MAKNA SIMBOLIK DEWA WISNU DALAM AGAMA HINDU (Studi Kasus: Pura Parahyangan Jagat Guru Di Nusa Loka BSD, Tangerang Selatan)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana (S. Ag)

Disusun Oleh:

Muhammad Furqan Haqqy

NIM: 11150321000026

PRODI STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1442 H / 2021 M LEMBARPERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Muhammad Furqan Haqqy NIM : 11150321000026 Fakultas : Ushuluddin Jurusan/Prodi : Studi Agama-Agama Alamat Rumah : Jl. Pancoran Timur II D No. 29, RT:012/002, Pancoran, Jakarta Selatan Telp/HP : 082298399178 Judul Skripsi : MAKNA SIMBOLIK DEWA WISNU DALAM AGAMA HINDU (Studi Kasus: Pura Parahyangan Jagat Guru Di Nusa Loka BSD, Tangerang Selatan)

Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan karya asli yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam Skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain. Maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.

ii MAKNA SIMBOLIK DEWA WISNU DALAM AGAMA HINDU (Studi Kasus: Pura Parahyangan Jagat Guru Di Nusa Loka BSD, Tangerang Selatan)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana (S. Ag)

Oleh:

Muhammad Furqan Haqqy

NIM: 11150321000026

Pembimbing:

Siti Nadroh, M.Ag

NUPN 9920112687

PRODI STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1442 H / 2021 M

iii PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

Skripsi berjudul “MAKNA SIMBOLIK DEWA WISNU DALAM AGAMA HINDU (Studi Kasus: Pura Parahyangan Jagat Guru di Nusa Loka BSD, Tangerang Selatan)” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 12 Juli 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Studi Agama-Agama. Jakarta, 12 Juli 2021

Sidang Munaqasyah

Ketua Sidang, Sekretaris Sidang,

Syaiful Azmi, MA Lisfa Sentosa Aisyah, MA NIP.19710310 199703 1 005 NIP. 19750506 200501 2 003 Anggota, Penguji I, Penguji II,

Dr. Hamid Nasuki, MA Drs. Moh. Nuh HS, M.Ag NIP.19630908199001 1 001 NIP. 19610312 198903 1 002 Pembimbing

Siti Nadroh, M.Ag NUPN. 9920112687

iv ABSTRAK Muhammad Furqan Haqqy Judul Skripsi: MAKNA SIMBOLIK DEWA WISNU DALAM AGAMA HINDU (Studi Kasus: Pura Parahyangan Jagat Guru Di Nusa Loka BSD, Tangerang Selatan).

Skripsi ini bermula pada banyaknya stereotype khalayak umum terhadap Agama Hindu dengan ciri khasnya akan Dewa-dewa yang berbentuk patung/arca sebagai identitas keagamaan. Kemudian, dari identitas simbolik tersebut, tentunya ada makna religi yang tersirat, baik secara keagamaan maupun ritual. Skripsi ini berupaya untuk menjelaskan simbol-simbol dewa Wisnu dalam Agama Hindu di Pura Parahyangan Jagat Guru di Nusa Loka BSD. Penelitian yang penulis lakukan adalah adalah penelitian lapangan (field research) yang bersifat kualitatif. Penelitian dilakukan di Pura Parahyangan Jagat Guru, di Nusa Loka BSD, Sektor 14-6, Rw. Mekar Jaya, Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan, provinsi Banten. Penelitian lapangan dimulai sejak tanggal 10 Februari 2020. Penulis menggunakan pendekatan antropologi agama. Pendekatan ini digunakan dalam upaya memahami kebudayaan-kebudayaan produk manusia yang berkaitan dan berhubungan dengan agama. Adapaun teori yang penulis gunakan dalam membaca simbol-simbol adalah teori symbol dari Clifford Geertz. Geertz menekankan upaya untuk menemukan makna yang memandang penting simbol dari sekedar eksplanasi, dan pentingnya signifikansi konteks sosial sebagai unsur penting dalam memahami makna simbol. Dengan menggunakan teori Geertz, peneulis berusaha mengetahui bagaimana proses pemujaan serta pemaknaan dewa Wisnu, sekaligus mengidentifikasi hubungan ritual yang sifatnya rohani melalui media fisik pada simbol-simbol substantif dari Dewa Wisnu. Hasil dari penelitian ini, penulis mendapatkan bahwa sebuah simbol mempunyai sebuah makna. Simbol tersebut dapat juga berbentuk arca, agar dapat dengan mudah digunakan untuk kegiatan peribadatan persembahyangan. Arca yang mana sebagai simbol juga berfungsi sebagai pusat, titik fokus, atau perantara dalam berkomunikasi dengan Tuhan. Dengan begitu umat Hindu akan merasa sangat dekat dengan Sang Pencipta. Simbol-simbol itu dikatakan suci karena telah melalui proses pensakralan atau dinamakan dengan prayascita (upacara Malaspas). Melalui simbol-simbol tersebut manusia dapat membangkitkan imajinasi mereka dengan mengekspresikan diri, termasuk di dalam mengekspresikan aspek kehidupan beragama menggunakan simbol yang telah disepakati secara sosial di dalam ruang lingkup Pura tersebut. Diantaranya adalah patung atau arca Kura-Kura dan Garuda yang terdapat dalam Padmasana di Pura Parahyangan Jagat Guru sebagai penjelmaan (awatara) daripada dewa Wisnu. Dewa Wisnu yang merupakan bagian dari Tri Murti (meleburnya tiga dewa menjadi satu). Dengan meyakini Wisnu sebagai pemelihara alam, maka semakin bertambah keyakinan umat Hindu di Pura Parahyangan Jagat Guru.

Kata kunci: Simbol, Dewa Wisnu, Agama Hindu, Pura Parahyangan Jagat Guru.

v KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahirabbil‘alamiin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Skripsi yang berjudul “MAKNA SIMBOLIK DEWA WISNU DALAM AGAMA HINDU (Studi Kasus: Pura Parahyangan Jagat Guru Di Nusa Loka BSD, Tangerang Selatan)” disusun guna memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1), Jurusan Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin, Uin Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa skripsi yang jauh dari sempurna ini tidak dapat selesai tanpa adanya dukungan dan banyak pihak baik secara lansung dan tidak lansung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, khususnya kepada:

1. Kedua Orang tua tercinta yang selalu memberikan kasih sayang, do’a, nasihat, motivasi, saran, dukungan dan dorongan moril maupun materil. Semoga penulis dapat membalas pejuangan orang tua (Heri Rosadi, dan Iis Israwati), kepada kedua adik saya, Nidiya Salmina, dan Eidelina Maghfirah, dan juga keluarga besar saya yang telah memberikan motivasi terbaiknya. 2. Dr. Yusuf Rahman, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Dra. Siti Nadroh, MA selaku dosen pembimbing saya yang selalu meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan serta motivasi sehingga membuka cakrawala berpikir saya. 4. Bapak Syaiful Azmi, selaku Ketua Program Studi Agama-Agama, dan ibu Lisfa Sentosa Aisyah, selaku Sekretaris Program Studi Agama-Agama, dan juga kepada seluruh dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat disebut satu persatu tanpa mengurangi rasa hormat atas ilmu dan pelajaran dalam perkuliahan atau di luar perkuliahan. vi 5. Seluruh jajaran pimpinan dan staff Fakultas Ushuluddin atas bantuan dalam perihal administratif dan yang lainnya. 6. Bapak I Nyoman Wintha, I Made Seroja Yudhyantara, dan Sukirno Hadi Raharjo, S.Pd.H.,M.Fil.H yang telah berkenan memberikan izin penulis sekaligus menjadi narasumber untuk melengkapi isi skripsi. 7. Kepada keluarga besar Pengajian Babussalam Bintaro, yang telah berperan membentuk kepribadian saya hingga saat ini. 8. Sahabat penulis Shakeel Ahmad, Muhammad Yusup, Fiqry Ramadhan Ismail, Riza Adiputra, Muhammad Hafiz Putra, Aji Joker, Imam Kutu Buku, Reza Tekno, Ariani Baroroh Barid, Nurul Audina, Durotun Nafi’ah, Seftia Rahmawati, Animatun Fatimah, dan Niswatun Nafisah yang selalu ada untuk mendengarkan keluh kesah penulis dan memberikan semangat. 9. Seluruh teman-teman Studi Agama-Agama angkatan 2015, terima kasih kalian sudah memberikan warna-warni yang indah untuk kehidupan penulis di Fakultas Ushuluddin. 10. Kepada teman-teman KKN SIAP 86: Fadil, Muniir, Farhan, Adit, Kiky, Aji, Syarif, Cila, Rizka, Amel, Nana, Risma, Selly, Dian, Atika, Handan, dan Endah yang telah memberikan doa dan semngat. Semoga kalian diberikan kelancaran dalam menyelesaikan urusan dan diberikan kesehatan. 11. Kepada teman-teman musisi bang Satam, bang Izzal, bang Deris, bang Steve, bang Ramdan, bang Cuke, kang Ashly, bang Zae, bang Karim, Gus Iqbal, Mekel Jeksen, Inayah Chandra Santoso, Ido, Odi, Jula, dan semua teman-teman musisi semoga kalian sehat dan sukses selalu. 12. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis yang belum disebutkan namanya, tanpa mengurangi rasa hormat, terimakasih. Sebagai manusia biasa yang tidak pernah luput dari kesalahan dan kekurangan, penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangannya. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Semoga penelitian ini bermanfaat.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

vii DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL...... i LEMBAR PERNYATAAN...... ii LEMBAR PERSETUJUAN...... iii LEMBAR PENGESAHAN...... iv ABSTRAK...... v KATA PENGANTAR...... vi DAFTAR ISI...... viii

BAB I PENDAHULUAN...... 1 A. Latar Belakang...... 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah...... 10 C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian...... 10 D. Tinjauan Pustaka...... 11 E. Landasan Teori...... 12 F. Metode Penelitian...... 13 G. Sistematika Penulisan...... 17 Click here to enter text. BAB II .EKSISTENSI DEWA WISNU DALAM AGAMA HINDU...... 18 A. Dewa Wisnu Dalam Agama Hindu...... 18 B. Kedudukan Dewa Wisnu dalam Tradisi Keagamaan Hindu...... 23 C. Perhiasan/Bhusana dan Senjata Dewa Visnu...... 24 D. Abhisekanama Visnu...... 26 E. Avatara (penjelmaan) Visnu...... 29 F. Dewa Wisnu dalam Teks Suci Hindu...... 33

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG PURA PARAHYANGAN JAGAT GURU...... 41 A. Perkembangan Agama Hindu di Banten...... 41 B. Deskripsi Pura Parahyangan Jagat Guru...... 47 a) Profil Pura Parahyangan Jagat Guru...... 47 b) Struktur Bangunan dan Organisasi Pura Parahyangan Jagat Guru. 49 c) Kegiatan Yang Ada dalam Pura Parahyangan Jagat Guru...... 53 C. Simbol-simbol Dewa Wisnu dalam Agama Hindu...... 55

BAB IV ANALISIS SIMBOL-SIMBOL DEWA WISNU PURA PARAHYANGAN JAGAT GURU...... 65 A. Pengertian dan Teori Simbol...... 65 B. Simbol-simbol Dewa Wisnu di Pura Parahyangan Jagat Guru...... 71 a) Kurma (kura-kura)...... 71 b) Garuda...... 75 C. Fungsi dan Makna Simbolik Dewa Wisnu bagi Umat Hindu Pura Parahyangan Jagat Guru...... 78 D. Tata Cara Pemujaan Dewa Wisnu bagi Umat Hindu Pura Parahyangan Jagat Guru...... 79 a) Prasarana Dalam Pemujaan...... 83 b) Tata Cara Pemujaaan...... 90

viii BAB V ..PENUTUP...... 103 A. Kesimpulan...... 103 B. Saran...... 105

DAFTAR PUSTAKA...... 106 LAMPIRAN-LAMPIRAN...... 110

ix BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama sebagai dasar pijakan umat manusia memiliki peran yang

sangat penting dan besar dalam proses kehidupan manusia. Agama telah

mengatur pola hidup manusia baik dalam hubungan dengan Tuhannya,

hubungan manusia dengan manusia sebagai makhluk sosial, dan juga

hubungan manusia dengan alam lingkungan sekitarnya. Pendidikan agama

selalu mengajarkan yang terbaik dan tidak pernah menyesatkan para

penganutnya.

Agama adalah persoalan keyakinan yang dipercaya mampu

memberikan kebahagiaan spiritual bagi para pemeluknya. Agama juga

merupakan sebagai jalan hidup yang dipegang dan diwarisi turun-temurun

oleh masyarakat, agar hidup mereka menjadi lebih tertib, damai, harmonis,

dan tidak kacau.

Agama Hindu adalah suatu agama yang berasal dan berkembang di

bumi India. Kata Hindu berasal dari nama sungai Indus yang melewati

daerah barat bumi India. Orang-orang pertama menyebutnya sungai Sindhu

dan berubah menjadi Hindu. Agama Hindu pertama kali berkembang di

lembah sungai Sindhu sekitar 6.000 tahun sebelum Masehi sebagai agama

tertua, agama Hindu kemudian berkembang ke berbagai wilayah dunia,

termasuk Asia Tenggara dan .1

1Binroh Hinbud Disbintalad, (1993), Pokok-pokok Ajaran Hindu Dharma, Jakarta: Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Dinas Pembinaan Mental, h 11.

1 Agama Hindu mempercayai banyak dewa dalam ajarannya.

Dewa-dewa tersebut disimbolkan dalam bentuk arca agar bisa disembah oleh

Umat Hindu. Arca tersebut diletakkan di pura. Di dalam pura terdapat beberapa arca namun hanya satu patung saja yang mereka anggap paling agung. Penyembahan dewa berbeda-beda antara pura satu dengan pura yang lainnya. Contohnya di pura Parahyangan Jagat Guru, yang mana mereka juga menyembah Dewa Wisnu sebagai dewa agung.2

Pada Zaman kitab-kitab Purana, Dewa-dewa khususnya Indra, Vayu,

Aditi dan lain-lain tidak nampak dipuja lagi. Hal ini tidak lain, karena kedudukan dewa-dewa tersebut tersebut fungsi dan peranannya digantikan oleh Tiga Devata Utama, manifestasi-Nya yang dikenal dengan Tri Murti.

Dewa Agni diidentikan dan digantikan oleh Brahma, Indra dan Vayu diidentikan dan digantikan oleh Wisnu, walaupun pada kitab suci Veda,

Visnu adalah nama lain dari Surya dan Surya sendiri diidentikan dan digantikan fungsi dan peranannya oleh Siva. Ketiga dewa-dewa ini dengan

“parivara devata”-Nya (keluarga dewa-dewa, sakti atau istrinya, putra-putrinya termasuk pula pengiringnya) mendapat pemujaan yang khusuk.3

Adapun dewa-dewa tersebut adalah Brahma dengan saktinya

Sarasvati, Visnu dengan saktinya Sri dan Laksmi, Avatara-Avatara-Nya seperti Rama dan Krsna seperti Hanuman, Siva dengan saktinya Durga dan

Parvati, putra putranya seperti Kumara atau Subramanyam, Skanda atau

2Hasil Observasi Pada Pura Parahyangan Jagat Guru BSD, 4 September 2020.

3I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 163.

2 Muruga, Ganesa atau Kala. Berbagai aspek Durga seperti Kali, Candi dan lain-lain terutama pada kitab-kitab Tantra.4

Dewa Wisnu adalah manifestasi utama-Nya yang lain adalah Sang

Hyang Visnu. Visnu manifestasi Tuhan Yang Maha Esa memelihara jagat raya dan segala isinya. Ia yang menghidupkan segalanya. Kata Visnu berarti : pekerja, yang meresapi segalanya dan sejenisnya. Kemahakuasaan Sang

Hyang Visnu dalam memelihara alam semesta beserta segala isinya didukung oleh sakti-Nya yang bernama Sri Laksmi.5

Visnu adalah salah satu devata yang sangat penting dipuja dalam

Veda, Ia yang disebut melangkahkan kaki tiga langkah (Trivikramana) dan dipuji-puji dalam Veda. Ia disebut demikian karena memasuki setiap obyek dan makhluk hidup (sebagai antryami), dan meliputi segalanya (Visnater visater va syad vevester vyapti karmanah/Brhaddevata 2.69).6

Dewa Wisnu dipandang sebagai roh suci sekaligus dewa yang tertinggi. Namun dalam legenda lain, Dewa Brahma adalah Dewa Tertinggi.

Dalam filsafat Adwaita Wedanta (Adwaita Wedanta adalah bagian akhir dari dari kitab suci Weda yang menguraikan filsafat monoisme untuk mencapai kesempurnaan hidup berupa ketentraman rohani, kestabilan cita rasa dan karsa, serta kehidupan abadi di akhirat yang disebut moksa).7 dan tradisi

Hindu umumnya, Dewa Wisnu dipandang sebagai salah satu manifestasi Brahman dan enggan untuk dipuja sebagai Tuhan tersendiri yang

4I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 163.

5I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 219.

6I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 219.

7I Wayan Maswinara, (1998), Sistem Filsafat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 30.

3 menyaingi atau sederajat dengan Brahman. Penjelasan tradisional menyatakan bahwa kata Viṣṇu berasal dari Bahasa Sanskerta, akar katanya viś, (yang berarti "menempati", "memasuki", juga berarti "mengisi" menurut Regweda), dan mendapat akhiran nu. Kata Wisnu kira-kira diartikan:

"Sesuatu yang menempati segalanya". Pengamat Weda, Yaska, dalam kitab Nirukta, mendefinisikan Wisnu sebagai vishnu vishateh ("sesuatu yang memasuki segalanya"), dan yad vishito bhavati tad vishnurbhavati (yang mana sesuatu yang tidak terikat dari belenggu itu adalah Wisnu).8

Visnu, yang juga dikenal sebagai Mahavisnu, merupakan devata kedua dari trimurti Hindu; yang menyatakan sattvaguna dan merupakan kekuatan (gaya) sentripetal yang bertanggungjawab terhadap pemeliharaan, perlindungan dan merawat alam semesta yang diciptakan ini.9

Pengertian etimologis, kata ‘Visnu’ berarti yang meliputi, atau yang menyusupi segalanya. Oleh karena Dia merupakan realitas alam semesta yang melampaui dan juga immanen. Dia merupakan penyebab dan kekuatan bathin dan yang menimbulkan keberadaan ini.10

Agama Hindu merupakan agama yang sangat kaya dengan berbagai simbol. Penampilannya sangat indah dan menarik hati setiap orang untuk melihatnya. Bagi umat Hindu simbol-simbol tersebut menggetarkan kalbu dan berusaha untuk memahami makna yang terkandung di balik simbol-simbol tersebut. Setiap aktivitas keagamaan tidak terlepas dari simbol-simbol. Simbol-simbol tersebut merupakan media bagi umat Hindu

8https://id.wikipedia.org/wiki/Wisnu diakses pada 03, Mei, 2020 pukul 17.00 WIB

9I Made Maswinara, (2007), Dewa-Dewi Hindu, Surabaya: Paramita, h. 21.

10I Made Maswinara, (2007), Dewa-Dewi Hindu, Surabaya: Paramita, h. 22.

4 untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, mengadakan dialog dengan

Yang Maha Kuasa dan memohon perlindungan dan wara nugraha-Nya.11

Simbol-simbol dalam agama Hindu sangat terkait dan tidak dapat dipisahkan dengan ajaran ketuhanan (teologi Hindu), karena simbol-simbol tersebut merupakan ekspresi untuk mendekatkan diri manusia kepada-Nya.

Simbol-simbol tersebut berupa arca atau pratima untuk dewa-dewa, vahana devata atau kendaraan dewa-dewa, bangunan suci sebagai sthana untuk memuja-Nya, para devata atau roh suci leluhur. Di samping juga berupa mantra, mudra, yantra, rarajahan, huruf-huruf suci, juga persembahan suci berupa sesajen yang beraneka ragam dan lain-lain.12

Tiap-tiap simbol mempunyai makna tertentu dan dengan pemahaman terhadap makna tersebut, umat Hindu mengembangkan apresiasi terhadap simbol-simbol tersebut, yang pada akhirnya dapat meningkatkan sradhha dan bhakti umat dan akhirnya menuntun tingkah lakunya dalam kehidupan ini.13

Dalam ritual keagamaan terdapat simbol-simbol yang digunakan dalam ritus itu. Banyak benda-benda, tindakan panganut suatu agama yang mengandung simbol serta makna yang ada dalam simbol tersebut.14

Swami Sivananda menambahkan bahwa Pratima atau Patung merupakan pengganti. Gambar atau arca pada sebuah pura, walaupun terbuat dari batu, kayu, kertas atau logam sangat berharga bagi seorang penyembah,

11I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 1.

12I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 1.

13I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 1.

14Adeng Muchtar Ghazali, (2011), Antropologi Agama, Bandung: Alfabeta, h. 63.

5 karena hal itu menandakan ada hubungan dengan yang disembah, Tuhan

Yang Maha Esa atau manifestasi-Nya. Tuhan Yang Maha Esa atau manifestasi-Nya ditempatkan di atas arca, gambar atau simbol itu membangkitkan pemikiran ketuhanan dalam diri seorang pemuja15. Simbol secara etimologi adalah tanda yang digunakan untuk kepentingan ritual tertentu.16

Dalam agama Hindu juga terdapat bentuk simbol-simbol keagamaan yang bermanfaat sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang

Maha Esa. Simbol tersebut sebagai lambang keagamaan yang merupakan yang kudus atau yang suci, juga sebagai bentuk ungkapan keagamaan dan rasa cinta seseorang yang ingin memnggambarkan Tuhan dalam imajinasinya.17

Masing-masing agama mempunyai simbol-simbol tertentu. Agama

Hindu berada pada tingkat wujud nyata yaitu mengakui adanya manfaat fungsi duniawi mewakili kenyataan atau kebenaran diungkapkan kedalam bentuk simbol. Meskipun semua kebendaan dijadikan simbol atau perantara yang diperlukan sebagai sarana untuk mencapai tujuan kehidupan spiritual.

Walaupun demikian, kebenaran itu berlaku sepanjang zaman, tetapi karakter agama Hindu itu memilih disiplin dengan cara memuja yang dirasakan cocok baginya.18

15I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 64.

16Indrawan WS, (1999), Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Cipta Media, h. 259.

17Wawancara dengan Pak Gede Sidarta pada tanggal 10 Februari 2020

18Ida Bagus Matra, (2002), Tata Susila Hindu Dharma, Denpasar: Upada Sastra, h. 18.

6 Sebuah benda akan menjadi simbol yang amat suci, bila umat memujanya-Nya dengan sraddha dan bhakti yang tulus. Benda yang dijadikan simbol suci tersebut akan mengandung daya spiritual yang tinggi, ibarat sebuah besi yang didekatkan dengan magnet. Semakin lama didekatkan sebuah besi dengan magnet, maka lama kelamaan besi tersebut juga akan mengandung magnet. Di sinilah sebuah simbol tertentu akan hidup dan disembah dengan mantap oleh pemujanya.19

Berdasarkan uraian di atas, maka simbol-simbol dalam agama Hindu akan berfungsi bila telah melalui upacara penyucian (sakralisasi) kalau di

Bali disebut Mlaspas atau Pamlaspas, yang maknanya sama di India disebut

“abhiseka”. Dengan upacara tersebut maka sebuah simbol tidak lagi merupakan benda mati, namun sesuatu yang hidup sesuai fungsinya masing-masing. Bila sebuah simbol belum diupacarakan atau disucikan sesuai dengan ajaran agama Hindu, maka simbol tersebut belum dapat difungsikan.20

Berbagai simbol-simbol keagamaan itu dari bentuk dan bahannya yang sangat sederhana sampai kepada yang sangat kompleks dapat di jumpai penjelasan atau keterangannya dalam kitab suci Weda dan Susatra Hindu termasuk pula dalam berbagai lontar. Bentuk simbol-simbol ketuhanan dalam agama Hindu, tidak terlepas dengan konsepsi penggambaran Tuhan

Yang Maha Esa menurut kitab suci Weda dan susatra Hindu lainnya, yakni gambaran seperti manusia, binatang, separuh manusia dan binatang,

19I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 73-74.

20I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 75-76.

7 tumbuh-tumbuhan, separuh manusia dan separuh tumbuh-tumbuhan dan benda-benda lainnya, baik benda-benda langit, huruf-huruf dan bahkan bagian sarana persembahan seperti daksina merupakan perwujudan dewa-dewa atau dewi-dewi manifestasi Tuhan Yang Maha Esa, roh suci para leluhur dan orang-orang suci baik yang telah meninggal dunia maupun yang masih hidup. Bentuk penggambaran dewa-dewa yang disebut Citradevata dapat dirinci sebgai berikut: berbentuk manusia dengan berbagai kelebihannya, berbentuk binatang, berbentuk separuh manusia dan separuh binatang, berbentuk manusia berkepala tumbuh-tumbuhan, berbentuk benda-benda atau huruf tertentu.21

Simbol Dewa Wisnu yang mana juga sebagai dewa yang diagungkan dalam Pura Parahyangan Jagat Guru memiliki makna tersendiri bagi penganutnya, yang digunakan dalam ritual dan sarana peribadatan bagi para penganutnya di Pura Parahyangan Jagat Guru. Penulis juga berhipotesa bahwasanya ada kemungkinan di Pura Parahyangan Jagat Guru tersebut menganut sekte/aliran Waisnawa, yang mana aliran tersebut lebih mengagungkan Dewa Wisnu dalam setiap peribadatannya.

Sekte Wisnu merupakan suatu aliran yang menekankan pemujaan kepada Wisnu, istrinya dan avataranya. Pemujaan ini biasanya mengutamakan tafsiran teistik pada Wedanta, diantaranya oleh Visnusvamin

(abad ke-13), Vattabhacarya (1479-1531), dan Nimbaska (abad ke-12).22

21I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 67-69.

22Romdon, dkk, (1998), Agama-agama di Dunia, Yogjakarta; IAIN Sunan Kalijaga Press, hal. 80.

