TESIS

ORANG YANG LAIN Proses Saling Me-“liyan”-kan Antara Orang Nusa Penida dan Bali Daratan

Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Disusun Oleh : I Dewa Nyoman Ketha Sudhiatmika 06 6322 007

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010

i

ii

iii

iv

v

KATA PENGANTAR

Seorang kawan pernah berkata kalau saya hanya numpang lahir di Nusa

Penida dan memang benar demikian adanya. Saya tidak pernah benar-benar bertanah air di pulau kecil itu, saya besar, mendapat pendidikan dan menghabiskan sebagian besar hidup saya di Bali daratan. Akan tetapi saya tetap memiliki hubungan yang tak terkatakan dengan Nusa Penida, saya selalu merasa kalau saya tidak pernah benar- benar menjadi orang Bali daratan, saya selalu dan tetap orang Nusa Penida. Ketika akhirnya saya memutuskan untuk menulis tentang Nusa Penida, saya tidak pernah menyangka akan sampai di titik ini, di titik dimana saya menemukan banyak hal mencengangkan dalam hubungan antara Nusa Penida dan Bali daratan.

Penelitian ini mengantarkan saya sampai ke Gedong Kirtya, Singaraja. Teks mengenai sejarah Bali tersebar acak di tempat tersebut, mulai dari yang belum mengalamai proses transliterasi sampai yang telah di gandakan dalam bentuk buku sederhana. Saya menemukan sampai tiga Babad Dalem yang ditulis dengan perspektif yang berbeda. Kesulitan pertama adalah memilah Babad Dalem versi mana yang mesti saya gunakan. Kesulitan awal ini mengantarkan saya bertemu dengan Gus Tut

Akah yang kemudian memberikan teks Babad Usana Bali Pulina. Teks inilah yang saya pakai sebagai teks utama untuk menyusuri sejarah Bali. Melalui Gus Tut Akah saya menemukan jalan untuk bertemu dengan Dewa Catra, seorang ahli lontar yang

vi

sering tergabung dalam proyek alih aksara lontar dan mendapatkan banyak kisah mengenai Bali daratan dan Nusa Penida.

Ketika saya berhasil menyelesaikan draft bab II dari tesis ini, saya diminta untuk mempresentasikan temuan saya di Taman 65, Denpasar. Sebuah diskusi kecil dan hangat pun terjadi. Komentar-komentar baik yang langsung mengenai tesis ini maupun tidak secara tidak langsung mempengaruhi cara saya menulis tesis ini.

Setelah diskusi itu, seorang teman, Roro memperkenalkan saya dengan Gusti Mangku

Kebyar, seorang pemangku (pemuka agama) yang berasal dari Bedulu. Dari beliaulah saya mendapatkan kisah mengenai raja Bedahulu sampai perubahan nama Bedahulu menjadi Bedulu.

Dalam perjalanan menyelesaikan penelitian ini saya sempat tersandung dan mengira tidak akan bisa menyelesaikannya tepat waktu. Tapi saya cukup beruntung karena Dr. Budiawan sebagai pembimbing satu selalu memberi semangat dengan sms-sms beliau yang menusuk dan membangkitkan semangat. Dalam banyak kesempatan ketika saya tersandung, Degung Santikarma hampir selalu hadir menjadi teman diskusi yang menyenangkan. Dan Tumm Tumm untuk sebuah alasan yang terlalu jelas untuk disebutkan. Tidak lupa, kedua orang tua saya yang selalu ada untuk saya dari awal (dan saya yakin) akan selalu ada untuk saya. Demikian juga Wiss, orang yang telah menjadi sahabat, saudara dan musuh saya selama ini. Kepada orang- orang itulah karya ini saya persembahkan.

vii

Teman-teman selama saya di IRB: Udin, Hasan, Dona, Elida, Mba Budis, dan

Ridho, terimakasih untuk kisah pertemanan yang saya harap tak akan pernah berakhir. Kepada mereka yang menemani saya belajar: Pak Nardi, Mba Katrin, Mba

Devi, Mas Tri, Romo Bas, Pak George, dan Romo Banar semoga masih mau menemani saya belajar meski saya telah meninggalkan IRB serta Dr. Anton Haryono yang telah bersedia menjadi pembimbing dua. Kawan-kawan yang menemani saya melewati hari-hari selama di Jogja: Jicek, Tombro, Goen, Tjuan, Eat, Tatang, dan

Hendra. Saudara-saudara saya di Nusa Penida yang dengan sabar menjawab setiap pertanyaan bodoh saya. Teman-teman sepermainan di Denpasar yang juga banyak membantu dalam proses pengerjaan tesis ini. Kalian semua tahu betapa berartinya kalian untuk saya.

Yogyakarta, 24 Mei 2010

viii

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING i

LEMBAR PENGESAHAN ii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA iii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI iv

LEMBAR PERNYATAAN v

KATA PENGANTAR vi

DAFTAR ISI ix

ABSTRAK xi

BAB I: PENDAHULUAN

I. Latar Belakang 1 II. Rumusan Masalah 6 III. Tujuan Penelitian 8 IV. Kerangka Teori 10 V. Tinjauan Pustaka 14 VI. Metode Penelitian 18 VII. Sistematika Penulisan 21

BAB II: MEMBACA ULANG SEJARAH KLUNGKUNG: Kisah-kisah Usaha Penjinakan

I. Bali Sebelum : Kuasa Berwajah Angkara 25 II. Dari Samprangan Sampai Puputan Klungkung 34 III. Nusa Penida Versus Bali Daratan 42

BAB III: RATU GEDE MECALING DAN PRIMITIVISASI NUSA PENIDA: Anak Sakti, Masiat Kapetengan dan Ngeleak

I. Anak Sakti 53 II. Masiat Kepetengan 70 III. Ngeleak 74

BAB IV: INDUSTRI PARIWISATA, AJEG BALI DAN ABSURDITAS KE- LOKAL-AN PASCA KOLONIAL

I. Latar Belakang 81 II. Absurditas Ke-lokal-an Pasca Kolonial 93 III. The Other, Self dan Misrecognition 98

ix

BAB V: KESIMPULAN

I. Kumpulan Kepentingan Hasrat 111 II. Mitos, Primitivisasi dan Pe-liyan-an 115 III. Sebuah Perulangan Yang Disepakati 117

DAFTAR PUSTAKA 121

LAMPIRAN LAMPIRAN

x

ABSTRAK

Tesis ini mendiskusikan proses saling me-liyan-kan antara orang Nusa Penida dan orang Bali daratan. Tesis ini mencoba melihat bagaimana orang Bali daratan dan orang Nusa Penida pandang-memandang. Dengan latar belakang industri pariwisata di Bali modern, apa yang terjadi dalam aktivitas pandang-memandang tersebut.

Untuk kepentingan tersebut, tesis ini pertama-tama mengeksplorasi sejarah Bali baik dalam bentuk tertulis maupun oral. Rentang waktu yang diambil untuk mendiskusikan sejarah Bali diambil dari jaman pra kolonial sampai masa kerajaan Klungkung. Sejarah oral Bali penuh dengan mitos yang masih diamini sampai sekarang, karena itu tesis ini juga mengeksplorasi mitos-mitos yang berkaitan dengan aktivitas pandang-memandang antara orang Bali daratan dan orang Nusa Penida. Secara umum Bali (modern) tergantung pada industri pariwisata, karena itulah tesis ini juga mendiskusikan pengalaman orang Nusa Penida dan Bali daratan yang “hidup” dalam industri ini.

Diskusi akhir tesis ini menunjukkan bahwa proses saling me-liyan-kan telah terjadi semenjak masa pra kolonial dan terus berlanjut sampai masa Bali modern. Proses ini terekam dalam bentuknya yang paling modern, yaitu tulisan serta tertanam dalam mitos yang diceritakan selama bergenerasi-generasi.

xi BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Pada tahun 1920 Belanda menetapkan sebuah cetak biru “pembangunan” Bali.

Belanda merancang Bali sebagai benteng terakhir terhadap serbuan nasionalisme dengan melancarkan program Baliseering , mem-Bali-kan Bali. Otak di belakang program ini adalah Bali Instituut, yang secara umum bertugas mengkaji dan mengusulkan kebijakan-kebijakan yang harus dilakukan pemerintah kolonial Belanda di Bali. Pada masa ini pula pengajaran bahasa, kesusastraan dan seni tradisi Bali di kalangan anak muda Bali dilaksanakan dengan tujuan agar mereka sadar akan kekayaan budayanya.

Pada dekade 1960-an ketika Bank Dunia terlibat dalam pengembangan industri turisme internasional, Bali kembali menjadi sorotan. Sebelumnya Bank

Dunia meminta Kurt Krapf, seorang ekonom Swiss, menganalisa keuntungan industri turisme bagi perkembangan ekonomi negara dunia ketiga dan perdagangan internasional secara umum. Pada periode ini pula Bank Dunia memberi pinjaman kepada pemerintah untuk proyek perluasan bandara Ngurah Rai, untuk kemudian diresmikan pada tahun 1969 sebagai bandara internasional. Bersamaan dengan Repelita I (1969-1974), Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF), dan Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI) menetapkan turisme

1 internasional sebagai penentu ekonomi nasional dan menjadikan Bali sebagai situs utama. Tahun 2000-an Bank Dunia (bekerja sama dengan United Nations

Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) dan United Nations

Conference on Trade And Development (UNCTAD)) kembali meluncurkan rancangan pembangunan Bali di bawah judul ‘Kebijakan dan Strategi untuk

Konservasi Warisan Budaya Bali’ dengan menekankan pentingnya perawatan dan pelestarian budaya bagi kelangsungan industri turisme. Master plan Bank Dunia menargetkan wilayah Sanur-Kuta-Nusa Dua-sebagian kecil ujung selatan Pulau Bali sebagai target utama pengembangan industri turisme 1. Dari paparan singkat ini tampak bahwa tema “keaslian” Bali pada dasarnya telah ditetapkan semenjak 1920- an.

Pasca jatuhnya Soeharto, wacana otonomi daerah berkembang. Segala macam keputusan yang bersifat lokal adalah kewenangan pemerintah daerah, demikian juga halnya dengan masalah pendanaannya. Di Bali sendiri wacana otonomi daerah

“dimulai” dengan penguatan masyarakat adat dan nilai-nilai ke-Bali-an. Sebagai penanda adalah lahirnya pecalangan 2. Ketika bom meledak di Kuta pada tahun 2002

(dan kemudian di Jimbaran dua tahun setelahnya) pecalangan lalu menunjukkan eksistensinya sebagai penjaga kebudayaan Bali dari serangan “pihak luar”.

1 Ambara, Alit, “Proyek Kolonial Bank Dunia Mem-Bali-kan Bali”, sisipan Media Kerja Budaya edisi 05/2001. 2 Bahasa Bali: secara kasar bisa diterjemahkan sebagai satuan pengamanan adat.

2 Penduduk Bali pun terpecah menjadi dua kubu: “penduduk pendatang” dan

“penduduk asli”. “Penduduk pendatang” adalah orang-orang yang berasal bukan dari

Bali, seperti misalnya yang selama ini menjadi stereotipe; orang Jawa, beragama

Islam, berjenggot dan seterusnya. Pasca ledakan inilah kekuatan “penduduk pendatang” dieliminir dengan memunculkan anggapan bahwa mereka adalah pengacau. Sementara “penduduk asli” adalah orang yang bernama khas Bali (seperti misalnya Gede, Made dan seterusnya), berbahasa Bali, dan seterusnya. Berbanding terbalik dengan apa yang terjadi dengan “penduduk pendatang”, “penduduk asli” dianggap sebagai pemilik sah segala apapun yang terberi dan terkandung di tanah

Bali. Sampai di sini terlihat bahwa Yang lain dalam masyarakat Bali adalah mereka yang “benar-benar bukan Bali”. Namun sebenarnya tidaklah demikian yang terjadi pada tingkat “akar rumput”. Di antara orang Bali sendiri terjadi proses saling me- liyan-kan.

Proses saling me-“liyan”-kan di antara orang-orang Bali ini bisa dikatakan sebagai sebuah proses yang nyaris tak terlihat. Saya katakan demikian karena Bali pasca wacana otonomi daerah, pasca bom, telah memiliki “musuh bersama” yang jelas terpampang di depan mata. Letupan-letupan kecil di dalam dianggap sebagai konsekwensi hidup bersama. Demikian tersebutkan dalam peribahasa lokal: celebingkah batan biu, gumi linggah ajak liu3. Peribahasa ini seakan mengajak untuk

3 Bahasa Bali: secara kasar bisa diterjemahkan sebagai; potongan genteng di bawah pisang, dunia tidak kecil beragamlah tabiat orang.

3 memendam dalam-dalam sesuatu yang terjadi, mengapa ia terjadi, siapa pelaku kejadian dan seterusnya selama pelakunya bisa diidentifikasikan sebagai “orang dalam”. Namun ia tidak dilupakan begitu saja, ia mengendap dan menunggu waktu untuk meledak. Dalam hal ini, Yang lain bukan hanya mereka yang berasal dari luar pulau, melainkan juga mereka yang bukan berasal dari Denpasar.

Denpasar (dan Badung) sebagai sebuah ruang yang selama ini merepresentasikan Bali merupakan sebuah “kota besar” dimana orang-orang Bali

“berkumpul” dan mencari peluang untuk memperbaiki taraf hidupnya. Kebanyakan dari mereka yang bukan dari Denpasar (dan Badung) mencari peluang kerja di sektor pariwisata, bersaing dengan orang-orang setempat dan orang-orang dari luar pulau.

Sementara bagi mereka yang tidak cukup memiliki modal untuk bertarung di wilayah pariwisata, biasanya menjadi buruh dan atau pedagang keliling.

Salah satu kelompok orang Bali “Yang lain” adalah mereka yang berasal dari

Nusa Penida. Nusa Penida secara geografis adalah sebuah pulau kecil di kaki pulau

Bali, yang berada di wilayah administratif kabupaten Klungkung, salah satu kabupaten terkecil di Bali. Pulau kecil ini kerapkali disebut sebagai pulau yang tertinggal, kering, “primitif”, dan seterusnya. Kebanyakan penghuni pulau ini merantau ke Denpasar untuk memperbaiki taraf hidupnya. Demikian pula dengan anak-anak muda yang ingin melanjutkan sekolah. Mereka pertama-tama akan memilih Denpasar sebagai kota tujuannya, kemudian Buleleng.

4 Pilihan Denpasar sebagai tujuan utama ini bukannya tanpa alasan. Pertama- tama karena Denpasar adalah “kota besar” yang menunjukkan gengsi yang lebih tinggi 4. Kota ini memiliki apa yang tidak dimiliki kota lain di Bali, sebutlah mulai dari pusat-pusat perbelanjaan sebagai penanda kemajuan sampai sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi ternama sebagai penanda keberkelasan. Kemudian di kota ini pula kesempatan untuk mendapat penghidupan lebih layak terbuka jauh lebih luas dibandingkan dengan kota lainnya (meski tidak selalu tepat demikian). Yang menarik untuk dicatat adalah bagaimana orang-orang Nusa Penida menyebut kota tujuannya di

Bali daratan, entah itu Denpasar ataupun kota lainnya, dengan sebutan Bali atau kaja 5. Istilah kaja sendiri sudah merujuk pada suatu ambiguitas kuasa. Istilah kaja biasanya disandingkan dengan istilah kelod 6 (sebagaimana orang-orang Bali daratan menyebut Nusa Penida).

Istilah kaja-kelod sendiri mungkin bisa disandingkan dengan istilah kiwa- tengen 7, atau dengan kata lain; baik-buruk. Suatu peristilahan yang ambigu dalam konsep masyarakat Bali secara umum. Ia adalah semacam istilah lain untuk menyebut dualitas yang selalu hadir dalam kehidupan masyarakat Bali. Dalam pemikiran masyarakat Bali secara umum, yang baik tidaklah selalu baik demikian juga sebaliknya. Namun tidak demikian setelah “pemapanan” Hindu oleh gerakan Hindu

4 Untuk perbandingan luas wilayah dan jumlah populasi di Denpasar dibandingkan dengan kabupaten- kabupaten lain di Bali, lihat lampiran I. 5 Bahasa Bali: utara. 6 Bahasa Bali: selatan. 7 Bahasa Bali: kiri-kanan.

5 Dharma melalui organisasi Parisada Hindu Darma sebagai “agama resmi” di Bali tahun 1950-an 8. Batasan baik-buruk, kiwa-tengen, kaja-kelod , dipertegas: hal yang mengacu pada kelod , dan atau kiwa selalu merujuk pada hal yang salah dan atau buruk.

Dengan kalimat yang lain bisa dikatakan kalau pada akhirnya kaja dipresentasikan hanya sebagai simbol kebaikan dan kelod adalah kebalikannya.

Dengan demikian, jika ditarik kembali pada diskusi hubungan Nusa Penida-Bali daratan, Bali daratan dengan demikian merepresentasikan suatu kebaikan dan sebaliknya dengan Nusa Penida. Dari penyebutan antar dua tempat ini saja sudah terlihat bagaimana mereka saling me-liyan-kan satu dengan yang lainnya.

II. Rumusan Masalah

Penelitian ini dimaksudkan untuk mendiskusikan persoalan identitas ke-Bali- an yang di permukaan terlihat tunggal dan solid. Persoalan besar ini dipecah menjadi tiga permasalahan pokok, yaitu: permasalahan historis, perwujudannya dalam bentuk folklore , dan peranan industri pariwisata.

Hal pertama yang akan didiskusikan adalah proses historis terbentuknya praktek saling me-liyan-kan antara orang-orang Nusa Penida dan Bali daratan.

Sebagai pengantar diskusi akan dibahas perjalanan historis kerajaan Klungkung sebagai kerajaan tertua di Bali. Seperti yang telah disebutkan di atas, Nusa Penida

8 Geertz, Hildred, Sakti Conjunction; New Views on Balinese “Religion”

6 berada dalam wilayah administrasi Klungkung. Dari pembahasan mengenai kerajaan

Gelgel kemudian akan dibahas perjalanan Gelgel menaklukkan Nusa Penida sampai akhirnya Nusa Penida menjadi bagian dari kerajaan Gelgel. Setelah kedatangan

Belanda di Bali, sampai akhirnya cetak biru pembangunan Bali dibuat oleh pemerintah Belanda.

Seperti yang telah disebutkan di atas, sejak tahun 1920-an pemerintah kolonial Hindia Belanda telah memberikan cetak biru pembangunan Bali secara umum. Yang kemudian akan didiskusikan dalam penelitian ini adalah apakah kejadian-kejadian di Bali daratan secara historis mempengaruhi kehidupan di Nusa

Penida. Juga akan didiskusikan apakah kolonialisme bisa dijadikan penanda pembentukan proses tersebut.

Hal kedua yang akan didiskusikan adalah bagaimana proses tersebut mewujud ke dalam kehidupan sehari-hari. Yang dicermati dalam diskusi ini adalah folklore .

Folklore dipilih dengan asumsi ia telah menyebar secara massif dalam kehidupan

“relijius” dan keseharian orang-orang Bali secara umum. Pemilihan folklore dalam diskusi ini berdasarkan kisah yang tertuang di dalamnya. Kisah yang saya maksudkan adalah yang berhubungan dengan permasalahan pandang-memandang antara orang- orang Nusa Penida dan Bali daratan.

Hal selanjutnya yang akan didiskusikan adalah peranan industri pariwisata dalam proses saling me-liyan-kan ini. Dengan asumsi bahwa Industri pariwisata

7 digunakan sebagai sarana untuk memulihkan citra rezim orde baru setelah peristiwa

1965 (dan tentu saja merupakan salah satu proyek Bank Dunia), seberapa penting industri ini bagi orang-orang Bali. Industri pariwisata telah masuk sampai ke ruang- ruang privat orang-orang Bali: mulai dari rapat keluarga untuk menjual tanah warisan sampai menentukan sekolah pariwisata yang paling bonafid untuk sang anak. Dengan demikian apakah industri ini mampu mengeliminir proses saling me-liyan-kan antara orang Nusa Penida dan orang Bali daratan. Lebih jauh lagi apakah dalam industri ini mereka menemukan momen untuk menyatakan “kita”. Hal ini penting untuk dilihat karena Bali pasca kolonial, pasca wacana otonomi daerah, pasca bom telah terlatih untuk menyenangkan hati para wisatawan. Lebih jauh lagi, momen seperti apa serta apa yang menyebabkan momen ini terjadi, juga penting untuk didiskusikan.

III. Tujuan Penelitian

Selama ini proses saling me-liyan-kan yang terjadi di Bali dipandang hanya terjadi di antara “penduduk pendatang” dalam arti orang-orang dari luar pulau Bali dengan “penduduk asli”. Seperti yang telah saya paparkan di atas, proses saling me- liyan-kan itu juga terjadi dalam pergaulan antara orang-orang Bali sendiri. Dua proses ini saya bedakan karena ketika orang-orang Bali memandang keluar, mereka menemukan orang lain, dalam artian orang-orang dari luar pulau. Kemudian ketika mereka “memandang dirinya” mereka juga menemukan “person lain” dalam dirinya.

8 Namun tidak bisa dipungkiri, persoalan pandang-memandang ini masih dalam kerangka pencarian “luar-dalam”. Bisa dikatakan kalau proses ini merupakan dua hal yang berbeda sekaligus sama. Ia tidak bisa disamakan dan pada waktu bersamaan ia tidak bisa dibedakan.

Penelitian ini mencoba mendiskusikan bagaimana proses itu terjadi secara kultural dan historis. Diskusi ini bertujuan memeriksa bagaimana proses itu bisa terjadi secara historis, kemudian dilanggengkan secara kultural, lalu “disahkan” dan dianggap sudah semestinya terjadi. Secara umum proses ini terjadi melalui industri pariwisata yang telah dikenal di Bali selama bertahun-tahun. Hampir sebagian besar orang-orang Bali secara umum menggantungkan hidupnya pada industri ini.

Tidak hanya orang-orang Bali yang bergantung pada industri ini, orang-orang dari luar pulau Bali yang merantau ke Bali juga banyak yang tergantung pada industri ini. Namun dalam penelitian ini yang akan dicermati adalah apakah industri pariwisata berperan dalam proses saling me-liyan-kan antar orang-orang Bali sendiri, ataukah ia mengeliminir proses saling me-liyan-kan tersebut. Dalam hubungannya dengan industri pariwisata, penelitian ini bertujuan untuk memahami peran industri ini dalam proses historis tersebut.

Signifikansi penelitian ini adalah untuk lebih memahami posisi orang-orang

Nusa Penida di Bali daratan. Dan juga sebaliknya, untuk bisa memahami posisi orang-orang Bali daratan dalam hubungannya dengan Nusa Penida. Untuk wilayah

9 keilmuan, mengingat kajian politik identitas dalam ranah Bali studies merupakan kajian minor, penelitan ini diharap bisa menjadi catatan kaki atas penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya, dan bisa pula menjadi bahan pertimbangan untuk penelitian-penelitian selanjutnya. Secara lebih spesifik dalam kaitannya dengan kajian tentang Bali, penelitian ini mengetengahkan dua hal kecil yang terkadang luput dari pandangan. Pertama, bahwa mitos memegang peranan penting dalam pembentukan identitas dalam kerangka pandang-memandang. Kedua, ke-lokal-an adalah sesuatu yang absurd, yang tidak cukup untuk digunakan sebagai dasar pembentukan identitas solid sebagaimana dibayangkan oleh ajeg Bali . Dalam hal ini, ke-lokal-an yang dipandang secara esensialistik adalah sesuatu yang absurd dan berbahaya karena ia tidak akan mengindahkan perbedaan dan dalam satu sisi ia akan menuju kepada purifikasi (kultural).

IV. Kerangka Teori

Seperti yang telah disebutkan di atas, penelitian ini akan berusaha mendiskusikan jalinan masalah identitas ke-Bali-an yang terlihat solid di permukaan.

Identitas ke-Bali-an yang pasca bom jilid I dan II dipertegas oleh sekelompok elit melalui program Ajeg Bali ternyata menyimpan permasalahan di dalamnya. Bali pasca ledakan bom berusaha menguatkan diri ke dalam. “Musuh” utamanya adalah

“orang luar”. Penegasan identitas “orang luar” mendapat legitimasi dari media lokal

10 yang didukung oleh negara, Bali Tv, Denpost, dan Bali Post. “Orang luar” yang pantas dicurigai merusak kebudayaan Bali memiliki stereotype berikut; beragama

Islam, berjenggot, dan bernama khas Jawa (baca: Islam). Media jugalah yang secara implisit menegaskan kesamaan identitas ke-Bali-an orang-orang Bali. Ketiga media tersebut berada dalam naungan Kelompok Media Bali Post. Kelompok media inilah yang “melahirkan” istilah Ajeg Bali 9.

Pada dasarnya identitas menjadi penting ketika seseorang berhadapan dengan

Yang lain. Ketika berhadapan dengan Yang lain, kemungkinan terjadi misrecognition dalam mengenali siapa berhadapan dengan siapa. Pada fase cermin Lacan, misrecognition terjadi ketika seorang anak melihat pantulan dirinya di cermin. Ia tidak bisa membedakan siapa yang ia lihat atau ia dilihat oleh siapa. Pada tahapan inilah fantasi narsistik berkembang dan memapankan tatanan imajiner, yang kemudian berurusan dengan masalah identifikasi serta penyamaan-penyamaan 10 .

Pada kasus penelitian ini, misrecognition menegaskan keberadaan Yang lain melalui penegasan diri. Dengan kata lain, orang-orang Denpasar melihat pada dirinya sendiri untuk menegaskan perbedaan antara dirinya dengan orang-orang Nusa Penida.

Hubungan self-other diperantarai oleh bahasa dalam pengertiannya yang paling luas. Pada level inilah mitologi Barthesian memberikan faedahnya. Karena komunikasi pada suatu komunitas tidak selalu terbatas pada oral speech , hubungan-

9 Narada, ABG Satria [et al], Ajeg Bali : Sebuah Cita-cita, Bali Post , tanpa tahun terbit. 10 Fink, Bruce, Lacanian Subject: Between Language and Jouissance , Princeton University Press, New Jersey, 1995

11 hubungan pada suatu komunitas bisa dan dapat dimaknai melalui cara komunikasinya yang lain, yakni mitos. Sebagaimana dikatakan oleh Roland Barthes dalam mitologi, bahwa mitos merupakan sebuah sistem komunikasi, yakni sebuah pesan. Dan pada dasarnya mitos adalah sebuah type of speech , sebuah cara pemaknaan 11 . Namun yang paling penting adalah ia tidak hanya terbatas pada oral speech , ia bisa berbentuk tulisan, fotografi, pertunjukan, publikasi, dan seterusnya. Ia bisa dimaknai oleh penggunanya dalam suatu proses dialog. Ia dikenali dan dimengerti sebagai ungkapan yang telah diterima dalam komunitas tersebut.

Gramsci dalam Prison Notebooks menyebutkan bahwa urbanisme di Itali tidaklah murni, atau “khususnya”, sebuah fenomena perkembangan kapitalistik atau industri besar. Namun dalam kota tipe medieval , ada dasar populasi yang kuat dari tipe urban modern; tapi apa posisi relatifnya? Mereka berada di bawah, tertekan, dihancurkan oleh sisi yang lain, yang tidak merupakan tipe modern dan mayoritas terbesar. Paradoks dari “ city of silence ”. 12 Belajar dari sejarah Itali yang disusun

Gramsci dalam Prison Notebooks , kita bisa membuat pembedaan yang kurang lebih sama, dalam konteks Bali. Pembedaan yang bisa dibuat adalah antara daerah industri

(pariwisata) dengan daerah pedesaan yang “tidak tersentuh” efek-efek dari industri

11 Barthes, Roland (Nurhadi: penerjemah), Mitologi , Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004. 12 Gramsci, Antonio, (Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith: editor and translator), Selection From The Prison Notebooks of Antonio Gramsci , International Publisher, New York, 2005:91. Catatan: City of Silence merupakan judul kumpulan puisi dari D’Annuzio. Kota-kota yang dimaksud dulunya merupakan sebuah kota yang memiliki masa lalu yang gemerlap tapi sekarang hanya “kota kedua” beberapa diantaranya tak lebih dari sebuah desa dengan pusat monumental sebagai sebuah peninggalan dari kemuliaan yang telah sirna.

12 pariwisata. Hubungan antara daerah industri (pariwisata) dengan daerah pedesaan terkesan saling mendukung. Dalam kenyataannya hubungan ini merupakan sebuah hubungan yang sangat kompleks dan muncul dalam sebuah bentuk permukaan yang kontradiktif 13 . Hubungan ini kemudian diperumit dengan munculnya ajeg Bali .

Marx berargumen bahwa basis ekonomi merupakan level kehidupan sosial yang paling kuat dan krusial. Basis ekonomilah yang meng-ada-kan superstruktur dan memberikannya karakter. Pada gilirannya superstruktur bekerja untuk menjaga struktur ekonomi yang ada dan menyamarkan atau melegitimasi kondisi riil dari eksploitasi ekonomi 14 . Sebagai contoh, industri pariwisata merupakan struktur ekonomi di sebagian besar wilayah Bali semenjak 1920-an. Industri pariwisata kemudian menguatkan hukum tak tertulis yang menyebutkan tentang penjagaan kebudayaan Bali yang adi luhung. Ia menghasilkan banyak sekali sekolah pariwisata

(yang menghasilkan banyak tenaga kerja aktif) dan seterusnya. Sebagian besar fenomena ini memperkuat praktek “perbudakan” (melalui berlimpahnya tenaga kerja aktif yang disebabkan oleh menjamurnya sekolah pariwisata) pada satu sisi dan pada sisi lain memperkuat praktek pe-liyan-an (salah satunya) melalui penjagaan kebudayaan (a la Ajeg Bali ), sementara ia menampilkan dirinya terpisah dari praktek- praktek tersebut.

13 Gramsci, Antonio, (Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith: editor and translator), Selection From The Prison Notebooks of Antonio Gramsci , International Publisher, New York, 2005:91. 14 Jones, Steve, Routledge Critical Thinker: Antonio Gramsci , Routledge, New York, 2006: 29.

