KELOMPOK MUSIK TRICOTADO DALAM LEKASAN NGAYOGJAZZ 2020 DI YOGYAKARTA

Oleh

Ivan Two Putra 1510032115

TUGAS AKHIR PROGAM STUDI S-1 ETNOMUSIKOLOGI JURUSAN ETNOMUSIKOLOGI FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN INSTITUT SENI YOGYAKARTA 2021

i

KELOMPOK MUSIK TRICOTADO DALAM LEKASAN NGAYOGJAZZ 2020 DI YOGYAKARTA

Oleh

Ivan Two Putra 1510032115

Tugas Akhir ini Diajukan Kepada Dewan Penguji Jurusan Etnomusikologi Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Yogyakarta Sebagai Salah Satu Syarat untuk Menempuh Gelar Sarjana S-1 dalam Bidang Etnomusikologi 2021

ii

iii

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan sebelumnya untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 18 Januari 2021 Yang membuat pernyataan,

Ivan Two Putra NIM 1510032115

iv

KATA PENGANTAR

Perasaan yang tidak mudah untuk dijelaskan penulis rasakan bersamaan dengan diselesaikannya skripsi yang berjudul Kelompok Musik Tricotado Dalam Lekasan

Ngayogjazz 2020 di Yogyakarta ini. Dengan segala keterbatasan yang ada, pertama- tama penulis ingin menyampaikan permohonan maaf atas ketidaksempurnaan skripsi ini yang tidak dapat memuaskan seluruh pihak, baik yang terkait maupun tidak secara langsung dalam proses penulisan skripsi ini. Namun bagaimanapun juga penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Mama dan inangtua yang sejak awal menjadi pendukung utama terhadap segala

pilihan yang penulis buat.

2. Rendy Rinaldy Tua Panjaitan, abang yang dengan caranya tersendiri mendukung

pilihan yang penulis buat.

3. Bapa, dari kediamannya saat ini di surga yang menjadi inspirasi penulis dengan

caranya yang teristimewa.

4. Dr. Hari Sasongko yang menginspirasi penulis untuk mempelajari musik jauh

sebelum memulai studi di Jurusan Etnomusikologi ISI Yogyakarta.

5. Drs. Supriyadi, M. Hum. yang memperkenalkan dan memantapkan niat penulis

untuk menempuh studi di Jurusan Etnomusikologi ISI Yogyakarta.

6. Seluruh personel Tricotado dan manajer yang bersedia meluangkan waktu untuk

berbagi pengalaman dan pengetahuan dengan penulis.

v

7. Dr. Eli Irawati, S. Sn., M. A. yang sejak beberapa tahun belakangan bukan hanya

sekedar menjadi pengajar, namun juga menjadi teman untuk bertukar pikiran dan

menjadi dosen pembimbing I dalam proses penulisan skripsi ini hingga selesai.

8. Dr. Cepi Irawan, M. Hum., selaku dosen pembimbing II yang dengan segala

kebijaksanaan dan ketulusan hati memberi masukan dan motivasi untuk

menyelesaikan skripsi ini.

9. Dr. I Nyoman Cau Arsana, S. Sn., M. Hum., selaku ketua tim penguji dan Ketua

Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

10. Amir Razak, S. Sn., M. Hum., selaku penguji ahli.

11. Drs. Joko Tri Laksono, M. A., M. M., selaku Sekretaris Jurusan Etnomusikologi

Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

12. Seluruh pengajar di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

13. Seluruh karyawan di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

14. Teman-teman Etnomusikologi 2015 “Lentera” yang menjadi teman untuk berbagi

berbagai pengalaman selama menempuh studi.

15. Yesus Kristus yang menjadi Tuhan yang penulis imani. Puji, syukur dan sembah

hanya padaNya.

vi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...... i HALAMAN PENGAJUAN ...... ii HALAMAN PENGESAHAN ...... iii HALAMAN PERNYATAAN ...... iv KATA PENGANTAR ...... v DAFTAR ISI ...... vii DAFTAR TABEL ...... ix DAFTAR NOTASI ...... x INTISARI ...... xi

BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang ...... 1 B. Rumusan Masalah ...... 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 6 D. Landasan Teori ...... 7 E. Tinjauan Pustaka ...... 9 F. Metode Penelitian ...... 13 1. Pendekatan ...... 13 2. Teknik Pengumpulan Data ...... 14 a. Studi Pustaka ...... 14 b. Observasi ...... 15 c. Wawancara ...... 15 d. Pencatatan dan Pendokumentasian ...... 17 3. Analisis Data ...... 17 G. Kerangka Penulisan ...... 18

BAB II GAMBARAN UMUM JAZZ DI INDONESIA DAN PROFIL SINGKAT TRICOTADO DALAM LEKASAN NGAYOGJAZZ 2020 ...... 19 A. Jazz di Indonesia ...... 19 B. Jazz di Yogyakarta ...... 24 C.Profil Singkat Tricotado dan Latar Sosialnya ...... 25 D. Lekasan Ngayogjazz 2020 ...... 27

BAB III PROSES MUSIKAL DAN BENTUK PEMILIHAN MATERI REPERTOAR TRICOTADO DALAM LEKASAN NGAYOGJAZZ 2020 ... 30 A. Latar Sosial ...... 33 1. Institutional Places ...... 35 2. Sociocommerscapes ...... 39 3. Arenas and Transiental Places ...... 41

vii

4. Intangible Places ...... 44 B. Proses Musikal Tricotado ...... 45 1. Mempersiapkan Repertoar ...... 46 2. Menentukan Repertoar ...... 47 3. Menyajikan Repertoar ...... 48 4. Membangun Improvisasi ...... 50 C. Bentuk Pemilihan Materi Repertoar Tricotado ...... 51 1. Materi repertoar Tricotado ...... 52 a. Lagu Pertama ...... 52 b. Lagu Kedua ...... 53 c. Lagu Ketiga ...... 54 d. Lagu Keempat ...... 58 2. Analisis Musikal Repertoar Tricotado ...... 62 a. Unsur-unsur Musikal ...... 62 b. Struktur Lagu ...... 64 c. Analisis Lirik ...... 68

BAB IV PENUTUP ...... 74 A. Kesimpulan ...... 74 B. Saran ...... 75

KEPUSTAKAAN ...... 76 SUMBER INTERNET ...... 78 NARASUMBER ...... 79 GLOSARIUM ...... 80 LAMPIRAN ...... 81

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Profil Tricotado ...... 26 Tabel 2 : Struktur repertoar pertama ...... 52 Tabel 3 : Struktur lagu Lencana Pagi ...... 65 Tabel 4 : Struktur lagu Singgahi Malam ...... 66 Tabel 5 : Struktur lagu Tembang Hujan ...... 67 Tabel 6 : Struktur lagu Candu Kenangan ...... 67

ix

DAFTAR NOTASI

Notasi 1 : Lagu Lencana Pagi dalam repertoar pertama ...... 53 Notasi 2 : Lagu Singgahi Malam dalam repertoar pertama ...... 54 Notasi 3 : Lagu Tembang Hujan dalam repertoar pertama ...... 55 Notasi 4 : Lagu Candu Kenangan dalam repertoar pertama ...... 58 Notasi 5 : Tangga nada salendro dalam sistem nada diatonis ...... 63 Notasi 6 : Chorus Singgahi Malam ...... 63 Notasi 7 : Chorus Tembang Hujan ...... 64

x

INTISARI

Tricotado merupakan band yang beranggotakan 6 musisi muda yang aktif bermusik di Yogyakarta. Awal terbentuknya band ini merupakan bagian dari komunitas jazz di Yogyakarta yang bernama Jazz Mben Senen. Dalam hal berkarya, Tricotado memadukan jazz dengan unsur-unsur lokalitas dan musik khas Indonesia lainnya. Tulisan ini bertujuan untuk mencari sebab dari keberadaan Tricotado dengan melihat proses musikalnya dalam latar sosial Yogyakarta kekinian dan mengaitkannya dengan salah satu praktik musikal Tricotado dalam Lekasan Ngayogjazz 2020. Penelitian dalam bidang ilmu etnomusikologi ini menggunakan pendekatan fenomenologis yang bertumpu pada subjektivitas para personel Tricotado untuk melihat apa yang disebut oleh Alfred Schutz sebagai inner time dalam sebuah proses musikal. Kata kunci: Tricotado, proses musikal, Lekasan Ngayogjazz 2020, inner time

xi

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Interpretasi terhadap jazz hingga saat ini belumlah berhenti, sehingga sulit untuk membuat deskripsi tunggal terhadap jazz. Salah satu fakta yang mungkin sulit ditolak adalah bahwa jazz muncul dari perpaduan harmoni musik Barat dan ritme musik Afrika yang terjadi pada abad 19 di Amerika Serikat.1 Dalam perjalanannya jazz menjadi semakin rumit karena jazz selalu berada pada persimpangan yang membuat interpretasi terhadap jazz menjadi bermacam-macam. Dapat dikatakan bahwa hal yang paling konsisten dalam jazz adalah perubahan itu sendiri.

Perkenalan penulis dengan musik jazz dimulai sekitar 11 tahun yang lalu, ketika penulis sedang menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas di Tangerang. Bersama dengan beberapa teman satu sekolah, penulis membentuk band dan memainkan lagu- lagu jazz seperti lagu Rio Funk dari Lee Ritenour, Breezin’ dari George Benson dan A

Go Go dari John Scofield di beberapa acara kesenian di sekolah. Dengan keinginan untuk mempelajari jazz lebih jauh, penulis berkenalan dengan musisi-musisi jazz

Tangerang yang penulis kenal melalui gereja, tempat kursus musik dan beberapa studio musik tempat para musisi jazz berlatih. Perkenalan dengan jazz di Tangerang berlanjut

1 Ted Gioia, The History of Jazz (New York: Oxford University Press, 2011), 2. 2

hingga tahun 2015, ketika pindah dan menetap di Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan tinggi.

Pada tahun 2015 penulis mulai menempuh pendidikan di Jurusan Etnomusikologi

Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Pindah dan menetap di Yogyakarta tidak membuat perkenalan dengan jazz berhenti. Perkenalan dengan jazz di Yogyakarta dimulai semenjak awal mulai menetap di Yogyakarta, ketika bertemu dengan Dhany ‘Milky’, seorang mahasiswa yang lebih dahulu menempuh pendidikan di Jurusan Musik Institut

Seni Indonesia Yogyakarta, yang sebenarnya sudah penulis kenal sejak masa Sekolah

Menengah Atas namun sempat beberapa tahun tidak bertemu. Bersama dengan Dhany, penulis datang ke acara komunitas Jazz Mben Senen yang diselenggarakan di parkiran

Bentara Budaya Yogyakarta. Keheranan muncul ketika mengetahui bahwa acara jazz diselenggarakan di ruang terbuka dan bersebelahan dengan jalan protokol, yang mana banyak kendaraan berlalu lalang dan menimbulkan suara bising. Keunikan lain yang terdapat di acara Jazz Mben Senen adalah adanya sesi dimana siapapun yang datang dapat melakukan jam session, baik bagi mereka yang baru pertama kali datang maupun mereka yang baru mempelajari musik jazz. Jam session semacam ini baru pertama kali penulis temukan, yang mana tidak penulis temukan di acara-acara jam session di

Tangerang maupun .

Perkenalan dengan jazz Yogyakarta berlanjut dengan mengunjungi festival- festival musik jazz di Yogyakarta, salah satunya adalah Ngayogjazz. Pada penyelenggaraan Ngayogjazz 2019 di Desa Kwagon, penulis datang dengan tujuan 3

melakukan penelitian. Ngayogjazz merupakan festival jazz yang unik, semenjak penyelenggaraan yang pertama pada tahun 2007, Ngayogjazz selalu memilih desa-desa yang berada di wilayah Yogyakarta untuk menjadi tempat penyelenggaraannya.

Pemilihan desa dan selalu berpindah-pindah untuk menyelenggarakan festival musik jazz adalah sesuatu yang unik, yang mana festival musik jazz yang pernah penulis hadiri biasanya diselenggarakan di tempat-tempat khusus yang sudah terbiasa menyelenggarakan festival musik seperti Java Jazz yang diselenggarakan di Jakarta

International Expo dan Prambanan Jazz yang diselenggarakan di kawasan Candi

Prambanan, atau diselenggarakan di tempat-tempat dimana musik jazz digemari seperti

Jazz Goes To Campus yang diselenggarakan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Indonesia.

Perpaduan jazz dan musik etnis Indonesia dalam berbagai bentuk bukanlah sesuatu yang baru dalam ranah jazz Indonesia. Indonesian All Stars yang dihuni oleh pionir- pionir jazz Indonesia seperti Bubi Chen dan Jack Lesmana pernah merekam lagu tradisional Indonesia seperti Djanger Bali, Ilir ilir dan Burung Kakatua yang diaransemen ulang pada tahun 1967 dan melakukan pementasan di beberapa kota di

Eropa. Perpaduan jazz dan musik etnis Indonesia bahkan bisa dilacak hingga periode

1920-an ketika Indonesia belum merdeka. Miss Riboet dengan ‘Stambul Gaya Baru’ memadukan keroncong, stambul, musik etnis Melayu dengan musik Hawaiian atau tango yang dibalut dalam sebuah pertunjukan yang serupa dengan pertunjukan jazz di

Amerika Serikat saat itu. 4

Pada penyelenggaraan Ngayogjazz 2019 penulis menyaksikan penampilan berbagai musisi yang dipentaskan di banyak panggung. Beberapa musisi yang telah mapan dalam ranah jazz Indonesia seperti Idang Rasjidi, Oele Pattiselanno, Indro

Hardjodikoro dan Dewa Budjana ikut serta dalam festival ini. Selain Komunitas Jazz

Yogyakarta yang berperan sebagai tuan rumah dalam penyelenggaraan Ngayogjazz, turut pula tampil komunitas jazz dari berbagai daerah di Indonesia. Beberapa dari komunitas tersebut adalah Komunitas Jazz Magelang, Komunitas Jazz Trenggalek,

Komunitas Jazz Kediri, Komunitas Jazz Purwokerto, Komunitas Jazz Lampung,

Komunitas Jazz Pekalongan, Komunitas Jazz Ponorogo, Komunitas Jazz Samarinda dan komunitas jazz lainnya. Munculnya komunitas-komunitas tersebut menunjukkan bahwa jazz di Indonesia tidak hanya tersebar pada wilayah-wilayah kosmopolitan dengan karakteristik urban dengan lintas etnis (inter-ethnic urbanities), munculnya kelas menengah dari kalangan profesional dan pejabat, serta sebagai kota pelabuhan.2

Kemunculan mereka menandakan jazz sudah tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.