8 Dalam aliran Wisnu masih terdapat dewa lain yang juga dipuja, seperti Brahma, sang pencipta, istrinya, Saraswati, yang banyak dipuja oleh para seniman musik dan sastrawan serta para siswa yang mengharapkan kelulusan. Dewa Surya atau dewa matahari juga banyak dipuja di kalangan

Maga-Brahmin. Anak Siwa yang berkepala gajah, yaitu Ganesha, juga anaknya yang lain, yaitu Skandha (Kartikeya, Subrahmanya) banyak dipuja di Tamilnad. Istri Wisnu sendiri, yaitu Lakshmi, dipuja dan disembah sebagai dewi keberuntungan.23

Tidak semua Pura dalam agama Hindu memiliki aliran/sekte tertentu.

Sehingga penulis tertatik untuk mengeksplorasi masalah tersebut dalam bentuk sebuah karya tulis skripsi dengan judul “MAKNA SIMBOLIK

DEWA WISNU DALAM AGAMA HINDU (Studi Kasus: Pura

Parahyangan Jagat Guru Di Nusa Loka BSD, Tangerang Selatan)”.

23Romdon, dkk, (1998), Agama-agama di Dunia, Yogjakarta; IAIN Sunan Kalijaga Press, hal. 81.

9 10

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas penulis membatasi

pembahasan hanya pada simbol-simbol Dewa Wisnu serta tata cara

pemujaannya dalam Pura Parahyangan Jagat Guru di Nusa Loka BSD.

2. Rumusan Masalah

a) Apa fungsi dan makna simbol Dewa Wisnu bagi penganutnya dalam

Pura Parahyangan Jagat Guru?

b) Bagaimana tata cara pemujaan Dewa Wisnu bagi penganutnya dalam

Pura Parahyangan Jagat Guru?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah yang dikemukakan diatas maka tujuan

yang ingin dicapai adalah:

a) Dari perspektif antropologi yaitu untuk mengetahui fungsi dan makna

simbol-simbol Dewa Wisnu dalam Pura Parahyangan Jagat Guru.

b) Dari perspektif keilmuan yaitu untuk mengetahui tata cara pemujaan

Dewa Wisnu bagi penganutnya dalam Pura Parahyangan Jagat Guru.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

a) Manfaat akademis

Untuk memenuhi persyaratan akhir perkuliahan guna memperoleh gelar

sarjana Strata 1 (S1) Jurusan Studi Agama - Agama Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

10 b) Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan wawasan

mengenai konsep-konsep tentang makna dan simbol-simbol Dewa Wisnu

serta sebagai referensi kepustakaan di bidang Studi Agama-Agama UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Tinjauan Pustaka

Untuk melengkapi penelitian ini penulis juga mencantumkan

penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya yang terkait dengan penelitian

yang akan dilakukan oleh penulis antara lain, sebagai berikut:

Pertama, Skripsi yang berjudul Simbol-simbol Dewa Siwa Dalam

Agama Hindu : Studi Terhadap Simbol-simbol Dewa Siwa dan Pemujaannya

Dalam Kuil Shiva Mandir di Pluit Jakarta Utara. Karya Wildan Izzaty dari

Jurasan Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, Tahun 2015. Skripsi ini tidak jauh berbeda dengan yang penulis teliti,

intinya sama-sama membahas mengenai simbol-simbol dewa di dalam

agama Hindu. Namun skripsi ini hanya membahas makna simbol-simbol

dewa Siwa saja. Sedangkan penulis membahas mengenai simbol-simbol

dewa Wisnu dalam Pura Parahyangan Jagat Guru.24

Kedua, I Made Titib, Teologi & Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu

(Surabaya: paramita, 2003). Dalam buku ini menjelaskan pengertian simbol,

dan dewa-dewa dalam agama hindu beserta tugas-tugasnya. Penulis

24Skripsi ini ditulis oleh Wildan Izzaty, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia fokus membahas mengenai simbol-simbol Dewa Siwa dan pemujaannya dalam Kuil Shiva Mandir di Pluit Jakarta Utara. Skripsi ini sebagai perbandingan dari skripsi yang akan ditulis oleh penulis.

11 menjadikan buku ini sebagai referensi utama terkait penjelasan makna

simbol-simbol keagamaan Agama Hindu.

Ketiga, I Made Maswinara, Dewa-Dewi Hindu (Surabaya: paramita,

2007). Dalam buku ini menjelaskan tentang dewa-dewi dalam agama hindu,

dewa-dewi minor, dewa-dewi dalam veda, dewa-dewa trimurti beserta

tugas-tugasnya. Penulis juga menjadikan buku ini sebagai referensi utama

terkait penjelasan dewa-dewa dalam agama hindu.

Keempat, Cudamani, Pengantar Agama Hindu Untuk Perguruan

Tinggi (Jakarta: yayasan wisma karya, 1987). Penulis menjadikan buku ini

sebagai referensi, karena terdapat sloka-sloka tentang para dewa.

Kelima, Dharam Vir Singh, Hinduisme Sebuah Pengantar (Surabaya:

paramita, 2006). Penulis juga menjadikan buku ini sebagai referensi,

menjelaskan tentang para dewa-dewi, avatara dari pada dewa-dewi itu

sendiri.

Keenam, Drs. K. M. Suhardana, Pedoman Sembahyang Umat Hindu

(Surabaya: paramita, 2004). Buku ini menjelaskan tentang tata cara

sembahyang, sarana sembahyang, dan mantra dalam beribadah. Penulis

menjadikan buku ini sebagai referensi.

E. Landasan Teori

Dalam penelitian ini menggunakan teori simbol yang dikemukakan

oleh Clifford Geertz, Geertz menekankan upaya untuk menemukan makna

yang memandang penting simbol dari sekedar eksplanasi, dan pentingnya

signifikansi konteks sosial sebagai unsur penting dalam memahami makna

simbol. Ia juga mengemukakan bahwa antropologi harus didasari oleh

12 realitas konkret, yakni kajian mengenai satu kasus tunggal yang dapat

menghasilkan pandangan teoritis dan makna-makna, artinya dari realitas ini

harus ditemukan makna, bukan prediksi yang didasarkan pada data empiris.25

Geertz mengemukakan bahwa setiap objek, tindakan peristiwa,

merupakan juga sebagai makna simbol. Sebab simbol-simbol bersifat bersifat

umum, teraba, dan tercerap. Simbol-simbol keagamaan adalah simbol-simbol

yang mengintegrasikan dunia sebagaimana dihayati dan dunia sebagaimana

dibayangkan dan simbol-simbol ini berguna untuk menghasilkan dan

memperkuat keyakinan keagamaan.

Simbol dalam bahasa Inggris (Symbol) artinya lambang.26 Kata

simbol (dalam bahasa Inggris symbol) mengandung arti: untuk sesuatu atau

juga menggambarkan sesuatu, khususnya untuk menggambarkan sesuatu

yang immaterial, abstrak, suatu idea, kualitas, tanda-tanda suatu obyek. Kata

simbol berasal dari bahasa Greek, “sum-ballo” yang mengandung arti “saya

bersatu bersamanya”, “penyatuan bersama”. Ardhendu Sekhar Gosh

menyatakan bahwa kata simbol berasal dari kata “symbolon” (dalam bahasa

Greek) yang berarti tanda. Dalam bahasa Sansekerta kata simbol adalah

“pratika” yang mengandung arti yang datang ke depan, yang mendekati.27

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

25Clifford Geertz, (1983), Local Knowledge; Further Essays in Interpretative Anthropology, New York: Basic Books, h. 119.

26John M. Echols dan Hassan Shadily, (1996), Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, Cet. Ke-23, h. 575.

27I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 63.

13 Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian lapangan (field riset) yang bersifat kualitatif. Penelitian kualitatif diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan kata-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data kualitatif. Data kualitatif merupakan jenis data yang disajikan berupa pengamatan, wawancara, atau dokumentasi.28

Penelitian ini dilakukan di Nusa Loka BSD City, Sektor 14-6, Rw.

Mekar Jaya, Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan, provinsi Banten.

Penelitian lapangan ini sudah dimulai sejak tanggal 10 Februari 2020.

1. Sumber Data

Data merupakan informasi yang sangat penting yang berkaitan dengan sumber penelitian dilapangan. Data yang dimaksud disini adalah data kualitatif yaitu data yang diperoleh dari sumber tokoh agama dalam agama

Hindu (pemangku) di Pura Parahyangan Jagat Guru. Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari hasil penelitian yang peneliti lakukan dari hasil observasi, dokumentasi, serta wawancara antara peneliti dan informan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari buku, jurnal, serta skripsi yang relevan.

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini membahas tentang simbol-simbol Dewa Wisnu dalam

Pura Parahyangan Jagat Guru. Maka yang digunakan adalah pendekatan

28Bagong Suyanto, (2011), Metode Penelitian Sosial, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, h. 166.

14 Antropologi Agama. Antropologi Agama adalah ilmu yang mempelajari tentang tentang manusia dari keragaman fisik serta kebudayaan. Cara berperilaku, tradisi-tradisi, dan nilai-nilai yang dihasilkan).29 yang mana pendekatan ini berupaya memahami kebudayaan-kebudayaan produk manusia yang berkaitan dan berhubungan dengan agama, yaitu suatu strategi pendekatan penelitian yang berhubungan langsung dengan kebudayaan atau keyakinan umat Hindu di Pura Parahyangan Jagat Guru. Sebagaimana para

Dewa yang dipuja dalam umat Hindu yang dijadikan dalam bentuk arca.

Arca merupakan hasil produk daya cipta manusia yang digunakan umat

Hindu untuk beribadah.

3. Teknik Pengumpulan Data

a) Studi Kepustakaan

Penulis mengumpulkan, mencatat, bahan-bahan kepustakaan yang

terkait dengan tema penelititan sebagai kerangka teoritis penelitian.

b) Observasi

Istilah observasi dari bahasa Latin yang berarti “melihat” dan

“memperlihatkan”. Observasi adalah suatu cara pengumpulan data

yang dilakukan dengan cara mengadakan penelitian secara teliti,

yang diarahkan pada kegiatan memerhatikan secara akurat, mencatat

fenomena yang muncul.30 Penulis mendatangi Pura Parayangan

Jagat Guru yang berada di Nusa Loka BSD untuk melihat langsung

tempat ibadah, kegiatan, dan juga aktivitas di Pura tersebut.

29Tajul Arifin, (2003), Pengantar Antropologi, Bandung: Mizan, h. 26.

30Imam Gunawan, (2013), Metode penelitian Kualitatif Teori & Praktik, Jakarta: Bumi Aksara, h. 143.

15 c) Wawancara

Wawancara (interview) adalah dapat diartikan sebagai pengumpulan

data yang kuat, dengan mengajukan pertanyaan secara lansung oleh

pewawancara (pengumpul data) kepada responden, dan

jawaban-jawaban responden dicatat atau direkam dengan alat

perekam (tape recorder).31 Pada tahap wawancara ini, penulis

mewawancarai responden yang dianggap layak untuk dijadikan

informan. Responden tersebut adalah Pamangku Pura Parahyangan

Jagat Guru yaitu: Bapak Wintha. Untuk mempermudah penulisan

dalam megumpulkan data, penulis mencatat atau merekam

jawaban-jawabannya dengan alat perekam

d) Dokumentasi

Dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian social untuk menelusuri data historis.32

Penulis mengumpulkan dokumentasi beberapa foto-foto, arsip, yang

terdapat di Pura Parahyangan Jagat Guru.

4. Teknik Penulisan Penelitian

Adapun teknik penulisan skripsi mengacu pada “Pedoman Akademik

2015/2016 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta”.

31Suhartono, (1995), Metode Penelitian Sosial, Bandung: Remaja Roskadarya, h. 67.

32Imam Gunawan, (2013), Metode penelitian Kualitatif Teori & Praktik, Jakarta: Bumi Aksara, h. 177.

16 G. Sistematika Penulisan

Agar lebih mudah memahami alur pemikiran dalam skripsi ini, maka

penulis membagi menjadi lima bab yang saling berkaitan dengan bab

selanjutnya. Adapun pembagiannya adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN: Bab ini menguraikan Latar Belakang

Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penenelitian,

Tinjauan Pustaka, Landasan Teori, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.

BAB II EKSISTENSI DEWA WISNU DALAM AGAMA HINDU:

Bab ini menjelaskan tentang Dewa Wisnu dalam Agama Hindu, Kedudukan

Dewa Wisnu dalam Tradisi Keagamaan Hindu, Perhiasan/Bhusana dan

Senjata Dewa Wisnu, Abhisekanama Visnu, Avatara (penjelmaan) Visnu,

dan Dewa Wisnu dalam Teks Suci Hindu.

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG PURA

PARAHYANGAN JAGAT GURU: Bab ini memuat tentang Perkembangan

Agama Hindu di Banten, Deskripsi Pura Parahyangan Jagat Guru, dan

Simbol-simbol Dewa Wisnu dalam Agama Hindu.

BAB IV ANALISIS SIMBOL-SIMBOL DEWA WISNU PURA

PARAHYANGAN JAGAT GURU: Bab ini memuat tentang Pengertian dan

Teori Simbol, Simbol-simbol Dewa Wisnu Pura Parahyangan Jagat Guru,

Fungsi dan Makna Simbolik Dewa Wisnu Bagi Umat Hindu Pura

Parahyangan Jagat Guru, dan Tata Cara Pemujaan Dewa Wisnu bagi umat

Hindu Pura Parahyangan Jagat Guru.

BAB V PENUTUP: Bab ini meliputi kesimpulan dan merupakan

jawaban dari permasalahan secara singkat dan saran.

17 BAB II

EKSISTENSI DEWA WISNU DALAM AGAMA HINDU

A. Dewa Wisnu dalam Agama Hindu

Dewa Wisnu adalah manifestasi utama-Nya yang lain adalah Sang

Hyang Visnu. Visnu manifestasi Tuhan Yang Maha Esa memelihara jagat raya dan segala isinya. Ia yang menghidupkan segalanya. Kata Visnu berarti : pekerja, yang meresapi segalanya dan sejenisnya. Kemahakuasaan Sang Hyang Visnu dalam memelihara alam semesta beserta segala isinya didukung oleh sakti-Nya yang bernama Sri Laksmi.33

Visnu adalah salah satu devata yang sangat penting dipuja dalam Veda,

Ia yang disebut melangkahkan kaki tiga langkah (Trivikramana) dan dipuji-puji dalam Veda. Ia disebut demikian karena memasuki setiap obyek dan makhluk hidup (sebagai antryami), dan meliputi segalanya (Visnater visater va syad vevester vyapti karmanah/Brhaddevata 2.69).34

Dewa Wisnu dipandang sebagai roh suci sekaligus dewa yang tertinggi.

Namun dalam legenda lain, Dewa Brahma adalah Dewa Tertinggi. Dalam filsafat Adwaita Wedanta dan tradisi Hindu umumnya, Dewa Wisnu dipandang sebagai salah satu manifestasi Brahman dan enggan untuk dipuja sebagai Tuhan tersendiri yang menyaingi atau sederajat dengan Brahman.

Penjelasan tradisional menyatakan bahwa kata Viṣṇu berasal dari Bahasa

Sanskerta, akar katanya viś, (yang berarti "menempati", "memasuki", juga berarti

"mengisi" — menurut Regweda), dan mendapat akhiran nu. Kata Wisnu kira-kira

33I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 219.

34I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 219.

18 diartikan: "Sesuatu yang menempati segalanya". Pengamat Weda, Yaska, dalam kitab Nirukta, mendefinisikan Wisnu sebagai vishnu vishateh ("sesuatu yang memasuki segalanya"), dan yad vishito bhavati tad vishnurbhavati (yang mana sesuatu yang tidak terikat dari belenggu itu adalah Wisnu).35

Visnu, yang juga dikenal sebagai Mahavisnu, merupakan devata kedua dari trimurti Hindu; yang menyatakan sattvaguna dan merupakan kekuatan (gaya) sentripetal yang bertanggungjawab terhadap pemeliharaan, perlindungan dan merawat alam semesta yang diciptakan ini.36

Pada awal mula adaya hari, ketika Visnu terlentang diatas daun beringin sebagai Balamukunda, Ia mulai bertanya, “siapakah Aku”, “siapakah yang menciptakan Aku”, “Mengapa”, “Apakah yang dapat Aku persembahkan” dan seterusnya, selanjutnya terdengar suara dari luar angkasa. “Aku segalanya, di luar

Aku tidak ada yang kekal”. Dari belakang suara itu, muncul Mahadevi, dan berkata: “Lihatlah Visnu, apakah yang mengagumkan itu? “ Ketika saatnya alam semesta diciptakan, kelangsungannya dan kehancurannya kembali, Anda akan kembali kepada wujud asal Anda dengan mengagungkan yang Maha Kuasa.

Yang Maha Agung, Maha Kuasa, ada di luar sifat-sifat (Triguna). Sifat asli Anda adalah Sattva (kebajikan, kesucian), sifat dasar Brahma adalah Rajas (aktif, penuh nafsu), yang akan muncul dari pusar Anda. Dari tengah-tengah di antara dua kening Brahma akan muncul Siva, dengan sifat dasarnya adalah Tamas

(kegelapan, kemalasan). Brahma dengan kemampuan Tapanya, akan memiliki kekuasaan untuk menciptakan alam semesta. Siva akan meleburnya kembali. Aku

35https://id.wikipedia.org/wiki/Wisnu diakses pada 03 Mei 2020, pukul 17.00 WIB

36I Made Maswinara, (2007), Dewa-Dewi Hindu, Surabaya: Paramita, h. 21.

19 adalah devi Maya (illusi yang dimanifestasikan sebagai sakti dari Brahman), tenaga yang terbesar tergantung pada Anda untuk tujuan penciptaan”. Setelah mendengarkan kata-kata devi seperti itu, Visnu melakukan meditasi yang sempurna dan tidur dalam kontemplasi.37

Pengertian etimologis, kata ‘Visnu’ berarti yang meliputi, atau yang menyusupi segalanya. Oleh karena Dia merupakan realitas alam semesta yang melampaui dan juga immanen. Dia merupakan penyebab dan kekuatan bathin dan yang menimbulkan keberadaan ini.38 Nama lain dari Visnu yang sangat umum dan terkenal adalah Narayana, yang berarti; yang membuat air penyebab sebagai tempat tinggalnya, yang merupakan tempat kediaman seluruh makhluk manusia, yang membuat hati manusia sebagai tempat kedudukannya, dan yang merupakan akhir segenap makhluk manusia.39

Setelah peleburan alam semesta dari siklus sebelumnya dan sebelum penciptaan berikutnya, Narayana Tuhan Tertinggi, jatuh tertidur pada alas tidur ular Sesa (yang juga disebut Anantha), yang mengapung pada air lautan

Krirasamudra (lautan susu). Salah satu kaki-Nya berada dipangkuan devi Laksmi, pendamping-Nya, yang dengan lembut memijati-Nya. Ketika Dia bermimpi akan penciptaan berikutnya, sekuntum kembang Padma muncul dari pusarnya bersama-sama dengan deva Brahma yang duduk disana. Setelah bangun, Dia menyuruh Brahma untuk mulai dengan kegiatan penciptaan.40

37I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 221.

38I Made Maswinara, (2007), Dewa-Dewi Hindu, Surabaya: Paramita, h. 22.

39I Made Maswinara, (2007), Dewa-Dewi Hindu, Surabaya: Paramita, h. 22.

40I Made Maswinara, (2007), Dewa-Dewi Hindu, Surabaya: Paramita, h. 22.

20 Ini merupakan gambaran yang sangat alegoris; dimana lautan menyatakan air penyebab sebagai sumber segala kehidupan yang tampaknya juga merupakan konsep yang tidak umum dijumpai dalam agama lainnya. Atau, karena itu merupakan Ksirasamudra, lautan susu menyatakan wujud Prakrti atau alam yang paling murni dalam keadaannya yang tak terbedakan, dimana putihnya itu menandakan kemurnian.41

Dari beberapa kesamaan kata Apas (air), adalah kata Amrta (nektar, yang juga menyatakan kebahagiaan). Karena itu kita dapat mengatakan bahwa

Naryana terapung pada lautan kebahagiaan. Ular Sesa atau Ananta dikatakan memiliki seribu kepala dan menopang alam dunia pada tudung kepalanya. Ananta, yang arti sebenarnya ‘tanpa akhir’ atau ‘takterbatas’ sesungguhnya menandakan waktu kosmis yang takterbatas atau tanpa akhir. Dunia ciptaan ini muncul dalam keberadaan waktu dan dipelihara dalam waktu. Inilah makna dari ribuan tudung kepala ular kobra yang menyangga dunia. Ribuan tudung kepala ular hanya menyatakan pembagian waktu yang takterhitung banyaknya. Konsep ribuan tudung kepala ular menyangga dunia juga dapat membawa pada penafsiran bahwa ular menyatakan ruang kosmis, dimana segalanya ada.42

Kata Sesa sendiri juga bermakna, seperti ‘yang tersisa’, ‘yang tinggal pada saat akhir’. Karena penciptaan tak dapat muncul dari ketiadaan, maka diperkirakan bahwa sesuatu itu tertinggal (sesa) dari penciptaan sebelumnya, membentuk benih penciptaan berikutnya. Dengan demikian, Sesa menyatakan totalitas dari jiwa atau roh-roh individual dalam wujudnya yang halus, yang

41I Made Maswinara, (2007), Dewa-Dewi Hindu, Surabaya: Paramita, h. 22.

42I Made Maswinara, (2007), Dewa-Dewi Hindu, Surabaya: Paramita, h. 23.

21 tertinggal dari siklus sebelumnya dan yang memerlukan kesempatan berikutnya untuk muncul kembali.43

Visnu senantiasa dilukiskan sebagai Nilameghasyama, warna biru gelap bagaikan awan yang mengandung air hujan. Karena ruang kosong takterbatas itu tampak sebagai berwarna biru gelap, maka wajarlah apabila Visnu sebagai kekuatan kosmis yang meliputi segalanya dilukiskan berwarna biru.44

Wujud gambaran Visnu yang paling umum memiliki satu wajah, empat lengan yang memegang Sankha (kulit kerang), Cakra (jentera), Gada

(pentungan), Padma (kembang seroja) dan mengenakan kalung dengan permata terkenal Kaustubha yang berayun-ayun pada gelung rambut Srivatsa pada dada kiri. Dia juga mengenakan rangkaian bunga atau permata yang bernama

Vaijayanti.45

Empat lengan menyatakan empat arah mata angin, sehingga merupakan kekuasaan mutlak-Nya pada segala arah. Sankha menyatakan lima unsur dasar,

Cakra menyatakn pikiran kosmis, Gada menyatakan kecerdasan kosmis dan kembang Padma menyatakan dunia yang berkembang ini. Seperti halnya kembang teratai yang muncul dari dalam air dan kuncup perlahan-lahan mengembang dalam segala kemegahannya, demikian juga dunia ini berasal dari air penyebab dan secara bertahap berkembang dalam segala kesemekarannya.

Dengan demikian, kembang Padma disni melambangkan dunia yang berkembang ini. Dunia hanya dapat tercipta melalui kombinasi lima unsur, pikiran dan

43I Made Maswinara, (2007), Dewa-Dewi Hindu, Surabaya: Paramita, h. 23.

44I Made Maswinara, (2007), Dewa-Dewi Hindu, Surabaya: Paramita, h. 23.

45I Made Maswinara, (2007), Dewa-Dewi Hindu, Surabaya: Paramita, h. 24.

22 kecerdasan. Karena itu makna keseluruhan dari perlambang ini akan menjadi bahwa Visnu merupakan pencipta dan penguasa dunia ini.46

Gelung rambut, Srivasta menyatakan segala obyek kenikmatan, sebagai hasil dari alam. Permata Kaustubha yang bertengger disana menyatakan si penikmat. Dengan demikian, dunia dualitas ini terdiri dari si penikmat dan yang dinikmati, seperti perhiasan yang dikenakan Visnu. Rangkaian bunga Vaijayanti melambangkan unsur-unsur halus (bhuta-tanmatra). Kadang-kadang dua buah senjata lagi, yaitu pedang Nandaka (yang menyatakan kebijaksanaan) dan busur

Saringa (yang menyatakan indra-indra kosmis) ditambahkan pada kasanah senjata Visnu.47

B. Kedudukan Dewa Wisnu dalam Tradisi Keagamaan Hindu

Dewa Wisnu telah muncul sejak jaman Veda, seperti yang dinyalakan di dalam syair-syair (saiithita) Veda meskipun kedudukannya masih rendah, setara dengan kelompok Dewa Aditya. Kepercayaan terhadap sifat-sifat Dewa

Wisnu pada masa tersebut tumpang tindih dengan dewa-dewa lainnya. Misalnya,

Dewa Wisnu dipercayai memiliki sifat-sifat Dewa Surya dan Indra.

Sifat Dewa Surya pada Dewa Wisnu dipersonifikasikan dengan energi matahari yang menyinari dunia dan telah mengunjungi tujuh bagian dunia, serta mengedari dunia dengan tiga langkahnya (irivikrama). Dengan tiga langkahnya itu, Wisnu dianggap sebagai penakluk seluruh alam semesta dan dianggap sebagai dewa perang yang gagah berani berasal dari `pemberian' sifat Dewa Indra.

Justru melalui kepercayaan terhadap Wisnu yang menjalankan triwikrasna

46I Made Maswinara, (2007), Dewa-Dewi Hindu, Surabaya: Paramita, h. 24.

47I Made Maswinara, (2007), Dewa-Dewi Hindu, Surabaya: Paramita, h. 24.

23 menjadikannya terkenal hingga masa Hinduisme, karena dianggap melindungi manusia dari bahaya dan menaklukkan seluruh alam semesta baik di darat, air maupun angkasa.

Kedudukan Dewa Wisnu dalam konsepsi Trimurti (Siwa, Brahma serta Wisnu) dipandang sebagai perwujudan dari Brahman yang menyandang aspek pemelihara (sthiti), Dewa Siwa menyandang aspek perusak dan Dewa

Brahma menyandang aspek pencipta. Di antara ketiga dewa tersebut yang seringkali dipuja sebagai dewa tertinggi oleh penganutnya adalah Dewa Siwa dan

Dewa Wisnu, sedangkan Dewa Brahma tidak banyak dijumpai.

C. Perhiasan/Bhusana dan senjata dewa Visnu

Srivasta. Srivasta adalah tanda yang terdapat di dada dewa Visnu.

