Kan Antara Orang Nusa Penida Dan Bali Daratan

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Kan Antara Orang Nusa Penida Dan Bali Daratan TESIS ORANG BALI YANG LAIN Proses Saling Me-“liyan”-kan Antara Orang Nusa Penida dan Bali Daratan Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Disusun Oleh : I Dewa Nyoman Ketha Sudhiatmika 06 6322 007 PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010 i ii iii iv v KATA PENGANTAR Seorang kawan pernah berkata kalau saya hanya numpang lahir di Nusa Penida dan memang benar demikian adanya. Saya tidak pernah benar-benar bertanah air di pulau kecil itu, saya besar, mendapat pendidikan dan menghabiskan sebagian besar hidup saya di Bali daratan. Akan tetapi saya tetap memiliki hubungan yang tak terkatakan dengan Nusa Penida, saya selalu merasa kalau saya tidak pernah benar- benar menjadi orang Bali daratan, saya selalu dan tetap orang Nusa Penida. Ketika akhirnya saya memutuskan untuk menulis tentang Nusa Penida, saya tidak pernah menyangka akan sampai di titik ini, di titik dimana saya menemukan banyak hal mencengangkan dalam hubungan antara Nusa Penida dan Bali daratan. Penelitian ini mengantarkan saya sampai ke Gedong Kirtya, Singaraja. Teks mengenai sejarah Bali tersebar acak di tempat tersebut, mulai dari yang belum mengalamai proses transliterasi sampai yang telah di gandakan dalam bentuk buku sederhana. Saya menemukan sampai tiga Babad Dalem yang ditulis dengan perspektif yang berbeda. Kesulitan pertama adalah memilah Babad Dalem versi mana yang mesti saya gunakan. Kesulitan awal ini mengantarkan saya bertemu dengan Gus Tut Akah yang kemudian memberikan teks Babad Usana Bali Pulina. Teks inilah yang saya pakai sebagai teks utama untuk menyusuri sejarah Bali. Melalui Gus Tut Akah saya menemukan jalan untuk bertemu dengan Dewa Catra, seorang ahli lontar yang vi sering tergabung dalam proyek alih aksara lontar dan mendapatkan banyak kisah mengenai Bali daratan dan Nusa Penida. Ketika saya berhasil menyelesaikan draft bab II dari tesis ini, saya diminta untuk mempresentasikan temuan saya di Taman 65, Denpasar. Sebuah diskusi kecil dan hangat pun terjadi. Komentar-komentar baik yang langsung mengenai tesis ini maupun tidak secara tidak langsung mempengaruhi cara saya menulis tesis ini. Setelah diskusi itu, seorang teman, Roro memperkenalkan saya dengan Gusti Mangku Kebyar, seorang pemangku (pemuka agama) yang berasal dari Bedulu. Dari beliaulah saya mendapatkan kisah mengenai raja Bedahulu sampai perubahan nama Bedahulu menjadi Bedulu. Dalam perjalanan menyelesaikan penelitian ini saya sempat tersandung dan mengira tidak akan bisa menyelesaikannya tepat waktu. Tapi saya cukup beruntung karena Dr. Budiawan sebagai pembimbing satu selalu memberi semangat dengan sms-sms beliau yang menusuk dan membangkitkan semangat. Dalam banyak kesempatan ketika saya tersandung, Degung Santikarma hampir selalu hadir menjadi teman diskusi yang menyenangkan. Dan Tumm Tumm untuk sebuah alasan yang terlalu jelas untuk disebutkan. Tidak lupa, kedua orang tua saya yang selalu ada untuk saya dari awal (dan saya yakin) akan selalu ada untuk saya. Demikian juga Wiss, orang yang telah menjadi sahabat, saudara dan musuh saya selama ini. Kepada