Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 4, No. 1, 2019, hlm. 3-14

WACANA “KERAJAAN ”: DINAMIKA PURI DALAM PUSARAN POLITIK IDENTITAS KONTEMPORER

I Putu Gede Suwitha

Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Denpasar -

Alamat korespondensi: [email protected]

Diterima/Received: 10 Agustus 2018; Direvisi/Revised: 17 Januari 2019; Disetujui/Accepted: 14 Maret 2019

Abstract

This study discusses the transformation of the identity of the contemporary Balinese community and the dynamics of palaces (puri) in the political rotation based on discursive development of the “Bali Majapahit Kingdom”. The discourse can be observed from the local newspapers in Bali such as Bali Post, Tokoh, and so forth. The discourse of the “Bali Majapahit Kingdom” inspired by the Majapahit kingdom as the image. The historical method applied in this study. The data were analyzed descriptively-qualitatively using historical analysis. The result of the study shows that the discourse of the “Bali Majapahit Kingdom” has been thrown by a central figure named Aryawedakarna for his political interest. He has smartly used the Majapahit kingdom and the resurgence of Hinduism as the inspiration to establish the image as a royal figure. Actually, what he has done is the political identity and was successfully appointed a member of the Regional Representative Council [Dewan Perwakilan Daerah] with more or less 200,000 votes in the 2014 election.

Keywords: Politic of Identity; Dynamic of Palaces; Politic of Image.

Abstrak

Kajian ini membahas perubahan identitas masyarakat Bali Kontemporer, khususnya perkembangan puri dalam pusaran politik dengan mengikuti perkembangan wacana “Kerajaan Majapahit Bali”. Wacana ini dapat diamati lewat media pers di Bali khususnya koran Bali Post, Tokoh, dan beberapa koran lainnya. Wacana “Kerajaan Majapahit Bali”, sesungguhnya mengambil Kerajaan Majapahit sebagai inspirasi untuk pencitraan. Kajian ini dilakukan dengan menggunakan metode dan analisis historis. Semua data yang terkumpul diolah secara deskriptif-kualitatif. Hasil studi menunjukkan, bahwa kemunculan wacana “Kerajaan Majapahit Bali”, merupakan wacana yang dilemparkan oleh tokoh sentralnya Aryawedakarna untuk kepentingan politik. Wedakarna dengan cerdas mengambil Kerajaan Majapahit dan kebangkitan Hindu sebagai inspirasi dalam membangun citra diri sebagai tokoh puri. Wedakarna sesungguhnya melakukan politik identitas dan berhasil terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan dukungan suara kurang lebih 200.000 suara dalam Pemilu 2014.

Kata Kunci: Politik Identitas; Dinamika Puri; Politik Pencitraan.

PENDAHULUAN bunuh hanya karena berbeda partai politik, yaitu antara pendukung Partai Nasional Indonesia Masyarakat Bali bergerak sangat dinamis kalau (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) dilihat dari perjalanan sejarahnya. Pada mulanya (Robinson, 2006: 417-438). Selanjutnya, pada Bali sangat ketinggalan dibandingkan dengan 1971 terjadi pula Golkarisasi; terjadi pembakaran masyarakat Jawa dan Sumatera. Pada 1908, di Jawa banyak rumah penduduk yang notabene sudah lahir organisasi modern Budi Utomo, pendukung PNI dan beberapa kasus pembunuhan. sedangkan di Bali masih terjadi Perang (Suryawan, 1988). Pada 1998, ketika Megawati (1906, 1908). Pada 1965, masyarakat Bali saling

3 I Putu Gede Suwitha (Wacana Kerajaan “Majapahit Bali”: Dinamika Puri dalam Pusaran Politik Identitias Kontemporer) gagal menjadi Presiden, terjadi gejolak politik dan mendapat kepercayaan menjadi menteri dalam pembakaran gedung-gedung pemerintah di Bali. kabinet. Di sisi lain, masyarakat Bali juga mengalami Kajian tentang peranan puri di beberapa perubahan dan kemajuan dengan cepat akibat pusat perkembangan di Bali telah dilakukan oleh pertumbuhan sektor pariwisata. Punggawa Ubud beberapa pihak. Mahadewi (2017) melihat Tjokorda Gde Raka Sukawati tampil sebagai salah eksistensi puri masih dipandang sebagai identitas seorang pelopor pariwisata. Tjokorda yang para bangsawan tradisional Bali. Sejak dahulu merupakan seniman dan impresario tari, yang hingga saat ini, anggota puri banyak yang memiliki nantinya menjadi presiden Negara Indonesia karir politik dan berafiliasi dengan kekuatan politik Timur (NIT) sejak kembali dari misi kesenian tertentu. Hal ini juga merupakan salah satu strategi (Pameran Seni) di Paris pada 1931, kemudian puri sebagai identitias masyarakat Bali dapat mengundang tamu-tamu asing untuk datang ke bertahan. Beberapa puri besar di Bali seperti Puri Puri Ubud. Para pelayan (abdi) diminta melayani Agung Denpasar, bahkan telah mulai beradaptasi para tamu dengan senyum dan kepala tegak, mengikuti modernisasi dan perubahan sosial berbeda dari sebelumnya yang melayani para ekonomi yang terjadi. Sementara itu, peranan bangsawan di puri dengan sikap selalu anggota puri dalam politik sebagai bagian dari membungkuk. Seninam, ilmuwan, pesohor usaha pemertahanan eksistensi dikuatkan juga kemudian datang ke Puri Ubud sebagai wisatawan. oleh Suwitha (2012). Meskipun para elite puri Memang sebelumnya, sejak 1911, orang asing memilih untuk berpolitik praktis, mereka sudah datang ke Puri Ubud, tetapi pariwisata Bali merupakan pihak yang sangat berpengaruh dan khususnya di Ubud mulai maju sejak 1920-an. dipercaya di masyarakat. Keterlibatan elite puri Pada 1924, dibuka pelayaran mingguan ke dalam pemerintahan atau partai politik merupakan pelabuhan Buleleng. Pada 1928, Konninklijke fenomena yang marak sejak 2004. Berdasar pada Paketvaart Matschappij (KPM) membuka Bali beberapa kajian yang telah dilakukan, artikel ini Hotel di Denpasar (Sendra, 2015: 116). Kemajuan lebih menitikberatkan peranan puri dan elitenya pariwisata di Bali tidak dapat dilepaskan dari tokoh dalam politik di masa kontemporer dengan lain yaitu Tjokorda Gde Agung Sukawati, yang mengusung penguatan identitas Hindu dan merupakan adik kandung dari Tjokorda Gde Raka wacana “Kerajaan Majapahit Bali”. Sukawati (Hilbery, 1979). Artikel ini disusun dengan mengumpulkan Kedua tokoh ini kemudian meminta sumber-sumber berupa koran, majalah, dan buku. masyarakat untuk meniru dan belajar dari orang- Koran yang dianalisis khususnya Bali Post yang orang Barat, sehingga masyarakat Bali menjadi terbit di Bali antara 2015 sampai 2018, serta kreatif, mudah belajar, mandiri, dan mudah majalah Tokoh. Beberapa kajian yang menjadikan menerima sesuatu menjadi miliknya sendiri. Majapahit sebagai inspirator adalah karya Supono Akhirnya lukisan-lukisan Bali semakin baik dan (1983), Mulyana (1979), dan Pranajaya (2015). berkualitas. Tari-tarian Bali juga mulai Semua data yang terkumpul dianalisis secara berkembang pesat, karena para penari Bali historis-kualitatif. berkolaborasi dengan penari-penari atau seninam- seniman asing. Persepsi masyarakat Bali terhadap KEBANGKITAN PURI laut juga mengalami perubahan. Laut dalam perspektif masyarakat Bali cukup ditakuti dan Puri (istana, keraton), berasal dari kata pur, yang dihindari. Dahulu, masyarakat Bali adalah artinya benteng pertahanan. Keberadaan Puri di masyarakat agraris dan jauh dari laut. Sejak Bali bermula dari ekspansi Kerajaan Majapahit pertumbuhan pariwisata, masyarakat Bali justru pada 1343. Sampai saat ini tidak ditemukan sisa lebih dekat dengan laut; mereka mengenal diving keraton (puri) raja-raja yang memerintah Bali dan berenang. Masyarakat Bali juga dikenal dekat sebelum 1343. Raja Bali yang terdahulu sebelum dengan kekuasaan. Dari masa pemerintahan dikalahkan Majapahit–Sri Asta Sura Ratna Bumi Presiden Sukarno sampai dengan Presiden Joko Banten tidak meninggalkan jejak keraton yang Widodo, hampir selalu terdapat orang Bali yang diperkirakan di sekitar Pejeng-Bedahulu sekarang

