Bab 1 P E N D a H U L U a N Manusia Dimulai Dari Sejak Kelahirannya

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Bab 1 P E N D a H U L U a N Manusia Dimulai Dari Sejak Kelahirannya Bab 1 P E N D A H U L U A N Manusia dimulai dari sejak kelahirannya telah dihadapkan pada berbagai macam tantangan hidup dan kehidupan. Manusia dalam kehidupannya merupakan serangkaian dari masalah-masalah, yang timbulnya bisa bersumber dari dalam diri, lingkungan alam dan sosial serta budaya, atau saling berinteraksi atau saling berhubungan dan mempengaruhi satu dengan lainnya. Setiap saat manusia akan dihadapkan kepada suatu sikap untuk bisa mengambil keputusan atau tindakan sebagai reaksi terhadap kebutuhan dan keamanan dilingkungan kehidupannya. Ergonomi Desain Pada Produk Kriya - 1 - Drs. Agus Mulyadi Utomo,M.Erg TEKNOLOGI KEAMANAN Ergonomi Desain Pada Produk Kriya - 2 - Drs. Agus Mulyadi Utomo,M.Erg Kebutuhan dasar umumnya berupa makan-minum (pangan), sandang (pakaian) dan papan (tempat tinggal), dan bila sudah terpenuhinya kebutuhan dasar bersifat jasmani-material tersebut, lalu meningkat kepada kebutuhan bersifat norma-rasa-batiniah, berupa nilai- nilai tertentu seperti identitas, kepribadian, harga diri- prestise (status-sosial-budaya), yg setiap saat juga berubah dan berkembang. Dengan menggunakan kemampuan akal, pikiran dan ketrampilannya, manusia pada akhirnya mampu mengatasi dan memecahkan berbagai masalah betapapun rumit dan peliknya, sehingga membuahkan hasil karya dan pemikiran atau ilmu yang bermanfaat ke arah tingkat kemajuan hidup yang lebih tinggi dan layak. Disamping itu tingkat kebutuhan manusia setiap saat pun selalu meningkat dan berkembang mengikuti selera zamannya. Ergonomi Desain Pada Produk Kriya - 3 - Drs. Agus Mulyadi Utomo,M.Erg Apabila kebutuhan yang bersifat pokok dan kebutuhan umum (publik) atau kolektif sudah terpenuhi. Maka level kebutuhan manusia pun semakin meningkat atau mengerucut dan menuju level kebutuhan tertinggi yang bersifat invidual, karena ego pribadinya juga semakin bersifat khusus dan khas. Pembuatan produk kriya dalam periode budaya agraris (agriculture), menunjukkan suatu perkembangan dari peradaban manusia. Perkembangan secara umum diikuti suatu peningkatan kebutuhan hidup. Sehingga memproduksi peralatan pertanian, dapur, pakaian dan peralatan rumah-tangga lainnya, seperti: pisau, parang, cangkul, cawan, periuk, tempayan, pakaian, perhiasan, keris, kursi, mebelair dan perabotan lainnya. Salah satu cara yang paling penting dalam hubungan antara manusia secara sosial adalah melalui perantaraan benda-benda (produk). Menjadikan kegiatan perencanaan (desain) sebagai upaya dengan sadar untuk mengadakan suatu tatanan yang bermakna atau bernilai tertentu. Melalui desain tentu dapat dipahami khususnya dalam konteks waktu, dimana produk dimaksud pada akhirnya sebagai bentuk dari artefak manusia. Indonesia masuk pusaran perpolitikan, ketika baru merdeka dan dilanjutkan membangun disegala bidang, dari Orde Lama sampai Orde Baru dengan program yang dikenal sebagai Pelita dan P4, saat itu masih dirasakan sangat kental kehidupan bergotong-royong, dimana orang menyadari bahwa kepentingan umum (publik/negara) lebih utama dan dinomor-satukan dari pada kepentingan Ergonomi Desain Pada Produk Kriya - 4 - Drs. Agus Mulyadi Utomo,M.Erg lain seperti pribadi, kelompok dan golongan. Namun ketika ada perubahan, menjadi masa Reformasi dan amandemen UUD. Mengadopsi nilai-nilai kehidupan global, keterbukaan dan memasukkan nilai kebebasan menyatakan pendapat, juga yang bersifat ego pribadi atau individual, yakni menghargai tentang nilai-nilai Hak Azasi Manusia (HAM) disemua lini. Kini perhatian Negara kepada dunia pendidikan (20% dari APBN), Research IPTEKS dan seni-budaya. Lalu penegakan hukum, pembangunan sarana dan prasarana serta infrastruktur yaitu jaringan komunikasi-informasi dan pekerjaan umum. Kemudian