Pesona Candi Cetho Sebagai Salah Satu Daya Tarik Wisata Di Karanganyar Jawa Tengah

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Pesona Candi Cetho Sebagai Salah Satu Daya Tarik Wisata Di Karanganyar Jawa Tengah Domestic Case Study 2018 Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta Pesona Candi Cetho sebagai Salah Satu daya Tarik Wisata di Karanganyar jawa Tengah Tri Joko Setyanto 1702813 Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta Abstract : Makalah ini merupakan hasil laporan Domestic Case Study untuk syarat publikasi ilmiah di Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta dengan Judul Pesona Candi Cetho sebagai Salah Satu daya Tarik Wisata di Karanganyar jawa Tengah. 1. Pendahuluan Domestic Case Study (DCS) adalah program wajib yang harus diikuti oleh mahasiswa Semester VIII Program Studi Hospitality Sekolah Tingi Pariwisata Ambarrukmo (STiPRAM). Adapun tujuan dari DCS adalah agar mahasiswa mampu menganalisa kondisi pariwisata dalam negeri yang ada pada saat ini [1]. Pada tanggal 12 - 14 januari 2018 penulis mengikuti kegiatan Jambore Nasional yang diadakan di Bumi Perkemahan Karang Pramuka Kaliurang, Kabupaten Sleman dengan tema “Seminar Alam.” Jambore Nasional tersebut diikuti sekitar 350 mahasiswa pariwisata yang berasal dari Yogyakarta, Bali, Bandung dan Semarang. Adapun pembicara pada acara Jambore Nasional tersebut antara lain [2] : 1. Prof Dr. M Baiquni, M.A. (Guru Besar Geografi Regional UGM) dengan materi Community Based Tourism. 2. Prof Azril Azahari, P.Hd. (Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Pariwisata Indonesia) dengan materi Responsible Tourism. 3. AKBP Sinungwati, SH, M.IP (Kasubdit Bintibluh Ditbinmas Polda DIY) dengan materi Tourism Security. Penulis mengambil judul “Pesona Candi Cetho Sebagai Salah Satu Daya Tarik Wisata Di Karanganyar Jawa Tengah” karena potensi Candi Cetho sangat besar dan harus tetap terjaga sehingga perlu diterapkan responsible tourism. Responsible tourism atau pariwisata bertanggung jawab adalah pendekatan pengelolaan pariwisata yang meminimalisir dampak lingkungan dari kegiatan pariwisata [7]. Tanggung jawab memelihara lingkungan bukan hanya terbatas pada pemerintah, para penyelenggara atau pengelola tempat liburan itu saja, tetapi juga masyarakat setempat dan wisatawan [8]. Dengan responsible tourism diharapkan kegiatan pariwisata akan bertahan terus (suistainable) bagi masyarakat. Penulis berharap dengan adanya jurnal ilmiah ini, masyarakat dan wisatawan yang berkunjung ke Candi Cetho juga mengetahui arti pentingnya responsible tourism. 2. Pembahasan A. Gambaran Umum Indonesia banyak menyimpan peninggalan sejarah tentang agama Hindu, salah satunya adalah candi [3]. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), candi adalah bangunan kuno yang dibuat dari batu (sebagai tempat pemujaan, penyimpanan abu jenazah raja-raja, pendeta- 1 pendeta Hindu atau Buddha pada zaman dulu). Candi-candi tersebut tersebar di Pulau Jawa dan dibangun pada zaman Kerajaan Mataram, Kediri, Majapahit dan Singosari [5]. Pembangunan candi hindu pada umumnya ditujukan untuk beribadah, upacara ritual dan pemujaan terhadap dewa karena pada zaman tersebut agama yang dianut mayoritas adalah agama hindu. Candi Hindu tersebut semuanya memiliki dasar kesamaan arsitektur, yakni adanya tiga dewa, Dewa Brahma (Pencipta) Dewa Wisnu (Pemelihara) dan Dewa Siwa (Pelebur) [4,6]. Salah satu contoh candi Hindu di Indonesia adalah Candi Cetho. Candi ini terletak di ketinggian 1.497 meter di atas permukaan laut (mdpl), tepatnya di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar. Kabupaten Karanganyar berada di Provinsi Jawa Tengah bagian selatan dan merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan Jawa Timur sehingga dapat dikatakan sebagai lokasi yang strategis. Kabupaten Karanganyar terletak sekitar 14 km dari sebelah timur Kota Surakarta. Luas wilayah Kabupaten Karanganyar