LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM MATA KULIAH METODE PENELITIAN KUALITATIF 1 KELOMPOK 10 “PANDANGAN ORANGTUA TERHADAP EFISIENSI PADA FAST FOOD”

oleh:

Irine Aprilia Sendi Widyaningrum (17/409927/SP/27772) Annie Aya Yukanti (17/413241/SP/27958) Aurora Abel Sanggita (17/413242/SP/27959) Rizqyansyah Fitramadhana (17/413262/SP/27979) Elvin Rizky Fanditya (17/414950/SP/28077)

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA 2018

DAFTAR ISI DAFTAR ISI...... i PENDAHULUAN ...... 1 I. Latar Belakang ...... 1 II. Rumusan Masalah ...... 2 III. Metodologi Penelitian ...... 2 a. Lokasi Penelitian ...... 2 b. Metode Penelitian ...... 2 c. Teknik Pengumpulan Data ...... 3 LATAR SOSIAL ...... 4 ANALISA ...... 6 I. Latar Belakang Informan ...... 6 II. Pengetahuan Akan Makanan Cepat Saji ...... 9 III. Pandangan Mengenai Makanan Cepat Saji ...... 11 IV. Kepraktisan Makanan Cepat Saji ...... 14 V. Alasan Mengonsumsi Makanan Cepat Saji ...... 17 PENUTUP ...... 21 DAFTAR PUSTAKA ...... 24 LAMPIRAN ...... 25 I. Data Informan ...... 25 II. Data Networking Kelompok ...... 26 III. Data Networking Individu ...... 28 a. Rizqyansyah Fitramadhana ...... 28 b. Elvin Rizky Fanditya ...... 29 c. Irine Aprilia Sendi...... 30 d. Aurora Abel Sanggita ...... 31 e. Annie Aya Yukanti ...... 32 IV. Daftar Nama Pembuat Subbab ...... 33 V. Daftar Kompilasi Tugas Individu ...... 33

i

BAB I PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Menurut Yuyun Alamsyah (2013) dalam bukunya “Bisnis Fast Food ala ”, istilah fast food yang sangat umum adalah take-out atau take away yang artinya dibawa pulang (atau jalan-jalan). Keunggulan dari konsep makanan cepat saji ini adalah waktu penyajiannya yang relatif cepat dan praktis. Aneka paket menu yang tersedia menjadikan konsumen semakin cepat dalam menentukan pilihan. Berdasarkan penelitian 15-20% remaja di mengonsumsi fried chicken dan burger sebagai makan siang dan 1-6% mengonsumsi pizza dan spageti. Sayangnya, makanan cepat saji tidak hanya menawarkan berbagai kelebihan saja. Hal negatif dari makanan ini harus bisa disikapi dengan bijak. Bila makanan tersebut sering dikonsumsi secara terus-menerus dan berlebihan dapat mengakibatkan obesitas (Mudjianto dkk, 1994). Perkembangan zaman yang semakin maju membuat orang menjadi suka dengan hal- hal yang berbau instan. Di Indonesia sendiri, orang sudah mulai menggandrungi makanan cepat saji karena dinilai praktis dan tidak ribet. Konsep take away yang inovatif dan menarik serta cepat juga mendorong masyarakat kita untuk mulai menyukai makanan cepat saji. Tapi uniknya disini adalah sebenarnya fast food yang disajikan di berbagai gerai adalah makanan yang mempunyai nilai gizi yang sangat rendah dan banyak masyarakat Indonesia yang sudah mengetahui hal tersebut, akan tetapi mereka masih terus mengonsumsi karena mereka tidak terlalu memperhatikan nilai gizi namun lebih pada kepraktisan. Pertanyaan ini berawal dari keingintahuan kami terhadap aspek-aspek dalam karakteristik orang tua yang dapat mempengaruhi pola konsumsi fast food pada anak. Aspek dalam karakteristik orang tua antara lain, aktivitas orang tua, pola pengasuhan dan kebudayaan yang dianut orang tua. Pengaruh aktivitas orang tua yang kami maksud di sini adalah apakah aktivitas orang tua di luar rumah mempengaruhi tingkat pengawasan dan perhatian orang tua terhadap konsumsi makanan anak. Aktivitas itu biasanya berupa pengaruh status pekerjaan orang tua yang bisa mempengaruhi pola konsumsi anak karena orang tua tidak memilik waktu yang banyak untuk menyiapkan makanan bagi si anak. Konsumsi fast food juga dapat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut orang tua berupa pengaruh lingkungan dan masyarakat. Aktivitas orang tua di luar rumah itu dapat menyebabkan berkurangnya waktu untuk kegiatan rumah tangga seperti menyiapkan makan.

1

Fast food chains are gaining popularity with nuclear families as working parents have less time for meal preparation at home. (Kaushik, 2011) Parents reported their pre-school child’s TV viewing time, channels watched and past- week FF consumption. (Dalton, 2017) Aktivitas orang tua tentunya memengaruhi perkembangan anak mereka. Orang tua yang bekerja cenderung memiliki waktu lebih sedikit untuk mengurus anak terlebih dalam hal menyiapkan makanan, sehingga para orang tua memilih membeli fast food untuk anak-anak. Fast food menjadi pilihan karena mudah dan cepat dalam penyajiannya, sehingga tidak memerlukan waktu yang banyak. Hal yang disayangkan adalah beberapa orang tua menyadari fast food memiliki kandungan yang buruk, namun masih tetap dijadikan pilihan makanan bagi sang anak. Masa sebelum anak sekolah orang tua memiliki peranan penting dalam mengawasi anak, seperti lamanya menonton televisi, channel apa yang dilihat, dan konsumsi fast food seminggu terakhir. Perkembangan media saat ini berpengaruh besar pada anak, salah satunya melalui tayangan televisi. Besarnya konsumsi fast food pada anak dapat dipengaruhi oleh tayangan iklan di televisi, sehingga lamanya anak menonton televisi tetap harus dikontrol oleh orang tua. Orang tua juga harus membatasi konsumsi fast food pada anak mengingat kandungan yang buruk pada fast food. Dengan semakin pesatnya perkembangan tersebut menuntut adanya filterisasi yang berguna untuk menginformasikan fast food secara komprehensif kepada masyarakat supaya dapat menjadi pertimbangan.

II. Rumusan Masalah Bagaimana pandangan orang tua mengenai sisi kepraktisan dan efisiensi pada konsumsi makanan cepat saji untuk anak?

III. Metodologi Penelitian a. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Padukuhan Nologaten, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta

b. Metode Penelitian Berdasarkan data yang didapat, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode desktiptif, dimana penelitian kualitatif digunakan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data desriptif berupa kata

2

tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2002). Penelitian ini berjudul “Pandangan Orangtua terhadap Efesiensi pada Fast Food”. Penelitian ini merupakan grounded research, dimana peneliti melakukan observasi dan wawancara secara mendalam dengan informan. Dari data yang diperoleh peneliti akan mengkomparasikan berbagai sudut pandang subjek untuk mengetahui dan menganalisa pola-pola dan segala hal yang berkaitan dengan informan dan kebiasaan makan makanan cepat saji ala barat pada anak. Subjek penelitian merupakan orangtua yang memiliki anak, memiliki pengalaman dan pandangan mengenai makanan cepat saji. Pengambilan data dengan wawancara mendalam yang direkam dengan alat perekam. Dari rekaman hasil wawancara peneliti melakukan proses transcribing, indexing, dan coding. Analisa data kualitatif dilakukan dengan mengkomparasikan data yang diperoleh sehingga peneliti dapat mengetahui fenomena unik yang ditemui, pandangan setiap informan dan ciri-ciri khusus yang diperoleh dari data dilapangan. c. Teknik Pengumpulan Data i. Wawancara semi terstruktur: peneliti melakukan wawancara menggunakan interview guide kepada informan yang merupakan oengtua di Padukuhan Nologaten. ii. Observasi: dalam penelitian ini, peneliti melakukan ovservasi untuk mengetahui keadaan lingkungan sekitar tempat tinggal responden.