meningkatkan kesejahteraan rakyat yaitu melalui sistem perekonomian dan perdagangan, industri dan kepariwisataan serta berupa penanggulangan bencana atau jaminan sosial, Juga di bidang kesehatan, pelayanan dan kenyamanan publik, kesetaraan gender, ketertiban, keamanan dan anti korupsi. Termasuk penghargaan terhadap hak individual dalam hukum dan ekonomi seperti Hak Cipta, Hak Paten, Merek dan Hak Industrial (Haki), memasuki pasar bebas dan era globalisasi. Kemajuan yang telah dicapai dalam pembangunan di satu sisi, akan tetapi pada sisi yang lain, terjadi melemahnya nilai-nilai kebangsaan terutama persatuan dan kesatuan, budaya gotong-royong, toleransi, semua itu mulai terkikis dengan nilai-nilai yang sarat dengan kepentingan yang bersifat ego-pribadi, golongan atau kelompok tertentu. Ergonomi Desain Pada Produk Kriya - 5 - Drs. Agus Mulyadi Utomo,M.Erg Pada masa kini, faktor yang melemahkan sendi persatuan dan kesatuan bernegara serta adanya peningkatan egoisitas pribadi, yang turut menjadikan banyaknya kasus korupsi. Akhirnya mulailah dicarikan akar permasalahan, solusi atau jalan keluarnya. Salah satunya adalah melalui dunia pendidikan, seni dan kebudayaan, dengan cara menanamkan nilai-nilai moral (akhlak) atau budi-pekerti yang luhur, mengembalikan pendidikan budi-pekerti yang lama lenyap di sekolah yang tergantikan dengan sistem kecerdasan IQ saja dan kecerdasan yang lain terabaikan. Dengan suatu harapan dapat menjadikan generasi mendatang lebih baik lagi, beretika dan berbudi luhur. Kepuasan tentu bersifat sementara dan temporer. Menusia bisa saja sewaktu-waktu merasa tidak puas dengan apa yang telah dicapainya, apakah karena bosan atau karena rutinitas ? Banyak ahli dan professional yang menganjurkan agar jangan pernah merasa bosan dengan profesi yang dipilih, bahkan harus merasa senang hingga suatu saat disadari apa yang dikerjakan bermanfaat bagi diri dan orang lain. Apabila dalam melakukan sesuatu dengan perasaan senang, maka betapa berat beban tugas yang diemban akan menjadi terasa lebih ringan dan baik. Kemudian manusia menginginkan inovasi, sesuatu yang baru, atau karena dorongan kreativitas, disamping karena ilmu pengetahuan yang bertambah maju sehingga hasil karya sebelumnya mendapat koreksi atau kritikan sehingga dilakukan perbaikan-perbaikan. Karena hal yang demikian itulah, yang menyebabkan produk-produk hasil perekayasaan atau desain produk tidaklah mandeg Ergonomi Desain Pada Produk Kriya - 6 - Drs. Agus Mulyadi Utomo,M.Erg dan terus berkembang menyesuaikan dengan tuntutan akan kebutuhan dari masyarakatnya. Pada gilirannya, manusia ada berkeinginan dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan zaman kekinian, yang sudah serba canggih. Manusia mencari berbagai solusi untuk dapat memecahkan atau menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi, salah satunya adalah dengan memahami dan mengetahui cara mengaplikasikan ilmu ergonomi terhadap desain produk. Hal ini untuk mengupayakan berbagai hasil karya desain produk agar lebih bersifat manusiawi, yang nyaman, aman, efisien dan bermutu lebih baik serta tetap mengikuti wawasan dan perkembangan dari ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, yang juga kini terus berkembang menyesuaikan zamannya. Pada buku ini yang berjudul “Ergonomi Desain Pada Produk Kriya”, pada bab berikutnya membahas sejarah produk kriya, karena sampai saat ini masyarakat belum mengetahui apa sebenarnya produk kekriyaan. Dilanjutkan membahas seni dan desain produk. Lalu membahas tentang ilmu ergonomi, yang menguraikan tentang pentingnya ilmu ergonomi sebagai ilmu yang multidisiplin, dari menjelaskan pengertian ergonomi, sejarah ergonomi dan penerapan ergonomi. Bagian terakhir adalah desain produk kriya yang ergonomis, yaitu penjelasan tentang masalah-masalah ergonomi pada proses desain produk dengan aplikasinya. Ergonomi Desain Pada Produk Kriya - 7 - Drs. Agus Mulyadi Utomo,M.Erg Bab 2 PRODUK KRIYA Memahami produk kekriyaan melalui penelusuran sejarah produk kriya, hubungan kriya sebagai benda sosial dan budaya, dan pemahaman istilah produk kriya serta pendapat ahli tentang kriya. 