4 Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 4, No. 1, 2019, hlm. 3-14

(Sidemen, 2010: 77). Menurut berbagai sumber secara moral, karena dianggap pewaris Majapahit babad,2 setelah Bali dikuasai oleh Majapahit, (Sidemen, 1983: 53). diangkatlah penguasa Bali, Sri Kresna Kepakisan Setelah kekalahan Maruti pada abad ke-17 yang berkedudukan di Puri Samprangan dekat dan muncul puri-puri baru (kerajaan baru) baik Gianyar sekarang. Samprangan menjadi pusat yang didirikan oleh Keturunan Raja Gelgel pemerintahan Bali yang baru, karena tempat itu (Ksatria Dalem) maupun para arya (bangsawan) bekas markas tentara Majapahit () yang mengiringi Kresna Kepakisan. Secara umum ketika menaklukkan raja Bali Sri Astasura yang pendirian puri-puri ini didasari oleh sejarah yang berkedudukan di Bedahulu (Mirsha, 1986: 123; sama yaitu mempertahankan kesinambungan Putra, 2012:14). pengaruh Majapahit. Bahkan, keraton Majapahit Pada masa pemerintahan Raja III Dalem menjadi acuan bagi pembangunan puri-puri Ketut Ngelesir atau Semara Kepakisan (1383- selanjutnya. Puri Agung Klungkung adalah puri 1459), ia memindahkan purinya ke Gelgel pada yang tertua di Bali setelah Gelgel yang dibangun 1383. Raja Ngelesir oleh Tjokorda Raka Putra megah sesuai dengan apa yang diuraikan dalam (2015: 60) dikatakan keturunan II (Undag II). Kitab Nagara Kertagama. Dari aspek sosial puri Istananya bernama Puri Baru Sweca Pura atau merupakan tempat tinggal raja yang berkuasa atas Lingarsaa Pura (Munandar, 2005: 138). seluruh kerajaan, sedangkan dari aspek politik, puri Selanjutnya Puri Gelgel berperan sentral sebagai adalah pusat pemerintahan kerajaan (Munandar, penguasa tunggal di Bali, bahkan utusan Belanda di 2005: 13). bawah Cornellis de Houtman menyinggahi Gelgel Puri dianggap sebagai simbol kekuasaan pada 1597. Pada masa pemerintahan Dalem politik raja. Oleh karena itu, raja tidak bersedia Segening 1580-1665, peranan Puri Gelgel semakin mempertahankan simbol kekuasaannya yang besar dan bahkan Raja Segening berkuasa sampai pernah dikuasai musuh, karena dianggap sebagai Blambangan, Lombok, dan Sumbawa. Dalem musibah. Sehubungan dengan itu, raja membuat Segening pada 1624 mengadakan perjanjian atau membangun simbol kekuasaan baru. Sebagai tentang pembagian wilayah sebelah timur dengan contoh Puri Gelgel; puri itu ditinggalkan, karena Kerajaan Makassar. Sumbawa kemudian dikuasai raja tidak mau lagi beristana di Gelgel. Raja Makassar dan Lombok dikuasai Kerajaan Gelgel kemudian membangun puri baru di Klungkung (Putra, 2015: 138). yang disebut Smarapura. Hal ini juga sering terjadi Sejak pemerintahan Dalem Dimade (1633- di Jawa yaitu terjadi perpindahan ibu kota sejak 1651) terjadi kemelut di istana Gelgel, karena periode Hindu-Buddha sampai periode beberapa petinggi kerajaan berusaha perkembangan kerajaan-kerajaan Islam memberontak. Bahkan sejak 1651, Ki Agung (Munandar, 2005: 199). Kehidupan sistem politik Maruti merebut kekuasaan dan sepenuhnya dengan ikon puri rupanya merupakan gejala yang menguasai Gelgel. Raja Dalem Dimade mengungsi umum di Asia Tenggara pada zaman itu. Raja tidak ke Desa Guliang, demikian pula bangsawan tinggi bisa dipisahkan dengan istana. Puri adalah milik kerajaan mengungsi ke luar Gelgel. Pada 1686, raja, tidak satu pun yang dapat berdiri tanpa ada pasukan gabungan bekas punggawa Kerajaan istana (Geldern, 1982: 29-30). Gelgel-Dewa Agung Jambe menyerang balik Setelah disintegrasi Kerajaan Gelgel sejak Maruti. Maruti mengalami kekalahan pada 1687. abad ke-18 (sering disebut zaman raja-raja dan Menurut de Graaf, pada 1686 Maruti masih seterusnya sampai abad ke-20), puri makin melakukan kontak melalui surat dengan Verenigde berkembang dengan sistem feodalisme sebagai Oost-Indische Compagnie (VOC). Pada 1687 ikutannya. Kerajaan Bali bersifat sentrifugal, raja VOC mengirim surat kepada Maruti, namun mempunyai kekuasaan sendiri (independen). dijawab oleh Dewa Agung Jambe. Selanjutnya, Creese (1993:30) menyebut struktur pemerintah Dewa Agung Jambe memindahkan Puri Gelgel ke di Bali dengan galaksi, dan Klungkung sebagai Klungkung. Selanjutnya setelah Kerajaan Gelgel pusat dikelilingi oleh raja-raja lain. Ilustrasinya runtuh, Bali terpecah menjadi beberapa kerajaan tampak pada Gambar 1. kecil, tetapi masih mengakui Kerajaan Klungkung

