Volume 4, Nomor 1 Januari-Juni 2021

Potret Gerakan Sosial Keagamaan Negara Fillah Di Kabupaten Garut

Budi Rahayu Diningrat UNISA Kuningan [email protected]

Suggested Citation: Diningrat, Budi Rahayu. (2021). Potret Gerakan Sosial Keagamaan Negara Islam Indonesia Fillah Di Kabupaten Garut. Temali: Jurnal Pembangunan Sosial, Volume 4, Nomor 1: 42–58. 10.15575/jt.v4i1.11536 Article’s History: Received November 2020; Revised January 2021; Accepted April 2021. 2021. journal.uinsgd.ac.id ã. All rights reserved. Abstract: The establishment of the Islamic State of Indonesia (NII) led by SM. Kartosoewiryo at the beginning of the independence period. In historical references, NII was declared a rebel movement, so the Government eradicated it with a military operation (posse operation), and its leader was executed on September 5, 1962. However, NII's struggle did not end just like that. After Kartosoewiryo, NII was divided into several factions, namely NII Fillah in Garut, led by Sensen Komara, whose existence until now. This study uses a descriptive qualitative approach, from written or oral information, people's behavior, and interpretations of the world around them. The purpose of this research is to understand the world of meaning symbolized in people's behavior. Using sociological analysis and historical analysis, the study found that NII Fillah, led by Sensen Komara, was a continuation of NII Kartosoewiryo after experiencing several leadership changes from Jaja Sudjadi Bakar Misbah. NII Fillah argues that the Islamic State is a political force to enforce Islamic law and is the only tariqah in implementing the system and regulation in the nation's life and state. The relationship between religion and state is an inseparable concept, that religion needs a state or a political entity so that religion can be perfectly applied. Fillah NII religious movements in Garut include; rejection of the election, raising the red and white flag of the star and moon, and converting from RI to NII without changing the existing structure.

Keywords: social movement, religion and politics, Islamic state, DI/TII

Abstrak:

Berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) yang dipimpinan SM. Kartosoewiryo di awal masa kemerdekaan. Dalam referensi sejarah, NII dinyatakan sebagai gerakan pemberontak, maka Pemerintah memberantasnya dengan operasi militer (operasi pagar betis) dan pimpinannya di eksekusi mati pada 5 September 1962. Namun perjuangan NII tidak berakhir begitu saja, karena pasca Kartosoewiryo, NII terpecah menjadi beberapa faksi, yakni NII Fillah di Garut dipimpinan Sensen Komara yang eksistensinya hingga sekarang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriftif, dari informasi tertulis atau lisan, perilaku orang-orang serta tafsiran tentang dunia sekitarnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dunia makna yang disimbolkan dalam perilaku masyarakat. Menggunakan analisis sosiologis dan analisis historis. Dari hasil penelitian ini bahwa NII Fillah pimpinan Sensen Komara merupakan kelanjutan dari NII Kartosoewiryo setelah mengalami beberapa pergantian kepemimpinan, dari Jaja Sudjadi, Bakar Misbah, kemudian kepada Sensen Komara sebagai pimpinan NII Fillah hingga sekarang. NII Fillah berpendapat bahwa negara Islam merupakan kekuatan politik untuk memberlakukan hukum Islam dan satu-satunya tariqah dalam menerapkan sistem dan hukum secara menyeluruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Relasi agama dan negara merupakan konsep yang tidak dapat dipisahkan, bahwa agama membutuhkan negara agar agama dapat diterapkan secara sempurna. Gerakan keagamaan NII Fillah di Garut meliputi; penolakan pemilu, pengibaran bendera merah putih bulan bintang dan konversi/ perpindahan dari RI ke NII dengan tidak merubah struktur yang ada.

Kata Kunci: gerakan sosial, agama dan politik, negara Islam, DI/TII

PENDAHULUAN Salah satu peristiwa penting yang meninggalkan bekas dalam catatan sejarah negeri ini adalah berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) di awal masa kemerdekaan. Topik ini memang selalu dan akan tetap menarik untuk diperbincangkan, lengkap dengan segala pendapat para ahli maupun saksi-saksi sejarah. NII adalah kependekan dari Negara Islam Indonesia, sebuah

journal.uinsgd.ac.id/index.php/temali/index. © Diningrat 42

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial eISSN: 2615-5028, Vol 4, No 1, 2021, pp 42-58 http://dx.doi.org/10.15575/jt.v4i1.11536 gerakan keislaman atau Harakah Islamiyyah (Sonjaya, 2019) yang bertujuan mendirikan Negara Islam Indonesia. Gerakan ini pernah memproklamasikan berdirinya NKA-NII pada 07 Agustus 1949. NKA-NII disebut juga atau yang disingkat DI (Diningrat, 2019), komandan tertinggi sekaligus pendiri gerakan ini bernama Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo (Dengel, 1995), biasa disingkat S.M. Kartosoewiryo; salah seorang tokoh Masyumi Jawa Barat dan juga pernah menjadi murid dari pahlawan Islam Indonesia, HOS. Cokroaminoto. Dalam berbagai publikasi pemerintah dan militer yang terbit sejak 1950-an, DI/TII dinyatakan sebagai gerakan pengacau keamanan (Dengel, 1995). Bahkan di dalam arsip nasional maupun buku-buku sejarah nasional Indonesia yang resmi digunakan di SD, SMP dan SMA/SMK di seluruh Indonesia, Darul Islam mendapat stigma sebagai pemberontak yang mengganggu stabilitas negara, gerakan berbahaya yang perlu ditumpas habis sampai ke akar-akarnya. Pemerintah menghabisi gerakan ini dengan berbagai macam dalih dan cara, baik operasi intelejen, penyusupan, adu domba, perusakan nama maupun operasi militer. Melalui operasi militer inilah akhirnya S.M. Kartosoewiryo tertangkap pada 4 Juni 1962, kemudian ia dieksekusi mati pada tanggal 5 September 1962 disebuah pulau di teluk Jakarta. Beliau meninggalkan seorang istri Siti Dewi kulsum dan 12 orang anak (Dengel, 1995). Meskipun pemberontakan DI/TII dapat ditumpas secara militer, namun ide tentang NII tidak berakhir begitu saja. Apalagi dalam kenyataannya banyak tokoh-tokoh DI/TII yang telah diampuni oleh pemerintah RI, kemudian dipergunakan oleh pemerintah Orde Baru untuk tujuan-tujuan politik tertentu, terutama dalam membatasi ruang gerak politik Islam. Keterlibatan mereka dalam politik secara tidak langsung membawa kesadaran lain bagi para pengikut DI/TII yang tersisa untuk menghidupkan kembali gagasan NII. Hal ini terbukti setelah Kartosoewiryo wafat, NII terpecah menjadi beberapa faksi, karena terjadi perselisihan paham dan pendapat tentang siapa yang lebih berhak menggantikan posisi Imam NII: Pertama, Kubu Mujahidin dalam wadah Sabilillah di bawah komando Adah Djaelani Tirtapradja. Kubu Sabilillah ini pecah lagi menjadi beberapa faksi, yaitu Faksi Abdullah Sungkar(Hamid, 2009), yang meliputi wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta, faksi Atjeng Kurnia yang meliputi wilayah Bogor, Serang, Purwakarta, dan Subang, faksi Ajengan Masduki yang meliputi wilayah Purwokerto, Subang, Cianjur, Jakarta dan Lampung, faksi Abdul Fatah Wiranagapati yang meliputi wilayah Garut, Bandung, Surabaya dan Kalimantan, dan faksi Gaos Taufik yang meliputi wilayah Pulau Sumatera. Kedua, Kubu Mujahidin dalam wadah Fillah di bawah komando Djaja Sujadi. Ia adalah Menteri Keuangan pada masa Kartosoewiryo dan diangkat oleh para elite NII menjadi Penanggungjawab DI Fillah pasca Kartosoewiryo (Hasil wawancara dengan Bapak Abbas selaku anggota DI Fillah). Namun, ia tidak banyak berkiprah karena setelah beberapa bulan diangkat, ia dibunuh oleh salah seorang elite NII (Al-Chaidar, 1999). Kemudian tampuk kepemimpinan diserahkan ke Bakar Misbah sebagai Bakar Misbah adalah Bupati Sumedang NII pada masa Kartosoewiryo sebagai Penanggungjawab DI Fillah ke dua, ia menjalani sisa hidup di Kampung Babakan Cipari bersama kelima anaknya. Sama halnya dengan Jaja Sudjadi, DI Fillah yang dipimpin Bakar Misbah pun tidak begitu massif dalam gerakannya, karena kondisi pada saat itu berada pada dominasi militer yang sangat refresif. Setelah Bakar Misbah meninggal, kepemimpinan DI Fillah diteruskan oleh anaknya yang bernama Sensen Komara. Sepeninggal sang ayah, Sensen bergabung dengan keturunan pengikut Darul Islam yang lain dan diangkat menjadi Penanggungjawab ke tiga atas hasil munajat dari para anggota DI Fillah tersebut, ia mengaku telah menghidupkan kembali NII di kabupaten Garut. Awalnya keberadaan NII Fillah ini tertutup dan tidak banyak diketahui oleh khalayak umum, bahkan oleh sebagian besar eks anggota NII sendiri. Sebagian besar dari mereka berkeyakinan bahwa NII sudah mati. Salah seorang diantaranya adalah Abdul Fatah Wirananggapati (mantan kuasa usaha DI). Ia menyatakan bahwa saat ini NII sudah tidak ada lagi karena NII sudah mati (Ausop, 2011). Masyarakat pun berkeyakinan bahwa paham dan gerakkan DI atau NII hanya tinggal sejarah. Namun beberapa tahun ke belakang, tepatnya ketika tahun 1999 masyarakat bahkan pemerintah dibuat heboh, ketika Sensen bersama anggotanya secara terang-terangan menolak terhadap Pemilu pada waktu itu, dengan alasan bahwa Pemilu yang diadakan pada tahun 1999 itu inkonstitusional dan mengkhianati terhadap Undang-undang 1945. Kemudian pada tahun 2008, lagi-lagi Sensen dan anggotanya membuat gehger khalayak umum setelah diangkat disebuah media koran atas pengibaran bendera Merah Putih bergambar Bulan Bintang, di Kampung Babakan Cipari Kecamatan Pangatikan Kabupaten Garut. Akibat insiden pengibaran bendera tersebut, Sensen bersama kedua menterinya ditangkap kepolisian. Tapi Sensen dilepas karena jiwanya dianggap "terganggu". Sebaliknya, dua menterinya divonis Pengadilan Negeri Garut tiga tahun enam bulan penjara pada 15 Oktober 2008. Dari sinilah informasi tentang NII Fillah terus berkembang sedemikian cepat. Ia dipublikasikan bukan hanya oleh surat kabar atau pun majalah akan tetapi sampai kepada media elektronik. Untuk memperjelas kajian ini, perumusan masalah pokok penelitian adalah apa yang menjadi latar belakang munculnya NII Fillah di Garut dan hubungannya dengan NII Kartosoewiryo. Bagaimana konsepsi NII Fillah tentang Negara Islam dan bagaimana gerakan NII Fillah dalam mewujudkan Negara Islam di Indonesia. Secara umum, tujuan penelitian ini adalah mengungkapkan latar belakang munculnya NII Fillah dan bagaimana konsepsi serta gerakan NII Fillah dalam mewujudkan Negara Islam di Indonesia. Penelitian ini mengikuti kerangka teori Ibnu Khaldun tentang negara Nomokrasi atau Mulk Siyasah Diniyah (Ou-Hssata & Tounsi, 2019). Negara Islam adalah Negara hukum dan beraqidah, yang dari sudut pembentukannya dan sebab keberadaannya, ia tegak di atas landasan falsafah yang lengkap. Namun, terkadang banyak para ahli politik dan ahli agama yang menganggap bahwa Negara Islam adalah Negara agama atau theokrasi (seperti Negara Kristen Vatikan), dan Negara Sipil (Masyarakat Madani). Padahal sebenarnya, menurut Ibn Khaldun bahwa, Negara Islam adalah Negara Nomokrasi atau

