Jurnal Primatologi , Vol. 16, No. 1, Januari 2019, hlm. 1-2 ISSN 1410-5373 Indonesian Profile Presbytis comata Common Names: English: the javan surili, grizzled leaf monkey; Indonesia: surili, rekrekan

Figure 1 The javan surili (Presbytis comata) (source: Iskandar 2005)

The javan surili (Presbytis comata), is estimated that fewer than 1,000 exist today in one of the endemic Javanese whose their natural habitat and only 4% of their natural distribution is limited to rain forests in the west habitat remains. Most of the loss of its original to the middle of Island (Nijman 1997). habitat is due to the clearing of the rainforests People on the slopes of Mount Merbabu know in Indonesia. Only 4% of its original habitat this primate as a rekrekan, as in other areas in remains and the population has decreased by . Until now, there are differences at least 50% in the last ten years (Nijman dan of opinion regarding the of this Richardson 2008). endemic primate. Nijman (1997) considers that all types of surili on Java Island are one species of P. comata. Meanwhile, Brandon-Jones et al. References (2004) separated surili species in the central part of Java as their own species, P. fredericae. Roos Bennett A, Davies G. 1994. The Ecology of et al. (2014) state that there are two subspecies Asian Colobinaes. Di dalam Davies AG, of Surili namely P. c. comata in western Oates JF, editor. Colobine Monkeys: Java and P. c. fredericae in central Java. Their Ecology, Behaviour, and Evolution. The existence of Lutung Surili in Cambridge University Pr hlm. 159 Central Java is limited to certain locations in Brandon-Jones D, Eudey AA, Geissman mountain forests, namely in Mount Sindoro and T, Groves CP, Melnick DJ, Morales Sumbing, Mount Slamet, Dieng Mountains, and JC, Stewart CB. 2004. Asian primate Mount Merbabu (Nijman 1997; Supriatna dan classification. Int J Primatol 25(1): 97– Wahyono 2000; Setiawan et al. 2010; Haryoso 163. 2011; Fithria 2012; Syarifah 2013). Fithria A. 2012. Penggunaan habitat oleh The javan surili mostly consumes leaves, rekrekan (Presbytis fredericae) di lereng however, it will also consume flowers, fruits, Gunung Slamet Jawa Tengah. [disertasi]. and seeds (Meijaard dan Groves 2004). This Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah species appears to be more folivorous than Mada. any other member of the genus Presbytis, with Haryoso A. 2011. Pendugaan tempat-tempat over 62% of its overall diet composed of young yang menarik (point of interest) untuk leaves and 6% of mature leaves (Bennett dan melihat lutung abu-abu (Presbytis Davies 1994). fredericae) sebagai objek daya tarik wisata This species is currently listed on the di Taman Nasional Gunung Merbabu. IUCN red list of endangered species because [tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas of habitat loss due to human activity. It is Gadjah Mada. 2 Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 16, No. 1, Januari 2019, hlm. 1-2

Iskandar E. 2005. Presbytis comata in Roos C, Boonratana R, Supriatna J, Fellowes Taman Nasional Gunung Halimun Salak JR, Groves CP, Nash SD, Rylands (TNGHS). Bogor. AB, Mittermeier RA. 2014. An update Meijaard E, Groves CP. 2004. The taxonomy and conservation status review biogeographical evolution and phylogeny of Asian primates. Asian Primates J 4(1). of the genus Presbytis. Primate Report 68 (1): 71–90. Setiawan A, Wibisono Y, Nugroho TS, Nijman V. 1997a. Geographical variation Agustin IY, Imron MA, Pudyatmoko S, in pelage characteristics in grizzled Djuwantoko. 2010. Javan Surili: a survey leaf monkey Presbytis comata population and distribution in Mt. Slamet (Desmarest 1822) (mammalia, primates, Central Java, Indonesia. J Primatologi cercopithecidae). Zeitschrift fur Indonesia 7(2): 51–54. Saugetierkunde 62: 257–264. Supriatna J, Wahyono EH. 2000. Panduan Nijman V. 1997b. Occurrence and distribution Lapangan Primata Indonesia. Jakarta of grizzled leaf monkey Presbytis comata (Desmarest 1822) (mammalia, primates, (ID): Yayasan Obor Indonesia cercopithecidae ) in Java, Indonesia. Syarifah. 2013. Seleksi habitat oleh rekrekan Contrib Zoo 66: 247–256. (Presbytis fredericae Sody, 1930) di Nijman V, Richardson M. 2008. Presbytis Taman Nasional Gunung Merbabu. comata. The IUCN Red List of Threatened [tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas Species 2008. Gadjah Mada. Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 16, No. 1, Januari 2019, hlm. 3-9 ISSN 1410-5373 Keanekaragaman Satwa Primata di Wilayah Operasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Taman Nasional Gunung Halimun Salak The Diversity of Non-Human Primates in Geothermal Power Plant Operation Area of Gunung Halimun Salak National Park Giri MMS1*, Pairah1, Sodahlan E1, Sahid A2, Ekariono W2, Ambarita E3, Sutisna C3

1Gunung Halimun Salak National Park Agency, Kabandungan, Sukabumi, Indonesia 2Star Energy Geothermal Salak, Ltd., Kabandungan, Sukabumi, Indonesia 3PT. Indonesia Power, Kamojang POMU-Unit PLTP Gunung Salak, Ltd., Kabandungan, Sukabumi, Indonesia

*Korespondensi: [email protected]

Abstract. The Mount of Salak is one of the habitat for various species of primates. Mount of Salak is also the area which has the potential of geothermal which can be used for power plant. Since 25 years ago the geothermal power plant has been operating in this area. The information of primates diversity was needed for wildlife habitat management especially in geothermal power plant area, because the primates can be used as an indicator of forest health. This study was conducted to determine the diversity and distribution of primates in geothermal power plant area. We collected the data from April to May 2018 using line transect method. Based on the research indicated four species of primates such as Hylobates moloch, Trachypithecus auratus, Presbytis comata, and Macaca fascicularis with their relative abundance values of 46%, 33%, 15%, and 6%, respectively. Species diversity index value was 1.174 (medium) and evenness index value was 0.846 (fairly even).

Keywords: geothermal, Gunung Halimun Salak National Park, non-human primate

Pendahuluan Salak yang saat ini dikelola Star Energy Geothermal Salak, Ltd. (SEGS) dan PT. Kawasan Taman Nasional Gunung Indonesia Power (IP), Kamojang POMU – Halimun Salak (TNGHS) dengan luas 87.669 Unit PLTP Gunung Salak (PT. IP). Energi ha merupakan ekosistem hutan hujan tropis panas bumi merupakan energi terbarukan pegunungan terluas yang tersisa di Pulau Jawa yang dikembangkan pemerintah sebagai solusi (Balai TNGHS 2017). Kawasan ini merupakan untuk memenuhi kebutuhan listrik di Indonesia habitat berbagai jenis satwa, termasuk satwa (Raehanayati et al. 2013). primata yang merupakan komponen penting Adanya pemanfaatan panas bumi di dalam ekosistem, karena keberadaannya Gunung Salak untuk pembangkit listrik mempengaruhi komposisi vegetasi (de Jong dikhawatirkan ekosistem di wilayah operasi dan Butynski 2009). Lebih lanjut de Jong dan pemanfaatan panas bumi akan terganggu, Butynski (2009), menyatakan satwa primata karena pembangunan infrastruktur pendukung merupakan indikator terbaik kesehatan pembangkit listrik dan aktivitas pengelolaannya. ekosistem. Menurut Islam et al. (2014) Pyritz et al. (2010), menyatakan dua hal kemampuan bertahan hidup satwa primata yang mempengaruhi keanekaragaman dan tergantung kepada kelestarian hutan, karena kelimpahan satwa primata yaitu struktur habitat satwa primata memanfaatkan sebagian besar dan gangguan manusia. Mengingat satwa hidupnya di atas pohon dan bergantung kepada primata merupakan indikator terbaik kesehatan ketersediaan vegetasi. Data satwa primata dapat ekosistem, maka penelitian satwa primata di digunakan untuk memprediksi respon satwa wilayah kerja operasi pemanfaatan panas bumi primata terhadap perubahan lingkungan (Slater menjadi penting untuk dilakukan. 2015). Kondisi geologi Gunung Salak selain Materi dan Metode sebagai habitat satwa, merupakan gugusan gunung berapi aktif (Global Volcanism Materi Program 2007) yang menyimpan potensi Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja energi panas bumi dan dapat dimanfaatkan Ijin Pemanfaatan Jasa Lingkungan Panas Bumi sebagai pembangkit listrik. Sejak tahun (IPJLPB) SEGS dan PT. IP pada sisi barat 1994, pemanfaatan energi panas bumi untuk Gunung Salak yang merupakan kawasan Taman pembangkit listrik telah dilakukan di Gunung Nasional Gunung Halimun Salak (Gambar 1). 4 Giri et al., Keanekaragaman Satwa Primata di Wilayah Operasi Pembangkit Listrik

Gambar 1 Peta lokasi penelitian dan jalur pengamatan Topografi lokasi penelitian berbukit dan suara, dilakukan pengambilan koordinat titik terdapat beberapa kawah aktif dengan tutupan pengamat dan azimuth suara dari dua titik lahan berupa hutan primer dan hutan sekunder. pengamat yang berbeda. Jumlah individu dan Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April kelompok dipastikan dengan mengidentifikasi sampai dengan Mei 2018. Alat dan bahan yang suara yang dicatat. digunakan antara lain: tally sheet, GPS, kamera, teropong, peta kerja, stopwatch, alat tulis, pita Analisis Data ukur, spidol, dan tali plastik. Analisis data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif dilakukan Pengumpulan Data dengan melakukan perhitungan mengunakan Pengumpulan data dilakukan dengan rumus yang telah ditentukan, sedangkan analisis metode line transect yang merupakan salah kualitatif dilakukan melalui pemeriksaan satu metode untuk memperkirakan kelimpahan kembali data, sintesis, serta mendeskripsikan satwa liar, termasuk satwa primata (Marshall hasil perhitungan (Newing et al. 2011). et al. 2008; Ditjen KSDAE 2018). Jalur Perangkat lunak yang digunakan dalam pengamatan berjumlah sembilan jalur dengan pengolahan data Ms. Office dan ArcGis 10.4. panjang bervariasi antara 647-2.261 m (Gambar Sistem Informasi Geografis (SIG) digunakan 1). Penentuan jalur dilakukan dengan mengikuti untuk memetakan posisi dan distribusi satwa punggungan atau menggunakan jalur yang primata pada wilayah survei. Peta ketinggian tersedia yang biasa digunakan satwa liar. diperoleh dari Digital Elevation Model (DEM) Pengamatan dilakukan dengan menyusuri jalur- yang kemudian diklasifikasikan menggunakan jalur tersebut pada pagi hari jam 05.30-08.30 spatial analysis tool dalam ArcGIS 10.4. WIB dan sore hari jam 15.00-17.30 WIB, karena Menurut Efendi et al. (2016) SIG dapat merupakan puncak aktivitas satwa primata. merepresentasikan sebaran data satwa dalam Pengamatan tiap jalur dilakukan pengulangan bentuk peta yang memudahkan pengaksesan sebanyak dua kali. informasi. Pengambilan data dilakukan dengan memastikan jumlah individu serta kelompok a. Kelimpahan jenis jenis satwa primata yang ada pada jalur Kelimpahan jenis satwa primata dihitung pengamatan. Data diambil baik melalui dengan menggunakan indeks kelimpahan relatif pengamatan langsung maupun tidak langsung yang direpresentasikan sebagai Persentase (suara). Titik koordinat lokasi yang diambil Kelimpahan Relatif (Odum 1971), dengan adalah titik lokasi perjumpaan yang sebenarnya rumus sebagai berikut: IKR = n / N x 100% (titik keberadaan satwa primata) atau lokasi titik (IKR= Indeks Kelimpahan Relatif, n = jumlah pengamat. Posisi satwa primata yang berada jauh individu suatu jenis, N = jumlah total individu dari jalur pengamatan dilakukan pengambilan yang ditemukan). titik koordinat pengamat dan azimuth dari dua titik pengamat yang berbeda. b. Keanekaragaman jenis (H’) Jumlah individu dihitung secara cermat Kekayaan jenis satwa primata ditentukan sehingga dapat dipastikan jumlah individu yang dengan menggunakan Indeks Keanekaragaman ada. Satwa primata yang hanya diamati melalui Shannon-Wiener (Odum 1971), dengan rumus: Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 16, No. 1, Januari 2019, hlm. 3-9 5

H’ = - Σ pi ln pi (H’ = indeks keanekaragaman lainnya. Di daerah seksi wilayah II Semitau jenis, pi = proporsi nilai penting, ln = logaritma Taman Nasional Danau Sentarum Kabupaten natural). Kapuas Hulu nilai indeks keanekaragamannya 0,8594, areal kawasan lindung yang berada c. Kemerataan jenis (E) di dalam perkebunan kelapa sawit PT. Inti Kemerataan jenis satwa primata Indosawit Subur 0,69 dan di Taman Nasional digunakan untuk menghitung gejala dominansi Teso Nilo 0,99 (Kinanto et al. 2018; Nurdin menggunakan rumus indeks nilai Evenness 2010). (Odum 1971) ( E = H’ / ln S (E = indeks kemerataan jenis, H’ = indeks keanekaragaman Kelimpahan Satwa Primata Shannon-Wiener, ln = logaritma natural, S = Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah jenis yang ditemukan). keberadaan H. moloch cukup tinggi di lokasi ini Jika nilai E mendekati satu maka dengan indeks kelimpahan sebesar 46%, disusul menunjukkan jumlah individu antar jenis T. auratus dengan kelimpahan sebesar 33% relatif sama, namun jika lebih dari satu ataupun (Gambar 2). Temuan ini mendukung Supriatna kurang, maka kemungkinan besar terdapat jenis (2006), yang menyatakan luasan habitat owa dominan di komunitas tersebut. jawa di TNGHS yang terbesar dibandingkan kawasan konservasi lainnya. Demikian juga Hasil dan Pembahasan dengan populasinya di TNGHS merupakan populasi yang terbesar (Djanubudiman et al. Keanekaragaman Satwa Primata 2004). Temuan ini menunjukkan bahwa hutan di wilayah operasi pemanfaatan panas bumi Salak Selama kegiatan pengamatan berhasil masih baik mengingat H. moloch merupakan dijumpai empat jenis satwa primata dari dua satwa spesialis yang bergantung pada hutan yang keluarga yaitu Cercopithecidae (monyet ekor tidak terganggu (Azevedo-Ramos et al. 2005). panjang, surili, dan lutung) dan Hylobatidae Sementara indeks kelimpahan jenis monyet ekor (owa jawa) (Tabel 1). panjang hanya sebesar 6%, rendahnya indeks

Berdasarkan rekapitulasi data jumlah kelimpahannya mendukung indikasi bahwa jenis dan jumlah individu diperoleh nilai hutan di wilayah operasi pemanfaatan panas indeks keanekaragaman jenis satwa primata bumi Salak masih baik mengingat monyet ekor menurut Shannon-Wiener sebesar 1,174. Nilai panjang sebagai satwa generalis lebih memilih keanekaragaman jenis satwa primata paling habitat yang terganggu dan lebih menyukai tinggi di wilayah operasi pemanfaatan panas bertahan hidup di habitat tersebut (Azevedo- bumi Salak bila dibandingkan dengan di wilayah Ramos et al. 2005).

