Bab Ii Gambaran Umum Cirebon Sebelum Kedatangan Voc A
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
BAB II GAMBARAN UMUM CIREBON SEBELUM KEDATANGAN VOC A. Cirebon Sebelum Masa Sunan Gunung Jati Cirebon merupakan salah satu wilayah yang terletak di pesisir1 Pulau Jawa dengan kondisi geografis yang menguntungkan. Cirebon terletak di jalur pantai utara yang berbatasan langsung dengan wilayah yang sekarang disebut dengan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Hal ini membuat terjadinya interaksi di antara dua kebudayaan yang ada di kedua wilayah tersebut yaitu Kebudayaan Jawa dengan Kebudayaan Sunda, sehingga lahirlah sebuah kebudayaan yang unik dan khas. Di sisi lain, Cirebon juga menjadi wilayah yang secara langsung dilewati jalur perdagangan antarpulau bahkan internasional pada abad ke-15 dan 16 dengan ditandai adanya pelabuhan sebagai tempat bersandarnya kapal-kapal baik untuk perdagangan ataupun pelayaran. Selain wilayah pesisir, Cirebon juga memiliki wilayah pedalaman yang subur untuk kegiatan pertanian yang hasilnya akan diperjualbelikan dalam perdagangan internasional. Jalur perdagangan internasional menggunakan jalan laut sangat membantu setiap bangsa dari berbagai belahan benua untuk bisa saling bertemu dan berinteraksi. Kepulauan Nusantara2 sudah dianggap penting bagi perdagangan antarbangsa sejak zaman purba. Hal ini dikarenakan pulau-pulaunya berada di sepanjang laut yang merupakan rute penghubung antara Cina dengan kekuasaan Kekaisaran Romawi. Banyak kapal dari berbagai negara singgah di Kepulauan Nusantara untuk mengisi perbekalan pelayaran atau membeli barang-barang dagangan yang dibutuhkan, seperti rempah-rempah, damar dan kayu berharga.3 Berbagai bangsa hadir di Kepulauan Nusantara mulai dari Cina, India, Persia, 1 Dalam Kamus Sejarah dan Budaya Indonesia, pesisir merupakan istilah yang umum dipakai ketika menyebut wilayah-wilayah pantai terutama di Pulau Jawa yang mempunyai perbedaan tradisi dengan wilayah yang ada di pedalaman. Lihat Putri Fitria, 2014, Kamus Sejarah & Budaya Indonesia, Bandung: Penerbit Nuansa Cendekia, hlm. 159 2 Istilah Nusantara dipakai untuk menyebut wilayah-wilayah kepulauan yang kini dikenal dengan Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Thailand selatan dan Filipina selatan. Lihat Didin Saefuddin Buchori, 2009, Sejarah Politik Islam, Jakarta: Pustaka Intermasa, hlm. 268 3 Dedi Supriyadi, 2008, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, hlm. 189 Arab, dan kemudian Bangsa Eropa. Dengan demikian unsur-unsur kebudayaan dari berbagai bangsa itu pun masuk dan berbaur bersama penduduk asli di Kepulauan Nusantara. Adat istiadat merupakan unsur kebudayaan yang dibawa para pelaut dan pedagang asing serta tidak dapat dihindari pengaruhnya di Kepulauan Nusantara. Orang-orang India dengan kebudayaan India di dalamnya memuat kepercayaan kepada kesaktian yang dimiliki oleh raja-raja yang membawa dampak bercampurnya kepercayaan tersebut dengan kepercayaan animisme yang semula dianut nenek moyang penduduk Nusantara, khususnya di wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Falsafah India Klasik tentang Raja Adikuasa memberi inspirasi para penguasa Nusantara yang berambisi dengan kekuasaan, pada saat itu para penguasa Nusantara setingkat dengan kepala