangkan ekstrak tanah instan atau Soil Ekstrak Agar (SEA) yang terdiri atas glukosa 0,1%, dikalium fosfat 0,05% dan ekstrak tanah 1,775% dimasukan sebanyak 17,125 g dilarutkan dengan akuades 500 mL. Selanjutnya kedua media dihomogenkan menggunakan magnetic strirrer di atas hot plate lalu disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121°C dengan tekanan 1,5 atm selama 15 menit. Kemudian media yang telah tersterilisasi didinginkan hingga mencapai suhu 45-50 ºC lalu dituang ke dalam cawan petri steril. Masing-masing media dibuat dengan dua pH yang berbeda yaitu pH normal (pH 7) dan pH asam mendekati pH tanah dengan ditambahkan asam HCL sampai pH sekitar 3,5. Sedangkan pembuatan garam fisiologis 8,5% dalam metode PCA dilakukan dengan cara menimbang sebayak 0,85 g NaCl dilarutkan dalam 1 liter akuades lalu dihomogenkan menggunakan magnetic strirrer di atas hot plate lalu disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121°C dengan tekanan 1,5 atm selama 15 menit. Kemudian sebanyak 10 g sampel tanah dimasukan ke dalam 90 mL larutan garam fisiologis yang telah tersterilisasi dan dihomogenkan selama 30 menit menggunakan shaker, lalu dilakukan pengenceran serial 10-1 sampai 10-5. Sebanyak 50 µl dari hasil pengenceran ditumbuhkan pada dua media yakni ekstrak tanah instan (Himedia-SEA) dan media Nutrien Agar (NA). Kemudian diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu

18

ruang. Koloni yang tumbuh dihitung dan koloni-koloni yang dominan diambil untuk disimpan. 3.3.4 Penentuan Komunitas Mikroba Dengan Pendekatan NGS 3.3.4.1 Ekstraksi dan pemurnian DNA dari sampel tanah Ekstraksi dan pemurnian DNA langsung dari sampel tanah (dilakukan duplo untuk setiap sampel tanah) menggunakan GenElute™ Soil DNA Isolation Kit (GenEluteTM Soil DNA Isolation Kit Product Number DNB100 Storage: Room Temperature, n.d.). Pertama, sebanyak 42 ml etanol 96-100% ditambahkan kedalam botol yang berisi wash solution untuk membuat reagen wash solution. Sebanyak 250 miligram sampel tanah ditempatkan pada tabung beat beads 2 ml kemudian ke dalam tabung ditambahkan 750 ml larutan Pelisis Buffer G yang mengandung 1% SDS, 100 mM Tris-HCl, 200 mM EDTA, dan 200 mM Na2HPO4, dan 50 µl. Lalu ditambahkan 100 µl larutan lisis aditif A. Selanjutnya larutan divortex sebentar lalu tabung dihomogenasi menggunakan alat Mini Beads Cell Disrupter dengan kecepatan 14.000 rpm selama 2 menit. Supernatan diambil sebanyak 450 µl dan dipindahkan ke tabung mikrosentrifuse bebas DNAse, lalu ditambahkan 100 µl Binding Buffer I. Setelah itu diinkubasi pada suhu -4°C atau diatas es selama 5 menit. Kemudian tabung dibolak- balik agar larutan homogen. Larutan ini selanjutnya disentrifugasi selama 2 menit pada kecepatan 14.000 rpm untuk memadatkan protein dan partikel tanah. Prosedur selanjutnya supernatant diambil sebanyak 450 µl dan dipindahkan ke tabung mikrosentrifuse bebas DNAse, lalu di tambahlan 50 µl larutan OSR sambil dibolak balik agar homogen, kemudian diinkubasi selama 5 menit di suhu es. Larutan ini selanjutnya disentrifugasi selama 2 menit pada kecepatan 14.000 rpm, kemudian supernatan diambil sebanyak 450 µl dan dipindahkan ke tabung Humic Acid lalu disentrifugasi kembali dengan kecepatan 8000 rpm selama 1 menit. O-ring biru pada tabung Humic acid dilepaskan dan dirakit ulang dengan spin colom yang baru, kemudian campuran larutan hasil sentrifugasi tadi ditambahkan dengan 230 µl etanol 94-100% dan disentrifugasi kembali selama 1 menit dengan kecepatan 8000 rpm. Selanjutnya buang flowthrough (sisa larutan) dan rakit kembali spin colom dengan tabung, lalu ditambahkan larutan Buffer SK sebanyak 500 µl dan

19

disentrifugasi kembali selama 1 menit dengan kecepatan 8000 rpm. Diulangi hal yang sama namun larutan yang ditambahkan adalah 500 µl wash solution A. sentrifugasi kembali dengan kecepatan 14000 rpm selama 2 menit untuk memastikan spin kolom benar-benar kering. Langkah terakhir ialah memindahkan spin colom ke tabung ependof 1,5 ml lalu ditambakan 50 µl Buffer elution B dan disentrifugasi selama 1 menit dengan kecepatan 8000 rpm, selanjutnya larutan berisi DNA genomic yang telah dimurnikan disimpan pada suhu -20°C untuk jangka panjang. 3.3.4.2 Amplifikasi gen 16S rRNA (PCR) Gen 16S rRNA dari daerah yang berbeda (16SV4 / 16SV3 / 16SV3-V4 / 16SV4- V5,) diamplifikasi menggunakan primer spesifik (16S V4: 515F-806R) dengan barcode. Semua reaksi PCR dilakukan dengan Phusion® High-Fidelity PCR Master Mix (Biolab New England). Proses amplifikasi PCR dibuat dengan mencampurkan secara homogen komponen-komponen berikut ini: 8.5 μL ddH2O (nuclease free water), 12.5 μL Go Taq Green Master Mix 2x, masing-masing 1.0 μl primer untuk gen 16S rRNA dan 2.0 μl DNA cetakan, sehingga total volume 25 µl. Kondisi PCR sama dengan kondisi PCR di atas dengan suhu penempelan primer 55°C. Kualitas produk PCR diperiksa menggunakan nanodrop dan dielektroforesis pada gel agarosa. 3.3.4.3 Kuantifikasi dan Kualifikasi Produk PCR Elektroforesis dilakukan untuk mendeteksi hasil isolasi DNA dan hasil amplifikasi PCR. Pertama, dilakukan pembuatan gel agarosa dengan 1% gel agarosa (0.4 g agarosa dalam 40 ml bufer TAE 1x) dipanaskan sampai larut. Gel yang sudah larut ditunggu sampai hangat kemudian dituang ke dalam cetakan yang telah disiapkan sebelumnya. Gel dibiarkan memadat selama 30 menit. Kemudian sisir dilepaskan dari cetakan kemudian gel diletakkan ke dalam tangki elektroforesis yang berisi bufer TAE 1x hingga terendam setinggi 1-2 mm. Pengecekan hasil isolasi DNA dilakukan dengan mencampurkan 3 μl DNA hasil ekstraksi dengan 3 μl loading buffer di atas aluminium foil, kemudian diaduk perlahan dengan pipet dan dimasukkan ke dalam sumur yang terdapat pada gel. Marker dibuat

20

dengan mencampurkan 3 μl loading buffer dengan 3 μl marker (1kb). Sedangkan elektroforesis DNA hasil amplifikasi PCR dideteksi dengan memasukkan 3 μl hasil PCR dan 2 μl gen penanda DNA ke dalam sumuran pada gel, dan marker dibuat dengan mencampurkan 3 μl loading buffer dengan 3 μl marker (100 kb). Selanjutnya alat elektroforesis disambungkan ke sumber tegangan. Proses elektroforesis berlangsung selama 25 menit pada tegangan 100 volt. Gel direndam di dalam larutan etidium bromida selama 15 menit kemudian dibilas dalam bufer TAE 1x. Gel diletakkan di atas UV transluminator dan didokumentasikan. Sampel dengan strip utama yang cerah antara 400-450bp dipilih untuk percobaan lebih lanjut. Apabila produk DNA hasil PCR kurang baik maka dilakukan pencampuran dan pemurnian produk PCR dengan cara larutan dicampur dalam rasio kesetimbangan, kemudian, campuran produk PCR dimurnikan dengan Kit Ekstraksi Gel Qiagen (Qiagen, Jerman). 3.3.5 Analisis Data Pustaka sequensing dihasilkan menggunakan NEBNext Ultra DNA Library Pre® Kit untuk Illumina, dengan protokol tahapan kerja sesuai dengan instruksi produsen. Sampel sekuensing berupa hasil isolasi DNA tanah dianalisis menggunakan DNA sequencer. Namun dalam penelitian ini pengerjaan DNA sequencing dilakukan oleh jasa Laboratorium First Base (1ˢᵗ Base) Malaysia.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat-sifat fisik, dan kimia tanah sulfat masam asal Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah

Hasil analisis sifat fisik pada tanah sulfat masam Kalimantan Selatan (SKB) terdiri atas 11% pasir, 43% debu, 46% liat sedangkan tanah sulfat masam Kalimantan tengah (CKB) terdiri atas 34% pasir, 29% debu, 37% liat (Tabel 3). Berdasarkan Diagram Segitiga Tekstur menurut USDA Soil Survey Staff tahun 1990 (Lampiran 3) yang tercantum pada hasil analisis tanah Balai Penelitian Tanah (Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk, 2009) tekstur tanah untuk daerah SKB termasuk kategori tanah liat berdebu (sand clay) sedangkan daerah CKB termasuk kategori tanah lempung berliat (clay loam).

Tabel 3. Sifat Fisik Tanah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah

Tekstur Sampel Pasir Debu Liat

------% ------SKB 11 43 46 CKB 34 29 37

Karakteristik sifat kimia tanah sulfat masam Kalimantan Selatan (SKB) dan Kalimantan Tengah (CKB) memiliki perbedaan yang tidak signifikan (Tabel 3) berdasarkan penilaian hasil analisis tanah (Lampiran 2) dari Balai Penelitian Tanah (Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk, 2009). Hasil analisis kandungan C organik tanah di lokasi SKB dan CKB masing-masing sebesar 6,8% dan 13,45%. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan bahan organik pada kedua lahan sulfat masam tersebut tergolong sangat tinggi (>5%) sebagaimana penilaian hasil analisis tanah (Lampiran 2) dari Balai Penelitian Tanah (Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan

21

22

Pupuk, 2009). Selanjutnya, kandungan N organik pada SKB sebesar 0,37% (tergolong sedang) dan pada CKB 0,59%. (tergolong tinggi) berdasarkan Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk, (2009). Nitrogen total tanah digunakan sebagai indeks penting untuk evaluasi kesuburan tanah dan mencerminkan status nitrogen dalam tanah dimana unsur N sangat dibutuhkan tanaman dalam jumlah besar (Tewu, Theffie, & Pioh, 2016). Menurut Syekhfani (2010) kandungan nitrogen total yang rendah dapat disebabkan oleh kemampuan penyimpanan nitrogen yang buruk dari tanah berpasir (tektur kasar) dan tanah yang berkadar bahan organik rendah. Tabel 4. Sifat Kimia Tanah Kalimantan Selatan (SKB) dan Kalimantan Tengah (CKB) Bray Morgan pH Bahan organik HCl 25% 1 Sampel Walkley Kjeldahl &Black C/N P O K O P O K O H O KCl 2 5 2 2 5 2 2 C N ------%------mg/100 g- --- ppm ---- SKB 3,97 3,59 6,80 0,37 18 43 15 26 122 CKB 3,80 3,52 13,45 0,59 23 62 14 41 177

Nilai rasio C/N merupakan indikator yang sangat sensitif untuk mengetahui kondisi kesuburan tanah. Hasil menunjukan bahwa nilai rasio C/N kedua tanah sulfat masam di SKB dan CKB tergolong tinggi (16-25 me/100 g tanah) berdasarkan kriteria penilaian hasil Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk, (2009). Namun, tanah sulfat masam asal Kalimantan Selatan (SKB) dapat dikatakan lebih subur karena memiliki nilai rasio C/N yang relatif lebih rendah sebesar 18,378 me/100 g tanah daripada C/N CKB sebesar 22,797 me/100 g tanah (Tabel 3). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Ge, Xu, Ji, & Jiang (2013) bahwa semakin tinggi nilai rasio C/N, maka semakin lambat laju dekomposisi bahan organik tanah oleh mikroorganisme, juga sebaliknya semakin rendah nilai rasio C/N maka semakin cepat laju dekomposisi bahan organik tanah oleh mikroorganisme. Hasil analisis kadar P pada kedua masing-masing yaitu 26 ppm untuk SKB dan 41 ppm untuk CKB. Nilai tersebut tergolomg sangat tinggi (>15 ppm) berdasarkan Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk, (2009). Pada penelitian ini, tanah yang bersifat sulfat masam dan memiliki pH sangat rendah menjadi faktor utama yang

23

mempengaruhi tingginya ketersediaan fosfor di tanah. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Afandi, Siswanto, dan Nuraini (2015) bahwa fosfor di dalam tanah berasal dari pelapukan batuan mineral alami dan pelapukan bahan organik, sehingga apabila terjadi reaksi masam-masam organik atau kadar pH dalam tanah rendah dapat membentuk ikatan dengan Al dan Fe yang mengakibatkan pelepasan fosfat dalam larutan tanah menjadi tinggi. Selanjutnya, hasil kadar K pada lokasi SKB sebesar 15 mg/100 g dan CKB sebesar 14 mg/100 g. Nilai tersebut tergolong rendah (10-20 mg/100 g tanah) berdasarkan Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk, (2009). Menurut Yuwono et al., (2012) besar kecilnya kandungan kalium (K) dalam tanah dipengaruhi oleh kestabilan dan pergerakan (mobile) unsur kalium dalam tanah itu sendiri, serta penyerapan olehketersedian kadar kalium dalam tanah tanah dapat berkurang dikarenakan diserap oleh tanaman. Tabel 5.Sifat Kimia Tanah Kalimantan Selatan (SKB) dan Kalimantan Tengah (CKB)

Nilai Tukar Kation (NH4-Acetat 1N, pH7)

Sampel Ca Mg K Na Jumlah KTK KB*

------cmolc/kg ------% SKB 0,85 1,40 0,16 0,70 3,11 27,66 11 CKB 0,83 2,13 0,18 0,69 3,83 35,03 11 * >100 Terdapat kation-kation bebas disamping kation-kation dapat ditukar Hasil pengujian ini hanya berlaku bagi contoh yang diuji dan tidak untuk diperbanyak

