BAB II GAMBARAN UMUM CIREBON SEBELUM KEDATANGAN VOC

A. Cirebon Sebelum Masa Sunan Gunung Jati Cirebon merupakan salah satu wilayah yang terletak di pesisir1 Pulau Jawa dengan kondisi geografis yang menguntungkan. Cirebon terletak di jalur pantai utara yang berbatasan langsung dengan wilayah yang sekarang disebut dengan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Hal ini membuat terjadinya interaksi di antara dua kebudayaan yang ada di kedua wilayah tersebut yaitu Kebudayaan Jawa dengan Kebudayaan Sunda, sehingga lahirlah sebuah kebudayaan yang unik dan khas. Di sisi lain, Cirebon juga menjadi wilayah yang secara langsung dilewati jalur perdagangan antarpulau bahkan internasional pada abad ke-15 dan 16 dengan ditandai adanya pelabuhan sebagai tempat bersandarnya kapal-kapal baik untuk perdagangan ataupun pelayaran. Selain wilayah pesisir, Cirebon juga memiliki wilayah pedalaman yang subur untuk kegiatan pertanian yang hasilnya akan diperjualbelikan dalam perdagangan internasional. Jalur perdagangan internasional menggunakan jalan laut sangat membantu setiap bangsa dari berbagai belahan benua untuk bisa saling bertemu dan berinteraksi. Kepulauan Nusantara2 sudah dianggap penting bagi perdagangan antarbangsa sejak zaman purba. Hal ini dikarenakan pulau-pulaunya berada di sepanjang laut yang merupakan rute penghubung antara Cina dengan kekuasaan Kekaisaran Romawi. Banyak kapal dari berbagai negara singgah di Kepulauan Nusantara untuk mengisi perbekalan pelayaran atau membeli barang-barang dagangan yang dibutuhkan, seperti rempah-rempah, damar dan kayu berharga.3 Berbagai bangsa hadir di Kepulauan Nusantara mulai dari Cina, India, Persia,

1 Dalam Kamus Sejarah dan Budaya , pesisir merupakan istilah yang umum dipakai ketika menyebut wilayah-wilayah pantai terutama di Pulau Jawa yang mempunyai perbedaan tradisi dengan wilayah yang ada di pedalaman. Lihat Putri Fitria, 2014, Kamus Sejarah & Budaya Indonesia, Bandung: Penerbit Nuansa Cendekia, hlm. 159

2 Istilah Nusantara dipakai untuk menyebut wilayah-wilayah kepulauan yang kini dikenal dengan Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Thailand selatan dan Filipina selatan. Lihat Didin Saefuddin Buchori, 2009, Sejarah Politik Islam, : Pustaka Intermasa, hlm. 268

3 Dedi Supriyadi, 2008, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, hlm. 189 Arab, dan kemudian Bangsa Eropa. Dengan demikian unsur-unsur kebudayaan dari berbagai bangsa itu pun masuk dan berbaur bersama penduduk asli di Kepulauan Nusantara. Adat istiadat merupakan unsur kebudayaan yang dibawa para pelaut dan pedagang asing serta tidak dapat dihindari pengaruhnya di Kepulauan Nusantara. Orang-orang India dengan kebudayaan India di dalamnya memuat kepercayaan kepada kesaktian yang dimiliki oleh raja-raja yang membawa dampak bercampurnya kepercayaan tersebut dengan kepercayaan animisme yang semula dianut nenek moyang penduduk Nusantara, khususnya di wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Falsafah India Klasik tentang Raja Adikuasa memberi inspirasi para penguasa Nusantara yang berambisi dengan kekuasaan, pada saat itu para penguasa Nusantara setingkat dengan kepala suku agama Hindu dan Budha dari India. Kepercayaan ini tidak hanya bercampur, akan tetapi terkadang dapat menggantikan posisi kepercayaan yang dianut sebelumnya mulai dari penguasa hingga rakyatnya.4 Hal ini bisa dilihat dengan berdirinya kerajaan-kerajaan bercorak Hindu dan Budha di Nusantara sejak awal abad masehi. Sejak awal abad masehi mulai tumbuh dan kemudian berkembang kerajaan-kerajaan bercorak Hindu serta Budha di Nusantara, contohnya Kerajaan di Pulau , Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat dan Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah. Cirebon yang berada di ujung timur pantai utara Jawa Barat masuk ke dalam wilayah kekuasaan raja-raja yang pernah memimpin di Jawa Barat. Menurut Kitab Negara Kertabumi karya Pangeran Wangsakerta5 sebagaimana dikutip oleh Unang Sunardjo dalam buku Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809, dituliskan kerajaan-kerajaan yang pernah ada sebelum Islam datang dan berkembang di Jawa Barat yaitu Kerajaan Salakanagara, Kerajaan , Kerajaan Sunda, Kerajaan Kendam, Kerajaan Galuh, Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan

4 Ibid., hlm. 189-190

5 Pangeran Wangsakerta merupakan salah satu putra dari Panembahan Ratu II (Panembahan Girilaya) yang naik tahta di Kerajaan Cirebon pada tahun 1649 M.

Saunggalah.6 Dapat diketahui bahwa sebelum Islam berkembang di Jawa Barat melalui Cirebon pada abad ke-15 Masehi, dipastikan Cirebon merupakan wilayah yang berada di bawah kekuasaan raja-raja Hindu dan Budha.7

Prasasti Huludayeuh Menurut Kitab Carita Purwaka Caruban Nagari, awalnya istilah Cirebon berasal dari kata Caruban yang semakin lama penyebutannya semakin berubah

6 Kerajaan Salakanagara (130-358 M) dimulai oleh raja Dewawarman, Kerajaan Tarumanagara (358-669 M) dimulai oleh raja Jayasingawarman, Kerajaan Sunda (dimulai tahun 669 M) oleh raja Tarusbawa Wastika Manungga Manggalajaya Sunda Sembawa, Kerajaan Kendam (dimulai tahun 526 M) oleh Resi Guru Manikmaya di daerah Nagreg Cicalengka Jawa Barat, Kerajaan Galuh (612-1482 M) dimulai oleh Prabu Kandiawan, Kerajaan Pajajaran (1482- 1579 M) dimulai oleh Prabu Jayadewata bertahta di Pakuan , dan Kerajaan Saunggalah (dimulai tahun 732 M) oleh Prabu Demunawan di Kuningan Jawa Barat. Lihat Unang Sunardjo, 1983, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809, Bandung: Tarsito, hlm. 8

7 Bukti bahwa Cirebon pernah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Hindu-Budha adalah dengan ditemukannya sebuah prasasti yang dinamai Prasasti Huludayeuh di Desa Cikalahang Kecamatan Dukupuntang Kabupaten Cirebon. Tulisan pada prasasti itu antara lain menyebut tentang “Sri Maharaja Ratu Haji di Pakwan Sya Sang Ratu Dewata” (Sri Maharaja Raja Utama di Pakwan, dialah sang Ratu Dewata). Adanya kata “Haji” pada kalimat tersebut memiliki arti utama, bukan merupakan istilah yang ada di dalam Agama Islam yakni menunaikan ibadah haji ke Baitullah di Makkah. Keterangan dalam prasasti tersebut ditulis dengan huruf Jawa Kuna dalam Bahasa Sunda. Prasasti Huludayeuh menjadi salah satu bukti bahwa Cirebon dan daerah sekitarnya dahulu pernah menjadi bagian dari wilayah kekuasaan raja Kerajaan Sunda. Lihat A.Sobana Hardjasaputra dkk, 2011, Cirebon dalam Lima Zaman (Abad ke-15 Hingga Pertengahan Abad ke- 20), Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, hlm. 32 menjadi Carbon, Cerbon dan kemudian Cirebon. Kata Caruban memiliki arti “campuran,”8 karena di tempat tersebut dijadikan tempat tinggal orang-orang dari berbagai bangsa dengan beragam perbedaan seperti bahasa, kepercayaan, tulisan, dan budaya. Mereka pun memiliki profesi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Sedangkan menurut E.C. Godee Molsbergen (Sejarawan dan Arsiparis Belanda), bahwa Cirebon pada awalnya bernama Pakungwati setelah itu disebut dengan Tjairebon atau Tjirebon. Dalam dokumen VOC ditulis sebagai Tjeribon, Chirrebon, Sirrebon, dan orang-orang Portugis menyebutnya dengan Charabon.9 Istilah Cirebon pun secara kiratabasa (volks-etymology) terdiri dari dua kata yaitu “ci” dan “rebon”. Kata “ci” berasal dari Bahasa Sunda yang memiliki arti air. Sedangkan kata “rebon” memiliki arti sejenis udang yang kecil-kecil. Rebon ini digunakan sebagai bahan baku pembuatan terasi. Sejak zaman dahulu Cirebon menjadi wilayah pembuat serta pengekspor terasi yang enak. Bahkan sampai sekarang pun wilayah Cirebon masih memproduksi terasi dan dijadikan sebagai salah satu oleh-oleh khas Cirebon. Di sisi lain, Cirebon juga disebut dengan “grage” yang merupakan singkatan dari Nagari Gede. Kata grage berasal dari kata glagi yakni nama udang kering yang juga dijadikan sebagai bahan pembuatan terasi. Pada tahap selanjutnya wilayah Caruban berubah menjadi sebuah nagari atau kerajaan atau sebuah negara yang besar. Oleh para walisanga Caruban ini disebut sebagai nagari Puser Bumi atau Pusering Jagat. Hal ini berarti bahwa Cirebon berada di tengah-tengah Pulau Jawa dalam pengertian sebagai pusat penyebaran agama Islam khususnya di wilayah Jawa Barat.10 Cirebon merupakan salah satu wilayah dengan kondisi geografis yang lengkap, yaitu dengan adanya wilayah pesisir yang disebut Cirebon Larang dan wilayah pedalaman (pegunungan) yang disebut dengan Cirebon Girang. Di