secara keseluruhan mencapai 77.378,64 Ha yang terbagi menjadi 17 Kecamatan dan 177 desa/kelurahan. Secara administratif, batas wilayah Kabupaten Karanganyar adalah sebagai berikut : a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Sragen. b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Magetan dan Kabupaten Ngawi. c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Sukoharjo. d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Boyolali dan Kota Surakarta. B. Potensi Pariwisata Kabupaten Karanganyar terletak di lereng Gunung Lawu dan rata–rata wilayahnya berada pada ketinggian 511 mdpl. Nama Karanganyar berasal dari pedukuhan yang berada di Kabupaten Karanganyar yang diberikan oleh Raden Mas Said / Mangkunegaran I (pendiri Praja Mangkunegaran, sebuah kadipaten agung di Jawa bagian selatan) karena di tempat tersebut beliau menemukan kemantapan akan perjanjian baru (jawa: anyar) untuk menjadi penguasa. Wilayah terendah Kabupaten Karanganyar berada di Kecamatan Kebakkramat pada ketinggian 80 mdpl dan wilayah tertinggi berada di Kecamatan Tawangmangu pada ketinggian 2.000 mdpl. Secara geologi Kabupaten Karanganyar terdiri atas wilayah dataran tinggi dan dataran rendah dengan pemandangan alam yang indah. Dengan kondisi alamnya yang sangat beragam, Kabupatem Karanganyar sangat cocok untuk wisata alam minat khusus seperti outbound, arung jeram, tracking, hiking, terbang layang dan banyak lainnya. Lokasinya yang berdekatan dengan kerajaan Mataram Islam di Surakarta dan Yogyakarta dan juga dipercaya sebagai tempat tinggal Raja Majapahit terakhir, Brawijaya V, Kabupatem Karanganyar juga mempunyai banyak obyek wisata sejarah dan ziarah. Kebanyakan obyek wisata itu sudah berumur ratusan tahun, bahkan ada situs-situs purba dan prasejarah yang diperkirkan telah berumur ribuan tahun. Dengan semua potensi yang dimilikinya, Kabupaten Karanganyar menjadi salah satu tujuan wisata unggulan di Provinsi Jawa Tengah. Salah satu wisata sejarah yang ada di Kabupaten Karanganyar adalah Candi Cetho. Candi ini terletak di Lereng Gunung Lawu pada ketinggian 1.497 mdpl, tepatnya di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar. Nama Candi Cetho diambil dari nama dusun tempat candi ini dibangun yakni Dusun Cetho. Dalam bahasa Jawa, cetho memiliki arti jelas. Dinamakan cetho karena dari Dusun Cetho, kita bisa dengan jelas melihat pemandangan pegunungan di sekitar dusun. Pegunungan tersebut antara lain Gunung Merbabu, Gunung Lawu dan Gunung Merapi ditambah puncak Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Selain pemandangan pegunungan, dari Dusun Cetho kita juga bisa melihat dengan jelas pemandangan Kota Surakarta dan Kota Karanganyar di bawahnya. Candi Cetho dibangun pada tahun 1397 Saka (1475 Masehi) atau pada zaman Kerajaan Majapahit, hal tersebut terlihat dari pahatan prasasti yang ditemukan pada dinding gapura tingkat tujuh. Prasasti tersebut bertuliskan “Pelling padamel irikang buku tirtasunya hawakira ya hilang saka kalanya wiku goh anaut iku 1397 saka” yang ditafsirkan sebagai peringatan pendirian tempat peruwatan atau tempat untuk membebaskan diri dari kutukan pada tahun 1397 saka. Keterangan tersebut sekaligus memberikan penjelasan tentang fungsi dibangunnya candi. 2 Keberadaan Candi Cetho pertama kali diungkapkan oleh sejarawan Belanda bernama Van der Vlies pada tahun 1842. Hasil penelitian selanjutnya dilakukan oleh W.F Stutterheim, K.C Crucq, A.J Bernet Kempers, NJ Krom dan Riboet Darmosoetopo. Pada saat ditemukan, Candi Cetho hanya berupa reruntuhan batu dengan 14 teras/punden berundak, bentuknya memanjang dari barat ke timur. Setelah penemuan pertama dan penelitian dari para ahli, di tahun 1928 Candi Cetho kembali digali. Dari penggalian ini, diketahui bahwa Candi Cetho ini dibangun di masa akhir Majapahit yakni di sekitar abad ke-15. Candi Cetho dibangun dengan material batu andesit dengan memakai relief yang sederhana, tidak seperti