13

V. Tinjauan Pustaka

Ada banyak sekali penelitian mengenai Bali, tentang masyarakat serta kebudayaannya yang dianggap unik. Akan tetapi tidak banyak studi mengenai identitas ke-Bali-an dalam kancah Bali studies . Michel Picard meneliti Bali dengan menggunakan industri pariwisata sebagai jalan masuknya. Bali telah lama dikenal sebagai sebuah daerah tujuan wisata, dimulai dari masa pemerintahan kolonial

Belanda sampai sekarang, Bali hampir selalu sama dengan obyek wisata. Dalam pandangan Michel Picard yang meneliti industri pariwisata Bali mengenai efek pariwisata, ia mencatat bahwa industri ini telah membelah kelompok masyarakat menjadi dua kubu: “kita” dan “mereka”. “Kita” dalam catatan Picard adalah orang- orang Bali pada umumnya. Sedangkan “mereka” adalah orang luar yang mencari penghidupan di Bali. Pada ruang lingkup lain, Picard mencatat bahwa “kita” adalah orang-orang Bali (pelaku wisata) sedangkan “mereka” adalah pemodal dari Jakarta atau siapapun yang memboncengnya. Penelitian yang dilakukan oleh Picard tidak melihat bahwa ada pertarungan di wilayah yang di klaim sebagai “kita” itu. Siapakah dan dalam kondisi seperti apa “kita” bisa terlontar dalam berbagai percakapan, lalu siapakah yang bukan “kita” tidak terjelaskan oleh penelitian yang dilakukan Picard.

Efek pariwisata yang dijelaskan oleh penelitian Picard terbatas sampai masalah-

14 masalah besar saja. Ia melihat bagaimana Bali menjadi ajang pertarungan antar modal lokal dan nasional, antara modal nasional, lokal, dan internasional. Serta bagaimana

Bali dipertaruhkan sebagai piala yang diperebutkan oleh pihak-pihak berseteru yang tersebut diatas 15 . Penelitian Picard tidak menceritakan bagaimana perseteruan antar orang-orang Bali sendiri dalam industri tersebut.

Sementara itu, Degung Santikarma dalam tulisannya, ‘Ajeg Bali: Dari Gadis

Cilik ke Made Schwarzeneger’, menegaskan bahwa Ajeg Bali sebagai sebuah

“institusi” resmi yang didukung oleh kekuatan negara (dan dalam sudut pandang lain adalah suatu medan perlawanan terhadap kuasa negara) menjadi penegas identitas ke-

Bali-an orang-orang Bali. Melalui Ajeg Bali, semua hal yang berbau tradisional digali lagi dari liang kubur, dihidupkan, dan dipakai sebagai semacam the original past .

Ketika orang-orang Bali berhadapan dengan orang bukan Bali (dalam tulisan ini tersirat sebagai orang dari luar pulau), “identitas tradisional” inilah yang dikedepankan. Demikian juga ketika orang-orang Bali berhadapan dengan angkuhnya industri pariwisata, hal yang sama ditegas-tegaskan untuk menunjukkan suatu identitas yang solid.

Titik awal yang menjadi “pemicu” adalah perbuatan Amrozi dan kawan- kawannya di Bali. Apa yang dilakukan Amrozi tidak hanya memunculkan ledakan yang membinasakan dan melukai ratusan orang, tetapi juga melahirkan ledakan

15 Michel Picard (Jean Couteau dan Warih Wisatsana; penerjemah), Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata , KPG, Forum Jakarta-Paris, dan École Française d’Etréme-Orient, Jakarta, 2006

15 wacana yang mempertanyakan hubungan antara yang lokal dan yang global serta interaksi nasionalisme dengan identitas etnis dan agama, demikian Degung

Santikarma 16 . Serpihan-serpihan ledakan wacana tersebut yang kemudian menetaskan sebuah jawaban atas segala kebingungan: Ajeg Bali. "Ajeg Bali" menjadi tema hangat di kalangan konsumen media di Bali, yang kebanyakan berasal dari kelas menengah mapan yang dibentuk oleh kucuran dollar pariwisata. Kelompok ini jelas yang paling terpukul oleh kehancuran ekonomi Bali akibat bom, tetapi mereka juga yang paling siap ber-manuver untuk mencari posisi kuat yang baru di lapangan pasca- kolonial, pasca-Soeharto, dan pasca-bom. Dengan memakai wacana "Ajeg Bali" sebagai alat perlawanan terhadap "penjajahan" “orang luar”, mereka mengharap bisa membersihkan medan bisnis dari kompetitor luar untuk mengelola modal pariwisata mereka sendiri. Ini memang kedengaran agak sumir, mengingat hubungan yang eksploitatif antara buruh dan majikan di dalam industri pariwisata lebih berbasis pada kelas daripada etnisitas.

Demikian wacana Ajeg Bali yang berusaha menegaskan identitas ke-Bali-an dengan menggalinya dari “ original past” yang dianggap niscaya. Original past ini yang oleh industri pariwisata, atau meminjam kalimat Degung, kapitalisme pariwisata dijajakan untuk memperlancar kucuran dolar ke dalam pundi-pundi mereka. Tulisan- tulisan tersebut di atas banyak menyinggung hubungan antara orang-orang Bali dan

16 Lihat: Degung Santikarma, “Ajeg Bali: Dari Gadis Cilik ke Made Schwarzeneger”, Kompas , Minggu 07 Desember 2003.

16 bukan Bali. Namun yang banyak disebut bukan Bali adalah mereka yang dari luar pulau. Dengan kata lain tulisan tersebut di atas memeriksa hubungan orang dalam dan orang luar di mana yang disebut sebagai orang luar adalah orang luar pulau. Akan tetapi “kelemahan” tulisan-tulisan di atas adalah ia tidak memberi perhatian yang cukup akan tegangan-tegangan yang terjadi di antara orang-orang Bali sendiri. Di satu pihak tulisan ini menggugat identitas ke-Bali-an yang disolidkan oleh Ajeg Bali, akan tetapi di pihak lain ia memberi kesan bahwa di antara orang Bali, persoalan identitas yang rapuh tidaklah membawa persoalan yang signifikan atau paling tidak tulisan tersebut hanya sekedar menyenggol sedikit permasalahan tersebut.

Antropolog Hildred Geertz dalam essainya yang berjudul Theater of Cruelty:

The Contexts of a Topéng Performance 17 meneliti bagaimana sebuah pertunjukan topéng yang memiliki sisi relijius bisa dipakai untuk kepentingan politik praktis.

Demikian Hildred Geertz; pertunjukan topéng yang merupakan bagian integral (salah satu dari banyak sekali) kegiatan spiritual di Bali, digunakan tidak dalam konteksnya namun memakai semua peristilahan dalam sebuah kegiatan spiritual. Hal ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk mengesahkan kegiatan politik secara kultural.

Dalam penelitiannya Hildred Geertz menemukan bahwa seorang penari topéng yang tubuhnya dirasuki oleh mahluk gaib (dewa-dewa), mampu menggerakkan orang- orang untuk melakukan apa saja yang diminta. Demi kebaikan umat, orang-orang

17 Dalam State and Society in Bali: Historical, Textual, and Anthropological Approaches , KITLV Press, Leiden, 1991

17 mesti mematuhi dan memenuhi permintaan mahluk gaib yang menggunakan tubuh si penari. Demikianlah kegiatan politik bisa mendapat legitimasinya melalui kegiatan kultural semacam ini di Bali. Lebih jauh lagi kegiatan semacam ini bisa menjadi senjata negara untuk menyembunyikan ketidakmampuannya dalam memberikan fasilitas yang lebih baik untuk warganya.

VI. Metode Penelitian

Penelitian ini membutuhkan beberapa jenis data: data historis, teks budaya yang berupa folklore , dan pengalaman orang-orang Nusa Penida di Denpasar.

Data historis mengenai Nusa Penida yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan melalui penelusuran sejarah “besar” yang tercatat dalam buku-buku sejarah dan sejarah “kecil” yang dikumpulkan melalui wawancara. Wawancara dilakukan di Nusa Penida. Saya mewawancarai orang-orang yang memiliki akses pada sejarah entah itu tertulis ataupun dalam bentuk oral. Wawancara tidak dilakukan dalam kerangka ruang resmi dan formal akan tetapi dilakukan dengan santai. Dengan demikian akan memberikan ruang pada mereka untuk berkata atau bercerita tentang apa saja. Penetapan waktu wawancara dilakukan secara “acak”, tanpa “birokrasi” yang rumit. Dalam artian, saya tidak dengan sengaja mendatangi mereka hanya untuk melakukan wawancara dan menyodorkan recorder di depan hidung mereka lalu pergi setelahnya. Saya melakukannya dengan santai, misalnya, ketika saya dengan “tidak

18 sengaja” bertemu lalu ngobrol. Strategi ini saya pilih karena dengan cara demikian akan tercipta sebuah ruang yang lebih egalitarian. Dengan model wawancara demikian mereka tidak akan merasa ditempatkan dalam posisi hanya sebagai “obyek penderita”, melainkan sebagai subyek yang juga memiliki hak atas apa yang dibicarakan. Selain itu mereka akan lebih leluasa mendebat pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan yang mungkin menurut mereka tidak tepat. Meski demikian, etika penelitian tetap ada dalam prosesi ini. Sebelumnya mereka tetap saya beritahu bahwa saya sedang melakukan penelitian dan akan mewawancarai mereka.

Orang-orang yang diwawancara ini dipilih secara sistematis mulai dari yang paling muda sampai ke yang paling tua. Pemilihan informan ini dipengaruhi oleh kisah-kisah oral dan atau mitos yang mereka ceritakan mengenai sejarah Bali secara umum. Data-data yang terkumpul melalui proses wawancara ini diperlakukan sebagai informasi “faktual” yang membangun sebuah teks historis. Teks “sejarah kecil” inilah yang kemudian disandingkan dengan teks “sejarah besar”. Dalam asumsi saya, perbedaan-perbedaan akan terlihat ketika dua hal yang sama namun berbeda disandingkan. Sebagaimana anak kembar yang dipisahkan kemudian bertemu lagi, tentu akan ada perbedaan-perbedaan kecil yang terlihat. Perbandingan kedua teks sejarah inilah yang kemudian dipermasalahkan dalam diskusi pada poin ini.

Teks budaya yang berupa folklore adalah artefak yang dicermati dalam rangka mendiskusikan bagaimana proses saling me-liyan-kan tersebut mewujud dalam

19 kehidupan sehari-hari masyarakat Bali. Dengan kata lain artefak ini membantu untuk melihat pe-liyan-an orang-orang Nusa Penida secara kultural dalam pergaulannya dengan orang-orang Bali daratan. Selain artefak tersebut di atas, ungkapan-ungkapan yang bernada “merendahkan” (dari sudut pandang orang-orang Bali daratan) dan atau

“sinisme” (dari sudut pandang orang-orang Nusa Penida) juga dicermati dalam rangka melengkapi diskusi wujud dari proses saling me-liyan-kan tersebut.

Ungkapan-ungkapan ini diperlakukan sebagai signifier dari artefak yang didiskusikan di atas.

Pada poin ini saya berasumsi bahwa industri pariwisata melekatkan citra bahwasannya Bali secara keseluruhan adalah sesuatu yang solid dan tunggal.

Pertanyaan yang muncul disini apakah kemudian pencitraan ini mampu mengeliminir proses saling me-liyan-kan di antara orang-orang Nusa Penida dan orang-orang Bali daratan dalam field yang sama. Untuk itu data berupa pengalaman orang-orang Nusa

Penida di Denpasar (dan Badung) diperlukan dalam diskusi ini. Pengalaman- pengalaman ini dikumpulkan melalui wawancara dengan mereka yang beraktifitas dalam wilayah kepariwisataan. Strategi pengumpulan data melalui wawancara pada poin ini sedikit berbeda dengan poin sebelumnya. Pada poin ini saya mengikuti para informan yang berprofesi sebagai guide liar, surfer, dan seterusnya ke tempat kerja mereka. Tempat kerja yang saya maksudkan disini bukanlah kantor atau sejenisnya, melainkan pinggiran pantai Sanur, Kuta, dan Uluwatu. Tempat-tempat ini dipilih

20 karena di sinilah terjadi banyak interaksi antara orang-orang Nusa Penida dan Bali daratan. Sedapat mungkin saya mengikuti mereka mulai dari bekerja sampai mereka memasuki kehidupan malam di wilayah-wilayah tersebut. Data berupa hasil wawancara ini kemudian dipilah-pilah sesuai dengan kepentingan penelitian ini melalui perspektif pandang-memandang.

VII. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembacaan alur pemikiran dalam penelitian “Orang Bali

Yang Lain: Proses Saling Me-liyan-kan Antara Orang-orang Nusa Penida dan Orang- orang Bali Daratan” ini, saya membaginya ke dalam lima bab pembahasan. Bab I merupakan pendahuluan, yang menguraikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian dan signifikansinya, kerangka teoritis, metode penelitian yang digunakan, serta sistematika penulisan dari penelitian ini.

Selanjutnya saya menguraikan proses historis saling me-liyan-kan antara orang-orang Nusa Penida dan orang-orang Bali daratan pada Bab II. Diskusi dalam bab ini saya batasi periodenya mulai zaman pra kolonial sampai awal masa kolonial untuk pembahasan mengenai sejarah Klungkung, dan untuk sejarah Nusa Penida saya membatasinya sampai periode dikuasainya Nusa Penida oleh kerajaan Klungkung.

Bab III mendiskusikan analisis mitos atas folklore yang mencerminkan proses pe-liyan-an orang-orang Nusa Penida secara kultural, yang akan menjadi pemandu

21 jalan untuk melihat proses saling me-liyan-kan tersebut mewujud dalam kehidupan sehari-hari. Teori mitos juga dipakai sebagai teropong untuk mengamati bagaimana relasi sosial orang-orang Nusa Penida di Denpasar, serta bagaimana orang-orang Bali daratan memandang orang-orang Nusa Penida. Pengalaman saling pandang- memandang ini akan dibahas lebih lanjut di bab selanjutnya.

Bali, tidak bisa dipungkiri, memiliki sejarah yang demikian panjang dalam sektor pariwisata. Pulau ini telah menjadi arena pertarungan modal dan berbagai kepentingan lokal-nasional-internasional dalam industri pariwisata selama kurang lebih 30 tahun terakhir. Jika dirunut lebih jauh lagi, Bali sebenarnya telah menjadi

“arena perang” bahkan semenjak masa kolonial. Berdasarkan latar belakang ini, maka pada bab IV ini diskusi mengenai pengalaman saling pandang-memandang ini akan disempitkan pada sektor pariwisata serta diarahkan pada penyingkapan selubung industri pariwisata dalam proses saling me-liyan-kan antara orang-orang Nusa Penida dan orang-orang Bali daratan.

Bab terakhir dari penelitian ini tidak lain berisi kesimpulan-kesimpulan dari diskusi-diskusi yang telah disajikan pada bab-bab sebelumnya. Demikianlah tujuan dari bab ini: berusaha untuk menyimpulkan proses saling me-liyan-kan antara orang- orang Nusa Penida dan orang-orang Bali daratan, sebuah kesimpulan atas permasalahan pada jamannya.

22 BAB II

MEMBACA ULANG SEJARAH KLUNGKUNG: Kisah-kisah Usaha Penjinakan

Bab ini mendiskusikan perjalanan sejarah Klungkung mulai dari zaman pra kolonial sampai sekarang. Rentang waktu yang cukup panjang ini diambil dengan alasan sederhana: bahwa proses saling me-liyan-kan telah dimulai jauh sebelum kedatangan Belanda dengan proyek Baliseering nya dan proses ini tertuang dalam bentuknya yang paling modern: tulisan.

Bahan-bahan yang dipilah dan dipilih dalam bab ini cukup banyak tersebar di beberapa tempat di Bali, satu hal yang memudahkan sekaligus menyulitkan.

Memudahkan karena terdapat cukup banyak catatan mengenai hal yang akan dibahas, dan menyulitkan karena catatan-catatan yang tersebar ini menyatakan hal yang sama dengan perspektif yang berbeda. Di tengah sebaran informasi yang “berlebihan”, saya memilih beberapa bahan tertulis yang sekiranya berhubungan dengan tema tesis ini:

Babad Usana Bali Pulina (saya pilih karena di dalamnya mengisahkan proses

“terbentuknya” Bali dari sebuah pulau yang mengapung sampai akhirnya para Dewa menurunkan seorang raja), Pamencangah Ida I Dewa Kulit ring Nusa Penida (saya pilih karena membeberkan kisah ksatria dalem yang diutus ke Nusa Penida), Prasasti

I Dewa Anom (dipilih karena prasasti ini memberikan kisah bantuan yang diberikan kerajaan Gelgel ketika menundukkan Nusa Penida), Babad Nusa Penida (sebuah

23 buku yang penuh dengan kisah-kisah mengenai Nusa Penida) dan Sejarah

Klungkung: Dari Smarapura sampai Puputan (buku sejarah resmi Pemerintah

Daerah Klungkung yang memberikan gambaran umum Klungkung dari terbentuknya kerajaan Bali sampai Puputan Klungkung).

Selain menggunakan bahan-bahan tersebut di atas, saya juga menggunakan potongan-potongan satwa , baik itu satwa 1 yang saya dapatkan melalui wawancara maupun yang telah menjadi semacam common sense di Bali. Kisah-kisah tersebut kemudian saya satukan dengan kisah yang ditemukan dalam babad dan atau prasasti tersebut di atas. Orang-orang yang saya wawancarai untuk kepentingan bab ini adalah

Ida I Dewa Catra (seorang ahli lontar yang seringkali terlibat dalam proyek alih aksara lontar), I Gusti Mangku Kebyar (seorang pemangku dari desa Bedulu,

Gianyar), I Dewa Made Bagus (seorang mantan pegawai negeri yang sedang menelusuri proses kedatangan leluhurnya di Nusa Penida).

Kisah-kisah yang tidak tertuang dalam bentuk tulisan, saya asumsikan memiliki kekuatan yang kurang lebih sama dengan kisah dalam Babad . Selain itu kisah-kisah yang diceritakan secara oral lebih “hidup” dibandingkan dengan kisah dalam bentuk tulisan, karena kisah oral bisa diakses secara lebih luas bila dibandingkan dengan tulisan. Seperti yang telah kita ketahui, akses pada suatu bentuk

1 Bahasa Bali: kisah oral.

24 tulisan adalah suatu akses eksklusif yang terbatas hanya pada orang-orang tertentu 2.

Sebaliknya, satwa 3 (yang hampir oleh seluruh sistem pengetahuan formal dianggap bukan sebuah bentuk pengetahuan) tersebar lebih massif karena ia tidak memiliki batasan seketat tulisan dan semua orang memiliki hak untuk mesatwa 4 dan mendengarkan satwa. Dalam satwa-mesatwa inilah suatu bentuk pengetahuan ditransfer, disebarkan, diterima, dipahami dan karena sebuah satwa tidak memiliki bentuk yang ketat sebagaimana tulisan, ia berubah sejalan dengan perubahan ruang, waktu dan siapa yang mesatwa .

I. Bali Sebelum Majapahit: Kuasa Berwajah Angkara

Sebelum Bali berada di bawah kuasa Majapahit diceritakan bahwa pulau Bali terombang-ambing di lautan. Kemudian Betara Pasupati mengambil puncak

Mahameru (yang kemudian menjadi gunung Agung) dan meletakkannya di Bali.

Bedawangnala (seekor kura-kura raksasa) diperintahkan untuk menyangga gunung tersebut dari bawah, sementara Naga Taksaka, Naga Anantaboga, dan Naga Basuki diperintahkan untuk mengikat gunung tersebut agar tak lepas dari pulau Bali. Betara

2 Sebagai contoh yang yang tepat dalam konteks tulisan ini adalah penyebaran pengetahuan yang terdapat pada kitab-kitab suci Hindu di Bali. Tidak semua orang Hindu di Bali boleh membaca kitab suci, karena dianggap tidak pantas semua orang membaca kitab suci. Sehingga pemahaman orang- orang yang tidak membaca secara langsung adalah pemahaman yang sama dengan yang dimiliki oleh orang-orang yang dianggap pantas membaca kitab suci. Dengan kata lain, pengetahuan dalam bentuk tertulis adalah sebuah pengetahuan untuk kalangan tertentu. 3 Bahasa Bali: dongeng, cerita, kisah. 4 Bahasa Bali: mendongeng, bercerita, berkisah.

25

Pasupati kemudian memerintahkan putranya, Mahadéwa, untuk menempati gunung itu dan ia dipuja di Pura Besakih.

Babad Usana Bali Pulina menyebutkan bahwa pada jaman dahulu ada mahluk sakti tanpa tanding, bersenjatakan taring tajam menakutkan, berperilaku raksasa, rakus, bingung, pemarah. (…) Dia adalah anak raja Détya Balingkang. Sang

Mayadenawa bertahta di Bedahulu, rakyatnya banyak, sama rakus, angkara, dursila, irsiya, poraka, mengacau dan menentang 5. Dikisahkan bahwa Mayadenawa melarang orang-orang untuk memuja Dewa-dewa yang bersemayam di Pura Besakih. Ia meminta orang-orang untuk memuja dirinya dan semua persembahan ditujukan hanya kepada dirinya. Gerah dengan kepongahan Mayadenawa, Betara Mahadéwa melaporkan kejadian tersebut kepada Betara Pasupati yang kemudian meminta tolong

Betara Indra untuk menumpas Mayadenawa. Setelah melalui pertarungan yang panjang dan melelahkan, para dewa berhasil memenangkan pertarungan dan membunuh Mayadenawa.

Kisah di atas bisa dimaknai sebagai kisah penguasaan Bali dari perspektif

“pendatang” atau yang menginvasi. Disebutkan bahwa Mayadenawa memiliki rakyat yang banyak dan sama-sama barbarnya, dari sini bisa dilihat kalau kisah tersebut merupakan sebuah cara subyek memandang Yang lain. Mengikuti Lacan, kita hanya

5 Dalam bahasa aslinya: pūrwwa k āla hana maya sakti tan pahingan, asiyung adhangastra tiksna angamah-amah kadi trapning dhanawa, lobha, moh ā, m ūrkka. (…) Sira anak ing Ratu Détya Balingkang. Sang May ādhanawa a ňjeneng ring Bhédhahulu, akwéh wadwanya. Sama lobha angkara dursila, hirsya poraka, guragada hélik .

26 bisa memahami fase cermin sebagai sebuah cara identifikasi 6. Pada fase cermin seseorang untuk pertama kalinya menjadi subyek. Ia tidak mampu membayangkan dirinya, maka pada fase inilah realitas imajiner bekerja di mana realitas subyek dipengaruhi oleh citra dalam cermin. Citra dalam realitas imajiner adalah citra yang berubah-ubah ( changeable ). Perubahan-perubahan ini ditentukan oleh tatanan masyarakat. Pada fase ini realitas simbolik kemudian mengambil alih pencitraan dalam cermin. Selanjutnya ditentukanlah apa yang benar dan apa yang salah melalui hukum ayah ( law of the father ). Pada fase inilah seseorang membedakan dirinya dengan Yang lain, dalam kasus ini menyalahkan Yang lain. Karena kesalahan

Mayadenawa memerintahlah maka rakyat mengikuti polah tingkah sang raja: rakus, angkara, suka mengacau dan menantang. Kesalahan ini perlu dihentikan, karena itulah Mayadenawa perlu dibinasakan. Di lain pihak, keberadaan Mayadenawa merupakan halangan untuk menguasai Bali. Selama Mayadenawa masih dipandang sebagai raja yang baik oleh rakyatnya (mengingat disebutkan bahwa Mayadenawa dan rakyatnya sama-sama barbar), maka penguasaan atas pulau Bali tidak bisa dibenarkan. Demikian maka subyek melihat pada hukum ayah dalam realitas simbolik untuk memberikan pembenaran pada penyerangan atas pulau Bali.

Sebuah satwa di Bali menyebutkan bahwa setelah Mayadenawa berhasil dikalahkan, ia kembali turun ke dunia melalui perantaraan buah kelapa. Di dalam buah kelapa itulah ia bersemayam dengan meminjam bentuk tubuh dua orang anak

6 Lacan, Jacques, (Alan Sheridan: translator), Écrits: A Selection , 1977:2.

27 kembar laki-perempuan yang kemudian diberi nama Masula-Masuli 7. Buah kelapa itu ditemukan oleh seorang pendeta Brahmana di halaman Pura Besakih. Buah kelapa yang digunakan sebagai medium kelahiran Mayadenawa adalah simbol dari keperluan upacara yang signifikan dalam ritual di Bali. Buah kelapa adalah satu- satunya buah dalam pejati 8 yang mesti ada dalam ritual mecaru 9. Sementara itu,

pendeta Brahmana adalah person yang mesti ada dalam suatu ritual di Bali. Pendeta

Brahmana yang memungut buah kelapa dengan isi Masula-Masuli itu saya kira

adalah pendeta Brahmana Siwa-Budha 10 . Jika kisah ini dihubungkan dengan ritual

mecaru 11 . Transfer pengetahuan dalam bentuk satwa , sebagaimana saya katakan di atas, lebih mudah dibandingkan dengan tulisan. Menurut Roland Barthes, sebuah

7 Dalam Babad Usana Bali Pulina disebutkan bahwa Mur Śri Jaya Pangus, mangsilih diri wangsan ira bhiniséka Śri Eka Jaya Lanca ňa matuh ing patni Kadhiri. (...) Arawas rawas t ěka pwa nalikaning samayan ira Mah ārāja umung śi sunyatmaka. Wang śan ira mangalih i prabhu, Śri Ma śula Ma śuli saj ňan ira. Sadampati pwa sira m ětu, binu ňcingak ěn awan sang ari, sira ratu Cakrawartti, prabh ū Bhu ňcing naman ira wanéh. (...) W ěkasan wang śan ira mangsiliha n ātha hanéng nusa Bali, bhiniséka Śri Gaja Wahana, Tapolung n āman ira wanéh. (Setelah Sri Jaya Pangus wafat, beliau digantikan oleh putranya yang bergelar Sri Eka Jaya Lancana yang lahir dari seorang putri Kediri. (...) Beberapa lama beliau berpulang dan digantikan oleh putra baginda yang bergelar Sri Masula Masuli, beliau dilahirkan kembar pria-wanita. Beliau dinikahkan kakak-beradik, prabu Bhuncing nama beliau yang lain. (...) Kemudian putra beliau menggantikan tahta pulau Bali, bergelar Sri Gaja Wahana, Sri Tapolung nama beliau yang lain.) 8 Bahasa Bali: dari akar katanya Jati bisa bermakna memantapkan (hati). 9 Bahasa Bali: salah satu ritual Bhuta Yadnya , yaitu ritual yang ditujukan pada Bhuta Kala ; yang bertujuan untuk menyeimbangkan alam. 10 Di Bali ada dua jenis Brahmana, yaitu Brahmana Siwa dan Brahmana Siwa-Buddha (yang biasanya disingkat hanya sebagai Brahmana Buddha), yang menurut Ida Bagus Mantra, dalam Pengertian Siwa Buddha dalam Sejarah Indonesia (dalam Çiwa-Buddha Puja di Indonesia, Yayasan Darma Sastra, Denpasar, 2002), bermula di Jawa Timur. Ajaran Siwa yang terlebih dulu ada kemudian dalam perkembangannya disatukan dengan ajaran Buddha Mahayana, karena disebutkan bahwa struktur dasar dari kedua agama ini dianggap “sama” dalam beberapa hal. Seperti misalnya pandangan bahwa dunia ini penuh dengan kesengsaraan dan tidak kekal, pandangan bahwa penderitaan adalah buah perbuatan terdahulu, dan seterusnya. Disebutkan juga bahwa Buddha merupakan saudara Siwa yang lebih muda. 11 Dalam wawancara saya dengan I Dewa Gede Catra tanggal 28 Februari 2009, ia menyebutkan bahwa “…asal caru, Buddha sampun .” (..kalau ritual mecaru mesti diselesaikan oleh pendeta Buddha.)

28 pemaknaan (melalui satwa ) berarti harus kembali lagi mengacu pada semiologi. (Jika satwa dianggap sebagai suatu fakta) Oleh karena itu definisi dan eksplorasi fakta- fakta tersebut merupakan tanda bagi sesuatu yang lain 12 . Pada analisa semiologis tingkat pertama rangkaian satwa di atas merupakan sebuah peristiwa “kelahiran kembali” Bali setelah sekian lama dikuasai oleh angkara. Penjelasannya demikian: kelahiran kembali Mayadenawa melalui buah kelapa merupakan sebuah penanda, sedangkan petandanya adalah pendeta Brahmana yang memungut kelapa tersebut di halaman Pura Besakih. Penanda dan petanda tersebut merupakan tanda bagi sebuah peristiwa “kelahiran kembali” dalam konteks Hindu di mana keseimbangan alam dikembalikan melalui ritual Bhuta Yadnya yang diselesaikan oleh pendeta Brahmana dan simbol-simbol yang ada dalam satwa tersebut di atas menegaskan kalau peristiwa ini adalah ritual Bhuta Yadnya. Pada analisa semiologis tingkat kedua “kelahiran kembali” adalah penanda dan keseimbangan dunia setelah dipulihkan menjadi petanda merupakan tanda bagi dimulainya pengaruh kuasa Yang lain serta berakhirnya kuasa angkara di Bali. Mengingat mitos merupakan metabahasa, karena ia adalah bahasa kedua, di mana orang berbicara mengenai yang pertama 13 , satwa tersebut di atas pada dasarnya berkisah tentang tunduknya Bali pada kuasa Yang lain.

Selanjutnya dikisahkan kakak-beradik Masula-Masuli memerintah Bali sebagai suami dan istri sampai keduanya moksah (suatu konsep dalam Hindu

12 Barthes, Roland, ( Nurhadi: penerjemah), Mitologi , Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004: 155. Kalimat dalam tanda kurung merupakan tambahan dari penulis. 13 Barthes, Roland, ( Nurhadi: penerjemah), Mitologi, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004:162.

29 mengenai bersatunya atman (roh) dengan brahman (tuhan) untuk menuju kesempurnaan). Dengan mencapai moksa maka seseorang akan terhindar dari siklus reinkarnasi. Anak Masula-Masuli juga kembar, menikahi saudaranya, dan memerintah Bali. Hal yang sama terus berulang sampai beberapa generasi, sampai akhirnya terlahir seorang anak laki-laki yang tidak menikahi saudarinya. Anak itu bernama Tapaulung, yang lebih dikenal sebagai penguasa Bedaulu. Dikisahkan

Tapaulung adalah seorang yang sakti , sebagaimana pendahulunya, Mayadenawa.