Selain penampil yang disebut di atas, pada penyelenggaraan Ngayogjazz 2019 juga terdapat penampil yang memadukan unsur musik etnis Indonesia dengan jazz seperti

Kuaetnika, Bagong Big Band, dan Tricotado. Nama yang disebut terakhir merupakan salah satu band yang terbentuk dari komunitas Jazz Mben Senen. Penampilan perdana

Tricotado sebagai sebuah band terjadi pada penyelenggaraan Ngayogjazz 2015 sebagai

2 Peter Keppy, “Southeast Asia in the Age of Jazz: Locating Popular Culture in the Colonial Philippines and Indoneisa”, dalam Journal of Southeast Asia Studies, Vol. 44, No. 3/2013, 445. 5

perwakilan Komunitas Jazz Yogyakarta. Dalam perjalanannya, Tricotado sempat merilis single dengan judul Candu Kenangan pada akhir 2018 hingga akhirnya pada tahun 2019 Tricotado merilis perdananya yang berjudul Cakrawala dan ditampilkan bertepatan dengan penyelenggaraan di Ngayogjazz 2019. Pada tahun 2020

Tricotado kembali tampil pada penyelenggaraan Ngayogjazz dan Lekasan Ngayogjazz.

Tricotado adalah band yang terdiri dari 6 anak muda, yaitu Cresen (vokal), Neo

(piano/keyboard), Boim (gitar), Yabes (bass), Yosafat (drum) dan Andra (kendang

Sunda). Keenam personel Tricotado pernah menempuh pendidikan tinggi di

Yogyakarta dan juga aktif di Komunitas Jazz Yogyakarta. Dalam beberapa kesempatan

Tricotado tampil sebagai perwakilan Komunitas Jazz Yogyajarta, seperti dalam penampilannya di Ngayogjazz, Solo City Jazz, dan Loenpia Jazz di Semarang. Musik yang ditawarkan oleh Tricotado adalah musik yang memadukan unsur jazz dengan unsur musik etnis Indonesia, dan bahkan musik pop.

Keberadaan Tricotado yang dimulai pada tahun 2015 dan bertahan hingga saat ini menjadi fenomena menarik untuk dibahas. Ide dari keenam anak muda yang berkomitmen untuk membuat sebuah band dan berkarya dengan mengusung konsep jazz yang dipadukan dengan unsur-unsur khas Indonesia merupakan sesuatu yang unik yang dimiliki oleh Tricotado. Berdasarkan hal tersebut, maka penting untuk melihat penyebab dari kemunculan Tricotado yang dibahas dalam kerangka proses musikal dan pengaruhnya terhadap karya-karyanya yang ditampilkan.

6

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses musikal Tricotado?

2. Bagaimana penampilan Tricotado dalam Lekasan Ngayogjazz 2020?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui proses musikal Tricotado.

2. Mengetahui dan menganalisis penampilan Tricotado pada penyelenggaraan Lekasan

Ngayogjazz 2020.

Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Bagi penulis, penelitian yang telah dilakukan terhadap Tricotado diharapkan membantu pemahaman penulis terhadap musik, terutama jazz dan musik etnis menjadi lebih luas.

2. Bagi pembaca, diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah wawasan pembaca dan menjadi salah satu rujukan untuk membahas jazz di Yogyakarta.

7

D. Landasan Teori

Dalam tulisan ini digunakan beberapa teori. Konsep-konsep dalam hermeneutik filosofis Hans-Georg Gadamer yang bersumber dari buku F. Budi Hardiman yang berjudul Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida digunakan sebagai orientasi teoritis oleh penulis. Orientasi teoritis ini digunakan dalam rangka mengkonseptualisasi dan membentuk kerangka kerja dalam mempersiapkan penelitian.3

Konsep sentral dari hermeneutik Gadamer adalah peleburan horizon-horizon

(horizontverschmelzung).4 Horizon adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan ruang yang memiliki batas-batas dimana pemahaman kita terbentuk.

Dalam hal memaknai, penafsir tidak mungkin keluar dari horizonnya menuju horizon yang ditafsir, melainkan horizon dari penafsir melebur dengan horizon yang ditafsir.

Berdasarkan penjelasan tersebut, Tricotado dilihat sebagai penafsir yang coba memaknai horizon jazz melalui horizon Tricotado.

Horizon pemaknaan Tricotado harus dilihat sebagai sesuatu yang terbatas. Cara

Tricotado memaknai tidak dapat dilepaskan dari pemaknaan-pemaknaan yang sudah ada sebelumnya. Otoritas dan tradisi juga merupakan hal-hal yang membatasi horizon,

3 Ruth M. Stone, Theory for Ethnomusicology (New York:Routledge, 2008), 11. 4 F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher Sampai Derrida (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2015), 180. 8

karena pemaknaan selalu bergerak pada tradisi-tradisi tertentu. Dengan kata lain, horizon juga dapat dikatakan sebagai prasangka yang terkandung di dalam tradisi.

Berkaitan dengan praktik, Gadamer beranggapan bahwa praktik (aplikasi) merupakan bagian integral dari pemahaman.5 Pemahaman, interpretasi dan aplikasi dilihat Gadamer sebagai satu proses yang terpadu. Berkaitan dengan konsep dari

Gadamer tersebut, praktik musikal Tricotado dilihat sebagai bagian dari proses pemahaman dan interpretasi terhadap jazz.

Teori lain dari Alfred Schutz digunakan untuk memahami proses musikal yang terdapat pada Tricotado. Schutz menjelaskan bahwa studi terhadap proses musikal melibatkan analisis komunikasi. Schutz membedakan apa yang disebut inner time dan outer time. Outer time adalah time yang ditandai oleh irama dari metronom atau dirigen, yang mana menjadi cara para musisi menyinkronkan permainan musiknya.

Pada lain sisi, inner time tidak diukur oleh metronom. Inner time adalah ‘time’ yang mana kualitas dari pengalaman menjadi sisi yang lebih menentukan dibandingkan

‘time’ yang bersifat kuantitatif.6 Dalam melihat sebuah proses musikal dan pertunjukan musik, inner time menjadi bagian utama yang dianalisis.

5 Hardiman, 186. 6 Stone, 168. 9

E. Tinjauan Pustaka

Sejauh pengetahuan penulis dan berdasarkan informasi yang didapat dari para personel Tricotado, belum terdapat kepustakaan yang membahas proses musikal dengan Tricotado sebagai subjek. Tulisan ini merupakan karya tulis ilmiah pertama yang membahas proses musikal Tricotado. Untuk melihat proses musikal Tricotado dengan lebih komprehensif, penulis menggunakan beberapa kepustakaan yang membahas jazz dan komunitas jazz di Yogyakarta. Beberapa kepustakaan tersebut adalah 3 jurnal yang ditulis oleh Oki Rahadianto Sutopo, diantaranya Dinamika

Kekuasaan dalam Komunitas Jazz Yogyakarta 2002-2010 dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 14 - Nomor 1 (Juli 2010), Transformasi Jazz Yogyakarta: dari Hibriditas menjadi Komoditas dalam Jurnal Sosiologi Masyarakat Volume 17 -

Nomor 1 (2012), dan Young Jazz Musicians and Negotiation of Public Space In

Yogyakarta Indonesia dalam Komunitas: International Journal of Indonesian Society and Culture 9(2) (2017).

Dalam Dinamika Kekuasaan dalam Komunitas Jazz Yogyakarta 2002-2010, berangkat dari perjalanan musik jazz di Yogyakarta yang dimulai sejak masa pendudukan Belanda di Indonesia, Sutopo sampai pada analisa terhadap dinamika kekuasaan dalam komunitas jazz di Yogyakarta. Dinamika kekuasaan yang dianalisa oleh Sutopo berfokus pada konflik antar komunitas jazz di Yogyakarta. Pada satu sisi terdapat jazz lor yang terdiri dari musisi-musisi yang mempelajari jazz secara otodidak

(non-akademis) dengan memainkan lagu-lagu jazz fusion, dan pada sisi lainnya 10

terdapat jazz kidul yang terdiri dari musisi-musisi yang mempelajari jazz secara akademis dengan memainkan lagu-lagu jazz standart.

Selanjutnya, dalam Transformasi Jazz Yogyakarta: dari Hibriditas menjadi

Komoditas, Sutopo memaparkan berbagai pemaknaan terhadap jazz dalam sejarah musik Indonesia. Dalam pembahasannya, perkembangan jazz dikaitkan dengan berbagai aspek, seperti aspek ekonomi, politik, teknologi, sosial dan budaya.

Pembahasan perkembangan jazz memuncak pada analisa terhadap perkembangan jazz di Yogyakarta. Analisa dari Sutopo bermuara pada tereduksinya semangat jazz yang pada awalnya sebagai musik pembebasan dari ketertindasan. Jazz hybrid, dengan lokalitasnya dianggap mendangkalkan makna jazz dan lokalitas itu sendiri untuk tujuan mencari profit semata.

Jurnal ketiga dari Oki Rahadianto Sutopo berjudul Young Jazz Musicians and

Negotiation of Public Space In Yogyakarta Indonesia. Dalam tulisan ini dibahas upaya yang dilakukan musisi jazz muda di Yogyakarta untuk menampilkan sebuah pertunjukan musik di ruang-ruang publik. Dalam analisisnya Sutopo membedakan 2 jenis ruang ideal yang berhubungan dengan kepentingan ekonomis dan simbolis dalam ranah jazz Yogyakarta. Ruang pertama diidentifikasi sebagai ruang yang dianggap sebagai arena publik untuk anggota-anggota eksklusif dan inklusif untuk orang lain.

Berbeda dengan ruang pertama, ruang kedua merupakan ruang yang keberadaannya didominasi oleh kepentingan ekonomis. 11

Jurnal lain yang membahas Komunitas Jazz Yogyakarta ditulis oleh Yovi Irvan

Vivian dengan judul Album Kompilasi Sebagai Pembentuk Habitus musikal Bagi

Komunitas Jazz Jogja dalam Jurnal Kajian Seni Volume 4, No. 2 (April 2018). Dalam jurnal ini dibahas bagaimana komunitas jazz yang bernama Jazz Mben Senen mendorong anggotanya untuk berani mengaransemen lagu dan menciptakan karya baru dengan membuat album kompilasi. Lagu-lagu yang terdapat dalam album kompilasi terlebih dahulu diseleksi oleh music director. Salah satu poin penting yang dinilai oleh music director adalah keberadaan unsur musik tradisional Indonesia.

Pembahasan lain mengenai jazz di Indonesia ditulis oleh Peter Keppy. Dalam jurnalnya yang berjudul Southeast Asia In The Age Of Jazz: Locating Popular Culture

In The Colonial Philipines And Indonesia yang diterbitkan Journal of Southeast Asian

Studies Volume 44, No. 3 (Oktober 2013) memaparkan bagaimana pengaruh jazz sudah sampai di Indonesia pada tahun 1920an. Dalam tulisannya, Peter Keppy menggunakan ‘pendekatan jazz age’7.

Pembahasan lain berkaitan dengan Tricotado yang terdiri dari musisi-musisi muda

Yogyakarta terdapat dalam jurnal yang ditulis oleh Wisma Tegar Septian dengan judul

Musik Indie Sebagai Identitas Anak Muda di Yogyakarta. Jurnal ini diterbitkan oleh E-

Societas Volume 8, No. 7 (2019). Jurnal ini membahas pengaruh musik indie terhadap anak muda di Yogyakarta. Hal tersebut dikarenakan musik indie banyak

7 Pendekatan yang dimaksudkan tidak eksklusif sebagai istilah genre musik, melainkan kiasan yang digunakan untuk membahas makna sosial. 12

diperdengarkan di sekolah dan kampus. Musik indie digambarkan sebagai musik yang membawa semangat independensi, anti mainstream dan do it yourself.

Kepustakaan lain yang digunakan penulis dalam melihat proses musikal sebagai objek kajian dalam etnomusikologi adalah tulisan dari seorang etnomusikolog dari

Amerika Serikat bernama Ingrid Monson. Dalam bukunya yang berjudul Saying

Something: Jazz Improvisation and Interaction (Chicago: The University of Chicago

Press, 1996), Monson membahas relasi antara bunyi, latar sosial dan kultural politik dalam pengaruhnya akan pemaknaan improvisasi jazz pada kultur Amerika abad 20.

Kepustakaan terakhir adalah buku yang ditulis oleh Ruth M. Stone dengan judul

Theory for Ethnomusicology (New York: Routledge, 2008). Buku ini menjadi acuan utama penulis dalam melakukan kajian etnomusikologi. Hal-hal yang berkaitan dengan etnomusikologi sebagai sebuah disiplin ilmu didasarkan pada penjelasan yang terdapat dalam buku ini. Selain pembahasan yang penulis anggap cukup komprehensif, relevan dan cukup mudah dimengerti sebagai buku pengantar, peran Ruth M. Stone dalam perkembangan etnomusikologi menjadi salah satu alasan penting mengapa penulis menggunakan buku ini. Ruth M. Stone sendiri adalah salah satu etnomusikolog ternama dari Amerika Serikat dengan gelar profesor dalam bidang folklore dan etnomusikologi. Beberapa jabatan strategis dalam dunia etnomusikologi yang pernah diemban oleh Ruth M. Stone adalah pimpinan Department of Folklore and

Ethnomusicology, Indiana University Bloomington dan presiden Society for

Ethnomusicology. 13

F. Metode Penelitian

Penulis menggunakan metode observasi partisipatoris (participant-observation) dan studi kearsipan (archival work) yang biasa digunakan oleh para etnomusikolog.8

Observasi partisipatoris dilakukan dengan datang langsung untuk melihat kegiatan yang dilakukan oleh Tricotado, seperti latihan dan penampilannya dalam Lekasan

Ngayogjazz 2020. Studi kearsipan didapat dengan melihat beberapa penampilan

Tricotado melalui platform youtube yang dapat diakses dengan internet dan dokumen berupa audio yang didapat dari pihak Tricotado.

1. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan penulis dalam melakukan penelitian adalah pendekatan fenomenologis. Fenomenologi itu sendiri merupakan istilah yang berasal dari kombinasi kata Yunani phainestai yang artinya menampakkan diri dan logos yang artinya diskursus. Jadi, fenomenologi adalah diskursus tentang menampakkan diri, yang artinya cara interpretasi dengan membiarkan apa yang memperlihatkan diri itu dilihat dari dirinya sendiri dengan cara dia memperlihatkan diri dari dirinya sendiri.