Disebutkan tanda ini tertempel ketika Bhrgu marah dan menendang dada dewa

Visnu. Pancajanya. Terompet kerang berwarna putih. Hanya dengan menyentuh terompet ini seseorang menjadi bijaksana (Bhagavata 10).48

Cakram Sudarsana. Vajranabha adalah nama lain dari Cakram ini.

Visnu memakai senjata ini untuk membunuh musuhnya yang kejam. Bentuknya adalah seperti roda dengan lobang ditengah-tengahnya. Ribuan jari-jari keluar dari tengahnya. Pada bagian luar senjata ini sangat tajam. Senjata Cakram ini digunakan dengan menempatkannya pada ujung jari telunjuk dan menggerakkannya dengan berputar dan dengan demikian ia mengejar musuh yang akan dibunuhnya. Walaupun senjata ini sangat tajam dan menakutkan

48I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 225.

24 musuhnya, tetapi memberi pertanda kebaikan bagi mereka yang baik, demikianlah nama Sudarsana itu (Visnu Purana, Amsa 3, bab 2).49

Kaumodaki. Kaumodaki adalah nama tongkat pemukul (Gada) dewa

Visnu. Suku kata “ku” berarti bumi. Kaumodaka berarti yang menyenangkan bumi. Yang membuat bumi ini penuh kegembiraan adalah dewa Visnu (Adiparva

224). Kaustubha, adalah permata Mahavisnu. “Ka” berarti bumi. Stubhnati, yang menyerapi. Kaustubha berarti samudra. Kaustubha diperoleh dari samudra, permata ini muncul ketika pengadukan lautan susu untuk memperoleh Amrta, yang digunakan sebagai hiasan leher oleh Sang Hyang Visnunya, warnanya merah.50

Nandaka. Nandaka adalah pedang dewa Visnu, hal ini disebutkan dalam

Santiparva 166, yang diperoleh dari dewa Indra. Saranga, adalah nama busur dewa Visnu. Busur ini juga dinamakan Vaisnavapaca. Uraian tentang senjata ini dijelaskan dalam Valmiki Ramayana, Balakanda, Sarga 25 sebagai berikut: Suatu hari para dewa membuat Visnu dan Siva bertengkar, untuk mengetahui kehebatan masing-masing. Pertempuran keduanya mulai. Visvakarma memberikan masing-masing sebuah busur. Busur deva Visnu disebut Vaisnavacapa, sedang busur dewa Siva dinamakan Saivacapa. Vaisnavacapa juga dinamakan Saranga, karena kemarahannya, Siva memberikan busur itu kepada raja Devavrata dari

Videha. Busur tersebut dipatahkan oleh Sri Rama pada waktu Sita Svayamvara.

Setelah pertempuran itu, Visnu menganugerahkan busurnya kepada Rcika,

49I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 225.

50I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 226.

25 selanjutnya diberikan kepada Jamadagni dan dari padanya kepada Parasurama, yang memberikannya kepada Sri Rama ketika kembali mempersunting Sita.51

Vaijayanti. Vaijayanti adalah kalung leher dewa Visnu. Kalung leher ini dibuat dari 5 permata yang dirangkai bersamaan, yang juga disebut Vanamala.

Dewa Visnu memiliki kuir kereta bernama Daruka dengan 4 ekor kudanya, bernama: Saibya, Sugriva, Meghapuspa dan Valahaka. Garuda adalah kendaraan dewa Visnu. Visnu memegang terompet kerang, cakram, pentungan (gada) dan bunga teratai pada keempat tangan-Nya. Disebutkan bahwa Cakram tersebut dibuat oleh Visvakarma dari debu matahari, di dalam Visnu Purana disebutkan secara khusus tentang perhiasan dewa Visnu.52

D. Abhisekanama Visnu

Di dalam kitab Amarakosa disebutkan berbagai nama dewa Visnu dengan maknanya sebagai berikut: Visnu, yang meresapi segalanya. Narayana.

(1). Ia yang terlentang diatas air. Naram = air. (2). Ia yang mengambil wujud

(berinkarnasi) sebagai manusia (nara = manusia). (3). Ia yang memasuki badan manusia sebagai Jivatma.53

Pna. (1). Ia yang warna kulitnya kegelapan. (2). Ia yang melakukan

Karsana, yang melenyapkan dosa jagat raya. Vaikuntha. (1). Putra Vaikuntha, sebagai salah satu inkarnasi-Nya. (2). Waktu proses penciptaan 23 Tattva

(unsur-unsur alam) tidak menyatu satu dengan yang lainnya. Visnu mempersatukan semuanya dan menjaganya, karenanya disebut Vaikuntha. (3).

Vaikuntha berarti kebijaksanaan, dengan demikian berarti yang mencapai

51I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 226.

52I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 227.

53I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 227.

26 pengetahuan atau kebijaksanaan. (4). Vaikuntha berarti tanaman suci (Tulasi). (5).

Vaikuntha berarti Maya, Ia yang diliputi Maya.54

Vistarasrava. (1). Pohon beringin, Ia yang secara universal dikenal sebagai pohon beringin. (2). Ikatan rumput kusa (alang-alang), (3). Ia yang menyebarkan keharuman nama-Nya. Damodora, (1). Ia yang perutnya diikat dengan tali, (2). Ia yang mempraktekkan dama (pengendalian diri) dalam hidupnya.55

Hrsikesa, (1). Raja organ indriya. (2). Ia yang menjadikan seluruh dunia hrsta, senang dan bahagia, karena rambutnya (kesa). Kesava, (1). Ia yang membunuh raksasa Kesi, (2). Ka (Brahma), Isa (Siva), Ia yang dihormati oleh

Brahma dan Siva. (3). Ia yang memiliki 3 kepala (kesa) masing-masing Brahma,

Visnu dan Isa. Madhava. (1). Dhava, suami dari dewi Laksmi, (2). Ia yang lahir dari dinasti Madhu, (3). Ia yang membunuh raksasa Madhu. Svabhu, Ia yang lahir dengan sendirinya. Daityari, musuh bagi para Daitya (raksasa).56

Pundarikaksa, (1). Yang matanya seperti bunga teratai, (2). Yang tinggal di dalam bunga padma, padma hati penyembuh-Nya. Govinda, (1). Ia yang mengangkat bumi ketika menjelma sebagai seekor babi, (2). Ia yang melindungi sorga, (3). Ia yang menyelamatkan Veda. Pitambara, Ia yang mengenakan kain sutra kuning. Acyuta, Ia yang tempatnya tak tergantikan.

Sarangi, Ia yang senjata busurnya bernama Saranga. Visvaksena, Ia yang memiliki pasukan menyebar dimana-mana. Janardana, (1). Ia yang menghancurkan kelahiran dan kematian. (2). Ia yang membunuh raksasa bernama

54I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 227.

55I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 227.

56I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 228.

27 Jana. Upendra, Ia yang menjadi saudara dari dewa Indra, ketika menjelma sebagai Vamana.57

Indravaraja, Ia yang menjadi saudara muda dewa Indra. Cakrapani, Ia yang senjatanya Cakram pada tangan-Nya. Caturbhuja, Ia yang memiliki 4 tangan. Padmanabha, Ia yang memiliki pusar bunga padma. Madhuripu, Ia yang menjadi musuh raksasa Madhu. Vasudeva, (1). Putra Vasudeva, (2). Ia yang tinggal di hati setiap makhluk. Trivikrama, Ia yang melangkahi Tribhuvana, sebagai Vanamavatara. Devakinandana, putra Devaki. Sauri, Ia yang lahir dari dinasti Surasena. Sripati, suami dari Laksmi. Purusottama, orang yang sangat utama. Vanamali, Ia yang mengenakan perhiasan berupa kalung sampai ke kaki-Nya.58

Balidhvamsi, Ia yang membunuh raksasa . Kamsarati, musuh raja

Kamsa. Adhoksaja, Ia yang tidak dapat diamati dengan organ panca indra.

Visvambara, Ia yang menguasai seluruh dunia. Kaitabhajit, Ia yang mengalahkan raksasa Kaitabha. Vidhu, Ia yang ahli segalanya. Srivatsalancchana, Ia yang mengenakan tanda Srivatsa di dadanya. Puranapurusa, manusia pertama.

Yajnapurusa, Ia yang senantiasa dipuja dalam setiap yajna. Narakantana, Ia yang membunuh raksasa bernama Naraka. Jalasayi, Ia yang terlentang diatas air.

Visvarupa, Ia yang berwujud alam semesta. Mukunda, Ia yang memberikan keselamatan. Muramardana, Ia yang dapat mengalahkan raksasa Mura.59

57I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 228.

58I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 229.

59I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 229.

28 E. Avatara (penjelmaan) Visnu

Visnu sebagai pemelihara dunia kerap turun ke dunia untuk menolong dunia dari kehancuran. Dalam upaya menolong dunia Visnu turun ke dunia untuk beremanasi atau menjelma dalam bentuk manusia atau benda. Dalam penjelmaan ini Visnu dapat menjelma penuh, sebagai berlangsung dalam jangka waktu lama

(umumnya disebut ber-avatara), sementara (umumnya disebut avesa) atau memancarkan sebagian kekuatannya pada benda-benda tertentu yang dianggap keramat (umumnya disebut amsa avatara). Purna Avatara Visnu misalnya turun sebagai Rama dan Krsna Sedangkan avesa Visnu adalah sebagai Parasurama yang turun ke dunia untuk menindas pemberontakan para kesatria. Dalam waktu yang relatif pendek Parasurama dapat menyelesaikan tugasnya.60

Di dalam beberapa kesusastraan kita mengenal bermacam-macam avatara Visnu, di antaranya yang terkenal ada sepuluh yang lebih dikenal dengan sebutan dasavatara Visnu seperti yang terdapat dalam kitab Varaha Purana.

Sebaliknya dalam kitab Bhagavata Purana disebutkan sebanyak dua puluh dua avatara (Ratnaesih, 1997:27) dalam seni arca Sang Hyang Visnu digambarkan dalam sikap berdiri atau terlentang di atas ular naga (Sesa), bertangan empat membawa Cakram (cakram), Sanka (terompet kerang), Padma (teratai merah) dan Danda (tongkat pemukul).61

Untuk menangkis (menghindarkan) mara bahaya yang menimpa umat manusia yang kemungkinan disebabkan oleh para Raksasa, atau dari faktor kesalahan manusia, dan untuk melindungi etika masyarakat, Visnu yang tugasnya

60I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 232.

61I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 232.

29 adalah memelihara dunia ini, sering menjelmakan diri-Nya sendiri ke dunia ini.

Walaupun penjelmaan semacam itu secara populer dianggap berjumlah sepuluh, sebenarnya jumlahnya takterbatas. Demikian juga saat dan tempat penampakan-Nya tak dapat dipandang hanya pada tempat tertentu saja. Manakala

Dharma merosot dan Adharma merajalela Dia menjelma diri-Nya sendiri guna memulihkan keseimbangan dunia ini.62

Dalam penjelmaan-Nya sebagai ikan (matsyavatara), Visnu dikatakan menyelamatkan Manu (leluhur umat manusia) dan Saptarsi (putra-putra Brahma yang lahir dari pikiran) bersama-sama dengan para istrinya selama masa banjir besar. Melalui mereka lah dunia ini kemudian berpenghuni lagi. Visnu kemudian menjelmakan diri-Nya sebagai Kurma (penyu) guna menopang gunung Mandara yang mulai tenggelam selama pengadukan lautan (samudra monthana). Para deva dan para asura bekerjasama melakukan kegiatan ini untuk mendapatkan Amtra

(nektar) dari lautan tersebut.63

Berikutnya dalam rangkaian inkarnasi selanjutnya adalah Varahatara

(penjelmaan babi hutan jantan), dimana Visnu membunuh Hiranyaksa dan mengangkat bumi dari banjir besar dimana bumi telah hampir tenggelam. Ini mungkin merupakan perlambang dari pembebasan dunia dari banjir dosa dengan kekuasaan tertinggi. Ketika Prahlada sebagai pemuja Visnu yang agung disiksa hebat oleh ayahnya, Raksasa Hiranyakasipu (yang tidak mempercayai akan keberadaan Tuhan mahakuasa dan ada dimana-mana), Narashimha (manusia singa) muncul, keluar dari tiang yang ditunjukkannya dan membunuhnya.

62I Made Maswinara, (2007), Dewa-Dewi Hindu, Surabaya: Paramita, h. 24.

63I Made Maswinara, (2007), Dewa-Dewi Hindu, Surabaya: Paramita, h. 25.

30 Gabungan manusia (makhluk lebih tinggi yang terbaik) dan singa (ciptaan lebih rendah yang terbaik), Narashima menyatakan puncak penciptaan; yang sekaligus juga membuktikan kemahaadaan Tuhan. Narashima khususnya merupakan perwujudan keperkasaan yang merupakan atribut Tuhan, sehingga dipuja oleh para pemimpin negara dan para satria. Mantra-Nya dikatakan sangat bertuah, mampu memusnahkan musuh dan mengusir kejahatan.64

Ketika Bali, cucu Prahlada menaklukkan tiga dunia, Indra terusir dari kerajaan surgawinya. Atas permintaan Aditi, ibu deva Indra, Visnu menjelma sebagai Vamana (si Cebol), seseorang brahmana muda menemui Bali yang terkenal akan kemurahan hatinya agar menghadiahinya tanah yang dapat ditutupinya dengan tiga langkah. Dengan langkah pertama dan kedua, ia menutupi bumi dan surga dan langkah ketiganya mendorong Bali ke wilayah dunia bawah. Oleh karena itu ia juga dikenal sebagai Trivikrama, yang melampaui dunia dengan tiga langkah. Mithos ini mengajar pada kita bahwa

Tuhan sendiri pun harus mengenakan wujud cebol selama menjadi peminta-minta, karena yang meminta-minta membuat dirinya menjadi kecil. Yang kedua,

Brahmana sejati dapat menaklukkan tiga dunia dengan kekuatan dan semangat.

Ke-lima avatara ini telah dijelaskan dalam berbagai kitab Veda.65

Lima penjelmaan berikutnya semuanya dalam wujud manusia.

Parasuarama (Rama dengan kapak perang) merupakan avatara ke-enam. Lahir sebagai putra pasangan pendeta, Jamadagni dan Renuka, dia membasmi kesewenang-wenangan para Ksatriya yang dipimpin oleh Kartavirya, yang

64I Made Maswinara, (2007), Dewa-Dewi Hindu, Surabaya: Paramita, h. 25.

65I Made Maswinara, (2007), Dewa-Dewi Hindu, Surabaya: Paramita, h. 26.

31 menindas rakyat. Apakah cerita ini memiliki dasar historis dan menyatakan perjuangan guna meraih keunggulan antara golongan Brahmana dan golongan

Ksatriya, sulit untuk mengatakannya.66

Sri Rama, sebagai penjelmaan berikutnya, menemui Prasurama dan menyerap kekuatannya kedalam diri-Nya. Karena itu, Rama kadang-kadang dianggap sebagai avesavatara, suatu penjelmaan dengan kekuasaan Visnu yang bersifat sementara. Sri Rama, salah satu dari dua penjelmaan Visnu yang paling terkenal, muncul berikutnya dalam rangkaian penjelmaan ini. Ceritanya sangat terkenal sehingga sering mendapatkan pengulangan-pengulangan. Dia melambangkan manusia ideal; dimana ceritanya, Ramayana kini telah menjadi epos abadi. Namanya dikenal sebagai ‘Taraka-mantra,’ suatu mantra yang dapat membawa seseorang menyeberangi lautan perpindahan roh.67

Balarama, Rama nan perkasa, kakak Sri Krsna, adalah penjelmaan ke-delapan. Petualangannya yang begitu banyak termasuk pembantaian kera

Dvivida dan Raksasa Dhenuka, yang menggoncarig pertahanan Hastinavati (ibu kota dari kerajaan Pandava) dan yang mengalihkan aliran sungai Yamuna dari jalan semestinya. Cerita bahwa ular Sesa muncul dari mulutnya pada saat kematiannya memberikan keyakinan pada yang mempercayainya bahwa ia adalah inkarnasi dari Sesa. Beberapa orang sarjana, beberapa dugaan pada senjata

Balarama (hala atau luku), berpendapat bahwa ia merupakan seseorang pahlawan pertanian yang ditingkatkan pada kedudukan seorang avatara, dalam perjalanan waktu.68

66I Made Maswinara, (2007), Dewa-Dewi Hindu, Surabaya: Paramita, h. 26.

67I Made Maswinara, (2007), Dewa-Dewi Hindu, Surabaya: Paramita, h. 27.

68I Made Maswinara, (2007), Dewa-Dewi Hindu, Surabaya: Paramita, h. 27.

32 Sri Krsna, penjelmaan kesembilan dari Visnu, barangkali merupakan inkarnasi yang paling terkenal, sehingga ia dianggap sebagai Purna avatara

(penjelmaan lengkap) dan seluruh devata lain dipandang sebagai manifestasinya.

Cerita dan petualangannya sangat banyak dan sangat terkenal. Bagi para pemeluk

Hindu umumnya, dia bukan hanya merupakan seorang raja, satria, pahlawan, filsuf dan guru, tetapi juga Tuhan sendiri. Dia lah uang menjadi pengulas ‘Kidung

Ketuhanan’, Bhagavad Gita.69

Avatara kesepuluh, Kalki, masih belum datang. Dia akan muncul di bumi pada akhir jaman sekarang ini (Kali Yuga). Dengan menunggang kuda putih, dengan pedang terhunus, ia akan memusnahkan musuh-musuh Dharma dan menegakkannya dalam segala kemuliaannya.70

F. Dewa Wisnu dalam Teks Suci Hindu

Kitab suci Veda. Weda secara etimologi berasal dari kata “Vid”

(bahasa sansekerta) yang artinya mengetahui atau pengetahauan. Weda adalah ilmu pengetahuan suci yang maha sempurna dan kekal abadi serta berasal dari

Hyang Widhi Wasa. Kitab suci weda dikenal pula dengan sruti, yang artinya bahwa kitab suci weda adalah wahyu yang diterima melaui pendengaran suci dengan kemekaran intituisi para maha Resi.71 Kitab weda juga disebut dengan kitab mantra karena memuat nyanyia-nyanyian pujaan. Karena itu menurut bentuknya Weda terbagi pada:

69I Made Maswinara, (2007), Dewa-Dewi Hindu, Surabaya: Paramita, h. 27.

70I Made Maswinara, (2007), Dewa-Dewi Hindu, Surabaya: Paramita, h. 27.

71Cudamani, (1992), Pegama Hindu, Jakarta : Hanuman Sakti, h. 17.

33 1. Sruti. Sruti adalah kitab yang diturunkan secara langsung oleh Tuhan (Hyang

Widhi Wasa) melalui para maha Rsi yang melakukan meditasi mendalam. Sruti adalah weda yang sebenarnya (originir) yang diterima melalui pendengaran, yang diturunkan sesuai periodesasinya dalam empat kelompok atau himpunan. Oleh karena itu Weda Sruti disebut juga Catur Weda atau Catur Weda Samhita

(samhita artinya himpunan).72

2. Smriti. Smriti adalah weda yang disusun kembali berdasarkan ingatan.

Penyusunan ini didasarkan atas pengelompokan isi materi secara sistematis menurut bidang profesi. Secara garis besarnya Smriti dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar, yakni kelompok Wedangga (Sadangga) dan kelompok

Upaweda.73

Smriti merupakan juga kitab suci yang ditulis kembali oleh para pemuka agama Hindu untuk memudahkan penjelasan terhadap isi kandungan yang ada di dalam kitab suci weda.74

Pemujaan terhadap dewa Visnu telah dikenal sejak jaman Veda, Visnu telah disinggung dalam Rgveda, Yajurveda, Samaveda, dan Atharvaveda. Nama

Visnu disebutkan beberapa kali di dalam kitab suci Rgveda.75

Pemujaan Kepada Sri Krishna dan penjelmaan-penjelmaan-Nya

(awatara) telah menjadi tradisi yang berlangsung sejak ribuan tahun lamanya di

India. Dalam beberapa mazab Waisnawa, Sri Krishna dipuja dalam

72Cudamani, (1992), Pegama Hindu, Jakarta : Hanuman Sakti, h. 18.

73Cudamani, (1992), Pegama Hindu, Jakarta : Hanuman Sakti, h. 19.

74Wawancara dengan Pak Sukirno Selaku Guru, pada tanggal 4 September 2020

75I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 230.

34 perwujudan-Nya sebagai Sri Wishnu. Selain itu, Sri Krishna juga dipuja dalam perwujudan-Nya sebagai Lakmsi Narayana. Pemujaan Sri Krishna dalam bentuk

Radha-Krishna merupakan pemujaan yang dilakukan dalam garis perguruan atau sampradaya Brahma-Madhva-Gaudiya Waisnawa.76

Bila kita mempelajari dan mendalami uraian kitab-kitab Weda, Purana, dan Upanisad, maka akan dapat kita temukan begitu banyak sloka yang membenarkan bahwa Sri Krishna adalah Purna-Awatara, atau Kepribadian Tuhan

Yang Maha Esa. Para Resi, para acarya, dan orang-orang yang sudah mencapai keinsafan diri pada zaman dahulu membenarkan kenyataan ini. Dalam kitab

Bhagavad-gita, yang diakui sebagai kitab Weda Kelima (Pancama Weda) kedudukan Sri Krishna sangat lah jelas.77

“Tidak ada Kebenaran yang lebih tinggi dari-Ku.” (Gita 7.7) “sarvasya cähaà hådi sanniviñöo mattaù småtir jïänam apohanaà ca vedaiç ca sarvair aham eva vedyo vedänta-kåd veda-vid eva cäham” “Aku lah yang harus diketahui dari segala Weda.” (Gita 15.15) “arjuna uväca paraà brahma paraà dhäma pavitraà paramaà bhavän puruñaà çäçvataà divyam ädi-devam ajaà vibhum ähus tväm åñayaù sarve devarñir näradas tathä

76https://narayanasmerti.wordpress.com/2009/01/19/mengapa-memuja-sri-krishna/diakses pada 20 Agustus 2020

77https://narayanasmerti.wordpress.com/2009/01/19/mengapa-memuja-sri-krishna/diakses pada 20 Agustus 2020

35 asito devalo vyäsaù svayaà caiva bravéñi me”----satu spasi “Arjuna berkata : Engkau adalah Kepribadian Tuhan Yang Mahaesa, tempat tinggal tertinggi, Yang Mahasuci, Kebenaran Mutlak. Anda adalah Yang Mahaabadi, Yang Rohani dan melampaui dunia ini, Kepribadian Asli dan tidak terlahirkan dan Yang Mahabesar. Semua resi yang mulia seperti Narada, Asita, Devala, dan Wyasa membenarkan kenyataan ini tentang Anda, dan sekarang Anda Sendiri menyatakan demikian kepada hamba.” (Gita 10.12-13)78 “man-manä bhava mad-bhakto mad-yäjé mäà namaskuru mäm evaiñyasi satyaà te pratijäne priyo ‘si me” “Berpikirlah tentang-Ku senantiasa, menjadi penyembah-Ku, bersembahyang kepada-Ku dan bersujud kepada-Ku. Dengan demikian, pasti engkau akan datang kepada-Ku. Aku berjanji demikian kepadamu karena engkau kawan-Ku yang sangat Kucintai.” (Gita 18.65)79 “yat karoñi yad açnäsi yaj juhoñi dadäsi yat yat tapasyasi kaunteya tat kuruñva mad-arpaëam” “Apapun yang engkau lakukan, apapun yang engkau makan, apapun yang engkau persembahkan atau berikan sebagai sumbangan serta pertapaan apapun yang engkau lakukan lakukanlah kegiatan itu sebagai persembahan kepada-Ku, wahai putra Kunti.” (Gita 9.27)80 Bila kita mempelajari dan mendalami uraian kitab-kitab Weda, Purana, dan Upanisad, maka akan dapat kita temukan begitu banyak sloka yang membenarkan bahwa Sri Krishna adalah Purna-Awatara, atau Kepribadian Tuhan

Yang Maha Esa. Dalam kitab Bhagavata Purana 1.3.28, dinyatakan bahwa Sri

Krishna adalah sumber dari segala awatara. Setelah dalam sloka-sloka

78https://narayanasmerti.wordpress.com/2009/01/19/mengapa-memuja-sri-krishna/diakses pada 20 Agustus 2020

79https://narayanasmerti.wordpress.com/2009/01/19/mengapa-memuja-sri-krishna/diakses pada 20 Agustus 2020

80https://narayanasmerti.wordpress.com/2009/01/19/mengapa-memuja-sri-krishna/diakses pada 20 Agustus 2020

36 sebelumnya menguraikan berbagai wujud dan kegiatan rohani para awatara atau penjelmaan Tuhan yang jumlahnya tidak terhingga.81

“Wahai Dhananjaya (Arjuna), tidak ada Kebenaran yang lebih tinggi daripada-Ku. Segala sesuatu bersandar kepada-Ku, bagaikan mutiara diikat pada seutas tali.” (Gita 7.7)82 “sarvasya cähaà hådi sanniviñöo mattaù småtir jïänam apohanaà ca vedaiç ca sarvair aham eva vedyo vedänta-kåd veda-vid eva cäham” “Aku bersemayam di dalam hati setiap makhluk. Ingatan, pengetahuan, dan pelupaan berasal dari-Ku; Aku lah yang harus diketahui dari segala Weda, memang Aku lah yang menyusun Wedanta, dan Aku lah yang mengetahui Weda.” (Gita 15.15)83 “arjuna uväca paraà brahma paraà dhäma pavitraà paramaà bhavän puruñaà çäçvataà divyam ädi-devam ajaà vibhum ähus tväm åñayaù sarve devarñir näradas tathä asito devalo vyäsaù svayaà caiva bravéñi me” “Arjuna berkata : Engkau adalah Kepribadian Tuhan Yang Mahaesa, tempat tinggal tertinggi, Yang Mahasuci, Kebenaran Mutlak. Anda adalah Yang Mahaabadi, Yang Rohani dan melampaui dunia ini, Kepribadian Asli dan tidak terlahirkan dan Yang Mahabesar. Semua resi yang mulia seperti Narada, Asita,

81https://narayanasmerti.wordpress.com/2009/01/19/mengapa-memuja-sri-krishna/diakses pada 20 Agustus 2020

82https://narayanasmerti.wordpress.com/2009/01/19/mengapa-memuja-sri-krishna/diakses pada 20 Agustus 2020

83https://narayanasmerti.wordpress.com/2009/01/19/mengapa-memuja-sri-krishna/diakses pada 20 Agustus 2020

37 Devala, dan Wyasa membenarkan kenyataan ini tentang Anda, dan sekarang Anda Sendiri menyatakan demikian kepada hamba.” (Gita 10.12-13)84 Pemujaan Kepada Sri Krishna dan penjelmaan-penjelmaan-Nya

(awatara) telah menjadi tradisi yang berlangsung sejak ribuan lalu di India.

