PENANGANAN KONFLIK ETNIS DI KOTA TANJUNGBALAI DALAM PERSPEKTIF KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

TESIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Komunikasi dalam Program Magister Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Oleh:

MBARDO HAMZAH HARAHAP NIM 157045031

MAGISTER ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2017

PENANGANAN KONFLIK ETNIS DI KOTA TANJUNGBALAI DALAM PERSPEKTIF KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sebenarnya masalah yang ada di Kota Tanjungbalai dalam konflik etnis yang terjadi pada tanggal 29 Juli 2016 dan faktor yang mempengaruhinya sehingga terjadilah proses penanganan konflik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan paradigma konstruktivis. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam, dokumentasi serta observasi guna memperoleh informasi- informasi secara detail dari fenomena-fenomena yang terjadi di lapangan. Pada penelitian ini, beberapa dimensi konflik dan komunikasi antarbudaya yang dijadikan teori pengembangannya. Subjek penelitian terdiri dari tokoh formal dan informal sebanyak sembilan orang yang diantaranya langsung ikut dalam penanganan konflik. Untuk itu didapat sebuah petunjuk yang hampir sama dengan kejadian dilapangan dan penanganan untuk kedepan. Akar masalahnya yaitu pendirian patung di Vihara Tri Ratna, dan pihak Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) langsung menindaklanjuti dan menyelesaikannya. Dan akhirnya mendapatkan kesepakatan untuk menurunkan patung Amitabba yang ada di Vihara Tri Ratna. Dari aspek penanganan konflik, komunikasi antarbudaya yang dibangun sudah sangat standar dan menghasilkan penyelesaian yang diinginkan. Proses penyelesaian dan harapan kedepan adalah menjadikan masyarakat majemuk yang saling menghormati dan saling menghargai. Sehingga keberagaman (pluralisme) dan heterogennya masyarakat Tanjungbalai bisa terjaga dengan aman dan lancar.

Kata kunci: Konflik, Etnis, Penanganan Konflik, Komunikasi Antarbudaya, Tanjungbalai.

i

ETHNICITY CONFLICT HANDLING OF TANJUNGBALAI CITY IN THE PERSPECTIVE OF INTERCULTURAL COMMUNICATION

ABSTRACT

The purpose of this research is to figure out how the real problems that exist in the city of Tanjungbalai regarding the ethnicity conflict the occurred on the 29th of July 2016 and the influencing factors that caused the process of the conflict handling. The method used in this research is qualitative-descriptive with the constructivist paradigm. Data collecting technique is done by in-depth interview method, documentation and observation to gather detailed information from phenomenon on the field. In this research, some dimensions of conflict and intercultural communication are the theory of the progression. The research subjects are formal and informal figures of nine individuals which some were directly involved in the conflict handling for which a clue was figured that was almost similar to what happened on the field and for future handling. The main issue of this conflict was due to statue position of construction of Vihara Tri Ratna which immediately followed up and resolved the situation by Local Head Leader Communication Forum (Forkopimda). Finally, Which is the agreement to remove the statue of Amitabba in Tri Ratna Vihara. On the conflict handling aspect, intercultural communication intertwined is already very basic and results in the salvation wanted. The process of salvation and future expectation is to have the respectful and rewarding plural community. So that diversity (pluralism) and heterogeneous of the people of Tanjungbalai can be maintained peacefully in a smooth way.

Keywords: Conflict, Ethnicity, Conflict Handling, Intercultural Communication, Tanjungbalai

ii

iii

Telah diuji pada

Tanggal : 12 Oktober 2017

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dra. Lusiana Andriani Lubis, MA,Ph.D

Anggota : 1. Drs. Syafruddin Pohan, M.Si. Ph. D

2. Haris Wijaya,S.Sos, M. Comm

3. Dr. Nurbani, M.Si

4. Dr. Fikarwin Zuska, M. Ant

iv

PERNYATAAN

PENANGANAN KONFLIK ETNIS DI KOTA TANJUNGBALAI DALAM PERSPEKTIF KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

Dengan ini peneliti menyatakan bahwa:

1. Tesis ini disusun sebagai syarat memperoleh gelar Magister pada Program Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara benar merupakan hasil karya penulis sendiri. 2. Tesis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (Sarjana, Magister, dan/atau Doktor) baik di Universitas Sumatera Utara maupun di Perguruan Tinggi lain. 3. Tesis ini murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Komisi Pembimbing dan masukan Tim Penguji. 4. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas tercantum sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka. 5. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau begian tesis ini bukan karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya seeuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 12 Oktober 2017 Peneliti,

( Mbardo Hamzah Harahap)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan Rahmat dan Karunia-NYA, tesis ini dapat berjalan dengan proses yang terkesan panjang dan sesuai seperti yang direncanakan, amin. Begitupun tak lupa kiranya peneliti mengucapkan Shalawat dan salam atas Junjungan Besar Rasulullah Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan sahabat-sahabat juga para pengikut setianya. Inshaallah kita senantiasa mendapat syafaat di kemudian hari kelak, amin yaa robbal alamin.

Penelitian tesis ini dengan judul “Penanganan Konflik Etnis di Kota Tanjungbalai Dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya” dimaksudkan dalam rangka sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Sebagai bentuk suatu karya ilmiah, sedari awal hingga akhir penelitian tesis ini tidak pernah terlepas dari bantuan, bimbingan, serta motivasi dan juga dukungan dari berbagai pihak. Rasa cinta dan tentunya terimakasih yang sedalam-dalamnya, senantiasa saya sampaikan kepada pendamping hidup saya, Layla Juniarty Lubis, ST, atas seluruh spirit, doa, kasih sayang dalam mengurus anak-anak, dan ketabahan yang mendalam selama saya menjalankan perkuliahan ini. Untuk orangtua saya yang selalu tersenyum dalam memberikan spirit yang mendalam, umak Masdalila Siregar atas do‟a dan kasih sayangnya. Rasa terima kasih juga saya sampaikan kepada tulang H. Abdul Hakim Lubis dan nantulang Middrawaty Hasibuan atas doa dan dukungannya, semoga semua orang tua saya ini diberikan kesehatan dan kekuatan iman dalam menjalankan kehidupan di dunia ini. Selain itu, peneliti juga banyak mendapat bantuan moril maupun materiil dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, dengan kerendahan hati menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H. M. Hum. selaku Rektor Universitas Sumatera Utara. 2. Kementerian Komunikasi dan Informasi (KEMKOMINFO) Republik di Jakarta yang telah memberikan beasiswa pendidikan S2 Ilmu Komunikasi di FISIP USU kepada Peneliti. 3. Bapak Dr. Muryanto Amin, S. Sos. M. Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. 4. Ibu Prof. Dra. Lusiana Andriani Lubis, MA. Ph. D, selaku Ketua Program Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara sekaligus Ketua Sidang/seminar dalam tesis ini. 5. Bapak Drs. Syafruddin Pohan, M.Si. Ph. D. selaku Sekretaris Program Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan masukan, pengarahan dan waktu dalam penelitian ini. 6. Abang Haris Wijaya, S.Sos. M. Comm. selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah membimbing dan meluangkan waktu kepada peneliti. 7. Ibu Dr. Nurbani, M.Si. Selaku Ketua Komisi Pembanding, terima kasih atas saran, masukan dan kritik yang konstruktif. 8. Bapak Dr. Fikarwin Zuska, M. Ant. selaku Komisi Pembanding yang memberikan kemajuan yang berarti dalam memberikan masukannya.

vi

9. Seluruh dosen Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah mengajarkan ilmu dan pengetahuan kepada peneliti. 10. Staf Administrasi Magister Ilmu Komunikasi, Sri Handayani, S.Sos dan Zikra Khasiah, S. Sos yang selalu membantu penulis dalam urusan administrasi selama mengikuti perkuliahan di Magister Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sumatera Utara. 11. Abang dan kakak saya semuanya, baik yang di Medan maupun Rantauprapat yang tidak bisa di sebutkan satu persatu, adik-adikku, Fitriana Harahap, AMd, yang sabar dalam menghadapi peneliti selama tinggal di Martubung, Amarul Amin Harahap, SH, dan semua keluarga besarku. 12. Teruntuk teman-teman seperjuangan Angkatan III Kominfo yang selalu bersama, semoga persahabatan ini menjadi nikmat di hari selanjutnya, amin. 13. Semua teman-teman yang baik, terutama yang di Tanjungbalai, semoga persahabatan kita selalu mendapat lindungan ALLAH SWT, amin yaa robbal alamin.

Akhir kata, peneliti dapat merasakan segala kekurangan dan kelemahan yang seyogyanya jelas ada di dalam tesis ini. Dengan itu semua peneliti mengharap banyak kepada seluruh pembaca agar sedianya memberikan masukan, saran, dan pendapat yang konstruktif untuk perbaikan tulisan selanjutnya. Semoga tesis ini juga dapat bermanfaat untuk seluruh pembaca.

Atas kebaikan seluruh Bapak-bapak, Ibu-ibu, Kakak dan abang, adik-adik dan rekan sejawat dengan terselesainya tesis ini maka peneliti secara penuh dan ikhlas mengucapkan terimakasih. Semoga semua kebaikan mendapat balasan dari Allah SWT, Tuhan yang maha Pencipta, amin yaa robbal alamin.

Medan, 12 Oktober 2017 Peneliti

MBARDO HAMZAH HARAHAP

vii

DAFTAR ISI

Hal ABSTRAK ...... i ABSTRACT ...... ii LEMBAR PENGESAHAN TESIS ...... iii LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ...... iv PERNYATAAN...... v KATA PENGANTAR ...... vi DAFTAR ISI...... viii DAFTAR GAMBAR ...... x DAFTAR TABEL ...... xi DAFTAR LAMPIRAN ...... xi

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ...... 1 1.2. Fokus Masalah ...... 16 1.3. Tujuan Penelitian ...... 17 1.4. Manfaat Penelitian ...... 17

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Paradigma Kontruktivis ...... 18 2.2. Penelitian Sejenis Terdahulu ...... 18 2.3. Uraian Teori ...... 22 2.3.1. Komunikasi Antarbudaya ...... 22 2.3.2. Konflik ...... 26 2.3.3. Mekanisme Konflik ...... 26 2.4. Kerangka Pemikiran ...... 33

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian ...... 35 3.2. Aspek Kajian ...... 37 3.3. Subjek Penelitian ...... 37 3.4. Metode Pengumpulan Data ...... 38 3.5. Metode Analisis Data ...... 40 3.5.1. Metode Analisis Data Lokasi ...... 40 3.5.2. Metode Analisis Data Kualitatif ...... 43 3.6. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ...... 48

BAB IV. TEMUAN PENELITIAN 4.1. Proses Penelitian ...... 49 4.2. Temuan Penelitian ...... 50 4.2.1 Deskripsi Informasi Penelitian ...... 50 4.2.2. Informan 1 ...... 51 4.2.3. Informan 2 ...... 56 4.2.4. informan 3 ...... 60

viii

4,2.5. Informan 4 ...... 64 4.2.6. Informan 5 ...... 67 4.2.7. Informan 6 ...... 72 4.2.8. Informan 7 ...... 74 4.2.9. Informan 8 ...... 79 4.2.10 Informan 9 ...... 83

BAB V. PEMBAHASAN 5.1. Rumor Atau Issu Yang Berkembang Pada Konflik 29 Juli 2016 ...... 85 5.1. Keharmonisan Etnis Yang Ada di Masyarakat Tanjungbalai ...... 86 5.2. Realitas Hukum dan Perkembangan Sosial ...... 88 5.3. Penyelesaian Konflik Komunal ...... 90 5.4. Identitas Etnis Dan Harapan Keberlangsungan Keharmonisan Kedepan ...... 93

BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan ...... 98 6.2. Saran ...... 98

DAFTAR PUSTAKA ...... LAMPIRAN ......

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Kerangka pemikiran ...... 34 Gambar 3.1. Peta Administrasi Kecamatan Tanjungbalai Selatan ...... 43 Gambar 3.2. Model Analisis Interaktif ...... 45

x

DAFTAR TABEL

Table 3.1. Luas Wilayah ...... 41 Tabel.3.2. Jumlah Sarana Ibadah Kecamatan Tanjungbalai Selatan ...... 41 Tabel 4.1. Karakteristik Informan ...... 50

xi BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latarbelakang Masalah Ketika kita berkomunikasi, kita membuat rencana untuk mencapai tujuan kita.

Kita menyusun rencana komunikasi kita dengan orang lain berdasarkan pada tujuan kita seperti halnya penggunaan informasi yang kita miliki tentang orang lain. Semakin kita merasa tidak pasti, kita semakin waspada dan kita akan semakin bergantung pada data yang tersedia bagi kita dalam situasi tersebut. Pada keadaan ketidakpastian yang sangat tinggi, kita menjadi semakin sadar dan berhati-hati dengan rencana yang kita lakukan.

Ketika kita merasa sangat tidak pasti dengan orang lain, kita cenderung kurang yakin dengan akan rencana kita dan membuat rencana-rencana darurat, atau cara-cara alternatif dalam merespon hal tersebut (Littlejhon, 2011:218).

Negara Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk. Yang jelas daripada ciri kemajemukan masyarakat Indonesia yaitu penekanan kepada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud dalam bentuk komunitas–komunitas suku bangsa dan digunakan kesukubangsaan sebagai acuan utama sebagai jatidiri. Berazaskan pada ciri–ciri fisik atau tubuh yang dipunyai oleh seseorang, gerakan–gerakan tubuh dan dengan bahasa yang digunakan dan logat yang diucapkan, dan berbagai simbol–simbol yang digunakan dan dikenai pada dirinya, ia akan diidentifikasi sebagai suatu suku bangsa dari daerah tertentu oleh seseorang lainnya (Hadiluwih, 2008:1).

Propinsi Sumatera Utara adalah sebuah wilayah yang sarat dengan keberagaman etnis. Propinsi ini terdiri dari tujuh Kota dan dua puluh enam Kabupaten. Salah satu Kota yang ada di Propinsi ini yaitu Kota Tanjungbalai. Dimana Kota Tanjungbalai ini terdiri dari enam Pemerintahan Kecamatan dan tiga puluh satu Pemerintahan Kelurahan. Di

Kota Tanjungbalai pada tanggal 29 Juli 2016 tepatnya di Kecamatan Tanjungbalai

1

2

Selatan, Kelurahan Tanjungbalai Kota I setelah selesai shalat Isya, terjadi kejadian yang mengejutkan kancah Nasional.

Seorang oknum etnis China yang bernama saudari Meliana dan bertempat tinggal di Jalan Karya merasa terganggu dengan suara-suara yang berasal dari pengeras suara

Mesjid Al Maksum yang jaraknya ± 12 meter dari rumahnya. Hal ini terus terjadi sampai puncaknya hari Jumat tanggal 29 Juli 2016 setelah shalat Isya. Dengan adanya keluhan tersebut, maka BKM (badan kemakmuran mesjid) Al Maksum bersama dengan masyarakat mendatangi kediaman Meliana, namun beliau dan keluarganya merasa tidak senang sehingga terjadi pertengkaran.

Pada pukul 19.15 wib Kepala Lingkungan I Kelurahan Tanjungbalai Kota I

(Fahrur Rahman Sambas) menerima laporan melalui handphone bahwa terjadi pertengkaran yang menjurus keributan antara pihak BKM Al Maksum dengan keluarga

Meliana. Pukul 19.30 wib Kepala Lingkungan I Kelurahan Tanjungbalai Kota I melaporkan kondisi yang terjadi melalui handphone kepada Lurah Tanjungbalai Kota I yang langsung menindaklanjuti laporan tersebut. Kemudian Lurah Tanjungbalai Kota I meminta kepada Kepala Linkungan I untuk mengundang Forum Keamanan Polisi

Masyarakat (FKPM) yaitu Babinkamtibmas dan Babinsa.

Pada pukul 20.30 wib Kepala lingkungan dan Babinkamtibmas mengundang

Meliana dan BKM Al Maksum dan dipertemukan di kantor Lurah Tanjungbalai Kota I untuk membahas dan meminta keterangan dari kedua belah pihak. Meliana mengakui perkataannya tentang keberatan atas volume pengeras suara Mesjid Al Maksum yang terlalu keras. Saat pertemuan di kantor lurah, bapak Lurah menyarankan:

a. Meliana meminta maaf kepada BKM Al Maksum dan ummat islam.

b. Meliana disarankan untuk tidak tinggal di rumahnya saat ini (jalan Karya)

jika merasa terganggu karena berdekatan dengan Mesjid

3

c. Menjaga keselamatan keluarga, Meliana dan keluarganya diharuskan

mengungsi ke tempat lain untuk sementara waktu.

Selanjutnya ± pukul 21.15 wib sebelum terjadi kesepakatan di atas, massa telah berkumpul di luar kantor lurah Tanjungbalai Kota I dan keadaan sudah tidak kondusif, salah seorang yang tidak dikenal memasuki atau menerobos kantor Lurah Tanjungbalai

Kota I dan bermaksud memukul Meliana dan suaminya. Seketika itu secara sigap/spontan dihadang oleh pegawai kelurahan dan selanjutnya langsung diamankan pihak kepolisian.

Berdasarkan situasi tersebut maka Lurah meminta agar Meliana dan suaminya dibawa ke kantor Polsek Tanjungbalai Selatan untuk menghindari tindakan anarkis massa.

Massa terus berkumpul di halaman kantor Polsek Tanjungbalai Selatan padahal pihak Kepolisian dalam hal ini Wakapolres Kota Tanjungbalai sudah menghalangi terjadinya penumpukan massa. Tidak lama kemudian akhirnya massa bubar. Camat

Tanjungbalai Selatan bersama Ketua MUI (Syahron Sirait), Ketua FKUB yang diwakili oleh Sekretaris (Marolop),Wakapolres, pengurus BKM Al-Maksum, Ketua Front

Pembela Islam Kota Tanjungbalai (Osama) mengadakan rapat di Polsek Tanjungbalai

Selatan dan akhirnya terrcapai kesepakatan bahwa BKM Al-Maksum telah memaafkan

Meliana, namun proses hukum tetap berlanjut sekaligus untuk meredam massa yang terus mendesak.

Di tempat yang berbeda, sekitar pukul 23.30 wib menurut laporan Ahmad Rifai

(Kepling II Kelurahan Tanjungbalai Kota I) di Jalan Karya tepatnya di rumah kediaman

Sdri. Meliana telaah terjadi pembakaran oleh massa. Tapi api tersebut segera dipadamkan oleh masyarakat setempat. Kejadian ini dilaporkan oleh Ahmad Rifai (Kepling II

Kelurahan Tanjungbalai Kota I) kepada Lurah yang masih berada di Kantor Polsek

Tanjungbalai Selatan. Sekitar pukul 23.00 wib pihak Kelurahan mendapat laporan bahwa

4 ada orasi di Bundaran PLN dan juga terjadi penumpukan massa di Jalan Karya depan rumah Meliana, dan di Jalan Ir. H. Juanda di depan Vihara Huat Cu Keng.

Bersamaan dengan itu, setelah dicapainya kesepakatan di Polsek Tanjungbalai

Selatan tadi, Camat Tanjungbalai Selatan dihunjuk sebagai perwakilan untuk menyampaikan isi pertemuan di Polsek Tanjungbalai Selatan tadi kepada masyarakat.

Kemudian Camat Tanjungbalai Selatan dan rombongan bergerak menuju bundaran PLN untuk menyampaikan hasil rapat tersebut, namun sebelum sampai ke bundaran PLN pada pukul 23.00 wib Camat Tanjungbalai Selatan melihat massa telah melakukan pengrusakan Vihara Huat Cu Keng. Saat itu Wakapolres beserta jajarannya berhasil meredam massa yang melakukan pengrusakan dan suasana sudah mulai tenang ditandai dengan pemasangan police line.

Satu jam kemudian tiba-tiba masuk arus massa dari kedua sisi jalan Juanda dan menuju Vihara Huat Cu Keng. Camat Tanjungbalai Selatan kembali berusaha untuk menenangkan massa, namun massa tersebut lebih beringas dari yang sebelumnya dan jumlahnya jauh lebih besar. Akhirnya terjadi pengrusakan kembali disertai dengan pembakaran alat-alat sembahyang yang ada di Vihara tersebut. Selanjutnya pada pukul

00.30 wib, massa yang telah berkumpul di depan Vihara Tri Ratna jalan Asahan melakukan pelemparan ke dalam Vihara tersebut serta mendobrak pintu gerbang Vihara, setelah masuk mereka memecahkan lampu dan kaca mobil, lalu beramai-ramai membalikkan mobil tersebut dan membakarnya. Begitulah seterusnya sampai 15 rumah ibadah yang mengalami kerusakan diantaranya:

a. Vihara Tri Ratna jalan Asahan kelurahan Indra Sakti Kecamatan

Tanjungbalai Selatan, di rusak bagian dalam beserta tiga unit kenderaan

roda empat turut dibakar.

5 b. Vihara Avalokitesvara Jalan Teuku Umar Kelurahan Indra Sakti

Kecamatan Tanjungbalai Selatan, rusak ringan. c. Kelenteng Dewi Samudera, Jalan Asahan Kelurahan Indra Sakti

Kecamatan tanjungbalai Selatan, dibakar. d. Kelenteng Ko Ong Tua Jalan Asahan Kelurahan Indra Sakti Kecamatan

Tanjungbalai Selatan, dibakar. e. Vihara Huat Cu Keng Jalan Juanda Kelurahan Tanjungbalai Kota I

Kecamatan Tanjungbalai Selatan kondisinya rusak ringan. f. Balai Pengobatan Jalan Juanda Kelurahan Tanjungbalai Kota I

Kecamatan Tanjungbalai Selatan kondisi rusak ringan. g. Yayasan Sosial Kemalangan Jalan Mesjid Kelurahan Indra Sakti

Kecamatan Tanjungbalai Selatan beserta kendaraan roda empat dalam

kondisi rusak ringan. h. Balai Pengobatan Ma Cho Tua Niu Jalan Ade Irma Suryani no. 16

Kelurahan Tanjungbalai Kota I kondisi rusak berat. i. Balai Pengobatan Jalan K.S. Tubun Kelurahan Tanjungbalai Kota I,

rusak ringan j. Balai Pengobatan Jalan Ghozali Kelurahan Tanjungbalai Kota I dengan

kondisi rusak ringan. k. Yayasan Samudera Persaudaraan Jalan Nuri no. 16 Lingkungan V

Kelurahan Karya kondisi rusak ringan. l. Kelenteng Hien Tien Shiong Ti Jalan M.T. Haryono Lingkungan V

Kelurahan Perwira, rusak ringan. m. Balai Pengobatan Kuan Pekong Jalan Sudirman Lingkungan II

Kelurahan Perwira kondisi rusak ringan.

6

n. Vihara Vimalakirti Jalan Pancasila Lingkungan IV Kelurahan Perwira

kondisi rusak berat.

o. Kelenteng Tio Hao Bio di Jalan Amir Hamzah Kelurahan Perwira

Kecamatan Tanjungbalai Selatan terbakar bagian dalam. Dalam kejadian

ini tidak terdapat korban jiwa.

Setelah bantuan dari aparat keamanan baik dari Polri maupun dari TNI tiba di tempat barulah situasi dapat diamankan dan situasi saat itu dapat dikendalikan. Massa yang diperkirakan hampir ribuan jumlahnya dapat dipecah dan dibubarkan serta kembali ke rumah masing-masing pukul 04.30 wib. Pihak Pemerintahan Kota juga mengambil langkah-langkah penanganan konflik tersebut walaupun Pimpinan daerah baru saja dilantik beberapa bulan sebelumnya. Sehingga ini menjadi tugas penting dan mendesak untuk dapat diselesaikan oleh Walikota Tanjungbalai yang baru.

Kejadian ini menambah panjangnya daftar konflik antar etnis yang terjadi di

Negara Indonesia. Kejadian awal terkadang hanya permasalahan yang sebenarnya bisa diselesaikan pada tingkat penentu kebijakan yang paling rendah. Tetapi dikarenakan adanya perkembangan teknologi media sosial yang begitu cepat terkorelasi, sehingga terkadang suatu fenomena kejadian tidak dapat terhindarkan.

Keterikatan kejadian ini sebenarnya sudah ada juga sebelumnya yaitu pada saat pihak etnis China membangun vihara yang diatasnya terdapat patung yang menjulang tinggi di kawasan Water Front City Kota Tanjungbalai tepatnya di Vihara Tri Ratna, sementara patung tersebut sudah mengalahkan tinggi daripada menara mesjid di seputaran

Kota Tanjungbalai. Ditambah dengan sifat ekslusivisme terhadap pandangan pihak masyarakat etnis Pribumi. Faktor kurangnya sosialisasi diri terhadap warga setempat menambah daftar panjang gesekan-gesekan yang terjadi sebelumnya.

7

Peristiwa traumatis itu mempetakan pola yang dominan terhadap kepribadian seseorang, sehingga menyebabkan berlangsungnya reorganisasi tiba-tiba terhadap mental dan sikap, lalu mengeluarkan diri dari kader hidup yang lama. Kemudian terjadilah satu loncatan hidup baru, yang memberikan perspektif hidup baru. Jelasnya peristiwa traumatis itu memberikan pengaruh fungsional yang sangat menentukan. Yaitu menumbuhkan dinamik emosional yang sangat intens kuat dan melepaskan pribadi yang bersangkutan dari kader pengalaman hidupnya yang lama. Terjadi kepatahan atau loncatan dalam perkembangan hidupnya, disusul perubahan mental dan perubahan tingkah laku. Dalam hal ini, ada perubahan tingkah laku dari yang normal menjadi pola yang menyimpang, kriminal, jahat atau abnormal secara sosial. Dinamika dari otonomi itu demikian dominannya, sehingga sering kali menguasai segenap kejiwaan dan pola hidup yang terdahulu (Kartono, 2015:36).

Bagaimana dengan istilah ”etnisitas” dan ”komunalisme”? Istilah ”etnis” digunakan dengan dua cara yang berbeda. Dalam makna yang lebih sempit, ”etnis” berarti berkaitan dengan ”ras” atau ”kebahasaan”. Inilah pengertian etnis yang banyak dipahami dalam perbincangan populer, baik di India maupun di tempat lain. Misalnya, sejak era kekuasaan Inggris, para sarjana, birokrat maupun politisi India telah menggunakan istilah

”komunal”, bukan ”etnis” untuk politik dan konflik yang didasarkan atas pengelompokan agama, seperti Hindu dan Muslim. Istilah etnis lebih digunakan dalam mengacu pada kelompok–kelompok yang berbeda dari segi ras atau bahasa (Varshney, 2008:4).

Pendekatan struktural adalah konsep pertama yang relatif sering dipergunakan oleh para akademisi studi gerakan sosial dalam menjelaskan fenomena gerakan sosial.

Konsep ini sangat populer di antara akademisi ilmu pengetahuan sosial, bukan karena kata struktur menjadi kata penting dalam perbendaharaan kata dalam ilmu pengetahuan sosial sekarang ini, tetapi karena istilah struktur telah berkembang menjadi eponymous

8 school seperti fungsionalisme struktural, strukturalisme dan paska strukturalisme. Di samping itu juga karena memasukkan asal dimana pendekatan struktural tumbuh seperti, strukturalisme Prancis, strukturalisme Inggris dan strukturalisme Amerika. Istilah ini dipergunakan oleh berbagai kelompok, mulai dari Marxian sampai dengan paesonian dalam menguji isu–isu sosial (Situmorang, 2007:18).

Sama seperti stereotip, kepercayaan yang dihubungkan dengan prasangka memiliki beberapa karakteristik. Pertama, mereka ditujukan pada suatu kelompok sosial dan anggotanya. Terkadang kelompok tersebut ditandai oleh ras, etnis, gender, usia dan lain sebagainya. Kedua, prasangka melibatkan dimensi evaluatif. Menurut Brislin, prasangka berhubungan dengan ”perasaan mengenai yang baik dan buruk”. Perasaan- perasaan ini kadang menimbulkan perdebatan hangat mengenai perilaku yang didasarkan atas prasangka. Ketiga, prasangka itu terpusat, dalam arti ”seberapa besar pentingnya suatu kepercayaan dalam menentukan perilaku seseorang terhadap yang lainnya”

(Samovar, 2010:207).

Dari uraian di atas dapatlah dipahami mengapa Blubaugh dan Pennington (1976) menyatakan bahwa ”etnosentrisme adalah akar rasisme”. Sejalan dengan tumbuhnya imbauan retoris untuk pluralisme budaya sekarang ini kita mendengar imbauan akan

”pengetian antarbudaya”. Sekali lagi, imbauan ini tidak ada artinya jika tidak disertai dengan menggagalkan bahan utama etnosentrisme, yaitu asumsi kesamaan. Bila kita tidak dapat menerima kelompok yang lain benar-benar berbeda-yakni, mereka berjalan secara berhasil sesuai dengan nilai dan prinsip realitas yang berbeda; maka kita tidak akan dapat mengungkapkan kepekaan dan tidak akan menghargai perbedaan tersebut, yang memungkinkan tumbuhnya pengertian dan komunikasi interkultural (Mulyana & Rahmat,

2005:77).

9

Jelas sekali bahwa dengan kita bersikap etnosentrisme maka kita tidak dapat memandang perbedaan budaya itu sebagai keunikan dari masing-masing budaya yang patut kita hargai. Dengan memandang budaya kita sendiri lebih unggul dan budaya lainnya yang asing sebagai budaya ‟yang salah‟, maka komunikasi lintas budaya yang efektif hanyalah angan-angan karena kita akan cenderung lebih membatasi komunikasi yang kita lakukan dan sebisa mungkin tidak terlibat dengan budaya asing yang berbeda atau bertentangan dengan budaya kita. Masing-masing budaya akan saling merendahkan yang lain dan membenarkan budaya diri sendiri, saling menolak, sehingga sangat potensial muncul konflik di antaranya. Contoh konflik yang sudah terjadi misalnya suku

Dayak dan suku Madura yang sejak dulu terus terjadi. Kedua suku Dayak dan suku

Madura itu masing-masing tidak mau saling menerima dan menghormati kebudayaan satu sama lain. Adanya anggapan bahwa budaya sendiri lah yang paling benar sementara yang lainnya salah dan tidak bermutu tidak hanya berwujud konfik namun sudah berbentuk pertikaian yang mengganas, keduanya sudah saling membunuh antar anggota budaya yang lain. Contoh lainnya, orang Indonesia cenderung menilai budaya barat sebagai budaya yang ‟vulgar‟ dan tidak tahu sopan santun. Budaya asli-budaya timur dinilai sebagai budaya yang paling unggul dan paling baik sehingga masyarakat kita cenderung membatasi pergaulan dengan orang barat. Orang takut jika terlalu banyak komunikasinya maka budaya asli akan tercemar budaya barat sebagai polusi pencemar.

Menurut Baron dan Paulus ada beberapa faktor yang menyebabkan adanya stereotip. Pertama, sebagai manusia cenderung membagi dunia ini ke dalam dua kategori: kita dan mereka. Karena kita kekurangan informasi mengenai mereka, kita cenderung menyamaratakan mereka semua dan mengangap mereka sebagai homogen. Kedua, stereotip tampaknya bersumber dari kecenderungan kita untuk melakukan kerja kognitif sedikit mungkin dalam berpikir mengenai orang lain. Dengan kata lain, stereotip

10 menyebabkan persepsi selektif tentang orang-orang dan segala sesuatu di sekitar kita.

Stereotip dapat membuat informasi yang kita terima tidak akurat. Pada umumnya, stereotip bersifat negatif. Stereotip tidak berbahaya sejauh kita simpan di kepala kita, namun akan bahaya bila diaktifkan dalam hubungan manusia. Stereotip dapat menghambat atau mengganggu komunikasi itu sendiri. Contoh dalam konteks komunikasi lintas budaya misalnya, kita melakukan persepsi stereotip terhadap orang Padang bahwa orang Padang itu pelit. Lewat stereotip itu, kita memperlakukan semua orang Padang sebagai orang yang pelit tanpa memandang pribadi atau keunikan masing-masing individu. Orang Padang yang kita perlakukan sebagai orang yang pelit mungkin akan tersinggung dan memungkinkan munculnya konflik. Atau misal stereotip terhadap orang

Batak bahwa mereka itu kasar. Dengan adanya persepsi itu, kita yang tidak suka terhadap orang yang kasar selalu berusaha menghindari komunikasi dengan orang Batak sehingga komunikasi dengan orang Batak tidak dapat berlangsung lancar dan efektif. Stereotip terhadap orang Afrika-negro yang negatif menyebabkan mereka terbiasa diperlakukan sebagai kriminal. Contohnya, di Amerika bila seseorang (kulit putih) kebetulan berada satu tempat/ruang dengan orang negro mereka akan secara refleks, melindungi tas atau barang mereka, karena menggangap orang negro tersebut adalah seorang pencuri. Namun, belakangan, stereotip terhadap orang negro sudah mulai berkurang terlebih sejak presiden

Amerika sebelum saat ini juga keturunan Negro. Orang Indonesia sendiri di mata dunia juga sering distereotipkan sebagai orang-orang ‟anarkis‟, ‟bodoh‟, konservatif-primitif, dan lain-lain (Mulyana, 2008; 237-243)

Menurut Lusiana Andriani Lubis (2012:38), ketika berinteraksi dengan orang– orang dalam kelompok, orang–orang kolektivis cenderung sensitif tidak seperti biasanya terhadap kebutuhan orang lain, penuh dukungan, mau membantu, bahkan berani berkorban. Tetapi ketika berinteraksi dengan orang di luar kelompoknya biasanya mereka

11 berbeda bahkan jika kedua kelompok memiliki tujuan yang tidak cocok mereka menjadi bermusuhan. Sekali orang–orang dalam kelompok diminta untuk melawan kelompok lain oleh kebijakan dalam kelompok, kolektivitas vertikal menjadi agresif. Pola ini menunjukkan tingginya tingkat permusuhan jika ”harga diri sebuah budaya” dilecehkan.

Budaya semacam itu ditemukan pada situasi dimana tidak ada kebijakan (atau kekuasaan lain yang mencegah konflik terjadi), sehingga masyarakat harus melindungi dirinya dari penyerang dengan cara mereka sendiri.

Konflik etnik merupakan awan kelam bagi masa depan kehidupan perpolitikan di

Indonesia. Layaknya seperti api dalam sekam, unsur etnik setiap saat boleh membakar setiap bangunan politik Indonesia. Sekalipun konflik etnik ‟hanya‟ sempat meletup di

Kalimantan, tetapi secara sporadis tetap mencuat dan boleh marak di daerah lain.

Khususnya kawasan kota yang padat penduduk. Etnik menjadi pengikat kaum urban, terutama di kawasan yang premanismenya begitu kuat sebagai basis ekonomi kumpulan pendatang. Di sejumlah kota sudah dilaporkan tentang konflik etnik ini, bahkan sejak

Indonesia dimerdekakan. Pergaduhan dan perselisihan dari orang-orang Banten kepada orang Bugis di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta sudah pernah juga terjadi pada tahun

1950-an. Memang, tak banyak liputan besar nasional Indonesia menyiarkan berita bagi kasus-kasus ini, karena ada semacam upaya untuk meredamnya sedari awal. Tetapi, bukan tak mungkin, sewaktu-waktu unsur etnik kembali menguat manakala unsur lainnya mengendor dalam ketidakstabilan politik dan keamanan. Contohnya sudah banyak di depan mata dan dalam sejarah perjalanan bangsa dan negara Indonesia (Hadiluwih,

2008:73).

Analisis budaya juga kerap dipergunakan oleh para akademisi studi gerakan sosial dalam memahami aksi-aksi kolektif. Karena sebuah peristiwa gerakan biasanya memiliki sejumlah elemen budaya penting seperti kebiasaan kepercayaan, nilai, simbol

12 dan ritual. Walaupun elemen di atas, terlalu kompleks dijadikan pijakan untuk membuat definisi kerja budaya di dalam gerakan sosial, akan tetapi seperti Jhonston dan

Klandermans berpendapat bahwa kita bisa mengadopsi definisi budaya Wuthnow bahwa budaya adalah aspek ekspresif simbolik dari perilaku sosial (Situmorang, 2007:22)

Beberapa tragedi, bermula dari konflik antara kelompok etnis Dayak dan Madura yang terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah. Tempo mencatat konflik bermula pada 18

Februari 2001 saat empat anggota keluarga Madura, Matayo, Haris, Kama dan istrinya, tewas dibunuh. Warga Madura lantas mendatangi rumah milik suku Dayak bernama

Timil yang dianggap telah menyembunyikan si pembunuh. Massa meminta agar Timil menyerahkan pelaku pembunuhan itu. Karena permintaan mereka tidak dituruti, massa marah dan membakar rumah. Insiden malam itu dapat dihentikan polisi. Sayang, pembakaran terus meluas ke rumah-rumah lainnya.

Warga Dayak pinggiran Sampit pun mulai berdatangan, baik melalui darat maupun sungai. Etnis Madura dikejar dan dibunuh. Penduduk asli sepertinya tahu di mana kantong-kantong warga Madura berada. Tua-muda pria-wanita menjadi sasaran pembunuhan. Di beberapa ruas jalan, tampak bergelimangan tubuh korban tanpa kepala. Sebagian besar warga dari etnis Madura harus diungsikan ke Jawa Timur dan

Jawa Tengah. Korban bertambah dan sudah tidak bisa dihitung berapa rumah dan fasilitas umum yang terbakar. Diperkirakan korban jiwa mencapai angka 469 orang dalam konflik yang berlangsung selama 10 hari itu.

Selain itu ada juga konflik kekerasan dengan latar belakang perbedaan agama yakni antara kelompok Islam dan Kristen. Konflik Maluku disebut menelan korban terbanyak yakni sekitar 8-9 ribu orang tewas. Selain itu, lebih dari 29 ribu rumah terbakar, serta 45 masjid, 47 gereja, 719 toko, 38 gedung pemerintahan, dan 4 bank

13 hancur. Rentang konflik yang terjadi juga yang paling lama, yakni antara tahun 1999 sampai dengan tahun 2002.

Krisis ekonomi berujung menjadi konflik sosial pada penghujung Orde Baru.

Jatuhnya Soeharto ditandai dengan merebaknya kerusuhan di berbagai wilayah di

Indonesia. Pada kerusuhan tersebut, banyak toko dan perusahaan dihancurkan massa yang mengamuk. Sasaran utama adalah properti milik warga etnis China. Perempuan keturunan

China bahkan menjadi korban pelecehan dan pemerkosaan dalam kerusuhan itu. Banyak yang diperkosa beramai-ramai, dianiaya, lalu dibunuh. Di antara etnis Tionghoa, banyak yang meninggalkan Indonesia untuk mencari keselamatan. Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan 21 Mei sebagai Hari Dialog dan Keberagaman sejak 2002. Peringatan ini berawal saat UNESCO mengeluarkan Deklarasi Universal tentang Keberagaman Budaya.

Melalui Resolusi Nomor 57/249, ditetapkanlah 21 Mei sebagai hari merayakan keberagaman di seluruh dunia. PBB mencatat sebanyak 75 persen dari konflik besar yang terjadi di dunia saat ini berakar pada dimensi kultural. PBB pun mencanangkan dialog untuk menjembatani budaya demi menciptakan perdamaian. Tindakan sederhana yang disarankan PBB untuk merayakan keberagaman budaya antara lain mengunjungi pameran kebudayaan, mendengarkan musik dari kebudayaan berbeda, mengundang tetangga beda agama atau suku untuk makan bersama, atau menonton film yang berkisah seputar budaya berbeda.

Sering kali isu-isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) menimbulkan konflik tersendiri di masyarakat dunia, atau pun Indonesia. Karena kurangnya budaya untuk saling mengerti dan cara berkomunikasi yang terkadang salah mengakibatkan konflik yang memakan korban jiwa maupun harta.

Menurut pendapat Puspitasari (2016:47-48) jika organisasi belum juga merespon ketika muncul tanda-tanda awal, krisis akan berkembang dan bergerak ke tahap akut.

14

Pada tahap ini, kerusakan sudah terjadi. Dari tahap ini, krisis akan sangat mudah menggelinding ke arah kronis. Tahap Prodromal adalah awal dimana muncul tanda-tanda peringatan akan munculnya krisis. Pada umumnya, tahap ini disebut sebagai tahap pra- krisis. Tahap prodromal ini kadangkala sudah terlihat sebagai suatu peringatan akan adanya krisis ketika seorang ketua serikat buruh mengatakan kepada pihak manajemen mengenai keluhan buruh terkait dengan sistem penggajian yang tidak adil, atau sistem kontrak yang diharapkan diperbaharui dan tidak secara sepihak menekan buruh tanpa memberikan peluang bagi buruh untuk mendapatkan manfaat yang setimpal.

Menurut William Chang (dalam INIS dan PBB, 2003:29-30) perlu diketahui, bahwa pada satu sisi, etnisitas adalah salah satu energi yang menentukan langkah– langkah, pertumbuhan, pembangunan, dan perusakaan dunia ini. Hubungan dan kerjasama antar etnis telah menciptakan dan membangun dunia ini, Indonesia misalnya dilahirkan ketika kelompok–kelompok etnis sependapat untuk mendeklarasikan persatuan mereka melalui Sumpah Pemuda (28 Oktober I928). Melalui deklarasi ini, orang–orang yang tinggal di wilayah bekas jajahan Belanda mengalami solidaritas sosial sebagai masyarakat yang mudah berubah pendirian. Banyak hal yang terdapat dalam ras yang berbeda. Perbedaan ras ini membangun sebuah keadaan yang memproses suatu dasar atau platform nasional yang disepakati oleh penduduknya. Dalam hal ini, sebenarnya kekuatan dari negara terletak pada ras yang berbeda yang menyatukan diri mereka melalui kerangka kerja sama dan saling ketergantungan. Bahkan kerja sama antarnegara bisa terjadi dan memberikan keuntungan kepada dua belah pihak. Jelas sekali bahwa tidak semua perbedaan merupakan penghalang bagi perekayasaan dan pembentukan kerja sama.

Ada emosi dasar lain yang bisa mendominasi literatur perilaku kolektif.

Diantaranya adalah keluhan (grief), kemuakan (disgust), keterkejutan (surprise) dan rasa

15 malu (shame). Meskipun banyak studi tentang emosi, namun Jhon Lofland (2003:42) tidak akan menggunakannya dan menganggap keluhan sebagai variasi langka dari ketakutan. Tantangannya adalah lebih memperinci pemisahan perilaku kolektif dalam konteks emosi dasar dan dominan lainnya.

