Perkembangan Revitalisasi Kesenian Berbasis Budaya Panji Di Bali1) Oleh Prof
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
1 Perkembangan Revitalisasi Kesenian Berbasis Budaya Panji di Bali1) Oleh Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum. Program Studi Sastra Jawa Kuna, FIB, UNUD Pendahuluan Bangsa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang diwariskan secara turun-temurun meliputi periode waktu yang panjang. Kekayaan budaya bangsa Indonesia yang terwarisi hingga hari ini ada yang berupa unsur budaya benda (tangible), seperti keris, wayang, gamelan, batik, candi, bangunan kuno, dan lain-lain; serta ada yang berupa unsur budaya tak benda (intangible), seperti sastra, bahasa, kesenian, pengetahuan, ritual, dan lain-lain. Kekayaan budaya bangsa tersebut merepresentasikan filosofi, nilai dasar, karakter, dan keragaman adab. Sastra Panji adalah salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia. Sastra Panji merupakan sastra asli Nusantara (Sedyawati, 2007:269). Sastra Panji diperkirakan diciptakan pada masa kejayaan Majapahit. Sastra Panji dapat dipandang sebagai revolusi kesusastraan terhadap tradisi sastra lama (tradisi sastra kakawin) (Poerbatjaraka,1988:237). Sebagaimana dikatakan Zoetmulder (1985:533) bahwa kisah-kisah Panji disajikan secara eksklusif dalam bentuk kidung dan menggunakan bahasa Jawa Pertengahan. Persebarannya ke pelosok Nusantara diresepsi ke dalam kesusastraan berbagai bahasa Nusantara. Sastra Panji telah banyak dibicarakan ataupun diteliti oleh para pakar, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, antara lain Rassers (1922) menulis tentang kisah Panji dalam tulisan berjudul “De Pandji-roman”; Berg meneliti kidung Harsawijaya (1931) dan menerbitkan artikel berjudul “Bijdrage tot de kennis van de Pandji-verhalen” (1954); Robson meneliti kidung Wangbang Wideya dalam tulisan berjudul “Wangbang Wideya, a Javanese Pandji romance” (1971); Terwen-de Loos meneliti relief Panji di Gunung Bekel Pananggungan dalam artikel berjudul “De Panji-reliëfs van oudheid LXV op de Gunung Bekel Pananggungan” (1971); Zoetmulder membahas tentang cerita-cerita Panji dalam bukunya berjudul “Kalangwan: a survey of Old Javanese literature” (1971); Vickers meneliti teks Malat dengan tulisan berjudul “Journeys of Desire, a Study of the Balinese text Malat” (2005), dan Formaggia membahas teks Malat dalam kaitannya dengan dramatari Gambuh 1 ) Disampaikan pada Seminar Revitalisasi Budaya Panji di Malang, Jatim, tanggal 25—26 Oktober 2016, diselenggarakan oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Laboratorium Pelatihan dan Pengembangan Kesenian (LPPK) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur. 2 dalam buku berjudul “Gambuh Drama Tari Bali, Tinjauan Seni, Makna Emosional dan Mistik, Kata-kata dan Teks, Musik Gambuh Desa Batuan dan Desa Pedungan” (2000). Sementara para pakar dalam negeri yang sempat meneliti kisah Panji, antara lain Poerbatjaraka dengan tulisan berjudul “Pandji-verhalen onderling vergeleken” (1940), dan diterbitkan kembali dalam bahasa Indonesia berjudul “Cerita Panji dalam Perbandingan: Sebuah Pembicaraan Umum” (1988); Bandem meneliti karakter Panji dalam dramatari Gambuh di Bali dalam tulisan berjudul “Pandji Characterization in the Gambuh dance