5 I Putu Gede Suwitha (Wacana Kerajaan “Majapahit Bali”: Dinamika Puri dalam Pusaran Politik Identitias Kontemporer)

Payangan lenyap karena peperangan dan hilang dalam konstelasi politik kerajaan di Bali. Seperti diketahui, puri merupakan simbol kekuasaan dan sarat dengan politik-politik penyatuan dengan puri-puri lain dan politik penyatuan dengan kekuatan Belanda. Politik kekuasaan mulai dilakukan puri-puri pada abad ke- 19. Adapun Kerajaan Buleleng berhasil dikalahkan oleh Belanda pada 1849. Sebetulnya, Belanda pada saat itu sudah melirik raja-raja Bali untuk menegakkan Pax Neerlandica, namun masih mencari alasan politik untuk dapat menguasai Gambar 1. Struktur Pemerintahan di Bali mereka. (Sumber: Creese, 1993). Sebaliknya puri mulai berani mencoba “bermain” politik untuk memperbesar kekuasaan, Bali kemudian terpecah menjadi beberapa suatu hal yang berbeda dari zaman sebelumnya, kerajaan yang masing-masing berdaulat dengan bahwa puri cenderung tertutup. I Gusti Ngurah puri-purinya. Belum lagi puri-puri yang berada di Kesiman Raja Badung mengawali berkolaborasi bawah kerajaan pusat seperti Puri Ubud bagian dengan Belanda dari kekuatan asing lainnya untuk dari Puri Gianyar dan sub-subpuri lainnya. Raja membangun ekonomi Badung. Era peperangan Klungkung secara simbolis dianggap sebagai antara raja-raja Bali rupanya sudah mulai disadari pemersatu karena keturunan langsung dari sangat menguras tenaga. Kedelapan kerajaan Majapahit (Ksatrya Dalem). Sejak pertengahan seperti yang disebutkan oleh Creese (1993) abad ke-19 puri-puri dimanfaatkan oleh Belanda sempat mengadakan perjanjian tidak saling dalam membentuk pemerintahan tidak langsung menyerang. Perjanjian antara delapan kerajaan di Bali. dikenal dengan nama Paswara Asta. Kolaborasi Periode abad ke-18-19 terjadi rivalitas dan dengan kekuatan asing kemudian juga dilakukan perang antarkerajaan di antara 10 kerajaan di Bali. oleh puri-puri Ubud, Gianyar maupun Puri Pada awal abad ke-18 muncul hegomoni Kerajaan Karangasem dalam bidang sosial-politik, Buleleng yang dilanjutkan dengan Kerajaan kebudayaan, maupun pendidikan. Mengwi. Pada abad ke-19 tampil kerajaan lain Pada masa kemerdekaan suatu loncatan seperti Karangasem dan Badung. Kerajaan terjadi di level nasional akibat hasil pendidikan Klungkung kerap menjadi aktor permusuhan Barat. Tokoh Puri Ubud, Puri Carangsari (I Gusti antarkerajaan (Agung, 1989), meskipun demikian Ngurah Rai), Puri Tabanan, dan sebagian kecil secara militer Klungkung tidak cukup kuat. masyarakat Bali telah “mewarnai” kehidupan Dinamika wilayah kerajaan dengan puri- politik di level nasional. Akan tetapi, tidak dapat purinya sangat menarik untuk diamati. Terjadi disangkal bahwa terjadi persaingan antarpuri pengambilan beberapa wilayah kerajaan oleh untuk memperebutkan hegemoni kekuasaan. kerajaan lain, seperti beberapa wilayah Kerajaan Beberapa contoh persaingan antarpuri di Mengwi diambil oleh Bangli, Badung, dan Denpasar yaitu antara Puri Satrya dengan Tabanan (Nordholt, 2006: 248). Di lain pihak, ada Pemecutan, dan di Gianyar antara Puri Gianyar penyatuan antara satu kerajaan dengan kerajaan dan Ubud dan yang lain (Robinson, 2006: 150- lain untuk menjadikan kekuasaan lebih besar. 163). Kerajaan Buleleng diserahkan kepada Kerajaan Setelah proklamasi kemerdekaan terjadi Bangli, tetapi dikembalikan lagi kepada Belanda. euforia revolusi yang menuntut persamaan dan Sementara itu, Kerajaan Gianyar digabung dengan keterbukaan. Pada masa ini mulai dikenal sebutan Kerajaan Klungkung (Agung, 1989: 373, 405). “bung” seperti di Jawa. Sebutan “bung” Kemudian Kerajaan Mengwi dan Kerajaan mengandung makna dan nilai demokratis yang mengarah pada kebebasan, dalam hal ini