Konflik sosial yang menyelimuti masyarakat kita dan masyarakat dunia sekarang berasal dari nilai–nilai suci yang berbeda (cara hidup, kebenaran, transenden dan moral).

Konflik sosial jelas sekali muncul disebabkan cara mengatasinya yang lamban dari kasus–kasus individu yang berdasarkan keadilan hukum yang dilaksanakan oleh aparat keamanan yang tidak biasa. Konflik sosial yang menggunakan simbol etnis dan agama harus segera diatasi dan jalan keluar yang mesti dicari harus tidak merusak nilai–nilai kemanusiaan. Sangat menarik untuk dipertanyakan apakah etnisitas dan agama benar– benar menyebabkan konflik atau apakah seseorang dari etnis dan kelompok agama tertentu dapat terlibat konflik dengan orang–orang atau kelompok lainnya? Apakah pernah lembaga mengalami konflik? Apakah seseorang dari lembaga mengalami konflik dari orang–orang yang ada di lembaga lain (INIS dan PBB, 2003:31)

Menurut R. Tockary (dalam INIS dan PBB, 2003:54-55) komunitas Cina diperlakukan dengan tidak baik sejak masa penjajahan. Pada tahun 1740, di bawah perintah Gubernur Jendral Andrian Valckenier, tentara Belanda membunuh tidak kurang dari 10.000 laki-laki, perempuan dan anak-anak Cina dalam beberapa hari. Banyak dari pelaku pembunuhan adalah tentara lokal yang direkrut. Selama pendudukan Jepang, orang-orang Cina juga menjadi objek penyiksaan dan tindakan perlakuan penghinaan sebagai gema dari konflik-konflik Jepang di daratan Cina. Tidak lama setelah itu, masyarakat setempat telah melakukan tindakan brutal melebihi tentara Jepang. Sebuah contoh adalah pembunuhan secara brutal terhadap orang-orang Cina di Tangerang tidak lama setelah pendudukan Jepang berakhir di Indonesia. Karena orang–orang Cina

16 dianggap orang kafir dan orang asing, banyak penduduk setempat dengan mudah membenarkan tindakan sendiri untuk mengganggu golongan Cina. Mereka telah menjadi sasaran tekanan dan kecemburuan hanya karena sebagian dari mereka terlihat berhasil secara ekonomi dan menikmati kekayaan mereka. Kegagalan penduduk asli dalam mengembangkan bisnis kadang–kadang ditimpakan pada perilaku salah orang–orang Cina dalam berbisnis.

Adalah sangat menarik untuk dicatat tentang kemampuan orang–orang Cina untuk memulihkan usaha mereka dalam waktu yang relatif singkat setelah kerusakan yang ditimpakan kepada mereka selama kerusuhan rasial. Karena mereka jarang sekali mampu untuk membalas dendam, maka konflik biasanya berakhir setelah beberapa hari. Hal ini berbeda dengan konflik yang terjadi di antara penduduk asli seperti apa yang telah kita lihat antara golongan Kristen dan Muslim Ambon, dan juga antara Dayak, Melayu dan

Madura di Kalimantan. Kerusakan dari konflik ini lebih luas dan dendam kesumat telah berlangsung lebih lama karena kebencian kelihatannya lebih dalam.

Dengan adanya kejadian ini peneliti merasa tertarik untuk mengetahui penanganan konflik dari perspektif komunikasi, dalam peristiwa yang sempat menarik perhatian

Propinsi Sumatera Utara ini.

1.2. Fokus Masalah

Adapun permasalahan yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah

1. Apakah sebenarnya akar masalah sumber konflik di Kota Tanjungbalai?

2. Bagaimana penanganan konflik etnis di Kota Tanjungbalai dalam perspektif

komunikasi?

3. Bagaimana hasil dari penanganan konflik di Kota Tanjungbalai?

17

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini diantaranya yaitu untuk:

1. Menelaah akar masalah yang menjadi sumber konflik di Kota Tanjungbalai

2. Menganalisis metode penanganan konflik dari aspek komunikasi

3. Menganalisis hasil penanganan konflik antaretnik di Kota Tanjungbalai

1.4. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini akan diperoleh manfaat yaitu:

1. Secara teoritis (keilmuan), Mampu menjadikan nilai tambah dalam

mendapatkan rujukan untuk menangani konflik–konflik yang sejenis di

sekitar Kota Tanjungbalai dan pada umumnya di Sumatera Utara

2. Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan sebagai wacana keilmuan

bagi kalangan akademisi serta kiranya dapat menambah referensi kajian ilmu

komunikasi.

3. Secara praktis, mampu menjadi prioritas dalam menangani konflik–konflik

yang terjadi dalam komunikasi

18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Kontruktivis

Pendekatan penelitian kualitatif adalah interaksionalisme simbolik. Teori ini memiliki tiga premis utama, yaitu: Pertama, manusia bertindak terhadap sesuatu (benda, orang, atau ide) atas dasar makna yang diberikan kepada sesuatu itu. Kedua, makna tentang sesuatu itu diperoleh, dibentuk, termasuk direvisi melalui proses interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, pemaknaan terhadap sesuatu dalam bertindak atau berinteraksi tidaklah berlangsung mekanisme melainkan melibatkan proses interpretasi.

Itu menunjukkan bahwa tindakan dan pemaknaan manusia terhadap sesuatu kental bersifat situasional, yaitu bergantung pada definisi situasi yang dihadapi di tingkat interaksi itu sendiri (Bungin, 2011:45 ).

Jadi, mendefenisikan ilmu sosial sebagai suatu proses yang secara kritis berusaha mengungkap “the real structures” di balik ilusi, false needs, yang dinampakkan dunia materi, dengan tujuan membentuk suatu kesadaran sosial agar memperbaiki dan merubah kondisi kehidupan manusia (Hutagalung, 2015:7). Mencoba menjembatani keragaman subjektifitas sosial dan merekontruksi realitas sosial secara dialektis antara peneliti dengan pelaku sosial yang diteliti. Peneliti dan objek yang diteliti atau dalam hal ini realitas yang diteliti adalah merupakan kesatuan realitas yang tidak terpisahkan.

Fenomenologisme adalah filsafat yang memandang setiap fenomena tidak terlepas dari kesadarannya. Pengetahuan (komunikasi) adalah hasil dari penafsiran fenomena sosial. Memungkinkan kajian komunikasi bersentuhan dengan berbagai bidang kajian lain tanpa harus merasa bahwa kajian tersebut bukan kajian komunikasi.

19

2.2. Penelitian Sejenis Terdahulu

Dalam sebuah penelitian yang kompatibel dan akuntabel, dibutuhkan sebuah penelitian yang sebelumnya telah ada. Biasanya penelitian ini langsung ataupun tidak langsung ada korelasinya dengan penelitian yang akan kita laksanakan. Sehingga dalam penyusunannya nanti tidak lepas dari panduan kajian yang telah ada tanpa menjadikannya sebuah duplikasi ataupun plagiatisme.

Kajian-kajian terdahulu tentang konflik etnis dan antarbudaya sudah cukup banyak dikarenakan konflik manusia juga terjadi dari dahulu. Kajian tentang konflik etnik ini di Indonesia, khasnya di Medan, boleh ditelusuri mengikuti kajian sejarah, etnologi, antropologi, sosiologi, perundangan dan ekonomi. Terdapat beberapa kajian seperti report berbentuk historiografi. Kajian bersejarah ini yang antara lain adalah berkenaan dengan masuknya pelbagai pengaruh, misalnya pengaruh kekuasan (Sriwijaya), agama (Hindu-

Budha, Islam) dan budaya (Hadiluwih, 2008:73 ). Untuk memperkuat hasil dan analisis yang ada, diantaranya yaitu:

a. Penelitian Robert Alexander P, SH (2005) yang berjudul Konflik Antar Etnis dan

Penanggulangannya: Suatu Tinjauan Kriminologi Dalam Kasus Kerusuhan Etnis

Di Sampit Kalimantan Tengah. Penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan,

mengidentifikasikan faktor-faktor sebab dan menemukan alternatif

pengantisipasian konflik antar etnis di Sampit. Metode penelitian yang digunakan

adalah yuridis empiris yang maksudnya adalah menggambarkan konflik ini

terjadi. Metode survey yaitu survey design yang diharapkan dapat mengungkap

masalah-masalah yang semula tidak dipikirkan oleh peneliti dan dapat

memberikan kemungkinan yang luas dalam penggunaan alat-alat pengumpul data

di lapangan. Data diperoleh melalui kuisioner dan wawancara mendalam terhadap

sejumlah informan/responden yang berkepentingan dengan kerusuhan tersebut.

20

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa tindak perbuatan kriminal yang tidak

ditindaklanjuti dengan proses hukum selain itu pembentukan stereotip negative

dari masing-masing etnis dan dominasi kekerasan oleh Etnis Madura.

Akseleratornya adalah berkurangnya daya dukung lingkungan penduduk asli, pola

hubungan yang tidak seimbang dan segregasi permukiman antara penduduk asli

dan pendatang. b. Puji Lestari melakukan penelitian tahun (2007) yang berjudul Stereotip dan

Kompetensi komunikasi bisnis Antarbudaya Bali dan Cina (Studi di Kalangan

Pengusaha Perak Bali dan Cina) dengan tujuan penelitian tentang menguji

pengaruh budaya terhadap komunikasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan

objektif (jenis data kuantitatif) dan didukung oleh data kualitatif. Teori yang diuji

adalah teori komunikasi antarbudaya (Spitzberg), dalam konteks komunikasi

bisnis di kalangan pengusaha perak antarsuku Bali dan Cina.

Penelitian ini mendeskripsikan beberapa temuan tentang nilai-nilai budaya,

pengalaman antar suku dan prasangka sosial, mempengaruhi stereotip antarsuku di

kalangan pengusaha perak Bali dan Cina. Secara Konseptual, hasil teori ini

menguatkan teori komunikasi antarbudaya Gudykunt dan Kim (1992), bahwa

dalam komunikasi antarbudaya, manusia selalu dipengaruhi oleh cultural (antara

lain nilai-nilai budaya), sociocultural (antara lain pengalaman antar suku) dan

psychocultural (antara lain prasangka sosial). Motivasi, pengetahuan dan keahlian

komunikasi mempengaruhi kompetensi komunikasi bisnis di kalangan pengusaha

Bali dan Cina. Adapun stereotip antarsuku mempengaruhi tingkat kompetensi

komunikasi bisnis yang terjadi di kalangan pengusaha Bali dan Cina. Hasil

penelitian ini mendukung konsep Andrea L.Rich (1974) dan Raharjo (2005),

bahwa stereotip antarsuku mempengaruhi kompetensi komunikasi antarbudaya,

21

yaitu semakin positif stereotif antarsuku (semakin mendekati realitas), semakin

tinggi kompetensi komunikasi di antara mereka. c. Konflik Dalam Perspektif Komunikasi : Suatu Tinjauan Teoritis yang dilakukan

oleh Ridwan Usman (2001). Penelitian ini bertujuan dalam rangka mengkaji

hubungan yang sangat erat dalam hal komunikasi dan terjadinya konflik dari

aspek teori. Proses pesan sangat berpengaruh di masyarakat karena bisa mengikat

hubungan dan sebaliknya dapat menimbulkan kesenjangan dan konflik. Kupasan

penelitian ini dari aspek teori-teori komunikasi yang ada baik dari dalam negeri

maupun dari luar negeri. d. Penelitian dari Arham Selo, Fauziah Ahmad, Maizatul Haizan Ahbob dan Ali

Salman dari Universiti Kebangsaan (2015) yang meneliti tentang Media

Khalayak :Pemberitahuan Isu Konflik Malaysia dan Indonesia. Penelitian ini

mengaitkan erat pada hubungan yang terjadi dari peranan penting media yang

memainkan isu-isu konflik dengan masyarakat yang kesannya ditanggung oleh

masyarakat. Ketergantungan kepada media membawa konflik yang akan

ditimbulkan lebih terbuka. Penelitian ini bersifat kualitatif dan menunjukkan

bahwa media bisa membangun konflik. e. Ita Fadhliah dalam tesisnya : Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Masyarakat

Taluak dan Masyarakat Aceh di Tapaktuan Aceh Selatan dari Universitas

Sumatera Utara (2016). Dimana dalam penelitian ini menjelaskan kompetensi

antara penduduk pendatang yang telah di akui dengan penduduk setempat yang

juga memakai budaya yang dimiliki oleh budaya pendatang dalam hal ini yaitu

masyarakat Taluak. Uniknya yaitu bahwa penelitian ini menemukan

keseimbangan komunikasi antarbudaya yang telah terjalin cukup lama.

22

Dalam beberapa kajian terdahulu yang ada ini, penulis mencoba menelusuri perbedaannya dari aspek kajian identitas etnis budaya yang terdapat di daerah penelitian.

Dimana hal ini yang kemungkinan bisa menjadikan signifikansi untuk sebuah etnosentrisme dan terjadinya hambatan komunikasi (communication barrier).

2.3. Uraian Teori

2.3.1. Komunikasi Antarbudaya

Istilah “komunikasi” atau dalam bahasa Inggris yaitu “communication” berasal dari bahasa latin “communis” yang berarti sama, communico, communication, atau communicare yang berarti membuat sama “to make common ” (Mulyana, 2005:41).

Definisi dari segi bahasa ini menyatakan bahwa suatu komunikasi yang efektif hanya dapat tercapai apabila terjadi kesamaan makna antara komunikator dengan komunikan.

Dalam definisi tersebut, jelas bahwa orang yang menyampaikan dan orang yang menerima pesan diharapkan mempunyai persepsi yang sama tentang apa yang disampaikan, atau dengan kata lain maksudnya adalah “sama makna”. Jadi apabila ada dua orang yang sedang terlibat dalam percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan. Percakapan kedua orang tersebut dapat dikatakan komunikatif, apabila keduanya selain mengerti bahasa yang dipergunakan juga mengerti makna dari bahasa yang dipercakapkan.

Komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan (ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi diantara keduanya. Pada umumnya, komunikasi dilakukan dengan menggunakan kata-kata (lisan) yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, cara seperti ini disebut komunikasi dengan bahasa

23 nonverbal. Manusia berkomunikasi untuk membagi pengetahuan dan pengalaman.

Melalui komunikasi, sikap dan perasaan seseorang atau sekelompok orang dapat dipahami oleh pihak lain. Akan tetapi, komunikasi hanya akan efektif apabila pesan yang disampaikan dapat ditafsirkan sama oleh penerima pesan tersebut. Dengan berkomunikasi, kita berusaha untuk mendefinisikan sesuatu, termasuk istilah

“komunikasi‟ itu sendiri.

Hingga kini terdapat ratusan definisi komunikasi yang telah dikemukakan oleh para ahli. Beberapa definisi komunikasi menurut para ahli, di antaranya :

a) Bernard Berelson dan Gary A. Steiner, “Komunikasi adalah transmisi informasi,

gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya. Denganmenggunakan simbol-

simbol, kata - kata, gambar, dan lain-lain.”(Senjaya;2007).

b) Carl I. Hovland, “Komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang

(komunikator) menyampaikan rangsangan (biasanya verbal) untuk mengubah

perilaku orang lain (komunikan).” (dalam Effendy,1995).

c) Everett M. Rogers, “Komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari

sumber kepada penerima dengan niat untuk mengubah tingkah laku mereka.”

(dalam Effendy,1995).

d) Raymond S. Ross, “Komunikasi (intensional) adalah suatu proses menyortir,

memilih, dan mengirimkan simbol-simbol sedemikian rupa sehingga membantu

pendengar membangkitkan makna atau respons dari pikirannya yang serupa

dengan yang dimaksudkan komunikator.” (dalam Effendy,1995)

Komunikasi hanya dapat terjadi bila para komunikatornya menggunakan sistem isyarat yang sama. Ini jelas kelihatan pada orang-orang yang menggunakan bahasa berbeda. Tetapi, prinsip ini menjadi sangat relevan bila kita menyadari bahwa tidak ada dua orang yang menggunakan sistem isyarat yang persis sama (Devito, 2011:41). Dalam

24 rangka memahami kajian komunikasi dimana dalam hal ini komunikasi antarbudaya, dari beberapa referensi terlihat bahwa:

1. Komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada

perbedaan persepsi antara komunikator dan komunikan

2. Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antar pribadi

3. Gaya personal mempengaruhi komunikasi antar pribadi

4. Komunikasi antar budaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian

5. Komunikasi berpusat pada kebudayaan

6. Efektifitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya (Lubis,

2016:6).

Menurut Gudykunst dan Kim, manusia antarbudaya adalah orang yang telah mencapai tingkat tinggi dalam proses antarbudaya yang kognisi, afeksi dan perilakunya tidak terbatas, tetapi terus berkembang melewati parameter-parameter psikologi suatu budaya. Ia memiliki kepekaan budaya yang berkaitan erat dengan kemampuan berempati terhadap budaya tersebut (Mulyana, 2005:232).

Tahap awal komunikasi dilakukan dengan bahasa tubuh, isyarat raut wajah, gerak anggota tubuh (tangan, mata, dan lain-lain) sebagai bahasa non verbal. Kemudian dengan kecerdasan akalnya manusia mulai belajar bahasa etnis lain. Sehingga memudahkan komunikasi antar etnis di muka bumi ini. Kini dengan bantuan kemajuan teknologi komunikasi manusia semakin cerdas, lugas dan lancar berkomunikasi. Namun demikian lagi– lagi pada saat terdesak oleh kepentingan individu, manusia yang cerdas, alim, dan beragamapun kembali menjadi primitif.

Komunikasi antarbudaya menurut Prosser dalam bukunya Cultural Dialogue: An

Introduction Communication, ialah komunikasi antar personal pada tingkat individu antar anggota-anggota kelompok budaya yang berbeda. Pengertian ini dibedakannya dengan

25 pengertian komunikasi lintas budaya (crosscultural communication) yang diberi batasan sebagai komunikasi secara kolektif antara kelompok-kelompok orang yang menjadi pendukung kebudayaan yang berbeda.

Budaya dan komunikasi menjelmakan diri dalam kerangka interaksi. Interaksi ini dapat disebut sebagai pengejawantahan wacana sosial (said of social discourse). Inilah yang memberi ukuran dan bentuk dialog budaya kita, baik dengan sesama anggota pendukung budaya kita sendiri maupun dengan pendukung budaya-budaya yang lain

(Sihabuddin, 2013:45-46).

Difusi, difusionisme adalah istilah yang diberikan kepada beberapa teori perkembangan kebudayaan dengan memberi tekanan kepada difusi. Menurut Kroeber dalam Garna (I992 : 73) diffusion is process, usually not necessarily gradual by which element or system of culture are spead; by which an intention or a new institution adopted in neighboring areas and in some cases continues to be adapted in adjacent ones, until in may spread over the whole earth.

Pada hakekatnya tidak ada kebudayaan yang statis, semakin kebudayaan memiliki dinamika dan mobilitas atau gerak. Gerak dari kebudayaan tersebut sebenarnya tidak lain merupakan gerak dari manusia yang hidup dalam masyarakat tadi. Gerak manusia tersebut terjadi karena hubungan dengan manusia-manusia lainnya, ataupun karena terjadinya hubungan antar kelompok-kelompok manusia di dalam masyarakat kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.

Sehubungan dengan hal tersebut dapat diasumsikan bahwa persebaran budaya dalam suatu masyarakat itu pasti terjadi. Proses persebaran bervariasi bergantung karakteristik masyarakat. Dari konsep difusi (penyebaran) kebudayaan berdasarkan uraian di atas, timbul permasalahan faktor apakah yang mempengaruhi terjadinya hubungan antara budaya (Sihabuddin, 2013:53-54).

26

Dalam komunikasi antar budaya menurut Sihabuddin (2013:57) tidak ada hal yang benar dan hal yang salah, sejauh hal–hal tersebut berkaitan dengan kepercayaan.

Bila seseorang percaya bahwa hari sabtu kurang baik untuk melakukan kegiatan, kita tidak dapat mengatakan bahwa kepercayaan itu salah; kita harus dapat mengenal dan menghadapi kepercayaan tersebut bila kita ingin melakukan komunikasi yang sukses dan memuaskan.

Dengan demikian konstruksi budaya yang dimiliki oleh seseorang itu, diperoleh sejak masih bayi sampai ke liang lahat, dan ini sangat mempengaruhi cara berpikir, berperilaku orang yang bersangkutan dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang yang berbeda budaya. Bahkan benturan persepsi antar budaya sering kita alami sehari- hari dan akibatnya fatal jika kita cenderung menganggap orang yang berbeda budaya tersebut salah, aneh tidak mengerti maksud kita. Hal ini terjadi karena, kita cenderung memandang perilaku orang lain dalam konteks latar belakang kita sendiri dan karena bersifat subyektif. Budaya dan komunikasi merupakan hal yang tak dapat dipisahkan, oleh karena seluruh perbendaharaan perilaku dan komunikasi kita sangat bergantung pada budaya tempat kita di besarkan. Oleh karena itu, membahas mengenai model komunikasi antar budaya merupakan hal yang menarik untuk dikaji.

Keberagaman ialah kenyataan, keniscayaan. Tetapi, di masa orde baru yang otoriter keniscayaan itu diredam demi menjaga stabilitas politik. Di era pasca-orde baru yang relatif demokratis, negara membuka ruang yang seluas-luasnya bagi rakyat untuk mengekspresikan dan meneguhkan identitas mereka, baik identitas agama, etnis, budaya, tradisi atau adat.

Di bidang adat atau budaya, Indonesia yang lebih demokratis membuka ruang lebih leluasa kepada warga negara untuk menyebutkan identitas budaya mereka.

Penonjolan identitas antara lain dimungkinkan setelah diterapkannya desentralisasi. Di

27

Sumatera Barat, misalnya, bentuk pemerintahan desa yang berlangsung turun temurun, yakni nagari, kembali diterapkan setelah desentralisasi. Pada saat yang sama, berlangsung revitalisasi adat yang telah dikenal pada zaman kolonial tetapi mengalami erosi di masa

Orde Baru. Dalam hal etnis, peneguhan identitas etnis antara lain terlihat dari sensus penduduk di masa pasca-Orde Baru, yakni sensus tahun 2000 dan 2010, yang mengajukan pertanyaan tentang etnisitas. Sensus sebelum-sebelumnya tidak menyodorkan pertanyaan semacam itu (Kansong, 2016:39).

Secara umum komunikasi antarbudaya adalah “Proses saling berbagi informasi, pengetahuan, perasaan dan pengalaman yang dilakukan oleh manusia dari berbagai budaya. Setiap budaya memiliki nilai-nilai dan sikap-sikap yang dikomunikasikan.

Hambatan-hambatan dalam komunikasi antarbudaya terjadi karena alasan yang bermacam-macam karena komunikasi mencakup pihak-pihak yang berperan sebagai pengirim dan penerima secara berganti-ganti maka hambatan-hambatan tersebut dapat terjadi dari semua pihak

Konflik menjadi fenomena yang sering muncul karena konflik selalu menjadi bagian hidup manusia yang selalu berinteraksi serta menjadi pendorong dalam dinamika dan perubahan sosial-politik. Dalam berorganisasi dan berkelompok pasti akan menemukan konflik. Adanya sekelompok orang di dalam kelompok tentunya akan ada beberapa pemikiran dan pendirian yang berbeda. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan pemikiran tiap–tiap individu. Yang akhirnya dapat memicu timbulnya konflik. Konflik tidak muncul seketika dan langsung menjadi besar. Melainkan konflik itu berkembang secara bertahap.

Jika konflik yang dihadapi oleh suatu kelompok masih dalam konteks perbedaan pendapat tentunya hal ini masih dianggap wajar. karena konflik yang diakibatkan oleh perbedaan pendapat oleh masing–masing individu pada akhirnya akan membuat

28 kelompok tersebut semakin solid. Kebanyakan konflik yang terjadi di dalam suatu kelompok tidak berakhir dengan kemenangan di salah satu pihak dan kekalahan di pihak lainnya.

Perbedaan individu merupakan potensi manusia yang dapat menjadi potensi positif maupun negatif. Upaya menumbuhkan/mengembangkan potensi positif dan meminimalkan potensi negatif adalah upaya penanganan konflik. Penanganan konflik terkait dengan kapasitas seseorang menstimulasi konflik, mengendalikan konflik, dan mencarikan solusi pada tingkat yang optimum. Kemampuan yang diperlukan dalam rangka penanganan konflik ini terwujud dalam bentuk keluasan pandangan dan wawasan seseorang dalam memandang setiap persoalan, baik yang memiliki perbedaan, maupun yang sama dengan kerangka pemikirannya. Keterampilan penanganan konflik terwujud dalam bentuk pencarian solusi–solusi terhadap konflik–konflik yang terjadi sehingga tidak berdampak buruk terhadap individu maupun organisasi. Konflik dapat menimbulkan dampak baik yang sifatnya kontruktif maupun yang destruktif. Oleh karena itu maka konflik haruslah dikelola dan ditangani dengan baik.

Teori yang digunakan dalam mendukung penelitian adalah teori Interaksional

Simbolik, Teori Interaksi simbolik dalam Fajar (2009) dan Rakhmat (2000), pada dasarnya berakar dan berfokus pada hakikat manusia yang mana adalah makhluk relasional atau memasang hubungan sebagai suatu sistem. Teori Interaksional Simbolik dalam kaitannya dengan penelitian ini adalah dalam penyelesaian konflik maka antara pemerintah dan masyarakat juga di dalam keluarga di suatu wilayah di sini harus berkomunikasi, maka komunikasi memegang peranan penting dalam arti dengan adanya komunikasi yang efektif dapat memelihara dan mempertahankan kesatuan artinya dengan adanya peran komunikasi yang tepat maka dapat menyelesaikan konflik, komunikasi yang terjadi antara Pemerintah dengan masyarakat dan keluarga harus juga diisi dengan

29 adanya keterbukaan informasi sehingga komunikasi dapat berjalan efektif yaitu dapat dipahami masyarakat.

2.3.2. Konflik

Konflik berasal dari bahasa Latin yaitu „com‟ artinya bersama-sama, dan „fligere‟ yang artinya menyerang. Dengan kata lain diartikan sebagai “bersama-sama (saling) menyerang”. Konflik pada kenyataannya merupakan suatu hal yang terjadi apabila ada dua atau lebih kepentingan yang saling berbenturan dalam pencapaian tujuan masing- masing. Keadaan perbenturan ini dapat dinyatakan secara terbuka (eksplisit) maupun secara terselubung (implisit). Olsen (dalam Sunarwinadi, 1999) menyatakan bahwa konflik terjadi dari sumber experssive atau instrumental, Expressive conflict berasal dari keinginan untuk melepaskan ketegangan, biasanya berasal dari perasaan bermusuhan.

Instrumental conflicts sebaliknya, berasal dari tujuan atau praktek yang berbeda.

Konflik merupakan aspek yang tidak dapat dihindari dalam sebuah hubungan. Jika diatur dengan tidak tepat, konflik dapat mengarah pada masalah yang tidak dapat diperbaiki-pemisahan atau perceraian dalam tahap interpersonal, perang dalam skala nasional atau kehilangan kesempatan dalam bisnis. Dengan merujuk konflik dan komunikasi, Pepper menuliskan, “komunikasi merupakan karakter konflik yang dominan, karena berfungsi sebagai alat penyebar konflik dan sumber dari manajemen konflik.

Bisnis lintas budaya, ditandai oleh nilai, idealisme, kepercayaan dan perilaku peserta yang berbeda menjadi media perselisihan (Samovar, 2010:382).

Konflik: perspektif Amerika, dimana dalam menghadapi area konflik ini, kelihatannya bahwa orang Amerika memiliki konflik yang unik. Ada literatur tambahan yang mengidentifikasikan bahwa orang Amerika memiliki lima pendekatan dasar dalam menghadapi konflik. Mengetahui pendekatan ini akan menolong bagaimana mengatasi konflik selama menghadapi transaksi bisnis dengan orang dari budaya yang berbeda.

30

Selanjutnya kita akan memberikan perbandingan lintas budaya mengenai pendekatan ini, sehingga dapat beradaptasi ketika perselisihan antarbudaya terjadi (Samovar, 2010:383).

a. Menghindar, dikenal sebagai penyangkalan atau penarikan diri, merupakan

strategi yang berdasarkan asumsi bahwa konflik akan hilang jika di acuhkan.

Dalam suatu organisasi, orang cenderung berkata, “anda putuskan jangan

libatkan saya”. Dalam beberapa kasus, hal ini merupakan cara yang paling

cepat untuk mengatasi konflik. Menghindari konflik dapat secara mental

(diam atau tidak terlibat dalam interaksi) atau fisik (menarik diri dari

lingkungan konflik.

b. Akomodasi merupakan salah satu bentuk mengatasi konflik yang erat

hubungannya dengan menghindar; perbedaannya adalah dalam akomodasi,

seseorang berusaha menyenangkan orang lain. Menurut Schmidt dan

rekannya, “orang yang mencari koneksi, memiliki kebutuhan afiliasi dan

peduli mengenai hubungan kadang lebih menyukai pendekatan akomodasi dari

pada konflik”.

c. Kompetisi merupakan nilai Amerika yang paling fundamental. Jadi, tidak

mengejutkan bahwa bahkan dalam arena bisnis kompetisi digunakan dalam

manajemen konflik di Amerika Serikat.

d. Kolaborasi adalah pandangan bahwa semua pihak bekerja sama untuk

memecahkan masalah. Dengan menggunakan cara yang kreatif, tujuan dan

kebutuhan setiap orang dapat dicapai. Kolaborasi merupakan metode yang

paling banyak digunakan untuk mengatasi konflik, karena konflik dilihat dari

cara yang positif.

Konflik: perspektif internasional, yaitu persepsi ini juga dilihat dari budaya lain.

Di Timur Tengah, orang melihat konflik sebagai cara hidup yang alami. Orang-orang

31 diharapkan untuk memiliki perasaan yang kuat terhadap banyak isu dan untuk menyatakan perasaan tersebut dengan cara yang hidup dan bertentangan. Pikirkan sejenak apa yang dikatakan dalam ungkapan Yahudi yang menghargai pertentangan dan konflik dengan menuliskan, “dimana ada dua orang Yahudi maka ada tiga pemikiran yang muncul”. Bagi orang Jepang, konflik dianggap sebagai hal yang memalukan dan membingungkan, karena masalah berpotensi mengacaukan keharmonisan sosial

(Samovar, 2010:385-386).

Perspektif gerakan sosial mengenai masyarakat cenderung berorientasi representasional, mengingat ia menyematkan agen dan aksi pada manusia, suatu kemampuan yang sentral bagi konsepsi gerakan sosial. Dan lebih dari itu, perspektif membalik persamaan: „masyarakat membentuk manusia‟ menjadi „manusia membentuk masyarakat‟. Manusia pertama-tama dilihat sebagai produsen aktif masyarakat baru kemudian sebagai produk masyarakat (Singh: 2010:47).

Jagalah konflik agar berpusat pada ide bukan pada orangnya: terlepas dari budayanya, tidak ada yang suka diancam atau di tempatkan dalam posisi yang tidak mengenakkan. Hal ini menjaga negosiasi berfokus untuk menyelesaikan masalah yang menimbulkan konflik dibandingkan melibatkan kedua belah pihak mempertanyakan ego masing-masing (Samovar, 2010:387-388).

Secara umum komunikasi antarbudaya adalah “Proses saling berbagi informasi, pengetahuan, perasaan dan pengalaman yang dilakukan oleh manusia dari berbagai budaya. Setiap budaya memiliki nilai-nilai dan sikap-sikap yang dikomunikasikan.

Hambatan-hambatan dalam komunikasi antarbudaya terjadi karena alasan yang bermacam-macam dan juga komunikasi mencakup pihak-pihak yang berperan sebagai pengirim dan penerima secara berganti-ganti maka hambatan-hambatan tersebut dapat terjadi dari semua pihak

32

Konflik menjadi fenomena yang sering muncul karena konflik selalu menjadi bagian hidup manusia yang selalu berinteraksi serta menjadi pendorong dalam dinamika dan perubahan social-politik. Dalam berorganisasi dan berkelompok pasti akan menemukan konflik. Adanya sekelompok orang di dalam kelompok tentunya akan ada beberapa pemikiran dan pendirian yang berbeda. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan pemikiran tiap – tiap individu. Yang akhirnya dapat memicu timbulnya konflik. Konflik tidak muncul seketika dan langsung menjadi besar. Melainkan konflik itu berkembang secara bertahap.

Jika konflik yang dihadapi oleh suatu kelompok masih dalam konteks perbedaan pendapat tentunya hal ini masih dianggap wajar. Kerena konflik yang diakibatkan oleh perbedaan pendapat oleh masing–masing individu pada akhirnya akan membuat kelompok tersebut semakin solid. Kebanyakan konflik yang terjadi di dalam suatu kelompok tidak berakhir dengan kemenangan di salah satu pihak dan kekalahan di pihak lainnya.

Perbedaan individu merupakan potensi manusia yang dapat menjadi potensi positif maupun negatif. Upaya menumbuhkan/mengembangkan potensi positif dan meminimalkan potensi negatif adalah upaya penanganan konflik. Penanganan konflik terkait dengan kapasitas seseorang menstimulasi konflik, mengendalikan konflik, dan mencarikan solusi pada tingkat yang optimum. Kemampuan yang diperlukan dalam rangka penanganan konflik ini terwujud dalam bentuk keluasan pandangan dan wawasan seseorang dalam memandang setiap persoalan, baik yang memiliki perbedaan, maupun yang sama dengan kerangka pemikirannya. Keterampilan penanganan konflik terwujud dalam bentuk pencarian solusi–solusi terhadap konflik–konflik yang terjadi sehingga tidak berdampak buruk terhadap individu maupun organisasi. Konflik dapat

33 menimbulkan dampak baik yang sifatnya kontruktif maupun yang destruktif. Oleh karena itu maka konflik haruslah dikelola dan ditangani dengan baik.

2.3.3. Mekanisme Konflik

a. Kesempatan dan Kebutuhan Berinteraksi (Opportunity and Need to

Interact):Kemungkinan terjadinya konflik akan sangat kecil jika orang-orang

terpisah secara fisik dan jarang berinteraksi. Sejalan dengan meningkatnya

assosiasi di antara pihak-pihak yang terlibat, semakin mengikat pula

terjadinya konflik. Dalam bentuk interaksi yang aktif dan kompleks seperti

pengambilan keputusan bersama (joint decision-making), potensi terjadinya

konflik bahkan semakin meningkat.

b. Ketergantungan satu pihak kepada Pihak lain (Dependency of One Party to

Another): Dalam kasus seperti ini, jika satu pihak gagal melaksanakan

tugasnya, pihak yang lain juga terkena akibatnya, sehingga konflik lebih

sering muncul.

c. Perbedaan Status (Status Differences): Apabila seseorang bertindak dalam

cara-cara yang “arogan” dengan statusnya, konflik dapat muncul. Sebagai

contoh, dalam pengambilan keputusan, pihak yang berada dalam level atas

organisasi merasa tidak perlu meminta pendapat para anggota tim yang ada.

2.4. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini, dapat digambarkan pada bagan berikut :

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

34

Individu, Kelompok, Etnis masyarakat

Media Sosial Informasi Media Cetak/Elektronik

Komunikasi Antarbudaya

Interaksional Simbolik Etnis China Etnis Lainnya Antarbudaya

Konflik Komunikasi

Penanganan Konflik

Sumber: Olahan Peneliti, 2017

Adanya informasi yang di dapatkan oleh masyarakat (individu, kelompok, etnis) tentang kejadian pembangunan vihara dan patung yang tinggi baik itu dari media elektronik (misalnya Radio Rajawali) dan media cetak ( misalnya Koran Metro Asahan) juga media sosial. Komunikasi Antarbudaya masih terjadi dan dipertahankan berlangsung sehingga setiap etnis beraktifitas sebagaimana biasanya. Hubungan yang terjadi antara etnis yang ada dan menjadi sebuah sistem pecah dengan adanya peristiwa pemantik yaitu saudari Meliana. Disaat bertemunya komunitor dengan komunikan dengan media yang berbeda (dunia maya) sehingga menimbulkan konflik karena tidak adanya penyaringan/filter dari sumber yang dapat dipercaya tentang informasi yang di dapatkan.

Terjadilah konflik atau kerusuhan itu, maka yang akan dilakukan oleh peneliti adalah sebuah proses penanganan konflik.

35

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Metode pengkajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Sedangkan tipe penelitian ini menggunakan tipe deskripsi kualitatif, dimana peneliti akan mendeskripsikan atau mengkontruksi wawancara-wawancara mendalam terhadap subjek penelitian. Selanjutnya peneliti bertindak sebagai aktivis yang ikut memberi makna secara kritis pada realitas yang dikontruksi subjek penelitian

(Kriyantono, 2008:387)

Pengaruh empirisme terhadap pendekatan terletak pada bagaimana upaya pendekatan kualitatif memecahkan misteri makna berdasarkan pada pengalaman peneliti dan objek kajiannya. Pendekatan kualitatif memandang bahwa makna adalah bagian yang tak terpisahkan dari pengalaman seseorang dalam kehidupan sosialnya bersama orang lain. Makna bukan sesuatu yang lahir di luar pengalaman objek penelitian atau peneliti, akan tetapi menjadi bagian terbesar dari kehidupan penelitian ataupun objek penelitian

(Bungin, 2015:5).

Secara umum, riset yang menggunakan metodologi kualitatif (Kriyantono,

2008:57) mempunyai ciri-ciri:

a. Intensif, partisipasi periset dalam waktu lama pada setting lapangan,

periset adalah instrument pokok riset.

b. Perekaman yang sangat hati-hati terhadap apa yang terjadi dengan catatan-

catatan di lapangan dan tipe-tipe lain dari bukti-bukti dokumenter.

c. Analisa data lapangan

d. Melaporkan hasil termasuk deskripsi detail, quotes (kutipan-kutipan) dan

komentar-komentar.

36

e. Tidak ada realitas yang tunggal, setiap periset mengkreasi realitas sebagai

bagian dari proses risetnya. Realitas dipandang sebagai dinamis dan

produk konstruksi sosial.

f. Subjektif dan berada hanya dalam referensi periset. Periset sebagai sarana

penggalian interpretasi data.

g. Realitas adalah holistik dan tidak dapat dipilah-pilah.

h. Periset memproduksi penjelasan unik tentang situasi yang terjadi dan

individu-individunya.

i. Lebih pada kedalaman(depth) daripada keluasan (breadth).

j. Prosedur riset: empiris-rasional dan tidak berstruktur.

k. Hubungan antara teori, konsep dan data: data memunculkan atau

membentuk teori baru.

3.2. Aspek Kajian

Aspek kajian dalam penelitian ini adalah dari segi emik kejadian di Kota

Tanjungbalai itu sebenarnya disebabkan oleh hal yang telah lama berlangsung. Karena suasana yang tenang dan tenteram tetapi tiba-tiba dikejutkan dengan kejadian kecil yang sebenarnya sudah dalam proses negosiasi mau diselesaikan, tetapi konflik menjadi semakin luas. Maka penulis menelisik pada komunikasi antarbudaya tentang penyelesaian konflik.

3.3. Subjek Penelitian.

Dalam penentuan informan pada penelitian ini maka dipakai prosedur snowball

(bola salju). Prosedur bola salju (snowball)-juga dikenal sebagai prosedur “rantai rujukan”-atau juga prosedur networking-sering dianggap pula jenis prosedur purposive,

37 namun sesungguhnya berbeda. Dalam prosedur ini, dengan siapa peserta atau informan pernah dikontak atau pertama kali bertemu dengan peneliti adalah penting untuk menggunakan jaringan sosial mereka untuk merujuk peneliti kepada orang lain yang berpotensi berpartisipasi atau berkontribusi dan mempelajari atau memberi informasi kepada peneliti.

Prosedur snowball sering digunakan untuk mencari dan merekrut “informan tersembunyi,” yaitu kelompok yang tidak mudah diakses para peneliti melalui strategi pengambilan informan lainnya. Ada beberapa persyaratan yang perlu diperhatikan di saat menggunakan prosedur snowball, yaitu; apabila informan dengan karakter tertentu sulit ditemukan, informan yang ditemui bersedia merujuk peneliti ke informan lain, memungkinkan perkembangan mata rantai rujukan sampai pada snowball yang memadai sebagai informan penelitian yang dibutuhkan peneliti. Namun peneliti harus memverifikasi kelayakan setiap informan, untuk memastikan informasi yang diberikan adalah informasi yang akurat dan karena informan benar-benar memahami masalah penelitian yang diperlukan peneliti (Bungin, 2015:108-109).

Peneliti akan mengambil informan dari kalangan formal dan informal. Dari kalangan formal yaitu orang pada instansi Pemerintahan yang sangat berperan dalam penyelesaian konflik. Sedangkan dari informal peneliti akan meminta beberapa tokoh informal yang juga berperan dalam penyeleseian konflik ini. Sehingga peneliti akan merasa bahwa informan saling mengisi dalam informasi yang ingin didapatkan oleh peneliti.

Ada beberapa informan yang juga ditolak oleh peneliti dikarenakan kedalaman dalam memberikan informasi terkesan kurang. Ada juga informan yang menolak secara halus dikarenakan dan boleh jadi dikhawatirkan bisa menimbulkan masalah yang baru.

38

Informan yang terkesan menolak ini adalah dari pihak lain yang sebenarnya dibutuhkan, tetapi dikarenakan keseriusan penulis sehingga didapat pengganti atau informan lain.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Sesuai dengan bentuk penelitian kualitatif dan juga sumber data yang dimanfaatkan, teknik pengumpulan data yang akan digunakan di dalam penelitian ini adalah :

1. Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan untuk

tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara

dan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan

pedoman (guide) wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam

kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara

mendalam adalah keterlibatan dalam kehidupan informan.

Pewawancara adalah orang yang menggunakan metode wawancara sekaligus

dia bertindak sebagai “pemimpin” dalam proses wawancara tersebut. Dia juga berhak

menentukan materi yang akan diwawancarai serta kapan dimulai dan diakhiri.

Namun, kadang kala informan pun dapat menentukan perannya dalam hal

kesepakatan mengenai kapan waktu wawancara mulai dilaksanakan dan diakhiri.

