Dakwah Antarbudaya: Perubahan Sosial Budaya pada Proses Islamisasi Jawa Abad XV

DAKWAH ANTARBUDAYA: PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA PADA PROSES ISLAMISASI JAWA ABAD XV

Charolin Indah Roseta STID Al-Hadid, Surabaya [email protected]

Abstrak: Fenomena dakwah antarbudaya dalam rangka perubahan sosial-budaya tidak semuanya menghasilkan cultural conflict sebagaimana umumnya terjadi. Walisongo adalah perintis jalan penyebaran di tanah Jawa secara revolusioner pada abad XV. Bentuknya berupa perubahan pemikiran masyarakat Jawa yang politeis Hindu Buddha menjadi monoteis Islam Sufi dalam waktu yang relatif singkat namun tanpa menimbulkan gejolak sosial. Adapun fokus tulisan ini adalah bagaimana bentuk dan strategi perubahan sosial budaya dalam dakwah Walisongo angkatan V di Jawa abad XV yang bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk dan strategi perubahan sosial-budaya dalam misi Islamisasi yang dilakukannya. Dengan pendekatan historis antropologis ditemukan bahwa misi dakwah Walisongo merupakan jenis perubahan sosial terencana dengan tahapan yang tersistematis dan strategis karena memanfaatkan infrastruktur local wisdom Jawa. Kajian ini mendapati bahwa proses pengadopsian nilai Islam pada masyarakat Jawa tidak lepas dari peran agen perubah budaya yang dimotori oleh setelah mampu memanfaatkan momentum krisis sosial-politik di Majapahit kala itu. Sedari awal ia membidik kalangan keraton dan bangsawan Jawa untuk melakukan "kaderisasi agen" dakwah. Strategi umumnya adalah dengan melakukan beberapa modifikasi pada berbagai sektor kehidupan masyarakat Jawa seperti pendidikan, ritual, bahasa, dan kesenian lokal menjadi lebih bernapaskan Islam. Kata Kunci: Dakwah Antarbudaya, Perubahan Sosial, Walisongo

Intercultural Da’wah: Sociocultural Changes to the Islamization Proccess of in the 15th Century. Abstract: Intercultural da’wah phenomena in terms of sociocultural changes does not all generate cultural conflicts as it generally happens. Walisongo was a revolutionary pioneer on propagating Islam in Java in the 15th century. It changed polytheistic Hindu Buddhist thinking among Javanese society into Sufi Islamic monotheism in a relatively short period without causing any social conflict. This paper focuses on the form and strategy of sociocultural change of the 5th generation Walisongo’s da’wah, aiming to describe the form and strategy of sociocultural change in their Islamic mission. With historical and anthropological approaches, it discovers that Walisongo’s da’wah mission is a kind of well-planned social change with systematic and strategic stages, utilizing the infrastructure of Javanese local wisdom. It discovers that the process of adopting Islamic values could not be separated from the role of the agents of change led by Sunan Ampel after taking advantage of sociopolitical crisis in Majapahit. He earlier targeted Javanese royals and noblemen to form cadres of da’wah agents. His common strategy was to do some modifications on various life sectors such as education, ritual, language, and local art to have more Islamic values. Key words: Intercultural da’wah, Sociocultural change, Walisongo

Volume 01 - No. 02 Januari 2020 163 Charolin Indah Roseta

Pendahuluan anggapan bahwa proyek pembangunan Kajian tentang dakwah dan perubahan sosial tersebut dapat mengganggu istiadat saat ini masih belum banyak dikembangkan dan kebiasaan masyarakat setempat. khususnya di . Padahal menurut Adapun Ranjabar dalam bukunya tentang Amrullah dakwah yang dilakukan Nabi perubahan sosial mengasumsikan bahwa saw. berorientasi pada setiap bangsa mempunyai kebudayaan, dan perubahan sosial di masyarakat Arab.1 masing-masing mempunyai nilai norma yang Dalam hal ini sudah menjadi pemahaman berbeda satu dengan yang lain. Menurutnya bersama bahwa Indonesia adalah negara jika suatu norma dari kelompok sosial yang majemuk dengan ribuan suku bangsa tertentu diterapkan pada kelompok lain, yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, maka akan memicu terjadinya culture 4 sehingga dakwah yang berparadigma conflict dan pertentangan norma. Pun perubahan sosial dalam konteks demikian, jika pelaksanaan dakwahnya multikultural adalah suatu keniscayaan. seorang dai hanya berfokus pada Secara penerapan dakwah, proses pembentukan norma perilaku islami mad’uw perubahan sosial pada asumsi mad’uw yang tanpa mengindahkan adat kebiasaan majemuk (heterogen) tentunya berbeda setempat maka bukan tidak mungkin proses dengan yang homogen. Menurut Ma’arif dakwah akan mengalami hambatan dan dalam menghadapi berbagai karakter objek bahkan kegagalan sehingga dakwah dakwah, seorang dai idealnya memahami berparadigma perubahan sosial hendaknya kondisi mad’uw, termasuk aspek memperhatikan adat dan kebiasaan keberagamaannya. Hal ini akan berpengaruh mad’uw-nya. pada perbedaan cara dakwah di tengah masyarakat yang memiliki corak heterogen.2 Dewasa ini terdapat fenomena tantangan Hal ini diperkuat dengan pendapat Nawawi dan hambatan kultural terhadap syiar Islam dalam penelitiannya yang menawarkan yang berorientasi pada perubahan dan suatu bentuk dakwah yang berorientasi pada perbaikan masyarakat yaitu penolakan perbaikan masyarakat idealnya dakwah karena kuatnya hegemoni budaya 5 mendasarkan pada asumsi budaya suku-suku di Indonesia. Hal ini diperparah setempat.3 Dakwah dalam rangka perbaikan dengan munculnya bentuk dakwah yang atau pembangunan masyarakat yang tidak cenderung memaksa dan menekankan pada mengindahkan nilai dan norma budaya maka formalitas Arab tanpa memperhatikan local akan sering berakhir dengan konflik dan wisdom setempat seperti kasus dibakarnya 6 penolakan. Hal tersebut dikarenakan adanya Ponpes Syiah di Sampang, konflik

1 Achmad Amrullah, Dakwah Islam Dan Perubahan 5 satunya adalah upaya dakwah dalam rangka Sosial, (Yogyakarta: Bidang Penerbitan PLP2M, 1985), mengislamkan masyarakat adat Baduy mendapat 18. berbagai tantangan termasuk penolakan dan bahkan 2 Bambang S. Ma’arif dalam Yuliatun Tajuddin, pengusiran adat hingga memecah komunitas ini “Walisongo dalam Strategi Komunikasi Dakwah,” menjadi tiga yaitu Tangtu, Pendamping, dan Dangka ADDIN, Vol. 8 No. 2 (2014). 376. seperti yang dijelaskan dalam penelitian Kiki 3 Nawawi, “Dakwah dalam Masyarakat Multikultural,” Muhammad Hakiki, “Keislaman Suku Baduy Banten,” Jurnal Komunika Vol. 6 No. 1 (2012), 9. Jurnal Refleksi, Vol 14. No. 1 (2015), 8-12. 4 Jacobus Ranjabar, Perubahan Sosial: Teori-teori dan 6 Rosidi, “Dakwah Multikultural di Indonesia: Studi Proses Perubahan Sosial serta Teori Pembangunan, Pemikiran dan Gerakan Dakwah Abdurrahman (Bandung: Alfabeta, 2017), 61.

164 INTELEKSIA - Jurnal Pengembangan Ilmu Dakwah Dakwah Antarbudaya: Perubahan Sosial Budaya pada Proses Islamisasi Jawa Abad XV

masyarakat dengan Jamaah Ahmadiyah berorientasi mengajak saja, namun juga hingga munculnya gerakan dakwah harakah berbentuk mengomunikasikan kebiasaan yang melakukan pengeboman dan aksi baru yang bersinergi dengan tradisi asli.8 kekerasan terhadap umat agama lain dengan Menurutnya secara spesifik, dakwah tuntutan perubahan sosial secara total.7 Walisongo berorientasi pada pengelolaan Dampak terburuknya adalah ancaman dari serta pengembangan suatu masyarakat berhentinya dakwah itu sendiri mengingat termasuk budayanya. Oleh karena terjadi penolakan kultural tersebut mengartikan perubahan mendasar dalam tradisi lama bahwa upaya dai dalam menyebarluaskan hingga terbentuk peradaban Islam Jawa nilai dan ajaran Islam masih dipandang dengan waktu yang relatif singkat, maka belum memiliki signifikansi kebermanfaatan jenis dakwah Walisongo merupakan bentuk terhadap kehidupan mad’uw. Selain itu perubahan sosial secara revolusioner.9 penolakan adat juga dapat mendatangkan Senada dengan hal ini, Abdullah konflik dan perpecahan umat yang menyebutnya sebagai revolusi sosial-agama berpotensi mengancam semangat persatuan pada masyarakat Hindu Jawa sehingga bangsa. Oleh karenanya, aktivitas dakwah menghasilkan perubahan pada unsur-unsur yang dilakukan umat Islam idealnya kebudayaannya. Walisongo telah mengubah mengarah pada upaya pembangunan dan cara pandang masyarakat Jawa yang politeis perbaikan masyarakat dan bukan justru Hindu Buddha dengan ajaran Islam yang sebaliknya, seperti konflik sosial, monoteis. Cara yang dilakukan adalah perpecahan umat, dan bahkan kerusakan. dengan memanfaatkan local wisdom yang Tidak semua aktivitas dakwah mengalami salah satunya adalah wayang yang saat itu kendala cultural conflict atau dilakukan sudah menjadi kesenian yang melembaga di dengan jalan paksaan dan kekerasan saat sepanjang Pulau Jawa. Sistem pengajaran dibenturkan dengan perbedaan budaya Islam dilakukan bertahap hingga menggeser dengan mad’uw. Hal ini ditunjukkan dengan praktik ritual Hindu Buddha dan berubah adanya fakta bahwa syiar Islam yang menjadi tahlil dan selamatan. Selain itu, hal dilakukan oleh walisongo khususnya yang paling mendasar adalah Walisongo angkatan V di Pulau Jawa lebih banyak telah berhasil mengubah watak khas menggunakan jalan damai tanpa kekerasan, masyarakat Majapahit yang berlandaskan penuh toleransi dengan adat tradisi pada nilai keagungan, kebesaran, kemuliaan, setempat yang berorientasi pada cultural keunggulan, kemenangan, dan superioritas exchange dan bukan paksaan bahkan dalam setiap penaklukan, menjadi nilai-nilai kekerasan. Jawa muslim yang terkenal luhur, berbudi halus, bersikap santun dan penuh empati.10 Adapun Tajuddin dalam penelitiannya Sedangkan terkait struktur sosial lama di menyatakan bahwa komunikasi dakwah Jawa saat itu yang lekat dengan sistem kasta yang dilakukan Walisongo tidak hanya sebagaimana tradisi Hindu secara perlahan

Wahid.” Jurnal Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 13 8 Yuliatun Tajuddin, “Walisongo dalam Strategi No. 2 (2013), 482. Komunikasi Dakwah,” ADDIN, Vol. 8 No. 2 (2014), 388. 7 Muhammad Hizbullah, “Dakwah Harakah, 9 Ibid., 72. Radikalisme, dan Tantangannya di Indonesia,” Misykat 10 Ibid., 442-446. Al-Anwar Jurnal Kajian Islam dan Masyarakat, Vol. 29 No. 2 (2018), 4.