orang- orang itulah karya ini saya persembahkan. vii Teman-teman selama saya di IRB: Udin, Hasan, Dona, Elida, Mba Budis, dan Ridho, terimakasih untuk kisah pertemanan yang saya harap tak akan pernah berakhir. Kepada mereka yang menemani saya belajar: Pak Nardi, Mba Katrin, Mba Devi, Mas Tri, Romo Bas, Pak George, dan Romo Banar semoga masih mau menemani saya belajar meski saya telah meninggalkan IRB serta Dr. Anton Haryono yang telah bersedia menjadi pembimbing dua. Kawan-kawan yang menemani saya melewati hari-hari selama di Jogja: Jicek, Tombro, Goen, Tjuan, Eat, Tatang, dan Hendra. Saudara-saudara saya di Nusa Penida yang dengan sabar menjawab setiap pertanyaan bodoh saya. Teman-teman sepermainan di Denpasar yang juga banyak membantu dalam proses pengerjaan tesis ini. Kalian semua tahu betapa berartinya kalian untuk saya. Yogyakarta, 24 Mei 2010 viii DAFTAR ISI PERSETUJUAN PEMBIMBING i LEMBAR PENGESAHAN ii LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA iii LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI iv LEMBAR PERNYATAAN v KATA PENGANTAR vi DAFTAR ISI ix ABSTRAK xi BAB I: PENDAHULUAN I. Latar Belakang 1 II. Rumusan Masalah 6 III. Tujuan Penelitian 8 IV. Kerangka Teori 10 V. Tinjauan Pustaka 14 VI. Metode Penelitian 18 VII. Sistematika Penulisan 21 BAB II: MEMBACA ULANG SEJARAH KLUNGKUNG: Kisah-kisah Usaha Penjinakan I. Bali Sebelum Majapahit: Kuasa Berwajah Angkara 25 II. Dari Samprangan Sampai Puputan Klungkung 34 III. Nusa Penida Versus Bali Daratan 42 BAB III: RATU GEDE MECALING DAN PRIMITIVISASI NUSA PENIDA: Anak Sakti, Masiat Kapetengan dan Ngeleak I. Anak Sakti 53 II. Masiat Kepetengan 70 III. Ngeleak 74 BAB IV: INDUSTRI PARIWISATA, AJEG BALI DAN ABSURDITAS KE- LOKAL-AN PASCA KOLONIAL I. Latar Belakang 81 II. Absurditas Ke-lokal-an Pasca Kolonial 93 III. The Other, Self dan Misrecognition 98 ix BAB V: KESIMPULAN I. Kumpulan Kepentingan Hasrat 111 II. Mitos, Primitivisasi dan Pe-liyan-an 115 III. Sebuah Perulangan Yang Disepakati 117 DAFTAR PUSTAKA 121 LAMPIRAN LAMPIRAN x ABSTRAK Tesis ini mendiskusikan proses saling me-liyan-kan antara orang Nusa Penida dan orang Bali daratan. Tesis ini mencoba melihat bagaimana orang Bali daratan dan orang Nusa Penida pandang-memandang. Dengan latar belakang industri pariwisata di Bali modern, apa yang terjadi dalam aktivitas pandang-memandang tersebut. Untuk kepentingan tersebut, tesis ini pertama-tama mengeksplorasi sejarah Bali baik dalam bentuk tertulis maupun oral. Rentang waktu yang diambil untuk mendiskusikan sejarah Bali diambil dari jaman pra kolonial sampai masa kerajaan Klungkung. Sejarah oral Bali penuh dengan mitos yang masih diamini sampai sekarang, karena itu tesis ini juga mengeksplorasi mitos-mitos yang berkaitan dengan aktivitas pandang-memandang antara orang Bali daratan dan orang Nusa Penida. Secara umum Bali (modern) tergantung pada industri pariwisata, karena itulah tesis ini juga mendiskusikan pengalaman orang Nusa Penida dan Bali daratan yang “hidup” dalam industri ini. Diskusi akhir tesis ini menunjukkan bahwa proses saling me-liyan-kan telah terjadi semenjak masa pra kolonial dan terus berlanjut sampai masa Bali modern. Proses ini terekam dalam bentuknya yang paling modern, yaitu tulisan