D 902008104 BAB III.Pdf

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

D 902008104 BAB III.Pdf BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH Asal Mula Desa Asli di Bali • Desa di Bali Pada Jaman Kuno Desa adalah kata yang berasal dari bahasa Sansekerta, yang menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo (1984), secara ringkas berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Dalam perkembangannya kemudian, kata desa lalu diadopsi dalam bahasa Indonesia, yang artinya menjadi kurang lebih adalah kawasan tempat pemukiman suatu penduduk. Sebagai suatu tempat pemukiman suatu penduduk, keberadaan desa di Bali memiliki catatan sejarah yang sangat panjang. Walaupun kapan persisnya desa-desa di Bali Mulai terbentuk, tidak ada catatan yang pasti. Namun demikian, dari cerita-cerita di babad yang ditulis di lontar dalam huruf Jawa Kuno, desa-desa di Bali sebenarnya sudah mulai berkembang sejak abad VIII. Ini terutama terjadi sejak seorang Maharesi dari Jawa bernama Markandya berimigrasi atau datang ke Bali bersama ratusan pengikutnya untuk memulai suatu kehidupan baru dengan membentuk desa-desa di sana. Dalam Babad Markandya Purana yang sudah diterjemahkan oleh Surpha (2004: 7-8), misalnya, disebutkan antara lain: “Seorang Maharesi bernama Maharsi Markandya pada mulanya bertapa di Gunung Raung (Jawa Timur), pergi ke Bali bersama delapan ribu pengikutnya dengan maksud membuka hutan yang akan dijadikan ladang pertanian dan desa tempat pemukimannya. Mereka mula-mula tiba di Desa Taro (yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar). Di sana pekerjaan merabas hutan mulai dilakukan akan tetapi pekerjaannya tidak berhasil oleh karena banyak di antara para pengikut Maharsi Markandya ini yang menderita sakit, diserang binatang buas dan sebagainya, yang sekalian menyebabkan kematiannya. Beliau kemudian kembali ke Gunung Raung untuk beberapa waktu lamanya dan kemudian berangkat kembali ke Bali bersama-sama empat ribu orang pengiringnya. Pada kedatangannya yang kedua ini beliau tidak langsung merabas PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI hutan akan tetapi terlebih dahulu menyelenggarakan upacara keagamaan Hindu yang dinamakan Bhuta Yadnya dan menanam Pancadatu (lima jenis logam pelengkap upakara yadnya) pada suatu tempat di kakinya Gunung Agung yang sekarang dikenal dengan nama Pura Basukian di Besakih. Setelah upacara ini selesai barulah beliau beserta rombongannya menuju desa Taro dan kemudian melanjutkan pekerjaan pembukaan tanah hutan tersebut. Kali ini pekerjaannya berhasil dengan baik dan pada waktu itu juga beliau mengadakan pembagian tanah pemukiman dan tanah garapan kepada para pengiringnya. Tempat Maharsi Markandya membagi-bagikan tanah itu sekarang dikenal dengan nama Desa Puakan, yaitu disebelah utara desa Taro. Menurut cerita masyarakat setempat, nama Desa Puakan itu berasal dari kata ‘Piakan’ yang artinya pembagian dan merupakan nama yang diberikan oleh Maharsi Markandya sebagai suatu peringatan bahwa ditempat itulah pada mulanya Maharsi Markanda membagi-bagikan tanah untuk para pengikut-pengikutnya. Selanjutnya dalam kurun waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi Markandya ini menyebar dan membangun tempat-tempat pemukiman baru serta bertempat tinggal di desa-desa yang baru didirikannya itu, antara lain di desa-desa Simbaran, Cempaga, Sidatapa, Gobleg, Beratan, Tigawasa, Lampu, Trunyan, Batur, Pelaga, dan lain yang hampir semuanya terletak di daerah pegungungan”. Dari sejak saat itulah desa-desa sebagai suatu kesatuan wilayah pemukiman, mulai secara perlahan-lahan menyebar dan berkembang di Bali. Tetapi memang tujuan dari Maharsi Markandya beserta para pengikutnya bermigrasi ke Bali tidak sekedar membangun tanah-tanah pertanian dan pemukiman baru. Lebih dari itu, tujuan Maharsi Markandaya pergi ke Bali bersama para pengikutnya adalah untuk mengembangkan agama Hindu di Pulau Bali, khususnya ajaran Trisaktipaksa seperti Waisnawapaksa1 serta tatacara melakukan upacara dan upakara (bebanten) pada masyarakat Bali. Oleh karena 1 Salah satu aliran dalam ajaran Hindu yang dikembangkan pertamakali di Bali oleh Maharsi Markandya pada abad VIII. Ajaran Waisnawapaksa ini menekankan pemujaan terhadap Dewa Wisnu. Sampai sekarang jejak dari aliran ini masih ada di Bali, antara lain, tergabung dalam apa yang disebut dalam soroh atau klan keluarga Bhujangga Waisnawa. Soroh atau klan keluarga Bhujangga Waisnawa sampai sekarang mengaku bahwa leluhur mereka adalah Maharsi Markandya. 