1

Perkembangan Revitalisasi Kesenian Berbasis Budaya Panji di Bali1) Oleh Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum. Program Studi Sastra Jawa Kuna, FIB, UNUD

Pendahuluan Bangsa memiliki kekayaan budaya yang diwariskan secara turun-temurun meliputi periode waktu yang panjang. Kekayaan budaya bangsa Indonesia yang terwarisi hingga hari ini ada yang berupa unsur budaya benda (tangible), seperti keris, wayang, gamelan, batik, candi, bangunan kuno, dan lain-lain; serta ada yang berupa unsur budaya tak benda (intangible), seperti sastra, bahasa, kesenian, pengetahuan, ritual, dan lain-lain. Kekayaan budaya bangsa tersebut merepresentasikan filosofi, nilai dasar, karakter, dan keragaman adab. Sastra Panji adalah salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia. Sastra Panji merupakan sastra asli Nusantara (Sedyawati, 2007:269). Sastra Panji diperkirakan diciptakan pada masa kejayaan . Sastra Panji dapat dipandang sebagai revolusi kesusastraan terhadap tradisi sastra lama (tradisi sastra kakawin) (Poerbatjaraka,1988:237). Sebagaimana dikatakan Zoetmulder (1985:533) bahwa kisah-kisah Panji disajikan secara eksklusif dalam bentuk kidung dan menggunakan bahasa Jawa Pertengahan. Persebarannya ke pelosok Nusantara diresepsi ke dalam kesusastraan berbagai bahasa Nusantara. Sastra Panji telah banyak dibicarakan ataupun diteliti oleh para pakar, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, antara lain Rassers (1922) menulis tentang kisah Panji dalam tulisan berjudul “De Pandji-roman”; Berg meneliti kidung Harsawijaya (1931) dan menerbitkan artikel berjudul “Bijdrage tot de kennis van de Pandji-verhalen” (1954); Robson meneliti kidung Wangbang Wideya dalam tulisan berjudul “Wangbang Wideya, a Javanese Pandji romance” (1971); Terwen-de Loos meneliti relief Panji di Gunung Bekel Pananggungan dalam artikel berjudul “De Panji-reliëfs van oudheid LXV op de Gunung Bekel Pananggungan” (1971); Zoetmulder membahas tentang cerita-cerita Panji dalam bukunya berjudul “Kalangwan: a survey of Old Javanese literature” (1971); Vickers meneliti teks Malat dengan tulisan berjudul “Journeys of Desire, a Study of the Balinese text Malat” (2005), dan Formaggia membahas teks Malat dalam kaitannya dengan dramatari Gambuh

1 ) Disampaikan pada Seminar Revitalisasi Budaya Panji di Malang, Jatim, tanggal 25—26 Oktober 2016, diselenggarakan oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Laboratorium Pelatihan dan Pengembangan Kesenian (LPPK) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur. 2 dalam buku berjudul “Gambuh Drama Tari , Tinjauan Seni, Makna Emosional dan Mistik, Kata-kata dan Teks, Musik Gambuh Desa Batuan dan Desa Pedungan” (2000). Sementara para pakar dalam negeri yang sempat meneliti kisah Panji, antara lain Poerbatjaraka dengan tulisan berjudul “Pandji-verhalen onderling vergeleken” (1940), dan diterbitkan kembali dalam bahasa Indonesia berjudul “Cerita Panji dalam Perbandingan: Sebuah Pembicaraan Umum” (1988); Bandem meneliti karakter Panji dalam dramatari Gambuh di Bali dalam tulisan berjudul “Pandji Characterization in the Gambuh dance drama” (1971); Soenarko H. Poespito meneliti Serat Panji dengan tulisan berjudul “Serat Panji, Panji mbedah nagari Bali” (1979); I Gusti Ngurah Bagus dkk mengumpulkan dongeng tentang Panji dalam buku berjudul “Dongeng Panji dalam Kesusastraan Bali, Pengantar, Teks, dan Terjemahan” (1986); Siti Baroroh Baried dan Farid Hadi membahas tentang kisah Panji dalam tulisan berjudul “Panji, Citra Pahlawan Nusantara” (1987); Edi Sedyawati menulis artikel tentang Panji berjudul “Javanese Dramatic Interpretations of Panji Stories” (2007). Walaupun kisah Panji telah banyak diteliti para pakar bukan berarti semua persoalan yang ada pada kisah Panji terpecahkan. Kisah Panji tetap merupakan objek estetik yang senantiasa membuka diri kepada pembaca atau penyambutnya untuk menginterpretasi dan memaknainya sesuai dengan situasi kekinian dan kedisinian. Pada kesempatan ini, sastra Panji dicoba dibedah melalui pendekatan etnografi sastra dengan menggunakan teori semiotik dan hermeneutik. Pendekatan etnografi sastra digunakan dalam upaya mendekati sastra Panji sebagai peristiwa kultural, baik spiritual maupun material (Endraswara, 2012:51). Teori semiotik digunakan untuk membedah persoalan makna yang dikandung dalam sastra Panji dengan melihat dan menempatkan sastra Panji sebagai penggunaan kata-kata untuk memberikan pandangan mendalam atas sifat intrinsik dari segala sesuatu (Danesi, 2012:129); sebagai fakta semiotik atau sistem tanda (Abdullah, 1991:8) yang dapat ditafsirkan dan yang proses penafsirannya itu dapat terjadi berkali-kali (Hoed, 2001:197). Di Bali, kisah-kisah cinta pangeran Panji dari Koripan dengan puteri Daha sangat digemari masyarakat Bali, sejak kemunculan sastra kidung di Bali pada masa kejayaan kerajaan Gelgel di bawah pemerintahan Dalem Watu Renggong (1460—1550). Pada zaman Gelgel, sebuah versi kisah Panji berjudul Malat diperkiraan ditulis oleh seorang pejabat istana bernama I Gusti Dauh Bale Agung, sekitar abad XVI. Teks Malat tersebut kemudian diduga menjadi sumber banyak karya susastra di Bali (Formaggia, 2000:30). Mengapa sastra Panji sangat berterima di hati masyarakat Bali? Dalam rangka fungsi apa sastra Panji diterima masyarakat Bali? Bagaimana sastra Panji diperlakukan dan dimaknai oleh masyarakat Bali? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut penting didiskusikan pada kesempatan ini, 3 setidaknya untuk mempelajari serta memperkaya pengetahuan dan sikap budaya kita mengenai mutu sastra ataupun sejarah kebudayaan dalam rangka kemajuan adab, budaya, dan persatuan.