Gambar 2 Grafik kelimpahan satwa primata 6 Giri et al., Keanekaragaman Satwa Primata di Wilayah Operasi Pembangkit Listrik

Gambar 3 Peta lokasi perjumpaan satwa primata di lokasi survei Kemerataan Satwa Primata Distribusi Satwa Primata Nilai Indeks Kemerataan Jenis (E) dapat Lokasi kegiatan berada pada ketinggian digunakan sebagai indikator gejala dominansi di 1.000-1.660 mdpl, sebagian besar dalam rentang antara tiap jenis dalam komunitas (Santosa et al. 1.000-1.400 mdpl. Jalur transek yang dipilih 2008). Nilai indeks kemerataan satwa primata di dalam survei yaitu jalur pos (keamanan) 3 (982 wilayah operasi pemanfaatan panas bumi Salak m), lokasi sumur pengeboran panas bumi (Awi) sebesar 0,846 menunjukkan bahwa sebaran jenis 12 (647 m), Awi 7 (747 m), Quarry (1.134 m), satwa primata di wilayah operasi pemanfaatan Cikuluwung (1.115 m), Awi 16 – Awi 8 (1.770 panas bumi Salak Ltd ini cukup merata. Odum m), Pos 1 – Warehouse (1.954 m), Housing (724 (1971), menyatakan nilai indeks kemerataan (E) m), dan Awi 14 – Awi 5 (2.261 m). Menurut berkisar antara 0-1. Apabila nilai E mendekati Bismark dan Sawitri (2014), formasi hutan pada nol berarti kemerataan antar spesies rendah, areal survei termasuk ke dalam hutan perbukitan sedangkan apabila nilai E mendekati satu maka (900-1.050), hutan hujan pegunungan bawah distribusi antar spesies relatif seragam. Sebaran (1.050- 1500), dan hutan hujan pegunungan atas satwa primata yang cukup merata di wilayah (1.500-2400). operasi pemanfaatan panas bumi Salak ini Sebagian besar jalur pengamatan berhasil mengindikasikan wilayah tersebut merupakan dijumpai jenis satwa primata dengan tingkat habitat yang mendukung kelangsungan hidup perjumpaan yang cukup tinggi pada lokasi Awi satwa primata. 7, Pos 1 – Warehouse, dan Awi 12. Tingkat

Gambar 4 Peta sebaran satwa primata berdasarkan ketinggian Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 16, No. 1, Januari 2019, hlm. 3-9 7 perjumpaan paling rendah pada Jalur Cikuluwung jenis satwa primata. Selama kegiatan survei tidak yang hanya tercatat satu kali perjumpaan P. ditemukan gesekan (interspesific competition) comata secara tidak langsung berupa suara. Jalur antara satwa primata pada lokasi survei. Temuan quarry tidak dicatat perjumpaan satwa primata ini mendukung hasil penelitian MacKinnon dan dalam dua kali pengulangan, namun jalur ini MacKinnon (1980), dan Marshall et al. (2009) sangat cocok untuk lokasi pengamatan satwa yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan lainnya khususnya mamalia besar karena pada penggunaan ruang antara beberapa jenis satwa pelaksanaan survei banyak ditemukan jejak- primata. jejak satwa liar khususnya macan tutul (Panthera Pemilihan pakan utama di antara jenis pardus melas). satwa primata berbeda-beda. Owa jawa yang Berdasarkan hasil penelitian, satwa primata merupakan satwa furgivora cenderung memilih paling banyak ditemukan pada ketinggian antara buah sebagai pakan utamanya, surili lebih 1.100-1.200 mdpl (54,2%). Perjumpaan pada memilih daun muda, sedangkan lutung cenderung ketinggian 1.200-1.300 mdpl 29,2%, dan pada memakan daun yang lebih tua (Partasasmita dan ketinggian lebih dari 1.400 mdpl hanya sekali perjumpaan tidak langsung berupa suara (0,8%) Malik 2016; Pratiwi 2008). Sementara monyet (Gambar 2 dan 3). Menurut Gunawan et al. (2008), ekor panjang lebih bersifat generalis (Azevedo- distribusi keanekaragaman jenis mamalia dapat Ramos et al. 2005) yang mengkonsumsi buah dipengaruhi faktor ketinggian tempat. Semakin maupun daun. tinggi suatu tempat menyebabkan semakin sedikit Pola perilaku makan seperti ini keanekaragaman jenis tumbuhan, sehingga memungkinkan beberapa jenis satwa primata variasi dalam memilih sumber pakan menjadi beraktivititas pada pohon yang sama atau terbatas (Primack et al. 1998). Keanekaragaman berdekatan. Gesekan mungkin terjadi jika jenis mamalia besar meningkat hingga salah satunya merasa terancam dan sifat ketinggian tertentu dan selanjutnya mengalami teritori ini biasanya terjadi antar jenis satwa penurunan (Gunawan et al. 2008). Djuwantoko primata yang sama, sebagai bentuk penguasaan (2018), menyatakan satwa liar akan melakukan terhadap wilayah dan pakan. Beberapa wilayah pemilihan habitat karena berbagai faktor seperti dapat dijumpai kelompok satwa primata yang ketersediaan pakan dan keamanan dari gangguan. beraktivitas pada jarak yang relatif berdekatan Ditemukannya mayoritas satwa primata pada dan salah satunya di lereng Gunung Gagak di ketinggian 1.100-1.300 mdpl mengindikasikan sekitar Awi 7, satu pasang owa jawa terpantau bahwa ketinggian tersebut memiliki ketersediaan sedang makan. Lokasi lereng yang sama dengan kebutuhan bagi kelangsungan hidup satwa jarak kurang dari 500 m, sekelompok besar primata lebih melimpah dibanding ketinggian lutung tampak melakukan aktivitas serupa. 1.400 mdpl. Kompetitor bagi satwa primata dapat berasal dari Satwa primata merupakan satwa teritorial satwa liar pada taksa lainnya. Burung pemakan dengan penggunaan habitat setiap jenis maupun buah seperti julang dapat menjadi pesaing dalam antar jenis satwa primata terpisah antara satu sama perebutan pakan. Kanwatanakid-Savini et al. lainnya. Pemilihan teritori biasanya didasarkan (2009) menemukan kompetitior bagi beberapa pada pemilihan jenis pakan yang berbeda antar jenis owa yaitu burung rangkong.

Gambar 5 Grafik perjumpaan satwa primata berdasarkan ketinggian 8 Giri et al., Keanekaragaman Satwa Primata di Wilayah Operasi Pembangkit Listrik

Satwa Primata dan Aktivitas Pemanfaatan Balai TNGHS Ir. Awen Supranata atas dukungan Panas Bumi selama kegiatan. Terima kasih juga disampaikan Aktivitas gangguan manusia mempengaruhi kepada Irwan Januar Kusuma Hasbullah selaku kelestarian satwa primata selain degradasi Manajer Operasi SEGS dan Ervan Ambarita hutan dan ketiadaan vegetasi sebagai struktur selaku Manajer Unit PT. Indonesia Power habitatnya. Naluri alami satwa liar cenderung Kamojang POMU – Unit PLTP Gunung Salak. menghindari manusia dan gangguan eksternal. Rekan-rekan PEH, Polhut, Penyuluh serta para Penelitian Iskandar et al. (2009) dan Hidayatullah sekarelawan yang terlibat langsung maupun (2015) menunjukkan rendahnya kepadatan tidak langsung dalam pelaksanaan survei. populasi H. moloch di zona pemanfaatan karena kegiatan kunjungan wisata, aktivitas manusia, Daftar Pustaka dan fragmentasi habitat. Selain melakukan pengamatan pada Azevedo-Ramos C, De Carvalho O, Nasi jalur transek yang telah ditentukan, juga R. 2005. Report: Indicators, a dilakukan pengamatan sekitar bangunan Tool to Assess Biotic Integrity After fasilitas pengelolaan maupun jalan yang Logging Tropical Forests?. Núcleo de menghubungkan fasilitas tersebut. Surili dan Altos Estudos Amazônicos (NAEA). lutung cukup mudah dijumpai disekitar fasilitas Universidade Federal do Pará. Brazil. pengelolaan operasi pemanfaatan panas bumi Balai TNGHS. 2017. Rencana Jangka Panjang seperti kantor pengelolaan dan sumur operasi. Balai Taman Nasional Gunung Halimun Aktivitas hilir mudik kendaraan dan personil Salak Periode 2018-2027. Sukabumi. tidak mengganggu keberadaan mereka. Hal ini Tidak diterbitkan. diperkirakan karena satwa sudah beradaptasi Bismark M, Sawitri R. 2014. Nilai Penting dengan kegiatan pemanfaatan panas bumi yang Taman Nasional. Bogor (ID): FORDA Pr. telah beroperasi sejak tahun 1994. De Jong YA, Butynski TM. 2009. Primate Owa jawa yang merupakan satwa arboreal Biogeography, Diversity, Taxonomy and sejati, umumnya ditemukan di areal hutan Conservation of the Coastal Forests of yang jauh dari aktifitas manusia. Hal ini sesuai Kenya. Report to the Critical Ecosystem dengan karakteristik H. moloch yang lebih Partnership Fund. Eastern Africa Primate menyukai habitat yang masih alami, namun Diversity and Conservation Program, beberapa kelompok dapat ditemukan disekitar Nanyuki, Kenya. operasi pemanfaatan panas bumi. Sementara Ditjen KSDAE. 2018. Pedoman (Roadmap) lutung dan surili merupakan satwa primata Peningkatkan Populasi Dua Puluh Lima yang sesekali terpantau turun ke lantai hutan Satwa Terancam Punah Prioritas Periode untuk mencari pakan dan relatif lebih adaptif 2015-2019. Jakarta (ID): Kementerian terhadap aktivitas pemanfaatan panas bumi. LHK. Terdapat beberapa kelompok T. auratus yang Djanubudiman G, Setiadi MI, Wibisono dapat ditemukan di sekitar kantor pengelolaan F, Arisona J, Mulcahy G, Indrawan dan penginapan petugas, sementara beberapa M. 2004. Current Distribution and kelompok P. comata dapat ditemukan di sekitar Conservation Priorities for the Javan- sumur produksi. Gibbon (Hylobates moloch). Project Report. Yayasan Bina Sains Hayati Simpulan Indonesia (YABSHI) dan Pusat Studi Biologi Konservasi (PSBK) Universitas Jenis satwa primata yang ditemukan di Indonesia. wilayah operasi pemanfaatan panas bumi Salak Djuwantoko. 2018. Asas-asas Pengelolaan Ltd. sebanyak empat spesies dari dua keluarga Satwa Liar di Indonesia. Cetakan pertama. yaitu owa jawa, surili, lutung, dan monyet ekor Yogyakarta (ID): Gajah Mada University panjang. Owa jawa merupakan jenis satwa Pr. primata yang paling melimpah di wilayah Efendi FS, Izzah A, Sudarmadji. 2016. Sistem operasi pemanfaatan panas bumi Salak. Jenis Informasi Geografis untuk Pendataan satwa primata paling banyak ditemukan pada Sebaran Satwa Langka di Indonesia. J ketinggian 1.100-1.300 mdpl. Teknologi 6(1): 172-177. Global Volcanism Program. 2007. Report on Salak (Indonesia). In: Wunderman, R Ucapan Terima Kasih (ed.), Bulletin of the Global Volcanism Kegiatan ini terlaksana melalui kerjasama Network, 32:9. Smithsonian Institution. program antara Balai TNGHS dengan SEGS, https://doi.org/10.5479/si.GVP. Ltd. Kami ucapkan terima kasih kepada Kepala BGVN200709-263050. Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 16, No. 1, Januari 2019, hlm. 3-9 9