Candi Hindu lain yang memiliki relief yang cukup kompleks. Candi Cetho memiliki arsitektur yang mirip dengan candi Suku Maya di Meksiko dan Suku Inca di Peru. Patung yang terdapat di candi ini pun apabila dilihat tidak mirip dengan orang Jawa melainkan lebih mirip dengan orang Sumeria atau Romawi. Keunikan arsitektur ini membuat perdebatan diantara para ahli sejarah tentang tahun dibuatnya Candi Cetho. Melihat arsitekturnya, bisa jadi Candi Cetho telah dibuat jauh sebelum masa Kerajaan Majapahit. Bahan andesit yang digunakan di Candi Cetho berbeda dengan candi Hindu di masa kerajaan Majapahit yang pada saat itu dibangun menggunakan bata merah. Sementara itu, relief yang ada di candi di zaman Kerajaan Majapahit juga lebih kompleks dan detail, berbeda dengan relief yang ditemukan di Candi Cetho yang cenderung lebih sederhana dan sangat mudah dikenali. Pada akhir tahun 1970 dilakukan pemugaran oleh Sudjono Humardani, asisten pribadi Presiden Suharto. Pemugaran tersebut mengubah banyak struktur asli candi, meskipun pemugaran hanya dilakukan pada sembilan teras saja dan konsep punden berundak tetap dipertahankan. Pemugaran ini banyak dikritik oleh pakar arkeologi mengingat pemugaran situs purbakala tidak dapat dilakukan tanpa studi yang mendalam. Beberapa objek baru hasil pemugaran yang dianggap tidak original adalah gapura di bagian depan komplek candi, bangunan-bangunan dari kayu tempat pertapaan, patung-patung dan bangunan kubus pada bagian puncak punden. Pada tahun 1982 Dinas Purbakala (sekarang Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala) melakukan penelitian dalam rangka rekonstruksi. Pada awalnya Candi Cetho memiliki 14 buah teras berundak, namun hanya tersisa 13 teras setelah penemuan kembalinya. Bahkan kini setelah pemugaran hanya tersisa 9 teras. Deskripsi arsitektur teras Candi Cetho adalah sebagai berikut : a. Teras 1 Candi Cetho Teras 1 Candi Cetho merupakan sebuah halaman dan gapura yang cukup besar dengan bentuk seperti Candi Bentar (dua bangunan serupa dan sebangun tetapi merupakan simetri cermin yang membatasi
Recommended publications
  • Prambanan Temple Compounds, Indonesia
    WHV – Prambanan Temple Compounds Prambanan Temple Compounds, Indonesia Cultural property inscribed on the 22/07/2019 –02/08/2019 World Heritage List in 1991 Built in the tenth century, Prambanan Temple Compounds is the largest temple compound dedicated to Shiva in Indonesia. Rising above the centre of the last of a series of concentric squares are three temples decorated with reliefs illustrating the epic of the Ramayana, dedicated to the three great Hindu divinities (Shiva, Vishnu and Brahma) and three temples dedicated to the animals who serve them. With over 500 temples, Indonesia’s largest Buddhist complex of Sewu, Prambanan Temple Compounds represents not only an architectural and cultural treasure, but also a living proof of past religious peaceful cohabitation. Project objectives: The project, one of the longest running camps in the World Heritage Volunteers initiative, strongly focuses on restoration, an important step in rebuilding the temple and showcasing its history. Furthermore, it progressively integrates more outreach activities to involve young students from the schools and communities in the area. Project activities: The volunteers will participate actively in the restoration activities at the temple, learning to use different techniques and tools. Working in teams, they will locate, clean and assemble the stones of the buildings heavily damaged by the 2006 earthquake. The will also conduct educational activities on heritage, targeting local students. Partners: Ministry of Education and Culture of Indonesia, UNESCO Office Jakarta, Central Java Archeological Site Management, Elementary and Junior High Schools of SD Kokosan 2, SD Bugisan Lor, SD Sanggrahan, MTs Prambanan, MI Maarif. Dejavato Foundation Mr Sigit Raharjo [email protected] .
