BENTUK, MAKNA, DAN FUNGSI PERTUNJUKAN KUDA LUMPING TURONGGO TRI BUDOYO DI DESA KALIGONO KECAMATAN KALIGESING KABUPATEN PURWOREJO
SKRIPSI
Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
Oleh Dewi Kartikasari NIM 112160372
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA JAWA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJO 2014
i PERSETUJUAN PEMBIMBING
PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL DAN MINAT BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR BAHASA JAWA KELAS X SMA NEGERI 1 KLIRONG KABUPATEN KEBUMEN TAHUN AJARAN 2013/2014
Oleh Akbar Mubarok NIM 112160355
Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk dipertahankan di depan Panitia Penguji Skripsi
Menyetujui
Pembimbing I, Pembimbing II,
Yuli Widiyono, M.Pd. Rochimansyah, M.Pd NIDN 0616078301 NIDN 0613048602
Mengetahui, Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa
Yuli Widiyono, M.Pd. NIDN 0616078301
ii PENGESAHAN
BENTUK, MAKNA, DAN FUNGSI PERTUNJUKAN KUDA LUMPING TURONGGO TRI BUDOYO DI DESA KALIGONO KECAMATAN KALIGESING KABUPATEN PURWOREJO Oleh Dewi Kartikasari NIM 112160372
Skripsi ini telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Skripsi Universitas Muhammadiyah Purworejo Pada tanggal 5 Februari 2014
TIM PENGUJI
Yuli Widiyono, M.Pd NIDN 0616078301 ...... (Penguji Utama)
Aris Aryanto, M.Hum NIDN 0625038601 ...... (Penguji/ Pembimbing I)
Rochimansyah, M.Pd NIDN 0613048602 ...... (Penguji/ Pembimbing II)
Purworejo, 5 Februari 2014 Mengetahui, Dekan FKIP
Drs. H. Hartono, M.M NIP. 19540105 198103 1 002
iii PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama Mahasiswa : Dewi Kartikasari
NIM : 112160372
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa
Dengan ini saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar- benar hasil karya sendiri, bukan jiplakan orang lain, baik sebagian maupun seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Apabila terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi ini adalah hasil jiplakan, saya bersedia bertanggung jawab secara hukum yang diperkarakan oleh
Universitas Muhammadiyah Purworejo.
Purworejo, 5 Februari 2014
Yang membuat pernyataan,
Dewi Kartikasari
iv MOTO
“ Sesungguhnya sesudah kesulitan itu pasti ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh- sungguh (urusan) yang lain.” (QS. An- Insirah: 6-7)
“Tuhan, damaikanlah hati ini dengan keyakinan bahwa kesulitanku hanya sementara dan penyelamatanku sudah dekat.” (Mario Teguh)
“ Mengeluh tidak memperbaiki kehidupan. Ia merendahkan dan menekan kita di bawah jika kita jadikan mengeluh sebagai kebiasaan.” (Mario Teguh)
“ Rasa mala situ meminderkan dan memiskinkan, jika kita gunakan untuk menghindari pelajaran atau bekerja.” (Mario Teguh)
“ Jika anda bertemu dengan orang yang lebih baik dari anda, arahkan pikiran untuk menjadi serupa dengannya.” (Mario Teguh)
“ Lebih baik disegani daripada ditakuti karena ditakuti suatu saat akan dilawan, bila disegani sampai kapanpun akan tetap disegani.” (Penulis)
“ Buah dari kesabaran adalah kesuksesan.” (Penulis)
v PERSEMBAHAN
Skripsi ini dipersembahkan untuk:
1. Allah Swt. yang selalu melimpahkan rahmat, hidayah serta inayah-Nya
2. Kedua orang tuaku Bapak Sunyoto dan Ibu Suratmi, terima kasih atas
kasih sayang, cinta, doa, pengorbanan, dan dukungan selama ini sehingga
penulis dapat menyelesaikan sripsi ini.
3. Kakak-kakakku Tina Yuniarti dan Anis Dwiyanti, terima kasih atas kasih
sayang, cinta, doa, pengorbanan, dan dukungan selama ini sehingga
penulis dapat menyelesaikan sripsi ini.
4. Adikku Dera Anggra Ratnania terima kasih atas kasih sayang, cinta, doa,
pengorbanan, dan dukungan selama ini sehingga penulis dapat
menyelesaikan sripsi ini.
5. Belahan jiwaku Faiz yang senantiasa setia dan sabar mendengarkan keluh
kesahku serta selalu mendoakan dan mendukungku.
6. Keponakanku tersayang Queensya Malika Ais Asari yang selalu
senantiasa memberikan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
7. Teman-teman Program Studi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Jawa
angkatan tahun 2009, khususnya kelas A yang selalu memberikan
dukungan kepadaku semoga kesuksesan selalu menyertai kalian.
vi KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil”alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt. atas segala limpahan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Bentuk, Makna, dan
Fungsi Pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo di Desa Kaligono
Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo” dapat terselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan,
Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Jawa, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Purworejo.
Penyelesaian skripsi ini berkat bantuan, bimbingan, dan motivasi yang sangat berarti dari berbagai pihak. Dukungan ini berupa saran, motivasi, dan dukungan material maupun spiritual, oleh karena itu penulis mengucapkan kepada:
1. Drs. H. Supriyono, M.Pd. selaku Rektor Universitas Muhammadiyah
Purworejo yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
menyelesaikan skripsi sesuai dengan bidang yang penulis minati.
2. Drs. H. Hartono, M.M. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purworejo yang telah
memberikan izin kepada penulis mengadakan penelitian untuk penyusunan
skripsi ini.
vii 3. Yuli Widiyono, M.Pd. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Jawa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muhammadiyah Purworejo yang telah memberikan ilmu dan bimbingan
selama penulis menempuh studi.
4. Aris Aryanto, M.Hum dan Rochimansyah, M.Pd selaku dosen
pembimbing I dan II yang telah memberikan koreksi, arahan dan petunjuk
dengan penuh ketulusan, kesabaran, dan ketelitian dalam penyusunan
skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah
Purworejo yang telah memberikan bekal ilmu kepada penulis, sehingga
penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini.
6. Kepala Desa Kaligono, Kecamatan Purworejo, Kabupaten Purworejo yang
telah memberikan izin kepada penulis untuk mengadakan penelitian di
salah satu grup kesenian yang ada di Desa Kaligono sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
7. Semua anggota Grup Kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo yang
tidak dapat penulis tuliskan satu persatu yang telah memberikan informasi
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
8. Ayah, Ibu, Kakak- kakakku, adiku, dan keluarga tercinta, terima kasih atas
kasih sayang, cinta, doa, pengorbanan, dan dukungan selama ini sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
viii 9. Sahabat dan teman- teman, terima kasih atas dukungan, semangat dan
masukannya semoga Allah Swt. memberikan kemudahan dan kesuksesan
kepada kalian semua.
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga amal baik, dukungan dan segala bantuan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah Swt. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dari pembaca. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca, khususnya mahasiswa Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Jawa juga perkembangan ilmu pengetahuan khususnya yang menyangkut budaya Jawa.
Purworejo, 5 Februari 2014
Penulis
Dewi Kartikasari
ix ABSTRAK
Dewi Kartikasari. Bentuk, Makna, dan Fungsi Pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo di Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo. Skripsi. Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa. 2014. Penelitian ini mendeskripsikan permasalahan (1) Bentuk Penyajian tari Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo di Desa Kaligono, (2) Makna simbolik sesaji yang digunakan dalam pertunjukan tari Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo di Desa Kaligono, (3) Fungsi pertunjukan tari Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo di Desa Kaligono. Penelitian “ Bentuk, Makna, dan Fungsi Pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo di Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo” menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah informan antara lain ketua grup kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo, sesepuh grup kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo, penari Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo. Sumber data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui dokumentasi, studi kepustakaan dari buku- buku, internet, serta hasil penelitian yang terkait. Data primer dalam penelitian ini berupa informasi dari para informan yang diperoleh dari hasil wawancara. Video, foto, dan rekaman tarian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo merupakan data sekunder dalam penelitian ini. Lokasi penelitian berada di Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi, wawancara, dokumentasi, dan analisis isi. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif. Selanjutnya teknik keabsahan data menggunakan triangulasi. Hasil dari penelitian bentuk penyajian tari Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo di Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo, (1) Pra pertunjukan, meliputi: (a) membuat perencanaan acara, (b) membersihkan lapangan untuk pertunjukan kuda lumping, (c) menyiapkan sesaji, (d) nyekar ke pepundhen, (e) obong menyan, (2) bentuk pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo, meliputi: tari kreasi, tari jaipong, tari gobyok, tari mataraman, tari jaranan versi Bali, kesurupan atau ndadi, dan (3) Pasca pertunjukan ditutup dengan tarian yang ditarikan oleh sesepuh grup kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo. Makna simbolik sesaji, meliputi: (a) degan ijo, (b) bonang- baning, (c) kopi pahit, kopi manis, teh pahit, teh manis, (d) kembang setaman, (e) air putih dicampur daun dhadhap serep. Fungsi tari Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo di Desa Kaligono meliputi: (a) sebagai sarana upacara, (b) sebagai media pendidikan, (c) sebagai sarana hiburan, (d) sebagai seni pertunjukan.
Kata kunci: Bentuk, makna, fungsi pertunjukan tari kuda lumping
x ABSTRAK
Dewi Kartikasari. “Bentuk, Makna, dan Fungsi Pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo di Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo. Skripsi. Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa. 2014. Panaliten menika medhar babagan (1) Wujud pagelaran Kudha Lumping Turonggo Tri Budoyo ing Desa Kaligono, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo (2) surasa simbolik ubarampe ingkang dipunginakaken wonten pagelaran Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo ing Desa Kaligono, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo (3) Ginanipun pagelaran Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo ing Desa Kaligono, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo. Panaliten menika ngginakaken jinising panaliten deskriptif kualitatif. Sumber data primer wonten panaliten menika awujud ukara ingkang dipunpendhet saking sesepuh grup kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo, ketua grup kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo, penari Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo. Sumber data sekunder wonten panaliten menika dipunpendhet saking dokumentasi, studi kapustakan saking buku-buku, internet, lajeng asil panaliten. Data primer wonten ing panaliten menika awujud ukara ingkang dipunpendhet saking asil wawancara. Video, foto, dan rekaman pagelaran Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo kalebet data sekunder wonten ing panaliten menika. Soroting panaliten wonten ing Desa Kaligono, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo. Teknik pengumpulan data inggih menika ngginakaken teknik observasi, wawancara, dokumentasi, lan analisis isi. Teknik analisis data ingkang dipunginakaken inggih menika analisis data kualitatif. Salajengipun teknik keabsahan data ngginakaken triangulasi. Asilipun panaliten pagelaran Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo ing Desa Kaligono, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo inggih menika (1) sakderengipun pagelaran, yaiku: (a) ndamel perencanaan acara, (b) resik-resik lapangan kangge pagelaran kuda lumping, (c) ndamel ubarampe utawa sesajen, (d) nyekar wonten pepundhen, (e) obong menyan, (2) wujud pagelaran Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo, yaiku: tari kreasi, tari jaipong, tari gobyok, tari mataraman, tari jaranan versi Bali, kesurupan atau ndadi, dan (3) pungkasan pagelaran inggih menika tarian ingkang dipuntarikaken dening sesepuh grup kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo. Ubarampe ingkang nggadhahi surasa simbolik wonten pagelaran Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo, inggih menika: (a) degan ijo, (b) bonang- baning, (c) kopi pahit, kopi manis, teh pahit, teh manis, (d) kembang setaman, (e) toya pethak dicampur ron dhadhap serep. Ginanipun pagelaran kuda lumping ing desa Kaligono inggih menika: (a) gina dados sarana upacara, (b) gina dados sarana hiburan, (c) gina dados media pendidikan, (4) gina dados seni pertunjukan.
Kata kunci: Bentuk, makna, fungsi tari kuda lumping
xi DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...... i PERSETUJUAN PEMBIMBING...... ii HALAMAN PENGESAHAN...... iii PERNYATAAN...... iv MOTO...... v PERSEMBAHAN...... vi PRAKATA...... vii ABSTRAK ...... x DAFTAR ISI...... xii DAFTAR GAMBAR ...... xv DAFTAR LAMPIRAN...... xvi DAFTAR ISTILAH ...... xvii BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...... 1 B. Identifikasi Masalah ...... 5 C. Batasan Masalah...... 6 D. Rumusan Masalah ...... 6 E. Tujuan Penelitian...... 7 F. Manfaat Penelitian...... 7 G. Sistematika Skripsi ...... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka ...... 10 B. Kajian Teori...... 14 1. Kebudayaan...... 14 2. Kesenian Tradisional...... 16 3. Folklor ...... 20 4. Kesenian Kuda Lumping...... 24 5. Bentuk Penyajian...... 25 6. Fungsi pertunjukan...... 27 7. Makna Simbolis...... 29
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian...... 31 B. Waktu dan Tempat Penelitian ...... 32 C. Sumber Data dan Data ...... 33 D. Teknik Pengumpulan Data...... 34 1. Teknik Observasi...... 34
xii 2. Teknik Wawancara...... 35 3. Teknik Dokumentasi ...... 37 E. Analisis isi...... 39 F. Teknik Keabsahan Data ...... 40 G. Teknik AnalisisData...... 41
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data...... 43 1. Deskripsi Umum Desa Kaligono ...... 43 2. Kependudukan ...... 44 3. Mata Pencaharian...... 44 4. Tingkat Pendidikan ...... 45 5. Sistem Religi...... 46 6. Kesenian...... 46 7. Potensi Desa...... 47 B. Bentuk Pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo Di Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo...... 47 1. Sejarah Berdirinya Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo Di Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo...... 47 2. Bentuk Pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo Di Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo ...... 51 a. Pra pertunjukan...... 52 b. Proses pertunjukan...... 58 c. Pasca pertunjukan ...... 70 3. Pendukung Kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo Di Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purwoejo ...... 70 a. Penari ...... 70 b. Penimbul atau pawang...... 74 c. Waktu pertunjukan...... 74 d. Alat musik...... 74 e. Tata rias ...... 81 f. Tata busana ...... 82 g. Tempat pertunjukan...... 84 h. Perlengkapan...... 84
C. Makna Simbolik Sesaji ...... 86 a. Degan ijo ...... 86 b. Bonang-baning ...... 87 c. Kopi pahit, kopi manis, teh pahit, teh manis...... 88 d. Kembang setaman ...... 90 e. Air diberi dhadhap srep ...... 90
xiii D. Fungsi tarian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo ...... 91 a. Sebagai sarana upacara...... 91 b. Sebagai sarana hiburan...... 92 c. Sebagai media pendidikan...... 93 d. Sebagai seni pertunjukan...... 94
BAB V PENUTUP...... 95 a. Simpulan ...... 95 b. Saran-saran...... 98 DAFTAR PUSTAKA ...... 99 LAMPIRAN...... 101
xiv DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Pepundhen Eyang Brojo Menggolo ...... 55 Gambar 2. Ritual Obong-Obong Di Pepundhen ...... 55 Gambar 3. Persiapan Penari ...... 56 Gambar 4. Pawang Sedang Obong-Obong Sebelum Pertunjukan ...... 58 Gambar 5. Penari Yang Kesurupan Sedang Memakan Kembang...... 68 Gambar 6. Penari Yang Kesurupan Meminta Dinyanyikan Lagu...... 68 Gambar 7. Penari kuda lumping, penthul, dan bejer...... 71 Gambar 8. Penthul dan Bejer...... 73 Gambar 9. Kendhang...... 76 Gambar 10. Demung ...... 77 Gambar 11. Krumpyung...... 78 Gambar 12. Organ ...... 79 Gambar 13. Gong ...... 79 Gambar 14. Drum...... 80 Gambar 15. Bendhe Tiga...... 81 Gambar 16. Alat Rias ...... 82 Gambar 17. Tata Rias Penari...... 82 Gambar 18. Tata Busana Penari...... 84 Gambar 19. Degan Ijo ...... 87 Gambar 20. Kopi Pahit, Kopi Manis, Teh Pahit, Dan Teh Manis...... 89
xv DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar Informan...... 101 Lampiran 2. Transkrip Wawancara...... 102 Lampiran 3. Pernyataan Informan...... 113 Lampiran 4. Daftar Gambar...... 116 Lampiran 5. Catatan Lapangan...... 119 Lampiran 6. Kartu Identitas Informan...... 122 Lampiran 7. Peta Jawa Tengah...... 123 Lampiran 8. Peta Kabupaten Purworejo...... 124 Lampiran 9. Peta Desa Kaligono...... 125 Lampiran 10. Profil Desa Kaligono...... 126 Lampiran 11. Surat Permohonan Ijin Penelitian...... 128 Lampiran 12. Surat Pemberitahuan Ijin Penelitian...... 129 Lampiran 13. Surat Penetapan Dosen...... 130 Lampiran 14. Surat Ijin KPPT...... 131 Lampiran 15. Kartu Bimbingan...... 132
xvi DAFTAR ISTILAH Barongan : Berbentuk kepala singa yang digunakan penari kuda lumping Bejer : Gambaran seorang raksasa pamomong atau yang memelihara barongan
Bonang-baneng : air putih dicampur dengan kembang setaman
Budaya : budaya atau kebudayaan
Cemethi : Cambuk
Danyang : roh-roh atau makhluk gaib yang didatangkan untuk merasuki tubuh penari dalam kesenian ndolalak agar mengalami kesurupan. Degan ijo : kelapa muda
Demung : salah satu instrumen gamelan yang termasuk keluarga balungan Drum : alat musik perkusi yang terdiri dari kulit yang direntangkan dan dipukul dengan menggunakan stick. Gamelan : seperangkat alat musik.
Gong : : alat musik terbuat dari logam yang bentuknya bulat yang digantungkan pada kayu dengan tali dan cara memainkannya dengan cara dipukul.
Kuda lumping : kesenian tradisional yang secara umum cirinya menggunakan properti kuda kepang. Karawitan : kelompok musik Jawa yang dii:ringi dengan gamelan.
Kendhang : alat musik yang terbuat dari kulit sapi, bersisi dua dengan sisi kulitnya ditegangkan dengan tali dan kulit atau rotan. Krumpyung : alat musik tradisional yang dibuat dari bambu, cara memainkannya adalah dengan cara digoyang-goyangkan.
Kuda kepang : kuda kepang yang terbuat dari anyaman bambu
Ndadi : keadaan di mana seorang penari mengalami kesurupan karena kemasukan roh dan tidak sadarkan diri.
Njawab : meminta ijin kepada para leluhur
xvii Nyekar : berziarah ke makam orang yang sudah meninggal dunia.
Obong menyan : suatu ritual sakral yang dilakukan oleh sesepuh atau pawang kesenian sebelum dimulai pertunjukan dengan maksud untuk meminta keselamatan para anggota kesenian dan untuk menghadirkan roh-roh agar terlibat dalam pertunjukan tersebut.
Organ : alat musik yang mempunyai suara yang unik
Penthul : Abdi dalem raja yang bertugas menghibur raja atau sembahannya yang sedang susah.
Pelog : Notasi dalam sebuah lagu dalam gamelan memiliki 7 nada per oktaf yaitu 1 2 3 4 5 6 7 ( C+D E- F# G# A B) dengan perbedaan interval yang besar
Pepundhen : suatu tempat yang masih dipercaya secara turun temurun.
Pawang : orang yang mengatur jalannya pertunjukan jaran kepang.
Sekar setaman : (bunga setaman) terdiri atas rangkaian beberapa bunga, antara lain mawar, kenanga, kanthil, dan lain-lain.
Slendro : Notasi dalam sebuah lagu dalam gamelan memiliki 5 nada per oktaf yaitu 1 2 3 5 6 ( C- D E+ G A ) dengan interval yang sama atau kalaupun berbeda intervalnya sangat kecil
Sesepuh : orang yang dituakan (disepuhkan).
Slamet : selamat tidak terjadi apa-apa, terhindar dari marabahaya.
Tembang/lagu : nyanyian atau musik
Turangga : kuda.
Tri : Tiga
Bendhe tiga : Alat musik ini untuk menyeimbangkan nada dengan saron demung dan gong. Cara memainkannya dengan cara dipukul seperti gong
xviii 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai aspek sosial
budaya yang beragam banyaknya. Secara spesifik, keadaan budaya
Indonesia sangat kompleks, mengingat penduduk Indonesia lebih dari dua
ratus juta jiwa dalam tiga puluh kesatuan suku bangsa. Indonesia memiliki
enam puluh tujuh budaya terbesar dari barat sampai ke timur nusantara.
Indonesia merupakan bangsa yang memiliki berbagai macam corak
kebudayaan daerah atau suku yang hidup dan berkembang di seluruh
pelosok tanah air. Kebudayaan daerah yang satu berbeda dengan
kebudayaan daerah yang lain karena setiap kebudayaan mempunyai ciri
atau corak tertentu.
Pernyataan di atas dapat diketahui bahwa Indonesia adalah ragam
yang kaya raya akan sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber
daya budaya yang melimpah. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
serba multi, baik multi bangsa, multi agama, maupun multi budaya.
Bahkan banyak dari budaya Indonesia dipamerkan dan dipertontonkan di
luar negeri. Kebudayaan mencakup segala hal yang merupakan
keseluruhan hasil cipta, karsa dan karya manusia termasuk di dalamnya
benda-benda hasil kreativitas dan ciptaan manusia.
Salah satu penyangga kebudayaan dan berkembang menurut kondisi dari kebudayaan itu adalah kesenian. Kesenian merupakan 2
unsur dari kebudayaan yang dipandang dapat menonjolkan sifat dan mutu, serta demikian cocok sebagai unsur paling utama dalam kebudayaan nasional (Koentjaraningrat, 1985:113).
Oleh karena itu kesenian dalam hal ini seni tari, perlu dipelihara dan dilestarikan agar tidak punah. Jika dibandingkan dengan cabang kesenian yang lain, seni tari lebih banyak menyangkut segi kehidupan manusia yang sangat kompleks, seperti agama, kepercayaan, kesusastraan, musik, drama, seni rupa, dan lain sebagainya. Tari adalah ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan berbentuk gerak tubuh yang diperhalus melalui estetika. Unsur utama yang paling pokok dalam tari adalah gerak tubuh manusia yang sama sekali tidak lepas dari unsur ruang, waktu, dan tenaga.
Akan tetapi di era sekarang ini tidak sedikit orang yang kurang bisa memahami akan arti seni tari.
Apabila disimak secara khusus, tari membuat seseorang tergerak untuk mengikuti irama tari, gerak tari, maupun unjuk kemampuan dan kemauan kepada umum secara jelas. Tari memberikan penghayatan rasa, empati, simpati, dan kepuasan tersendiri terutama bagi pendukungnya.