Demikian sakti -nya sampai-sampai dia bisa memotong kepalanya sendiri dengan keris kemudian meletakkannya lagi di tempatnya semula. Karena kesaktian dalam konteks Bali didapatkan dari suatu proses mempelajari suatu pengetahuan, bisa dikatakan kalau Tapaulung adalah seorang yang cerdas, sedemikian cerdasnya sampai-sampai ia disamakan dengan para Dewa. Akan tetapi karena ia adalah manusia yang mencoba menyamai kuasa para Dewa, ia dihukum, kepalanya diganti dengan kepala babi 14 . Buat masyarakat Bali, kisah bertukarnya kepala Tapaulung inilah yang membuat ia lebih dikenal sebagai penguasa Bedaulu 15 . Sebutan penguasa

Bedaulu sendiri bisa bermakna ganda. Bisa jadi ia adalah penguasa di Bedaulu

(daerah sekitar kabupaten Gianyar), atau mungkin penguasa dengan ulu 16 yang

14 Sebuah satwa di Bali menyebutkan bahwa Tapaulung pernah mengirimkan kepalanya ke swargan (surga) ketika para Dewa sedang melaksanakan suatu pertemuan dan hal ini membuat Dewa Siwa marah besar. Kepala Tapaulung kemudian ditukar dengan kepala babi. Semenjak saat itu, semua orang dilarang menengadah apalagi memandang wajahnya. 15 Dalam sense Bahasa Bali, Bedaulu secara ketat bisa dimaknai sebagai kepala, hulu, bagian atas, pusat yang berbeda. 16 Bahasa Bali: kepala, bagian atas, pusat.

30 berbeda. Pada sisi lain penguasa dengan ulu yang berbeda ini bisa dimaknai secara harfiah dan bisa jadi dimaknai sebagai penguasa yang berbeda dengan ulu -nya

(Majapahit). Seperti yang sudah diketahui Bali sebelum Majapahit berada di bawah kekuasaan kerajaan Singasari. Ketika Singasari pecah, dan Majapahit berdiri atas prakarsa Raden Wijaya, Majapahit mengklaim bahwa Bali berada di bawah kekuasaannya. Tetapi sebaliknya, Tapaulung tidak mau mengakui kekuasaan

Majapahit atas Bali. Lebih jauh lagi, kuasa para Dewa yang menggantikan kepala

Tapaulung dengan kepala babi bisa saja dimaknai sebagai kuasa Majapahit yang menggantikan kuasa Tapaulung sebagai raja di Bali.

Pada suatu waktu, seorang juru masak istana ketika sedang memasak hidangan untuk Tapaulung tanpa sengaja melukai jarinya. Darah dari luka tersebut menetes kena pada masakan yang sedang ia masak. Karena takut terlambat menyajikan hidangan, ia menyajikan masakan yang bercampur tetesan darah tersebut.

Tanpa disangka-sangka oleh juru masak itu, Tapaulung ternyata menyukai hidangan yang bercampur darah manusia itu dan meminta masakan yang sama lagi dan lagi.

Kebiasaan baru Tapaulung memakan masakan bercampur darah manusia itu meresahkan masyarakat Bedaulu. Perwakilan dari masyarakat Bedaulu kemudian meminta perlindungan dari Majapahit. Majapahit menjawab permintaan itu dengan mengutus . Pada awalnya Gajah Mada tidak percaya bahwa ada seorang raja dengan kepala babi. Ia memutuskan untuk memeriksa kebenaran kisah itu dengan

31 mengunjungi kerajaan Bedaulu. Dalam kunjungannya ke kerajaan Bedaulu ia ditawari makanan dan ia meminta paku , sejenis sayuran berserabut yang dimakan dengan cara menengadahkan wajah, dengan demikian ia bisa melihat kepala sang raja. Karena malunya, Tapaulung dikisahkan meninggalkan kerajaannya untuk selamanya. Versi lain kisah ini menyebutkan kalau Tapaulung dibunuh oleh Gajah

Mada. Segera setelah kematian Tapaulung, Gajah Mada menyatakan perang pada

Bedaulu dan Bali berhasil ditaklukkan.

Dalam Babad Usana Bali Pulina , disebutkan bahwa tak terkirakan sedih hati baginda Sri Maharaja Gaja Wahana, karena putra beliau mangkat, merasa terputus keturunannya. Sedu sedan mengenang kepergian sang putra terdengar dari istana.

Jenazah putra baginda diupacarai, disucikan dan dibakar di pekuburan. Sang

Maharaja tak sanggup menahan duka lara menceburkan diri ke dalam api unggun, beliau pun wafat 17 . Jadi Gajah Mada tidak pernah menyentuh Tapaulung, entah dalam kiasan atau dalam arti sesungguhnya. Bahkan dikisahkan Majapahit mengalami kekalahan ketika menghadapi pasukan Bedaulu. Dalam babad yang sama disebutkan kalau Tapaulung adalah seorang raja yang ”cerdas dan bijaksana. Tampan berkelakuan baik serta suka bersedekah 18 ” Adapun dua tokoh lainnya, Sri Pasung

17 Dalam bahasa aslinya: tucapa sira Sri Mah ārāja Gaja Wahana, atyanta s ūkska hrdhayan ri kapatyan ing anak, rumasa-rasa ri kap ěgatan ing wangs ā. Muwah muwug ira tangis wang ing jro, umangh ěn-angh ěn sang r āja putra. Inupakara tang śawa, binr ěsihan gin ěsěng ing śě ma-śana. Pir āta sira Śri Mah ārāja tan tahan twas ing alara, manglampwa hidh ěpnira maran āpwi, mur pwa sira . 18 Dalam bahasa aslinya: guna widhya wicaksana. Rupawan, silawan, punyawan saksat manobh ū anjadma .

32

Grigis sang patih agung dan Kebo Iwa sang patih digambarkan sebagai nak sakti 19 yang bijaksana, pintar, dan seterusnya. Akan tetapi ketika (dalam Babad yang sama)

Pasung Grigis berhadapan dengan Gajah Mada, ia dipersonifikasikan sebagai seseorang yang menunggangi kuda cundang, berkain hitam, berselimut kain poleng merah, berdestar hitam dengan ikatan dara kepek , kulit dan giginya hitam, berkumis dan berjenggot, menakutkan mereka yang melihat, bagaikan Sang Hyang Rudra

Murti pesiar ke dunia 20 . Sebaliknya, Gajah Mada dipersonifikasikan sebagai penunggang kuda putih, penampakannya seperti Wisnu, tutur katanya halus mengalir bagaikan madu 21 .

Kisah-kisah Babad bukanlah kisah yang cukup akrab dalam kehidupan sehari- hari orang Bali. Pada titik ini kita bisa melihat bahwa kenyataan babad berbeda dengan kenyataan satwa . Di tengah masyarakat oral, kisah-kisah yang disampaikan secara lisan lah yang memiliki kekuatan cukup besar untuk membentuk common sense . Sebagaimana kisah Bedaulu tersebut di atas, bahkan Tapaulung sendiri bukanlah nama yang populer. Tapaulung dalam berbagai kisah dikenal sebagai raja dengan kepala babi dan jahat. Karena kejahatannyalah maka Gajah Mada datang sebagai penolong, membebaskan orang-orang Bali dari cengkraman angkara Bedaulu.

19 Bahasa Bali: orang yang memiliki kesaktian. 20 Dalam bahasa aslinya: anunggang kuda cundhang, awastra ulung, akampuh poléng bhang, pap ětět hir ěng inik ět dara képék, as ěkar wari bang saléya, carmma mahir ěng kalawan untu tuhu R ūdra m ūrtti am ěng-am ěng éng mr ěcca-pada krawis ajéjénggot, w ěnang kagiri-girin r ěsr ěs wwang tuminghal . 21 Dalam bahasa aslinya: anunggang kuda p ětak, sang kadi Wisnu, hal ěp harum amanis kadi madh ū drawa w ětunikang ujar .

33

Gajah Mada adalah sosok ksatria yang menunggang kuda putih yang mengangkat

Bali dari lumpur angkara. Bahkan penyebutan nama daerah Bedaulu kemudian disamarkan menjadi Bedulu, karena orang-orang Bedaulu tidak mau disangkutkan dengan raja Tapaulung yang dikisahkan sebagai pembelot, pemberontak dan seterusnya 22 .

II. Dari Samprangan Sampai Puputan Klungkung

Setelah kerajaan Bedaulu berhasil ditaklukkan, Bali berada dalam keadaan

”stateless ” selama beberapa saat. Pemberontakan-pemberontakan kecil digalang oleh sisa-sisa pasukan Bedaulu. Pasukan yang ditinggalkan Gajah Mada di Bali setelah peperangan besar, tidak mampu memadamkan pemberontakan-pemberontakan kecil tersebut. Buku Sejarah Klungkung: Dari Smarapura Sampai Puputan (selanjutnya hanya akan disebut Sejarah Klungkung) menyebutkan demikian: dengan alasan mengamankan pulau Bali, Gajah Mada mengangkat dan menempatkan penguasa sebagai bangsawan baru dengan seluruh daerah taklukannya. Gajah Mada mohon bantuan Empu Kepakisan (Brahmana penasehatnya) untuk menyelesaikan permasalahan di Bali. Empu Kepakisan memberikan empat orang cucunya untuk diangkat oleh Gajah Mada menjadi cakradara, dan masing-masing memerintah

22 Wawancara dengan Gusti Mangku Kebyar, Bedulu, 7 Maret 2009

34

Blambangan, Pasuruan dan Bali. Satu cucu perempuan dikawinkan dengan Prabu

Sukania yang memerintah Sumbawa 23 .

Sri Kresna Kepakisan, cucu terkecil Empu Kepakisan ditunjuk sebagai penguasa Bali dengan gelar Dalem Ketut Kresna Kepakisan, yang di kemudian hari menurunkan klan Ksatria Dalem di Bali. Bersama Kresna Kepakisan, turut juga beberapa ksatria Jawa yang bergelar arya dan tiga orang weisya mengiringinya ke

Bali. Gajah Mada juga membekali Sri Kresna Kepakisan dengan sebilah keris yang bernama Si Ganja Dungkul. Pada awal pemerintahannya, Kresna Kepakisan hampir tidak bisa berkutik menghadapi pemberontakan-pemberontakan kecil tersebut dan meminta Gajah Mada untuk memulangkannya ke Jawa. Permintaan Kepakisan dijawab oleh Gajah Mada dengan memberikan sebilah keris yang bernama Ki Lobar yang merupakan manifestasi dari Si Sangkapancajanya, salah satu senjata Dewa

Wisnu, serta seperangkat pakaian kebesaran seorang adipati Majapahit. Dikatakan bahwa jika Ki Lobar dicabut, maka yang terlihat adalah Durga Dingkul (Durga yang meringkuk). Dikisahkan juga bahwa Ki Lobar adalah penjelamaan Gajah Mada sendiri. Menurut saya, Kresna Kepakisan tidak pernah bisa menjadikan dirinya perwakilan Majapahit di Bali. Ketakutannya akan pemberontakan yang terus menerus terjadi (meski kecil), membuatnya memerlukan simbol yang menegaskan bahwa dirinya adalah perwakilan dari Majapahit. Kejadian lain yang menyurutkan

23 Kanta, I Made, Drs. Ida Bagus Sidemen [et.al], Sejarah Klungkung: Dari Smarapura Sampai Puputan, Klungkkung, 2001:23.

35 pemberontakan-pemberontakan kecil tersebut adalah diangkatnya anak Pasung Grigis ke dalam jajaran pemerintahan Sri Kresna Kepakisan. Dikisahkan dalam Babad

Usana Bali Pulina demikian: sekarang kiranya tuan jangan menolak yang saya katakan, tuan wajib menerima segala titah Dalem. Tuan dijadikan pejabat oleh Dalem

Kresna Kepakisan. Tuan seorang ksatria, sekarang menjadi arya, menurut ucapan dalam pustaka Slokantara 24 .

Penunjukan Kresna Kepakisan sebagai penguasa Bali, pemberian keris dan pakaian kebesaran adipati Majapahit oleh Gajah Mada dalam skema wacana tuan

(master discourse ) Lacanian merupakan master signifier dan Kresna Kepakisan adalah other signifier . Seorang tuan harus dipatuhi – bukan karena kita semua akan menjadi lebih baik dengan cara tersebut atau karena alasan-alasan rasional – tapi karena dia menyatakannya demikian. Tiada pembenaran yang bisa diberikan untuk kuasanya, hanya karena demikianlah adanya 25 . Sang tuan tidak memiliki pengetahuan apapun. Yang ia tahu hanyalah bagaimana kekuasaannya dipelihara dan terus berkembang. Ia tidak tertarik untuk tahu bagaimana atau mengapa sesuatu bisa berjalan. Di sisi lain other signifier mencari pengetahuan untuk mengembangkan kuasa sang tuan, dan pengetahuan itu menubuh dalam dirinya. Kegiatan other

24 Dalam bahasa aslinya: mangké pwa kita kaki aryya, aywa wihang ri sawuwusku, w ěnang sinaddhyan dén sawuwus tuwan ta. Kitangg ěh tandha mantrin ira Śri Cili Kr ěsna Kepakisan. Kita ksatriya, mangké aryya p āwakan ta, ling ning Ślokantara’ . 25 Fink, Bruce, The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance , Princeton University Press, New Jersey 1995: 131.

36 signifier dalam skema wacana tuan memunculkan object (a) yang merepresentasikan nilai lebih atau surplus jouissance , dalam konteks ini pemberian jabatan pada anak

Pasung Grigis adalah object (a) . Kemampuan sang tuan untuk menyembunyikan kelemahannya, bahwa ia sama seperti orang lainnya merupakan keberadaan dari bahasa dan menyerah pada kastrasi simbolik, menghadirkan posisi kebenaran: kebenaran yang disembunyikan 26 .

Kresna Kepakisan kemudian digantikan oleh anak tertuanya, Agra

Samprangan, yang bergelar Dalem Samprangan dan Dalem Ile. Disebutkan bahwa

Dalem Ile adalah seorang yang suka bersolek. Dia bahkan sering tidak menghadiri pertemuan kerajaan karena saking lamanya ia berdandan. Kebiasaannya itu membuat kesal aparat kerajaan, yang kemudian memutuskan untuk mengangkat adik Dalem

Ile, Dalem Ktut yang dikenal sebagai seorang penjudi, sebagai penggantinya, dan memindahkan pusat kerajaan ke Gelgel. Pergantian ini diprakarsai oleh Tumenggung

Kubon Tubuh. Ia bahkan memberikan tempat tinggalnya sebagai istana. Jadi saat itu ada dua kerajaan yang merupakan perpanjangan tangan Majapahit di Bali:

Samprangan dan Gelgel.

Setelah menduduki singgasana, Dalem Ktut mendapatkan gelar: Dalem Ktut

Ngulesir, Dalem Ktut Kresna Kepakisan, dan Sri Aji Semara Kepakisan. Setelah

”pusat kerajaan” dipindahkan ke Gelgel, Samprangan tidak pernah disebut-sebut lagi

26 Fink, Bruce, The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance , Princeton University Press, New Jersey 1995: 131.

37 dalam kisah-kisah selanjutnya. Setelah Gelgel, ”pusat kerajaan” berpindah lagi pada masa pemerintahan Dewa Agung Jambe setelah mengalami pemberontakan patihnya.

Karena pemberontakan itu, ”pusat kerajaan” dipindahkan ke Guliang, Gianyar (untuk kemudian dipindahkan lagi ke Klungkung). Pada saat itu terdapat dua kerajaan di

Bali: Gelgel dan Guliang. Pecahnya kerajaan Gelgel seakan menjadi penyulut api bagi beberapa wilayah untuk membentuk pusat kerajaannya sendiri. Tidak kurang dari delapan wilayah yang menyatakan diri merdeka dan tidak terikat lagi pada dua kerajaan besar tersebut: Gelgel dan Guliang 27 . Seakan terulang dua kali, perpindahan dari Guliang ke Klungkung tersebut juga diprakarsai oleh seorang pejabat kerajaan,

Ki Gusti Sidemen. Raja yang memegang puncak kekuasaan kerajaan Klungkung masih berasal dari keturunan Kresna Kepakisan: Sri Agung Jambe dengan gelar Ida I

Dewa Agung Putra.

Kontak Bali dengan Belanda pertama kali (secara politis) terjadi ketika VOC mengirimkan utusannya ke Gelgel untuk meminta bantuan menghadapi kerajaan

Mataram, yang mana permintaan ini ditolak oleh raja Gelgel waktu itu, Dalem Di

Made. Hubungan selanjutnya adalah hubungan jual-beli budak untuk dijadikan serdadu Belanda. Kepentingan Belanda di Bali selain urusan perbudakan adalah

27 Sebagaimana tercatat dalam buku ‘Sejarah Klungkung’, wilayah-wilayah tersebut adalah Buleleng, Mengwi, Karangasem, Bangli, Jembrana, Badung, Tabanan, dan Gianyar. Semenjak perpecahan ini pula perang memperebutkan wilayah kekuasaan terus menerus terjadi.

38 usaha penghapusan hak tawan karang 28 demi kelancaran pelayaran dan perniagaan

Belanda. Berdasarkan atas kepentingan ini, Belanda menawarkan bantuan pada

Klungkung (Karangasem, dan Buleleng) dalam suatu perang melawan Lombok.

Dalam perjanjian bantuan inilah, Belanda menyisipkan suatu pasal tentang penghapusan hak tawan karang.

Persinggungan Klungkung dengan Belanda terjadi setelah perjanjian tersebut, ketika kapal Belanda yang berlayar dari Lombok terdampar di salah satu bandar kerajaan Klungkung, Kusamba. Penduduk sekitar Kusamba memberlakukan tawan karang (yang saya kira, mereka tahu bahwa itu masih merupakan hak mereka) pada kapal Belanda tersebut. Belanda sangat marah dengan kejadian itu dan menuntut

Klungkung mempertanggung jawabkan perbuatannya. Raja Klungkung tidak mengindahkan permintaaan Belanda. Ia bahkan bersiap menghadapi kedatangan pasukan Belanda. Marah karena permintaannya tidak dipenuhi, Belanda mengumumkan perang terhadap Klungkung. Belanda masuk ke Klungkung melalui bandar kerajaan Karangasem, Padangbai, yang mereka jadikan basis gerakan militer.

Satu per satu benteng pertahanan Klungkung berhasil diruntuhkan, sampai akhirnya

Kusamba berhasil di duduki pasukan Belanda. Sebelum Belanda sempat bergerak ke

28 Tawan karang adalah suatu peraturan yang memberikan hak pada raja dan rakyatnya (yang berdiam di dekat pantai) untuk memiliki kapal beserta muatannya yang terdampar di pantai kerajaan tersebut. Penumpangnya boleh dijadikan budak dan jika itu adalah kapal musuh, penumpangnya boleh dibunuh. Kapal beserta muatannya bisa dikembalikan pada pemiliknya jika si pemilik kapal membayar sejumlah denda.

39 arah Klungkung, pasukan kerajaan Klungkung mendahului melakukan serangan balasan dan berhasil memukul mundur pasukan Belanda kembali ke Karangasem.

Dalam tujuannya untuk menaklukkan Klungkung, Belanda pertama-tama berusaha merebut Kusamba dari Klungkung. Karena Kusamba sendiri adalah sebuah

Bandar penting bagi kerajaan Klungkung. Selain karena Kusamba adalah pusat perdagangan Klungkung dan juga merupakan ibu kota kerajaan, ia juga merupakan salah satu gerbang komunikasi Klungkung dengan dunia luar. Setelah berhasil dipukul mundur oleh I Dewa Agung Istri Kania dalam masiat kapetengan 29 , Belanda kembali mendatangkan pasukannya ke Klungkung. Kedatangan pasukan Belanda kali ini disertai bala bantuan dari Lombok, dan dengan perlahan berhasil merebut

Kusamba setelah mengepungnya dari laut dan darat. Keberhasilan Belanda merebut

Kusamba disertai ancaman bahwa jika Klungkung tidak menyatakan menyerah kepada pasukan kerajaan Belanda, maka pusat kerajaan akan diluluh-luntakkan oleh pasukan Belanda. Akhirnya Dewa Agung Istri setuju untuk mengadakan gencatan senjata dan (salah satunya) bersedia menghapuskan hak tawan karang serta menyerahkan kembali tahta kepada kakaknya, I Dewa Agung Putra. Setelah perjanjian ini nama I Dewa Agung Istri Kania tidak lagi disebut-sebut dalam perjalanan Klungkung. Ia menghilang ditelan bumi.

29 Bahasa Bali: pertempuran pada malam hari, oleh peneliti asing diterjemahkan sebagai night war . Dalam sense bahasa Bali, pertempuran ini diandaikan sebagai pertempuran antara divine power dengan demonic power .

40

Setelah kekalahannya di Kusamba, Klungkung kembali bermasalah dengan pihak Belanda. Kali ini yang menjadi permasalahan adalah mengenai perbatasan- perbatasan wilayah kerajaan Klungkung dan hak monopoli perdagangan candu. Saya kira titik awal perang puputan bisa diambil ketika pasukan Belanda mengadakan patroli candu ke wilayah kerajaan Klungkung, Gelgel. Pasukan patroli yang semestinya mengadakan patroli sampai Gelgel tidak pernah mencapai Gelgel karena pasukan Klungkung terlebih dahulu menyerang dan mengusir pasukan tersebut keluar dari Klungkung. Pihak Belanda meminta pertanggung jawaban Klungkung atas kejadian tersebut, dan mempersiapkan serangan balasan. Selama beberapa hari

Klungkung dibombardir dengan tembakan meriam. Klungkung dikepung dari darat dan laut. Pihak Belanda memberi ultimatum agar raja dan pengikutnya menyerah tanpa syarat. Pihak Klungkung tidak menjawab ultimatum tersebut. Ketika istana berhasil dikepung Belanda, seluruh pasukan yang mempertahankan istana memakai pakaian serba putih. Perang puputan pun kembali meledak. Setelah puputan Badung yang menggemparkan kerajaan Belanda, mereka mengisyaratkan pada pemerintah

Hindia Belanda agar puputan tidak terjadi lagi di Bali. Meski begitu, taktik untuk mengepung istana dari dekat bertujuan untuk memperlemah semangat Klungkung, dan merupakan sebuah taktik intimidasi agar Klungkung menyerah. Apa daya, taktik itu dibaca lain. Seluruh isi istana bertekad untuk tidak menyerah. Bahkan putra mahkota yang baru berumur 12 tahun turut menjadi korban dalam puputan, dan

41 mencapai puncaknya ketika raja Klungkung juga tewas dalam perang tersebut.

Dengan berakhirnya perang puputan, Klungkung jatuh ke tangan Belanda, sementara keluarga kerajaan yang masih hidup dibuang ke Lombok. Setelah beberapa lama memerintah Klungkung, sejalan dengan politik Baliseering ; Belanda melantik seorang kemenakan raja, Cokorda Geg, sebagai wakil Belanda di Klungkung.

III. Nusa Penida Versus Bali Daratan

Nusa Penida, menurut Claire Holt, awalnya hanya disebut sebagai Nusa. Kata

Penida yang dilekatkan setelahnya mengandung arti pamor 30 , karena pulau ini adalah sebuah pulau kering dengan tanah berbatu kapur. Dalam peta Belanda pulau ini muncul dengan nama Noesa Pandita, dan pelaut Inggris menyebutnya sebagai Bandit

Island karena reputasi pulau ini sebagai tempat pembuangan kriminal-kriminal dan subyek-subyek yang tidak diinginkan dari kerajaan Klungkung 31 . Di lain pihak, Ida I

Dewa Catra menyebutkan bahwa prasasti Blanjong di Sanur, yang bertahun saka 835, di sana dinyatakan bahwa pulau itu diberi nama Gurun 32 . Versi lain menyebutkan bahwa Nusa Penida berasal dari kata manusa pandita yang secara kasar bisa diartikan sebagai manusia suci 33 . Salah satu versi penundukan Nusa Penida menyebutkan bahwa Dewa Siwa menjelma ke Nusa Penida dalam wujud seorang raja bernama

30 Bahasa Bali: batu kapur. 31 Holt, Claire, “ Bandit Island”, A Short Exploration Trip to Nusa Penida; dalam Traditional Balinese Culture ; Belo, Jane (ed.); Columbia University, New York, 1970: 67. 32 Wawancara dengan Ida I Dewa Catra, Karangasem, 28 Februari 2009. 33 Buda, Jero Mangku Made , Babad Nusa Penida , Penerbit Pāramita, Denpasar, 2007:1.

42

Dalem Sawang. Istananya dibangun di puncak Mundi, sebuah daerah berbukit di

Nusa Penida. Raja ini memiliki seorang patih, yaitu Ratu Gede Mecaling. Disebutkan bahwa Dalem Sawang adalah raja yang jahat. Karena kejahatannya, Betara di

Besakih melemparkan padang kasna 34 yang menjelma menjadi Dalem Bungkut.

Dalem Bungkut inilah yang kemudian memerangi Dalem Sawang dan kemudian menggantikannya sebagai penguasa Nusa Penida. Dalam perjalanannya, Dalem

Bungkut juga memerintah dengan kejam yang membuat Bali menyerang Nusa

Penida. Dalam prasati Blanjong, disebutkan bahwa ketika Bali berada di bawah kekuasaan Sri Wira Ksarilah, pasukan Bali menyerang Nusa Penida. Akan tetapi tidak disebutkan ketika penyerangan itu terjadi Nusa Penida berada di bawah kekuasaan siapa 35 .

Versi yang disusun oleh Jero Mangku Made Buda menyebutkan bahwa Nusa

Penida pernah diperintah oleh penjelmaan Dewa Siwa yang bernama Dukuh

Jumpungan. Disebutkan bahwa peradaban pertama kali di Nusa Penida adalah di sebuah tempat yang bernama gunung Mundi, sebuah puncak tertinggi di Nusa Penida, tempat Dewa Siwa turun dari kahyangan dan menjelma sebagai Dukuh Jumpungan.

Dukuh Jumpungan adalah seorang pandita, yang darinyalah Nusa Penida mendapatkan namanya: manusa pandita yang lama kelamaan menjadi Nusa Penida.

Dikisahkan demikian, karena Nusa Penida dikellilingi oleh lautan yang luas, maka

34 Sejenis rumput. 35 Wawancara dengan Ida I Dewa Catra, Karangasem, 28 Februari 2009.

43

Dukuh Jumpungan berpikir untuk membuat sebuah perahu. Karena kesaktian yang dimilikinya, dalam waktu yang singkat perahu itu telah siap untuk berlayar. Menurut kisah, perahu ini pernah digunakan untuk menabrak pulau Nusa Penida hingga terbelah tiga, dan menjadi Nusa Penida, Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan.

Perahu yang memendam kesaktian Dukuh Jumpungan ini dikisahkan pernah direncanakan untuk menabrak Bali daratan, namun tidak berhasil karena dicegah oleh betara yang bersemayam di Gunung Agung. Singkat cerita, setelah beberapa lama memerintah Nusa Penida, Dukuh Jumpungan mulai menua dan memberikan kekuasaan pada keturunannya. Salah satu keturunannya adalah Dalem Sawang. Ia adalah seorang raja sakti yang mampu memerintah para wong samar 36 . Dengan kemampuannya ini Dalem Sawang bukannya menjadi raja yang bijaksana. Ia malah memeras rakyat Nusa Penida dengan perantaraan para wong samar tersebut dan membuat rakyat Nusa Penida menderita. Penderitaan ini sampailah ke telinga penguasa Bali (yang disebut sebagai penguasa Bali dalam kisah ini adalah Ida Hyang

Tohlangkir, sementara itu menurut kisah di Bali daratan Ida Hyang Tohlangkir tak lain adalah Dewa Mahadéwa atau Betara di Gunung Agung), yang kemudian mengutus Dalem Bungkut. Dalem Bungkut adalah seorang (sebagaimana disebutkan dalam Babad Nusa Penida) lelaki rupawan dan bersifat ksatria, yang tercipta dari padang kasna .

36 Bahasa Bali: Mahluk halus.

44

Dikisahkan Dalem Bungkut kemudian berangkat seorang diri menuju Nusa

Penida dan menantang Dalem Sawang untuk berduel. Setelah melalui duel yang berlangsung selama berhari-hari, Dalem Sawang akhirnya menyerah kalah. Akan tetapi ia tidak begitu saja menerima kekalahan itu. Ia kemudian mengutuk Nusa

Penida dan membuat Nusa Penida kehilangan sumber air. Mengetahui hal itu, Dalem

Bungkut kemudian mengusir Dalem Sawang ke Bali daratan. Semenjak saat itu, Nusa

Penida diperintah oleh Dalem Bungkut. Setelah Dalem Bungkut meninggal, kekuasaan kemudian dipegang oleh I Gede Mecaling yang masih merupakan keturunan Dukuh Jumpungan. I Gede Mecaling ini tak lain adalah saudara ipar Dalem

Sawang. Kisah dalam Babad Nusa Penida berakhir disini. Tidak disebutkan bagaimana akhirnya sampai Nusa Penida berada di bawah kekuasaan Gelgel.

Prasasti I Dewa Kulit ring Nusa Penida menyebutkan demikian: demikianlah

Ida Dalem Saganing mengadakan pertemuan yang diikuti oleh pendeta kerajaan beserta penasehat beliau. Pada akhir pertemuan tersebut, Ida Dalem mengutus I Dewa

Karangasem dengan diiringi oleh saudara beliau yang bernama I Dewa Tanggan dan I

Dewa Timbul yang merupakan anak dari I Dewa Kulit. Selain itu juga mengutus I

Dewa Pasawahan dan I Dewa Kaleran. Berangkatlah beliau dengan diiringi oleh Ki

Jero Dukuh Puaji beserta pengikutnya ke desa Batumadeg (Nusa Penida) 37 . Ki Dukuh

37 Bahasa Bali: irika raris Ida Dalem Saganing ngawentenang pabligbagan kasarengin Bhagawantan idane kairingang antuk Baudanda idane. Pamuput wawidangan punika, raris wenten pangenikan Ida Dalem pacang ngutus I Dewa Karangasem, sane kaabih antuk pasemetonan idane sane mapesengan I Dewa Tanggan, I Dewa Timbul, sangkane puniki kaputra antuk I Dewa Kulit. Siosan punika

45

Puaji ini adalah seorang pemimpin di daerah Batumadeg, Nusa Penida, yang meminta bantuan kepada Gelgel untuk mengamankan wilayahnya dari gangguan Datu Korde, seorang pemimpin Baliage dari Sukun. Disebutkan bahwa Datu Korde sering mengganggu jalannya upacara keagamaan di Pura Puaji, Batumadeg dan membuat resah masyarakat sekitarnya. Dikisahkan bahwa Datu Korde adalah seorang sakti yang kebal senjata tajam. Demikian pula halnya dengan tiga orang ksatria yang diutus disebutkan “tidak bisa dilukai dengan karya seorang pembuat senjata 38 ” dan tidak mudah lelah.

Tersebutkan bahwa Datu Korde menemui ajalnya di tangan utusan kerajaan

Gelgel dan para pengikutnya memohon untuk dibiarkan tetap hidup. Sesuai dengan apa yang dijanjikan oleh Ki Dukuh Puaji, maka para ksatria tersebut dihadiahi sebuah rumah berukir dan seorang putri dari Ki Dukuh Puaji. Hadiah ini kemudian diterima oleh I Dewa Kaleran. Dikisahkan kemudian di suatu tempat lain, di desa Maos, berdiamlah seorang Brahmana dari Pejeng 39 . Desa Maos ini seringkali diresahkan oleh seorang (katakanlah) preman dari Sabyah yang bernama Pan Dranyam.