Informan adalah orang yang diwawancarai, diminta informasi oleh si

pewawancara. Informan adalah orang yang diperkirakan menguasai dan memahami

data, informasi ataupun fakta dari suatu objek penelitian (Bungin, 2015:111)

Menurut Bungin (2015:113) tujuan dari interview atau wawancara adalah

sebagai berikut:

a. Mengetahui dan sekaligus mengembangkan tema-tema wawancara baru di

39

lokasi ini.

b. Interaksi sosial dengan informan dan lingkungan sosial lainnya.

2. Observasi Partisipasi (Partisipant Observer)

Observasi atau pengamatan adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan

pengamatannya melalui hasil kerja panca indera mata serta dibantu dengan panca

indera lainnya. Di dalam pembahasan ini kata observasi dan pengamatan digunakan

secara bergantian. Seseorang yang sedang melakukan pengamatan tidak selamanya

menggunakan panca indera mata saja, tetapi selalu mengaitkan apa yang dilihatnya

dengan apa yang dihasilkan oleh panca indera lainnya; seperti apa yang ia dengar, apa

yang ia cicipi, apa yang ia cium dari penciumannya, bahkan dari apa yang ia rasakan

dari sentuhan-sentuhan kulitnya (Bungin, 2015:118).

3. Metode Dokumentasi

Metode Dokumenter adalah salah satu metode pengumpulan data yang bicara

pengumpulan data yang menggunakan bahan-bahan tertulis baik berupa surat kabar,

majalah, arsip-arsip termasuk yang digunakan dalam metodologi penelitian sosial.

Pada intinya metode dokumenter adalah metode yang digunakan untuk menelusuri

data historis. Bahan dokumenter secara eksplisit berbeda dengan literatur, tetapi

kemudian perbedaan antara keduanya hanya dapat dibedakan secara gradual.

Literatur adalah bahan-bahan yang diterbitkan, baik secara rutin maupun berkala.

Sedangkan dokumenter adalah informasi yang disimpan atau didokumentasikan

dengan bahan dokumenter.

3.5. Metode Analisis Data

3.5.1. Analisis Data Lokasi

Kota Tanjungbalai merupakan salah satu kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara. Secara geografis Kota Tanjungbalai terletak pada posisi 2o 58‟ 00” Lintang Utara,

40

99o 48‟ 00” Bujur Timur dengan luas wilayah 60,529 Km2 (6.052,90 Ha). Secara administratif Kota Tanjungbalai berbatasan dengan beberapa daerah yaitu :

Sebelah Utara : Kecamatan Tanjungbalai Kabupaten Asahan Sebelah Timur : Kecamatan Sei Kepayang Kabupaten Asahan Sebelah Barat : Kecamatan Simp Empat Kabupaten Asahan Sebelah Selatan : Kecamatan Simp Empat Kabupaten Asahan Kota Tanjungbalai terdiri dari 6 Kecamatan dan 31 kelurahan. Lebih jelasnya lihat tabel I berikut:

Tabel 3.1 Wilayah Administrasi Kota Tanjungbalai

No Kecamatan No Kelurahan

1. Kelurahan Sijambi

2. Kelurahan Pahang

1 Kecamatan Datuk Bandar 3. Kelurahan Gading

4. Kelurahan Sirantau

5. Pantai Johor

1. Kelurahan Bunga Tanjung

2. Kelurahan Selat Lancang Kecamatan Datuk Bandar 2 3. Kelurahan Selat Tanjung Medan Timur 4. Kelurahan Semula Jadi

5. Pulau Simardan

1. Kelurahan Tanjungbalai Kota I

2. Kelurahan Tanjungbalai Kota II

Kecamatan Tanjungbalai 3. Kelurahan Karya 3 Selatan 4. Kelurahan Perwira

5. Kelurahan Indra Sakti

6. Kelurahan Pantai Burung

41

No Kecamatan No Kelurahan

1. Kelurahan Tanjungbalai Kota III

2. Kelurahan Mata Halasan Kecamatan Tanjungbalai 4 3. Kelurahan Kuala Silo Bestari Utara 4. Kelurahan Tanjungbalai Kota IV

5. Kelurahan Sejahtera

1. Kelurahan Pasar Baru

2. Kelurahan Keramat Kubah

5 Kecamatan Sei Tualang Raso 3. Kelurahan Sumber Sari

4. Kelurahan Muara Sentosa

5. Kelurahan Sei Raja

1. Kelurahan Beting Kuala Kapias

2. Kelurahan Kapias Pulau Buaya

6 Kecamatan Teluk Nibung 3. Kelurahan Sei Merbau

4. Kelurahan Pematang Pasir

5. Kelurahan Perjuangan

Adapun luas dari Kota Tanjungbalai pada tiap kecamatan adalah seperti pada tabel yang terlihat di bawah ini:

Tabel 3.2. Luas Wilayah menurut Kecamatan di Kota Tanjungbalai

Kecamatan Luas (km2)/Total Area Rasio Terhadap Total (%)

(1) (2) (3)

01. Datuk Bandar 2 249 37.16 02. Datuk Bandar Timur 1 457 24.07 03. Tanjungbalai Selatan 198.00 3.27 04. Tanjungbalai Utara 84.00 1.39 05. Sei Tualang Raso 809.00 13.37 06. Teluk Nibung 1 255 20.74 Tanjungbalai 6 052 100,00 Sumber : BPS Kota Tanjungbalai

42

Dalam lokasi konflik yang bertepatan di Kecamatan Tanjungbalai Selatan ini, jumlah rumah ibadah dan jumlah penduduk yang tinggal dilokasi ini tidak terlalu signifikan. Ada penumpukan suatu etnis disini ditunjukkan dengan banyaknya rumah ibadah dibandingkan Kecamatan lainnya. Seperti yang dapat dilihat pada table berikut:

Table 3.3. Jumlah Sarana Ibadah di Kecamatan Tanjungbalai Selatan

JENIS JUMLAH Mesjid 8 Langgar/mushala 14 Gereja 6 Kuli 4 vihara 10 Sumber: BPS Kota Tanjungbalai 2016

Untuk jenis rumah ibadah di Kecamatan Tanjungbalai Selatan, belum semua terdata dikarenakan ada yang namanya beda tapi fungsinya sama semisalkan balai pengobatan dan yayasan kemalangan.

Dibawah ini adalah peta administrasi Kecamatan Tanjungbalai Selatan.

Gambar 3.2. Peta Administrasi Kecamatan Tanjungbalai Selatan

43

Sumber : Bappeda Kota Tanjungbalai

3.5.2. Metode Analisis Data Kualitatif

Analisis data kualitatif digunakan bila datum yang terkumpul dalam riset adalah data kualitatif. Data kualitatif dapat berupa kata-kata, kalimat-kalimat atau narasi-narasi, baik yang diperoleh dari wawancara mendalam maupun observasi. Riset kualitatif adalah riset yang menggunakan cara berfikir induktif, yaitu cara berfikir yang berangkat dari hal- hal khusus (fakta empirik) menuju hal-hal umum (tataran konsep) (Kriyantono,

2008:194).

Proses analisis data kualitatif berlangsung selama proses pengumpulan data sampai selesai pengumpulan data, yaitu :

1. Analisis sebelum di lapangan

Penelitian kualitatif telah melakukan analisis data sebelum peneliti memasuki lapangan. Analisis dilakukan terhadap data sekunder yang akan digunakan untuk menentukan fokus penelitian. Namun fokus penelitian ini masih bersifat sementara, dan akan berkembang setelah peneliti masuk dan selama di lapangan.

44

2. Analisis selama di lapangan

Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai setelah analisis terasa belum memuaskan, maka peneliti melanjutkan pertanyaan lagi, dimana tahap itu diperoleh data yang dianggap kredibel. Analisis data merupakan bagian terpenting dalam metode ilmiah karena analisis data dapat berguna dalam pemecahan masalah penelitian. Proses analisis data dalam penelitian ini adalah :

a. Reduksi data

Reduksi data adalah bagian dari analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting dan mengatur data sehingga simpulan penelitian dapat dilakukan. Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan

b. Sajian data (data display)

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data.

Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan atau hubungan antar kategori. Data yang bertumpuk-tumpuk, laporan lapangan yang tebal, sulit ditangani, sulit pula melihat hubungan antara detail yang banyak. Maka dari itu, untuk dapat melihat gambaran keseluruhannya atau bagian-bagian tertentu dari penelitian itu, harus diusahakan membuat berbagai macam grafik atau network. Sajian data merupakan rakitan kalimat yang disusun secara logis dan sistematis sehingga bila

45 dibaca akan mudah dipahami berbagai hal yang terjadi dan memungkinkan peneliti untuk berbuat sesuatu pada analisis ataupun tindakan lain berdasarkan pemahaman tersebut.

Sajian data ini mengacu pada rumusan masalah yang telah dirumuskan sebagai pertanyaan penelitian, sehingga narasi yang tersaji merupakan deskripsi mengenai kondisi yang rinci untuk menceritakan dan menjawab permasalahan yang ada.

c. Penarikan simpulan dan verifikasi

Setelah memperoleh data, peneliti mencoba mengambil kesimpulan dari data-data yang telah diperoleh. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid saat peneliti kembali ke lapangan untuk mengumpulan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.

Dengan demikian kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin saja tidak, karena masalah dan rumusan masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah peneliti berada di lapangan. Selama penelitian berlangsung, kesimpulan dapat diverifikasi dengan mengumpulkan datum baru agar semakin jelas dan kesimpulan yang diambil nantinya benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.

Data harus segera dianalisis setelah dikumpulkan dan dituangkan dalam bentuk laporan lapangan. Analisis data ini dapat mengungkapkan: a. Data apa yang masih perlu dicari. b. Hipotesis apa yang perlu ditest. c. Pertanyaan apa yang harus dijawab. d. Metode apa yang harus diadakan untuk mencari informasi baru.

46 e. Kesalahan apa yang harus diperbaiki.

Analisis sewaktu pengumpulan data antara lain akan menghasilkan lembar rangkuman. Setelah melakukan pengamatan lapangan yang intensif selama satu sampai beberapa hari, dan setelah hasilnya dituangkan dalam bentuk laporan lapangan, maka tibalah waktunya menghentikan observasi lapangan sejenak untuk mengolah dan memikirkan bahan yang telah dikumpulkan.

Model analisis interaktif model ini berbentuk siklus. Intinya adalah interaksi antar komponen peneliti maupun dengan proses pengumpulan data selama proses penelitian.

Secara sederhana model analisis linan dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3.3. ( Model Analisis Interaktif)

Pengumpulan data Penyajian

data

Reduksi Data Kesimpulan-kesimpulan Lembaran/verifikasi

Sumber: Miles Dan Huberman dalam Sutopo :2002

3. Uji Validitas Data

Validitas adalah bentuk penelitian yang dapat menghasilkan suatu kebenaran yang bersifat sahih, dengan kata lain kebenaran yang dihasilkan tidak diragukan dan dapat dipertanggung jawabkan. Pengujian kebenaran data dalam penelitian ini menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang

47 memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2006 : 330).

Terdapat banyak teknik triangulasi, tetapi yang digunakan dalam penelitian kali ini yaitu dengan memanfaatkan penggunaan sumber. Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek baik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif. Triangulasi berarti cara terbaik untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan konstruksi kenyataan yang ada dalam konteks suatu studi sewaktu mengumpulkan data tentang berbagai kejadian dari berbagai pandangan. Dengan kata lain, bahwa dengan triangulasi, peneliti dapat me-recheck temuannya dengan jalan membandingkannya dari berbagai sumber.

Validitas data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik triangulasi data atau yang sering disebut juga triangulasi sumber. Dalam triangulasi data penulis mengumpulkan data sejenis dari beberapa sumber data yang berbeda. Dari sumber data yang berupa informan yaitu pihak-pihak yang terlibat dalam konflik dan yang berautokorelasi untuk diterapkan. Hasil dari datum yang telah dikumpulkan akan dianalisis dan lalu akan dibandingkan dengan teori-teori yang ada dan telah dikemukakan oleh para pakar dan disesuaikan dengan penelitian (Sutopo, 2002: 79)

3.6. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Mengenai cara paling penting dan mudah dalam uji keabsahan hasil penelitian adalah dengan menggunakan Triangulasi peneliti, metode, teori, dan sumber data.

Adapun teknik pemeriksaan kebsahan data merupakan teknik yang gunakan peneliti untuk kengkaji kebenaran data yang diperoleh dan dilaporkan dalam hasil penelitian dengan keadaan objek di lapangan sesungguhnya.

Untuk memperoleh derajat keabsahan yang tinggi, maka jalan penting lainnya

48 adalah dengan meningkatkan ketekunan dalam pengamatan di lapangan. Pengamatan bukanlah suatu teknik pengumpulan data yang hanya mengandalkan kemampuan panca indera, namun juga menggunakan semua panca indera termasuk adalah pendengaran, perasaaan, dan insting peneliti. Dengan meningkatkan ketekunan pengamatan di lapangan maka, derajat keabsahaan data telah di tingkatkan pula (Bungin, 2015:264 ).

49

BAB IV TEMUAN PENELITIAN

4.1 Proses Penelitian

Ketika melewati seminar kolokium pada tanggal 31 Mei 2017, maka selanjutnya peneliti mulai pada pengumpulan data juga informasi mengenai gambaran umum dari peristiwa konflik pada tanggal 29 Juli 2016 yang lalu. Peneliti memulai metode purposive ini dari Dinas Kesatuan Bangsa dan Politik (kesbangpol) Kota Tanjungbalai dimana mereka sangat mengerti dan peka terhadap kejadian tersebut, sehingga diharapkan oleh peneliti sebagai informan key-nya(kunci). Kemudian pada tanggal 19 Juli 2017 pukul

09.00 ini peneliti mulai berkunjung ke Dinas Kesatuan Bangsa dan Politik (kesbangpol)

Kota Tanjungbalai yang disambut oleh ibu E. Nababan sebagai penerima surat penelitian.

Peneliti bertanya dengan ibu tersebut tentang bagian yang paling berkompeten dalam hal konflik tanggal 29 Juli 2016. Maka ibu ini menyarankan untuk menjumpai Bapak Riki

Siregar selaku Kepala Bidang Linmas dan Penanganan Konflik.

Adapun hasil dari perbincangan dengan Bapak Riki Siregar bahwa dia meluangkan waktu untuk bisa diwawancarai pada tanggal 24 Juli 2017 dan sekaligus peneliti bertanya tentang sapa yang paling berkompeten untuk ditanyakan perihal kejadian konflik 29 Juli 2016. Maka bapak Riki Siregar merekomendasikan orang-orang yang langsung turut serta dalam penyelesaian konflik tersebut. Baik pihak yang berasal dari Formal maupun dari pihak Informalnya, sehingga dapat memenuhi informasi- informasi penting dan diperlukan untuk menjawab permasalahan penelitian.

Dalam hal informan ini, ada sembilan orang yang berhasil dimintai keluangan waktunya beberapa kali untuk bisa di wawancarai oleh peneliti yaitu terdiri dari empat

50 orang dari aspek Formal dan lima orang lagi dari aspek Informal. Semua informan tersebut sudah melalui hasil kajian tersendiri dari peneliti dalam penyusunan laporan penelitian ini. Susunan dari nama-nama informan tersebut adalah:

1. Bapak Riki Siregar sebagai key informan dan berdiri dari aspek Formal

2. Bapak Abdi Nusa dari aspek Formal

3. Bapak AKP. H.E. Sidauruk dari aspek Formal

4. Bapak Patwar Nur dari aspek Formal

5. Bapak H. Haidir Siregar dari aspek Informal

6. Bapak Sahrul Azhari dari aspek Informal

7. Bapak H.M. Kosasih sebagai aspek Informal

8. Bapak H. Tobi Iskandar sebagai aspek Informal

9. Bapak Juneidy, SE sebagai aspek Informal

4.2 Temuan Penelitian

4.2.1. Deskripsi Informan Penelitian

Dalam hal ini peneliti telah mampu untuk mengumpulkan datum dari hasil wawancara dan observasi. Dimana hasil temuan data penelitian yang akan dipaparkan adalah hasil dari reduksi datum yang mana telah diasumsikan peneliti akan mampu untuk menjawab fokus masalah dan tujuan penelitian sebagaimana yang termaktub dalam Bab 1 sebelumnya.

Dari hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan narasumber atau informan, dapat diperoleh hasil wawancara yang mendalam. Dan nama-nama di bawah ini adalah sebagai informan atau narasumber penelitian ini dengan karakteristik sebagai berikut:

51

Table 4.1. Karakteristik Informan Usia No Nama Suku Pekerjaan Alamat Lama tinggal

Batak 1 Riki Siregar 40 PNS Jl. Rao Penduduk Tetap Tapsel

Batak 2 Abdi Nusa 59 PNS Jl. Prof. Sutami 20 Tahun Karo

Batak 3 AKP. H.E. Sidauruk 41 POLRI Jl. Sudirman 10 Tahun Toba

4 Patwar Nur 59 Jawa PNS Jl. AMD 30 Tahun

Batak 5 H. Haidir Siregar 59 Wiraswasta Jl. Cokroaminoto Penduduk Tetap Tapsel

6 Sahrul Azhari 58 Melayu PNS Jl. Bahagia Penduduk Tetap

7 H.M. Kosasih 62 Jawa Pengusaha Jl. Hamdoko Penduduk Tetap

8 H. Tobi Iskandar 67 Melayu Wiraswasta Jl. Pematang Pasir Penduduk Tetap

9 Juneidy, SE 39 China Wiraswasta Jl. Gereja No 24 Penduduk Tetap

Sumber: Olahan Data Peneliti 2017

4.2.2 Informan 1 : Riki Siregar

Bapak Riki Siregar adalah seorang PNS yang bertugas di Dinas Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Tanjungbalai. Pada instansi ini juga beliau sebagai Kepala Bidang

(kabid) Linmas dan Penanganan Konflik. Dalam permasalahan yang ada di Kota

Tanjungbalai yang dalam hal ini yaitu konflik pada tanggal 29 Juli 2016, beliau turut serta dalam penanganan konflik yang terjadi dan beliau juga yang merekomendasikan informan lain yang bisa menjadi rujukan informasi. Proses wawancara dengan beliau dilakukan secara langsung dan terjadi beberapa kali. Tetapi yang intens dan fokus adalah pada tanggal 28 Juli 2017 pada pukul 17.30 Wib.

52

Dalam kesempatan ini peneliti memulai sebuah wawancara dengan mempertanyakan kondisi multi etnis dan keberagaman masyarakat Tanjungbalai sebelum terjadinya peristiwa konflik pada tanggal 29 Juli 2016:

“Menurut saya kondisi keadaan di Tanjungbalai sebelum kejadian 29 Juli itu dari sisi kemulti-etnisan di Tanjungbalai cukup baik dalam arti sehari-hari yang tidak ada nampak terlalu perbedaan. Akan tetapi karena kondisi Tanjungbalai itu dari sisi perekonomian dikuasai, didominasi oleh Etnis China dan Etnis China di Tanjungbalai ini sebagian itu masih menutup diri sehingga kurang berbaur dengan masyarakat lainnya, etnis lainnya. Untuk etnis di luar China tidak ada hal-hal yang dapat mengganggu keharmonisan antar etnis”. Seperti halnya sama-sama kita ketahui bahwa sesuatu peristiwa yang telah terjadi akan diketahui oleh sebagian orang atau orang yang memang ikut berkecimpung dalam peristiwa tersebut. Selanjutnya peneliti mencoba mencaritahu pengetahuan informan tentang peristiwa konflik 29 Juli 2016, berikut petikannya:

“Kejadian 29 Juli 2016 itu menurut saya konflik antar personal dalam arti antara keluarga Etnis China yaitu bernama Meliana dengan beberapa orang pengurus BKM Mesjid Al Maksum yang terjadi di Jalan Karya Kelurahan Tanjungbalai Kota I Kecamatan Tanjungbalai selatan. Kejadian itu adalah ketersinggungan dari BKM Mesjid Al Maksum terhadap pernyataan Meliana tentang volume suara azan. Pengurus inipun tidak mendengar langsung pernyataan dari Meliana (pernyataan keberatan ini). Dia hanya mendengar dari pihak lain, pihak lain ini yang menyampaikan ke pengurus BKM. Sehingga pengurus BKM ini berusaha mengklarifikasi ke Meliana langsung dengan mendatangi rumahnya dan mungkin tentunya pengurus BKM juga sudah sedikit emosional dengan informasi yang diterima dari pihak lain tersebut. Sehingga begitu mendatangi Meliana, terjadi klarifikasi dari Meliana sendiri, lalu memberikan jawaban yang tidak memuaskan dengan menyampaikan kata-kata yang membuat tersinggung pengurus BKM sehingga terjadi percekcokan. Banyak masyarakat berkumpul mau mengetahui kejadian yang sedang terjadi. Setelah itu berkembang informasi terjadi pelarangan adzan. Berkembang terus sehingga banyak isu berkembang dari kejadian yang terjadi baik itu ada katanya etnis China yang melarang azan, ada yang mematikan alat sound sistem Masjid, ada etnis China masuk dengan celana pendek ke dalam Mesjid, seperti berbagai banyak issu yang berkembang melalui pesan pendek dan media sosial sehingga massa berkumpul dengan jumlah banyak. Terjadi orasi beberapa kelompok masyarakat atas ketidakpuasan, mengarahkan masyarakat untuk mendatangi beberapa Vihara dan Klenteng sehingga terjadilah hal yang kita ketahui bersama”. Dari beberapa sumber yang penulis juga dapatkan dilapangan dimana sumber tersebut tidak dijadikan informan tetapi keterangannya hampir sama dengan penjelasan

53 yang akan dikemukakan oleh informan. Kemudian peneliti bertanya tentang akar masalah sumber konflik pada tanggal 29 Juli:

“Memang kalau saya melihat pembauran antara Etnis China dengan Pribumi belum terjadi secara maksimal di Kota Tanjungbalai. Mungkin karena faktor budaya, faktor budaya ini juga mempengaruhi dari bahasa komunikasi juga yang terbangun di antara etnis ini tidak berjalan dengan baik. Di satu sisi Etnis China berposisi sebagai pengusaha/majikan, di satu sisi pribumi itu banyak yang menjadi pekerja. Mereka ini sebagian besar tidak berjalan harmonis terutama masyarakat Etnis China juga masih banyak menutup diri kemudian mereka berkomunikasi juga masih mengunakan bahasa mereka. Itu kita lihat referensinya pada kejadian- kejadian dahulu dimana banyak juga yang melibatkan Etnis China yaitu pertama masa reformasi dulu mereka menjadi korban terhadap pelampiasan emosi masyarakat yang dalam hal ini masyarakat pribumi. Kalau saya melihat dari masalah ini bahwa masyarakat pribumi juga banyak yang tidak memahami dengan kebudayaan mereka kesehari-hariannya sehingga kadang sulit membedakan mana budaya, mana yang agama. Agama mereka baik itu Konghucu maupun Budha mungkin masyarakat Pribumi ini heran dengan banyaknya jumlah Vihara dan Kelenteng yang ada di Tanjungbalai dibandingkan dengan jumlah pemeluknya. Tentang masalah Vihara Tri Ratna yang Patung Budha-nya di Puncak apakah itu juga salah satu akar masalahnya. Ya. Sebenarnya kalau masalah utama dari segi etnisnya masyarakat China itu tertutup, mereka itu menguasai ekonomi sehingga menimbulkan kecemburuan, masyarakat pribumi merasa ada ketidakadilan dan ketidakpantasan. Jadi seperti Vihara yg ada Patung Budha di atas itu hanya sebagai bentuk emosional dari masyarakat. Jika komunikasi bisa dibangun dengan baik atau keharmonisan terjadi di antara Pribumi dan Etnis China, saya rasa setinggi apapun patung itu tidak akan menjadi masalah. Bisa terjadi dua sisi masyarakat pribumi memahami kondisi kebutuhan masyarakat dalam hal ini masyarakat pemeluk Budha untuk memiliki patung yang tinggi atau di satu sisi masyarakat China ini memahami bahwa mereka tidak selayaknya untuk membangun Patung Budha di tempat itu. Jadi karena terpisah seperti minyak dengan air belum berbaur antar etnis. Waktu kejadian konflik 29 Juli, kelompok masyarakat yang melakukan orasi mengarahkan massa ke pendirian patung itu, menghancurkan Vihara atau membakar ataupun menurunkan patung itu. Selanjutnya dalam rapat-rapat penyelesaian ada pemuka agama yang menganggap itu sebagai salah satu pemicu terjadinya konflik karena dianggap itu belum selesai. Konflik Patung Budha ini muncul di tahun 2010, pada waktu itu menjelang pilkada, itu menjadi issu pilkada juga menjadi berita Nasional. Tidak diselesaikan dengan tuntas dan beberapa pemuka agama menganggap inilah awal terjadinya kejadian 29 Juli tersebut”.

Selanjutnya Bang Riki menjelaskan tentang pertanyaan peneliti mengenai penanganan konflik dari aspek komunikasi, dimana sebenarnya pihak yang paling berkompeten sudah melakukan hal yang proaktif untuk menyelesaikan permasalahan ini:

54

”metode penanganan konflik pasca kejadian tanggal 29 Juli 2016 tersebut menurut saya sudah cukup baik, begitu kejadian di tanggal 29 malam tersebut maka pagi hari itu Pemerintah Kota Tanjungbalai mengumpulkan para tokoh agama, tokoh masyarakat untuk mengumpulkan mereka dalam suatu forum diskusi sehingga menghasilkan suatu pernyataan sikap bersama. Diantara poinnya itu masing- masing dari tokoh masyarakat dan tokoh agama mengutuk keras kejadian tersebut, harapan kedepannya tidak terjadi lagi. Ada beberapa poin, kurang lebih 5 poin ya. kemudian hasil komunikasi tersebut di sosialisasikan kepada masyarakat baik itu selebaran maupun melalui pemasangan baliho dan spanduk sehingga agar masyarakat mengetahui pernyataan sikap dari masing-masing tokoh yang mungkin masih kurang dalam komunikasi yang terjadi waktu itu. Setahu saya memang belum ada pada saat itu tanggal 30 Juli terjadinya pernyataan sikap, untuk perdamaian dalam arti mungkin karena kondisinya juga belum diketahui pihak atau kelompok mana yang melakukan pembakaran dan sebagainya sehingga perdamaian itu belum dapat dilakukan. Tidak ada yang meminta maaf dan tidak ada, belum ada yang memaafkan sehingga masih belum selesai setelah pernyataan sikap yang diambil tersebut”.

Karena bang Riki semakin antusias dengan penjelasannya, apalagi dalam hal yang menjadikan masalah baru yang ada di Kota Tanjungbalai ini. Maka peneliti bertanya tentang kendala dan faktor penghambat dalam penanganan konflik:

“faktor-faktor penghambat banyak hal, baik itu yang bersifat eksternal maupun internal. Dari eksternal kita melihat bahwa situasi di tingkat Nasional juga terjadi ketidaksenangan terhadap etnis itu terkait dengan kondisi di Jakarta banyak pertentangan terhadap kepemimpinan Ahok sehingga sedikit banyak itu juga mempengaruhi masyarakat di Tanjungbalai. Menimbulkan antipati terhadap etnis China dan juga mereka merasakan juga ketidak-harmonisan antara etnis China dengan Pribumi. Kemudian yang dari internal dalam penyelesaian penanganan kasus ini tidak ada terjadi upaya perdamaian sehingga Pemerintah dan kepolisian mengambil sikap untuk menindak para pelaku yang terlibat. Di dalam penanganan konflik melalui jalur hukum itu menimbulkan perlawanan dari pihak kelompok tertentu yang mereka tidak ingin penyelesaian ataupun penanganan konflik ini dilakukan dengan jalur hukum dan mereka menginginkan karena ini dianggap konflik social. Mereka ingin menyelesaikan secara musyawarah atau perdamaian. Jadi penyelesaiannya memang berlarut-larut karena tidak ditemukannya jalan tengah antara pihak keamanan dan kelompok yang disangka kan sebagai pelaku”.

55

Bang Riki semakin dinamis terhadap jawabannya sehingga penulis mencecar lagi dengan pertanyaan tentang partisipasi Forum Kordinasi Pimpinan Daerah

(FORKOPIMDA) dan hasil yang didapat yaitu:

“Komunikasi yang dilakukan oleh FORKOPIMDA yang dalam hal ini dimotori oleh bapak Walikota Tanjungbalai, saya melihatnya sudah cukup baik, ini terlihat dalam upaya merumuskan akar permasalahan konflik yang terjadi itu. Tadi saya sempat sebutkan bahwa salah satunya dari tokoh ulama patung budha. Kemudian secara cepat Walikota juga berupaya bagaimana dilakukan upaya untuk penurunan patung tersebut di tempat yang layak. Walaupun banyak terjadi dialog dan yang dilakukan akhirnya berhasil, sehingga bagi masyarakat ataupun ulama yang menganggap itu menjadi akar permasalahan, tentu dengan penurunan patung tersebut dianggap sudah menyelesaikan akar permasalahan yang terkait dengan permasalahan patung. Disamping itu pada waktu kejadian tersebut juga Musyawarah Pimpinan Daerah (FORKOPIMDA) cepat bereaksi langsung mengambil sikap baik itu dalam mengumpulkan tokoh masyarakat, tokoh ulama. Penanganan hukum juga terjadi komunikasi yang intensif antara Walikota, pihak Polres dan Kejari tentang bagaimana mengupayakan penanganan hukum ini dapat dilakukan secara baik dan tidak memberatkan para pelakunya mengingat para pelakunya sebagian juga masih remaja dibawa umur dan sebagian lagi mereka masih muda, masih mahasiswa dan masih kuliah. Itu menjadi pertimbangan Walikota untuk memberikan pertimbangan kepada pihak Kepolisian dan Kejaksaan di pengadilan. Jadi komunikasi yang dibangun oleh FORKOPIMDA saya melihat banyak membantu dalam hal penyelesaian konflik di Tanjungbalai ini sehingga berjalan dengan cukup baik tidak menimbulkan permasalahan yang baru”. Dengan sedikit termenung, bang Riki menjawab pertanyaan tentang udah selesai atau belum permasalahan konflik ini:

“Untuk konflik yang terjadi 29 Juli itu saya melihatnya dengan upaya-upaya yang dilakukan FORKOPIMDA dalam hal ini memang sudah menyelesaikan permasalahan yang terjadi 29 Juli tersebut. Tapi mungkin di awal juga saya bilang akar permasalahannya bukan sekedar masalah penurunan patung, ada hal yang mungkin yang lebih luas dari hal tersebut jadi saya melihatnya belum selesai”. Jadi peneliti langsung bertanya tentang apa yang seharusnya dilakukan dan bang

Riki pun secara gamblang menjawabnya:

“Saya melihatnya masih perlu upaya yang extra dari Pemerintah dalam hal ini sebagai fasilitator tentang bagaimana antara masyarakat Pribumi dan masyarakat China ini tidak ada terjadi gap ataupun kesenjangan. Bukan saja dalam hal ekonomi tapi dalam hal pandangan dan antara satu etnis dengan etnis yang lain. Dalam hal ini harus ada upaya bagaimana masyarakat Pribumi ataupun fokusnya

56

pada masyarakat China ini harus bisa berbaur kepada masyarakat dan kebudayaan pribumi sehingga tidak terjadi kesenjangan antara pribumi dan etnis China ini. Sebagaimana antar etnis yang lain baik itu etnis Batak, Minang, Aceh, Melayu tidak pernah terjadi kesenjangan. Mudah-mudahan dengan adanya pembauran yang lebih antara etnis China dan pribumi ini sehingga tidak ada lagi konfllik etnis yang bisa terjadi di Tanjungbalai”. Akhirnya peneliti bertanya tentang harapan ke depan dalam keberagaman antar etnik di Kota Tanjungbalai ini dan beliau menuturkan:

“kedepannya memang saya harapkan suasana perbedaan etnis ini karena saya melihat memang perbedaan etnis ini terlihat tampak antara Etnis China dan pribumi mungkin bisa kita lihat bagaimana di daerah lain seperti di Jogjakarta, antara masyarakat Pribumi dengan China tidak ada terjadi kesenjangan etnis. Tidak ada yang Etnis China tidak terlihat seperti Etnis China, mereka berbahasa Jawa dengan baik. Di beberapa daerah di Sumatera juga seperti itu baik itu Sumatera Barat maupun di Tapanuli. Saya lihat mereka itu berbaur dengan baik, jadi memang di Tanjungbalai ini perlu upaya yang lebih keras lagi dari Pemerintah bagaimana agar terjadi pembauran yang lebih baik. Tentunya memang tidak bisa disalahkan di salah satu baik itu etnis pribumi dan etnis China tetapi kedua-dua ini harus bisa digerakkan untuk saling memahami baik itu perbedaan budaya maupun agamanya”.

4.2.3 Informan 2: Abdi Nusa

Hari Rabu tanggal 27 Juli 2017 pukul 16.00, peneliti memasang janji dengan informan yang mana beliau adalah seorang Sekretaris Daerah Kota Tanjungbalai. Akan tetapi dikarenakan kesibukan beliau yang terlalu padat maka peneliti harus bersedia untuk memasang jadwal ulang untuk wawancara walaupun sebenarnya peneliti sudah pernah bincang-bincang hangat mengenai topik yang sama. Maka dengan pihak ajudan disepakati pertemuan selanjutnya pada tanggal 03 Agustus 2017. Maka dengan tidak menyia-nyiakan kesempatan peneliti hadir pada tanggal yang telah ditentukan. Beliau ini menjabat sebagai Sekda Kota Tanjungbalai juga sewaktu kejadian konflik terjadi.

Selanjutnya peneliti mulai bertanya tentang kondisi keberagaman sebelum peristiwa 29

Juli 2016 dengan tanggapan adalah:

57

“Kalau kami tidak salah di Kota Tanjungbalai ada sembilan etnis, keragaman etnis tentu membuat perbedaan-perbedaan. Dari segi keagamaan, Tanjungbalai ini boleh dikatakan 80% Persen Muslim, termasuk Suku Batak, Karo, Pak-pak yang juga menganut agama Islam. Tentu dengan keragaman ini ada perbedaan yaitu perbedaan pendapat, perbedaan aliran kepercayaan dan juga pendapat-pendapat lainnya. Penglihatan kami (dari Pemerintah Kota dan saya sebagai Sekretaris Daerah) selama ini, semuanya berjalan lancar (tidak ada pergesekan-pergesekan). Beberapa tahun lalu memang ada pertengkaran seperti ini tetapi sudah diselesaikan (melibatkan Forum Kerukunan Umat Beragama, Majelis Ulama Indonesia dan pemangku-pemangku adat di Tanjungbalai) dan ini terkubur lama/tidak ada permasalahan. Sesama umat saling mencari mengisi, ekonomi berjalan dengan baik”.

Sambil melanjutkan dengan pertanyaan kedua, peneliti serius dalam menyimak penjelasan tentang banyaknya etnis yang ada di Kota Tanjungbalai. menurut pemikiran peneliti bahwa masyarakat Kota Tanjungbalai memang sangat majemuk. Karena keterkaitan isi pertanyaan yaitu tentang pengetahuan beliau pada peristiwa yang telah terjadi tersebut:

“Konflik insiden di Tanjungbalai dimulai pada hari Sabtu tanggal 30 Juli 2016 pukul Nol-nol Empat Puluh lima (tepatnya hari Jum‟at tanggal Dua Puluh Sembilan Juli setelah Isya), pemicunya hanya kesalahpahaman seorang etnis China bernama Meliana yang tinggal berjarak Dua Belas meter dari Masjid Al- Maksum. Meliana ini menyebutkan bahwa suara adzan itu bising dan pernyataan ini disampaikan seorang anak kepada Nazir Masjid (kebetulan ayahnya) dan dibahas sesama mereka dan ini langsung memuncak”.

Bapak Sekda ini sendiri sebenarnya dari etnis yang bisa dibilang jarang di Kota

Tanjungbalai yaitu Etnis Karo. Sehingga menambah khazanah dalam peragaman etnik yang ada ini. Pertanyaan berlanjut tentang akar dari masalah konflik yang terjadi ini:

“Sebenarnya sebagaimana yang saya sampaikan tadi hanya kesalahpahaman disebutkan bising. Ternyata kalimat bising itu dikembangkan di Masjid, “oh jadi tidak senang dengan mesjid atau bagaimana”, (ada Pak Jailani ada Pak Zulfan ada Pak Sambas, Haris Tua Marpaung)? Jadi mereka datangi rumah Meiliana, ada anda sampaikan begini? Tentu Meliana membela diri dan mengatakan bahwa bukan begitu maksudnya. Tetapi, spontan massa sudah terkumpul dan ditambah informasi dari media sosial. Kebetulan ini adalah isu negatip yang disampaikan, yang bunyinya: “serang dan bakar semua Vihara dan kelenteng”. Etnis China sendiri menyalahkan Meliana, “kalau yang salah Meliana, kenapa harus yang lain dikorbankan”. Hal seperti ini mengembang tanpa ada perintah.

58

Anak-anak dibawah umur yang jumlahnya tidak bisa diprediksi langsung menyerang sehingga pihak keamanan dan pihak Satpol PP termasuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mau mengamankan tetapi tidak bisa karena kesulitan dengan massa yang cukup banyak. Banyak yang tidak tahu masalah, ikut dalam permasalahan, jadi tidak menyelesaikan masalah. Judul yang dikembangkan: “hancurkan semua Kelenteng karena mereka telah mengganggu ibadah kita”. Sehingga terjadilah dari tengah malam sampai pagi. Kami hanya bisa menghalau, “tolong Bapak dan Ibu, adik-adik kembali ke tempat. Tolong jangan hancurkan tempat peribadahan ini karena ini adalah tempat beribadat masing- masing sesuai dengan aliran dan kepercayaan kita tapi tidak mempan lagi karena jadi brutal”.

Menurut penuturan beliau bahwa, agak sedikit lambat penanganan saat itu dilapangan dikarenakan banyaknya massa yang berkumpul. Pesan berantai yang begitu cepat sehingga massa yang datangpun cepat juga. Beliau yang langsung ikut tergabung dalam FORKOPIMDA sangat jelas mengetahui tentang langkah-langkah dalam penanganan konflik ini. Lalu peneliti mengkonfirmasi mengenai metode penanganan konflik yang terjadi:

“Kami (FORKOPIMDA dan DPR, Sekretaris Daerah tokoh masyarakat dan seluruh unsur masyarakat Kota Tanjungbalai) kumpul di kantor Pemerintah Kota, tanggal 30 Juli 2016 dan membuat pernyataan sikap yang isinya ada tujuh atau enam poin yang diketahui oleh Bapak Walikota. Dan kami yang menyaksikan, setelah terangkum kami bubuhi tanda tangan pernyataan sikap ini. Isinya antara lain berperan serta proaktif menjaga stabilitas keamanan ketertiban antar kerukunan umat beragama, menjadi contoh teladan bagi seluruh jajaran anggota masyarakat dan berupaya menjaga kerukunan antar umat beragama. Bersama- sama menjaga sarana dan prasarana rumah ibadah dari gangguan pihak yang tidak bertanggung jawab. Bersedia menyampaikan informasi dan mengajak seluruh masyarakat mengenai arti pentingnya kerukunan umat beragama antar umat beragama. Mendukung proses penegakan hukum upaya menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban bersama-sama. Bertekad menjaga kondusif dan menolak segala bentuk anarkis di Kota Tanjungbalai, yang kami buat ini kami sampaikan kepada Alim Ulama, Tokoh Masyarakat, Camat dan Lurah, Masyarakat, Sekolah, Kepala Sekolah. Semua kami edarkan untuk sama-sama menjaga Kota Tanjungbalai, karena Kota ini seperti Kota mati. Juga pasti perekonomian kalau terus berlanjut akan mati dan lumpuh. Ini yang disampaikan pada kunjungan para pejabat tinggi baik itu dari Propinsi: Kapolda, Bapak Gubernur, Yang mewakili Kejaksaan, Pangdam. Hadir di pendopo menindak lanjuti pernyataan sikap dan meninjau seluruh kerusakan, ini terus ditingkatkan dengan gotong-royong seluruh lapisan masyarakat, TNI-POLRI, segala lapisan PNS, KNPI, Tokoh Masyarakat, FKPPI, PP dan Organisasi-organisasi lainnya. Pemerintah Kota juga mengambil sikap karena ini bencana yang tidak kita inginkan dan tentu menjadi bebannya Pemerintah Kota dan dana seperti ini ada dan diberikan (membersihkan seluruh

59

puing-puing yang ada). Dari Jakarta (tokoh-tokoh Budha), DPD, tokoh peduli dari China Jakarta, Medan mereka turun ikut membantu”.

Begitu mendengar aktifnya FORKOPIMDA dalam mencari penyelesaian dari pada konflik tanggal 29 Juli ini membuat peneliti terkagum dan salut dengan kerjasama yang dilakukan demi terciptanya masyarakat Tanjungbalai yang harmonis. Inilah salah satu kearifan lokal yang dimiliki dan pernah ada di Kota Tanjungbalai. Maka peneliti melanjutkan dengan pertanyaan kendala yang menjadi faktor penghambat dalam penanganan konflik ini:

“pertama banyaknya manusia sehingga alat berat dan alat pemadam tidak bisa kita kerahkan secara bebas karena terganggu dengan lautan manusia (yang sebahagian menggunakan kesempatan dalam kesempitan, ada yang menjarah, ada yang lain- lain)”.

Nah dengan penjelasan informan seperti diatas maka memang sulit situasi pada malam itu sehingga peneliti melanjutkan dengan pendalaman pada partisipasi dan yang dihasilkan dari FORKOPIMDA ini:

“Hasilnya cukup positip karena yang kumpul ini adalah: FORKOPIMDA, Tokoh Masyarakat (Tokoh Agama, tokoh Forum Pembaharuan Kebangsaan), BKPRMI, KNPI, Tokoh Etnis China, FKUB, FORKALA, MUI, Etnis Yang hadir cukup komplit, semua tokoh ini akan menyampaikan kepada bidangnya masing-masing. FKUB akan menyampaikan ke Masjid dan Sintua (tokoh agama Kristen) menyampaikan kepada Gereja/Dewan Gereja, Etnis China menjaga supaya jangan bergerak dan menjaga rumah masing-masing. Hasilnya bagaimana? Ya positip, ditambah lagi dengan kehadiran: Para petinggi kita (termasuk Bapak Gubernur, Bapak Kapolda) bapak-bapak Kesbanglinmas dari Propinsi dan semua lapisan pejabat Propinsi yang ikut turun ke Tanjungbalai. Semua punya andil dalam menyampaikan pesan supaya kita aman dan damai”.