Tari pada kenyataannya, merupakan penampilan gerak tubuh. Oleh karena itu tubuh sebagai media ungkap sangat penting perannya bagi tari.
Gerakan tubuh dapat dinikmati sebagai bagian dari komunikasi bahasa tubuh. Dengan itu tubuh berfungsi menjadi bahasa tari untuk memperoleh makna gerak.
Sebagai salah satu cabang seni yang mendapat perhatian besar di masyarakat, tari ibarat bahasa gerak, hal tersebut menjadi alat ekspresi 3
manusia dalam karya seni. Sebagai sarana atau media komunikasi yang universal, tari menempatkan diri pada posisi yang dapat dinikmati oleh siapa saja dan kapan saja. Peranan tari sangat penting dalam kehidupan manusia, memanfaatkan tarian untuk mendukung prosesi acara sesuai kepentingannya. Masyarakat membutuhkannya bukan saja sebagai kepuasan estetis saja, melainkan juga untuk keperluan upacara agama dan adat. Salah satu kesenian tari tradisional yang menarik adalah kuda lumping, jaran kepang atau yang sering disebut jathilan. Tarian kuda lumping, jaran kepang atau jathilan adalah tarian tradisional Jawa, yang menampilkan sekelompok orang yang berdandan ala prajurit, tengah menunggang kuda, tarian ini menggunakan kuda yang terbuat dari bambu yang dianyam dan dibuat menyerupai bentuk kuda.
Dalam mengamati sebuah tari ada dua sasaran pengamatan yaitu segi yang bersifat kewujudan dan segi yang bersifat isi atau makna. Segi- segi tari yang bersifat kewujudan akan menyangkut teknik tari dan tradisi penampilan, sedang segi-segi tari yang bersifat isi atau makna akan mengena pada wilayah konsep keindahan serta fungsi dan peranan tari dalam konteks yang lebih besar (Sedyawati, 1981: 161-162). Hal ini sesuai dengan fokus pengamatan dalam penelitian kesenian Kuda Lumping
Turonggo Tri Budoyo di Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten
Purworejo yaitu dari segi bentuk penyajian, fungsi, dan makna simbolis sesaji yang merupakan substansi dasar tari. 4
Penulis menganggap ada hal menarik yang ada dalam tarian Kuda
Lumping Turonggo Tri Budoyo ini, yaitu penekanan perhatian pada aspek hiburan ini yang mengarahkan perhatian pada dimensi luaran, sesuatu yang tampak pada kesenian kuda lumping itu sendiri. Ketertarikan itu akhirnya sampai pada teks kesenian kuda lumping seperti eksotisme gerakan, corak gamelan pengiring, hingga kostum yang digunakan. Faktor lain yang juga dianggap menarik adalah aspek mistis yang terdapat dalam kesenian Kuda lumping. Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik meneliti “Bentuk, Makna, dan Fungsi Pertunjukan Kuda Lumping
Turonggo Tri Budoyo di Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten
Purworejo. Alasan yang lain, yaitu karena selain belum pernah diteliti, grup ini mempunyai keunikan. Keunikan tersebut yaitu (a) diadakannya prosesi nyekar (tabur bunga) dan obong menyan di pepundhen Eyang
Brojo Menggolo kakung putri yang bertujuan untuk meminta izin supaya diberikan kelancaran dari mulai pertunjukan hingga pertunjukan Kuda
Lumping Turonggo Tri Budoyo selesai, (b) pemahaman masyarakat tentang kesenian ini lebih didasarkan karena kesenian ini merupakan warisan leluhur yang diturunkan secara turun-temurun, serta sebagai upaya pelestarian kebudayaan daerah, (c) sesaji yang digunakan masih menggunakan sesaji yang sederhana sehingga pertunjukan masih dapat dinikmati oleh segala umur, (d) adanya keterbukaan dari pihak paguyuban kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo sehingga memperlancar dalam memperoleh informasi atau data yang berkaitan dengan penelitian. 5
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi
permasalahan sebagai berikut :
1. Tarian Kuda Lumping adalah salah satu kesenian tradisional yang
menarik, yang menampilkan sekelompok orang yang berdandan ala
prajurit, tengah menunggang kuda, tarian ini menggunakan kuda yang
terbuat dari bambu yang dianyam dan dibuat menyerupai bentuk kuda.
2. Hal yang menarik yang ada dalam tarian Kuda Lumping ini yaitu
penekanan pada aspek hiburan yang mengarahkan perhatian pada
dimensi luaran, sesuatu yang tampak pada kesenian kuda lumping itu
sendiri, hal lain yang dianggap menarik adalah aspek mistik atau
kesurupan dalam kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo.
3. Kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo terdapat bentuk
pengkajian yang memiliki ciri sederhana baik dalam gerak, kostum,
rias, maupun pola lantai, serta memiliki fungsi sebagai upacara,
pergaulan atau hiburan dan pertunjukan.
4. Gerak dalam tari Kuda Lumping memiliki makna simbolis gerak, baik
gerak murni maupun gerak maknawi.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, muncul berbagai permasalahan
penelitian yang sangat kompleks. Demi terarahnya topik penelitian ini,
maka perlu dispesifikasikan tentang tinjauannya. Akan tetapi mengingat 6
waktu yang relatif singkat untuk penelitian, peneliti akan mengungkapkan
permasalahan bentuk penyajian, fungsi, dan makna sesaji dalam tarian
Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo di Desa Kaligono Kecamatan
Kaligesing Kabupaten Purworejo. Bentuk penyajian, fungsi, dan makna
sesaji dalam tarian perlu mendapat perhatian karena sebagai dasar untuk
penelitian dalam bidang lainnya dan mengkaji bentuk penyajian maka
akan diketahui ciri khas dari tari tersebut yang dapat membedakannya dari
tarian lainnya.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah maka
dirumuskan masalah pada penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk penyajian pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Tri
Budoyo di Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten
Purworejo?
2. Bagaimana makna simbolis sesaji yang terkandung dalam kesenian
Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo di Desa Kaligono Kecamatan
Kaligesing Kabupaten Purworejo?
3. Bagaimana fungsi kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo di
Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo? 7
E. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas, maka penelitian ini mempunyai
beberapa tujuan sebagai berikut :
1. Mendeskripsikan bentuk penyajian kesenian Kuda Lumping Turonggo
Tri Budoyo di Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten
Purworejo.
2. Mendeskripsikan makna simbolis sesaji yang terkandung dalam
kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo di Desa Kaligono
Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo.
3. Mendeskripsikan fungsi kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri
Budoyo di Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten
Purworejo.
F. Manfaat Penelitian
Ada beberapa manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini
yaitu manfaat teoritis dan praktis.
1. Manfaat teoretis:
a. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan masukan bagi para
seniman dalam berapresiasi dan bahan pertimbangan untuk
pengembangan kesenian kerakyatan khususnya kesenian Kuda
Lumping di Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten
Purworejo. 8
b. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan pelengkap
dokumentasi serta menambah wawasan atau informasi khususnya
mengenai kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo di Desa
Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo.
2. Manfaat praktis
a. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat luas dan pembaca
pada umumnya tentang adanya kesenian Kuda Lumping Turonggo
Tri Budoyo di Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten
Purworejo.
b. Dapat menambah wawasan tentang kesenian Kuda Lumping itu.
c. Bagi masyarakat luas penelitian ini sebagai bahan pertimbangan
dan berfikir tentang segi positif dan negatif kesenian Kuda
Lumping.
G. Sistematika Skripsi
Untuk mempermudah dalam mempelajari dan memahami laporan
penelitian, penulisan skripsi ini disusun dengan sistematika sebagai
berikut:
1. Bagian awal terdiri atas: halaman judul, halaman persetujuan
pembimbing, halaman pengesahan, halaman motto dan persembahan,
kata pengantar, daftar isi, daftar gambar, dan abstrak. 9
2. Bagian isi terdiri atas:
Bab I berisi Pendahuluan terdiri dari latar belakang, identifikasi
masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II berisi Kajian Teori meliputi Tinjauan pustaka dan Kajian
Teoritis. Tinjauan Pustaka terdiri atas penelitian yang relevan,
sedangkan Kajian Teoritis terdiri atas konsep kebudayaan, konsep
kesenian tradisional, konsep folklor, kesenian Kuda Lumping, bentuk
penyajian, fungsi pertunjukan, dan makna simbolik.
Bab III Metode Penelitian terdiri dari jenis penelitian, waktu dan
tempat penelitian, sumber data dan data, teknik pengumpulan data,
analisis isi, teknik keabsahan data, teknik analisis data.
Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, berisi tentang
penyajian data dan pembahasan sesuai dengan teori-teori yang telah
dikaji.
Bab V Penutup, berisi tentang simpulan dari pembahasan dan
saran baik bagi pembaca maupun penulis.
Daftar Pustaka. 10
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka merupakan kajian secara kritis terhadap kajian
terdahulu, sehingga dapat diketahui perbedaan yang khas dari bagian yang
terdahulu dengan kajian yang akan dilakukan. Dalam hal ini penulis
mengambil beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian yang
dilakukan oleh peneliti yaitu:
1. Mukhlas Alkaf, Mahasiswa Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan,
ISI Surakarta dengan judul “Spiritual Mistis Di Balik Ekspresi
Kesenian Rakyat Jaranan”. Permasalahan yang dimunculkan dalam
penelitian ini adalah mengenai (1) Apa dan bagaimana kesenian
jaranan itu?, (2) Konteks sosial dan budaya yang melatar belakangi
penyertaan tari jaranan dalam upacara adat, (3) Tradisi religius
masyarakat setempat yang mendorong praktek mistik, (4) Makna
pertunjukan jaranan bagi masyarakat sebagai masyarakat pendukung
seni pertunjukan tersebut.
Penelitian yang Mukhlas Alkaf menyimpulkan bahwa
keberadaan kesenian jaranan memiliki keterkaitan erat dengan aspek
religius dari masyarakat pendukung kesenian tersebut. Adegan
kesurupan, berbagai jenis sajen, mantra merupakan indikasi bahwa 11
sebuah pementasan kesenian jaranan pada saat-saat khusus seperti
ritual adat, tidak hanya sebuah ekspresi semata, tetapi memiliki kaitan
erat dengan cita-cita religius masyarakat pendukung kesenian tersebut.
Keberadaan kesenian jaranan melibatkan spirit mistik menjadi relevan
dalam keberlangsungan di tengah masyarakat desa Lencoh, karena
praktek mistik masih banyak dianut oleh masyarakat setempat.
Persamaan dengan penelitian penulis yaitu bentuk, makna, dan
fungsi tarian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo di Desa Kaligono,
Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo adalah sama-sama
mengkaji bentuk penyajian kesenian Kuda Lumping. Perbedaannya
adalah Mukhlas Alkaf menekankan penelitiannya pada nilai spiritualitas
mistis di balik ekspresi kesenian jaranan, sedangkan penulis cenderung
dengan bentuk tarian Kuda Lumping, makna simbolis gerak yang
digunakan serta fungsi tarian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo di
Desa Kaligono, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo.
2. Lucy Angela Clare Springate, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang, dengan judul Kuda
Lumping dan Fenomena Kesurupan Massal: Dua studi kasus tentang
kesurupan dalam kebudayaan Jawa. Permasalahan yang dimunculkan
dalam penelitian ini adalah: (1) Mengapa dan factor apa yang
menyebabkan orang mengalami kesurupan di Indonesia, (2) Apa yang
terjadi pada orang kesurupan dan bagaimana mereka merasakanya, (3)
Bagaimana fenomena kesurupan missal di Malang, (4) Apa peran 12
kesurupan dalam tari kuda lumping, (4) Apa peran kesurupan dalam tari kuda lumping, (5) Apakah ada hubungan antara kesurupan dalam kuda lumping dan kesurupan dalam fenomena kesurupan massal.
Penelitian Lucy menjelaskan arti kesurupan dan menerangkan alasan-alasan, serta faktor-faktor pokok yang menyebabkan kesurupan.
Meskipun demikian, telah jelas bahwa tidak ada satu alasan pasti yang menyebabkan kesurupan, dan tidak ada satu definisi pasti yang menjelaskan kesurupan. Ini karena kesurupan bukan hal yang jasmani, tetapi sesuatu yang rohani dan psikologis dan meliputi bermacam- macam unsur.
Persamaan dengan penelitian penulis yaitu bentuk, makna, dan fungsi tarian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo di Desa Kaligono,
Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo adalah sama-sama mengkaji bentuk penyajian kesenian Kuda Lumping. Perbedaannya adalah Lucy Angela Clare Springate menekankan penelitiannya pada pengertian kesurupan dan sebab- sebab terjadinya kesurupan, serta hubungan antara kesurupan dalam tari kuda lumping dan kesurupan yang terjadi di skala besar yaitu fenomena kesurupan missal. Sedangkan penulis cenderung dengan bentuk tarian Kuda Lumping, makna simbolis gerak yang digunakan serta fungsi tarian Kuda Lumping
Turonggo Tri Budoyo di Desa Kaligono, Kecamatan Kaligesing,
Kabupaten Purworejo. 13
3. RHD Nugrahaningsih, Program Studi Antropologi Sosial, Universitas
Negeri Medan, dengan Judul “ Transformasi Kesenian Tradisional
Jathilan Pada Masyarakat Jawa Deli Analisis Perubahan Dalam Situasi
Sosial Masyarakat Majemuk. Dalam penelitiannya Nugrahaningsih
memunculkan masalah sebagai berikut: (1) Perubahan bentuk kesenian
jathilan, (2) perubahan fungsi atau peranan kesenian jathilan, (3) faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap perubahan, (4) nilai- nilai yang
terkandung dalam kesenian sebagai pembentuk identitas budaya.
Nugrahaningsih menyimpulkan bahwa kesenian tradisional
jathilan merupakan bentuk kesenian yang extra ordinar, yaitu di luar
kebiasaan sehari- hari karena berhubungan dengan kekuatan ghaib
dengan muatan mistiknya, kesenian ini tetap digemari. Di tengah
gemuruhnya arus budaya global serta lingkungan sosial masyarakat
majemuk, kesenian ini mengalami transformasi bentuk. Transformasi
tersebut meliputi nama kesenian, bentuk gerak, kostum, properti, alat
musik, bentuk iringan, bahkan tahap pertunjukan.
Persamaan dengan penelitian penulis yaitu bentuk, makna, dan
fungsi tarian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo di Desa Kaligono,
Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo adalah sama-sama
mengkaji bentuk penyajian kesenian Kuda Lumping. Perbedaannya
adalah RHD Nugrahaningsih menekankan penelitiannya pada
transformasi atau perubahan kesenian tradisional jathilan dalam situasi
sosial masyarakat majemuk. Sedangkan penulis cenderung dengan 14
bentuk tarian Kuda Lumping, makna simbolis gerak yang digunakan
serta fungsi tarian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo di Desa
Kaligono, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo.
B. Kajian Teoretis
1. Konsep Kebudayaan
Herusatoto (2008:7) menyatakan bahwa, “ kata budaya secara
etimologi berasal dari dua kata dasar, yaitu kata budi dan daya. Budi
adalah akal, tabiat, dan daya upaya, sedangkan daya adalah kekuatan,
pengaruh, cara, dan muslihat.” Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan
bahwa budaya berarti kekuatan batin dalam daya upayanya menuju
kebaikan atau kesadaran batin menuju kebaikan karena manusia
merupakan makhluk berbudaya dan kebudayaan merupakan ukuran
dalam hidup dan tingkah laku manusia.
Definisi ini dipertegas lagi oleh Koentjaraningrat dalam
Sutardjo (2010 :12) sebagai berikut
budaya berasal dari kata buddhayah (Sansekerta) bentuk jamak dari buddhi ‘budi atau akal’. Keseluruhan isi serta kemampuan alam pikiran dan alam jiwa manusia dalam hal menanggapi lingkungannya disebut mentalitet tidak terlepas dari hubungan dengan system nilai budaya. Kebudayaan meliputi gagasan- gagasan, cara berfikir, ide-ide yang menghasilkan norma-norma, adat istiadat, hukum, dan kebiasaan-kebiasaan yang merupakan pedoman bagi tingkah laku dalam masyarakat.
Jadi kebudayaan berarti hal-hal yang bersangkutan dengan budi
dan akal. Tingkat yang lebih tinggi dan paling abstrak dari adat
istiadat adalah sistem nilai budaya, karena sistem nilai budaya 15
merupakan konsep yang hidup dalam alam pikiran masyarakat. Sistem nilai budaya tidak saja berfungsi sebagai pedoman tetapi juga sebagai pendorong kelakuan manusia dalam hidup.
Menurut definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil cipta, karsa, dan rasa manusia untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Yang berarti bahwa tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan, demikian pula sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai pendukungnya. Karena kebudayaan dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang sulit dipisahkan.
Manusia begitu erat hubungannya dengan kebudayaan, karena kebudayaan merupakan lingkup dimana manusia harus hidup.
Pernyataan bahwa manusia adalah makhluk budaya mengandung pengertian bahwa kebudayaan merupakan ukuran dalam hidup tingkah laku manusia. Menurut antropolog Indonesia Koentjaraningrat
(1985:5) budaya manusia itu mempunyai tiga wujud yaitu : a) Wujud kebudayaan sebagai sesuatu kompleks dan ide-ide,
gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan
sebagainya b) Wujud sistem sosial berupa tindakan sosial, perilaku berpola dari
manusia dalam masyarakat, 16
c) Wujud kebudayaan fisik berupa hasil karya masyarakat yang
bersangkutan.
Dari ketiga wujud kebudayaan itu jelas bahwa wujud pertama
dan wujud kedua adalah merupakan buah dari akal dan budi manusia,
sedangkan wujud yang ketiga adalah buah dan karya manusia. Dapat
diambil kesimpulan bahwa kebudayaan merupakan hasil budi dan
daya atau buah pikiran manusia yang dituangkan dalam suatu bentuk
kegiatan atau aktivitas yang berguna sebagai pedoman hidup.
Kebudayaan juga merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia
dengan menggunakan akal budinya untuk mengisi kehidupannya
dengan menciptakan hal yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun
masyarakat.
2. Konsep Kesenian Tradisional
Kesenian adalah bagian dari kebudayaan. Seni tari adalah salah
satu bagian dari kesenian. Dalam Kussudiardja (1992:1)
mendefinisikan seni tari sebagai berikut:
“Arti seni tari adalah keindahan gerak anggota-anggota badan manusia yang bergerak, berirama dan berjiwa atau dapat diberi arti bahwa seni tari adalah keindahan bentuk anggota badan manusia yang bergerak, berirama dan berjiwa yang harmonis.”
Sudah jelaslah dari kutipan di atas bahwa penyajian tari kuda
lumping lebih memperlihatkan gerak setiap anggota badan penari kuda
lumping. Gerak tari pada kesenian kuda lumping banyak
menggunakan gerak berlari dan melompat yang menggambarkan
gerakan kuda. 17
Kesenian kuda lumping adalah salah satu kesenian tradisional.
Kesenian dianggap tradisional karena lahir pada masa Indonesia
belum merdeka, menggunakan dialek atau bahasa daerah, dan
mempunyai identitas regional yang kuat dan punya pola dramatik
tertentu yang dapat diduga sebelumnya. Menurut Kasim Achmad
dalam Sutardjo (2010:65) berpendapat bahwa kesenian tradisional
adalah :
Suatu bentuk seni yang bersumber dan berakar serta telah dirasakan sebagai milik sendiri oleh masyarakat lingkungannya. Pengolahannya didasarkan atas cita- cita masyarakat pendukungnya. Cita rasa di sini mempunyai pengertian yang luas, termasuk ‘nilai kehidupan tradisi’, pandangan hidup, pendekatan falsafah, rasa etis dan estetis serta ungkapan budaya lingkungan. Hasil kesenian tradisional biasanya diterima sebagai tradisi, pewaris yang dilimpahkan dari angkatan tua kepada angkatan muda.
Dapat dijelaskan bahwa seni tradisional Indonesia berasal dari lingkungan-lingkungan yang banyak macamnya di tanah air kita.
Berbagai upaya telah ditempuh guna memperkenalkan seni daerah yang satu kepada daerah yang lain. Bahkan mengajarkannya sekalipun sebagai apresiasi, yang bisa menumbuhkan rasa ikut memiliki. Tari tradisional apabila dilihat dari dasar penciptaannya mempunyai ciri- ciri khusus yaitu nilai-nilai yang dianut dan gagasan-gagasan yang melatarbelakanginya. Adanya semangat kolektif dari para penciptanya yang didasarkan pada kehidupan sosial masyarakat serta didukung oleh pandangan kesukuan daerahnya yang menonjol, menyebabkan tari tradisional memiliki sifat komunal kedaerahan, yang artinya disamping 18
merupakan gagasan kolektif, juga dimiliki bersama oleh masyarakat pendukungnya. Selain itu, karena diturunkan dari generasi ke generasi, maka tari tradisional menjadi tradisi yang mengakar, yaitu menjadi adat dengan mengikat diri pada tradisi lama masyarakat yang menjadi tradisional, yaitu memuja pandangan dan praktek lama serta menjaga supaya tetap lestari dan berkembang.
Kesenian tradisional yang hidup dan berkembang di daerah-
daerah mempunyai ciri khas sebagai berikut: (a) seni yang pengaruh
keberadaannya pada batas-batas wilayah tertentu dan jangkauannya
terbatas pada budaya penunjang; (b) seni yang sangat erat
hubungannya dengan golongan ras, kesukuan, adat istiadat maupun
keagamaan; (c) merupakan bagian dari satu “cosmos” kehidupan yang
bulat tanpa terbagi-bagi dalam pengkotakan spesialisasi; (d) karya
seninya bukan merupakan hasil kreativitas perseorangan, melainkan
tercipta secara anonim bersamaan dengan sifat kolektif masyarakat
pendukungnya; (e) seninya bersifat fungsional dalam arti tema dan
bentuk-bentuk ungkapan dan penampilannya tidak terpisahkan dari
kepentingan “cosmos” yang menyeluruh itu; (f) perubahannya sangat
lamban juga ada suatu kemampuan yang mengakar (Sutardjo, 2010:
65)
Fungsi kesenian tradisional ditinjau dari etnik-etnik tertentu adalah sebagai berikut: (a) sebagai pemanggil kekuatan supranatural
(gaib); (b) memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat; (c) 19
pemujaan pada nenek moyang dengan menirukan kegagahan ataupun kesigapan; (d) pelengkap upacara sehubungan dengan peringatan tingkatan hidup seseorang; (e) pelengkap upacara sehubungan dengan saat-saat tertentu dalam perputaran waktu; (f) manifestasi daripada dorongan untuk mengungkapkan keindahan semata (Sutardjo,
2010:65). Fungsi seni tradisi tersebut lebih menekankan pada persoalan kehidupan masyarakat di mana ia berada, sedangkan persoalan itu cenderung lari pada kehidupan yang sangat esensial, seperti nilai kemanusiaan maupun keagungan sang pencipta. Seni tradisi dalam perjalanan awal digunakan untuk upacara ritual, upacara keagamaan.