84 BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH tujuan bermigrasi ke Bali bukan semata-mata membangun pemukiman baru, tetapi terutama juga untuk menyebarkan dan mengembangkan ajaran agama Hindu, maka desa-desa baru di Bali yang dibangun sejak kedatangan Maharsi Markandya, di dalamnya selalu didirikan apa yang disebut sebagai kahyangan desa. kayangan desa adalah suatu bentuk bangunan Pura yang didirikan di wilayah suatu desa sebagai tempat bagi masyarakat desa melakukan upacara pemujaan kepada Tuhannya. Berkaitan dengan awal keberadaan kayangan desa ini, lontar Markandya Purana menyebutkan antara lain: “Sekarang oleh karena sudah banyak yang dapat merabas hutan maka Maharesi Markandya berkeinginan membangun kahyangan desa. Pada saat itu ia memberikan pengikutnya bagian tanah, semua supaya cukup pekarangan serta sawah dan ladang. Penyelenggaranya disebut ‘desa’. Desa inilah yang punya tugas kewajiban mengurus pura kahyangan desa”.2 Dengan adanya pengertian bahwa penyelenggara (upacara) di kayangan disebut desa dan desa berkewajiban mengurus pura kahyangan, maka makna dari suatu desa di Bali sejak awalnya tidak saja mengandung arti sebagai tempat pemukiman (teritorial) suatu komunitas (kesatuan masyarakat hukum), tetapi lebih dari itu kata desa itu sendiri pada mulanya juga mengandung pengertian spiritual atau kerohanian. Dalam perkembangannya sampai sekarang, keberadaan desa tidak bisa dipisahkan dengan unsur kahyangan itu, dan bahkan unsur kahyangan itu yang menjadi landasan paling utama dari keberadaan suatu desa (adat) di Bali. Jadi pada awal pembentukannya, struktur desa (asli) di Bali memiliki konstruksi sebagai kesatuan masyarakat hukum dan sekaligus juga sebagai kesatuan masyarakat kerohanian, spiritual atau religius. Sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum, desa di Bali pada waktu itu, paling tidak memiliki batas-batas wilayah hukum (adat) sendiri, yaitu apakah dalam bentuk kewilayahan fisik atau teritori adat maupun keanggotaan/warga desa, yang dalam bahasa Bali disebut 2 Lihat: Kertas Posisi Yayasan Wisnu No: 02/VII/2001. Dikutib dari: http://di antara.wisnu.or.id/v2/ID/pdf/DesaPekraman danGumi Bali.pdf 85 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI krama/kraman. Sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, desa memiliki wilayah teritori tertentu, yang sampai hari ini pun, batas- batasnya lebih banyak mengacu pada bentuk tanda-tanda alam yang berada atau melingkupi desa bersangkutan, seperti misalnya batu besar, perbukitan, sungai, areal persawahan, atau juga batas desa (adat) tetangganya (bandingkan dengan batas-batas Desa Adat/Pakraman Desa Tabola yang dibahas dalam Bab V). Selain batas teritorial, desa di Bali juga memiliki batasan keanggotaan dalam wujud kraman atau krama desa (warga desa) yang terikat dengan kesatuan adat di desa yang bersangkutan. Sejak jaman dahulu kala hingga sekarang, kesatuan adat masing-masing desa di Bali ini memiliki ciri yang berbeda-beda disamping kesamaan, meskipun kalau di lihat selintas dari luar sepertinya semuanya sama atau seragam. Terkait dengan hal ini, di Bali sampai sekarang dikenal suatu konsep yang menjadi salah satu pilar kehidupan masyarakat desa yaitu Catur Dresta. Konsep yang dari suku katanya berarti empat (catur) pandangan (dresta) ini, bagi desa adat di Bali bermakna kurang lebih “empat pandangan