ILMUIMAN.NET: Koleksi Cerita, Novel, & Cerpen Terbaik

Cerita Kira-kira Sejarah (16+). 2017 (c) ilmuiman.net. All rights reserved.

Berdiri sejak 2007, ilmuiman.net tempat berbagi kebahagiaan & kebaikan lewat novel- cerpen percintaan atau romance, dan cerita non fiksi.. Seru. Ergonomis, mudah, & enak dibaca. Karya kita semua. Peringatan: Pembaca yang sensi dengan seloroh ala internet, silakan stop di sini. Segala akibat menggunakan atau membaca, sepenuhnya tanggung jawab pembaca. Terima kasih & salam.

*** Kira-kira Sejarah Jawa Barat

Babak-1:

Jawa bagian barat, adalah termasuk negeri besar tertua di nusantara. Peninggalannya diyakini sudah ada sejak abad ke-2 masehi atau sekitar tahun 130-an, yaitu negeri Salakanagara namanya. Sebagai kontrasnya, negeri-negeri kecil sporadis di nusantara ini, yang lain, baru ada jejaknya dalam catatan sejarah pada sekitaran abad ke-4M.

***

Babak-2:

Salakanagara kemudian menjelma menjadi negeri besar Taruma atau Tarumanagara. Salah satu raja terkenalnya . Bentangan wilayahnya meliputi seluruh Jawa Barat masa kini, daerah Banyumasan terus sampai ke sungai Bogowonto, dan di bagian utara, ada yang bilang sampai batas tradisional sungai Cipamali, tapi bisa juga meliputi seluruh bagian utara yang bahasa Jawanya di masa kini bahasa ngapak (kecampur Sunda) seperti Tegal dan seperti itu.

Tarumanagara yang jaya kemudian menelurkan kerajaan-kerajaan bawahan yang banyak, yang menonjol adalah Sunda dan Galuh. Sampai suatu ketika, saat sudah masanya agak mundur disebabkan melejitnya Sriwijaya, raja Tarumanagara tidak punya anak lelaki, sehingga putri mahkotanya terus dicarikan jodoh bangsawan Sunda ( sekarang). Maka, jadilah pasangan Tarumagara-Sunda menjadi pemimpin Jawa Barat.

***

Babak-3: Sunda & Galuh Oleh sang raja Sunda (yang semula raja bawahan sebelum menyunting putri mahkota Tarumanagara), kemudian ibukota dipindahkan ke Sunda atau masa kini. Jadi, sejak itu lantas disebut kerajaan Sunda, bukan Tarumanagara lagi.

Galuh, merasa turunan Tarumanagara asli, tidak sudi menjadi bawahan Sunda yang rajanya sekedar menantu saja dari trah Tarumanagara. "Lah, elu cuma menantu, sedang uwing turunan asli, masak terus Galuh mesti menghamba ke Sunda? Gak aci, ah!" Begitu kurang lebihnya situasi menjadi serba canggung.

Lalu Galuh pun memisahkan diri (secara relatif damai), dan berkembang sendiri untuk beberapa lama. Dan dibiarkan saja oleh Sunda, sehingga di Jawa Bagian barat kerajaan besar ada dua, yaitu Sunda di sisi barat (dan utara), beribukota di daerah Sunda Kelapa sekarang; dan Galuh di sisi timur (dan selatan), yang berpusat di daerah Ciamis masa kini. Keduanya bersaudara dan damai.

Besar kemungkinan, pada masa ini Sunda dan Galuh itu keduanya teraliansi ke Sriwijaya. Disebabkan, karena selain putri sulungnya (Manasih Putri Linggawarman) dinikahkan dengan Tarusbawa (Raja Sunda), putri lainnya (Sobakancana putri kedua) dinikahkan dengan Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri Sriwijaya. Dan Sriwijayanya itu satu trah dengan raja-raja Medang di Jawa Tengah (sama-sama Wangsa Syailendra).

Kita kembali lagi ke Galuh & Sunda....

Sampai suatu ketika, raja Galuh yang turunan Tarumanagara dikudeta. Sunda tidak mau mengakui pemimpin baru hasil kudeta, dan mulai menjadi musuh Galuh (karena yang dikudeta itu kan saudara mereka notabene).