Disebutkan bahwa Pan Dranyam adalah seorang yang “tidak tanggung-tanggung

mapesengan I Dewa Pasawahan sareng I Dewa Kaleran. Raris gelisang Ida Memargi, kairing antuk Ki Jero Dukuh Puaji sapunika taler para panjak ngungsi jagat batumadeg 38 Dalam bahasa aslinya: nenten je pisan metatu antuk pekaryan pande . 39 Kisah mengenai bagaimana sampai seorang Brahmana dari Pejeng bisa sampai di daerah pegunungan Nusa Penida ini juga tidak jelas. Dikisahkan bahwa dulu di daerah Pejeng (Gianyar) terjadi bencana beruntun: gempa, grubug , dikisahkan juga bahkan tanah disana sampai terbelah. Ditengarai penyebabnya adalah kelahiran sepasang bayi kembar buncing dari kasta Brahmana. Entah bagaimana ceritanya, salah satu dari kembar itu kemudian dibuang ke Nusa Penida.

46 kesaktiannya 40 ” dan “tak henti-hentinya membuat kekacauan di desa Maos, seperti

Mayadenawa 41 ”. Penduduk desa Maos kemudian meminta bantuan Brahmana Pejeng.

Brahmana Pejeng yang mendengar tentang para ksatria yang berhasil mengamankan

Batumadeg, kemudian berangkat ke Batumadeg untuk meminta bantuan kepada para ksatria tersebut dengan janji bahwa ia akan memberikan sebuah Pura di Batununggul sebagai bukti bahwa mereka mampu mengamankan gumi nusa 42 . Para ksatria yang dimintai bantuan ini pun menuju Maos, dan berhadapan dengan Pan Dranyam.

Dengan kesaktian nya, Pan Dranyam menghadapi para kssatria itu dan berhasil memukul mundur mereka. Para ksatria kemudian meminta bantuan ke Gelgel.

Bantuan datang berupa seorang ksatria yang bernama I Dewa Anom. I Dewa Anom sendiri adalah seorang ksatria yang telah madwija 43 .

Demi melihat musuhnya yang kali ini datang seorang diri, Pan Dranyam mulai mengejek I Dewa Anom, dengan mengatakan kalau ia ingin meminta genta sang pendeta untuk digunakan sebagai kalung sapi dan ketu 44 yang ingin ia gunakan sebagai penutup mulut sapi. Kemudian bertempurlah mereka. Pan Dranyam berhasil dikalahkan. Dengan usus yang terburai ia melarikan diri. Sampai di kediamannya, perut Pan Dranyam dicuci sampai bersih untuk kemudian dijahit oleh istrinya. Setelah

40 Dalam bahasa aslinya: tan lintang-lintang kesaktian nyane . 41 Dalam bahasa aslinya: tan surud ngrabeda ring Desa Maos, sekadi Mayadenawa 42 Bahasa Bali: jika diterjemahkan secara kasar bisa berarti bumi, namun yang dimaksud disini adalah daerah. 43 Bahasa Bali: telah resmi menjadi seorang Bujangga yang posisinya kurang lebih sama dengan Pedanda (pendeta dari kasta Brahmana). 44 Bahasa bali: topi yang biasanya digunakan oleh pendeta.

47 melalui “operasi” itu, Pan Dranyam kemudian kembali menantang I Dewa Anom.

Kembali Pan Dranyam dikalahkan oleh I Dewa Anom, namun kali ini ia tak sempat melarikan diri. Ia menemui ajalnya di tangan I Dewa Anom. Maka gumi nusa aman tentram tak mendapat gangguan apapun.

Kisah tersebut menjadi menarik ketika tokoh-tokoh yang disebutkan mengacu pada keberadaan Pura-Pura di Bali daratan dan Nusa Penida: Ratu 45 Gede Mecaling

(yang mengacu pada keberadaan Pura Penataran Ped, atau seringkali disebut sebagai

Dalem Ped oleh orang-orang Bali daratan) dan Betara di Besakih (yang saya kira mengacu pada Dewa Mahadéwa: Dewa yang dipuja di Pura Besakih). Keberadaan dua Pura besar di Bali daratan dan Nusa Penida yang dimasukkan ke dalam kisah seakan menjadikan kisah ini sebagai kisah perseteruan antara Dewa. Disebutkan demikian oleh informan saya dengan sambil lalu, bahwa Dalem Bungkut adalah sisa- sisa kerajaan Bedahulu yang melarikan diri ke Nusa Penida ketika Bedahulu berhasil ditundukkan oleh Majapahit. Mengingat Pura kerajaan Bedahulu adalah Pura Besakih yang kemudian dikuasai oleh kerajaan Klungkung, tidaklah mengherankan jika kemudian pelarian dari Bedahulu membangun Pura lain di tempat pelariannya: Pura

Penataran Ped dan menjadikannya kanon untuk melawan kuasa Pura Besakih yang dikuasai Klungkung.

45 Kata ‘Ratu’ disini tidak mengacu pada jenis kelamin, melainkan sebutan untuk seseorang yang dimuliakan. Kata ini kemudian menghasilkan kata atu yang bermakna sama.

48

Pola kisah ini serupa dengan kisah penundukan Bali daratan yang saya paparkan sebelumnya. Pola penundukan dengan terlebih dahulu menyudutkan simbol-simbol lokal semacam ini terbukti ampuh dalam konteks Bali. Selain karena simbol adalah sesuatu yang penting dalam konteks Bali, kekalahan simbol-simbol lokal merepresentasikan kekalahan pengguna simbol-simbol tersebut. Simbol-simbol ini menjadi penting karena ia mengkomunikasikan sesuatu yang “tidak bisa” dikomunikasikan secara oral. Agar simbol-simbol ini mampu mengkomunikasikan sesuatu, pertama-tama ia mesti disepakati oleh para penggunanya terlebih dahulu.

Setelah simbol-simbol ini disepakati sebagai salah satu cara untuk berkomunikasi, ia kemudian mewakili keberadaan masyarakat pengguna simbol tersebut. Sebagaimana disebutkan oleh Lacan bahwa pertama-tama seorang anak terasing melalui bahasa lalu kemudian melalui hasrat yang lain ( other’s desire )46 . Bahasa yang saya maksudkan disini tidak melulu dilihat sebagai citra akustik, melainkan apa saja yang membentuk suatu sistem komunikasi; entah itu gambar, tulisan, sistem kepercayaan dan seterusnya, selama ia dipahami sebagai sebuah sistem komunikasi. Sebagaimana diyakini Roland Barthes dalam mitologi bahwa suatu sistem komunikasi: sebuah pesan, pada dasarnya adalah sebuah type of speech , ia adalah sebuah cara pemaknaan yang tidak hanya terbatas pada oral speech .

46 “…the child can be understood to in some sense choose to submit to language, to agree to express his or her needs through the distorting medium or straightjacket of language, and to allow him or herself to be represented by words. ” Lihat: Bruce Fink; The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance , Princeton University Press, Princeton, New Jersey, 1956:

49

Kekalahan pada tataran simbol sebagaimana yang saya sebutkan di atas, dengan kata lain merupakan ketidakmampuan untuk berkomunikasi; ketidakmampuan untuk bernegosiasi dengan kekuasaan. Ketika seseorang sudah tidak lagi mampu berkomunikasi, akses-akses pada mean of power tertutup sudah, ia tak lagi mampu memenangkan pertempuran. Dengan kalimat lain mungkin bisa saya katakan demikian; Dewa-dewa yang kamu sembah sudah tidak lagi mampu melindungimu, akan lebih baik jika kamu menyembah Dewa-dewa yang aku sembah karena Ia lebih sakti dibandingkan dengan Dewa-dewa-mu. Demikian, mengikuti

Barthes, pada analisa tingkat pertama kekalahan menimpa mereka dengan terlebih dahulu meruntuhkan simbol-simbol yang mewakili keberadaan mereka. Hal ini membuat mereka tidak bisa lagi mengkomunikasikan/ mewacanakan pesan-pesan mereka kepada seseorang di luar diri mereka. Akan tetapi pada analisa tingkat kedua, pesan-pesan mereka tetap tersampaikan dalam lingkar komunitas mereka melalui mitos-mitos yang tersebar di bawah permukaan kekalahan mereka. Bisa jadi ini adalah weapon of the weak , dimana pesan-pesan disampaikan melalui kisah-kisah kekalahan bahwa mereka tidaklah benar-benar tunduk, mereka masih melawan.

Dengan kata lain, mereka memang kalah namun mereka belum berhenti melawan.

Sebagaimana yang terjadi dengan mitos Ratu Gede Mecaling (sampai) saat ini, mitos ini sangat dipercaya bahkan oleh orang-orang Bali daratan.

50

Di lain pihak, ketidakjelasan sejarah Nusa Penida saya kira berhubungan dengan pengasosiasian sejarah (orang-orang) Nusa Penida dengan sejarah Bali daratan. Maksud saya demikian, ketika orang-orang Nusa Penida membiarkan sejarah keberadaan mereka tenggelam oleh narasi kerajaan Klungkung, mereka masuk ke dalam narasi besar itu melalui personifikasi Dewa-Dewa yang hidup dalam mitos.

Hal tersebut justru membuat sejarah Nusa Penida menjadi dinamis dan bergerak dengan liar. Sejarah keberadaan mereka hidup dalam folklore-folklore yang diceritakan secara oral.

51

BAB III

RATU GEDE MECALING DAN PRIMITIVISASI NUSA PENIDA

Anak Sakti, Masiat kapetengan dan Ngeleak

Bab ini merupakan diskusi atas satwa-satwa yang mencerminkan proses pe-

“liyan”-an dan primitivisasi orang-orang Nusa Penida secara kultural. Satwa-satwa pada bab ini saya dapatkan dengan mewawancarai orang-orang di Nusa Penida.

Selain itu beberapa satwa merupakan kisah yang jamak diketahui sehingga tidak lagi diketahui dari mana muasal satwa tersebut. Satwa yang dipilah dan dipilih pada bab ini berdasarkan pada keterkaitannya dengan permasalahan utama tesis ini: persoalan pandang-memandang yang mengarah pada proses pe-“liyan”-an orang-orang Nusa

Penida secara kultural.

Bab ini saya bagi menjadi tiga sub bab yang masing-masing berkisah tentang: anak sakti, ngeleak dan masiat kapetengan . Sebelum masuk secara lebih spesifik ke dalam masing-masing sub bab, kiranya ada baiknya saya akan memberikan pemaparan singkat mengenai istilah anak sakti, masiat kapetengan dan ngeleak terlebih dahulu. Anak sakti adalah manusia dengan kemampuan mistis yang bisa digunakan untuk menyakiti dan atau menyembuhkan. Kemenduaan selalu menjadi sifat anak sakti dalam kebanyakan satwa ; anak sakti hampir selalu merubah bentuknya serta dipersonifikasikan garang dan seringkali bertaring. Keahlian yang

52 dimiliki anak sakti seringkali disebut adalah anugerah yang diberikan oleh suatu mahluk yang lebih berkuasa. Anugerah ini biasanya mengambil bentuk material sebuah lontar yang mesti dipelajari jika seseorang ingin menjadi anak sakti 1. Perilaku anak sakti hampir selalu membawa resiko yang tidak ringan dan berbahaya, akan selalu ada anak sakti lain yang ingin mengetahui seberapa kuatnya dia. Seberapa kuat anak sakti selalu bisa dibuktikan melalui suatu demonstrasi. Demonstrasi yang saling menunjukkan kekuatan masing-masing anak sakti inilah yang disebut masiat kapetengan . Perubahan yang mengambil bentuk garang dan sering kali bertaring yang dilakukan oleh anak sakti ketika menunjukkan kesaktian nya biasanya disebut ngeleak .

I. Anak Sakti

Sebuah satwa mengisahkan pada sasih kanem 2, kebanyakan orang di Bali daratan memasang daun pandan berduri yang diikat dengan benang tridatu 3 di pintu masuk rumahnya. Daun pandan berduri itu adalah simbol penolak mara bahaya. Pada masa inilah di Bali daratan sering terjadi grubug . Dikisahkan orang-orang satu per satu jatuh sakit kemudian meninggal tanpa sempat diobati. Jika pada pagi hari

1 Lebih jauh mengenai sakti , lihat: Geertz, Hildred, Sakti Conjunction; New Views on Balinese “Religion” , tahun:halaman. 2 Bahasa Bali: bulan ke enam atau kira-kira pada bulan November -Desember pada penanggalan nasional. 3 Benang dengan tiga warna: merah, hitam dan putih yang masing-masing menyimbolkan (secara berurutan) Brahma, Wisnu dan Siwa.

53 seseorang sakit, menjelang sore ia telah diarak menuju kuburan. Semua orang waspada, semua kesaktian dikerahkan namun tidak mampu mengatasi grubug . Semua orang pasrah, karena tak satupun hal yang mereka lakukan bisa mengatasi wabah yang menjalar secepat itu. Dikisahkan wabah ini terjadi karena Ratu Gede Mecaling sedang melancaran ke gumi Bali 4 diikuti oleh para pengikutnya berupa wong samar 5.

Kemanapun Ratu Gede Mecaling bergerak, wabahpun bergerak kearah yang sama mendahului kedatangannya.

Dikisahkan grubug ini terjadi karena kemarahan Ratu Gede Mecaling pada orang-orang Bali daratan. Asal muasal kemarahan ini disebutkan demikian, Ratu

Gede Mecaling adalah penjelmaan Dalem Bungkut yang tidak mau meninggalkan dunia ini. Karena dendam pada orang-orang Bali daratan yang memporak-porandakan kerajaannyalah ia menyebarkan grubug . Kisah lain menyebutkan demikian, (Ratu)

Gede Mecaling adalah cucu dari Dukuh Jumpungan yang setelah kematian Dalem

Bungkut menguasai Nusa Penida. Gede Mecaling sangatlah gemar bertapa mencari kesaktian . Pada suatu ketika ia bertapa memuja Dewa Siwa. Ketekunannya bertapa membuat ia dianugerahi kesaktian berupa caling 6 yang panjang. Tidak hanya itu, bentuk fisiknya pun ikut berubah. Badannya menjadi hitam dan tinggi besar.

4 Bahasa Bali: berjalan-jalan ke Bali. Kata melancaran disini tidak tepat terjemahannya karena kata ini melekat pada subyek berupa mahluk suci dan atau Dewa-dewa maka ia bisa berarti perjalanan dalam rangka melihat-lihat wilayah kekuasannya dengan diiringi para bawahannya. Sedangkan kata gumi pada kalimat ini tidak saya terjemahkan karena secara ketat ia bisa berarti bumi, sedangkan dalam konteks ini ia lebih mengacu pada suatu wilayah; entah itu kecil atau besar. 5 Bahasa Bali : mahluk yang tak terlihat, sejenis mahluk gaib. 6 Bahasa Bali: taring.

54

Suaranya menggelegar menyebabkan kegaduhan dan kegemparan di dunia. Tidak hanya menggemparkan dunia ini, dunia yang dihuni para Dewa juga dibuatnya gempar. Tak ada satupun Dewa yang bisa menghentikannya, apalagi manusia.

Para Dewa yang kebingungan akhirnya mengirimkan Betara Indra untuk menghentikan Gede Mecaling. Setelah bertahun-tahun dengan mengeluarkan sejuta tipu daya, akhirnya taring yang menjadi pusat kekuatan Gede Mecaling bisa dipotong oleh Betara Indra. Setelah taringnya berhasil dipotong, Gede Mecaling kembali bertapa. Kali ini ia memuja Dewa Rudra dan ia dianugerahi kesaktian yang tak kalah dahsyatnya dengan apa yang pernah ia terima dari Dewa Siwa. Ia menerima lima macam kesaktian berupa panca taksu : taksu kesaktian, taksu balian, taksu penggeger, taksu penulak grubug dan taksu ngadaang kemeranan 7. Semua kesaktian ini ditambah lagi dengan seluruh wong samar dan bebutan 8 di seluruh Nusa Penida yang menjadi pengabih nya 9.

Dengan kesaktian dan armada wong samar dan bebutan yang dimilikinya inilah ia menebarkan ketakutan di gumi Bali . Dikisahkan demikian, gumi Bali mengalami ketakutan yang tak kunjung surut, sampai akhirnya pada suatu ketika ada seseorang menemukan penangkal grubug dengan tidak sengaja. Dikisahkan orang ini adalah orang yang kemalaman di jalan dan tidak berani melanjutkan perjalanan

7 Bahasa Bali: lima taksu (saya belum menemukan padanan kata yang tepat untuk kata taksu dalam bahasa Indonesia): taksu kesaktian , taksu dukun, taksu untuk membuat kekacauan, taksu penolak wabah, taksu untuk membuat wabah. 8 Bahasa Bali: berjenis-jenis mahluk halus. 9 Bahasa Bali: abdi.

55 karena takut diserang leak 10 dan wong samar yang berkeliaran di malam hari. Karena ketakutan yang tak terkira, tanpa sengaja ia berlindung di balik rerimbunan pandan berduri. Tetap saja ia merasa takut, takut dengan binatang buas disatu sisi, disisi lain takut pada leak dan wong samar yang berkeliaran. Ketakutan yang terus mendera membuatnya tak mampu memejamkan mata barang sedetik pun. Menjelang tengah malam ia menyaksikan dengan mata kepalanya ribuan wong samar dan bebutan berkumpul tak begitu jauh dari tempatnya bersembunyi, seakan sedang menunggu sesuatu. Tak lama kemudian ia melihat sosok hitam dan tinggi besar bertaring datang dengan diiringi sepasukan wong samar dengan penampakan yang juga mengerikan.

Anehnya, tak satupun dari mahluk-mahluk itu yang menyadari kehadirannya.

Tak lama setelah kehadiran sosok hitam dan tinggi besar itu, para wong samar dan bebutan itu satu per satu meninggalkan tempat mereka, menyebar ke semua arah.

Ketika pagi menjelang ia secepat kilat pulang dengan membawa beberapa potong pandan berduri. Ia berpikir, jika kehadirannya tak disadari ketika bersembunyi di balik rerimbunan pandan berduri, mungkin saja pandan berduri itu adalah penyebabnya. Ia kemudian mengikat beberapa potong pandan berduri yang ia bawa itu di tiang rumahnya dengan menggunakan benang tri datu dan menceritakan kejadian yang dia alami kepada tetangga-tetangganya. Entah siapa yang mengusulkan, penduduk desa kemudian membuat tiruan sosok hitam tinggi besar itu dan mengaraknya keliling desa. Demikian, desa itu terhindar dari grubug yang tak

10 Bahasa Bali: mahluk jadi-jadian.

56 putus melanda Bali daratan. Sosok tiruan itu kemudian yang disebut sebagai barong landung 11 . Barong landung kemudian menjadi benda sakral yang dikeramatkan di beberapa desa di Bali daratan. Barong landung juga yang dimintai penulak bala 12 di kala desa mengalami kejadian-kejadian seperti misalnya grubug . Barong landung , yang biasanya juga disebut sebagai papak selem , dipercaya sebagai perwujudan Ratu

Gede Mecaling.

Jika masyarakat kita secara obyektif adalah ladang istimewa bagi pemaknaan mitis, maka hal itu dikarenakan mitos secara formal merupakan instrumen yang paling sesuai bagi pembalikan ideologi yang mendefinisikan masyarakat ini: pada semua level komunikasi manusia, mitos mengoperasikan pembalikan anti-fisis menjadi pseudo-fisis. Apa yang disuguhkan dunia pada mitos adalah realitas historis, yang didefinisikan, kendati kembali hanya sesaat, oleh cara di mana manusia telah menggunakan atau memproduksinya; apa yang diberikan mitos pada saat ia kembali adalah gambaran alamiah realitas ini 13 . Dalam mitos semua hal historis lenyap, seperti halnya wabah yang menjalar cepat dalam kisah diatas. Suatu wabah dimaknai sebagai sebuah ketidak-seimbangan alam dan memerlukan suatu proses yang melibatkan mahluk-mahluk mistis seperti Ratu Gede Mecaling. Keberadaan institusi

11 Bahasa Bali: barong yang memiliki sosok tinggi besar. Di beberapa tempat lain di Bali daratan barong landung ada sepasang; personifikasi laki-laki dan perempuan. Barong landung laki-laki berwarna hitam, sedangkan yang perempuan berwarna putih. Di beberapa tempat yang memiliki sepasang barong landung , sepasang barong landung itu adalah personifikasi seorang raja di Buleleng dan istrinya yang adalah seorang putri dari Cina. 12 Bahasa Bali: penolak marabahaya. 13 Barthes, Roland, ( Nurhadi: penerjemah), Mitologi , Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004:206.

57 negara dalam mengelola bencana dikesampingkan, meskipun di sana terlihat jelas bahwa institusi tersebut bertanggung jawab atas penanggulangan suatu bencana, tapi ia dinafikan oleh mitos.

Kita bisa melihat ketika wabah flu burung dan rabies melanda Bali, hal yang terlebih dahulu dilakukan adalah memberikan persembahan kepada Bhuta Kala 14 . Hal ini terlihat wajar karena apa yang dilakukan Bhuta Kala dalam beragam folklore adalah mengacau tatanan dunia. Sementara keberadaan negara dinafikan, padahal semestinya negara memiliki peran dan tanggung jawab dalam mencegah dan atau memperbaiki keadaan tersebut. Mitos mengembalikan realitas yang terbalik. Ia mengosongkan sejarah dan memenuhinya dengan sifat alam. Ia telah menggeser berbagai persoalan dari maknanya sedemikian rupa sehingga memaksanya menandai satu ketidakberartian manusia 15 . Keberadaan Ratu Gede Mecaling yang terus dijaga keberadaannya dalam mitos, bisa dilihat sebagai benteng pertahanan Bali daratan yang memegang kuasa formal dalam institusi negara. Sehingga keterlambatan, ketidakmampuan negara dalam membangun sarana dan prasarana untuk orang banyak di Nusa Penida terlindungi dengan menyebutkan bahwa Nusa Penida memiliki kuasa yang tak mampu disentuh oleh orang-orang biasa: Ratu Gede Mecaling. Dengan kata lain primitivisasi Nusa Penida bisa dimaklumi: karena Nusa Penida adalah pulau yang dilindungi oleh kuasa mistis yang tak mampu dijinakkan atau karena tingkat

14 Lihat misalnya: “Klungkung Rancang Penangkalan Rabies Secara Niskala, Bali Post, 30 Oktober 2009”, “Pemkot Gelar ‘ Pamahayu Jagat ’ di Serangan, Bali Post, 25 Februari 2009”. 15 Barthes, Roland, ( Nurhadi: penerjemah), Mitologi , Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004:206-207.

58 kesucian dan kesakralan yang tinggi dimiliki oleh Nusa Penida melindunginya dari pengaruh buruk hal-hal profan 16 . Dengan kata lain bisa dikatakan kalau hal ini merupakan pengalihan arena pertarungan. Ketika kalah dalam arena historis, pertarungan dialihkan ke arena mistis. Namun abiguitas mistis(isme) Bali berhasil dimanfaatkan oleh negara untuk kembali memantapkan kuasanya atas Nusa Penida.

Kisah lain menyebutkan betapa pemurahnya Ratu Gede Mecaling kepada penduduk Bali daratan. Kisah ini bermula di suatu tempat di Ubung, Denpasar Timur.

Adalah seorang penjual nasi yang berjualan di terminal bis Ubung. Penjual nasi ini,

Made Badak 17 , hidupnya sekeluarga bisa dikatakan di bawah rata-rata. Ia berjualan hanya cukup untuk makan sehari saja. Terkadang ia harus berhutang untuk bisa melanjutkan usaha yang dijalaninya. Rumah yang ia tempati bersama seorang istri dan tiga orang anak penuh sesak. Hampir tidak ada ruang kosong di seluruh bagian rumah itu. Pada suatu siang hari yang panas, dia kedatangan seorang tamu di warungnya. Tamu itu adalah seorang tua yang lusuh dan membawa sebuah tas putih yang warnanya sudah mulai kecoklatan. Si orang tua meminta makanan tapi tak mampu membayar. Ia berkata kalau ia berasal dari Nusa Penida dan sedang mencari rumah anaknya namun tak kunjung ia temukan juga alamat si anak. Selain meminta makanan orang tua itu juga minta supaya diijinkan untuk menginap di rumah Made

16 Lihat misalnya: “Dr. Arya Vedakarna: Nusa Penida Benteng Terakhir Hindu di Bali, Bali Post, 8 April 2009”. 17 Pseudonym yang saya berikan pada informan saya, karena ia tidak mau namanya disebut-sebut dalam tulisan ini. Wawancara tanggal 10 April 2009.

59

Badak. Entah dengan pertimbangan apa dan dia sendiri sampai sekarang juga tak habis pikir kenapa dia mengiyakan permintaan si orang tua. Orang tua itu kemudian menungguinya sampai ia menutup warung makannya. Keanehan yang tidak ia sadari waktu itu adalah makanan yang ia jual habis sebelum tengah malam. Padahal biasanya makanan yang ia jual jarang habis, kalaupun habis itupun sudah menjelang subuh.

Orang tua itu juga membantunya menutup warung dan ikut membawakan segala macam perlengkapan warung yang sekiranya ia butuhkan di rumah. Di rumahnya yang sempit, Made Badak memberikan orang tua itu kamar yang biasanya digunakan oleh anak-anaknya, sedangkan anak-anaknya “diungsikan” ke kamarnya.

Ia dan istrinya sebagaimana biasa jarang tidur karena harus mempersiapkan dagangan untuk esok hari. Sebelum berpamitan untuk tidur, orang tua itu “berpesan” demikian,

“Benjangan jero sampunang lali maturan ring Ped 18 ”. Awalnya Made Badak tidak memahami apa maksud perkataan itu. Ia pikir dirinya disarankan untuk bersembahyang di Pura Penataran Ped hanya karena si orang tua yang ia tolong berasal dari Nusa Penida (ia baru memahami maksud pesan itu beberapa waktu kemudian, setelah ia (sebagaimana yang ia kira) tidak mungkin lagi bertemu dengan orang tua itu). Hari selanjutnya, ia menunggu si orang tua keluar kamar. Tak lama ia menunggu, si orang tua keluar kamar dan langsung meninggalkan rumah Made

Badak setelah sebelumnya berterima kasih atas bantuannya. Sebelum pergi, orang tua

18 Bahasa Bali: nanti saudara jangan lupa bersembahyang di Pura Penataran Ped.

60 itu sekali lagi berpesan agar Made Badak tak lupa bersembahyang di Pura Ped. Made

Badak hanya mengangguk tanpa memahami apa maksud perkataan tamunya itu.

Setelah kepergian tamu “tak diundang” itu, dagangannya laku keras. Ia sampai bisa membuka warung makan di dua tempat dan menyewa orang untuk mengurusnya. Saat itu, ia melupakan pesan tamunya. Sampai akhirnya pada suatu malam ia bermimpi didatangi oleh orang tua yang sama. Dalam mimpinya, orang tua itu secara perlahan berubah menjadi sosok tinggi besar hitam bertaring panjang.

Sosok mengerikan itu mengerang dan mengatakan kalau Made Badak lupa untuk bersembahyang di Pura Ped. Seketika ia terbangun dan membangunkan istrinya yang terlelap di sampingnya, kemudian menceritakan mimpinya. Akhirnya mereka memutuskan untuk bersembahyang ke Pura Ped keesokan harinya. Sampai sekarangpun ia masih bersembahyang kesana dan mengatakan kalau kesuksesannya adalah karena paican Ida sane meneng ring Dalem Ped 19 .

Kisah lain lagi mengenai kemurahan hati Ratu Gede Mecaling terjadi ketika kerajaan Klungkung membangun pemedal 20 . Kisah ini saya dapatkan dari mbok Tut 21 , seorang pembantu rumah tangga yang tinggal di sebelah pemedal agung . Hampir mirip dengan kisah Made Badak yang saya ceritakan di atas, personifikasi seorang tua

19 Bahasa Bali: kemurahan hati beliau yang berdiam di Pura Dalem Ped. 20 Bahasa Bali: pintu keluar. Biasanya ukuran pemedal sangat besar. Pemedal yang besar ini diapit oleh tembok berukir yang megah dan menjulang tinggi. Oleh penduduk sekitar pemedal ini disebut pemedal agung . Pemedal ini sangat tinggi, kuri nya(pintu) saja sekitar 4 atau lima meter, ditambah gelung kuri (ukiran yang menjadi bagian integral dari pintu-pintu sejenis) tingginya kurang lebih 10 meter. 21 Bahasa Bali: mbok (kakak perempuan) Tut (didapat dari kata Ketut yang menunjukkan dia adalah anak ke empat).

61 juga hadir dalam kisah pembangunan pemedal kerajaan Klungkung sebagai tokoh utama. Dikisahkan demikian, ketika ukir-ukiran gelung kuri sudah hampir selesai, bahan untuk kuri pemedal belum juga ditemukan. Seluruh penghuni kerajaan tidak bisa menemukan bahan yang pantas digunakan untuk kuri pemedal yang tinggi besar itu. Pada suatu siang ada seorang tua yang berpakaian lusuh dan hanya membawa tas dekil kecil nangkil 22 ke Puri. Orang tua ini bermaksud maturan lakar kuri 23 dan mengatakan bahwa dirinya berasal dari Nusa Penida, tapi sekali lagi sebagaimana kisah sebelumnya, orang tua ini tidak menyebutkan namanya. Sampai sekarang pun, dari kisah-kisah yang beredar, hanya disebutkan demikian; anak lingsir saking

Nusa 24 .

Ketika ditanya kayu seperti apa yang akan dia persembahkan untuk bahan kuri , orang tua itu mengatakan akan memberikan los mako 25 . Demi mendengar apa yang akan ia persembahkan orang-orang menertawainya. Entah bagaimana ceritanya, akhirnya bisa berhadapan dengan raja dan mempersembahkan los mako yang ia bawa-bawa dalam tas kecil lusuhnya itu. Ketika dikeluarkan, los mako itu terlihat

22 Bahasa Bali: menghadap. Kata ini biasanya digunakan ketika berhadapan dengan orang yang lebih tinggi kedudukannya. 23 Bahasa Bali: menghaturkan bahan untuk membuat kuri . Kata maturan ini biasanya juga digunakan ketika mempersembahkan sesajen kepada para Dewa. 24 Bahasa Bali: seorang tua dari Nusa (Penida). Pada kisah ini banyak yang mengasumsikan kalau orang tua ini adalah penjelmaan Ratu Gede Mecaling dengan alasan banyak ada anak sakti pada masa itu, namun tidak ada satu pun yang memiliki keberanian untuk masuk ke wilayah “musuh”. Dalam hal ini yang berani dan memiliki kemampuan untuk melakukannya hanya Ratu Gede Mecaling. 25 Bahasa Bali: saya tidak mendapatkan padanan katanya dalam bahasa Indonesia, penjelasannya demikian; sepotong kayu jika dibiarkan terpanggang panas matahari kulit kayunya akan mengering dan mengelupas. Yang berada dibalik kelupasan kulit kayu inilah yang disebut los . Sedangkan mako berarti tembakau.