2.1. Sejarah Produk Kriya Adanya produk atau benda kriya, bermula dari adanya kebudayaan material paling sederhana yang muncul pada zaman batu. Hal tersebut berkaitan dengan tingkat kecerdasan, perasaan dan pengetahuan yang dimiliki dan disesuaikan dengan situasi serta kondisi yang dihadapi pada zaman tersebut. Semua itu dimaksudkan untuk dapat bertahan dan menunjang kelangsungan hidup, manusia kemudian membuat alat- alat dari bahan-bahan yang diperoleh di alam sekitar mereka. Sebagai contoh dan bukti, yakni adanya penemuan kapak genggam dari batu dan alat-alat perburuan yang dibuat dari tulang dan tanduk binatang. Kebutuhan hidup dan kehidupan manusia terus berlangsung dari waktu ke waktu, dari tidak memiliki apa-apa, dengan berbekal akal dan pikiran, memulai berburu, menghindari ancaman musuh, menyelamatkan diri keganasan alam, berpakaian, berteduh, mencari ketenangan, kenyamanan, kesenangan dan sebagainya. Tidak hanya sekedar mencari makan, tetapi kemudian menetap dan bertani, berkumpul atau bermasyarakat, berbudaya dan berbudi luhur. Ergonomi Desain Pada Produk Kriya - 8 - Drs. Agus Mulyadi Utomo,M.Erg Produk Kriya Zaman Pra-Sejarah Ergonomi Desain Pada Produk Kriya - 9 - Drs. Agus Mulyadi Utomo,M.Erg Ditilik dari sudut manapun tentang evolusi manusia, ternyata manusia sejak awal mulanya telah memiliki apa yang disebut dengan akal budi dan memiliki sejumlah tuntutan hidup dan kehidupan, baik sebagai kebutuhan yang bersifat material maupun keperluan yang bersifat spiritual. Perjalanan hidup dan kehidupan manusia selanjutnya menunjukkan akan peningkatan cara berfikir dan tingkat kecerdasan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan yang semakin kompleks, bahkan kemudian manusia memikirkan, membayangkan, memperkirakan, memperhitungkan dan merencanakan kebutuhan hidup serta kehidupan yang akan dijalani
Recommended publications
  • DINAMIKA KEBUDAYAAN DI KOTA GIANYAR -.:: GEOCITIES.Ws
    DINAMIKA KEBUDAYAAN DI KOTA GIANYAR : Dari Kota Keraton sampai Kota Seni, 1771 – 1980-an A.A. Bagus Wirawan Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unud Denpasar Disampaikan pada Konferensi Nasional Sejarah VIII di Jakarta 14 – 17 Nopember 2006 1. Landasan Tipologi Kota. Dalam proses sejarah, sebagian besar kota berasal dari komonitas elite bangsawan atau berkat adanya pasar. Kebutuhan ekonomi dan kebutuhan politik daerah milik seorang bangsawan dapat mendorong orang untuk melakukan perdagangan guna memenuhi permintaan yang hanya dapat terlaksana dengan bekerja ataupun dengan menukar barang. Dalam kota yang berasal dari komunitas seperti itu, barang keperluan keraton, dan istana bangsawan (puri) itu seringkali merupakan sumber pendapatan, bahkan merupakan sumber pokok bagi penduduk daerah. Apabila kondisi demikian itu merupakan konfigurasi yang berlainan dengan desa, maka wajarlah bila kota itu menjadi tempat tinggal raja, para bangsawan, baudanda bhagawanta (keraton, puri) maupun tempat pasar, bencingah, alun-alun, dan lain-lainnya (Sartono Kartodirdjo, 1977). Landasan tipologi terbentuknya kota Gianyar dan untuk memahaminya mengikuti sejarah perkembangan kota, lokasi serta ekotipenya, fungsinya, dan unsur- unsur sosio-kultural adalah menggunakan konsep dan tipe-tipe kota seperti yang terdapat di pelbagai negeri (Sartono Kartodirdjo, 1977). Akan tetapi, untuk menyoroti kota Gianyar akan dipilih tipe kota yang relevan terutama kota-kota kuno di Asia (M. Irfan Mahmud, 2003 : Bab II). Di kota-kota Asia, apa yang disebut gilde belum sepenuhnya terlepas dari ikatan kerabat seperti ikatan klan; (kewangsaan) yang sebagai suatu komunitas ingin memegang monopoli dalam suatu pertukangan serta pemasaran hasil karyanya. Dalam kegiatan tukar menukar barang, muncul pula orang-orang asing misalnya Cina atau Arab. Mengenai lokasi kota-kota dapat dikatakan bahwa kota terletak di berbagai lokasi.