Volume 01 - No. 02 Januari 2020 165 Charolin Indah Roseta

direduksi dan diubah menjadi pola “guru- secara bersama-sama dengan menggali ” lewat pendirian . peristiwa-peristiwa kunci berdasarkan Berdasarkan atas fenomena tersebut dapat sumber sejarah yang relevan.12 Adapun data- dipahami bahwa strategi dakwah Walisongo data sejarah dalam tulisan ini dipaparkan nyatanya dapat menciptakan perubahan dan dikategorisasikan ke dalam tema-tema kebudayaan yang cukup signifikan dari sentral perubahan sosial dengan mekanisme tradisi Hindu-Buddha menjadi Islam tanpa triangulasi dari tiga buku utama yaitu Atlas menimbulkan gejolak sosial yang berarti. Walisongo: Buku Pertama yang Lebih lanjut Purwadi menyatakan bahwa Mengungkap Walisongo Sebagai Fakta penyebaran Islam oleh para wali tergolong Sejarah13 sebagai sumber data utama, buku berhasil meskipun di beberapa daerah masih kedua berjudul Sejarah Lengkap Walisanga, tetap menjalankan agama Hindu dan dari Masa Kecil, Dewasa, Hingga Akhir Buddha seperti tradisi nenek moyang.11 Hayatnya,14 serta buku lainnya menjelaskan kiprah dakwahnya secara umum yaitu Fase dakwah Walisongo memiliki sejarah Walisongo: Gelora Dakwah dan Jihad di panjang dan tersebar hampir ke seluruh Tanah Jawa (1404 – 1482).15 pelosok Indonesia pada masanya. Pembahasan dakwah Walisongo ini akan Kajian mengenai kiprah walisongo sudah difokuskan pada angkatan V yang faktanya banyak dilakukan baik dalam jurnal dan memiliki signifikansi perubahan sosial- buku-buku ilmiah. Beberapa karya ilmiah budaya yang besar dan menjadi tonggak banyak mengangkat tema dakwah yang penyebaran Islam khususnya di Pulau Jawa dilakukan oleh Walisongo seperti Strategi dan di Indonesia pada umumnya. Adapun Komunikasi Dakwah Walisongo16 oleh fokus kajian dalam tulisan ini adalah terkait Yuliatun Tajuddin serta Strategi dan Metode dengan bagaimana bentuk dan strategi Dakwah Walisongo,17 oleh Hatmansyah. perubahan sosial budaya dalam dakwah Meskipun memiliki persamaan pada objek Walisongo angkatan V di tanah Jawa abad kajiannya, namun terdapat perbedaan cukup XV?, yang bertujuan untuk mendeskripsikan besar dengan karya Tajuddin yang lebih bentuk dan strategi perubahan sosial- menitikberatkan pada aspek komunikasi budaya dalam misi islamisasi. Metodologi yang digunakan Walisongo dalam yang digunakan dalam studi ini adalah dakwahnya. Adapun tulisan ini hendak kualitatif deskriptif dengan jenis penelitian mengembangkan pembahasan lebih luas pustaka khususnya historis antropologis pada usaha mereka untuk melakukan karena mengkaji sejarah agama, di mana perubahan sosial-budaya. Pun demikian realitas agama dan praktik sosial akan dilihat dengan karya jurnal kedua, meski tulisan ini

11 Purwadi, Dakwah : Penyebaran 14 Masykur Arif, Sejarah Lengkap , Dari Agama Islam di Jawa Berbasis Kultural, (Yogyakarta: Masa Kecil, Dewasa, Hingga Akhir Hayatnya, Pustaka Pelajar, 2007), 86. (Yogyakarta: Dipta, 2013). 12 Ali Sodikin, Antropologi Al-: Model Dialektika 15 Rachmad Abdullah, Walisongo: Gelora Dakwah dan Wahyu & Budaya, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), Jihad di Tanah Jawa (1404-1482), (Bandung: Al-Wafi 25. Publishing, 2017). 13 Agus Sunyoto, Atlas Walisongo: Buku Pertama yang 16 Yuliatun Tajuddin, “Walisongo dalam Strategi Mengungkap Walisongo sebagai Fakta Sejarah, Komunikasi Dakwah,” 368. (Depok: Pustama Iman, 2017). 17 Hatmansyah, “Strategi dan Metode Dakwah Walisongo,” Jurnal Al-Hiwar, Vol. 03 No. 05 (2015).

166 INTELEKSIA - Jurnal Pengembangan Ilmu Dakwah Dakwah Antarbudaya: Perubahan Sosial Budaya pada Proses Islamisasi Jawa Abad XV

memiliki irisan pembahasan dalam hal cara dihadapkan pada tantangan pemikiran dari dakwah Walisongo, namun strategi-metode mad’uw yang memiliki keragaman keyakinan dakwah tersebut akan dianalisis dengan dan kepercayaan nonmuslim seperti pendekatan teori perubahan sosial-budaya. masyarakat adat yang masih banyak Selain itu ada pula tulisan berjudul Dakwah tersebar di pelosok Nusantara. Budaya Walisongo18 dan Strategi Kultural Walisongo19 yang spesifik membahas tentang pendekatan kultural dalam Teori Perubahan Sosial Budaya dakwahnya. Namun pada tulisan ini Secara kebahasaan, perubahan sosial pendekatan dakwah kultural yang dilakukan budaya berasal dari kata perubahan yang oleh Walisongo akan dikaji secara berarti menjadi lain (berbeda) dari semula menyeluruh dan sistematis dalam tiap tahap atau bertukar (beralih, berganti) menjadi perubahan budaya, baik terkait proses sesuatu yang lain. Sosial yang berarti perubahannya, saluran serta media yang berkenaan dengan masyarakat. Budaya digunakan termasuk faktor pendorong dan berarti pikiran, akal budi, sesuatu yang sudah penghambatnya yang dihadapi Walisongo menjadi kebiasaan yang sudah sukar sebagai agent of change. Dengan begitu diubah.20 Sedangkan beberapa pengertian barangkali bisa membuka wacana bahwa perubahan sosial menurut ahli yaitu Selo dakwah yang berorientasi pada perbaikan Soemardjan, perubahan sosial adalah segala masyarakat tidak seharusnya dilakukan perubahan-perubahan pada lembaga- dengan cara-cara radikal seperti lembaga kemasyarakatan di dalam suatu pengeboman atau aksi kekerasan lainnya masyarakat yang berpengaruh pada sistem yang dilakukan oknum-oknum yang sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, mengatasnamakan Islam. sikap dan pola perilaku di antara kelompok- kelompok dalam masyarakat. Terkait dengan Adapun manfaat lain dari memahami pola perubahan kebudayaan, Soekamto dakwah yang dilakukan Walisongo ini adalah menyatakan bahwa kebudayaan dikatakan dapat memberi referensi tambahan terkait tata cara bertingkah laku manusia atas dasar bentuk dan dinamika dakwah yang dilakukan konsep berpikir tertentu, yang terjadi pada di konteks perbedaan kultur namun tanpa saat manusia interaksi dan berkomunikasi menimbulkan pergolakan sosial yang berarti. seperti menyampaikan hasil pikirannya Selain itu dapat membuka wacana sebagian secara simbolis yang tidak diwariskan secara kalangan bahwa orientasi dakwah apabila turun temurun.21 Berdasarkan atas asumsi dikembangkan dalam bentuk misi bahasa dan pendapat ilmuan tersebut dapat perubahan sosial yang terencana akan dapat diartikan bahwa perubahan sosial budaya mencapai hasil maksimal yaitu perubahan adalah suatu kondisi peralihan bentuk kebudayaan itu sendiri. Khususnya saat dai budaya pada suatu masyarakat menjadi

18 Muh Fatkhan, “Dakwah Budaya Walisongo: Aplikasi 20 KBBI online, diakses 21 September 2019. Metode Dakwah Walisongo di Era Multikultural,” https://kbbi.web.id/. Aplikasia: Jurnal Aplikasi ilmu-ilmu Agama, Vol. 4 No. 21 Kingsley Davis, dalam Soerjono Soekanto, Sosiologi 2 (2003). Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 19 Suparjo, “Islam dan Budaya: Strategi Kultural 2007, 266. Walisongo dalam Membangun Masyarakat Muslim Indonesia,” Jurnal Komunika, Vol. 2 No. 2 (2008).

Volume 01 - No. 02 Januari 2020 167 Charolin Indah Roseta

bentuk lain baik dalam hal pergeseran nilai atau kebiasaan perilaku dan atau artefaknya. Dalam ilmu sosiologi, terdapat dua bentuk perubahan kebudayaan yaitu akulturasi dan Salah satu jenis perubahan sosial-budaya asimilasi. Adapun akulturasi terjadi apabila yang disoroti dalam tulisan ini adalah suatu kelompok manusia dengan suatu perubahan yang direncanakan (planned- kebudayaan tertentu berinteraksi dengan change) dan telah diperkirakan atau sengaja unsur-unsur suatu kebudayaan asing yang direncanakan terlebih dahulu oleh pihak- berbeda sehingga menyebabkan perubahan pihak yang hendak mengadakan perubahan pada unsur-unsur kebudayaan sendiri, di dalam masyarakat (agent of change) atau namun tanpa menyebabkan hilangnya watak disebut sebagai perubahan yang dan kekhasan kebudayaan itu sendiri.24 dikehendaki (intended-change). Dalam hal Artinya jika terjadi pertemuan/hubungan ini agen melakukan pengelolaan masyarakat antara suatu kebudayaan tertentu dengan dan mengubah pranata bahkan struktur kebudayaan lain, maka unsur-unsur budaya sosialnya. Dalam proses melaksanakannya, asing tersebut berangsur-angsur akan para agen bertanggung jawab dan bahkan diterima dan kemudian diolah ke dalam mungkin akan mengantisipasi kemungkinan kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan perubahan-perubahan lain dari lembaga kehilangan ciri khas budaya asal. Terkait sosial di masyarakat.22 unsur kebudayaan asing yang mudah dan sulit berakulturasi, Soekamto menyebutkan Secara teoretis, proses perubahan dimulai beberapa hal yaitu unsur kebudayaan dari mekanisme yang disebut sebagai seperti kebendaan atau alat-peralatan yang disorganisasi (disintegrasi) yaitu suatu bersifat mudah dipakai dan dirasakan sangat proses berpudarnya nilai-nilai dan norma- bermanfaat bagi masyarakat penerimanya norma dalam suatu masyarakat sebagai maka akan mudah terakulturasi. Apalagi jika akibat dari adanya pergeseran atau unsur tersebut terbukti membawa manfaat perubahan yang terjadi pada lembaga- besar dan menjadi salah satu solusi bagi lembaga kemasyarakatan. Tahapan persoalan hidup masyarakat setempat. berikutnya adalah proses reorganisasi Sebaliknya unsur budaya asing yang (reintegrasi) yang mengindikasikan adanya menyangkut sistem kepercayaan seperti suatu proses pembentukan norma-norma falsafah hidup, ideologi dan lain-lain atau dan nilai-nilai baru sebagai akibat dari unsur-unsur yang dipelajari pada taraf penyesuaian atas adanya pergeseran dan pertama sosialisasi akan sulit diterima atau perubahan pada pranata sosial suatu apalagi jika unsur tersebut bertentangan masyarakat. Adapun tahap reorganisasi dengan adat tradisi mereka.25 dilaksanakan bilamana norma-norma dan nilai-nilai yang baru telah melembaga Adapun bentuk kedua adalah asimilasi yang (institutionalized) dalam setiap diri anggota merupakan suatu proses sosial sebagai masyarakat.23 perkembangan lebih lanjut dari mekanisme

22 Selo Sumardjan dalam Soerjono Soekanto, Sosiologi 24 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 248. 2007), 272-273. 25 Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 169. 23 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), 293.