Kisah Panji dalam Dimensi Teo-Filosofi Masyarakat Bali Masyarakat Bali memiliki pandangan bahwa cerita, yang dalam bahasa Bali disebut satua, merupakan transformasi dari tatwa, yakni salah satu dari tiga kerangka agama Hindu, selain susila dan acara. Tatwa mencakup aspek teo-filosofi. Demikian halnya, kisah Panji dalam Kidung Malat sebagai sebuah cerita (satua) dipandang merupakan transformasi dari tatwa dalam agama Hindu. Karena itu, di satu sisi kisah Panji dipandang memiliki dimensi sosial (imanen) dan di sisi lain dipandang memiliki dimensi teo-filosofi (transenden). Kedua dimensi tersebut saling berkelindan. Dimensi sosial (imanen) menunjuk kepada kehidupan kemanusiaan di alam nyata (sakala), berada dalam kesadaran atau akal budi. Dimensi teo- filosofi (transenden) menunjuk kepada kehidupan yang lebih tinggi (niskala), berada di luar kesanggupan manusia. Tema pokok sastra Panji adalah pertunangan atau pernikahan antara putra mahkota Koripan (Janggala=Keling) dengan putri Daha (Kadiri=Mamenang). Dalam tradisi Bali, tema pokok sastra Panji dirumuskan dalam adagium “api dharma ning ”, ‘api/panas adalah substansi dasar kehidupan’. Daha (Kadiri) dianalogikan dengan api/panas dan Koripan (Janggala) dianalogikan dengan kehidupan (kahuripan). Dalam kisah Panji, konsep api/panas diembankan dalam diri tokoh Raden Galuh sebagai putri Daha (Rara Kadiri) yang berpasangan atau tidak bisa dipisahkan dengan tokoh Panji (pangeran Koripan) sebagai simbol kehidupan (kahuripan). Sebagaimana diketahui bahwa pada awal cerita, pangeran Panji (Nusapati) dan Raden Galuh (Anrang Kesari atau Rangkesari) dikisahkan telah bertunangan, tetapi Raden Galuh kemudian menghilang. Pangeran Panji meninggalkan keraton untuk mencari Raden Galuh. Peristiwa atau insiden menghilangnya Raden Galuh dapat dipandang sebagai ceriteme yang mempunyai makna atau nilai (value) (Levi Strauss dalam Ahimsa-Putra, 2001). Dari sisi dimensi sosial, insiden menghilangnya Raden Galuh memiliki relasi dengan insiden Pangeran Panji meninggalkan keraton untuk mencari Raden Galuh yang didasari atas kesadaran akan cinta kasih mereka sebagaimana layaknya sepasang kekasih dalam kehidupan nyata. Dilihat dari dimensi teo-filosofi, insiden menghilangnya Raden Galuh di awal kisah merupakan simbol yang mentransformasikan konsep teo-filosofi api/panas (Daha) sebagai awal atau substansi kehidupan (Kahuripan /Janggala). Hal ini sejalan dengan pandangan penciptaan 4 awal melalui energi tapa ‘panas’ Sang Api yang dimuat dalam kitab Brhad-aranyaka Upanisad dan kitab Chandogya Upanisad yang menyatakan bahwa dari tapa-Nya (Sang Api) muncullah teja ‘panas’ atau arka ‘api’dan dari panas itu keluarlah air yang kemudian menjadi sumber kehidupan semua mahluk (Donder, 2007:144). Ceriteme pangeran Panji (Nusapati) mencari kekasihnya Raden Galuh (Rangkesari) dari sisi dimensi teo-filosofi dapat dipandang sebagai simbol transformasi penciptaan mahluk-mahluk hidup oleh Manu sebagai perwujudan Tuhan dalam bentuk manusia yang memiliki kemampuan adikodrati. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Brhad-aranyaka Upanisad bahwa Dia (Manu) sejatinya tidak merasa gembira karena hanya sendirian. Kemudian, Dia menginginkan dirinya menjadi dua dalam wujud seorang laki-laki (Manu laki-laki) sedang berpelukan dengan seorang wanita (Manu perempuan). Dia yang menyebabkan adanya atma yang terbagi atas dua bagian. Maka terjadilah pasangan suami- istri, dan dari penyatuan suami-istri itulah manusia lahir. Namun, pasangan suami-istri itu adalah pasangan dari saudara kembar yang tidak dibenarkan atau bertentangan dengan ajaran agama Hindu. Karena itu, sebelum melakukan hubungan badan, Manu laki-laki dan Manu perempuan itu melepaskan atribut kedewataannya terlebih dahulu dengan berubah wujud menjadi binatang, seperti kijang jantan dan kijang betina, kuda jantan dan kuda betina, demikian seterusnya. Setelah berhasil menciptakan mahluk-mahluk, Manu laki-laki dan Manu perempuan berubah wujud kembali seperti semula (Donder, 2007:148). Perubahan wujud Manu laki-laki dan Manu perempuan dalam kitab Brhad-aranyaka Upanisad ditransformasikan ke dalam insiden-insiden penyamaran Panji dan Raden Galuh dengan bermacam-macam nama pribadi selama petualangan asmaranya. Kisah Panji berakhir dengan adegan kedua kekasih saling mengenali kembali (kembali ke wujud semula), rakyat bersuka ria, dan pesta pernikahan pun digelar. Kisah Panji yang sering disebut siklus Panji, tetapi telah dibantah oleh Robson (1969), menganalogikan bahwa penciptaan itu berulang-ulang sebagai siklus kalpa, dari satu siklus ke siklus berikutnya. Satu siklus kalpa terdiri atas lahir (utpati), hidup (sthiti), mati (pralina); kemudian diulang kembali dengan satu siklus kalpa berikutnya yaitu lahir (utpati), hidup (sthiti), mati (pralina), demikian seterusnya menyerupai lingkaran cincin. Dari Prakreti Tuhan, semua mahluk muncul dan lenyap berkali-kali dengan tidak berdaya (Donder, 2007:152). Sejatinya, kisah Panji bukan merupakan suatu rangkaian (siklus), melainkan tiap- tiap kisah adalah satu cerita yang bulat. Setiap kisah menampilkan pokok alur yang sama, tetapi dihias dengan seluk-beluk naratif yang berbeda panjang dan isinya (Robson dalam Zoetmulder, 1985:532). 5