Kapasitas tukar kation (KTK) menunjukkan ukuran kemampuan tanah dalam menyerap dan menukar sejumlah kation (muatan positif) untuk terjadi keseimbangan kimia dalam tanah, sedangkan muatan negatif berupa partikel-partikel tanah (lempung dan bahan organik) berukuran koloid (Rustam, Umar, & Yusran, 2016). Hasil Kapasitas Tukar kation pada tanah SKB dan CKB masing-masing sebesar 27,66 dan 35,03 cmol(+)/kg (Tabel 3). Kapasitas tukar kation pada kedua lokasi tersebut tergolong tinggi (25-40 cmolc/kg) berdasarkan penilaian hasil analisis tanah dari Balai Penelitian

24

Tanah (Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk, 2009). Menurut Sarwono 2010 nilai KTK erat hubungannya dengan kesuburan tanah dikarenakan tanah dengan KTK tinggi mampu menyerap kation lebih banyak dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah. Tinggi rendahnya KTK tanah ditentukan oleh kandungan liat, pH dan bahan organik dalam tanah tersebut sebagaimana pernyataan Kumalasari, Syamsiyah, dan Sumarno (2011) bahwa meningkatnya pH tanah, dan tingginya kandungan liat serta bahan organik membuat KTK meningkat. Tanah dengan KTK tinggi bila didominasi oleh kation basa seperti Ca, Mg, K, Na (Kejenuhan Basa tinggi) dapat meningkatkan kesuburan tanah, tetapi bila didominasi oleh kation asam, Al, H+ (Kejenuhan Basa rendah) dapat mengurangi kesuburan tanah (Sinaga, 2010). Tanah yang memiliki KTK yang tinggi akan menyebabkan lambatnya perubahan pH tanah. Lauber, Hamady, Knight, and Fierer (2009) menyatakan bahwa pH merupakan indikator yang cukup baik untuk mendeteksi keanekaragaman bakteri di tanah, merujuk pada hasil penelitiannya yang membuktikan bahwa keragaman tertinggi di tanah dengan pH mendekati netral. Tinggi rendahnya pH tanah juga dapat menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara diserap akar tanaman. Sinaga, (2010) memaparkan pada pH tanah netral unsur hara mudah larut dalam air, sedangkan pada tanah asam unsur P tidak dapat diserap tanaman karena diikat (difiksasi) oleh Alumunium (Al). Hasil pH tanah di lokasi SKB dan CKB berkisar antara 3,5-3,9 (Tabel 3) sehingga tanah pada kedua lokasi tersebut tergolong sangat asam (<4,5) (Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk, 2009). Menurut Foth (2010) jika tanah bereaksi masam, maka sebagian tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik karena toleransinya berkurang. Apabila tanah terlalu masam, maka sering terjadi keracunan Al dan Fe serta sering terjadi fiksasi anion seperti fosfat dan sulfat (Sanchez, 2004). Kejenuhan basa (KB) merupakan perbandingan jumlah kation basa yang ditukarkan dengan kapastitas tukar kation (KTK) yang diyatakan dalam persen. Hasil kejenuhan basa lokasi SKB dan CKB menunjukan hasil sama yaitu sebesar 11% (Tabel 3), nilai tersebut tergolong sangat rendah (<20%). Kondisi tersebut menunjukan bahwa tanah di lokasi SKB dan CKB tergolong tanah masam, sesuai dengan pernyataan

25

Sufardi, Martunis, & Muyassir (2017) bahwa nilai KB yang rendah menunjukan kemasaman tanah yang tinggi, sedangkan nilai KB yang tinggi menunjukan kemasaman tanah yang rendah. Menurut Kumalasari et al, (2011) adanya peningkatan kapasitas pertukaran kation, maka berdampak pada kejenuhan basa dalam tanah yang semakin meningkat, hal ini disebabkan kation-kation yang dapat diserap oleh koloid humus yang bermuatan negatif juga semakin banyak. Namun, hal ini terjadi karena KTK yang dihitung di sini bukanlah KTK yang real (efektif), melainkan KTK potensial. Sebagaimana pemaparan Uehara & Gillman (1981) bahwa KTK pada tanah- tanah di daerah tropis tidak selalu menggambarkan jumlah kation yang diserap tanah melainkan hanyalah sebagai KTK yang terbentuk dari muatan variabel (variable charge) dan tidak menggambarkan aktual kation yang diserap pada permukaan koloid (dikutip dalam Sufardi et al., 2017) Hasil analisis tanah terhadap kadar kation basa tertukar (Ca-dd, Mg-dd, K-dd, dan Na-dd) memperlihatkan bahwa secara umum kadar kation basa tertukar pada lahan rawa sulfat masam di Kalimantan Selatan dan Tengah tergolong rendah, dengan jumlah 3,11-3,83 (masing-masing kisarannya dapat dilihat pada Tabel 3). Kadar Kalsium (Ca) pada kedua lokasi (0,83-0,85 cmolc/kg) tergolong sangat rendah (<2 cmolc/kg). Tanah yang memiliki kadar Ca rendah berdampak pada terganggunya pertumbuhan tanaman, karena terpengaruh oleh tingginya ion Al dan Fe (Sufardi et al., 2017). Ca dapat berperan untuk mengimbangi pengaruh negatif dari kation Al, Fe, dan Mn (Sanchez, 2004). Sama halnya dengan peran Magnesium (Mg) yang hampir sama seperti Ca yaitu selain sebagai sumber hara juga berguna untuk mengimbangi kelarutan Al dan Fe yang berlebihan pada tanah masam (Havlin et al., 2010). Kadar Mg pada lokasi SKB maupun CKB masing-masing sebesar 1,40 dan 2,13. Kadar tersebut tergolong sedang (1,0-2,0 cmolc/kg) sampai tinggi (2,0-8,0 cmolc/kg) berdasarkan kriteria hasil analisis tanah Balai Penelitian Tanah. Kadar kalium (K) pada masing-masing lokasi SKB dan CKB menunjukan hasil sebesar 0,16 dan 0,18 cmolc/kg. Nilai tersebut tergolong rendah (0,1 – 0,3 cmolc/kg). Kalium (K) merupakan salah satu unsur hara makro utama yang sangat penting bagi tanaman (Mengel dan Kikrby, 2007), sehingga jika K tersedia di dalam tanah rendah,

26

maka tanaman akan terjadi defisiensi kalium (Sufardi, 2012). Salah satu faktor yang mempengaruhi besar kecilnya kandungan kalium dalam tanah adalah mobilitas gerak ion di dalamnya, unsur hara kalium dalam tanah terbentuk lebih stabil dari unsur hara nitrogen, dan lebih cepat bergerak dari unsur hara fosfor sehingga mudah berpindah terbawa air hujan dan temperatur dapat mempercepat pelepasan dan pelapukan mineral dalam pencucian kalium (Afandi, F.N., Siswanto, B., & Nuraini, Y. 2015). Tanah SKB dan CKB memiliki kadar Na dalam tanah sebesar 0,70 dan 0,69 cmolc/kg. Berdasarkan kriteria analisis Balai Penelitian tanah kadar tersebut tergolong sedang (0,4 – 0,7 cmolc/kg). Menurut (Foth, 2010) tanah yang baik adalah tanah yang mengandung Natirium (Na) rendah atau <1,0 cmol kg-1, jika konsentrasi ion Na tinggi, maka akan berpengaruh buruk pada tanah dan tanaman. Tabel 6.Sifat Kimia Tanah Kalimantan Selatan (SKB) dan Kalimantan Tengah (CKB)

KCl 1N T o t a l (HNO3) Sampel Al 3+ H + Fe S

------cmolc/kg------ppm % SKB 8,20 0,31 2,18 0,05 CKB 7,75 0,45 2,31 0,43

Kadar Al pada kedua lokasi SKB dan CKB masing-masing sebesar 7,75 dan 8,20 cmolc/kg (Tabel 3), apabila dikonversi menjadi satuaan ppm maka nilai tersebut tergolong sangat tinggi (>40 ppm) sebagaimana penilaian hasil analisis tanah dari Balai Penelitian Tanah (Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk, 2009). Kadar H+ sebesar 0,31 cmolc/kg pada daerah SKB dan 0,45 cmolc/kg pada daerah CKB, dan kandungan total Fe pada kedua lokasi tersebut tergolong rendah (1-3 ppm). Kadar Al yang tinggi merupakan salah satu faktor utama permasalan pada tanah sulfat masam. Kedua lahan sulfat masam Kalimantan Selatan maupun Kalimantan tengah menunjukan kadar Al yang sangat tinggi. Hal tersebut akan memicu larutnya unsur beracun dan defisiensi berbagai unsur hara didalamnya sehingga produktivitas tanah menjadi rendah, dimana Al akan berubah menjadi bentuk yang tidak larut [Al(OH)3] jika pH di atas 5,5, sedangkan indikasi keracunan Al baru terjadi jika pH tanah <5,50

27

(Sufardi et al., 2017). Tingginya tingkat kemasaman tanah juga mengakibatkan bertambahnya kelarutan ion-ion Fe2+, Al3+,dan Mn2+ di dalam tanah yang dapat bersifat racun bagi tanaman (Sinaga, 2010). 4.2 Hasil Total Plate Count Bakteri Tanah Perhitungan koloni bakteri tanah sulfat masam yang berasal dari dua tipe lahan rawa Kalimantan Selatan (SKB) dan Kalimantan Tengah (CKB) tercantum pada Gambar 2. Populasi bakteri tanah dari lahan sawah sulfat masam kedua lokasi tersebut berada pada kisaran 4,30-6,30 Log CFU/g tanah. Hasil perhitungan Total Plate Count (TPC) yang lebih tinggi di lokasi SKB (Lampiran 4) menunjukkan bahwa jumlah bakteri tanah sulfat masam asal SKB lebih banyak dibandingkan dengan jumlah bakteri tanah rawa sulfat masam asal CKB.

7,00 6,30 6,04 6,23 6,00 5,60 5,48 5,00 5,00 4,30 4,30 4,00 3,00 SEA 2,00 NA

LOG CFU/gram tanah CFU/gram LOG 1,00 0,00 SKB SKB-Asam CKB CKB-Asam Lokasi

Gambar 3. Konsentrasi Sel Bakteri Tanah Sulfat Masam Kalimantan Selatan (SKB) dan Tengah (CKB) yang ditumbuhkan pada pH normal serta dan yang ditumbuhkan pada pH Asam (SKB-Asam) dan (CKB- Asam). Peningkatan total mikroba tanah disebabkan oleh beberapa faktor seperti kadar air dalam tanah, pH tanah, dan bahan organik. Zahara, Wawan, dan Wardati (2015) menyatakan bahan organik seperti C- dan N-organik dapat menjadi sumber energi dan nutrisi bagi mikroba sehingga dapat meningkatkan aktivitas mikroba di dalam tanah, khususnya bakteri yang merupakan mikroorganisme perombak. Kesubururan tanah juga menjadi faktor yang mempengaruhi pertumbuhan populasi mikroba karena semakin suburnya tanah menjadi media tumbuh yang baik untuk mikroba didalamnya.

28

Menurut Tolaka (2013) rasio C/N berperan terhadap kemampuan tanah untuk mempertahankan kesuburan dan produktivitas tanah melalui aktivitas mikroorganisme tanah. Lingkungan seperti suhu, dan kelembaban juga menjadi faktor yang mendukung peningkatan total mikroba tanah sesuai yang dipaparkan oleh Hairiah et al. (1992) bahwa peningkatan populasi mikroba tanah dipengaruhi oleh kondisi lingkungan terutama suhu dan kelembaban yang sangat mendukung kehidupan mikroba tanah. Dinilai dari sifat fisik tanah, SKB lebih tinggi persentase debu (43%) dan liatnya (46%), sementara komposisi pasirnya lebih rendah (11%) dibandingkan dengan CKB (Tabel 3). Persentase debu dan liat yang tinggi serta persentase pasir yang rendah membuat struktur tanah pada SKB menjadi lebih padat karena partikel tanahnya lebih kecil. Berdasarkan penelitian Carson et al, (2010) struktur tanah yang padat dapat menghalangi kolonisasi dan mobilitas bakteri di dalam tanah, sehingga semakin padat tanah, maka semakin kecil pula keragaman dan populasi bakteri, sebaliknya semakin tidak padatnya tanah (pori tanah besar) cenderung menghasilkan kekayaan bakteri yang lebih tinggi. Namun pada penelitian ini, pernyataan tersebut tidak sesuai dengan kondisi tanah SKB yang bertekstur agak padat dan memiliki jumlah populasi bakteri lebih banyak dibandingkan CKB. Hal tersebut diduga karena bakteri tanah didalamnya telah mengembangkan mekanisme untuk menyesuaikan dengan kondisi asam pada tanah sehingga tetap dapat bertahan hidup. Menurut (Chau, Bagtzoglou, & Willig, 2011) bakteri di tanah cenderung asam dapat mengembangkan mekanisme dirinya untuk menghadapi kondisi cekaman kekeringan, termasuk kemampuan untuk memasuki keadaan tidak aktif atau istirahat bakteri, dan produksi zat ekstra polimerik/biofilm, sehingga dapat meningkatkan kelangsungan hidup spesies langka dengan menyediakan habitat terisolasi sehingga persaingan untuk sumber daya berkurang.

29

4.3 Analisis Komunitas Bakteri Asal Sulfat Masam Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah dengan Menggunakan Metode NonKultur dengan NGS 4.3.1 Keragaman Komunitas Bakteri Tanah Sulfat Masam Keragaman bakteri di dua lokasi yang diukur berdasarkan Unit Taksonomi Operasional (OTU) menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan (Gambar 4).

1800 1677 1600 1400 1317 1200

) 1000 800 Unit

Operational Taxonomy Taxonomy Operational 600 400 200

Nilai OTU ( OTU Nilai 0 SKB CKB Lokasi

Gambar 4. Keragaman Bakteri Berdasarkan OTU (Operational Taxonomy Unit) Daerah SKB memiliki total fragmen hasil pemotongan secara acak (reads)

Sebanyak 140290 fragmen dengan total contig terbaca sebanyak 85070, dan banyaknya OTU yang berhasil terbaca sebanyak 1677 (Lampiran 7). Sedangkan, pada daerah CKB memiliki total fragmen hasil shotgun sebanyak 131817 fragmen (reads) dan yang dapat membentuk contig sebanyak 84814 dengan total OTU sebanyak 1317 (Lampiran 7). Berdasarkan analisis Chao1 nonparametrik, nilai total OTU yang terbaca pada tanah sulfat masam di SKB dan CKB tersebut masuk dalam kategori perkiraan jumlah maksimum nilai OTU yakni berkisar antara 1350-3400 dengan rata-rata perkiraan kekayaan OTU mendekati 2240 ( ± 360) (Buée et al., 2009). Berdasarkan hasil analisis Venn, pola tumpang tindih dari kelompok OTU di antara sampel yang berbeda diperoleh pada Gambar 4, untuk sampel SKB dan CKB masing-masing menampung 610 OTU dan 225 OTU, dengan gabungan himpunan antar keduanya yaitu sebesar 1042 OTU. Hasil tersebut menunjukan bahwa komunitas bakteri tanah di SKB sangat mirip dengan komunitas bakteri tanah di CKB, hal tersebut

30

diduga karena sebagian besar bakteri tanah CKB berasal dari lingkungan tanah yang sama dengan SKB.