8 Kata Carub memiliki arti campur. Lihat T.D. Sudjana, dkk, 2015, Kamus Bahasa Cirebon, Bandung: Humaniora, hlm. 63

9 E.C. Godee Molsbergen, 2009, Uit Cheribon’s Geschiedenis, diterjemahkan oleh Iwan Satibi, hlm. 1

10 Atja, Op.Cit., hlm. 28. Lihat juga Ahmad Hamam Rochani, 2008, Babad Cirebon, Cirebon: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon, hlm. 26 wilayah pesisir terdapat nagari-nagari yang merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Hindu-Budha. Menurut P.S. Sulendraningrat yang dikutip oleh Unang Sunardjo bahwa pernah ada berita mengenai sebuah nagari besar bernama Nagari Wanagiri yang telah berdiri sejak abad ke-14 Masehi meliputi wilayah Kabupaten Cirebon sekarang. Akan tetapi karena sebab yang tidak jelas nagari besar tersebut pecah menjadi nagari-nagari kecil dengan hak otonomi yang diberikan oleh Kerajaan Galuh. Nagari-nagari tersebut dipimpin oleh para Ki Gedeng di setiap daerahnya, nagari-nagari kecil yang ada di wilayah Cirebon di antaranya Nagari Surantaka, Nagari Singapura, Nagari Japura, Nagari Wanagiri, Nagari Rajagaluh, dan Nagari Talaga.11 Nagari-nagari kecil yang ada di wilayah Cirebon merupakan wilayah yang berada dalam kekuasaan Raja Sunda. Para Ki Gedeng di Nagari Surantaka, Nagari Singapura, Nagari Japura, dan Nagari Wanagiri saling bersaudara. Dalam Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara sebagaimana dikutip oleh Yoseph Iskandar, bahwa raja Sunda yang gugur di Perang Bubat adalah Prabu Maharaja Linggabuanawisesa (Prabu Wangi). Dia mempunyai anak yang bernama Dyah Pitaloka, sedangkan putera lainnya bernama Rahiyang Niskala Wastu Kancana (Prabu Wangisutah). Sutah artinya anak, maka Prabu Wangisutah berarti anak Prabu Wangi. Ketika ayahnya gugur di Perang Bubat, maka secara otomatis kekuasaan beralih kepada Prabu Wangisutah. Tetapi ketika itu dia masih anak- anak berusia sembilan tahun. Lalu ia diangkat menjadi anak dan dipelihara oleh adik dari ayahnya yaitu Mangkubumi Suradipati (Sang Bunisora). Lalu Sang Bunisora menjadi raja Sunda selama 14 tahun, 5 bulan dan 15 hari.12 Menurut Naskah Pangeran Wangsakerta yang dikutip oleh Yoseph Iskandar dkk dalam buku Negara Gheng Islam Pakungwati Cirebon bahwa Sang Bunisora memiliki dua putera yaitu Ki Gedeng Kasmaya atau Giridewata dan yang kedua adalah Bratalegawa. Ia lahir pada tahun 1350 Masehi, dua tahun lebih

11 Unang Sunardjo, Op.Cit., hlm. 10-11. Sampai sekarang nama-nama bekas nagari tersebut masih ada.

12 Yoseph Iskandar dkk, 2000, Negara Gheng Islam Pakungwati Cirebon, Bandung: Padepokan Sapta Rengga, hlm. 34-35 muda dari Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang lahir sekitar 1348 Masehi.13 Berbeda dengan kakaknya, Bratalegawa lebih memilih berlayar sambil berdagang ke berbagai negara sehingga ia menjadi saudagar yang besar. Ia bersahabat dengan saudagar dan pembesar di tempat-tempat yang ia singgahi, seperti Sumatera, Cina, Campa, India, Sri Langka, Iran (Persia) hingga Jazirah Arab. Suatu ketika di Gujarat ia bertemu dengan jodohnya yakni seorang muslimah bernama Farhana binti Muhammad. Kemudian Bratalegawa memeluk Agama Islam. Setelah itu bersama dengan isterinya, ia pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian ia mendapat gelar Haji Baharuddin al-Jawi, dan kembali ke Tanah Sunda.14 Sebagai seseorang yang menunaikan ibadah haji pertama di Kerajaan Galuh, Bratalegawa lebih dikenal dengan sebutan Haji Purwa Galuh. Dia beserta keluarganya merupakan penyebar Agama Islam pertama di Jawa Barat, akan tetapi pengikutnya hanya beberapa orang saja. Setelah Sang Bunisora wafat, maka kekuasaan dilanjutkan oleh Prabu Wangisutah yakni Rahiyang Niskala Wastukancana. Dia naik tahta pada tahun 1371 Masehi dan kekuasaannya meliputi Sunda dan Galuh (seluruh Jawa Barat). Ibukota kerajaannya bernama Kawali serta istananya bernama Surawisesa sama seperti dahulu ketika Prabu Wangi bertahta.15 Di sisi yang lain, pada masa Niskala Wastukancana meskipun Bratalegawa beserta anak-cucunya berbeda keyakinan (agama) dengan keluarga keraton akan tetapi ia tidak memusuhinya. Hubungan kekeluargaan dan toleransi di antara mereka tetap harmonis. Di kemudian hari Rahiyang Niskala Wastukancana membagi kerajaan menjadi dua bagian untuk anak-anaknya. Kerajaan sebelah barat (Negeri Sunda dari Citarum ke barat) yakni Pakuan Pajajaran untuk anaknya Sang Susuk Tunggal16 dari istri yang bernama Nyai Ratna Sarkati dari Sumatera. Dan kerajaan

13 Ibid., hlm. 50

14 Yoseph Iskandar, 1997, Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Bandung: Geger Sunten, hlm. 249

15 Yoseph Iskandar dkk, Op.Cit., hlm.36 16 Prabu Susuktunggal mempunyai anak bernama Prabu Amuk Murugul yang menjadi raja di Nagari Japura. Nagari Japura berada jauh 17 KM di sebelah tenggara Giri Amparan Jati dengan luas wilayah meliputi Kecamatan Astana Japura, Sindang Laut dan Ciledug yang kini sebelah timur yaitu Galuh Pakuan diberikan kepada putera mahkota, Sang Mangkubumi Surawisesa atau Prabu Dewa Niskala dari istrinya yang bernama Dewi Ratna Mayangsari (anak pertama Mangkubumi Suradipati).17 Prabu Dewa Niskala atau dalam Carita Purwaka Caruban Nagari disebut Prabu Anggalarang mempunyai anak bernama Raden Manah Rasa alias Prabu Siliwangi.18 Raden Manah Rasa atau ada juga yang menyebutnya Pamanah Rasa alias Jayadewata terkadang pula oleh juru pantun disebut dengan Keukeumbingan Rajasunu lahir di Keraton Surawisesa yang berada di wilayah Parahiyangan sebelah timur. Ia menjadi cucu kesayangan kakeknya, Niskala Wastukancana. Karena hal tersebut perilaku Raden Manah Rasa lebih banyak serupa dengan kakeknya daripada ayahnya, Prabu Dewa Niskala. Raden Manah Rasa semasa kecil pernah tinggal bersama Ki Gedeng Sindang Kasih19 di Kerajaan Sindang Kasih (sekarang merupakan sebuah desa di Kecamatan Beber, Kabupaten Cirebon). Setelah dewasa ia menikah dengan puteri Ki Gedeng Sindang Kasih yakni Nyai Ambetkasih. Dialah yang menjadi isteri pertama dari Raden Manah Rasa. Lalu ia menggantikan posisi mertuanya sebagai pengalaman pertamanya dalam bidang pemerintahan.20 Dalam literatur lain disebutkan bahwa Ki Gedeng Sindang Kasih adalah penguasa dari Nagari Surantaka. Nagari ini berpusat di daerah yang sekarang dikenal dengan sebutan Desa Kraton Kecamatan Suranenggala Kabupaten masuk ke dalam wilayah Kabupaten Cirebon. Pusat Nagari Japura diperkirakan terletak di Desa Astana Japura Kecamatan Astana Japura Kabupaten Cirebon. Di tempat ini hanya ditemukan sebuah sumur tua, yang menurut tradisi lisan setempat merupakan sumur keraton. Lihat Unang Sunardjo, 1983, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479- 1809, Bandung: Tarsito, hlm. 21