mengenai tatakrama pergaulan hidup yang harus dijunjung tinggi oleh masyarakat (desa)”. Unsur pertama dari Catur Dresta ini adalah purwa dresta yang berarti suatu pandangan yang berlaku sejak jaman dahulu kala dan yang secara tradisi masih berlaku hingga sekarang. Unsur kedua adalah sastra dresta, yaitu pandangan untuk pedoman mengatur kehidupan masyarakat desa yang di dasarkan pada ajaran agama Hindu. Unsur ketiga adalah loka dresta, yaitu sesuatu pandangan yang khas dari masyarakat lokal (daerah atau desa) tertentu yang bisa berbeda dari masyarakat lokal yang lain. Unsur keempat adalah desa dresta yaitu pandangan yang hanya berlaku untuk suatu masyarakat desa tertentu. Unsur yang ketiga dan keempat ini menjadi rujukan dari adanya kekhususan terkait keberadaan kraman atau krama desa dari masing- masing desa yang memiliki ciri yang berbeda-beda itu. Ditambah kenyataan yang sampai sekarang masih tetap berlaku yaitu masing- masing krama dari suatu desa (adat) tertentu di Bali terikat pada suatu hubungan kerohanian dengan kahyangan desa yang ada di desa (adat) masing-masing. Ikatan kerohanian para krama desa dengan Pura 86 BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH kahyangan desa yang ada di desa masing-masing ini dikenal dengan nama pemaksan atau kurang lebih artinya warga pura kahyangan desa. Konsep pemaksan ini sekaligus menunjukkan keberadaan desa di Bali sebagai suatu kesatuan spiritual atau kerohanian. Jadi di sini kalau sebagai kesatuan masyarakat hukum, individu di desa disebut kraman atau krama desa, maka individu di desa sebagai bagian dari kesatuan spiritual atau kerohanian disebut pemaksan pura. Dalam konteks ini, hampir bisa dipastikan bahwa setiap krama desa adalah anggota dari pamaksan pura kahyangan desa; dan begitupula sebaliknya. Dengan demikian, sejak semula, struktur desa asli di Bali dikonstruksikan sebagai sebuah kesatuan masyarakat yang mengandung dua aspek sekaligus,
Recommended publications
  • DINAMIKA KEBUDAYAAN DI KOTA GIANYAR -.:: GEOCITIES.Ws
    DINAMIKA KEBUDAYAAN DI KOTA GIANYAR : Dari Kota Keraton sampai Kota Seni, 1771 – 1980-an A.A. Bagus Wirawan Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unud Denpasar Disampaikan pada Konferensi Nasional Sejarah VIII di Jakarta 14 – 17 Nopember 2006 1. Landasan Tipologi Kota. Dalam proses sejarah, sebagian besar kota berasal dari komonitas elite bangsawan atau berkat adanya pasar. Kebutuhan ekonomi dan kebutuhan politik daerah milik seorang bangsawan dapat mendorong orang untuk melakukan perdagangan guna memenuhi permintaan yang hanya dapat terlaksana dengan bekerja ataupun dengan menukar barang. Dalam kota yang berasal dari komunitas seperti itu, barang keperluan keraton, dan istana bangsawan (puri) itu seringkali merupakan sumber pendapatan, bahkan merupakan sumber pokok bagi penduduk daerah. Apabila kondisi demikian itu merupakan konfigurasi yang berlainan dengan desa, maka wajarlah bila kota itu menjadi tempat tinggal raja, para bangsawan, baudanda bhagawanta (keraton, puri) maupun tempat pasar, bencingah, alun-alun, dan lain-lainnya (Sartono Kartodirdjo, 1977). Landasan tipologi terbentuknya kota Gianyar dan untuk memahaminya mengikuti sejarah perkembangan kota, lokasi serta ekotipenya, fungsinya, dan unsur- unsur sosio-kultural adalah menggunakan konsep dan tipe-tipe kota seperti yang terdapat di pelbagai negeri (Sartono Kartodirdjo, 1977). Akan tetapi, untuk menyoroti kota Gianyar akan dipilih tipe kota yang relevan terutama kota-kota kuno di Asia (M. Irfan Mahmud, 2003 : Bab II). Di kota-kota Asia, apa yang disebut gilde belum sepenuhnya terlepas dari ikatan kerabat seperti ikatan klan; (kewangsaan) yang sebagai suatu komunitas ingin memegang monopoli dalam suatu pertukangan serta pemasaran hasil karyanya. Dalam kegiatan tukar menukar barang, muncul pula orang-orang asing misalnya Cina atau Arab. Mengenai lokasi kota-kota dapat dikatakan bahwa kota terletak di berbagai lokasi.