Dengan cara lain, fenomenologi juga dapat diartikan sebagai sebuah pendekatan untuk mendeskripsikan hal-hal sebagaimana manusia mengalami atau menghayatinya jauh sebelum hal-hal itu dirumuskan dalam pikiran.9

8 Stone, 12. 9 Hardiman, 104. 14

Pendekatan fenomenologis dalam kajian etnomusikologi menjadikan sensasi dan interpretasi dari subjek dalam penelitian sebagai data utama.10 Berkaitan dengan proses musikal sebagai objek kajian, pendekatan fenomenologis merupakan pendekatan yang paling tepat untuk melihat aspek subjektivitas para pelaku.11

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini merupakan cara yang dilakukan penulis untuk mengumpulkan data yang didapat dari studi pustaka, observasi, wawancara, dan dokumentasi baik berupa audio maupun audio visual. Hal ini dilakukan agar memperoleh data yang akurat, ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. a. Studi Pustaka

Studi pustaka digunakan untuk mengumpulkan data tertulis untuk mendukung penelitian dan proses penulisan laporan melalui sumber-sumber literatur. Dalam hal ini penulis berusaha seselektif mungkin untuk memilih sumber-sumber pustaka yang digunakan. Kepustakaan-kepustakaan utama yang dipilih adalah kepustakaan yang ditulis oleh para etnomusikolog, beberapa diantaranya adalah Ruth M. Stone dan Ingrid

Monson. Kepustakaan lain yang tidak ditulis oleh para etnomusikolog dipilih serelevan mungkin dengan penelitian yang dilakukan.

10 Stone, 165. 11 Ingrid Monson, Saying Something: Jazz Improvisation and Interaction (Chicago: The University of Chicago Press, 1996), 211. 15

b. Observasi

Observasi dilakukan dengan cara terjun langsung ke lapangan dalam rangka pengamatan dan pencatatan aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh personel Tricotado, terutama aktivitas yang berhubungan dengan proses musikal. Observasi ini bertujuan untuk mendapatkan data-data secara langsung yang terkait dengan objek yang diteliti pada saat terjun ke lapangan.

Observasi terhadap penampilan Tricotado dilakukan pada tanggal 26 Oktober

2020 pukul 18.00 WIB sampai 23.00 WIB. Observasi ini dilakukan dalam rangka penampilan Tricotado pada Lekasan Ngayogjazz 2020 yang diselenggarakan di gedung

Citraweb yang terletak di Jalan Magelang, Kabupaten Sleman.

Observasi lain dilakukan saat Tricotado melakukan latihan di kediaman Yabes yang terletak di wilayah Condongcatur, Kabupaten Sleman dalam rangka mempersiapkan penampilannya pada penyelenggaraan Ngayogjazz 2020. Observasi berlangsung pada tanggal 10 Nopember 2020 pukul 20.00 WIB sampai 23.30 WIB. c. Wawancara

Wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam terhadap setiap personel

Tricotado. Hal-hal yang dibahas dengan setiap personel berfokus pada latar belakang, pengalaman dengan musik dan pemaknaan setiap personel terhadap berbagai hal seperti pemaknaan terhadap jazz, musik dan lainnya. 16

Wawancara dengan Neo dilakukan di kediaman Neo yang terletak di wilayah

Codongcatur, Kabupaten Sleman. Wawancara dilakukan dalam 2 kali pertemuan yang terjadi pada tanggal 21 Agustus 2020 dan 8 November 2020.

Wawancara dengan Yabes dan Andra dilakukan di sebuah kedai kopi yang terletak di Jalan Palagan Tentara Pelajar, Kabupaten Sleman pada tanggal 17 November 2020.

Wawancara dilakukan secara berkala, dimulai dengan wawancara dengan Yabes terlebih dahulu dan kemudian wawancara dengan Andra.

Selanjutnya wawancara dengan Cresensia dilakukan di Galleria Mall, Kota

Yogyakarta. Wawancara berlangsung pada tanggal 25 November 2020.

Wawancara dengan Boim dilakukan di kediamannya yang terletak di wilayah

Sewon, Kabupaten Bantul. Wawancara berlangsung pada tanggal 26 November 2020.

Wawancara dengan Yosafat dilakukan dengan telepon cerdas pada tanggal 11

Desember 2020 melalui aplikasi WhatsApp. Wawancara dengan bantuan telepon cerdas dilakukan karena Yosafat sedang berada di luar Yogyakarta selama penelitian.

Wawancara terakhir dilakukan terhadap Deasy Maria yang merupakan manajer dari Tricotado dan anggota Jazz Mben Senen sejak 2009. Wawancara berlangsung pada tanggal 22 September 2020 di sebuah kedai kopi yang terletak di Kota Yogyakarta.

17

d. Pencatatan dan Pendokumentasian

Pedokumentasian dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumentasi berupa audio, visual dan audio visual. Dokumentasi didapat dengan cara pendokumentasian secara langsung oleh penulis menggunakan telepon seluler Samsung Galaxy A20s, dokumentasi yang didapat dari Tricotado, serta akun media sosial Tricotado.

Dokumentasi lain didapat dari pendokumentasian oleh pihak lain yang terdapat di berbagai platform dengan cara mengaksesnya melalui jaringan internet.

3. Analisis Data

Data terpenting dalam penelitian ini berasal dari wawancara dengan para personel

Tricotado, dikarenakan penelitian dilakukan dengan pendekatan fenomenologis. Data penting lainnya didapat melalui pengamatan terhadap penampilan dan latihan yang dilakukan oleh Tricotado, namun analisis terhadap data ini harus berkesesuaian dengan data yang didapat dari wawancara. Hal tersebut dilakukan berlandaskan pemahaman bahwa musik dilihat sebagai pengalaman manusia yang bermakna, sehingga pemahaman subjektif dari para personel Tricotado menjadi yang terutama. Sementara data-data lain yang didapat melalui buku, jurnal dan informasi yang diakses melalui internet menjadi data penunjang.

18

G. Kerangka Penulisan

Penulisan laporan penelitian ini disajikan secara sistematis, yang terdiri dari empat bab dengan kerangka penulisan sebagai berikut:

Bab I merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat, landasan teori, tinjauan pustaka, metode penelitian (terdiri dari pendekatan, teknik pengumpulan data, dan analisis data), dan kerangka penulisan.

Bab II berisi gambaran mengenai perkembangan musik jazz di Amerika Serikat hingga Yogyakarta, profil singkat Tricotado dan Lekasan Ngayogjazz.

Bab III berisi pembahasan mengenai proses musikal Tricotado yang meliputi analisis latar sosial dan penampilan Tricotado dalam Lekasan Ngayogjazz 2020.

Perihal penampilan Tricotado dalam Lekasan Ngayogjazz 2020, terdapat analisis terhadap repertoar pertama dan keterkaitannya dengan analisis latar sosial.

Bab IV merupakan penutup yang meliputi kesimpulan dan saran.

19

BAB II

GAMBARAN UMUM JAZZ DI INDONESIA DAN PROFIL SINGKAT TRICOTADO DALAM LEKASAN NGAYOGJAZZ 2020

A. Jazz di Indonesia

Keberadaan jazz di Indonesia dapat dilacak sejak tahun 1920an, ketika Indonesia belum menjadi negara yang merdeka. Kedatangan jazz tidak terlepas dari peranan gramofon. Kemunculan musik jazz yang mulai direkam dalam piringan hitam pada tahun 1920-an memungkinkan persebaran musik jazz yang lebih luas.1 Melalui orang- orang Eropa dan Amerika yang datang ke Indonesia, jazz mulai dikenal orang-orang

Indonesia yang dekat dengan mereka. Pada masa ini jazz baik sebagai musik dan kultur mulai dipraktikkan di kota-kota kosmopolitan seperti Jakarta dan Surabaya. Pengaruh jazz terhadap musik Indonesia bisa dilihat pada diri Miss Riboet.

Miss Riboet lahir pada tahun 1990 dari keluarga Jawa. Ayahnya merupakan tentara

Netherlands East Indies Colonial Army (KNIL), sehingga Miss Riboet tumbuh dan besar di barak tentara kolonial tanpa pernah menempuh pendidikan formal. Pada tahun

1925 Miss Riboet menikah dengan Tio Tek Djen, seorang terdidik dari keluarga Cina peranakan yang terkemuka di Jawa Tengah. Dalam perjalanannya, Miss Riboet dan Tio mengeklaim bahwa mereka memodernisasi stambul dengan menampilkan stambul

1 Ted Gioia, The History of Jazz (New York: Oxford University Press, 2011), 76. 20

dalam bentuk pertunjukan opera Cina. Bersama dengan Jolly Jasz Band, Miss Riboet mulai merekam lagu-lagu keroncong dengan gramofon. Musik-musik yang dimainkan

Miss Riboet dan Jolly Jasz Band memadukan keroncong dengan musik Arab, musik

Cina peranakan, lagu rakyat Jawa, lagu rakyat Belanda dan musik Melayu. Apa yang dilakukan oleh Miss Riboet merupakan interpretasinya terhadap jazz.2

Pasca kemerdekaan Indonesia, politik yang diterapkan oleh Orde Lama yang anti barat membuat jazz tidak banyak terdokumentasikan. Musik jazz menjadi perdebatan apakah musik ini termasuk budaya Barat yang harus dilarang atau justru relevan dengan revolusi yang didengungkan Soekarno, karena jazz lahir dari perlawanan kulit hitam di

Amerika. Meskipun terdapat perdebatan terhadap jazz, Kedutaan Besar Amerika

Serikat di Jakarta tetap memainkan musik jazz.

Kemunculan Indonesian All Stars pada tahun 1960-an dapat dikatakan sebagai awal mula keberadaan jazz modern di Indonesia. Indonesian All Star beranggotakan

Bubi Chen (piano dan kecapi), Jack Lesmana (gitar), Maryono (saksofon tenor, flute dan vokal), Yopi Chen (bass) dan Benny Mustafa Van Diest (drum). Band ini pernah berkolaborasi dengan musisi jazz ternama dari Amerika Serikat Tony Scott dalam album Djanger Bali. Dalam album ini, lagu-lagu daerah seperti Ilir Ilir, Burung

Kakatua dan Gambang Suling diaransemen kembali dalam format jazz. Pada masa ini,

Indonesian All Star juga melakukan tur keliling Eropa.

2 Peter Keppy, “Southeast Asian in the Age of Jazz: Locating Popular Culture in the Colonial Philippines and Indonesia”, dalam Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 44 No. 3/2013, 457. 21

Sejak kemunculan Indonesian All Stars, musik jazz mulai marak di Indonesia, terutama Jakarta. Komunitas-komunitas jazz mulai bermunculan dan penyelenggaraan pertunjukan musik jazz mulai dilaksanakan secara reguler. Di tengah maraknya musik jazz di Indonesia, pada tahun 1976 terlaksana Jazz Goes To Campus, yang merupakan festival musik jazz pertama di Indonesia yang diselenggarakan di Universitas

Indonesia, Jakarta.

Pada periode 1980an hingga 1990an jazz di Indonesia didominasi oleh jazz fusion.

Perpaduan jazz dengan musik khas Indonesia terus berlanjut. Musisi-musisi jazz muda

Indonesia pada saat itu tetap melanjutkan eksperimen dari para pendahulunya. Nama- nama seperti Erwin Gutawa dan Aminoto Kosin yang tergabung dalam grup Karimata merilis album Jezz pada tahun 1991. Dalam album ini Karimata dengan melibatkan musisi jazz Amerika Serikat seperti Lee Ritenour, Bob James, Don Grusin, Ernie Watts dan Phil Perry. Lagu-lagu yang terdapat dalam album ini sebagian besar mengeksplor musik khas Indonesia. Dalam lagu Seng Ken Ken terdapat unsur musik Bali dengan mengeksplor chant dalam tari kecak yang dinyanyikan hampir sepanjang lagu. Unsur musik Minang juga terdapat dalam lagu Take Off To Padang yang mengeksplor pola- pola permainan talempong. Dalam lagu yang berjudul Paddy Field terdapat unsur- unsur musik Sunda seperti penggunaan suling dan sistem nada daminatila yang dimainkan dalam sistem nada diatonis. Sistem nada daminatila sendiri merupakan 22

sistem nada yang diciptakan oleh R.M.A. Koesoemadinata pada tahun 1923 dan biasa digunakan dalam karawitan Sunda.3

Pada abad 21 perpaduan jazz dengan musik khas Indonesia sampai pada puncaknya. Kesadaran akan kekayaan musik dan budaya Indonesia dari para musisi jazz Indonesia menjadi alasan banyaknya praktik-praktik perpaduan jazz dengan musik dan budaya Indonesia. Trisum yang merupakan sebuah proyek musik dari Tohpati,

Dewa Budjana dan Balawan pernah merilis 2 album. Album pertama dirilis pada tahun

2007 dengan judul Trisum 1st Edition dan disusul album kedua yang dirilis pada tahun

2011 dengan judul Trisum Five In One. Dalam kedua album tersebut terdapat lagu-lagu daerah seperti Cublak Cublak Suweng yang diaransemen ulang. Beberapa lagu juga memiliki tema-tema pewayangan seperti Mahabarata dan Rahwana. Di luar proyek

Trisum, Tohpati, Dewa Budjana dan Balawan secara masing-masing juga merilis album solo yang banyak mengusung unsur-unsur musik dan budaya Indonesia.

Tohpati sendiri sudah merilis album solo sejak akhir 1990an dengan banyak mengusung tema-tema khas Indonesia. Album monumental Tohpati dirilis pada tahun

2010 dengan judul Tohpati Ethnomission. Dalam album ini Tohpati melibatkan seorang pemain kendang Sunda bernama Endang Ramdan dan pemain suling Sunda bernama Diki Suwarjiki. Keberadaan kendang dan suling Sunda membuat aransemen dari lagu-lagu Tohpati menjadi kental unsur etniknya. Tidak jauh berbeda dengan

3 Ega Fausta, “Konsep Laras Salendro R.M.A. Koesoemadinata Dalam Angklung Pentatonis Ragam Laras”, dalam Jurnal Kajian Seni, Volume 05, No. 02/April 2019, 157. 23

Tohpati, Balawan yang banyak melakukan aktivitas bermusiknya di Bali bahkan dalam beberapa penampilannya bermain dengan ensambel gamelan Bali. Tidak ketinggalan dari kedua gitaris yang disebut terdahulu, Dewa Budjana juga sejak tahun 1990an aktif merilis album solo dan berkolaborasi dengan berbagai musisi lokal dengan latar belakang musik etnis hingga musisi jazz internasional. Selain ketiga gitaris tersebut, musisi-musisi jazz lain seperti Idang Rasjidi dan Gilang Ramadhan juga aktif berkolaborasi dengan musisi-musisi lokal dengan latar belakang musik etnis. Gilang

Ramadhan yang sudah aktif sejak lama dalam ranah jazz Indonesia bahkan tampil dengan memodifikasi drum set miliknya untuk menghasilkan warna-warna yang ada dalam perkusi Indonesia.

