Kan Antara Orang Nusa Penida Dan Bali Daratan
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
TESIS ORANG BALI YANG LAIN Proses Saling Me-“liyan”-kan Antara Orang Nusa Penida dan Bali Daratan Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Disusun Oleh : I Dewa Nyoman Ketha Sudhiatmika 06 6322 007 PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010 i ii iii iv v KATA PENGANTAR Seorang kawan pernah berkata kalau saya hanya numpang lahir di Nusa Penida dan memang benar demikian adanya. Saya tidak pernah benar-benar bertanah air di pulau kecil itu, saya besar, mendapat pendidikan dan menghabiskan sebagian besar hidup saya di Bali daratan. Akan tetapi saya tetap memiliki hubungan yang tak terkatakan dengan Nusa Penida, saya selalu merasa kalau saya tidak pernah benar- benar menjadi orang Bali daratan, saya selalu dan tetap orang Nusa Penida. Ketika akhirnya saya memutuskan untuk menulis tentang Nusa Penida, saya tidak pernah menyangka akan sampai di titik ini, di titik dimana saya menemukan banyak hal mencengangkan dalam hubungan antara Nusa Penida dan Bali daratan. Penelitian ini mengantarkan saya sampai ke Gedong Kirtya, Singaraja. Teks mengenai sejarah Bali tersebar acak di tempat tersebut, mulai dari yang belum mengalamai proses transliterasi sampai yang telah di gandakan dalam bentuk buku sederhana. Saya menemukan sampai tiga Babad Dalem yang ditulis dengan perspektif yang berbeda. Kesulitan pertama adalah memilah Babad Dalem versi mana yang mesti saya gunakan. Kesulitan awal ini mengantarkan saya bertemu dengan Gus Tut Akah yang kemudian memberikan teks Babad Usana Bali Pulina. Teks inilah yang saya pakai sebagai teks utama untuk menyusuri sejarah Bali. Melalui Gus Tut Akah saya menemukan jalan untuk bertemu dengan Dewa Catra, seorang ahli lontar yang vi sering tergabung dalam proyek alih aksara lontar dan mendapatkan banyak kisah mengenai Bali daratan dan Nusa Penida. Ketika saya berhasil menyelesaikan draft bab II dari tesis ini, saya diminta untuk mempresentasikan temuan saya di Taman 65, Denpasar. Sebuah diskusi kecil dan hangat pun terjadi. Komentar-komentar baik yang langsung mengenai tesis ini maupun tidak secara tidak langsung mempengaruhi cara saya menulis tesis ini. Setelah diskusi itu, seorang teman, Roro memperkenalkan saya dengan Gusti Mangku Kebyar, seorang pemangku (pemuka agama) yang berasal dari Bedulu. Dari beliaulah saya mendapatkan kisah mengenai raja Bedahulu sampai perubahan nama Bedahulu menjadi Bedulu. Dalam perjalanan menyelesaikan penelitian ini saya sempat tersandung dan mengira tidak akan bisa menyelesaikannya tepat waktu. Tapi saya cukup beruntung karena Dr. Budiawan sebagai pembimbing satu selalu memberi semangat dengan sms-sms beliau yang menusuk dan membangkitkan semangat. Dalam banyak kesempatan ketika saya tersandung, Degung Santikarma hampir selalu hadir menjadi teman diskusi yang menyenangkan. Dan Tumm Tumm untuk sebuah alasan yang terlalu jelas untuk disebutkan. Tidak lupa, kedua orang tua saya yang selalu ada untuk saya dari awal (dan saya yakin) akan selalu ada untuk saya. Demikian juga Wiss, orang yang telah menjadi sahabat, saudara dan musuh saya selama ini. Kepada orang- orang itulah karya ini saya