168 INTELEKSIA - Jurnal Pengembangan Ilmu Dakwah Dakwah Antarbudaya: Perubahan Sosial Budaya pada Proses Islamisasi Jawa Abad XV

akulturasi.26 Secara singkat, proses asimilasi Selain itu terdapat faktor lain yang dapat diorientasikan untuk mencapai tahap mendorong percepatan proses perubahan integrasi dan organisasi, pikiran dan sosial budaya yaitu munculnya keinginan- tindakan yang ditandai dengan keinginan untuk maju yang melahirkan sikap mengembangkan sikap-sikap yang sama toleransi serta menghargai hasil karya antaranggota masyarakat, meskipun orang/kebudayaan lain. Hal ini biasanya terkadang bersifat emosional dengan tujuan ditunjang dengan sistem pendidikan formal minimal dapat mencapai kesatuan sosial. yang maju dalam suatu masyarakat tertentu. Adapun Koentjaraningrat menyebutkan Selain itu juga adanya asumsi komposisi syarat suatu kondisi asimilatif yaitu pertama, penduduk yang heterogen, sistem lapisan jika terdapat hubungan interaksi masyarakat terbuka, serta faktor antarkelompok manusia yang memiliki ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang- perbedaan kebudayaan. Kedua, interaksi bidang kehidupan tertentu juga dapat tersebut terjadi secara langsung dan intensif menjadi salah satu pendorong perubahan untuk waktu yang lama dan orang sosial budaya, apalagi jika diperkuat dengan perorangan sebagai warga kelompok tadi adanya pemahaman bahwa manusia harus saling bergaul sehingga kebudayaan- senantiasa berusaha untuk memperbaiki kebudayaan dari kelompok manusia hidupnya. Sedangkan media dan saluran tersebut saling berubah dan masing-masing perubahan untuk setiap kasus perubahan melakukan penyesuaian diri.27 Sedangkan dapat berupa perdagangan, difusi, maupun menurut Soerjono Soekanto menyatakan misi agen tertentu, termasuk penjajahan. bahwa pada konteks masyarakat tradisional yang masih terasing di Indonesia untuk Menurut Soekanto terdapat faktor internal mengadakan interaksi sosial yang asimilatif penyebab perubahan sosial budaya yaitu masih merupakan hal yang sulit dikarenakan adanya penemuan baru (inovasi), warganya memiliki peluang yang minim bertambah/berkurangnya penduduk, terjadi untuk berinteraksi dengan masyarakat lain konflik kepentingan antar golongan atau termasuk masyarakat kota.28 Namun jika terjadinya pemberontakan seperti bencana terdapat kesempatan-kesempatan menjalin alam dan atau peperangan. Selain itu dari kerja sama di bidang ekonomi maka hal eksternal, adanya pengaruh masyarakat lain tersebut bisa menjadi faktor pendorong bisa menjadi faktor penyebab perubahan. asimilasi. Selain itu juga diperlukan sikap Terkait dengan faktor penyebab terakhir ini menghargai serta toleransi terhadap orang Sukanto mengemukakan bahwa interaksi asing dan kebudayaannya. Terlebih jika fisik intensif yang dilakukan oleh dua ditunjang sikap terbuka dari pihak yang kebudayaan memungkinkan terjadinya berkuasa dalam masyarakat. Faktor pengaruh timbal balik. Artinya, masing- pendorong berikutnya adanya perkawinan masing masyarakat saling menerima unsur campuran (amalgamation), memiliki budaya asing sekaligus saling memengaruhi kesamaan unsur kebudayaan, serta satu sama lain. Namun, ada kemungkinan menghadapi musuh bersama dari luar.29 pengaruh itu hanya datang dari satu pihak saja jika hubungan tersebut terjadi lewat

26 Ibid., 74. 28 Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 75. 27 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi., 255. 29 Ibid., 76-77.

Volume 01 - No. 02 Januari 2020 169 Charolin Indah Roseta

saluran komunikasi massa, dari masyarakat dalam kelas sosial tinggi, tengah, dan pengguna alat-alat komunikasi tersebut. Di rendah. Kelompok sosial pada strata rendah satu sisi, pihak lain hanya menerima memiliki nasib yang malang karena pengaruh tanpa memiliki peluang untuk cenderung tidak dapat menikmati hak-hak memberikan pengaruh balik. asasi manusia. Hal ini karena mereka dianggap tidak berguna dalam banyak bidang kehidupan lantaran kelas sosialnya Kebudayaan Jawa Sebelum dan yang rendah.33 Sesudah Masuknya Islam Setelah masuknya Islam, masyarakat Jawa Sejarah mencatat bahwa kebudayaan Jawa mengalami perubahan signifikan khususnya sebelum masuknya Islam memiliki falsafah pada tataran moral yang jika sebelumnya hidup yang bersumber dari agama kuno dikenal arogan dan superior khas Majapahit bernama Kapitayan. Agama tersebut berubah menjadi menjunjung tinggi sikap merupakan sistem hidup warisan dari nenek andhap ashor dan keharmonisan hidup. moyang Jawa.30 Hingga abad ke XV dasar Adapun Agus Sunyoto dalam bukunya nilai budaya Jawa lebih banyak menyebutkan bahwa sebagaimana lazimnya dititikberatkan pada sinkretisme nilai-nilai yang bersumber dari ajaran Islam, (pencampuran) ajaran Kapitayan yang nilai-norma yang dikembangkan oleh identik dengan konsep mistis dengan Hindu- Walisongo di era akhir Majapahit yang Buddha berasal dari India.31 ditanamkan, ditegakkan atas dasar asas

harmonisasi keselarasan.34 Beberapa nilai Di sisi lain dalam hal kehidupan sosial, Islam yang ditanam Walisongo pada khususnya di bagian tengah dan timur Jawa masyarakat Jawa merujuk pada nilai Islam berkembang nilai-nilai keagungan yang sufistik seperti kesabaran (shabar), berasal dari kerajaan Majapahit yang kesederhanaan (wara’), ngalah (tawakal), menjadi standar hidup makmur yaitu keikhlasan (ikhlas), lila atau kerelaan (ridha), mendapatkan kemenangan dengan andhap asor (tawadhu’), nrimo (qana’ah), mendasarkan pada ambisi yang besar keadilan (‘adl), guyub dan rukun (ukhuwah). berupa nilai-nilai keunggulan, kebesaran, Selain itu juga diajarkan moralitas yang superioritas, keagungan, kemuliaan atas membuat manusia mampu mengendalikan kemenangan penaklukan oleh kerajaan batin dan hawa nafsu sehingga menekankan Majapahit.32 Bentuk lain dari perwujudan sikap rendah hati terhadap sesama dan tidak nilai Jawa yang cenderung arogan salah gemar cekcok. Alasan yang dikemukakan satunya dapat dilihat pada fenomena adalah bahwa dengan hawa nafsu dapat kehidupan masyarakat di wilayah Sunan menjerumuskan manusia kepada jalan Gresik tinggal. Di daerah ini terdapat kesesatan.35 Adapun dalam referensi lain kesenjangan sosial yang cukup tinggi dengan menyebutkan bahwa terdapat ajaran demografi penduduk yang disusun atas Walisongo tentang orientasi hidup manusia dasar kelas sosial. Masyarakat dibagi ke

30 Agus Sunyoto, Atlas Walisongo: Buku Pertama yang 32 Ibid., 442-446. Mengungkap Walisongo Sebagai Fakta Sejarah, 33 Arif, Sejarah Lengkap Wali Sanga, 30. (Depok: Pustaka Iman, 2017), 13. 34 Sunyoto, Atlas Walisongo, 442-446. 31 Ibid., 17. 35 Ibid.

170 INTELEKSIA - Jurnal Pengembangan Ilmu Dakwah Dakwah Antarbudaya: Perubahan Sosial Budaya pada Proses Islamisasi Jawa Abad XV

yaitu jika dapat menyesuaikan diri dengan yang menjadi leader di angkatan V. Dalam lingkungan di sekitarnya atau bahkan dapat buku Atlas Walisongo menyebutkan bahwa menembus sampai padanya, maka akan pada tahun 1440 M Raden Rahmat, putra mecapai keberhasilan dalam hidup.36 dari Ibrahim Asmarakandi datang ke Jawa Adapun kriteria keberhasilannya adalah bersama dengan saudaranya Ali Murtadho. ketentraman batin yang tenang yaitu kondisi Momen tersebut dikatakan sebagai awal slamet (selamat) baik di dunia maupun dimulainya sistem dakwah Islam secara akhirat dan hanya dapat tercapai apabila masif, sistematis, dan terorganisir.37 Secara manusia memiliki sikap batin yang tepat. umum tiap anggota Walisongo memiliki Adapun variabel-variabel perubahan budaya hubungan kedekatan satu sama lain, baik di Jawa diuraikan sebagai berikut: karena ada hubungan darah atau karena ikatan guru dan murid. Sunan tertua adalah 1) Walisongo sebagai Agen perubahan Maulana (wafat 1419 M) Dalam beberapa buku yang menyatakan memiliki anak yaitu Sunan Ampel (1401 – bahwa Walisongo adalah sebuah nama bagi 1481 M). (1465 – 1525 M) dan dewan dakwah, perkumpulan ulama, dewan Sunan Drajad (1470 – 1522 M) adalah anak mubalig, majelis para wali yang bernaung Sunan di Ampeldenta ini. (1442 – dalam organisasi atau lembaga dakwah yang 1506 M) adalah sepupunya karena dia berjumlah sembilan orang dalam setiap merupakan keponakan ayahnya. Adapun angkatan. Para guru sufi ini awalnya datang Sunan Kalijaga (1460 – 1513 M) adalah ke Indonesia untuk berdagang namun sahabat sekaligus murid putra pertamanya, sengaja menyebarkan ajaran tasawuf baik Sunan Bonang. Sedangkan Sunan Muria secara personal maupun kelompok merupakan anak Sunan Kalijaga. Sunan khususnya di tanah Jawa. Maulana Malik Kudus (wafat 1550 M) merupakan murid Ibrahim (1404 – 1419 M) adalah pembawa Sunan Kalijaga. Sedangkan Sunan Gunung gagasan sufistik ini sekaligus perintis dan Jati (1448 – 1568 M) adalah sahabat para pendiri “lembaga” Walisongo angkatan I Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim untuk kemudian diteruskan oleh Sunan yang telah meninggal lebih dulu.38 Ampel (1401 – 1481 M) atau Raden Rahmat

Tabel 1 - Daftar Walisongo Berdasarkan Angkatan39 Angkatan I (1404 – 1421) Angkatan II (1421 – 1436) Angkatan III (1436 – 1463) 1. M. Malik Ibrahim 1. Sunan Ampel 1. Sunan Ampel 2. Maulana Ishaq 2. Maulana Ishaq 2. Maulana Ishaq 3. M. A. Jumadil Kubra 3. M. A. Jumadil Kubra 3. M.A. Jumadil Kubra 4. Muh. Al-Maghribi 4. Muh. Al-Maghribi 4. Muh. Al-Maghribi 5. M. Malik Israil 5. M. Malik Israil 5. Ja’far Shodiq 6. Muh. Ali Akbar 6. Muh. Ali Akbar 6. Syarif Hidayatullah 7. Maulana Hasanuddin 7. Maulana Hasanuddin 7. Maulana Hasanuddin 8. Maulana Aliyuddin 8. Maulana Aliyuddin 8. Maulana Aliyuddin

