TASAWUF KULTURAL Fenomena Shalawat Wahidiyah
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
TASAWUF KULTURAL Fenomena Shalawat Wahidiyah i Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah ii Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah TASAWUF KULTURAL: Fenomena Shalawat Wahidiyah Sokhi Huda © LKiS, 2008 xxviii + 372 halaman; 14,5 x 21 cm 1. Tasawuf kultural 2. Shalawat Wahidiyah ISBN: 979-1283-72-9 ISBN 13: 9789791283724 Pengantar: Prof. Dr. Nur Syam, M.Si. Editor: Moh. Ahsin Rancang Sampul: Haitami el-Jayd Penata Isi: Santo Pemeriksa Aksara: Abdul Ghoni Penerbit LKiS Yogyakarta Salakan Baru No 1 Sewon Bantul Jl. Parangtritis Km 4,4 Yogyakarta Telp.: (0274) 387194, 7472110 Faks.: (0274) 417762 http://www.lkis.co.id e-mail: [email protected] Cetakan I : Juli 2008 Percetakan dan distribusi: PT. LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta Salakan Baru No 1 Sewon Bantul Jl. Parangtritis Km. 4,4 Yogyakarta Telp.: (0274) 387194, 7472110 Faks.: (0274) 417762 http://www.lkis.co.id e-mail: [email protected] iv PENGANTAR REDAKSI Banyak kalangan dan juga sejarawan yang berpendapat bahwa Islam yang masuk ke negeri ini adalah Islam yang berbau mistis (tasawuf). Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sejak awal ke- datangan Islam, muncul banyak tokoh sufi di negeri ini yang meng- ajarkan praktik keagamaan asketis, sebut saja misalnya, Hamzah al- Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani; dua tokoh sufi-falsafi yang mempunyai pengaruh cukup besar dalam menyebarkan Islam yang bercorak mistis (tasawuf) ke seluruh penjuru Nusantara. Dalam perkembangannya, dua tokoh sufi-falsafi tersebut kemudian disusul oleh para tokoh tasawuf berikutnya, yakni Nuruddin ar-Raniri, Abd Ra’uf an-Sinkili, Abd Shamad al- Palimbani, Abdul Muhyi (Pamijahan), Muhammad Aidrus, dan Syaikh Yusuf al-Makassari. Akan tetapi, munculnya tokoh-tokoh sufi pasca-Hamzah al-Fansuri dan as-Sumatrani ini lebih menampakkan ajaran tasawuf yang bercorak sunni, tipikal al- Ghazali. Bahkan, tasawuf yang bernuansa pemahaman al-Ghazali ini kemudian menjadi begitu dominan di Nusantara. Munculnya banyak tokoh sufi sejak kedatangan Islam di Nusantara ini tidak terlepas dari para ulama negeri ini yang belajar di dunia Arab, yang kemudian kembali dengan membawa ajaran tasawuf/tarekat yang diperoleh dari guru-guru mereka, baik yang langsung dari sumber-sumber Arab, seperti al-Qusyairi dan al- v Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah Kurani, maupun lewat ulama-ulama sufi Nusantara yang ada di negeri Arab. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sejumlah tarekat yang berkembang dan dianut kalangan muslim di Indone- sia, misalnya Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syathariyah, Khalwatiyah, dan Sammaniyah, merupakan anggitan dari para ulama Timur Tengah. Akan tetapi, ada juga ulama Nusantara yang cukup kreatif dan berani berijtihad dengan menggabungkan dua aliran tarekat yang berbeda menjadi satu kesatuan ajaran. Langkah ini ditempuh oleh Syaikh Ahmad Khatib as-Sambasi (Kalimantan). Dengan demikian, dia tidak sekadar mengkonsumsi ajaran tarekat produk ulama Timur Tengah, tetapi telah memproduk ajaran tarekat tersendiri. Keberaniannya dalam berijtihad melampaui para tokoh sufi lain di negeri ini. Produk pemikirannya itulah yang sekarang popular dengan sebutan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, yang merupakan perpaduan dari dua tarekat yang sangat masyhur, yaitu tarekat Qadiriyah anggitan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan tarekat Naqsyabandiyah anggitan Syaikh an-Naqsyabandi. Pada perkembangan selanjutnya, di negeri ini juga muncul dua aliran tasawuf/tarekat yang cukup popular dan sekaligus kontroversial, yakni Shiddiqiyah dan Wahidiyah. Dua aliran tasawuf ini lahir di Jawa Timur. Shiddiqiyah lahir di Jombang dan bercirikan ketarekatan sedangkan Wahidiyah lahir di Kediri dan bercirikan ketasawufan. Kedua aliran tarekat/tasawuf ini juga berkembang cukup pesat di tengah-tengah masyarakat muslim Indonesia, dan memiliki sistem organisasi yang cukup baik dan kuat. Hanya saja, dua aliran tarekat/tasawuf ini banyak mendapat sorotan dari para ulama karena ajarannya yang dinilai menyimpang dan dianggap tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kedua aliran tarekat/tasawuf ini tidak diakui sebagai tarekat yang sah (ath-thariqah ghair al-mu’tabarah). Meski demikian, kedua aliran tarekat/tasawuf ini, khususnya Wahidiyah, dalam realitas masyarakat Indonesia, mengalami perkembangan yang cukup pesat dan memiliki pengikut yang banyak. Ini tentu vi Pengantar Redaksi saja merupakan fenomena yang sangat menarik. Buku yang ada di hadapan pembaca ini mencoba mengkaji secara komprehensif fenomena Wahidiyah sebagai sebuah aliran tasawuf kultural. Dalam hal ini, penulis coba melacak kelahiran Shalawat Wahidiyah sebagai aliran tasawuf