Kesimpulan yang dapat diambil mengenai tari sebagai kesenian tradisional adalah suatu bentuk tari yang berakar dan bersumber dari kalangan masyarakat yang merupakan gagasan kolektif masyarakat, serta memiliki sifat, bentuk, dan fungsi tergantung dan berkaitan erat dengan masyarakat dimana tari itu lahir, tumbuh dan berkembang serta dipentaskan pada berbagai acara.
Penjelasan dan uraian di atas semakin meneguhkan tari Kuda
Lumping sebagai tari tradisional karena disamping merupakan tarian yang diwariskan secara turun-temurun yang merupakan hasil pelestarian dan pengembangan seniman kelompok kesenian Kuda
Lumping Turonggo Tri Budoyo, tari Kuda Lumping juga telah menjadi ciri khas kesenian tradisional di Desa Kaligono yang sering 20
dipentaskan dalam acara-acara hajatan. Bertolak dari batasan bahwa
tari adalah ungkapan jiwa manusia dengan gerak-gerak ritmis yang
indah, maka gerak-gerak yang telah dirakit dalam komposisi tari Kuda
Lumping Turonggo Tri Budoyo mengandung makna tertentu atau
maksud tertentu, yang diungkap, dirasakan dan dihayati orang lain.
3. Konsep Folklor
Istilah folklor merupakan pengindonesiaan kata bahasa Inggris
fol-klore. Ditinjau dari etimologinya, folklore berasal dari dua kata
dasar yaitu folk yang berarti “rakyat” dan lore yang berarti “adat”.
Dengan demikian definisi folk-lore secara keseluruhan adalah “ tradisi
kolektif sebuah bangsa yang disebarkan dalam bentuk lisan maupun
gerak isyarat, sehingga tetap berkesinambungan dari generasi ke
generasi” (Danandjadja, 1984:1).
Berdasarkan pengertian di atas, maka folklor merupakan bagian
dari kebudayaan yang diwariskan turun-temurun tetapi tidak
dibukukan. Folklor yang terdapat pada tarian kuda lumping Turonggo
Tri Budoyo termasuk dalam kesenian yang berkembang di masyarakat
dan berupa tarian tradisional. Tarian kuda lumping Turonggo Tri
Budoyo juga merupakan tarian yang sudah bertahun-tahun berkembang
di masyarakat. Dengan kata lain tarian kuda lumping Turonggo Tri
Budoyo ini, merupakan tarian yang eksistensinya masih bisa
dipertahankan sampai saat ini terbukti dalam berbagai upacara hajatan
seperti pernikahan, sunatan, syukuran, biasanya selalu melibatkan 21
pertunjukan tari kuda lumping Turonggo Tri Budoyo sebagai pertunjukan pendukung dalam acara tersebut.
Definisi folklor juga dikemukakan oleh Winnick dalam
Purwadi (2009: 1) sebagai berikut:
Folklore: the common orally transmitted traditions, myths, festival, songs, superstition and of all peoples, folklore has come to mean all kind of oral artistic expression. It may be found in societies. Originally folklore was the study of the curiousities.
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa folklor adalah tradisi suatu masyarakat yang disebarkan secara lisan dari mulut ke mulut, seperti dongeng, cerita, hikayat, kepahlawanan, adat-istiadat, lagu, tata cara, kesusastraan, kesenian dan busana daerah.
Folklor tetap bertahan secara terus menerus karena memiliki fungsi.
Biasanya folklor mengandung nilai-nilai ataunasihat yang penting untuk mempertahankan hidup. Dalam perkembangan folklor dimaknai sebagai ungkapan artistik yang ditemui bukti-bukti tertulisnya dalam masyarakat, bahkan mungkin sengaja tidak ditulis dalam kesastraan masyarakat. a. Bentuk-bentuk folklor
Danandjaja (1984:21) menggolongkan folklor berdasarkan
tipenya menjadi tiga kelompok besar, yaitu:
1. Folklor lisan
Adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan.
Bentuk-bentuk folklor yang termasuk ke dalam kelompok ini 22
antara lain: (a) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat,
julukan, pangkat tradisional dan title kebangsawanan; (b)
ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah dan pemeo;
(c) pertanyaan tradisional seperti teka-teki; (d) puisi rakyat,
seperti pantun, gurindam dan syair; (e) cerita prosa rakyat,
seperti mite, legenda dan dongeng; (f) nyanyian rakyat.
2. Folklor sebagian lisan
Adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran antara
lisan dan unsur bukan lisan. Bentuk-bentuk folklor yang
termasuk dalam kelompok ini yaitu sebagai berikut: (a)
kepercayaan rakyat atau takhayul; (b) permainan rakyat; (c)
teater rakyat; (d) tarian rakyat; (e) adat-istiadat; (f) upacara; (g)
pesta rakyat.
3. Folklor bukan lisan
Adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara
pembuatannya diajarkan secara lisan. Folklor bukan lisan ini
dapat dibagi menjadi dua sub kelompok yaitu:
(a) Material
Bentuk folklor yang tergolong material antara lain: arsitek
rakyat (bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung padi dan
sebagainya), kerajinan tangan rakyat, obat-obatan
tradisional. 23
(b) Bukan material
Bentuk-bentuk folklor yang termasuk bukan
material antara lain: gerak isyarat tradisional, bunyi isyarat
untuk komunikasi rakyat (kentongan tanda bahasa di Jawa
atau bunyi gendang untuk mengirim berita seperti yang
dilakukan di Afrika) dan musik rakyat.
Apapun bentuk dan wujud sebuah tradisi, merupakan bagian dari folklor. Folklor merupakan bagian dari kebudayaan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kehadirannya merupakan perwujudan dari kesadaran suatu masyarakat. Masyarakat yang membuat, menerima, mengubah atau menolaknya. Pada dasarnya tradisi telah lama hidup di tengah-tengah masyarakat dan diwariskan secara turun- temurun sebagai norma dalam kehidupan sesuai kebudayaan masing-masing.
Berdasarkan bentuk folklor di atas, tarian Kuda Lumping
Turonggo Tri Budoyo termasuk ke dalam jenis folklor sebagian lisan karena kesenian kuda lumping ini adalah salah satu contoh tarian rakyat. Unsur lisan yang ada dalam kesenian kuda lumping ini adalah cara penyebarannya yang dilakukan secara lisan, dari mulut ke mulut.
Usia kesenian ini juga sangat sulit dilacak, karena hanya diwariskan secara turun-temurun. Unsur bukan lisannya bahwa dalam kesenian tari kuda lumping tersebut terdapat gerak-gerak isyarat. 24
4. Kesenian Kuda Lumping
Kuda lumping merupakan salah satu jenis kesenian tradisional
yang sangat popular, sehingga dapat dikatakan bahwa hampir semua
orang Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya mengenal tarian
ini. Tarian kuda lumping hingga kini masih tumbuh di banyak
kelompok masyarakat khususnya di pulau Jawa. Kesenian kuda
lumping merupakan suatu bentuk tari rakyat yang sangat terkenal di
daerah Jawa Tengah, yang biasanya disajikan dalam bentuk drama tari
atau fragmen yang ceritanya mengambil dari cerita panji atau Menak.
Bentuk kesenian kuda lumping adalah salah satu jenis kesenian
tradisional yang ritual.
Kuda lumping adalah seni tari yang dimainkan dengan menaiki kuda tiruan dari anyaman bambu (kepang). Dalam memainkannya biasanya diiringi dengan musik khusus yang sederhana karena hanya permainan rakyat, yaitu dengan gong, kenong, kendhang, dan slompret (Winarsih 2008: 11). Dari kutipan di atas jelaslah bahwa Kuda lumping adalah salah
satu bentuk seni pertunjukan rakyat yang secara umum cirinya
menggunakan properti kuda kepang, yaitu kuda-kudaan, dibuat dari
bambu yang dianyam. Istilah kesenian rakyat yang memakai kuda
kepang menjadi beraneka ragam berdasarkan dimana kesenian tersebut
hidup atau berdasarkan kewilayahan. Dalam bukunya (Prihatini,
2008:163) mengungkapkan bahwa: 25
“Di daerah Jawa Barat disebut dengan nama kuda lumping, di daerah Purwokerto, Banjarnegara, dan Banyumas dengan istilah ebeg, eblek, dan barongan, sedangkan di daerah Yogyakarta, Magelang, Surakarta, Blora, dan Kedu dengan istilah jathilan, jaran dhor, kuda lumping, kuda kepang, inkling, dan reyog. Sedangkan di daerah Jawa Timur dengan nama reyog dan jaranan”. Dengan banyaknya kelompok seni pertunjukan rakyat kuda
lumping, di daerah Kedu pada umumnya ada yang menggunakan tema
cerita dan ada yang tanpa cerita. Kelompok seni pertunjukan rakyat
yang dijadikan sasaran penelitian ini adalah kelompok Kuda Lumping
Turonggo Tri Budoyo dari Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing
Kabupaten Purworejo.
5. Bentuk Penyajian
Ducasse membedakan antara bentuk dengan isi, disebutkannya
bentuk tersusun atas unsur-unsur abstraksi seperti garis, warna, suara,
gerak dan kata, sedangkan isi merupakan penggambaran dramatiknya
atau merupakan penggambaran kejadian-kejadian (dalam Nanik, 2008:
121). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bentuk karya seni
merupakan hasil ciptaan seniman dalam mengungkapkan isi ke dalam
wadah yang dapat ditangkap dengan indera manusia. Untuk
memahami identitas pada seni pertunjukan, dapat dilihat dari aspek
bentuk, fungsi, dan maknanya. Dari aspek bentuknya, dapat dilihat
dari komponen-komponen yang mewujudkannya. Dari aspek makna
dapat dilihat bagaimana masyarakatnya menggunakan simbol-simbol 26
untuk mewujudkan bentuknya, sedangkan dari aspek fungsi, dapat dilihat bagaimana kegunaan di dalam masyarakat.
Bentuk sajian seni pertunjukan rakyat kuda lumping ada yang menggunakan tema ceritera dan ada yang lepas. Bentuk sajian yang menggunakan ceritera diantaranya sebuah penggambaran kelompok prajurit berkuda di bawah pimpinan Prabu Klana Swandana dari
Bantarangin yang ingin mempersunting Dewi Sekartaji putri Kediri.
Dalam perjalanannya dihadang oleh Gembong Amijaya yang terkenal sakti dan dapat menjelma menjadi harimau (barongan). Dalam peperangan melawan Klana Swandana, barongan kalah terkena senjata andalan Klana yang disebut Cambuk Samanliman. Kemudian melanjutkan perjalanan sehingga bertemu dengan Raden
Asmarabangun dari Jenggalamanik dan terjadi peperangan, akhirnya
Klana kalah (dalam Nanik, 2008: 162-164).
Dengan banyaknya kelompok seni pertunjukan rakyat kuda lumping, pada umumnya menggunakan tema cerita dan ada yang tanpa cerita. Seni pertunjukan rakyat yang dijadikan sasaran penelitian ini adalah kelompok Kuda lumping Turonggo Tri Budoyo di Desa
Kaligono, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo. Kelompok ini bentuk penyajiannya selain menggunakan tema cerita juga telah ditambah dengan bentuk tari kreasi baru yang semakin memperindah sajian tariannya. 27
6. Fungsi Pertunjukan
Pembahasan di sekitar masalah fungsi seni dalam kehidupan
manusia sudah banyak dirumuskan menurut pandangan dari berbagai
sisi dan keperluan yang berbeda. Sedyawati (1981: 53) dalam bukunya
Pertumbuhan Seni Pertunjukan, memandang fungsi kesenian dari segi
kegunaannya dibagi menjadi tujuh, yaitu: (1) pemanggil kekuatan
ghaib; (2) penjemput roh-roh pelindung untuk hadir di tempat
pemujaan; (3) pemanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat;
(4) peringatan pada nenek moyang; (5) pelengkap upacara dengan
peringatan tingkat-tingkat hidup seseorang; (6) pelengkap upacara
sehubungan dengan saat-saat tertentu dalam perputaran waktu dan; (7)
perwujudan dorongan untuk mengungkapkan keindahan semata.
Secara inti apa yang disebutkan oleh Sedyawati butir satu sampai
dengan enam, penyelenggaraannya berhubungan dengan upacara-
upacara yang dilakukan oleh masyarakat. Adapun butir yang ketujuh
ada kaitannya dengan masalah ungkapan estetik atau ungkapan yang
dapat mendatangkan kegembiraan bagi para pelaku kesenian.
Sedangkan fungsi Tari dalam kehidupan manusia menurut
Nanik (2008:218) adalah: (1) sebagai sarana upacara; (2) sebagai
sarana hiburan; (3) sebagai media pendidikan; (4) sebagai seni
pertunjukan. Adapun penjabaran dari fungsi di atas adalah: 28
a. Sebagai Sarana Upacara
Fungsi tari sebagai sarana upacara merupakan bagian dari
tradisi yang ada dalam suatu kehidupan masyarakat yang sifatnya
turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya sampai masa
kini yang berfungsi sebagai ritual. Tari dalam upacara pada
umumya bersifat sakral dan magis. pada tari upacara faktor
keindahan tidak diutamakan, yang diutamakaan adalah kekuatan
yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia itu sendiri ataupun
hal-hal diluar dirinya. b. Sebagai Sarana Hiburan
Salah satu bentuk penciptaan tari ditujukan hanya untuk di
tonton. Tari ini memiliki tujuan hiburan pribadi lebih
mementingkan kenikmatan dalam menarikan. Tari hiburan disebut
tari gembira, pada dasarnya tarian gembira tidak bertujuan untuk
ditonton akan tetapi tarian ini cenderung untuk kepuasan para
penarinya itu sendiri. Dalam penyajiannya terkait dengan berbagai
kepentingan terutama dalam kaitannya dengan hiburan, amal
bahkan untuk memenuhi kepentingan publik dalam rangka hiburan
saja. c. Sebagai Media Pendidikan
Kegiatan tari dapat dijadikan media pendidikan, seperti
mendidik anak untuk bersikap dewasa dan menghindari tingkah 29
laku yang menyimpang dari nilai – nilai keindahan dan keluhuran
karena seni tari dapat mengasah perasaan seseorang.
d. Sebagai Seni Pertunjukan
Tari pertunjukkan adalah bentuk komunikasi sehingga ada
penyampai pesan dan penerima pesan. Tari ini lebih mementingkan
bentuk estetika dari pada tujuannya. Tarian ini lebih digarap sesuai
dengan kebutuhan masyarakat setempat tarian ini sengaja disusun
untuk dipertontonkan. Oleh sebab itu penyajian tari mengutamakan
segi artistiknya yang konsepsional yang mantab, koreografer yang
baik serta tema dan tujuan yang jelas.
Fungsi tari yang meliputi empat macam tersebut dapat
menjadi landasan dalam penelitian bentuk, makna dan fungsi tari
Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo yang penulis lakukan. Tarian
Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo di Desa Kaligono Kecamatan
Kaligesing Kabupaten Purworejo merupakan bentuk tarian yang
memiliki fungsi penting dalam kehidupan manusia.
7. Makna Simbolis
Poerwadarminta dalam Herusatoto (2008: 17) dalam
memaknai simbol adalah:
Simbol atau lambang berarti sesuatu seperti tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya, yang menyatakan sesuatu hal atau mengandung maksud tertentu, misalnya warna putih ialah lambang kesucian, gambar padi sebagai lambang kemakmuran; atau berarti juga tanda pengenal permanen (tetap) yang menyatakan sifat, keadaan dan sebagainya, 30
misalnya tutup kepala peci merupakan tanda pengenal tutup kepala nasional Indonesia. Simbol merupakan bagian terkecil dari ritual yang menyimpan sesuatu makna dari tingkah laku atau kegiatan dalam upacara ritual yang bersifat khas. Bagian-bagian terkecil tersebut adalah sesaji-sesaji, mantra, dan ubarampe lainnya. Simbol adalah objek atau peristiwa apapun yang merujuk pada sesuatu. Jadi simbol adalah suatu tanda yang memberitahukan sesuatu kepada seseorang yang telah mendapatkan persetujuan umum dalam tingkah laku ritual.
Terbentuknya simbol-simbol di dalam tarian Kuda Lumping ini berdasarkan nilai-nilai etis dan pandangan yang berlaku di dalam kehidupan bermasyarakat. Melalui simbol-simbol maka pesan, ajaran, nilai-nilai etis, dan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat itu dapat disampaikan kepada semua warga masyarakat.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia (2008:903), makna adalah arti atau maksud. Jadi, makna simbolik adalah arti atau maksud-maksud yang terkandung dalam simbol-simbol tersebut biasanya berupa sesaji, sebagai simbol oleh masyarakat yang melestarikan tradisi tersebut dapat berbeda-beda tergantung tempat dan konteks dalam memaknainya. Dalam penelitian ini makna simbolik dibatasi pada makna simbolik sesaji yang digunakan dalam tarian Kuda Lumping
Turonggo Tri Budoyo di Desa Kaligono, Kecamatan Kaligesing,
Kabupaten Purworejo. 31
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Setiap penelitian ilmiah menggunakan metode dan teknik
penelitian yang dijadikan sebagai pijakan dalam melakukan penelitian.
Jenis penelitian ini adalah pendekatan kualitatif – deskriptif karena data
yang diperlukan bersifat kualitatif dan diwujudkan dalam bentuk
keterangan atau gambaran tentang kejadian atau kegiatan secara
menyeluruh, konseptual dan bermakna sehingga analisisnya menggunakan
prinsip logika induktif. Penelitian pertunjukan Kuda Lumping Turonggo
Tri Budoyo di Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten
Purworejo menggunakan metode penelitian deskriptif-kualitatif.
Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2013: 4) mendefinisikan
metodologi kualitatif adalah:
Sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variable atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.
Deskriptif adalah suatu data yang dikumpulkan berupa kata-kata,
gambar, dan bukan angka-angka. Jadi, deskriptif kualitatif adalah bentuk
penelitian yang memaparkan suatu seni dan pemaparannya tersebut
menggunakan kata-kata. jenis penelitian ini adalah kualitatif deskriptif 32
karena permasalahan yang dibahas dalam hal ini bertujuan untuk
menggambarkan atau menguraikan tentang bentuk, makna, dan fungsi tari
kuda lumping. Dalam hal ini peneliti berusaha meneliti, menelusuri,
memahami, menggambarkan, dan menjelaskan tentang bentuk, makna, dan
fungsi tari kuda lumping Turonggo Tri Budoyo di Desa Kaligono
Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
a. Tempat Penelitian
Tempat penelitian ini adalah Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing
Kabupaten Purworejo dengan segala objektivitasnya terkait
pelaksanaan tarian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo dari segi
bentuk, makna, dan fungsi tariannya.
b. Waktu Penelitian
Penelitian membutuhkan waktu selama enam bulan dimulai pada
bulan Maret 2013 sampai dengan bulan Agustus 2013. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Bulan No Jenis Kegiatan Maret April Mei Juni Juli Agustus 1. Pengajuan Judul 2. Pembuatan Proposal 3. Pelaksanaan Penelitian 4. Pengolahan Data 5. Penyusunan Laporan 33
C. Sumber Data dan Data
Sumber data adalah subjek darimana data diperoleh (Arikunto,
2010:172). Definisi lain menurut Lofland dan Lofland dalam Moleong
(2013:157), “sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata,
dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-
lain “. Maka, sumber data dalam penelitian ini adalah:
(1) Sumber data primer
Sumber data primer adalah sumber data yang langsung
memberikan data kepada pengumpul data (Bungin, 2010:122) Sumber
data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah informan,
antara lain ketua grup kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo,
sesepuh grup Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo, dan pawang serta
penari Kuda lumping Turonggo Tri Budoyo Desa Kaligono
Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo.
(2) Sumber data sekunder
Sumber data sekunder merupakan sumber yang tidak langsung
memberikan data kepada pengumpul data (Bungin, 2010:122).
Sumber data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui
dokumentasi, studi kepustakaan dari buku-buku, internet, serta hasil
penelitian yang terkait. 34
Data primer dalam penelitian ini berupa informasi dari para
informan yang diperoleh dari hasil wawancara. Video, foto, dan
rekaman Kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo merupakan
data sekunder dalam penelitian di Desa Kaligono Kecamatan
Kaligesing Kabupaten Purworejo ini.
D. Teknik Pengumpulan Data
Secara garis besar metode pengumpulan data lapangan ini
menggunakan empat teknik, yaitu: 1) observasi, 2) wawancara, 3)
dokumentasi, 4) analisis isi.
1. Observasi
Observasi merupakan salah satu teknik yang paling banyak
dilakukan dalam penelitian, baik penelitian kuantitatif maupun
kualitatif, baik sosial maupun humaniora. Menurut Adler dan Adler
dalam Kutha Ratna (2010:217) semua penelitian dunia sosial pada
dasarnya menggunaan teknik observasi. Faktor terpenting dalam teknik
observasi adalah observer (pengamat) dan orang yang diamati yang
kemudian juga berfungsi sebagai pemberi informasi, yaitu informan.
Metode observasi sangat penting dalam pengumpulan data.
Dengan cara observasi, peneliti dapat lebih memahami pola pikir
kehidupan masyarakat yang diteliti. Oleh karena itu, banyak informasi
yang dikumpulkan pada penelitian ini diperoleh melalui teknik
observasi. Untuk bentuk, makna, dan fungsi tari kuda lumping
Turonggo Tri Budoyo di Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing 35
Kabupaten Purworejo ini, peneliti melakukan pengamatan dan
mengikuti acara dari awal sampai selesai. Hal ini sangat penting agar
peneliti dapat mengetahui apa saja persiapan pertunjukan kuda
lumping Turonggo Tri Budoyo, bagaimana prosesi dan suasananya, apa
makna dari sesaji yang digunakan, dan fungsi kesenian tersebut.