serta tertanam dalam mitos yang diceritakan selama bergenerasi-generasi. xi BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Pada tahun 1920 Belanda menetapkan sebuah cetak biru “pembangunan” Bali. Belanda merancang Bali sebagai benteng terakhir terhadap serbuan nasionalisme dengan melancarkan program Baliseering , mem-Bali-kan Bali. Otak di belakang program ini adalah Bali Instituut, yang secara umum bertugas mengkaji dan mengusulkan kebijakan-kebijakan yang harus dilakukan pemerintah kolonial Belanda di Bali. Pada masa ini pula pengajaran bahasa, kesusastraan dan seni tradisi Bali di kalangan anak muda Bali dilaksanakan dengan tujuan agar mereka sadar akan kekayaan budayanya. Pada dekade 1960-an ketika Bank Dunia terlibat dalam pengembangan industri turisme internasional, Bali kembali menjadi sorotan. Sebelumnya Bank Dunia meminta Kurt Krapf, seorang ekonom Swiss, menganalisa keuntungan industri turisme bagi perkembangan ekonomi negara dunia ketiga dan perdagangan internasional secara umum. Pada periode ini pula Bank Dunia memberi pinjaman kepada pemerintah Indonesia untuk proyek perluasan bandara Ngurah Rai, untuk kemudian diresmikan pada tahun 1969 sebagai bandara internasional. Bersamaan dengan Repelita I (1969-1974), Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF), dan Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI) menetapkan turisme 1 internasional sebagai penentu ekonomi nasional dan menjadikan Bali sebagai situs utama. Tahun 2000-an Bank Dunia (bekerja sama dengan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) dan United Nations Conference on Trade And Development (UNCTAD)) kembali meluncurkan rancangan pembangunan Bali di bawah judul ‘Kebijakan dan Strategi untuk Konservasi Warisan Budaya Bali’ dengan menekankan pentingnya perawatan dan pelestarian budaya bagi kelangsungan industri turisme. Master plan Bank Dunia menargetkan wilayah Sanur-Kuta-Nusa Dua-sebagian kecil ujung selatan Pulau Bali sebagai target utama pengembangan industri turisme 1. Dari paparan singkat ini tampak bahwa tema “keaslian” Bali pada dasarnya telah ditetapkan semenjak 1920- an. Pasca jatuhnya Soeharto, wacana otonomi daerah berkembang. Segala macam keputusan yang bersifat lokal adalah kewenangan pemerintah daerah, demikian juga halnya dengan masalah pendanaannya. Di Bali sendiri wacana otonomi daerah “dimulai” dengan penguatan masyarakat adat dan nilai-nilai ke-Bali-an. Sebagai penanda adalah lahirnya pecalangan 2. Ketika bom meledak di Kuta pada tahun 2002 (dan kemudian di Jimbaran dua tahun setelahnya) pecalangan lalu menunjukkan eksistensinya sebagai penjaga kebudayaan Bali dari serangan “pihak luar”. 1 Ambara, Alit, “Proyek Kolonial Bank Dunia Mem-Bali-kan Bali”, sisipan Media Kerja Budaya edisi 05/2001. 2 Bahasa Bali: secara kasar bisa diterjemahkan sebagai satuan pengamanan adat. 2 Penduduk Bali pun terpecah menjadi dua kubu: “penduduk pendatang” dan “penduduk asli”. “Penduduk pendatang” adalah orang-orang yang berasal bukan dari Bali, seperti misalnya yang selama ini menjadi stereotipe; orang Jawa, beragama Islam, berjenggot dan seterusnya. Pasca ledakan inilah kekuatan “penduduk pendatang” dieliminir dengan memunculkan anggapan bahwa mereka adalah pengacau.