Sunda lalu beraliansi dengan Jawa (Medang), yang waktu itu dipimpin raja besar Sanjaya, yang teraliansi dengan Sriwijaya juga. Galuh lalu dikepung oleh Jawa (Medang) dan Sunda, dan terus kalah. Setelah kekalahan ini, untuk beberapa waktu kemudian wilayah Galuh itu dicaplok oleh Medang, tetapi kemudian, sebagian besarnya yang berada di sisi jawa barat lantas diserahkan lagi oleh Medang kepada Sunda dan jadilah Galuh itu bawahan Sunda. Yaitu kecuali wilayah-wilayahnya yang di Jawa Tengah, berubah jadi bagian kerajaan Medang (Jawa).

Jaman berganti, kerajaan Sunda-Galuh (yang kurang lebih sudah begabung lagi itu), sepertinya tidak punya kekuatan maritim yang mumpuni dibanding para jagoan nusantara; dan demi agar tetap eksis, aman, kemudian pusat kerajaannya dipindahkan ke pedalaman, dan sepertinya yang terus terpilih menjadi pusat pemerintahan adalah Galuh (Ciamis) itu untuk beberapa lama, sedang kota-kota di pesisir menjadi kota dagang. Sampai kedamaiannya digoncang oleh dalam peristiwa Bubat.

*** Babak-4:

Selepas peristiwa Bubat, kala raja dan putri Sunda-Galuh dilibas Gajah Mada, sepertinya para bangsawan Sunda-Galuh yang ketakutan lantas hijrah lagi, beriring- iringan, memindahkan ibukotanya jauh dari jangkauan Majapahit, yaitu ke Pakuan Pajajaran atau di masa kini. Galuhnya asli (sekitar Ciamis, Priangan Timur), mestinya terus dianeksasi Majapahit (kemungkinan besar, secara relatif damai,.. tapi gersang). Lalu diinstall di situ pemimpin yang masih berdarah Majapahit, yang lepas sama sekali dari Pakuan-Pajajaran yang sebenernya lebih punya legitimasi. Atau.. bisa juga, daerah Ciamis itu.. dipimpin oleh pemimpin lokal yang mengakui hegemoni Majapahit, dan rutin kirim upeti ke Majapahit.

Sejak itu, maka kerajaan utama di Jawa Barat itu Pakuan Pajajaran. Tapi, wilayahnya mengecil di sisi timur. Belakangan, saat Majapahit melemah, bisa saja.. para pemimpin Galuh/Ciamis mempertuan Pakuan-Pajajaran sekalian, demi mendapat perlindungan atau tidak diserang, dan terus rutin kirim upeti ke Pakuan Pajajaran.

Kiri tuan (Majapahit), kanan tuan (Pakuan-Pajajaran). Ciamis itu jadi buffer atau bemper yang mengantarai Pakuan Pajajaran dengan Majapahit, selama beberapa lama.

Perlu dicatat, bahwa saat Majapahit melemah, Pakuan Pajajaran masih kokoh. Bisa jadi, Galuh Ciamis itu lalu melepaskan diri dari Majapahit, dan relatif independen.

Kisruh-kisruh di Jawa Tengah-Timur menyebabkan pelabuhan-pelabuhan di Jawa Barat bersinar, utamanya , , Sunda Kelapa. Ketiganya berkembang menjadi pelabuhan dagang nusantara yang ramai. Orang asing pun berdatangan, kebanyakan dari Arab-Cina-India, atau Asia Tenggara, dan satu-dua datang dari Eropa. Mulailah, kota-kota dagang itu menjadi multi-etnis, dengan bahasa penghubung yang utama, meniru Malaka, yaitu pakai bahasa Melayu pasaran atau Melayu Riau kita bilang.