    [Show full text]
  • The Gods & the Forge
    ificah International Foundation of Indonesian Culture and Asian Heritage The Gods & the Forge Balinese Ceremonial Blades The Gods & the Forge in a Cultural Context This publication is the companion volume for the exhibition of the same name at the IFICAH Museum of Asian Culture in Hollenstedt-Wohlesbostel, Germany December 2015 to October 2016. Title number IFICAH V01E © IFICAH, International Foundation of Indonesian Culture and Asian Heritage Text: Dr. Achim Weihrauch, Efringen-Kirchen, Germany Dr. Udo Kloubert, Erkrath, Germany Adni Aljunied, Singapore Photography: Günther Heckmann, Hollenstedt, Germany Printing: Digital Repro Druck GmbH, Ostfildern, Germany Layout: S&K Kommunikation, Osnabrück, Germany Editing: Kerstin Thierschmidt, Düsseldorf, Germany Image editing: Concept 33, Ostfildern, Germany Exhibition design: IFICAH Display cases: Glaserei Ahlgrim, Zeven, Germany "Tradition is not holding onto the ashes, Metallbau Stamer, Grauen, Germany Conservation care: but the passing on of the flame." Daniela Heckmann, Hollenstedt, Germany Thomas Moore (1477–1535) Translation: Comlogos, Fellbach, Germany 04 05 Foreword Summer 2015. Ketut, a native of Bali, picks me Years earlier, the fishermen had sold the land up on an ancient motorcycle. With our feet bordering the beach to Western estate agents, clad in nothing more resilient than sandals, we which meant however that they can now no ride along streets barely worthy of the name longer access the sea with their boats ... to the hinterland. We meet people from dif- ferent generations who live in impoverished It is precisely these experiences that underline conditions by western standards and who wel- the urgency of the work carried out by IFICAH – come the "giants from the West" with typi- International Foundation of Indonesian Culture cal Balinese warmth.
    [Show full text]
  • Babad Gumi 13
    CANDRASANGKALA: THE BALINESE ART OF DATING EVENTS. HANS HÄGERDAL [email protected] Department of Humanities University of Växjö Sweden 2006 1 Introduction 2 Babad Gumi 13 Babad Bhumi 42 Korn 1 74 Korn 2 93 Korn 3 100 Korn 4 105 Korn 5 113 Babad Tusan 132 Tattwa Batur Kalawasan 140 Pangrincik Babad 147 Sara Samuscaya Pakenca 156 Anjang Nirartha 164 Pasasangkalan 167 Pawawatekan 182 Postscript: Pasangkalan 198 Genealogies 201 Unpublished sources 204 Literature 206 2 INTRODUCTION Elements of Balinese historiography. History has deep roots on Bali, however one defines the word. To be more exact, Bali has a wider scope of historiographical continuity than anywhere else in Southeast Asia except for Vietnam and perhaps Burma. Pending some previous scholarly statements regarding the Balinese perception of time and the historical past, that are found in the anthropological literature about the island, such a statement may seem rather rash. However, it remains an astonishing fact. On Balinese soil historical texts were preserved and cherished; they informed ever new generations about ancient kingdoms far back in time, to the Javanese dynasties of Airlangga and Ken Angrok up to a thousand years ago. Certainly, these dynasties were mainly non-Balinese, but this is irrelevant for the self- perception of the Balinese elite groups, who found inspiration and raison d’être from tales of ancient Javanese realms. As against this, the genuinely historical memory barely goes back before the 13th century in Thailand, the 14th century in Laos and Cambodia, and the 15th century in the Malay world. Historical traditions from Java, Aceh, South Sulawesi and Maluku cease to be merely legends and start to take on a somewhat more plausible shape in about the 15th or 16th century.