36 Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga, 86. 39 Ibid., 121. 37 Sunyoto, Atlas Walisongo, 399. 38 Abdullah, Walisongo, 20

Volume 01 - No. 02 Januari 2020 171 Charolin Indah Roseta

9. Syekh Subakir 9. Syekh Subakir 9. Syekh Subakir

Angkatan IV (1463 – 1466) Angkatan V (1466 – 1478) Angkatan VI (1478 – …M) 1. Sunan Ampel 1. Sunan Giri 1. Sunan Giri 2. Sunan Mbonang 2. Sunan Ampel 2. Sunan Ampel 3. A. Jumadil Kubra 3. Sunan Mbonang 3. Sunan Mbonang 4. Muh. Al-Maghribi 4. 4. Sunan Kudus 5. Ja’far Shodiq 5. Sunan Gunung Jati 5. Sunan Gunung Jati 6. Sunan Gunung Jati 6. Sunan Drajad 6. Sunan Drajad 7. Sunan Giri 7. Sunan Kalijaga 7. Sunan Kalijaga 8. Sunan Drajad 8. Raden Patah 8. Sunan Muria 9. Sunan Kalijaga 9. Fathullah Khan 9. Sunan Pandanaran

Menyoroti Walisongo angkatan V, maka adanya pertimbangan yang berkaitan agen yang paling berperan dalam dakwah dengan eksistensi dirinya sebagai raja simbol Islam masa ini adalah Sunan Ampel (1401 – kebudayaan Hindu Jawa serta untuk 1481 M) yang memiliki beberapa keunggulan meminimalkan gejolak sosial di baik dalam bidang pengajaran dan masyarakat.41 Selain itu dalam dakwahnya komunikasi. Terkait hal ini Masykur Arif Sunan Ampel (1401 – 1481 M) melakukan menuliskan dalam bukunya bahwa ia sering kaderisasi agen pendakwah kepada para mendatangi langsung objek dakwahnya baik keturunan raja dan bangsawan lokal Jawa dalam bentuk perorangan maupun pada masa itu dengan jalan menjadikan kelompok dan menyampaikan dakwah mereka murid pada pesantren yang ia melalui pidato atau melakukan pengajaran dirikan. Sunan Giri (1442 – 1506 M), Sunan di beberapa pesantren yang sengaja Gunung Jati (1448 – 1568 M), Sunan Kalijaga didirikan.40 Di Jawa, Sunan Ampel terkenal (1460 – 1513 M) dan Sunan Kudus (wafat sebagai seorang orator ulung. Ia pandai 1550 M), adalah beberapa contoh membuat aforisme-aforisme bahasa yang bangsawan Jawa yang menjadi murid Sunan mudah diingat, salah satunya seperti jargon Ampel untuk kemudian menjadi Moh Limo yang saat itu menjadi pegangan “kepanjangan tangannya” sehingga Islam dasar pengaturan norma sosialnya. Dalam dengan cepat menyebar hingga ke daerah referensi yang lain, Sunan Ampel (1401-1481 pelosok. M) bahkan digambarkan sebagai sosok yang pandai menaklukan hati para mad'uw 2) Disorganisasi Kultur Hindu Syiwa di Jawa sehingga sangat sulit untuk menolak Secara teoretis perubahan sosial budaya ajakannya. Widji Sasono menyebutkan dimulai dengan adanya kondisi disintegrasi bahwa ia menyampaikan ajaran-ajaran Islam pada budaya lama. Dalam kasus ini juga dan mampu membangun simpati pada terdapat gejala-gejala memudarnya norma Prabu Kertawijaya. Meskipun pada akhirnya dan nilai Majapahit yang menjadi titik balik penguasa Majapahit tersebut menolak diterimanya Islam di Jawa pada abad masuk Islam, hal tersebut lebih dikarenakan tersebut. Daliman menyebutkan bahwa

40 Arif, Sejarah Lengkap Wali Sanga, 93. Kecil, Dewasa, Hingga Akhir Hayatnya, Yogyakarta: 41 Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa dalam Dipta, 2013, 90-91. Masykur Arif, Sejarah Lengkap Wali Sanga, Dari Masa

172 INTELEKSIA - Jurnal Pengembangan Ilmu Dakwah Dakwah Antarbudaya: Perubahan Sosial Budaya pada Proses Islamisasi Jawa Abad XV

Islam masuk di Indonesia pada abad ke-15 penduduknya akibat perang saudara yang saat pusat peradaban Hindu Jawa berkepanjangan.43 mengalami krisis, khususnya pada saat di mana pusat kekuasaan Hindu Indonesia Indikasi adanya kesadaran melemahnya bagian timur yaitu Kerajaan Majapahit yang budaya lama juga dirasakan oleh penguasa mulai menghadapi saat keruntuhannya.42 Majapahit kala itu sehingga mendorongnya Lebih lanjut ia menambahkan bahwa untuk menerima ajaran Islam yang dibawa meninggalnya Gadjah Mada pada 1364 dan Sunan Ampel karena dipandang bisa tidak lama kemudian disusul dengan memberikan solusi untuk menjawab meninggalnya Raja Hayam Wuruk pada 1389 masalah masyarakatnya. Adapun Sunyoto menjadi titik balik yang menggoncangkan dalam memaparkan data sejarah bahwa kekuasaan Majapahit. Pusat peradaban akibat perang saudara, muncul keprihatinan Hindu ini menunjukkan kelemahan- Raja Brawijaya V akan kekacauan di kelemahan dan secara tidak langsung kerajaannya sehingga mendorongnya untuk membuka jalan proses dakwah Islam hingga mengirim putra mahkotanya (Raden Patah) membentuk kekuasaan politik baru yaitu ke Palembang yang telah lebih dulu Kerajaan Demak Bintara. Adapun kekuatan terakulturasi Islam dikarenakan alasan lebih Majapahit makin lama makin rapuh akibat senang belajar ajaran sufi daripada Hindu pemberontakan dan perebutan kekuasaan di Buddha.44 Selain itu Maharaja Majapahit kalangan keluarga raja, yang puncaknya tersebut juga memiliki kawan, kerabat, menimbulkan kekacauan lewat Perang ajudan dan beberapa orang Istri dari Champa Paregreg (1401 – 1406) dan sekaligus dan Cina yang beragama Islam. mengantarkan Majapahit kepada kedekatannya dengan kaum muslim keruntuhannya. Gejala krisis budaya lama ini disinyalir karena sang Raja telah menaruh sebenarnya dimulai ketika proses pergantian perhatian yang besar terhadap ajaran agama tahta Majapahit sepeninggal Prabu Islam.45 Terkait dengan hal ini Masykur Arif Kertawijaya, di mana para keturunannya juga menunjukkan data bahwa Prabu saling berebut menjadi raja karena merasa Brawijaya sangat senang dan kagum atas bahwa merekalah yang lebih berhak atas ajaran Sunan Ampel. Baginya Islam adalah mahkota Majapahit. Hal ini disebabkan agama yang mengajarkan budi pekerti yang karena sifat superior sehingga merasa lebih mulia. Hal ini dilatarbelakangi kekacauan unggul antara satu dengan yang lain. Adapun Majapahit dipandang sangat membutuhkan yang menjadi korban dalam hal ini adalah ajaran yang lebih menekankan pada aspek penduduk, karena terlibat perang sipil yang budi pekerti luhur dan manusiawi diakibatkan kuatnya hasrat berkuasa oleh sebagaimana yang diajarkan oleh Sunan para pewaris dan bangsawan kerajaan yang Ampel. Oleh karenanya Sunan Ampel tidak ingin saling menguasai satu dengan yang dilarang berdakwah di Kerajaan Majapahit lain. Data menunjukkan hingga saat itu, bahkan diberi wilayah khusus untuk kerajaan ini hampir kehilangan separuh lebih menjalankan dakwahnya, walaupun saat itu Raja enggan memeluk Islam dengan alasan

42 A. Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan 44 Sunyoto, Atlas Walisongo, 393. Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Ombak, 2012), 73. 45 Ibid., 104-105. 43 Ibid.

Volume 01 - No. 02 Januari 2020 173 Charolin Indah Roseta

ingin menjadi raja terakhir yang beragama memiliki dua cara yang dilakukannya dalam Buddha.46 Bahkan akibat rasa simpatiknya rangka mengenkulturasi nilai Islam yaitu terhadap Islam, Sri Prabu Kertawijaya kepada sasaran awal dan masyarakat luas. (Brawijaya V) memberi peluang bagi orang- Enkultuasi nilai Islam pada sasaran awal orang Islam termasuk untuk memegang dapat diketahui berdasarkan atas data jabatan penting di Majapahit. Dalam hal ini, bahwa setelah diangkat menjadi Imam Sunan Ampel yang merupakan kemenakan Masjid di Surabaya, langkah awal yang istri Raja diangkat sebagai Imam dan Adipati dilakukan dalam dakwahnya adalah Surabaya yaitu Ampeldenta.47 Khususnya melakukan kaderisasi agen lewat sistem bagi Raden Rahmat, dengan menempati mengakuisisi sistem pendidikan lama wilayah Ampel merupakan keberuntungan (dukuh) ke dalam format Islam. Pendidikan besar baginya untuk menyebarkan Islam formal sebelum pesantren ini dijelaskan oleh dengan mudah. Sebab, Surabaya pada waktu Sunyoto bahwa terdapat kemiripan- itu merupakan pintu gerbang utama bagi kemiripan yang cukup banyak antara Majapahit yang merupakan pelabuhan pendidikan di pesantren-pesantren tempat singgah bagi orang-orang yang tradisional muslim dengan pendidikan memiliki kepentingan keluar masuk kerajaan seorang wiku (calon pendeta Syiwa-Buddha) tersebut. Oleh karena itu, dakwah Islam yang di tempat yang disebut dukuh, di mana semula berada di pelabuhan Gresik menjadi aspek pengajarannya lebih ditekankan semakin menusuk ke jantung Majapahit kepada aspek pembentukan watak dan budi melalui pelabuhan Surabaya setelah Raden pekerti.49 Rahmat dapat dengan mudah memperoleh informasi tentang situasi Majapait dari para Di dalam dukuh diajarkan prinsip pedagang dan orang-orang Majapahit ketundukan siswa kepada guru dengan sendiri yang melewati pelabuhan tersebut.48 konsep gagasan guru bhakti yang mencakup tiga guru (triguru), yaitu guru rupa yaitu 3) Proses Pengadopsian Nilai Islam di Jawa orang tua yang melahirkannya, guru Masa Awal pangajyan berarti orang yang mengajarkan Agen yang banyak berperan dalam pengetahuan ruhani, dan terakhir adalah diterimanya Islam di tanah Jawa adalah raja sebagai guru wasesa. Khusus untuk guru Sunan Ampel sebagai leader angkatan V pangajyan diberi gelar “susuhunan” yaitu termasuk menjadi penggagas dan inisiator orang yang berhak melakukan baiat pendirian kerajaan Demak Bintara sebagai (diksa).50 Adapun kata santri adalah sebutan simbol kekuasaan Islam pertama di Jawa. murid yang diadaptasi dari istilah sasthri, Oleh karenanya dalam pembahasan bermakna orang-orang yang mempelajari berikutnya akan difokuskan pada Sunan ini sasthra (kitab suci). Dari mekanisme dukuh dan beberapa wali yang memiliki signifikansi ini kemudian melahirkan tokoh-tokoh besar dalam islamisasi masyarakat Jawa Walisongo dari kalangan pribumi seperti hingga pedalaman. Raden Rahmat atau yang Raden Patah, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, dan lebih dikenal dengan nama Sunan Ampel lain sebagainya. Bahkan salah satu murid

46 Arif, Sejarah Lengkap Wali Sanga, 112. 49 Sunyoto, Atlas Walisongo, 422. 47 Sunyoto, Atlas Walisongo, 104-105. 50 Ibid. 48 Arif, Sejarah Lengkap Wali Sanga, 88.