journal.uinsgd.ac.id/index.php/temali/index. © Diningrat 43

Volume 4, Nomor 1 Januari-Juni 2021

Mulk Siyahasah Diniyyah yang jauh lebih baik ketimbang Negara agama (theokrasi seperti Vatikan). Sebab Negara Islam mencakup sistem akhlak, hukum dan hubungan kemasyarakatan. Bukan sebagaimana yang digambarkan oleh sebagian orang yang mengacu pada pemikiran Barat, yaitu merupakan Negara Agama, dalam arti hubungannya hanya terbatas pada suatu kepercayaan keagamaan yang bersifat ghaib dan tata cara ibadah serta ritual-ritual semata. Dari sini, maka akan terlihat jelas bagaimana Negara Islam memberikan jaminan kebebasan kepada para pemeluk agama Islam untuk menegakkan syari’atnya. Tentunya, jaminan kebebasan tersebut perlu dikoridori untuk mencegah terjadinya kebebasan yang melampui batas. Batas itu antara lain, apakah itu syari’at Islam? Dan bagaimana melaksanakannya? Kita tentu tidak dapat menegakkan syari’at Islam sebelum mengetahui apakah syari’at Islam itu sesungguhnya dan bagaimana kita menegakkannya. Tidak banyak orang yang mengerti apakah syari’at Islam itu sesungguhnya. Kebanyakan dari mereka hanya mengetahui bahwa syari’at itu tidak lain hanyalah hukuman potong tangan bagi yang mencuri, hukuman rajam bagi yang berzinah dan hukuman mati bagi yang membunuh apabila keluarga korban tidak memaafkan pembunuh tersebut. Padahal, sebenarnya syari’at Islam memiliki makna yang lebih dalam daripada semua hal tersebut, karena Islam sebagai agama yang tidak hanya mampu memberi petunjuk ke jalan menuju keselamatan di akhirat, tetapi juga keselamatan di dunia. Islam bukan hanya sebuah sistem kepercayaan, tetapi juga sistem kehidupan dan Islam bukan hanya berurusan dengan persoalan ritual keagamaan, tetapi juga urusan sosial, kemanusiaan dan ketatanegaraan. Itulah sebabnya, Islam tidak hanya mengajarkan bagaimana manusia harus mempersiapkan kehidupan di akhirat kelak, tetapi juga mengatur kehidupan di dunia. Islam tidak hanya mengatur bagaimana hubungan makhluk dengan khaliknya, tetapi juga bagaimana manusia harus berhubungan dengan sesama di alam sekelilingnya. Islam dengan tegas mengajarkan bahwa kehidupan di akhirat nanti sama sekali tidak bisa dilepaskan keterkaitannya dengan apa yang dilakukan manusia di dunia. Apa yang menjadi misi ajaran Islam dalam mengatur kehidupan umat manusia di dunia tidak lain kecuali untuk mewujudkan tipe manusia ideal, namun secara jujur harus diakui bahwa sejarah umat Islam dalam beberapa abad terakhir ini merupakan realitas sejarah yang jauh dari cita-cita Islam. Sejarah kehidupan umat Islam saat ini tidak lebih dari sejarah keterbelakangan dan ketertinggalan. Dalam hal ini ada kesenjangan antara Islam pada tataran idealitas dengan Islam pada tataran aqidah; antara Islam pada tataran refleksi dengan Islam pada tataran amaliah. Islam tidak berhenti pada tataran aqidah, tetapi mampu mentransformasikan ke dalam tataran amaliah. Karena luasnya bidang kehidupan yang diatur dalam Islam, maka tidaklah dapat dikatakan bahwa Islam hanya sebatas agama yang diyakini pemeluknya, melainkan merupakan suatu totalitas yang memiliki cakupan universal. Luasnya cakupan itu antara lain ditunjukkan dengan adanya konsep bernegara dalam Islam. Konsep bernegara itu telah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW. dengan mendirikan Negara Madinah. Negara Madinah pada masa itu merupakan prototipe dari suatu negara modern karena kerangka bernegaranya sudah diatur secara tertulis dengan dibentuknya Piagam Madinah yang tidak lain merupakan konstitusi negara. Sebab pada dasarnya, pengertian negara adalah organisasi tertinggi diantara satu kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam suatu kawasan dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat (Ubaedillah, 2016). Pengertian ini mengandung nilai konstitutif yang pada galibnya dimiliki oleh suatu Negara berdaulat: masyarakat (rakyat), wilayah dan pemerintahan yang berdaulat.

TINJAUAN PUSTAKA Berdasarkan penjelasan di atas, maka boleh dikatakan bahwa hubungan Negara dan Agama ibarat ikan dan airnya, karena keduanya memiliki hubungan timbal balik yang sangat erat. Sehingga wacana ini mendiskusikan bagaimana posisi agama dalam kontek Negara modern (nation state) dan hubungan agama dan Negara dalam kontek dunia Islam. Secara teoritis hubungan Negara dan Agama dapat di klasifikasikan ke dalam pandangan (Azra, 1999):

1. Paradigma Integralistik Paradigma ini hampir sama dengan pandangan Negara Theokrasi Islam. Paradigma ini menganut paham dan konsep agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu. Paham ini memberikan penegasan bahwa Negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik atau Negara. Sebab al- Qur an sebagai sumber utama ajaran Islam mampu menjawab segala persoalan dan dipandang sebagai buku pintar yang memuat segala konsep yang lengkap. Al-Qur an juga merupakan solusi bagi segala persoalan hidup, termasuk soal kenegaraan. Karena itu, kalau Islam ingin jaya, maka umat Islam harus kembali menerapkan konsep pada zaman Rasulullah termasuk soal kenegaraan. Dengan dasar pandangan itu, kelompok ini menghendaki konsep daulah ummah atau khilafah. Kelompok ini biasa disebut fundamentalisme Islam atau Islam Revivalis (Azra & Al-Jauhari, 1996; Mufti & Rahman, 2019).

2. Paradigma Simbiotik Menurut paradigma simbiotik, hubungan agama dan Negara berada pada posisi saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Dalam pandangan ini, agama membutuhkan Negara sebagai instrument dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, Negara juga memerlukan agama sebagai sumber moral, etika, dan spiritualitas warga

journal.uinsgd.ac.id/index.php/temali/index. © Diningrat 44

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial eISSN: 2615-5028, Vol 4, No 1, 2021, pp 42-58 http://dx.doi.org/10.15575/jt.v4i1.11536 negaranya. Kelompok ini mempunyai dasar bahwa Islam tidak menentukan pola Negara dan sistem pemerintahan tertentu bagi kaum muslimin. Ketentuan yang ada hanyalah berkaitan dengan nilai-nilai absolute seperti keadilan, musyawarah dan toleransi. Adapun bentuk pemerintahan dan konstitusi Negara senantiasa mengikuti perkembangan zaman (Effendy, 2009). Kelompok ini menghasilkan konsep Negara nasionalisme-religius, bukan nasionalisme-sekuler, yakni nasionalisme yang tetap memegang nilai-nilai absolut Islam dan kelompok ini sering disebut Islam Pembaharu.

3. Paradigma Sekularistik Paradigma Sekularistik beranggapan bahwa terjadi pemisahan yang jelas antara agama dan Negara. Agama dan Negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Negara adalah urusan politik, sementara agama merupakan wilayah pribadi masing-masing warga Negara. Berdasarkan pemahaman dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum yang berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract yang tidak terkait sama sekali dengan hukum agama (Rahman, 2018). Dari beberapa pengertian di atas, akan terikat suatu pengertian yang jelas bagaimana posisi “agama” maupun “Negara”. Dalam hal ini M. Natsir (Jajuli, 2017) mengatakan: Urusan kenegaraan pada pokoknya dan pada dasarnya adalah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan, satu intergreereng deel dari Islam. yang menjadi tujuan adalah kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahy, baik yang berkenaan dengan perikehidupan manusia sendiri (sebagai individu), ataupun sebagai anggota masyarakat. Baik yang berkenaan dengan kehidupan dunia yang fana ini, ataupun yang berhubungan dengan kehidupan kelak di alam baka. Oleh karenanya, bagi kita kaum muslimin, Negara bukanlah badan yang berdiri sendiri dan bukan pula menjadi tujuan. Dengan persatuan agama dan Negara, itu berarti agama bukanlah sekedar dimasuk-masukan saja di sana sini kepada Negara itu. Tetapi persatuan agama dan Negara mengikat suatu pengertian bahwa Negara merupakan alat dan sarana, sedangkan tujuannya adalah mencapai berlakunya undang-undang Ilahi. Dengan demikian, agama adalah tujuan, sementara Negara merupakan alat untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam arti bahwa Negara pada dasarnya merupakan alat bagi masyarakat untuk melaksanakan aturan-aturan agama. Pengertian ini, kelak juga menjadi landasan bagi pemikir modernis generasi baru dalam menentukan kriteria-kriteria pemerintahan Islam.

METODOLOGI PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik pengambilan data berupa observasi, wawancara mendalam pada sejumlah informan, dan dokumentasi yakni mencari data mengenai hal-hal yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar dan majalah. Adapun pengambilan data melalui observasi atau pengamatan dilakukan pada saat mereka melaksanakan perkumpulan dalam bentuk pengajian mingguan. Sedangkan wawancara mendalam dilakukan pada sejumlah warga dan informan kunci yakni tokoh NII Fillah, anggota NII dan pemerintahan setempat. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan sintesis, menyusun ke dalam pola, memilah mana yang penting dan tidak, terakhir membuat kesimpulan. Dengan melaksanakan wawancara mendalam dan pengamatan, peneliti memperoleh data primer dalam bentuk kualitatif, sehingga penjabarannya dalam bentuk catatan lapangan. Dari rumusan di atas, data dapat dikumpulkan dari catatan lapangan, komentar peneliti, gambar, foto, dokumen berupa laporan, biografi dan sebagainya. Setelah data terkumpul dari lapangan, maka peneliti akan mengolah dan menganalisisdata tersebut dengan menggunakan analisis deskriptif-kualitatif (Mustari & Rahman, 2012). Analisis deskriptif kualitatif merupakan suatu teknik yang menggambarkan dan menginterpretasikan arti data-data yang telah terkumpul dengan memberikan perhatian dan merekam sebanyak mungkin aspek situasi yang diteliti pada saat itu, sehingga memperoleh gambaran secara umum dan menyeluruh tentang keadaan sebenarnya. Tujuan deskriptif-kualitatif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta, sifat serta hubungan antar fenomena yang diteliti (Anwar et al., 2019).

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Gambaran Umum Lokasi Kampung Babakan Cipari adalah salah satu kampung yang berada di wilayah Kecamatan Pangatikan Kabupaten Garut Jawa Barat . Sebagian besar penduduknya melakukan aktifitas di sawah dan ladang. Di Kecamatan Pangatikan berdiri pondok sebanyak 5 buah. Di antara pesantren-pesantren yang ada di Pangatikan ini ada pesantren yang terkenal yaitu pesantren Cipari pimpinan KH. Yusuf Taujiri. Pesantren Cipari ini ulamanya cukup terkenal dikalangan ulama-ulama Garut, karena mesjid yang ada dicipari ini juga pernah menjadi saksi sejarah pada masa pemberontakan DI/TII di wilayah Garut Jawa Barat. Mesjid Cipari ini merupakan mesjid yang fenomenal, dalam sejarah mesjid ini telah ada sejak tahun 1895, Mesjid ini berada di komplek Pesantren Cipari. Setelah wafat K.H. Harmaen, maka keberadaan pesantren Cipari ini digantikan oleh anaknya yaitu K.H. Jusuf Tauzirie yang sekaligus sahabatnya Kartosoewirjo namun karena berbeda pandangan dalam masalah ”hijrah” dan lembaga ”suffah”, maka Kartosoewirjo menggempur mesjid dan pesantren yang ada dicipari ini, sehingga