17 Yoseph Iskandar dkk, Op.Cit., hlm. 36.

18 Atja, Op.Cit., hlm. 29

19 Ki Gedeng Sindang Kasih merupakan putera ketiga dari Rahiyang Niskala Wastu Kancana. Dia memiliki empat putera: pertama, Rahiyang Dewa Niskala. Kedua, Ki Ageng Surawijaya Sakti (Ratu Singapura). Ketiga, Ki Ageng Sindang Kasih. Keempat, Ki Ageng Tapa (Juru labuhan Muara Jati). Lihat Yoseph Iskandar dkk, Op.Cit., hlm 32

20 Saleh Danasasmita, dkk., Tanpa Tahun, Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Bandung: Proyek Penerbitan Buku Sejarah Jawa Barat Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat 1983-1984, hlm. 1

Cirebon atau sekitar 5 KM dari Giri Amparan Jati dan Muara Jati. Batas wilayahnya ialah sebelah selatan berbatasan dengan Nagari Singapura dan sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa, sedangkan sebelah utara dan baratnya tidak jelas nama nagarinya. Nagari Surantaka merupakan wilayah kekuasaan Galuh. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa penguasa Nagari Surantaka ini memiliki hubungan kekerabatan dengan raja di Kerajaan Galuh. Oleh karena itu, Nagari Surantaka diberi hak otonomi untuk mengurus pemerintahannya sendiri. Dan karena pernikahan Raden Manah Rasa dengan puteri Ki Gedeng Sindang Kasih, maka ia memberikan wilayah Sindang Kasih kepada Raden Manah Rasa sebagai hadiah pernikahannya.21 Kisah tentang pernikahan Raden Manah Rasa dengan Nyai Ambet Kasih tidak banyak diceritakan bagaimana prosesnya serta kapan waktu terjadiannya. Beberapa waktu kemudian di Nagari Surantaka diadakan sebuah sayembara untuk menentukan jodoh atau suami bagi puteri Mangkubumi Singapura yang bernama Ki Gedeng Tapa dengan melakukan pertandingan menguji kekuatan bagi siapa pun yang ingin mengikutinya. Banyak para pemuda bahkan para ratu yang mengikuti sayembara tersebut, termasuk Raden Manah Rasa. Pada babak final, Raden Manah Rasa bertanding melawan Amuk Murugul dan berhasil mengalahkannya. Kemudian pernikahanpun dilangsungkan antara Raden Manah Rasa dengan puteri cantik sang mangkubumi. Nyai Subang Larang atau semasa kanak-kanak ia dipanggil Nyai Larangtapa, ialah puteri mangkubumi Nagari Singapura.22 Nagari Singapura sama halnya dengan Nagari Surantaka dan Nagari Japura merupakan nagari-nagari kecil yang berada dalam kekuasaan Kerajaan Galuh. Menurut Bapak Elang Panji Jaya Prawirakusuma, Nagari Singapura bernama Kerajaan Mertasinga atau Karatwan Singapura Paradyeng Mertasinga, artinya Kerajaan Singapura yang ibukotanya di Mertasinga. Singapura memiliki arti bagian yang terdepan yakni nagari atau kerajaan yang adanya di depan atau

21 Unang Sunardjo, Op.Cit., hlm. 12-13

22 Atja, Op.Cit., hlm. 30 terletak di bibir pantai utara laut Cirebon.23 Kini, bekas Nagari Singapura terletak di sebelah barat kompleks Makam Sunan Gunung Jati. Nagari Singapura dipimpin oleh Ki Ageng Surawijaya Sakti. Ia merupakan adik dari Rahiyang Dewa Niskala, ayah dari Raden Manah Rasa. Ki Ageng Surawijaya Sakti pun bersaudara dengan Ki Ageng Sindang Kasih dan Ki Ageng Tapa, mereka adalah adik-adik Ki Ageng Surawijaya Sakti. Masih menurut Bapak Elang Panji Jaya Prawirakusuma, dia menyebutkan bahwa Pangeran Surawijaya Sakti menikah dengan Nyi Indang Sakati puteri ketiga dari Giri Dewata atau disebut juga Ki Ageng Kasmaya yang merupakan paman dari Pangeran Surawijaya Sakti. Nyi Indang Sakati memiliki adik bernama Ratna Kranjang yang kemudian adiknya ini diperisteri oleh Ki Ageng Tapa.24 Pada masa kepemimpinan Ki Ageng Surawijaya Sakti untuk pengelolaan serta pengawasan pelabuhan yang ada di wilayah nagarinya yaitu Pelabuhan Muara Jati diserahkan kepada Ki Ageng Tapa. Pada periode ini pelabuhan Nagari Singapura mengalami perkembangan yang cukup besar, dapat dikatakan Pelabuhan Muara Jati ini merupakan pelabuhan internasional. Kegiatan perdagangan lokal maupun internasionl berjalan ramai dan juga aktivitas bongkar muat barang selalu ada setiap harinya. Berdasarkan Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang ditulis Atja dalam buku Carita Purwaka Caruban Nagari Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah disebutkan bahwa ada banyak perahu yang bersandar di Pelabuhan Muara Jati di antaranya kapal-kapal dari negeri Cina, Arab, Parsi (Iran), India, Malaka, Tumasik (Singapura), Pasai, Jawa Timur, Madura dan Palembang.25 Menurut perkiraan, sekitar tahun 1415 Masehi Nagari Singapura mencapai puncak popularitas serta kejayaannya.26 Puncak popularitas dan kejayaan Nagari Singapura salah satunya ditandai dengan berlabuhnya rombongan Armada Laut Kerajaan Cina dari Dinasti Ming

23 Wawancara dilakukan pada hari Kamis, 24 April 2014 di kediaman Narasumber di Desa Mertasinga Kecamatan Gunung Jati Kabupaten Cirebon.

24 Ibid., hasil wawancara.

25 Atja, Op.Cit., hlm. 30

26 Unang Sunardjo, Op.Cit., hlm. 15 dengan Kaisarnya yang bernama Yung Lo. Armada laut ini dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Tay Kam ditemani oleh seorang juru tulis bernama Ma Huan, keduanya merupakan seorang muslim. Rombongan Laksamana Cheng Ho tinggal di Muara Jati sekitar selama tujuh hari, sebelum kemudian melanjutkan perjalanannnya menuju . Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1418 Masehi, di dalam rombongan tersebut terdapat seorang ulama bernama Syekh Hasanudin (Syekh Quro) yang kelak mendirikan sebuah pesantren di Karawang yakni Pesantran Quro.27 Dalam versi lain disebutkan bahwa peristiwa kedatangan rombongan Laksamana Cheng Ho di Muara Jati terjadi pada tahun 1416 Masehi yang melakukan pelayaran berkeliling negara di luar Cina atas perintah Kaisar Dinasti Ming ketiga yaitu Kaisar Cheng-tu atau Kaisar Yunglo. Tujuan pelayaran ini adalah untuk menjalin persahabatan dengan raja-raja tetangga Cina yang ada di seberang lautan. Rombongan armada laut Laksamana Cheng Ho terdiri dari 63 kapal dengan prajuritnya yang berjumlah 27.800 orang. Di Pelabuhan Muara Jati inilah Laksamana Cheng Ho bertemu dengan Ki Ageng Tapa selaku penguasa pelabuhan.28 Pelabuhan Muara Jati terletak di Dukuh Pasambangan. Selama satu minggu rombongan armada laut Laksamana Cheng Ho tinggal di sana untuk beristirahat dan mengisi perbekalan. Kemudian Laksamana Cheng Ho beserta pengikutnya mendirikan sebuah mercusuar (menara api) di atas Gunung Amparan Jati. Mercusuar ini sebagai tanda bahwa di tempat itu terdapat pelabuhan yang bisa disinggahi. Dari kejauhan akan tampak gemerlap cahaya pada malam hari. Setelah mercusuar selesai dibangun, barulah kemudian rombongan Laksamana Cheng Ho melanjutkan perjalanannya menuju Jawa Timur untuk berkunjung ke Kerajaan Majapahit. Sebagai imbalan atas bantuan Laksamana Cheng Ho beserta rombongannya untuk membuat mercusuar, maka Ki Ageng Tapa memberikan perbekalan yang cukup kepada rombongan raja China tersebut. Ki Ageng Tapa