Omong-omong soal Malaka, kota ini unik. Dia itu tidak punya sumber daya apa-apa, cuma menang lokasi dan diplomasi. Dia dibeking oleh raksasa Cina (Dinasti Ming), sehingga orang-orang Jawa dan Siam, yang punya kapabilitas untuk menyerangnya, ujungnya tidak berani macem-macem. Tahun 1405-1409, Malaka mulai jadi trading hub strategis di titik tengah jalur perdagangan maritim terbesar di dunia kala itu. Menurut ekspedisi Cina, sejak 1409-an itu, sudah banyak orang muslim di sana, tapi rajanya, baru pakai gelar 'sultan' tahun 1455. Dari keuntungan perdagangan, Malaka lalu membangun kekuatan maritim, dan cukup efektif mengontrol selat Malaka, yang nama selatnya itupun diambil dari nama Malaka sendiri (sejak itu?). Selama sekitar 56 tahun Malaka berjaya, sampai kemudian 1511 ditaklukkan Portugis.

Selama adanya hub Malaka itu, dan dengan melemahnya Majapahit, Pakuan-Pajajaran berkesempatanlah lebih tampil di blantika perdagangan maritim. Kemudian, dengan jatuhnya Malaka 1511, perdagangan internasional menjadi kacau. Kerajaan-kerajaan islam nusantara yang mendendam pada Portugis, dan juga Cina, lalu mengucilkan Portugis, dan dampaknya, bermunculanlah 'pelabuhan' alternatif, yang menjelma menjadi kota-kota dagang baru. Ada Aceh, Johor, Samudra Pasai, dan seterusnya. Pakuan-Pajajaran sendiri, yang belum menjadi islam, kota-kota dagangnya, yaitu Cirebon, Banten, dan Sunda-Kelapa ujungnya dapat berkah juga, karena selain tetap bisa dagang lancar dengan orang Cina, India, Timur-Tengah,.. dan pedagang- pedagang Asia-Tenggara, dia juga terbuka untuk perdagangan dengan Portugis. Dari titik inilah, pantura Jawa Barat lantas pesat bertumbuh menguber, atau bahkan meninggalkan pelabuhan-pelabuhan lain di Jawa Tengah-Timur.

***

Babak-5: Muncul Cirebon, Banten, Sumedang-Larang Islam (Yang Pro Jawa)

Sampai kemudian, Demak berhasil merajai di Jawa Tengah-Timur, mengambil oper peran Majapahit yang melemah....

Cirebon yang terus jadi islam, kemudian melepaskan diri dari Pakuan-Pajajaran, dan berganti aliansi ke Demak yang tidaklah terlalu akrab dengan Pakuan Pajajaran.

"Waduh, gimana neh? Cirebon sudah lepas. Bahaya kalau Banten dan Sunda Kelapa sekalian lepas!" Di benak pimpinan Pakuan-Pajajaran, isu ini menghantui, dan mereka lalu condong ke Portugis, yang secara kekuatan maritim, bisa jadi satu-satunya yang bisa mengimbangi kerajaan-kerajaan islam nusantara.

Di pihak lain, orang-orang islam nusantara tidak diam... Selagi Demak mengkonsolidasi dan mengislamisasi Jawa Tengah-Timur, para bangsawan Cirebon melakukan hal yang sama di Jawa Barat (dan belakangan nanti: Lampung).

Hasilnya, Banten terus jadi islam dan berontak terhadap Pakuan-Pajajaran, melepaskan diri mengikuti jejak Cirebon. Sumedang Larang (dan daerah Priangan pada umumnya) juga menjadi islam secara bertahap, tetapi karena persaudaraan yang erat dengan Pakuan-Pajajaran, dan juga posisinya yang di pedalaman, maka tidak terang-terangan melepaskan diri dari Pakuan-Pajajaran, tapi sepertinya coba bermain cantik, berbaik- baik dengan semua pihak, khususnya Cirebon dan Pakuan-Pajajaran.

Pantura di antara Banten dan Cirebon, di situ ada Sunda-Kelapa dan Rajagaluh yang masih setia pada Pakuan-Pajajaran.