Dunia kraton (Koripan, Daha, Gegelang, dan ) yang dipimpin oleh empat raja bersaudara yang dilukiskan dalam kisah Panji bukanlah dunia kraton yang ada pada suatu waktu tertentu, melainkan dunia kraton yang dikenal dan ada di benak pengarang, yakni kraton Bali-Jawa (Zoetmulder, 1985:534). Sebagai sebuah ceriteme, keempat kerajaan yang dipimpin oleh empat raja bersaudara tersebut mentransformasikan simbol tata letak dan arah dalam dimensi teo-filosofi masyarakat Bali. Dalam formasi arah beserta dewa penguasanya, yang disebut Pangider-ider Dewata Nawasanggha, dijelaskan bahwa Dewa Brahma sebagai Dewa Api berada di daerah kelod (selatan menurut masyarakat Bali selatan, utara menurut masyarakat Bali utara). Jika api dapat dianalogikan dengan daha ‘panas’ itu berarti kerajaan Daha (Kadiri) akan ditempatkan di arah kelod. Arah kelod berpasangan dengan arah kaja (utara menurut Bali selatan, selatan menurut masyarakat Bali utara). Jika Daha (Kadiri) berada di arah kelod, itu berarti Koripan akan ditempatkan di arah kaja. Jika Daha dianalogikan dengan api, maka Koripan dapat dianalogikan dengan air. Menurut kepercayaan dan keyakinan masyarakat Bali, Dewa Wisnu adalah Dewa Air, dewa penguasa alam kaja. Lebih jauh, masyarakat Bali menganalogikan kelod sebagai feminim (pradhana, ratu), dan arah kaja beranalogi dengan maskulin (purusa, raja). Konsep kaja-kelod diejawantahkan dalam pola tata ruang pemukiman Bali tradisional, yakni dapur/paon (api, Dewa Brahma) berada di arah kelod dan gedong/meten (air, Dewa Wisnu) berada di arah kaja. Pertemuan antara api dan air beranalogi dengan pertemuan pradhana dan purusa diyakini menimbulkan asap (patemuning api lawan toya metu kukus, kukus ngaran atma), simbol jiwa kehidupan (amreta). Jika Daha (api) dan Koripan (air) menempati arah kelod dan kaja, maka Gegelang dan Singhasari akan menempati arah kangin (timur, angin = angin) dan kawuh (barat, wuh/buh = tanah). Penempatan Daha, Koripan, Gegelang, Singhasari di keempat penjuru (nyatur desa) mengindikasikan adanya hubungan selaras dan harmonis antara keempat kerajaan bersaudara, simbol penyatuan kekuatan dan kekuasaan dalam menolak segala ancaman serta mara bahaya demi kesejahteraan masyarakat. Secara sosiologis, sastra Panji yang berbasis kearifan lokal “persaudaraan” mengindikasikan kedekatan hubungan antara kerajaan, penguasa, dan rakyat.