2. Wawancara
Wawancara dilakukan terlebih dahulu menentukan sejumlah
informan, sesuai dengan kompetensinya dalam meperoleh data
mengenai tarian kuda lumping. Informan ditentukan secara purposif
dengan mempertimbangkan kompetensi masing-masing dalam
kaitannya dengan pengumpulan data. Wawancara (interview) adalah
cara-cara memperoleh data dengan berhadapan langsung, bercakap-
cakap, baik antara individu dengan individu maupun individu dengan
kelompok (Kutha Ratna, 2010:222). Pada umumnya wawancara
dibedakan menjadi dua macam, yaitu: a) wawancara terstruktur, yaitu
wawancara baku, terarah, terpimpin, di dalamnya susunan pertanyaan
sudah ditentukan sebelumnya, b) wawancara tak terstruktur juga
disebut wawancara mendalam, intensif, dan terbuka. Sugiyono
(2012:140) mendefinisikan wawancara tak terstruktur sebagai berikut:
“wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya.”
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan wawancara tak
terstruktur. Wawancara ini ditujukan kepada sesepuh desa, penari dan 36
ketua grup kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo di Desa
Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo. Adapun pertanyaan yang diajukan yaitu tentang bentuk penyajian tarian Kuda
Lumping, makna simbolis gerak tarian Kuda Lumping Turonggo Tri
Budoyo, serta fungsi tarian Kuda Lumping itu sendiri di Desa
Kaligono, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo. Wawancara ini dilakukan dengan mendatangi responden ke tempat tinggal masing- masing guna memperoleh data yang diperlukan.
Endraswara ( 2006 : 203 ) mengemukakan :
Penentuan informan dilakukan menggunakan teknik snowballing, yaitu berdasarkan informasi informan sebelumnya untuk mendapatkan informan berikutnya sampai mendapatkan “data jenuh” (tidak terdapat informasi baru lagi).
Informan dalam penelitian Pertunjukan Kuda lumping Turonggo
Tri Budoyo di Desa Kaligono, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten
Purworejo adalah orang-orang yang menguasai dan mengetahui untuk
sumber data yang valid. Dengan teknik snowballing, jumlah informan
tidak terbatas jumlahnya. Karakteristik informan juga tidak ditentukan
oleh penulis, melainkan didasarkan pada rekomendasi informan
sebelumnya. Melalui rekomendasi itu penulis segera menghubungi
informan berikutnya sampai data yang diperoleh mendapat kesatuan
yang utuh, berikut ini adalah daftar informan yang diwawancarai:
1. Nama : Paeno Darmowasito Jenis kelamin : Laki-laki Tempat/ tgl lahir: Purworejo, 04 November 1941 37
Alamat : Krajan Rt 001/ 001, Kaligono, Kaligesing Pekerjaan : Sesepuh kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo 2. Nama : Sareko Jenis kelamin : Laki-laki Tempat/tgal lahir: Purworejo, 09 Februari 1972 Alamat : Krajan Rt 002/ 001, Kaligono, Kaligesing Pekerjaan : Ketua Grup Kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo 3. Nama : Sudiyono Jenis kelamin : Laki-laki Tempat/ tgal lahir: Purworejo, 24 September 1962 Alamat : Krajan Rt 001/ 001, Kaligono, Kaligesing Pekerjaan : Pawang dan penari Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo
3. Dokumentasi
Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau
variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah,
prasasti, notulen rapat, legger, agenda, dan sebagainya (Arikunto,
2010:274) . Guba dan Lincoln dalam Moleong (2013:216-217)
mendefinisikan dokumen ialah, “setiap bahan tertulis maupun film,
lain dari record, yang tidak dipersiapkan karena adanya permintaan
seorang penyidik”. Sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam 38
bahan yang berbentuk dokumentasi. Alat yang digunakan untuk mendokumentasikan, berupa pedoman wawancara, alat rekam, kamera foto, alat-alat untuk mencatat hasil wawancara.
Dokumentasi merupakan pemberian atau pengumpulan bukti- bukti atau keterangan, kegiatan-kegiatan dalam masyarakat. Adapun data yang didokumentasikan berupa, foto dan video kegiatan yang dapat memberikan gambaran atau visual yang mewakili tentang proses berlangsungnya pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo di
Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo.
Peneliti mencari informasi mengenai makna simbolik
pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo di Desa Kaligono,
Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo dengan menggunakan
data-data historis. Data-data historis yang berhubungan dengan
pertunjukan kuda lumping diambil untuk melengkapi data yang
sudah ada. Data-data historis diperoleh dari tokoh-tokoh masyarakat,
tokoh seni dan pihak pemerintah yang terkait, yaitu pemerintah
kecamatan Kaligesing. Data-data tersebut berupa peta kecamatan,
peta desa, dokumen data geografis dan daftar monografis desa (luas
wilayah, struktur penduduk menurut usia dan jenis kelamin, struktur
pendidikan menurut mata pencaharian, agama), foto-foto, dan arsip
lainnya terkait dengan pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Tri
Budoyo di Desa Kaligono, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten
Purworejo. 39
E. Analisis isi atau Content Analisys
Menurut Holsti dalam Moleong (2013:220), “analisis isi adalah
teknik apa pun yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha
menemukan karakteristik pesan dan dilakukan secara objektif dan
sistematis“. Analisis isi merupakan metode yang datanya berupa kata-kata.
Kata-kata yang dianalisis adalah kata-kata yang diperoleh saat wawancara,
dapat berupa foto, video dan hasil rekaman yang menekankan pada acara
kesenian kuda lumping di Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing
Kabupaten Purworejo. Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam
penelitian ini meliputi: (1) mengidentifikasi data; (2) menganalisis data;
(3) menyusun hasil analisis; (4) membuat laporan hasil penelitian
(Maryaeni, 2005:47)
Cara kerja pada penelitian ini adalah: (1) data-data yang diperoleh
melalui teknik observasi, wawancara dan dokumen diproses sebelum
digunakan; (2) kata-kata yang dianalisis adalah kata-kata yang diperoleh
saat wawancara dengan informan, dapat berupa foto, video dan hasil
rekaman yang menekankan pada acara tari Kuda Lumping Turonggo Tri
Budoyo di Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo;
(3) data-data yang terkumpul, setelah dibaca, dipelajari dan ditelaah; (4)
langkah selanjutnya adalah menyusunnya dalam satuan-satuan. 40
F. Teknik Keabsahan Data
Dalam penelitian ini, teknik pemeriksaan keabsahan data
menggunakan teknik triangulasi. Menurut Moleong (2013:330)
“Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain, di luar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai perbandingan terhadap data yang diperoleh ”.
Denzin dalam Kutha Ratna (2010: 242) menyebutkan empat jenis
triangulasi, yaitu: a) Triangulasi data adalah penggunaan beragam sumber
data dalam suatu kegiatan, sebagai contoh mewawancarai orang pada
suatu posisi status yang berbeda atau dengan titik pandang yang berbeda;
b) triangulasi peneliti adalah penggunaan beberapa peneliti atau ilmuwan
sosial yang berbeda; c) triangulasi teori adalah penggunaan sudut pandang
ganda dalam menafsirkan seperangkat tunggal data; dan d) triangulasi
metode adalah penggunaan metode ganda untuk mengkaji masalah atau
program tunggal, seperti wawancara, pengamatan, daftar wawancara
terstruktur, dan dokumen.
Untuk menguji keabsahan data, penulis menggunakan triangulasi
data. Dalam triangulasi data, misalnya, data pertama tidak harus dianggap
sebagai sudah bersifat valid, tetapi justru harus diragukan kebenarannya,
sehingga perlu diuji melalui data lain dengan sumber yang berbeda,
demikian seterusnya, sehingga data yang diperoleh benar-benar dapat 41
dianggap objektif. Triangulasi data dalam penelitian ini dilakukan melalui
beberapa tahapan, yaitu:
a. Peneliti membandingkan data hasil pengamatan observasi di lapangan
dengan wawancara. Pengamatan terhadap pertunjukan Kuda Lumping
Turonggo Tri Budoyo dilakukan untuk mengetahui bentuk, makna, dan
fungsi tari.
b. Peneliti membandingkan data yang didapat dari informan utama peneliti
dengan data dari informan lainya. Dalam penelitian ini terdapat
informan yang dianggap kunci yaitu sesepuh dalam grup kesenian Kuda
Lumping Turongo Tri Budoyo. Data yang diperoleh dari hasil
wawancara kepada informan kunci tentang bentuk, makna, dan fungsi
tarian yang diperiksa kembali dengan wawancara kepada ketua grup
kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo, penari serta pawang
grup Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo.
c. Membandingkan apa yang disampaikan oleh informan peneliti tentang
situasi peneliti dengan apa yang terjadi di lapangan dengan melihat
secara langsung pementasan tari Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo
dan membandingkan keadaan dan perspektif dari informan dengan
keadaan-keadaan pada masyarakat secara umum.
G. Teknik Analisis Data
Analisis data kualitatif menurut Bogdan dan Biklen dalam
Moleong (2013: 248) adalah: 42
Upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceriterakan kepada orang lain.
Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu wawancara, pengamatan, yang sudah ditulis dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar foto, dan sebagainya. Data- data yang terkumpul, setelah dibaca, dipelajari, dan ditelaah maka langkah berikutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi. Abstraksi merupakan usaha untuk membuat rangkuman inti, proses dan pernyataan- pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya. Langkah selanjutnya adalah menyusunnya dalam satuan-satuan. Satuan-satuan itu kemudian dikategorisasikan pada langkah berikutnya (Patton dalam
Moleong, 2004:103). Proses analisis data dalam penelitian yang berjudul
“Bentuk, makna, dan fungsi tarian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo di
Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo” ini dimulai dengan mengumpulkan data yang diperoleh. Data yang telah terkumpul tersebut selanjutnya diproses sebelum siap digunakan, tetapi analisisnya tetap menggunakan kata-kata yang disusun ke dalam teks yang diperluas. BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data
a. Deskripsi Umum Desa Kaligono
Desa Kaligono adalah salah satu desa yang berada di wilayah
Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Wilayah
Kecamatan Kaligesing terletak di wilayah Kabupaten Purworejo
bagian timur. Desa Kaligono merupakan salah satu desa dari 17 desa
di Kecamatan Kaligesing yang terletak di ibukota kecamatan. Dari
ibukota Kabupaten Purworejo jaraknya kurang lebih 10km, dan dari
ibukota Provinsi Jawa Tengah jaraknya kurang lebih 130 km.
Secara geografis Desa Kaligono dengan luas wilayah
893,310ha, terletak di ibukota Kecamatan Kaligesing, bagian utara
yang berbatasan langsung dengan Desa Ngaran/ Tlogorejo, sebelah
timur berbatasan dengan Desa Tlogoguwo/ Donorejo, sebelah selatan
berbatasan dengan Desa Hulosobo, sebelah barat berbatasan dengan
Desa Kedunggubah/ Kaliharjo. Desa Kaligono sendiri memiliki luas
tegalan 660 ha dan luas pemukinan 224 ha.
43 44
b. Kependudukan
Menurut data monografi desa tahun 2012, jumlah penduduk Desa
Kaligono sebesar 4360 jiwa yang terdiri dari 2164 laki-laki dan 2196
perempuan. Serta 1290 orang kepala keluarga. c. Mata Pencaharian
Tingkat kemakmuran suatu masyarakat dapat diketahui dari
terpenuhinya kebutuhan pokok seperti pangan, sandang dan papan.
Dalam memenuhi kebutuhan pokok tersebut tidak terlepas dari
pendapatan masyarakat yang tentunya sangat tergantung pada mata
pencaharian pokok penduduk. Demikian pula tingkat kemakmuran
masyarakat Desa Kaligono dapat dilihat dari mata pencaharian pokok
penduduknya.
Mata pencaharian penduduk Desa Kaligono menurut data
monografi desa terdapat beberapa jenis pekerjaan. Mata pencaharian
penduduk Desa Kaligono sebagian besar bekerja sebagai petani
sebanyak 1251 orang. Hal ini terbukti dengan banyaknya lahan
pertanian.
Mata pencaharian penduduk lainnya adalah pengusaha besar
atau sedang sebanyak 67 orang. Pengusaha ini meliputi pengusaha
bengkel, toko, pengangkutan dan lain-lain. Selain itu mata
pencaharian penduduk lainnya adalah sebagai PNS, TNI, Polri. Mata 45
pencaharian penduduk Desa Kaligono selengkapnya dapat dilihat
berikut ini.
Tabel 1. Mata Pencaharian Penduduk Desa Kaligono
No Mata Pencaharian Jumlah 1 Petani 1251 jiwa
2 Pedagang 67 jiwa
3 PNS, TNI, Polri 79 jiwa
d. Tingkat Pendidikan
Masyarakat Desa Kaligono sangat memperhatikan pentingnya
pendidikan untuk masa depan mereka. Itu terbukti terdapat penduduk
desa yang melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang perguruan
tinggi. Selain pendidikan formal, partisipasi masyarakat dalam
program pendidikan adalah dengan pemberantas kebodohan yang
dilaksanakan dengan program kejar paket A dan kejar paket B.
Tabel 2. Tingkat Pendidikan di Desa Kaligono
No Jenis Pendidikan Jumlah 1. SD/ MI 1590 jiwa 2. SMP/ MTs 942 jiwa 3. SMA/ SMK/ MA 965 jiwa 4. Diploma 40 jiwa 5. Sarjana 113 jiwa 6. Pasca Sarjana 7 jiwa 46
Selain itu Desa Kaligono juga memili beberapa fasilitas pendidikan
yaitu:
- TK : 2 buah luas: 480 m²
- SD/ MI : 4 buah luas: 3616 m² e. Sistem Religi
Mayoritas penduduk Desa Kaligono beragama Islam, itu bisa
dilihat dari tempat ibadah di Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing
Kabupaten Purworejo, sebagai berikut:
- Masjid : 5 buah luas: 480 m²
- Musolla : 12 buah luas: 432 m² f. Kesenian
Di desa Kaligono juga terdapat banyak grup kesenian,
diantarannya adalah:
- Grup Soyar : 6 kelompok
- Dolalak : 1 kelompok
- Kuda Lumping : 2 kelompok
- Wayang Orang : 1 kelompok
- Ketoprak : 1 kelompok
- Karawitan : 3 kelompok
- Hadroh : 3 kelompok
- Orkes melayu : 2 kelompok 47
Hal ini dapat dilihat pada saat hari kemerdekaan 17
Agustus, banyak kesenian dari Desa Kaligono yang dipentaskan di
alun- alun Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo, dan
dikarenakan pula letak Desa Kaligono yang berada di ibukota
kecamatan.
g. Potensi Desa
Potensi Desa Kaligono mengalami perkembangan yang
sangat pesat karena daerahnya yang luas, berikut adalah data
potensi Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten
Purworejo:
- Potensi pertanian/ sawah : 1 ha jenis: tumpangsari
- Potensi perkebunan : 660 ha jenis: cengkeh
- Potensi peternakan : 1650 ekor jenis: kambing
- Potensi pariwisata : 8 lokasi
B. Bentuk Penyajian Kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo
1. Sejarah berdirinya Kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo
Dalam penelitian ini akan dipaparkan mengenai sejarah
berdirinya kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo agar
memperjelas keberadaan grup kesenian kuda lumping ini di Desa
Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo, grup kesenian
kuda lumping ini dulu terbagi menjadi tiga kelompok dengan nama 48
jathilan, yaitu kelompok jathilan dusun Krajan, kelompok jathilan dusun Kamalan, dan kelompok jathilan dusun Slegok. Pada tahun
1957 kesenian tersebut mengalami kemunduran karena perkembangan zaman, sehingga eksistensi jathilan tersebut menjadi berkurang di kalangan masyarakat. Proses peremajaan kesenian Kuda Lumping
Turonggo Tri Budoyo di Desa Kaligono, Kecamatan Kaligesing,
Kabupaten Purworejo berasal dari Mbah Darmo Warsito yang saat itu beliau menjabat sebagai ketua Grup kesenian jathilan. Pada tahun
1967 mbah Darmo Warsito menggabungkan tiga kesenian jathilan di
Desa Kaligono menjadi satu Grup Kesenian Kuda Lumping Turonggo
Tri Budoyo yang memiliki arti, turonggo adalah jaran atau kuda, tri adalah tiga kelompok, dan budoyo itu adalah kebudayaan. Jadi
Turonggo Tri Budoyo memiliki arti gabungan tiga kelompok kebudayaan kuda lumping.
Beliau mempunyai ide untuk menghidupkan kembali kesenian tradisional kuda lumping yang keberadaannya mulai tergerus oleh perkembangan jaman. Seperti yang dituturkan mbah Darmo Warsito kepada peneliti tanggal 23 Agustus 2013:
Kutipan:
“ Kawiwitane sedaya anggota rumiyin menika antawisipun nggih enten kalih dasa sak wiyaganipun, lajeng wau-waune dereng enten namine Turonggo Tri Budoyo meniko, awit kula menika riyin gabungan wonten kalih wot ngawang-awang. Lajeng sakmenika sampun putus, lajeng kreasi tari menika sampun kathah dados hubungan antawisipun kelompok kamalan, krajan, slegok menika setunggal dusun dados tigang 49
kelompok. Lajeng kula namini nalika kula dados ketua organisasi niku kula namini Turonggo Tri Budoyo. Turonggo niku jaran, tri niku tiga kelompok kebudayaan, asli-asline wekdal kula di dhapuk dados ketua. Nek sing jathil riyin tahun 1957, ning njuk macet, njuk kula mikir-mikir kesenian Jawa tradisional nek njuk macet mengko kepiye. Njuk kula kempalke malih, kula tangeke malih wonten awit sak pedukuhan, krajan, kamalan lan slegok telung kelompok dados setunggal tahun 1963.”
Terjemahan :
“Awal mulanya semua anggota ada 20 sudah sama wiyaganya, semula belum ad yang namanya Turonggo Tri Budoyo, berawal dari saya gabung dengan wot ngawang-awang, terus sekarang sudah putus. Terus kreasi tari itu sudah banyak jadi hubungan antara kelompok kamalan, krajan, slegok satu desa tiga kelompok, terus saya beri nama ketika saya jadi ketua organisasi saya beri nama Turonggo Tri Budoyo, turonggo itu jaran atau kuda, tri itu tiga kelompok, budoyo itu kebudayaan, waktu saya dipilih menjadi ketua. Dulu namanya jathilan taun 1957, tapi terus macet, terus saya berpikir kesenian Jawa tradisional kalau macet terus bagaimana. Terus saya kumpulkan lagi saya bangunkan lagi satu pedukuhan, krajan, slegok dan kamalan tiga kelompok jadi satu. Tahun 1967.”
Dari penuturannya beliau mempunyai harapan agar kesenian kuda lumping di Desa Kaligono tidak punah keberadaannya. Dari tahun ke tahun pun grup kesenian Kuda Lumpingg Turonggo Tri
Budoyo mengalami perkembangan, sehingga pada tahun 1983 tarian
Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo banyak menggunakan tari kreasi baru yang diciptakan oleh seniman Yogyakarta Bagong
Kussudiardja, karena mengikuti jaman grup kesenian Kuda Lumping
Turonggo Tri Budoyo berkembang lagi menjadi kuda lumping kreasi campursari kurang lebih tahun 1998, hal ini sesuai dengan 50
wawancara peneliti dengan Bapak Sudiyono pada tanggal 31
Agustus 2013:
Kutipan:
“riyin niku enten tigang kelompok jathilan, jathilan krajan, slegok, kamalan. Lha kangge nguri-uri budaya, lajeng didadosaken setunggal, grup niki ngalami tigang perkembangan, saking klasik teng kreasi baru tahun ’83, saking kreasi teng campursari nembe mulai tahun ’98, niku nembe dikreasi ngangge sinden kalih organ barang.”
Terjemahan: “ dulu itu ada tiga kelompok jathilan, jathilan krajan, slegok, kamalan. Lalu untuk melestarikan budaya lalu dijadikan satu. Grup ini mengalami tiga perkembangan, dari klasikke kreasi baru tahun ’83, dari kreasi ke campursari baru mulai tahun ’98, itu baru dikreasi menggunakan sinden dan organ juga.”
Minat anak- anak untuk mengikuti grup kesenian kuda lumping pun juga sangat banyak. Sehingga kesenian Kuda Lumping
Turonggo Tri Budoyo ini tetap berkembang. Hal ini sesuai dengan penuturan Bapak Sareko sebagai berikut:
“niat untuk menjadi penari masih sangat luar biasa bukan dari paksaan orang tua, dari luar RW sini pun masih banyak yang bergabung dengan grup ini. Jadi kemauan anak- anaknya masih tinggi.” Banyak pula yang mengundang pertunjukan Kuda Lumping
Turonggo Tri Budoyo untuk acara-acara tertentu. Secara garis besar yang melatarbelakangi berdirinya kesenian Kuda Lumping Turonggo
Tri Budoyo di Desa Kaligono, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten
Purworejo antara lain: 51
1. Ingin melestarikan kesenian tradisional, khususnya kesenian kuda
lumping (nguri-uri kabudayan Jawa).
2. Mempersatukan generasi muda untuk bersatu padu memajukan
dusun, kesenian dusun khususnya.
3. Menghimpun anak-anak muda ke dalam suatu kegiatan yang
positif
Kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo berupaya
mempertahankan kualitas dengan menetapkan jadwal kegiatan
diantaranya sebagai berikut:
1. Latihan dilaksanakan setiap hari Rabu (malam Kamis) dan
Sabtu (malam Minggu), bertempat di halaman rumah Bapak
Sareko ketua grup kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri
Budoyo.
2. Setiap anggota mempunyai tugas atau kewajiban untuk
mengadakan latihan dan tidak ada peraturan yang ketat apabila
ada anggota yang tidak hadir pada saat latihan.
2. Bentuk Penyajian Tari Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo
Rangkaian acara pertujukan kuda lumping Turonggo Tri
Budoyo di Desa Kaligono, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten
Purworejo merupakan tanggung jawab dari grup kesenian Kuda
Lumping Turonggo Tri Budoyo dan warga pendukung kesenian Kuda
Lumping Turonggo Tri Budoyo yang pada dasarnya merupakan suatu
rangkaian yang berurutan. Rangkaian pertunjukan Kuda Lumping 52
Turonggo Tri Budoyo di Desa Kaligono, Kecamatan Kaligesing,
Kabupaten Purworejo secara berurutan terdiri dari tiga acara, yaitu:
(a)Pra pertunjukan yang meliputi
1. Membuat perencanaan acara
Sebelum pertunjukan kuda lumping ini dilaksanakan,
ada dua hal yang harus dipersiapkan baik secara fisik maupun
non fisik, yang pertama persiapan fisik adalah berupa benda-
benda dan perlengkapan yang diperlukan untuk melaksanakan
pertunjukan kuda lumping, yang kedua persiapan mental
anggota grup kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo
karena selain melakukan pertunjukan di Desa Kaligono, grup
kesenian ini juga sering di undang warga sekitar desa untuk
menghibur dalam acara hajatan masyarakat sekitar Desa
Kaligono, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo.