    [Show full text]
  • C. Hooykaas Weda and Sisya, Rsi and Bhujangga in Present-Day Bali
    C. Hooykaas Weda and Sisya, Rsi and Bhujangga in present-day Bali In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 120 (1964), no: 2, Leiden, 231-244 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl Downloaded from Brill.com10/01/2021 11:58:09AM via free access WEDA AND SISYA, RSI AND BHUJANGGA IN PRESENT-DAY BALI or a quarter of a century we have known that weda in Bali is something "quite different from veda in India. For this Fknowledge we have to thank Dr. Goris,1 for he has explained — and this was corroborated by Sylvain Lévi 2 — that the brahmin Siwa- priest in Bali, when stating that he was engrossed in his surya-sewana, weda-parikrama or ma-weda, in reality was reciting (partly Tantric) mantra and stawa.3 To these he will add a very restricted number of lines from the beginning of the Indian veda,* but only on specific days. The veda themselves have never been found in Bali, though hundreds of texts, originating from the griya = grëha,5 priest dwellings, which deal with ritual, theology, philosophy, metaphysics etc, have been made accessible to the copyists of the Central Library of Palmleaf MSS (now Gedong Kirtya) at Singaradja.6 The brahmin priest will declare in good faith that he has knowledge of the weda and that he recites them daily in his bale pa-weda-an, his worship-pavilion. The fact of the matter is, that a research worker who has access to the Indian veda, will come to the conclusion that the Balinese use the word for something rather different.
    [Show full text]
  • Bab 1 P E N D a H U L U a N Manusia Dimulai Dari Sejak Kelahirannya
    Bab 1 P E N D A H U L U A N Manusia dimulai dari sejak kelahirannya telah dihadapkan pada berbagai macam tantangan hidup dan kehidupan. Manusia dalam kehidupannya merupakan serangkaian dari masalah-masalah, yang timbulnya bisa bersumber dari dalam diri, lingkungan alam dan sosial serta budaya, atau saling berinteraksi atau saling berhubungan dan mempengaruhi satu dengan lainnya. Setiap saat manusia akan dihadapkan kepada suatu sikap untuk bisa mengambil keputusan atau tindakan sebagai reaksi terhadap kebutuhan dan keamanan dilingkungan kehidupannya. Ergonomi Desain Pada Produk Kriya - 1 - Drs. Agus Mulyadi Utomo,M.Erg TEKNOLOGI KEAMANAN Ergonomi Desain Pada Produk Kriya - 2 - Drs. Agus Mulyadi Utomo,M.Erg Kebutuhan dasar umumnya berupa makan-minum (pangan), sandang (pakaian) dan papan (tempat tinggal), dan bila sudah terpenuhinya kebutuhan dasar bersifat jasmani-material tersebut, lalu meningkat kepada kebutuhan bersifat norma-rasa-batiniah, berupa nilai- nilai tertentu seperti identitas, kepribadian, harga diri- prestise (status-sosial-budaya), yg setiap saat juga berubah dan berkembang. Dengan menggunakan kemampuan akal, pikiran dan ketrampilannya, manusia pada akhirnya mampu mengatasi dan memecahkan berbagai masalah betapapun rumit dan peliknya, sehingga membuahkan hasil karya dan pemikiran atau ilmu yang bermanfaat ke arah tingkat kemajuan hidup yang lebih tinggi dan layak. Disamping itu tingkat kebutuhan manusia setiap saat pun selalu meningkat dan berkembang mengikuti selera zamannya. Ergonomi Desain Pada Produk Kriya - 3 - Drs. Agus Mulyadi Utomo,M.Erg Apabila kebutuhan yang bersifat pokok dan kebutuhan umum (publik) atau kolektif sudah terpenuhi. Maka level kebutuhan manusia pun semakin meningkat atau mengerucut dan menuju level kebutuhan tertinggi yang bersifat invidual, karena ego pribadinya juga semakin bersifat khusus dan khas.