drama” (1971); Soenarko H. Poespito meneliti Serat Panji dengan tulisan berjudul “Serat Panji, Panji mbedah nagari Bali” (1979); I Gusti Ngurah Bagus dkk mengumpulkan dongeng tentang Panji dalam buku berjudul “Dongeng Panji dalam Kesusastraan Bali, Pengantar, Teks, dan Terjemahan” (1986); Siti Baroroh Baried dan Farid Hadi membahas tentang kisah Panji dalam tulisan berjudul “Panji, Citra Pahlawan Nusantara” (1987); Edi Sedyawati menulis artikel tentang Panji berjudul “Javanese Dramatic Interpretations of Panji Stories” (2007). Walaupun kisah Panji telah banyak diteliti para pakar bukan berarti semua persoalan yang ada pada kisah Panji terpecahkan. Kisah Panji tetap merupakan objek estetik yang senantiasa membuka diri kepada pembaca atau penyambutnya untuk menginterpretasi dan memaknainya sesuai dengan situasi kekinian dan kedisinian. Pada kesempatan ini, sastra Panji dicoba dibedah melalui pendekatan etnografi sastra dengan menggunakan teori semiotik dan hermeneutik. Pendekatan etnografi sastra digunakan dalam upaya mendekati sastra Panji sebagai peristiwa kultural, baik spiritual maupun material (Endraswara, 2012:51). Teori semiotik digunakan untuk membedah persoalan makna yang dikandung dalam sastra Panji dengan melihat dan menempatkan sastra Panji sebagai penggunaan kata-kata untuk memberikan pandangan mendalam atas sifat intrinsik dari segala sesuatu (Danesi, 2012:129); sebagai fakta semiotik atau sistem tanda (Abdullah, 1991:8) yang dapat ditafsirkan dan yang proses penafsirannya itu dapat terjadi berkali-kali (Hoed, 2001:197). Di Bali, kisah-kisah cinta pangeran Panji dari Koripan dengan puteri Daha sangat digemari masyarakat Bali, sejak kemunculan sastra kidung di Bali pada masa kejayaan kerajaan Gelgel di bawah pemerintahan Dalem Watu Renggong (1460—1550). Pada zaman Gelgel, sebuah versi kisah Panji berjudul Malat diperkiraan ditulis oleh seorang pejabat istana bernama I Gusti Dauh Bale Agung, sekitar abad XVI. Teks Malat tersebut kemudian diduga menjadi sumber banyak karya susastra di Bali (Formaggia, 2000:30). Mengapa sastra Panji sangat berterima di hati masyarakat Bali? Dalam rangka fungsi apa sastra Panji diterima masyarakat Bali? Bagaimana sastra Panji diperlakukan dan dimaknai oleh masyarakat Bali? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut penting didiskusikan pada kesempatan ini, 3 setidaknya untuk mempelajari serta memperkaya pengetahuan dan sikap budaya kita mengenai mutu sastra ataupun sejarah kebudayaan dalam rangka kemajuan adab, budaya, dan persatuan. Kisah Panji dalam Dimensi Teo-Filosofi Masyarakat Bali Masyarakat Bali memiliki pandangan bahwa cerita, yang dalam bahasa Bali disebut satua, merupakan transformasi dari tatwa, yakni salah satu dari tiga kerangka agama Hindu, selain susila dan acara. Tatwa mencakup aspek teo-filosofi. Demikian halnya, kisah Panji dalam Kidung Malat sebagai sebuah cerita (satua) dipandang merupakan transformasi dari tatwa dalam agama Hindu. Karena itu, di satu sisi kisah Panji dipandang memiliki dimensi sosial (imanen) dan di sisi lain dipandang memiliki dimensi teo-filosofi (transenden). Kedua dimensi tersebut saling berkelindan. Dimensi sosial (imanen) menunjuk kepada kehidupan kemanusiaan di alam nyata (sakala), berada dalam kesadaran atau akal budi. Dimensi