Gambar 5. Diagram Venn Pola Tumpang Tindih antar sampel SKB dan CKB Sesuai dengan penelitian Hong et al, (2015) yang menghasilkan diagram venn komunitas bakteri endofit berbagi 4434 OTU dengan sampel rhizoplane dan sedimen, hal tersebut menunjukan bahwa kolonisasi endofit dalam akar yang sebagian berasal dari lingkungan endapan rhizosfer. Berdasarkan hasil pembacaan OTU ini dapat dinyatakan bahwa keragaman bakteri pada sampel SKB lebih tinggi daripada sampel CKB dan hal ini sejalan dengan hasil pengkulturan pada Gambar 3 di atas. 4.3.2 Taxa phylum Keragaman filum berdasarkan Taxa Phylum menunjukkan adanya perbedaan jumlah filum dan besaran kelimpahan relatif masing-masing filum pada kedua lokasi (Gambar 6). Keragaman filum yang diperoleh dari hasil analisis NGS yaitu sebanyak 11 filum untuk tanah sulfat masam Kalimantan Selatan (SKB) dengan urutan kelimpahan relatif terbesar hingga terkecil diantaranya Proteobacteria (0,379%), Acidobacteria (0,188%), Actinobacteria (0,083%), Bacteroidetes (0,094%), Chloroflexi (0,031%), Spirochaetes (0,036%), Nitrospirae (0,036%), Chlorobi (0,035%), Fimicutes (0,024%), Ignavibacteriae (0,017%), dan lainnya (0,072%).

31

Other Ignavibacteriae

(%) Firmicutes Chlorobi Nitrospirae Spirochaetes Chloroflexi Bacteroidetes Actinobacteria Acidobacteria Protobacteria

Kelimpahan Kelimpahan Relatif

Gambar 6. Komposisi Komunitas Bakteri Tanah Sulfat Masam Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah Keragaman filum yang diperoleh dari hasil analisis NGS tanah sulfat masam asal Kalimantan Tengah (CKB) sebanyak 10 filum dengan masing-masing kelimpahan relatifnya yaitu Proteobacteria (0,393%), Acidobacteria (0,274%), Actinobacteria (0,133%), Bacteroidetes (0,018%), Chloroflexi (0,04%), Spirochaetes (0,02%), Nitrospirae (0,028%), Fimicutes (0,012%), Ignavibacteriae (0,008%), dan lainnya (0,068%) (Gambar 5). Mengacu pada database European Bioinformatics Institute (EBI) untuk Pra-investigasi komposisi mikroba dari tanah sulfat dari daerah Mobilong South Australia yang dilakukan pada bulan Oktober 2011 (terakhir diperbaharui 20 Januari 2016), didominasi oleh filum Proteobacteria, Actinobacteria, Acidobacteria, Chloroflexi, dan Nitrospirae. Secara garis besar kelimpahan relatif filum bakteri tanah sulfat masam di SKB dan CKB memiliki perbedaan cukup signifikan kecuali pada filum Proteobacteria. Filum yang paling mendominasi dari kedua lokasi tersebut yakni filum Protobacteria, Acidobacteria, dan Actinobacteria. Namun pada lokasi SKB juga memiliki satu filum yang tidak terdapat di lokasi CKB yaitu filum Chlorobi.

32

Filum Chlorobi hanya ada pada tanah sulfat masam Kalimantan Selatan (SKB) dengan kandungan sulfur (0,045%) yang dapat digunakan oleh filum ini. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sakurai, Ogawa, Shiga, & Inoue, (2010) bahwa proses fotosintesis anoksiogenik yang dilakukan oleh bakteri sulfur hijau yakni menggunakan ion sulfida dan pada beberapa spesies, thiosufate, molekul hidrogen atau besi tereduksi, sebagai donor elektron. Menurut Bryant & Frigaard (2006) bersama dengan Ignavibacteriaceae non- fotosintesis, mereka membentuk gugus yang diisolasi secara filogenetik dalam domain Bakteri (Filum Chlorobi), dengan galur air tawar yang terpisah dari galur laut. Umumnya habitat bakteri sulfur hijau telah ditemukan di kedalaman hingga 145 m di Laut Hitam, dengan ketersediaan cahaya rendah (Marschall, Jogler, Henßge, & Overmann, 2010). Genus yang terdeteksi dari filum Chlorobi adalah Chlorobaculum. Namun, berdasarkan berdasarkan database European Bioinformatics Institute (ebi.uk) (2016), kelompok bakteri tanah asam sulfat terdiri dari Ignavibacteria (o- Ignavibacteriales; f- Ignavibacteriaceae) dan BSV26 yang terdiri dari C20, BSN164, PK329, 180, OPB56) serta OPB56. 4.3.3 Kelimpahan Genus pada Tanah masam Kalimantan Selatan (SKB) dan Tengah (CKB) Kelimpahan genus menunjukkan ada perbedaan pada lokasi tanah sulfat masam Kalimantan Selatan (SKB) dan Tengah (CKB) (Gambar 7). Kelimpahan genus yang terdapat di tanah sulfat masam Kalimantan Selatan (SKB) dan Tengah (CKB) terdiri dari 99 genus yang terkelompok dalam 69 famili, 26 kelas, dan dari 12 filum (Lampiran 8). 12 kelompok filum yang terdeteksi hasil cladogram pada Gambar 6. meliputi filum Actinobacteria, Proteobacteria, Firmicutes, Clorofleksi, Elusimicrobia, Spirochaetes, Nitrospirae, Ignavibacteriae, Chlorobi, Bacteroidetes, Acidobacteria dan Gemmatimonadetes.

33

SKB CKB

Gambar 7. Kelimpahan Genus pada Tanah masam Kalimantan Selatan (SKB) dan Tengah (CKB)

Keterangan kelompok filum pada Gambar 7. Actinobacteria Nitrospirae Proteobacteria- Ignavibacteriae

Deltaproteobacteria Chlorobi Firmicutes Proteobacteria -

Proteobacteria- Alpha, beta, Epsilonproteobacteria

gamma-proteobacteria Bacteroidetes Cloroflexi Firmicutes Unidentified (tidak teridentifikasi) Acidobacteria Elusimicrobia Gemmatimonadetes; Zhang et al. 2003 Spirochaetes Verrucomicrobia

34

Kelompok filum yang mendominasi untuk kedua lokasi (SKB dan CKB) pada penelitian ini yaitu Protobacteria, Acidobacteria, dan Actinobacteria. Filum yang paling mendominasi adalah Proteobacteria. Kelas pada filum Proteobacteria penelitian ini yang terdeteksi adalah delta-, alpha-, beta-, dan gamma-protobacteria. Urutan ini hampir sama dari struktur komunitas tanah yang lebih khas dengan urutan alpha-, delta-, beta-, dan kemudian gamma-proteobacteria (Spain, Krumholz, & Elshahed, 2009). Sedangkan berdasarkan database European Bioinformatics Institute (ebi.uk) (2016) komposisi mikroba tanah sulfat masam filum Proteobacteria terdiri atas kelas urutan tinggi (>4%) delta-, beta-, alpha-, gamma- serta (rendah <2%) zeta- dan epsilonproteobacteria. Kelas Deltaproteobacteria merupakan yang paling banyak terdeteksi dibandingkan kelas lainnya (Gambar 6). Famili yang terdeteksi yakni meliputi Anaeromyxobacteraceae, Desulfobulbaceae, Desulfobacteraceae, Geobacteraceae, Kofleriaceae, Polyangiaceae, Syntrophaceae, Syntrophaceae, Syntrophaceae, Syntrophobacteraceae (Lampiran 8). Berdasarkan database European Bioinformatics Institute (ebi.uk) (2016) famili yang terdeteksi pada tanah sulfat masam terdiri atas Desulfuromonadaceae, Geobacteraceae, Pelobacteraceae, (dari ordo Desulfuromonadales); Desulfobacteraceae, Syntrophobacteraceae (dari ordo Syntrophobacterales); Myxococcaceae (ordo Myxococcales); JTB36 dan Desulfurellales. Ordo Desulfomonadales mampu melakukan respirasi anaerob menggunakan berbagai senyawa sebagai akseptor elektron, termasuk sulfur, Mn (IV), Fe (III), nitrat, Co (III), Tc (VII), U (VI) dan trichloroacetic acid. Penelitian Ling et al, (2015) juga menyebutkan bahwa keragaman Deltaprotobacteria lebih banyak dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan keasaman. Air laut digunakan sebagai sumber sulfat untuk pengurangan bakteri sulfat dan dominasi bakteri pereduksi sulfat (SRB) di dalam kelas delta (Rabus et al., 2013). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Haryono, Noor, Syahbuddin, dan Sarwani (2013) bahwa mikroba yang berperan dalam pereduksi sulfat termasuk dalam genus (1) Desulfovibrio yang terdiri atas Desulfovibrio desulfuricans dan (2) Desulfotomaculum. Bakteri pereduksi sulfat ini

35

bersifat obligat anaerob, hanya mampu hidup dan berkembang dalam suasana anaerob. Bakteri ini memanfaatkan energi dari proses reduksi sulfat sebagai penerima elektron untuk menghasilkan sulfida (H2S) dengan sangat cepat. Namun menurut Spain et al, (2009) keragamaan kelas Deltaproteobacteria memungkinkan sulit untuk dibudidayakan dalam kultur murni di laboratorium menggunakan media pertumbuhan heterotrofik standar karena silsilah Deltaproteobacteria ini hanya terdiri dari sekuens klon lingkungan, tidak ada yang mengandung perwakilan yang dibudidayakan. Selanjutnya dari kelas , famili yang terdeteksi dari kelas Alphaproteobacteria yaitu Acetobacteraceae, Rhodospirillaceae, Micropepsaceae, Bradyrhizobiaceae, Roseiarcaceae, Xanthobacteraceae, Sphingomonadaceae, dan Sphingomonadaceae (Lampiran 7). Famili ini mirip dengan database European Bioinformatics Institute (ebi.uk) (2016) bahwa famili yang terdeteksi pada tanah sulfat masam daerah Mobilong South Australia terdiri atas Rhodospirillaceae, Acetobacteraceae, Bradyrhizobiaceae, Sphingomonadaceae, dan 1% ordo Rickettsiales. Genus yang terdeteksi dari kelas Gammaproteobacteria adalah Sulfurifustis, Methylomonas, Acinetobacter, Coxiella, Acidibacter, Metallibacterium, dan Stenotrophomonas (Lampiran 7), sedangkan database European Bioinformatics Institute (ebi.uk) (2016) menyebutkan ordo yang terdeteksi pada tanah asam sulfat terdiri dari Chromatiales (Ectothiorhodospiraceae); Xanthomonadales (Sinobacteraceae); Methylococcales (Methylococcaceae) dan HTCC2188. Kelas Gammaproteobacteria terbagi menjadi dua kelompok utama satu fotoautotrofik dan yang lainnya heterotrofik. Bakteri sulfur ungu (Chromatiales) pada Gammaproteobacteria adalah bakteri anaerob obligat yang memanfaatkan bakterioklorofil untuk menangkap energi cahaya untuk jalur fotosintesis dan mengoksidasi hidrogen sulfida daripada air, menghasilkan sulfur sebagai produk limbah (Williams et al., 2010). Gammaproteobacteria lebih banyak ditemukan pada pH rendah (Kuang et al., 2013) begitu pula dengan acidobacteria yang didukung lingkungan pH rendah (Lauber et al., 2009).

36

Ordo yang teridentifikasi dari kelas Epsilonproteobacteria adalah Campylobacterales dengan genus Helicobacter, Sulfurimonas, Sulfuricurvum, dan sulfurospirillum. Hal ini sesuai dengan database European Bioinformatics Institute (ebi.uk) (2016) bahwa hanya ordo Campylobacterales yang terdeteksi untuk kelas Epsilonproteobacteria pada tanah asam sulfat. Menurut Spain et al, (2009) Epsilonproteobacteria belum banyak terdeteksi di database 16S rRNA menunjukkan bahwa kelas ini sangat langka di tanah atau tidak ada di mana-mana seperti kelas lain dalam Proteobacteria hal tersebut diduga disebabkan oleh kemampuan distribusi ekologis dan kemampuan metabolisme epsilonproteobacteria yang terbatas. Menurut Takai et al, (2006a) habitat Epsilonproteobacteria pertama kali ditemukan dan diisolasi dari laut dalam, Epsilonproteobacteria terkait erat dengan Sulfurimonas, yang memiliki sulfur dan kemampuan oksidasi tiosulfat. Sulfurimonas merupakan bakteri gram-negatif, bersifat fakultatif anaerob dan termasuk mesofilik, pertumbuhannya terjadi secara chemolithoautotrophically dengan ion sulfur, thiosulfate dan H2 sebagai donor elektron dan dengan nitrat, nitrit dan O2 sebagai akseptor elektron (Inagaki, Takai, Kobayashi, Nealson, & Horikoshi, 2003). Filum kedua yang mendominasi yaitu Acidobacteria, famili yang terdeteksi pada filum ini adalah Bryobacteraceae, Solibacteraceae, Acidobacteriaceae, Thermoanaerobaculacea, Holophagaceae (Lampiran 8). Acidobacteriia dan Holophagae adalah satu-satunya kelas yang saat ini termasuk dalam edisi terbaru dari Manual Bergey (Thrash, J.C., & Coates, J.D, 2007). Berdasarkan penelitian Kielak, Barreto, Kowalchuk, van Veen, & Kuramae, (2016) menggunakan sekuens gen 16S rRNA, dengan analisis MEGA7 (Tamura et al., 2011), dendogram yang diperoleh saat ini, ada total 40 spesies yang dimiliki oleh 22 genus yaitu sebelas genus dari subdivisi 1 (kelas Acidobacteriia), tiga subdivisi 3 (genus Bryobacter, Solibacter, Paludibaculum); empat subdivisi 4, tiga subdivisi 8 (genus Acanthopleuribacter, Holophaga, Geothrix); satu subdivisi 10 dan satu subdivisi 23 (genus Thermoanaerobaculum). Selain itu, ada urutan genus Koribacter dan Solibacter, tetapi ada sedikit informasi tentang fisiologi mereka. Sedangkan berdasarkan database European Bioinformatics Institute (ebi.uk) (2016) ) menyebutkan famili dari filum