174 INTELEKSIA - Jurnal Pengembangan Ilmu Dakwah Dakwah Antarbudaya: Perubahan Sosial Budaya pada Proses Islamisasi Jawa Abad XV

Sunan Ampel yaitu Raden Patah menjadi mendapatkannya, mereka cukup penguasa Islam pertama di tanah Jawa yaitu menyebutkan dua kalimat syahadat.52 kerajaan Demak Bintara. Terkait hal ini De Faktanya kipas ini sangat berguna karena Graaf memaparkan data bahwa seseorang mengandung obat untuk menyembuhkan dari Ampeldenta mengutus salah seorang penyakit tertentu di masyarakat kala itu. muridnya untuk mendirikan permukiman Khasiatnya muncul ketika akar-akar yang Islam di daerah dekat Demak Bintara.51 sudah dianyam menjadi kipas itu dicelupkan pada air, kemudian airnya diminum. Para Secara tinjauan efektivitas, penggunaan warga merasa sangat senang terhadap kipas media dukuh ini bisa dikatakan memiliki dari akar yang dianyam bersama rotan itu kesesuaian dengan sasaran awal yang ternyata berdaya penyembuh bagi mereka merupakan tokoh berpengaruh dari yang terkena penyakit batuk dan demam. Di kalangan bangsawan Majapahit sebagai sisi lain, Sunan yang bertugas di daerah simbol budaya Hindu-Syiwa. Selain itu, nilai Ampeldenta ini menggunakan istilah ajaran Islam tentang moral tasawuf memang setempat untuk menyosialisasikan nilai-nilai sesuai jika disosialisasikan dengan Islam yaitu aktivitas salat diubah menjadi menggunakan media pendidikan seperti sembahyang (asal kata Hindu sang hyang, sistem dukuh yang lebih familier pada saat yang berarti menyembah Tuhan/Allah), itu. Apalagi sistem dukuh ini secara musala dibahasakan dengan langgar yang penyebaran hampir merata di setiap wilayah secara pengucapan hampir mirip dengan kekuasaan Majapahit. Oleh karenanya, istilah sanggar bagi masyarakat Hindu. masyarakat akan memiliki kemudahan akses Sedangkan kata santri yang berarti pelajar dalam mempelajari Islam hingga ke daerah dalam Islam memiliki kemiripan dengan diksi pedalaman. sasthri yang berarti kaum cendekiawan dalam bahasa Hindu. Sedangkan terhadap masyarakat luas sunan Ampel banyak menggunakan asumsi dakwah Dalam hal berkomunikasi dengan bilhal dengan memberikan kemanfaatan masyarakat setempat Sunan Ampel yang dapat dirasakan oleh banyak kalangan. menggunakan bahasa Jawa, walaupun Salah satu contohnya adalah saat bahasa Jawa-nya bercampur dengan cara rombongan Sunan Ampel melalui Desa pengucapan bahasa Arab. Dengan Krian, Wonokromo dan Kembang Kuning ia mempelajari tradisi setempat, ia bisa menyempatkan diri berdakwah kepada beradaptasi dan jika terdapat tradisi yang penduduk setempat yang dilaluinya. Dakwah melenceng jauh dari agama Islam, ia yang pertama kali dilakukannya cukup unik melakukan perubahan. Perubahan tidak yaitu membuat kerajinan berbentuk kipas mungkin dilakukan jika sebelumnya tidak yang terbuat dari akar tumbuh-tumbuhan mengerti tradisi yang akan diubah. Ketika tertentu yang dianyam bersama rotan. Sunan Ampel membangun tempat ibadah, ia Kipas-kipas itu diberikan dengan cuma-cuma tidak memberikan nama Arab pada tempat kepada para penduduk. Untuk ibadah itu, seperti musala, melainkan

51 H.J De Graaf & TH.G.TH. Pigeaud, Kerajaan Islam 52 Arif, Sejarah Lengkap Wali Sanga, 85. Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, (Jakarta: Grafiti, 2003), 45.

Volume 01 - No. 02 Januari 2020 175 Charolin Indah Roseta

memberi nama langgar yang mirip dengan masyarakat sekitarnya khususnya kepada sanggar. Ketika menyembah Tuhan, ia juga mereka yang masih memegang teguh tradisi tidak menggunakan bahasa Arab seperti Hindu Jawa.54 Selain itu dalam hubungan salat, melainkan menyebutnya sembahyang sosial, Sunan Ampel banyak yang berasal dari kata sembah dan hyang. mengembangkan sikap ramah kepada orang Sunan Ampel juga terkenal sebagai orator lain, seperti berkata-kata luhur, budi bahasa ulung dalam menyampaikan dakwah dengan yang menarik, baik hati dalam bergaul membuat jargon yang mudah diingat, salah dengan orang lain, dan bersikap sangat satunya Moh Limo yang cukup terkenal, yang menyenangkan.55 Ia memberi pengertian artinya tidak mau melakukan lima hal tercela sedikit demi sedikit tentang pentingnya yaitu Moh Maling (tidak mau mencuri), Moh ajaran Islam dan tidak langsung melarang Ngombe (tidak mau minum arak atau kebiasaan kepercayaan mereka. Sedikit demi mabuk-mabukan), Moh Main (tidak mau sedikit, ajaran tauhid (Islam) yang di berjudi), Moh Madon (tidak mau berzina dalamnya terdapat prinsip keimanan kepada atau main perempuan yang bukan istrinya) Tuhan Pencipta alam tanpa membuat sekutu dan Moh Madat (tidak mau narkoba, seperti bagi-Nya perlahan diperkenalkan. Dalam hal menghisab candu, ganja, dan lain-lain).53 bermazhab, Raden Rahmat juga terkenal Lima prinsip ini nyatanya telah berkembang sangat demokratis terhadap perbedaan menjadi pedoman hidup masyarakat pemikiran. Ia mengembangkan sikap toleran meskipun hal tersebut merupakan dengan tidak mempersoalkan mazhab penyimpangan dari tradisi hasil sinkretis keyakinan orang lain yang berbeda Syiwa-Buddha dengan Kapitayan (sekte dengannya. Toleransi bermazhab ini saktha dan bhairawa-tantra) yaitu upacara diberlakukan kepada siapa saja, tanpa adat yang disebut pancamakara atau Ma- terkecuali baik terhadap santrinya, para juru lima meliputi mamsha (daging), matsya dakwah dari berbagai daerah bahkan kepada (ikan), madya (minuman keras), maithuna anaknya sendiri.56 Berkat toleransi inilah (bersetubuh), mudra (bersemadi). banyak kalangan yang menaruh simpati dan mengapresiasi dengan berdatangan ke pusat Berkat strategi dakwahnya, pengikut Raden dakwah Raden Rahmat di Ampeldenta, Rahmat menjadi makin banyak di tempat ini Surabaya. Dalam hal ini Sunan Ampel apalagi sejak ia berkenalan dengan Ki Wiryo mampu mengadaptasikan ajaran Islam Sarojo dan Ki Bang Kuning yang merupakan sesuai dengan kondisi lingkungan dua tokoh masyarakat di daerah ini. Raden masyarakat Jawa. Oleh karenanya, Islam Rahmat dengan karisma dan kemampuan mudah dimengerti dan diterima oleh dakwahnya bisa membuat kedua tokoh masyarakat setelah ia tidak menggunakan berikut keluarganya masuk Islam dan strategi arabisasi, melainkan menjadi pengikutnya. Adanya kedua tokoh menginfiltrasikan nilai ajaran Islam dalam tersebut telah memudahkan untuk sebuat tradisi. mengadakan pendekatan dengan

53 Ibid., 110 Wali Sanga, Dari Masa Kecil, Dewasa, Hingga Akhir 54 Ibid., hal 86 Hayatnya, Dipta: Jogjakarta, 2013, 90-91. 55 Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa (coba cari 56 Arif, Sejarah Lengkap Wali Sanga, 88. buku aslinya?) dalam Masykur Arif, Sejarah Lengkap

176 INTELEKSIA - Jurnal Pengembangan Ilmu Dakwah Dakwah Antarbudaya: Perubahan Sosial Budaya pada Proses Islamisasi Jawa Abad XV

Adapun panggilan sunan berasal dari kata wayang yang pakem ceritanya sudah suhu nan, artinya “guru besar” atau orang digubah dengan nilai Islam. Pun demikian yang berilmu tinggi. Adapula yang dengan kelihaian dalang memainkan mengartikan sunan sebagai “yang dijunjung karakter lakon wayang, menjadikan tinggi” atau panutan masyarakat dengan masyarakat lebih mempercayai cerita nama lain susuhunan. Sementara itu, Ampel Ramayana dan Mahabharata versi Wali adalah nama daerah tempat tinggal daripada cerita aslinya.58 Contohnya seperti sekaligus wilayah dakwahnya. Raden Sunan Kalijaga yang sering mengenalkan Rahman dengan gigih berdakwah dan Islam kepada penduduk lewat kesenian yang membangun wilayah Ampeldenta dengan sangat digemari oleh masyarakat pengikut bernapaskan Islam, oleh karenanya ia kepercayaan agama lama. Ia terkenal mendapat gelar Sunan Ampel. Di sinilah ia memiliki keahlian dalam memainkan mendirikan pusat dakwah Islam berbentuk karakter tokoh pewayangan yang salah pesantren yang sekaligus menjadi pusat satunya lakon Dewa Ruci dan Bima yang dakwah. Lewat pesantren masyarakat merupakan analog perjalanan spiritual diajarkan tetang akidah, syariat, dan akhlak Sunan Kalijaga dengan titik tekan pada sifat mulia. Dengan ajaran dan pembawaan yang sabar saat berhadapan dengan sosok mistis bijaksana banyak yang tertarik belajar di seperti Nabi Kidir. Pesantren Ampeldenta hingga pusat pendidikan Islam ini menjadi tenar di seluruh Terkait dengan hal ini Purwadi menyebutkan pelosok negeri dalam waktu yang relatif bahwa Sunan Kalijaga dapat memadukan singkat.57 dakwah dengan seni budaya yang mengakar kuat di masyarakat seperti misalnya wayang, Metode dakwah bilhal kepada masyarakat tembang, gamelan, ukir, dan batik. Dalam luas juga diikuti oleh murid-murid Sunan praktiknya ia menggubah beberapa tembang Ampel yang juga mendirikan sentra-sentra di antaranya dhandhanggula semarangan dakwah di sepanjang Pulau Jawa. Beberapa dengan paduan melodi Jawa dan Arab.59 di antaranya yang cukup tersohor adalah Ketika menjadi dalang di berbagai daerah di Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga yang Pulau Jawa bagian barat hingga timur dari berdakwah dengan media kesenian Jawa wilayah Pajajaran hingga wilayah Majapahit, khususnya wayang. Dalam rangka menarik Sunan Kalijaga menggunakan berbagai nama minat publik terhadap kajian Islam, Sunan samaran agar tidak terkesan sedang Bonang bersama sunan Kalijaga menggubah berdakwah. Selain itu Sunan Kalijaga juga beberapa lakon pewayangan yang telah berkeliling dari satu tempat ke tempat lain mendarah daging di masyarakat menjadi dan memanfaatkan pertunjukan barongan, bernapaskan Islam, seperti lakon Petruk Jadi tari topeng, dan menjadi dalang pantun Raja dan Layang Kalimasada. Lebih lanjut serta dalang wayang. Masyarakat yang ingin Sunyoto menunjukkan bahwa pertunjukan mengadakan pertunjukan wayang Sunan wayang ala Wali dapat dengan mudah Kalijaga tidak membayar dengan mata uang, menarik perhatian masyarakat. Mereka namun cukup membaca dua kalimat terpesona dengan keindahan permainan