    [Show full text]
  • The Gods & the Forge
    ificah International Foundation of Indonesian Culture and Asian Heritage The Gods & the Forge Balinese Ceremonial Blades The Gods & the Forge in a Cultural Context This publication is the companion volume for the exhibition of the same name at the IFICAH Museum of Asian Culture in Hollenstedt-Wohlesbostel, Germany December 2015 to October 2016. Title number IFICAH V01E © IFICAH, International Foundation of Indonesian Culture and Asian Heritage Text: Dr. Achim Weihrauch, Efringen-Kirchen, Germany Dr. Udo Kloubert, Erkrath, Germany Adni Aljunied, Singapore Photography: Günther Heckmann, Hollenstedt, Germany Printing: Digital Repro Druck GmbH, Ostfildern, Germany Layout: S&K Kommunikation, Osnabrück, Germany Editing: Kerstin Thierschmidt, Düsseldorf, Germany Image editing: Concept 33, Ostfildern, Germany Exhibition design: IFICAH Display cases: Glaserei Ahlgrim, Zeven, Germany "Tradition is not holding onto the ashes, Metallbau Stamer, Grauen, Germany Conservation care: but the passing on of the flame." Daniela Heckmann, Hollenstedt, Germany Thomas Moore (1477–1535) Translation: Comlogos, Fellbach, Germany 04 05 Foreword Summer 2015. Ketut, a native of Bali, picks me Years earlier, the fishermen had sold the land up on an ancient motorcycle. With our feet bordering the beach to Western estate agents, clad in nothing more resilient than sandals, we which meant however that they can now no ride along streets barely worthy of the name longer access the sea with their boats ... to the hinterland. We meet people from dif- ferent generations who live in impoverished It is precisely these experiences that underline conditions by western standards and who wel- the urgency of the work carried out by IFICAH – come the "giants from the West" with typi- International Foundation of Indonesian Culture cal Balinese warmth.
    [Show full text]
  • Babad Gumi 13
    CANDRASANGKALA: THE BALINESE ART OF DATING EVENTS. HANS HÄGERDAL [email protected] Department of Humanities University of Växjö Sweden 2006 1 Introduction 2 Babad Gumi 13 Babad Bhumi 42 Korn 1 74 Korn 2 93 Korn 3 100 Korn 4 105 Korn 5 113 Babad Tusan 132 Tattwa Batur Kalawasan 140 Pangrincik Babad 147 Sara Samuscaya Pakenca 156 Anjang Nirartha 164 Pasasangkalan 167 Pawawatekan 182 Postscript: Pasangkalan 198 Genealogies 201 Unpublished sources 204 Literature 206 2 INTRODUCTION Elements of Balinese historiography. History has deep roots on Bali, however one defines the word. To be more exact, Bali has a wider scope of historiographical continuity than anywhere else in Southeast Asia except for Vietnam and perhaps Burma. Pending some previous scholarly statements regarding the Balinese perception of time and the historical past, that are found in the anthropological literature about the island, such a statement may seem rather rash. However, it remains an astonishing fact. On Balinese soil historical texts were preserved and cherished; they informed ever new generations about ancient kingdoms far back in time, to the Javanese dynasties of Airlangga and Ken Angrok up to a thousand years ago. Certainly, these dynasties were mainly non-Balinese, but this is irrelevant for the self- perception of the Balinese elite groups, who found inspiration and raison d’être from tales of ancient Javanese realms. As against this, the genuinely historical memory barely goes back before the 13th century in Thailand, the 14th century in Laos and Cambodia, and the 15th century in the Malay world. Historical traditions from Java, Aceh, South Sulawesi and Maluku cease to be merely legends and start to take on a somewhat more plausible shape in about the 15th or 16th century.