37

Acidobacteria yang terdeteksi pada tanah asam sulfat terdiri dari TM1; Acidobacteria- 2, -5, -6; koribacteraceae; Acidobacteriaceae; Solibacteres; EC1113; OS-K; Chloracidobacteria; iii1-15, CCU21 dan 3035. Filum ketiga yang mendominasi yaitu Actinobacteria, famili yang terdeteksi dari filum ini adalah Acidothermaceae, Mycobacteriaceae dan Cellulomonadaceae (Lampiran 8). Berdasarkan database European Bioinformatics Institute (ebi.uk) (2016) menyebutkan famili dari filum Actinobacteria yang terdeteksi pada tanah asam sulfat terdiri dari Streptomycetaceae, Micromonosporaceae, Thermomonosporaceae, Intrasporangiaceae, Kineosporiaceae, Frankiaceae, Cryptosporangiaceae (o- Actinomycetales); Gaiellaceae (o- Gaiellales); Solirubrobacterales; 0319-7L14 dan Acidimicrobiia. Berdasarkan penelitian ini dihasilkan bahwa perbedaan tipe lahan rawa dapat mempengaruhi komunitas bakteri tanah yang ada pada masing-masing lokasi tanah sulfat masam di Kalimantan Selatan maupun Kalimantan tengah, hal tersebut dibuktikan dengan perbedaan sifat fisik kimia tanah antara lokasi SKB dan CKB yang cukup signifikan. Namun secara keseluruhan hasil menunjukan keragaman filum pada tanah sulfat masam SKB dan CKB cenderung sama, hal tersebut sesuai dengan pernyataan Lauber et al, (2009) bahwa keragaman untuk filum apa pun tampaknya relatif sama di dalam masing-masing tanah.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. Keanekaragaman komunitas bakteri tanah sulfat masam pada daerah lahan rawa potensial tipe B di Kalimantan Selatan (SKB) dan Aktual tipe C di Kalimantan Tengah yang diperoleh dari hasil analisis NGS masing-masing sebanyak 11 dan 10 filum diantaranya adalah Proteobacteria, Acidobacteria, Actinobacteria, Bacteroidetes, Chloroflexi, Spirochaetes, Nitrospirae, Chlorobi, Fimicutes, dan Ignavibacteriae. 2. Tanah sulfat masam Kalimantan Selatan memiliki tingkat kesuburan sedikit lebih baik dibandingkan dengan Kalimantan Tengah dinilai dari analisis kimia fisik tanah dan total plate count bakteri tanah yang berhasil tumbuh.

5.2 Saran Perlu dilakukan pengelolaan tanah dengan karakter keanekaragaman hayati dan daya dukung ekosistem yang dimiliki sehingga dapat mengoptimalkan fungsi tanah dalam peningkatan produksi pertanian di tanah sulfat masam.

38

DAFTAR PUSTAKA Abt, B., Göker, M., Scheuner, C., Han, C., Lu, M., Misra, M., … Klenk, H. P. (2013). Genome sequence of the thermophilic fresh-water bacterium spirochaeta caldaria type strain (h1t), reclassification of spirochaeta caldaria, spirochaeta stenostrepta, and spirochaeta zuelzerae in the genus treponema as treponema caldaria comb. nov., trepon. Standards in Genomic Sciences, 8(1), 88–105. https://doi.org/10.4056/sigs.3096473 Achenbach, L. A., Michaelidou, U., Bruce, R. A., Fryman, J., & Coates, J. D. (2001). Dechloromonas agitata gen. nov., sp. nov. and Dechlorosoma suillum gen. nov., sp. nov., two novel environmentally dominant (per)chlorate-reducing bacteria and their phylogenetic position. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 51(2), 527–533. https://doi.org/10.1099/00207713-51-2-527 Akinsanya, M. A., Goh, J. K., Lim, S. P., & Ting, A. S. Y. (2015). Metagenomics study of endophytic bacteria in Aloe vera using next-generation technology. Genomics Data, 6, 159–163. https://doi.org/10.1016/j.gdata.2015.09.004 Alou, M. T., Ndongo, S., Frégère, L., Labas, N., Andrieu, C., Richez, M., … Raoult, D. (2018). Taxonogenomic description of four new Clostridium species isolated from human gut: ‘Clostridium amazonitimonense’, ‘Clostridium merdae’, ‘Clostridium massilidielmoense’ and ‘Clostridium nigeriense.’ New Microbes and New Infections, 21, 128–139. https://doi.org/10.1016/j.nmni.2017.11.003 Arisman. (2014). Nitric Oxide Chemistry and Velocity Slip Effects in Hypersonic Boundary Layers. Thesis, (1), 1–64. https://doi.org/10.1007/s13398-014-0173-7.2 Balk, M., Altinbaş, M., Rijpstra, W. I. C., Damsté, J. S. S., & Stams, A. J. M. (2008). Desulfatirhabdium butyrativorans gen. nov., sp. nov., a butyrate-oxidizing, sulfate- reducing bacterium isolated from an anaerobic bioreactor. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 58(1), 110–115. https://doi.org/10.1099/ijs.0.65396-0 Bhandari, V., Ahmod, N. Z., Shah, H. N., & Gupta, R. S. (2013). Molecular signatures for Bacillus species: Demarcation of the Bacillus subtilis and Bacillus cereus clades in molecular terms and proposal to limit the placement of new species into the genus Bacillus. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 63(PART7), 2712–2726. https://doi.org/10.1099/ijs.0.048488-0 Bowman, J. P., Sly, L. I., Nichols, P. D., & Hayward, A. C. (1993). Revised taxonomy of the methanotrophs: Description of Methylobacter gen. nov., emendation of Methylococcus, validation of Methylosinus and Methylocystis species, and a proposal that the family Methylococcaceae includes only the group I methanotrophs. International Journal of Systematic Bacteriology, 43(4), 735–753. https://doi.org/10.1099/00207713-43-4-735 Bryant, D. A., & Frigaard, N. U. (2006). Prokaryotic photosynthesis and phototrophy

39

40

illuminated. Trends in Microbiology, 14(11), 488–496. https://doi.org/10.1016/j.tim.2006.09.001 Buée, M., Reich, M., Murat, C., Morin, E., Nilsson, R. H., Uroz, S., & Martin, F. (2009). 454 Pyrosequencing analyses of forest soils reveal an unexpectedly high fungal diversity. New Phytologist, 184(2), 449–456. https://doi.org/10.1111/j.1469-8137.2009.03003.x Carson, J. K., Gonzalez-Quiñones, V., Murphy, D. V., Hinz, C., Shaw, J. A., & Gleeson, D. B. (2010). Low pore connectivity increases bacterial diversity in soil. Applied and Environmental Microbiology, 76(12), 3936–3942. https://doi.org/10.1128/AEM.03085- 09 Chau, J. F., Bagtzoglou, A. C., & Willig, M. R. (2011). The Effect of Soil Texture on Richness and Diversity of Bacterial Communities. Environmental Forensics, 12(4), 333–341. https://doi.org/10.1080/15275922.2011.622348 Coates, J. D., Ellis, D. J., Gaw, C. V, & Lovley, D. R. (1999). Geothrix ferrnentans. International Journal of Systematic Bacteriology, 49(1 999), 1615–1622. Dedysh, S. N., Haupt, E. S., & Dunfield, P. F. (2016). Emended description of the family Beijerinckiaceae and transfer of the genera Chelatococcus and Camelimonas to the family Chelatococcaceae fam. nov. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 66(8), 3177–3182. https://doi.org/10.1099/ijsem.0.001167 Defosse, D. L., Johnson, R. C., Paster, B. J., Dewhirst, F. E., & Fraser, G. J. (1995). Brevinema andersonii gen. nov., sp. nov., an infectious Spirochete isolated from the short-tailed shrew (Blarina brevicauda) and the white- footed mouse (Peromyscus leucopus). International Journal of Systematic Bacteriology, 45(1), 78–84. Emerson, D., Field, E. K., Chertkov, O., Davenport, K. W., Goodwin, L., Munk, C., … Woyke, T. (2013). Comparative genomics of freshwater Fe-oxidizing bacteria: Implications for physiology, ecology, and systematics. Frontiers in Microbiology, 4(SEP), 1–17. https://doi.org/10.3389/fmicb.2013.00254 Fahriansyah Nur Afandi, Bambang Siswanto, Y. N. (2015). Dan Produksi Tanaman Ubi Jalar Di Entisol. Jurnal Tanah Dan Sumberdaya Lahan, 2(2), 237–244. Falagán, C., & Johnson, D. B. (2014). Acidibacter ferrireducens gen. nov., sp. nov.: an acidophilic ferric iron-reducing gammaproteobacterium. Extremophiles, 18(6), 1067– 1073. https://doi.org/10.1007/s00792-014-0684-3 Feng, G. Da, Yang, S. Z., Xiong, X., Li, H. P., & Zhu, H. H. (2017). Sphingomonas spermidinifaciens sp. Nov., a novel bacterium containing spermidine as the major polyamine, isolated from an abandoned lead–zinc mine and emended descriptions of the genus Sphingomonas and the species Sphingomonas yantingensis and Sphingomona. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 67(7), 2160–2165. https://doi.org/10.1099/ijsem.0.001905

41

Fudou, R., Jojima, Y., Iizuka, T., & Yamanaka, S. (2002). Haliangium ochraceum gen. nov., sp. nov. and Haliangium tepidum sp. nov.: Novel moderately halophilic myxobacterial isolated from coastal saline environments. Journal of General and Applied Microbiology, 48(2), 109–115. https://doi.org/10.2323/jgam.48.109 Ge, S., Xu, H., Ji, M., & Jiang, Y. (2013). Characteristics of Soil Organic Carbon, Total Nitrogen, and C/N Ratio in Chinese Apple Orchards. Open Journal of Soil Science, 03(05), 213–217. https://doi.org/10.4236/ojss.2013.35025 GenEluteTM Soil DNA Isolation Kit Product Number DNB100 Storage: Room Temperature. (n.d.). Retrieved from https://www.sigmaaldrich.com/content/dam/sigma- aldrich/docs/Sigma/Bulletin/2/dnb100bul.pdf Gerner-Smidt, P., Kei, H., Ursing, J., Blom, J., Christen, A. C., Christensen, J., … Ying, Y. T. (1994). Negative motile coccus with unusual morphology isolated from the human mouth. Microbiology, 140(1 994), 1787–1797. Gerritsen, J., Fuentes, S., Grievink, W., van Niftrik, L., Tindall, B. J., Timmerman, H. M., … Smidt, H. (2014). Characterization of Romboutsia ilealis gen. nov., sp. nov., isolated from the gastro-intestinal tract of a rat, and proposal for the reclassification of five closely related members of the genus Clostridium into the genera Romboutsia gen. nov., Intestinib. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 64(PART 5), 1600–1616. https://doi.org/10.1099/ijs.0.059543-0 Grech-Mora, I., Fardeau, M. L., Patel, B. K. C., Ollivier, B., Rimbault, A., Prensier, G., … Garnier-Sillam, E. (1996). Isolation and characterization of Sporobacter termitidis gen. nov., sp. nov., from the digestive tract of the wood-feeding termite Nasutitermes lujae. International Journal of Systematic Bacteriology, 46(2), 512–518. https://doi.org/10.1099/00207713-46-2-512 Gupta, R. S., Lo, B., & Son, J. (2018). Phylogenomics and comparative genomic studies robustly support division of the genus Mycobacterium into an emended genus Mycobacterium and four novel genera. Frontiers in Microbiology, 9(FEB), 1–41. https://doi.org/10.3389/fmicb.2018.00067 Haryono, Noor, M., Syahbuddin, H., & Sarwani, M. (2013). Lahan Rawa. Penelitian dan Pengembangan (M. et al. Noor, ed.). Retrieved from http://bbsdlp.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/publikasi- 3/buku?download=6:lahan-rawa-penelitian-dan-pengembangan-pertanian Hippe, H. (2000). Leptospirillum gen. nov. (ex Markosyan 1972), nom. rev., including Leptospirillum ferrooxidans sp. nov. (ex Markosyan 1972), nom. rev. and Leptospirillum thermoferrooxidans sp. nov. (Golovacheva et al. 1992). International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 50(2), 501–503. https://doi.org/10.1099/00207713-50-2-501

42

Holmes, D. E., Nevin, K. P., Woodard, T. L., Peacock, A. D., & Lovley, D. R. (2007). Prolixibacter bellariivorans gen. nov., sp. nov., a sugar-fermenting, psychrotolerant anaerobe of the phylum Bacteroidetes, isolated from a marine-sediment fuel cell. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 57(4), 701–707. https://doi.org/10.1099/ijs.0.64296-0 Hong, Y., Liao, D., Hu, A., Wang, H., Chen, J., Khan, S., … Li, H. (2015). Diversity of endophytic and rhizoplane bacterial communities associated with exotic Spartina alterniflora and native mangrove using Illumina amplicon sequencing. Canadian Journal of Microbiology, 61(10), 723–733. https://doi.org/10.1139/cjm-2015-0079 Ibrahim, A., Gerner-Smidt, P., & Liesack, W. (1997). Phylogenetic relationship of the twenty-one DNA groups of the genus Acinetobacter as revealed by 16S ribosomal DNA sequence analysis. International Journal of Systematic Bacteriology, 47(3), 837–841. https://doi.org/10.1099/00207713-47-3-837 Iino, T., Mori, K., Uchino, Y., Nakagawa, T., Harayama, S., & Suzuki, K. I. (2010). Ignavibacterium album gen. nov., sp. nov., a moderately thermophilic anaerobic bacterium isolated from microbial mats at a terrestrial hot spring and proposal of Ignavibacteria classis nov., for a novel lineage at the periphery of green sulfur bacteria. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 60(6), 1376–1382. https://doi.org/10.1099/ijs.0.012484-0 Iino, T., Sakamoto, M., & Ohkuma, M. (2015). Prolixibacter denitrificans sp. nov., an iron- corroding, facultatively aerobic, nitrate-reducing bacterium isolated from crude oil, and emended descriptions of the genus prolixibacter and prolixibacter bellariivorans. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 65(9), 2865–2869. https://doi.org/10.1099/ijs.0.000343 Imhoff, J. F. (2001). Transfer of Rhodopseudomonas acidophila to the new genus as gen. nov., comb. nov. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 51(5), 1863–1866. https://doi.org/10.1099/00207713-51-5-1863 Imhoff, Johannes F. (2003). Phylogenetic taxonomy of the family Chlorobiaceae on the basis of 16S rRNA and fmo (Fenna-Matthews-Olson protein) gene sequences. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 53(4), 941–951. https://doi.org/10.1099/ijs.0.02403-0 Inagaki, F., Takai, K., Kobayashi, H., Nealson, K. H., & Horikoshi, K. (2003). Sulfurimonas autrotrophica gen. nov., sp. nov., a novel sulfur-oxidizing E-proteobacterium isolated from hydrothermal sediments in the Mid-Okinawa Trough. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 53(6), 1801–1805. https://doi.org/ 10.1099/ijs.0.02682-0 James, K. L., Kung, J. W., Crable, B. R., Mouttaki, H., Sieber, J. R., Nguyen, H. H., …