27 Ahmad Hamam Rochani, 2008, Babad Cirebon, Cirebon: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon, hlm. 32

28 Yoseph Iskandar, Op.Cit., hlm. 250-251 memberikan beras tumbuk, garam, terasi, rempah-rempah dan kayu jati. Barang- barang kebutuhan tersebut merupakan hasil bumi dari tanah Cirebon yang biasanya diekspor ke berbagai wilayah.29 Beberapa tahun kemudian datanglah seorang ulama beserta para pengikutnya yang merupakan utusan kerajaan Parsi ke Dukuh Pasambangan. Ada yang berpendapat ulama tersebut berasal dari Baghdad. Ia bernama Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Idofi. Orang-orang juga menyebutnya Syekh Nuruljati atau Syekh Nurjati. Ia datang bersama 22 pengikutnya, 20 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Mereka diterima langsung oleh Ki Ageng Tapa, dan diizinkan untuk menetap di sana. Kemudian Syekh Nurjati mendirikan sebuah pesantren, tempat orang-orang untuk belajar mengenal Islam. Sebelum kedatangan Syekh Nurjati, Ki Ageng Tapa terlebih dahulu mengenal ulama lainnya yang telah menyebarkan Islam yaitu Syekh Qura. Nyai Subang Larang (anaknya) dipesantrenkan di Pondok Quro Karawang untuk memperdalam Agama Islam. Jadi tidaklah mengherankan jika Syekh Nurjati diberikan tempat untuk tinggal di Pasambangan. Selain itu orang-orang yang tinggal di daerah pantai lebih bersikap dan berfikiran terbuka terhadap sesuatu yang baru daripada mereka yang tinggal di pedalaman. Di sisi lain, raja di Kerajaan Galuh memberikan kebebasan beragama kepada rakyatnya. Sepulang menuntut ilmu dari Karawang, Nyai Subang Larang kembali lagi ke Nagari Singapura kemudian menikah dengan Raden Manah Rasa (pemenang sayembara) pada tahun 1422 Masehi. Setelah itu Nyai Subang Larang dibawa oleh suaminya ke Keraton Galuh yang berada di Kawali, karena Prabu Anggalarang atau Prabu Dewa Niskala (ayah Raden Manah Rasa) masih bertahta sebagai raja di Galuh.30 Setelah Nyai Subang Larang tinggal di Keraton Galuh selama satu tahun, kemudian ia melahirkan putera pertama mereka. Nyai Subang Larang dan Raden Manah Rasa memberi nama bayi laki-laki itu Raden Walangsungsang. Ia lahir pada tahun 1423 Masehi. Tiga tahun kemudian Nyai Subang Larang melahirkan

29 Atja, Op.Cit., hlm. 31

30 Unang Sunardjo, Op.Cit., hlm. 18 bayi perempuan. Ia diberi nama Nyai Lara Santang yang lahir pada tahun 1426 Masehi. Dan kemudian pada tahun 1428 Masehi, Nyai Subang Larang melahirkan putera terakhirnya yang diberi nama Raja Sengara. Mereka dibesarkan dalam lingkungan keluarga keraton dan diajari akidah Islam oleh ibu mereka.31 Perbedaan keyakinan antara keluarga keraton dengan Nyai Subang Larang tidak menghalangi keharmonisan kehidupan keluarga mereka. Nyai Subang Larang diberi kebebasan untuk melaksanakan ibadah sesuai keyakinannya yaitu Islam dan mendidik putera-puterinya berdasarkan Agama Islam, sebagaimana Agama Islam telah dipelajari dan diaplikasikan dalam kesehariannya jauh sebelum pernikahannya dengan Raden Manah Rasa terjadi. Ketika anak-anaknya telah lahir dari rahim Nyai Subang Larang, Raden Manah Rasa naik tahta menjadi raja kemudian ia disebut Prabu Siliwangi. Satu tahun sebelum pengangkatan Raden Manah Rasa menjadi raja, Nyai Subang Larang wafat tepatnya sekitar tahun 1441 Masehi. Belumlah genap pengajaran serta didikan yang diberikan Nyai Subang Larang membuat putera sulungnya, yakni Raden Walangsungsang gelisah ingin memperdalam Agama Islam. Seperti diketahui di kalangan keluarga keraton mayoritas masih menganut agama leluhur, maka dapat dipastikan sulit untuk mendapatkan ilmu-ilmu tentang Islam. Ketika ayahnya resmi naik tahta pada tahun 1442 Masehi32, Raden Walangsungsang memutuskan keluar dari keraton atas izin ayahnya untuk memperdalam ilmu Agama Islam. Perjalanan pun ia lakukan untuk mencari apa yang membuat dirinya tentram dan langkah pertama ia mulai menuju rimba Parahiyangan.33 Menurut Pustaka Kertabhumi yang dikutip dalam buku Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat disebutkan bahwa setelah Raden Walangsungsang keluar dari keraton, ia sampai di sebuah wilayah yang disebut

31 Atja, Op.Cit., hlm. 32

32 Dalam Babad Cirebon disebutkan bahwa Prabu Siliwangi memerintah Pajajaran mulai tahun 1442-1482 Masehi. Lihat Ahmad Hamam Rochani, 2008, Babad Cirebon, Cirebon: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon, hlm. 35

33 Atja, Op.Cit., hlm. 32

“Parahiyangan bang wetan.” Di sana tinggal Ki Danuwarsih bersama keluarganya. Dia merupakan anak Ki Danuserta, pendeta Budha dari Gunung Dieng yang kemudian menjadi seorang pendeta di Keraton Galuh. Ki Danuwarsih memiliki seorang puteri yang bernama Nyi Indang Geulis. Sebuah nama yang khas sunda karena Ki Danuwarsih pun dilahirkan di Galuh. Di Parahiyangan bang wetan inilah Raden Walangsungsang bertemu dengan jodohnya yaitu Nyi Indang Geulis dan kemudian mereka pun menikah.34Ahmad Hamam Rochani dalam buku Babad Cirebon mengutip dari catatan Pangeran Sulaeman Sulendraningrat menerangkan bahwa pernikahan Raden Walangsungsang dan Nyi Indang Geulis dilangsungkan pada tahun 1442 Masehi. Jika kita hitung dari tahun kelahiran Raden Walngsungsang versi Carita Purwaka Caruban Nagari yakni tahun 1423 Masehi, maka Raden Walangsungsang menikah pada usia sekitar 19 atau 20 tahun.35 Beberapa waktu kemudian datanglah Nyai Lara Santang ke tempat Ki Danuwarsih untuk menyusul kakaknya. Sedangkan Raja Sengara masih menetap di keraton bersama ayahnya. Di sanalah Nyai Lara Santang bertemu dengan Raden Walangsungsang dan selanjutnya bersama-sama melanjutkan perjalanan mencari tempat untuk belajar. Raden Walangsungsang, Nyi Indang Geulis dan Nyai Lara Santang berkelana hingga sampailah mereka di Gunung Amparan Jati. Di sana mereka bertemu dengan Syekh Nurjati yang dalam Carita Purwaka Caruban Nagari dituliskan ia berasal dari Makkah. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa Syekh Nurjati ini adalah seorang ulama, maka mereka mulai berguru dan menimba ilmu dari Syekh Nurjati sampai sekitar tiga tahun lamanya. Syekh Nurjati memberikan banyak pelajaran kepada Raden Walangsungsang, Nyi Indang Geulis dan Nyai Lara Santang. Pelajaran pertama yang mereka dapatkan adalah ilmu tauhid sebagai dasar keimanan. Kemudian dilanjutkan dengan mempelajari ilmu fiqih yang menjadi tuntunan dalam beribadah kepada Allah SWT untuk menjalankan syari’at Islam. Syari’at inilah yang menjadi dasar dalam sebuah tataran keimanan sebelum mencapai tataran yang lebih tinggi selanjutnya yaitu tarikat, hakikat dan makrifat. Selanjutnya

34 Saleh Danasasmita, dkk., Op.Cit., hlm. 12

35 Ahmad Hamam Rochani, Op.Cit., hlm 42-43 pelajaran mereka ditingkatkan dengan mempelajari ilmu tasawuf yang di dalamnya terdapat ajaran tentang zuhud, yaitu sebuah tuntunan kehidupan dengan mendahulukan kepentingan akhirat tetapi tidak harus meninggalkan kehidupan dunia.36 Setelah dianggap tuntas mempelajari dasar Agama Islam kepada Syekh Nurjati, Raden Walangsungsang diperintah oleh gurunya tersebut untuk membangun sebuah pedukuhan yang disebut Kebon Pesisir (sekarang daerah itu bernama Lemahwungkuk Kota Cirebon) atau disebut juga Tegal Alang-Alang. Raden Walangsungsang mendapat nama baru dari gurunya, ia disebut Somadullah. Di pedukuhan itu sebelumnya telah tinggal Ki Gedeng Alang-Alang bersama keluarganya. Nama lain dari Ki Gedeng Alang-alang adalah Ki Danusela, ia merupakan adik dari Ki Danuwarsih (ayah Nyi Indang Geulis). Ki Danusela menikah dengan puteri Ki Gedeng Kasmaya (raja Cirebon Girang) yaitu Nyai Arumsari.37 Proses pembukaan lahan untuk membuat pedukuhan ini dilakukan pada hari kamis tanggal 08 April 1445 Masehi atau dalam penanggalan hijriyah sudah masuk tanggal 01 Muharram 848 Hijriyah oleh sekelompok orang yang berjumlah 52 orang, dipimpin langsung oleh Ki Somadullah.38 Sebelum kedatangan Ki Somadullah beserta rombongan, Ki Gedeng Alang-Alang dalam kesehariannya bekerja sebagai nelayan. Dia mencari rebon (udang kecil) untuk dibuat terasi dan petis, selain itu ia juga membuat budi daya garam. Ki Gedeng Alang-Alang mempunyai seorang puteri yang bernama Nyai Retna Riris atau Nyai Kencana Larang. Ki Gedeng Alang-Alang beserta keluarga merasa senang dengan kehadiran Ki Somadullah sebagai putera raja Pajajaran. Ki Somadullah pun selama tinggal di Tegal Alang-Alang bekerja mencari rebon sebagaimana yang dilakukan Ki Gedeng Alang-Alang, selain itu juga ia bercocok tanam. Rebon yang dicari di laut pada waktu malam harinya diolah menjadi terasi menggunakan alat cakung. Semakin lama pedukuhan yang