Dalam beberapa mazab Waisnawa, Sri Krishna dipuja dalam perwujudan-Nya sebagai Sri Wishnu. Selain itu, Sri Krishna juga dipuja dalam perwujudan-Nya sebagai Laksmi – Narayana. Pemujaan Sri Krishna dalam perwujudan

Radha-Krishna merupakan pemujaan yang dilakukan dalam garis perguruan atau sampradaya Brahma-Madhva-Gaudiya Waisnawa dan berbagai sampradaya lainnya.85 a) Visnu Sebagai Pencipta

Visnu sebagai pencipta ditegaskan dalam Bhagavad-Gita X.8 yaitu: ahain sarvasya prabhavo mattah sarvain pravartate iti matva bhajente main budha bhava samanvitah “Aku adalah sumber segala dunia rohani dan segala dunia material. Segala sesuatu berasal dari-Ku. Orang bijaksana yang mengetahui kenyataan ini secara sempurna menekuni bhakti kepada-Ku dan menyembah-Ku dengan sepenuh hati (dalam Prabhupada, 2005:513).86 Penciptaan alam semesta diawali dari manifestasi Tuhan Yang Maha

Esa sendiri yang sedang berbaring, penyebab yang mungkin bisa dikiaskan sebagai pondasi seluruh alam semesta sebagai Karanodakasayi Visnu yang maha besar. Dari setiap pori-pori Karanodakasayi Visnu, muncullah Garbhodakasayi

84https://narayanasmerti.wordpress.com/2009/01/19/mengapa-memuja-sri-krishna/diakses pada 20 Agustus 2020

85https://narayanasmerti.wordpress.com/2009/01/19/mengapa-memuja-sri-krishna/ diakses pada 20 Agustus 2020

86I Made Jaya Negara Suarsa Putra, Teologi Vaisnava Dalam Pustaka Bhagavad-GIta (TInjauan Nilai pendidikan Sosio-religius), Jurnal Pasupati Vol. 5 No. 2. Juli-Des 2018, h. 184.

38 Visnu yang memunculkan sebuah alam semesta. Dari hal tersebut dapat dibayangkan betapa besar dan maha kuasanya Tuhan yang menciptakan atau memunculkan satu alam semesta yang terdiri dari milyaran juta galaksi.87

Dinyatakan dalam Narayana Upanishad (1), atha puruso ha vai narayano kamayata prajah srjeyeti. “Kemudian kepribadian yang paling utama

Narayana ingin menciptakan makhluk hidup.” Kemudian dalam Upanishad yang sama disebutkan: narayanad brahma jayate, narayanad prajapatih prajate, narayanad indro jayate, narayanad astau vasaso jayate, narayanad ekadasa rudra jayate, narayanad dvadasadityah. “dari Narayana Brahma lahir, dari

Narayana para Prajapati juga lahir, dari Narayana Indra lahir, dari Narayana delapan Vasu lahir, dari Narayana sebelas Rudra lahir, dari Narayana dua belas

Aditya lahir.” Narayana adalah personalitas Tuhan yang mutlak.88 b) Visnu sebagai pemelihara

Bhagavad-Gita IX.5 menyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa (Visnu) sebagai pemelihara jagat raya yang Maha Kuasa yaitu menyatakan bahwa segala sesuatu yang diciptakan tidak bersandar di dalam diri-Ku. Lihat kehebatan batin-Ku! Walau aku memelihara semua makhluk hidup dan walaupun aku berada dimana-mana, namun aku bukan bagian dari manifestasi alam semesta ini, sebab diri-Ku adalah asal mula ciptaan (dalam Parabhupada, 2000: 459). Dan

Bhagavad-Gita IX.8 juga menyatakan yaitu:

87I Made Jaya Negara Suarsa Putra, Teologi Vaisnava Dalam Pustaka Bhagavad-GIta (TInjauan Nilai pendidikan Sosio-religius), Jurnal Pasupati Vol. 5 No. 2. Juli-Des 2018, h. 184.

88I Made Jaya Negara Suarsa Putra, Teologi Vaisnava Dalam Pustaka Bhagavad-GIta (TInjauan Nilai pendidikan Sosio-religius), Jurnal Pasupati Vol. 5 No. 2. Juli-Des 2018, h. 184.

39 “gatirbharta prabhuh saksi nivasah saranain suhrt prabhavah pralayah sthanain nidhanain bijam avyayam” “Aku adalah tujuan, pemelihara, penguasa, saksi, tempat tinggal, pelindung, dan kawan yang paling tercinta. Aku adalah ciptaan dan peleburan, dasar segala sesuatu, sandaran dan benih yang kekal (dalam Prabhupada, 2000: 447). Segala sesuatu bergantung pada tenaga Tuhan Yang Maha Esa (Visnu). Karena itu, tanpa perlindungan Tuhan, tidak ada sesuatupun yang hidup.89 c) Visnu sebagai pelebur Bhagavad-Gita pada XI. 32 yaitu Sri Bhagavan uvaca: kalo ‘smi loka-ksaya-krt pravrddho lokan samahartum iha pravttah rte ‘pi tvain na bhavisyanti sarve ye ‘vasthitah pratyanikesu yodhah” Tuhan Yang Maha Esa bersabda: Aku adalah waktu yang datang untuk menghancurkan dunia-dunia, dan Aku datang disini untuk memusnahkan semua orang. Kecuali kalian (para Pandava), semua ksatria disini dari kedua belah pihak akan terbunuh (dalam Prabhupada 2000: 575). Dari Sloka diatas sangat jelas menyatakan bahwa Tuhan Yang Maha

Esa (Visnu) merupakan penguasa peleburan atas ciptaan.90

89I Made Jaya Negara Suarsa Putra, Teologi Vaisnava Dalam Pustaka Bhagavad-GIta (TInjauan Nilai pendidikan Sosio-religius), Jurnal Pasupati Vol. 5 No. 2. Juli-Des 2018, h. 185.

90I Made Jaya Negara Suarsa Putra, Teologi Vaisnava Dalam Pustaka Bhagavad-GIta (TInjauan Nilai pendidikan Sosio-religius), Jurnal Pasupati Vol. 5 No. 2. Juli-Des 2018, h. 186.

40 BAB III

GAMBARAN UMUM TENTANG PURA PARAHYANGAN JAGAT GURU

A. Perkembangan Agama Hindu di Banten

Agama Hindu tidak hanya terdapat di India, tetapi juga telah masuk ke

Indonesia, bahkan sangat kuat pengaruhnya terutama di Jawa. Kapan agama tersebut masuk ke Nusantara (Indonesia) tidak dapat diketahui secara pasti.

Interpretasi terhadap penemuan kepurbakalaan, peninggalan karya tulis dan sebagainya juga tidak memberikan informasi tentang siapa nama pembawa agama tersebut.91

Ada beberapa bukti pengaruh agama Hindu dan kebudayaan India terhadap Indonesia dalam bidang sastra dan agama, seni bangunan dan adat kebiasaan yang ada di Nusantara. Dari sini barangkali dapat dipahami bahwa masuknya pengaruh tersebut bukan melalui kasta-kasta Sudra, Waisya ataupun

Ksatria, tetapi oleh para Brahmana, karena merekalah yang berwenang membaca kitab suci dan menentukan peribadatan.92

Berdasarkan peninggalan-peninggalan yang berhasil ditemukan, diperkirakan agama Hindu mulai berkembang di Indonesia pada abad ke-4 M.

Hal ini dibuktikannya dengan ditemukannya prasasti-prasasti di ,

Kalimantan Timur. Masuknya paham Hindu dari India ke Indonesia melalui perdagangan dan budaya. Budaya-budaya tersebut dengan mudah berakulturasi dan diterima oleh masyarakat pada zamannya sehingga dapat berkembang dengan

91Romdon, dkk, (1998), Agama-agama di Dunia, Yogjakarta; IAIN Sunan Kalijaga Press, hal. 94.

92Romdon, dkk, (1998), Agama-agama di Dunia, Yogjakarta; IAIN Sunan Kalijaga Press, hal. 95.

41 pesat. ajaran agama Hindu dibawa oleh kaum Brahmana bersama kaum pedagang.93

Berkaitan dengan masuknya agama Hindu di Indonesia, para ahli menggunakan analisis dengan argumentasi beberapa teori antara lain sebagai berikut:

1. Mokerjee (sarjana India) pada tahun 1912 M dengan teori dagangnya menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia dibawa oleh kaum pedagang yang mengadakan kontak langsung dengan penduduk. Maka terjadilah proses saling mempengaruhi.94

2. Prof. Moens (sarjana Belanda) dengan teori Ksatrya menyatakan bahwa peranan kaum ksatrya sangat besar pengaruhnya dalam proses kolonialisasi kekuasaan termasuk kepercayaan yang mereka anut.95

3. Krom (sarjana Belanda) dengan teori Waisya dalam bukunya

Hindu Javan She Geschiedenis menyatakan bahwa diterimanya pengaruh

Hindu di Indonesia melalui penyusupan dengan jalan yang damai yang dilakukan oleh kaum pedagang India.96

4. Bosch (sarjana Belanda) menyatakan bahwa dalam penyebaran

Hindu ke Indonesia karena pengaruh kaum Brahmana (rohaniawan) sangat besar.

Mengingat hanya kaum Brahmana yang benar-benar menguasai Weda.97

93I Wayan Midastra, dkk, (2007), Agama Hindu Untuk SMP, Jakarta; Ganeca Exact, hal. 27.

94I Wayan Midastra, dkk, (2007), Agama Hindu Untuk SMP, Jakarta; Ganeca Exact, hal. 27.

95I Wayan Midastra, dkk, (2007), Agama Hindu Untuk SMP, Jakarta; Ganeca Exact, hal. 27.

96I Wayan Midastra, dkk, (2007), Agama Hindu Untuk SMP, Jakarta; Ganeca Exact, hal. 27.

97I Wayan Midastra, dkk, (2007), Agama Hindu Untuk SMP, Jakarta; Ganeca Exact, hal. 27.

42 Pada abad ke-5 M di Jawa Barat berdirlah sebuah kerajaan yang berama Tarumanegara dengan rajanya bernama Purnawarman.98 atau Kerajaan Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-5 hingga abad ke-7 M. Tarumanegara merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada saat itu

Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.99

Sumber-sumber pendukungnya berupa prasasti, seperti prasasti

Ciareteun, prasasti Kebun Kopi, prasasti Jambu, prasasti Pasir Awi, prasasti

Muara Cianten, prasasti Tugu, dan prasasti Lebak. Agama yang dianut raja

Purnawarman ialah Hindu sesuai dengan isi prasasti Ciareteun yang ditemukan di daerah Bogor. Raja Purnawarman adalah sosok yang gagah berani. Tapak kakinya disamakan dengan lukisan kaki dewa Wisnu.100

Bukti lain tentang kehidupan agama Hindu di Jawa Barat dapat dibuktikan dengan ditemukannya arca perunggu di Cibuaya yang memakai atribut Siwa yang diperkirakan dibuat pada masa pemerintahan raja Purnawarman di Tarumanegara. Dengan demikian, semakin memperkuat kita bahwa raja

Purnawarman adalah penganut agama Hindu yang memuja Dewa Tri Murti.101

Di jaman pra-Islam, daerah Banten ternyata merupakan mula kerajaan

Hindu di Jawa Barat dan kawasan Selat Sunda (Lampung, Bengkulu, dan Selatan

Sumatra), sebelum akhirnya kerajaan Hindu ini menjelma dan melahirkan

98I Wayan Midastra, dkk, (2007), Agama Hindu Untuk SMP, Jakarta; Ganeca Exact, hal. 27.

99https://id.wikipedia.org/wiki/Tarumanagara, diakses pada 28 Oktober 2020, 17.00 WIB

100I Wayan Midastra, dkk, (2007), Agama Hindu Untuk SMP, Jakarta; Ganeca Exact, hal. 27.

101I Wayan Midastra, dkk, (2007), Agama Hindu Untuk SMP, Jakarta; Ganeca Exact, hal. 28.

43 sejumlah konfederasi Kerajaan Sunda. Dengan adanya Candi Siwa Kuno dan bergaya Jawa di atas Gunung Pulosari, kita dapat memahami kenapa dalam Tantu

Panggelaran, gunung tersebut disamakan dengan Gunung Kaliasa tempat kediaman Siwa. Dengan ditemukannya Candi di Gunung Pulosari ini pula kenapa

Sunan Gunung Jati menyebut pemimpin para pendetanya sebagai Brahmana

Kandali, sebagaimana dituturkan Sajarah Banten dalam Pupuh XVII-4, di mana cerita teks Sajarah Banten itu memang terbukti bukan dongeng setelah ditemukannya Candi Siwa dan lima arcanya di Kawah Cipanas di Gunung

Keramat Hindu Pulosari.102

Arca-arca yang disebutkan sebagai “Arca Caringin” itu sempat dilupakan cukup lama, entah sengaja atau tanpa sengaja, sejak diangkut ke

Jakarta, dan di sana telah tercampur dengan ratusan arca lain yang sejenis.

Meskipun demikian, arti pentingnya tidak luput dari perhatian ilmuwan terkenal

R. Friedrich pada tahun 1850. Dalam sebuah kajian mengenai arca-arca yang ditemukan di Gunung Pulosari itu, yang dalam hal ini tentang satu arca Ganesha, ilmuwan R. Friedrich menulis: “Arca semacam ini, serta arca-arca lainnya yang bergaya sama, telah ditemukan di daerah Banten, di bagian Pulau Jawa yang paling barat, yang tak ragu lagi telah menandakan bahwa peradaban dan seni

Hindu telah tersebar sampai ke pantai negeri itu. Arca-arca itu juga telah sangat jelas menunjukkan bahwa peninggalan kuno tersebut tidak berasal dari Pajajaran, sebab segala sesuatu yang telah kita ketahui tentang Pajajaran menunjukkan keterbelakangan di bidang ilmu pengetahuan dan seni, yang pada saat yang sama

102http://sulaimandjaya.blogspot.com/2014/02/hindu-bermula-di-banten.html?m=1, diakses pada 28 Oktober 2020

44 arca-arca itu telah menunjukkan dengan jelas bahwa ada sebuah Kerajaan Hindu di Banten jauh sebelum Pajajaran.”103

Bukti yang ada cukup banyak untuk menegaskan bahwa Gunung

Pulosari, sebagai Gunung Keramat Kerajaan Sunda Banten Girang, memang kuno sifat keagamaannya. Bahwa Candi di Gunung Pulosari didirikan pada abad ke-10, yaitu sezaman dengan didirikannya Kerajaan Sunda Banten Girang, sangat jelas bukan sebuah kebetulan semata. Jadi, dapatlah dinyatakan bahwa Banten

Girang bukan sekedar sebuah kotapraja, sebagaimana anggapan yang selama ini menyesatkan dan dipercaya sekian lama, melainkan Ibukota sebuah Kerajaan yang disinyalir oleh ilmuwan R. Friedrich.104

Masih ada unsur lain lagi yang dapat membuktikan bahwa itu sebuah

Kerajaan Hindu kuno. Menurut Sajarah Banten Pupuh XVII, 14-15, yaitu ketika

Hasanuddin berada di atas Gunung Pulosari, yang berarti sebelum ibukota Banten

Girang direbutnya secara militer, ia juga pergi ke Pulau Panaitan, yang terletak di sebelah selatan Selat Sunda, di sana ia menyelam ke dasar laut dan kembali dengan membawa sebuah gong keramat.105

Ternyata, di pulau yang tidak dihuni itu, dan sekarang menjadi bagian dari Taman Nasional Ujung Kulon, ketika ahli-ahli topografi memasang sebuah pancang triangulasi di puncak Gunung Raksa pada akhir abad ke-19, pada saat itulah mereka menemukan dua buah arca Ganesha dan Siwa, yang bila melihat gayanya, berasal dari abad ke-14 dan ke-15. Adegan panjang dalam Sajarah

103http://sulaimandjaya.blogspot.com/2014/02/hindu-bermula-di-banten.html?m=1, diakses pada 28 Oktober 2020

104http://sulaimandjaya.blogspot.com/2014/02/hindu-bermula-di-banten.html?m=1, diakses pada 28 Oktober 2020

105http://sulaimandjaya.blogspot.com/2014/02/hindu-bermula-di-banten.html?m=1, diakses pada 28 Oktober 2020

45 Banten mengenai tindak-tanduk Hasanuddin sebelum menaklukkan Banten

Girang itu, jelas bertujuan melukiskan penguasaan rohani atas wilayah politik yang bakal direbutnya dengan senjata. Singkatnya, Pulau Panaitan juga termasuk wilayah Kerajaan Sunda Banten Girang.106

Mengenai agama yang dianut di Banten pada masa itu, hendaknya ditambahkan pula bahwa pada awal abad ke-21, pada waktu pembuatan sebuah terusan, sebuah arca Nandi, wahana Siwa, ditemukan di Karangantu, di bagian timur Kota Pelabuhan Banten. Melihat gayanya, arca yang sekarang disimpan di

Museum Banten itu, rupa-rupanya berasal dari abad ke-13 atau ke-14. Pada saat itu, penemuan yang tersediri itu mulanya dianggap tidak penting. Namun, bila dilihat dalam konteks yang baru kami gambarkan itu, arca itu tergolong dalam suatu sistem yang koheren, bahkan dapat diperkirakan bahwa arca Nandi itu berasal dari sebuah candi yang didirikan di Pelabuhan Banten.107

Dengan demikian, sangatlah jelas, bahwa sebuah kesatuan politik yang terpusat atau beribukota di Banten Girang, telah didirikan dan telah ada pada paro pertama abad ke-10 dan berlangsung sampai awal abad ke-16. Kerajaan itu rupanya tetap beragama Siwa sampai tiba waktunya perebutan oleh Wangsa

Muslim yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati dan anaknya Maulana

Hasanuddin.108

106http://sulaimandjaya.blogspot.com/2014/02/hindu-bermula-di-banten.html?m=1, diakses pada 28 Oktober 2020

107http://sulaimandjaya.blogspot.com/2014/02/hindu-bermula-di-banten.html?m=1, diakses pada 28 Oktober 2020

108http://sulaimandjaya.blogspot.com/2014/02/hindu-bermula-di-banten.html?m=1, diakses pada 28 Oktober 2020

46 B. Deskripsi Pura Parahyangan Jagat Guru a) Profil Pura Parahyangan Jagat Guru

Pura adalah tempat suci umat Hindu untuk menunaikan ibadah dalam upaya meningkatkan dan memantapkan sraddha dan bhakti umat Hindu kepada

Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Pura juga berfungsi sebagai sarana/tempat pembinaan umat untuk mempererat persaudaraan sesama umat

Hindu apapun latar belakang etnisnya. Selain itu, Pura juga berfungsi memajukan pendidikan, seni dan budaya serta ekonomi dengan membentuk unit-unit usaha yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan umat dan operasional Pura.

Dengan berdirinya sebuah Pura, umat Hindu akan lebih dekat mengenal sesama umat sekitarnya. Sebagai sarana pendidikan dan sosial keagamaan, maka seseorang dapat mengenal dan memahami aktivitas ritual yang berlangsung di

Pura tersebut. Demikian pula sebagai sarana pendidikan, sangat berguna untuk memajukan pendidikan agama Hindu, yang utamanya adalah pendidikan yang bersifat spiritual.

Untuk mendekatkan umat manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi

Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, para Dewata, roh suci para Rsi Agung dan roh suci leluhur, maka berdasarkan petunjuk para Rsi Agung, Kitab Suci Veda dan

Susastra Hindu lainnya, umat Hindu membuat bentuk tiruan (replica) sorga tersebut dan diturunkan atau dibuat di bumi ini. Bentuk tiruan sorga tersebut adalah berupa pura yang di dalamnya terdapat aneka bangunan suci atau palinggih, sebagai sthana Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, para Dewata, roh suci para Rsi Agung dan roh suci leluhur. Oleh karena itu,

47 setelah Pura dibangun harus segera disucikan dan difungsikan, diantaranya dengan upacara atau ritual Ngenteg Linggih untuk memantapkan serta menyucikan sthana-Nya.109

Proses pembangunan Parahyangan Jagat Guru dimulai sejak terbitnya

Keputusan Bupati Tangerang tentang Ijin Mendirikan Bangunan untuk mendirikan tempat Ibadah (Pura). pada tanggal 25 Agustus 2009, Parahyangan

Jagat Guru dibangun di atas lahan fasos-fasum Bumi Serpong Damai (BSD) melalui Pemerintah Kabupaten Tangerang berupa lahan seluas 2.200 m2 di Nusa

Loka, Sektor 14.6, Bumi Serpong Damai, Desa Rawa Mekar, Kecamatan

Serpong.110

Sejalan dengan perkembangan situasi dan kondisi di lapangan serta atas dasar kesepakatan para sesepuh/tokoh umat dan petunjuk dari Ida Peranda Nabe

Putra Sidemen maka rencana gambar bangunan telah banyak mengalami perubahan dan penyesuaian. Kondisi pembangunan yang telah terselesaikan hingga saat ini yakni bangunan suci di Mandala Utama berupa Padmasana dengan ketinggian 11 meter, Bale Pawedan, Bale Pepelik, Ratu Ngerurah, Taman

Sari dan Bale Kulkul, Bale Gita, Kuri Agung/Pemedal dengan Pengapit

Lawangnya serta tembok penyengker dengan Paduraksanya telah terselesaikan.111

Agar seluruh bangunan suci Pura Parahyangan Jagat Guru dapat terpenuhi maka pembanguan seperti: Dapur Suci dan Bale Pesandekan Umat akan terus dilakukan secara bertahap, termasuk bangunan pendukung, yaitu

109Wawancara dengan Pak Wintha Selaku Pamangku, pada tanggal 2 Desember 2020

110Wawancara dengan Pak Wintha Selaku Pamangku, pada tanggal 2 Desember 2020

111Wawancara dengan Pak Wintha Selaku Pamangku, pada tanggal 2 Desember 2020

48 Gedung Serba Guna/Wantilan Banjar Tangerang Selatan serta Gedung Pasraman dengan luas 240 m2 berlantai 3 yang belum rampung 100% namun telah dapat dipergunakan untuk proses belajar mengajar bagi anak-anak Pasraman serta pertemuan dan pelatihan juga dapat diselenggarakan dengan fasilitas yang sudah cukup memadai.112

Pada tanggal 21 Oktober 2014 dilakukan Upacara Seremonial, yakni peresmian secara protokoler Parahyangan Jagat Guru SDHD Banjar Tangerang

Selatan yang ditandai dengan penandatanganan prasasti oleh Wali Kota

Tangerang Selatan Ibu Hj. Airin Rachmi Diany, SH., MH. Ketua Banjar dalam

Pura Parahyangan Jagat Guru ialah Nyoman Subamya. Pura Parahyangan Jagat

Guru ini beralamat di Nusa Loka, BSD City, Serpong, Sektor 14-6, Rw. Mekar

Jaya, Serpong, Kota Tangerang Selatan, Banten 15310.113 b) Struktur Bangunan dan Organisasi Pura Parahyangan Jagat Guru

Pura merupakan tempat suci bagi umat Hindu. Struktur bangunan sebuah Pura seharusnya memiliki beberapa halaman. Namun dalam prakteknya ditemukan Pura yang hanya memiliki satu atau dua halaman saja. Pura yang memiliki satu halaman saja didasarkan oleh konsep Ekabhuwana di mana alam atas dan alam bawah dianggap menyatu. Sedangkan Pura yang memiliki dua halaman didasarkan konsep alam atas dan alam bawah yang terpisah.

Kompleks bangunan Pura dalam konsep agama Hindu merupakan refleksi atau bentuk mini dari bhuana agung (alam jagat raya). Dalam hal ini,

112Wawancara dengan Pak Wintha Selaku Pamangku, pada tanggal 2 Desember 2020

113Wawancara dengan Pak Wintha Selaku Pamangku, pada tanggal 2 Desember 2020

49 manusia berupaya mewujudkan alam raya ini dalam bentuk mini agar mudah berhubungan dengan Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), dalam hal ini adalah Pura.

Di Pura Parahyangan Jagat Guru, ada dua halaman utama, yakni Nista

Mandala, dan Madya Mandala. Nista Mandala, atau biasa disebut dengan jaba pisan yang merupakan bagian terluar dari arsitektur sebuah Pura. Bagian ini merupakan nista atau kotor dan tidak sakral dari sebuah Pura. Setiap orang dapat memasuki ini. Nista Mandala dapat berfungsi sebagai halaman yang dapat digunakan untuk kegiatan kemanusiaan. Contohnya adalah kegiatan rapat, kegiatan budaya, kegiatan pendidikan, kegiatan sosial.114

Sedangkan Madya Mandala adalah bagian tengah Pura. Madya

Mandala tidak bisa dan tidak boleh dimasuki oleh seseorang begitu saja.

Seseorang yang ingin masuk ke dalam Madya Mandala harus dalam keadaan bersih, dan wajib dengan menggunakan beberapa atribut tertentu. Lalu ada tempat khusus untuk beribadah yang suci dan sakral, tempat ini disebut dengan Utama

Mandala. Untuk memasuki tempat ini, seseorang harus dalam keadaan yang suci.