journal.uinsgd.ac.id/index.php/temali/index. © Diningrat 45

Volume 4, Nomor 1 Januari-Juni 2021

pada saat pemberontakan DI/TII mesjid ini dijadikan tempat persembunyian oleh masyarakat setempat. Keberadaan mesjid Cipari ini menjadi sangat berarti bagi penduduk wilayah Cipari dan juga masyakat sekitarnya (Imadudin, n.d.). Keberadaan masyarakat Pangatikan ini cukup damai, namun akhir-akhir ini sekitar tahun 2006 mereka digegerkan dengan aliran sesat yang ada di Kecamatan Pangatikan Babakan Cipari yaitu gerakan NII Fillah pimpinan Sensen Komara. Selama ini mereka tidak merasakan ada gelagat-gelagat yang aneh yang ada disekitar mereka karena gerakan-gerakan DI Fillah ini cukup eksklusif dari kalangan masyarakat pada umumnya, namun pada tanggal 17 Januari 2008 masyarakat Babakan Cipari dikagetkan lagi dengan aksi Sensen dan dua menterinya yaitu Endi Rustandi dan Deden Rahayu dengan pengibaran bendera NII merah-putih bergambar bulan-bintang disekitar rumahnya Sensen Komara. Akibat dari insiden tersebut, akhirnya Endi Rustandi dan juga Deden Rahayu divonis penjara selama 3,5 tahun namun Sensen tidak ditahan karena mengalami gangguan Jiwa (Hasil Pemerikasaan Rumah Sakit Jiwa Bandung). Selain kedua menterinya di atas yang divonis dan dipenjarakan adalah tiga orang anggota DI Fillah yang lainnya yaitu Wawan Setiawan, Abdul Rosyid serta Wowo Wahyudin divonis hukuman 3,5 tahun penjara karena pelanggaran hukum pidananya. Dari hasil pelaporan ini, akhirnya masyarakat khususnya di Kecamatan Pangatikan dan umunya di wilayah Kabupaten Garut mengetahui bahwa ajaran Sensen Komara ini menyimpang dan juga menyesatkan, namun meskipun telah ada yang dipenjarakan keberadaan dan kegiatan-kegiatan jamaah ini sampai saat ini masih terus berjalan dan juga masih tetap menjadi perbincangan dimasyarakat (Hasil wawancara dengan Diat Hadiat, Penamas KUA Wanaraja, sekaligus tetangganya Sensen Komara. Pada tanggal 14 September 2016). Menengok kebelakang bahwasanya di Kabupaten Garut tepatnya di Malangbong Garut telah dideklarasikannya Negara Islam Indonesia (NII) yang di bawa oleh Kartosoewirjo (1907-1962), awalnya dia merupakan tokoh politik dari Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) dan Masyumi yang kemudian mencoba merealisasikan cita- citanya untuk mendirikan Negara Islam Indonesia. Kartosoewirjo yang lahir di Cepu, Jawa Tengah menikahi Siti Dewi Kalsum di Cisitu Malangbong, anak seorang ulama Malangbong yaitu Ardiwisastra yang awalnya merupakan Guru ngajinya ketika dia berada di Malangbong Garut, yang mana mertuanya ini mendukung terhadap cita-citanya. Disinilah Kartosuwirjo banyak melakukan kegiatan-kegiatan untuk mendirikan Negara Islamnya termasuk mendirikan lembaga suffah, yang mendidik kader- kader politik. Namun cita-citanya ini tidak mendapat persetujuan dari sahabatnya yaitu Jusuf Tauzirie. Dari ketidak-setujuannya ini, maka Kartosoewitjo melakukan perlawanan terhadap K.H. Jusuf Tauzirie dengan melakukan beberapa pertempuran. Dari pertempuran-pertempuran tersebut banyak masyarakat di daerah Cipari yang menjadi korban sehingga sawah-sawah dipenuhi dengan gelimpangan mayat dan juga kolam-kolam ikan warnanya menjadi merah akibat darah yang ditumpahkan atas pemberontakan Kartosoewirjo (Al-Chaidar, 1999). Dalam pandangan Bahtiar Efendi bahwa pendirian Negara Islam Indonesia yang dilakukan oleh Kartosoewirjo tidak dilandasi dengan idiologi Islam yang kuat, namun ia lebih kecewa atas perjanjian Renville yang dianggapnya merugikan umat Islam, untuk itu dia memberontak terhadap pemerintahan kafir Soekarno. Atas dasar inilah diperkirakan bahwa Kartososewirjo tidak begitu kuat dalam idiologi Islamnya, apalagi latar belakang keluarga dan pendidikan dia bukan dari kalangan ulama dan pendidikan yang ditempuhnya lebih beraliran kiri, dia belajar Islam saat bergabung dengan HOS Cokroaminoto dan ketika ia berada di Malangbong Garut. Sepeninggalnya Kartosoewirjo, semangat untuk mendirikan Negara Islam Indonesia tidak pernah padam, kaderisasi diantara sebagian anggotanya sepertinya tidak pernah putus. Pengusung cita-cita DI/ NII itu boleh terpecah belah karena alasan idiologi atau kepentingan pribadi imamnya, namun mereka tetap mengatakan bahwa mereka meneruskan cita-cita imamnya yaitu Kartosoewirjo, sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Garut bahwa DI sangat beragam ada yang menamakan DI Fillah, ada DI Fisabilillah ada juga Darusalam yang merupakan cikal bakal ketidak setujuan K.H. Jusuf Tauzirie terhadap pembentukan NII Kartosoewirjo, namun yang mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan baik masyarakat, maupun para ulama kiyai, dan aparat pemerintah adalah DI Fillah pimpinan Sensen Komara yang ia katakan sebagai DI Fillah penerus Kartosoewirjo. Karena ajaran-ajarannya yang menyimpang dari ajaran Islam DI Fillah ini dianggap sesat dan menyesatkan. Kepemimpinan Sensen Komara merupakan warisan dari ayahnya yaitu Bakar Misbah yang dulunya merupakan Bupati NII yang pertamakali dideklarasikan oleh Kartosoewirjo. Sepeninggalan ayahnya, Sensen bergabung dengan keturunan pengikut Darul Islam (DI), mereka menghidupkan kembali Negara Islam Indonesia yang pernah dideklarasikan oleh Kartosoewirjo. Sensen merupakan anak kedua dari Bakar Misbah ia mendeklarasikan dirinya sebagai Imam ke-15 di rumahnya berukuran 11 x 11 meter yang berdindingkan Bambu dan berlantaikan papan. Rumah ini menjadi pusat kegiatan Jamaah NII/DI Fillah yang merupakan Istana Negara bagi warga DI Fillah di Kabupaten Garut. Untuk menopang kehidupan warganya, NII/DI Fillah ini mempunyai usaha ayam potong. Ini usaha bersama yang keuntungannya digunakan untuk operasional dan buat menopang ekonomi negara. Rakyat NII "tak dibebani pajak seperti di negara lain” dalam pengakuan Sensen. Sensen menghimpun keturunan pengikut Darul Islam di 42 Kecamatan di seantero Garut untuk menjadi warga NII. "Mereka mau bergabung karena wasiat orang tua untuk meneruskan perjuangan Darul Islam," kata Sensen Dilansir dari Majalah Tempo online diterbitkan tanggal 16 Agustus 2010. Keluarga Sensen semuanya merupakan pengikut NII/DI Fillah yang setia dimana saudara kandungnya Gimgim Bin Bakar Misbah dia menjabat sebagai menteri pertahanan DI Fillah dan juga saudara-saudara lainnya merupakan aktivis dan penggerak DI Fillah pimpinan Sensen Komara baik di wilayah Garut maupun diluar wilayah Garut yang bersumber dari Diat Hadiat Penamas KUA wanaraja.

2. Potret Gerakan Sosial Keagamaan NII Fillah di Garut

journal.uinsgd.ac.id/index.php/temali/index. © Diningrat 46

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial eISSN: 2615-5028, Vol 4, No 1, 2021, pp 42-58 http://dx.doi.org/10.15575/jt.v4i1.11536

a. Latar Belakang Lahirnya NII Fillah di Garut Seperti yang sudah kita ketahui bahwa muncul atau lahirnya suatu gerakan keagamaan tidak terlepas dari situasi dan kondisi yang berkembang pada saat itu. Misalnya, munculnya Ikhwanul Muslimin di Mesir di bawah Pimpinan Hasan al-Bana pada tahun 1928 M, merupakan reaksi balik atas pemerintahan Mesir yang berbentuk Nasionalisme-Sekuler yang oleh mereka dianggap telah mengabaikan Islam menjadi Undang-undang Negara. Gerakan Wahabi di Jazirah Arab dengan Muhammad Ibn Abdul Wahab sebagai founding father-nya pada 1153 H, merupakan bentuk reaksi atas semakin menjamurnya bid’ah dan khurafat dikalangan penganut tarekat. Begitupun di Indonesia, munculnya DI/TII atau Negara Islam Indonesia dibawah pimpinan S.M. Kartosoewiryo merupakan reaksi balik atas perundingan RI-Belanda di atas kapal Renville yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Renville pada tanggal 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 (Dengel, 1995). Perjanjian inilah yang menyebabkan Kartosoewiryo mendirikan Negara Islam Indonesia karena menurutnya perjanjian Renville sangat merugikan bangsa Indonesia. Namun sebenarnya, jauh sebelum Perjanjian Renville-pun, keinginan untuk mendirikan Negara Islam itu sudah muncul sebagai implementasi nyata dari sebuah keyakinan bahwa Islam adalah aturan yang mutlak kebenarannya, sehingga Negara perlu diatur oleh syariat Islam. Senada dengan itu, Bakhtiar Effendi mengemukakan bahwa, secara umum umat Islam meyakini bahwa ajaran Islam berwatak holistik dan menganggap agama sebagai instrument ilahiyah untuk memahami dunia (Effendy, 2009). Disamping itu, Islam bukan hanya saja berbicara masalah keyakinan (credo) dan penyembahan (ritus), melainkan berisi pula tata aturan ekonomi, sosial dan politik. Islam tidak memisahkan antara urusan spiritual dan temporal. Jadi pandangan Islam yang mendasar inilah yang menjadi pendorong bagi para tokoh muslim pada pra kemerdekaan untuk menjadikan Islam sebagai format Negara, cita-cita para tokoh pejuang muslim itu adalah Negara Indonesia harus dikelola berdasarkan kepada Islam. Hal ini terbukti pada abad sembilan belasan, ketika gerakan menentang kolonialisme-imprealisme bermunculan, Islam menjadi sumber nilai yang sangat berperan dalam membangkitkan semangat perlawanan. Peran ini tidak saja sebagai pengikat persatuan, tetapi juga menjadi simbol kesamaan nasib untuk menentang penjajah yang beragama lain. Apalagi dibuktikan oleh sumber-sumber sejarah bahwa semangat kolonialis-imprealisme juga didasari oleh doktrin gospel, gold dan glory. Itu berarti hal yang wajar kalau kemudian perang melawan penjajah diyakini sebagai perang suci dan hukumnya-pun wajib. Setelah Indonesia merdeka, perjalanan bangsa ini tidak begitu mulus sesuai dengan apa yang diharapkan. Karena Belanda sendiri mempunyai rencana dengan maksud menguasai kembali daerah jajahannya dari tangan Jepang dengan segala macam cara, baik politik maupun militer. Hal ini terbukti, ketika beberapa bulan setelah proklamasi kemedekaan, Belanda yang dibantu tentara sekutu masuk lagi ke Indonesia. (Ausop, 2011) Kedatangan Belanda inilah yang kemudian memaksa pemerintah Republik Indonesia melakukan perundingan damai dengan Belanda di Linggajati pada 10 November 1946, yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Linggajati. Isi dari perjanjian itu adalah Belanda mengakui kekuasaan Republik Indonesia yang meliputi Jawa, Sumatera, dan Madura. Hasilnya adalah pembentukan RIS (Republik Indonesia Serikat). Selanjutnya, RIS dan Belanda membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya (Sundhaussen, 1988). Kemudian tidak berselang lama, perjanjian Linggajati menjadi tidak berarti lagi, karena pada 21 Juli 1947, Belanda melakukan agresi militernya dengan melakukan penyerangan terhadap daerah-daerah yang dikuasai RI (Sundhaussen, 1988). Sehingga membuat Indonesia terdesak yang kemudian pada 5 Agustus 1947, atas tekanan PBB, Belanda kembali berunding dengan RI yang diselenggarakan di atas kapal Amerika Serikat, Renville, yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta, Tanjung Priok. Isi perjanjian itu adalah bahwa Indonesia harus mengakui apa yang disebut “Garis Demarkasi van Mook”, yakni garis demarkasi sebagai garis batas terdepan pertahanan Belanda. Akibatnya, wilayah kekuasaan Indonesia hanya tinggal Yogyakarta dengan tujuh keresidenan (Awwas, 2008). Tidak hanya itu, isi perjanjian tersebut memaksa pihak Republik Indonesia harus mengosongkan wilayah-wilayah yang dikuasasi TNI, serta mengakui pemerintah Belanda atas Indonesia sampai terbentuknya RIS. Dari hasil perjanjian itu, maka wilayah RI menjadi bertambah sempit, hanya tinggal Yogyakarta dan tujuh keresidenan di Jawa dan Sumatera, bahkan Jawa sebelah Barat sepanjang garis Demarkasi Van Mook kecuali Banten, Banyumas dan Pekalongan. Semuanya termasuk wilayah yang diserahkan oleh Republik Indonesia kepada Belanda, dan sekaligus TNI dari Jawa sebelah Barat yang menjadi pelopor benteng rakyat semua ditarik dan hijrah (Dengel, 1995) ke Yogyakarta, karena Jawa sebelah Barat bukan lagi milik Negara Republik Indonesia tetapi milik penjajah Belanda, sehingga daerah-daerah yang ditinggalkan kaum nasionalis menjadi daerah vacum of power. Kemudian pihak Belanda yang menguasai daerah koloninya kembali membentuk Negara-negara federasi atau Negara “boneka” buatannya sendiri. Melihat kenyataan pahit yang dialami oleh bangsa Indonesia karena perundingan tersebut, maka hal ini sebagai momentum bagi Kartosoewiryo untuk menegakan syariat Islam dengan memproklamasikan (Al-Chaidar, 1999) NKA NII (Negara Karunia Allah Negara Islam Indonesai) pada 7 Agustus 1949. Karena baginya, Islam mempunyai konsepsi negara yang sangat jelas. Islam adalah agama dan negara. Ia juga berpandangan bahwa menegakan hukum-hukum Allah dimuka bumi wajiblah ada kekuasaan yang menjaminnya, kekuasaan itu adalah kekuasaan Islam dan pemerintah Islam (Al-Chaidar, 1999). Peristiwa proklamasi ini bukan hanya sekedar perlawanan menentang kolonialisme Belanda tetapi menancapkan sebuah tonggak monumental bagi kelanjutan perjalanan eksistensi kaum muslimin di Indonesia meraih kembali peran kekuasaannya yang telah terampas oleh kehadiran penjajah Belanda. Kelahiran Negara Islam Indonesia adalah anugerah bagi setiap