Gunawan, Kartono AP, Maryanto I. Newing H, Eagle CM, Puri RK. 2011. 2008. Keanekaragaman mamalia besar Conducting research in Conservation: A berdasarkan ketinggian tempat di Social Science Perspective. Routledge, Taman Nasional Gunung Ciremai. J Bio London. Indonesia 4(5): 321- 334. Nurdin M. 2010. Keanekaragaman dan Sebaran Hidayatullah RR. 2015. Parameter Demografi Satwa Primata di Taman Nasional Tesso dan Penggunaan Ruang Vertikal Lutung Nilo yang Berbatasan Dengan Kebun Jawa (Trachypithecus auratus Geoffroy Kelapa Sawit PT. Inti Indosawit Subur, 1812) Di Resort Tamanjaya Taman Ukui, Riau [skripsi]. Institut Pertanian Nasional Ujung Kulon. [skripsi]. Institut Bogor. Pertanian Bogor. Odum EP. 1971. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Iskandar F, Mardiastuti A, Iskandar E, Kyes ketiga. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada R. C. 2009. Populasi owa jawa (Hylobates University Pr. moloch) di Taman Nasional Gunung Partasasmita R, Malik AD. 2016. Studi Gede Pangrango, Jawa Barat. Pusat Studi Kebutuhan Pakan Lutung Jawa Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor. J (Trachypithecus auratus E. Geoffroy Primatol Indonesia 6(1): 14-18. Saint-Hilaire, 1812) Betina pada Fase Islam M, Choudhury P, Bhattacharjee Akhir Rehabilitasi di Pusat Rehabilitasi PC. 2014. Canopy utilization pattern Primata Jawa. Prosiding Seminar of western hoolock gibbon (Mamalia: Nasional MIPA 2016: 226 – 231. Primates: Hylobatidae) in the inner-line Pratiwi AN. 2008. Aktifitas Pola Makan dan reserve forest of Barack Valey, Assam, Pemilihan Pakan pada Lutung Kelabu India. J of Thearetened Taxa 6(9): 6222- Betina (Trachypithecus cristatus, Raffles 6229. 1812) di Pusat Penyelamatan Satwa Kanwatanakid-Savini C, Poonswad P, Savini Gadog Ciawi – Bogor [skripsi]. Institut T. 2009. An Assessment of Food Overlap Pertanian Bogor. Between Gibbons and Hornbills. National Primack RB, Supriatna J, Indrawan University of Singapore. Raffles Bull Zool M, Kramadibrata P. 1998. Biologi 2009 57(1): 189–198. Konservasi. Jakarta (ID): Yayasan Obor Kinanto H, Budhi S, Ardian H. 2018. Indonesia. Keanekaragaman jenis primata di seksi Pyritz LW, Büntge ABS, Herzog SK, Kessler wilayah II Semitau Taman Nasional M. 2010. Effects of Habitat Structure Danau Sentarum Kabupaten Kapuas and Fragmentation on Diversity and Hulu. J Hutan Lestari 6 (4): 894-903. Abundance of Primates in Tropical MacKinnon JR, MacKinnon KS. 1980. Niche Deciduous Forests in Bolivia. Int J Diferentiation in a Primate Community. D. Primatol. doi 10.1007/s10764-010- J. Chivers (ed.), Malayan Forest Primates. 9429-z. Springer Science and Business Media Raehanayati, Rachmansyah, Arief, New York 1980. formerly Department of Maryanto, Sukir. 2013. Studi Potensi Zoology. University of Oxford. Energi Geothermal Blawan- Ijen, Jawa Marshall AJ, Cannon CH, Leighton M. Timur Berdasarkan Metode Gravity. J 2009. Competition and Niche Overlap Neutrino 31. Between Gibbons (Hylobates albibarbis) Santosa Y, Ramadhan EP, Rahman DA. and Other Frugivorous Vertebrates in 2008. Studi Keanekaragaman Mamalia Gunung Palung National Park, West pada Beberapa Tipe Habitat di Stasiun Kalimantan, Indonesia. Springer Science Penelitian Pondok Ambung Taman Business Media, LLC 2009. S. Lappan Nasional Kalimantan and D.J. Whittaker (eds.), The Gibbons, Tengah. Media Konservasi 13(3): 1 – 7. Developments in Primatology: Progress Slater H. 2015. Forest structure and group and Prospects. density of Thomas’ langur monkey, Marshall AR, Lovett JC, White PCL. 2008. Presbytis thomasi [thesis]. Bournemouth Selection of line-transect methods for University. estimating the density of group-living Supriatna J. 2006. Conservation Programs for : lessons from the primates. Am J the Endangered Javan Gibbon (Hylobates Primatol 70:452– 462. moloch). Primate Conserv (21): 155–162. Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 16, No. 1, Januari 2019, hlm. 10-15 ISSN 1410-5373 Eksplorasi Presbytis chrysomelas ssp. cruciger (Thomas 1892) di Bukit Semujan, Taman Nasional Danau Sentarum The Exploration of Presbytis chrysomelas ssp. cruciger (Thomas 1892) on Bukit Semujan, Danau Sentarum National Park Aripin1, Ridwan SM1, Andono A2*, Mahmud A3

1PEH, BBTN. Betung Kerihun dan Danau Sentarum, Kalimantan Barat, 78714 2Kepala Bidang Teknis Konservasi, BBTN. Betung Kerihun dan Danau Sentarum, Kalimantan Barat,78714 3Kepala BBTN. Betung Kerihun dan Danau Sentarum, Kalimantan Barat, 78714

*Korespondensi : [email protected]

Abstract. Presbytis chrysomelas ssp. cruciger (Thomas 1892) (Indonesian: Langur Borneo) is a subspecies of P. chrysomelas ssp., a primate identified as a family of Cercopithecidae. The distribution ofP. chrysomelas ssp. cruciger is limited in Northern Borneo (from Sabah to Sarawak, Malaysia). IUCN has classified this primate as a Critically Endangered (CE) spesies since 2008 because of it’s very limited distribution. The Bukit Semujan area is part of the Danau Sentarum National Park, which has an ecosystem type consisting of peat swamp forests, lowland forests and kerangas forests. Those ecosystem types are the habitat of P. chrysomelas ssp. cruciger. The exploration on Bukit Semujan was conducted by the direct census method, which directly surveyed and calculated a individual Langur through line transect, and also interviewed the local community. From the exploration it was found that there were 51 individuals of Langur Borneo through 10 times encounters either directly or indirectly, such as sound and other evidence. Through an analysis approach of population density of P. chrysomelas ssp. cruciger on Bukit Semujan Area there were 0.3 individuals per hectare. The locations of Langur Borneo is in the secondary forest areas where many spesies of feed trees are found, such as cempedak (Artocarpus integer), empakan (Durio kuteijeinsis), rambutan hutan (Nephelium sp.) and others.

Keywords : danau sentarum national park, distribution, exploration, IUCN, langur borneo

Pendahuluan Lima keluarga satwa primata telah teridentifikasi di Pulau Kalimantan (Roos et Langur borneo (Presbytis chrysomelas al. 2014) termasuk diantaranya Lorisidae, ssp. cruciger) merupakan salah satu spesies Tarsiidae, Cercopithicidae, Hylobatidae, dan satwa primata dari keluarga Cercopithecidae. Hominidae yang terdiri dari 8 genus, 20 spesies Langur borneo adalah sub spesies dari P. dan 23 subspesies. Dua puluh spesies yang ada, chrysomelas. Penelitian Ross et al. (2014), hanya satu yang memiliki status konservasi menyebutkan P. chrysomelas memiliki dua sub critically endangered, yaitu langur borneo. spesies yang dibedakan berdasarkan variasi Taman Nasional Danau Sentarum warna yaitu western cross-marked langur (TNDS) merupakan lokasi lahan basah dengan (P. chrysomelas chrysomelas ssp.) (Muller tipe ekosistem yang terdiri dari hutan rawa, 1838) dan eastern cross-marked langur (P. hutan dataran rendah, dan hutan kerangas yang chrysomelas ssp. cruciger) (Thomas 1892). merupakan habitat fauna dilindungi. Kawasan Satwa primata endemik Pulau Kalimantan ini TNDS selalu beriklim basah dan lembab penyebarannya hanya ditemukan di daratan (ever-wet climate), sehingga memacu adanya Kalimantan bagian utara, mulai dari Melalap tanah gambut di kawasan ini. Kawasan TNDS (Sabah) ke Kecamatan Baram di utara Serawak dikelilingi bukit-bukit dan dataran tinggi yang (Nijman et al. 2008; Roos et al. 2014). memungkinkan kawasan ini menjadi daerah Mengacu pada status konservasi yang tangkapan air, salah satunya Bukit Semujan. dikeluarkan IUCN Red List 2008, langur borneo Selain terdiri atas danau-danau dan rawa yang cukup luas, lahan yang ada di sekitar kawasan (P. chrysomelas ssp. cruciger) termasuk ke (umumnya lahan gambut) juga mempunyai dalam status konservasi critically endangered potensi menyimpan air. Semujan merupakan (terancam punah). Spesies ini di Indonesia salah satu daerah perbukitan di Danau Sentarum belum masuk dalam daftar jenis satwa dengan tipe ekosistem hutan kerangas di daerah dilindungi dan masih mimimnya data penemuan perbukitannya. Dalam pengelolaan kawasan, P. chrysomelas ssp. cruciger sampai saat ini. daratan Bukit Semujan termasuk ke dalam zona Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 16, No. 1, Januari 2019, hlm. 10-15 11 pemanfaatan dan tradisional. Tujuan pengelolaan individu langur borneo yang ditemukan langsung lebih diarahkan untuk pengembangan pariwisata di lapang. Jalur pengamatan menggunakan jalur alam yang ada di kawasan TNDS dan diarahkan transek (line transect) berbasis SMART (Spatial untuk pemanfaatan jasa lingkungan lainnya. Monitoring and Reporting Tool). Artinya, dalam Bukit Semujan merupakan salah satu habitat kegiatan ekplorasi data temuan langur di setiap bagi satwa liar yang ada di kawasan TNDS jalur pengamatan akan dicatat dan dianalisis dan tempat perpindahan mamalia besar, seperti ke dalam tools SMART. Pengamatan terhadap orangutan, rusa sambar, macan dahan dan individu langur borneo pada jalur menggunakan beruang madu. Keberadaan Bukit Semujan teropong (binokuler) dilakukan pada pukul berbatasan langsung dengan Hutan Kirin 08.00 sampai dengan 16.00 WIB. Lintang (sebelah barat) merupakan salah satu Pengambilan data sekunder dalam zona inti di kawasan TNDS. penelitian dilakukan untuk mendapatkan data Tipe habitat langur borneo berupa hutan dan informasi sebaran langur borneo di lokasi. tropis basah, hutan rawa gambut, dan hutan rawa Metode pengumpulan data menggunakan air tawar dengan ketinggian jelajah mencapai metode wawancara terhadap masyarakat yang 500 mdpl (Nijman dan Nekaris 2012; Smith- Ehlers 2014). Preferensi habitat P. chrysomelas sering beraktivitas di sekitar lokasi pengamatan. Jalur pengamatan di lapangan dibuat sebanyak ssp. cruciger sesuai dengan kondisi ekosistem sembilan jalur yang ditempatkan secara acak di Danau Sentarum, terkhusus di Daratan dari kaki bukit menuju arah puncak, dengan Semujan. Langur borneo umumnya hidup panjang jalur dibuat sepanjang satu km (Gambar berkelompok dengan jumlah tiga hingga 13 1). Menempatkan jalur pengamatan di lokasi individu per kelompok. Spesies ini merupakan dilakukan berdasarkan informasi masyarakat kelompok langur pemakan buah dan biji-bijian setempat yang sering menjumpai langur di yang mengkonsumsi antara 25 hingga 65% dari wilayah Bukit Semujan di bagian selatan. Jalur bagian buah (Smith-Ehlers. 2014). pengamatan ditempatkan tersebar dari timur ke

Gambar 1 Peta lokasi jalur pengamatan Metode Penelitian barat Bukit Semujan, meliputi wilayah Sitepa, Semujan Putus, Kolam (kebun karet), dan arah Penelitian langur borneo dilakukan di Kirin Lintang. kawasan TNDS, selama tujuh hari (2-8 Maret Luas lokasi pengamatan di Bukit Semujan 2019). Pengamatan lapang fokus di wilayah yang dijadikan area survei 170 ha. Luas area Bukit Semujan bagian barat dan selatan, survei ditentukan dengan metode minimum secara administratif masuk ke dalam Desa convex polygon yaitu menghubungkan titik Vega. Wilayah ini secara pengelolaan kawasan koordinat terluar dari seluruh daerah jelajah kelompok pada jalur transek (Boitani dan konservasi, merupakan wilayah kerja Resort Fuller 2000). Daerah jelajah dipetakan dengan Lupak Mawang, Seksi PTNW IV Selimbau. membuat poligon dari titik-titik koordinat GPS Metode pengumpulan data langur borneo terluar menggunakan program GIS. di Bukit Semujan menggunakan metode direct Jenis data yang diambil dalam kegiatan census (Fitri et al. 2013). Metode ini dilakukan ekplorasi langur borneo di Bukit Semujan, dengan cara survei dan penghitungan langsung meliputi data sebaran langur di lapang, data 12 Aripin et al., Eksplorasi Presbytis chrysomelas spp. cruciger di Bukit Semujan sebaran dan jenis pohon pakan, data kondisi (2012), salah satu faktor utama pola pergerakan habitat, dan data jenis gangguan/ancaman. langur borneo yaitu adanya aktivitas manusia Analisis data untuk mendapatkan informasi yang masuk ke dalam habitatnya. kepadatan langur borneo di lokasi survei, Studi menyebutkan bahwa Presbytis akan dianalisis dengan perhitungan pendekatan bertahan pada tipe habitat yang berbeda dengan kepadatan populasi (Fitri et al. 2013), melalui tipe habitat aslinya selama di lokasi tersebut perhitungan : kepadatan populasi (individu/ terdapat sumber pakan. Jenis ini dapat melakukan km2) = jumlah individu temuan/luas area survei. pergerakan jauh selama terdapat sumber pakan di lokasi tujuan. Hal ini menunjukkan jarak Hasil dan Pembahasan dan lamanya pergerakan harian Presbytis juga dipengaruhi kehadiran pohon buah. Hasil pengamatan di lapang pada kegiatan Analisis kepadatan populasi dilakukan ekplorasi langur borneo di Bukit Semujan terhadap temuan jumlah sebanyak 51 individu bagian selatan, ditemukan sebaran langur berbanding dengan luas area survei, sesuai baik langsung maupun tidak langsung (suara) dengan lokasi yang telah ditentukan untuk sebanyak 51 individu yang tersebar di jalur 1, pengamatan, yaitu seluas 170 ha. Maka dapat 2, 3, 8, dan 9 (Tabel 1). Tim juga memperoleh diperoleh bahwa dugaan kepadatan individu data sekunder hasil wawancara dan laporan masyarakat lokal yang ditemukan di waktu langur borneo di Bukit Semujan 0,3 ekor/ha. pengamatan yang sama, ditemukan sebanyak 14 Temuan di lapangan menunjukan bahwa individu langur. Hasil pengamatan di jalur 4, 5, langur borneo hidup secara berkelompok, dan 6, dan 7 tidak ditemukan individu langur. dalam satu kelompok terdiri dari 2 sampai