Jazz saat ini tidak hanya ramai di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, namun sudah meluas ke berbagai daerah seperti Yogyakarta, Purwokerto, Lampung,

Samarinda, Bangka dan berbagai daerah lain di Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan jazz bertemu dengan kebudayaan yang berbeda-beda dari berbagai wilayah di

Indonesia dan mengakibatkan karakter jazz di Indonesia menjadi lebih beragam.

Pertemuan musisi jazz dengan musisi lokal di setiap daerah mengakibatkan terjadinya negosiasi-negosiasi yang tidak hanya berdampak pada perubahan musik jazz itu sendiri, namun kultur jazz juga mengalami perubahan.

24

B. Jazz di Yogyakarta

Dalam ranah jazz Yogyakarta saat ini, jazz tidak lagi menjadi sesuatu yang eksklusif. Pandangan terhadap jazz yang eksklusif di Indonesia sudah berlangsung sejak lama. Hal tersebut dapat dipahami karena jazz hanya berkembang di kota-kota besar dan dimainkan di tempat-tempat yang tidak semua masyarakat dapat dengan mudah mengaksesnya, terlebih lagi jazz sering dianggap musik yang rumit dan sulit dimengerti. Di Yogyakarta, pandangan terhadap jazz yang eksklusif tidak lagi sepenuhnya dapat dibenarkan. Praktik-praktik jazz yang ditampilkan secara eksklusif tentu masih dapat ditemukan di Yogyakarta, namun keberadaan komunitas jazz seperti

Jazz Mben Senen dan festival Ngayogjazz membuat jazz di Yogyakarta dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat secara luas. Negosiasi musisi jazz dengan musisi lokal dengan latar belakang musik etnis seperti Djaduk Ferianto dalam Jazz Mben Senen mengakibatkan tidak jarang ditampilkannya musik-musik lain di luar jazz, seperti keroncong, dangdut dan campursari. Hal tersebut membuat Jazz Mben Senen tidak hanya dihadiri oleh penikmat dan musisi jazz saja, anak-anak muda yang memiliki rasa penasaran dan mungkin ingin mempelajari jazz pun hadir dan menjadi anggota komunitas.

Kedekatan jazz dengan masyarakat luas dapat dilihat pada penyelenggaraan festival Ngayogjazz. Festival musik jazz tahunan ini tidak diselenggarakan di tempat- tempat yang memang biasa dijadikan tempat menyelenggarakan festival musik besar dengan memungut biaya tiket masuk, namun diselenggarakan di desa dan tidak 25

memungut biaya tiket masuk. Selama penyelenggaraanya, Ngayogjazz diselenggarakan dengan berpindah-pindah dari satu desa ke desa lain di wilayah

Yogyakarta. Hal tersebut diharapkan dapat memperkenalkan musik jazz terhadap masyarakat yang lebih luas. Ngayogjazz juga tidak berorientasi untuk mendatangkan musisi-musisi jazz besar dari Amerika Serikat melainkan berusaha untuk melibatkan seniman-seniman muda lokal dan mencoba untuk mengangkat kebudayaan lokal, baik itu kebudayaan Jawa ataupun kebudayaan lain di Indonesia. Sikap Ngayogjazz tersebut membuat Ngayogjazz tidak hanya sekedar event musik, namun lebih jauh lagi

Ngayogjazz menjadi event budaya.

C. Profil Singkat Tricotado dan Latar Sosialnya

Terbentuknya Tricotado berawal dalam rangka mewakili Komunitas Jazz

Yogyakarta untuk tampil di perhelatan Ngayogjazz 2015. Pada awal terbentuknya,

Tricotado berpersonel Paulus Neo Prasetyo yang biasa dipanggil Neo

(keyboard/piano), Cresensia Anastasia Naibaho yang biasa dipanggil Cresensia

(vokal), Yabes Yuniawan Sagrim yang biasa dipanggil Yabes (bass elektrik), Yosafat

Windrawanto yang biasa dipanggil Yosa (drum), Diandra Megi Hikmawan yang biasa dipanggil Andra (kendang Sunda) dan beberapa pemain brass. Selanjutnya keberadaan brass tidak lagi digunakan dan Yohanes Saptanugraha yang biasa dipanggil Boim masuk sebagai pemain gitar pada tahun 2017. 26

Nama Tricotado sendiri menurut Neo diambil dari bahasa Portugis yang berarti rajutan. Penamaan tersebut didasarkan pada latar belakang dari tiap personel yang berbeda-beda, yang mana Neo berasal dari Klaten, Cresensia berasal dari keluarga

Batak namun terlahir dan besar di Padang, Yabes berasal dari Sragen, Boim berasal dari keluarga Jawa namun terlahir dan besar di Lampung, Yosafat berasal dari

Tulungagung dan Andra berasal dari keluarga Sunda yang lahir dan besar di Brebes.

Latar belakang pendidikan, entah itu disiplin ilmu yang dipelajari di kampus dan pendidikan musik dari tiap personel juga berbeda-beda. Berdasarkan penjelasan tersebut, istilah ‘tricotado’ yang dijadikan nama band ditujukan sebagai gambaran atas perbedaan dari tiap personel yang terbentuk menjadi sebuah rajutan.

Tabel 1. Profil Tricotado POSISI PENDIDIKAN NO NAMA KAMPUS (INSTRUMEN) MUSIK Institut Seni 1 Cresensia vokal Indonesia formal Yogyakarta Universitas Negeri 2 Neo keyboard, piano formal Yogyakarta Universitas Sanata 3 Boim bass otodidak Dharma Universitas Negeri 4 Yabes gitar formal Yogyakarta Universitas Sanata 5 Yosafat drum otodidak Dharma kendang Sunda, Universitas Negeri 6 Andra formal perkusi Yogyakarta

Sejauh ini Tricotado telah merilis sebuah single dan sebuah album. Pada awal tahun 2018 Tricotado merilis single dengan judul Candu Kenangan. Selanjutnya 27

album Tricotado dengan judul Cakrawala dirilis bertepatan dengan tampilnya

Tricotado di Ngayogjazz 2019 pada tanggal 16 November 2019. Pada album

Cakrawala terdapat 7 lagu, diantaranya Cakrawala, Bulan Sabit, Kabut Cinta, Lencana

Pagi, Singgahi Malam, Tembang Hujan dan Rindu Pulang.

D. Lekasan Ngayogjazz 2020

Lekasan Ngayogjazz 2020 adalah rangkaian acara yang dibuat untuk menyambut penyelenggaraan Ngayogjazz 2020. Pada seri pertama menampilkan Riri ‘Everyday’ dan Danny Eriawan. Seri kedua menampilkan Huaton Dixie, Lusy Laksita dan

Bambang Gundul. Seri ketiga menampilkan Everyday, Good Pool dan Aditya Ong Trio dari Solo Jazz Society. Seri keempat menampilkan Komunitas Jazz Yogyakarta, NU dan Tricotado. Pada seri kelima yang merupakan seri terakhir menampilkan Berdua

Saja, Jogja Blues Forum dan Fusion Jazz Community Surabaya. Lekasan Ngayogjazz

2020 dimulai pada tanggal 14 September 2020 dan dilaksanakan dua minggu sekali dengan puncak acara adalah penyelenggaraan Ngayogjazz 2020 pada tanggal 19 hingga 21 November 2020.4

Ngayogjazz sendiri merupakan festival musik jazz tahunan yang diselenggarakan di Yogyakarta semenjak tahun 2007. Festival musik ini terselenggara atas gagasan para seniman dan komunitas musik jazz yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta.

4 https://ngayogjazz.com/2019/lekasan-edisi-1-ngayogjazz-2020/, akses 10 Januari 2021. 28

Semenjak awal diselenggarakannya Ngayogjazz tidak hanya ditujukan sebagai festival musik pada umumnya melainkan sebagai sebuah peristiwa budaya. Dalam setiap penyelenggaraannya, Ngayogjazz menggunakan pedesaan-pedesaan yang ada di

Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai tempat berlangsungnya acara dan juga melibatkan masyarakat desa setempat untuk berperan secara aktif dalam segala kegiatan.5

Ngayogjazz yang ditujukan sebagai peristiwa budaya juga melibatkan partisipasi komunitas-komunitas lain di luar komunitas jazz seperti komunitas fotografi, komunitas otomotif, komunitas perfilman dan komunitas-komunitas lainnya. Dalam hal pemilihan penampil, Ngayogjazz tidak terbatas pada mempresentasikan musisi- musisi jazz yang sudah mapan tetapi juga para musisi-musisi muda yang berpotensi dan kreatif. Pemilihan tersebut ditujukan untuk lebih membuka ruang ekspresi yang luas dan beragam dan menjadikan Ngayogjazz sebagai wadah persemaian musisi- musisi muda berbakat.6

Penyelenggaraan Lekasan Ngayogjazz dan Ngayogjazz pada tahun 2020 berbeda dengan penyelenggaraan pada tahun-tahun sebelumnya, dikarenakan pandemi yang melanda Yogyakarta dan hampir di seluruh bagian dunia sejak awal tahun 2020.

Pandemi tersebut mengakibatkan pelarangan terhadap kegiatan-kegiatan yang menyebabkan berkumpulnya orang banyak. Hal tersebut membuat Lekasan

5 https://ngayogjazz.com/2019/tentang/, akses 10 Januari 2021. 6 Wawancara dengan Deasy Maria tanggal 22 September 2020, diizinkan untuk dikutip. 29

Ngayogjazz dan Ngayogjazz 2020 diselenggarakan tanpa menghadirkan penonton secara langsung. Keterbatasan tersebut membuat Lekasan Ngayogjazz dan Ngayogjazz

2020 lebih marak ditampilkan melalui kanal-kanal digital seperti youtube dan instagram. Keberanian untuk tetap menyelenggarakan Lekasan Ngayogjazz dan

Ngayogjazz pada tahun 2020 di tengah situasi yang serba sulit tergambar melalui slogan ‘ngejazz tak gentar’ yang menjadi tema acara.

30

BAB III

PROSES MUSIKAL DAN BENTUK PEMILIHAN MATERI REPERTOAR TRICOTADO DALAM LEKASAN NGAYOGJAZZ 2020

Sebelum masuk pada pembahasan lebih lanjut, penulis merasa perlu untuk memberi penjelasan mengenai proses musikal itu sendiri terlebih dahulu. Proses musikal (musical process) sering disalahartikan sebagai proses membuat musik (music- making process) atau proses kreatif (creative proses)1. Pembahasan dan penggunaan istilah ‘proses musikal’ di Indonesia, terutama dalam kajian etnomusikologi, sejauh pengetahuan penulis masih sangat jarang digunakan, sehingga menjadi penting bagi penulis untuk meletakkan posisi ‘proses musikal’ dalam tulisan ini. Proses musikal sebagaimana dimaksud dalam tulisan ini merupakan salah satu jenis objek kajian dalam etnomusikologi. Ruth M. Stone membagi objek kajian etnomusikologi menjadi 7 jenis, yaitu: (1) lagu (song), (2) festival musik (event), (3) proses musikal (musical process),

(4) repertoar lagu (repertory of songs), (5) individu (individuals), (6) komunitas

(community), (7) genre dari pertunjukan musikal (genre of musical performance).2

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, terminologi proses musikal secara utuh tidak diketemukan, sehingga upaya paling memungkinkan adalah mengartikannya secara terpisah kata demi kata, dimana proses diartikan sebagai runtutan perubahan

1 Bruno Nettl, The Study of Ethnomusicology: Thirty One Issues and Concepts – 2nd Edition (Illinois: The University of Illinois Press, 2005), 27. 2 Ruth M. Stone, Theory for Ethnomusicology (New York: Routledge, 2008), 20. 31

(peristiwa) dalam perkembangan; rangkaian tindakan, pembuatan, atau pengolahan yang menghasilkan produk, sedangkan musikal diartikan sebagai sesuatu yang berkenaan dengan musik, mempunyai kesan musik, dan mempunyai rasa peka terhadap musik.3 Serupa dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia, dalam Oxford Dictionary of

English, proses (process) diartikan sebagai a series of actions or steps taken in order to achieve a particular end, sedangkan musikal (musical) diartikan relating to music, set to oraccompanied by music, fond of or skilled in music.4 Berdasarkan pengertian yang didapat dari kedua jenis kamus tersebut, penulis lebih condong memilih pengertian yang bersumber dari Oxford Dictionary of English. Pertama-tama, istilah proses musikal yang digunakan oleh penulis bersumber dari istilah musical process yang merupakan istilah dalam bahasa Inggris dan pengertian yang terdapat dalam

Oxford Dictionary of English lebih spesifik dibandingkan pengertian yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Beberapa sumber literatur yang menjadi acuan penulis dan pembahasan yang terdapat dalam tulisan ini juga dirasa lebih tepat menggunakan pengertian sebagaimana didapat dari Oxford Dictionary of English.

Berdasarkan argumen tersebut, proses musikal dapat dipahami sebagai rangkaian tindakan atau langkah yang diambil dalam upaya mencapai maksud musikal tertentu.

3 Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V, diakses melalui aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, tanggal 10 Januari 2021. 4 Oxford Dictionary of English, diakses melalui aplikasi Oxford Dictionary of English, tanggal 10 januari 2021. 32

Dengan kata lain proses musikal adalah sebab-sebab dari sebuah fenomena musikal dan sebab-sebab itulah yang menjadi fokus.

Dalam menjelaskan proses musikal sebagai salah satu objek kajian dalam etnomusikologi, Stone mencontohkan penelitian yang dilakukan oleh Ingrid Monson.

Dalam penelitiannya terhadap improvisasi dalam jazz, Monson menekankan timbal balik dan hubungan berlapis antara bunyi (sound), latar sosial (social setting) dan kultural politik (cultural politics) yang mempengaruhi pemaknaan atas improvisasi jazz dalam kehidupan kebudayaan Amerika abad 20. Pembahasan proses musikal yang dilakukan Monson juga menghubungkan proses tersebut terhadap berbagai isu ras dan budaya.5 Berdasarkan pemahaman proses musikal yang penulis paparkan di atas,

Monson ingin meneliti sebuah fenomena musikal berupa improvisasi dengan melihat sebab-sebabnya yang terdiri dari bunyi, latar sosial dan kultural politik.