3

BAB II LATAR SOSIAL

Pada bab ini, kami akan menjelaskan bagaimana kondisi dan latar sosial lokasi tempat kami melakukan penelitian, Padukuhan Nologaten. Padukuhan Nologaten terletak di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta.

Gambar 2.1 Peta daerah Nologaten Sumber: Google Maps

Daerah ini merupakan daerah sub-urban yang terletak di dekat beberapa pusat perbelanjaan seperti Ambarukmo Plaza, Lippo Plaza Yogyakarta, dan Sahid J-Walk. Masyarakata yang tinggal di wilayah ini sangat beragam, mulai dari penduduk asli hingga pendatang yang sebagian merupakan mahasiswa luar daerah yang berkuliah di universitas dan sekolah tinggi yang terletak di sekitar sana. Hal inilah mungkin yang menyebabkan wilayah ini dipenuhi gerai makanan cepat saji. Sepanjang jalan nologaten sendiri dapat ditemui gerai makanan cepat saji yang berjejer.

4

Makanan cepat saji gaya lokal. Dari pojok kiri atas searah jarum jam: Gambar 2.2. Warmindo tampak dalam. Gambar 2.3. Warmindo tampak luar. Gambar 2.4. Warung Makan Sederhana

Jenis makanan cepat saji yang tersebar di padukuhan ini pun beragam berdasarkan harga dan juga jenisnya. Salah satu jenis makanan cepat saji di derah ini adalah makanan cepat saji dengan gaya lokal yang harga dari menu yang ditawarkannya relatif rendah. Contoh dari gerai makanan cepat saji gaya lokal yang terdapat di padukuhan ini adalah Warung Makan (Warmindo) dan warung makan semacam warteg milik warga setempat.

Makanan cepat saji gaya barat. Dari pojok kiri kanan: Gambar 2.5. D’Ayam Crispy. Gambar 2.6. Popeye Fried Chicken. Gambar 2.7. Rocket Chicken

Selain itu juga terdapat gerai makanan cepat saji bergaya barat yang harga menunya juga relatif murah seperti D’Ayam Crispy, Popeye Fried Chicken dan Rocket Chicken dan yang harga menunya relatif lebih tinggi seperti KFC, McDonald dan Pizza Hut yang berada di pusat perbelanjaan Ambarukmo Plaza.

5

BAB III ANALISA

Pada ini, kami akan memaparkan analisa dari hasil wawancara dan observasi yang kami lakukan. Dari hasil wawancara dan observasi yang telah kami lakukan, kami menemukan bahwa sisi praktis dari makanan cepat saji berbeda antar informan yang kami wawancara. Di sini kmi akan membahas latar belakang dari informan, pengetahuan informan akan makanan cepat saji, pandangan informan mengenai makanan cepat saji, kepraktisan makanan cepat saji dan alasan informan mengonsumsi makanan cepat saji.

I. Latar Belakang Informan

Dalam dunia yang serba cepat dan serba sibuk ini, orang jadi lebih mementingkan kepraktisan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan munculnya fast food atau makanan cepat saji, masyarakat menjadi terbantu untuk memenuhi kebutuhan pangannya dalam waktu yang relatif cepat. Namun berdasarkan fakta yang kami temukan di lapangan, hal ini tidak berlaku untuk seluruh kalangan masyarakat Indonesia, khususnya di Padukuhan Nologaten, Yogyakarta.

Gambar 3.1. Peta Padukuhan Nologaten dan sekitarnya.

Seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.1, gerai makanan cepat saji banyak kita temui di sekitar Padukuhan Nologaten karena letaknya yang dekat dengan beberapa perguruan tinggi dan kos-kosan. Selain itu, padukuhan ini juga terletak di dekat pusat perbelanjaan seperti Ambarukmo Plaza dan Lippo Plaza yang di dalamnya terdapat banyak gerai makanan cepat

6 saji. Banyaknya gerai makanan cepat saji dikatakan memiliki hubungan dengan kunjungan seseorang ke gerai makanan cepat saji (Li dkk., 2009). Namun dari apa yang kami temui, banyaknya gerai dan jarak yang dekat terhadap berbagai macam gerai makanan cepat saji tidak serta merta membuat warga Padukuhan Nologaten selalu berkunjung dan makan di gerai makanan cepat saji untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Berdasarkan wawancara yang kami lakukan dengan sejumlah infoman, kami menemukan bahwa kecenderungan mengonsumsi makanan cepat saji informan kami berbeda-beda karena latar belakang dari informan yang kami wawancarai.

Story Box 1 Siang itu, kami mewawancarai Julius Satya Ratnadi yang merupakan anak dari Ibu Dominica Maria Ratna. Dari hasil wawancara tersebut, kami mengetahui bahwa dia lebih sering makan makanan berat (terutama saat sarapan) di luar dari pada di rumah. Dia juga sempat mengatakan jika ia cukup sering makan di warung burjo atau warmindo sekitar rumahnya.

Informan kami yang bernama Ibu Dominica Maria Ratna adalah seorang dosen di jurusan teknik industri Universitas Atma Jaya. Dengan satu anak di rumah dan suami yang bekerja di luar kota, menurut beliau memasak menjadi hal yang merepotkan dan membuang waktu karena beliau pun tidak terlalu pandai dalam hal memasak, “Nggak seimbang antara

Gambar 3.2. Beberapa Warmindo di Sekitar rumah Ibu Dominica

7 repotnya gitu dengan hasilnya gitu ya hahaha. Belum tentu enak lagi gitu hehehe”. Jadwal mengajar yang padat membuat beliau jarang memasak untuk anaknya. Saat memasak pun beliau memilih menu yang mudah dibuat dan tidak ribet, “Lebih suka yang bening jadi cepet gitu, sop, sayur bening”.

Lingkungan sekitar rumah yang dikelilingi banyak warung makan memudahkan beliau dalam memenuhi kebutuhan makanan untuk dirinya dan anaknya, “Yang warung-warung sekitar ini kan lebih banyak. Jadi, mungkin kalau beli justru yang sekitar sini aja”. Apalagi karena anaknya sudah kelas 1 SMA dan bisa mengendarai motor sendiri, beliau hanya perlu memberi uang untuk anaknya membeli makanan sendiri, seperti yang telah diceritakan pada story box 1. Dengan kesibukannya, makanan cepat saji menjadi alternatif untuk menghemat waktu karena jaraknya yang dekat dengan rumah. Lagi pula, menurut beliau harga yang ditawarkan pun sangat bervariasi sesuai dengan budged yang tersedia, “Iya, tinggal takarannya mau ngeluarin duit berapaa gitu ya, itu ada lah di sini”.

Berbeda dengan Ibu Dominica Maria Ratna yang merupakan seorang dosen, Pak Sugandi yang berprofesi sebagai seorang penjual di warung burjo sangat memperhatikan kandungan gizi dari makanan yang beliau dan keluarganya konsumsi. Dengan dua anak yang beliau anggap masih kecil (yang paling besar duduk di bangku SMP), makanan cepat saji yang beliau anggap mengandung berbagai macam bahan kimia dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap perkembangan otak mereka, “itu kan sudah menggunakan bahan kimia, itu kalo anak2 untuk perkembangan otaknya ga bagus”. Dan juga selain menjadi penjual di warung burjo, beliau juga menanam padi organik sehingga beliau berusaha memberikan makanan yang sehat untuk kedua anaknya. Begitu juga dalam keluarga Bapak Slamet Marwanto, beliau dan istrinya yang sama-sama bekerja bukanlah suatu penghalang untuk mempersiapkan kebutuhan pangan anak-anaknya.