6 Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 4, No. 1, 2019, hlm. 3-14 kebebasan dari feodalisme yang merupakan tujuan kepartaian di Bali, puri-puri juga dimanfaatkan revolusi. Bupati pada awal-awal kemerdekaan oleh partai politik seperti PNI, Partai Sosialis seperti Bupati Hartawan Mataram dari Buleleng Indonesia (PSI), dan Golongan Karya (Golkar). tidak pernah menyebutkan titel kebangsawanan- Puri Satriya mengusung PNI, dan pada masa nya. Masyarakat menyebut Bung Hartawan kemudian Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Mataram. Puri-puri perjuangan juga berfungsi (PDIP), sedangkan Puri Pemecutan berkiblat ke sebagai pelopor modernisasi. PSI dan Golkar. Partai-partai yang memanfaatkan Suatu titik balik terjadi ketika pemilihan puri dianggap tidak berhasil. Kondisi ini Gubernur Bali pada 1960. Calon Gubernur dari menyebabkan kehidupan partai-partai tidak sehat, golongan jaba memenangkan pemilihan yaitu I karena pada waktu itu partai-partai terlalu Nyoman Mantik yang pada saat itu mengalahkan bergantung pada puri dan cenderung tidak ada tokoh puri Anak Agung Bagus Suteja. Suatu hal ruang untuk membangun kaderisasi. Kehadiran yang mengherankan, Presiden Sukarno justru partai-partai politik setelah reformasi pada melantik Anak Agung Bagus Suteja meskipun kenyataannya justru hanya membuat perpecahan, kalah dalam pemilu. Sukarno ternyata masih seperti kejadian pada 1965 dan 1971. Sampai saat berkiblat kepada tokoh puri. Dalam konteks ini, ini, tepatnya setelah revolusi 1954, tidak ada Sukarno dianggap telah melakukan kesalahan fatal. perubahan atau inovasi dalam kehidupan politik. Sukarno tidak membangun kehidupan politik Bali Ketika terjadi reformasi misalnya, kehidupan yang benar dan bahkan kesannya memperkuat politik Bali mengalami keterkejutan. Hal itu karena praktik feodalisme. masyarakat sipil dan masyarakat kelas menengah di Sukarno memilih membangun Bali secara Bali tidak atau bahkan belum terbentuk, sehingga ekonomi dan mengabaikan pembangunan politik. untuk pembangunan politik, terutama era Salah satu buktinya ia membangun Hotel Bali pemilihan langsung kepala daerah, masyarakat Bali Beach di Sanur dengan pembiayaan dari hasil masih berkiblat kepada puri dan tokoh puri. rampasan perang Jepang. Dengan pembangunan Tokoh puri memang mempunyai tradisi ekonomi terutama pariwisata, Bali dapat berubah. kekuasaan sejak zaman raja-raja. Sejak reformasi Akan tetapi, di pihak lain feodalisme sepertinya ada kecenderungan yang menarik dalam budaya masih berkembang dengan pembangunan puri- politik yaitu munculnya wacana-wacana yang ingin puri yang megah. Upacara-upacara keagamaan menampilkan tokoh puri dalam suksesi juga dilakukan secara megah. Ada benarnya Geertz kepemimpinan yang sudah lama dilupakan. Elite (1980: 130) menyatakan Bali seperti teater state. puri masih dianggap sebagai simbol yang Raja hidup dalam suasana dan nuansa panggung mempunyai kuasa moral dan penjaga moral sandiwara dan upacara-upacara kebesaran di puri. masyarakat yang sedang mengalami euforia Pada masa kemudian, eksistensi dan hegemoni kebebasan yang sudah lama terbelenggu oleh puri makin berkembangan. Sementara itu, pemerintahan otoriter Orde Baru. Meminjam masyarakat Bali mengalami perkembangan pendapat Michel Foucault, ada relasi kuasa timbal feodalisme ke dalam dan tertutup. Sistem balik antara puri dan masyarakat. Kuasa adalah feodalisme Bali yang tertutup menyebabkan tidak suatu yang dibutuhkan bagi masyarakat, sepanjang ada peluang untuk mobilitas vertikal; tidak seperti tidak destruktif dan dominatif. Dalam relasi kuasa, di Jawa yang meningkatkan terjadi mobilitas tidak ada subordinasi, semuanya memiliki ruang vertikal. yang bebas. Sumber kuasa menurut Foucault bisa Puri-puri sejak akhir abad ke-19 telah berupa modal budaya yaitu pengetahuan dan dimanfaatkan oleh Belanda dan berkolaborasi kekuatan simbolik, modal politik berupa jaringan untuk mempertahankan kekuasaannya. Ketika sosial dan modal uang (ekonomi). Menurut Indies Civil Administration (NICA) Bourdieu yang juga merupakan ahli filsafat datang lagi ke Bali pada 1946, ia memanfaatkan Perancis, di antara ketiga modal tadi bisa kawan lamanya yaitu elite puri-puri. Dengan dikonversikan atau dipertukarkan. demikian, pada zaman revolusi ada sebutan Puri Pejuang dan Puri Anti-Pejuang. Pada zaman

7 I Putu Gede Suwitha (Wacana Kerajaan “Majapahit Bali”: Dinamika Puri dalam Pusaran Politik Identitias Kontemporer)

WACANA KERAJAAN MAJAPAHIT BALI Gelgel kemudian menjadi kerajaan besar yang berhubungan dengan VOC dan Kerajaan Identitas Majapahit Makassar. Gelgel menguasai Lombok dan Blambangan, tetapi masih tetapi di bawah Penaklukan Bali oleh Gajah Mada pada 1343 Majapahit. (Ginarsa, 1968: 1; Yamin, 1957: 47-48) tidak Rupanya sejak periode Gelgel ini, stratifikasi hanya menurunkan derajat Bali dari kerajaan masyarakat Bali berkembang makin rumit. merdeka menjadi taklukan, tetapi juga berdampak Stratifikasi sosial berkembang ke dalam, karena dalam bidang sosial-budaya, dalam hal ini lahir sudah menjadi wangsa (golongan) dan saroh yang stratifikasi masyarakat Bali yang feodal. menyerupai kasta yang sangat tertutup. Tidak ada Sebelumnya masyarakat Bali sudah mengenal mobilitas vertikal sama sekali. Nantinya kerajaan stratifikasi sosial, tetapi lebih egaliter dan lebih Gelgel menganggap diri sebagai pelanjut terbuka. Patih Gajah Mada kemudian menunjuk kebesaran Majapahit, terutama dalam bidang Sri Kresna Kepakisan (1352-1380) sebagai raja pengayoman agama Hindu. Dalam identitas Bali dan beristana di Samprangan, Gianyar. Kresna kontemporer fungsi ini dilanjutkan dalam abad ke- Kepakisan sebenarnya seorang Brahmana 21 oleh “Kerajaan Majapahit Bali” (Bali Post, 23 Majapahit yang berasal dari Kediri. Kepakisan Agustus 2016). bersama 15 (lima belas) orang arya, tiga orang Perkembangan Ksatrya Dalem keturunan Wesia dan prajurit kaula Jawa yang ikut menyertai langsung dari Kresna Kepakisan dan pesebaran raja baru ini membentuk kasta sendiri, yang di Bali keluarganya dari generasi ke generasi kemudian berkembang menjadi wangsa dan soroh menunjukkan gelar atau identitas yang khas. (sub-wangsa). Ksatrya Dalem adalah keturunan vertikal raja, Masyarakat Bali Hindu yang berasal dari memakai gelar I Dewa Agung (raja), I Dewa untuk Jawa tersusun atas empat wangsa, yaitu Brahmana, laki-laki dan I Dewa Ayu untuk perempuan dan Kesatria, Waisya, dan Sudra. Sebagai penguasa beberapa variannya tergantung dari isteri. (elite pemerintah), Kresna Kepakisan dan Para arya yang mengikuti Kresna Kepakisan keturunannya menempati tingkat wangsa Kesatria (raja), yang kemudian diberi jabatan strategis -- yang tertinggi yang disebut Ksatrya Dalem. Para diberi gelar yaitu I Gusti atau I Gusti Agung untuk arya Jawa dan keturunannya menempati tingkat laki-laki, I Gusti Ayu untuk perempuan beserta wangsa kesatria yang disebut arya. Wangsa Waisya variannya tergantung isteri. Para Waisya diberi ditempati oleh keturunan Ton Kober, Tan Kaur, gelar gusi atau Si, yang nantinya menjadi Gusti, Tan Mundur, Wangsa Sudra ditempati oleh bekas karena Gusi atau Si dianggap kurang tinggi. prajurit Majapahit dan rakyat Jawa yang membaur Pemakaian gelar-gelar baru memperlihatkan dengan rakyat Bali asli. kebijakan politik Gajah Mada dengan membentuk Dominasi Majapahit kemudian golongan bangsawan baru. Salah satu tujuannya menimbulkan dualisme dalam pelapisan adalah untuk memperoleh jaminan kesetiaan masyarakat Bali yaitu antara masyarakat Bali pengabdian terhadap kekuasaan Majapahit. Hindu (wong Majapahit) dan Bali Aga (Bali asli). Strategi ini kemudian dilakukan oleh Belanda pada Masyarakat asli (Bali Aga) dianggap tidak memiliki abad ke- 20 tepatnya pada 1920, dengan sistem kewangsaan, karena sudah diturunkan memberikan gelar baru bagi keturunan bangsawan derajatnya (dipetita) menjadi rakyat biasa karena dari Ksatrya Dalem yang menjadi regent (bupati) kalah perang. Sistem kewangsaan hanya berlaku di wilayah Bali dengan gelar baru Anak Agung atau untuk masyarakat Bali Hindu dengan dominasi Cokorda (Staatsblad 1920). Regent Badung, bangsawan – Jawa (Djlantik, 1937: 17-18). Tabanan, dan Klungkung memakai gelar Cokorda. Kresna Kepakisan diganti oleh putranya Regent Jembrana, Buleleng, Bangli dan Gianyar Agra Samprangan (hanya sebentar) dan memakai gelar Anak Agung. Regent Karangasem seterusnya diganti oleh Dalem Ketut Ngelesir memakai gelar Anak Agung Agung. Kemudian (1380-1400), yang memindahkan keratonnya ke beberapa raja bawahan seperti Ubud juga memakai Gelgel (Klungkung). Dalam Sejarah Bali, Kerajaan gelar Cokorda dan Anak Agung. Gelar Dewa dan