    [Show full text]
  • C. Hooykaas Weda and Sisya, Rsi and Bhujangga in Present-Day Bali
    C. Hooykaas Weda and Sisya, Rsi and Bhujangga in present-day Bali In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 120 (1964), no: 2, Leiden, 231-244 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl Downloaded from Brill.com10/01/2021 11:58:09AM via free access WEDA AND SISYA, RSI AND BHUJANGGA IN PRESENT-DAY BALI or a quarter of a century we have known that weda in Bali is something "quite different from veda in India. For this Fknowledge we have to thank Dr. Goris,1 for he has explained — and this was corroborated by Sylvain Lévi 2 — that the brahmin Siwa- priest in Bali, when stating that he was engrossed in his surya-sewana, weda-parikrama or ma-weda, in reality was reciting (partly Tantric) mantra and stawa.3 To these he will add a very restricted number of lines from the beginning of the Indian veda,* but only on specific days. The veda themselves have never been found in Bali, though hundreds of texts, originating from the griya = grëha,5 priest dwellings, which deal with ritual, theology, philosophy, metaphysics etc, have been made accessible to the copyists of the Central Library of Palmleaf MSS (now Gedong Kirtya) at Singaradja.6 The brahmin priest will declare in good faith that he has knowledge of the weda and that he recites them daily in his bale pa-weda-an, his worship-pavilion. The fact of the matter is, that a research worker who has access to the Indian veda, will come to the conclusion that the Balinese use the word for something rather different.
    [Show full text]
  • D 902008104 BAB III.Pdf
    BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH Asal Mula Desa Asli di Bali • Desa di Bali Pada Jaman Kuno Desa adalah kata yang berasal dari bahasa Sansekerta, yang menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo (1984), secara ringkas berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Dalam perkembangannya kemudian, kata desa lalu diadopsi dalam bahasa Indonesia, yang artinya menjadi kurang lebih adalah kawasan tempat pemukiman suatu penduduk. Sebagai suatu tempat pemukiman suatu penduduk, keberadaan desa di Bali memiliki catatan sejarah yang sangat panjang. Walaupun kapan persisnya desa-desa di Bali Mulai terbentuk, tidak ada catatan yang pasti. Namun demikian, dari cerita-cerita di babad yang ditulis di lontar dalam huruf Jawa Kuno, desa-desa di Bali sebenarnya sudah mulai berkembang sejak abad VIII. Ini terutama terjadi sejak seorang Maharesi dari Jawa bernama Markandya berimigrasi atau datang ke Bali bersama ratusan pengikutnya untuk memulai suatu kehidupan baru dengan membentuk desa-desa di sana. Dalam Babad Markandya Purana yang sudah diterjemahkan oleh Surpha (2004: 7-8), misalnya, disebutkan antara lain: “Seorang Maharesi bernama Maharsi Markandya pada mulanya bertapa di Gunung Raung (Jawa Timur), pergi ke Bali bersama delapan ribu pengikutnya dengan maksud membuka hutan yang akan dijadikan ladang pertanian dan desa tempat pemukimannya. Mereka mula-mula tiba di Desa Taro (yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar). Di sana pekerjaan merabas hutan mulai dilakukan akan tetapi pekerjaannya tidak berhasil oleh karena banyak di antara para pengikut Maharsi Markandya ini yang menderita sakit, diserang binatang buas dan sebagainya, yang sekalian menyebabkan kematiannya. Beliau kemudian kembali ke Gunung Raung untuk beberapa waktu lamanya dan kemudian berangkat kembali ke Bali bersama-sama empat ribu orang pengiringnya.