57 Ibid. 59 Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga, 99. 58 Arif, Sejarah Lengkap Wali Sanga, 129-130.

Volume 01 - No. 02 Januari 2020 177 Charolin Indah Roseta

syahadat sehingga Islam dapat berkembang Karya sastranya yang disebut suluk. Suluk pesat dengan cara demikian.60 memiliki arti menempuh jalan kesempurnaan batin atau jiwa dengan Adapun dalam bukunya, Abdul Hadi mengamalkan ajaran tasawuf atau tarekat. menyebutkan bahwa Sunan Bonang adalah Terdapat cerita ajaran tasawuf dari Sunan seorang musikus dan komponis terkemuka. Bonang yaitu tembang yang berjudul Konon ia menciptakan beberapa komposisi “tombo ati” yang paling populer bahkan tembang Jawa bernama “gendhing dharma” hingga saat ini. Suluk tombo ati masih sering dengan ajaran sufistik menjadi roh yang dibaca di pesantren, masjid, maupun langgar mewarnainya.61 Prinsip gubahan lagunya di desa-desa yang berfungsi sebagai syair- berpatokan pada alunan bunyi musik dzikir yang lazimnya dibaca sambil tertentu yang apabila didengarkan menunggu momen dilaksanakannya salat menciptakan kesan dan nuansa kesakralan berjamaah. Tembang tersebut berisi nasihat batin menuju ke alam kerohanian. Selain itu agar hati atau jiwa manusia selalu tenang, ia juga menambahkan instrumen baru yaitu damai, dan tenteram. Jika jiwa yang sudah bonang pada perangkat alat musik Jawa sakit tidak diberi penawar, maka akan bernama gamelan. Alat musik ini sebenarnya dianggap berbahaya bagi pemiliknya.63 berasal dari Champa dan menjadi hadiah pernikahan Brawijaya V dengan bibinya. 4) Reorganisasi (Reintegrasi) Ajaran Selain itu ia juga memperkenalkan Islam Sufistik dalam Kebudayaan Jawa instrumen lain yang berasal dari Arab Konsep reorganisasi mengacu pada suatu dengan sebutan rebab pada gamelan di proses pembentukan norma-norma dan Kerajaan Hindu Jawa. Hingga sekarang rebab nilai-nilai baru agar serasi dengan lembaga- sangat dominan pada gamelan Jawa dan lembaga kemasyarakatan yang telah bahkan dijadikan sebagai “raja instrumen”. mengalami perubahan. Dalam hal ini ajaran Meski berasal dari tradisi yang sama namun Islam sebagai nilai baru berfungsi sebagai hal ini tidak ditemukan pada gamelan Bali. acuan pembentukan norma sosial yang Data lain menyebutkan bahwa masyarakat diterapkan dalam pranata sosial di sangat terhibur dengan bunyi merdu dari masyarakat. Proses reorganisasi pada kasus alat musik bonang yang diciptakan oleh dakwah Walisongo angkatan V ini dapat Sunan Bonang. Orang Jawa tidak hanya dilihat dari beberapa modikasi dan senang dengan suara bonang, tetapi juga perubahan adat dan tradisi Jawa menjadi gubahan lagu-lagu atau tembang-tembang lebih bernapaskan Islam dalam berbagai ciptaannya yang dipandang sesuai mengikuti sektor kehidupan masyarakatnya. Fase ini 62 irama musik dari bonang itu sendiri. Saat banyak dilakukan setelah kaderisasi agen banyak penduduk yang menaruh simpati dan pada sasaran awal hingga era berkuasanya ingin belajar menabuh bonang serta lagu- Demak Bintara sebagai kerajaan Islam lagu gubahannya, maka saat itulah Sunan pertama di Jawa. Bentuk reorganisasi Bonang menyampaikan dakwahnya. Ajaran pertama, dikeluarkannya kebijakan kerajaan Islam juga dimasukkan dalam kesenian klasik Demak yaitu mengembangkan beberapa berbentuk tulisan atau karya sastra Jawa. dukuh ke berbagai pelosok desa di wilayah

60 Sunyoto, Atlas Walisongo, 267-268. 62 Ibid. 61 Arif, Sejarah Lengkap Walisongo, 125-127, 63 Arif, Sejarah Lengkap Wali Sanga, 136.

178 INTELEKSIA - Jurnal Pengembangan Ilmu Dakwah Dakwah Antarbudaya: Perubahan Sosial Budaya pada Proses Islamisasi Jawa Abad XV

Majapahit (thani) tidak hanya sebatas di sosial dalam kesenian wayang dipatenkan ke pusat keraton seperti sebelumnya. Ajaran dalam peraturan oleh Raden Patah selaku Islam disesuaikan dengan kebiasaan adat penguasa kerajaan Islam Demak Bintara melalui lembaga-lembaga pendidikan lokal yang menggantikan kerajaan Majapahit. tersebut dan Hindu-Buddha dapat Adapun bentuknya adalah mengubah dan berkembang dengan cepat di tengah sekaligus menyesuaikan epos Ramayana dan masyarakat.64 Mahabharata yang sangat digemari masyarakat saat itu dengan ajaran Islam. Reorganisasi kedua, dapat dilihat pada Dalam proses tersebut terjadi “de- sektor kesenian dan bahasa. Terkait dengan dewanisasi” menuju “humanisasi” dalam bidang bahasa, Ricklefs menjelaskan bahwa rangka menanamkan tauhid. Usaha “de- pertemuan dua budaya Islam dan Jawa tidak dewanisasi” yang dilakukan dalam menjadi masalah yang besar karena istilah- pengislaman epos Ramayana dan istilah lokal misalnya Tuhan, sembahyang, Mahabharata tecermin pada munculnya surga, dan jiwa sering dipakai oleh walisongo cerita-cerita yang berkait dengan kelemahan dan bukan istilah Arab.65 Sedangkan dan kekurangan dewa-dewa sebagai kesenian asli yang menjadi perhatian para sembahan manusia. Adapun bentuk wali untuk dimasuki nilai-nilai Islam adalah pelembagaan Islam dalam kesenian wayang wayang kulit. Perubahan norma-norma dijelaskan sebagaimana tabel berikut:66

Tabel 2 - Ketetapan Sultan Demak tentang Pakem Cerita Wayang agar Tidak Bertentangan dengan Tauhid Pra-Islam Pasca-Islam Cerita tentang poliandri yang menyangkut tokoh Diubah menjadi cerita monogami dengan Drupadi sebagai istri kelima bersaudara Pandawa. menggambarkan tokoh Drupadi sebagai istri Yudhistira, putra tertua Pandu. Dewa-dewa yang merupakan tokoh sembahan Dibikinkan susunan silsilah sebagai keturunan yang hidup di kahyangan. Nabi Adam dari jalur Nabi Syits. Tokoh-tokoh idola dalam ajaran Kapitayan seperti Dimunculkan sebagai Punakawan yang memiliki Danghyang Semar, Petruk, Nala Gareng, dan kekuatan adikodrati yang mampu mengalahkan Bagong. dewa-dewa Hindu. Azimat kerajaan Amarta yang kekuatan Dimaknai sebagai Layang Kalima-Sahada yang adiduniawinya mengalahkan kekuatan dewa-dewa berkaitan dengan persaksian keislaman dalam yang disebut Jimat Kalimasodo. wujud Dua Kalimat Syahadat.

Reorganisasi berikutnya ada pada aspek Jawa maka golongan kelas bawah seperti struktur stratifikasi sosial yang berbentuk domba, kewel, dapur, dan sebagainya modifikasi kelas sosial Jawa yang disesuaikan dinaikkan menjadi kelas menengah. Selain dengan nilai-nilai Islam. Sunyoto itu para petani, pengrajin (tukang), nelayan, menjelaskan bahwa sejak Islam masuk di dan pekerja lain ke dalam golongan waisya.67

64 Sunyoto, Atlas Walisongo, 449-450. 66 Ibid., 179. 65 M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai 67 Ibid., 409. Sekarang, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2013), 30.

Volume 01 - No. 02 Januari 2020 179 Charolin Indah Roseta

Dalam kasus lain terdapat fakta bahwa islami lewat Kerajaan Demak. Sunan Giri Sunan Gresik telah membantu para bertanggung jawab pada tata pemerintahan bangsawan kerajaan untuk tidak di Jawa, merintis pembukaan jalan, meremehkan kelas sosial yang lebih rendah, mengatur perhitungan kalender siklus dan mengangkat derajat tiap kasta pada era perubahan hari, bulan, tahun, dan windu. Majapahit pada posisi yang sama dalam Sedangkan Sunan Gunung Jati di Cirebon interaksi sosial.68 Selain itu Islam juga mengajarkan tata cara berdoa, membaca mencoba mengangkat posisi ulama/guru mantra, dan membuka hutan. Dalam bidang muslim setara dengan tokoh-tokoh adat seni, ada Sunan Bonang yang mengajarkan yang memiliki pengaruh dan kedudukan ilmu suluk, membuat gamelan dan tinggi di masyarakat. Dalam hal ini sekalipun memodifikasi iramanya. Ada pula Sunan kata “ulama” dalam konsep sosial Islam Drajat yang mengajarkan cara membangun menunjuk kepada suatu pengertian tentang rumah, membuat alat transportasi seperti orang “yang berilmu,” namun demi tandu dan joli, serta terkait peralatan hidup. menguatkan legitimasi pengaruh di Sunan Kudus memelopori rancangan masyarakat Jawa, maka kata tersebut pekerjaan peleburan, membuat keris, cenderung dihubungkan dengan kekuatan- kerajinan emas, melengkapi peralatan pande kekuatan gaib yang disebut “daya sakti” besi, dan dalam bidang hukum ia bertugas berbentuk karamah atau ma’unah. Dengan membuat peraturan undang-undang hingga daya tersebut, para wali dianggap bisa sistem peradilan yang diperuntukkan bagi mendatangkan berkah bagi orang-orang orang Jawa.69 yang taat dan memuliakannya, pun sebaliknya akan mendatangkan laknat dan 5) Asimilasi Kebudayaan Islam di Tanah kutukan bagi orang yang merendahkannya. Jawa pada Abad V Jenis perubahan sosial budaya yang Sedangkan dalam bidang sosial lain, bentuk dilakukan Walisongo angkatan V ini bisa reorganisasi Islam dalam lembaga sosial dikategorikan sebagai perubahan terencana Jawa dapat dilihat dari adanya pengajaran (planned-change) khususnya oleh Sunan dan pembiasaan masyarakat menerapkan Ampel atau Raden Rahmat yang sedari awal ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. membidik kalangan keraton dan bangsawan Aktor yang paling berperan dalam proses ini Jawa sebagai sasaran awalnya. Adapun adalah para wali yang selain memberikan pemilihan segmen dakwah, strategi akuisisi contoh (uswah) juga sekaligus mengajarkan dukuh, dan modifikasi wayang menunjukkan tata cara hidup yang islami. Adapun Sunyoto adanya usaha-usaha yang disengaja untuk dalam bukunya menyebutkan bahwa tujuan perubahan kebiasaan masyarakat terdapat tugas tokoh-tokoh Walisongo Jawa agar sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini dalam mengubah dan menyesuaikan dibuktikan dengan adanya kebijakan tatanan nilai-nilai dan sistem sosial budaya penempatan agen-agen hasil kaderisasinya masyarakat. Adapun Sunan Ampel bertugas pada sentra-sentra dakwah di sepanjang membuat norma dan aturan hidup yang pantai utara Jawa sehingga penyebaran