    [Show full text]
  • Forms and Types of Borobudur's Stupas
    Cultural Dynamics in a Globalized World – Budianta et al. (Eds) © 2018 Taylor & Francis Group, London, ISBN 978-1-138-62664-5 Forms and types of Borobudur’s stupas A. Revianur Department of Archaeology, Faculty of Humanities, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia ABSTRACT: Candi Borobudur (Borobudur Temple) is the world’s largest Mahayana- Vajrayana Buddhist temple, which is located in Magelang, Central Java, Indonesia. It was built by the Sailendra dynasty between the 8th and 9th centuries A.D. The temple was built with 10-step pyramid terraces, which are decorated with 2,672 relief panels, 504 Buddha stat- ues, and 1,537 stupas. In this study, we aim to examine the forms and types of the stupas of Borobudur, which are composed of 1,536 secondary stupas and 1 primary stupa compared to those of other stupas found in Java and Bali islands. The stupas at Borobudur located from the second to ninth terraces are called the secondary stupas, whereas the one located on the tenth terrace is called the primary stupa. They are symbolic stupas, which consist of a base (Prasadha), a bell-shaped body (anda), a top support (harmika), and a top (yashti). The stupas are divided into four types, namely plain stupas, hollow space-square stupas, hollow space-diamond stupas containing the Dhyani Buddha Vairocana that represents the turn- ing wheel of the dharma and the single main stupa that becomes the centre of Borobudur Temple reflecting Sailedra art-style. Here, we use a qualitative method, which is based on field observation and historical sources. The objective of this study is to provide a comprehensive description of the stupas in Borobudur from the perspective of historical archaeology.
    [Show full text]
  • Bibliography
    Bibliography Abbreviations André, M.-F., et al. Aung Myint 2011 “Weathering of Sandstone Lotus 1970 “The Excavations at Halin.” JBRS 53, BEFEO Bulletin de l’École Française Petals at the Angkor Site: A 1000-Year Stone no. 2, pp. 55–64. d’Extrême-Orient Durability Trial.” Environmental Earth Sciences BIPPA Bulletin of the Indo-Pacific 63, nos. 7–8, pp. 1723–39. Aung Thaw Prehistory Association 1968 Report on the Excavations at Beikthano. BKI Bijdragen tot de taal–, Ang Choulean Rangoon: Revolutionary Government of land– en volkenkunde van 1997 “Nandin and His Avatars.” In Sculpture the Union of Burma, Ministry of Union Nederlandsch-Indië of Angkor and Ancient Cambodia: Millennium Culture. FAD Fine Arts Department of of Glory, edited by Helen Ibbitson Jessup 1978 Historical Sites in Burma. Rangoon: Thailand and Thierry Zéphir, pp. 62–69. Exh. cat. Ministry of Union Culture. [Repr. of 1972 ed.] FMJ Federation Museums Journal Washington, D.C.: National Gallery of Art; JBRS Journal of the Burma Research Paris: Réunion des Musées Nationaux; New Aung-Thwin, Michael, and Maitrii Aung-Thwin Society York: Thames and Hudson. 2012 A History of Myanmar since Ancient JMBRAS Journal of the Malaysian Branch Times: Traditions and Transformations. London: of the Royal Asiatic Society Angkor: Göttliches Erbe Kambodschas Reaktion Books. JSS Journal of the Siam Society 2006 Angkor: Göttliches Erbe Kambodschas. MBJ Muang Boran Journal Exh. cat. Bonn: Kunst- und Ausstellungshalle Averbuch, Bryan NPHMVKCH Nhüng phát hiên mói vè khào der Bundesrepublik Deutschland; Berlin: 2013 “From Siraf to Sumatra: Seafaring and cõ hoc Martin-Gropius-Bau; Zurich: Rietberg- Spices in the Islamicate Indo-Pacific, Ninth– TBG Tijdschrift voor Indische taal–, Museum; Munich: Prestel.