journal.uinsgd.ac.id/index.php/temali/index. © Diningrat 47

Volume 4, Nomor 1 Januari-Juni 2021

manusia di Indonesia dan di dunia, walaupun kelahirannya diiringi oleh perjalanan revolusi fisik nasional Indonesia dimana tarik ulur antara faham sistem Islam dan faham Nasionalisme sekuler sedang memanas dalam suhu yang sangat tinggi mengenai bentuk dan ideologi Negara. Ditambah lagi dikalangan muslim Indonesia sendiri sedang terjadi dua mainstream antara yang memilih cooverative dan yang memilih jalur hijrah (non cooverative) terhadap penjajah dan kaki tangannya (Ausop, 2009). Senada dengan hal tersebut, Abdul Fatah Wirananggapati (mantan kuasa usaha tertinggi DI/TII) mengatakan bahwa diproklamasikannya NKA NII ini karena sikap pimpinan RI yang mau menerima ajakan Belanda untuk berunding, yaitu melalui perjanjian Linggajati dan perjanjian Renville; padahal, hasilnya sangat merugikan posisi Indonesia sendiri. Dimana didalam perjanjian itu disebutkan bahwa keberadaan RI berpusat di Yogyakarta, sehingga daerah-daerah seperti Jawa Timur, Madura, Kalimantan dan Pasundan dikuasai sepenuhnya oleh Belanda. Dalam situasi politik seperti itulah NII diproklamasikan. Jadi berdasarkan fakta itu, NII tidak melakukan pemberontakan terhadap Negara RI, melainkan kepada penjajah Belanda, karena ketika wilayah RI hanya meliputi Yogyakarta; sedangkan Kartosoewiryo memproklamasikan NII di Jawa Barat yang ketika itu merupakan negara Pasundan sebagai negara boneka di bawah kekuasaan Belanda. Jadi, Kartosoewiryo itu tidak bersalah (Ausop, 2011). Sementara itu, Bahtiar Effendi mengatakan bahwa Kartosoewiryo merasa kecewa terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mepertahankan kepulauan Indonesia dari pengambilalihan oleh Belanda, bukan karena persoalan agama untuk mengubah Indonesia yang Pancasila menjadi Negara Islam Indonesia. Namun, sejak Kartosoewiryo mejadi anggota PSII (1940), ia telah bercita-cita ingin agar konstitusi Indonesia adalah Islam. Bahkan, Kartosoewiryo terlah berhasil menyusun konsep Hijrah. Setelah NII yang diproklamirkan ini lahir, selanjutnya menjadi kekuatan oposisi terhadap pemerintahan Soekarno. Kelahirannya itu telah membuat geram Soekarno dan kaum Nasionalis lainnya ketika mereka menemukan akibat dari perundingan-perundingan dengan Belanda. Soekarno dengan kekuasaan dan janji-janji retorika politiknya mempengaruhi sebagian besar penduduk negeri untuk mempercayainya. Pernyataan Soekarno di Amuntai Kalimantan yang berisi bahwa Indonesia akan hancur berkeping-keping bila menjadi Negara Islam sama sekali tidak benar. Justru sejarah membuktikan, lahirnya NII yang diproklamasikan SM. Kartosoewiryo menjadi perekat baru bagi masyarakat Aceh, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan yang sedang menyusun alasan untuk berpisah dari Republik Soekarno. Dan pemerintah terlalu membesar-besarkan Islam sebagai suatu ancaman. Pemberontakan Darul Islam yang bisa dipatahkan dijadikan preseden negative yang selalu dibesar-besarkan untuk mendukung legitimasi rezim penguasa dengan cara menggambarkan Islam sebagai ancaman bagi kesatuan Nasional (Dengel, 1995). Pemikiran SM. Kartosoewiryo bagaimanapun memperlihatkan betapa ia memiliki sudut pandang dalam melihat arti integrasi yang tidak hanya terbatas pada ikatan kebangsaan, namun jauh lebih meluas. Pada ikatan pemikiran universal tentang bagaimana hukum ditegakkan untuk mengatur keseimbangan kehidupan ini. Tetapi alangkah tragis, dalam berbagai publikasi pemerintah dan militer yang terbit sejak 1950, DI dinyatakan sebagai gerakan pengacau keamanan (Dengel, 1995), bahkan di dalam buku-buku sejarah nasional Indonesia yang resmi digunakan di SD, SMP dan SMA/SMK di seluruh Indonesia, DI/TII mendapat stigma sebagai pemberontak yang mengganggu stabilitas negara, gerakan berbahaya yang perlu ditumpas habis sampai ke akar-akarnya. Pemerintah menghabisi gerakan ini dengan berbagai macam dalih dan cara, baik operasi intelejen, penyusupan, adu domba, perusakan nama maupun operasi militer. Melalui operasi militer (Diningrat, 2019) inilah akhirnya S.M. Kartosoewiryo tertangkap pada 4 Juni 1962. Ia dieksekusi mati (Ausop, 2009) pada tanggal 5 September 1962. Mengenai kelanjutan Negara Islam Indonesia pasca SM. Kartosoewiryo, peristiwa-peristiwa penting perlu diketahui tentang kelanjutan resistensi politik umat Islam dan juga perjuangan Negara Islam Indonesia pada generasi penerusnya. Tetapi di sisi lain, setelah kematian SM. Kartosoewiryo, dalam struktur NII banyak perselisihan dan faham dalam kalangan intern. Perselisihan tersebut muncul dalam tataran tekhnis mengenai siapakah yang berhak dan pantas untuk melanjutkan tugas suci sebagai pemimpin. Munculnya bibit perselisihan sekitar tahun 1974-1979, dimana ketika mujahidin NII pecah kedalam tiga kelompok yakni; Pertama, Mujahidin yang tergabung dalam wadah Fillah yang dipimpin oleh Djaja Sudjadi (Hasil wawancara dengan Bpk. Abbas salah satu anggota Fillah). Kedua, Fisabilillah dimana H. Sobari sebagai pemimpin tertingginya dan, Ketiga, Kelompok NII yang Imamnya Daud Beureuh. Hal demikian diakui oleh Adah Djaelani (Ausop, 2009) dalam kesaksiannya dalam sidang pengadilan (Al-Chaidar, 1999). Organisasi NII di Indonesia ada tiga kelompok yaitu; Kelompok yang Imamnya Daud Beureuh, Kelompok yang Imamnya Djaja Sudjadi (Garut Timur) dan kelompok yang Imamnya H. Sobari (Rajapolah, Tasikmalaya). Sebab-sebab terjadinya pengelompokan karena masing-masing ingin memisahkan diri dengan alasan seperti yang dikatakan oleh saksi: H. Sobari menganggap kami yang menyerah tahun 1962 sebagai pengkhianat sehingga membentuk NII sendiri, sedangkan kelompok Djaja Sudajdi menyayangkan kami mengangkat Imam orang Sumatera sehingga ia membentuk NII sendiri. Sedangkan menurut Gimgim Bakar Misbah salah satu anggota DI FIllah, ia adalah adiknya Sensen Komara selaku Pimpinan DI Fillah bahwa Fillah ini lahir ketika perintan Imam SM. Kartosoewiryo pada tahun 1962, yang isinya antara lain: Kembali ke pangkuan RI, Penghentian Tembak Menembak, Perubahan Jihad dari Fisabilillah ke Fillah, dll (Hasil wawancara pada tanggal 28 Januari 2016 di Babakan Cipari). Namun, mengenai gerakan DI Fillah yang dipimpin oleh Djaja Sudjadi ini tidak begitu banyak berkiprah, karena pada tahun 1978 terjadi pembunuhan terhadap Djaja Sudjadi oleh Adah Djaelain cs (Al- Chaidar, 1999). Hal ini diakui oleh penuturan Toha Machfud yang mengatakan (Al-Chaidar, 1999): ia mendapat perintah dari

journal.uinsgd.ac.id/index.php/temali/index. © Diningrat 48

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial eISSN: 2615-5028, Vol 4, No 1, 2021, pp 42-58 http://dx.doi.org/10.15575/jt.v4i1.11536

Adah Djaelani untuk memimpin pelaksanaan pembunuhan. Namun, ketika operasi berlangsung, saya hanya menunjukan rumah Djaja Sudjadi, sedangkan yang membunuhnya adalah Komandan Pasus Syarif Hidayat. Kemudian setelah meninggalnya Djaja Sudjadi, kepemimpinan DI Fillah diserahkan ke Bakar Misbah adalah Bupati Sumedang NII pada masa Kartosoewiryo sebagai Penanggungjawab DI Fillah ke dua, ia menjalani sisa hidup di Kampung Babakan Cipari bersama kelima anaknya. Sama halnya dengan Jaja Sudjadi, Di Fillah yang dipimpin Bakar Misbah pun tidak berani menampakan dirinya ke permukaan, karena kondisi pada saat itu berada pada masa Orde Baru dengan dominasi militer yang sangat refresif. Setelah Bakar Misbah meninggal, tampuk kepemimpinan DI Fillah diteruskan oleh anaknya yang bernama Sensen Komara Bakar Misbah, ia bergabung dengan keturunan pengikut Darul Islam yang lain dan diangkat menjadi Penanggungjawab ke tiga atas hasil munajat dari para anggota DI Fillah. Keberadaan DI Fillah ini awalnya tidak begitu banyak diketahui oleh khalayak umum, bahkan oleh sebagian besar eks anggota NII sendiri. Sebagian besar dari mereka berkeyakinan bahwa NII sudah mati. Salah seorang diantaranya adalah Abdul Fatah Wirananggapati (Ausop, 2011) (mantan kuasa usaha DI). Ia menyatakan bahwa saat ini NII sudah tidak ada lagi karena NII sudah mati. Masyarakat pun berkeyakinan bahwa paham dan gerakakan DI atau NII hanya tinggal sejarah. Namun, barulah ketika rezim Orde Baru runtuh tepatnya pada tahun 1999, DI Fillah mulai menampakan gerakannya dan menjadi bahan perbincangan setelah Sensen Komara bersama pengikutnya menolak terhadap Pemilu pada waktu itu. Karena pada orde Reformasi ini, aktivitas politik mengalami keterbukaan, sesuai dengan apa yang dikatakan Mc Adam dan Tarow bahwa salah satu penyebab muncul dan berkembangnya suatu gerakan sosial yakni; Lembaga politik yang mulai mengalami keterbukaan dan tengah tercerai berainya keseimbangan politik, sedang kesembangan baru belum terbentuk. Sedangkan menurut Elizabeth K. Notingham (Nottingham, 2002), gerakan sosial muncul ketika adanya perubahan dan ketimpangan sosial, kesempatan politik, dan melemahnya kontrol kelompok yang dominan.

b. Konsepsi NII Fillah tentang Negara Islam Berkaitan dengan ragam pokok-poko ajaran Islam seperti yang dijelaskan oleh Muhammad Syaltout dalam buku Aqidah wa Syari’ah dibagi menjadi dua jenis pokok; akidah dan syari’ah, secara bahasa, akidah adalah ma ‘aqada ‘alayh al-qalb wa al-dlamir (Mardimin et al., n.d.), artinya, ikatan yang terpatri di dalam hati. Hasan al-Banna dalam buku al-Aqa’id menyatakan bahwa akidah adalah sesuatu yang harus diyakini oleh hati dan dipercaya oleh jiwa sehingga ia menjadi keyakinan yang tidak ada sedikit keraguan dan kebimbangan. (Misbah, 2015) Jadi, akidah itu tidak berisi konsep sistem teologi semata, tetapi berisi segala macam persoalan yang berkaitan dengan kepercayaan. Akidah merupakan fundamen agama. Bila akidahnya kuat, pelaksanaannya syari’ahnya pun pasti kuat. Demikian pula sebaliknya. Kedudukan akidah sangat penting karena merupakan fondasi seluruh tatanan kehidupan yang akan dibangun. Karena itu, tidak heran jika akidah dibahas dalam 68 surat dari 114 surat al-Qur’an. Penanamannya pun dilakukan selama 13 tahun di Mekkah. Jadi, akidahlah yang menghasilkan syariat.Tata keyakinan (akidah) dengan tauhid (teologi) sebagai intinya, pada hakikatnya merupakan sebuah nilai yang diyakini. Akidah dengan tauhid sebagai intiya menjadi kekuatan dalam kehidupan di bumi ini. Ia mempunyai fungsi praktis untuk melahirkan perilaku dan keyakinan yang kuat untuk mentransformasikan kehidupan sehari-hari dan sistem sosialnya (Shimogaki, 2012). Karena itu, dalam pandangan Hasan Hanafi, ajaran Islam yang paling inti adalah tauhid. Tauhid adalah basis Islam. Untuk membangun kembali peradaban Islam, maka tidak bisa tidak kecuali dengan lebih dulu membangun kembali semangat tauhid itu (Shimogaki, 2012). Begitupun kedudukan dan fungsi tauhid, menurut Harun Nasution “setiap orang yang ingin menyelami seluk beluk suatu agama secara mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya”(Nasution, 2018). Teologi dalam Islam disebut juga ilmu tauhid. Jadi, untuk melihat lurus tidaknya paham dan gerakan NII Fillah ini, penulis mendahulukan pembahasan dan telaah teologinya. Dalam hal ini, pembahasan tentang akidah, khususnya tauhid NII. Di dalam akidah ini memuat pemahamanan NII Fillah tentang Islam dan hubungan antara agama dan Negara.

1) Pemahaman NII Fillah tentang ad-Din al-Islam Terkait konsepsi din al-Islam menurut kelompok NII, mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata ini bukanlah agama Islam dalam pengertian religion seperti yang dipahami oleh mayoritas umat Islam. Akan tetapi, yang dimaksud dengan din al-Islam adalah tata cara hidup (way of life) yang dilandasi oleh ajaran Islam. Konsekuensi dari pemahaman itu adalah bahwa untuk terwujudnya Islam sebagai tata cara hidup dalam tubuh umat Islam maka jalan satu-satunya adalah dengan mendirikan negara Islam. Hanya dengan kekuatan potiklah Islam sebagai norma bisa diterapkan dalam kehidupan secara total (Ausop, 2009). Mereka tidak menerjemahkan Islam sebagai agama, tetapi sebagai sistem aturan atau tatacara hidup. Jika Islam diterjemahkan hanya sebagai agama (religion, religie), ia hanya merupakan alih bahasa yang tidak mengandung makna substantive-esensial. Lagi pula, bila Islam diterjemahkan sebatas makna agama yang memiliki Nabi dan Kitab Suci akan menjadi sempit maknanya. Di Indonesia, misalnya, agama yang diakui hanya enam: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu padahal di Indonesia terdapat ratusan, bahkan mungkin ribuan tatacara hidup. Seseorang yang mengaku bahwa ia muslim, konsekuensinya ia harus mengikuti tatanan hidup Islam secara kaffah, meskipun berat resikonya. Bla ia menolaknya, ia pasti akan terpental di akhrat seperti yang diterangkan dalam al-Qur’an: “Sesungguhnya, agama yang di ridhoi Allah adalah Islam. Barang siapa mencari agama selain Islam, sesekali tidaklah akan diterima agama itu darinya, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang rugi” (QS Al-Imran, 3:19). Jadi, Islam itu adalah ad-