Informan kami selanjutnya adalah seorang tukang parkir di parkiran dekat pusat perbelanjaan Ambarukmo Plaza. Ketika anaknya masih di rumah dan belum bekerja, keluarga beliau selalu menyempatkan untuk memasakkan makanan anaknya. Namun ketika anaknya sudah bekerja di luar kota, beliau dan istrinya lebih memilih membeli makanan dari pada memasak karena kesibukannya masing-masing. Makanan yang dibeli pun termasuk makanan yang menurut beliau adalah makanan cepat saji seperti di angkringan yang berada di seberang rumah beliau.

8

Dari hasil wawancara kami dengan beberapa informan, dapat dilihat perbedaan perilaku antara orangtua dengan anak yang masih kecil, orangtua yang anaknya sudah remaja dan orangtua yang anaknya sudah bekerja di luar kota. Pada orangtua dengan anak yang masih kecil, kepraktisan bukanlah hal utama yang diperhatikan ketika memberikan makanan untuk anak mereka, seperti dalam keluarga Pak Sugandi dan Bapak Slamet Marwanto. Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan, sesibuk apapun beliau dan istrinya, mereka selalu menyempatkan memasak makanan untuk dikonsumsi anak-anaknya. Lalu pada keluarga dengan anak remaja SMA seperti keluarga Ibu Dominica Maria Ratna, mencari makanan bukanlah hal yang rumit. Karena anaknya yang sudah dianggap mandiri dan rumah yang dekat dengan berbagai warung makan, mencari makanan bisa dilakukan oleh sang anak itu sendiri sehingga sang ibu tidak perlu repot untuk memasak lagi. Hal yang serupa juga bisa kita temukan pada keluarga Pak Bambang yang anaknya sudah bekerja di Tangerang. Sejak anaknya sudah bekerja, istri beliau menjadi jarang untuk memasak. Oleh karena itu beliau dan istrinya mencari alternatif lain yaitu membeli makanan cepat saji.

Selain hal yang telah dipaparkan di atas, hasil wawancara kami juga menunjukkan bahwa keluarga yang jumlah anggotanya lebih kecil seperti Ibu Dominica Maria Ratna dan Pak Bambang menganggap bahwa memasak untuk jumlah orang yang sedikit bukanlah hal yang praktis dan terlalu memakan waktu untuk mempersiapkannya. Karena hal itu, menurut mereka adanya berbagai macam warung di sekitar lingkungan rumah sangatlah membantu.

II. Pengetahuan Akan Makanan Cepat Saji

Era globalisasi membawa kehidupan manusia ke dalam gerbang modernisasi yang membawa dampak pada perkembangan zaman dan teknologi, sehingga mampu menciptakan kondisi yang konsumeristik dan menghasilkan gaya hidup baru dalam masyarakat. Perubahan gaya hidup masyarakat inilah yang mendasari perubahan pola makan. Sebagai contoh adalah, gaya hidup masyarakat masa kini yang senang mengonsumsi makanan cepat saji atau lebih memilih makanan instan yang biasa dikenal dengan istilah fastfood. Perubahan gaya hidup mengubah pola makan masyarakat. Pada masa sekarang ini, masyarakat lebih menyukai berbagai fastfood atau western fastfood. Menurut Almatsier (2011) makanan cepat saji adalah jenis makanan yang mudah disajikan, praktis dan umumnya diproduksi oleh industri pengolahan pangan dengan teknologi tinggi dan memberikan berbagai zat aditif untuk mengawetkan dan memberikan cita rasa bagi produk tersebut.

9

Setiap perubahan yang terjadi ini tidak terlepas dari adanya berbagai infomasi yang ada dan menjadi pengetahuan bagi masyakat itu sendiri. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Informasi memberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang, dari berbagai media misalnya TV, radio atau surat kabar maka hal itu akan dapat meningkatkan pengetahuan seseorang. Kemudahan untuk memperoleh suatu informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru.

Seperti halnya pada masyarakat di desa Nologaten, masyarakat di desa ini telah memiliki berbagai pengetahuan akan makanan cepat saji ala barat. Masayarat memiliki pandangan bawasanya makanan cepat saji ala barat ini memiliki kandungan gizi yang tidak sehat. Menurut Khasanah (2012), makanan cepat saji ala barat menjadi salah satu pemicu munculnya berbagai penyakit seperti, penyakit jantung, diabetes mellitus, hipertensi dan obesitas. Lemak jenuh dan kolesterol yang terdapat dalam makanan fast food diketahui memperbesar risiko seseorang untuk terkena penyakit tersebut.

Hal ini juga telah diketahui dan dipahami secara baik dalam masyarakat di desa Nologaten. Salah satunya ialah bapak Slamet warga desa Nologaten yang mengatakan bahwa kandungan gizi dari makanan cepat saji sangatlah kurang, terlebih bagi anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan. Bukan hanya bapak Slamet saja salah satu warga desa Nologaten lain mengatakan bahwa beliau lebih memilih untuk memasak sendiri, karena masih memiliki anak balita yang memerlukan asupan gizi sehat, dan beliau juga memilih makanan lokal daripada makanan cepat saji ala barat untuk dikonsumsi. Juga bapak Sugandi yang menyatakan bawasanya makanan cepat saji mengandung bahan kimia, dan menurut beliau makanan yang instan itu tidak bagus.

Namun disamping berbagai alasan mengenai ketidaksehatan makanan cepat saji tersebut, banyak faktor yang dapat mendorong masyarakat untuk mengonsumsi makanan cepat saji. Diantaranya ialah karena ingin untuk mencoba sesuatu yang baru. Seperti pak Slamet yang mengatakan akan membelikan makanan cepat saji ala barat hanya sebatas untuk mencoba dan sebagai pengetahuan putranya. Bapak Slamet juga mengatakan bawasannya mengajak anak ke restoran makanan cepat saji juga memberikan anaknya lingkungan sosial yang lebih luas sehingga anak tahu dan paham akan dunia luar. Disisi lain salah seorang warga Nologaten menyatakan bahwa beliau akan membeli makanan cepat saji apabila dirumah tidak sempat

10

memasak. Anak-anak juga menyukai sesuatu yang menarik dan lezat seperti popeye, olive, dan lain sebagainya yang memiliki kemasan menarik dan rasa yang lezat, hal ini juga menjadi salah satu faktor pendorong konsumsi makanan cepat saji. Adanya berbagai informasi yang ada mengenai promosi makanan cepat saji melalui media iklan juga mendorong masyarakat untuk membelinya, salah satunya adalah ibu Dominica Maria Ratna salah seorang informan kami. Menurut ibu Dominica adanya berbagai promo di restoran makanan cepat saji menjadi salah satu alasan beliau membeli makanan tersebut.

Penilaian masyarakat mengenai baik buruknya makanan cepat saji menjadi alasan tersendiri dan motivasi tersendiri untuk mengonsumsi makanan tersebut. Terdapat banyak pandangan dan alasan yang beragam dari masyarakat sebagai contohnya ialah masyarakat di desa Nologaten ini. Informan kami memliki berbagai persepsi dan pengetahun akan makanan cepat saji yang dilihat dari banyak sisi. Pengetahuan yang didapat masyarakat akan makanan cepat saji inilah yang mengindikasikan tinggi rendahnya tingkat konsumsi makanan tersebut.

