TASAWUF KULTURAL Fenomena Shalawat Wahidiyah

i Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

ii

Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

TASAWUF KULTURAL: Fenomena Shalawat Wahidiyah Sokhi Huda © LKiS, 2008 xxviii + 372 halaman; 14,5 x 21 cm 1. Tasawuf kultural 2. Shalawat Wahidiyah ISBN: 979-1283-72-9 ISBN 13: 9789791283724

Pengantar: Prof. Dr. Nur Syam, M.Si. Editor: Moh. Ahsin Rancang Sampul: Haitami el-Jayd Penata Isi: Santo Pemeriksa Aksara: Abdul Ghoni

Penerbit LKiS Yogyakarta Salakan Baru No 1 Sewon Bantul Jl. Parangtritis Km 4,4 Yogyakarta Telp.: (0274) 387194, 7472110 Faks.: (0274) 417762 http://www.lkis.co.id e-mail: [email protected]

Cetakan I : Juli 2008

Percetakan dan distribusi: PT. LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta Salakan Baru No 1 Sewon Bantul Jl. Parangtritis Km. 4,4 Yogyakarta Telp.: (0274) 387194, 7472110 Faks.: (0274) 417762 http://www.lkis.co.id e-mail: [email protected] iv PENGANTAR REDAKSI

Banyak kalangan dan juga sejarawan yang berpendapat bahwa Islam yang masuk ke negeri ini adalah Islam yang berbau mistis (tasawuf). Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sejak awal ke- datangan Islam, muncul banyak tokoh sufi di negeri ini yang meng- ajarkan praktik keagamaan asketis, sebut saja misalnya, Hamzah al- Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani; dua tokoh sufi-falsafi yang mempunyai pengaruh cukup besar dalam menyebarkan Islam yang bercorak mistis (tasawuf) ke seluruh penjuru Nusantara. Dalam perkembangannya, dua tokoh sufi-falsafi tersebut kemudian disusul oleh para tokoh tasawuf berikutnya, yakni Nuruddin ar-Raniri, Abd Ra’uf an-Sinkili, Abd Shamad al- Palimbani, Abdul Muhyi (Pamijahan), Muhammad Aidrus, dan Syaikh Yusuf al-Makassari. Akan tetapi, munculnya tokoh-tokoh sufi pasca-Hamzah al-Fansuri dan as-Sumatrani ini lebih menampakkan ajaran tasawuf yang bercorak sunni, tipikal al- Ghazali. Bahkan, tasawuf yang bernuansa pemahaman al-Ghazali ini kemudian menjadi begitu dominan di Nusantara. Munculnya banyak tokoh sufi sejak kedatangan Islam di Nusantara ini tidak terlepas dari para ulama negeri ini yang belajar di dunia Arab, yang kemudian kembali dengan membawa ajaran tasawuf/tarekat yang diperoleh dari guru-guru mereka, baik yang langsung dari sumber-sumber Arab, seperti al-Qusyairi dan al-

v Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Kurani, maupun lewat ulama-ulama sufi Nusantara yang ada di negeri Arab. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sejumlah tarekat yang berkembang dan dianut kalangan muslim di Indone- sia, misalnya Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syathariyah, Khalwatiyah, dan Sammaniyah, merupakan anggitan dari para ulama Timur Tengah. Akan tetapi, ada juga ulama Nusantara yang cukup kreatif dan berani berijtihad dengan menggabungkan dua aliran tarekat yang berbeda menjadi satu kesatuan ajaran. Langkah ini ditempuh oleh Syaikh Ahmad Khatib as-Sambasi (Kalimantan). Dengan demikian, dia tidak sekadar mengkonsumsi ajaran tarekat produk ulama Timur Tengah, tetapi telah memproduk ajaran tarekat tersendiri. Keberaniannya dalam berijtihad melampaui para tokoh sufi lain di negeri ini. Produk pemikirannya itulah yang sekarang popular dengan sebutan tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, yang merupakan perpaduan dari dua tarekat yang sangat masyhur, yaitu tarekat Qadiriyah anggitan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan tarekat Naqsyabandiyah anggitan Syaikh an-Naqsyabandi. Pada perkembangan selanjutnya, di negeri ini juga muncul dua aliran tasawuf/tarekat yang cukup popular dan sekaligus kontroversial, yakni Shiddiqiyah dan Wahidiyah. Dua aliran tasawuf ini lahir di Jawa Timur. Shiddiqiyah lahir di Jombang dan bercirikan ketarekatan sedangkan Wahidiyah lahir di Kediri dan bercirikan ketasawufan. Kedua aliran tarekat/tasawuf ini juga berkembang cukup pesat di tengah-tengah masyarakat muslim , dan memiliki sistem organisasi yang cukup baik dan kuat. Hanya saja, dua aliran tarekat/tasawuf ini banyak mendapat sorotan dari para ulama karena ajarannya yang dinilai menyimpang dan dianggap tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kedua aliran tarekat/tasawuf ini tidak diakui sebagai tarekat yang sah (ath-thariqah ghair al-mu’tabarah). Meski demikian, kedua aliran tarekat/tasawuf ini, khususnya Wahidiyah, dalam realitas masyarakat Indonesia, mengalami perkembangan yang cukup pesat dan memiliki pengikut yang banyak. Ini tentu vi Pengantar Redaksi saja merupakan fenomena yang sangat menarik. Buku yang ada di hadapan pembaca ini mencoba mengkaji secara komprehensif fenomena Wahidiyah sebagai sebuah aliran tasawuf kultural. Dalam hal ini, penulis coba melacak kelahiran Shalawat Wahidiyah sebagai aliran tasawuf yang penuh kontroversi, dinamika yang terjadi di dalamnya, respons para ulama terhadapnya, dan juga sistem ajaran dan juga pengorganisasiannya. Tak pelak, tema kajian buku ini sangat menarik untuk dicermati dan didiskusikan secara terus-menerus, terutama di tengah kecenderungan masyarkat muslim negeri ini yang sering mengklaim diri dan kelompoknya sebagai yang paling benar dan absah. Kami mengucapkan terima kasih kepada Saudara Sokhi Huda yang telah mempercayakan penerbitan buku ini kepada kami; juga kepada Prof. Dr. Nur Syam, M.Si yang telah memberi kata pengantar untuk buku ini. Selamat Membaca!

vii Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

viii KATA PENGANTAR

Bism illâh i ar-rah m âni ar-rah îmi Allâh um m a sh alli ‘alâ sayyid inâ M uh am m ad w a ‘alâ âli sayyid inâ Muh am m ad . Saya m erasa sangat bangga diberi k esem patan untuk m em baca nask ah yang ditulis oleh Saudara Sok h i H uda yang sek arang ada di tangan pem baca. Mem baca nask ah ini, rasanya seperti m elanglang dunia tasaw uf lok al yang pernik -pernik sejarah , ajaran, ritual, dan dim ensi-dim ensi k etasaw ufannya sebagai pattern .for b eh avior diulas secara k om preh ensif dan m endasar. Untuk m engh adirk an k arya ini tentunya m em butuh k an k eseriusan luar biasa dan k erja k eras. Keh adiran k arya ini sesungguh nya bisa m enjadi tonggak baru dalam pengk ajian prak tik tasaw uf yang selam a ini lebih banyak berk utat pada corak nya yang transplanted , yang datang dari negeri seberang. Kajian tentang Sh alaw at Wah idiyah m enyajik an sesuatu yang lain. Saya m em ilik i sejum lah pengalam an m eneliti tarek at, yaitu k etik a m elak uk an penelitian etnografi k eh idupan penganut tarek at Syatariyah di Jaw a Tengah dan penelitian tarek at Q adiriyah w a Naq syabandiyah di Cuk ir Jom bang dan penelitian lain di bidang tarek at, serta m em bim bing sejum lah k arya ilmiah di bidang k e- tarek atan.

ix Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Tarek at selalu m engandung ajaran yang diyak ini sebagai ajaran yang bercorak “rah asia” (sirr) seh ingga tidak m udah untuk dik aji. Peneliti tetap berada di dalam posisinya sebagai the O ther yang tidak ak an pernah bisa m em asuk i relung dalam ajaran tarek at yang rah asia tersebut. Mesk ipun sejum lah tarek at telah go pub lic, tetap saja ada dim ensi m endalam atau “esoterik ” yang tidak m udah didek ati oleh “orang luar”. D engan k ata lain, agar bisa m em ah am ai dunia tarek at, m ak a “m asuk i, selam i, alam i, dan pah am i”. Begitulah k ira-k ira nalar k etarek atan. Pengk ajian tentang Islam Indonesia, NU dan tarek at m enuai m asa ing di tah un 19 9 0-an. D i tah un 19 80-an, k ajian ak adem is tentang NU dan tarek at m asih sangat jarang, jika tidak dik atak an terbatas. K alangan ak adem is lebih cend erung m engk aji k aum m odernis dari berbagai aspek nya, seperti gerak an politik , k eagam aan, sosial, dan budaya. Tulisan tentang Islam dan NU dan apalagi tarek at m asih sebatas pada k ajian-k ajian yang bersifat sepotong-sepotong dalam bentuk m ak alah -m ak alah . Mulai tah un 19 9 0-an, k etik a NU telah m enjadi lok om otif gerak an k eagam aan be rb asis postrad isionalism e, d atanglah pe m inat k ajian-k ajian tentang NU dan juga tarek at. Beberapa peneliti, seperti Clifford Geertz,1 m em ang m engk aji NU, nam un NU m asih sek adar m enjadi bagian saja di dalam tulis- annya, buk an k ajian utuh tentang NU. O leh k arena itu, k ita banyak berutang budi k epada Andree Feillard,2 Martin van Bruinessen,3 Greg Fealy,4 dan juga Greg Barton sebagai ilmuan-ilmuan yang m eram bah k ajian tentang NU secara k om preh ensif dan m endalam ,

1 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981). 2 Andree Feillard, NU vis a vis Negara, (Yogyakarta: LKiS, 1999). 3 Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa dan Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKiS, 1994). 4 Greg Fealy, ljtihad Politik Ulama, Sejarah NU 1952-1967, (Yogyakarta: LKiS, 1998). 5 Faisal Ismail, NU, Gusdurisme dan Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999). x Kata Pengantar dan k em udian diik uti oleh para pengk aji Indonesia lain, seperti Faisal Ism ail,5 La O de Ida,6 dan Sh onh aji Sh oleh .7 D em ik ian pula k ajian tentang tarek at juga m enjadi m engedepan di tah un 19 9 0-an dan 2000-an. Sejum lah tulisan m uncul, antara lain: Martin van Bruinessen,8 Mah m ud Suyuti,9 Ajid Th oh ir,10 Nur Syam ,11 dan R ajasa Mu’tash im .12 Tulisan-tulisan tentang tarek at tam pak nya terfok us pad a pe ne litian terh ad ap tare k at yang d ianggap m u’tabarah , sebagaim ana penetapan ulam a NU. Mem ang, perbincangan tentang m u’tabarah atau gh airu m u’tab arah pernah m engalam i m asa k rusial. Ak an tetapi, sepanjang yang penulis d ik etah ui, d alam h al ini dom inasi politis lebih m engem uk a k etim bang aspek ajaran atau lainnya. Jadi, m esk ipun uk uran k e-m u’tabarah -an adalah dari unsur sanad m ursyid atau guru tarek at, sering k ali penetrasi politik lebih dom inan. Kajian dari sisi k e-m u’tab arah -an sering k ali lebih m enem patkan tarek at-tarek at transplanted yang m em iliki genealogi k em ursyidan sebagai uk uran seh ingga tarek at lok al yang tidak m em ilik i genealogi secara h istoris dianggap sebagai tarek at yang gh airu m u’tab arah (tidak sah ). Tulisan ini secara sengaja m enggunak an istilah tarek at lok al, buk an gh airu m u’tabarah . Sebab, k onsep lok alitas itu lebih m engena untuk m enggam bark an bagaim ana “orang lok al” bisa m elak uk an interpretasi k eagam aan yang dianggapnya m em iliki relevansi dengan ajaran Islam dalam tradisi besar atau great trad ition. Konsep agam a

6 La Ode Ida, Anatomi Konflik, NU, Elit Islam dan Negara, (Jakarta: Sinar Harapan, 1996) dan La Ode Ida, NU Baru, Kaum Progressif dan Sekularisme Baru, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002). 7 Shonhaji Sholeh, Arah Baru NU, (Surabaya: JP Press, 2005). 8 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1992) dan Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren don Tarekat, (Bandung: Mizan, 1995). 9 Mahmud Suyuti, Tarekat dan Politik, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2001). 10 Ajid Thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2002). 11 Nur Syam, Pembangkangan Kaum Tarekat, (Surabaya: Lepkiss, 2004). 12 Rajasa Mu’tashim, Bisnis Kaum Sufi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).

xi Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah lok al m engacu pada k em am puan yang dim iliki oleh agen-agen lok al untuk m enafsirk an agam a sesuai dan berdasar atas interpretasi tek s- tek s yang diyak ini benar. Tek s itu tentu saja bersum ber dari tek s- tek s yang sam bung-m enyam bung dengan Islam dari sum ber aslinya. O leh k arena itu, Sh alaw at W ah idiyah m erupak an interpretasi terh adap Islam yang dilak uk an secara genius oleh pendirinya dan ditransform asik an secara terus-m enerus seh ingga m enjadi h abituali- sasi di dalam k eh idupan seh ari-h ari. Ia m erupak an tasaw uf lok al yang m enjadi ajang bagi para penganutnya untuk m em enuh i gelegak k eilah ian dan m enjadi w adah bagi pem enuh an k ebutuh an spiri- tual yang tidak ada h abis-h abisnya. Ia m enjadi m edium untuk m eng- ek spresik an gelegak k etuh anan dan k ulminasi pengalam an k eilah ian yang tidak k unjung h enti. R itual di dalam nya m erupak an proses untuk m enem uk an Tuh an di dalam k eh idupan. Jik a tidak ingin terlam bat di dalam proses pencarian dalam k eh idupan duniaw i m ak a ia bisa m enjadi jem batan untuk sam pai pada m aqâm k eilah ian tersebut. Sam udra luas k eh idupan yang seh arusnya diisi dengan sifat dan tindak an k eilah ian tersebut terk adang tereduk si oleh k einginan duniaw i seh ingga m engh alangi seseorang untuk m enem ui Tuh annya. Itulah sebabnya salah satu m otto W ah idiyah adalah Fafirrû ila Allâh . Buk u yang ditulis oleh saudara Sok h i H uda ini m erupak an buk u yang berguna untuk m engisi k elangk aan literatur tentang tarek at atau tasaw uf yang bercorak lok al. Mem ang k enyataannya tidak banyak k arya tulis tentang tarek at lok al dalam k h azanah perbuk uan di Indonesia. Tulisan ini m erupak an k arya ilmiah -ak adem is yang m engutam ak an dim ensi “pem ah am an” dan buk an “m enggurui” atau bah k an “m encurigai”. Sebagai k arya ilmiah ak adem is, buk u ini m enggam bark an secara ak urat ek sistensi (apa dan bagaim ana) Shalaw at W ah idiyah di dalam k eh idupan m asyarak at Indonesia dan bah k an m ancanegara. Ketik a pem baca m enelaah k arya ini, ak an tergam bar betapa Shalaw at W ah idiyah m erupak an gerak an tasaw uf yang m encerah k an

xii Kata Pengantar um at m anusia. Ketik a tarik an duniaw i begitu k etat m engh am par dalam budaya k apitalistik dan m aterialistik , ajaran Sh alaw at W ah i- diyah m enaw ark an strategi spiritualitas yang bertum pu pada taqar- rub ila Allâh , dibarengi dengan sik ap m engedepank an syuk ur, sab ar, ik h las, rida, m ah ab bah dan h usnuzh ann, m elalui rangk aian sh alaw at yang terstruk tur di dalam setiap tarik an nafas. Sem ua ini tentu tidak dicapai dengan sek ali m endayung, tetapi dibutuh k an riyad h ah serta bim bingan dari guru (m ursyid)— yak ni orang yang telah m engalam i pah it getirnya riyad h ah sam pai ak h irnya m encapai k enik m atan lad zat-nya berk om unik asi dengan Allah . Karya ini sesungguh nya adalah pintu m asuk k epada ajaran, sejarah , dan ritual Shalaw at W ah idiyah . Jadi, k etika orang m em baca buk u ini, dia ak an terbayang bagaim ana sesungguh nya ajaran, sejarah , dan ritual Sh alaw at W ah idiyah itu dipah am i, diprak tik k an, dan dialam i oleh pengam alnya. ltulah sebabnya buk u ini m erupak an k arya yang m enganatom i terh adap Sh alaw at W ah idiyah dengan sem angat m em berik an pem ah am an secara k om preh ensif ter- h adapnya. Sebagai pengantar, tulisan ini tiada h endak m engk ritik k arya ini k arena m em ang sudah disajik an dengan sangat m endasar. O leh k arena itu, buk u ini ak an sangat berm anfaat bagi pengam al Shalaw at W ah idiyah , orang yang tertarik dengan dunia tasaw uf dan juga k aum ak adem isi yang tertarik dengan fenom ena tasaw uf. Buk u ini sungguh dapat m enjadi guid e bagi para pem baca tentang W h at is Sh alaw at W ah idiyah . Saya berh arap, m udah -m udah an k arya ini bisa m enjadi angle bagi pengk ajian Sh alaw at W ah idiyah , buk an dari sisi teologis dan ritualnya, m elaink an dari aspek sosiologis dan antropologis yang tentunya juga m enarik untuk dijadik an subject of study di m asa yang ak an datang. Selam at m em baca.

xiii

PENGANTAR PENULIS

Alhamdulillah, penulis haturkan ke hadirat Allah SWT berkat taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan buku ini. Untaian shalawat dan salam penulis sampaikan ke hadirat Rasulullah Muhammad Saw., pelita dunia dengan ajaran haqq yang dibawanya— yaitu Islam rahmatan li al-’âlamîn. Salam hormat penulis sampaikan kepada para kekasih Allah dan para mujaddid (pembaru), khususnya ghauts hâdza az-zamân, yang telah melaksanakan tugas reformasi ruhani dan akhlak umat manusia. Buku ini disusun dengan segenap kesadaran usaha untuk me- nyumbangkan wawasan ilmiah tentang tasawuf. Usaha ini dilakukan dengan metode deskriptif-analitis. Dengan metode tersebut penulis berusaha mendeskripsikan secara analitis Shalawat Wahidiyah sebagai bagian dari realitas kultural maupun historis tasawuf. Aliran tasawuf ini secara kultural lahir dari bumi Indonesia pada 1963 dan secara historis mengalami dialektika yang monumen- tal. Sebab, hampir semua aliran tasawuf—yang berstatus mu’tabarah (diakui sah) menurut versi NU—yang ada di Indonesia merupakan produk ulama Timur Tengah. Dialektika historis yang dialami aliran ini ditandai oleh sejumlah respons, baik positif maupun negatif, dari para pemuka berbagai

xv Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah aliran tasawuf yang ada di Indonesia maupun dari kalangan sesepuh NU. Sebagaimana diketahui, NU menjadi lembaga yang berhak me- nentukan status “mu’tabarah” (sah) atau “ghair mu’tabarah” (tidak sah) bagi aliran tasawuf tertentu yang ada di Indonesia. Puncak dari pro dan kontra terhadap Wahidiyah tersebut adalah adanya “Piagam Ngadiluwih”. Piagam ini dibuat atas dasar hasil musyawarah—lebih tepatnya diskusi terbuka—antara kalangan sesepuh NU dan kalangan para tokoh Wahidiyah yang terjadi pada Oktober dan Desember 1979. Piagam tersebut dikenal dengan nama “Dokumen Sebelas-Kosong” (sebelas masalah—terjawab tuntas). Oleh karena sedemikian penting nilai historisnya, piagam ter- sebut didokumantasikan secara rapi, lengkap dengan hasil diskusi yang menyertakan rujukan (dalil-dalil) naqli dari Al-Qur’an dan hadits maupun dari berbagai referensi kitab-kitab fiqh dan tasawuf yang masyhur. Lebih jauh lagi, piagam tersebut juga dilampiri sejumlah respons berupa surat-surat formal dari para pejabat dalam dan luar negeri. Di antaranya adalah salinan surat Mufti Kerajaan Negara Darussalam (Dato Sri Mi’raj Dato Sri Umam Haji Ismail bin Umar Abdul Aziz), nomor: (38)dlm.MKB/13/1987 pt.8. (7/89), tertanggal 14 Februari 1989. Dinamika historis Wahidiyah mengalami perkembangan yang signifikan pada saat sasaran jamî’ al-’âlamîn dan misi inklusivisme globalnya sedikit demi sedikit merambah ke berbagai daerah di Indonesia dan mancanegara (Timor Leste, Brunei Darussalam, , Singapura, Australia, Hongkong, Jepang, Arab Saudi, Selandia Baru, Peru, Amerika Serikat, dan lainnya). Misi inklusivisme global ini bukanlah sasaran program Wahidiyah sebagai sebuah aliran tasawuf, melainkan merupakan substansi ajaran dan sifat keterbuka- an dalam proses legalisasi pengamalnya. Muaranya adalah, dalam aliran ini tidak ada baiat sebagaimana umumnya aliran-aliran tarekat; yang ada adalah model gethok tular yang dalam istilah komunikasi disebut multi step flow communication, yaitu model penyebaran berantai; setiap pengamal Wahidiyah diberi hak untuk menyebarkan

xvi Pengantar Penulis substansi—termasuk rangkaian zikir/sistem amalan/awrad—dan ajaran shalawat tersebut kepada orang lain tanpa proses baiat. Oleh karena itu, banyak tokoh sepuh NU, penganut aliran-aliran Islam, penganut agama selain Islam, pejabat negara, bahkan kalangan bromocorah menjadi pengamal shalawat ini. Dengan kejelasan orientasinya, KH. Abdoel Madjid Ma’roef, muallif Shalawat Wahidiyah ini, telah menyiapkan dan memimpin secara langsung perangkat sistemiknya (sistem amalan/awrad, sistem ajaran, dan sistem organisasinya), dengan ikhtiar legalitas hukumnya. Sejak masa bimbingan dan kepemimpinannya, organisasi Wahidiyah dibentuk sendiri oleh KH. Ma’roef dengan nama “Penyiar Shalawat Wahidiyah” (PSW), dan dengan instruksinya, PSW telah didaftarkan kepada Ditsospol Jawa Timur pada 7 September 1987. Pada saat ini, PSW telah menjadi organisasi sosial yang berbadan hukum, dengan Akta Notaris Khusnul Hadi, SH, Jombang, nomor: 10, tertanggal 26 Januari 2007. Di sisi lain, ada tiga aliran Wahidiyah yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Selain PSW yang dibentuk sendiri oleh KH. Abdoel Madjid Ma’roef, sebagai muallif Shalawat Wahidiyah, terdapat dua aliran lainnya, yakni aliran Perjuangan Wahidiyah yang dikenal dengan istilah Pimpinan Umum Perjuangan Wahidiyah (PUPW) dan aliran Jama’ah Perjuangan Wahidiyah “Miladiyah” (JPWM). Kedua aliran baru ini dipelopori dan dipimpin oleh dua putera KH. Ma’roef sendiri. Dua aliran tersebut memiliki orientasi yang khas sesuai dengan visi dan misi yang diembannya. Apa pun yang tertuang dalam buku ini sebenarnya merupakan hasil usaha untuk mengungkap realitas historis Wahidiyah sebagai salah satu aliran tasawuf di antara berbagai aliran tasawuf yang ada. Aliran tasawuf yang lahir dari bumi Indonesia ini memiliki karakter yang khas (unik) dibanding dengan aliran-aliran lainnya. Inilah di antara sekian nilai penting yang menarik dan urgen untuk dipresentasikan dalam wacana ilmiah ketasawufan.

xvii Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Penulis senantiasa membuka kritik dan saran dari siapa pun terhadap isi buku ini, dan atas kesediaannya penulis ucapkan terima kasih. Wa Allâh A’lam.

Jombang, 18 Mei 2007

Penulis

xviii UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan kehadiran buku ini di hadapan pembaca yang budiman, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangsih untuk penyelesaian buku ini, khususnya pihak-pihak yang penulis sebutkan berikut ini. Pertama, Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. Dr. H.M. Ridlwan Nasir, MA; Rektor Institut Keislaman Hasyim Asy’ari (IKAHA) Tebuireng Jombang, H. Mansur Zawawi, SH, M.HI; Dekan Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Dr. H. Shonhadji, yang telah memberikan dukungan moral dan saran-saran dalam proses penelitian dan penyelesaian buku ini; Dekan Fakultas Dakwah IKAHA Tebuireng, Jombang, Drs. Sahlan ZA, atas wawasan yang diberikan berkaitan dengan materi buku ini. Kedua, ucapan terima kasih yang dalam juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si (Guru Besar Sosiologi) yang telah berkenan memberikan kata pengantar untuk buku ini sekaligus memfasilitasi penerbitannya. Ketiga, segenap pimpinan dan jajaran pengurus DPP PSW— khususnya K.H. Moh. Ruhan Sanusi (Ketua Umum DPP PSW)— yang menjadi key informan dalam penelitian ini. Ucapan terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada para kiai pada MTP

xix Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

(Majelis Tahkim Pusat) DPP PSW atas restu yang telah diberikan dalam penyusunan buku ini. Beberapa personil DPP PSW (Kiai Ahmad Sholihuddin Mahfudz, Moh. Choderi, Moh. Zainul Arifin, Ahmad Chunain, Makinun Amin, dan lainnya), yang bersedia men- jadi mitra diskusi tentang banyak hal dan telah memberikan banyak informasi dokumenter tentang Shalawat Wahidiyah. Keempat, terima kasih penulis sampaikan kepada Drs. H.M. Muhsin Kasmin, (Sekretaris) serta M. Slamet, dan Khoirul Umam, (Pegawai Tata Usaha dan Perpustakaan) Program Pascasarjana IKAHA Tebuireng Jombang, yang telah membantu penulis dalam pengayaan referensi dan beberapa hal teknis lainnya. Kelima, teman-teman sejawat dan seprofesi di Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya dan Fakultas Dakwah IKAHA Tebuireng Jombang, yang telah memberikan dukungan, baik moril maupun teknis, dan kesediaannya berdiskusi dengan penulis. Keenam, seluruh anggota keluarga ndalem, terutama Ibu Nyai Hj. Hayuk Mu’minah dan Ibu Nyai Amimah (Dua istri. H. Ihsan Mahin), Kiai Ahmad Masruh IM (Pengasuh “Pesantren At-Tahdzib” Rejoagung, Ngoro, Jombang; penerus perjuangan Ayahandanya— K.H. Ihsan Mahin), yang telah membantu penulis dalam banyak hal, khususnya dalam pemilihan topik yang sekarang dijadikan judul buku ini. Ketujuh, K.H. Abdoel Hamid (tokoh utama aliran Miladiyah) yang telah bersedia memberikan informasi berharga tentang aliran Miladiyah dan hal-hal lain yang terkait dengannya. Terima kasih juga kepada K.H. Abdoel Latif (tokoh utama aliran Perjuangan Wahidiyah) yang sempat memberikan salam hangat kepada penulis, pada saat penulisan buku ini mencapai lebih dari dua pertiga bagian. Kedelapan, Kiai Moh. Nafihuz Zuha IM, (Pengasuh “Pondok Al-Ahsan” Karangan, Bareng, Jombang), yang telah memberikan banyak informasi berkenaan dengan ajaran, substansi, dan organisasi Shalawat Wahidiyah serta berbagai informasi hasil kunjungan dan pembinaannya kepada para pengurus dan pengamal di berbagai xx Ucapan Terima Kasih daerah di Indonesia. Dia juga sering menjadi mitra diskusi yang menyenangkan dalam tahap-tahap penulisan buku ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh anggota keluarga ndalem beserta seluruh anggota keluarga besar (konco-konco) di “Pondok Al-Ahsan” yang turut membantu demi penulisan buku ini. Kesembilan, Kiai Zainuddin Tamsir (Pengasuh Pondok Pesan- tren “At-Tahdzibi” Sangen, Geger, Madiun) dan K.H. Mohammad Jazuly Yusuf (Pengasuh Pondok Pesantren “Darul Hikmah” Caru Pendem Jonrejo Kotatif Batu Malang), yang telah memberikan banyak informasi dokumenter dan nondokumenter tentang Shalawat Wahidiyah, terutama dalam verifikasi referensi ketasawufan. Kesepuluh, Agus Moh. Thohir, yang telah memberikan informasi kunci berupa salinan dokumen historis “Piagam Keputusan Musya- warah Ngadiluwih” yang berkaitan dengan konsep-konsep strategis Shalawat Wahidiyah. Kesebelas, Agus Moh. Ulumuddin IM, yang telah membantu penyediaan sebagian sarana dan sumber-sumber informasi untuk penulisan buku ini. Keduabelas, Ning Tsulasa’ IM (isteri penulis), yang telah mem- berikan informasi awal yang berharga, berupa naskah “Materi Asrama Wahidiyah Romadlon 1426 H., di Pon.Pes Roudlotul Muslimin Nganjuk (08-12 Oktober 2005/02-08 Romadlon 1426 H)”. Naskah ini menjadi kunci pembuka untuk pelacakan berbagai informasi selanjutnya, dan penyusunan rancangan topik serta kerangka kerja metodologis buku ini. Ketigabelas, terima kasih penulis sampaikan kepada Moh. Mahdi, Abu Amar, dan Nur Khoiruri yang telah membantu verifikasi referesi ketasawufan. Terima kasih juga kepada Bahrul Ulum, yang telah membantu melacak referensi dan dokumen hingga menggali informasi ke beberapa daerah. Selanjutnya, terima kasih juga penulis sampaikan kepada Imam Syafi’i dan Moh. Mahdi yang telah mem- bantu menyalin surat mufti Kerajaan Negara Brunei Darussalam

xxi Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah dari bahasa pegon (bahasa Indonesia atau selain bahasa Arab yang ditulis dengan huruf Arab) ke tulisan latin bahasa Indonesia. Keempatbelas, Bapak Umar Faruq, Staf Pengajar Fakultas Syari’ah IKAHA Tebuireng Jombang, sebagai mitra diskusi yang menyenangkan seputar tasawuf dan beberapa referensi yang terkait dengannya. Kelimabelas, Bapak Abdul Wahid Suwoto (pengamal dan pelaku sejarah Wahidiyah, mantan penginjil), yang telah memberikan banyak informasi tentang kewahidiyahan. Keenambelas, terima kasih kepada penerbit LKiS Yogyakarta yang telah bersedia menerbitkan buku ini untuk jariah keilmuan bagi segenap umat manusia. Terakhir, semua pihak yang tidak disebutkan satu per satu di ini, yang berjasa memberikan informasi berharga untuk bahan penyu- sunan buku ini. Terima kasih juga kepada semua pihak yang turut mendukung atas terselesaikannya buku ini. Semoga dukungan serta sumbangsih mereka semua memperoleh balasan dan ridha dari Allah SWT. Jombang, 18 Mei 2007

Penulis

xxii DAFTAR TABEL

Tabel 1 : D im ensi Ajaran Tasaw uf dan Tarek at  69 Tabel 2 : Perk em bangan Mak na dan Kom ponen Tarek at  70 Tabel 3 : Aliran-Aliran Tarek at yang Terk enal  74 Tabel 4 : Nam a Tarek at yang Tidak D inisbatkan pada Nam a Pendirinya  76 Tabel 5 : Perbandingan Kuantitas Aliran Tarek at  77 Tabel 6 : Pem ik iran Tasaw uf di Indonesia 83 Tabel 7 : Dim ensi-Dim ensi Ajaran W ah idiyah  29 7

xxiii Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

DAFTAR GAMBAR

Gam bar 1 : H ierark i dalam Tasaw uf/Tarek at pada Um um nya  73 Gam bar 2 : H ierark i dalam Tasaw uf Wah idiyah  29 8 Gam bar 3 : H ierark i Pengem bangan dalam Tasaw uf Wah idiyah  29 9 Gam bar 4 : Ma’rifat dalam Konsep W ah idiyah Perspek tif Tabung Kaca  301

xxiv DAFTAR ISI

Pengantar R edak si  v Kata Pengantar: Prof. D r. H . Nur Syam , M .Si  ix Pengantar Penulis  xv Ucapan Terim a Kasih  xix D aftar Tabel  xxiii D aftar Gam bar  xxv D aftar Isi  xxv

1 PEND AH ULUAN  1

2 M EM AH AM I D UNIA TASAW UF  21 A. Pem ak naan Tasaw uf  21 B. Kontek s H istoris D inam ik a Tasaw uf  32 C. Tasaw uf dan Tarek at di D unia Islam  35 D.Aliran-Aliran Tarek at di D unia Islam  74 F. Pem ik iran Tasaw uf di Indonesia  79

3 W AH ID IYAH D AN FENO MENA TASAW UF KULTURAL  9 3 A. Sejarah R ingk as Sh alaw at W ah idiyah  9 3 B. O rganisasi Penyiar Sh alaw at W ah idiyah  102

xxv Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

C. Sh alaw at dan Syafa’at dalam D unia Tasaw uf  118 D.Sh alaw at W ah idiyah sebagai Fenom ena Kultural  120 E. Sh alaw at dan Syafa’at dalam Pustak a Ajaran W ah idiyah  122 F. Sh alaw at W ah idiyah  149 G. Panca-Ajaran Pok ok W ah idiyah  157 H . Ajaran W ah idiyah tentang Etik a Ketasaw ufan  175 I. Mujah ad ah dalam W ah idiyah  19 3 J. D ana Box dan Z ak at dalam W ah idiyah  204

4 PENGALAMAN KEBER AGAMAAN M ASYAR AKAT W AH ID IYAH  215 A. Pola H ubungan Muallif - Murid - Pengam al Sh alaw at W ah idiyah  215 B. Slogan dan Seruan dalam W ah idiyah  232 C. Piagam Ngadiluw ih dalam Sejarah W ah idiyah  260 D.Tradisi dan O rientasi Pem binaan Kelom pok -Kelom pok Sosial- O rientasinya  264 E. Tradisi Salafiyah dalam Ibadah dan Mu’am alah  266 F. Etik a dalam Kontek s Spiritualitas dan R elasi Sosial  272 G. H arm oni antara D im ensi Spiritualitas, Syariat, dan Moralitas  274

5 SH ALAW AT W AH ID IYAH : Produk Tasaw uf Lok al dengan Misi Ink lusifism e Global  277 A. Inti Ajaran, Visi, dan Misi Sh alaw at W ah idiyah  277 B. Keterbuk aan Ideologi W ah idiyah dalam D inam ik a H istoris  317 C. Menim bang Kritik terh adap Pah am W ah idiyah  334

6 PENUTUP  345 A. Kesim pulan  345 B. Saran-saran  348 xxvi Daftar Isi

D AFTAR PUSTAKA  351

LAMPIRAN: Lem bar Sh alaw at W ah idiyah  361 IND EKS  363 BIO D ATA PENULIS  371

xxvii Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

xxviii 1 PENDAHULUAN

D ew asa ini tasaw uf tidak h anya m enarik perh atian para peneliti m uslim ataupun orientalis, tetapi juga m enarik perh atian m asyarak at aw am . H al tersebut bisa dibuk tik an dengan tum buh -suburnya m aje- lis-m ajelis pengajian tasaw uf yang tersebar di m ana-m ana dalam m asyarak at Indonesia, yang ak h ir-ak h ir ini m erasa terbelenggu ber- bagai k ecenderungan m aterialisme 1 serta nih ilisme 2 m odern. Merek a m em butuh k an sesuatu yang dapat m em uask an ak al-budinya, m e- nenteram k an jiw anya, m em ulih k an k epercayaan dirinya dan sek ali- gus m engem balikan k eutuh annya yang nyaris punah k arena dorong- an k eh idupan m aterialis dalam berbagai k onflik ideologis.3 D i dunia Barat, ak h ir-ak h ir ini juga telah m uncul perh atian yang besar terh adap tasaw uf. Munculnya h al tersebut tam pak nya dipicu oleh beberapa h al, seperti adanya perasaan tidak am an

1 Materialisme adalah ajaran atau paham filsafat yang menekankan keunggulan faktor- faktor materiil atas segala sesuatu yang bersifat spiritual dalam metafisika, teori nilai, fisiologi, epistemologi atau penjelasan historis. Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 593. 2 Ajaran nihilisme menyangkal keabsahan alternatif positif mana pun. Istilah ini sudah diterapkan pada metafisika, epistemologi, etika, politik, dan teologi. Istilah ini diciptakan oleh Turgeniev dalam novelnya yang bertitel Farthers and Children (1862) untuk menunjuk suatu gerakan di Rusia pada paro kedua abad XIX. Gerakan ini menuntut perubahan secara tidak terencana dan yang pada puncaknya membantai sejumlah pejabat Rusia, termasuk Tsar Alexander II sendiri. Lihat Ibid., hlm. 712. 3 Asmaran As., Pengantar Studi Tasawuf, Edisi Refisi, cet. II, (Jakarta: Raja Grafindo

1 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

m engh adapi m asa depan lantaran k urang dipah am inya pesan-pesan yang terk andung dalam agam a-agam a terdah ulu, k h ususnya agam a Kristen yang m enjadi anutan m erek a, di sam ping juga k arena adanya k erinduan m asyarak at Barat untuk bisa m enyak sik an pengalam an ruh ani dalam suatu lingk ungan yang sem ak in dek aden seh ingga m endorong m erek a untuk m enyelam i ajaran-ajaran ruh ani dari agam a-agam a Tim ur. Pada aw alnya, perh atian um um m asyarak at Barat lebih tertuju pada H induism e dan Budh ism e. Ak an tetapi, h al tersebut tidak bertah an lam a k arena adanya pem alsuan atau pendangk alan terh adap tradisi-tradisi dari k edua agam a tersebut seh ingga m em buat ajaran-ajarannya cepat m em bosank an.4 D engan k enyataan di atas m ak a tidak h eran jika banyak k alang- an yang m eram alkan bah w a tasaw uf ak an m enjadi trend abad XXI.5 R am alan ini cuk up beralasan k arena sejak ak h ir abad XX m ulai terjadi k ebangk itan spiritual (spiritual revival) di berbagai k aw asan. Munculnya gerak an spiritualitas ini m erupak an bentuk reak si terh adap dunia m odern yang terlalu m enek ank an h al-h al yang bersifat m ateriil-profan (k eduniaw ian) seh ingga m anusia m engalam i dah aga spiritual. O leh k arena itu, m anusia ingin k em bali m enengok dim ensi spiritualnya yang selam a ini dilupak an. Salah satu gerak an yang paling m enonjol pada ak h ir abad XX dan aw al abad XXI adalah New Age M ovem ent.6 Gerak an ini m erupak an respons atas paradigm a m odernism e yang telah m engalam i k egagalan.7

Persada, 2002), hlm. 8–9. 4 Ibid., hlm. 10. 5 Ruslani (ed.), Wacana Spiritualitas Timur dan Barat, (Yogyakarta: Qalam, 2000), hlm. vi. 6 Ibid., hlm. vi–vii. 7 Disinyalir bahwa kegagalan modernisme mencakup lima hal: pertama, modernisme gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan dramatis; kedua, penge- tahuan modern tidak mampu melepaskan kesewenang-wenangan dan penyalah- gunaan otoritas; ketiga, ada semacam kontradiksi antara teori dan fakta dalam ilmu-ilmu modern; keempat, arogansi ilmu pengetahuan dengan keyakinannya bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi oleh manusia dan lingkungannya; kelima, ilmu-ilmu modern kurang

2 Pendahuluan

Kebangk itan spiritualitas ini terjadi di m ana-m ana, baik di dunia Barat maupun dunia Islam . D i Barat, k ecenderungan untuk k em bali pada spiritualitas ditandai dengan sem ak in m erebak nya gerak an fundam entalism e agam a dan k eruh anian. Sedangk an di dunia Islam , k ebangk itan spiritualitas ditandai dengan berbagai arti- k ulasi k eagam aan, seperti fundam entalism e Islam yang ek strim dan m enak utk an, di sam ping juga bentuk artik ulasi k eagam aan esoterik lainnya yang ak h ir-ak h ir ini m enggejala, seperti gerak an sufism e dan tarek at.8 D alam k ontek s k eindonesiaan, tasaw uf atau m istisism e juga berk em bang pesat. Bah k an disinyalir bah w a ia m uncul sejak atau bersam aan dengan datangnya Islam k e negeri ini. M . Solihin dalam buk unya yang bertitel Melacak Pem ik iran Tasaw uf d i Nusantara,9 m engatak an bah w a Islam datang pertam a k ali k e w ilayah Aceh . O leh k arena itu, Aceh sek aligus berperan penting bagi penyebaran tasaw uf k e seluruh w ilayah Nusantara, term asuk juga k e sem enanjung M elayu. Tasaw uf yang singgah pertam a k ali d i Aceh tersebut m em ilik i corak falsafi. Tasaw uf falsafi ini begitu k uat tersebar dan dianut oleh sebagian m asyarak at Aceh , dengan tok oh utam anya adalah H am zah al-Fansuri dan Syam suddin as-Sum atrani. D ua tok oh sufi- falsafi ini m em punyai pengaruh cuk up besar h ingga corak tasaw uf yang diajark annya tersebar k e daerah -daerah lain di Nusantara. Keh adiran tasaw uf yang bercorak falsafi itu k em udian disusul oleh tasaw uf yang bercorak sunni. Kedatangan tasaw uf sunni m enjadi sem acam k orek si terh adap pem ah am an tasaw uf falsafi yang cen- derung m anut pada ajaran-ajaran Ibn Arabi dan al-Jilli, atau bah k an al-H allaj. Keh adiran dua aliran tasaw uf yang berbeda h aluan ini m enggam bark an bah w a di Indonesia terjadi polem ik dan per- tarungan di antara k edua aliran tasaw uf tersebut. M asing-m asing

memerhatikan dimensi mistis dan metafisika eksistensi manusia karena terlalu menekankan pada atribut fisik individu. Lihat Ibid., hlm. vi. 8 M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: Raja Grafindo

3 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

pih ak m em punyai argum en k uat untuk m eneguh k an aliran tasaw uf yang dianut. D alam pe rk e m b angannya, d ua aliran tasaw uf terse b ut m ew arnai pem ah am an-pem ah am an tasaw uf di seluruh w ilayah Nusantara dan sem enanjung Melayu. Munculnya dua tok oh tasaw uf dari Aceh yang bercorak falsafi tersebut (H am zah al-Fansuri dan Syam suddin as-Sum atrani) k em udian disusul oleh para tok oh tasaw uf berik utnya, yak ni Nuruddin ar-R aniri, Abd R a’uf an-Sink ili, Abd Sham ad al-Palimbani, W ali Songo, Abdul Muh yi Pam ijah an, Muh am m ad Aidrus, dan Syaik h Yusuf al-Mak assari. Munculnya tok oh -tok oh sufi pasca-H am zah al-Fansuri dan as-Sum atrani ini lebih m enam pak k an ajaran tasaw uf yang tipik al al-Gh azali. Bah k an, tasaw uf yang bernuansa pem ah am an al-Gh azali ini k em udian m enjadi begitu dom inan di Nusantara. Yang juga m enarik adalah bah w a para ulam a Nusantara yang belajar di dunia Arab banyak yang k em bali dengan m em baw a ajaran tarek at yang diperoleh dari guru-guru m erek a, baik yang langsung dari sum ber-sum ber Arab, seperti al-Q usyairi dan al-Kurani, m aupun lew at ulam a-ulam a sufi Nusantara yang ada di negeri Arab. O leh k arena itu, tidak m engh erank an jika sejum lah tarek at yang berk em bang di Indonesia, m isalnya Qadiriyah , Naqsyabandiyah , Syathariyah , Kh alwatiyah , dan Sam m aniyah , m erupak an anggitan dari para ulam a Tim ur Tengah . Pada sisi lain, patut diperh atik an juga bah w a ada dua tok oh lain yang ik ut m em perk aya k h azanah tasaw uf di Indonesia, yak ni R onggow arsito di Jaw a Tengah yang bernuansa “Kejaw en” dan H aji H asan Musthafa di Jaw a Barat yang bernuansa “Pasundan”. Kedua tok oh ini m em punyai pem ah am an spiritual yang berbeda dengan tok oh -tok oh lainnya. Merek a m em perlih atkan adanya pergum ulan antara pem ik iran tasaw uf dengan budaya setem pat. Berdasark an data-data yang ada, para sufi Nusantara cuk up m em ah am i ajaran-ajaran w ah dah al-w ujûd atau w ujudiyah m ilik Ibn Arabi dan ajaran insân k âm il m ilik al-Jili, dengan basis teori tanazzul dan tajalli. Teori-teori yang terk esan m em baw a pah am ph anteism e

4 Pendahuluan ini m asuk k e Nusantara m elalui dua tok oh Aceh , yak ni H am zah al- Fansuri dan as-Sum atrani. Teori-teori produk dua tok oh ini sem ak in k uat pengaruh nya k arena ditopang oleh pem ik iran Muh am m ad Fadh lullah al-Burh anpuri (tok oh tasaw uf k elah iran India). Ia juga m em punyai pengaruh yang tidak k alah pentingnya dibanding dengan Ibn Arabi dan al-Jilli bagi para sufi di Indonesia. H al ini terutam a disebabk an oleh buk u Tuh fah k arya al-Burh anpuri yang m asuk dan dipelajari oleh beberapa sufi di Indonesia. Konsep w ah dah al-w ujûd k arya Ibn Arabi dan insân k âm il produk al-Jilli k em udian berpadu dengan Tuh fah m ilik al-Burh anpuri seh ingga m elah irk an teori m artabat tujuh . Teori ini terlih at mew arnai w acana pem ik iran sufi Indonesia. H anya saja, pada perk em bangannya k em udian dapat dibedak an siapa tokoh yang m enganut seutuh nya perpaduan pem ik iran Ibn Arabi, al-Jilli, dan al-Burh anpuri, serta siapa yang k em udian m enolak pah am k etiga sufi tersebut, yang banyak dik laim sebagai penganut w ujûdiyyah m ulhidah . Teori m artab at tujuh ini berh ubungan erat dengan pah am tanazzul dan tajalli, dan ia m enjadi fenom ena yang banyak dijum pai di Indonesia. Konsep m artabat tujuh m erupak an tingk atan-tingk atan perw ujudan m elalui tujuh m artabat, yaitu: (1) ah adiyah , (2) w ah dah , (3) w âh idiyah , (4) ‘alam arw ah , (5) ‘alam m itsal, (6) ‘alam ajsâm , dan (7) ‘alam insân. Para pem erh ati m artab at tujuh di Pulau Jaw a m engenal ungk apan La dudu ik u iya ik i, sejatine ik u iya (k alau buk an itu ya ini, sesungguh nya itu m em ang iya), yang artinya bah w a “h ak ik at ini dan itu adalah sam a, itu-itu juga”. Ungk apan tersebut dalam bah asa H aji H asan Musthafa adalah D iseb ut aing da itu, d iseb ut itu d a aing (apabila d ik atak an ak u k enyataannya itu, nam un bila dik atak an itu, k enyataannya ak u). Atas dasar pem ah am an terh adap ungk apan-ungk apan itulah m ak a banyak tok oh yang m engidentik k an ajaran m artab at tujuh dengan w ah d ah al-w ujûd (m anunggaling k aw ula-gusti). Kecenderungan pah am m anunggaling k aw ula-gusti itulah yang k em udian ditolak k eras oleh para sufi bercorak sunni di Indonesia, seperti penolak an yang dilak uk an oleh Nuruddin ar-R aniri dan

5 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Sayyid Alaw i. Selain k eduanya, ada em pat tok oh tasaw uf lain yang sebenarnya juga m enolak k onsep w ih datul w ujud (m anunggaling k aw ula-gusti), nam un bersik ap lebih m oderat, yak ni Abd Sh am ad al-Palimbani, Abd R a’uf as-Sink ili, Muh am m ad ‘Aidrus, dan Syaik h Yusuf al-Mak assari. Keem pat sufi ini berpegang teguh pada tran- sendensi Tuh an. Merek a berk eyak inan bah w a secara spiritual m anusia dapat dek at (qurb ) dengan Tuh an, nam un proses qurb (k edek atan m anusia dengan Tuh an) tidak ak an m engam bil bentuk k esatuan w ujud antara m anusia dengan Tuh an. D engan dem ik ian, em pat sufi ini lebih m oderat dalam pem ah am an tentang ajaran w ujud iyyah atau m artab at tujuh seh ingga ada yang m enyebut aliran tasaw uf m erek a ini bercorak neosufism e. Istilah neosufism e ini k elih atan m enunjuk pada pah am tasaw uf yang m engam bil jalan tengah , yak ni pah am yang m enafsirk an k onsep w ih datul w ujud dengan m eng- gunak an analisis dan penafsiran gaya al-Gh azali, al-Junaidi, atau al- Q usyairi, yang tetap m em bedak an antara m anusia dengan Tuh an, yang k eduanya tidak m ungk in dapat bersatu, k endatipun m anusia dapat dek at (qurb ) dengan Tuh an lew at ibadah dan pem ah am an yang tetap berlandask an syari’at. Pem ah am an seperti itu k elih atannya lebih tegas dipah am i oleh W ali Songo di Pulau Jaw a, yang k ental dengan corak sunninya. Gaya-gaya penafsiran m erek a ini k elih atan tetap cenderung pada tasaw uf sunni. D an, tasaw uf sunni inilah yang banyak dianut oleh m asyarak at muslim Indonesia h ingga sek arang. Sem angat berijtih ad dalam bidang tasaw uf di negeri ini juga dapat ditem uk an dalam pem ik iran Syaik h Ah m ad Kh atib as- Sam basi (Kalim antan). Keberaniannya dalam berijtih ad m elam paui para tok oh sufi lain di Indonesia. H al ini dibuk tikan dengan produk pem ik irannya berupa tarek at Q ad iriyah w a Naqsyab and iyah yang m erupak an perpaduan dari dua tarek at, yaitu tarek at Qadiriyah dan tarek at Naqsyabandiyah . Pem aduan dua tarek at ini dilak uk an di

Persada, 2005), hlm. 6. 9 Ibid. 10 Penjelasan selanjutnya tentang produk dan empat pokok ajaran Syaikh Ahmad

6 Pendahuluan

Mak ah pada 1857 M. Produk baru ini disem purnak an oleh Syaik h Ah m ad al-Kh atib dengan em pat pok ok ajaran: (1) k esem purnaan suluk , (2) ad ab (tata k ram a), (3) ajaran tentang zik ir, dan (4) m urâqab ah .10 D i sisi lain, dalam realitas k ultural yang ada, di Indonesia juga m uncul dua aliran tasaw uf/tarek at yang cuk up populer, yak ni Shid- diq iyah 11 dan W ah idiyah . D ua aliran tasaw uf ini lah ir di Jaw a Tim ur. Sh iddiq iyah lah ir di Jom bang dan bercirik an k etarek atan sedangk an W ah idiyah lah ir di Kediri dan bercirik an k etasaw ufan. Kedua aliran ini ternyata juga berk em bang cuk up pesat di tengah -tengah m asya- rak at, dan m em iliki sistem organisasi yang cuk up baik dan k uat. D alam am atan penulis, dua aliran ini m erupak an aliran tasaw uf produk Indonesia asli k arena m em presentasik an form ula am alan dan ajaran yang k h as Indonesia dibanding dengan aliran-aliran tasaw uf/tarek at lainnya. Kedua aliran tasaw uf tersebut tidak m asuk k e dalam daftar thariqah m u’tab arah (tarek at yang dianggap sah ) m enurut versi NU. Berdasark an h asil pelacak an data-data referensial dan lapangan, diperoleh inform asi bah w a Shiddiqiyah tidak m em eroleh status m u’tabarah k arena dipandang bah w a sanad (transm isi) atau silsilah

Khatib bisa dilihat lebih lanjut dalam M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf, hlm. 320–325. 11 Tarekat / tasawuf Shiddiqiyyah ini didirikan oleh Moch. Muchtar bin H. Abdul Mu’thi. 12 Dalam hal ini, Martin van Bruinessen dalam bukunya yang bertitel Kitab Kuning menjelaskan bahwa ajaran-ajaran Tarekat Shiddiqiyah didasarkan pada ajaran- ajaran yang diterima oleh pendirinya, Muhammad Muchtar Mu’thi, pada per- tengahan tahun 1950-an dari seseorang yang bernama Syu’aib Jamal dari Banten, yang merupakan Pewaris Spiritual Syaikh Yusuf Makassar. Ajaran-ajaran tauhid dalam Shiddiqiyyah diajarkan dalam bentuk yang disesuaikan dengan budaya masyarakat Jawa. Sedangkan amalan-amalan sufi yang diajarkan terdiri atas: membaca ratib-ratib panjang, yang diikuti dengan latihan pengaturan nafas. Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, cet. II, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 203-204. Lihat juga Moch. Muchtar bin H. Abdul Mu’thi, Informasi tentang Shiddiqiyyah, yang disampaikan pada acara Peringatan Hari Shiddiqiyyah (27 Rajab 1418 H.) di Losari-Ploso-Jombang, Jawa Timur. 13 Lihat Syaikh Yusuf bin Isma’il an-Nabhani, Sa’adah ad-Darain fi ash-Shalah ‘ala Sayyid al-Kawnain, (Beirut-Libanon: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 36 dan 90; Sayyid

7 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

tarek atnya terputus;12 tidak sam bung k epada Nabi Muh am m ad. Sedangk an W ah idiyah tidak m em eroleh status m u’tab arah k arena tiga h al: pertam a, W ah idiyah dipandang tidak m enggunak an m odel sistem tarek at yang m em ilik i sanad (silsilah ) am alan yang sam pai k epada nabi k arena ia h anyalah sh alaw at, dan setiap sh alaw at— m enurut referensi otoritatif k etasaw ufan13— sanad dan syaik h nya adalah nabi sendiri seh ingga tidak m em erluk an sistem silsilah seperti tarek at. W ah idiyah dipandang sebagai am alan um um yang tidak sek etat sistem am alan tasaw uf dan tarek at. Ked ua, m uallif (pencetus) Sh alaw at W ah idiyah tidak m engh endak i m isi jam i’ al-’alam in (glo- bal)-nya dibatasi oleh status m u’tabarah yang h anya diak ui di Indo- nesia saja, k h ususnya oleh NU. Ketiga, adanya penilaian negatif bah w a W ah idiyah m engandung ajaran sesat. H al ini disebabk an oleh k arena para tok oh NU pada um um nya— yang corak tarek atnya cenderung pada tasaw uf ak h laqi/sunni—m elih at Shalaw at W ah idiyah m engem ban corak tasaw uf falsafi yang ditentangnya secara k eras. Shalaw at W ah idiyah , dalam dinam ik a k ultural dan h istorisnya, berk em bang pesat di tengah -tengah m asyarak at Indonesia dan m anca negara. O leh k arena status m u’tab arah m erupak an label k eabsah an aliran tasaw uf/tarek at di Indonesia m ak a dapat dipah am i jik a lah irnya Shalaw at W ah idiyah m engundang pro dan k ontra dan sek aligus m e- m unculkan tantangan serius dari tok oh -tok oh tarek at, k ususnya dari k alangan Nah dh iyin di Indonesia m aupun para tok oh dan pem ik ir dari aliran-aliran lainnya. Inilah yang m enarik untuk dik aji dari Sh alaw at W ah idiyah yang m enjadi objek penelitian ini. Sejauh pengam atan penulis, sebenarnya sudah banyak k ajian yang m em bah as m asalah W ah idiyah , baik yang bersifat desk riptif m aupun k ritis. Beberapa k ajian atau penelitian tentang W ah idiyah (k ew ah idiyah an) yang bersifat desk riptif ini telah dilak uk an oleh

Ahmad, Taqrib al-Ushul li Tahsil al-Ushul fi Ma’rifah ar-Rabb wa ar-Rasul, (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1349 H.), hlm. 57. Bandingkan dengan Sayyid Abu Bakar, Kifayah al-Athqiya’, (Indonesia: Maktabah Dar Ihya al-kutub al-Arabiyyah, t.t.), hlm. 48. 14 Tim Peneliti: Ahmad Sodli, Yusriati, Yustiani, dkk, Thariqat Wahidiyah di Jawa

8 Pendahuluan tim peneliti D epartem en Agam a R I (Balai Penelitian Aliran Ke- ruh anian/Keagam aan Sem arang).14 Penelitian ini dilak uk an terh adap w ilayah Pusat W ah idiyah di Jaw a Tim ur dan cabang-cabangnya di Jaw a Tim ur dan Jaw a Tengah , yak ni Jom bang, Malang, Tulungagung, Jepara, dan Kebum en. Penelitian ini sangat k aya dengan data yang d ik em as d alam 388 h alam an k w arto. Peneliti lain yang juga m elak uk an k ajian atas W ah idiyah adalah Cucuk Suroso,15 Muslih,16 Lutfi W iraw an,17 Ah m ad Lutfi R idlo,18 dan H arun Kusaijin,

Timur dan Jawa Tengah, (Semarang: Departemen Agama RI Balai Penelitian Aliran Keruhanian/Keagamaan, 1990). 15 Cucuk Suroso, “Studi tentang Ma’rifat dalam Wahidiyah dan Ittihâd Menurut Abu Yazid”, Skripsi, (Jombang: Universitas Darul Ulum, 1998). 16 Muslih, “Studi Perbandingan Antara Tasawuf dan Shalawat Wahidiyah”, Skripsi, (Jombang: Universitas Darul Ulum, 1998). 17 Lutfi Wirawan, “Konsep Ma’rifat Menurut Jama’ah Penyiar Shalawat Wahidiyah”, Skripsi, (Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2007). 18 Ahmad Lutfi Ridlo, “Atsar ash-Shalawat al-Wahidiyah fi Akhlaq Thullab al-Ma’had al-Tahdzib Ngoro Jombang”, Skripsi, (Ponorogo: Institut Darussalam Pondok Modern Gontor, t.t.). 19 Harun Kusaijin, “Perilaku Keberagamaan Pengamal Shalawat Wahidiyah di Pesantren At-Tahdzib Rejoagung, Ngoro, Jombang”, Tesis, (Surabaya: Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2003). 20 Muhamad, “Sholawat Wahidiyah Sebuah Aktivitas Ritualistik dalam Pengembangan Dakwah Islamiyah di PP At-Tahdzib Ngoro Jombang, (Studi Deskriptif Kualitatif)”, Skripsi, (Jombang: Fakultas Dakwah IKAHA Tebuireng, 1998). 21 Jakaria, “Aktivitas Dakwah BPRW (Badan Pembina Remaja Wahidiyah) dalam Pembinaan Remaja di Lingkungan Remaja Wahidiyah”, Skripsi, (Jombang: Fakultas Dakwah IKAHA Tebuireng, 1999). 22 Kholil Prawoto, “Pengaruh Ajaran Sholawat Wahidiyah terhadap Peningkatan Amal Ibadah Masyarakat Desa Rejoagung Kecamatan Ngoro Kabupaten Jombang”, Skripsi, (Jombang: Fakultas Dakwah IKAHA Tebuireng, 2002). 23 Moh. Murtaqi Makarima, “Managemen Dakwah Wahidiyah pada Lembaga DPP PSW (Dewan Pimpinan Pusat Penyiar Sholawat Wahidiyah) di Desa Rejoagung Kecamatan Ngoro Kabupaten Jombang”, Skripsi, (Jombang: Fakultas Dakwah IKAHA Tebuireng, 2003). 24 Mustaman, “Pendidikan Akhlak dalam Aliran Shalawat Wahidiyah (Studi tentang Materi Metode Pendidikan Akhlak”, Skripsi, (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, 2002). 25 Mahbub Amasy, “Peranan Pengamalan Shalawat Wahidiyah dalam Menanggulangi Kemerosotan Akhlak Siswa Madrasah Aliyah Ihsanniat Desa Rejoagung Kecamatan

9 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

M .Fil.I.19 D alam k ajiannya, m erek a lebih m enek ank an aspek atau nilai ak siologisnya. Sem entara itu, k ajian yang lebih m enek ank an bidang dak w ah W ah idiyah dilak uk an oleh Muh am ad,20 Jak aria,21 Kh olil Praw oto,22 dan Moh . Murtaq i Mak arim a.23 Sedangk an yang m em fok usk an k ajiannya pada bidang pendidik an W ah idiyah adalah Mustam an24 dan Mah bub Am asy.25 Selain beberapa k arya tentang W ah idiyah yang bersifat des- k riptif, ada juga k arya-k arya yang bersifat k ritis, seperti tulisan yang bertitel Shalaw at W ah id iyah Ajaran Sesat atau Tid ak ?26 Buk u ini direspons oleh D PW PSW dengan m enerbitkan buk u bertitel Tang- gapan terh adap Buk u Shalaw at W ah idiyah buk an Ajaran Sesat,27 yang ditulis oleh Kiai Z ainuddin Tam sir.28 Buk u setebal 22 h alam an ini ditujuk an secara k h usus k epada Bagian Penelitian dan Pengem bangan Syah am ah (Syabab Ah lusunnah w al Jam a’ah ), dan penulis buk u Aqidah Ah li Sunnah w al Jam aáh .29 Selain k arya-k arya di atas, ada juga buk u-buk u lain yang ber- bicara tentang W ah idiyah . D i antara buk u-buk u tersebut adalah : 7 H ik m ah d i Balik D ana Box k arya H aji Ma’sh um ;30 Shalaw at W ah i- diyah seb uah Paradigm a untuk Mem b ina Anak -Anak yang Shalih d an Shalih ah k arya Muh ibbin Abdurrah m an;31 Ak u … Pengganti Muallif Sholaw at W ah id iyah k arya KH . Muh am m ad D jazuly;32 Shalaw at W ah id iyah d an Pengalam an Ruh ani (untuk k alangan sendiri) yang ditulis oleh Tim Pengalam an ruh ani;33 dan “Pengalam an Seorang

Ngoro Kabupaten Jombang”, Skripsi, (Surabaya: Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah “Taruna”, 2002). 26 (Yogyakarta: Toko Amamat, t.t.) 27 (Yogyakarta: Toko Amamat, 2004). 28 (Jombang: DPP PSW, 2006 M./1427 H.), 29 (Jakarta: SYAHAMAH Press, 2005). 30 (Semarang: DPW PSW Propinsi Jawa Tengah, 2003). 31 (T.tp., t.p. t.t.) 32 (Surabaya: Tarbiyah, t.t.). 33 (Kediri: Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo, 1427 H./

10 Pendahuluan

Pengam al”, dalam Perjuangan Wah idiyah setelah D itinggal Sedo Muallifnya RA Pecah Menjadi 3: Cuplik an D aw uh -D aw uh W asiatnya (untuk k alangan sendiri) yang ditulis oleh KH . Q om ari Muk h tar.34 Kelim a buk u tersebut sebenarnya h anya sam pel dari sek ian banyak buk u tentang W ah idiyah yang diterbitkan oleh tiga aliran W ah idiyah . Buk u pertam a h ingga buk u k etiga m erupak an sam pel dari aliran PSW yang berpusat di lingk ungan Pesantren At-Tah dzib (PA) R ejoagung Ngoro Jom bang. Buk u k eem pat m erupak an sam pel dari aliran PUPW yang berpusat di lingk ungan Pesantren Kedunglo Kediri. Sedangk an buk u k elim a m erupak an sam pel dari aliran Miladiyah yang berpusat di lingk ungan Pesantren M iladiyah Kedunglo Kediri. Selain buk u-buk u tersebut, ada juga buk u seri yang diterbitkan oleh D PP PSW, yak ni Pengajian Kitab al-H ik am d an Kuliah W ah id iyah . Buk u ini diterbitkan dengan bah an transk rip pengajian

2004 M.). 34 (T.tp.: t.p., 1427 H./2006 M.). 35 Menurut KH. Muhammad Ruhan Sanusi, Ketua Umum DPP PSW dan pelaku sejarah Shalawat Wahidiyah, pengajian kitab Al-Hikam pada tiap hari Minggu pagi tersebut dilaksanakan secara terus-menerus, dan rata-rata khatam (selesai) pengajian per periode selama 2 tahun. Setelah khatam, pengajian kitab dimulai kembali dari awal, demikian seterusnya. (Hasil wawancara dengan KH. Ruhan Sanusi di Mangunsari Tulungagung, (22 Februari 2007. 36 Sejauh data-data dokumenter yang berhasil penulis peroleh, buku tersebut diterbitkan dalam 7 jilid. Masing-masing jilid dilengkapi dengan informasi tentang urutan hari pengajian, hari dan tanggal Hijriah dan Masehi, serta halaman kitab Al-Hikam yang diajarkan dalam pengajian tersebut. Pada bagian paling awal (jilid 1) dari buku tersebut kita bisa mengetahui bahwa pengajian pertama yang dibukukan adalah pengajian pada hari Ahad Kliwon, tanggal 26 Jumadil Awwal 1397 H./15 Mei 1977 M. Sedangkan pada bagian terakhir (jilid 7) kita bisa mengetahui bahwa pengajian terakhir yang dibukukan adalah pengajian pada hari Ahad Pahing, tanggal 26 Shafar 1398 H./12 Februari 1978 M. Atas dasar data-data tersebut, diketahui bahwa penerbitan buku Pengajian Kitab al-Hikam dan Kuliah Wahidiyah oleh DPP PSW pernah dilakukan sebanyak empat edisi terbitan, yakni: 1) Edisi perdana: tahun 1994; 2) Edisi kedua: tahun 1997 (Cetak Ulang & Perbaikan); 3) Edisi ketiga: tahun 2001 (Cetak Ulang & Perbaikan); dan 4) Edisi keempat: tahun 2004 (Cetak Ulang & Perbaikan).

11 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Minggu Pagi yang diasuh oleh m uallif Sh alaw at W ah idiyah .35 Buk u ini dapat digunak an untuk m elacak sum ber-sum ber orisinal tentang ajaran W ah idiyah . Pada m ulanya, buk u ini diterbitkan dalam bah asa Arab pegon, nam un dengan pertim bangan agar m udah dipah am i oleh m asyarak at um um m ak a pada edisi selanjutnya buk u ini diterbitkan dalam bah asa latin.36 Buku ini merupakan hasil penelitian lapangan (field research ) yang m enggunak an pendek atan k ualitatif sebagai prosedur penelitian untuk m engh asilkan data desk riptif-h olistik dari fenom ena yang diam ati.37 Alasan dipilih nya m etode k ualitatif ini adalah k arena penelitian ini bertujuan m em eroleh desk ripsi k om preh ensif yang terk ait dengan ungk apan, persepsi, tindak an, norm a dasar, dan k ondisi sosial yang m engitari fenom ena Shalaw at W ah idiyah sebagai produk tasaw uf Indonesia. O ntologi penelitian ini adalah realism e h istoris. Sedangk an epis-tem ologinya, yak ni h ak ik at h ubungan antara peneliti dengan inform an dan lingk ungannya, adalah m odel naturalistik . Model ini m em ilik i k arak teristik k ontek s natural, yaitu suatu k ontek s k ebulatan m enyeluruh , yang tidak ak an dipah am i dengan m em buat isolasi atau elim inasi seh ingga terlepas dari k ontek snya. Suatu fenom ena h anya d apat d itangk ap m ak nanya d alam k e se luru h an d an m erupak an suatu bentuk an h asil peran tim bal-balik, buk an sek adar h ubungan k ausal linier.38

Pada semua edisi terbitan tersebut tertulis di sampul depannya kata-kata “Dikeluarkan oleh: …”, dan tidak ada tulisan kata-kata “untuk kalangan sendiri”. 37 R. Bogdan dan Steven Taylor, Introduction to Qualitativee Research Methods, (John Wiley & Sons, 1984), hlm. 42. 38 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. I, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000), hlm. 148. Penjelasan tentang konteks natural ini merupakan pendapat Egon G. Guba sebagaimana dikutip oleh Muhadjir. 39 Ibid., hlm. 147. Kelima model paradigma tersebut adalah (1) interpretatif milik

12 Pendahuluan

Menurut Noeng Muh adjir, m odel naturalistik m erupak an salah satu m odel paradigm a dalam perk em bangan penelitian k ualitatif, dan m erupak an m odel yang m enem uk an k arak teristik k ualitatif yang sem purna. H al ini disebabk an oleh k arena k erangk a pem ik iran, filsafat yang m endasari, ataupun operasionalisasi m etodologinya tidak bersifat reak tif atau sek adar m erespons dan buk an pula sek adar m enggugat m etodologi k uantitatif, m elaink an m em bangun sendiri k erangk a pem ik iran, filsafat, dan operasionalisasi m etodologinya.39 Perspek tif naturalistik dipilih dalam penelitian ini k arena alasan sifat dan k arak teristik m asalah yang diteliti. Perspek tif naturalistik ini m erupak an perspek tif filosofis dan teoretis utam a penelitian, sebagai pengarah bagi gerak analisis data. Sedangk an m etodologi atau h ak ik at tentang cara m encari k ebenaran dalam penelitian ini bersifat: (1) netral, dalam arti tidak berpih ak terh adap individu/kelom pok sosial tertentu, (2) objek tif, yak ni objek tivitas yang sesuai dengan prosedur ilmiah yang m elandasi penelitian ini; (3) tidak m em isah k an antara teori dan prak tik sebab suatu teori dibangun dengan m ak sud prak sis dalam rangk a m elak uk an k ritik dan m endorong transform asi sosial.40 Sedangk an penjelasannya bersifat h olistik , yak ni berusah a m engh indari sifat determ inistik dan reduk sionis, serta m elih at realitas sebagai proses k esejarah an.41 Adapun m etode (corak ) penelitian ini adalah desk riptif-analitis. Metode desk riptif42 digunak an untuk m enggam bark an h olistisitas Sh alaw at W ah id iyah se b agai fenom e na k ultural d an sosial

Geertz, (2) grounded research, (3) etnografis-etnometodologis, (4) naturalistik, dan (5) interaksi simbolik. 40 Lihat F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 56-58. 41 Mansur Faqih, Sesat Teori Pembangunan dan Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 25. 42 Metode Deskriptif adalah penelitian dengan melukiskan keadaan subjek (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana apa adanya. Melalui sifat itu, metode deskriptif bersifat menemukan fakta-fakta (fact-finding), kemudian memberikan penafsiran

13 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

k etasaw ufan. Sedangk an m etode analitis digunak an untuk m elacak lebih jauh h al-h al yang m elatarbelak angi dan m engitari fenom ena tersebut, k h ususnya dalam statusnya sebagai produk tasaw uf Indonesia dan k aitannya dengan sejum lah fak tor yang m engiringi dinam ik a k esejarah annya. Penelitian ini pada dasarnya adalah penelitian sosial-k eagam aan yang m elibatkan teori-teori secara inter-disipliner k arena realitas tasaw uf dalam sistem realitas sosial bersifat k om plek s. O leh k arena itu, di sini paneliti m enggunak an beberapa rum pun teori: pertam a, rum pun teori tasaw uf yang m eluputi sistem ajaran, m aqam at dan m artab at, tipologi tasaw uf, dan tarek at. Ked ua, rum pun teori sosiologi yang m eliputi teori sistem sosial dalam k aitannya dengan tasaw uf sebagai sistem nilai ajaran dan sarana sosial, teori sosiologi agam a, dan teori k ritik sosial. Ketiga, rum pun teori psik ologi yang m encak up teori-teori psik ologi um um (k h ususnya tentang introspek si, retros-pek si, persepsi, dan k onsep diri), psik ologi sosial (k h usunya untuk m ak na-m ak na psik ologis dalam relasi sosial), dan psik ologi agam a untuk m ak na penjiwaan agam a dalam tradisi sosial k etasaw ufan. Keem pat, rum pun teori antropologi dalam k aitannya d e ngan asal-usul serta latar d an k onstruk si b ud aya Sh alaw at W ah idiyah . Kelim a, rum pun teori filosofis k eilmuan yang m eliputi fenom enologi, naturalistik , h istory of science, dan d evelopm ent of science. Rum pun teori ini berk aitan dengan pengarah utam a perspek tif penelitian dan m anfaat penelitian sebagai sum bangan, atau m inim al bah an m entah , bagi pengk ajian dan pengem bangan ilmu pengetah uan k etasaw ufan dalam k ontek s studi interdisipliner. Penerapan teori-teori tersebut dalam analisis data penelitian lebih m enam pak k an nuansa desk ripsi pem ak naannya daripada disk usi referensi. H al ini penulis m ak sudk an agar h asil penelitian dalam buk u ini lebih m udah diserap oleh m asyarak at secara um um . M esk ipun penulis m enyadari bah w a h al tersebut k urang tajam bagi para ilmuw an.

14 Pendahuluan

Penelitian ini m engam bil fok us pengam al W ah idiyah dalam aliran organisasi PSW (Penyiar Sh alaw at W ah id iyah ). Alasan penentuan fok us ini adalah bah w a PSW m erupak an organisasi yang dibentuk sendiri oleh m uallif-nya. D ari sini peneliti berusah a m e lacak substansi, ajaran, organisasi, d an pola-pola perilak u k etasaw ufan Sh alaw at W ah idiyah dari bentuk -bentuk nya yang paling aw al atau asli. D ari pelacak an ini k em ungk inan d apat dik etah ui secara lebih detil m engenai bentuk -bentuk pengalam an k etasaw ufan dan pengem bangan ijtih adiah yang terjadi dalam dialek tika h istoris Shalaw at W ah idiyah , baik secara internal m aupun ek sternal. D ari situ k em udian fok us penelitian dik em bangk an oleh peneliti k epada fenom ena internal dan ek sternal. Fenom ena internalnya adalah aliran-aliran Sh alaw at W ah idiyah selain PSW, yak ni (1) aliran Perjuangan W ah idiyah yang pada dek ade aw al dik enal dengan istilah aliran Pim pinan Um um Perjuangan W ah idiyah (PUPW ), k em udian m enem puh jalur legalitas h uk um dengan nam a “Yayasan Perjuangan W ah idiyah Pondok Pesantren K e d unglo” (YPW PPK) d an (2) aliran “Jam a’ah Perjuangan W ah idiyah Miladiyah Muallif Shalaw at W ah idiyah ” (JPWMMSW ). Sedangk an fenom ena ek sternalnya adalah respons-respons para tok oh agam a dan organisasi sosial k eagam aan, pem erintah , m asyarak at, serta pih ak -pih ak lain terh adap Sh alaw at W ah idiyah . Fenom ena ek sternal ini tidak terbatas di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri, seiring dengan perk em bangan Shalaw at W ah idiyah k e m anca negara. Sedangk an pengam bilan inform an penelitian ini dilak uk an d engan m enggunak an purposive sam pling (penentuan sam pel/ inform an sesuai dengan k ebutuh an data penelitian), untuk dapat m em ilah dan m em ilih sejum lah inform an yang dipandang m em iliki k apasitas m um puni dalam m engetah ui, m em ah am i, m enyak sik an, atau turut terlibat dalam suatu fenom ena Sh alaw at W ah idiyah seh ingga dapat diperoleh inform asi untuk m em perk aya data se k aligus m encapai valid itasnya. Penulis telah m e w aw ancarai beberapa pengam al dan ak tivis organisasi Sh alaw at W ah idiyah dari

15 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

berbagai aliran dengan pengendalian fok us penelitian dan pengem bangannya sebagaim ana penjelasan di m uk a. D alam pengum pulan d ata, penulis m enggunak an em pat tek nik . Pertam a, tek nik w aw ancara. D engan tek nik ini peneliti m ew aw ancarai beberapa inform an pengam al dan ak tivis organisasi Sh alaw at W ah idiyah dari berbagai aliran yang k om peten untuk m em berik an inform asi tentang Sh alaw at W ah idiyah . W aw ancara ini m enggunak an tek nik ball (bola salju), dari seorang inform an yang satu m enuju inform an yang lain sam pai ditem uk an k ey inform an (inform an k unci). Inform asi yang penulis dapatkan bersifat pengalam an k etasaw ufan, k eterlibatan atau k esak sian h istoris, pengalam an organisasi, dan respons-respons sosial m aupun yuridis. Ked ua, tek nik observasi par-tisipan. D engan tek nik ini peneliti terlibat sebagai observer parti-sipan—dalam k apasitas sebagai outsider — dalam beberapa k egiatan Shalaw at W ah idiyah , seperti m ujah adah , ritual k eagam aan, dan tradisi para pengam alnya. Ketiga, tek nik dok um enter. Tek nik ini penulis gunak an untuk m e m e role h d ata-d ata d ok um e nter terk ait d e ngan Sh alaw at W ah idiyah , baik data-data h istoris, k eorganisasian, referensi, jurnal dan m ajalah , e-m ail dan w ebsite, k aset, CD , stiker, m aupun dok um en bentuk lainnya. Keem pat, tek nik Focus Group D iscussion (FGD ) secara inform al bersam a para pelak u sejarah dan ak tivis organisasi Shalaw at W ah idiyah dan dalam k apasitas yang relatif terbatas. Metode ini dapat dim anfaat-k an sebagai m edia pendalam an inform asi m aupun cross check data dari h asil interviu dan triangulasi yang telah dilak uk an sebelum nya seh ingga sem ak in m em udah k an penulis dalam usah a

terhadapnya. Lihat Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991), hlm. 73-76 dan 81. 43 Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bogdan dan Taylor (1975:79), analisis data yang dimaksud di sini adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam satu pola, kategori, dan satuan uraian dasar yang merinci usaha secara formal untuk merumuskan hipotesis atas pembacaan terhadap data. Lihat Lexy J. Molrnng, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. VI, (Bandung: Rosda Karya, 1995), hlm. 103. 44 W. Lawrence Newman, Social Research Methods, Qualitative and Quantitative

16 Pendahuluan m enginter-pretasi realitas m ak na yang terdapat di balik fenom ena. M elalui tek nik ini, d ata yang k urang lengk ap d apat langsung d ilengk api. Sed angk an d ata yang k iranya k urang valid d apat dilak uk an checking h ingga dicapai validitasnya. Untuk k eperluan analisis data,43 penulis m enggunak an descrip- tive•analytic m ethod .44 Secara garis besar, proses pengolah an dan analisis data m eliputi tiga tah ap, yak ni (1) desk ripsi, (2) form ulasi, dan (3) interpretasi. D esk ripsi diaw ali dengan m enggam bark an realitas Sh alaw at Wah idiyah sebagai produk tasaw uf dalam realitas sosial m asyarak at. Kem udian data dan inform asi yang diperoleh diproses dalam sistem k ategorisasi untuk m em ilah -m ilah data sesuai dengan substansi tem uan, yang pada saat yang sam a juga dilak uk an proses reduk si data m elalui pem buangan data dan inform asi yang tidak layak dan tidak sesuai untuk dim asuk k an k e dalam sistem data penelitian. Proses selanjutnya berupa form ulasi, yak ni dengan cara m engam ati k ecenderungan, m encari h ubungan asosional untuk selanjutnya data tersebut diinterpretasik an secara rasional dan sis- tem atis. Seluruh proses penelitian m ulai dari pengum pulan data, pengolah an data, h ingga analisis diim plem entasik an dalam sik lus interak tif. Bila saat dilak uk an analisis terdapat data yang dipandang m asih k urang m ak a pengum pulan data dapat k em bali dilak uk an. Sik lus ini ak an berak h ir k etik a data dirasa cuk up lengk ap untuk m enjaw ab pertanyaan pok ok dalam penelitian ini. Peneliti juga m em asuk k an unsur telaah k ritis terh adap data•data yang ada serta berusah a m em berik an penilaian secara jujur (objek tif) terh adapnya yang sesek ali diperk aya oleh pendek atan social critic tanpa usah a m ereduk si fak ta lapangan dengan subjek tivitas penulis. Bah an yang telah terk um pul k em udian penulis bah as dengan

Approaches (Needham Heights USA: Allyn & Bacon, 4th edition, 2000), hlm. 292-298. 45 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Tekhnik, (Bandung: Tarsito, 1994). 46 Tentang cara analisis ini, lihat Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial Dasar-Dasar dan Aplikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 5. Lihat

17 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

m enggunak an k erangk a berpik ir induk tif.45 Sedangk an dalam usah a m enganalisis gagasan tersebut dan relevansinya dengan realitas sosial, penulis m enggunak an m etode deduk tif yang m enggunak an k esim pulan k h usus lew at dalil-dalil atau pengetah uan um um yang m enjadi sandaran atau dasar pijak annya.46 D alam k aitannya d e ngan d ata- d ata h istoris pe nu lis m em asuk k an telaah k ritis terh adap fak ta-fak ta sejarah dengan pendek atan sejarah k ritis (critical h istory). Pendek atan tersebut m enerapk an penalaran epistem ologis dan k onseptual. Analisis difok usk an pada dua h al, yaitu: (1) logisitas ek splanasi h istorisitas dan (2) status epistem ologis narasinya.47 Prioritasnya ad alah fenom ena objek studi yang dipah am i dalam k ontek s latarnya. O leh k arena itu, pem bah asannya sengaja tidak direpotkan oleh pem ilihan terh adap taw aran pola-pola linier, sik lus, atau spiral sejarah . Pola- pola itu dipandang sebagai k ooptasi terh adap daya k ritis sejarah dan ek spansi pem ak naannya. D alam upaya m encapai validitas dan k redibilitas data, peneliti m enggunak an em pat tek nik . Pertam a, m em perk aya referensi. Peneliti m em perk aya inform asi tentang Sh alaw at W ah idiyah dari sejum lah referensi berupa buk u-buk u w aw asan, h asil-h asil penelitian, e-m ail dan w eb site, buk u-buk u yang m em berik an respons pro dan k ontra

pula Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Yudhistira, 1990), hlm. 35. 47 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 84-85. Sebagai perbandingan, satu pendekatan lainnya adalah pendekatan sejarah spekulatif yang menekankan pada keseluruhan proses, makna, dan tujuan sejarah menurut pola tertentu, untuk memaknai fenomena objeknya. Pendekatan ini mempunyai referensi pola garis lurus tunggal oleh Marx dan pola siklus Oleh Toynbee. 48 Metode Triangulasi pertama kali dikemukakan oleh Patton dalam Qualitative Evaluation Method, yang kemudian banyak digunakan dalam uji validitas dalam penelitian kualitatif. Metode triangulasi ini didasarkan pada filsafat fenomenologi sebuah aliran filsafat yang mengatakan bahwa kebenaran tidak terletak pada pra konsepsi peneliti (subjek), melainkan pada realitas objek itu sendiri. Oleh

18 Pendahuluan terh adap Sh alaw at W ah idiyah , serta data-data dok um enter dalam dan luar negeri. Ked ua, disk usi dengan tem an sejaw at. Tek nik ini penulis gunak an untuk m em pertim bangk an dan m em pertajam data penelitian dengan beberapa ah li di bidangnya. Mesk ipun tidak sedalam FGD (Focus Group D iscussion), tek nik ini cuk up m em bantu dalam pem erik saan k ebsah an data. Tek nik ini penulis gunak an juga terh adap beberapa inform an lintas aliran Shalaw at W ah idiyah , agar peroleh an data lebih k redibel. Ketiga, m etode triangulasi data48 yang penulis terapk an untuk m em eroleh k eterangan tentang sik ap, perilak u k eseh arian, dan tradisi k etasaw ufan m uallif dan pengam al Shalaw at W ah idiyah . Keterangan para inform an am at mem bantu untuk m em ah am i dan m engam ati setiap fenom ena k etasaw ufan dan k eagam aan secara um um yang berk em bang di k alangan m asyarak at W ah idiyah . D alam h al ini, data prim er yang diperoleh ditopang oleh data sek under yang k iranya m enduk ung.49 Keem pat, m em perpanjang m asa observasi. Tek nik ini digunak an k etik a peneliti m em andang adanya k ebutuh an untuk m em perdalam inform asi guna m ancapai validitas dan k redibilitasnya. Sem ula peneliti m erencanak an penelitiannya selam a enam bulan atau m ak sim al sem bilan bulan. Ak an tetapi peneliti m em perpanjang m asa observasi penelitian sam pai sek itar setah un.

karenanya, untuk memperoleh kebenaran hendaknya digunakan multiperspektif. Lihat Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung:

19 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

20 2 MEMAHAMI DUNIA TASAWUF

A. Pem ak naan Tasaw uf D ari h ari k e h ari, perh atian berbagai lapisan m asyarak at ter- h adap tasaw uf sem ak in berk em bang. Tasaw uf yang sem ula m erupa- k an bentuk pem ak naan terh adap h adits R asulullah tentang al-ih sân,1 dalam perk em bangan selanjutnya m engalam i perluasan penafsiran. H al ini lebih banyak disebabk an oleh fak tor-fak tor yang m em enga- ruh i perspek tif penafsiran dan beberapa indik asi yang paling m enon- jol dalam prak tik -prak tik nya. D alam k enyataannya, tasaw uf sering dipah am i sebagai prak - tik zuh ud , yaitu sik ap h idup ask etis. H al ini m em ang tidak dapat dipungk iri bah w a seorang sufi adalah seorang zâh id , nam un dem ik ian, seorang zâh id tidak secara otom atis adalah seorang sufi. Sebab, zuh ud h anya m erupak an w asîlah atau bentuk upaya pen- jernih an jiw a dari godaan dunia seh ingga m am pu m elak uk an m usyâh adah k epada Allah . D engan dem ik ian, orang yang berpak aian sederh ana, m ak an sederh ana, atau bertem pat tinggal di rum ah

1 Setelah menjawab pertanyaan tentang imân dan Islâm, Rasulullah kembali ditanya oleh Malaikat Jibril a.s. tentang ihsân, kemudian rasul menjawab, “Hendaknya kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya maka yakinlah bahwa Dia melihatmu”. Lihat Imam Muslim, Shahih Muslîm, hadits no. 10, bab (kitab) “al-Imân”.

21 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

sederh ana tidak lah selalu m em buk tik an dirinya seorang sufi k arena m asih ada indik ator-indik ator lain yang lebih k om plek s.2 Selain itu, tasaw uf juga tidak jarang diartik an sebagai ajaran budi pek erti seh ingga seorang sufi dianggap orang yang banyak m elak uk an ibadah , upacara-upacara ritual. Abu Muh am m ad al- Jariri, m isalnya, m enjelask an bah w a tasaw uf adalah h al m em asuk i atau m engh iasi diri dengan ak h lak yang luh ur dan k eluar dari ak h lak yang rendah . Sedangk an Abu H usein an-Nuri m enjelask an bah w a tasaw uf adalah k ebebasan, k em uliaan, m eninggalkan perasaan terbebani dalam setiap perbuatan m elak sanak an perintah syara’, derm aw an, dan m urah h ati. O leh k arena itu, tidak lah m eng- h erank an jik a H asan al-Basri dik enal sebagai seorang sufi k arena ia m em ilik i ak h lak yang terpuji.3 Begitu juga orang yang banyak m elak uk an ibadah dan upacara-upacara ritual k eagam aan, seperti puasa sunnah , sh alat m alam , zik ir, dan berbagai ibadah lainnya sering k ali disebut sebagai seorang sufi. Bah k an, secara im plisit, Ibn Sina m em ak nai tasaw uf sebagai orang yang zuh ud dan ah li ibadah .4 H al lain yang cuk up aneh adalah bah w a tasaw uf justru sering dik aitkan dengan k ek eram atan, h al-h al aneh , atau perilak u tidak lum rah yang dim iliki oleh seseorang. Kek eram atan atau h al-h al yang bersifat supranatural ini, seperti k em am puan terbang tanpa sayap, berjalan di atas air, m em perpendek jarak dengan m elipat bum i, atau m engetah ui h al-h al gaib yang m em ang terk adang terjadi dalam k eh idupan seh ari-h ari juga sering dijadik an indik asi untuk m enilai k esufian seseorang. Artinya, orang yang m am pu m elak uk an h al-h al aneh yang tidak m am pu dilak uk an oleh orang k ebanyak an sering disebut sebagai orang sufi. Padah al indik ator-indik ator itu tidak selalu m erupak an cerm inan seorang sufi. Bah k an sebalik nya, jik a

2 Abd al-Halim Mahmud, Qadhiyah fî at-Tashawuf, (Kairo: Maktabah al-Qahirah, t.t.), hlm. 170. 3 Ibid., hlm. 168–169. 4 Ibid., hlm. 170–172.

22 Memahami Dunia Tasawuf seseorang m erasa puas atau bangga dengan sem ua anugerah tersebut berarti ia adalah orang yang tertipu dan terjebak dalam perm ainan setan dan jelas bah w a dia buk anlah seorang sufi.5 Keram at (k aram ah ) di m ata seorang sufi h anyalah h iburan atau h iasan yang diberik an oleh Allah k epadanya. Ia buk anlah sesuatu yang esensial. H al yang h ak ik i dalam tasaw uf ialah k em am puan m engendalik an nafsu agar m am pu ber-m usyâh ad ah dengan Allah . O leh k arena itu, tidak aneh jik a Ibn Athaillah as-Sak andari m e- ngatak an: “Pengetah uanm u tentang aib-aib yang tersem bunyi dalam jiw am u adalah lebih baik daripada pengetah uanm u tentang h al- h al gaib yang tertutupi dari alam inderam u.”6 M odel-m odel pem ak naan tasaw uf sebagaim ana diuraik an di atas sebenarnya lebih didasark an pada bentuk -bentuk atau indik asi yang m encuat dari tubuh seseorang yang dianggap sebagai sufi. D alam h al ini, barangk ali k ita patut m encerm ati definisi tentang tasaw uf yang dirum usk an oleh Abu Bak ar al-Kattani. M enurutnya, tasaw uf adalah sh afa (k ejernih an h ati) dan m usyâh ad ah (m enyak si- k an Allah ).7 D engan dem ik ian, tasaw uf dalam pandangan al-Kattani m em ilik i dua aspek utam a, yak ni sh afâ (k ejernih an h ati) dan m usyâ- h adah (m enyak sik an Allah ). Shafâ dalam tasaw uf diposisik an sebagai w asîlah (sarana atau jalan yang m engantark an pada suatu tujuan). Jik a arti ini dipah am i dalam perspek tif tasaw uf m ak a m ak nanya adalah sarana, tek nik , cara, dan upaya penyucian jiwa m enuju Allah .8

5 Ibn Ataillah as-Sakandari, Al-Hikam al-‘Ataiyyah, ed. Mahmud Abd al-Wahab Abd al-Mun’im, (Kairo: Maktabah al-Qahirah, 1969), hlm. 41. 6 Ibid. 7 Lihat Abd al-Halim Mahmud, Qadhîyah fi at-Tasawwuf, hlm. 173–175. Lihat juga Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, juz iv, (T.tp: Maktabah Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, t.t.), hlm. 2930. 8 Imam al-Ghazali, dengan redaksi yang berbeda mengartikan wasîlah dengan tharîq, yaitu jalan mujâhadah dalam membersihkan sifat-sifat buruk dari hati, memutus semua kabel yang mengarah pada sifat-sifat jelek, dan menghadapkan semua kekuatan jiwa ke hadirat Allah. Jika tharîq ini berhasil dilalui sehingga hati menjadi jernih dan mendapatkan pancaran cahaya Ilahi maka ia memasuki maqâm musyâhadah. Lihat al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûm ad-Dîn, juz 4, hlm. 293.

23 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Sedangk an m usyâh ad ah adalah gh âyah (tujuan) tasaw uf, yak ni m enyak sik an Allah atau selalu m erasa disak sik an oleh Allah . Itulah m ak na lain dari h adits R asulullah tentang al-ih sân. Ak an tetapi, term m usyâh ad ah juga sering dim ak nai sebagai al-liq â’, yaitu bertem u Allah .9 D i antara fenom ena-fenom ena religius-sufistik , ada satu feno- m ena ritual yang cuk up m enarik dan h ingga k ini m asih banyak ditem uk an di tengah m asyarak at dan sering diartikan sebagai bentuk prak tis pengam alan tasaw uf. Fenom ena itu adalah upacara zik ir, yang biasanya dilak uk an dalam berbagai ritus tarek at dengan tata cara yang berbeda, nam un m em ilik i tujuan yang sam a, seperti ritus zik ir dalam tarek at Naqsyab and iyah , Q ad iriyah , Syad ziliyah , dan beberapa ritus dalam tarek at lainnya. D alam h al ini h arus diak ui bah w a ada banyak jenis zik ir yang dilak uk an dalam prak tik ritual tarek at, nam un am alan zik ir yang paling utam a, d an b ah k an m e njad i “k e w ajiban h arian” bagi pengam al tarek at adalah m engucapk an k alim at Lâ ilâh a illâ Allâh . Z ik ir ini m enjadi k onsum si k h usus dan m em ilik i nilai tersendiri. Setiap pengam al tarek at berbeda-beda (dari sisi jum lah ) dalam m engam alkan zik ir ini. Sem ak in tinggi tingk at spiritual seseorang m ak a sem ak in banyak pula zik irnya. H al ini terk ait erat dengan tingk atan m ak na-m ak na spiritual atau m aqâm -m aqâm tasaw uf.10 D i sisi lain, Seyyed H ossein Nasr, salah seorang cendek iaw an m uslim asal Iran, m engatak an: “Tasaw uf serupa dengan nafas yang m em berik an h idup. Ia telah m em berik an sem angatnya pada seluruh struk tur Islam , baik dalam perw ujudan sosial m aupun intelek tual.”11 Sedangk an Ibrah im Madk ur m enduduk k an tasaw uf dalam per-

9 Abdul Halim Mahmud, Qadhiyah fi at-Tasawuf, hlm. 173–177. Lihat pula Al- Qusyairi, Ar-Risâlah al-Qusyairîyah fî ‘Ilm at-Tashawwuf, (Beirut: Dair al-Khair, t.t.), hlm. 75. 10 Amin Alauddin an-Naqsyabandi, Mâ Huwa at-Tashawwuf wa mâ Hiya at- Tharîqah an-Naqsyabandîyah (T.tp: t.p, t.t.), hlm. 196–202. 11 Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), hlm. 11.