journal.uinsgd.ac.id/index.php/temali/index. © Diningrat 49

Volume 4, Nomor 1 Januari-Juni 2021

din, bukan agama. Ia bukan yayasan, pula bukan organisasi atau golongan (menurut Hasil wawancara dengan Gimgim Bakar Misbah pada tanggal 05 Juni 2016 di Babakan Cipari pada pukul 13.00 WIB). Orang-orang yang beriman atau muslim pasti berdinul Islam, sedangkan orang-orang kafir berdin-ghair al-Islam, ad-din non Islam. Sebagai sebuah tatanan hidup, Islam meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan dari mulai masalah ritual sampai masalah muamalah, termasuk masalah sosial, budaya, ekonomi, politik, bahkan persoalan kenegaranaan. Sebuah tatanan hidup akan berjalan secara utuh dan integratif bila memenuhi tiga unsur; pertama, adanya peraturan (regulasi). Kedua, adanya tempat untuk melaksanakan peraturan itu. Ketiga, ada manusia yang berkumpul dan berkomunikasi yang membutuhkan peraturan-peraturan itu. Supaya Islam sebagai sebuah tatanan hidup bisa terlaksana secara kaffah, perlu orang-orang yang berada di sebuah wilayah tertentu yang ikhlas diatur oleh hukum Islam. Jadi, sangat mustahil Islam dapat diberlakukan secara utuh dan integratif-komprehensif sebagai sebuah tatanan hidup di suatu wilayah yang tidak menghendendaki hukum Islam itu diberlakukan. Menurut NII Fillah, kata ad-din dibentuk dri fi’il madly, yakni da-ya-na yng kemudian mengalami derivasi menjadi ya-di-ni, di-na, ma-da-da. Jadi, kata madina menunjukan tempat pemberlakuan tatanan hidup. Pada zaman Rasulullah Saw., tempat untuk mempraktekan tatanan hidup Islam itu adalah negara Madinah yang dikenal dengan nama Madinah al-Munawwarah, sedangkan masa kini disebut Medina. Jadi pada hakikatnya, ad-din itu bermuara dengan terbentuknya negara Islam. Itulah sebabnya, makna aqim ad-din adalah tegakkanlah negara Islam (Hasil wawancara dengan Deden Rahayu (Adik Sensen) pada tanggal 09 Juni 2016 di Babakan Cipari ) Penegakan ad-din yang bermuara pada pembentukan negara Islam ini, masih menurut NII, menjadi sunnatullah sepanjang sejarah para Nabi. Misalnya, Nabi Nuh dengan perahu; Nabi Ibrahim dengan Ka’bah; Nabi Muhammad dengan Madinah al-Munawwarah; dan NII dengan Madinah Indonesia atau yang dikenal dengan Negara Islam Indonesia. Dengan mengambil konklusi bahwa ad-din adalah negara, dalam tafsir al-Qur’an ala NII, setiap kata ad-din dalam al-Qur’an diterjemahkan sebagai negara. NII Fillah secara tegas menyatakan bahwa ad-din terbagi dua yang sangat jelas bedanya; ad-din al-Haq dan ad-din al- Bathil. Ad-din al-Haq ialah ad-din yang berisi aturan atau ketetapan Allah yang selalu didesain sedemikan rupa sehingga sesuai dengan fitrah manusia. Lalu, aturan ini dituangkan dalam kitab undang-undang Allah, yakni Al-Qur’an; sedangkan di luar ad-din al-Bathil adalah ad-din yang berisi aturan manusia sebagai produk akal, hasil angan-angan, imajinasi, hawa nafsu, dan hasil kajian falsafahnya. Dalam hal ini, manusia yang memproduksi aturan-aturan yang menyalahi undang-undang Allah berarti menandingi Allah. Jadi, ia musyrik. Pendek kata, agama bathil adalah setiap tatanan hidup hasil karya dan kreasi cipta kaum musyrikin. Tatanan hidup yang demikian bukan saja tidak dapat menyelamatkan manusia, melainkan justru akan mencelakakannya. Berdasarkan pengelompokan ad-din ini, sebagai pemilih ad-din, manusia pun otomatis hanya terbagi menjadi dua kelompok yang jelas-jelas berbeda: kelompok al-huda dan adh-dhalalah. Kelompok al-Huda adalah kelompok yang memilih ad-din al-Islam sebagai tatanan hidupnya. Artinya, mereka memilih Allah sebagai pemimpinnya dan mengikuti jalan haq sehingga Allah akan menghapuskan segala kesalahannya. Kelompok adh-dhalalah adalah orang-orang yang memilih ad-din selain Islam. Artinya, mereka mengikuti aturan yang salah dan menjadikan setan sebagai pimpinannya. Itulah orang-orang yang sesat. Menurut NII Fillah, ad-din al-Islam adalah satu-satunya ad-din ciptaan Allah. Ad-din yang satu ini adalah aturan untuk seluruh umat manusia tanpa terkecuali. NII sngat menyesalkan bahwa ad-din al-Islam yang satu itu pada tataran realita menjadi banyak ragam dan versinya. Semua itu, kata mereka akibat kesalahan manusia sendiri. Ad-din merupakan hasil kreasi cipta manusa berdasarkan akal, imajinasi dan falsafah yang melahirkan banyak ad-din dan isme-isme lainnya, antara lain, materalisme, kapitalisme, liberalisme, marksisme, komunisme, nasionalisme dn kolonialisme (Hasil wawancara dengan Gimgim pada tanggal 05 Agustus 2016 di Babakan Cipari). Segala macam aturan hasil manusia itu termasuk kategori ad-din al-bathil yang nyata-nyata gagal dalam mengatur umat manusia. Materialisme yang bertitik tolak pada materi telah melahirkan orang-orang serakah. Kapitalisme yang menitikberatkan pada penguasaan kapital (modal) melahirkan monopoli dan individualis. Liberalisme yang menitikberatkan pada kebebasan (freedom) dan penonjolan hak individu melahirkan jurang pemisah antara orang kaya dan miskin, serta melahirkan kecemburuan sosial dan dekadensi moral. Komunisme terbukti melahirkan manusia yang anti Tuhan dan tidak mengenal hak kepemilikan individu yang justru banyak melahirkan ketidakpuasan. Karena tatanan hidup produk falsafah manusia itu terbukti tidak membawa keselamatan, manusia harus segera hijrah kepada ad-din al-Islam. Dalam pandangan NII Fillah, seorang muslim bukan sekedar beragama Islam, melainkan harus secara total melaksanakan tatanan hidup, baik dalam masalah sosial, ekonomi, politik maupun soal ketata-negaraan. Dari persepsi tentang ad-din saja, sebenarnya sudah dapat diketahui bahwa NII Fillah menilai hubungan agama dengan negara sangat erat. Bahkan, titik-kulminasi beragama adalah bernegara dengan konstitusi Islam.

2) Pemahaman NII Fillah tentang relasi Agama dan Negara Rasanya tidak mungkin negara steril dari agama, hanya format hubungannya yang mengalami perbedaan dan perubahan dari zaman ke zaman. Baik agama maupun negara pada awalnya mulia dan suci, tujuannya untuk mengangkat harkat-derajat kemanusiaan yang didasarkan pesan-pesan Ilahi. Namun dalam perjalanannya, kekuasaan negara seringkali dijadikan ajang perebutan kekuasaan dengan mengkhianati pesan mulia tersebut. Sehingga agama dan negara dipisahkan secara tegas,

journal.uinsgd.ac.id/index.php/temali/index. © Diningrat 50

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial eISSN: 2615-5028, Vol 4, No 1, 2021, pp 42-58 http://dx.doi.org/10.15575/jt.v4i1.11536 dimana agama ditempatkan pada wilayah pribadi, sedangkan negara melekat pada wilayah publik. Dan yang paling membuat sedih adalah ketika ajaran agama lalu dipelintir dan dimanipulasi sebagai instrumen perebutan kekuasaan, bukan sebagai rujukan etika bernegara. Bukan agama membimbing bagaimana bernegara yang anggun dan terhormat, melainkan agama dibajak dijadikan jampi-jampi politik. Agama dengan tegas mengajarkan hidup bersih antikorupsi, tetapi banyak orang yang selalu mengusung simbol dan identitas agama telah melakukan korupsi. Agama lalu kehilangan ethos dan daya dobraknya dalam memberantas korupsi, melainkan ajarannya dikonstruksi sedemikian rupa sehingga pemahaman dan pengamalan agama dijadikan mekanisme penyucian dosa dari korupsi. Padahal sebenarnya, baik agama maupun negara merupakan lembaga masyarakat yang menghasilkan nilai-nilai tertentu. Nilai agama yang diyakini bersumber dari Yang Kudus dijadikan kerangka acuan seluruh realitas (dunia maupun akhirat); sedangkan nilai-nilai dalam negara dijadikan sebagai kerangka acuan untuk memfungsikan tatanan masyarakat. Adapun formulasi hubungan agama dan negara dapat diistilahkan sebagai hubungan yang positif, dalam arti bahwa agama membutuhkan negara agar agama dapat diterapkan secara sempurna, dan bahwa agama tanpa negara adalah cacat yang akan menimbulkan reduksi dan distorsi yang parah dalam beragama. Maka dari itu, agama tidak dapat dipisahkan dari negara, karena agama mengatur seluruh aspek kehidupan melalui negara yang terwujud dalam konstitusi dan segenap undang- undang yang mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Jadi, tidak heran banyak pendapat para ulama dan cendekiawan Islam yang menegaskan bahwa agama dan negara adalah sesuatu yang tidak mungkin terpisahkan. Keduanya ibarat dua keping mata uang, atau bagaikan dua saudara kembar. Jika dipisah, hancurlah perikehidupan manusia. Bagi KH Sahal, negara merupakan realitas historis atau Sunatullah yang tidak bisa terelakkan, menurutnya bahwa dalam proses hidup manusia tidak lepas dari pengaruh watak negara (Mahfudh & Al-Qurtuby, 1999). Telah menjadi sunatullah barangkali setiap kelompok ada yang dikuasai dan ada yang menguasai, ada yang memerintah dan yang diperintah serta ada yang dipengaruhi dan mempengaruhi, itulah konteks negara. Negara merupakan kebutuhan hidup menurut naluri manusiawi. Artinya bahwa Agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Relasi agama bagi K.H Sahal mengacu pada “simbiosis mutualisme” keduanya saling mempengaruhi dan membutuhkan untuk kemaslahatan umat. Hal senada juga dituturkan oleh Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa Jika kekuasaan terpisah dari agama, atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak. NII Fillah berkeyakinan bahwa mendirikan sebuah negara berdasarkan Islam merupakan sebuah kewajiban. Alsan lain, umat Islam diwajibkan untuk melaksanakan hukum Islam secara kaffah, sehingga pengingkaran terhadap salah satu aspek hukum Allah dikategorikan sebagai orang-orang yang tidak meyakini kebenaran Islam yang sesungguhnya. Padahal, penegakan hukum Islam hanya dapat terlaksana secara sempurna bila dasar negaranya adalah Islam. Menurut mereka, sungguh mustahil negara yang dasar hukumnnya bukan Islam mau berhukum kepada Islam. Jadi, mendirikan negara Islam dalam rangka menegakan hukum Islam merupakan kewajiban. Konsekuensinya, menurut NII Fillah, setiap muslim wajib berusaha untuk mewujudkan cita-cita berdirinya negara Islam, yakni mewujudkan kerajaan Allah dan memberlakukan hukum-Nya. Karena menurut mereka, Rasulullah Saw., mendirikan negara Islam dengan undang-undang pertamanya yang disebut Piagam Madinah dengan Rasulullah Saw., sebagai pemimpinnya. Di negara ini, segala peraturan Allah bisa diterapkan, itulah prototipe Negara Islam. Berdasarkan pandangan tersebutlah, NII Fillah berpendapat bahwa bentuk negara Islam adalah negara kesatuan dunia dan kesatuan umat, karena Rasulullah bertugas bukan hanya sebagai rasul, akan tetapi di sisi lain bertugas sebagai kepala negara yang harus ditaati oleh segenap manusia dalam nrangka perbaikan sosial-ekonomi dengan bimbingan wahyu, yang telah menggariskan segala macaam peraturan, baik fardhu kifayah (kewajiban kolektif) maupun fardhu a’in (kewajiban individual). Berdasarkan pandangan itu, maka pemimpin atau imam dalam Islam harus berfungsi sebagai kepala negara yang memimpin pelaksanaan sistem atau tatanan hidup Islam secara kaffah, baik ibadah mahdhah maupun ghair mahdhah. Pada prinsipnya, pandangan NII Fillah tentang format ideal sebuah negara ini sama dengan pandangan al-Mawardi. Menurut al-Mawardi, pemimpin atau Imam berfungsi sebagai pengganti nabi, yakni melindungi agama, memberi mandat utnuk mengatur negara, mengeluarkan garis kebijakan yang bersumber pada syariat, serta mengarahkan opini agar terpusat pada satu pendapat yang disepakati bersama (Al-Mawardi, 2016). Dari sini, maka dapat dikatakan bahwa bentuk dan dasar negara tidak bisa dipisahkan dari tujuan pembentukan negara, yakni sebagai sebuah kekuatan resmi untuk menegakkan syariat Islam. Bagi mereka, tidaklah mungkin sebuah negara yang dasarnya bukan Islam dapat menegakkan syariat Islam. Misalnya, Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar negara, dalam pandangan mereka, sangat mustahil dapat menegakkan ajaran dan hukum-hukum Islam secara kaffah. Karena itu, bila hukum Islam ingin ditegakkan di suatu negara, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menjadikan Islam dan Al-Qur’an sebagai dasar negara. Sebagai kitab wahyu, Al-Qur’an dipandang sebagai buku pintar yang memuat segala konsep yang lengkap. Al-Qur’an juga merupakan solusi bagi segala persoalan hidup, termasuk soal kenegaran. Karena itu, kalau Islam ingin jaya, umat Islam harus kembali menerapkan konsep seperti pada zaman Rasulullah termasuk dalam soal kenegaraan. Dengan dasar pandangan ini, NII Fillah mnghendaki konsep Negara Islam. Oleh karenanya, Bagi kita kaum muslimin, Negara bukanlah badan yang berdiri sendiri dan bukan pula menjadi tujuan. Dengan persatuan agama dan Negara, itu berarti agama bukanlah sekedar dimasuk-masukan saja di sana sini kepada Negara itu. Tetapi persatuan agama dan Negara mengikat suatu pengertian bahwa Negara merupakan alat dan sarana, sedangkan tujuannya adalah mencapai berlakunya undang-undang Ilahy. Dengan demikian, agama adalah tujuan, sementara Negara merupakan alat untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam arti

journal.uinsgd.ac.id/index.php/temali/index. © Diningrat 51

Volume 4, Nomor 1 Januari-Juni 2021

bahwa Negara pada dasarnya merupakan alat bagi masyarakat Islam untuk melaksanakan aturan-aturan agama. Pengertian ini, kelak juga menjadi landasan bagi pemikir modernis generasi baru dalam menentukan kriteria-kriteria pemerintahan Islam. Dari beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa paham gerakan keagamaan NII Fillah dalam hal relasi agama dan negara termasuk kepada paradigma integralistik, atau meminjam istilah Joh L. Esposito dalam buku Straight Path (1988) menyebutnya sebagai Islam Revivalis sebagai kelompok umat Islam yang ingin mengembalikan praktik ajaran Islam kepada zaman nabi dan para sahabat apa adanya. Mereka menolak konsep Negara kebangsaan seperti Indonesia. Karena bagi mereka, di dalam Negara kebangsaan terjadi liberalisasi politik dari kontrol syariah Islam dan lebih mengedepankan kedaulatan rakyat dan mengabaikan kedaulatan Tuhan (Azra & Al-Jauhari, 1996). Yang mana dalam paradigma ini menganut paham dan konsep agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu. Paham ini memberikan penegasan bahwa Negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan Negara. Sebab al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam mampu menjawab segala persoalan dan dipandang sebagai buku pintar yang memuat segala konsep yang lengkap. Al-Qur’an juga merupakan solusi bagi segala persoalan hidup, termasuk soal kenegaraan. Karena itu, kalau Islam ingin jaya, maka umat Islam harus kembali menerapkan konsep pada zaman Rasulullah termasuk soal kenegaraan.