Selanjutnya dengan andil yang sangat jelas dari pihak pucuk pimpinan dari

FORKOPIMDA dan semua elemen maka diharapkan proses penyelesaian akan terjadi.

Nah peneliti ingin memperdalam tentang komunikasi yang telah dibangun ini, apakah masalah sudah selesai:

60

“Tentu ini butuh proses, mereka didekati, dikumpul dan juga disamakan persepsi apa yang harus kita laksanakan, bahwa kejadian sudah berlangsung mari kita bangun kembali bagaimana caranya, itu yang diupayakan. Dibangun, diperbaiki dan dirapikan semua, apa–apa yang bisa dibantu oleh Pemerintah Kota, juga dari pihak-pihak ketiga. Bagaimana bangunan-bangunan yang hancur supaya dikembalikan dan orang-orang yang menjarah/yang bersalah menurut mata hukum ini tentu ditahan dan diproses ”

Situasi yang akan diharapkan oleh para pemangku kebijakan terutama dalam hal ini Bapak Walikota adalah masyarakat yang aman dan tenteram. Maka peneliti memulai kembali pertanyaan tentang keberagaman dari hasil penyelesian konflik ini:

“Pelan-pelan itu butuh proses, berhari-hari dan berbulan-bulan. Setelah diyakinkan, mereka kembali jualan masyarakat kitapun jualan berbaur kembali setelah itu bersatu, jadi enak komunikasi. Dikumpulkan kembali baik FKPD, Tokoh Masyarakat dan yang terkait yang saya sampaikan tadi. Ini diupayakan kalau kita biarkan, akan terulang lagi entah kapan, proses waktu. Sepuluh tahun lalu pernah direncanakan patung ini diturunkan jadi inisiatif bersama masyarakat, Pemerintah Kota dan Tokoh Agama. Mereka bicarakan, tentu ini mendapat tantangan dari mereka karena puing-puing milik mereka hancur. Kalau sebahagian sudah diperbaiki baru duduk bersama lagi, bagaimana supaya enak, supaya kondusif di suatu masa dan di suatu saat ini bisa terulang kalau tidak dipadamkan api permasalahan, yang diinginkan adalah supaya itu diturunkan tidak di atas tapi kita tempatkan ke tempat yang layak dan terhormat di teras. Jadi dibicarakanlah ini dengan duduk bersama, terakhir ini disetujui dan itu suratnya sudah ada di sini, juga ada komitmen bersama dan ditanda tangani. Dengan bersusah payah, dengan segala upaya segala potensi dikerahkan, diyakinkan dan sama-sama menginginkan bahwa: “itu adalah kebersamaan semua masyarakat Tanjungbalai”. Terakhir, etnis China juga tidak keberatan diturunkan, mudah-mudahan tidak ada riak yang macam-macam, berlangsung aman dan damai sampai sekarang”.

Pada akhir wawancara, peneliti mengajak dan mencoba mencari tahu tentang pemikiran-pemikiran yang dimiliki oleh informan tentang kemajuan dan perkembangan

Kota Tanjungbalai Kedepan dari segi keharmonisan bermasyarakat. Bapak Sekda terlihat berfikir untuk kemajuan Kota Tanjungbalai ini, dan dia berharap keberagaman antar etnis yaitu:

“Kalau saya melihat dari kacamata saya sendiri barangkali ke depan mudah- mudahan tidak akan ada lagi singgungan-singgungan seperti ini. Itu yang kita harapkan bersama, Pemerintah, Masyarakat Forkopimda. Harapan semua

61

masyarakat Tanjungbalai menginginkan kita hidup aman dan damai dan kita akan bertugas sesuai dengan bidang kita masing-masing, mereka juga sesuai dengan bidangnya (tentu perekonomian, memang sebahagian berada di tangan mereka). Mudah-mudahan lancar, kita sama-sama mendapatkan nafkah di Kota Tanjungbalai ini secara aman dan damai. Barangkali ini keinginan kita dan keinginan seluruhnya”.

4.2.4 Informan 3: AKP. H.E. Sidauruk

Adapun Bapak H.E. Sidauruk adalah seorang Kepala Satuan Pembinaan

Masyarakat (Kasat Binmas) di Polres Kota Tanjungbalai. Beliau ini adalah orang yang turut serta juga dalam menangani konflik tanggal 29 Juli 2016. Sehingga peneliti menjadikan Bapak H.E. Sidauruk sebagai salah satu informan. Pertemuan dengan beliau juga terkesan sulit, dikarenakan kesibukan beliau pada aktifitas kepolisiannya. Selain itu juga bahwa adanya kunjungan Bapak Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara

(Kapolda) dan persiapan penutupan dari acara TNI Manunggal Masuk Desa (TMMD) ke-

99 di Kota Tanjungbalai. Untuk pertanyaan pertama peneliti bertanya tentang keberagaman sebelum peristiwa 29 Juli 2016:

“Bahwa secara umum masyarakat Tanjungbalai dapat memahami dan menerima keberagaman etnis yang ada di Kota Tanjungbalai namun pada bidang-bidang tertentu dan waktu-waktu tertentu, keharmonisan etnis yang ada di Kota Tanjungbalai kerap menimbulkan permasalahan dan terlihat masih adanya kesenjangan ekonomi dan sosial antara satu etnis dengan etnis lainnya yang dapat menimbulkan konflik antar etnis apabila ada pemicu atau dengan kata lain menjadi bom waktu. Hal ini dapat kita lihat pada kehidupan sehari-hari misalnya pergaulan etnis atau Etnis China yang ada kecenderungan masih dalam pergaulan internal dan belum berbaur dengan etnis atau suku lainnya, termasuk kesenjangan ekonomi masih terlihat menjadikan jarak antara etnis atau Etnis China dengan etnis melayu atau etnis lain yang pribumi yang pada akhirnya tercipta suatu kondisi sosial yang kurang baik dengan adanya salah satu etnis merasa ekslusif dan sebaliknya etnis lain merasa diremehkan dan akhirnya melahirkan kecemburuan sosial”.

Pihak keamanan dalam hal ini adalah Kepolisian Republik Indonesia yang akan terus berusaha menjaga kekondusifan masyarakat yang dalam hal ini adalah masyarakat

Kota Tanjungbalai. Dari beragam peristiwa yang ada maka informan langsung ikut dalam

62 peristiwa 29 Juli 2016 dari berlangsungnya sampai penanganannya. Selanjutnya penulis menanyakan tentang peristiwa 29 Juli 2016 dan tempat kejadiannya:

“Bahwa peristiwa konflik 29 Juli 20I6 berawal dari ketika seorang perampuan bernama Meliana seorang etnis tionghoa mendatangi seorang tetangganya yang juga seorang perempuan etnis melayu pribumi bernama Uwo dan meminta tolong untuk menyampaikan kepada pengurus Mesjid Al Maksum untuk mengecilkan suara mesjid karena Meliana merasa bising, hal ini disampaikan kira-kira satu minggu sebelum peristiwa konflik 29 Juli 20I6, selanjutnya secara berantai pesan saudari Meliana tersebut sampai kepada pengurus BKM Mesjid Al Maksum Jl. Karya Kelurahan Tanjungbalai Kota I Kecamatan Tanjungbalai Selatan yang letaknya persis di seberang jalan di depan rumah Meliana, menyikapi ucapan Meliana tersebut maka beberapa orang pengurus BKM Mesjid Al Maksum menemui Meliana di rumahnya untuk di konfirmasi. Dalam konfirmasi tersebut Meliana tetap menyampaikan apa yang diucapkannya sebelumnya melalui Uwo sehingga terjadi miskomunikasi yang akhirnya mengundang perhatian masyarakat sekitar, dalam kondisi ini hadir petugas dari pihak kepolisian, Pemerintahan dan Tokoh Masyarakat untuk memecahkan persoalan melalui mediasi di kantor Kelurahan. Dan ketika dilakukan mediasi di Kantor Kelurahan masyarakat mulai ramai datang ke lokasi rumah Meliana karena mendapat informasi bahwa ada orang China datang ke Mesjid Al Maksum melarang azan. Informasi inilah yang terus berkembang sehingga pada akhirnya mendatangkan massa yang banyak, sementara mediasi di Kelurahan juga gagal dan akhirnya massa yang banyak mengamuk mendatangi rumah Meliana dan merusak, melempari dan berusaha membakar. Namun masyarakat setempat membantu memadamkan api karena takut akan menimbulkan kebakaran dan menghanguskan rumah di sekitarnya. Selanjutnya massa yang sudah yakin benar dengan informasi yang mereka dapat tentang tindakan dan kalimat Meliana mendatangi tempat-tempat ibadah etnis tionghoa yaitu vihara dan kelenteng dan melakukan pembakaran dan pengrusakan di beberapa tempat di Kota Tanjungbalai”.

Sembari Bapak Kasat ini mengingat saat kejadian itu, maka peneliti melanjutkan pertanyaan ketiga yang berkutat pada akar permasalahan konflik yang tentunya pihak keamanan mendapatkan informasi yang akurat dari pihak atau wadah yang mereka miliki:

a. “Ucapan Meliana yang meminta dikecilkan volume suara Mesjid yang disampaikan melalui perantara atau secara berantai yang ketika di konfirmasi melahirkan miskomunikasi dan pada akhirnya melahirkan informasi yang disimpangkan baik dengan sengaja maupun tidak sengaja sehingga masyarakat menerima atau mendapat informasi bahwa Meliana datang secara langsung ke Mesjid melarang azan dan informasi menyimpang lainnya. Sehingga masyarakat terprovokasi dan

63

menimbulkan ketersinggungan dan kemarahan terhadap Meliana dan melampiaskan kemarahan mereka ke tempat-tempat ibadah etnis China (sebagai etnis saudari Meliana) dengan melakukan pengrusakan dan pembakaran. b. Juga adanya potensi konflik sebelumnya tentang penolakan keberadaan bangunan-bangunan rumah ibadah Vihara dan Kelenteng di sekitar lokasi pantai Amor yang terindikasi adanya penyimpangan IMB dan penolakan patung Amithaba yang di tempatkan di lantai atas Vihara Tri Ratna c. Adanya kesenjangan ekonomi dan sosial antara etnis China dengan etnis lainnya”.

Sembari meminum teh yang telah disediakan oleh Bapak Kasat, peneliti terus mencecar dan mengejar ingatan Bapak Kasat dengan pertanyaan tentang metode penanganan konflik dari aspek komunikasi:

“Saya menganggab bahwa komunikasi adalah salah satu yang sangat perlu dan harus dibangun sesegera mungkin agar apa yang menjadi akar permasalahan dan apa yang menjadi harapan semua pihak yang terlibat dalam konflik etnis dapat diketahui dan dicari solusi terbaik penyelesaiannya”.

Sambil senyum dan berkelakar dia berkata, “ udah macam ditanya wartawan ini”, kami berduapun tersenyum. Sembari pertanyaan tetap peneliti lanjutkan yaitu pada kendala-kendala dan faktor penghambat dalam penanganan konflik:

“Menurut saya bahwa kendala-kendala yang merupakan faktor penghambat dalam penanganan konflik tanggal 29 Juli 2016 era sebelum patung di tempatkan si tempat yang sebaik-baiknya yaitu a. Faktor kepentingan b. Faktor politik c. Faktor kemampuan komunikasi d. Faktor kesadaran hokum”.

Peneliti bertanya kepada Bapak Kasat tentang masih meneruskan pertanyaan, dan beliau pun mengangguk tanda setuju. Maka peneliti bertanya untuk FORKOPIMDA dan yang dihasilkannya atas konflik 29 Juli 2016:

“Tentunya telah dapat melahirkan beberapa kesepakatan perdamaian yang dapat dijadikan suatu acuan bagi para pihak yang terkait konflik etnis dan pihak yang membantu penanganan konflik sehingga cara penyelesaian penanganan konflik bisa lebih baik dan dapat diterima semua pihak”.

64

Apakah menurut Bapak kasat dengan komunikasi yang dibangun apakah masalah konflik sudah selesai:

“Menurut pendapat saya bahwa dengan komunikasi yang dibangun tersebut masalah konflik sudah selesai dan kedepan komunikasi yang sudah di bangun tersebut harus terus dijaga dan dipelihara agar masalah konflik tidak terulang, termasuk dengan memaksimalkan peran Pemerintah dan penegak hukum dalam bentuk pembinaan masyarakat semua etnik”.

Agak sedikit terpotong karena ada anggotanya yang masuk meminta tanda tangannya, dan dia bertanya apakah masih ada pertanyaan lanjutan. Lalu saya bilang tentu bapak, yaitu tentang yang harus dilakukan untuk menyelesaikan konflik ini:

“Bahwa kondisi keberagaman etnis terlihat telah pulih bahkan semakin baik artinya antar etnik sudah lebih menyadari segala kelebihan dan kekurangannya, walaupun masih ada terlihat kekakuan dalam interaksi kehidupan sebagai dampak konflik etnis yang pernah terjadi”.

Nah ini pertanyaan terakhir Bapak dan mudah-mudahan Bapak dapat menjawabnya dengan gambalang mengenai harapan kedepan suasana keberagaman yang seperti apa dalam hubungan antar etnis:

“Bahwa semua etnis yang ada harus menyadari keberagaman etnis adalah merupakan suasana yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat di Kota Tanjungbalai sehingga seluruh masyarakat harus bisa mengelola keberagaman etnis yang ada sebagai potensi mempermudah menjalani kehidupan dan mempercepat pembangunan di Kota Tanjungbalai, juga perlu ditanamkan pada semua etnis yang ada tentunya punya kelebihan dan kekurangan masing- masing yang harus disikapi dengan bijak oleh semua etnis dan semua pihak, bangun komunikasi yang baik, pelihara sifat toleransi, saling menghargai dan menghormati antar etnis yang ada”.

4.2.5 Informan 4: H. Patwar Nur Bapak Patwar Nur menjabat sebagai Kabag Hukum pada PEMKO Tanjungbalai.

Sesi wawancara ini berlangsung pada hari Rabu, 04 Agustus 2017 dan dimulai sejak jam

11.42 dan berakhir pada jam 12.19 (dengan Durasi: 19.37 menit) bertempat di kantor

65 beliau. Berikut ini adalah beberapa pendapat beliau sehubungan dengan konflik pada tanggal 29 Juli 2016.

Peneliti mengawali pertanyaan pembuka mengenai penilaian beliau tentang keberagaman dari segi etnis sebelum peristiwa 29 Juli 2016 di Kota Tanjungbalai dengan komentar:

“Kota Tanjungbalai itu sama dengan kota-kota lainnya, hampir sama di sini juga etnis Jawa, Batak, Melayu, Sunda, Aceh. Selama ini hidup berdampingan secara damai tidak ditemukan adanya riak-riak yang mengarah kepada pertikaian apalagi konflik”.

Pendapat Bapak Patwar tentang peristiwa konflik 29 Juli 2016 di Kota

Tanjungbalai adalah sebagai berikut:

“Peristiwa yang terjadi 29 Juli itu, khusus yang beragama Islam agak terusik atas pernyataan dari seorang etnis China yang bernama Meliana yang tinggal di Jalan Karya. Dia merasa terganggu suara adzan dari Masjid Al-Maksum yang jaraknya lebih kurang 12 m dari rumahnya, pada hari Jumat tanggal 29 Juli setelah Isya. Katanya suara Masjid supaya dikecilkan sedikit (bikin pekak telinga orang), dia tidak melarang. Orang-orang yang ada di situ agak terusik dan menafsirkan itu penghinaan karena ini masalah agama ini, isu sara apalagi di Tanjungbalai beberapa kejadian umumnya dipicu dari agama. Sebelumnya udah terjadi pembakaran-pembakaran sehingga meletuplah peristiwa 29 Juli inikan. Lurah Tanjungbalai Kota I memanggil Meliana dan suaminya namun menunjukkan sifat yang tak bersahabat, maka panaslah jamaah yang ada di dalam rapat itu. Cerita dari haris tua atau bang lobe, lantas bergeraklah jamaah menuju tanah pasiran tanah asal reklamasi pantai, terjadilah pembakaran yang merusak beberapa rumah ibadah”.

Mengenai yang menjadi akar masalah sumber konflik 29 Juli 2016 di Kota

Tanjungbalai, pendapat Patwar Nur adalah sebagai berikut:

“Emosional, ini belum terjadi konflik kalau kita merujuk kepada undang-undang nomor 7, dikatakan Konflik manakala dua etnis bertikai. Dalam kejadian ini gak ada dua etnis yang bertikai, kelompok dia nggak ada yang melawan (cuma 2 orang: istri sama suami). Kita menyerang rumah ibadah si Meliana karena dia orang China. Mungkin juga karena jarak antara kita sama etnis China agak tinggi. Peristiwa yang lalu (patung yang tidak diturunkan) juga jadi pemicu. Kecemburuan sosial juga ada”.

66

Bapak Patwar merespon pertanyaan selanjutnya tentang metode penanganan konflik yang terjadi setelah tanggal 29 Juli 2016 sebagai berikut:

“Diselesaikan secara kearifan lokal dan undang-undang no 7, kalau dengan menggunakan cara kearifan lokal Walikota harus menentukan bahwa itu konflik sosial. Kita harus hati-hati karena resikonya besar jika mengatakan ini konflik sosial. Namun, kita berusaha melakukan perbaikan-perbaikan agar tetap tercipta kerukunan kembali dengan pengerahan tenaga: PNS, TNI, Pemuda ke pasiran (Water Front City). Bekas-bekas kebakaran kita bersihkan, kita tidak menginginkan peristiwa itu terjadi. Dari Komnas Ham datang ke Tanjungbalai untuk menilai bagaimana kondisi terakhir di Tanjungbalai. Kita jelaskan bahwa Pemko dan masyarakat Tanjungbalai mengambil sikap untuk merujuk kembali kondisi yang sudah tercabik-cabik, supaya tidak ada tindakan lanjutan lagi dari orang-orang atau generasi muda Tanjungbalai. Kemudian yang ditahan (mahasiswa dari UMSU), mereka dilepaskan dianggap ini penyelesaiaannya secara kearifan lokal, jangan ada tindakan hukum”.

Diiringi dengan datangya staf beliau menanyakan tentang kepergian Dinas Bagian

Hukum Ke Jakarta, Bapak Patwar menjawab mengenai kendala-kendala yang merupakan faktor penghambat dalam penanganan konflik tanggal 29 Juli 2016, beliau katakan sebagai berikut:

“Sulit kita dalam waktu yang cepat menetapkan bahwa yang terjadi itu merupakan konflik sosial. Kalau bisa cepat segala tindakan bisa segera ke Dukungan Dana kita arahkan ke sana”.

Pendapat Bapak Patwar mengenai hasil dari komunikasi FORKOPIMDA atau

FKPD atas konflik tanggal 29 Juli 2016 ini, yaitu:

“Peranannya besar sekali, dari FORKOPIMDA kita menarik akar masalah kemarin karena belum turunnya patung amitabha dan memang turun secara baik- baik. Pihak kelompok China menyetujui supaya diturunkan agar tidak ada konflik sama mereka. Kemudian membangun komunikasi sama FORKOPIMDA khususnya Polres supaya yang adik-adik yang ditahan jangan dihukum berat, karena mereka mahasiswa jangan sampai terhambat perkuliahannya ini sifatnya spontan jangan sampai kita anggap mereka itu penjahat”.

67

Menurut keterangan dari Bapak Patwar tentang komunikasi yang sudah di bangun tersebut apakah masalah konflik ini sudah selesai, berikut penjelasannya:

“Di Tanjungbalai saat ini konflik sudah selesai dan tidak ada masalah, riak- riaknyapun tidak ada lagi. Pihak pengadilan negeri juga menjatuhkan vonis kepada adik-adik yang ditahan itu sesuai dengan masa tahanannya saja. Dan mereka kembali bersama keluarga dan hidup berdampingan lagi secara damai”.

Bagaimana kondisi keberagaman etnis di Kota Tanjungbalai setelah penyelesaian konflik tanggal Dua Puluh Sembilan Juli Dua Ribu Enam Belas menurut pendapat beliau:

“Seperti saya sampaikan tadi ini bukan termasuk konflik etnis, peristiwa yang diarahkan kepada etnis sehingga masalahnya bisa besar. Ketika kondisi ini sudah kita sikapi dan dapat kita selesaikan ya bisa lagi kita hidup berdampingan. Kita lihat beberapa peristiwa perayaan-perayaan, ga ada gangguan. Kita hari raya ga ada masalah, mereka kemaren hari raya waisak ga ada masalah, tidak ada riak- riak. Walaupun mereka menggunakan mercon masang bunga api, nggak ada gangguan kita bisa menerima”.

Untuk harapan kedepannya, suasana keberagaman yang diinginkan dalam hubungan antar etnis di Kota Tanjungbalai dijelaskan oleh beliau seperti berikut ini:

“Suasana keberagaman yang saling menghargai kita harapkan terutama dari elemen yang terendah melalui tokoh-tokoh: masyarakat, agama, etnis dan kepling (sebagai ujung tombak pemerintahan harus mampu menyikapi titik-titik rawan yang terjadi di masyarakat: harus diwaspadai dan jangan sampai terjadi peristiwa seperti ini). Introspeksi diri: hanya 12 meter kenapa masih pake toa empat biji, di Mekah sendiri azan itu cantik. Sikap kita jangan terlalu berlebih-lebihan, walaupun kita menjalankan kewajiban agama, kalau ini bisa kita jaga dan laksanakan dengan baik tidak akan terjadi hal seperti ini, kuncinya: saling menghargai tetap kita terapkan”.

4.2.6 Informan 5 : H. Haidir Siregar

Bapak H. Haidir Siregar yang berprofesi sebagai Wiraswata (adalah Ketua Forum

Kerukunan Umat Beragama-FKUB) bertempat tinggal di Jl. Cokroaminoto merupakan salah seorang narasumber untuk Tesis ini yaitu saat kejadian peristiwa Dua 29 Juli 2016 di Kota Tanjungbalai. Sesi wawancara ini terlaksana pada hari Rabu, 02 Agustus 2017

68 dan dimulai sejak jam 08.34 dan berakhir pada jam 09.16 (dengan Durasi : 42.02 menit) berlangsung di Mesjid Raya Rahmadsyah Kota Tanjungbalai. Berikut petikan wawancara dan pendapat beliau mengenai konflik pada tanggal 29 Juli 2016.

Bapak H. Haidir Siregar memiliki pandangan tentang keberagaman dari segi etnis sebelum peristiwa 29 Juli 2016 di Kota Tanjungbalai, seperti ini:

“Multi etnis di Tanjungbalai sangat banyak terdiri dari beberapa suku termasuk suku: India, Cina, Batak, Melayu, Padang, Aceh menurut data di bagian kependudukan. Adanya Multi etnis masyarakat di Tanjungbalai ini Alhamdulillah bisa dijaga kerukunannya karena saling menghormati sesama pemeluk agamanya untuk menjalankan ibadahnya masing-masing. Kesimpulannya, multi etnis itu adalah anugrah Tuhan”.

Mengenai peristiwa konflik 29 Juli 2016 di Kota Tanjungbalai menurut Bapak H.

Haidir seperti ini:

“Peristiwa konflik terjadi tanggal 29 Juli 2016 malam, hari Sabtu di Jalan Karya yaitu di Masjid Al Maksum yang berseberangan dengan rumah penduduk warga China yang tidak senang dengan adanya kumandang adzan di Mesjid, yang menimbulkan kebisingan dan mungkin mengganggu ketenangan warga China sehingga keluarlah kata tidak menyenangkan. Sabtu selesai sholat Maghrib warga China ini marah-marah kepada Nazir Masjid Al Maksum: jangan ribut-ribut bising sekali. Warga masyarakat Jalan Karya mayoritas adalah Muslim. Masyarakat yang lalu-lalang melihat ocehan warga China yang sangat marah kepada pengurus Mesjid merasa tersinggung, spontanitas masyarakat berkumpul tidak dikoordinir oleh ormas atau orang dewasa, itu terjadi habis Isya. Peristiwa itu di damaikan di Kantor Kelurahan dan berlanjut ke Polsek serta Polres dan meruncing sampai ke jam 12.00. tidak selesai (karena masyarakat sangat tersinggung sekali dengan ucapan warga China tersebut). Perlu diketahui masyarakat terus melakukan tindakan-tindakan yang kurang wajar. Kejadian tersebut menjadi berita Nasional: ada pembakaran Vihara sebanyak 14 unit. Kejadian tanggal 29 Juli 2016 malam Sabtu terjadi di Jalan Karya di Masjid Al-Maksum dan warga China yang mempunyai masalah. Kita tinjau kebelakang kenapa hanya ucapan dari warga China ini masyarakat terus emosi. Pada 2010 ini ada warga Budha mendirikan Vihara Tri Ratna. Sebelum di dirikan pada 2010 mereka membuat sebuah patung yang sangat besar dan menurut warga masyarakat mayoritas di Tanjungbalai itu iconnya adalah patung. Dari masyarakat mengusulkan kepada Pemerintah supaya patung itu tidak dinaikkan atau dibangun dan disepakati oleh panitia Vihara dan diteken oleh orang nomor satu di Tanjungbalai dan Muspida serta tokoh agama, masyarakat dan lembaga Islam atau LSM. Ada surat perintah langsung tertanggal

69

30 September 2010 perihal surat pernyataan penurunan patung tersebut supaya tidak menjadi konflik masyarakat kota Tanjungbalai. Itulah proses kejadian sebelum kejadian 29 Juli 2016: tidak ada realisasi tanggapan dari panitia Vihara untuk menggubris kesakitan hati masyarakat menanggapi surat yang diteken oleh Muspida dan surat perintah Walikota untuk menurunkan patung tersebut. Bayangkan 2010 sampai 2016 berapa tahun, masyarakat Tanjungbalai yang mayoritas 84% itu islam. Mereka tidak mau menggubrisnya. Kenapa masih berdiri kokoh, kebetulan sewaktu Pilkada, salah satu calon membacking Vihara ini dengan mengharapkan suara dari panitia Vihara. Kita simpulkan hal itu membara di hati masyarakat Tanjungbalai selama 2010-20I6. Kejadian 2016 pada tanggal 29 Juli bagi warga masyarakat Jalan Karya yang mendengar pertikaian di depan Masjid Al-Maksum merupakan suatu kesempatan karena banyak cara telah dibuat orang tetapi patung tidak bisa diturunkan, makanya waktu kejadian tanggal 29 ini tidak bisa dikendalikan, spontanitas warga masyarakat yang umumnya anak-anak dibawah umur. Mereka bergerak menuju salah satu vihara di Jalan Juanda membawa minyak dan membakar Vihara itu. Sampai setengah lima sebelum subuh 12 Vihara dibakar. Kami berpatroli menyampaikan “udah kalian pulang saja, nanti kalau rusuh kita masyarakat Tanjungbalai yang rugi”. Kapolres, Kemenag, FKUB, MUI naik motor patroli. Sekelompok anak datang kepada kami, “ini wak sudah lama kami tunggu”, maka terjadilah. Itulah ceritanya yang menasional. Kejadiannya tidaklah seperti itu karena kami melihat langsung karena medsos sangat dahsyat sekali sehingga gempar”.

Mengenai yang sebenarnya menjadi akar masalah sumber konflik 29 Juli-2016 di

Kota Tanjungbalai, Bapak H. Haidir Siregar berpendapat seperti ini:

“99% pendirian Patung Vihara itulah akar konfliknya, sebelum itu berdiri di Tanjungbalai ini tidak pernah ada masalah. Misalnya dibuat Vihara atau Kelenteng tidak ada masalah, begitu diturunkan sampai sekarang masyarakat Tanjungbalai kembali akrab”.

Selanjutnya mengenai metode penanganan konflik yang terjadi setelah tanggal 29

Juli 2016 dari aspek komunikasi, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) ini menjelaskan sebagaimana berikut:

“Sesudah kejadian tanggal 29 Juli 2016 kami itu setengah bulan dari tanggal 30 sampai Agustus itu setiap hari rapatnya tiga kali, yang diundang hanya panitia Vihara karena akar permasalahannya dari mereka. Kapolres, Dandim, Walikota Kota Tanjungbalai mendukung rapat itu memanggil panitia Vihara mendiskusikan langkah yang ditempuh di Kota Tanjungbalai ini kedepannya supaya aman dan

70

tentram dan tidak ada lagi masalah-masalah terutama dalam menjalankan ibadahnya masing-masing. Itu metode dan motivasi rapat kami yang semuanya terdokumentasi (foto, catatan atau hp kami)”.

Tentang kendala-kendala yang merupakan faktor penghambat dalam penanganan konflik tanggal 29 Juli 2016 ini, Bapak H. Haidir Siregar menyampaikan hal berikut:

“Kitapun baru mengetahui bahwa mereka (warga China) ini juga ada yang tidak sejalan. Ada yang setuju dibongkar, diturunkan, ada yang tidak setuju. Waktu pendirian Vihara Tri Ratna itu, Vihara tertua di Tanjungbalai sangat tidak setuju. Kendalanya juga kadang dari pihak ketiga (orang China yang datang dari luar berpendapat bahwa patung harus dipertahankan jangan mau diturunkan apapun kejadiannya. Pernah datang ke Pemko Tanjungbalai yaitu utusan DPR RI dari Bali Tokoh Agama Budha. Dia begitu sangat marah sekali itu melanggar undang- undang, menara Masjid yang tinggi juga bisa diturunkan (itulah salah satu kendala yang kami hadapi). Panitia Vihara: “kalian hanya enak bicara, apapun kejadiannya yang menanggung resikonya kami maka kami sepakat demi keamanan, keharmonisan dan keakraban kami di Kota Tanjungbalai, terjadilah penandatanganan kesepakatan. Mereka siap menurunkan patung di Vihara Tri Ratna yaitu patung Amittabha, suratnya tanggal berapa diteken dan dibuat pernyataannya (terlampir) dan ada foto mereka waktu membacakan Pernyataan di rumah Dinas Walikota”.

Mengenai apa yang dihasilkan dari komunikasi yang dibangun atas konflik dengan ikut berpartisipasinya FORKOPIMDA (forum komunikasi pimpinan daerah) atau

FKPD (forum komunikasi pimpinan daerah), Bapak H. Haidir Siregar meresponnya demikian:

“Semua unsur yang terkait dalam FORKOPIMDA (Kapolres, Dandim dan MUI), dimotori Bapak Walikota, bagaimana supaya permasalahan ini selesai. Alhamdulillah, panitia Vihara dengan kita sepakat tidak ada yang bisa menghalangi, patung kita turunkan itulah menurut saya peran dari pada forum pimpinan daerah dan unsur terkait untuk menangani konflik itu”.

Kemudian berikut ini adalah pendapat Bapak H. Haidir Siregar apakah masalah konflik sudah selesai dengan komunikasi yang di bangun tadi:

“Masalah konflik tidak pernah selesai sampai hari kiamat, selagi ada manusia di atas dunia ini. Kalau konflik tanggal 29 sudah selesai 95%. Segelintir masyarakat

71

(ormas Islam) ingin warga China yang menjadi masalah itu supaya di hukum. Spanduk yang pada tanggal 29 ini pas setahun bertuliskan supaya Meliana itu dipenjarakan. Itu hanya sekedar tuntutan masyarakat, Negara kita Negara hukum. Kita lihat ketentraman untuk melaksanakan ibadahnya masing-masing sudah aman dan tidak ada masalah. Acara pembakaran tongkang yang merayakan hari besar mereka (dibakar di pinggir sungai) juga berjalan lancar”.

Pendapat Bapak H. Haidir Siregar yang seharusnya dilakukan untuk meyelesaikan masalah konflik ini yaitu:

“Fatwa Ulama di Propinsi Sumatera Utara mengatakan: Meliana penista agama. Tetapi setelah dilihat dari sebab musabab penista agama ini belum mencukupi syarat harus punya bukti-bukti yang akurat yang positip, Jangan mendzolimi orang. Untuk penyelesaian konflik ini kita menunggu fatwa MUI Propinsi Sumatera Utara, kemudian hukum di Indonesia yang bertindak apakah dia terkategori penista agama atau tidak”.

Suasana keberagaman yang diharapkan kedepannya dalam hubungan antar etnis di

Kota Tanjungbalai di sampaikan oleh Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai berikut:

“Mari kita saling menghormati. Yang kecil menghormati yang besar, yang besar menyayangi yang kecil, tidak boleh bicara yang minoritas dan mayoritas, yang kecil taulah dia si adek-an dan janganlah sewenang-wenang dia membuat marah abangnya karena dia si kecil. Dan si abangan jangan terus membuat tanggapan karena adiknya salah. Bila itu dilakukan oleh masing-masing agama inshaallah konflik-konflik seperti kejadian yang lalu itu tidak terulang kembali. Alhamdulillah sekarang sudah sangat kondusif apalagi karena sering melaksanakan silaturahmi lintas agama, membuat kegiatan gerak jalan kerukunan, mensosialisasikan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Nomor 9 2006 tentang peraturan SKB dua menteri itu (tentang pendirian rumah ibadah, menjaga kerukunan dan tugas pokok Kepala Daerah). Sasaran dari FKUB terutama anak- anak setingkat SMA kelas satu karena mereka belum mengerti apa itu FKUB. Kejadian tanggal 29 Juli itu, hanya anak-anak seperti itu yang spontanitas. Kemudian memanggil seluruh guru agama dari semua SMP ke atas, memberikan sosialisasi tentang kerukunan beragama. Guru agama adalah corong langsung yang menyampaikannya di sekolahnya. Alhamdulillah dengan adanya sosialisai tersebut anak-anak itu mengerti”.

72

4.2.7 Informan 6 : Sahrul Azhari

Bapak Sahrul Azhari merupakan salah seorang Tokoh Masyarakat di

Tanjungbalai. Sesi wawancara ini berlangsung pada hari Rabu, 26 Juli 2017 dan dimulai sejak jam 17.30 dan berakhir pada jam 17.56 (dengan Durasi : 25.57 menit) bertempat di rumah yang bersangkutan. Berikut ini adalah beberapa pendapat beliau sehubungan dengan konflik pada tanggal 29 Juli 2016.

Peneliti mengawali pertanyaan pembuka mengenai penilaian Bapak Sahrul tentang keberagaman dari segi etnis sebelum peristiwa 29 Juli 2016 di Kota Tanjungbalai dengan komentar sebagai berikut:

“Menurut saya keberagaman di Kota Tanjungbalai sudah cukup baik antar etnis, walaupun ada juga kejadian-kejadian yang melatarbelakangi sebelumnya misalnya peristiwa pada tahun 1982, saya lupa bulan dan tanggalnya, terjadi konflik antara etnis Aceh dan Melayu. Dan anehnya yang menjadi korbannya adalah etnis China. Selanjutnya kejadian konflik pada tahun 1998, bahwa etnis China sangat banyak yang menjadi korban disini”.

Pendapat Bapak Sahrul tentang peristiwa konflik 29 Juli 2016 di Kota

Tanjungbalai dan dimana kejadiannya adalah sebagai berikut:

“Peristiwa dilatar belakangi miskomunikasi, tetapi berujung menjadi pemantik pada masalah yang agak lebih besar. Meliana seorang Etnis China sebelum tanggal 29 Juli 2016 meminta kepada tetangganya agar disampaikan ke pihak pengurus Mesjid Al Maksum di Jalan Karya tentang suara mik Mesjid yang terlalu kuat. Ketika tanggal 29 Juli disampaikan oleh tetangga tersebut kepada pengurus Mesjid atas nama Lobe Marpaung, sehingga pihak pengurus mendatangi Meliana untuk mengklarifikasi hal tersebut. Disinilah asal muasal miskomunikasi tadi. Terjadi perang mulut dan dibawalah mereka kekantor Kelurahan, tetapi cerita diluar penyampaiannya sudah sangat dahsyat. Maka situasi tidak terkendali lagi. Dan satu lagi bahwa psikologi komunikasi masyarakat Tanjungbalai jelek sehingga jarang mengdalami informasi yang didapat”.

Mengenai yang menjadi akar masalah sumber konflik 29 Juli 2016 di Kota

Tanjungbalai, pendapat Bapak Sahrul adalah sebagai berikut:

1. “Etnis China sering menghina etnis melayu baik di depan maupun di belakang secara tidak langsung.

73

2. Pembangunan Vihara, Kelenteng dan balai pengobatan yang terlalu banyak dan tidak terkontrol dan rumah ibadah mereka bertentangan dengan adat budaya melayu. 3. Selalu di back-up aparat. 4. Mereka kurang bergaul dengan pribumi 5. Mereka menguasai ekonomi sehingga menguasai harga. 6. Patung Tri Ratna hadap awal yaitu jalan Asahan, setelah direhab baru menghadap sungai 7. Informasi yang sebenarnya dan yang ada dimasyarakat sangat berbeda”. . Dan Bapak Sahrul merespon metode penanganan konflik yang terjadi setelah tanggal 29 Juli 2016 sebagai berikut:

“Cara penanganan konflik pasca kejadian tanggal 29 Juli 2016 tersebut cukup baik, sewaktu kejadian di tanggal 29 malam tersebut maka pagi hari itu Pemerintah Kota Tanjungbalai mengumpulkan para tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam suatu forum diskusi sehingga menghasilkan suatu pernyataan sikap bersama”.

Menjawab mengenai kendala-kendala yang merupakan faktor penghambat dalam penanganan konflik 29 Juli 2016, beliau katakan sebagai berikut:

“Adapun yang menjadi faktor-faktor penghambat dalam hal ini adalah karena segala kecemburuan yang ada di poin dua tadi menjadi kebencian, sehingga ini yang agak susah dicairkan karena ceritanya empati. Juga penyelesaiannya masalah ini memang berlarut-larut karena tidak ditemukannya jalan tengah antara pihak keamanan dan kelompok yang disangkakan sebagai pelaku”.

Pendapat Bapak Sahrul mengenai hasil dari komunikasi FORKOPIMDA atau

FKPD atas konflik tanggal 29 Juli 2016 ini, yaitu:

“Dengan adanya satu visi diantara Forkopimda sehingga komunikasi yang dilakukan oleh FORKOPIMDA yang dimotori oleh Bapak Walikota Tanjungbalai sehingga mencapai kesepakatan-kesepakatan yang berujung ketahuannya akar masalah yaitu patung yang ada di Vihara Tri Ratna. Juga berpindahnya patung tersebut ke tempat yang lebih layak agar tidak terjadi lagi silang sengketa yang lebih panjang”.

Dan pendapat dari Bapak Sahrul Azhari tentang komunikasi yang sudah di bangun tersebut apakah masalah konflik ini sudah selesai, berikut penjelasannya:

74

“Sudah, ya dengan diketahuinya akar masalah dan diletakkanya patung pada tempat yang selayaknya. Selain itu adanya perubahan sikap dari pihak etnis China terhadap suku-suku pribumi sehingga akan menambah keharmonisan bermasyarakat di Kota Tanjungbalai”.

Bagaimana kondisi keberagaman etnis di Kota Tanjungbalai setelah penyelesaian konflik tanggal 29 Juli 2016 menurut pendapat beliau:

“Seperti yang saya kedepankan di atas bahwa kalau etnis China sudah mau introspeksi diri dan etnis suku pribumi juga saling toleransi maka keharmonisan akan terjadi, saling harga-menghargai sesama masyarakat, tidak mengededepankan ekslusifisme seperti yang sama-sama kita rasakan saat sekarang ini. Mudah-mudahan dengan adanya pembauran yang lebih antara etnis China dan pribumi ini sehingga tidak ada lagi konfllik etnis yang bisa terjadi di Tanjungbalai”.

Untuk harapan kedepannya, suasana keberagaman yang diinginkan dalam hubungan antar etnis di Kota Tanjungbalai dijelaskan oleh Bapak Sahrul seperti berikut ini:

“Untuk harapan kedepan bahwa kita harus mencontoh kehidupan keharmonisan yang ditunjukkan di Jawa Tengah. Antara berbagai suku terutama dalam hal ini etnis China hidup saling menghormati, mereka pakai bahasa ibu pertiwi, sehingga tidak ada sekat lagi antar suku. Saya bisa mengatakan agar berbaur dengan baik, jadi memang di Tanjungbalai pihak yang berwenang dalam hal ini pemerintah harus lebih ekstra lagi dalam bagaimana agar terjadi pembauran yang lebih baik”.

4.2.8 Informan 7: H. M. Kosasih Pertemuan dengan Bapak H.M. Kosasih ini pertama sekali yaitu di kantor PDAM

Tirta Kualo, dimana beliau sebagai Ketua Dewan Pengawas sekaligus Ketua FPK (Forum

Pembaharuan Kebangsaan). Pengalaman beliau sangat sarat yang salah satunya adalah beliau pernah menjadi Ketua Pemuda Pancasila di Kota Tanjungbalai. Bapak H. M.

Kosasih berjanji untuk wawancara di rumah beliau pada tanggal 01 Agustus 2017 jam

08.00 wib. Maka penelitipun menemuinya sesuai dengan waktu yang dijanjikan.

75

Secara singkat peneliti bertanya tentang keberagaman etnis di Kota Tanjungbalai sebelum peristiwa 29 Juli 2016:

“Kalau multi etnis yang ada di Tanjungbalai seumur bapak cukup kondusif, artinya keberagaman itu mencerminkan kebersamaan toleransi antar umat beragama baik itu muslim dan non muslim apalagi dikatakan China dalam hubungan ini cukup baik tidak ada masalah. Saling menghargai setahu saya, karena sayakan pernah menjadi Ketua Pemuda Pancasila (PP) kita melihat kebersamaan itu terjalin dengan baik”.

