Perubahan Sosial Budaya Pada Proses Islamisasi Jawa Abad XV
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Dakwah Antarbudaya: Perubahan Sosial Budaya pada Proses Islamisasi Jawa Abad XV DAKWAH ANTARBUDAYA: PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA PADA PROSES ISLAMISASI JAWA ABAD XV Charolin Indah Roseta STID Al-Hadid, Surabaya [email protected] Abstrak: Fenomena dakwah antarbudaya dalam rangka perubahan sosial-budaya tidak semuanya menghasilkan cultural conflict sebagaimana umumnya terjadi. Walisongo adalah perintis jalan penyebaran Islam di tanah Jawa secara revolusioner pada abad XV. Bentuknya berupa perubahan pemikiran masyarakat Jawa yang politeis Hindu Buddha menjadi monoteis Islam Sufi dalam waktu yang relatif singkat namun tanpa menimbulkan gejolak sosial. Adapun fokus tulisan ini adalah bagaimana bentuk dan strategi perubahan sosial budaya dalam dakwah Walisongo angkatan V di Jawa abad XV yang bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk dan strategi perubahan sosial-budaya dalam misi Islamisasi yang dilakukannya. Dengan pendekatan historis antropologis ditemukan bahwa misi dakwah Walisongo merupakan jenis perubahan sosial terencana dengan tahapan yang tersistematis dan strategis karena memanfaatkan infrastruktur local wisdom Jawa. Kajian ini mendapati bahwa proses pengadopsian nilai Islam pada masyarakat Jawa tidak lepas dari peran agen perubah budaya yang dimotori oleh Sunan Ampel setelah mampu memanfaatkan momentum krisis sosial-politik di Majapahit kala itu. Sedari awal ia membidik kalangan keraton dan bangsawan Jawa untuk melakukan "kaderisasi agen" dakwah. Strategi umumnya adalah dengan melakukan beberapa modifikasi pada berbagai sektor kehidupan masyarakat Jawa seperti pendidikan, ritual, bahasa, dan kesenian lokal menjadi lebih bernapaskan Islam. Kata Kunci: Dakwah Antarbudaya, Perubahan Sosial, Walisongo Intercultural Da’wah: Sociocultural Changes to the Islamization Proccess of Java in the 15th Century. Abstract: Intercultural da’wah phenomena in terms of sociocultural changes does not all generate cultural conflicts as it generally happens. Walisongo was a revolutionary pioneer on propagating Islam in Java in the 15th century. It changed polytheistic Hindu Buddhist thinking among Javanese society into Sufi Islamic monotheism in a relatively short period without causing any social conflict. This paper focuses on the form and strategy of sociocultural change of the 5th generation Walisongo’s da’wah, aiming to describe the form and strategy of sociocultural change in their Islamic mission. With historical and anthropological approaches, it discovers that Walisongo’s da’wah mission is a kind of well-planned social change with systematic and strategic stages, utilizing the infrastructure of Javanese local wisdom. It discovers that the process of adopting Islamic values could not be separated from the role of the agents of change led by Sunan Ampel after taking advantage of sociopolitical crisis in Majapahit. He earlier targeted Javanese royals and noblemen to form cadres of da’wah agents. His common strategy was to do some modifications on various life sectors such as education, ritual, language, and local art to have more Islamic values. Key words: Intercultural da’wah, Sociocultural change, Walisongo Volume 01 - No. 02 Januari 2020 163 Charolin Indah Roseta Pendahuluan anggapan bahwa proyek pembangunan Kajian tentang dakwah dan perubahan sosial tersebut dapat mengganggu adat istiadat saat ini masih belum banyak dikembangkan dan kebiasaan masyarakat setempat. khususnya di Indonesia. Padahal menurut Adapun Ranjabar dalam bukunya tentang Amrullah dakwah yang dilakukan Nabi perubahan sosial mengasumsikan bahwa Muhammad saw. berorientasi pada setiap bangsa mempunyai kebudayaan, dan perubahan sosial di masyarakat Arab.1 masing-masing mempunyai nilai norma yang Dalam hal ini sudah menjadi pemahaman berbeda satu dengan yang lain. Menurutnya bersama bahwa Indonesia adalah negara jika suatu norma dari kelompok sosial yang majemuk dengan ribuan suku bangsa tertentu diterapkan pada kelompok lain, yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, maka akan memicu terjadinya culture 4 sehingga dakwah yang berparadigma conflict dan pertentangan norma. Pun perubahan sosial dalam konteks demikian, jika pelaksanaan dakwahnya multikultural adalah suatu keniscayaan. seorang dai hanya berfokus pada Secara penerapan dakwah, proses pembentukan norma perilaku islami mad’uw perubahan sosial pada asumsi mad’uw yang tanpa mengindahkan adat kebiasaan majemuk (heterogen) tentunya berbeda setempat maka bukan tidak mungkin proses dengan yang homogen. Menurut Ma’arif dakwah akan mengalami hambatan dan dalam menghadapi berbagai karakter objek bahkan kegagalan sehingga dakwah dakwah, seorang dai idealnya memahami berparadigma perubahan sosial hendaknya kondisi mad’uw, termasuk