68 Arif, Sejarah Lengkap Wali Sanga, 33. Mengungkap Walisongo sebagai Fakta Sejarah, 69 Primbon milik Prof. KH. R. Moh. Adnan dalam Agus Depok: Pustama Iman, 2017, 160. Sunyoto, Atlas Walisongo: Buku Pertama yang

180 INTELEKSIA - Jurnal Pengembangan Ilmu Dakwah Dakwah Antarbudaya: Perubahan Sosial Budaya pada Proses Islamisasi Jawa Abad XV

Islam dapat dilakukan dengan masif hingga menganggap bahwa raja/tokoh masyarakat ke ujung timur dan barat pulau ini. Pun adalah titisan dari sanghyang taya dan dengan kemasan pesan dakwah yang dewa-dewa Hindu berubah menjadi dibuatnya lebih banyak mengakomodir keyakinan bahwa mereka dan wali adalah kebiasaan asli Jawa baik dalam hal perantara Allah di muka bumi. Dalam hal ini berbahasa, kesenian wayang, hingga tradisi yang perlu digarisbawahi yang menunjukkan ritual Hindu-Buddha. bentuk percampuran Islam-Jawa adalah masih dipertahankannya nilai mistis atas Bisa dikatakan bahwa pada saat itu, para dasar ajaran politeis Kapitayan-Hindu. agen dalam lembaga Walisongo tersebut Kepercayaan lama hanya mengalami telah memotori terjadinya bentuk asimilasi beberapa modifikasi pada bentuk kebudayaan Hindu Jawa dengan nilai-nilai kepercayaan politeis berubah menjadi Islam Sufistik. Adapun secara konseptual monoteis Islam Sufistik. Gagasan baru yang asimilasi adalah suatu kondisi di mana saat ditawarkan sebagai pengganti terjadi hubungan yang intensif di antara dua penyembahan dewa-dewa Hindu adalah kultur yang berinteraksi hingga terjadi bahwa para wali memiliki karamah yang perpaduan antara pemikiran dan sistem diyakini dapat mendatangkan berkah, baik perilaku keduanya. Perpaduan tersebut saat sang wali masih hidup maupun sesudah menandakan bahwa telah terjadi perubahan mati. Sedangkan ulama lain yang punya dan penyesuaian pada masing-masing unsur maqam rohani di bawah wali memiliki budaya Jawa dan Islam. Interaksi yang kekuatan adikodrati yang disebut ma’unah. bersifat intensif antara kelompok pedagang muslim dengan kelompok Hindu Jawa telah Bentuk perpaduan budaya Islam Sufi dan menghasilkan penyesuaian dari unsur Jawa nyatanya telah memenuhi prasyarat budaya Islam Sufistik dan Majapahit itu pertama terjadinya asimilasi. Selanjutnya sendiri. Dalam hal ini bentuk asimilasi usaha saling bergaul sebagai syarat kedua pemikiran dapat ditunjukkan dengan adanya terjadi antara masyarakat Jawa dan agen pemaknaan para Wali tokoh sufi dalam pola budaya baru yang ditunjukkan dengan pikir Hindu Jawa. Saat itu konsep Walisongo masuknya guru sufi dalam struktur kerajaan maknai sebagai “Nawa Dewata” yaitu Hindu Majapahit baik lewat perkawinan gagasan bahwa mereka adalah manusia campuran maupun pendidikan dengan keramat yang memiliki kemampuan konsep guru bhakti. Perubahan pola adikodrati seperti tokoh-tokoh dewa Hindu pendidikan dari dukuh kepada sistem yang tidak kasat mata.70 Selain itu juga “pesantren” oleh guru sufi menandakan terdapat konsep guru bhakti yang adanya penyesuaian-penyesuaian antara merupakan bentuk percampuran pemikiran nilai Islam tasawuf dengan perangkat antara Hindu Syiwa dan Islam Sufi. kebudayaan Hindu Jawa masa itu. Sekalipun Berdasarkan data tersebut dapat dipahami asimilasi ini awalnya terlihat dilakukan di bahwa dengan masuknya Islam Sufi ke tanah pesantren-pesantren dan komunitas- Jawa maka terdapat perubahan yang cukup komunitas masyarakat muslim di pesisir, signifikan pada tataran nilai lama yang namun dalam proses penyebaran hasil

70 Sunyoto, Atlas Walisongo, 147.

Volume 01 - No. 02 Januari 2020 181 Charolin Indah Roseta

asimilasi tersebut terdapat kecenderungan Sedangkan dari eksternal, terdapat faktor menggunakan institusi keraton sebagai penyebab berupa migrasi dan misi agen sentral. eksternal yang membawa nilai Islam sufistik, terbingkai dalam upaya-upaya dakwah yang Adapun beberapa hal yang dapat dipahami tersistematis dalam rangka melakukan terkait pola perubahan asimilatif Jawa Islam perubahan sosial di Jawa. Adapun Sunyoto oleh Walisongo adalah, pertama, faktor berpendapat bahwa para ulama dan para penyebab perubahan budaya di Jawa. bangsawan asal Champa khususnya Sunan Berdasarkan data proses masuknya Islam di Ampel di Surabaya, mampu melakukan Jawa, setidaknya dapat ditarik kesimpulan asimilasi dan sinkretisasi nilai Islam dengan bahwa terdapat dua penyebab perubahan adat budaya dan tradisi keagamaan yang sosial budaya yang terjadi. Pertama yaitu sudah ada di Nusantara. Menurutnya, kiprah dari internal masyarakat adanya kesadaran walisongo dengan kebijaksanaan- akan kelemahan budaya lama sehingga kebijaksanaan dakwahnya dapat memerlukan gagasan baru sebagai solusi menyampaikan ajaran Islam kepada atas permasalahan yang ada. Di atas telah masyarakat melalui pendekatan bersifat dijelaskan bahwa terdapat masalah konflik sosio-kultural-religius.73 internal yang cukup pelik di kerajaan Majapahit dan daerah kekuasaannya. Data Kedua, faktor pendorong proses perubahan menunjukkan bahwa akhirnya Raja budaya di Jawa. Mengacu pada teori faktor Majapahit mengundang sunan Ampel atau pendorong suatu perubahan sosial budaya, yang biasa disebut Ali Rahmatullah untuk dalam kasus Islamisasi Jawa oleh Walisongo mengajar agama di Jawa.71 Hal inilah yang angkatan V ini dapat dipahami bahwa hal kemudian menjadi titik balik diterimanya yang menjadi pemicu yang mempermudah ajaran Islam sufistik sebagai bagian dari way proses diterimanya nilai Islam adalah karena of life baru di Jawa. Berdasarkan data adanya kontak antara kebudayaan Jawa tersebut terdapat indikasi penyimpangan dengan budaya Islam sufistik yang dibawa norma budaya lama oleh generasi baru para ulama Timur Tengah khususnya Raden Majapahit karena pada salah satu literatur Rahmat (Sunan Ampel). Selain itu juga disebutkan bahwa pada akhir abad XV, disinyalir terdapat gejala keterbukaan dalam kerajaan Majapahit terpecah-belah dan sistem stratifikasi sosial di Jawa saat itu yang diikuti peperangan berebut kekuasaan dari ditunjukkan dengan adanya fakta sejarah beberapa kelompok yang mengaku sebagai bahwa setelah kedatangan Raden Rahmat keturunan Majapahit di berbagai kerajaan dan Raden Ali Murtadho ke Jawa, Raden kecil yang saling berperang satu dengan yang Rahmat diangkat menjadi imam masjid di lain. Hal ini mengakibatkan pusat-pusat Surabaya oleh Raja Majapahit dan dikenal pendidikan keagamaan lama mengalami sebagai Sunan Ampel, dan Raden Ali kemunduran karena dukuh sebagi pusat Murtadho diangkat menjadi Raja Pandhita di kajian agama Syiwa-Buddha tidak terurus.72 Gresik. Selain itu Sri Prabu Kertawijaya (Brawijaya V) juga memberi peluang bagi

71 Purwadi dan Enis Niken, Dakwah Walisongo: 72 Sunyoto, Atlas Walisongo, 170. Penyebaran Islam Berbasis Kultural di Tanah Jawa, 73 Ibid., 158-159. (Yogyakarta: Panji Pustaka Yogyakarta, 2007), 23.

182 INTELEKSIA - Jurnal Pengembangan Ilmu Dakwah Dakwah Antarbudaya: Perubahan Sosial Budaya pada Proses Islamisasi Jawa Abad XV