suku agama Hindu dan Budha dari India. Kepercayaan ini tidak hanya bercampur, akan tetapi terkadang dapat menggantikan posisi kepercayaan yang dianut sebelumnya mulai dari penguasa hingga rakyatnya.4 Hal ini bisa dilihat dengan berdirinya kerajaan-kerajaan bercorak Hindu dan Budha di Nusantara sejak awal abad masehi. Sejak awal abad masehi mulai tumbuh dan kemudian berkembang kerajaan-kerajaan bercorak Hindu serta Budha di Nusantara, contohnya Kerajaan Kutai di Pulau Kalimantan, Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat dan Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah. Cirebon yang berada di ujung timur pantai utara Jawa Barat masuk ke dalam wilayah kekuasaan raja-raja yang pernah memimpin di Jawa Barat. Menurut Kitab Negara Kertabumi karya Pangeran Wangsakerta5 sebagaimana dikutip oleh Unang Sunardjo dalam buku Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809, dituliskan kerajaan-kerajaan yang pernah ada sebelum Islam datang dan berkembang di Jawa Barat yaitu Kerajaan Salakanagara, Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Sunda, Kerajaan Kendam, Kerajaan Galuh, Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan 4 Ibid., hlm. 189-190 5 Pangeran Wangsakerta merupakan salah satu putra dari Panembahan Ratu II (Panembahan Girilaya) yang naik tahta di Kerajaan Cirebon pada tahun 1649 M. Saunggalah.6 Dapat diketahui bahwa sebelum Islam berkembang di Jawa Barat melalui Cirebon pada abad ke-15 Masehi, dipastikan Cirebon merupakan wilayah yang berada di bawah kekuasaan raja-raja Hindu dan Budha.7 Prasasti Huludayeuh Menurut Kitab Carita Purwaka Caruban Nagari, awalnya istilah Cirebon berasal dari kata Caruban yang semakin lama penyebutannya semakin berubah 6 Kerajaan Salakanagara (130-358 M) dimulai oleh raja Dewawarman, Kerajaan Tarumanagara (358-669 M) dimulai oleh raja Jayasingawarman, Kerajaan Sunda (dimulai tahun 669 M) oleh raja Tarusbawa Wastika Manungga Manggalajaya Sunda Sembawa, Kerajaan Kendam (dimulai tahun 526 M) oleh Resi Guru Manikmaya di daerah Nagreg Cicalengka Jawa Barat, Kerajaan Galuh (612-1482 M) dimulai oleh Prabu Kandiawan, Kerajaan Pajajaran (1482- 1579 M) dimulai oleh Prabu Jayadewata bertahta di Pakuan Bogor, dan Kerajaan Saunggalah (dimulai tahun 732 M) oleh Prabu Demunawan di Kuningan Jawa Barat. Lihat Unang Sunardjo, 1983, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809, Bandung: Tarsito, hlm. 8 7 Bukti bahwa Cirebon pernah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Hindu-Budha adalah dengan ditemukannya sebuah prasasti yang dinamai Prasasti Huludayeuh di Desa Cikalahang Kecamatan Dukupuntang Kabupaten Cirebon. Tulisan pada prasasti itu antara lain menyebut tentang “Sri Maharaja Ratu Haji di Pakwan Sya Sang Ratu Dewata” (Sri Maharaja Raja Utama di Pakwan, dialah sang Ratu Dewata). Adanya kata “Haji” pada kalimat tersebut memiliki arti utama, bukan merupakan istilah yang ada di dalam Agama Islam yakni menunaikan ibadah haji ke Baitullah di Makkah. Keterangan dalam prasasti tersebut ditulis dengan huruf Jawa Kuna dalam Bahasa Sunda. Prasasti Huludayeuh menjadi salah satu bukti bahwa Cirebon dan daerah sekitarnya dahulu pernah menjadi bagian dari wilayah kekuasaan raja Kerajaan Sunda. Lihat A.Sobana Hardjasaputra dkk, 2011, Cirebon dalam Lima