62 sebagaimana layaknya los mako : kecil, coklat, kering dan tak mungkin dijadikan bahan kuri . Akan tetapi beberapa saat setelah dikeluarkan, los mako itu semakin lama semakin membesar dan terus membesar. Demikianlah, los mako itu akhirnya digunakan sebagai kuri pemedal agung . Orang tua itu sendiri kemudian yang mengawasi pembuatan kuri . Setelah kuri selesai dibangun, orang tua itu pun menghilang dan tidak diketahui jejaknya. Sampai sekarang pun tak ada orang yang tahu siapa sebenarnya orang tua itu. Sebagaimana yang telah saya tuliskan di awal kisah, yang diketahui dari orang tua itu hanyalah: anak lingsir saking Nusa .

Dikisahkan kemudian perang puputan meletus dan Klungkng dikalahkan. Ketika

Klungkung dikalahkan, ada seorang prajurit Belanda yang memanjat pemedal agung dan mengencinginya dari atas. Menurut kisah, prajurit itu tiba-tiba ketakutan dan berteriak-teriak dari atas pemedal agung . Katanya ia melihat seluruh tempat digenangi air. Ia ketakutan sampai tak berani turun26 . Demikianlah prajurit Belanda itu duduk termangu di atas gelung kuri pemedal agung . Menurut kisah, prajurit

Belanda itu berubah menjadi patung dan di gelung kuri memang ada sepasang patung yang duduk termangu.

Dalam perjalanan dari sejarah menuju alam, mitos melakukan tindakan secara ekonomis: ia meniadakan kompleksitas semua tindakan manusia, ia memberikan

26 Kisah ini sudah saya dengar sejak kecil, ketika itu salah seorang teman nekat hendak memanjat pemedal agung . Sebelum ia sempat memanjat, seorang tetangga meneriakinya. Tetangga itu memarahi kami dan menceritakan kisah tentang prajurit Belanda ini. Saya pikir itu hanya untuk menakut-nakuti anak kecil yang bandel saja, kisah itu dia ulangi lagi beberapa tahun kemudian ketika saya berkunjung ke Klungkung, dan ia ulangi lagi ketika saya bertanya-tanya untuk kepentingan penulisan tesis ini.

63 esensi yang sederhana, ia menghilangkan semua dialektika. Dengan kembali pada apa yang kelihatan hanya sesaat, mitos mengatur sebuah dunia tanpa ada kontradiksi sebab ia ada tanpa kedalaman, dunia terbuka lebar dan bergelimangan dengan fakta, ia membuat kejelasan yang sangat menggembirakan: berbagai hal tampak bermakna sesuatu karena diri mereka sendiri 27 . Pada kisah-kisah di atas ada pengungkapan ketidakmampuan kuasa (kerajaan) Klungkung dan atau Bali daratan dalam melindungi serta memberi kesejahteraan pada penduduknya. Kenyataan itu diproduksi terus menerus, dan kehadirannya diaktualisasikan dengan patung yang duduk termangu di gelung kuri . Di sini kita lihat, sebagaimana dikatakan oleh Roland

Barthes, bahwa mitos adalah wicara yang didepolitisasi dan mitos merupakan bahasa penindas untuk menjelaskan dirinya, untuk memproduksi dan memelihara kekuasaannya. Dengan kata lain bisa dikatakan kalau mitos merupakan sebuah post- tactum , sebuah kejadian bersejarah yang meninggalkan jejak dibuatkan sebuah narasi yang koheren. Sehingga narasi ini (dari satu sudut pandang) dianggap sebagai sebuah kebenaran.

Mitos tidaklah menyangkal berbagai hal. Sebaliknya, ia berfungsi untuk berbicara tentang persoalan-persoalan tersebut. Ia memurnikannya, membuatnya menjadi naïf. Ia memberi justifikasi alamiah dan justifikasi abadi. Ia memberikan sebuah kejelasan yang tidak dalam bentuk penjelasan namun berbentuk pernyataan

27 Barthes, Roland, ( Nurhadi: penerjemah), Mitologi , Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004:206-208.

64 tentang fakta 28 . Kisah Made Badak di atas misalnya, berbicara mengenai persoalan

Bali daratan yang tak terselesaikan oleh penguasa Bali daratan yang kemudian ditangani oleh penguasa Nusa Penida dan terselesaikan. Kuasa alam niskala 29 dalam menyelesaikan persoalan di Bali ini membuat orang-orang Bali memandang bahwa kuasa alam niskala merupakan bagian integral dari hidupnya. Pada akhirnya hal inilah yang membentuk cara pandang Bali daratan pada Nusa Penida. Kemudian bagaimana cara pandang ini dijaga dengan cara memelihara mitos Ratu Gede

Mecaling merupakan pernyataan tentang fakta bahwa kuasa Bali daratan tidak mampu menyentuh Nusa Penida. Bahkan sebaliknya, kuasa Nusa Penida lah yang mengulurkan bantuan pada Bali daratan. Fakta inilah yang kemudian disodorkan untuk memelihara pandangan bahwa Nusa Penida merupakan pulau yang primitif dan mesti tetap dijaga, karena jika tidak kuasa niskala tidak akan lagi berpihak pada kita.

Kesucian pulau harus dijaga jangan sampai tercemar hal-hal yang berbau profan.

Demikianlah, pulau ini adalah pulau yang primitif dan orang-orangnya pun adalah orang-orang primitif yang tidak memahami serta mengalami modernisasi.

Dengan cara demikian, orang-orang Nusa Penida dipandang sebagai penyelamat disatu sisi dan pembangkang disisi lain. Penyelamat karena ia memberikan kesejahteraan pada orang-orang Bali daratan, pembangkang karena ia adalah orang buangan sebagaimana akan saya ceritakan di bawah. Sebagai

28 Barthes, Roland, ( Nurhadi: penerjemah), Mitologi , Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004:207. 29 Bahasa Bali: alam tak nyata ( invisible realm).

65 penyelamat ia harus dihargai, dihormati dan dilayani berbagai kebutuhannya. Sebagai pembangkang ia harus dijaga agar tidak sampai naik kepermukaan dan menyingkirkan kuasa yang sudah kokoh ini. Kesimpulan dari dua hal yang saling bertentangan dengan ekstrem ini adalah menjaga mitos Ratu Gede Mecaling tetap hidup. Disatu sisi hal ini bisa saja dilihat sebagai negosiasi antar kedua belah pihak yang terus berlangsung

Kisah lainnya diceritakan dan dialami langsung oleh kakek saya. Kakek adalah pensiunan guru. Dia tidak pernah mengenal sepeda gayung karena katanya sepeda itu mahal dan dia tidak pernah mampu membeli sepeda. Ketika ia masih mengajar, ia harus berjalan kaki untuk mengajar dan itu artinya dia harus berangkat jauh lebih awal. Untuk mengajar di daerah atas pun ia berjalan kaki. Ia menempuh jarak puluhan kilometer setiap harinya dan seringkali ia kemalaman di jalan. Pada suatu waktu sepulang dari mengajar, ia kemalaman dan memutuskan untuk bermalam di Pura Ped. Ia merebahkan diri di sebuah bale kecil yang terbuat dari bambu. Belum lama terlelap, ia merasa bale yang ia tiduri berguncang. Sejenak ia berpikir sedang terjadi gempa dan berusaha untuk tetap tidur. Tapi getaran yang ia rasakan makin lama semakin keras. Ketika ia membuka mata, tiba-tiba ia menyaksikan pemandangan yang mengerikan. Ia melihat sosok hitam tinggi besar dengan taring yang panjang sedang mengguncang-guncang bale yang ia tiduri. Tanpa pikir panjang, dia langsung mengambil langkah seribu lari menuju rumah.

66

Satwa semacam ini seringkali terdengar di antara orang-orang Nusa Penida:

melihat penampakan Ratu Gede Mecaling yang digambarkan tinggi, hitam, besar dan

dengan taring yang panjang. Di kalangan orang-orang Nusa Penida sangat jarang

terdengar kisah-kisah seperti yang dialami Made Badak, berbanding terbalik dengan

kisah orang-orang Bali daratan yang sering mendapat paica 30 dari Ratu Gede

Mecaling. Sebagaimana yang dituturkan oleh Dewa Apol 31 : Ida anak suba ngemaang raga keselametan, angkananga kapah nak jumah kena sengkala. Buktineh yen di Bali ada grubug, soroh awak jae taen engken-engken? Yen anak uli Bali sai maan paican

Ida, anak apang soroh to ne percaya ajak Ida 32 .

Salah satu ciri retoris mitos adalah neither-norism . Maksudnya, adalah ciri

mitologis yang terdapat dalam pernyataan atas dua lawan dan penyeimbangan yang

satu dengan yang lain dengan maksud menyangkal keduanya 33 . Keberuntungan

orang-orang Bali daratan yang sering memperoleh paica Ratu Gede Mecaling

dianalogikan bahwa orang-orang Bali daratan tidak mempercayai kuasa Nusa Penida

30 Bahasa Bali: berkah. 31 Wawancara tgl 4 Desember 2009. 32 Bahasa Nusa Penida: Beliau (Ratu Gede Mecaling) sudah memberkahi kita keselamatan, makanya jarang ada orang rumah (Nusa Penida) kena celaka ( niskala ). Buktinya kalau di Bali (daratan) ada wabah, mana pernah kita (orang-orang Nusa Penida) kenapa-kenapa? Kalau orang Bali (daratan) sering mendapat berkah, itu supaya mereka percaya pada beliau (Ratu Gede Mecaling). Catatan: konon tanda bahwa seseorang adalah orang Nusa Penida ditunjukkan dengan memakai gelang poleng (kain bermotif kotak-kotak hitam-putih-abu) yang didapat dengan cara merobek kain yang melilit salah satu pelinggih (shrine ) di kompleks Pura Penataran Ped. Gelang ini biasanya dipakai oleh orang-orang Nusa Penida ketika Bali daratan terjangkit wabah, khususnya pada sasih kanem . Menariknya, ketika Desember 2009 lalu saya ke Pura Penataran Ped, disana telah disediakan robekan kain poleng untuk dipakai gelang oleh siapapun yang bersembahyang kesana. Tanda itu sekarang beralih menjadi tanda bahwa seseorang pernah bersembahyang di Pura Penataran Ped. 33 Barthes, Roland, ( Nurhadi: penerjemah), Mitologi , Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004:224.

67

(Ratu Gede Mecaling), karena itu mereka dibuat percaya dengan pemberian- pemberian tersebut; ketika hal ini dipertimbangkan, diperoleh kesamaan bahwa orang-orang Nusa Penida juga mendapat berkah berupa keselamatan. Pada ciri ini ketidak beruntungan selalu diikuti oleh keberuntungan, sehingga ada suatu keseimbangan dimana seseorang tidak perlu lagi memilih. Mereka hanya perlu mendukung.

Pernyataan bahwa orang-orang Nusa Penida secara khusus dilindungi dan orang-orang Bali daratan tidak dilindungi oleh Ratu Gede Mecaling pada satu sisi merupakan cara pandang orang Nusa Penida terhadap orang Bali daratan. Orang- orang Bali daratan dimunculkan sebagai orang-orang yang tidak terlindungi dari kemarahan Ratu Gede Mecaling, hidupnya selalu dalam keadaan siaga, was-was, merasa tidak aman dan seterusnya. Karena hal tersebut, orang-orang Bali daratan mencari perlindungan kepada Ratu Gede Mecaling di Nusa Penida. Dari sudut pandang ini, posisi orang-orang Nusa Penida berada lebih tinggi dari orang-orang

Bali daratan. Secara kisah saya tidak menemukan satwa-satwa sejenis, dimana mahluk-mahluk seperti Ratu Gede Mecaling menebarkan kekacauan, kalau pun ada itu bukanlah sebuah satwa populer (misalnya: satwa Ki Balian Batur) yang mempunyai implikasi sebesar satwa Ratu Gede Mecaling.

Tersebutlah pada suatu waktu, seorang anak sakti dari Nusa Penida. Menurut kisah ia senang membaca lontar-lontar kesaktian yang membuat dia menjadi orang

68 yang disegani di desanya. Pada suatu hari, tanpa sengaja beberapa lontar yang ia pelajari terbakar. Marahlah ia pada istri dan anak-anaknya yang lalai. Dengan kemarahan yang meluap-luap ia memungut semua sisa lontarnya dan ia masukkan ke dalam sok 34 . Kemudian sok itu ia jinjing di atas kepala dan ia berjalan menuju pantai.

Ketika sampai di pantai ia tak juga berhenti berjalan. Ia terus berjalan ke arah air menuju utara. Ia terus berjalan menerobos air, meski orang-orang yang melihatnya berteriak-teriak mencegah. Ia berjalan semakin cepat sampai tubuhnya menghilang.

Orang-orang yang panik, mulai mencari-carinya dengan menggunakan jukung.

Namun tubuhnya tak juga ditemukan, sampai sekarang. Keluarganya yang merasa bersalah menemui anak sakti , mencari tahu ke mana gerangan tubuhnya menghilang.

Disebutkan bahwa ia ngayah 35 di Pura Goa Lawah. Ketika desa mengadakan acara ngaben 36 massal, keluarganya meminta 37 pada anak sakti yang ngayah di Pura Goa

Lawah tersebut agar ia sudi pulang ke Nusa Penida dan diupacarai. Namun ia menolak dan memilih untuk tetap ngayah di Pura Goa Lawah.

Kaum tertindas mencipta dunia. Dia hanya memiliki bahasa (politik) yang bersifat aktif dan transitif; kaum penindas menjaga dunia, bahasanya bersifat mutlak, intransitif, gestural, teatrikal: ia adalah mitos. Bahasa kaum tertindas bertujuan untuk

34 Bahasa Bali: wadah yang terbuat dari anyaman bambu. 35 Bahasa Bali: mengabdi. 36 Bahasa Bali: suatu prosesi upacara mengkremasi tubuh seseorang yang telah meninggal. 37 Meminta yang saya maksudkan disini adalah: pihak keluarga dengan perantaran anak sakti berbicara dengan orang yang akan diupacarai. Hal semacam ini biasanya dilakukan oleh keluarga yang tidak menemukan tubuh orang yang telah meninggal untuk diupacarai.

69 melakukan transformasi, sedangkan bahasa kaum penindas bertujuan untuk mengabadikan 38 . Kisah di atas mengabadikan kuasa Bali daratan atas Nusa Penida: seperti apapun kesaktian seseorang pada akhirnya mesti ngayah pada kuasa Bali daratan. Hal ini juga lebih menegaskan lagi anggapan bahwa orang-orang Nusa

Penida adalah, meminjam istilah Claire Holt, criminals and undesirable subjects in the kingdom of Klungkung 39 , atau singkatnya, orang-orang buangan.

Memang satwa di atas dikisahkan oleh orang Nusa Penida, akan tetapi menggunakan bahasa orang-orang Bali daratan. Bisa jadi secara tidak langsung ini dilakukan untuk mengingatkan lagi orang-orang Bali daratan bahwa sebagian yang disebut orang-orang Nusa Penida adalah orang Bali daratan yang “dibuang” ke Nusa

Penida, namun tetap setia pada kuasa Bali daratan, tetap mengabdikan hidupnya pada kuasa Bali daratan. Meskipun Nusa Penida memiliki Ratu Gede Mecaling, mereka harus tetap tunduk pada kuasa superior orang Bali daratan. Mengapa? Karena pertama-tama, seperti yang telah saya sebutkan di atas, sebagian orang-orang Nusa

Penida merupakan orang buangan dari kerajaan Klungkung. Kenyataan itu ditampilkan dengan menyebutkan (dalam satwa ) ngayah di Pura Goa Lawah dan ngayah merupakan sebuah pengakuan pada suatu otoritas tertentu.

38 Barthes, Roland, ( Nurhadi: penerjemah), Mitologi , Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004:217. 39 Holt, Claire, “ Bandit Island”, A Short Exploration Trip to Nusa Penida; dalam Traditional Balinese Culture ; Belo, Jane (ed.); Columbia University, New York, 1970: 67.

70

II. Masiat Kapetengan

Dengan adanya kisah Ratu Gede Mecaling banyak orang yang mengasumsikan bahwa orang-orang Nusa Penida memiliki kesaktian yang tidak

dimiliki oleh orang-orang Bali daratan. Di Nusa Penida sendiri kisah semacam ini

bukanlah kisah yang jarang didengar. Setiap tempat mempunyai anak sakti nya

sendiri, leak nya sendiri dan setiap tempat memiliki situs untuk mencari kesaktian .

Seringkali orang-orang melihat kejadian-kejadian yang tidak masuk akal, endihan 40 yang terbang rendah menuju ke satu arah, bojog 41 yang menjerit-jerit di tengah malam, celuluk 42 atau rangda 43 yang ngereh 44 di tanah pekuburan dan seterusnya.

Seperti yang telah saya tuliskan pada awal bab ini, meskipun tidak sesering burung

berkicau, kisah tentang masiat kapetengan cukup sering terdengar.

Kisah berikut saya dapatkan dari seorang nelayan di Nusa Penida 45 . Pada suatu pagi buta, ketika cuaca sedang tidak mendukung untuk melaut, nelayan ini tetap pergi ke pantai untuk membersihkan jukungnya, sebagaimana biasa ia lakukan jika

40 Bahasa Bali: nyala (api), biasanya berbentuk bola api. 41 Bahasa Bali: monyet. Biasanya yang dimaksudkan disini adalah monyet jadi-jadian. 42 Ungkapan dalam bahasa Bali yang menggambarkan mahluk botak pada bagian tengah kepalanya dan gondrong pada bagian belakang. Mahluk ini memiliki taring dan gigi yang besar-besar, payudaranya besar dan menjuntai panjang, kuku-kuku jarinya, baik kaki maupun tangan, panjang- panjang dan hitam, serta mata yang mendelik. 43 Mahluk yang mirip dengan celuluk namun dengan rambut yang panjang sepenuhnya dan pada ubun- ubunnya ada api yang menyala, dengan gigi dan taring yang lebih kecil tapi lebih panjang. Tangannya biasanya menggenggam kain putih dengan aksara ong kara sungsang (hurup suci agama hindu yang merupakan simbol dari tiga perwujudanNya: ang (Brahma) ung (Wisnu) mang (Siwa) yang dituliskan terbalik). 44 Bahasa Bali: suatu penggambaran proses seseorang menjadi leak (di daerah lain ada yang menyebut mereh , tapi maknanya sama saja). Ditempat lain ngereh /mereh diasosiassikan dengan suara-suara (seperti suara tawa dan atau teriakan tertahan) yang dikeluarkan ketika seseorang hendak ngeleak . 45 Wawancara dengan Dewa Made Purna tgl 6 Desember 2009.

71 tak melaut. Ketika ia sedang asyik menggosok-gosok badan jukung, tiba-tiba entah dari mana datangnya sesosok tubuh jatuh di atas pasir. Kaget dengan kejadian itu, secara reflek ia berteriak, “ nyen to 46 ?” Hening, tiada jawaban. Dengan penasaran ia mencari tahu siapa gerangan yang terjatuh di atas pasir itu. Tak lama ia menemukan sesosok tubuh yang sedang menepuk-nepuk badan, menyingkirkan pasir yang melekat. Sekali lagi nelayan itu bertanya, “ nyen to ?” Sosok yang sedang membersihkan tubuh dari pasir itu diam sejenak, kemudian menoleh ke arah suara yang bertanya kepadanya. Tapi orang itu menyahut demikian, “hmm.” Karena penasaran, si nelayan mendekati orang itu. “ Leeeh kaden nyen, tekuli jae ne 47 ?”

Pertanyaan itu dijawab dengan singkat, “ Mesiat48 .” “ Jae dange mesiat ye ne 49 .”

“Gunung Agung.” Orang yang terjatuh itu kemudian pergi tanpa berkata apa-apa lagi.

Si nelayan yang mengenali orang itu sebagai orang yang kurang waras membiarkannya begitu saja. Dan tetap terheran-heran dengan jawaban yang ia dapatkan. Meskipun demikian ia percaya pada apa yang ia dengar, karena orang itu dikenal hampir tidak pernah berbohong. Selain itu dalam kepercayaan lokal, orang dengan kewarasan yang dipertanyakan seperti itu, memang ada kemungkinan mesiat kapetengan . Akan tetapi ia tidak mesiat dengan kemampuannya sendiri, melainkan hanya sebagai tunggangan nak sakti lain yang menggunakan tubuhnya.

46 Bahasa Bali: siapa itu? 47 Bahasa Nusa Penida: aku kira siapa, dari mana kamu? 48 Bahasa Bali: bertempur. 49 Bahasa Nusa Penida: secara kasar bisa diterjemahkan demikian, dimana kamu bertempur? Pada kalimat ini tersirat rasa tidak percaya akan apa yang diucapkan lawan bicara.

72

Kisah ini dipercayai oleh banyak orang, bahkan sampai sekarang pun masih ada yang mempercayainya. Sebagai catatan, kisah ini belum lama terjadi.

Kejadiannya sendiri berlangsung sekitar tahun 1970an atau 1980an 50 . Seperti yang telah disebutkan di atas, mitos melakukan tindakan ekonomis: ia meniadakan kompleksitas tindakan manusia, ia memberikan esensi yang sederhana dan menghilangkan semua dialektika. Demikian kisah yang baru saja terjadi bisa direduksi dengan mencari persamaan-persamaannya dengan satwa yang sebelumnya, kompleksitas waktu dan ruang disederhanakan: ia menjadi “tawar”, dan ia menjadi sebuah tindakan alamiah, sebuah wicara yang didepolitisasi: sebuah mitos. Dengan demikian setiap mitos bisa memiliki sejarah dan geografinya sendiri; kenyataannya masing-masing menjadi tanda bagi yang lain: mitos mengalami pematangan karena tersebar 51 .

Penyebaran mitos inilah yang membawa pesan bahwa orang-orang Nusa

Penida itu sakti dan Nusa Penida adalah tempat untuk mendapatkan kesaktian atau paling tidak sesabukan . Di kalangan orang Nusa Penida sendiri satwa semacam ini merupakan satwa yang tidak biasa, dalam artian tidak semua orang memiliki pengalaman masiat kapetengan dan tidak semua orang bisa memiliki kesaktian tertentu. Hal ini bisa dilihat sebagai “metode pertahanan diri” orang-orang Nusa

50 Dalam wawancara saya dengan Dewa Made Purna, dia sendiri tidak menyebutkan waktu yang pasti, ia mengatakan demikian: “ dugas to ne, Bli Mendra suba SMA ye, pidan to orang adaneh?” (Waktu itu, Bli Mendra (anaknya) sudah SMA, kapan itu berarti?). Dari pernyataan tersebutlah saya mendapatkan perkiraan waktu antara 1970an atau 1980an. 51 Barthes, Roland, ( Nurhadi: penerjemah), Mitologi , Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004:216.

73

Penida, di mana mereka memandang diri mereka lebih mungkin menjadi sakti dibandingkan dengan orang-orang Bali daratan, karena mereka mendiami pulau yang masih suci, sebagaimana telah saya sebutkan di atas. Dalam hal ini orang-orang Nusa

Penida adalah pembuat mitos: di mana tanda dikembalikan ke makna literal dan, oleh karena itu, ia mengembalikan kekuatan simbolis dari tanda tingkat pertama. Di sisi lain, orang-orang Nusa Penida juga adalah konsumen mitos, dengan menikmatinya sampai ia merasakan kehadiran dan membiarkan mitos melaksanakan fungsinya 52 .

III. Ngeleak

Nusa Penida, sebuah pulau kecil di sebelah selatan pulau Bali yang dikenal angker oleh orang-orang Bali daratan. Banyak sekali kisah-kisah yang menyebutkan penampakan demonic creature dari Pulau ini. Kemunculan mahluk halus ini bahkan terlihat sampai ke Bali daratan. Dari kisah-kisah yang beredar, mahluk halus yang muncul itu berupa bola api besar yang melesat dari arah Nusa Penida menuju suatu tempat di Bali daratan. Bola api besar itu bukanlah mahluk dari alam lain, tetapi mahluk jadi-jadian yang pada dirinya adalah jelmaan nak sakti atau anak sakti yang mampu merubah diri. Menurut cerita, penampakan itu adalah pertarungan antara anak sakti dari Nusa Penida melawan anak sakti dari Bali daratan. Pertarungan ini dalam bahasa lokal disebut masiat kapetengan . Dalam pertarungan ini yang dipertaruhkan adalah nyawa yang bersangkutan. Kalah berarti mati. Menang berarti bisa mengatur

52 Sunardi, St, Semiotika Negativa , Penerbit Buku Baik, Yogyakarta, 2004:111.

74 hidup orang yang dipecundangi 53 . Tidak pernah jelas dalam kisah yang diceritakan mengenai siapa pemenang dan siapa pecundangnya, yang jelas tersirat hanyalah bahwa Nusa Penida dan Bali daratan bermusuhan. Selama masih ada anak sakti selama itu pula dua daerah ini bermusuhan, karena mereka akan terus saling menantang untuk membuktikan kesaktian masing-masing pihak. Nusa Penida juga sering disebut-sebut sebagai tempat mencari kesaktian. Banyak orang dari Bali daratan yang datang ke Pulau ini mencari sesabukan 54 , memohon kelancaran usaha dan seterusnya. Salah satu dari banyak tempat yang sering dikunjungi adalah Pura

Penataran Ped. Ratu Gede Mecaling adalah salah satunya yang dipuja di kompleks

Pura ini.

Kisah lain yang saya dapatkan dari seorang anak muda Nusa Penida 55 ini dimulai pada suatu malam yang sunyi 56 . Tersebutlah seorang anak yang berumur kurang lebih lima belas tahun mengantarkan ibunya menyambangi seorang saudara yang punya hajatan. Anak ini, sebutlah Made Sangut, dikenal sebagai seorang anak yang berani dan memiliki kesaktian . Kesaktian yang ia miliki ini tidak ia ketahui darimana datangnya. Biasanya kesaktian semacam ini diturunkan dari kerabat

53 Menurut cerita, orang yang kalah dalam pertarungan ini bisa metanggeh (menunda) kematiannya dengan mengatakan, misalnya, ia akan mati jika anaknya telah memberikan cucu laki-laki pada dia. Selama anaknya belum memberikan cucu laki-laki padanya, dia akan tetap hidup sampai ia meninggal ”secara wajar”. 54 Bahasa Bali: kalau diterjemahkan secara ketat kata ini berarti sesuatu yang digunakan untuk ikat pinggang. Dalam konteks ini bermakna suatu pengetahuan yang dipelajari untuk ngeleak (menjadi leak ). 55 Wawancara dengan Dewa Apol tanggal 6 Desember 2009. 56 Jalan umum di Nusa Penida cukup sepi ditambah lampu penerangan jalan tidak cukup banyak dan masih cukup banyak lahan kosong yang penuh tumbuhan besar, pohon kelapa dan semak semak.

75 terdekatnya yang sakti . Untuk bisa “mengkontrol” kesaktian yang diturunkan seperti ini, seseorang biasanya hanya perlu sedikit belajar untuk itu 57 . Malam itu, ketika

Made Sangut dan ibunya berjalan dalam kegelapan, tiba-tiba dari kejauhan ada suara berdebam, seperti suara buah kelapa jatuh. Sebagaimana kebiasaan orang Nusa

Penida, ibunya menyuruh Made Sangut mencari arah suara itu dan memungut

(sebagaimana yang ia kira) buah kelapa itu untuk dibawa pulang. Buah kelapa adalah buah yang cukup penting di pulau ini. Ia bisa digunakan sebagai sarana upacara.

Selain itu juga dijadikan bahan dasar memasak. Kebanyakan masakan Nusa Penida memang berbahan dasar kelapa. Made Sangut menuruti perintah ibunya dan mencari asal suara itu. Beberapa saat kemudian ia kembali tanpa membawa apapun. Ia hanya berkata kalau itu bukan buah kelapa yang jatuh. Mereka pun melanjutkan perjalanan pulang.

Keesokan harinya, tiba-tiba ada seorang wanita tua yang tidak dikenal mendatangi rumah Made Sangut. Wanita tua itu mencari Made Sangut untuk meminta obat. Ibu Made Sangut kebingungan, karena ia tahu anaknya bukanlah balian . Ia berkata kalau mungkin orang tua itu salah rumah, karena di Banjar tempat mereka tinggal ada satu orang lagi yang bernama sama. Ia kemudian menunjukkan arah rumah orang yang memiliki nama sama dengan anaknya, tapi wanita tua itu

57 Kesaktian yang diwariskan biasanya tidak begitu saja membuat seseorang menjadi anak sakti . Orang yang diwarisi kesaktian tetap mesti melewati proses melajahin papelajahan (mempelajari pelajaran), kasarnya ia hanya diwarisi kemampuan untuk lebih cepat melajahin papelajahan tersebut. Lihat juga: Geertz, Hildred, Sakti Conjuncture; New Views on Balinese “Religion”.

76 bersikeras bahwa ia mendatangi rumah yang tepat. Karena bingung, ibu Made Sangut kemudian menyuruh wanita tua itu menunggu sejenak sementara ia mencari Made

Sangut yang kebetulan sedang tidak ada di rumah. Beberapa saat kemudian Made

Sangut datang, dan langsung berkata, “ Dadong ane ibi lemeng to 58 ?” Yang kemudian dijawab dengan anggukan, wanita tua kemudian melanjutkan, “ Nggih, tiang nunas ubad mangkin nika, teras tiang linyun, babar melenyong gumi nika 59 .” Made Sangut kemudian menyahut, “ Sangkanange, awak suba tua babar nu dang melali peteng- peteng, merem jumah suba tua te 60 .” “ Nggih, benjangan ten malih tiang nika, mangkin cen tiang nunas ubad te nika 61 .” “ Nah, nden malu. Antiang malu kesop nak.

Gaenange ubad jani 62 .” “ Nggih 63 .”