Adanya temuan pada lima jalur tersebut dengan 8 ekor. Ciri fisik langur borneo yang karena bertepatan dengan keberadaan pohon ditemukan di Bukit Semujan memiliki warna pakan, kondisi vegetasi yang tidak terlalu rapat, tubuh sangat menarik, yaitu warna hitam dan namun masih terdapat jenis pohon rimba dengan jingga (lebih dominan) serta warna keabu- komposisi tajuk yang sesuai untuk langur borneo abuan (Gambar 2). Warna hitam ditemukan di melakukan aktivitas (melompat). Tidak adanya bagian tangan dan punggung sampai ke ekor langur borneo disebut sebagai tricolor langurs. pertemuan langsung maupun suara pada Jalur 4, Warna hitam dominan pada bagian punggung 5, 6, 7. Hal ini dapat dipengaruhi kondisi cuaca dan lengan dapat dijadikan sebagai pembeda yang kurang mendukung pada saat pengamatan dengan P. rubicunda yang bagian punggungnya pada Jalur 6 dan 4 serta pada Jalur 5 dan 7 berwarna jingga. Bagian wajah memiliki garis yang kondisi vegetasinya cukup rapat dan tidak hitam dibagian bawah mata kiri dan kanan. ditemukan adanya pohon pakan. Selain itu, Garis tersebut merupakan salah satu ciri adanya faktor aktivitas manusia di sekitar 4 jalur fisiologis khas dari jenis ini, selain warna hitam tersebut. Sesuai pendapat Ampang dan Zain pada lengan dan punggung. Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 16, No. 1, Januari 2019, hlm. 10-15 13

pemantauan di kanopi atas. Spesies satwa primata ini memanfaatkan kanopi-kanopi pohon di dalam hutan dalam aktivitas pergerakan hariannya, seperti aktivitas mencari makan, pengamatan predator dan aktivitas bermain. Sehingga, keberadaan interkoneksi kanopi antar pohon di kawasan sangat penting dalam mendukung kelangsungan hidup spesies ini di habitatnya. Saat menyadari adanya keberadaan manusia terdapat satu atau dua individu langur borneo mengeluarkan suara sebagai tanda kepada anggota kelompok lainnya. Individu tersebut juga melakukan aktivitas mengamati (observed) sekeliling, ke arah datangnya gangguan atau Gambar 2 Temuan langur borneo di Semujan ancaman. Individu yang mengeluarkan suara sebagai alarm call diduga langur jantan dewasa Pengamatan di Bukit Semujan diketahui sebagai pemimpin kelompok. Wilson dan Wilson bahwa langur borneo banyak ditemukan di (1975) menyatakan pada umumnya Presbytis hutan-hutan sekunder, bekas perladangan yang hidup dalam satu kelompok yang dipimpin sudah lama ditinggalkan masyarakat. Langur seekor jantan dewasa (one male), terdiri dari borneo merupakan jenis satwa primata yang beberapa betina dewasa, muda, anak-anak dan melakukan aktivitas secara berkelompok. bayi. Pemimpin kelompok biasanya memiliki Beberapa lokasi temuan langur borneo di Bukit peran penting dalam melindungi kelompoknya, Semujan berupa lokasi kolam, kebun karet, jalur dengan memanfaatkan interkoneksi antar kanopi arah kiri lintang, dan Semujan putus. Selain data pohon di lokasi untuk bergerak melompat dan temuan langsung di lokasi pengamatan, individu memberi tanda. langur borneo juga ditemukan masyarakat yang Langur borneo dalam melakukan beraktivitas di sekitar Bukit Semujan pada pergerakan saat menemukan adanya aktivitas saat dilakukan pengamatan. Tercatat sebanyak manusia (terancam), melakukan tiga pola 14 individu tergabung dalam 2 kelompok, aktivitas menurut Smith-Ehlers (2014). Selain ditemukan masyarakat di 2 lokasi yang berbeda aktivitas mengeluarkan suara (vocalizing), yaitu sekitar lokasi kolam dan area sekitar tepi perilaku tanpa gerakan atau diam mengamati danau (penyinggah perahu). (freezing) dan melompat dengan cepat Menurut Ampeng dan Zain (2012), menghindari pengamat baik pada tingkat tajuk, pergerakan vertikal dilakukan langur borneo menengah, ataupun tingkat lantai hutan (flight). pada pertengahan kanopi ke atas kanopi Berdasarkan hasil pengamatan dan dengan ketinggian 3 - 8 m. Pemimpin jantan wawancara dengan masyarakat, langur borneo dewasa biasanya berada di bagian bawah dapat dilihat turun ke kaki Bukit Semujan hingga kanopi, sementara pemimpin betina melakukan ketinggian 80 mdpl, tidak jauh dari area tepi

Gambar 3 Peta lokasi temuan langur borneo di Semujan 14 Aripin et al., Eksplorasi Presbytis chrysomelas spp. cruciger di Bukit Semujan

Danau Vega. Kondisi vegetasi pada ketinggian bagian buah (Nijman et al. 2008, Smith-Ehlers tersebut di sekitar kaki Bukit Semujan di 2014). Aktivitas langur borneo di area ini dominasi vegetasi hutan sekunder, terutama terpantau sekitar pukul 7-9 pagi hari. Selepas hutan bekas kebun karet dan beberapa jenis itu, kelompok satwa tersebut mulai bergerak tumbuhan pakan seperti cempedak (Artocarpus kembali ke arah atas (Bukit Semujan) dan integer), empakan (Durio kuteijeinsis), terpantau melakukan aktivitas mencari pakan rambutan hutan (Nephelium sp.) dan jenis dan bermain hingga ketinggian 100 mdpl. Smith lainnya (Tabel 2). Selain dalam hal pakan, tipe (2014), menyatakan ketinggian jelajah langur tutupan hutan sekunder juga berkaitan dengan borneo dapat mencapai 500 mdpl. Di antara langur borneo karena merupakan satwa arboreal ketinggian tersebut juga terdapat berbagai jenis yang sangat bergantung terhadap tegakan hutan pohon pakan yang sedang dalam masa berbuah yang memiliki keberagaman komposisi struktur dan matang (Tabel 2). tegakan dan jenis dominan tingkat pohon dan Ampang dan Zain (2012) menyebutkan tingkat tiang yang menentukan ketersedian keberadaan sumber pakan di suatu lokasi sumber pakan, pohon tidur dan sarana merupakan salah satu faktor utama preferensi pergerakan satwa primata. habitat dan pola pergerakan langur borneo

Jalur-jalur yang banyak ditemukan selain faktor aktivitas manusia, ekologi, tingkah sebaran pohon pakan bagi P. chrysomelas ssp. laku satwa tersebut, perubahan iklim, ukuran cruciger adalah Jalur 1, 2, 3, 4, 6, 8 dan 9. kelompok, kemungkinan perkawinan, lokasi Keberadaan pohon pakan ditemukan hampir sarang, dan parasit sumber penyakit. Kondisi di semua jalur pengamatan kecuali pada Jalur inilah yang diduga memiliki cukup berpengaruh 7 dan 5. Pada jalur ini, kondisi vegetasi cukup terhadap perkembangbiakan populasi langur rapat baik tumbuhan tingkat bawah maupun borneo di kawasan TNDS, khususnya di wilayah jenis pohon rimba. Selain itu, pada jalur ini, Bukit Semujan (Balai Besar TN. Betung terindikasi adanya aktivitas manusia yang lebih Kerihun dan Danau Sentarum 2018). banyak dibandingkan jalur lainnya, seperti aktivitas masyarakat lokal dalam memenuhi Simpulan kebutuhan sehari harinya dari dalam hutan maupun aktivitas lainnya. Eksplorasi Bukit Semujan telah berhasil Langur borneo merupakan kelompok menemukan langur borneo (P. chrysomelas ssp. langur pemakan buah dan biji-bijian yang cruciger) pada 5 dari 9 jalur pengamatan pada mengkonsumsi antara 25 hingga 65% dari sisi bagian barat dan selatan. Jumlah individu Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 16, No. 1, Januari 2019, hlm. 10-15 15 temuan sebanyak 51 individu, yang tersebar Fitri R, Rizaldi, Novarino W. 2013. dalam jumlah 2 hingga 8 individu dalam satu Kepadatan populasi dan struktur kelompoknya. Data temuan jenis satwa primata kelompok simpai (Presbytis melalophos) ini sebanyak 14 individu melalui data sekunder serta jenis tumbuhan makanannya di (wawancara) dengan masyarakat sekitar lokasi. Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi Keberadaan langur borneo di lokasi tersebut (HPPB) Universitas Andalas. Padang. J diduga dipengaruhi oleh faktor ketersedian Bio UA 2(1): 25-30. sumber pakan dan kondisi ekosistem yang Meyer D, Rinaldi D, Ramlee H, Perwitasari- mendukung sebagai habitat dari Langur Borneo. Farajallah D, Hodges JK, Roos C. Sumber pakan yang ditemui di sepanjang 2011 Mitochondrial phylogeny of leaf jalur pengamatan di antaranya didominasi monkeys (genus Presbytis, Eschscholtz, jenis cempedak (Artocarpus integer), empakan 1821) with implications for taxonomy (Durio kuteijeinsis), rambutan hutan (Nephelium and conservation. Mol Phylogenet Evol sp.) yang buahnya sedang dalam kondisi sudah 59:311–319. masak. Tidak adanya pertemuan terhadap langur Nijman V, Hon J, Richardson M. 2008. borneo di 4 jalur lain yang berada di sisi Selatan Presbytis chrysomelas ssp.. The IUCN Bukit Semujan diduga faktor ketersediaan Red List of Threatened Species. http:// pakan dan habitat yang sedang terganggu. dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2008. Melalui hasil kegiatan eksplorasi ini, RLTS.T9803A10268236. Diakses 10 maka diberikan beberapa rekomendasi di Maret 2019. antaranya untuk perlunya melakukan penelitian Nijman V, Nekaris KAI. 2012. Loud calls, lanjutan mengenai karakteristik langur borneo startle behaviour, social organisation dengan melibatkan instansi dan lembaga and predator avoidance in arboreal terkait; membuat Strategi dan Rencana Aksi langurs (Cercopithecidae: Presbytis). Konservasi (SRAK) langur borneo; serta Folia Primatol (Basel) :83(3-6):274-287. membuat pengusulan sebagai satwa dilindungi doi:10.1159/000339647 di Indonesia. Roos C, Boonratana R, Supriatna J, Fellowes JR, Groves CP, Nash SD, Rylands AB, Daftar Pustaka Mittermeier RA. 2014. An updated taxonomy and conservation status review Ampang A, Zain BM. 2012. Ranging patterns of Asian primates. Asian Primates J 4(1): of critically endangered colobine, 2-38. Presbytis chrysomelas ssp. Universiti Smith-Ehlers DA. 2014. The effects of land-use Kebangsaan Malaysia. Malaysia. Sci policies on the conservation of Borneo’s World J: 1-7. doi:10.1100/2012/594382. endemic Presbytis monkeys. Biodiversity Balai Besar TN. Betung Kerihun dan Danau and Conservation 23: 891–908. Sentarum. 2018. Rencana Pengelolaan Supriatna J, Wahyono EH. 2000. Panduan Jangka Panjang (RPJP) Taman Nasional Lapangan: Primata Indonesia. Jakarta Danau Sentarum. Provinsi Kalimantan (ID): Yayasan Obor Indonesia. Barat 2018-2027. Wilson CC, Wilson WL. 1975. The Influence Boitani L, Fuller TK. 2000. Research of Selective Logging on Primates and Techniques in Animal Ecology Some Other Animal in East Kalimantan Controversies and Consequences. New Folia Primates. Folia Primatologica 23 York (US): Columbia University Pr. (4): 245-27. Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 16, No. 1, Januari 2019, hlm. 16-23 ISSN 1410-5373 Prediksi Kesesuaian Habitat Surili Jawa (Presbytis comata) di Taman Nasional Gunung Merbabu Prediction of Habitat suitability of Javan surili (Presbytis comata) in Gunung Merbabu National Park Latifiana 1K , Handayani KP2*

1Independent Researcher, Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 55194, Indonesia. 2Independent Researcher, Mlati, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 55288, Indonesia.

*Korespondensi: [email protected]

Abstract. Javan surili (Presbytis comata), one of the endemic endangered primates in Java, is one of the conservation priority species in Gunung Merbabu National Park (GMNP). Comprehensive information about the distribution of an organism is needed in developing an effective conservation strategy. Unfortunately, the information is sometimes very limited. Habitat modeling is an effective way of predicting animal habitat, where understanding habitat characteristics is needed. The integration of remote sensing data and Geographic Information Systems (GIS) can provide an overview of primate habitat factors and threats. Therefore, the objectives of the study is to create a habitat suitability model of Javan surili, and to evaluate the contribution of each environmental variable. This study used the Landsat-8 OLI image and other geospatial data to extract habitat and disturbance factors. The data of encounters with the Javan surili was obtained from field observation and other studies conducted from the years 2011 to 2018. The modeling of habitat suitability was processed using Maximum Entropy (MaxEnt) software. The modeling showed that the suitable habitat covering 630.36 hectares (10.76%) in GMNP, with an AUC mapping accuracy, was 0.952. It also showed the highest to the lowest percentage of contribution variables consecutively, such as landcover, distance from the street, elevation, and Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). Higher habitat suitability is found in natural forest. This model can be used as basic map for survey and updating distribution of Javan surili.

Keywords: habitat modeling, Landsat-8, MaxEnt, Presbytis comata, primates

Pendahuluan SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Selain itu, Surili jawa (Presbytis comata) yang Surat Keputusan Direktur Jenderal Konservasi merupakan salah satu satwa primata endemik Sumberdaya Alam dan Ekosistem Nomor 180/ di Pulau Jawa, diperkirakan populasinya terus IV-KKH/2015 menyebutkan bahwa surili mengalami penurunan terutama diakibatkan jawa termasuk dalam daftar 25 spesies satwa kerusakan habitat (Nijman dan Richardson terancam punah prioritas untuk peningkatan 2008). Supriatna dan Wahyono (2000) populasi sebesar 10% pada tahun 2015 hingga memperkirakan habitat surili jawa telah 2019. menyusut dari luas semula 43.274 km2 kini tersisa 1.608 km2 atau menyusut sekitar 96%. Keberadaan surili jawa di Taman Nasional Saat ini surili jawa atau rekrekan sebutannya Gunung Merbabu (TNGMb) sebagai salah satu di Jawa Tengah, masih dijumpai di wilayah spesies prioritas, tidak lepas dari ancaman hutan hujan tropis bagian barat hingga tengah kerusakan habitat, terutama akibat kebakaran Pulau Jawa, yaitu di Gunung Slamet, Gunung hutan (Hidayat et al. 2016; Siregar 2017) yang Sindoro dan Sumbing, Pegunungan Dieng, dan hampir selalu terjadi setiap musim kemarau Gunung Merbabu (Nijman 1997; Supriatna dan panjang. Wahyono 2000; Setiawan et al. 2010; Haryoso Ancaman kerusakan habitat yang terjadi, 2011; Fithria 2012; Syarifah 2013). TNGMb masih menyisakan habitat bagi surili Menurut IUCN, surili jawa termasuk jawa. Informasi yang komprehensif mengenai kategori terancam punah (endangered, EN) distribusi suatu organisme, sangat diperlukan dengan ancaman utamanya kerusakan habitat (Nijman dan Richardson 2008) dan status dalam menyusun strategi konservasi yang efektif perdagangan Appendix II (CITES 2016). (Sterling et al. 2013). Sayangnya informasi Pemerintah Indonesia melindungi satwa primata tersebut terkadang tidak tersedia. Pemodelan ini melalui Peraturan Menteri Lingkungan habitat merupakan salah satu cara memprediksi Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/ distribusi organisme. Integrasi antara data SETJEN/KUM. 1/6/2018 tentang Perubahan penginderaan jauh dan Sistem Informasi Kedua atas Peraturan Menteri Lingkungan Geografis (SIG) mampu menyajikan gambaran Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/ kondisi habitat yang mendukung distribusi Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 16, No. 1, Januari 2019, hlm. 16-23 17 surili jawa pada bentang lahan TNGMb. memiliki mata pencaharian sebagai petani, Penelitian ini bertujuan untuk membuat peta buruh tani, dan memelihara ternak sapi. pemodelan kesesuaian habitat surili jawa dan Masyarakat memanfaatkan kawasan TNGMb menilai kontribusi setiap peubah lingkungan untuk mencari kayu bakar dan rumput sebagai yang berpengaruh dalam penyusunan model. pakan ternak. Gunung Merbabu juga merupakan Penelitian mengenai surili jawa di TNGMb tujuan obyek wisata pendakian (Balai Taman perlu diprioritaskan untuk mendukung upaya Nasional Gunung Merbabu 2014). konservasi satwa primata endemik ini. Data Kehadiran Surili Jawa Metode Penelitian Data primer titik kehadiran surili jawa berupa titik koordinat perjumpaan langsung Lokasi Penelitian diperoleh melalui observasi lapangan. Selain Gunung Merbabu terletak di Provinsi itu, digunakan data sekunder sebagai pelengkap Jawa Tengah, dengan wilayah yang secara data perjumpaan surili jawa yang diperoleh dari administratif termasuk dalam tiga kabupaten penelitian lainnya yang dilakukan oleh Haryoso (, Boyolali, dan Semarang). Gunung (2011), Syarifah (2013), Putra (2017), serta dari Merbabu ditetapkan menjadi kawasan taman kegiatan monitoring surili jawa oleh TNGMb nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri tahun 2016, 2017, dan 2018. Data kehadiran Kehutanan Kehutanan Nomor SK. 3623/ surili jawa digunakan dalam proses pemodelan Menhut-VII/KUH/2014 tentang Penetapan kesesuaian habitat dengan proporsi persentase Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung 75% untuk menyusun model dan 25% untuk Merbabu seluas 5.820,49 ha. Secara geografis validasi model. Taman Nasional ini terletak di antara 110°32' BT sampai 110°48' BT dan 7°38' LS sampai Persiapan Data Peubah Lingkungan 7°48' LS (Gambar 1). Kondisi topografi Pemodelan kesesuaian habitat suatu wilayah ini bergelombang hingga curam dengan spesies memanfaatkan data kehadiran kemiringan lereng hingga 71°. spesies serta peubah lingkungan yang diduga