8 Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 4, No. 1, 2019, hlm. 3-14

Gusti mulai ditinggalkan karena dianggap kurang kelompok Jaba masuk ke dalam hampir semua tinggi. ranah-ranah kehidupan. Motor perlawanan Sekarang dalam praktik kehidupan sistem (kontra hegemoni) kelompok Jaba dimotori oleh sosial masyarakat Bali masih menunjukkan sistem kelompok Pasek yang jumlahnya tujuh klen, kasta; masih terjadi dualisme yang sangat sehingga sering diplesetkan dengan nama “seven berpengaruh antara Bali pegunungan dan Bali up”. dataran. Sistem banjar masih berbeda, sistem Kerajaan Majapahit memang tidak ada lagi, penguburan, sistem pengabenan, sistem sejak ratusan tahun yang lalu tepatnya pada 1478. kependetaan, pergaulan, masih menganut sistem Namun, semangat kebangkitan Majapahit -- kasta belum egaliter. Pada masa revolusi dan identitas Majapahit masih ada. Gejala ini adalah perjuangan antara 1945-1950 sempat terjadi bagian dari politik identitas kontemporer Bali, persamaan seperti sebutan “bung” yang menunjuk- yang menandai era baru dan kebangkitan baru. Era kan demokratisasi dan egalitarisme. Setelah itu baru ini dipelopori oleh seorang anak muda terjadi lagi penguatan triwangsa sampai sistem terpelajar dan cerdas yang sudah bergelar doktor keorganisasian agama terpecah (Parisada Pecah), dalam umur 27 tahun yang bernama Dr. Arya Universitas Agama juga pecah. Wedakarna, M. Si. Wedakarna berhasil “membius” Sekarang dalam pergaulan informal sehari- masyarakat Bali dengan simbol-simbol identitas hari dalam interaksi dengan orang yang belum yang beragam seperti “The Hindu Center, The dikenal, orang akan menanyakan status Sukarno Center, identitas nasional (senator) kebangsawanan “antuk linggih”, bertanya dari sebagai “Raja Majapahit Bali”. Wedakarma kelompok mana anda. Setelah diketahui, baru bergelar Abhiseka Raja Majapahit Bali, Sri diserasikan berinteraksi. Dalam teori, di Bali tidak Wilatikta Tegeh Kori Kresna Kepakisan XIX dan ada kasta, tetapi kenyataan masyarakat Bali masih berkedudukan di Istana Manca Warna yang berkasta, bahkan tertutup dari mobilitas. Sampai terletak di Tampak Siring, Kabupaten Gianyar sekarang orang Bali masih mencari-cari legitimasi Bali, berdekatan dengan Istana Tampak Siring keturunan salah satu arya dari Majapahit, Kediri (Bali Post, 1 Juli 2015, Bali Post, 19 November atau Jawa. Orang bangga keturunan Majapahit. 2015). Wacana ajeg Bali sesungguhnya ada kesan Sepertinya Bali sudah dipersiapkan sebagai menyanjungkan kasta dan mempertahankan pewaris Kerajaan Majapahit, baik secara politik sistem kasta (Wijaya, 2009). maupun ekonomi. Ketika Islam mulai bangkit di Majapahit memerlukan sembilan tahun Nusantara pada abad ke- 14-15, raja Majapahit untuk menaklukkan Bali, itu pun dengan tipu daya. mengirim pendeta Hindu-Nirartha untuk Pada 1343 dan 1380, Bali dapat ditundukkan mendampingi raja Bali pada waktu itu Dalem dengan pengangkatan Raja Bali. Perlawanan terus Waturenggong. Tugas Pendeta Nirartha sebagai terjadi dan kelompok masyarakat Bali yang tidak pendeta dan penasihat raja karena pengalaman di bisa menerima Majapahit mengungsi ke Majapahit. Pendeta Nirartha kemudian pegunungan Bali. Meskipun Majapahit merangkul membangun pura-pura di seluruh perairan Bali beberapa tokoh Bali Aga seperti beberapa Bendesa yang berfungsi sebagai “benteng” pertahanan dan Pasek, tetapi perlawanan masih tetap ada, untuk melindungi Bali secara politik-spiritual. sehingga ada katagori Triwangsa dan Jaba Wangsa Mubalig-mubalig Islam yang kemudian datang ke yang saling berlawanan. Triwangsa versus Jaba Bali untuk memperkenalkan agama baru diterima Wangsa sampai masuk ke dalam beberapa ranah dengan baik dan diperlakukan sebagai teman seperti bidang pendidikan, politik, bahkan sampai (saudara) dan dilindungi. Raja menerapkan politik saat ini masih kelihatan. budaya dengan merangkul mubalig-mubalig Kelompok Triwangsa ini mencari akar-akar dengan diplomasi tingkat tinggi. Di Bali orang leluhurnya sampai ke Majapahit. Triwangsa Islam diakui sebagai “warga” atau saudara dan dibedakan antara keturunan langsung raja diakomodasi dalam kehidupan kemasyarakatan. (Dalem), sehingga dikenal Kesatrya Dalem dan Pendekatan budaya ini sekarang menghasilkan Ksatrya. Hegemoni kelompok kesatria terhadap Islam yang adaptif dan persaudaraan yang disebut