Mendengar percakapan itu, ibu Made Sangut sangat kebingungan dan meminta penjelasan anaknya. Tapi ia tak berkata apapun. Ia malah menyeret ibunya menjauhi wanita tua itu. Di tempat yang sekiranya wanita tua itu tak bisa mendengar apa yang akan ia katakan pada ibunya, Made Sangut berhenti dan menceritakan ikhwal kejadian itu. Malam sebelumnya ketika ibunya mendengar suara berdebam yang ia kira suara kelapa jatuh, dan ia mencari arah suara itu, yang ia temukan adalah

58 Bahasa Bali: nenek yang semalam itu ya? 59 Bahasa Bali (dalam sense bahasa Nusa Penida): iya, sekarang saya minta obat, kepala saya pusing, dunia semakin terasa berputar. 60 Bahasa Nusa Penida: makanya, sudah tua masih saja suka bepergian malam-malam, sudah tua lebih baik tidur saja. 61 Bahasa Nusa Penida: baik, besok-besok saya tidak akan melakukannya lagi, sekarang tolong saya diberi obatnya. 62 Bahasa Nusa Penida: baiklah. Tunggu sebentar. Aku buatkan obat sekarang. 63 Bahasa bali: iya.

77 kepala tanpa badan yang menyeringai menyeramkan. Kepala tanpa badan itu ia lemparkan begitu saja ke arah sebuah batu besar. Ketika ditanya kenapa ia tidak bercerita saat itu juga, ia menjawab kalau sebenarnya waktu itu selain masih kaget ia juga merasa takut. Sekarang ia meminta pendapat ibunya apakah wanita tua itu diberi obat atau tidak 64 . Karena merasa kasihan, ibunya kemudian menyarankan agar wanita tua itu diberi obat saja. Sekarang Made Sangut adalah seorang balian yang cukup dikenal dan sering memberikan sesabukan 65 .

Dalam mitos tidak mungkin ada perbedaan mendasar, bagi publik manapun yang mengkonsumsinya. Mitos selalu mendalilkan kemandegan alam. Tetapi bisa jadi ada tingkat pemenuhan atau ekspansi: beberapa mitos menjadi matang secara lebih baik pada beberapa strata sosial: bagi mitos juga berlaku iklim mikro 66 . Pada satwa Made Sangut misalnya, hal ini hampir tidak keluar dari budaya kelas pekerja

Nusa Penida. Borjuasi Nusa Penida hampir tidak tersentuh, dengan perkecualian kasus-kasus tertentu dan khusus. Lain halnya jika kita menganalogikan Made Sangut sebagai kelas borjuasi dan di mana mitos seputar dirinya bekerja adalah kelas pekerja.

Akan tetapi pada kenyataannya Made Sangut adalah seorang dari kelas pekerja yang dalam tradisi Marxian adalah seseorang yang tidak memiliki kuasa atas alat produksi.

64 Menurut kisah, pada kasus seperti ini, jika seseorang yang dikalahkan meminta obat pada yang mengalahkan, apapun yang diberikan oleh pemenangnya pasti akan menyembuhkan yang dikalahkan. Sebaliknya, jika yang dikalahkan tidak diberi obat (apapun itu bentuknya), ia akan mati dalam hitungan hari. Hal lainnya adalah setelah yang dikalahkan tersebut berhasil disembuhkan, selamanya ia akan menjadi budak si pemenang dalam masiat kapetengan. 65 Bahasa Bali: jimat. 66 Barthes, Roland, ( Nurhadi: penerjemah), Mitologi , Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004:217.

78

Selain itu, pembatasan kelas dikaburkan oleh mitos kasta, bahwa kasta lebih berpengaruh dalam masyarakat Bali secara umum dibandingkan dengan pembatasan kelas. Made Sangut yang akhirnya menjadi balian hanya mampu memanfaatkan mitos di sekitar dirinya di kalangan kelas pekerja Nusa Penida. Sebab, ketimpangan pendapatan kelas pekerja yang membuatnya tidak mampu membayar biaya dokter atau rumah sakit, di samping itu untuk mendapatkan pengobatan yang baik orang- orang Nusa Penida mesti ke Bali daratan untuk bisa mendapatkannya. Pada satwa

Made Sangut kita telah menemukan garis batas mitos: garis yang membatasi wilayah sosial di mana ia dituturkan, akan tetapi garis batas ini bisa bergeser. Pergeseran ini bisa terjadi ketika (katakanlah) seorang pemilik perahu yang tidak mampu disembuhkan secara medis oleh dokter di Bali daratan ketika datang kepada Made

Sangut berhasil disembuhkan. Wilayah sosial di mana mitos seputar Made Sangut dituturkan pun akan meluas. Jika arah pembicaraan Barthes tentang gelombang penanaman mitos menuju ke arah sosiologi analitik pers, maka gelombang penanaman mitos-mitos sejenis satwa Made Sangut lebih mengarah pada antropologi

(medis) karena ia ditanamkan melalui bahasa tutur dan menyebar melalui berbagai percakapan.

79

BAB IV

INDUSTRI PARIWISATA, AJEG BALI DAN ABSURDITAS KE-LOKAL-AN PASCA KOLONIAL

Diskusi bab ini menitikberatkan pada aspek pengalaman saling pandang- memandang dalam industri pariwisata antara orang Bali daratan dengan orang Nusa

Penida. Industri pariwisata yang sangat berpengaruh dalam kehidupan (ekonomi) orang-orang Bali secara umum, menjadi alasan utama mengapa fokus penelitian ini pada pengalaman manusia-manusia Bali dalam industri tersebut. Pasca bom Bali I, industri pariwisata Bali mengalami kelesuan dengan berkurangnya tingkat kunjungan wisatawan ke Bali. Beberapa saat setelah pengeboman, suasana begitu mencekam dan sempat terdengar isu sweeping orang-orang bukan Bali yang sedang ada di Bali.

Namun isu itu berlalu seiring berjalannya waktu dan tidak pernah ada tindakan

“nyata” untuk men-sweeping orang-orang bukan Bali pasca pengeboman tersebut, baik itu pasca bom I maupun II.

Sweeping memang tidak terjadi, akan tetapi kejadian selanjutnya membawa pengaruh sangat besar pada orang-orang Bali secara umum: kesepakatan umum tentang ideologi ajeg Bali . Istilah ajeg Bali sendiri mulai terdengar pasca bom Bali I, ketika perayaan-perayaan yang mengusung slogan recovery Bali mulai menyurut.

Dari bahasa yang digunakan, sudah jelas kepada siapa slogan recovery Bali ini ditujukan: kepada dunia luar untuk menegaskan pada dunia luar bahwa Bali tetap

80 tegar meski diguncang bom. Ajeg Bali terdengar pertama kali dari pemberitaan di harian Bali Post . Kemudian untuk memperingati ulang tahunnya yang ke-55 pada tahun 2001, Bali Post menggalang sebuah pertemuan dengan akademisi dan intelektual Bali; membicarakan permasalahan-permasalahan Bali. Hasil pertemuan ini dikumpulkan dalam sebuah buku: Ajeg Bali: Sebuah Cita-cita . Secara garis besar buku ini berisikan ide-ide “penyelamatan” Bali yang berada di ambang kehancuran

(kultural). Ide-ide penyelamatan tersebut bermuara pada penjagaan identitas serta kebudayaan Bali 1.

Secara khusus bab ini menuturkan pengalaman dua orang manusia Bali yang menceburkan diri dalam sesaknya ruang industri pariwisata. Dua orang narasumber utama ini adalah Gung Kubil dan Dewa Katung 2. Keduanya adalah seorang surfer dan guide liar. Saya sengaja hanya mengambil pengalaman dua orang ini dengan alasan demikian: saya bisa lebih intens berhubungan dengan mereka. Intensitas yang cukup tinggi ini saya perlukan dalam memahami bagaimana orang Bali daratan dan orang Nusa Penida saling pandang satu dengan yang lainnya.

1 Naradha, Satria ABG [et al], Ajeg Bali : Sebuah Cita-cita , Bali Post, tanpa tahun terbit: ii. 2 Catatan: kedua-duanya adalah pseudonym yang saya berikan karena keduanya tidak mau namanya disebut-sebut dalam tulisan ini. Gung Kubil adalah seseorang dari Bali daratan dan Dewa Katung berasal dari Nusa Penida, keduanya tidak saling kenal satu sama lain.

81

I. Latar Belakang

Sebelum saya mengisahkan pengalaman dua orang manusia Bali dalam industri pariwisata sebagaimana saya janjikan di atas, terlebih dahulu saya akan mulai dengan gambaran singkat kemunculan dan perkembangan industri pariwisata Bali secara umum. Gambaran ini diperlukan untuk memberikan konteks pada kisah selanjutnya dan membumikannya. Saya menggunakan dekade 1920-an sebagai titik awal pembangunan Bali sebagai situs industri pariwisata. Tahun ini saya gunakan sebagai awalan dengan alasan demikian: pemerintah kolonial Hindia Belanda menetapkan Baliseering sebagai sebuah program memulihkan tradisi Bali yang dianggap sudah melenceng. Pemulihan tradisi ini secara erat berhubungan dengan, selain mulai goyahnya kekuasaan pemerintah kolonial dan menyebarnya ideologi nasionalisme, menemukan kembali Bali 3. Konsep menemukan kembali Bali merupakan konsep yang penting untuk kelangsungan hidup industri pariwisata Bali yang bergantung pada ide bahwa Bali merupakan sebuah surga yang hilang. Pada saat yang sama menemukan kembali Bali merupakan sebuah konsep yang sama (dengan nama yang berbeda) yang dikemukakan ketika Bali diguncang bom, yaitu: recovery

Bali . Jika menemukan kembali Bali mengarah pada Baliseering , maka recovery Bali mengarah pada Ajeg Bali .

3 Robinson, Geoffrey, (Arif B. Prasetyo; Penerjemah), Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik , LKiS, 2006:50-55.

82

Industri pariwisata secara umum mulai menggeliat pada tahun 1908, ketika kerajaan terakhir Bali jatuh ke tangan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada saat itu di Batavia didirikan asosiasi yang mengatur lalu lintas pariwisata Hindia Belanda:

Vereeniging Toeristenverkeer in Nederlandsch Indïe . Asosiasi ini kemudian membentuk sebuah biro pariwisata dan membuka perwakilan di hampir seluruh negeri. Pada tahun 1914 biro tersebut mengembangkan sayapnya sampai ke Bali 4.

Pemrakarsa perjalanan ke Bali adalah KPM ( Koninklijke Paketwaart Maatschappij ), maskapai pelayaran kerajaan. Maskapai ini jugalah yang mempopulerkan nama Pulau

Dewata dalam brosur perjalanannya 5.

Pada tahun yang sama ketika pendudukan Bali dirasa sudah mulai stabil, peran tentara pendudukan mulai digantikan penduduk sipil dan fasilitas perhubungan mulai dibangun. Para pelancong bahkan diijinkan menggunakan pesanggrahan- pesanggrahan untuk pejabat-pejabat kolonial yang melakukan inspeksi, ketika pesanggrahan tersebut kosong. Pada tahun 1928 KPM membuka Bali Hotel sebagai pengganti pesanggrahan itu. Setelah pembukaan Bali Hotel, giliran tempat-tempat pariwisata dibenahi untuk menyambut kedatangan para turis. Mulai dari dataran tinggi Kintamani sampai teluk Padang Bai ditata untuk tujuan tersebut. Berturut-turut,

4 Picard, Michel, (Jean Couteau dan Warih Wisatsana: penerjemah), Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata , KPG bekerja sama dengan Forum Jakarta-Prancis, 2006:30-31. 5 Putri, Agung, “Pulau Dewata”: Surga Bagi Para Investor, sisipan Media Kerja Budaya , edisi 05/2001.

83 pada tahun 1933 jalur penerbangan Surabaya-Bali dibuka dan tahun 1934 giliran jalur laut Gilimanuk-Banyuwangi dibuka. 6

Pada awalnya, brosur perjalanan mengenai Bali yang diterbitkan berisikan ketidak- nyamanan dan kesulitan-kesulitan yang akan ditemui para pelancong. Baru kemudian pada dekade 1920-an brosur perjalanan menceritakan tentang masyarakat

Bali, sejarahnya, tradisi agamanya serta keseniannya 7. Pada dekade 1920-an, Bali terus menerus digambarkan sebagai sebuah surga tempat hidupnya kebudayaan tradisional yang terlindung dari pengaruh modernitas serta beragam masalah yang datang bersamanya. Kisah mengenai Bali telah menyebar dari mulut ke mulut, buku ke buku dan telah berakumulasi dengan perspektif ratusan orang. Dalam sejarah pencitraan Bali ada beberapa figur penting: Margaret Mead, salah satu antropolog terkenal abad 20, yang meletakkan Bali pada peta akademisi internasional; Presiden

Soekarno, patron kesenian yang mendudukkan Bali sebagai kebudayaan induk

Indonesia; Walter Spies, seniman berbakat dekade 1930-an yang memasukkan kedalaman romantik pada citra Bali; serta Sir Thomas Stamford Raffles, seorang administrator Inggris, salah satu orang pertama yang mencermati kebudayaan Bali dengan serius 8. Pencitraan Bali terus berkembang menuju pada sebuah keniscayaan, yang bahkan diamini oleh orang-orang Bali sendiri, bahwa Bali merupakan sebuah

6 Picard, Michel, (Jean Couteau dan Warih Wisatsana: penerjemah), Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata , KPG bekerja sama dengan Forum Jakarta-Prancis, 2006: 31-32. 7 Picard, Michel, (Jean Couteau dan Warih Wisatsana: penerjemah), Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata , KPG bekerja sama dengan Forum Jakarta-Prancis, 2006: 32. 8 Vickers, Adrian, Bali: Paradise Created , Periplus Edition, Singapore, 1996: 5.

84 museum hidup kejayaan Hindu(isme), surga keindahan alami terakhir serta penduduknya yang ramah dan tradisi serta kebudayaan kuno yang terjaga dengan baik dan rapi. Orang-orangnya dibayangkan menjalani kehidupan dengan harmonis, murni, tulus ikhlas dan penuh senyum. Pencitraan inilah yang kemudian diadopsi oleh industri pariwisata, pencitraan Bali yang harmonis, lemah lembut dan seterusnya.

Industri pariwisata Bali benar-benar terpuruk pasca ledakan bom I. Secara kasat mata terlihat tidak banyak turis yang lalu-lalang di jalanan Kuta maupun Sanur, dimana biasanya lebih banyak turis yang terlihat berlalu-lalang dibandingkan penduduk lokal. Untuk pertama kalinya setelah berjalan selama berpuluh-puluh tahun, industri pariwisata Bali mengalami goncangan yang begitu hebat. Efek ledakan tidak hanya mengguncang industri pariwisata Bali, tapi mencapai hampir seluruh sendi kehidupan manusia Bali. Ungkapan “ ulian bom ne, bedik maan megae 9” terdengar di hampir setiap obrolan, tingkat pengeluaran yang semakin tinggi dan pendapatan yang semakin berkurang ditimpakan pada ledakan bom I. Ketika ajeg

Bali datang dan menawarkan jalan keluar yang tegas dan pasti, berpalinglah perhatian seluruh pulau pada ajeg Bali . Salah satu rekomendasi praksis yang ditawarkan ajeg

Bali adalah pemberlakuan otonomi khusus tingkat propinsi untuk mencegah fragmentasi atas ruang budaya Bali dan terpicunya konflik antar daerah tingkat II, penguatan institusi yang selama ini menjaga ruang budaya manusia Bali seperti

9 Bahasa Bali: semua ini karena bom, pendapatan semakin berkurang.

85 banjar , desa adat serta Pura dan legislasi migrasi selektif; arus deras migrasi pendatang yang tidak terseleksi adalah sebuah ancaman 10 .

Dengan demikian apa yang diharapkan oleh ajeg Bali adalah satu kesatuan

Bali nan utuh, tidak terfragmentasi, terpusat dan dalam jangka panjang mengeliminasi

“masyarakat pendatang” sehingga yang menghuni pulau adalah hanya “penduduk asli”. Pengalaman masyarakat Betawi yang semakin lama semakin tersingkir, terus menerus direproduksi, seolah-olah ancaman telah tampak di depan mata dan siap menerkam 11 . Ancaman itu dibayangkan berasal dari luar dan siap meluluh-luntakkan

Bali dari dalam. Identitas kita sebagian dibentuk oleh suatu pengenalan (recognition ) atau oleh ketiadaannya, seringkali terbentuk dari kekeliruan mengenali

(misrecognition ) oleh Yang lain, dan demikian seseorang atau suatu kelompok bisa menderita kerusakan serta distorsi riil jika orang-orang atau masyarakat di sekitar mereka memantulkan kembali pada mereka sebuah gambaran yang terbatas atau merendahkan atau keji tentang diri mereka 12 . Sedikit berbeda dengan Taylor, orang- orang Bali telah menginternalisasi pandangan yang diproyeksikan pada mereka oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dari sudut pandang tertentu pencitraan yang diproyeksikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda bukanlah sebuah pencitraan yang merendahkan, tapi sebaliknya. Bila dilihat secara lebih seksama, peninggian

10 Naradha, Satria ABG [et al], Ajeg Bali : Sebuah Cita-cita , Bali Post, tanpa tahun terbit: 46-47. 11 Lihat misalnya: “Kapolda Terima Panitia SAB, Bali Jangan Jadi Betawi atau Abudabi, Bali Post , 27 September 2005”. 12 Taylor, Charles [et al], Multiculturalism: Examining The Politics of Recogition , Princeton University Press, 1994: 25.

86 pencitraan ini adalah untuk kepentingan pemerintah kolonial Hindia Belanda sendiri, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa Bali merupakan benteng terakhir pemerintah kolonial Hindia Belanda dari serbuan nasionalisme. Maka pencitraan Bali yang indah dan eksotis serta “pengembalian” kekuasaan ke tangan kuasa tradisional adalah salah satu cara mempertahankan kuasa pemerintah kolonial Hindia Belanda di

Bali.

Demikianlah, figur Bali yang dikenal sampai sekarang adalah semacam warisan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pencitraan semacam ini, yang telah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun tidak bisa ditolak untuk diinternalisasi oleh masing-masing orang, demikian dicapai kesepakatan umum mengenai apa dan bagaimana Bali itu seharusnya. Pasca bom Bali I, kesepakatan umum ini diwakili ajeg Bali dan mengetengahkan sebuah isu besar bahwasannya ancaman terhadap Bali berasal dari luar. Akan tetapi sebagaimana kita semua ketahui bahwasannya permasalahan luar-dalam merupakan sebuah persoalan yang tidak bisa digampangkan begitu saja. Ajeg Bali sendiri mulai dikenal pasca bom Bali I melalui pemberitaan- pemberitaan dalam harian yang berada di bawah payung Kelompok Media Bali Post.

Dengan latar belakang seperti ini, ajeg Bali , (disengaja ataupun tidak) telah melancarkan war of position : sebuah “perang kultural” untuk mencapai suara dominan di media massa. Dalam pemahamam Gramscian, war of position merupakan sebuah proses yang diperjuangkan melalui sebuah fase panjang dalam superstruktur,

87 di mana makna dan nilai menjadi obyek perjuangan 13 . Hasil war of position ini sudah jelas terlihat, ketika hampir sebagian besar orang-orang Bali (secara umum) mengamini ajeg Bali sebagai sebuah konsensus. Peranan media dalam penyebaran ide ajeg Bali sangatlah signifikan. Dalam dunia modern, media merupakan salah satu alat produksi (kapitalisme) yang menentukan corak kehidupan manusia modern, jika tidak menentukan segalanya. Misalnya, sebuah korporasi yang melakukan pekerjaannya dengan baik untuk meyakinkan kita bahwa kita memerlukan produknya, terlepas dari apakah kita memang benar memerlukannya atau tidak, adalah yang paling sukses 14 .

Bagaimana korporasi ini meyakinkan konsumennya dibantu oleh media massa dalam promosinya, sehingga kenyataan media mempengaruhi dengan jelas kenyataan sosial.

Demikian juga halnya dengan ajeg Bali yang mencapai kesuksesan sampai pada level di mana seseorang yang mengkritisi atau mempertanyakan ajeg Bali dianggap sebagai orang yang tidak tahu apa-apa tentang Bali. Sehingga seseorang mau tidak mau mesti menyetujui ajeg Bali jika masih ingin dianggap sebagai orang Bali. Pada tahap itulah (dalam pemahaman Gramscian) ajeg Bali telah melancarkan war of manoeuvre , serangan frontal habis-habisan.

Suara dominan ajeg Bali dalam media massa juga mempengaruhi orang-orang

Nusa Penida. Karena meskipun dalam praktek hidup sehari-hari mereka di-liyan-kan, keinginan untuk “diakui” sebagai bagian integral dari Bali (daratan) tetap ada, apalagi

13 Jones, Steve, Routledge Critical Thinker: Antonio Gramsci , Routledge, New York, 2006: 31. 14 The Crimeth Inc. Workers Collective, Days of War, Night of Love: Crimethink For Beginners , CrimethInc. Free Press, 2001:67.

88 orang-orang Nusa Penida yang merantau ke Bali daratan. Sebagaimana disebutkan oleh Amin Maalouf, refleks pertama orang itu adalah bukan menonjolkan perbedaan tapi berupaya berlalu tanpa ketahuan. Impian diam-diam kebanyakan imigran adalah dianggap sebagai “penduduk asli”. Godaan pertama mereka adalah menjiplak tuan rumahnya 15 .

Berikut ini saya akan mengisahkan kehidupan dua orang manusia Bali yang hidup dari industri pariwisata dalam lingkup permasalahan tesis ini: persoalan pandang-memandang antara orang-orang Nusa Penida dan orang-orang Bali daratan.

Kedua orang itu adalah Dewa Katung dan Gung Kubil. Dewa Katung memulai kisahnya dengan menceritakan bagaimana ia sampai bisa bergelut dalam industri pariwisata. Menurut kisahnya, semenjak awal ia sudah ingin terjun dalam sektor ini dengan alasan ingin memperbaiki taraf hidup keluarganya. Seperti kebanyakan anak muda Bali, ia pernah mencoba melamar pekerjaan di kapal pesiar dengan harapan mendapatkan kesejahteraan hidup lebih cepat dibandingkan dengan bekerja di Bali.

Menurutnya, kesempatan memperbaiki taraf hidup lebih cepat diperoleh jika bekerja di kapal pesiar karena ia dibayar dengan dolar, bukan rupiah. Dalam ungkapannya sendiri: “jani brangkat, mani teka suba ngabe pipis a karung 16 ”. Karena sesuatu dan lain hal, agen penyalur tenaga kerja tempat dia melamar tidak bisa menyalurkannya,

15 Maalouf, Amin (Ronny Agustinus: penerjemah), In The Name of Identity , Resist Book, Yogyakarta, 2004:39-40. 16 Bahasa Bali: sekarang berangkat, nanti pulang membawa uang satu karung. Wawancara tgl 18 Juli 2009.

89 padahal saat itu ia sudah membayar cukup banyak. Sambil menunggu uang yang dikembalikan oeh penyalur tenaga kerja tersebut, dia belajar surfing , tanpa menyadari kalau kedepannya dia akan hidup dari surf board tersebut. Singkatnya, ia mendapatkan kembali uang tersebut, meski tidak seluruhnya. Beberapa saat kemudian ia merantau ke Lombok dan bekerja di sebuah hotel di sana. Di Lomboklah ia kemudian lebih mengenal dunia surfing dan kemudian lebih mengenal celah-celah untuk bertahan hidup dalam dunia ini. Dia bekerja di Lombok hanya enam bulan, kemudian pindah ke Kuta dan menjalani hari-harinya sebagai seorang surfer dan guide liar yang mengantarkan turis-turis penikmat ombak. Sebagaimana yang pernah ia katakan, “ jelek-jelekan umah pedidi, nu adenan masih ken umah anak 17 ”

Lain kisah Dewa Katung, lain pula kisah Gung Kubil. Gung Kubil memulai kisahnya dari sebuah pojok pantai Sanur, di mana orang tuanya menggelar dagangan.

Ketika ibunya meninggal beberapa waktu lalu, bapaknya memutuskan untuk meninggalkan rumah dan tinggal di tempat ia berjualan. Sementara rumahnya hanya ditinggali Gung Kubil, tanah tempat rumah Gung Kubil berdiri adalah tanah yang dipinjamkan oleh salah satu keturunan raja Kesiman. Di atas lahan yang sama, mulai dari para pemulung sampai tukang bakso berjejalan membangun tempat tinggal sederhana. Kisah Gung Kubil terjun dalam industri pariwisata, dimulai dari

17 Bahasa Bali: sejelek-jeleknya rumah sendiri masih lebih baik daripada rumah orang lain. Wawancara tgl 5 Desember 2009.

90 ketertarikannya melihat anak uli Nusa 18 di Sanur bermain surfing , ketika itu ia masih di bangku SMP. Setiap hari, selepas pulang sekolah ia menonton orang-orang bermain surfing dan ia sangat ingin bisa bermain. Demi menuntaskan hasratnya bermain surfing , ia menggunakan stereo foam bekas kotak ikan sebagai surf board .

Sembari belajar dengan stereo foam ia melakukan pendekatan dengan orang-orang yang memiliki surf board , sampai kemudian “ ahirne maan cang ngidih ski lung masih, muncuk-muncukne to 19 .” Setelah beberapa lama bermain dengan menggunakan patahan surf board , ia memberanikan diri untuk meminta sebuah surf board pada seorang pemain dari Sanur, “ ahirne ada nak Ida Bagus, Ida Bagus

Belong Adane, takon cang iseng-iseng, sing ngelah papan surfing tu aji? Dot sajan maen surfing tu aji. Akhirne kan cang ngorang ngidih kemu, baange ngidih papan sik 20 .” Dimulai dari surf board pemberian inilah, Gung Kubil memulai petualangannya dalam industri pariwisata Bali sebagai seorang surfer dan guide liar yang mengantarkan turis-turis yang ingin menikmati ombak.

18 Bahasa Bali: orang dari Nusa. Orang Nusa yang dimaksud oleh Gung Kubil adalah orang-orang yang berasal dari Nusa Lembongan dan atau Nusa Ceningan. Orang-orang yang berasal dari dua pulau ini “berbeda” dengan orang-orang dari Nusa Penida karena dua pulau ini memiliki ombak yang bisa digunakan untuk surfing sehingga kunjungan wisatawan terkonsentrasi pada dua pulau ini dan membuat mereka lebih mampu secara ekonomi. Namun penyebutan di Bali daratan tetap sama, anak uli Nusa . 19 Bahasa Bali: akhirnya aku diberi patahan surf board , ujung-ujugnya itu lo. Wawancara tanggal 9 Januari 2010. 20 Bahasa Bali: akhirnya ada seorang Ida Bagus, Ida Bagus Belong namanya, iseng-iseng aku bertanya padanya, apa tu aji punya papan surfing ? Aku ingin sekali main surfing, tu aji . Akhirnya aku minta padanya, diberikannya aku sebuah papan. Wawancara tanggal 9 Januari 2010.

91

Dengan latar belakang berbeda, Gung Kubil dan Dewa Katung menempati posisi yang kurang lebih sama dalam industri pariwisata Bali. Secara umum mereka adalah orang yang ikut berdesakan dalam riuhnya industri pariwisata, berebut sebagian kecil kepingan-kepingan dolar yang dibawa oleh turis asing. Secara lebih khusus, mereka adalah “orang lokal” yang tidak akan terkena dampak dari salah satu rekomendasi praksis yang ditawarkan oleh ajeg Bali : migrasi selektif. Pada satu tingkat tertentu mereka aman menjaring turis di mana pun di seantero pulau, karena mereka dikategorikan sebagai “orang lokal”. Pengkategorian pada tingkat ini, mengikuti logika ajeg Bali , didasarkan pada aspek identitas ke-lokal-an yang telah dikenal, akrab serta telah dipahami oleh sebagian besar orang: bernama khas Bali

(Wayan, Made, Nyoman, Ketut), beragama Hindu dan seterusnya. Pada tingkatan lain, Dewa Katung menerima imbas rekomendasi praksis ajeg Bali : penguatan institusi penjaga ruang budaya orang Bali seperti: banjar , desa adat, Pura dan seterusnya. Pada tingkat ini, masih dalam logika ajeg Bali , Dewa Katung adalah bukan orang lokal karena aktivitas (adatnya) tidak dikenali dalam ruang budaya orang

Bali (daratan): dia tidak termasuk dalam banjar , desa adat serta Pura di Bali

(daratan). Bagi orang Nusa Penida di Bali (daratan) bersembahyang di Pura tertentu di Bali daratan adalah opsional, karena untuk tidak datang ke perayaan sebuah Pura, mereka tidak akan terkena sanksi adat dan atau sanksi sosial. Dengan demikian,

Dewa Katung mempunyai dua identitas yang dikenali secara bersamaan: orang lokal

92 sekaligus orang luar. Secara lebih khusus dalam industri pariwisata, ruang pengenalan seseorang lebih absurd. (Mengenai hal ini akan dibicarakan lebih lanjut pada sub bab selanjutnya.)

II. Absurditas Ke-lokal-an Pasca Kolonial

Ke-lokal-an dalam industri pariwisata merupakan salah satu hal terpenting, karena hampir seluruh tempat dikuasai oleh orang-orang lokal. Di sini saya membicarakan tentang industri pariwisata “pinggiran” yang dihuni oleh orang-orang seperti Dewa Katung dan atau Gung Kubil. Saya sebut industri pariwisata

“pinggiran” karena orang-orang seperti Dewa Katung dan atau Gung Kubil tidak dikenali secara “legal formal”. Mereka tidak memiliki ijin legal sebagai guide

(misalnya) yang berarti mereka tidak terikat pada institusi legal apapun dan “tidak mengikuti” aturan-aturan yang ditetapkan secara legal. Mereka mengikuti aturan tak tertulis dan tak terucapkan yang dilandasi atas kesepakatan yang tak terucapkan.

Misalnya untuk gaji, tidak ada ketentuan jelas yang mesti diikuti, hanya berdasarkan kepercayaan. Contohnya, Si A memiliki mobil dan turis yang minta jasanya tapi pada saat itu, Si A tidak bisa memenuhi permintaan itu, ia “melemparkannya” pada Si B.

Si B pada dasarnya tidak memiliki kewajiban apapun pada Si A, tapi ada aturan tertentu yang meminta Si B untuk memberikan sejumlah uang pada si A. Jumlah uang

93 yang diberikan itu tidak ada standarnya, hanya berdasarkan (katakanlah) keiklasan si

B.

Dalam dunia surfing yang mereka geluti pun ada aturan tak tertulis serta kesepakatan tak terucapkan yang mesti dipatuhi dan sanksi untuk aturan ini adalah sanksi fisik: di mana seseorang yang melanggar aturan ini akan dipukuli (entah itu di darat atau di tengah pantai) sampai berdarah-darah. Misalnya ketika mengajak seorang turis bermain surfing , jika ia begitu saja “merampas” ombak, niscayalah dia akan dipukuli tanpa memperdulikan apakah ia turis atau orang lokal. Dalam dunia ini, ada aturan yang mengharuskan seseorang menunggu giliran untuk mendapatkan ombak dan jika ia tidak kunjung mendapatkan ombak yang bagus, dia mesti meminta pada surfer lain, jika masih ingin melanjutkan bermain surfing .