III. Pandangan Mengenai Makanan Cepat Saji

Makanan cepat saji atau fastfood merupakan makanan yang dapat disajikan secara cepat dan praktis. Selain cepat, fastfood juga dijadikan pilihan oleh sebagian orang disebabkan kepraktisan dalam pengemasan dan penyajiannya. Pada dasarnya, makanan dapat dikatakan sebagai fastfood merujuk pada cara pengolahan dan penyajiaannya yang serba instan. Namun dalam interpretasi mengenai presepsi fasfood, terdapat pandangan yang berdeda-beda. Persepsi sendiri dimaknai sebagai sebuah proses dimana individu memilih, mengorganisasikan dan menginterpretasikan menjadi gambaran dunia yang bermakna dan koheren (Schiffman, 2004).

Dalam masyarakat, makan cepat saji dapat dimaknai secara beragam tergantung presepsi individu terhadap arti dari fastfood itu sendiri. Seperti yang terjadi di Dusun Nologaten dimana sebagian besar informan mengatakan makanan cepat saji adalah makanan yang cepat dan bisa langsung dimakan. Setelah ditanya lebih lanjut mengenai makanan yang termasuk dalam makanan cepat saji terdapat beberapa jawaban. Ada informan yang mengatakan bahwa makanan cepat saji adalah gorengan, , , kebab dan lain-lain. Bapak Bambang salah satu informan yag berprofesi sebagai tukang parkir, mengatakan bahwa gorengan merupakan makanan cepat saji karena gorengan cepat dimakan dan bisa langsung beli di warung tanpa harus menunggu lama. Hal tersebut mengindikasikan bahwa makan cepat saji tidak hanya terpaku pada makanan cepat saji ala barat tetapi di Indonesia juga memiliki makanan yang disebut “fastfood”

11

“He e. Itu.. itu tapi ya pertimbangan ya. Kalok cepet gitu ya, kalo cepet itu ya mungkin yang cepet gitu ya. Nggak perlu.. misalnya kalo saya buru-buru nggak mungkin saya beli lotek gitu. Tapi kalok.. wak.. a.. waktunya seng.. apa senggang gitu ya yang.. mungkin harus di.. diracik dulu gitu. Tapi kalok nggak popeye bisa aja kan soto, itu tinggal di.. masuk-masukin gitu.” Ibu Dominica Maria Ratna, 14 April 2018

Melalui wawancara dengan Ibu Dominica Maria Ratna dapat diketahui bahwa pandangan Ibu Maria terhadap makanan cepat saji adalah makanan yang cepat dalam pengolahannya. Pengolahan dapat dikatakan cepat bila waktu yang dibutuhkan untuk menunggu makanan tersaji tidaklah lama. Ibu Maria mencontohkan soto sebagai makanan yang termasuk makanan cepat saji karena makanan tersebut sudah diolah sebelumnnya dan konsumen tinggal menunggu sebentar untuk menikmatinya. Maka dari itu informan lebih memilih membeli soto saat dalam keadaan terburu-buru dari pada membeli makanan seperti lotek dimana pembeli harus menunggu proses meraciknya.

Makanan yang disebutkan oleh sebagian besar informan merupakan jenis makanan cepat saji yang bersifat lokal seperi burjo, gorengan, soto dan . Mengetahui hal tersebut, pewawancara menanyakan lebih lanjut mengenai pandangan informan tentang makanan cepat saji ala barat seperti McD dan KFC. Informan membenarkan bahwa makanan tersebut termasuk fastfood. Namun, Informan seperti Bapak Bambang dan Ibu Maria mengatakan bahwa makanan cepat saji ala barat termasuk kategori makanan mahal, sehingga mereka jarang membelinya. Kalaupun membeli biasanya dikarenakan adanya promosi sehingga harganya lebih murah. Tingkat pembelian makanan cepat saji ala barat seperti McD dan KFC di Dusun Nologaten juga dipengaruhi oleh letak dusun yang berada dekat dengan Amplaz sehingga banyak terdapat restoran seperti popye, warung makanan lauk pauk dan burjo yang menjamur. Kawasan yang dipenuhi oleh tempat kuliner menyebabkan warga memiliki banyak pilihan untuk membeli makanan.

“Oiya jauh, soalnya ayam ya, ayam itu popeye di bawah sepuluh ribu sudah satu paket gitu” Ibu Dominica Maria Ratna, 14 April 2018

12

Popeye dijadikan sebagai salah satu alternatif bila Informan ingin memakan makanan cepat saji ala barat seperti KFC dan McD dengan harga yang lebih murah, Selain karena tingkat harga yang terbilang jauh antara KFC dan Pepeye, variasi makanan juga tidak jauh berbeda. Jarak juga dapat mempengaruhi jenis makanan cepat saji yang dikonsumsi oleh informan, hal tersebut disebabkan karena jarak antara Dusun Nologaten dengan Popeye lebih dekat dari pada jarak antara Dusun Nologaten dengan gerai-gerai makanan cepat saji ala barat.

Story Box 2 Bapak Bambang yang berprofesi sebagai tukan parkir di Amplaz lebih memilih untuk membeli makanan di angkringan depan rumahnya karena hanya perlu jalan kaki. Sedangkan bila ingin pergi ke Popeye Bapak Bambang harus bersiap-siap terlebih dahulu dan menggunakan pakaian yang beliau anggap pantas. Bapak Bambang berpendapat bahwa beliau harus bisa menyesuaikan tempat saat berpergian. Maka dari ini Bapak Bambang lebih memilih makan ke angkringan, apalagi angkringan di depan rumahnya milik temannya sendiri.

Saat ingin pergi ke Popeye, Bapak Bambang mengatakan bahwa beliau paling tidak harus menyesuaikan pakaiannya. Pandangan Bapak Bambang ini bisa mengindikasikan bahwa adanya simbol-simbol yang muncul saat pergi ke Popeye berupa pakaian. Berbeda saat Bapak Bambang pergi ke angkringan depan rumahnya, tidak perlu berpakaian yang rapi karena letak angkringan hanya depan rumahnya dan angkringan tersebut milik tetangganya sendiri. Story Box 3 Suatu hari salah satu saudara dari Bapak Sugandi harus dilarikan ke rumah sakit dan mengalami opname selama beberapa hari di rumah sakit. Menurut Bapak Sugandi kejadian tersebut terjadi dikarenakan saudaranya mengkonsumsi mie instan tebat sebelum dilarikan ke rumah sakit. Bapak Sugandi mengatakan bahwa saudaranya termasuk jenis orang yang jarang mengkonsumsi mie instan. Sejak kejadian itu Bapak Sugandi membatasi anak-anaknya dalam mengkonsumsi mie instan dengan alasan bahan kimia yang terkandung dalam mie instan menganggu perkembangan otak anak.

Bapak Sugandi mempresepsikan fastfood sebagai mie instan dimana beliau mengatakan kurang suka mengkonsumsi makan tersebut karena makanan itu sudah mengandung bahan- bahan kimia. Sehingga Bapak Sugandi membatasi makanan seperti mie instan terutama terhadap anak-anaknya, walaupun beliau memperbolehkan sekali waktu mengkonsumsi makanan tersebut asalkan dapat dikontrol tingkat konsumsinya. Hal ini dilatar belakangi oleh pekerjaan Bapak Sugandi sebagai petani organik sehingga beliau memperhatikan asupan yang masuk di keluarganya. Lingkungan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku makan buah dan sayur pada anak, terutama orang tua (Cooke, 2003). Berdasarkan hal tersebut

13

pola perilaku konsumsi orang tua dan latar belakang orang tua dapat mengindikasikan pola konsumsi anak.