9 I Putu Gede Suwitha (Wacana Kerajaan “Majapahit Bali”: Dinamika Puri dalam Pusaran Politik Identitias Kontemporer) ikatan menyama braya (ikatan persamaan dan meresmikan The Hindu Center yang didirikan di persaudaraan). seluruh provinsi di Indonesia. Pada 28 Juli 2015, ia membuka dan meresmikan The Hindu Center di Identitas Hindu Sulawesi Utara yang merupakan salah satu pusat tempat bersejarah yang diakui sebagai wilayah Wedakarna ditetapkan sebagai raja “Majapahit pengaruh Kerajaan Majapahit seperti yang Bali” pada 31 Desember 2009 dan dilantik di Pura disebutkan dalam Kitab Nagara Kertagama Besakih oleh beberapa pendeta Hindu. Usia pada (Mulyana, 1979). Menurut Wedakarna, Sulawesi waktu dilantik 29 tahun dan sudah bergelar doctor Utara merupakan sebuah daerah yang istimewa (Bali Post, 29 Juli 2015). dengan toleransi yang tinggi. Itu berarti nilai-nilai Wilayah perjuangan Wedakarna adalah Majapahit ada di Sulawesi Utara. Oleh karena itu, seluruh Nusantara bukan hanya Bali saja. The Hindu Center harus bersinergi dengan Majapahit menurut senator termuda ini harus pemerintah Sulawesi Utara untuk menggali sejarah bangkit dan yang bisa membangkitkan adalah bangsa dengan nilai-nilai Majapahit dan nilai-nilai warih-nya yang masih setia beragama Ciwa-Budha. Pancasila. Saat ini sulit mencari tokoh Bali yang sepantaran Setelah Sulawesi Utara, Wedakarna dengan Wedakarna. Ini yang disebut dengan meresmikan The Hindu Center of Riau di Kota wahyu keprabon dalam filosofi Jawa. Pekanbaru. Provinsi Riau merupakan pusat Untuk mewujudkan cita-cita menegakkan perkembangan Siwa-Budha di Sumatera. Masih di Majapahit dan Hindu Nusantara, Wedakarna tanah Sumatera, The Hindu Center juga didirikan berupaya untuk berkomunikasi dan berusaha Sumatera Utara dan kemudian disusul dengan mempersatukan puri yang tersebar di Bali. Puri Jawa Barat. The Hindu Center di Jawa Barat juga yang jumlahnya ratusan Caba dikontak dengan bertujuan untuk menyelamatkan ajaran leluhur di cara yang santun, salah satunya memberikan kerajaan Hindu Pajajaran yang terkenal sebagai hadiah cinderamata yang berupa lampu kristal kerajaan Hindu terkuat di tanah Jawa (Bali Post, berwarna. Hadiah lampu khas Eropa itu disebut Juni-Juli, 2015: 35). Di Sumatera Utara sendiri Candlelier. Hadiah lampu sebagai simbol The Hindu Center berhasil merevitalisasi Candi melambangkan sinar atau cahaya, yang berarti Buhal yang lama tersembunyi. menggalang solidaritas atas warih sejumlah puri di Di Jayapura Wedakarna memperjuangkan Bali. Puri adalah benteng budaya Bali, Hindu, jika setra (kuburan). Wedakarna memohon kepada puri hancur, maka Hindu akan hancur. Dalam pemerintah kota Jayapura untuk memberikan izin konsep Hindu, istana harus terang benderang pendirian setra, karena selama ini umat Hindu di sebagai simbol kemakmuran dan cahaya Dewi Sri Papua mengeluarkan uang puluhan juta rupiah (Laksmi). hanya untuk mengirim jenazah ke Bali, untuk Upacara-upacara sesuai dengan tradisi penyelenggaraan upacara karena tidak mempunyai Majapahit harus melibatkan sulinggih. Bali harus kuburan di Jayapura (Bali Post, Juni-Juli, 2015: tetap mempertahankan tradisi leluhur, tetapi harus 43). Bahkan, The Hindu Center juga didirikan di tetap menunjukkan kesederhanaan. Kewajiban Ambon dan diresmikan oleh Presiden Joko puri adalah memberdayakan sulinggih. Demikian Widodo, pada 18 Februari 2018 (Bali Post, 19 juga dengan kebutuhan ekonomi Hindu adalah Maret 2018). mutlak. Dengan menyederhanakan upacara adat Beberapa tradisi Majapahit kemudian dan agama, akan bermuara pada ketahanan dikembangkan dan direvitalisasi seperti penyucian ekonomi Hindu. sejarah leluhur atau peringatan hari ulang tahun Sebagai raja “Majapahit Bali”, Wedakarna keluluran atau sugeng Wiyosan Tinggalan Dalem, benar-benar menjadi ikon kebangkitan Hindu upacara Ugadeg Ratu Abiseka (ulang tahun Nusantara (Majapahit). Kerja senator termuda bertahta). Pada 31 Desember 2015 bertempat di asal Bali ini menunjukkan hasil yang baik terutama istana Mancawarna Tampak Siring diperingati dalam pengembangan kedaulatan umat Hindu di acara keenam (Kaping Nem) Ngadeg Ratu luar Bali. Ia menginisiasi dan kemudian Abhiseka Raja Majapahit Bali Sri Wilatika Tegeh

10 Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 4, No. 1, 2019, hlm. 3-14