    [Show full text]
  • Kerajaan Majapahit Bali”: Dinamika Puri Dalam Pusaran Politik Identitas Kontemporer
    Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 4, No. 1, 2019, hlm. 3-14 WACANA “KERAJAAN MAJAPAHIT BALI”: DINAMIKA PURI DALAM PUSARAN POLITIK IDENTITAS KONTEMPORER I Putu Gede Suwitha Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Denpasar - Indonesia Alamat korespondensi: [email protected] Diterima/Received: 10 Agustus 2018; Direvisi/Revised: 17 Januari 2019; Disetujui/Accepted: 14 Maret 2019 Abstract This study discusses the transformation of the identity of the contemporary Balinese community and the dynamics of palaces (puri) in the political rotation based on discursive development of the “Bali Majapahit Kingdom”. The discourse can be observed from the local newspapers in Bali such as Bali Post, Tokoh, and so forth. The discourse of the “Bali Majapahit Kingdom” inspired by the Majapahit kingdom as the image. The historical method applied in this study. The data were analyzed descriptively-qualitatively using historical analysis. The result of the study shows that the discourse of the “Bali Majapahit Kingdom” has been thrown by a central figure named Aryawedakarna for his political interest. He has smartly used the Majapahit kingdom and the resurgence of Hinduism as the inspiration to establish the image as a royal figure. Actually, what he has done is the political identity and was successfully appointed a member of the Regional Representative Council [Dewan Perwakilan Daerah] with more or less 200,000 votes in the 2014 election. Keywords: Politic of Identity; Dynamic of Palaces; Politic of Image. Abstrak Kajian ini membahas perubahan identitas masyarakat Bali Kontemporer, khususnya perkembangan puri dalam pusaran politik dengan mengikuti perkembangan wacana “Kerajaan Majapahit Bali”. Wacana ini dapat diamati lewat media pers di Bali khususnya koran Bali Post, Tokoh, dan beberapa koran lainnya.
    [Show full text]
  • Henk Schulte Nordholt
    O r ig in , D e s c e n t , a n d D e s t r u c t io n T e x t a n d C o n t e x t in B a l in e s e R epresentations o f t h e P a s t Henk Schulte Nordholt —Dedicated to the memory of Tu Aji Sangka— "It does not matter whether the world is conceived to be real or only imagined; the manner of making sense of it is the same." (H. White)* 1 History, Literature, and Society There are in Balinese literature no separate genres called "history" and "fiction." Conse­ quently the distinction between true stories and (false) fantasies makes little sense, "since texts which are not considered 'true' are 'lies'."2 The absence of "history" as a genre does, An earlier version of this paper was presented at the conference on "Artistic Representation in Social Action: The Case of Bali/' held at Princeton, July 8-13,1991, which was financed by the US National Endowment for the Humanities and the Wenner-Gren Foundation. The research upon which the paper is based was conducted in 1982/83 and 1989. It was sponsored by LIPI and the Universitas Udayana in Denpasar, and financed by the Programme of Indonesian Studies (Jakarta/Leiden), the Netherlands Foundation for the Advancement of Tropical Research, and the Faculty of Social Sciences of the University of Amsterdam. The sections dealing with the Babad Mengwi are based upon a paper presented at the "7th European Colloquium on Indonesian and Malay Studies" in Bern, June 1989.1 would like to thank Hildred Geertz, Jean-Francois Guermonprez, Hedi Hinzler, Raechelle Rubinstein, Adrian Vickers, Margaret Wiener, and Peter Worsley for their stimulating comments on the conference paper.
