Pesona Candi Cetho Sebagai Salah Satu Daya Tarik Wisata Di Karanganyar Jawa Tengah
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Domestic Case Study 2018 Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta Pesona Candi Cetho sebagai Salah Satu daya Tarik Wisata di Karanganyar jawa Tengah Tri Joko Setyanto 1702813 Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta Abstract : Makalah ini merupakan hasil laporan Domestic Case Study untuk syarat publikasi ilmiah di Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta dengan Judul Pesona Candi Cetho sebagai Salah Satu daya Tarik Wisata di Karanganyar jawa Tengah. 1. Pendahuluan Domestic Case Study (DCS) adalah program wajib yang harus diikuti oleh mahasiswa Semester VIII Program Studi Hospitality Sekolah Tingi Pariwisata Ambarrukmo (STiPRAM). Adapun tujuan dari DCS adalah agar mahasiswa mampu menganalisa kondisi pariwisata dalam negeri yang ada pada saat ini [1]. Pada tanggal 12 - 14 januari 2018 penulis mengikuti kegiatan Jambore Nasional yang diadakan di Bumi Perkemahan Karang Pramuka Kaliurang, Kabupaten Sleman dengan tema “Seminar Alam.” Jambore Nasional tersebut diikuti sekitar 350 mahasiswa pariwisata yang berasal dari Yogyakarta, Bali, Bandung dan Semarang. Adapun pembicara pada acara Jambore Nasional tersebut antara lain [2] : 1. Prof Dr. M Baiquni, M.A. (Guru Besar Geografi Regional UGM) dengan materi Community Based Tourism. 2. Prof Azril Azahari, P.Hd. (Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Pariwisata Indonesia) dengan materi Responsible Tourism. 3. AKBP Sinungwati, SH, M.IP (Kasubdit Bintibluh Ditbinmas Polda DIY) dengan materi Tourism Security. Penulis mengambil judul “Pesona Candi Cetho Sebagai Salah Satu Daya Tarik Wisata Di Karanganyar Jawa Tengah” karena potensi Candi Cetho sangat besar dan harus tetap terjaga sehingga perlu diterapkan responsible tourism. Responsible tourism atau pariwisata bertanggung jawab adalah pendekatan pengelolaan pariwisata yang meminimalisir dampak lingkungan dari kegiatan pariwisata [7]. Tanggung jawab memelihara lingkungan bukan hanya terbatas pada pemerintah, para penyelenggara atau pengelola tempat liburan itu saja, tetapi juga masyarakat setempat dan wisatawan [8]. Dengan responsible tourism diharapkan kegiatan pariwisata akan bertahan terus (suistainable) bagi masyarakat. Penulis berharap dengan adanya jurnal ilmiah ini, masyarakat dan wisatawan yang berkunjung ke Candi Cetho juga mengetahui arti pentingnya responsible tourism. 2. Pembahasan A. Gambaran Umum Indonesia banyak menyimpan peninggalan sejarah tentang agama Hindu, salah satunya adalah candi [3]. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), candi adalah bangunan kuno yang dibuat dari batu (sebagai tempat pemujaan, penyimpanan abu jenazah raja-raja, pendeta- 1 pendeta Hindu atau Buddha pada zaman dulu). Candi-candi tersebut tersebar di Pulau Jawa dan dibangun pada zaman Kerajaan Mataram, Kediri, Majapahit dan Singosari [5]. Pembangunan candi hindu pada umumnya ditujukan untuk beribadah, upacara ritual dan pemujaan terhadap dewa karena pada zaman tersebut agama yang dianut mayoritas adalah agama hindu. Candi Hindu tersebut semuanya memiliki dasar kesamaan arsitektur, yakni adanya tiga dewa, Dewa Brahma (Pencipta) Dewa Wisnu (Pemelihara) dan Dewa Siwa (Pelebur) [4,6]. Salah satu contoh candi Hindu di Indonesia adalah Candi Cetho. Candi ini terletak di ketinggian 1.497 meter di atas permukaan laut (mdpl), tepatnya di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar. Kabupaten Karanganyar berada di Provinsi Jawa Tengah bagian selatan dan merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan Jawa Timur sehingga dapat dikatakan sebagai lokasi yang strategis. Kabupaten Karanganyar terletak sekitar 14 km dari sebelah timur Kota Surakarta. Luas wilayah Kabupaten Karanganyar secara keseluruhan mencapai 77.378,64 Ha yang terbagi menjadi 17 Kecamatan dan 177 desa/kelurahan. Secara administratif, batas wilayah Kabupaten Karanganyar adalah sebagai berikut : a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Sragen. b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Magetan dan Kabupaten Ngawi. c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Sukoharjo. d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Boyolali dan Kota Surakarta. B. Potensi Pariwisata Kabupaten Karanganyar terletak di lereng Gunung Lawu dan rata–rata wilayahnya berada pada ketinggian 511 mdpl. Nama Karanganyar berasal dari pedukuhan yang berada di Kabupaten Karanganyar yang diberikan oleh Raden Mas Said / Mangkunegaran I (pendiri Praja Mangkunegaran, sebuah kadipaten agung di Jawa bagian selatan) karena di tempat tersebut beliau menemukan kemantapan akan perjanjian baru (jawa: anyar) untuk menjadi penguasa. Wilayah terendah Kabupaten Karanganyar berada di Kecamatan Kebakkramat pada ketinggian 80 mdpl dan wilayah tertinggi berada di Kecamatan Tawangmangu