Recommended publications
  • DINAMIKA KEBUDAYAAN DI KOTA GIANYAR -.:: GEOCITIES.Ws
    DINAMIKA KEBUDAYAAN DI KOTA GIANYAR : Dari Kota Keraton sampai Kota Seni, 1771 – 1980-an A.A. Bagus Wirawan Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unud Denpasar Disampaikan pada Konferensi Nasional Sejarah VIII di Jakarta 14 – 17 Nopember 2006 1. Landasan Tipologi Kota. Dalam proses sejarah, sebagian besar kota berasal dari komonitas elite bangsawan atau berkat adanya pasar. Kebutuhan ekonomi dan kebutuhan politik daerah milik seorang bangsawan dapat mendorong orang untuk melakukan perdagangan guna memenuhi permintaan yang hanya dapat terlaksana dengan bekerja ataupun dengan menukar barang. Dalam kota yang berasal dari komunitas seperti itu, barang keperluan keraton, dan istana bangsawan (puri) itu seringkali merupakan sumber pendapatan, bahkan merupakan sumber pokok bagi penduduk daerah. Apabila kondisi demikian itu merupakan konfigurasi yang berlainan dengan desa, maka wajarlah bila kota itu menjadi tempat tinggal raja, para bangsawan, baudanda bhagawanta (keraton, puri) maupun tempat pasar, bencingah, alun-alun, dan lain-lainnya (Sartono Kartodirdjo, 1977). Landasan tipologi terbentuknya kota Gianyar dan untuk memahaminya mengikuti sejarah perkembangan kota, lokasi serta ekotipenya, fungsinya, dan unsur- unsur sosio-kultural adalah menggunakan konsep dan tipe-tipe kota seperti yang terdapat di pelbagai negeri (Sartono Kartodirdjo, 1977). Akan tetapi, untuk menyoroti kota Gianyar akan dipilih tipe kota yang relevan terutama kota-kota kuno di Asia (M. Irfan Mahmud, 2003 : Bab II). Di kota-kota Asia, apa yang disebut gilde belum sepenuhnya terlepas dari ikatan kerabat seperti ikatan klan; (kewangsaan) yang sebagai suatu komunitas ingin memegang monopoli dalam suatu pertukangan serta pemasaran hasil karyanya. Dalam kegiatan tukar menukar barang, muncul pula orang-orang asing misalnya Cina atau Arab. Mengenai lokasi kota-kota dapat dikatakan bahwa kota terletak di berbagai lokasi.
    [Show full text]
  • The Gods & the Forge
    ificah International Foundation of Indonesian Culture and Asian Heritage The Gods & the Forge Balinese Ceremonial Blades The Gods & the Forge in a Cultural Context This publication is the companion volume for the exhibition of the same name at the IFICAH Museum of Asian Culture in Hollenstedt-Wohlesbostel, Germany December 2015 to October 2016. Title number IFICAH V01E © IFICAH, International Foundation of Indonesian Culture and Asian Heritage Text: Dr. Achim Weihrauch, Efringen-Kirchen, Germany Dr. Udo Kloubert, Erkrath, Germany Adni Aljunied, Singapore Photography: Günther Heckmann, Hollenstedt, Germany Printing: Digital Repro Druck GmbH, Ostfildern, Germany Layout: S&K Kommunikation, Osnabrück, Germany Editing: Kerstin Thierschmidt, Düsseldorf, Germany Image editing: Concept 33, Ostfildern, Germany Exhibition design: IFICAH Display cases: Glaserei Ahlgrim, Zeven, Germany "Tradition is not holding onto the ashes, Metallbau Stamer, Grauen, Germany Conservation care: but the passing on of the flame." Daniela Heckmann, Hollenstedt, Germany Thomas Moore (1477–1535) Translation: Comlogos, Fellbach, Germany 04 05 Foreword Summer 2015. Ketut, a native of Bali, picks me Years earlier, the fishermen had sold the land up on an ancient motorcycle. With our feet bordering the beach to Western estate agents, clad in nothing more resilient than sandals, we which meant however that they can now no ride along streets barely worthy of the name longer access the sea with their boats ... to the hinterland. We meet people from dif- ferent generations who live in impoverished It is precisely these experiences that underline conditions by western standards and who wel- the urgency of the work carried out by IFICAH – come the "giants from the West" with typi- International Foundation of Indonesian Culture cal Balinese warmth.
    [Show full text]
  • Babad Gumi 13
    CANDRASANGKALA: THE BALINESE ART OF DATING EVENTS. HANS HÄGERDAL [email protected] Department of Humanities University of Växjö Sweden 2006 1 Introduction 2 Babad Gumi 13 Babad Bhumi 42 Korn 1 74 Korn 2 93 Korn 3 100 Korn 4 105 Korn 5 113 Babad Tusan 132 Tattwa Batur Kalawasan 140 Pangrincik Babad 147 Sara Samuscaya Pakenca 156 Anjang Nirartha 164 Pasasangkalan 167 Pawawatekan 182 Postscript: Pasangkalan 198 Genealogies 201 Unpublished sources 204 Literature 206 2 INTRODUCTION Elements of Balinese historiography. History has deep roots on Bali, however one defines the word. To be more exact, Bali has a wider scope of historiographical continuity than anywhere else in Southeast Asia except for Vietnam and perhaps Burma. Pending some previous scholarly statements regarding the Balinese perception of time and the historical past, that are found in the anthropological literature about the island, such a statement may seem rather rash. However, it remains an astonishing fact. On Balinese soil historical texts were preserved and cherished; they informed ever new generations about ancient kingdoms far back in time, to the Javanese dynasties of Airlangga and Ken Angrok up to a thousand years ago. Certainly, these dynasties were mainly non-Balinese, but this is irrelevant for the self- perception of the Balinese elite groups, who found inspiration and raison d’être from tales of ancient Javanese realms. As against this, the genuinely historical memory barely goes back before the 13th century in Thailand, the 14th century in Laos and Cambodia, and the 15th century in the Malay world. Historical traditions from Java, Aceh, South Sulawesi and Maluku cease to be merely legends and start to take on a somewhat more plausible shape in about the 15th or 16th century.