36 Ibid., hlm 55

37 Atja, Op.Cit., hlm. 32-33

38 Saleh Danasasmita, dkk., Op.Cit., hlm. 11 dibangun oleh Ki Somadullah menjadi semakin ramai. Banyak orang yang datang untuk bermukim dan berdagang di sana. Selain karena alasan kegiatan perniagaan, kebanyakan para pendatang juga ingin belajar Agama Islam kepada Ki Somadullah.39 Dengan semakin banyaknya orang yang tinggal di pedukuhan tersebut, Tegal Alang-Alang berubah nama menjadi Caruban. Kata caruban memiliki arti “campuran” karena di tempat tersebut terdiri atas banyak bangsa dan agama. Selain itu, Tegal Alang-Alang disebut juga daerah Cirebon Larang atau Cirebon pesisir. Sebutan tersebut diperoleh berdasarkan kepada nama yang sudah ada sebelumnya, yaitu dari Nagari Cirebon yang terletak di lereng Gunung Ciremai yang pernah dipimpin oleh Ki Gedeng Kasmaya. Setelah Cirebon Pesisir ramai dengan orang-orang yang menetap di sana, maka daerah Cirebon yang terletak di lereng Gunung Ciremai disebut dengan Cirebon Girang. Oleh masyarakat Ki Gedeng Alang-Alang dipilih menjadi kuwu Caruban yang pertama. Sedangkan Ki Somadullah diangkat menjadi pangraksabumi yaitu pejabat yang mengurusi pertanian serta perikanan. Oleh karena itu, ia mendapat gelar Ki Cakrabumi.40 Menurut Pustaka Jawadwipa I/4 yang dikutip dalam buku Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat bahwa jumlah penduduk Caruban setelah dua tahun semenjak pertama kali dibangun pada tahun 1445 Masehi adalah sebanyak 346 orang. Jumlah tersebut terdiri dari 182 laki-laki dan 164 perempuan dengan beragam suku bangsa. Mereka di antaranya 169 orang Sunda, 106 orang Jawa, 16 orang Sumatera, 11 orang Arab, 6 orang Cina, 4 orang Semenanjung, 3 orang Syam (Palestina), 2 orang Parsi (Iran) dan 2 orang India.41

39 Ahmad Hamam Rochani, Op.Cit., hlm 73-75

40 Nina Herlina Lubis, Tanpa tahun, Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat kerjasama dengan Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, hlm. 47. Dalam pengertian lain, pangraksabumi berarti seorang pejabat yang mengurus masalah pengairan, jalan dan pemukiman. Lihat Nina H. Lubis, dkk, 1956, Sejarah Tatar Sunda Jilid 1, Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, hlm. 174

41 Saleh Danasasmita, dkk., Op.Cit., hlm. 49

Pada suatu hari atas nasihat dari Syekh Nurjati, Ki Cakrabumi dan adiknya Nyai Lara Santang pergi menunaikan ibadah haji ke Makkah. Mereka pergi tanpa disertai isteri Ki Cakrabumi yaitu Nyi Indang Geulis karena dia sedang hamil tua. Setibanya di Makkah mereka tinggal di kediaman Syekh Bayanullah yang merupakan adik dari Syekh Nurjati. Di Makkah pula Ki Cakrabumi memperdalam Agama Islam dengan belajar kepada Syekh Abdul Yazid. Di samping itu, ketika selesai menunaikan ibadah haji Nyai Lara Santang diperisteri oleh Syarif Abdullah. Ia adalah seorang penguasa (walikota) di Negeri Mesir. Mereka dipertemukan di Pelabuhan Jedah ketika sama-sama hendak menuju ke Kota Makkah untuk melakukan ibadah haji. Setelah menikah Syarif Abdullah membawa Nyai Lara Santang pulang ke Negeri Mesir.42 Di sana Nyai Lara Santang mendapat gelar atau nama baru yaitu Syarifah Muda’im, sedangkan Ki Cakrabumi (kakaknya) mendapat gelar Haji Abdullah Iman. Dalam versi lain disebutkan bahwa Syarifah Muda’im merupakan nama yang diberikan setelah Nyai Lara Santang berada di Mesir mengikuti suaminya. Sedangkan Haji Abdullah Iman merupakan nama yang diberikan oleh Syekh Abdul Yazid di Makkah kepada Ki Cakrabumi.43 Tidak lama kemudian Nyai Lara Santang mengandung dan akan memiliki anak. Menjelang persalinan, Nyai Lara Santang bersama suaminya kembali pergi ke Makkah. Mereka berdua ditemani para pengiringnya di antaranya penghulu Jamaluddin, patih Jamalul-Lail serta para menteri yaitu Abdul Ja’far, Mustafa Khalil al-Hudyin, Ahmad, dan tentunya kakak Nyai Lara Santang (Haji Abdullah Iman). Di Kota Makkah, Nyai Lara Santang melahirkan seorang bayi laki-laki. Dia diberi nama Syarif Hidayat. Menurut perhitungan Pangeran Arya Cirebon dalam buku Carita Purwaka Caruban Nagari Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah yang ditulis oleh Atja menerangkan bahwa Syarif Hidayat

42 Yoseph Iskandar, Op.Cit., hlm. 258

43 Saleh Danasasmita, dkk., Op.Cit., hlm. 14 dilahirkan pada tahun 1448 Masehi.44 Setelah putera Syarifah Muda’im berusia 40 hari, barulah ia dan rombongannya tadi pulang kembali ke Mesir. Tiga bulan setelah itu, Haji Abdullah Iman pulang kembali ke Pulau Jawa. Dalam perjalanan tersebut, ia singgah terlebih dahulu di Campa45 berguru kepada Syekh Maulana Ibrahim Akbar atau Syekh Maulana Jatiswara. Di sana ia menikah dengan puteri gururnya yang bernama Nhay Rasa Jati. Namun tidak ada keterangan yang jelas mengenai lamanya waktu Haji Abdullah Iman tinggal di Campa. Dari pernikahannya dengan Nhay Rasa Jati, Haji Abdullah Iman memiliki beberapa orang puteri di antaranya Nhay Lara Konda, Nhay Lara Sejati, Nhay Jati Merta, Nhay Mertasinga, Nhay Champa dan Nhay Rasa Melasih. Tetapi tidak dapat diketahui dengan pasti pula apakah puteri-puterinya ini lahir setelah tiba di Jawa atau bukan. Sesampainya di Caruban, Haji Abdullah Iman mendirikan sebuah langgar atau masjid dalam ukuran yang lebih kecil bernama Jalagrahan. Langgar Jalagrahan ini difungsikan sebagai tempat ibadah dan tempat belajar mengajar. Selain mengajar, Haji Abdullah Iman menjalankan kembali tugasnya membantu Kuwu Caruban. Beberapa waktu kemudian, Haji Abdullah Iman menikahi puteri Kuwu Caruban yakni Nyai Retna Riris. Dari pernikahan tersebut melahirkan seorang anak laki-laki bergelar Pangeran Caruban. Tidak lama kemudian, Ki Gedeng Alang-alang wafat. Maka diadakanlah pemilihan untuk menggantikan posisi Ki Gedeng Alang-alang sebagai Kuwu Caruban. Dalam pemilihan tersebut, terpilihlah Haji Abdullah Iman sebagai Kuwu Caruban kedua dengan gelar Pangeran Cakrabuana. Selain membangun langgar, Pangeran Cakrabuana pun membangun rumah besar di tepi laut dekat muara Sungai Kriyan. Rumah besar ini kelak menjadi istana yang bernama Dalem Agung Pakungwati (Keraton Pakungwati) dan ia pun membentuk angkatan bersenjata. Nama dalem agung ini terinspirasi dari nama puteri Haji Abdullah Iman dengan isteri pertamanya (Nyi Indang Geulis) yakni Nyi Mas Pakungwati. Keraton ini dibangun menggunakan harta warisan yang

