Tari Kulu-Kulu Dalam Kesenian Jae' Grup Turonggo Budoyo
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
TARI KULU-KULU DALAM KESENIAN JAE’ GRUP TURONGGO BUDOYO Oleh: Reza Anastasya Putri dan Euis Suhaenah Jurusan Seni Tari, Fakultas Pertunjukan Seni, ISBI Bandung Jln. Buah Batu No. 212 Bandung 40265 e-mail: [email protected] ABSTRAK Tari Kulu-Kulu merupakan salah satu tarian yang disajikan dalam kesenian Jae’ (Kuda Lumping) grup Turonggo Seni Budayo, Desa Sidomulya, Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi, menggambarkan para prajurit berkuda Pangeran Diponogoro dari persiapan hingga bertempur di medan perang. Penelitian kualitatif ini menggunakan metode deskriptif analisis, pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dan pengamatan di lapangan. Hasil dari penelitian menun- jukkan, bahwa struktur tari Kulu-Kulu terbagi menjadi dua yaitu: Pertama Struktur luar yang terdiri dari pola gerak, desain lantai, musik, properti, rias, busana yang sederhana dan bentuk pertunjukan yang lebih merakyat. Kedua yaitu struktur dalam, kesenian ini merupakan manifestasi dari masyarakat Desa Sidamulya yang merupakan masyarakat campuran (Jawa-Sunda), dengan tiga nilai hidup yang harus seimbang, yaitu; nilai agama, budaya dan pemerintah. Kata Kunci: Kesenian Jae’, Tari Kulu-Kulu, Struktur Penyajian. ABSTRACT Kulu-Kulu Dance Feel In Jae Arts Turonggo Budoyo Group, June 2018. The Kulu-Kulu dance is one of the dances presented in the art of the Jae (Kuda Lumping) Turonggo Seni Budayo group, Sidomulya Village, Ciemas Subdistrict, Sukabumi District, depicting Prince Diponogoro's horsemen from preparation to fighting on the battlefield. This qualitative research uses descriptive analysis method, data collection is done through literature study and observations in the field. The results of the study show that the structure of the Kulu-Kulu dance is divided into two, namely: First, the outer structure consisting of movement patterns, floor designs, music, property, make-up, simple clothing and more popular forms of performance. Second, the internal structure, this art is a manifestation of Sidamulya Village community which is a mixed society (Javanese-Sundanese), with three values of life that must be balanced, namely; religious, cultural and government values. Keywords: Jae’ Art, Kulu-Kulu Dance, Presentation Structure. PENDAHULUAN Tari Kulu-Kulu merupakan salah satu tari- Sidomulya Kecamatan Ciemas Kabupaten Su- an yang disajikan dalam kesenian Jae’/Kuda kabumi. Kesenian tersebut merupakan bentuk Lumping grup Turonggo Seni Budayo Desa alkulturasi dari kebudayaan masyarakat Jawa Naskah diterima pada 1 Februari, revisi akhir 4 Maret 2018| 77 (pendatang) dengan masyarakat Sunda (pri- Istilah mengembangkan lebih mempunyai ko- bumi). Kesenian Jae’ berfungsi sebagai hiburan notasi kuantitatif dari pada kualitatif, artinya membesarkan, meluaskan. Dalam pengertian- yang di dalamnya kental akan hal-hal mistik nya yang kuantitatif itu, mengembangkan seni /gaib. Ada empat tarian yang disajikan dalam pertunjukan tradisional Indonesia berarti mem- pertunjukan Jae’ yaitu: (1) Solo, (2) Rincik- besarkan volume penyajiannya, meluaskan wi- Rincik, (3) Dawet Ayu/Siji Lima, (4) Kulu-Kulu layah