persembahkan. vii Teman-teman selama saya di IRB: Udin, Hasan, Dona, Elida, Mba Budis, dan Ridho, terimakasih untuk kisah pertemanan yang saya harap tak akan pernah berakhir. Kepada mereka yang menemani saya belajar: Pak Nardi, Mba Katrin, Mba Devi, Mas Tri, Romo Bas, Pak George, dan Romo Banar semoga masih mau menemani saya belajar meski saya telah meninggalkan IRB serta Dr. Anton Haryono yang telah bersedia menjadi pembimbing dua. Kawan-kawan yang menemani saya melewati hari-hari selama di Jogja: Jicek, Tombro, Goen, Tjuan, Eat, Tatang, dan Hendra. Saudara-saudara saya di Nusa Penida yang dengan sabar menjawab setiap pertanyaan bodoh saya. Teman-teman sepermainan di Denpasar yang juga banyak membantu dalam proses pengerjaan tesis ini. Kalian semua tahu betapa berartinya kalian untuk saya. Yogyakarta, 24 Mei 2010 viii DAFTAR ISI PERSETUJUAN PEMBIMBING i LEMBAR PENGESAHAN ii LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA iii LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI iv LEMBAR PERNYATAAN v KATA PENGANTAR vi DAFTAR ISI ix ABSTRAK xi BAB I: PENDAHULUAN I. Latar Belakang 1 II. Rumusan Masalah 6 III. Tujuan Penelitian 8 IV. Kerangka Teori 10 V. Tinjauan Pustaka 14 VI. Metode Penelitian 18 VII. Sistematika Penulisan 21 BAB II: MEMBACA ULANG SEJARAH KLUNGKUNG: Kisah-kisah Usaha Penjinakan I. Bali Sebelum Majapahit: Kuasa Berwajah Angkara 25 II. Dari Samprangan Sampai Puputan Klungkung 34 III. Nusa Penida Versus Bali Daratan 42 BAB III: RATU GEDE MECALING DAN PRIMITIVISASI NUSA PENIDA: Anak Sakti, Masiat Kapetengan dan Ngeleak I. Anak Sakti 53 II. Masiat Kepetengan 70 III. Ngeleak 74 BAB IV: INDUSTRI PARIWISATA, AJEG BALI DAN ABSURDITAS KE- LOKAL-AN PASCA KOLONIAL I. Latar Belakang 81 II. Absurditas Ke-lokal-an Pasca Kolonial 93 III. The Other, Self dan Misrecognition 98 ix BAB V: KESIMPULAN I. Kumpulan Kepentingan Hasrat 111 II. Mitos, Primitivisasi dan Pe-liyan-an 115 III. Sebuah Perulangan Yang Disepakati 117 DAFTAR PUSTAKA 121 LAMPIRAN LAMPIRAN x ABSTRAK Tesis ini mendiskusikan proses saling me-liyan-kan antara orang Nusa Penida dan orang Bali daratan. Tesis ini mencoba melihat bagaimana orang Bali daratan dan orang Nusa Penida pandang-memandang. Dengan latar belakang industri pariwisata di Bali modern, apa yang terjadi dalam aktivitas pandang-memandang tersebut. Untuk kepentingan tersebut, tesis ini pertama-tama mengeksplorasi sejarah Bali baik dalam bentuk tertulis maupun oral. Rentang waktu yang diambil untuk mendiskusikan sejarah Bali diambil dari jaman pra kolonial sampai masa kerajaan Klungkung. Sejarah oral Bali penuh dengan mitos yang masih diamini sampai sekarang, karena itu tesis ini juga mengeksplorasi mitos-mitos yang berkaitan dengan aktivitas pandang-memandang antara orang Bali daratan dan orang Nusa Penida. Secara umum Bali (modern) tergantung pada industri pariwisata, karena itulah tesis ini juga mendiskusikan pengalaman orang Nusa Penida dan Bali daratan yang “hidup” dalam industri ini. Diskusi akhir tesis ini menunjukkan bahwa proses saling me-liyan-kan telah terjadi semenjak masa pra kolonial dan terus berlanjut sampai masa Bali modern. Proses ini terekam dalam bentuknya yang paling modern, yaitu tulisan serta tertanam