    [Show full text]
  • Kerajaan Majapahit Bali”: Dinamika Puri Dalam Pusaran Politik Identitas Kontemporer
    Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 4, No. 1, 2019, hlm. 3-14 WACANA “KERAJAAN MAJAPAHIT BALI”: DINAMIKA PURI DALAM PUSARAN POLITIK IDENTITAS KONTEMPORER I Putu Gede Suwitha Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Denpasar - Indonesia Alamat korespondensi: [email protected] Diterima/Received: 10 Agustus 2018; Direvisi/Revised: 17 Januari 2019; Disetujui/Accepted: 14 Maret 2019 Abstract This study discusses the transformation of the identity of the contemporary Balinese community and the dynamics of palaces (puri) in the political rotation based on discursive development of the “Bali Majapahit Kingdom”. The discourse can be observed from the local newspapers in Bali such as Bali Post, Tokoh, and so forth. The discourse of the “Bali Majapahit Kingdom” inspired by the Majapahit kingdom as the image. The historical method applied in this study. The data were analyzed descriptively-qualitatively using historical analysis. The result of the study shows that the discourse of the “Bali Majapahit Kingdom” has been thrown by a central figure named Aryawedakarna for his political interest. He has smartly used the Majapahit kingdom and the resurgence of Hinduism as the inspiration to establish the image as a royal figure. Actually, what he has done is the political identity and was successfully appointed a member of the Regional Representative Council [Dewan Perwakilan Daerah] with more or less 200,000 votes in the 2014 election. Keywords: Politic of Identity; Dynamic of Palaces; Politic of Image. Abstrak Kajian ini membahas perubahan identitas masyarakat Bali Kontemporer, khususnya perkembangan puri dalam pusaran politik dengan mengikuti perkembangan wacana “Kerajaan Majapahit Bali”. Wacana ini dapat diamati lewat media pers di Bali khususnya koran Bali Post, Tokoh, dan beberapa koran lainnya.
    [Show full text]
  • Henk Schulte Nordholt
    O r ig in , D e s c e n t , a n d D e s t r u c t io n T e x t a n d C o n t e x t in B a l in e s e R epresentations o f t h e P a s t Henk Schulte Nordholt —Dedicated to the memory of Tu Aji Sangka— "It does not matter whether the world is conceived to be real or only imagined; the manner of making sense of it is the same." (H. White)* 1 History, Literature, and Society There are in Balinese literature no separate genres called "history" and "fiction." Conse­ quently the distinction between true stories and (false) fantasies makes little sense, "since texts which are not considered 'true' are 'lies'."2 The absence of "history" as a genre does, An earlier version of this paper was presented at the conference on "Artistic Representation in Social Action: The Case of Bali/' held at Princeton, July 8-13,1991, which was financed by the US National Endowment for the Humanities and the Wenner-Gren Foundation. The research upon which the paper is based was conducted in 1982/83 and 1989. It was sponsored by LIPI and the Universitas Udayana in Denpasar, and financed by the Programme of Indonesian Studies (Jakarta/Leiden), the Netherlands Foundation for the Advancement of Tropical Research, and the Faculty of Social Sciences of the University of Amsterdam. The sections dealing with the Babad Mengwi are based upon a paper presented at the "7th European Colloquium on Indonesian and Malay Studies" in Bern, June 1989.1 would like to thank Hildred Geertz, Jean-Francois Guermonprez, Hedi Hinzler, Raechelle Rubinstein, Adrian Vickers, Margaret Wiener, and Peter Worsley for their stimulating comments on the conference paper.