Pakuan-Pajajaran yang tinggal punya Sunda-Kelapa lantas mengeratkan aliansi dengan Portugis selama beberapa lama, untuk membendung ekspansi islam; sampai kemudian Sunda-Kelapanya sekalian direbut pasukan gabungan Banten-Cirebon-Demak. Dan jadi negeri tersendiri Jayakarta (yang beraliansi dengan Banten-Cirebon-Demak), 1527M. Kondisi Pakuan-Pajajaran yang lemah, menyebabkan Jawa Barat berubah menjadi dua kutub. Yaitu kutub generasi baru negeri-negeri islam: Yang paling senior itu Cirebon, dia membawahi Banten, Jayakarta, dan belakangan Sumedang Larang dan negeri-negeri kecil di wilayahnya; kutub kedua negeri-negeri lama yang masih Hindu-Budha: Yang induknya Pakuan-Pajajaran.

Sumedang Larang yang letaknya di selatan ini sifatnya agak unik, seperti sudah disebut. Walau ter-islam-isasi seperti Cirebon, dia masih akrab dengan leluhurnya Pakuan Pajajaran. Sehingga, saat kemudian ibukota Pakuan Pajajaran diserang Banten, banyak orang Pakuan Pajajaran yang eksodus ke Sumedang Larang. Bahkan, pusaka-pusaka Pakuan-Pajajaran banyak yang diungsikan atau diserahkan pada Sumedang Larang. Kemungkinan begitu. Tapi Banten tidak peduli, terus saja Pakuan Pajajaran diserang, dan para petinggi Pakuan Pajajaran tersisa mati-matian bertahan di daerah Pandeglang yang terpencil selama beberapa lama.

Sumedang Larang sendiri, tidak berani menantang perang atas Banten, tetapi terus mengambil oper negeri-negeri kecil sekeliling di daerah selatan, yaitu: Sukabumi, Cianjur, , Garut masa kini terus sampai ke perbatasan Galuh Ciamis. Galuh sendiri sepertinya independen, dan terus di baratnya lagi daerah Banyumasan itu, sudah kecaplok Demak.

Di utara, Cirebon terus juga ekspansi ke barat, menaklukkan kerajaan lama Rajagaluh. Daerah ini di satu situs lantas disebut oleh Cirebon sebagai Rangkas Sumedang. Yang kelak menjadi Karesidenan Karawang (meliputi kurang lebih sebagian , Kerawang, Subang, dan Purwakarta masa kini).

***

Babak-6: Islam Menjadi Mainstream

Walhasil, buntut dari penghancuran Pakuan-Pajajaran (oleh Banten), Jawa Barat jadi terdiri dari tiga negeri besar islam (dan masing-masing punya negeri bawahan kecil- kecil), plus dua yang kecilan, yaitu: (1) Cirebon (Jawa-Barat-Utara, sampai batas Jayakarta); (2) Banten (wilayah Banten masa kini, plus Bogor-Sukabumi-Depok); (3) Jayakarta (rada kecil, nyempil di antara Cirebon-Banten, sebagian DKI masa kini); (4) Sumedang Larang (Jawa-Barat-Selatan, Cianjur sampai batas Ciamis masa kini); (5) Galuh (Ciamis masa kini).

Galuh Ciamis ini, mestinya belakangan teraliansi ke Demak atau ke Sumedang Larang, atau ke dua-duanya. Plus lagi, di pedalaman-pedalaman terpencil masih banyak kekuatan eks aliran lama bersembunyi dari keramaian (kelak yang masih bertahan dari kelompok terpencil ini komunitas Baduy, antara lain). Merdeka, tapi terpencil. Badak bercula satu juga masih merajai tidak saja di Ujung Kulon tapi mungkin lebih luas lagi habitatnya masa itu, demikian pula, harimau-macan-maung, baik yang loreng maupun tutul atau yang hitam, masih banyak di hutan-hutan lebat, jadi raja hutan.

Semula bawahan Demak, Banten-Jayakarta, lantas memisahkan diri menjadi negeri merdeka sendiri, yaitu utamanya setelah mereka melihat Demak tidak lagi menjadi kekuatan maritim yang mumpuni, tereduksi oleh para penjelajah eropa. Cirebon yang pro Demak, setelah demak-nya digantikan Pajang, dan terus oleh Mataram, kemudian teraliansi ke Mataram, tapi juga tetap akrab dengan Banten.