43

McInerney, M. J. (2019). Syntrophus aciditrophicus uses the same enzymes in a reversible manner to degrade and synthesize aromatic and alicyclic acids. Environmental Microbiology, 21(5), 1833–1846. https://doi.org/10.1111/1462- 2920.14601 Jarvis, B., Sadowsky, M. J., Gould, T. J., Phillips, J., Cotner, J. B., Unno, T., & Staley, C. (2013). Application of Illumina next-generation sequencing to characterize the bacterial community of the Upper Mississippi River. Journal of Applied Microbiology, 115(5), 1147–1158. https://doi.org/10.1111/jam.12323 Jiang, D. M., Zhao, L., Zhang, C. Y., Li, J., Xia, Z. J., Wang, J., … Li, Y. Z. (2008). Taxonomic analysis of Sorangium strains based on HSP60 and 16S rRNA gene sequences and morphology. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 58(11), 2654–2659. https://doi.org/10.1099/ijs.0.65806-0 Johnson, D. B., Hallberg, K. B., & Hedrich, S. (2014). Uncovering a Microbial Enigma: Isolation and Characterization of the Streamer-Generating, Iron-Oxidizing, Acidophilic Bacterium “Ferrovum myxofaciens.” Applied and Environmental Microbiology, 80(2), 672–680. https://doi.org/10.1128/AEM.03230-13 Johnson, D. B., Stallwood, B., Kimura, S., & Hallberg, K. B. (2006). Isolation and characterization of Acidicaldus organivorus, gen. nov., sp. nov.: A novel sulfur- oxidizing, ferric iron-reducing thermo-acidophilic heterotrophic Proteobacterium. Archives of Microbiology, 185(3), 212–221. https://doi.org/10.1007/s00203-006-0087- 7 Kämpfer, P., Young, C. C., Arun, A. B., Shen, F. T., Jäckel, U., Rosselló-Mora, R., … Rekha, P. D. (2006). Pseudolabrys taiwanensis gen. nov., sp. nov., an alphaproteobacterium isolated from soil. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 56(10), 2469–2472. https://doi.org/10.1099/ijs.0.64124-0 Kelly, D. P., Uchino, Y., Huber, H., Amils, R., & Wood, A. P. (2007). Reassessment of the phylogenetic relationships of cuprina. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 57(11), 2720–2724. https://doi.org/ 10.1099/ijs.0.65537-0 Kielak, A. M., Barreto, C. C., Kowalchuk, G. A., van Veen, J. A., & Kuramae, E. E. (2016). The ecology of Acidobacteria: Moving beyond genes and genomes. Frontiers in Microbiology, 7(MAY), 1–16. https://doi.org/10.3389/fmicb.2016.00744 Kim, A. D., Mandelco, L., Tanner, R. S., Woese, C. R., & Suflita, J. M. (1990). Desulfomonile tiedjei. Archives of Microbiology, 154(1), 23–30. Kodama, Y., & Watanabe, K. (2004). Sulfuricurvum kujiense gen. nov., sp. nov., a facultatively anaerobic, chemolithoautotrophic, sulfur-oxidizing bacterium isolated from an underground crude-oil storage cavity. International Journal of Systematic and

44

Evolutionary Microbiology, 54(6), 2297–2300. https://doi.org/10.1099/ijs.0.63243-0 Kojima, H., Shinohara, A., & Fukui, M. (2015). Sulfurifustis variabilis gen. nov., sp. nov., a sulfur oxidizer isolated from a lake, and proposal of Acidiferrobacteraceae fam. nov. and Acidiferrobacterales ord. nov. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 65(10), 3709–3713. https://doi.org/10.1099/ijsem.0.000479 Kuang, J. L., Huang, L. N., Chen, L. X., Hua, Z. S., Li, S. J., Hu, M., … Shu, W. S. (2013). Contemporary environmental variation determines microbial diversity patterns in acid mine drainage. ISME Journal, 7(5), 1038–1050. https://doi.org/10.1038/ismej.2012.139 Kulichevskaya, I. S., Danilova, O. V., Tereshina, V. M., Kevbrin, V. V., & Dedysh, S. N. (2014). Descriptions of Roseiarcus fermentans gen. nov., sp. nov., a bacteriochlorophyll a-containing fermentative bacterium related phylogenetically to alphaproteobacterial methanotrophs, and of the family Roseiarcaceae fam. nov. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 64(PART 8), 2558–2565. https://doi.org/10.1099/ijs.0.064576-0 Kulichevskaya, I. S., Suzina, N. E., Liesack, W., & Dedysh, S. N. (2010). Bryobacter aggregatus gen. nov., sp. nov., a peat-inhabiting, aerobic chemo-organotroph from subdivision 3 of the acidobacteria. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 60(2), 301–306. https://doi.org/10.1099/ijs.0.013250-0 Kulichevskaya, I. S., Suzina, N. E., Rijpstra, W. I. C., Sinninghe Damsté, J. S., & Dedysh, S. N. (2014). Paludibaculum fermentans gen. nov., sp. nov., a facultative anaerobe capable of dissimilatory iron reduction from subdivision 3 of the Acidobacteria. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 64(PART 8), 2857–2864. https://doi.org/10.1099/ijs.0.066175-0 Kurniawati, S., Hamzah Muttaqin, K., & Giyanto. (2017). Prosiding Seminar Nasional Agroinovasi Spesifik Lokasi Untuk Ketahanan Pangan Pada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Prosiding Seminar Nasional Agroinovasi, 491–498. Retrieved from http://repository.pertanian.go.id/handle/123456789/7224 Kwon, S. W., Kim, B. Y., Kim, W. G., Yoo, K. H., Yoo, S. H., Son, J. A., & Weon, H. Y. (2008). Paludibacterium yonneupense gen. nov., sp. nov., isolated from a wetland, Yongneup, in Korea. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 58(1), 190–194. https://doi.org/10.1099/ijs.0.64831-0 Labrenz, M., Grote, J., Mammitzsch, K., Boschker, H. T. S., Laue, M., Jost, G., … Jurgens, K. (2013). Sulfurimonas gotlandica sp. nov., a chemoautotrophic and psychrotolerant epsilonproteobacterium isolated from a pelagic redoxcline, and an emended description of the genus Sulfurimonas. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 63(PART 11), 4141–4148. https://doi.org/10.1099/ijs.0.048827-0 Lauber, C. L., Hamady, M., Knight, R., & Fierer, N. (2009). Pyrosequencing-based

45

assessment of soil pH as a predictor of soil bacterial community structure at the continental scale. Applied and Environmental Microbiology, 75(15), 5111–5120. https://doi.org/10.1128/AEM.00335-09 Ling, Y. C., Bush, R., Grice, K., Tulipani, S., Berwick, L., & Moreau, J. W. (2015). Distribution of iron- and sulfate-reducing bacteria across a coastal acid sulfate soil (CASS) environment: Implications for passive bioremediation by tidal inundation. Frontiers in Microbiology, 6(JUL). https://doi.org/10.3389/fmicb.2015.00624 Liu, Yi, Qiao, J. T., Yuan, X. Z., Guo, R. B., & Qiu, Y. L. (2014). Hydrogenispora ethanolica gen. nov., sp. nov., an anaerobic carbohydrate-fermenting bacterium from anaerobic sludge. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 64(PART 5), 1756–1762. https://doi.org/10.1099/ijs.0.060186-0 Liu, Yitai, Balkwill, D. L., Henry, C. A., Drake, G. R., & Boone, D. R. (1999). Characterization of the anaerobic propionate- degrading syntrophs Smithella propionica. International Journal of Systematic Bacteriology, 49(1 999), 545–556. https://doi.org/10.1099/00207713-49-2-545 Losey, N. A., Stevenson, B. S., Busse, H. J., Damsté, J. S. S., Rijpstra, W. I. C., Rudd, S., & Lawson, P. A. (2013). Thermoanaerobaculum aquaticum gen. nov., sp. nov., the first cultivated member of acidobacteria subdivision 23, isolated from a hot spring. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 63(PART 11), 4149–4157. https://doi.org/10.1099/ijs.0.051425-0 Loubinoux, J., Valente, F. M. A., Pereira, I. A. C., Costa, A., Grimont, P. A. D., & Le Faou, A. E. (2002). Reclassification of the only species of the genus Desulfomonas, Desulfomonas pigra, as Desulfovibrio piger comb. nov. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 52(4), 1305–1308. https://doi.org/10.1099/ijs.0.02175-0 Luijten, M. L. G. C., de Weert, J., Smidt, H., Boschker, H. T. S., de Vos, W. M., Schraa, G., & Stams, A. J. M. (2003). Description of Sulfurospirillum halorespirans sp. nov., an anaerobic, tetrachloroethene-respiring bacterium, and transfer of Dehalospirillum multivorans to the genus Sulfurospirillum a Sulfurospirillum multivorans comb. nov. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 53(3), 787–793. https://doi.org/10.1099/ijs.0.02417-0 Lv, Y. Y., Wang, J., Chen, M. H., You, J., & Qiu, L. H. (2016). Dinghuibacter silviterrae gen. Nov., sp. Nov., isolated from forest soil. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 66(4), 1785–1791. https://doi.org/10.1099/ijsem.0.000940 Maréchal, J., Clement, B., Nalin, R., Gandon, C., Orso, S., Cvejic, J. H., … Normand, P. (2000). A recA gene phylogenetic analysis confirms the close proximity of Frankia to Acidothermus. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 50(2), 781–785. https://doi.org/10.1099/00207713-50-2-781

46

Marschall, E., Jogler, M., Henßge, U., & Overmann, J. (2010). Large-scale distribution and activity patterns of an extremely low-light-adapted population of green sulfur bacteria in the Black Sea. Environmental Microbiology, 12(5), 1348–1362. https://doi.org/10.1111/j.1462-2920.2010.02178.x Morotomi, M., Nagai, F., & Watanabe, Y. (2011). Description of Christensenella minuta gen. nov., sp. nov., isolated from human faeces, which forms a distinct branch in the order Clostridiales, and proposal of Christensenellaceae fam. nov. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 62(1), 144–149. https://doi.org/ 10.1099/ijs.0.026989-0 Murray, R. G. ., & Stackebrandt, E. (1995). Status Candidatus, 1995. 186–187. Nevin, K. P., Holmes, D. E., Woodard, T. L., Covalla, S. F., & Lovley, D. R. (2007). Reclassification of Trichlorobacter thiogenes as Geobacter thiogenes comb. nov. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 57(3), 463–466. https://doi.org/10.1099/ijs.0.63408-0 Noar, J. D., & Buckley, D. H. (2009). Ideonella azotifigens sp. nov., an aerobic diazotroph of the isolated from grass rhizosphere soil, and emended description of the genus Ideonella. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 59(8), 1941–1946. https://doi.org/10.1099/ijs.0.003368-0 Oecd. (2017). Waste Management Services. Illumina Sequencing Introduction, (October), 1– 8.https://doi.org/http://www.illumina.com/content/dam/illumina-marketing/ documents/products/illumina_sequencing_introduction.pdf Okamura, K., Kawai, A., Wakao, N., Yamada, T., & Hiraishi, A. (2015). Acidiphilium iwatense sp. nov., isolated from an acid mine drainage treatment plant, and emendation of the genus Acidiphilium. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 65(1), 42–48. https://doi.org/10.1099/ijs.0.065052-0 On, S. L. W., Miller, W. G., Houf, K., Fox, J. G., & Vandamme, P. (2017). Minimal standards for describing new species belonging to the families Campylobacteraceae and Helicobacteraceae: Campylobacter, Arcobacter, Helicobacter and Wolinella spp. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 67(12), 5296– 5311. https://doi.org/10.1099/ijsem.0.002255 Oren, A., & Garrity, G. M. (2015). Notification of changes in taxonomic opinion previously published outside the IJSEM. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 65(7), 2028–2029. https://doi.org/10.1099/ijs.0.000286 Ouattara, A. S., Le Mer, J., Joseph, M., & Macarie, H. (2017). Transfer of pseudomonas pictorum gray and thornton 1928 to genus Stenotrophomonas as Stenotrophomonas pictorum comb. Nov., and emended description of the genus Stenotrophomonas. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 67(6), 1894–1900.