Dalam tulisan ini akan dibahas Tricotado sebagai sebuah fenomena musik dengan melihat latar sosial sebagai sebabnya. Selain itu juga akan dibahas salah satu praktik musikal, yaitu penampilan Tricotado di Lekasan Ngayogjazz 2020. Tricotado sebagai sebuah fenomena harus dilihat sebagai sebuah band yang terdiri dari 6 musisi, yang mana setiap individu merupakan individu yang memaknai dan memiliki subjektivitasnya masing-masing. Dengan demikian pengalaman tiap personel, baik itu

5 Stone, 19. 33

dilakukan di dalam maupun di luar Tricotado merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Tricotado.

A. Latar Sosial

Pembahasan proses musikal Tricotado melibatkan analisis terhadap Yogyakarta kekinian sebagai latar sosial di mana Tricotado berada. Dinamika jazz di Yogyakarta sebagian besar digerakkan oleh mahasiswa, intelektual dan seniman dari berbagai bidang.6 Hal tersebut disebabkan karena Yogyakarta dikenal luas sebagai kota pendidikan dan budaya. Sudah sejak lama, semenjak masa awal kemerdekaan

Indonesia hingga saat ini, Yogyakarta melahirkan berbagai tokoh dalam bidang pendidikan, bermacam-macam disiplin ilmu, seni dan budaya. Pesona Yogyakarta tersebut, ditambah dengan keberadaan kampus-kampus prestisius mengakibatkan banyak anak muda dari berbagai daerah di Indonesia, terkhusus bagi mereka yang ingin menempuh pendidikan di perguruan tinggi datang dan menetap di Yogyakarta.

Guna melihat latar sosial dari Tricotado, maka akan digunakan taksonomi ruang

(taxonomy of places) dari Elizabeth Chacko. Dalam penelitiannya terhadap imigran

Ethiopia, Chacko mengklasifikasikan 4 jenis ruang yang dipergunakan komunitas- komunitas etnis dengan latar urban dalam beraktivitas. Keempat jenis ruang tersebut

6Oki Rahadianto Sutopo, “Young Jazz Musicians and Negotiation of Public Space In Yogyakarta Indonesia”, dalam Komunitas: International Journal of Indonesian Society and Culture, 9(2)/September 2017, 225. 34

meliputi ethnic institutions, ethnic sociocommerscapes, ethnic arenas dan intangible ethnic places.7 Analisis dengan menggunakan taksonomi ruang ini bertujuan untuk melihat bagaimana suatu komunitas dapat terbentuk dan berjalan, dengan asumsi bahwa komunitas dalam latar urban dengan fleksibilitasnya bagaimanapun juga tetap membedakan diri dengan komunitas-komunitas lain.

Kay Kaufman Shelemay dalam penelitiannya terhadap proses musikal imigran

Ethiopia di kawasan Amerika Utara menggunakan taksonomi ruang Chacko untuk melihat proses terbentuknya ruang bagi suatu komunitas etnis beraktivitas dan berafiliasi, serta melihat peranan pertunjukan-pertunjukan musik dan agen-agen dari para musisi terhadap pembentukan ruang tersebut.8 Serupa dengan Shelemay yang menggunakan taksonomi ruang dari Chacko untuk menganalisis proses musikal imigran Ethiopia di Amerika Utara, penulis menggunakan taksonomi ruang dari

Chacko untuk menganalisis proses musikal Tricotado di Yogyakarta. Hal yang menjadi pembeda adalah Shelemay menggunakan taksonomi ruang dari Chacko untuk melihat peranan pertunjukan-pertunjukan musik dan agen-agen dari para musisi imigran

Ethiopia di Amerika Utara dalam pembentukan ruang-ruang bagi mereka, sedangkan penulis menggunakan taksonomi ruang dari Chacko untuk melihat bagaimana ruang- ruang yang ada membentuk Tricotado dalam bermusik.

7 Kay Kaufman Shelemay, “Rethinking the Urban Community: (Re)Mapping musical Processes and Places”, dalam Jennifer C. Post, ed., Ethnomusicology: A Contemporary Reader, Volume II (New York: Routledge, 2018), 199. 8 Shelemay, 200. 35

1. Institutional Places

Institutional places merupakan ruang-ruang yang bersifat kelembagaan. Beberapa lembaga seperti lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, organisasi sosial dan politik merupakan contoh dari ruang-ruang institusional. Ruang-ruang institusional memiliki fokusnya masing-masing sesuai tujuan institusi tersebut dibentuk, oleh sebab itu setiap orang yang berada di dalam sebuah institusi akan terbentuk sesuai dengan keadaan institusi tersebut.

Ruang institusional dari Tricotado didominasi oleh institusi-institusi perguruan tinggi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa mahasiswa merupakan salah satu penggerak dinamika jazz Yogyakarta, seluruh personel Tricotado pernah menjadi mahasiswa di perguruan tinggi di Yogyakarta dalam periode yang berbeda-beda. Boim adalah personel pertama Tricotado yang menempuh pendidikan perguruan tinggi pada tahun 2008 di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sanata

Dharma. Selanjutnya pada tahun 2010 Cresensia memulai pendidikan tingginya di

Jurusan Musik, Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Yosafat memulai pendidikan tingginya di Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Sanata Dharma pada tahun 2011. Neo, Yabes dan Andra pada tahun 2013 menempuh pendidikan tinggi di institusi yang sama, di Jurusan Pendidikan Seni Musik, Universitas Negeri Yogyakarta.

Meski Cresensia, Neo, Yabes dan Andra menempuh pendidikan formal di bidang musik, relatif hanya Cresensia yang menerima pendidikan formal musik jazz di Institut

Seni Indonesia Yogyakarta. Neo, Yabes dan Andra yang menempuh pendidikan di 36

Universitas Negeri Yogyakarta lebih terdidik dalam musik barat, namun bukan berarti pengetahuan terhadap musik di luar musik barat seperti jazz tidak didapati mereka.

Dalam beberapa kesempatan, Jurusan Pendidikan Seni Musik, Universitas Negeri

Yogyakarta mengadakan seminar dan kuliah umum yang berkaitan dengan jazz hingga menyelenggarakan konser jazz.

Cresensia yang mendapatkan pendidikan formal musik jazz mengaku bahwa pengetahuannya terhadap jazz dan vokal jazz sangatlah minim sebelum berkuliah di

Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Alasannya memilih berkuliah di Institut Seni

Indonesia Yogyakarta dikarenakan adanya minat utama pop-jazz yang ditawarkan oleh

Jurusan Musik, Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Merasa memiliki kemampuan vokal pop yang cukup baik, Cresensia memulai pendidikan formalnya di bidang musik.

Namun dalam perjalanannya tidak selalu berjalan dengan mudah, Cresensia sempat mengalami kesulitan ketika menghadapi pembelajaran vokal jazz, terlebih pembelajaran tersebut harus berakhir dengan diujikan. Situasi tersebut memaksa

Cresensia untuk berusaha lebih keras. Cresensia mulai berlatih vokal jazz dengan banyak mendengarkan rekaman-rekaman jazz dan menyanyikan lagu-lagu yang terdapat dalam real book9. Bermula latihan secara mandiri, lalu Cresensia mulai berlatih bersama teman satu kampus hingga tampil di beberapa acara dengan membawakan lagu-lagu jazz.

9 Buku yang berisi kumpulan-kumpulan lagu jazz beserta partiturnya. 37

Kejadian hampir serupa juga dialami oleh Neo, Yabes dan Andra yang berkuliah di Jurusan Pendidikan Seni Musik, Universitas Negeri Yogyakarta. Pengetahuan mereka terhadap jazz dapat dikatakan masih minim sebelum berkuliah. Menempuh pendidikan musik formal di perkuliahan membuat relasi mereka dengan mahasiswa lain yang memiliki ketertarikan terhadap jazz semakin luas. Melalui relasinya dengan sesama mahasiswa membuat pertukaran informasi dan pengetahuan dimungkinkan dan berakibat terhadap berkembangnya pengetahuan dan praktik-praktik dalam musik jazz.

Pembelajaran yang didapat dalam perkuliahan yang berorientasi terhadap musik barat juga membantu mereka dalam mempelajari jazz dan menerapkan berbagai teori musik ke dalam permainan mereka.

Berbeda dengan Cresensia, Neo, Yabes dan Andra yang menempuh pendidikan musik formal, Boim dan Yosafat yang menempuh pendidikan non-musik di Universitas

Sanata Dharma membangun aktivitas bermusiknya di lingkungan kampus melalui komunitas-komunitas musik dan unit-unit kegiatan mahasiswa dengan minat musik.

Meskipun tidak menyelenggarakan pendidikan formal dalam bidang musik,

Universitas Sanata Dharma memiliki komunitas yang berisikan mahasiswa-mahasiswa yang menyukai dan dapat memainkan musik jazz, yang mana komunitas tersebut bernama Sadhar Jazz. Komunitas ini aktif melakukan pertunjukan-pertunjukan musik jazz dan jam session dalam ruang lingkup Universitas Sanata Dharma. Bukan hanya

Boim dan Yosafat saja, beberapa anggota komunitas Sadhar Jazz juga aktif bermusik di luar lingkup kampus. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak hanya kampus-kampus 38

yang menyelenggarakan pendidikan musik formal saja yang berperan aktif mengembangkan jazz di Yogyakarta, kampus-kampus yang tidak menyelenggarakan pendidikan musik formal pun memiliki andil yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja.

Institusi lain di luar institusi kampus yang berperan dalam membentuk Tricotado adalah Gereja. Lingkungan gereja merupakan lingkungan yang dekat dengan beberapa personel Tricotado, yang mana Neo dan Cresensi beragama Katolik, Yabes, Boim dan

Yosafat beragama Kristen Protestan. Gereja merupakan tempat peribadatan umat

Kristen dan dalam hal peribadatan, ibadah dan musik itu sendiri tidak dapat dipisahkan.10 Ibadah-ibadah di gereja yang membutuhkan iringian musik mengharuskan gereja untuk membangun sistem pendidikan musik bagi dan antar jemaat.

Neo yang besar di keluarga yang menganut agama Katolik mendapat pendidikan musik awal dari sang ayah yang aktif dalam kegiatan musik di gereja. Melihat sang ayah yang aktif bermusik membuat minat Neo terhadap musik tumbuh secara alami.

Pada saat duduk di bangku sekolah dasar Neo memutuskan untuk belajar memainkan instrumen musik organ dari salah satu jemaat gereja. Berawal dari mempelajari organ,

Neo mulai mempelajari keyboard dan mulai bermain musik dalam beberapa kegiatan yang diselenggarakan gereja.

10 M. Hari Sasongko, “Gereja Karismatik dan Inkulturasi Musik di Dalam Sistem Ibadahnya”, Selonding,13 (13)/2018, 1916. 39

Yosafat yang tumbuh dalam keluarga Kristen juga mengenal musik dari orang tuanya yang memang aktif bermusik di gereja. Dekat dengan kehidupan musik gereja membuat minat Yosafat terhadap musik tumbuh secara alami. Melalui minat yang disertai dukungan orang tua, Yosafat mulai bermain musik di gereja sejak duduk di bangku sekolah dasar.

Kekristenan dengan musik sudah menjadi suatu kesatuan sejak dahulu, maka tidak heran jika musisi-musisi beragama Kristen memiliki kedekatan dengan musik gereja.

Dalam kasus Tricotado, para personel yang beragama Kristen hingga saat ini masih bermain musik dalam peribadatan maupun beberapa kegiatan yang diselenggarakan oleh gereja.

2. Sociocommerscapes

Sociocommerscapes merupakan ruang-ruang pertemuan yang didasarkan pada kepentingan komersil. Ruang ini dimaksud sebagai tempat-tempat komersial yang memproduksi dan memperjualbelikan sebuah produk berupa barang. Beberapa tempat- tempat komersil tersebut memiliki keterkaitan dengan musik, baik menampilkan pertunjukan musik sebagai sebuah hiburan maupun memperjualbelikan produk-produk yang berkaitan dengan musik, seperti instrumen musik, album musik dan lainnya.

Ruang sociocommerscapes Tricotado didominasi dengan tempat-tempat yang menampilkan pertunjukan musik seperti hotel, pusat perbelanjaan, klub musik dan kafe. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa selain menjadi kota pendidikan dan 40

budaya, Yogyakarta juga merupakan salah satu destinasi wisata paling dikenal di

Indonesia. Dengan status sebagai salah satu destinasi wisata dengan aktivitas yang ramai, banyak tempat seperti hotel, pusat perbelanjaan, restoran dan kafe menyediakan hiburan berupa pertunjukan musik. Banyak musisi jazz Yogyakarta yang ambil bagian dalam hal ini, mereka tidak hanya memainkan lagu-lagu jazz, tapi juga memainkan musik pop, rock, blues, rock and blues, top 4011 dan lainnya. Bahkan tidak sedikit dari musisi jazz Yogyakarta yang pendapatan utamanya berasal dari penampilan- penampilan regulernya di hotel, mall, klub dan kafe.

Melalui penampilan-penampilan tersebut, bukan hanya pendapatan berupa uang saja yang didapat, namun relasi dengan musisi-musisi lain menjadi lebih luas.

Pertemuan Cresensia dan Neo pertama kali terjadi pada tahun 2014 saat bermusik bersama di sebuah kafe. Cresensia pada awalnya merupakan vokalis dari tim yang dibentuk oleh Danny Eriawan untuk bermain reguler dan membawakan lagu-lagu jazz.

Saat tim bentukan Danny harus kehilangan pemain keyboard, Danny mengajak Neo untuk bergabung ke dalam timnya. Berawal dari tim bentukan Danny inilah Cresensia sebagai vokalis dan Neo sebagai keyboardis mulai saling mengenal dan bermusik bersama secara reguler.