    [Show full text]
  • Babad Dalem Sukawati and Geguritan Babad Dalem Sukawati
    1 BABAD DALEM SUKAWATI DAN GEGURITAN BABAD DALEM SUKAWATI: ANALISIS RESEPSI I Putu Eka Suantara Program Studi Sastra Bali FS Unud Abstract: The research of “Babad Dalem Sukawati and Geguritan Babad Dalem Sukawati: Analysis Reception” aims to describe the narrative elements of Babad Dalem Sukawati and how Babad Dalem Sukawati was receipted in Geguritan Babad Dalem Sukawati. The theory applied in the present research was the structural theory proposed by Teew (1984), supported by Sutrisno (1983), Luxemburg (1984), Hutagalung (1975), and Pradotokusumo (1986). The theory referred to the concept which was related to the structure of belles-lettres. To analyze Babad Dalem Sukawati receipted in Geguritan Babad Dalem Sukawati the writer implemented the reception approach referring to the opinion of Junus (1985), Fokkema (1977), and Suwardi (1979). Script reading method was used in the data collecting stage and was supported with retroactive and translating techniques which was continued by holding interview method supported with noting technique. The analysis stage applied hermeneutic and qualitative methods with descriptive-analytical technique. The analysis results were presented by formal and informal methods supported with deductive and inductive techniques, then the comparing method was used supported with tabulating technique. The result gained in the present study of Babad Dalem Sukawati and Geguritan Babad Dalem Sukawati was the existence of the formation structure. The formation method includes the plots, the settings, the characters and characterizations, the theme, and the values. Babad Dalem Sukawati that was receipted in Geguritan Babad Dalem Sukawati was regarded to the realtions between those two scripts, the relations intended were the relations the plots, the settings, the characters and characterizations, the theme, and the values.
    [Show full text]
  • Kan Antara Orang Nusa Penida Dan Bali Daratan
    TESIS ORANG BALI YANG LAIN Proses Saling Me-“liyan”-kan Antara Orang Nusa Penida dan Bali Daratan Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Disusun Oleh : I Dewa Nyoman Ketha Sudhiatmika 06 6322 007 PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010 i ii iii iv v KATA PENGANTAR Seorang kawan pernah berkata kalau saya hanya numpang lahir di Nusa Penida dan memang benar demikian adanya. Saya tidak pernah benar-benar bertanah air di pulau kecil itu, saya besar, mendapat pendidikan dan menghabiskan sebagian besar hidup saya di Bali daratan. Akan tetapi saya tetap memiliki hubungan yang tak terkatakan dengan Nusa Penida, saya selalu merasa kalau saya tidak pernah benar- benar menjadi orang Bali daratan, saya selalu dan tetap orang Nusa Penida. Ketika akhirnya saya memutuskan untuk menulis tentang Nusa Penida, saya tidak pernah menyangka akan sampai di titik ini, di titik dimana saya menemukan banyak hal mencengangkan dalam hubungan antara Nusa Penida dan Bali daratan. Penelitian ini mengantarkan saya sampai ke Gedong Kirtya, Singaraja. Teks mengenai sejarah Bali tersebar acak di tempat tersebut, mulai dari yang belum mengalamai proses transliterasi sampai yang telah di gandakan dalam bentuk buku sederhana. Saya menemukan sampai tiga Babad Dalem yang ditulis dengan perspektif yang berbeda. Kesulitan pertama adalah memilah Babad Dalem versi mana yang mesti saya gunakan. Kesulitan awal ini mengantarkan saya bertemu dengan Gus Tut Akah yang kemudian memberikan teks Babad Usana Bali Pulina. Teks inilah yang saya pakai sebagai teks utama untuk menyusuri sejarah Bali. Melalui Gus Tut Akah saya menemukan jalan untuk bertemu dengan Dewa Catra, seorang ahli lontar yang vi sering tergabung dalam proyek alih aksara lontar dan mendapatkan banyak kisah mengenai Bali daratan dan Nusa Penida.