Karena dalam Utama Mandala ini lah seseorang melakukan ritual ibadahnya untuk mendekatkan diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha

Esa).115

Selain struktur bangunan, Pura juga memiliki struktur organisasi untuk membagi tugas dan kewajiban demi berjalannya kegiatan di sebuah Pura. Dengan tata kelola organisasi yang baik dalam sebuah tempat ibadah, maka dapat

114Wawancara dengan Pak Wintha Selaku Pamangku, pada tanggal 2 Desember 2020

115Wawancara dengan Pak Wintha Selaku Pamangku, pada tanggal 2 Desember 2020

50 melahirkan kenyamanan dan keamanan umat dalam melaksanakan aktivitas ritual dan ibadahnya. Mereka yang memimpin dan memberi tugas untuk meakukan upacara tetap pembinaan praumat Hindu biasa menyebutnya dengan nama pengempon atau pengemong. Pengemong berasal dari kata “emong” yang berarti mengayomi atau melindungi.

Ada juga yang dinamakan Ketua Banjar. Ketua Banjar adalah ketua dalam sebuah Pura yang bertanggungjawab atas semua kegiatan yang ada di dalam sebuah Pura. Ketua Banjar memiliki Wakil yang bertugas untuk membantu

Ketua Banjar dalam menjalankan tugasnya. Lalu ada juga sekretaris yang bertugas untuk mencatat dan merapikan arsip kegiatan dalam sebuah Pura.

Berikut adalah struktur organisasi pengurus harian dan pleno SDHD Banjar

Tangerang Selatan, periode 2017-2020:

51 52 Dari struktur organisasi diatas, penulis melihat bahwa Pura

Parahyangan Jagat Guru sangat terorganisir layaknya sebuah organisasi. Ada

Ketua, yang merupakan ketua umum di wilayah administratif dalam umat Hindu di Pura Parahyangan Jagat Guru BSD. Dibawah jabatan ketua, selain ada sekretaris, bendahara, ada juga yang disebut dengan Ketua Tempek, yang membantu mengurus semua kegiatan Pura dengan membentuk masing-masing ketua dari setiap bidangnya. c) Kegiatan Yang Ada dalam Pura Parahyangan Jagat Guru

Sebelum dijabarkan beberapa kegiatan yang ada di Pura Parahyangan

Jagat Guru, penulis akan menjelaskan sedikit mengenai pemaknaan Pura.

Sebagaimana bangunan suci, Pura merupakan sarana peribadatan bagi umat

Hindu dalam upayanya melakukan pendekatan diri kepada Sang Hyang Widhi

Wasa sehingga dapat meningkatkan kualitas diri, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial.

Di tempat suci seperti Pura atau tempat pemujaan, diharapkan manusia dapat mengembangkan dirinya untuk saling mengenal dan saling membantu diantara umat, sehingga tercipta sebuah keharmonisan dalam kehidupan. Selain sebagai tempat peribadatan bagi umat Hindu, jika ditelusuri lebih mendalam,

Pura tidak hanya berfungsi sebagai tempat pemujaan saja, akan tetapi sebuah

Pura juga berfungsi sebagai sarana untuk melakukan kegiatan dalam berbagai bidang selain bidang keagamaan.

53 Seperti yang telah dikemukakan oleh penulis dalam struktur organisasi, kegiatan di Pura Parahyangan Jagat Guru tidak hanya dalam bidang keagamaan saja. Diantaranya ada bidang pendidikan, dan bidang sosial kemasyarakatan. a) Bidang Pendidikan

Pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Pendidikan formal adalah pendidikan yang diperoleh melalui lembaga-lembaga formal, seperti sekolah, perguruan tinggi dan institusi-institusi lainnya. Sedangkan pendidikan nonformal adalah pendidikan yang diperoleh melalui keluarga dan masyarakat.

Pendidikan nonformal yang diperoleh di masyarakat berlangsung disetiap tempat yang dipergunakan sebagai tempat berinteraksi antara individu dengan individu lainnya, termasuk salah satunya adalah di Pura.

Pura Parahyangan Jagat Guru merupakan salah satu tempat berlangsungnya pendidikan nonformal. Pendidikan nonformal ini dapat dilihat dalam sebuah kegiatan ceramah agama (Dharma Wacana), dan diskusi agama

(Dharma Tula) yang diadakan rutin setiap bulannya. Selain itu, di dalam Pura juga bisa dijadikan untuk tempat belajar bersama. Kegiatan ini berlangsung di

Nista Mandala, halaman yang berfungsi untuk kegiatan sosial kemanusiaan.116 b) Bidang Sosial Kemasyarakatan

Bentuk integrasi sosial yang ada di Pura Parahyangan Jagat Guru dapat dilihat dari kegiatan gotong-royong (ngaturang ayah) ketika mempersiapkan sebuah acara ataupun kegiatan. Seluruh umat yang berasal dari berbagai kalangan status sosial secara bersama-sama melakukan kegiatan yang dilandasi rasa

116Wawancara dengan Pak Wintha Selaku Pamangku, pada tanggal 2 Desember 2020

54 solidaritas, kerjasama dan saling mengasihi menjadikan kegiatan yang dilaksanakan berlandaskan rasa bakti dan ketulusan, tanpa membedakan latarbelakang masing-masing.117

Penulis menyimpulkan bahwa kegiatan yang ada di dalam Pura tak hanya semata-mata kegiatan keagamaan saja, akan tetapi yang tidak kalah penting adalah Pasraman. Pasraman artinya adalah tempat berlangsungnya proses belajar mengajar atau pendidikan masyarakat Hindu yang ditekankan untuk meningkatkan kualitas pemahaman, khususnya di bidang agama Hindu, dan juga bidang-bidang yang lainnya.

C. Simbol-simbol Dewa Wisnu Dalam Agama Hindu

Dalam seni arca umumnya terdapat dua posisi dewa Visnu. Yakni dalam posisi tidur terlentang di tengah samudra luas di atas belitan ular laut yang bernama Sesa (Sesanaga) atau dalam posisi berdiri. Memiliki 4 tangan masing-masing memegang terompet kerang (Sankha), cakram, tongkat pemukul

(Gada), sebuah busur atau kembang Padma. Lengannya dihiasi dengan gelang emas, pada lehernya mengenakan untaian bunga (Garland), cahayanya lembut, mengenakan anting-anting “makara”, monster laut. Empat tangan dewa Visnu mengandung makna penguasaan atas seluruh penjuru alam dan kemutlakan kekuasaan-Nya. Empat tangan dewa Visnu mengandung 4 tujuan hidup manusia

(Catur Purusatha), yakni Dharma (kebajikan), Artha (harta benda penunjang kehidupan), Kama (kenikmatan hidup) dan Moksa (kebebasan yang abadi).118

117Wawancara dengan Pak Wintha Selaku Pamangku, pada tanggal 2 Desember 2020

118I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 232.

55 Di dalam Gopala Uttara Tapini Upanisad (55-57) dinyatakan bahwa tangan kanan bawah memegang trompet kerang mengandung makna simbolis proses penciptaan alam semesta yang terdiri dari 5 unsur (pancamahabhuta).

Tangan kanan atas memegang cakram, yang mengandung makna simbolis pikiran yang memancar bagaikan cahaya matahari pagi. Tangan kiri atas memegang busur yang mengandung makna simbolis penyebab kekuatan maya yang mengakibatkan terciptanya alam semesta dan bunga teratai merah yang mengandung makna gerakan alam semesta dan tangan kiri bawah memegang sebuah tongkat pemukul yang mengandung makna simbolis pengetahuan yang paling awal (adyavidya).119

Di dalam Padma Purana (Patalakhanda) diuraikan 24 jenis arca dewa

Visnu yang dapat ditabulasikan sebagai berikut:

No. Nama Arca dengan Tangan Tangan Tangan Tangan

4 tangan Kanan Kanan Atas Kiri Atas Kiri Bawah

masing-masing Bawah

memegang:

1. Kesava (yang Sankha Cakram Gada Padma

berambut panjang)

2. Narayana Padma Gada Cakram Sankha

(kediaman

universal)

119I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 233.

56 3. Madhava (dewa Cakram Sankha Padma Gada

pengetahuan

4. Govinda Gada Padma Sankha Cakram

(penyelamat dunia)

5. Visnu (yang Sankha Cakram Padma Gada

meresapi)

6. Madhusudana Sankha Padma Gada Cakram

(pembunuh daitya

Madhu)

7. Trivikrama Gada Cakram Sankha Padma

(penguasa tiga

dunia)

8. Vamana (avatara Cakram Gada Padma Sankha

sebagai orang

cebol)

9. Sridhara (yang Cakram Gada Sankha Gada

memberi rejeki)

10. Hrsikesa (dewanya Cakram Gada Sankha Padma

rasa)

11. Padhmanaba Padma Sankha Gada Cakram

(berpusar padma)

57 12. Damodara (yang Sankha Gada Cakram Padma

mampu menahan

diri)

13. Sankarsana Sankha Padma Cakram Gada

14. Vasudeva (di dalam Cakram Sankha Gada Padma

makhluk)

15. Pradyumna (yang Sankha Gada Padma Cakram

terkaya)

16. Aniruddha (tak Gada Padma Sankha Cakram

dapat ditentang)

17. Purusottama Gada Cakram Padma Sankha

(manusia utama)

18. Adhoksaja Gada Sankha Cakram Padma

(lingkungan alam)

19. Nrsimha (manusia Padma Gada Sankha Cakram

singa)

20. Acyuta (yang tak Padma Sankha Cakram Gada

pernah jatuh)

21. Janardhana Gada Padma Cakram Gada

(pemberi hadiah)

58 22. Upendra (sdr. dewa Cakram Padma Gada Sankha

Indra)

23. Hari (pelenyap Padma Cakram Sankha Gada

penderitaan)

24. Krsna (yang Padma Cakram Gada Sankha

berkulit hitam)

Sankha atau terompet kerang adalah simbol asal segala eksistensi alam semesta. Bentuknya seperti spiral yang mulai dari satu titik terus berkembang ke seluruh penjuru angkasa. Hal tersebut juga dihubungkan dengan unsur air, merupakan unsur yang pertama, dan oleh karenanya disebut yang lahir sebagai asal adanya air. Ketika ditiup (terompet tersebut) terdengar suara yang dihubungkan dengan suara muasal ketika proses penciptaan berlangsung.

Terompet kerang diambil sebagai penggambaran wujud idea yang murni keberadaan individu (sattvika ahamkara) yang menyusun prinsip dari 5 unsur alam (Panca Maha Bhuta).120

“Ia yang memegang terompet kerang disebut Pancajanya (yang lahir 5 kali), yang melambangkan sifat Sattvam bagian dari sifat yang tidak egoistik, yang merupakan asal-muasal dari unsur-unsur alam semesta” (Padma Purana

IV.79), Cakra Sudarsana (cakram yang berpandangan mulia) merupakan senjata deva Visnu. Cakram tersebut memiliki 6 jari-jari yang sama dengan simbol jumlah lembar bunga padma” (Nrsimha-purva-Tapini Upanisad 5.2). “Cakram

120I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 234.

59 melambangkan pikiran yang universal (Padma Purana 1.22.68)., tenaga yang tiada batasnya yang mengembangkan dan mereduksi seluruh dan wujud alam semesta, demikian rupa berulang-ulang. Menurut Ahirbudhnya Samhita (2.62),

Sudarsana adalah keinginan yang berlipat ganda. “enam jari-jari dari cakra

Sudarsana melambangkan 6 musim, dan pusatnya merupakan pusat jeruji (di dalamnya terdapat aksara suci hrm, yang melambangkan abadi, tidak berubah, pusat yang tidak bergerak, asal pertama dan segalanya dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Lingkaran yang mengelilingi cakram adalah

“maya”, tenaga kedevataan yang merupakan ilusi (Nrsimha-purva-Tapini

Upanisad 5.2).121

Bunga padma merupakan simbol alam semesta, “dari Samudra

Penciptaan terbit alam semesta yang muncul dar pikiran-Ku, wilayah dengan 8 penjuru adalah 8 lembar daun (bunga padma/Gopala-Uttara-Tapini Upanisad 5.1).

Bunga padma yang bersih tanpa noda muncul dari kedalaman air yang senantiasa jauh dari tepi yang diasosiasikan dengan idea yang suci, yakni sifat Sattvam, dari padanya muncul ajaran tingkah laku (dharma) dan pengetahuan (jnana). Hal tersebut kadang-kadang dijadikan tanda 6 power yang luhur (bhaga) yang merupakan karakter kedevataan (bhagavan). “Sebagai penggambaran ciptaan yang tiada hentinya, padma sebagai simbol seimbang dengan simbol telur kesadaran, benih dari alam semesta yang tiada terbatas” (Danielou, 1964: 156).122

Busur, yang dibawa oleh dewa Visnu adalah aspek idea kehancuran individu (tamasa-ahamkara), aspek yang diasosiasikan dengan tendensi

121I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 235.

122I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 236.

60 disintegrasi dan merupakan asal dari pancaindria (Visnu Purana 1.22.70). Hal tersebut merupakan sarana yang kita kirimkan untuk penjagaan kepada ruang yang tidak terbatas dari kesucian ilusi penciptaan. Visnu memiliki busur yang disebut Saranga, yang melambangkan sifat Tamas, yang merupakan asal dari persepsi pancaindra.” Oleh karenanya busur dihubungkan dengan tenaga ilusi kedevataan (Krsna Upanisad 23). “Anak panah yang banyak, jumlahnya yang dimiliki oleh dewa Visnu adalah lambang dari pancaindria, lapangan aktivitas dari intelek (Visnu Purana 1.22.73) dan sarung tempa anak panah adalah gudang seluruh aktivitas.123

Gada atau tongkat pemukul adalah kekuatan pengetahuan (Visnu Purana

1.22.69) yang memancar dan mempengaruhi pikiran, oleh karenanya disebut

Kaumodaki (yang menakjubkan dan mempesona). Kaumodaki adalah yang menjadikan pikiran menjadi mabuk (Kaumodaki modayati sma cetah) kekuatan pengetahuan adalah “prana tattva” (esensi kehidupan), dari padanya muncul semua kekuatan jasmani dan rohani. Tidak suatu apapun yang dapat menundukkan waktu, oleh karenanya ia menjadi kekuatan dari waktu.

Demikianlah Gada diidentikan dengan dewi Kali, yang merupakan power dari waktu. “Gada adalah Kali, kekuatan dari waktu. Ia menghancurkan siapa saja yang menentangnya (Krnsa Upanisad 23).124

Pada dada dewa Visnu memancar permata yang gemerlapan bernama

Kautsubha, kekayaan dari samudra. Permata ini melambangkan kesadaran, yang memanifestasikan darinya dalam setiap cahaya: matahari, bulan, api dan ucapan

123I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 236.

124I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 236.

61 (Gopala-Uttara-Tapini Upanisad 54). (Kesadaran total ini, yang merupakan)

“jiwa dari alam semesta, halus dan murni, adalah permata (Kautsubha/Visnu

Purana 122.68), menjadikan kesadaran seluruh makhluk hidup. Ia yang memberikan kegembiraan dari seluruh ciptaan-Nya.125

Srivatsa adalah tanda berupa simpul rambut berwarna kekuning-kuningan pada dada sebelah kiri dewa Visnu. Srivatsa melambangkan asal dari alam semesta (dasar alam semesta/pradhana/Visnu Purana 1.22,69).

Permata melambangkan kegembiraan, lingkaran melambangkan mereka yang telah memperoleh kegembiraan, untuk semua makhluk dan wujud dari dunia yang dapat dipahami. “Srivatsa adalah wujud-Ku. Mereka yang mengetahui esensi dari segala sesuatunya ditandai dengan tanda keberuntungan

(Gopala-Uttara-Tapini Upanisad 53). Kalungan bunga Vaijayanti merupakan rangkaian bunga hutan yang selalu nampak dikalungkan oleh dewa Visnu, dibuat dari lima untaian bungan yang harum atau 5 untaian batu permata melambangkan lingkup pancaindra, ia juga merupakan untaian unsur-unsur pancamahabhuta

(bhutamala (Visnu Purana 1.22.72). Untaian bunga Vaijayanti ini disebut juga

Vanamala dan dinyatakan sebagai perwujudan maya, kekuatan ilusi dari Tuhan

Yang Maha Meresapi segalanya.126

Anting-anting dewa Visnu berbentuk Makara (monster laut/ada juga yang menerjemahkan makara dengan buaya). Anting-anting ini menggambarkan dua metoda pengetahuan, yaitu: Sankhya (pengetahuan intelektual) dan Yoga

(pengembangan intuisi. Gelang lengan, dibuat dari substansi kedevataan, yang

125I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 237.

126I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 237.

62 melambangkan 3 tujuan hidup, yakni kebenaran, kesuksesan dan kesenangan

(Gopala-Uttara-Tapini Upanisad 57). Mahkota melambangkan realitas makhluk yang tidak terbatas dan sulit dipahami (Gopala-Uttara-Tapini Upanisad 59).127

Dewa Visnu selalu digambarkan berkulit gelap atau biru kehitaman.

Gelap adalah lambang ether, tidak berwujud, merembesi unsur ruang alam semesta. Demikianlah simbol dari Yang Meresapi-Segalanya (Visnu). Walaupun dewa Visnu digambarkan kulit-Nya berwarna kegelapan, inkarnasi-inkarnasi-Nya

(avatara-Nya) digambarkan warna kulitnya berbeda-beda tergantung dari umur dunia dan sifat-sifat yang dominan padanya. Pada Yuga yang pertama, warnanya keemasan dan karakternya adalah Sattvika. Yuga yang kedua berwarna merah, dengan karakternya rajas. Pada Yuga yang ketiga, berwarna kuning (campuran antara Rajas dan Tamas) dan pada Yuga yang ke-4 adalah hitam (Brahma Purana).

Hal ini juga merujuk pada inkarnasi-Nya pada 4 ras umat manusia, masing-masing: kulit putih, kemudian merah, selanjutnya kuning dan kiri berwarna hitam (Bhagavata Purana 10.8.23).128

Di dalam Garuda Purana (1.11), disebutkan atribut dan pengiring dewa

Visnu dalam warna yang berbeda-beda; “warna burung garuda-Nya adalah putih seperti bunga padma berwarna putih, gada-Nya hitam, dewi Prthivi seperti bunga akasia, Laksmi berwarna kuning keemasan, warna terompet kerang seperti bulan purnama, permatanya berwarna merah fajarm cakramnya seperti warna matahari,

127I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 238.

128I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 238.

63 gulungan rambutnya seperti bunga melati, warna kalungan bunganya 5 warna, ularnya seperti warna mendung, panah-panahnya seperti cahaya”.129

129I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 239.

64 BAB IV

ANALISIS SIMBOL-SIMBOL DEWA WISNU PURA PARAHYANGAN

JAGAT GURU

A. Pengertian dan Teori Simbol

Simbol dalam bahasa Inggris (Symbol) artinya lambang.130 Lambang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya sesuatu seperti tanda

(lukisan, lencana, dan sebagainya) yang menyatakan sesuatu hal atau maksud tertentu.131 Kata simbol (dalam bahasa Inggris symbol) mengandung arti: untuk sesuatu atau juga menggambarkan sesuatu, khususnya untuk menggambarkan sesuatu yang immaterial, abstrak, suatu idea, kualitas, tanda-tanda suatu obyek.132

Kata simbol berasal dari bahasa Greek, “sum-ballo” yang mengandung arti “saya bersatu bersamanya”, “penyatuan bersama”. Ardhendu Sekhar Gosh menyatakan bahwa kata simbol berasal dari kata “symbolon” (dalam bahasa

Greek) yang berarti tanda. Dalam bahasa Sansekerta kata simbol adalah

“pratika” yang mengandung arti yang datang ke depan, yang mendekati.133

Dalam bahasa Yunani “ symballeim” yang berarti benda yang dikaitkan dengan suatu ide.134 Kata simbol atau symboion (Yunani) juga berarti memberi kesan. Simbol atau lambang sebagai sarana atau mediasi untuk membuat dan

130John M. Echols dan Hassan Shadily, (1996), Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, Cet. Ke-23, h. 575.

131Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (1995), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Cet. Ke-4, hal. 557.

132J. Coulson, (1978), The New Oxford Illustrated Dictionary, Oxford: University Press, Vol.III, h. 1696.

133I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 63.

134Hartoko, dick & B. Rahmanto, (1998), Kamus Istilah Sastra, Yogyakarta: Kanisisus, h. 133.

65 menyampaikan suatu pesan, menyusun sistem epistimologi dan keyakinan yang dianut.135

Simbol secara etimologi adalah tanda yang digunakan untuk keperluan ritual tertentu.136 Sedangkan simbol secara terminologi adalah sesuatu yang sudah dianggap atas dasar kesepakatan bersama, sebagai sesuatu yang memberikan sifat alamiah (mewakili) atau mengingatkan kembali dengan memiliki atau mengintegralkan kembali dengan memiliki kualitas yang sama atau dengan membayangkan dalam kenyataan dalam hati dan pikiran.137

Simbol merupakan sesuatu elemen komunikasi yang dimaksudkan untuk sekedar mewakili objek, kelompok atau ide, tindakan secara rasional,138 dan tidak memiliki hubungan yang alamiah antara yang menyimbolkan dan yang disimbolkan. Implikasinya berarti baik yang batiniah (perasaan, pikiran, atau ide) maupun yang lahiriah (benda dan tindakan) dapat diwakili dengan simbol.139

The Liang Gie juga berpendapat bahwa simbol adalah sesuatu hal atau keadaan yang merupakan media pemahaman terhadap obyek. Di dalam simbol tersebut implisit tentang “isyarat” yang berarti suatu hal atau keadaan yang diberitahukan subyek kepada obyek. Sedangkan “tanda” suatu hal atau keadaanyang menerangkan obyek kepada subyek, terakhir “simbol” atau

135Sujono Soekamto, (2001), Sosioligi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persad, h. 187.

136Indrawan WS, (1999), Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Cipta Media, h. 259.

137H.A Rivay Sirregar, (1979), Tasawuf: dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme, Jakarta: Grafindo Persada, h. 13.

138http://www.britannica.com/topic/religious-symbolism Makna Simbol, artikel diakses tanggal 11 May 2020, pukul 09.00 WIB

139Ni Kadek Intan Rahayu, (2020), Makna Simbolik Umat Hindu Dalam Persembahyangan Bulan Purnama Di Kecamatan Basidondo Kabupaten Tolitoli, Jurnal Bahasa dan Sastra Vol. 5 No. 1, h. 147.

66 “lambang” suatu hal atau keadaan yang memimpin pemahaman subyek keda obyek.140

Menurut Alfred North Whitehead dalam bukunya Symbolism yang dikutip Dilliston, dijelaskan bahwa pikiran manusia berfungsi secara simbolis apabila beberapa komponen pengalamannya menggugah kesadaran, kepercayaan, perasaan dan gambaran mengenai komponen-komponen lain pengalamannya. Perangkat komponen yang terdahulu adalah ”simbol” dan perangkat komponen yang kemudian membentuk ”makna” simbol.

Keberfungsian organis yang menyebabkan adanya peralihan dari simbol kepada makna itu akan disebut ”referensi”. Simbol sesungguhnya mengambil bagian dalam realitas yang membuatnya dapat dimengerti, nilainya yang tinggi terletak dalam suatu substansi bersama dengan ide yang disajikan. Simbol sedikit banyak menghubungkan dua entitas. Setiap simbol mempunyai sifat mengacu kepada apa yang tertinggi dan ideal. Simbol yang efektif adalah simbol yang memberi terang, daya kekuatannya bersifat emotif dan merangsang orang untuk bertindak.141

Menurut Dillistone, simbol berasal dari kata kerja dasarnya symbolleindalam bahasa Yunani berarti “mencocokkan”, kedua bagian yang dicocokkan disebut symbola. Sebuah simbol pada mulanya adalah sebuah benda, sebuah tanda, atau sebuah kata, yang digunakan untuk saling mengenali dan dengan arti yang sudah dipahami.142

140Budiono Herusatoto, (2001), Simbolisme dalam Budaya Jawa, Yogyakarta : PT. Hanindita Graha Widya, h. 10.

141F. W. Dillistone, (2002), Daya Kekuatan Simbol. Terj. A. Widyamartaya, Yogyakarta: Kanisius, h. 15-28.

142F.W.Dillistone, (2002), The Power of Simbols, Yogyakarta: Kanisius, h. 21.

67 Simbol dapat berupa objek, kejadian, bunyi atau suara, dan tulisan-tulisan atau ukiran gambar yang dibentuk serta diberi makna oleh manusia. Simbol atau tanda dapat dilihat sebagai konsep-konsep yang memiliki pengkhasan yang mngandung suatu kualitas-kualitas analisis-logis atau melalui asosiasi-asosiasi pikiran dan fakta.143

Dapat dipahami dalam hal ini, simbol membawa suatu pesan yang mengandung sebuah makna yang mendorong pemikiran dan tindakan seseorang.

Melalui makna sebagai suatu instansi pengantara, maka sebuah simbol dapat menerjemahkan pengetahuan menjadi nilai, dan juga dapat menerjemahkan seperangkat nilai menjadi suatu sistem pengetahuan. Simbol merupakan suatu objek yang memiliki makna yang sesuai dengan realitas kehidupan manusia, sehingga makna tersebut secara tidak langsung diberikan oleh manusia sendiri.

Pengertian simbol tidak akan lepas dari ingatan manusia secara tidak langsung manusia pasti mengetahui apa yang disebut simbol, terkadang simbol diartikan sebagai suatu lambang yang digunakan sebagai penyampai pesan atau keyakinan yang telah dianut dan memiliki makna tertentu, Arti simbol juga sering terbatas pada tanda konvensionalnya, yakni sesuatu yang dibangun oleh masyarakat atau individu dengan arti tertentu yang kurang lebih standar yang disepakati atau dipakai anggota masyarakat tersebut.144

Adapun dalam kehidupan sehari-hari manusia sering membicarakan tentang simbol, begitu pula dengan kehidupan manusia tidak mungkin tidak

143Setya Yuwana Sudikan, (2007), Antropologi Sastra, Surabaya: Unesa University Press, h. 40.

144Soerjono Soekanto, (2001), Sosioligi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, h. 187.