44 Atja, Op.Cit., hlm. 33-34

45 Sekarang Campa masuk ke dalam wilayah Kamboja. ditinggalkan oleh kakeknya (Ki Jumajan Jati) di Keraton Mertasinga sebagai ratu Nagari Singapura yang wafat beberapa waktu setelah Kuwu Caruban pertama wafat.46

B. Cirebon Menjadi Kerajaan Islam Pangeran Cakrabuana terus melakukan pengembangan-pengembangan di Caruban hingga status daerah ini yang semula pakuwon berubah menjadi nagari (kerajaan). Hal ini tercermin dengan adanya pengakuan dari Prabu Siliwangi terhadap pendirian Nagari Caruban yang didirikan oleh puteranya sendiri yaitu Pangeran Cakrabuana. Ketika itu Prabu Siliwangi mengirimkan utusannya yang dipimpin oleh Tumenggung Jagabaya untuk memberikan tanda keprabuan kepada puteranya dan menerima tanda kekuasaan (Anarimakna Kacakrawartyan) otonomi kerajaan. Pangeran Cakrabuana pun diberi gelar resmi kerajaan yaitu Sri Mangana.47 Pangeran Cakrabuana merupakan raja pertama di Nagari Agung Pakungwati Cirebon. Pencapaian tersebut didapatkan melalui proses yang panjang dan penuh perjuangan. Eksistensi Nagari Cirebon sebagai sebuah kerajaan bisa kita lihat dari syarat-syarat yang telah dipenuhi untuk menjadi sebuah kerajaan, hal tersebut dibuktikan dengan: 1. Adanya wilayah kekuasaan. Wilayah kekuasaan Nagari Cirebon dari paling utara yaitu bekas wilayah Nagari Singapura termasuk wilayah Nagari Surantaka. Sedangkan wilayah paling timur yaitu bekas wilayah Nagari Japura yang sebelumnya sudah ditaklukan oleh Nagari Singapura. Dan sebelah barat adalah bekas wilayah Nagari Caruban Girang. 2. Adanya rakyat. Nagari Caruban memiliki rakyat yang beragam bangsa, agama, budaya dan juga mata pencahariannya yang patuh pada pemimpin nagarinya. 3. Adanya ibukota dan istana.

46 Atja, Op.Cit., hlm. 35

47 Yoseph Iskandar dkk, Op.Cit., hlm. 93 Adanya ibukota (ibu negeri) dan istana diperlukan sebagai pusat pemerintahan sebuah kerajaan. Nagari Cirebon dengan istananya yaitu Dalem Agung Pakungwati yang berada di dekat Sungai Kriyan (sekarang masuk wilayah Lemah Wungkuk, Kota Cirebon). 4. Pengakuan dari kerajaan lain. Dalam hal ini pengakuan didapat dari Kerajaan Sunda di bawah pimpinan Prabu Siliwangi. 5. Adanya pelabuhan. Nagari Cirebon memiliki pelabuhan utama yaitu Pelabuhan Muara Jati ditambah dengan pelabuhan-pelabuhan kecil di beberapa tempat, di antaranya yang termasuk Pelabuhan Cirebon sekarang. 6. Memiliki pasukan pengawal keamanan.48 Menjadi raja pertama di Nagari Agung Pakungwati Cirebon bukan serta merta didapat karena Pangeran Cakrabuana adalah seorang putera raja Sunda, yang bisa ia dapatkan karena tradisi turun temurun sebuah kerajaan. Meskipun status nagari yang ia bangun belum sepenuhnya merdeka karena Nagari Cirebon masih menyetorkan upeti kepada Prabu Siliwangi, tetapi Nagari Cirebon sudah menunjukkan eksistensinya sebagai sebuah kerajaan. Realita berbicara Nagari Cirebon ini merupakan Kerajaan Islam pertama yang ada di Tatar Sunda dengan dasar hukum yang menjadi landasannya yaitu Islam, karena Pangeran Cakrabuana merupakan seorang muslim dan juga ulama. Oleh karena itu diperkirakan bahwa sasaran utama dari program-program pemerintahannya merupakan rangkaian pengembangan Islam di seluruh Cirebon, baik di wilayah pesisir maupun di daerah pedalaman untuk mensyiarkan Agama Islam. Agama Islam terlihat nyata kehadirannya di Cirebon ketika datangnya seorang ulama dari Jazirah Arab yaitu Syekh Datuk Kahfi yang mengajarkan Islam di wilayah Dukuh Pasambangan. Melalui pengajaran yang dilakukan Syekh Datuk Kahfi tersebut melahirkan murid-murid berkompeten yang melanjutkan perjuangannya menyebarkan ajaran Islam, di antara murid-muridnya adalah Pangeran Cakrabuana dan adiknya Nyai Lara Santang. Tokoh yang disebutkan

48 Unang Sunardjo, Op.Cit., hlm. 46 belakangan ini menikah dengan salah satu penguasa Mesir dan melahirkan seorang anak laki-laki bernama Syarif Hidayat (disebut juga dengan nama Syarif Hidayatullah) pada tahun 1448 Masehi sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Dua tahun kemudian, ia melahirkan seorang anak laki-laki lagi yang diberi nama Syarif Nurullah. Selang beberapa waktu, suami dari Nyai Lara Santang wafat. Karena kedua putera mereka masih kecil, maka hak mereka untuk menggantikan posisi ayah mereka sebagai penguasa diwakilkan terlebih dahulu kepada Maha Patih Ungkajutra. Ia merupakan adik sang raja atau paman dari Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah, kemudian ia mendapat gelah Raja Onkah. Raja Onkah memberi gelar Nurdin kepada Syarif Hidayatullah. Gelar ini menunjukkan bahwa Syarif Hidayatullah memiliki ilmu pengetahuan mengenai ketatanegaraan dan sebagai guru agama ia diberi gelar Ibrahim. Hal ini didapatkan karena kecenderugannya yang kuat terhadap ajaran Islam dan keinginannya menjadi guru Agama Islam. Pada usia dua puluh tahun, ia memulai pengembaraannya mencari ilmu. Pertama-tama ia pergi ke Mekah untuk berguru kepada Syekh Tajudin Al-Kubri selama dua tahun. Kemudian ia belajar kepada Syekh ‘Ataillah Sadzili yang bermadzhab Syafi’i selama dua tahun pula. Setelah itu ia pergi ke Baghdad untuk mempelajari Ilmu Tasawuf. Setelah selesai, Syarif Hidayatullah kembali lagi ke Mesir. Di sana, ia menyerahkan kekuasaannya kepada adiknya Syarif Nurullah, karena ia tidak berniat menjadi raja dan hanya ingin mensyiarkan ajaran Islam. Keinginannya ini ia tunjukkan dengan berlayarnya Syarif Hidayatullah ke Pulau Jawa, tanah kelahiran ibundanya.49 Pelayarannya menuju Pulau Jawa memakan waktu yang tidak sedikit, Syarif Hidayatullah sempat berhenti sebentar dan menetap di beberapa tempat. Pertama kali ia mampir di Gujarat (India), akan tetapi tidak diketahui pasti berapa lama ia menetap di sana. Setelah itu Syarif Hidayatullah melanjutkan perjalanannya dan kemudian singgah di Pasai. Di sana, ia menetap di rumah kerabatnya bernama Syarif Ishak dan berguru kepadanya sekitar dua tahun lamanya. Syarif Ishak merupakan seorang ulama yang juga mengetahui tentang

49 Atja, Op.Cit., hlm. 36 kondisi Pulau Jawa karena ia pernah tinggal di Blambangan sebagai guru Agama Islam. Dari Pasai Syarif Hidayatullah meneruskan pelayarannya lalu mampir di . Pada waktu itu, di Banten sudah banyak masyarakat yang memeluk Agama Islam. Hal tersebut bisa dicapai akibat aktivitas dakwah yang dilakukan oleh Sayid Rahmat yang selanjutnya menjadi Susuhunan Ampel Denta di Gresik. Kemudian Syarif Hidayatullah melanjutkan pelayarannya dengan menumpang perahu orang Jawa Timur menuju Ampel Denta. Setibanya di sana, ia bertemu dengan dewan wali yang merupakan guru-guru Agama Islam dan memperoleh tugas mensyiarkan Agama Islam ke wilayah yang masyarakatnya masih beragama Budha. Syarif Hidayatullah yang bergelar Sayid Kamil mendapat tugas berdakwah di Caruban yang masuk ke dalam Tatar Sunda, tempat di mana Pangeran Cakrabuana (uaknya) tinggal. Pada tahun 1470 Masehi, sampailah Syarif Hidayatullah di Muara Jati dan menetap di Gunung Sembung kemudian ia mendirikan pondok pesantren untuk mengajarkan Agama Islam.50 Pada tahun 1479 Masehi, Syarif Hidayatullah diangkat oleh Pangeran Cakrabuana menjadi Tumenggung di Nagari Caruban. Proses pengangkatan tersebut dihadiri oleh Nyai Lara Santang sebagai bukti pengesahan garis keturunan juga hukum yang tidak tertulis bahwa Syarif Hidayatullah berhak mewarisi tahta sebagai penerus kerajaan di tanah Sunda. Ia mendapat dukungan dari seluruh penguasa di pesisir Sunda dan memperoleh gelar Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Aulia Allah Kutubizaman Kholifatur Rosulullah Shallollahu Alaihi Wassalam. Di sisi lain, para Dewan Wali Sanga yang hadir bergembira atas pengangkatan Syarif Hidayatullah di Caruban. Mereka menyematkan gelar Panetep Panatagama Rasul kepada Syarif Hidayatullah, meneruskan dakwah Syekh Datuk Kahfi. Adapun gelar khalifah