Kisah Panji dalam Sastra Kidung dan Upacara Keagamaan di Bali Kehadiran sastra Panji di Bali memberi warna baru dalam sejarah kesusastraan Bali tradisional. Kehadiran sastra Panji melahirkan tradisi sastra kidung di Bali (Zoetmulder, 1985:532). Kisah Panji disadur ke dalam berbagai bentuk karya sastra Bali tradisional, antara lain kidung Malat dalam versi panjang dan versi pendek, kidung Anglingsmara, kidung 6

Panjisaktiwijaya, kidung Panjiwijayakrama, kidung Patetoyani Panji, kidung Wasengsmara, kidung Panji Malat Rasmi, geguritan Panjimarga, geguritan Panjimargasmara, geguritan Rereg Kadiri, Geguritan Raden Mantri, geguritan Angreni, geguritan Anglingkusuma, geguritan Candrakirana, geguritan Galuh Daha, geguritan Jayeng langö, geguritan Pakangraras, peparikan Malat, peparikan Panji Semirang, geguritan Mantri Koripan, geguritan Panji, Geguritan Kedis, serta satua Panji, dan satua Raden Mantri. Untuk membicarakan semua bentuk saduran kisah Panji dalam khazanah kesusastraan Bali tradisional pada kesempatan ini tentu tidak mungkin dilakukan, mengingat berbagai persoalan yang ada di sekitar kisah Panji, baik soal pernaskahan dan tekstual maupun isi yang dikandungnya. Akan tetapi yang terpenting dibicarakan pada kesempatan ini adalah bahwa kisah Panji dalam Kidung Malat yang diduga digubah oleh I Gusti Dauh Bale Agung, seorang pujangga keraton pada zaman Gelgel. Di samping membawa warna baru dalam tema dan lakon, Kidung Malat membawa sebuah versi tembang Tengahan (sekar madya) bernama Puh Rara Kadiri atau Puh Demung Kadiri, terdiri atas Puh Rara Kadiri (Demung Kadiri) Kawitan Bawak, Puh Rara Kadiri (Demung Kadiri) Kawitan Panjang, Puh Rara Kadiri (Demung Kadiri) Pangawak Panjang, dan Puh Rara Kadiri (Demung Kadiri) Pangawak Bawak. Sastra kidung memiliki fungsi integral dalam kehidupan sastra dan keagamaan masyarakat Bali. Kata “kidung” sendiri diduga sebagai bentuk onomatope, yakni kata yang lahir dari tiruan bunyi/nada ding-dung, sebagaimana halnya kata cecak, tokek, gergaji, gelatik, dan sejenisnya. Dugaan ini diperkuat oleh fakta bahwa metrum kidung disusun dan ditentukan oleh aturan guru ding-dung. Demikian pula, nada kidung ditentukan oleh permainan bunyi/nada ding-dung (Suarka, 2007:128—129). Di dalam lontar Aji Prakempa dijelaskan bahwa nada ding-dung terdiri atas ding, dong, deng, dung, dang; nding, ndong, ndeng, ndung, ndang. Nada ding berada di selatan, nding berada di barat daya, dong dan ndong berada di tengah, deng di barat, ndeng di barat laut, dung di utara, ndung di timur laut, dang di timur, ndang di tenggara (Bandem, 1986:42—43). Nada ding ditandai dengan hulu ( ),i nada dong ditandai dengan tedong/tarung (o), nada deng ditandai dengan taleng (e), nada dung ditandai dengan suku ( u ), serta nada dang ditandai dengan cecek (,). Nada ding berada di selatan dengan Dewa Brahma, dewa pencipta (utpati, lahir), berwarna merah, simbol api. Nada ding berpasangan dengan nada dung yang berada di utara, Dewa Wisnu, pemelihara (sthiti, hidup), warna hitam, simbol air. Jika kita sepakati bahwa Daha (Kadiri) berada di arah selatan (kelod), simbol api berpasangan dengan Koripan (Janggala) di arah utara (kaja), 7 simbol air, maka kidung sebagai tiruan bunyi/nada ding-dung dapat dikatakan menyimbolkan siklus kehidupan sebagaimana juga kisah Panji sendiri. Sejatinya kidung dalam tradisi keagamaan Hindu di Bali dipandang sebagai sekar dan berfungsi sebagai ibadat keindahan. Di Bali, kata sekar memiliki arti ‘bunga’, misalnya sekar jepun (bunga kamboja), sekar jempiring (bunga jempiring); ‘tembang’, misalnya sekar rare (tembang rare/gegendingan), sekar alit (tempat kecil/macapat/pupuh), sekar madya (tembang tengahan/kidung), sekar agung (tembang agung/wirama); serta berarti ‘tubuh/raga’, misalnya sekah, puspalingga (Suarka, 2011:13). Dalam praktik pemujaan masyarakat Hindu di Bali umumnya menggunakan tiga sarana pokok, yaitu api, air, dan bunga. Jika api dapat dianalogikan dengan nada ding; air dapat dianalogikan dengan nada dung, dan ding-dung sebagai asal mula kata kidung yang juga berarti sekar, maka kidung dapat dikatakan merupakan ibadat keindahan yang dipandang mampu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan (sradha bhakti) umat Hindu kepada Tuhan. Karena itu, teks Kidung Malat (Panji) sering dilantunkan dalam praktik upacara keagamaan masyarakat Bali, terutama upacara Manusa yadnya, yakni upacara pemujaan Tuhan dengan tujuan utama untuk keselamatan manusia. Berikut petikan dua bait Kidung Malat Rasmi yang sering digunakan mengiringi pelaksanaan upacara agama di Bali, terutama upacara potong rambut (mapetik, maguntingan). Puh Rara Kadiri (Malat Rasmi) Pangawak Bawak Asawur sembah sira Panji sama lungguh ing patani danta nawun mahisa wangkawa kinen ngambil gunting.