Dengan semakin semangat peneliti mendengarkan penjelasan yang begitu gamblang dari Bapak H.M. Kosasih, maka peneliti melanjutkan pertanyaan agar ingatan

Bapak itu tentang peristiwa tersebut tidak hilang. Dengan pertanyaan tentang pengetahuannya pada konflik 29 Juli 2016 dan dimana kejadiannya:

“Peristiwa tanggal 29 Juli yang lalu Bapak menganggap hanya miskomunikasi. Artinya saat itu ada sebagian mereka kurang enak dengan Pemerintah. Karena kalau dikatakan konflik etnik saya tidak sependapat itu bukan konflik etnik, spontan aja saat itu. Nah ada yang namanya Meliana itulah puncak permasalahan. Karena kebetulan berdekatan dengan kita yaitu di Jalan Karya, disana ada sebuah Mesjid yang bernama Mesjid Al Maksum. Pada saat itu suami Meliana ngomong ke sebelah Mesjid, ada dua rumah, dia katakan kalau bisa volume suara azan tolong dikecilkan. Jadi saat itu yang mendengar berita itu tidak menyampaikan mungkin dianggab biasa aja. Lalu yang kedua dia sampaikan lagi jadi yang menyampaikan ini yang menyampaikan ke Mesjid bahwa terjadi penghinaan, mereka tidak senang ribut azan. Sebenarnya mulanya itu tidak seperti itu, dan sampai-sampai dikatakan bahwa Meliana ini dengan pakaiannya yang kurang senonoh masuk kedalam Mesjid ketika orang sedang azan itu tidak benar, tidak benar sama sekali. Yang disampaikannya itu diantara Mesjid dengan ada beberapa rumah kelang dua rumah disitu dia sampaikan. Jadi yang menerima informasi tadi dikembangkan itulah asal mulanya. Hingga akhirnya seperti yang saya sampaikan tadi masih ada yang kurang enak, kurang ini, mungkin kesempatan ini dikembangkan. Namanya di Tanjunngbalai ini mayoritas Muslim, jadi dikembangkan ke media massa, facebook dan lain sebagainya. Jadi pada malam hari itu kalau Kelurahannya, Lurah cepat tanggab juga tidak ada masalah. Karena dibawa ke Kantor Kelurahan, disana ditanyakan permasalahan tapi kurang tanggap jadi dibawa ke Kantor Polisi. Dan saat itu bukan saya katakan polisi kurang tanggap Cuma hanya kurang terlalu siap sehingga merembet kemana-mana sehingga terjadilah pembakaran itu. Sebelum terjadi saya masih ada di lapangan saat itu, artinya masih ada lagi di lapangan mengatakan yaitu mahasiswa, LSM, dan lainnya pake micropon, rebut, keliling di jalan mengatakan ganyang cina dan segalanyalah, artinya udah tidak enak lah suara itu. Dan itu sudah dilaporkan tapi memang saat itu kurang tanggaplah, kalau cepat bergerak tidak akan terjadilah. Begitu terjadi satu tempat maka merembetlah, artinya yang ga enak sasarannya

76

Kelenteng, Vihara. Jadi artinya saya menganggap bukan konflik etnis, kalau dikatakan antar agama yah sudah berdarah-darah itu ga ada sama sekali. Karena miskomunikasi tadi dimanfaatkan orang bahwasannya seperti itu”.

Dengan semakin semangat peneliti melanjutkan pertanyaan pada akar masalah sumber konflik 29 Juli 2016:

“Kalau kita katakan sumber agak sulit juga apa sumbernya, Cuma yang pasti pada saat itu hanya spontanitas terjadi maka meledak. Jadi kalau kita katakan sumbernya pada saat itu terjadi kesenjangan ekonomi antara masyarakat ini dan itu, kita tidak menyalahkan Pemerintah. Tetapi mungkin ada sebagian, artinya kalau dikatakan ada rasa dendam ini, itu. Karena ini mulai agak timbul karena di Tanjungbalai ini kan berdiri sebuah patung, itu yang dinamakan patung Amitabha. Patung itu berdiri di pasiran (Water front city), artinya memang tempatnya itu terlalu menyolok tinggi keatas menjulang. Sehingga orang seberang pada saat itu ketika mengambil air wudhu dianggabnya kiblat kearah patung tersebut. Itu sudah beberapa kali diajukan agar diturunkan dan ditempatkan ke tempat yang sebaik- baiknya. Pada saat itu bukan kita menganggap Pemerintah tidak tanggap, ada dua Pemerintahan yaitu pada saat Alm Bapak Sutrisno sudah mulai bergejolak dan sampai Bpk Thamrin Munthe belum terselesaikan. Bisa dikatakan itu timbul dari sana masalahnya, karena apakah LSM, tokoh-tokoh agama itu pernah berkumpul masuk ke DPR memohon agar jadi perhatian, DPR pada saat itu sudah memutuskan diturunkan dan Alm Sutrisno juga ada pada saat itu. Tapi tidak kunjung turun, emang kita bersyukur pada saat itu masyarakat muslim tidak ramai-ramai datang kesana sehingga situasinya tidak terlalu. Jadi kalau dikatakatan akar masalahnya itu juga termasuk akar masalah”.

Sembari meneguk minuman yang telah disediakan oleh tuan rumah, peneliti bertanya bagaimanakah menurut Bapak metode penanganan konflik pasca tanggal 29 Juli

2016 tersebut:

“Artinya itu juga sudah dilakukan oleh beberapa tokoh (ada telepon dari Kasat Binmas Polres Tanjungbalai), komunikasi penting, setelah ditangani kasus itu peran Pemko cukup besar artinya beberapa SKPD terutama Bapak Walikota yang baru menjabat tiba-tiba baru terjadi hal seperti ini dan aparat keamanannya cukup tanggap dalam hal itu, sehingga pada malam itu yang terjadi selanjutnya tidak. Artinya komunikasi kita pada masyarakat itu cukup baik dan mereka juga paham akar masalahnya dari sana sehingga beberapa kali ada pertemuan dengan Bapak Walikota karena saya ikut terlibat terus didalam. Pada saat itu ada suara-suara sumbang mereka tidak mau berdamai. Sebetulnya tidak ada perdamaian karena tidak ada konflik antar etnis sehingga siapa yang mau didamaikan Cuma ada beberapa alim ulama dan tokoh masyarakat mereka akan kondusiflah tidak akan melakukan lagi dan menjamin tetapi agar patung turun. Itulah dia sehingga Bapak Walikota terus-menerus berupaya mengadakan pendekatan inshaallah pula kita ikut turun karena pernah juga teman-teman china kita datang dan kita jumpain dan mereka sepakat. Mulanya mereka mau turun tapi hanya dua lantai tapi kan

77

nampak lagi, ribut lagi artinya dialognya terjadi mandeg. Saat itu Walikota agak pening, di satu sisi alim ulama dan tokoh masyarakat mendesak beliau, akhirnya ijin Tuhan atas kesepakatan bersama pada saat itu semua turun, ada Dandim, Kapolres , Kejari, etnis chiness kita sepakat maka terjadilah penurunan patung dan terjadi pada zaman Walikota Sekarang. Jadi dua Walikota tak siap untuk menurunkan itu. Jadi dari aspek komunikasi semua dirangkul dan ikut berpartisipasi jadi bukan karena chiness aja dan segala etnis masuk termasuk saya sebagai Ketua FPK dan saya ikut langsung turun ke Vihara tempat patung berada dan berdialog dengan mereka seperti Bapak Akun selaku Ketua Vihara dan Leo sekretarisnya”.

Berikutnya peneliti melanjutkan pertanyaan dan disetujui oleh informan.

Pertanyaan tersebut tentang kendala dan faktor penghambat dalam penanganan konflik 29

Juli 2016:

“Yaitu tadi karena saat itu belum turun patung itulah kendalanya, mereka belum berperan karena pada saat itu belum ada kesepakatan ditempatkan di tempat yang sebaik-baiknya. Kalau dikatakan diturunkan kurang enak jadi kendala yang paling berat ya itulah dan tidak bisa secepat itu turunnya, bertahap, bertahap. Mereka mengatakan itu bukan Tuhan kami itu hanya symbol, jadi kalau simbol bisa diletakkan dimana saja. Cuma masyarakat Tanjungbalai ini menganggap itu menjadi Icon Tanjungbalai jadinya kan kurang enak karena menjulang tinggi sementara menara mesjid kita tidak ada yang setinggi itu. Jadi terjadi pro dan kontra, dan sebelum itu turun kami akan terus, itulah suara yang terus disampaikan. Siang malam Walikota juga berfikir bagaimana caranya, disatu sisi masyarakat dia juga. Karena niatnya baik, ijin ALLAH SWT mereka mau terima. Mau dicoba turun hanya dua tingkat, itu juga tidak mungkin. Pada akhirnya ketua yayasan mulai berfikir karena dia takut dihantam oleh jemaah, hanya gegara itu kita juga yang dikorbankan kita juga yang mau diturunkan, kita tidak ribut, kita tidak menuntut mereka. Akhirnya suhu yang dari Tebingtinggi diundang mereka ke Vihara dan dikumpul seluruh jemaah, dan saya ikut terus itu, dan suhunya bilang ini kita letakkan di tempat yang baik aja itu ga ada masalah. Jadi bukan katanya diturunkan tapi diletakkan di tempat yang baik kita baguskan, mereka katakan itu bukan Tuhan mereka tapi hanya simbol. Tapi namanya simbol harus tetap dijaga, pada akhirnya karena kegigihan Walikota sehingga terlaksana. Waktu penurunan itu dikawal ketat, ada Brimob, Polres, rame yang liat karena pagi itu direncanakan akan turun dan karena tinggi jadi pake alat crane, pengikatnya pake tali. Dipolitisir lagi dibilang digantung , tidak bisa diturunkan karena di Jembatan Titi Silau aja penuh masyarakat yang melihat, jadi dibilang Komandan katakan minggu depan aja turun. Tetapi semua sepakat itu diturunkan habis maghrib aja. Pada saat itu ditutup semua jalan. mereka sepakat, maka selesai penurunan sehingga tidak ada masalah lagi”.

78

Bapak, dengan ikut berpartisipasinya FORKOPIMDA, apa yang dihasilkan dari komunikasi yang dibangun atas konflik 29 Juli 2016:

“Artinya peran mereka itu cukup besar, Walikota, kapolres, Dandim, Danlanal semua terlibat dalam hal ini. Ini konflik dianggap besar kali bukan tanggung- tanggung, karena cerita konflik tadi yang kurang enak kita, itu bukan konflik karena konflik itu berdarah-darah terjadi fisik, sebenarnya itu kerusuhan. Spontan pada saat itu sehingga terjadi kerusuhan. Saya berani mengatakan karena saya ikut langsung didalam”.

Menurut bapak dengan komunikasi yang dibangun tersebut, apakah masalah konflik sudah selesai? Sambil sejenak berfikir informan menjawab:

“Kalau kita menganggap itu sudah selesai, tapi biasalah ada LSM ini, itu, karena baru-baru ini ada 42 hari yang lalu naik spanduk yang memperingati satu tahun Meliana, itukan memanas-manasi dan dimasukkan ke Polres dan Kapolres tidak mengijinkan lalu mengatakan kita lihat aja kalau berani mereka turun. Itukan membangkitkan kembali benih kerusuhan, maka yah udahlah kita menginginkan seperti yang dulu zaman-zaman saya dulu begitu baiknya, karena kita multi etnis dan keberagaman itu membuat kita baik dan toleran kita cukup bagus kok. Kita salud kepada Kapolres ini karena dia cukup tanggap artinya di bawah kepemimpinan beliau cukup kondusif, merangkul semua baik dia tokoh masyarakat, alim ulama, mahasiswa, organisasi, mungkin pengalaman sewaktu dia menjadi Kapolres Belawan dibawa ke Tanjungbalai. Masyarakat ikut mendukung program-program ini karena semuanya untuk pengamanan Tanjungbalai, jadi ga ada istilah beda misalnya ini chiness, tidak, disamaratakan semua dan semoga beliau ini panjanglah di Tanjungbalai karena kondusiflah dan ingin mengembalikan kembali. Karena sempat Down Tanjungbalai ini sehingga investor yang mau masuk ga bisa. Jadi sekarang sudah mulai ada kepercayaan, baru-baru ini Walikota ke Korea, investor sudah mau menanamkan modalnya mungkin akhir tahun ini untuk gardu listrik dan pengolahan air bersih dan sudah ada MOU”.

Selanjutnya peneliti mempersiapkan dua pertanyaan terakhir dan informan mengangguk tanda setuju. Menurut Bapak keberagaman etnik setelah penyelesaian konflik:

“Kalau kita lihat masih biasa aja, jadi artinya perubahan tetap adalah, kalau dulukan kadang-kadang etnis ini terbagikan. Ada masyarakat etnis yang dari pantai kan udah mulai masuk ke Tanjungbalai ini, kalau kita katakan mereka ga punya etika kan ga enak, tapi kadang kasar bawaannya. Lain masyarakat chiness yang punya pendidikan, latar belakangnya baik sehingga komunikasinya baik, kalaupun ada sangat sedikit lah. Artinya tidak lagi mereka itu kasar dan tidak meremehkan, sehingga termasuk akar masalah konflik juga ada. Mereka menganggap mereka hebat, karena dianggap segala sesuatunya mereka bisa bayar,

79

sehingga masyarakat awam kita terasa. Itu termasuk akar permasalahan pada saat ini walaupun bukan mutlak itu. Jadi kalau sekarang setelah terjadinya, coba kalau kita katakan selesailah ya, saat itu juga yang melakukan perusakan dan pembakaran sudah dijamin oleh Walikota, sehingga proses hukumnya tidak lanjut. Karena kalau kita lihat disaat rapat dengan Kapolres, Dan Lanal agar diadakan pendekatan secara persuasif. Jangan kita tegakkan dan jangan terlalu arogan karena dia sudah melakukan tindakan kriminal harus dihukum. Jadi peran Walikota sangat besar karena Walikota termuda, untuk ikut bersama-sama dengan aparat keamanan sehingga bisa dikeluarkan padahal sudah jelas-jelas bersalah”.

Dengan wajah yang sedikit sumriah, peneliti menyampaikan pertanyaan terakhir kepada informan. Adapun permintaan peneliti agar informan menjawab dengan gamblang agar tercapai maksud dari pada penelitian, informan menyetujuinya. Bagaimana setelah penyelesaian konflik, kondisi keberagaman di Kota Tanjungbalai:

“Kalau bisa seperti ini terus dipertahankan, karena setelah kejadian ini banyak hikmah dan masyarakat chiness begini-begini mungkin salah, mereka berbenah diri dan begitupun dengan masyarakat kita. Tapi yang past harapan kita kedepan seperti ini terus tidak lagi terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan. Kebersaman Pemerintah Kota, aparat keamanan, Kapolres, Dandim, Dan Lanal, Kejaksaan ini menyatu. Ini yang membuat kondusif sekarang Tanjungbalai. Jadi kebersamaan ini sekarang, kalau ini bisa dijaga terus maka Tanjungbalai akan bagus. Dan kalau ditanya setelah kejadian ini hubungan antar etnis balik lagi bagus , artinya balik berbaur, ngomong dimana-mana, antara pengusaha dan pengusaha ini. Karena kita bayangkan begitu terjadi konflik, ada beberapa toko tidak buka di tanjungbalai maka kewalahan juga kita masyarakat. Karena umumnya memegang ekonomikan mereka, bukan mau balas dendam pada saat itu tapi alas an mereka takut. Itu terasa sama kita pada saat itu, apalagi masyarakat awam. Jadi pelan-pelan kalau sekarang sudah kondusiflah semoga kebersamaan Pemerintah Kota dan aparat dsb tetap terjaga saya rasa Tanjungbalai kembali seperti yang dulu, kalau dulukan Tanjungbalai terkenal keberagamannya, antar etnisnya begitu baik”.

4.2.9 Informan 8: H. Tobi Iskandar Bapak H. Tobi Iskandar merupakan seorang Tokoh Masyarakat yang berdomisili di Jl. Pematang Pasir Tanjungbalai. Sesi wawancara ini berlangsung pada hari Rabu, 28

Juli 2017 dan dimulai sejak jam 17.30 dan berakhir pada jam 17.54 (dengan Durasi :

24.17 menit) berlangsung di kediaman beliau. Berikut ini adalah beberapa pendapat

Bapak Tobi sehubungan dengan konflik pada tanggal 29 Juli 2016.

80

Peneliti mengawali pertanyaan pembuka mengenai penilaian beliau tentang keberagaman dari segi etnis sebelum peristiwa 29 Juli 2016 di Kota Tanjungbalai dengan komentar:

“Tanjungbalai sudah dari dulu memiliki keberagaman dan terkenal sebagai Kota Agama. Belakangan ini semakin banyak keberagaman, jumlah masing-masing etnis berkembang sehingga cara berfikir juga berkembang sesuai dengan apa yang terjadi. Komunikasi antar etnis dari dulu tidak ada gangguan, belakangan terganggu dengan adanya peristiwa (29 Juli 2016) itu. Yang bisa menggangu salah satunya faktor ekonomi atau ada hal lain (perjudian, berkembangnya rumah- rumah Etnis China diluar peraturan). Adanya reklamasi pantai, disana berdiri satu Vihara yang mendirikan patung, ini menjadi krusial sehingga di dunia Pemerintahan jadi masalah. Tapi entah aparat kita, atau masyarakat kita yang pro dan kontra”.

Pendapat Bapak Tobi tentang peristiwa konflik Dua Puluh Sembilan Juli Dua

Ribu Enam Belas di Kota Tanjung Balai adalah sebagai berikut:

“Saat itu saya pas di rumah, anak saya yang menceritakan peristiwa itu. Ditanyakan esok harinya rupanya ada peristiwa di Jalan Karya, ada rumah ibadah yang sedang menjalankan peribadatan, ada Etnis China yang keberatan seolah- olah menjadi gangguan padahal rumah ibadah itu sudah ada sebelumnya. Dan kalau merasa terganggu kenapa dia mendatangi suara bising (pindah rumah ke dekat Mesjid). Sedangkan ketika Etnis China mengadakan kegiatan perdukunan dan lonceng-lonceng mana ada Etnis lain yang menggangu sampai di kawal oleh aparat. Tapi ketika ada azan yang merupakan syariat dia keberatan. Jadi memang ada sebab dan akibatnya. Sebab itu bisa dipahami orang dengan berbeda-beda, akibat juga berbeda-beda, ada cara berfikir yang positif dan ada yang negatif. Ada yang merasa itu sebagai sebuah gangguan luar biasa maka Aparat Pemerintahpun mengamankan itu. Itulah kejadian awal sehingga merebak kemana-mana”.

Mengenai yang menjadi akar masalah sumber konflik 29 Juli 2016 di Kota

Tanjungbalai, pendapat beliau adalah sebagai berikut:

“Sumber konflik bukan hal dominan tapi karena emosional yang terpendam dan perasaan tidak enak yang sudah lama itu mendekam, momen seperti itu jadi pemicu. Disitu yang kejadian kesana (Vihara) akibatnya karena mencari momentum yang sudah lama dan pihak Vihara tidak merasakan itu malah dianggap punya arogansi. Informasi yang saya dapat, pernah ada surat dari Kementrian Agama dari Dirjen Agama Budha supaya patung itu diturunkan. Tapi ada pula kelompok yang membackup patung itu dari Jakarta, seolah-olah tidak ada apa-apa sehingga penurunan itu tidak terjadi. Jadi puas hati ketika mendengar mau diturunkan, tiba-tiba tidak jadi, jadi tidak puas sementara kalau letaknya di bawah

81

bisa dan tidak mesti diatas. Ada pemikiran seolah-olah mau dijadikan apa kota ini?”.

Dan Bapak Tobi merespon metode penanganan konflik yang terjadi setelah tanggal 29 Juli 2016 sebagai berikut:

“Saya fikir toleransi adalah toleransi menurut yang ada di luar Agama Islam karena islam itu mudah saja. Pemerintah kurang dalam mengurusi toleransi yang berlebihan tapi yang muncul suatu kekuatan, arogansi dan kemampuan yang lebih besar. Sekarang sudah ada Komunikasi FKUB dan ada pertemuan di MUI yang bercerita toleransi, saya ngomong tentang kebenaran dan kebenaran itu akan membela kami, kebenaran pasti benar karena dari TUHAN tetapi jangan penafsiran masing-masing. Pada waktu imlek ada mercun sampai jam dua malam tetapi mereka menganggap itu HAM, tetapi yang lain terganggu, maka keseimbangan harus dijaga jangan sampai mengganggu orang lain “dimana langit dipijak disitu bumi dijunjung”, walaupun tidak mesti masuk kandang kambing mengembek, ikutilah iramanya. Waktu kejadian reformasi tahun 1998 hancur Kota Tanjungbalai, di lorong pucuk banyak Etnis China dan mereka bergabung di warung kopi tetapi orang demonstran tidak berani masuk kerena kami larang dan kami jaga karena dampak perbuatan bisa kita rasakan juga. Tapi belakangan ini jiwa etnis dan arogan muncul karena faktor ekonomi tadi dianggap pribumi orang kelas dua seperti zaman Belanda, materi menjadi ukuran sehingga tegur sapa terhadap Pribumi sebagai tokoh dikampung itu juga tidak ada. Contoh di Sumatera Utara dimana Etnis Batak walaupun beda agama kalau satu marga aman, walaupun berkelahi tetap aman. Akibat tidak akur timbul ke politik, ada yang memanfaatkan, ada profokator istilahnya Belanda Hitam (orang yang membela setelah dibayar). Jadi di Tanjungbalai ini sama seperti politik Negara yang dipoles bisa jadi politik dan dipicunya karena kejadian 29 Juli”. .

Menjawab mengenai kendala-kendala yang merupakan faktor penghambat dalam penanganan konflik tanggal 29 Juli 2016, Bapak H. Tobi menjawab dan mengatakan sebagai berikut:

“Etnis China ini ekslusif dan Anak China jarang bergaul dengan Etnis Pribumi. Ekslusif itu jadi kebenaran yang menurut doktrin rumah tangga dan leluhur. Dianggap Etnis China, Pribumi kelas dua dan dianggap miskin. Kalau buruh di gudang-gudang, gaji orang Pribumi dan Orang China beda. Sapa yang tahu kalau di rumah Etnis China ada orang asing dan komunikasinyapun kurang. Seperti cerita si Ahok, ngomong sama orang pun kasar, beda sama orang Batak, walau kasar tapi hatinya baik beda dengan mereka”.

82

Pendapat beliau mengenai hasil dari komunikasi FORKOPIMDA atau FKPD atas konflik tanggal 29 Juli 2016 ini, yaitu:

“Terlampau jauh jadi saya agak kurang paham, tetapi ada komentar dari masyarakat bahwa penanganannya agak terkesan lamban walaupun ada Ketua DPR, karena dadakan seperti itu jadi tanggap daruratnya kurang”.

Dan pendapat Bapak H. Tobi tentang komunikasi yang sudah di bangun tersebut apakah masalah konflik ini sudah selesai, berikut penjelasannya:

“Untuk sementara sudah selesai karena patung sudah diturunkan”.

Bagaimana kondisi keberagaman etnis di Kota Tanjungbalai setelah penyelesaian konflik tanggal 29 Juli 2016 menurut pendapat Bapak H. Tobi:

“Saling menghormati aja diantara sesama pemeluk agama masing-masing”.

Untuk harapan kedepannya, suasana keberagaman yang diinginkan dalam hubungan antar etnis di Kota Tanjungbalai dijelaskan oleh beliau seperti berikut ini:

“Hubungan saling memahami, apa keinginan Etnis China, apa keinginan masyarakat Etnis Pribumi dan apa keinginan masyarakat yang harus dijaga, itu akan tumbuh sendiri. Jangan pula dalam hari besar kita menggunakan azan dan mikrofon mereka ribut sehingga membuat penyeimbangnya jadi lain. Seharusnya yang diinginkan dan dipelajari bahwa Islam itu seperti apa, Budha itu seperti apa, Kristen itu seperti apa, sehingga ada FKUB jadi hak-hak kita harus seimbanglah. Kalau kita menceburkan diri ke dalam forum maka hak-hak kita berkurang, tentu menahan perasaan. Dan tidak boleh kita memaksakan kehendak kita. Seperti orang Islam, azan itu tidak bisa dipisahkan dengan syariat”.

4.2.10 Informan 9: Bapak Juneidy

Bapak Juneidy Merupakan anak dari Tokoh Etnis China yang menjadi Ketua Etnis

China di Forum Kerukunan Ummat Beragama (FKUB) Kota Tanjungbalai. Informan ini adalah sebagai Ketua Pengurus Cabang Majelis Buddhayana Indonesia (PCMBI) Kota

83

Tanjungbalai yang juga tokoh muda. Informan ini menggambarkan sedikit dari aspirasi yang ada dalam seputaran Etnis China yang setidaknya itu menjadi gambaran seluruhnya.

Informan ini menyatakan bahwa semua kejadian sudah sama-sama kita ketahui, dari awalnya kejadian sampai pada terakhir kejadian. Untuk pada persoalan Etnis ini memang sangatlah sakral dimana bisa menjadi pemantik dan lebih parahnya lagi bisa ke konflik agama. Bapak Juneidy ini juga mengatakan bahwa semua agama pada dasarnya mengajarkan yang baik. Dan harapan kedepan dari informan adalah:

. Pemerintah mesti tegas dalam kerukunan umat beragama untuk mencapai

kerukunan (netral bersikap).

. Jangan ada peristiwa mempolitisasi agama sehingga masyarakat yang di

korbankan.

. Kalaupun ada sebuah masalah atau konflik sudah terjadi maka janganlah di

kenang lagi (ini terkait dengan naiknya spanduk dalam memperingati satu

tahun kejadian 29 Juli 2016). Agar peristiwa itu dijadikan pendidikan

kedepan yaitu ke generasi selanjutnya. Jangan sampai terjadi konflik

mengatasnamakan agama yang bisa membuat segala pranata menjadi

hancur dan juga janganlah suatu peristiwa itu mengatasnamakan agama.

Suatu kejadian yang buruk agar jangan diperingati tetapi segera dilupakan

dan alangkah lebih baiknya lagi kejadian yang baik-baik yang diperingati.

. Pendidikan antar kerukunan umat beragama lebih di tingkatkan.

. Seandainya itu adalah sebuah konflik agama, maka mana mungkin ada lagi

Agama Buddhis di Kota Tanjungbalai yang telah berdampingan berabad-

abad yang lalu.

Bapak Juneidy juga menyampaikan bahwa sebagai Etnis China bisa mencari makan yang baik dan nyaman itu lebih baik daripada terjadinya konflik atau kerusuhan.

84

Bahasa seperti ini juga peneliti dapatkan dari Bapak Amiruddin alias KH, beliau juga mengatakan hampir persis seperti yang dikatakan oleh Bapak Juneidy. Informan ini adalah salah seorang pengurus daripada Vihara Vessabhu yang ada di Tanjungbalai. Dia banyak bercerita tentang kehidupan Etnis China yang mencari makan saja dengan aman dan tenteram sudahlah tenang. Tidak ada gangguan dan hambatan yang bisa mengganggu mencari penghasilan.

Ada beberapa pikiran yang informan lontarkan yaitu:

. Semua agama pada dasarnya mengajarkan yang baik.

. Ketika pertemuan di salah satu Rumah Makan Raja Bahagia (sehabis

peristiwa 29 Juli 2016) semua tokoh agama dan masyarakat hadir dan

menyampaikan pendapatnya. Maka keluarlah ikrar daripada semua tokoh

agama yang hadir supaya Kota Tanjungbalai aman dan tenteram dan

pemeluk agamanya harus saling menghormati, toleransi dan menjaga

ketenteraman.

. Etnis China lebih banyak berdiam diri dan sabar untuk permasalahan

peristiwa 29 Juli 2016. Karena jika berbicara maka akan bisa mengandung

salah arti dan bisa menimbulkan konflik baru.

. Bapak Amiruddin menyatakan bahwa tidak mesti diberitahu oleh tokoh

dari masyarakat China maka sudah otomatis berdiam diri dan tidak perlu

ada intruksi.

4.2.11 Menarik Korelasi Informan

Ada kesamaan dari seluruh jawaban dari informan dimana untuk keharmonisan yang ada jauh sebelum peristiwa 29 Juli 2016 adalah cukup kondusif dan tidak ada kecenderungan yang akan berpotensi konflik. Sehingga ini menjadi nilai tambah yang

85 gemilang terhadap Kota Tanjungbalai. Untuk peristiwa yang terjadi pada Jumat tanggal

29 Juli 2016 di Kota Tanjungbalai, beberapa informan bersepakat dan menyatakan bahwa pemantik peristiwa tersebut yaitu saudari Meliana yang beretnis China, sedikit terusik dengan suara Azan dari Mesjid Al Maksum dan menyampaikan aspirasinya itu kepada masyarakat di sekitar Mesjid. Nah inilah awal dari permasalahan yang terjadi dan berujung kerusuhan di Kota Tanjungbalai.

Menurut kesamaan dari informan tentang akar permasalahan sebenarnya atas peristiwa 29 Juli 2016 ini adalah pendirian patung yang terletak di kawasan Water Front

City yaitu di Vihara Tri Ratna dengan patung Amitabba. Berdiri sejak Tahun 2010 dan sudah beberapa kali diadakan mediasi akan tetapi tidak pernah membuahkan hasil.

Sampai pada puncaknya yaitu peristiwa 29 Juli 2016 itulah makanya Vihara dan

Kelenteng jadi sasarannya. Seluruh Informan beranggapan bahwa faktor penghambat dalam penyelesaian peristiwa tersebut adalah belum turunnya Patung yang terletak di

Vihara Tri Ratna dan menyamakan persepsi antara pimpinan untuk penyelesaian masalah tersebut. Setelah ada kesepakatan dan kesamaan pemikiran agar Kota Tanjungbalai harus kondusif maka terjadilah kesepakatan damai seluruh pihak yang berkompeten.

Disini peneliti membuktikan dari berbagai informasi dari informan bahwa setelah adanya kesepakatan dari seluruh pihak yang berkompeten yang dalam hal ini juga

FORKOPIMDA, maka penyelesaian konflik dapat diatasi dan kekondusifan Kota

Tanjungbalai malai Nampak kembali. Walaupun untuk kesenjangan ekonomi yang di paparkan beberapa informan, tetapi itu juga terjadi di daerah lain di Indonesia sehingga dimungkinkan tidak terlalu bisa di permasalahkan. Karena berpulang dari niat dan kemauan dari masyarakat itu sendiri. Tentang arogansi dan proses menghargai Etnis

China terhadap warga Pribumi beberapa Informan berbeda pendapat sehingga peneliti

86 mengambil sebuah pemikiran tentang keadilan yang diterapkan oleh aparat Negara dan

Pemerintah.

Keseluruhan Informan menyatakan untuk harapan kedepan bahwa semua harus berbenah diri dan menatap ke depan untuk masyarakat yang lebih baik. Lebih harmonis dan menjaga keberagaman dan budaya yang masing-masing etnis memilikinya. Sehingga harapan benar-benar menjadi kenyataan.

87

BAB V PEMBAHASAN

5.1. Rumor Atau Issu yang berkembang pada konflik 29 Juli 2016 Persepsi publik ditentukan bagaimana publik menilai sebuah fakta yang terjadi berdasarkan tafsir individunya. Kadang publik menilai sesuatu dengan pertimbangan rasionalitas dan kadang hanya atas dasar belas kasih yang kemudian bermetamorfosis menjadi simpati dan dukungan yang luar biasa. Kualitas menjadi nomor dua. Itulah publik dengan segala logikanya yang berubah-ubah. Mengutip kembali Abraham Lincoln,

“public sentiment is everything, with public sentiment nothing can fail, without it nothing can succeed.” Dengan sentimen publik, kita dapat melakukan apapun dan tanpanya semua akan sia-sia (Nova, 2014:29).

Beberapa dari informan peneliti mengatakan bahwa issu atau rumor yang berkembang pada peristiwa konflik tersebut juga ada. Seperti ada yang menyebarkan issu tentang Etnis China yang melarang Azan di Mesjid ketika sedang berlangsungnya Azan tersebut. Selain itu juga bahwa Meliana melarang Azan sambil memakai baju yang kurang etis bagi Umat Islam. Di masyarakat juga terdapat rumor bahwa mikrofon dari

Mesjid Al Maksum dicampakkan oleh Etnis China bernama Meliana. Dan seabrek informasi dan rumor yang berkembang lainnya.

Di media sosial juga muncul profokasi yang menyatakan bahwa mesjid dilempari, imam diusir, ada juga yang bilang shalat maghrib dihentikan. Postingan-postingan provokasi itu menyebar luas di media sosial disertai seruan pembakaran. Sehingga inilah yang juga menyulut dari suasana pembakaran rumah ibadah. Adalagi Ahmad Taufik yang menulis status di media sosial yang salah satu bunyinya, “ Tanjungbalai Medan Rusuh 30

Juli 2016…..! 6 Vihara dibakar buat saudara muslimku mari rapatkan barisan….. kita buat tragedy ‟98 terulang kembali#Allahu_Akbar….”.

88

Dengan adanya issu dan rumor inilah yang semakin membakar suasana konflik masyarakat Tanjungbalai. Apalagi sesuai dengan informasi dari informan peneliti bahwa psikologi komunikasi masyarakat Tanjungbalai jelek sehingga semakin membakar suasana konflik pada malam 29 Juli 2016. Massa yang tidak bisa terbendung banyaknya dan juga menurut Bapak Sekretaris Kota Tanjungbalai (responden) massa cepat berkembang dikarenakan adanya media sosial sehingga massa yang dari luar daerah

Tanjungbalai juga berdatangan.

5.2. Keharmonisan Etnis Yang Ada Di Masyarakat Tanjungbalai Keharmonisan atau keberagaman ialah realitas sosial. Dalam kehidupan nyata manusia, keberagaman tercermin dari adanya lebih dari satu agama, etnis, ras, gender.

Bahkan suatu agama tidak tunggal, tetapi terdiri dari berbagai aliran. Etnispun terdiri dari sejumlah subetnis. Gender pun bukan cuma laki-laki dan perempuan, melainkan termasuk lesbian, gay, biseksual, dan transgender.

Keberagaman ialah kenyataan, keniscayaan. Tetapi, di masa orde baru yang otoriter keniscayaan itu diredam demi menjaga stabilitas politik. Di era pasca orde baru yang relatif demokratis, Negara membuka ruang yang seluas-luasnya bagi rakyat untuk mengekspresikan dan meneguhkan identitas mereka, baik identitas agama, etnis, tradisi, atau adat.

Menurut Indria bahwa antar sesama etnis China sangat sering berkomunikasi dengan bahasa mereka sendiri karena mereka sangat menjunjung tinggi kebudayaan dan adat mereka. Salah satunya mereka tunjukkan dari bahasa yang mereka gunakan. Selain itu fakta yang ada dilapangan menunjukkan bahwa Etnis China sangat sering memakai bahasa daerah mereka sendiri karena pada umumnya masyarakat pribumi tidak mengerti bahasa dari Etnis China itu sendiri, jadi secara tidak langsung bahasa China yang dipakai dapat menjadi bahasa rahasia mereka dengan masyarakat pribumi, khususnya yang paling

89 sering kita jumpai dan alami pada saat tawar-menawar, menanyakan harga, maupun bertransaksi dengan rekan atau relasi mereka yang sesama Etnis China.

Contoh atau fakta paling menarik tentang keberagaman dari sisi historis-kultural ada di Lasem,, Jawa Tengah. Lasem sejak dahulu kala menjadi ruang yang aman bagi silang pertemuan berbagai budaya, yaitu Jawa, Arab, Tionghoa, Islam, Konghucu, dan

Budha. Di Lasem, perlawanan sengit terhadap serdadu VOC, dimotori Oei Ing Kiat,

Raden Panji Margono, dan Kiai Baidlawi. Dari situ lahir semangat persaudaraan yang kukuh antara orang Tionghoa, Jawa, dan keturunan Arab di Lasem. Keberagaman Lasem bertahan hingga sekarang (Kansong, 2016:27:31:39).

Sehubungan dengan keberagaman (Pluralisme) yang ada sebelumnya dan yang baru saja terjadi pada tanggal 29 Juli 2016, mengindikasikan bahwa masih adanya praktek-praktek yang bisa menimbulkan perpecahan etnis. Baik itu yang dilakukan etnis tertentu tanpa mereka sadari maupun prilaku yang tidak mereka sadari. Sehingga ini akan menjadi bahaya laten yang subur dan suatu saat bisa timbul. Walaupun kebudayaan itu adalah sebuah kekayaan dan kelestarian, tetapi bukan berarti akan melupakan kearifan lokal setempat.

Temuan penelitian mendukung teori di atas yang menyebutkan bahwa keharmonisan atau keberagaman sebelum terjadinya peristiwa 29 Juli 2016 ada di Kota

Tanjungbalai. Ini juga dibuktikan dengan penjelasan dari beberapa informan salah satunya yaitu Bapak Kosasih sebagai Ketua Forum Pemersatu Kebangsaan (FPK).

Masyarakat saling menghormati satu dan lainnya, saling toleransi dan saling mengisi.

Hidup yang saling menghormati antar budaya membawa masyarakatnya terus berbenah dan berkembang.

Salah satu bukti lainnya yaitu dikenalnya sosok seorang Abi Besok- etnis

Tionghoa yang terkenal dijamannya- di luar Tanjungbalai yang memainkan peran

90 bisnisnya. Di masa beliau ini memainkan peran bisnisnya, kehidupan di Kota

Tanjungbalai Tenteram dan damai. Peneliti juga sempat langsung mendengar dari masyarakat tentang kencangnya berjalan roda perekonomian.

Dengan adanya peristiwa tanggal 29 Juli 2016 membuat peta keharmonisan dan keberagaman yang ada di Kota Tanjungbalai mulai kondusif lagi dan semakin saling menghargai. Ini terlihat dengan belum maunya dan masih enggannya Tokoh dan orang- orang yang berkompeten dalam hal konflik etnis ini dimintai waktu dan kesempatan untuk wawancara. Mereka selalu mengatakan ini adalah hal yang sangat sensitif karena berkaitan dengan agama.

Peneliti juga teringat tentang suatu kehidupan dalam sebuah perantauan (hidup di daerah atau Negara lain). Apabila satu keluarga dalam kelompok etnis, agama, golongan, komunitas Negara tertimba musibah maka yang lainnya akan berempati. Apakah mental seperti ini masih melekat pada Etnis China maka kita belum bisa dan belum mampu membuktikannya. Karena terdapat mental kesamaan dari mereka yang mengatasnamakan ingin mencari makan saja, hidup nyaman, dan kesejajaran dan tidak pernah ingin berbuat diluar batas. Ini juga menjadi bahan kajian yang membuat peneliti merasa bahwa masalah ini jelas sudah selesai dan tidak ingin terjadi lagi di masa yang akan datang.

5.3. Relitas Hukum Dan Perkembangan Sosial

Problem terbesar hukum sampai saat ini ialah tingkat kepatuhan hukum. Pilihan masyarakat dalam mematuhi hukum menjadi kondisi yang dilema, mengingat, kepatuhan kepada hukum bukan hanya disandarkan kepada pakar-pakar dan ilmuan, kepatuhan hukum harus mengikat pada seluruh manusia dalam setiap lapisan. Kesenjangan kepentingan menjadi problem dua sisi. Pemerintah sebagai penjalan amanat undang- undang dan peraturan menganggap masyarakat tidak memiliki kepatuhan yang absolut,

91 sehingga kepatuhan kepada hukum masih sering bermain kepada ruang kepentingan

(utilitarian). Di sisi lain masyarakat juga hukum dan kebijakan Pemerintah sebagai bagian dari hukum sering tidak memihak kepentingan masyarakat. Hal inilah yang membuat kepentingan terhadap hukum menjadi sangat fungsional.

Ini sebagaimana keterangan dari informan diantaranya Ketua Forum Komunikasi

Ummat Beragama (FKUB) dan Ketua Forum Pembaharuan Kebangsaan (FPK) bahwa mengenai akar masalah berupa hal yang sudah terlalu lama dipendam. Dimana pada tanggal 03 Agustus 2010 sudah dibuat kesepakatan bersama unsur FORKOPIMDA tentang penyelesaian permasalahan patung Budha Amitabha yang berada di atas Vihara

Tri Ratna Kota Tanjungbalai. Akan tetapi sampai habisnya dua periode Walikota, kesepakatan ini tidak kunjung diselesaikan. Sehingga pemantik pada tanggal 29 Juli 2016 itu cepat terjadi.

Undang-undang no 07 tahun 2012 menyatakan bahwa konflik yang terjadi diantara dua etnis harus diselesaikan dengan cepat. Salah satunya dengan dikeluarkan oleh Pemerintah pernyataan memang benar itu konflik etnis sehingga penyelesaiannya juga secara kearifan lokal (kebijakan daerah). Akan tetapi yang terjadi di Kota

Tanjungbalai adalah bukan Konflik etnis karena tidak ada dua etnis yang berkonflik.

Hanya saja bertepatan etnis Tionghoa bernama Meliana yang secara spontan meminta agar azan di Mesjid Al Maksum suaranya agak dikecilkan. Juga sebagaimana emosional spontan masyarakat yang sudah terlanjur dibakar oleh media sosial dan elektronik.

Terjadilah kerusuhan pembakaran dan tentunya tidak ada perlawanan dari etnis saudara

Meliana Cuma hanya satu pihak saja.

Dalam pemberitaan, media massa berpedoman pada agenda setting yang dibentuk oleh redaksi. Agenda setting dari media inilah yang kemudian menggerakkan arah pemberitaan dan pilihan angel, atau bahkan framing, dari suatu isu yang ditampilkan oleh

92 media massa. Berhadapan dengan situasi ini, tidak dapat tidak, setiap organisasi dituntut untuk melihat media massa sebagai institusi yang memiliki peranan besar dalam membentuk opini masyarakat (Puspitasari, 2016:89).

Sehingga secara hukum, orang-orang yang terlibat kerusuhan, pembakaran dan penjarahan ditahan dan dijebloskan ke dalam tahanan. Tetapi pihak Forkopimda bergerak untuk diselesaikan secara kearifan lokal. Persentuhan hukum formal dengan hukum adat, atau boleh kita sebut sebagai bagian dari tradisi dan kebudayaan, ditambah lagi pemahaman masyarakat tentang hokum agama, menjadi perpaduan yang sering membuat masyarakat tidak berketetapan dalam pilihan. Terkadang kecendrungan memilih hukum berpihak pada hukum adat, bisa juga hukum agama, dan terkadang masyarakat sangat formal, memandang hukum sebagai tujuan. Dalam hal inilah Bowen (peneliti tentang resolusi atas konflik di Aceh), menyebutkan dalam hasil penelitiannya, bahwa masyarakat

Aceh dalam mematuhi hukum memakai pendekatan The Sopping Theory, maksudnya masyarakat Aceh, ketika memilih Hukum seperti “berbelanja”. Sehingga pada masalah yang sama dengan masyarakat yang berbeda, bisa berbeda pilihan hukumnya. Walaupun masyarakat yang memakai pendekatan ini cendrung menggunakan yurisprudiensi sebagai uji coba hukumnya (Harian Analisa, 07 Maret 2017).

