D 902008104 BAB III.Pdf
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH Asal Mula Desa Asli di Bali • Desa di Bali Pada Jaman Kuno Desa adalah kata yang berasal dari bahasa Sansekerta, yang menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo (1984), secara ringkas berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Dalam perkembangannya kemudian, kata desa lalu diadopsi dalam bahasa Indonesia, yang artinya menjadi kurang lebih adalah kawasan tempat pemukiman suatu penduduk. Sebagai suatu tempat pemukiman suatu penduduk, keberadaan desa di Bali memiliki catatan sejarah yang sangat panjang. Walaupun kapan persisnya desa-desa di Bali Mulai terbentuk, tidak ada catatan yang pasti. Namun demikian, dari cerita-cerita di babad yang ditulis di lontar dalam huruf Jawa Kuno, desa-desa di Bali sebenarnya sudah mulai berkembang sejak abad VIII. Ini terutama terjadi sejak seorang Maharesi dari Jawa bernama Markandya berimigrasi atau datang ke Bali bersama ratusan pengikutnya untuk memulai suatu kehidupan baru dengan membentuk desa-desa di sana. Dalam Babad Markandya Purana yang sudah diterjemahkan oleh Surpha (2004: 7-8), misalnya, disebutkan antara lain: “Seorang Maharesi bernama Maharsi Markandya pada mulanya bertapa di Gunung Raung (Jawa Timur), pergi ke Bali bersama delapan ribu pengikutnya dengan maksud membuka hutan yang akan dijadikan ladang pertanian dan desa tempat pemukimannya. Mereka mula-mula tiba di Desa Taro (yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar). Di sana pekerjaan merabas hutan mulai dilakukan akan tetapi pekerjaannya tidak berhasil oleh karena banyak di antara para pengikut Maharsi Markandya ini yang menderita sakit, diserang binatang buas dan sebagainya, yang sekalian menyebabkan kematiannya. Beliau kemudian kembali ke Gunung Raung untuk beberapa waktu lamanya dan kemudian berangkat kembali ke Bali bersama-sama empat ribu orang pengiringnya. Pada kedatangannya yang kedua ini beliau tidak langsung merabas PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI hutan akan tetapi terlebih dahulu menyelenggarakan upacara keagamaan Hindu yang dinamakan Bhuta Yadnya dan menanam Pancadatu (lima jenis logam pelengkap upakara yadnya) pada suatu tempat di kakinya Gunung Agung yang sekarang dikenal dengan nama Pura Basukian di Besakih. Setelah upacara ini selesai barulah beliau beserta rombongannya menuju desa Taro dan kemudian melanjutkan pekerjaan pembukaan tanah hutan tersebut. Kali ini pekerjaannya berhasil dengan baik dan pada waktu itu juga beliau mengadakan pembagian tanah pemukiman dan tanah garapan kepada para pengiringnya. Tempat Maharsi Markandya membagi-bagikan tanah itu sekarang dikenal dengan nama Desa Puakan, yaitu disebelah utara desa Taro. Menurut cerita masyarakat setempat, nama Desa Puakan itu berasal dari kata ‘Piakan’ yang artinya pembagian dan merupakan nama yang diberikan oleh Maharsi Markandya sebagai suatu peringatan bahwa ditempat itulah pada mulanya Maharsi Markanda membagi-bagikan tanah untuk para pengikut-pengikutnya. Selanjutnya dalam kurun waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi Markandya ini menyebar dan membangun tempat-tempat pemukiman baru serta bertempat tinggal di desa-desa yang baru didirikannya itu, antara lain di desa-desa Simbaran, Cempaga, Sidatapa, Gobleg, Beratan, Tigawasa, Lampu, Trunyan, Batur, Pelaga, dan lain yang hampir semuanya terletak di daerah pegungungan”. Dari sejak saat itulah desa-desa sebagai suatu kesatuan wilayah pemukiman, mulai secara perlahan-lahan menyebar dan berkembang di Bali. Tetapi memang tujuan dari Maharsi Markandya beserta para pengikutnya bermigrasi ke Bali tidak sekedar membangun tanah-tanah pertanian dan pemukiman baru. Lebih dari itu, tujuan Maharsi Markandaya pergi ke Bali bersama para pengikutnya adalah untuk mengembangkan agama Hindu di Pulau Bali, khususnya ajaran Trisaktipaksa seperti Waisnawapaksa1 serta tatacara melakukan upacara dan upakara (bebanten) pada masyarakat Bali. Oleh karena 1 Salah satu aliran dalam ajaran Hindu yang dikembangkan pertamakali di Bali oleh Maharsi Markandya pada abad VIII. Ajaran Waisnawapaksa ini menekankan pemujaan terhadap Dewa Wisnu. Sampai sekarang jejak dari aliran ini masih ada di Bali, antara lain, tergabung dalam apa yang disebut dalam soroh atau klan keluarga Bhujangga Waisnawa. Soroh atau klan keluarga Bhujangga Waisnawa sampai sekarang mengaku bahwa leluhur mereka adalah Maharsi Markandya. 