Puh Rara Kadiri (Malat Rasmi) Pangawak Panjang (Dawa) Mangkana sang ing Tohpati sirayi nira winongwong sadina mangun gambelan sajero tan hana duhka ndan wuwusen soma manis enjing sira Panjyatangi ahyas lan sira Nawangwulan akampuh ijo botlor asabuk peremas wilis kris sira landhehan syama.

Sebagai ibadat keindahan, Kidung Malat Rasmi (Panji) diharapkan mampu membimbing dan menuntun masyarakat Bali menuju keselamatan dan kesejahteraan lahir 8 batin berdasarkan kaidah estetik Hindu, satyam (kebaikan), siwam (kebenaran), dan sundaram (keindahan).

Perkembangan Revitalisasi Kesenian Berbasis Budaya Panji di Bali Sastra Panji sangat kaya dengan filosofi, karakter, dan keberagaman adab. Berdasarkan perwatakan yang ada dalam Dramatari Gambuh, perwatakan sastra Panji meliputi sembilan belas tipe perwatakan, seperti Condong, Kakan-kakan, Raja Putri, Panji, Rangga, Panji, Sri Aji Malayu, Prabu Gegelang, Bagawan Malayu, Prabu Lasem, Kadehan- kadehan, Arya, Prabu Keras, Prabangsa, Demang, Tumenggung, Semar, Turas/Togog, Potet, Jabung. Demikian pula, aspek-aspek budaya seperti situasi sosial budaya kraton, bahasa, busana (kostum), perhiasan, makanan dan minuman, bahkan sikap, gaya, dan perilaku para tokoh dideskripsikan secara rinci dalam cerita Panji. Karena itu, wajarlah sastra Panji dipilih dan dijadikan sumber revitalisasi kesenian di Bali. Ada beberapa jenis seni pertunjukan Bali yang menggunakan kisah Panji (Malat) sebagai sumber lakon, antara lain dramatari Gambuh, dramatari Arja, drama gong, Tari Legong Lasem, dan wayang kulit. Dramatari Gambuh dipandang memiliki hubungan paling dekat dengan Malat bahkan cerita-cerita Panji di Nusantara. Dramatari Gambuh telah mendapat pengakuan dari UNESCO sebagai Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity (Daftar Representatif Warisan Budaya Tak Benda Kemanusiaan) bersama delapan tarian Bali tradisional lainnya, yaitu Rejang, Sanghyang Dadari, Baris Upacara, Topeng Sidakarya, Wayang Wong, Legong Kraton, Joged Pingitan, dan Barong Ket Kuntisraya. Menurut Formaggia, versi tulis Malat (Kidung Malat) adalah naratif Panji, versi puitis cerita dramatari Gambuh yang merupakan bagian dari bukti sejarah dramatari Gambuh. Dramatari Gambuh sempat berkembang pesat di beberapa kabupaten di Bali sekitar tahun 1920—1930-an. Di Kabupaten Badung ditemukan dramatari Gambuh di beberapa desa, antara lain di Tumbak Bayuh, Munggu, Gulingan. Di Kota Denpasar, dramatari Gambuh ditemukan di Sesetan dan Pedungan. Sebagaimana halnya dramatari Gambuh di kabupaten Badung, dramatari Gambuh yang ada di Pedungan dan Sesetan Denpasar juga diyakini memiliki kekuatan magis dan dikramatkan. Di Kabupaten Tabanan, dramatari Gambuh ditemukan di Kaba-kaba, Kerambitan, Apit Yeh, Penebel, dan Baturiti. Di kabupaten Klungkung, dramatari Gambuh ditemukan antara lain di Banjar Lebah, Budaga, Kusamba, Gelgel, Kamasan, dan Desa Karang Gede, Nusa Penida. Di Kabupaten Karangasem, dramatari Gambuh dapat ditemukan di Desa Budakeling, Temega, Marga Telu, Subagan, Duda, Manggis, Sedahan, Sidemen, dan Padangaji. Di Kabupaten Buleleng, dramatari 9