5.4. Penyelesaian Konflik Komunal

Yang menjadi pembelajaran yang sangat bermanfaat adalah setiap pemangku kepentingan yang ada dan merasa terlibat kemudian mengomunikasikan pernyataan sikap yang didasari tanggungjawab eit, yang pertaman-tama menjelaskan bahwa peristiwa tersebut merupaka bagian dari tragedi kemanusiaan. Pernyataan duka yang mendalam dan penyesalan akan terjadinya peristiwa tersebut diiringi dengan kesadaran akan pentingnya penyelesaian di jalur hukum dan menyerahkan proses investigasi pada pihak yang berwenang (Puspitasari, 2016:32).

93

Sehubungan dengan terjadinya insiden pembakaran dan pengrusakan beberapa rumah ibadah Vihara, Kelenteng, balai pengobatan dan rumah penduduk di wilayah

Kecamatan Tanjungbalai Selatan pada hari Sabtu tanggal 30 Juli 2016 pada pukul 00.45 wib, maka pihak FORKOPIMDA bergerak sangat cepat sekali. Selain antusiasnya

Walikota Tanjungbalai -baru terpilih dan dilantik pada bulan dua tahun 2016- untuk menyelesaikan permasalahan ini. Pihak stakeholder yang lain juga ikut cepat membantu dalam hal ini pihak TNI dan Polri.

Sampai-sampai Walikota menerjunkan PNS, Pemuda untuk ikut membantu membersihkan puing-puing sisa dari kerusuhan yang terjadi pada tanggal 30 Juli tersebut.

Mereka juga dibantu aparat TNI dan Polri dalam hal ini. Sehingga hanya dalam hitungan dua hari perekonomian di Kota Tanjungbalai berdenyut kembali. Karena pasca kejadian tersebut banyak pertokoan enggan dan tidak mau membuka dagangannya karena takut terjadi penjarahan. Hal inilah yang selalu diusahakan untuk dihindari oleh

FORKOPIMDA atau FKPD agar jangan terjadi terlalu lama. Dan usaha yang dilakukan oleh mereka terbukti cepat menyelesaikan keadaan.

Kearifan dan kebijakan Pemerintah dan FKPD seperti ini yang masih termasuk jarang dilakukan apalagi dengan Walikota yang masih tergolong berusia muda dan masih baru menjabat jabatannya. Sehingga peran Walikota begitu sentral dalam penyelesaian konflik ini. Begitu juga jajaran yang turut serta membantu dalam penyelesaian permasalahan ini. Alunan sinergitas sangat terasa untuk lebih cepat dan tanggap dalam menyelesaikan konflik. Ini menjadi nilai tambah bagi masyarakat Kota Tanjungbalai.

Pada umumnya deviasi situasional yang kumulatif itu merupakan produk dari konflik kultural, yaitu produk dari periode-periode dengan banyak konflik kultural.

Konflik budaya/kultural ini dapat diartikan sebagai:

a. Konflik antara individu dengan masyarakat

94

b. Konflik antara nilai-nilai dan praktek-praktek dari dua atau lebih

kelompok-kelompok sosial

c. Konflik-konflik Introjeksi-mekanisme penyerapan pengaruh lingkungan

sosial atau pengaruh individu lain, yang kemudian dikembangkan dalam

pribadi sendiri- yang berlangsung dalam diri seseorang, yang hidup dalam

lingkungan sosial penuh dengan nilai dan norma-norma yang

bertentangan.

Aspek kebudayaan yang sering menumbuhkan gejala deviasi social dan banyak mengandung konflik-konflik serta ketegangan sosial, menimbulkan tidak sedikit perilaku patologis antara lain ialah:

1. Berakhirnya feodalisme, namun kemudian muncul pola neofeodalisme

yang mendewakan hak-hak individual; dan pengutamaan egoism,

egosentrik, serta pendewaan terhadap nilai uang;

2. Lenyapnya atau berkurangnya control sosial disebabkan oleh proses

urbanisasi, industrialisasi dan mekanisasi;

3. Menghebatnya rivalitas dan kompetisi untuk memperebutkan status social

yang tinggi, serta kekayaan dan jabatan;

4. Aspirasi materiil yang semakin menanjak, dengan menonjolkan pola hidup

mewah (Kartono, 2015:21-23).

5.5. Identitas Etnis dan Harapan Keberlangsungan keharmonisan kedepan

eksisnya sebuah identitas (etnis) sangat tergantung pada pengakuan pihak lain.

Ketika identitas sebuah komunitas tidak lagi mendapat pengakuan, bahkan dilecehkan pihak lain maka itu menjadi signal tersingkirnya identitas dari pergaulan sosial. Individu atau komunitas yang empunya identitas akan merasa tidak nyaman, terancam, muncul

95 rasa takut, dsb, jika tidak lagi diakui lingkungannya. Bila kondisi ini terus berlanjut akan timbul resistensi, karena sejatinya manusia ingin rasa aman, tenang dan damai. Rasa aman yang tidak lagi didapatkan dari komunitas identitas lain akan beralih dan mencari ke komunitas se-identitas, seperti se-etnis atau se-agama misalnya.

Perasaan se-etnis (etnosentrisme) kemudian menguat mengikat para pihak di dalamnya. Namun tak jarang perasaan se-etnis benar salah harus dibela. Samapai disini bayangan polarisasi, dikotomi, dan masyarakat terkotak-kotak terjadi. Tetabuhan dan saling silang konflik pun akan terjadi. Manakala komunitas yang dianggab musuh ada di depan mata. Konflik akhirnya dianggap sebagai jalan untuk mendapatkan pengakuan dan sekaligus rasa aman. Konflik identitas, terutama berkaitan dengan identitas etnis, suku, agama atau yang kerap disebut sebagai konflik primordial terjadi akibat absennya pengakuan dan penghargaan dari pihak lain. Padahal pengakuan dan penghargaan sekaligus memperlihatkan penerimaan pihak lain terhadap sebuah komunitas masyarakat

(Hali, 2006:238).

Sebuah pernyataan yang terkesan mengejutkan bahwa Patung yang ada di vihara

Tri Ratna adalah hanya sebuah simbol. Patung tersebut bukanlah Tuhan sebagaimana persepsi kebanyakan orang. Ini dikatakan oleh Suhu dari vihara Tri Ratna yang di datangkan dari . Dan pernyataan ini juga di dapat dari Informan yang bernama Bapak M. Kosasih yang bertepatan hubungannya sangat dekat dan baik dengan ketua yayasan vihara Tri Ratna yaitu Bapak Akun. Untuk menempatkan patung ini ke tempat yang sebaik-baiknya merupakan sesuatu hal yang boleh saja terjadi asalkan di katakana dengan orang yang sangat berkompeten yaitu suhu dalam agama Budha.

Untuk mengenal sebuah kelompok dapat dilihar dari identitas yang digunakan, tanpa adanya identitas sebuah kelompok akan sulit diketahui keberadaannya. Demikan simbol-simbol yang dimiliki oleh setiap kelompok etnis, yang berfungsi untuk mengenal

96 kelompok tersebut dengan identitas. Dengan sebuah identitas posisi seseorang akan jelas pada kelompoknya dimana persoalan identitas bukanlah masalah budaya semata tetapi dapat berarti lebih luas. Meskipun kondisi masyarakat beragam, akan tetapi ada beberapa sifat budaya yang mirip sehingga selalu dapat dicarikan titik temu bagi perbedaan budaya antar kelompok etnis. Hal ini dapat dilihat sebagai penggambaran perilaku manusia, sehingga kelompok-kelompok manusia yang mempunyai perilaku tertentu akan digolongkan dalam suatu unit yang mempunyai perilaku tertentu akan digolongkan dalam suatu unit kelompok etnik yang mempunyai sifat budaya tertentu.

Di Kota Tanjungbalai ini merupakan identitas etnis melayu yang sangat kental dan sangat terasa baik itu dalam bentuk makanannya dan bahasanya. Dan mengenai identitas etnis ini sudah diketahui oleh daerah perbatasan sekeliling Kota Tanjungbalai (daerah

Hinterland). Minimal pasti ada peninggalan sejarah dari etnis melayu di Tanjungbalai, dan realita seperti inilah yang menimbulkan polemik dimana peninggalan atau jejak dari identitas daerah atau etnik ini tinggal sebuah Mesjid yaitu Mesjid Raya Sultan

Ahmadsyah. Sedangkan peninggalan-peninggalan sejarah etnik yang lainnya tinggal hanya kenangan. Inilah kenyataan pahit tentang identitas etnik yang terjadi sebenarnya.

Sehingga ketika etnik yang tidak dominan ingin menunjukkan keberadaannya maka dengan serta merta etnik dominan tersebut bergejolak langsung untuk menolaknya. Dan inilah salah satu fakta kenyataan yang sebenarnya terjadi. Kebenaran ini dibuktikan dengan pernyataan informan dari sektor informal yaitu Bapak Tobi Iskandar. Dengan lugas dia menyatakan bahwa seolah-olah Tanjungbalai meu dijadikan Kota yang mengarah ke etnis tertentu.

Sedangkan harapan kedepan dalam keberagaman dari informan-informan peneliti semua yaitu peningkatan toleransi dan saling menghargai diantara pemeluk agama dan kepercayaan yang tinggal di Kota Tanjungbalai ini. Mereka dengan tegas mengatakan

97 bahwa ketika hidup saling berdampingan dan saling menghargai ini terjadi maka tidak akan adalagi kejadian-kejadian tragis yang lainnya. Juga denyut kehidupan yang terjadi akan berkembang dengan pesat karena keberlangsungan kerjasama dan saling menghormati akan terjadi.

Masyarakat-masyarakat post-modern merupakan masyarakat-masyarakat yang saling berkaitan. Dunia saat ini merupakan sebuah dunia yang saling terkait satu sama lain. Berkat revolusi dalam teknologi informasi, pengetahuan mengenai alam, manusia dan masyarakat tak lagi terkungkung dalam batas-batas Negara. Persoalan-persoalan dan gagasan manusia mengalir lintas masyarakat tanpa harus memakai paspor atau visa.

Persoalan-persoalan local menjadi persoalan yang dinasionalisasikan dan nasional menjadi terinternasionalisasi. Dalam konteks masyarakat global kontemporer, komunikasi memungkinkan isu-isu social saling membentuk jaringan dalam level global. Proses trannasionalisasi atas problem-problem menghubungkan kultur, masyarakat, dan praktek politik telah memungkinkan adanya sarana-sarana komunikasi yang cepat (Singh,

2010:431).

Polemik petung di Indonesia, terutama patung-patung yang terkait dimensi teologis-baik pada patung atau pada pemprotesnya- mengindikasikan dua situasi minor di level masyarakat. Pertama, gejala ahistorisitas tentang nilai-nilai keindonesiaan, yang sejatinya terekam dalam aneka lapis ekspresi sosio-kultural, norma dan pranata, ritus dan institusi, serta artefak dan symbol-simbol. Kalau kita menyelisik simpul-simpul kultural penting Nusantara, terlalu banyak artefak dan karya seni rupa berupa patung, arca, dan monument yang dapat disepadankan dengan patung dan monumen yang dipersoalkan itu.

Simbol-simbol fisik tersebut hampir seluruhnya memiliki dimensi metafisis dan spirit religio-magis yang turut menguatkan bangunan masyarakat dan bangsa Indonesia.

Mempersoalkan patung dan monumen sejatinya menafikan nilai-nilai keindonesiaan kita

98 dan mengangkangi fakta keras sejarah Indonesia. Kedua, fenomena tekstualisasi ajaran agama. Menolak petung dengan menggunakan dalil-dalil agama merupakan bukti lain tumbuhnya gejala pendangkalan keagamaan hanya sebatas pada teks-teks ajaran agama.

Teks-teks samawi dicerabut dari konteks sosio-kultural.

Dalam perspektif politik, polemik patung dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan penguatan gejala politisasi identitas. Aspirasi tersebut sebagian besar digerakkan oleh keinginan untuk menegaskan identitas keagamaan yang belakangan dipertebal dalam sentiment etno-nasionalisme. Dengan sendirinya hal itu berimplikasi pada marginalisasi dan ekslusi identitas-identitas keagamaan yang minor. Politisasi identitas tersebut bahkan dalam banyak kasus penolakan patung diekspresikan dalam bentuk mobilisasi massa. Pemprotes seakan-akan menyampaikan pesan bahwa aspirasi mereka mempresentasikan umat yang secara nominal sangat banyak dan karena itu kekuatan politik elektoralnya juga besar.

Pesan politik inilah yang bisa dengan mudah menaklukkan otoritas politik

Pemerintahan di tingkat lokal. Para politisi cum Kepala Daerah cenderung tunduk kepada kehendak mereka yang memiliki potensi suara sangat besar dalam perhelatan politik elektoral di daerah tersebut. Pemerintah daerah kemudian memanfaatkan instrumen administratif berupa perizinan untuk mempersoalkan patung-patung tersebut sebagai kamuflase bagi politisasi identitas tersebut (Halili, Kompas:14 Agustus 2017).

Untuk itu, peran Pemerintah dalam memainkan keadilan dan perlakuan adilnya untuk melaksanakan seluruh kegiatan di masyarakat. Tidak terkecuali dengan masalah- masalah yang terbilang sensitif dan cepat menimbulkan permasalahan. Adalah masalah

SARA yang sangat cepat mendatangkan reaksi dari masyarakat luas di Negara Indonesia.

99

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1. SIMPULAN

Mengenai pembahasan-pembahasan dari temuan-temuan dalam penelitian ini akan menghasilkan beberapa hal yang dapat disimpulkan , diantaranya sebagai berikut:

1. Peristiwa yang terjadi di Kota Tanjungbalai Propinsi Sumatera Utara yang

sempat menghentak nusantara adalah peristiwa dengan akar masalah yaitu

pendirian patung di Vihara Tri Ratna.

2. Penanganan konflik yang dilakukan yaitu dengan hadirnya

FORKOPIMDA untuk bersama-sama membuat komitmen agar

permasalahan ditangani bersama.

3. Selanjutnya hasil yang diperoleh dari penanganan konflik ini yaitu dengan

turunnya Patung di Vihara Tri Ratna dan diletakkan pada tempat yang

sebaik-baiknya.

6.2. SARAN

Dengan selesainya penelitian ini, maka ada beberapa saran yang akan diutarakan

oleh peneliti diantaranya:

1) Secara Teoritis

Bagi peneliti yang lainnya , apabila ingin melanjutkan penelitian ini dapat

mengkaji dengan menggunakan pendekatan campuran (mixed method)

untuk mengukur kompetensi dalam hubungan antaretnik untuk

penyelesaian konflik

2) Secara Akademis

100

Bagi mereka yang akan mengadakan penelitian sejenis, mudah-mudahan

tesis ini bisa menjadi rujukan dalam penanganan konflik yang sejenis dan

bisa dimanfaatkan untuk penelitian lanjutan semisal disertasi

3) Secara Praktis

Diharapkan kepada Pemerintah Kota Tanjungbalai mampu menjaga

kerukunan antaretnik agar kehidupan bermasyarakat di Kota Tanjungbalai

lebih saling menghormati dan menjaga toleransi yang sesuai dengan norma

dan pranata sosial.

101

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan. (2015). Penelitian Kualitatif: Komunikasi,Ekonomi,Kebijakan Publik,Dan Ilmu Sosial lainnya. Jakarta: Kencana.

Devito, A. Joseph. (2011). Komunikasi Antarmanusia. Tangerang Selatan: Karisma Publishing Group.

Effendy, Onong Uchjana. (1995), Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Fera Nugroho, Pradjarto Dirdjosantojo, Niko L Lana, (2004). Konflik Dan Kekerasan Pada Aras Lokal. Salatiga, Jawa Tengah: Pustaka Pelajar.

Garna, Judistira K. (1992). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Primaco Akadempirika.

Hadiluwih, Subanindyo. (2008). Konflik Etnis Di Indonesia: Satu Kajian Kasus Di Bandaraya Medan. Medan: USU Press.

Hutagalung, Inge. (2015). Teori–Teori Komunikasi: Dalam Pengaruh Psikologi. Jakarta: Indeks .

Indonesia, INIS. UIN Syarif Hidayatullah. (2003). Konflik Komunal Di Indonesia Saat Ini. Jakarta: Indonesia – INIS Universiteit Leiden.

Indria, Riska. (2012). Efektifitas Komunikasi Antarbudaya Di Pasar Tradisional: Studi Kasus Efektifitas Komunikasi Antarbudaya Antar Penjual dan Pembeli Di Pasar Tradisional Petisah Medan. Jurnal Ilmu Komunikasi Flow. Vol. 1 No 1.

Jaka Marwasta, (2016), Pendampingan Pengelolaan Wilayah Perbatasan Di Indonesia; Lesson Learned Dari KKN-PPM UGM Di Kawasan Perbatasan, UGM, Indo Journal Of Community Engagement, Vol 0I, Nomor 02, Maret 20I6

Kansong, Usman. (2016). Jurnalisme Keberagaman: Untuk Konsolidasi Demokrasi. Jakarta. Media Indonesia Publishing.

Kartono, Kartini. (2015). Patologi Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Kountur, Ronny. (2007). Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Thesis. Jakarta: wordpress.

Lubis, Lusiana Andriani. (2016). Dinamika Komunikasi Antarbudaya dan Implikasi Penelitian. Medan: USU Press.

______. (2012). Pemahaman Praktis: Komunikasi Antar Budaya. Medan: USU Press.

102

Lofland, Jhon, (2003). Protes: Studi Tentang Perilaku Kolektif dan Gerakan Sosial. Yogyakarta: INSIST Press.

Majid, Abdul. (2014). Pasar Sebagai Sarana Komunikasi Antarbudaya: Studi Deskripsi Pedagang Pasar Segiri Samarinda. Samarinda: eJournal Ilmu Komunikasi, Volume 2, Nomor 1, 2014: 155-165

Moleong, Lexy J. (2006). Metode Penelitian Kualitatif (edisi revisi). Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Deddy. (2005). Komunikasi Antar Budaya: Panduan Berkomunikasi Dengan orang –Orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nurhadi, Zikri Fachrul. (2015). Teori–Teori Komunikasi: Teori Komunikasi Dalam Perspektif Penelitian Kualitatif. Bogor: Ghalia Indonesia.

Nova, Irsan. (2014). PRWAR: Pertarungan mengalahkan krisis, menaklukkan Media dan Memenangi Simpati Publik. Jakarta. Grasindo.

Ode. M D La. (2012). Etnis China Indonesia Dalam Politik. Jakarta. Pustaka Obor.

Puspitasari. (2016). Komunikasi Krisis: Strategi Mengelola Dan Memenangkan Citra Di Mata Publik. Jakarta: Libri Press.

Rakhmat, Jalaludin.(2007).Metode Penelitian Komunikasi : Dilengkapi Contoh Analisis Statistik. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Rachmat, Kriyantono. (2008). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta. Prenada Media Group.

Ridwan Usman, (2001) Konflik dalam Perspektif Komunikasi : Suatu Tinjauan Teoritis, Jurnal Sosial Budaya, Vol 2. No

Ryan A. Lompoliu, Yuriwaty pasoreh (2015). Peran komunikasi dalam penyelesaian konflik diantara remaja di desa sendangan kecamatan kakas, E-journal “ Acta Diurna “, Vol IV, No 03.

Ritzer, George. (1992). Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta: Rajawali Pers.

Ricoeur, Paul. (2012). Teori Interpretasi: Memahami Teks, Penafsiran, Dan Metodologinya. Jogjakarta: IRCiSoD.

Samovar,L. A. & Porter, R. E. McDaniel, E. R. (2010). Komunikasi Lintas Budaya: Communication Between Cultures. Jakarta. Salemba Humanika.

Salim, Emil. (2010). Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi. Jakarta: PT. Gramedia.

103

Sendjaja, Sasa Djuarsa. (2007). Teori Komunikasi. Jakarta:Universitas Terbuka.

Sihabuddin, Ahmad. (2013). Komunikasi Antar Budaya: Satu Perspektif Multidimensi. Jakarta: Bumi Aksara.

Singh, Rajendra. (2010). Gerakan Sosial Baru. Sleman, Yogyakarta. Resist Book.

Situmorang, Abdul Wahid. 2007. Gerakan Sosial: Studi kasus Beberapa Perlawanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Soekanto, Soerjono. (1991). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta; Raja Grafindo Persada.

Susan, Novri. (2010). Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Kotemporer. Jakarta: Kencana

Syaifuddin Iskandar Ardiansyah, (2010), Konflik Etnis Samawa Dengan Etnis Bali: Tinjauan Sosial Politik Dan Upaya Resolusi Konflik, Universitas Samawa, Jurnal UNSAVol. 23. Nomor. 04. Hal :286-292.

Undang-undang No. 07 tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik

Varshney, Ashutosh. (2009). Konflik Etnis Dan Peran Masyarakat Sipil: Pengalaman India. Depag, Jakarta: Yale Univercity Press.

West, Richard, Turner, Lynn H.(2008). Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika.

Nasution, Muhammad Syukri Albani. (07 Maret 2017). Realitas Hukum dan Perkembangan Sosial. Harian Analisa, kolom opini, Hal 29.

Hali, Damianus J. (2006). Konflik Identitas (Etnis) Dan Harga Diri. Jurnal Hukum Pro Justitia, Volume 24, No. 3.

Halili. (14 Agustus 2017). Patung dan Politisasi Identitas. Harian Kompas, kolom opini. Hal 07. http://iqfirdaus.blogspot.com/2008/09/wahidiyah.html. 03 Oktober 2012. https://m.tempo.co/read/news/2015/05/21/078668047/konflik-yang-dipicu-keberagaman- budaya-indonesia.

Lampiran 1 Pedoman Wawancara Penanganan Konflik Etnik Di Kota Tanjungbalai Dalam Perspektif Komunikasi Tokoh informal

1. Dengan multi etnisnya masyarakat yang ada, Bagaimana bapak menilai keberagaman dari segi etnis sebelum peristiwa 29 Juli 2016 di Kota Tanjungbalai? ......

2. Apa yang bapak ketahui tentang peristiwa konflik 29 juli 2016 di Kota Tanjungbalai ini dan dimana kejadiannya? ......

3. Menurut pendapat Bapak, apa sebenarnya yang menjadi akar masalah sumber konflik 29 Juli 2016 di Kota Tanjungbalai? ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… 4. Bagaimanakah menurut bapak metode penanganan konflik yang terjadi pasca tanggal 29 juli 2016 dari aspek komunikasi? ......

5. Bagaimanankah menurut Bapak, kendala-kendala apa saja yang merupakan faktor penghambat dalam penanganan konflik tanggal 29 juli 2016 ini? ......

6. Dengan ikut berpartisipasinya Forpimda (Forum Pimpinan Daerah), maka menurut Bapak apa yang dihasilkan dari komunikasi yang dibangun atas konflik tanggal 29 juli 2016 ini? ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………

7. Menurut pendapat Bapak, dengan komunikasi yang di bangun tersebut, apakah masalah konflik sudah selesai? ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… .

8. A. Bagaimanakah setelah penyelesaian konflik tanggal 29 juli 2016 kondisi keberagaman etnis di Kota tanjungbalai (sudah)?

1

……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… . B. apakah yang seharusnya dapat dilakukan untuk meyelesaikan masalah konflik ini (belum)? ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… .

9. Menurut tanggapan bapak untuk harapan kedepan, suasana keberagaman yang seperti apa dalam hubungan antar etnis di Kota Tanjungbalai? ......

Peneliti

Mbardo Hamzah Harahap 157045031

2 Page

LAMPIRAN 2

3 Page

Lampiran 3

Trankrip wawancara

Rabu, 28 Juli 2017 jam 17.30

Nama : Ricky Siregar

Jabatan: Kabid Linmas dan Penanganan Konflik Dinas Kesbangpol

Durasi : 28.06 menit

Pak Riki, kita mulai wawancara saya yang judulnya Konflik Etnik Di Kota Tanjungbalai Dalam Perspektif Komunikasi, mohon ijin ada beberapa pertanyaan yang ingin kami sampaikan mungkin kami mulai dari pertanyaan pertama pak Ricky:

1. Dengan multi etnisnya masyarakat yang ada, bagaimana Bapak menilai keberagaman dari segi etnis sebelum peristiwa 29 Juli 2016 di Kota Tanjungbalai?

Menurut saya kondisi keadaan di Tanjungbalai sebelum kejadian 29 juli itu dari sisi kemulti-etnisan di Tanjungbalai cukup baik dalam arti sehari-hari yang tidak ada nampak terlalu perbedaan cuma memang karena kondisi Tanjungbalai itu sendiri dari sisi perekonomian dikuasai, dominasi oleh etnis Tionghoa dan Etnis Tionghoa di Tanjungbalai ini sebagian itu masih menutup diri sehingga kurang berbaur dengan masyarakat lainnya, etnis lainnya. Untuk etnis di luar tionghoa tidak ada hal-hal yang dapat mengganggu harmonis antar etnis.

2. Apa yang Bapak ketahui tentang peristiwa konflik 29 Juli 2016 di Kota Tanjungbalai ini dan dimana kejadiannya?

Kejadian 29 Juli 2016 itu menurut saya konflik antar personal dalam arti antara keluarga Etnis Tionghoa salah satunya itu bernama Meliana yang terjadi konflik dengan beberapa orang pengurus BKM Mesjid Al Maksum yang terjadi di Jalan Karya sebenarnya skop konflik yang terjadi itu hanya itu aja gitu. Kejadiannya itu ketersinggungan dari BKM Mesjid Al maksum ini terhadap pernyataan Meliana tentang volume suara azan. Jadi setelah pengurus ini (saya ulangi lagi) pengurus inipun tidak mendengar langsung pernyataan dari Meliana (pernyataan keberatan ini) dia hanya mendengar dari pihak lain, pihak lain ini yang menyampaikan ke pengurus BKM. Sehingga pengurus BKM ini berusaha mengklarifikasi ke Meliana langsung dengan mendatangi rumahnya dan mungkin tentunya pengurus BKM ini juga sudah sedikit emosional dengan informasi yang diterima dari pihak lain, sehingga begitu

mendatangi Meliana terjadi apa yang klarifikasi dari Meliana sendiri juga 4

memberikan jawaban yang tidak memuaskan dengan menyampaikan kata-kata Page

yang membuat tersinggung pengurus BKM sehingga terjadi percekcokan banyak masyarakat berkumpul mau mengetahui apa kejadiannya setelah itu berkembang informasi terjadi pelarangan adzan berkembang terus sehingga banyak isu yang di luar dari kejadian yang terjadi baik itu ada katanya Etnis Tionghoa yang melarang, ada yang mematikan alat sound system Masjid, ada Etnis Tionghoa masuk dengan celana pendek ke dalam Mesjid yang seperti berbagai banyak isu yang berkembang melalui sms dan di media sosial sehingga massa berkumpul dengan jumlah banyak terjadi ada orasi beberapa kelompok masyarakat ketidakpuasan mengarahkan masyarakat untuk mendatangi beberapa Vihara dan Klenteng sehingga terjadilah hal yang kita ketahui bersama.

3. Menurut pendapat Bapak, apa sebenarnya yang menjadi akar masalah sumber konflik 29 Juli 2016 di Kota Tanjungbalai?

Memang kalau saya melihat pembauran antara etnis Tionghoa dengan Pribumi belum terjadi secara maksimal di Kota Tanjungbalai itu banyak hal saya lihat ya mungkin karena faktor budaya, faktor budaya ini juga mempengaruhi dari bahasa komunikasi juga yang terbangun di antara dua etnis ini tidak berjalan dengan baik. Di satu sisi Etnis Tionghoa ini mereka berposisi sebagai pengusaha/majikan, di satu sisi pribumi itu banyak yang menjadi pekerja mereka hal ini sebagian besar tidak berjalan harmonis terutama masyarakat Etnis Tionghoa ini juga masih banyak menutup diri, kemudian mereka berkomunikasi juga masih menggunakan bahasa mereka. Itu juga kita lihat referensinya jika kejadian-kejadian dahulu itu banyak juga yang melibatkan pertama masa reformasi dulu mereka juga menjadi korban terhadap pelampiasan emosi masyarakat dalam hal ini Masyarakat Pribumi yang kalau saya melihat emang dari masalah ini Masyarakat Pribumi juga banyak yang tidak memahami dengan kebudayaan mereka kesehari-hariannya. Sehingga kadang sulit membedakan mana budaya, mana yang agama, agama mereka baik itu Konghucu maupun Budha mungkin masyarakat pribumi ini heran dengan banyaknya jumlah Vihara dan kelenteng yang ada di Tanjungbalai ini dibandingkan dengan jumlah pemeluknya. Sedikit masalah ini ada juga pernah saya dengar tentang masalah Vihara Tri Ratna kalau masalah yang Patung Budha nya di puncak di atas apakah itu juga salah satu akar masalahnya. Ya sebenarnya kalau masalah utamanya itu dari segi etnisnya Masyarakat Tionghoa itu tertutup mereka itu menguasai ekonomi sehingga menimbulkan ada kecemburuan dalam masyarakat pribumi merasa itu ada ketidakadilan dan ketidakpantasan. Jadi seperti Vihara yg ada Patung Budha di atas itu hanya sebagai bentuk emosional dari masyarakat. Jika komunikasi bisa dibangun dengan baik atau keharmonisan terjadi di antara Pribumi dan Tionghoa, saya rasa setinggi apapun patung itu tidak akan menjadi masalah. Bisa terjadi dua

sisi masyarakat pribumi memahami kondisi kebutuhan masyarakat dalam hal 5

ini masyarakat Pemeluk Budha untuk memiliki patung yang tinggi atau di satu Page

sisi Masyarakat Tionghoa ini memahami bahwa mereka tidak selayaknya untuk membangun Patung Budha di tempat itu. Jadi memang karena ada terpisah seperti minyak dengan air belum berbaur antara etnis ini itu yang menurut saya. Waktu kejadian konflik 29 Juli ada masyarakat kelompok masyarakat yang melakukan orasi mengarahkan ke sana karena dikaitkan sebelumnya itu ada penolakan masyarakat terhadap pendirian patung itu, jadi dari hasil orasi itu mengarahkan untuk upaya menghancurkan Vihara itu atau membakar ataupun menurunkan patung itu. Dan dalam rapat-rapat penyelesaian ada pemuka agama yang menganggap itu sebagai salah satu pemicu terjadinya konflik karena dianggap itu belum selesai. Konflik patung Budha ini muncul di tahun 2010, pada waktu itu menjelang pilkada dan itu menjadi issu pilkada dan itu menjadi berita Nasional juga. Dan diselesaikan memang tidak tuntas mungkin beberapa pemuka agama menganggap terjadinya kejadian 29 Juli tersebut.

4. Bagaimanakah menurut Bapak metode penanganan konflik yang terjadi pasca tanggal 29 juli 2016 dari aspek komunikasi?

Metode penanganan konflik pasca kejadian tanggal 29 Juli 2016 tersebut menurut saya sudah cukup baik, begitu kejadian di tanggal 29 malam tersebut maka pagi hari itu Pemerintah Kota Tanjungbalai mengumpulkan para tokoh agama tokoh masyarakat, untuk mengumpulkan mereka dalam suatu forum diskusi sehingga menghasilkan suatu pernyataan sikap bersama. Diantara poinnya itu masing-masing dari Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama mengutuk keras kejadian tersebut harapan kedepannya tidak terjadi lagi. Ada beberapa poin, kurang lebih 5 poin ya. kemudian hasil komunikasi tersebut di sosialisasikan kepada masyarakat baik itu selebaran maupun melalui pemasangan baliho dan spanduk sehingga agar masyarakat mengetahui pernyataan sikap dari masing-masing tokoh mungkin yang masih kurang dalam komunikasi yang terjadi waktu itu setahu saya memang belum ada untuk pada saat itu ya pada tanggal 30 Juli terjadinya pernyataan sikap itu belum ada ke arah untuk perdamaian dalam arti mungkin karena kondisinya juga belum diketahui pihak atau kelompok mana yang melakukan pembakaran dan sebagainya, sehingga yang perdamaian itu belum dapat dilakukan. Tidak ada yang meminta maaf dan tidak ada yang belum ada yang memaafkan singgah hal itu masih menjadi belum selesai setelah pernyataan sikap yang diambil tersebut.

5. Bagaimanankah menurut Bapak, kendala-kendala apa saja yang merupakan faktor penghambat dalam penanganan konflik tanggal 29 Juli 2016 ini?

Faktor-faktor penghambat banyak hal baik itu yang bersifat eksternal maupun

internal. Dari eksternal kita melihat bahwa situasi di tingkat Nasional juga ada

terjadi ketidaksenangan terhadap etnis itu terkait dengan kondisi di Jakarta 6

banyak pertentangan terhadap kepemimpinan Ahok, sehingga itu sedikit Page

banyak juga mempengaruhi masyarakat di Tanjungbalai menimbulkan antipati terhadap Etnis Tionghoa dan juga mereka merasakan juga ketidak harmonisan antara Etnis Tionghoa dengan Pribumi kemudian yang dari internal penyelesaian penanganan kasus ini tidak ada terjadi upaya perdamaian sehingga Pemerintah baik dalam hal ini kepolisian mengambil sikap untuk menindak para pelaku yang terlibat di dalam penanganan konflik melalui jalur hukum. Itu menimbulkan perlawanan dari pihak kelompok tertentu yang mereka tidak ingin penyelesaian ataupun penanganan konflik ini dilakukan dengan jalur hukum dan mereka menginginkan karena ini dianggap konflik sosial, mereka ingin menyelesaikan secara musyawarah atau perdamaian. Jadi penyelesaiannya memang berlarut-larut karena tidak ditemukannya jalan tengah antara pihak keamanan dan kelompok yang disangkakan sebagai pelaku.

6. Dengan ikut berpartisipasinya Forkopimda (Forum Kordinasi Pimpinan Daerah), maka menurut Bapak apa yang dihasilkan dari komunikasi yang dibangun atas konflik tanggal 29 juli 2016 ini?

Komunikasi yang dilakukan oleh Forkopimda yang dalam hal ini dimotori oleh bapak Walikota Tanjungbalai saya melihatnya sudah cukup baik ini terlihat dalam upaya merumuskan akar permasalahan konflik yang terjadi itu tadi saya sempat sebutkan atau dikemukakan bahwa salah satunya itu dari Tokoh Ulama bahwa Patung Budha. Kemudian secara cepat Walikota juga berupaya bagaimana dilakukan upaya untuk penurunan patung tersebut di tempat yang layak. Walaupun banyak terjadi dialog dan yang dilakukan akhirnya berhasil sehingga bagi masyarakat ataupun ulama yang menganggap itu menjadi akar permasalahan tentu dengan penurunan patung tersebut dianggap sudah menyelesaikan akar permasalahan yang terkait dengan permasalahan patung. Disamping itu pada waktu kejadian tersebut juga Muspida (Forkopimda) cepat bereaksi langsung mengambil sikap baik hal itu dalam mengumpulkan Tokoh Masyarakat Tokoh Ulama, penanganan hukum tersebut juga terjadi komunikasi yang intensif antara Walikota pihak Polres dan Kejari bagaimana mengupayakan penanganan hukum ini dapat dilakukan secara baik dan tidak memberatkan para pelakunya mengingat para pelakunya sebagian juga masih remaja dibawa umur dan sebagian lagi mereka masih muda masih mahasiswa masih kuliah. Itu menjadi pertimbangan Walikota untuk memberikan pertimbangan kepada pihak Kepolisisan dan Kejaksaan baik itu di pengadilan. Jadi komunikasi yang dibangun oleh Forkopimda ini saya melihat banyak membantu dalam hal penyelesaian konflik di Tanjungbalai ini sehingga berjalan dengan cukup baik tidak menimbulkan permasalahan yang baru.

7. Menurut pendapat Bapak, dengan komunikasi yang di bangun tersebut, apakah

masalah konflik sudah selesai? 7

Page

Untuk konflik yang terjadi 29 Juli itu saya melihatnya dengan upaya-upaya yang dilakukan Forkopimda dalam hal ini memang sudah menyelesaikan permasalahan yang terjadi 29 Juli tersebut. Tapi mungkin di awal juga saya bilang akar permasalahannya bukan sekedar masalah penurunan patung, ada hal yang mungkin yang lebih luas dari hal tersebut jadi saya melihatnya belum selesai.

8. Apakah yang seharusnya dapat dilakukan untuk meyelesaikan masalah konflik ini ? Saya melihatnya masih perlu upaya yang extra dari Pemerintah dalam hal ini sebagai fasilitator bagaimana antara Masyarakat Pribumi dan Masyarakat Tionghoa ini tidak ada terjadi gap ataupun kesenjangan bukan saja dalam hal ekonomi tapi dalam hal pandangan dan antara satu etnis dengan etnis yang lain. Dalam hal ini harus ada upaya bagaimana Masyarakat Pribumi ataupun fokusnya pada masyarakat Tionghoa ini harus bisa berbaur kepada masyarakat dan kebudayaan pribumi sehingga tidak terjadi kesenjangan antara pribumi dan Etnis Tionghoa ini sebagaimana antar etnis yang lain baik itu Etnis Batak, Minang, Aceh, Melayu tidak pernah terjadi kesenjangan. Mudah-mudahan dengan adanya pembauran yang lebih antara Etnis Tionghoa dan pribumi ini sehingga tidak ada lagi konfllik etnis yang bisa terjadi di Tanjungbalai.

9. Menurut tanggapan Bapak untuk harapan kedepan, suasana keberagaman yang seperti apa dalam hubungan antar etnis di Kota Tanjungbalai?

Kedepannya memang saya harapkan suasana perbedaan etnis ini karena saya melihat memang perbedaan etnis ini terlihat tampak antara Etnis Tionghoa dan Pribumi, mungkin bisa kita lihat bagaimana di daerah lain seperti di Jogja gitu masyarakat antara masyarakat Pribumi dengan Tionghoa tidak ada terjadi kesenjangan etnis, tidak ada yang Etnis Tionghoa tidak terlihat seperti Etnis Tionghoa nggak mereka berbahasa Jawa dengan baik di beberapa daerah di Sumatera juga seperti itu baik itu Sumatera Barat maupun di Tapanuli. Saya lihat mereka itu berbaur dengan baik jadi memang di Tanjungbalai ini perlu upaya yang lebih keras lagi dari Pemerintah bagaimana agar terjadi pembauran yang lebih baik. Tentunya memang tidak bisa disalahkan di salah satu baik itu Etnis Pribumi dan Etnis Tionghoa tetapi kedua-dua ini harus bisa digerakkan untuk saling memahami baik itu perbedaan budaya maupun agamanya.

Tanjungbalai, 28 Juli 2017 Yang Memberi Informasi

8

RICKY SEBASTIAN RIZQI SIREGAR, S.IP, Page

Gambar 1

Dengan informan Riki Siregar

9

Page

Lampiran 4

Transkrip wawancara

Rabu, 28 Juli 2017 jam I7.30

Nama: Drs. Abdi Nusa

Jabatan: SEKDA PEMKO TANJUNG BALAI

Durasi: 24.I7 menit

1. Dengan multi etnisnya masyarakat yang ada, bagaimana Bapak menilai keberagaman dari segi etnis sebelum peristiwa 29 Juli 2016 di Kota Tanjungbalai? Kalau kami tidak salah di Kota Tanjungbalai ada sembilan etnis, keragaman etnis tentu membuat perbedaan-perbedaan. Dari segi keagamaan, Tanjungbalai ini boleh dikatakan 80 % Muslim, termasuk Suku: Batak, Karo, Pak-pak yang juga menganut agama Islam. Tentu dengan keragaman ini ada perbedaan perbedaan pendapat, perbedaan aliran kepercayaan dan juga pendapat- pendapat lainnya. Penglihatan kami (dari Pemerintah Kota dan saya sebagai Sekretaris Daerah) selama ini, semuanya berjalan lancar (tidak ada pergesekan-pergesekan). Beberapa tahun lalu memang ada pertengkaran seperti ini tetapi sudah diselesaikan (melibatkan: FKUD, MUI dan pemangku- pemangku adat di Tanjungbalai) dan ini terkubur lama/tidak ada permasalahan. Sesama umat saling mencari income, ekonomi berjalan dengan baik.

2. Apa yang Bapak ketahui tentang peristiwa konflik 29 Juli 2016 di kota Tanjungbalai ini dan dimana kejadiannya?? Konflik insiden di Tanjungbalai dimulai pada hari Sabtu tanggal 30 Juli 2016 pukul Nol-nol Empat Puluh lima (tepatnya hari Jum‟at tanggal Dua Puluh Sembilan Juli setelah Isya), pemicunya hanya kesalahpahaman seorang Etnis Tionghoa bernama Meliana yang tinggal berjarak 12 meter dari Masjid Al- Maksum. Meliana ini bilang bahwa suara adzan itu bising dan pernyataan ini disampaikan seorang anak kepada Nazir Masjid (kebetulan ayahnya) dan dibahas sesama mereka dan ini langsung memuncak.

3. Menurut pendapat Bapak apa sebenarnya yang menjadi akar masalah sumber konflik 29 Juli 2016 di Kota Tanjungbalai, yang di belakangnya juga ada isu

patung dan sebagainya Pak? 10 Page

Sebenarnya sebagaimana yang saya sampaikan tadi hanya kesalahpahaman disebutkan bising, ternyata kalimat bising itu dikembangkan di Masjid “oh jadi tidak senang dengan mesjid atau bagaimana”, (ada Pak Jailani ada Pak Zulfan ada Pak Sambas, Haris Tua Marpaung)? Jadi mereka datangi rumah Meliana, ada anda sampaikan begini? Tentu Meliana membela diri dan mengatakan bahwa bukan begitu maksudnya. Tetapi, spontan masa sudah terkumpul tanpa diperintah karena sekarang ini iptek/teknologi canggih, begitu bahasa diplesetkan IT main. IT ada yang positip dan yang negatip. Kebetulan ini adalah isu negatip yang disampaikan, yang bunyinya: “serang dan bakar semua Vihara dan Kelenteng”. Etnis Tionghoanya sendiri menyalahkan Meliana. Kalau yang salah Meliana, kenapa harus yang lain dikorbankan. Hal seperti ini mengembang tanpa ada perintah. Anak-anak dibawah umur yang jumlahnya tidak bisa diprediksi langsung menyerang sehingga pihak keamanan dan pihak Satpol PP termasuk BPBD mau mengamankan tetapi tidak bisa karena kesulitan dengan massa yang cukup banyak. Banyak yang tidak tahu masalah ikut dalam permasalahan jadi tidak menyelesaikan masalah. Judul yang dikembangkan: hancurkan semua Kelenteng karena mereka telah mengganggu ibadah kita sehingga terjadilah sampai tengah malam mulai sampai pagi. Kami hanya bisa menghalau: “tolong Bapak dan Ibu, adik-adik kembali ke tempat tolong jangan hancurkan tempat peribadahan ini karena ini adalah tempat beribadat masing-masing sesuai dengan aliran dan kepercayaan kita”, tapi tidak mempan lagi karena jadi brutal.