    [Show full text]
  • C. Hooykaas Weda and Sisya, Rsi and Bhujangga in Present-Day Bali
    C. Hooykaas Weda and Sisya, Rsi and Bhujangga in present-day Bali In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 120 (1964), no: 2, Leiden, 231-244 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl Downloaded from Brill.com10/01/2021 11:58:09AM via free access WEDA AND SISYA, RSI AND BHUJANGGA IN PRESENT-DAY BALI or a quarter of a century we have known that weda in Bali is something "quite different from veda in India. For this Fknowledge we have to thank Dr. Goris,1 for he has explained — and this was corroborated by Sylvain Lévi 2 — that the brahmin Siwa- priest in Bali, when stating that he was engrossed in his surya-sewana, weda-parikrama or ma-weda, in reality was reciting (partly Tantric) mantra and stawa.3 To these he will add a very restricted number of lines from the beginning of the Indian veda,* but only on specific days. The veda themselves have never been found in Bali, though hundreds of texts, originating from the griya = grëha,5 priest dwellings, which deal with ritual, theology, philosophy, metaphysics etc, have been made accessible to the copyists of the Central Library of Palmleaf MSS (now Gedong Kirtya) at Singaradja.6 The brahmin priest will declare in good faith that he has knowledge of the weda and that he recites them daily in his bale pa-weda-an, his worship-pavilion. The fact of the matter is, that a research worker who has access to the Indian veda, will come to the conclusion that the Balinese use the word for something rather different.
    [Show full text]
  • D 902008104 BAB III.Pdf
    BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH Asal Mula Desa Asli di Bali • Desa di Bali Pada Jaman Kuno Desa adalah kata yang berasal dari bahasa Sansekerta, yang menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo (1984), secara ringkas berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Dalam perkembangannya kemudian, kata desa lalu diadopsi dalam bahasa Indonesia, yang artinya menjadi kurang lebih adalah kawasan tempat pemukiman suatu penduduk. Sebagai suatu tempat pemukiman suatu penduduk, keberadaan desa di Bali memiliki catatan sejarah yang sangat panjang. Walaupun kapan persisnya desa-desa di Bali Mulai terbentuk, tidak ada catatan yang pasti. Namun demikian, dari cerita-cerita di babad yang ditulis di lontar dalam huruf Jawa Kuno, desa-desa di Bali sebenarnya sudah mulai berkembang sejak abad VIII. Ini terutama terjadi sejak seorang Maharesi dari Jawa bernama Markandya berimigrasi atau datang ke Bali bersama ratusan pengikutnya untuk memulai suatu kehidupan baru dengan membentuk desa-desa di sana. Dalam Babad Markandya Purana yang sudah diterjemahkan oleh Surpha (2004: 7-8), misalnya, disebutkan antara lain: “Seorang Maharesi bernama Maharsi Markandya pada mulanya bertapa di Gunung Raung (Jawa Timur), pergi ke Bali bersama delapan ribu pengikutnya dengan maksud membuka hutan yang akan dijadikan ladang pertanian dan desa tempat pemukimannya. Mereka mula-mula tiba di Desa Taro (yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar). Di sana pekerjaan merabas hutan mulai dilakukan akan tetapi pekerjaannya tidak berhasil oleh karena banyak di antara para pengikut Maharsi Markandya ini yang menderita sakit, diserang binatang buas dan sebagainya, yang sekalian menyebabkan kematiannya. Beliau kemudian kembali ke Gunung Raung untuk beberapa waktu lamanya dan kemudian berangkat kembali ke Bali bersama-sama empat ribu orang pengiringnya.