teo- filosofi (transenden) menunjuk kepada kehidupan yang lebih tinggi (niskala), berada di luar kesanggupan manusia. Tema pokok sastra Panji adalah pertunangan atau pernikahan antara putra mahkota Koripan (Janggala=Keling) dengan putri Daha (Kadiri=Mamenang). Dalam tradisi Bali, tema pokok sastra Panji dirumuskan dalam adagium “api dharma ning kahuripan”, ‘api/panas adalah substansi dasar kehidupan’. Daha (Kadiri) dianalogikan dengan api/panas dan Koripan (Janggala) dianalogikan dengan kehidupan (kahuripan). Dalam kisah Panji, konsep api/panas diembankan dalam diri tokoh Raden Galuh sebagai putri Daha (Rara Kadiri) yang berpasangan atau tidak bisa dipisahkan dengan tokoh Panji (pangeran Koripan) sebagai simbol kehidupan (kahuripan). Sebagaimana diketahui bahwa pada awal cerita, pangeran Panji (Nusapati) dan Raden Galuh (Anrang Kesari atau Rangkesari) dikisahkan telah bertunangan, tetapi Raden Galuh kemudian menghilang. Pangeran Panji meninggalkan keraton untuk mencari Raden Galuh. Peristiwa atau insiden menghilangnya Raden Galuh dapat dipandang sebagai ceriteme yang mempunyai makna atau nilai (value) (Levi Strauss dalam Ahimsa-Putra, 2001). Dari sisi dimensi sosial, insiden menghilangnya Raden Galuh memiliki relasi dengan insiden Pangeran Panji meninggalkan keraton untuk mencari Raden Galuh yang didasari atas kesadaran akan cinta kasih mereka sebagaimana layaknya sepasang kekasih dalam kehidupan nyata. Dilihat dari dimensi teo-filosofi, insiden menghilangnya Raden Galuh di awal kisah merupakan simbol yang mentransformasikan konsep teo-filosofi api/panas (Daha) sebagai awal atau substansi kehidupan (Kahuripan /Janggala). Hal ini sejalan dengan pandangan penciptaan 4 awal melalui energi tapa ‘panas’ Sang Api yang dimuat dalam kitab Brhad-aranyaka Upanisad dan kitab Chandogya Upanisad yang menyatakan bahwa dari tapa-Nya (Sang Api) muncullah teja ‘panas’ atau arka ‘api’dan dari panas itu keluarlah air yang kemudian menjadi sumber kehidupan semua mahluk (Donder, 2007:144). Ceriteme pangeran Panji (Nusapati) mencari kekasihnya Raden Galuh (Rangkesari) dari sisi dimensi teo-filosofi dapat dipandang sebagai simbol transformasi penciptaan mahluk-mahluk hidup oleh Manu sebagai perwujudan Tuhan dalam bentuk manusia yang memiliki kemampuan adikodrati. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Brhad-aranyaka Upanisad bahwa Dia (Manu) sejatinya tidak merasa gembira karena hanya sendirian. Kemudian, Dia menginginkan dirinya menjadi dua dalam wujud seorang laki-laki (Manu laki-laki) sedang berpelukan dengan seorang wanita (Manu perempuan). Dia yang menyebabkan adanya atma yang terbagi atas dua bagian. Maka terjadilah pasangan suami- istri, dan dari penyatuan suami-istri itulah manusia lahir. Namun, pasangan suami-istri itu adalah pasangan dari saudara kembar yang tidak dibenarkan atau bertentangan dengan ajaran agama Hindu. Karena itu, sebelum melakukan hubungan badan, Manu laki-laki dan Manu perempuan itu melepaskan atribut kedewataannya terlebih dahulu dengan berubah wujud menjadi binatang, seperti kijang jantan dan kijang betina, kuda jantan dan kuda betina, demikian seterusnya. Setelah berhasil menciptakan mahluk-mahluk, Manu laki-laki dan Manu perempuan berubah wujud kembali seperti semula (Donder, 2007:148). Perubahan