    [Show full text]
  • Babad Dalem Sukawati and Geguritan Babad Dalem Sukawati
    1 BABAD DALEM SUKAWATI DAN GEGURITAN BABAD DALEM SUKAWATI: ANALISIS RESEPSI I Putu Eka Suantara Program Studi Sastra Bali FS Unud Abstract: The research of “Babad Dalem Sukawati and Geguritan Babad Dalem Sukawati: Analysis Reception” aims to describe the narrative elements of Babad Dalem Sukawati and how Babad Dalem Sukawati was receipted in Geguritan Babad Dalem Sukawati. The theory applied in the present research was the structural theory proposed by Teew (1984), supported by Sutrisno (1983), Luxemburg (1984), Hutagalung (1975), and Pradotokusumo (1986). The theory referred to the concept which was related to the structure of belles-lettres. To analyze Babad Dalem Sukawati receipted in Geguritan Babad Dalem Sukawati the writer implemented the reception approach referring to the opinion of Junus (1985), Fokkema (1977), and Suwardi (1979). Script reading method was used in the data collecting stage and was supported with retroactive and translating techniques which was continued by holding interview method supported with noting technique. The analysis stage applied hermeneutic and qualitative methods with descriptive-analytical technique. The analysis results were presented by formal and informal methods supported with deductive and inductive techniques, then the comparing method was used supported with tabulating technique. The result gained in the present study of Babad Dalem Sukawati and Geguritan Babad Dalem Sukawati was the existence of the formation structure. The formation method includes the plots, the settings, the characters and characterizations, the theme, and the values. Babad Dalem Sukawati that was receipted in Geguritan Babad Dalem Sukawati was regarded to the realtions between those two scripts, the relations intended were the relations the plots, the settings, the characters and characterizations, the theme, and the values.
    [Show full text]
  • Kan Antara Orang Nusa Penida Dan Bali Daratan
    TESIS ORANG BALI YANG LAIN Proses Saling Me-“liyan”-kan Antara Orang Nusa Penida dan Bali Daratan Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Disusun Oleh : I Dewa Nyoman Ketha Sudhiatmika 06 6322 007 PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010 i ii iii iv v KATA PENGANTAR Seorang kawan pernah berkata kalau saya hanya numpang lahir di Nusa Penida dan memang benar demikian adanya. Saya tidak pernah benar-benar bertanah air di pulau kecil itu, saya besar, mendapat pendidikan dan menghabiskan sebagian besar hidup saya di Bali daratan. Akan tetapi saya tetap memiliki hubungan yang tak terkatakan dengan Nusa Penida, saya selalu merasa kalau saya tidak pernah benar- benar menjadi orang Bali daratan, saya selalu dan tetap orang Nusa Penida. Ketika akhirnya saya memutuskan untuk menulis tentang Nusa Penida, saya tidak pernah menyangka akan sampai di titik ini, di titik dimana saya menemukan banyak hal mencengangkan dalam hubungan antara Nusa Penida dan Bali daratan. Penelitian ini mengantarkan saya sampai ke Gedong Kirtya, Singaraja. Teks mengenai sejarah Bali tersebar acak di tempat tersebut, mulai dari yang belum mengalamai proses transliterasi sampai yang telah di gandakan dalam bentuk buku sederhana. Saya menemukan sampai tiga Babad Dalem yang ditulis dengan perspektif yang berbeda. Kesulitan pertama adalah memilah Babad Dalem versi mana yang mesti saya gunakan. Kesulitan awal ini mengantarkan saya bertemu dengan Gus Tut Akah yang kemudian memberikan teks Babad Usana Bali Pulina. Teks inilah yang saya pakai sebagai teks utama untuk menyusuri sejarah Bali. Melalui Gus Tut Akah saya menemukan jalan untuk bertemu dengan Dewa Catra, seorang ahli lontar yang vi sering tergabung dalam proyek alih aksara lontar dan mendapatkan banyak kisah mengenai Bali daratan dan Nusa Penida.