aspek memperhatikan adat dan kebiasaan keberagamaannya. Hal ini akan berpengaruh mad’uw-nya. pada perbedaan cara dakwah di tengah masyarakat yang memiliki corak heterogen.2 Dewasa ini terdapat fenomena tantangan Hal ini diperkuat dengan pendapat Nawawi dan hambatan kultural terhadap syiar Islam dalam penelitiannya yang menawarkan yang berorientasi pada perubahan dan suatu bentuk dakwah yang berorientasi pada perbaikan masyarakat yaitu penolakan perbaikan masyarakat idealnya dakwah karena kuatnya hegemoni budaya 5 mendasarkan pada asumsi budaya suku-suku di Indonesia. Hal ini diperparah setempat.3 Dakwah dalam rangka perbaikan dengan munculnya bentuk dakwah yang atau pembangunan masyarakat yang tidak cenderung memaksa dan menekankan pada mengindahkan nilai dan norma budaya maka formalitas Arab tanpa memperhatikan local akan sering berakhir dengan konflik dan wisdom setempat seperti kasus dibakarnya 6 penolakan. Hal tersebut dikarenakan adanya Ponpes Syiah di Sampang, konflik 1 Achmad Amrullah, Dakwah Islam Dan Perubahan 5 Salah satunya adalah upaya dakwah dalam rangka Sosial, (Yogyakarta: Bidang Penerbitan PLP2M, 1985), mengislamkan masyarakat adat Baduy mendapat 18. berbagai tantangan termasuk penolakan dan bahkan 2 Bambang S. Ma’arif dalam Yuliatun Tajuddin, pengusiran adat hingga memecah komunitas ini “Walisongo dalam Strategi Komunikasi Dakwah,” menjadi tiga yaitu Tangtu, Pendamping, dan Dangka ADDIN, Vol. 8 No. 2 (2014). 376. seperti yang dijelaskan dalam penelitian Kiki 3 Nawawi, “Dakwah dalam Masyarakat Multikultural,” Muhammad Hakiki, “Keislaman Suku Baduy Banten,” Jurnal Komunika Vol. 6 No. 1 (2012), 9. Jurnal Refleksi, Vol 14. No. 1 (2015), 8-12. 4 Jacobus Ranjabar, Perubahan Sosial: Teori-teori dan 6 Rosidi, “Dakwah Multikultural di Indonesia: Studi Proses Perubahan Sosial serta Teori Pembangunan, Pemikiran dan Gerakan Dakwah Abdurrahman (Bandung: Alfabeta, 2017), 61. 164 INTELEKSIA - Jurnal Pengembangan Ilmu Dakwah Dakwah Antarbudaya: Perubahan Sosial Budaya pada Proses Islamisasi Jawa Abad XV masyarakat dengan Jamaah Ahmadiyah berorientasi mengajak saja, namun juga hingga munculnya gerakan dakwah harakah berbentuk mengomunikasikan kebiasaan yang melakukan pengeboman dan aksi baru yang bersinergi dengan tradisi asli.8 kekerasan terhadap umat agama lain dengan Menurutnya secara spesifik, dakwah tuntutan perubahan sosial secara total.7 Walisongo berorientasi pada pengelolaan Dampak terburuknya adalah ancaman dari serta pengembangan suatu masyarakat berhentinya dakwah itu sendiri mengingat termasuk budayanya. Oleh karena terjadi penolakan kultural tersebut mengartikan perubahan mendasar dalam tradisi lama bahwa upaya dai dalam menyebarluaskan hingga terbentuk peradaban Islam Jawa nilai dan ajaran Islam masih dipandang dengan waktu yang relatif singkat, maka belum memiliki signifikansi kebermanfaatan jenis dakwah Walisongo merupakan bentuk terhadap kehidupan mad’uw. Selain itu perubahan sosial secara revolusioner.9 penolakan adat juga dapat mendatangkan Senada dengan hal ini, Abdullah konflik dan perpecahan umat yang menyebutnya sebagai revolusi sosial-agama berpotensi mengancam semangat persatuan pada masyarakat Hindu Jawa sehingga bangsa. Oleh karenanya, aktivitas dakwah menghasilkan perubahan pada unsur-unsur yang dilakukan umat Islam idealnya kebudayaannya. Walisongo telah mengubah mengarah pada upaya pembangunan dan cara pandang masyarakat Jawa yang politeis perbaikan masyarakat dan bukan justru Hindu Buddha dengan ajaran Islam yang sebaliknya, seperti konflik sosial, monoteis. Cara yang dilakukan adalah perpecahan umat, dan bahkan kerusakan. dengan memanfaatkan local wisdom yang Tidak semua aktivitas dakwah mengalami salah satunya adalah wayang yang saat itu kendala cultural conflict atau dilakukan sudah menjadi kesenian yang melembaga di dengan jalan paksaan dan kekerasan saat sepanjang Pulau Jawa. Sistem pengajaran dibenturkan dengan perbedaan budaya Islam dilakukan bertahap hingga menggeser dengan mad’uw. Hal ini ditunjukkan dengan praktik ritual Hindu Buddha dan berubah adanya fakta bahwa syiar Islam yang menjadi tahlil dan selamatan. Selain itu, hal dilakukan oleh walisongo khususnya yang paling mendasar adalah Walisongo angkatan V di Pulau Jawa lebih banyak telah berhasil mengubah watak khas menggunakan jalan damai tanpa kekerasan, masyarakat Majapahit yang berlandaskan penuh toleransi dengan adat tradisi pada nilai keagungan, kebesaran, kemuliaan, setempat yang berorientasi pada cultural keunggulan, kemenangan, dan superioritas exchange dan bukan paksaan bahkan dalam setiap penaklukan, menjadi nilai-nilai kekerasan. Jawa muslim yang terkenal luhur, berbudi halus, bersikap santun dan penuh empati.10 Adapun Tajuddin dalam penelitiannya Sedangkan terkait struktur sosial lama di menyatakan bahwa komunikasi dakwah Jawa saat itu yang lekat dengan sistem kasta yang dilakukan Walisongo