68 berurusan dengan hasil kebudayaan. Akan tetapi setiap hari orang melihat, mempergunakan bahkan kadang-kadang merusak kebudayaan tersebut.145

Karena kebudayaan merupakan hasil ciptaan manusia selaku anggota masyarakat maka yang jelas tidak ada manusia yang tidak memiliki kebudayaan dan juga sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat, jadi masyarakat mempunyai peran sebagai wadah dan pendukung dari suatu kebudayaan.146

Salah satu tokoh yang berbicara tentang simbol yaitu Herbert Blumer

(1962) dia seorang tokoh modern dari teori interaksionisme simbolik ini menjelaskan, menurut Blumer istilah interaksionisme simbolik menunjuk kepada sifat khas dari interaksi antar manusia. Ciri khasnya adalah bahwa manusia saling menerjemahkan dan saling mendefinisikan tindakanya. Bukan sekedar reaksi belaka dari tindakan seseorang terhadap orang lain.147

Tanggapan seseorang tidak dibuat secara langsung terhadap tindakan orang lain, tetapi didasarkan atas makna yang diberikan terhadap tindakan orang lain tersebut. Interaksi antar individu diantarai oleh penggunaan simbol-simbol, interpretasi atau dengan saling berusaha untuk saling memahami maksud dari tindakan masing-masing.148

Teori Herbert Blummer berasumsi dalam tiga premis utama yaitu: a. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.

145Soerjono Soekanto, (2001), Sosioligi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, h. 188.

146Soerjono Soekanto, (2001), Sosioligi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, h. 188.

147George Ritzer, (1985), Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta : CV Rajawali, h. 60.

148George Ritzer, (1985), Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta : CV Rajawali, h. 61.

69 b. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain. c. Makna-makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi sosial sedang berlangsung.149

Teori simbol yang dikemukakan oleh Clifford Geertz, Geertz menekankan upaya untuk menemukan makna yang memandang penting simbol dari sekedar eksplanasi, dan pentingnya signifikansi konteks sosial sebagai unsur penting dalam memahami makna simbol. Ia juga mengemukakan bahwa antropologi harus didasari oleh realitas konkret, yakni kajian mengenai satu kasus tunggal yang dapat menghasilkan pandangan teoritis dan makna-makna, artinya dari realitas ini harus ditemukan makna, bukan prediksi yang didasarkan pada data empiris.

Geertz mengemukakan bahwa setiap objek, tindakan peristiwa, merupakan juga sebagai makna simbol. Sebab simbol-simbol bersifat bersifat umum, teraba, dan tercerap. Simbol-simbol keagamaan adalah simbol-simbol yang mengintegrasikan dunia sebagaimana dihayati dan dunia sebagaimana dibayangkan dan simbol-simbol ini berguna untuk menghasilkan dan memperkuat keyakinan keagamaan.150

149George Ritzer, (1985), Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta : CV Rajawali, h. 61.

150Clifford Geertz, (1983), Local Knowledge; Further Essays in Interpretative Anthropology, New York: Basic Books, h. 119.

70 B. Simbol-simbol Dewa Wisnu Pura Parahyangan Jagat Guru

Sebelum membahas simbol-simbol Dewa Wisnu yang ada di Pura

Parahyangan Jagat Guru, penulis akan menjelaskan sedikit tentang dewa yang dipuja dalam Pura Parahyangan Jagat Guru. Pura Parahyangan Jagat Guru memuja tiga dewa utama, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa yang disebut dengan Tri Murti (meleburnya para dewa menjadi satu). Berbeda dengan Hindu di India, yang mana ada sebuah sekte yang khusus hanya memuja

Dewa Wisnu, yang dikenal dengan aliran atau sekte Waisnawa.

Dalam Pura Parahyangan Jagat Guru, terdapat dua simbol Patung sebagai metafora Dewa Wisnu. Dua simbol patung tersebut adalah Kurma

(empas/kura-kura), dan Garuda. a) Kurma (kura-kura)

Kura-Kura adalah Awatara Dewa Wisnu yang ada di dalam Kitab Siwa

Purana, dan Padma Purana. Dalam kitab itu diceritakan bahwa dasar dari dunia itu bentuknya adalah Kura-Kura. Sebagian umat Hindu mempercayai kejadian tersebut sebagai sebuah fakta historis, namun sebagian yang lainnya mengaggap bahwa ini adalah sebuah mitologi. Mitologi ini dibuat oleh para Rsi pada zaman

71 dahulu untuk dapat mengajarkan hal-hal yang rumit agar menjadi lebih mudah dipelajari. Dalam mitologi ini disebutkan bahwa para Dewa memperebutkan air kebahagiaan yang abadi, yaitu Tirtha Amrta. Sejatinya adalah bahwa kebaikan dan kejahatan selalu bertarung tiada henti. Dan kebahagiaan yang abadi adalah ketika seseorang mencapai Moksa. Kura-Kura juga sebagai metafor atau perumpamaan sebagai sebuah simbol yang melekat daripada Wisnu. Karena keterbatasan manusia dalam membayangkan Tuhan, maka dihadirkanlah sebuah metafor dan mitologi.151

Simbol Kura-Kura (Kurma) yang ada pada bagian bawah dalam

Padmasana. Padamasana berasal dari kata “Padma” dan “Asana”. Padma yang berarti bunga teratai dan Asana yang berarti tempat duduk. Maka Padmasana berarti tempat duduk yang berasal dari bunga teratai.152 Padamasana ini terletak dalam halaman Utama Mandala, yaitu tempat yang sakral dan suci untuk beribadah dengan Sang Hyang Widhi Wasa.

Di dalam Veda, kita jumpai kata Kurma yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris tortoise (penyu darat). Kata ini disebut cukup sering di dalam kitab-kitab Samhita akhir (seperti dalam Atharvaveda IX.4.16; Taittriya II.6.3.3;

V.2.8.4.5; 7,13,13; Maitrayani III.15.3; Vajasaneyi XIV.34) dan kitab-kitab

Brahmana (Satapatha I.6.2.3; VI.1.1.12). Nama lainnya adalah Kasyapa yang menunjukkan binatang yang sama (tortoise).153

151Wawancara dengan pak Made Seroja selaku Guru, pada tanggal 24 April 2021

152Wawancara dengan Pak Sukirno Selaku Guru, pada tanggal 2 Desember 2020

153I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 404.

72 Sumber-sumber Sansekerta lainnya setelah kitab-kitab Veda adalah kitab-kitab Itihasa dan Purana. Dalam kedua jenis kitab-kitab ini, disebutkan bahwa Sang Hyang Visnu telah turun menjelma sebagai Avatara yang disebut dengan istilah Kurmavatara, Kurmaraja atau Badavagni (Valmiki Ramayana

Balakanda, Sarga 45; Mahabharata, Adiparva, 18; Bhagavata Purana VIII.7;

Agnipurana 3 (Vettam, 1989:80). Di samping itu dalam Varamihira Bhrat

Samhita XIV dan Varamihira Yogayatra IX.4 kita juga jumpai nama atau istilah yang sama, yakni Kurma (William Monier, 1993:300). Nama lainnya di dalam bahasa Sansekerta adalah Akupara (Bhagavata Purana) yang disebut sebagai kura-kura yang menyangga bumi.154

Sepanjang sejarah, bila saatnya terjadi kekacauan di dunia, Tuhan Yang

Maha Esa mucul dalam wujud-wujud individu tertentu guna membimbing kehidupan menuju suatu evolusi dan tujuan sesuai dengan hukum penciptaan dalam anak wujud kehidupan. Cerita tentang turun-Nya, penjelmaan atau manifestasi-Nya sungguh tidak terbatas. Tidak mungkin untuk menghitung sepenuhnya tentang penjelmaan Tuhan Yang Maha Esa, yang menyerapi segalanya dalam wujud dunia materi. Mitologi Kurma selalu dikaitkan dengan

Avatara yang kedua dari Sang Hyang Visnu ketika turun ke dunia untuk menyelamatkan manusia dari kehancuran.155

Dewa Wisnu, dalam inkarnasinya yang kedua, dalam wujud setengah manusia dan kura-kura (Kurma). Bagian bawah tubuhnya menjadi kura-kura. Ia diperlihatkan memiliki empat tangan. Pada dua tangan bagian atas ia memegang

154I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 405.

155I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 408.

73 terompet kerang dan cakra dan dua tangannya yang lain memberikan anugerah dan perlindungan atau membawa sebuah tombak atau setangkai teratai.156

Ketika para dewa dalam keadaan bahaya diancam kekuasaannya oleh para raksasa, Dewa Wisnu memberikan mereka nasehat untuk mengaduk lautan sehingga mereka akan mendapatkan amrta yang akan membuat mereka kuat dan abadi. Ia berjanji akan menjadi seekor kura-kura dimana dipunggungnya akan diletakkan gunung Mandra, yang akan menjadi tongkat pengaduk.157

Bersama dengan ambrosia, pengadukan lautan itu memunculkan tiga belas benda yang hilang pada saat banjir terjadi. Laksmi (sakti Dewa Wisnu),

Sura (dewi anggur), Candra (bulan), Apsara (bidadari), Kaustabha (permata berharga Dewa Wisnu), Uchchaisrava (kuda surgawi), Parijata (tumbuhan pengabul keinginan), Surabhi (Sapi yang mengabulkan permintaan, Airavata

(Gajah dengan empat gading), Pancajaya (terompet kerang), dan Saranga (busur sakti). Tetapi, setelah mengadukan itu, kemunculan semua hal-hal yang baik dinetralkan oleh racun (halahala). Dewa Siwa kemudian meminum racun ini dan menyelamatkan umat manusia. Racun ini sangat kuat sehingga membuat kerongkongan Dewa Siwa berwarna biru sehingga Ia mendapat julukan

Nila-Kantha atau Ia yang memiliki kerongkongan biru. Pengadukan lautan ini juga menghasilkan Dhanvantari (dokter para dewa), yang membawa amrta di tangannya.158

156Dharam Vir Singh, (2006), Hinduisme Sebuah Pengantar, Surabaya: Paramita, h. 36.

157Dharam Vir Singh, (2006), Hinduisme Sebuah Pengantar, Surabaya: Paramita, h. 37.

158Dharam Vir Singh, (2006), Hinduisme Sebuah Pengantar, Surabaya: Paramita, h. 37.

74 Kura-kura adalah simbol yang berada di bagian paling dasar

Padmasana dibayangkan sebagai api magma, dan dililit dua naga basuki yaitu kekuatan yang mengikat alam semesta.159 b) Garuda

Garuda diceritakan dari sebuah kitab yang bernama Padma Purana.

Kitab Purana adalah sebuah kitab yang bercerita tentang Awatara. Garuda adalah kendaraan Dewa Wisnu, dan termasuk hewan kesayangannya. Garuda adalah sebuah metafor atau perumpamaan yang menunjukkan betapa cepatnya sang

Wisnu. Garuda juga mengajarkan bahwa melakukan sebuah pengorbanan, memiliki keberanian dalam hal melepaskan dari perbudakan dalam membela kebenaran adalah hal yang bisa diterapkan oleh manusia. Kitab Purana disusun tidak untuk memuaskan logika berpikir, akan tetapi sebagai rasa dalam penghayatan untuk berbakti kepada Tuhan. Tidak untuk dipertentangkan dengan

159Wawancara dengan pak Made Seroja selaku Guru, pada tanggal 24 April 2021

75 alam logika. Garuda juga sebagai metafor atau perumpamaan sebagai sebuah simbol yang melekat daripada Wisnu. Karena keterbatasan manusia dalam membayangkan Tuhan, maka dihadirkanlah sebuah metafor dan mitologi.160

Garuda adalah burung matahari atau burung rajawali yang dianggap sebagai lambang dunia atas (Sutaba, 1976, 14, Van der Hoop, 1949:178). Lukisan atau relief burung garuda dikenal pula pada masa prasejarah India, yakni ditemukannya lukisan di Harappa (lembah sungai Sindhu) berupa gambar seekor burung garuda yang sedang membabarkan sayapnya dan kepalanya berpaling ke arah kiri. Di atas masing-masing sayapnya terdapat beberapa ekor ular. Burung elang atau garuda yang dilukiskan bersama-sama ular merupakan dasar bentuk binatang garuda yang merupakan wahana Dewa Wisnu di India, dilukiskan melayang-layang mencucuk seekor ular di paruhnya (Wiryosuparto, 1959: 21).

Selanjutnya dalam Rgveda yang merupakan sumber ajaran agama Hindu dilukiskan sebagai aspek keagungan Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai nama atau wujud seperti Agni, Yama, Varuna, Mitra dan Garutma atau Garuda.

Kemahakuasaan-Nya bagaikan garuda keemasan yang menurunkan hujan menganugerahkan kemakmuran (Rgveda 1.164.46,47,52).161

Garutman atau Garuda, burung perkasa wahana Wisnu, merupakan dewata minor yang secara bervariasi dijumpai dalam semua kuil Waisnawa. Ia dilukiskan sebagai putra pasangan pendeta Kasyapa dan Vinata dan sebagai adik dari Aruna sais dewa Matahari. Yang utama di antara berbagai fungsinya adalah

160Wawancara dengan pak Made Seroja selaku Guru, pada tanggal 24 April 2021

161I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 386.

76 membawa periuk nektar dari surganya Indra. Tepatlah bila Wisnu memilihnya sebagai kendaraan-Nya.162

Kata Garuda berarti ‘sayap pembicaraan’. Dia sebenarnya personifikasi pengetahuan Veda. Pada sayapnya, sebagaimana adanya, pengetahuan Veda turun kepada kita, dari dunia Tuhan. Patung Garuda umumnya bersifat anthropomorfis. Dia tampak dengan paruh tajam, dan dua sayap dipunggungnya.

Tagannya mungkin empat atau delapan atau bahkan hanya dua saja. Kedua tangannya senantiasa dalam sikap berhormat. Pada patung lain ia membawa kulit kerang, jentera, gada, pedang, ular dan periuk nektar. Patungnya umumnya ditempatkan diseberang pusat pemujaan.163

Dalam perkembangan sejarah kebudayaan Indonesia, burung garuda yang terkenal dalam wiracarita Hindu ternyata mempengaruhi kesenian Indonesia.

Misalnya arca garuda vahana Visnu yang digambarkan sebagai manusia biasa, hanya kepalanya diberi bentuk kepala burung.164

Visnu memakai seekor ular sebagai sofa dan burung garuda, musuh utama ular, sebagai wahananya. Hal ini menunjukkan bahwa ia merupakan penguasa keseimbangan dan keselarasan, yang merupakan sifat mendasar bagi seseorang dengan tanggungjawab pemeliharaan alam semesta yang beraneka ragam ini.165

162I Made Maswinara, (2007), Dewa-Dewi Hindu, Surabaya: Paramita, h. 36.

163I Made Maswinara, (2007), Dewa-Dewi Hindu, Surabaya: Paramita, h. 36.

164I Made Titib, (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya: Paramita, h. 387.

165I Made Maswinara, (2007), Dewa-Dewi Hindu, Surabaya: Paramita, h. 36.

77 Simbol Garuda Wisnu adalah simbol Garuda (putra Sang Winata) yang membawa tirtha amerta kamandalu, anugerah dari Wisnu. Makna simbol ini adalah kesejahteraan dan kesehatan serta umur panjang bagi penyungsung

Garuda Wisnu.166

C. Fungsi dan Makna Simbolik Dewa Wisnu Bagi Umat Hindu Pura

Parahyangan Jagat Guru

Di Pura Parahyangan Jagat Guru, Dewa Wisnu termasuk ke dalam dewa agung yang penting untuk dipuja. Dewa Wisnu merupakan bagian dari

Dewa Tri Murti. Fungsi dewa Wisnu adalah sebagai dewa pemelihara yang agung.

Memelihara dan melindungi segala ciptaan Brahman. Apa yang ada di alam semesta ini, mulai dari bintang-bintang, planet, matahari, bulan, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan hingga makhluk yang terkecil pun merupakan ciptaan yang berada dalam pemeliharaan-Nya.167

Berbeda dengan dengan aliran atau sekte Waisnawa, dewa Wisnu dipandang sebagai roh suci dan dewa tertinggi. Dalam filsafat Advaita Vedanta dan tradisi Hindu umumnya, dewa Wisnu dipandang sebagai salah satu manifestasi Brahman dan enggan untuk dipuja sebagai Tuhan tersendiri yang menyaingi atau sederajat dengan Brahman.168

Simbol-simbol dewa Wisnu berfungsi sebagai sarana persembahyangan.

Melalui simbol-simbol yang berbentuk arca/patung, umat Hindu dapat berkonsentrasi dalam berhubungan dengan Tuhan. Simbol tersebut juga sebagai

166Wawancara dengan pak Made Seroja selaku Guru, pada tanggal 24 April 2021

167Wawancara dengan Pak Wintha Selaku Pamangku, pada tanggal 22 Februari 2021

168Wawancara dengan Pak Wintha Selaku Pamangku, pada tanggal 22 Februari 2021

78 titik fokus dalam kegiatan sembahyang. Di Pura Parahyangan Jagat Guru, umat

Hindu sangat meyakini bahwa dewa Wisnu mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam lini kehidupan ini. Pengaruh yang besar tersebut sejalan dengan pemaknaan simbol menurut Geertz, bahwa integrasi kosmologis melalui dewa

Wisnu, kemudian dapat secara langsung mempertegas penghayatan umat hindu bahwa Wisnu seakan-akan hadir memelihara pura, memelihara kehidupan, memelihara umat hindu yang senantiasa menyembahnya. Hal ini merupakan contoh linear dari ide Geertz terhadap simbol pada konteks dewa Wisnu.

Karena dewa Wisnu yang memahami umatnya, dan telah melindungi dan juga memelihara umatnya di dunia ini. Dewa Wisnu juga lah yang telah memelihara keseimbangan ekosistem di dalam alam semesta ini sehingga berjalan dengan porsinya masing-masing.169

D. Tata Cara Pemujaan Dewa Wisnu Bagi Umat Hindu Pura Parahyangan

Jagat Guru

Tuhan dalam hubungannya dengan manusia dapat kiranya diumpamakan dengan matahari. Matahari tidak pernah langsung menyentuh kehidupan yang ada di bumi ini. Tetapi tanpa matahari tidak akan ada kehidupan di bumi ini. Tumbuh-tumbuhan tidak akan tumbuh kalau dia ditanam di tanah dan di air saja. Tanpa kena sinar matahari tumbuh-tumbuhan tidak akan dapat hidup dan tumbuh. Tumbuh-tumbuhan sumber makanan hewan, tumbuh-tumbuhan dan hewan atau ternak merupakan sumber makanan manusia. Jadi yang langsung memberikan kehidupan pada tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia adalah

169Wawancara dengan Pak Wintha Selaku Pamangku, pada tanggal 22 Februari 2021

79 sinar matahari yang langsung menyentuh permukaan bumi, dimana tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia hidup.170

Demikianlah Tuhan bermanifestasi dalam kehidupan di dunia ini menjumpai manusia dan makhluk hidup lainnya. Manifestasi Tuhan dalam mewujudkan kemahakuasaannya inilah yang disebut dewa-dewa. Manifestasi

Tuhan dalam menciptakan alam semesta dengan segala isinya disebut dewa

Brahma. Sebagai pemelihara dan pelindung ciptaan-Nya disebut dewa Wisnu.

Dan sebagai pemeralina ciptaan-Nya disebut dewa Siwa. Demikian pula Tuhan bermanifestasi memenuhi dan menguasai seluruh ruang dan waktu yang ada di alam raya ini.171

Di Pura Parahyangan Jagat Guru, Dewa Wisnu termasuk sebagai dewa agung yang dipuja. Dewa Wisnu masuk ke dalam Tri Murti (meleburnya dewa

Brahma, Wisnu, dan Siwa menjadi satu). Jika seseorang melakukan sembahyang kepada Sang Hyang Widhi, maka sama saja dia juga telah mengagungkan dewa

Wisnu. Berbeda dengan aliran atau sekte Waisnawa, yang khusus hanya memuja dewa Wisnu. Dalam aliran atau sekte Waisnawa, dewa Wisnu merupakan dewa agung yang tertinggi kedudukannya.172

Melakukan pemujaan kepada para dewa tidak bisa dilakukan begitu saja tanpa persiapan dan perencanaan. Mulai dari persiapan fisik, sampai ke persiapan mental. Persiapan fisik menyangkut tubuh dan pakaian yang bersih.

Sedangkan persiapan mental adalah niat, serta hati yang tulus untuk

170Drs. I Ketut Wiana, (2006), Sembahyang Menurut Hindu, Surabaya: Paramita, h. 48.

171Drs. I Ketut Wiana, (2006), Sembahyang Menurut Hindu, Surabaya: Paramita, h. 48.

172Wawancara dengan Pak Wintha Selaku Pamangku, pada tanggal 22 Februari 2021

80 melaksanakan pemujaan.173 Dalam keterkaitannya dengan penyembahan, kata

‘penyembahan’ dapat diklasifikasikan sebagai tujuan komunikasi antara yang menyembah dan yang disembah. Artikulasi penyembahan ini didasari dengan apa yang Geertz sebut sebagai “semiotics things must have the consideration of signs as means of communication”.174 Kemudian, dalam arti lain, penyembahan yang merupakan kegiatan semiotik haruslah melibatkan komunikasi antar wujud.

Bentuk konkretnya yang dimaksudkan Geertz pada “... signs as means of communication” teraplikasikan pada prosesi penyembahan kepada dewa Wisnu sebagai tanda bahwa komunikasi antar wujud dapat berlangsung.

Memuja dewa Wisnu dapat dilakukan di Pura, atau di rumah masing-masing umat Hindu. Jika seseorang ingin memuja di sebuah Pura, maka sebelum memasuki ruang Madya Mandala dan Utama Mandala, seseorang yang ingin memuja dewa Wisnu harus mencuci tangan terlebih dahulu. Seseorang yang ingin memuja hendaknya sudah dalam keadaan bersih, dan memakai senteng.

Sangat dianjurkan dan lebih baik agar memakai kain saat melakukan pemujaan.175

Sembahyang dilakukan pada tiga waktu utama. Pertama ialah pada waktu pagi hari sekitar pukul enam disaat matahari mulai terbit. Kedua ialah pada waktu siang hari sekitar pukul dua belas. Ketiga adalah pada waktu sore hari pada pukul enam saat matahari terbenam. Pemujaan kepada para dewa dilakukan

173Wawancara dengan Pak Wintha Selaku Pamangku, pada tanggal 22 Februari 2021

174Clifford Geertz, (1983), Local Knowledge; Further Essays in Interpretative Anthropology, New York: Basic Books, h. 120.

175Wawancara dengan Pak Wintha Selaku Pamangku, pada tanggal 22 Februari 2021

81 selama setiap hari. Adapaun posisi seseorang saat melakukan pemujaan ialah menghadap ke Padmasana.176

Jika seseorang ingin melakukan pemujaan di rumah, sangat dianjurkan dan diperlukan sebuah ruangan khusus untuk pemujaan, yang juga lengkap dengan sarana-sarana sembahyangnya. Persiapan pemujaan meliputi persiapan lahir dan bathin. Persiapan lahir; sikap duduk yang baik, pengaturan nafas, dan sikap tangan. Persiapan lahir meliputi sarana penunjang sembahyang seperti pakaian yang rapi dan bersih, bunga atau kwangen, air dan dupa. Sedangkan persiapan bathin ialah ketenangan hati dan kesucian pikiran. Umat Hindu menggunakan sarana untuk memuja kepada Tuhan.177

Dalam melaksanakan persembahyangan, umat Hindu diwajibkan mempergunakan sarana tertentu sebagai persembahan, serta sujud dan bhaktinya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Ada dua acuan utama yang dipakai sebagai dasar untuk menentukan sarana persembahyangan termaksud.178

Acuan pertama adalah Bhagavadgita Bab IX Sloka 26 yang berbunyi “patram puspam phalam toyam yo me bhaktya prayacchati tad aham bhakty-upartham asnamo prayatatmanah” Yang artinya “Siapapun yang dengan tulus ikhlas mempersembahkan kepada-Ku daun, bunga, buah-buahan atau air yang disampaikan dengan cinta kasih dan hati yang suci, Aku terima.”179

176Wawancara dengan Pak Wintha Selaku Pamangku, pada tanggal 22 Februari 2021

177Wawancara dengan Pak Wintha Selaku Pamangku, pada tanggal 22 Februari 2021

178Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 11.

179Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 11.

82 Acuan yang kedua adalah Manava Dharmasastra I, Sloka 23 yang berbunyi sebagai berikut: “Agnivayu ravibhyastu trayam brahma sanatanam, dudoha yajnasiddyartha mrgyajuh samalaksanam”. Yang artinya “Sesungguhnya Tuhan menciptakan ajaran ketiga Veda yang abadi dari Api (Agni), Angin (Vayu), dan Matahari (Ravi) untuk dijadikan dasar melaksanakan yajna.”180 Dari kedua acuan tadi dapat diketahui bahwa sebagai sarana atau persembahan dalam persembahyangan dapat menggunakan bunga, daun, buah, air, dan api. Kemudian dengan adanya pengaruh dari rasa dan jiwa seni yang sedemikian tingginya, dengan memperhatikan nilai-nilai estetika dan keindahan, maka menjadikan bunga, daun, dan buah tersebut dipersembahkan dalam bentuk sesajen atau banten seperti sekarang ini.181

Persembahan berupa air dihaturkan dalam bentuk Tirtha, sedangkan api diwujudkan dalam bentuk dupa dan diva. Demikianlah maka umat Hindu dalam melaksanakan persembahyangan selalu mempergunakan sarana persembahan.182 a) Prasarana Dalam Pemujaan a. Asuci Laksana

Pertama-tama orang membersihkan badan dengan mandi. Kebersihan badan dan kesejukan lahir mempengaruhi ketenangan hati.183 Sebelum melaksanakan sembahyang, kita harus bersikap Asuci Laksana yakni mensucikan diri dengan tidak melakukan tindakan atau perbuatan yang tidak baik, tercela, ataupun perilaku yang tidak terpuji lainnya. Disamping itu, badan atau tubuh,

180Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 12.

181Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 12.

182Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 13.

183Wawancara dengan Pak Wintha Selaku Pamangku, pada tanggal 22 Februari 2021

83 pikiran dan jiwa harus benar-benar suci, bersih, dan hening. Menggunakan pakaian yang bersih. Kemudian pikiran dapat disucikan dengan cara melaksanakan ajaran agama, selalu memikirkan hal-hal yang baik dan benar.