Gambar 1 Peta Taman Nasional Gunung Merbabu dari citra Landsat-8 OLI (RGB:543) Penutupan lahan kawasan TNGMb berpengaruh (Phillips et al. 2004; Phillips didominasi hutan tanaman akasia (Acacia dan Dudik 2008). Berdasarkan studi literatur, deccurens) dan pinus (Pinus merkusii). peneliti menggunakan lima peubah lingkungan Kawasan ini juga merupakan habitat bagi satwa untuk menyusun model, yaitu penutupan primata lain yaitu lutung jawa (Trachypithecus lahan, Normalized Difference Vegetation Index auratus) dan monyet ekor panjang (Macaca (NDVI), ketinggian tempat, kemiringan lereng, fascicularis), serta satwa liar antara lain macan tutul jawa (Panthera pardus) dan elang jawa dan jarak dari jaringan jalan sebagai pendekatan (Nisaetus bartelsi). potensi ancaman. Peubah lingkungan tersebut TNGMb berbatasan langsung dengan 36 diekstraksi dari data penginderaan jauh dan desa yang mengelilingi kawasan ini termasuk geospasial, menggunakan perangkat lunak enclave dan sebagian besar penduduk desa QGIS. 18 Latifiana dan Handayani, Prediksi Kesesuaian Habitat Surili Jawa (Presbytis comata)

Data penginderaan jauh yang digunakan Uji Multikolinearitas yaitu Landsat-8 Operational Land Manager Uji multikolinearitas dimaksudkan agar (OLI) path/row 120/165 diperoleh melalui setiap peubah yang digunakan menyusun United States Geological Survey (USGS) model tidak saling berkorelasi, yang dapat perekaman tanggal 16 Juli 2015. Koreksi dilihat dari angka Variance Inflation Factor radiometrik dilakukan untuk menghilangkan (VIF). Jika nilai VIF lebih dari 10 maka peubah partikel-partikel atmosfer yang dapat tersebut berkorelasi sehingga salah satu peubah mengganggu nilai piksel citra. Selanjutnya harus dihilangkan. Uji multikolinearitas terus citra Landsat yang telah terkoreksi selanjutnya dilakukan hingga semua peubah tidak ada dapat diekstraksi menjadi penutupan lahan yang berkorelasi (Kutner et al. 2005). Analisis dan NDVI. Algoritma NDVI adalah (NIR-R)/ uji multikolinearitas dilakukan menggunakan (NIR+R) (Rouse et al. 1974), dimana NIR perangkat lunak R Studio. saluran inframerah dekat (near infrared) dan R saluran merah (red). Pemodelan Spasial dan Evaluasi Model Pengolahan peubah penutupan lahan Proses pembuatan model kesesuaian menggunakan metode supervised maximum habitat menggunakan algoritma Maximum livelihood (Lillesand et al. 2004) dan klasifikasi Entrophy (MaxEnt) dengan perangkat lunak penutupan lahan mengacu pada SNI 7645- MaxEnt versi 3.4.1 (Phillips et al. 2006; 1 tahun 2014. Kelas penutupan lahan dibagi Phillips dan Dudik, 2008). MaxEnt merupakan menjadi lima kelas, yaitu 1) savanna and pendekatan yang efektif dan sederhana dalam bareland (SB), 2) shrubs and grass (SG), 3) membuat prediksi kesesuaian habitat, karena secondary forest (SF), 4) primary forest (PF), hanya menggunakan data kehadiran satwa dan 5) plantation forest (PLF). Ground truth (Baldwin 2009). Nilai yang dihasilkan MaxEnt hasil klasifikasi penutupan lahan menggunakan anatara 0 sampai 1 yang menggambarkan nilai Google Earth dan observasi lapangan. mendekati 1, diprediksi sebagai habitat yang Data geospasial untuk memperoleh sesuai (Phillips dan Dudik 2008). Data kehadiran peubah topografi diolah dari data Advanced surili jawa sebanyak 75% untuk pemodelan Spaceborne Thermal Emission and Reflection dan 25% untuk validasi model. Validasi model Radiometer (ASTER) Global Digital Elevation diperoleh berdasarkan nilai Area Under the Model (DEM). Kemudian, berdasarkan data Curve (AUC) (Duan et al. 2014) pada Tabel 2. topografi dilakukan pengolahan SIG sehingga diperoleh data faktor habitat untuk peubah ketinggian tempat dan kemiringan lereng. Data geospasial berupa jaringan jalan dan sungai diperoleh dari Peta Rupabumi Indonesia (RBI) digital lembar 1408-521 Tegalrejo dan 1408- 522 Ngablak skala 1:25.000. Jarak dari jaringan jalan diolah melalui analisis SIG menggunakan cost distance. Informasi perolehan data dapat dilihat pada Tabel 1. Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 16, No. 1, Januari 2019, hlm. 16-23 19

Hasil Jackknife digunakan menentukan Uji multikolinearitas dilakukan pada persentase kontribusi masing-masing peubah peubah lingkungan dengan jenis data ordinal dalam penyusunan model (Elith et al. 2011). NDVI, kemiringan lereng, ketinggian tempat, Proses pemodelan dapat dilihat pada Gambar 2. dan jarak dari jaringan jalan. Penutupan lahan

Gambar 2 Diagram alir proses pemodelan spasial kesesuaian habitat surili jawa

Hasil dan Pembahasan merupakan jenis data kategorial sehingga tidak perlu dilakukan uji multikolinearitas. Persiapan Data Peubah Lingkungan Hasil uji multikolinearitas menunjukkan tidak Peta peubah lingkungan berupa peta raster ada peubah yang berkorelasi karena nilai VIF yang dipersiapkan dengan penyeragaman area kurang dari 10. of interest (AOI) dan resolusi spasial 30x30 m. Pemodelan ini menggunakan lima peubah Model Kesesuaian Habitat Surili Jawa lingkungan, yaitu penutupan lahan, NDVI, Kehadiran surili jawa digunakan untuk ketinggian tempat, kemiringan lereng, dan jarak penyusunan dan validasi model. Pengumpulan dari jaringan jalan (Gambar 3). data kehadiran surili jawa diperoleh dari tahun

Gambar 3 Peta peubah lingkungan untuk pemodelan kesesuaian habitat surili jawa: a) penutupan lahan; b) NDVI; c) ketinggian tempat; d) kemiringan lereng; dan e) jarak dari jaringan jalan 20 Latifiana dan Handayani, Prediksi Kesesuaian Habitat Surili Jawa (Presbytis comata)

2011 hingga 2018 sebanyak 52 titik perjumpaan. Hasil Jackknife (Gambar 6) menunjukkan Kehadiran surili jawa berada di lereng peubah lingkungan penting yang digunakan tenggara dan beberapa titik di lereng utara. dalam model. Nilai training gain tertinggi Berdasarkan 20 replikasi model yang dilakukan, menggambarkan peubah yang penting, yaitu menghasilkan output rerata model dengan nilai penutupan lahan, sehingga penutupan lahan AUC sebesar 0,925 dan standar deviasi 0,009. menjadi peubah yang paling berkontribusi kuat Nilai AUC antara 0,9-1 menggambarkan hasil dalam penyusunan model. peta pemodelan yang sempurna (Duan et al. Penutupan lahan dengan nilai tertinggi 2014) untuk memprediksi kesesuaian habitat adalah hutan lahan kering sekunder dan surili jawa. Peta model yang diperoleh dari hutan lahan kering primer. Beberapa studi MaxEnt pada Gambar 5a dengan nilai antara 0 menyebutkan bahwa surili jawa lebih sering hingga 0,89. dijumpai pada hutan sekunder (Nijman dan van Pembagian nilai mengacu pada hasil Balen 1998; Setiawan et al. 2010; Supartono rerata 10 percentile training presence logistic, et al. 2016; dan Kusumanegara et al. 2017). dengan nilai 0 hingga 0,3227 sebagai habitat Hutan lahan kering (hutan alam) sekunder dan tidak sesuai dan nilai lebih dari 0,3227 sebagai primer merupakan vegetasi heterogen, sehingga habitat yang sesuai (Gambar 5b). Berdasarkan diduga masih terdapat pohon-pohon yang hasil pemodelan, maka diketahui luasan habitat menjadi sumber pakan surili jawa. Hutan alam surili jawa yang sesuai sebesar 10,76% dari luas di Gunung Merbabu masih terdapat tumbuhan keseluruhan TNGMb atau sebesar 630,36 ha asli yang sekaligus menjadi penyedia pakan, (Tabel 3). tempat beraktivitas, dan berlindung bagi

Gambar 5 Peta pemodelan spasial kesesuaian habitat surili jawa: a) hasil MaxEnt dan b) kelas kesesuaian habitat surili jawa (Gambar 7). Jenis-jenis tumbuhan asli tersebut diantaranya jenis kesowo (Engelhardia spicata), pasang (Lithocarpus sp.), pangpung (Macropanax dispermus), sengiran (Pittosporum moluccanum), krembi (Homalanthus giganteus), lotrok (Wendlandia glabrata) dan wilodo (Ficus fistulosa) (Haryoso Kontribusi Peubah Lingkungan 2011; Syarifah 2013; Handayani dan Latifiana Kontribusi peubah lingkungan yang 2019). Selain jenis tumbuhan asli, terdapat digunakan dalam pemodelan yaitu penutupan jenis tumbuhan asing invasif yaitu kerinyu lahan 38,9%, jarak dari jaringan jalan 23,6%, (Chromolaena odorata) dan akasia (Acacia ketinggian tempat 22,3%, dan NDVI 15,2%. decurrens) (Handayani dan Latifiana 2019;

Gambar 6 Grafik UjiJackknife training gain surili jawa Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 16, No. 1, Januari 2019, hlm. 16-23 21