    [Show full text]
  • Bab 1 P E N D a H U L U a N Manusia Dimulai Dari Sejak Kelahirannya
    Bab 1 P E N D A H U L U A N Manusia dimulai dari sejak kelahirannya telah dihadapkan pada berbagai macam tantangan hidup dan kehidupan. Manusia dalam kehidupannya merupakan serangkaian dari masalah-masalah, yang timbulnya bisa bersumber dari dalam diri, lingkungan alam dan sosial serta budaya, atau saling berinteraksi atau saling berhubungan dan mempengaruhi satu dengan lainnya. Setiap saat manusia akan dihadapkan kepada suatu sikap untuk bisa mengambil keputusan atau tindakan sebagai reaksi terhadap kebutuhan dan keamanan dilingkungan kehidupannya. Ergonomi Desain Pada Produk Kriya - 1 - Drs. Agus Mulyadi Utomo,M.Erg TEKNOLOGI KEAMANAN Ergonomi Desain Pada Produk Kriya - 2 - Drs. Agus Mulyadi Utomo,M.Erg Kebutuhan dasar umumnya berupa makan-minum (pangan), sandang (pakaian) dan papan (tempat tinggal), dan bila sudah terpenuhinya kebutuhan dasar bersifat jasmani-material tersebut, lalu meningkat kepada kebutuhan bersifat norma-rasa-batiniah, berupa nilai- nilai tertentu seperti identitas, kepribadian, harga diri- prestise (status-sosial-budaya), yg setiap saat juga berubah dan berkembang. Dengan menggunakan kemampuan akal, pikiran dan ketrampilannya, manusia pada akhirnya mampu mengatasi dan memecahkan berbagai masalah betapapun rumit dan peliknya, sehingga membuahkan hasil karya dan pemikiran atau ilmu yang bermanfaat ke arah tingkat kemajuan hidup yang lebih tinggi dan layak. Disamping itu tingkat kebutuhan manusia setiap saat pun selalu meningkat dan berkembang mengikuti selera zamannya. Ergonomi Desain Pada Produk Kriya - 3 - Drs. Agus Mulyadi Utomo,M.Erg Apabila kebutuhan yang bersifat pokok dan kebutuhan umum (publik) atau kolektif sudah terpenuhi. Maka level kebutuhan manusia pun semakin meningkat atau mengerucut dan menuju level kebutuhan tertinggi yang bersifat invidual, karena ego pribadinya juga semakin bersifat khusus dan khas.
    [Show full text]
  • Kerajaan Majapahit Bali”: Dinamika Puri Dalam Pusaran Politik Identitas Kontemporer
    Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 4, No. 1, 2019, hlm. 3-14 WACANA “KERAJAAN MAJAPAHIT BALI”: DINAMIKA PURI DALAM PUSARAN POLITIK IDENTITAS KONTEMPORER I Putu Gede Suwitha Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Denpasar - Indonesia Alamat korespondensi: [email protected] Diterima/Received: 10 Agustus 2018; Direvisi/Revised: 17 Januari 2019; Disetujui/Accepted: 14 Maret 2019 Abstract This study discusses the transformation of the identity of the contemporary Balinese community and the dynamics of palaces (puri) in the political rotation based on discursive development of the “Bali Majapahit Kingdom”. The discourse can be observed from the local newspapers in Bali such as Bali Post, Tokoh, and so forth. The discourse of the “Bali Majapahit Kingdom” inspired by the Majapahit kingdom as the image. The historical method applied in this study. The data were analyzed descriptively-qualitatively using historical analysis. The result of the study shows that the discourse of the “Bali Majapahit Kingdom” has been thrown by a central figure named Aryawedakarna for his political interest. He has smartly used the Majapahit kingdom and the resurgence of Hinduism as the inspiration to establish the image as a royal figure. Actually, what he has done is the political identity and was successfully appointed a member of the Regional Representative Council [Dewan Perwakilan Daerah] with more or less 200,000 votes in the 2014 election. Keywords: Politic of Identity; Dynamic of Palaces; Politic of Image. Abstrak Kajian ini membahas perubahan identitas masyarakat Bali Kontemporer, khususnya perkembangan puri dalam pusaran politik dengan mengikuti perkembangan wacana “Kerajaan Majapahit Bali”. Wacana ini dapat diamati lewat media pers di Bali khususnya koran Bali Post, Tokoh, dan beberapa koran lainnya.