dalam mitos yang diceritakan selama bergenerasi-generasi. xi BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Pada tahun 1920 Belanda menetapkan sebuah cetak biru “pembangunan” Bali. Belanda merancang Bali sebagai benteng terakhir terhadap serbuan nasionalisme dengan melancarkan program Baliseering , mem-Bali-kan Bali. Otak di belakang program ini adalah Bali Instituut, yang secara umum bertugas mengkaji dan mengusulkan kebijakan-kebijakan yang harus dilakukan pemerintah kolonial Belanda di Bali. Pada masa ini pula pengajaran bahasa, kesusastraan dan seni tradisi Bali di kalangan anak muda Bali dilaksanakan dengan tujuan agar mereka sadar akan kekayaan budayanya. Pada dekade 1960-an ketika Bank Dunia terlibat dalam pengembangan industri turisme internasional, Bali kembali menjadi sorotan. Sebelumnya Bank Dunia meminta Kurt Krapf, seorang ekonom Swiss, menganalisa keuntungan industri turisme bagi perkembangan ekonomi negara dunia ketiga dan perdagangan internasional secara umum. Pada periode ini pula Bank Dunia memberi pinjaman kepada pemerintah Indonesia untuk proyek perluasan bandara Ngurah Rai, untuk kemudian diresmikan pada tahun 1969 sebagai bandara internasional. Bersamaan dengan Repelita I (1969-1974), Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF), dan Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI) menetapkan turisme 1 internasional sebagai penentu ekonomi nasional dan menjadikan Bali sebagai situs utama. Tahun 2000-an Bank Dunia (bekerja sama dengan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) dan United Nations Conference on Trade And Development (UNCTAD)) kembali meluncurkan rancangan pembangunan Bali di bawah judul ‘Kebijakan dan Strategi untuk Konservasi Warisan Budaya Bali’ dengan menekankan pentingnya perawatan dan pelestarian budaya bagi kelangsungan industri turisme. Master plan Bank Dunia menargetkan wilayah Sanur-Kuta-Nusa Dua-sebagian kecil ujung selatan Pulau Bali sebagai target utama pengembangan industri turisme 1. Dari paparan singkat ini tampak bahwa tema “keaslian” Bali pada dasarnya telah ditetapkan semenjak 1920- an. Pasca jatuhnya Soeharto, wacana otonomi daerah berkembang. Segala macam keputusan yang bersifat lokal adalah kewenangan pemerintah daerah, demikian juga halnya dengan masalah pendanaannya. Di Bali sendiri wacana otonomi daerah “dimulai” dengan penguatan masyarakat adat dan nilai-nilai ke-Bali-an. Sebagai penanda adalah lahirnya pecalangan 2. Ketika bom meledak di Kuta pada tahun 2002 (dan kemudian di Jimbaran dua tahun setelahnya) pecalangan lalu menunjukkan eksistensinya sebagai penjaga kebudayaan Bali dari serangan “pihak luar”. 1 Ambara, Alit, “Proyek Kolonial Bank Dunia Mem-Bali-kan Bali”, sisipan Media Kerja Budaya edisi 05/2001. 2 Bahasa Bali: secara kasar bisa diterjemahkan sebagai satuan pengamanan adat. 2 Penduduk Bali pun terpecah menjadi dua kubu: “penduduk pendatang” dan “penduduk asli”. “Penduduk pendatang” adalah orang-orang yang berasal bukan dari Bali, seperti misalnya yang selama ini menjadi stereotipe; orang Jawa, beragama Islam, berjenggot dan seterusnya. Pasca ledakan inilah kekuatan “penduduk pendatang” dieliminir dengan memunculkan anggapan bahwa mereka adalah pengacau.