    [Show full text]
  • UNESCO World Heritage Site Yogyakarta 57454 Indonesia
    Candi Perwara, Bokoharjo, Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa UNESCO World Heritage Site Yogyakarta 57454 Indonesia unesco | 1 PRAMBANAN THE LEGEND The astonishing temples of Prambanan, believed to be the proof of love from Bandung Bondowoso to Princess Loro Jonggrang, are the best remaining examples of Java’s extended period of Hindu culture. Located 17 kilometers northeast of Yogyakarta, the temples boast of a wealth of sculptural detail and are considered to be one of Indonesia’s most phenomenal examples of Hindu art. Legend says that there were once a thousand temples standing in the area, but due to a great earthquake in the 16th century, accelerated by the treasure hunters and locals searching for building material, many of the temples are gone now. Initiatives to restore the temples have been conducted to some extent, though many stand in ruin today. The UNESCO World Heritage Site of the Prambanan Temple Compounds. PHOTO BY MICHAEL TURTLE prambanan | 2 prambanan | 3 CONSTRUCTION The Prambanan temple is the largest Hindu temple of ancient Java, and the first building was completed in the mid-9th century. It was likely started by Rakai Pikatan as the Hindu Sanjaya Dynasty’s answer to the Buddhist Sailendra Dynasty’s Borobudur and Sewu temples nearby. Historians suggest that the construction of Prambanan probably was meant to mark the return of the Hindu Sanjaya Dynasty to power in Central Java after almost a century of Buddhist Sailendra Dynasty domination. The construction of this massive Hindu temple signifies that the Medang court had shifted its patronage from Mahayana Buddhism to Shaivite Hinduism.
    [Show full text]
  • World Heritage Sites in Indonesia Java (October 2009)
    World Heritage Sites in Indonesia Site name Entered Borobudur Temple Compounds 1991 Prambanan Temple Compounds 1991 Komodo National Park 1991 Ujung Kulon National Park 1991 Sangiran Early Man Site 1996 Lorentz National Park 1999 Tropical Rainforest Heritage of Sumatra 2004 The Cultural Landscape of Bali Province: the Subak System as a Manifestation of 2012 the Tri Hita Karana Philosophy Tentative list of Indonesia Banda Islands Banten Ancient City Bawomataluo Site Belgica Fort Besakih Betung Kerihun National Park (Transborder Rainforest Heritage of Borneo) Bunaken National Park Derawan Islands Elephant Cave Great Mosque of Demak Gunongan Historical Park Muara Takus Compound Site Muarajambi Temple Compound Ngada traditional house and megalithic complex Penataran Hindu Temple Complex Prehistoric Cave Sites in Maros-Pangkep Pulau Penyengat Palace Complex Raja Ampat Islands Ratu Boko Temple Complex Sukuh Hindu Temple Taka Bonerate National Park Tana Toraja Traditional Settlement Trowulan Ancient City Wakatobi National Park Waruga Burial Complex Yogyakarta Palace Complex Sites that have been nominated in the past Lore Lindu NP Maros Prehistoric Cave Toraja Java (October 2009) The Indonesian island of Java holds three cultural WHS, among which is the iconic Borobudur. I visited all three sites on daytrips from Yogyakarta, a city that in its Sultan's Palace (kraton) also has a monument worthy of WH status. Borobudur . Sangiran Early Man Site . Prambanan Borobudur The Borobudur Temple Compounds is a ninth century Buddhist temple complex. It was built on several levels around a natural hill. Borobudur is built as a single large stupa, and when viewed from above takes the form of a giant tantric Buddhist mandala, simultaneously representing the Buddhist cosmology and the nature of mind.