24 Memahami Dunia Tasawuf im bangan h ubungan antara k ecenderungan duniaw i dan uk h raw i. M enurutnya, Islam tidak m elapangk an dada bagi k ependetaan M aseh i dan k esederh anaan H indu. Islam selalu m engajak berk arya dem i m eraih dunia dan m enik m ati segala k enik m atan h idup yang m em ang diperboleh k an.12 D i tem pat lain, Abul W afa at-Taftazani berpendapat bah w a tasaw uf m erupak an usah a m em persenjatai diri dengan nilai-nilai ruh aniah dan sek aligus m enegak k annya pada saat m engh adapi k eh idupan m aterialis. Selain itu, tasaw uf juga dim ak sudk an untuk m erealisasik an k eseim bangan jiw a seh ingga m am pu m engh adapi berbagai k esulitan ataupun m asalah h idup lainnya.13 At-Taftazani m enjelask an bah w a dalam tasaw uf terdapat prin- sip-prinsip positif yang m am pu m enum buh k an perk em bangan m asa depan m asyarak at, antara lain: h endak lah m anusia selalu m aw as diri dem i m elurusk an k esalah an-k esalah an serta m enyem purnak an k eutam aan-k eutam aannya. Bah k an tasaw uf m endorong w aw asan h idup m enjadi m oderat. Tasaw uf juga m em buat m anusia tidak lagi terjerat h aw a nafsunya, ia tidak lupa pada diri dan Tuh annya. D alam tasaw uf diajark an bah w a k eh idupan ini h anyalah sarana, buk an tujuan. O leh k arena itu, di dalam k eh idupan di dunia ini, seseorang h endak nya sek adar m engam bil apa yang diperluk annya saja dan jangan sam pai terperangk ap dalam perbudak an cinta h arta ataupun pangk at; dan tidak juga m enyom bongk an diri pada orang lain. D engan m elak uk an sem ua itu, m anusia dapat sepenuh nya bebas dari nafsu dan syah w atnya.14 Sem entara itu, Ibrah im Basyuni, sebagaim ana dik utip oleh Asm aran,15 m enyatak an telah m em ilih em pat puluh definisi tentang

12 Ibrahim Madkur, Fî al-Falsafah al-Islâmîyah Manhaj wa Tatbiquh, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1976), hlm. 66. 13 Abu al-Wafa at-Taftazani, Madkhal ilâ at-Tashawwuf al-Islâmî, (Kairo: Dar ats- Tsaqafah li at-Tiba’ah wa an-Nasyr, 1979), hlm. j. 14 Ibid. 15 Asmaran As., Pengantar Studi Tasawuf …, hlm. 51–53.

25 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

tasaw uf yang diam bil dari rum usan-rum usan ah li sufi yang h idup pada abad III (200–334 H .). M esk ipun definisi tersebut dem ik ian banyak , belum didapati sebuah definisi yang m encak up pengertian tasaw uf secara m enyeluruh . H al ini, k ata Basyuni, disebabk an oleh k arena para ah li tasaw uf tidak ada yang m em berik an definisi tentang ilmunya sebagaim ana para filsuf. Ah li tasaw uf h anya m enggam bar- k an tentang suatu k eadaan yang dialam i dalam k eh idupan ruh ani- nya pada w ak tu tertentu. Menurutnya, untuk bisa m endapatkan suatu definisi yang universal h aruslah bertolak dari definisi yang banyak itu seh ingga terdapat pengertian yang saling m elengk api. M enurut Basyuni, definisi-definisi yang ada dapat dik elom pok k an m enjadi tiga tah ap. Pertam a, tah ap al-b id âyah , yaitu definisi yang m em bicarak an tentang pengalam an pada tah ap aw al. M anusia m erasak an dengan fitrah nya bah w a yang w ujud tidak terbatas h anya pada yang di- lih at, tetapi di balik itu m asih ada w ujud yang lebih sem purna dan itu ak an selalu dirinduk an oleh nurani m anusia, dan h atinya ak an m endapat k etenangan sesudah m engenal-Nya. Ia berusah a untuk m endek atkan diri dan ingat k epada-Nya. D alam w ak tu yang bersam aan, ia m erasak an adanya tabir yang m em isah k an antara dirinya dengan w ujud yang sem purna itu. Tabir pem isah itu sedik it dem i sedik it ak an h ilang setiap ia tek un berpik ir m endalam i dirinya dan m engurangi k einginan m em enuh i nafsu jasm aniah nya. Pada saat itu, penuh lah h atinya dengan limpah an cah aya (nûr) yang m em - bangk itkan perasaan dan k esungguh an serta m em baw anya pada k etenangan jiw a yang sem purna. Perasaan fitrah ini telah ada sebelum lah irnya agam a-agam a k arena ia berasal dari fitrah yang seh at yang terdapat dalam dirinya. O leh k arena itu, h am pir tidak terdapat perbedaan antara pengalam an d an k eadaan yang dialam i oleh seorang penganut H indu, Budh a, Islam , ataupun yang lainnya. D i antara definisi tasaw uf yang m engungk apk an pengalam an pada tah ap pertam a ini adalah seperti yang dik em uk ak an oleh Ma’ruf al-Kark h i, Abu Turab an-Nak h sabi, dan Z unnun al-Mish ri. Ma’ruf al-Kark h i (w. 200 H .) m endefinisik an tasaw uf sebagai m engam bil

26 Memahami Dunia Tasawuf h ak ik at dan putus asa terh adap apa yang ada di tangan m ak h luk . D engan dem ik ian, siapa yang tidak benar-benar fak ir m ak a dia tidak benar-benar bertasaw uf. Sem entara itu, Abu Turab an-Nak h sabi (w . 245 H .) m engatak an bah w a sufi ialah orang yang tidak ada sesuatu pun yang m engotori dirinya dan dia dapat m em bersih k an segala sesuatu. D i sisi lain, Z unnun al-Misri (w . 254 H .) m engatak an bah aw a sufi ialah orang yang tidak suk a m em inta dan tidak m erasa susah k arena k etiadaan. Kedua, tah ap al-m ujâh ad ah , yaitu definisi yang m em bicarak an tentang pengalam an ruh ani yang m enyangk ut k esungguh an dan k egiatan. H al ini dilih at dari segi am aliah yang dilak sanak an ah li sufi, yang dim ulai dengan m engh iasi diri dengan suatu perbuatan yang diajark an agam a dan ak h lak yang m ulia. D efinisi-definisi tasaw uf yang term asuk dalam k elom pok ini, antara lain, adalah yang dik em uk ak an oleh Abu al-H usain an-Nuri dan Sah l bin Abdullah at-Tustari. Abul H usain an-Nuri (w . 29 5 H .) m engatak an bah w a tasaw uf buk anlah w aw asan atau ilmu, m elaink an ia adalah ak h lak . Sebab, seandainya tasaw uf adalah w aw asan m ak a ia dapat dicapai h anya dengan k esungguh an, dan seandainya tasaw uf adalah ilmu m ak a ia ak an dapat dicapai dengan belajar. Ak an tetapi, k enyataannya, tasaw uf h anya dapat dicapai dengan berak h lak dengan ak h lak Al- lah dan engk au tidak m am pu m enerim a ak h lak k etuh anan h anya dengan w aw asan dan ilmu. Sedangk an Sah l bin Abdullah at-Tustari m engatak an bah w a tasaw uf ialah sedik it m ak an, tenang dengan Allah , dan m enjauh i m anusia. Ketiga, tah ap al-m azaqah , yaitu definisi yang m em bicarak an pengalam an dari segi perasaan. D alam m elak sanak an k eh idupan beragam a sebagaim ana biasa, h ubungan antara seseorang dengan Tuh annya tidak lebih dari h ubungan seorang h am ba yang m enyem bah dengan Tuh an yang disem bah , seorang h am ba h arus tund uk d an taat k e pad a pe rintah d an larangan Tuh an yang diyak ininya sebagai Pencipta. D alam k eh idupan tasaw uf, segala

27 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

k em auan dilebur untuk larut dalam k eh endak Tuh an. Um ur, k egiatan, dan seluruh perh atian dik erah k an seh ingga h ubungan itu lebih k uat dan m urni. D efinisi-definisi yang term asuk dalam k ategori ini disum bangk an, antara lain, oleh Al-Junaid al-Bagh dadi dan Abu Muh am m ad R uw aim . Terk ait dengan m asalah ini, al-Bagh dadi (w . 29 7 H .) m engatak an, tasaw uf ialah bah w a engk au bersam a Allah tanpa ada pengh ubung. Sedangk an Abu Muh am m ad Ruw aim m engatak an bah w a tasaw uf ialah m em biark an diri dengan Allah m enurut k eh endak -Nya. D engan definisi-definisi seperti dik utip di atas, m enurut Basyuni, dapatlah diam bil suatu pengertian bah w a tasaw uf ialah k esadaran m urni yang m engarah k an jiw a secara benar k epada am al dan k egiatan yang sungguh -sungguh , m enjauh k an diri dari k eh idupan duniaw i dalam rangk a m endek atkan diri k epada Allah untuk m endapatkan perasaan berh ubungan erat dengan-Nya.16 Jik a dilih at dari sisi asas, tasaw uf m erupak an bagian sistem ik Islam , dan ia m elew ati berbagai fase dan k ondisi. Pada tiap fase dan k ondisi itu terk andung berbagai pengertian dari sejum lah aspek yang sesuai. Mesk ipun dem ik ian, ada satu asas tasaw uf yang tidak diperdebatkan, yak ni bah w a tasaw uf ialah m oralitas berdasark an Islam . Mungk in inilah yang dim ak sudk an oleh Ibn Q ayyim bah w a “tasaw uf adalah m oral”. Senada dengan Ibn al-Q ayyim , al-Kattani juga m engem uk ak an bah w a “tasaw uf adalah m oral. Siapa di antara k am u yang sem ak in berm oral, tentulah jiw anya pun sem ak in bening.”17 Atas dasar uraian di atas, jelaslah bah w a pada dasarnya tasaw uf berarti m oral. D engan pem ak naan seperti ini, tasaw uf juga berarti

16 Ibrahim Basyuni, Nasy’ah at-Tashawwuf al-Islâmî, (Kairo: Dar al-Fikr, 1969), hlm. 17–24. Lihat juga Team Penyusun, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Medan: Proyek Ditbinperta IAIN Sumatera Utara, 1981/1982), hlm. 15; Asmaran As., Pengantar Studi Tasawuf ..., hlm. 51–53. 17 At-Taftazani, Madkhal ilâ at-Tashawwuf al-Islâmî, hlm. 11.

28 Memahami Dunia Tasawuf sem angat atau nilai Islam sebab sem ua ajaran Islam dik onstruk si di atas landasan m oral. Al-Q ur’an sendiri jika dik aji secara m endalam m ak a di dalam nya terdapat berbagai bentuk h uk um syar’i yang secara global dapat dibagi m enjadi tiga bagian utam a, yaitu (1) bagian yang berk aitan dengan ak idah , (2) bagian yang berk aitan dengan m asalah cabang (furû’), baik ibadah m aupun m uam alah , dan (3) bagian yang berk aitan dengan m oral (ak h lak ).18 Sebenarnya, m oral adalah landasan syari’at Islam seh ingga k e- tiadaan m oral dalam h uk um -h uk um syari’at, baik yang berk aitan dengan h uk um -h uk um dalam bidang ak idah m aupun fiqh , ak an m em buat h uk um tersebut m enjadi sem acam bentuk tanpa jiw a, atau w adah tanpa isi. R asa k eagam aan buk an perasaan yang h anya bersandar pada form alitas agam a yang tanpa substansi, atau sek adar penunaian seruan agam a yang dim anfaatkan untuk m enyatak an k e- pentingan diri sendiri. Sebaliknya, rasa k eagam aan m erupak an pem a- h am an dan pengam alan terh adap agam a seh ingga terjadi k eselarasan antara h idup m engabdi k epada Allah dan h idup berm asyarak at. D engan dem ik ian, agam a serta para pem eluk nya tidak ak an terisolasi dari realitas k eh idupan. D i antara h al-h al penting yang perlu di- pah am i dalam k ontek s ini ialah bah w a pada esensinya, agam a adalah m oral, yak ni m oral antara seorang h am ba dan Tuh annya, antara dia dan dirinya sendiri, antara dia dan k eluarganya, dan antara dia dan anggota m asyarak atnya. D engan k esadaran ak an pentingnya lan- dasan m oral dari agam a inilah para sufi m enaruh perh atian besar terh adapnya dan m em buat m erek a berpendapat bah w a setiap ilmu yang tidak dibarengi dengan rasa tak w a k epada Allah dan penge- tah uan tentang D ia, tidak ak an berarti dan berm anfaat. D i sini h arus diak ui bah w a tidak lah suk ar m enim ba banyak ilmu lew at buk u, tetapi untuk m em ilik i m oral yang baik m em erluk an perjuangan yang sulit. H al ini disebabk an oleh k arena m oral yang baik ad alah h asil d ari prak tik -prak tik b e rat d an perjuangan setiap m anusia terh adap h aw a nafsunya sendiri. Jik a dia lulus, h al itu ak an m em buatnya selalu k onsisten pada k ebenaran. O leh k arena itu, dalam pem bah asan tentang m oral yang m erupak an

29 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

substansi agam a, para sufi k em udian m engem bangk an ilmu yang m andiri, yak ni ilmu tasaw uf, yang m erupak an penduk ung ilmu k alam dan ilmu fiq h . Terk ait dengan m asalah pengertian tasaw uf dan juga asal-usulnya, ada baik nya k ita m em perh atik an pernyataan Ibn Kh aldun. D alam k aitan ini dia m engatak an:

Ilmu tasawuf termasuk salah satu ilmu agama yang baru dalam Islam. Cikal bakalnya bermula dari generasi pertama umat Islam, baik dari kalangan sahabat, tabi’in, maupun generasi setelahnya. Ia adalah jalan kebenaran dan petunjuk. Sedangkan asal-usulnya adalah pemusatan diri dalam ibadah, pengharapan diri sepenuhnya kepada Allah, penghindaran diri dari hiasan dan pesona dunia, penjauhan diri dari kelezatan, harta, dan pangkat yang dikejar-kejar oleh orang banyak, dan pemisahan diri dari orang lain untuk ber-khalwat dan beribadah. Hal seperti ini adalah biasa di kalangan para sahabat dan generasi sesudahnya. Kemudian pada abad II H., ketika penghidupan semakin semarak dengan hal-hal keduniawian, orang-orang yang lebih mengonsentrasikan diri dalam ibadah digelari sufi.19

Selanjutnya, sebagai pengayaan bagi pem ak naan tasaw uf secara k om preh ensif, ada sisi yang m enarik dan penting diperh atik an dalam pendapat Ibn Taim iyah tentang ih sân.20 Menurutnya, ih sân m erupak an indik ator derajat tertinggi k eterlibatan seorang m uslim dalam sistem Islam .21 Urutan tingk atan ini adalah Islâm , Im ân, dan Ih sân. Ibn Taim iyah m engatak an bah w a Al-Qur’an m eluk isk an bagai- m ana orang-orang Arab Baduw i m engak u telah berim an, nam un nabi diperintah k an untuk m engatak an k epada m erek a bah w a m erek a belum berim an, m elaink an baru ber-Islam sebab im an belum m asuk k e dalam h ati m erek a.22 D engan dem ik ian, im an lebih m endalam

18 Asmaran AS., Pengantar Studi Tasawuf ..., hlm. 54–56. 19 Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 370. 20 Sebagaimana dijelaskan di bagian paling awal tentang pemaknaan tasawuf, ihsân dalam hadits nabi merupakan permulaan bentuk pemaknaan tasawuf. 21 Ibn Taimiyah, Al-Îmân, (Kairo: ath-Thiba’at al-Muhammadiyah, t.t.), hlm. 11. 22 Q.S. al-Hujurat [49]: 14.

30 Memahami Dunia Tasawuf daripada Islam . Sebab dalam k ontek s firm an Allah tersebut k aum Arab Baduw i baru tunduk k epada nabi secara lah iriah , dan itulah m ak na k ebah asaan perk ataan “Islam ”, yaitu “tunduk ” dan “m enyerah ”. Lebih lanjut Ibn Taim iyah m enjelask an bah w a agam a terdiri dari tiga unsur, yak ni Islam , Im an, dan Ih san. D alam tiga unsur ini terdapat derajat k eagam aan seorang m uslim , yak ni Islam , k em udian berk em bang k e arah Im an, dan m em uncak dalam Ih san. D em ik ian ini m erupak an penjelasan tentang h adits yang m eng- gam bark an pengertian m asing-m asing tentang Islam , Im an, dan Ih san.23 Ibn Taim iyah m engh ubungk an pengertian tentang k etiga unsur tersebut dengan firm an Allah : “Kem udian Kam i (Allah ) w arisk an Kitab Suci k epada k alangan para h am ba yang Kam i pilih m ak a dari m erek a yang (m asih ) berbuat zalim ada yang tingk at pertengah an (m uqtash id ), dan dari m erek a ada juga yang bergegas dengan ber- bagai k ebajik an dengan izin Allah ”.24 Menurut Ibn Taim iyah , or- ang yang m enerim a w arisan Kitab Suci, yak ni m em percayai dengan berpegang pada ajaran-ajarannya, nam un m asih berbuat zalim m ak a dia tergolong orang yang baru ber-Islam , m enjadi seorang m uslim , suatu tingk atan perm ulaan pelibatan diri dalam k ebenaran. Ia dapat berk em bang m enjadi seorang m u’m in, yak ni tingk at m enengah (m uq- tash id). Merek a adalah orang yang terbebas dari perbuatan zalim nam un k abajikannya m asih sedang-sedang saja. Kem udian, dalam tingk atan yang lebih tinggi, k eterlibatan seseorang dalam k ebenaran m em buat- nya tidak saja terbebas dari perbuatan zalim dan m au berbuat baik , tetapi lebih jauh ia “bergegas” dan m enjadi “pem uk a” (sâbiq) dalam berbagai k ebajik an. Merek a itulah yang disebut sebagai m uh sin. O rang yang telah m encapai tingk at m uqtash id dengan im an-nya dan tingk at sâbiq dengan ih sân-nya, m enurut Ibn Taim iyah , ak an m asuk surga tanpa terlebih dah ulu m engalam i azab. Sedangk an orang yang k eterlibatannya dalam k ebaik an dan k ebenaran baru m encapai tingk at pertam a (tingk at m uslim ), ia ak an m asuk surga setelah

23 Lihat foot note nomor 1 pada bab ini. 24 Q.S. alFathir [35]: 32.

31 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

terlebih dah ulu m erasak an azab ak ibat dosa-dosanya itu. Jik a ia tidak bertobat m ak a ia tidak diam puni oleh Allah . D alam k ontek s m ak na k om preh ensif tasaw uf, aspek m oral berupa ih sân dalam sistem ajaran Islam — dalam h al ini Islam tidak dim ak sudk an sebagai tingk atan sebagaim ana penjelasan di atas— tam pil dengan segenap k etergegasan dalam berbagai k ebaik an dan senantiasa berusah a m eningk atkan k ualitas ak h lak sebagai dim ensi m oral Islam . Ih sân m enjadi landasan m oral yang m em bentuk peri- lak u sufi, dan di sinilah tercerm in sem angat atau nilai Islam k arena sem ua ajaran Islam dik onstruk si di atas landasan m oral.

B. Kontek s H istoris D inam ik a Tasaw uf Tasaw uf m em ilik i k h azanah k esejarah an tersendiri. Secara h is- toris, tasaw uf yang sem ula m erupak an bentuk pem ak naan terh adap h adits nabi tentang ih san,25 telah m enjadik an para sufi lebih suk a bertapa atau berdiam diri dengan m ak sud agar terh indar dari berbuat dosa dan sik sa nerak a. Al-Qur’an m enjelask an bah w a bentuk penyelam atan yang m erek a cari juga sem ata-m ata tergantung pada k eh endak Allah , sebagai Z at yang ak an m em beri bim bingan k epada m erek a yang beram al saleh , dan ak an m em biark an m erek a yang berlak u m ungk ar, tanpa k esediaan bertobat, senantiasa dalam k esesatan. Segala tindak an m anusia ak an dicatat dengan teliti oleh - Nya dan tiada sesuatu pun yang dapat m engubah nya. Yang pasti, apabila m anusia m engingink an k eselam atan m ak a h anya sh alat, puasa, dan am al saleh sajalah yang ak an m am pu m enyelam atkannya. Menurut al-Kalabadzi, pada m asa aw al Islam , para sufi digam bar- k an sebagai orang-orang yang tinggal di seram bi m asjid dan dengan berpak aian bulu dom ba. M erek a adalah orang-orang yang telah m e- ninggalkan gem erlapnya dunia dan m em ilih pergi m eninggalkan rum ah dan sah abat-sah abatnya. Merek a berk elana k e seluruh negeri.

25 Lihat foot note nomor 1 pada bab ini.

32 Memahami Dunia Tasawuf

Merek a m engam bil benda-benda dunia sek adar untuk m enutupi k etelanjangan m erek a dan untuk m engh ilangk an k elaparan. O leh k arena itu, m erek a sering disebut sebagai “orang-orang asing” atau juga sering disebut “pengem bara” k arena seringnya m erek a m e- lak uk an pengem baraan. Merek a juga sering berk elana dan k eluar m asuk gua pada w ak tu terdesak . O rang-orang tertentu di negeri itu m enam ai m erek a dengan syik aftis (orang-orang yang h idup di gua-gua). O rang-orang Syria m enam ai m erek a dengan “orang-or- ang yang lapar” sebab m erek a h anya m au m ak an sek adar untuk m em pertah ank an h idup.26 H al di atas m erupak an k enyataan h idup orang-orang yang tinggal di seram bi m asjid di m asa Nabi Muh am m ad. Merek a sem ua adalah orang-orang asing, m elarat, dan terbuang dari tem pat tinggal dan h arta m ilik m erek a. Abu H urairah dan Fudh alah bin Ubaid m eluk isk an: “Merek a h am pir m ati k elaparan seh ingga orang-orang Baduw i m enganggap m erek a gila. Pak aian m erek a terbuat dari bulu dom ba seh ingga apabila m erek a berk eringat m ak a bau badannya seperti bulu dom ba k eh ujanan”. Abu Musa al-Asy’ari juga pernah m engatak an: “Nabi pernah m engenak an bulu dom ba, m engendarai k eledai, dan m enerim a undangan orang-orang jelata (untuk m ak an bersam a m erek a).”27 R eynold A. Nich olson m engatak an, dengan m elihat asal-usul dan juga sum bernya dari bah asa Arab, k ata sufi m engandung arti “k em urnian”, atau m em baw a k epada pengertian bah w a orang sufi adalah orang yang “m urni h atinya” atau insan “yang terpilih ”. Ak an

26 Ibn Abi Ishaq al-Kalabadzi, At-Ta’arruf li Mazhab Ahl at-Tashawwuf, (Kairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyah, 1969), hlm. 25–26. 27 Ibid., hlm. 26–27. 28 R. A. Nicholson, The Mystics of Islam, (London: Routledge and Kegan Paul, 1975), hlm. 3–4. 29 Team Penyusun, Pengantar llmu Tasawuf, hlm. 10. Upaya penerjemahan buku- buku Yunani ke dalam Islam berlangsung selama tiga fase: pertama, era al- Mansur–Harun ar-Rashid. Pada fase ini, mayoritas buku-buku yang diterjemahkan adalah bidang astronomi dan mantiq. Kedua, era al-Ma’mun – 899 M. Pada fase ini, mayoritas buku yang diterjemahkan adalah bidang filsafat

33 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

tetapi, beberapa sarjana Eropa berpendapat bah w a k ata tersebut berasal dari k ata soph os (bah asa Yunani), dalam pengertian sebagai- m ana terdapat pada k ata theosoph i yang artinya k ebijak sanaan.28 D alam h al ini, Jirji Z aidan berk eyak inan bah w a ada h ubungan antara istilah Arab tasaw uf dengan istilah Yunani theosoph i. D ia beralasan bah w a ilmu m erek a (orang Islam ) belum m uncul dan m erek a belum m engenal sifat ini, k ecuali setelah m asa penerjem ah an k itab-k itab Yunani k e dalam bah asa Arab.29 D engan dem ik ian, apa yang diajark an oleh tasaw uf tidak lain adalah bagaim ana m enyem bah Tuh an dalam suatu k esadaran penuh bah w a k ita berada di dek at-Nya seh ingga k ita “m elih at”-Nya atau bah w a Ia senantiasa m engaw asi k ita dan k ita senantiasa berdiri di h ad apan- Nya.30 Dalam h ubungan ini, H arun Nasution m engatak an, tasaw uf atau sufism e sebagaim ana h alnya dengan m istisism e di luar Islam , m em punyai tujuan m em eroleh h ubungan langsung dengan Tuh an seh ingga disadari benar bah w a seseorang berada di h adapan Tuh an. Intisari dari m istisism e atau sufism e ialah k esadaran ak an adanya k om unik asi dan dialog antara ruh m anusia dan Tuh an dengan m engasingk an diri dan berk ontem plasi.31 D alam k aitan ini, Seyyed H ossein Nasr m enuturk an bah w a Islam m em ilik i sem ua h al yang diperluk an bagi realisasi k eruh anian dalam artian yang luh ur. Tasaw uf adalah k endaraan pilih an untuk tujuan ini. O leh k arena tasaw uf m erupak an dim ensi esoterik dari Islam m ak a ia tidak dapat dipisah k an dari Islam : h anya Islam yang dapat m em bim bing m erek a m encapai istana batin, k esenangan dan

dan kedokteran. Ketiga, era setelah tahun 899 M. Pada fase ini, bidang-bidang keilmuan yang diterjemahkan semakin luas. Tentang hal ini, lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 55–56. 30 Nurcholish Madjid, “Pesantren dan Tasawuf’: “Pesantren dan Pembangunan”, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 100. 31 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 56. 32 Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, hlm. 205.

34 Memahami Dunia Tasawuf k edam aian yang bernam a tasaw uf, dan h anya Islam yang m erupak an tem pat m engintai “tam an firdaus”. Sek ali lagi, inilah ciri jalan k on- tem platif Islam . Tasaw uf dapat diprak tik k an di m ana-m ana dan di setiap langk ah k eh idupan. Tasaw uf tidak didasark an atas penarik an diri secara lah iriah dari dunia, tetapi didasark an atas pem bebasan batin, sebagaim ana seorang sufi m engatak an: “Adalah buk an ak u yang m eninggalkan dunia, m elaink an dunialah yang m eninggalkan ak u”. Pem bebasan batin dalam k enyataan dapat berpadu dengan ak tivitas lah ir yang intens.32 D engan dem ik ian, k ontek s h istoris dinam ik a tasaw uf—dengan ciri k h as jalan k om tem platifnya—dapat tam pil dalam segala aspek k eh idupan yang tidak terpisah dari Islam . Tasaw uf tidak dim ak nai secara sem pit sebagai pengasingan diri an sich dari k eh idupan dunia. Ak an tetapi, tasaw uf dim ak nai sebagai landasan m oral dan jiw a Islam . D engan m ak na ini, tasaw uf tidak h anya m enjadi otoritas para ‘alim yang sering k ali lek at dengan jubah dan tasbih nya, tetapi sangat terbuk a k em ungk inan dapat diterapk an oleh siapa saja, tanpa h arus m eninggalkan atribut-atribut atau peran-perannya dalam k eh idupan ini, m isalnya: pendidik , pengusah a, pejabat, m anajer, ataupun yang lainnya. D alam era sek arang ini, apa yang diperluk an oleh dunia Islam adalah form at tasaw uf yang k onsisten dengan nilai-nilai Islam dan k om patibel terh adap k ecenderungan perubah an gaya h idup m asya- rak at. M odernism e m em ang m erupak an realitas yang berk em bang dalam sejarah um at m anusia. Ak an tetapi, ia tidak h arus dibenci oleh tasaw uf. Justru tasaw uf dih arapk an m enjadi terapi dan k urasi baginya. Tasaw uf tidak h anya dih arapk an m am pu m enaw ark an resep- resep am puh , tetapi juga prak tis bagi m asyarak at di era sek arang ini. Jika h al ini dapat dilak uk an m ak a ak an tam pillah tasaw uf dengan form ulasi barunya yang disebut “tasaw uf m odern”.

C.Tasaw uf dan Tarek at di D unia Islam 1. Tipologi Tasaw uf

35 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

D alam k onsepsi penulis, tipologi tasaw uf m uncul sebagai ak ibat dari adanya variasi pendek atan dalam pengalam an k etasaw ufan di k alangan k aum sufi. Variasi pendek atan itu m em bentuk k arak ter- k arak ter tertentu yang k em udian m engelom pok sesuai dengan rum - pun pem ah am an dan k onsepsinya. Tasaw uf itu sendiri m esti terk ait dengan dua h al pok ok , yak ni: (1) k esucian jiw a untuk m engh adap Tuh an sebagai Z at Yang Mah a Suci, dan (2) upaya pendek atan diri secara individual k epada Tuh an. D engan dem ik ian, pada intinya, tasaw uf adalah usah a untuk m enyucik an jiwa sesuci m ungk in dalam usah a m endek atkan diri k epada Tuh an seh ingga k eh adiran Tuh an senantiasa dirasak an secara sadar dalam k eh idupan. K edua pok ok tasaw uf itu m engacu pada pesan dalam Al- Q ur’an: “Sesungguh nya beruntunglah orang yang m em bersih k an diri (dengan berim an) dan dia ingat nam a Tuh annya, k em udian dia m engerjak an sh alat,”33 dan “Sek ali-k ali janganlah k am u patuh k epadanya (setan); sujud dan dek atkanlah (dirim u k epada Tuh an).”34 Atas dasar k andungan dua ayat tersebut, k aum sufi m encoba untuk lebih berintrospek si diri daripada m em erh atik an orang lain. Sem boyan m erek a: “H iasilah dirim u dengan sifat-sifat tercela!” m e- ngandung m ak na bah w a h endak lah m anusia senantiasa m enyadari noda-noda (dosa-dosa) dirinya, supaya ia tidak berh enti m enyuci- k annya.35 Seyyed H ossein Nasr m engatak an bah w a tasaw uf pada h ak ik at- nya adalah dim ensi yang dalam dan esoteris dari Islam (the inner and esoteric dim ension of Islam ) yang bersum ber dari Al-Qur’an dan h adits serta perilak u Nabi Muh am m ad dan para sah abatnya. Adapun syari’at

33 QS. al-A’la [87]: 14–15. 34 QS. al-’Alaq [96]: 19. 35 Lihat Asep Usman Ismail, “Tasawuf”, dalam Taufik Abdullah (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jld. III, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), hlm. 305–306. 36 Seyyed Hussein Nasr, Ideal and Realities of Islam, (London: George Allen & Unwin Ltd., 1966).

36 Memahami Dunia Tasawuf adalah dim ensi luar (ek soteris) ajaran Islam . Pengam alan k edua di- m ensi itu secara seim bang m erupak an k eh arusan bagi setiap m uslim, agar di dalam m endek atkan diri k epada Allah m enjadi sem purna lah ir dan batin.36 D alam h al ini, Usm an Ism ail juga m enjelask an bah w a dengan bertolak dari pandangan k esufian yang m enek ank an k esucian jiw a, Im am al-Gh azali (w . 505 H ./1111 M .), m enem patkan k esucian k albu sebagai aw al perjalanan spiritual k aum sufi. M enurutnya, yang m enjadi h ak ik at m anusia ialah qalb (k albu, h ati)-nya. Kalbu yang m erupak an zat h alus dan bersifat ilah iah itu dapat m enangk ap h al-h al gaib yang bersifat k eruh anian. D engan k albu inilah nabi m enerim a w ah yu Ilah i.37 Bagi k aum sufi, k albu inilah yang m enjadi titik pusat pand angan Tuh an pad a d iri m anusia. R asulullah bersabda: “Sesungguh nya Allah tidak m em andang bentuk dan tubuh m u, tetapi Ia m em andang h ati dan perbuatanm u.”38 Jik a ak al dapat m em ah am i adanya Tuh an secara rasional m ak a k albu dapat m erasak an k eh adiran Tuh an, dan bah k an m erasak an k eintim an bersam a-Nya. Ajaran pok ok tasaw uf ini, oleh k aum sufi dipah am i m elalui pendek atan yang bervariasi. Variasi pendek atan ini pada gilirannya m em bentuk k arak ter-k arak ter tertentu seh ingga m elah irk an dua tipe tasaw uf, yak ni: (a) tasaw uf falsafi dan (b) tasa- w uf sunni. Tasaw uf sunni ini terbagi k e dalam dua tipe, yaitu: tasaw uf ak h laq i dan tasaw uf ‘am ali. Tasaw uf ak h aq i dapat disebut secara lengk ap dengan tasaw uf sunni ak h laq i, sedang tasaw uf ‘am ali dapat juga disebut tasaw uf sunni ‘am ali. a. Tasaw uf Falsafi Tasaw uf falsafi adalah tasaw uf yang ajaran-ajarannya disusun secara k om plek s dan m endalam , dengan bah asa-bah asa sim bolik - filosofis. Sesuai dengan nam anya, tasaw uf falsafi cenderung m enon-

37 Usman Ismail, “Tasawuf”, hlm. 306. 38 Abu al-Husain bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, (Kairo: Dar al-Hadits, 1997 M./1418 H.). 39 M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf ..., hlm. 10.

37 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

jolkan sifat filosofis di dalam nya. Tok oh -tok oh nya, antara lain, Abu Yazid al-Bustham i, al-H allaj, Ibn Arabi, dan al-Jilli. Sedangk an teori- teori yang dilah irk an dari tok oh -tok oh ini adalah teori fanâ‘, b aqâ‘, dan ittih âd yang dicetusk an oleh Abu Yazid al-Bustham i, teori h ulûl yang dipelopori oleh al-H allaj, teori w ah d ah al-w ujûd yang digagas oleh Ibn Arabi, dan teori insân k âm il yang dirum usk an oleh al- Jilli.39 Lah irnya teori-teori ini disebabk an adanya k eyak inan dari k aum sufi falsafi bah w a m anusia bisa m engalam i “k ebersatuan” dengan Tuh an. O leh k arena itu, teori-teori ini pada ak h irnya m elah irk an pah am pantheism e. Teori “k ebersatuan” inilah yang ditolak k eras oleh k alangan penganut tasaw uf sunni, dengan alasan bah w a m anusia tidak ak an pernah bisa bersatu dengan Tuh an; m anusia h anya bisa dek at dengan Tuh an dalam batas-batas syari’at. D alam pandangan Asm aran, tasaw uf falsafi ialah tasaw uf yang ajaran-ajarannya m em aduk an antara visi m istis dengan visi rasional. Pem aduan antara tasaw uf dan filsafat dalam ajaran tasaw uf falsafi ini, dengan sendirinya telah m em buat ajarannya bercam pur dengan sejum lah ajaran filsafat di luar Islam , seperti ajaran dari Yunani, Persia, India, dan agam a Nasrani. Ak an tetapi, orisinalitasnya sebagai tasaw uf tetap tidak h ilang k arena para tok oh nya—m esk ipun m em - punyai latar belak ang k ebudayaan dan pengetah uan yang berbeda dan beranek a ragam —tetap berusah a m enjaga k em andirian ajaran aliran m erek a, terutam a bila dik aitkan dengan status m erek a sebagai um at Islam .40 Lebih lanjut Asm aran m enjelask an bah w a ciri um um tasaw uf falsafi ialah adanya k esam aran dalam ajarannya, ak ibat banyak nya ungk apan dan peristilah an k h usus yang h anya dapat dipah am i oleh m erek a yang m enganut ajaran tasaw uf jenis ini.41 Para sufi yang juga filsuf pendiri aliran tasaw uf falsafi ini m e- ngenal dengan baik filsafat Yunani beserta ajaran dari tok oh -tok oh -

40 Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf ..., hlm. 152–153. 41 Ibid., hlm. 153.

38 Memahami Dunia Tasawuf nya, seperti Socrates, Plato, Aristoteles, dan juga aliran Neo Plato- nism e dengan ajaran filsafatnya tentang em anasi. Bah k an m erek a juga cuk up ak rab dengan filsafat yang sering disebut H erm etisism e yang banyak diterjem ah k an k e dalam bah asa Arab, dan juga filsafat- filsafat Tim ur Kuno, baik dari Persia m aupun India, di sam ping tentu saja m erek a juga m enelaah ajaran filsafat para filsuf m uslim sendiri, seperti al-Farabi dan Ibn Sina. Selain itu, m erek a juga dipengaruh i oleh pah am batiniah sek te Ism a’iliyah dari aliran Syi’ah dan risalah -risalah Ik h w an ash -Safa’. Begitulah para tok oh tasaw uf falsafi m enguasi berbagai ajaran filsafat, baik dari filsuf Yunani m aupun Islam . Selain itu, m erek a juga m em ilik i pem ah am an tentang ilmu-ilmu agam a Islam , seperti teologi, k alam , fiq h , h adits, dan juga tafsir. Tegasnya, para tok oh tasaw uf falsafi bersifat ensik lopedis dan berlatar belak ang budaya, pengalam an, dan pendidik an yang berm acam -m acam . Sufi yang beraliran falsafi m em andang bah w a m anusia m am pu naik k e jenjang persatuan dengan Tuh an, yang k em udian disebut dengan ittih âd, h ulûl, w ah dah al-w ujûd, dan isyrâq. D engan m uncul- nya k arak teristik tasaw uf seperti ini m ak a pem bah asan tasaw uf sudah lebih bersifat filosofis, dalam arti pem bah asannya telah m eluas k e m asalah -m asalah m etafisik a, seperti proses k ebersatuan m anusia d engan Tuh an, yang sek aligus m em bah as k onsep m anusia dan Tuh an. Konsep tasaw uf tipe ini, yang terpenting adalah : (1) fanâ‘ dan baqâ‘, (2) ittih âd, (3) h ulûl, (4) w ah dah al-w ujûd, dan (5) isyrâq.

(1) Fanâ‘ dan baqâ‘ Secara bah asa, fanâ‘ berarti h ancur, lebur, m usnah , lenyap, h ilang atau tiada; sem entara b aqâ‘ berarti tetap, k ek al, abadi atau h idup terus (law an dari fana). Konsep fanâ‘ dan b aqâ‘ ini dibaw a oleh Abu Yazid al-Bustham i. Konsep ini m erupak an peningk atan dari k onsep m a’rifah dan m ah abbah . Irfan Abdul H am id Fattah m engata-

42 Ifran Abdul Hamid Fattah, Nasy’ah al-Falsafah as-Sufiyah wa Tatawwuruha, (Beirut: al-Maktab al-Islâmi, 1973), hlm. 169.

39 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

k an bah w a dalam sejarah perk em bangan tasaw uf, Abu Yazid di- pandang sebagai pem baw a arah tim bulnya aliran “k esatuan w ujud” (ittih âd ).42 Sebelum seorang sufi m em asuk i tah ap k ebersatuan dengan Tuh an (ittih âd ), ia h arus terlebih dah ulu m am pu m elenyapk an k esadarannya m elalui fanâ‘ dan bah w a pelenyapan k esadaran dalam k h azanah sufi senantiasa diiringi dengan b aqâ‘. D alam k epustak aan tasaw uf, fanâ‘ dim ak nai sebagai h ilangnya perasaan dan k esadaran seseorang di m ana ia tidak lagi m erasak an apa yang terjadi pada dirinya dan alam di sek itarnya. Abu Yazid al- Bustham i, yang dalam sejarah tasaw uf dipandang sebagai sufi per- tam a yang m em baw a pah am fanâ‘ dan b aqâ‘ m engartik an fanâ‘ sebagai h ilangnya k esadaran ak an ek sistensi diri pribadi (al-fanâ‘ ‘an an-nafs) seh ingga ia tidak m enyadari lagi ak an jasad k asarnya sebagai m anusia, k esadarannya m enyatu k e dalam irâdah Tuh an, buk an m enyatu dengan w ujud-Nya. Lebih jelas, pah am ini tersim pul dalam k ata-k atanya: “Ak u m engenal Tuh an m elalui dirik u h ingga ak u h ancur, k em udian ak u m engenal Tuh an m elalui diri- Nya m ak a ak u pun h idup.” Ungk apannya yang lain: “Ia m em buat ak u gila pada dirik u seh ingga ak u m ati; k em udian Ia m em buat ak u gila pada-Nya, dan ak u pun h idup ... ak u berk ata: Gila pada dirik u adalah k eh ancuran dan gila pada-Mu adalah k elanjutan h idup.”43 D engan dem ik ian, jik a seorang sufi telah m encapai al-fanâ’ ‘an an-nafs, yak ni k etik a w ujud jasm aninya tidak ada lagi (dalam arti tidak disadarinya lagi) m ak a yang ak an tinggal ialah w ujud ruh aninya dan k etik a itu ia ak an “bersatu” dengan Tuh an, dan k ebersatuan dengan Tuh an ini terjadi langsung setelah tercapainya al-fanâ‘ ‘an an-nafs. D alam ajaran sufi, fanâ‘ m erupak an k eadaan m ental yang ber- sifat insidental, atau tidak berlangsung terus-m enerus. Sebab, jik a k eadaan itu berlangsung secara terus-m enerus m ak a jelas berten- tangan dengan tugasnya sebagai k h alifah dan h am ba Allah untuk m elak sanak an k ew ajiban agam a di m uk a bum i. Al-Kalabazi, dalam

43 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme ..., hlm. 81.

40 Memahami Dunia Tasawuf k itabnya yang bertitel At-Ta’arruf li M azh ab ‘an at-Tash aw w uf, berk ata: “Keadaan fanâ‘ itu tidak berlangsung terus-m enerus sebab k elangsungannya yang terus-m enerus ak an m engh entik an organ- organ tubuh untuk m elak sanak an fungsi dan peranannya di m uk a bum i.” Lebih lanjut al-Kalabadzi m enyatak an: “Seseorang yang m engalam i k eadaan fanâ‘ buk anlah disebabk an h ilangnya k esadaran (pingsan), buk an k arena k ebodoh an, dan buk an pula k arena sirnanya sifat-sifat k em anusiaan dari dirinya seh ingga dia m enjadi m alaik at atau seorang spiritualis, tetapi dia fanâ‘ dari penyak sian ak an h al- h al yang berk enaan dengan dirinya.” D engan dem ik ian, k eadaan fanâ‘ yang dialam i seseorang tidak lah m enyebabk annya dapat m enanggalkan k e w ajib an-k ew ajiban agam a. O leh k are na itu, dapatlah dipah am i m engapa ath-Th usi di dalam k itabnya al-Lum a’ m em peringatkan bah aya-bah aya yang m ungk in timbul dari k eadaan fanâ‘, yaitu adanya anggapan bah w a fana adalah h ilangnya sifat- sifat k em anusiaan dan dia bersifat dengan sifat-sifat k etuh anan, padah al sifat k em anusiaan tidak dapat sirna dari m anusia. (2) Ittih âd K onsep ittih âd ini sebenarnya m erupak an k elanjutan dari k onsep fanâ‘ dan b aqâ‘ sebagaim ana telah diuraik an di atas. Konsep ittih âd ini tim bul sebagai k onsek uensi lebih lanjut dari pendapat sufi bah w a jiwa m anusia adalah pancaran dari Nur Ilah i. Atau dengan k ata lain, “Ak u”-nya m anusia adalah pancaran dari yang Mah a Esa. Siapa yang m am pu m em bebask an diri dari alam lah iriah , atau m am pu m eniadak an pribadinya dari k esadarannya (al-fanâ‘ ‘an an-nafs) m ak a ia ak an m em eroleh jalan k em bali k epada sum ber asalnya. Ia ak an bersatu-padu dengan Yang Tunggal, dan dari situ, yang dilih at dan dirasak annya h anyalah satu, yaitu Allah . Menurut H arun Nasution, yang dim ak sud dengan ittih âd ialah satu tingk atan tasaw uf di m ana seorang sufi telah m erasa dirinya

44 Ibid., hlm. 82. 45 Ibrahim Madkur, Fî al-Falsafah al-Islâmiyah, I, hlm. 2.

41 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

bersatu dengan Tuh an; suatu tingk atan di m ana yang m encintai dan yang dicintai telah m enjadi satu.44 Sem entara m enurut Ibrah im Madk ur, ittih âd adalah tingk at tertinggi yang dapat dicapai dalam perjalanan jiw a m anusia. O r- ang yang telah sam pai k e tingk at ini m ak a terbuk alah dinding baginya; dia dapat m elih at sesuatu yang tidak pernah dilih at oleh m ata, m endengar sesuatu yang tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas di h ati. Pada saat itulah sering k eluar ucapan-ucapan yang ganjil dan aneh yang dalam tasaw uf disebut dengan syathah ât.45 D alam istilah Abu Yazid, pengalam an ittih âd ini d isebut dengan tajrîd fanâ‘ fi at-tauh îd,46 yaitu k ebersatuan dengan Tuh an yang tidak diperantarai oleh sesuatu apa pun. Menurut Abu Yazid, m anusia yang pada h ak ik atnya adalah satu substansi dengan Tuh an, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia m am pu m elebur k esadaran ek sistensinya sebagai suatu pribadi seh ingga ia tidak m enyadari pribadinya (fanâ‘ ‘an an-nafs).47 D engan istilah lain, barang siapa yang m am pu m engh apusk an k esadaran pribadinya dan m am pu m em bebask an diri dari alam di sek elilingnya m ak a ia ak an m em eroleh jalan k em bali k epada sum ber asalnya. Ia ak an bersatu- padu dengan Yang Tunggal. Konsep fanâ‘, b aqâ‘, dan ittih âd ini dalam dunia tasaw uf terus berk em bang dan m em icu k ontroversi h ingga sek arang. Persoalannya, apak ah k onsep-k onsep ini benar-benar berasal dari ajaran Islam atau- k ah dari luar? D alam h al ini, Ibrah im Madk ur m elihat bah w a k onsep ittih âd adalah sesuatu yang paling rum it di dalam tasaw uf dan ia selalu m em unculkan pro dan k ontar: ada yang m enerim a dan juga

46 Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Solo: Ramadhani, 1984), hlm. 136. 47 Team Penulis, Pengantar llmu Tasawuf, hlm. 106. 48 Ibrahim Madkur, Fî al-Falsafah al-Islâmiyah, I, hlm. 65. 49 Muhammad ash-Shadiq Arjun, At-Tashawwuf fî al-Islâm Manâbi’uh wa Atwâruh, (Kairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyah, 1967), hlm. 118. 50 Ibid.

42 Memahami Dunia Tasawuf tidak sedik it yang m enolak nya.48 Berbagai k elom pok yang m enolak adanya pah am ittih âd berk eyak inan bah w a tidak ak an m ungk in terjadi persatuan antara dua substansi (zat), yaitu antara m anusia dengan Tuh an.49 Lebih lanjut Ibrh aim Madk ur m engatak an bah w a k onsep ittih âd ini sebenarnya tidak bersum ber dari Islam . Al-Q ur’an dengan ungk apan yang tegas, secara m utlak , tidak m em beri tem pat pada adanya pah am ittih âd. H anya saja, para penduk ungnya tidak k eh ilangan ak al untuk m elandasinya dengan sebagian ayat Al-Qur’an dan h adits nabi.50 Sem entara itu, terk ait dengan pah am fana’, Nich olson m e- ngatak an bah w a k onsep ini dapat dipastik an berasal dari India. Peng- anjurnya, Abu Yazid al-Bustham i, m ungk in telah m enerim a dari gurunya, Abu Ali as-Sindi (India). Tam bah an lagi bah w a dalam sejarah , selam a ribuan tah un sebelum k em enangan um at Islam , Budh ism e pernah m em iliki ak ar yang k uat di k aw asan Tim ur Persia d an Bactria seh ingga h am pir dapat d ipastik an bah w a ia telah m em engaruh i perk em bangan tasaw uf di w ilayah tersebut.51 (3) H ulûl Konsep h ulûl ini tidak dapat dipisah k an dari k onsep fanâ‘ dan b aqâ‘. Jika fanâ‘, seperti dik atak an oleh at-Taftazani, telah m em buat al-Bustham i sam pai pada pendapat tentang terjadinya ittih âd m ak a bagi al-H allaj, fana’ telah m endorongnya sam pai pada pendapat tentang terjadinya h ulûl.52 Menurut Abu Nasr ath-Th usi, h ulûl ialah pah am yang m engatak an bah w a Tuh an m em ilih tubuh -tubuh m anusia tertentu untuk m engam bil tem pat di dalam nya setelah sifat k em anusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapk an.53

51 Nicholson, The Mystics of Islam, hlm. 17–18. Lihat juga Sayyid Athar Abbas Rizvi, A History of Saefism in India, (New Delhi: Munashiram Manoharial, 1978), hlm. 44–45. 52 At-Taftazani, Madkhal ilâ at-Tashawwuf ..., hlm. 123. 53 Abu Nasr Sarraj at-Tusi, Al-Luma’, (Mesir: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1960), hlm. 541. 54 At-Taftazani, Madkhal ilâ at-Tashawwuf ..., hlm. 123.

43 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Seperti h alnya Abu Yazid, al-H allaj adalah seorang sufi yang didom inasi oleh k eadaan fanâ‘. O leh k arena itu, seperti h alnya al- Bustham i, dia juga m engeluark an ungk apan-ungk apan ganjil yang secara h arfiah syar’iah tidak bisa diterim a. Ak an tetapi, secara um um , ungk apan-ungk apan al-H allaj tentang k ondisi yang dialam inya lebih dalam dan teliti dibanding al-Bustham i. Al-H allaj, k ata at-Taftazani, tam pak nya benar-benar terpengaruh oleh berbagai k ebudayaan asing, seperti filsafat Yunani, pem ik iran-pem ik iran Persia, dok trin- dok trin Syi’ah , dan juga ajaran-ajaran agam a Kristen.54 Mengenai k em ungk inan seseorang m encapai fana’, al-H allaj m enyatak an bah w a jik a Allah ingin m engangk at salah seorang h am ba-Nya sebagai seorang w ali m ak a D ia ak an m em buk ak an pintu zik ir baginya. Kem udian D ia m enduduk k annya di atas singgasana tauh id . Selanjutnya, D ia singk apk an untuk nya tirai seh ingga tam pak baginya k etunggalan-Nya dalam pandangan m ata h atinya dan D ia pun m em asuk k an h am banya yang terpilih k e dalam istana k etunggalan. Lebih jauh lagi dik atak an, D ia ak an m enyingk apk an untuk nya k ebesaran dan k eindah an-Nya. Jika pandangannya tertuju pada k eindah an tersebut m ak a dia k ek al bersam a-Nya. Ketika itulah sang h am ba m engalam i fanâ‘ dan dia k ek al dalam yang M ah abenar se h ingga terpaterilah yang M ah asuci d alam ingatannya d an terungk ap dalam k ata-k atanya. D alam k eadaan fanâ‘ seperti inilah al-H allaj m engeluark an ung- k apan yang populer: Ana al-H aqq (Ak ulah yang Mah abenar). D alam k eadaan seperti ini dia m em pergunak an k ata h ulûl, yak ni penyatuan sifat k etuh anan dengan sifat k em anusiaan, atau dengan k ata lain, sesuai dengan term inologi yang dipergunak annya, h ulûl-nya lâh ût dalam nâsût. Konsep h ulûl, dalam pah am al-H allaj ini ternyata cuk up k ontra- dik tif. Sebab, pada beberapa lirik syair dan ungk apan al-H allaj ter- gam bar adanya k onsep h ulûl dalam ajaran tasaw ufnya, nam un di

55 Lihat ath-Thusi, Al-Luma’, hlm. 128.

44 Memahami Dunia Tasawuf tem pat lain, dia m enolak k eras adanya pah am h ulûl tersebut. D engan k ata lain, terk ad ang h ulûl dinyatak an secara bersam a k onsep penyatuan, nam un di sisi lain al-H allaj m enegasik an penyatuan itu dan secara tegas m eniadak an unsur-unsur antrom orph is dalam k onsep k etuh anan.55 Al-H allaj juga m enegasik an k em ungk inan penyatuan m ak h luk dengan Tuh an. D alam h al ini, al-H allaj berk ata: “Barang siapa m engira bah w a k etuh anan berpadu jadi satu dengan k em anusiaan, ataupun k em anusiaan berpadu dengan k etuh anan m ak a k afirlah dia. Sebab, Allah m andiri dalam zat m aupun sifat- Nya dari zat dan sifat m ak h luk , dan D ia tidak sek ali-k ali m enyerupai m ak h luk -m ak h luk -Nya; dan m erek a pun tidak sek ali-k ali m enye- rupai-Nya.” Kontradik si inilah yang m enarik perh atian Th oulk. D ia m e- ngatak an bah w a al-H allaj berada dalam k eadaan fanâ‘, yang m ana h al itu m em buatnya tanpa sadar m enyatak an ungk apan-ungk apan k ontradik tif. Ak an tetapi, k ontradik si ini bisa juga diinterpretasik an bah w a al-H allaj, dengan ungk apan-ungk apannya yang m enegasik an perpaduan antara lâh ût dan nâsût, k h aw atir terh adap k em arah an fuqah â’ pada m asanya. Ada dugaan k uat bah w a k onsep h ulûl al-H allaj bersifat m ajazi, buk an h aqiqi. H al ini dapat dilih at dalam ungk apannya yang di- riw ayatkan oleh as-Sulam i: “Kem anusiaan tidak terpisah dari-Nya dan tidak berh ubungan dengan-Nya.” Ini berarti bah w a m anusia— yang diciptak an Allah sesuai citra-Nya—adalah tem pat tajalli Tuh an. D engan dem ik ian, dalam pengertian ini, dia berh ubungan dengan Allah tanpa terpisah dari-Nya. Ak an tetapi, tajalli Allah pada h am ba-Nya, atau m unculnya Allah m enurut citra-Nya pada diri m anusia, tidak berarti terjadinya h ubungan dengan m anusia secara h aqiqi. D i sini, al-H allaj dengan jelas m engatak an adanya perbedaan antara h am ba dan Tuh annya. D engan begitu, pendapatnya tentang h ulûl tidak terjadi secara h aqiqi, tetapi h anya sek adar k esadaran psik is yang berlangsung di saat k ondisi fanâ‘ (al fanâ‘ fillâh ); atau m enurut ungk apannya, “sek adar terleburnya nâsût dalam lâh ût”, atau dengan k ata lain, k ondisi fana’-nya berada di dalam -Nya. D alam h al ini,

45 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

al-H allaj berk ata: “H ai m anusia! D ia (Allah ) m enciptak an m ak h luk k arena k asih sayang-Nya k epada m erek a, k em udian Allah m e- nyem bunyik an diri-Nya dari m erek a sebagai pelajaran. Seadainya tanpa tajalli-Nya, niscaya m erek a sem ua m enjadi k afir, dan se- andainya D ia tidak m enyem bunyik an diri, niscaya m erek a sem ua ak an terpesona. O leh k arena itu, D ia pun tidak tetap pada salah satu dari k edua [k eadaan] itu. Agar D ia tidak tertutup darik u w alau sesaat, yang m em buatku beristirah at m ak a nâsût-k u terlebur dalam lâh ût-Nya, d an tub uh k u luluh d alam cah aya-cah aya zat-Nya seh ingga ak u pun tanpa m ata, bek as, m uk a, dan tanpa berita.” Pernyataan al-H allaj tentang h ulûl yang m uncul dalam k eadaan fanâ‘ barangk ali adalah di luar k eh endak nya; dan ini bisa dim engerti oleh sebagian pih ak . Al-Gh azali, m isalnya, dari segi psik is, m enguraik an k em ungk inan k eluarnya ungk apan-ungk apan seperti yang diucapk an al-H allaj dan al-Bustham i itu sebagai di luar k eh en- dak m erek a. H al itu seperti yang ia nyatak an dalam k itabnya yang bertitel M isyk ât al-Anw âr: “Setelah naik k e puncak h ak ik at, orang- orang ‘arif sependapat bah w a tidak ada yang terlih at dalam w ujud ini k ecuali yang Mah a Esa dan Mah abenar.”56

(4) W ah dah al-w ujûd

56 Untuk penjelasan lebih jauh dapat diambil sebuah contoh. Betapa sering manusia berdiri di depan cermin dan memandang gambar yang terpantul dari cermin tersebut. Sering kali kita tidak melihat cermin itu, dan kita mengira bahwa gambar yang dia lihat dalam cermin bersatu dengan cerminnya. Seandainya hal seperti ini menjadi kebiasaan dan terpancang kuat, dia akan tenggelam di dalamnya. Jika keadaan ini sedemikian dominan maka disebutlah oleh para sufi dengan fanâ‘ atau disebut pula fanâ‘ al-fanâ‘ sebab dia fanâ‘ dari dirinya sendiri serta fanâ‘ dari ke-fana’-annya. Dalam keadaan seperti ini, dia tidak merasakan ketidaksadaran dirinya sendiri. Seandainya dia merasakan ketidaksadaran dirinya sendiri, pasti dia merasakannya sendiri. Keadaan ini, di samping disebut sebagai tenggelam dalam ke-fana’-an, secara metaforis disebut juga dengan ittihâd, dalam bahasa hakikat disebut tawhid, dan di balik realitas-realitas ini terdapat berbagai rahasia yang tidak dapat diselami. 57 Ahmad Amin, Zhuhr al-Islâm, IV, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1969), hlm. 162. 58 Ibrahim Hilal, At-Tashawwuf al-Islâmî baina ad-Dîn wa al-Falsafah, (Kairo: Dar an-Nahdhah al-’Arabiyah, 1979), hlm. 203.

46 Memahami Dunia Tasawuf

Term ini berarti “k esatuan w ujud” (unity of existence). W ah d ah al-w ujûd adalah k elanjutan dari pah am atau k onsep h ulûl. Konsep w ah d ah al-w ujud ini dibaw a oleh Muh yiddin Ibn Arabi. Menurut Ah m ad Am in, istilah w ah d ah al-w ujûd m engandung m ak na bah w a alam dan Allah adalah satu.”57 Sem entara itu, Ibrah im H ilal m e- ngatak an: w ah d ah al-w ujûd ialah suatu k eyak inan bah w a “sesung- guh nya yang ada ini h anya satu m esk ipun banyak ragam dan bentuk nya. Alam dan Allah adalah dua bentuk dalam satu h ak ik at, Allah . Alam adalah Allah dan Allah adalah alam .”58 D i sisi lain, Muh am m ad Yusuf Musa m endefinisik an w ah d ah al-w ujûd dengan: “tidak ada yang w ujud m elaink an w ujud Allah , dan sesungguh nya sek alian yang m ungk in adalah m anifestasi-Nya yang terdapat pada seluruh alam ini, tidak pada sebagian atau sebagian yang lain. O leh k arena itu, tidak lah ada sek alian yang m ungk in ini m elaink an m erupak an m anifestasi Allah . Seandainya D ia tidak ada m ak a alam ini pun tidak ak an pernah ada.”59 D alam k onsep w ah dah al-w ujûd, nâsût yang ada dalam k onsep h ulûl diubah oleh Ibn Arabi m enjadi k h alq sem entara lâh ût diubah m enjadi h aqq. Kh alq (m ak h luk , alam ) dan h aqq (Tuh an) adalah dua entitas bagi tiap sesuatu. Entitas yang sebelah luar disebut k h alq sem entara yang sebelah dalam disebut h aqq. Term k h alq dan h aqq ini dapat disam ak an dengan ‘ard dan jauh ar atau lah ir-batin.60 Menurut pah am ini, tiap-tiap yang ada m em punyai dua aspek , yaitu aspek luar yang m erupak an k h alq, yang m em punyai sifat k e- m ak h luk an dan aspek dalam yang m erupak an h aqq, yang m em - punyai sifat k etuh anan. D engan istilah lain, dalam setiap yang berw ujud itu terdapat sifat ketuh anan atau h aqq dan sek aligus sifat k em ak h luk an atau k h alq. Pah am w ah d ah al-w ujûd ini m uncul dari k eyak inan bah w a

59 Muhammad Yusuf Musa, Falsafah al-Akhlâq fi al-Islâm, (Kairo: Muassasah al- Khanaji, 1965), hlm. 255. 60 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme ..., hlm. 92–93. 61 Ibn Arabi, Fushûsh al-Hikam, (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Awladuh, 1967), hlm. 68.

47 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Allah ingin m elih at diri-Nya di luar diri-Nya, dan untuk itu dijadi- k anlah alam ini. O leh k arena itu, alam ini m erupak an cerm in bagi Tuh an. D i k ala D ia ingin m elih at diri-Nya, D ia m elih at pada alam , pada benda-benda yang ada dalam alam ini k arena dalam tiap-tiap benda itu terdapat sifat k etuh anan. D ari sini tim bullah pah am k e- satuan, w ah d ah al-w ujûd, atau w ujûdiyah . H al ini tidak ubah nya seperti orang yang m elih at dirinya dalam beberapa cerm in yang diletak k an di sek elilingnya. D i dalam tiap cerm in itu ia m elih at dirinya: dalam cerm in tersebut dirinya k elih atan banyak m esk ipun pada h ak ik atnya ia h anya satu. Ibn Arabi, di dalam k itab Fush ûsh al-H ik am m engatak an: “W ajah sebenarnya satu, nam un jika engk au perbanyak cerm in m ak a ia m enjadi banyak .”61 Menurut Ibn Arabi, apabila k ita m elih at w ujud ini banyak jum lah nya, dengan berbagai m acam bentuk , sifat, jenis, dan w arna yang tidak terh itung m ak a h al itu adalah k arena k ita m enggunak an acuan-acuan indera dan ak al sem ata. Ak al dan indera m enangk ap k esem estaan ini dalam w ujud yang berm acam -m acam , sedang or- ang ‘arif m enangk ap h al itu dengan d zaw q sufi; dan k arena itu alam sem esta ini adalah satu w ujud, yaitu Allah .62 Jadi, m enurut Ibn Arabi, realitas w ujud ini pada h ak ik atnya adalah tunggal. Sedangk an perbedaan antara zat dan h âl–atau antara h aqq, jauh ar, zh âh ir, atau k h alq, ‘ard , b âthin, seperti disebutkan di atas h anyalah sek adar pem bedaan relatif, sem entara pem bedaan h ak ik i yang dilak uk an terh adap k eduanya adalah ak ibat pem bedaan yang dilak uk an oleh ak al-budi, padah al ak al•budi itu terbatas. D alam h al ini, Ibn Arabi pernah berk ata: “Perpisah an dan perpaduan itu h ak ik atnya h anya satu. Sedang yang banyak itu tidak tetap dan tidak m enentu.”63 Pah am k esatuan w ujud (w ah d ah al-w ujud ) Ibn Arabi telah m em buat k ita tidak m ungk in m engatak an bah w a “h al yang

62 Abd al-Qadir Mahmud, Al-Falsafah ash-Shûfiyah fi al-Islâm, (Kairo: Dar al-Fikr al-’Arabi, t.t.), hlm. 495–496. 63 At-Taftazani, Madkhal ila at-Tashawwuf ..., hlm. 202.

48 Memahami Dunia Tasawuf m ungk in” sebagai k ebalik an dari “h al yang w ajib”. Yang dim ak sud dengan h al yang m ungk in ialah h al yang ada, baru, dan selalu berubah dan jik a h al itu dipandang dari dirinya sendiri m ak a h al itu sebelum nya justru tidak ada. D engan dem ik ian, h al yang m ungk in ialah h al yang diadak an oleh h al yang lain serta padanya tergam bar ada dan tiada, dan ini, oleh para filsuf disebut sebagai “h al yang w ajib adanya oleh k arena adanya h al lain”, Ia terletak di antara yang m ungk in d an yang w ajib , yang k e b e rad aannya m em butuh k an yang lainnya. R ingk asnya, m enurut at-Taftazani, Ibn Arabi berpendapat bah w a w ujud dari “h al yang w ajib” adalah w ujud Allah sem ata. Sedangk an k eanek aragam an dan pluralitas dari “h al yang ada” tidak lain h anyalah h asil indera-indera lah iriah dan ak al-budi m anusia yang terbatas, yang tidak m am pu m em ah am i k etunggalan zat segala sesuatu. Sebenarnya, substansi dan esensi segala sesuatu adalah satu. Adapun yang m enyebabk an jam ak dalam sifat dan nam anya tanpa bilangan (yang tak terh itung) h anyalah k arena w aw asan, pandangan, dan k ecenderungan. O leh k arena itu, jik a dipandang dari sudut esensinya, h al itu adalah Tuh an; sedang jik a dipandang dari sudut sifat-sifatnya, h al itu adalah m ak h luk (alam ).64 Pah am k esatuan w ujud ini k em udian dik em bangk an oleh sufi•sufi selanjutnya, seperti Ibn Sab’in, Ibn Farid, dan al-Jilli. Ibn Sab’in bah k an lebih tegas k etim bang Ibn Arabi dalam m enegasik an pluralitas dan m enek ank an k esatuan. O leh k arena itu, pendapatnya dik enal sebagai pah am “k esatuan m utlak ” (al-w ah d ah al- m uthlaqah ).65 Sem entara Ibn al-Farid m engem bangk an pah am atau k onsep “k esatuan penyak sian” (w ah dah asy-syuh ûd). Sem entara tok oh yang disebut terak h ir, Abd al-Karim al-Jilli, m engem bangk an pem i- k iran yang k em udian populer dengan sebutan “m anusia paripurna” (insân al-k âm il).

64 Ibid. 65 Ibid., hlm. 205.

49 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

(5) Isyrâq Konsep isyrâq ini dicetusk an oleh Suh raw ardi al-Maqtul. Corak pem ik iran dan perenungannya m erupak an gabungan antara filsafat dan tasaw uf yang bersum ber dari berbagai aliran yang ia tuangk an dalam k itabnya yang bertitel H ik m ah al-Isyrâq. D alam teori isyrâq ini Suh raw ardi m engatak an bah w a sum ber segala yang ada ini adalah Cah aya Mutlak (Nûr al-Q ah ir). Teorinya ini jelas m erupak an gabungan dari teori Neo Platonism e dengan ide-ide Persia. D engan dem ik ian, pah am isyrâq m erupak an gabungan antara rasio dan rasa. At-Taftazani m engatak an bah w a dalam k enyataannya, h ik m ah isyrâqiyah Suh raw ardi m em ang tersusun dari berbagai unsur, yang m enurutnya justru dengan itulah dia m engh idupk an k em bali “h ik m ah k uno” dari para tok oh India, Babylonia, Mesir, Yunani k uno sam pai k e m asa Plato. Jelasnya, h ik m ah al-isyrâq adalah turunan dari h ikm ah -h ikm ah kuno.66 Suh raw ardi m engem uk ak an bah w a h ik m ah isyrâqiyah didasar- k an pada rasa (dzaw q), sebagaim ana yang dia ungk apk an: “Apa yang saya k em uk ak an (dalam H ik m ah al-Isyrâq) ini tidak saya peroleh lew at pem ik iran, tetapi saya peroleh lew at sum ber lain, dan saya pun segera m encari argum entasinya. Jik a argum entasi itu benar- benar telah pasti, sedik it pun saya tidak ragu terh adapnya, sek alipun orang m eraguk annya.” Pah am isyrâq m enyatak an bah w a alam ini diciptak an m elalui penyinaran atau ilum inasi. Kosm os ini terdiri dari susunan yang bertingk at•tingk at berupa pancaran cah aya. Cah aya yang tertinggi dan sebagai sum ber dari segala cah aya ia nam ak an Nûr al-Anw âr atau Nûr al-A’zh âm , dan inilah Tuh an. Manusia berasal dari Nûr al-Anw âr yang m enciptak annya m elalui pancaran cah aya dengan proses yang h am pir serupa dengan teori em anasi. O leh k arena itu, m enurut pah am ini, h ubungan m anusia dengan Tuh an m erupak an h ubungan arus bolak -balik . Artinya, ada h ubungan yang bersifat dari atas k e baw ah dan dari baw ah k e atas, dan dari situ k em udian terjadilah ittih âd.

66 At-Taftazani, Madkhal ila at-Tashawwuf al-Islâmî, hlm. 195.

50 Memahami Dunia Tasawuf

Jiw a m anusia, m enurut Suh raw ardi, tidak ak an dapat sam pai pada alam suci dan juga tidak ak an dapat m enerim a cah aya-cah aya ilum inasi k ecuali dengan latih an ruh ani. Sebab, alam suci m aupun cah aya adalah substansi m alak ût, sedangk an alam suci itu sendiri tidak m em butuh k an k ek uatan•k ek uatan fisik . D engan dem ik ian, seandainya jiw a m anusia m enguat dengan k ek uatan-k ek uatan ruh aniah dan k ontrol k ek uatan fisik m elem ah ak ibat m engurangi m ak an serta m engurangi tidur m ak a jiw a pun siap m enuju alam suci dan bertem u dengan induk -sucinya, dan dia ak an m enerim a berbagai pengetah uan dari-Nya. Suh raw ardi m em buat k lasifik asi tentang peringk at-peringk at filsuf. Menurutnya, ada filsuf k etuh anan, yaitu filsuf yang m enyibuk - k an diri dalam m asalah -m asalah k etuh anan, nam un ia buk an peneliti tentang m asalah tersebut. M erek a adalah para nabi dan w ali, seperti Abu Yazid al-Bustham i, Sah l at-Tustari, dan al-H allaj. Ada lagi filsuf- peneliti, nam un m erek a tidak m enyibuk k an diri dalam m asalah - m asalah k etuh anan. Yang term asuk k elom pok ini adalah k aum Peripatetis pengik ut Aristoteles, serta al-Farabi dan juga Ibn Sina. Ada juga filsuf k etuh anan yang m enyibuk k an diri dalam m asalah - m asalah k etuh anan sek aligus penelitian. Peringk at ini tidak ada yang m am pu m encapainya, k ecuali Suh raw ardi al-Maq tul sendiri. Filsuf yang sibuk d alam m asalah -m asalah k etuh anan d an penelitian tersebut berh ak m enjadi pem im pin pada m asanya. Pem im pin di sini tidak diartik an penguasa, tetapi dia adalah quthb (pusat alam sem esta) dan sek aligus k h alifah Allah , di m ana alam ini tidak ak an bergerak tanpa dengannya. Pandangan Suh raw ardi ini ternyata banyak ditentang oleh k alangan ortodok si. Ibn Taim iyah , m isalnya, m enuduh Suh raw ardi telah m engak u-ak u sebagai nabi. D ia m engatak an: “Salah seorang di antara m erek a (m ak sudnya, para sufi yang juga filsuf) ada yang ingin m enjadi nabi. Bah k an Suh raw ardi juga m engk om prom ik an pem ik iran dan k eilah ian, m engik uti cara k aum batiniah , m erangk um filsafat Persia dengan filsafat Yunani dan m em besar-besark an m a- salah cah aya (al•anw âr). D ia juga yang pertam a m engh am pirk an

51 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

diripada agam a Z oroaster. D ia m enguasai sih ir dan k im ia. Itulah sebabnya dia dibunuh di H alb pada m asa Salah uddin al-Ayyubi k arena k ezindik annya. D ari peristiw a itulah Suh raw ardi k em udian populer dengan sebutan al-M aqtûl (yang terbunuh ).

b. Tasaw uf Sunni Tasaw uf sunni adalah tasaw uf yang didasark an pada Al-Qur’an dan sunnah .67 M enurut aliran tasaw uf ini, apabila seorang m uslim ingin m eningk atkan k ualitas pendek atan dirinya k epada Allah m ak a terlebih dah ulu ia h arus m em ah am i syari’at Islam dengan sebaik - baik nya. D alam h al ini, ia h arus m em pelajari fiq h dalam segala bidangnya secara baik , yang m eliputi bidang ibadah , m uam alah , m unak ah at, jinayah , dan siyasah ,68 sesuai dengan ajaran yang telah dirum usk an di dalam m adzh ab-m adzh ab fiqh , seperti, m adzh ab H anafi, M alik i, Syafi’i, dan H anbali. Idealnya, seseorang yang ak an m enjalani k eh idupan sufi h arus terlebih dah ulu m endalam i k ajian fiqh secara k om preh ensif, sek urang-k urangnya telah m engetah ui ajaran Islam dari salah satu m adzh ab fiq h yang m enjadi pilih annya. Biasanya, seorang sufi m enganut salah satu m adzh ab fiq h yang telah ada. H al ini penting dalam tasaw uf agar seorang sufi tidak terjebak m em perturutkan k ata h atinya yang k adang-k adang tidak benar. Tasaw uf sunni m endasark an pengalam an k esufiannya dengan pem ah am an yang sederh ana dan dapat dipah am i oleh m anusia aw am . Tok oh -tok oh tasaw uf sunni yang populer adalah Junaid al- Bagh dadi, al-Q usyairi, dan al-Gh azali. D alam perk em bangannya, tasaw uf sunni m engam bil bentuk prak tis berupa tarek at, dan k etiga tok oh inilah yang lebih banyak m engilham i dasar-dasar ajaran tarek at yang ada sek arang ini. Tasaw uf sunni terbagi k e dalam dua tipe, yak ni (1) tasaw uf ak h laqi dan (2) tasaw uf am ali.

67 Asep Usman Ismail, “Tasawuf”, hlm. 306–307. 68 Hukum Islam memiliki cakupan yang sangat luas. Penjelasan lebih detil tentang bidang kajian yang tercakup dalam hukum Islam bisa dilihat dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh.

52 Memahami Dunia Tasawuf

(1)Tasaw uf Ak h laqi (Tasaw uf Sunni Ak h laqi) D alam pandangan k aum sufi, m anusia cenderung m engik uti h aw a nafsu. M anusia dik endalik an oleh dorongan-dorongan nafsu pribadi, buk an m anusia yang m engendalik an h aw a nafsunya. Ia cenderung ingin m enguasai dunia atau berusah a agar berk uasa di dunia. Pandangan h idup seperti ini m enjurus k e arah pertentangan m anusia dengan sesam anya seh ingga ia lupa ak an w ujud dirinya sebagai h am ba Allah yang h arus berjalan di atas aturan-aturan-Nya. O leh k arena sebagian besar w ak tu yang dim ilik i m anusia dih abisk an untuk persoalan-persoalan duniaw i m ak a ingatan dan perh atiannya pun jauh dari Tuh an. Itu sem ua, k ata al-Gh azali, disebabk an oleh tidak terk ontrolnya h aw a nafsu.69 Nafsu m anusia m em ang m em punyai k ecenderungan untuk m endorong seseorang berbuat baik dan buruk . D alam Al-Qur’an ditegask an: “Nafsu ak an m enjadi baik jika ia dibersih k an dari penga- ruh -pengaruh jah at dengan m enanam k an ajaran-ajaran agam a sejak dini seh ingga tabiat nafsu yang jah at itu dapat dik endalik an” (Q S. asy-Syam s [9 1]: 7–10). D alam ayat yang lain dinyatak an: “O rang yang tidak m am pu m engendalik an h aw a nafsunya, dik atak an oleh Al- lah , sebagai orang yang m enuh ank an h aw a nafsu (Q S. al-Jasiyah [45]: 23)”, dan “m enyim pang dari k ebenaran” (Q S. an-Nisa [4]: 135). R eh abilitasi k ondisi m ental yang tidak baik , m enurut ah li tasaw uf tidak ak an berh asil apabila terapinya h anya dari aspek lah iriah saja. Itulah sebabnya, pada tah ap-tah ap aw al m em asuk i k eh idupan tasaw uf, seorang m urid dih arusk an m elak uk an am alan dan latih an k eruh anian yang cuk up berat. Tujuannya adalah untuk m enguasai h aw a nafsu dalam rangk a pem bersih an jiw a agar bisa lebih dek at dengan Allah . Tindak an m anusia yang dik endalik an oleh h aw a nafsu dalam m engejar k eh idupan duniaw i m erupak an tab ir pe ngh alang antara m anusia d an Tuh an. Seb agai usah a m enyingk ap tabir yang m em batasi m anusia dengan Tuh an, ah li

69 Al-Ghazali, Mukâsyafah al-Qulûb, (Kairo: Abdul Hamid Ahmad Hanafi, t.t.), hlm. 13.

53 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

tasaw uf m em buat suatu sistem h ierark i yang tersusun atas tiga tingk atan, yak ni tak h alli, tah alli, dan tajalli. Pertam a, tak h alli, yak ni m em bersih k an diri dari sifat-sifat ter- cela, dari m ak siat lah ir dan m ak siat batin. D i antara sifat-sifat tercela yang m engotori jiw a (h ati) m anusia ialah h asad (dengk i), h iqd (rasa m endongk ol), sû’uzh ann (buruk sangk a), tak ab bur (som bong), ‘ujub (m em banggak an diri), riyâ’ (pam er), b uk h l (k ik ir), dan gh ad ab (pem arah ). D alam h al ini Allah berfirm an: “Berbah agialah orang yang m ensucik an jiw anya dan rugilah orang yang m engotorinya” (Q S. asy-Syam s [9 1]: 9 –10). Tak h alli juga berarti m engh indark an diri dari k etergantungan terh adap k elezatan h idup duniaw i. H al ini ak an dapat dicapai dengan jalan m enjauh k an diri dari k em ak siatan dalam segala bentuk - nya dan berusah a m elenyapk an dorongan h aw a nafsu. Kelom pok sufi yang ek strim berk eyak inan bah w a k eh idupan duniaw i benar-benar sebagai “racun pem bunuh ” k elangsungan cita- cita sufi. D unia adalah pengh alang perjalanan. O leh k arena itu, nafsu duniaw i h arus “dim atik an” dari diri m anusia agar ia bebas berjalan m enuju tujuan; m encapai k enik m atan spiritual yang h ak ik i. Bagi m erek a, m em eroleh k eridh aan Tuh an lebih utam a daripada k enik m atan-k enik m atan m ateriil. Pengingk aran pada ego dengan m eresapk an diri pada k em auan Tuh an adalah perbuatan utam a. D engan dem ik ian, nilai m oral betul-betul agam is k arena setiap tind ak an d isejajark an d engan ibadat yang lah ir d ari m otivasi esk atologis. Kedua, tah alli, yak ni m engisi diri dengan sifat-sifat terpuji, dengan bersik ap taat secara lah ir dan batin terh adap k etentuan- k etentuan Allah . D alam h al ini, Allah befirm an: “Sesungguh nya Allah m enyuruh (k am u) berlak u adil dan berbuat k ebajik an, m em - beri k epada k aum k erabat, dan Allah m elarang perbuatan k eji, k e- m ungk aran, dan perm usuh an. D ia m em beri pengajaran k epadam u agar k am u dapat m engam bil pelajaran” (Q S. al-Balad [16]: 9 0). Tah alli ini m erupak an tah ap pengisian jiwa yang telah dik osongk an.

54 Memahami Dunia Tasawuf

Apabila m anusia m am pu m engisi h atinya (setelah dibersih k an dari sifat-sifat tercela) dengan sifat-sifat terpuji m ak a ia ak an m enjadi cerah dan terang seh ingga dapat m enerim a cah aya Ilah i. Sebab, h ati yang belum dibersih k an tidak ak an dapat m enerim a cah aya tersebut. Jik a m anusia yang m am pu m engosongk an h atinya dari sifat-sifat tercela (tak h alli) dan m engisinya dengan sifat-sifat yang terpuji (tahalli) m ak a segala perbuatan d an tind ak annya ak an dijalank an dengan niat yang ik h las: ik h las m elak uk an ibadah k epada Allah , ik h las m engabdi k epada k epentingan agam anya, serta ik h las bek erja untuk m elayani k epentingan k eluarga, m asyarak at, dan negaranya. Ik h las berbuat k ebaik an, m em beri pertolongan dan bantu- an k epada sesam a, tanpa m engh arapk an suatu balasan apa pun k ecuali dari Allah . Seluruh h idup dan gerak k eh idupannya di- ik h lask an untuk m encari k eridh aan Allah sem ata. D an, orang seperti inilah yang ak an m am pu m endek atk an diri k epada-Nya. Tah alli juga berarti m engh iasi diri dengan jalan m em biasak an diri bersik ap dan berbuat baik . Berusah a agar dalam setiap gerak perilak u selalu berjalan di atas k etentuan agam a, baik k ew ajiban yang bersifat “luar” (k etaatan lah ir), seperti sh alat, puasa, zak at, dan h aji, m aupun k etaatan yang bersifat “dalam ” (k etaatan batin), seperti im an, bersik ap ik h las dan juga ridh a terh adap seluruh k etentuan (taq dir) Allah . Al-Gh azali m enerangk an bah w a bersifat baik atau berak h lak terpuji berarti m engh ilangk an sem ua k ebiasaan tercela, dan ber- sam aan dengan itu m em biasak an diri dengan sifat-sifat yang baik , m encintai dan m elak uk annya. D alam rum usan lain, sebagaim ana dik atak an oleh al-Q asim i, al-Gh azali m engatak an bah w a yang di- k atak an berak h lak terpuji ialah m em buat k erelaan seluruh m ak h luk , baik dalam k eadaan lapang m aupun susah . D i dalam k itab Al- Arba’în, al-Gh azali m engatak an bah w a yang dim ak sud dengan ak h lak yang terpuji ialah bersifat tidak k ik ir dan tidak boros, tetapi di antara k eduanya. Atau dengan k ata lain, sifat yang baik itu ialah bersik ap m oderat di antara dua sik ap ek strim .70 70 Al-Ghazali, Kitab al-Arba’în fî Ushûl ad-Dîn, (Kairo: Maktabah al-Jindi, t.t.), hlm. 19.

55 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Ketiga, tajalli, yak ni terungk apnya nur gaib untuk h ati. D alam h al ini, k aum sufi m endasark an pendapatnya pada firm an Allah : “Allah adalah nur (cah aya) langit dan bum i” (Q S. an-Nur [24]: 35). Mustafa Z ah ri m endefinisik an tajalli sebagai “lenyapnya h ijâb dari sifat-sifat k em anusiaan, tersingk apnya nur yang selam a itu gaib, dan lenyapnya segala sesuatu k etik a m uncul w ajah Allah .”71 D i dalam k itabnya, Al-Munqizh m in adh -D h alâl, al-Gh azali pernah m engatak an bah w a “tersingk apnya h al-h al gaib yang m enjadi pengetah uan k ita yang h ak ik i disebabk an oleh nur yang dipancark an Allah k e dalam dada (h ati) seseorang. Pengetah uan h ak ik i tersebut tidak lah didapat dengan m enyusun dalil dan m enata argum entasi, tetapi k arena nur yang dipancark an Allah k e dalam h ati; dan nur ini m erupak an k unci untuk sek ian banyak pengetah uan. O leh k arena itu, barang siapa yang m engira bah w a tersingk apnya pengetah uan yang gaib tersebut tergantung pada dalil-dalil sem ata m ak a sesung- guh nya dia telah m enyem pitkan rah m at Allah yang luas.”72 D i d alam k itab terse b ut juga d inyatak an b ah w a k e tik a R asulullah ditanya tentang arti “m elapangk an dada” dalam firm an Allah : “Siapa yang h endak diberi petunjuk oleh Allah m ak a dia ak an dilapangk an dadanya untuk Islam ” (Q S. al-An’am [6]: 125), beliau berk ata: “Itu adalah nur yang dim asuk k an Allah k e dalam h ati.” Kem udian k etika ditanya tentang tanda-tandanya, rasul m en- jaw ab: “Menjauh i dunia yang m enipu dan m engh adap dengan se- penuh h ati k e alam abadi.” D alam h ubungan ini, rasul juga b e rsab d a: “Allah telah m e nciptak an se luruh m ak h luk d alam k egelapan, lalu m erek a dipercik an sebagian dari nur-Nya”. Nur ini m em ancar dari k em urah an Ilah i pada w ak tu-w ak tu tertentu, saat or- ang h arus berjaga-jaga untuk m enerim anya. Terk ait dengan h al ini R asulullah pernah bersabda: “Ada saat-saat di m ana k arunia Tuh anm u ak an diturunk an m ak a siapk anlah dirim u untuk itu.”73

71 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1991), hlm. 245. 72 Al-Ghazali, Al-Munqizh min adh-Dhalâl, (Beirut: al-Maktabah asy-Syu’ubiyah, t. t.), hlm. 31–32. 73 Ibid.

56 Memahami Dunia Tasawuf

Untuk lebih m endek atkan diri k epada Allah dalam rangk a m en- cari k eridh aan-Nya, ada beberapa cara dan langk ah yang diajark an k aum sufi, yak ni: (1) m elak uk an m unajat74 k epada Allah , (2) m urâ- qab ah dan m uh âsab ah ,75 (3) m em perbanyak w irid dan zik ir, (4) selalu m engingat m ati, (5) dan senantiasa ber-tafak k ur.76 Cara-cara itulah yang diyak ini dapat m endek atkan diri k epada Allah dan bisa m em eroleh ridh a-Nya.

74 Munajat adalah melaporkan diri ke hadirat Ilahi atas segala aktivitas yang dilakukan, yang baik maupun yang jelek, dengan cara khas seorang sufi. Dalam munajat itu, disampaikan segala keluhan, mengadukan nasib dengan untaian kalimat yang indah seraya memuji keagungan Allah. Ini adalah salah satu bentuk doa yang diucapkan dengan sepenuh hati dan dengan bahasa puitis, dan biasanya disertai dengan deraian air mata karena merasa banyak kekurangan, banyak berbuat salah dan dosa. Hal ini barangkali didasarkan pada firman Allah: “Hendaklah mereka sedikit tertawa dan memperbanyak menangis, sebagai balasan untuk apa yang mereka lakukan” (QS. at- Taubah [9]: 82). 75 Murâqabah merupakan hasil dari pengetahuan dan pengenalan seseorang terhadap Allah, hukum-hukum-Nya, serta ancaman­ancaman-Nya. Imam al-Ghazali berkata: “Dampak dari murâqabah bagi kehidupan manusia ialah dapat meningkatkan sikap mental, tersingkap dan terhindar dari yang meragukan dan selalu taat kepada Al- lah.” Al-Hariri berkata: “Barang siapa yang hubungannya dengan Tuhan tidak berlandaskan takwa dan murâqabah maka ia tidak akan sampai ke tingkat kasyf dan musyâhadah.” Hasan al-Basri mengatakan: “Murâqabah seseorang di dalam berbuat taat kepada Allah akan menumbuhkan keikhlasan; dan murâqabah dalam berbuat maksiat akan menumbuhkan kesadaran untuk bertobat, menyesal, dan meninggalkan perbuatan maksiat; serta murâqabah dalam menghadapi apa yang diperbolehkan (mubâh) akan menumbuhkan keinginan untuk selalu memelihara adab, bersyukur terhadap nikmat, dan senantiasa sabar dikala nikmat hilang dari tangannya. Sedangkan tentang muhâsabah, Imam al-Ghazali mengatakan: “Hakikat muhâsabah ialah selalu memikirkan dan memerhatikan apa yang telah dan akan diperbuat. Muhâsabah ini lahir dari iman dan kepercayaan terhadap hari perhitungan (hari kiamat).” 76 Tafakkur adalah merenungkan tanda-tanda (fenomena-fenomena) alam. Kegiatan tafakkur ini didasarkan pada firman Allah: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi; dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang- orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk; atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. Ali Imran [3]: 190–191). Tafakkur juga didasarkan pada hadits nabi: “Merenung sesaat lebih besar nilainya daripada amal-amal baik yang diberkahi dengan bobot yang dikerjakan oleh dua jenis makhluk (manusia dan jin).” Istilah tafakkur banyak dikenal di kalangan kaum sufi. Menurut mereka, tafakkur merupakan suatu jalan untuk memeroleh pengetahuan tentang Tuhan dalam arti yang hakiki. Imam al-Ghazali, yang dalam sejarah intelektualnya mencari kebenaran hakiki, mengambil ajaran tasawuf sebagai jalan yang mampu membawa kepada

57 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

(2)Tasaw uf ‘Am ali (Tasaw uf Sunni ‘Am ali) Tasaw uf am ali sebenarnya m erupak an k elanjutan dari tasaw uf ak h lak i k arena seseorang tidak dapat dek at dengan Allah h anya dengan am alan yang ia k erjak an sebelum ia m em bersih k an jiw anya. Jiw a yang bersih m erupak an syarat utam a untuk dapat k em bali k epada Allah k arena D ia adalah Z at yang Mah abersih dan Mah asuci, dan h anya m engingink an/m enerim a orang-orang yang suci. D alam h al ini, Allah berfirm an: “D an Allah m enyuk ai orang-orang yang bersih ” (Q S. at-Taubah [9 ]: 108) dan “Sesungguh nya Allah m e- nyuk ai orang-orang yang bertobat dan m enyuk ai orang-orang yang m ensucik an diri” (Q S. al-Baq arah [2]: 222). Proses penyucian jiw a dalam rangk a m endek atkan diri k epada Allah ak an m elew ati jalan panjang dengan stasiun-stasiun yang di- sebut m aqâm ât, dan dalam proses ini seorang sufi m em asuk i k ondisi m ental tetentu yang disebut h âl. Maqâm ât (bentuk jam ak dari m aqâm ), berarti posisi, k eduduk - an, dan tingk atan. D alam tasaw uf, m aqâm ât lazim dipah am i sebagai tem pat pem berh entian atau stasiun d alam sebuah perjalanan panjang m enuju Tuh an. Abu Nasr ath-Th usi (w . 378 H ./9 88 M .) m enjelask an bah w a m aqâm ât adalah k eduduk an seorang h am ba di

kebenaran yang hakiki. Dia mengatakan bahwa pemahaman, pemikiran atau perenungan itu dilakukan melalui hati (qalb) yang berpusat di dada, bukan dilakukan melalui akal yang berpusat di kepala. Menurut al-Ghazali, hati adalah laksana cermin yang dapat menangkap sesuatu yang ada di luarnya. Untuk dapat menangkapnya dengan baik, hati harus bersih dari kotoran dan noda; dalam arti bahwa hati harus bersih dari berbagai macam dosa. Selain itu, hendaknya manusia selalu menghitung dan memikirkan apa yang telah, sedang, dan akan diperbuatnya, yakni mana yang akan mendatangkan manfaat dan mana yang akan mendatangkan bencana. Oleh karena itu, manusia dianjurkan untuk memikirkan empat hal, yakni tentang ketaatan, kemaksiatan, sifat-sifat yang baik, dan sifat-sifat yang buruk. Jika manusia ingin mendekatkan diri kepada Allah, hendaklah ia selalu taat dan bersifat dengan sifat yang terpuji; dan sebagai lawannya ia harus meninggalkan perbuatan maksiat dan menghindari sifat-sifat yang tercela. Dengan demikian, jika manusia telah memikirkan dengan baik tentang akibat dari perbuatan maksiat dan dampak dari sifat-sifat yang tercela bagi kehidupannya, yakni perbuatan atau sifat yang akan membawanya pada kecelakaan maka selamatlah ia dari bencana dan kebinasaan, jadilah ia orang yang dikasihi dan dicintai Allah, hatinya selalu bersama Allah, Dia senantiasa terasa hadir pada setiap dan seluruh getaran jiwanya.

58 Memahami Dunia Tasawuf h adapan Allah yang berh asil diperoleh nya m elalui ibadah , per- juangan m elaw an h aw a nafsu (jih âd an-nafs), berbagai latihan spiri- tual (riyâdh ah ), dan pengh adapan segenap jiwa raga (intiqâ’) k epada Allah . M aqâm ât yang h arus dijalani oleh seorang sufi atau calon sufi terdiri atas beberapa peringk at. Abu Bak ar al-Kalabadzi (w . 380 H ./9 9 0 M .), tok oh sufi asal Buk h ara, Asia Tengah , m enyebutkan tujuh m aqâm yang h arus dilalui seorang sufi m enuju Tuh an, yaitu: tobat, zuh ud, sabar, taw ak al, ridh a, m ah ab bah (cinta), dan m a’rifah . Salah satu m aqâm terpenting m enurut Muh am m ad Am in al-Kurdi (w . 1332 H ./19 13 M .), tok oh tarek at Nak sabandiyah dari etnis K urdi, ialah tobat. Menurutnya, tobat m erupak an aw al sem ua m aqâm ât. Keduduk annya lak sana fondasi sebuah bangunan. Tanpa fondasi, bangunan tidak dapat berdiri. Tanpa tobat, seseorang tidak ak an dapat m enyucik an jiw anya dan tidak ak an dapat dek at dengan Allah . Tobat dapat dium pam ak an sebagai pintu gerbang m enuju k eh idupan sufistik . Kata tobat sendiri berasal dari bah asa Arab, taw b ah , yang berarti ‘k em bali’. D alam istilah tasaw uf, tobat ber- m ak na k em bali dari segala perbuatan tercela m enuju perbuatan terpuji, sesuai dengan k etentuan agam a. Tobat dari segala dosa m e- rupak an anjuran agam a. Banyak ayat Al-Q ur’an yang m enganjurk an m anusia untuk bertobat. Tidak k urang dari 71 k ali k ata taw b ah dengan derivasinya disebutkan dalam Al-Q ur’an.77 Abu Ish aq Ibrah im al-Matbuli (w. 29 1 H ./9 04 M.) m enjelask an bah w a tobat itu terdiri atas beberapa peringk at. Peringk at terendah ialah bertobat dari berbagai dosa besar, seperti m enyek utuk an Allah , durh ak a k epada orang tua, berzina, m em inum k h am r, sum pah palsu, dan m em bunuh tanpa alasan yang dibenark an agam a. Peringk at selanjutnya ialah tobat d ari dosa-dosa k ecil, perbuatan m ak ruh (perbuatan yang dibenci oleh Tuh an), sik ap dan tindak an yang m enyim pang dari k eutam aan, m erasa diri suci, dan m erasa telah dek at dengan Tuh an. Adapun peringk at tobat yang

77 Sebagai contoh, kata tobat terdapat dalam QS. al-Furqan [25]: 70–71, QS. an- Nur [24]: 31, dan Q.S. at-Tahrim [66]: 8.