Terhitung dari terbentuknya Tricotado pada tahun 2015 hingga saat ini, para personel Tricotado aktif bermusik secara reguler di hotel, klub dan kafe. Musik yang

11 Merupakan istilah dalam industri musik yang merujuk pada 40 rekaman lagu yang paling banyak didengar pada periode tertentu. 41

dimainkan pun tidak terbatas pada jazz, namun juga memainkan musik pop, blues, rock and blues hingga keroncong. Pada penampilannya di hotel, klub dan kafe, para personel

Tricotado biasanya bermain secara terpisah dengan membentuk sebuah tim baru dengan musisi-musisi Yogyakarta lainnya. Beberapa diantaranya Cresensia dan Neo yang memainkan jazz, Cresensia dan Andra yang memainkan keroncong, Neo, Yabes dan Boim yang memainkan musik rock and blues. Setiap personel Tricotado juga secara perseorangan tergabung dengan beberapa grup musik di Yogyakarta yang memainkan musik di hotel, klub maupun kafe.

3. Arenas and Transiental Places

Arenas and traniental places merupakan ruang-ruang yang digunakan berulang oleh sebuah komunitas, namun tidak memiliki penanda-penanda khusus yang identik dengan komunitas tersebut. Sebagai sebuah contoh adalah Gedung Bentara Budaya

Yogyakarta yang awalnya ditujukan untuk menampilkan produk-produk seni rupa seperti lukisan dan keramik, namun dijadikan tempat oleh Komunitas Jazz Mben Senen untuk melakukan kegiatan bermusik setiap hari Senin malam.12

Dalam ruang-ruang ini, Jazz Mben Senen dan Ngayogjazz memiliki peranan penting. Jazz Mben Senen yang digambarkan sebagai ‘rumah’ adalah ruang dimana

Tricotado ditempa sebagai sebuah band. Para personel hingga tim manajemen yang membantu Tricotado adalah orang-orang yang aktif dalam kegiatan Jazz Mben Senen.

12 http://www.bentarabudaya.com/profil/bentara-budaya-yogyakarta, akses 10 Januari 2021. 42

Lewat kegiatan seperti jam session terbuka dan sharing session, para personel

Tricotado banyak mendapatkan pemahaman-pemahaman tentang jazz.

Jazz Mben Senen adalah sebuah acara jazz yang diinisiasi oleh Djaduk Ferianto dan Danny Eriawan yang merupakan pimpinan komunitas Samirono. Berkat bantuan

Romo Sindhunata, Jazz Mben Senen pertama kali terselenggara di Bentara Budaya

Yogyakarta pada tahun 2009. Pada perjalanannya, Jazz Mben Senen bukan hanya acara jazz yang diselenggarakan secara reguler setiap Senin malam, namun para anggotanya sering melakukan kegiatan bersama di luar acara Jazz Mben Senen. Keunggulan yang terdapat dalam Jazz Mben Senen adalah gagasan jam session terbuka, dimana setiap orang yang datang bisa ikut serta, tidak terkecuali bagi mereka yang baru pertama kali datang ataupun pertama kali memainkan musik jazz.

Neo, dalam ceritanya dengan penulis menggambarkan pengalaman pertamanya saat jam session di Jazz Mben Senen sebagai pengalaman yang berkesan. Pada tahun

2014, dengan rasa ingin tahu Neo menghadiri acara Jazz Mben Senen. Saat itu praktis tidak banyak yang Neo ketahui tentang jazz, namun saat diadakan jam session yang mana siapapun dapat ikut serta, Neo memberanikan diri untuk memainkan keyboard dan ikut ngejam. Sudah dapat dipastikan bahwa jam session tersebut tidak berjalan dengan baik, namun dari peristiwa ini Neo semakin memiliki niat untuk mempelajari 43

jazz lebih jauh. Dari saat itulah Neo memulai perjalanannya di Jazz Mben Senen dan terus aktif hingga saat ini.13

Cerita yang hampir serupa dari pengalaman Neo dengan Jazz Mben Senen juga dialami oleh Yabes, Yosafat dan Andra. Cerita unik terjadi ketika Neo yang sudah terlebih dahulu mengenal Andra dari perkuliahan, menyarankan Andra yang saat itu belum lama belajar memainkan kendang Sunda untuk membawa kendangnya saat jam session di Jazz Mben Senen. Dengan mengikuti saran dari Neo, Andra datang ke acara

Jazz Mben Senen membawa kendangnya dan memainkannya saat jam session. Sejak saat itu Andra dikenal sebagai pemain kendang Sunda oleh anggota komunitas Jazz

Mben Senen.

Pengalaman dari Neo, Yabes, Yosafat dan Andra dengan Jazz Mben Senen belum tentu dapat terjadi dalam komunitas-komunitas jazz lain. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan dalam Jazz Mben Senen terdapat sebuah sesi dimana setiap orang dapat berpartisipasi dalam jam session tanpa melihat latar belakang musikalnya. Apresiasi dari para anggota dan penonton Jazz Mben Senen juga memiliki peran tersendiri. Tidak sedikit dari anggota dan penonton Jazz Mben Senen yang memiliki minat terhadap musik-musik di luar jazz, bahkan beberapa di antaranya tidak dapat memainkan musik sama sekali.

13 Wawancara dengan Neo, tanggal 8 Nopember 2020, diizinkan untuk dikutip. 44

Selain Jazz Mben Senen, Ngayogjazz yang merupakan salah satu festival musik jazz besar di Indonesia juga memiliki peran besar terhadap Tricotado. Penampilan pertama Tricotado sebagai sebuah grup terjadi dalam penyelenggaraan Ngayogjazz

2015 sebagai perwakilah dari komunitas Jazz Mben Senen. Sejak penampilannya yang pertama, Tricotado selalu tampil pada tiap penyelenggaraan Ngayogjazz, hingga yang terbaru terjadi dalam penyelenggaraan Ngayogjazz 2020 pada tanggal 21 November

2020 yang disiarkan secara daring.

Sebagai sebuah band yang masih terhitung baru, tampilnya Tricotado dalam festival musik sebesar Ngayogjazz selama 6 tahun terakhir merupakan sebuah prestasi tersendiri. Fokus Ngayogjazz terhadap perkembangan musisi muda lokal dan pembentukan wacana jazz yang lebih merakyat merupakan alasan dari keikutsertaan

Tricotado selama 6 tahun berturut-turut.

4. Intangible Places

Intangible places merupakan ruang-ruang seperti situs internet, stasiun radio dan televisi, rekaman musik, dan berbagai media lain. Pada umumya ruang ini merupakan media yang memuat berbagai macam informasi.

Dewasa ini internet banyak memberi pengaruh terhadap berbagai hal, terutama pengaruh terhadap musik dan para musisi. Tidak dapat disangkal bahwa para musisi jazz muda saat ini dimudahkan dengan adanya berbagai sumber mengenai jazz yang dapat dengan mudah diakses dengan internet. Rekaman-rekaman audio dan 45

pertunjukan-pertunjukan musik dari para maestro jazz Amerika dapat ditemui dengan mudah di Youtube. Tidak terkecuali dengan para personel Tricotado, mereka juga dimudahkan untuk mengakses informasi sebanyak-banyaknya melalui internet.

Andra bercerita mengenai betapa kebingungannya sebagai pemain kendang Sunda yang masuk menjadi anggota band jazz. Dengan keberadaan internet, Andra mulai mencari referensi-referensi dimana kendang Sunda dimainkan dalam musik jazz.

Pencarian tersebut berbuah hasil ketika Andra mengetahui salah satu pemain kendang

Sunda yang bernama Endang Ramdan yang bermain dalam proyek musik dari seorang gitaris jazz Indonesia, Tohpati.14

B. Proses Musikal Tricotado

Pembahasan proses musikal Tricotado selanjutnya berkaitan dengan praktik musikal dari Tricotado. Salah satu praktik musikal dari Tricotado yang akan dianalisis adalah penampilannya dalam Lekasan Ngayogjazz 2020. Setelah melihat bagaimana

Tricotado terbentuk dan bermusik melalui analisis terhadap latar sosialnya, maka analisa terhadap penampilan Tricotado dalam Lekasan Ngayogjazz 2020 merupakan akibat dari sebab-sebab yang terdapat dalam analisis latar sosial. Dalam pembahasan ini hanya akan membahas repertoar pertama yang ditampilkan oleh Tricotado dalam

14 Wawancara dengan Andra, tanggal 17 November 2020, diizinkan untuk dikutip. 46

Lekasan Ngayogjazz 2020. Penampilan Tricotado bertempat di gedung Citraweb pada tanggal 26 Oktober 2020 dan disiarkan secara langsung melalui platform Youtube.

Analisis dalam repertoar akan tertuju pada inner time sebagaimana dimaksud oleh

Alfred Schutz. Inner timne dapat dilihat sebagai kualitas dari pengalaman dalam proses musikal. Hal penting yang terdapat dalam inner time adalah mutual tuning-in relationship dan experience of the “We”.15 Pembahasan lebih jauh mengenai inner time akan dijelaskan dalam cara Tricotado menyajikan repertoarnya dan cara Tricotado membangun improvisasi.

1. Mempersiapkan Repertoar

Dalam hampir segala kegiatan yang dilakukan oleh Tricotado sebagai sebuah band diatur oleh seorang manajer yang bernama Deasy Maria. Perkenalan para personel

Tricotado dengan Deasy sudah dimulai sebelum Tricotado terbentuk, karena Deasy juga merupakan anggota komunitas Jazz Mben Senen dan aktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan yang diadakan oleh komunitas. Oleh karena itu hubungan para personel Tricotado dengan Deasy yang sudah terjalin sejak awal memunculkan hubungan yang saling percaya satu sama lain, sehingga pihak lain yang berkepentingan dengan Tricotado diharuskan melalui sepengetahuan manajer.16

15 Alfred Schutz, “Making Music Together: A Study in Social Relationship”, dalam Social Research, Vol. 18 No. 1/1951, 92. 16 Wawancara dengan Deasy Maria, tanggal 22 September 2020, diizinkan untuk dikutip. 47

Pada Lekasan Ngayogjazz 2020 seri keempat terdapat 3 penampil yang seluruhnya merupakan bagian dari komunitas Jazz Mben Senen. Penampilan Tricotado dalam

Lekasan Ngayogjazz 2020 merupakan bagian dari Tricotado sebagai salah satu band yang terbentuk melalui Komunitas Jazz Mben Senen. Repertoar yang ditampilkan oleh

Tricotado yang memuat unsur-unsur lokalitas merepresentasikan salah satu ciri yang dimiliki oleh komunitas Jazz Mben Senen yang juga memuat unsur-unsur lokalitas.

2. Menentukan Repertoar

Dalam berbagai penampilannya, Tricotado biasa menampilkan 2 jenis repertoar.

Repertoar pertama adalah lagu-lagu yang diciptakan oleh Tricotado sendiri. Repertoar kedua adalah lagu-lagu karya orang lain yang diaransemen kembali. Dalam Lekasan

Ngayogjazz 2020, Tricotado menampilkan repertoar yang merupakan lagu-lagu yang diciptakan oleh Tricotado sendiri.17

Tricotado tampil membawakan 2 repertoar pada Lekasan Ngayogjazz 2020 seri keempat. Pada repertoar pertama, Tricotado menampilkan 4 lagu dengan judul Lencana

Pagi, Singgahi Malam, Tembang Hujan dan Candu Kenangan yang dibawakan secara medley. Repertoar kedua, Tricotado menampilkan lagunya yang berjudul Bulan Sabit.

Seluruh lagu yang dibawakan adalah lagu-lagu yang pernah direkam dan dirilis oleh

Tricotado. Candu Kenangan merupakan single yang dikeluarkan oleh Tricotado pada

17 Wawancara dengan Yabes, tanggal 17 November 2020, diizinkan untuk dikutip. 48

tahun 2018, sementara Lencana Pagi, Singgahi Malam, Tembang Hujan dan Bulan

Sabit adalah lagu-lagu dari album pertama.

3. Menyajikan Repertoar

Pada setiap penampilannya yang membawakan lagu-lagu ciptaan sendiri,

Tricotado tidak pernah berpretensi untuk menampilkan lagu tersebut sama persis dengan apa yang ada di rekaman, tidak terkecuali dalam penampilannya di Lekasan

Ngayogjazz 2020. Apa yang terdapat dalam rekaman hanya dijadikan dasar untuk diaransemen kembali. Berdasarkan prinsip tersebut dan juga waktu yang tidak panjang yang diberikan oleh panitia penyelenggara, muncullah ide untuk membawakan 4 lagu yang dimainkan secara medley dalam repertoar pertama.

Kebiasaan untuk menampilkan lagu dengan cara berbeda itu sendiri merupakan kebiasaan yang dibangun oleh Tricotado berdasarkan pengalamannya dalam Jazz

Mben Senen. Terlebih lagi dengan ketidakhadiran Yosafat sebagai pemain drum mengharuskan Tricotado tampil sebaik mungkin dengan kekurangannya. Sebagai band yang dekat dengan para anggota komunitas Jazz Mben Senen mudah saja bagi

Tricotado untuk mencari seorang pemain drum pengganti, namun hal tersebut tidak dilakukan. Bermain dengan pemain drum pengganti tidak menjamin penampilan

Tricotado menjadi lebih baik, dikarenakan akan ada jarak yang sangat jauh antara pemahaman pemain drum pengganti dengan personel Tricotado terhadap lagu yang dimainkan. Pemahaman para personel Tricotado terhadap lagu yang dibawakan melalui pengalamannya sejak proses penggarapan, rekaman hingga ditampilkan 49

berkali-kali tentu akan berbeda dengan pemahaman orang lain saat memainkannya.

Apa yang dilihat dari tindakan Tricotado tersebut adalah apa yang dikatakan Schutz sebagai experience of the “We”.

Gambar 1. Penampilan Tricotado dalam Lekasan Ngayogjazz 2020

50

4. Membangun Improvisasi

Dalam repertoar pertama yang ditampilkan oleh Tricotado terdapat 2 bagian yang dikhususkan untuk berimprovisasi. Bagian pertama terdapat dalam lagu Tembang

Hujan yang diisi oleh solo bass dan solo keyboard. Bagian kedua terdapat dalam lagu

Candu Kenangan yang diisi oleh solo gitar, solo kendang Sunda dan solo vokal. Bagian khusus dalam sebuah komposisi musik yang ditujukan untuk berimprovisasi adalah ciri khas dari komposisi musik jazz. Bagian ini dapat dibangun melalui berbagai cara. Cara paling umum yang digunakan adalah menggunakan chord progression yang sudah ada dalam tema lagu. Hal tersebut dimaksudkan agar terdapat kesinambungan antara tema lagu dengan improvisasi. Berbeda dengan cara yang umum digunakan, Tricotado tidak menggunakan chord progression yang terdapat dalam tema lagu melainkan membuat progresi akor baru dengan tujuan menampilkan interpretasi baru terhadap lagu melalui improvisasi.