Kori Kresna Kepakisna 19 (XIX). Dalam upacara Hindu. Fungsi pengayom umat Hindu kemudian peringatan Ngadeg Ratu dirangkai dengan kembali digaungkan oleh Wedakarna. ruwatan di Yogyakarta dan upacara sedekah bumi di Pelabuhan Ratu Sukabumi (Bali Post, 31 Ekonomi Satya Graha Desember 2015). Tradisi lain yang dikembangkan lagi dan “Warih” Majapahit percaya bahwa Majapahit direvitalisasi oleh Wedakarna adalah upacara hari belum musnah, hanya wilayahnya mengecil yakni kelahiran atau Sugeng Wiyosan Tunggalan Dalem. Bali (Pranajaya dkk., 2015). Majapahit masih ada, Menurut Wedakarna, dalam sejarah sejak diangkat bahkan Bung Karno mengatakan kepada Perdana menjadi raja “Majapahit Bali”, setiap tahun secara Menteri India, Jawaheral Nehru ketika berkunjung berturut-turut diadakan upacara Tunggalan ke Bali, bahwa Majapahit belum musnah. Dalem. Upacara Tunggalan Dalem memang sudah Majapahit jadi mengecil karena sering terjadi musnah sejak sirna hilang kertaning bumi. Namun peperangan yang berkepanjangan. Majapahit yang sejak Wedakarna melinggih dan dijadikan terdiri dari satelit, bawahan, ketika itu memerlukan penglingsir oleh umat Ciwa-Budha dan umat kepemimpinan yang kuat seperti Gajah Mada Kajawen di seluruh nusantara, upacara ini dulu. direkonstruksi kembali. Upacara Sugeng Wiyosan Menurut Wedakarna, karena rakyat menjadi diikuti dengan penyucian pusaka puri (Jamasan), miskin dibutuhkan kemajuan ekonomi (Satya penyucian kereta kencana segara kidul yang Graha) dalam hal ini pariwisata untuk menopang merupakan hibah dari Istana Mangkunegaran. kehidupan yang sejahtera. Ketika terjadi perang Upacara ini dalam tradisi Hindu kemudian disebut perebutan tahta di Majapahit antara Keraton dengan Raja Yadnya. Timur dan Keraton Barat, rakyat diajak berperang Menurut Wedakarna, ciri-ciri kebangkitan terus-menerus. Kapan masyarakat dapat Hindu Nusantara sesuai dengan ramalan Sabdo membangun ekonomi karena terus terjadi Palon Nayogenggong, adalah dengan menyucikan peperangan? Oleh karena itu, rakyat meninggalkan sejarah leluhur. Pada 2012 Wedakarna rajanya untuk beralih kepada penguasa baru. menyucikan atma leluhur Majapahit di Trowulan. Pemikiran ekonomi Wedakarna tentang Pada 2013, Wedakarna juga menyucikan atma Satya Graha di Bali sekarang terwujud dalam leluhur Pajajaran di Candi Cangkung–Jawa Barat. kehidupan pariwisata, khususnya pariwisata Pada 2014, upacara atma Wedana leluhur budaya. Secara ekonomi Bali sudah mandiri dan Mataram di Istana Mangkunegaran Surakarta. mampu membiayai upacara-upacara keagamaan. Pada 4 Agustus 2015, upacara sedekah bumi dan Ekonomi Satya Graha sangat ditopang oleh entas-entas (Pitra Yadnya) diselenggarakan untuk pariwisata, khususnya pariwisata puri yang berupa menyucikan arwah leluhur di Kerajaan Sriwijaya di tarian, pentas budaya yang mencerminkan budaya Candi Bumi Ayu Sumatera Selatan. Di Sumatera Majapahit masa lalu yang sekarang mengalami kini bermunculan candi-candi Hindu seperti revitalisasi. Candi Bahal di Sumatera Utara, Candi Muara Kebangkitan puri-puri di Bali tidak saja Takus di Riau, Candi Muara Jambi di Jambi (Bali dalam kaitannya dengan identitas politik, tetapi Post, 5 Agustus 2015). juga berkembang untuk menopang kepariwisa- Wedakarna dapat memanfaatkan jaringan taan. Dalam tataran identitas, puri tidak hanya puri-puri di Nusantara. Berbagai kalangan atau sebagai destinasi utama pariwisata, tetapi juga kelompok datang menemui Wedakarna untuk sebagai pengayom pariwisata budaya yang utama. menyampaikan harapan, terutama bagaimana puri Seperti disebutkan di depan, masyarakat menjadi simbol pemersatu umat Hindu. Oleh Bali dalam perkembangannya jauh berbeda dari karena itu, secara rutin Wedakarna mendatangi tetangganya, yaitu Jawa. Di Bali kemudian terdapat puri-puri di Bali dan juga kelompok-kelompok sepuluh kerajaan dengan puri sebagai pusatnya, lain. Sebelum Parisada (Majelis Tinggi Umat yang sekarang menjadi daerah kabupaten dan kota. Hindu) dibentuk pada 1957, puri-puri di Bali Hal ini seperti yang disebutkan Geertz (1974), memang sudah berfungsi sebagai pengayom umat bahwa orang Bali cenderung cepat berubah dan

11 I Putu Gede Suwitha (Wacana Kerajaan “Majapahit Bali”: Dinamika Puri dalam Pusaran Politik Identitias Kontemporer) cepat meniru, mudah menerima sesuatu dari luar Tektekan dan Okokan di Puri Kerambitan- dan kemudian menjadikan miliknya sendiri. Tabanan (Bali Post, 15 Juni 2016: 14). Di Puri Terdapat ungkapan “Nak Bali sing kuang daya”, Mengwi dipentaskan beberapa tarian sakral secara yang artinya Orang Bali tidak pernah kekurangan regular. akal. Oleh karena itu, pariwisata cepat berkembang Salah satu ikon identitas Bali adalah dan menjadi milik orang Bali yang kemudian pariwisata, khususnya wisata budaya. Selain itu, di terdapat stereotip seakan-akan kehidupan orang Bali juga berkembang jenis wisata alternatif seperti Bali semuanya berhubungan dengan pariwisata. alam, lingkungan, kelautan dan bahkan desa Pelopor pariwisata Bali adalah kalangan wisata. Secara tidak langsung, pemerintah dan aristokrat yang berfungsi sebagai kelas menengah masyarakat Bali juga membentuk zonasi untuk setelah Revolusi 1945. Punggawa Tjokorda Raka mengidentifikasi jenis wisata yang dikategorikan Sudarta Raja Ubud (Gianyar) Cokorda Sukawati sebagai wisata alternatif. Hal ini penting agar menjadikan puri sebagai penginapan untuk budaya tetap terjaga menghadapi pariwisata menjamu tamu-tamu asing seperti Walter Spies modern dan massal (mass tourism). Pada 2015, dan Rudolf Bonet. Puri dijadikan tempat Bali dikunjungi oleh 10 juta wisatawan asing dan peristirahatan kemudian menjadi cikal-bakal domestik (Kompas, 4 Januari 2016). Apalagi pada berdirinya tempat-tempat wisata bergaya villa dan 2016, Bali mendapat predikat pulau wisata terbaik bungalow di Bali. Sementara itu, pada 1920 berdiri kedua di dunia. Hal ini menunjukkan, bahwa Bali Bali Hotel di kompleks Puri Denpasar yang menjadi salah satu pusat perkembangan wisata dibangun oleh Belanda (Darma Putra, 1993). Pada dunia. Oleh karena itu, gerakan revitalisasi 1957 di Sanur, Ida Bagus Kompyang memelopori pariwisata budaya Bali turut didukung oleh pihak- pembangunan Hotel Segara di tepi pantai. phak terkait dengan memunculkan jargon “Bali Selanjutnya, Cokorda Ubud dan Ida Bagus Baru”. Kompiang berkolaborasi dengan seniman- Pariwisata di Bali seakan-akan tidak pernah seniman asing untuk mempromosikan Bali di luar sepi dengan ragam daya tarik wisata tersendiri. Bali negeri. Seniman-seniman asing seperti Colin Mc tidak hanya memiliki panorama alam dan budaya Phee, Jone Belo, Jaap Kunst, Arie Smith, Han yang mampu menarik kunjungan wisatawan, tetapi Sneel, Mario Blanco, dan lainnya memengaruhi juga memiliki sejumlah puri (istana) yang perkembangan pariwisata di Bali khususnya Ubud mayoritas merupakan duplikasi dari istana dan Sanur. Kerajaan Majapahit. Hampir di setiap kecamatan di Bali terdapat puri, tetapi warih belum dapat memaksimalkan SIMPULAN puri sebagai destinasi pariwisata secara maksimal. Keberadaan puri sebagai salah satu destinasi wisata Kerajaan Majapahit yang berbasis Hindu telah tentu tidak dapat disejajarkan dengan keraton lama runtuh. Namun kejayaan Majapahit Cirebon, Surakarta, apalagi Yogyakarta. Akan memberikan kebanggaan, inspirasi, dan simbol tetapi, wisata puri merupakan kecenderungan perjuangan untuk menegakkan kebangkitan pariwisata Bali sekarang, di samping wisata alam. Hindu sesuai dengan ramalan Sabdo Palon Noyo Wisata puri masih dalam lingkup pariwisata Genggong. Kebangkitan identitas pembangunan budaya yang menjadi ikon pariwisata Bali. citra Hindu sudah ada sejak keruntuhan Beberapa puri menjadi destinasi pariwisata seperti Majapahit. Beberapa pejuang seperti Trunojoyo Puri Mengwi di Badung, Puri Kerambitan di mengumandangkan keagungan Majapahit. Peran Tabanan, Puri Klungkung di Klungkung, Puri Majapahit sebagai inspirasi juga berlangsung pada Karangasem di Amlapura, dan juga Puri Ubud. zaman pergerakan awal abad ke-20. Wisata puri menyuguhkan tarian Bali dan kuliner Wacana “Kerajaan Majapahit Bali” dan khas Bali yang disajikan dengan sentuhan modern. kebangkitan puri-puri tidak terlepas dari inspirasi Puri juga sebagai pusat seni budaya yang khas. yang digaungkan oleh tokoh muda Bali, Arya Kesenian-kesenian yang sudah lama umurnya Wedakarna. Wedakarna tidak saja menjadikan kemudian dikembangkan di puri-puri seperti Majapahit dan kebangkitan Hindu sebagai