59 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

paling tinggi ialah tobat dari k elengah an h ati m engingat Allah k endati h anya sek ejap. Im am al-Gh azali m enjelask an dalam k aryanya M inh âj al- ‘Ab id în bah w a tobat m em punyai dua sasaran.78 Pertam a, tobat m em buk a jalan dalam peningk atan k ualitas k etaatan seseorang k epada Allah sebab perbuatan dosa yang dilak uk an seseorang m engak ibatkan k eh inaan dan tertutupnya jalan untuk m elak uk an k etaatan k epada Allah . D osa yang dilak uk an seseorang secara terus- m enerus, tanpa tobat, ak an m enjadik an h atinya gelap, penuh noda h itam , k eras, dan k otor. H ati yang d em ik ian tidak m erasak an k enik m atan beribadah dan tidak m erasak an m anisnya pendek atan diri k epada Allah . Sek iranya Allah tidak m em berik an rah m at dan k asih sayang k epada h am ba-Nya yang berdosa niscaya ia ak an jatuh k e dalam k ek afiran dan k eh ancuran. Ked ua, tobat m enentuk an diterim anya am al ibadah seseorang oleh Allah . O leh k arena itu, segala bentuk k ebaik an, k etaatan, ibadah , dan doa yang dilak uk an seseorang belum diterim a Allah selam a orang itu m asih bergelimang dosa. O leh k arena itu, tobat dari segala dosa m erupak an suatu k eh arusan bagi setiap h am ba Allah yang m engh arap am alnya diterim a oleh -Nya. Selain istilah m aqâm , di dalam literatur tasaw uf juga terdapat istilah h âl (bentuk jam ak nya adalah ah w âl). H âl m erupak an k ondisi m ental, seperti perasaan senang, sedih , dan tak ut. H âl berlainan dengan m aqâm . H âl buk an diperoleh m elalui usah a m anusia, m e- laink an ia m erupak an anugerah dan rah m at dari Tuh an. H âl ber- sifat sem entara: ia datang dan pergi; dalam arti datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya m endek ati Tuh an. Mesk ipun k ondisi atau sik ap m ental itu sem ata anugerah Allah , buk an k arena latih an dan perjuangan, nam un bagi setiap orang yang ingin m eningk atkan intensitas jiw anya m ak a dia h arus berusah a m enjadik an dirinya sebagai orang yang berh ak m enerim a anu ge rah Allah tersebut. H al itu bisa dilak uk an dengan

78 Al-Ghazali, Minhâj al-’Abidin, (Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, t.t.).

60 Memahami Dunia Tasawuf m eningk atkan am al perbuatannya, baik dari segi k ualitas m aupun k uantitasnya. Selain itu, m utu im an dan m a’rifah -nya k epada Allah juga h arus lebih diefek tifk an. Jika seseorang telah m em enuh i tugas- tugas tersebut, niscaya dia berh ak m enerim a anugerah atau k arunia dari Tuh an; dan jik a Allah m engh endak i niscaya k ondisi jiw anya ak an naik dari satu tingk at k e tingk at yang lebih tinggi dan lebih sem purna. D engan dem ik ian, m aqâm dan h âl adalah dua k eadaan atau aspek yang saling terk ait. M ak in tinggi m aqâm yang dicapai oleh seseorang m ak a sem ak in tinggi pula h âl yang ia peroleh . D engan dem ik ian, h âl sebenarnya m erupak an m anifestasi dari m aqâm yang dicapai. D engan k ata lain, ia m erupak an k ondisi m ental yang di- peroleh seorang sufi sebagai anugerah dari am alan yang ia lak uk an. H anya saja, oleh k arena seorang sufi senantiasa bersik ap h ati-h ati dan berserah diri k epada Allah m ak a biasanya ia segan untuk m e- ngatak annya. Sebagaim ana m aqâm , jum lah dan form asi h âl juga diperselisih- k an oleh k aum sufi. D i antara sek ian banyak nam a dan sifat h âl tersebut, ada em pat yang terpenting, yak ni:(1) k h aw f, yak ni sik ap m ental m erasa tak ut k epada Allah ; (2) raja’, yaitu sik ap m ental yang optimis dalam m em eroleh k arunia dan nik m at Ilah i; (3) syaw q, yak ni k ondisi k ejiw aan yang m enyertai m ah ab b ah , yaitu rasa rindu yang m em ancar dari k albu k arena gelora cinta sejati k epada Allah ; dan (4) uns, yaitu terpusatnya ek spresi ruh ani k epada Allah .79

2. Tarek at dan Perk em bangannya di D unia Islam Tarek at m erupak an bentuk prak sis dari tasaw uf. Tarek at m eng- alam i perk em bangan m ak na, dari m ak na pok ok k e m ak na secara psik ologis, sam pai m ak na secara k eorganisasian.80 Kata “tarek at” berasal dari bah asa Arab, yak ni tharîqah , yang secara h arfiah berarti “jalan” sebagai m ak na pok ok . Kata tersebut sem ak na dengan k ata

79 Lihat Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, hlm. 140–152. 80 Tentang perkembangan makna, macam-macam, dan penilaian keabsahan tarekat, lihat Asep Usman Ismail, “Tasawuf”, hlm. 305–318.

61 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

syarî’ah , sh irâth, sab îl, dan m inh âj. Adapun secara istilah , tarek at m engandung arti “jalan m enuju Allah guna m endapatkan ridh a- Nya dengan cara m enaati ajaran-Nya.” Istilah tarek at (tharîqah ) dalam tasaw uf sering dih ubungk an dengan dua istilah lain, yak ni syarî‘ah (syari’at) dan h aqîqah (h ak ik at). Ketiga istilah tersebut dipak ai untuk m enggam bark an peringk at pengh ayatan k eagam aan seorang m uslim . Pengh ayatan k eagam aan peringk at aw al disebut syari’at, peringk at k edua disebut tarek at, se m e ntara pe ringk at yang tertinggi ad alah h ak ik at. Syari’at m erupak an jenis pengh ayatan k eagam aan ek soterik , sedangk an tarek at merupak an jenis pengh ayatan k eagam aan esoteris. Adapun h ak ik at secara h arfiah berarti “k ebenaran”, nam un yang dim ak sud dengan h ak ik at di sini ialah pengetah uan yang h ak ik i tentang Tuh an, yang d iaw ali d e ngan pe ngam alan syari’at d an tare k at se cara seim bang. D i sam ping pengertian tersebut, tarek at juga sering dim ak nai sebagai “cara” atau “m etode”, yak ni cara atau m etode untuk m en- dek atkan diri k epada Allah m elalui am alan yang telah ditentuk an dan dicontoh k an oleh Nabi Muh am m ad, dik erjak an oleh para sah a- bat dan tabiin, dan k em udian secara sam bung-m enyam bung di- terusk an oleh guru-guru tarek at. Transm isi ruh aniah dari seorang guru tarek at k epada guru tarek at berik utnya diistilah k an dengan “silsilah tarek at”. Guru tarek at itu sendiri biasa dipanggil m ursyid (pem bim bing spiritual). Pada perk em bangannya, k ata tarek at m engalam i pergeseran m ak na. Jik a pada m ulanya tarek at berarti jalan yang ditem puh oleh seorang sufi dalam m endek atkan diri k epada Allah m ak a pada tah ap selanjutnya istilah tarek at digunak an untuk m enunjuk pada suatu m etode psik ologis yang dilak uk an oleh guru tasaw uf (m ursyid ) k e- pada m uridnya untuk m engenal Tuh an secara m endalam . Melalui m etode psik ologis tersebut, m urid dilatih m engam alkan syari’at dan latih an-latih an k eruh anian secara k etat seh ingga ia m encapai pengetah uan yang sebenarnya tentang Tuh an.

62 Memahami Dunia Tasawuf

Peranan m ursyid di dalam tarek at m irip dengan peranan se- orang dok ter. Mursyid adalah orang yang m endiagnosis penyak it h ati dan m enentuk an pengobatannya, agar m urid sanggup m enyadari k eh adiran Tuh an dalam h idupnya. Tarek at sebagai dim ensi esoteris ajaran Islam m em punyai segi-segi ek sk lusif m e- nyangk ut h al-h al yang bersifat “rah asia”. Bobot k eruh aniannya yang am at dalam tentu tidak sem uanya dapat dim engerti oleh orang yang h anya m enek uni dim ensi ek soterik ajaran Islam . O leh k arena itu, tidak jarang terjadi salah pengertian dari k alangan aw am yang m elihatnya. Seseorang tidak dibenark an m engam alkan tarek at tanpa bim bingan seorang m ursyid yang terpercaya dan yang sudah diak ui k ew enangannya dalam m engajark an tarek at. Kew enangan (ijâzah ) untuk m engajark an tarek at bagi seorang m ursyid diperoleh dari gurunya secara m utaw atir seh ingga m em bentuk m ata rantai guru- guru tarek at yang disebut “silsilah tarek at”. Pada m ulanya, suatu tarek at h anya berupa “jalan atau m etode yang ditem puh oleh seorang sufi secara individual”. Kem udian para sufi itu m engajark an pengalam annya k epada m urid-m uridnya, baik secara individual m aupun k olek tif. D ari sini, terbentuk lah suatu tarek at, dalam pengertian “jalan m enuju Tuh an di baw ah bim bingan seorang guru”. Setelah suatu tarek at m em ilik i anggota yang cuk up banyak m ak a tarek at tersebut k em udian dilem bagak an dan m enjadi sebuah organisasi tarek at. Pada tah ap ini, tarek at dim ak nai sebagai “organisasi sejum lah orang yang berusah a m engik uti k eh idupan tasaw uf”. D engan dem ik ian, di dunia Islam dik enal beberapa tarek at besar, seperti Tarek at Qadiriyah , Naqsyabandiyah , Syathariyah , Sam - m aniyah , Kh alwatiyah , Tijaniyah , Idrisiyah , dan R ifaiyah . D ilih at dari ajaran ortodok s Islam , ada tarek at yang dipandang sah (m u’tab arah ) dan ada pula tarek at yang dianggap tidak sah (gh air m u‘tab arah ). Suatu tarek at dik atak an sah jik a m em ilik i m ata rantai (silsilah ) yang m utaw atir seh ingga am alan dalam tarek at tersebut dapat dipertanggungjaw abk an secara syari’at. Sebalik nya, jika suatu tarek at tidak m em iliki m ata rantai (silsilah ) yang m utaw atir seh ingga ajaran tarek at tersebut tidak dapat dipertanggungjaw abk an secara

63 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

syari’at m ak a ia dianggap tidak m em ilik i dasar k eabsah an dan oleh k arenanya disebut tarek at yang tidak sah (gh air al-m u’tab arah ). D alam k ajian Asep Usm a Ism ail disebutkan bah w a di Indone- sia terdapat tarek at-tarek at besar yang m u‘tab arah . Tarek at-tarek at itu m asuk k e Nusantara bersam aan dengan proses m asuk dan ber- k em bangnya agam a Islam . D i lingk ungan organisasi Nah dh atul Ulam a (NU), para pengam al tarek at m u‘tab arah itu bernaung di baw ah organisasi tarek at yang dik enal dengan nam a Jam’iyyah Th ariqah Mu’tabarah (Perk um pulan Tarek at yang Sah ). Perk um pulan tarek at ini bertujuan, antara lain, untuk m em berik an arah an agar pengam alan tarek at di lingk ungan organisasi para ulam a itu tidak m enyim pang dari k etentuan ajaran Islam . Mesk ipun dem ik ian, w ew enang untuk m engaw asi am alan sebuah tarek at sebenarnya tidak sepenuh nya berada di atas pundak para ulam a NU. Pengaw asan dan pem berian label k eabsah an bagi suatu tarek at adalah tanggung jaw ab k aum m uslim pada um um nya, yang pelak sanaannya didelegasik an k epada ulam a.81 Asep Usm an Ism ail lebih lanjut m enjelask an bah w a standar penilaian yang digunak an untuk m enentuk an apak ah sebuah tarek at tergolong m u’tabarah atau tidak adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muh am m ad, serta am alan para sah abat. Sem angat yang m enjiw ai tarek at m u’tab arah ini ialah k eselarasan dan k esesuaian antara ajar- an esoteris Islam dengan ajaran ek soterisnya. Sem angat seperti ini telah dirintis oleh Im am al-Q usyairi dan k em udian disem purnak an oleh Im am al-Gh azali seh ingga m encapai puncak k em apanannya. D alam h al ini, Al-Q ur’an dan sunnah nabi senantiasa m enjadi k riteria utam a untuk m enentuk an k eabsah an sebuah tarek at.82 Pem ik iran al-Gh azali m em ilik i pengaruh yang dom inan dalam pengh ayatan k eagam aan k aum m uslim di Indonesia pada k h ususnya dan di Asia Tenggara pada um um nya. NU sebagai salah satu organi- sasi sosial k eagam aan terbesar di Indonesia, dalam m uk tam arnya di Situbondo pada 19 84 m enetapk an secara form al bah w a salah satu 81 Asep Usman Ismail, “Tasawuf”, hlm. 317–318. 82 Ibid., hlm. 318.

64 Memahami Dunia Tasawuf k etentuan tentang pah am Ah lussunnah W aljam a’ah dalam tasaw uf ialah m engik uti tarek at m u’tabarah dengan berpedom an pada ajaran al-Gh azali, dan ajaran para tok oh sufi Sunni yang lain.83 D i dalam sebuah organisasi tarek at terd apat se jum lah k om ponen yang m eliputi: guru, m urid, am alan, zaw iyyah , dan ad ab .84 a. Guru tarek at D alam sebuah tarek at sufi, seorang guru tarek at, atau biasa juga disebut syaik h , m urad , pir, atau m ursyid , m em ilik i peranan penting dan bah k an m utlak . Jik a para ulam a sebagai pew aris nabi m engajark an ilmu lah ir m ak a para m ursyid tarek at m enjadi pew aris nabi dalam h al m engajark an pengh ayatan k eagam aan yang bersifat batin. O leh k arena itu, dalam setiap silsilah tarek at, terlih at posisi nabi berada pada puncak nya, setelah Allah dan Jibril. Seorang syaik h atau m ursyid h arus m enguasai ilmu syari’at dan ilmu h ak ik at secara m endalam dan lengk ap. Pem ik iran, perk ataan, dan perilak unya h arus m encerm ink an ak h lak terpuji. D alam m em - bim bing penyem buh an m urid-m uridnya, seorang m ursyid dibantu oleh beberapa w ak il yang disebut k h alifah atau b adal. D alam tradisi tarek at Q adiriyah -Naqsyabandiyah , para w ak il m ursyid biasa disebut W ak il Talkin. Ini dik aitkan dengan salah satu fungsi utam a m ursyid tarek at, yak ni m em berik an talkin k epada calon m urid yang ak an m engik uti latih an k eh idupan tarek at. b. Murid atau sâlik tarek at Seorang k andidat sâlik disyaratk an h arus berjanji setia k epada dirinya di h adapan m ursyid bah w a ia ak an m engam alkan segala bentuk am alan dan w irid yang telah diajark an guru k epadanya dengan sungguh -sungguh . Janji setia itu d ik enal d engan istilah baiat (bay’ah ). 83 Di Indonesia, organisasi sosial keagamaan yang juga memerhatikan masalah tarekat, selain NU, adalah Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Sumatera Barat dan Jam’iyah al-Washliyah di Sumatera Utara. Lihat ibid. 84 Ibid., hlm. 318–322.

65 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

D alam k eh idupan tarek at, dik enal dua jenis baiat, yak ni: (1) bay’ah sh uw ariyah dan (2) bay’ah m a’naw iyah . Baiat pertam a adalah baiat k andidat sâlik dalam m engak ui bah w a m ursyid yang m em baiatnya itu adalah gurunya, tem pat ia berk onsultasi tentang berbagai m asalah k eruh anian, dan sang guru juga m engak ui bah w a orang tersebut adalah m uridnya. Kandidat sâlik seperti ini tidak perlu m eninggalkan k e- luarganya untuk m enetap di dalam zaw iyyah tarek at guna bersuluk atau berzik ir bersam a sang guru. Ia boleh tinggal di rum ah dan m elak uk an pek erjaan seh ari-h ari sesuai dengan profesinya. Ia cuk up m engam alkan w irid dan berbagai am alan pada w ak tu-w ak tu tertentu sesuai dengan apa yang telah diajark an oleh m ursyid. Mesk i dem ik ian, ia diperboleh k an m engunjungi zaw iyyah k apan saja ia sem pat. Adapun baiat yang k edua adalah baiat k andidat sâlik dalam m engak ui bah w a ia bersedia dididik dan dilatih m enjadi sufi yang ‘arif bi Allah . Sâlik yang m enyatak an baiat dem ik ian h arus m eninggalk an k eluarga dan tugas k eduniawian. Ia ber-k h alwat dalam zaw iyyah tarek at untuk beberapa tah un, sesuai dengan bim bingan sang m ursyid. c. Am alan atau w irid tarek at Salah satu am alan utam a yang m enjadi inti w irid tarek at ialah zik ir. Sem ua k elom pok tarek at m engajark an zik ir.85 Lantas apa m ak na zik ir itu sendiri? D alam h al ini para ulam a sepak at bah w a zik ir adalah m enyebut asm a (nam a-k alim at) Allah dengan ungk apan- ungk apan yang baik (k alim ah thayyib ah ), yang telah ditentuk an oleh ajaran Islam , seperti m em baca tash b ih (Sub h âna Allâh - M ah a Suci Allah ); tah m id (Alh am dulillâh - Segala Puji bagi Allah ); tak bîr (Allâhu Ak b ar - Allah M ah abesar); dan m em baca tah lîl (Lâ ilâh a illâ Allâh - Tiada Tuh an selain Allah ).

85 Dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang mengisyaratkan peranan zikir dalam kehidupan orang-orang beriman, seperti firman Allah: “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah karena hanya dengan mengingat Allah maka hati menjadi tenteram” (QS. ar-Ra’d [13]: 28 dan “Oleh karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku juga akan ingat kepadamu dan bersyukurlah kepada­Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku (QS. al-Baqarah [2]: 152). Dalam ayat lain juga ada peringatan agar manusia tidak lupa kepada Allah karena hal itu akan mengakibatkan Allah membuat manusia lupa kepada diri sendiri (QS.al-Hasyr [59]: 19).

66 Memahami Dunia Tasawuf

Selain m em baca k alim at-k alim at di atas, m em baca Al-Q ur’an dan doa-doa yang bersum ber dari k itab suci juga term asuk dalam pengertian zik ir. Para ah li tarek at telah berh asil m em prak tik k an ber- bagai tek nik berzik ir secara sistem atis. Merek a m em bagi zik ir atas dua bagian, yak ni zik ir yang diucapk an dengan lisan (zik r jah r) dan zik ir yang diingat dalam k albu (zik r k h afi). Ucapan yang m erek a pilih dalam zik r jah r ialah k alim at Lâ ilâh a illâ Allâh . M erek a m em ilih ungk apan tah lîl sebagai form ulasi zik ir k arena ia m engandung suatu pernyataan yang lengk ap bagi seorang m uslim , yaitu penegasian tuh an-tuh an selain Allah . D engan pengucapan k alimat Lâ ilâh a illâ Allâh m ak a dapat dipastikan bah w a orang yang m engucapk annya adalah m uslim. Ini berbeda dengan ucapan tasbîh , tah m îd , dan tak b îr, yang tidak dapat m engubah status seseorang yang buk an m uslim m enjadi m uslim . D alam k aitan ini, nabi sendiri telah m enyatak an dalam h aditsnya: “Sebaik -baik ucapank u dan ucapan para nabi sebelum k u ialah Lâ ilâh a illâ Allâh ” (H R . Abu H urairah dari Jabir bin Abdullah ). Kalimat Lâ ilâh a illâ Allâh disebut juga sebagai k alim at tauh id dan k alim at zik ir nafi-itsb at (penafian dan penguk uh an). D alam k alim at Lâ ilâh a (tiada Tuh an) terk andung m ak na m enafik an, tidak ada yang patut disem bah , tidak ada yang k aya, dan tidak ada yang k uasa. Setelah itu k em udian dik uk uh k an dengan k alim at illâ Allah (selain Allah ) yang m engandung pengertian bah w a Allah lah satu- satunya yang berh ak disem bah , Yang Mah ak aya, Mah ak uasa, dan Mah a segalanya. Tarek at Q adiriyah term asuk salah satu tarek at yang m engutam ak an pengam alan zik ir nafi-isb at ini. d. Z aw iyah Tarek at Z aw iyah adalah m ajelis tem pat para sâlik m engam alkan suluk , zik ir, dan berbagai w irid tarek at yang lain, seperti m em baca m anâk ib Syaik h Ab d ul Q ad ir al-Jailani d an m e m b aca r atib Syaik h Muh am m ad Sam an. Latar belak ang m unculnya zaw iyat tidak lepas dari k ebiasaan k aum sufi dalam m engem bara dari satu tem pat k e tem pat yang lain. M erek a berw atak k osm opolitan dalam m encari pem bim bing ruh ani, tanpa terik at oleh batas-batas teritorial suatu

67 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

negara. D ari k ebiasaan tersebut, terbentuk lah pusat-pusat k egiatan k aum sufi di berbagai k aw asan dunia Islam . e. Adab atau etika sâlik dengan syaik h tarek at Menurut Ibn Arabi, seorang sâlik di h adapan gurunya h en- dak lah bersik ap bagaik an m ayat yang berada di tangan orang yang m em andik annya. D ari sini k em udian m uncul sederet etik a sâlik terh adap gurunya, yang m eliputi: (1)Sâlik tidak boleh berprasangk a buruk atau ragu terh adap gurunya; (2)sâlik tidak boleh duduk pada tem pat yang biasa diduduk i oleh gurunya; (3)sâlik tidak boleh m em ak ai suatu barang yang biasa dipak ai oleh gurunya; (4)apabila sang guru m enyuruh sâlik m engerjak an sesuatu m ak a h endak lah ia segera m engerjak annya; (5)sâlik tidak boleh m engajuk an usul apa pun jik a ia tidak atau belum m em ah am i jenis pek erjaan itu; (6)jik a sâlik m elih at gurunya berjalan k e suatu arah , ia tidak boleh bertanya k e m ana gurunya pergi; (7)sâlik tidak boleh m enik ah i janda gurunya k etik a gurunya telah bercerai atau m eninggal dunia; dan (8)m urid yang berani m elaw an gurunya dalam sebuah tarek at di- pandang telah m elaw an Allah k arena syaik h tarek at itu bersam a- sam a dengan Allah dan ia berposisi sebagai m azh âriyah (pe- nam pak an diri) Allah . Pengh orm atan dan k etaatan seorang m urid k epada m ursyid m erupak an k om ponen penting dalam tarek at. M enurut Ibn Arabi, seorang sâlik yang tidak h orm at dan tidak taat k epada sang guru m ak a h ancurlah ad ab -nya k epada Nabi Muh am m ad. Sebab, syaik h adalah w ak il Nabi Muh am m ad dalam k epem im pinan ruh ani sam pai k e h adirat Allah . D alam Al-Q ur’an dijelask an bah w a orang yang berim an tidak m engajuk an pertanyaan apa pun k epada nabi

68 Memahami Dunia Tasawuf tentang b e rb agai h al yang jik a d iterangk an justru ak an m endatangk an k esuk aran bagi m erek a.86 O leh k arena itu, para sâlik dalam sebuah tarek at h arus m em elih ara ad ab k epada gurunya. Merek a tidak boleh berdisk usi, m enyanggah , atau m em pertanyak an pesan-pesan gurunya. Ad ab k epada guru ini dim ak sudk an agar seorang sâlik m em eroleh lim pah an berk ah dari sang guru guna m eningk atkan m aqâm -nya; sebab lim pah an berk ah itu adalah atas izin Allah , yang h anya dik aruniak an k epada m urid yang berk h idm at atau m engabdi k epada gurunya secara tulus. D i baw ah ini disajikan dua tabel untuk dik etah ui pok ok -pok ok tasaw uf dan tarek at. Tabel 1: D im ensi Ajaran Tasaw uf dan Tarek at

Keterangan Sumber: Tabel dibuat oleh penulis atas dasar kajian Asep Usman Isma’il, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, “Tasawuf”, hlm. 305-322.

86 QS. al-Maídah [5]: 101

69 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah Tabel 2: Tabel Perk emKomMakdan bangan na ponenTarek at

70 Memahami Dunia Tasawuf

71 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah Ensikpoledi . Sebagaimana tabel di atas, tabel ini juga dibuat oleh penulis atas dasar kajian Asep Usman Ismail, dalamIsmail, Usman Asep kajian dasar atas penulis oleh dibuat juga ini tabel atas, di tabel Sebagaimana Islam.Isma’il,Utsman Lihat Tematis Dunia Tasawuf, hlm. 305-322 Keterangan Keterangan sumber:

72 Memahami Dunia Tasawuf

D ari pem bah asan di atas dapat dipah am i bah w a tasaw uf pada um um nya m erupak an usah a suluk (perjalanan ruh ani) seorang h am ba untuk m encapai batas k edek atan k epada Allah . D alam proses suluk ini ada bim bingan ruh ani dari m ursyid k epada m urid sesuai dengan jalur silsilah tarek atnya. Pada silsilah inilah ada h ierark i yang dapat diluk isk an seperti gam baran berik ut ini.

Gam bar 1: H irark i dalam Tasaw uf/Tarek at pada Um um nya

Allah

M alaik at Jibril a.s.

Nabi Muh am m ad Saw . Dari Nabi Muh am ad sam pai k e m urid disebut “jalur silsilah ”. Pendiri Tarek at Jalur silsilah d iperoleh d e ngan proses b aiat (janji setia) m urid di Mursyid/Murad/Syaik h /Pir h adapan m ursyid.

Mursyid/Murad/Syaik h /Pir Jalur silsilah se m ak in lam a se- m ak in panjang k arena sem ak in Mursyid/Murad/Syaik h /Pir jauh nya m asa h idup antara m urid dan pendiri tarek at. D an seterusnya Targe t k e tasaw ufannya ad alah Mursyid/Murad/Syaik h /Pir k esucian jiw a dalam rangk a m en- dek atan diri k epada Allah dan Murid m engh arapk an ridh a-Nya.

D ari uraian di atas dapatlah disim pulkan bah w a visi berbagai aliran tasaw uf secara um um adalah “m enjadik an tasaw uf sebagai sarana batiniah untuk terciptanya k edek atan diri k epada Allah guna m endapatkan ridh a-Nya dengan m enaati ajaran-Nya. Sem entara m isinya adalah “m enyucik an jiw a guna m endek atkan diri k epada

73 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat WahidiyahMemahami Dunia Tasawuf

Allah ”. Proses penyucian jiw a ini dilak sanak an dengan tujuh tah ap, yak ni: (1) tobat, (2) zuh ud , (3) sabar, (4) tawak k al, (5) cinta (m ah ab b ah ), (6) dan (7) m a’rifat. Sedangk an instrum en batiniah untuk penyucian jiw a adalah perangk at zik ir yang telah diram u sedem ik ian rupa oleh tiap-tiap para pendiri aliran tasaw uf.

D.Aliran-Aliran Tarek at di D unia Islam

1. Aliran-Aliran Tarek at yang Terk enal D i dunia Islam terdapat banyak sek ali aliran tarek at. Ak an tetapi, tidak sem ua aliran tarek at tersebut m am pu berk em bang dan bertah an serta tersebar secara luas. Berik ut ini k am i sajik an daftar aliran tarek at yang populer dan tersebar secara luas di dunia Islam .

Tabel 3: Aliran-Aliran Tarek at yang Terk enal

74 Memahami Dunia Tasawuf

75 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

D ari data-data di atas dapat dik etah ui bah w a h am pir sem ua aliran tarek at yang terk enal (38 aliran tarek at / 86%) m enisbatkan nam a aliran tarek atnya pada nam a pendirinya. Sedangk an sebagian k ecil lainnya, yak ni 6 aliran (14%), tidak m enisbatkan nam a tarek atnya pada nam a pendirinya. Lih at tabel berik ut ini.

Tabel 4: Nam a Aliran Tarek at yang Tidak D inisbatkan pada Nam a Pendirim ya

Aliran-aliran tarek at terk enal yang disebutkan pada tabel 3 tersebar di beberapa negara, term asuk di Indonesia, sebagai pusat perk em bangannya. Jik a dilak uk an perbandingan k uantitas aliran tarek at di beberapa negara yang m enjadi pusat perk em bangannya m ak a gam barannya dapat dik etah ui pada tabel berik ut ini.

76 Memahami Dunia Tasawuf

Tabel 5: Perbandingan Kuantitas Aliran Tarek at

D ari data tersebut dapat dik etah ui bah w a negara Turk i m en- dom inasi peringk at tertinggi sebagai pusat k em unculan aliran-aliran tarek at terk enal di dunia Islam . Setelah itu, Saudi Arabia, Iran, dan Irak m enem pati posisi berik utnya. Sedangk an Indonesia m enduduk i peringk at yang sam a dengan Mesir, Marok o, Lebanon, dan Anatolia, di baw ah peringk at Suriah , Yunani, India, dan Aljazair.

77 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Ak an tetapi, di sini juga h arus dicerm ati bah w a berdasark an h asil penelitian penulis, sebenarnya ada dua aliran “tasaw uf” yang m erupak an produk asli Indonesia, yak ni aliran Sh iddiq iyah dan aliran W ah idiyah . Aliran yang terak h ir ini didirik an oleh KH . Abdoel Madjid Ma’roef pada 19 63 dengan pusat perk em bangannya di Kabupaten Kediri, Jaw a Tim ur. Ak an tetapi, oleh k arena W ah idiyah h anya m erupak an aliran tasaw uf, buk an aliran tarek at, ia tidak term asuk dalam daftar aliran-aliran tarek at terk enal m enurut versi Ensik loped i Tem atis D unia Islam , m esk ipun perk em bangan aliran W ah idiyah ini sejak sepuluh tah un yang lalu telah berk em bang k e m anca negara. Mengenai posisi W ah idiyah sebagai gerak an tasaw uf, dan buk an gerak an tarek at juga dinyatak an oleh Gus D ur (KH . Abdurrah m an W ah id). Pada 19 74 Gus D ur dim inta oleh LIPI (dalam h al ini, ia dim inta oleh Bapak D r. Taufik Abdullah ) dari LEM NAS (Lem baga Ek onom i Nasional) untuk m enyelidik i k eadaan dan k eh idupan orang-orang yang m enjalani k eh idupan tasaw uf di Indonesia. D ari h asil penelitiannya, Gus D ur berk esim pulan bah w a orang yang m enjalani k eh idupan tasaw uf di Indonesia bisa dibagi m enjadi dua: pertam a, orang yang bertasaw uf ak h lak nya, seperti w arga Muh am - m adiyah . Merek a bisa saja bertasaw uf m esk ipun tidak m enjadi anggota gerak an tasaw uf m ana pun. Ked ua, orang yang m enjadi anggota gerak an tasaw uf. Kelom pok k edua ini dibagi m enjadi dua golongan; (a) anggota tarek at (ada 45 tarek at m u’tab arah ) dan (b) anggota gerak an tasaw uf tertentu, nam un buk an tarek at. D i sini, W ah idiyah m asuk dalam k ategori yang k edua k arena m engajak m anusia k em bali k epada Allah dengan seruan Fafirrû Ilallâh ).87

87 Sumber data: kaset rekaman fatwa dan amanat Gus Dur pada acara Mujahadah Nisfussanah di DKI Jakarta pada 2 April 2000 (dokumen DPP PSW). Kapasitas Gus Dur ketika itu adalah sebagai Presiden RI dan tidak terlepas dari kapasitasnya sebagai tokoh strategis NU.

78 Memahami Dunia Tasawuf

E. Pem ik iran Tasaw uf di Indonesia Tentang pem ik iran tasaw uf di Indonesia, ada h asil penelitian yang berh arga untuk diperh atik an sebagai pertim bangan referensi, yak ni penelitian M. Solih in dalam buk unya Melacak Pem ik iran Tasaw uf d i Nusantara.88 D alam penelitiannya, M. Solih in m enyim pulkan bah w a Is- lam datang pertam a k ali k e w ilayah Aceh . O leh k arena itu, Aceh sek aligus berperanan penting dalam penyebaran tasaw uf k e seluruh w ilayah Nusantara, term asuk juga k e sem enanjung-sem enanjung Melayu. Tasaw uf yang singgah pertam a k ali di Aceh m em ilik i corak falsafi. Tasaw uf falsafi ini begitu k uat tersebar dan dianut oleh sebagian m asyarak at Aceh , dengan tok oh utam a•nya adalah H am zah Fansuri dan Syam suddin al-Sum atrani. D ua tok oh sufi-falsafi ini m em punyai pengaruh cuk up besar h ingga corak ajaran tasaw uf yang diajark annya tersebar k e daerah -daerah lain di Nusantara. Keh adiran tasaw uf yang bercorak falasafi ini k em udian disusul oleh tasaw uf yang bercorak sunni. Kedatangan tasaw uf sunni m enjadi sem acam k orek si terh adap pem ah am an tasaw uf falsafi yang cen- derung m anut pada ajaran-ajaran Ibnu Arabi dan al-Jili atau bah k an al-H allaj. D engan k eh adiran dua aliran tasaw uf yang berbeda h aluan ini, m enggam bark an bah w a di Indonesia terjadi polem ik yang tarik - m enarik antara k eduanya. Masing-m asing m em punyai argum en- argum en yang m enguatkan m asing-m asing aliran Tasaw uf tersebut. Mesk i bagaim anapun, dua aliran tasaw uf itu k em udian m e- w arnai pem ah am an-pem ah am an tasaw uf di seluruh daerah di In- donesia dan sem enanjung Melayu lainnya. Munculnya dua tok oh Aceh yang bercorak falsafi di atas k em udian disusul oleh ar-R aniri, Abd R a’uf al-Sink ili, Abd Sh am ad al-Palim bani, W ali Songo, Abd Muh yi Pam ijah an, Muh am m ad Aidrus, Syaik h Yusuf al-Mak assari. Munculnya tok oh sufi pasca-H am zah Fansuri dan al-Sum atrani ini

88 M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005).

79 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

lebih m enam pak k an ajaran tasaw uf yang tipik al al-Gh azali. Bah k an, tasaw uf yang bernuansa pem ah am an al-Gh azali ini k em udian m enjadi begitu dom inan di Nusantara h ingga k ini. D em ik ian juga yang k elihatan cuk up m enarik , ternyata m erek a h adir m enyebark an tasaw uf di Indonesia dengan berlatarbelak ang tarek at yang dibaw a dari guru-guru m erek a, baik yang langsung dari sum ber-sum ber Arab seperti al-Q usyairi, al-Kurani, dan tok oh lainnya, m aupun lew at belajar pada ulam a-ulam a sufi yang sudah ada di Indonesia. O leh k arena itulah sering ditem uk an sejum lah tarek at yang berk em bang di Indonesia, m isalnya Qadiriyah , Naqsyabandiyah , Syathariyah , Kh alwatiyah , dan Sam m aniyah . Pada sisi lain patut diperh atik an juga bah w a ada dua tok oh lain yang m em perk aya k h azanah k etasaw ufan di Indonesia, yak ni R onggow arsito di Jaw a Tengah yang bernuansa “Kejaw en” dan H aji H asan Musthafa di Jaw a Barat yang bernuansa alam “Pasundan”. Kedua tok oh ini m em punyai pem ah am an spiritual yang berbeda dengan tok oh -tok oh lainnya. M erek a m em erlih atkan adanya per- gum ulan antara pem ik iran tasaw uf dengan budaya setem pat. Berdasark an data-data yang ada, sufi-sufi tersebut di atas cuk up m em ah am i ajaran-ajaran w ah dah al-w ujûd atau w ujudiyah m ilik Ibn Arabi dan ajaran insân k âm il m ilik al-Jili, dengan basis teori tanazzul dan tajalli. Teori-teori yang terk esan m em baw a ph anteism e ini k em udiann m asuk k e Nusantara m elalui dua tok oh Aceh seperti yang disebutkan di atas. Teori-teori produk dua tok oh ini sem ak in k uat pengaruh nya k arena ditopang juga oleh Muh am m ad Fadh lullah al-Burh anpuri (tok oh tasaw uf k elah iran India). Ia juga m em punyai pengaruh yang tidak k alah pentingnya dibanding dengan Ibn Arabi dan al-Jili bagi sufi-sufi di Indonesia. H al ini terutam a disebabk an oleh buk u Tuh fah k arya al-Burh anpuri yang m asuk dan dipelajari oleh beberapa sufi di Indonesia. Kem udian k onsep w ah d ah al-w ujûd k arya Ibn Arabi dan insân k âm il produk al-Jili be rpad u d engan Tuh fah m ilik al-Burh anpuri seh ingga m elah irk an teori Martabat Tujuh . Teori ini terlihat m ew arnai w acana pem ik iran-pem ik iran sufi Indonesia. H anya saja, k em udian dapat

80 Memahami Dunia Tasawuf dibedak an siapa tokoh yang m enganut seutuh nya perpaduan pem ik iran Ibn Arabi, al-Jili, dan al-Burh anpuri, serta siapa yang k em udian m enolak pah am k etiga sufi itu yang banyak dik laim sebagai penganut w ujûdiyyah m ulhid ah . Teori Martabat Tujuh ternyata berh ubungan erat dengan pah am tanazzul dan tajalli, dan ini ternyata m enjadi fenom ena yang banyak dijum pai di Indonesia. Konsep m artabat tujuh m erupak an tingk atan-tingk atan perw ujudan m elalui tujuh m artabat, yaitu: (1) ah ad iyah , (2) w ah d ah , (3) w âh id iyah , (4) ‘alam arw ah , (5) ‘alam m itsal, (6) ‘alam ajsâm , dan (7) ‘alam insân. Para pem erh ati m artabat tujuh di Pulau Jaw a m engenal ungk apan la d ud u ik u iya ik i, sejatine ik u iya (buk an itu iya ini, sesungguh nya m em ang iya), yang artinya bah w a h ak ik at ini dan itu adalah sam a, itu-itu juga. Ungk apan ini dalam istilah H aji H asan Musthafa dik enal dengan ungk ap•annya disebut aing da itu, disebut itu da aing (apabila dik ata•k an ak u k enyataannya itu; dan apabila dik atak an itu, k enyataannya ak u). Atas dasar pem ah am an terh adap ungk apan-ungk apan itulah m ak a banyak tok oh yang m engidentik k an ajaran m artabat tujuh dengan w ah d ah al-w ujûd (m anunggaling k aw ula-Gusti). Kecenderungan k epada pah am m anung•galing k aw ula-Gusti itulah yang k em udian ditolak k eras oleh para sufi bercorak Sunni di Indonesia, m isalnya Nuruddin ar-Raniri dan Sayyid Alaw i. Kem udian ada em pat tok oh tasaw uf yang sedik it berbeda dengan ar-R aniri dan Alaw i, yak ni Abd Sh am ad al-Palim bani, Abd R a’uf as-Sink li, Muh am m ad ‘Aidrus, dan Syaik h Yusuf al-Mak assari. Keem pat sufi ini berpegang teguh pada transendensi Tuh an. Mesk ipun secara spiritual m anusia dapat dek at (qurb) dengan Tuh an, k eem pat sufi ini berpegangan bah w a proses q urb tid ak ak an m engam bil bentuk k esatuan w ujud antara m anusia dengan Tuh an. D engan dem ik ian, em pat sufi ini lebih m oderat dalam pem ah am an tentang ajaran w ujud iyyah atau m artab at tujuh seh ingga ada yang m enyebut aliran tasaw uf m erek a ini bercorak neosufism e. Istilah neosufism e ini k elih atan m enunjuk pada pah am tasaw uf yang m engam bil jalan tengah , yak ni pah am yang m enafsirk an k onsep

81 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

yang agak “m engh eboh k an” itu dengan m enggunak an analisis dan penafsiran gaya al-Gh azali, al-Junaidi, atau al-Q usyairi, yang tetap m em bedak an antara m anusia dengan Tuh an, yang k eduanya tidak m ungk in dapat bersatu, k endatipun m anusia dapat dek at (qurb ) d e ngan Tuh an lew at ib ad ah d an pe m ah am an yang tetap berlandask an syari’at. Pem ah am an seperti itu k elih atannya lebih tegas dipah am i oleh W ali Songo di Pulau Jaw a, yang lebih tam pak corak sunninya. Gaya- gaya penafsiran m erek a ini k elih atan tetap cenderung pada tasaw uf sunni. Tasaw uf sunni ini cuk up m em engaruh i, bah k an um um nya dianut di Indonesia sam pai sek arang. Untuk m engetah ui secara ringk as pok ok -pok ok pem ik iran dan para tok oh tasaw uf di Indonesia, sim ak tabel berik ut ini:88

88 Ibid.

82 Memahami Dunia Tasawuf Tabel 6: Tabel Pem ik iran Tasaw uf di Indonesiadi Pem uf ikTasaw iran

83 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

84 Memahami Dunia Tasawuf

85 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

86 Memahami Dunia Tasawuf

87 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

88 Memahami Dunia Tasawuf

89 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

90 Memahami Dunia Tasawuf

91 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Pem ik iran tasaw uf sebagaim ana term uat dalam tabel di depan m erupak an h asil pem ik iran para tok oh sufi Indonesia. Mesk ipun ada proses derivasi dari tasaw uf falsafi yang m asuk k e Indonesia m elalui Aceh , ijtih ad m erek a untuk m em produk pem ik iran k h as tasaw uf di di negeri ini m enjadi k h azanah tersendiri. Bah k an pem ik iran tasaw uf m erek a dituangk an dalam banyak k arya yang m enggunak an anek a bah asa (Arab, Inggris, dan daerah ). H al inilah yang m em bedak annya dengan aliran-aliran pem ik iran tasaw uf yang ada dan aliran-aliran tarek at di Indonesia yang berusah a m em pertah ank an corak tasaw uf dari sum bernya di Tim ur Tengah .

92 3 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

A. Sejarah R ingk as Shalaw at W ah idiyah Pada aw al Juli 19 59 , KH . Abdoel Madjid Ma’roef, pengasuh Pesantren Kedunglo, Bandar Lor, Kediri, m enerim a petunjuk gaib, atau “alam at gaib”— m enurut istilah KH . Ma'roef—dalam k eadaan antara terjaga dan sadar, buk an dalam alam m im pi. Mak sud dan isi “alam at gaib” tersebut adalah : “supaya ik ut berjuang m em perbaik i m ental m asyarak at lew at jalan batiniah ”. Sesudah peristiw a tersebut, KH . Ma'roef sangat prih atin dan k em udian m encurah k an (m em usatkan) k ek uatan batiniah nya dengan cara m em perbanyak m ujah adah dan m unajat k epada Allah m em oh on k esejah teraan m asyarak at, terutam a perbaik an m ental (ak h lak ) dan k esadaran k epada Allah dan rasul-Nya. D oa-doa (am alan) yang dia perbanyak adalah doa sh alaw at seperti sh alaw at b ad aw iyah , sh alaw at nariyah , sh alaw at m unjiyat, sh alaw at m asisiyah , dan m asih banyak lagi yang lainnya. Boleh dik atak an bah w a h am pir seluruh doa yang dia am alkan untuk m em enuh i m ak sud “alam at gaib” tersebut adalah doa sh alaw at, dan h am pir seluruh w ak tunya saat itu digunak an untuk m em baca sh alaw at.1

1 Suatu contoh, ketika bepergian dengan naik sepeda, dia memegang setir sepeda dengan tangan kiri, sedang tangan kanannya dimasukkan ke dalam saku baju untuk memutar tasbih. Untuk amalan shalawat nariyah, misalnya, dia sudah

93 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Kem udian, pada aw al tah un 19 63, K H . M a'roef m enerim a “alam at gaib” tah ap k edua, seperti yang dia terim a pada tah ap pertam a (19 59 ). Alam at gaib yang k edua ini bersifat peringatan terh adap alam at gaib yang pertam a. O leh k arena itu, dia pun m eningk atkan m ujah ad ah (Jaw a: d epe-d epe) k epada Allah seh ingga k ondisi fisik nya sering terganggu, nam un tidak m em engaruh i k ondisi batiniah nya. Tidak lam a berselang, m asih dalam tah un 19 63, KH . Ma'roef m endapatkan lagi alam at gaib dari Allah untuk yang k etiga k alinya. Alam at gaib yang k etiga ini lebih k eras lagi daripada yang k edua, sebagaim ana k isah yang dia ungk apk an: M alah k ulo d ipun ancam m enaw i m b oten enggal-enggal nglak sanak ak en (m alah saya diancam k alau tidak cepat-cepat m elak sanak an). Kem udian dia m elanjutkan k isah nya: Sak ing k erasipun peringatan lan ancam an, k ulo ngantos gem etar sak bakdanipun m eniko (k arena k erasnya peringatan dan ancam an, saya sam pai gem etar sesudah itu). Sesudah turunnya alam at gaib yang k etiga, dia pun sem ak in bertam bah prih atin, m ujah ad ah , taqarrub , dan m unajat k e h adirat Allah . D alam situasi batiniah yang senantiasa ber-taw ajjuh (m engh adap dengan segenap k esadaran batin) k e h adirat Allah dan rasul-Nya, KH . M a'roef pun ak h irnya m enyusun suatu doa sh alaw at. D ia m en- jelask an: Kulo lajeng nd am el oret-oretan (saya k em udian m em buat coret-coretan). Sak derenge k ulo inggih m boten angen-angen badh e nyusun sh alaw at (sebelum nya saya tidak ada angan-angan m enyusun sh ala- w at). M alah anggen k ulo ndam el nam ung k alian nggloso (m alah dalam m enyusun sh alaw at itu saya sam bil tiduran). D oa sh alaw at yang lah ir dari k andungan batiniah yang ber- getar k epada Allah dan rasul-Nya dalam frek uensi tinggi, batiniah yang diliputi rasa tanggung jaw ab dan prih atin terh adap um at dan m asyarak at, adalah sh alaw at:

terbiasa mengkhatamkannya dengan bilangan 4.444 kali dalam tempo kurang lebih satu jam.

94 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

“Niki k ulo nam ekaken sh alaw at m a’rifat” (ini saya nam ak an sh alaw at m a’rifat), dem ik ianlah dia m enjelask an. (D alam sh alaw at tersebut belum ada tam bah an k ata Ya Allah setelah k alim at tam am a m agh firatik a . . ., seperti yang ada sek arang ini). Setelah m enganggit sh alaw at tersebut, KH . Ma'roef k em udian m enyuruh tiga orang supaya m engam alkan sh alaw at yang baru dia susun itu.2 Setelah m engam alkan sh alaw at tersebut, m erek a m enyata- k an k epada KH . Ma'roef bah w a m erek a dik aruniai rasa tenteram dalam h ati, tidak ngongso-ngongso, dan lebih banyak ingat k epada Allah . Setelah itu, KH . M a'roef k em bali m enyuruh beberapa santri pondok supaya m engam alkannya. H asilnya juga sam a seperti yang diperoleh tiga orang pengam al pertam a.

1. Proses Penyusunan Shalaw at W ah idiyah Beberapa w ak tu k em udian, m asih dalam tah un 19 63, bertepatan dengan bulan Muh arram , KH . Ma'roef k em bali m enyusun sh alaw at.

2 Tiga orang yang dia sebut sebagai pengamal percobaan itu ialah (1) Bapak Abdul Jalil (alm.), seorang tokoh tua (sesepuh) dari desa Jamsaren, Kota Kediri, (2) Bapak Muhtar, seorang pedagang dari desa Bandar Kidul, Kota Kediri, dan (3) Dahlan, seorang santri pondok Kedunglo asal Blora, Jawa Tengah.

95 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Adapun sh alaw at yang dim ak sud adalah seperti yang tertera berik ut ini:

Sh alaw at tersebut k em udian diletak k an pada urutan pertam a dalam susunan Sh alaw at W ah idiyah . O leh k arena sh alaw at ini lah ir pada bulan Muh arram m ak a dia m enetapk an bulan Muh arram sebagai bulan k elah iran Shalaw at W ah idiyah yang ulang tah unnya diperingati dengan pelak sanaan Mujah adah Kubro W ah idiyah pada setiap bulan tersebut. Untuk m encoba k h asiat sh alaw at yang k edua ini, KH . Ma’roef m enyuruh beberapa orang supaya m engam alkannya, dan ternyata h asilnya lebih positif, yak ni m erek a dik aruniai oleh Allah k etenangan batin dan k esadaran h ati k epada-Nya, dalam k eadaan lebih m antap. Sejak saat itulah KH . M a'roef m em beri ijazah sh alaw at Allâh um m a Yâ W âh id u Yâ Ah adu ... dan Allâh um m a k am â Anta Ah luh ... tersebut secara um um , term asuk para tam u yang sow an (berk unjung) k e- padanya. Selain itu, KH . Ma'roef juga m enyuruh seorang santri untuk m enulis sh alaw at tersebut dan m engirim k an k epada para k iai yang dik etah ui alam atnya dengan disertai surat pengantar yang dia tulis sendiri. Isi surat pengantar itu, antara lain, adalah agar sh alaw at itu dapat diam alkan oleh m asyarak at setem pat. Sejauh itu, tidak ada jaw aban negatif dari para k iai yang dik irim i sh alaw at tersebut. D ari h ari k e h ari sem ak in banyak orang yang datang m em oh on ijazah am alan sh alaw at tersebut. O leh k arena itu, KH . Ma’roef m em berik an ijazah secara m utlak : dalam arti bah w a selain sh alaw at tersebut di- am alkan sendiri juga supaya disiark an k epada orang lain.

96 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

Sejak sebelum lah irnya Shalaw at W ah idiyah , di m asjid Kedunglo setiap m alam Jum ’at (secara rutin) diadak an pengajian k itab Al-H ik am yang dibim bing langsung oleh K H . M a'roef. Pengajian tersebut diik uti oleh para santri, m asyarak at sek itar, dan beberapa k iai dari sek itar k ota Kediri. Pada suatu pengajian rutin tersebut, sh alaw at Allâh um m a k am â anta ah luh … ditulis di papan tulis dan k em udian dia m enjelask an h al-h al yang terk andung di dalam nya, k em udian m em beri ijazah secara m utlak untuk diam alkan dan disiark an, di sam ping sh alaw at Allâh um m a yâ w âh id u … D engan sem ak in banyak nya orang yang m em oh on ijazah dua sh alaw at tersebut m ak a untuk m em enuh i k ebutuh an, KH . Muk h tar, dari Tulungagung, seorang pengam al yang juga ah li k h athth (seni tulis arab), m em buat Lem b aran Shalaw at W ah id iyah . Pem buatannya m enggunak an k ertas stensil yang sederh ana dan dengan biaya sendiri dengan dibantu oleh beberapa orang pengam al dari Tulungagung. Pengajian k itab Al-H ik am yang pada aw alnya dilak sanak an pada setiap m alam Jum ’at, atas usulan dari para peserta yang k ebanyak an bek erja sebagai k aryaw an, diubah m enjadi h ari Minggu pagi. Se- belum pengajian k itab Al-H ik am , lebih dah ulu dilak sanak an sh alat tasbih berjam a’ah dan Mujah ad ah Shalaw at W ah id iyah . Pada suatu pengajian k itab Al-H ik am (m asih dalam tah un 19 63), KH . Ma'roef m enjelask an tentang h aqîqah al-w ujûd dan penerapan b i al-h aqîqah al-M uh am m ad iyyah yang di k em udian h ari disem purnak an dengan penerapan lirrasul b irrasul. Pada saat itu, tersusunlah sh alaw at yang k etiga yaitu:

Shalaw at yang k etiga ini disebut sh alaw ât tsalj al-qulûb (Shalaw at salju/pendingin h ati). Adapun nam a lengk apnya adalah Shalaw ât

97 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah tsalj al-gh uyûb li tab rîdi h arârat al-qulûb (Sh alaw at salju dari alam gaib untuk m endingink an h ati yang panas). Ketiga rangk aian sh alaw at tersebut, yang diaw ali dengan surat al-Fatih ah , diberi nam a “Sh alaw at W ah idiyah ”. Kata w ah id iyah itu sendiri diam bil sebagai tab arruk an (m engam bil berk ah ) pada salah satu dari Nam a-Nam a Allah Yang Indah (al-Asm â’ al-H usnâ) yang terdapat dalam sh alaw at yang pertam a, yaitu w âh id u, yang artinya “Mah asatu”. Para ah li m engatak an bah w a di antara k h aw as (h asiat-h asiat) lafal al-w âh id u adalah bah w a ia dapat m engh ilangk an rasa bingung, sum pek , resah (gelisah ), dan tak ut. Siapa yang m em bacanya 1.000 k ali dengan sepenuh h ati dan dengan m erendah k an diri, insya-Allah dia ak an dik aruniai oleh Allah perasaan tenang, tidak k h aw atir k epada sesam a m ak h luk . D ia h anya tak ut k epada Allah sem ata. Siapa yang m em perbanyak zik ir al-w âh id u al-ah ad u atau yâ w âh id u yâ ah ad u m ak a Allah ak an m em buk a h atinya untuk sadar bertauh id (m eng- esak an Allah atau sadar b illâh ).

2. Publik asi dan D ek larasi Shalaw at W ah idiyah Pada tah un 19 63, diadak an pertem uan (silaturrah m i) di m ush ala KH . Abdul Jalil (Jam saren-Kediri), yang dipim pin oleh KH . Ma’roef sendiri sebagai m uallif (pengarang) Shalaw at W ah idiyah . Silaturah m i itu diik uti oleh para ulam a (k iai) dan tok oh m asyarak at yang sudah m engam alkan Sh alaw at W ah idiyah dari berbagai daerah , seperti dari Kediri, Tulungagung, Blitar, Jom bang, dan Mojok erto. D i antara h asil dari silaturah m i tersebut adalah tersusunnya redak si (k alim at) yang ditulis di dalam Lem b aran Shalaw at W ah id iyah , term asuk garansinya. R edak si garansi (jam inan) itu adalah atas usulan dari m uallif sendiri yang disetujui oleh seluruh peserta m usyaw arah . R edak sinya adalah : M enaw i sam pun jangk ep sek aw an d oso d inten b oten w onten perobah an m anah , k inging dipun tuntut dunyan w a uk h ran (Jika sudah genap em pat puluh h ari tidak ada perubah an h ati, dapat dituntut di dunia dan ak h irat (Kedunglo Kediri).

98 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

Pada aw al tah un 19 64, m enjelang peringatan ulang tah un lah ir- nya Sh alaw at W ah idiyah yang pertam a, dalam bulan Muh arram , Lem b aran Shalaw at W ah id iyah m ulai dicetak dengan k lise yang per- tam a k alinya di k ertas H VS putih sebanyak + 2.500 lem bar.3 Susunan dalam lem baran yang dicetak adalah : h adiah fatih ah , Allâh um m a yâ w âh id u ..., Allah ûmm a k am â anta ah luh ..., Yâ syâfi’ al-k h alqi ash - sh alâtu w a as-salâm … tanpa Yâ sayyidî yâ rasûlallâh dengan dilengk api k eterangan tentang cara pengam alannya, term asuk garansi m eng- am alkan Sh alaw at W ah idiyah tersebut.4 Setelah lem baran Sh alaw at W ah idiyah beredar secara luas, ada banyak pih ak yang m enerim anya, m esk ipun juga ada yang m e- nolak nya. Kebanyak an dari m erek a yang m enolak beralasan k arena adanya garansi: m enaw i sam pun jangk ep sek aw an d oso d inten b oten w onten perobah an m anah , k enging dipun tuntut dunyan w a uk h ron”. M erek a m em berik an penafsiran tentang garansi dengan pem ah am an yang jauh bertentangan dengan m ak na yang dim ak sud oleh pem buat garansi. Pem ah am an m erek a terh adap “garansi” itu m enjadi: “siapa yang m engam alkan Sh alaw at W ah idiyah dijam in m asuk surga”. Se- benarnya, k alimat garansi (pertanggungjaw aban) tersebut m erupak an suatu ajaran atau bim bingan agar k ita m eningk atkan rasa tanggung jaw ab terh adap segala sesuatu yang k ita lak uk an. Pada 19 64, setelah pelak sanaan peringatan ulang tah un yang pertam a, di Kedonglo diadak an Asram a W ah idiyah I yang diik uti oleh para k iai dan tok oh agam a dari berbagai daerah , seperti Kediri, Blitar, Nganjuk , Jom bang, M ojok erto, Surabaya, M alang, M adiun, dan Ngaw i. Asram a ini dilak sanak an selam a tujuh h ari tujuh m alam . Kuliah -k uliah W ah idiyah diberik an langsung oleh m uallif sendiri. D alam asram a ini lah irlah k alim at nidak (seruan) Yâ sayyidî yâ rasûlallâh.

3 Adapun yang mengusahakan klise dan percetakan itu adalah KH. Mahfudz dari Ampel-Surabaya, atas biaya dari Ibu Hj. Ghanimah (istri KH. Nur AGN—anggota fraksi NU DPR Pusat). 4 Hasil wawancara dengan KH. Moh. Ruhan Sanusi, di Mangunsari Tulungagung, (Kamis, 22 Februari 2007.

99 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Kem udian k alim at nid ak tersebut dim asuk k an k e dalam Lem b aran Shalaw at W ah idiyah . Pada 19 65, Asram a W ah idiyah II dilak sanak an selam a enam h ari (5–11 O k tober 19 65), di Kedunglo. D alam k uliah W ah idiyah tersebut, lah irlah sh alaw at rangk aian berik ut:

Am alan tersebut m erupak an suatu “jem batan em as” yang m eng- h ubungk an tepi jurang pertah anan nafsu di satu sisi dengan tepi k ebah agiaan yang berupa k esadaran k epada Allah dan rasul-Nya di sisi yang lain. Para pengam al Sh alaw at W ah idiyah m enyebutnya sebagai istigh âtsah . Kalim at ini tidak langsung dim asuk k an k e dalam rangk aian Sh alaw at W ah idiyah d alam lem baran-lem baran yang diedark an k epada m asyarak at. Ak an tetapi, para pengam al yang sudah agak lam a m engam alkan Sh alaw at W ah idiyah dianjurk an untuk m engam alkan rangk aian k alim at di atas, terutam a dalam m ujah adah - m ujah ad ah k h usus. Pada 19 65, m uallif k em bali m em beri ijazah berupa k alim at nid ak ‘seruan’ Fa firrû ila Allâh dan W a qul jâ’a al-h aqqu ... Pada saat itu, k alimat nidak ini belum dim asuk k an k e dalam rangk aian Shalaw at W ah idiyah , nam un dibaca oleh im am dan m ak m um pada ak h ir setiap doa. Begitu juga k alim at w a qul jâ’a al-h aqqu … belum dirangk aik an dengan k alim at fa firrû ila Allâh seperti yang ada sek arang. Pada 19 68, m uallif k em bali m enyusun rangk aian k alim at sh a- law at. Adapun redak sinya adalah sebagai berik ut:

100 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

Kalim at Yâ ayyuh â al-gh auts … dan sh alaw at ini k em udian di- m asuk k an k e dalam Lem b aran Shalaw at W ah id iyah dan diedark an k epada m asyarak at. Pada 19 71, m enjelang pem ilu, m uallif k em bali m enganggit sh alaw at dengan redak si sebagai berik ut:

R edak si sh alaw at ini k em udian dim asuk k an k e dalam Lem baran Shalaw at Wah id iyah , dan diletak k an sesudah k alim at Yâ ayyuh â al- gh auts … sebelum Yâ rab b anâ Allâh um m a sh alli ... Pada 19 73, KH . Ma’roef m enam bah doa Allâh um m a b ârik fîmâ k h alaqta w a h âdzih i al-b aldah . Kem udian, pada 19 76 bacaan nid ak Fa firrû ila Allâh dirangk aik an dengan k alim at w a qul jâ’a al-h aqq … dan didah ului dengan doa:

Pada 19 76, m ulai dilak sanak an nid ak Fa firrû ila Allâh dengan cara berdiri m engh adap k e em pat penjuru, yak ni pada saat acara m ujah adah dalam rangk a peletak an batu pertam a m asjid Tanjungsari Tulungagung (Masjid m ilik KH . Z aenal Fanani).

101 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

D em ik ian penam bah an dan penyem purnaan Shalaw at W ah idiyah secara berturut-turut seiring dengan pengem bangan dan penyem - purnaan ajaran W ah idiyah yang diberik an oleh m uallif, KH . Abdoel Madjid Ma'roef, sesuai dengan k ebutuh an, situasi, dan k ondisi m asyarak at, baik di dalam m aupun di luar negeri. Pada 19 78, KH . Ma'roef m enam bah k alim at doa Allâhum m a bârik fî h âdzih i al-m ujâh ad ah yâ Allâh yang diletak k an sesudah k alim at Allâh um m a b ârik fîmâ k h alaqta w a h âdzih i al-b aldah . Kem udian, pada 19 80, ada tam bah an k alim at Ya Allah dalam sh alaw at m a’rifat, yang diletak k an sesudah bacaan w a tarzuq anâ tam âm a m agh firatik a. D em ik ian juga setelah k alim at w a tam âm a ni’matik a, dan seterusnya h ingga w a tam âm a ridhw ânika ditam bah k alim at yâ Allâh . Penam bah an k alim at-k alim at tersebut dapat dilih at dalam Lem b aran Shalaw at W ah id iyah yang ada sek arang ini. Pada 19 81, doa Allâh um m a b ârik fî m â k h alaqta w a h âdzih i al- b aldah diberi tam bah an k alim at yâ Allâh , sedangk an doa Allâh um m a b ârik fî h âdzih i al-m ujâh ad ah yâ Allâh diubah m enjadi w a fî h âdzih i al-m ujâh ad ah yâ Allâh seh ingga rangk aiannya m enjadi Allâh um m a b ârik fîmâ k h alaqta w a h âdzih i al-b aldah yâ Allâh , w a fî h âdzih i al- m ujâh ad ah yâ Allâh . Pada 27 Jum adil Ak h ir 1401 H ., bertepatan dengan 2 Mei 19 81 M., Lem b aran Shalaw at Wah id iyah yang ditulis dengan h uruf Arab diperbarui dan dilengk api dengan petunjuk cara m engam alkannya. Susunan dalam Lem baran Shalaw at W ah idiyah ini tidak ada perubah an sam pai sek arang, k ecuali beberapa k alimat dalam penjelasan k eterang- an yang disesuaik an dengan k ebutuh an dan aturan bah asa.

B. O rganisasi Penyiar Shalaw at W ah idiyah 1. Pem bentuk an O rganisasi Penyiar Shalaw at W ah idiyah Pada pertengah an tah un 19 64, sesudah peringatan ulang tah un W ah idiyah yang pertam a, yang disebut Ek a W arsa, KH . Abdoel Madjid Ma'roef sebagai m uallif Sh alaw at W ah idiyah m engundang tok oh -

102 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural tok oh m asyarak at dari berbagai daerah yang sudah m engam alkan Shalaw at W ah idiyah . Merek a yang h adir, antara lain: KH . Yassir, KH . A. Karim H asyim , KH . D im yati, Kiai Abdul Jalil, H . Z ainuri, dan Abdur R ah m an Muk ani. Undangan tersebut dim ak sudk an untuk m em - bah as penyiaran Sh alaw at W ah idiyah . D ari pertem uan itulah k em u- dian disepak ati perlunya m em bentuk organisasi penyiar Sh alaw at W ah idiyah . O rganisasi itu sendiri k em udian diberi nam a Pusat Penyiar- an Sh alaw at W ah idiyah . O rganisasi ini dik etuai oleh KH . Yassir dari Jam saren Kediri. O rganisasi ini diberi tugas m engatur k ebijak sanaan dan bertanggung jaw ab m em im pin pelak sanaan pengam alan, penyiar- an, dan pem binaan Sh alaw at W ah idiyah dan ajarannya. Saat itu, langk ah yang ditem puh untuk m enyiark an Shalaw at W ah idiyah , antara lain, adalah m enyediak an lem baran stensilan Shalaw at W ah idiyah dan m engatur pelak sanaan pengajian Al-H ik am pada setiap h ari M inggu pagi dan m enyelenggarak an M ujah ad ah Kub ro. Beberapa saat k em udian, nam a organisasi yang baru dibentuk ini diubah nam anya m enjadi Panitia Penyiar Shalaw at W ah idiyah Pusat. Perubah an nam a organisasi dan dipak ainya k ata “panitia” dim ak sud- k an agar organisasi yang baru dibentuk tersebut tidak disalah artik an oleh m asyarak at bah w a W ah idiyah ak an m enjadi organisasi politik yang ak an ik ut PEMILU. Kem udian, sesudah Musyaw arah Kubro k e-1, pada bulan D esem ber 19 85, k ata “panitia” dih ilangk an.

2. Manajem en dalam Penyiaran Shalaw at W ah idiyah Sejak organisasi Penyiar Sh alaw at W ah idiyah (PSW ) dibentuk pada 19 64 sam pai k eluarnya Undang-Undang No. 8 Tah un 19 85 tentang O rganisasi Kem asyarak atan, organisasi Penyiar Sh alaw at W ah idiyah ini belum m em punyai Anggaran D asar dan Anggaran R um ah Tangga seperti lazim nya sebuah organisasi. Manajem en dan k epem im pinan PSW sem enjak organisasi ini didirik an h ingga se- k arang adalah m enerapk an k onsep yang ada dalam Al-Q ur’an dan sunnah R asulullah . Adapun k onsepsi Al-Q ur’an yang dim ak sud adalah firm an Allah berik ut ini:

103 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

“Maka dengan sebab rahmat Allahlah engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka. Dan sekiranya engkau bersikap lagi berhati kasar niscaya mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Oleh karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampunan bagi mereka, dan ber- musyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad (mengambil keputusan) maka ber- tawakallah kepada Allah! Sesungguhnya Allah menyukai orang-or- ang yang bertawakal kepada-Nya.5

D ari ayat di atas, dan juga beberapa ayat lain serta h adits-h adits R asulullah yang relevan, KH . Ma'roef m em buat enam asas yang h arus dijadik an pedom an dan diterapk an dalam organisasi W ah idiyah . Keenam asas tersebut adalah : a. Asas pengabdian (dedik asi; ik h las lillâh i ta’ala, tanpa pam rih ); b . Asas m usyaw arah dan istik h ârah ; c. Asas m engutam ak an k ew ajiban daripada h ak ; d . Asas taqdîm al-ah am m tsum m a al-anfa’ (m engutam ak an yang lebih penting, k em udian yang lebih berm anfaat); e. Asas ta’âw un (saling m enolong), dan f. Asas taw ak k ul (taw ak al, berserah diri k epada Allah ). Pada 12–14 D esem ber 19 85, Pengurus W ah idiyah m elak sana- k an Musyaw arah Kubro I. Musyaw arah ini diik uti oleh seluruh fungsionaris PSW Pusat, PSW D aerah Propinsi, PSW D aerah Kabu- paten/Kota se-Indonesia, dan undangan tok oh -tok oh pengam al W ah i- diyah dari berbagai daerah , serta Banu Ma’roef (k eluarga m uallif ). Musyaw arah Kubro W ah idiyah I ini m engh asilkan beberapa k e- putusan penting, di antaranya: a. Menetapk an “Garis-Garis Pok ok Arah Perjuangan W ah idiyah ” (GPAPW). Sistem atik anya h am pir m enyerupai lazim nya AD & ART. b . Mem ilih dan m enetapk an “D ew an Pertim bangan Perjuangan W ah idiyah ” (D PPW ), yang beranggotak an 17 orang dan dik etuai

5 QS. Ali Imran [3]: 159.

104 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

oleh Agus Abdul Latif M adjid (putera K H . M a'roef). Tugas D PPW adalah m em berik an pertim bangan (saran dan nasih at) k epada PSW Pusat. Nam a “D ew an Pertim bangan Perjuangan W ah idiyah” ini di k em udian h ari diubah m enjadi “Majelis Pertim bangan W ah idiyah ” (MPW), disesuaik an dengan PD & PRT PSW tah un 19 87. c. Mem ilih dan m engangk at Pengurus PSW Pusat, yang terdiri dari: Ketua : Moh am m ad R uh an Sanusi (Tulungagung) W ak il Ketua : Kiai Moh am m ad Jazuli Yusuf (Malang) Sek retaris I : Agus Im am Yah ya Malik (Kediri) Sek retaris II : D rs. M ah rus Effendi (Kediri) Sebagai catatan h istoris, para senior pengam al Sh alaw at W ah i- diyah juga ada yang m asuk sebagai anggota D PPW. Merek a adalah KH . Z aenal Fanani (Tulungagung), KH . Ih san Mah in (Jom bang), A.F. Badri (Kediri), D rs. Syam sul H uda (Kediri), Agus Abdul Jam il Yasin (Kediri), dan Agus Abdul H am id Madjid (putera m uallif, Kediri). 3. W asiat Muallif Shalaw at W ah idiyah Pada suatu saat, oleh k arena tidak tercapai k eserasian k erja antara D PPW dan PSW Pusat m ak a pih ak D PPW yang dik etuai oleh Agus Abdul Latif Madjid cenderung k urang m engh argai urusan tek nis operasional yang m enjadi h ak m anajerial PSW Pusat seh ingga m uncul berbagai persoalan di antara D PPW dan PSW Pusat. D i sisi lain, di Pondok Kedunglo m uncul perm asalah an-perm asalah an yang m elibat- k an sebagian ok num dari k eluarga. Sebagai langk ah penyik apan terh adap h al itu, dengan arif dan bijak sana, KH . Ma'roef, sebagai m uallif Sh alaw at W ah idiyah m em - bentuk tim yang disebut “Tim -3”. Tim -3 ini terdiri dari Kiai Ih san Mah in, Kiai Moh am m ad Jazuli Yusuf, dan H . Moh am m ad Syifa. “Tim -3” ini ditugasi langsung oleh KH . Ma'roef untuk m encari penyelesaian atas berbagai k asus dan perm asalah an yang terjadi, baik

105 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah di lingk ungan PSW Pusat dan D PPW m aupun yang berh ubungan dengan Pondok Kedunglo. Untuk k elancaran tugas tim tersebut, Syam sul H uda ditunjuk sebagai Pejabat Sem entara W ak il Ketua PSW Pusat, m enggantik an Kiai Moh am m ad Jazuli Yusuf. Pada 7 Mei 19 86, m uallif m em berik an petunjuk k epada Tim -3 yang sow an (berk unjung) k e k ediam annya guna m elapork an h asil k erjanya. Pada k esem patan itu, Tim -3 m enyem patkan untuk m oh on petunjuk lebih lanjut k epada m uallif. Ik ut dalam pertem uan tersebut adalah M oh am m ad R uh an Sanusi, Ketua PSW Pusat w ak tu itu. Pada 9 Mei 19 86, m uallif m enyam paik an w asiat di h adapan 115 audiens dari pengurus PSW Pusat serta para anggota D PPW dan sebagian pengurus PSW Kabupaten/Kota serta para pengam al yang terk ait dengan berbagai k asus. Merek a h adir atas undangan “Tim -3” dalam rangk a persidangan untuk m enyelesaik an berbagai m asalah yang m uncul w ak tu itu. Inti w asiat tersebut m encak up tiga h al, yak ni: a. Tentang Pondok Kedunglo: Pondok Kedunglo adalah H ak W aris. b . Tentang SMP dan SMA W ah idiyah : SMP dan SMA W ah idiyah diizink an asal k eberadaannya tidak m em engaruh i k eh idupan pondok dan m asjid Kedunglo serta tidak m engganggu perjuangan W ah idiyah . c. Tentang W ah idiyah Perjuangan W ah idiyah adalah seperti perjuangan Islam pada um um nya. Ia buk an h ak w aris. Para penyiar dan para pengam al Sh alaw at W ah idiyah adalah “w ak il saya”: Al-w ak il âtsir al- m uw ak k il (m uw ak k il berk uasa penuh ). Muallif m enunjuk A.F. Baderi supaya duduk m enjadi W ak il Ketua II seh ingga pim pinan PSW Pusat m enjadi 3 (tiga) or- ang, yaitu: Moh . R uh an Sanusi, K. Jazuli Yusuf, dan A.F. Baderi.

106 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

M enunjuk Im am M ah rus m enjadi Sek etaris I PSW Pusat dan Agus Im am Yah ya Malik m enjadi Sek retaris II. 4. Pem buatan PD & PRT dan Pendaftaran PSW Pusat k e Pem erintah Pada 16 Juni 19 87, m uallif m engam anatkan k epada k etua PSW Pusat supaya m inta penjelasan k epada D irjen Sospol D epdagri di Jak arta m engenai UU Nom or 8 Tah un 19 85 tentang O rganisasi Ke- m asyarak atan. Setelah k etua PSW m em inta penjelasan k epada D irjen Sospol D epdagri didapatlah k esim pulan bah w a PSW perlu didaftar- k an. D alam m enyik api h al ini, m uallif m enjelask an bah w a di dalam ajaran W ah idiyah terdapat ungk apan yu’thî k ulla d zî h aqqin h aqqah . O leh k arena itu, jik a m em ang ada m anfaatnya dan m em baw a k e- perjuangan W ah idiyah m ak a ada baik nya PSW ini didaftar- k an. “Coba m usyaw arh k an”, tegas m uallif. Pada 1 Juli 19 87, diadak an m usyaw arah para k etua PSW Pusat dan pim pinan MPW, serta 4 orang undangan, yaitu KH . Ih san Mah in (Jom bang), KH . Ah m ad Z ainuddin (Ngaw i), H . M oh am m ad Syifa (Jom bang), dan H . Affandi AB (Jom bang), yang k h usus m em bah as h al tek nis tentang pendaftaran PSW k e pem erintah seperti yang diam anatkan oleh m uallif. D i sisi lain, pih ak pim pinan MPW dengan Agus Abdul Latif Madjid sebagai k etuanya, tidak m enyetujui PSW didaftark an k e pem erintah , dengan alasan PSW m enjadi tidak bebas. Perdebatan k etik a itu cuk up tegang seh ingga m usyaw arah m engalam i jalan buntu, tidak m engh asilkan suatu k eputusan. Setelah itu, para peserta sepak at bah w a m asalah tersebut h arus dim oh onk an petunjuk k epada m uallif. Adapun yang bertugas m engh adap m uallif adalah k etua I dan sek re- taris I PSW Pusat, k etua I dan k etua II M PW, ditam bah KH . Ih san M ah in. Pada 3 Juli 19 87, (Jum ’at Pagi, Puk ul 08.30 W IB), k elima orang tersebut m engh adap m uallif untuk m elapork an k ebuntuan dalam m usyaw arah pada 2 Juli 19 87. Muallif k em udian m engam anatkan agar diadak an istik h arah . Sem ua peserta m usyaw arah diam anati supaya

107 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah ik ut istik h arah , ditam bah para unsur pem bantu pim pinan PSW Pusat dan para ah li istik h arah .6 Pada 12 Juli 19 87 (H ari M inggu Pagi), h asil istik h arah di- lapork an k epada m uallif oleh 4 orang: Agus Abdul Latif M adjid, AF Badri, Moh am m ad Ruh an Sanusi, dan H . O em ar Badjuri (Kediri). M esk ipun Agus Latif sendiri ik ut dalam sh alat istik h arah dan bah k an juga ik ut m elapork an h asilnya, ia justru m em persoalkan banyak nya peserta istik h arah yang tidak m endapat alam at (petun- juk ), yaitu tujuh orang. Atas protes Agus Latif tersebut, m uallif k em u- dian m engam anatkan supaya diadak an istik h arah ulang. “Yang tidak m em eroleh alam at (petunjuk ) tidak usah dih itung”, tegasnya. Pada 18 Juli 19 87, (H ari Minggu Pagi) diperoleh h asil istik h arah tah ap k edua, yak ni 4 orang m endapat petunjuk agar PSW didaftark an k e D epdagri, sem entara dua yang lainnya m endapat alam at agar PSW tidak didaftark an. Berdasark ah h asil istik h arah tersebut, PSW ak h ir- nya didaftark an k e pem erintah guna m em enuh i UU Nom or 8 tah un 19 85 tentang O rganisasi Kem asyarak atan. D alam k aitan ini, m uallif k em udian m enunjuk PSW Pusat supaya m enangani pendaftaran dan m em persiapk an penyusunan PD

6 Yang dimohon dalam istikharah tersebut adalah petunjuk tentang perlu atau tidaknya PSW “didaftarkan” ke pemerintah. Adapun yang dipakai sebagai dasar keputusan adalah jumlah terbanyak dari hasil istikharah. Hasil istikharah dari masing-masing peserta kemudian dimasukkan ke dalam amplop tertutup dan dimasukkan ke dalam kotak terkunciData lengkap tentang hal ini terekam dalam dokumen “Risalah transkrip dan kaset rekaman Wasiat Muallif Shalawat Wahidiyah, tanggal 7 dan 9 Mei 1986”. Pada 10 Juli 1987 (hari Jum’at), kotak hasil istikharah dibuka secara bersama- sama oleh Agus Abdul Latif Madjid, A.F. Badri, Drs. Syamsul Huda, Kiai Baidlowi, Mohammad Ruhan Sanusi, dan H. Oemar Badjuri. Dari 31 orang yang mengikuti shalat istikharah, hanya ada 19 orang yang memasukkan amplop hasil istikharah ke dalam kotak. Hasilnya adalah: (a) 1 amplop menyatakan “tidak dapat ditakwilkan” – dinyatakan batal, (b) 1 amplop merupakan hasil undian sendiri – dinyatakan batal, (c) 4 amplop menyatakan “PSW tidak didaftarkan”, (d) 6 amplop menyatakan “PSW didaftarkan”, dan (e) 7 amplop kosong, tidak memeroleh petunjuk.

108 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

& PRT PSW dan program k erja. Untuk h al ini, tanggung jaw ab diserah k an k epada k etiga k etua PSW Pusat. Pada 21 Juli 19 87, k etua PSW Pusat m engeluark an SK Nom or 04/SW -XXIV/A/SK/19 87 tentang Pengangk atan Tim Penyusun R an- cangan PD & PRT PSW, yang terdiri dari 3 (tiga) orang. Merek a adalah H . Moh am m ad Syifa (Jom bang), H .A. Affandi AB (Jom bang), dan H . O em ar Badjuri (Kediri). Kem udian, pada 28 Juli 19 87, tim penyusun rancangan PD & PRT PSW m enyam paik an h asil k erjanya k epada k etua PSW Pusat. Pada 1 Agustus 19 87, nask ah R ancangan PD & PRT PSW yang sudah diteliti oleh k etiga k etua PSW Pusat disam paik an k epada m uallif untuk dik orek si dan m em oh on restunya. Kem udian, pada 6 Agustus 19 87, k etiga K etua PSW Pusat dipanggil oleh m uallif. M uallif langsung m em berik an k orek si (ralat) terh adap h al-h al yang dipandang perlu. Muallif m enetapk an supaya PD & PRT PSW ditetapk an dengan surat k eputusan PSW Pusat dan berlak u surut m ulai 1 Agustus 19 87. “Saya insya Allah ik ut tanda tangan m enge- tah ui”, dem ik ian ungk apnya. Pada 14 Agustus 19 87, nask ah PD & PRT PSW ditetapk an dengan SK PSW Pusat Nom or: 05/SW -XXIV/A/SK/19 87 tanggal 1 Agustus 19 87 dengan dibubuh i tapak asto (tanda tangan) m uallif. Kem udian pada 22 Agustus 19 87, SK PSW Pusat dengan lam piran PD & PRT PSW tersebut diperbanyak dan dibagik an k epada seluruh Personel PSW Pusat, term asuk sem ua anggota M PW. D ari sini m ulai m uncul lagi pro dan k ontra m engenai pen- daftaran PSW k epada pem erintah . Ketua M PW Agus Abdul Latif m elancark an k ritik di luar jalur k onstitusi untuk tidak m engak ui PD & PRT PSW yang sudah ditandatangani (d irestui) oleh m uallif dan m enolak pendaftaran PSW k e pem erintah . Selain itu, m uncul juga isu bah w a m uallif sudah d iplek oto (dipak sa) oleh k etua I PSW Pusat (M oh am m ad R uh an Sanusi) untuk m enandatangani PD & PRT PSW. Para pengam al Sh alaw at W ah idiyah dari D KI Jak arta dan Bogor ternyata terh asut oleh isu tersebut. Sebagai ak ibatnya, para

109 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah pengam al tersebut satu per satu m enandatangani selebaran sem acam m osi tidak setuju PSW didaftark an k epada pem erintah . Selebaran tersebut dibendel dan dik irim k an k epada m uallif dan k epada k etua I PSW Pusat dengan disertai surat pengantar dari Bagian Penyiaran Sh alaw at W ah idiyah D KI Jak arta No. 036/BPSW D KI/IX/19 87. Atas beredarnya isu dan surat tersebut, k etua PSW Pusat ak h ir- nya m em oh on petunjuk k epada m uallif. D alam m enyik api h al ter- sebut, m uallif berk ata singk at: Tid ak usah d itanggapi. Pada 8 Septem ber 19 87, PSW Pusat secara resm i didaftark an k epada D itsospol Jaw a Tim ur dengan surat pengantar No. 29 2/SW - XXIX/A/Um /19 87 tanggal 7 Septem ber 19 87. Kem udian, pada 13 Septem ber 19 87, saat dilak uk an M ujah ad ah Kub ro, m uallif m em inta supaya dium um k an bah w a PSW Pusat sudah resm i didaftark an k e pem erintah . Pengum um an tersebut dilak sanak an oleh Kiai Moh am - m ad Jazuli Yusuf, k etua II PSW Pusat w ak tu itu. 5. Pem bubaran MPW oleh Muallif Shalaw at W ah idiyah Usah a Majelis Penyiar W ah idiyah (MPW ) pim pinan Agus Abdul Latif M adjid untuk m enggagalkan pendaftaran PSW k e pem erintah dan m enolak PD & PRT PSW terus dilancark an dengan berbagai cara yang buk an saja tidak k onstitusional dan m elanggar etika organisasi, m elaink an M PW juga m engirim surat edaran k epada PSW -PSW daerah propinsi dan k odya/kabupaten seluruh Indonesia bernom or 15/MPW /P& H /9 /19 87, tanggal 27 Septem ber 19 87. Isinya adalah m engh im bau seluruh jajaran PSW di daerah agar tidak m em bicarak an m asalah pendaftaran PSW dan PD & PRT PSW sebab m enurut Gus Latif, panggilan Agus Abdul Latif Madjid, h al itu m asih belum tuntas dibicarak an di pusat. Ak ibatnya, tim bul k eguncangan dan dish arm oni sosial di k alangan m asyarak at pengam al W ah idiyah seh ingga m engganggu stabilitas perjuangan W ah idiyah . Sik ap Abdul Latif yang coba m em engaruh i para pengam al Shalaw at W ah idiyah di daerah agar tidak m enerim a pendaftaran PSW dan PD & PRT PSW k e D epdagri ditanggapi secara seius oleh KH .

110 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

Ma'roef (m uallif Sh alaw at W ah idiyah ). D alam ah l ini, m uallif ak h ir- nya m engeluark an Surat Keputusan Nom or: M SW /003/1987, tang- gal 27 Septem ber 19 87, tentang Pem bubaran M PW. D ik tum k eputusan dalam SK m uallif tersebut adalah : a. Mem bubark an M PW. b . PSW Pusat dinyatak an dem isioner. c. Mantan pim pinan MPW dan m antan k etua PSW Pusat supaya m engadak an m usyaw arah bersam a m enyusun personalia pengurus PSW Pusat baru. Kem udian, pada 24 O k tober 19 87 diterbitkan SK m uallif No. MSW /004/19 87, yang isinya m engesah k an terbentuk nya PSW Pusat m asa bak ti 19 87–19 9 2, dengan struk tur organisasi sebagai berik ut: Ketua I : AF Badri Ketau II : D rs. Syam sul H uda (Kediri) Ketua III : Agus Abdul H am id Madjid (Kediri) Ketua IV : Agus Abdul Latif M adjid (Kediri) Ketau V : Kiai Ih san M ah in (Jom bang) Ketua VI : Kiai M ah fudz Siddiq (Ngaw i) D alam struk tur PSW Pusat yang baru, M oh am m ad R uh an Sanusi, KH . Z aenal Fanani, dan Kiai Moh am m ad Jazuli Yusuf tidak lagi m asuk dalam jajaran pengurus. H al itu k arena dalam m usyaw arah penyusunannya, m erek a m em ang tidak terpilih .

6. Langk ah -Langk ah Strategis PSW Pusat Pascapem bubaran M PW Pascapem bubaran M PW, PSW Pusat m asa bak ti 19 87–19 9 2, yang terbentuk pada 24 O k tober 19 87 segera m elak uk an beberapa langk ah strategis. Pada 23 O k tober 19 87, PSW Pusat m em anggil PSW D aerah Propinsi Jaw a Tim ur dengan suratnya Nom or: 357/SW -XXV/A/Und/

111 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

19 87. D alam pertem uan antara PSW Pusat dan PSW Propinsi Jaw a Tim ur diberitah uk an bah w a PSW Pusat ak an m engam bil langk ah - langk ah k ebijak sanaan m esk ipun m enyim pang dari PD & PRT PSW. Ak an tetapi, PSW Propinsi Jaw a Tim ur m enentang langk ah tersebut, dan m inta supaya m asalah ini dim oh onk an petunjuk k epada m uallif. Pada 14 D esem ber 19 87, PSW Pusat m enjaw ab perm intaan PSW D aerah Propinsi Jaw a Tim ur dengan suratnya No. 376/SW -XXIV/ A/Um /19 87. D alam surat tersebut dijelask an oleh m uallif bah w a segala langk ah yang diam bil oleh PSW Pusat yang tidak senafas dengan PD & PRT PSW, tidak dibenark an. Pada 21 Juli 19 87, m uallif m engeluark an SK Nom or: MSW /006/ 19 88, tentang Penyem purnaan Kepengurusan PSW Pusat yang terdiri dari: Ketua I : AF Badri Ketau II : D rs Syam sul H uda (Kediri) Ketua III : Agus Abdul H am id Madjid (Kediri) Ketua IV : Agus Abdul Latif M adjid (Kediri) Ketau V : Moh . R uh an Sanusi (Tulungagung) Ketua VI : Kiai M ah fudz Siddiq (Ngaw i) Ketua Bidang Kh usus : KH . Z aenal Fanani (Tulungagung) Ketua Bidang Kh usus : Kiai Ih san M ah in (Jom bang) Ketua Bidang Kh usus : Kiai Moh am m ad Jazuli Yusuf (Malang) Penggantian k etua V dari Kiai Ih san Mah in k epada Moh am m ad R uh an Sanusi dan penetapan 3 orang k etua bidang k h usus, sepenuh - nya atas penunjuk an langsung oleh m uallif tanpa m elibatkan PSW Pusat, bah k an tanpa pem beritah uan lebih dulu. Jadi, h al itu adalah m urni dari m uallif sendiri. Setelah itu, m uallif m enentuk an tugas- tugas k etua bidang k h usus, yaitu m enangani soal-soal k h usus atau soal-soal yang belum tuntas ditangani oleh k etua bidang um um (k etua I–VI). Ketua bidang k h usus dapat m engadak an rapat sendiri tanpa m engundang k etua bidang um um , nam un ia boleh m eng-

112 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural undang k etua bidang um um dan juga m em punyai h ak m engh adiri rapat-rapat yang diadak an oleh k etua bidang um um . M enurut KH . Moh am m ad R uh an Sanusi, k etua bidang k h usus m erupak an pengganti MPW yang sudah dibubark an oleh m uallif k arena dipandang m elak uk an k esalah an besar dalam m enjalank an fungsinya. Kesalah an yang dim ak sud adalah sik ap tidak m engak ui PD & PRT PSW dan m enolak pendaftaran PSW k epada pem erintah dan m em buat fitnah -fitnah dan h asutan.7

7. Penyem purnaan AD & ART PSW H asil Musyaw arah Kubro W ah idiyah (Juli 2001) AD & ART PSW H asil Musyaw arah Kubro W ah idiyah pada bulan Juli 2001 disem purnak an oleh Musyaw arah Kubro Luar Biasa W ah idiyah yang diselenggarak an pada 30 Maret 2002. AD & ART PSW bersum ber dari PD & PRT PSW –19 87 yang ditandatangani oleh m uallif. H al-h al prinsip dan m endasar yang ada dalam PD & PRT PSW tidak m engalam i perubah an di AD & ART PSW. Adapun yang m engalam i perubah an h anyalah istilah -istilah dan h al-h al yang berk aitan dengan tek nis operasional dan pengaturan m ek anism e k erja disesuaik an dengan k ebutuh an perjuangan W ah idiyah . Anggaran D asar (AD ) PSW m em uat h al-h al yang bersifat prinsip dan ia m enjadi dasar h uk um yang h arus dipatuh i dan dijalank an oleh organisasi. Sem entara Anggaran R um ah Tangga (ART) m engatur m engenai struk tur, fungsi, tugas, dan tanggung jaw ab, m engenai tatanan k erja atau m ek anism e k erja dan petunjuk tek nis operasional organisasi. Pelak sanaan aturan-aturan tersebut dituangk an dalam peraturan organisasi. Pada bagian muqaddimah dari AD /ART tersebut disinggung betapa pentingnya m em anfaatkan pendayagunaan sum ber daya ruh ani (spiritual) dalam bentuk berdoa k epada Allah bagi k eselam at-

7 KH. Muhammad Ruhan Sanusi adalah Ketua Umum DPP PSW dan pelaku sejarah yang memeroleh bimbingan langsung dari muallif Shalawat Wahidiyah.

113 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah an, k esejah teraan, dan k ebah agiaan h idup lah ir dan batin, jasm ani dan ruh ani, m ateriil dan spiritual, di dunia dan ak h irat. Selain itu juga diingatkan tentang pentingnya k eim anan dan k etak w aan m asya- rak at k epada Allah dan rasul-Nya sebagai k onsek uensi k ew ajiban selak u anak cucu Adam yang m enjadi k h alifah Allah di bum i, dan sebagai bentuk pengam alan Pancasila yang m enjadi falsafah h idup bangsa Indonesia, dan lebih -lebih selak u pengam al dan pejuang k e- sadaran fa firrû ila Allâh w a rasûlih .

8 Struk tur Kepengurusan PSW K epengurusan PSW tingk at pusat sam pai tingk at cabang ter- diri dari “D ew an Pim pinan PSW dan Majelis Tah k im PSW ”. D ew an pim pinan PSW m enjalank an tugas-tugas operasional perjuangan W ah idiyah . Istilah “D ew an” m enunjuk k an bah w a pengam bilan k e- putusan dijalank an secara k olek tif bersam a-sam a para k etua di dalam suatu rapat k erja dew an pim pinan PSW. D engan dem ik ian, tradisi pengam bilan k eputusan dalam W ah idiyah selalu m engutam ak an asas m usyaw arah , m engh indari prak tik k erja otoriter. D alam h al ini, Majelis Tah k im PSW bertugas m em berik an arah an dan nasih at k epada D ew an Pim pinan (D P) PSW, baik dim inta m aupun tidak dim inta. Majelis Tah k im PSW juga m em egang w ew enang k ontrol pengaw asan terh adap D P PSW, nam un buk an sebagai oposisi. Sesuai dengan w ew enangnya, Majelis Tah k im PSW dapat m enjatuh k an putusan sangsi k epada personil Dew an Pim pinan PSW juga anggota Majelis Tah k im yang dipandang m em bah ayak an k elangsungan perjuangan W ah idiyah . H ubungan k erja antara Majelis Tah k im dan D ew an Pim pinan PSW diatur di dalam m ek anism e k erja yang dibuat bersam a oleh Majelis Tah k im PSW dan D P PSW. 9 . Badan H uk um PSW Pada saat ini, PSW telah m enjadi organisasi sosial yang berbadan h uk um , dengan Ak ta Notaris Kh usnul H adi, SH , Jom bang, nom or: 10, tanggal 26 Januari 2007. Langk ah pengurusan badan h uk um

114 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural tersebut ditem puh oleh PSW untuk m enindak lanjuti h asil penye- lesaian m asalah legalitas PSW di k antor Jaw atan Penerangan D itsospol Propinsi Jaw a Tim ur, pada 29 Septem ber 19 9 2 dan pendaftaran PSW pada D irek torat Sosial dan Politik Propinsi Jaw a Tim ur pada 7 Sep- tem ber 19 87. 10. Munculnya Aliran-Aliran Keorganisasian dalam W ah idiyah dan Problem Legalitas H uk um Sepeninggal m uallif, KH . Abdoel Madjid Ma’roef,8 organisasi Shalaw at W ah idiyah m engalam i dinam ik a k esejarah an di lingk ungan internal. D i antaranya adalah m unculnya tiga aliran k eorganisasian Sh alaw at W ah idiyah , yak ni: (1) Penyiar Shalaw at W ah idiyah (PSW ), (2) Pim pinan Um um Perjuangan W ah idiyah (PUPW ), dan (3) Jam a’ah Perjuangan W ah idiyah “Miladiyah ” (JPW M ). Pertam a, Penyiar Shalaw at W ah idiyah (PSW ). PSW m erupak an organisasi yang dibentuk oleh m uallif sendiri sem asa m asih h idup dan dia juga yang m em im pin langsung perjuangan dan penyiaran W ah idiyah . D alam m asa tersebut, PSW berpusat di Kedunglo Kediri, dan sem pat didaftark an sebagai organisasi k em asyarak atan yang ber- badan h uk um di Indonesia. D alam k aitan ini, k unci h istorisnya ada pada w asiat m uallif (7 dan 9 M ei 19 86) dan proses pem buatan PD & PRT serta pendaftaran PSW Pusat k e pem erintah untuk m em enuh i UU No. 8 Tah un 19 85 tentang O rganisasi Kem asyarak atan sebagai- m ana penjelasan di depan. Pada perk em bangannya, pusat organisasi tersebut pindah k e R ejoagung, Ngoro, Jom bang, tepatnya di lingk ungan Pesantren At- Tah dzib. Perpindah an pusat organisasi ini terjadi setelah m unculnya organisasi baru, yak ni Pim pinan Um um Perjuangan W ah idiyah (PUPW) yang diw adah i oleh Yayasan Perjuangan W ah idiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo Kediri.