47

https://doi.org/10.1099/ijsem.0.001880 Pambudi, A. S. T. W. P. (2017). Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Tanah Sawah di Desa Sukawali dan Desa Belimbing, Kabupaten Tangerang. AL-KAUNIYAH; Journal of Biology, 10(2), 105–113. Retrieved from http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/kauniyah Rainey, F. A., Weiss, N., & Stackebrandt, E. (1995). Phylogenetic analysis of the genera Cellulomonas, Promicromonospora, and Jonesia and proposal to exclude the genus Jonesia from the family Cellulomonadaceae. International Journal of Systematic Bacteriology, 45(4), 649–652. https://doi.org/10.1099/00207713-45-4-649 Randy W.G.Tewu, Karamoy Lientje Theffie, D. D. P. (2016). ( Study of Soil Physical and Chemical Properties on the Sandy Soil of. Rustam, Umar, H., & Yusran. (2016). Lahan Di Sekitar Taman Nasional Lore Lindu ( Studi Kasus Desa Toro Kecamatan Kulawi Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah ). Warta Rimba, 4, 24–31. Sakurai, H., Ogawa, T., Shiga, M., & Inoue, K. (2010). Inorganic sulfur oxidizing system in green sulfur bacteria. Photosynthesis Research, 104(2), 163–176. https://doi.org/ 10.1007/s11120-010-9531-2 Salvetti, E., Harris, H. M. B., Felis, G. E., & O’Toole, P. W. (2018). Comparative genomics of the genus Lactobacillus reveals robust phylogroups that provide the basis for reclassification. Applied and Environmental Microbiology, 84(17), 1–15. https://doi.org/10.1128/AEM.00993-18 Sánchez-Andrea, I., Sanz, J. L., & Stams, A. J. M. (2014). Microbacter margulisiae gen. nov., sp. nov., a propionigenic bacterium isolated from sediments of an acid rock drainage pond. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 64, 3936– 3942. https://doi.org/10.1099/ijs.0.066241-0 Sanford, R. a, Cole, J. R., & Tiedje, J. M. (2002). Characterization and Description of. Applied and Environmental Microbiology, 68(2), 893–900. https://doi.org/10.1128/ AEM.68.2.893 Sedano-Núñez, V. T., Boeren, S., Stams, A. J. M., & Plugge, C. M. (2018). Comparative proteome analysis of propionate degradation by Syntrophobacter fumaroxidans in pure culture and in coculture with methanogens. Environmental Microbiology, 20(5), 1842– 1856. https://doi.org/10.1111/1462-2920.14119 Sekiguchi, Y., Yamada, T., Hanada, S., Ohashi, A., Harada, H., & Kamagata, Y. (2003). Anaerolinea thermophila gen. nov., sp. nov. and Caldilinea aerophila gen. nov., sp. nov., novel filamentous thermophiles that represent a previously uncultured lineage of the domain bacteria at the subphylum level. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 53(6), 1843–1851. https://doi.org/10.1099/ijs.0.02699-0

48

Shendure, J., Mitra, R. D., Varma, C., & Church, G. M. (2004). Advanced sequencing technologies: Methods and goals. Nature Reviews Genetics, 5(5), 335–344. https://doi.org/10.1038/nrg1325 Silitonga, D. M., & Priyani, N. (2013). Isolasi dan Uji Potesi Isolat Bakteri pelarut Fosfat dan Bakteri Penghasil Hormon IAA ( Indole Acetic Acid ) Terhadap Pertumbuhan Kedelai ( Glycine max L .) Pada Tanah Kuning. Saintia Biologi, Vol 1, No, 1–7. Retrieved from https://jurnal.usu.ac.id/index.php/sbiologi/article/view/1280 Sinaga, N. (2010). Kawasan Pasca Tambang Batubara Berkelanjutan ( Studi Kasus Kabupaten Kutai Kartanegara ) Nurita Sinaga (Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor). Retrieved from https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/ 123456789/55273/1/2010nsi.pdf Sizova, M. V., Panikov, N. S., Spiridonova, E. M., Slobodova, N. V., & Tourova, T. P. (2007). Novel facultative anaerobic acidotolerant Telmatospirillum siberiense gen. nov. sp. nov. isolated from mesotrophic fen. Systematic and Applied Microbiology, 30(3), 213–220. https://doi.org/10.1016/j.syapm.2006.06.003 Skerman, V. B. D., McGowan, V., & Sneath, P. H. A. (1980). Approved lists of bacterial names. International Journal of Systematic Bacteriology, 30(1), 225–420. Sosilowati, Nababan, M.L, Wahyudi, Rahman, Mahendra, ZA, Massudi, Wibowo, E. S. . (2017). Sinkronisasi Program Dan Pembiayaan Pembangunan. Spain, A. M., Krumholz, L. R., & Elshahed, M. S. (2009). Abundance, composition, diversity and novelty of soil Proteobacteria. ISME Journal, 3(8), 992–1000. https://doi.org/10.1038/ismej.2009.43 Stefanie, J. W. ., Elferink, O., Vliet, W. M. A., Jaap, J. B., & M.Stams, A. J. (1999). novel acetate-degrading sulfate reducer isolated from sulf idogenic granular sludge. (1 999), 345–350. Su, X. L., Tian, Q., Zhang, J., Yuan, X. Z., Shi, X. S., Guo, R. B., & Qiu, Y. L. (2014). Acetobacteroides hydrogenigenes gen. nov., Sp. nov., An anaerobic hydrogen- producing bacterium in the family Rikenellaceae isolated from a reed swamp. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 64, 2986–2991. https://doi.org/10.1099/ijs.0.063917-0 Suastika, I. W., Hartatik, W., & Subiksa, I. G. M. (2010). Karakteristik Dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan. Penelitian Balitbang Di Balai Penelitian Tanah, (1986). Sufardi, Martunis, L., & Muyassir. (2017). Pertukaran kation pada beberapa jenis tanah di lahan kering Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh (Indonesia). Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsiyah, (2004), 45–53.

49

Susilawati, A., Nursyamsi, D., & Syakir, M. (2016). Optimalisasi Penggunaan Lahan Rawa Pasang Surut Mendukung Swsembada Pangan Nasional. Jurnal Sumberdaya Lahan, 10(1), 51–64. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-374984-0.01072-X Susilowati, D. N., Suwanto, A., Sudiana, I. M., & Mubarik. (2015). Analisis Komunitas dan Fungsi Bakteri Rhizosfer Tanaman Padi pada Gradien Salinitas Tanah Pesisir (Vol. 151). https://doi.org/10.1145/3132847.3132886 Suzuki, D., Li, Z., Cui, X., Zhang, C., & Katayama, A. (2014). Reclassification of Desulfobacterium anilini as Desulfatiglans anilini comb. nov. within Desulfatiglans gen. nov., And description of a 4-chlorophenol-degrading sulfate-reducing bacterium, Desulfatiglans parachlorophenolica sp. nov. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 64, 3081–3086. https://doi.org/10.1099/ijs.0.064360-0 Takai, K., Suzuki, M., Nakagawa, S., Miyazaki, M., Suzuki, Y., Inagaki, F., & Horikoshi, K. (2006). Sulfurimonas paralvinellae sp. nov., a novel mesophilic, hydrogen- and sulfur- oxidizing chemolithoautotroph within the Epsilonproteo-bacteria isolated from a deep- sea hydrothermal vent polychaete nest, reclassification of Thiomicrospira denitrificans as S. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 56(8), 1725– 1733. https://doi.org/10.1099/ijs.0.64255-0 Tanaka, K., Stackebrandt, E., Tohyama, S., & Eguchi, T. (2000). Desulfovirga adipica gen. nov., sp. nov., an adipate-degrading, Gram- negative, sulfate-reducing bacterium. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 50(2), 639–644. https://doi.org/10.1099/00207713-50-2-639 Tasma, I. M. (2015). Pemanfaatan Teknologi Sekuensing Genom untuk Mempercepat Program Pemuliaan Tanaman Utilization of Genome Sequencing Technology to Accelerate Plant Breeding Program. Jurnal Litbang Pert., 34(2), 159–168. Tasma, I. M., Satyawan, D., & Rijzaani, H. (2012). Konstruksi Pustaka Genom Kakao (Theobroma cacao L .) untuk Sekuensing Genom Total Menggunakan Next Generation SequencingHiSeq2000. 2000, 99–108. Tegtmeier, D., Belitz, A., Radek, R., Heimerl, T., & Brune, A. (2018). Ereboglobus luteus gen. nov. sp. nov. from cockroach guts, and new insights into the oxygen relationship of the genera Opitutus and Didymococcus (Verrucomicrobia: Opitutaceae). Systematic and Applied Microbiology, 41(2), 101–112. https://doi.org/10.1016/ j.syapm.2017.10.005 Thrash, J. C., & Coates, John, D. (2007). Phylum XVII. Acidobacteria phyl. nov. 725–735. Tinning, M., & Genome, A. (2013). Next-Generation Sequencing: an overview of technologies and applications. ARC Centre of Excellence in Bioinformatics, (July). Retrieved from http://bioinformatics.org.au/wp-content/uploads/ws13/sites/3/ FullPresentations/Matthew-Tinning_2013-Winter-School-presentation.pdf

50

Trojan, D., Schreiber, L., Bjerg, J. T., Bøggild, A., Yang, T., Kjeldsen, K. U., & Schramm, A. (2016). A taxonomic framework for cable bacteria and proposal of the candidate genera Electrothrix and Electronema. Systematic and Applied Microbiology, 39(5), 297–306. https://doi.org/10.1016/j.syapm.2016.05.006 Ueki, A., Kodama, Y., Kaku, N., Shiromura, T., Satoh, A., Watanabe, K., & Ueki, K. (2010). Rhizomicrobium palustre gen. nov., sp. nov., a facultatively anaerobic, fermentative stalked bacterium in the class Alphaproteobacteria isolated from rice plant roots. Journal of General and Applied Microbiology, 56(3), 193–203. https://doi.org/ 10.2323/jgam.56.193 Ueki, I., Koga, Y., Povalko, N., Akita, Y., Nishioka, J., Yatsuga, S., … Matsuishi, T. (2006). Mitochondrial tRNA gene mutations in patients having mitochondrial disease with lactic acidosis. Mitochondrion, 6(1), 29–36. https://doi.org/10.1099/ijs.0.63896-0 Wang, R., Zhang, H., Sun, L., Qi, G., Chen, S., & Zhao, X. (2017). Microbial community composition is related to soil biological and chemical properties and bacterial wilt outbreak. Scientific Reports, 7(1), 343. https://doi.org/10.1038/s41598-017-00472-6 Wang, Y., Song, J., Zhai, Y., Zhang, C., Gerritsen, J., Wang, H., … Ruan, Z. (2015). Romboutsia sedimentorum sp. nov., isolated from an alkaline-saline lake sediment and emended description of the genus Romboutsia. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 65, 1193–1198. https://doi.org/10.1099/ijs.0.000079 Ward, N. L., Challacombe, J. F., Janssen, P. H., Henrissat, B., Coutinho, P. M., Wu, M., … Kuske, C. R. (2009). Three genomes from the phylum Acidobacteria provide insight into the lifestyles of these microorganisms in soils. Applied and Environmental Microbiology, 75(7), 2046–2056. https://doi.org/10.1128/AEM.02294-08 Weiss, J. V., Rentz, J. A., Plaia, T., Neubauer, S. C., Merrill-Floyd, M., Lilburn, T., … Emerson, D. (2007). Characterization of neutrophilic Fe(II)-oxidizing bacteria isolated from the rhizosphere of wetland plants and description of Ferritrophicum radicicola gen. nov. sp. nov., and Sideroxydans paludicola sp. nov. Geomicrobiology Journal, 24(7–8), 559–570. https://doi.org/10.1080/01490450701670152 Willems, A., Coopman, R., & Gillis, M. (2001). Phylogenetic and DNA-DNA hybridization analyses of Bradyrhizobium species. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 51(1), 111–117. https://doi.org/10.1099/00207713-51-1- 111 Willems, Anne, Coopman, R., Gillis, M., & Gent, U. (2001). Comparison of sequence analysis of 16S – 23S rDNA spacer regions , AFLP analysis and DNA – DNA hybridizations in Bradyrhizobium groupings in line with previously obtained AFLP data . DNA – DNA hybridizations profiles reflected the overall genomic similari. International Journal of Systematic and Evolutionary MMcrobiology, 51(2001), 623– 632.

51

Williams, K. P., Gillespie, J. J., Sobral, B. W. S., Nordberg, E. K., Snyder, E. E., Shallom, J. M., & Dickerman, A. W. (2010). Phylogeny of gammaproteobacteria. Journal of Bacteriology, 192(9), 2305–2314. https://doi.org/10.1128/JB.01480-09 Winda Kumalasari, S., Syamsiyah, J., Sumarno Jurusan Ilmu Tanah, D., Pertanian, F., & Sebelas Maret Surakarta, U. (2011). Studi Beberapa Sifat Fisika Dan Kimia Tanah Pada Berbagai Komposisi Tegakan Tanaman Di Sub Das Solo Hulu (The Study of Soil Physics and Chemical Character on Various Straightened Composition of Crop on Sub DAS Solo Hulu). Sains Tanah – Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah Dan Agroklimatologi, 8(2), 119–124. Wu, X., Wong, Z. L., Sten, P., Engblom, S., Österholm, P., & Dopson, M. (2013). Microbial community potentially responsible for acid and metal release from an Ostrobothnian acid sulfate soil. FEMS Microbiology Ecology, 84(3), 555–563. https://doi.org/10.1111/1574-6941.12084 Yabuuchi, E., Kosako, Y., Fujiwara, N., Naka, T., Matsunaga, I., Ogura, H., & Kobayashi, K. (2002). Emendation of the genus Sphingomonas Yabuuchi et al. 1990 and junior objective synonymy of the species of three genera, Sphingobium, Novosphingobium and Sphingopyxis, in conjuction with Blastomonas ursincola. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 52(5), 1485–1496. https://doi.org/10.1099/ijs.0.01868-0 Yamada, T., Sekiguchi, Y., Hanada, S., Imachi, H., Ohashi, A., Harada, H., & Kamagata, Y. (2006). Anaerolinea thermolimosa sp. nov., Levilinea saccharolytica gen. nov., sp. nov. and Leptolinea tardivitalis gen. nov., sp. nov., novel filamentous anaerobes, and description of the new classes Anaerolineae classis nov. and Caldilineae classis nov. in the . International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 56(6), 1331– 1340. https://doi.org/10.1099/ijs.0.64169-0 Yu, X., Zhao, P., He, C., Li, J., Tang, X., Zhou, J., & Huang, Z. (2012). Isolation of a novel strain of Monoraphidium sp . and characterization of its potential application as biodiesel feedstock. Bioresource Technology, 121, 256–262. https://doi.org/10.1016/j.biortech.2012.07.002 Yutin, N., & Galperin, M. Y. (2013). A genomic update on clostridial phylogeny: Gram- negative spore formers and other misplaced clostridia. Environmental Microbiology, 15(10), 2631–2641. https://doi.org/10.1111/1462-2920.12173 Zahara, F., Wawan, & Wardati. (2015). Sifat Biologi Tanah Mineral Masam Dystrudepts di Areal Piringan Kelapa Sawit yang Diaplikasi Mulsa Organik Mucuna Bracteata di Lahan Percobaan Fakultas Pertanian, Universitas Riau. JOM FAPERTA Vol. 2 No. 2Oktober 2015, 2(2). Zeng, Y., Selyanin, V., Lukeŝ, M., Dean, J., Kaftan, D., Feng, F., & Koblížek, M. (2015). Characterization of the microaerophilic, bacteriochlorophyll a-containing bacterium