Gambar 7 Gambaran kondisi di Gunung Merbabu: a) hutan tanaman; b) sabana dan tanah terbuka; c) semak, belukar, rumput; d) hutan lahan kering primer; e) perjumpaan langsung surili jawa (Presbytis comata); f) surili jawa di hutan sekunder TNGMb Haryoso 2011; Syarifah 2013). Namun, saat ini kerusakan hutan dataran rendah Jarak dari jaringan jalan memiliki semakin meningkat (Indrawan et al. 2007) yang kontribusi yang cukup berpengaruh setelah menyebabkan menyempitnya ketersediaan penutupan lahan. Semakin jauh dari jarak jalan, habitat surili jawa. Saat ini, surili jawa lebih maka tingkat kesesuaian habitat semakin tinggi. mudah dijumpai pada hutan pegunungan Surili jawa cenderung menghindari akses yang (Nijman 1997). Perjumpaan surili jawa di dapat dilalui manusia. Satwa liar pada dasarnya Gunung Merbabu dilaporkan pada ketinggian cenderung menghindari kehadiran manusia antara 1.997-2.555 mdpl (Handayani dan yang berpotensi sebagai ancaman. Demikian Latifiana 2019). halnya yang terjadi pada surili jawa. Namun, NDVI menggambarkan kerapatan kanopi keberadaan jalan tersebut tidak serta-merta vegetasi yang digunakan satwa primata untuk membatasi distribusi surili jawa, terlebih pada tempat berteduh dan berlindung. Hutan alam kondisi keterbatasan sumberdaya pakan. Gunung Merbabu cenderung berkanopi rapat Beberapa perjumpaan langsung surili jawa dengan strata kanopi yang bervariasi. Kondisi terjadi dekat dengan jalur pendakian (Gambar tipe habitat tersebut mendukung aktivitas harian 8). Jalan yang ada di dalam kawasan TNGMb surili jawa. Nilai NDVI yang semakin tinggi merupakan jalur pendakian yang tidak setiap merupakan nilai yang sesuai sebagai habitat waktu ramai dilalui manusia. Hanya pada waktu surili jawa pada hasil pemodelan ini. tertentu seperti saat musim libur atau akhir Dari model ini diketahui bahwa luas pekan jalur pendakian ramai dilalui pendaki. area yang sesuai sebagai habitat surili jawa Beberapa masyarakat juga memanfaatkan adalah 630,36 ha yang terpisah dalam beberapa jalan tersebut namun hanya beberapa orang fragmen. Dari area yang teridentifikasi, tidak yang tidak banyak menimbulkan kegaduhan semua memiliki catatan kehadiran surili jawa. yang dapat mengusik keberadaan surili jawa. Catatan perjumpaan surili jawa lebih banyak Saat menyadari kehadiran manusia surili terjadi di lereng selatan. Kegiatan penelitian jawa akan segera menjauh dari jalan sambil ini umumnya lebih banyak di lereng selatan, mengeluarkan alarm call. Keberadaan hutan sehingga menyumbang catatan perjumpaan alam dengan ketersediaan pakan yang cukup yang lebih tinggi. Namun, jika dilihat peta yang baik kemungkinan lebih menarik kehadiran dihasilkan, masih terdapat potensi habitat yang surili jawa pada tipe habitat tersebut. sesuai yakni di lereng timur dan utara. Survei Berdasarkan ketinggian tempat, surili lebih lanjut pada lokasi yang teridentifikasi jawa menempati dataran rendah hingga sesuai sebagai habitat surili jawa dan perlu ketinggian ±1250 m dpl (Nijman 1997). dilakukan untuk mendapatkan data persebaran 22 Latifiana dan Handayani, Prediksi Kesesuaian Habitat Surili Jawa (Presbytis comata) yang lebih baik. In Seminar Nasional Konservasi dan Simpulan Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar. Bogor: Lembaga Ilmu Pengetahuan Habitat surili jawa yang sesuai seluas Indonesia. 630,36 ha atau sebesar 10,76% dari kawasan Haryoso A. 2011. Pendugaan Tempat-tempat TNGMb, dengan akurasi pemetaan AUC sebesar yang Menarik (point of interest) untuk 0,952 (SD = 0,009). Kesesuaian habitat yang Melihat Lutung Abu-abu (Presbytis lebih tinggi ditemui pada tipe hutan alam (hutan fredericae) sebagai Objek Daya Tarik lahan kering) sekunder dan primer. Peubah Wisata di Taman Nasional Gunung lingkungan dengan persentase kontribusi tinggi Merbabu. Universitas Gadjah Mada. hingga rendah yaitu penutupan lahan (38,9%), Hidayat S, Budiastuti S, Setyono P. 2016. jarak dari jaringan jalan (23,6%), ketinggian Pengelolaan Taman Nasional Gunung tempat (22,3%), dan NDVI (15,2%). Merbabu sebagai upaya konservasi rekrekan (Presbytis fredericae). J Ekosains 9(2):57–68. Ucapan Terima Kasih Indrawan M, Primack R, Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi. Jakarta (ID): Yayasan Terima kasih kami ucapkan kepada Obor Indonesia. Balai Taman Nasional Gunung Merbabu atas Kusumanegara A, Riyono AP, Prasetyo ijin melakukan kegiatan serta memperbaharui LB. 2017. Preferensi habitat surili di kelengkapan data yang diperlukan dalam Taman Nasional Gunung Ciremai. Media analisis. Mohammed bin Zayed Species Konservasi 22(1):26–34. Conservation Fund sehingga kegiatan ini Kutner M, Nachtsheim C, Neter J, Li W. terlaksana dengan baik. SwaraOwa atas bantuan 2005. Applied Linear Regression Models teknis pengambilan data lapang. (5th ed.). New York: McGraw-Hill Irwin. Lillesand TM, Kiefer RW, Chipman JW. Daftar Pustaka 2004. Remote Sensing and Image Interpretation (5th ed.). New York (US): [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2014. John Wiley & Sons, Inc. Standar Nasional Indonesia (SNI) 7645- Menteri Kehutanan Republik Indonesia. 1:2014 tentang Klasifikasi Penutup Lahan 2014. SK. 3623/Menhut-VII/KUH/2014 Bagian 1: Skala Kecil dan Menengah. tentang Penetapan Kawasan Hutan Taman Balai Taman Nasional Gunung Merbabu. Nasional Gunung Merbabu 5.820,49 2014. Profil Taman Nasional Gunung hektar. Indonesia. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Merbabu. Boyolali. 2018. P.106/MENLHK/SETJEN/ Baldwin RA. 2009. Use of Maximum Entropy KUM.1/12/ 2018 tentang Perubahan Modeling in Wildlife Research. Entropy Kedua Atas Peraturan Menteri 11(4): 854–866. Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor [CITES] Convention on International P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 Trade in Endangered Species. 2016. tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Appendices I, II, dan III. Dilindungi, Pub. L. No. P.106/MENLHK/ Direktur Jenderal Konservasi Sumberdaya SETJEN/KUM.1/12/2018 (2018). Alam dan Ekosistemnya. 2015. SK Indonesia. Dirjen KSDAE No.180/IV-KKH/2015. Nijman V. 1997. Occurrence and distribution Duan RY, Kong XQ, Huang MY, Fan of grizzled leaf monkey Presbytis comata (Desmarest, 1822) (Mammalia: Primates: WY, Wang ZG. 2014. The predictive Cercopithecidae ) in Java, Indonesia. performance and stability of six species Contrib Zoo 66:247–256. distribution models. PloS One 9(11):1-8. Nijman V, Richardson M. 2008. Presbytis doi: 10.1371/journal.pone.0112764 comata. https://doi.org/http://dx.doi. Elith J, Phillips SJ, Hastie T, Dudík M, org/10. 2305/IUCN.UK.2008.RLTS. Chee YE, Yates CJ. 2011. A statistical T18125A7664645.en explanation of MaxEnt for ecologists. Nijman V, van Balen SB. 1998. A faunal Diversity Distribution 17:43–57. survey of the Dieng Mountains, Central Fithria A. 2012. Penggunaan Habitat oleh Java, Indonesia: distribution and Rekrekan (Presbytis fredericae) di Lereng conservation of endemic primates taxa. Gunung Slamet Jawa Tengah. Universitas Oryx 32(2):145–156. Gadjah Mada. Phillips SJ, Anderson RP, Schapired RE. Handayani KP, Latifiana K. 2019. Distribusi 2006. Maximum Entropy Modeling Spasial Surili Jawa (Presbytis comata) of Species Geographic Distributions. di Taman Nasional Gunung Merbabu. Ecological Modelling 190:231–259. Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 16, No. 1, Januari 2019, hlm. 16-23 23

Phillips SJ, Dudik M. 2008. Modeling Siregar DI. 2017. Analisis Daerah Rawan of species distribution with Maxent: Kebakaran Hutan pada Habitat Optimum new extensions and a comprehensive Surili Jawa (Presbytis fredericae Sody, evaluation. Ecography 31:161–175. 1930) di Taman Nasional Gunung Phillips SJ, Dudik M, Schapire RE. 2004. A Merbabu, Jawa Tengah. Universitas Maximum Entropy Approach to Species Gadjah Mada. Distribution Modeling. In Proceedings of the Twenty-First International Conference Sterling EJ, Bynum N, Blair ME. 2013. on Machine Learning: 655–662. Banff. Primate Ecology and Conservation: Putra DA. 2017. Keterancaman Habitat A Handbook of Techniques. Asian Lutung Abu (Presbytis fredericae Sody Primates : A Newsletter of the IUCN/SSC 1930) dari Bahaya Kebakaran di Taman Primate Specialist Group, 6. Nasional Gunung Merbabu. Institut Supartono T, Budi L, Hikmat A, Priyono A. Pertanian Bogor. 2016. Spatial Distribution and Habitat Use Rouse JW, Haas RH, Schell JA, Deering DW, of Javan Langur (Presbytis comata): Case Harlan JC. 1974. Monitoring the Vernal Advancements and Retrogradation of Study in District of Kuningan. Procedia Natural Vegetation. NASA/GSFC, Final Environ Sci 33:340–353. Report, Greenbelt, MD, USA, (September Supriatna J, Wahyono EH. 2000. Panduan 1972):1–137. Lapangan Primata Indonesia. Jakarta Setiawan A, Wibisono Y, Nugroho TS, (ID): Yayasan Obor Indonesia. Agustin IY, Imron MA, Pudyatmoko Syarifah. 2013. Seleksi Habitat oleh Rekrekan S, Djuwantoko. 2010. Javan Surili: A Survey Population and Distribution in (Presbytis fredericae Sody, 1930) di Mt. Slamet Central Java, Indonesia. J Taman Nasional Gunung Merbabu. Primatologi Indonesia 7(2):51–54. Universitas Gadjah Mada. Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 16, No. 1, Januari 2019, hlm. 24-30 ISSN 1410-5373 Karakteristik Habitat Lutung Jawa (Trachypithecus auratus) di Kawasan Hutan Lindung RPH Sumbermanjing KPH Malang The Habitat Characteristics of Javan Langur (Trachypithecus auratus) in Protected Forest Area of RPH Sumbermanjing KPH Malang Aryanti NA1*, Azizah LN2

1Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian Peternakan, Universitas Muhammadiyah Malang, Jl. Raya Tlogomas No. 246 Telp. (0341) 464318 Fax. (0341) 460782 Malang, 65151 2Kelompok Studi Satwa Liar, Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian Peternakan, Universitas Muhammadiyah Malang, Jl. Raya Tlogomas No. 246 Telp. (0341) 464318 Fax. (0341) 460782 Malang, 65151

*Korespondensi: [email protected]

Abstract. Javan langur (Trachypithecus auratus) is at risk of extinction in the wild according to the IUCN and is an endemic species of Indonesia whose distribution can be found in South Malang, East Java. The remaining natural tropical areas are part of the protected forests of RPH Sumbermanjing Kulon KPH Malang. However, the pressure of building road access and high human activity can lead to a reduced habitat area and threaten langur population. This study aims to determine the characteristics and components of the habitat that influence the presence of Javan langurs in protected forests of RPH Sumbermanjing Kulon KPH Malang. To find out the habitat characteristics, the nested sampling method was used for distances between plots of 200 m. The plots were then grouped into used and unused habitats. The T-test is different test was used to determine differences in habitat characteristics, and the Spearman analysis was used to find habitat components that influenced the existence of Javan langurs. The results of the study on differences in the used and unused habitat characteristics were found in all factors except in the number of tree species. Javanese langurs select their habitat based on the correlation test, namely the preferred habitat which is the canopy of trees.

Keywords: characteristics, javan langur, selection, unused habitat, used habitat

Pendahuluan kukang (Nycticebus javanicus) (Aryanti et al. 2018). Kerusakan habitat karena aktivitas Tekanan terhadap keberadaan satwa manusia, pembukaan jalan untuk jalur lintas primata di Indonesia sangat besar, sejumlah 32 selatan Pulau Jawa dan perburuan merupakan jenis satwa primata dari 40 jenis yang ada di ancaman bagi lutung jawa. Menurut Nijman Indonesia telah tercatat dalam Red Data Book/ (2000), di kawasan Malang Selatan ancaman IUCN. Hal ini menunjukkan tingginya tingkat ancaman terhadap satwa primata (Supriatna dan keberadaan lutung jawa antara lain kegiatan Wahyono 2000). Lutung jawa (Trachypithecus wisata, penebangan pohon, dan perburuan. auratus) merupakan satwa endemik Indonesia Lutung jawa merupakan salah satu jenis satwa yang termasuk kategori spesies terancam liar yang melakukan seleksi habitat dengan punah dan dilindungi undang-undang. Lutung faktor-faktor yang mempengaruhinya. Seleksi jawa termasuk ke dalam red list International habitat tersebut meliputi komponen biotik Union for Concervation of Nature and Natural dan abiotik (Ayunin et al. 2014). Menurut Resource (IUCN) 2008 jenis satwa primata Sinclair et al. (2006) dan Morrison et al. (2006) dengan kategori rentan, karena populasinya habitat berfungsi menyediakan makanan, air, mengalami penurunan dan degradasi habitat. dan perlindungan bagi satwa. Satwa memilih Satwa ini masuk dalam Apendiks II dokumen habitatnya dengan sangat selektif untuk aktivitas Convention on International Trade in dan memanfaatkan ruang. Menurut Fruth and Endengered Spesies of Wild Fauna and Flora McGrew (1998) dalam Iskandar (2007), pohon (CITES). tidur bagi satwa primata merupakan tempat Hutan lindung RPH Sumbermanjing yang dipertahankan dari gangguan kelompok Kulon KPH Malang merupakan hutan dataran lain. Penelitian mengenai karakteristik habitat rendah tersisa yang masih baik di daerah lutung jawa di kawasan hutan lindung RPH Malang bagian selatan dan sebagai habitat bagi Sumbermanjing KPH Malang perlu dilakukan satwa primata endemik Pulau Jawa seperti sehingga dapat mengetahui komponen habitat lutung jawa dan satwa liar lainnya seperti apa yang memengaruhi keberadaannya. Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 16, No. 1, Januari 2019, hlm. 24-30 25

Metode Penelitian Analisis Data Perhitungan penutupan tajuk dilakukan Metode Pengambilan Data dengan menggunakan rumus sebagai berikut Penelitian ini dilakukan di hutan lindung (Noon 1981; Syafii 2013): Kondang Merak yang secara administratif Presentase penutupan tajuk = (Jumlah tajuk berada di Resor Pemangku Hutan (RPH) yang menutupi persilangan)/(Jumlah titik pada Sumbermanjing Kulon Badan Kesatuan persilangan) X 100% Pemangku Hutan (BKPH) Sengguruh Indeks Nilai Penting (INP) untuk Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Malang menghitung dominasi tumbuhan pada suatu Desa Kondang Merak Desa Sumber Bening kawasan hutan, hasil penjumlahan dari Kecamatan Bantur Kabupaten Malang Provinsi kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR) Jawa Timur (Gambar 1). Penelitian dilakukan dan dominasi relatif (DR). bulan Maret-April 2018 pada petak 97A dengan Rumus yang digunakan adalah sebagai luas kawasan 339 ha. berikut (Indriyanto 2006):