8 KH. Abdoel Madjid Ma’roef, lahir pada 1920 dan wafat pada hari Selasa Wage, 29 Rajab 1409 H./7 Maret 1989 M.

115 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Ked ua, Yayasan Perjuangan W ah idiyah . Yayasan ini berpusat di Kedunglo, Kediri, dan dipim pin oleh KH . Agus Abdul Latif, salah se- orang putera m uallif. O rganisasi ini m uncul dan berk em bang dengan sem angat baru. D i dalam nya terdapat beberapa h al yang secara prinsip berbeda dengan ruh dan otentisitas (k easlian) ajaran W ah idiyah yang diajark an oleh m uallif. Sebagaim ana PSW, Yayasan Perjuangan W ah i- diyah ini juga m em punyai m assa pengik ut yang tidak sedik it. H al ini secara sosial dapat dipah am i k arena adanya dua fak tor penting, yak ni: (1) fak tor genetik (silsilah ) tok oh nya sebagai putera m uallif, dan (2) fak tor teritorial Kedunglo, Kediri, sebagai pusat organisasinya, tem pat k elah iran dan pusat aw al pengem bangan W ah idiyah , serta tem pat pesareh an (m ak am ) m uallif. Ketiga, Jam a’ah Perjuangan W ah idiyah “Miladiyah ”(JPW M ). O rganisasi ini juga berpusat di Kedunglo, Kediri, dan dipim pin oleh Kiai Abdul H am id yang juga m erupak an salah seorang putera m uallif. O rganisasi ini m uncul dengan ide dasar sebagai penengah antara PSW dan PUPW. Bah k an pada m asa-m asa aw al k elah irannya, organisasi ini m erelak an diri dijadik an sasaran k ritik untuk m enetralisir k e- tidak h arm onisan antara PSW dan PUPW.9 JPW M ini m em ilik i m assa pengik ut tersendiri, m esk ipun jum lah nya tidak sebanyak m assa pengik ut PSW dan juga PUPW. Interes m assa pengik ut JPW M dapat dibilang k arena fak tor-fak tor yang sam a dengan interes m assa pengik ut aliran PUPW sebagaim ana penjelasan di atas. D alam perk em bangannya, W ah idiyah berh adapan dengan aspek legalitas h uk um sebagai organisasi sosial di Indonesia. D inam ik a h is- toris ini sejak aw al sebenarnya sudah diperh itungk an dan diantisipasi oleh m uallif, sebagaim ana penjelasan di m uk a. Masing-m asing aliran cenderung bertah an pada argum entasi norm atif ajarannya. Ak an tetapi, aliran-aliran itu nyatanya berh adapan dengan aspek legalitas h uk um . Problem ini terjadi k etika aliran-aliran tersebut berk em bang

9 Hasil wawancara dengan Kiai Abdul Hamid, tokoh sentral Yayasan Miladiyah, di Kedunglo Kediri, (Rabu, 8 Februari 2006).

116 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural dengan sayapnya m asing-m asing di tengah -tengah m asyarak at. H al ini m encapai puncak nya k etik a terjadi perbedaan corak ajaran k arena adanya perbedaan aliran W ah idiyah yang berk em bang di tengah -tengah m asyarak at. O leh k arena itulah , pem erintah m engam bil tindak an penyelesaian m asalah organisasi ini berk enaan dengan k eabsah an dan legalitas h uk um nya. Untuk m engatasi problem k eabsah an dan legalitas h uk um dari m asing-m asing organisasi W ah idiyah , m asalah tersebut ak h irnya di- baw a k e Kantor Jaw atan Penerangan D itsospol Propinsi Jaw a Tim ur, di Jalan Pem uda No. 5 Surabaya, pada 29 Septem ber 19 9 2.10 M ateri penyelesaian dalam forum tersebut adalah m asalah k e- absah an (legalitas h uk um ) organisasi W ah idiyah sebagai organisasi sosial k eagam aan. Pada forum inilah w asiat m uallif pada 7 dan 9 Mei 19 86 dan pendaftaran PSW Pusat pada D itsospol Jaw a Tim ur pada 7 Septem ber 19 87 m enjadi k unci utam a pem ecah an m asalah . Ak h ir- nya, D itsospol Jaw a Tim ur h anya m engak ui PSW sebagai organisasi W ah idiyah yang sah . Forum penyelesaian m asalah itu sebenarnya m erupak an sebagian dari realitas W ah idiyah . Sebab, dalam perk em bangannya, setelah adanya forum itu, PUPW m em eroleh perh atian m assa yang sem ak in banyak jum lah nya. O leh k arena itu, m uncul w acana bah w a secara d e facto PUPW m erupak an organisasi W ah idiyah yang sah m esk i secara d e jure h al ini m enjadi h ak PSW. H al ini terbuk ti saat PUPW m engadak an acara h aul11 pada 19 9 3 di Pesantren Kedunglo, Kediri. M assa yang h adir pada acara itu m encapai sek itar 20 ribu orang. Sedangk an pada saat yang sam a, Mujah adah Kubro I yang diadak an

10 Informasi tentang peristiwa penyelesaian hukum ini merupakan hasil wawancara dengan Abdul Wahid Suwoto (pelaku sejarah) pada hari Rabu, 21 Februari 2007, di rumahnya, di Maesan Sooko Kediri. Informan adalah pengamal Wahidiyah, mantan penginjil. Kisahnya secara lebih detil penulis paparkan pada Bab IV, sub bahasan “Fenomena Keterbukaan Ideologis dalam Dinamika Historis Wahidiyah.” 11 Haul merupakan acara tahunan memperingati hari wafat seseorang, pada umumnya tokoh agama yang berpengaruh. Sedangkan Mujahadah Kubro merupakan kegiatan reguler Wahidiyah sebagaimana diajarkan oleh muallif-nya.

117 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

PSW di Pesantren At-Tah dzib (PA) R ejoagung Ngoro Jom bang h anya dih adiri oleh m assa sek itar 300 orang. M asih pada tah un yang sam a, Mujah adah Kubro II12 yang yang diselenggarak an PSW h anya di- h adiri oleh sek itar 1.200 orang. Jum lah ini bah k an surut m enjadi sek itar 800 orang pada saat Mujah adah Kubro III (19 9 4) k arena pada tah un ini Kiai Abdul H am id (putera m uallif ) m endirik an O rganisasi M iladiyah . Pada saat ini, PSW ternyata m engalam i perk em bangan pesat. O raganisasi ini m em ilik i m assa yang sangat banyak dan tersebar di m ana-m ana. Pada saat PSW m engadak an Mujah adah W ah idiyah , m isalnya, yang diselenggarak an pada 2007, acara tersebut dih adiri oleh m assa sek itar 70.000 orang untuk em pat gelom bang/h ari k e- giatannya. D engan k eadaan ini, PSW m eraih posisi sebagai d e jure dan d e facto sek aligus.

C. Shalaw at dan Syafa’at dalam D unia Tasaw uf D alam dunia tasaw uf, sh alaw at k epada Nabi Muh am m ad dapat m enjadi w asilah (perantara) dan dengan w asilah ini orang yang m em - baca sh alaw at ak an m em eroleh garansi syafa’at dari nabi.13 W asîlah m em ilik i peran penting. Ia m erupak an sarana berupa jalan untuk m enuju k epada Allah . O leh k arena itu, dalam setiap aliran tarek at dan tasaw uf h am pir bisa dipastik an terdapat sh alaw at k epada Nabi Muh am m ad. H al ini terk ait dengan k onsep dalam tasaw uf tentang al-h aqîqah al-Muh am m ad iyah (h ak ik at k e-Muh am m ad-an),14 yak ni

12 Sesuai dengan ajaran muallif Shalawat Wahidiyah, Mujahadah Kubro dilaksana- kan dua kali dalam satu tahun, yakni pada bulan Muharram dan bulan Rajab. 13 Lihat Imam Muslim, Shahîh Muslim, hadits nomor 577 pada kitab (bab) ash- Shalâh. Ini adalah hadits syarif yang marfu’, diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Ash. 14 Dalam konsep martabat tujuh, al-haqîqah al-Muhammadiyah—sebagai martabat kedua—merupakan ta’ayyun al-awwal (penampakan pertama Tuhan). Dalam martabat ini tampak pengetahuan Tuhan tentang zat dan sifat-Nya serta mawjudat (wujud-wujud) secara rinci. Martabat di atasnya (martabat pertama) adalah martabat ahadiyah yang disebut martabat mutlak Zat semata atau disebut wujud lâ ta’ayyun. Yang ada hanya Tuhan atau kunhi-Nya saja.

118 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural bah w a segala sesuatu tercipta dari Nur Muh am m ad, atas k eh endak Allah . Bah k an dalam h adits q udsi dijelask an: “Jik a tidak ada engk au (Muh am m ad), niscaya Ak u tidak m enciptak an segala cak raw ala.”15 D alam k aitannya dengan sh alaw at sebagai w asîlah , penulis m e- ngutip em pat poin dari beberapa penjelasan ulam a ah li tasaw uf. Pertam a, jalan yang paling dek at (m enuju w ush ul) k epada Allah pada ak h ir zam an, k h ususnya bagi orang yang senantiasa berbuat dosa, adalah m em perbanyak istigh far (m em oh on am pun) dan m em baca sh alaw at k epada nabi.16 Ked ua, sesungguh nya m em baca sh alaw at k epada nabi dapat m enerangi h ati dan m e-w ush ul-k an tanpa guru k epada Allah Yang Mah a Mengetah ui segala yang gaib.17 Ketiga, secara um um , m em baca sh alaw at k epada nabi dapat m e-w ush ul-k an k epada Allah tanpa guru k arena sesungguh nya guru dan sanad di dalam sh alaw at adalah sh ah ib ash -sh alaw at (pem ilik sh alaw at) itu sendiri, yak ni R asulullah . H al ini k arena sh alaw at diperlih atkan k epada nabi dan Allah m em beri sh alaw at k epada pem bacanya. Ini berbeda dengan zik ir-zik ir selain sh alaw at yang m engh arusk an adanya guru (m ursyid ) yang ‘arif b illah . Sebab, jik a tidak ada guru atau m ursyid m ak a setan ak an m asuk k e dalam zik ir itu dan orang yang berzik ir tidak ak an dapat m em eroleh m anfaat dari zik irnya.18 Keem pat, sesungguh nya para ulam a sependapat bah w a sem ua am al perbuatan ada yang diterim a dan ada yang ditolak , terk ecuali sh alaw at k epada nabi k arena sesungguh nya sh alaw at k epada nabi itu m aq b ûlatun qath’an (diterim a secara pasti).19

15 Syaikh Diyauddin Ahmad Musthafa an-Naqsyabandi, Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, (Jiddah: al-Haramain, t.t.), hlm. 89. 16 Sayyid Syaikh Yusuf, Sa’âdah ad-Dârain, hlm. 35. 17 Ibid, hlm. 36. 18 Ibid, hlm. 90. 19 Sayyid Ahmad bin Sayyid Zaini Dakhlan, Taqrîb al-Ushûl li Tahshîl al-Ushûl fî Ma’rifah ar-Rabb wa ar-Rasûl, (Mesir: Musthafâ al-Bâbi al-Halabi wa Aulâduh, 1349 H.), hlm. 57. Bandingkan dengan Sayyid Abu Bakr Bakry al-Maliki bin Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyathi, Kifâyah al-Atqiyâk, (T.tp.: Dar Akhyar, t.t.), hlm. 48.

119 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Sedangk an dalam pem ah am an syari’ah , m em baca sh alaw at dapat m em perbanyak pah ala bagi pem bacanya. D alam h adits nabi di- jelask an bah w a orang yang m em baca sh alaw at satu k ali ak an dibalas oleh Allah dengan bacaan sh alaw at sepuluh k ali.20 D i dalam Al-Q ur’an juga disebutkan bah w a Allah m em erintah - k an k epada orang-orang yang berim an agar m em baca sh alaw at dan salam k epada nabi.21 Sedangk an R asulullah sendiri pernah bersabda: “Perbanyak lah m em baca sh alaw at k epadak u, sesungguh nya Allah m e- nugask an m alaik at untuk k u di k uburk u; apabila seseorang dari um atku m em baca sh alaw at k epadak u m ak a m alaik at tersebut ak an berk ata k epadak u: ‘Ya Muh am m ad, sesungguh nya fulan b in fulan m em baca sh alaw at k epadam u” (H .R . ad-D ailam i dari Abu Bak ar ash -Shiddiq dan oleh an-Num airi dari H am m ad al-Kufi).

D.Shalaw at W ah idiyah sebagai Fenom ena Kultural W ah idiyah yang lah ir di Kediri, Indonesia, ternyata berk em bang sebagai sebuah nilai spiritual di tengah -tengah m asyarak at, bah k an tidak h anya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Keh adirannya m erupak an fenom ena k ultural tasaw uf dalam w acana realitas sosial, k eagam aan, dan ilmiah . Keh adirannya dapat dibilang sebagai k ontrol dan reform asi zam an um at m anusia. Menurut h em at penulis, m ungk in beginilah di antara cara Allah m enjabark an firm an-firm an-Nya dalam Islam yang bentuk padatnya berupa Al-Q ur’an. Sistem ajaran W ah idiyah m enyediak an perangk at spiritual yang disebut Shalaw at W ah id iyah . Sh alaw at ini— dem ik ian juga ajaran- nya—m erupak an produk atau susunan KH . Abdoel Madjid Ma’roef. D ia dik enal sebagai “m uallif Sh alaw at W ah idiyah ”, buk an m ursyid . H al itu k arena dalam W ah idiyah tidak ada istilah m ursyid seperti dalam tarek at-tarek at pada um um nya atau dalam sem ua tarek at yang ada. O leh k arena itu, dapat dipah am i jik a dalam W ah idiyah tidak

20 Lihat Imam Muslim, Shahih Muslim, hadis nomor 577. 21 Q.S. al-Ahzab [33]: 56.

120 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural ada baiat m urid di h adapan m ursyid . Pola h ubungan yang ada dalam W ah idiyah adalah h ubungan m uallif dan pengam al. Sem ua pengam al adalah m urid langsung m uallif. Pola h ubungan ini tidak tersusun atas urutan pendiri, m ursyid, sam pai m urid yang sem ak in lam a sem ak in panjang jalur silsilah nya k arena sem ak in panjangnya rentang m asa h idup antara m urid dan pendiri, yang di antara k eduanya terdapat m ursyid-m ursyid. D alam W ah idiyah , pola h ubungan tesebut tetap ber- tah an, tidak sem ak in panjang, m esk ipun rentang m asa h idup antara k eduanya sem ak in panjang. Idealism e tasaw uf yang dibaw a oleh W ah idiyah diterjem ah k an oleh m uallif k e dalam bentuk am alan ritual yang prak tis untuk di- sajik an k epada m ayarak at luas. D engan k ata lain, W ah idiyah dapat diak ses k apan saja, di m ana saja, dan oleh siapa saja, tanpa prosedur k esilsilah an. Ini m erupak an terobosan baru dalam dunia tasaw uf dan tarek at. Sepengetah uan penulis, sem ua aliran tasaw uf dan tarek at yang ada m enyajik an sistem ajaran dan sistem am alan ritual yang k etat dan prosedural. Sebagai fenom ena k ultural, W ah idiyah ternyata berk em bang pesat di tengah -tengah m asyarak at. Bah k an dengan m isi ink lusivism e global (jam i’ al-’alam in), ia berk em bang h ingga k e m anca negara. Barangk ali k arena sistem nya yang sederh ana dan prak tis itulah m ak a sebagian m asyarak at m erasak an adanya daya tarik W ah idiyah . Mesk i dem ik ian, tantangan yang dih adapinya juga besar. Tantangan ini ber- bentuk respons-respons dan k ritik-k ritik ideologis dari berbagai pih ak , k h ususnya dari tok oh -tok oh NU, sejak m asa aw al perk em bangan W ah idiyah sam pai sek arang. Ak an tetapi, k arena prosedur pengam alan Shalaw at W ah idiyah sangat prak tis, tanpa proses baiat, banyak tok oh sepuh dan strategis NU yang m enjadi pengam al W ah idiyah .22

22 Data-data tentang tokoh-tokoh sepuh dan strategis NU yang menjadi pengamal Wahidiyah dapat dilihat pada bab IV, sub bahasan B, tentang “Fenomena Keterbukaan Ideologis dalam Dinamika Historis Wahidiyah”.

121 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

E. Shalaw at dan Syafa’at dalam Pustak a Ajaran W ah idiyah Pada subbab ini, penulis ak an m enjelask an berbagai h al yang terk ait dengan sh alaw at dan syafaat dalam ajaran W ah idiyah . H al- h al tersebut m eliputi: dasar h uk um dan tata cara m em baca sh alaw at; k eutam aan dan m anfaat m em baca sh alaw at; k ecam an terh adap orang yang tidak m au m em baca sh alaw at; pendapat para ulam a tentang sh alaw at; m acam -m acam sh alaw at; berh ubungan dengan R asulullah (at-ta’alluq b i janâbih i), dan tentang syafa’at. Pem bah asan terh adap k etujuh h al tersebut didasark an pada sum ber- sum ber dok um enter yang penulis peroleh dari D PP PSW, yang k em udian penulis desk ripsik an secara naratif, sebagaim ana penjelasan berik ut.

1. D asar-H uk um dan Tatak ram a Mem baca Shalaw at D asar yuridis m em baca sh alaw at k epada Nabi Muh am m ad adalah firm an Allah : “Sesungguh nya Allah dan para m alaik at-Nya m em baca sh alaw at kepada Nabi. W ah ai orang-orang yang berim an, bacalah sh alaw at dan sam paik an salam sebaik -baik nya k epadanya”.23 D alam pustak a ajaran W ah idiyah , sh alaw at dari Allah k epada Nabi Muh am m ad adalah dalam rangk a m enam bah rah m at dan ta’zh îm (k asih sayang dan sik ap m em uliak an), sedangk an k epada selain Nabi Muh am m ad adalah dalam upaya m enam bah rah m at dan m agh firah (k asih sayang dan am punan). D em ik ian juga sh alaw at para m alaik at k epada Nabi Muh am m ad adalah dalam rangk a m em oh on k epada Allah agar m em berik an tam bah an rah m at dan k em uliaan k epada Nabi Muh am m ad sem entara sh alaw at k epada selain Nabi Muh am m ad m erupak an perm oh onan rah m at dan m agh firah . Adapun h uk um m em baca sh alaw at, terdapat beberapa pendapat para ulam a. Ada ulam a yang m engatak an bah w a m em baca sh alaw at h uk um nya w ajib b i al-ijm âl, ada yang m engatak an w ajib satu k ali

23 QS. al-Ahzab [33]: 56.

122 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural sem asa h idup, dan ada yang berpendapat sunnah . Ak an tetapi, pen- dapat tentang h uk um m em baca sh alaw at yang paling populer adalah sunnah m u’ak k ad ah , k ecuali m em baca sh alaw at pada tah iyyat ak h ir dalam sh alat. Sebab sudah disepak ati bah w a m em baca sh alaw at pada tah iyyat ak h ir dalam sh alat adalah w ajib h uk um nya k arena ia m e- rupak an ruk un sh alat. Bagi k aum m uk m in, k h ususnya dalam tradisi para pengam al Shalaw at W ah idiyah , di sam ping penting diperh atikan pendapat para ulam a tentang k eduduk an h uk um m em baca sh alaw at seperti di atas, h al yang lebih penting adalah k esadaran bah w a m em baca sh alaw at k epada nabi m erupak an k ew ajiban m oral dan k eh arusan nurani. H al ini paling tidak k arena tiga h al: Pertam a, k aum m uk m in diperintah m em baca sh alaw at, seperti dinyatak an dalam Q S. al-Ah zab [33]: 56 di depan. Ked ua, sem ua k aum m uk m in berh utang budi k epada Nabi Muh am m ad yang tidak terh itung banyak dan besarnya: zh âh iran w a b âthinan (lah ir-batin) dan syar’an w a h aqîqatan (secara syari’at m aupun h ak ik at). Ketiga, k eutam aan dan m anfaat m em baca sh alaw at ak an k em bali k epada orang yang m em bacanya dan juga berm anfaat bagi k eluarga dan m asyarak atnya, serta m ak h luk -m ak h luk yang lain. Nabi Muh am m ad sendiri tidak berk epentingan dan tergantung pada bacaan sh alaw at dari um atnya. Adapun dasar-dasar m em baca sh alaw at yang bersum ber dari h adits nabi, di antaranya, adalah : Pertam a, perintah m em perbanyak bacaan sh alaw at:

123 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Rasulullah Saw. bersabda: Perbanyaklah membaca shalawat kepadaku, sesungguhnya Allah menugaskan malaikat untukku di kuburku; Apabila seseorang dari umatku membaca shalawat ke- padaku, malaikat tersebut berkata kepadaku: “Ya Muhammad, sesungguhnya fulan bin fulan membaca shalawat kepadamu” (Diriwayatkan oleh ad-Dailami dari Abu Bakar ash-Shiddiq dan oleh an-Numairi dari Hammad al-Kufi).

Ked ua, m alaik at m enyam paik an salam k epada Nabi Saw :

Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah ta’ala me- miliki malaikat-malaikat yang bertebaran (di muka bumi) yang bertugas menyampaikan salam dari umatku kepadaku (HR. Imam Ahmad dan al-Hakim dari Ibn Mas’ud).24

Ketiga, perintah m em perbaik i bacaan sh alaw at:

Rasulullah Saw. bersabda: Ketika kamu sekalian membaca shalawat kepadaku maka perbaikilah bacaan shalawatmu itu, se- sungguhnya kamu sekalian tidak mengetahui sekiranya shalawat- mu itu diperlihatkan kepadaku (HR. ad-Dailami dari Ibn Mas’ud).

24 Dalam hadits yang lain, yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dari Sahabat Ali, Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat-malaikat yang bertebaran di muka bumi yang ditugasi untuk menyampaikan shalawat yang dibaca seseorang dari umatku kepadaku.”

124 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

KH . Abdoel Madjid Ma’roef (m ua’llif Sh alaw at W ah idiyah ), m enganjurk an k epada k ita agar senantiasa m enerapk an istih d h âr di dalam m em baca sh alaw at, yak ni m erasa seperti benar-benar berada di h adapan R asulullah . Istih d h âr ini term asuk ad ab m em baca sh alaw at. Bersik ap istih d h ar ak an m enjadik an h ati k ita lebih taw adh u’ di dalam m em baca sh alaw at dan ak an sem ak in tertanam lebih m endalam rasa m ah ab b ah (cinta) k epada R asulullah . KH . Ma’roef dalam suatu k uliah nya juga m enerangk an bah w a ada beberapa fak tor yang berpengaruh terh adap fad h ilah (k eutam a- an) dan k ebaik an suatu sh alaw at. Selain k eutam aan dari Allah dan syafa’at R asulullah , fad h ilah m em baca sh alaw at m inim al ada h ubung- annya dengan enam h al, yak ni: (1) Kondisi m uallif sh alaw at, terutam a k ondisi batiniah ; (2) susunan redak si sh alaw at; (3) situasi dan k ondisi m asyarak at k etika sh alaw at itu (disusun); (4) tujuan sh alaw at itu di- susun; (5) situasi dan k ondisi pem baca sh alaw at, dan (6) ad ab (tata k ram a) lah ir dan batin k etik a m em baca sh alaw at. Bagi pengam al W ah idiyah , h al yang paling penting adalah m em - perh atik an ad ab k etik a m em baca sh alaw at, yang m eliputi: (1) niat dengan ik h las beribadah k epada Allah , tanpa pam rih ; (2) ta’zh îm (m engagungk an) dan m ah ab b ah (m encintai) R asulullah ; (3) h ati h ud h ûr k epada Allah dan istih d h âr (m erasa berada di h adapan R asu- lullah , dan (4) taw ad h u’ (m erendah k an diri), iftiqâr (m erasa butuh sek ali) k epada pertolongan Allah , butuh sek ali terh adap syafa’at atau bantuan (m oril) dari R asulullah .

2. Keutam aan dan M anfaat M em baca Sh alaw at Terdapat banyak h adits yang m enerangk an tentang k eutam aan dan m anfaat m em baca sh alaw at. D em ik ian juga banyak h adits yang m em beri peringatan atau bah k an k ecam an terh adap m erek a yang lengah dan k urang perh atian terh adap sh alaw at. H adits-h adits ter- sebut, antara lain, adalah : Pertam a, k eutam aan secara m oral, dan m anfaat di ak h irat bagi orang yang m em baca sh alaw at:

125 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa yang membaca shalawat kepadaku satu kali maka Allah akan membalas shalawat kepadanya sepuluh kali; dan siapa yang membaca shalawat kepadaku seratus kali maka Allah akan menulis di antara kedua matanya: “bebas dari kemunafikan dan bebas dari neraka,” dan Allah menempatkannya besok pada hari kiamat bersama-sama dengan syuhada (orang-orang yang mati syahid) (HR. Thabrani dari Anas bin Malik).25

Ked ua, status k eutam aan di sisi nabi di ak h irat nanti:

Rasulullah Saw. bersabda: Manusia yang lebih utama di sisiku besok pada hari kiamat ialah mereka yang lebih banyak membaca shalawat kepadaku (HR. At-Tirmidzi dari Ibn Mas’ud).26

25 Dalam hadits yang lain dinyatakan bahwa “Siapa di antara umatmu yang membaca shalawat kepadamu satu kali maka sebab bacaan shalawat tersebut Allah me- nuliskan baginya sepuluh kebaikan dan mengangkat derajatnya sepuluh tingkatan, dan ia akan dibalas sepadan dengan shalawat yang ia baca” (HR. Imam Ahmad dari Abi Thalhah al-Anshari). Lihat juga Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad, hadits nomor 15759, pada kitab (bab) Musnad al-Mudniyin. 26 Lihat Imam at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, hadits nomor 446, pada kitab (bab) ash-Shalâh (hadits hasan gharib).

126 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

Seluruh um at Muh am m ad tentu ingin berada dek at dengannya, terlebih lagi besok pada h ari k iam at. O leh k arena itu, k aum m uslimin perlu m elak uk an k orek si diri, sudah adak ah usah a dan seberapa usah a itu dilak uk an untuk m encapai k edek atan dengan R asulullah Saw ?27 Ketiga, balasan dan m anfaat sh alaw at sebagai penebus dosa:

Rasulullah Saw. bersabda: “Hendaknya kalian semua mem- baca shalawat kepadaku karena sesungguhnya bacaan shalawat itu menjadi penebus dosa dan pembersih bagi kamu sekalian; dan siapa yang membaca shalawat kepadaku satu kali maka Allah memberi shalawat kepadanya sepuluh kali” (HR. Ibn Abi ’Ashim dari Anas bin Malik).

D ari h adits tersebut dapat ditarik k esim pulan bah w a m em baca sh alaw at k epada Nabi Muh am m ad berfungsi sebagai istigh far dan m em eroleh jam inan m agh firah (am punan) dari Allah .28 Keem pat, sh alaw at sebagai pengaw al doa, k eridh aan, dan pem - bersih am al perbuatan:

27 Dalam hadits yang lain, yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, Rasulullah bersabda: “Siapa yang lebih banyak di antara kamu sekalian bacaan shalawatnya kepadaku, dialah yang lebih dekat kedudukannya dengan aku”. Lihat Sayyid Syaikh Yusuf bin Isma’il an-Nabhani, Sa’âdah ad-Dârain fî ash-Shalâh ‘alâ Sayyid al-Kaunain, (Beirut-Libanon: Dâr al-Fikr), hlm. 58. 28 Dalam hadits yang lain dinyatakan bahwa shalawat juga bisa berfungsi sebagai ampunan dan sekaligus wasilah, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Asakir dari Hasan bin Ali.

127 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Rasulullah Saw. bersabda: “Bacaan shalawatmu kepadaku me- rupakan pengawal bagi doamu dan merelakan Tuhanmu, serta sebagai pembersih amal-amalmu” (HR. Ad-Dailami dari Sayyidina ‘Ali karramallahu wajhah).

Kelim a, jam inan m elih at surga sebelum m ati:

Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa membaca shalawat kepadaku setiap hari seribu kali dia tidak akan mati sehingga dia melihat tempatnya di surga (HR. Adh-Dhiya’ dari Anas bin Malik).

Itulah beberapa m anfaat dan k eutam aan m em baca sh alaw at k e- pada Nabi Muh am m ad Saw. Selain itu, sebenarnya m asih banyak m anfaat yang lain dari m em baca sh alaw at: sebagai pem buk a h ijab doa,29 dan sek aligus bisa m enyebabk an terk abulnya h ajat di dunia dan ak h irat;30 dim intak an am pun oleh m alaik at bagi penulis sh alaw at.31 Sh alaw at juga bisa berfungsi sebagai pengh ias m ajelis dan cah aya di h ari k iam at.32

29 Rasulullah Saw. bersabda: Segala macam doa terhijab (terhalang/tertutup) sehingga diawali dengan pujian kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan bacaan shalawat kepada nabi, kemudian berdoa maka doa itu dikabulkan (H.R. An-Nasai dari Abdullah bin Yasar). 30 Rasulullah Saw. bersabda: Barng siapa yang membaca shalawat kepadaku setiap hari 100 (seratus) kali maka Allah mendatangkan baginya seratus macam hajat kebutuhannya; yang 70 macam untuk kepentingan akhirat sementara yang 30 macam untuk kepentingan dunianya (H.R. Ibn Majah dari Jabir). 31 Rasulullah Saw. bersabda: “Barang siapa yang bershalawat (menulis shalawat) kepadaku di dalam suatu kitab maka para malaikat tiada henti-hentinya me- mohonkan ampunan baginya selama namaku masih berada di dalam kitab tersebut” (HR. AthThabrani dari Abi Hurairah). 32 Rasulullah Saw. bersabda: “Hiasilah ruangan tempat pertemuanmu dengan bacaan shalawat kepadaku karena sesungguhnya bacaan shalawatmu kepadaku akan menjadi cahaya bagimu di hari kiamat (H.R. ad-Dailami dari Ibn Umar).

128 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

3. Kecam an terh adap orang yang tidak m au m em baca sh alaw at Selain h adits-h adits yang m enganjurk an agar um at Islam banyak m em baca sh alaw at, juga terdapat banyak h adits yang m engecam orang-orang yang tidak m au m em baca sh alaw at, di antaranya adalah : Pertam a, orang yang tidak m au m enjaw ab sh alaw at k etik a di- sebut nam a Nabi Muh am m ad dianggap sebagai orang yang paling bah il:

Rasulullah Saw. bersabda: “Barang siapa yang (mendengar) Aku disebut di dekatnya dan dia tidak membaca shalawat kepadaku maka dia itulah sebakhil-bakhil manusia (HR. Ibn Abi Ashim).

Ked ua, orang yang tidak m au bersh alaw at tidak ak an m elih at w ajah nabi:

Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak akan melihat wajahku tiga kelompok orang: pertama, orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya. Kedua, orang yang meninggalkan (tidak mengerjakan) sunnahku. Ketiga, orang yang tidak mau membaca shalawat ke- padaku ketika (mendengar) Aku disebut di dekatnya (Disebutkan dalam al-Qaul al-Badî’, hadits marfu’ dari ‘Aisyah).

D i dalam h adits yang lain dinyatak an:

129 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Rasulullah bersabda Saw.: “Siapa yang (mendengar) aku disebut di dekatnya dan dia tidak membaca shalawat kepadaku maka dia itu bukan dari golonganku, dan aku pun bukan dari golongan dia. Kemudian Rasulullah Saw. melanjutkan sabdanya (dalam bentuk doa): “Ya Allah, pertemukanlah orang yang mau berhubungan dengan aku dan putuskanlah (hubungan) orang yang tidak mau berhubungan dengan aku” (Diriwayatkan dari Anas bin Malik).

H adits-h adits di atas dapat dijadik an sarana untuk m engorek si pribadi k ita m asing-m asing tentang seberapa dek at h ubungan k ita dengan R asulullah Saw.

4. Pendapat Ulam a tentang Shalaw at Banyak pandangan d an pend apat d ari para ulam a tentang sh alaw at. Ada sh alaw at yang diangk at dari k aidah -k aidah k eagam aan, ada pula yang berdasar atas k eyak inan dan pengalam an d zauqiyyah (afek tif, perasaan) dan dari h asil-h asil m uk âsyafah . Sebagian ulam a berpendapat bah w a sh alaw at bisa m enjadi jalan yang paling dek at (m enuju w ush ul) k epada Allah , selain tentunya h arus diik uti dengan m em perbanyak m em baca istigh far.33 Selain itu, ada juga ulam a yang m enyatak an bah w a m em baca sh alaw at k epada nabi (dapat) m enerangi h ati dan m e-w ush ul-k an tanpa guru k epada Allah Yang Mah a Mengetah ui segala yang gaib.34 D i sisi lain, ada juga ulam a yang m enyatak an bah w a m em baca sh alaw at k epada nabi dapat m e-w ush ul-k an k epada Allah tanpa guru. Sebab, sesungguh nya guru dan sanad di d alam sh alaw at adalah sh âh ibush ash -sh alaw ât (pem ilik sh alaw at), yak ni R asulullah Saw. Ini berbeda dengan zik ir-zik ir selain sh alaw at, yang m engh arusk an ada

33 Sayyid Syaikh Yusuf an-Nabhani, Sa’âdah ad-Dârain ..., hlm. 35. 34 Ibid, hlm. 36.

130 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural guru (m ursyid ) yang ‘ârif b illâh . Sebab jik a tidak , m ak a setan ak an m asuk k e dalam zik ir itu dan orang yang berzik ir tidak dapat m em e- roleh m anfaat dari zik irnya”.35 Sem entara itu, dalam k itab Taqrîb al-Ush ûl diterangk an: “Se- sungguh nya para ulam a sudah sepak at bah w a sem ua am al ada yang diterim a dan ada yang ditolak , terk ecuali sh alaw at k epada Nabi Saw. Sesungguh nya sh alaw at k epada nabi itu m aqbulatun qath’an (diterim a secara pasti)”.36 “D iterim a secara pasti” dapat dipah am i bah w a sek alipun se- seorang di dalam m em baca sh alaw at k urang h udh ûr, k urang k h usyû’, bah k an sek alipun disertai dengan sik ap ujub, riya, tak ab ur, bacaan sh alaw atnya tetap diterim a. Adapun ujub , riya dan tak ab ur-nya ada perh itungan sendiri, dalam arti tidak m enyebabk an ditolak nya sh a- law at. H al ini berbeda dengan am alan selain sh alaw at yang di dalam - nya ada k etentuan-k etentuan yang h arus dipenuh i. Kalau k etentuan- k etentuan itu tidak dipenuh i m ak a am alan tersebut tidak diterim a oleh Allah . Suatu am al selain bacaan sh alaw at apabila dilak sanak an dengan riya, ujub , dan tak ab ur m ak a am al itu tidak diterim a oleh Allah . D alam k aitannya dengan h al ini, m uallif Sh alaw at W ah idiyah m enam bah k an: “... jika sh alaw atnya diterim a, otom atis nam a si pem - baca sh alaw at dan nam a orang tuanya diperk enalkan k epada Nabi Saw.” D engan dem ik ian, nabi secara pasti ak an m em berik an syafa’at- nya k epada orang yang m au m em baca sh alaw at, dan Allah ak an m em beri rah m at dan am punan k epadanya, begitu juga para m alaik at ak an ik ut m em oh onk an rah m at dan am punan baginya. Lebih lanjut m uallif m enerangk an: “M em baca sh alaw at m e- rupak an ibadah sunnat paling m udah yang diberi berbagai m acam

35 Ibid, hlm. 90. 36 Sayyid Ahmad ibn Sayyid Zaini Dakhlan, Taqrîb al-Ushûl li Tashîl al-Ushûl fî Ma’rifah al-Rabb wa ar-Rasûl, (Mesir: Musthafâ al-Bâbi al-Halabiy wa Awlâduh, 1349 H.), hlm. 57. Bandingkan dengan Kifâyah al-Atqiyâ, hlm. 48.

131 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah k ebaik an yang tidak diperoleh ibadah -ibadah sunnah lainnya, seperti zik ir, m em baca Al-Q ur’an, sh alat sunnah , dan ibadah -ibadah sunnah lainnya. Kebaik annya, antara lain: sek ali m em baca sh alaw at, spontan disyafa’ati oleh R asulullah Saw., di sam ping m endapat pah ala dari m em baca sh alaw at itu sendiri. Terlebih lagi jik a m em baca sh alaw at- nya dengan sungguh -sungguh ik h las dan disertai tata k ram a lah ir dan batin. Sebagian dari k ebaik an m em baca sh alaw at adalah bah w a selain dia ingat k epada Nabi Saw., dia juga ak an bertam bah ingat k epada Allah . D engan k ata lain, m em baca sh alaw at sudah m engandung zik ir k epada Allah . Lebih jauh , di antara m anfaat m em baca sh alaw at adalah bah w a sh alaw at sudah m engandung istigh far (perm oh onan am pun) k epada Allah dan m engandung doa li qad h â’ al-h âjât (dem i ter- penuh inya h ajat/keinginan). Mem baca sh alaw at dik atak an ibadah sunnah yang paling m udah sebab di dalam nya tidak ada syarat-syarat tertentu. H al ini berbeda dengan ibadah -ibadah sunnah yang lain, seperti zik ir dan m em baca Al-Q ur’an, yang m em erluk an syarat-syarat tertentu. Bah k an, ada ungk apan yang m enyebutkan bah w a jik a seseorang m em baca Al- Q ur’an tanpa disertai syarat-syaratnya m ak a bacaannya justru ak an m enim bulkan m udh arat, seperti dik atak an oleh Anas bin Malik : “Banyak orang yang m em baca Al-Q ur’an, sedangk an Al-Q ur’annya justru m elak nati/m engecam pem bacanya.” H al tersebut disebabk an, antara lain, k arena bacaannya k urang tepat dan tidak disertai dengan adab m em baca Al-Q ur’an; m isalnya k urang tepat tajwid dan m ak h raj- nya. Sem entara itu, di dalam k itab Sa’âdah ad -D ârain diterangk an bah w a di antara m anfaat yang paling besar m em baca sh alaw at adalah terbayangnya h ati si pem baca k epada R asulullah Saw.: “D i antara m anfaat m em baca sh alaw at yang paling besar adalah tercetak nya sh urah R asulullah Saw. di dalam h ati si pem baca sh alaw at”.37

37 Syaikh Yusuf an-Nabhani, Sa’âdah ad-Dârain…, hlm. 506.

132 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

Seh ubungan dengan h al ini, dalam ajaran W ah idiyah sering diseruk an supaya m elatih h ati dengan istih d h âr, yak ni m erasa seolah - olah berada di h adapan R asulullah , terutam a k etik a m em baca sh a- law at, atau m erasa seolah -olah seperti m engik uti R asulullah di m ana pun berada, dengan terus-m enerus atau sering m em baca Yâ sayyid î yâ rasûl Allâh . Sebab, orang yang h atinya selalu istih d h âr seperti itu, secara m oral cenderung lebih berh ati-h ati dalam m elak uk an h al-h al yang dilarang oleh agam a, tidak berani m elanggar larangan-larangan Allah dan rasul-Nya, tidak berani m elak uk an perbuatan-perbuatan yang m erugik an, baik pada diri sendiri m aupun orang lain. Sebalik - nya, istih d h âr dapat m enyebabk an seseorang senantiasa berh ati-h ati di dalam segala h al dan tingk ah lak u, tak ut k alau tidak diridh ai oleh Allah dan rasul-Nya. D engan k ondisi batiniah seperti itu, dia ak an selalu m endapat tam bah an pencaran nur k enabian (Nûr Nub uw w ah ). D engan dem ik ian, sem ak in k uat dan sem ak in m endalam istih d h âr- nya, niscaya sem ak in bertam bah pancaran nur k enabian yang m e- nyinari h ati dan m enem bus k epada k esadaran budi pek erti serta m elah irk an ak h lak yang m ulia (al-ak h laq al-k arim ah ). Kondisi bati- niah seperti itu berk em ungk inan m enjadik an orang yang bersangk ut- an senantiasa berak h lak seperti ak h lak nya R asulullah Saw. Sem entara secara sosial, orang yang senantiasa m em baca sh alaw at dengan istih d h ar niscaya k eh idupannya ak an berm anfaat bagi dirinya sendiri dan juga k eluarganya, m em buah k an berk ah bagi orang lain, m asyarak at, bangsa, dan negaranya, bah k an bagi m ak h luk pada um um - nya. D engan senantiasa istih d h âr k epada R asulullah , seseorang ak an benar-benar berk em ungk inan m enem pati h aqîqah al-m utâba’ah , yak ni m engik uti tingk ah lak u, ak h lak , perangai nabi, m eniru cara-cara ber- buat dan bertindak nabi, m elak uk an apa yang disuk ai, lebih -lebih yang diperintah , dan m enjauh i apa saja yang tidak disuk ai, lebih -lebih yang dilarang oleh nabi. Selain itu, dia juga ak an m am pu “m elih at yang diik uti berada di sam ping segala sesuatu, bersam a segala sesuatu dan di dalam segala sesuatu”; dalam arti m am pu m elihat secara nyata dengan m ata h ati (ru’yah syuh ûd ).38

38 Syaikh Yusuf an-Nabhani, Sa’âdah ad-Dârain …, hlm. 35.

133 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Atas dasar k eterangan di atas, jik a seseorang benar-benar yak in dalam m engik uti R asulullah , seh arusnya ia m am pu m elih atnya, di m ana saja dan k apan saja. Kata “m elih at” yang dim ak sud di sini adalah m elih at dengan m ata h ati yang disebut b ash îrah . D alam h al ini, tentu tidak sem barang h ati yang dik aruniai k em am puan seperti itu. H anya h ati yang bersih dan jernih saja yang dapat m enggapainya. Sem ak in bersih , sem ak in jernih , dan sem ak in suci h ati seseorang, niscaya sem ak in tajam dan sem ak in k uat pula bash îrah -nya. Kem am pu- an seperti itu disebut juga m uk âsyafah , yak ni k em am puan m elih at R asulullah yaqzh atan (dalam k eadaan terjaga). O rang yang ik ut, apabila tidak m am pu m elih at k epada yang diik utinya, besar k em ungk inan dia m engalam i k ebingungan, bah k an dapat tersesat jalan dan terpisah dari yang diik utinya tanpa terasa. O leh k arena itu, perlu dilak uk an k orek si diri bagi um at Islam yang selam a ini m engak u sebagai pengik ut atau um at Muh am m ad agar tidak m engalam i k eadaan seperti itu. Ibarat sh alat berjam aah , um at Islam adalah m ak m um , sedang R asulullah sebagai im am -nya. Apabila m ak m um tidak m engik uti gerak an im am m ak a batal sh alatnya. Terk ait dengan h al ini, syaik h Abul Abbas al-Mursi pernah m e- ngatak an: “Seandainya ak u terh ijab dari (tidak m elih at atau m eng- ingat) R asulullah sek ejap saja, ak u tidak berani m engk laim dirik u dari golongan k aum m uslim in”.39

5. M acam -M acam Sh alaw at Sh alaw at kepada Nabi Muh am m ad m em ilik i beranek a m acam bentuk atau redak si dan dapat dipilah m enjadi dua k elom pok , yaitu: sh alaw ât m a’tsûrah dan sh alaw at gh airu m a’tsûrah . a. Shalaw at M a’tsûrah Shalaw at m a’tsûrah adalah sh alaw at yang redak sinya langsung diajark an oleh R asulullah Saw . Salah satu contoh nya ialah sh alaw at

39 Lihat Sayyid Ahmad, Taqrîb al-Ushûl …, hlm. 55 dan Sayyid Syaikh Yusuf an- Nabhani, Sa’âdah ad-Dârain…, hlm. 440.

134 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

Ibrah im iyah , seperti yang dibaca dalam tasyah aud ak h ir dalam sh alat. Adapun redak si sh alaw at Ibrah im iyah yang m asyh ur adalah :

Shalaw at ini tidak m em ak ai k ata sayyidinâ. Mem ang sem ua sh ala- w at m a’tsûrah tidak ada yang m em ak ai k ata tersebut. Ini m enunjuk - k an k eluh uran budi R asulullah yang tidak m au m enonjolkan diri. R asul selalu ber-taw ad h u’ (sopan-santun dan lem ah lem but) k epada siapa pun; suatu sik ap budi luh ur yang seh arusnya ditiru oleh um at- nya. Kaum Sunni sering m em baca sh alaw at dengan tam bah an k ata sayyid ina. Kata tersebut m erupak an tam bah an dari para sah abat nabi dan para ulam a salaf sebagai cetusan rasa ta’zh îm dan m ah abbah . Sudah sew ajarnya k ita m enyebut Nabi Muh am m ad dengan sayyid ina,40 atau k ata lain yang m ak sudnya sam a, seperti k anjeng, gusti, b end ara, dan b agind a. Nabi Muh am m ad adalah k ek asih Allah dan beliau m erupa- k an sayyid al-anb iyâ’ w a al-m ursalîn (pem im pin para nabi dan para utusan Allah ), bah k an sayyid al-k h alqi ajma’în (pem im pin seluruh m ak h luk ). O leh k arena itu, buk anlah suatu yang aneh dan bah k an m erupak an suatu bentuk atau w ujud rasa ta’zh im k ita k epada nabi jik a k ita m enam bah k an k ata sayyid ina di depan nam a beliau yang nota b ene adalah pem im pin para nabi dan utusan Allah serta pem im - pin seluruh m ak h luk di alam raya ini.41 D engan dem ik ian, peng- gunaan k ata sayyid ina terh adap Nabi Muh am m ad, baik di dalam bacaan sh alaw at m aupun di luarnya m erupak an cetusan rasa ta’zh îm (m em uliak an) dan rasa m ah ab b ah (cinta) k epadanya.

40 Secara bahasa, sayyid berarti tuan, orang yang terhormat (Jawa: gusti), atau orang yang tinggi derajatnya di kalangan kaumnya. Orang yang tertinggi kedudukannya di suatu desa (qaryah), misalnya, disebut sayyid al-qaryah (pemimpin desa). 41 Dalam suatu kesempatan, Rasulullah pernah bersabda: “Aku adalah sayyid bagi anak cucu Adam dan tidak membanggakan diri …” (HR. Imam Ahmad, Tirmidzi, dan Ibn Majah). Sayyid Syaikh Yusuf bin Isma’il an-Nabhani, Syawâhid al-Haqq, (Beirut-Libanon: Dâr al-Fikr, t.t.), hlm. 132.

135 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

D alam Al-Qur’an Allah m elarang m em anggil Nabi Muh am m ad h anya dengan m enyebut Yâ Muh am m ad atau Yâ Ab al Q âsim dan panggilan lain yang tidak m engandung nilai ta’zh îm (m engagungk an/ m em uliak an), sebagaim ana firm an-Nya: “Janganlah k am u jadik an panggilan rasul di antara k am u seperti panggilan sebagian k am u k epada sebagian (yang lain) …” 42 D i dalam ayat lain, Allah berfirm an:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu me- ninggikan suara kamu melebihi suara nabi dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak terhapus (pahala) amal-amal kamu sekalian dan kamu sekalian tidak menyadari.”43

Kedua ayat tersebut m enek ank an adab (sopan santun) terh adap R asulullah . M em anggil nam a beliau tanpa pengh orm atan dan ber- bicara k eras terh adapnya adalah tidak sopan dan m erupak an sû’ al- ad ab (perilak u buruk ) yang dapat m engak ibatkan terh apusnya am al k ebaik an. Syaik h Abu al-Abbas at-Tijani berpendapat bah w a siyâdah (se- butan yâ sayyid î atau sayyid inâ) adalah term asuk ibadah . Sebab, m ak sud pok ok dari bacaan sh alaw at adalah m engh orm ati, m eng- agungk an Nabi Muh am m ad. D engan dem ik ian, dapat dipah am i apa- bila ada pem baca sh alaw at yang m eninggalkan k ata siyâdah di dalam bacaan sh alaw atnya m ak a dia dianggap k urang m engh orm at atau k urang m em uliak an nabi.44 b. Shalaw at Gh airu M a’tsûrah Shalaw at gh airu m a’tsûrah adalah sh alaw at yang disusun oleh selain Nabi Muh am m ad sendiri. Ia bisa disusun oleh para sah abat,

42 QS. an-Nur [24]: 63. 43 QS. al-Hujurat [49]: 2. 44 Sayyid Syaikh Yusuf an-Nabhani, Sa’âdah ad-Dârain ..., hlm. 11.

136 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural tâbi’în, sh âlih în, auliyâ’, para ulam a, atau yang lainnya dari k alangan um at Islam . Pada um um nya, redak si sh alaw at gh airu m a’tsûrah ini panjang, susunan bah asanya disertai dengan k ata-k ata indah yang m engek spresik an pengh orm atan, pujian, dan sanjungan yang rom an- tis sebagai cetusan dari getaran jiw a m ah ab b ah (cinta) dan syauq (rindu) yang m endalam . Bah k an tidak sedik it sh alaw at yang disusun dengan m enggunak an k esusasteraan yang tinggi, m enggunak an k alim at-k alim at yang b âligh dalam bentuk nazh am atau syi’ir, sajak , dan puisi. Selain itu, dalam sh alaw at gh airu m a’tsûrah juga banyak disertak an doa-doa m unajat (m engadu) k epada Allah dan k alim at- k alim at tasyâfu’an (m em oh on syafa’at) k epada R asulullah . H al ter- sebut m enam bah ik râm an (sk ap m em uliak an), ta’zh îman (sik ap m eng- agungk an), dan rasa m ah ab b ah yang sem ak in m endalam . Ada begitu banyak ragam sh alaw ât gh airu m a’tsûrah dengan nam a-nam a yang berm acam -m acam . Jum lah sh alaw ât gh airu m a’tsû- rah bisa m encapai puluh an, ratusan, atau bah k an ribuan. D alam h al penam aannya, ada sh alaw at yang m enggunak an nam a m uallif-nya, ada sh alaw at yang diberi nam a m enurut faedah yang terk andung di dalam nya, ada juga sh alaw at yang nam anya diam bil dari salah satu k alim at yang ada di dalam nya. D i antara contoh sh alaw at gh airu m a’tsurah adalah : sh alaw at m unjiyat, sh alaw at nariyyah , sh alaw at b urd ah , dan m asih banyak lagi yang lainnya. Sh alaw ât W ah idiyah term asuk k e dalam sh alaw ât gh airu m a’tsûrah tersebut. Sebagian besar sh alaw at gh airu m a’tsûrah m engandung berbagai m acam ajaran dan bim bingan. Ada yang m engandung ajaran bidang ak h lak , bidang ad ab (etik a), ajaran tauh id, ajaran h aqîqat, ajaran m a’rifat, dan ada juga yang m engandung ajaran syari’at. Sebagai contoh adalah sh alaw at m asyisyiyah yang disusun oleh Syaik h Abdussalam bin Masyisy. Salaw at ini berisi ajaran tauh id. Sh alaw at lainnya adalah sh alaw at b urd ah yang disusun oleh Syaik h Muh am m ad Bush airi. Sh alaw at ini m engandung dorongan batin yang m enggugah serta m enum buh k an rasa m ah ab b ah (cinta) dan syauq (rindu) k epada R asulullah .

137 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Sh alaw at W ah idiyah — sebagaim ana dijelask an dalam pedom an k ew ah idiyah an— juga m engandung ajaran yang m eliputi bidang- bidang h aqîqat, syari’at, ak h lak (adab), tauh id, im an, islam , dan ih san. Sh alaw at W ah idiyah m engandung dan m em berik an bim bingan prak tis di dalam m erealisasi pelak sanaan h ablun m in Allâh w a h ab lun m in an-nâs, yak ni m em bim bing pelak sanaan dan realisasi k ew ajiban serta rasa tanggung jaw ab k epada Allah dan rasul-Nya, k ew ajiban pada agam a, k eluarga, bangsa, negara, sesam a m anusia, dan bah k an ter- h adap sesam a m ak h luk pada um um nya. Bim bingan prak tis tersebut dituangk an dengan k alim at-k alimat yang b aligh , sim pel, singk at-padat, serta m udah dipah am i dan di- terapk an, seperti yang dapat dibuk tik an di dalam Lem baran Shalaw at W ah idiyah yang disam paik an k epada m asyarak at luas. Titik fok us yang m enjadi tujuan dari bim bingan prak tis tersebut adalah bidang w ush ûl ilâ Allâh atau bidang m a’rifat k epada Allah dan rasul-Nya. Begitu b aligh -nya susunan bah asanya seh ingga untuk m endalam inya perlu dibeberk an dengan bah asa yang prak tis dan dengan penjelasan-pen- jelasan yang luas agar lebih m udah diam alkan. Baik sh alaw at m a’tsûrah m aupun sh alaw at gh airu m a’tsûrah , k eduanya dim ak sudk an untuk m em enuh i firm an Allah dalam Q.S. al-Ah zab [33]:56. D engan dem ik ian, pada dasarnya sem ua sh alaw at adalah baik dan dik aruniai m anfaat k ebaik an yang tidak sedik it. D itinjau dari segi redak si atau susunan tata bah asanya, sh alaw at gh airu m a’tsûrah ada yang berbentuk perm oh onan k epada Allah , seperti k alimat Allâh um m a … yang um um nya berada di aw al sh alaw at dan ada juga yang secara langsung m enyam paik an sh alaw at itu k epada R asulullah , seperti:

Kedua bentuk redak si sh alaw at tersebut terdapat dalam Sh a- law at W ah idiyah . D i dalam Sh alaw at W ah idiyah , m isalnya, ada bentuk redak si sh alaw at dengan Allâh um m a sh alli … dan ada pula

138 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural yang berupa penyam paian langsung k epada nabi, seperti ungk apan Ya Syâfi’al-k h alqi ash -sh alâtu w a as-salâm ... dan Ya Syâfi’al-k h alqi h ab îba Allâh i … Selain itu, dalam sh alaw at w ah idiyah juga disertak an doa-doa pem oh onan k epada Allah terk ait dengan h al-h al yang sangat di- butuh k an oleh setiap orang. M isalnya dalam sh alaw at k edua terdapat redak si k alim at Allâh um m a k am â anta ah luh ... Ini ditam bah lagi dengan perm oh onan k ebaik an bagi pribadi, k eluarga, bangsa, dan negara, bah k an bagi seluruh m asyarak at, m anusia seluruh dunia, baik yang m asih h idup m aupun yang sudah m eninggal dunia. Nenek m oyang (leluh ur) k ita dan saudara-saudara k ita yang berada di alam k ubur juga tidak k etinggalan m enjadi sasaran penting yang dim oh on- k an di dalam sh alaw at ini. Kesejah teraan dan berk ah (bertam bah nya k ebaik an) bagi bangsa dan negara, bah k an bagi seluruh m ak h luk ciptaan Allah term asuk objek yang dim oh onk an di dalam m ujah ad ah Sh alaw at W ah idiyah . Sh alaw at ini diak h iri dengan getaran jiw a yang k uat untuk m engetuk h ati seluruh m asyarak at agar segera k em bali k epada Allah (fa firrû ilâ Allâh ). Yang lebih penting lagi, di dalam Shalaw at W ah idiyah , pengam al dibim bing oleh m uallif di dalam setiap berdoa untuk m em ilik i sik ap batin h usn al-yaq în (berbaik k eyak inan) bah w a perm oh onan k ita dik abulkan oleh Allah . H al ini didasark an pada h adits yang m e- nyatak an: “Apabila k am u sek alian berdoa m ak a yak inilah bah w a (doam u) dik abulkan oleh Allah ” (H R . At-Tirm idzi dari Abu H urai- rah ). H al lain yang juga h arus diperh atik an adalah bah w a k ita juga h arus senantiasa berdoa sebagai salah satu w ujud taat k epada Allah . H al tersebut k arena Allah sendiri m enegask an h al tersebut dalam firm an-Nya: “D an Tuh anm u berfirm an: ‘Berdoalah (m em oh onlah ) k am u sek alian k epada-Ku, niscaya ak an Kuk abulkan doam u.’”45

45 QS. al-Mukmin [40]: 60.

139 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

7. Berh ubungan dengan R asulullah D i depan sudah dijelask an bah w a faedah m em baca sh alaw at yang paling besar m anfaatnya adalah inthib â‘u ash -sh ûrati Rasulillah ‘alâ qalb al-m ush alli (tercetak nya pribadi R asulullah di dalam h ati si pem baca sh alaw at; atau dengan k ata lain, selalu terbayang k epada R asulullah ). D engan dem ik ian, terjalin h ubungan jiw a yang sangat erat antara si pem baca sh alaw at dengan R asulullah . Eratnya h ubungan jiwa dengan R asulullah m erupak an fondasi im an dan tak w a, m enjadi patri m ah ab bah k epada Allah dan rasul-Nya. Sem entara im an, tak w a, dan m ah abbah sendiri m erupak an benteng k eselam atan dan k ebah agia- an h idup m anusia lah ir-batin di dunia dan ak h irat. O leh k arena itu, h ubungan um at Islam dengan R asulullah sebagai pem im pin, pem - bim bing, dan pem bela dari k esesatan dan k eh ancuran h arus selalu dipupuk , ditingk atkan, dan disem purnak an dengan sebaik -baik nya. H ubungan yang m asih bersifat form alitas ‘ala syari’ah h arus ditingk at- k an m enjadi h ubungan jiw a yang lebih ak rab, m esra, dan terpadu seh ingga m enjadi sem acam h ubungan m olek uler yang lebih k ok oh lah ir-batin. Sebab, R asulullah sendiri m enjadi rah m at bagi sek alian alam (rah m atan lil‘âlam în) dan selalu m enyayangi dan m em aafk an setiap m uk m in telah m eletak k an dan m eratak an “lem perek at” h u- bungan terh adap sek alian para um at? H al tersebut sesuai dengan firm an Allah : “Sungguh telah datang k epadam u seorang rasul dari k alangan- m u sendiri. Berat terasa oleh nya penderitaanm u, sangat m engingin- k an (k eim anan dan k eselam atan) bagim u, am at belas k asih an lagi penyayang terh adap orang-orang m uk m in”.46 Begitu m endalam dan ak rab h ubungan batin R asulullah dengan um atnya sam pai-sam api rasul m em anggil um atnya dengan sebutan ik h w ân, yang berarti “k aw an” dan bah k an beliau juga m enganggap um atnya sebagai “saudara”. H al ini terungk ap dalam salah satu h adits: “Betapa rinduk u k epada saudara-saudarak u, yaitu m erek a yang datang sesudah k u”.47 D engan dem ik ian, um at Islam seh arusnya m elak uk an

46 QS. At-Taubah [9]: 128. 47 Abdul Karim Jilli, Al-Insân al-Kâmil fî Ma’rifah al-Awâkhir wa al­Awâ’il, jld II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1975), hlm. 88.

140 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural k orek si diri tentang k eadaan h ubungan k ita selam a ini dengan rasul, sang pem im pin, pem bim bing, dan pem bela yang sangat m enyayangi um atnya. D alam upaya m em perbaik i h ubungan yang ak rab dengan R asulullah , atau yang biasa disebut dengan at-ta’alluq b i janâbih i, h al itu paling tidak dapat dilak uk an dengan dua jalan: (a) ta’alluq sh ûrî dan (b) ta’alluq m ak naw î.48 a. Ta’alluq sh ûrî atau h ubungan secara form al. H ubungan ini dapat ditem puh m elalui dua jalan: Pertam a, m enjalank an segala apa yang diperintah k an dan m enjauh i atau m eninggalkan segala sesuatu yang dilarang oleh R asulullah serta m enjalank an syari’at Islam secara baik , lah ir dan batin, baik yang berh ubungan dengan Allah dan rasul-Nya m au- pun yang berh ubungan dengan m asyarak at, k eluarga, tetangga, bangsa dan negara, sesam a um at m anusia, dan terh adap sesam a m ak h luk pada um um nya. Ked ua, fanâ’ atau lebur di dalam lautan m ah ab b ah k epada R asulullah . H al itu bisa dilak uk an, antara lain, dengan m em per- banyak m em baca sh alaw at, m em perbanyak ingat dan m engangan- angan dengan penuh rasa rindu (syauq) k epada rasul, m em per- banyak m em baca atau m endengark an uraian-uraian atau h ik ayat- h ik ayat yang m engandung pujian dan sanjungan terh adap k e- besaran dan k em uliaannya seh ingga tum buh rasa m ah ab b ah dan rindu yang m endalam ; juga dengan senantiasa berangan-angan dan berpik ir tentang jasa-jasa, pengorbanan, serta perjuangan rasul di dalam m em bela um atnya. b . Ta’alluq m a’naw î atau h ubungan secara m ak naw î. H ubungan ini juga dapat ditem puh m elalui dua jalan, yak ni: Pertam a, m elatih h ati m em bayangk an atau istih d h âr k epada pribadi Nabi Muh am am d yang m ulia dan agung dengan disertai

48 Dua jalan (cara) ini adalah sesuai dengan yang diterangkan oleh Sayyid Syaikh Yusuf an-Nabhani dalam kitabnya, Sa’âdah ad-Dârain.

141 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

rasa ta’zh îm , ta’jûb (k agum ), dan m ah abbah (cinta). Cara ini diper- untuk k an bagi m erek a yang sudah pernah bertem u nabi, baik dalam k eadaan berm im pi m aupun dalam k eadaan terjaga (tidak tidur). Adapun bagi m erek a yang belum pernah bertem u dengan nabi dapat m elak uk annya dengan cara m em bayangk an sifat-sifat dan juga ak h lak nya yang luh ur. Bagi m erek a yang sudah pernah ziarah k e Mak ah dan Madinah dapat m em bayangk an Ka’bah , m aqâm nabi, m asjid nabaw i, atau m em bayangk an tem pat-tem pat bersejarah lainnya yang dipergunak an oleh nabi dalam m em per- juangk an agam a Islam dan di dalam m em berik an tuntunan dan bim bingan k epada para sah abatnya. Sem ua itu h arus k ita lak uk an dengan ad ab (tata k ram a), ta’zh îm (m em uliak an), dan taw âdh u’ (sopan-santun). Mim pi bertem u Nabi Muh am m ad adalah m im pi baik , m im pi yang benar (h aqq). Siapa pun orangnya yang berm im pi bertem u dengan R asulullah dan bagaim anapun k eadaan m im pinya m ak a sesunguh nya m im pi itu adalah benar adanya sebab setan tidak dapat m enyerupak an diri (tam âtsul; Jaw a: mendho-mendho) dengan nabi. D alam suatu h adits dinyatak an: “Barang siapa yang m elih at ak u di dalam m im pi m ak a sungguh ia m elihat k ebenaran (m elih at R asulullah dengan sebenarnya), oleh k arena setan tidak dapat m enyerupak an diri sebagai ak u” (H R. Im am Muslim dan lain- nya). D i dalam k itab Ta‘thîr al-Anâm , k ata m an raânî (barang siapa yang m elih at ak u) diberi tafsir w alaw ‘alâ ayyi sh ûratin w a h âlatin (sek alipun dalam rupa dan dalam k eadaan yang bagaim anapun juga). Sebab, boleh jadi h asil m im pi seorang dan yang lainnya adalah tidak sam a. Ada orang yang berm im pi bertem u R asulullah persis seperti apa yang disifatkan dan diterangk an dalam k itab- k itab sejarah , nam un ada juga yang tidak dem ik ian. Ak an tetapi, k eduanya sam a-sam a benar m enurut h adits tersebut. Perbedaan itu disebabk an, antara lain, k arena situasi dan k ondisi batiniah orang yang berm im pi. Pada um um nya, sem ak in jernih h ati orang yang berm im pi, sem ak in dek at k epada k eadaan yang sebenarnya.

142 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

Ibarat k aca cerm in, sem ak in bersih dan tinggi m utu k aca cerm in, sem ak in jelas dan sem purna h asil pencerm inan yang diperoleh . Ked ua, m elalui ta‘alluq m a’naw i, yak ni m enerapk an al-h aqî- qah al-M uh am m adiyyah dalam h ati; h ati senantiasa sadar (syuh ûd al-qalb) dan m erasa bah w a asal k ejadian segala m ak h luk (term asuk diri k ita) adalah dari Nur Muh am m ad. H ati senantiasa m erasa dan m enyadari apa yang disabdak an dalam h adits q udsi: “Ak u (Allah ) m enciptak an engk au (Muh am m ad) dari nur-Ku dan Ak u m enciptak an m ak h luk dari nur-m u.”49 D engan dem ik ian, h ak ik at asal k ejadian segala m ak h luk adalah Nur Muh am m ad. Ini berarti sem ua m ak h luk di alam raya ini tidak terpisah sedik it pun dari Nur Muh am m ad. Adapun m engenai bagaim ana w ujud Nur Muh am m ad, k ita tidak m am pu m engindera dengan daya k h ayal, lebih -lebih dengan rasio. D alam h al ini, yang penting dan h arus k ita yak ini bah w a segala h ak ik at wujud adalah benar. D engan dem ik ian, k etik a k ita berpik ir, berangan-angan, k ita m erasa sesuatu (m erasa gem bira atau m erasa bersedih ), begitu juga penglih atan, pendengaran, pecium an, dan perasaan, sem ua itu berasal dari Nur Muh am m ad. H al tersebut h arus senantiasa dirasa dan dilatih dalam h ati, tidak cuk up h anya dengan penelitian ilmiah saja. Sebab, m asalah ini adalah m asalah dzauq (rasa/ feeling). Sedangk an h ak ik at w ujud Nur Muh am m ad adalah Nur Allah . Begitu juga h ak ik at w ujud m ak h luk adalah Nur Allah . M ak h luk sendiri tidak m em punyai sifat w ujud sebab yang m em ilik i sifat w ujud h anyalah Allah . M ak h luk m ew ujud k arena diw ujudk an oleh Allah . Mak h luk itu tidak w ujud jika tidak diw ujudk an oleh Allah . Ini berarti bah w a k eberadaan w ujud m ak h luk adalah k arena Allah . D alam istilah W ah idiyah , m aujudnya m ak h luk adalah b illâh . Lâ h aula w alâ quw - w ata illâ b illâh (tiada daya dan k ek uatan m elaink an atas titah Allah , sebab Allah –b illâh ).

49 Sayyid Abu Bakr Bakr al-Maliki bin Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyathi, Kifâyah al-Atqiyâ’ wa Minhaj al-Asyfiyâ’ (T.tp.: Dar Akhyar, t.t.), hlm. 6.

143 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Kesadaran ak an b illâh dan b i al-h aqîqah al-M uh am m ad iyyah sem estinya sungguh -sungguh m eresap k e dalam h ati dan diterapk an dengan rasa dan i’tik ad baik , tidak cuk up h anya m enjadi pem ah am an ilmiah saja. Pem ah am an itu h arus diterusk an m enjadi penerapan d zauqiyyah . Lebih -lebih pem ah am an itu tidak boleh h anya diper- gunak an sebagai bah an percak apan dan disk usi atau perdebatan saja, tetapi h arus disertai penerapan dalam h ati. H ati h arus terus-m enerus dilatih m erasak annya. D alam h al at-ta’aluq bi janâbih i, KH . Abdoel Madjid Ma’roef, se nantiasa m enganjurk an d an m engam anatk an agar pengam al W ah idiyah tidak h anya m elak uk an m ujah adah , tetapi juga h endak nya m em perbanyak m em baca Ya sayyid i ya Rasulallah di m ana saja dan k apan saja, baik dibaca dengan lisan m aupun h anya dalam batin, sesuai dengan situasi dan k ondisi. Kalim at tersebut juga baik di- am alkan secara k h usus, seperti h alnya m ujah adah W ah idiyah dengan h itungan yang sebanyak -banyak nya. Sem ak in banyak bacaannya, sem ak in baik nilainya, terlebih lagi jik a ada k epentingan atau m em - punyai h ajat tertentu, asalkan tidak disalah gunak an dan h arus dijiw ai oleh k esadaran lillâh -b illâh dan lirrasûl-b irrasûl. Mem perbanyak bacaan Yâ sayyid î yâ Rasûlallâh m erupak an cara at-ta’alluq b i janâbih i yang paling m udah dilak uk an.50 Sebab, sebagaim ana dijelask an oleh KH . Moh am m ad R uh an Sanusi,51 Yâ sayyid î yâ R asûlallâh adalah nid a’ (panggilan) langsung k epada R asulullah , yang m engandung m ak na tasyaffu’an (m em oh on syafa’at) yang dijiw ai dengan sem angat tazh’îm (m em uliak an), m ah ab b ah (cinta), tazh allum (pernyataan berdosa), dan iftiqâr (cetusan rasa butuh ). Sedangk an Nabi Muh am m ad sendiri bersifat k asih sayang

50 Penjelasan ilmiah tentang hal ini tidaklah mudah, namun keimananlah yang akan percaya dan yakin akan kebenaran fakta pengalaman nyata tersebut. 51 KH. Mohammad Ruhan Sanusi adalah Ketua Umum DPP PSW. Dia terpilih lagi sebagai Ketua Umum PSW masa khidmah 2005–2011, berdasarkan hasil Muskub (Musyawarah Kubro) Wahidiyah ke-5 tahun 2006, (26–28 Mei 2006), yang diselenggarakan di Pesantren At-Tahdzib (PA) Rejoagung, Ngoro, Jombang, Jawa Timur.

144 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

(ra’ûf ar-rah îm ) dan banyak m em berik an pengorbanan bagi um atnya. D alam h al ini, Allah m enegask an: “Sungguh telah datang k epada k am u sek alian seorang rasul dari k aum m u sendiri, yang berat terasa oleh nya penderitaanm u sek alian, sangat m engingink an (k eim anan dan k eselam atan) bagim u sek alian, am at belas k asih an lagi m enyayangi orang-orang m uk m in.”52 O leh k arena itu, m enurut ajaran W ah idiyah , secara im aniah dapat diyak i ni bah w a dengan m em biasak an m em baca Yâ sayyid î yâ Rasûlallâh m ak a nabi niscaya ak an m em berik an syafa’at- nya k epada um at yang selalu m em anggilnya.

8. Syafa’at R asulullah Istilah syafâ’at secara bah asa berarti “pertolongan.” D alam Syarah Sullam at-Taufîq dijelask an bah w a yang dim ak sud syafa’at adalah “m em oh on k ebaik an k epada seseorang untuk orang lain”.53 D engan k ata lain, syafa’at adalah m engusah ak an k ebaik an bagi orang lain atau m em berik an jasa-jasa baik k epada orang lain tanpa m engh arap upah atau im balan jasa; atau m em beri jasa, baik dim inta m aupun tidak , tanpa pam rih . Pada um um nya, sebutan syafa’at dipak ai untuk pertolongan yang k h usus berasal dari Nabi Muh am m ad. Sedangk an pertolongan yang diberik an oleh selain nabi, um pam anya pertolongan dari para w ali Allâh , ulam a, sh âlih în, atau orang-orang yang lebih tua um urnya disebut berk ah , doa restu, bantuan, duk ungan, atau jangk ungan. Sem ua itu pada dasarnya juga syafa’at, yak ni syafa’at dalam arti per- tolongan. Syafa’at R asulullah terjadi di dunia dan ak h irat. Syafa’at rasul di dunia yang paling berh arga dan tidak ternilai adalah im an dan Islam di dada setiap m uk m in dan m uslim . D engan dem ik ian, boleh dik atak an bah w a syari‘at dan tuntunan R asulullah adalah w ujud dari syafa‘atnya. Selain itu, seperti k ita sadari dari k enyataan yang ada

52 QS. At-Taubah [9]: 128. 53 Asy-Syaikh Muhammad Nawawi, Syarh Sullam at-Taufiq ila Mahabbah Allah ‘ala at-Tahqîq, (Surabaya: al-Hidayah, t.t.), hlm. 7.

145 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah bah w a tuntunan R asulullah tersebut disalurk an dan disam paik an k epada um at m anusia m elalui proses yang panjang: m elalui para sah abat k epada tâbi‘în, tâbi‘at-tâbi‘în, ulam a salaf, aw liyâ, sh âlih în, ulam a k h alaf, k iai, cendek iaw an, para ustadz, para guru, dan ak h irnya sam pai k epada k ita. Ini berarti bah w a generasi setelah rasul adalah generasi perantara yang m enyam paik an ajaran rasul k edapa k ita. Merek a itu adalah penyalur syafa’at rasul k epada um atnya. Adapun syafa’at R asulullah di ak h irat k elak , atau yang biasa disebut asy-syafâ’ah al-‘uzh m a, adalah pertolongan agung yang sangat dibutuh k an oleh seluruh um at m anusia di padang m ah syar k elak . Pada saat itu, seluruh um at m anusia sejak dari zam an Nabi Adam sam pai m anusia yang terak h ir ak an dik um pulkan. Pada saat itulah terjadi suatu peristiw a yang m ah adah syat, suatu tragedi k ebingungan um at m anusia yang sangat m em uncak dan belum pernah dialam i sebelum nya di dunia. Sem ua m anusia berada di baw ah terik panas m atah ari yang pada saat itu diturunk an oleh Allah sam pai h anya tinggal setinggi galah . Pada h ari itu, atau yang biasa disebut yaum al-h asyr, setiap m anusia m engalam i problem nya sendiri sebagai ak ibat dari perbuatannya k etik a h idup di dunia. Merek a saling berk on- frontasi, saling m enuduh satu sam a lain, dan m erek a saling m elarik an diri k arena tak ut terk ena tuntutan. H al ini ditegask an oleh Allah :

“Maka apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua), pada hari itu seseorang melarikan diri (karena takut dituntut) dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang sangat menyibukkannya.”54

D i dalam peristiw a dah syat di padang m ah syar tersebut, timbul k epanik an yang sangat m em uncak . Sem ua m anusia sibuk m encari pertolongan k epada para nabi, m ulai dari Nabi Adam h ingga nabi terak h ir sebelum Nabi Muh am m ad. Ak an tetapi, m erek a sem ua tidak bisa m em beri pertolongan. Pada saat itulah R asulullah Muh am m ad

54 QS. Abas [80]: 33–37.

146 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural tam pil m em berik an pem belaan dan pertolongan k epada um at m anu- sia dengan bersujud m em oh on am punan dan k asih sayang Allah . D an, Allah Yang Mah a Pengasih lagi Mah a Penyayang pun ak h irnya berk enan m engabulkan m unajat nabi dan k ek asih -Nya, Muh am m ad R asulullah . Inilah yang dim ak sud dengan asy-syafâ’ah al-‘uzh m a’ (syafa’at yang paling agung). Ak an tetapi, dalam k eh idupan ini, ada sebagian um at Islam yang ingk ar terh adap adanya syafa’at. Merek a biasanya m endasark an k eyak inannya itu pada firm an Allah : “M ak a tidak berguna lagi bagi m erek a syafa’at dari orang-orang yang m em beri syafa’at”.55 Pendapat ini perlu ditinjau k em bali k arena yang dim ak sud “m erek a” dalam ayat tersebut adalah k uffâr m in al-m ujrim în (orang-orang k afir yang m endustak an atau tidak m em percayai adanya h ari pem balasan (yaum ad-d în). H al ini sebagaim ana disebutkan pada ayat sebelum nya: “D an adalah k am i m endustak an h ari pem balasan.56 Sedangk an syafa’at yang dim ak sudk an di sini adalah yang diberik an oleh R asulullah k epada orang-orang yang berim an. Sebab, syafa’at seperti ini dijam in oleh Allah dalam firm an-Nya: “Pada h ari itu tidak lah berguna suatu syafa’at, k ecuali (syafa’at-nya) orang yang Allah Mah a Pem urah telah m em beri izin k epadanya, dan D ia telah m eridh ai perk ataannya.”57 D ari ayat tersebut m ak a jelaslah bah w a ada di antara h am ba Allah yang diizink an dan diridh ai untuk m em berik an syafa’at; dan k ita berk eyak inan bah w a Muh am m ad Saw. adalah h am ba Allah yang diberi m andat penuh oleh Allah untuk m em berik an syafa’at k epada um atnya. Sebab, beliau adalah nabi, utusan, dan k ek asih Allah yang diberi predik at Sayyid al-anbiyâ’ w a al-m ursalîn dan yang m enjalank an fungsi rah m atan li al- âlam în. D alam k aitannya dengan syafa’at (pem berian pertolongan rasul k epada um atnya), R asulullah m enegask an:

55 QS.Al-Muddatsir [74]: 48. 56 QS. Al-Muddatstsir [74]: 46. 57 QS. Thaha [20]: 109.

147 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Aku adalah sayyid dari anak cucu Adam pada hari kiamat, dan tidak membanggakan diri. Di tanganku terdapat “bendera pujian”, dan tidak membanggakan diri. Tiada dari seorang nabi pun ketika itu (maksudnya Adam), dan orang selainnya, kecuali bernaung di bawah benderaku. Aku adalah orang yang pertama memberi syafa’at dan orang pertama yang diterima syafa’at-nya, tidak membanggakan diri”.58

Pada saat yang lain R asulullah juga m enegask an: “Yang dapat m em beri syafa‘at besok pada h ari k iam at ada tiga golongan; yaitu para nabi, ulam a, k em udian syuh ada (H R . Ibn Majah dari Utsm an).59 Kem udian, dalam k esem patan yang lain rasul juga bersabda:

Hidupku adalah kebaikan bagimu sekalian dan kematianku pun merupakan kebaikan bagimu sekalian. Adapun masa hidup- ku aku memberikan tuntunan berbagai sunnah kepadamu sekalian dan mengajarkan berbagai macam syari’at kepadamu sekalian. Sedangkan kematianku juga suatu kebaikan bagimu sekalian. Karena sesungguhnya amal-amalmu sekalian diperlihatkan ke- padaku. Maka apa saja yang aku lihat daripadanya suatu kebaikan, aku memuji kepada Allah atas kebaikan itu, dan apa saja yang aku melihatnya suatu keburukan maka aku memohonkan ampun- an kepada Allah bagimu sekalian (HR. Bazzar dari Abdullah bin Mas‘ud dengan sanad yang shahih).

D engan dem ik ian, jelaslah bah w a syafa’at R asulullah berlak u di dunia dan di ak h irat k elak . Mengenai adanya syafa’at Nabi Muh am - m ad k epada um at m anusia, k ita bisa m erenungk an firm an Allah berik ut ini: “D an k am u sek alian sudah berada di tebing jurang nerak a, k em udian Allah m enyelam atkan k am u sek alian daripadanya. D em i- k ianlah Allah m enerangk an ayat-ayat-Nya k epada k am u sek alian agar k am u sek alian m endapat petunjuk ”.60

58 Hadits ini diriwayatkan oleh Ahamad dan At-Tirmidzi dan Ibn Majah dari Abu Sa’id al-Khudri; diriwayatkan juga oleh Al-Hakim dari Jabir dengan sanad yang shahih. Lihat Sayyid Syaikh Yusuf, Syawâhid al-Haqq, hlm. 132. 59 Jalaluddin Abd ar-Rahman bin Abî Bakr as-Suyuthi, Al-Jâmi’ ash-Shaghîr fi Ahâdîts al-Basyîr an-Nadzîr, juz II, (Surabaya: al-Hidayah, t.t.), hlm. 106. 60 QS. Ali ’Imran [3]: 103.

148 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

Pada saat itu, yak ni pada zam an Jah iliah , m anusia sudah berada di tebing jurang dan nyaris terjerum us pada k eh ancurannya ak ibat ulah m anusia itu sendiri yang sem ak in jauh dari Tuh an. Perbuatannya sudah m enyerupai perilak u binatang, dan bah k an terk adang lebih buas daripada binantang buas. Kem udian Allah m enyelam atkan m anusia dengan m engutus Nabi Muh am m ad untuk m enjadi juru penerang dalam k egelapan dan juru selam at dari k esengsaraan dan k eh ancuran, sebagai perw ujudan rah m at dan k asih sayang-Nya k epada seluruh alam ,61 dan bah w a Muh am m ad adalah rasul yang diutus untuk m anusia di seluruh alam .62 Dem ik ianlah fungsi k enabian Muh am m ad. Dia m enjadi pe- m im pin seluruh bangsa dan bah k an m enjadi pem im pin seluruh um at m anusia. D ia telah m em bebask an m anusia dari belenggu nafsu angk ara m urk a dan m enyelam atkannya dari sik ap am oral. O leh k arena itu, sudah selayak nya um at m anusia m enyadari h al tersebut dan sem estinya bersik ap baik (beradab) secara lah ir-batin k epada Nabi Muh am m ad di m ana pun dan k apan pun serta dalam k ondisi apa pun, terlebih lagi pada saat m em baca sh alaw at.

F. Shalaw at W ah idiyah 1. Lafal dan Terjem ah Shalaw at W ah idiyah

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Pengayang

Kami hadiahkan ke haribaan pemimpin kami Baginda Nabi Muhammad Saw., membaca al-fatihah (7 X).

61 Q.S. Al-Anbiya [21]: 107. 62 QS. As-Saba’ [34]: 28.

149 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Dan kami hadiahkan ke pangkuan ghauts hâdza az-zamân, para pembantunya, dan segenap kekasih Allah, radhiyallâhu ta’âlâ ‘anhum (semoga Allah meridhai mereka), membaca al-fatihah (7X).

Ya Allah, ya Tuhan Yang Mahaesa, ya Tuhan Yang Mahasatu, ya Tuhan Yang Maha Menemukan, ya Tuhan Yang Maha Mem- beri, limpahkanlah shalawat, salam, dan barakah atas junjungan kami baginda Nabi Muhammad dan atas keluarga Nabi Muham- mad pada setiap berkedipnya mata dan naik-turunnya nafas, sebanyak bilangan segala sesuatu yang Allah Maha Mengetahui- nya dan sebanyak limpahan pemberian serta kelestarian peme- liharaan-Nya. Baca al-fatihah (100 X).

150 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

Ya Allah, sebagaimana keahlian ada pada-Mu, limpahkanlah shalawat, salam, dan barakah atas junjungan kami, pemimpin kami, pemberi syafa’at kami, kekasih kami, dan buah-jantung- hati kami Baginda Nabi Muhammad Saw. yang sepadan dengan keahliannya; kami bermohon kepada-Mu ya Allah, dengan hak kemuliaannya, tenggelamkan kami dalam pusat-dasar samudera keesaan-Mu sedemikian rupa sehingga tiada kami melihat dan mendengar, tiada kami menemukan dan merasa, tiada kami ber- gerak ataupun berdiam, melainkan senantiasa merasa di dalam samudera tauhid-Mu; dan kami bermohon kepada-Mu, ya Allah, limpahilah kami ampunan-Mu yang sempurna, ya Allah, nikmat karunia-Mu yang sempurna, ya Allah, sadar ma’rifat kepada-Mu yang sempurna, ya Allah, cinta kepada-Mu dan kecintaan-Mu yang sempurna, ya Allah, ridha kepada-Mu serta memeroleh ridha- Mu yang juga sempurna, ya Allah. Dan sekali lagi, ya Allah, limpahkanlah shalawat salam dan barakah atas Baginda Nabi dan atas keluarga serta sahabat beliau, sebanyak bilangan segala yang diliputi oleh ilmu-Mu dan termuat di dalam kitab-Mu; dengan rahmat-Mu, ya Tuhan, Maha Pengasih dari seluruh pengasih; Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam. Baca al-fatihah (7 X)

Duhai pemberi syafa’at atas makhluk; shalawat serta salam Allah kusanjungkan,

Kepadamu duhai Nur-cahaya makhluk, pembimbing manusia

Duhai asal dari unsur dan jiwa makhluk; bimbinglah kami Sungguh, aku manusia yang senantiasa berbuat zhalim, didiklah kami Tiada arti diriku tanpa engkau duhai Sayyidi, Jika engkau hindari aku (akibat keterlaluan yang berlarut-larutku), pastilah, pastilah, pasti aku akan hancur dan binasa. Duhai pemimpin kami, duhai utusan Allah!

151 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Duhai Ghauts Zaman, salam Allah Ku haturkan ke pangkuanmu; bimbing dan didiklah aku dengan izin Allah; Dan arahkan pancaran sinar nazhrah-mu kepadaku Ya Sayyidi, Radiasi batin yang me-wushul-kan aku, sadar ke hadirat Yang Mahaluhur Tuhanku.”

Duhai nabi pemberi syafa’at atas makhluk, duhai kekasih Allah, Ke pangkuanmu shalawat dan salam Allah kusanjungkan; Jalanku buntu, usahaku tak menentu buat kesejahteraan negeri- ku, Raihlah tanganku Ya Sayyidi, tolonglah aku dan seluruh umat ini! “Duhai pemimpin kami, duhai utusan Allah!”

Ya Tuhan kami, ya Allah, limpahkanlah shalawat salam atas baginda Nabi Muhammad pemberi syafa’at umat; dan atas keluarganya; dan jadikanlah umat manusia segera kembali mengabdikan diri dan sadar kepada Tuhan Semesta Alam.

152 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

Ya Tuhan kami, ampunilah segala dosa-dosa kami, permudahlah segala urusan kami, bukakanlah hati dan jalan kami, dan tunjuki- lah kami, Pereratlah persaudaraan dan persatuan di antara kami, ya Tuhan kami!

Ya Allah, limpahkanlah berkah di dalam segala makhluk yang Engkau ciptakan dan di dalam negeri ini ya Allah, dan di dalam mujahadah ini, ya Allah!”

ISTIGH RAQ ! (berdiam : segala perh atian tertuju h anya k epada Allah ! Pendengaran, perasaan, ingatan, pik iran, dan penglih atan, seluruh ya dik onsentrasik an k epada Allah ). Al- Fatih ah ! Kem udian m em baca doa berik utini:

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ya Allah, dengan hak kebesaran asma-Mu, dan dengan kemuliaan serta keagungan Baginda Nabi Muhammad Saw., dan

153 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

dengan barakah ghauts hâdza az-zamân wa a’wânihi serta segenap auliya, kekasih-Mu, ya Allah, ya Allah, ya Allah, radhiya Allâhu ta’âlâ ‘anhum, sampaikanlah seruan kami ini kepada jamî’al ‘âlamîn dan letakkanlah kesan yang merangsang di dalamnya; Maka sesungguhnya Engkau Mahakuasa berbuat segala sesuatu dan Mahaahli memberi ijâbah (pengabulan).

Fafirrû ila Allâh ! = Besegeralah k em bali k epada Allah ! W a q ul jâ-al haqqu … = “D an k atak anlah (w ah ai Muh am m ad) perk ara yang h aqq (benar) telah datang dan m usnah lah perk ara yang batal. Sesungguh nya perk ara yang batal itu pasti m usnah .” Al- Fatih ah ! (m em baca surat al-Fatih ah ).

2. Karak teristik Shalaw at W ah idiyah Sh alaw at W ah idiyah term asuk sh alaw at gh airu m a’tsurah yang dianggit oleh KH . Abdoel Madjid Ma’roef. D i dalam sh alaw at ini paling tidak terdapat enam k arak ter, yak ni: Pertam a, sebagaim ana tertulis di dalam Lem b aran Shalaw at W ah id iyah , ia m erupak an rangk aian doa sh alaw at nabi, term asuk tata cara dan ad ab pengam alannya. Ked ua, ia bagaik an suatu obat bagi penyak it-penyak it batiniah yang h anya bisa dirasak an reak sinya dalam batin seseorang jik a diam alkan. Tidak cuk up h anya dipelajari atau dik etah ui k om posisi dan k egunaannya. Ketiga, di dalam nya terdapat doa-doa perm oh onan agar diberi k eim anan (k etauh idan) dan k esadaran k epada Allah yang disertai bim - bingan k esadaran billâh untuk m erealisasik an k eteladanan R asulullah sebagai pengentas um at dari k egelapan syirik . Selain itu, di dalam nya juga terdapat doa perm oh onan pertolongan (syafa’at) bagi um at m anu- sia, m em oh onk an k esadaran k epada Allah bagi m anusia, m em oh on dan m em oh onk an am punan, diperm udah k an segala urusan k ebaik an, dibuk ak an h atinya, diberi petunjuk , dan agar diberi k edam aian (k esejah teraan), k eruk unan dengan sesam a, m em oh onk an barak ah

154 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

(bertam bah nya k ebaik an) terh adap negara dan seluruh m ak h luk cipta- an Allah . Keem pat, ia m erupak an rangk um an sh alaw at nabi, seperti sh ala- w at-sh alaw at lain yang boleh diam alkan oleh siapa saja tanpa disyarat- k an adanya sanad atau silsilah seperti yang berlak u dalam am alan tarek at. Sebab, seluruh sh alaw at sanad-nya adalah sh ah ib ash sh alaw ât sendiri, yaitu R asulullah . H al ini berbeda dengan tarek at yang di- h arusk an adanya m ursyid yang k âm il-m uk am m il.63 Kelim a, ia m em punyai sistem ajaran dan bim bingan prak tis yang disebut ajaran W ah idiyah . Keenam , sh alaw at dan ajaran W ah idiyah m ulai disiark an pada tah un 19 63 dan telah di-ijazah -k an secara m utlak oleh m uallif-nya (KH . Abdoel Madjid Ma’roef). Siapa saja dan dari m ana pun m em e- roleh nya telah diberi izin untuk m engam alkan dan m enerapk annya, bah k an dianjurk an supaya m enyiark an k epada m asyarak at luas dengan ik h las dan bijak sana.

3. D asar-D asar Shalaw at W ah idiyah D asar-dasar Shalaw at W ah idiyah dan pengam alannya tidak ber- beda dengan sh alaw at-sh alaw at lain, yaitu firm an Allah : “Sesung- guh nya Allah dan para m alaik at-Nya m em baca sh alaw at k epada Nabi Muh am m ad Saw. W ah ai orang-orang yang berim an, bacalah sh alaw at dan sam paik an salam sebaik -baik nya k epadanya”.64 Selain ayat di atas, Sh alaw at W ah idiyah juga didasark an pada h adits-h adits nabi yang m enjelask an tentang pentingnya m em baca sh alaw at k epada nabi seperti telah dijelask an di depan.

63 Lihat Syaikh Ahmad Shawi al-Maliki, Hâsyiyah ash-Shâwi ‘alâ al-Jalâlayn, Juz III, (Beirut-Libanon: Dar al-Fikr, 1993), hlm. 323 dan Syaikh Yusuf an-Nabhani, Sa’âdah ad-Dârain..., hlm. 90. 64 QS. Al-Ahzab [33]: 56.

155 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

4. Faedah Shalaw at W ah idiyah Secara um um , sh alaw at ini m engandung berbagai m acam faedah sebagaim ana sh alaw at-sh alaw at yang lain. Ak an tetapi, dari sek ian banyak faedah , yang barangk ali paling m enonjol bagi pengam al Sh alaw at W ah idiyah adalah , dengan fad h l (k eutam aan) dari Allah , diberi k ejernih an h ati, k etenangan, dan k etenteram an batin seh ingga m enjadi lebih banyak ingat dan sadar k epada Allah dan rasul-Nya. D i sam ping itu juga dik aruniai m anfaat lainnya, seperti k eseh atan, k eruk unan d alam rum ah tangga, k e lancaran d alam usah a d an pek erjaan, k ecerdasan dan perbaik an ak h lak (m oral) di sem ua k alangan m asyarak at, term asuk bagi k anak -k anak dan rem aja, dan m asih banyak lagi m anfaat yang diberik an Allah k epada para pengam al sh alaw at tersebut.

5. Cara Mengam alkan Shalaw at W ah idiyah Ada em pat langk ah yang h arus ditem puh jik a ingin m engam al- k an Sh alaw at Wah idiyah : a. H arus berniat sem ata-m ata m engabdik an diri (beribadah ) k epada Allah dengan ik h las tanpa pam rih , serta m em uliak an dan m en- cintai Nabi Muh am m ad. Pengam al Sh alaw at W ah idiyah (k etik a m em baca sh alaw at) h endak nya m erasa dirinya benar-benar se- perti berada di h adapan nabi (istih d h âr) seh ingga ia bisa bersik ap, ber-ad ab , ta’zh îm , dan m ah ab b ah dengan sepenuh h ati. b . D iam alkan selam a 40 (em pat puluh ) h ari berturut-turut. Setiap h ari m em baca sh alaw at paling sedik it m enurut bilangan yang tertulis di belak ang Lem bar Shalaw at W ah idiyah dalam sek ali duduk (satu k ali k esem patan); boleh pagi, sore, atau m alam h ari. Boleh juga selam a 7 h ari berturut-turut, nam un bilangannya diper- banyak m enjadi sepuluh k ali lipat. c. Setelah selesai m engam alkan sh alaw at selam a 40 h ari (atau 7 h ari jik a m em ang m am pu), pengam alan tersebut supaya diterusk an. Bilangannya bisa dik urangi sebagian atau seluruh nya, nam un lebih utam a jik a diperbanyak . Boleh m engam alkan sendiri-sendiri,

156 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

nam un sangat dianjurk an untuk diam alkan secara berjam aah ber- sam a k eluarga dan m asyarak at setem pat. Bagi perem puan yang sedang udzur bulanan m ak a cuk up m em baca sh alaw atnya saja tanpa m em baca surat al-Fatihah . Adapun k alimat Fafirrû ila Allâh dan w a qul ja al-h aqq ... boleh dibaca sebab k alim at ini dim ak - sudk an sebagai doa. d . Bagi yang belum m am pu m em baca sh alaw at ini secara k eseluruh an m ak a boleh m em baca bagian-bagian m ana yang sudah bisa dibaca lebih dah ulu. Misalnya m em baca surat al-Fatihah saja, atau m em - baca Yâ sayyid î yâ Rasûlallah saja yang dibaca secara berulang- ulang selam a k ira-k ira sam a w ak tunya jika m engam alkan Sh alaw at W ah idiyah secara k eseluruh an, yak ani sek itar 30 m enit. Kalau itu pun belum m ungk in dilak uk an m ak a boleh berdiam saja selam a w ak tu yang sam a, dengan m em usatkan h ati dan perh atian (berk onsentrasi) k epada Allah dan m em uliak an serta m enyatak an rasa cinta secara tulus dengan rasa istih d h âr di h adapan R asulullah Saw.

G.Panca-Ajaran Pok ok W ah idiyah Sebelum m em bah as tentang panca-ajaran W ah idiyah , di sini ak an terlebih dah ulu dijelask an tentang m ak na dari ajaran W ah idiyah itu sendiri. Adpun yang dim ak sud dengan “Ajaran W ah idiyah ” adalah “bim bingan prak tis lah ir dan batin di dalam m elak sanak an tuntunan R asulullah , yang m eliputi bidang syari’at dan h ak ik at, m encak up peningk atan im an, pelak sanaan Islam , dan perw ujudan ih san serta pem bentuk an m oral (ak h lak )”. Kom posisi ini secara rinci m eliputi lim a h al, yak ni: (1) peningk atan im an m enuju k esadaran atau m a’rifat k epada Allah ; (2) pelak sanaan Islam sebagai realisasi dari k etaq w aan k epada Allah , Tuh an Yang Mah a Esa; (3) perw ujudan ih san sebagai m anifestasi dari im an dan Islam yang sem purna, (4) pem bentuk an m oral (ak h lak ) untuk m ew ujudk an ak h lak yang m ulai (al-ak h lak al- k arim ah ), dan (5) bim bingan prak tis lah iriah dan batiniah dalam m em anfaatkan potensi lah iriah yang ditunjang oleh pendayagunaan potensi batiniah (spiritual) yang seim bang dan serasi.

157 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

D engan penjelasan di atas, dapatlah dipah am i bah w a bim bingan prak tis dalam ajaran W ah idiyah m eliputi segala ak tivitas h idup m anu- sia dalam h ubungannya dengan Allah dan rasul-Nya, h ubungan m anusia dalam k eh idupan m asyarak at sebagai insan sosial, h ubungan m anusia dengan k eluarga, rum ah tangga, dengan bangsa, negara, dan agam a, dengan sesam a um at m anusia, serta h ubungan m anusia dengan sem ua m ak h luk h idup. Secara ringk as, ajaran W ah idiyah tersebut dapat dirum usk an m enjadi lima, yak ni: (1) lillâh -billâh , (2) lirrasûl-birrasûl, (3) lilgh auts- b ilgh auts, (4) yuk tî k ulla d zî h aqqin h aqqah , dan (5) taqdîmul ah am m fal-ah am m tsum m al anfa’ fal-anfa’. Inilah yang dim ak sud dengan Panca-Ajaran W ah idiyah .