50 Ibid., hlm. 36-37. Mengenai tahun kedatangan Syarif Hidayat di Caruban, jika dihitung berdasarkan alur kehidupannya. Syarif Hidayat lahir pada tahun 1448 Masehi. Jika ia memulai pengembaraannya mencari ilmu pada usia dua puluh tahun (1468 M) ke Kota Makkah selama dua tahun kemudian dilanjutkan ke wilayah-wilayah lainnya hingga ia tiba di Pulau Jawa yakni sampai di Pasambangan. Maka menurut perhitungan Syarif Hidayat telah tiba di Pasambangan sekitar tahun 1475 Masehi. Lihat Unang Sunardjo, 1983, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809, Bandung: Tarsito, hlm. 54 diberikan dengan maksud sebagai gelar dakwah melalui kekuasaan dari jalur ayahnya, Syarif Abdullah.51 Hal ini berarti bahwa Syarif Hidayatullah adalah seorang kepala pemerintahan sekaligus yang bertanggungjawab dan pengarah dalam bidang keagamaan, yakni Agama Islam. Penyerahan kekuasaan dari Pangeran Cakrabuana kepada Syarif Hidayatullah selain karena jalur kekerabatan yakni sebagai keponakan, Syarif Hidayatullah juga merupakan menantu dari Pangeran Cakrabuana. Syarif Hidayatullah menikah dengan Nyi Mas Pakungwati, sepupunya. Di samping itu, suksesi dilakukan mengingat usia Pangeran Cakrabuana yang sudah tidak muda lagi. Selanjutnya, langkah pertama yang dilakukan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) adalah menghentikan pengiriman upeti tahunan berupa garam dan terasi kepada Kerajaan Sunda Pajajaran. Hal ini dimaksudkan sebagai bukti bahwa Cirebon ingin berdaulat secara penuh, lepas dari kekuasaan dan pengaruh Kerajaan Sunda. Sebelumnya pada masa Pangeran Cakrabuana upaya ini pernah dilakukan, akan tetapi tidak berhasil. Tindakan yang dilakukan Sunan Gunung Jati mendapat respon negatif dari sang Raja Pajajaran, yakni dengan memerintahkan Tumenggung Jagabaya dan 60 orang pasukannya mendesak Cirebon untuk tetap menyerahkan upetinya. Berangkatlah mereka ke Cirebon, namun hasil yang didapat adalah sebaliknya Tumenggung Jagabaya dan pasukannya mengucap syahadat dan masuk ke dalam Agama Islam. Seterusnya, mereka mengabdi kepada Sunan Gunung Jati dan menetap di Cirebon. Setelah peristiwa tersebut, ternyata Kerajaan Sunda Pajajaran tidak melakukan serangan sebagai tindak lanjut dari upaya Cirebon untuk memerdekakan diri. Hal ini dimungkinkan terjadi karena Sunan Gunung Jati merupakan cucu dari Prabu Siliwangi, dan mustahil seorang kakek sekaligus ayah dari Pangeran Cakrabuana melakukan sebuah serangan kepada keluarganya sendiri. Prabu Siliwangi wafat pada tahun 1521 Masehi. Dengan dihentikannya penyerahan upeti (bulubekti) kepada Kerajaan Sunda Pajajaran, maka sejak saat itu pulalah Nagari Cirebon menjadi kerajaan merdeka yang bebas dari pengaruh

51 Didin Nurul Rosidin dkk, 2013, Kerajaan Cirebon. Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, hlm. 89 kerajaan lain. Cirebon telah menjadi kerajaan Islam yang berkuasa penuh atas wilayah dan rakyatnya.52 Sunan Gunung Jati merupakan sultan atau raja pertama di Kerajaan Cirebon yang telah genap merdeka. Tujuan pemerintahan di Cirebon adalah perwujudan sistem pengelolaan negara dengan misi dakwah Islam. Maka semua aspek pemerintahan, pengendalian masyarakat sekaligus pengendalian agama menyatu menjadi bagian yang saling berkaitan. Cirebon pada masa kerajaan di bawah pemerintahan Sunan Gunung Jati berada dalam tahap pengembangan, baik sarana maupun prasarananya. Di sisi lain, dilakukan juga proses perluasan wilayah di antaranya penyerangan atau pun peperangan yang dilakukan oleh Kerajaan Cirebon. Peperangan pertama merupakan peperangan gabungan yang dilakukan antara Cirebon dengan Demak untuk merebut Sunda Kalapa di bawah pimpinan Fatahillah. Peperangan terjadi pada tahun 1526 Masehi, pada waktu itu Sunda Kalapa dikuasai oleh Portugis. Akhir dari peperangan ini dimenangkan oleh pihak Cirebon dan Demak.53 Peperangan selanjutnya terjadi antara Kerajaan Sunda Pajajaran dengan Cirebon yang terjadi selama 5 tahun yakni tahun 1526-1531 Masehi. Setelah Prabu Siliwangi wafat gencatan senjata tidak tertulis tersebut akhirnya menguap, Pangeran Cakrabuana dan Sunan Gunung Jati menghadapi adik seayah Pangeran Cakrabuana, yakni Surawisesa putera Prabu Siliwangi dari Kentring Manik Mayang Sunda puteri Prabu Susuktunggal. Menurut Carita Parahiyangan, selama 5 tahun tersebut Surawisesa melakukan 15 kali peperangan. Pasukan Cirebon dan Demak tidak bisa menembus ke ibukota Pakuan, akan tetapi mampu menguasai pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Sunda. Di sisi lain, bagian timur Citarum ada perkembangan baru. Ratu Galuh (Jayaningrat) mengetahui pemerintahan di Pakuan sudah lemah. Ini membuka kesempatan bagi Galuh untuk mengembangkan diri dengan dasar historis bahwa Cirebon termasuk wilayah

52 Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNPAD. Op.Cit., hlm. 37-38

53 Dadan Wildan, 2002, Sunan Gunung Jati (antara Fiksi dan Fakta) Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural dan Kultural, Bandung: Humaniora Utama Press, hlm. 303-304 Galuh. Maka ia mengirim surat kepada Sunan Gunung Jati agar Cirebon kembali mengirimkan upeti, tetapi permintaan tersebut ditolak. Serangan Galuh ke Cirebon terjadi pada tahun 1528 yang terjadi di Bukit Gundul (Palimanan). Cirebon dibantu dengan pasukan dari Demak sebanyak 700 orang dan Fatahillah berhasil mengalahkan serangan dari Raja Galuh tersebut. Mengenai hal ini, dalam naskah-naskah yang lebih muda disebutkan bahwa kubu penyerang adalah Rajagaluh, sehingga menimbulkan pendapat lain karena di wilayah Majalengka terdapat daerah yang bernama Rajagaluh. Dalam buku Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat berdasarkan Pustaka Nusantara III/1 menyebutkan bahwa dalam peperangan di Palimanan tahun 1450 Saka pihak yang mengalami kekalahan adalah Rajya Ghaluh. Kata rajya memiliki arti kerajaan.54 Berikutnya perluasan wilayah sekaligus misi dakwah Islam diteruskan ke daerah Talaga, Majalengka. Di sana, hampir semua sisa-sisa kekuatan Kerajaan Galuh yang terakhir berkumpul. Jayaningrat –Raja Galuh yang terakhir dan Arya Kiban (Bupati Galuh di Palimanan) pun ikut serta membantu pertahanan Talaga. Talaga kalah, maka runtuhlah kubu pertahanan terakhir kerajaan pra-Islam yang berada di kawasan timur Citarum. Kemudian Raja Talaga masuk Islam dan menjadi wilayah bawahan Cirebon. Pada tahun 1529 Masehi, Pangeran Cakrabuana sebagai pendiri Kerajaan Cirebon wafat dalam usia 106 tahun.55 Sejalan dengan usaha penyebaran Agama Islam, Sunan Gunung Jati pun melakukan perluasan wilayah kekuasaan Cirebon hingga ke daerah pedalaman. Ke arah selatan telah dikuasai Luragung, Kuningan, Talaga dan Galuh. Ke arah barat daya dikuasainya wilayah Sindangkasih (sekarang Majalengka), Sumedanglarang dan Tatar Ukur (sekarang wilayah Bandung dan sekitarnya). Ke arah barat wilayah yang berhasil dikuasai adalah Dermayu, Karawang, Banten, Kalapa, Sagalaherang dan Cibalagung. Tatar Ukur masuk ke dalam kekuasaan Cirebon dibuktikan dengan adanya beberapa piagam yang ditandatangani oleh