Selanjutnya jiwa dapat disucikan dengan cara mengikuti pelajaran spiritual, tapa brata atau mempelajari pengetahuan tentang kebenaran.184 b. Pakaian

Pakaian waktu sembahyang supaya diusahakan pakaian yang bersih serta tidak mengganggu ketenangan pikiran. Pakaian yang ketat dan warna yang mencolok sebaiknya dihindari. Pakaian harus disesuaikan kebiasaan setempat, supaya tidak menarik perhatian banyak orang.185 c. Bunga atau Kwangen

Bunga atau Kwangen adalah lambang kesucian, supaya diusahakan bunga yang segar, bersih dan harum. Jika dalam persembahyangan tidak ada

Kwangen dapat diganti dengan bunga. Ada beberapa bunga yang tidak baik untuk sembahyang. Menurut Agastyaparwa, bunga tersebut adalah: Bunga yang berulat, bunga yang gugur tanpa digoncang, bunga-bunga yang berisi semut, bunga yang layu yaitu bunga yang lewat masa mekarnya, bunga tumbuh dikuburan. Itulah jenis-jenis bunga yang tidak patut dipersembahkan.186

Bunga berfungsi sebagai simbol Tuhan (Siwa) dan karena itu dalam bersembahyang, bunga ditaruh tersembul di puncak cakupan tangan. Bunga juga

184Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 5.

185Wawancara dengan Pak Wintha Selaku Pamangku, pada tanggal 22 Februari 2021

186Tim Niwaksara, (2004), Doa-Doa Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 50.

84 berfungsi sebagai lambang ketulus, keikhlasan, dan pikiran yang suci. Bunga yang boleh dipakai untuk bersembahyang atau untuk sesajen (banten) adalah bunga yang harum dan benar-benar segar, hasil memetik dari pohonnya.187

Tidak boleh dipakai untuk bersembahyang adalah bunga yang sudah layu, bunga yang jatuh dengan sendirinya dari pohon, bunga yang dirubung semut atau lalat, bunga bekas gigitan belalang atau ulat, dan bunga yang dipetik dikuburan. Jika pada waktu sembahyang karena suatu hal tidak dapat ditemukan adanya bunga, maka yang dipersembahkan kepada Tuhan adalah “Bunga Hati” atau “Puspa Hrdaya” seseoang, yang pada hakekatnya merupakan bunga yang tak pernah layu dan senantiasa memancarkan keharuman.188 d. Kwangen

Disamping bunga, kwangen juga digunakan sebagai sarana untuk sembahyang. Kwangen berasal dari kata wangi yang berarti harum. Kwangen dengan demikian berarti keharuman atau sarana yang berbau harum. Fungsinya adalah untuk mengharumkan nama Tuhan atau memuja dan memuji kekuasaan dan kebesaran Tuhan. Kwangen sendiri sesungguhnya merupakan bagian dari banten atau upakara, disamping juga menjadi sarana untuk bersembahyang seperti halnya bunga.189

Dalam hal persembahyangan, kwangen dipandang sebagai sarana yang paling sempurna untuk memuja Tuhan. Hal ini boleh jadi karena kwangen merupakan perlambang dari Omkara atau simbol Tuhan itu sendiri. Sebagai

187Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 13.

188Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 14.

189Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 14.

85 simbol Tuhan, kwangen terdiri dari 3 unsur, yaitu sampiyan atau cili kembang payas berupa reringgitan dari janur melambangkan Bintang atau Nada. Kemudian uang kepeng yang merupakan simbol Matahari atau Windu dan lubang kojong sebagai simbol Bulan atau Candra, sedang kojongnya sendiri melambangkan

Okara atau kehidupan. Jadi di dalam kwangen terdapat matahari, bintang, bulan, dan kehidupan sebagai unsur pembentuk alam semesta yang sebenarnya merupakan Tuhan Yang Maha Kuasa sendiri.190

Dalam persembahyangan, kwangen biasanya dipergunakan pada urutan ketiga, yaitu saat persembahyangan ditujukan kepada Tuhan dan atau Dewata dalam fungsinya sebagai Ista Dewata. Yang dimaksud dengan Ista Dewata adalah

Dewata yang diinginkan dan dimohon kehadirannya pada waktu seseorang bersembahyang di Pura tertentu, misalnya sebagai Brata Brahma, Batara Siwa dan sebagainya. Jika kebetulantidak ada kwangen, maka sebagai gantinya dapat dipergunakan dengan bunga.191 e. Api

Sarana persembahyangan berikutnya adalah api. Dalam praktek persembahyangan sehari-hari api diwujudkan dalam bentuk, yaitu sarana yang berisi wangi-wangian yang dibakar dan mengeluarkan asap berbau harum.

Disamping dupa terdapat pula diva yang di Bali dinamakan pedamaran dan biasanya dipakai oleh Pendeta, berupa lampu dengan bentuk tertentu.192

190Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 15.

191Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 15.

192Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 16.

86 Dupa dengan apinya berfungsi sebagai Pendeta Pemimpin Upacara.

Sebagai penghubung atau perantara antara yang bersembahyang dengan Tuhan.

Sebagai pembasmi kotoran dan roh jahat serta bersifat membersihkan atau mensucikan baik dosa maupun kesedihan. Karena itu sebelum melakukan sembahyang dupa harus dinyalakan terlebih dahulu.193

Pada saat akan sembahyang dan mengambil kembang, kembang itu juga harus diasapi dengan dupa, agar menjadi bersih dan suci. Dupa juga berfungsi sebagai saksi dalam upacara persembahyangan. Dupa juga berfungsi sebagai pemberi penerangan, tuntunan dan penyuluhan. Dupa juga berfungsi untuk menciptakan suasana tenang, hening, dan suci, sehingga timbul pikiran yang terang dan dibebaskan dari segala gangguan.194 f. Dupa

Apinya dupa adalah simbol Sang Hyang Agni, saksi dan pengantar sembah kita kepada Sang Hyang Widhi, setiap Yajna dan pemujaan tidak luput dari penggunaan api. Hendaknya ditaruh sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan orang yang berada di sebelah kita.195 g. Air

Air merupakan sarana yang sangat penting dalam persembahyangan. Air merupakan lambang pensucian diri dan amrta atau air kehidupan dan kebahagiaan.

Ada dua jenis air yang kita kenal, yaitu air biasa yang dipergunakan untuk

193Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 16.

194Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 16.

195Tim Niwaksara, (2004), Doa-Doa Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 51.

87 membersihkan mulut atau tangan, dan air sebagai simbol amrta atau air kehidupan dan kebahagiaan yang dinamakan Tirtha.196

Air biasa dengan sesajen (banten) dan Mantram tertentu dan dengan permohonan waranugraha kepada Tuhan dapat dijadikan Tirtha amrta yang dapat memberikan kebahagiaan kepada umat yang memuja-Nya. Karena itu Tirtha dikatakan sebagai mempunyai fungsi pembersihan diri dari kotoran dan pencemaran pikiran. Sebagai Tirtha, air suci itu telah menjadi benda yang sakral, yang diyakini mampu mensucikan pikiran dan perasaan.197

Fungsi pembersihan ini tentu sulit dibuktikan, namun semuanya harus didasarkan kepada kepercayaan dan keyakinan agama. Kalau benar-benar yakin dan percaya, maka pembersihan diri atau penyucian pikiran dan perasaan itu tentu bisa terwujud. Cara penggunaan Tirtha adalah dengan memercikkannya diatas kepala, kemudian diminum dan selanjutnya diraupkan di wajah. Tirtha dipercikkan tiga kali di kepala, lalu diminum tiga kali dan kemudian diraupkan di wajah juga tiga kali. Jadi semuanya serba tiga kali, yang mengandung arti penyucian Trikaya yakni pikiran, perkataan, dan perbuatan agar meningkat menjadi Parisuda artinya suci atau benar. Tujuannya adalah agar kita dibimbing untuk bisa berpikir, berkata, dan berbuat secara baik dan benar.198

Tirtha juga berfungsi sebagai pemelihara, dan dalam pelaksanaannya berfungsi sebagai lambang berkah suci atau anugerah dari Ida Sang Hyang Widhi

Wasa. Dalam prakteknya dapat kita lihat pada waktu puja wali di suatu Pura,

196Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 17.

197Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 17.

198Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 18.

88 dilangsungkan persembahyangan dan terakhir diikuti dengan pemercikan Tirtha.

Disini dijiwai oleh dewa Wisnu sebagai pemelihara. Sebagaimana pula dalam Rg.

Weda XII, Sukta 65, syair 2, dijelaskan tentang fungsi air sebagai pemelihara kehidupan. Adapun syair tersebut adalah: “Rtasya Deva, anu vrata gurbhuvat

Paristidayuarna bhuma, vardhantimapah, Panva susiawam.” artinya:

Dewa-dewa mencari jalan suci, berkumpul seluas langit itu sendiri. Air menghidupi semua yang tumbuh, lahir mulia, menurut hukum alam.”199 h. Bija

Bija atau wija merupakan anugerah Tuhan. Bija atau wija yang diartikan sebagai lambang kehidupan atau benih pembrian Tuhan. Bija juga disimbolkan sebagai anugerah dari Tuhan. Disamping itu juga sebagai lambang tumbuh dan berkembangnya kesucian diri dan meningkatnya kualitas spiritual seseorang.200

Bija seyogyanya dibuat dari beras yang utuh (tidak patah) lalu direndam dengan air cendana, sehingga berbau harum. Bija yang sudah rusak dan atau berbau busuk sebaiknya tidak dipergunakan. Bija diberikan setelah selesainya pemercikan Tirtha dan dipergunakan sebagai berikut: pertama, tiga bija ditaruh di dahi diantara kedua kening. Kedua, tiga bija ditelan. Ketiga, tiga bija ditaruh di dada sebelah atas atau pangkal tenggorokan.201

Penempatan bija di tiga tempat diatas bukanlah tanpa arti. Penempatan bija di dahi diantara kedua kening berarti bahwa pikiran yang baik, berkat anugerah Tuhan Yang Maha Esa, telah tumbuh dan berkembang. Sedangkan

199Drs. I Ketut Wiana, (2006), Sembahyang Menurut Hindu, Surabaya: Paramita, h. 113.

200Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 19.

201Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 19.

89 penempatannya di dada sebelah atas atau pangkal tenggorokan bermakna telah bersemauyamnya kesucian diri. Bija ditelan berarti bahwa berkat karunia Tuhan telah meningkatlah kualitas hidup seseorang. Tirtha dan bija bisa diperoleh di

Pura (dari Pamangku).202 b) Tata Cara Pemujaan

Setelah sarana dan prasarana sembahyang sudah siap, maka selanjutnya ialah memilih tempat duduk. Tempat duduk hendaknya diusahakan tidak mengganggu ketenangan untuk sembahyang. Arah duduk ialah menghadap

Pelinggih. Jika mungkin agar meggunakan alas duduk seperti tikar atau yang lain asalkan dalam keadaan bersih.203 a. Sikap Badan dan Duduk

Sikap duduk dapat dipilih sesuai dengan tempat dan keadaan, serta tidak mengganggu ketenangan hati. Sikap duduk yang baik bagi pria ialah sikap duduk bersila (Padmasana, Silasana, Sidhasana) dan badan tegak lurus. Sikap duduk bagi wanita ialah sikap duduk bersimpuh dengan dua tumit kaki diduduki.

Ini dinamakan dengan Bajrasana. Dengan sikap ini, badan menjadi tegak lurus.

Sikap ini sangat baik untuk menenangkan pikiran.204

202Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 19.

203Wawancara dengan Pak Wintha Selaku Pamangku, pada tanggal 22 Februari 2021

204Wawancara dengan Pak Wintha Selaku Pamangku, pada tanggal 22 Februari 2021

90 b. Sikap Batin

Dalam bersembahyang kita hendaknya selalu berusaha untuk menjaga sikap batin. Sikap batin ini mencakup; bersikap tenang dengan hati yang suci, percaya sepenuhnya terhadap adanya Tuhan, penyerahan diri secara total dan tulus ikhlas kepada-Nya, dan sembahyang hendaknya tidak mempunyai tujuan untuk memperoleh mukjizat atau kesaktian.205 c. Sikap Tangan

Sikap tangan yang baik pada waktu sembahyang ialah “Cakuping kara kalih” yaitu kedua telapak tangan dikatupkan dan diletakkan diatas di depan ubun-ubun. Bunga atau Kwangen dijepit pada ujung jari tengah.206

Bersembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa, kedua tangan dicakupkan diatas dahi, sehingga ujung jari tangan berada diatas ubun-ubun. Bersembahyang kehadapan para Dewa (Dewata), cakupan jari tangan ditempatkan ditengah-tengah dahi dengan ujung kedua ibu jari tangan berada diantara kedua kening.207 d. Mantram Trisandhya

Mantram yang biasa juga disebut Puja merupakan suau doa, berupa kata atau rangkaian kata-kata yang bersifat magis religius yang ditujukan kepada Ida

Sang Hyang Widhi Wasa. Mantram biasanya juga berisi permohonan dan atau

205Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 8.

206Tim Niwaksara, (2004), Doa-Doa Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 52.

207Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 9.

91 puji-pujian atas kebesaran, kemahakuasaan, dan keagungan Tuhan Yang Maha

Esa.208

Oleh karena itu setiap bersembahyang umat Hindu sebaiknya mengucapkan Mantram atau Puja Trisandhya, dan Kramaning Sembah. Dua jenis

Mantram yang amat diperlukan pada waktu bersembahyang.209

Trisandhya berasal dari kata “Tri” dan “Sandhya.” Tri berarti tiga, dan

Sandhya berarti sembahyang pada pertemuan waktu. Dengan demikian

Trisandhya bermakna sembahyang tiga kali sehari, yang harus dilaksanakan oleh umat Hindu pada setiap pertemuan waktu dimaksud. Tiga pertemuan waktu dimaksud pertama adalah, pada pertemuan antara malam dengan pagi hari atau sekitar jam 6.00, kedua pada pertemuan waktu tengah hari antara siang dan sore hari atau sekitar jam 12.00, dan ketiga pada pertemuan waktu sore dan malam hari atau sekitar jam 18.00. Bagi umat Hindu sembahyang tiga kali sehari diatas merupakan sembahyang wajib.210

Sikap dalam Puja Trisandhya hendaknya dengan “Asucilaksana” yaitu mensucikan diri, termasuk pikiran jernih, tulus, hening dan suci baik lahir maupun batin, dengan pikiran hanya tertuju kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Selanjutnya perlu dijelaskan bahwa dalam melaksanakan Puja Trisandhya, umat

Hindu juga harus bersikap “Amustikarana” yaitu sikap dimana tangan kanan

208Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 22.

209Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 23.

210Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 24.

92 mengepal lalu ditutup dengan jari-jari tangan kiri, dengan kedua ibu jari saling bertemu, kemudian ditempatkan menempel di hulu hati.211

Duduklah dengan tenang dimana badan, tulang punggung, leher dan kepala harus tegak lurus (jangan membungkuk). Disamping itu sikap batin kita harus penuh dengan sraddha, yaitu keyakinan atau kepercayaan yang mantap terhadap adanya Tuhan yang dilandasi ketulusan hati. Selanjutnya adalah tahapan pelaksanaannya meliputi “Asana, Pranayama, Karasodana, dan Puja

Trisandhya”.212

“Asana” berarti suatu keadaan atau sikap dimana tubuh mereka bersembahyang mulai dari punggung, leher dan kepala harus tegak lurus atau tidak menunduk, dengan hati yang hening, suci, tenang, dan nyaman secara fisik dan mental. Umat yang bersembahyang mengucapkan mantram; “Om

Padmasana Ya Namah Svaha. Om Prada Sthiti Sarira. Siwa Suci Nirmala Ya

Namah Svaha”. Yang artinya: “Ya Tuhan, hamba telah duduk dengan tenang untuk menyampaikan semmbah dan sujud bhakti hamba. Ya Tuhan, berkatilah hamba agar pikiran hamba menjadi suci dan tiada noda sesuai dengan kehendak-Mu. Saksikanlah sujud dan bhakti hamba”.213

“Pranayama” berasal dari kata “prana” dan “yama”. Prana yang berarti energi vital atau energi ilahi yang lebih halus dari udara dan “menggenangi” seluruh alam semesta. Sedangkan Yama berarti mengendalikan. Dengan demikian Pranayama dapat diartikan sebagai cara untuk mengendalikan keluar

211Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 26.

212Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 26.

213Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 28.

93 masuknya energi ilahi atau energi alam semesta kedalam tubuh. Pengendalian keluar masuknya energi ilahi ini dapat mempengaruhi aliran prana dalam nadi.

Hal ini dapat menyebabkan terjadinya keseimbangan antara fisik dan mental seseorang sehingga terciptalah ketenangan dan ketentraman batin untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.214

Ada tiga mantram yang harus diucapkan pada waktu menarik, menahan, dan mengeluarkan napas. Pada saat menarik napas (Puraka) diucapkan mantram

“Om Ang Namah” di dalam hati. Pada waktu menahan napas (Kumbhaka) diucapkan mantram “Om Ung Namah” di dalam hati. Dan pada saat mengeluarkan napas (Recaka) diucapkan mantram “Om Mang Namah” di dalam hati. Lalu sesudah mengucapkan mantram terakhir, diucapkan mantram penutup berikut ini (di dalam hati) “Om Am Kham Ah. Om Jiwita Paipurna Ya Namah

Svaha”. Yang artinya: “Ya Tuhan dalam wujud sebagai Brahma, Wisnu dan

Iswara, hamba bersujud kepada-Mu, semoga hamba diberikan kekuatan lahir dan batin”.215

“Karasodana” adalah penyucian atau pembersihan tangan kiri dan kanan. Dalam hal ini bersembahyang untuk melaksanakan pembersihan atau penyucian tangan kanan dan kiri. Letakkan punggung telapak tangan kanan diatas telapak tangan kiri di depan hulu hati menghadap keatas, lalu ucapkan mantram

“Om Suddha Mam Svaha”. Yang artnya: “Ya Tuhan, sucikanlah tangan (kanan) hamba”. Kemudian letakkan punggung telapak tangan kiri diatas telapak tangan kanan di depan hulu hati menghadap keatas, lalu ucapkan mantram “Om Ati

214Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 29.

215Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 31.

94 Suddha Mam Svaha”. Yang artinya: “Ya Tuhan, sucikanlah juga tangan (kiri) hamba”.216

“Puja Trisandhya” sesudah melakukan Asana, Pranayama, Karasodana dilakukan maka selanjutnya adalah melakukan Puja Trisandhya dengan sikap

Amustikarana dengan mantram

“Om, Om, Om Bhur bhuvah svah Tat Savitur Varenyam Bhargo devasya dhimahi Dhiyo yo nah pracodayat”.

“Om, Narayana evedam sarvam Yad bhutam yac ca bhavyam Niskalanko niranjano nirvikaplo Nirakyatah suddha devo eko Narayanah na dvittyo asti kascit”.

“Om, tvam sivas tvam mahadevah isvarah paramesvarah brahma visnus ca rudras ca purusah parikirtitah”. “Om, papo ham papakarmaham Papatma papasambhavah Trahi mam Pundarikaksah Sabahya bhyantarah sucih”.

216Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 33.

95 “Om, ksamasva mam mahadevah Sarvaprani hitankarah Mam moca sarva papebhyah Palayasva sadasiva”.

“Om, ksantavyah kayiko dosah ksantavyo vaciko mama ksantavyo manaso dosah tat pramadat ksamasva mam”.

“Om Santih Santih Santih Om”.217 Yang artinya: “Ya Tuhan Yang Maha Kuasa, sumber dari segala yang ada, Maha Suci dan Maha Mulia, pencipta alam semesta dan segenap isinya, kami memuja kemahamuliaan-Mu, anugerahkanlah kecerdasan dan budhi pekerti luhur kepada kami”. “Ya Tuhan, semua yang ada, baik yang telah ada maupun yang akan ada, berasal dari Tuhan yang bersifat gaib, tidak ternoda, tidak terikat oleh perubahan, tidak dapat diungkapkan dan suci. Tuhan itu hanya satu dan tidak ada yang kedua”. “Ya Tuhan, Engkau disebut Siwa yang menganugerahkan kerahayuan, disebut Mahadewa atau Dewata teringgi, Iswara atau Mahakuasa, Parameswara atau Raja Diraja, Brahma atau Pencipta, Wisnu atau Pemelihara, Rudra atau yang menakutkan atau Kesadaran Agung”. “Ya Tuhan, hamba ini penuh dosa, perbuatan hamba penuh kekeliruan, kelahiran hamba penuh kesalahan. Lindungi dan sucikanlah jiwa raga hamba”. “Ya Tuhan, ampunilah dosa hamba, anugerahkanlah kesejahteraan kepada semua makhluk. Bebaskanlah hamba dari segala kesalahan dan lindungilah hamba”. “Ya Tuhan, ampunilah dosa-dosa hamba dalam berpikir, berkata dan bertindak, ampunilah kelalaian hamba. Ya Tuhan, anugerahkanlah kedamaian, kedamaian, kedamaian selalu”.218

217Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 36.

218Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 37.

96 e. Kramaning Sembah

Kramaning berasal dari kata “krama” dan “sembah”. Krama dalam hal ini adalah urutan-urutan, rangkaian, tata cara atau metoda. Sedangkan sembah berarti memuja dan memuji kemuliaan dan keagungan Tuhan. Kramaning

Sembah dengan demikian berarti urut-urutan atau rangkaian pelaksanaan persembahyangan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha

Esa. Adapun tata cara atau urutannya adalah “Sembah Puyung, Sembahyang kepada Tuhan, Sembahyang kepada Tuhan dan atau Dewata dalam fungsinya sebagai Ista Dewata, Sembahyang kepada Tuhan dengan maksud untuk mohon panugrahan, Sembah Puyung, dan terakhir ialah Pemercikan Tirtha dan

Pemberian Bija”.219

“Sembah Puyung” adalah sembahyang tanpa bunga. Umat yang akan bersembahyang kemudian mengasapi atau mensucikan kedua tangannya diatas dupa yang ada di depannya. Kedua tangan lalu dicakupkan dan diangkat keatas, sehingga pangkal cakupan tangan berada diatas dahi dan ujung jari tangan berada diatas ubun-ubun. Kemudian mengucapkan mantram; “Om Atma Tattvatma

Suddha Mam Svaha”. Yang artinya: “Ya Tuhan sucikanlah diri hamba”.220

“Sembahyang kepada Tuhan”. Bersembahyang kepada Tuhan dalam fungsinya sebagai Aditya atau sering juga dipergunakan istilah ke Surya. Mereka yang bersembahyang kemudian mengambil bunga (jika ada, pergunakanlah bunga yang berwarna putih. Jika tidak ada dapat menggunakan warna lain), lalu disucikan atau diasapi diatas dupa yang ada di depannya sambil mengucapkan

219Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 39.

220Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 40.

97 mantram “Om Puspa Danta Ya Namah”. Yang artinya: “Ya Tuhan, sucikanlah bunga ini”. Sesudah itu bunga dijepit dengan kedua ujung jari tangan, dengan bunga tersembul diujung jari, lalu kedua cakupan tangan diangkat keatas, sehingga pangkal cakupan tangan berada diatas dahi dan ujung jari tangan berada diatas ubun-ubun. Kemudian mengucapkan mantram;

“Om Aditya Sya Param Jyoti Rakta Teja Namo Stute Sveta Pankaja Madhyaste Bhaskara Ya Namo Stute”.

“Om Paranamya Bhaskara Devam Sarva Kleca Winasanam Pranamya Ditya Sivartam Bukti Mukti Warampradam Om Rang Ring Sah Parama Siva Ditya Ya Nama Nama Svaha”.221 Yang artinya: “Ya Tuhan, hamba memuja dan menyembah pancaran kemahakuasaan dan energi ilahi-Mu yang memberkati dan memberkahi jagat raya dan segenap isinya ini”.222 “Sembahyang kepada Tuhan dan atau Dewata dalam fungsinya sebagai Ista Dewata” adalah sembahyang dalam fungsinya sebagai Ista Dewata dengan sarana kwangen atau jika tidak ada maka dapat dengan memakai bunga. Ista Dewata adalah fungsi Tuhan dan atau Dewata berdasarkan tempat dimana kita sembahyang. Bisa jadi dalam fungsinya sebagai Brahma, Wisnu, ataupun Siwa dan lain-lain. Umat yang bersembahyang kemudian mengambil kwangen atau bunga lalu disucikan diatas dupa dengan mengucapkan mantram; “Om Puspa Danta Ya Namah”. Yang artinya: “Ya Tuhan, sucikanlah bunga ini”. Sesudah itu kwangen atau bunga dijepit dengan kedua ujung jari tangan, dengan kwangen atau bunga disembul diujung jari, lalu kedua cakupan tangan itu diangkat keatas sampai di dahi dengan kedua ujung ibu jari tangan berada diantara kedua kening dengan mengucapkan mantram

221Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 42.

222Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 42.

98 “Om Brahma Visnu Isvara Devam Tri Purusa Suddhatmakam Tri Deva Tri Murti Lokam Sarva Vigna Vinasanam”.223 Mantram diatas disesuaikan dengan dengan Pura atau tempat dimana kita bersembahyang atau kepada siapa yang ingin kita puja secara spesifik.

Disesuaikan dengan fungsi-fungsi Tuhan yang kita inginkan kehadirannya. Jika kita suka dengan ilmu pengetahuan, maka kita bisa memuja Dewi Sri Laksmi.224

“Sembahyang kepada Tuhan dengan maksud untuk mohon panugrahan”. Dengan menggunakan sarana kwangen atau bunga, lalu disucikan atau diasapi diatas dupa yang ada di depannya sambil mengucapkan mantram

“Om Puspa Danta Ya Namah”. Yang artinya: “Ya Tuhan, sucikanlah bunga ini”. sesudah itu kwangen dijepit dengan kedua ujung jari tangan, dengan kwangen atau bunga tersembul diujung jari. Lalu kedua cakupan tangan itu diangkat keatas sampai di dahi, sehingga pangkal cakupan tangan berada diatas dahi dan ujung jari tangan berada diatas ubun-ubun sambil mengucapkan mantram

“Om Anugrahaka Mano Haram Deva Datta Nugrahakam Arcanam Sarva Pujanam Namah Sarva Nugrahakam”.