c. Gerakan NII Fillah Dalam Mewujudkan Negara Islam Indonesia Darul Islam Fillah berkeyakinan bahwa upaya merealisasikan sebuah Negara Islam adalah cita-cita kehidupan ideal setiap muslim dimana pun setiap jengkal bumi ini, meskipun jalan ke arah sana selalu mengalami benturan yang sangat keras, seperti kerasnya jalan yang pernah dialami oleh Rasulullah SAW. Padahal, hanya kekuasaan dengan sistem Islam sebagai pranata kehidupan yang terbaik di dunia, dimana setiap manusia yang berada di dalam struktur politik dan sosial akan lebih beradab, sebagaimana beradabnya kaum Anshor dan Muhajirin di Madinah. Realitas semacam inilah yang dikehendaki oleh umat Islam Indonesia. Kehadiran Negara Islam di Indonesia menjadi jawaban pasti bagi terbentuknya Indonesia yang lebih beradab, karena Islam tidaklah semata-mata mencari kekuasaan, memupuk kekayaan dan keagungan militer, melainkan Negara Islam hanyalah membebaskan manusia semuanya dari perbudakan dan mengikatnya dengan ikatan yang lebih mulia, yaitu ketundukan kepada Allah saja serta menegakan keadilan diantara umat manusia seluruhnya. Kekuasaan dalam Islam bukanlah sebuah kenikmatan yang harus dihirup, melainkan suatu amanat dan tanggungjawab maha berat yang harus dipikul dan dipertanggungjawabkan langsung dihadapan Allah. Berkuasa bukanlah memegang kendali politik sambil menikmati sumber daya dengan cara menindas, melainkan terkandung pertanggungjawaban politik yang berat didalamnya. Oleh karena itu, politik sebagai salah satu aspek budaya Islam berkembang dalam sebuah diskursus antara ketaqwaan dan praktek struktur kekuasaan. Menurut AH. John, bagi Islam, kekuasaan politik yang stabil ditandai oleh sebuah kepercayaan awal bahwa “masyarakat muslim harus diperintah oleh muslim yang terbaik” (Al-Chaidar, 1999). Persamaan moral seluruh pemeluk Islam dan perlunya masyarakat diperintah menurut hukum Tuhan menjadi cita-cita semua pemikir Islam. Berdasarkan penjelasan di atas, maka konsep dan gerakan sosial keagamaan Darul Islam Fillah dalam mewujudkan Negara Islam Indonesia antara lain:

1) Penolakan PEMILU pada Tahun 1999 Gerakan reformasi yang berhasil menjatuhkan rezim Orde Baru dengan menyuarakan tuntutan-tuntutan konkrit mengenai pembenahan sistem di negeri ini, telah banyak menumpahkan darah dan korban nyawa untuk sebuah perubahan bagi masa depan kehidupan rakyat. Reformasi juga telah menjadi simbol baru melebihi simbol revolusi pada masa Soekarno yang telah menghanyutkan rakyat hingga lupa pada realitas kehidupannya. Semenjak terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997, gema tuntutan reformasi menghentakan atmosfer kehidupan nasional. Meskipun bermula dari krisis ekonomi, namun bola tuntutan reformasi itu bergulir deras ke bidang politik. Soeharto pun dengan berat hati akhirnya melepaskan jabatan Presiden yang sudah dinikmatinya selama 32 Tahun, sehingga pemimpin bangsa ini kemudian jatuh kepada BJ. Habibie (Wakil Presiden) sesuai dengan amanat Undang-undang yang mengatakan bahwa “Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajiban dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya”. Tetapi Kepemimpinannya ini tidak berjalan mulus, karena banyak pihak yang tidak setuju dengan naiknya BJ. Habibie, sehingga pada 7 Juni 1999, pemerintah mengadakan lagi pemilu dengan alasan, bahwa keadaan dalam kondisi darurat dan Pemilu yang diadakan pada tanggal 29 Mei 1997 penuh dengan kecurangan. Padahal, menurut penuturan Gimgim Bakar Misbah (Hasil wawancara yang dilaksanakan pada 25 Februari 2016 di Babakan Cipari ), diadakannya Pemilu 1999 dengan dalih pemilu sebelumnya ada kecurangan dan keadaan dalam kondisi darurat, itu tidak bisa dijadikan landasan hukum yang kuat, karena setiap kecurangan dalam hal apapun harusnya diselesaikan melalui hukum dipengadilan, dengan membuktikan siapa yang curang dan apa yang dicurangi. Kemudian dengan alasan ini, pemerintah menganggap darurat, sehingga diadakan lagi Pemilu dan melanggar UUD 45. Sehingga alasan darurat pun tidak bisa dijadikan dasar hukum untuk melanggar Undang-Undang Dasar 1945, sebab Undang-Undang Darurat baik Darurat Sipil maupun Militer telah diundangkan dalam bentuk Undang-Undang. Sesuai pasal (12) Bab III Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang- undang.

journal.uinsgd.ac.id/index.php/temali/index. © Diningrat 52

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial eISSN: 2615-5028, Vol 4, No 1, 2021, pp 42-58 http://dx.doi.org/10.15575/jt.v4i1.11536

Adapun pelanggaran terhadap UUD 45 yang dilakukan pemerintah pada Pemilu 1999 adalah UUD 45 pasal (7) dan pasal (8) yang isinya antara lain: Pasal (7): Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Pasal (8): Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajiban dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya. Maka atas dasar itulah, Sensen Komara Bakar Misbah selaku Penanggung-jawab DI-Fillah (kini NII) memerintahkan kepada seluruh anggotanya supaya tidak mengikuti Pemilu yang diadakan pada tanggal 7 Juni 1999. Penolakan DI-Fillah ini didasarkan pada (Wanancara dengan Bpk. Sensen Komara Bakar Misbah pada tanggal 25 Januari 2016):

a. Perintah SM. Kartosuwiryo tanggal 6 Juni 1962. Adapun isi perintah tersebut yakni; Pertama, Penghentian tembak-menembak, yang beberapa saat sebelumnya Imam telah memerintahkan kepada seluruh Tentara Islam Indonesia untuk melakukan Jihad Fillah. Kedua, Perintah penyelamatan Mujahidin dan kaum muslimin, maka mulai hari itu berubahlah bentuk Jihad dari Fi-sabilillah (perang) menjadi Jihad Fillah (budi pekerti). Dan ketiga, Kembali kepangkuan RI dan mendaftarkan diri melalui pos-pos TNI terdekat. Yang kemudian Perintah ini diterima dan disambut oleh Bupati Militer Kabupaten Sumedang Bapak Bakar Misbah sebagai penanggungjawab DI Fillah kedua. Ia ayah Sensen Komara Bakar Misbah. ketika turun kembali ke pangkuan Republik Indonesia; Kami rombongan Kabupaten Sumedang Jawa Barat (dengan menyebutkan jumlah senjata dan tentara) akan turun, kembali ke pangkuan RI dengan mengikuti perintah Imam SM. Kartosoewiryo yang disebarluaskan oleh Kodam VI Siliwangi pada tanggal 6 Juni 1962.

b. Ikrar bersama di kantor Gubernur Jawa Barat pada tanggal 1 Agustus 1962, yang isinya: Kami bersumpah: demi Allah! - Setia kepada Pemerintahan RI dan tunduk kepada Undang-Undang Dasar RI 1945. - Setia kepada Manifesto Politik RI, Usdek, Djarek yang telah menjadi garis besar haluan politik Negara RI. - Selalu berusaha menjadi warga negara RI yang ta'at, baik dan berguna dengan di jiwai Pancasila.

c. Ikrar penanggung-jawab DI-Fillah ke-2 Bapak Bakar Misbah di Kodam VI Siliwangi pada tahun 1985 yang isinya antara lain: Saya akan ta’at kepada Pemerintahan Republik Indonesia dan saya tidak akan mau diajak oleh siapapun yang mengajak- ngajak untuk merusak agama, bangsa dan negara dan saya tidak akan ta'at kepada siapapun yang akan merusak agama, bangsa dan negara. Dengan dasar perintah Kartosuwiryo, Ikrar bersama di Kantor Gubernur Jawa Barat dan ikrar Penaggungjawab ke 2 di Kodam VI Siliwangi, maka Sensen pada waktu itu menyuruh kepada seluruh anggota NII untuk mempertahankan Negara Republik Indonesia dan UUD 45 dengan tidak mengikuti pemilu, karena baginya, pemilu tersebut merupakan pengkhianatan terhadap UUD 45 yaitu pasal (7) dan pasal (8) dan digantinya nama RI menjadi NKRI, sehingga Negara Republik Indonesia jatuh kembali kepada lubang yang sama. Dulu Negara Federasi-1949 dan Negara Kesatuan-1950, sekarang RI dirubah menjadi NKRI Reformasi. Masyarakat Indonesia menyangka bahwa, NKRI-reformasi (baru) itu adalah sama dengan RI 45 yang terdapat dalam UUD 45 Bab I pasal (1) ayat (1): "Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik". Padahal dari segi nama pun sudah berbeda, menurut UUD 45 bab I pasal (1) ayat (1) nama "Negara Indonesia" itu adalah "Republik Indonesia" disingkat menjadi RI bukan NKRI, sebab "Kesatuan" itu bentuknya "Republik" jadi "Republik Indonesia". Kalau betul NKRI- reformasi sama dengan RI 45 dimana Ligitan, Sipadan dan Timor-Timur, sebab RI 45 secara de facto dan de jure memiliki wilayah dari Sabang sampai Merauke dan Undang-Undang RI 45 adalah UUD 45 yang asli (bukan amandemen) (Hasil wawancara dengan Deden Rahayu pada tanggal 12 Juli 2016 pukul 13.00 WIB di Rumahnya di Kampung Babakan Cipari- Garut). Melihat dari beberapa penjelasan di atas, maka bisa dikatakan bahwa Pemilu yang diadakan pada tahun 1999 itu inskonstitusi atau kalau menurut DI Fillah sebagai bentuk pengkhianatan terhadap UUD 1945. sehingga NKRI ini ibarat obat penyambung nyawa dari kematian RI melalui Pemilu tanggal 7 Juni 1999. Sesuai dengan apa yang di katakan oleh S.M. Kartosuwiryo bahwa (Al-Chaidar, 1999); Bukanlah Negara lain yang akan menyerang dan membunuh Indonesia, melainkan alat-alat dan pesawat-pesawat RI sendirilah yang akan menyerang dan membunuh RI. Jika RI "bunuh diri", karena "senjata makan tuan", maka pergolakan politik dan militer serta huru-hara di Indonesia, tidaklah akan berhenti sampai batas itu. Karena proses ini hanya merupakan pangkal dan bukan ujung dari pada revolusi dunia di daerah Indonesia. Nanti, lebih jauh, dengan hancur-leburnya RI sebagai Negara, maka Nasionalisme Indonesia akan mengalami perpecahan yang hebat. Masyarakat Indonesia yang mengaku berjiwa nasionalis dan berdarah republikien tidak pernah menanyakan, mengapa RI menjadi NKRI, dan apa pengaruh dari perubahan itu untuk Negara Indonesia? padahal, setiap perubahan dalam sebuah Negara atau nama Negara pasti ada pengaruhnya, baik pengaruh kedalam (nasional) atau pengaruh keluar (Internasional).