52

Gemmatimonas phototrophica sp. Nov., and emended descriptions of the genus Gemmatimonas and Gemmatimonas aurantiaca. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 65(8), 2410–2419. https://doi.org/10.1099/ ijs.0.000272 Zhang, X., Tu, B., Dai, L. R., Lawson, P. A., Zheng, Z. Z., Liu, L. Y., … Cheng, L. (2018). Petroclostridium xylanilyticum gen. Nov., sp. nov., a xylan-degrading bacterium isolated from an oilfield, and reclassification of clostridial cluster iii members into four novel genera in a new hungateiclostridiaceae fam. nov. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 68(10), 3197–3211. https://doi.org/10.1099/ijsem.0.002966 Zheng, H., Dietrich, C., Radek, R., & Brune, A. (2016). Endomicrobium proavitum, the first isolate of Endomicrobia class. nov. (phylum Elusimicrobia) - an ultramicrobacterium with an unusual cell cycle that fixes nitrogen with a Group IV nitrogenase. Environmental Microbiology, 18(1), 191–204. https://doi.org/10.1111/1462- 2920.12960 Ziegler, S., Waidner, B., Itoh, T., Schumann, P., Spring, S., & Gescher, J. (2013). Metallibacterium scheffleri gen. nov., sp. nov., an alkalinizing gammaproteobacterium isolated from an acidic biofilm. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 63(PART4), 1499–1504. https://doi.org/10.1099/ijs.0.042986-0

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1. Perbandingan Teknologi Alat Sekuensing Generasi Kedua (Sumber: Gao et al., 2012)

Hasil Jumlah basa Tingkat sequencing Nama Metode per kesalahan Instrumen Waktu sekali Keuntungan Kerugiaan alat sequensing pembacaan pembacaan menjalankan (bp) (%) alat Biaya tinggi Hasil pembahacaan 456 456 FLX+ Pyroquencing 18-20 900 700 1 untuk tiap Mega panjang basa (Mb) Hasil pembaacan Biaya modal terbanyak (highest tinggi dan Illumina Illumina Synthesis 10 100+100 600.000 0,1 throughput), biaya memerlukan per Mb murah komputasi tinggi Hasil bacaan Solid Hasil pembacaan pendek, analisis Solid 5500 xl Ligation 8 75+35 155.100 0,01 tinggi (highest penyambungan (4hq) throughput) rendah, biaya per Mb lebih mahal

53

54

Lampiran 2. Kriteria Hasil Analisis Tanah

Parameter tanah * Nilai Sangat Rendah Sedang Tinggi Sangat Rendah Tinggi C (%) <1 1-2 2-3 3-5 >5 N (%) <0,1 0,1-0,2 0,21-0,5 0,51-0,75 >0,75 C/N <5 5-10 11-15 16-25 >25 P2O5 HCL 25% (mg/100g) <15 15-20 21-40 41-60 >60 P2O5 Bray (ppm P) <4 5-7 8-10 11-15 >15 P2O5 Olsen (ppm P) <5 5-10 11-15 16-20 >20 K2O HCL 25% (mg/100g) <10 10-20 21-50 41-60 >60 KTK/CEC (me/100g tanah) <5 5-16 17-24 25-40 >40 Susunan kation Ca (me/100g tanah) <2 2-5 6-10 11-20 >20 Mg (me/100g tanah) <0,3 0,4-1 1,1-2,0 2,1-8,0 >8 K (me/100g tanah) <0,1 0,1-0,3 0,4-0,5 0,6-1,0 >1 Na (me/100g tanah) <0,1 0,1-0,3 0,4-0,7 0,8-1,0 >1 Kejenuhan Basa (%) <20 20-40 41-60 61-80 >80 Kejenuhan alumunium (%) <5 5-10 11-20 20-40 >40 Cadangan mneral (%) <5 5-10 11-20 20-40 >40 Salinitas/DHL (sS/m) <1 1-2 2-3 3-4 >4 Persentase natrium dapat tukar/ <2 2-3 4-10 10-15 >15 ESP(%)

Unsur Makro & Mikro Nilai Morgan* Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Ca (ppm) 71 107 143 286 572 Mg (ppm) 2 4 6 23 60 K (ppm) 8 12 21 36 58 Mn (ppm) 1 1 3 9 23 Al (ppm) 1 3 8 21 40 Fe (ppm) 1 3 5 19 53 P (ppm) 1 2 3 9 13 NH4 (ppm) 2 2 3 8 21 NO3 (ppm) 1 2 4 10 20 SO4 (ppm) 20 40 100 250 400 CI (ppm) 30 50 100 325 600

55

Sangat Masam Masam Agak masam Netral Agak Alkalis Alkalis pH H2O <4,5 4,5-5,5 5,5-6,5 6,6-7,5 7,6-8,5 >8,5

Unsur mikro DTPA* Defisiensi Marginal Cukup Zn (ppm) 0,5 0,5-1,0 1,0 Fe (ppm) 2,5 2,5-4,5 4,5 Mn (ppm) 1,0 - 1,0 Cu (ppm) 0,2 - 0,2 *penilaian ini hanya didasarkan pada sifat umum secara empiris

56

Lampiran 3. Diagram Segitiga Tekstur menurut USDA (Soil Survey Staff, 1990)

Clay = liat; Silt = debu; Silty Clay = liat berdebu; Silty Loam = lempung berdebu; Sandy Clay = liat berpasir; Loam = lempung; Silty Clay Loam = lempung liat berdebu; Sandy Loam = lempung berpasir; Sandy Clay Loam = lempung liat berpasir; Loamy Sand = pasir berlempung; Clay Loam = lempung berliat; Sand = pasir

57

Lampiran 4. Total Populasi Bakteri Asal Tanah Sulfat Masam Kalimantan Selatan (SKB) dan Kalimantan Tengah (CKB)

Jumlah Populasi Lokasi Media Pengenceran koloni Bakteri I II (CFU/g) 10-2 245 221 SEA 10-3 53 109 0,4 x 106 Normal 10-4 6 3 10-3 53 >300 NA Normal 10-4 0 0 1,1 x 106 Kalimantan Selatan 10-5 0 1 (SKB) -2 10 >300 >300 SEA 10-3 77 94 1,7 x 106 (pH 5) 10-4 25 18 10-2 >300 >300 NA 10-3 141 58 2.0 x 106 (pH 5) 10-4 48 40 10-2 117 100 SEA 10-3 90 43 0,3 x 106 Normal 10-4 64 84 10-3 13 7 NA Normal 10-4 1 0 * 0,02 x 106 Kalimantan Tengah 10-5 0 1 (CKB) -2 10 58 55 SEA 10-3 13 9 0,1 x 106 (pH 5) 10-4 2 3 10-2 3 13 NA 10-3 12 13 *0,02 x 106 (pH 5) 10-4 2 3 Ket NA: Media Natrium Agar, SEA: Soil Ekstrak Agar

58

Lampiran 5. Ekstraksi DNA menggunakan Norgen Soil DNA Isolation Plus Kit #64000

No. Sampel Sampel Volume Conc. A260/280 A260/230 Qubit Code (µl) (ng/ µl) µg/ml 1 Bakteri Lokasi Bakteri I 40 107.1 1.14 0.47 - I 2 Bakteri Lokasi Bakteri II 40 179.9 1.16 0.60 - II

Hasil ekstrkasi kemudian dibersihkan menggunakan “Spin IV HRC Coloumn zymo, didapatkan hasil sebagai berikut:

No. Sampel Sampel Volume Conc. A260/280 A260/230 Qubit Code (µl) (ng/ µl) µg/ml 1 Bakteri Lokasi Bakteri I 40 40.2 1.56 0.56 - I 2 Bakteri Lokasi Bakteri II 40 93.5 1.41 0.76 - II

Lampiran 6. Visualisasi DNA Jasil PCR

59

Lampiran 7. Keragaman Bakteri Berdasarkan OTU (Operational Taxonomy Unit)

Keterangan: Total sampel yang terbaca (dibaca dengan sumbu Y kanan) Total Taxon yang terbaca (dibaca dengan sumbu Y kanan) Spesies yang tidak terindentifikasi = 0 (semua teridentifikasi) Spesies unik yang terdeteksi Nilai OTU (dibaca dengan sumbu Y kiri)

60

Lampiran 8. Keseluruhan Filum, Kelas, Famili, dan Genus serta Kelimpahan Relatif (KR) Bakteri Tanah Sulfat Masam Kalimantan Selatan (SKB) dan Kalimantan Tengah (CKB)

Lokasi Filum/(KR) Kelas/(KR) Famili/(KR) Genus/(KR) Referensi SKB/(KR) (Kulichevskaya, Suzina, Rijpstra, Paludibaculum Bryobacteraceae Sinninghe Damsté, & Dedysh, 2014) Acidobacteriia (Kulichevskaya, Suzina, Liesack, & Bryobacter Dedysh, 2010) AKIW659 Acidobacteria Solibacteraceae Solibacteraceae Candidatus_Solibacter (Ward et al., 2009) dan

(0,188%) (0,04%) (0,04%) (0,023%) (Murray & Stackebrandt, 1995) Candidatus_koribacter (Ward et al., 2009) dan

Unidentified_Acido (0,019%) (Murray & Stackebrandt, 1995) Acidobacteriaceae bacteria Acidobacterium Kishimoto N et al. (1991) (0,076%) (0,076%) Unidentified_Acidobacteriaceae

(Subgroup_1) (0,012%) (Yutin & Galperin, 2013) Firmicutes Clostridia Hungateiclostridiaceae Ruminiclostridium_1 (Zhang et al., 2018) (0,024%) Clostridia Ruminococcaceae Sporobacter (Grech-Mora et al., 1996) Chitinophagia Chitinophagaceae Dinghuibacter (Lv, Wang, Chen, You, & Qiu, 2016) (Holmes, Nevin, Woodard, Peacock, & Prolixibacteraceae Prolixibacter Lovley, 2007) (Iino, Sakamoto, & Ohkuma, 2015) vadinBC27_wastewater_sludge_

group Bacteriodetes Bacteroidia Rikenellaceae Acetobacteroides (Su et al., 2014) (0,094%) Blvii28_wastewater_sludge_grou

p BSV13 Bacteroidaceae Bacteroides (Skerman, McGowan, & Sneath, 1980) Porphyromonadaceae Microbacter (Sánchez-Andrea, Sanz, & Stams, 2014) Paludibacteraceae Paludibacter (I. Ueki et al., 2006) (On, Miller, Houf, Fox, & Vandamme, Helicobacter - 2017) Helicobacteraceae (Labrenz et al., 2013) Proteobacteria Epsilonproteobacteria (0,061%) Sulfurimonas (Takai et al., 2006) (0,379%) (0,062%) (Inagaki et al., 2003) Sulfuricurvum (Kodama & Watanabe, 2004) (0,047%) Campylobacteraceae Sulfurospirillum - (Luijten et al., 2003)

61

Lokasi Filum/(KR) Kelas/(KR) Famili/(KR) Genus/(KR) Referensi SKB/(KR) Chlorobi Chlorobiaceae Chlorobaculum Chlorobia (Johannes F. Imhoff, 2003) (0,035%) (0,031%) (0,031%) Ignavibacteriae Ignavibacteria Ignavibacteriaceae Ignavibacterium (Iino et al., 2010) (Oren & Garrity, 2015) (0, 017% ) Nitrospirae Nitrospira Nitrospiraceae Leptospirillum (Hippe, 2000) (0,036%) Unidentified_Nitrospiraceae (Defosse, Johnson, Paster, Dewhirst, & Spirochaetia Brevinemataceae Brevinema Fraser, 1995) M2PT2-76_termite_group Spirochaetes (Abt et al., 2013) (0,036%) Spirochaeta_2 Spirochaetaceae (Oren & Garrity, 2015) Spirochaetia (0,035%) (Abt et al., 2013) Treponema_2 (Oren & Garrity, 2015)) Candidatus_Endomicrobium (Zheng, Dietrich, Radek, & Brune, 2016) Elusimicrobia Endomicrobia Endomicrobiaceae ( Stingl et al., 2005) VALIDATION LIST No. 180 (2018) Unidentified (tidak Unidentified_Chloroplast teridentifikasi) Unidentified_Familyl Leptolinea (Yamada et al., 2006) Cloroflexi Anaerolineae Anaerolineaceae (Sekiguchi et al., 2003) (0,031%) Anaerolinea (Yamada et al., 2006) (Johnson, Stallwood, Kimura, & Acidicaldus Hallberg, 2006) dan VALIDATION LIST No. 110 (2006), Acetobacteraceae (Okamura, Kawai, Wakao, Yamada, & (0,032%) Acidiphilium Hiraishi, 2015) VALIDATION LIST No. 56 (1996) Acidocella VALIDATION LIST No. 56 (1996) (Sizova, Panikov, Spiridonova, Rhodospirillaceae Telmatospirillum Slobodova, & Tourova, 2007) Proteobacteria Alphaproteobacteria VALIDATION LIST No. 116 (2007), (0,125%) (A. Ueki et al., 2010) Micropepsaceae Rhizomicrobium VALIDATION LIST No. 136 (2010) Rhodoblastus (Dedysh, Haupt, & Dunfield, 2016)

Bradyrhizobiaceae (0,012%) (Imhoff, J. F., 2001) Beijerinckia (Skerman et al., 1980) (Kulichevskaya, Danilova, Tereshina, Roseiarcaceae Roseiarcus Kevbrin, & Dedysh, 2014) (Willems, Coopman, & Gillis, 2001b) Bradyrhizobiaceae Bradyrhizobium (Willems, Coopman, Gillis, & Gent, 2001c)

62

Lokasi Filum/(KR) Kelas/(KR) Famili/(KR) Genus/(KR) Referensi SKB/(KR) Xanthobacteraceae Pseudolabrys (Kämpfer et al., 2006) Novosphingobium (Yabuuchi et al., 2002) Sphingomonadaceae Sphingomonas (Feng, Yang, Xiong, Li, & Zhu, 2017) (Gerner-Smidt et al., 1994) Burkholderiaceae Lautropia VALIDATION LIST No. 53 (1995) Alcaligenaceae Unidentified_Alcaligenaceae Burkholderiaceae Burkholderia-Paraburkholderia (Achenbach, Michaelidou, Bruce, Azonexaceae Dechloromonas - Fryman, & Coates, 2001) Betaproteobacteria Gallionellaceae Sideroxydans (Emerson et al., 2013) (0,051%) Ferritrophicaceae Ferritrophicum (Weiss et al., 2007) Ferrovaceae Ferrovum (Johnson, Hallberg, & Hedrich, 2014) Chromobacteriaceae Paludibacterium (Kwon et al., 2008) (Noar & Buckley, 2009) Ideonella VALIDATION LIST No. 50 (1994) Proteobacteria (Kelly, Uchino, Huber, Amils, & Wood, Thiomonas 2007) Acidiferrobacteraceae Sulfurifustis (Kojima, Shinohara, & Fukui, 2015) (Bowman, Sly, Nichols, & Hayward, Methylococcaceae Methylomonas 1993) VALIDATION LIST No. 15 (1984) (Ibrahim, Gerner-Smidt, & Liesack, Moraxellaceae Acinetobacter 1997) Coxiellaceae Coxiella (Skerman et al., 1980) Gammaproteobacteria Acidibacter (Falagán & Johnson, 2014)