orang-orang Islam untuk memegang jabatan ada anggapan umum bahwa prinsip ajaran penting di Majapahit. Hal ini merupakan efek Islam tidak berbeda jauh dengan Syiwa multiplier dari adanya faktor pendorong Buddha. Oleh karena kesamaan pesan inilah lainnya yaitu gejala kelemahan budaya lama yang membentuk “persepsi” bagi sebagian yang dirasakan oleh kalangan keraton. kalangan masyarakat bahwa ajaran Islam Kekuatan Majapahit semakin rapuh akibat yang dibawa oleh Walisongo dianggap pemberontakan dan perebutan kekuasaan di “selaras” dan tidak bertentangan dengan kalangan keluarga raja-raja sendiri. adat tradisi Jawa itu sendiri sehingga tidak Ketidakpuasan atas kondisi dan kiprah menimbulkan penolakan yang berarti atas kerajaan induk (Majapahit) inilah yang pada pesan dakwah yang disosialisasikan pada akhirnya menjadi momentum yang mereka. dimanfaatkan oleh Raden Rahmat untuk menawarkan way of life selain Hindu untuk Temuan faktor pendorong berikutnya yang mencapai stabilitas sosial. menyebabkan mudahnya proses islamisasi Jawa saat itu adalah adanya kemudahan Namun selain dua hal di atas, ditemukan akses bagi masyarakat untuk mempelajari juga adanya faktor pendorong lain yang nilai budaya baru yaitu Islam. Hal ini terbukti berperan dalam mempercepat perubahan hingga akhir abad ke XV di sepanjang pantai sosial budaya Jawa menjadi lebih “islami” utara Jawa telah berdiri sentra-sentra yaitu adanya tawaran produk/nilai yang dakwah Islam yang secara tidak langsung memiliki kesamaan dengan kebiasaan Jawa menjadi ujung tombak meluasnya Islam saat itu. Dalam hal ini, terdapat data yang hingga ke Nusantara.75 Pusat mengkaji Islam menyebutkan bahwa Walisongo dalam yang terkenal adalah Ampeldenta di wilayah dakwahnya banyak menyamakan kemiripan Surabaya, kemudian di sebelah baratnya antara ajaran Islam dengan satyabrata terdapat Giri Kedaton tempat kediaman seperti yang menyangkut halal dan Raden Paku (Sunan Giri), sepupu Sunan haramnya makanan dan minuman. Sunyoto Ampel. Di sebelah barat Giri Kedaton menyebutkan data bahwa seorang wiku terdapat sentra dakwah yang disebut Drajat wajib menghindari minuman keras yang tempat kediaman Raden Qasim (Sunan memabukkan seperti arak, nira, anggur, Drajat) yaitu putra Sunan Ampel. Bergeser ke brem, dan ciu karena dianggap tidak suci baratnya terdapat sentra dakwah yang (camah) atau menjijikkan.74 Selain itu dalam disebut Sendang Dhuwur tempat kediaman ajaran tasawuf yang disebarluaskan kepada Raden Nur Rahmat, putra Abdul Qahar bin masyarakat Jawa, gagasan yamabrata dan Syaikh Abdul Malik al-Bahdady, terhitung niyamabrata dapat disamakan dengan keponakan Syaikh Datuk Abdul Jalil (Siti takhilli (usaha membersihkan diri dari nafsu- Jenar) yang menikahi putra Syaikh Abdul nafsu rendah) dan tahalli (menghiasi diri Malik al-Bahdady. Sebelah baratnya dengan sifat-sifat ilahi) dalam rangka terdapat sentra dakwah Islam yang disebut memperoleh pencerahan dan mengetahui tempat kediaman Raden Mahdum kebenaran sejati. Pun demikian, ajaran Ibrahim (Sunan Bonang), putra Sunan tasawuf dapat diterima masyarakat karena Ampel. Di sebelah barat Tuban terdapat

74 Ibid., 424. 75 Sunyoto, Atlas Walisongo, 403.

Volume 01 - No. 02 Januari 2020 183 Charolin Indah Roseta

sentra dakwah Islam Lasem tempat beberapa modikasi dan perubahan adat dan kediaman Nyai Ageng Maloka, putri sunan tradisi Jawa menjadi lebih bernafaskan Islam ampel yang dinikahi Pangeran Wiranagara dalam berbagai sektor kehidupan (Adipati Lasem), murid sunan Ampel. masyarakatnya. Fase ini banyak dilakukan Sebelah barat Lasem terdapat sentra setelah kaderisasi agen di sasaran awal dakwah Islam yang disebut Demak Bintara hingga era berkuasanya Demak Bintara tempat kediaman Raden Patah, murid sebagai kerajaan Islam Pertama di Jawa. sekaligus menantu Sunan Ampel. Sebelah Bentuk reorganisasi pertama adalah dalam baratnya terdapat sentra dakwah yang bidang pendidikan dengan melakukan disebut Sunan Kalijaga serta Cirebon tempat modifikasi sistem pendidikan ala Hindu yang kediaman Raden Sahid (Sunan Kalijaga) dan dikenal dengan istilah dukuh. Reorganisasi Syarif Hidayat (Sunan Gunung Jati), kedua dapat dilihat pada kesenian wayang keduanya adalah murid sunan Ampel. yang diubah sedemikian rupa sesuai ajaran Bahkan belakangan, dari sentra-sentra Islam. Reorganisasi berikutnya ada pada dakwah lain ke wilayah pedalaman Jawa dan aspek struktur-stratifikasi sosial yaitu luar Jawa hingga ke Hitu Maluku. melakukan modifikasi kasta Hindu Jawa. Sedangkan bentuk reorganisasi Islam dalam lembaga sosial lain dapat dilihat dari adanya Kesimpulan pengajaran dan pembiasaan masyarakat Perubahan sosial budaya pada sistem sosial menerapkan ajaran Islam pada kehidupan masyarakat dimulai dengan adanya kondisi sehari-hari. Aktor yang paling berperan disintegrasi pada kebiasaan lama. Dalam dalam proses ini adalah para wali yang selain kasus ini juga terdapat gejala-gejala memberikan contoh (uswah) juga sekaligus memudarnya nilai dan norma kerajaan mengajarkan tata cara hidup yang islami. Majapahit yang menjadi titik balik diterimanya Islam setelah berabad-abad Adapun faktor penyebab perubahan budaya lamanya. Proses pengadopsian nilai Islam dari internal masyarakat adalah adanya krisis pada masyarakat Jawa khususnya pada abad dari kebiasaan lama sehingga memerlukan XV tidak lepas dari peran agen perubah gagasan baru sebagai solusi atas budaya yang dalam hal ini dimotori oleh permasalahan yang ada. Sedangkan dari Sunan Ampel yang memiliki “nama pribumi” eksternal, terdapat faktor migrasi dan misi yaitu Raden Rahmat. Kiprahnya dakwahnya agen eksternal yang membawa nilai Islam memang telah dimulai sejak angkatan II, sufistik yang melakukan upaya dakwah namun nyatanya baru pada angkatan ke-V dalam rangka melakukan perubahan sosial di syiar Islam mencapai hasil optimal. Hal ini Jawa. Selain itu ada pula faktor pendorong ditunjukkan saat dirinya berhasil menggagas yang menjadi pemicu untuk mempermudah pendirian kerajaan Islam Pertama di Tanah proses diterimanya nilai Islam yaitu adanya Jawa yaitu Demak Bintara yang sekaligus kontak antara kebudayaan Jawa dengan menandakan berakhirnya kekuasaan Hindu budaya Islam sufistik yang dibawa para Majapahit. ulama Timur Tengah. Adanya fenomena open stratification bagi ulama Islam Proses reorganisasi pada kasus dakwah khususnya di Majapahit juga merupakan walisongo angkatan V ini dapat dilihat dari efek multiplier dari adanya faktor pendorong

184 INTELEKSIA - Jurnal Pengembangan Ilmu Dakwah Dakwah Antarbudaya: Perubahan Sosial Budaya pada Proses Islamisasi Jawa Abad XV

lainnya yaitu gejala kelemahan budaya lama perpaduan budaya Islam Sufi dan Jawa yang dirasakan oleh kalangan keraton. Selain nyatanya telah memenuhi prasyarat dua hal diatas, terdapat faktor lain yang terjadinya asimilasi sehingga menyebabkan berperan dalam mempercepat perubahan perubahan sosial yang cukup signifikan sosial yaitu adanya tawaran produk yang tanpa menimbulkan konflik yang berarti. memiliki kesamaan dengan kebiasaan saat Dengan ini hikmah yang dapat diambil bagi itu serta adanya kemudahan akses bagi para pelaku dakwah salah satunya adalah masyarakat Jawa untuk mempelajari nilai dakwah antarbudaya bukanlah hal yang budaya baru yaitu Islam. mustahil dilakukan selama memahami jalan- jalan kesuksesan yang dicontohkan oleh Bisa dikatakan bahwa jenis perubahan sosial Walisongo. Namun perlu digarisbawahi budaya yang dilakukan Walisongo angkatan khususnya bagi para agent of change saat ini V ini adalah perubahan terencana (planned- bahwa perlu sikap yang bijak dan change) yang sedari awal membidik proporsional dalam meneladani dakwah kalangan keraton dan bangsawan Jawa asimilatif oleh walisongo tersebut karena untuk melakukan "kaderisasi agen." Dengan tiap jenis perubahan sosial memiliki konteks strategi tersebut para pelaku dakwah dalam permasalahan yang berbeda sehingga tidak lembaga Walisongo telah mencapai suatu bisa asal mengadopsi tanpa memperhatikan bentuk asimilasi kebudayaan Hindu Jawa konteks situasi saat ini. dengan nilai-nilai Islam Sufistik. Bentuk

Bibliografi Abdullah, Rachmad. Walisongo: Gelora Dakwah dan Jihad di Tanah Jawa (1404-1482). Bandung: Al-Wafi Publishing, 2017. Amrullah, Achmad. Dakwah Islam Dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Bidang Penerbitan PLP2M, 1985. Arif, Masykur. Sejarah Lengkap Wali Sanga, Dari Masa Kecil, Dewasa, Hingga Akhir Hayatnya. Yogyakarta: Dipta, 2013. Daliman, A. Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Ombak, 2012. De Graaf, H.J. dan TH.G.TH Pigeaud. Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dab XVI. Jakarta: Grafiti, 2003. Fatkhan, Muh. “Dakwah Budaya Walisongo - Aplikasi Metode Dakwah Walisongo di Era Multikultural.” Aplikasia, Jurnal Aplikasi ilmu-ilmu Agama, Vol. IV No. 2 (2003): 122-141. http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/8200 Hatmansyah. “Strategi dan Metode Dakwah Walisongo.” Jurnal Al-Hiwar, Vol. 03 No. 05 (2015): 10-17. Doi: 10.18592/al-hiwar.v3i5.1193. Hizbullah, Muhammad. “Dakwah Harakah, Radikalisme, dan Tantangannya di Indonesia.” Misykat Al-Anwar: Jurnal Kajian Islam dan Masyarakat, Vol. 29 No. 2 (2018): 11-24. Doi:10.31904/ma.v29i2.2856

Volume 01 - No. 02 Januari 2020 185 Charolin Indah Roseta

Nawawi. “Dakwah dalam Masyarakat Multikultural.” Jurnal Komunika, Vol. 6 No. 1 (2012). Purwadi. Dakwah Sunan Kalijaga: Penyebaran Agama Islam di Jawa berbasis Kultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Purwadi dan Enis Niken. Dakwah Walisongo: Penyebaran Islam Berbasis Kultural Di Tanah Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka Yogyakarta, 2007. Ranjabar, Jacobus. Perubahan Sosial: Teori-teori dan Proses Perubahan Sosial serta Teori Pembangunan. Bandung: Alfabeta, 2017. Ricklefs, M.C. Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2013. Rosidi. “Dakwah Multikultural di Indonesia: Studi Pemikiran dan Gerakan Dakwah .” Jurnal Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 13 No. 2 (2013): 481-500. Doi: 10.24042/ajsk.v13i2.708 Saksono, Widji. Mengislamkan tanah Jawa dalam Masykur Arif, Sejarah lengkap walisanga, dari masa kecil, dewasa, hingga akhir hayatnya. Dipta: Jogjakarta, 2013. Sodikin, Ali. Antropologi Al-Quran: Model Dialektika Wahyu & Budaya. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013. Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. Suparjo. “Islam dan Budaya: Strategi Kultural Walisongo dalam Membangun Masyarakat Muslim Indonesia.” Jurnal Komunika, Vol. 2 No. 2 (2008): 178-193. Sunyoto, Agus. Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Mengungkap Walisongo sebagai Fakta Sejarah. Depok: Pustama Iman, 2017. Tajuddin, Yuliatun. “Walisongo dalam Strategi Komunikasi Dakwah.” ADDIN, Vol. 8 No. 2 (2014): 367-390. Doi: 10.21043/addin.v8i2.602

186 INTELEKSIA - Jurnal Pengembangan Ilmu Dakwah