    [Show full text]
  • Ontology-Based Approach for Klungkung Royal Family
    Jurnal Elektronik Ilmu Komputer Udayana p-ISSN: 2301-5373 Volume 8, No 4. May 2020 e-ISSN: 2654-5101 Ontology-Based Approach for Klungkung Royal Family Putu Ryan Ganeswara1 , Cokorda Rai Adi Pramartha2 1. Department of Computer Science, Faculty of Mathematics and Natural Science, Udayana University E-mail : [email protected] 1, dan [email protected] 2 Abstract Kawitan genealogies form to strengthen family relations by staying in line with their ties. Today, there are many Balinese Hindu searches their heritance. This due to no explicit documentation about the family tree and the Balinese Hindu relies on people memories. To overcome this problem, we develop the ontology of the Family Tree Naritan Kawarya Narem Dalem Benculuk Tegeh Kori with Forward Chaining and Backward Chaining Search Method can overcome problems related to marriage lineage. By using the structured data in the form of an ontology, the computer agents and human will be able to find information related to their genealogy easily, so that there are no more people who are confused with their heritance. The ontology evaluation was conducted on the Nararya Dalem Benculuk Tegeh Kori's family tree. The initial result gave positive feedback toward further development of this ontology. Keywords : Ontology, Family Tree, Methontology I. INTRODUCTION The Balinese kingdom is the term for a series of Hindu-Buddhist kingdoms that had ruled in Bali, in the Lesser Sunda Islands, Indonesia. The kingdoms are divided into several periods according to the dynasty that ruled at that time. With the history of the original Balinese kingdom stretching from the beginning of the 10th century to the beginning of the 20th century, the Balinese kingdom exhibits a sophisticated Balinese palace culture where the elements of spirit and ancestor respect are combined with Hindu influences, adopted from India through ancient Javanese intermediaries , developing, enriching and shaping Balinese culture.
    [Show full text]
  • Downloaded from Brill.Com09/26/2021 12:35:04AM Via Free Access 280 Hägerdal
    Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 172 (2016) 279–309 bki brill.com/bki Expansion in the Shadow of the Company* Concurrent Representations of Karangasem Hans Hägerdal Associate Professor in History, School of Cultural Sciences, Linnaeus University [email protected] Abstract The focus of this article is the political expansion of Karangasem, one of the micro- states of Bali, in the second half of the eighteenth century. The Karangasem leadership was able to expand into Lombok and large parts of northern and central Bali, while gen- erally avoiding confrontation with the Dutch East India Company. They encountered a range of ethnic groups and endeavoured to play out the Dutch and the British inter- ests against each other. In spite of its regional importance, prior to 1800 Karangasem is poorly documented. The article explores ways of reading different categories of Euro- pean and indigenous sources against each other. Although fragmentary, they yield information about strategic concerns, economic underpinnings of expansion, ethnic- ity, and cultural and ritual issues. A combination of internal and external factors, including Dutch policies in the East Indies, enabled Karangasem to pursue a successful political expansion in the shadow of the Company. Keywords history – Bali – Karangasem – Lombok – voc – babad Introduction ‘What to do with these capricious princes?’ Thus complained an official of the Vereenigde Oost-Indische Compagnie (Dutch East India Company; hereafter * Research for this article was carried out with funding from Concurrences (Linnaeus Univer- sity Centre for Colonial and Postcolonial Studies). © hans hägerdal, 2016 | doi: 10.1163/22134379-17201021 This is an open access article distributed under the terms of the Creative Commons Attribution-Noncommercial 3.0 Unported (cc-by-nc 3.0) License.
    [Show full text]
  • Sebuah Kajian Pustaka
    International Research Journal of Management, IT & Social Sciences Available online at https://sloap.org/journals/index.php/irjmis/ Vol. 3 No. 5, May 2016, pages: 48~58 ISSN: 2395-7492 https://sloap.org/journals/index.php/irjmis/article/view/366 Islamic Society Diaspora of Bugis Descent in Bali I Putu Gede Suwitha a Article history: Abstract Received: 10 February 2016 Diaspora Islamic Society of Bugis descent in Bali has long played a role, Accepted: 30 March 2016 especially in the political and economic fields. Their presence has historically Published: 31 May 2016 never to be an issue, due to a political entity that became a patron. Besides that, the cultural exchanges in various activities have been made inter-ethnic relations and more collaborative than competitive. This study was wanted to Keywords: express how diaspora was formed in Bali island of Hindu society. Similarly, the development of Islam Bugis and how the relationship between diaspora Diaspora; Bugis. The results of this study that showed in addition to Bugis diaspora Identity; demonstrate their role, as well as in their diasporic make adjustments and Marginality; establish a new identity. The identity was a diaspora community needs. Public Multicultural; spaces have been built and part of a multicultural society and mem blow Subaltern; values up to the Balinese people, recently, the Bugis community in a state of marginalized (subaltern). 2395-7492© Copyright 2016. The Author. This is an open-access article under the CC BY-SA license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) All rights reserved. Author correspondence: I Putu Gede Suwitha, Udayana University Denpasar, Bali - Indonesia, Email address: [email protected] 1.
    [Show full text]