Pada bagian improvisasi dalam lagu Tembang Hujan dimulai dengan solo bass.

Dalam permainan solo bass belum menunjukkan interpretasi yang berbeda dari tema lagu. Interpretasi baru muncul menjelang peralihan darri solo bass menuju solo keyboard ketika bass yang selama sepanjang lagu tidak merespons permainan kendang

Sunda mulai merespons pola kendang Sunda menjelang akhir permainan solonya.

Respons dari bass terhadap kendang Sunda mengakibatkan gitar juga ikut merespons.

Saling respons antara bass, kendang Sunda dan gitar membangun suasana baru yang lebih ‘riang’ sehingga permainan solo keyboard menjadi lebih atraktif. 51

Serupa dengan bagian improvisasi dalam lagu Tembang Hujan, bagian improvisasi dalam lagu Candu Kenangan juga dibangun dengan chord progression yang berbeda dengan chord progression yang terdapat dalam tema lagu. Progresi akor dibuat ascending dengan maksud membuat tensi dalam berimprovisasi semakin lama menjadi semakin tinggi. Improvisasi dimulai dengan permainan solo gitar yang dilanjutkan dengan solo kendang Sunda dan kemudian solo vokal. Tensi dalam improvisasi memuncak pada saat solo vokal menjadi semakin ‘liar; dan direspon oleh kendang

Sunda.

Apa yang ditunjukkan dalam improvisasi dalam repertoar pertama menunjukkan komunikasi yang baik antara satu pemain dengan pemain lainnya. Perencanaan yang sudah dibangun sebelumnya tidak mungkin dapat berjalan sesuai apa yang direncanakan tanpa komunikasi yang baik antar pemain. Aspek komunikatif ini disebut

Schutz sebagai mutual tuning-in relationship.

C. Bentuk dan Pemilihan Materi Repertoar Tricotado

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam penampilannya di Lekasan

Ngayogjazz, Tricotado menampilkan 2 repertoar. Pada repertoar pertama, Tricotado menampilkan 4 lagu dengan judul Lencana Pagi, Singgahi Malam, Tembang Hujan dan Candu Kenangan yang dibawakan secara medley. Repertoar kedua, Tricotado 52

menampilkan lagunya yang berjudul Bulan Sabit. Pada pembahasan selanjutnya akan difokuskan kepada repertoar pertama. Berikut adalah struktur repertoar pertama.18

URUTAN BAGIAN/LAGU DURASI PENJELASAN 1 introduction 16 bar 2 Lencana Pagi 15 bar Hanya dimainkan bagian chorus 3 Singgahi Malam 17 bar Hanya dimainkan bagian chorus 4 Tembang Hujan 129 bar Dimainkan utuh 5 Candu Kenangan 105 bar Dimainkan utuh Tabel 2. Struktur repertoar pertama

1. Materi Repertoar Tricotado

Pada bagian ini akan dibahas keempat lagu yang terdapat dalam repertoar pertama.

Keempat lagu tersebut adalah Lencana Pagi, Singgahi Malam, Tembang Hujan dan

Candu Kenangan. a. Lagu Pertama

Lagu pertama dari repertoar pertama berjudul Lencana Pagi. Ide awal pembuatan lagu ini muncul dari Boim, lalu dilanjutkan pembuatan liriknya oleh Neo dan aransemen musik dikerjakan secara bersama-sama. Lagu ini tidak ditampilkan secara utuh dan hanya menampilkan bagian chorus saja.

18 Full score repertoar pertama dapat dilihat pada lampiran. 53

Notasi 1. Bagian Lagu Lencana Pagi dalam repertoar pertama b. Lagu Kedua

Lagu kedua dari repertoar pertama berjudul Singgahi Malam. Ide awal pembuatan lagu ini muncul dari Andra, lalu dilanjutkan pengerjaan aransemen musik secara bersama-sama. Lagu ini tidak ditampilkan secara utuh dan hanya menampilkan bagian chorus saja. 54

Notasi 2. Lagu Singgahi Malam dalam repertoar pertama c. Lagu Ketiga

Lagu ketiga dari repertoar pertama berjudul Tembang Hujan. Ide awal pembuatan lagu ini muncul dari Yabes, lalu dilanjutkan pengerjaan aransemen musik secara bersama-sama. Lagu ini ditampilkan secara utuh, namun tidak sama dengan yang ada dalam rekaman album. 55

56

57

58

Notasi 3. Lagu Tembang Hujan dalam repertoar pertama d. Lagu Keempat

Lagu keempat dari repertoar pertama berjudul Candu Kenangan. Ide awal pembuatan lagu ini muncul dari Neo, lalu dilanjutkan pengerjaan aransemen musik secara bersama-sama. Lagu ini ditampilkan secara utuh, namun tidak sama dengan yang ada dalam rekaman album.

59

60

61

Notasi 4. Lagu Candu Kenangan dalam repertoar pertama

62

2. Analisis Musikal Repertoar Tricotado

Analisis musikal terhadap lagu-lagu yang ditampilkan dalam repertoar pertama

Tricotado akan terbatas pada hal-hal yang telah dibahas dan berhubungan dengan proses musikal Tricotado. Di samping itu juga bukan tujuan penulis untuk membahas bentuk musik secara mendetail seperti yang dilakukan dalam musikologi. a. Unsur-unsur Musikal

Dalam lagu yang dianalisis, unsur-unsur musik Indonesia dapat dilihat dari beberapa aspek, seperti lirik, penggunaan tangga nada, irama dan tehnik. Keberadaan kendang Sunda itu sendiri pada dasarnya sudah memberikan kesan khas Indonesia yang cukup kuat, terlepas dari bagaimana kendang Sunda itu dimainkan. Pada kenyataannya musisi jazz seperti para personel Tricotado memiliki referensi dan pengalaman musik yang sangat beragam. Sejak usia dini personel Tricotado dekat dengan berbagai jenis musik, entah itu musik rakyat, musik etnis ataupun musik tradisi Indonesia.

Pengalaman-pengalaman tersebut tentunya tidak begitu saja dapat ditinggalkan saat membuat atau menampilkan musik jazz.

Unsur khas Indonesia alam lagu Singgahi Malam versi rekaman yang terdapat dalam album Cakrawala terlihat jelas pada bagian chorus dan solo gitar. Bagian chorus dibuat dengan memasukkan unsur-unsur musik Sunda. Irama yang dimainkan berfokus pada pola-pola permainan kendang Sunda dan digunakan tangga nada salendro pada 63

sistem nada daminatila yang diadaptasi ke dalam sistem nada diatonis. Sementara dalam bagian solo gitar dimainkan irama dangdut.

Notasi 5. Tangga nada salendro dalam sistem nada diatonis

Notasi 6. Chorus Singgahi Malam

Unsur-unsur khas Indonesia dalam lagu Tembang Hujan dapat dilihat dari pemilihan kata ‘tembang’ yang terdapat dalam judul lagu. Istilah ‘tembang’ biasa digunakan dalam karawitan yang merupakan nyanyian dengan teknik khusus menggunakan tangga nada pelog atau slendro. Hal tersebut dipraktikkan dalam bagian chorus dengan cara menginterpretasi cara seorang sinden19 melantunkan tembang.

19 Sebutan bagi penyanyi dalam karawitan. 64

Notasi 7. Chorus Tembang Hujan b. Struktur Lagu

Dalam menganalisis struktur musik dari keempat lagu yang terdapat dalam repertoar pertama, penulis akan menggunakan pendekatan dari struktur musik pop dan jazz. Dalam struktur musik pop terdapat bagian-bagian seperti introduction, verse, prechorus, chorus, postchorus dan bridge.20 Berbeda dengan musik pop, struktur dalam musik jazz terdiri dari beberapa bagian seperti pendahuluan (introduction), tema utama (main themes), pengembangan tema (development of main themes), transisi

(transitions), tema baru (re-statement of themes) dan penutup (ending).21

Dalam analisis struktur lagu Tembang Hujan dan Candu Kenangan, penulis akan menganalisis dari apa yang ditampilkan dalam Lekasan Ngayogjazz 2020. Sementara untuk dua lagu lain, Lencana Pagi dari penampilan Tricotado dalam Solo City Jazz

20 http://openmusictheory.com/popRockForm.html, akses 27 Desember 2020. 21 Bert Ligon, Jazz Theory Resources Volume 2 (Houston: Houston Publishing, 2001), 482. 65

2019 dan Singgahi Malam dari hasil rekaman yang terdapat dalam album Cakrawala.

Hal tersebut dilakukan dengan alasan bahwa lagu Lencana Pagi dan Singgahi Malam yang ditampilkan dalam Lekasan Ngayogjazz 2020 hanya memainkan bagian chorus saja, sehingga sulit untuk menganalisis struktur lagu keduanya.

URUTAN BAGIAN PENJELASAN I pendahuluan introduction Dimainkan sepanjang 4 bar. Dimainkan sepanjang 12 bar yang II verse 1 terdiri dari sebuah tema sepanjang 6 bar yang dimainkan 2 kali. III prechorus Dimainkan sepanjang 2 bar. Dimainkan sepanjang 8 bar dan tema utama IV chorus diakhiri dengan break22 sepanjang 1 bar. Dimainkan sepanjang 4 bar dan V postchorus diakhiri dengan break sepanjang 1 bar. Dimainkan sepanjang 8 bar dengan VI transisi transisition 1 solo gitar. Memainkan tema dari verse 1 VII verse 2 sepanjang 6 bar tanpa pengembangan pengulangan. tema utama Sama dengan prechorus VIII prechorus sebelumnya. IX chorus Sama dengan chorus sebelumnya. X tema baru improvisation Solo keyboard

22 Istilah dalam jazz yang berarti bagian solo yang diimprovisasi. 66

Dimainkan sepanjang 4 bar yang XI pengembangan transition 2 terdiri dari 2 bar terakhir verse 1 tema utama dan 2 bar dari prechorus. XII chorus Sama dengan chorus sebelumnya. Dimainkan sepanjang 20 bar yang terdiri dari chorus dan postchorus XIII penutup ending yang dimainkan dengang cara berbeda. Tabel 3. Struktur lagu Lencana Pagi

URUTAN BAGIAN PENJELASAN Dimainkan sepanjang 24 bar yang I pembuka introduction diawali dengan solo kendang Sunda. II verse Dimainkan sepanjang 14 bar. III tema utama prechorus Dimainkan sepanjang 4 bar. IV chorus Dimainkan sepanjang 16 bar. Dimainkan sepanjang 8 bar yang V transisi transition diambil dari 8 bar terakhir bagian introduction. VI verse Sama dengan verse sebelumnya. Sama dengan prechorus VII tema utama prechorus sebelumnya. VIII chorus Sama dengan chorus sebelumnya. Solo kendang Sunda, vokal, gitar IX tema baru improvisation dan drum. 67

Sama dengan transition X transisi transition sebelumnya. XI verse Sama dengan verse sebelumnya. Sama dengan prechorus XII tema utama prechorus sebelumnya. XIII chorus Sama dengan chorus sebelumnya. XIII penutup ending Pengulangan dari chorus terakhir. Tabel 4. Struktur lagu Singgahi Malam

URUTAN BAGIAN PENJELASAN I pembuka introduction Dimainkan sepanjang 8 bar. II verse 1 Dimainkan sepanjang 16 bar. tema utama III chorus 1 Dimainkan sepanjang 16 bar. pengembangan Dimainkan sepanjang 8 bar yang IV verse 2 tema utama diambil dari 8 bar terakhir verse 1. V tema baru improvisation Solo bass dan keyboard. Dimainkan sepanjang 32 bar yang pengembangan VI chorus 2 terdiri dari 16 bar chorus 1 dan 16 tema utama bar chorus 1 yang diimprovisasi. VII penutup ending Sama dengan verse 2. Tabel 5. Struktur lagu Tembang Hujan

URUTAN PENJELASAN BAGIAN I pembuka introduction Dimainkan sepanjang 4 bar. II tema utama verse Dimainkan sepanjang 8 bar. 68

III transisi transition Sama seperti introduction. IV verse Sama dengan verse sebelumnya. Pengembangan V chorus 1 Dimainkan sepanjang 9 bar tema utama VI verse Sama dengan verse sebelumnya. Solo gitar, kendang Sunda dan VII tema baru improvisation vokal. VIII penutup ending Dimainkan sepanjang 17 bar. Tabel 6. Struktur lagu Candu Kenangan

Sesuai dengan apa yang dipaparkan dalam tabel di atas, struktur dari lagu-lagu

Tricotado berbeda satu dengan yang lainnya. Struktur lagu-lagu Tricotado terpengaruh dari struktur lagu pop dan jazz.23 Pengembangan yang dilakukan oleh Tricotado dalam membentuk struktur lagu tidak terlepas dari pengalaman setiap personel yang biasa memainkan berbagai genre musik yang teraplikasi saat proses pembuatan musik.

Keberadaan musik indie yang banyak mempengaruhi anak-anak muda Yogyakarta juga berpengaruh terhadap lagu-lagu Tricotado yang memiliki struktur lagu yang lebih fleksibel.24 c. Analisis Lirik

Bahasa yang digunakan dalam membuat lirik adalah bahasa Indonesia. Sepintas tidak ada yang istimewa dalam pemilihan bahasa Indonesia, namun pemilihan bahasa

Indonesia dalam membuat lirik dapat berakibat pada cara pandang terhadap Tricotado

23 Wawancara dengan Yabes, tanggal 17 November 2020, diizinkan untuk dikutip. 24 Wisma Tegar Septian dan Grendi Hendrastomo, “Musik Indie Sebagai Identitas Anak Muda di Yogyakarta”, dalam E-Societas, Vol. 8 No. 7/2019, 2. 69

dan karya-karyanya berbeda dibandingkan memilih bahasa-bahasa lain seperti bahasa

Inggris, bahasa Jawa atau bahasa Sunda. Penggunaan bahasa Inggris dalam membuat lirik banyak dipraktikkan oleh musisi-musisi muda dewasa ini, entah sekedar alasan estetis, memiliki kesan kekinian ataupun dengan harapan lirik dari lagu dapat dipahami oleh lebih banyak pendengar dari berbagai negara. Penggunaan bahasa daerah seperti bahasa Jawa juga banyak dipraktikkan oleh musisi-musisi Yogyakarta yang menggabungkan unsur-unsur lokal ke dalam genre-genre musik yang sudah dikenal secara mengglobal seperti musik jazz, hip hop dan metal.