“Om Deva Devi Maha Siddhi Yajnanga Nirmalatmaka

223Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 34.

224Wawancara dengan Pak Wintha Selaku Pamangku, pada tanggal 22 Februari 2021

99 Laksmi Siddhisca Dirghayuh Nirvigna Sukha Vrddhis Ca”.

“Om Gring Anugraha Arcana Ya Nama Namah Svaha Om Gring Anugraha Manohara Ya Nama Namah Svaha”.

Yang artinya; “Ya Tuhan, sembah sujud kami selalu kepada-Mu, berilah hamba santapan rohani, limpahkanlah kepada hamba anugerah, keselamatan dan kemakmuran. Ya Tuhan, Maha Pencipta, hamba bersujud dan menyembah-Mu sebagai yang melimpahkan kemakmuran, kesempurnaan dan panjang umur, semoga tiada halangan”.225 “Sembah Puyung”. Sembah terakhir, yaitu sembah puyung atau sembahyang tanpa sarana atau tanpa bunga. Tujuannya adalah untuk mengucapkan terimakasih kepada Tuhan atas berkat dan berkahnya. Umat yang bersembahyang kemudian mengasapi kedua tangannya diatas dupa yang ada di depannya. Lalu kedua tangannya dicakupkan dan diangkat keatas sampai di dahi, sehingga pangkal cakupan tangan berada diatas dahi dan ujung jari tangan berada diatas ubun-ubun sambil mengucapkan mantram “Om Deva Suksma

Paramacintya Ya Namah Svaha. Om Santih, Santih, Santia, Om”. Yang artinya:

“Ya Tuhan, terimakasih atas karuniamu. Semoga damai di hati, damai di dunia, damai selalu”.226

“Pemercikan Tirtha dan pemberian Bija”. Setelah selesai melaksanakan

Sembah Puyung yang terakhir tadi, pemimpin upacara atau pamangku akan melakukan dua kegiatan lanjutan, yaitu; “pemercikan Tirtha dan pemberian Bija”.

225Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 46.

226Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 48.

100 Pemercikan Tirtha oleh pemimpin upacara atau pamangku kepada mereka yang telah selesai sembahyang, satu persatu secara bergiliran. Pertama-tama memercikkan Tirtha diatas kepala umat sebanyak tiga kali sambil mengucapkan mantram “Om Pratama Suddha”, pada percikan kedua diucapkan mantram “Om

Dwitya Suddha”, pada percikan ketiga diucapkan mantram “Om Tritya Suddha,

Suddha, Suddha, Suddhan Wariastu”. Yang artinya: “Pertama suci, kedua suci, ketiga suci, suci, suci, semoga bersihlah dosa-dosanya dengan Tirtha ini”.227

Kemudian pemangku memberikan Tirtha untuk diminum oleh umat yang bersembahyang juga sebanyak tiga kali, sambil mengucapkan mantram

“Om Om Siwa Amrta Ya Namah”, kedua mengucapkan mantram “Om Om Sada

Siwa Amrta Ya Namah”, dan ketiga mengucapkan mantram “Om Om Parama

Siwa Ya Namah”. Yang artinya: “Ya Tuhan dalam wujud Siwa, Sada Siwa dan

Parama Siwa anugerahkanlah kesucian kepada jiwa raga umat ini”.228

Sesudah itu pemangku akan memberikan Tirtha di tangan umat yang bersembahyang untuk diraupkan sendiri olehnya, juga sebanyak tiga kali sambil mengucapkan mantram “Om Sarira Paripurna Ya Namah”, pemberian Tirtha yang kedua “Om Ang Ung Mang Ganga Amrta Ya Namah Sarura Suddha

Pramatya Ya Namah”, pemberian Tirtha yang ketiga “Om Ang Sama

Sampurna Ya Namah”. Yang artinya: “Ya Tuhan, anugerahkanlah kepadanya sinar suci-Mu agar sempurnalah jiwa raganya”. Dan terakhir pemangku memercikkan sekali lagi (hanya sekali saja) Tirtha ke badan umat sambil

227Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 50.

228Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 52.

101 mengucapkan mantram “Om Atm Raga Sarira Parisuddha Ya Namah”. Yang artinya: “Ya Tuhan, sucikanlah badannya sebagai tempat atman yang suci”.229

Setelah selesai memercikkan Tirtha, pemangku langsung memberikan

Bija kepada mereka yang selesai sembahyang. Tiga Bija oleh mereka yang sembahyang ditempelkan ditengah-tengah dahi, yakni antara kedua kening, sambil mengucapkan mantram “Om Criyam Bhawantu”. Yang artinya: “Ya

Tuhan, semoga hamba selalu bahagia”. Tiga Bija oleh mereka yang bersembah yang ditempelkan di dada bagian atas (pangkal tenggorokan), sambil mengucapkan mantram “Om Sukham Bhavantu”. Yang artinya: “Ya Tuhan, semoga hamba selalu bahagia”. Tiga Bija oleh mereka yang bersembah yang ditelan, sambil mengucapkan mantram “Om Purnan Bhawantu, Om Ksama

Sampurna Ya Namah Svaha”. Yang artinya: “Semoga hamba menjadi semakin sempurna”.230

229Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 53.

230Drs. K.M. Suhardana, (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 54.

102 BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hasil dari penelitian ini, penulis mendapatkan bahwa sebuah simbol mempunyai sebuah makna. Simbol tersebut dapat juga berbentuk arca, agar dapat dengan mudah digunakan untuk kegiatan peribadatan persembahyangan.

Arca yang mana sebagai simbol juga berfungsi sebagai pusat, titik fokus, atau perantara dalam berkomunikasi dengan Tuhan. Dengan begitu umat Hindu akan merasa sangat dekat dengan Sang Pencipta. Simbol-simbol itu dikatakan suci karena telah melalui proses pensakralan atau dinamakan dengan prayascita

(upacara Malaspas). Melalui simbol-simbol tersebut, manusia dapat membangkitkan imajinasi mereka dengan mengekspresikan diri, termasuk di dalam mengekspresikan aspek kehidupan beragama menggunakan simbol yang telah disepakati secara sosial di dalam ruang lingkup Pura tersebut. Dengan meyakini Wisnu sebagai pemelihara alam semesta, maka semakin bertambah keyakinan umat Hindu di Pura Parahyangan Jagat Guru.

Hasil penelitian dilapangan, para penganut Hindu di Pura Parahyangan

Jagat Guru memahami bahwa simbol atau arca itu memiliki makna tersendiri bagi umat Hindu sebagai salah satu bukti dari kebesaran Tuhan. Dengan adanya arca di dalam sebuah Pura, menjadikan simbol tersebut sebagai alat komunikasi yang intim dalam berhubungan kepada Ida Sang Hyang Widhi. Pada intinya, ketulusan hati yang suci yang semua mereka (umat) wujudkan dalam berbagai bentuk sarana sebagai sarana perwujudan atau cetusan rasa syukur mereka atas apa yang

103 telah mereka dapat selama mereka hidup di dunia ini. Karena semua yang ada di dunia ini pada dasarnya berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan.

Sebagai umat yang berbakti, tentunya seorang pemuja harus berbakti kepada

Tuhan yang telah menciptakannya. Tanda bakti itu diwujudkan dalam bentuk persembahyangan. Pada intinya, penggunaan simbol-siombol ini bertujuan untuk meningkatkan Sradha-bhakti terhadap sang pencipta.

Adapun tata cara peribadatannya adalah Sikap duduk dapat dipilih sesuai dengan tempat dan keadaan, serta tidak mengganggu ketenangan hati.

Sikap duduk yang baik bagi pria ialah sikap duduk bersila (Padmasana, Silasana,

Sidhasana) dan badan tegak lurus. Dalam bersembahyang kita hendaknya selalu berusaha untuk menjaga sikap batin. Sikap batin ini mencakup; bersikap tenang dengan hati yang suci, percaya sepenuhnya terhadap adanya Tuhan, penyerahan diri secara total dan tulus ikhlas kepada-Nya, dan sembahyang hendaknya tidak mempunyai tujuan untuk memperoleh mukjizat atau kesaktian. Sikap tangan yang baik pada waktu sembahyang ialah “Cakuping kara kalih” yaitu kedua telapak tangan dikatupkan dan diletakkan diatas di depan ubun-ubun. Bunga atau

Kwangen dijepit pada ujung jari tengah.231 Bersembahyang kepada Tuhan Yang

Maha Esa, kedua tangan dicakupkan diatas dahi, sehingga ujung jari tangan berada diatas ubun-ubun. Mantram yang biasa juga disebut Puja merupakan suau doa, berupa kata atau rangkaian kata-kata yang bersifat magis religius yang ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

231Tim Niwaksara, (2004), Doa-Doa Umat Hindu, Surabaya: Paramita, h. 52.

104 B. Saran

Adapun saran-saran yang diajukan oleh peneliti adalah sebagai berikut;

Akan ada pembahasan lagi yang lebih mendalam dan detail tentang simbol-simbol dewa Wisnu yang ada di dalam agama Hindu. Karena penulis sadar bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna.

105 DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Tajul. (2003), Pengantar Antropologi, Bandung: Mizan.

B. Rahmanto, Hartoko, & Dick. (1998), Kamus Istilah Sastra, Yogyakarta:

Kanisisus.

Coulson, J. (1978), The New Oxford Illustrated Dictionary, Oxford: University

Press.

Cudamani. (1992), Pegama Hindu, Jakarta : Hanuman Sakti.

Dillistone, F.W. (2002), The Power of Simbols, Yogyakarta: Kanisius.

Disbintalad, Binroh Hinbud. (1993), Pokok-pokok Ajaran Hindu Dharma, Jakarta:

Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Dinas Pembinaan

Mental.

Echols, John M. dan Hassan Shadily. (1996), Kamus Inggris Indonesia, Jakarta:

Gramedia.

Geertz, Clifford. (1983), Local Knowledge; Further Essays in Interpretative

Anthropology, New York: Basic Books.

Ghazali, Adeng Muchtar. (2011), Antropologi Agama, Bandung: Alfabeta.

Gunawan, Imam. (2013), Metode penelitian Kualitatif Teori & Praktik, Jakarta:

Bumi Aksara.

Herusatoto, Budiono. (2001), Simbolisme dalam Budaya Jawa, Yogyakarta : PT.

Hanindita Graha Widya.

106 Kebudayaan, dan Departemen Pendidikan. (1995), Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Maswinara, I Made. (2007), Dewa-Dewi Hindu, Surabaya: Paramita.

Maswinara, I Made. (1998), Sistem Filsafat Hindu, Surabaya: Paramita.

Matra, Ida Bagus. (2002), Tata Susila Hindu Dharma, Denpasar: Upada Sastra.

Midastra, I Wayan, dkk. (2007), Agama Hindu Untuk SMP, Jakarta; Ganeca

Exact.

Niwaksara, Tim. (2004), Doa-Doa Umat Hindu, Surabaya: Paramita.

Ritzer, George. (1985), Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda,

Jakarta : CV Rajawali.

Romdon dkk. (1998), Agama-agama di Dunia, Jogjakarta: IAIN Sunan Kalijaga

Press.

Singh, Dharam Vir. (2006), Hinduisme Sebuah Pengantar, Surabaya: Paramita.

Sirregar, H.A Rivay. (1979), Tasawuf: dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme,

Jakarta: Grafindo Persada.

Soekanto, Soerjono. (2001), Sosioligi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo

Persada.

Sudikan, Setya Yuwana. (2007), Antropologi Sastra, Surabaya: Unesa University

Press.

Suhardana, K.M. (2004), Pedoman Sembahyang Umat Hindu, Surabaya:

Paramita.

107 Suhartono. (1995), Metode Penelitian Sosial, Bandung: Remaja Roskadarya.

Suyanto, Bagong. (2011), Metode Penelitian Sosial, Jakarta: Kencana Prenada

Media Group.

Titib, I Made. (2003), Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya:

Paramita.

Wawancara dengan Pak Made Seroja pada tanggal 24 April 2021

Wawancara dengan Pak Sukirno pada tanggal 4 September 2020

Wawancara dengan Pak Wintha pada tanggal 4 September 2020

Wiana, I Ketut. (2006), Sembahyang Menurut Hindu, Surabaya: Paramita.

WS, Indrawan. (1999), Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Cipta Media.

Referensi Jurnal

Putra, I Made Jaya Negara Suarsa Putra. (2018), Teologi Vaisnava Dalam

Pustaka Bhagavad-GIta (TInjauan Nilai pendidikan Sosio-religius), Jurnal

Pasupati Vol. 5 No. 2.

Rahayu, Ni Kadek Intan. (2020), Makna Simbolik Umat Hindu Dalam

Persembahyangan Bulan Purnama Di Kecamatan Basidondo Kabupaten Tolitoli,

Jurnal Bahasa dan Sastra Vol. 5 No. 1.

Referensi Skripsi

Izzaty, Wildan. 2015. Simbol-simbol Dewa Siwa Dalam Agama Hindu : Studi terhadap simbol-simbol Dewa Siwa dan Pemujaan Dalam Kuil Shiva Mandir di

108 Pluit Jakarta Utara. Jurusan Studi Agama-Agama. Fakultas Ushuluddin UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

109 LAMPIRAN-LAMPIRAN

110 111 PEDOMAN WAWANCARA MAKNA SIMBOLIK DEWA WISNU DI

PURA PARAHYANGAN JAGAT GURU NUSA LOKA BSD

TANGERANG SELATAN

Nama Informan

Nama :

Alamat :

Jenis Kelamin :

Umur :

Agama :

Jabatan :

Tanggal Wawancara :

Daftar Pertanyaan :

A. Sekilas Tentang Profil dan Kegiatan di Pura Parahyangan Jagat Guru

1. Apakah Anda mengetahui tentang sejarah berdirinya Pura Parahyangan Jagat

Guru?

2. Apa kegunaan Pura bagi umat Hindu, dan apa saja kegiatan yang ada di Pura

Parahyangan Jagat Guru?

B. Sekilas Tentang Dewa-Dewa dalam agama Hindu

1. Apa itu Dewa?

2. Ada berapa jumlah Dewa?

112 3. Dewa apa saja yang penting dan paling sering dipuja?

4. Kapan saja waktu sembahyang untuk memuja Dewa?

5. Apa maksudnya jika Dewa berubah wujudnya menjadi manusia atau binatang?

6. Apakah di Pura ini juga memuja Dewa Wisnu sebagai Dewa agung?

C. Sekilas Tentang Simbol Dewa Wisnu, Makna Simbolik Dewa Wisnu, dan

Tata Cara Pemujaannya

1. Apa saja simbol-simbol Dewa Wisnu yang ada di Pura Parahyangan Jagat

Guru?

2. Apa fungsi simbol Dewa Wisnu bagi umat Hindu?

3. Apa makna simbol Dewa Wisnu bagi umat Hindu?

4. Bagaimana tata cara pemujaannya?

Nusa Loka BSD,...... 20..

(...... )

Nama dan tanda tangan informan

113 114 115 116 HASIL WAWANCARA

Nama : I Nyoman Wintha

Alamat : Sarua Permai C8/21 Benda Baru Pamulang

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur :-

Agama : Hindu

Jabatan : Pinandita

Tanggal Wawancara : 4 September 2020

Daftar Pertanyaan :

Sekilas Tentang Profil dan Kegiatan di Pura Parahyangan Jagat Guru.

A: Apakah Anda mengetahui tentang sejarah berdirinya Pura Parahyangan Jagat

Guru?

B : Hmmmm.. Jadi gini dik, waktu itu aaa ada seorang tokoh lah begitu.. Nama beliau tu Ida Peranda Nabe Putra Sidemen.. Jadi waktu itu hmmm pada tahun

2009 tu diberikan ijin sama Bupati Tangerang untuk mendirikan Pura. Jadi dari

Pemerintah Kabupaten Tangerang ni kita ada tanah 2.200 m2. Nah lalu pada tahun 2014 sekitar bulan Oktober ya dik kalau tidak salah, kami ni dapat tanda tangan oleh Wali Kota Tangerang Selatan. Saat itu hmmm bu Airin yang sedang menjabat.

117 A : Apa kegunaan Pura bagi umat Hindu, dan apa saja kegiatan yang ada di Pura

Parahyangan Jagat Guru?

B : Waaahhh banyak sekali dik.. Pura itu bisa buat macam-macam, nggak cuman untuk beribadah atau sembahyang aja. Kalo kita disini ada kegiatan untuk belajar juga. Ya memang dik, yang utamanya Pura tu untuk tempat ibadah, sangat suci sekali dik. Tapi itu ada dibagian yang utama, jadi nanti kalo adik mau masuk situ harus bersih dulu. Hmmm kita disini mengadakan kegiatan diskusi, yaaa pada umumnya diskusi agama lah dik. Terus kita juga ada kegiatan sosial masyarakat, jadi saling bantu membantu dik. Cuman sekarang kita ngga ada apa-apa dulu dik, karena kan lagi ada Covid ya dik, jadi semua juga libur dulu, termasuk sembahyangnya juga di rumah aja dik. Yaa begitulah dik, kan kita juga ikuti protokol dari pemerintah lah biar jangan ada kerumunan dulu, biar aman aja.

118 HASIL WAWANCARA

Nama : Sukirno Hadi Raharjo

Alamat : Puri Serpong 2 Blok F3/19 Babakan Setu, Tangerang

Selatan

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur :-

Agama : Hindu

Jabatan : Guru

Tanggal Wawancara : 4 September 2020

Daftar Pertanyaan :

Sekilas Tentang Dewa-Dewa dalam agama Hindu.

A : Apa itu Dewa?

B : Dewa itu berasal dari bahasa sansekerta, Dev, yang artinya adalah cahaya atau makhluk yang bercahaya.

A : Ada berapa jumlah Dewa?

B : Dewa itu sangat banyak sekali jumlahnya, ada puluhan Dewa yang kami yakini dalam Hindu.

A : Dewa apa saja yang penting dan paling sering dipuja?

B : Begini mas, sebenarnya semua Dewa itu penting dan sering juga dipuja. Akan tetapi, dalam paham Tri Murti, itu adalah proses peleburan tiga Dewa utama

119 menjadi satu. Ada Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. Dewa Brahma merupakan Dewa yang bertugas dalam hal penciptaan, Dewa Wisnu bertugas untuk memelihara seluruh alam, termasuk manusia, dan makhluk hidup lainnya.

Nah sedangkan Dewa Siwa bertugas sebagai pelebu atau penghancur. Tapi sebetulnya begini mas, ketiga Dewa tersebut bisa dikatakan sebagai Dewa Mayor, sedangkan masih ada Dewa-Dewi minor yang tidak kalah penting untuk dipuja.

Ada Dewa Surya, Dewa Agni, hmmm lalu ada lagi Dewi Saraswati, Sri Laksmi, dan masih banyak lagi. Semuanya penting dan sering juga dipuja. Nah hanya saja pada kali ini, tiga aspek penting dalam kehidupan kita itu sebagaimana yang sudah ternukilkan dalam tugas para Dewata utama, yakni penciptaan sebagai

Brama, pemeliharaan sebagai Wisnu, dan penghancur sebagai Siwa.

A : Kapan saja waktu sembahyang untuk memuja Dewa?

B : Aahhh mengenai itu begini mas. Jadi kami itu punya tiga waktu dalam satu hari yang kita sebut sebagai Puja Tri Sandhya, yaitu sembahyang tiga waktu.

Sembahyang pertama dilakukan saat pukul enam pagi, lalu yang kedua saat pukul dua belas siang yaa hmmm tepat saat matahari berada diatas kepala kita.

Kemudian yang ketiga saat matahari terbenam yaitu pada pukul enam sore. Dan itu dilakukan setiap hari dengan mantam yaa atau apa bahasanya hmmm doa lah.

Nah begitu mas.

A : Apa maksudnya jika Dewa berubah wujudnya menjadi manusia atau binatang?

B : Naahh kalau itu begini mas. Jadi, kami meyakini bahwa para Dewa itu menjelma menjadi makhluk yang berbentuk ketika sedang mengurusi

120 perkara-perkara atau masalah di dunia. Nah mereka bisa menjelma menjadi bentuk apa saja. Dan para Dewa itu turun ke bumi dalam rangka mengatasi kehancuran atau kerusakan, yang pada umumnya itu terkait dengan moralitas.

A : Apakah di Pura ini juga memuja Dewa Wisnu sebagai Dewa agung?

B : Iya mas, jelas sekali itu. Karena Dewa Wisnu juga termasuk sebagai Dewa agung yang mempunyai tugas penting dalam proses kehidupan ini. Dewa Wisnu juga termasuk ke dalam Tri Murti.

121 HASIL WAWANCARA

Nama : I Made Seroja Yudhyantara

Alamat : Jl. Cendrawasih II Blok A2 No 2, Sektor 1 Bintaro

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur :-

Agama : Hindu

Jabatan : Guru

Tanggal Wawancara : 7 Maret 2021

Daftar Pertanyaan :

Sekilas Tentang Simbol Dewa Wisnu, Fungsi dan Makna Simbolik Dewa

Wisnu, dan Tata Cara Pemujaannya.

A : Apa saja simbol-simbol Dewa Wisnu yang ada di Pura Parahyangan Jagat

Guru?

B : Simbol-Simbol Dewa Wisnu yang ada dalam Pura ini terletak pada bagian

Padmasana, dan tidak ada dalam bentuk lukisan. Nah dalam Padmasana itu ada arca Kura-Kura, dan Garuda yang menjadi representasi daripada Dewa Wisnu.

A : Apa fungsi simbol Dewa Wisnu bagi umat Hindu?

B : Nahh begini mas, bagi kami itu, sebuah simbol yang berbentuk arca adalah sebagai sarana sembahyang. Jadi kami itu dalam sembahyang memerlukan titik pusat, titik fokus agar dapat berkomunikasi dengan Tuhan. Nah ini yang menurut

122 saya sangat penting untuk dijelaskan mas. Karena kalau tidak, persepsi orang-orang pada umumnya terhadap agama ini bisa jadi berbahaya. Misalnya, dalam orang awam ada saja pasti yang berkata “hey, kamu ngapain sih kok nyembah patung?’ nahh begitu mas kan sering ya pastinya (sambil senyum). Jadi kami memerlukan sebuah sarana, yaitu arca yang telah disucikan untuk menjadi media dalam sembahyang. Hakikatnya kami ini sedang berkomunikasi dengan

Tuhan. Kami dapat merasakan kehadiran itu, sehingga membuat hati kita tentram dan damai.

A : Apa makna simbol Dewa Wisnu bagi umat Hindu?

B : Nah begini mas kalau untuk makna itu hmmmm jadi kita runtut sedikit ke belakang yah mas. Pada waktu ajaran ini diturunkan kepada MahaRsi, ribuan tahun sebelum Masehi, sulit sekali para guru spiritual atau para MahaRsi itu untuk menyampaikan ajaran spiritual kepada orang-orang awam. Lalu para Rsi itu menuliskannya ke dalam kitab-kitab dengan berbagai perumpaan, atau yang kita kenal dengan mitologi. Nah itu dapat kita temukan pada kitab Purana, yaitu sebuah kitab yang menceritakan tentang para Dewa. Ketika para Asura dan

Raksasa sedang merebutkan air keabadian, bumi ini terguncang. Nah maka dari itu Kura-Kura adalah wujud daripada Dewa Wisnu dalam mengatasi guncangan bumi tersebut. Nah jadi Dewa Wisnu menjelma menjadi Kura-Kura. Maknanya adalah kebahagiaan yang abadi ialah dekat dengan Tuhan. Segala sesuatu yang ada di dunia ini sebenarnya membuat tidak bahagia mas. Misalnya, kita dihantui oleh berbagai macam cicilan yang belum lunas itu kan sama saja tidak tenang.

Punya rumah dan mobil tapi hati tidak tenang karena takut ada kejahatan. Nah itu juga bentuk tidak tenang kan. Lalu kebatilan dan kebaikan akan selalu terus

123 terjadi. Oleh karena itu dekat lah dengan Tuhan agar menjadi bahagia. Dan

Kura-Kura juga merupakan lambang kosmos daripada alam semesta ini.

Kemudian Garuda itu adalah kendaraan Dew Wisnu, yang sangat cepat sekali.

Garuda itu juga ada dalam kisah perebutan air keabadian. Maknanya adalah keberanian, pengorbanan, dan keberanian dalam membela kebenaran. Nah ini juga merupakan bagian tanggungjawab dalam pemeliharaan alam semesta.

A : Bagaimana tata cara pemujaannya?

B : Hmmmm jadi seseorang yang hendak sembahyang itu harus dalam keadaan yang bersih. Bersih secara pakaian, badan, dan juga hati. Lalu ketika semua sudah bersih, ada sikap duduk. Nah sikap duduk ini harus tegak, sambil menjepit bunga.

Jadi kita dalam sembahyang itu ada sarana-sarana yang harus dipakai mas. Lalu ada yang namanya Kremaning Sembah, kemudian Pura Tri Sandhya, Ista Dewata

Puja, yang mana semuanya itu dengan membaca mantram atau doa tertentu. Gitu mas (sambil senyum). Puja Tri Sandhya itu sembahyang tiga waktu mas, jadi pertama pada jam enam pagi, lalu kemudian jam dua belas siang ketika matahari tepat berada diatas kepala, dan yang terakhir itu pada saat pukul enam sore. Nah itu dilakukan setiap hari mas. Lalu setelah itu kita bisa menyembah dewa khusus, misalnya karena cuaca panas kita menyembah dewa Surya, kalau kita cinta ilmu pengetahuan dan diminta pencerahan berarti kita khusus kepada dewi Saraswati, kemakmuran kepada Sri Laksmi, dan seterusnya. Jadi bergantung kepada apa yang sedang kita rasa, gitu mas.

124 HASIL DOKUMENTASI PRIBADI

Foto: Pintu Gerbang Pura Parahyangan Jagat Guru

Foto: Nista Mandala

125 Foto: Aula

Foto: Arca Kura-Kura di Padmasana

126 Foto: Arca Garuda di Padmasana

Foto: Bersama dengan narasumber, kiri adalah bapak Sukirno selaku guru, dan kanan adalah pak Nyoman Wintha selaku Pamangku

127 Foto: Saat wawancara dengan pak Nyoman Wintha selaku Pamangku

128