pengenalannya. yang diakhiri oleh proses trance pada lagu Adapun istilah Jaè merupakan akronim Solasi. Keempat tarian tersebut menggambar- dari “Jawa Edan” istilah yang diambil dari kan para prajurit berkuda Pangeran Dipono- olokkan atau senggakan para nayaga saat para goro dari persiapan hingga bertempur di penari Kuda Lumping baru memasuki arena medan perang. Adegan paripurna perang di- pertunjukan. Pendapat lain mengatakan pe- gambarkan pada tarian Kulu-Kulu sehingga nonton mengistilahkan Jawa Edan karena ke- gerak, musik, dan pola lantai. banyakan para pelaku seni Kuda Lumping di Jampang merupakan salah satu daerah daerah Jampang ini berasal dari Jawa, dengan dengan potensi kesenian yang perlu digali adanya unsur mistis di dalamnya seperti yang kembali. Beberapa kesenian yang terdapat di dikemukakan oleh Sumardjo (2000: 325-326), daerah tersebut di antaranya seperti Gondang, bahwa: Sawer, Wayang Golek, Janèng, Buncis, Cèpèt, dan Dalam menyaksikan tarian kuda lumping, mi- Kuda Lumping/Jaè. Kuda Lumping adalah salnya secara estetik sebenarnya merupakan salah satu kesenian yang masih hidup dan gerakan itu-itu saja. Kita sudah lebih dari se- puluh kali menyaksikan tarian kuda lumping berkembang hingga sekarang, khususnya yang para pemainnya mencapai kondisi ke- untuk Kecamatan Ciracap dan Ciemas. surupan alias trance, tetapi selalu saja kita ter- Menurut Mahmud (1991: 108), bahwa seni pesona oleh daya transendental yang menyer- tradisi sebagai salah satu unsur kebudayaan tainya. Selama kesurupan itulah, tarian, musik dan semua peristiwa seni terstruktur begitu suatu masyarakat akan ikut bertahan atau ikut rupa sehingga kita meleburkan diri dalam pe- berubah mengikuti gerak kebudayaan induk- ngalaman estetik dan pengalaman magis pe- nya. Hal tersebut sesuai dengan kesenian ini nari kuda lumping atau kuda kepang tersebut. yang sangat digemari oleh masyarakat setem- Begitu juga dengan yang diungkapkan pat hingga luar daerahnya, karena berbagai Enoch Atmadibrata (2006: 41), bahwa: bentuk adaptif penyajian dari setiap grupnya. Sampai sekarang, kesenian kuda lumping ma- Kuda Lumping di daerah Jampang lebih sih digemari oleh masyarakat. Penonton ter- dikenal sebagai kesenian Cèpèt atau Jaè. Me- tarik pada kesenian ini karena unsur magis nurut Takhsinul (2016: 38), Secara harfiah, atau keterlibatan hal gaib yang dilakukan para Cèpèt artinya sama dengan “kedok” atau pemain kuda lumping tersebut. Pendeknya pe- nonton merasa terbetot rasa ingin tahunya oleh “topeng”. Istilah Cèpèt diambil dari tari Cèpèt perbuatan pemain kuda lumping yang berada (topeng) yang disajikan setelah pertunjukan dalam keadaan kesurupan itu. Kuda Lumping sebagai bentuk pertunjukan baru dalam kesenian tersebut. Pemunculan Penari Kuda Lumping dapat mengalami tari Cèpèt ini merupakan pengembangan yang trance melalui seorang pawang. Kemampuan adaptif para senimannya dalam upaya me- membuat penari dari keadaan sadar menjadi lestarikan kesenian Kuda Lumping. Sedyawati mabok (trance) kemudian disadarkan kembali (2000: 50), menyebutkan: itulah yang disebut edan atau hebat, maka Makalangan Vol. 5, No. 1, Edisi Juni 2018| 78 lahirlah istilah Jaè atau Jawa Edan. Menurut Menurut Jaèni (2007: 93), bahwa mas- Takhsinul (2016: 39), disimpulkan