2. Membersihkan arena pertunjukan kuda lumping
Persiapan yang dilakukan pada prosesi pertunjukan
kuda lumping biasanya adalah membersihkan arena
pertunjukan, bila pertunjukan kuda lumping diadakan di Desa
Kaligono biasanya yang membersihkan adalah kelompok grup
kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo di bantu
masyarakat sekitar arena pertunjukan. Bila di undang pada
acara hajatan biasanya ada salah satu orang dari grup kesenian
Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo yang sudah 53
mempersiapkan arena pertunjukan dibantu orang yang
mengundang.
3. Menyiapkan berbagai sesaji
Sesaji yang digunakan saat pertunjukan kuda lumping
adanya sesaji untuk penari yang kesurupan atau ndadi. Sesaji
biasanya dipersiapkan oleh pawang grup kesenian Kuda
Lumping Turonggo Tri Budoyo. Sesaji tersebut diantaranya
yaitu, degan ijo, bonang-baning, kopi manis, kopi pahit, teh
manis, teh pahit, kembang setaman, dan air campur daun tawa.
4. Nyekar ke pepunden
Beberapa jam sebelum pelaksanaan pertunjukan Kuda
Lumping Turonggo Tri Budoyo seorang sesepuh nyekar ke
pepundhen desa yaitu Eyang Brojo Menggolo. Nyekar ke
pepundhen desa ini seorang sesepuh membawa kembang
menyan sebagai tanda untuk menyepuhkan leluhur dan bentuk
perijinan akan dilaksanakannya acara tradisi supaya prosesi
acara berjalan lancar sesuai dengan yang diharapkan, hal ini
dapat dilihat dari doa yang diucapkan sesepuh grup kesenian
Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo yaitu Bapak Sudiono
tanggal 25 Agustus 2013 ketika akan pentas di desa Ganggeng
sebagai berikut: 54
Kutipan:
“Assalamu’alaikum ya arwah simbah Brojo Menggolo kakung putri miwah pandherekipun…Assalamu’alaikum ya arwah simbah Brojo Menggolo Kakung putri miwah pandherekipun (sambil menepuk makam simbah Brojo Menggolo kakung putri, masing- masing tiga kali) a’udzubillahiminasyaitonnirojim.. bismillahirrohmanirrohim.. Eyang Brojo Menggolo kakung putri miwah pandherekipun ingkang mirungga dados pepanjen putra wayah ing kamalan, kawula pun Sudiono anglarapaken keng wayah nini Dewi saking Purworejo, mbok bilih kawula kekalih anggenipun sowan kirang trapsila subasita amargi kirang pangertosan.. kula sowan wonten mriki siang enjing menika kawula badhe nyuwun idi palilah, idi pangestu bilih siang menika dumugi mangke ndalu, klangenan dalem Eyang Brojo Menggolo kakung putri miwah pandherekipun badhe kagem wonten ing panggenanipun Bapak Suwono ing kelurahan Ganggeng wewengkon Purworejo, lan uga sowanipun kawula nyuwun pepayung ugi nyuwun slamet, mugi- mugi bidalipun para wayah samudaya buyut kakung putri, sepuh enem tansah pinaringan slamet, slamet, slamet awit saking mriki dumugi ganggeng, dumugi wangsul ing kamalan malih….” Terjemahan: “assalamu’alaikum ya arwah Eyang Brojo Menggolo kakung putri serta pengikutnya, saya Sudiyono, memperkenalkan seorang cucu yang bernama Dewi dari Purworejo. Mungkin kami berdua datang ke pepundhen kurang tata krama karena kurangnya pengetahuan, kami mohon maaf. Saya kemari di pagi hari ini karena meminta doa restu bahwa siang hari ini sampai nanti malam, klangenan Eyang Brojo Menggolo akan dipertunjukan di rumah Bapak Suwono di kelurahan Ganggeng Purworejo, dan juga saya kemari meminta perlindungan serta keselamatan semoga berangkatnya, para cucu dan buyut putra, putri, tua, muda, diberikan keselamatan, selamat dari sini sampai Ganggeng sampai pulang kembali ke Kamalan.” Setelah selesai membaca doa tadi sesepuh melakukan obong- obong menyan di pepundhen, sambil membaca doa yang 55
hanya dilakukan dan dimengerti oleh sesepuh. Ritual yang terakhir sesepuh menabur bunga di atas pepundhen Eyang Brojo Menggolo kakung putri.
Gbr. 1. Pepundhen Eyang Brojo Menggolo Kakung
Putri
Gbr. 2. Ritual Obong- obong di pepundhen Eyang Brojo Menggolo
Akan tetapi ritual nyekar ke pepundhen desa ini hanya
dilakukan oleh sesepuh saja, karena dipercaya oleh masyarakat
setempat bahwa hanya orang-orang yang mempunyai kasekten 56
(kasekten artinya kesaktian) apabila berdoa lewat perantaranya
dipercaya dapat cepat terkabul.
5. Persiapan penari
Setelah sampai di tempat acara para penari dan pawang
berganti busana. Para penari dirias seperti seorang prajurit
sedangkan pawang kuda lumping hanya berganti baju
berwarna hitam- hitam dan menggunakan ikat kepala dari kain.
Gbr. 3. Para penari merias diri sebelum pertunjukan kuda
lumping
6. Obong Menyan (Membakar Kemenyan)
Obong menyan merupakan sebuah ritual yang dianggap
sakral oleh masyarakat pendukung tradisi, terutama yang
masih kental dengan nuansa kejawen. Hal tersebut terlihat dari
orang yang obong menyan (membakar menyan) yaitu bukan
sembarang orang, melainkan orang yang disepuhkan. 57
Sebelum pertunjukan kuda lumping dimulai, seorang sesepuh (pawang) harus melaksanakan acara obong menyan
(membakar kemenyan). Obong menyan ini diiringi dengan tabuhan gamelan Kuda Lumping Turonggo Tri budoyo.
Obong menyan (membakar menyan) dilakukan sebelum pertunjukan kuda lumping dimulai, hal ini bertujuan untuk mendatangkan roh-roh (danyang) agar hadir dalam tradisi ini, danyang boleh saja ikut dalam prosesi pertunjukan tetapi tidak boleh mengganggu jalannya pertunjukan. Selain itu obong menyan bertujuan untuk njawab atau meminta izin kepada para leluhur agar pertunjukan kuda lumping berjalan lancar tanpa ada halangan.
Obong menyan (membakar kemenyan) dilakukan oleh sesepuh di depan sesaji, kemudian pawang membawa obongan menyan ke sekeliling barongan, dan kuda lumping, hal ini bertujuan untuk meminta izin kepada danyang yang ada di dalam peralatan tersebut. Obongan menyan itu kemudian dibawa ke sekeliling arena pertunjukan dengan maksud agar roh (danyang) yang jahat tidak mengganggu.
Pada intinya proses obong menyan ini dilakukan untuk meminta izin kepada leluhur dan roh-roh (danyang) yang berdiam di dalam peralatan kuda lumping karena akan diselenggarakannya tarian kuda lumping. Tujuan lain dari 58
proses obong menyan ini adalah untuk mengundang roh-roh
(danyang) agar hadir dalam tradisi ini, selain itu untuk
melindungi dan menghindarkan dari roh-roh (danyang) yang
sifatnya negatif. Segala sesuatunya ditujukan untuk meminta
izin agar semuanya berjalan dengan lancar dan diberikan
keselamatan.
Kepulan asap kemenyan yang berbau khas dimaksudkan
agar makhluk halus membantu permohonan supaya cepat
sampai kepada Tuhan. Harapan lainnya adalah arwah nenek
moyang tidak mengganggu, tatapi membantu manusia.
Gbr. 4. Gambar pawang kuda lumping yang melakukan obong- obong di alat musik kendhang.
(b)Proses pertunjukan kuda lumping
Sebelum acara pementasan dimulai didahului dengan acara
pembukaan oleh salah seorang anggota kesenian. Pada garis
besarnya pertunjukan kuda lumping Turangga Tri Budoyo di Desa 59
Kaligono bentuk atau urutan-urutan penyajiannya adalah sebagai berikut:
1) Tari pambuka (tari kreasi baru)
2) Tari Jaipong
3) Tari Gobyok
4) Tari Mataraman
5) Tari jaranan versi Bali Pulau Dewata
6) Kesurupan (ndadi)
Dibawah ini uraian tentang tarian dalam pertunjukan kuda lumping Turonggo Tri Budoyo Desa Kaligono, Kecamatan
Kaligesing, Kabupaten Purworejo.
1. Tarian pembuka kreasi baru merupakan tarian pembuka yang
dibawakan oleh delapan orang penari laki- laki. Ragam-ragam
tarian yang dibawakan sederhana dan cenderung diulang-ulang.
Ragam gerak pada sajian tari kreasi baru antara lain adalah:
a) Penari masuk arena pertunjukan, kuda kepang diangkat
miring sambil kentrik, memutari arena pertunjukan dua kali.
b) Penari membuat posisi sejajar kesamping, depan empat
penari, belakang dua penari, dan paling belakang dua penari.
c) Kuda kepang dipegang dan dibawa di depan dada dan
digoyangkan kekanan tiga kali ke kiri tiga kali sambil kaki
kiri menendang ke belakang. 60
d) Penari kembali ke barisan semula, ke belakang sambil gerak
ngithing di depan muka, tangan kiri seblak sampur.
e) Penari memutar membuat lingkaran, maju ke depan tiga kali
mundur ke belakang tiga kali sambil kaki kanan menendang
ke belakang.
f) Masing- masing penari saling membelakangi tetapi masih
dalam formasi lingkaran, maju ke depan tiga kali mundur ke
belakang tiga kali sambil kaki kanan menendang ke belakang.
g) Penari menari memutari arena pertunjukan dua kali lalu
kembali ke tobong.
Makna dari tari kreasi ini adalah menceritakan tentang
sekelompok prajurit yang berperang untuk memperluas agama
Islam pada masa awal kerajaan Demak sampai dengan kerajaan
Mataram Islam. Tari ini juga sudah dipadukan dengan gerak tari
kreasi baru. Hal ini sesuai dengan yang dipaparkan Bapak
Sudiyono sebagai berikut:
” Tari kreasi ini memperpadukan sejarah atau riwayat hidup budaya Islam masuk dateng tanah Jawi. Niku nyejarahke perluasan agama Islam lewat masing-masing kerajaan lewat peperangan. Jadi tari kreasi jaranan ini, perpaduan antara perang penyebaran agama Islam mulai awal Demak sampai dengan Mataram Islam dipadukan dengan budaya daerah mengikuti perkembangan jaman.”
2. Tarian kedua ditarikan oleh enam penari perempuan tari ini
disebut tari jaipong, ragam gerak tari dalam tarian ini adalah
sebagai berikut: 61
a) Penari menuju arena pertunjukan baris satu per satu tangan di
samping dahi, sambil jalan dan bergoyang menjadi satu baris
sejajar ke belakang kemudian ngigel di tempat. b) Penari ngigel sambil goyang ke kanan kembali ke barisan
kemudian ngigel ke kiri kemudian kembali ke barisan, tangan
kanan ngithing tangan kiri seblak sampur. c) Penari memutari arena pertunjukan dua kali. d) Penari berpasang-pasangan kemudian menari jaipong. e) Penari kembali ke barisan sejajar ke belakang, kemudian
memutari lapangan, dan berjajar dengan posisi depan dua
penari, ke belakang satu penari, kebelakang lagi dua penari
dan belakang sendiri satu penari. f) Dua penari yang terdepan menari sambil meninggalkan arena
pertunjukan, yang dua di belakang dengan posisi jengkeng,
kemudian penari yang dibelakang sendiri naik di atas penari
yang jengkeng tadi dengan tarian jaipong, dan satu penari lagi
menari di depan tiga penari. g) Empat penari berjalan beriringan kemudian berjajar dan
memberikan salam kepada penonton lalu kembali ke tobong.
Makna tarian ini menggambarkan pada masa penjajahan
Hindia Belanda karena rakyat telah menang dalam peperangan menghadapi Hindia Belanda maka kegembiraan rakyat tersebut 62
digambarkan dengan tarian Jaipong. Hal tersebut sesuai dengan
pemaparan Bapak Sudiyono sebagai berikut:
“ Tari ini menggambarkan kegembiraan waktu masa penjajahan Hindia Belanda, karena merasa senang memenangkan peperangan disitulah rakyat berpesta pora, pesta itu dipadukan dengan seni daerah sunda yaitu tari jaipong yang di kreasi dengan tarian jaranan dari Jawa Tengah.”
3. Tari pada babak ketiga adalah tari gobyok yang ditarikan oleh
delapan penari laki-laki, ragam gerak gobyok adalah sebagai
berikut:
a) Penari menuju ke arena pertunjukan berpasang- pasangan
dengan gerakan lari-lari kecil, membuat barisan dua- dua ke
belakang.
b) Kuda kepang di angkat ke atas sampai depan muka lalu di
goyang ke kanan tiga kali ke kiri tiga kali.
c) Penari berpasang- pasangan dengan gerak tari menyilang dua
pasang kekanan dan dua pasang kekiri.
d) Penari kembali ke barisan dua-dua lagi, kemudian bergerak
memecah, sebelah kanan berbelok ke kanan yang kiri
berbelok kekiri dan membentuk lingkaran dengan gerak lari-
lari kecil memutari arena pertunjukan selama tiga putaran.
e) Para penari kemudian jengkeng beralaskan kuda kepang.
Sambil bangun berdiri dengan gerak tari ngigel. 63
f) Para penari sindir ngiri ke belakang dua kali ke depan dua
kali, lalu kembali membentuk satu barisan, memutari arena
pertunjukan dan kembali ke tobong.
Makna tarian Gobyok ini menggambarkan kegembiraan
kemenangan sekelompok prajurit yang pulang dari medan
perang dalam memperluas pengaruh Islam dan mengusir
penjajahan Belanda. Hal ini sesuai pemaparan Bapak Sudiyono
sebagai berikut:
“ Tari gobyok itu menggambarkan kemenangan prajurit pulang dari medan perang untuk memperluas pengaruh Islam dan mengusir penjajah di waktu itu, karena merasa menang kemudian digambarkan dengan tari yang banyak gerak, banyak tawa, dan banyak lari, itu karena merasa puas mendapat kemenangan.”
4. Tari babak keempat adalah tari mataraman atau tari pedang.
Ragam gerak dalam tari mataraman adalah sebagai berikut:
a) Penari menuju arena pertunjukan berbaris dua- dua mengitari
lapangan dan membuat barisan dua-dua ke belakang, gerak
mundur empat langkah, kembali ke depan empat langkah
lagi, jongkok sambil memberi sembahan.
b) Penari berdiri, kuda kepang di depan dada memutar searah
jarum jam, posisi menghadap ke kanan menjadi satu barisan
dengan gerak tari bapangan dan sumpingan.
c) Penari kembali berputar ke kanan posisi menghadap ke kiri
menjadi satu barisan dengan gerak tari bapangan dan
sumpingan. 64
d) Penari kembali berbaris lagi, kuda kepang dioyog lalu lari
pecah barisan. Masing- masing kepala regu membawa sebilah
pedang dan bertempur atau perang pedang. e) Salah satu kepala regu yang perang pedang tertunduk sambil
menggoyang- goyangkan kepala. f) Kepala regu yang berdiri lari memutari kepala regu yang
tertunduk, sambil bergoyang- goyang mundur empat langkah
maju empat langkah dan bertempur kembali. g) Pecah barisan lagi menjadi dua barisan, memutari arena
pertunjukan, kemudian kembali keposisi barisan berjajar ke
belakang, jongkok memberi salam pada penonton dan
kembali ke tobong.
Tarian Mataraman ini termasuk dalam tarian klasik. Tari ini menggambarkan peperangan antara pangeran Inu Kertapati dari
Jenggala dan Adipati Wora Wari dalam perebutan seorang gadis dari Kerajaan Kediri yaitu Galuh Candrakirana. Hal ini sesuai dengan pemaparan Bapak Sudiyono sebagai berikut:
“ Mataraman niku termasuke ceritane tua. Mataraman niku menggambarkan peperangannya antara Pangeran Inu Kertapati dari Jenggala dan Adipati Wora Wari dalam perebutan seorang gadis dari Kediri yang bernama Galuh Candrakirana.” 65
5. Tari kelima adalah tari jaranan versi Bali Pulau Dewata
Tari ini ditarikan oleh delapan anak laki-laki. Ragam
gerak tari dalam tarian jaranan versi Bali adalah sebagai
berikut:
a) Penari menuju arena pertunjukan dari sebelah kanan dan kiri
arena pertunjukan, lari kecil-kecil melewati pinggir arena
pertunjukan membentuk barisan dua-dua ke belakang,
jongkok memberi salam pada penonton.
b) Berdiri dengan gerak tarian goyang kekiri tiga kali ke kanan
tiga kali, kaki kanan diangkat sambil pacak jonggo.
c) Penari memutar ke posisi kiri, barisan yang depan goyang ke
kanan tiga kali yang belakang ke kiri tiga kali, kaki kanan
diangkat sambil pacak jonggo.
d) Penari memutar ke posisi kanan, barisan depan goyang ke
kanan tiga kali, yang belakang ke kiri tiga kali, kaki kanan di
angkat sambil pacak jonggo.
e) Penari bergerak pecah barisan penari sebelah kiri ke kiri,
penari sebelah kanan ke kanan, berputar mengelilingi arena
pertunjukan, kemudian menjadi satu barisan lagi.
f) Penari kentrik, sambil lari-lari kecil ke belakang empat
langkah, ke depan lagi empat langkah sambil kuda kepang
digoyangkan ke atas ke bawah. 66
g) Masing- masing kepala regu menari sambil berputar- putar
mengelilingi arena pertunjukan sebanyak tiga kali, barisan di
belakangnya tetap pada posisi dengan tari jaipong.
h) Penari berbaris dua- dua memutari arena pertunjukan dan
biasanya di saat inilah para penari kesurupan atau ndadi.
Tarian ini menggambarkan pada masa kejayaan Majapahit
dan Bali Klungkung, dimana rakyat Bali Klungkung
mempertahankan kepercayaannya dari pengaruh Islam. Gerak
tari ini keras karena menggambarkan kekerasan dan keteguhan
hati semua orang-orang Majapahit dan Bali Klungkung untuk
mempertahankan kepercayaan masing-masing. Hal ini sesuai
pemaparan Bapak Sudiyono sebagai berikut:
“ Tari ini menggambarkan pada masa kejayaan Majapahit dan Bali Klungkung, keduanya mempertahankan kepercayaan agama Hindu dari pengaruh Islam. Disitu seolah-olah tariannya keras karena menggambarkan keteguhan hati semua orang-orang Majapahit dan Bali Klungkung untuk mempertahankan kepercayaan masing- masing.”
6. Kesurupan atau ndadi
Ciri khas pada kesenian kuda lumping adalah terjadinya
kesurupan (ndadi) pada para penari kuda lumping. Ndadi atau
kesurupan adalah keadaan dimana penari kuda lumping
kemasukan danyang, maka penari kuda lumping yang
kemasukan danyang tersebut tidak sadar lagi. Hal tersebut
mengalami keadaan diluar kesadaran manusia kemudian tidak 67
ingat apa-apa dan melakukan gerakan diluar kesadarannya, karena penari dikuasai oleh danyang yang masuk ke dalam tubuh penari.
Bunyi sebuah pecutan (cambuk) yang sengaja dicambukkan pada pemain kuda lumping menjadi awal permainan dan masuknya kekuatan mistis yang bisa menghilangkan kesadaran para pemainnya. Adegan ini menjadi bagian yang ditunggu oleh penonton.
Dalam masyarakat Jawa yang menganut kepercayaan kejawen (animisme dan dinamisme), seseorang mempercayai kehadiran danyang-danyang sebagai roh orang yang sudah meninggal. Danyang ini memiliki pemikiran, perasaan, dan nafsu yang hampir sama dengan manusia. Danyang ini kemudian masuk ke dalam tubuh para pemain kuda lumping dan memanfaatkan fisik para pemain kuda lumping untuk melakukan sesuatu yang mustahil dilakukan oleh orang biasa. Tubuh para pemain kuda lumping sesaat menegang, kemudian menari, melompat, menjungkirkan badan, dan memakan apa saja yang ada dalam sesaji.
Pemain kuda lumping yang ndadi (kesurupan) akan melakukan hal-hal diluar kesadarannya atau melakukan atraksi yang sulit diterima akal sehat. Selain pemain kuda lumping, tidak sedikit anggota kesenian kuda lumping yang ikut ndadi 68
(kesurupan). Pemain kuda lumping yang ndadi (kesurupan) ada
yang memakan bunga setaman dengan dicampur air kelapa
muda (degan ijo), meminum kopi pahit, dan sesaji yang sudah
disediakan, ada juga penari kuda lumping yang kesurupan itu
biasanya meminta dinyayikan lagu-lagu campursari.
Gbr. 5. Penari kuda lumping yang kesurupan memakan
kembang
Gbr. 6. Penari kuda lumping kesurupan meminta dinyanyikan lagu campursari 69
Dalam kondisi kesurupan seperti ini dibutuhkan seorang pawang atau sesepuh. Seorang pawang dalam pertunjukan kuda lumping bertindak sebagai penyembuh atau mengembalikan kesadaran seorang penari kuda lumping yang mengalami kesurupan. Proses penyadaran kembali ini menjadi tontonan yang tak kalah menarik. Beberapa orang pria yang kuat harus memegangi tangan, kaki, kepala, dan tubuh para pemain kuda lumping, kalau tidak penari yang kesurupan akan berlari lagi.
Penari yang kesurupan akan disembuhkan oleh seorang pawang dengan membacakan surat al- fatikhah dan solawat nabi, selain itu jika ada salah seorang yang akan disembuhkan, biasanya pemain yang ndadi akan meminta disembuhkan melalui kendhang ataupun singa barong. Kepercayaan bahwa danyang-danyang kuda lumping tersebut berdiam dalam kendhang dan barongan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Bapak Sudiyono pada peneliti tanggal 31 Agustus 2013 sebagai berikut:
Kutipan:
“kangge penyembuhan niku namung diwaoske al fathikhah kalih solawat nabi mawon.”