    [Show full text]
  • Henk Schulte Nordholt
    O r ig in , D e s c e n t , a n d D e s t r u c t io n T e x t a n d C o n t e x t in B a l in e s e R epresentations o f t h e P a s t Henk Schulte Nordholt —Dedicated to the memory of Tu Aji Sangka— "It does not matter whether the world is conceived to be real or only imagined; the manner of making sense of it is the same." (H. White)* 1 History, Literature, and Society There are in Balinese literature no separate genres called "history" and "fiction." Conse­ quently the distinction between true stories and (false) fantasies makes little sense, "since texts which are not considered 'true' are 'lies'."2 The absence of "history" as a genre does, An earlier version of this paper was presented at the conference on "Artistic Representation in Social Action: The Case of Bali/' held at Princeton, July 8-13,1991, which was financed by the US National Endowment for the Humanities and the Wenner-Gren Foundation. The research upon which the paper is based was conducted in 1982/83 and 1989. It was sponsored by LIPI and the Universitas Udayana in Denpasar, and financed by the Programme of Indonesian Studies (Jakarta/Leiden), the Netherlands Foundation for the Advancement of Tropical Research, and the Faculty of Social Sciences of the University of Amsterdam. The sections dealing with the Babad Mengwi are based upon a paper presented at the "7th European Colloquium on Indonesian and Malay Studies" in Bern, June 1989.1 would like to thank Hildred Geertz, Jean-Francois Guermonprez, Hedi Hinzler, Raechelle Rubinstein, Adrian Vickers, Margaret Wiener, and Peter Worsley for their stimulating comments on the conference paper.
    [Show full text]
  • Babad Dalem Sukawati and Geguritan Babad Dalem Sukawati
    1 BABAD DALEM SUKAWATI DAN GEGURITAN BABAD DALEM SUKAWATI: ANALISIS RESEPSI I Putu Eka Suantara Program Studi Sastra Bali FS Unud Abstract: The research of “Babad Dalem Sukawati and Geguritan Babad Dalem Sukawati: Analysis Reception” aims to describe the narrative elements of Babad Dalem Sukawati and how Babad Dalem Sukawati was receipted in Geguritan Babad Dalem Sukawati. The theory applied in the present research was the structural theory proposed by Teew (1984), supported by Sutrisno (1983), Luxemburg (1984), Hutagalung (1975), and Pradotokusumo (1986). The theory referred to the concept which was related to the structure of belles-lettres. To analyze Babad Dalem Sukawati receipted in Geguritan Babad Dalem Sukawati the writer implemented the reception approach referring to the opinion of Junus (1985), Fokkema (1977), and Suwardi (1979). Script reading method was used in the data collecting stage and was supported with retroactive and translating techniques which was continued by holding interview method supported with noting technique. The analysis stage applied hermeneutic and qualitative methods with descriptive-analytical technique. The analysis results were presented by formal and informal methods supported with deductive and inductive techniques, then the comparing method was used supported with tabulating technique. The result gained in the present study of Babad Dalem Sukawati and Geguritan Babad Dalem Sukawati was the existence of the formation structure. The formation method includes the plots, the settings, the characters and characterizations, the theme, and the values. Babad Dalem Sukawati that was receipted in Geguritan Babad Dalem Sukawati was regarded to the realtions between those two scripts, the relations intended were the relations the plots, the settings, the characters and characterizations, the theme, and the values.