4. Bagaimanakah menurut Bapak metode penanganan konflik yang terjadi setelah tanggal 29 Juli 2016 dari aspek komunikasi? Kami (FKPD dan DPR, Sekretaris Daerah tokoh masyarakat dan seluruh unsur masyarakat kota Tanjung Balai) kumpul di Pemerintah Kota, tanggal 30 Juli 2016 dan membuat pernyataan sikap yang isinya ini ada tujuh atau enam poin yang diketahui oleh Bapak Walikota dan kami yang menyaksikan setelah terangkum kami bubuhi tanda tangan pernyataan sikap ini isinya antara lain: berperan serta proaktif menjaga stabilitas keamanan ketertiban antar kerukunan umat beragama menjadi contoh teladan bagi seluruh jajaran anggota masyarakat dan berupaya menjaga kerukunan antar umat beragama. Bersama-sama menjaga sarana prasarana rumah ibadah dari gangguan pihak yang tidak bertanggung jawab. Bersedia menyampaikan informasi dan mengajak seluruh masyarakat mengenai arti pentingnya kerukunan umat beragama antar umat beragama Mendukung proses penegakan hukum upaya menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban bersama-sama bertekad menjaga kondusif dan menolak segala bentuk anarkis di Kota Tanjungbalai, Yang kami buat ini kami sampaikan kepada: Alim Ulama, Tokoh Masyarakat, Camat dan Lurah, Masyarakat, Sekolah, Kepala Sekolah, Semua kami edarkan untuk

sama-sama menjaga Kota karena kota ini seperti kota mati pasti perekonomian 11

kalau terus berlanjut akan mati dan lumpuh. Ini yang disampaikan dan Page

kunjungan para pejabat tinggi baik itu dari Propinsi: Kapolda, Bapak Gubernur, yang mewakili Kejaksaan, Pangdam hadir di Pendopo menindak lanjuti pernyataan sikap dan meninjau seluruh kerusakan, ini terus ditingkatkan dengan gotong-royong seluruh lapisan masyarakat TNI-POLRI segala lapisan PNS, KNPI, Tokoh Masyarakat, FKPPI, PP dan Organisasi- organisasi lainnya. Pemda juga mengambil sikap karena ini namanya bencana yang tidak kita inginkan tentu menjadi bebannya Pemerintah Kota dan Dana seperti ini ada dan diberikan (membersihkan seluruh puing-puing yang ada). Dari Jakarta (tokoh-tokoh Budha), DPD, Tokoh Peduli dari Chinesse Jakarta, dan Medan mereka turun ikut membantu. 5. Bagaimanakah menurut Bapak kendala-kendala apa saja yang merupakan faktor penghambat dalam penanganan konflik tanggal 29 Juli 2016 ini Pak? Pertama banyaknya manusia sehingga alat berat dan alat pemadam tidak bisa kita kerahkan secara bebas karena terganggu dengan lautan manusia (yang sebahagian menggunakan kesempatan dalam kesempitan ada yang menjarah, ada yang lain-lain).

6. Dengan ikut berpartisipasinya Forkopimda atau FKPD, menurut Bapak apa yang dihasilkan dari komunikasi yang dibangun atas konflik tanggal 29 Juli 2016 ini? Hasilnya cukup positip karena yang kumpul ini adalah FKPD, Tokoh Masyarakat (Tokoh Agama, Tokoh Pembaharuan Kebangsaan) BKPRMI, KNPI, Tokoh Etnis Tionghoa, FKUB, FORKALA, MUI, Etnis, Yang hadir cukup komplet, semua tokoh ini akan menyampaikan kepada bidangnya masing-masing. FKUB akan menyampaikan ke Masjid dan Sintua (tokoh agama Kristen) menyampaikan kepada Gereja/Dewan Gereja, Etnis Tionghoa menjaga supaya jangan bergerak dan menjaga rumah masing-masing. Hasilnya bagaimana? Ya positip, ditambah lagi dengan kehadiran Para petinggi kita (termasuk Pak Gubernur, Pak Kapolda) Bapak-Bapak Kesbanglinmas dari Propinsi dan semua lapisan Pejabat Propinsi yang ikut turun ke Tanjungbalai punya andil menyampaikan supaya kita aman dan damai.

7. Menurut pendapat Bapak dengan komunikasi yang di bangun tersebut yang seperti Bapak sebutkan dan jelaskan tadi apakah masalah konflik sudah selesai Pak? Tentu ini butuh proses, mereka didekati, dikumpul dan juga disamakan persepsi apa yang harus kita laksanakan, bahwa kejadian sudah berlangsung mari kita bangun kembali bagaimana caranya, itu yang diupayakan, dibangun diperbaiki dan dirapikan dan apa–apa yang bisa dibantu oleh Pemerintah Kota

juga dari pihak-pihak ketiga, bagaimana bangunan-bangunan ini supaya

dikembalikan dan orang-orang yang menjarah/yang bersalah menurut mata

hukum ini tentu ditahan dan diproses itu. 12

Page

8. Bagaimana setelah penyelesaian konflik tanggal 29 Juli 2016 kondisi keberagaman etnis di Kota Tanjungbalai Pak? Pelan-pelan itu butuh proses, berhari-hari dan berbulan-bulan. Setelah diyakinkan, mereka kembali jualan masyarakat kitapun jualan berbaur kembali setelah itu bersatu, enak komunikasi. Dikumpulkan kembali baik FKPD, Tokoh Masyarakat dan yang terkait yang saya sampaikan tadi. Ini diupayakan kalau kita biarkan, akan terulang lagi entah kapan, proses waktu. Sepuluh tahun lalu pernah direncanakan patung ini diturunkan jadi inisiatip bersama masyarakat, Pemerintah Kota dan Tokoh Agama mereka, ini dibicarakan tentu ini mendapat tantangan dari mereka karena puing-puing milik mereka hancur. Kalau sebahagian sudah diperbaiki baru duduk bersama lagi, bagaimana supaya enak, supaya kondusif karena di suatu masa di suatu saat ini bisa terulang kalau tidak dipadamkan api permasalahan yang diinginkan adalah supaya itu diturunkan tidak di atas tapi kita tempatkan ke tempat yang layak dan terhormat di teras, jadi dibicarakanlah ini duduk bersama, terakhir ini disetujui dan itu suratnya sudah ada di sini, juga ada komitmen bersama dan ditanda tangani. Dengan bersusah payah, dengan segala upaya segala potensi dikerahkan, diyakinkan dan sama-sama menginginkan bahwa: “itu adalah kebersamaan semua masyarakat Tanjungbalai”. Terakhir, Etnis Tionghoa juga tidak keberatan diturunkan, mudah-mudahan tidak ada riak yang macam- macam, berlangsung aman dan damai sampai sekarang itulah A sampai Z sudah saya sampaikan kronologi tanggal 29 Juli 2016.

9. Menurut tanggapan Bapak untuk harapan ke depan suasana keberagaman yang seperti apa dalam hubungan antar etnis di Kota Tanjungbalai? Kalau saya melihat dari kaca mata saya sendiri barangkali ke depan mudahan tidak akan ada lagi singgungan-singgungan seperti ini. Itu yang kita harapkan bersama: Pemerintah, Masyarakat, FKPD. Harapan semua masyarakat Tanjung Balai menginginkan kita hidup aman dan damai dan kita akan bertugas sesuai dengan bidang kita masing-masing, mereka juga sesuai dengan bidangnya (tentu perekonomian, memang sebahagian berada di tangan mereka). Mudah-mudahan lancar, kita sama-sama mendapatkan nafkah di Kota Tanjung Balai ini secara aman dan damai barangkali ini keinginan kita dan keinginan seluruhnya.

Tanjungbalai, 31 Juli 2017 Yang Memberi Informasi

13

DRS. ABDI NUSA Page

Gambar 2

Dengan informan Bapak Abdi Nusa

14 Page

Lampiran 5

Trankrip wawancara

Rabu, 04 Agustus 2017 jam 10.30

Nama : AKP. Hairun Edi Sidauruk, SH

Jabatan: Kasat Binmas Polres Kota Tanjunngbalai

Durasi : 20.10 menit

1. Dengan multi etnisnya masyarakat yang ada, bagaimana Bapak menilai keberagaman dari segi etnis sebelum peristiwa 29 Juli 2016 di Kota Tanjungbalai? Bahwa secara umum masyarakat Tanjungbalai dapat memahami dan menerima keberagaman etnis yang ada di Kota Tanjungbalai namun pada bidang-bidang tertentu dan waktu-waktu tertentu, keberagamana etnis yang ada di Kota Tanjungbalai kerap menimbulkan permasalahan dan terlihat masih adanya kesenjangan ekonomi dan sosial antara satu etnis dengan etnis lainnya yang dapat menimbulkan konflik antar etnis apabila ada pemicu atau dengan kata lain menjadi bom waktu. Hal ini dapat kita lihat pada kehidupan sehari- hari misalnya pergaulan Etnis atau Suku Tionghoa yang ada kecenderungan masih dalam pergaulan internal dan belum berbaur dengan etnis atau suku lainnya, termasuk kesenjangan ekonomi masih terlihat menjadikan jarak antara etnis atau Suku Tionghoa dengan Etnis Melayu atau etnis lain yang Pribumi yang pada akhirnya tercipta suatu kondisi sosial yang kurang baik dengan adanya salah satu etnis merasa ekslusif dan sebaliknya etnis lain merasa diremehkan dan akhirnya melahirkan kecemburuan sosial.

2. Apa yang Bapak ketahui tentang peristiwa konflik 29 Juli 2016 di Kota Tanjungbalai ini dan dimana kejadiannya? Bahwa peristiwa konflik 29 Juli 20I6 berawal dari ketika seorang perampuan bernama Meliana seorang Etnis Tionghoa mendatangi seorang tetangganya yang juga seorang perempuan etnis melayu pribumi bernama Uwo dan meminta tolong untuk menyampaikan kepada pengurus Mesjid Al Maksum untuk mengecilkan suara mesjid karena Meliana merasa bising, hal ini disampaikan kira-kira satu minggu sebelum peristiwa konflik 29 Juli 20I6, selanjutnya secara berantai pesan Meliana tersebut sampai kepada pengurus BKM Mesjid Al Maksum Jl. Karya Kelurahan Tanjungbalai Kota I Kecamatan Tanjungbalai Selatan yang letaknya persis di seberang jalan di depan rumah Meliana, menyikapi ucapan Meliana tersebut maka beberapa orang pengurus BKM Mesjid Al Maksum menemui Meliana di rumahnya

untuk di konfirmasi. Dalam konfirmasi tersebut meliana tetap menyampaikan 15

apa yang diucapkannya sebelumnya melalui Uwo sehingga terjadi Page

miskomunikasi yang akhirnya mengundang perhatian masyarakat sekitar, dalam kondisi ini hadir petugas dari pihak Kepolisian, Pemerintahan dan Tokoh Masyarakat untuk memecahkan persoalan melalui mediasi di Kantor Kelurahan. Dan ketika dilakukan mediasi di Kantor Kelurahan masyarakat mulai ramai datang ke lokasi rumah Meliana karena mendapat informasi bahwa ada orang China datang ke Mesjid Al Maksum melarang azan. Informasi inilah yang terus berkembang sehingga pada akhirnya mendatangkan massa yang banyak, sementara mediasi di kelurahan juga gagal dan akhirnya massa yang banyak mengamuk mendatangi rumah Meliana dan merusak, melempari dan berusaha membakar. Namun masyarakat setempat membantu memadamkan api karena takut akan menimbulkan kebakaran dan menghanguskan rumah di sekitarnya. Selanjutnya massa yang sudah yakin benar dengan informasi yang mereka dapat tentang tindakan dan kalimat Meliana mendatangi tempat-tempat ibadah Etnis Tionghoa yaitu Vihara dan Kelenteng dan melakukan pembakaran dan pengrusakan di beberapa tempat di Kota Tanjungbalai . 3. Menurut pendapat Bapak, apa sebenarnya yang menjadi akar masalah sumber konflik 29 Juli 2016 di Kota Tanjungbalai? d. Ucapan Meliana yang meminta dikecilkan volume suara mesjid yang disampaikan melalui perantara atau secara berantai yang ketika di konfirmasi melahirkan miskomunikasi dan pada akhirnya melahirkan informasi yang disimpangkan baik dengan sengaja maupun tidak sengaja sehingga masyarakat menerima atau mendapat informasi bahwa Meliana datang secara langsung ke mesjid melarang azan dan informasi menyimpang lainnya. Sehingga masyarakat terprovokasi dan menimbulkan ketersinggungan dan kemarahan terhadap Meliana dan melampiaskan kemarahan mereka ke tempat-tempat ibadah Etnis Tionghoa sebagai Etnis Meliana dengan melakukan pengrusakan dan pembakaran. e. Juga adanya potensi konflik sebelumnya tentang penolakan keberadaan bangunan-bangunan rumah ibadah Vihara dan Kelenteng di sekitar lokasi Pantai Amor yang terindikasi adanya penyimpangan IMB dan penolakan patung Amithaba yang di tempatkan di lantai atas Vihara Tri Ratna f. Adanya kesenjangan ekonomi dan social antara Etnis Tionghoa dengan etnis lainnya.

4. Bagaimanakah menurut Bapak metode penanganan konflik yang terjadi pasca tanggal 29 juli 2016 dari aspek komunikasi? Saya menganggab bahwa komunikasi adalah salah satu yang sangat perlu dan harus dibangun sesegera mungkin agar apa yang menjadi akar permasalahan

dan apa yang menjadi harapan semua pihak yang terlibat dalam konflik etnis

dapat diketahui dan dicari solusi terbaik penyelesaiannya.

16 Page

5. Bagaimanankah menurut Bapak, kendala-kendala apa saja yang merupakan faktor penghambat dalam penanganan konflik tanggal 29 juli 2016 ini? Menurut saya bahwa kendala-kendala yang merupakan faktor penghambat dalam penanganan konflik tanggal 29 Juli 2016 era sebelum patung di tempatkan si tempat yang sebaik-baiknya yaitu e. Faktor kepentingan f. Faktor politik g. Faktor kemampuan komunikasi h. Faktor kesadaran hukum

6. Dengan ikut berpartisipasinya Forkopimda (Forum Kordinasi Pimpinan Daerah), maka menurut Bapak apa yang dihasilkan dari komunikasi yang dibangun atas konflik tanggal 29 juli 2016 ini? Tentunya telah dapat melahirkan beberapa kesepakatan perdamaian yang dapat dijadikan suatu acuan bagi para pihak yang terkait konflik etnis dan pihak yang membantu penanganan konflik sehingga cara penyelesaian penanganan konflik bisa lebih baik dan dapat diterima semua pihak

7. Menurut pendapat Bapak, dengan komunikasi yang di bangun tersebut, apakah masalah konflik sudah selesai? Menurut pendapat saya bahwa dengan komunikasi yang dibangun tersebut masalah konflik sudah selesai dan kedepan komunikasi yang sudah di bangun tersebut harus terus dijaga dan dipelihara agar masalah konflik tidak terulang, termasuk dengan memaksimalkan peran Pemerintah dan penegak hukum dalam bentuk pembinaan masyarakat semua etnik.

8. Apakah yang seharusnya dapat dilakukan untuk meyelesaikan masalah konflik ini ? Bahwa kondisi keberagaman etnis terlihat telah pulih bahkan semakin baik artinya antar etnis sudah lebih menyadari segala kelebihan dan kekurangannya, walaupun masih ada terlihat kekakuan dalam interaksi kehidupan sebagai dampak konflik etnis yang pernah terjadi

9. Menurut tanggapan Bapak untuk harapan kedepan, suasana keberagaman yang seperti apa dalam hubungan antar etnis di Kota Tanjungbalai? Bahwa semua etnis yang ada harus menyadari keberagaman etnis adalah merupakan suasana yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat di Kota Tanjungbalai sehingga seluruh masyarakat harus bisa mengelola keberagaman etnis yang ada sebagai potensi mempermudah menjalani kehidupan dan mempercepat pembangunan di Kota Tanjungbalai, juga perlu ditanamkan pada semua etnis yang ada tentunya punya kelebihan dan

kekurangan masing-masing yang harus disikapi dengan bijak oleh semua etnis dan semua pihak, bangun komunikasi yang baik, pelihara sifat toleransi, saling

menghargai dan menghormati antar etnis yang ada. 17 Page

Tanjungbalai, 27 Juli 2017 Yang Memberi Informasi

AKP. HAIRUN EDI SIDAURUK, SH.

Gambar 3

Dengan informan Bapak AKP. H.E. Sidauruk

18

Page

Lampiran 6

Trankrip wawancara

Rabu, 04 Agustus 2017 jam 11.42

Nama : Patwar Nur

Jabatan: Kabag Hukum

Durasi : 19.37 menit

1. Dengan multi etnisnya masyarakat yang ada, bagaimana Bapak menilai keberagaman dari segi etnis sebelum peristiwa 29 Juli 2016 di Kota Tanjungbalai? Adapun pertanyaan yang diajukan itu dapat kami jelaskan bahwa di kota Tanjungbalai itu sama dengan di kota-kota lainnya ya hampir sama di sini juga Etnis Jawa, Batak, Melayu, Sunda, Aceh, itu selama ini kehidupannya berdampingan secara damai tidak ditemukan adanya riak-riak yang mengarah kepada pertikaian apalagi konflik

2. Apa yang Bapak ketahui tentang peristiwa konflik 29 juli 2016 di Kota Tanjungbalai ini dan dimana kejadiannya? Dengan peristiwa yang terjadi 29 Juli itu, khusus etnis yang ada di Tanjungbalai yang beragama Islam lah ya. Disini di Tanjungbalai ini agak unik ini orang-orang Batakpun ada yang islam, orang Karo Islam ya kita-kita arahnya Multi Etnis lah ya tapi Islam agak terusik sedikit atas pernyataan dari seorang Etnis Tionghoa yang bernama Meliana yang bertempat tinggal sehari- hari dia di Jalan Karya. Kemudian dia merasa terganggu suara-suara yang diperdengarkan berupa lantunan adzan-adzan dari Masjid Al-Maksum yang jaraknya lebih kurang 12 m dari rumahnya, pada hari Jumat tanggal 29 Juli setelah Isya. Lantas dia menyela menyatakan bahwa kata-katanya itu suara Masjid supaya dikecilkan sedikit, dia tidak melarang sebenarnya supaya dikecilkan bikin pekak telinga orang. lantas oleh orang-orang yang ada di situ mungkin agak terusik dan terus mereka menafsirkan itu merupakan udah penghinaan karena menyangkut ini kan sensitif masalah agama ini, isu sara itu yang paling semua masalah agama apalagi di Tanjungbalai ini kan udah berapa kali dalam sejarah ini beberapa kejadian itu umumnya dipicu dari agama. Sebelumnya udah terjadi pembakaran-pembakaran sehingga meletuplah peristiwa 29 Juli inikan. Waktu itu diadakan rapatlah di Kantor

Lurah Tanjungbalai Kota I memanggil Meliana ini termasuk suaminya juga tapi oleh karena Meliana dan suaminya tidak menunjukkan sifat yang

bersahabat maka panas lah jamaah yang ada di dalam rapat itu. Kok saya 19

mendengar cerita dari siapa ini dari Haris Tua atau Bang Lobe, dia juga Page

manampakkan sifat tidak senangnya dengan suara azan itu lantas maka bergeraklah ini jamaah yang ada di dalamnya Mesjid ini bergerak menuju tanah pasiran tanah asal reklamasi pantai. Maka entah macam mana kejadiannya sehingga banyak pengikutnya terjadilah pembakaran itu disana yang merusak beberapa rumah ibadah.

3. Menurut pendapat Bapak, apa sebenarnya yang menjadi akar masalah sumber konflik 29 Juli 2016 di Kota Tanjungbalai? Itu akarnya menurut saya emosional, perlu diingat disini menurut saya ini belum terjadi konflik kalau kita merujuk kepada Undang-Undang Nomor 07 itu yang dikatakan konflik itu manakala dua etnis bertikai. Tapi dalam kejadian ini gak ada dua etnis yang bertikai, Meliana ini nggak melawan sebenarnya. Artinya kelompok dia nggak ada yang melawan cuma mereka aja 2 orang istri sama suami itu kan itu aja. lantas kita menyerang rumah ibadah yang erat kaitanya dengan secara langsung ke keuntungan si Meliana ini bukan kepentingan dia yang kita serang. Mungkin dia orang Tionghoa tapi itu kan rumah ibadah masyarakat Tionghoa. Jadi karena itu aja tadi, mungkin juga karena selama ini jarak antara kita sama Etnis Tionghoa agak tinggi. Apalagi Tanjungbalai peristiwa yang lalu ada kaitan dengan patung yang tidak diturunkan jadi cepat naiknya, sedikit aja dipicu udah terjadilah ledakan itu. Jadi apa namanya itu, kecemburuan sosial juga ada bisa, Etnis China ini dianggap menghina walaupun belum sampai kesana.

4. Bagaimanakah menurut bapak metode penanganan konflik yang terjadi pasca tanggal 29 juli 2016 dari aspek komunikasi? Itu baiknya memang diselesaikan secara kearifan lokal, dan itupun yang dituntut oleh Undang-Undang Nomor 07, tapi waktu itu kalau ini penyelesaiannya dengan menggunakan cara kearifan lokal, Walikota harus menentukan dulu bahwa itu konflik sosial, ini yang terlambat kita menentukannya dulu kenapa terlambat karena kita menilai bahwa ini belum termasuk konflik sosial baik aparat penegak hukum dan lain-lainnya. Orang itu menginginkan supaya Walikota itu secepatnya menetapkan ini bahwa konflik social. Ini dulu agak lama kita menentukannya karena kita harus hati- hati karena resikonya besar kita juga mengatakan ini konflik sosial, nanti semua instansi juga menyatakan ini konflik social penyelesaiannya baru menurut kearifan lokal. Namun begitu walaupun belum ada penetapan itu kita sudah berusaha untuk melakukan perbaikan-perbaikan untuk menjaga agar tetap tercipta kerukunan kembali antara lain pengerahan tenaga PNS, TNI, Pemuda ke pasiran itu untuk membersihkan itu. sampai kita memanggil

Semprot air sampai kita membersihkan atap-atap. Jadi bekas-bekas kebakaran itu dulu sempat kita bersihkan itu untuk supaya bagaimana hidup ini, kita ini tidak menginginkan peristiwa itu terjadinya. Artinya kita berusaha untuk 20

memulihkan termasuk dengan banyaknya kedatangan tamu-tamu dari luar Page

daerah untuk bagaimana menilai sikap kita. Malah dari orang irian datang dulu ke Tanjungbalai yaitu dari komnas Ham itu datang ke Tanjungbalai untuk menilai bagaimana kondisi terakhir dari Tanjungbalai. Kita jelaskan juga bahwa Pemko dan masyarakat Tanjungbalai sudah mengambil sikap untuk merujuk kembali kondisi yang sudah tercabik-cabik itu kan supaya tidak ada tindakan lanjutan lagi dari orang-orang atau generasi muda Tanjungbalai. Kemudian ada yang ditahan beberapa generasi muda kita khususnya mahasiswa dari UMSU mereka itu berunjukrasa supaya kawan-kawan ini dilepaskan dianggap ini penyelesaiaannya secara kearifan lokal, jangan ada tindakan hukum.

5. Bagaimanankah menurut Bapak, kendala-kendala apa saja yang merupakan faktor penghambat dalam penanganan konflik tanggal 29 juli 2016 ini? Kami fikir faktor penghambat itu tadi sulit kita dalam waktu jangka cepat menetapkan bahwa kondisi yang terjadi itu merupakan konflik sosial. Itu kalau bisa cepat kita kemarin itu yaitu segala tindakan bisa segera ke dukungan dana juga bisa kita arahkan ke sana.

6. Dengan ikut berpartisipasinya Forkopimda (Forum Kordinasi Pimpinan Daerah), maka menurut Bapak apa yang dihasilkan dari komunikasi yang dibangun atas konflik tanggal 29 juli 2016 ini? Itu memang peranannya besar sekali terutama sekali yang dicapai dari forkopimda itu kita menarik akar masalah kemarin karena belum turunnya patung amitabha. Itu kemaren disikapi forkopimda sepakat untuk itu dulu kita ambil akar masalahnya untuk turun dulu dan memang turun secara baik-baik. Pihak kelompok chiness sini juga kan menyetujui supaya diturunkan dan ditempatkan ke tempat yang layak agar tempat itu pun masih diterima sama kelompok etnis chiness agar tidak ada konflik benturan kita sama mereka. Kemudian dalam menyikapi permasalahan-permasalahan ini kita juga membangun komunikasi sama Forkopimda khususnya Polres supaya yang adik-adik kita yang ditahan itu jangan dihukum berat, artinya jangan sampai menghambat karena mereka itu diantaranya mahasiswa itu kan jangan sampai terhambat perkuliahannya hanya gara-gara ini sifatnya spontan dari adik-adik mahasiswa jangan sampai kita anggap mereka itu sebagai apa penjahat lah gitu kan yang melakukan kejahatan kita harus memandangnya sebagai spontanitas.

7. Menurut pendapat Bapak, dengan komunikasi yang di bangun tersebut, apakah masalah konflik sudah selesai?

Di Tanjungbalai saat ini konflik sudah selesai dan tidak ada masalah, riak- riaknyapun tidak ada lagi karena kemarin kalau saya ga silap ya mohon di cek

kembali pihak pengadilan negeri juga menjatuhkan vonis kepada adik-adik 21 Page

yang ditahan itu sesuai dengan masa tahanannya saja. Dan mereka dapat kembali bersama keluarga dan hidup berdampingan lagi secara damai.

8. Bagaimanakah setelah penyelesaian konflik tanggal 29 juli 2016 kondisi keberagaman etnis di Kota Tanjungbalai? Ya seperti yang saya sampaikan tadi inikan bukan termasuk konflik etnis hanya peristiwa-peristiwa atau sebagian dari peristiwa yang terlalu di besarkan diarahkan kepada etnis sehingga masalahnya bisa besar. Namun ketika kondisi ini sudah kita sikapi dapat kita selesaikan ya bisa lagi seperti sediakala gitu karena kita selamanya juga selama sebelum terjadi peristiwa itu juga hidup berdampingan hidup berdampingan kembali. ini kita lihat beberapa peristiwa- peristiwa yang kita laksanakan berupa perayaan-perayaan apa semua ga ada gangguan kita hari raya juga ga ada masalah, mereka juga kemaren Hari Raya Waisak ga ada masalah, tidak ada riak-riak. Walaupun mereka itu memang tetap menggunakan mercon masang bunga api apa semua nggak ada gangguan kita bisa menerima

9. Menurut tanggapan Bapak untuk harapan kedepan, suasana keberagaman yang seperti apa dalam hubungan antar etnis di Kota Tanjungbalai? Suasana keberagaman yang saling menghargailah kita harapkan terutama dari elemen terkecil yang terendah melalui tokoh tokoh masyarakat dan Tokoh Agama, Tokoh Etnis, Kepling juga sebagai ujung tombak Pemerintahan harus mampu menyikapi titik-titik rawan dari kondisi yang terjadi di masyarakat. jangan anggap remeh terhadap peristiwa yang sekecil apapun kan harus bisa membaca bahwa itu merupakan titik rawan, titik yang harus disikapi, titik yang harus diwaspadai jangan sampai terjadi peristiwa seperti ini tadi kan walaupun hanya misalnya seperti itu tadi hanya suara adzan yang ribut kalau nggak efektif gak usahlah. Kita kadang-kadang introspeksi diri juga kan hanya jarak 12 meter kenapa masih pake toha yang empat biji, kan di Mekah sendiri itu azan cantik gitu kan. Kita instrospeksi diri juga apa memang perlu masyarakatnya juga dekat situnya semua kan, kok yang wajar-wajar kali saya fikir ga ada masalah itu artinya sikap kita itu jangan terlalu berlebih-lebihan, walaupun kita memang menjalankan kewajiban agama kita, saya fikir kalau ini bisa kita jaga dan laksanakan dengan baik tidak akan terjadi hal seperti ini kuncinya itu tadi aksi saling harga-menghargai itu lah tetap kita terapkan, kita camkan dalam diri kita bahwa titik titik itu tetap ada gitu.

Tanjungbalai, 04 Agustus 2017 Yang Memberi Informasi

PATWAR NUR, SH. 22 Page

Gambar 4

Dengan informan Bapak Patwar Nur

23 Page

Lampiran 7

Trankrip wawancara

Rabu, 02 Agustus 2017 jam 08.34

Nama : H. Haidir Siregar

Jabatan: Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)

Durasi : 42.02 menit

1. Dengan multi etnisnya masyarakat yang ada, bagaimana Bapak menilai keberagaman dari segi etnis sebelum peristiwa 29 Juli 2016 di Kota Tanjungbalai? Multi etnis di Tanjungbalai ini sangat banyak sekali yang terdiri dari beberapa suku yang mungkin masyarakat luar sangat mengetahui termasuk Suku India juga ada di Tanjungbalai ini, kalau Suku China, Batak, Suku Melayu, Suku Padang, kemudian Suku Aceh itu sangat banyak sekali yang bisa kita hitung. Tapi diluar yang tidak bisa kita hitung sangat banyak sekali. Yang menurut pendataan di bagian kependudukan makanya adanya Multi etnis masyarakat di Tanjungbalai ini Alhamdulillah bisa dijaga tentang kerukunan karena saling menghormati sesama pemeluk agamanya untuk menjalankan ibadahnya masing-masing. Kesimpulannya, dengan banyaknya multi etnis itu adalah menjadi satu anugrah yang diberikan Tuhan untuk menjadi contoh bahwa Allah SWT itu menjadikan manusia itu bermacam-macam ragam tapi adalah kamu bertakwa dan saling hormat menghormati alhamdulillah itu sangat terjadi di Tanjungbalai ini, sehingga tidak pernah menimbulkan konflik yang sangat besar sebelum tanggal 29 Juli 2016

2. Apa yang Bapak ketahui tentang peristiwa konflik 29 juli 2016 di Kota Tanjungbalai ini dan dimana kejadiannya? Peristiwa konflik tanggal 29 Juli 2016 tepatnya hari Sabtu itu kejadiannya yaitu Jalan Karya yaitu di 1 buah masjid Al Maksum yang berseberangan dengan rumah penduduk warga Tionghoa. Al Maksum Masjid itu hanya dipisah Jalan Karya itu dengan penduduk warga Tionghoa. Yang kedua penyebab peristiwa konflik tersebut yakni warga Tionghoa ini tidak senang dengan adanya ribut-ribut di Mesjid, ya namanya Mesjidkan Adzan Al Rahim itu tetap berkumandang dengan adanya bising atau ribut-ribut tersebut mungkin mengganggu ketenangan daripada warga Tionghoa sehingga keluarlah kata-kata dia yang tidak senanglah dengan katakanlah mengaji atau adzan tersebut yang peristiwanya itu terjadi pada tanggal 29 itu malam sabtu

selesai sholat Maghrib warga Tionghoa ini marah-marah kepada Nazir Masjid

Al Maksum mengatakan kamu jangan ribut-ribut bising sekali, ya katakanlah 24

soalnya dia intinya dia bencilah dengan suara-suara itu. Oleh karena peristiwa Page

itu banyak warga masyarakat yang lalu-lalang karena Jalan Karya itu sangat padat sekali penduduk yang mayoritas di situ adalah muslim. Bagi masyarakat yang lalu-lalang atau melihat ocehan dari warga Tionghoa yang sangat marah kepada Pengurus Mesjid itu membunyikan suara mengaji atau azan tersebut rasanya tersinggung mereka, spontanitas masyarakat yang begitu lalu-lalang ini membuat suatu kegiatan yang namanya berkumpul, tapi satu catatan bahwa mereka yang berkumpul itu tidak ada dikoordinir oleh orang ataupun ormas atau orang dewasa hanya spontanitas jadi peristiwa pengumpulan itu terjadi dari jam habis isya karena di damaikan juga peritiwa itu ke Kantor Lurah, habis Kantor Lurah ke Kantor Polsek dan ke Kantor Polres perdamaian itu sampailah meruncing sampai ke jam 12.00 namun tidak selesai. Kenapa, karena masyarakat ini sangat tersinggung sekali dengan ucapan-ucapan yang dilontarkan oleh Warga Tionghoa tersebut. Perlu diketahui bahwa hanya dengan ucapan ucapan seperti itu masyarakat terus melakukan tindakan- tindakan yang kurang wajar itu menjadi cacatan. kalau hanya ucapan seperti itu tidak pantas kejadian tersebut sampai berita nasional sehingga ada pembakaran-pembakaran Vihara sebanyak 14 unit. Nah kita bertitik tolak dari belakang jadi kita simpulkan kejadiannya tanggal 29 Juli 2016 malam sabtu kejadiannya di Jalan Karya yang terjadinya di depan Masjid Al-Maksum dan di depan Mesjid Al Maksum itu rumah Warga Tionghoa yang mempunyai masalah. Kemudian kita tinjau lagi kebelakang kenapa sih hanya ucapan daripada Warga Tionghoa ini masyarakat terus mengambil emosi yang sangat mengejutkan ini sangat panjang sekali ceritanya. pada 2010 ini ada warga daripada Agama Budha mendirikan Vihara yang nama Vihara itu adalah Vihara Tri Ratna 2010. Ini sebelumnya didirikan pada 2010 itu mereka membuat sebuah patung yang sangat besar yang menurut warga masyarakat yang mayoritas di tempat yang mayoritas membuat patung begitu besar sehingga seperti Tanjungbalai itu iconnya adalah patung. Dari masyarakat mengusulkan kepada pemerintah supaya mereka tidak memasang itu atau tidak menurunkan termasuk salah satunya yang menamakan organisasi yaitu gerakan Islam bersatu. membuat suatu permohonan ke pihak pemerintah supaya itu tidak dinaikkan atau dibangun dan di buat di atas tinggi. jadi peristiwa tersebut disepakati oleh panitia Vihara, Vihara sepakati tentang mereka sangat setuju itu di turunkan dihadapan oleh para pembesar mereka setuju itu diturunkan diteken oleh dari mulai orang yang berkuasa nomor satu di Tanjungbalai dan Muspida plus sampai Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat dan lembaga Islam atau LSM. Disamping itu juga ada surat perintah langsung pada tanggal 30 September memuatkan surat pernyataan penurunan patung tersebut kepada Panitia Vihara supaya betul itu diturunkan supaya tidak menjadi konflik masalah masyarakat Kota Tanjungbalai. Nah itulah prosesnya

pada waktu kejadian sebelum kejadian dari sejak tanggal 30 September 2010 sampailah kepada 29 Juli 2016 tidak ada realisasi tanggapan daripada Panitia Vihara untuk sedikitpun menggubris kesakitan hati masyarakat menanggapi 25

surat yang diteken oleh beberapa Muspida tadi juga surat perintah dari Page

Walikota untuk menurunkan Patung Agama Budha tersebut. Sering terjadi apakah itu melalui mimbar kutbah Mesjid bayangkan 2010 sampai 2016 berapa tahun masyarakat Tanjungbalai yang mayoritas 84% itu islam menahankan sakit hatinya karena apa, karena mereka tidak mau menggubris. Disamping itu juga ini kita berbicara masalah kenapa masih bisa berdiri kokoh sebelum tanggal 2016 timbul pertanyaan. Kebetulan sewaktu adanya berjalan Pilkada ini ada salah satu calon membacking di vihara ini dengan mengharapkan suara daripada Panitia Vihara. Jadi kita simpulkan itulah membara di hati masyarakat Tanjungbalai selama 2010-2016. kejadian 2016 pada tanggal 29 Juli, masyarakat yang mendengar pertikaian dari warga Jalan Karya tadi yang di depan Masjid Al-Maksum dengan nazir Mesjid Al Maksum ini suatu kesempatan karena banyak cara yang dibuat orang tidak bisa diturunkan, di sini ada kesempatan makanya spontanitas waktu kejadian tanggal 29 itu adalah tidak bisa dikendalikan tadi spontanitas adalah warga masyarakat yang umumnya anak-anak dibawah umur setingkat SMP ke bawah. Jadi kita balik lagi ke 2016 dari mulai perdamaian dari sholat isya sampai ke dari mulai Kantor Lurah proses sampai ke Kantor Camat sampai ke Kapolresta didamaikan supaya masyarakat sudah menunggu hasilnya tapi mereka hanya berteriak makin banyak makin banyak bakar-bakar, karena disinilah kesempatan rasa orang itu. Jadi sampai jam setengah satu sudah tidak terhitung lagi ramainya, entah siapa yang mengkendalikan, apa-apa ya soalnya tidak ada di organisasi atau dikomandoi anak-anak ini maka mereka bergerak menuju salah satu Vihara yang di Jalan Juanda membawa minyak dengan membakar Vihara itu. Ini macam air yang dituangkan banyaknya anak-anak secara serentak mereka. Kita simpulkan saja sampai setengah lima sebelum subuh itu sebanyak 12 Vihara dibakar tidak ada pala yang habis. Karena Vihara ini rata-rata terbuat dari batu. Cuma kalau fasilitas patung memang hancur tetapi tidak ada yang terbakar secara keseluruhan. Dari tengah 1 sampai jam 01.00 sampai menjelang subuh. Saat itu kami berpatroli menyampaikan “udah kalian pulang saja , nanti kalau rusuh kita juga masyarakat Tanjungbalai yang rugi”. Dari Kapolres, Kemenag, FKUB, MUI naik motor patroli. ada sekelompok anak onces yang datang kepada kami, “ini wak sudah lama kami tunggu”, maka terjadilah. Itulah sampai bagaimana kita lihat apakah dibakar atau terbakar bagaimana kenyataannya cuma ceritanya saja yang besar, menasional. sedangkan kejadiannya tidaklah seperti itu karena kami melihat langsung karena beritanya medsos sangat dahsyat sekali sehingga digemparkan itulah kira-kira ceritanya asal muasal daripada kejadian konflik tanggal 29 Juli 2016 yang terjadi di Kota Tanjung Balai

3. Menurut pendapat Bapak, apa sebenarnya yang menjadi akar masalah sumber konflik 29

Juli 2016 di Kota Tanjungbalai?

Sebenarnya kalau konfliknya 99% pendirian rumah ibadah Patung Vihara itu.

itulah akar konfliknya, karena sebelum itu berdiri yah Tanjungbalai ini tidak 26

pernah ada masalah. Misalnya dibuat vihara atau kelenteng tidak ada masalah Page

tapi dengan adanya patung yang berdiri ini 99% itulah akar masalahnya. Karena begitu diturunkan sampai sekarang masyarakat Tanjungbalai kembali akrab.

4. Bagaimanakah menurut Bapak metode penanganan konflik yang terjadi pasca tanggal 29 juli 2016 dari aspek komunikasi? Menurut kami adapun kendala-kendala didalam menciptakan kembali harmonisasi diantara warga masyarakat begitu sudah kejadian tanggal 29 Juli 2016 itu ada kira-kira kami itu setengah bulan dari tanggal 30 sampai Agustus itu setiap hari rapatnya tiga kali yang diundang itu hanya Panitia Vihara karena akar permasalahannya dari mereka. Makanya oleh instansi terkait dari Kapolres, dari Dandim, dari Walikota Tanjungbalai jelas dia mendukung rapat itulah sebagai inisiatornya untuk mengadakan rapat-rapat untuk memanggil Panitia Vihara ini bagaimana kita menangani Kota Tanjungbalai ini kedepan aman dan tentram dan tidak ada lagi masalah-masalah terutama kita aman menjalankan ibadahnya masing-masing. Itu motivasi yang selalu dilaksanakan oleh kami yang membuat rapat terutama FKUB, Kapolres, MUI, itulah metode kami mengundang setiap saat daripada Panitia Vihara yang semuanya itu nanti kalau dibutuhkan ada foto-foto bersama kami di dalam catatan atau hp kami.

5. Bagaimanankah menurut Bapak, kendala-kendala apa saja yang merupakan faktor penghambat dalam penanganan konflik tanggal 29 juli 2016 ini? Kadang-kadang kendala yang ditemui Ini Warga Tionghoa tidak sejalan, kitapun sekarang baru mengetahui bahwa mereka ini juga tidak ada yang sejalan maaf-maafnya tidak menyamakan seperti kita di islam ini ada muhammadiyah dan ada kaum tua mereka juga seperti itu. Jadi ada yang setuju dibongkar, diturunkan, ada yang tidak setuju dan semua Vihara di Tanjungbalai ini bukan satu ide karena salah seorang suhu yang kami sangat akrab sekali dengan kami dia bercerita. Waktu pendirian daripada Vihara Tri Ratna itu, ada Vihara yang tertua di Tanjung Balai sangat tidak setuju. Jadi kendala-kendalanya juga kadang-kadang ada juga dari pihak ketiga dari orang- orang Tionghoa yang datang dari luar itu harus dipertahankan jangan mau diturunkan apapun kejadiannya. itu kendala. Pernah datang ke pemko Tanjungbalai yaitu utusan dari DPR RI dari Bali tokoh agama Budha. dia begitu sangat marah sekali, itu melanggar Undang-Undang menurunkan patung itu diturunkan, menara-menara yang tinggi-tinggi Masjid juga bisa diturunkan (salah satu kendala itulah yang kami hadapi). Satu kesimpulan kami tetap juga mengadakan komunikasi dengan panitia vihara, apapun ceritanya kesimpulannya yang membuat kesimpulan adalah panitia vihara, karena sudah dipanggil mereka “kalian hanya enak bicara itu kata panitia Vihara, apapun kejadiannya yang menanggung resikonya kami maka dengan ini kami Warga Buddha yang mempunyai Rumah Ibadah Tri Ratna itu kami

sepakat demi keamanan, keharmonisan dan keakraban kami di kota 27

Tanjungbalai. pernyataan sikap daripada Panitia Vihara itu sehingga terjadilah Page

penandatanganan kesepakatan mereka itu siap menurunkan patung yang terletak di Vihara Tri Ratna yaitu Patung Amittabha. ada disini suratnya tanggal berapa diteken mereka, dan tanggal berapa mereka membuat pernyataan, dan ada foto mereka waktu membacakan pernyataan di rumah Dinas Walikota.