Zaman (Abad ke-15 Hingga Pertengahan Abad ke- 20), Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, hlm. 32 menjadi Carbon, Cerbon dan kemudian Cirebon. Kata Caruban memiliki arti “campuran,”8 karena di tempat tersebut dijadikan tempat tinggal orang-orang dari berbagai bangsa dengan beragam perbedaan seperti bahasa, kepercayaan, tulisan, dan budaya. Mereka pun memiliki profesi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Sedangkan menurut E.C. Godee Molsbergen (Sejarawan dan Arsiparis Belanda), bahwa Cirebon pada awalnya bernama Pakungwati setelah itu disebut dengan Tjairebon atau Tjirebon. Dalam dokumen VOC ditulis sebagai Tjeribon, Chirrebon, Sirrebon, dan orang-orang Portugis menyebutnya dengan Charabon.9 Istilah Cirebon pun secara kiratabasa (volks-etymology) terdiri dari dua kata yaitu “ci” dan “rebon”. Kata “ci” berasal dari Bahasa Sunda yang memiliki arti air. Sedangkan kata “rebon” memiliki arti sejenis udang yang kecil-kecil. Rebon ini digunakan sebagai bahan baku pembuatan terasi. Sejak zaman dahulu Cirebon menjadi wilayah pembuat serta pengekspor terasi yang enak. Bahkan sampai sekarang pun wilayah Cirebon masih memproduksi terasi dan dijadikan sebagai salah satu oleh-oleh khas Cirebon. Di sisi lain, Cirebon juga disebut dengan “grage” yang merupakan singkatan dari Nagari Gede. Kata grage berasal dari kata glagi yakni nama udang kering yang juga dijadikan sebagai bahan pembuatan terasi. Pada tahap selanjutnya wilayah Caruban berubah menjadi sebuah nagari atau kerajaan atau sebuah negara yang besar. Oleh para walisanga Caruban ini disebut sebagai nagari Puser Bumi atau Pusering Jagat. Hal ini berarti bahwa Cirebon berada di tengah-tengah Pulau Jawa dalam pengertian sebagai pusat penyebaran agama Islam khususnya di wilayah Jawa Barat.10 Cirebon merupakan salah satu wilayah dengan kondisi geografis yang lengkap, yaitu dengan adanya wilayah pesisir yang disebut Cirebon Larang dan wilayah pedalaman (pegunungan) yang disebut dengan Cirebon Girang. Di 8 Kata Carub memiliki arti campur. Lihat T.D. Sudjana, dkk, 2015, Kamus Bahasa Cirebon, Bandung: Humaniora, hlm. 63 9 E.C. Godee Molsbergen, 2009, Uit Cheribon’s Geschiedenis, diterjemahkan oleh Iwan Satibi, hlm. 1 10 Atja, Op.Cit., hlm. 28. Lihat juga Ahmad Hamam Rochani, 2008, Babad Cirebon, Cirebon: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon, hlm. 26 wilayah pesisir terdapat nagari-nagari yang merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Hindu-Budha. Menurut P.S. Sulendraningrat yang dikutip oleh Unang Sunardjo bahwa pernah ada berita mengenai sebuah nagari besar bernama Nagari Wanagiri yang telah berdiri sejak abad ke-14 Masehi meliputi wilayah Kabupaten Cirebon sekarang. Akan tetapi karena sebab yang tidak jelas nagari besar tersebut pecah menjadi nagari-nagari kecil dengan hak otonomi yang diberikan oleh Kerajaan Galuh. Nagari-nagari tersebut dipimpin oleh para Ki Gedeng di setiap daerahnya, nagari-nagari kecil yang ada di wilayah Cirebon di antaranya Nagari Surantaka, Nagari Singapura, Nagari Japura, Nagari Wanagiri, Nagari Rajagaluh, dan Nagari Talaga.11 Nagari-nagari kecil yang ada di wilayah Cirebon merupakan wilayah yang berada dalam kekuasaan Raja Sunda. Para Ki Gedeng di Nagari Surantaka, Nagari Singapura, Nagari Japura, dan