1. Lillâh -Billâh a. Lillâh Pengertian lillâh adalah m elak sanak an segala am al perbuatan seraya disertai niat beribadah k epada Allah dengan ik h las tanpa pam rih , baik pam rih duniaw i m aupun uk h raw i. D engan m enyertak an niat tersebut (di dalam h ati) m ak a perbuatan yang k ita lak uk an ak an ter- catat sebagai am al ibadah . D engan dem ik ian, h al itu juga sesuai dengan k eh endak Allah yang digarisk an dalam Q S. adz-D zariyat ayat 56. Perlu ditegask an pula bah w a perbuatan yang boleh dan bah k an h arus disertai niat ibadah lillâh terbatas h anya pada perbuatan yang tidak terlarang (tidak m elanggar syari’at). Adapun perbuatan yang m elanggar syari’at atau undang-undang, yang tidak diridh ai oleh Allah , atau yang m erugik an diri sendiri m aupun orang lain, h al itu sam a sek ali tidak boleh disertai dengan niat ibadah lillah (k arena Allah ). D alam h al ini, penerapan niat ibadah k arena Allah dilak uk an pada saat m enjauh i atau m eninggalkan sesuatu yang m em ang m elanggar syari’at (dilarang oleh Allah ). Ini berarti bah w a m eninggalkan per- buatan yang m elanggar syariat agar bisa bernilai ibadah juga h arus diniati dalam rangk a m enjalank an perintah Allah .

158 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

D engan dem ik ian, secara lebih jelas, k etik a k ita m enjalank an sh alat, berpuasa, m engeluark an zak at, m enunaik an ibadah h aji, m em - baca Al-Qur’an, berzik ir, m em baca sh alaw at, dan am al (ak tivitas) yang lain supaya disertai niat yang ik h las untuk beribadah m encari k e- ridh aan Allah , seperti ungk apan k ita dalam sh alat: “Sesungguh nya sh alatku, ibadah k u, h idup dan m atik u adalah untuk Allah Rab b al- ‘âlam în”. Ini juga sesuai dengan k andungan ayat yang sering k ita baca dalam sh alat: Iyyak a Na’bud u (h anya k epada Engk aulah k am i m eng- abdik an diri). D engan dem ik ian, orang yang m am pu m enerapk an h al-h al tersebut dapat dik atak an h atinya senantiasa ber-tah lîl: La Ilah a Illa Allah (Tiada Tuh an selain Allah ). D alam W ah idiyah , ajaran pok ok ini diasah secara intensif dengan m em perbanyak m ujah adah , di sam ping juga m elatih h ati secara terus- m enerus dengan niat m elak uk an ibadah secara ik h las. M ujah ad ah secara intensif dibangun k e arah k em ajuan dan peningk atan dalam h al beribadah k epada Allah dengan niat ik h las. D alam h al ini, firm an Allah berik ut ini penting untuk diperh atik an:

Dan tidaklah mereka diperintah melainkan supaya menyembah (beribadah) kepada Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata kerena (menjalankan) agama, dan supaya mereka menjalankan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang benar (QS. Al- Bayyinah [98]: 5).

D alam Al-Qur’an dan Terjem ah nya yang diterbitkan oleh Departem en Agam a RI diterangk an bah w a yang dim ak sud “m en- jalank an agam a dengan lurus” adalah terbebas dari syirik dan k e- sesatan. Untuk m enyelam atkan diri dari bah aya syirik dan k esesatan, ajaran W ah idiyah m em berik an bim bingan prak tis, yaitu penerapan k onsep b illâh sebagaim ana penjelasan berik ut ini. b. Billâh Term b illâh m engandung m ak na bah w a di dalam segala per- buatan dan gerak -gerik lah ir m aupun batin, di m ana pun dan k apan pun, h ati senantiasa m erasa dan berk eyak inan bah w a yang m encipta-

159 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah k an dan m enitah k an itu sem ua adalah Allah Sang Mah a Pencipta. Kita dilarang m engak u atau m erasa m em punyai k ek uatan dan k e- m am puan sendiri tanpa dititah k an oleh Allah . D engan dem ik ian, b illah boleh dik atak an m erupak an perw ujudan dari ungk apan: La h aula w a la quw w ata illa b illah (tiada daya dan k ek uatan m elaink an atas titah Allah ) dan penerapan firm an Allah : “D an Allah -lah yang m enciptak an k am u sek alian dan apa saja yang k am u sek alian per- buat” (Q S. Ash l-Sh affat [37]: 9 6); serta firm an Allah : “D an k am u sek alian tidak dapat m engh endak i (tidak dapat berk eh endak m enem puh jalan yang lurus) m elaink an apabila dik eh endak i oleh Allah , Tuh an sem esta alam ” (Q S. At-Tak w ir [81]: 29 ). Atas dasar itu sem ua, di dalam k ita m elihat, m endengar, m erasa, m enem uk an, bergerak , diam , berangan-angan, dan berpik ir h endak - nya h ati selalu sadar dan m erasa bah w a sem ua yang m enggerak k an dan m enitah k an adalah Allah . Perasaan atau sadar b illâh h arus m e- rasuk di dalam h ati. Tidak cuk up h anya di dalam pik iran, buk an sek adar pengertian ilmiah saja. Nilai penting sadar b illah juga diungk apk an oleh Syaik h Abul H asan asy-Syadzali, gh auts az-zam anih (seorang gh auts pada zam an- nya). D ia m enyatak an: “Barang siapa tidak m encicipi ilmuk u ini (sadar b illâh ) m ak a dia tetap m em baw a dosa besar sek alipun betapa banyak am al ibadah nya65 dan dia tidak m enyadarinya.” Penerapan niat ik h las k arena Allah (lillâh ) sek aligus m em uncul- k an k esadaran bah w a segala sesuatu ada k arena k eh endak Allah (billâh ) dalam setiap perbuatan dilak uk an dalam rangk a untuk m engarah k an nafsu agar bisa ik h las. Nafsu sendiri m em punyai ciri k h as, yaitu pam rih . D engan k ata lain, sifat pam rih dari nafsu ini h arus diarah k an dengan sistem penerapan niat ik h las dan k esadaran. Sebab, jik a sifat pam rih itu dibiark an saja dan tidak diarah k an m ak a ia ak an m ak in m enjadi-jadi dan bercok ol di dalam h ati. Sifat itu sem ak in lam a se- m ak in tebal, sem ak in besar, dan sem ak in k ok oh . D ari situ k em udian

65 Ibadah yang dimaksud di sini adalah ibadah lahir

160 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural m uncul darinya “k erajaan” di dalam h ati, yaitu “k erajaan anâniyah ” atau rasa k e-Ak u-an (egosentris); rasa Ak u yang berusah a, Ak u yang m engerjak an, Ak u yang berk uasa, Ak u yang m enentuk an; k alau tidak k arena Ak u …, dan seterusnya. O rang yang h atinya sudah dijajah oleh nafsu seperti itu ak an m enjadik an segala langk ah dan am al perbuatannya disetir oleh h aw a nafsunya, dan diarah k an pada apa yang m enjadi k epuasan nafsu. Segala am al, tindak an, dan perbuatannya sem ata-m ata h anya untuk m enuruti k em auan nafsunya tanpa m em andang benar atau salah , tidak perduli yang h ak atau , dan tidak perduli terh adap orang lain, sek alipun orang lain m enderita. Padah al tindak an yang h anya didasark an pada nafsu h anya ak an m enjerum usk an pelak unya pada k eh ancuran, k ebinasaan, dan k esengsaraan. Pada um um nya, orang yang bertindak atas dasar nafsu tidak ak an pernah sadar h ingga ia m engalam i k esengsaraan dan k eh ancuran. Setelah h ancur dan sengsara, dia baru m erasa bah w a tindak annya telah diom bang-am bingk an oleh nafsunya sendiri. Jik a m endapat pertolongan dari Allah m ak a dia baru m enyadari dosa dan perbuat- annya, dan k em udian bertobat. Ak an tetapi, jik a tidak m em eroleh pertolongan Allah , niscaya dia ak an senantiasa dalam k esengsaraan dan k egelapan yang m erongrong jiw anya. D alam situasi seperti ini, beruntunglah orang yang m enyadari k esalah annya dan k em udian m enyesali dan bertobat. Sebab, jik a dia tidak m endapat petunjuk dari Allah niscaya dia ak an senantiasa berada dalam k esesatan seum ur h idup dan di ak h irat nanti ak an m enyesali segala apa yang telah dilak uk annya di dunia. Padah al penyesalan di ak h irat tidak lagi ber- m ak na, tidak ada k esem patan untuk m em perbaik i diri k arena pintu tobat sudah tertutup dan dia ak an m erasak an k epedih an sik sa yang dah syat selam a-lam anya. O leh k arena itu, selagi m asih ada k esem patan di dunia ini, k ita h arus berusah a untuk m em bebask an diri k ita dari belenggu nafsu dan berperang m elaw an nafsu. Jihad m elaw an nafsu (jih âd an-nafs) m erupak an perjuangan yang teram at berat. D alam suatu riw ayat disebutkan bah w a sek em balinya

161 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah pasuk an Islam dari suatu peperangan yang berat dan m enelan banyak k orban, R asulullah bersabda: “Kita baru k em bali dari perang k ecil dan ak an m engh adapi perang yang lebih besar”. Para sah abat bertanya: “Ya R asulallah , perang besar yang m ana lagi?” R asulullah m enjaw ab: “jih âd an-nafs (perang m elaw an h aw a nafsu)” (H R . Baih aq i). D engan dem ik ian, setiap m anusia m em ang h arus berjuang k eras (berperang) m elaw an h aw a nafsu. H al ini m em ang berat. Nam un dem ik ian, setiap orang yang m engingink an k eselam atan dan k ebah a- giaan h idup di dunia dan ak h irat m ak a dia h arus m au m elak uk annya. Jik a tidak , dia ak an dik uasai dan m enjadi budak nafsu. Nafsu h arus dik uasai dan diarah k an oleh m anusia, buk an sebalik nya, m anusia yang dik uasai dan dik endalik an oleh h aw a nafsunya. Cara yang paling prak tis dan tanpa risik o untuk m enguasai dan m engarah k an nafsu ialah dengan m enerapk an sik ap sadar billâh secara terus-m enerus di sam ping niat lillâh dalam perbuatan, sam bil m e- m upuk k esadaran dengan m ujah ad ah . Sadar b illâh adalah m asalah paling pok ok yang ak an m enentuk an bah agia atau tidak nya seorang m anusia. Sik ap sadar b illah ini m em ang buk an sesuatu yang m udah , nam un buk an berarti tidak bisa dilak uk an. Sebab, jika seseorang m e- m ang sungguh -sungguh berusah a untuk sadar b illah niscaya Allah ak an m em berik an jalan untuk nya. H al ini sesuai dengan firm an- Nya: “D an orang-orang yang berjih ad (bersungguh -sungguh ) dalam m enuju k epada Kam i, niscaya Kam i tunjuk k an k epada m erek a jalan- jalan Kam i” (Q S. Al-Ank abut [29 ]: 69 ). Lebih jauh , ibadah yang tidak disertai dengan niat ik h las k arena Allah tidak ak an diterim a oleh -Nya. Lebih berat lagi jik a k etidak - ik h lasan itu disertai dengan pengak uan pelak unya bah w a ia m erasa m em punyai k em am puan sendiri. Merasa m am pu m enjalank an ibadah . Tidak m enyadari bah w a k em am puannya m elak uk an ibadah adalah k arena m endapat k eutam aan (fad h al) dan pertolongan dari Allah . O rang seperti itu berarti telah terjangk iti sifat ujub , riya, dan tak ab ur sek alipun dalam k adar yang sangat h alus.

162 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

Apabila rasa seperti itu diperlihatkan k epada orang lain, dengan lisan m aupun tindak an, lebih -lebih dengan k edua-duanya m ak a ia sudah terjangk iti penyak it riya, dan apabila m erasa dirinya lebih baik daripada orang lain m ak a ia telah besik ap tak ab ur. Ujub , riya, dan tak ab ur adalah bagian dari penyak it h ati dan k esem uanya m erupak an penyebab h ancurnya am al ibadah . Jik a h ati disusupi sifat-sifat ini, ibadah yang pada m ulanya dilak uk an sebagai w ujud k etunduk an terh adap Allah pada ak h irnya dilak uk an h anya untuk m enam pak k an ego pelak unya. D engan perilak u seperti itu, seseorang berarti telah m em persek utuk an Allah secara h alus (syirik k h afi). Sedem ik ian h alusnya syirik jenis ini, sam pai-sam pai pelak unya sendiri tidak m enyadarinya. D osa syirik , sek alipun k h afi, ak ibatnya sangatlah berat. D alam Al-Q ur’an disebutkan: “Sesungguh nya Allah tidak m em beri am pun jik a dipersek utuk an dan Allah m engam puni dosa-dosa selain dosa syirik bagi orang yang D ia k eh endak i; dan siapa m enyek utuk an Allah m ak a sungguh ia telah m elak uk an dosa besar” (Q S. An-Nisa [4]: 48). Berat sek ali ak ibat dan sik sa bagi dosa syirik . Nabi Muh am m ad dan juga para nabi serta para rasul sebelum nya, yang m enjadi k ek asih Allah dan dijam in terpelih ara dari dosa (m a’sh ûm ), juga diberi peringatan oleh Allah tentang bah aya syirik . Allah berfirm an: “D an sungguh telah diw ah yuk an k epadam u dan k epada orang-orang (nabi- nabi) sebelum engk au, jik a engk au m elak uk an syirik pasti am al-am al- m u m enjadi lebur, dan (oleh k arenanya) engk au term asuk golongan orang-orang yang m engalam i k erugian besar” (Q S. Az-Z um ar [39 ]: 65). Begitu beratnya ancam an Allah terh adap orang yang m elak uk an syirik , m esk ipun syirik k h afi. Am al perbuatan yang baik tidak ak an berarti apa-apa jik a di dalam h atinya terdapat syirik w alaupun sedik it dan sam ar. O leh k arena itu, m ujâh ad ah an-nafs perlu senantiasa di- tingk atkan di dalam setiap gerak dan lak u, yak ni dengan terus- m enerus m elatih h ati dan tidak berh enti k arena m erasa sudah m am pu m elak sanak an ajaran lillah -b illah . D alam h al ini, k etik a k ita telah

163 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah m am pu m enerapk an ajaran lillâh -billâh , k ita juga h arus m erasa bah w a h al itu terjadi atas k eh endak Allah (billâh )—buk an atas k eh endak dan k em am puan k ita sendiri. Kesadaran ak an h al itu berlak u seterusnya. KH . Abdoel Madjid Ma’roef m enganjurk an k epada pengam al W ah idiyah agar m em perbanyak m em baca: Ya sayyid i ya Rasulallah di setiap k esem patan: k apan pun dan di m ana pun k ita berada, di sam - ping m ujah ad ah W ah idiyah pada w ak tu-w ak tu tertentu. Jik a nid ak ya sayyid i ya Rasulallah itu dibaca secara rutin, baik dengan lisan m aupun h anya dalam batin sesuai dengan situasi dan k ondisi m ak a InsyaAllah ak an m em berik an m anfaat yang sangat besar bagi h ati untuk bisa m enerapk an lillâh -b illâh . Secara k om paratif, sebenarnya ada perbedaan di dalam m enerap- k an k onsep lillah -b illah . Penerapan lillâh terbatas pada h al-h al yang tidak dilarang oleh syari’at. Perbuatan atau tindak an yang dilarang oleh syari’at, baik perbuatan lah ir m aupun perbuatan batin, sam a sek ali tidak boleh disertai niat k arena Allah . Adapun k esadaran b illâh itu bersifat m utlak , tidak terbatas, dan m enyeluruh ; dalam segala k e- adaan, situasi, dan k ondisi. D alam segala tingk ah lak u, baik lah ir m aupun batin, dan tidak m em beda-bedak an taat atau m ak siat. Sek ali- pun di dalam k eadaan m ak siat, baik yang tidak disengaja ataupun yang disengaja, h arus disertai k esadaran b illâh ; bah w a tiada daya dan k ek uatan m elaink an atas titah Allah . D alam Al-Q ur’an juga di- jelask an bah w a: “Katak anlah (w ah ai Muh am m ad) segala sesuatu itu datang dari Allah ”(Q S. An-Nisak [4]: 78). Menurut ajaran W ah idiyah , orang yang m elak uk an m ak siat dan tidak m erasa b illâh m ak a dosanya m enjadi berlipat. Pertam a, dosa k arena berbuat m ak siat itu sendiri, yak ni m elanggar syari’at, dan k edua, dosa k arena tidak sadar b illâh . D osa yang k edua ini justru lebih berat sebab term asuk dosa syirik , sek alipun syirik k h afi (syirik secara sam ar). Ak an tetapi h arus diingat bah w a h al tersebut tidak boleh diartik an bah w a seseorang diperboleh k an m elak uk an m ak siat asal sudah bisa sadar b illâh . Persoalan boleh atau tidak nya m elak uk an m ak siat, h al itu m asuk w ilayah syari’at (bidang lillâh ). Sedang billâh adalah bidang

164 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural im an (tauh id). Setiap orang h arus m engisi seluruh w ilayah , baik syari’at m aupun tauh id, secara baik dan total. D i dalam bidang syari’at, tindak an m ak siat tetap dianggap sebagai m ak siat seh ingga h arus di- cegah dan dih indari sek uat m ungk in. Apabila seseorang terpak sa m enjalank an m ak siat m ak a h arus diak ui bah w a tindak an tersebut adalah terlarang, dan pelak unya h arus segera bertobat. Ketik a sese- orang m engh indark an diri dari m ak siat dan bertobat m ak a h al itu juga h arus disertai dengan niat lillâh di sam ping juga h arus sadar billâh . Sebab, siapa saja yang m elak uk an m ak siat dalam k eadaan sadar b illâh dan dia tidak segera m eninggalkannya dengan didasari oleh sik ap lillâh m ak a h al itu dianggap sebagai suatu pengh inaan terh adap Allah . D alam Al-Qur’an Allah berfirm an: “Apa saja nik m at yang k am u peroleh adalah dari Allah , dan apa saja bencana yang m enim pa dirim u adalah dari k esalah an dirim u sendiri”(Q S. An-Nisa [4]: 79 ). Ayat ini adalah contoh bagim ana m engisi bidang syari’at dan bidang adab. Apa yang dirasak an baik m ak a h arus disadari bah w a itu m erupak an pem berian dari Allah , k em udian m eningk atkan syuk ur k epada-Nya. Sem entara apa yang dirasa tidak baik m ak a h arus diak ui dengan jujur bah w a itu adalah ak ibat perbuatan dan k esalah an (dosa-dosa) pelak u- nya sendiri. D ia h arus secepatnya bertobat, m em oh on am punan, dan m em perbaik i h al-h al yang k urang baik . c. Lillâh -Billâh Sem ua orang yang beragam a, apa pun agam anya, sam a-sam a dik aruniai k em am puan oleh Allah Tuh an Yang Mah ak uasa untuk dapat m enerapk an ajaran lillah -b illah . D alam arti buk an dalam suatu ritual k eagam aan, m elaink an dalam k eseragam an sik ap h ati m anusia beragam a atau m anusia yang berim an k epada Tuh an. Jadi, lillâh - b illâh seh arusnya m enjadi uniform bagi h ati setiap m anusia yang m enyatak an diri sebagai h am ba Tuh an Yang Mah a Esa. Bagi bangsa Indonesia yang m engak ui dan m enggunak an falsafah Pancasila sebagai pedom an atau tuntunan h idup, ajaran lillah -b illah juga bisa diterapk an. Sila pertam a dari Pancasila adalah Ketuh anan

165 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Yang Mah a Esa. O leh k arena itu, bangsa Indonesia dituntut untuk bisa m enerapk an ajaran lillâh -b illâh . Atau jik a m em ak ai istilah Pancasila: “untuk Tuh an Yang Mah a Esa dan sebab Tuh an Yang Mah a Esa”. Ajaran tersebut h arus diterapk an di dalam h ati setiap bangsa Indonesia dalam segala langk ah dan k egiatan h idupnya. Lillâh = Li Tuh an Yang Mah a Esa = Untuk Tuh an Yang Mah a Esa Billâh = Bi Tuh an Yang Mah a Esa =Sebab Tuh an Yang Mah a Esa D alam perspek tif W ah idiyah , sem ua elem en bangsa Indonesia diberi k em am puan dapat m enerapk an ajaran ini. Sem ua lapisan m asyarak at dipandang m am pu m enerapk annya. Penerapan lillâh - b illâh tidak m em butuh k an syarat yang berat, tidak m em butuh k an w aw asan ilmiah yang rum it, dan juga tidak m em erluk an batasan um ur, sudah dew asa atau belum dew asa; sem uanya diberi k em am puan oleh Allah , Tuh an Yang Mah a Pencipta. D alam h al ini, yang penting adalah adanya k em auan sebab siapa saja yang m em punyai k em auan m ak a dia pasti ak an diberi jalan-petunjuk .66 Menurut ajaran W ah idiyah , penjelasan ilmiah atau teoretis k onsep lillah -billah sangat m udah untuk dipelajari. Ak an tetapi, pene- rapannya perlu perh atian yang k h usus dan serius. Penerapan k onsep lillah -billah digerak k an dan dituntun oleh petunjuk (h idayah ) dari Allah . H idayah Allah inilah yang ak an m enentuk an k eselam atan h idup um at m anusia. Jik a seseorang m endapat h id ayah dari Allah niscaya dia ak an selam at dalam m enjalani h idup di dunia dan juga ak h irat. Ak an tetapi sebalik nya, jik a seseorang tidak m endapat h idayah dari Allah m ak a dia tidak m em eroleh syafa’at dari R asulullah seh ingga ia ak an suk ar m enerapk an k onsep lillah -billah . O leh k arena itu, um at m anusia di sam ping perlu m em pelajari ilmu pengetah uan, juga h arus berusah a untuk bisa m em eroleh h id ayah Allah . Adapun salah satu caranya, dalam perspek tif W ah idiyah , adalah dengan m elak uk an m ujah ad ah . D alam k aitan ini, penting k iranya m em erh atik an sabda R asulullah :

66 Dalam Al-Qur’an ditegaskan: “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di dalam menuju kepada-Ku, pasti Aku tunjukkan berbagai jalan-Ku” (QS. al-Ankabut [29]: 69).

166 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

“Barang siapa yang bertam bah ilmunya nam un tidak bertam bah h idayah nya m ak a dia tidak m enjadi dek at (k epada Allah ), tetapi justru sem ak in jauh dari-Nya” (H R. Abu Mansur dan ad-D ailam i).

2. Lirrasul-Birrasul a. Lirrasul Pengertian lirrasul adalah bah w a segala am al ibadah k ita di sam ping h arus disertai niat k arena Allah , juga h arus disertai dengan niat “m engik uti tuntunan R asulullah Saw. D engan dem ik ian, seluruh tindak an k ita selam a tidak bertentangan dengan syari’at m ak a h arus diniati secara ganda, yak ni niat lillâh dan niat lirrasul. D engan tam bah an niat lirrasul ini m ak a nilai k em urnian ik h las k ita ak an se- m ak in bertam bah bersih ; tidak m udah digoda oleh iblis dan juga tidak gam pang disalah gunak an oleh k einginan nafsu. Selain itu, pene- rapan k onsep lirrasul juga m erupak an cara untuk berh ubungan atau berk onsultasi batin dengan rasul (ta’alluq b i janâbih i). D engan m e- nerapk an k onsep lirrasul— di sam ping tentunya juga niat lillâh secara terus-m enerus—m ak a lam a-k elam aan h ati ak an dik aruniai suasana seperti m engik uti R asulullah atau seperti bersam a-sam a dengannya di m ana saja k ita berada, terutam a k etik a sedang m enjalank an am al- am al ibadah . D engan dem ik ian, suasana batin benar-benar dapat m enduduk i “h ak ik at m engik uti”, yak ni m elih at k epada yang diik uti dalam segala k eadaan, segala situasi dan k ondisi. Adapun dalil tentang penerapan lirrasul banyak dijum pai dalam Al-Q ur’an, antara lain, yang berupa perintah : “D an taatlah k epada Allah (lillâh ) dan rasul-Nya (lirrasul) jika k am u sek alian benar-benar orang yang berim an” (Q S. al-Anfal [8]: 1); “W ah ai orang-orang yang berim an, taatlah k epada Allah (lillâh ) dan rasul-Nya (lirrasul) dan janganlah k am u sek alian berpaling dari-Nya sedangk an k am u sek alian m endengar” (Q S. al-Anfal [8]: 20); “W ah ai orang-orang yang ber- im an, taatlah k epada Allah (lillâh ) dan taatlah k epada rasul (lirrasul) dan janganlah k am u sek alian m em batalkan (m erusak k an) am al-am al k am u sek alian” (Q S. Muh am m ad [47]: 33); “D an siapa yang taat

167 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah k epada Allah (lillâh ) dan rasul-Nya (lirrasul) m ak a sungguh ia m em eroleh k abah agiaan yang agung” (Q S. al-Ah zab [33]: 71). O rang yang h atinya selalu m erasa m engik uti rasul, dia ak an bersik ap h ati-h ati di d alam setiap tindak annya. Sik apnya selalu h orm at dan taw ad h u’ k epada siapa pun. Perk ataan dan perbuatannya senantiasa sopan dan ram ah k arena disinari oleh pancaran ak h lak Allah dan rasul-Nya; selalu h orm at k epada orang yang lebih tua dan k asih sayang k epada yang lebih m uda; senang m enolong k epada k epada sesam a, baik dim inta ataupun tidak dim inta, baik pertolongan lah iriah m aupun batiniah . b. Birrasul Birrasul term asuk bidang h ak ik at seperti h alnya dengan b illâh , sek alipun dalam penerapannya ada perbedaan. Sedangk an lillâh dan lirrasul adalah bidang syari’at. Birrasul adalah k esadaran h ati bah w a segala sesuatu term asuk diri dan juga gerak -gerik k ita, lah ir m aupun batin adalah berk at jasa R asulullah Saw. Berbeda dengan k onsep b illâh yang bersifat m utlak , penerapan b irrasul bersifat terbatas. Terbatas h anya dalam h al-h al yang diridh ai oleh Allah dan rasul-Nya. D engan dem ik ian, k etika k ita m elak uk an m ak siat, m isalnya, k ita tidak boleh m erasa birrasul, nam un sebalik nya h arus tetap m erasa b illâh . Langit dan bum i beserta isinya adalah rah m at dari Allah yang diperuntuk k an bagi um at m anusia dan ia disalurk an lew at R asulullah sebagaim ana firm an-Nya: “D an tiadak lah Ak u m engutus engk au (Muh am m ad) m elaink an agar m enjadi rah m at bagi seluruh alam ” (Q S. al-Anbiya [21]: 107). D engan dem ik ian, seluruh alam ini— term asuk m anusia—berh utang budi k epada R asulullah . Islam dan im an yang ada di dada adalah juga berk at jasa R asulullah . Inilah jasa yang paling besar nilainya; tidak dapat diuk ur dengan h arta ataupun m ateri, berapa pun banyak nya. Tanpa R asulullah , um at m anusia tentu sudah terjerum us k e dalam tindak k esew enang-w enangan, per- tik aian, dan perm usuh an satu sam a lain, terseret pada bencana k e-

168 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural h ancuran dan m alapetak a k esengsaraan, seperti difirm ank an oleh Allah : “D an k am u sek alian sudah berada di tepinya jurang nerak a, k em udian Allah m enyelam atkan k am u sek alian daripadanya” (Q S. Ali Im ran [3]: 103). Yang dim ak sud tepi jurang nerak a dalam ayat di atas adalah dek adensi m oral dan k ebiadaban m anusia yang sudah tidak k enal perik em anusiaan, seperti yang terjadi pada m asa Jah iliah m enjelang diutusnya R asulullah . Adapun diutusnya Muh am m ad Saw., adalah untuk m enyelam atkan um at m anusia dari jurang k eh ancuran dan k ebinasaan ak ibat k ebiadaban perbuatannya sendiri. D engan dem i- k ian, salah satu fungsi diutusnya Muh am m ad adalah sebagai Juru Selam at um at m anusia atau pem bebas m anusia dari k esesatan dan k eh ancuran. Ak an tetapi, sayangnya k ebanyak an m anusia tidak m e- nyadari dan tidak m au tah u betapa agungnya jasa R asulullah tersebut. Kebanyak an dari m anusia justru larut dan terus diom bang-am bingk an oleh nafsunya sendiri, tanpa m erek a sadari. D alam k aitan ini, patut direnungk an firm an Allah : “Ketah uilah ! Sesungguh nya m anusia benar-benar berlarut-larut m elam paui batas, m enganggap dirinya serba cuk up” (Q S. Al-‘Alaq [9 6]: 6–7 ). D engan m enerapk an ajaran lirrasûl-b irrasûl, di sam ping tentu- nya juga lillâh -b illâh , m anusia dapat m enduduk k an dirinya sebagai h am ba Allah dan um at R asulullah secara benar. D apat diyak ini bah w a orang seperti itu diridh ai oleh Allah dan juga oleh R asulullah dalam h idup dan k eh idupannya. Keh idupan orang seperti itu dapat m em - baw a berk ah dan m anfaat bagi orang lain dan juga m asyarak at serta bagi bangsa dan negaranya. O rang yang m enerapk an k onsep lirrasûl- b irrasûl m ak a ia ak an senantiasa m erasa seolah -olah senantiasa di- pandang oleh R asulullah dan m erasa dalam pengaw asan Allah se- h ingga dia tidak berani berbuat h al-h al yang tidak diridh ai oleh Allah dan rasul-Nya. O rang seperti ini ak an diselam atkan oleh Allah dari azab-Nya, sebagaim ana firm an Allah : “D an Allah sek ali-k ali tidak ak an m enyik sa m erek a, sedang engk au berada di antara m erek a. D an tidak lah Allah ak an m enyik sa m erek a selagi m erek a m em oh on am pun” (Q S. Al-Anfal [8]: 33.).

169 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

D em ik ianlah , antara lain, nilai penting dan m anfaat m enerap- k an k onsep lirrasûl-b irrasûl dan juga lillâh -b illâh . Lirrasul m erupak an pelak sanaan bidang syari’at sedangk an b irrasul term asuk realisasi bidang h ak ik at. Keduanya h arus diterapk an secara tepat; tidak cuk up h anya sebagai pengertian ilmiah saja. Keduanya juga h arus benar- benar dirasak an di dalam h ati. Sebab, jik a k eduanya h anya dipak ai sebagai pengetah uan ilmiah sem ata dan tidak diterapk an di dalam k eh idupan m ak a bah ayanya justru lebih berat daripada orang yang belum m engerti sam a sek ali. c. Lirrasul-birrasul Penerapan k onsep lirrasûl-b irrasûl bersifat terbatas, tidak uni- versal seperti h alnya k onsep lillâh -b illâh ; dalam arti ia h anya dapat dilak uk an oleh orang yang beragam a Islam saja. Um at dari agam a lain m ungk in ada h alangan dalam m enerapk annya. Ak an tetapi, tidak m ustah il ada jalan untuk itu. Um at Islam w ajib m enerapk an k onsep lirrasûl-b irrasûl di dalam k eh idupannya, di sam ping juga m enerapk an k onsep lillâh -b illâh , sebagai k onsek uensi batiniah selak u um at R asulullah . Konsep lillâh - billâh dan lirrasûl-birrasûl m erupak an realisasi prak tis atau k onsek uensi batiniah dari dua k alim at syah adat: Asyh ad u allâ ilâh a illa Allâh w a Asyh ad u an-nna M uh am m ad Rasulullah . D engan dem ik ian, orang yang senantiasa m enerapk an k onsep lillâh -b illâh dan lirrasûl-birrasûl berarti h atinya senantiasa m usyah ad ah tauh îd dan m usyâh adah risâlah . D engan istilah lain, h atinya terus-m enerus m em baca/m enerapk an dua k alim at syah adat dengan penuh pengabdian, pengh ayatan, dan k esadaran yang m endalam . Kesadaran ak an h adirnya Allah dan rasul-Nya dalam setiap gerak k eh idupan adalah m asalah prinsip bagi setiap m uslim . H al ini h arus terus-m enerus ditingk atkan dan disem purnak an tanpa ada batasnya.

3. Lilgh auts-Bilgh auts Tum buh nya k esadaran ak an h adirnya Allah dan rasul-Nya (lillâh- b illâh dan lirrasûl-b irrasûl) dalam k eh idupan um at m anusia adalah

170 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural berk at petunjuk (h id ayah ) Allah . Untuk m em eroleh h id ayah ini diperluk an bantuan dan bim bingan dari orang yang sudah ah li dan berpengalam an serta m em punyai k om petensi, yaitu orang yang m enerim a tugas dari Allah untuk m em bim bing m asyarak at dalam perjalanan w ush ul dan m a’rifat k epada Allah dan rasul-Nya. D i dalam dunia tasaw uf, pem bim bing tersebut dik enal sebagai m ursyid atau gh auts yang k âm il dan m uk am m il, yak ni orang yang sudah sem purna dan m am pu m enyem purnak an orang lain. D i dalam ajaran W ah idiyah ada k eyak inan bah w a gh auts adalah priagung (tok oh terh orm at) yang berk om peten m engantark an dan m em bim bing m asyarak at m enuju sadar k epada Allah dan rasul-Nya. O leh k arena itu, para pengam al W ah idiyah dan m asyarak at pelak u spiritual (sâlik in) pada um um nya perlu dan h arus m engadak an h u- bungan dengan gh auts, terutam a h ubungan secara batiniah . Salah satu caranya adalah dengan m enerapk an k onsep lilgh auts-b ilgh auts di dalam h ati. a. Lilgh auts Cara m enerapk an k onsep lilgh auts sam a dengan cara m enerapk an k onsep lillâh dan lirrasul, yak ni bah w a selain niat ik h las sem ata-m ata k arena Allah (lillâh ) dan niat m engik uti tuntunan R asulullah (lirrasul), juga h arus dibarengi niat m engik uti bim bingan gh auts h âdza az- zam ân (lilgh auts). Ini adalah am alan h ati dan tidak m engubah k e- tentuan-k etentuan lain di bidang syari’at, serta terbatas h anya pada soal-soal yang diridh ai Allah dan rasul-Nya. H al-h al yang terlarang, seperti m ak siat m isalnya, sam a sek ali tidak boleh disertai dengan niat lilgh auts. D i dalam Al-Q ur’an ada ayat yang m enyatak an: “D an ik utilah jalannya orang-orang yang k em bali k epada-Ku” (Q S. Luq m an [31]: 15). D alam W ah idiyah ada k eyak inan bah w a orang yang paling tepat k em balinya k epada Allah (ash d aqu m an anâba) pada zam an sek arang ini adalah gh auts h âdza az-zam ân. D ia adalah orang yang m enge- tah ui Allah beserta h uk um -h uk um nya (’alîmun b illah i w a b i

171 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah ah k âm ih ), yak ni orang yang ‘arif b illâh . D ia adalah seorang m ursyid yang k âm il-m uk am m il. b. Bilgh auts Cara m enerapk an k onsep bilgh auts juga sam a dengan cara m ene- rapk an k onsep b irrasul, yaitu m enyadari dan m erasa bah w a k ita senantiasa m endapat bim bingan ruh ani dari al-gh auts. Sesungguh - nya bim bingan ruh ani darinya selalu m em ancar k epada seluruh um at, baik disadari m aupun tidak . Sebab, bim bingan al-gh auts itulah yang m enuntun k ita k em bali k epada Allah dan rasul-Nya, yang selalu m em ancar secara otom atis sebagai butir-butir m utiara yang k eluar dari lubuk h ati seorang yang berak h lak dengan ak h lak nya rasul (tak h alluq b i ak h lâq rasûlillâh ). Adanya k esadaran bah w a k ita dibim bing oleh al-gh aust boleh dik atak an term asuk penyem purnaan syuk ur k ita k epada Allah . Arti- nya, ungak apan syuk ur k epada sesam a m anusia m erupak an bentuk penyem purnaan dari rasa syuk ur k epada Allah , sebagaim ana di- dinyatak an dalam sebuah h adits: “Barang siapa yang tidak bersyuk ur k epada sesam a m anusia m ak a dia tidak bersyuk ur k epada Allah ” (H R . At-Tirm idzi dari Abu H urairah dan dari Abu Said). Konsep lillâh-billâh, lirrasûl-birrasûl, dan lilgh auts-bilgh auts h arus diterapk an bersam a-sam a di dalam h ati. Ak an tetapi, jik a h al tersebut belum dapat dilak uk an secara bersam a-sam a m ak a prinsip yang telah didapati lebih dah ulu h arus dipelihara dan terus ditingk atkan. Sebab, yang terpenting adalah adanya perh atian dan juga usah a yang sung- guh -sungguh untuk bisa m engam alkan ajaran lillah -b illah , lirrasul- b irrasul, dan lilgh auts-b ilgh auts secara bersam a-sam a. D alam m elatih k esadaran ini, orang h arus tek un, sabar, dan tidak berputus asa. D alam ajaran W ah idiyah dijelask an bah w a di sam ping orang perlu m elatih h ati secara terus-m enerus, ia juga dianjurk an untuk rajin ber- m ujah adah .

172 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

4. Yu’tî Kulla dzî H aqqin H aqqah Ungk apan Yu’tî k ulla d zî h aqqin h aqqah m engandung m ak na bah w a segala k ew ajiban h arus dipenuh i dan bersik ap lebih m eng- utam ak an k ew ajiban daripada h ak , baik k ew ajiban terh adap Allah dan rasul-Nya m aupun k ew ajiban-k ew ajiban yang berh ubungan dengan m asyarak at di segala bidang dan terh adap m ak h luk pada um um nya. D alam k eh idupan m anusia di dunia ini pasti ak an selalu tim bul h ak dan k ew ajiban yang saling terk ait. Kew ajiban A terh adap B, m isal- nya, m erupak an h ak B atas A. Begitu juga sebalik nya, k ew ajiban B terh adap A m erupak an h ak A atas B. D i antara h ak dan k ew ajiban tersebut yang h arus diutam ak an adalah pem enuh an terh adap k e- w ajiban m asing-m asing. Adapun soal h ak tidak perlu dijadik an tun- tutan. Sebab, seandainya k ew ajiban dipenuh i dengan baik m ak a secara otom atis apa yang m enjadi h ak nya ak an datang dengan sendirinya. Sebagai contoh adalah pem enuh an h ak dan k ew ajiban dalam h ubungan suam i istri. Sang suam i m em punyai h ak m em eroleh pelayanan yang baik dari sang istri, nam un ia juga m em punyai k e- w ajiban terh adap istri. Begitu juga dengan istri, ia m em punyai h ak nafkah , bim bingan, dan perlindungan dari sang suam i, nam un ia juga m em punyai k ew ajiban untuk berbak ti atau m em berik an layanan yang baik k epada suam i. Jik a m asing-m asing pih ak (suam i dan istri) tersebut m enunaik an k ew ajibannya dengan baik m ak a secara oto- m atis h ak dari m asing-m asing pih ak juga ak an terpenuh i. Suam i m em enuh i k ew ajiban nafkah , m elindungi, dan m em berik an bim - bingan k epada istri yang m ana sem ua itu m erupak an h ak dari istri. Begitu juga sik ap istri yang m engh orm ati dan m em berik an pelayanan k epada suam i. Contoh lainnya adalah h ubungan pem erintah dengan rak yat. Pem erintah berh ak ditaati oleh rak yat, nam un ia juga berk ew ajiban m em bim bing, m em ajuk an, dan m ensejah terak an rak yat. D engan d em ik ian, h al yang h arus d iutam ak an oleh pem erintah adalah k ew ajiban m em bim bing, m elindungi, serta m em ajuk an rak yat.

173 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Sebalik nya, rak yat berh ak m endapat bim bingan dan perlindungan dari pem erintah , nam un juga m em punyai k ew ajiban taat dan setia k epada pem erintah . D engan dem ik ian, jika k ita m engacu pada k onsep Yu’ti k ulla dzi h aqqin h aqqah m ak a yang h arus diutam ak an oleh rak yat adalah taat k epada pem erintah tanpa h arus m enuntut h ak nya. Begitu juga yang h arus diutam ak an oleh pem erintah adalah m em bim bing, m elindungi, m em ajuk an, dan m enyejah terak an rak yat.

5. Taqdîm al-Ah am m fa al-Ah am m tsum m a al-Anfa’ fa al-Anfa’ Sering k ali k ita jum pai lebih dari satu m acam persoalan yang h arus diselesaik an dalam w ak tu yang bersam aan dan k ita tidak m am pu m engerjak an secara bersam a-sam a. D alam k eadaan seperti itu k ita h arus m em ilih m ana yang lebih penting dari dua persoalan tersebut dan itulah yang h arus k ita k erjak an lebih dah ulu. Jika k edua persoalan tersebut sam a-sam a penting m ak a yang h arus didah uluk an adalah yang lebih besar m anfaatnya. D em ik ianlah yang dim ak sud dengan prinsip Taqd îm al-Ah am m fa al-Ah am m Tsum m a al-Anfa’ fa al-Anfa’. Jadi, m endah uluk an yang lebih penting daripada yang k urang penting dan jik a sam a-sam a penting m ak a h arus dipilih m ana yang lebih besar m anfaatnya. Untuk m enentuk an pilih an yang lebih penting (ah am m ) dan yang lebih berm anfaat (anfa’), k ita bisa m enggunak an pedom an: “Segala h al yang berh ubungan langsung dengan Allah dan rasul- Nya, terutam a yang w ajib, pada um um nya h arus dipandang lebih penting, dan segala h al yang m anfaatnya dirasak an juga oleh orang lain (m asyarak at banyak ) m ak a h al itulah yang h arus dipandang sebagai yang lebih besar m anfaatnya.” D i sini perlu diperh atik an bah w a pengertian m anfaat h arus di- tinjau dari berbagai segi dan m em ak ai berbagai pertim bangan. Ak an tetapi secara um um dapat dik atak an bah w a yang dim ak sud m anfaat adalah “segala h al atau perk ara yang bisa m endek atkan diri k epada Allah dan rasul-Nya”. D engan dem ik ian, tindak an atau h al apa pun yang tidak bisa m enjadi sebab dek atnya seorang h am ba k epada Allah

174 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural dan rasul-Nya m ak a ia tidak m asuk dalam k ategori perk ara yang berm anfaat, m elaink an sebalik nya m enajdi sesuatu yang m ad h arat (m em bah ayak an).

H.Ajaran W ah idiyah tentang Etik a Ketasaw ufan M asalah ad ab (etik a-tata k ram a) adalah h al yang am at penting dan h arus diperh atikan dalam k eh idupan ini, baik ad ab lah ir m aupun batin. Keduanya saling m engisi, yang lah ir m enyuburk an yang batin, dan yang batin m enjadi jiw a bagi yang lah ir. Bidang ini m eliputi ad ab k epada Allah , R asulullah , gh auts h âdza az-zam ân, para w ali Allah , ulam a dan sh alih in, guru, m urid, orang tua, dan ad ab k epada m asyarak at pada um um nya. Bah k an, k epada apa dan siapa saja yang berh ubungan dengan k ita, term asuk diri k ita sendiri. Sem uanya h arus m enggunak an etik a. R asulullah telah m em berik an tuntunan ad ab pada setiap langk ah dan tingk ah lak u m anusia. Begitu pentingnya m asalah ad ab dalam k eh idupan m anusia, dalam ajaran W ah idiyah dik atak an: “M em elih ara ad ab h arus lebih diutam ak an daripada (se- belum ) m elak sanak an perintah .” Secara logis, suatu h al yang dik erja- k an tanpa m enggunak an ad ab bisa m enyebabk an pek erjaan tersebut tertolak atau bisa m enim bulkan sid e effect (ak ibat sam pingan) yang buruk dan m erugik an. Adapun definisi ad ab m enurut pandangan para ah li h ak ik at, sebagaim ana disebutkan dalam ajaran W ah idiyah , ialah Ijtim â’ k h ish âl al-k h air (terpadunya budi pek erti, tingk ah lah ir dan sik ap batin yang baik ). D engan dem ik ian, lah ir dan batin h arus serasi. Adab yang baik tidak cuk up tam pak pada aspek lah iriah nya saja, tetapi juga h arus selaras dengan apa yang ada di dalam batinnya. Lah ir m encerm ink an batin, begitu juga sebalik nya. Seseorang diangk at derajatnya oleh Allah sebab ad ab -nya baik , dan diturunk an derajatnya k arena ad ab - nya buruk . Nabi Muh am m ad sendiri m enem pati k eduduk an ter- tinggi dan term ulia juga k arena ak h lak nya yang terk enal luh ur. Allah m em berik an pujian: “Dan sesungguh nya engk au (Muh am m ad) benar-benar berbudi pek erti yang agung” (Q S. al-Q alam [68]: 4);

175 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah dan bah w a nabi juga diutus h anya untuk m endidik dan m em bim bing m anusia agar m em punyai budi pek erti yang luh ur.67 Contoh ad ab tidak baik yang m enjadi sebab turunnya derajat adalah peristiw a yang terjadi pada Iblis. Pada aw alnya, iblis berada di dalam k elom pok m alaik at dan pernah m enjadi pim pinan di k alangan m alaik at. Nam a aslinya Azâzil, dan selam a 80 ribu tah un terus-m enerus m enjalank an tugasnya taat k epada Allah . Ak an tetapi, k arena bersik ap durh ak a (sû’ul-ad ab ) k epada Allah , tidak m au m e- lak sanak an perintah Allah untuk bersujud-m engh orm at k epada Nabi Adam dan justru bersik ap tak abbur dengan m engatak an: Ana k h airun m inh u (ak u lebih baik daripada Adam ) m ak a ia diturunk an derjatnya dan dipecat dari k eduduk annya sebagai pem im pin m alaik at. Sejak saat itulah iblis m enjadi tercela dan terk utuk . D alam upaya w ush ul m a’rifat k epada Allah , ak h lak yang baik m enjadi sesuatu yang sangat penting dan h arus diperh atik an, yak ni sik ap baik k epada Allah , rasul-Nya, dan k epada guru (m ursyid ) yang m enuntun dan m em bim bingnya. D ik atak an oleh Syaik h D iyauddin bah w a m eluk ai atau m enyinggung [perasaan] guru adalah perbuatan yang tidak ada tobatnya.68 Artinya, jik a tindak an sang m urid tersebut tidak m endapatkan m aaf dan restu dari sang guru m ak a m urid yang berlak u durh ak a ak an m engalam i ak ibat yang fatal. O leh k aren itu, k ita h arus berh ati-h ati dalam m em elih ara ad ab terh adap guru yang m enuntun k ita sadar k epada Allah dan rasul-Nya, terutam a ad ab batin k ita. Lebih lanjut Syaik h D iyauddin m engatak an: “Barang siapa m em pertanyak an pada gurunya dengan pertanyaan “m engapa?” m ak a ia tidak ak an m encapai suk ses.”69 Kata m engapa yang dim ak sud dalam ungk apan di atas adalah yang m engandung arti m enentang atau tidak setuju dengan petunjuk atau k ebijak sanaan guru. H al ini m enunjuk -

67 Dalam hadits dinyatakan: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang luhur” (HR. Ahmad, al-Baihaqi, dan al-Hakim). 68 Syaikh an-Nasik Diyauddin, Jâmi’ al-Ushûl…, hlm. 107. 69 Ibid.

176 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural k an betapa pentingnya ad ab dalam perjalanan w ush ul k epada Allah dan rasul-Nya. Terk ait dengan m asalah w ush ul k epada Allah ini, Abu Ali ar- R aw dzabari m engatak an: “Seseorang dapat m asuk surga sebab am al- nya, dan berh asil w ush ul m a’rifat k epada Allah sebab ad ab -nya.”70 H al yang h am pir sam a juga ditem uk an dalam k itab Jam î’ al-Ush ûl. D i dalam k itab tersebut dik atak an: “Seorang h am ba dapat sam pai (w ush ul) k epada Tuh annya sebab ad ab -nya dan dapat m asuk surga sebab taatnya.”71 Sem entara Itu, KH . Ma’roef, m uallif Sh alaw at W ah idiyah , m e- nyatak an: “Seseorang tidak dapat w ush ul k epada Allah m elaink an b illâh (atas titah dan k eh endak Allah ).” Apabila ad ab k epada Allah dan rasul-Nya baik m ak a ad ab k epada yang lainnya juga pasti baik . Sebalik nya, jik a ad ab k epada Allah dan rasul-Nya tidak atau k urang baik m ak a ad ab k epada yang lain juga tidak atau k urang baik . Jik a ad ab seseoarang k epada Allah dan rasul-Nya buruk nam un ad ab k epada sesam a m anusia ternyata baik m ak a h al itu sebenarnya h anya k elih atan baik secara lah iriah saja, nam un pada h ak ik atnya adalah buruk k arena telah dik otori oleh m ak sud-m ak sud dan k epentingan- k epentingan tertentu, tidak ik h las. R ingk asnya, jik a tindak an baik yang dilak uk an oleh seseorang tidak disertai k esadaran lillâh -b illâh m ak a tindak an tersebut bisa dipastik an m asih k otor, tidak m urni, ada pam rih dan m ak sud-m ak sud tertentu. Secara um um dapat dik atak an bah w a ad ab tidak lain adalah pelak sanaan dari k onsep atau prinsip Yu’tî k ulla d zî h aqqin h aqqah , yak ni m em berik an h ak k epada pih ak lain yang m em punyai h ak , atau m elak sanak an k ew ajiban terh adap pih ak lain yang m em punyai h ak . Jika dirinci, adab k epada Allah tercak up di dalam prinsip lillâh -billâh , ad ab k epada rasul tercak up dalam prinsip lirrasûl-b irrasûl, dan ad ab k epada gh auts h âdza az-zam ân tercak up dalam prinsip lilgh auts-

70 Syaikh Ahmad bin Syaikh Hijazy al-Fasni, Al-Majâlis as-Saniyyah, (T.tp.: t.p., t.t.), hlm. 58. 71 Syaikh an-Nasi Diyauddin, Jâmi’ al-Ushûl…, hlm. 176.

177 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah b ilgh auts. Sedangk an ad ab k epada m anusia dan k epada sesam a m ak h luk h idup pada um um nya banyak sek ali m acam nya, tergantung pada bentuk dan m acam h ubungan yang dilak uk an. Misalnya, taw ad h u’, ram ah tam ah , sopan santun, saling m engh orm ati, suk a m enolong, jujur dan dapat dipercaya, k asih sayang, dan h usn azh - zh ann (berbaik sangk a), sem uanya ak an terw ujud sebagai buah dari ad ab yang baik k epada Allah dan rasul-Nya.

1. Syuk ur D alam m enjalani k eh idupan ini, k ita h arus senantiasa bersyuk ur atas sem ua k arunia yang telah Allah berik an k epada k ita yang tak terh itung banyak nya.72 Nik m at pem berian Allah dapat digolongk an m enjadi dua: pertam a, ni’mah al-îjâd (nik m at yang diw ujudk an) dan k edua, ni’mah al-im dâd (nik m at yang dipelihara). Pem eliharaan Allah terh adap m ak h luk ciptaan-Nya berjalan terus-m enerus bagaik an air yang m engalir. Sem ua m ak h luk , term asuk segala apa yang ada pada diri k ita, tidak lepas sedik it pun dari pem eliharaan Allah . O leh k arena itu, syuk ur k ita k epada Allah juga tidak boleh terh enti sedetik pun. Q S. Ibrah im ayat 7 m em beri peringatan tegas k epada k ita tentang ak ibat orang yang tidak m au bersyuk ur atas nik m at yang telah Allah berik an k epada k ita:

Dan (ingatlah), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguh- nya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengkufuri/mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya siksaan-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim [14]: 34).

D engan dem ik ian, k ita h arus selalu berh ati-h ati dan m aw as diri jangan sam pai lengah sedetik pun untuk bersyuk ur atas nik m at yang telah Allah berik an k epada k ita. Bersyuk ur juga h arus dilandasi niat ik h las ibadah k epada Allah tanpa pam rih (lillâh ). D engan dem ik ian, yang disebut syuk ur sem purna adalah syuk ur yang dijiw ai oleh sik ap

72 Dalam QS. Ibrahim [14]: 34, ditegaskan: “Jika kamu sekalian menghitung-hitung nikmat pemberian Allah niscaya kamu sekalian tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat kufur”.

178 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural lillâh -b illâh , yak ni bersyuk ur dengan ik h las k arena Allah dan atas dasar k esadaran bah w a sem ua itu juga atas k eh endak Allah . Selain k ita h arus bersyuk ur k epada Allah atas nik m at yang telah diberik an-Nya, baik sedik it ataupun banyak , k ita juga m em ilik i k e- w ajiban untuk bersyuk ur k epada sesam a m anusia yang m enjadi perantara datangnya nik m at. D alam sebuah h adits dinyatak an: “Barang siapa yang tidak m ensyuk uri nik m at yang sedik it m ak a dia tidak m ensyuk uri nik m at yang banyak , dan barang siapa yang tidak bersyuk ur k epada m anusia m ak a ia tidak bersyuk ur k epada Allah ” (H R . Nu’m an bin Basir). Pada dasarnya, sem ua m ak h luk , k h ususnya m anusia, m em ilik i h ak untuk m endapatkan ungk apan rasa syuk ur. H anya saja, pem - berian ungk apan syuk ur k epada m anusia h arus sepadan dengan jasa m asing-m asing. Adapun orang yang paling besar jasanya k epada k ita adalah Nabi Muh am m ad. O leh k arena itu, rasa syuk ur k ita k epada nabi h aruslah m elebih i syuk ur k ita k epada yang lain (lirrasûl-birrasûl). Bah k an penerapan syuk ur ini adalah paling pok ok dan h arus dijadik an jiw a dalam segala k egiatan ibadah k ita k epada Allah . Adapun cara bersyuk ur k ita k epada Allah bisa dilak uk an dengan beberapa cara: pertam a, k ita h arus m enyadari dan m erasa m endapat nik m at. Ked ua, m engerti, m engetah ui, dan m enyadari siapa yang m em beri nik m at k epada k ita. Ketiga, syuk ur billisân, m isalnya dengan m engucapk an k alim at “alham dulillâh ” atau k alim at lainnya yang m ak sudnya m engutarak an rasa terim a k asih k epada pem beri nik m at. Keem pat, m enggunak an nik m at yang telah diberik an untuk h al-h al yang diridh ai oleh sang pem beri nik m at. Asy-Syarif Ali bin Muh am m ad al-Jurjani dalam k itab At-Ta’rifat m enjelask an tentang m ak na syuk ur. D ia m enyatak an: “Syuk ur adalah m en-tash aruf-k an segala nik m at (pendengaran, penglihatan, dan lain- nya) yang diberik an oleh Allah untuk sesuatu yang diridh ai oleh yang m em beri nik m at.”73

73 Asy-Syarif Ali bin Muhammad al-Jurjani At-Ta’rifat, (Singapura-Jiddah: t.p., t.t.).

179 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Jik a nik m at-nik m at itu tidak dipergunak an untuk h al-h al yang diridh ai oleh yang m em beri nik m at m ak a h al itu m asuk k ategori m enyalah gunak an nik m at dan h al itu berarti zalim . H al ini jelas bertentangan dengan m ak sud Allah m em berik an nik m at k epada m ak h luk nya. 2. Ik h las Secara bah asa, ik h las berarti “m em urnik an”. Jik a dik aitkan dengan pelak sanaan ibadah m ak a yang dim ak sud ik h las adalah m en- jalank an ibadah dengan disertai niat yang ik h las tanpa pam rih apa pun, baik pam rih duniaw i m aupun pam rih uk h raw i, baik pam rih yang bersifat spiritual maupun m ateriil. H al ini berlak u pada sem ua bentuk ibadah , baik ibadah yang berh ubungan langsung dengan Allah dan rasul-Nya m aupun yang berh ubungan dengan sesam a m anusia. D i dalam beribadah , k ita m em ang dih arusk an untuk bersik ap ik h las. Ada banyak dalil yang m enunjuk k an h al tersebut, di antaranya adalah firm an Allah : “Sesungguh nya Kam i m enurunk an k epadam u Kitab (Al-Qur’an) dengan (m em baw a) k ebenaran. Mak a sem bah (ber- ibadah )-lah k epada Allah dengan m em urnik an k etaatan (ik h las) k epada-Nya” (QS. Az- Z um ar [39 ]: 3). D alam ayat yang lain di- nyatak an: “Padah al m erek a tidak disuruh k ecuali supaya m erek a m enyem bah (beribadah k epada) Allah dengan m em urnik an k etaatan (ik h las) k epada-Nya” (Q S. Al-Bayyinah [9 8]: 5). Selain dua ayat di atas, perintah untuk bersik ap ik h las juga ditunjuk k an dalam h adits nabi:

Berbahagialah orang-orang yang (beramal dengan) ikhlas. Mereka adalah lampu-lampu petunjuk yang segala fitnah yang diserupakan dengan kegelapan menjadi kelihatan jelas dari (karena) mereka (HR. Abu Nu’aim dari Tsauban).

180 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

Ik h las itu sendiri dapat dik ategorik an k e dalam tiga tingk atan, yak ni: (1) ik h lâsh al-‘âbid în, (2) ik h lâsh az-zâh id în, dan (3) ik h lâsh al-‘ârifin. Pertam a, Ik h lâsh al-‘Â b id în, yak ni ik h lasnya golongan ah li ibadah yang di dalam m enjalank an ibadah m asih m engh arap im balan pah ala, ingin surga, dan m engh arapk an bisa terh indar dari nerak a. Golongan ini biasanya bersem angat, tek un, dan rajin di dalam m en- jalank an ibadah nam un k esem uanya itu didorong oleh pam rih agar m endapatkan pah ala, surga, dan terh indar dari nerak a. Beribadah dengan pam rih ingin m endapatkan pah ala, surga, dan terh indar dari nerak a ini m asih m asuk k ategori ik h las, nam un ik h las dalam tingk atan yang paling rendah . Kedua, Ik h lâsh az-zâh id în atau ik h lâsh al-m uh ib b în ialah sik ap ik h las yang ditunjuk k an oleh para ah li zuh ud dan ah li m ah ab b ah . Merek a ini m enjalank an ibadah dengan ik h las tanpa pam rih , tidak k arena ingin surga dan juga tidak k arena tak ut nerak a. D engan k ata lain, ibadah yang dilak uk an oleh para ah li zuh ud dan m ah ab b ah ini benar-benar lillâh , sem ata-m ata m engh arap k eridh aan Allah . Ini adalah ik h las tingk atan k edua yang h anya bisa dilak sanak an oleh para ah li zuh ud dan ah li m ah ab b ah . Ketiga, Ik h lâsh al-‘ârifîn adalah bersik ap ik h las dalam m engerja- k an ibadah sem ata-m ata k arena ingin m endapatkan ridh a Allah , tidak k arena m engh arap pah ala, ingin surga, ataupun k arena tak ut nerak a. Ik h lâsh al-‘ârifîn ini h am pir m irip dengan ik h lâsh az-zâh id în atau ik h lâsh al-m uh ib b în. H anya saja, ik h lâsh al-‘ârifîn ini lebih tinggi tingk atannya dan h anya bisa dim iliki oleh para ah li m a’rifat. D i dalam m enjalank an ibadah , para ah li m a’rifat buk an saja lillah k arena m eng- h arapk an k eridh aan Allah , tetapi m erek a juga bersik ap b illah , yak ni m eyak ini bah w a k em am puannya beribadah dan juga bersik ap ik h las sem ata-m ata k arena pertolongan Allah . M erek a tidak m engak u dan juga tidak m erasa dapat m elak uk an ibadah sendiri, tetapi sem ata- m ata atas k eh end ak Allah . Inilah yang d im ak sud ik h las d alam

181 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah ungk apan: Al-Ik h lâsh tark u al-ik h lâsh fî al-ik h lâsh (Yang dinam ak an ik h las adalah tidak m erasa ik h las di dalam k eadaan ik h las). Sik ap ik h las m em ilik i pengaruh yang sangat besar terh adap di- terim a atau d itolak nya am al ibadah . D i dalam k itab Al-H ik am dinyatak an: “Am al-am al ibadah itu (h anya) sebagai gam bar h idup yang berdiri, dan jiw anya adalah w ujud dari rah asia ik h las di dalam am al-am al ibadah itu.”74 D i sisi lain, Syaik h Sah al at-Tustari juga m engatak an tentang bah ayanya am al ibadah yang tidak disertai sik ap ik h las. D ia m enyata- k an:

Semua manusia akan hancur kecuali yang berilmu; dan yang berilmu juga akan hancur kecuali yang mengamalkan ilmunya; yang berilmu dan mengamalkan ilmunya juga akan hancur, ke- cuali yang ikhlas di dalam beramal; dan yang sudah ikhlas (dalam beramal) pun masih dalam teka-teki besar.75

Yang dim ak sud dengan ungk apan “m asih dalam tek a-tek i besar” pada ungk apan di atas adalah m enyangk ut jenis ik h las yang m ana yang dim ilik i oleh m erek a yang beram al ibadah . Jik a seseorang yang beribadah belum lillâh -b illâh m ak a sik ap ik h lasnya belum lah sem - purna dan h al tersebut m asih berpotensi m engalam i k eh ancuran seperti dik atak an Syaik h Sah al at-Tustari tersebut. O leh k arena itu, k ita h arus senantiasa introspek si diri terh adap setiap tindak an (am al ibadah ) yang k ita lak uk an agar jangan sam pai m enjadi orang yang berpotensi m engalam i k eh ancuran.

3. Sabar Sabar juga term asuk ibadah batin yang m em ilik i nilai tinggi dalam pandangan Allah . Banyak ayat Al-Q ur’an yang berbicara tentang sabar, antara lain: “Sesungguh nya h anya orang-orang yang sabarlah yang dicuk upk an pah ala m erek a tanpa batas” (Q S. Az-Z um ar

74 Ibn Atha’illah as-Sakandari, Al-Hikam, juz I, hlm. 11. 75 Al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûm ad-Dîn, juz I, (T.tp: Dâr asy-Syu’b, t.t.).

182 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

[39 ]: 10); dan “H ai orang-orang yang berim an, m oh onlah pertolong- an (k epada Allah ) dengan sabar dan (m enjalank an) sh alat, sesungguh - nya Allah beserta orang-orang yang sabar” (Q S. Al-Baq arah [2]: 153). Sebalik nya, orang yang tidak sabar, berat sek ali ak ibat yang di- deritanya. Allah m em peringatkan dalam sebuah h adits q udsi:

Aku (Allah), tiada Tuhan melainkan Aku; siapa yang tidak bersyukur atas nikmat-nikmat pemberian-Ku, tidak bersabar atas ujian-Ku dan ridho terhadap kepastian qadha-Ku, maka carilah Tuhan selain Aku.

Prak tik sabar itu sendiri m encak up tiga h al, sebagaim ana sabda nabi, yak ni (a) sh ab run ala al-m ush ib ah (bersabar atas m usibah yang m enim panya, (b) sh ab run ‘ala ath-tha’ah (bersabar dalam k etaatan), dan (c) sh ab run ‘an al-m a’sh iyah (bersabar untuk tidak m elak uk an tindak an m ak siat). a. Shabrun ’ala al-M ush îbah Shab run ’ala al-m ush îbah adalah sik ap sabar dan tabah dalam m engh adapi berbagai ujian dan cobaan h idup, sabar dalam m eng- h adapi m usibah . Bersik ap sabar atas m usibah yang diterim anya m e- rupak an bentuk ibadah yang sangat besar pah alanya. H al tersebut ditegask an oleh R asulullah : “Bersik ap sabar sesaat atas m ush ibah (yang dialam inya) lebih baik daripada ibadah setah un.”76 b. Shabrun fî ath-Th â’ah Shab run fî ath-thâ’ah adalah bersik ap tabah , k uat, tek un, rajin, dan bersungguh -sungguh dalam m enjalank an k etaatan dan tidak terpengaruh oleh k ondisi apa pun juga.

76 Utsman bin Hasan bin Ahmad asy-Syakir al-Khuwaiwi, Durrah an-Nâsihin, (In- donesia: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah), hlm. 187.

183 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah c. Shabrun ‘an al-M a’sh iyah Shab run ’an al-m a’sh iyah adalah k uat m enah an diri untuk tidak berbuat m ak siat sek alipun ada banyak tek anan dan ancam an. D i dalam prak tik nya, sik ap sabar h arus dibarengi dengan sik ap taw ak al. Adapun m ak na taw ak al itu sendiri, sebagaim ana dinyatak an oleh al-Gh azali adalah : “ib arah dari bersandarnya h ati k epada w ak il satu-satunya.”77 D engan dem ik ian, taw ak al adalah sik ap batin dan term asuk ibadah batin yang diperintah k an oleh Allah . Banyak sek ali ayat Al-Q ur’an yang berbicara tentang taw ak al, antara lain: “D an barang siapa yang bertaw ak al k epada Allah m ak a Allah lah yang ak an m encuk upk an (k eperluan)-nya” (Q S. Ath -Th alaq [65]: 3). D i sam ping sik ap sabar dan taw ak al, ada satu h al lagi yang juga h arus disertak an dalam sik ap sabar dan taw ak al, yaitu ik h tiar (usah a) m encari k eadaan yang lebih baik . Sebagi contoh , jik a seseorang sedang m enderita suatu penyak it m ak a dia h arus bersabar dan taw ak al k epada Allah terh adap derita sak it yang dialam inya. Ak an tetapi, sik ap sabar dan taw ak al tersebut juga h arus disertai dengan ik h tiyar, yak ni berusah a untuk berobat mencari k esem buh an. D engan dem i- k ian, sik ap sabar, taw ak al, dan ik h tiar h arus dilak sanak an secara ber- barengan. Sabar itu m enjadi k unci k eselam atan dan alat peraih berm acam - m acam pertolongan, taufik, h idayah , dan perlindungan Allah . D alam k aitan ini, R asullullah bersabda:

“Barang siapa yang diberi dan kemudian bersyukur, diuji dan kemudian bersabar, dizalimi dan kemudian memaafkan, berbuat zalim dan kemudian meminta maaf,” Rasulullah Saw. terdiam sejenak dan kemudian melanjutkan: “mereka itulah orang-orang yang aman (selamat) dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (HR. Ath-Thabrani dan al-Baihaqi).

Pada k esem patan yang lain R asulullah juga m enyatak an:

77 Al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûm ad-Dîn, juz 4, hlm. 323. .

184 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

“Sesungguhnya balasan yang paling besar dari Allah senantiasa disertai dengan besarnya bala (cobaan-ujian). Sesungguhnya apabila Allah mencintai seorang hamba maka Dia akan mengujinya terlebih dahulu, jika ia bersikap sabar maka Allah akan memilihnya dan jika ia ridha (dengan ujian tersebut) maka dia akan didisayangi oleh- Nya.”78

O leh k arena itu, siapa saja yang ingin dik asih i dan dicintai oleh Allah m ak a dia h arus bersik ap sabar dan juga ridh a terh adap apa yang sudah digarisk an oleh -Nya. Ini m enunjuk k an betapa penting dan juga tingginya nilai sebuah k esabaran. Bah k an dik atak an bah w a orang yang sabar terh adap apa yang telah ditaqdirk an oleh Allah lebih utam a daripada orang yang bersyuk ur atas nik m at yang Allah berik an k epadanya. Sebab, Allah h anya m enjanjik an k elipatan tam bah an nik m at k epada orang yang bersyuk ur (syâk ir), sedangk an terh adap orang yang sabar (sh âbir) Allah m enjanjik an ak an senantiasa m e- nyertainya.

4. Rid h a D alam ajaran W ah idiyah dik atak an bah w a ridh a ialah m erasa puas terh adap qadh a’ dan qadar Allah , m esk i bagaim anapun k eadaan- nya. R idh a term asuk ad ab dan ibadah batin yang paling tinggi nilai- nya. D alam k aitan ini, Allah berfirm an: “D an k eridh aan dari Allah itulah yang paling agung” (Q S. At-Taubah [9 ]: 72). Sesungguh nya segala k eadaan yang dialam i oleh m anusia, baik k eadaan yang m enyenangk an m aupun yang tidak m enyenangk an, sem uanya adalah k arunia Allah yang diberik an k epada h am ba-Nya. H anya saja, sering k ali h am banya tidak m au bersabar dan tidak m e- ngetah ui h ik m ah di balik apa yang m enim panya. D alam m engh adapi k esulitan ataupun m usibah , W ah idiyah m engajark an k epada pengik utnya untuk senantiasa ridh a, nam un dengan disertai sik ap ik h tiar, yak ni terus berusah a untuk bisa m e- lepask an diri dari k esulitan atau m usibah yang m enim panya. Lebih

78 Utsman bin Hasan, Durrah an-Nâsihin.

185 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah lanjut, W ah idiyah juga m engajark an bah w a sik ap ik h tiar tersebut h arus dilak uk an lah ir dan batin dengan disertai sik ap taw ak al k epada Allah dan selalu dijiw ai oleh perilak u lillâh -b illâh . D engan dem ik ian, dalam ajaran W ah idiyah , sik ap sabar, ridh a, ik h tiar, dan taw ak al h arus selalu bergandengan di dalam penerapan dalam h ati. Seperti h alnya di dalam ik h las dan sabar. D alam ajaran W ah idiyah , ik h tiar batin adalah berdoa m em oh on k epada Allah agar dik eluark an dari k esulitan atau m usibah yang sedang dialam inya. D alam k aitan ini, KH . Ma’roef (m uallif Shalaw at W ah idiyah ) pernah m engajark an doa faraj, yak ni doa perm oh onan agar diberi jalan k eluar dari segala k esulitan. Adapun redak si doa faraj adalah :

Ya Allah, dengan hak keagungan asma-Mu dan dengan ke- besaran Baginda Nabi Muhammad Saw., dan sebab berkah ghauts hâdza az-zamân, para pendukungnya, serta para kekasih Allah radhiya Allâhu ta’âlâ ‘anhum (semoga Allah meridhai mereka semua), jadikanlah bagi kami dan keluarga serta keturunan kami, bagi orang-orang yang ada hubungan hak dengan kami, bagi mereka para pengamal Wahidiyah sampai Hari Kiamat, dan bagi seluruh umat Baginda Nabi Muhammad Saw. jalan keluar dari segala kesulitan dan kesusahan, dan tunjukilah kami dan mereka jalan-Mu yang lurus (dibaca 3 kali).

186 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

Secara psik ologis, orang yang selalu ridh a dengan k etentuan Allah , niscaya h idupnya ak an senang dan tenteram ; tidak m udah putus asa dan juga m enggerutu. D ia selalu m erasa puas dan gem bira m eng- h adapi segala situasi dan k ondisi h idupnya. H atinya senantiasa m eng- h adap k epada Allah . Sebalik nya, orang yang tidak ridh a atas qad h â’ dan qadar Allah h idupnya ak an dipenuh i perasaan tidak puas, m udah em osi, m arah , putus asa, dan m enggerutu. Padah al qadh â’-qadar Allah tidak ak an dapat diubah dengan k etidak ridh aan sang h am ba. Bah k an, orang yang tidak ridh a atas qad h â’ dan qad ar Allah buk an saja ak an m endapat dosa, m elaink an juga tidak diak ui sebagai h am ba-Nya.

5. M ah abbah (Cinta) Mah ab b ah atau cinta, m enurut W ah idiyah , m eliputi cinta k e- pada Allah , cinta k epada para nabi, para rasul, dan para m alaik at, cinta k epada k eluarga dan para sah abat nabi, cinta k epada para w ali Allah , para ulam a, pem im pin, orang tua, k eluarga, dan cinta k epada segenap um at Islam serta k epada sem ua m ak h luk ciptaan Allah . Cinta k epada Allah sebagai Kh aliq (Pencipta) m engandung k on- sek uensi h arus cinta juga k epada m ak h luk ciptaan-Nya. Ak an tetapi, cinta k epada m ak h luk tentu saja tidak sam a dengan cinta terh adap sang Kh alik . Pada prinsipnya, k ita m encintai m ak h luk k arena ia adalah ciptaan Allah . D alam W ah idiyah , cinta m aupun benci h arus didasari oleh prinsip lillâh -billâh buk an lin-nafs-bin-nafs. Cinta k epada m ak h luk h anyalah m anisfestasi dari cinta k epada Allah . M em adu- k an antara cinta k epada Allah sebagai Kh aliq dan cinta k epada m ak h luk tidak lah diperboleh k an. Lebih -lebih cinta k epada m ak h luk tidak boleh m engalah k an cinta k epada Sang Kh alik . D alam k aitan ini Allah berfirm an:

Katakanlah (wahai Muhammad), jika bapak-bapak kamu sekalian, anak-anak kamu, saudara-saudara kamu, suami/istri kamu, keluarga kamu, harta benda yang kamu sekalian kumpulkan, perniagaan yang kamu sekalian takut menderita rugi, dan rumah tempat tinggal yang kamu sekalian senangi, jika semua itu lebih kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya dan daripada berjuang di

187 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

jalan-Nya maka bersiap-siaplah sampai Allah menurunkan perintah penyiksaan-Nya dan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang fasik (QS. At-Taubah [9]: 24).

Selain ayat di atas, R asulullah juga m em berik an penegasan: “Tidak lah sem purna im an salah satu dari k am u sek alian seh ingga Ak u lebih dicintai daripada dirinya sendiri, h artanya, dan sem au m anusia” (H R . Buk h ari, Muslim , Ah m ad, Tirm idzi, dan Ibn Majah ). D engan dem ik ian, cinta k ita k epada diri k ita sendiri, k epada orang tua, k epada suam i atau istri, dan juga k epada k eluarga, se- h arusnya sek adar h anya sebagai salah satu w ujud rasa cinta k ita k epada Allah dan rasul-Nya. Menurut ajaran W ah idiyah , m anifestasi cinta k epada Allah dapat tim bul dari h ati yang senantiasa m enerapk an k onsep lillâh -b illâh , lirrasûl-b irrasûl, dan lilgh auts-b ilgh auts, serta rajin m elak uk an m uja- h ad ah , serta m em perbanyak tafak k ur, yak ni m erenungi k eagungan dan k ebesaran Allah ; serta m erenungi k ebesaran, k em uliaan, dan k e- luh uran budi R asulullah ; serta m erenungi tentang k eindah an- k eindah an yang terdapat pada segenap m ak h luk Allah . Cinta k epada Allah dapat bertam bah m endalam dan m urni dengan cinta pada rasul-Nya. Cinta pada rasul-Nya dapat m enjadi subur antara lain dengan m em perbanyak m engingatnya di m ana saja k ita berada. Yak ni dengan m em perbanyak m em baca sh alaw at serta m em perbaik i dan m eningk atkan h ubungan batin dengan gh auts h âdza az-zam ân. Caranya, antara lain, adalah dengan m em prak tik k an h aqîqah al-m utâba’ah ru’yah al-m atbû’ ‘ind a k ulli syay’in sebagaim ana telah dibah as di m uk a. Sebab, salah satu w ujud cinta k epada sesuatu adalah banyak m enyebut nam a yang dicintainya, seperti yang di- nyatak an oleh rasul.79

79 Dalam sebuah hadits dinyatakan: “Siapa yang mencintai sesuatu, dia akan banyak menyebut (mengingat) sesuatu itu” (HR. Dailami). Dalam Hâsyiyah ash-Shâwi … (juz III, hlm. 41) juga disebutrkan bahwa tidak disebut beriman orang yang tidak memiliki cinta.

188 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

Pengak uan im an dan m ah abb ah tidak cuk up h anya dengan per- nyataan lisan saja, tetapi h arus m eresap k e dalam h ati dan diw ujud- k an dalam tindak an nyata, baik tindak an yang berh ubungan dengan Allah dan rasul-Nya m aupun yang berh ubungan dengan sesam a m ak h luk Allah . D alam k itab Sirâj ath-Th âlib în dijelask an: “D i surga tidak ada k enik m atan yang lebih tinggi daripada k enik m atan orang- orang ah li m ah ab b ah dan m a’rifat, dan di nerak a tidak ada sik sa yang lebih dah syat dan lebih m engerik an daripada sik sanya orang yang m engak u m ah ab b ah dan m a’rifat tetapi tidak ada buk tinya.” Jik a cinta k epada Allah dan rasul-Nya sungguh benar adanya m ak a apa yang diperintah k an oleh Allah dan rasul-Nya pasti dengan senang h ati ak an dijalank annya. Begitupun dengan apa yang dilarang, tentu juga ak an dijauh inya. Am al ibadah nya sungguh -sungguh ik h las tanpa pam rih , senantiasa lillâh dan lirrasul. Ia selalu ingat k epada yang dicintai dalam k eadaan bagaim anapun juga. Ketik a m engalam i m usibah , dia ak an tetap sabar, ridh a, dan gem bira oleh k arena yang m engujinya adalah yang ia cintai, yak ni Allah . Adapun dalam berm asyarak at, dia senantiasa berak h lak seperti ak h lak nya Allah dan rasul-Nya (tak h alluq b i ak h laqi m ah b ûbih ). D ia m enyayangi apa dan siapa saja yang dik asih i oleh k ek asih nya. D ia bersik ap pem aaf dan penyayang, senang m em beri pertolongan k epada siapa saja. Tingk ah lak unya juga selalu m enyenangk an dan m em - buah k an m anfaat bagi m asyarak at. Selalu taw ad h u’ dan ram ah . Ak an tetapi, k etika situasi m enuntutnya bertindak tegas, dia ak an bertindak tegas, yak ni dalam m em bela k ebenaran dan k eadilan yang dik eh en- dak i oleh yang ia cintai, yak ni Allah dan rasul-Nya. D i antara tanda-tanda cinta secara um um adalah sifat “cem buru”. R asa tak ut, resah , dan k h aw atir ak an m uncul jik a ada orang lain yang ik ut m encintai pih ak yang dicintainya. Ini adalah tanda-tanda cinta antarsesam a m anusia. Ak an tetapi, cinta Allah dan rasul-Nya justru m enuntut h al yang sebalik nya. R asa tak ut, resah , dan k h aw atir justru m uncul k etik a m elih at orang lain tidak cinta k epada Allah dan rasul-Nya. O leh k arena itu, ia berusah a agar orang lain ik ut

189 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah m encintai Allah dan rasul-Nya dan jik a perlu dengan segala pengorban- an; apa yang ada pada dirinya dicurah k an agar orang lain ik ut m en- cintai Allah dan rasul-Nya. Cinta atau m ah ab b ah itu sendiri dapat dibedak an m enjadi tiga, yak ni (a) m ah abbah sh ifâtiyah , (b) m ah abbah fi’liyah , dan (c) m ah abbah dzâtiyah . Pertam a, m ah ab b ah sh ifatiyah adalah cinta k arena tertarik pada sifat-sifat dari pih ak yang dicintainya, seperti tam pan, cantik , sim - patik , lincah , dan pandai. Cinta sem acam ini m udah berubah dan h ilang. Jik a sifat-sifat yang m enjadi daya tarik itu h ilang atau berubah m ak a cintanya pun ak an berubah dan bisa h ilang sam a sek ali, atau bah k an m ungk in bisa berbalik m enjadi benci. Kedua, m ah ab b ah fi’liyah adalah cinta k arena tertarik pada pek erjaan, jabatan, atau k ek ayaan pih ak yang dicintai. Cinta sem acam ini juga tidak ak an langgeng, m udah berubah seperti h alnya m ah abbah sh ifatiyah . Ketiga, m ah abbah dzâtiyah adalah cinta terh adap zat atau w ujud dari yang dicintai, bagaim anapun k eadaan dan rupa serta bentuk nya. Inilah cinta sejati. D alam m ah abbah k epada Allâh dan rasul-Nya sudah seh arusnya terk um pul k etiga m acam cinta tersebut. H al ini dapat ditum buh k an dengan cara m elatih h ati, m em perbanyak tafak k ur, dan m elak sana- k an m ujah adah w ah idiyah dengan sungguh -sungguh dan sesuai dengan bim bingan m uallif-nya. Tafak k ur dalam h al ini m eliputi tafak k ur terh adap k eindah an (jam al), k eagungan (jalal), dan k esem purnaan (k am al) Allah , serta berpik ir tentang k eluh uran budi dan k em uliaan R asulullah dan terh adap jasa-jasanya yang sangat besar dan agung. D i antara cara m elatih m ah ab b ah k epada Allah dan rasul-Nya adalah dengan cara m em biasak an m engenali sifat Allah dan rasul- Nya, berdzik ir, m em baca sh alaw at, dan m encoba untuk selalu dek at dengan yang dicintainya. Sebab, k ebiasaan seperti ini bisa m enum buh - k an rasa cinta. Cara-cara seperti itu dapat diterapk an untuk m elatih

190 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural h ati agar bisa m enum buh k an rasa cinta k epada Allah dan rasul-Nya. Sem ua m ak h luk yang ada di alam ini adalah m ilik Allah dan berasal dari Nur Muh am m ad. O leh k arena itu, k etik a k ita m elih at, m en- dengar, atau m erasak an sesuatu, seh arusnya k ita langsung ingat k e- pada Allah dan rasul-Nya. Cara dem ik ian ak an dapat m elatih h ati dalam m engh adapi segala sesuatu seh ingga lam a-k elam aan ak an tum - buh perasaan cinta k epada Allah dan rasul-Nya dan ak h irnya ia ak an betul-betul lebur (tenggelam ) dalam dzat yang dicintainya. D alam k aitan ini, m uallif Sh alaw at W ah idiyah pernah m engatak an: “Cinta sejati adalah apabila engk au m enjadi lebur k e dalam yang engk au cintai.” D engan m ak sud yang sam a, di dalam Syarah al-H ik am juga dinyata- k an: “H ak ik at cinta adalah sek iranya engk au m eleburk an seluruh dirim u dem i untuk orang yang engk au cintai seh ingga tidak ada sesuatu pun dari engk au yang tertinggal untuk dirim u sendiri.”80

6. H usnuzh ann (Baik Sangk a) H usn azh-zhann adalah berbaik sangk a atau berprasangk a baik k epada Allah dan rasul-Nya, k epada orang lain, dan juga k epada sesam a m ak h luk . Terh adap Allah dan rasul-Nya k ita bah k an seh arus- nya buk an h anya berbaik sangk a (h usn azh-zhann), m elaink an juga h arus h usn al-yaqîn (baik k eyak inan)! H usn azh-zhann atau h usn al-yaqîn ini m enjadi k unci bagi ber- bagai h ik m ah dan faedah , serta m enjadi sum ber bagi berm acam - m acam m anfaat dan m ash lah ah . Sebalik nya, berprasangk a buruk (sû’ azh -zh ann) m enjadi sum ber dari berm acam -m acam fitnah k erusak an, m enjadi sum ber m acam -m acam pertengk aran dan perm usuh an, dan m erupak an penggoncang k ek om pak an dan persatuan. O leh k arena itu, k ita h arus selalu h usn azh-zhann k epada siapa saja, m esk i bagai- m anapun k eadaannya. Kecuali terh adap m usuh atau orang yang m en- curigak an m ak a k ita h arus w aspada, term asuk k epada nafsu k ita sendiri yang m erupak an m usuh yang paling jah at, seperti disabdak an oleh

80 Ibn Ibad, Syarh al-Hikam, Juz II, hlm. 63.

191 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

R asulullah : “Sejah at-jah at m usuh m u adalah nafsum u yang berada pada dirim u (H R. Baih aqi dari Ibn Abbas). D engan dem ik ian, terh adap nafsu yang ada pada diri, k ita h arus bersik ap w aspada, m esk ipun k etik a k ita sedang m enjalank an ibadah k arena pada saat itulah nafsu biasanya m enggunak an berbagai m acam cara untuk m erusak am al ibadah dengan m enaburk an racun ujub, riya, dan tak abur, dengan cara yang sangat h alus. O rang yang belum lillah dan b illâh tentu ak an sangat m udah terk ena godaan nafsu yang ak an m engh ancurk an am alnya.81 D i dalam h adits q udsi Allah berfirm an: “Ak u (Allah ) adalah sesuai dengan prasangk a h am ba-Ku; jik a h am bak u berprasangk a baik m ak a Ak u m enjadi baik , dan jik a dia berprasangk u buruk m ak a Ak u m enjadi buruk ” (H R . Abu Na’im , At-Tabrani, dan Ibn Asak ir). Sû’uzh an adalah k ebalik an dari h usnuzh an, yaitu berprasangk a buruk yang tegas-tegas dilarang oleh Allah .82 O rang yang bersik ap sû’uzh an senantiasa lupa k epada Allah , tidak sadar atas qud rah dan

81 Ada suatu hikayah: Syaikh Junaid al-Baghdadi, waliyullah yang terkenal, pada suatu hari melihat seorang laki-laki masih muda dan masih kuat badannya mengemis di muka suatu masjid. Dalam hati Syaikh Junaid timbul suatu angan- angan: “Sayang orang itu; masih muda dan masih kuat badannya kok pekerjaannya mengemis; seandainya dia mau bekerja, tentu ia menjadi terhormat”. Pada malam harinya, Syaikh Junaid terasa berat dalam menjalankan awrâd lailiyah (amalan di waktu malam) yang sudah menjadi kebiasaannya. Akhirnya dia tertidur, dan di dalam tidurnya itu dia bermimpi didatangi beberapa orang yang membawa bungkusan, dan menyerahkan bungkusan tersebut kepada Syaikh Junaid sambil berkata: “Makanlah daging mentah saudaramu yang kamu prasangkai buruk dalam hatimu siang tadi”. Setelah dia buka, ternyata isi bungkusan tersebut adalah gumpalan daging manusia. Syaikh Junaid terkejut dan terbangun. Pagi harinya, dia mencari pengemis yang dilihatnya kemarin di depan masjid. Setelah bertemu dengannya, Syaikh Junaid pun meminta maaf. 82 Dalam Al-Qur’an ditegaskan: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka. Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa, janganlah kamu mencari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudara- nya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan ber- takwalah kepada Allah; sesung-guhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Hujurat [49]: 12).

192 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural irad ah Allah , bah w a sem uanya berasal dari Allah sebagaim ana firm an- Nya: “Katak anlah , segala-galanya itu berasal dari Allah” (Q S. An-Nisa [4]: 78). D alam k aitannya dengan sik ap h usnuzh an ini, Im am asy-Syafi’i m engatak an: “Barang siapa yang ingin m em eroleh h usnul k h âtim ah m ak a ber-h usnuzh an-lah k epada m anusia”. D ari uraian di atas dapatlah disim pulkan betapa pentingnya sik ap h usnuzh an. Mesk i dem ik ian, ada h al yang perlu diperh atik an bah w a di sam ping h usnuzh an, k ita juga h arus tetap w aspada dan bijak sana dalam m enyik api sesuatu, terutam a k epada nafsu k ita sendiri.

I. Mujah adah dalam W ah idiyah D alam bah asa Arab, istilah m ujah ad ah m erupak an isim (k ata benda) berbentuk m ash dar dari fi’il m adh i (k ata k erja lam pau) jâh ada, dan fi’il m udh âri’ (k ata k erja sek arang) yujâh idu. Sedangk an m ash dar- nya adalah m ujâh ad ah dan jih âd an. Kalim at tersebut m em punyai banyak arti, baik secara bah asa m aupun istilah , antara lain: (a) perang fisik , seperti firm an Allah : “H ai Nabi, perangilah orang-orang k afir” (Q S. At-Taubah [9 ]: 24); (b) m ujah ad ah berarti m em ak sa, seperti dalam firm an Allah : “D an jik a k edua orang tuam u m em ak sa k am u untuk m enyek utuk an Ak u dengan sesuatu yang k am u tidak m enge- tah uinya m ak a janganlah engk au ik uti” (Q S. Al-Ank abut [29 ]: 8); (c) bersungguh -sungguh m encurah k an segala k em am puan, seperti ungk apan berik ut: Jâh ad a ath-Th âlib fî ta’allum ih i (seorang pelajar bersungguh -sungguh [m encurah k an segala k em am puan] dalam belajarnya);83 dan (d) m ujâh ad ah berarti perang m elaw an nafsu (m enunduk k an nafsu), seperti dinyatak an al-Gh azali: Al-Mujah adah m iftah al-h id ayah la m iftah a lah a siw ah a (m ujah ad ah adalah k unci h idayah , tiada k unci bagi h idayah selain m ujah d ah ).84

83 Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, hlm. 217. 84 Al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûm ad-Dîn, juz 1, hlm. 39.

193 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Itulah beberapa m ak na etimologis dari k ata m ujah adah . Adapun secara term inologis, ada beberapa pengertian atau definisi tentang m ujah ad ah . D i dalam k itab Jâm i’ al-Ush ûl, m isalnya, dinyaak ana: “... m enurut istilah ah li h ak ik at (m ujahad ah ) adalah m em erangi nafsu am arah b is-sû’ dan m em beri beban k epadanya untuk m elak u- k an sesuatu yang berat baginya yang sesuai dengan aturan syara’ (agam a).”85 D i bagian lain dari k itab tersebut juga dinyatak an bah w a m ujahad ah adalah m em bebani nafsu untuk m elak uk an h al-h al yang berat secara jasm ani dan m engh indari k esenangannya dari segala bid ang.86 Sem entara itu, di dalam sebuah h adits dinyatak an: “Seorang m ujah id (orang yang berm ujah adah ) ialah orang yang m em erangi (m enunduk k an) nafsunya untuk sadar k epada Allah ” (H R . Th irm idzi dan Ibn H ibban dari Fadlalah bin Ubaid). D i dalam Islam , m ujah ad ah m erupak an am alan yang sangat dianjurk an. Ada banyak dalil yang m enunjuk k an h al tersebut, di antaranya adalah firm an Allah : “D an orang-orang yang berjih ad (bersungguh -sungguh ) m enuju k epada Kam i, pasti Kam i tunjuk an m erek a jalan Kam i” (Q S. Al-Ank abut [29 ]: 69 ); W ah ai orang-orang yang berim an, bertak w alah pada Allah dan carilah w asilah /sarana (untuk m endek atkan diri) k epada-Nya, berjih adlah di jalan-Nya (w ajâh ad û fî sab ilillâh ) supaya k am u sek alian m em eroleh k eber- untungan” (Q S. Al-M aid ah [5]: 35); dan, “bersungguh -sungguh lah k am u m enuju Allah (w ajâh adû fîllâh ) dengan sebenar-benarnya” (Q S. Al-H ajj [22]: 78). Kalim at w ajâh ad û fîllâh dan w ajâh ad û fî sab îlillâh pada dua ayat tersebut, dalam k itab H âsyiyah ash -Shâw i ditafsiri sebagai berik ut:

“Berjihadlah di jalan Allah menghadapi musuh-musuhmu yang nyata (lahiriah) dan yang batin (batiniah). Musuh lahiriah adalah kelompok-kelompok tersebut dan (orang-orang) kafir. Cara meme-

85 Syaikh an-Nasik Diyauddin, Jâmi’ al-Ushûl…, hlm. 221. 86 Ibid.

194 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

ranginya sudah maklum, dan dinamakan “perang kecil”. Sementara yang dimaksud musuh batiniah adalah nafsu, kesenangan, dan setan. Cara memeranginya adalah menahan dari kesenangan-kesenang- annya sedikit demi sedikit. Dan ini dinamakan “perang yang lebih besar/berat”.87

Secara um um , ada banyak h al positif yang diperoleh oleh m erek a yang tek un ber-m ujah ad ah , antara lain: (a) m em eroleh h idayah m enuju sadar k epada Allah , sebagaim ana firm an Allah dalam Q S. al-Ank abut [29 ] ayat 69 dan juga pernyataan al-Gh azali bah w a “m ujah ad ah adalah k unci h id ayah , tiada k unci bagi h id ayah selain m ujah adah ;88 (b) m em eroleh k eberuntungan, sebagaim ana dijelask an oleh firm an Allah dalam Q S. al-M aidah [5] ayat 35; dan (c) m e- m eroleh k esadaran (m usyah adah /m a’rifat) k epada Allah . D alam k aitan ini, Abu Ali al-D aq aq m enyatak an: “Barang siapa yang m engh iasi lah iriah nya d engan m ujâh ad ah m ak a Allah ak an m em perbaik i batiniah nya dengan m usyah ad ah (m enyak sik an Allah ).” D em ik ianlah berbagai m anfaat m ujah addah . O leh k arena begitu banyak m anfaat ber-m ujah ad ah m ak a sangatlah rugi orang yang tidak m au m elak uk annya dan h anya m enuruti h aw a nafsunya. Padah al m engik uti h aw a nafsu adalah bagian dari k etaatan terh adap setan. Ini seperti dijelask an dalam k itab Jâm i’ al-Ush ûl: “Sesungguh nya m enuruti k eh endak nafsu berarti taat k epada setan.”89 Pada bagian lain dari k itab tersebut juga dijelask an:

“Jangan ada yang menduga bahwa ma’rifat (sadar kepada Allah) bisa berhasil dengan membaca kitab-kitab syari’at dan muthala’ah kitab-kitab ahli tasawuf tanpa disertai mujahadah dengan melakukan amal-amal shalih. Tanpa berusaha member- sihkan (kotoran-kotoran) nafsu dan menetralkan jiwa dari kesibuk- an jasmani maka tidak mungkin dia diberi kesadaran, terbukanya hati atau musyahadah kepada Allah.”90

87 Syaikh Ahmad Shawi, Hâsyiyah ash-Shâwi…, hlm. 134. 88 Al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûm ad-Dîn, juz 1, hlm. 3. 89 Syaikh an-Nasik Diyauddin, Jâmi’ al-Ushûl…, hlm. 158. 90 Ibid., hlm. 230.

