Potret Gerakan Sosial Keagamaan Negara Islam Indonesia Fillah Di Kabupaten Garut
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Volume 4, Nomor 1 Januari-Juni 2021 Potret Gerakan Sosial Keagamaan Negara Islam Indonesia Fillah Di Kabupaten Garut Budi Rahayu Diningrat UNISA Kuningan [email protected] Suggested Citation: Diningrat, Budi Rahayu. (2021). Potret Gerakan Sosial Keagamaan Negara Islam Indonesia Fillah Di Kabupaten Garut. Temali: Jurnal Pembangunan Sosial, Volume 4, Nomor 1: 42–58. 10.15575/jt.v4i1.11536 Article’s History: Received November 2020; Revised January 2021; Accepted April 2021. 2021. journal.uinsgd.ac.id ã. All rights reserved. Abstract: The establishment of the Islamic State of Indonesia (NII) led by SM. Kartosoewiryo at the beginning of the independence period. In historical references, NII was declared a rebel movement, so the Government eradicated it with a military operation (posse operation), and its leader was executed on September 5, 1962. However, NII's struggle did not end just like that. After Kartosoewiryo, NII was divided into several factions, namely NII Fillah in Garut, led by Sensen Komara, whose existence until now. This study uses a descriptive qualitative approach, from written or oral information, people's behavior, and interpretations of the world around them. The purpose of this research is to understand the world of meaning symbolized in people's behavior. Using sociological analysis and historical analysis, the study found that NII Fillah, led by Sensen Komara, was a continuation of NII Kartosoewiryo after experiencing several leadership changes from Jaja Sudjadi Bakar Misbah. NII Fillah argues that the Islamic State is a political force to enforce Islamic law and is the only tariqah in implementing the system and regulation in the nation's life and state. The relationship between religion and state is an inseparable concept, that religion needs a state or a political entity so that religion can be perfectly applied. Fillah NII religious movements in Garut include; rejection of the election, raising the red and white flag of the star and moon, and converting from RI to NII without changing the existing structure. Keywords: social movement, religion and politics, Islamic state, DI/TII Abstrak: Berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) yang dipimpinan SM. Kartosoewiryo di awal masa kemerdekaan. Dalam referensi sejarah, NII dinyatakan sebagai gerakan pemberontak, maka Pemerintah memberantasnya dengan operasi militer (operasi pagar betis) dan pimpinannya di eksekusi mati pada 5 September 1962. Namun perjuangan NII tidak berakhir begitu saja, karena pasca Kartosoewiryo, NII terpecah menjadi beberapa faksi, yakni NII Fillah di Garut dipimpinan Sensen Komara yang eksistensinya hingga sekarang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriftif, dari informasi tertulis atau lisan, perilaku orang-orang serta tafsiran tentang dunia sekitarnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dunia makna yang disimbolkan dalam perilaku masyarakat. Menggunakan analisis sosiologis dan analisis historis. Dari hasil penelitian ini bahwa NII Fillah pimpinan Sensen Komara merupakan kelanjutan dari NII Kartosoewiryo setelah mengalami beberapa pergantian kepemimpinan, dari Jaja Sudjadi, Bakar Misbah, kemudian kepada Sensen Komara sebagai pimpinan NII Fillah hingga sekarang. NII Fillah berpendapat bahwa negara Islam merupakan kekuatan politik untuk memberlakukan hukum Islam dan satu-satunya tariqah dalam menerapkan sistem dan hukum secara menyeluruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Relasi agama dan negara merupakan konsep yang tidak dapat dipisahkan, bahwa agama membutuhkan negara agar agama dapat diterapkan secara sempurna. Gerakan keagamaan NII Fillah di Garut meliputi; penolakan pemilu, pengibaran bendera merah putih bulan bintang dan konversi/ perpindahan dari RI ke NII dengan tidak merubah struktur yang ada. Kata Kunci: gerakan sosial, agama dan politik, negara Islam, DI/TII PENDAHULUAN Salah satu peristiwa penting yang meninggalkan bekas dalam catatan sejarah negeri ini adalah berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) di awal masa kemerdekaan. Topik ini memang selalu dan akan tetap menarik untuk diperbincangkan, lengkap dengan segala pendapat para ahli maupun saksi-saksi sejarah. NII adalah kependekan dari Negara Islam Indonesia, sebuah journal.uinsgd.ac.id/index.php/temali/index. © Diningrat 42 Temali: Jurnal Pembangunan Sosial eISSN: 2615-5028, Vol 4, No 1, 2021, pp 42-58 http://dx.doi.org/10.15575/jt.v4i1.11536 gerakan keislaman atau Harakah Islamiyyah (Sonjaya, 2019) yang bertujuan mendirikan Negara Islam Indonesia. Gerakan ini pernah memproklamasikan berdirinya NKA-NII pada 07 Agustus 1949. NKA-NII disebut juga Darul Islam atau yang disingkat DI (Diningrat, 2019), komandan tertinggi sekaligus pendiri gerakan ini