Terjemahan:
“untuk penyembuhan itu hanya dibacakan surat al fatikhah dan solawat nabi saja.” 70
(c) Pasca pertunjukan
Pasca acara pertunjukan tari Kuda lumping Turonggo Tri
Budoyo yaitu ditutup dengan tarian yang dibawakan oleh penari yang
dituakan atau sesepuh dari grup kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri
Budoyo dengan tujuan berpamitan dan memohon maaf kepada
danyang yang menguasai tempat dimana pertunjukan kuda lumping
tersebut digelar. Pendapat itu sesuai dengan penuturan Bapak
Sudiyono pada wawancara tanggal 31 Agustus 2013 sebagai berikut:
“ ritual penutupe niku, nggih namung tarian ingkang ditariake kalih sesepuhe grup kuda lumping niku. Tujuane nggih pamitan lan nyuwun pangapunten kalih ingkang nguasai lingkungan mriki, ingkang ing alam ghaib niku.” Terjemahan : “Ritual penutup itu, hanya tarian yang ditarikan oleh sesepuh grup kuda lumping itu. Tujuannya ya pamitan dan meminta maaf pada yang menguasai lingkungan disitu, yang ada di alam ghaib.”
Setelah acara ritual tari penutup biasanya ketua Grup Kesenian
Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo berpamitan pada penonton dan
berterima kasih karena telah menyaksikan pertunjukan tari Kuda
Lumping Turonggo Tri Budoyo.
3. Pendukung Kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo
a. Penari
Penari dibedakan menjadi tiga yaitu penari kuda lumping,
penthul dan bejer, barongan. 71
1) Penari Kuda Lumping
Setiap kelompok terdiri atas delapan penari dan
ditambah dua orang sebagai penthul dan bejer. Kelompok
terdiri dari satu kelompok laki-laki dan satu kelompok
perempuan. Masing-masing penari menunggang kuda tiruan
dan melakukan gerakan tari sesuai irama gamelan. Ketika
menari, para penari kuda lumping juga mengenakan kostum
dan tata rias muka yang realistis.
Gbr. 7. Gambar penari kuda lumping laki-laki dan perempuan
2) Penthul dan Bejer
Penthul dan benjer biasanya berada di barisan paling
belakang, mereka berperan sebagai abdi dalem panglima
perang, atau pamomong para panglima perang. Penthul
mengambarkan seorang abdi dalem kerajaan, tugas dari
seorang penthul ini adalah untuk menghibur raja atau
sesembahannya. Karakter penthul ini sendiri dalam tari kuda
lumping digambarkan dengan topeng berwarna putih yang
menggambarkan seorang abdi dalem yang setia kepada rajanya 72
atau sembahannya. Seperti penuturan bapak Sudiyono dalam wawancara pada tanggal 17 Februari 2014 sebagai berikut:
”Penthul niku nggambarake abdi kinasih adining ratu, niku digambarake nek teng tari niku seneng gojeg, uro- uro, lan tetembangan. Penthul niku nduweni kewajiban untuk menghibur sesembahannya yang dalam keadaan susah. Penthul digambarake ngangge warna putih, niku nggambarake ati suci abdi dalem kalian raja utawa sesembanipun.” Terjemahan: ” Penthul itu menggambarkan abdi kinasih ratu, itu jika dalam tari senang bergurau dan menyanyi. Penthul itu mempunyai kewajiban untuk menghibur rajanya yang sedang sedih. Penthul digambarkan memakai topeng warna putih, itu menggambarkan hati yang suci seorang abdi dalem kepada rajanya.”
Sedangkan topeng bejer digambarkan dengan warna muka merah, matanya besar dan berwana merah. Bejer itu jika dalam pewayangan menggambarkan seorang raksasa. Tugas dari bejer ini adalah pamomong barongan atau bekathik dari barongan. Hal ini sesuai dengan penuturan bapak Sudiyono dalam wawancara tanggal 17 Februari 2014 sebagai berikut:
” Bejer niku aslinipun nggambaraken nek cara teng pewayangan niku buta. Niku nopodene jim sing nggulawentah utawa ngupakara barongan utawa bekathike barongan.”
Terjemahan:
” bejer itu aslinya jika dalam pewayangan itu adalah raksasa. Itu adalah jim yang mengurusi atau mengatur barongan atau yang memelihara barongan.” 73
Penuturan Bapak Sudiono senada dengan pendapat
bapak Sareko pada wawancara tanggal 24 Agustus 2013,
sebagai berikut:
”kalau ada istilahnya penthul bejer itu, lha yang bejer itu menggambarkan seperti seorang raksasa, yang gedhe itu sama aja, klo bejer itu sebagai pamomong barongan tadi, tunggangan kesatria itu, jd istilahnya jadi bekathiknya itu bejer, kalau bejer itu tidak nyanyi, cuma nari- nari mengikuti gerak si barongan, kalau penthul abdi dalem yang mengiringi panglima perang, jadi kalau panglimanya jatuh ngipas- ngipasi pake lap itu.”
Gbr. 8. Pentul dan Bejer 3) Penari Barongan
Barongan ditarikan oleh dua orang. Satu orang di bagian
kepala dan satunya lagi di bagian kaki. Barongan berfungsi
untuk menertibkan penonton. Tetapi pada jaman dahulu fungsi
barongan dalam tarian kuda lumping yaitu sebagai tunggangan
panglima perang seperti penuturan bapak Sudiono kepada
peneliti pada wawancara tanggal 24 Agustus 2013 sebagai
berikut: 74
”barongan niku nggambarake hewan peliharaan raja utawa nggambarake tunggangan ksatria wonten ing perang, nah bejer niku wau sing amomong barongan.”
Terjemahan:
” barongan itu menggambarkan hewan peliharaan raja atau menggambarkan kendaraan ksatria dalam perang, nah bejer itu tadi yang memelihara barongan.” b. Penimbul atau pawang
Tugas seorang penimbul atau pawang adalah
menyembuhkan penari yang kesurupan (ndadi). c. Waktu pertunjukan
Pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo biasanya
dilaksanakan siang hari tepatnya setelah dzuhur ataupun malam
hari tepatnya setelah isya’, hal ini disebabkan karena pendukung
kesenian kuda lumping ini menganut agama Islam. Lamanya
pertunjukan antara 4-5 jam. d. Alat musik
Kesenian kuda lumping merupakan jenis kesenian rakyat
yang sederhana. Dalam pementasannya tidak diperlukan suatu
perlengkapan dan koreografi khusus. Peralatan gamelan seperti
halnya karawitan atau gamelan untuk mengiringi seni kuda
lumping juga mengalami perkembangan.
Fungsi musik (pengiring) dalam kesenian kuda lumping
adalah sebagai pengiring dalam setiap lagu yang dinyanyikan
dalam pementasan. Pada saat ini alat musik pengiring kuda 75
lumping itu menglami perubahan misalnya kalau dahulu hanya menggunakan alat musik bendhe, kendhang, terbang, dan gong, serta angklung akan tetapi sekarang ini karena menyesuaikan jaman ditambah dengan organ, demung, saron, bendhe tiga, dan krumpyung. Alat musik atau gamelan untuk mengiringi kesenian
Kuda lumping Turonggo Tri Budoyo instrumennya meliputi kendhang, demung, saron, bendhe tiga, krumpyung, organ, drum, gong.
1) Kendhang
Kendhang adalah instrumen dalam gamelan Jawa yang
salah satu fungsi utamanya mengatur irama. Kendhang ini
dibunyikan dengan tangan, tanpa alat bantu. Kendhang bersisi
dua dengan sisi kulitnya ditegangkan dengan tali dan kulit atau
rotan. Kendhang diletakkan dalam posisi horizontal pada
gawangannya dan dimainkan dengan jari dan telapak tangan.
Kendhang merupakan penunjuk kemana arah suatu lagu
akan dibawakan. Kendhang kebanyakan dibawakan oleh para
pemain gamelan yang sudah profesional, yang sudah lama
menyelami budaya Jawa. Kendhang biasanya dimainkan sesuai
dengan naluri pengendhang, sehingga bila dimainkan oleh satu
orang dengan orang lain maka akan berbeda nuansanya. Dalam
kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo menggunakan 76
dua buah kendhang sebagai alat musik pengiring pertunjukan
Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo.
Gbr.9. Kendhang
2) Demung
Demung adalah salah satu instrumen gamelan yang
termasuk keluarga balungan. Dalam satu set gamelan biasanya
terdapat 2 demung, keduanya memiliki versi pelog dan slendro.
Demung menghasilkan nada dengan oktaf terendah dalam
keluarga balungan, dengan ukuran fisik yang lebih besar.
Demung memiliki wilahan yang relatif lebih tipis namun lebih
lebar daripada wilahan saron, sehingga nada yang dihasilkannya
lebih rendah. Tabuh demung biasanya terbuat dari kayu, dengan
bentuk seperti palu, lebih besar dan lebih berat daripada tabuh
saron. 77
Cara menabuhnya ada yang biasa sesuai nada, nada yang imbal, atau menabuh bergantian antara demung 1 dan demung 2, menghasilkan jalinan nada yang bervariasi namun mengikuti pola tertentu. Cepat lambatnya dan keras lemahnya penabuhan tergantung pada komando dari kendang dan jenis gendhingnya.
Pada gendhing Gangsaran yang menggambarkan kondisi peperangan misalnya, demung ditabuh dengan keras dan cepat.
Pada gendhing Gati yang bernuansa militer, demung ditabuh lambat namun keras. Ketika mengiringi lagu ditabuh pelan.
Ketika sedang dalam kondisi imbal, maka ditabuh cepat dan keras.
Dalam memainkan demung, tangan kanan memukul wilahan atau lembaran logam dengan tabuh, lalu tangan kiri memencet wilahan yang dipukul sebelumnya untuk menghilangkan dengungan yang tersisa dari pemukulan nada sebelumnya. Teknik ini disebut memathet (kata dasar: pathet = pencet)
Gbr. 10. Demung 78
3) Krumpyung
Krumpyung adalah seni musik tradisional Kulon
Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Seni musik ini dimainkan
dengan iringan alat musik yang semuanya terbuat dari bambu.
Biasanya, lagu-lagu yang dibawakan adalah Langgam
Jawa, Uyon-uyon, dan Campursari. Keunikan Krumpyung
adalah nada yang digunakan merupakan Laras
Slendro dan Pelog yang menyerupai gamelan Jawa, cara
memainkannya adalah dengan cara digoyang-goyangkan.
Gbr. 11. Krumpyung
4) Organ
Organ adalah alat musik yang mempunyai suara yang unik.
Sekarang, organ diproduksi dengan cara elektronik. Alat musik
ini dimainkan dengan cara ditekan atau dipencet pada papan 79
keyboard sesuai dengan lagu yang dinyanyikan. Dengan
tambahan alat musik ini iringan musik dalam tarian kuda
lumping menjadi lebih ramai dan menarik.
Gbr.12. Organ
5) Gong
Gong terbuat dari logam yang bentuknya bulat yang
digantungkan pada kayu dengan tali dan cara memainkannya
dengan cara dipukul. Gong menandai permulaan dan akhiran
gendhing sehingga memberi rasa keseimbangan setelah
berlalunya kalimat lagu gendhing yang panjang. Ada dua
macam gong yang digunakan dalam mengiringi kesenian Kuda
Lumping Turonggo Tri Budoyo gong besar dan gong suwukan.
Gbr.13. Gong 80
6) Drum
Drum adalah kelompok alat musik perkusi yang terdiri dari
kulit yang direntangkan dan dipukul dengan menggunakan stick.
Dalam pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo drum
berfungsi sebagai musik pengiring.
Gbr.14. Drum
7) Bendhe tiga
Alat musik ini untuk menyeimbangkan nada dengan saron
demung dan gong. Cara memainkannya dengan cara dipukul
seperti gong. Pada awal mulanya dalam grup kesenian Kuda
Lumping Turonggo Tri Budoyo hanya ada satu, tetapi saat
sekarang ini sudah ada tiga bendhe. 81
Gbr. 15. Bendhe tiga
e. Tata Rias
Pemakaian tata rias yang digunakan untuk pertunjukan tari
berbeda dengan tata rias sehari- hari yang pemakaiannya secara
tipis dan tidak diperlukan garis-garis yang kuat pada bagian wajah.
Tata rias pertunjukan tari diharapkan lebih jelas atau tebal karena
untuk membentuk karakter penari. Tata rias yang digunakan dalam
pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo adalah rias
realistik, yaitu dengan menggunakan tata rias yang jelas dan aksen
tata rias yang menggambarkan kegagahan prajurit berkuda. Alat
rias yang digunakan antara lain alas bedak, bedak, lipstik, pensil
alis, body painting, dan eye shadow. Tata rias ini berfungsi untuk
mengubah karakter pribadi, untuk memperkuat ekspresi dan untuk
menambah daya tarik penampilan seorang penari.
Penari barongan tidak memakai rias karena menggunakan
topeng dan badan barongan. Penthul menggunakan topeng lucu 82
sehingga tidak memerlukan rias. Sedangkan penimbul atau pawang
kuda lumping yang bertugas menyembuhkan penari yang
kesurupan juga tidak menggunakan rias.
Gbr. 16. Alat rias
Gbr. 17. Tata rias penari kuda lumping
f. Tata Busana
Segala sandangan dan perlengkapan (accessories) yang
dikenakan di dalam pentas merupakan tata pakaian pentas atau
kostum pentas.
Tata busana dalam pertunjukan kuda lumping Turonggo Tri
Budoyo menggunakan perlengkapan busana yang sama antara
penari satu dengan lainnya. Busana yang digunakan antara lain 83
celana pendek yang dilengkapi dengan jarik, stagen, dan ditambah beberapa aksesoris seperti gelang kaki, gelang tangan, klat lengan, kalung, dan ikat kepala atau kuluk. Sedangkan fungsi penataan busana adalah untuk memperjelas peran-peran tertentu. Beberapa kostum atau tata busana yang sering kali digunakan oleh setiap pemeran antara lain:
1) Jaranan : tata busana yang digunakan antara lain jamang (ikat
kepala dari kain), kelat bahu, kalung, celana, jarik, stagen, dan
gelang kaki.
2) Barongan : kepala barongan terbuat dari bahan kayu yang
menyerupai kepala singa. Rambutnya terbuat dari ijuk dan
badannya terbuat dari kain. Pemainnya memakai celana pendek.
3) Penthul bejer : memakai topeng yang terbuat dari kayu,
biasanya menggambarkan kelucuan. Pemainnya menggunakan
busana yang sama dengan penari kuda lumping.
4) Penimbul atau pawang kuda lumping : biasanya hanya
menggunakan pakaian serba hitam dan memakai ikat kepala dari
kain. 84
Gbr. 18. Tata busana penari laki-laki dan perempuan
g. Tempat pertunjukan
Dalam pertunjukan kuda lumping Turongo Tri Budoyo
biasanya dilakukan di tempat yang terbuka atau lapangan. Karena
termasuk tari masal sehingga memerlukan arena yang luas. Selain
itu pertunjukan kuda lumping memiliki hubungan yang erat dengan
penonton, antara penari dan penonton tidak terpisahkan. Hal ini
dapat dilihat saat kesurupan, penonton yang kesurupan atau
kemasukan danyang akan memasuki arena pertunjukan bercampur
dengan pemain. h. Perlengkapan
Pada bagian perlengkapan ini dibagi tiga yaitu perlengkapan
panggung, penari dan sesaji.
1) Perlengkapan panggung
Panggung atau tempat pementasan yang digunakan berupa
halaman rumah atau tanah lapang sehingga perlengkapan yang 85
digunakan yaitu tali tambang untuk membatasi antara penari
dan penonton. Perlengkapan lainnya yaitu kain yang
bertuliskan nama kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri
Budoyo serta alamatnya Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing
Kabupaten Purworejo.
2) Perlengkapan penari
Penari kuda lumping yang berjumlah delapan orang
menggunakan perlengkapan kuda lumping. Kuda lumping
terbuat dari anyaman bambu yang berbentuk dan bergambar
kuda, warna kudanya hitam atau putih dan rambut serta ekor
kuda terbuat dari bahan untuk sapu lantai (sapu ijuk).
Sedangkan pedang terbuat dari kayu yang dibentuk menyerupai
pedang dicat warna hitam dan putih untuk pinggir tajamnya.
Penari barongan menggunakan baringan berkepala singa
dan badannya terbuat dari kain yang bermotif warna kulit
singa, bagian ekornya sama dengan ekor kuda kepang. Topeng
hanya digunakan oleh penthul dan bejer, topeng ini berkarakter
lucu dan panjangnya sebatas bibir atas sehingga mulut dan
dagu penari terlihat. Topeng terbuat dari kayu dan pinggir
kanan kirinya diberi lubang untuk memasang tali.
3) Perlengkapan sesaji
Ada beberapa macam sesaji pada saat pertunjukan atau saat
kesurupan diantaranya adalah bunga telon, bonang- baneng, teh 86
pahit, teh manis, kopi pahit, kopi manis, air putih, degan
(kelapa muda), sesaji-sesaji tersebut diletakan di meja panjang
di sudut arena pertunjukan. Selain itu ada perlengkapan lain
yang dipersiapkan untuk penari kuda lumping saat kesurupan,
yaitu kuda kepang, kepala barongan, cambuk, perlengkapan
tersebut juga diletakan di salah satu sudut arena pertunjukan.
C. Makna simbolik sesaji yang digunakan dalam tarian kuda lumping
Turonggo Tri Budoyo di Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing
Kabupaten Purworejo
Pada pertunjukan kuda lumping terdapat sesaji untuk penari
kesurupan atau ndadi yang mengandung ungkapan-ungkapan simbolis.
Untuk mengetahui ungkapan-ungkapan simbolis sesaji dalam
pertunjukan kuda lumping diperlukan upaya pemaknaan.
Pemaknaan pada sesaji yang digunakan dalam pertunjukan kuda
lumping ini diperoleh dari hasil wawancara dengan informan. Sesaji
yang digunakan dalam tarian kuda lumping ini dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Degan ijo
Degan atau kelapa muda adalah salah satu sesaji yang
digunakan dalam pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Tri
Budoyo di desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten
Purworejo. Degan berasal dari kata adegan atau ngadeg yang 87
berarti berdiri atau berhasil dalam mencari rejeki sehingga bisa
gemah ripah loh jinawi. Sebagaimana dikutip dalam wawancara
dengan Bapak Sudiyono tanggal 31 Agustus 2013 sebagai berikut:
Kutipan:
“degan ijo niki, adegan kados njenengan niku, saged ngadeg leh golek duwit utawa rejeki, gemah ripah loh jinawi.”
Terjemahan:
”degan ijo ini, adegan seperti njenengan itu, bisa berdiri mencari duwit atau rejeki, dan gemah ripah loh jinawi.”
Degan ijo
Gbr. 19. Sesaji degan ijo yang digunakan dalam tari kuda lumping
b. Bonang- baning
Bonang- baning adalah air putih yang dicampur kembang,
makna bonang- baning adalah setiap akan melakukan pekerjaan
harus didasari dengan hati yang suci, hati yang ikhlas, karena
dengan hati yang suci dan ikhlas pekerjaan akan terasa nyaman dan
diberi keselamatan dalam bekerja. Hal ini sesuai dengan penuturan 88
Bapak Sudiyono pada peneliti tanggal 31 Agustus 2013 sebagai
berikut:
Kutipan:
” wontene bonang-baning niku maknanipun kita badhe ngayahi pakaryan menapa kemawon niku kudu linambaran ati ingkang wening, nek kanthi ati ingkang wening niku nyambut damel sekeca lan kathah slamete.”
Terjemahan:
” adanya bonang- baning itu maknanya, kita akan melakukan pekerjaan apapun harus didasari hati yang bersih, jika dengan hati yang bersih maka bekerja akan nyaman dan mendapat keselamatan.”
Dapat disimpulkan bahwa dalam tarian kuda lumping
adanya bonang- baning itu berfungsi untuk memohon keselamatan
selama mengadakan pertunjukan dan meminta keselamatan pada
leluhur yang merasuki para penari agar tidak terjadi sesuatu yang
tidak diinginkan selama penari mengalami kesurupan. c. Kopi pahit, kopi manis, teh pahit, teh manis
Warna kopi yang hitam itu melambangkan alam ghaib
karena biasanya bila ada pertunjukan kuda lumping selalu
dikaitkan dengan hal- hal yang ghaib. Sedangkan rasa manisnya
melambangkan bahwa walaupun dihubung- hubungkan dengan
alam hitam atau alam ghaib tetapi tetap berjalan pada jalan yang
lurus, jalan yang baik, atau jalan yang benar. Rasa pahit pada kopi,
disaat penari menarikan tarian kuda lumping tidak akan merasakan 89
rasa capek dan terhindar dari kejadian- kejadian yang tidak diinginkan. Hal ini sama seperti penuturan Bapak Sudiyono pada tanggal 31 Agustus 2013 sebagai berikut:
Kutipan:
” kopi pahit lan manis menika maknanipun, warni cemeng menawi kuda kepang saweg digelar wonten gegayutanipun kaliyan alam ingkang ghaib, peteng, cemeng. Raos manis menika tumuju dhateng langkah ingkang leres. Pahit menika saklebeting kita ngayahi tari raosipun boten wonten raos sayah, ugi kedadosan- kedadosan ingkang mboten kita arepaken. Ugi maknanipun sami kaliyan teh manis lan teh pahit.”
Terjemahan:
” kopi pahit dan manis, itu maknanya. Warna hitam, jika ada pertunjukan kuda kepang selalu dihubungkan dengan alam ghaib, gelap, dan alam hitam. Rasa manis, walaupun berhubungan dengan alam ghaib atau alam hitam tetap menuju pada langkah yang benar. Pahit itu di dalam melaksanakan tari tidak merasakan capek, dan terhindar dari kejadian- kejadian yang tidak diinginkan. Makna ini juga sama dengan makna dari teh manis dan teh pahit.”
Gbr. 20. Kopi pahit, kopi manis, teh pahit, teh manis 90
d. Kembang setaman
Kembang setaman berisi kembang telon yaitu, kembang
mawar, kembang melati, dan kembang kenanga. Maknanya bunga
mempunyai aroma yang harum, yakni keharuman diri manusia.
Artinya manusia harus menjaga keharuman namanya agar tidak
terpengaruh oleh hal-hal yang negatif. Manusia melakukan sesuatu
yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk agar namanya tidak
tercemar dan harum sepanjang masa. Hal ini sesuai penuturan
Bapak Sudiyono tanggal 31 Agustus 2013 sebagai berikut:
Kutipan:
” kembang setaman utawa sekar setaman niku enten mawar, kenanga, lan kanthil, maknane sekar setaman niki, manungsa kedah saged njagi wangine, artine kedah saged njagi awake saking hal-hal ingkang mboten l;eres.”