12 Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 4, No. 1, 2019, hlm. 3-14 inspirasi, tetapi juga untuk membangun politik International Congress for Asian and North identitas dan citra diri dalam memperoleh African Studies (ICANAS). kekuasaan. Memang, politik tidak bisa lepas dari Geldern-Heine, R. (1982). Konsepsi tentang pencitraan dan identitas diri. Negara dan Kedudukan Raja di Asia Perubahan dan penguatan identitas Bali Bali Tenggara. Jakarta: CV. Rajawali. merupakan hasil perjalanan sejarah yang panjang. Geertz, C. (1974). Myth, Symbol, and Culture. Kebijakan pemerintah Belanda yang senantiasa New York: Norton. berusaha membedakan Bali dengan daerah Geertz, C. (1980). Negara: The Theatre State in lainnya, mewarnai perkembangan Bali dari masa Nineteenth-Century Bali. New Jersey: kolonial hingga pascakolonial. Princeton University Press. Pada awal abad ini, identitas Bali dianggap Hilbery, R. (1979). Reminiscences of A Balinese cukup progresif dalam rangka mempertahankan Prince Tjokorda Gde Agung Sukawati. eksitensi sebagai salah satu destinasi wisata dunia. Southeast Asia Paper No. 14 Southeast Setelah reformasi muncul wacana Bali Merdeka, Asian Studies. University of Hawaii. diikuti dengan wacana Ajeg Bali. Selanjutnya, Kartodirdjo, Sartono (1977). Masyarakat Kuno identitas kontemporer yang dibangun adalah Tradisional. Jakarta: Bharata. wacana “Kerajaan Majapahit Bali” bersamaan Kompas, 4 Januari 2016. dengan kebangkitan puri-puri di Bali. Koran Tokoh, 14 – 20 Nopember 2016. Mahadewi, I. A. M. (2017). “Dominasi Peran Puri CATATAN dalam Kontestasi Politik di Bali (Studi Kasus: Puri Agung Denpasar)”, Politika, Vol. 1 (1): 1Pendirian sebuah kota biasanya diawali dengan 1-10. puri sebagai pusat kerajaan sekaligus puri sebagai Majalah Bali Pos, 21-27 Agustus 2017. pusat pemerintahan (Sartono, 1977). Majalah Bali Pos, Juni-Juli 2015. 2Babad Dalem, Babad Pasek, Babad Buleleng, dan Mirsha, dkk. (1986). Sejarah Bali. Denpasar: Babad Arya Kuta Waringin. Pemerintah Daerah Tingkat I Bali. Mulyana, Slamet(1979). Negara Kertagama dan REFERENSI Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara. Munandar, Agus Aris (2005). Istana Dewa Pulau Agung, Ida Anak Agung Gde (1989). Bali pada Dewata: Makna Puri di Bali Abad 14-19. Abad XIX. Yogyakarta: UGM Press. Jakarta: Komunitas Bambu. Bali Post, 9 Agustus 2015 Nordholt, Henk Schulte (2006). The Spell of Bali Post, 23 Agustus 2016 Power: Sejarah Politik Bali 1650-1940. Bali Post, 23 April 2016 Denpasar: Pustaka Larasan. Bali Post, 31 Desember 2015 Pranajaya, I. Catur Virgiantoro, I Made Budhiarta Bali Post, 18 Februari 2018 (2015). Geger Nusantara: Terungkapnya Bali Post, 1 Juli 2015 Misteri Gajah Mada dan Terbentuknya Bali Post, 29 Juli 2015 Nusantara. Denpasar: Surya Majapahit. Bali Post, 15 Juni 2016 Putra, Nyoman D. (2012). Ida Bagus Kompyang – Bali Post, 19 Maret 2018 A.A. Mirah Astuti, Pasangan Pioner Bali Post, 19 November 2015 Pariwisata Bali. Denpasar: Jagat Press. Berg, C. C. (1926). “Kidung Pamancangah: De Putra, Tjokorda R. (2015). Babad Dalem: Warih Geschiedenis Van het rijk van Gelgel”. Ida Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan. Thesis Leiden University. Denpasar: Pustaka Bali Post. Creese, Hellen (1993). “The Problem of The Robinson, Geoffrey (2006). Sisi Gelap Pulau Procolonial Balinese State”. Paper Dewata: Sejarah Kekerasan Politik. Presented in a Panel on Autonomous States Yogyakarta: LK1S. in Southeast Asia and Korea at 34th Sendra, I Made (2016). “Paradigma Kepariwi- sataan Bali Tahun 1930-an: Studi Genealogi

13 I Putu Gede Suwitha (Wacana Kerajaan “Majapahit Bali”: Dinamika Puri dalam Pusaran Politik Identitias Kontemporer)

Kepariwisataan Budaya”, Jurnal Kajian Bali, Vol. 6 (2): 97-124. Sidemen, Ida Bagus (2010). Dari Wilatikta ke Swecapura. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sidemen, Ida Bagus dkk. (1983). Sejarah Klungkung: Dari Smarapura sampai Puputan. Klungkung: Pemerintah Daerah Tk. II Klungkung. Staatsblad 1920. Supomo, R. (1983). “Citra Majapahit dalam Tulisan Jawa dan Indonesia Kemudian”, dalam A. Reid dan D. Marr (ed.) Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka, Indonesia dan Masa Lalunya. Jakarta: Grafiti Press. Wijaya, I. (2009). “Mencintai Diri Sendiri: Gerakan Ajeg Bali dalam Sejarah Kebudayaan Bali, 1910-2007”. Disertasi Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.

14