Gambar 1 Lokasi penelitian lutung jawa di Hutan lindung RPH Sumbermanjing Kulon KPH Malang Jalur transek dibuat berdasarkan lokasi • INP untuk pohon dan tiang = KR+FR+DR; keberadaan sebaran kelompok lutung jawa • INP untuk sapihan, semai dan tumbuhan dan kondisi lapangan, sehingga diperoleh bawah = KR+FR; enam jalur transek. Setiap transek dibuat plot • Kerapatan (K) = (∑ individu suatu jenis cuplikan analisis vegetasi dengan metode dalam luas contoh)/(Luas contoh); nested sampling dengan jarak antar plot 200 • Kerapatan relatif (KR) = (Kerapatan suatu m, diperoleh sebanyak 30 plot. Plot tersebut jenis)/(Kerapatan seluruh jenis) x 100%; kemudian dibuat dua kelompok besar yaitu • Frekuensi (F) = (∑ plot diketemukannya habitat digunakan dan habitat tidak digunakan. suatu jenis)/(seluruh plot); Plot digunakan berdasarkan keberadaan • Frekuensi relatif (FR) = (Frekuensi suatu kehadiran perjumpaan satwa secara langsung jenis)/(Frekuensi seluruh jenis) x 100%; atau tidak langsung (bekas pakan dan kotoran). • Dominasi (D) = (∑ bidang dasar suatu Data yang dicatat setiap plot analisis jenis dalam luas contoh)/(Luas contoh); dan vegetasi antara lain: 1) data biotik; vegetasi • Dominasi relatif (DR) = (Dominasi suatu (kerapatan, dominasi, frekuensi, penutup jenis)/(Dominasi seluruh jenis) x 100%. tajuk), 2) data abiotik; lingkungan (suhu, kelembaban, elevasi) dan 3) data identifikasi Keanekaragaman jenis merupakan jenis pakan. Data sekunder sebagai informasi parameter untuk membandingkan dua pendukung karakteristik habitat lutung jawa, komunitas, terutama untuk mempelajari dapat berupa peta kawasan dan informasi dari pengaruh gangguan biotik, mengetahui warga sekitar. Pengamatan penutupan tajuk tingkatan suksesi atau kestabilan suatu menggunakan tabung okuler dengan metode komunitas. Keanekaragaman jenis ditentukan yang disebut protocol plot. Jika dilihat tabung manggunakan rumus Indeks Keanekaragaman banyak tertutup tajuk, maka diberi tanda positif Shannon-Wiener: H’ = ∑(i=1)^n[ni/N In (+), sedangkan jika tidak dapat dilihat diberi ni/N] (H’= Indeks Keanekaragaman Shannon- tanda negatif (-). Titik pengamatan yang dibuat Wiener; ni= Jumlah individu jenis ke-n; N= sebanyak sembilan tersebar pada empat arah Total jumlah individu) (Mueller-Dombois dan mata angin dalam plot vegetasi. Ellenberg 1974). 26 Aryanti dan Azizah, Karakteristik Habitat Lutung Jawa (Trachypithecus auratus)

Data persebaran habitat diperoleh dari Grup Kiki 13 ekor lutung jawa, Mira satu overlay antara koordinat perjumpaan langsung ekor lutung jawa dan pada tepi hutan pantai maupun tidak langsung dengan peta kawasan terdapat grup Udin yaitu satu ekor. Dari 29 plot hutan lindung Kondang Merak menggunakan terdapat enam plot perjumpaan lutung jawa perangkat lunak ArcGIS. Analisis yang yang disebut sebagai plot habitat digunakan dan 24 plot habitat tidak digunakan. dilakukan berupa analisis deskriptif Kondisi vegetasi di hutan lindung petak menggunakan peta persebaran hasil overlay 97A RPH Sumbermanjing Kulon KPH Malang perjumpaan. Uji beda T-test digunakan untuk (Tabel 1) untuk indeks keanekaragaman jenis membandingkan tiap peubah lingkungan antara termasuk sedang (H’1-3). Tingkat pancang habitat digunakan dan habitat tidak digunakan memiliki nilai H’ 2,3 dan tingkat tiang 2,1 menggunakan SPSS 20. Uji rank Spearman serta tingkat pohon 2,1. Suatu komunitas untuk menentukan komponen habitat (biotik dinyatakan mempunyai keanekaragaman yang dan abiotik) yang disukai serta berpengaruh tinggi jika komunitas tersebut terdapat banyak bagi kelangsungan hidup lutung jawa pada spesies dengan kelimpahan spesies sama dan habitat digunakan. Data peubah yang diambil hampir sama. Sebaliknya, jika suatu komunitas pada penelitian ini dari setiap plot berjumlah dihuni sedikit spesies yang dominan maka keanekaragaman jenisnya rendah (Umar 2013). 10 peubah yang terdiri dari jumlah jenis pohon, Indeks Nilai Penting (INP) untuk elevasi, kelembaban, suhu, penutupan tajuk, menghitung vegetasi yang berada di kawasan jumlah individu pohon, jumlah individu tiang, habitat lutung jawa. INP menunjukkan jumlah individu pancang, jumlah pakan tingkat kepentingan suatu jenis tumbuhan serta pohon, dan jumlah pakan tingkat tiang. peranannya dalam suatu komunitas (Romadhon 2008). Hasil INP terdapat tiga jenis tanaman yang memiliki nilai INP tertinggi pada tiap Hasil dan Pembahasan tingkatan pancang, tiang dan pohon. Tanaman jembirit (T. sphaerocarpa BI.) termasuk jenis Berdasarkan pengamatan di petak 97A tanaman pakan yang bagian buahnya dimakan hutan lindung RPH Sumbermanjing Kulon KPH lutung jawa (Gambar 2). F. hispida L. dan Malang ditemukan perjumpaan tiga kelompok B. javanica B. mendominasi pada kawasan lutung jawa. Tiap kelompok lutung jawa diberi digunakan dan berdasarkan pengamatan di nama oleh petugas berdasarkan jumlah anggota lapangan daun tumbuhan tersebut dimanfaatkan kelompok yang dijumpai pada hutan alam lutung untuk pakan dan pohonnya juga ada yang pertama. digunakan untuk beristirahat. Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 16, No. 1, Januari 2019, hlm. 24-30 27

Gambar 2 (a) Lutung jawa (Trachypithecus auratus) di Hutan lindung RPH Sumbermanjing Kulon KPH Malang; (b) buah Tabernaemontana sphaerocarpa jenis pakan lutung Jawa di Hutan lindung RPH Sumbermanjing Kulon KPH Malang Bagian tumbuhan yang dimakan lutung jawa antara lain buah, bunga, daun, maupun pucuk daunnya saja (bisa disebut daun muda). Salah satu jenis tanaman pakan yang dijumpai saat penelitian yaitu jembirit (Tabernaemontana sphaerocarpa BI). Bagian tanaman ini yang dimakan lutung jawa adalah buah. Selain itu beringin (Ficus benjamina L.) yang dimakan yaitu bagian daun. Bischofia javanica Blume, Gambar 3 Diagram presentase pakan lutung Litsea sp., dan Ficus sp. merupakan pohon Jawa di hutan lindung RPH tempat beraktivitas makan dan sosial lutung Sumbermanjing Kulon KPH jawa (Utami 2010; Sulistyadi et al. 2013). Malang 28 Aryanti dan Azizah, Karakteristik Habitat Lutung Jawa (Trachypithecus auratus)

Lutung jawa merupakan folivorus yang Persebaran habitat lutung jawa di memiliki lambung dengan banyak ruang, kawasan hutan lindung petak 97A sebanyak 29 sehingga komponen makanan pada daun dengan lima petak digunakan lutung jawa untuk termasuk serat dapat dicerna dengan baik beraktivitas dan 24 petak tidak digunakan. (Najiboer et al. 2006). Berdasarkan diagram Sebaran habitat digunakan pada lima lokasi, pada Gambar 3 makanan lutung jawa lebih memiliki kondisi masih rapat dan minim kehadiran manusia sehingga memudahkan dominan kepada daun dengan presentase 38,4% lutung jawa beraktivitas. Kondisi habitat lutung untuk daun tua, dan 26,9% untuk pucuk daun. jawa tersebut rata-rata dengan suhu 29,9 °C dan Tingkat kesukaan lutung jawa terhadap daun kelembaban 85,3%, elevasi 45,9 m dpl, dan muda lebih besar 51,9% dibandingkan dengan penutupan tajuk 73,4%. Lutung jawa di hutan buah 48,1%, walaupun pemakan daun yang kaya lindung Petungkriyono Pekalongan dapat hidup akan serat masih memungkinkan makan buah pada temperatur 20-25°C, kelembaban diatas karena struktur lunak menambah kandungan 50% dengan penutupan tajuk 86,24% (Syafi’i tanin dan fenol membantu pencernaan (Eliana 2013). Penelitian lutung jawa di kawasan et al. 2017). Konsumsi tertinggi lutung jawa Pancuran 7 Baturaden saat musim hujan betina di Pusat Rehabiliatsi Primata Jawa Kaki berada pada ketinggian 700–800 m dpl dengan Gunung Patuha, Rancabali, Ciwidey Bandung temperatur dan kelembaban dari yang terendah Jawa Barat secara berturut-turut bagian daun sampai tertinggi yaitu 22,9–27,0°C dan 72,0– 58,96%, ranting daun 22,43%, daun majemuk 77,5%. Kondisi temperatur dan kelembaban 10,96%, dan ruas ranting 4,72% (Partasasmita tersebut cukup ideal untuk tingkah laku makan dan Malik 2016). lutung jawa (Eliana et al. 2017). Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 16, No. 1, Januari 2019, hlm. 24-30 29

Perbedaan habitat digunakan dan Daftar Pustaka tidak digunakan berdasarkan peubah jumlah jenis pohon, elevasi, kelembaban, suhu, dan Aryanti NA, Hartono NA, Ramadhan F, penutupan tajuk dilakukan uji normalitas Pahrurrobi. 2018. Hubungan antara Kolmogorov-Smirnov diperoleh semua nilai aktivitas manusia dan keberadaan kukang signifikansi P > 0,05. Hal tersebut menunjukkan jawa (Nycticebus javanicus) di Kawasan bahwa data peubah pada kedua habitat tersebut Hutan Lindung di RPH Sumbermanjing mengikuti sebaran normal. Hasil uji lanjut Kulon, Jawa Timur. Biotropika: J Trop T-test diperoleh perbedaan karakteristik habitat Biol 6(3): 83-88. digunakan dan tidak digunakan pada semua Astriani WI, Arief H, Prasetyo LB. 2015. faktor kecuali jumlah jenis pohon dengan nilai Populasi dan habitat lutung jawa signifikansi P < 0,05 (Tabel 4). (Trachypithecus auratus E. Geoffroy, Hasil dari uji Spearman diketahui hanya 1812) di Resort Balanan, Taman Nasional pada hubungan antara perjumpaan lutung Baluran. Media Konservasi 20(3): 226- jawa dengan penutupan tajuk diperoleh angka 234. koefisien korelasi 0,889* yang artinya bernilai Ayunin Q, Pudyatmoko S, Imron MA. positif dan kedua peubah tersebut dinyatakan 2014. Seleksi habitat lutung jawa searah. Nilai Signifikasi (2-tailed) 0,044 (Trachypithecus auratus E. Geoffroy lebih kecil dari 0,05, maka hubungan antara Saint-Hilaire, 1812) di Taman Nasional perjumpaan lutung jawa dengan penutupan Gunung Merapi. J Penelitian Hutan dan tajuk pada kawasan tersebut bernilai signifikan Konservasi Alam 11(3): 261-279. atau mempunyai hubungan. Berdasarkan Eliana D, Nasution EK, Indarmawan. hasil penutupan tajuk habitat digunakan juga 2017. Tingkah laku makan lutung jawa diperoleh rerata yang tinggi 80% dan termasuk (Trachypithecus auratus) di Kawasan penutupan tajuk yang rapat. Lutung jawa Pancuran 7 Baturaden Gunung Slamet membutuhkan kondisi tajuk pohon maupun Jawa Tengah. Scr Biologica 4(2): 125- tiang yang saling berhimpitan agar memudahkan 129. berpindah dari satu pohon ke pohon yang lain, Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta (ID): serta berlindung dari cuaca maupun predator PT Bumi Aksara. (Astriani et al. 2015). Berdasarkan hubungan Iskandar E. 2007. Habitat dan populasi owa antara perjumpaan lutung jawa dengan jawa (Hylobates moloch Audebert, penutupan tajuk dikawasan habitat digunakan, (1797) di Taman Nasional Gunung bahwa lutung jawa memang lebih memilih Halimun-Salak Jawa Barat [disertasi] habitat yang memiliki penutup tajuk lebar (dipublikasikan). Bogor (ID): Sekolah atau lebat. Tajuk yang saling tumpang tindih Pascasarjana Institut Pertanian Bogor memudahkan untuk tinggal dan mencari makan Najiboer J, Clauss M, Olsthoorn M, mengingat sebagian besar makanan lutung jawa Noordermeer W, Huisman TR, adalah daun. Verheyen C, van der Kuilen J, Streich WJ, Beynen AC. 2006. Effect of diet on the feces quality in javan langurs Simpulan (Trachypithecus auratus). J Zoo Wildlife Med 37(3): 366-372. Lutung jawa di hutan lindung RPH Nijman V. 2000. Geographic distribution of Sumbermanjing Kulon KPH Malangdengan ebony leaf monkey (Trachypithecus kondisi habitat lutung jawa tersebut pada rerata auratus E. Geoffroy Saint-Hilaire, 1812) suhu 29,9°C dengan kelembaban 85,3%, elevasi (Mammalia: Primates: Cercopithecidae). 45,9 mdpl. Habitat tersebut terdapat habitat Contrib Zoo 69 (3): 157-177. digunakan berdasarkan kehadiran dan memilih Noon BR. 1981. Techniques For Sampling komponen habitat berdasarkan uji korelasi yaitu Avian Habitat dalam Capen DE, editor. disukai penutupan tajuk. The Use of Multivariate Statistics In Studies of Wildlife Habitat. General Rednical Report RM-87. US Department Ucapan Terima Kasih of Agriculture. Forest Service. Morrison ML, Marcot BG, Mannan RW. Penulis menyampaikan terima kasih kepada 2006. Wildlife-Habitat Relationships: Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Concepts and Applications. London Masyarakat Universitas Muhammadiyah Malang (UK): Island Pr. (DPPM-UMM) yang telah mendukung kegiatan Mueller-Dombois, Ellenberg H. 1974. Aims penelitian ini dalam Program Penelitian Intensif and Methods of Vegetation Ecology. New 2018. York (US): John Wiley dan Sons. 30 Aryanti dan Azizah, Karakteristik Habitat Lutung Jawa (Trachypithecus auratus)

Partasasmita R, Malik AD. 2016. Studi Supriatna J, Wahyono EH. 2000. Panduan kebutuhan pakan lutung jawa Lapangan Primata Indonesia. Jakarta (Trachypithecus auratus E. Geoffroy (ID): Yayasan Obor Indonesia. Saint-Hilaire, 1812) betina pada fase akhir Syafii A. 2013. Karakteristik habitat lutung rehabilitasi di Pusat Rehabilitasi Primata budeng (Trachypithecus auratus) di Hutan Jawa. Prosiding Seminar Nasional MIPA Lindung Petungkriyono Pekalongan, 2016: 226-231 Jawa Tengah. Romadhon A. 2008. Kajian nilai ekologi Umar R. 2013. Penuntun Praktikum Ekologi melalui inventarisasi dan nilai indeks Umum. Universitas Hassanuddin. nilai penting (INP) mangrove terhadap Makasar. perlindungan lingkungan Kepulauan Utami MIR. 2010. Studi tipologi wilayah Kangean. Embryo 5(1): 82-97. jelajah kelompok lutung (Trachypithecus Sinclair ARE, Fryxell JM, Caughly G. 2006. auratus, Geoffrey 1812) di Taman Wildlife Ecology, Conservation and Nasional BromoTengger Semeru [tesis] Management. Australia (AU): Blacksell (dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana Publishing. Institut Pertanian Bogor. Sulistyadi E, Kartono AP, Maryanto I. 2013. Pergerakan lutung jawa (Trachypithecus auratus (E. Geoffroy 1812)) pada fragmen habitat terisolasi di Taman Wisata Alam Gunung Pancar (TWAGP) Bogor. Berita Biologi 12(3): 383-395 Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 16, No. 1, Januari 2019, hlm. 31-33 ISSN 1410-5373 Studi Perilaku Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Tlogo Putri Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi, Sleman, DIY Behaviour Study of Long-tailed Monkeys (Macaca fascicularis) Population on Tlogo Putri, Merapi Mountain National Park, Sleman, DIY Supriyatin¹*, Afida AN1, Wandita AAA1

¹Universitas Gadjah Mada, Jl. Agro No.1, Bulaksumur, Sleman, 55281, telepon +62 (274) 6492599

*Korespondensi: [email protected]

Abstract. Research on behaviour of long-tailed monkeys (Macaca fascicularis) on Tlogo Putri, Merapi Mountain National Park, Sleman, DIY. The research aim to study daily behaviour of longtailed monkeys on Tlogo Putri, Merapi Mountain National Park that’s used to tourism attraction by scan sampling method. This research is expected to provide information so that conservation areas intended for tourist attractions can keep the ecological balances. The knowledge about long-tailed monkeys is important as a basic of well-conservation. This research was conducted on Tlogo Putri, in July 2019. Observation was done by observing long-tailed monkeys until 60 minutes with 5 minutes intervals. Result of this research showed that daily activities percentage of long-tailed monkeys were: agonistic 7.34%, moving 28.44%, grooming 4.59%, inactive 31.19%, mating 2.75%, and eating 25.69%.