Terjemahan:
” kembang setaman itu ada mawar, kenanga, dan kanthil, maknanya kembang setaman ini, manusia harus senantiasa bisa menjaga keharumannya, artinya harusbisa menjaga diri dari hal-hal yang negatif.” e. Air diberi daun dhadhap serep
Air yang diberi dan dhadhap serep tiga lembar adalah
sebagian wujud bakti kepada yang lahir lebih sehari, yang pernah
tua, dan yang pernah muda, yang berada di kiblatnya masyarakat
desa Kaligono. Sebagaimana yang dikutip dalam wawancara
dengan Bapak Sudiyono tanggal 23 Agustus 2013 sebagai berikut: 91
Kutipan:
” toya bening diparingi daun dhadhap serep tigang lembar, maknane caos bekti ingkang lahir munggil sedinten, ingkang pernah sepuh, ingkang pernah nem, ingkang jumunung kiblat sekawan gangsal pancer kalebet panceripun tiyang- tiyang wonten ing desa Kaligono menika.”
Terjemahan:
” Air yang diberi daun dhadhap serep tiga lembar maknanya adalah sebagian wujud bakti kepada yang lahir lebih sehari, yang pernah tua, yang pernah muda, yang berada di kiblat sekawan gangsal pancer yang merupakan tanda, tanda itu merupakan tanda kiblat masyarakat desa Kaligono.”
Dapat disimpulkan dengan adanya air yang diberi daun
dhadhap serep tiga lembar ini untuk meminta izin pada sesepuh
yang ada di desa Kaligono agar pertunjukan berjalan lancar.
D. Fungsi tarian Kuda lumping Turonggo Tri Budoyo Desa Kaligono
Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo
Tarian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo memiliki fungsi
antara lain fungsi hiburan, fungsi religi, sebagai masyarakat pendukung
kesenian tradisional Jawa khususnya masyarakat Desa Kaligono. Dari
penelitian yang telah dilakukan, maka fungsi- fungsi yang ada adalah
sebagai berikut:
1. Sebagai Sarana Upacara
Fungsi tari sebagai sarana upacara merupakan bagian dari tradisi
yang ada dalam suatu kehidupan masyarakat yang sifatnya turun 92
temurun dari generasi ke generasi berikutnya sampai masa kini yang
berfungsi sebagai ritual. Fungsi tari Kuda Lumping Turonggo Tri
Budoyo ini tidak sebagai sarana upacara di Desa Kaligono Kecamatan
Kaligesing Kabupaten Purworejo. Hal ini sesuai pemaparan Bapak
Sudiyono, sebagai berikut:
“ Upacara teng mriki entene namung merti desa, niku khususe desa Kaligono sing penting onten wayangan. Dados kuda lumping niku kangge hiburan, mboten wonten inti kangge ruwatan barang niku. Namung nguri-uri budaya utawa ngeling-eling sejarah-sejarah masa lalu niku dikisahke lewat sendratari.”
Terjemahan:
“Di sini adanya hanya upacara merti desa, itu khusus Desa Kaligono yang penting nanggap wayang. Jadi kuda lumping itu hanya untuk hiburan, tidak ada inti untuk ruwatan. Hanya melestarikan budaya atau untuk mengingat sejarah-sejarah masa lalu dan dikisahkan lewat tarian.”
2. Sebagai Sarana Hiburan
Salah satu bentuk penciptaan tari ditujukan hanya untuk di tonton.
Pada awal berdirinya sampai sekarang kesenian Kuda Lumping
Turonggo Tri Budoyo berfungsi sebagai hiburan. Kesenian ini
dipertunjukan dalam acara hajatan, baik itu perkawinan, sunatan
maupun syukuran. Pada umumnya pertunjukan Kuda Lumping
Turonggo Tri Budoyo dilaksanakan setelah acara hajatan tersebut
selesai, sehingga para tamu dan masyarakat dapat menonton dengan
leluasa. Hal ini sesuai pemaparan Bapak Sudiyono, sebagai berikut:
” Tari ini hanya untuk hiburan, untuk melestarikan budaya atau untuk mengingat sejarah-sejarah masa lalu yang dikisahkan lewat tarian. Biasane di tanggap di acara mantenan atau di acara slametan.” 93
3. Sebagai Media Pendidikan
Kegiatan tari dapat dijadikan media pendidikan, seperti mendidik
anak untuk bersikap dewasa dan menghindari tingkah laku yang
menyimpang dari nilai – nilai keindahan dan keluhuran karena seni tari
dapat mengasah perasaan seseorang. Tari Kuda Lumping Turonggo Tri
Budoyo ini dapat berfungsi untuk mengembangkan kepekaan estetis
melalui kegiatan berapresiasi dan pengalaman berkarya kreatif pada
anggota Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo karena mayoritas
penarinya masih duduk di bangku sekolah. Hal ini sesuai dengan
penuturan bapak sareko pada peneliti tanggal 27 Agustus 2013 sebagai
berikut:
“Jujur saja mbak, akhir-akhir ini tarian itu tari kreasi anak-anak sendiri. Saya sudah tidak ngajari lagi, paling cuma karna dulu yang kreasi pertama saya jadi ya cuma ngawasi lah istilahnya agar gerakannya tidak terlalu jauh dari gerakan-gerakan kuda lumping dulu.“
Selain itu tarian ini juga bisa lebih memperkenalkan kepada
generasi muda tentang adanya kebudayaan Indonesia yang beraneka
ragam untuk tetap dilestarikan agar tidak diakui oleh Negara lain. Hal
ini sesuai pemaparan Bapak Sudiyono, sebagai berikut:
“ Fungsi pendidikanipun nggih kajenge sami nguri-uri budaya Jawa. Amargi kabudayan kita kathah budaya ingkang adiluhung, ingkang mboten digadhahi Negara sanes. Kantenan Negara Indonesia niku Negara ingkang majemuk, ingkang beragam suku lan budaya. Soale sakniki niku nrobose kabudayan luar ke tanah air semakin kuat nek mboten kuat-kuat nggone nangkal nguri-uri budaya mangke diklaim, kados reyog ponorogo.” 94
Terjemahan:
“ Fungsi pendidikannya yaitu untuk bersama-sama melestarikan budaya, karena kebudayaan kita sangat banyak dan adiluhung yang tidak dimiliki oleh Negara lain, Negara Indonesia juga Negara yang majemuk yang beragam suku bangsa dan budaya, karena masuknya budaya luar ke tanah air semakin kuat jadi jika tidak kuat yang mempertahankan budaya nanti bisa diakui Negara lain, seperti reyog ponorogo.”
4. Sebagai Seni Pertunjukan
Tari pertunjukkan adalah bentuk komunikasi sehingga ada
penyampai pesan dan penerima pesan. Faktor penonton disini juga
tidak boleh dilupakan, pada pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Tri
Budoyo fungsi ini sangat terlihat sekali, hal itu dibuktikan dengan
banyaknya penonton saat tarian tersebut digelar. Walaupun terkadang
waktu pementasannya pada malam hari tetapi tetap banyak penonton
yang datang untuk menyaksikan tarian Kuda Lumping Turonggo Tri
Budoyo. Hal ini sesuai penuturan Bapak Sudiyono, sebagai berikut:
“ Ingkang nonton niku tesih kathah mbak, duka niku main siang nopo ndalu, saking wong tua dumugi lare-lare niku tesih remen nonton kuda lumping niku.”
Terjemahan:
“ yang melihat itu masih banyak mbak, entah itu pertunjukannya siang atau malam, dari mulai orang tua sampai anak-anak itu masih senang menonton kuda lumping itu.” 95
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan
terhadap masalah “Bentuk, Makna, dan Fungsi Tarian Kuda Lumping
Turonggo Tri Budoyo di Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten
Purworejo”, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Bentuk penyajian tari Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo di Desa
Kaligono, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo meliputi
perencanaan acara, membersihkan lapangan untuk pertunjukan,
pembuatan sesaji, nyekar ke pepundhen, obong menyan, pertunjukan
Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo diantaranya tari kreasi baru, tari
jaipong, tari gobyok, tari mataraman, tari jaranan versi Bali, kesurupan
atau ndadi.
2. Makna simbolik yang terkandung dalam sesaji pertunjukan Kuda
Lumping Turonggo Tri Budoyo di Desa Kaligono, Kecamatan
Kaligesing, Kabupaten Purworejo, meliputi:
a. Degan ijo
Degan berasal dari kata adegan atau ngadeg yang berarti berdiri
atau berhasil dalam mencari rejeki sehingga bisa gemah ripah loh
jinawi. 96
b. Bonang- baning
Berfungsi untuk memohon keselamatan selama
mengadakan pertunjukan dan meminta keselamatan pada leluhur
yang merasuki para penari agar tidak terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan selama penari mengalami kesurupan. c. Kopi pahit, kopi manis, teh pahit, teh manis
Warna kopi yang hitam itu melambangkan alam ghaib
karena biasanya bila ada pertunjukan kuda lumping selalu
dikaitkan dengan hal- hal yang ghaib. Sedangkan rasa manisnya
melambangkan bahwa walaupun dihubung- hubungkan dengan
alam hitam atau alam ghaib tetapi tetap berjalan pada jalan yang
lurus. Rasa pahit pada kopi, disaat penari menarikan tarian kuda
lumping tidak akan merasakan rasa capek dan terhindar dari
kejadian- kejadian yang tidak diinginkan. d. Kembang setaman
Kembang setaman terdiri dari bunga mawar, kanthil,
kenanga, bunga mempunyai aroma yang harum, yakni keharuman
diri manusia. Artinya manusia harus menjaga keharuman namanya
agar tidak terpengaruh oleh hal-hal yang negatif.. e. Air diberi daun dhadhap serep
Air yang diberi dan dhadhap serep tiga lembar adalah
sebagian wujud bakti kepada yang lahir lebih sehari, yang pernah 97
tua, dan yang pernah muda, yang berada di kiblatnya masyarakat
desa Kaligono.
3. Tarian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo memiliki fungsi antara
lain:
a. Sebagai sarana upacara
Fungsi tari Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo ini tidak
sebagai sarana upacara di Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing
Kabupaten Purworejo.
b. Sebagai sarana hiburan
Pada awal berdirinya sampai sekarang kesenian Kuda Lumping
Turonggo Tri Budoyo berfungsi sebagai hiburan. Kesenian ini
dipertunjukan dalam acara hajatan, baik itu perkawinan, sunatan
maupun syukuran.
c. Sebagai Media Pendidikan
Tari Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo ini dapat berfungsi
untuk mengembangkan kepekaan estetis melalui kegiatan
berapresiasi dan pengalaman berkarya kreatif pada anggota Kuda
Lumping Turonggo Tri Budoyo karena mayoritas penarinya masih
duduk di bangku sekolah.
d. Sebagai seni pertunjukan
Pada pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo fungsi
ini sangat terlihat sekali, hal itu dibuktikan dengan banyaknya
penonton saat tarian tersebut digelar. 98
B. Saran
Adapun saran setelah pelaksanaan penelitian pertunjukan Kuda
Lumping Turonggo Tri Budoyo di Desa Kaligono, Kecamatan Kaligesing,
Kabupaten Purworejo untuk skripsi yang dilakukan meliputi uraian
berikut:
1. Hendaknya pemerintah dapat mengangkat dan mengenalkan kesenian
Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo di Desa Kaligono, Kecamatan
Kaligesing, Kabupaten Purworejo ini sebagai budaya lokal dan
diperkenalkan kepada masyarakat pada umumnya.
2. Generasi muda hendaknya secara sadar ikut melestarikan kesenian
Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo di Desa Kaligono, Kecamatan
Kaligesing, Kabupaten Purworejo sebagai bagian dari kebudayaan
Indonesia sehingga menjadi aset budaya yang akan menunjang program
pariwisata.
3. Hasil penelitian ini paling tidak dapat digunakan dan dimanfaatkan bagi
peneliti lanjutan dan disarankan untuk dikembangkan dari aspek
sosiologis, pendidikan, maupun lainnya.
4. Pertunjukan Kuda Lumping Tronggo Tri Budoyo di Desa Kaligono,
Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo hendaknya diperlukan
upaya pendokumentasian agar masyarakat dapat lebih mengetahui tarian
Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo dan makna-makna simbolis sesaji
dibukukan agar masyarakat lebih mengetahui makna sesaji yang
digunaka sehingga dapat digunakan sebagai media publikasi. 99
DAFTAR PUSTAKA
Alkaf, Mukhlas. 2012. Spiritual Mistis Di Balik Ekspresi Kesenian Rakyat Jaranan. Skripsi. Universitas Institut Seni Indonesia Surakarta. Surakarta. Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta Kussudiardja, Bagong. 1992. Dari Klasik Hingga Kontemporer. Yogyakarta: Bentang Offset Bungin, Burhan. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Putra Grafika Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia: ilmu gossip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta :PT Grafiti Pers Endraswara, Suwardi. 2010. Folklor Jawa Macam, Bentuk, dan Nilainya. Jakarta: Penaku Herusatoto, Budiono. 2008. Simbolisme Jawa. Yogyakarta: Ombak
Kamus Bahasa Indonesia.2008. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Kutha Ratna. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya Dan Ilmu Sosial Jumaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan Mentalis dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Moleong, Lexy J. 2013. Metodologi Penelitian. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Maryaeni.2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: PT Bumi Aksara
Nugrahaningsih. 2007. Transformasi Kesenian Tradisional Jathilan Pada Masyarakat Jawa Deli. Skripsi. Universitas Negeri Medan. Medan Prihatini, Nanik Sri. 2008. Seni Pertunjukan Rakyat Kedu. Surakarta: CV Cendrawasih Purwadi. 2009. Folklor Jawa. Yogyakarta: Pura Pustaka
Sutardjo, Imam. 2010. Kajian Budaya Jawa. Surakarta: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret 100
Sedyawati, Edi. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan
Sugiyono, 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung : CV. Alfabeta Springate, Lucy Angela Clare. 2009 Kuda Lumping Dan Fenomena Kesurupan Massal. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang. Winarsih. 2008. Mengenal Kesenian Nasional Kuda Lumping. PT Bengawan Ilmu 101
Lampiran 1
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Paeno Darmowasito Jenis kelamin : Laki-laki Tempat tanggal lahir : Purworejo, 04 November 1941 Alamat : Krajan Rt 001/001 Kaligono, Kaligesing Pekerjaan : Sesepuh kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo
2. Nama : Sareko Jenis kelamin : Laki-laki Tempat tanggal lahir : Purworejo, 09 Februari 1972 Alamat : Krajan Rt 002/ 001, Kaligono, Kaligesing Pekerjaan : Ketua Grup Kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo
3. Nama : Sudiyono Jenis kelamin : Laki-laki Tempat tanggal lahir : Purworejo, 24 September 1962 Alamat : Krajan Rt 001/ 001, Kaligono, Kaligesing Pekerjaan : Pawang dan penari Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo 102
LAMPIRAN 2
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN INFORMAN
Nama Informan 1 : Darmo Warsito Hari/ tanggal : 26 Juli 2013 Tempat : Rumah Mbah Darmo Warsito Waktu : 13.00- 14.30 WIB P : “Nuwun sewu mbah, kulo saking Universitas Muhammadiyah Purworejo ajeng penelitian kangge skripsi babagan grup kesenian kuda lumping turonggo tri budoyo. Ingkang sepisan kula ajeng tanglet sejarah awal utawa riyin-riyine pripun entene utawa terbentuknya kesenian kuda lumping turonggo tri budoyo?” MD : “Kawiwitane sedaya anggota rumiyin menika antawisipun nggih enten kalih dasa sak wiyaganipun, lajeng wau-waune dereng enten namine Turonggo Tri Budoyo meniko, awit kula menika riyin gabungan wonten kalih wot ngawang-awang. Lajeng sakmenika sampun putus, lajeng kreasi tari menika sampun kathah dados hubungan antawisipun kelompok kamalan, krajan, slegok menika setunggal dusun dados tigang kelompok. Lajeng kula namini nalika kula dados ketua organisasi niku kula namini Turonggo Tri Budoyo. Turonggo niku jaran, tri niku tiga kelompok kebudayaan, asli-asline wekdal kula di dhapuk dados ketua. Nek sing jathil riyin tahun 1957, ning njuk macet, njuk kula mikir-mikir kesenian Jawa tradisional nek njuk macet mengko kepiye. Njuk kula kempalke malih, kula tangeke malih wonten awit sak pedukuhan, krajan, kamalan lan slegok telung kelompok dados setunggal tahun 1963.” P : “Menawi jumlah penarine pinten mbah?” MD : “Penarine setunggal babak niku sedasa, nek pengrawite riyin naming sekedhik sakniki mpun enten tambahane organ, kalih drum.” P : “Menurute mbah, perkembangan utawi kemajuan ingkang ketinggal dugi sakniki nopo mbah?” MD : “Nek sakniki kantenan nderek jaman dadine nggih mpun kathah perubahane. Nek riyine niku alat music iringane niku mung ngangge terbang, kendhang, bendhe, kalih angklung. Nek sakniki mpun berubah dadi campursari dadi enten tambahane organ, kalih drum, njuk krumpyung, dadi saged ngikuti lagu-lagu sakniki.” P : “Nderek perkembangan jaman nggih mbah. Menawi ragam gerakan tari kuda lumping niku nopo mbah?” 103
MD : “Ragame niku nggih enten sembahan, pacak jonggo, ulat asta kanan kiri, engkek badan, ngentul badan, ngetol bokong, tengok kanan kiri, trus pandangan menari tidak melihat penonton. P : Makna gerakanipun kiyambak nopo mbah? MD : Maknane nggih naming nguri-uri budoyo mawon.” P : “Menawi makna sesaji ingkang digunakake nopo mbah?” MD : “Sesaji niku maknane naming kangge suguhan, nyuguhi danyang ingkang ngrasuk wonten penari. Nek makna setunggal- setunggale mboten enten.” P : “Crita ingkang terkandung wonten ing tari kuda lumping niku nopo mbah?” MD : “Riyin-riyine niku nyritakake peperangan Prabu Klana Swandana saking Bantarangin lan Prabu Asmarabangun saking Jenggolo Manik. Peperangan niku amargi Prabu Klana Swandana badhe ngrama Dewi Sekartaj putrid saking Kediri, Raden Asmarabangun niku carane sakniki nggih pacare Dewi Sekartajiniku, critane mboten trimo. Mulane ing kuda lumping niku enten lagune Semarang senggol.” P : “Nggih sampun matur nuwun mbah, cekap sementen riyin, mangke menawi betah info ngenani kuda lumping turonggo tri budoyo kula mriki malih.” MD : “Nggih mugi-mugi lancar anggene gadhah kekarepan sinau niki.” P : “Nggih mbah.” 104
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN INFORMAN
Nama Informan : Sudiyono Hari/ tanggal : 26 Juli 2013 Tempat : Rumah Bapak Sareko Waktu : 15.00- 17.00 WIB
P : “Nuwun sewu pak kula Dewi UMP, ajeng wawancara ngenani grup kesenian kuda lumping turonggo tri budoyo. Ingkang sepisan pripun sejarah awal terbentuknya grup kesenian kuda lumping turonggo tri budoyo niki?” PS : “Riyin niku enten tigang kelompok, jathilan, jathilan krajan, kamalan, slegok, lha kangge nguri-uri budoyo lajeng didadosaken setunggal. Grup niki ngalami tigang perkembangan. saking klasik teng kreasi baru niku tahun ‘83.saking kreasi teng campursari nembe mulai tahun ’98, niku nembe di kreasi ngangge sinden kalih organ barang” P : “Menawi ragam gerak tariane enten pinten pak?” PS : “Ragam tariane enten gangsal mbak, mataraman, bali, pawirengan, tejo kusuma, purbalinggan. ingkang dingge wonten kelompok grup niki namung tiga mataraman, bali, lan purbalinggan.” P : “Ragam gerak mataraman niku kepripun pak?” PS : “Mataraman niku saking Kediri. Nggambarake mlebete Islam wonten tanah Jawa, kalih syiar agama Islam.” P : “Menawi ragam Bali niku pak?” PS : “Bali niku nggambarake ngadege kadipaten Buleleng, niku kangge mempersatukan rakyat Buleleng, dados tari niki kalebet tari perdamaian” P : “Nah. Menawi ragam Purbalinggan niku pripun pak?” PS : “Purbalinggan niku nggambarake ngadege kadipaten Purbalingga. Riyin niku ingkang mimpin Nyai Purbowati. Tari niki nggambarake kawibawan seorang putri, dadi nek penarine jaler nggih narine nggih kados tiyang setri.” P : “Menawi sakderenge acara, wonten ritual khusus mboten pak?” PS : “Biasane niku namung nyekar wonten pepundhen desa mriki mawon mbak.” P : “Wonten pundi niku pak?” PS : “Wonten ing pepunden Eyang Brojo Menggolo” P : ‘Ingkang nyekar niku sedaya anggota kelompok nggih pak?” PS : “Mboten sedoyo, namung sesepuh mawon” P : “Wekdalipun biasane sedinten sakderenge nopo pripun?” 105
PS : “Mboten, nyekar niku biasane sakjam sakderenge pertunjukan.” P : “Tujuan nyekar niku napa pak?” PS : “Nggih nyuwun kwarasan mugi-mugi saklamine pertunjukan sedaya anggota grup, penonton terus ingkang nanggap niku mboten kenging alangan napa-napa. Biasane enten obongan barang niku mbak.” P : “Obongan niku dilaksanakake wonten pundi pak?” PS : “Obongan niku biasane teng tempat pertunjukane.” P : “Fungsine obongan niku kangge napa pak?” PS : “Niku karepe mohon ijin kalih ingkang nguasai lingkungan pertunjukan. Kejaba niku nggih kangge ngundang roh-roh ghaib utawa danyang.” P : “Biasane wonten niku istilah danyang kalih indhang niku bentene napa pak?” PS : “Nggih onten, nek danyang niku ngangge obongan, terus asringe nyuwun sesaji macem- macem.” P : “Menawi indhang?” PS : “Lha nek indhang niku mboten ngangge obongan, biasane mung nyuwun toya pethak mawon, ning toya pethak mentah.” P : “Nuwun sewu pak niki mbaleni wau malih, menawi bentuk tarian wonten pertunjukan niku pripun?” PS : “Nek secara rinci kathah sanget, niki mpun kula tuliske gambaran garis besare mawon nggih.” P : “Nggih pak matur nuwun.” PS : “Sami-sami mbak, soale niku nek secara rinci kathah sanget.” “Pertama tari pembukan niku tari kreasi baru, jumlah penarine 8 personil, gerak tarine pertama penari masuk arena pertunjukan, kuda kepang diangkat miring sambil kentrik, memutari arena pertunjukan dua kali. Kedua penari membuat posisi sejajar kesamping, depan empat penari, belakang dua penari, dan paling belakang dua penari. Ketiga kuda kepang dipegang dan dibawa di depan dada dan digoyangkan kenanan tiga kali ke kiri tiga kali sambil kaki kiri menendang ke belakang. Keempat penari kembali ke barisan semula, ke belakang sambil gerak ngithing di depan muka, tangan kiri seblak sampur.kelima penari memutar membuat lingkaran, maju ke depan tiga kali mundur ke belakang tiga kali sambil kaki kanan menendang ke belakang. Keenam masing- masing penari saling membelakangi tetapi masih dalam formasi lingkaran, maju ke depan tiga kali mundur ke belakang tiga kali sambil kaki kanan menendang ke belakang. Terakhir penari menari memutari arena pertunjukan dua kali lalu kembali ke tobong. Gerakan kedua tari jaipong itu ditarikan sama yang enam cewek kemarin itu, nah gerakannya pertama penari menuju arena pertunjukan baris satu per satu tangan di samping dahi, sambil jalan dan bergoyang menjadi satu baris sejajar ke belakang 106