    [Show full text]
  • The Old Malay Mañjuśrīgr̥ha Inscription from Candi Sewu (Java
    The Old Malay Mañjuśrīgrha inscription from Candi Sewu (Java, Indonesia) Arlo Griffiths To cite this version: Arlo Griffiths. The Old Malay Mañjuśrīgrha inscription from Candi Sewu (Java, Indonesia). Vin- cent Tournier; Vincent Eltschinger; Marta Sernesi. Archaeologies of the written: Indian, Tibetan, and Buddhist studies in honour of Cristina Scherrer-Schaub, 89, Università degli Studi di Napoli “L’Orientale”, pp.225-262, 2020, Series minor. halshs-03013600 HAL Id: halshs-03013600 https://halshs.archives-ouvertes.fr/halshs-03013600 Submitted on 4 Dec 2020 HAL is a multi-disciplinary open access L’archive ouverte pluridisciplinaire HAL, est archive for the deposit and dissemination of sci- destinée au dépôt et à la diffusion de documents entific research documents, whether they are pub- scientifiques de niveau recherche, publiés ou non, lished or not. The documents may come from émanant des établissements d’enseignement et de teaching and research institutions in France or recherche français ou étrangers, des laboratoires abroad, or from public or private research centers. publics ou privés. Archaeologies of the Written: Indian, Tibetan, and Buddhist Studies in Honour of Cristina Scherrer-Schaub Series Minor LXXXIX Direttore Francesco Sferra Comitato di redazione Giorgio Banti, Riccardo Contini, Junichi Oue, Roberto Tottoli, Giovanni Vitiello Comitato scientifico Anne Bayard-Sakai (INALCO), Stanisław Bazyliński (Facoltà teologica S. Bonaventura, Roma), Henrietta Harrison (University of Oxford), Harunaga Isaacson (Universität Hamburg), Barbara
    [Show full text]
  • Candi, Space and Landscape
    Degroot Candi, Space and Landscape A study on the distribution, orientation and spatial Candi, Space and Landscape organization of Central Javanese temple remains Central Javanese temples were not built anywhere and anyhow. On the con- trary: their positions within the landscape and their architectural designs were determined by socio-cultural, religious and economic factors. This book ex- plores the correlations between temple distribution, natural surroundings and architectural design to understand how Central Javanese people structured Candi, Space and Landscape the space around them, and how the religious landscape thus created devel- oped. Besides questions related to territory and landscape, this book analyzes the structure of the built space and its possible relations with conceptualized space, showing the influence of imported Indian concepts, as well as their limits. Going off the beaten track, the present study explores the hundreds of small sites that scatter the landscape of Central Java. It is also one of very few stud- ies to apply the methods of spatial archaeology to Central Javanese temples and the first in almost one century to present a descriptive inventory of the remains of this region. ISBN 978-90-8890-039-6 Sidestone Sidestone Press Véronique Degroot ISBN: 978-90-8890-039-6 Bestelnummer: SSP55960001 69396557 9 789088 900396 Sidestone Press / RMV 3 8 Mededelingen van het Rijksmuseum voor Volkenkunde, Leiden CANDI, SPACE AND LANDscAPE Sidestone Press Thesis submitted on the 6th of May 2009 for the degree of Doctor of Philosophy, Leiden University. Supervisors: Prof. dr. B. Arps and Prof. dr. M.J. Klokke Referee: Prof. dr. J. Miksic Mededelingen van het Rijksmuseum voor Volkenkunde No.
    [Show full text]
  • Download File
    International Journal of Current Multidisciplinary Studies Available Online at http://www.journalijcms.com Vol. 5, Issue,05(A), pp. 1001-1005,MAY,2019 IJCMS RESEARCH ARTICLE UNESCO CULTURAL HERITAGES AND SYMBOL OF INDONESIAN PEACE AND RELIGIOUS HARMONY Hary Gunarto Ritsumeikan Asia Pacific University. Japan ARTICLE INFO ABSTRACT Received 10th February, 2019 Borobudur and Prambanan are UNESCO heritage sites located in central Java, Indonesia Received in revised form 2nd with monument size of 123x123x47 meters (Borobudur) and 34x34x47 meters (Prambanan March, 2019 on Shiva shrine). Based on Guinness World Records, Borobudur is the biggest Buddhist Accepted 26th April, 2019 temple in the world and entirely made from massive and solid volcanic stones. These two ancient monuments have abundant bas-reliefs on their walls which illustrate teaching Published online 28th May, 2019 manuscript of Buddhist and Hinduism religions, and represent the life of Buddha (Buddhist Keywords: texts) and Ramayana documents each. This paper discusses the history and understanding Symbol of religious harmony, Borobudur, for both religious monuments that now represents symbol of religious tolerance in a country Prambanan, Buddhist temple, Hinduism with majority Muslim people. They are believed to be constructed and build in peaceful and shrine tolerant religious harmony among people of the 8th century Mataram Kingdom. Copyright © 2019 Hary Gunarto et al., This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License, which permits unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly cited. INTRODUCTION role of both types of heritage treasures often serves as an important part for country's tourist industry and attracts many UNESCO World heritage is natural and cultural legacy of local and foreign visitors.