84 BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH tujuan bermigrasi ke Bali bukan semata-mata membangun pemukiman baru, tetapi terutama juga untuk menyebarkan dan mengembangkan ajaran agama Hindu, maka desa-desa baru di Bali yang dibangun sejak kedatangan Maharsi Markandya, di dalamnya selalu didirikan apa yang disebut sebagai kahyangan desa. kayangan desa adalah suatu bentuk bangunan Pura yang didirikan di wilayah suatu desa sebagai tempat bagi masyarakat desa melakukan upacara pemujaan kepada Tuhannya. Berkaitan dengan awal keberadaan kayangan desa ini, lontar Markandya Purana menyebutkan antara lain: “Sekarang oleh karena sudah banyak yang dapat merabas hutan maka Maharesi Markandya berkeinginan membangun kahyangan desa. Pada saat itu ia memberikan pengikutnya bagian tanah, semua supaya cukup pekarangan serta sawah dan ladang. Penyelenggaranya disebut ‘desa’. Desa inilah yang punya tugas kewajiban mengurus pura kahyangan desa”.2 Dengan adanya pengertian bahwa penyelenggara (upacara) di kayangan disebut desa dan desa berkewajiban mengurus pura kahyangan, maka makna dari suatu desa di Bali sejak awalnya tidak saja mengandung arti sebagai tempat pemukiman (teritorial) suatu komunitas (kesatuan masyarakat hukum), tetapi lebih dari itu kata desa itu sendiri pada mulanya juga mengandung pengertian spiritual atau kerohanian. Dalam perkembangannya sampai sekarang, keberadaan desa tidak bisa dipisahkan dengan unsur kahyangan itu, dan bahkan unsur kahyangan itu yang menjadi landasan paling utama dari keberadaan suatu desa (adat) di Bali. Jadi pada awal pembentukannya, struktur desa (asli) di Bali memiliki konstruksi sebagai kesatuan masyarakat hukum dan sekaligus juga sebagai kesatuan masyarakat kerohanian, spiritual atau religius. Sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum, desa di Bali pada waktu itu, paling tidak memiliki batas-batas wilayah hukum (adat) sendiri, yaitu apakah dalam bentuk kewilayahan fisik atau teritori adat maupun keanggotaan/warga desa, yang dalam bahasa Bali disebut 2 Lihat: Kertas Posisi Yayasan Wisnu No: 02/VII/2001. Dikutib dari: http://di antara.wisnu.or.id/v2/ID/pdf/DesaPekraman danGumi Bali.pdf 85 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI krama/kraman. Sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, desa memiliki wilayah teritori tertentu, yang sampai hari ini pun, batas- batasnya lebih banyak mengacu pada bentuk tanda-tanda alam yang berada atau melingkupi desa bersangkutan, seperti misalnya batu besar, perbukitan, sungai, areal persawahan, atau juga batas desa (adat) tetangganya (bandingkan dengan batas-batas Desa Adat/Pakraman Desa Tabola yang dibahas dalam Bab V). Selain batas teritorial, desa di Bali juga memiliki batasan keanggotaan dalam wujud kraman atau krama desa (warga desa) yang terikat dengan kesatuan adat di desa yang bersangkutan. Sejak jaman dahulu kala hingga sekarang, kesatuan adat masing-masing desa di Bali ini memiliki ciri yang berbeda-beda disamping kesamaan, meskipun kalau di lihat selintas dari luar sepertinya semuanya sama atau seragam. Terkait dengan hal ini, di Bali sampai sekarang dikenal suatu konsep yang menjadi salah satu pilar kehidupan masyarakat desa yaitu Catur Dresta. Konsep yang dari suku katanya berarti empat (catur) pandangan (dresta) ini, bagi desa adat di Bali bermakna kurang lebih “empat pandangan mengenai tatakrama pergaulan hidup yang harus dijunjung tinggi oleh masyarakat (desa)”. Unsur pertama dari Catur Dresta ini adalah purwa dresta yang berarti suatu pandangan yang berlaku sejak jaman dahulu kala dan yang secara tradisi masih berlaku hingga sekarang. Unsur kedua adalah sastra dresta, yaitu pandangan untuk pedoman mengatur kehidupan masyarakat desa yang di dasarkan pada ajaran agama Hindu. Unsur ketiga adalah loka dresta, yaitu sesuatu pandangan yang khas dari masyarakat lokal (daerah atau desa) tertentu yang bisa berbeda dari masyarakat lokal yang lain. Unsur keempat adalah desa dresta yaitu pandangan yang hanya berlaku untuk suatu masyarakat desa tertentu. Unsur yang ketiga dan keempat ini menjadi rujukan dari adanya kekhususan terkait keberadaan kraman atau krama desa dari masing- masing desa yang memiliki ciri yang berbeda-beda itu. Ditambah kenyataan yang sampai sekarang masih tetap berlaku yaitu masing- masing krama dari suatu desa (adat) tertentu di Bali terikat pada suatu hubungan kerohanian dengan kahyangan desa yang ada di desa (adat) masing-masing. Ikatan kerohanian para krama desa dengan Pura 86 BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH kahyangan desa yang ada di desa masing-masing ini dikenal dengan nama pemaksan atau kurang lebih artinya warga pura kahyangan desa. Konsep pemaksan ini sekaligus menunjukkan keberadaan desa di Bali sebagai suatu kesatuan spiritual atau kerohanian. Jadi di sini kalau sebagai kesatuan masyarakat hukum, individu di desa disebut kraman atau krama desa, maka individu di desa sebagai bagian dari kesatuan spiritual atau kerohanian disebut pemaksan pura. Dalam konteks ini, hampir bisa dipastikan bahwa setiap krama desa adalah anggota dari pamaksan pura kahyangan desa; dan begitupula sebaliknya. Dengan demikian, sejak semula, struktur desa asli di Bali dikonstruksikan sebagai sebuah kesatuan masyarakat yang mengandung dua aspek sekaligus,