Gambuh ditemukan di Desa Anturan, Depaa, Seririt, Pengastulan, dan Banjar. Di Kabupaten Gianyar, dramatari Gambuh dapat ditemukan di Peliatan, Saba, Blahbatuh, Singapadu, Batuan, Sukawati, Ubud. Di desa-desa tersebut, dramatari Gambuh diyakini memiliki ikatan magis dan dikramatkan. Namun demikian, Dramatari Gambuh telah mengalami pergeseran fungsi dari kesenian puri (istana) ke kesenian banjar dan pura. Dramatari Gambuh dipentaskan bertepatan dengan hari suci pelaksanaan upacara di suatu Pura (Formaggia, 2000:37), seperti pada saat upacara piodalan di Pura Puseh dan Pura Desa, di Desa Batuan, Sukawati, Gianyar. Beberapa Sekaa Gambuh melakukan regenerasi penari Gambuh, seperti dilakukan oleh Sekaa Gambuh Mayasari, Banjar Pekandelan, Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar yang telah membangun dramatari Gambuh versi generasi muda. Dalam upaya melestarikan dramatari Gambuh, Pemerintah Provinsi Bali selalu mengagendakan pagelaran dramatari Gambuh dalam agenda Pesta Kesenian Bali yang digelar setiap tahun. Setelah dramatari Gambuh, perkembangan revitalisasi budaya Panji dalam seni pertunjukan Bali tradisional dijumpai dalam dramatari Arja. Dramatari Arja diperkirakan lahir pada tahun 1820-an pada masa pemerintahan I Dewa Agung Sakti di Kerajaan Klungkung. Sumber lakon dramatari Arja yang utama adalah cerita Panji (Malat), di samping lakon lainnya, seperti Bandasura, Pakangraras, Linggarpetak, I Godogan, Cilinaya, dan Dempu Awang. Dramatari Arja juga terus dibina dan dilestarikan masyarakat Bali melalui regenerasi penari Arja anak-anak yang digelar dalam ajang Pesta Kesenian Bali. Revitalisasi kesenian berbasis budaya Panji juga tampak pada Tari Legong Kraton, terutama Tari Legong Lasem. Sebagaimana dramatari Gambuh, Tari Legong Kraton juga mendapat mendapat pengakuan dari UNESCO sebagai Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity (Daftar Representatif Warisan Budaya Tak Benda Kemanusiaan). Sejatinya, Tari Legong Lasem mendapat pengaruh dari dramatari Gambuh. Tari Legong Lasem mengambil sumber lakon dari cerita Panji, terutama episode Prabu Lasem tewas di tangah Raja Daha ketika hendak menculik Rangkesari, putri Kerajaan Daha. Kini, Tari Legong Lasem secara rutin dipentaskan sebagai konsumsi pariwisata di Peliatan, Ubud, Gianyar. Revitalisasi kesenian berbasis budaya Panji juga tampak dalam Wayang Gambuh di Bali. Wayang Gambuh mengambil lakon utama pada cerita Panji (Kidung Malat). Sebagaimana dikatakan Formaggia (2000:32), cerita Panji merupakan versi puitis cerita Wayang Gambuh. Ada dua versi Wayang Gambuh di Bali, yaitu (1) Wayang Gambuh yang ditemukan di Blahbatuh, Gianyar yang diyakini berasal dari Wayang Gedog Jawa, dan (2) 10