journal.uinsgd.ac.id/index.php/temali/index. © Diningrat 53

Volume 4, Nomor 1 Januari-Juni 2021

2) Pengibaran Bendera Merah Putih Bulan Bintang Setelah penolakan Pemilu tersebut. Tidak berselang beberapa tahun kemudian, Sensen Komara bersama dua menterinya mengibarkan Bendera Merah Putih bergambar Bulan Bintang di Kampung Babakan Cipari Kecamatan Pangatikan Kabupaten Garut. Akibat insiden pengibaran bendera itu, ketiganya ditangkap kepolisian. Tapi Sensen dilepas karena jiwanya dianggap "terganggu". Sebaliknya, dua menterinya divonis Pengadilan Negeri Garut tiga tahun enam bulan penjara pada 15 Oktober 2008. Dari sinilah, informasi tentang DI Fillah terus berkembang sedemikian cepat hingga sekarang, ia dipublikasikan bukan hanya oleh surat kabar atau pun majalah akan tetapi sampai kepada media elektronik. Sebagaimana NII lainnya, DI Fillah pun merupakan sebuah paham sekaligus gerakan yang sangat serius menyebarkan paham-paham akan perlunya mewujudkan Negara Islam Indonesia. Bendera Merah Putih Bulan Bintang adalah Bendera Negara Islam Indonesia. Menurut Bakar Misbah, Merah Putih adalah lambang Bendera Republik Indonesia yang di Proklamasikan pada taggal 17 Agustus 1945 dan Bulan Bintang adalah lambang Islam atau Negara Islam. Bendera negara Republik Indonesia Sang Merah Putih dilanjutkan dan diselamatkan menjadi Merah Putih Bulan Bintang. Ini mengandung arti bahwa NII adalah kelanjutan daripada RI 1945. Juga mengandung arti bahwa NII lahir atau dilahirkan di pangkuan Republik Indonesia. Bendera Merah Putih Bulan Bintang pernah dikibarkan dua kali, Pertama, pada tanggal 7 Agustus 1949 oleh SM. Kartosoewiro pada Proklamasi NII. Pengibaran Bendera Merah Putih Bulan Bintang ini merupakan bentuk kelanjutan dari Bendera Merah Putih yang mati pada tanggal 6 Agustus 1949. Hal ini bisa dilihat dalam penjelasan SM. Kartosoewiryo pada proklamasi NII pada 7 Agustus 1949 (Al-Chaidar, 1999): Kepada saudara-saudara dan handai taulan dari pada Bangsa Indonesia, yang masih mengalir darah “Republikeinen” dalam tubuhnya yang masih berjiwa perjuangan: Ketahuilah ! bahwa perjuangan yang kami usahakan hingga berdirinya Negara Islam Indonesia itu adalah lanjutan perjuangan kemerdekaan, menurut dan mengingat Proklamasi 17 Agustus 1945 ! Sekarang sudahlah tiba saatnya, segenap Bangsa Indonesia yang mengaku “cinta kemerdekaan, cinta Bangsa, cinta tanah air, cinta agama”, menanggung wajib suci, melakukan perlawanan sekuat mungkin terhadap pada Belanda. Ketahuilah pula ! bahwa tiada suatu kemerdekaan yang dapat direbut, hanya dengan goyang-goyang kaki diatas kursi belaka. Kemerdekaan kita, Kemerdekaan Negara dan Kemerdekaan Agama, harus dan wajib direbut kembali dengan darah !. Kedua, pengibaran Bendera Merah Putih Bulan Bintang pada tanggal 18 Januari 2008, Bendera ini dikibarkan kembali oleh Sensen Komara Bakar Misbah di Kampung Babakan Cipari Desa Sukarasa Kec. Pangatikan Kab. Garut dengan disaksikan oleh warga Negara NII. Menurut Deden Rahayu Setiana sebagai adik dari Sensen Komara Bakar Misbah, bendera ini berkibar kurang lebih 18 jam dari jam 21.00 sampai 14.00 WIB (Wawancara dengan Sensen Bakar Misbah pada 12 Februari 2016 di Babakan Cipari Garut). Adapun dasar dari Pengibaran Bendera tersebut yaitu: a. Untuk persiapan terwujudnya Negara Kurnia Allah, Negara Republik Indonesia dengan Negara Islam Indonesia dengan jalan Konversi, sesuai dengan amanat Bakar Misbah selaku Penanggungjawab DI Fillah kedua yang di sampaikan di Kodam Siliwangi pada tahun 1985, Karena tusukan dari dalam dan dari luar, suatu saat nanti pemerintah Indonesia, mau tidak mau, suka atau tidak suka, akan mengakui bahwa Imam yang syah satu-satunya di Indonesia adalah Imam S.M. Kartosuwiryo. Hal ini sesuai seperti apa yang di katakan oleh SM. Kartosuwiryo, Satu-satunya jalan selamat bagi Indonesia dan Bangsa Indonesia adalah Negara Islam Indonesia. b. Republik Indonesia secara de facto dan de jure telah mati pada tahun 1999 yaitu dengan diadakannya Pemilu 7 juni 1999, amandemen UUD-45, Dekrit Presiden dan nama Republik Indonesia diganti menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hal senada juga dituturkan oleh Gimgim Bakar Misbah, sebelum mengibarkan bendera, Imam Negara Islam Indonesia Drs. Sensen Komara Bakar Misbah menyampaikan pidato yang isinya antara lain (Hasil Wawancara dengan Gimgim Bakar Misbah yang dilaksanakan pada 02 Februari 2016): a. Mudah-mudahan dengan dikibarkannya Bendera Merah Putih Bulan Bintang ini, menjadi sebab-sembuhnya Bangsa Indonesia. b. Mudah-mudahan dengan dikibarkannya Bendera Merah Putih Bulan Bintang ini, menjadi sebab terwujudnya Rahmatan lil 'alamin. c. Mudah-mudahan Bapak Jenderal Besar H.M. Suharto disembuhkan oleh Allah dan mudah-mudahan, Bapak Presiden Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono di beri kemampuan oleh Allah SWT., untuk menyelesaikan persoalan bangsa Indonesia dan Negara Indonesia.

Dan ia berasumsi bahwa Bendera Merah Putih Bulan Bintang (NII) merupakan kelanjutan dari Bendera Merah Putih milik RI 45. Karena sudah kita ketahui bahwa baik RIS, NKRI 50 maupun NKRI Reformasi, ketiganya itu tidak memiliki bendera, sebab benderanya adalah pinjaman atau mengadopsi dari Negara Republik Indonesia yang telah mati akibat Matinya RI akibat dari perjanjian Renvile dengan terbentuknya RIS. Karena sudah jelas, menurut Undang-Undang Dasar 45 “Bendera Merah Putih” itu milik Negara Republik Indonesia bukan milik Negara RIS atau NKRI. Sehingga Bendera Merah Putih yang berkibar sekarang ini karena tidak berkibar di Negara Republik Indonesia yang di Proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan UUD 45, maka “Bendera Merah Putih” kehilangan daya kekuatanya, yaitu tidak lagi dapat mempersatukan bangsa, bahkan

journal.uinsgd.ac.id/index.php/temali/index. © Diningrat 54

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial eISSN: 2615-5028, Vol 4, No 1, 2021, pp 42-58 http://dx.doi.org/10.15575/jt.v4i1.11536 sebagian pulaupun hilang seperti Ligitan, Sipadan dan Timor-Timur. Adapun RIS, NKRI 50 maupun NKRI Reformasi memakai Bendera Merah Putih, agar masyarakat Indonesia tidak mengetahui bahwa Negara RI sudah tidak ada. Hal ini sesuai dengan ungkapan SM. Kartosoewiryo (Al-Chaidar, 1999). Taruhlah RI sudah mati, dengan karena Kehendak dan Kekuasaan Allah jua, tapi waktunya “belum tepat”, maka berita kematian itu akan ditutup rapat-rapat, bangkainya akan dibalsem baik-baik dan suasana gembira akan tetap meliputi rumah sakit itu, seolah-olah tidak terjadi suatu peristiwa sedih-pahit suatu apapun: aman dan tenteram, makmur dan sentausa, sehat dan bahagia!. Dengan izin Allah SWT. bangkai yang ditutup-tutup itu akan terkuak juga. Masyarakat Indonesia akan menyaksikan dan melihatnya. Dan Bendera Merah Putih Bulan Bintang ini menurut Sensen, akan mampu menyelamatkan dan mengobati 1001 macam penyakit yang menghinggapi bangsa Indonesia. Sesuai dengan ungkapan SM. Kartosoewiryo (Al-Chaidar, 1999): Berhubung dengan itu, maka kami berpendapat bahwa obat yang paling mujarab yang akan menjadi sebab sembuhnya Negara Indonesia dan Bangsa Indonesia daripada penyakit, yang berwujudkan 1001 macam kesulitan dalam tiap-tiap lapangan-usaha itu, tidak lain hanyalah jika Islamisme dijadikan sendi-dasar daripada pemerintah dan Negara Indonesia atau dengan kata-kata lain, Satu-satunya jalan selamat bagi Indonesia dan Bangsa Indonesia ialah jika Negara Indonesia atau Republik Indonesia dalam waktu yang sesingkat-singkatnya beralih sifat dan wujudnya, dari "Nasional" kepada "Islam", menjadi "NEGARA ISLAM INDONESIA". Dari beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Bendera Merah Putih Bulan Bintang (Bendera NII) merupakan kelanjutan dari Bendera Merah Putih (Bendera RI) yang telah mati akibat adanya pengkhianatan terhadap UUD 1945 yaitu pasal (7) dan pasal (8) dan digantinya nama RI menjadi NKRI.

3) Konversi dari RI menjadi NII Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh kedua tokoh Soekarno-Hatta, selaku Wakil Bangsa Indonesia, secara spontan telah disambut oleh rakyat Indonesia, dalam wujud penumpahan segala kegiatan dan pengerahan segala pengorbanan, demi untuk mempertahankan dan membela kemerdekaan. Memang, kemerdekaan ini telah lama diharapkan dan ditunggu-tunggu oleh bangsa Indonesia, setelah berpuluh-puluh tahun diperjuang- kan oleh rakyat dan para pejuang Bangsa Indonesia lainnya, pada hari itu barulah tiba saatnya bagi bangsa ini melintasi jembatan emas, langsung menuju kemerdekaan sejati. Dalam pada itu, pedoman dasar dari perjuangan bangsa adalah satu, yaitu UUD 1945 dengan lambang bendera Negara adalah "Sang Merah Putih", sebagai intipati kehendak dan cita-cita rakyat, dalam mengisi dan menghayati kemerdekaannya. Namun, setelah Indonesia merdeka, perjalanan bangsa ini tidak begitu mulus layaknya negara merdeka pada umumnya. Karena setelah beberapa tahun merdeka, pihak Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia, bahkan berusaha menjajah kembali Indonesia dengan segala macam cara, baik politik maupun militer. Hal ini terbukti ketika adanya naskah Linggajati yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dengan pihak Belanda, dimana dalam naskah itu tercantum bahwa: 1. Belanda hanya mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatera. 2. Akan dibentuk negara federal dengan nama Indonesia Serikat yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia. 3. Dibentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai kepala uni 4. Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Uni Indonesia-Belanda sebelum tanggal Januari 1949.

Apalagi kalau kita melihat dengan penanda-tanganan Naskah Renville pada tanggal 17 Januari 1948, wilayah RI menjadi bertambah sempit, hanya tinggal delapan keresidenan di Jawa dan Sumatera, yang rata-rata minus, kurang penduduk dan tanpa pelabuhan sama sekali. Bahkan Jawa sebelah barat sepanjang garis demarkasi Van Mook kecuali Banten, Banyumas dan Pekalongan. Semuanya termasuk wilayah yang diserahkan oleh Republik Indonesia kepada Belanda, dan sekaligus TNI dari Jawa sebelah Barat, yang menjadi pelopor benteng rakyat, semua ditarik ke Yogyakarta. Karena Jawa sebelah Barat bukan lagi milik Negara Republik Indonesia tetapi milik penjajah Belanda. SM Kartosuwiryo mengatakan bahwa (Al-Chaidar, 1999). “Negara baru ini (RIS) merupakan kemerdekaan palsu, kemerdekaan yang terikat. Setinggi-tingginya hadiah (RIS) itu, agaknya tidak jauh dari tingkatan protektorat atau dominion status. Merdeka tapi tidak lepas dan tidak bebas, berdaulat tapi tidak berkuasa penuh, hendaknya diperingati oleh ahli politik dan ahli riwayat dimasa depan, untuk dicatat dan diketahi sampai dimanakah benar atau salahnya kurang atau lebihnya tinjauan politik...... ” Sepanjang rabaan dan hitungan kita, maka derajat Republik pada waktu itu tidak akan lebih dari pada derajat “Negara Boneka”, seperti yang telah di berikan Belanda sejak beberapa waktu yang lalu, umpamanya: “Negara Indonesia-Timur”, “Negara”Kalimantan “Negara’ Pasundan, dan lain-lain. Sebab sementara itu Belanda dengan kekerasan senjata akan dapat memaksakan Pemerintah Republik yang sudah di tawan itu, untuk menandatangani suatu naskah yang di ramalkan dimana akan di tinggalkan (di hilangkan) semua alat-alat dan tiang-tiang Negara. Kemudian pada tahun 1949, akibat terdesaknya pemerintah RI karena agresi militer yang dilakukan oleh Belanda, maka terjadilah Konferensi Meja Bundar (KMB), dimana dalam perjanjian tersebut dinyatakan bahwa: 1. Belanda mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.