Meski demikian ada tempat dalam industri ini di mana orang-orang berlaku liar dan seakan tak memiliki aturan, sebagaimana yang saya kisahkan di atas. Di

Kuta, kebanyakan orang tidak mengindahkan aturan tak tertulis tersebut. Hampir setiap hari ada perkelahian memperebutkan ombak, entah itu antar turis surfer ataupun antar guide . Sebagaimana dituturkan oleh Dewa Katung yang memilih Kuta sebagai tempatnya “bertugas”, di Kuta rame jelema makejang merebut ngalih gae, lamun tare bareng merebut, ape lakar tare maan 21 . Rebut-merebut ini tidak hanya terjadi dalam urusan ombak, tapi terjadi juga dalam urusan yang lain: berebut turis.

21 Bahasa Nusa Penida: di Kuta banyak orang berebut mencari nafkah, kalau tidak ikut-ikutan berebut, kita tidak akan mendapatkan apapun. Wawancara tanggal 8 Agustus 2009.

94

Para guide liar ini mencari turis di pub-pub yang banyak berserakan di Kuta, mengatur waktu pertemuan di tempat tersebut untuk kemudian keesokan harinya mengantarkan turis-turis itu ke tempat yang mereka suka; entah itu bermain surfing atau ke mana saja. Guide-guide surfing seperti Dewa Katung dan Gung Kubil ini biasanya mengantarkan sekaligus mendampingi turis yang menyewa jasa mereka, agar turis-turis itu mendapatkan ombak dan tidak dihalangi oleh orang-orang lokal.

Gung Kubil menuturkan demikian; “ Yen ada tamu sing ngajak guide, jeg sikat saja, ombak sing maan, usir pesu sing baange maen 22 .” Beda tempat, beda pula perlakuan orang-orang lokal pada “pendatang”. Di Negara misalnya, orang yang akan bermain surfing diharuskan membeli baju produksi orang-orang lokal, setelah itu baru diijinkan bermain di sana 23 . Deskripsi Dewa Katung mengenai orang lokal tidaklah seperti deskripsi ajeg Bali mengenai hal ini. Jika ajeg Bali memandang penduduk pendatang adalah mereka yang hidup di Bali yang melalui proses migrasi dan orang lokal adalah mereka yang beragama Hindu 24 . Sementara itu, deskripsi

Dewa Katung tentang orang lokal adalah seseorang dan atau sekelompok orang yang memanfaatkan suatu point surfing , tanpa mempedulikan siapa dan dari mana asal

22 Bahasa Bali: kalau ada turis yang tidak bersama guide , mereka pasti langsung disikat, mereka tidak mendapatkan ombak dan mereka pasti diusir, tidak diijinkan surfing ditempat itu. Wawancara tanggal 3 Januari 2010. 23 Wawancara tanggal 3 Januari 2010. “ Di Negara, ci harus meli baju ditu, mare ci maan ombak, mare ci bebas maen ditu.” 24 Naradha, Satria ABG [et al], Ajeg Bali : Sebuah Cita-cita , Bali Post, tanpa tahun terbit: 222. Kalimat ini sebenarnya tidak secara eksplisit menyebutkan kalau orang lokal adalah orang yang beragama Hindu dan sebaliknya, akan tetapi demikian makna yang tersirat didalamnya. Demikian kalimat aslinya: “Apalagi penguasaan lahan itu bukan orang Bali (Hindu-red)…”

95 mereka 25 . Berbanding terbalik dengan deskripsi Dewa Katung, Gung Kubil tidak menunjuk dengan jelas siapa yang disebut orang lokal. Ia hanya menyebutkan demikian: care di Kuta, Jawa Bali nak mepunduh ye. Dini bedik nak Jawa, paling ada jak lima, sisane nak Nusa. Yen di Sanur, nak Jawa dadi guide, mecakcak masih.

Soalne jelema jawa to menghancurkan harga, bani nyemak mudah modelne 26 .

Sentimen ke-lokal-an terasa dalam pernyataan Gung Kubil, terkesan seperti pelaksanaan migrasi selektif (secara kasar) sebagaimana yang disarankan ajeg Bali .

Akan tetapi ambiguitas ke-lokal-an menyeruak ketika ia mengatakan demikian: nak

Nusa to nak lokal di Sanur. Nak Sanur jarang ade maen surfing, liunan nak Nusa.

Nak Nusa ngisiang ditu. Yen alih perbandingane ada kira-kira dasa banding telu 27 .

Definisi lokal Gung Kubil tidak berhenti sampai di sana. Pada kesempatan lain ia menambahkan demikian: lokal to ya ngoyong ditu, di point to umah ya, dipaek paek ombak to umahne, ditu ye nengil 28 . Demikian definisi lokal sendiri tidak selalu sama dan terkadang ambigu. Ketika berhadapan dengan permasalahan ekonomi, garis demarkasi lokal-non lokal pun diperjelas dan diperketat. Namun ketika berhadapan

25 Ane adaneh lokal tone, anak ane sai main di point, jae misalneh di Kuta. Dini Cuma ada dua dange: anak lokal ajak bule (Yang namanya lokal itu (adalah) orang yang sering main di point tertentu, misalnya di Kuta. Disini Cuma ada dua (kategori) lokal dan Bule. Wawancara Dewa Katung tanggal 4 Desember 2009). 26 Bahasa Bali: seperti di Kuta, (orang) Jawa (dan orang) Bali, mereka berkumpul. Disini sedikit ada orang Jawa, paling-paling hanya ada lima orang, sisanya orang Nusa. Kalau di Sanur, orang Jawa menjadi guide dipukuli juga. Karena orang Jawa itu menghancurkan harga, mereka berani dibayar murah. Wawancara Gung Kubil tanggal 3 Januari 2010. 27 Bahasa Bali: orang Nusa itu adalah orang lokal di Sanur. Orang Sanur jarang yang main surfing , kebanyakan orang Nusa. Orang Nusa yang menguasai di sana (di Sanur). Kalau dicari perbandingannya, kira-kira sepuluh banding tiga. Wawancara tanggal 3 Januari 2010. 28 Bahasa Bali: (orang) lokal itu (adalah) ia yang tinggal disana, di point itulah rumahnya, di dekat ombak rumahnya, disana ia tinggal. Wawancara tanggal 5 Januari 2010.

96 dengan persoalan keseharian di luar persoalan ekonomi, ia bisa menjadi sangat longgar dan bahkan sangat permisif. Misalnya saja, dari pengalaman pribadi saya, ketika saya dikenalkan dengan seseorang oleh seorang kawan lama. Kami berbincang dalam suasana yang cukup akrab sampai kemudian ia bertanya tentang asal-usul saya.

Tak ada respon yang “berlebihan” ketika ia tahu bahwa saya berasal dari Nusa

Penida. Ia hanya berkata, “Ooo, nyama uli Nusa 29 .” Selain itu ia hanya berkomentar tentang betapa keringnya Nusa Penida dan betapa sakti nya Ratu Gede Mecaling.

Berbanding terbalik dengan pengalaman saya lainnya. Beberapa tahun lalu kakak saya membeli sebidang tanah di Denpasar Timur. Ketika sedang membangun rumah di atas tanah itu, saya didatangi oleh seorang penduduk setempat. Awalnya ia hanya berbasa-basi dengan calon tetangga baru, sampai kemudian percakapan kami sampai pada asal-usul saya. Komentarnya mengejutkan saya, “ Bapak niki pendatang saking

Nusa, nggih? 30 ” Saya tidak sanggup berkata-kata selain hanya mengangguk.

Di tengah ketidakmenentuan hidup pasca peledakan bom, persoalan ekonomi menjadi persoalan krusial dalam kehidupan orang-orang Bali yang secara umum tergantung pada industri pariwisata. Masih jelas dalam ingatan ketika ajeg Bali memproklamirkan berdirinya koperasi krama Bali dan membidani lahirnya segala sesuatu dengan akhiran krama Bali dan atau ajeg Bali , misalnya: bakso krama Bali , tukang cukur ajeg Bali dan seterusnya. Secara ekonomi, tidak jelas orang Bali mana

29 Bahasa Bali: Ooo saudara dari Nusa (Penida). 30 Bahasa Bali: Jadi bapak (orang itu memanggil saya bapak) sekeluarga ini pendatang dari Nusa (Penida)?

97 yang disasar ajeg Bali . Sehingga secara faktual segala hal yang berakhiran ajeg Bali atau krama Bali tidak bertahan lama. Selain karena sasaran yang tidak jelas, tujuannya seakan-akan hanya untuk menunjukkan kekuatan orang Bali; jika orang bukan Bali bisa melakukan suatu hal, orang Bali juga pasti bisa melakukan hal tersebut. Sebagai contoh misalnya, di Bali, penjual bakso biasanya adalah bukan orang Bali. Ketika koperasi krama Bali melahirkan segala sesuatu berakhiran ajeg

Bali dan atau krama Bali , orang Bali “dipaksa” untuk berjualan bakso. Karena tidak menguasai bidang tersebut, dagangan bakso krama Bali tidak banyak diminati dan akhirnya bangkrut.

Seperti yang telah saya paparkan di atas, deskripsi luar-dalam tidak begitu jelas tergambarkan dalam industri pariwisata. Pada sisi lain dalam industri yang sama garis demarkasi luar-dalam begitu jelas terpampang. Secara sederhana hal ini menjelaskan kenapa orang seperti Dewa Katung memilih Kuta dan orang seperti

Gung Kubil memilih Sanur sebagai tempat mereka bekerja.

III. The Other, Self dan Misrecognition

Pada bagian ini kita akan melihat self dan hubungannya dengan other serta dinamika keduanya dalam hal pandang-memandang, mengenali dan keliru mengenali

(misrecognize ). Dinamika ini saya mulai dari fase cermin Lacanian karena pada fase ini seorang anak sudah mulai mengenali citra dirinya dalam sebuah cermin,

98 sebagaimana ajeg Bali mengenali citra dirinya melalui sejarah panjang industri pariwisata. Pengenalan diri melalui pencitraan yang dicitrakan oleh Yang lain mengalienasi self . Pada pemahaman yang paling mendasar ia teralienasi oleh bahasa

Yang lain. Ketika seorang anak belum menguasai suatu bahasa, ia terpengaruh oleh gerak-gerak dan lingkungan di sekelilingnya yang ia reduplikasi melalui pantulan dalam cermin. Begitu sebuah citra telah dikuasai dan ditemukan sebagai kekosongan, segera ia memantul dalam kasus anak-anak serangkaian gestur di mana saat bermain ia mengalami hubungannya antara gerak-gerak yang diasumsikan dalam citraan itu dan lingkungan yang terefleksikan, serta antara kompleks virtual ini dan realitas yang ia reduplikasi – tubuh si anak itu sendiri, orang-orang dan hal-hal lain di sekelilingnya 31 .

Melihat ke belakang pada sejarah Gung Kubil yang mendapat akses untuk masuk ke dalam industri pariwisata melalui nak uli Nusa , kita amati bagaimana orang

Bali daratan memandang orang Nusa Penida serta dinamika self dan Other dalam kerangka pandang-memandang. Pada suatu kesempatan Gung Kubil mengatakan demikian; jelema Nusa ane tawang cang, semakin raga di bawah semakin jejek e raga. Nak Nusa mula sing ada apa pidan, akhirne mai ye ke Sanur, dadi guide pertama ngajak tamu, buta tumben kedat to, sugih sing misi apa, akhirne benyah.

Monto gen kehidupan ye, judi kafe minum to gen be. Dan ye bergaul sekumpulan ye

31 Lacan, Jacques, (Alan Sheridan: translator), Écrits , Tavistock Publication Limited, Great Britain, 1977:1.

99 gen jarang ajak nak luar32 . Pernyataan ini kaya akan petunjuk bagaimana orang Bali daratan memandang orang Nusa. Petunjuk pertama saya ambil dari kalimat terakhir yang menyebutkan kalau orang Nusa jarang bergaul keluar. Pernyataan ini memang benar adanya. Saya sebagai orang Nusa mengetahui benar hal ini: kebanyakan orang

Nusa di perantauan bergaul dengan sesama orang Nusa.

Sebagai orang Nusa, saya menemukan bahwa satu hal yang paling fundamental dalam pergaulan dengan orang Bali daratan adalah bahasa. Memahami dan menggunakan bahasa orang Bali daratan tanpa canggung adalah hal yang sulit untuk orang Nusa Penida. Pertama-tama kosakata yang secara umum tidak sama dengan kosakata bahasa bali daratan. Kedua, letak geografis pulau yang menyebabkan orang Nusa cenderung berbicara keras, kasar dan cepat khas penduduk pesisir. Pada level yang paling mendasar, Other adalah bahasa asing yang mesti kita pelajari, secara halus mengacu pada “native tongue ”, tapi jauh lebih baik kita sebut sebagai “ mOther tongue ” : ia merupakan wacana serta hasrat Yang lain di sekitar kita, sejauh telah terinternalisasi terlebih dulu. “Terinternalisasi” tidak dimaksudkan untuk menyarankan bahwa ia menjadi milik kita; sekalipun terinternalisasi, ia tetap tubuh yang asing. Yang dimaksud dengan tubuh di sini bukan yang merupakan kesatuan struktur tulang dan saraf melainkan bahwa tubuh yang berada di bawah

32 Bahasa Bali: orang Nusa yang aku tahu, semakin kita di bawah semakin kita diinjak-injak. Orang Nusa dulu tidak punya apa-apa, akhirnya mereka datang ke sini, ke Sanur menjadi guide mengantar bule-bule, mereka seperti orang buta yang baru melihat, kaya tapi tidak berisi, akhirnya hancur. Kehidupannya hanya seputar itu saja: judi, kafe, minum. Dan mereka bergaul hanya dengan kumpulannya saja, jarang (bergaul) dengan orang luar. Wawancara tanggal 5 Januari 2010.

100 kekuasaan bahasa dan tatanan simbolik 33 . Sebagaimana kita ketahui, salah satu syarat untuk bisa diterima secara sosial adalah mampu menggunakan bahasa yang telah disepakati pada suatu lingkungan tertentu, dan pada titik tertentu berbahasa tertentu merupakan salah satu syarat untuk bertahan ( survive ) di lingkungan sosial. Ketika seseorang tidak mampu menggunakan suatu bahasa yang telah disepakati tersebut, ia teralienasi secara sosial. Pada sisi lain, dalam pemahaman Lacanian, setiap manusia yang belajar untuk berbicara, dengan cara demikian teralienasi dari dirinya sendiri.

Yang lain terlihat tergelincir ke belakang pintu pada saat anak-anak belajar sebuah bahasa yang diperlukan untuk survival mereka di dunia. Secara luas dipertimbangkan pada dasarnya tidak berbahaya dan murni utilitarian, bahasa membawa bentuk fundamental alienasi yang merupakan bagian dan bingkisan dari mempelajari mother tongue seseorang. Ungkapan yang kita gunakan untuk membicarakan mother tongue sudah menunjukkan fakta bahwa itu adalah pertama-tama merupakan Other’s tongue , mOther tongue yaitu bahasa mOther 34 .

Pada kasus ini, orang Nusa yang tidak mampu mengikuti bahasa orang Bali daratan teralienasi secara sosial dan dengan cara itulah mereka kemudian berkumpul

“sesama jenis”. Internalisasi wacana Yang lain – omongan orang lain – biasanya ditemukan dalam apa yang disebut sebagai kata hati atau perasaan bersalah dan dalam

33 Fink, Bruce, The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance , Princeton University Press, New Jersey, 1995:11. 34 Fink, Bruce, The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance , Princeton University Press, New Jersey, 1995:7. Lacan seringkali bermain dengan menyamakan Other dengan mOther .

101 apa yang disebut oleh Freud sebagai superego 35 . Ketidaksadaran menghitung, merekam, mengambil semua “informasi”, menyimpannya dan memanggil

“informasi” tersebut kapan saja diperlukan 36 . Yang perlu ditekankan disini adalah bahwa orang Nusa memahami bahasa orang Bali daratan, namun “tidak mampu” mengucapkan bahasa tersebut. Kemampuan memahami namun tidak untuk mengucapkan ini membawa mereka berkumpul dengan “sama jenis”, memperkuat perasaan terasing yang sebelumnya terbangun dari ketidakmampuan berbahasa serta melahirkan gerombolan yang ketakutan. Saya katakan melahirkan gerombolan yang ketakutan karena seperti yang dituturkan Gung Kubil: “ semakin raga di bawah semakin jejek e raga ”, dalam situasi di mana seseorang merasa terasing dan tertekan dengan keterasingannya, jalan singkat yang dipilih adalah kekerasan. Dengan jalan inilah mereka mendapat pengakuan dari sekelilingnya.

Jalan ini dipilih karena seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa ketidaksadaran sebelumnya telah menghitung, merekam, mengambil semua

“informasi”, menyimpannya dan memanggil “informasi” tersebut kapan saja diperlukan. Saya ilustrasikan demikian: seorang Nusa berkumpul dengan orang Bali daratan. Ketika itu terjadi percakapan yang melibatkan orang Nusa tersebut, dan saat

35 Superego dibentuk melalui internalisasi, artinya larangan-larangan atau perintah-perintah yang berasal dari luar (para pengasuh, khususnya orang tua) diolah sedemikian rupa hingga terpancar dari dalam. Dengan kata lain, superego adalah buah hasil proses internalisasi, sejauh larangan-larangan dan perintah-perintah yang tadinya merupakan sesuatu yang “asing” bagi subyek, akhirnya dianggap berasal dari subyek itu sendiri (Bertens, K (editor dan penerjemah), Psikoanalisis Sigmund Freud , Pt Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006:33-34). 36 Fink, Bruce, The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance , Princeton University Press, New Jersey, 1995:10.

102 itu terjadi, ia ditertawai karena bahasanya yang berbeda. Ketidak sadarannya menyimpan informasi ini, dan di lain kesempatan ketika ia berkumpul dengan orang

Bali daratan, ia sedikit sekali berkata-kata dan tiada tawa yang terdengar, ketidaksadarannya juga menyimpan informasi itu. Ketika terjadi suatu kesempatan di mana ia berkumpul dengan sesamanya dan di sana ada orang Bali daratan, informasi ini dipanggil ke permukaan, meledak dan terjadilah kekerasan. Kekerasan yang saya maksud di sini tidak harus berupa kekerasan fisik, meskipun tidak menutup kemungkinan kekerasan fisik bisa terjadi. Bisa jadi yang terjadi adalah kekerasan linguistik, di mana ia berkata-kata yang tidak dipahami oleh orang Bali daratan dan kemudian mentertawakannya.

Selanjutnya yang ditangkap oleh Gung Kubil adalah citra primitif orang-orang

Nusa, seperti yang ia katakan sendiri di atas: “ Nak Nusa mula sing ada apa pidan, akhirne mai ye ke Sanur, dadi guide pertama ngajak tamu, buta tumben kedat to, sugih sing misi apa, akhirne benyah. Monto gen kehidupan ye, judi, kafe, minum to gen be 37 .” Dengan pengalamannya berinteraksi dengan orang Nusa dan pengalaman itu adalah pengalaman yang tidak cukup baik, Gung Kubil sampai pada “kesimpulan” demikian: buta tumben kedat . Ungkapan buta tumben kedat merupakan sebuah ungkapan bernada negatif yang biasanya digunakan sebagai sebutan untuk orang yang seakan-akan baru sekali dalam hidupnya menemukan sesuatu yang menyenangkan dan melakukannya terus menerus secara berlebihan. Misalnya,

37 Lihat catatan kaki nomor 32 Bab IV halaman 100.

103 seorang dari desa yang seumur hidupnya tidak pernah ke kota dan menemukan kalau di kota (ternyata) ada sesuatu (misalnya) hamburger . Sesuatu hamburger ini harganya mahal dan memiliki banyak varian, tapi ia terus menerus membelinya.

Setiap kenalannya ia kenalkan pada hamburger ini (tanpa menyadari, kalau kenalannya sudah mengenal hamburger ). Singkatnya, mungkin bisa dikatakan demikian: orang kampung yang baru mengecap kehidupan kota, untuk menandai orang semacam inilah ungkapan tersebut dilontarkan. Citra primitif yang didapatkan

Gung Kubil tidak berhenti sampai nak buta tumben kedat , sebutan lain yang ia nyatakan adalah sugih sing misi apa , kaya namun tidak berisi (dalam arti kata bodoh).

Gung Kubil tahu kalau saya orang Nusa. Sebelum menyatakan pendapatnya mengenai orang Nusa, ia memulainya dengan kata kata “ Sori malu nah? 38 ” Tidak bisa dipungkiri, saya cukup kesal dengan pendapat tersebut, akan tetapi saya juga tidak bisa menyangkal pendapat itu, karena memang demikianlah ia memandang dan memahami orang Nusa dari pengalamannya. Ketidakmampuan orang Nusa untuk berkomunikasi dengan orang Bali daratan dalam sense yang dipahami oleh orang Bali daratan inilah yang menjadi jalan kekerasan linguistik dan pada gilirannya me-liyan- kan orang-orang Nusa. Yang lain, sebagai bahasa, bisa dilihat sebagai penyelundup yang dengan lemah lembut dan dengan tidak baik mentransformasikan keinginan

38 Bahasa Bali: maaf ya? Wawancara tanggal 5 Januari 2010.

104 kita; dan pada saat yang sama membiarkan kita untuk saling memberi petunjuk pada hasrat kita dan “berkomunikasi” 39 .

Latar belakang Dewa Katung sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Gung

Kubil. Hanya saja orang tua Dewa Katung masih cukup mampu mencarikan pinjaman ketika ia diharuskan membayar pada agen kapal pesiar, sebagaimana yang ia kisahkan di atas. Tingkat pendidikan dua orang ini pun sama, hanya sampai tingkat

SMA. Yang membedakan mereka dalam industri pariwisata ini adalah bahwa Dewa

Katung lebih mengenal seluk beluk pantai secara “alami” karena ia lahir dan besar di daerah pesisir. Dia merantau ke Bali daratan ketika ia menuntaskan sekolah menengah tingkat pertama dan memutuskan untuk melanjutkan sekolahnya di Bali daratan. “Biasa to, mara awak uli Nusa kadena sakti awak, pragat oranga ngaba sabuk dang awak, padahal apa tare ada 40 .” katanya ketika saya bertanya bagaimana pertama kali tanggapan orang-orang ketika mereka tahu kalau dia adalah orang Nusa.

Kita hanya bisa memahami fase cermin sebagai sebuah identifikasi, transformasi yang mengambil tempat dalam subyek ketika ia mengasumsikan sebuah citra – yang takdirnya pada efek fase ini diindikasikan dengan penggunaan istilah kuno imago

(sebuah pengidealan citraan mental dari orang lain atau diri sendiri). Acuan simbolik dimana I (kata ganti orang pertama yang merupakan subyek ketidaksadaran (di

39 Fink, Bruce, The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance, Princeton University Press, New Jersey, 1995:6. 40 Bahasa Nusa Penida: biasa itu, begitu mereka tahu aku dari Nusa, (mereka) kira aku sakti , selalu dikira membawa jimat, padahal tidak tahu apa-apa. Wawancara tanggal 8 Agustus 2009.

105

Prancis kata dalam tanda kutip biasanya dibuat miring dan Lacan biasanya memiringkan elemen-elemen imajiner, misalnya: a untuk Yang lain atau i(a) untuk citra Yang lain) dan bahwa I adalah penanda yang hilang: ia merupakan penanda subyek tapi tetap tak dapat diucapkan) mengendap dalam bentuk primordialnya, sebelum diobjektifikasi dalam dialektika identifikasi dengan Yang lain dan sebelum bahasa memperbaikinya, secara universal, fungsinya sebagai subyek 41 .

Telah saya kisahkan pada bab sebelumnya bagaimana orang Bali daratan memandang orang Nusa Penida dan dalam pengalaman Dewa Katunglah hal ini

“termaterialkan”. Nusa Penida dianggap sebagai sebuah pulau angker karena keberadaan Ratu Gede Mecaling; sesabukan (jimat) yang dahsyat selalu dianggap datang dari pulau kecil ini dan orang Bali daratan yang terpesona dengan hal magis selalu memandang Nusa Penida dengan cara demikian: semua orang Nusa Penida pasti membawa sesabukan (jimat) jika mereka merantau. Dengan cara demikianlah citra orang Nusa Penida terpancar dari Dewa Katung, sebelum dialektika identifikasi dengan Yang lain dan sebelum bahasa memperbaikinya, transformasi citra ideallah yang teridentifikasikan dari Dewa Katung. Ia dipandang sebagai orang yang membawa sesabukan karena ia adalah orang Nusa Penida yang merantau jauh dari kampung halamannya. Fase cermin merupakan sebuah drama yang dorongan internalnya mengendap pada ketidakmampuan untuk mengantisipasi – dan yang

41 Lacan, Jacques, (Alan Sheridan: translator), Écrits , Tavistock Publication Limited, Great Britain, 1977:2 (tambahan dalam tanda kurung merupakan tambahan dari saya).

106 menghasilkan bagi subyek, ditangkap dalam daya tarik identifikasi spasial, rangkaian fantasi-fantasi yang memanjang dari fragmentasi body-image kepada sebuah bentuk totalitasnya yang disebut sebagai orthopaedic – dan, akhirnya, pada asumsi identitas berlapis yang mengalienasi, yang akan menandai struktur rigid keseluruhan perkembangan mental subyek. Fase cermin berakhir dengan identifikasi dengan imago pendamping dan drama kecemburuan primordial, dialektika yang selanjutnya menghubungkan I dengan situasi yang dielaborasi secara sosial 42 .

Pada level ini Dewa Katung memandang orang Bali daratan sebagai orang asing yang tidak mengenal dirinya karena citra yang ditangkap belum dimediasi oleh bahasa, ketika bahasa menyeruak masuk, Dewa Katung “tidak bisa” menggunakannya. Tare jeha bli tare bisa ngenyeng, anak antik asanange bungut te.

Tapi di kuda kengkene nyak tare nyak, harus bisa ngenyeng, kedekine awak len tare 43 . Pada satu kesempatan ngenyeng adalah sebuah pilihan, di kesempatan lain ngenyeng menjadi suatu keharusan jika ingin diterima, demikian Dewa Katung mempermainkan ke-liyan-nan pada tataran bahasa: dia adalah orang Bali Yang lain.

Sebagaimana pernyataaannya diatas, Dewa Katung memandang orang Bali daratan sebagai orang lain, terlihat dari pilihan kata yang digunakan: kedekine awak . Kata awak dalam bahasa Nusa Penida adalah kata yang ambigu. Ia bisa berarti aku dan di

42 Lacan, Jacques, (Alan Sheridan: translator), Écrits , Tavistock Publication Limited, Great Britain, 1977:4-5. 43 Bahasa Nusa: bukannya aku tidak bisa ngenyeng (ungkapan orang Nusa untuk berbicara dengan logat dan kosakata Bali daratan), mulut terasa aneh (kalau ngenyeng ). Tapi pada waktu-waktu tertentu harus bisa ngenyeng , kalau tidak, kita bisa ditertawai. Wawancara tanggal 8 Agustus 2009.

107 saat lain bisa berarti kita atau juga bisa berarti tubuh. Dalam konteks pernyataan

Dewa Katung kata awak berarti kita atau aku, dengan demikian secara tidak sadar ia telah membedakan dirinya atau orang Nusa Penida dengan orang Bali daratan pada level bahasa. Lebih jauh lagi, mengikuti Lacan, pada level yang paling mendasar, ketidaksadaran merupakan wacana Yang lain 44 . Bagaimanapun juga, ketika seseorang memandang “ke luar” ia menemukan Yang lain dan ketika ia memandang “ke dalam” ia juga menemukan Yang lain.

Ketidaksadaran terstruktur seperti bahasa, dengan mengatakan demikian

Lacan tidak bermaksud mengatakan bahwa ketidaksadaran terstruktur tepat seperti bahasa Inggris atau bahasa modern lainnya atau bahasa kuno, tapi bahasa sebagaimana ia beroperasi pada level ketidaksadaran, mematuhi suatu jenis tata bahasa, yaitu suatu kumpulan aturan yang menentukan transformasi dan licinnya bahasa. Ketidaksadaran, contohnya, memiliki tendensi untuk memecah-mecah kata sampai pada unit terkecil – huruf dan fonem 45 . Pada suatu kesempatan, Dewa Katung berkata demikian, “ Jlema uli Bali nak kete ya, soroh awak babar orange tuara dange, babar mesebeng nulingin. Inget nene dugas ada anak ngedum-ngedumang kopi jumah to ne? 46 ” Pada akhirnya, bagaimana seseorang memandang dirinya dan

44 Fink, Bruce, The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance , Princeton University Press, New Jersey, 1995:4. 45 Fink, Bruce, The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance , Princeton University Press, New Jersey, 1995:8-9. 46 Bahasa Nusa Penida: begitulah orang dari Bali (daratan), kita selalu dianggap tidak berpunya, sok menolong saja. (Kamu) ingatkan sewaktu ada orang yang membagi-bagikan kopi di rumah (orang Nusa di perantauan selalu menyebut rumah untuk menunjuk pulau Nusa Penida)? Wawancara tanggal

108 kemudian memandang orang lain mengalir melalui wacana, omongan. Wacana- wacana yang sampai pada orang Bali daratan mengenai Nusa Penida telah menjadi semacam common sense sehingga makna yang ditempelkan pada wacana-wacana tersebut menghasilkan sebuah perlakuan seperti yang tersebut di atas. Sebagaimana disebutkan oleh Bruce Fink, seseorang tidak bisa mengatakan bahwa makna sebenarnya di balik tangisan seorang bayi adalah kedinginan, lapar dan seterusnya, karena makna adalah sebuah produk yang tersembunyi: secara terus menerus merespon tangisan bayi dengan makanan mungkin saja mentransformasi semua ketidaknyamanannya menjadi lapar. Makna dalam hal ini tidak ditentukan oleh si bayi, tetapi oleh orang lain dan pada basis bahasa yang mereka ucapkan 47 .

Demikian bahasa sangat berpengaruh dalam proses saling me-liyan-kan.