IV. Kepraktisan Makanan Cepat Saji

Kepraktisan menjadi hal yang dipuja-puja dalam dunia yang serba modern ini, dalam penelitian ini kelompok kami memang fokus terhadap isu itu, Kepraktisan merupakan konsekuensi yang sejalan dengan berkembangnya zaman dan setting sosial, sekarang orang sudah berpikiran lebih maju dengan menolak pemikiran konservatif dan tradisonal, itu yang menyebabkan modernitas menjadi ikhwal wajib dalam urusan dunia sekarang ini dan kepraktisan adalah cabang dari modernitas itu sendiri yang layak untuk dibahas secara lebih mendalam. Dalam penelitian ini kami menggunakan teknik wawancara mendalam.

Nampaknya kepraktisan sudah menjalar ke sendi kehidupan masyarakat yang terdalam, meskipun pengaruhnya tidak sebesar pada masyarakat metropolitan. Kenyataan itu tampak pada dua informan yang bernama Pak Sugandi dan Mba Tia, dua-duanya merupakan penduduk dusun Nologaten, akan tetapi terdapat perbedaan dimana Pak Sugandi adalah warga asli dan Mba Tia adalah seorang pendatang yang datang untuk mencari ilmu. Dalam pernyataannya Pak Sugandi berpendapat bahwa memang makanan cepat saji ala barat adalah makanan yang praktis, senada dengan apa yang disampaikan oleh Pak Sugandi, Mba Tia juga berpendapat demikian, “ya kalo, kalo makanan praktis ya seperti fast food itu ya”. Namun perlu digarisbawahi bahwa pemahaman fast food antara Pak Sugandi dengan Mba Tia agaknya sedikit berbeda, Pak Sugandi lebih mendefinisikan makanan cepat saji adalah mie instant sedangkan Mba Tia ini lebih mendefinisikan makanan cepat saji ini sebagai makanan yang penyajiannya secara cepat dan cenderung kepada produk barat. Dari situ terlihat jelas bahwa sebenarnya masyarakat sudah mengetahui bahwa makanan cepat saji merupakan makanan yang praktis tapi nampaknya kepraktisan yang ditawarkan oleh fast food ini kurang mampu menggoda Pak Sugandi dan Mba Tia dengan beberapa alasan. Alasan yang dikatakan oleh Pak Sugandi sendiri bersifat ekonomi karena beliau berasal dari kalangan kelas menengah ke bawah, “ga pernah, ga mampu mas saya, kalo diusahain mampu sih, tapi sayang mas” dari pernyataan tersebut kita bisa menangkap kepraktisan ini sebenarnya berlaku pada mereka yang mempunyai uang yang berlebih sedangkan pada lapisan bawah kepraktisan hanyalah sebuah mitos karena secara ekonomi mereka tidak mampu membeli kepraktisan tersebut. Selain itu, Pak Sugandi ternyata juga mempunyai keadaran terhadap kesehatan keluarganya dengan mengatakan , “kalo aku kurang suka mas, itu kan sudah menggunakan bahan kimia, itu kalo

14 anak-anak untuk perkembangan otaknya ga bagus”. Dari perspektif ini kita bisa melihat bahwa kelas menengah ke bawah mempunyai pandangan yang sudah sedikit maju dengan memikirkan kesehatan yang ditimbulkan dari memakan makanan cepat saji, namun definisi makanan cepat saji yang disampaikan oleh Pak Sugandi lebih mengarah ke jenis makanan instant yang dibungkus seperti mie, sehingga definisi makanan cepat saji ini terlihat kabur di mata kalangan menengah ke bawah. Sedangkan Mba Tia juga berpendapat bahwa ia kurang tertarik mengkonsumsi fast food walaupun kepraktisannya sudah menjalar kemana-mana, alasannya adalah soal kesehatan, “ya kalo saya sendiri masak sendiri, soalnya lebih aman”, dari pernyataan ini nampak bahwa alasan kesehatan itu menjadi isu utama bagi Mba Tia untuk mengurangi konsumsi terhadap makanan cepat saji ala barat.

Dengan definisi yang seperti itu maka masyarakat di Dusun Nologaten ini sudah mempunyai pengertian yang baik mengenai makanan cepat saji, khususnya pada hal kepraktisan makanan cepat saji itu sendiri, seperti terdapat pada percakapan berikut ini, “bakso mi ayam ngoten nika, cepet praktis, kalih kebab niku, nggih cepet”, dalam percakapan tersebut terlihat secara jelas bahwa konsep fast food bagi masyarakat dusun Nologaten mempunyaki korelasi dengan kepraktisan sehingga mereka selalu menyangkutkan masalah fast food dengan kepraktisan. Dan mengenai masalah kepraktisan ini, masyarakat dusun Nologaten sudah bisa merasakannya karena lokasi mereka yang dikelilingi oleh berbagai makanan cepat saji, namun bukan berarti bahwa masyarakat langsung semerta-merta membeli makanan cepat saji, kebanyakan dari mereka akan membeli makanan cepat saji ketika dalam keadaan terpaksa atau ketika mereka sedang malas untuk memasak seperti terlihat dalam pernyataan berikut, “nggih kadang nek pas mboten pengen masak ngotennika nggih tumbas”, dalam pernyataan ini kita bisa melihat bahwa informan lebih senang untuk memasak sendiri masakannya, baru kemudian kalo memang terpaksa dia akan membeli makanan cepat saji. Namun sebenarnya yang menjadi issue utama pada masyarakat dusun Nologaten adalah tentang kesehatan, fakta itu kembali terlihat pada informan yang menggunakan bahasa jawa ini, “nggih kadang nggih kawatir, koyo rasane ki bedo, koyo biasane ngono, nggih kadang paling mboten ditelaske, ngoteniku”, dapat dipahami bahwa walaupun sudah mulai mengakui kepraktisan dari fast food sendiri, masyarakat masih sangsi terhadap kesehatan dan nilai gizi dari makanan cepat saji ala barat.

Dari penjelasan yang sudah ada, maka dapat dipahami bahwa konsep kepraktisan sendiri sudah membius ke masyarakat dusun Nologaten, masyarakat juga sudah mengetahui definisi kepraktisan secara jelas, perlu diperhatikan disini bahwa konsep praktis itu lahir dari pengalaman empiris masyarakat dusun Nologaten sendiri yang membeli makanan cepat saji

15 yang ada didekat mereka, akan tetapi tempat makanan cepat saji yang mereka beli bukan merupakan tempat makanan cepat saji ala barat seperti yang diharapkan, melainkan jenis makanan cepat saji lokal yang sudah muali menjamur seperti popeye, d’ayam crispy, dan olive.

Akan tetapi dari apa yang disampaikan oleh beberapa informan di atas, lingkungan masyarakat dusun Nologaten sudah bergerak menuju arah modernitas dengan tolak ukur makin menjamurnya tempat makanan cepat saji meskipun masih dalam taraf lokal dan masyarakat sudah mulai mengerti akan kepraktisan yang ditawarkan oleh makanan cepat saji serta yang terpenting adalah masyarakat sudah mulai merasakannya. Fenomena ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Berger, bahwa modernisasi bekerja seperti palu baja raksasa yang memusnahkan lembaga-lembaga dan struktur nilai-nilai tradisional (Nashir, 1997:34)1. Dari pernyataan informan, kita bisa mengetahui bahwa kemalasan untuk memasak itu mulai melanda masyarakat khususnya pada mereka yang mempunyai pekerjaan yang harus dikerjakan sehingga menyita waktu mereka, dengan begitu masyarakat mulai mencari alternatif-alternatif yang bisa dipakai untuk mengatasi masalah kemalasan memasak dan masalah tidak ada waktu untuk memasak dengan memanfaatkan banyaknya tempat yang menawarkan makanan cepat saji untuk mereka, sehingga masalah kepraktisan ini menjadi isu yang mulai digandrungi oleh masyarakat dusun Nologaten. Pergeseran kebudayaan dari memasak sendiri menjadi mengandalkan kepraktisan dari fast food banyak dipengaruhi oleh iklan yang ada, dimana masyarakat dipaksa untuk mengkonsumsi iklan yang merangsang otak mereka untuk menerima pengetahuan apriori yang kemudian melahirkan rasa penasaran yang kemudian membuat masyarakat mempunyai keinginan untuk mencoba sehingga melahirkan pengetahuan aposteriori, dengan kedua pengetahuan tersebut masyarakat mulai menginternalisasi modernisasi dan tanpa sadar sudah masuk dalam dunia yang sudah modern2.