54 Saleh Danasasmita, dkk., Op.Cit., hlm. 21-22

55 Ibid., hlm. 23-24 para sultan Cirebon dan ditujukan kepada para kepala daerah di sana. Sebagai contoh, piagam yang dialamatkan kepada Wedana Banjaran.56 Selain langkah-langkah politik yang sudah dilakukan Sunan Gunung Jati sebagaimana yang telah dituliskan sebelumnya, dalam hal sarana dan prasarana di Kerajaan Cirebon pun tidak luput dari perhatian Sunan Gunung Jati. Dibangunlah berbagai sarana publik yang dapat membantu memperlancar kehidupan kerajaan dan masyarakat juga peningkatan perekonomian Cirebon. Di antara sarana publik tersebut adalah: 1. Keraton Dalem Agung Pakungwati yang sudah diperluas dan disesuaikan fungsinya yakni sebagai tempat kediaman resmi Sunan Gunung Jati selaku kepala negara. Selain itu, keraton juga berfungsi sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Cirebon. 2. Dibangunnya masjid agung keraton yang berfungsi sebagai tempat beribadah dan tempat berkumpul untuk membicarakan program-program pengembangan dakwah Islam. Masjid Agung Kerajaan Cirebon bernama Masjid Agung Sang Cipta Rasa. 3. Pelabuhan utama kerajaan yakni Pelabuhan Muara Jati dan dibangunnya pelabuhan baru, yaitu yang sekarang disebut Pelabuhan Cirebon. Pelabuhan- pelabuhan dibangun sebagai upaya peningkatan perekonomian kerajaan. 4. Adanya jalan raya (jalan utama) sebagai penghubung antara keraton dengan pusat perdagangan serta lembaga pendidikan Islam. 5. Dibangunnya Pasar sebagai pusat perdagangan di kawasan Pasambangan dan di sekitar Pelabuhan Cirebon sekarang. Selain itu di Pasambangan, dibangun juga pusat industri dan bengkel perahu.57 Selain banyaknya sarana yang dibangun dan terus ditingkatkan fungsinya, manajemen yang dilakukan Sunan Gunung Jati membawa banyak perubahan yang baik. Menurut Unang Sunardjo, perubahan tersebut dapat diperhatikan semenjak

56 Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNPAD, Op.Cit., hlm. 63-64

57 Unang Sunardjo, Op.Cit., hlm. 77 tiga tahun setelah penobatan Sunan Gunung Jati menjadi tumenggung. Di antara perubahan tersebut adalah: 1. Telah dikuasainya wilayah hinterland (belakang) yang diharapkan menjadi penyedia bahan pangan termasuk di dalamnya wilayah penghasil garam. Wilayah-wilayah ini menjadi penting karena merupakan sumber pendapatan kerajaan. 2. Adanya sejumlah pasukan (laskar) yang dipimpin oleh sejumlah panglima. Mereka setia kepada kerajaan dan memiliki wibawa yang tinggi. 3. Adanya penasihat-penasihat di bidang pemerintahan dan agama, para pembantu utama di pusat, dan para Ki Gedeng yang berdedikasi kepada nagari. 4. Terjalin hubungan yang baik antara Cirebon dengan Demak, sehingga setiap waktu apabila diperlukan dapat saling membantu dalam hal pertahanan negara. 5. Mendapat dukungan penuh dari Dewan Wali Sanga. 6. Tidak ada tanda-tanda ancaman dari Prabu Siliwangi untuk menghancurkan keberadaan Cirebon.58 Cirebon di bawah pemerintahan Sunan Gunung Jati telah menjadi pusat penyiaran Islam khususnya di Jawa Barat. Cirebon tidak hanya berkembang menjadi pusat Agama Islam, tetapi menjadi pusat politik dan perkembangan seni budaya. Salah satunya yaitu adanya tradisi muludan atau di keraton lain di Jawa disebut dengan sekaten. Tradisi ini merupakan bentuk peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. Dalam tradisi ini banyak dimensi kehidupan bermain, yakni sebagai sarana dakwah Islam, peningkatan perekonomian rakyat dan ajang silaturahim antara raja dengan masyarakat atau antar sesama masyarakat baik dari daerah pesisir maupun pedalaman. Menurut Sulendraningrat yang dikutip oleh Dadan Wildan bahwa upacara peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. di Keraton Cirebon mulai dilaksanakan pertama kali dan diadakan secara besar-besaran ketika pengangkatan Sunan Gunung Jati pada tahun 1479 Masehi sebagai wali kutub. Tradisi muludan

58 Ibid., hlm. 78 di masyarakat Cirebon dikenal sebagai iring-iringan panjang jimat. Selain itu, dalam bidang sosial budaya berkembang pula arsitektur-arsitektur yang indah di Kerajaan Cirebon, tumbuhnya seni lukis kaca dan seni pahat yang menghasilkan kaligrafi Islam, seni tari, membatik, seni pertunjukan tradisional, penulisan naskah-naskah keagamaan dan pemikiran keagamaan, tumbuhnya Tarekat Syatariah, dan tumbuhnya pendidikan Islam dalam bentuk pesantren di seluruh wilayah Kerajaan Cirebon.59 Sunan Gunung Jati telah berhasil mengembangkan Kerajaan Islam Cirebon menjadi kerajaan yang berdaulat di Tanah Jawa. Meskipun demikian, ia tidak berkeinginan untuk terus memegang kendali pemerintahan Kerajaan Cirebon secara menyeluruh. Hal tersebut terjadi karena Sunan Gunung Jati lebih memfokuskan diri untuk melakukan pengembangan dakwah Islam di seluruh Cirebon dan terus meluas ke luar Cirebon. Maka, Sunan Gunung Jati mempercayakan urusan pemerintahan sejak tahun 1528 Masehi kepada Pangeran Pasarean, puteranya. Hal ini merupakan pertanda bahwa kelak ia akan memegang tahta kerajaan menggantikan Sunan Gunung Jati. Akan tetapi, sebelum hal tersebut terjadi Pangeran Pasarean wafat terlebih dahulu pada tahun 1546 Masehi di Demak. Kemudian, urusan pemerintahan Kerajaan Cirebon diwakilkan kepada Fatahillah, menantu Sunan Gunung Jati.60 Tahun 1552 Masehi, Sunan Gunung Jati mengembangkan salah satu wilayah Kerajaan Cirebon yaitu Banten. Ia meningkatkan status Banten dari sebuah kebupaten menjadi sebuah nagari (kerajaan). Sunan Gunung Jati melantik Pangeran Hasanudin (puteranya) sebagai Bupati Banten menjadi Sultan Banten. Hal ini dilakukan berdasarkan pada wilayah Kerajaan Cirebon yang semakin luas dan semakin lama Banten semakin menjadi daerah yang strategis. Sehingga apabila terjadi permasalahan dalam urusan pemerintahan, politik dan ekonomi yang membutuhkan penyelesaian secara cepat, sedangkan komunikasi antara Banten-Cirebon memerlukan waktu yang tidak sedikit maka pemekaran wilayah menjadi sesuatu hal yang tidak bisa dihindari. Pada waktu pengangkatan Pangeran

59 Dadan Wildan, Op.Cit., hlm. 308-309

60 Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNPAD, Op.Cit., hlm. 64 Hasanudin menjadi Sultan Banten, ketika itu Sunan Gunung Jati berusia sekitar 104 tahun. Beberapa waktu kemudian, tahun 1568 Masehi pada usia 120 tahun Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan di Gunung Sembung. Ia membaktikan dirinya untuk tumbuh dan berkembangnya Agama Islam di Jawa Barat melalui kedudukannya sebagai raja sekaligus ulama. Selanjutnya, tahta kerajaan dipegang oleh Fatahillah hingga ia wafat pada tahun 1570 Masehi. Hal ini disebabkan karena anak-anak laki-laki Sunan Gunung Jati yakni Pangeran Pasarean, Pangeran Jayakelana dan Pangeran Bratakelana telah wafat terlebih dahulu, sedangkan Pangeran Hasanudin sudah menjadi raja di Banten. Alasan berikutnya adalah Fatahillah merupakan menantu Sunan Gunung Jati yang memiliki kapasitas yang baik sebagai pemimpin yakni selama ia menjadi wakil Sunan Gunung Jati dalam urusan pemerintahan di Cirebon pada tahun 1546-1568 Masehi. Selama Sunan Gunung Jati bertahta, Cirebon sebagai kerajaan Islam terus berproses hingga menjadi kerajaan yang besar dan disegani di wilayah yang luas yaitu Jawa Barat.