Misrecognition (bisa) terjadi dalam tataran ini melalui kekeliruan dalam menerjemahkan sesuatu yang diucapkan orang lain. Memahami Yang lain, kurang

25 Oktober 2009. Catatan: wawancara ini terjadi di pagi hari ketika kami sedang minum kopi bersama. “Orang-orang yang membagikan kopi” yang ia maksudkan adalah ketika pada tahun 2000an (orang- orang yang kemudian saya tanyai bahkan tidak bisa mengingat dengan jelas kapan hal ini terjadi) orang-orang Bali daratan geger dengan sebuah cerita yang sampai di telinga mereka. Cerita itu adalah tentang Nusa Penida yang kekeringan dan orang-orang disana tidak mampu membeli beras, untuk makan sehari-harinya mereka memanfaatkan bonggol pisang untuk dimakan. Orang-orang Bali daratan kemudian bergegas menyalurkan bantuan berupa sembako, mie instan, kopi dan seterusnya, tetapi reaksi orang Nusa Penida yang diberi bantuan ternyata tidak seperti yang dipikirkan. Disaat bantuan tersebut datang, mereka berbondong-bondong menuju pelabuhan untuk mengambil bantuan dan kemudian nongkrong di pos kamling-pos kamling, bersantai, tertawa-tawa. Untuk beberapa lama (selama bantuan itu mengalir) mereka melakukan pekerjaan di ladang mereka dengan santai, tanpa beban karena persedian makanan sangat mencukupi. Jadi sebenarnya apa yang disebut “kekeringan” dan “kelaparan” di Nusa Penida “tidak pernah terjadi”, orang-orang Nusa Penida biasa memanfaatkan bonggol pisang untuk makanan sehari-hari ketika musim panas berkepanjangan. 47 Fink, Bruce, The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance , Princeton University Press, New Jersey, 1995:6.

109 lebih itu dibutuhkan dalam suatu komunitas. Sebagaimana disebutkan Amin Maalouf:

“Toleransi semata tidaklah cukup. Saya tidak ingin ditolelir: saya bersikeras untuk diperlakukan sebagai warga (negara) penuh apapun kepercayaan saya. Hal ini menyertakan sebuah status inferior, dan itu tidak pernah jauh dari pelecehan. 48 ”

48 Maalouf, Amin (Ronny Agustinus: penerjemah), In The Name of Identity , Resist Book, Yogyakarta, 2004:58-59. Tanda dalam kurung merupakan tambahan dari saya.

110

BAB V

KESIMPULAN

Membicarakan masalah identitas mungkin tidak akan habis-habisnya dan memakan waktu serta tenaga yang tidak sedikit. Apa yang saya sampaikan pada tesis ini mungkin hanya bisa dianggap sebagai sebuah pembukaan pada permasalahan yang lebih luas. Bisa jadi apa yang saya sampaikan di sini tidak menjawab permasalahan apapun.

I. Kumpulan Kepentingan Hasrat

Dari kisah penundukan kerajaan Bedaulu yang dipimpin oleh Mayadenawa sampai penundukan Nusa Penida oleh Bali daratan memiliki pola narasi yang sama: suatu kuasa dihantam dan dirobohkan dengan terlebih dahulu membinasakan simbol yang bekerja untuk kuasa tersebut. Dengan terbunuhnya simbol kuasa lama, kuasa baru dengan mudah memasukkan unsur-unsur kuasanya, mempengaruhinya dengan simbol-simbol baru yang lebih kuat kemudian menguasai masyarakat tersebut. Pada kisah penundukan Bali daratan, hal tersebut berjalan dengan baik, simbol-simbol yang dikalahkan seperti Mayadenawa, Masula-Masuli serta Tapaulung berhasil digeser menjadi simbol pemberontak yang jahat dan tidak dikenali lagi sebagai simbol kuasa yang pernah memerintah dengan baik. Sri Kresna Kepakisan

111 menggantikan simbol-simbol itu sebagai simbol kuasa Yang lain dan bekerja melayani Majapahit. Meskipun dalam tulisan simbol kuasa lama: Tapaulung, tidak bisa dikalahkan, ia dikalahkan dalam satwa . Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya 1, satwa memiliki kekuatan yang jauh melebihi tulisan, karena ia terus menerus menghindar dari kuasa tulisan. Satwa tidak tunduk pada aturan-aturan ketat sebagaimana tulisan tunduk pada suatu aturan tertentu: tata bahasa. Satwa mengalir begitu saja mengikuti si pencerita dan audiens dan terpatri lebih kuat dalam ingatan karena (salah satunya) ia dikisahkan dalam ruang-ruang informal. Sementara itu, tulisan “tidak memedulikan” audiens, dalam arti setiap pembacanya diharuskan mengikuti aturan tertentu yang mengikat tulisan tersebut dan ia berada dalam ruang- ruang formal dengan audiens terbatas.

Dalam pertempuran antara tulisan dan satwa , yang memiliki pengaruh besar dan signifikan adalah politik audiens. Politik audiens yang saya maksudkan disini adalah kemurah hatian obyek (tulisan dan atau satwa ) untuk mau dan atau bisa dipahami oleh subyek (audiens). Sebagaimana telah luas dipahami (dan telah saya sebutkan berkali-kali) tulisan mengharuskan audiensnya untuk patuh pada aturan tertentu yang mengikatnya dan tentu saja audiens diharuskan untuk melek huruf.

Dengan demikian tulisan (meminjam istilah Pierre Bourdieu) adalah sebuah restricted field of production yang mendapat dukungan dari restricted people and language . Bourdieu menyarankan bahwa produksi ini ditujukan bukan untuk pasar

1 Lihat kembali bab II halaman 24.

112 dalam skala besar. Dalam medan ekonomi, misalnya, agen-agen bersaing demi modal ekonomi dengan beragam strategi investasi menggunakan akumulasi modal ekonomi.

Akan tetapi kepentingan-kepentingan serta sumber-sumber taruhan dalam suatu medan tidak selalu mengambil bentuk material dan kompetisi di antara agen-agen tidak selalu bersandar pada kalkulasi kesadaran. Dalam medan kultural (misalnya, sastra), kompetisi yang seringkali menyangkut kekuasaan tidak bisa dipisahkan dalam pengenalan, pengabdian dan gengsi. Kekuasaan yang bersandar pada pengabdian atau gengsi sepenuhnya simbolik dan mungkin saja atau mungkin juga tidak termasuk bertambahnya hak milik modal ekonomi 2. Dalam Imagined Communities 3, Benedict

Anderson mengambil kapitalisme cetak sebagai sebuah titik di mana rasa kebangsaan mulai ditemukan meski orang-orang dalam komunitas tersebut mungkin tidak saling mengenali sesamanya. Hal itu hampir tidak bisa dibayangkan. Pertama karena ada kelas dalam perjalanan ini, dan ini tidak dieksplorasi lebih jauh oleh Anderson. Satwa lebih mungkin untuk menyebar secara massif, meski mungkin saja tidak menjangkau suatu wilayah yang luas. Distribusi pengetahuan, (meminjam istilah Anderson) pada ranah dinastik maupun pada ranah kolonial ketika kapitalisme cetak mulai dikenal, penyebaran pengetahuan tetap sama: tidak merata.

2 Johnson, Randal, Editor’s Introduction: Pierre Bourdieu on Art, Literature and Culture; dalam The Field of Cultural Production: Essays on Art and Literature, Pierre Bourdieu, Columbia University Press, 1993:7. 3 Anderson, Benedict (Omi Intan Naomi: penerjemah), Imagined Communities , 2008, Insist Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

113

Dengan demikian hal ini juga berhubungan dengan kelas sosial. Dalam kasus ini, siapa yang berhak menuliskan sesuatu dan siapa yang berhak membacanya.

Seseorang mesti berada pada posisi sosial yang mapan dalam arti dia berada dalam suatu tingkatan tertentu di mana ia memiliki hak menulis dan atau membaca.

Seseorang bisa berada dalam posisi sosial demikian karena kasta yang melekat pada dirinya dan ini merupakan (salah satu) modal simbolik yang berlaku dalam lingkup sosial di Bali. Dalam satwa yang saya kisahkan pada bab II, anak Pasung Grigis diberi gelar Arya ketika bersekutu dengan Kresna Kepakisan. Gelar Arya, sebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya, adalah sebutan untuk ksatria Jawa yang ada dalam rombongan Kresna Kepakisan ketika ia ke Bali. Dengan demikian, kasta merupakan sebuah pemberian dari atas, dalam hal ini raja, kepada bawahannya.

Pemberian itu, dalam perkembangannya, terus menempel pada keturunannya. Tidak ada hal khusus yang menyebutkan bagaimana seseorang bisa mendapatkan gelar semacam itu. Dalam pengertian Lacanian, hal ini adalah wacana tuan; di mana sang tuan mesti dituruti karena dia adalah tuannya. Berbanding terbalik dengan satwa , setiap orang berhak mesatwa dan atau mendengarkan satwa . Karena setiap orang memiliki hak inilah, maka satwa sangat memperdulikan politik audiens. Satwa hanya mengharuskan audiens-nya untuk memahami tanda-tanda yang ada di dalamnya dan hal ini sudah terjadi secara natural. Tentu saja penggunaan serta pemahaman atas

114 tanda-tanda dalam satwa mengikuti konteks ruang di mana sebuah satwa dituturkan.

Dengan cara demikian satwa menyebar jauh lebih massif dan lebih luas dipahami.

Hal ini juga menjelaskan kenapa Nusa Penida menjadi sebuah kasus khusus dalam hal pola-pola penundukan yang telah saya sebutkan di atas. Pertama-tama ketidakjelasan dan atau ketiadaan bahan-bahan tertulis mengenai sejarah Nusa Penida membuat sejarah Nusa Penida bergerak dinamis dalam ruang-ruang informal seperti satwa dan atau mitos. Hal inilah yang membuat simbol kuasa Nusa Penida (Ratu

Gede Mecaling) tetap hidup sampai sekarang. Pada sisi lain, satwa ini juga dimanfaatkan oleh Yang lain untuk menguasai Nusa Penida (hal ini akan saya ceritakan pada sub bab selanjutnya). Sementara itu, reputasi Nusa Penida sebagai pulau pembuangan juga masih bertahan sampai sekarang. Hal ini juga membuat Nusa

Penida mendapat status inferior, justru karena ketiadaan sejarah dalam bentuk tulisan.

Dalam kasus ini, satwa bagaikan pedang bermata dua yang dengan ekstrem melekatkan status inferior (karena kejelasan statusnya tidak terjelaskan dalam sebuah bentuk yang legitimate : tulisan) sekaligus superior (karena simbol kuasa lama bisa bertahan dari serangan Bali daratan).

II. Mitos, Primitivisasi dan Pe-liyan-nan

Mitos-mitos mengenai raja Nusa Penida yang dikalahkan dan tidak mau meninggalkan daerah kekuasaannya setelah mangkat (Ratu Gede Mecaling), tersebar

115 sedemikian massif bahkan tak terbendung. Ratu Gede Mecaling bahkan dikisahkan

“mempermainkan” kuasa yang mengalahkannya: mulai dari membantu rakyat Bali daratan, pembangunan kuri kerajaan Klungkung sampai menyebarkan grubug . Akan tetapi mitos-mitos yang membanggakan tentang Ratu Gede Mecaling pada dasarnya berkisah atau digunakan oleh kuasa (kerajaan) Klungkung dan atau Bali daratan untuk menundukkan Nusa Penida dan membangun citra primitif. Tentunya kita masih ingat ketika Bali (daratan) disebut sebagai museum hidup kejayaan Hindu(isme), sementara tanah Jawa “tercemari” oleh kedatangan Islam dan Nasionalisme. Ketika

Bali (daratan) mulai “mendatangkan keuntungan” dari industri pariwisata yang membawa “efek samping” berupa kedatangan para imigran, kesakralan museum hidup ini perlahan-lahan namun pasti meluruh karena efek profan industri pariwisata.

Mitos Ratu Gede Mecaling yang menawan memberi celah untuk “mengembalikan” kejayaan Hindu(isme), sehingga muncullah pernyataan ini dalam harian Bali Post :

“Nusa Penida, Benteng Terakhir Hindu di Bali” 4.

Karena Nusa Penida adalah benteng terakhir Hindu(isme), maka sudah sepantasnya ia dijaga agar tidak ternoda oleh efek-efek profan dunia modern. Sebagai akibatnya, ketidakmampuan negara dalam menyediakan fasilitas-fasilitas umum yang memadai untuk rakyat Nusa Penida tersamarkan melalui mitos Ratu Gede Mecaling.

Kekuatan mitos Ratu Gede Mecaling dalam membangun citra primitif (orang) Nusa

Penida justru terletak pada kelebihannya ketika ia dibandingkan dengan tulisan.

4 Lihat kembali catatan kaki nomor 16 Bab III halaman 59.

116

Mitos tersebar melalui omongan yang dikisahkan dari generasi ke generasi, dengan demikian kelangsungan hidup mitos tetap terjaga dan primitivisasi (orang) Nusa

Penida berjalan lancar. Buah primitivasasi ini adalah pe-liyan-nan (orang) Nusa

Penida.

III. Sebuah Perulangan yang Disepakati

Secara umum, industri pariwisata Bali sudah dimulai semenjak pemerintah kolonial Hindia Belanda menetapkan Baliseering sebagai program pemulihan tradisi

Bali. Pemulihan tradisi ini berkaitan erat dengan goyahnya kuasa pemerintah kolonial dan menemukan kembali Bali. Pemulihan tradisi Bali antara lain bertujuan menarik simpati rakyat Bali untuk tetap mengakui pemerintah kolonial Hindia Belanda sebagai penguasa di Bali. Dengan pengakuan ini pemerintah kolonial Hindia Belanda membuat Bali sebagai benteng terakhir kuasa koloninya di Hindia Belanda. Selain itu, menemukan kembali Bali merupakan sebuah konsep yang mendasari kelangsungan hidup industri pariwisata Bali yang mengandalkan tradisi sebagai daya tarik utamanya.

Seperti disebutkan oleh Karl Marx dalam Brumaire Louis Bonaparte XVIII 5: sebuah kejadian yang penting dalam sejarah terjadi seakan-akan dua kali, pertama sebagai tragedi dan kedua sebagai lelucon. Demikian juga halnya dengan kejadian di

5 Marx, Karl, (Oe Hay Djoen: penerjemah), Brumaire XVIII Louis Bonaparte, Hasta Mitra, Jakarta, 2006:15.

117

Bali, ketika kuasa pemerintah kolonial melemah, program ‘menemukan Bali’ diluncurkan dan mengarah pada mem-Bali-kan Bali (Baliseering ); ketika ledakan bom mengguncang Bali, program recovery Bali diluncurkan dan mengarah pada Ajeg

Bali . Dua hal ini, ‘menemukan Bali’ serta recovery Bali , entah itu memang diniatkan ataupun tidak, bersinggungan secara langsung dengan industri pariwisata.

Pemanfaatan Bali sebagai industri pariwisata sendiri sudah terjadi ketika asosiasi pengatur lalu lintas pariwisata Hindia Belanda mendirikan sebuah biro pariwisata dan mengembangkan sayapnya sampai ke Bali yang baru saja ditaklukkan. Hotel-hotel mulai dibangun, obyek-obyek pariwisata dibenahi, brosur-brosur perjalanan mulai diterbitkan, di atas semuanya, citra Bali yang ramah, eksotis dan seterusnya mulai dibangun demi keberlangsungan kehidupan industri ini.

Ketika Ajeg Bali mulai memasuki kehidupan industri ini, pertanyaan- pernyataan mengenai kebudayaan Bali mulai mengalun dan pertanyaan siapa orang

Bali menyertai alunan tersebut, sementara di sela-selanya terdengar alunan tentang otentisitas ke-Bali-an. Mempertahankan serta menjaga budaya Bali yang asli menjadi semacam tujuan yang harus dicapai. Meski wacana ke-asli-an adalah wacana yang sulit untuk dipahami, apalagi dengan industri pariwisata sebagai latar belakangnya.

Ajeg Bali melalui media pendukungnya (salah satunya Bali Post) terus menerus mereproduksi pengalaman masyarakat Betawi yang semakin lama semakin

118 tersingkir 6, sehingga menghasilkan ketakutan (yang berlebihan) akan sebuah ancaman yang tampak di depan mata dan siap menerkam. Ancaman ini dipandang datang dari luar serta siap meluluh-lantakkan Bali dari dalam. Sehingga tidak heran wacana

“luar-dalam” menjadi wacana mendesak yang perlu diselesaikan. Ajeg Bali memberikan rekomendasi praksis: pemberlakuan otonomi khusus tingkat propinsi untuk mencegah fragmentasi atas ruang budaya Bali dan terpicunya konflik antar daerah tingkat II, penguatan institusi yang selama ini menjaga ruang budaya manusia

Bali seperti banjar , desa adat serta Pura dan legislasi migrasi selektif; arus deras migrasi penduduk pendatang yang tidak terseleksi adalah sebuah ancaman.

Dalam buku Ajeg Bali: Sebuah Cita-cita , disebutkan demikian: “Ada datang membawa modal, ada juga yang mengadu nasib alias modal dengkul. Kehadiran pendatang yang terus meluber itu, mengundang kekhawatiran. Bila dibiarkan, Bali pun bisa “tenggelam”, sesak dan mengarah pada rusaknya tatanan kehidupan masyarakat yang mengedepankan konsep “ Tri Hita Karana ””7. Migrasi selektif yang disebutkan sebagai sebuah bendungan untuk mengatasi migrasi dalam prakteknya memberikan keleluasaan pada kuasa modal untuk memasuki Bali. Secara kasat mata bisa kita lihat, pemeriksaan KTP ketika akan memasuki Bali dilakukan hanya di pelabuhan Gilimanuk dan tidak pernah dilakukan di bandara Ngurah Rai.

6 Lihat kembali catatan kaki nomor 11 Bab IV halaman 86. 7 Jangan Biarkan Bali “Tenggelam” oleh Pendatang, dalam Ajeg Bali : Sebuah Cita-cita, Naradha, Satria ABG, Bali Post, Denpasar, tanpa tahun terbit: 227. Tri Hita Karana sebuah konsep yang meliputi hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan tuhan.

119

Pemeriksaan KTP bisa kita gunakan sebagai penanda seleksi para migran, maka migrasi yang terjadi melalui pelabuhan Gilimanuk jelas terjaring. Tapi yang menjadi pertanyaan kemudian adalah kelas manakah yang relatif paling banyak memanfaatkan jasa penyeberangan di Gilimanuk? Kelas yang relatif lebih banyak memanfaatkan pelabuhan Gilimanuk adalah kelas pekerja, lumpen proletariat yang mengadu nasib ke Bali. Dengan demikian pada prakteknya, migrasi selektif hanya berlaku pada kelas pekerja, dan tidak menyentuh kuasa modal.

Salah satu kekuatan ajeg Bali adalah media massa. Akan tetapi yang lebih krusial adalah mereka ingin mengontrol pikiran anggota masyarakat yang lebih pintar, yang kemudian mendistribusikan propaganda yang mereka buat. Pengontrolan itu bekerja. Ia bekerja dengan sangat baik. Dan memberikan sebuah pelajaran: propaganda negara, ketika didukung oleh kelas terpelajar dan ketika tiada ijin untuk sebuah perbedaan, bisa menghasilkan efek yang besar8. Dalam kasus ajeg Bali , efek yang dihasilkan adalah sebuah konsensus “anti-kritik”, konsekwensi mengkritik adalah kasepekang 9.

Hal terakhir yang belum atau tidak banyak terjelaskan dalam penelitian ini adalah peranan media dalam pembentukan identitas seseorang serta bagaimana seseorang di-liyan-kan dalam perspektif pandang-memandang.

8 Chomsky, Noam, Media Control: The Spectacular Achievement of Propaganda, 2nd Edition, Seven Stories Press, New York, 2002:13. 9 Bahasa Bali: dihukum secara sosial. Seseorang yang kasepekang biasanya dianggap tidak ada dalam suatu lingkungan sosial.

120

DAFTAR PUSTAKA

Atmaja, Jiwa (Penyunting), Leak Dalam Folklore Bali , 2005, CV. Bali Media Adhikarsa, Denpasar.

Barthes, Roland, (Nurhadi dan A. Sihabul Millah; penerjemah), Mitologi , 2004, Kreasi Wacana, Yogyakarta.

Belo, Jane (Editor), Traditional Balinese Culture , 1970, Columbia University Press, New York.

Bertens, K (Editor dan Penerjemah), Psikoanalisis Sigmund Freud , 2006, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Buda, Jero Mangku Made, Babad Nusa Penida , 2007, Penerbit P āramita, Surabaya.

Chomsky, Noam, Media Control: The Spectacular Achievement of Propaganda, 2nd Edition, 2002, Seven Stories Press, New York.

Foucault, Michel, (Alan Sheridan and others ; translator ), Politics, Philosophy, Culture; Interview and Other Writings 1977-1984 , 1988, Routledge, New York and London.

Fink, Bruce, The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance , 1995, Princeton University Press, New Jersey.

Geertz, Hildred, Sakti Conjunction; New Views on Balinese “Religion”, tanpa tahun dan penerbit.

______, How Can We Speak About Balinese Religion ?, tanpa tahun dan penerbit.

______, Theatre of Cruelty: The Context of Topéng Performance , dalam State and Society in Bali , 1991, KITLV Press, Leiden.

Gramsci, Antonio (Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith: Editor and translator), Selection From The Prison Notebooks of Antonio Gramsci , 2005, International Publishers, New York.

121

Jones, Steve, Routledge Critical Thinker: Antonio Gramsci , 2006, Routledge, New York.

Kanta, I Made, Drs. Ida Bagus Sidemen [et.al], Sejarah Klungkung: Dari Smarapura Sampai Puputan , 2001, Klungkung.

Lacan, Jacques, (Alan Sheridan; translator), Ecrits: A Selection , 1977, Tavistock Publications Limited, Great Britain.

Maalouf, Amin, (Ronny Agustinus; penerjemah), In The Name of Identity , 2004, Resist Book, Yogyakarta.

Mantra, Ida Bagus, J.H.C. Kern [et.al], Ciwa-Buddha Puja di Indonesia , 2002, Yayasan Dharma Sastra, Denpasar.

Naradha, Satria ABG [et al], Ajeg Bali : Sebuah Cita-cita , tanpa tahun terbit, Bali Post, Denpasar.

Picard, Michel, (Jean Couteau dan Warih Wisatsana; penerjemah), Bali : Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata , 2006; KPG, Forum Jakarta-Paris, dan École Française d’Etréme-Orient , Jakarta.

Rikardo, Rikki, Mengapa Kapitalisme Menyebalkan , 2010, Katalis.

Robinson, Geoffrey, (Arif B. Prasetyo; penerjemah), Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik, 2 006, LKiS, Yogyakarta.

Said, Edward W., (L.P. Hok; penerjemah), Bukan – Eropa: Freud dan Politik Identitas timur Tengah , 2005, Marjin Kiri, Jakarta.

, (Asep Hikmat; penerjemah), Orientalisme , 2001, Penerbit Pustaka, Bandung.

, (Sabrina Jasmine; penerjemah), Out of Place , 2002, Penerbit Jendela, Yogyakarta.

Saukko, Paula, Doing Research in Cultural Studies , 2003, Sage Publication, London.

Subaga, I Made, Riwajat Pulau Bali dari Djaman ke Djaman , koleksi pribadi, tidak diterbitkan.

122

Subaga, I Mad e, Bali Age , koleksi pribadi, tidak diterbitkan.

Sunardi, St, Semiotika Negativa , 2004, Penerbit Buku Baik, Yogyakarta.

Smith, Linda Tuhiwai, (Nur Cholis; penerjemah), Dekolonisasi Metodologi , 2005, Insist Press, Yogyakarta.

Taylor, Charles [et al], Multiculturalism: Examining The Politics of Recognition , 1994, Princeton University Press, Princeton, New Jersey.

The Crimeth Inc. Workers Collective, Days of War, Night of Love: Crimethink For Beginners , 2001, CrimethInc., Free Press.

Vickers, Adrian, Bali: Paradise Created , 1996, Periplus Editions, Singapore.

Wiener, Margaret J., Visible and Invisible Realms: Power, Magic, and Colonial Conquest in Bali, 1995, The University of Chicago Press, Chicago.

Wijaya, Putu [et al], Bali: Menuju Jagadhita: Aneka Perspektif , 2004, Pustaka Bali Post, Denpasar.

Babad dan Sumber Lainnya

Babad Usana Bali Pulina

Gaguritan Calonarang

Pamencangah Ida I Dewa Kulit Ring Nusa Penida

Presasti Ida I Dewa Kulit

Presasti I Dewa Anom

Ambara, Alit, “Proyek Kolonial Bank Dunia Mem-Bali-kan Bali”, sisipan Media Kerja Budaya edisi 05/2001.

Putri, Agung, “Pulau Dewata”: Surga Bagi Para Investor, sisipan Media Kerja Budaya , edisi 05/2001.

123

Santikarma, Degung, ‘Ajeg Bali: Dari Gadis Cilik ke Made Schwarzeneger’, Kompas , Minggu 07 Desember 2003.

Suryawan, I Ngurah, ‘“Ajeg Bali” dan Lahirnya “Jago-jago” Kebudayaan’, Kompas 07 Januari 2004.

‘Klungkung Rancang Penangkalan Rabies Secara Niskala’, Bali Post , 30 Oktober 2009”.

‘Pemkot Gelar ‘ Pamahayu Jagat ’ di Serangan’, Bali Post , 25 Februari 2009”.

‘Dr. Arya Vedakarna: Nusa Penida Benteng Terakhir Hindu di Bali’, Bali Post , 8 April 2009.

‘Kapolda Terima Panitia SAB, Bali Jangan Jadi Betawi atau Abudabi’, Bali Post , 27 September 2005.

124

LAMPIRAN I

Bali Dalam Angka 2009

 Penerbit : Badan Pusat Statistik Provinsi Bali  Tahun : 2009

http://bali.bps.go.id/tabeldetail.php?ed=51000201&od=2&rd=&id=2

Population Area, Number of Households and Population by

Regency/Municipality in Bali, 2008

Regency/ Area Number of Number of Population Sex Density Municipality (km²) Households Male Female T o t a l Ratio per km² (1) (2) (3) (4) (5) (6) (2) (3) 1. Jembrana 841.80 74 559 133 622 134 647 268 269 99 319 2. Tabanan 839.33 112 293 206 712 210 031 416 743 98 497 3. Badung 418.52 93 877 192 914 190 966 383 880 101 917 4. Gianyar 368.00 89 718 197 049 197 706 394 755 100 1 073 5. Klungkung 315.00 45 312 86 849 89 973 176 822 97 561 6. Bangli 520.81 50 714 106 637 107 171 213 808 100 411 7. Karangasem 839.54 106 710 215 283 214 968 430 251 100 512 8. Buleleng 1 365.88 170 367 325 678 324 559 650 237 100 476 9. Denpasar 127.78 114 907 245 150 229 930 475 080 107 3 718 Total: 2008 5 636.66 858 457 1 709 894 1 699 951 3 409 845 101 605 2007 5 636.66 833 789 1 692 289 1 680 591 3 372 880 101 598 2006 5 636.66 815 074 1 658 695 1 651 612 3 310 307 100 587 2005 5 636.66 796 186 1 623 426 1 624 346 3 247 772 100 576 2004 5 636.66 761 290 1 588 854 1 591 064 3 179 918 100 564

Source: BPS - Statistics of Bali Province (Compilation Result of Population

Registration)

http://bali.bps.go.id/tabeldetail.php?ed=51000202&od=2&rd=&id=2

Number of Population in Bali by Citizenships, Sex, and

Regency/Municipality at The End of Year of 2008

Foreign Citizen Indonesia Citizen Regency/Municipality Chinese O t h e r T o t a l Male Female Male Female Male Female (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 1. Jembrana 133 619 134 646 1 0 2 1 268 269 2. Tabanan 206 690 210 013 2 4 20 14 416 743 3. Badung 192 676 190 881 38 42 200 43 383 880 4. Gianyar 197 012 197 663 15 11 22 32 394 755 5. Klungkung 86 849 89 973 0 0 0 0 176 822 6. Bangli 106 637 107 171 0 0 0 0 213 808 7. Karangasem 215 283 214 967 0 1 0 0 430 251 8. Buleleng 325 634 324 524 12 14 32 21 650 237 9. Denpasar 244 878 229 743 271 186 1 1 475 080 Total : 2008 1 709 278 1 699 581 339 258 277 112 3 409 845 2007 1 691 768 1 680 216 102 97 419 278 3 372 880 2006 1 658 219 1 651 275 98 98 378 239 3 310 307 2005 1 623 001 1 624 010 106 108 319 228 3 247 772 2004 1 588 333 1 5 90 634 110 103 411 327 3 179 918

Source : BPS - Statistics of Bali Province (Result of Population Registration)

http://bali.bps.go.id/tabeldetail.php?ed=51000203&od=2&rd=&id=2

Population Population Projection of Bali Province by Age Group and

Sex, 2009 - 2013

Y e a r Age 2009 2010 2011 2012 2013 Group Male Female Male Female Male Female Male Female Male Female (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) 0 - 4 136.3 129.0 133.0 126.8 133.2 125.7 132.9 125.1 129.6 123.0 5 - 9 144.6 138.2 146.5 138.5 143.6 135.7 140.7 132.8 138.3 130.8 10 - 14 142.9 135.8 145.6 138.0 144.3 137.1 142.1 136.0 143.6 137.4 15 - 19 132.5 126.4 130.3 124.9 133.9 129.0 138.0 131.9 141.2 134.1 20 - 24 142.6 133.4 140.9 131.8 140.3 130.9 139.1 130.8 137.5 129.5 25 - 29 153.2 146.0 152.4 143.7 151.1 141.4 148.4 138.8 146.6 136.5 30 - 34 168.1 164.5 165.9 162.1 162.2 157.6 159.0 154.0 157.4 150.7 35 - 39 166.9 166.0 167.9 168.2 168.9 169.4 168.3 169.2 168.5 167.1 40 - 44 147.1 145.5 151.2 150.2 155.1 155.1 160.3 158.6 163.1 162.4 45 - 49 120.5 118.7 125.3 123.6 130.2 128.6 135.0 133.7 139.5 138.9 50 - 54 96.7 95.7 100.7 99.5 104.6 103.7 109.7 107.6 112.8 112.5 55 - 59 76.1 75.4 79.1 78.4 82.9 81.0 85.5 84.7 89.3 88.4 60 - 64 56.6 57.7 60.0 60.0 61.5 63.5 64.6 65.7 67.5 67.9 65 - 69 42.6 46.0 42.9 46.9 44.2 48.2 46.7 51.0 48.9 52.9 70 - 74 31.2 36.1 32.0 36.8 32.4 37.8 33.1 38.8 34.0 39.9 75+ 34.5 44.3 36.1 45.6 37.2 47.1 37.3 49.2 38.4 50.4 Total: 1 792.4 1 758.7 1 809.8 1775.0 1 825.6 1 791.8 1 840.7 1 807.9 1 856.2 1 822.4

Source: BPS - Statistics Indonesia (Based on Result of The Intercensal Population Survey 2005)