Wayang Gambuh yang dibuat di Sukawati pada tahun 1774 yang kemudian menjadi model Wayang Gambuh yang ditemukan di Kaba-kaba, Kediri, Tabanan. Persebaran Wayang Gambuh meliputi Gianyar, Denpasar, dan Tabanan. Drama Gong sebagai seni pertunjukan Bali juga terkena pengaruh budaya Panji. Meskipun pada awal kemunculannya, Drama Gong tidak menggunakan sumber lakon cerita Panji, tetapi menggunakan cerita Jayaprana, pada perkembangan berikutnya, Drama Gong juga kerapkali menggunakan sumber lakon cerita Panji, terutama cerita Panji carangan. Lakon yang sering diambil dari cerita Panji adalah Peras Mataun, Pangipuk Lasem, Tarate Bang, dan Nawang Sasih. Drama Gong sempat berjaya dalam kehidupan berkesenian masyarakat Bali sekitar tahun 1970--1980-an. Kini Drama Gong direvitalisasi kembali oleh Pemerintah Provinsi Bali sebagai pertunjukan rakyat dan dibina serta digelar secara rutin melalui kegiatan Pesta Kesenian Bali, baik dalam bentuk parade maupun lomba. Sastra dan budaya Panji dalam transformasinya ke dalam seni pertunjukan di Bali tentu mengalami modifikasi agar dapat diterima secara meluas oleh masyarakat Bali. Sastra dan budaya Panji telah mampu menambatkan dirinya jauh di lubuk hati masyarakat Bali, sebagai sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan magis dan dikramatkan.

Nilai-Nilai Dasar, Karakter, dan Keragaman Adab dalam Kisah Panji Keseimbangan dan harmoni yang tergambarkan dalam formasi tata letak kerajaan (Koripan, Daha, Gegelang, dan Singhasari) yang berada di keempat penjuru (napak dara) menjadi kerangka dalam mewujudkan masyarakat multikultural dengan keragaman adab masing-masing. Maka dari itu, nilai-nilai dasar yang dapat dikaji dari sastra Panji menurut budaya Bali meliputi nilai religius (sradha bhakti), estetis (satyam, siwam, sundaram), etis (susila), toleransi (tat twam asi), kebersamaan (paras-paros, sagilik-saguluk), dan kekeluargaan (manyama braya). Nilai-nilai dasar tersebut sangat penting ditanamkan dan dikembangkan kepada setiap insan Nusantara agar memiliki karakter dan jatidiri yang kokoh dengan sifat-sifat religius, humanis, heroik, jujur, disiplin, bertanggung jawab, peduli, kerja keras, kreatif, pantang menyerah, dan setia kepada tanah air, sebagaimana yang dialami dan dilakukan oleh Panji untuk mencapai keseimbangan dan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sejatinya, setiap etnis, ras, dan agama yang hidup dan bertumbuhkembang di bumi Nusantara, yang menjadi wilayah persebaran sastra Panji terdahulu, memiliki nilai-nilai dasar tersebut, dan nilai-nilai itulah yang perlu direvitalisasi dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat Nusantara pada era Millenium III saat ini. Piliang (2011:213) menyatakan bahwa dalam menghadapi tantangan kapitalisme global dibutuhkan 11 revitalisasi budaya lokal melalui sikap budaya yang kokoh. Revitalisasi budaya lokal harus dilakukan secara sistematis dan terencana, dimana sistem-sistem lokal sebagaimana dimuat dalam sastra dan budaya Panji harus diperbaharui, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat saat ini. Kebutuhan akan pengakuan sebagaimana ditunjukkan Panji dan legitimasi keragaman budaya yang dipesankan melalui pengembaraan Panji dalam berbagai bentuk penyamarannya mengindikasikan terciptanya kondisi multikultural melalui pengakuan keanekaragaman di berbagai bidang kehidupan, baik agama, etnis, bahasa, kesenian, sistem sosial maupun sistem budaya, tidak hanya diakui, melainkan juga diberi ruang seluas-luasnya untuk mengembangkan diri dan mengartikulasikan identitasnya dalam kerangka kesetaraan dan keadilan. Proses penyelarasan antara inti dan bagian-bagian (sebagaimana Panji dan saudara-saudaranya) inilah yang memerlukan komunikasi dialektis sehingga ditemukan sintesis pemikiran. Dengan demikian, setiap entitas budaya yang hidup dan berkembang di Nusantara dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.