mengenai yarakat penyangga adalah masyarakat yang kedua istilah tersebut: turut memelihara keberadaan seni pertunju- Lepas dari benar-salahnya suatu nama, Cèpèt kan yang terdiri dari; pelaku seni, penikmat dan Jaè adalah dua istilah yang sama-sama seni dan pendukung seni. Dengan demikian, populernya dipakai untuk menyebut kesenian kuda lumping di Pajampangan, yang hingga kini dalam berbagai aspek penyajian Kuda Lum- merupakan salah satu jenis pertunjukan paling ping merupakan kolaborasi antar dua budaya popular. Bedanya, dari kedua istilah ini adalah yaitu Jawa dan Sunda, selain itu aspek mistis Jaè hanya berarti pada nama jenis kesenian dan magis yang terdapat dalam pertunjukan (dan pertunjukannya), sedangkan Cèpèt me- miliki dua arti. Pertama, Cèpèt berarti “jenis ke- ini sangat menarik dan unik untuk dikaji senian” seperti halnya Jaè, dan yang kedua ber- mengingat fungsi kesenian ini yang hidup arti “topeng” (kedok). sebagai seni hiburan. Seperti yang dijelaskan Takhsinul (2016: 38), bahwa: Kuda Lumping mempunyai berbagai de- Pertemuan dua budaya, antara Jawa dan Sun- finisi di antaranya menurut Enoch Atmadi- da, yang diwujudkan melalui kesenian kuda brata (2006: 40), bahwa: lumping, telah menghadirkan keunikan tersen- Kesenian kuda lumping hampir sama dengan diri. Dua “rasa” dan dua “warna” budaya le- kuda kepang atau ebeg yang membedakannya bur menjadi satu, sehingga pertunjukan itu ka- adalah perlengkapan yang digunakannya yaitu dang-kadang terasa kejawen, tetapi juga terka- “kuda”, dalam hal ini kuda-kudaan, dan “lum- dang terasa kesundalan. ping”. “Lumping” artinya kulit, jadi bahan pembuatan kuda lumping adalah kulit, yaitu Kesenian ini biasanya ditampilkan pada kulit sapi atau kerbau. Akan halnya kuda ke- acara hari-hari besar, festival, hajatan, dan pang atau ebeg, kepang maupun ebeg arti-nya sama, yaitu anyaman bambu yang diiris tipis syukuran pada malam syura‘an. Biasanya di- dan dianyam seperti kipas. Jadi kuda kepang tampilkan di arena atau lapangan terbuka. maupun ebeg terbuat dari bambu tipis yang Bentuk penyajiannya ada dua yaitu tari Kuda diiris tipis dan dianyam seperti kipas. Lumping dan tari Topeng (Cèpèt) dengan Dalam buku Tradisional Masyarakat Seni durasi dari siang dilanjutkan pada malam hari, Pertunjukan Indonesia (MSPI) oleh Direktorat biasanya penampilan Kuda Lumping di siang Seni Pertunjukan (1998: 37), bahwa: hari dan tari topengnya di malam hari. Jaran Kepang adalah tari yang menggunakan Tari Kuda Lumping pada grup Turonggo properti kuda-kudaan dari anyaman bambu Seni Budoyo terdiri atas empat tarian yang (kepang) sebagai media utama penari dalam masing-masing nama tarian tersebut disesuai- mengekspresikan makna simbolik tari. Tari kan dengan judul lagu pengiringnya. Lagu yang dikenal juga dengan sebutan jatilan ini dibawakan oleh penari laki-laki dan dipimpin pengiring tersebut terdiri dari lagu Jawa oleh seorang pawang. (Banyumasan) yaitu Solo, Rincik-Rincik, Dawet Ayu atau Siji Lima, dan Kulu-Kulu naik ke Endang Caturwati (2007: 90), bahwa: Solasi. Empat tarian tersebut menggambarkan Kuda Lumping ini merupakan kesenian rakyat cerita perjalanan pasukan Diponegoro menuju yang dibawa oleh para penduduk Jawa ke Sunda khususnya ke daerah Jampang. Tari