195 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Sem entara itu, Abu Ali ad-D aqaq m enyatak an: “D an k etah ui- lah bah w a orang yang pada perm ulaannya tidak ber-m ujah ad ah (ber- singguh -sungguh ) m ak a dia tidak ak an m enem uk an dalam thariqah ini sebatang lilin pun yang m enerangi jalan baginya.”9 1

1. Mujah adah W ah idiyah Yang dim ak sud dengan m ujah ad ah W ah idiyah adalah ber- sungguh -sungguh m em erangi dan m enunduk k an h aw a nafsu untuk diarah k an pada k esadaran fa firrû ila Allâh w a rasûlih , dengan m engam alkan Shalaw at W ah idiyah atau bagian darinya m enurut adab, cara, dan tuntunan yang diberik an oleh m uallif, KH . Abdoel M adjid Ma’roef, sebagai pengh orm atan k epada R asulullah dan sek aligus m e- rupak an doa perm oh onan k epada Allah bagi diri pribadi dan k eluarga, baik yang m asih h idup m aupun yang sudah m eninggal dunia, bagi bangsa dan negara, bagi para pem im pin bangsa dan negara, bagi um at di seluruh alam dan para pem im pim m erek a, serta bagi seluruh m ak h - luk Allah . Bagi sem ua orang yang ak an m elak uk an m ujah ad ah W ah idiyah m ak a dia h arus m em enuh i etik a atau ad ab ber-m ujah ad ah . Adapun ad ab (etik a) ber-m ujah ad ah adalah : a. H arus dijiw ai perasaan lillâh -b illâh , lirrasûl-b irrasûl, lilgh auts- bilgh auts. b . H atinya h ud h ûr (berk osentrasi) k epada Allah . c. Istih d h âr, yak ni m erasa h adir di h adapan R asulullah dan gh auts h âdz az-zam ân, dengan k etulusan h ati, ta’zh îm, dan m ah ab b ah sedalam -dalam nya dan sem urni-m urninya.9 2

91 Al-Qusyairi an-Naysaburi, Risâlah al-Qusyairiyyah fi ‘Ilm at-Tasawwuf, (T.tp.: Dar al-Khair), hlm. 98. 92 Dalam kaitan ini, Imam al-Ghazali mengatakan: “Sebelum kamu mengucapkan As-Salamu’alika ayyuha an-nabiyyu (pada saat membaca tahiyat) hadirkan pribadi nabi yang mulia dalam hatimu dan mantapkan harapanmu bahwa salammu sampai pada beliau dan bahwa beliau menjawabnya dengan jawaban yang lebih tepat. Lihat Sayyid Syaikh Yusuf an-Nabhani, Sa’âdah ad-Dârain …, hlm. 223.

196 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural d . Tad zallul (m erasa h ina ak ibat banyak nya dosa yang dilak uk an).9 3 e. Tazh allum , yak ni m erasa banyak berbuat zalim dan dosa terh adap Allah , rasul-Nya, gh auts, m aupun k epada sesam a m ak h luk Allah .9 4 f. Iftiq âr, yak ni m erasa sangat butuh ; butuh terh adap am punan (m agh firah ), perlindungan, dan petunjuk (taufiq-h idayah ) Allah ,9 5 butuh terh adap syafa’at-tarbiyah R asulullah , butuh terh adap bara- k ah , k aram ah , nad h rah , dan doa restu gh auts h âdza az-zam ân, dan para w ali Allah yang lain. g. D i dalam berdoa, di sam ping berdoa dan m em oh on untuk diri sendiri dan k eluarga, juga h endak nya k ita berdoa untuk um at dan m asyarak at serta bangsa dan negara; juga m endoak an sem ua yang ada h ubungan h ak dengan k ita, terlebih lagi m erek a yang k ita rugik an, baik m oral m aupun m ateriil, baik yang m asih h idup m aupun yang sudah m eninggal. Jik a k ita m au m engasih ani dan m endoak an m erek a niscaya k ita juga ak an dik asih ani dan didoak an oleh para m alaik at. H al itu seperti disabdak an oleh R asulullah :

Sementara itu, dalam Kitab Jâmî’ al-Ushûl dijelaskan: “Hatinya orang yang ârif billâh itu merupakan hadhratullah dan inderanya sebagai pintu-pintu hadhrah. Maka barang siapa yang mendekatkan diri kepadanya dengan pendekatan yang serasi (sesuai) dengan kedudukan dia maka akan terbukalah baginya pintu-pintu hadhrah (sadar kepada Allah). Lihat Syaikh an-Nasik Diyauddin, Jâmi’ al-Ushûl…, hlm. 48. Syaikh Ibrahim at-Tajibi berkata: “Setiap orang yang beriman ketika menyebut nabi atau ketika namanya disebut, diwajibkan menunduk, memuliakan, dan diam (tidak bergerak) serta berusaha mengagungkan dan memuliakan sebagaimana berhadapan langsung serta membayangkan seakan-akan berada di hadapannya, dan beradab dengan tata krama yang telah diajarkan oleh Allah, yaitu ta’zhîm (mengagungkan), takrîm (memuliakan), dan seterusnya. Lihat Sayyid Ahmad, Taqrîb al-Ushûl…, hlm. 156. 93 Dalam kitab Taqrîb al-Ushûl disebutkan: “Menghadap kepada Allah dan rasul- Nya dengan sungguh-sungguh seraya merasa hina dan meratapi dosa-dosa serta merasa tidak mempunyai daya dan kekuatan adalah pangkal segala kebaikan dunia dan akhirat.” Lihat ibid. 94 Dalam QS. Ibrahim [14]: 34 ditegaskan: “Sesungguhnya manusia itu selalu berbuat zalim dan kufur”. 95 Dalam QS. Muhmmad [47]: 38 ditegaskan: “Allah Mahakaya sedangkan kamu orang-orang yang membutuhkan-Nya. Dan jika kamu berpaling niscaya Dia mengganti (kamu) dengan kaum yang lain dan mereka tidak akan seperti kamu ...”

197 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

“Kasih anilah orang-orang yang ada di bum i m ak a engk au ak an dik asih i m alaik at yang ada di langit” (H R. Th abrani dan al-H ak im ).9 6 h . Berk eyak inan bah w a m ujah ad ah /doanya ak an dik abulkan. Sebab doa dari orang yang tidak yak in tidak ak an dik abulkan oleh Allah , seperti disabdak an oleh nabi: “Berdoalah k epada Allah dengan berk eyak inan bah w a (doam u) ak an dik abulkan; dan k etah uilah bah w a Allah tidak m engabulkan doa dari h ati orang yang lupa dan lalai” (H R . At-Turm udzi dan al-H ak im dari Abu H urairah ).9 7 i. Bacaan sh alaw at dan doa h endak nya tartil (berurutan) sesuai dengan m ak h raj, tajwid, dan m ad d (panjang-pendek nya) serta tanda baca yang tepat. j. Gaya, lagu, sik ap, dan cara m elak sanak an m ujah adah supaya sesuai dengan tuntunan dari m uallif. D alam k aitan ini, ada bim bingan k h usus berupa lem baran tanda bacaan yang biasanya disam paik an dalam k egiatan pem binaan k ew ah idiyah an. Selain itu, ada perh atian k h usus tentang gaya, lagu, sik ap, dan cara m elak sanak an m ujah ad ah . Bagi para penyiar, pem bina, dan terlebih lagi para im am m ujah adah dianjurk an supaya m em er- h atik an h al-h al tersebut.9 8 k . Jik a m endapati suatu pengalam an batin, seperti tangis dan jeritan, apabila m asih bisa dik uasai, supaya dim anfaatkan sek uat m ungk in untuk lebih m endek atkan diri k epada Allah dan rasul-Nya. Peng- alam an batin itu tidak boleh diluapk an begitu saja seh ingga m eng- ganggu orang-orang yang ada di sek itarnya, terlebih lagi k etik a

96 Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Jâmi’ ash-Shaghîr ..., juz I, hlm. 38. 97 Ibid., hlm. 83. 98 Sepeninggal muallif, para pengamal, khususnya para imam jama’ah, dianjurkan dan diajarkan oleh DPP PSW agar berlatih dan membiasakan diri meniru gaya bacaan muallif, sekalipun kemampuannya masih belum bisa persis, namun setidak- nya tidak terlalu menyimpang jauh dari standar lagu yang diajarkan olehnya. Anjuran dan ajaran ini dimaksudkan untuk menjaga orisinalitas ajaran Wahidiyah. Sepengetahuan penulis, dalam nada mujahadah yang diajarkan oleh muallif, khususnya pada bait tasyâffu’an dan istighâtsah, terkandung energi psikologis khas Wahidiyah yang dapat menimbulkan suasana khusyu’ dan tawaddu’. Hal ini terkait dengan adab bermujahadah yang diajarkan oleh muallif.

198 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

m ujah adah dilak uk an secara berjam aah atau m endengark an k uliah - k uliah W ah idiyah secara bersam a-sam a. l. Ketik a m ujah ad ah dilak uk an secara berjam aah , suara m ak m um tidak boleh m endah ului suara im am dan juga tidak boleh terlalu jauh tertinggal. Bacaan dan suara h arus seragam . Tidak boleh ter- lalu tinggi dari suara im am ! M inim al sam a atau lebih rendah . m .Bagi pengam al yang terpak sa tidak dapat m engendalikan k erasnya suara, supaya m engam bil tem pat duduk yang jauh dari m ik ropon supaya tidak m engganggu/m em engaruh i orang lain. n. Ketika m elaguk an tasyaffu’an, nada, gaya, dan lagu h arus seragam . Apabila m enggunak an pengeras suara m ak a m ik ropon tidak boleh dim onopoli oleh satu atau beberapa suara saja. Sem ua suara h arus terdengar seragam , k ecuali untuk m em berik an aba-aba. 2. Tangis dalam Mujah adah Tangis dalam pelak sanaan m ujah ad ah term asuk sebagian dari h al-h al yang diperm asalah k an oleh m asyarak at um um . Sebenarnya, tangis itu sendiri term asuk sunnah dan k ebiasaan para rasul, para nabi, dan para sah abat serta orang-orang yang dek at k epada Allah . Terk ait dengan h al ini, ada banyak dalil, baik dari Al-Q ur’an, al-h adits, m au- pun pendapat para ulam a: D alil dari Al-Q ur’an a. Firm an Allah yang m enerangk an tangisnya para nabi dan rasul

“Mereka itu adalah orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah dari para nabi dari keturunan Adam dan orang orang yang Kami muat (dalam perahu) bersama Nabi Nuh, dan dari keturunan Nabi Ibrahim dan Israil, dari orang-orang yang Kami beri petunjuk.

199 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Dan Kami pilih, apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah Maha Pengasih, mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis” (QS. Maryam [19]: ayat 58). b. Firm an Allah yang m enerangk an tentang tangisnya para sah abat

“Dan mereka menyungkurkan muka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’” (QS. al-Isra’ (17): ayat 109). c. Firm an Allah yang berisi k ecam an bagi orang yang tidak m enangis

“Apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini dan kamu menertawakan dan tidak menangis, sedangkan kamu melengahkan” (QS. an-Najm [53]: 59-61).

D alil dari al-H adits a. Sabda Nabi Saw.:

“Tidak akan masuk neraka seorang laki-laki (juga perempuan) yang menangis karena takut kepada Allah sehingga ada air susu masuk kembali pada kantongnya” (HR. at-Tirmidzi dari Abu Hurairah). b . Sabda Nabi Saw.:

“Kuasailah (jagalah) lisanmu, luaskan rumahmu, dan tangisilah kesalahanmu” (H.R. at-Turmudzi dari Uqbah bin Amir).

200 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural c. Sabda Nabi Saw.:

Dua mata yang tidak terkena api neraka: mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang semalaman tidak tidur karena berjaga dalam perjuangan Allah” (HR. at-Turmudzi dari Ibn Abas). d . Sabda Nabi Saw.:

“Hai manusia, menangislah, apabila kamu tidak bisa menangis berusahalah untuk bisa menangis” (HR. Abu Daud).

Pendapat para ulam a a. Syaik h D h iyauddin Ah m ad Musthafa m enjelask an:

Katakanlah bahwa menangis karena takut Allah adalah suatu pertanda kuat yang menunjukkan takutnya kepada Allah dan con- dongnya terhadap kehidupan akhirat. Sedang yang mendorong timbulnya tangis ada dua; takut kepada Allah dan menyesali atas perbuatan yang berlebihan dan penyalahgunaan yang telah dilakukan. Namun sebab yang paling kuat menimbulkan tangis adalah mahabbah (cinta) (kepada Allah dan rasul-Nya-pen.).99

99 Syekh an-Nasik Dhiyauddin, Jamî‘ al-Ushûl…, hlm. 264.

201 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah b . Syaik h Fudh ail ibn Iyadh berk ata:

Celaka kamu! Saat ini bukan saatnya berbicara, melainkan saat ini adalah saatnya menangis, ber-depe-depe (menunduk, mencari ketenangan dan berdoa seperti doanya orang yang teng- gelam (dalam air).100 c. Syaik h Ish aq at-Tujibi berk ata:

Para sahabat Nabi Saw setelah mereka wafat, mereka tiada menyebut (mengingat) melainkan mereka ber-khusyu’, berkerut (gemetar) kulitnya dan menangis. Begitu juga sebagian besar tabi’in.101

Pada dasarnya, tangis m erupak an fenom ena psik ologis, baik k etik a m asa bayi, m asa k anak -k anak , m asa rem aja, m asa dew asa, k etik a m enjadi orang tua, atau bah k an k etik a sudah berusia tua, seseorang dapat m enangis. Motifasi (dorongan) m enangis itu dapat terjadi k arena beberapa sebab. Tangisnya bayi m erupak an bah asa untuk m em beritah uk an k eadaan dirinya dan apa yang dibutuh k an: lapar, h aus, badan terasa k otor, terk ena pipis, atau k arena badan tidak enak (sak it). D alam salah satu h adits, R asulullah m enyatak an bah w a tangis bayi sam pai um ur em pat tah un m erupak an istigh far (perm oh onan am punan) atas dosa k edua orang tuanya.

100 Al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûm ad-Dîn, Juz III, hlm. 183. 101 Abu al-Fadhl Ayyadh al-Yahshubi, Asy-Syifâ’, (Beirut-Libanon: Dar al-Fikr, 1988 M./1409 H.), hlm. 20.

202 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

O rang yang susah k arena m engalam i m usibah atau penderitaan yang berat, atau k arena sak it, k em atian sanak fam ili, k eh ilangan k ek asih , k eh ilangan h arta benda dan sebagainya juga dapat m enangis. Begitu juga orang yang terlalu senang dan gem bira, ia dapat m e- nangis. Terlalu tak ut juga dapat m enangis. D engan dem ik ian, m e- nangis dapat terjadi dalam situasi dan k ondisi yang berm acam -m acam , selam a pik iran m asih norm al. D enga dem ik ian jelaslah bah w a dorongan m enangis datang dari dalam diri orang yang m enangis k arena adanya sentuh an jiw a atau ransangan batin. Tangis tidak dapat dipak sak an dari luar tanpa ada- nya sesuatu yang m enyentuh k e dalam jiw a. Begitu juga k ita tidak dapat m em ak sa orang yang sedang m enangis untuk berh enti begitu saja. Bagaim anapun usah a k ita, dengan k ek erasan sek alipun, k ita tidak dapat m enah an orang agar tidak m enangis atau supaya berh enti m e- nangis. Tangis itu ak an berh enti dengan sendirinya jik a telah datang “sesuatu” yang m erangsang jiw anya, yang m eredak an k egoncangan batinnya. Usah a m enah an tangis dari luar diri h anya sek adar m em - bantu proses datangnya “sesuatu” yang m enenteram k an jiw a. D alam m ujah ad ah W ah idiyah sering dijum pai pengalam an orang m enangis. Banyak di antara para jam aah yang tidak dapat m e- nguasai diri dari k eadaan m enangis, tidak m am pu m engendalik an tangis sam pai terdengar suara jeritan yang k eras. Ak an tetapi h arus dik etah ui bah w a tangis yang terjadi dalam m ujah ad ah W ah idiyah adalah tangis yang berorientasi (berh ubungan atau berk aitan) dengan Allah dan rasul-Nya. Tangis dalam W ah idiyah tidak m enangisi soal h arta atau apa saja yang bersifat k ebendaan (m ateriil). Motivasi tangis tersebut, antara lain, disebabk an oleh tiga h al: pertam a, tangis k arena adanya sentuh an jiw a yang h alus seh ingga m erasa penuh berlum uran dosa, sering berbuat k ezalim an, atau k arena m erasa sering m erugik an orang lain dan m asyarak at. Kedua, tangis k arena m erasa berdosa: ber- dosa k epada Allah , k epada R asulullah , terh adap orang tua, anak dan k eluarga, terh adap guru, dan terh adap perjuangan k esadaran ak an seruan Fa firrû ila Allâh w a Rasûlih . Selain itu juga bisa disebabk an

203 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah k arena sentuh an batin berupa syauq (rindu) dan m ah ab b ah (cinta) yang m endalam k epada Allah dan R asulullah . Ketiga, tangis k arena k agum m elih at keagungan Allah , sifat jam al (k eindah an) dan k am al (k esem purnaan) Allah , dan m ungk in juga k arena h atinya tersentuh m elih at k asih sayang dan jasa serta pengorbanan R asulullah k epada um atnya. Tangis yang ada h ubungannya dengan Allah adalah tangis yang banyak dilak uk an oleh para nabi, m ulai Nabi Adam h ingga Nabi Muh am m ad Saw. Nabi Adam setelah dik eluark an dari surga, terus m enangis m eratapi dosanya k epada Allah , m enangis k arena ingin bertobat untuk m em oh on am punan k epada Allah .

J. D ana Box dan Z ak at dalam W ah idiyah 1. Konsep Utam a D ana Box dan Z ak at D ana b ox m erupak an “pak et tarb iyah ” langsung dari m uallif Shalaw at W ah idiyah (KH . Abdoel Madjid Ma’roef) agar dilak sanak an oleh setiap pengam al W ah idiyah secara rutin setiap h ari m enurut k em am puan, k esadaran, dan k eik h lasan m asing-m asing. W ah idiyah m em berik an bim bingan prak tis k epada um at dalam penerapan ajaran Islam , zh âh iran w a b âthinan, syar’an w a h aqîqatan. Bim bingan prk atis yang diajark an W ah idiyah m eliputi bidang im an, k h ususnya soal tauh id, soal k esadaran k epada Allah dan rasul-Nya, serta bidang Islam dan ih san dalam segala bentuk h ubungan m anusia, baik dalam h ubungannya dengan Allah dan rasul-Nya m aupun yang berh ubungan dengan sesam a m anusia, bah k an dengan sesam a m ak h luk Allah . Beram al dengan h arta dalam bentuk sh adaqah /infak /am al jariyah adalah am al sh aleh yang dianjurk an dalam Islam . Bah k an berzak at diw ajibk an dan m enjadi ruk un Islam k etiga yang h arus dilak sanak an oleh setiap m uslim yang berk em am puan. Tindak an tersebut dim ak - sudk an untuk m em enuh i firm an Allah : “Berangk atlah (berjuanglah ) sek alipun dalam k eadaan terasa ringan atau terasa berat, dan ber-

204 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural jih adlah dengan h arta dan tenagam u di jalan Allah . Yang dem ik ian itu adalah lebih baik bagim u jik a k am u m engetah ui.” Begitu pula perintah dan anjuran sh ad aqah /infak /am al jariyah yang disebutkan dalam h adits-h adits Nabi Muh am m ad Saw. Yang dim ak sud berjih ad dengan h arta dalam ayat tersebut ada- lah berinfak di jalan Allah yang dapat dilak sanak an dalam bentuk zak at, sh adaqah , w ak af, dan jariah . O leh k arena itu, m uallif Sh alaw at W ah idiyah m em beri bim bingan k epada para pengam al W ah idiyah dengan cara-cara yang prak tis, m udah , ringan, tertib, terarah , efek tif, dan efisien dalam m elak sanak an perintah Allah , yaitu dengan m eng- gunak an sistem d ana b ox. D ik atak an prak tis k arena bim bingannya tidak h anya bersifat teoretis-ilmiah , tetapi juga dibim bing sam pai tingk at prak tik pelak - sanaannya. D ik atak an m udah k arena dapat dilak uk an oleh sem ua pengam al W ah idiyah : tua-m uda, lak i-lak i-perem puan, baik dari k alangan berada m aupun dari k alangan yang tidak atau k urang m am pu. D ik atak an ringan k arena tidak ada pengaruh -pengaruh yang bersifat pak saan, baik pengaruh lah ir m aupun pengaruh yang bersifat psik ologis. Ia bersifat suk a rela m enurut k adar k em am puan dan k eik h lasan m asing-m asing. D ik atak an tertib k arena dilak uk an setiap h ari oleh m asing-m asing pengam al W ah idiyah di rum ah nya sendiri- sendiri tanpa m engganggu pek erjaan (k ebutuh an) rum ah tangga. D i sam ping itu juga terk oordinir dari tingk at PSW D esa sam pai dengan D PP PSW. D ana b ox juga dik atak an terarah k arena dalam m engisi d ana b ox tersebut h arus sungguh -sungguh diarah k an sem ata-m ata h anya m engh arap k eridh aan Allah ; dalam istilah di W ah idiyah h arus dijiwai oleh lillâh -b illâh , lirrasûl-birrasûl, lilgh auts-bilgh auts! Selain itu, dana b ox diarah k an untuk m enunjang perjuangan di jalan Allah , yaitu perjuangan k esadaran fa firrû ila Allâh w a rasûlih , suatu perjuangan untuk m em bebask an um at m anusia dari belenggu k em usyrik an yang m enyesatkan, m em bebask an m anusia dari cengk eram an h aw a nafsu yang m enyeret k epada k eh ancuran dan k ebinasaan di dunia dan di

205 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah ak h irat. D ik atak an efek tif k arena d ana b ox tepat pada sasaran yang d ituju d an jelas arah penggunaannya, yak ni untuk perjuangan W ah idiyah . Sedangk an dik atak an efisien k arena dengan biaya dan tenaga yang tersedia dan ringan ak an m em eroleh h asil yang m elim - pah , terutam a di sisi Allah dan rasul-Nya. Adapun m unculnya dana b ox didasark an pada firm an Allah dan juga h adits R asulullah yang m enganjurk an k epada sem ua orang untuk berinfak dan bersadaq ah ; adanya h ik m ah yang ak an diperoleh bagi m erek a yang m au berinfak dan bersadaqah , serta adanya ancam an bagi m erek a yang tidak m au m enafk ah k an h artanya. D i antara firm an Allah yang m enjadi dasar adanya d ana b ox adalah : “Berangk atlah (berjuang) sek alipun dalam k eadaan terasa ringan atau terasa berat, dan berjih adlah dengan h arta dan tenagam u di jalan Allah . Yang dem ik ian itu adalah lebih baik bagim u jik a k am u m engetah ui” (Q S. At-Taubah [9 ]: 41);” dan “H ai orang-orang yang berim an, derm ak anlah sebagian dari rizk i yang Kam i berik an k e- padam u sebelum datangnya suatu h ari yang tiada lagi jual beli, tiada lagi persah abatan dan pertolongan” (Q S. Al-Baq arah [2]: 254). Setiap h ari, bah k an setiap saat, k ita selalu m enerim a pem berian (rizk i) dari Allah . D engan ayat tersebut, dapat dipah am i bah w a k ita setiap h ari h arus m enderm ak an sebagian dari rizk i yang k ita terim a. D alam h al ini, sistem d ana b ox m erupak an cara yang lebih ringan dan m udah untuk digunak an. Selain ayat Al-Q ur’an, k onsep d ana b ox juga didasark an pada h adits nabi: “D ari Sayyidina H asan, R asulullah bersabda: “Bentengi- lah h artam u dengan berzak at, obatilah orang-orang yang sak it dengan bersedek ah , dan h adapilah gejolak balak dengan berdoa dan m erasa rendah (h ina) di h adapan Allah ” (H .R. Abu D aud). H adits nabi yang lain yang juga m enganjurk an agar um at Islam banyak bersh adak ah dan berinfak adalah : “Tak utlah (h indarilah ) api nerak a, sek alipun h anya dengan sedek ah separo biji k urm a. Barang siapa tidak m em ilik inya m ak a dengan ucapan yang bagus (H .R. Ah m ad).

206 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

Selain ayat Al-Q ur’an dan juga h adits nabi, k ita juga m enjum pai anjuran berinfak dan bersadaq ah dari para sah abat. Sayyidina Ali, m isalnya, pernah berk ata: “Pada zam an ak h ir agam a tidak bisa berdiri tegak k ecuali dengan h arta.” H al ini m engandung arti bah w a di ak h ir zam an seperti saat ini setiap orang h arus m em iliki h arta (uang/m ateri) agar dapat m enegak - k an agam anya. Perjuangan W ah idiyah m em punyai m isi m enegak k an k em urnian ajaran Islam pada ak h ir zam an, baik di bidang syari’at m aupun bidang h aqiqat, yang secara otom atis m em butuh k an ber- bagai m acam penunjang dem i k elancaran perjuangan tersebut. Sem ua itu m enjadi tanggung jaw ab bersam a bagi seluruh pengam alnya. Lantas m engapa d ana b ox h arus dilak uk an secara rutin. H al tersebut didasark an pada ayat Al-Q ur’an dan juga h adits nabi. Ada- pun ayat Al-Q ur’an yang dim ak sud adalah : “Merek a yang m enderm a- k an h artanya setiap m alam dan h ari dengan sam ar atau terang- terangan m ak a baginyalah pah ala di sisi Tuh an m erek a dan m erek a tidak ak an m engalam i k ek h aw atiran dan k esusah an” (Q S. Al-Baq arah [2]: 274). Sedangk an h adits nabi yang dim ak sud adalah : “Am al per- buatan yang paling d isuk ai oleh R asulullah ad alah yang rutin (k ontinu) m esk ipun sedik it” (H .R . At-Turm udzi). Juga h adits nabi: “Segera bersedek ah lah setiap pagi k arena sesungguh nya balak itu tidak ak an m elangk ah i sedek ah ” (H .R . Baih aq i). H adits R asulullah yang lain m enyatak an: Setiap pagi ada dua m alaik at yang m endoak an h am ba-h am ba Allah ; salah satunya berdoa: “Ya Allah orang yang berinfak pada h ari ini berilah ganti”, dan satunya lagi berdoa: “Ya Allah orang yang tidak m au berinfak pada h ari ini berilah k erusak an” (H .R. Buk h ari dan Muslim ). Selain adanya perintah dan juga anjuran dari Allah dan rasul- Nya untuk berinfak dan bersh adaq ah , k onsep d ana b ox juga didasar- k an pada adanya jam inan terh adap orang yang m au berinfak dan bersh adaq ah . Allah telah m enjanjik an anugerah yang tiada banding- annya terh adap orang yang m au m engeluark an sebagian h artanya untuk berinfak dan besh adaq ah , di antaranya: “Perum pam aan (infak

207 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah yang dik eluark an) oleh orang-orang yang m enginfak k an h artanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang m enum buh - k an tujuh butir, pada tiap-tiap butirnya ada seratus biji. D an Allah m elipat gandak an (pah ala) bagi siapa yang D ia k eh endak i. D an Allah M ah a Luas (k arunia-Nya) lagi M ah a M engetah ui.” D i dalam h adits nabi juga ada jam inan bagi orang yang m au m enafk ah k an h artanya, di antaranya: “Barang siapa berinfak di jalan Allah m ak a baginya ditulisk an (pah ala) tujuh ratus k ali lipat (H .R . Ah m ad, at-Tirm idzi, dan an-Nasai). D i sisi lain ada ancam an bagi orang yang tidak m au m enafk ah - k an h artanya. D alam h al ini Allah berfirm an: “D an orang-orang yang m enyim pan em as dan perak (h arta k ek ayaan) dan tidak m enafkah - k annya di jalan Allah m ak a beritah uk anlah k epada m erek a (bah w a m erek a ak an m engalam i) sik saan yang pedih ” (Q S. at-Taubah [9 ]: 34); “Pada h ari dipanask an em as dan perak itu dalam nerak a jah an- nam , lalu dibak ar dengannya dah i, lam bung, dan pinggang m erak a (sam bil dik atak an) k epada m erek a: “Inilah h arta bendam u yang k am u sim pan untuk dirim u sendiri oleh sebab itu rasak anlah sek arang (ak i- bat dari) apa yang k am u sim pan itu” (Q S. at-Taubah [9 ]: 35). Sem entara itu, R asulullah juga m engecam orang yang tidak m au berinfak . D alam sebuah h adits dinyatak an: “Tiada orang yang m em punyai h arta yang tidak dizak ati k ecuali dia ak an dibak ar di atas h artanya itu di dalam nerak a jah anam . H artanya itu ak an di- jadik an sem acam setrik a untuk m enyetrik a k edua lam bung dan k e- ningnya sam pai Allah m engh ak im i di antara h am ba-h am ba-Nya di suatu h ari yang uk uran (h ari dunia) sam a dengan lim a puluh ribu tah un (per h arinya). Kem udian setelah itu baru dik etah ui dia k e surga atauk ah k e nerak a” (H .R . Im am Muslim ). D i tem pat lain, R asulullah juga m enyatak an: “O rang yang derm aw an itu dek at k epada Allah , dek at k epada m anusia (disenangi m asyarak at), dek at dari surga dan jauh dari nerak a. Sedangk an orang yang bak h il (pelit) ak an jauh dari Allah , jauh dari m anusia (tidak disenangi m asyarak at), jauh dari surga dan dek at dengan nerak a.

208 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

O rang bodoh nam un derm aw an lebih dicintai oleh Allah daripada ah li ibadah tetapi bak h il.” D engan m em erh atik an ayat Al-Q ur’an dan h adits di atas, dapat dipah am i betapa besar k ecam an dan ancam an Allah terh adap orang yang enggan m engeluark an zak at dari h artanya dan enggan berinfak atau bersh adaq ah di jalan Allah . Merek a dianggap belum sem purna pengabdiaannya. M erek a ak an m engalam i sik sa yang pedih dan h arta yang m erek a sim pan (tim bun) ak an m enyik sanya. Sem ak in banyak h arta yang disim pan m ak a sem ak in banyak pula sik saannya dan sem ak in pedih pula azab yang m enim panya. Bah k an yang lebih parah lagi adalah m erek a dicap sebagai orang yang bak h il seh ingga m enjadi jauh dari Allah , jauh dari m anusia (tidak disenangi m asyarak at), jauh dari surga, dan dek at k e nerak a. Singk atnya, orang yang enggan ber- sh adaq ah /berinfak ak an dim asuk k an k e dalam nerak a seperti sabda nabi: “O rang yang pelit tidak bisa m asuk surga sek alipun dia ah li bertapa.” Sebalik nya, orang yang gem ar bersh aqah ak an m endapat jam in- an anugerah atau k enik m atan yang sangat besar dari Allah , k enik m at- an yang tidak dapat dinilai h arganya, tidak dapat dih itung, tidak dapat dibandingk an dengan seluruh dunia dan sem ua isinya. O leh k arena itulah , m uallif Shalaw atWah idiyah (KH . Ma’roef) selalu m enganjur- k an k epada seluruh pengam al Shalaw at W ah idiyah untuk ik ut ber- juang dengan h arta dan tenaganya, baik lah ir m aupun batin. D i antara sh adaq ah atau infak yang sangat m udah untuk dilak uk an adalah dengan m elalui dana box secara rutin setiap h ari, sesuai dengan k em am puan dan k esadaran setiap orang.

2. H ik m ah /Manfaat D ana Box Konsep d ana b ox yang ada dalam W ah idiyah m em ilik i banyak m anfaat, di antaranya: a. Secara rutin m enderm ak an dan m engik utsertak an sebagian rizk i yang diterim a dari Allah untuk perjuangan W ah idiyah dan m e- realisasik an rasa syuk ur k epada Allah dan rasul-Nya atas k arunia

209 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

yang telah diterim a berupa Sh alaw at W ah idiyah dan ajarannya. D engan dem ik ian, rizk i yang ditinggalkan ak an diberi tam bah an berk ah oleh Allah . b . D engan m engisi dana box setiap h ari secara tertib, penderm a m en- jadi terlatih m enabung dan sam a sek ali tidak ada rasa berat oleh k arena h anya sek adar uang lim a puluh atau seratus rupiah . D engan dem ik ian, k eik h lasan dalam berinfak bisa lebih terjam in. c. Bersh adaq ah sedik it setiap h ari dengan tertib lebih baik daripada sh adaq ah banyak nam un dilak uk an sebulan sek ali. Sh adaqah sedik it tetapi dengan ik h las itu lebih baik dan lebih berm anfaat daripada sh adaqah banyak nam un tidak atau k urang ik h las. d . D engan m engisi d ana b ox setiap h ari berarti setiap h ari ingat k epada perjuangan Fa firrû ila Allâh i w a rasûlih , dan juga setiap h ari m enerim a pancaran nad h rah k h usus dari m uallif Sh alaw at W ah idiyah , KH . Abdoel Madjid Ma’roef. Sedang ingat (perh ati- an) k epada perjuangan itu dapat m erangsang h ati untuk ingat k epada Allah dan rasul-Nya. Ingat k epada Allah dan rasul-Nya m erupak an zik ir, dan zik ir itu term asuk ibadah . D engan dem ik ian, sek urang-k urangnya, ada dua m acam pah ala yang diperoleh oleh pengisi d ana b ox setiap h ari: (1) pah ala infak dan (2) pah ala berzik ir k epada Allah . Mungk in juga h al itu term asuk orang berada dalam k ategori h adits nabi: “Ada orang bertanya k epada R asulullah : “Siapa orang yang paling baik ?” R asul m enjaw ab: “Sebaik -baik m anusia ialah seorang m uk m in yang berjuang di jalan Allah dengan tenaga dan h arta bendanya”(H R . Buk h ari dari Abu Sa’id al-Kh udzri). e. H asil d ana b ox digunak an untuk k eperluan perjuangan m em per- baik i m ental um at dan m asyarak at. D engan dem ik ian, m engisi d ana b ox, sek alipun h anya dengan lim a puluh atau seratus rupiah setiap h ari, berarti ik ut andil dalam berjuang di jalan Allah dan m ungk in ak an term asuk orang yang ak an dek at dengan Allah di ak h irat nanti, seperti disabdak an nabi: “Sungguh berbah agialah orang-orang yang berjuang m em perbaik i k eadaan di antara para

210 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

m anusia. Merek a itulah yang besok di h ari k iam at m enem pati tem pat yang dek at k epada Allah ”. f. Setiap h ari Allah m enugask an m alaik at untuk m encatat am al- am al kebaik an h am ba-Nya. Setelah selesai bertugas m alaik at ter- sebut k em bali m asuk k e Baitul Mak m ur dan tidak ak an k em bali selam a-lam anya. O leh k arena itu, barang siapa tidak bersh adaqah setiap h arinya m ak a dia tidak punya catatan am al k ebagusan h arian. Selain itu, setiap h ari m alaik at tersebut ak an m endoak an k epada orang yang bersh adaqah agar diberi ganti yang lebih baik dan m endoak an diberi k erusak an bagi yang tidak bersedek ah pada h ari itu. g. D ana b ox dapat diisi dengan selain uang, bah k an dapat berupa tiupan Fa firrû ila Allah ... atau yang lainnya. O leh k arena itu, jika terpak sa tidak ada uang untuk diisik an k e dalam nya, cuk uplah d ib acak an Bism illâh i ar-rah m âni ar-rah îmi, Yâ Sayyid î yâ Rasûlallâh” 3X dan Fa firrû ila Allâh 3X dengan disertai niat lillâh - b illâh , lirrasûl-b irrasûl, dan lilgh auts-b ilgh auts. h . D ana b ox jik a digunak an untuk m encetak Lem b aran Shalaw at W ah id iyah ; dengan ridh a Allah orang yang berderm a untuk itu ak an senantiasa diberi am punan oleh -Nya, selam a tulisan sh alaw at tersebut m asih ada. Terlebih lagi jik a sh alaw at itu diam alkan oleh orang lain, ia senantiasa m em eroleh k irim an rah m at dari Allah . Terk ait dengan h al ini, R asulullah bersabda: “Barang siapa yang m enulis sh alaw at untuk k u di dalam k itab m ak a para m alaik at tiada h enti-h entinya m em oh onk an am punan (m agh firah ) bagi orang itu selam a nam ak u m asih tertulis di dalam k itab tersebut”. i. Setiap h ari dapat m engirim doa (m elalui sum bangan yang di- berik an lew at dana box) k epada k eluarganya yang sudah m eninggal dunia. j. Sek alipun uang yang disum bangk an k e d ana b ox h anya sedik it, ia ak an berk ata: (a) ak u adalah uang k ecil yang k am u besark an; (b) ak u tersia-sia, nam un k am u agungk an di sisi Allah ; dan (c) dah ulu k am u m enjagak u, nam un sek arang ak u m enjagam u.

211 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah k . D ana b ox ak an m em pererat h ubungan antarpengam al Sh alaw at W ah idiyah atau antara pengam al dengan PSW -nya. Lantas bagaim ana pelak sanaan dana b ox? D i dalam ajaran W ah idiyah terdapat k etentuan dan juga tata cara atau petunjuk pelak - sanaan d ana b ox. Adapun k etentuan ber-d ana b ox adalah sebagai berik ut: a. D ana b ox dilak uk an oleh setiap pengam al, baik yang duduk di jajaran PSW di sem ua tingk atan m aupun yang tidak . O leh k arena d ana b ox m erupak an suatu pak et bim bingan dari m uallif m ak a diupayak an jangan sam pai ada pengam al Sh alaw at W ah idiyah yang tidak ber-d ana b ox. b . Pengisian d ana b ox h endak lah tidak dik aitkan dengan pem berian dana lainnya. Seorang pejuang W ah idiyah , m isalnya, oleh k arena dia sudah m enyum bang sejum lah uang untuk perjuangan W ah i- diyah lantas dia tidak m au m enyum bang lew at d ana b ox. H al seperti itu tidak lah dibenark an. c. Segenap personil PSW di sem ua tingk atan seh arusnya m enjadi sponsor (contoh ) bagi pengam al lainnya. d . M engingat begitu besar nilainya d ana b ox m ak a bagi siapa saja yang m enerim a tugas m engurusnya supaya benar-benar am anah (dapat dipercaya) dan bertanggung jaw ab di h adapan Allah dan rasul-Nya, serta gh auts h âdza az-zam ân, di dunia dan ak h irat. H endak lah dia tidak sek ali-k ali m enyalah gunak an dana box untuk sesuatu yang buk an tem pat penggunaannya, sek ecil apa pun. Sedangk an tata cara atau petunjuk pelak sanaan d ana box adalah sebagai berik ut: a. D i setiap rum ah pengam al supaya disediak an k otak d ana box satu buah atau beberapa k otak sejum lah pengam al di rum ah tersebut (m isalnya: bapak /ibu/anak -anak nya m em ilik i k otak sendiri- sendiri). Kotak d ana b ox boleh terbuat dari k ayu, atau k aleng bek as, atau bam bu yang dilobangi.

212 Wahidiyah dan Fenomena Tasawuf Kultural

Kotak d ana b ox diberi tanda d ana b ox dan diletak k an di tem pat yang m udah dijangk au dan juga m udah dilih at serta am an dari gangguan anak k ecil. b . Setiap pengam al di suatu rum ah (lak i-lak i, perem puan, rem aja, dan k anak -k anak ) dianjurk an m engisi d ana b ox setiap h ari m e- nurut k ondisi k em am puan dan situasi m asing-m asing (tidak m esti h arus sam a setiap h arinya); m isalnya: R p.100,- , R p.200,-, R p.500,-, R p.1.000,- atau lebih besar lagi. c. Selain berupa uang, d ana b ox dapat juga diisi dengan barang; m isalnya: sesendok beras, secangk ir gabah , sebutir k elapa, atau sebatang rok ok . Pada saat ak an disetork an, barang-barang tersebut dituk ar dengan uang senilai h arganya. d . Sebelum pengam al m em asuk k an dana k e dalam b ox, h endak lah lebih dah ulu ia m em baca: Bism illâh i ar-rah m âni ar-rah îmi (1 X) Yâ sayyid î yâ rasûlallâh (3 X) Fa firrû ila Allâh (3 X) Setelah itu, ruh bacaan tersebut ditiupk an pada uang atau barang yang ak an dim asuk k an k e dalam k otak d ana b ox dengan niat, m isalnya, k irim doa bagi k eluarganya yang sudah m eninggal dunia … (disebutkan nam anya). e. Jik a suatu h ari pengam al terlupa atau tidak sem pat m engisi d ana b ox, sebaik nya dia m enggantinya pada k esem patan h ari berik ut- nya. f. Besar-k ecilnya uang yang disum bangk an tidak ada batasan ter- tentu. Masing-m asing pengam al dapat m em buat uk uran sendiri sesuai dengan k em am puan sosial ek onom inya, yang sek iranya dapat dilak uk an secara rutin tanpa ada perasaan berat. D engan dem ik ian, bagi pengam al yang tergolong berada secara sosial dan ek onom i (berpengh asilan) banyak m ak a h endak lah tidak m enyam ak an dirinya dengan orang yang k urang m am pu (ber- pengh asilan k ecil/rendah ) di dalam m em berik an d ana b ox.

213 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah g. Aturan prosedur pem bagian dan adm inistrasi d ana b ox h arus m engik uti k etentuan yang berlak u dari D PP PSW.

214 4 PENGALAMAN KEBERAGAMAAN MASYARAKAT WAHIDIYAH

A. Pola H ubungan Muallif – Murid – Pengam al Shalaw at W ah idiyah

1. Pola H ubungan Muallif – Murid – Pengam al Wah idiyah m em punyai ciri k h as di dalam m elak uk an pem bim - bingan ruh ani. Ciri k h as yang m em bedak annya dari aliran tarek at (tasaw uf) lain terletak pada penggunaan pola h ubungan antara m ursyid dan m urid . M ursyid adalah seorang pem angk u jabatan spiri- tual dalam tarek at yang berw enang m em berik an petunjuk jalan bagi perjalanan (sulûk ) ruh aniah sang m urid. Sedangk an m urid adalah orang yang m elak uk an perjalanan ruh ani dalam bim bingan atau petunjuk sang m ursyid. Secara organisasi, jabatan m ursyid dapat berganti dari seorang m ursyid k e m ursyid yang lain. Pergantian ini dilak uk an apabila terjadi h al-h al yang m enyebabk an k em estian per- gantian, seperti m eninggal dunia atau sebab lainnya. Ak an tetapi, pola h ubungan bim bingan ruh aniah yang dem ik ian tidak berlak u dalam W ah idiyah . D alam W ah idiyah , h ubungan antara m ursyid dengan m urid atau antara m uallif dengan pengam al adalah seperti h ubungan antara guru dengan m urid sebagaim ana layak nya. Sem ua pengam al W ah idiyah , dari m ana pun dan dari golongan apa pun, sem uanya adalah m urid

215 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah m uallif Sh alaw at W ah idiyah , KH . Abdoel Madjid Ma’roef. Merek a yang ik ut ak tif dalam perjuangan W ah idiyah disebut oleh m uallif sebagai “orang yang ak an senantiasa bersam ak u sam pai h ari k iam at” (m an m a’âna ‘alaih â ilâ yaum al-qiyâm ah ’). Bah k an, sem ua pengam al W ah id iyah d iangk at sebagai w ak il m uallif. Ini m erupak an rasa tanggung jaw abnya dalam perjuangan Fa firrû ila Allâh i w a Rasûlih i Saw . (W asiat, 9 Mei 19 86). D alam ajaran W ah idiyah , ada syarat-syarat yang cuk up berat dan h arus dipenuh i oleh seorang m urid m aupun guru. Guru h ak ik i m em ilik i k ew ajiban m em bina m uridnya untuk bisa w ush ûl se- bagaim ana R asulullah m em bina Abu Bak ar ash -Sh iddiq . R asulullah pernah m enyatak an: “Sem ua yang dituangk an oleh Allah k e dalam dadak u, langsung ak u tuangk an k e dalam dada Abu Bak ar.”1 Muallif Sh alaw at W ah idiyah , K H . Abdoel M adjid M a’roef, m engajark an bah w a dalam organisasi W ah idiyah tidak ada istilah guru dan m urid. Ini secara etis dapat dipah am i, dan m enunjuk k an k etaw adh u’an m uallif untuk m em berik an pelajaran k epada para peng- am al agar senantiasa tadzallul (m erendah k an diri), dan buk an sebalik- nya. Guru yang k âm il-m uk am m il adalah guru yang m am pu m em - buk a h ati sang m urid dan m engantark annya w ush ûl (sadar) k epada Allah , w alaupun dari tem pat yang jauh . Para pengam al W ah idiyah m eyak ini bah w a m uallif Shalaw at W ah idiyah diberi h ak untuk m em - bangunk an m urid yang m asih tidur, m esk ipun si m urid berada di tem pat yang jauh dan belum pernah bertem u dengan pribadi m uallif secara lah iriah . D alam k eyak inan m erek a, m uallif juga diberi h ak untuk m enjebol anâniyah (egoism e/keak uan) sang m urid dari jarak jauh . Bah k an, m uallif juga telah m erom bak m ental m asyarak at yang syirik (m enyek utuk an Tuh an) m enjadi sadar b illâh , m asyarak at yang k ufur nik m at m enjadi m au m ensyuk uri nik m at yang diberik an oleh

1 Sayyid Ahmad bin Sayyid Zaini Dakhlan, Taqrîb al-Ushûl li Tashîl al-Ushûl fî Ma’rifah ar-Rabb wa ar-Rasûl, (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1349 H.).

216 Pengalaman Keberagamaan Masyarakat Wahidiyah

Allah . Selain itu, dia juga diberi h ak m engendalik an dan m engerem k erusak an m ental m asyarak at. Lebih dari itu, m uallif juga diberi h ak untuk m em perbaik i, m engangk at, dan m engarah k an k ondisi sosial ek onom i m asyarak at, terutam a di k alangan m asyarak at pengam al W ah idiyah yang m engalam i k esulitan h idup. M uallif Sh alaw at W ah id iyah pernah b erk ata: “Jangank an m enjadi guru, m enjadi m urid saja saya belum m em enuh i syarat.” Ini m em beri pelajaran bah w a betapa beratnya syarat-syarat m enjadi m urid yang benar, antara lain h arus pasrah secara total k epada guru- nya, seperti ungk apan: “Seorang m urid terh adap guru h arus seperti m ayit di baw ah k edua tangan orang yang m em andik annya.” Pengertian k etaatan seorang m urid dalam ungk apan di atas sangatlah luas, term asuk m enerim a dan m enjalank an apa saja yang telah diajark an dan digarisk an oleh sang guru. D alam W ah idiyah , pengam al diajark an untuk bersik ap sam’an w a thâ’atan (m endengar- k an dan m em atuh i) dan k onsek uen m enjalank an apa saja yang telah diajark an dan ditentuk an oleh m uallif, baik yang berupa sh alaw at d an ajaran W ah id iyah m aupun k elem bagaan Penyiar Sh alaw at W ah idiyah (PSW ) yang dibentuk sendiri oleh m uallif. Lem baga ini berfungsi m engatur k ebijak sanaan dan sek aligus m em im pin pelak - sanaan di bidang pengam alan, penyiaran, pem binaan, pendidik an, dan sarana lain yang dibutuh k an di dalam perjuangan W ah idiyah . Selanjutnya, di dalam W ah idiyah juga ditek ank an bah w a barang siapa yang m engubah , m enam bah , m engurangi, atau tidak m eng- indah k an k etentuan yang ada, terlebih lagi m enyim pang atau m eng- ingk arinya m ak a ia ak an dianggap terjerum us k e dalam sik ap sû‘ul- ad ab (perilak u buruk ) dan term asuk ’uqûq al-ustâdz (m endurh ak ai guru), sebagaim ana ajaran dari m asyâyik h ash -sh ûfiyah (para syaik h tasaw uf). Menurut para syaik h tasaw uf, m endurh ak ai guru dinilai sebagai dosa yang tidak terobati.2

2 Syaikh an-Naqsyabandi, Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ‘, (Surabaya–Indonesia: al- Haramain, t.t.), hlm. 155. Menurut Syaikh Abu Sahal ash-Shu’luki, seorang murid dilarang bertanya kepada gurunya jika hal itu dimaksudkan untuk menentang.

217 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Bersik ap h orm at terh adap guru w ush ûl h arus dilak uk an buk an h anya k etik a sang guru m asih h idup, tetapi juga setelah dia m e- ninggal. Sebab, bim bingan guru w ush ûl tidak h anya berlak u k etik a dia m asih h idup, tetapi juga setelah dia m eninggal dunia, k arena pada h ak ik atnya dia tetap h idup. O leh k arena itu, pengh orm atan terh adap guru w ush ûl juga h arus dilak uk an sepanjang m asa. H al ini dijelask an dalam Al-H ad îqah an-Nad iyyah :

Sudah dimaklumi (secara syar’i), sesungguhnya para wali Allah itu tetap hidup dalam alam kuburnya, dan sesungguhnya dia hanya pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Maka menghormatinya setelah wafat harus seperti menghormatinya ketika masih hidup, dan beradab kepadanya setelah wafat harus seperti beradab kepadanya ketika masih hidup dan pada waktu mati. Di antara wali Allah itu ada yang manfaatnya kepada murid- nya yang sungguh-sungguh setelah wafatnya lebih banyak dari- pada manfaat yang diberikannya ketika masih hidup.3

Dia mengatakan: “Barang siapa berkata kepada gurunya “mengapa”?, dia tidak akan bahagia (lulus). Lihat ibid. Masih terkait dengan masalah keharusan menghormati guru wushûl, di dalam kitab Jâmi’ al-Ushûl fî al-Auliyâ‘ dinyatakan: “Adapun mengenai hal yang menjaga penghormatan dan pemuliaan kepada guru serta menghindari penyimpangan kepada guru maka Allah—dalam kisah Nabi Musa dengan Nabi Khidir a.s.—berfirman: Hal attabi’uka (apakah aku boleh mengikuti Anda)?, kata Nabi Musa kepada Nabi Khadir ketika akan berguru. Itu berarti setengah dari menjaga syarat adab, yakni pertama-tama adalah meminta izin. Kemudian Nabi Khidir memberikan syarat agar Nabi Musa tidak menanyakan sesuatu yang dipandang kurang sesuai dengan pendapatnya sebelum diberi tahu, yaitu dalam kata-katanya: fa’in-ittaba’tanî fa lâ tas’alnî ‘an syai`in (jika ingin mengikuti dan berguru kepadaku, Anda jangan sekali-kali menanyakan kepadaku tentang sesuatu). Ketika Nabi Musa bersikap menyalahi satu-dua kali, Nabi Musa masih dimaafkan dan masih bisa terus mengikuti Nabi Khidir. Pada saat Nabi Musa berbuat kesalahan yang ketiga kalinya, dan tiga itu merupakan ukuran banyak dari yang terkecil maka Nabi Musa pun diberi sanksi tidak lagi boleh mengikuti Nabi Khidir: “Hâdzâ firâqu bainî wa bainaka” (inilah saatnya saya dan Anda putus hubungan). Lihat ibid. 3 Abd al-Ghani an-Nayilsi al-Hanafi, Al-Hadîqah an-Nadiyyah Syarh at-Tharîq al- Muhammadiyyah, juz I, (Istambul-Turki: Dar al-Khilafah, 1980), hlm. 242. Di dalam kitab al-Bahjah as-Saniyah, juga dinyatakan: “Dan apabila syaikh (guru) seseorang telah meninggal dunia dan dia tidak menemukan (guru) selain orang yang derajatnya di bawah syaikhnya, dengan terbukti dia belum mencukupi untuk membimbing perjalanan wushûl maka sayogianya janganlah berpindah dari syaikhnya (yang telah meninggal dunia itu) kepada orang yang baru ditemuinya.” Lihat Ibid.

218 Pengalaman Keberagamaan Masyarakat Wahidiyah

Selain h arus bersik ap h orm at k epada guru, seorang m urid juga h arus bisa m enjaga etik a di dalam berguru, term asuk bagaim ana jik a sang m urid ingin berpindah atau berganti guru w ush ûl. D alam k aitan ini, di dalam k itab al-Ib rîz dik isah k an:

Ada seorang murid yang sudah masuk dalam bimbingan seorang Syaikh Suhbah (guru wushûl), tetapi dia masih meman- dang bahwa di alam wujud (dunia) ini ada guru wushûl lagi yang lebih memenuhi syarat dan lebih sempurna daripada gurunya. Dan ia tetap menginginkan bimbingan darinya dalam i’tikadnya, kemudian kejadian ini diketahui oleh syaikhnya yang sudah wafat maka seketika itu pula putuslah hubungan tarbiyah (bimbingan) dari syaikh pertamanya, dan dia tidak bisa mengambil manfaat dari guru pertama maupun dari guru kedua.4

Selain h arus h orm at dan beretika terh adap guru, seorang m urid yang ingin berh asil di dalam w ush ûl k epada Allah juga h arus m e- m enuh i dan berpegang pada h al-h al yang bersifat prinsip. Sebab, m engabaik an h al-h al prinsip ak an m engak ibatkan gagalnya w ush ûl k epada Allah . D alam k itab Jâm i’ al-Ush ûl disebutkan: “Sesungguh nya m erek a terh alang dalam perjalanan w ush ûl k epada Allah disebabk an m eninggalkan h al-h al yang prinsip”.5 D alam W ah idiyah , yang term asuk h al-h al prinsip adalah tepat- nya h ubungan pengam al dengan m uallif, terutam a h ubungan batiniah dan m utab a’ah (m engik uti tuntunan dan bim bingannya). D engan dem ik ian, barang siapa di antara pengam al yang terganggu h ubung- annya dengan m uallif W ah idiyah m ak a tertutuplah jalan w ush ûl-nya k epada Allah dan rasul-Nya, tertutup pintu nazh rah (pancaran perh atian) dan tarb iyah (bim bingan), m esk ipun yang bersangk utan m asih m engam alkan Shalaw at W ah idiyah , m asih ber-m ujah adah , dan m asih ik ut berjuang secara lah iriah . Selain itu, h al lain yang juga term asuk prinsip adalah m em ilih guru yang tepat. Sebab, k esalah an di dalam m em ilih guru w ush ûl ak an berak ibat pada tidak sam painya

4 Abd al-‘Aziz ad-Dibaghi, Al-Ibrîz, (Al-Azhar: t.p. , t.t.), hlm. 237. 5 Syaikh an-Naqsyabandi, Jâmi’ al-Ushûl … hlm. 104.

219 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah w ush ûl k epada Allah . D alam k itab Jâm i’ al-Ush ûl, dik utip pendapat al-Q usyairi yang m engatak an:

Buruk sekali bagi seorang murid ber-intisab (berguru) kepada orang yang tidak membidangi tentang jalannya wushûl. Karena manusia itu ada yang ahli Al-Qur’an, ada yang ahli hadits, dan ada pula yang ahli ‘aqli (intelek). Sedangkan para pembimbing wushûl menguasai segala ilmu-ilmu tersebut. Dan sesuatu yang samar (gaib) bagi umumnya manusia, bagi para pembimbing wushûl tetap jelas. Dan pengetahuan yang dituju (digali) oleh umumnya manusia, para pembimbing wushûl sudah memeroleh- nya dari Allah sebab para pembimbing wushûl sudah sampai pada tujuan, sementara manusia lainnya masih mencari jalan.6 Sem entara itu, di dalam k itab Al-Bah jah as-Saniyah , Syaik h Abdul W ah ab asy-Sya’rani berk ata:

Siapa yang tekun melakukan amalanku dan mematuhi per- aturanku dengan menjaga diri, ber-zuhud, ber-wara’i, dan sedikit tama’ (dengan ikhlas), dialah anakku, sekalipun dia berada di negeri yang jauh. Sedangkan siapa yang tidak demikian (tidak melakukan amalanku dan tidak mematuhi peraturanku), mereka bukan anak-anakku, meskipun dia dari keturunanku sendiri.7

2. Kriteria Guru W ush ûl D engan m elih at betapa tinggi dan terh orm atnya posisi guru w ush ûl, lantas pertanyaan yang m uncul adalah : siapa yang bisa di- jadik an sebagai guru w ush ûl? Adak an ciri-ciri atau k riteria dari se- orang guru w ush ûl? Terk ait dengan h al ini, di dalam k itab Tanw îr al- Q ulûb dijelask an k riteria orang yang sah m enjadi syaik h (m ursyid / guru w ush ul). Secara um um , k riteria seorang guru w ush ul adalah : a. Telah m encapai tingk atan orang-orang yang sem purna (k âm il- m uk am m il),8 baik di bidang syari’at m aupun di bidang h ak ik at;

6 Ibid. 7 Abdul Wahab asy-Sya’rani, Bahjah as-Saniyyah, hlm. 43. 8 Di dalam kitab Uns at-Tauhid (hlm. 64) dinyatakan:” Guru kamil ialah guru yang mampu mempercepat proses wushûl kepada Allah Yang Maha Perkasa dengan melalui rahasia-rahasianya yang menemukan kamu sebagai ayah di bidang ke- rahasiaan dan sebagai ibu di bidang ruhani.

220 Pengalaman Keberagamaan Masyarakat Wahidiyah b . Perjalanan h idupnya berlandasan Al-Q ur’an dan sunnah nabi, serta m engik uti ulam a; c. Telah m em eroleh izin dari gurunya untuk m em bim bing dan m e- nunjuk k an jalan k epada Allah ; dan tidak dengan k ebodoh an dan dorongan k epentingan nafsu … orang yang m enyatak an dirinya sebagai guru w ush ûl padah al dia tidak m em bidanginya (buk an ah li pengantar w ush ûl) m ak a h al itu justru h anya ak an m enim bul- k an k erusak an dan ia berdosa sebagaim ana dosanya pem utus jalan k esadaran k epada Allah .9 Secara lebih detil, k riteria seorang guru w ush ûl, sebagaim ana disebutkan dalam k itab Tanw ir al-Q ulub , adalah : a. H arus ‘alim dalam h al-h al yang diperluk an m uridnya, baik di bidang syari’at m aupun h ak ik at; b . Mengetah ui tentang k esem purnaan h ati dan ad ab -ad ab -nya, tentang perusak (afat) jiw a dan penyak it-penyak itnya; c. Bersifat k asih sayang terh adap sesam a m uslim , dan terutam a k epada m uridnya; d . Selalu m enutupi aib (k ek urangan) yang ada pada diri m uridnya; e. Bersih dari k einginan untuk m em eroleh h arta dan h ak m iliki m urid- nya; f. Selalu m enjadi teladan bagi para m uridnya; g. Mem betasi pertem uan dengan m uridnya; h . Perk ataannya bersih dari dorongan h aw a nafsu, h um or, dan sesuatu yang tidak berguna, dan i. Mem beri k elonggaran k epada m uridnya dalam h ak dirinya se- h ingga d ia tidak m enuntut agar diangungk an d an d im uliak an serta tidak m enuntut m uridnya untuk m elak uk an sesuatu yang berada di luar k em am puannya. 10

9 Muhammad Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub fi Mu’amalat Alam al-Ghaib, hlm. 524. 10 Ibid., hlm. 525–527.

221 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Sem entara itu, d i d alam Jami’ al-Ush ul fi al-Auliya’, Syaik h D iayaudin an-Naqsabandi m enyebutkan k riteria seorang guru w ush ûl (m ursyid). Menurutnya, di antara k riteria seseorang yang bisa dijadi- k an guru w ush ûl adalah : a. M em ilik i rasa k esadaran (k epada Allah ) yang jelas; b . Mem ilik i ilmu pengetah uan agam a yang sah ih (berdasark an Al- Q ur’an dan h adits); c. Bercita-cita tinggi (‘ind allâh w a Rasûlih ); d . Berperangai dan berperilak u yang diridh ai oleh Allah , dan e. M em ilik i penglih atan batin yang tajam . D engan dem ik ian, orang-orang yang tidak m em ilik i sifat-siafat di atas, atau bah k an yang berlaw anan dengannya, ia tidak sah dijadi- k an sebagai guru w ush ûl, yak ni orang-orang yang di dalam dirinya terdapat sifat-sifat sebagai berik ut: a. Bodoh di bidang ilmu agam a (syari’ah dan aq idah ); b . Senang m enjatuh k an (m encem ark an) k eh orm atan sesam a m uslim ; c. Suk a m elak uk an h al-h al yang tidak berguna; d . Selalu m engik uti k eh endak nafsunya di segala bidang, dan e. Berperangai buruk .11 Jik a seorang m urid telah m enem uk an guru w ush ûl m ak a dia h arus m engh orm ati dan juga h arus m am pu m enjaga etik a (ad ab ) dalam berh ubungan dengan guru w ush ûl-nya. D alam k itab Tanw îr al-Q ulûb disebutkan ad ab (etik a) seorang m urid terh adap guru w ush ûl-nya, yak ni: 12 a. H arus m engh orm ati dan m em uliak an gurunya lah ir-batin, ber- k eyak inan bah w a tidak ak an berh asil apa yang m enjadi m ak sud- nya k ecuali atas bim bingan gurunya; dan apabila berpaling k epada guru lain m ak a terh alanglah h ubungan dengan guru yang pertam a dan tertutup pula pancaran bim bingannya;

11 Syaikh Diyauddin an-Naqsyabandi, Jâmi’ al-Ushûl… hlm. 76. 12 Muhammad Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub ..., hlm. 528.

222 Pengalaman Keberagamaan Masyarakat Wahidiyah b . H arus m enyerah , tunduk , dan rela pada k eh endak gurunya, dan berk h idm at dengan sepenuh h ati beserta h arta-benda dan jiw a- raganya; c. Sik apnya tidak bertentangan dengan apa yang diperbuat oleh gurunya, dan tidak m enegurnya dengan k ata-k ata “m engapa tuan guru m elak uk an ini?” k arena yang dem ik ian itu ak an m enye- babk an yang bersangk utan tidak ak an beruntung selam anya. Sebab, terk adang suatu h al yang dilak uk an oleh sang guru secara lah iriah tam pak tercela, nam un sebenarnya terpuji m enurut pandangan batin; d . Berk um pul dengan guru tiada tujuan apa-apa selain untuk ber- taqarrub (m endek atkan diri) k epada Allah ; e. H arus m eleburk an ik h tiar dirinya k e dalam ik h tiar guru dalam segala urusan, baik secara k eseluruh an m aupun sebagian, baik urusan ibadah m aupun k ebiasaan; f. Tidak m engorek si perilak u gurunya secara m utlak , dan selalu berprasangk a baik (h usnuzh ann) k epada gurunya dalam segala h al; g. H atinya selalu m erasa bersam a gurunya dan m enerim a bim - bingan darinya dalam segala urusan, baik saat bepergian m aupun di k ediam an, agar m em eroleh berk ah nya; h . Segera m elak sanak an perintah guru tanpa m enunda-nunda dengan istirah at dan berdiam sebelum selesainya suatu perintah ; i. M enjauh i segala sesuatu yang dibenci oleh gurunya; j. Tidak bergaul erat dengan orang yang tidak disenangi oleh guru- nya dan m encintai orang yang dicintai oleh gurunya; k . Tidak duduk di tem pat duduk yang dipersiapk an k h usus untuk gurunya atau yang biasa digunak an duduk gurunya; dan l. Tidak m enyam paik an k ata-k ata gurunya k epada orang lain k e- cuali seuk uran dengan k epah am an dan ak al pik iran m erek a. Seorang m urid, selain h arus beretik a secara baik terh adap guru w ush ûl-nya, ia juga h arus m em ilik i etik a (tata k ram a) terh adap diri-

223 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah nya sendiri. Adapun etik a seorang m urid terh adap dirinya sendiri adalah sebagai berik ut: a. M erasa selalu dipandang dan dilihat oleh Allah dan h atinya selalu ingat k epada Allah k apan pun dan di m ana pun, selalu lillâh - b illâh ; b . Menjauh i orang-orang yang berperilak u buruk (k ecuali untuk penyiaran dan pem binaan), dan m endek ati orang-orang yang baik ; c. Meninggalkan perilak u dan sifat gila dunia dem i k epentingan ak h irat; d . Selalu m engorek si diri dan berusah a m eningk atkan diri dalam pengam alan dan penerapan ajaran yang telah diterim a dari guru- nya; e. M engh ilangk an rasa gila k eduduk an dan pangk at; f. Selalu m erasa tak ut kepada Allah dan m engh arap am punan-Nya serta m erasa bah w a am al ibadah nya tiada artinya tanpa m em er- oleh k eutam aan-Nya; g. Bersik ap taw ad h u’ terh adap sem ua orang; h . Tidak m engutarak an rah asia-rah asia yang diterim anya dalam m im pi atau secara langsung k epada selain gurunya atau orang- orang yang m em bidanginya; i. Menentuk an w ak tu-w ak tu tertentu untuk ber-m ujâh adah dengan am alan yang telah ditentuk an oleh gurunya tanpa m enam bah dan m engurangi. D i dalam W ah idiyah , m isalnya, adalah m uja- h adah -m ujah adah yang telah dibak uk an m ulai m ujâh adah 40 h ari, yaum iyah sam pai dengan Mujah adah Kubra dengan cara-cara yang telah diajark an oleh m uallif-nya.13 Sebenarnya m asih banyak lagi k eterangan yang m enyebutkan etika (tata k ram a) seorang m urid terh adap dirinya sendiri, yang intinya adalah bah w a m urid h arus berusah a sek uat m ungk in untuk m elak - sanak an segala am al k ebaik an yang m endorong tercapainya k esadaran

13 Ibid., hlm. 531–534.

224 Pengalaman Keberagamaan Masyarakat Wahidiyah k epada Allah dan m enjauh i segala am al k em ungk aran yang m eng- h am bat jalan k esadaran k epada Allah , baik lah ir m aupun batin.

3. Berpindah Guru D alam k itab Jâm i’ al-Ush ûl, Syaik h Bah a’uddin an-Naqsyabandi m enyatak an:

“Bagi seorang guru yang mengetahui ada guru lain yang lebih mumpuni dari segi keilmuannya maka dia dengan mengajak mu- rid-muridnya harus menyadari tentang dirinya dan wajib ber- khidmat kepada guru yang lebih tinggi keilmuannya. Dengan cara demikian, dia dan murid-muridnya akan mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan. Jika tidak demikian, berarti dia bukanlah se- orang guru yang menyadari dan memerhatikan dirinya, dan juga bukan guru yang bercita-cita luhur, melainkan seorang guru yang rendah dan lemah cita-citanya. Bahkan, boleh dikatakan dia ter- masuk seorang guru yang gila pangkat dan kedudukan ...”14

Sem entara itu, dalam k itab Taqrîb al-Ush ûl, Sayyid Ah m ad juga m enjelask an bah w a bagi seorang yang sudah berk h idm at pada pem - besar w ali Allah yang k âm il, setelah ditinggal w afat, seyogianya dia tidak berguru lagi k epada seseorang yang derajatnya lebih rendah dari gurunya, k ecuali sudah ditem uk an guru yang lebih sem purna daripada gurunya (yang pertam a). D engan dem ik ian, jik a pengam al Sh alaw at W ah idiyah sudah bisa m enem uk an seorang guru yang bergelar k âm il m uk am m ail w a m uw âsh il w a al-m ujad d id yang pengetah uannya m elebih i m uallif Shalaw at W ah idiyah dalam sem ua h al m ak a dia h arus pindah (ber- guru) k epadanya. Ak an tetapi, h al ini buk anlah h al yang m udah k arena ak an sangat sulit untuk bisa m encari guru-m ursyid yang bisa m em berik an am alan (aw râd ) pengantar w ush ûl yang lebih m udah daripada am alan sh alaw at, terutam a Shalaw at W ah idiyah . Sudah atau ak an adak ah ajaran dalam Islam yang lebih tepat daripada ajaran lillâh–billâh, lirrasûl–birrasûl, dan lilgh auts-bilgh auts? Muallif Shalaw at

14 Syaikh an-Nasik Diyauddin an-Naqsyabandi, Jâmi’ al-Ushûl ... hlm. 112.

225 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

W ah idiyah pernah berk ata: “Kalau ada jalan w ush ûl k epada Allah dan rasul-Nya yang lebih cepat dari Sh alaw at W ah idiyah m ak a saya dan k eluarga saya beserta pengik ut saya ak an pindah k e situ.” Setelah m uallif Shalaw at W ah idiyah , KH . Abdoel Madjid Ma’roef, m e ninggal, tim b ul b e rb agai k e re sah an d i k alangan pe ngam al W ah idiyah . H al itu terk ait dengan posisi yang ditinggalkannya sebagai guru w ush ûl bagi jam aah W ah idiyah . D ari situ m uncul pertanyaan: “Siapa guru k âm il-m uk am m il yang h arus dipilih sebagai guru w ush ûl dalam W ah idiyah setelah m eninggalnya m uallif dan apa sebuatan yang tepat bagi guru w ush ûl pengganti tersebut?” Terk ait dengan per- tanyaan yang m enyangk ut sebutan yang tepat bagi guru w ush ûl penganti, di sini m uncul beberapa sebutan, di antaranya ada yang m enyebut “gh auts pengganti”, ada juga yang m em prom osik an istilah “gh auts penerus”, dan ada pula yang m enyebut “gh auts m ujad d id ”. H al ini m enunjuk k an bah w a k ecintaan dan k etaatan k epada m uallif W ah idiyah sudah m ulai luntur atau sudah m aro tingal dengan selain m uallif. Ini sungguh m em prih atink an. Meluasnya “d zauq k eliru” inilah yang m enjadi sum ber terjadinya k em elut di k alangan pengam al Sh alaw at W ah idiyah sepeninggal m uallif. Jauh -jauh h ari m uallif W ah idiyah sebenarnya telah m em berik an peringatan dalam berbagai k esem patan tentang tata cara m em ilih guru. D alam pengajian m inggu pagi, m isalnya, di Kedunglo (Ah ad legi, 17 Jum adil Ak h ir 139 7 H ./5 Juni 19 77 M.), yang dim uat dalam buk u Pengajian Al-H ik am , edisi 01, h alam an 67–68, terbitan tah un 1409 H ./19 89 M. D alam k esem patan itu, m uallif m enyatak an:

Seorang yang kâmil-mukammil dapat ditandai dalam lahiriah- nya, antara lain dalam bidang syari’at dia sempurna, konsekuen, tidak ada cacatnya. Hubungan dalam masyarakat, dia tidak menge- cewakan. Hubungan soal ibadah lahiriah juga tidak mengecewa- kan. Itu lahiriahnya. Di samping itu, batiniahnya senantiasa sadar kepada Allah SWT: sadar dan menyadarkan orang lain. Tapi sayang, batiniah tidak mudah kelihatan orang lain atau masya- rakat. Dus, yang bisa ditandai hanya soal lahiriahnya. Soal agamanya minim tidak mengecewakan.

226 Pengalaman Keberagamaan Masyarakat Wahidiyah

Lha, umpamanya sekarang ada seorang yang lahiriahnya sudah kelihatan mengecewakan, baik soal agamanya maupun dalam hubungannya di dalam masyarakat, maka itu tidak disebut kâmil-mukammil. Sebab, pada zaman akhir mungkin saja ada orang yang mungkin sama sekali PALSU, atau mungkin dianya belum mampu mengantarkan ke arah kesadaran kepada Allah SWT. Itu mungkin sekali. Oleh karena itu, harus berhati-hati memilih guru kâmil- mukammil. Dus, mungkin sekali ada orang yang sudah sadar kepada Allah SWT., memang sungguh min al-’ârifîn, tapi dia belum mampu mengantarkan orang lain sadar kepada Allah SWT. Dus, yang dapat dipakai pedoman soal lahiriahnya saja. Soal agamanya tidak mengecewakan. Adapun soal batiniah seseorang itu tidak mudah diketahui. Dan hubungannya dengan masyarakat juga tidak mengecewakan. Lha, kalau salah satu dari kedua hubungan itu mengecewakan, berarti belum memenuhi syarat- syarat guru yang kâmil-mukammil, HARUS DIHINDARI!”.

Para pengam al W ah idiyah berk eyak inan bah w a KH . Abdoel Madjid Ma’roef (m uallif Shalaw at W ah idiyah ) m em ilik i dan m e- m enuh i persyaratan sebagai guru w ush ûl k epada Allah dan rasul- Nya seperti yang telah disebutkan di atas. H al itu didasark an pada beberapa alasan: a. M uallif m em ilik i d zauq (k esadaran) k epada Allah yang tinggi dan bah k an dialah yang justru m em asyarak atkan k onsep b illâh (sadar k epada Allah ); b . Ilmu pengetah uan m uallif bagaik an sam udera yang tak berpantai. R edak si Sh alaw at W ah idiyah dan rangk um an ajaran W ah idiyah m erupak an sebagian buk ti dari betapa ‘allâm ah -nya dia; c. M uallif m em ilik i h im m ah ‘âliyyah (cita-cita yang tinggi). H al ini terbuk ti dengan adanya perjuangan Fafirrû ila Allâh , k em balinya um at m asyarak at k epada Allah Yang Mah atinggi, serta sasaran dan objek perjuangan W ah idiyah adalah jam i’ al-‘âlam în dan k âffah li an-nâs. Ini m erupak an buk ti nyata betapa m uallif m e- m ilik i k asih sayang yang tinggi terh adap um at dan m asyarak at; d . Perilak u dan ak h lak m uallif adalah Al-Q ur’an dan h adits. D ia berak h lak dengan ak h lak R asulullah (tak h alluq bi ak h lâq ar-rasul).

227 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

O leh k arena itu, h am pir tidak seorang pun yang pernah dik ecew a- k an oleh nya. Terh adap siapa pun, sek alipun orang yang k ontras terh adap W ah idiyah , dia tidak m em andangnya sebagai m usuh , tetapi sebagai “k aw an seperjuangan”. Menurut para pelak u sejarah , di dalam usah a m em bentuk Lem baga Kh idm ah Penyiar Sh alaw at W ah idiyah (PSW ), m uallif adalah “organisator yang ulung, adm inisrator yang rapi, teliti, dan cerm at, serta m anajer yang cak ap, adil, dan bijak sana”; e Bash irah (pandangan batiniah ) m uallif sangat tajam . H al ini dapat dibuk tik an dengan berbagai pengalam an yang dialam i oleh para Pengam al W ah idiyah . Singk atnya, m uallif Sh alaw at W ah idiyah adalah cerm in dari usw ah h asanah (teladan baik ) bagi m erek a yang m engingink an sadar k em bali k epada Allah dan R asulullah , k h ususnya bagi para pengam al Sh alaw at W ah idiyah . O leh k arena itu, m enurut tok oh -tok oh PSW, dipandang sangat tidak W ah idiyaw i jik a setelah m uallif m eninggal ada pengam al yang m em bingungk an diri, ber-m aro tingal dan beralih pandang k epada tok oh A atau B sebagai guru w ush ûl, lebih -lebih m em andangnya sebagai gh auts. Menurut m erek a, sik ap m oro tingal sebagian pengam al W ah idiyah dim oh onk an m aaf k epada m uallif W ah idiyah . Merek a berh arap, m udah -m udah an sik ap tersebut tidak berlarut-larut dan segera k em bali k e arah pandangan guru yang benar, yak ni m uallif Sh alaw at W ah idiyah , KH . Abdioel Madjid Ma’roef, seh ingga di ak h irat k elak tidak m enyesal atas peristiw a yang di- alam inya. Terk ait dengan h al tersebut, dalam k itab Al-Ib rîz disebutkan:

Ketika cinta seorang murid terhadap gurunya timbul dari nur keimanan (keyakinan atas kebesaran guru)-nya maka tarbiyah (pembimbingan) guru tetap mengalir kepadanya, baik ketika ber- temu maupun berpisah, bahkan meskipun gurunya sudah wafat beberapa ribu tahun. Dari sinilah para wali Allah di sepanjang masa selalu memeroleh bimbingan Nabi Saw., dididik dan di- tingkatkan olehnya karena cintanya kepada Rasulullah merupa- kan cinta yang bersih-murni, semata-mata timbul dari cahaya ke-

228 Pengalaman Keberagamaan Masyarakat Wahidiyah

imanannya. Jika cinta murid terhadap guru wushûl-nya itu timbul dari jiwanya sendiri, tidak dari nur keyakinannya, seperti cinta orang tua kepada anak atau cinta seorang suami kepada istri atau sebaliknya maka dia bisa mengambil manfaat dari gurunya hanya ketika dia bertemu. Dan jika berpisah dari gurunya, lebih-lebih setelah ditinggal wafat maka seketika itu pula terputuslah tarbiyah (pendidikan dan bimbingan) dari guru wushûl-nya kepadanya.15

4. Muttâba’ah atau Mengik ut Setelah k ita berbicara tentang guru (m ursyid ) yang boleh diik uti dalam upaya agar bisa w ush ûl k epada Allah m ak a pada bagian ini k ita ak an m engk aji tentang k eh arusan m engik uti Allah , rasul-Nya, dan juga orang-orang yang k em bali k epada Allah dengan k eim anan yang benar. Perintah untuk m engik uti Allah , rasul-Nya, dan juga orang-orang yang benar dalam k eim anannya banyak disebuatkan dalam Al-Q ur’an dan juga h adits nabi, di antaranya: “Katak anlah : “Jika k am u (benar-benar) m encintai Allah , ik utilah ak u, niscaya Allah m engasih i dan m engam puni dosa-dosam u. Allah Mah a Pengam pun lagi M ah a Penyayang” (Q S. Ali ‘Im rân [3]: 31). D alam ayat lain Allah berfirm an: “D an ik utilah jalan orang yang k em bali k epada- Ku” (Q S. Luq m ân [31]:15). Selain itu, Allah juga m enegask an: “Sesungguh nya orang-orang yang berim an m engik uti k ebenaran dari Tuh an m erek a”(Q S. Muh am m ad [47]: 3). D i bagian lain Allah juga berfirm an: “D an ik utilah dia (R asulullah ), niscaya k am u m endapat petunjuk ” (Q S. al-A’râf [7]: 158).16

15 Sayyid Ahmad bin al-Mubarak ad-Dibaghi, al-Ibrîz… hlm. 210.9 . 16 Selain ayat-ayat tersebut, keharusan untuk mengikuti Allah, rasul-Nya, dan juga orang-orang yang kembali kepadanya juga dinyatakan dalam ayat-ayat yang lain, misalnya firman Allah: “Barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka (QS. Thâhâ [20]:123.); “Dan bahwa (yang kami ajarkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah itu, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan- Nya (QS. al-An’âm [6]:153.);“Dan barang siapa menentang rasul sesudah jelas petunjuk baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin maka Kami biarkan dia berlarut-larut dalam kesesatan yang telah ia dikuasainya itu, dan akan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembal” (QS. an-Nisâ‘ [4]:115).

229 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Jik a k ita dih arusk an m engik uti Allah , rasul, dan juga orang- orang yang benar dalam k eim ananya, lantas apa h ak ik at dari m eng- ik uti (m utaba’ah ) itu? Terk ait dengan pertanyaan ini, tam pak nya k ita h arus m em erh atik an apa yang dinyatak an oleh Im am Asy-Syadzili, dia berk ata: “Ak u bertem u R asulullah Saw., k em udian ak u bertanya, “Ya R asulallah , apa h ak ik at m utâba’ah itu?” R asul m enjaw ab: “Melih at yang diik uti (m atbû’) k apan pun dan di m ana pun.”17 D alam k itab Tanw îr al-Q ulûb dijelask an bah w a tidak ak an bisa tercapai suatu derajat yang tinggi di sisi Allah k ecuali m engik uti R asulullah (ittib â’ ar-Rasûl). Mengik uti rasul itu sendiri ada dua m acam , yak ni: (1) M engik uti secara lah iriah , seperti m enjalank an sh alat, zak at, dan puasa dan k ew ajiban-k ew ajiban agam a lainnya serta m elak uk an sunnah -sunnah nya dan (2) m engik uti secara batiniah , yak ni m erasa berk um pul dengan rasul di m ana pun dan k apan saja.18 Ketik a k ita m elak sanak an sh alat, m em baca Al-Q ur’an, m em - baca dzik ir, atau k etaatan lainnya dan di situ k ita tidak m erasa ber- sam a/m elih at Allah atau R asulullah m ak a k etah uilah bah w a k ita sebenarnya telah terk ena penyak it batin berupa ‘ujub, riya’, tak ab b ur, sum’ah , atau penyak it batin lainnya. Ini sebagaim ana difirm ank an oleh Allah : “Ak u ak an m em alingk an orang-orang yang m enyom bong- k an diri di atas bum i tanpa alasan yang h aq dari ayat-ayat (petunjuk )- Ku” (Q S. al-A’râf [7]:146). Muttâba’ah yang tepat dapat m enjadi sebab si tâbi’ (pengik ut) m enjadi k elom pok atau bagian dari si m atbû’ (orang yang diik uti), m esk ipun dia belum pernah bertem u secara lah iriah , berjauh an tem patnya, atau sudah ditinggal w afat dalam jangk a w ak tu yang lam a. H al ini seperti dinyaak an Allah dalam firm an-Nya: “M ak a barang siapa m engik uti ak u (Muh am m ad), sesungguh nya dialah golongank u, dan barang siapa m endurh ak ai ak u m ak a sesungguh nya

17 Lihat Sayyid Ahmad, Taqrîb al-Ushûl ... hlm. 55; Sayyid Syaikh Yusuf an-Nabhani, Sa’âdah ad-Dâraini … hlm. 35 dan Kuliah Wahidiyah, hlm. 48. 18 Syaikh Muhammad Amin al-kurdi, Tanwîr al-Qulûb.

230 Pengalaman Keberagamaan Masyarakat Wahidiyah

Engk au Mah a Pengam pun lagi Mah a Penyayang” (Q S. Ibrâh îm [14]: 36). H al tersebut juga seperti pengak uan R asulullah terh adap Salman al-Farisi sebagai bagian dari k eluarganya, dengan sabdanya: “Salman adalah k eluarga k am i” (H R . Th abarani dan H ak im ). Sebalik nya, jika k ita tidak tepat dalam ber-m uttâba’ah m ak a h al itu ak an m enjadik an putusnya h ubungan batiniah antara yang diik uti (m atbû’) dengan orang yang m engik utinya (tâbi’), k endati di antara k eduanya secara lah iriah berdek atan (berk um pul), ada h ubungan nasab atau k eluarga. H al ini bisa disim ak dalam peristiwa yang terjadi pada Kan’an, putera Nabi Nuh yang tidak m au m engik uti ayah nya. Peristiw a tersebut direk am dalam Q S. H ûd [11] ayat 42–46, sebagai berik ut:

“Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nabi Nuh memanggil anaknya, sedangkan anaknya itu berada di tempat yang jauh terpencil: “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang kafir.” “Anaknya menjawab: “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menjaga aku dari air bah!” Nabi Nuh berkata: “Hari ini tidak ada yang bisa menyelamatkan diri dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Peyayang”. Dan gelombang menjadi peng- halang antara keduanya, maka jadilah anak itu termasuk orang- orang yang ditenggelamkan.” “Dan Nabi Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan se- sungguhnya janji Engkau itulah yang benar, dan Engkaulah seadil- adilnya Hakim.” Allah berfirman: “Wahai Nuh, sesungguhnya dia (Kan’an) bukan- lah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya perbuatannya (itu) tidak baik.”

Berdasark an beberapa referensi di atas tam pak nya k ita perlu introspek si diri: sudah k ah k ita m utâba’ah k epada R asulullah dan gh auts h âdza az-zam ân sebagai pendidik k ita? Jik a sudah , lantas per- tanyaannya: sudah tepatkah k ita di dalam ber-m utâba’ah , atauk ah justru m utâba’ah k ita m asih bercam pur dengan nafsu yang ter-

231 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah selubung? Kalau m utâba’ah yang k ita lak uk an sudah tepat m ak a k ita perlu bersyuk ur dan m enyadari bah w a sem ua itu sem ata-m ata k arena anugerah Allah , syafa’at R asulullah , dan nazh rah dari gh auts h âdza az-zam ân. Ak an tetapi, jik a k ita belum benar di dalam ber-m utaba’ah m ak a k ita h arus segera m em perbaik i diri, bertobat, dan k em bali k e jalan yang benar. H al ini dim ak sudk an agar k ita tidak term asuk orang-orang yang m erugi, sebagaim ana firm an Allah : “Katak anlah : “Apak ah perlu Kam i beritah uk an k epadam u tentang orang-orang yang sangat m erugi am al perbuatannya? Yaitu orang-orang yang tersesat am al perbuatannya dalam k eh idupan dunia ini, sedangk an m erek a m enyangk a bah w a m erek a berbuat k ebajik an.” (Q S. al-K ah fi [18]: 103–104).

B. Slogan dan Seruan dalam W ah idiyah 1. Slogan Fafirrû ila Allâh dan Seruan k e Em pat Penjuru D alam W ah idiyah ada tradisi m elak uk an seruan Fafirrû ila Allâh dengan berdiri m engh adap k e em pat penjuru. H al ini sebenarnya m engik uti apa yang pernah dilak uk an oleh Nabi Ibrah im , yak ni pada saat Ka’bah selesai dibangun. Pada saat itu, Nabi Ibrah im berdiri di atas gunung Abi Q ubais dengan m engh adap k e arah Utara, Selatan, Tim ur, dan Barat dan m enyeru k epada m anusia supaya m enjalank an ibadah h aji, seperti dinyatak an dalam firm an Allah : “D an berserulah k epada m anusia untuk m engerjak an h aji, niscaya m erek a ak an datang k epadam u dengan berjalan k ak i dan m engendarai unta k urus yang datang dari segenap penjuru yang jauh ” (Q S. al-H ajj [22]: 27). D alam Tafsir Jalalain dinyatak an bah w a tafsir terh adap ayat tersebut adalah : “Nabi Ibrah im m em anggil m anusia dari atas gunung Abi Qubais: “W ah ai m anusia, sesungguh nya Tuh anm u telah m em - bangun rum ah (Ka’bah ) dan telah m ew ajibk an h aji atasm u. Mak a penuh ilah panggilan Tuh anm u”. Kem udian Nabi Ibrah im m eng- h adap k e arah k anan, k iri, tim ur, dan barat.”19

19 Jalaluddin as-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli, Tafsîr Jalalaîn, juz 1, hlm. 276.

232 Pengalaman Keberagamaan Masyarakat Wahidiyah

2. Slogan Yâ Sayyidî Yâ Rasûl Allâh D alam k aitan ini, ada dua h al yang perlu dijelask an: (a) tradisi m em baca seruan Yâ sayyid î yâ rasûlallâh dan (b) h ukum m em baca seruan Yâ sayyid î yâ rasûlallâh . Untuk m asalah yang pertam a penulis pah am i dari realitas k eh idupan m asyarak at W ah idiyah . Sedangk an m asalah yang k edua penulis peroleh dari dok um en-dok um en pustak a W ah idiyah . a. Tradisi m em baca seruan Yâ sayyid î yâ rasûlallâh Slogan Yâ sayyid î yâ rasûlallâh begitu ak rab dalam k eh idupan m asyarak at W ah idiyah . Slogan ini sering m uncul secara reflek s dalam berbagai situasi dan k ondisi. D engan slogan tersebut, tam pak secara tegas bah w a para pengam al Shalaw at W ah idiyah begitu dek at jiw anya dengan R asulullah . R asa rindu k epada R asulullah yang diw ujudk an dengan ungk apan Ya sayyidi ya rasulallah selalu m engh iasi Mujah adah W ah idiyah dan bah k an juga dalam banyak k esem patan di luar m ujah adah . Para pengam al Sh alaw at W ah idiyah secara spontan m engung- k apk an slogan itu pada saat-saat rilek s, gem bira, syuk ur, tak jub, atau bah k an pada saat jengk el sek alipun. D ari tradisi para pengam al W ah idiyah tersebut, tam pak jelas betapa R asulullah sangat penting dan berarti bagi m erek a. M erek a sedem ik ian m enjunjung tinggi ter- h adap diri dan ek sistensi R asulullah sebagai utusan Allah , serta satu- satunya pem egang garansi syafa’at di h ari ak h irat, sek aligus tum puan k erinduan dan h arapan di dunia dan ak h irat. O leh k arena itu, secara psik ologis dapat dipah am i m engapa para pengam al Shalaw at W ah idiyah tam pak sem ak in cinta, sem ak in dek at, dan sem ak in tinggi k erinduannya k epada R asulullah , serta sem ak in ak rab dengan slogan Yâ sayyidî yâ rasûlallâh dalam k eh idupan m erek a. Sem ak in tingginya k ecintaan dan k erinduan para pengam al Sh alaw at W ah idiyah juga tam pak dalam rangk ain bait tasyaffu’ , yang sering m erek a ucapk an, yak ni ucapan W a laisa lî yâ sayyidî siw âka, fain tarudda k untu syak h sh an h âlik â (tiada bagik u selain engk au, duh ai pem im pin-

233 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah k u! Jik a engk au m enolak , niscaya ak u m enjadi orang yang binasa/ rugi). Ada dua h al penting yang perlu dipah am i dalam ungk apan ter- sebut. Pertam a, ungk apan itu terk ait dengan sapaan sanjungan pada baris pertam a dalam bait yang sam a, yak ni Yâ syafi’ al-k h alqi (W ah ai Pem beri syafa’at terh adap m ak h luk ). Andai sanjungan itu tidak m en- dah ului ungk apan w a laisa lî yâ sayyid î siw âk a, fain tarud d a k untu syak h sh an h âlik â, atau berada di luar bait m ak a sangat m ungk in terjadi pem ah am an bah w a ungk apan tersebut m em pertuh ank an R asulullah . Ak an tetapi, k enyataan dalam susunan bait paragrafnya tidak lah dem i- k ian. Ked ua, bobot ungk apan di atas m engingatkan k ita pada sebuah H adits Qudsi: “Jik a tidak k arena engk au (Muh am m ad), jik a tidak k arena engk au, sungguh Ak u tidak ak an m enciptak an cak raw ala).20 Menurut h em at penulis, h adits q udsi tersebut m erupak an pene- gasan Allah ak an pentingnya k eberadaan R asulullah sebagai cik al- bak al penciptaan sem ua m ak h luk di alam sem esta ini. D engan dem i- k ian, tek s h adits di atas juga bisa dibaca “Tidak Ak u ciptak an alam sem esta ini tanpa adanya engk au (Muh am m ad)”. Pada pem bacaan yang terak h ir inilah dapat dipah am i ungk apan W a laisa lî yâ sayyid î siw âk a, fa’in tarud d a k untu syak h sh an h âlik â yang m engisyaratkan m ak na betapa sentral peran Nabi Muh am m ad sebagai cik al-bak al penciptaan alam sem esta. Pendek k ata, dengan ungk apan tersebut, para pengam al W ah i- diyah m enegask an pernyataan “h idupk u tidak berarti apa-apa tanpa engk au, w ah ai pem im u.” b . H uk um m em baca seruan Yâ sayyidî yâ rasûlallâh Seruan Yâ sayyidî yâ rasûlallâh ini berasal dari rangk aian k alim at dalam Sh alaw at W ah idiyah yang penulis jelask an di depan.

20 Syaikh Diyauddin an-Naqsyabandi, Jâmi’ al-Ushûl …, hlm. 89.

234 Pengalaman Keberagamaan Masyarakat Wahidiyah

D alam pustak a W ah idiyah , seruan (nid â‘) k epada R asulullah dengan panggilan Yâ sayyidî yâ rasûlallâh tidak lah berarti m enyam ak an Allah dan R asulullah sebagaim ana k aum Nasrani m enjadik an nabi m erek a sebagai Tuh an selain Allah . Ak an tetapi, panggilan Yâ sayyid î yâ rasûlallâh adalah penyebutan taw assul k epada R asulullah , pe- nyandaran m ajâz dengan m engam bil pengertian usah a, perantara m endapatkan syafa’at, dan perantara m elak sanak an perintah Allah dan rasul-Nya sebagaim ana firm an Allah : “H ai orang-orang yang berim an, tak utlah k am u k epada Allah dan carilah w asilah (jalan) k epada-Nya” (Q S. al-M â’id ah [5]: 35). Ayat ini m engandung pengertian bah w a tidak ada w asîlah k epada Allah yang lebih dek at dan lebih agung daripada ber-w asîlah m elalui R asulullah Saw. D alam k aitan ini, R asulullah bersabda: “Bertaw asullah dengank u dan k e- luargak u (untuk m enuju) k epada Allah k arena sesungguh nya orang yang ber-w asilah itu tidak ak an ditolak ” (H .R . Ibn M ajah ). Ibn Abbas, salah seorang sah abat nabi, m em ak nai w asilah sebagai “sem ua perk ara yang m endek atkan diri k epada Allah , dan m enyebut nabi adalah term asuk ibadah .” Pernyataan Ibn Abbas ini sesuai dengan sabda nabi: “Mengingat ak u (m enyebut nam anya) adalah ibadah ” (H .R . Ibn M ajah ). D i dalam h adits yang lain dinyatak an: “Ingat k epada para nabi adalah bagian dari ibadah , ingat orang-orang yang saleh adalah pene- bus k ifarat (denda bagi pelanggaran h uk um ), ingat m ati adalah sedek ah , dan ingat k ubur ak an m endek atkan k am u sek alian k epada surga” (H .R . ad-D ailam i). Atas dasar ayat dan h adits di atas, m engucapk an Yâ sayyid î yâ rasûlallâh m erupak an bagian dari m engingat rasul dan juga seruan langsung k epada R asulullah untuk m em oh on syafa’atnya yang dijiw ai rasa ta’zh îm (m em uliak an), m ah abbah (cinta), dan iftiqh ar (cetusan rasa butuh ). D engan dem ik ian, m em anggil Yâ sayyid î yâ rasûlallâh k epada R asulullah m erupak an suatu bentuk pem uliaan k epada k ek asih Allah . O leh k arena itu, sudah sepantasnya bagi um at Islam untuk m em ang- gilnya dengan panggilan penuh pengh orm atan dan m em uliak an.