pada ketinggian 2.000 mdpl. Secara geologi Kabupaten Karanganyar terdiri atas wilayah dataran tinggi dan dataran rendah dengan pemandangan alam yang indah. Dengan kondisi alamnya yang sangat beragam, Kabupatem Karanganyar sangat cocok untuk wisata alam minat khusus seperti outbound, arung jeram, tracking, hiking, terbang layang dan banyak lainnya. Lokasinya yang berdekatan dengan kerajaan Mataram Islam di Surakarta dan Yogyakarta dan juga dipercaya sebagai tempat tinggal Raja Majapahit terakhir, Brawijaya V, Kabupatem Karanganyar juga mempunyai banyak obyek wisata sejarah dan ziarah. Kebanyakan obyek wisata itu sudah berumur ratusan tahun, bahkan ada situs-situs purba dan prasejarah yang diperkirkan telah berumur ribuan tahun. Dengan semua potensi yang dimilikinya, Kabupaten Karanganyar menjadi salah satu tujuan wisata unggulan di Provinsi Jawa Tengah. Salah satu wisata sejarah yang ada di Kabupaten Karanganyar adalah Candi Cetho. Candi ini terletak di Lereng Gunung Lawu pada ketinggian 1.497 mdpl, tepatnya di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar. Nama Candi Cetho diambil dari nama dusun tempat candi ini dibangun yakni Dusun Cetho. Dalam bahasa Jawa, cetho memiliki arti jelas. Dinamakan cetho karena dari Dusun Cetho, kita bisa dengan jelas melihat pemandangan pegunungan di sekitar dusun. Pegunungan tersebut antara lain Gunung Merbabu, Gunung Lawu dan Gunung Merapi ditambah puncak Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Selain pemandangan pegunungan, dari Dusun Cetho kita juga bisa melihat dengan jelas pemandangan Kota Surakarta dan Kota Karanganyar di bawahnya. Candi Cetho dibangun pada tahun 1397 Saka (1475 Masehi) atau pada zaman Kerajaan Majapahit, hal tersebut terlihat dari pahatan prasasti yang ditemukan pada dinding gapura tingkat tujuh. Prasasti tersebut bertuliskan “Pelling padamel irikang buku tirtasunya hawakira ya hilang saka kalanya wiku goh anaut iku 1397 saka” yang ditafsirkan sebagai peringatan pendirian tempat peruwatan atau tempat untuk membebaskan diri dari kutukan pada tahun 1397 saka. Keterangan tersebut sekaligus memberikan penjelasan tentang fungsi dibangunnya candi. 2 Keberadaan Candi Cetho pertama kali diungkapkan oleh sejarawan Belanda bernama Van der Vlies pada tahun 1842. Hasil penelitian selanjutnya dilakukan oleh W.F Stutterheim, K.C Crucq, A.J Bernet Kempers, NJ Krom dan Riboet Darmosoetopo. Pada saat ditemukan, Candi Cetho hanya berupa reruntuhan batu dengan 14 teras/punden berundak, bentuknya memanjang dari barat ke timur. Setelah penemuan pertama dan penelitian dari para ahli, di tahun 1928 Candi Cetho kembali digali. Dari penggalian ini, diketahui bahwa Candi Cetho ini dibangun di masa akhir Majapahit yakni di sekitar abad ke-15. Candi Cetho dibangun dengan material batu andesit dengan memakai relief yang sederhana, tidak seperti Candi Hindu lain yang memiliki relief yang cukup kompleks. Candi Cetho memiliki arsitektur yang mirip dengan candi Suku Maya di Meksiko dan Suku Inca di Peru. Patung yang terdapat di candi ini pun apabila dilihat tidak mirip dengan orang Jawa melainkan lebih mirip dengan orang Sumeria atau Romawi. Keunikan arsitektur ini membuat perdebatan diantara para ahli sejarah tentang tahun dibuatnya Candi Cetho. Melihat arsitekturnya, bisa jadi Candi Cetho telah dibuat jauh sebelum masa Kerajaan Majapahit. Bahan andesit yang digunakan di Candi Cetho berbeda dengan candi Hindu di masa kerajaan Majapahit yang pada saat itu dibangun menggunakan bata merah. Sementara itu, relief yang ada di candi di zaman Kerajaan Majapahit juga lebih kompleks dan detail, berbeda dengan relief yang ditemukan di Candi Cetho yang cenderung lebih sederhana dan sangat mudah dikenali. Pada akhir tahun 1970 dilakukan pemugaran oleh Sudjono Humardani, asisten pribadi Presiden Suharto. Pemugaran tersebut mengubah banyak struktur asli candi, meskipun pemugaran hanya dilakukan pada sembilan teras saja dan konsep punden berundak tetap dipertahankan. Pemugaran ini banyak dikritik oleh pakar arkeologi mengingat pemugaran situs purbakala tidak dapat dilakukan tanpa studi yang mendalam. Beberapa objek baru hasil pemugaran yang dianggap tidak original adalah gapura di bagian depan komplek candi, bangunan-bangunan dari kayu tempat pertapaan, patung-patung dan bangunan kubus pada bagian puncak punden. Pada tahun 1982 Dinas Purbakala (sekarang Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala) melakukan penelitian dalam rangka rekonstruksi. Pada awalnya Candi Cetho memiliki 14 buah teras berundak, namun hanya tersisa 13 teras setelah penemuan kembalinya. Bahkan kini setelah pemugaran hanya tersisa 9 teras. Deskripsi arsitektur teras Candi Cetho adalah sebagai berikut : a. Teras 1 Candi Cetho Teras 1 Candi Cetho merupakan sebuah halaman dan gapura yang cukup besar dengan bentuk seperti Candi Bentar (dua bangunan serupa dan sebangun tetapi merupakan simetri cermin yang membatasi