Pemilihan bahasa Indonesia oleh Tricotado dalam membuat lirik berkaitan dengan bagaimana Tricotado membentuk identitasnya. Dibandingkan menggunakan bahasa asing seperti bahasa Inggris, penggunaan bahasa Indonesia memperlihatkan rasa nasionalisme dan rasa bangga terhadap kebudayaan Indonesia. Memainkan genre musik jazz yang notabene berasal dari Amerika Serikat tidak lantas membuat Tricotado mencoba bermusik sama persis dengan cara musisi jazz Amerika Serikat bermain, melainkan coba mengaktualisasikan dirinya sebagai orang Indonesia yang bangga terhadap budayanya sendiri dalam menghadapi produk-produk budaya global.

Perihal mengapa bahasa Jawa tidak digunakan dalam lirik lagu-lagu Tricotado juga mempunyai alasan tersendiri. Dalam beberapa penampilannya di Jazz Mben

Senen, Tricotado pernah menampilkan lagu dengan lirik bahasa Jawa. Dalam peringatan hari ulang tahun Jazz Mben Senen yang kesepuluh pada tanggal 17 Februari

2020, Tricotado membawakan lagu rakyat Jawa yang berjudul Gambang Suling yang 70

diaransemen ulang serta karya John Coltrane dengan judul Mr. P.C. yang diaransemen ulang dan memasukkan lirik berbahasa Jawa. Hal tersebut menunjukkan bahwa bahasa

Jawa bukanlah bahasa yang asing bagi Tricotado, terlebih Tricotado terbentuk dalam masyarakat Yogyakarta yang berbahasa Jawa dan sebagian besar personel Tricotado adalah orang Jawa. Dibandingkan bahasa Jawa, bahasa Indonesia yang digunakan dalam lagu-lagu Tricotado membuat lagu-lagu tersebut dapat lebih mudah diperdengarkan dan dipahami oleh masyarakat Indonesia yang lebih luas. Hal tersebut selaras dengan harapan Tricotado yang ingin musiknya didengar dan dilihat oleh masyarakat Indonesia yang multietnik.

Lagu pertama dari rangkaian lagu yang ditampilkan dalam repertoar pertama berjudul Lencana Pagi yang liriknya ditulis oleh Neo. Secara garis besar lagu ini mengisahkan kelahiran seorang anak, sesuai apa yang dinyatakan oleh Tricotado dalam

Lekasan Ngayogjazz 2020. Lebih jauh lagi, lagu ini mengisahkan Yesus Kristus yang merupakan Tuhan bagi umat Kristen. Pengisahan tersebut dapat lebih jelas terlihat pada bagian chorus. Frasa ‘anak manusia’ dalam chorus merupakan frasa yang tidak asing bagi umat Kristen, yang mana dalam beberapa teks di Alkitab, frasa ‘Anak Manusia’ merujuk pada diri Yesus Kristus. Bagian chorus juga dilihat sebagai iman umat Kristen terhadap Yesus Kristus yang telah menderita untuk menyelamatkan umat manusia.

Berikut adalah lirik dari lagu Lencana Pagi:

Gelap menggeraga Sinar terlenyap Sadar penuh harap 71

Peluh terlelap Rintih mengaduh Pagi membisu

Lari penuh raba Seru meminta Berkerumun iba Bertegur sapa Jerit terlantun Sakit terpaku Berjuang tuk lihat sinarMu

Bersama sang surya menyapa Datang seorang anak manusia Doa terlambung tiada henti Dunia kelak kan beri arti Derita, nestapa Kelam kau sulam tuk menjadi lencana pagi

Lagu kedua dari rangkaian lagu yang ditampilkan dalam repertoar pertama berjudul Singgahi Malam yang liriknya ditulis oleh Andra. Lagu ini mengisahkan pengalaman pribadi Andra dalam pembelajaran musiknya di Yogyakarta. Lebih spesifik lagi, lagu ini menggambarkan pengalaman Andra selama bermusik di berbagai tempat, salah satunya Jazz Mben Senen yang mana diselenggarakan di waktu malam.

Berikut adalah lirik lagu Singgahi Malam:

Gundah membelenggu Cakrawala menderu Ku ingin singgahi Seru ragu tiada henti

Dan ku telah larut dalam bunyi yang kudengar Canda nada selimuti malam Di sana kutabur tabuh nada penuh harap Terbitlah asa tenggelam luka

72

Lagu ketiga dari rangkaian lagu yang ditampilkan dalam repertoar pertama berjudul Tembang Hujan yang liriknya ditulis oleh Yabes. Lagu ini merupakan refleksi saat hujan dan tidak bermaksud memberi makna-makna lain yang tersembunyi dalam kata-kata kiasan. Apa yang diceritakan dalam lagu ini adalah seseorang yang melantunkan tembang25 di saat hujan. Berikut adalah lirik lagu Tembang Hujan:

Senja itu turun hujan Berderaikan tawa Daun pohon Tanah basah Dan ku pun bernyanyi

Uuu uuuuu uuuuu Uuu uuuu uu Uuu uuuuu uuuuu Uuu uuuu uu

Kini hujan sudah reda dan ku trus bernyanyi

Lagu keempat dari rangkaian lagu yang ditampilkan dalam repertoar pertama berjudul

Candu Kenangan yang liriknya ditulis oleh Neo. Dibandingkan dengan 3 lagu terdahulu, lagu ini memiliki tema yang lebih populer. Lagu ini bertemakan percintaan yang mengisahkan rasa rindu seseorang terhadap kekasihnya yang telah pergi. Berikut adalah lirik lagu Candu Kenangan:

Beranjak tanpa ragu JinggaNya pun tlah sayu Akal sudah tak tentu Sepeda pun memandu

25 Nyanyian dengan menggunakan tangga nada pelog atau slendro. 73

Satu kutuju Hanya rautmu Hari berlalu Pun kau hanya lamunku

Beranjak penuh ragu JinggaNya bersamamu Akal sudah tak tentu Kenangan pun memandu

Tema, gaya bahasa dan diksi yang ada dalam lirik keempat lagu yang dibahas memiliki keterkaitan dengan latar sosial dari Tricotado. Walaupun terdapat keinginan untuk dapat didengar oleh masyarakat luas, lirik dalam lagu-lagu Tricotado tidak serta merta dibuat seperti lirik dalam lagu-lagu pop. Sebagai anak muda Yogyakarta, pengaruh dari musik indie yang memang dekat dengan anak muda dan dunia kampus terlihat dalam lirik-lirik lagu Tricotado.26 Lirik lagu dibuat menjadi lebih puitis dengan menggunakan banyak metafora-metafora. Penggunaan istilah ‘senja’ dalam lagu

Tembang Hujan merupakan pengaruh dari musik indie yang dapat dilihat dengan jelas.

Istilah ‘senja’ sendiri sering digunakan dalam industri musik indie, bahkan para musisi dan penikmat musik indie sering kali disebut sebagai ‘anak senja’.

26 Septian dan Hendrastomo, 2. 74

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan proses musikal yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan Tricotado tidak terlepas dari kondisi Yogyakarta kekinian sebagai latar sosialnya. Ruang-ruang yang ada di Yogyakarta kekinian memungkinkan musisi-musisi muda seperti para personel Tricotado bereksperimen dengan musik jazz yang memuat unsur-unsur lokalitas. Sehubungan dengan itu, perjumpaan para personel Tricotado dengan musisi-musisi lain di komunitas Jazz

Mben Senen, Ngayogjazz dan tempat-tempat bermusik lain di Yogyakarta membuat interpretasi dari Tricotado terhadap musik menjadi kaya dan beragam, sehingga cara bermusik jazz yang dilakukan oleh Tricotado tidak menjadi seperti jazz yang ada di tempat lain.

Berkaitan dengan repertoar yang di tampilkan oleh Tricotado dalam Lekasan

Ngayogjazz 2020 merupakan hasil dari berbagai pengalaman yang dilalui Tricotado selama bermusik di Yogyakarta. Apa yang disebut Schutz dengan mutual tuning-in relationship dan experience of the “We” merupakan pengalaman yang telah dilalui oleh Tricotado sejak terbentuknya pada tahun 2015. Komitmen untuk membuat sebuah band dan berkarya merupakan langkah awal yang tepat untuk mengembangkan musik secara umum dan jazz secara khusus di Indonesia.

75

B. Saran

Komitmen untuk tetap bersama-sama berkarya sebaiknya dipertahankan selama mungkin, karena hanya proses yang dilakukan secara konsistenlah yang benar-benar menghasilkan sebuah karya yang baik. Terlepas dari kegiatan bermusik lain yang dilakukan oleh para personel di luar Tricotado, keberadaan Tricotado sendiri sebagai sebuah band diharapkan dapat berlangsung lama, sehingga Tricotado dapat menjadi sebuah contoh bagi anak-anak muda lain yang ingin berkarya dengan cara yang berbeda daripada umumnya.

76

KEPUSTAKAAN

Bauman, Richard, ed. 1992. Folklore, Cultural Performances, and Popular Entertainments. New York: Oxford University Press. Benson, Bruce Ellis. 2003. The Improvisation of Musical Dialogue: A Phenomenology of Music. New York: Cambridge University Press. Berger, Harris M. 1999. Metal, Rock, and Jazz: Perception and the Phenomenology of Musical Experience. New : Wesleyan University Press. Berliner, Paul F. 1994. Thinking in Jazz: The Infinite Art of Improvisation. Chicago: The University of Chicago Press. Davis, John S. 2012. Historical Dictionary of Jazz. Maryland: Scarecrow Press. Fausta, Ega. 2019. “Konsep Laras Salendro R.M.A. Koesoemadinata Dalam Angklung Pentatonis Ragam Laras”, dalam Jurnal Kajian Seni, Volume 05, No. 02. Gioia, Ted. 2011. The History of Jazz. New York: Oxford University Press. Hardiman, F.Budi. 2015. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher Sampai Derrida. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius. Hijleh, Mark. 2012. Towards a Global Music Theory: Practical Concepts and Methods for the Analysis of Music Across Human Cultures. Farnham: Ashgate Publishing Limited. Keppy, Peter. 2013. “Southeast Asia in the Age of Jazz: Locating Popular Culture in the Colonial Philippines and Indonesia”, dalam Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 44, No. 3. Ligon, Bert. 2001. Jazz Theory Resources Volume 2. Houston: Houston Publishing. Monson, Ingrid. 1996. Saying Something: Jazz Improvisation and Interaction. Chicago: The University of Chicago Press. Moran, Dermot. 2000. Introduction to Phenomenology. : Routledge. Nettl, Bruno. 2005. The Study of Ethnomusicology: Thirty One Issues and Concepts- 2nd Edition. Illinois: The University of Illinois Press. Post, Jennifer C, ed. 2018. Ethnomusicology: A Contemporary Reader, Volume II. NewYork: Routledge. Sasongko, Hari M. 2018. “Gereja Karismatik dan Inkulturasi Musik di dalam Ibadahnya”, dalam Selonding, Vol. 13, No. 13. 77

Schutz, Alfred. 1951. “Making Music Together: A Study in Social Relationship”, dalam Social Research, Vol. 18, No. 1: 76-97. Septian, Wisma Tegar dan Grendi Hendrastomo. 2019. “Musik Indie Sebagai Identitas Anak Muda di Yogyakarta”, dalam E-Societas, Vol. 8 No. 7. Sutopo, Oki Rahadianto. 2010. “Dinamika Kekuasaan dalam Komunitas Jazz Yogyakarta 2002-2010”, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 14, No. 1: 83-106. ______. 2012. “Transformasi Jazz Yogyakarta: Dari Hibriditas menjadi Komoditas”, dalam Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 17, No. 1: 65- 84. ______. 2017. “Young Jazz Musicians and Negotiation of Public Space In Yogyakarta Indonesia”, dalam Komunitas: International Journal of Indonesian Society and Culture, Vol. 9, No. 2: 225-236. Stone, Ruth M. 2008. Theory for Ethnomusicology. New York: Routledge. Vivian, Yofi Irvan. 2018. “Album Kompilasi Sebagai Pembentuk Habitus Musikal Bagi Komunitas Jazz Jogja”, dalam Jurnal Kajian Seni, Vol.4, No. 2: 179-196.

78

SUMBER INTERNET

Lekasan Ngayogjazz 2020, https://ngayogjazz.com/2019/lekasan-edisi-1-ngayogjazz- 2020/, akses 15 Januari 2021. Ngayogjazz, https://ngayogjazz.com/2019/tentang/, akses 15 Januari 2021. Bentara Budaya Yogyakarta, http://www.bentarabudaya.com/profil/bentara-budaya- yogyakarta, akses 15 Januari 2021. Struktur lagu pop, http://openmusictheory.com/popRockForm.html, akses 15 Januari 2021. Penampilan Tricotado dalam Lekasan Ngayogjazz 2020, https://www.youtube.com/watch?v=cbv7KJuNUh0&t=3s, akses 15 Januari 2021. Penampilan Tricotado dalam Solo City Jazz 2019, https://www.youtube.com/watch?v=xUnH34PRsBQ, akses 15 Januari 2021.

79

NARASUMBER

Cresensia Naibaho, 29 tahun, penyanyi Tricotado. Paulus Neo, 25 tahun, pemain piano dan keyboard Tricotado. Yabes Yuniawan, 25 tahun, pemain bass Tricotado. Yohanes Saptanugraha, 30 tahun, pemain gitar Tricotado. Yosafat Windrawanto, 26 tahun, pemain drum Tricotado. Diandra Megi Hikmawan, 25 tahun, pemain kendang Sunda dan perkusi Tricotado. Deasy Maria, 33 tahun, manajer Tricotado dan anggota komunitas Jazz Mben Senen.

80

GLOSARIUM Ascending : pergerakan nada/ akor dari rendah ke tinggi Break : bagian solo yang diimprovisasi Bridge : bagian lagu yang mengandung materi melodi yang kontras dengan bagian lainnya Chord progression : rangkaian akor dalam lagu Chorus : salah satu bagian lagu yang biasa menjadi inti dari lagu Ending : bagian lagu yang terletak di akhir lagu Introduction : bagian lagu yang terletak di awal lagu Postchorus : bagian lagu yang terletak setelah chorus Prechorus : bagian lagu yang terletak sebelum chorus Verse : bagian lagu yang memiliki materi melodi konstan namun kata atau lirik berubah

81

LAMPIRAN

Full score repertoar pertama Tricotado dalam Lekasan Ngayogjazz 2020.

82

83

84

85

86

87

88

89

Gambar 2. Foto bersama dengan Yabes dan Andra