    [Show full text]
  • ANALISIS POTENSI DAN PENGEMBANGAN OBYEK WISATA CANDI DI KABUPATEN KLATEN JAWA TENGAH TAHUN 2018 SKRIPSI Diajukan Untuk Memen
    i ANALISIS POTENSI DAN PENGEMBANGAN OBYEK WISATA CANDI DI KABUPATEN KLATEN JAWA TENGAH TAHUN 2018 SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai derajat Sarjana S-1 Fakultas Geografi Oleh: DEWI FAJAR INDRIYANI E100140050 FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2018 ii iii iv v MOTTO “ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki- laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Al-Hujurat:13) “Hidup itu perjuangan, maka perjuangkanlah. Dan, jika saja kemungkinan itu kecil, maka pastikan Perjuangan itu besar” ( Penulis ) vi HALAMAN PERSEMBAHAN Karya ini saya persembahkan untuk : 1. Allah SWT sebagai bentuk syukur atas segala nikmat yang telah diberikan kepada penulis sehingga karya ini dapat terselesaikan. 2. Ayah dan Ibu tercinta yang tak henti-hentinya mendukung, mendoakan, serta menyemangatiku untuk menyelesaikan pendidikan gelar Strata 1 ini. 3. Kakak dan adikku tersayang yang selalu ku rindukan dan yang selalu menyemangatiku. 4. Teman-teman terdekatku happy pelangi Chintya, Vivit, Devi, Shobi, Rizky, Nisa dan Tyas yang selalu aku repoti. 5. Teman-teman Fakultas Geografi UMS Angkatan 2014, seluruh teman yang selalu mendukung serta teman-teman kost trilus. 6. Almamaterku Universitas Muhammadiyah Surakarta. vii INTISARI ANALISIS POTENSI DAN PENGEMBANGAN OBYEK WISATA CANDI DI KABUPATEN KLATEN JAWA TENGAH TAHUN 2018 Dewi Fajar Indriyani dan DR. Kuswaji Dwi Priyono, M.Si. [email protected] Abstrak Provinsi Jawa Tengah sangat kaya akan potensi pariwisata yang tersebar di berbagai daerah atau kabupaten yang terbagi dalam beberapa sektor diantaranya wisata bahari, budaya dan spiritual.
    [Show full text]
  • Candi Sukuh Dan Ceto Di Kawasan Gunung Lawu: Peranannya Pada Abad 14 – 15 Masehi
    CANDI SUKUH DAN CETO DI KAWASAN GUNUNG LAWU: PERANANNYA PADA ABAD 14 – 15 MASEHI Sukuh and Ceto temple on the mount Lawu teritory: Fungtional concern at 14 – 15 C Oleh: Etty Saringendyanti Makalah Hasil Penelitian FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS PADJADJARAN 2008 LEMBAR PENGESAHAN Judul : Candi Sukuh dan Ceto di Kawasan Gunung Lawu: Peranannya pada abad 14-15 Masehi Oleh : Etty Saringendyanti, Dra., M.Hum. NIP. 131573160 Evaluator, H. Maman Sutirman, Drs., M.Hum. Dr. Wahya, M.Hum. NIP. 131472326 NIP. 131832049 Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Sejarah, Awaludin Nugraha, Drs., M.Hum. NIP 132102926 CANDI SUKUH DAN CETO DI KAWASAN GUNUNG LAWU: PERANANNYA PADA ABAD 14 – 15 MASEHI Sukuh and Ceto temple on the mount Lawu teritory: Fungtional concern at 14 – 15 C Oleh: Etty Saringendyanti1 ABSTRAK Candi Sukuh dan Ceto terletak di lereng barat Gunung Lawu, yang secara administratif terletak di perbatasan antara Kabupaten Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah dengan Kabupaten Magetan, Propinsi Jawa Timur. Gunung Lawu saat ini merupakan salah satu gunung yang terkenal sebagai tempat meditasi bagi sebagian masyarakat penganut aliran kepercayaan, dan biasanya pada setiap tanggal 1 Suro dilakukan upacara Labuhan. Candi Sukuh dan Ceto berbentuk bangunan teras berundak. Teras-terasnya berupa susunan teras halaman. Bangunan induk candi Sukuh dan Ceto berbentuk piramid terpancung. Arca dan relief yang ditemukan, menggambarkan bentuk manusia, binatang, dan simbol, antara lain sepasang arca penjaga, arca lembu, gajah, garuda, dan kura-kura, yoni, lingga berbentuk phallus dalam ukuran besar dan kecil, serta lingga berbentuk phallus yang digambarkan berhadapan dengan vagina, penggalan cerita Sudamala, Garudeya, Samudramanthana, pandai besi, dan Nawaruci. Dari artefak yang ditemukan kedua candi itu merupakan candi yang diperuntukan bagi penganut agama Hindu Saiwa dalam menjalani upacara diksa.