6. Dengan ikut berpartisipasinya Forkopimda (Forum Kordinasi Pimpinan Daerah), maka menurut Bapak apa yang dihasilkan dari komunikasi yang dibangun atas konflik tanggal 29 juli 2016 ini? Hasil yang kami sepakati atas peristiwa tanggal 29 Juli 2016 dengan menggabungkan dari Forkominda dari Kapolres, dari Dandim, dari MUI, semua unsur-unsur yang terkait lah, Alhamdulillah dengan dimotori yaitu ketangguhan, keperkasaan dan keuletan dari pada Bapak Walikota ini, Bapak sangat gigih sekali membuat suatu kedamaian jadi kami memang mengacungkan jempol, tidak pernah menyerah jam berapapun kami dipanggil untuk rapat, jam 10.00 oke, jam berapa oke dan hasilnya bagaimana supaya permasalahan ini selesai, Alhamdulillah makanya kami katakan kepada Pak Walikota, Pak Walikota inilah pahlawan mengobati hati masyarakat selama beberapa tahun ini dicekam kesakitan dengan adanya patung kami sangat mengapresiasi sekali dengan keuletan Bapak Walikota. Kesimpulannya semua kedamaian terciptanya kerukunan, keharmonisan di Tanjungbalai ini adalah di tangan Bapak Walikota apapun jenis rapat yang kami buat disimpulkannya adalah harus kita turunkan supaya tercipta keamanan, itu kesimpulan dia apapun ceritanya. Walaupun banyak dari luar ceritanya itu begini melarang begitu gini tapi antara panitia Vihara dengan kita sepakat tidak ada yang bisa menghalangi kita turunkan. Itulah makanya menurut saya peran dari pada forum pimpinan daerah dan unsur terkait untuk menangani konflik itu

7. Menurut pendapat Bapak, dengan komunikasi yang di bangun tersebut, apakah masalah konflik sudah selesai? Masalah konflik memang tidak pernah selesai sampai hari kiamat kalau konflik tidak pernah selesai selagi ada namanya manusia di atas dunia ini. Tapi kalau kita bertitik tolak kepada konflik tanggal 29 Juli sudah 95% itu selesai walaupun proses hukum tetap berlaku adanya kadang-kadang segelintir masyarakat, ormas-ormas, katakanlah dari Islam ini kadang-kadang mereka sakit hati sekali mereka ingin untuk pihak pertama sebagai warga Tionghoa tadi menjadi masalah itu supaya di hukum itulah namanya hukum. Sampai sekarang juga itu memang masih kita lihat ada spanduk tanggal 29 pas setahun mereka membikin satu spanduk supaya Meliana itu dipenjarakan. Kalau melihat daripada tuntutan masyarakat dan spanduk-spanduk itu maka kita tidak bisa mengatakan begitu sudah selesai 100% tapi itupun hanya

sekedar tuntutan masyarakat hukum tetap berlaku, karena Negara kita Negara

hukum maka kita untuk melihat kedepan, kita lihat bagaimana tidakan hukum 28

tapi yang namanya konflik untuk ketentraman melaksanakan ibadahnya Page

masing-masing sudah aman dan tenteram, tidak ada masalah baik itu yang mengadakan acara pembakaran tongkang, baik itu mereka yang merayakan hari hari besar ada apanya namanya agama mereka itu tetap tidak pernah ada lagi konflik baik itu Islam yang baru-baru ini melaksanakan ibadah puasa Ramadhan dengan tidak ada lagi menghidupkan dan membakar mercun yang menganggu. Kalau biasanya ada juga konflik-konflik kadang-kadang mereka itu membakar-bakar mestinya tuh di pinggir sungai sana sehingga mengganggu daripada Islam yang beribadah di sekitar sini. Dan Alhamdulillah nampaknya setelah adanya perdamaian perdamaian ini yang bisa kita rasakan di Tanjungbalai, ya 95% harmonis apalagi masalah melaksanakan ibadahnya masing-masing tapi itu saya bilang kalau hanya kondusif satu persen seperti kalau ada peristiwa-peristiwa itu belumlah bisa kami katakan 100% kondusif karena adanya tadi yang kita ketahui sebagian masyarakat yang ingin yang menjadi sumber masalah tersebut supaya menjalani proses hukum mungkin melanjutkan.

8. Apakah yang seharusnya dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah konflik ini ? Fatwa ulama mengatakan Meliana itu adalah penista agama itu fatwa Ulama di Provinsi tapi setelah dilihat dari sebab-musabab daripada benarkah Meliana itu penista agama ini belumlah mencukupi syarat jadi kalau kita ketahui penista agama itu ya seperti yang kita ketahui di Jakarta itu dia kan harus punya bukti- bukti yang akurat yang positif karena jangan sampai kita mendzolimi orang. Jadi masalah itu sekarang untuk bagaimana penyelesaian masalah konflik ini kita hanya berserah menunggu fatwa MUI Provinsi kemudian nanti setelah penista agama maka itu hukumlah yang bertindak sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku di Indonesia apakah dia terkategori penista agama atau tidak.

9. Menurut tanggapan Bapak untuk harapan kedepan, suasana keberagaman yang seperti apa dalam hubungan antar etnis di Kota Tanjungbalai? Kalau kami mengharapkan kiranya untuk kerukunan kehidupan ini marilah kita saling menghormati. Yang kecil menghormati yang besar, yang besar menyayangi yang kecil. tidak boleh bicara yang minoritas dan mayoritas, yang kecil taulah dia si adek-an dan janganlah sewenang-wenang dia membuat marah abangnya karena dia si kecil. Dan si abangan jangan terus membuat tanggapan karena adiknya salah satu contohnya bisalah kita paham itu. Bila itu berjalan dengan peraturan yang sangat dilakukan masing-masing oleh agama inshaallah konflik-konflik seperti kejadian yang lalu-lalu itu tidak terulang kembali kenapa karena mereka itu saling-saling menghormati. Ini kadang- kadang yang kita lihat, karena dia pemodal dekat dengan orang-orang besar si kecil ini seenak-enaknya saja membuat apa yang diniatkan mereka tidak

memperhatikan ketersinggungan masyarakat yang banyak Jiran tetangga 29

segala macam, kan itunya penyebabnya kadang-kadang timbul masalah. Jadi Page

Alhamdulillah saat sekarang ini itu sudah tidak ada lagi kami lihat, sangat- sangat kondusif sudah akrablah apalagi karena seringnya kami melaksanakan silaturahmi selaku ketua FKUB kordinasi namanya lintas agama, kadang- kadang membuat suatu kegiatan namanya gerak jalan kerukunan, kemudian mensosialisasikan Peraturan Pemerintah Nomor 8 dan Nomor 9 2006 tentang peraturan SKB dua menteri itu. sasaran daripada selaku FKUB terutama kepada anak-anak yang setingkat perdana SMA kelas satu karena kami yakin anak-anak seperti itu belum mengerti sekali apa itu FKUB, apakah itu Peraturan bersama nomor sekian, karena kita lihat dia pakai kepada peraturan bersama nomor sekian sekian. Karena kita lihat apa karena kejadiannya tanggal 29 itulah hanya anak-anak seperti itulah yang spontanitas, yang bergejolak itu. Jadi itulah salah satu dari FKUB membuat sosialisasi setingkat SMA, kemudian ada lagi baru-baru ini memanggil seluruh guru agama dari seluruh agama dari seluruh agama yaitu guru SMP ke atas memberikan sosialisasi tentang kerukunan beragama. Kenapa sasaran kami guru-guru agama, karena guru agama inilah sebagai corong langsung kepada anak-anak yang menyampaikannya di sekolah baik itu melalui pelajaran agama di sekolahnya yang dananya ada dari Depag dan Pemko Kota Tanjungbalai. Alhamdulillah dengan adanya sosialisasi tersebut anak-anak itu mengerti sekarang kita dewasa dewasa ini pun kalau ditanyakan FKUB banyak juga itu yang tidak tahu supaya Peraturan Peraturan Pemerintah tentang pendirian rumah ibadah tentang menjaga kerukunan tentang tugas pokok Kepala Daerah itu ada diatur dalam Peraturan Menteri Bersama itu. Nomor SKB 3 nomor 8 dan nomor 9.

Tanjungbalai, 02 Agustus 2017 Yang Memberi Informasi

H. HAIDIR SIREGAR

30 Page

Gambar 5

Dengan informan Bapak H. Haidir Siregar

31 Page

Lampiran 8

Trankrip wawancara

Rabu, 26 Juli 2017 jam 17.30

Nama : Sahrul Azhari

Jabatan: Tokoh Masyarakat

Durasi : 25.57 menit

1. Dengan multi etnisnya masyarakat yang ada, bagaimana Bapak menilai keberagaman dari segi etnis sebelum peristiwa 29 Juli 2016 di Kota Tanjungbalai? Menurut saya keberagaman di Kota Tanjungbalai sudah cukup baik antar etnis, walaupun ada juga kejadian-kejadian yang melatarbelakang sebelumnya misalnya peristiwa pada tahun 1982, saya lupa bulan dan tanggalnya, terjadi konflik antara etnis aceh dan melayu. Dan anehnya yang menjadi korbannya adalah Etnis China. Selanjutnya kejadian konflik pada tahun 1998, bahwa Etnis China sangat banyak yang menjadi korban disini.

2. Apa yang Bapak ketahui tentang peristiwa konflik 29 Juli 2016 di Kota Tanjungbalai ini dan dimana kejadiannya? Peristiwa yang hanya dilatarbelakangi miskomunikasi sebenarnya, tetapi berujung menjadi pemantik untuk masalah yang agak lebih besar. Etnis China yang bernama Meliana yang sebelum tanggal 29 Juli 2016 meminta kepada tetangganya agar disampaikan ke pihak pengurus Mesjid Al Maksum di Jalan Karya tentang suara mic Mesjid yang terlalu kuat. Ketika tanggal 29 Juli tersebut disampaikan oleh tetangga tersebut kepada pengurus mesjid atas nama Lobe Marpaung (Harris Tua Marpaung), sehingga pihak pengurus mendatangi Meliana untuk mengklarifikasi hal tersebut. Disinilah asal-muasal miskomunikasi tadi. Terjadi perang mulut dan dibawalah mereka ke Kantor Kelurahan, tetapi cerita diluar penyampaiannya sudah sangat dahsyat. Maka situasi tidak terkendali lagi.

3. Menurut pendapat Bapak, apa sebenarnya yang menjadi akar masalah sumber konflik 29 Juli 2016 di Kota Tanjungbalai? a. Etnis China sering menghina Etnis Melayu baik di depan maupun di belakang secara tidak langsung. b. Pembangunan Vihara, Kelenteng dan balai pengobatan yang terlalu banyak dan tidak terkontrol dan rumah ibadah mereka bertentangan

dengan adat budaya melayu.

c. Selalu di back-up aparat 32

d. Kurangnya mereka bergaul dengan pribumi Page

e. Mereka menguasai ekonomi sehingga menguasai harga f. Patung Tri Ratna hadap awal yaitu jalan Asahan, setelah rehab baru menghadap sungai (Water Front City) g. Informasi yang sebenarnya dan yang ada dimasyarakat sangat berbeda.

4. Bagaimanakah menurut Bapak metode penanganan konflik yang terjadi pasca tanggal 29 juli 2016 dari aspek komunikasi? Cara penanganan konflik pasca kejadian tanggal 29 Juli 2016 tersebut cukup baik, sewaktu kejadian di tanggal 29 malam tersebut maka pagi hari itu Pemerintah Kota Tanjungbalai mengumpulkan para tokoh agama tokoh masyarakat, mengumpulkan mereka dalam suatu forum diskusi sehingga menghasilkan suatu pernyataan sikap bersama.

5. Bagaimanankah menurut Bapak, kendala-kendala apa saja yang merupakan faktor penghambat dalam penanganan konflik tanggal 29 juli 2016 ini? Adapun yang menjadi faktor-faktor penghambat dalam hal ini adalah karena segala kecemburuan yang ada di point dua tadi menjadi kebencian sehingga ini yang agak susah dicairkan karena ceritanya empati. Juga penyelesaiannya masalah ini memang berlarut-larut karena tidak ditemukannya jalan tengah antara pihak keamanan dan kelompok yang disangka kan sebagai pelaku. 6. Dengan ikut berpartisipasinya Forkopimda (Forum kordinasi Pimpinan Daerah), maka menurut Bapak apa yang dihasilkan dari komunikasi yang dibangun atas konflik tanggal 29 juli 2016 ini? Dengan adanya satu visi diantara Forkopimda sehingga komunikasi yang dilakukan oleh Forkopimda yang dalam hal ini dimotori oleh Bapak Walikota Tanjungbalai sehingga mencapai kesepakatan-kesepakatan yang berujung ketahuannya akar masalah yaitu patung yang ada di Vihara Tri Ratna. Juga sampai berpindahnya patung tersebut ke tempat yang lebih layak agar tidak terjadi lagi silang sengketa yang lebih panjang. 7. Menurut pendapat Bapak, dengan komunikasi yang di bangun tersebut, apakah masalah konflik sudah selesai? Sudah, ya dengan diketahuinya akar masalah dan diletakkannya patung pada tempat yang selayaknya. Selain itu adanya perubahan dari pihak Etnis China terhadap suku- suku pribumi sehingga akan menambah keharmonisan bermasyarakat di Kota Tanjungbalai.

8. Bagaimanakah setelah penyelesaian konflik tanggal 29 juli 2016 kondisi keberagaman etnis di Kota Tanjungbalai ? Seperti yang saya kedepankan di atas bahwa kalau Etnis China sudah mau introspeksi diri dan etnis suku pribumi juga saling toleransi maka keharmonisan akan terjadi saling harga-menghargai sesama masyarakat, tidak mengedepankan ekslusifieme maka yah seperti yang sama-sama kita rasakan saat sekarang ini. Mudah-mudahan dengan adanya pembauran yang lebih

antara Etnis Tionghoa dan pribumi ini sehingga tidak ada lagi konfllik etnis 33

yang bisa terjadi di Tanjungbalai. Page

9. Menurut tanggapan Bapak untuk harapan kedepan, suasana keberagaman yang seperti apa dalam hubungan antar etnis di Kota Tanjungbalai? Untuk harapan kedepan bahwa kita harus mencontoh kehidupan keharmonisan yang ditunjukkan di daerah apa namanya itu, di jawa tengahlah. Antara berbagai suku terutama dalam hal ini Etnis China hidup saling menghormati, mereka pakai bahasa ibu, sehingga tidak ada sekat lagi antar suku. Saya bisa mengatakan agar berbaur dengan baik jadi memang di Tanjungbalai pihak yang berwenang dalam hal ini Pemerintah, harus lebih ekstra lagi dalam bagaimana agar terjadi pembauran yang lebih baik.

Tanjungbalai, 26 Agustus 2017 Yang Memberi Informasi

H. SAHRUL AZHARI Gambar 6

Dengan informan Bapak H. Sahrul Azhari

34

Page

Lampiran 9

Trankrip wawancara

Rabu, 01 Agustus 2017 jam 08.36

Nama : M. Kosasih

Jabatan: Ketua Forum Pemersatu Kebangsaan

Durasi : 32.53 menit

1. Dengan multi etnisnya masyarakat yang ada, bagaimana Bapak menilai keberagaman dari segi etnis sebelum peristiwa 29 Juli 2016 di Kota Tanjungbalai? Kalau multi etnis yang ada di Tanjungbalai seumur bapak cukup kondusif, artinya keberagaman itu mencerminkan kebersamaan toleransi antar umat beragama baik itu muslim dan non muslim apalagi dikatakan China dalam hubungan ini cukup baik tidak ada masalah. Saling menghargai setahu saya, karena sayakan pernah menjadi Ketua Pemuda Pancasila (PP) kita melihat kebersamaan itu terjalin dengan baik

2. Apa yang Bapak ketahui tentang peristiwa konflik 29 Juli 2016 di Kota Tanjungbalai ini dan dimana kejadiannya? Peristiwa tanggal 29 Juli yang lalu bapak menganggap hanya miskomunikasi. Artinya saat itu ada sebagian mereka kurang enak dengan Pemerintah. Karena kalau dikatakan konflik etnik saya tidak sependapat itu bukan konflik etnik, spontan aja saat itu. Nah ada yang namanya Meliana itulah puncak permasalahan. Karena kebetulan berdekatan dengan kita yaitu di Jalan Karya, disana ada sebuah mesjid yang bernama Mesjid Al Maksum. Pada saat itu suami Meliana ngomong ke sebelah mesjid ada dua rumah dia katakan kalau bisa volume suara azan tolong dikecilkan. Jadi saat itu yang mendengar berita itu tidak menyampaikan mungkin dianggab biasa aja. Lalu yang kedua dia sampaikan lagi jadi yang menyampaikan ini yang menyampaikan ke mesjid bahwa terjadi penghinaan, mereka tidak senang ribut azan. Sebenarnya mulanya itu tidak seperti itu, dan sampai-sampai dikatakan bahwa Meliana ini dengan pakaiannya yang kurang senonoh masuk kedalam mesjid ketika orang sedang azan itu tidak benar, tidak benar sama sekali. Yang disampaikannya itu diantara mesjid dengan ada beberapa rumah kelang dua rumah disitu dia sampaikan. Jadi yang menerima informasi tadi dikembangkan ini, itulah asal mulanya. Hingga akhirnya seperti yang saya sampaikan tadi masih ada yang

kurang enak, kurang ini, mungkin kesempatan dikembangkan ini cerita. Namanya di Tanjungbalai ini mayoritas Muslim, jadi dikembangkan ke mas

media, facebook dan lain sebagainya. Jadi pada malam hari itu kalau 35 Page

Kelurahannya, Lurah cepat tanggab juga tidak ada masalah. Karena dibawa ke Kantor Kelurahan, disana ditanyakan permasalahan tapi disana kurang tanggap mereka jadi dibawa ke Polisi. Dan saat itu bukan saya katakan polisi kurang tanggap cuma hanya kurang terlalu siap sehingga merembet kemana- mana sehingga terjadilah pembakaran itu. Sebelum itu terjadi saya masih ada di lapangan saat itu, artinya masih ada lagi di lapangan mengatakan yaitu yah Mahasiswa, LSM, dan lainnya pake mic ribut keliling di jalan mengatakan ini begini, ganyang China dan segalanyalah, artinya udah tidak enak lah suara itu. Dan itu sudah dilaporkan tapi memang saat itu kurang tanggaplah, kalau cepat bergerak tidak akan terjadilah. Begitu terjadi satu tempat maka merembetlah, artinya yang ga enak sasarannya Kelenteng, Vihara. Jadi artinya saya menganggap bukan konflik etnis, kalau dikatakan antar agama yah sudah berdarah-darah itu ga ada sama sekali. Karena miskomunikasi tadi dimanfaatkan orang bahwasannya seperti itu.

3. Menurut pendapat Bapak, apa sebenarnya yang menjadi akar masalah sumber konflik 29 Juli 2016 di Kota Tanjungbalai? Kalau kita katakan sumber agak sulit juga apa sumbernya, cuma yang pasti pada saat itu hanya spontanitas pada saat itu terjadi hal seperti itu maka meledak. Jadi kalau kita katakan sumbernya pada saat itu terjadi kesenjangan ekonomi antara masyarakat ini dan itu kita tidak menyalahkan Pemerintah pada saat itu. Tetapi itu mungkin ada sebagian, artinya kalau dikatakan ada rasa dendam ini, itu. Karena ini mulai agak timbul karena di Tanjungbalai ini kan berdiri sebuah patung, itu yang dinamakan patung Amittaba. Patung itu berdiri di pasiran (Water front city), artinya memang tempatnya itu terlalu menyolok tinggi keatas menjulang. Sehingga orang seberang pada saat itu ketika mengambil air wudhu dianggabnya kiblat kearah patung tersebut. Itu sudah beberapa kali diajukan agar diturunkan dan ditempatkan ke tempat yang sebaik-baiknya. Pada saat itu bukan kita menganggap pemerintah tidak tanggap, ada dua pemerintahan yaitu pada saat Alm. Sutrisno sudah mulai bergejolak dan sampai Bapak Thamrin Munthe belum terselesaikan. Bisa dikatakan itu timbul dari sana masalahnya, karena apakah LSM, tokoh-tokoh agama itu pernah berkumpul masuk ke DPR memohon agar jadi perhatian, DPR pada saat itu sudah memutuskan diturunkan dan Alm. Sutrisno juga ada pada saat itu. Tapi tidak kunjung turun, emang kita bersyukur pada saat itu masyarakat muslim tidak ramai-ramai datang kesana sehingga situasinya tidak terlalu. Jadi kalau dikatakatan akar masalahnya itu juga termasuk akar masalah.

4. Bagaimanakah menurut Bapak metode penanganan konflik yang terjadi pasca

tanggal 29 Juli 2016 dari aspek komunikasi? Artinya itu juga sudah dilakukan oleh beberapa tokoh (ada telepon dari Kasat Binmas Polres Tanjungbalai), komunikasi penting, setelah ditangani kasus itu 36

peran Pemko cukup besar artinya beberapa SKPD terutama Bapak Walikota Page

yang baru menjabat tiba-tiba baru terjadi hal seperti ini dan aparat keamanannya cukup tanggap dalam hal itu, sehingga pada malam itu yang terjadi selanjutnya tidak. Artinya komunikasi kita pada masyarakat itu cukup baik dan mereka juga paham akar masalahnya dari sana sehingga beberapa kali ada pertemuan dengan Bapak Walikota karena saya ikut terlibat terus didalam. Pada saat itu ada suara-suara sumbang mereka tidak mau berdamai. Sebetulnya tidak ada perdamaian karena tidak ada konflik antar etnis sehingga siapa yang mau didamaikan cuma ada beberapa alim ulama dan tokoh masyarakat mereka akan kondusiflah tidak akan melakukan lagi dan menjamin tetapi agar patung turun. Itulah dia sehingga Bapak walikota terus-menerus berupaya mengadakan pendekatan inshaallah pula kita ikut turun karena pernah juga teman-teman China kita datangin dan kita jumpain dan mereka sepakat. Mulanya itu mereka mau turun tapi dua lantai tapi kan nampak lagi, ribut lagi artinya dialognya terjadi mandeg. Saat itu Walikota agak pening, di satu sisi alim ulama dan tokoh masyarakat mendesak beliau, akhirnya ijin Tuhan atas kesepakatan bersama pada saat itu semua turun, ada Dandim, Kapolres, Kejari, Etnis Chiness kita sepakat maka terjadilah penurunan patung dan terjadi pada zaman Walikota Sekarang. Jadi dua Walikota tak siap untuk menurunkan itu. Jadi dari aspek komunikasi semua dirangkul dan ikut berpartisipasi jadi bukan karena chiness aja dan segala etnis masuk termasuk saya sebagai Ketua FPK dan saya ikut langsung turun ke Vihara tempat patung berada dan berdialog dengan mereka seperti Akun selaku Ketua Vihara dan Leo Sekretarisnya

5. Bagaimanankah menurut Bapak, kendala-kendala apa saja yang merupakan faktor penghambat dalam penanganan konflik tanggal 29 juli 2016 ini? Yaitu tadi karena saat itu belum turun patung itulah kendalanya, mereka belum berperan karena pada saat itu belum ada kesepakatan ditempatkan di tempat yang sebaik-baiknya. Kalau dikatakan diturunkan kurang enak jadi kendala yang paling berat ya itulah dan tidak bisa secepat itu turunnya, bertahap, bertahap. Mereka mengatakan itu bukan Tuhan kami itu hanya simbol, jadi kalau simbol bisa diletakkan dimana saja. Cuma masyarakat Tanjungbalai ini menganggap itu menjadi Icon Tanjungbalai jadinya kan kurang enak karena menjulang tinggi sementara menara Mesjid kita tidak ada yang setinggi itu. Jadi terjadi pro dan kontra, dan sebelum itu turun kami akan terus, itulah suara yang terus disampaikan. Siang malam Walikota juga berfikir bagaimana caranya, disatu sisi masyarakat dia juga. Karena niatnya baik, ijin ALLAH SWT mereka mau terima. Mau dicoba turun hanya dua tingkat, itu juga tidak mungkin. Pada akhirnya ketua yayasan mulai berfikir karena dia takut dihantam oleh jemaah dia -hanya gegara itu kita juga yang

dikorbankan kita juga yang mau diturunkan-, kita tidak ribut, kita tidak menuntut mereka. Akhirnya suhu yang dari Tebingtinggi diundang mereka ke vihara dan dikumpul seluruh jemaah, dan saya ikut terus itu, dan suhunya 37

bilang ini kita letakkan di tempat yang baik aja itu ga ada masalah. Jadi Page

bukan katanya diturunkan tapi diletakkan di tempat yang baik kita baguskan, mereka katakan itu bukan Tuhan mereka tapi hanya simbol. Tapi namanya symbol harus tetap dijaga, pada akhirnya karena kegigihan Walikota sehingga terlaksana (penurunan tersebut). Waktu penurunan itu dikawal ketat, ada Brimob, Polres, rame yang liat karena pagi itu direncanakan akan turun dan karena tinggi jadi pake alat crane, pengikatnya pake tali. Dipolitisir lagi dibilang digantung, tidak bisa diturunkan karena di Titi Silau aja penuh, jadi dibilang Komandan katakan minggu depan aja turun. Tetapi semua sepakat itu diturunkan habis maghrib aja. Pada saat itu situtup semua jalan mereka sepakat maka selesai sehingga tidak ada masalah lagi.

6. Dengan ikut berpartisipasinya Forkopimda (Forum Kordinasi Pimpinan Daerah), maka menurut Bapak apa yang dihasilkan dari komunikasi yang dibangun atas konflik tanggal 29 juli 2016 ini?

Artinya peran mereka itu cukup besar, Walikota, Kapolres, Dandim, Danlanal semua terlibat dalam hal ini. Ini konflik dianggap besar kali bukan tanggung- tanggung, karena cerita konflik tadi yang kurang enak kita, itu bukan konflik karena konflik itu berdarah-darah terjadi fisik, sebenarnya itu kerusuhan. Spontan pada saat itu sehingga terjadi kerusuhan. Saya berani mengatakan karena saya ikut langsung didalam.

7. Menurut pendapat Bapak, dengan komunikasi yang di bangun tersebut, apakah masalah konflik sudah selesai?

Kalau kita menganggap itu sudah selesai, tapi biasalah ada LSM ini, itu, karena baru-baru ini ada 42 hari yang lalu naik spanduk yang memperingati satu tahun meliana, itukan memanas-manasi dan dimasukkan ke Polres dan Kapolres tidak mengijinkan lalu mengatakan kita lihat aja kalau berani mereka turun. Itukan membangkitkan kembali benih kerusuhan, maka yah udahlah kita menginginkan seperti yang dulu zaman-zaman saya dulu begitu baiknya, karena kita multi etnis dan keberagaman itu membuat kita baik dan toleran kita cukup bagus kok. Kita salud kepada Kapolres ini karena dia cukup tanggap artinya di bawah kepemimpinan beliau cukup kondusif, merangkul semua baik dia tokoh masyarakat, alim ulama, mahasiswa, organisasi, mungkin pengalaman sewaktu dia menjadi Kapolres Belawan dibawa ke Tanjungbalai. Masyarakat ikut mendukung program-program ini karena semuanya untuk pengamanan Tanjungbalai, jadi ga ada istilah beda misalnya ini chiness, tidak, disamaratakan semua dan semoga beliau ini

panjanglah di Tanjungbalai karena kondusiflah dan ingin mengembalikan kembali. Karena sempat Down Tanjungbalai ini sehingga Investor yang mau masuk ga bisa. Jadi sekarang sudah mulai ada kepercayaan, baru-baru ini 38

Walikota ke Korea, Investor sudah mau menanamkan modalnya mungkin Page

akhir tahun ini untuk gardu listrik dan pengolahan air bersih dan sudah ada MOU.

8. Bagaimanakah setelah penyelesaian konflik tanggal 29 juli 2016 kondisi keberagaman etnis di Kota Tanjungbalai ?

Kalau kita lihat masih biasa aja, jadi artinya perubahan tetap adalah, kalau dulukan kadang-kadang etnis ini terbagikan. Ada masyarakat etnis yang dari pantai kan udah mulai masuk ke Tanjungbalai ini, kalau kita katakan mereka ga punya etika kan ga enak, tapi kadang kasar bawaannya. Lain masyarakat chiness yang punya pendidikan, latar belakangnya baik sehingga komunikasinya baik, kalaupun ada sangat sedikit lah. Artinya tidak lagi mereka itu kasar dan tidak meremehkan, sehingga termasuk akar masalah konflik juga ada. Mereka menganggap mereka hebat, karena dianggap segala sesuatunya mereka bisa bayar, sehingga masyarakat awam kita terasa. Itu termasuk akar permasalahan pada saat ini walaupun bukan mutlak itu. Jadi kalau sekarang setelah terjadinya, coba kalau kita katakan selesailah ya, saat itu juga yang melakukan perusakan dan pembakaran sudah dijamin oleh Walikota, sehingga proses hukumnya tidak lanjut. Karena kalau kita lihat disaat rapat dengan Kapolres, Dan Lanal agar diadakan pendekatan secara persuasif. Jangan kita tegakkan dan jangan terlalu arogan karena dia sudah melakukan tindakan kriminal harus dihukum. Jadi peran Walikota sangat besar -karena Walikota termuda-, untuk ikut bersama-sama dengan aparat keamanan sehingga bisa dikeluarkan padahal sudah jelas-jelas bersalah. Mengingat situasi Tanjungbalai kalau ini begini -rusuh lagi-, mereka punya pemikiran (kearifan lokal).

9. Menurut tanggapan Bapak untuk harapan kedepan, suasana keberagaman yang seperti apa dalam hubungan antar etnis di Kota Tanjungbalai?

Kalau bisa seperti ini terus dipertahankan, karena setelah kejadian ini banyak hikmah dan masyarakat chiness begini-begini mungkin salah, mereka berbenah diri dan begitupun dengan masyarakat kita. Tapi yang pasti harapan kita kedepan seperti ini terus tidak lagi terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan. Kebersaman Pemerintah Kota, aparat keamanan, Kapolres, Dandim, Dan Lanal, Kejaksaan ini menyatu. Ini yang membuat kondusif sekarang Tanjungbalai. Jadi kebersamaan ini sekarang, kalau ini bisa dijaga terus maka Tanjungbalai akan bagus. Dan kalau ditanya setelah kejadian ini hubungan antar etnis balik lagi bagus , artinya balik berbaur, ngomong

dimana-mana, antara pengusaha dan pengusaha ini. Karena kita bayangkan

begitu terjadi konflik, ada beberapa toko tidak buka di Tanjungbalai maka

kewalahan juga kita masyarakat. Karena umumnya memegang ekonomikan 39

mereka, bukan mau balas dendam pada saat itu tapi alasan mereka takut. Itu Page

terasa sama kita pada saat itu, apalagi masyarakat awam. Jadi pelan-pelan kalau sekarang sudah kondusiflah semoga kebersamaan Pemerintah Kota dan aparat dsb tetap terjaga saya rasa Tanjungbalai kembali seperti yang dulu, kalau dulukan Tanjungbalaikan terkenal keberagamannya, antar etnisnya begitu baik.

Tanjungbalai, 01 Agustus 2017 Yang Memberi Informasi

H. M. KOSASIH

40 Page

Gambar 7

Dengan informan Bapak H. M. Kosasih

41 Page

Lampiran 10

Trankrip wawancara

Rabu, 28 Juli 2017 jam 17.30

Nama : Tobi Iskandar

Jabatan: Tokoh Masyarakat

Durasi : 24.17 menit

1. Dengan multi etnisnya masyarakat yang ada, bagaimana Bapak menilai keberagaman dari segi etnis sebelum peristiwa 29 Juli 2016 di Kota Tanjungbalai? Sebetulnya kalau tentang keberagaman itu, dari dulunya Tanjungbalai ini pun keberagaman. Hanya saja belakangan ini kan faktor-faktor banyak yang bisa mengganggu karena dari dulu kan Tanjungbalai terkenal sebagai Kota Agama. Jadi keberagaman itu karena masih sikitnya etnis yang disitu, belakangan ini maka semakin banyaknya keberagaman itu apa artinya jumlah masing-masing etnis itu kan berkembang maka cara berfikir juga berkembang sesuai dengan apa yang terjadi. Komunikasi antar etnis Sebenarnya komunikasi itu dari dulu tidak ada gangguan, belakangan ini kenapa banyak yang terganggu terutama dari wilayah ini jadi dengan adanya peristiwa yang bisa menggangu salah satunya faktor ekonomi, atau ada hal lain yang tidak diduga misalnya faktor perjudian, berkembangnya rumah-rumah etnis diluar peraturan misalnya rumah kerukunan Etnis Tionghoa yang berdirinya kita tidak mengerti tapi itu gangguan tapi dengan masyarakat islam ini tidak masalah. Tapi dengan adanya reklamasi pantai, disana berdiri satu Vihara yang mendirikan patung yang ini menjadi krusial sehingga di dunia Pemerintahan jadi masalah. Tapi entah aparat kita, atau masyarakat kita yang pro dan kontra. Itulah yang mendekam tapi puncak kesempatan itu terjadilah maka batas toleransi itu dimana. Karena kalau soal HAM-nya, hak orang terganggu dan sebaliknya. Karena bisa melanggar adat, keagamaan apalagi waktu itu kuncinya kepada Pemerintah sehingga dalam rangka penertiban-penertiban sehingga gangguan tidak terjadi.

2. Apa yang Bapak ketahui tentang peristiwa konflik 29 Juli 2016 di Kota Tanjungbalai ini dan dimana kejadiannya? Kalau peristiwa itu saya pas di rumah tetapi pas saya keluar ada anak saya yang menceritakan peristiwa itu. Ditanyakan esok harinya rupanya ada suatu peristiwa di Jalan Karya yang disana ada rumah ibadah yang sedang menjalankan ibadah, ketika itu ada Etnis Tionghoa yang keberatan seolah-olah itu menjadi gangguan

padahal rumah ibadah itu sudah ada sebelum. Dan kalau merasa terganggu kenapa

dia mendatangi suara bising. Sedangkan ketika Etnis Tionghoa mengadakan 42

kegiatan perdukunan dan lonceng-lonceng mana ada orang Islam yang Page

menggangu sampai di kawal oleh aparat. Tapi ketika ada azan yang merupakan syariat itu keberatan dia. Bukan mengada-ngada jadi memang ada sebabnya dan akibat. Sebab itu bisa dipahami orang dengan berbeda-beda, akiba juga berbeda- beda, ada cara berfikir yang positif dan ada yang negatif. Ada yang merasa itu luar biasa sebagai sebuah gangguan maka itulah dia walaupun aparat Pemerintah sudah mengamankan itu. Itulah kejadian awal sehingga merebak kemana-mana

3. Menurut pendapat Bapak, apa sebenarnya yang menjadi akar masalah sumber konflik 29 Juli 2016 di Kota Tanjungbalai? Sumber konflik bukan hal dominan tapi karena emosional yang terpendam dan perasaan tidak enak yang sudah lama itu mendekam, hanya moment seperti itu yang menjadi picuan. Jadi emosional yang disitu berpindah menjadi emosional yang lain jadi mumpung, disitu kejadian kesana (Vihara) jadinya karena mencari momentum yang sudah lama terpendam dan pihak vihara tidak merasakan itu malah dianggap punya arogansi. Pernah ada surat dari Kementrian agama dari dirjen agama budha supaya diturunkan itu informasi yang saya dapat. Tapi ada pulak kelompok yang membackup itu yang datang ke Jakarta untuk seolah-olah tidak ada apa-apa sehingga penurunan itu tidak terjadi. Jadi itulah ada lega hati ketika mendengar itu mau diturunkan tiba-tiba tidak jadi, jadi merasa tidak puas sementara kalu letaknya di bawah kan bisa dan tidak mesti diatas. Ada pemikiran lain seolah-olah Kota ini mau dijadikan apa.

4. Bagaimanakah menurut bapak metode penanganan konflik yang terjadi pasca tanggal 29 juli 2016 dari aspek komunikasi? Saya fikir toleransi adalah toleransi orang yang diluar Agama Islam itu, Islam itu mudah-mudah aja. Apalagi Pemerintah tak mau dan jarang mengurusi toleransi yang berlebihan tapi kekuatan dan arogansi serta kemampuan yang ada. Komunikasi sekarang udah ada FKUB dan pada waktu ada pertemuan di MUI yang bercerita toleransi maka saya ngomong tentang kebenaran maka kebenaran itu akan membela kami, kebenaran pasti benar karena dari Tuhan tetapi jangan penafsiran masing-masing. Kemudian pada waktu imlek ada mercun sampai jam dua malam tetapi mereka menganggab itu HAM tetapi ketika mereka mendapatkan hak itu tetapi hak yang lain terganggu maka untuk keseimbangan harus dijaga jangan sampai mengganggu orang lain karena bertepatan adat mereka memang begitu. Tetapi harusnya adat itu harus mengambil pepatah “dimana langit dipijak disitu bumi dijunjung”, walaupun tidak mesti masuk kandang kambing mengembek, ikutilah iramanya. Waktu kejadian reformasi tahun 1998 hancur Kota Tanjungbalai, di lorong pucuk banyak Etnis Tionghoa dan mereka bergabung di warung kopi tetapi orang demonstran tidak berani masuk kerena kami larang dan kami jaga karena dampak perbuatan bisa kita rasakan juga. Tapi

belakangan ini jiwa etnis dan arogan karena faktor ekonomi tadi dianggab kita

orang kelas dua seperti zaman Belanda, materi itu yang menjadi ukuran sehingga 43

tegur sapa terhadap kita yang tokoh dikampung itu juga tidak ada. Contoh di Page

Sumatera Utara dimana Etnis Batak walaupun beda agama kalau satu marga aman, walaupun berkelahi jadi aman. Akhirnya akibat tidak akur timbul ke politik, ada yang memanfaatkan, ada Provokator istilah Belanda hitam maksudnya sebelah yang membayar. Jadi di Tanjungbalai ini sama seperti politik Negara yang dipoles bisa jadi politik dan dipicunya karena kejadian 29 Juli.

5. Bagaimanankah menurut Bapak, kendala-kendala apa saja yang merupakan faktor penghambat dalam penanganan konflik tanggal 29 juli 2016 ini? Etnis Tionghoa ini ekslusif dan anak Tionghoa ini hanya bergaul di sekolah dari dulu dan jarang bergaul dengan etnis pribumi. Dengan ekslusif itu jadi kebenaran yang menurut doktrin rumah tangga dan leluhur. Dianggap Etnis Tionghoa kita kelas dua sehingga kita selalu dianggab miskin dengan ekslusifnya. Kalau buruh di gudang-gudang, gaji orang kita dan Orang China beda. Sapa yang tahu kalau di rumah Etnis Tionghoa ada orang asing dan komunikasinyapun kurang. Macam cerita si Ahoklah, ngomong sama orang pun kasar, beda sama orang Batak, walau kasar tapi hatinya baik beda dengan mereka.

6. Dengan ikut berpartisipasinya Forkopimda (Forum Kordinasi Pimpinan Daerah), maka menurut Bapak apa yang dihasilkan dari komunikasi yang dibangun atas konflik tanggal 29 juli 2016 ini? Terlampau jauh saya agak kurang paham tetapi ada komentar dari masyarakat bahwa penanganan agak terkesan lamban walaupun ada Ketua DPR tetapi karena dadakan seperti itu jadi tanggab daruratnya itu kurang. 7. Menurut pendapat Bapak, dengan komunikasi yang di bangun tersebut, apakah masalah konflik sudah selesai? Untuk sementara sudah selesai karena patung sudah diturunkan.

8. Apakah yang seharusnya dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah konflik ini ? Saling menghormati aja diantara sesama pemeluk agama masing-masing.

9. Menurut tanggapan bapak untuk harapan kedepan, suasana keberagaman yang seperti apa dalam hubungan antar etnis di Kota Tanjungbalai? Hubungan saling memahamilah, apa keinginan orang itu, apa keinginan masyarakat ini dan apa keinginan masyarakat ini itu yang harus dijaga, itu akan tumbuh sendiri. Jangan pula dalam hari besar kita mnggunakan azan dan mikrofon mereka ribut sehingga membuat penyeimbangnya yang lain. Apa yang diinginkan dan dipelajari bahwa Islam itu seperti apa, Budha itu seperti apa, Kristen itu seperti apa, sehingga kan ada FKUB jadi hak-hak kita harus seimbanglah. Kalau kita menceburkan diri ke dalam forum maka hak-hak kita berkurang, tentu menahan perasaan. Dan tidak boleh kita memaksakan kehendak kita. Seperti orang Islam, azan itu tidak bisa dipisahkan dengan syariat.

44 Page

Tanjungbalai, 28 Juli 2017 Yang Memberi Informasi

H. TOBI ISKANDAR

Gambar 8

Dengan informan Bapak H. Tobi Iskandar

45 Page

Lampiran 11

Gambar 9

Dengan informan Bapak Juneidy

46

Page

Lampiran 12

Surat Kesepakatan Bersama Tahun 2010 Tentang Penurunan Patung

Amitabha.

47 Page

48 Page

49 Page

Lampiran 13

Surat Perintah Walikota Tanjungbalai Tentang Penurunan Patung Amitabha

50 Page

51

Page

Lampiran 14

Surat Pernyataan Sikap FORKOPIMDA Untuk Menjaga Stabilitas Pasca Kejadian 29 Juli 2016

52 Page

53 Page

Lampiran 15

Rapat FORKOPIMDA Lanjutan Pada Tanggal 15 Agustus 2016

54 Page

Lampiran 16

Surat Kesepakatan Bersama Pemindahan Patung Amitabha Pada Tanggal 01 September 2016

55 Page

56 Page

57 Page

Lampiran 17

Surat Pernyataan Dari Pihak Vihara Tri Ratna Untuk Memindahkan Patung Amitabha..

58 Page

Lampiran 18

Surat Pernyataan Kesediaan Memberikan Informasi

59 Page

60 Page

61 Page

62 Page

63 Page

64 Page

65 Page

66 Page

67 Page