Penutup Sastra Panji telah berterima di hati masyarakat Bali dan dijadikan basis dalam merevitalisasi kesenian, sejak abad ke-16 hingga saat ini. Secara teo-filosofis, sastra Panji dipadang sebagai transformasi tatwa ke dalam bentuk satwa yang berdimensi sosial (sakala) dan transendetal (niskala). Dimensi transendental memberikan kedalaman dan menopang revitalisasi kesenian berbasis budaya Panji dengan nilai-nilai kerohanian. Sejalan dengan itu, perkembangan revitalisasi kesenian Bali berbasis budaya Panji terlacak jejaknya melalui dramatari Gambuh, Wayang Gambuh, Dramatari Arja, Tari Legong Kraton, dan Drama Gong. Dalam seni sastra Bali tradisional, revitalisasi budaya Panji ditemukan dalam karya sastra jenis kidung, geguritan /peparikan, dan satua. Pemerintah Provinsi Bali senantiasa melakukan revitalisasi kesenian, termasuk revitalisasi kesenian berbasis budaya Panji, dan menyediakan ruang apresiasi khusus melalui agenda rutin Pesta Kesenian Bali (PKB) yang digelar selama sebulan penuh setiap tahun. Demikian pula, Dramatari Gambuh dan Tari Legong Kraton sebagai hasil revitalisasi budaya Panji telah berhasil diperjuangkan Pemerintah Provinsi Bali dan telah mendapat pengakuan dari UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia. Sastra Panji merupakan kearifan lokal yang mengandung nilai-nilai dasar dan sangat potensial ditanamkan pada insan-insan penghuni bumi Nusantara agar tumbuh dan berkembang menjadi insan-insan berkarakter unggul, jujur, heroik, kreatif, religius, humanis, dan berbudaya. Karena itu, sastra dan budaya Panji sebagai warisan budaya bangsa Indonesia 12 yang menyimpan berbagai kearifan lokal penting direvitalisasi dalam rangka pembangunan karakter bangsa yang mulai merapuh dan terdegradasi akibat pengaruh kapitalisme global. Di samping itu, sastra dan budaya Panji perlu direvitalisasi secara terus-menerus sebagai sumber inspirasi penciptaan karya seni ataupun diberdayakan sebagai sumber ekonomi kreatif. Revitalisasi kesenian berbasis budaya Panji perlu dikembangkan secara berkesinambungan melalui alih wahana cerita-cerita Panji ke dalam bentuk-bentuk baru karena kini dan ke depan, persoalan kebudayaan (termasuk sastra dan budaya Panji) akan menjadi jauh lebih kompleks serta tidak lagi bisa dilepaskan dari faktor-faktor non-kultural, seperti industri, ekonomi, politik, dan teknologi. Berbagai macam aspek tersebut kini justru menjadi pendorong utama produksi dan konsumsi budaya. Dalam melakukan revitalisasi kesenian berbasis budaya Panji harus didasari pemikiran bahwa budaya Panji sebagai sistem lokal perlu diperbaharui, diberi nafas baru, disesuaikan dengan situasi, kondisi, serta kebutuhan masyarakat kekinian dengan kebijakan kultural yang memihak kepentingan masyarakat luas.

13

Daftar Pustaka

Abdullah, Imran Teuku. 1991. Hikayat Meukuta Alam. Jakarta: Intermasa.

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. Strukturalisme Levi-Strauss, Mitos, dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Printika.

Bandem, I Made. 1986. Prakempa Sebuah Lontar Gambelan Bali. Denpasar: Akademi Seni Tari Indonesia.

Danesi, Marcel. 2012. Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra.

Donder, I Ketut. 2007. Kosmologi Hindu. Surabaya: Paramita.

Endraswara, Suwardi. 2012. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Cetakan ke-3. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Formaggia, Maria Cristina. 2000. Gambuh Drama Tari Bali: Tinjauan Seni, Makna Emosional dan Mistik, Kata-kata dan Teks, Musik Gambuh Desa Batuan dan Desa Pedungan. Jakarta: Yayasan Lontar.

Hoed, Benny H. 2001. Dari Logika Tuyul ke Erotisme. Magelang: Indonesia Tera.

Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia yang Dilipat. Bandung: Matahari.

Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1988. “Cerita Panji dalam Perbandingan: Sebuah Pembicaraan Umum”, dalam buku Bunga Rampai Bahasa, Sastra, dan Budaya. Editor: Achadiati Ikram. Jakarta: Intermasa.

Sedyawati, Edi. 2007. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Suarka, I Nyoman. 2007. Kidung Tantri Pisacarana. Denpasar: Pustaka Larasan.

Suarka, I Nyoman. 2011. “Filosofi dan Fungsi Kidung bagi Umat Hindu”. Orasi Ilmiah/Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Sastra Jawa Kuna, Fakultas Sastra Universitas Udayana. Denpasar.

Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Penerjemah Dick Hartoko SJ. Jakarta: Djambatan.