    [Show full text]
  • Barabudur, Mendut and Pawon and Their Mutual Relationship
    Barabudur, Mendut and Pawon and their mutual relationship By J. L. MOENS Mark Long, translator English-language translation © 2007 www.borobudur.tv1 TABLE OF CONTENTS SECTION I: INTRODUCTION 2 SECTION II: THE NAME BARABUDUR 8 SECTION III: THE FORM OF BARABUDUR 17 SECTION IV: THE BUDDHISM OF BARABUDUR 27 a. The Sang Hyang Kamahayanikan 27 b. The main image. 32 c. Ashrayaparavrtti. 35 d. Transcendental preachings. 39 e. The Nisyanda-Buddha. 47 f. Resumé (Summary) 57 SECTION V: THE STUPA-TYPE 58 SECTION VI: THE MAIN IMAGES OF MENDUT AND PAWON AND THE DYNASTIC RITUAL 64 a. The Sun Path. 66 b. The reincarnation ritual. 68 c. The consecration ritual. 73 SECTION VII: THE BUDDHISM OF MENDUT, BANON AND PAWON 79 a. The mandala of Shingon-Buddhism 79 Schematic representation of the Vajra- and Garbhadhatu-mandalas 84 b. Tjandi Mendut 88 c. Tjandi Banon. 96 Tabular overview of the pantheon of Shingon-Buddhism, the Siddhanta-Shaivism and the Buddhism of Mendut with Banon 99 1 I would like to extend a special thanks to Roy Jordaan for playing an instrumental role in bringing this project to fruition. Now readers without any Dutch-language capabilities can finally explore the depths of Moens’ original if controversial theories concerning some of Southeast Asia’s more stunning architectural achievements. I would also be grateful for any suggestion to further improve the translation of the text, particularly in view of the complicated subject and the deep but regrettably not always clearly expounded views of Moens. In particular, any assistance from a native French-language speaker in translating the quotations from Paul Mus citied herein would be most welcome! The words that appear in (round brackets) are those of the author, while the words that appears in [square brackets] are my own clarifications.
    [Show full text]
  • Lawyers' Litigation Forecasts Play an Integral Role in the Justice System
    China-USA Business Review, ISSN 1537-1514 January 2014, Vol. 13, No. 1, 20-37 D DAVID PUBLISHING Creative Batik Motif Design Based on Local Cultural Art and Natural Environments Timbul Raharjo, Toyibah Kusumawati, Suryo Tri Widodo Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia Local arts, culture, and natural environment of Indonesia had their own uniqueness. They might be explored to help and to develop batik industry in Indonesia, especially in motif aspect. It was necessary to help craftsmen to create new and innovative batik products. The study was conducted as an effort to motivate batik craftsmen in developing batik industry through production of creative and unique batik motives. First study question: What are artistic motives of local arts and culture of natural environment of Yogyakarta and Central Java able to give distinct and characteristically local styles? Second was how to create creative batik inspired by local arts and natural environment. It has identified arts that have potentials to give inspiration of new motives, including Borobudur temple, Prambanan temple, Sewu temple, leather puppets (Wayang) and keris. Also, it has identified environments such as Merapi Mountain, Code River, Parantritis Beach, Sewu Mountain, Menoreh Hill, Solo River, and Grojogan Sewu waterfall. Ten designers and five batik industries were involved in materializing the batik motives in addition to lectures and students. Exploration method was used here that examined motif forms, analysis and creation of alternative sketches, selection, creation of designs and prototypes, and finally evaluation. The results were 159 batik prototypes of local arts and culture motives. It was concluded that the craftsmen needed new designs of local characters of Indonesia that have been created in the study.
    [Show full text]