Keywords: behaviour, Macaca fascicularis, scan sampling

Pendahuluan kawasan seperti istirahat, bergerak, agonistik makan, kawin, merawat diri (grooming) menjadi Salah satu satwa yang menjadi daya kajian yang menarik untuk dipelajari dalam tarik di Tlogo Putri kawasan Taman Nasional lingkup ilmu perilaku hewan. Suhara (2010) Gunung Merapi (TNGM) adanya monyet menyatakan perilaku merupakan tindakan yang ekor panjang/MEP (Macaca fascicularis). mengubah organisme dan lingkungan. MEP merupakan salah satu jenis monyet yang Keberadaan MEP yang biasa dijumpai memiliki ekor panjang kurang lebih sama di sekitar lingkungan masyarakat dan mampu dengan panjang tubuh berkisar antara 38,5- beradaptasi dengan adanya manusia. Kelompok- 64,8 cm. Panjang ekor pada jantan dan betina kelompok besar berada di pinggir jalan antara 40,0-65,5 cm. Warna tubuh bervariasi, menghampiri para pengunjung yang membawa mulai dari abu-abu sampai kecoklatan dengan makanan. Pengunjung akan memberi makanan bagian ventral berwarna putih. MEP hidup dan MEP akan langsung memakannya atau berkelompok dengan struktur sosial yang terdiri membawanya berlari terlebih dahulu menjauhi pemberi pakan. dari banyak jantan dan betina (Supriyatna dan Penelitian ini bertujuan mempelajari Wahyono 2000). Farajallah (2016) menyatakan perilaku MEP yang berada di kawasan Tlogo MEP mempunyai distribusi yang luas meliputi Putri yang juga dijadikan sebagai tempat daratan utama dan pulau-pulau di Asia Tenggara wisata. Metode pengamatan scan sampling di posisi 21o lintang utara sampai dengan 10o o o digunakan dalam penelitian ini. Penelitian ini lintang selatan dan dari 92 sampai 126 bujur diharapkan dapat memberikan informasi agar timur. fungsi kepariwisataan tetap memperhatikan Populasi yang tersebar di berbagai daerah keseimbangan ekologi berdasarkan keberadaan yang mempunyai kondisi lingkungan berbeda- satwa di dalamnya. Pemahaman tentang beda menunjukan perilaku MEP yang berbeda- perilaku MEP sangat penting sebagai dasar beda pula. Salah satu kawasan yang banyak dalam mengambil tindakan konservasi ditemukan MEP di Tlogo Putri kawasan satwa yang baik. Purbatrapsila et al. (2012), TNGM yang berada di Sleman, Yogyakarta. menyatakan MEP mempunyai kemampuan TNGM sebagai salah satu taman nasional adaptasi yang tinggi pada berbagai jenis yang kawasannya sangat dipengaruhi aktivitas habitat. Hal ini terkait dengan ketersediaan erupsi gunung merapi. Balai TNGM (2010) sumberdaya yang berada di habitatnya selama menyatakan TNGM merupakan kawasan hutan masa aktif. Suwarno (2014) menyatakan tropis pegunungan yang terbentang memasuki MEP merupakan non-human primate yang sebagian wilayah Yogyakarta dan Provinsi Jawa mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi Tengah. Perilaku populasi MEP di Tlogo Putri dan tersebar di berbagai tipe habitat. 32 Supriyatin et al., Studi Perilaku Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Tlogo Putri

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Tlogo Putri Kawasan TNGM pada bulan Juli 2018.

Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain kamera, arloji, alat tulis, counter, dan tally sheet pengamatan. Bahan yang digunakan sampel populasi MEP yang ada di Tlogo Putri Kawasan TNGM.

Metode dan Desain Penelitian Gambar 1 Diagram persentase perilaku monyet Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan ekor panjang dan menganalisis data pengamatan yang diperoleh. Analisis data akan memperkaya Aktivitas yang paling sering dilakukan informasi, mencari hubungan sebab akibat, istirahat 31,19%. Aktivitas inaktif merupakan membandingkan, dan menemukan pola atas aktivitas ketika monyet diam atau sedang dasar data asli yang diperoleh di lapangan tidak melakukan kegiatan apapun sehingga (Sugiyono 2004). Metode pengamatan populasi dapat juga disebut istirahat. Menurut Sutrisno (2001) istirahat merupakan periode tidak aktif MEP menggunakan scan sampling dengan satwa liar dalam bentuk apapun. Istirahat mencatat perilaku indivdidu yang pertama kali dilakukan untuk memulihkan kembali energi dilihat pada suatu interval waktu. yang dipakai dalam melakukan aktivitasnya lebih lanjut. Berdasarkan hasil pengamatan, Teknik Pengumpulan Data istirahat merupakan aktivitas dominan. Hal Data diambil dari hasil pengamatan tersebut dapat dipengaruhi waktu pengamatan. perilaku MEP di TNGM. Langkah kerja metode Jika pengamatan dilakukan pada sore hari maka scan sampling yang dilakukan pada penelitian akan lebih sering istirahat akibat kelelahan ini: a) menentukan titik lokasi pengamatan; b) beraktivitas seharian. Bentuk tingkah laku menentukan populasi MEP yang akan diamati; beristirahat yang sering dilakukan MEP, yakni c) mengamati perilaku MEP selama 60 menit duduk di atas pagar dan berdiri di atap kios dengan interval waktu lima menit; d) mengolah tempat wisata. data hasil pengamatan menjadi bentuk tabel dan Selain istirahat, aktivitas yang juga grafik; dan e) menganalisis data pengamatan sering dilakukan bergerak 28,44%. Lee (2012) menyatakan tingkah laku bergerak dan menginterpretasikannya. antara lain memanjat, melompat, berjalan, dan Analisis data dilakukan dengan cara berpindah tempat. Berdasarkan pengamatan deskriptif baik kuantitatif maupun kualitatif. yang telah dilakukan MEP sering bergerak, Data hasil pengamatan perilaku MEP kemudian karena mengambil makanan yang diberikan dibuat persentase. Berdasarkan persentase pengunjung mengingat kawasan tersebut tersebut selanjutkan dideskripsikan sesuai merupakan tempat wisata ramai pengunjung. dengan tujuan penelitian. Selain itu, MEP sering bergelantungan di antara atap kios tempat wisata. Aktivitas makan sering dilakukan yaitu Hasil dan Pembahasan 25,69% dari total aktivitas. Makan merupakan kebutuhan rutinitas monyet ekor panjang Hasil penelitian yang dilakukan untuk melangsungkan hidupnya. Aktivitas menunjukkan terdapat beberapa aktivitas yang makan terdiri dari aktivitas mengambil diamati dari populasi MEP antara lain istirahat, makanan, memasukkan makanan ke dalam mulut, menyimpan dalam kantung pipi, dan bergerak, perawatan diri, makan, agonistik, dan mengunyah serta menelan makanan (Lee 2012). kawin. Hasil pengamatan perilaku populasi MEP Bentuk aktivitas makan yang sering dilakukan di Tlogo Putri Kawasan TNGM menunjukkan antara lain memasukkan dan mengunyah aktivitas yang cenderung dilakukan istirahat makanan hasil pemberian pengunjung seperti 31,19%, bergerak 28,44%, makan 25,69%, kacang, salak, dan buah lainnya. agonistik 7,34%, perawatan diri (grooming) MEP juga melakukan tingkah laku 4,59%, dan kawin 2,75% dari keseluruhan agonistik sebesar 7,34% dari total aktivitas yang aktivitas yang dilakukan (Gambar 1). dilakukan. Agonistik merupakan salah satu Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 16, No. 1, Januari 2019, hlm. 31-33 33 aktivitas sosial yang dilakukan MEP. Aktivitas Daftar Pustaka agonistik meliputi menerjang, memukul, meringis, mengancam dengan membuka Balai TNGM. 2010. Laporan Keanekaragaman mulut, mengejar, mendekam dan memekik Hayati Taman Nasional Gunung Merapi. (Lee 2012). Agonistik dibagi menjadi agonistik Yogyakarta (ID): Balai Taman Nasional pada individu pasangannya dan individu lain Gunung Merapi. bukan pasangan. Bentuk agonistik yang sering Fleagle JG. 1988. Primate Adaptation and dilakukan berupa mengancam dan menerjang Evolution. New York (US): Academic Pr. berebut makanan. Harcout Brace and Company. Perawatan diri (grooming) merupakan Farajallah DP. 2016. Hewan Model Satwa salah satu aktivitas khas MEP, persentase Primata Volume 1 Macaca fascicularis aktivitasnya sebesar 4,59% dari total aktivitas. [Distribusi dan Karakteristik Morfologi Grooming adalah tingkah laku membersihkan Monyet Ekor Panjang (Macaca diri dari kutu yang dilakukan baik terhadap fascicularis)] . Bogor (ID): IPB Pr. Lee GH. 2012. Comparing the relative benefits dirinya sendiri (autogrooming) maupun dengan of grooming contact and fullcontact bantuan individu yang lain (allogrooming). pairing for laboratory housed adult Grooming ini dilakukan dengan menggunakan female Macaca fascicularis. Appl Anim jari-jarinya maupun dengan bibirnya (Fleagle Behav Sci. 137: 157165. 1988). Purbatrapsila, Azhari, Iskandar E, Aktivitas kawin yang diamati sebanyak Pamungkas J. 2012. Pola aktivitas dan 2,75% dari total aktivitas. Aktivitas kawin stratifikasi vertikal oleh monyet ekor dapat mempengaruhi banyaknya individu panjang (Macaca fascicularis Raffles dalam kelompok. Aktivitas ini meliputi 1821) di Fasilitas Penangkapan Semi pendekatan jantan kepada betina, seperti Alami Pulau Tinjil, Propinsi Banten. Zoo grooming sebelum melakukan kopulasi. Selain Indonesia 21(1):39-47. itu, pengecekan alat kelamin juga dilakukan Sugiyono. 2004. Metode Penelitian. Jakarta (ID): Bumi Aksara agar jantan mengetahui bilamana betina sedang Suhara. 2010. Modul pembelajaran ilmu mengalami birahi. Hirarki pada MEP juga kelakuan hewan (animal behavour). memengaruhi intensitas kawin, seperti jenis Bandung (ID): Jurusan Pendidikan jantan dominan (alpha male) dapat lebih sering Biologi FMIPA UPI melakukan kawin dibanding monyet jantan Supriyatna J, Wahyono EH. 2000. Panduan lain bahkan dapat memerangi jantan yang akan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta mengawini betina yang diinginkan. (ID): Yayasan Obor. Berdasarkan hasil pengamatan yang Sutrisno. 2001. Studi populasi dan perilaku didapat, perilaku MEP di Tlogo Putri Kawasan owa jawa (Hylobates moloch Audebert, TNGM, dipengaruhi faktor eksternal antara 1798) di Resort Cibiuk dan Reuma lain adanya manusia, seperti memberi makan Jengkol Subseksi Taman Jaya Taman dan melempari monyet, serta faktor ekologi Nasional Ujung Kulon [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan Institut atau alam yang membuat MEP masih bertahan Pertanian Bogor. hidup di kawasan tersebut banyak pohon Suwarno. 2014. Studi perilaku harian monyet rimbun tempat hidupnya, dan lokasi strategis ekor panjang (Macaca fascicularis) untuk mendapat makanan. Selain itu, faktor di Pulau Tinjil. Prosiding Seminar populasi, juga akibat erupsi gunung merapi Nasional XI Biologi Sains, Lingkungan yang membuat MEP yang berhabitat di puncak dan Pembelajarannya. Surakarta (ID): gunung menjadi semakin turun ke lereng Program Studi Pendidikan Biologi FKIP gunung dan mencari habitat baru di kawasan UNS. Wisata Tlogo Putri.

Simpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang diamati berperilaku agonistik 7,34%, bergerak 28,44%, grooming 4,59%, istirahat 31,19%, kawin 2,75%, dan makan 25,69%. Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 16, No. 1, Januari 2019, hlm. 34 ISSN 1410-5373

MITRA BESTARI JPI (Volume 16, Nomor 1, Januari 2019)

Prof Dr Ir Ani Mardiastuti, MSc Prof Dr Ir Sri Supraptini Mansjoer Dr Ir Entang Iskandar, MSi Dr Ir Nyoto Santoso, MS Dr Puji Rianti SSi, MSi Dr Ir Raden Roro Dyah Perwitasari Farajallah, MSc Dr Uus Saepuloh SSi, MBiomed Ir Hendra Adiyuana, MST drh Audrey M. Ungerer