235 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Sebab, Allah sendiri juga m em uji R asulullah , seperti dalam firm an- Nya: “D an sesungguh nya engk au (Muh am m ad) benar-benar berbudi pek erti luh ur” (Q S. al-Q alam [68]: 4). Sebalik nya, Allah m elarang k ita m em anggil R asulullah dengan panggilan yang rem eh : “D an janganlah k alian m em anggil rasul sebagaim ana k alian m em anggil satu sam a lain di antara k alian” (Q S. an-Nûr [24]: 63). Terk ait dengan firm an Allah di atas, di dalam k itab Tafsîr ash - Shâw i dijelask an:

“Maksud panggilan kepada Rasulullah adalah janganlah me- manggil Rasulullah Saw. dengan mengatakan Yâ Muhammad, dan jangan pula dengan julukan (laqab)-nya, misalnya dengan me- ngatakan Yâ Abal-Qâsim, tapi memanggillah dan beraudiensilah dengan mengagungkan (ta’zhîm), memuliakan (takrîm), dan merfendahkan diri (tauqîr). Maka panggillah dengan Yâ Rasûlallâh, Yâ Nabiallâh, Yâ imâm al-mursalîn, Yâ rasûl rabb al-‘âlamîn, Yâ khâtim an-nabiyyîn, dan sebagainya (seperti yâ syâfi’ al-khalq, yâ rahmah li al-‘âlamîn, yâ khaira khalqillâh, yâ khaira wâlid, yâ khaira walad, yâ hâdi al-anâm, yâ nûr al-khalq, yâ habîballâh) ...”21

Selain itu, m enyebut atau m em anggil R asulullah dengan pang- gilan Yâ sayyid î yâ rasûlallâh adalah term asuk dzik ir k epada Allah , sebagaim ana h adits nabi: “Barang siapa yang berdzik ir k epadak u m ak a dia berdzik ir k epada Allah , barang siapa yang m encintaik u m ak a d ia m encintai Allah , d an orang yang m em baca sh alaw at k epadak u m ak a dia berdzik ir k epada Allah .”22 Syak ih Yusuf an-Nabh ani m enyatak an: “Siyâdah (m em baca Yâ Sayyid î) adalah ibadah k arena orang yang m em baca sh alaw at pasti berm ak sud, dengan sh alaw atnya, untuk ta’zh îm k epada R asulullah seh ingga m eninggalkan tasyîd (bacaan Yâ Sayyidî) pada saat itu tidak lah ada artinya k arena tasyid adalah inti pengagungan.”23

21 Ahmad Shawi al-Maliki, Hâsyiyah ash-Shâwi ‘alâ al-Jalâlain, juz III, (Beirut- Libanon: Dar al-Fikr, 1993), hlm. 124. 22 Sayyid Syaikh Yusuf an-Nabhani, Sa’âdah ad-Dârain …, hlm. 66. 23 Ibid., hlm. 66.

236 Pengalaman Keberagamaan Masyarakat Wahidiyah

D alam m asalah ini h arus diak ui, ada sek elom pok orang yang berpendapat bah w a pengagungan terh adap R asulullah dinilai sam a dengan pengagungan k aum Nasrani terh adap Nabi Isa, oleh k arena itu dih uk um i sebagai perbuatan syirik . Menurut k am i, pendapat seperti ini tidak lah tepat k arena pengagungan terh adap R asulullah disebabk an oleh m artabatnya yang paling tinggi dibanding dengan sem ua m ak h luk yang lain, b uk annya m e nse jajark an m artabat R asulullah dengan Allah . Sem entara pengagungan k aum Nasrani terh adap Isa Almasih itu tidak h anya sebatas pengagungan Nabi Isa sebagai utusan Allah , tetapi sam pai pada k epercayaan dan k eyak inan bah w a Isa Almasih adalah anak tuh an. Begitu juga k am i tidak sepak at dengan pendapat yang m enyata- k an bah w a antara m engagungk an dengan m enyem bah adalah sam a. Pendapat seperti ini jelas tidak dapat diterim a. Sebab, antara m eng- agungk an dan m enyem bah adalah dua h al yang jelas berbeda. Ada banyak buk ti yang m enunjuk k an h al tersebut. D alam Al-Qur’an, m isalnya, ada ayat yang m enginform asik an bah w a para m alaik at ber- sujud k epada Nabi Adam k arena diperintah oleh Allah . Pengh orm at- an seperti itu, bah k an sam pai bersujud k epada Nabi Adam , tidak lah dapat dianggap sebagai penyem bah an. Begitu juga R asulullah yang selalu m erendah k an bah unya bila bertem u sah abatnya tidak bisa di- m ak nai sebagai penyem bah an. D alam k eh idupan ini, prak tik para pejabat yang m em anggil atasannya dengan panggilan yang m ulia juga tidak dapat diartik an penyem bah an. Begitu juga dalam tradisi Jaw a di m ana anak -anak dalam setiap lebaran bersim puh pada orang tuanya tidak bisa disebut sebagai bentuk penyem bah an yang m em - bah ayak an im an. c. Tentang bacaan sayyidinâ Secara bah asa, term sayyid m engandung arti orang yang ter- tinggi (term ulia) daripada yang lain. Sebagaim ana orang yang ter- tinggi k eduduk annya di suatu desa dinam ak an sayyid al-qaryah dan orang yang tertinggi di suatu negara disebut sayyid al-b alad .

237 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

D alam sh alaw ât m a’tsûrah (sh alaw at yang redak sinya disusun oleh R asulullah ) m em ang tidak ada yang m enggunak an k ata sayyidinâ. Ak an tetapi, h al itu tidak boleh dim ak nai bah w a k ita juga tidak boleh m enggunak an k ata sayyid ina k etik a m em baca sh alaw at. Sebab, tidak adanya k ata sayyid ina dalam sh alaw at m a’tsurah lebih berm ak na atau m enunjuk k an k eluh uran budi Rasulullah yang tidak pernah m e- nonjolkan diri. D ia selalu bersik ap taw âdh u’ dan lem ah lem but k epada siapa pun, suatu sik ap yang seh arusnya diteladani oleh um atnya. D alam tradisi Sunni, k ata sayyidina sering dilafalkan k etika m em - baca sh alaw at atau k etik a m enyebut nam a Nabi Muh am m ad. Kata itu m erupak an tam bah an yang diberik an oleh para sah abat rasul, sebagai bentuk rasa ta‘zh îm (m engagungk an) dan m ah ab b ah (cinta) k epadanya. D alam pandangan k aum Sunni, sudah sew ajarnya um at R asulullah m enyebutnya dengan k ata sayyid ina, atau k ata lain yang sem ak na dengannya, seperti k ata k anjeng, gusti, bend ara, dan baginda. Sem ua itu dim ak sudk an untuk m engagungk an baginda nabi dan sebagai w ujud rasa m ah ab b ah terh adapnya. H al itu sam a sek ali tidak dim ak sudk an untuk m engubah status nabi sebagai utusan Allah . Pada suatu k esem patan R asulullah bersabda: “Ak u adalah sayyid bagi anak cucu Adam dan tidak m em banggak an diri … (H R . Im am Ah m ad, Tirm idzi, dan Ibn Majah , dari Abu Sa’id al-Kh udri). Allah m elarang k ita m em anggil Nabi Muh am m ad h anya dengan m enyebut Yâ Muh am m ad atau Yâ Ab al-Q âsim dan panggilan lain yang tidak m engandung nilai ta’zh îm: “Janganlah k am u jadik an pang- gilan rasul (Muh am m ad) di antara k am u seperti panggilan sebagian k am u k epada sebagian (yang lain) …” (Q S. an-Nûr [24]: 63). Ayat ini m enegask an bah w a k ita dilarang m em anggil Nabi Muh am m ad dengan panggilan yang tanpa disertai pengh orm atan sebab h al itu m erupak an perilak u yang buruk (sû’ul-ad ab ) terh adap R asulullah . Tradisi m em perbanyak seruan Yâ sayyid î yâ rasûlallâh di dalam W ah idiyah juga dim ak sudk an untuk m elak uk an pengh orm atan ter- h adap R asulullah dan sebagai salah satu w ujud rasa m ah ab b ah ter- h adapnya. H al tersebut sam a sek ali tidak dim ak sudk an untuk

238 Pengalaman Keberagamaan Masyarakat Wahidiyah m eninggalkan Allah atau m enom orduak an-Nya. Sebalik nya, nid a’ tersebut dim ak sudk an sek aligus untuk berdzik ir k epada Allah . Sebab, jik a diperh atik an dalam susunan k alim atnya, di dalam nya juga terdapat lafal “Allah ”. Selain itu, berdzik ir k epada R asulullah juga term asuk bagian dari berdzik ir k epada Allah , sebagaim ana sabda nabi: “Barang siapa yang berdzik ir k epadak u m ak a sesungguh nya dia ber- dzik ir k epada Allah , barang siapa m encintai ak u m ak a sesungguh - nya dia m encintai Allah , dan orang yang m em baca sh alaw at k epadak u term asuk berdzik ir k epada Allah .24 Lebih dari itu, berdzik ir k epada R asulullah juga m erupak an salah satu w ujud rasa m ah ab b ah (cinta) k epadanya. H al ini sebagaim ana sabda nabi: “Barang siapa m encintai sesuatu, niscaya dia banyak m e- nyebutnya” (H .R. D ailam i dari Aisyah ). Sem entara m ah ab bah k epada R asulullah m erupak an salah satu tali pengik at im an k epada Allah : “Ketah uilah , tidak lah berim an orang yang tidak m em punyai rasa cinta k epadanya.”25 d. Gh auts dan nazh rah D alam ajaran W ah idiyah , gh auts m em ilik i posisi yang strategis setelah R asulullah . Bah k an, gh auts diyak ini oleh para pengam al W ah idiyah sebagai pengem ban am anat langsung dari Allah dalam m em bim bing um at m anusia, sek aligus dalam m enyelam atkan m anu- sia dari segala problem dan k eburuk an dunia dem i tercapainya ridh a Allah di dunia dan ak h irat. Keyak inan itu buk an tanpa dasar yuridis m aupun spiritual. Sejum lah referensi naqliyah dari Al-Q ur’an dan h adits serta referensi dari k itab-k itab tasaw uf m endasari k eyak inan itu. D em ik ian juga h alnya tentang dasar spiritual yang digunak an. Singk atnya, k eyak inan tentang posisi dan peran gh auts dalam ajaran W ah idiyah buk an atas

24 Sayyid Syaikh Yusuf an-Nabhani, Sa’âdah al-Dârain …, hlm. 11. 25 Ibid., hlm. 512. Dalam sebuah hadits yang lain juga dinyatakan: “Tidaklah sempurna iman seorang di antara kalian sehingga aku lebih dicintai daripada dirinya sendiri, hartanya, dan manusia semuanya” (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi, dan Ibn Majah, dari Anas).

239 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah dasar taqlîdiyah (ik ut-ik utan), dok trin tanpa dasar, atau sek adar sim bol k etok oh an.26 Term gh auts27 m erupak an gelar yang dilek atkan pada diri tok oh tasaw uf. Ia adalah reform is yang diturunk an oleh Allah untuk m em - perbarui ajaran agam anya. D alam sejarah um at m anusia, gh auts (m ujad d id ) biasanya m uncul pada setiap seratus tah un. H al ini sesuai dengan sabda nabi: “Sesungguh nya Allah m engutus untuk um at ini pada setiap seratus tah un seorang yang m em perbarui agam anya.”28 D alam pustak a ajaran W ah idiyah , gelar-gelar sulthân al-auliyâ’ atau quthb al-aqthâb juga digunak an sebagai pendam ping gelar gh auts. Bah k an, k edua gelar itu digunak an untuk m enjelask an m ak na definitif d ari gh auts. D igunak annya k e d ua ge lar terseb ut d alam ajaran W ah idiyah didasark an atas pem ah am an bah w a dalam tasaw uf niscaya terk andung k onsep tarek at dan nilai-nilai filosofis. Secara etim ologis, gh auts berarti “pertolongan”, nam un m ak na tersebut k em udian bergeser m enjadi orang yang m em beri pertolong- an. Selain itu, term tersebut juga berm ak na “penuntun” atau “pem - bim bing”. D alam pustak a W ah idiyah , gh auts adalah penuntun um at m anu- sia k epada k ebaik an dan pem bim bing k epada k eselam atan dan k e- bah agiaan yang diridh ai oleh Allah dan rasul-Nya di dunia dan ak h irat. Gh auts adalah penuntun dan pendidik , k h ususnya dalam upaya m enuju w ush ûl (sadar, m a’rifat) k epada Allah dan rasul-Nya, serta penolong dari berbagai k esulitan dan problem -problem k eh idupan lainnya. Sem entara dalam tradisi sufi, yang dim ak sud gh auts adalah sulthân al-auliyâ` atau quthb al-aqthâb , yak ni pem im pin para w ali

26 Syaikh Ahmad Shawi, Hâsyiyah ash-Shâwi …, juz III, hlm. 41. 27 Selain ghauts, terdapat istilah lain yang semakna dengannya, yakni mujaddid, sulthân al-auliyâ‘, dan quthb al-Athâb. 28 Muhammad Muhiddin Abd al-Hamid, Sunan Abî Dâwud, Jld. IV, (Kairo: at- Tijariyyah al-Kubra, 1953), hlm. 109.

240 Pengalaman Keberagamaan Masyarakat Wahidiyah

Allah . D engan dem ik ian, m ak na gh auts h âdza az-zam ân adalah pem im pin para w ali Allah pada zam an sek arang. Sunnatullah yang berjalan tiap m asa m em ilih salah satu di antara h am ba-Nya untuk dijadik an sulthân al-auliyâ‘ pada zam an yang bersangk utan, atau yang disebut juga dengan gh auts zam ânih . Jika gh auts h adza az-zam ân ini m eninggal dunia m ak a dia ak an diganti. Begitu juga jik a penggantinya m eninggal m ak a dia ak an diganti lagi. H al tersebut ak an terus berlanjut h ingga h ari k iam at nanti. D alam k itab M asyâriq al-Anw âr dijelask an bah w a gh auts yang pertam a k ali ialah Sayyidina H asan bin ‘Ali (w . 50 H .). Sayyidina H asan k em udian digantik an oleh Sayyidina H usein bin Ali. Pada generasi berik utnya, di antara tok oh yang m asuk k ategori gh auts adalah Syaik h ‘Abd as-Salam bin Masyisy, Syaik h ‘Abd al-Q adir al-Jailani, Syaik h Abi al-H asan asy-Syadzili, dan Syaik h Bah auddin an- Naq syabandi. M erek a adalah gh auts zam ânih i atau sulthân al-auliyâ’ pada zam annya. Terk ait dengan h al ini, nabi pernah bersabda: “D i k alangan um atku senantiasa tidak sepi dari adanya thâ’ifah yang m em per- juangk an perk ara yang benar sam pai datangnya h ari k iam at” (H .R . al-H ak im ). K ata thâ’ifah tersebut di dalam k itab Ad -D a’w ah at- Tâm m ah d itafsirk an sebagai Rijâlallâh d an Ah lullâh , yak ni al- Aqthâb .29 D i dalam m enjalank an fungsinya sebagai gh auts zam ânih m erek a m em ilik i k ebijak an sendiri-sendiri, yang tentu saja berbeda antara satu tok oh dengan tok oh lainnya. Ada tok oh yang m em ang dih arus- k an untuk m em prok lam asik an diri sebagai gh auts zam ân, seperti Syaik h ‘Abd al-Q adir al-Jailani dan Syaik h Abi al-H asan asy-Sadzali. Ada juga tok oh yang h arus m erah asiak an k eduduk annya sebagai gh auts zam ân, seperti Syaik h Abd as-Salam bin M asyisy dan Im am Naw aw i al-Murajjih al-Falastin. Ak an tetapi ada juga tok oh yang diberi

29 Abdullah bin Alawi al-Haddad, Ad-Da’wah at-Tâmmah, (Surabaya: al-Hidayah, t.t.), hlm. 23–60.

241 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah k ew enangan untuk m erah asiak an atau sebaliknya, m em prok lam irk an diri sebagai gh auts zam ân. KH . Abdoel Madjid Ma’roef, m uallif Shalaw at W ah idiyah , tidak m em ilik i ciri-ciri lah iriah sebagai gh auts h âdza az-zam ân k arena k eadaan lah iriah nya biasa saja, sam a seperti h alnya m anusia pada um um nya. Ak an tetapi, para pengam al Shalaw at W ah idiyah m em iliki k eyak inan bah w a dia adalah gh auts h âdza az-zam ân k arena dia m em ilik i ciri-ciri batin yang m enunjuk k an h al itu, seperti yang di- sebutkan dalam k itab Jâm i’ al-Ush ûl fî al-Auliyâ‘ dan k itab Taqrîb al- Ush ûl, yak ni: a. H atinya senantiasa thaw âf (intensif berdzik ir) k epada Allah sepanjang m asa; dalam istilah W ah idiyah , senantiasa lillâh - b illâh ; b . M em punyai sirri (rah asia) yang dapat m enerobos k e seluruh alam , seperti m eratanya roh di dalam jasad atau seperti m e- rem besnya air di dalam poh on-poh on; c. Menanggung (m em erh atik an) k esusah an dan k esulitan ah li dunia.30 D alam k itab Taqrîb al-Ush ûl dik atak an: “Seandainya tidak ada w âh id az-zam ân yang senantiasa m engh adap (taw ajjuh ) k epada Allah terk ait dengan persoalan-persoalan para m ak h luk , tentulah datang perintah Allah yang m engejutkan m erek a dan k em udian m eng- h ancurk an m erek a.”31 Adapun w âh id az-zam ân yang dim ak sud dalam ungk apan tersebut tidak lain adalah gh auts h âdza az-zam ân atau sulthân al-auliyâ‘. D em ik ianlah antara lain fungsi dan peranan gh auts h âdza az- zam ân. Tanggung jaw abnya begitu berat: m em ik irk an dan m em er-

30 Ciri-ciri ini merupakan intisari yang diambil dari beberapa kata ulama yang ‘arif. Lihat ciri-ciri ghauts hadza az-zaman secara lebih detil dalam kitab Jâmi’ al- Ushûl fî al-Auliyâ‘ karya an-Naqsyabandi dan kitab Taqrîb al-Ushûl karya.Sayyid Zaini Dahlan. 31 Sayyid Ahmad, Taqrîb al-Ushûl …, hlm. 53.

242 Pengalaman Keberagamaan Masyarakat Wahidiyah h atik an m asyarak at seluruh alam . Perjuangannya, terutam a berada dalam alam ruh ani. Sedangk an k egiatan-k egiatan lah iriah nya sam a dengan m anusia pada um um nya, yak ni m enjalank an am ar m a’ruf (m em erintah dan m engajak pada k ebaik an) dan nahi munkar (m en- cegah dari perbuatan m ungk ar), m enegak k an k ebenaran dan k eadilan, dan m engajak serta m enuntun um at k em bali sadar k epada Allah dan rasul-Nya. Selain itu, tanggung jaw abnya juga m eliputi k egiatan- k egiatan dan tugas-tugas k em anusiaan; m em berik an pertolongan, m enunjuk k an jalan k eluar dari k esulitan-k esulitan h idup yang dialam i oleh m asyarak at dalam berbagai persoalan. Sebagaim ana diterangk an di depan bah w a gh auts h âdza az-zam ân dipilih dan diangk at langsung oleh Allah . D alam h al ini, Allah m em ilih dan m engangk atnya dengan cara tersendiri. D engan k ata lain, gh auts h âdza az-zam ân buk anlah h asil dari pem ilih an dan pengangk atan oleh sesam a m anusia atau bah k an sesam a auliyâ’ (para w ali) Allah . Ajaran W ah idiyah beryak inan bah w a gh auts h âdza az- zam ân adalah atqa an-nâs fî zam ânih (m anusia yang paling bertak w a pada zam annya). D ia adalah insan yang k âm il-m uk am m il, yaitu orang sem purna dan m am pu m em bim bing sek aligus m enjadik an orang lain m enjadi sem purna, seorang guru sek aligus m ursyid yang m am pu m em bim bing orang lain untuk bisa m encapai w ush ûl (m a’rifat, sadar) k epada Allah dan rasul-Nya. D ia adalah seorang yang ‘âlim b illâh w a b i ah k âm ih (seorang yang ‘ârif b illâh , yang m enguasai dan k onsek uen m enjalank an h uk um -h uk um Allah ).32 D alam h al k esadaran k epada Allah dan rasul-Nya, gh auts h âdza az-zam ân dik aruniai h ak dan w ew enang yang disebut jalab dan salab. Jalab berarti m enarik , m engangk at, m eningk atkan derajat dan im an seseorang; sedangk an salab berarti m encabut m artabat im an se- seorang. Berdasark an h al tersebut m ak a sudah seh arusnya k ita m eng-

32 Di dalam kitab Ahkâm asy-Syarî’ah dinyatakan bahwa ghauts hâdza az-zamân adalah seorang hakim yang adil dan bijak. Pendapatnya dalam penetapan hukum selalu tepat dan adil karena pandangan-pandangannya disinari oleh cahaya ketuhanan (nûr ilâhiyah) yang murni sebagai buah dari hatinya yang senantiasa thawâf sepanjang masa ke hadirat Allah (qalbuhu yathûf Allâh dâ’iman).

243 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah adak an k ontak batin d engan gh auts h âdza az-zam ân, terutam a h ubungan ruh ani atau k onsultasi batin dalam segala persoalan dunia dan ak h irat, k h ususnya dalam bidang w ush ûl (m a’rifat-sadar) k epada Allah dan rasul-Nya. Caranya adalah dengan m enerapk an lilgh auts - b ilgh auts sebagaim ana penjelasan di depan. H al itu sesuai dengan firm an Allah : “M ak a bertanyalah k epada ah li dzik ir jik a k alian tidak m engetah ui” (Q S. al-Anbiyâ‘ [21]: 7 d an Q S. an-Nah l [16]: 43). Yang dim ak sud dengan ah li dzik ir dalam ayat di atas adalah orang-orang yang ‘âlim billâh dan m enguasai (h uk um -h uk um ) agam a Allah , serta m engam alkan ilmu-ilmu yang m erek a m ilik i sem ata- m ata h anya m engh arap ridh a Allah . D alam ajaran W ah idiyah , orang yang m em enuh i k riteria ah li dzik ir seperti ini adalah gh auts h âdza az-zam ân. Ini sesuai dengan firm an Allah : “D an ik utilah jalan orang yang k em bali k epada-Ku, k em udian h anya k epada-Kulah engk au ak an k em bali, m ak a Kuberitak an k epadam u apa yang telah k am u k erjak an” (Q S. Luq m ân [31]: 15). D alam sebuah h adits juga dinyatak an: “H endak lah k am u se- nantiasa bersam a dengan Allah . Jik a tidak bisa m ak a h endak nya k am u bersam a ‘orang yang selalu bersam a Allah ’. Sesungguh nya dia m e- w ush ûl-k an k am u k epada Allah , apabila k am u beserta dengannya.”33 “O rang yang bersam a Allah ” adalah orang yang h atinya selalu ingat k epada Allah , selalu sadar k epada-Nya. D engan dem ik ian, yang dim ak sud m an k âna m a’a Allâh (orang yang senantiasa bersam a Allah ) pada zam an sek arang ini adalah gh auts h âdza az-zam ân. Ada juga ulam a yang m engatak an: “Barang siapa ber-tak lid k e- pada orang alim m ak a ia ak an bertem u Allah dengan selam at.” Adapun yang dim ak sud dengan orang alim di sini adalah orang yang senantiasa sadar k epada Allah dan m enguasai serta k onsek uen m elak sanak an h uk um -h uk um Allah . Pada saat ini, orang seperti ini tiada lain adalah gh auts h âdza az-zam ân.

33 Sayyid Muhammad Haqqi an-Nazili, Khazînah al-Asrâr, juz 1, (Semarang: Usaha Keluarga, t.t.), hlm. 194.

244 Pengalaman Keberagamaan Masyarakat Wahidiyah

Berk aitan dengan posisi atau k eduduk annya, ulam a bisa di- k lasifik asi m enjadi tiga: [1] ‘âlim b illâh w a b i ah k âm ih (orang yang alim terh adap Allah dan h uk um -h uk um nya), [2] ‘âlim b illâh faqath (orang yang h anya alim terh adap Allah ), dan (3) ‘âlim b i ah k âm ih faqath (orang yang alim terh adap h uk um -h uk um nya saja). Pertam a, ‘âlim b i Allâh w a b i ah k âm ih , yak ni orang yang alim terh adap Allah (arif b illah ) dan m engetah ui h ukum -h ukum -Nya; dalam arti m a’rifat (m engenal dan sadar) k epada Allah dan m enguasai serta m elak sanak an dengan k onsek uen h uk um -h uk um Allah . Ulam a yang m encapai derajat ‘âlim b illâh w a b i ah k âm ih itulah yang di- sebut orang yang kâm il-m ukam m il (sem purna dan dapat m em - bim bing orang lain m enjadi sem purna). D ialah orang yang k om peten dan responsibel untuk dijadik an guru m ursyid atau guru pem bim bing k e arah k esadaran k epada Allah dan rasul-Nya; pem bim bing dalam m enjalank an h uk um -h uk um syari’at secara tepat, lengk ap, dan dalam m enerapk an h al h aqîqat secara benar; pem bim bing dan pem bina dalam h ubungan vertikal k epada Allah (h abl m in Allâh ) dan h ubungan h orizontal dalam k eh idupan sosial berm asyarak at (h ab l m in an-nâs). Kedua, ‘âlim b illâh faqath, yak ni orang yang h anya m engenal Allah sem ata; dalam arti m a’rifat (m engenal-sadar) k epada Allah nam un tidak atau k urang m enguasai h uk um -h uk um -Nya secara luas. Ia m engetah ui h uk um agam a sek adar yang diperluk an untuk m e- lak sanak an k ew ajiban-k ew ajiban syari’at bagi dirinya sendiri. D ia dapat dik lasifikasik an sebagai seorang k âm il nam un belum m uk am m il seh ingga belum bisa atau belum boleh dijadik an sebagai guru m ursyid yang m em bim bing k e arah m a’rifat k epada Allah dan rasul-Nya. Ketiga, ‘âlim bi ah k âm ih faqath, yak ni orang yang pah am dengan h uk um -h uk um Allah , nam un tidak atau belum m a’rifat k epada Allah (tidak sadar b illâh ). Pengetah uan agam anya tentang h uk um -h uk um fiq h cuk up luas, nam un tidak m em ilik i ilmu-ilmu h ik m ah . D engan dem ik ian, dia boleh dijadik an guru h anya di bidang syari’at (lah iriah ) saja, nam un tidak dapat dijadik an pem bim bing dan pem bina bidang w ush ul k epada Allah .

245 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

D engan dem ik ian, orang yang dapat dijadik an guru m ursyid atau pem bim bing k e arah m a’rifatullah adalah ulam a yang m asuk dalam k lasifik asi pertam a, yaitu orang ‘âlim yang ‘ârif b illâh w a b i ah k âm ih i. Terk ait dengan h al ini, dalam k itab Taqrîb al-Ush ûl di- sebutkan:

“Hati orang yang ‘â’rif billâh adalah hadhrah Allâh dan panca- inderanya sebagai pintu-pintu-Nya. Siapa yang mendekat kepada- nya dengan pendekatan yang layak dan sesuai dengan keduduk- annya maka terbukalah pintu-pintu hadhrah Allâh baginya.”34

D em ik ianlah dalil-dalil yang m enunjuk k an k eistim ew aan serta perlunya berh ubungan dengan gh auts h âdza az-zam ân sebagai orang yang m enuntun dan m em bim bing jalan m enuju w ush ûl, m a’rifat, atau sad ar k epada Allah dan rasul-Nya. Adapun k erugian bagi orang yang tidak dapat berh ubungan dengan orang yang kâm il-m ukam m il, sebagaim ana dik atak an oleh Syaik h D aw ud bin Mak h ola adalah bah w a dia ak an k eluar dari dunia (m eninggal dunia) dalam k eadaan berlum uran dosa besar, sek alipun ibadah nya seperti ibadah jin dan m anusia.35 D alam ajaran W ah idiyah ditunjuk k an cara-cara berh ubungan dengan gh auts h âdza az-zam ân, antara lain dengan cara m engh adiah - k an pah ala am al, seperti bacaan al-Fâtih ah . Persoalannya sek arang adalah , siapak ah orang yang disebut gh auts h âdza az-zam ân itu? D i sinilah W ah idiyah m engajark an bah w a para pengam al Sh alaw at W ah idiyah tidak disyaratkan h arus m engetah ui gh auts h âdza az-zam ân. Sebab, seperti sudah disebutkan di m uk a, tidak ada ciri-ciri lah iriah yang dapat dik em uk ak an tentang pribadi seorang gh auts k arena k eadaan lah iriah nya biasa-biasa saja seperti h alnya m anusia atau ulam a pada um um nya. Cuk uplah bagi para pengam al Shalaw at W ah idiyah percaya ak an adanya gh auts pada zam an sek arang ini; dalam arti percaya terh adap fungsi dan w ew enangnya

34 Sayyid Ahmad, Taqrîb al-Ushûl …, hlm. 68. 35 Lihat Ibid., hlm. 58.

246 Pengalaman Keberagamaan Masyarakat Wahidiyah serta percaya adanya k eistim ew aan-k eistimew aan yang Allah k arunia- k an k epadanya, yang berupa barak ah , k aram ah , k em am puan m em beri pancaran ruh ani (nazh rah ) dan bim bingan (tarbiyah ) dalam perjalanan w ush ûl-m a’rifat k epada Allah . Cuk uplah percaya bah w a gh auts h âdza az-zam ân adalah perantara (sababiyah ) bagi para pengam al W ah idiyah untuk bisa dik aruniai rah m at dan k eutam aan dari Allah serta syafa’at dari R asulullah berupa k ejernih an h ati, k etenangan batin, dan k e- tenteram an jiw a dengan berk at Sh alaw at W ah idiyah . Sebagaim ana diak ui oleh para tok oh W ah idiyah , tidak setiap orang dan tidak sem ua pengam al W ah idiyah dik aruniai k em am puan m engetah ui atau m engenal secara jasm aniah m aupun ruh aniah gh auts h âdza az-zam ân. Jika di antara para pengam al itu ada yang dik aruniai k em am puan m engerti atau m engetah ui, labih -lebih m engenal siapa gh auts h âdza az-zam ân m ak a itu adalah suatu rah m at dan k eutam a- an besar yang diberik an Allah . Pengalam an batiniah tersebut h arus dim anfaatkan dengan sebaik -baik nya, untuk m eningk atkan k esadaran Fafirrû ila Allâh w a rasûlih ; tidak boleh dijadik an sebagai bah an pem bicaraan atau percak apan, lebih -lebih terh adap orang yang m asih belum m em ilik i pengertian tentang m asalah tersebut. Konsultasi secara batiniah dengan gh auts h âdza az-zam ân, yang dalam istilah tarek at disebut râbithah , jik a dipelih ara dengan baik ak an b esar m anfaatnya b agi h ub ungan jiw a (ta’alluq ) d engan R asulullah . Ta’alluq ini, sebagaim ana telah dijelask an di depan, m e- rupak an ak ar tunjang îmân dan m ah ab b ah , m enjadi poh on nûr m a’rifatullâh w a h aqîqat al-Muh am m adiyyah (cah aya m a’rifat k epada Allah dan h ak ik at Muh am m adiyah ), dan m enjadi petunjuk bagi ber- m acam h ik m ah k ebijak sanaan. D alam ajaran W ah idiyah dijelask an bah w a m inat untuk m enge- tah ui atau m engenal pribadi gh auts h âdza az-zam ân dapat diik h tiari, antara lain dengan m em perbanyak m engirim h adiah fatih ah atau m ujah adah Shalaw at W ah idiyah yang dik h ususk an k epada m uallif dan m em perbanyak istigh atsah dengan m em perbanyak bacaan seperti di baw ah ini:

247 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Duhai ghauts-zaman, ke pangkuanmu salam Allah kuhaturkan; bimbing dan didiklah diriku dengan izin Allah; Dan arahkan pancaran sinar nazhrah-mu kepadaku ya sayyidi, dengan nazhrah batin yang me-wushul-kan aku sadar ke hadirat Yang Mahaluhur. e. Tasyaffu’ Tasyaffu’ (m em oh on syafa’at R asulullah ) m erupak an bagian dari h al-h al yang sering m ew arnai k egiatan k eagam aan dan sosial di k alangan para pengam al W ah idiyah , seperti pada acara-acara m ujâ- h ad ah di m ana lafal tasyaffu’ m erupak an bagian integral dalam rangk aian Sh alaw at W ah idiyah . Selain itu, ia juga m ew arnai acara- acara serem onial dalam seluruh jenisnya, dalam senandung dzik ir m enjelang sh alat jam a’ah lim a w ak tu dan sesudah nya, penyam butan k eh adiran pada upacara tem u pengantin, dan bah k an juga disenan- dungk an dalam penyam butan k eh adiran tok oh pada acara-acara ber- sejarah . D alam ajaran W ah idiyah , tasyaffu’ berarti m em oh on k epada R asulullah supaya m em oh onk an k epada Allah agar D ia berk enan m engabulkan perm oh onan tersebut. D alam ajaran W ah idiyah ada k eyak inan bah w a pertolongan adalah m utlak m ilik Allah , dan bah w a k eh endak Allah juga bersifat m utlak , term asuk dalam h al ini Allah berkehendak m em berikan hak syafa’at rasul-Nya bagi seluruh m ak h luk . Di sini h arus diak ui bah w a ada sebagian orang yang berpen- dapat bah w a selain Allah tidak dapat m em beri syafa’at k arena itu m em oh on syafa’at k epada R asulullah adalah sam a dengan syirik dan dan h al itu adalah tindak an sesat. Pendapat ini didasark an pada firm an

248 Pengalaman Keberagamaan Masyarakat Wahidiyah

Allah : “Katak anlah : sem ua syafa’at h anyalah k epunyaan Allah sem ata” (QS. az-Z um ar [39 ]: 44). Ak an tetapi, atas dasar ayat itu, W ah idiyah m engem uk ak an penjelasan dan argum entasi penegas terh adap m asalah tersebut. a. Tidak ada satu ayat pun dalam Al-Q ur’an dan h adits nabi yang m elarang m em oh on syafa’at k epada R asulullah , dan b . Ayat di atas tidak m enunjuk k an larangan m em oh on syafa’at, tetapi sem ak na dengan ayat-ayat lain yang m enjelask an k em utlak an k ek uasaan Allah sebagai penguasa tunggal yang tidak tersaingi oleh apa pun. H al ini m em punyai pengertian bah w a Allah dapat m enganugerah k an apa pun dan k epada siapa pun sesuai dengan k eh endak -Nya. D alam Al-Q ur’an ada ayat yang m enerangk an tentang anugerah Allah k epada h am ba-Nya untuk m em berik an syafa’at: “D an se- sem bah an yang m erek a sem bah selain Allah tidak dapat m em beri syafa’at, nam un (yang dapat m em beri syafa’at ialah ) orang yang m engak ui k ebenaran (tauh id) dan m erek a m eyak ini(nya)” (Q S. az- Z uk h ruf [43]: 86).” Pada bagian ayat yang lain Allah berfirm an: “Pada h ari itu (h ari k iam at) tiada berguna syafa’at, k ecuali (syafa’at) orang yang telah diizink an oleh Yang Mah a Pengasih dan diridh ai perk ata- annya” (Q S. Th âh â [20]:109 ). Ayat tersebut m enunjuk k an bah w a ada sebagian m ak h luk Allah yang dianugerah i (diizink an) untuk m em beri syafa’at k epada yang lainnya. Kalaupun ada ayat-ayat yang m enunjuk k an tidak adanya syafa’at, seperti Q S. al-Baqarah [2]: 48 dan 123 serta Q S. al-Muddats- tsir [74]: 48, sem ua itu berh ubungan dengan orang-orang m usyrik . Jik a k ita sudah yak in bah w a ada di antara m ak h luk Allah yang diberi w ew enang untuk m em berik an syafa’at k epada um at m anusia, lantas pertanyaannya, siapa yang dapat m em beri syafa’at dengan izin Allah tersebut. Berk aitan d engan h al ini, tam pak nya k ita h arus m enyim ak beberapa h adits berik ut ini.

249 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

R asulullah pernah bersabda: “Yang dapat m em beri syafa’at pada h ari k iam at ada tiga golongan, yaitu para nabi, ulam a, dan k em udian syuh ada’” (H .R . Ibn Majah dari Utsm an). H adits yang lain m enyata- k an: “Seorang yang m ati syah id ak an m em beri syafa’at k epada 70 orang dari k eluarganya” (H .R . Abu D aw ud dari Abi ad-D arda’). Ada juga h adits yang m enyatak an: “Ak u adalah sayyid (orang yang term ulai) dari anak cucu Nabi Adam , dan (ak u m engucapk an ini) tidak k arena m em banggak an diri. Ak u adalah orang pertam a yang dibangunk an dari k ubur. Ak u adalah orang pertam a yang m em berik an syafa’at dan orang pertam a yang diterim a syafa’at-nya, di tangank ulah bendera puji dan di baw ah bendera itu bernaung Nabi Adam dan yang lainnya” (H .R . at-Tirm idzi dan Ibn Majah ). Pada k esem patan yang lain rasul bersabda: “Siapa berziarah k e m ak am k u m ak a w ajib baginya (m em eroleh ) syafa’at-k u” (H .R . Ibn Adi dan al-Baih aqi). Sem entara itu, di dalam k itab Syaw âh id al-H aqq dijelask an: “Tasyaffu’an (m em oh on syafa’at) k epada Nabi Saw., di m ana pun pasti berm anfaat dan pasti ak an sam pai k epada Nabi Saw.”36 D i bagian lain dalam k itab ini juga ditegask an:

“Sesungguhnya syafa’at baginda nabi pasti diterima di sisi Allah, baik di dunia maupun di ahirat, dan juga orang-orang yang berwasilah kepadanya dalam permohonan mereka agar nabi berkenan menyampaikan hajat mereka dalam urusan dunia dan urusan akhirat. Hal tersebut telah disepakati oleh para ulama.”37

Mem oh on syafa’at k epada R asulullah , baik pada m asa rasul m asih h id up m aupun setelah w afat, diboleh k an d alam Islam . Sebab, R asulullah ak an senantiasa m endengar dan m enunjuk k an um atnya k e jalan yang benar. D alam suatu k esem patan R asulullah bersabda:

“Hidup dan matiku adalah baik bagimu. Semasa hidupku, aku memberikan tuntunan dan mengajarkan syari’at kepadamu.

36 Yusuf bin Isma’il an-Nabhani, Syawâhid al-Haqq, (Beirut-Libanon: Dar al-Fikr, t,.t.), hlm. 203. 37 Ibid., hlm. 45.

250 Pengalaman Keberagamaan Masyarakat Wahidiyah

Sedangkan setelah wafatku, semua amalmu diperlihatkan kepada- ku. Maka ketika aku melihat amalmu baik, aku memuji kepada Allah atas kebaikanmu itu, dan ketika aku melihat amalmu jelek, aku mohonkan ampunan kepada Allah bagi kamu sekalian (H.R. al-Bazzar dari Abdullah bin Mas’ud).

D alam h adits yang lain dinyatak an: “Tiada seorang pun yang m enyam paik an salam k epadak u, m elaink an Allah m enyam paik an salam itu k epadak u seh ingga ak u m enjaw ab salam itu” (H .R . Ah m ad dan Abu D aw ud). D alam h al tersebut, para ulam a berpendapat bah w a k endati R asulullah telah w afat, beliau tetap tam pak seperti m asih h idup. O leh k arena itu, pendapat yang m enyatak an bah w a R asulullah tidak ak an m em berik an m anfaat lagi setelah m eninggal dunia adalah pen- dapat yang sesat dan m enyesatkan. D alam Tafsîr Shâw i dik em uk ak an: “Mak a barang siapa berik tik ad bah w a Nabi Saw. tiada m anfaat se- sudah w afatnya, bah k an dia dianggap seperti um um nya m anusia, orang seperti itu adalah sesat dan m enyesatkan.”38 Sayyid Ah m ad D ak h lan pernah m enuk il pendapat Abi al- Maw ah ib asy-Syadzali, sebagai berik ut: “Allah m em punyai h am ba- h am ba yang dibim bing langsung oleh Nabi Muh am m ad Saw. tanpa perantara sebab banyak nya bacaan sh alaw at m erek a k epada beliau”.39 Ad apun bacaan tasyaffu’ d alam W ah id iyah adalah sebagai berik ut:

38 Syaikh Ahmad Shawi, Hâsyiyah ash-Shâwi …, juz 1, hlm. 161. 39 Lihat Syaikh Yusuf an-Nabhani, Sa’âdah ad-Dâraini …, hlm. 511.

251 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Duhai nabi pemberi syafa’at makhluk; shalawat dan salam Allah kusanjungkan ke pangkuanmu duhai cahaya makhluk, pem- bimbing manusia Duhai unsur dan jiwa makhluk, bimbing dan didiklah diriku Sungguh aku manusia yang selalu berbuat zalim Tiada arti diriku tanpa engkau duhai sayyidi Jika engkau hindari aku (akibat keterlaluan berlarut-larutku), pastilah aku akan hancur binasa Duhai pemimpin kami, duhai utusan Allah!

Duhai Ghauts Zaman, salam Allah kusampaikan ke pangkuanmu, bimbing dan didiklah diriku dengan izin Allah; Dan arahkan pancaran sinar nazhrah-mu kepadaku, ya sayyidi Radiasi batin yang me-wushul-kan aku, sadar ke hadirat Tuhanku Mahaluhur.” Bacaan tasyaffu’ tersebut berbentuk bait syair seh ingga cara pem - bacaannya adalah dengan dilaguk an.40 f. Istigh râq Istigh râq berarti tenggelam , yak ni tenggelam d alam lautan tauh id. D alam pustak a W ah idiyah , ada tiga m acam istigh râq, yaitu:

40 Menurut hemat penulis, lagu dalam tasyaffu’ bercorak slow-sentimentil yang mampu memberikan kesan dan menciptakan suasana rendah diri dan damai. Pada saat tasyaffu’ disenandungkan, terbentuklah suasana religius khas Wahi- diyah. Kekhasan itu terbentuk karena paduan harmonis tiga hal, yakni materi lagu tasyaffu’, corak lagu, dan suasana khidmat yang tertradisikan dengan tata krama kewahidiyahan. Ketiga hal inilah yang memimpin dua hal lainnya dalam pembentukan suasana khas tersebut. Demikian ini terjadi oleh karena tata krama dijunjung tinggi dalam tradisi ketasawufan dan akhlak Wahidiyah. Bahkan, dalam hemat penulis, seakan-akan penyanyi rock pun tidak berdaya melakukan improvisasi dengan gaya rock-nya terhadap lagu tasyaffu’ Wahidiyah.

252 Pengalaman Keberagamaan Masyarakat Wahidiyah

(1) istigh râq w ah id iyah , (2) istigh râq bi h aqîqah al-M uh am m ad iyah , dan (3) istigh râq ah ad iyah . Pertam a, istigh râq w âh idiyah , yak ni m enerapk an k alim at lâ h aula w alâ quw w ata illâ b i Allâh seperti sudah diuraik an di depan pada sub pem bah asan tentang b illâh . Istigh râq h arus diterapk an di dalam h ati pada sem ua situasi dan k ondisi, dalam setiap gerak -gerik lah ir dan batin, dan bersifat m utlak . D alam Sh alaw at W ah idiyah juga terdapat doa istigh râq w âh id iyah , yaitu pada k alim ah an tugh riqanâ fî lujjati b ah r al-w ah d ah , h attâ lâ nâra … Kedua, istigh râq b i h aqîqah al-M uh am m adiyah , yak ni k esadaran diri bah w a seluruh m ak h luk berasal dari Nûr Muh am m ad. H al ini juga bersifat m utlak , tanpa adanya pengecualian. Ketiga, istigh râq ah ad iyyah adalah istigh râq seperti yang k ita prak tikk an pada tiap pengam alan Shalaw at W ah idiyah di bagian ak h ir sebelum m em baca doa Fafirrû ila Allâh . Jadi, tenggelam di dalam ah ad iyyati d zât Allâh , tenggelam di dalam k eesaan Tuh an. Adapun cara m em prak tik annya adalah dengan berdiam lah ir dan batin, tidak m em baca atau m ew iridk an sesuatu apa pun. Pik iran, perh atian, perasaan, penglihatan, dan pendengaran, sem uanya diarah k an h anya k epada Allah sem ata. Tidak ada perh atian k epada selain Allah ! H anya Allah ! Buk an lafal Allah , tetapi Allah –Tuh an! Pengalam an seperti ini terk adang juga diungk apk an dengan istilah Lâ m aujûda illâ Allâh (tiada yang w ujud selain Allah ). Artinya, k arena k uatnya k onsentrasi h anya k epada Allah m ak a yang selain-Nya m enjadi tidak terlih at; tidak terlih at oleh pandangan m ata h ati, buk an pandangan lah ir. Yang terlih at h anyalah Allah . D irinya sendiri juga tidak terlih at seh ingga boleh dik atak an bah w a tiada w ujud selain Allah . O rang yang sedang istigh raq, term enum , dan terpesona terh adap sesuatu, dia tidak m elih at apa pun selain sesuatu yang m em buatnya terpesona. D irinya sendiri pun sudah tidak terlintas lagi dalam jang- k auan penglih atan batin atau perasaannya. H anya saja, k eadaan se- perti itu h anya dialam i dalam beberapa saat: m ungk in h anya dalam

253 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah beberapa detik , nam un bisa juga terjadi dalam tem po yang lebih lam a. Begitulah gam baran dari istigh râq ah ad iyyah . Selain istilah lâ m aujûda illâ Allâh ada lagi yang m enyebutnya dengan m anunggaling k aw ula lan gusti (m enyatunya h am ba dengan Tuh an). Istilah ini m uncul dari tradisi spiritualitas di Jaw a. D alam dunia tasaw uf, ada juga istilah lain yang digunak an, seperti ittih âd , ittih âd b i al-h ulûl (k em anunggalan dalam bentuk penjelmaan Tuh an k e dalam diri m anusia) dan ittih âd bi w ah dah al-w ujûd (k em anunggal- an m anusia dalam diri Tuh an). Ak an tetapi, istilah -istilah tersebut sebenarnya k urang tepat k arena di dalam istilah m anunggal atau istilah ittih âd m asih ada dua unsur, yak ni k aw ula dan Gusti (h am ba dan Tuh an) padah al pada h ak ik atnya h anya ada satu h ak ik at, yak ni Allah . Pem ah am an tentang istigh râq ah adiyyah tidak h anya bersifat k on- septual, tetapi juga bersifat prak tis; dalam arti bah w a ia diterapk an, diprak tik k an, dan dirasak an. Setelah itu, baru benar-benar dapat di- m engerti apa dan bagaim ana pengalam an istigh râq ah ad iyyah itu. Pengalam an seperti ini sangat m irip dengan k ejadian saat k ita tidak dapat m enjelask an m anisnya gula persis seperti rasanya. Jika di dalam m ulut k ita ada gula, itulah m anisnya gula. Begitu juga tentang istigh - râq ah ad iyyah , gam baran sebenarnya tidak dapat dipah am i dari susunan k ata-k ata, ia h anya bisa dipah am i dengan d zaw q (rasa). Pengalam an istigh râq ah adiyyah itu sendiri h anya bisa dirasak an dalam jangk a w ak tu tertentu saja: ada orang yang m erasak annya h anya beberapa detik saja, nam un ada juga yg bisa m engalam inya h ingga satu m enit, dua m enit, lima m enit, sepuluh m enit, atau bah k an lebih lam a dari itu. D alam h al ini, latih an secara intensif dim ungk ink an dapat m eningk atkan k em am puan untuk m em ah am i secara prak tis terh adap istigh râq ah ad iyyah . D alam k aitan ini, KH . Abdoel M adjid M a’roef sering m enganjurk an k epada para pengam al Sh alaw at W ah idiyah supaya banyak m elak uk an latih an istigh râq ah ad iyyah di m ana saja dan juga k apan saja, tidak terbatas h anya k etik a sedang m elak sanak an m ujah ad ah W ah idiyah ; m isalnya sesudah sh alat m ak tubah , pada w ak tu m alam h ari, dalam situasi yang tenang, w ak tu

254 Pengalaman Keberagamaan Masyarakat Wahidiyah sid em k ayon, w ak tu-w ak tu istirah at di saw ah , di ladang, atau di saat- saat senggang lainnya. H al ini ak an sangat berm anfaat untuk m en- dapatkan pengalam an batin dalam istigh râq ah ad iyyah . Istigh râq itu sendiri, baik istigh râq w âh idiyyah , istigh râq bi h aqîqah al-M uh am m ad iyah , m aupun istigh râq ah ad iyyah , term asuk ibadah batin yang besar nilainya. D alam k itab Taqrîb al-Ush ûl, m isalnya, disebutkan: “D uduk sesaat (dalam istigh râq) lebih baik daripada ibadah h aji seribu k ali.”41 Ini tidak berarti bah w a ibadah h aji, atau ibadah -ibadah lainnya, m enjadi tidak penting. Sebab, sem ua ibadah m em iliki nilai tersendiri. Ibadah h aji, yang term asuk ruk un Islam k elim a, w ajib dilak sanak an oleh siapa pun yang m em ilik i k em am puan untuk m anunaik annya. Ibadah h aji tidak boleh diganti dengan jenis ibadah lainnya; lebih - lebih ibadah lah iriah diganti oleh ibadah batiniah . Ini sam a sek ali tidak dibenark an dalam ajaran Islam . Ibadah lah ir h arus dilak sanak an sem estinya, di sam ping ibadah batin juga tidak boleh ditinggalkan. Kontek s k alim at (siyâq al-k alam ) pada k alim at: “duduk sesaat (dalam istigh râq) lebih baik daripada ibadah h aji seribu k ali”, h anya sebagai k alam k h ab ar (k alimat berita, inform atif), m em beritah uk an k ebaik an istigh râq. D i sini yang dibah as adalah m asalah nilai, buk an m asalah h uk um . H arus ada perbedaan atau perbandingan dalam h al pen- dek atannya. M asalah nilai tidak dapat didek ati dengan perspek tif h uk um , sek alipun m ungk in dapat saja terjadi interak si (saling m e- m engaruh i), bah k an interdependensi (saling berk aitan) antara m asalah nilai dan m asalah h uk um . Senada dengan ungk apan “duduk sesaat (dalam istigh râq) lebih baik daripada ibadah h aji seribu k ali”, adalah ungk apan: “Lailatul q adar itu lebih baik daripada seribu bulan” (Q S. al-Q adr [9 7]: 3). Terk ait dengan ungk apan tersebut, di dalam k itab Taqrîb al-Ush ûl dicantum k an pernyataan Syaik h Ali al-H aiti: “Ketik a pertolongan Ilah i

41 Sayyid Ahmad, Taqrîb al-Ushûl… hlm. 108.

255 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah datang pada seorang h am ba m ak a dzarrah m in ‘um rih (sedetik dari um urnya) sepadan dengan ibadah (lah ir) seribu tah un.”42 Pertolongan Allah yang dim ak sud dalam ungk apan di atas ada- lah k em am puan untuk ber-istighraq atau tafak k ur k epada Allah . D engan dem ik ian, ungk apan di atas m engandung m ak na bah w a ak tivitas ber- istigh raq atau tafak k ur k epada Allah yang dilak uk an m esk i h anya sesaat, nilainya sepadan dengan ibadah lah iriah yang dilak uk an selam a seribu tah un. Yang dim ak sud tafak k ur di sini adalah m em ik irk an dan m e- renungk an k ebesaran dan k eagungan Allah . D alam h al ini, ak tivitas ak al (rasio) jauh lebih besar nilainya d aripada ak tivitas ibadah badaniah . D alam k aitan ini, Syaik h an-Naq syabandi m enjelask an: “Tafak k ur sesaat lebih baik daripada ibadah lah iriah setah un.”43 D alam referensi lain juga dijelask an: “Sedik it dari am al ibadah h ati (ibadah batiniah ) lebih baik daripada segunung am al ibadah lah iriah .”44 Yang dim ak sud ibadah lah iriah di sini adalah ibadah yang h anya m em enuh i syarat-syarat dan ruk un-ruk un lah iriah nya saja. Sedangk an yang dim ak sud ibadah batiniah adalah ibadah yang lebih m engedepank an unsur batini, seperti istigh râq. g. Taw assul Taw assul pada dasarnya m erupak an k onsep yang dapat ditem ui pada seluruh aliran tasaw uf atau tarek at, baik dalam ajaran Islam m aupun lainnya. Secara etimologis, taw assul berarti perm intaan (per- m oh onan).45 Sem entara secara term inologis, taw assul adalah m edia strategis untuk m em bangun jalan spiritual dem i suk sesnya perjalanan batiniah m enuju Allah . D alam pem bah asan di sini, taw assul yang dim ak sudk an adalah taw assul yang berk aitan dengan doa (perm oh onan k epada Allah ).

42 Sayyid Ahmad, Taqrîb al-Ushûl …, hlm. 93. 43 Syaikh an-Nasik Diya’uddin, Jâmi’ al-Ushîl …, hlm. 237. 44 Lihat Al-Hikam I, hlm. 78 dan juga Syaikh Ahmad Shawi, Hâsyiyah ash-Shâwi, juz I, hlm. 172. 45 Idris al-Marbawi, Kamus Arab-Melayu, hlm. 389.

256 Pengalaman Keberagamaan Masyarakat Wahidiyah

H al ini penting dipah am i k arena dalam doa yang m enggunak an w asilah (perantara) terdapat perbedaan pendapat: ada yang m em boleh k an dan ada juga yang m elarang. Taw assul itu sendiri bisa dilak uk an dengan m enggunak an beberapa cara atau m etode, di antaranya: 1. Taw assul dengan m enggunak an al-Asm â‘ al-H usnâ Contoh taw assul dengan al-asm â‘ al-h usnâ (9 9 nam a Allah ) adalah : a.

b .

Pada dua contoh pertam a, taw assul dengan al-asm â‘ al-h usnâ terdapat pada k ata-k ata: Ya w ah id u ya ah ad u ya w ajid u ya jaw w ad u (Ya Tuh an Yang Mah a Esa, ya Tuh an Yang Mah asatu, ya Tuh an Yang Mah a Menem uk an, ya Tuh an Yang Mah a Melim pah k an). Sedangk an pada contoh k edua, taw assul dengan al-asm â‘ al-h usnâ terdapat dalam k ata-k at: Allah um m a b i h aqqism ik a al-A’zh am (Ya Allah , dengan h ak k ebesaran asm a-Mu). Adapun dasar h uk um taw assul dengan al-asm â‘ al-h usnâ adalah : a. Firm an Allah : “H anya m ilik Allah al-asm â‘ al-h usnâ, m ak a ber- m oh onlah k epada-Nya dengan m enyebut al-Asm a al-H usna itu” (Q S. al-A’râf [7]: 180). b . H adits Nabi. Nabi Muh am m ad Saw. sendiri berdoa dengan ber- taw assul dengan al-asm â‘ al-h usnâ, seperti doa berik ut ini:

257 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ya Allah, Tuhan Yang Mahaesa, yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, yang tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan yang tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia. Aku memohon kepada-Mu untuk mengampuni dosa-dosaku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan Maha Penyayang ...” (HR. Abu Dawud, an-Nasai, dan Ahmad dengan sanad shahih).

2. Taw assul dengan pribadi R asulullah W asilah dengan pribadi R asulullah juga pernah dilak uk an oleh sah abat nabi seperti yang diceritak an dalam h adits berik ut ini:

Dari Utsman bin Hunaif, bahwasanya seorang laki-laki yang sakit mata datang kepada Rasulullah Saw. sambil berkata: “Ya Rasulullah, mohonkanlah kepada Allah agar aku sembuh.” Beliau menjawab: “Kalau kau mau kudoakan dan mau bersabar, itu lebih baik.” Laki-laki itu menjawab: “doakanlah saya.” Lantas Rasulullah Saw. menyuruhnya agar berwudhu dan memperbaiki wudhunya. Dan kemudian berdoa dengan doa: “Ya Allah, sesungguhnya saya menghadap kepadamu (tawassul) dengan Nabi-Mu Muhammad,

258 Pengalaman Keberagamaan Masyarakat Wahidiyah

nabi pembawa rahmat. Sesungguhnya saya menghadap Tuhanku bersamamu (Rasulullah) untuk mengabulkan hajatku ini. Ya Allah, berikanlah syafa’at-nya untukku.”46

3. Taw assul dengan orang-orang saleh (Shâlih în) Ber-taw assul dengan orang-orang saleh selain R asulullah juga pernah dilak uk an oleh Kh alifah Um ar, yaitu pada saat dia ber-taw assul dengan pam an Nabi Saw., Abbas bin Abd al-Muthalib.

Dari Anas, saat terjadi kemarau panjang, sesungguhnya Umar bin Khattab r.a. meminta hujan (kepada Allah) dengan ber- tawassul kepada Abbas bin Abdul Muthalib. Dia berdoa: “Ya Allah, kami pernah ber-tawassul kepada-Mu dengan nabi kami, maka Engkau menurunkan hujan, dan (sekarang) kami ber- tawassul kepada-Mu dengan paman nabi kami (Abbas) maka turunkanlah hujan kepada kami. Kemudian hujan pun turun kepada mereka” (H.R. Bukhari).

4. Taw assul dengan am al saleh D alam sebuah h adits yang cuk up panjang yang diriw ayatkan oleh al-Buk h ari dan Muslim dari Abdullah bin Um ar, R asulullah Saw. pernah m enceritak an tentang orang di zam an dah ulu yang ter- tutup batu dalam sebuah gua. Ketiga orang tadi baru dapat k eluar dari gua setelah berdoa k epada Allah dengan ber-taw assul dengan am al-am al m erek a yang saleh .

46 At-Turmudzi, Sunan at-Turmudzi, “kitab (bab) Da’awat”, hadits nomor 3502.

259 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Abdullah bin Umar bin Khattab r.a. berkata: Saya telah men- dengar Rasulullah Saw. bersabda: “Dahulu, sebelum kalian, ada tiga orang yang bepergian dan karena suatu sebab mereka kemudian bermalam di sebuah gua (maksudnya hendak beristirahat). Setelah mereka masuk gua, tiba-tiba ada batu besar jatuh dari atas gunung tepat di pintu gua itu. Maka gua itu tertutup dan ketiganya tidak dapat keluar. Kemudian berkata: “Sesungguhnya kalian tidak akan bisa selamat dari batu ini kecuali jika kalian mau berdoa kepada Allah dengan perantara amal salehmu masing-masing.”47

C.Piagam Ngadiluw ih dalam Sejarah W ah idiyah Piagam Ngadiluw ih pada dasarnya m erupak an fondasi k onsep- tual yang m engiringi dialek tik a h istoris dalam k elah iran Sh alaw at W ah idiyah sebagai fenom ena k ultural dalam sejarah tasaw uf di Indo- nesia. Pada tataran dialek tika h istoris, piagam tersebut dik enal dengan istilah “Piagam Keputusan Musyaw arah Ngadiluw ih ” atau yang lebih populer dengan sebutan “Piagam Ngadiluw ih ”.48 Pada suatu k esem patan, k alangan tok oh W ah idiyah disodori ber- bagai pertanyaan yang berk enaan dengan sh alaw at dan ajaran W ah i- diyah . Pertanyaan-pertanyaan tersebut datang dari k alangan tok oh Nah dh atul Ulam a Propinsi Jaw a Tim ur. D alam m enjaw ab berbagai persoalan tersebut, k alangan W ah idiyah diw ak ili oleh KH . Moh .

47 Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâri, “kitab (bab) al-Buyû’”, hadits nomor 958 dan 2063, dan “kitab Muzâra’ah”, hadis nomor 2165; Imam Muslim, Shahîh Mus- lim, “kitab Dzikr wa ad-Du’â wa at-Taubah wa al-Istighfâr”, hadis nomor 4926. 48 Ngadiluwih adalah nama suatu daerah di Kabupaten Kediri yang dijadikan tempat musyawarah bersejarah tersebut.

260 Pengalaman Keberagamaan Masyarakat Wahidiyah

Ih san Mah in (Pengasuh Pesantren At-Tah dzib, R ejoagung, Kecam atan Ngoro, Kabupaten Jom bang) sebagai pim pinan k afilah dengan di- dam pingi oleh dua orang anggotanya, yak ni Kiai M oh . Jazuly dan Agus Ah m ad Baidh ow i.49 Sedangk an dari k alangan Nah dh atul Ulam a Propinsi Jaw a Tim ur diw ak ili oleh KH . Abu Syujak 50 sebagai pim pinan k afilah , yang didam pingi oleh tiga orang anggotanya, yak ni Kiai Abd. Muk h ith, KH . Ak h m adi, dan Kiai Abd. Kh alim Syafi’i. Berik ut ini adalah redak si “Piagam Ngadiluw ih ”, yang ditulis ulang sesuai dengan nask ah aslinya.

PIAGAM KEPUTUSAN MUSYAW AR AH NGAD ILUW IH

Bism i Allâh i ar-Rah m ân ar-Rah îm Kam i, yang tersebut dan bertanda tangan di baw ah ini: (1)KH . ABU SYUJAK, Ngadiluw ih , Kediri bersam a-sam a dan didam pingi oleh : - K. ABD . M UKH ITH - K.H . AKH MADI - K. ABD . KH ALIM SYAFI’I. (2)K. M O H . IH SAN M AH IN, PA. R ejoagung, Ngoro, Jom bang bersam a-sam a dan didam pingi oleh : - K. M O H . JAZ ULY - AGUS AH MAD BAID H O W I

49 Dijadikannya KH. Ihsan Mahin sebagai pimpinan kafilah dari Wahidiyah adalah atas amanat dari muallif-nya, Syaikh K.H. Abdoel Madjid Ma’roef. 50 KH. Abu Syujak adalah seorang pen-tashih (korektor) kitab-kitab Islam yang pernah belajar di Timur Tengah selama kurang-lebih 15 tahun. Informasi ini diperoleh dari dokumen yang ada di DPP PSW dan hasil wawancara dengan Bapak Munshorif, pada hari Sabtu, 4 Februari 2006. Menurutnya, hal tersebut bersumber dari KH. Ihsan Mahin.

261 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah telah m enyelenggarak an Musyaw arah tentang beberapa m as’alah d iniyah , pada: - tanggal 20 O k tober 19 79 (29 D zul Q a’dah 139 9 H .) bertem pat di rum ah KH . Abu Syujak , Ngadiluw ih , Kediri - tanggal 15 D esm ber 19 79 (25 Muh arram 1400 H .) dalam suasana ta’aruf untuk m em peroleh k ebenaran h ak ik i, dilandasi sem angat uk h uw ah Islam iyah guna m em peroleh ridh a Allah SW T. Sesuai tata tertib m usyaw arah yang telah k am i sepak ati bersam a, dengan ini k am i berik rar untuk : Secara k osek uen m enaati dan m em bela serta m em perjuangk an sem ua k eputusan m usyaw arah . Keputusan-k eputusan m usyaw arah sebanyak 11 (sebelas) pasal disusun sedem ik ian rupa untuk m em udah k an pengk ajiannya. D engan m em oh on ridh a Allah SW T., dan sesuai dengan tata tertib m usyaw arah Bab V ayat (6), Piagam Keputusan Musyaw arah ini k am i tanda tangani bersam a. KED IR I, 19 80 M . 1400 H . Kam i (2) Kam i (1)

K. M O H . IH SAN M AH IN K.H . ABU SYUJAK

Sak si-sak si/Pimpinan Sidang: Ketua Sek retaris

H . MO H AMM AD SYIFA D RS. MANSYUR AD NAN

262 Pengalaman Keberagamaan Masyarakat Wahidiyah

Kesebelas persoalan yang diajuk an oleh tok oh -tok oh dari k alang- an Nah dh atul Ulam a dan sek aligus yang dijaw ab oleh para tok oh W ah idiyah dan ak h irnya m enjadi pasal yang ada dalam dok um en Piagam Ngadiluw ih tersebut adalah : 1. Perih al m urab b ûn fî âk h ir az-zam an; 2. Perih al m engapa Sh alaw at W ah idiyah yang dipilih dan tidak m e- m ilih sh alaw at yang w ârid ah ; 3. Perih al m ujad did; 4. Perih al isu bah w a orang yang tid ak m engam alkan Sh alaw at W ah idiyah k ufur; 5. Perih al m enangis pada w ak tu orang ber-m ujah ad ah Sh alaw at W ah idiyah ; 6. Perih al m em bayangk an bentuk R asulullah dengan m enyebut nam anya; 7. Perih al m enalqin m uh tad h ar dengan tuntunan bacaan yâ sayyid î yâ rasûlallâh ; 8. Perih al anak (k anak -k anak ) yang tidak m asuk sek olah lantaran ik ut ber-m ujah ad ah ; 9 . Perih al m ak na tharîqah m u’tab arah ; 10. Perih al “pengangk atan” seorang m ursyid ; 11. Perih al sebutan (dalam pujian) nam a b a’dh ash -sh alih in (sebagian orang sh alih ) dari para aw liyâ‘ yang digandeng dengan k alim ah thayyibah .

Sebagai dok um en h istoris, Piagam Ngadiluw ih tersebut dapat dipah am i sebagai dok um en resm i-form al W ah idiyah . D ok um en ter- sebut secara niscaya m erupak an k redibilitas fak ta pascadialek tik a sim bolik dalam realitas h ubungan sosial tentang k ew ah idiyah an.

263 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

D.Tradisi dan O rientasi Pem binaan Kelom pok -Kelom pok Sosial-Masyarak at D i dalam W ah idiyah terdapat ak tivitas pem binaan terh adap k elom pok -k elom pok sosial. Pem binaan tersebut dilak uk an m enurut k elom pok -k elom pok anak -anak , rem aja, ibu-ibu, dan bapak -bapak . Pem binaan k elom pok -k elom pok ini dilak sanak an dalam bentuk - bentuk pem binaan m ujâh ad ah dan pem binaan k ew ah idiyah an. Pertam a, pem binaan dalam bentuk m ujah adah dilak sanak an pada setiap m ujâh ad ah usb û’iyah (m ingguan) di tingk at dusun atau desa. Masing-m asing k elom pok sosial m em ilik i jadw al m ujâhadah usbû’iyah . Mujâh ad ah syah riyah (bulanan) di tingk at k ecam atan, rub ‘u as-sanah (tiga bulanan) di tingk at k abupaten atau k ota m adya, nish fu as-sanah (setengah tah unan) di tingk at provinsi, dan m ujâh ad ah k ub ra (besar) di tingk at pusat. Kh usus pada m ujâh adah k ubra,51 pengorganisasian k egiatannya dilak sanak an selam a em pat h ari, dan diatur secara periodik m enurut k elom pok -k elom pok sosial. H ari pertam a untuk k elom pok bapak - bapak , h ari k edua untuk k elom pok ibu-ibu, h ari k etiga untuk k e- lom pok rem aja, dan h ari k eem pat untuk um um (sem ua k elom pok sosial). Pada setiap periode, sem ua acara dilak sanak an sesuai dengan k elom pok sosialnya, k ecuali pada sh alat jam a’ah . Terutam a untuk im am sh alat, tugas ini dilak sanak an m enurut k etentuan fiq h . Ini berarti bah w a m esk ipun ibu-ibu dan anak anak m em punyai h ak m e- nurut periodenya, m erek a tidak dapat bertugas sebagai im am sh alat jam a’ah . Ked ua, pem binaan k ew ah idiyah an juga dilak uk an m enurut k e- lom pok -k elom pok sosial. Pem binaan ini dilak sanak an pada tiap-tiap tingk atan w ilayah dalam bentuk turb a (turun k e baw ah ). Bentuk ini m enunjuk k an adanya relasi vertik al; tingk atan yang lebih tinggi m e- lak uk an pem binaan k epada tingk atan yang lebih rendah . Istilah yang

51 Mujâhadah Kubrâ dilaksanakan pada tiap enam bulan sekali (setahun dua kali), yakni pada setiap bulan Syawal dan bulan Muharam.

264 Pengalaman Keberagamaan Masyarakat Wahidiyah digunak an dalam tradisi pem binaan k ew ah idiyah an adalah up-grade. Selain terh adap k elompok -k elompok sosial tersebut, up-grad e k e- w ah idiyah an juga dilak uk an terh adap k elom pok m ah asisw a. O rganisasi m ah asisw a pengam al W ah idiyah diberi nam a H IMPASWA (H im punan Mah asisw a Pengam al Sh alaw at Wah idiyah ). Selain pem binaan m enurut k elom pok -k elom pok sosial tersebut, pem binaan k ew ah idiyah an juga dilak uk an secara um um . Pada k egiatan m ujah ad ah , pem binaan ini dilak sanak an pada m ujah ad ah di tingk at k ecam atan sam pai m ujâh ad ah k ub ra di tingk at pusat. D i sam ping itu, pem binaan k ew ah idiyah an secara um um dilak sanak an dalam k e- sem patan lainnya secara berk ala dalam dua bentuk : (1) pendalam an m ateri k ew ah idiyah an pada m inggu ak h ir setiap bulan, dan (2) pengajian k itab Al-H ik am pada setiap k am is legi. Pem binaan um um berk ala ini dilak sanak an terutam a di tingk at pusat. Pendalam an m ateri k ew ah idiyah an dilak sanak an dengan m odel m usyaw arah (disk usi) dengan partisipasi para pengam al dari daerah - daerah yang dipandu oleh nara sum ber yang dipandang m um puni, k h ususnya Ketua Um um D PP PSW, para sesepuh di Majelis Tah k im D PP PSW, dan para tok oh D PP PSW yang dipandang k apabel. Pen- dalam an ini m em ungk ink an penyerapan potensi-potensi w aw asan para pengam al yang dapat berm anfaat untuk m em perluas cak raw ala k ew ah idiyah an bagi para pengam al secara um um . Sedangk an untuk m em berik an w aw asan k etasaw ufan bagi para pengam al Shalaw at W ah idiyah , dilak uk an pengajian k itab Al-H ik am . Pengajian ini di tingk at pusat dibina oleh Kiai Ah m ad Masruh Ih san Mah in (Pengasuh Pesantren At-Tah dzib R ejoagung, Ngoro, Jom bang). Pengajian ini m erupak an upaya pelestarian terh adap tradisi yang di- lak sanak an oleh m uallif Sh alaw at W ah idiyah , KH . Abdoel Madjid Ma’roef. D alam prak tik nya, pengajian ini sek arang diperk aya dengan w aw asan k ew ah idiyah an yang disam paik an oleh salah seorang atau beberapa tok oh W ah idiyah untuk m enam bah , m em pertajam , dan m enyegark an w aw asan k ew ah idiyah an.

265 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

E. Tradisi Salafiyah dalam Ibadah dan Mu’am alah D alam h al ibadah , m asyarak at W ah idiyah m enjunjung tinggi nilai-nilai salafiyah , seperti nilai-nilai k esucian dan k eh ati-h atian dem i tercapainya k esem purnaan ibadah . Sem ua sarana ibadah , seperti pak aian, tem pat sh alat, lantai rum ah , bah k an sarana k am ar yang ter- sentuh oleh k ulit tubuh , dijaga k esuciannya. Jik a ada k otoran h ew an yang jatuh k e lantai m ak a segera dibersih k an dan disucik an, atau segera diberi tanda m utanajis (tem pat yang terk ena najis, tem pat yang tidak suci) sam bil diberi lingk aran pengam an, agar ”siapa pun” segera m engetah ui bah w a tem pat tersebut tidak suci. Tanda peng- am an ini segera dilak uk an agar najis pada tem pat tersebut tidak m enyebar k e tem pat-tem pat lain pada saat orang yang tidak m e- ngetah uinya m enginjak nya. Setelah itu, k em udian dilak uk an pem - bersih an dan penyucian.52 Tradisi m enjaga k esucian juga dilak uk an dengan m em ilih m odel sandal yang sesuai, terutam a pada saat m usim h ujan. Pada um um nya, m odel sandal yang dipilih m asyarak at W ah idiyah adalah sandal yang tidak tem bus air jik a digunak an untuk jalan-jalan di luar rum ah . Merek a pada um um nya tidak m em ilih sandal jepit k arena sandal jepit pada um um nya tem bus air k etik a digunak an jalan-jalan di atas tanah yang terk ena air; k ecuali untuk sandal jepit tertentu yang am an dari tem busan air. Mesk i dem ik ian, m odel sandal terak h ir ini jarang dijum pai pada m asyarak at W ah idiyah . Selain istilah m utanajis, ada ungk apan lain yang dim ak sudk an sebagai upaya untuk bersik ap h ati-h ati guna tercapainya k esem purna- an ibadah , yaitu istilah tagh ayyur. Istilah ini digunak an jik a ada anak k ecil yang tidak beralas k ak i saat di luar rum ah tiba-tiba m asuk k e dalam rum ah . D alam k eadaan seperti ini, lantai rum ah yang diinjak

52 Di Pesantren At-Tahdzib (PA), misalnya, perlakuan semacam itu sering terjadi, termasuk di kelas-kelas yang dijadikan tempat belajar para santri. Kata “siapa pun” dalam penjelasan di atas dapat mencakup semua orang yang masuk ke lokasi yang bersangkutan, misalnya para santri, para tamu, pengurus pondok, atau bahkan keluarga ndalem (keluarga kiai) pondok.

266 Pengalaman Keberagamaan Masyarakat Wahidiyah anak tersebut dianggap tagh ayyur k arena statusnya berubah dari k eadaan suci k e k eadaan lain yang m engh alangi k esem purnaan ibadah . Jik a k eadaan ini belum disucik an m ak a digunak an alas k ak i dalam rum ah m enuju k e tem pat yang benar-benar dik etah ui k esuciannya untuk beribadah . Ada fak ta lain yang m enunjuk k an sik ap h ati-h ati m asyarak at W ah idiyah dem i tercapainya k esem purnaan ibadah , yaitu dengan m em baw a sarung. H al seperti ini banyak dilak uk an oleh para m ah a- sisw a yang k uliah pada siang h ingga sore h ari. Merek a boleh dik atak an senantiasa m em baw a sarung yang disiapk an untuk ibadah sh alat Ash ar.53 Kesengajaan m em baw a sarung ini m enurut penulis, tidak berarti bah w a si pem baw a sarung sengaja m enggunak an celana yang tidak suci, tetapi justru k arena perilak u k eh ati-h atian tadi. Gam baran di atas m erupak an sebagian dari tradisi salafiyah dalam ibadah yang dijunjung tinggi oleh m asyarak at W ah idiyah . Jika dilacak ak ar tradisi ini m ak a ditem uk an h im m ah (k einginan m ulia) dalam ibadah , yaitu k einginan untuk tercapainya status ih san dalam ibadah . Untuk tercapainya status ini, m enurut tradisi m asyarak at W ah idiyah m ak a seluruh sarana ibadah h arus terlebih dah ulu dipastik an k e- suciannya. Setelah itu, ibadah dilak uk an dengan busana yang rapi dan penuh k esopanan serta dilak uk an dengan sik ap taw ad h u’ (sopan- santun) dan k h usyu’ (k onsentrasi) k arena dalam tradisi m asyarak at W ah idiyah ibadah buk an sek adar rutinitas form al, m elaink an ek spresi berm ak na sow an m erek a k e h adapan Allah , dengan segenap sik ap fisik dan batin. D engan gam baran fak tual di atas, secara m ak naw i, ada dalil yang terungk ap dalam perilak u nyata, m esk ipun tidak terucap dalam

53 Penulis melihat ada dua orang mahasiswa pembawa sarung yang ketika kuliah sering duduk di deretan bangku depan, yaitu Alif Munifin dan Sujarwo. Dua mahasiswa ini adalah santri Pesantren At-Tahdzib (PA) yang kuliah di Fakultas Syari’ah IKAHA Tebuireng, Jombang. Dengan tradisi khas kepesantrenannya, kedua mahasiswa ini membawa buku kuliahnya tanpa terbungkus tas, sedangkan sarungnya akrab dengan buku yang dibawanya, sehingga sarung itu secara mudah dapat diketahui.

267 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah k ata-k ata, yaitu: “Kesucian adalah sebagian dari im an” (al-h adits). D engan k ata lain, latar k eadaan seperti itu, m enurut hem at penulis, dapat disebut “dalil perilak u nyata” atau “dalil nyata”. D alam per- spek tif tradisi m asyarak at W ah idiyah , “dalil nyata” tersebut dapat m em beri penjelasan bah w a jik a seseorang m enyatak an diri sebagai orang yang berim an m ak a sem estinya ia m enjunjung tinggi nilai- nilai k esucian, apalagi dalam k aitannya dengan ibadah k epada Allah . D alam prak tik nya, orang yang m em biasak an diri m enjaga k e- sucian niscaya dia ak an terlebih dah ulu m em biasak an diri m enjaga k ebersih an k arena status suci itu di atas status bersih . D engan k ata lain, tradisi ini juga telah m engam alkan sabda R asulullah bah w a “k ebersih an adalah sebagian dari im an.” Sebagaim ana dalam h al ibadah , dalam h al m u’am alah , para pengam al Sh alaw at W ah idiyah juga m enjunjung tinggi nilai-nilai salafiyah . D alam k aitan ini, ada k isah m enarik tentang pengalam an Syaik h KH . Ih san Mah in dalam h al m em ilih w arung m ak an.54 Ketik a KH . Ih san Mah in sedang dalam perjalanan dan k em udian ada k einginan m am pir k e w arung m ak an, dia tidak ak an begitu saja langsung m asuk w arung. Ada k etelitian tersendiri dalam h al m em ilih w arung. Pertam a, w arungnya h arus bersih k arena k ebersih an adalah sebagian dari im an. Jik a w arungnya bersih m ak a h al itu m enandak an bah w a pem ilik w arung adalah orang yang berim an dan m enjaga dengan baik k eim anannya. Apalagi pem ilik w arung sengaja m enjual m ak anan dan m inum an k epada orang lain m ak a m utlak baginya m enjaga k ebersih an w arungnya. W arung m erupak an tem pat bagi sem ua barang dagangan yang dipajang dan dijual. Kebersih an w arung

54 Kisah ini diceritakan kepada penulis oleh Bapak Bahrul Ulum, salah seorang santri KH. Ihsan Mahin dan staf pengajar di Pesantren At-Tahdzib (PA) Rejoagung, Ngoro, Jombang. Kisah tersebut diperoleh dari KH. Ihsan Mahin sendiri. Kisah tersebut diceritakan pada saat penulis dan Bapak Bahrul Ulum kembali ke PA dari perjalanan penggalian data-data konseptual tentang Wahidiyah kepada Kiai Zainuddin Tamsir, salah seorang tokoh Penyiar Shalawat Wahidiyah (PSW) dan pengasuh Pesantren At-Tahzhibi di Desa Sangen Kecamatan Geger Kabupaten Madiun, (16 Maret 2006).

268 Pengalaman Keberagamaan Masyarakat Wahidiyah m erupak an jam inan bagi k ebersih an sem ua barang yang ada di dalam nya. D engan dem ik ian, k ebersih an w arung m ak anan dan m inum an m erupak an jam inan bagi terjaganya k ebersih an m ak anan dan m inum an yang dijual oleh pem ilik atau pelayannya. Selain alasan k eim anan penjual atau pelayan w arung serta jam inan k ebersih an m ak anan dan m inum an yang dijualnya, k e- bersih an w arung juga penting bagi terpelih aranya k eseh atan. W arung yang bersih dapat m enjadi jam inan bagi terjaganya m ak anan dan m inum an yang jauh dari ancam an penyak it, m isalnya penyak it yang dibaw a oleh binatang-binatang yang biasanya suk a m engerum uni tem pat-tem pat yang tidak bersih atau jorok . Kedua, pem ilik atau pelayan w arungnya juga diperh atikan, apa- k ah dia–jik a perem puan—m em ak ai k erudung atau tidak k arena k erudung m erupak an sim bol identitas seorang yang taat beragam a. O rang yang seperti ini dipercaya berh ati-h ati dalam h al m em asak dan m enjual m ak anan dan m inum annya. Tentu pem ilih an terh adap bah an m asak an, cara m em asak , dan cara m enjualnya juga m em per- h atik an ajaran-ajaran agam a. D alam ungk apan singk at, sebagaim ana diceritak an k epada Bapak Bah rul Ulum , KH . Ih san Mah in pernah m engatak an: “Tidak sem ua orang m engerti air dua k ulah ”. O rang yang m engerti air dua k ulah m erupak an tanda bah w a dia m em ah am i ajaran dan h uk um Islam . Sebab uk uran dua k ulah tersebut merupa- k an jam inan standar bagi k adar k esucian air yang cuk up digunak an untuk bersuci. Ketiga, pem ilik w arung atau penjual m ak anan juga diperh atikan lebih jauh dari sisi k ebersih an badannya. D i sini, tentu yang ak an dipilih adalah pem ilik w arung atau penjual m ak anan yang berbadan bersih . Sebab, jik a badannya bersih , tentu dia juga ak an m em per- lak uk an barang jualannya secara bersih . Selain itu, dalam pandangan m asyarak at um um , jik a si penjual m ak anan berbadan bersih , atau m ungk in plus berpenam pilan m enaw an, h al itu dapat m em bantu m eningk atkan selera m ak an bagi k onsum ennya.

269 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Apabila k etiga syarat itu terpenuh i dalam sebuah w arung m ak an- an atau m inum an m ak a KH . Ih san Mah in tidak ak an segan-segan untuk m am pir k e w arung tersebut. M enurut h em at penulis, selek tivitas dalam pem ilih an w arung yang dilak uk an KH . Mah in m erupak an sebagian dari ek spresi k eh ati- h atiannya dalam m enerapk an ajaran agam a bidang m u’am alah . Sikap berh ati-h ati dalam m em ilih m ak anan m em ang sesuatu yang di- anjurk an. Sebab, m ak anan dan m inum an yang diserap oleh tubuh ak an berpengaruh terh adap perk em bangan ruh ani si pem ak an dan pem inum nya. Perk em bangan ruh ani ini selanjutnya juga berpenga- ruh terh adap w arna perilak u dan k ondisi pengalam an ibadah nya. O leh k arena itu, k ita perlu m em ilih m ak anan dan m inum an yang dijam in k ebersih an, k esucian, dan k eh alalannya, agar tidak terk ena sank si larangan dan tidak berpengaruh buruk terh adap perk em bangan ruh ani dan pengalam an beribadah . D alam k aitan dengan pengaruh m ak anan tersebut, suatu saat KH . Ih san Mah in m em beri penjelasan k epada salah seorang puteri- nya, Tsulasa’: jik a seseorang telanjur m ak an seek or sem ut—k arena tidak sengaja—m isalnya, h atinya ak an gelap selam a 40 h ari.55 Ini m erupak an gam baran sederh ana bah w a m ak anan dan m inum an yang diserap oleh tubuh ak an berpengaruh terh adap perk em bangan ruh ani. Padah al sem ut tidak pernah disebut sebagai h ew an yang h aram dim ak an. D ari penjelasan tersebut sebenarnya dapat diam bil pelajaran bah w a k eh ati-h atian dalam m em ilih m ak anan dan m inum an adalah penting untuk diperh atik an agar perk em bangan ruh ani dan peng- alam an beribadah dapat berlangsung dengan baik , dem i k esem pur- naan ibadah k epada Allah . Ada k isah lain yang berk aitan dengan tradisi salafiyah dalam bidang m u’am alah , yaitu k isah penolak an terh adap sum bangan dana pem bangunan. Sum bangan dana pem bangunan yang cuk up besar

55 Informasi diperoleh penulis dari Ning Tsulasa’, salah seorang puteri KH. Ihsan Mahin, (15 Maret 2006).

270 Pengalaman Keberagamaan Masyarakat Wahidiyah jum lah nya untuk pondok m ilik KH . Ik h san Mah in ini berasal dari seorang anggota k eluarga pejabat negara.56 Suatu saat ada seorang utusan datang m em baw a uang tunai dari penyum bang dana untuk k eperluan tersebut. Nam un beberapa h ari sebelum nya, KH . Ik h san M ah in m em eroleh inform asi bah w a si penyum bang m em ilik i perusah aan ternak babi di Batam . Atas dasar inform asi ini, dia tidak bersedia m enerim a sum bangan tersebut k arena dia tidak ingin pondok yang dibangun dan dik em bangk annya ter- cam puri oleh barang h aram . Apalagi dia benar-benar m enyadari bah w a pondok yang diasuh nya m erupak an tem pat m ulia yang k elak m elah ir- k an para ‘alim yang m engem ban tugas m ulia untuk m enyiark an Islam , m enyebark an ilmu Islam , dan m em bina h al-ih w al k eberagam aan m asyarak at. Atas dasar peristiwa tersebut, KH . Ik h san Mah in ak h irnya justru cenderung m enolak sum bangan apa pun dari m asyarak at dan pem e- rintah , dan bah k an dari alum ninya sendiri. D ia lebih suk a m em - bangun pondok dengan k eringatnya sendiri, dibantu oleh para santri- nya dengan m odel gerilya dan k erja bak ti sebagai ‘am al jariyah m erek a selam a belajar di pesantren. Tradisi k erja bak ti itu terus berlangsung h ingga sek arang, dalam k epengasuh an Kiai Ah m ad Masruh , putera sulung KH . Ik h san Mah in. Kiai Ah m ad Masruh inilah yang m elanjut- k an perjuangan Ayah andanya m engasuh Pesantren At-Tah dzib (PA). Keh ati-h atian KH . Ik h san M ah in begitu dalam tertanam di h ati para santrinya. Bah k an, beberapa santri yang k em udian m enjadi alum ni, yang sek arang ini telah suk ses h idupnya m enyatak an tak ut ditolak k einginannya untuk m em berik an sum bangan bagi pondok k arena m erek a pah am benar bah w a KH . Mah in dah ulunya tidak suk a m em inta atau m enerim a sum bangan dari m asyarak at, bah k an dari alum ninya sendiri, untuk pem bangunan pondok .57

56 Nama dan identitas pemberi sumbangan tidak dicantumkan oleh penulis, demi terwujudnya kearifan dalam buku ini. 57 Informasi ini diperoleh penulis dari Gus Ahmad Dzaki Ghufron (akrab dipanggil Gus Mad), salah seorang putera KH. Ihsan Mahin, (25 Februari 2006).

271 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

F. Etik a dalam Kontek s Spiritualitas dan R elasi Sosial D alam k eh idupan seh ari-h ari m asyarak at W ah idiyah , nilai-nilai etik a juga dijunjung tinggi dalam k ontek s spiritualitas dan relasi sosial. D i antara nilai-nilai tersebut adalah sopan-santun dan k eluh ur- an budi pek erti. Nilai-nilai ini m ew ak ili nilai-nilai m oral dan ak h lak m ulia (al-ah lâq al-k arîmah ). Merek a pada um um nya begitu m eng- h orm ati orang yang status sosial atau usianya lebih tinggi dan m e- nyayangi orang yang status sosial atau usianya lebih rendah . Tradisi m encium tangan k iai oleh santri atau m asyarak at, ucap- an santun k iai k epada santri atau m asyarak at, berdiam diri dengan penuh h orm at pada saat k iai lew at atau ak an lew at, serta tidak segera m em balik k an badan saat pam it dari pertem uan dengan k iai atau sesepuh m erupak an sebagian dari buk ti tradisi m enjunjung tinggi nilai etik a dalam k eh idupan sosial m asyarak at W ah idiyah . Nilai-nilai etik a seperti itu tam pak nya dijiw ai oleh tradisi tah sîni (berbaik ak h lak ) dalam k ontek s spiritualitas ibadah dan relasi sosial. Nilai tah sîni ini m erupak an status m ulia tertinggi yang ingin dicapai oleh m asyarak at W ah idiyah dalam k eh idupan spiritualitas dan relasi sosial, buk an sek adar ungk apan form al. Jika ada pengam al W ah idiyah yang berlak u sopan-santun k epada orang lain atau m enyayangi orang lain, sebenarnya ada nilai di balik ek presi itu yang m enjadi ruh nya, yaitu nilai tah sîni. D engan dem ik ian, perilak u sopan-santun dapat dipah am i sebagai pancaran nilai yang bersum ber dari dalam dan bah w a tradisi tersebut buk an k am uflase ek spresif dalam tradisi perilak u. Lebih jauh lagi, jik a dilacak dari ak arnya, tradisi sopan-santun tersebut bersum ber dari nilai-nilai taw adh u’ (k esopanan) dalam spiri- tualitas ibadah . D alam ibadah seh ari-h ari, m asyarak at W ah idiyah m em biasak an diri m enjunjung tinggi sik ap dan perilak u taw ad h u’ dalam ibadah . Ibadah dan m ujâh ad ah (dzik ir) yang dilak uk annya disertai dengan ek spresi tangis h ingga tersedu-sedu. Ek spresi ini m erupak an buk ti yang m udah dipah am i sebagai sik ap taw ad h u’ dan penuh h arap saat beribadah k epada Allah . Sik ap ini m enjadi tradisi h arian pada setiap m erek a beribadah dan ber-m ujah adah k epada Allah .

272 Pengalaman Keberagamaan Masyarakat Wahidiyah

Bah k an, sik ap taw ad h u’ tersebut berdiri di atas sik ap rasa berdosa dengan sedem ik ian sunguh -sungguh m em oh on am punan k epada Allah . Sik ap rasa berdosa ini m enjadi tradisi h arian dalam ibadah dan m ujah ad ah m erek a k epada Allah . Sik ap taw ad h u’ dan penuh h arap saat beribadah k epada Allah itu m enjadi ruh dalam k eh idupan seh ari-h ari m asyarak at W ah idiyah . Buah dari sik ap tersebut adalah sik ap dan perilak u m enjunjung tinggi nilai-nilai k esopanan k epada orang-orang yang dipandang dek at dengan Allah . O leh k arena itu, k iranya dapat dipah am i m engapa m erek a sedem ik ian m enjunjung tinggi R asulullah dan para w ali, k h ususnya orang yang dipandang (atau dipercaya) sebagai sulthân al-auliyâ’ atau gh auts h adza az-zam an. Buk an h anya itu, dalam k ontek s relasi sosial, m erek a juga m enerapk an nilai-nilai taw ad h u’ itu dengan cara m engh orm ati orang yang status sosial atau usianya lebih tinggi dan m enyayangi orang yang status sosial atau usianya lebih rendah . D i sinilah ditem uk an, dan dapat dipah am i, m ak na-m ak na etika yang dijunjung tinggi dalam k ontek s budaya spiritualitas dan relasi sosial m asyarak at W ah idiyah . Tradisi taw ad h u’ sebagaim ana gam baran di atas juga dapat dijum pai pada sebagian k om unitas m asyarak at atau di pesantren- pesantren salafiyah . D i beberapa pesantren di Pasuruan dan Madura m isalnya, tradisi taw ad h u’ sedem ik ian dijunjung tinggi oleh m asya- rak at dan para santri. Bah k an di pesantren Sidogiri Pasuruan, santri tidak h anya m engh orm ati k eluarga nd alem (k eluarga k iai dan seluruh anggota k eluarganya), tetapi juga para tam unya. M isalnya, k etik a tam unya sedang berjalan-jalan k eliling pondok , para santri— dengan k em am puan daya selek sinya—m engh orm ati si tam u itu dengan sik ap h orm at yang tinggi, m esk ipun si tam u m asih berada di jarak yang tidak dek at dengan dirinya. Ak an tetapi, tradisi taw adh u’ dalam m asyarak at W ah idiyah m em - punyai ruh yang k h as sesuai dengan substansi dan nilai-nilai m oral ajaran W ah idiyah , dan ini tertanam sedem ik ian k uat dalam sanubari dan perilak u m erek a. D engan dem ik ian, secara h istoris dan sosial,

273 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah terpelih aranya budaya etik a dalam k ontek s relasi sosial sangat di- tentuk an oleh derajat k eteguh an untuk m em egang dan m ew arisk an nilai-nilai k e-taw ad h u’-an k epada diri pribadi, k eluarga, dan m asya- rak at Wah idiyah pada k h ususnya, dan k epada m asyarak at luas pada um um nya.

G.H arm oni antara D im ensi Spiritualitas, Syari’at, dan Moralitas D alam k eh idupan ini, dim ensi spiritualitas terk adang dijadik an sebagai perisai untuk sik ap-sik ap yang m erendah k an dim ensi lainnya, yak ni dim ensi syari’at dan m oralitas (al-ak h lak al-k arim ah ). Ak an tetapi, dalam m asyarak at W ah idiyah , h al tersebut tidak pernah ter- jadi. Masyarak at W ah idiyah berusah a m em perjuangk an h ubungan yang h arm onis antara dim ensi spiritualitas, dim ensi syari’at, dan dim ensi m oral dalam k eseh arian h idup m erek a. Tradisi ini bersum ber dari nilai-nilai yang diajark an oleh ideologi W ah idiyah yang terdiri dari lim a ajaran pok ok , yak ni: (1) lillâh -b illâh (berusah a untuk tobat, k em bali m eneguh k an tauh id k epada Allah dengan m elak sanak an syari’at-Nya secara utuh dan sungguh -sungguh ); (2) lirrasûl-b irrasûl (m enjunjung tinggi ek sistensi dan jasa-jasa R asulullah Muh am m ad Saw.); (3) lilgh auts-b ilgh auts (m engh orm ati k eberadaan dan peran penting gh auts yang m engem ban am anat reform asi ruh aniah dan ak h lak um at m anusia, serta penyelam atan dalam k elangsungan se- jarah nya); (4) yu’tîku al-ladzî h aqqin h aqqah (m em berik an h ak k epada setiap yang berh ak ); dan (5) taqd îm al-ah am m fa al-ah am m tsum m a al anfa’ fa al-anfa’ (m engutam ak an h al-h al yang lebih penting dan lebih berm anfaat daripada yang k urang penting dan k urang ber- m anfaat). Satu contoh untuk m enjelask an h arm oni k etiga dim ensi ter- sebut adalah sik ap salah seorang pengam al W ah idiyah k etik a m enge- tah ui ada orang tenggelam di sungai saat ia ak an m elak sanak an sh alat w ajib yang w ak tunya h am pir h abis. D alam m engh adapi siatuasi seperti ini, seorang pengam al W ah idiyah h arus berpik ir dan m em -

274 Pengalaman Keberagamaan Masyarakat Wahidiyah pertim bangk an banyak h al, m ana yang lebih penting dan lebih ber- m anfaat. Pertam a, m elak sanak an sh alat m erupak an tugas h idupnya dalam jangk auan lillâh -billâh , dan ini bersifat m utlak baginya. Kedua, m elak sanak an sh alat juga adalah sunnah R asulullah dalam k oridor lirrasûl-birrasûl, dan ini m em eroleh jam inan k ebenaran secara m utlak . Ketiga, sh alat juga h arus dilak sanak an k arena m engik uti bim bingan ruh ani gh auts–sang pengem ban am anat reform asi ruh aniah dan ak h lak um at m anusia dalam upaya pencapaian derajat m ulia di sisi Allah di dunia dan ak h irat. Keem pat, jika sh alat tetap ia lak uk an dem i m em enuh i perintah Allah , m engik uti rasul-Nya, dan juga m engik uti petunjuk gh auts m ak a orang yang tenggelam ak an terancam m ati. Padah al dia juga berh ak atau bah k an w ajib m em eroleh pertolongan. D alam k eadaan dem ik ian, seorang pengam al W ah idiyah m em punyai k ew ajiban untuk “m em berik an h ak orang yang tenggelam untuk di- tolong” (yu’tîku al-lad zî h aqqin h aqqah ). D alam k ondisi seperti ini, seorang pengam al W ah idiyah benar-benar dalam k eadaan dilem atis. Lantas apa yang h arus dia lak uk an? Kelim a, segera m elak sanak an sh alat pada w ak tu yang h am pir h abis adalah penting. D em ik ian juga m e- nolong orang yang tenggelam juga penting k arena m enyelam atkan jiwa (nyaw a) m ak h luk Allah , dan setiap jiwa dalam pandangan syari’at Islam adalah sangat berh arga. Bah k an di dalam Al-Q ur’an disebutkan: “Siapa yang m enyelam atkan jiwa m anusia m ak a nilainya sam a dengan m enyelam atkan seluruh um at m anusia” (Q S. al-M â‘id ah [5]: 32). D engan dem ik ian, segera m elak sanak an sh alat dan m enolong orang yang tenggelam adalah sam a-sam a penting. O leh k arena itu, h arus diputusk an m ana di antara k edua h al itu yang lebih penting dan berm anfaat. Untuk itu, tanpa k eraguan sedik it pun diputusk an bah w a m enolong orang tenggelam itu lebih penting dan berm anfaat dan k arenanya h arus lebih diutam ak an daripada segera m elak sanak an sh alat k arena pelak sanaan sh alat dapat di-qad h a’ (diganti pada w ak tu lain), sedangk an m enolong orang tenggelam tidak dapat ditunda. D ari contoh di atas dapat dipah am i secara lebih jelas bah w a w ush ûl (sadar beribadah ) dalam dim ensi spiritualitas W ah idiyah ditem patkan secara k ok oh dalam h arm oninya dengan dim ensi syari’at dan dim ensi

275 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah m oral, terutam a dalam k ontek s h ubungan sosial k em asyaratan. Prinsip lillâh -b illâh secara spiritualistik tidak ditem patkan secara terpisah dan apalagi untuk m erendah k an dim ensi syari’at dan dim ensi m oral. Ak an tetapi sebalik nya, prinsip ajaran lillâh -b illâh justru dijadik an sebagai ruh dalam pengam alan syari’at Islam secara utuh dan sungguh -sung- guh serta dalam dim ensi m oralitas.