Selanjutnya juga masih terdapat hal yang membuat masyarakat tidak terlalu sering menikmati kepraktisan dari makanan cepat saji, dianatara yang paling jelas adalah asumsi masyarakat dusun Nologaten sendiri mengenai makanan cepat saji yang kurang sehat sehingga

1 Secara jelas sudah terlihat adanya sedikit pergeseran budaya dari yang tradisional menjadi ke arah modern, dimana masyarakat Nologaten sudah mulai mencoba mengkonsumsi makanan cepat saji yang mereka nilai sebuah sesuatu yang praktis, dan modernitas terbukti telah membunuh secara perlahan struktur-struktur nilai tradisional dengan kepraktisan 2 Sonny Keraf dan Mikhael Dua (2001) menjelaskan bahwa Menurut Leibniz, pengetahuan apriori adalah pengetahuan yang berasal dari akal budi sedangkan pengetahuan aposteriori merupakan pengetahuan yang berasal dari fakta. Iklan dibayangkan sebagai media yang ampuh untuk menginternalisasi pengetahuan masyarakat berupa pengetahuan apriori, pengetahuan tanpa fakta empiris. Pengetahuan itu secara tidak sadar akan membuat otak manusia bekerja dan selanjutnya berpikir untuk melakukan pengalaman, yang kemudian akan membuat seseorang mempunyai pengetahuan aposteriori, ini merupakan pola yang sudah ada.

16

membuat masyarakat tidak terlalu sering mengkonsumsinya. Masyarakat beranggapan bahwa makanan cepat saji banyak mengandung bahan kimia yang kalau dikonsumsi secara terus menerus akan berbahaya bagi kesehatan mereka.

Masalah kepraktisan mulai dirasakan oleh masyarakat dusun Nologaten secara perlahan, disadari atau tidak masyarakat sudah mulai masuk dalam dunia modern yang mulai menuntut efektifitas waktu--salah satunya adalah makanan--kehadiran tempat yang menyediakan makanan cepat saji mulai membius mereka dan perlahan menggoda, faktanya masyarakat juga sudah mulai bergeser dari budaya selalu masak sendiri ke budaya yang lebih praktis. Namun masih terdapat hal-hal yang membuat masyarakat tidak terlalu sering mengkonsumsi makanan cepat saji, diantaranya adalah masalah kesehatan yang menurut hasil wawancara menjadi faktor utama penyebab masyarakat belum terlalu sering memakan makanan cepat saji.

V. Alasan Mengonsumsi Makanan Cepat Saji

Perkembangan globalisasi yang semakin maju membuat orang menginginkan semua serba cepat dan instan. Sifat manusia yang serba tidak puas selalu menginginkan hal yang lebih seperti salah satunya dalam mengonsumsi makanan. Fast food merupakan salah satu pilihan makanan yang dipilih oleh manusia sekarang ini karena kepraktisannya yang cepat, instan, dan cukup enak di lidah walaupun memiliki kandungan gizi yang kurang. Dalam beberapa kejadian seperti keadaan yang mendesak, malas untuk memasak, sibuk bekerja serta alasan yang lainnya.

Globalisasi mendorong manusia makin lebih bertindak cepat dan munculah modernitas, bahkan mempengaruhi pilihan orangtua dalam memberikan makanan bagi sang anak. Berbagai alasan menjadi dasar manusia dalam mengonsumsi fast food, tidak lain halnya dengan orangtua yang memilih fast food sebagai solusi pilihan makan anak. Dalam kelompok kami pandangan orangtua mengenai kepraktisan fast food menjadi sorot utama yang diteliti. Dari hasil wawancara kepada para informan, kami menemukan berbagai alasan orangtua memilih fast food sebagai pilihan makanan anak.

Beberapa orangtua di Pedukuhan Nologaten setidaknya pernah membelikan makanan fast food kepada anaknya dengan berbagai alasan. Memberikan pengetahuan bagi anak mengenai jenis-jenis makanan di sekitar mereka cukup penting sang anak dapat membedakan makanan yang sehat dan tidak sehat seperti yang dilakukan Bapak Slamet.

17

Informan kami yang bernama bapak Slamet yang merupakan warga asli Nologaten yang bekerja sebagai distributor barang. Dalam bekerja beliau tidak merasa bahwa pekerjaannya mengganggu pengawasannya terhadap pola makan anak. Beliau juga memiliki usaha sampingan yang berupa toko kelontong yang dijaga istrinya sehingga sang istri dapat mengawasi pola makan anak dan bisa memasak tiap hari. Bapak Slamet mengatakan alasan membelikan anak fast food, “Yaaa, sekedar kenal ajaaa makanan luar itu kayak gini. Sedangkan makanan tradisional kan kayak soto, kayak geprek, kayak itu kan juga makanan kita. Anak kan bisa memperbandingkan gitu loh” jawaban diatas menunjukan alasan beliau yaitu memberikan pengetahuan kepada anaknya agar ia dapat membandingkan makanan tradisional dengan fast food.

Gambar 3.3. Warung milik salah satu informan

Beliau juga menambahkan bahwa alasan lain mengajak ke restoran fast food juga memberikan anaknya lingkungan sosial yang lebih luas sehingga anak tau lingkungan di luar kebiasaannya sehingga bisa mengenal dunia luar, seperti yang beliau katakan berikut, “Ya, alasannya sekedar tau apaa.. Yaa, istilahnya makanan yang istilahnya bukan dari tradisi kita. Disamping itu juga yaa, biar apa, lingkungan sosialnya biar tau”. Bapak Slamet sendiri pun pernah mengonsumsi fast food tetapi intensitasnya kurang bahkan jarang karena beliau tidak begitu suka dan lebih memilih masakan sayuran karena banyak variannya. Keluarga beliau membeli fast food disaat memiliki waktu luang seperti saat hari libur sehingga dijadikan ajang berkumpulnya satu keluarga dan saat beliau memiliki uang yang lebih. Sehingga beliau juga tidak menjadikan fast food sebagai pilihan makanan anak karena menurut beliau banyak mengandung bahan yang tidak baik seperti yang dikatakan berikut, “Yaaa, sekedar apa, mencicipi to istilahnya. Sekali dua kali itu kan bisa cuma sekedar nyicipi.Yang sawian itu kan, eeem yang lebih baik yang ma'em pake sayur mayur. Paling lauknya ya sekedar tempe, apa tahu, apa ikan, kaya gitu kan udah cukup lah.” Dari kutipan berikut dapat dikatakan secara

18 tidak langsung bahwa menurut beliau fast food mengandung bahan kimia atau yang tidak baik bagi kesehatan tubuh. Walaupun begitu menurut beliau boleh saja mencicipi satu hingga dua kali fast food hanya untuk sekedar tahu. Bapak Slamet juga mengatakan bahwa kelebihan fast food selain praktis adalah rasanya yang cukup enak di lidah.