bernama Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo (Dengel, 1995), biasa disingkat S.M. Kartosoewiryo; salah seorang tokoh Masyumi Jawa Barat dan juga pernah menjadi murid dari pahlawan Islam Indonesia, HOS. Cokroaminoto. Dalam berbagai publikasi pemerintah dan militer yang terbit sejak 1950-an, DI/TII dinyatakan sebagai gerakan pengacau keamanan (Dengel, 1995). Bahkan di dalam arsip nasional maupun buku-buku sejarah nasional Indonesia yang resmi digunakan di SD, SMP dan SMA/SMK di seluruh Indonesia, Darul Islam mendapat stigma sebagai pemberontak yang mengganggu stabilitas negara, gerakan berbahaya yang perlu ditumpas habis sampai ke akar-akarnya. Pemerintah menghabisi gerakan ini dengan berbagai macam dalih dan cara, baik operasi intelejen, penyusupan, adu domba, perusakan nama maupun operasi militer. Melalui operasi militer inilah akhirnya S.M. Kartosoewiryo tertangkap pada 4 Juni 1962, kemudian ia dieksekusi mati pada tanggal 5 September 1962 disebuah pulau di teluk Jakarta. Beliau meninggalkan seorang istri Siti Dewi kulsum dan 12 orang anak (Dengel, 1995). Meskipun pemberontakan DI/TII dapat ditumpas secara militer, namun ide tentang NII tidak berakhir begitu saja. Apalagi dalam kenyataannya banyak tokoh-tokoh DI/TII yang telah diampuni oleh pemerintah RI, kemudian dipergunakan oleh pemerintah Orde Baru untuk tujuan-tujuan politik tertentu, terutama dalam membatasi ruang gerak politik Islam. Keterlibatan mereka dalam politik secara tidak langsung membawa kesadaran lain bagi para pengikut DI/TII yang tersisa untuk menghidupkan kembali gagasan NII. Hal ini terbukti setelah Kartosoewiryo wafat, NII terpecah menjadi beberapa faksi, karena terjadi perselisihan paham dan pendapat tentang siapa yang lebih berhak menggantikan posisi Imam NII: Pertama, Kubu Mujahidin dalam wadah Sabilillah di bawah komando Adah Djaelani Tirtapradja. Kubu Sabilillah ini pecah lagi menjadi beberapa faksi, yaitu Faksi Abdullah Sungkar(Hamid, 2009), yang meliputi wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta, faksi Atjeng Kurnia yang meliputi wilayah Bogor, Serang, Purwakarta, dan Subang, faksi Ajengan Masduki yang meliputi wilayah Purwokerto, Subang, Cianjur, Jakarta dan Lampung, faksi Abdul Fatah Wiranagapati yang meliputi wilayah Garut, Bandung, Surabaya dan Kalimantan, dan faksi Gaos Taufik yang meliputi wilayah Pulau Sumatera. Kedua, Kubu Mujahidin dalam wadah Fillah di bawah komando Djaja Sujadi. Ia adalah Menteri Keuangan pada masa Kartosoewiryo dan diangkat oleh para elite NII menjadi Penanggungjawab DI Fillah pasca Kartosoewiryo (Hasil wawancara dengan Bapak Abbas selaku anggota DI Fillah). Namun, ia tidak banyak berkiprah karena setelah beberapa bulan diangkat, ia dibunuh oleh salah seorang elite NII (Al-Chaidar, 1999). Kemudian tampuk kepemimpinan diserahkan ke Bakar Misbah sebagai Bakar Misbah adalah Bupati Sumedang NII pada masa Kartosoewiryo sebagai Penanggungjawab DI Fillah ke dua, ia menjalani sisa hidup di Kampung Babakan Cipari bersama kelima anaknya. Sama halnya dengan Jaja Sudjadi, DI Fillah yang dipimpin Bakar Misbah pun tidak begitu massif dalam gerakannya, karena kondisi pada saat itu berada pada dominasi militer yang sangat refresif. Setelah Bakar Misbah meninggal, kepemimpinan DI Fillah diteruskan oleh anaknya yang bernama Sensen Komara. Sepeninggal sang ayah, Sensen bergabung dengan keturunan pengikut Darul Islam yang lain dan diangkat menjadi Penanggungjawab ke tiga atas hasil munajat dari para anggota DI Fillah tersebut, ia mengaku telah menghidupkan kembali NII di kabupaten Garut. Awalnya keberadaan NII Fillah ini tertutup dan tidak banyak diketahui oleh khalayak umum, bahkan oleh sebagian besar eks anggota NII sendiri. Sebagian besar dari mereka berkeyakinan bahwa NII sudah mati. Salah seorang diantaranya adalah Abdul Fatah Wirananggapati (mantan kuasa usaha DI). Ia menyatakan bahwa saat ini NII sudah tidak ada lagi karena NII sudah mati (Ausop, 2011). Masyarakat pun berkeyakinan bahwa paham dan gerakkan DI atau NII hanya tinggal sejarah. Namun beberapa tahun ke belakang, tepatnya ketika tahun 1999 masyarakat bahkan pemerintah dibuat heboh, ketika Sensen bersama anggotanya secara terang-terangan menolak terhadap Pemilu pada waktu itu, dengan alasan bahwa Pemilu yang diadakan pada tahun 1999 itu inkonstitusional dan mengkhianati terhadap Undang-undang 1945. Kemudian pada tahun 2008, lagi-lagi Sensen dan anggotanya membuat gehger khalayak umum setelah diangkat disebuah media koran atas pengibaran bendera Merah Putih bergambar Bulan Bintang, di Kampung Babakan Cipari Kecamatan Pangatikan Kabupaten Garut. Akibat insiden pengibaran bendera tersebut, Sensen bersama kedua menterinya ditangkap kepolisian. Tapi Sensen dilepas karena jiwanya dianggap "terganggu". Sebaliknya, dua menterinya divonis Pengadilan Negeri Garut tiga tahun enam bulan penjara pada 15 Oktober 2008. Dari sinilah informasi tentang NII Fillah