kemudian ngigel di tempat. Kedua penari ngigel sambil goyang ke kanan kembali ke barisan kemudian ngigel ke kiri kemudian kembali ke barisan, tangan kanan ngithing tangan kiri seblak sampur. Tiga penari memutari arena pertunjukan dua kali.empat penari berpasang-pasangan kemudian menari jaipong. Lima penari kembali ke barisan sejajar ke belakang, kemudian memutari lapangan, dan berjajar dengan posisi depan dua penari, ke belakang satu penari, kebelakang lagi dua penari dan belakang sendiri satu penari. Selanjutnya dua penari yang terdepan menari sambil meninggalkan arena pertunjukan, yang dua di belakang dengan posisi jengkeng, kemudian penari yang dibelakang sendiri naik di atas penari yang jengkeng tadi dengan tarian jaipong, dan satu penari lagi menari di depan tiga penari. Terakhir empat penari berjalan beriringan kemudian berjajar dan memberikan salam kepada penonton lalu kembali ke tobong. Gerakan ketiga tari gobyok, ditarikan delapan anak laki-laki, ragam geraknya pertama penari menuju ke arena pertunjukan berpasang- pasangan dengan gerakan lari-lari kecil, membuat barisan dua- dua ke belakang. Kedua kuda kepang di angkat ke atas sampai depan muka lalu di goyang ke kanan tiga kali ke kiri tiga kali. Ketiga penari berpasang- pasangan dengan gerak tari menyilang dua pasang kekanan dan dua pasang kekiri. Keempat penari kembali ke barisan dua-dua lagi, kemudian bergerak memecah, sebelah kanan berbelok ke kanan yang kiri berbelok kekiri dan membentuk lingkaran dengan gerak lari-lari kecil memutari arena pertunjukan selama tiga putaran. Kelima para penari kemudian jengkeng beralaskan kuda kepang. Sambil bangun berdiri dengan gerak tari ngigel. Terakhir para penari sindir ngiri ke belakang dua kali ke depan dua kali, lalu kembali membentuk satu barisan, memutari arena pertunjukan dan kembali ke tobong. Gerakan tari mataraman ditarikan oleh delapan orang laki-laki ragam geraknya penari menuju arena pertunjukan berbaris dua- dua mengitari lapangan dan membuat barisan dua-dua ke belakang, gerak mundur empat langkah, kembali ke depan empat langkah lagi, jongkok sambil memberi sembahan. penari berdiri, kuda kepang di depan dada memutar searah jarum jam, posisi menghadap ke kanan menjadi satu barisan dengan gerak tari bapangan dan sumpingan. Penari kembali berputar ke kanan posisi menghadap ke kiri menjadi satu barisan dengan gerak tari bapangan dan sumpingan. Penari kembali berbaris lagi, kuda kepang dioyog lalu lari pecah barisan. Masing- masing kepala regu membawa sebilah pedang dan bertempur atau perang pedang. Salah satu kepala regu yang perang pedang tertunduk sambil menggoyang- goyangkan kepala. Kepala regu yang berdiri lari memutari kepala regu yang tertunduk, sambil bergoyang- 107
goyang mundur empat langkah maju empat langkah dan bertempur kembali. Pecah barisan lagi menjadi dua barisan, memutari arena pertunjukan, kemudian kembali keposisi barisan berjajar ke belakang, jongkok memberi salam pada penonton dan kembali ke tobong. Tari yang terakhir adalah tari jaranan versi Bali, untuk ragam geraknya Penari menuju arena pertunjukan dari sebelah kanan dan kiri arena pertunjukan, lari kecil-kecil melewati pinggir arena pertunjukan membentuk barisan dua-dua ke belakang, jongkok memberi salam pada penonton. Kedua berdiri dengan gerak tarian goyang kekiri tiga kali ke kanan tiga kali, kaki kanan diangkat sambil pacak jonggo. Ketiga penari memutar ke posisi kiri, barisan yang depan goyang ke kanan tiga kali yang belakang ke kiri tiga kali, kaki kanan diangkat sambil pacak jonggo. Empat penari memutar ke posisi kanan, barisan depan goyang ke kanan tiga kali, yang belakang ke kiri tiga kali, kaki kanan di angkat sambil pacak jonggo. Lima penari bergerak pecah barisan penari sebelah kiri ke kiri, penari sebelah kanan ke kanan, berputar mengelilingi arena pertunjukan, kemudian menjadi satu barisan lagi. Enam penari kentrik, sambil lari-lari kecil ke belakang empat langkah, ke depan lagi empat langkah sambil kuda kepang digoyangkan ke atas ke bawah. Tujuh masing- masing kepala regu menari sambil berputar- putar mengelilingi arena pertunjukan sebanyak tiga kali, barisan di belakangnya tetap pada posisi dengan tari jaipong. Delapan penari berbaris dua- dua memutari arena pertunjukan dan biasanya di saat inilah para penari kesurupan atau ndadi.” P : “Menawi penyembuhan saking ndadi niku pripun?” PS : “Kangge penyembuhannya niku namung diwaosake surat al- fatikhah kalih solawat nabi mawon.” P : “Lha biasane kan enten pak sing nyuwun kepala barong nopo teng kendhang, niku pripun pak critane?” PS : “Niku biasane danyange bersemayam teng alat-alat niku, dadi critane nek mpun rampungan niku njuk wangsul teng mriku.” P : “Menawi sampun rampung niku enten ritual khusus mboten pak?” PS : “Nggih naming tarian ingkang ditariake kalih sesepuh grup kuda lumping niku..” P : “Tujuane niku kangge nopo pak?” PS : “Tujuane nggih pamitan lan nyuwun ngapunten kalih ingkang nguasai lingkungan mriki, ingkang ing alam ghaib niku.” P : “Menawi sesaji ingkang diginakake napa pak?” PS : “Nggih enten degan ijo, kopi pahit, kopi manis, teh manis, teh pahit, kembang setaman, boning-baning, lan toya pethak ingkang diparingi daun dhadhap srep menika.” P : “Makna sesaji niku kiyambak kangge napa pak?” PS : “Degan ijo niku, adegan kados njenengan niku saged ngadeg leh 108
golek dhuwit utawa rejeki, gemah ripah loh jinawi.” P : “Menawi boning-baning?” PS : “Maknanipun menawi kita badhe ngayahi pakaryan napa mawon kedah linambaran ati ingkang wening, nek kanthi ati ingkang wening nyambut damel dados sekeca.” P : “Maknanipun sekar setaman niku kangge napa?” PS : “Sekar setaman niku eenten mawar, kenanga, lan kanthil, maknane sekar setaman niki, manungsa kedah saged njagi wangine, artine kedah saged njagi awake saking hal-hal ingkang mboten leres.” P : “Nek toya pethak diparingi dhadhap srep niku maknane napa pak?” PS : “Maknane caos bekti ingkang lair munggil sedinten, ingkang pernah sepuh, ingkang pernah nem, ingkang jumunung kiblat sekawan, gangsal pancer kalebet panceripun tiyang-tiyang ing desa kaligono mriki.” P : “Lha menawi kopi pahit, kopi manis, teh pahit kalih teh manis niku napa pak?” PS : ”Nek kopi manis-pahit niki, werno cemeng biasane nek kuda lumping niku dihubungke kalih alam ghaib, atau alam hitam. Rasa manis walaupun berhubungan kalih alam ghaib nanging tetep tumuju wonten langkah ingkang bener.” P : ”Nek pahite niku napa pak?” PS : ” Pahit niku nalika nglaksanakake tari, mboten kraos kesel lan mboten wonten kedadean- kedadean ingkang mboten dikarepaken.” P : ”Maknanipun teh manis kalih teh pahit napa?” PS : ”Maknanipun sami kalih kopi wau.” P : ”Menurut bapak fungsi tarian kuda lumping niku kiyambak napa?” PS : ”Kangge nguri-uri budaya, ngarahke tiyang-tiyang enem supados wonten kegiatan positif, kangge ngemut-emut sejarah entene tari kuda lumping niku ingkang jelas niku enten gerak maknawi teng tari kuda lumping niku.” P : ”Gerak maknawi niku ingkang kados pundi pak?” PS : ”Nggih contone kados gerak sembahan, niku enten maknanipun.” P : ”Napa niku maknanipun pak?” PS : ”Maknane ngeten mbak, bahwa setiap manusia harus senantiasa tunduk kepada Allah Swt. Walaupun seperti apapun orang itu, nggih digambarake wonten ing jaran kepang.” P : ”Ciri khase napa pak?” PS : ”Kuda kepange niku di damel nunduk, jaran niku digambarake sungkem.” P : ”Maknanipun?” PS : ”Maknanipun senajan gagah kaya ngapa niku tiyang gesang kedah diwajibke sungkem marang gusti Allah.” 109
P : ”Nggih, menawi entene penthul lan bejer niku napa pak?” PS : ”Penthul bejer niku abdi dalem, mulane nek teng tari niku penthul bejer nari teng wingkinge kuda lumping niku, istilahe pamomong.” P : ”Menawi barongan niku napa pak?” PS : ”Barongan niku nggambarake hewan peliharaan raja utawa nggambarake tunggangan ksatria wonten ing perang, nah bejer niku wau sing amomong barongan.” P : ”Ya sudah untuk sementara mungkin cukup pak, besok kalau ada informasi yang kurang saya nanti tak kesini lagi.” PS : ”Ya mbak, moga aja lancar, dan berhasil dengan nilai yang baik.” P : ”Amin ” 110
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN INFORMAN
Nama Informan 3 : Sareko Hari/ tanggal : 26 Juli 2013 Tempat : Rumah Bapak Sareko Waktu : 17.00-18.30 WIB
P : “Nuwun sewu sakderengipun, sampun dangu pak dados ketua grup kuda lumping turonggo tri budoyo?” PE : “Saya kurang lebih sudah dua tahun karena ketua yang dulu sudah almarhum, jadi saya teruskan. Kebetulan pas waktu pilihan, ya pilihan secara demokrasi saya terpilih. Jadi saya meneruskan dari pemimpin yang dahulu.” P : “Kalau sejarah terbentuknya grup kuda lumping turonggo tri budoyo ini pak?” PE : “Kalau dulu itu jathilan mbak, dulu itu ada tiga kelompok, dari slegok, krajan, dan kamalan, terus jadi satu grup kesenian turonggo tri budoyo ini.” P : “Tahun berapa itu pak?” PE : “Saya masuk jadi anggota itu dari kelas dua SD, jadi kreasi itu kurang lebih tahun ‘85an. Berubah menjadi kreasi campursari itu ya belum lama lah sekitar tahun ‘97an. Sampai sekarangpun niat untuk menjadi penari masih sangat luar biasa bukan dari paksaan orang tua, dari luar RW sini pun masih banyak yang bergabung dengan grup ini. Jadi kemauan anak- anaknya masih tinggi.” P : “Peminatnya masih banyak ya pak. Kalau untuk latihan geraknya itu bagaimana pak? Apakah ada yang nglatih khusus?” PE : “Jujur saja mbak, akhir-akhir ini tarian itu tari kreasi anak-anak sendiri. Saya sudah tidak ngajari lagi, paling cuma karna dulu yang kreasi pertama saya jadi ya cuma ngawasi lah istilahnya agar gerakannya tidak terlalu jauh dari gerakan-gerakan kuda lumping dulu.” P : “Kalau latihannya sendiri setiap hari apa pak?” PE : “Latihannya kadang satu minggu dua kali setiap hari rabu malam kamis dan malam minggu.” P : “Latihannya dimana pak?” PE : “Latihannya dari dulu di depan rumah saya ini, di halaman situ.” P : “Kalau sebelum acara pertunjukan itu sendiri biasanya ada ritual- ritualnya tidak pak?” PE : “Ya biasanya yang namanya kuda lumping itu kan ada kaitannya dengan hal ghaib jadi istilahnya kalau pertunjukannya di tempat 111
lain ya kita permisilah, kita juga istilahnya pamitan pada pepundhen yang ada di desa ini agar acara berjalan lancar.” P : “Untuk acara pertunjukannya ada gerak tari apa saja pak?” PE : “Geraknya itu sudah banyak tari kreasi barunya kalau yang klasik itu ya mataraman, jaranan versi Bali dan purbalinggan. Untuk gerakan-gerakan setiap tari mungkin nanti akan dijelaskan bapak sudiyono secara garis besar karna untuk menerangkan itu banyak sekali mbak.” P : “Untuk sesaji yang digunakan apa saja pak dan makna dari sesaji itu sendiri apa?” PE : “Kalau sesaji itu kita memakai yang umum-umum saja.” P : “Tidak ada seperti kaca, atau dupa pak?” PE : “Oh tidak, kita hanya memakai seperti degan ijo, kopi pahit, kopi manis, teh pahit, teh manis, kembang setaman, air yang diberi kembang, ya itu saja.” P : “Kalau makna masing-masingnya pak?” PE : “Kalau maknanya itu sesaji itu ya sama saja istilahnya untuk nyuguhilah, kalau penari yang ndadi itu kan kerasukan dari alam ghaib ya yang kita istilahkan tamu itu. Lha biasanya tinggal mintanya apa.” P : “Pernah gak pak ada yang meminta di luar sesaji yang disiapkan?” PE : “Kalau sesaji itu yang diminta biasanya ya hanya itu-itu saja karna indhang yang merasuki itu indhang yang kita bawa atau yang kita panggil.” P : “Untuk acara setelah pertunjukan itu ada ritual lagi tidak?” PE : “Setelah selesai acara biasanya ya kita pamitan dengan penonton, mengucapkan terimakasih dan biasanya ada tari yang dibawakan oleh yang dituakan atau sesepuh yang berpamitan pada penguasa dalam arti di alam ghaib dimana pertunjukan digelar.” P : “Fungsi dari tarian kuda lumping itu sendiri apa pak?” PE : “Tari ini kan melambangkan peperangan antara Raden Asmarabangun dan Prabu Klana Swandana yang memperebutkan Dewi Sekartaji jadi untuk mengingat peperangan itu, nguri-uri budoyo, dan untuk mempersatukan generasi muda agar bersatu padu untuk memajukan dusun terutama kesenian yang ada yaitu kuda lumping ini.” P : “Kalau adanya penthul bejer itu apa pak?” PE : ”Kalau ada istilahnya penthul bejer itu, lha yang bejer itu menggambarkan seperti seorang raksasa, yang gedhe itu sama aja, klo bejer itu sebagai pamomong barongan tadi, tunggangan kesatria itu, jd istilahnya jadi bekathiknya itu bejer, kalau bejer itu tidak nyanyi, cuma nari- nari mengikuti gerak si barongan, kalau penthul abdi dalem yang mengiringi panglima perang, jadi kalau panglimanya jatuh ngipas- ngipasi pake lap itu, jadi pembantu atau abdinya.” 112
P : ”Kalau barongannya itu pak?” PE : ”Kalau barongannya itu menggambarkan binatang piaraan raja atau tunggangan ksatria itu tadi.” P : ”Baik pak terima kasih atas informasinya.” PE : ”Iya sama-sama mbak.” 113 114 115 116
DAFTAR GAMBAR
Gambar sinden Grup Kuda Lumping Gambar penari barongan Grup Turonggo Tri Budoyo Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo
Gambar Sesepuh Grup Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo Sedang menyembuhkan penari yang ndadi atau kesurupan 117
Gambar penari yang ndadi dengan Gambar penari Kuda Lumping Turonggo menggunakan barongan Tri Budoyo bersiap untuk pentas
Gambar penari Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo yang mengajak menari calon pengantin saat menari di hajatan pernikahan 118
Gambar penari laki-laki dan penari perempuan
Gambar penari yang sedang ndadi atau kesurupan 119
LAMPIRAN 4
CATATAN LAPANGAN
Hari/ tanggal : Sabtu, 9 Maret 2013 Waktu : Pukul 14.00 WIB – Selesai Tempat : Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo Deskripsi : Sebelum menentukan grup kesenian yang akan diteliti, peneliti lebih dulu melakukan observasi ke Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo. Dimana grup kesenian Kuda lumping Turonggo Tri Budoyo ini berada. Peneliti tertarik pada grup Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo karena beberapa kali melihat pertunjukan kuda lumping ini, penyajian tarinya sudah menggunakan banyak tari kreasi baru, sesaji yang digunakanpun masih terbilang sederhana dan umum-umum saja oleh karena itu kesenian ini bisa dinikmati oleh segala umur.
Hari/ tanggal : Sabtu, 16 Maret 2013 Waktu : Pukul 10.00 WIB Tempat : Universitas Muhammadiyah Purworejo Deskripsi : Peneliti mulai mengajukan judul penelitian “Bentuk, Makna, dan Fungsi Pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo”. Judul ini mendapat persetujuan dari kedua pembimbing skripsi peneliti
Hari/ tanggal : Rabu, 20 Maret 2013 Waktu : Pukul 15.00 WIB – selesai Tempat : Rumah Bapak Suroto dan Rumah Mas Ari Deskripsi : Peneliti berkunjung ke rumah Bapak Suroto, beliau adalah Kepala Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo untuk keperluan mengantar surat izin penelitian dan pengambilan data desa. Selanjutnya peneliti berkunjung ke rumah mas Ari, beliau adalah orang yang mengurusi bagian kepariwisataan di Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo. Di rumah mas Ari, peneliti berbincang mengenai keberadaan grup kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo serta meminta bantuan untuk menunjukan rumah ketua grup kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo, sesepuh desa Kaligono dan sesepuh grup kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo.
Hari/ tanggal : Sabtu, 30 Maret 2013 Waktu : Pukul 13.00 WIB Tempat : Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo Deskripsi : Peneliti mengadakan kunjungan ke rumah Mbah Darmo Warsito yang 120
merupakan sesepuh Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo untuk beramah tamah dan meminta izin untuk mengadakan penelitian tentang grup kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo. Selain ke rumah mbah Darmo, peneliti juga mengunjungi rumah bapak Sareko, beliau adalah ketua grup Kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo. Kemudian ke rumah bapak sudiyono, beliau adalah sesepuh grup dan juga seorang penari. Di sana peneliti mengadakan ramah tamah serta izin melakukan penelitian. Selain itu peneliti juga melakukan pendekatan kepada warga masyarakat Desa Kaligono Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo demi kelancaran penelitian yang dilakukan peneliti.
Hari/ tanggal : Sabtu, 20 April 2013 Waktu : 20.00- 23.30 WIB Tempat : Halaman rumah Bapak Sareko Deskripsi : Grup kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo mengadakan latihan dua kali seminggu, setiap malam Kamis dan malam Minggu. Pada saat latihan malam Minggu peneliti mencoba untuk beramah tamah dengan para penari Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo, yang rata-rata masih anak-anak sekolah. Jadi pendekatan dilakukan dengan mencoba ikut latihan tari dan berbincang-bincang lebih dekat dengan para penari Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo.
Hari/ tanggal : Jumat, 26 Juli 2013 Waktu : Pukul 13.00- 18.30 Tempat : Rumah Bapak Sareko, rumah Bapak Sudiyono, rumah Mbah Darmo Deskripsi : Peneliti mulai melakukan wawancara dengan Bapak Sareko, Bapak Sudiyono, dan Mbah Darmo. Sebelum melakukan wawancara, peneliti menyiapkan peralatan untuk wawancara, antara lain: alat rekam wawancara, peneliti menggunakan recorder handphone, kertas catat. Wawancara pertama dilakukan di rumah Mbah Darmo, selanjutnya ke rumah Bapak Sareko, dan terakhir di rumah Bapak Sudiyono.
Hari/ tanggal : Selasa, 6 Agustus 2013 Waktu : Pukul 15.00- 17.30 WIB Tempat : Rumah Bapak Sudiyono Deskripsi : Peneliti melakukan wawancara yang kedua dengan Bapak Sudiyono karena beliau adalah sesepuh grup kesenian Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo sekaligus penarinya. Oleh karena itu untuk ragam gerak tari peneliti lebih memfokuskan info dari hasil wawancara dengan Bapak Sudiyono.
Hari/ tanggal : Sabtu, 17 Agustus 2013 Waktu : Pukul 19.30- 01.30 WIB Tempat : Lapangan kantor Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo Deskripsi : 121
Grup Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo menggelar pertunjukan di halaman kantor Kecamatan Kaligesing dalam rangka memeriahkan HUT RI ke- 68. Dalam pertunjukan ini peneliti hanya datang untuk mengambil gambar pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo mulai dari awal pertunjukan hingga pertunjukan usai.
Hari/ tanggal : Minggu, 25 Agustus 2013 Waktu : Pukul 08.00- selesai Tempat : Rumah Bapak Suwono Desa Ganggeng Deskripsi : Pada hari ini grup Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo pentas di rumah Bapak Suwono di Desa Ganggeng dalam rangka acara syukuran hajatan Sunatan putranya. Di sini peneliti ikut mulai dari persiapan acara. Peneliti ikut nyekar ke pepundhen desa yaitu pepundhen Eyang Brojo Menggolo bersama sesepuh grup Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo. Selanjutnya peneliti menuju tempat pertunjukan dan ikut merias para penari, setelah itu peneliti mengikuti jalannya pertunjukan dari awal sampai pertunjukan usai.
Hari/ tanggal : Sabtu, 5 Oktober 2013 Waktu : Pukul 20.30- 00.30 WIB Tempat : Halaman Kantor Kecamatan Kaligesing Deskripsi : Pada hari ini grup Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo pentas di halaman Kantor Kecamatan Kaligesing dalam rangka HUT Kabupaten Purworejo. Dalam pertunjukan kali iini peneliti hanya mengambil gambar pertunjukan tari kuda lumping. Dari awal sampai akhir pertunjukan 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134