(0,039%) (0,026%) VALIDATION LIST No. 173 (2017) Unidentified_Xantho Monadales Unidentified_Xanthomonadales (0,027%) Rhodanobacteraceae Metallibacterium - (Ziegler et al., 2013) (Ouattara, Le Mer, Joseph, & Macarie, Xanthomonadaceae Stenotrophomonas 2017) Clostridium_sensu_stricto_12 Clostridiaceae Clostridium_sensu_stricto_9 (Alou et al., 2018) Clostridiaceae1 Clostridium_sensu_stricto_1 Firmicutes Clostridia Clostridiaceae Clostridium_sensu_stricto_6 ( Wang, Y. et al., 2015) Peptostreptococcaceae Romboutsia - (Gerritsen et al., 2014)

63

Lokasi Filum/(KR) Kelas/(KR) Famili/(KR) Genus/(KR) Referensi SKB/(KR) (Bhandari, Ahmod, Shah, & Gupta, 2013) Bacillaceae Bacillus Bacilli (Rainey, Weiss, & Stackebrandt, 1995) Lactobacillaceae Lactobacillus - (Salvetti, Harris, Felis, & O’Toole, 2018) Firmicutes Clostridia Christensenellaceae Christensenellaceae_R-7_group (Morotomi, Nagai, & Watanabe, 2011) unclassified Firmicutes Hydrogenispora (Yi Liu, Qiao, Yuan, Guo, & Qiu, 2014) sensu stricto (Fudou, Jojima, Iizuka, & Yamanaka, Kofleriaceae Haliangium 2002) VALIDATION LIST No. 87 (2002) (Sanford, Cole, & Tiedje, 2002) Anaeromyxobacteraceae Anaeromyxobacter VALIDATION LIST No. 86 (2002) (Jiang et al., 2008) Polyangiaceae Sorangium VALIDATION LIST No. 115 (2007), (Nevin, Holmes, Woodard, Covalla, & Geobacter Geobacteraceae Lovley, 2007) (0,023%) VALIDATION LIST No. 78 (2001) ( Liu, Balkwill, Henry, Drake, & Boone, Smithella Syntrophaceae 1999) Syntrophus (James et al., 2019) Desulfobulbaceae Desulfobulbus (Trojan et al., 2016) (Suzuki, Li, Cui, Zhang, & Katayama, Proteobacteria Deltaproteobacteria Desulfatiglans 2014) Desulfobacteraceae (Balk, Altinbaş, Rijpstra, Damsté, & Desulfatirhabdium Stams, 2008) (Stefanie, Elferink, Vliet, Jaap, & Syntrophaceae Desulfobacca M.Stams, 1999) H16

(0,01%) (Kim, Mandelco, Tanner, Woese, & Syntrophaceae Desulfomonile Suflita, 1990) VALIDATION LIST No. 36 (1991) (Tanaka, Stackebrandt, Tohyama, & Desulfovirga - Eguchi, 2000) Syntrophobacteraceae (Sedano-Núñez, Boeren, Stams, & Syntrophobacter Plugge, 2018) VALIDATION LIST No. 15 (1984) Actinobacteria Actinobacteria Acidothermaceae Acidothermus (Maréchal et al., 2000) (0,083%) (0,047%) (0,038%) (0,038%)

64

Lokasi Filum/(KR) Kelas/(KR) Famili/(KR) Genus/(KR) Referensi SKB/(KR) (Gupta, Lo, & Son, 2018) Mycobacteriaceae Mycobacterium List of Changes in Taxonomic Opinion No. 28 (2018) (Rainey et al., 1995) Actinobacteria Cellulomonadaceae Cellulomonas VALIDATION LIST No. 10 (1983)

Hgcl_clade CL500-29_marine_group Acidimicrobiia Unidentified_Acidimicrobiales (0,029%) Proteobacteria Deltaproteobacteria Desulfovibrionaceae Desulfovibrio (Loubinoux et al., 2002) (Tegtmeier, Belitz, Radek, Heimerl, & Brune, 2018) Verrucomicrobia Opitutae Opitutaceae Opitutus List of Changes in Taxonomic Opinion No. 28 (2018) Acidobacteria Thermoanaerobaculia Thermoanaerobaculaceae Thermoanaerobaculum (Losey et al., 2013) Gemmatimonadetes; Gemmatimonadetes Gemmatimonadaceae Gemmatimonas (Zeng et al., 2015) Acidobacteria Holophagae Holophagaceae Geothrix (Coates, Ellis, Gaw, & Lovley, 1999)

65

Lokasi Filum/(KR) Kelas/(KR) Famili/(KR) Genus/(KR) Referensi SKB/(KR) Bryobacteraceae Paludibaculum - (Kulichevskaya, Suzina, et al., 2014) Acidobacteriia Bryobacter (Kulichevskaya et al., 2010) AKIW659 Solibacteres Solibacteraceae Candidatus_Solibacter (Ward et al., 2009) dan

Acidobacteria (0,039%) (0,039%) (0,023%) (Murray & Stackebrandt, 1995) (0,274%) Candidatus_koribacter (Ward et al., 2009) dan

Unidentified_Acido Acidobacteriaceae (0,023%) (Murray & Stackebrandt, 1995) bacteria (0,116%) Acidobacterium Kishimoto N et al. (1991) (0,116%) Unidentified_Acidobacteriaceae

(Subgroup_1) (0,009%) (Yutin & Galperin, 2013) Firmicutes Clostridia Hungateiclostridiaceae Ruminiclostridium_1 (Zhang et al., 2018) (0,012%) Clostridia Ruminococcaceae Sporobacter (Grech-Mora et al., 1996) Chitinophagia Chitinophagaceae Dinghuibacter (Lv et al., 2016) (Holmes et al., 2007) Prolixibacteraceae Prolixibacter - (Iino et al., 2015) vadinBC27_wastewater_sludge_

group Bacteriodetes Bacteroidia Rikenellaceae Acetobacteroides - (Su et al., 2014) (0,018%) Blvii28_wastewater_sludge_group BSV13 Bacteroidaceae Bacteroides (Skerman et al., 1980) Porphyromonadaceae Microbacter (Sánchez-Andrea et al., 2014) Paludibacteraceae Paludibacter (I. Ueki et al., 2006) Helicobacter (On et al., 2017) (Labrenz et al., 2013) Helicobacteraceae Sulfurimonas (Takai et al., 2006) Proteobacteria Epsilonproteobacteria (0,021%) (Inagaki et al., 2003) (0,393%) (0,021%) Sulfuricurvum (Kodama & Watanabe, 2004) (0,008%) Campylobacteraceae Sulfurospirillum (Luijten et al., 2003) Chlorobi Chlorobia Chlorobiaceae Chlorobaculum - (Johannes F. Imhoff, 2003) (0%) Ignavibacteriae (Iino et al., 2010) Ignavibacteria Ignavibacteriaceae Ignavibacterium - (0,008%) (Oren & Garrity, 2015)

Lokasi Filum/(KR) Kelas/(KR) Famili/(KR) Genus/(KR) Referensi SKB/(KR) Nitrospirae Nitrospira Nitrospiraceae Leptospirillum (Hippe, 2000)

66

(0,028%) Unidentified_Nitrospiraceae Spirochaetia Brevinemataceae Brevinema - (Defosse et al., 1995) M2PT2-76_termite_group - Spirochaetes (Abt et al., 2013) Spirochaeta_2 (0,02%) Spirochaetaceae (Oren & Garrity, 2015) Spirochaetia (0,02%) (Abt et al., 2013) Treponema_2 (Oren & Garrity, 2015)) Candidatus_Endomicrobium (Zheng et al., 2016) Elusimicrobia Endomicrobia Endomicrobiaceae - ( Stingl et al., 2005) VALIDATION LIST No. 180 (2018) Unidentified (tidak Unidentified_Chloroplast teridentifikasi) Unidentified_Familyl - Leptolinea - (Yamada et al., 2006) Cloroflexi Anaerolineae Anaerolineaceae (Sekiguchi et al., 2003) (0,04%) Anaerolinea - (Yamada et al., 2006) (Johnson et al., 2006) dan VALIDATION Acidicaldus LIST No. 110 (2006), Acetobacteraceae (Okamura et al., 2015) (0,027%) Acidiphilium VALIDATION LIST No. 56 (1996) Acidocella VALIDATION LIST No. 56 (1996) (Sizova et al., 2007) Rhodospirillaceae Telmatospirillum VALIDATION LIST No. 116 (2007), (A. Ueki et al., 2010) Micropepsaceae Rhizomicrobium VALIDATION LIST No. 136 (2010) Proteobacteria Alphaproteobacteria Rhodoblastus (Dedysh et al., 2016) (0,125%) Bradyrhizobiaceae (0,0009%) (Imhoff, J. F., 2001) Beijerinckia - (Skerman et al., 1980) Roseiarcaceae Roseiarcus (Kulichevskaya, Danilova, et al., 2014) (Willems, Coopman, & Gillis, 2001b) Bradyrhizobiaceae Bradyrhizobium (Willems, Coopman, Gillis, & Gent, 2001c) Xanthobacteraceae Pseudolabrys (Kämpfer et al., 2006) Novosphingobium - (Yabuuchi et al., 2002) Sphingomonadaceae Sphingomonas - (Feng et al., 2017)

Lokasi Filum/(KR) Kelas/(KR) Famili/(KR) Genus/(KR) Referensi SKB/(KR) (Gerner-Smidt et al., 1994) Burkholderiaceae Lautropia - VALIDATION LIST No. 53 (1995) Proteobacteria Betaproteobacteria Alcaligenaceae Unidentified_Alcaligenaceae (0,035%) Burkholderiaceae Burkholderia-Paraburkholderia - Azonexaceae Dechloromonas (Achenbach et al., 2001)

67

Gallionellaceae Sideroxydans (Emerson et al., 2013) Ferritrophicaceae Ferritrophicum (Weiss et al., 2007) Ferrovaceae Ferrovum (Johnson et al., 2014) Chromobacteriaceae Paludibacterium - (Kwon et al., 2008) (Noar & Buckley, 2009) Ideonella - Comamonadaceae VALIDATION LIST No. 50 (1994) Thiomonas (Kelly et al., 2007) Acidiferrobacteraceae Sulfurifustis (Kojima et al., 2015) (Bowman et al., 1993) VALIDATION Methylococcaceae Methylomonas - LIST No. 15 (1984) Moraxellaceae Acinetobacter - (Ibrahim et al., 1997) Coxiellaceae Coxiella (Skerman et al., 1980) Gammaproteobacteria Acidibacter (Falagán & Johnson, 2014) (0,057%) (0,042%) VALIDATION LIST No. 173 (2017) Unidentified_Xantho Unidentified_Xanthomonadales - monadales (0,042%) Rhodanobacteraceae Metallibacterium (Ziegler et al., 2013) Xanthomonadaceae Stenotrophomonas (Ouattara et al., 2017) Clostridium_sensu_stricto_12 - Clostridiaceae Clostridium_sensu_stricto_9 - (Alou et al., 2018) Clostridiaceae1 Clostridium_sensu_stricto_1 - Clostridia Clostridiaceae Clostridium_sensu_stricto_6 - ( Wang, Y. et al., 2015) Peptostreptococcaceae Romboutsia (Gerritsen et al., 2014) Firmicutes (Bhandari et al., 2013) Bacillaceae Bacillus Bacilli (Rainey et al., 1995) Lactobacillaceae Lactobacillus (Salvetti et al., 2018) Clostridia Christensenellaceae Christensenellaceae_R-7_group - (Morotomi et al., 2011) unclassified Firmicutes Hydrogenispora (Yi Liu et al., 2014) sensu stricto Lokasi Filum/(KR) Kelas/(KR) Famili/(KR) Genus/(KR) Referensi SKB/(KR) (Fudou et al., 2002) Kofleriaceae Haliangium VALIDATION LIST No. 87 (2002) (Sanford et al., 2002) Anaeromyxobacteraceae Anaeromyxobacter VALIDATION LIST No. 86 (2002) Deltaproteobacteria (Jiang et al., 2008) Proteobacteria Polyangiaceae Sorangium (0,071%) VALIDATION LIST No. 115 (2007), Geobacter (Nevin et al., 2007) Geobacteraceae (0,004%) VALIDATION LIST No. 78 (2001) ( Liu, Balkwill, Henry, Drake, & Boone, Syntrophaceae Smithella - 1999)

68

Syntrophus - (James et al., 2019) Desulfobulbaceae Desulfobulbus - (Trojan et al., 2016) Desulfatiglans (Suzuki et al., 2014) Desulfobacteraceae Desulfatirhabdium - (Balk et al., 2008) Syntrophaceae Desulfobacca (Stefanie et al., 1999) H16

(0,04%) (Kim et al., 1990) Syntrophaceae Desulfomonile VALIDATION LIST No. 36 (1991) Desulfovirga (Tanaka et al., 2000) Syntrophobacteraceae (Sedano-Núñez et al., 2018) Syntrophobacter VALIDATION LIST No. 15 (1984) Acidothermaceae Acidothermus (Maréchal et al., 2000) (0,085%) (0,085%) (Gupta et al., 2018) Actinobacteria Mycobacteriaceae Mycobacterium List of Changes in Taxonomic Opinion Actinobacteria (0,089%) No. 28 (2018) (0,133%) (Rainey et al., 1995) Cellulomonadaceae Cellulomonas - VALIDATION LIST No. 10 (1983) Hgcl_clade CL500-29_marine_group

Lokasi Filum/(KR) Kelas/(KR) Famili/(KR) Genus/(KR) Referensi SKB/(KR) Actinobacteria Acidimicrobiia Unidentified_Acidimicrobiales (0,04%) Proteobacteria Deltaproteobacteria Desulfovibrionaceae Desulfovibrio - (Loubinoux et al., 2002) (Tegtmeier et al., 2018) Verrucomicrobia Opitutae Opitutaceae Opitutus - List of Changes in Taxonomic Opinion No. 28 (2018) Acidobacteria Thermoanaerobaculia Thermoanaerobaculaceae Thermoanaerobaculum (Losey et al., 2013) Gemmatimonadetes; Gemmatimonadetes Gemmatimonadaceae Gemmatimonas (Zeng et al., 2015) Acidobacteria Holophagae Holophagaceae Geothrix (Coates et al., 1999)