276 Shalawat Wahidiyah: Produk Tasawuf Lokal dengan Misi ... setiap k urun w ak tu tertentu dalam sejarah m anusia, pasca-R asulullah . O leh k arena sedem ik ian strategis k eberadaan gh auts dalam k eh idupan ini m ak a W ah idiyah m engajark an agar m anusia, k h ususnya para peng- am alnya, m engh orm ati k eberadaan dan peran pentingnya. Pada prak tik nya, k esadaran tentang peran strategis gh auts dan pengh argaan terh adapnya diw ujudk an dalam em pat bentuk . Pertam a, m em erh atik an dan m engam alkan dengan sungguh -sungguh bim - bingan gh auts dalam h al k eruh anian untuk tercapainya w ush ûl-m a’rifat k e h adirat Allah . Kesadaran ini m erupak an energi yang m enggerak k an segenap potensi diri dan k esanggupan jiw a untuk m encapai ridh a Allah , dengan m elak sanak an syari’at-Nya secara utuh dan sungguh - sungguh . Ked ua, k eduduk an gh auts dim asuk k an k e dalam aw râd (rang- k aian k alim at dzik ir dan doa) Sh alaw at W ah idiyah . Adapun yang dih arapk an dari gh auts dalam aw râd tersebut adalah nazh rah , yak ni pancaran bim bingan agar diperoleh w ush ûl k e h adirat Allah . H al ini sesuai dengan dua firm an Allah berik ut ini: (1) “D an janganlah k alian berk ata bah w a orang-orang yang gugur di jalan Allah itu m ati; m erek a tetap h idup, tetapi k alian tidak m enyadarinya” (Q S. al-Baq arah [2]: 154) dan (2) “D an janganlah k alian m engira bah w a orang-orang yang gugur di jalan Allah itu m ati; m erek a tetap h idup di sisi Tuh annya dan m erek a m em eroleh rizk i (k enik m atan besar)” (QS. Ali ‘Im rân [3]: 169 ). D engan k ata lain, orang yang m ati syah id saja tetap h idup, apalagi para nabi, para rasul, dan para k ek asih Allah . O leh k arena itu, dalam W ah idiyah diyak ini secara k uat potensi gh auts yang m em - bim bing ruh ani um at m anusia dalam usah a tercapainya w ush ûl k e h adirat Allah . Ketiga, m em berik an h adiah fâtih ah k epada gh auts sebagai ung- k apan terim a k asih k epadanya yang telah m em bim bing w ush ul k epada Allah . Ini juga terk ait dengan h arapan m em eroleh nazh rah gh auts sebagaim ana dijelask an dalam poin k edua. Pada prak tik nya, h adiah fâtih ah itu sebenarnya tidak h anya diperuntuk k an bagi gh auts sem ata, tetapi juga k epada Nabi Muh am m ad, para penduk ung gh auts, dan

281 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah seluruh k ek asih (w ali) Allah . H adiah fâtih ah ini dibaca sebelum rangk aian aw râd Sh alaw at W ah idiyah dibaca. Adapun urut-urutan pem berian h adiah fatih ah adalah (1) h adiah fâtih ah k epada Nabi M uh am m ad Saw ., (2) h ad iah fâtih ah k e pad a gh auts d an para penduk ungnya, (3) h adiah fâtih ah k epada seluruh k ek asih (w ali) Allah . Posisi m erek a dalam rangk aian pem bacaan aw rad Sh alaw at W ah idiyah adalah sebagai jalur pengh ubung (w asîlah ) dalam per- jalanan m enuju w ush ûl k epada Allah m elalui “jalan pintas bebas h am batan” W ah idiyah .1 D alam ajaran W ah idiyah , gh auts m em ang m em ilik i posisi dan juga peranan yang strategis. Gh auts dipandang sebagai pem bim bing ruh ani para pangam al W ah idiyah . H al ini dapat dipah am i lebih jauh dalam h ierark i pengem bangan dalam tasaw uf W ah idiyah .2 D alam h al ini, m uallif Shalaw at W ah idiyah pernah berpesan k epada para pengam al agar berh ati-h ati k etik a berbicara tentang gh auts, bah k an lebih baik tidak m em bicarak annya k arena dik h aw atirk an ak an m e- nim bulkan k esalah pah am an di k alangan m asyarak at um um .3 Pesan m uallif ini dapat dipah am i sebagai langk ah preventif. Kalaupun gh auts dibah as atau diperbincangk an m ak a lebih baik dibicarak an secara internal k arena gh auts yang m uncul pada dek ade tertentu (tiap seratus tah un m enurut versi tafsiran terh adap h adits nabi*) sebagai m ujad did ruh ani m erupak an rah asia Allah . H al ini berbeda dengan k eh adiran seorang nabi, sem isal Nabi Muh am m ad Saw. yang sebelum nya telah diberitah uk an dalam k itab Taurat dan Injil.

1 Wawancara dengan KH. Moh. Ruhan Sanusi (Ketua Umum DPP PSW) di Mangunsari, Tulungagung, (22 Februari 2007). 2 Mengenai hal ini, lihat pembahasan tentang “Hierarki dalam Tasawuf Wahidiyah” pada subbahasan A, nomor 2. 3 Hasil wawancara dengan Abdul Wahid Suwoto, pengamal Shalawat Wahidiyah yang memeroleh bimbingan langsung dari muallif, (21 Februari 2007), di Maesan Sooko Kediri. * Muhammad Muhyiddin ‘Abd al-Hamid, Sunan Abî Dâwud, Jld. IV, (Kairo, Mesir: at-Tijariyyah al-Kubra, 1953), hlm. 109.

282 Shalawat Wahidiyah: Produk Tasawuf Lokal dengan Misi ...

D alam literatur tasaw uf, gh auts adalah w ali Allah yang m en- duduk i strata tertinggi.4 W ali-w ali (al-aw liyâ‘) sebagai pengh uni alam gaib (ah l al-gh aib ) m em bentuk suatu struk tur secara h ierark i yang berbentuk seperti piram ida dengan quthb berada di atasnya. M erek a adalah pegaw ai-pegaw ai Allah : 300 orang disebut Ak h yâr, 40 orang disebut Ab d âl, tujuh orang disebut Ab râr, em pat orang disebut Aw tâd , tiga orang disebut Nuqab â’, dan satu orang disebut Q uthb atau Gh auts.5 Piram ida struk tur itu dapat digam bark an sebagai berik ut:

1 orang (Quthb /Ghauts) 3 orang (Nuqabâ’) 4 orang (Awtâd) 7 orang (Abrâr) 40 orang (Abdâl) 300 orang (Akhyâr)

Gambar 3: Piramida Struktur Wali-Wali Allah Penghuni Alam Gaib d. Strategi Pem bentuk an Keseim bangan Sosial Inti ajaran tentang “strategi pem bentuk an k eseim bangan sosial” ini bersum ber dari pok ok k eem pat ajaran W ah idiyah , yak ni yu’tî k ulla d zî h aqqin h aqqah (m em berik an h ak k epada setiap yang berh ak ; m elak sanak an k ew ajiban tanpa m enuntut h ak ). Secara sosiologis, k eseim bangan sosial (social equilib rium ) m e- rupak an k ondisi k eseim bangan sosial yang m enggam bark an adanya

4 Wali ialah orang yang telah mencapai puncak kesempurnaan (al-insân al-kâmil). Oleh karena pengabdian dan amalannya yang ikhlas hanya untuk mencarai ridha Allah semata, ia memeroleh berbagai kemampuan yang luar biasa, kemampuan yang suprainsani sebagai karunia Allah, yang biasa disebut dengan karâmah. 5 Tentang wali dan ghauts, lihat Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, hlm. 402- 403.

283 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah relasi fungsional antarperan dalam sistem sosial. Fungsi-fungsi sosial yang m ew ak ili peran individu-individu sem uanya berjalan dengan baik dalam dinam ik a sosial suatu m asyarak at. R eferensi dan pengen- dali utam a berfungsinya peran ini adalah nilai-nilai dan perangk at aturan, h uk um , serta adat-istiadat yang berlak u dalam k om unitas yang bersangk utan. Secara sosiologis, k ondisi k eseim bangan sosial m erupak an em brio bagi terciptanya k eh idupan sosial yang h arm onis. Secara ideal m aupun prak sis, peran-peran sosial itu pada dasar- nya m erupak an ek spresi dari h ak dan k ew ajiban. Kew ajiban bagi seseorang m erupak an h ak bagi orang lain. Sebalik nya, h ak bagi se- seorang m erupak an k ew ajiban bagi orang lain. Sebagai contoh , k e- w ajiban orang tua m erupak an h ak bagi anak sem entara k ew ajiban anak m erupak an h ak bagi orang tua. Begitu juga k ew ajiban suam i m erupak an h ak bagi istri dan k ew ajiban istri m erupak an h ak bagi suam i. D alam relasi sosial secara lebih luas, setiap orang punya h ak , m isalnya, untuk m em peroleh rasa am an, dih argai, dih orm ati dan diperlak uk an secara baik , sem uanya itu m erupak an k ew ajiban yang h arus dipenuh i oleh orang lain terh adapnya. Secara ideal, k eseim bangan sosial dapat tercipta apabila setiap individu dalam peran sosialnya m elak sanak an k ew ajiban dan sek aligus m em berik an h ak terh adap pih ak yang m em ang sudah seh arusnya m endapatkan h ak tersebut. Ak an tetapi, dalam prak tik nya, banyak orang yang lebih m engutam ak an dan selalu m enuntut h ak , nam un tidak m au m elak sanak an k ew ajibannya. Ada juga orang yang m e- nuntut sesuatu yang buk an h ak nya atau m eram pas h ak orang lain. H al-h al inilah yang m engh alangi terw ujudnya k eseim bangan sosial. Tasaw uf W ah idiyah m engajark an bah w a “m em enuh i h ak setiap yang berh ak ” h arus lebih diutam ak an daripada m enuntut h ak . Ajaran ini juga diyak ini dapat digunak an sebagai strategi pem bentuk an k e- seim bangan sosial. Pada ajaran W ah idiyah , secara lebih luas istilah “setiap yang berh ak ” itu tidak h anya terbatas pada “m anusia dalam peran sosialnya”, tetapi juga pada “apa pun yang berh ak ,” seperti tugas dan pek erjaan yang punya h ak untuk dilak sanak an dan di-

284 Shalawat Wahidiyah: Produk Tasawuf Lokal dengan Misi ... k erjak an; lingk ungan tem pat tinggal, busana, dan k endaraan seh ari- h ari juga punya h ak untuk diraw at dan dibersih k an; begitu juga setiap barang punya h ak untuk ditem patkan pada tem patnya. D alam k aitan ini, tasaw uf W ah idiyah tidak m enyebutkan istilah “k ew ajiban” dalam ajarannya. Ia juga tidak m engajark an “m engutam a- k an h ak daripada k ew ajiban”. Sebalik nya, W ah idiyah m em andang cuk up efek tif dan efisien dengan h anya m enyebut “m em enuh i h ak k epada setiap yang berh ak .” Secara sek ilas, rangk aian k alim at itu tam pak datar saja k arena tidak ada k ata “m engutam ak an” atau k ata yang sem ak na dengannya; begitu juga tidak ada k ata “daripada” atau k ata yang sem ak na dengan- nya, dan tidak ada k ata-k ata “h arus”, “seh arusnya”, “h endak nya”, atau k ata lain yang sem ak na dengannya. Mesk i dem ik ian, di dalam nya term uat m ak na yang dalam dan substantif. Pertam a, rangk aian k alimat dalam ajaran itu m enggam bark an tidak adanya unsur perbandingan dan tarik -m enarik antara h ak dan k ew ajiban. Kedua, rangk aian k alim at dalam ajaran itu juga m enggam bark an substansi ajaran tentang k on- sentrasi terh adap h ak yang m esti diberik an k epada setiap yang berh ak . D an, m ak na substantif itulah yang m em ang dik eh endak i oleh ajaran W ah idiyah . Bah k an W ah idiyah m engajark an agar para pengam alnya m em berik an prioritas untuk m em berik an h ak k epada setiap yang berh ak , tanpa terlalu berh arap h ak nya ak an dipenuh i oleh orang lain. H al ini dapat dipah am i lebih jauh jik a dik aitkan dengan fondasi utam a dalam ajaran W ah idiyah , yak ni lillâh -b illâh dem i tercapainya ridh a Allah . R idh a Allah inilah yang m enjadi puncak m a’rifat dalam seluruh am al perbuatan. Allah sendiri yang berh ak m engatur dan m endistri- busik an h ak k epada setiap yang berh ak . Gam baran di atas lebih banyak berk enaan dengan am al ibadah dan relasi sosial, k ecuali pada aspek tugas jabatan dan pek erjaan yang bersifat transak sional dan profesional. Ak an tetapi yang pasti bah w a prinsip ajaran yu‘tî k ulla d zî h aqqin h aqqah juga bisa digunak an se- bagai landasan operasional dalam aspek tugas jabatan dan pek erjaan yang bersifat transak sional dan profesional. Sem ua itu dim ak sudk an agar terjadi k eseim bangan sosial dalam m asyarak at.

285 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah e. Efisiensi dan Produk tivitas H idup Pribadi dan Sosial Inti ajaran “efisiensi dan produk tivitas h idup pribadi dan sosial” ini bersum ber dari pok ok k elim a ajaran W ah idiyah , yak ni taqd îm al- ah am m fa al-ah am m tsum m a al-anfa’ fa al-anfa’’ (m engutam ak an h al yang lebih penting dan lebih berm anfaat daripada yang penting dan berm anfaat). D alam k eh idupan seh ari-h ari, sering dijum pai berbagai per- soalan sulit yang h arus diselesaik an dalam w ak tu yang bersam aan. D alam k eadaan seperti ini, perlu dilak uk an sek ala prioritas; m ana persoalan yang penting dan m ana yang lebih penting (ah am m ) dan perlu diprioritask an untuk diselesaik an. Jik a berbagai persoalan itu sam a-sam a penting m ak a yang diprioritask an adalah yang lebih berm anfaat (al-anfa’). Terk ait dengan h al ini, W ah idiyah telah m enetapk an pedom an standar m engenai “yang lebih penting” (al-ah am m ) dan “yang lebih berm anfaat” (anfa’). Yang dim ak sud al-ah am m (yang lebih penting) secara um um adalah segala h al yang berh ubungan langsung dengan Allah dan rasul-Nya, terutam a h al-h al yang bersifat w ajib. Sedangk an yang dim ak sud al-anfa’ (yang lebih berm anfaat) adalah segala h al yang m anfaatnya bisa dirasak an oleh banyak orang (m asyarak at banyak ). D alam pandangan W ah idiyah , standar bagi al-ah am m ber- sifat syar’iyyah (yuridis); dalam arti berh ubungan langsung dengan Allah dan rasul-Nya. Sem entara standar bagi al-anfa’ bersifat sosial, dalam arti k em anfaatan sosial. D alam h uk um Islam , term inologi “k e- m anfaatan sosial” term asuk dalam k onsep m ash lah ah linnâs (k em as- lah atan m anusia). Secara lebih detil, W ah idiyah m enjelask an bah w a sesuatu h al bisa dik atak an m em ilik i m anfaat6 apabila ia bisa m enjadi penyebab sem ak in dek atnya seseorang k epada Allah dan rasul-Nya. Ak an tetapi,

6 Gerak manfaat dalam hal ini mengalami perkembangan terminologi secara konseptual, yang semula ditempatkan pada terminologi gerak sosial kemudian dikaitkan dengan terminologi gerak ibadah kepada Allah (relasi dengan Sang Ilahi).

286 Shalawat Wahidiyah: Produk Tasawuf Lokal dengan Misi ... jik a sesuatu h al justru berfungsi sebalik nya m ak a h al itu dik atak an m udarat (m em bah ayak an). Jik a sh alat, puasa, atau ibadah -ibadah lainnya ternyata tidak m enyebabk an seseorang yang m enjalank annya sem ak in dek at k epada Allah dan rasul-Nya m ak a sem ua tindak an itu boleh dik atak an tidak berm anfaat, tetapi justru bisa m endatangk an bah aya. Sh alat yang tidak sem ak in m endek atkan pelak unya k epada Allah adalah sh alat yang tidak disertai adanya perasaan h ud h ûr (k onsentrasi) h ati, dan bah k an m ungk in sebalik nya, dipenuh i oleh perasaan ‘ujub, riya’, dan tak abbur. Jika ini yang terjadi m ak a perbuatan- perbuatan tersebut tidak bernilai m anfaat. Konsep “efisiensi dan produk tivitas h idup pribadi dan sosial” ini sebenarnya m engajark an pola h idup yang efisien dan produk tif dalam ik h tiar m enguk ir prestasi terbaik selam a h idup di dunia. H al ini terk ait dengan m anajem en h idup individu. Ak an tetapi, k arena prestasi h idup individu-individu berak um ulasi dengan sistem sosial m ak a h al ini terk ait juga dengan m anajem en h idup sosial. D i sinilah ditem uk an adanya dim ensi efisiensi dan dim ensi produk tivitas dalam ajaran W ah idiyah . Kedua dim ensi itu dapat diperluas pada sem ua sisi k eh idupan seh ari-h ari, seperti h em at energi h em at biaya, tidak boros, tetapi juga tidak b ak h il (pelit). Ini sesuai dengan ajaran Islam sebagaim ana tercantum dalam Al-Q ur’an.7 Pola h idup m em ang h arus h em at, nam un sh adaqah juga perlu diperh atikan m enurut k em am puan, zak at juga h arus dilak sanak an m enurut uk uran. Sebab dalam sh adaq ah dan zak at itu terdapat nilai efisiensi dan produk tivitas bagi pelak unya, m inim al dalam dua h al. Pertam a, efisiensi dan produk tivitas dalam relasi sosial. Bagi seorang w arga m asyarak at, m isalnya, apabila dia suk a bersh adaq ah atau berzak at niscaya dia ak an m endapatkan nilai tam bah dalam h ubungan k em asyarak atan. H al ini dapat m em buat

7 Efisiensi dan produktivitas waktu—termasuk energi—demi prestasi hidup: QS. al- ’Ashr, 103; efisiensi ekonomi: QS. al-A’râf, [7]: 31; tidak pelit: QS. al-Balad [80]: 6 dan QS. al-An’âm, [6]: 141; tidak boros: QS. al-Isrâ’ [17]: 26–27; suka bershadaqah: QS. al-Baqarah [2]: 273 dan QS. Ali ‘Imrân, 3:134.

287 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah h ubungan sosialnya terasa lebih am an dan nyam an. Pada saat dia sedang punya h ajat, atau sebalik nya, saat terk ena m usibah , dengan nilai tam bah yang dim ilikinya niscaya m asyarak at sek itar ak an dengan senang h ati m em bantunya. D engan nilai plus itu pula m asyarak at sek itarnya ak an m udah m enaruh sim pati dan em pati, atau dengan senang h ati m enolongnya dari m usibah atau ak ibat m usibah yang dialam inya. Kedua, efisiensi dan produk tivitas dalam relasi esk atologis. Islam m engajark an bah w a sh adaqah dan zak at m erupak an tabungan ak h irat bagi pelak unya. Selain itu, sh adaq ah juga diyak ini m am pu m enolak m usibah ,8 sedangk an zak at dapat m enyucik an h arta (Q S. at-Taubah , [9 ]: 103). D engan dem ik ian, nilai efisiensi dan produk tivitas sh ada- q ah dan zak at m enjadi berlipat; pelak unya m em punyai tabungan ak h irat, selam at dari m usibah , dan h artanya suci dari k otoran k arena sebagiannya m erupak an h ak orang lain yang h arus diberik an. f. R evolusi Psik is dan Perilak u Inti ajaran “revolusi psik is dan perilak u” ini bersum ber dari ajaran dan tradisi m ujâh ad ah dalam W ah idiyah . Konsep m ujâh ad ah dalam W ah idiyah ini bersifat k h as, berbeda dengan berbagai aliran tarek at (tasaw uf) yang um um nya m enggunak an istilah istigh atsah . Mujâ- h ad ah berarti “bersungguh -sungguh . Sedangk an istigh âtsah berarti perm oh onan pertolongan. D alam W ah idiyah , m ujâh ad ah diajark an secara tegas dan di- tradisik an oleh para pengam alnya secara intensif. H al tersebut bisa dilih at dari jadw al rutin k egiatan m ujâh ad ah m ulai dari (1) m ujâ- h ad ah individual 40 h arian, (2) m ujâh ad ah k eluarga, (3) m ujâh ad ah m ingguan (usb û’iyah ) untuk tingk at dusun atau desa, (4) m ujâh ad ah

8 Diriwayatkan oleh Sahabat Anas, Rasulullah Saw. bersabda: “Segera bershadaqah- lah setiap pagi, karena sesungguhnya bala itu tidak akan melangkahi shada- qah”(HR. Baihaqi); Dari Sayyidina Hasan, Rasulullah Saw. bersabda: “Bentengi- lah hartamu dengan berzakat, obatilah orang-orang sakitmu dengan bershadaqah, dan hadapilah gejolak bala dengan berdoa dan merasa rendah (hina) di hadapan Allah” (H.R. Abu Dawud).

288 Shalawat Wahidiyah: Produk Tasawuf Lokal dengan Misi ... bulanan (syah riyah ) untuk tingk at k ecam atan, (5) m ujâh ad ah tiga bulanan (rub’u as-sanah ) untuk tingk at k abupaten atau k otam adya, (6) m ujâh ad ah setengah tah unan (nish f as-sanah ) untuk tingk at pro- pinsi, dan (7) m ujâhadah kubrâ (besar) untuk tingk at pusat yang m elibatkan partisipasi seluruh pengam al Sh alaw at W ah idiyah . M ujâh ad ah , sebagai usah a ruh ani untuk m elak uk an revolusi psik is dan perilak u m em iliki berbagai m ak na bagi pengam alnya. D an, seluruh m ak na yang terk andung di dalam nya m em erlih atkan poros dim ensi psik ologis dalam ajaran W ah idiyah . Pertam a, m ujâh ad ah dijadik an sebagai ungk apan tauh id setiap pengam al Sh alaw at W ah idiyah k e h aribaan Allah , k erinduan k epada R asulullah , dan pengh orm atan k epada gh auts h ad za az-zam an yang telah m em eroleh am anat dari Allah untuk m elak uk an reform asi ruh ani dan ak h lak um at m anusia. M ujâhadah sebagai ungk apan tauh id k epada Allah m enjadi m edia penguatan k eyak inan tentang syah adat ilah iah yang sudah tertanam di dalam k albu. Selain itu, ia juga m enjadi m edia tobat k epada Allah dan m edia m em perbaik i perilak u, serta m edia pengasah an k esadaran diri sebagai h am ba Allah yang selalu m erasa butuh k epada-Nya. Sem entara itu, sebagai ungk apan k erinduan k epada R asulullah , m ujâ- h ad ah dijadik an sebagai m edia pengam al untuk beraudiensi dengan nabi; m engungk apk an k erinduan yang m endalam sek aligus m em oh on syafa’atnya. O leh k arena itu, sapaan Yâ sayyid î yâ rasûlallâh benar- benar h idup dalam m ujâh ad ah yang m erek a lak uk an, dan bah k an dalam tradisi h idup k eseh arian m erek a. Selanjutnya, sebagai ungk apan pengh orm atan k epada gh auts h ad za az-zam an, m ujâh ad ah dijadik an sebagai ungk apan salam dan syuk ur k epada gh auts, sek aligus perm oh onan untuk m em eroleh nazh rah (perh atian dan pancaran ruh ani)-nya. Ungk apan syuk ur ini juga disam paik an k epada para penduk ung gh auts dan seluruh w ali Allah yang telah berjasa dalam h al reform asi ruh ani dan ak h lak um at m anusia.

289 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Kedua, m ujâh ad ah juga m erupak an w ujud k epedulian para pengam al Shalaw at W ah idiyah untuk m elanjutkan perjuangan m uallif. Setiap m urid m uallif Shalaw at W ah idiyah berk eyak inan bah w a dirinya m em eroleh am anat dari m uallif dan juga gh auts-nya untuk m enerusk an perjuangannya, yak ni m engajak orang lain untuk bersam a-sam a m em perbaik i diri dem i m em eroleh ridh a Ilah i. Usah a ini diw ujudk an dalam bentuk m ujâh ad ah secara sungguh -sungguh dan dilak uk an secara istiqâm ah (k ontinu), juga dengan m eningk atkan k ualitas ibadah k epada Allah dan berak h lak terh adap sesam a m anusia dan alam sek itarnya dengan ak h lak yang telah diajark an oleh R asulullah . Ketiga, m ujâh adah m erupak an upaya setiap pengam al Sh alaw at W ah idiyah untuk m endek atkan diri k epada Allah . Kedek atan para pengam al W ah idiyah dengan Allah ini diyak ini ak an m enjadik an Allah berk enan m engabulkan apa yang m enjadi tujuan m ulia dalam h idup m erek a. Ak an tetapi, h al itu tetap ditem patkan pada perk enan Allah sendiri, tidak dijadik an sebagai target perm oh onan pelak u m ujâ- h adah . Artinya, apak ah Allah ak an m engabulkan atau tidak m engabul- k an perm oh onan h am banya, sem uanya itu tergantung pada k eh endak Allah , nam un yang jelas Allah M ah a m engetah ui m ana yang terbaik buat h am banya. Apa yang dianggap baik oleh h am ba, m ungk in justru tidak baik m enurut Allah . D em ik ian juga sebalik nya, apa yang di- anggap tidak baik oleh h am ba, m ungk in justru baik m enurut Allah .9 Keem pat, m ujâh ad ah m erupak an sim bol “usah a diri”, buk an “perm oh onan diri”. D alam “usah a diri” terk andung m ak na “m eng- utam ak an k ew ajiban usah a, dan ini buk an sek adar usah a, m elaink an juga usah a yang dilak uk an secara sungguh -sungguh dalam rangk a pencapaian ridh a Allah . D alam h al ini, m ujâh ad ah tidak dim ak sud- k an untuk “m enuntut agar Allah m engabulkan perm oh onan sang h am ba”. Mesk ipun dalam rangk aian m ujâh adah juga terk andung k ata istigâtsah nam un ia tidak digunak an sebagai istilah k unci dalam W ah idiyah .

9 Tentang hal ini, Allah telah berfirman dalam QS. an-Nûr [24]:

290 Shalawat Wahidiyah: Produk Tasawuf Lokal dengan Misi ...

Kelim a, m ujâh ad ah m enjadi m edia k orek si diri bagi para peng- am al Shalaw at W ah idiyah di h adapan Allah . Secara psik ologis, k orek si diri ini m em punyai dua bentuk , yak ni introspek si dan retrospek si. Introspek si berarti k orek si terh adap k esalah an dan k ek urangan diri sendiri pada k ondisi terak tual, k ondisi k ek inian, atau k ondisi yang sedang dialam i oleh pelak u instrospek si. Sedangk an retrospek si berarti k orek si terh adap k esalah an dan k ek urangan diri sendiri pada peng- alam an-pengalam an yang telah dialam i atau dilak uk an pada m asa- m asa sebelum nya. D alam term inologi Islam , retrospek si ini disebut m uh âsabah . Mujâh ad ah sebagai m edia k orek si diri m em iliki dua gerak , yaitu gerak pribadi dan gerak sosial. Kedua gerak ini berpotensi m enjadi penjernih terh adap polusi-polusi dan penyegar stam ina batiniah pelak u m ujâh ad ah (pengam al). Gerak pribadi pada k orek si diri m en- jernih k an dan m enyegark an batin pengam al dalam statusnya sebagai h am ba Allah dan individu anggota m asyarak at. Sedangk an gerak sosialnya m enjernih k an dan m enyegark an psik is pengam al dalam peran sosialnya. Pada k enyataannya, gerak sosial ini m erupak an aplik asi nyata dari gerak individu. Sem ak in tinggi k ualitas gerak pribadi m ak a sem ak in tinggi pula k ualitas gerak sosialnya. Pada gerak pribadi, pengam al Sh alaw at W ah idiyah benar-benar m erasa rendah , h ina, dan m erasa bersalah di h adapan Allah , dan m erasa butuh k epada-Nya. Pada gerak ini pengam al benar-benar m e- num pah k an segenap energi batin untuk ber-m unâjat (bersim puh sam bil menetesk an air m ata) k e h adirat Allah ; mem oh on am punan, pertolongan, dan ridh a-Nya. Sedangk an pada gerak sosial, pengam al Sh alaw at W ah idiyah lebih banyak m erasa bersalah dan m elak uk an pem benah an diri dalam peran sosialnya di m asyarak at. M enurut h em at penulis, gerak sosial pada k orek si diri ini dapat m enjadi potensi yang produk tif dalam m enciptak an tata k eh idupan sosial yang h arm onis. Sebab, dengan gerak sosial k orek si diri itu setiap orang m engutam ak an pem benah an dan peningk atan prestasi diri, tidak m engutam ak an k orek si atau k ritik pada orang lain. Sem ua k ritik

291 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah atau saran dari orang lain dijadik an sebagai m asuk an berh arga dan penam bah k h azanah bagi k orek si diri. Bentuk -bentuk riil gerak sosial k orek si diri adalah tah u diri, tepa salira (tenggang rasa), tidak suk a berlak u sew enang-w enang pada orang lain, suk a m engh orm ati orang lain dan h ak -h ak nya, dan m em andang orang lain penting dan berh arga. Singk atnya, dapat di- k atak an bah w a h am pir sem ua perilak u yang m uncul dari gerak sosial k orek si diri adalah produk tif dalam penciptaan tata k eh idupan sosial yang h arm onis. g. Kepedulian Sosial Inti ajaran tentang “k epedulian sosial” ini bersum ber dari salah satu inti aw rad Sh alaw at W ah idiyah , tepatnya pada k alim at doa:

Ya Allah, berkahilah semua makhluk yang Engkau ciptakan dan negeri ini, serta dalam mujâhadah ini, ya Allah.

D oa tersebut m engek spresik an perh atian terh adap k epentingan tiga pih ak : (1) m ak h luk Allah secara k eseluruh an; (2) negara tem pat pengam al ber-m ujâh adah berada; dan (3) para pengam al m ujâh ad ah itu sendiri. Perh atian dalam doa itu berw ujud perm oh onan k epada Allah agar berk enan m elimpah k an berk ah k epada m erek a sem ua. H al ini m em berik an pem ah am an bah w a dalam ajaran W ah idiyah , per- h atian tidak h anya tertuju pada k epentingan diri sendiri dalam rangk a usah a w ush ûl k epada Allah , tetapi juga k eluarga dan saudara, serta um at m anusia dan juga sem au m ak h luk Allah . Isak tangis yang biasa- nya m ew arnai m ujâh ad ah W ah idiyah juga tidak berorientasi pada k epentingan individu, tetapi berorientasi pada k epentingan sosial. M ak na tangis m erek a itu, sebagai ek spresi rasa rendah (h ina) di h adapan Allah , sem ak in tam pak sebagai w ujud dari k epedulian sosial k etik a dik aitkan dengan firm an Allah dan sabda Nabi Muh am m ad berik ut ini:

292 Shalawat Wahidiyah: Produk Tasawuf Lokal dengan Misi ...

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyiksa mereka, sedang engkau berada di antara mereka. Dan tidaklah Allah akan menyiksa mereka selagi mereka memohon ampun” (QS. al-Anfâl [8]: 33). Nabi Saw . bersabd a:

Dari al-Hasan, Rasulullah Saw. bersabda: “Bentengilah harta- mu dengan berzakat, obatilah orang-orang sakitmu dengan ber- shadaqah, dan hadapilah gejolak bala dengan berdoa dan merasa rendah (hina) di hadapan Allah” (HR. Abu Dawud).

Terk ait dengan k epedulian sosial dalam ajaran W ah idiyah , ter- dapat dua h al yang terk ait di dalam nya. Pertam a, k epedulian sosial yang diek spresik an secara spiritualitas sebagaim ana terdapat dalam doa tersebut. Ked ua, k epedulian sosial yang terdapat pada inti ajaran W ah idiyah lainnya, yak ni (1) seruan Fafirrû ila Allâh untuk bergegas k em bali dan bertobat k epada Allah , serta m eneguh k an tauh id dan m elak sanak an syari’at-Nya secara utuh dan sungguh -sungguh , (2) prinsip yu‘tî k ulla d zî h aqqin h aqqah (m em berik an h ak k epada setiap yang berh ak ) yang di dalam nya term uat dim ensi sosiologis, yak ni dalam k aitannya dengan peran individu dalam relasi sosial, dan (3) sik ap k uratif (pengobatan) terh adap perbuatan batil yang m erusak tata k eh idupan sosial-m asyarak at. Secara prak tis, selain m ujâh ad ah -m ujâh adah yang telah ditentu- k an w ak tunya secara tetap, k epedulian sosial dalam ajaran W ah idiyah juga diw ujudk an dalam bentuk -bentuk : (1) m ujâh ad ah k eam anan untuk m engantisipasi dan m engatasi m usibah sosial dan (2) k egiatan partisipasi ak tif k epedulian sosial di lapangan. Kedua bentuk m ujâ- h ad ah ini dilak sanak an atas instruk si pim pinan pusat, atas inisiatif pim pinan w ilayah , atas inisiatif w ilayah lok al di baw ah nya, atau atas inisiatif individu pengam al W ah idiyah .

293 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah h . Strategi Menyik api Kem ungk aran Inti ajaran tentang “k epedulian sosial” ini bersum ber dari ruh aw râd Sh alaw at W ah idiyah , tepatnya pada k alim at perintah yang didah ului oleh seruan:

Bersegeralah kembali kepada Allah. Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah musnah”. Sesungguhnya yang batil itu pasti musnah.

Kalim at perintah dalam aw râd di atas adalah w a qul jâ’a al- h aqq …”, dan k alim at seruannya adalah fafirrû ila Allâh . Kalim at perintah tersebut sebenarnya adalah ayat Al-Q ur’an (Q S. al-Isrâ’ [17]: 81) yang dinuk il dalam rangk aian aw râd Shalaw at W ah idiyah dan ditem patkan di bagian ak h ir. Ayat tersebut berintikan perintah Allah k epada Nabi Muh am m ad untuk m elak uk an dek larasi (pernyataan) tegas bah w a telah datang k ebenaran (risalah Islam yang dibaw anya) dan h ancurlah k ebatilan k arena sesungguh nya k ebatilan itu pasti m usnah . D ek larasi itu m erupak an pernyataan sik ap W ah idiyah terh adap k ebatilan atau segala h al dan perbuatan yang bertentangan dengan norm a-norm a agam a dan m erusak k eh idupan m asyarak at. Sik ap ini dapat ditransfer k e dalam strategi m enyik api k em ungk aran di tengah - tengah m asyarak at. D alam ajaran W ah idiyah , strategi tersebut se- belum nya didah ului oleh seruan Fafirrû ila Allâh ; seruan untuk bertobat, k em bali k epada Allah , dan m elak sanak an syari’at-Nya. D engan penjelasan di atas, W ah idiyah m engajark an langk ah strategis dalam m enyik api k em ungk aran: pertam a, usah a m enyeru k epada pelak u k em ungk aran untuk bertobat, k em bali k epada Allah , dan m elak sanak an syari’at-Nya. Langk ah pertam a ini diringk as dalam istilah k ultural fafirrû. Ked ua, jik a pelak u k em ungk aran m engabai-

294 Shalawat Wahidiyah: Produk Tasawuf Lokal dengan Misi ... k an seruan itu, dilak uk an usah a k uratif (pengobatan, dalam arti pen- cegah an atau d alam tingk at tertentu, pem berantasan) terh adap k em ungk aran itu. Langk ah k edua ini diringk as dalam istilah k ultural w a qul jâ’a. Sejauh sepengetah uan penulis, langk ah k uratif terh adap k e- m ungk aran sering dilak uk an oleh W ah idiyah pada lingk ungan m asing-m asing pengam al. W ah idiyah dapat dik atak an m erasa tidak perlu m elak uk an usah a k uratif itu dalam sk ala besar dengan m eng- gerak an banyak m assa k arena h al seperti ini dapat terjebak pada k onspirasi politis. W ah idiyah lebih m em ercayak an h al tersebut pada negara untuk m elak uk an langk ah k uratif terh adap k em ungk aran dalam sk ala besar atau nasional. Sebab, pada k enyataannya, negaralah yang m em ilik i perangk at infrastruk tur untuk m elak uk an tugas dan k ew ajiban tersebut. i. Berinfak untuk Kepentingan Agam a Ajaran tentang “infak untuk k epentingan agam a” ini bersum ber dari ajaran W ah idiyah m engenai sik ap atau tindak an untuk pem e- nuh an sarana/prasarana agam a dan perjuangan. R ealisasinya adalah pengh im punan dana lew at d ana b ox dan penerim aan zak at dari para pengam alnya. D ana box m erupak an usah a pengh im punan dana dari para peng- am al Wah idiyah dengan cara m em asuk k an dana secara rutin (setiap h ari) k e dalam k otak yang bertuliskan dana box, m enurut k em am puan ek onom i m asing-m asing pengam al. D alam W ah idiyah , ajaran ber- infak (term asuk di dalam nya bersh adaqah ) diorganisasi secara teratur, efisien, dan efek tif. Pengorganisasian ini disertai oleh pengungk apan ajaran Islam tentang dasar-dasar infak , perilak u dan sik ap berinfak , rew ard (pengh argaan, m anfaat, k euntungan) infak , serta w arning (peringatan) bagi orang-orang yang pelit bersh adaqah , berinfak , atau berzak at. Sem ua dana dan h arta yang dih asilkan dari usah a pengorgani- sasian dana tersebut sepenuh nya digunak an untuk m em enuh i k e-

295 6 PENUTUP

A. Kesim pulan Sh alaw at W ah id iyah m erupak an aw râd (rangk aian dzik ir/ am alan) yang diem ban oleh ideologi W ah idiyah . Ia lah ir dari bum i Indonesia, tepatnya di Kedunglo, Kediri, Jaw a Tim ur, pada 19 63. Muallif-nya adalah KH . Abdoel Madjid Ma’roef. O rganisasi yang dibentuk nya diberi nam a “Penyiar Shalaw at W ah idiyah ”, yang di- singk at dengan PSW. O rganisasi ini didaftark an k e D itsospol Jaw a Tim ur pada 7 Septem ber 19 87, dan sek arang telah berbadan h uk um , dengan Ak ta Notaris Kh usnul H adi, SH ., Jom bang, nom or: 10, tanggal 26 Januari 2007. Berk as perm oh onan tersebut k em udian dim intak an pengesah an k epada Menteri H uk um dan H ak Asasi Manusia R I di Jak arta, dan berk as tersebut diterim a di Kantor D irek torat Jenderal Adm inistrasi H uk um Um um pada 30 Januari 2007. Sh alaw at W ah idiyah buk anlah aliran tarek at, m elaink an aliran tasaw uf. O leh k arena itu, aliran ini tidak m em erluk an jalur sanad am alan sebagaim ana um um nya aliran-aliran tarek at. D an, sebagai aliran tasaw uf, ia m enyediak an perangk at sistem ik yang terdiri dari tiga h al: (1) sarana untuk m enjernih k an h ati dan m a’rifat k epada Allah SW T dan R asulullah Saw.); (2) perangk at sistem ajaran yang disebut pancaajaran pok ok W ah idiyah ; (3) orientasi tasaw uf yang jelas, di sam ping satu h al penduk ungnya, yak ni organisasi yang di- rintis dan dibim bing langsung oleh m uallif Sh alaw at W ah diyah .

345 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Pancaajaran pok ok W ah idiyah yang dim ak sud adalah (1) m eng- ajak um at untuk bertobat, k em bali m eneguh k an tauh id k epada Allah dengan m elak sanak an syari’at-Nya secara utuh dan sungguh -sung- guh , (2) m enjunjung tinggi ek sistensi d an jasa-jasa R asulullah Muh am m ad, (3) m engh orm ati k eberadaan dan peran penting gh auts yang m engem ban am anat reform asi ruh aniah dan ak h lak um at m anu- sia, serta penyelam atan dalam k elangsungan sejarah nya, (4) m em - berik an h ak k epada setiap yang berh ak , dan (5) m engutam ak an h al- h al yang lebih penting dan lebih berm anfaat. Tipologi tasaw uf W ah idiyah dapat dilih at dari dua aspek , yak ni aspek k onseptual dan aspek sistem ik . Pertam a, dalam aspek k onsep- tual, tipologi tasaw uf W ah idiyah adalah m oderat, antara tasaw uf falsafi dan tasaw uf sunni. Aspek tasaw uf falsafi W ah idiyah ini dapat dilih at pada k ata w ah d ah (k ebersatuan) dalam aw râd Sh alaw at Wah idiyah . Ak an tetapi, dalam sistem ajarannya, k ata itu dim ak nai bah w a Allah sebagai sum ber yang m enggerak k an ak tivitas segala m ak h luk ; tidak dim ak sudk an seperti k onsep w ah d ah al-w ujûd (k ebersatuan w ujud antara m anusia dan Tuh an) yang ditentang oleh aliran tasaw uf sunni. Sedangk an aspek tasaw uf sunni W ah idiyah dapat dilih at pada k onsep prak tisnya yang sederh ana, bah k an tanpa baiat (ink lusif). D ua aspek ini m em perlihatkan tipologi tasaw uf W ah idiyah yang k h as dibanding dengan aliran-aliran tasaw uf dan tarek at pada um um nya. D alam perk em bangannya, k ata w ah d ah dalam aw râd Sh alaw at W ah idiyah yang dibaca secara parsial m enyebabk an m unculnya penolak an k eras dari k alangan tok oh -tok oh Islam , terutam a para ulam a NU dan para pem uk a tarek at m u’tab arah di Indonesia. H al ini dapat dim ak lum i k arena secara h istoris m aupun ideologis, m erek a cenderung m enentang ajaran w ujûdiyah atau w ah dah al-w ujûd, ittih âd, h ulûl, atau m anunggaling k aw ula-gusti. Penentangan ini juga di- perlak uk an terh adap W ah idiyah . D isebabk an adanya k ata w ah dah tersebut, m erek a secara serta-m erta m enuduh W ah idiyah sebagai ajaran sesat, dan dipand ang m enyebark an ajaran m anunggaling k aw ula-gusti.

346 Penutup

Kata w ah d ah dalam aw râd Sh alaw at W ah idiyah tidak identik dengan k onsep w ah d ah dalam teori-teori tasaw uf falsafi fanâ’, b aqâ’, dan ittih âd m ilik Abu Yazid al-Bustam i, teori h ulûl m ilik al-H allaj, teori w ah d ah al-w ujûd m ilik Ibn ‘Arabi, dan teori m anungaling k aw ula-gusti m ilik R onggow arsito dan Syaik h Siti Jenar. D engan dem ik ian, ditem uk an bah w a tipologi m oderat tasaw uf W ah idiyah m em erlihatkan adanya k esadaran spiritualitas dalam tasa- w uf yang ditek ank an pada aspek am aliah atau ak h lak ibadah dan m u’am alah , yang bertum pu secara k ok oh pada k esadaran tauh id yang m elenyapk an syirik . H al ini berk ait dengan dim ensi rek onstruk si ak idah ; dim ensi pertam a di antara sem bilan dim ensi ajaran W ah idiyah . Ked ua, dalam aspek sistem ik , tipologi tasaw uf W ah idiyah m eng- gabungk an secara h arm onis antara tiga bidang sek aligus, yaitu bidang spiritual, bidang syari’at, dan bidang ak h lak . Gerak k etiga bidang ini ditujuk an secara tandas k e arah responsibilitas sosial, m esk ipun langk ah aw al yang senantiasa di-upgrad e adalah revolusi psik is dan ideologis setiap individu pengam al W ah idiyah . Adapun inti ajaran W ah idiyah m encak up sem bilan dim ensi, yak ni (a) rek onstruk si ak idah , (b) rek onstruk si ak h lak , (c) pengh argaan atas jasa-jasa para pem baru (m ujad d id ), (d) strategi pem bentuk an ek ui- librium sosial, (e) efisiensi dan produk tivitas h idup pribadi dan sosial, (f) revolusi psik is dan perilak u, (g) responsibilitas sosial, (h ) strategi m enyik api k em ungk aran, dan (i) berinfak untuk k epentingan agam a. Adapun visi W ah idiyah adalah “m engajak um at m anusia jam i’al ‘alam in (seluruh alam ) untuk m enjernih k an h ati m enuju k esadaran k epada Allah dan rasul-Nya.” Visi ini diterjem ah k an k e dalam m isi ink lusivism e global yang secara tandas terek spresi m elalui tiga h al, yak ni (1) aw râd Sh alaw at W ah idiyah yang m enyatak an seruannya k epada m asyarak at global, (2) tidak adanya baiat dalam prosedur legalisasi am alan Sh alaw at dan Ajaran W ah idiyah bagi pengam al, dan (3) aw râd Shalaw at W ah idiyah dik onsum sik an bagi segala lapisan m asyarak at dan lintas usia.

347 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Pada k enyataannya, m isi ink lusif tersebut m ew adah i berbagai tingk atan usia, k arak ter m anusia, profesi, berbagai aliran dan ideologi. H al ini m em erlihatkan k eterbuk aan ideologi W ah idiyah dalam dina- m ik a h istorisnya. Bah k an, banyak tok oh sepuh NU yang m enjadi pengam al W ah idiyah k arena k eterbuk aan ini. Selanjutnya, ink lusi- vism e global W ah idiyah tidak h anya berk em bang di berbagai daerah di Indonesia, tetapi juga di m ancanegara: Tim or Leste, Malaysia, Brunei D arussalam , Singapura, Australia, H ongk ong, Jepang, Arab Saudi, Selandia Baru, Peru, dan Am erik a Serik at. D alam perk em bangannya, di dalam organisasi W ah idiyah m uncul dan berk em bang dua k epengurusan, selain aliran PSW yang dibentuk langsung oleh m uallif-nya. D ua aliran tersebut adalah aliran Perjuangan W ah idiyah yang dik enal dengan istilah aliran Pim pinan Um um Perjuangan W ah idiyah (PUPW ) dan aliran Miladiyah . Kedua aliran baru ini dipelopori dan dipim pin oleh dua putera m uallif Sh alaw at W ah idiyah . D ua aliran tersebut m em ilik i orientasi yang k h as, sesuai dengan visi dan m isi yang diem bannya. D alam peta w acana tasaw uf dan tarek at, W ah idiyah m erupak an salah satu di antara dua aliran tasaw uf produk asli Indonesia. Satu aliran lainnya adalah Tarek at Shiddiq iyah yang pusat perk em bangan- nya ada di Jom bang, Jaw a Tim ur. Bah k an, aliran tarek at ini tercatat sebagai salah satu di antara 44 aliran tarek at terk enal di dunia m enurut versi Ensik loped i Tem atis D unia Islam .

B. Saran-Saran Sejauh h asil penelitian ini, ada beberapa perm asalah an yang belum terk aji di dalam nya, yaitu (1) aspek psik ologis tasaw uf W ah idiyah , (2) im plikasi adanya aliran-aliran W ah idiyah dalam k ait- annya dengan k onsistensi ajaran dan persepsi dan perlak uan m asya- rak at terh adap W ah idiyah , dan (3) potensi W ah idiyah , sebagai sebuah ideologi, dalam peta ideologi aliran-aliran yang ada. Kiranya k etiga perm asalah an tersebut, dan perm asalah an baru lainnya, dapat diteliti oleh para pem inat k ajian tentang W ah idiyah .

348 Penutup

Terak h ir, penulis panjatkan puji dan syuk ur k e h adirat Allah yang telah m elim pah k an rah m at dan h idayah -Nya seh ingga penulis berh asil m enyelesaik an buk u ini. Mudah -m udah an buk u ini ber- m anfaat.

349 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

350 DAFTAR PUSTAKA

A. Aziz M asyh uri (Pengh im pun). 2006. Perm asalah an Th ariqah : H asil Kesepak atan Muk tam ar dan Musyaw arah Besar Jam’iyyah Ah lith Tariqah al-Mu’tab arah Nah d latul Ulam a (19 57–2005 M ). Surab aya d an Jom b ang: K h alisth a bersam a Pesantren Al-’Aziziyah D enanyar-Jom bang. A. Faisal Ilyas (h irAFI). t.t. Shalaw at W ah id iyah Ajaran Sesat atau Tid ak ? Yogyak arta: Tok o Am am at. ______. 2004. Tanggapan terh ad ap Buk u Shalaw at W ah id iyah b uk an Ajaran Sesat. Yogyak arta: Tok o Am am at. Abd al-H alim M ah m ud . t.t. Q âdh iyah fî at-Tash aw w uf. K airo: M ak tabah al-Q ah irah . Abd al-Gh ani Nablusi. t.t. Ta‘thîr al-Anâm . T.tp.: t.p. ‘Abd al-Gh ani an-Nayilsi. 19 80. Al-H ad îqah an-Nad iyyah Syarh ath- Th arîq al-Muh am m adiyyah . Istam b ul-Turk i: D ar al- Kh ilafah . ‘Abd al-Karim Jili. 19 75. Al-Insân al-Kâm il fî Ma’rifah al-Aw âk h ir w a al-Aw âil. Beirut: D ar al-Fik r. ‘Abd al-Karim bin H aw azin al-Q usyairi. t.t. Risâlah al-Q usyairiyyah fî ‘Ilm at-Tasaw w uf. T.tp: D ar al-Kh air. Abd al-Qadir Mah m ud. t.t. Al-Falsafah ash -Shûfiyah fî al-Islâm . Kairo: D ar al-Fik r al-’Arabi.

351 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Abd al-W ah h ab Kh alaf. 19 77. ‘Ilm Ush ûl al-Fiqh . Kuw ait: D ar al- Q alam . ‘Abd al -Ah ab Sya’rani. t.t. Bah jah as-Saniyyah . T.tp.: t.p. Abd al-Aziz ad-D ibagh i. t.t. Al-Ib rîz. Al-Azh ar: t.p. ‘Abdullah bin Alaw i H addad. t.t. Ad -D a’w ah at-Tâm m ah . Surabaya: al-H idayah . Abi al-Fadh l ‘Ayyadh Yah sh ubi. 19 88. Asy-Syifâ`. Beirut-Libanon: D ar al-Fikr. Aboebak ar Atjeh . 19 84. Pengantar Sejarah Sufi d an Tasaw uf. Solo: R am adh ani. Abu Bak r Bak ry al-Malik i D im yathi. Kifâyah al-Atqiyâ‘ w a M inh âj al-Ash fiyâ‘. T.tp.: D ar Ak h yar. Abu D aw ud. 19 53. Sunan Ab î D âw ud , Jilid IV. Kairo, Mesir: at- Tijariyyah al-Kubro. Abu H am id Muh am m ad bin Muh am m ad al-Gh azali. t.t. Ih ya‘ ‘Ulûm ad -D în. T.tp.: Mak tabah D ar Ih ya’ al-Kutub al-’Arabiyyah ______. t.t. M inh âj al-’Â b id în. Sem arang: M ak tabah Usah a Keluarga. ______. t.t. Al-Munqizh m in adh -D h alâl. Beirut: al-M ak tabah asy-Syu’ubiyah . ______. t.t. Kitab al-Arb a’în fî Ush ûl ad -D în. Kairo: Mak tabah al-Jindi. ______. t.t. Muk âsyafah al-Q ulûb. Kairo: Abdul H am id Ah m ad H anafi. Abu al-H asan an-Nadw y. 19 77. Asy-Syura bain al-Fik rah al-Islâm iyah w a al-Fik rah al-Gh arbiyyah . Mesir: Mak tabah al-Taqaddum Abu al-H usayn bin al-H ajjaj al-Q usyairi an-Naisaburi. 19 9 7. Shah îh M uslim . Kairo: D ar al-H adits. Abu Nasr as-Sarraj ath-Th usi. 19 60. Al-Lum a’. Mesir: D ar al-Kutub al-H aditsah .

352 Bibliografi

Abu al-W afa’ at-Taftazani. 19 79 . Madk h al ilâ at-Tash aw w uf al-Islâm i. Kairo: D ar ats-Tsaq afah li ath-Th iba’ah w a an-Nasyr. Ah m ad ash -Sh aw i al-Malik i. 19 9 3. H âsyiyah ash -Shâw i ‘alâ al- Jalâlain. Beirut-Libanon: D ar al-Fik r. Ah m ad ibn H anbal. t.t. Musnad Im âm Ah m ad . T.tp: tp. Ah m ad ibn R uslam . t.t. Nazh am az-Z ub ad . T.tp: t.p. Ah m ad ibn Syaik h H ijazy Fasni. t.t. Al-Majâlis as-Saniyyah . T.tp: t.p. Ah m ad Am in. 19 69 . Z h uh r al-Islâm . Beirut: D ar al-Kitab al-’Arabi. Ah m ad Lutfi R idlo. t.t. “Atsar ash -Sh alaw at al-W ah idiyah fi Ak h laq Th ullab al-Ma’h ad at-Tah dzib Ngoro Jom bang”. Skripsi. Ponorogo: Fak ultas Ush uluddin Institut D arussalam Pondok Modern Gontor. Ah m ad Sodli, Yusriati, Yustiani, dk k . 19 9 0. Th ariqat Wah id iyah d i Jaw a Tim ur d an Jaw a Tengah . Sem arang: D epartem en Agam a R I Balai Penelitian Aliran Keroh anian/Keagam aan. Am atullah Arm strong. 19 9 6. Kh azanah Istilah Sufi: Kunci Mem asuk i D unia Tasaw uf. Terj. M .S. Nash rullah dan Ah m ad Baiquni. Bandung: M izan. Am in Ala ad-D in an-Naq syabandi. t.t. M â H uw a at-Tash aw w uf w a m â H iya at-Th arîqah an-Naqsyab and iyah . T.tp: t.p. ______. t.t. Jâm i’ al-Ush ûl fi al-Auliyâ‘. Singapura–Jeddah – Indonesia: al-H aram ain. AS. Asm aran. 2002. Pengantar Stud i Tasaw uf. Jak arta: R aja Grafindo Persada. Asep Usm an Ism ail. “Tasaw uf”. D alam Taufik Abdullah (ed .). 2002. Ensik loped i Tem atis D unia Islam . Jak arta: PT. Ich tiar Baru van H oeve. Badri Yatim . 19 9 7. Sejarah Perad ab an Islam . Jak arta: R ajaGrafindo Persada.

353 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Bagian Penelitian dan Pengem bangan Syah am ah (Syabab Ah lus- sunnah w al Jam a’ah ). 2005. Aq id ah Ah li Sunnah W al Jam a’ah . Jak arta: Syah am ah Press. Bogdan, R . dan Steven Taylor. 19 84. Introd uction to Q ualitativee Research M ethod s. Joh n W iley & Sons. Bruinessen, Martin van. 19 9 5. Kitab Kuning, Pesantren, d an Tarek at. Bandung: M izan. ______. 1996. Tarek at Naqsyabandiyyah d i Ind onesia. Bandung: M izan. al-Buk h ari. t.t. Shah îh al-Buk h âri. T.tp: t.p. Cucuk Suroso. 19 9 8. “Studi tentang Ma’rifat dalam W ah idiyah dan Ittih ad Menurut Abu Yazid”. Skripsi. Jom bang: Fak ultas Ush uluddin Universitas D arul Ulum . D PP PSW. 2000. Fatwa d an Am anat K.H . Ab d urrah m an W ah id , Presid en RI, pada acara Mujah adah Nisfussanah di D KI Jak arta, Tanggal 2 April 2000 (dok um en k aset rek am an). Jom bang. ______. 2004. Pengajian Kitab al-H ik am dan Kuliah W ah idiyah oleh H ad lratus Syaek h Al-M uk arrom Rom o K.H . Ab d oel Madjid Ma’roef Muallif Sholaw at W ah idiyah . Jom bang, Edisi IV. ______. 2006-. Kolom W ah id iyah . Surabaya: H arian “Bangsa”. D PW PSW D aerah Propinsi Jaw a Tim ur, Bidang Penerbitan. Bulle- tin Kem b ali. Erlyn Indarti. 2003. “Critical Th eory, Critical Legal Th eory, and Critical Legal Studies”. Majalah Ilmiah . Fak ultas H uk um Undip, Vol. XXXII No. 2. April-Juni. Esposito, Joh n L. 19 84. Islam and Politics. New York : Syracuse Uni- versity Press. F. Budi H ardim an. 19 9 0. Kritik Id eologi. Yogyak arta: Kanisius. Fish er, Mary Pat. 19 9 7. Living Religions: An Encyclopaedia of the W orld Faiths. London-New York : I.B. Tauris Publish er.

354 Bibliografi

Glasse, Cyril. 19 9 6. Ensik loped i Islam Ringk as. Terj. Gh ufron A. Mas’adi. Jak arta: PT R aja Grafindo Persada. H adari Naw aw i. 19 9 1. Metod e Penelitian Bid ang Sosial. Yogyak arta: Gajah Mada University Press. H arun Kusaijin. 2003. Perilak u Keberagam aan Pengam al Sh alaw at W ah idiyah di Pesantren At-Tah dzib Rejoagung Ngoro Jom bang. Tesis. Program Pascasarjana IAIN Sunan Am pel Surabaya. H arun Nasution. 19 73. Falsafat d an Mistisism e d alam Islam . Jak arta: Bulan Bintang. ______. 19 86. Islam D itinjau d ari Berb agai Aspek . Jak arta: UI Press. Ibn Abi Ish aq al-K alabadzi. 19 69 . At-Ta’âruf li M azh ab Ah l at- Tash aw •w uf. Kairo: Mak tabah al-Kulliyah al-Azh ariyah . Ibn ‘Arabi. 19 67. Fush ûs al-H ik am . Kairo: Mustafa al-Babi Al-H alabi w a Aw laduh . Ibn ‘Atha’illah as-Sak andari. 19 69 . Al-H ik am al-’Athâ’iyyah . Ed. Mah m ud ‘Abd al-W ah ab ‘Abd al-Mun’im . Kairo: Mak tabah al-Q ah irah . Ibn ‘Ibad. t.t. Syarh al-H ik am . t.k .: t.p. Ibn Kh aldun. t.t. Al-Muqad d im ah . Beirut: D ar al-Fik r. Ibn Taim iyah . t.t. Al-Îm ân. Kairo: ath-Th iba’at al-Muh am m adiyah . Ibrah im Madk ur. 19 76. Fî al-Falsafah al-Islâm iyah M anh âj w a Tathb îgh uh u. Kairo: D ar al-Ma’arif. Ibrah im Basyuni. 19 69 . Nasy’ah at-Tasaw w uf al-Islâm i. Kairo: D ar al-Fikr. Ibrah im H ilal. 19 79 . At-Tash aw w uf al-Islâm i b aina ad -D în w a al- Falsafah . Kairo: D ar Nah dh ah al-’Arabiyah . Idris M arbaw i. t.t. Kam us Arab -M elayu. Ifran ‘Abd al-H am id Fattah . 19 73. Nasy’ah al-Falsafah asy-Shûfiyyah w a Tathaw w uruh a. Beirut: al-Mak tab al-Islam i.

355 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Ih san Ilah i Z h ah ir. 2000. D irâsât fî at-Tash aw w uf. Terj. Fadh li Bah ri, D arah H itam Tasaw uf: Stud i Kesesatan Kaum Sufi. Jak arta: D arul Falah . Im am Suprayogo. 2001. Metod ologi Penelitian Sosial-Agam a. Ban- dung: R osydak arya. Jak aria. 19 9 9 . “Ak tivitas D ak w ah BPRW (Badan Pem bina R em aja W ah idiyah ) d alam Pem binaan R em aja d i Lingk ungan R em aja W ah idiyah ”. Skripsi. Fak ultas D ak w ah IK AH A Tebuireng Jom bang. Jalaluddin ‘Abdurrah m an as-Suyuthi. t.t. Al-Jâm i’ ash -Shagh îr fî Ah âdîts al-Basyîr an-Nad zîr. Surabaya: Tok o K itab al- H idayah . Kh olil Praw oto. 2002. “Pengaruh Ajaran Sh olaw at W ah idiyah ter- h adap Peningk atan Am al Ibadah Masyarak at D esa R ejo- agung Kecam atan Ngoro Kabupaten Jom bang”. Skripsi. Jom bang: Fak ultas D ak w ah IKAH A Tebuireng. Kraem er, Joel L. 19 9 2. H um anism in the Renaissance of Islam : Th e Revival D uring the Buyid Age. Leiden-New York -Koln: E.J. Brill. Kh un, Th om as S. 19 70. Th e Structure of Scientific Revolutions. Ch i- cago: University of Ch icago Press. Levtzion, Neh em ia and Voll, Joh n O bert. 19 87. Eigh teenth-Century Renew al and Reform in Islam . New York : Syracuse Univer- sity Press. Lorens Bagus. 2000. Kam us Filsafat. Jak arta: PT. Gram edia Pustak a Utam a. Luthfi W iraw an. 2007. “Konsep Ma’rifat Menurut Jam a’ah Penyiar Sh alaw at W ah idiyah ”. Skripsi. Yogyak arta: Fak ultas Ush u- luddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Mah bub Am asy. 2002. “Peranan Pengam alan Sh alaw at W ah idiyah dalam Menanggulangi Kem erosotan Ak h lak Sisw a Madrasah Aliyah Ih sanniat D e sa R e joagung K e cam atan Ngoro

356 Bibliografi

Kabupaten Jom bang”. Skripsi. Sek olah Tinggi Ilmu Tarbiyah “Taruna” Surabaya. Mansur Faq ih . 2001. Sesat Teori Pem b angunan d an D em ok rasi. Yogyak arta: Pustak a Pelajar. Ma’sh um . 2003. 7 H ikm ah di Balik Dana Box. Sem arang: D PW PSW Propinsi Jaw a Tengah . Moleong, Lexy J. 19 9 5. Metod ologi Penelitian Kualitatif. Cet. VI. Bandung: R osda Karya. M . Laily Mansur. 19 9 6. Ajaran d an Telad an Para Sufi. Jak arta: PT. R aja Grafindo Persada. M . Solih in. 2005. Melacak Pem ik iran Tasaw uf d i Nusantara. Jak arta: PT. R aja Grafindo Persada. Moch . Much tar bin H . Abd Muk ti. 1418 H . Inform asi tentang Shiddiqiyah . Losari-Ploso-Jom b ang: Peringatan H ari Sh iddiq iyah . Moh . Murtaq i Mak arim a. 2003. “Managem en D ak w ah W ah idiyah pada Lem baga D PP PSW (D ew an Pimpinan Pusat Penyiar Shalaw at W ah idiyah ) di D esa R ejoagung Kecam atan Ngoro Kabupaten Jom bang. Skripsi. Fak ultas D ak w ah IK AH A Tebuireng Jom bang. Muh am ad. 19 9 8. “Sh olaw at W ah idiyah Sebuah Ak tivitas R itualistik dalam Pengem bangan D ak w ah Islam iyah di PP At-Tah dzib Ngoro Jombang (Studi D esk riptif Kualitatif)”. Skripsi Fak ultas D ak w ah IKAH A Tebuireng Jom bang. Muh am m ad Am in al-Kurdi. t.t. Tanw îr al-Q ulûb fi Mu’am alât ‘Allâm al-Gh uyûb. Surabaya: Syirk ah Bungk ul Indah . Muh am m ad bin Ah m ad al-Mah ali. t.t. Tafsîr Jalalain. Sem arang: Toh a Putra. Muh am m ad D jazuly Yusuf. t.t. Ak u … Pengganti Muallif Sholaw at W ah id iyah . Surabaya: Tarbiyah . Muh am m ad H aqq i an-Nazili. t.t. Kh azînah al-Asrâr. Sem arang: Usah a Keluarga.

357 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Muh am m ad Naw aw i al-Jaw i. t.t. Tafsir an-Naw âw i. Juz I. Sem arang: Usah a Keluarga. ______. t.t. Syarh Sullam at-Taufîq ilâ Mah ab b ah Allah ‘alâ at-Tah qîq. Surabaya: al-H idayah . Muh am m ad Sa’id Bustham iy. 19 84. Mafhûm Tajdîd ad-D în. Kuw ait: D ar ad-D a’w ah . Muh am m ad ash -Shadiq Arjun. 19 67. At-Tash aw w uf fi al-Islâm Manâbi’uh u w a Athw âruh u. Kairo: Mak tabah al-Kulliyah al-Azh ariyah . Muh am m ad Yusuf Musa. 19 65. Falsafah al-Ak h lâq fî al-Islâm . Kairo: Muassisah al-Kh aniji. Muh ibbin Abdurrah m an. t.t. Shalaw at W ah id iyah seb uah Parad igm a untuk Mem bina Anak -Anak yang Shalih dan Shalih ah . t.p. Muslih . 19 9 8. “Studi Perbandingan Antara Tasaw uf dan Sh alaw at W ah idiyah”. Skripsi. Jom bang: Fak ultas Ush uluddin Uni- versitas D arul Ulum . Mustafa Z ah ri. 19 9 1. Kunci Mem ah am i Ilmu Tasaw w uf. Surabaya: Bina Ilmu. Mustam an. 2002. “Pendidik an Ak h lak dalam Aliran Shalaw at W ah i- diyah (Studi tentang Materi Metode Pendidik an Ak h lak )”. Skripsi. Yogyak arta: Fak ultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga. an-Naw aw i ad-D im asyqi. Riyâdh ash -Shâlih în. Surabaya: PT Iram a M inasari. Nich olson, R eynold A. 19 21. Stud ies in Islam ic M ysticism . London: Cam bridge University Press ______. 19 75. Th e Mystics of Islam . London: R outledge and Kegan Paul. Noeng Muh adjir. 2000. Metod ologi Penelitian Kualitatif. Edisi IV. Cet. I. Yogyak arta: R ak e Sarasin. New m an, W . Law rence. 2000. Social Research Method s, Q ualitative and Q uantitative Approaches. Needh am H eigh ts USA: Allyn & Bacon, 4th edition.

358 Bibliografi

Nurch olish M adjid. 19 85. Pesantren dan Pem bangunan. Jak arta: LP3ES. Q om ari Muk h tar. 2006. “Pengalam an Seorang Pengam al”: Perjuangan W ah id iyah setelah D itinggal Sed o Muallifnya RA Pecah Menjad i 3. Cuplik an D aw uh -D aw uh W asiatnya (untuk k alangan send iri). T.tp.: t.p. R apar, Jan H endrik . 19 9 6. Pengantar Filsafat. Yogyak arta: Kanisius. R onny H anitijo Soem itro. 19 9 0. Metod ologi Penelitian H uk um d an Jurim etri. Jak arta: Yudh istira. R uslani (ed.). 2000. W acana Spiritualitas Tim ur dan Barat. Yogyak arta: Q alam . Sanapiah Faisal. 19 9 5. Form at-Form at Penelitian Sosial D asar-D asar d an Aplik asi. Jak arta: R ajaGrafindo Persada. Sayyid Athar Abbas R isw i. 19 78. A H istory of Sufism in Ind ia. New D elhi: Munash iram Manoh arial. Sayyid H usein Nasr. 19 66. Id eal and Realities of Islam . London: George Allen & Unw in Ltd. ______. 1986. Tiga Pem ik ir Islam . Terj. Ah m ad Mujah id. Bandung: R isalah . ______. 19 9 1. Tasaw uf D ulu d an Sek arang. Terj. Abdul H adi W M . Jak arta: Pustak a Firdaus. Sch im m el, Annem arie. 19 86. D im ensi M istik d alam Islam . Terj. Sapardi D jok o D am ono. et.al. Jak arta: Pustak a Firdaus. Sirajuddin Abbas. I’tik ad Ah li Sunnah W al Jam a’ah . Jak arta: Pustak a Tarbiyah . Sayyid Abu Bak ar. t.t. Kifâyah al-Atqiyâ‘ w a M inh âj al-Ash fiyâ’. Indonesia: M ak tabah D ar Ih ya al-Kutub al-’Arabiyah . Sutandyo W ingnyosubroto. 19 9 7. “Pengolah an dan Analisis D ata”. D alam Koentjaraningrat. Metod e-Metode Penelitian Masya- rak at. Jak arta: Gram edia. Team Penyusun D itbinperta. 19 81/19 82. Pengantar Ilmu Tasaw uf. M edan: Proyek D itbinperta IAIN Sum atera Utara.

359 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

Team Pengalam an R oh ani. 2004. Shalaw at W ah idiyah dan Pengalam an Roh ani (untuk k alangan sendiri). Kediri: Yayasan Perjuangan W ah idiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo. at-Tirm izi. Sunan at-Tirm id zi. Utsm an bin H asan bin Ah m ad asy-Syak ir Kh uw aiw i. t.t. D urrah an-Nâsih în. Indonesia: D ar Ih ya’ al-Kutub al-’Arabiyah . W ah bah az-Z uh aili. 19 86. Ush ûl al-Fiqh al-Islâm î. D am ask us: D ar al-Fikr. Yayasan Perjuangan W ah idiyah dan Pesantren Kedunglo Kediri. M ajalah Ah am m . Yudian W ah yudi. et. al. 19 88. Th e D inam ics of Islam ic Civilization. Yogyak arta: Titian Ilah i Press. Yunasril Ali. 19 9 7. Manusia Citra Ilah i. Jak arta: Param adina. Yusuf bin Ism a’il an-Nabh ani. t.t. Syaw âh id al-H aqq. Beirut-Libanon: D ar al-Fikr. ______. t.t. Sa’âdah ad -D ârain fî ash -Shalâh ‘alâ Sayyid al- Kaw nain. Beirut-Libanon: D ar al-Fik r . Z aini D ak h lan. 1349 H . Taqrîb al-Ush ûl li Tash îl al-Ush ûl fî Ma’rifah ar-Rab b w a ar-Rasûl. Mesir: Musthafa al-Babi al-H alabi w a Aw laduh . Z ainuddin Tam sir. 2006. Tud uh an Sholaw at W ah id iyah Mengand ung Kek ufuran yang Sharih D itanggapi oleh K. Z ainuddin Tam sir. Jom bang: D PP PSW. W eb site dan E-m ail D PP PSW : h ttp://ww w .sh olaw at.m utiply.com ; h ttp://w w w .psw pusat.m utiply.com ; E-m ail:d pppsw @ - yah oo.co.id W eb site Yayasan Perjuangan W ah idiyah dan Pesantren Kedunglo Kediri: h ttp://ww w .w ah idiyah .org. W inarno Surak h m ad. 19 9 4. Pengantar Penelitian Ilmiah D asar Metode Tek h nik . Bandung: Tarsito.

360 361 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

362 INDEKS

A Abu Muhammad al-Jariri 22 Abu Yazid al-Busthami 37, 39, ‘Abd al-Qadir al-Jailani 241 43, 51 ‘Abd as-Salam bin Masyisy 241 Abul Wafa at-Taftazani 25 Abd Ra’uf an-Sinkili 4 Agus Abdul Latif Madjid 105, Abd Shamad al-Palimbani 4, 5, 107, 108, 110, 111, 112 79, 92 Agus Ahmad Baidhowi 261 Abdoel Madjid Ma’roef 78, 93, ahadiyah 5, 81, 118 115, 120, 125, 144, 164, Ahlullâh 241 165, 173, 213, 214, 216, Ahlussunnah wal Jama’ah 315, 226, 227, 242, 254, 261, 317, 353 267, 321, 328, 333, 345, Ahmad Chamim Jazuli 318, 320 357 al fanâ‘ fillâh 45 Abdul Karim Hasyim 318, 319 al-Anwâr 46, 50, 241 Abdul Kholiq Hasyim 318, 319 al-Aqthâb 241 Abdul Muhyi Pamijahan 4 al-Asmâ‘ al-Husnâ 257 Abdullah at-Tustari 27 al-Burhanpuri 4, 5, 80, 81 Abi al-Hasan asy-Syadzili 241 al-fanâ‘ ‘an an-nafs 40, 41 Abi Qubais 232 al-Ghazali 4, 6, 23, 36, 52, Abu al-Hazan al-Asy’ari 317 53, 55, 56, 57, 59, 64, Abu al-Husain an-Nuri 27 80, 81, 184, 193, 195, Abu Ali al-Daqaq 195 196, 317, 352 Abu Ali as-Sindi 43 al-Hallaj 3, 37, 43, 44, 45, Abu Bakar al-Kattani 23 46, 51, 79, 313, 317, 339, Abu Husein an-Nuri 22 347

363 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah al-Jili 3, 4, 79, 80, 81 172, 177, 179, 182, 186, al-Kalabadzi 32, 33, 40, 59, 187, 188, 192, 196, 197, 354 205, 211, 216, 224, 225, al-Kattani 23, 28 227, 242, 243, 244, 245, al-Kurani 4, 80 246, 253, 274, 275, 276, al-mazaqah 27 278, 279, 285, 299, 313, al-Qusyairi 4, 6, 37, 52, 64, 314, 316, 332, 333 80, 82, 196, 220, 351, 352 birrasûl 144, 158, 169, 170, al-wahdah al-muthlaqah 49 172, 177, 179, 188, 196, ‘alam ajsâm 5, 81 205, 211, 225, 274, 275, ‘alam arwah 5, 81 314, 316 ‘alam insân 5, 81 Budhisme 2, 43 ‘alam mitsal 5, 81 alamat gaib 93, 94 C ‘âlim billâh 243, 244, 245 Cahaya Mutlak 49 ‘âlim billâh faqath 245 Ana al-Haqq 44 D ar-Raniri 4, 5, 79, 81 ‘ard dan jauhar 47 dana box 205, 206, 207, 209, ‘arif billah 119 210, 211, 212, 213, 214, as-Sumatrani 3, 4 295 asketis 21 Asy-Syadzili 230 F at-Taftazani 25, 43, 48, 316, Fadhlullah al-Burhanpuri 4, 80 317, 352 fanâ’ 40, 141, 313, 347 awrâd 192, 225, 278, 281, fundamentalisme 3 282, 294, 302, 303, 304, fundamentalisme Islam 3 305, 312, 313, 324, 345, 346, 347 G ghair mu‘tabarah 63 B ghauts 101, 150, 154, 158, baqâ’ 313, 347 160, 170, 171, 172, 175, BHLW 334 177, 178, 186, 188, 196, bilghauts 158, 171, 172, 178, 197, 205, 211, 212, 225, 188, 196, 205, 211, 225, 228, 231, 232, 239, 240, 244, 274, 280, 314 241, 242, 243, 244, 246, billâh 98, 131, 143, 144, 154, 247, 248, 273, 274, 275, 158, 159, 160, 162, 164, 280, 281, 282, 283, 289, 165, 166, 168, 169, 170,

364 Indeks

290, 299, 311, 314, 319, Ibrahim Madkur 24, 25, 41, 346 42, 354 ghauts hâdza az-zamân 150, Idham Kholid 320 154, 171, 175, 177, 186, Idrisiyah 63 188, 197, 212, 231, 232, ihsân 21, 24, 30, 31 241, 242, 243, 244, 246, ikhlâsh al-‘âbidîn 181 247, 280 ikhlâsh al-‘ârifin 181 ghauts mujaddid 226 ikhlâsh az-zâhidîn 181 ghauts penerus 226 Ikhwan ash-Safa’ 38 ghauts pengganti 226 inklusivisme global 121, 277, ghauts zamânih 241 303, 304, 343, 347, 348 Gus Mik 318, 320 insân kâmil 4, 5, 37, 80 istighatsah 247, 288 H istighrâq 252, 253, 254, 255, Haji Hasan Musthafa 4, 5, 80, 256 81 istighrâq ahadiyah 253 Hamzah al-Fansuri 3, 4 isyrâq 39, 49, 50 Hasan al-Basri 22, 57 ittihâd 37, 39, 41, 42, 43, 46, Hasan bin ‘Ali 241 50, 254, 313, 346, 347 hikmah al-isyrâq 50 ittihâd bi al-hulûl 254 hikmah isyrâqiyah 49, 50 ittihâd bi wahdah al-wujûd 254 himmah ‘âliyyah 227 HIMPASWA 265 J Hinduisme 2 Jalab 243 hulûl 37, 39, 43, 44, 45, 46, jami’ al-‘âlamîn 227 47, 313, 346, 347 Jam’iyyah Thariqah Mu’tabarah Husein bin Ali 241 63 husnuzhan 192, 193, 223, jihâd an-nafs 58, 161, 162 310, 311 Jombang 7, 8, 9, 10, 11, 98, 99, 105, 107, 109, 111, I 112, 114, 115, 118, 144, Ibn al-Farid 49 261, 265, 267, 268, 296, Ibn al-Qayyim 28 318, 319, 332, 333, 334, Ibn Arabi 3, 4, 5, 37, 46, 47, 337, 345, 348, 351, 353, 48, 49, 67, 68, 80, 81, 355, 357, 358, 359, 371, 313 372 Ibn Sina 22, 38, 51 JPWM 115, 116 Ibn Taimiyah 30, 31, 51, 354 Junaid al-Baghdadi 28, 52, 192

365 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

K lilghauts-bilghauts 158, 171, 172, 177, 188, 196, 205, kâffah li an-nâs 227 211, 225, 274, 280, 314 kâmil 4, 5, 37, 49, 80, 155, lillâh 66, 104, 144, 158, 160, 171, 172, 216, 220, 225, 162, 164, 165, 166, 167, 226, 227, 243, 245, 246, 168, 169, 170, 171, 172, 283 177, 178, 179, 181, 182, kâmil-mukammil 155, 172, 186, 187, 189, 194, 196, 216, 220, 226, 227, 243, 205, 211, 224, 225, 242, 245, 246 274, 275, 276, 278, 279, karamah 23, 197, 247 280, 285, 299, 314, 315, kebangkitan spiritual 2, 3 316, 333 Kediri 7, 10, 11, 78, 93, 95, lillâh-billâh 144, 158, 164, 97, 98, 99, 103, 105, 108, 165, 166, 169, 170, 172, 109, 111, 112, 115, 116, 177, 179, 182, 186, 187, 117, 120, 260, 261, 262, 188, 196, 205, 211, 224, 282, 310, 318, 319, 320, 242, 274, 275, 276, 278, 321, 322, 325, 328, 331, 279, 285, 314, 316, 333 334, 336, 345, 359, 360 lirrasûl 144, 158, 169, 170, KH. Abu Syujak 261, 262 172, 177, 179, 196, 205, KH. Akhmadi 261 211, 225, 274, 275, 280, KH. Moh. Ihsan Mahin 260 314, 316 Khalwatiyah 4, 63, 80 lirrasûl-birrasûl 144, 158, 169, khawas 98 170, 172, 177, 179, 188, Kiai Abd. Khalim Syafi’i 261 196, 205, 211, 274, 275, Kiai Abd. Mukhith 261 314, 316 Kiai Moh. Jazuly 261

L M mahabbah dzâtiyah 190 Lâ maujûda illâ Allâh 253 mahabbah fi’liyah 190 lâhût 44, 45, 47 mahabbah shifâtiyah 190 Lembaran Shalawat Wahidiyah manunggaling kawula-gusti 97, 98, 99, 100, 101, 102, 5, 81 138, 154, 211, 309, 310, ma’rifat billah 300 329, 330, 331, 333, 337 martabat tujuh 5, 6, 81, 118 lilghauts 158, 171, 172, 177, Ma’ruf al-Karkhi 26 196, 205, 211, 225, 244, ma’shûm 163 274, 280, 314 masyâyikh ash-shûfiyah 217 Melayu 3, 4, 79, 256, 354

366 Indeks

Moh. Ruhan Sanusi 99, 106, mursyid 62, 63, 65, 66, 68, 112, 282, 300, 302, 320 72, 73, 119, 120, 121, muallif 8, 11, 98, 99, 100, 131, 155, 171, 172, 176, 101, 102, 104, 105, 106, 215, 220, 222, 225, 229, 107, 108, 109, 110, 111, 243, 245, 246, 263, 298 112, 113, 115, 116, 117, musyâhadah 21, 23, 24, 57, 118, 120, 121, 125, 131, 195 137, 139, 155, 177, 186, musyâhadah risâlah 170 190, 191, 196, 198, 204, musyahadah tauhîd 170 205, 209, 210, 212, 215, Musyawarah Kubro 103, 104, 216, 217, 219, 224, 225, 113, 144 226, 227, 228, 242, 247, mutâba’ah 133, 188, 230, 231, 261, 265, 282, 290, 298, 232 299, 303, 304, 305, 306, mu’tabarah 7, 8, 63, 64, 78, 315, 318, 320, 323, 325, 263, 277, 312, 343, 346 328, 331, 333, 343, 345, muwahhidîn 315 348 Muhammad Aidrus 4, 79 N muhâsabah 57, 291 Nahdhatul Ulama 63, 260, mujaddid 225, 226, 240, 263, 261, 263, 323 277, 280, 282, 315, 347 Nahdhiyyin 315, 318 mujâhadah 23, 27, 102, 163, Naqsyabandiyah 4, 6, 24, 63, 193, 195, 224, 248, 264, 65, 80, 353 265, 272, 278, 288, 289, nâsût 44, 45, 47 290, 291, 292, 293, 296, Nawawi al-Murajjih 241 298, 303, 304, 316, 322, nazhrah 152, 219, 232, 239, 333, 334, 336 247, 248, 252, 281, 289 mujâhadah an-nafs 163 Neo Platonisme 38, 49 Mujahadah Kubro 96, 103, neosufisme 6, 81 110, 117, 118 New Age Movement 2 Mujâhadah syahriyah 264 Nûr al-Anwâr 50 mujâhadah usbû’iyah 264, 333 Nûr al-A’zhâm 50 mujahadah wahidiyah 190 Nûr al-Qahir 49 mukammil 155, 171, 172, 216, Nuruddin ar-Raniri 5, 81 220, 226, 227, 243, 245, Nusantara 3, 4, 63, 79, 80, 246 355 munajat 56, 93, 94, 137, 147 Murad 73

367 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah

P R pantheisme 38 Rabi’ah al-Adawiyah 316 Penyiar Shalawat Wahidiyah 9, Rifaiyah 63 102, 103, 115, 217, 228, Rijâlallâh 241 268, 302, 305, 306, 310, Ronggowarsito 4, 80, 313, 347 337, 342, 345, 359 Pesantren At-Tahdzib 9, 10, S 115, 118, 144, 261, 265, Sahl at-Tustari 51 266, 267, 268, 271, 296, salab 243 332, 333, 334, 337, 358 Sammaniyah 4, 63, 80 Pesantren Kedunglo 10, 11, 93, Sayyid Ahmad 7, 119, 131, 115, 117, 318, 359, 360 134, 197, 216, 225, 229, petunjuk gaib 93 230, 242, 246, 251, 255, Piagam Ngadiluwih 260, 261, 256, 299 263, 334, 336, 341, 343 Sayyid Alawi 5, 81 PSW 9, 10, 11, 78, 103, 104, Seyyed Hossein Nasr 24, 34, 36 105, 106, 107, 108, 109, shalawat badawiyah 93 110, 111, 112, 113, 114, shalawat masisiyah 93 115, 116, 117, 118, 122, shalawat munjiyat 93, 137 144, 198, 205, 212, 214, shalawat nariyah 93 217, 228, 261, 265, 268, Shalawat Wahidiyah 7, 8, 9, 282, 296, 300, 302, 304, 10, 11, 93, 95, 96, 97, 305, 306, 318, 319, 320, 98, 99, 100, 101, 102, 322, 323, 334, 336, 337, 103, 105, 106, 108, 109, 342, 345, 348, 353, 357, 110, 111, 113, 115, 118, 358, 359 120, 121, 123, 125, 131, PUPW 11, 115, 116, 117, 348 138, 139, 149, 154, 155, 156, 157, 177, 186, 191, Q 196, 204, 205, 209, 210, Qadiriyah 4, 6, 24, 63, 65, 211, 212, 215, 216, 217, 67, 80 219, 225, 226, 227, 228, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah 233, 234, 242, 246, 247, 6 248, 253, 254, 260, 263, Quthb 283, 372 265, 268, 277, 278, 281, quthb al-aqthâb 240 282, 289, 290, 291, 292, 294, 298, 299, 300, 302, 303, 304, 305, 306, 307, 308, 309, 310, 311, 312, 313, 315, 317, 318, 319,

368 Indeks

320, 321, 322, 323, 324, taqarrub 94, 223 325, 328, 329, 330, 331, tarekat 3, 4, 6, 7, 8, 24, 52, 332, 333, 334, 336, 337, 59, 61, 62, 63, 64, 65, 338, 339, 340, 341, 342, 66, 67, 68, 69, 72, 73, 343, 344, 345, 346, 347, 74, 76, 77, 78, 80, 92, 348, 357, 358, 359 118, 120, 121, 123, 155, Shiddiqiyah 6, 7, 78, 123, 215, 240, 247, 256, 277, 348, 355 288, 298, 305, 306, 311, Siyâdah 236 312, 322, 343, 345, 346, sowan 96, 106, 267 348 spiritual revival 2 tasawuf 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, sufisme 3, 6, 34, 81 8, 21, 22, 23, 24, 25, Suhrawardi al-Maqtul 49, 51 26, 27, 28, 29, 30, 31, sulthân al-auliyâ’ 240, 241, 273 32, 33, 34, 35, 36, 37, sulûk 215 38, 39, 40, 41, 42, 43, sû‘ul-adab 217 44, 49, 51, 52, 53, 57, sû’uzhan 53, 192 58, 59, 60, 61, 62, 63, syaikh 7, 65, 67, 68, 134, 64, 69, 72, 73, 74, 78, 217, 218, 219, 220, 298, 79, 80, 81, 82, 92, 118, 299 119, 120, 121, 171, 175, Syaikh Ahmad Khatib as-Sambasi 195, 215, 217, 239, 240, 6 252, 254, 256, 260, 265, Syaikh Siti Jenar 313, 347 277, 282, 283, 285, 288, Syaikh Yusuf al-Makassari 4, 5, 298, 304, 305, 311, 312, 79, 81 313, 314, 315, 316, 317, Syamsuddin as-Sumatrani 3 322, 323, 333, 341, 342, Syathariyah 4, 63, 80 345, 346, 347, 348 syikaftis 32 tasawuf akhlaqi 8, 37, 52, 316 syirik khafi 163, 164 tasawuf amali 52 tasawuf falsafi 3, 8, 37, 38, T 39, 79, 92, 311, 313, 346, ta’alluq 122, 141, 144, 167, 347 247 tasawuf sunni 3, 6, 37, 38, tabarrukan 98 52, 79, 82, 311, 312, 316, tadzallul 216 317, 346 tahalli 53, 54 tasawuf sunni akhlaqi 37 tajalli 4, 5, 45, 53, 55, 80, 81 tasawuf sunni ‘amali 37 takhalli 53, 54 tasyaffu’ 144, 199, 233, 248, tanazzul 4, 5, 80, 81 251, 252

369 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah tawajjuh 94, 242 Wali Songo 4, 6, 79, 82 tawassul 235, 256, 257, 258, wasîlah 21, 23, 119, 235, 282 259 wujudiyah 4, 80 thâ’ifah 241 wujûdiyyah mulhidah 5, 81 thariqah mu’tabarah 7 wushûl 138, 216, 218, 219, theosophi 33 220, 221, 222, 223, 225, Tijaniyah 63 226, 227, 228, 229, 240, “Tim-3” 105, 106 243, 244, 246, 247, 275, 281, 282, 292, 299, 314 U ’uqûq al-ustâdz 217 Y Yâ sayyidî yâ rasûlallâh 213, W 233, 234, 235, 236, 238, Wahab Hasbullah 318 289, 323 wahdah 4, 5, 37, 39, 46, 47, Yusuf an-Nabhani 130, 132, 48, 49, 80, 81, 253, 254, 133, 134, 136, 141, 155, 312, 313, 337, 339, 340, 196, 230, 236, 239, 251, 346, 347 299 wahdah al-wujûd 4, 5, 37, 39, 46, 47, 80, 81, 254, 312, Z 313, 339, 340, 346, 347 zâhid 21, 181, 316 wahdah asy-syuhûd 49 zuhud 21, 22, 59, 74, 181, wâhid az-zamân 242 220, 316 wâhidiyah 5, 81, 253 Zunnun al-Mishri 26

370 BIODATA PENULIS

Sok h i H uda, lah ir d i Sid oarjo, pada 28 Januari 19 67, dari pasangan H asan Aijuddin dan Nur Azah . Pendidik an dasar h ingga m enengah nya ia tem puh di Sidoarjo: SDN (19 79 ), MTs (19 83), M A (19 85). Ia berh asil m enyelesaik an S1 di Fak ultas D ak w ah pada 19 9 0 dan Magister Pem ik iran Islam pada 2001. Keduanya ditem puh di IAIN Sunan Am pel, Surabaya. Selain sebagai dosen tetap di Fak ultas D ak w ah Sunan Am pel Surabaya, Sok h i H uda juga m enjadi dosen di di Fak ultas D ak w ah Institut Keislam an H asyim Asy’ari (IKAH A) Tebuireng, Jom bang. Pernah m enjabat m enjabat Ketua Jurusan Kom unik asi dan Penyiaran Islam (KPI) dan Kepala Laboratorium D ak w ah , m enjadi w ak il D ek an Fak ultas D ak w ah , dan juga pernah m enjadi Kepala Biro Adm inistrasi Um um , Ak adem ik , dan Kem ah asisw aan di tingk at Institut. Artik el-artik el ilmiah nya turut m ew arnai beberapa m edia dan jurnal ilmiah , seperti di Antologi Kajian Islam Program Pascasarjana IAIN Surabaya, Jurnal Ilmu D ak w ah Fak ultas D ak w ah IAIN Sura- baya, jurnal ilmiah Menara Tebuireng IKAH A, Bulletin al-Fik rah IKAH A, dan di Bulletin RABU Fak ultas Tarbiyah IKAH A. D ia juga

371 Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah pernah m enjadi editor di m edia dan jurnal ilmiah di IKAH A, dan Ketua ek si Pelatih an/Penelitian pada Forum Kajian Islam dan Sosial (FKIS) Program Pascasarjana IAIN Surabaya (19 9 9 /2000). Beberapa artik elnya yang telah diterbitkan, antara lain:Sintesis Q uthb ad-D in dalam Mem bangun Rangk a Pik ir Islam isasi Ilmu (19 9 7); Beb erapa M od el Kem ajuan Ilmu-Ilmu Keislam an (2000); Nilai-Nilai H um anistik Advok asi Fik ih al-Im am asy-Syafi’i terh adap W anita (2002); “Telaah K asuistik tentang Kh alq Al-Q ur’an d alam Latar H istoris (2004), dan Stud i Kritis atas Pem ik iran W ensinck tentang Sum b er d an Perk em bangan Ak idah Muslim (2006). Sem entara beberapa penelitian yang pernah dilak uk annya bersm a tim Fak ultas D ak w ah dan Syari’ah IKAH A , antara lain: Keruk unan Antarum at Beragam a di Kecam atan Mojow arno Kab upaten Jom b ang [Stud i D esk riptif] (19 9 8); Sistem Pengelolaan Masjid d an Gereja [Stud i Kasus Masjid Jam i’ d an Gereja Katolik Tanjunganom Nganjuk ] (2002); Urgensi Teori Maslah ah al- M ursalah d alam Merespons Problem atik a Ketatanegaraan d i Indonesia (Stud i Kasus Pasca Gagasan Era Reform asi) (2001); dan Reorientasi Pengem b angan Bank Syari’ah Pasca Bergulirnya Lem b aga Perb ank an Syari’ah (D evelopm ental Research untuk Stud i Mu’am alah ) (2001). Selain ak tif m engajar, m enulis, dan m elak uk an penelitian, Sok h i H uda juga pernah m engik uti “Kajian Content Analysis” (19 9 7); “Lok ak arya Penelitian Kualitatif” (19 9 9 ); “Lok ak arya Penguatan Participatory Action Research (PAR ) bagi PTAIS se-Indonesia” (Surak arta, 2006); “W ork sh op Pem berdyaan D iri D osen” (2003); W ork sh op Em otional Freedom Technique (2005); Tem u Ilmiah W orldview Islam & Mod ernism e (2004); dan “ToT Program Pengem bangan Pesantren dan Madrasah ” (2005). Selain itu, Sok h i H uda juga ak tif m engisi k egiatan di luar k am pus, seperti disk usi, bedah buk u, pem binaan m asyarak at, penelitian, dan ak tivitas pem berd ayaan pesantren dan m adrasah .

372