yang penuh kontroversi, dinamika yang terjadi di dalamnya, respons para ulama terhadapnya, dan juga sistem ajaran dan juga pengorganisasiannya. Tak pelak, tema kajian buku ini sangat menarik untuk dicermati dan didiskusikan secara terus-menerus, terutama di tengah kecenderungan masyarkat muslim negeri ini yang sering mengklaim diri dan kelompoknya sebagai yang paling benar dan absah. Kami mengucapkan terima kasih kepada Saudara Sokhi Huda yang telah mempercayakan penerbitan buku ini kepada kami; juga kepada Prof. Dr. Nur Syam, M.Si yang telah memberi kata pengantar untuk buku ini. Selamat Membaca! vii Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah viii KATA PENGANTAR Bism illâh i ar-rah m âni ar-rah îmi Allâh um m a sh alli ‘alâ sayyid inâ M uh am m ad w a ‘alâ âli sayyid inâ Muh am m ad . Saya m erasa sangat bangga diberi k esem patan untuk m em baca nask ah yang ditulis oleh Saudara Sok h i H uda yang sek arang ada di tangan pem baca. Mem baca nask ah ini, rasanya seperti m elanglang dunia tasaw uf lok al yang pernik -pernik sejarah , ajaran, ritual, dan dim ensi-dim ensi k etasaw ufannya sebagai pattern .for b eh avior diulas secara k om preh ensif dan m endasar. Untuk m engh adirk an k arya ini tentunya m em butuh k an k eseriusan luar biasa dan k erja k eras. Keh adiran k arya ini sesungguh nya bisa m enjadi tonggak baru dalam pengk ajian prak tik tasaw uf yang selam a ini lebih banyak berk utat pada corak nya yang transplanted , yang datang dari negeri seberang. Kajian tentang Sh alaw at Wah idiyah m enyajik an sesuatu yang lain. Saya m em ilik i sejum lah pengalam an m eneliti tarek at, yaitu k etik a m elak uk an penelitian etnografi k eh idupan penganut tarek at Syatariyah di Jaw a Tengah dan penelitian tarek at Q adiriyah w a Naq syabandiyah di Cuk ir Jom bang dan penelitian lain di bidang tarek at, serta m em bim bing sejum lah k arya ilmiah di bidang k e- tarek atan. ix Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah Tarek at selalu m engandung ajaran yang diyak ini sebagai ajaran yang bercorak “rah asia” (sirr) seh ingga tidak m udah untuk dik aji. Peneliti tetap berada di dalam posisinya sebagai the O ther yang tidak ak an pernah bisa m em asuk i relung dalam ajaran tarek at yang rah asia tersebut. Mesk ipun sejum lah tarek at telah go pub lic, tetap saja ada dim ensi m endalam atau “esoterik ” yang tidak m udah didek ati oleh “orang luar”. D engan k ata lain, agar bisa m em ah am ai dunia tarek at, m ak a “m asuk i, selam i, alam i, dan pah am i”. Begitulah k ira-k ira nalar k etarek atan. Pengk ajian tentang Islam Indonesia, NU dan tarek at m enuai m asa boom ing di tah un 19 9 0-an. D i tah un 19 80-an, k ajian ak adem is tentang NU dan tarek at m asih sangat jarang, jika tidak dik atak an terbatas. K alangan ak adem is lebih cend erung m engk aji k aum m odernis dari berbagai aspek nya, seperti gerak an politik , k eagam aan, sosial, dan budaya. Tulisan tentang Islam dan NU dan apalagi tarek at m asih sebatas pada k ajian-k ajian yang bersifat sepotong-sepotong dalam bentuk m ak alah -m ak alah . Mulai tah un 19 9 0-an, k etik a NU telah m enjadi lok om otif gerak an k eagam aan be rb asis postrad isionalism e, d atanglah pe m inat k ajian-k ajian tentang NU dan juga tarek at. Beberapa peneliti, seperti Clifford Geertz,1 m em ang m engk aji NU, nam un NU m asih sek adar m enjadi bagian saja di dalam tulis- annya, buk an k ajian utuh tentang NU. O leh k arena itu, k ita banyak berutang budi k epada Andree Feillard,2 Martin van Bruinessen,3 Greg Fealy,4 dan juga Greg Barton sebagai ilmuan-ilmuan yang m eram bah k ajian tentang NU secara k om preh ensif dan m endalam , 1 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981). 2 Andree Feillard, NU vis a vis Negara, (Yogyakarta: LKiS, 1999). 3 Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa dan Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKiS, 1994). 4 Greg Fealy, ljtihad Politik Ulama, Sejarah NU 1952-1967, (Yogyakarta: LKiS, 1998). 5 Faisal Ismail, NU, Gusdurisme dan Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999). x Kata Pengantar dan k em udian diik uti oleh para pengk aji Indonesia lain, seperti Faisal Ism ail,5 La O de Ida,6 dan Sh onh aji Sh oleh .7 D em ik ian pula k ajian tentang tarek at juga m enjadi m engedepan di tah un 19 9 0-an dan 2000-an. Sejum lah tulisan m uncul, antara lain: Martin van Bruinessen,8 Mah m ud Suyuti,9 Ajid Th oh ir,10 Nur Syam ,11 dan R ajasa Mu’tash im .12 Tulisan-tulisan tentang tarek at tam pak nya terfok us pad a pe ne litian terh ad ap tare k at yang d ianggap m u’tabarah , sebagaim ana penetapan ulam a NU. Mem ang, perbincangan tentang m u’tabarah atau gh airu m u’tab arah pernah m engalam i m asa k rusial. Ak an tetapi, sepanjang yang penulis d ik etah ui, d alam h al ini dom inasi politis lebih m engem uk a k etim bang aspek ajaran atau lainnya.