    [Show full text]
  • Ontology-Based Approach for Klungkung Royal Family
    Jurnal Elektronik Ilmu Komputer Udayana p-ISSN: 2301-5373 Volume 8, No 4. May 2020 e-ISSN: 2654-5101 Ontology-Based Approach for Klungkung Royal Family Putu Ryan Ganeswara1 , Cokorda Rai Adi Pramartha2 1. Department of Computer Science, Faculty of Mathematics and Natural Science, Udayana University E-mail : [email protected] 1, dan [email protected] 2 Abstract Kawitan genealogies form to strengthen family relations by staying in line with their ties. Today, there are many Balinese Hindu searches their heritance. This due to no explicit documentation about the family tree and the Balinese Hindu relies on people memories. To overcome this problem, we develop the ontology of the Family Tree Naritan Kawarya Narem Dalem Benculuk Tegeh Kori with Forward Chaining and Backward Chaining Search Method can overcome problems related to marriage lineage. By using the structured data in the form of an ontology, the computer agents and human will be able to find information related to their genealogy easily, so that there are no more people who are confused with their heritance. The ontology evaluation was conducted on the Nararya Dalem Benculuk Tegeh Kori's family tree. The initial result gave positive feedback toward further development of this ontology. Keywords : Ontology, Family Tree, Methontology I. INTRODUCTION The Balinese kingdom is the term for a series of Hindu-Buddhist kingdoms that had ruled in Bali, in the Lesser Sunda Islands, Indonesia. The kingdoms are divided into several periods according to the dynasty that ruled at that time. With the history of the original Balinese kingdom stretching from the beginning of the 10th century to the beginning of the 20th century, the Balinese kingdom exhibits a sophisticated Balinese palace culture where the elements of spirit and ancestor respect are combined with Hindu influences, adopted from India through ancient Javanese intermediaries , developing, enriching and shaping Balinese culture.
    [Show full text]
  • Downloaded from Brill.Com09/26/2021 12:35:04AM Via Free Access 280 Hägerdal
    Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 172 (2016) 279–309 bki brill.com/bki Expansion in the Shadow of the Company* Concurrent Representations of Karangasem Hans Hägerdal Associate Professor in History, School of Cultural Sciences, Linnaeus University [email protected] Abstract The focus of this article is the political expansion of Karangasem, one of the micro- states of Bali, in the second half of the eighteenth century. The Karangasem leadership was able to expand into Lombok and large parts of northern and central Bali, while gen- erally avoiding confrontation with the Dutch East India Company. They encountered a range of ethnic groups and endeavoured to play out the Dutch and the British inter- ests against each other. In spite of its regional importance, prior to 1800 Karangasem is poorly documented. The article explores ways of reading different categories of Euro- pean and indigenous sources against each other. Although fragmentary, they yield information about strategic concerns, economic underpinnings of expansion, ethnic- ity, and cultural and ritual issues. A combination of internal and external factors, including Dutch policies in the East Indies, enabled Karangasem to pursue a successful political expansion in the shadow of the Company. Keywords history – Bali – Karangasem – Lombok – voc – babad Introduction ‘What to do with these capricious princes?’ Thus complained an official of the Vereenigde Oost-Indische Compagnie (Dutch East India Company; hereafter * Research for this article was carried out with funding from Concurrences (Linnaeus Univer- sity Centre for Colonial and Postcolonial Studies). © hans hägerdal, 2016 | doi: 10.1163/22134379-17201021 This is an open access article distributed under the terms of the Creative Commons Attribution-Noncommercial 3.0 Unported (cc-by-nc 3.0) License.
    [Show full text]
  • Sebuah Kajian Pustaka
    International Research Journal of Management, IT & Social Sciences Available online at https://sloap.org/journals/index.php/irjmis/ Vol. 3 No. 5, May 2016, pages: 48~58 ISSN: 2395-7492 https://sloap.org/journals/index.php/irjmis/article/view/366 Islamic Society Diaspora of Bugis Descent in Bali I Putu Gede Suwitha a Article history: Abstract Received: 10 February 2016 Diaspora Islamic Society of Bugis descent in Bali has long played a role, Accepted: 30 March 2016 especially in the political and economic fields. Their presence has historically Published: 31 May 2016 never to be an issue, due to a political entity that became a patron. Besides that, the cultural exchanges in various activities have been made inter-ethnic relations and more collaborative than competitive. This study was wanted to Keywords: express how diaspora was formed in Bali island of Hindu society. Similarly, the development of Islam Bugis and how the relationship between diaspora Diaspora; Bugis. The results of this study that showed in addition to Bugis diaspora Identity; demonstrate their role, as well as in their diasporic make adjustments and Marginality; establish a new identity. The identity was a diaspora community needs. Public Multicultural; spaces have been built and part of a multicultural society and mem blow Subaltern; values up to the Balinese people, recently, the Bugis community in a state of marginalized (subaltern). 2395-7492© Copyright 2016. The Author. This is an open-access article under the CC BY-SA license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) All rights reserved. Author correspondence: I Putu Gede Suwitha, Udayana University Denpasar, Bali - Indonesia, Email address: [email protected] 1.
    [Show full text]