journal.uinsgd.ac.id/index.php/temali/index. © Diningrat 55

Volume 4, Nomor 1 Januari-Juni 2021

2. Status Karesidenan Irian Barat diselesaikan dalam waktu setahun, setelah pengakuan kedaulatan. 3. Akan dibentuk Uni Indonesia-Belanda berdasarkan kerjasama sukarela dan sederajat. 4. Republik Indonesia Serikat mengembalikan hak milik Belanda dan memberikan hak-hak konsesi dan izin baru untuk perusahaan-perusahaan Belanda. 5. Republik Indonesia Serikat harus membayar semua utang Belanda yang ada sejak 1942. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh SM. Kartosoewiro dalam Maklumat NII No.6 tanggal 21 Desember 1948 dan pedoman Pedoman Dharma Bakti Jilid II 20 Agusutus 1949 dan MKT No.V tanggal 10 September 1950 (Al-Chaidar, 1999). “Tidak lama lagi begitulah agaknya perjalanan riwayat perjuangan kemerdekaan Indonesia akan di tanda-tangani naskah baru, naskah yang ketiga, yang akan menentukan nasibnya Negara Republik Indonesia...... ” Kemudian, “Natijah dari pada KMB, satu usaha poitik Internasional yang diselenggrakan oleh pihak yang menang; yang karenanya automatis Negara baru/muda itu mengekor kepada politik Belanda dan Amerika dalam segala-galanya.” Maka atas dasar itulah, NII yang dalam hal ini DI Fillah menawarakan konsep Konversi. Konversi secara sederhana adalah perubahan nama atau tempat dengan tidak merubah fungsi dan struktur yang telah ada. Hal senada juga dituturkan oleh Gimgim bahwa yang dimaksud dengan konversi adalah “perubahan RI menjadi NII dengan tidak merubah struktur yang telah ada. Kalau dulu presiden RI, maka setelah adanya konversi menjadi Presiden NII, begitupun Gubernur, Bupati dan aparatur pemerintahan lainnya.” Karena bagi DI Fillah, hanya dengan jalan konversi-lah (RI menjadi NII) satu-satunya jalan dalam menyelamatkan nasib bangsa dan negara Indonesia. Kesanggupan NII dalam menyelamatkan Negara Indonesia ini atas dasar bahwa pertama, Negara Islam Indonesia sejak berdirinya 7 Agustus 1949 tidak pernah mengkhianati Proklamasi 17 Agustus 1945 dan Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, Negara Islam Indonesia (NII) atau Negara Madinah Indonesia tidak pernah terikat oleh perjanjian apapun, dengan negara manapun di dunia Internasional. Berbeda halnya dengan Republik Indonesia (RI), dia terikat oleh perjanjian Internasional baik, Linggajati, Renville maupun perjanjian KMB. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh S.M Katosuwiryo dalam Nota Rahasia tahun 1950” (Al-Chaidar, 1999). “Berhubung dengan itu, maka kami berpendapat bahwa obat yang paling mujarab yang akan menjadi sebab sembuhnya Negara Indonesia dan bangsa Indonesia dari pada penyakit, yang berwujudkan seribu satu kesulitan dalam tiap-tiap lapangan usaha itu, tidak lain hanyalah: “jika Islamisme di jadikan sendi dasar dari pada pemerintah dan Negara Indonesia” atau dengan kata lain: ”satu-satunya jalan selamat bagi Indonesia dan bangsa Indonesia ialah: jika Negara Indonesia atau Republik Indonesia dalam waktu yang sesingkat-singkatnya beralih sifat dan wujudnya dari nasional kepada Islam menjadi NEGARA ISLAM INDONESIA”. Dari penjelasan di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa dengan berubahnya RI menjadi NII, maka dengan sendirinya kekayaan, kedaulatan dan apa saja yang telah lepas dari negeri Indonesia akan kembali menjadi milik rakyat Indonesia, Bangsa Indonesia dan Negara Indonesia. Karena kalau kita membaca ulang sejarah bahwa yang menyebabkan negara Indonesia tidak mandiri dan tidak berdaulat, baik di negara sendiri maupun di mata bangsa-bangsa dunia, tidak lain adalah karena adanya perjanjian-perjanjian Internasional yang mengikat negara kita, seperti Linggajati Renville dan perjanjian KMB. Penelitian ini hanyalah untuk mengemukakan sebuah pemahaman mengenai gerakan keagamaan dalam kaitannya dengan kekuasaan negara yang dominan. Berdasarkan pendekatan kesejarahan yang peneliti kaji, terdapat bukti-bukti historis sebagai berikut: 1. Secara organisasi, NII Fillah pimpinan Sensen Komara merupakan kelanjutan dari NII Kartosoewiro setelah melalui pergantian kepemimpinan kepada Jaja Sudjadi, Bakar Misbah dan terakhir kepada Sensen Komara. Walaupun kepemimpinan Sensen sendiri melahirkan kontroversi dikalangan eks anggota NII yang lain (selain NII Fillah) karena konsep dan gerakan NII Fillah (pimpinan Sensen) berbeda dengan gerakan NII yang lainnya. Akan tetapi, secara de facto dan de jure, Sensen Komara adalah imam untuk NII Fillah sampai saat ini. 2. Mengacu kepada pendapat Zanden bahwa salah satu faktor pembentukan kelompok manusia (human groups) adalah kesamaan norma (norms) dan nilai (values) yang dianut (Dowd, 1991). Hal ini pulalah yang menjadi penyebab terbentuknya NII Fillah. 3. Perbedaan kondisi objektif yang dihadapi oleh setiap organisasi pergerakan pada setiap masa akan melahirkan respons yang beragam pula. Mengacu pada pendapat David Krech bahwa perubahan sosial, antara lain dipengaruhi oleh bentuk dan setting komunitas yang di dalamnya individu berinteraksi dengan sesamanya. Bentuk dan setting komunitas sendiri bersifat dinamis sehingga memungkinkan terjadinya berbagai perubahan. Perubahan-perubahan inilah yang mengakibatkan perubahan perilaku, baik individual maupun kolektif dalam merespon lingkungannya (Krech & Crutchfield, 1962). Ini pulalah yang terjadi di dalam gerakan NII Fillah. Setting komunitas atau kondisi objektif yang di hadapi oleh NII Kartosoewiryo (1949-1962) adalah masa konflik bersenjata sehingga gerakannya bersifat militeristik; sedangkan setting komunitas yang dihadapi NII Fillah berbeda, terutama pada 1999-2008. Mereka mengadakan banyak perubahan, baik doktrin maupun strategi perjuangan. Tetapi, karena esensi perubahan itulah oleh sebagian faksi NII yang lain dianggap sebagai penyelewengan dari prinsip-pinsip perjuangan para pendahulunya.

Sedangkan berdasarkan pendekatan sosiologis dapat diketahui bahwa perilaku yang bertentangan dengan norma yang berlaku secara umum di masyarakat akan melahirkan disharmoni dalam pergaulan atau hubungan sosial. Paling tidak, peneliti dapat mengemukakan bukti dari hasil penelitian tentang NII Fillah bahwa banyak pelaku anggota NII Fillah yang dinilai

journal.uinsgd.ac.id/index.php/temali/index. © Diningrat 56

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial eISSN: 2615-5028, Vol 4, No 1, 2021, pp 42-58 http://dx.doi.org/10.15575/jt.v4i1.11536 menyalahi tata etika umum; misalnya ketika mereka melakukan penolakan Pemilu dan pengibaran Bendera Merah Putih Bulan Bintang. Akibatnya, anggota NII Fillah dianggap berperilaku menyimpang dan meresahkan masyarakat.

KESIMPULAN Salah satu bagian sejarah yang memberikan pengaruh besar pada bangsa dan negara ini adalah peristiwa berdirinya Negara Islam Indonesia di masa awal kemerdekaan. Pergerakan yang dipimpin oleh Kartosoewirjo tersebut, diberbagai sumber sejarah Pemerintah RI, disebut sebagai pemberontakan. Sementara, fakta-fakta yang dipaparkan oleh para mantan pejuang NII menunjukkan bahwa pendirian negara itu dilakukan di luar wilayah RI (hasil Perjanjian Renville). Artinya, NII adalah bagian yang terpisah dari RI. Usaha pendirian Negara Islam Indonesia yang dimotori oleh Kartosoewirjo tidaklah berbeda tujuan dengan berdirinya Negara Islam Madinah di zaman Rasulullah Saw., sebab Islam bukan hanya menjadi salah satu sumber arus ideologi politik yang pada gilirannya akan mempengaruhi “budaya” politik dan tindakan di dalam masyarakat, tetapi yang lebih penting lagi, Islam juga mampu menjadi modalitas melalui tuntutan-tuntunan sosial politik yang diartikulasikan dan juga dilaksanakan. Secara umum, NII Fillah merupakan sebuah organisasi pergerakan Islam yang bersifat politis yang maksud utamanya adalah mendirikan Negara Islam Indonesia sebagaimana cita-cita perjuangan SM. Kartosoewiryo. Tetapi dalam banyak hal, gerakan NII Fillah berbeda dengan gerakan NII Kartosoewiryo terutama dalam doktrin dan strategi gerakannya. Dari hasil penelitian diketahui pula bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara variable keyakinan (norma dan nilai) yang dianut oleh seseorang dengan variable perubahan perilaku. Dengan demikian, peneliti melakukan pemetaan (mapping) tentang titik letak posisi NII Fillah dalam diskurus pemikiran Islam. Hemat peneliti, paradigma berpikir NII Fillah dalam memahami persoalan akidah dan syariah termasuk rasionalis. Tetapi, penafsiran tentang konsep kenegaraan termasuk revivalis. Hal ini tidak perlu heran karena seperti apa yang dijelaskan oleh bahwa pemikiran seorang tokoh atau gerakan tertentu kadang- kadang sangat kompleks dan tidak bisa lagi dijelaskan dalam satu kerangka atau tipologi tertentu. Dengan kata lain, pemikiran itu acapkali tumpang tindih, bahkan saling silang. , misalnya. Pada level keagamaan adalah seorang revivalis, tetapi dalam pemikiran dan gerakannya banyak juga bertumpu pada modernisme Islam.

REFERENSI Al-Chaidar. (1999). Pemikiran politik proklamator negara Islam Indonesia SM Kartosoewirjo: fakta dan data sejarah Darul Islam. Darul Falah. Al-Mawardi, I. (2016). Ahkam Sulthaniyah: Sistem Pemerintahan Khilafah Islam. Qisthi Press. Anwar, R. K., Sjoraida, D. F., & Rahman, M. T. (2019). Socializing fragrant river program as a strategy for introducing environmental literacy to the upper citarum community. Journal of Environmental Management and Tourism, 10(3), 597– 612. https://doi.org/10.14505/jemt.v10.3(35).14 Ausop, A. Z. (2009a). Demokrasi dan Musyawarah Dalam Pandangan Darul Arqam, NII, dan Hizbut Tahrir Indonesia. Jurnal Sosioteknologi, 8(17), 601–620. Ausop, A. Z. (2009b). Gerakan Nii Kartosoewirjo (KW IX). Jurnal Sosioteknologi, 8(16), 531–542. Ausop, A. Z. (2011). Ajaran dan Gerakan NII Kartosoewiryo dan Ma’had Zaytun. Bandung: Tafakur. Awwas, I. S. (2008). Trilogi kepemimpinan negara Islam Indonesia: menguak perjuangan umat Islam dan pengkhianatan kaum nasionalis-sekuler. Uswah. Azra, A. (1999). Konteks berteologi di Indonesia: pengalaman Islam. Paramadina. Azra, A., & Al-Jauhari, A. (1996). Pergolakan politik Islam: Dari fundamentalisme, modernisme hingga post-modernisme. Paramadina. Dengel, H. H. (1995). Darul Islam dan Kartosuwirjo: langkah perwujudan angan-angan yang gagal. Pustaka Sinar Harapan. Diningrat, B. R. (2019). Masih Memimpikan Negara Islam Indonesia. Fikrakoe123. Blogspot. Com. Dowd, J. J. (1991). Social psychology in a postmodern age: A discipline without a subject. The American Sociologist, 22(3), 188–209. Effendy, B. (2009). Islam dan Negara; Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Hamid, A. F. A. (2009). Repoliticisation of Islam in Southeast Asia. Asien, 110, 44–67. Imadudin, I. (n.d.). Peranan Kiai dan Pesantren Cipari Garut Menghadapi Di/tii (1948-1962). Patanjala, 2(1), 48–65. Jajuli, M. S. (2017). KONSEP AGAMA DAN NEGARA DALAM PANDANGAN . Al-Mashlahah Jurnal Hukum Islam Dan Pranata Sosial, 5(09). Krech, D., & Crutchfield, R. S. (1962). Ballachey: Individual in society. International Student Edition. New York-St. Louis-San Francisco-London-Mexiko-Sydney-Toronto-Tokyo. Mahfudh, M. A. S., & Al-Qurtuby, S. (1999). Era baru fiqih Indonesia. Cermin. Mardimin, J., Qodir, Z., Wiloso, P. G., & Priyanto, S. H. (n.d.). BIAS “GURU-MURID” DAN BIAS “ORANG DALAM” DALAM STUDI-STUDI TENTANG KIAI.

journal.uinsgd.ac.id/index.php/temali/index. © Diningrat 57

Volume 4, Nomor 1 Januari-Juni 2021

Misbah, M. (2015). Kontribusi Imam Asy-syahid Hasan Al-banna Terhadap Pemikiran Islam Modern. Fikrah, 3(2), 393–410. Mufti, M., & Rahman, M. T. (2019). Fundamentalis dan Radikalis Islam di Tengah Kehidupan Sosial Indonesia. TEMALI: Jurnal Pembangunan Sosial, 2(2), 204–218. Mustari, M., & Rahman, M. T. (2012). Pengantar Metode Penelitian. Laksbang Pressindo. Nasution, H. (2018). Teologi Islam, aliran-aliran klasik sedjara analisa dan perbandingan. UI Press,. Nottingham, E. K. (2002). Religion and Society. Abdul Muis Naharong. Ou-Hssata, H., & Tounsi, A. (2019). The Translation of Culture-bound Elements from Arabic into English in Ibn Khaldun’s Masterpiece: Domestication and Foreignization Approach. Rahman, M. T. (2018). Pengantar filsafat sosial. LEKKAS. Shimogaki, K. (2012). Kiri Islam, Antara Modernisme dan Postmodernisme; Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi. LKIS PELANGI AKSARA. Sonjaya, A. (2019). Darul Islam Fillah: Tipologi Gerakan “Utofia” Islam di Jawa Barat. Asyahid Journal of Islamic and Quranic Studies (AJIQS), 1(2). Sundhaussen, U. (1988). Politik Militer Indonesia, 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI. LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan, Ekonomi dan Sosial). Ubaedillah, A. (2016). Pendidikan Kewarganegaraan Pancasila, Demokrasi dan Pencegahan Korupsi. Prenada Media.

© 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).

journal.uinsgd.ac.id/index.php/temali/index. © Diningrat 58