    [Show full text]
  • Ontology-Based Approach for Klungkung Royal Family
    Jurnal Elektronik Ilmu Komputer Udayana p-ISSN: 2301-5373 Volume 8, No 4. May 2020 e-ISSN: 2654-5101 Ontology-Based Approach for Klungkung Royal Family Putu Ryan Ganeswara1 , Cokorda Rai Adi Pramartha2 1. Department of Computer Science, Faculty of Mathematics and Natural Science, Udayana University E-mail : [email protected] 1, dan [email protected] 2 Abstract Kawitan genealogies form to strengthen family relations by staying in line with their ties. Today, there are many Balinese Hindu searches their heritance. This due to no explicit documentation about the family tree and the Balinese Hindu relies on people memories. To overcome this problem, we develop the ontology of the Family Tree Naritan Kawarya Narem Dalem Benculuk Tegeh Kori with Forward Chaining and Backward Chaining Search Method can overcome problems related to marriage lineage. By using the structured data in the form of an ontology, the computer agents and human will be able to find information related to their genealogy easily, so that there are no more people who are confused with their heritance. The ontology evaluation was conducted on the Nararya Dalem Benculuk Tegeh Kori's family tree. The initial result gave positive feedback toward further development of this ontology. Keywords : Ontology, Family Tree, Methontology I. INTRODUCTION The Balinese kingdom is the term for a series of Hindu-Buddhist kingdoms that had ruled in Bali, in the Lesser Sunda Islands, Indonesia. The kingdoms are divided into several periods according to the dynasty that ruled at that time. With the history of the original Balinese kingdom stretching from the beginning of the 10th century to the beginning of the 20th century, the Balinese kingdom exhibits a sophisticated Balinese palace culture where the elements of spirit and ancestor respect are combined with Hindu influences, adopted from India through ancient Javanese intermediaries , developing, enriching and shaping Balinese culture.
    [Show full text]
  • Downloaded from Brill.Com09/26/2021 12:35:04AM Via Free Access 280 Hägerdal
    Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 172 (2016) 279–309 bki brill.com/bki Expansion in the Shadow of the Company* Concurrent Representations of Karangasem Hans Hägerdal Associate Professor in History, School of Cultural Sciences, Linnaeus University [email protected] Abstract The focus of this article is the political expansion of Karangasem, one of the micro- states of Bali, in the second half of the eighteenth century. The Karangasem leadership was able to expand into Lombok and large parts of northern and central Bali, while gen- erally avoiding confrontation with the Dutch East India Company. They encountered a range of ethnic groups and endeavoured to play out the Dutch and the British inter- ests against each other. In spite of its regional importance, prior to 1800 Karangasem is poorly documented. The article explores ways of reading different categories of Euro- pean and indigenous sources against each other. Although fragmentary, they yield information about strategic concerns, economic underpinnings of expansion, ethnic- ity, and cultural and ritual issues. A combination of internal and external factors, including Dutch policies in the East Indies, enabled Karangasem to pursue a successful political expansion in the shadow of the Company. Keywords history – Bali – Karangasem – Lombok – voc – babad Introduction ‘What to do with these capricious princes?’ Thus complained an official of the Vereenigde Oost-Indische Compagnie (Dutch East India Company; hereafter * Research for this article was carried out with funding from Concurrences (Linnaeus Univer- sity Centre for Colonial and Postcolonial Studies). © hans hägerdal, 2016 | doi: 10.1163/22134379-17201021 This is an open access article distributed under the terms of the Creative Commons Attribution-Noncommercial 3.0 Unported (cc-by-nc 3.0) License.
    [Show full text]
  • Sebuah Kajian Pustaka
    International Research Journal of Management, IT & Social Sciences Available online at https://sloap.org/journals/index.php/irjmis/ Vol. 3 No. 5, May 2016, pages: 48~58 ISSN: 2395-7492 https://sloap.org/journals/index.php/irjmis/article/view/366 Islamic Society Diaspora of Bugis Descent in Bali I Putu Gede Suwitha a Article history: Abstract Received: 10 February 2016 Diaspora Islamic Society of Bugis descent in Bali has long played a role, Accepted: 30 March 2016 especially in the political and economic fields. Their presence has historically Published: 31 May 2016 never to be an issue, due to a political entity that became a patron. Besides that, the cultural exchanges in various activities have been made inter-ethnic relations and more collaborative than competitive. This study was wanted to Keywords: express how diaspora was formed in Bali island of Hindu society. Similarly, the development of Islam Bugis and how the relationship between diaspora Diaspora; Bugis. The results of this study that showed in addition to Bugis diaspora Identity; demonstrate their role, as well as in their diasporic make adjustments and Marginality; establish a new identity. The identity was a diaspora community needs. Public Multicultural; spaces have been built and part of a multicultural society and mem blow Subaltern; values up to the Balinese people, recently, the Bugis community in a state of marginalized (subaltern). 2395-7492© Copyright 2016. The Author. This is an open-access article under the CC BY-SA license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) All rights reserved. Author correspondence: I Putu Gede Suwitha, Udayana University Denpasar, Bali - Indonesia, Email address: [email protected] 1.
    [Show full text]