Semakin berkembangnya zaman, manusia semakin memilih yang cepat dan praktis seperti yang dikatakan infoman kami. Ibu Dominica merupakan warga Nologaten adalah seorang dosen di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta. Beliau mengakui bahwa sering membeli makanan diluar karena tidak terlalu bisa memasak sendiri dan keluarganya hanya berjumlah tiga sehingga untuk memasak sangatlah tanggung. Di sekitar Nologaten sangat banyak yang menjual makanan seperti warmindo, popeye, olive, warung , dll, jadi beliau tidak perlu menggunakan motor hanya berjalan kaki saja. Seperti yang diucapkan dalam kutipan berikut,

He e, ini warung indomie tu ada. Di dalam kampung tu dua warung indomie. Terus ke luar, nanti ke kanan dikit.. eh warung indomie tu tiga sama yang di depan. Ke kanan itu ada nasi goreng, sate taichan. Terus ke sana lagi nasi goreng lagi, dan sebagainya. Jadi banyak gitu dek, untuk keluar dengan jalan kaki itu banyak di sini. Sehingga kalau merekomendasikan kan enggak, tapi kalau membeli silahkan gitu ya, tapi nggak merekomendasikan. Cuma kan kalau misalnya merekomendasikan ya kalau terpaksanya nggak makan terus mau beli tu ya yang sekitar sini aja. Nggak perlu naik motor, jalan kaki.

Ibu Dominica Maria Ratna, 14 April 2018 Beliau juga tidak merekomendasikan makanan bagi anaknya dan mempersilakan anaknya untuk membeli fast food atau lainnya hanya saja jika terpaksa terkadang memberikan rekomendasi untuk membeli makanan sekitar rumah saja.

19

Gambar 3.4. Warmindo dekat dengan kediaman informan Ibu Dominica

Jarak tempat fast food yang dekat dan promo restoran fast food juga mempengaruhi atau menjadi alasan seseorang untuk membelinya, seperti yang diucapkan beliau sebagai berikut,

Iya kalau saya iya. Kalaupun misalnya KFC, itu saya tinggal nyebrang kan di... itu apa.. Jwalk itu ada. Jadi saya dulu beli, terus baru.. balik ke kantor, ambil motor baru pulang. Atau yang dilewati, saya pas ke manaa, lewati, terus, wah saya belum masak, saya beli gitu. Misalnya mekdi itu kan, saya mau beli bensin ke sana, e belok ke mekdi dulu, beli bensin terus puternya lewat kampung, pulang. Jadi, a... sering kali belinya itu bukan tujuan, tapi kebetulan hehehe itu terus baru kepikir saat itu, kecuali pas promo itu emang tujuan saya bareng sama, saya ngajak teman saya terus jalan kaki ke sana. Ternyata yang nitip banyak, terus dibawain sama pegawainya itu satu dus hahaha ke ruangan. Masuk ke kampus di lihatin mahasiwa-mahasiswa. Kalau itu, itu memang niat gitu ya beli itu, promo. Tapi kalau, umumnya sih e.. kalau sehari-hari ya itu ya, kebetulan lewat situ terus yah beli.

Ibu Dominica Maria Ratna, 14 April 2018 Beliau juga pernah membeli dan mengonsumsi fast food saat di kantor karena jaraknya berdekatan dengan KFC, sehingga sebelum pulang beliau mampir untuk membeli dan untuk makan dirumah. Beliau juga mengatakan bahwa membeli fast food karena kebetulan lewat atau sejalan dengan jalan pulang kerumahnya. Promo fast food juga menjadi alasan beliau membeli bersama teman-teman di kantornya, karena promo tersebut menjadi ada niatan untuk membeli tetapi untuk jarak hanya kebetulan beliau lewat dan searah jalan pulang.

20

BAB IV PENUTUP

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan melakukan wawancara bersama beberapa warga di Dusun Nologaten, maka kami mendapat berbagai kesimpulan. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa kelompok kami membahas mengenai kepraktisan makanan cepat saji yang dapat membuat orang tua tertarik untuk memberikan atau membelikan kepada anaknya atau sebaliknya, dengan kelebihan kepraktisan tersebut membuat orang tua menjadi enggan untuk membelinya.

Berdasar hasil penelitian kami, terdapat kecenderungan orang tua untuk membelikan anaknya makanan cepat saji karena alasan kepraktisan yang dimiliki oleh makanan cepat saji. Dari hasil wawancara, orang tua di Dusun Nologaten mulai melirik makanan cepat saji karena dipandang sebagai sebuah solusi yang sangat tepat ketika para orang tua tidak punya waktu membuat masakan untuk anak-anak mereka. Kecenderungan ini tentu memperlihatkan telah adanya perkembangan zaman yang mulai memasuki wilayah dusun Nologaten sendiri, efek itu misalnya dikarenakan oleh faktor kedekatan dengan pusat perbelanjaan yang menjadi tanda sebuah modernitas. Dengan fakta tersebut wajar apabila masyarakat dusun Nologaten sudah mulai beranjak dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat yang modern--dalam hal ini apabila kita kaitkan dengan fakta bahwa masyarakat sudah mulai membeli makanan cepat saji- -dan ini merupakan sebuah hal yang memang sedang dinikmati oleh sebagian besar masyarakat--bukan hanya dusun Nologaten saja tetapi bahkan masyarakat Indonesia secara keseluruhan juga merasakannya, kita memahami fenomena ini sebagai fenomena transisional dengan masyarakat yang disebut sebagai masyarakat transisi. Fenomena ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh filsuf berkebangsaan Perancis bernama Rene Gueron, dia berkata bahwa :

The modern confusion had its origin in the West, as we have already said, and until the last few years remained in the West. But now a process is taking place, the gravity of which should not be overlooked: the confusion is spreading everywhere, and even the East seems to be succumbing to it. It is true that the encroachments of the West are nothing new, but hitherto they have been confined to a more or less brutal domination over other peoples, whose effects went no deeper than the domain of politics and economics (Gueron, 2001:97).

21

Dalam perjalanannya modernitas lahir dari barat dan sekarang sudah masuk ke tataran global, termasuk Indonesia. Kemudian untuk melancarkan proses modernitas, kebudayaan timur terkadang harus mengalah dengan masuknya budaya modern yang menuntut adanya perkembangan dalam segala bidang termasuk dalam hal makanan. Seperti yang telah diketahui bahwa orang tua di dusun Nologaten sudah mulai membeli makanan cepat saji ketika mereka tidak punya waktu atau bahkan ketika mereka malas--perlu diketahui bahwa rajin memang bukan budaya yang harus diklaim sebagai budaya timur--tetapi dalam hal ini dapat diketahui dengan jelas bahwa masyarakat dusun Nologaten sudah mulai terjangkit salah satu fenomena masyarakat modern, yaitu sebuah budaya yang menyukai hal yang berbau instant dan cepat, dalam hal ini kita bisa korelasikan dengan kecenderungan masyarakat membeli makanan cepat saji karena kepraktisannya.

Akan tetapi dari hasil wawancara yang telah dilakukan, terdapat sebuah fakta yang patut diungkap bahwa salah satu hambatan besar masyarakat dusun Nologaten untuk tidak mengkonsumsi makanan cepat saji adalah karena mereka sadar bahwa terlalu banyak makan makanan cepat saji bukanlah hal yang baik. Masalah kesehatan nampaknya masih menjadi masalah utama, doktrin yang menyatakan bahwa makanan cepat tidak sehat sudah terlanjur ada di pikiran masyarakat, khusus disini adalah masyarakat dusun Nologaten. Namun sebenarnya, pengetahuan masyarakat mengenai tidak sehatnya makanan cepat saji hanya dipahami sebagai sebuah akibat yang akan terjadi ketika masyarakat mengkonsumsinya secara berlebih, dengan alasan tersebut maka masyarakat menganggap masih tak apa untuk membeli makanan cepat saji asalkan tidak terlalu sering. Dalam studi yang dilakukan mengenai mengapa orang masih saja membeli makanan cepat saji walaupun mereka tahu bahwa itu tidak sehat ditemukan bahwa :

Young people are not concerned with food preparation and that is why, they prefer to go out for their meals. They usually go to fast-food restaurants,especially when there is nobody to cook for them (while they study away from home) and also when they want to socialize. Although they have the necessary knowledge about the nutritional value of food and its effects on their body, they don’t act accordingly. Fast–Food restaurants are famous because they serve the food very fast, they are cheap and they easily replace homemade food. Although people, who are usually very busy working, find fast-foods advantageous, we should all be aware of the fact that fast-food products are high in calories, fats, sugar and salt. Even so, young people admit that it is very difficult for

22

them to change their food habits-especially because they don’t have time and discipline to do it3.

Apabila dikorelasikan dengan alasan masyarakat dusun Nologaten untuk mengkonsumsi makanan cepat saji kita bisa menemukan titik temu bahwa masyarakat tetap membeli--walaupun mereka tahu makanan cepat saji tidak sehat--karena masyarakat beranggapan bahwa makanan cepat saji memberikan keuntungan, diantaranya adalah penyajiannya yang begitu cepat sehingga tidak terlalu membuang banyak waktu. Perlu diketahui juga bahwa daerah Nologaten merupakan daerah yang memiliki banyak kos karena dekat dengan pusat perbelanjaan sehingga mengakibatkan gerai-gerai makanan menjamur. Hal tersebut membuat masyarakat sekitar lebih memilih untuk membeli makanan di gerai-gerai yang ada di sekitarnya dari pada memasak sendiri. Selain itu tindakan mengkonsumsi makanan cepat saji juga disebabkan oleh beberapa faktor lainnya seperti jumlah anggota keluarga yang sedikit sehingga membuat keluarga tersebut malas untuk memasak, tidak adanya orang dalam keluarga yang memiliki inisiatif untuk memasak atau adanya kemalasan dari masyarakat itu sendiri untuk memasak makanan mereka.

Dari situ bisa diambil garis besar bahwa memang benar bahwa adanya kepraktisan dari makanan cepat saji memengaruhi masyarakat untuk membeli hal tersebut diakibatkan karena masyarakat memang tidak mempunyai waktu lebih untuk memasak atau adanya kemalasan untuk memasak, membuat makanan cepat saji menjadi pengganti utama yang ada dipikiran kebanyakan masyarakat dusun Nologaten. Apalagi ketika muncul hal lain yang mengindikasi masyarakat di daerah dusun Nologaten untuk membeli makanan cepat saji seperti jumlah anggota keluarg

3 Ispas, Ana dan Untaru, Elena-Nicotela, 2014, Why do young people prefer fast-food restaurants? An exploratory study https://www.researchgate.net/profile/Elena_Untaru/publication/264548204_Why_do_young_people_prefer_ fast-food_restaurants_An_exploratory_study/links/53e4b33b0cf2fb748710dbdd/Why-do-young-people- prefer-fast-food-restaurants-An-exploratory-study.pdf , diakses tanggal 24 Mei 2018

23

DAFTAR PUSTAKA

Cooke, L., Wardle., Gibson., Sapochnik., Sheilham., & Lawson. 2003. Demographic, familial and trait predictors of fruit and vegetable consumption by pre-school children. Journal of Public Health Nutrition, 7(2), 295. Dalton, M. A., Longacre, M. R., Drake, K. M., Cleveland, L. P., Harris, J. L., Hendricks, K., & Titus, L. J. 2017. Child-targeted fast-food television advertising exposure is linked with fast-food intake among pre-school children, 20(9), 1548–1556. https://doi.org/10.1017/S1368980017000520 Gueron, Rene. 1996. The Crisis of The Modern World. New York. Sophia Perennis Janssen, H. G., Davies, I. G., Richardson, L. D., & Stevenson, L. 2018. Determinants of takeaway and fast food consumption : a narrative review Nutrition Research Reviews, (8). https://doi.org/10.1017/S0954422417000178 Keraf, Sonny dan Dua, Mikhael. 2001. Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta. Penerbit Kanisius Li, F., Harmer, P., Cardinal, B.J., Bosworth, M., Johnson-Shelton, D., 2009. Obesity and the Built Environment: Does the Density of Neighborhood Fast-Food Outlets Matter? Am. J. Health Promot. 23, 203–209. https://doi.org/10.4278/ajhp.071214133

Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002. Nashir, Haedar. 1997. Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Oktaviani Wiwied Dwi, 2012. “Hubungan Kebiasaan Konsumsi Fast Food, Aktivitas Fisik, Karakteristik Remaja Dan Orang Tua Dengan Indeks Massa Tubuh” dalam Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 542-553 Schiffman, Leon G. dan Leslie Lazar Kanuk. 2004. Consumer Behaviour Eighth Edition. Pearson Prentice Hall. Song, C., Goto, K., Hu, M., & Wolff, C. 2015. The impact of social and cultural factors on the consumption of western fast food among Chinese children, 50(4), 709–723. https://doi.org/10.1093/cdj/bsu067

24

LAMPIRAN

I. Data Informan

No Data Informan 1. Nama Informan Pak Sugandi Tanggal Wawancara 15 April, 2018 Pewawancara Rizqyansyah Fitramadhana 2. Nama Informan Mbak Tia Tanggal Wawancara 15 April, 2018 Pewawancara Rizqyansyah Fitramadhana 3. Nama Informan Slamet Marwanto Tanggal Wawancara 15 April 2018 Pewawancara Elvin Rizky Fanditya & Irine Aprilia Sendi 4. Nama Informan - (Mas-mas penjual sayur di Pasar Nologaten) Tanggal Wawancara 15 April 2018 Pewawancara Elvin Rizky Fanditya & Irine Aprilia Sendi 5. Nama Informan Bapak Bambang Tanggal Wawancara 15 April 2018, 14.30 Pewawancara Aurora Abel Sanggita 6. Nama Informan Dominica Maria Ratna Tanggal Wawancara 14 April 2018 Pewawancara Annie Aya Yukanti

25

II. Data Networking Kelompok

26

27

III. Data Networking Individu

a. Rizqyansyah Fitramadhana

TIDAK BANYAK PERNAH

BUMBU

FREKUENSI

PERSEPSI TIDAK SEHAT JARANG

PRAKTIS

FAST FOOD

MELARANG ANAK MAKAN FAST FOOD

PEDAGANG

LATAR BELAKANG

PELAJAR

28 b. Elvin Rizky Fanditya

29 c. Irine Aprilia Sendi

30 d. Aurora Abel Sanggita

31 e. Annie Aya Yukanti

32

IV. Daftar Nama Pembuat Subbab

No Nama Subbab Nama Pembuat 1. Pengetahuan Akan Makanan Cepat Saji Irine Aprilia Sendi Widyaningrum 2. Latar Belakang Informan Annie Aya Yukanti 3. Pandandangan Mengenai Makanan Cepat Saji Aurora Abel Sanggita 4. Kepraktisan Makanan Cepat Saji Rizqyansyah Fitramadhana 5. Alasan Mengonsumsi Makanan Cepat Saji Elvin Rizky Fanditya

V. Daftar Kompilasi Tugas Individu

Tugas yang Dikumpulkan No Nama Verbatim Reflection Data Indexing Coding Transcript Diary Networking 1. Irine Aprilia Sendi W. v v v v v 2. Annie Aya Yukanti v v v v v 3. Aurora Abel Sanggita v v v v v 4. Rizqyansyah F. v v v v v 5. Elvin Rizky Fanditya v v v v v

33