Sumedang Larang yang sempat besar, sempat merdeka juga, terus menantang perang Cirebon, dan pindah ibukota ke Dayeuh Luhur masa kini. Perang Cirebon Sumedang Larang ini kemudian ditengahi Mataram, dan di masa jaya Mataram itu, Sumedang Larang lantas teraliansi ke Mataram dan diturunkan statusnya dari kerajaan mandiri menjadi kerajaan bawahan Mataram.

***

Babak-7: Terpecah Tiga (VOC-Batavia, Banten, Mataram)

Sementara raja-raja islam di Jawa Barat kisruh sendiri (juga di Jawa Tengah-Timur), tahun 1600-an Belanda sudah muncul. Awalnya sekedar minta ijin untuk mendirikan trading post dari kayu, murni bisnis, lama-lama dia bikin rumah-rumah tahan meriam, dan bahkan terus bisa menjejer meriam-meriam secara sistematis dan menggaji tentara reguler. Dan terus merebut Jayakarta, menjadikannya Batavia 1619. Sejak itu, Banten yang dendam kesumat tidak pernah bisa merebut lagi Batavia. Dan dari situlah, VOC Belanda memulai cerita panjangnya, nyaris 200 tahun, sampai kelak VOC bubar menjelang 1800M, dan dinasionalisasi oleh negara (Belanda).

Setelah established-nya VOC di Batavia, maka Jawa Barat terbelah jadi tiga, (1) sisi barat Kesultanan Banten; (2) sisi timur kesultanan Mataram (yang direpresentasikan oleh negeri-negeri bawahannya); dan (3) nyempil di antara barat-timur itu, ada Batavia- Belanda (VOC) yang makin lama makin besar.

Andai Mataram solid dan tersistem dalam mengkoordinasikan serangan darat ke Batavia, mestinya negara kota itu tidak akan mampu bertahan menghadapi gempuran massa tentara Jawa yang ratusan ribu. Tapi apa mau dikata, sejarah mencatat, bahkan dalam masa jayanya Sultan Agung, Mataram tidak pernah sukses mengusir VOC. Saat VOC lemah, Mataram gagal mengusir karena menganggap remeh, dan kurang solid di dalam. Berikutnya, saat VOC keburu jadi kuat.. ya sudah. Mataram tidak punya daya usir lagi. Bahkan, VOC-lah yang punya kemampuan mengobok-obok Mataram. Karena kemudian, VOC itu meyakini juga hal yang sama, dengan keyakinan raja-raja besar di setiap negeri pulau. Bahwa pula sekecil Jawa, kalau mau aman tenteram, itu mesti terkonsolidasi jadi satu negeri. Tidak bisa terpecah-pecah seperti suatu benua. Jadilah, VOC terus makin napsu untuk mengkonsolidasikan seluruh Jawa itu menjadi satu. ***

Babak-8: Jaman Hindia Belanda

Setelah Mataram melemah, satu demi satu bawahannya di Jawa Barat pindah haluan jadi bawahan Batavia. Sumedang-Larang (Priangan kecuali Galuh) dan Rangkas- Sumedang (eks Rajagaluh), terus diakali VOC, berpindah jadi bawahan VOC 1677. Menyusul kemudian, 1705 Priangan Timur (eks Galuh), dan 1755, Cirebon pun secara resmi jadi bawahan VOC (walau sudah diobok-obok sejak 1681 sih aktualnya).

Banten yang semula kuat, lantas digerogoti dari dalam, dan diserbu Belanda Mei 1680, dan dijadikan daerah bawahan Belanda juga (sampai secara resminya dianeksasi penuh sekitar 1815 di masa Raffles). Lalu di wilayah bekas Banten ini dan Jawa Barat umumnya, muncullah kota-kota tempat bermukim bule Belanda: Buitenzorg (Bogor), Bandoeng, dan beberapa kota lain kecilan (Meister Corenelis alias Jatinegara, Purwakarta, Tjiandjoer, Sukabumi, kayak begitu). Di abad ke-19 established-lah seluruh Jawa Barat itu jadi jajahan Belanda keseluruhannya.

Kalau boleh diurutkan masa penjajahan eropanya: 1619-1942, Jayakarta (323 tahun, oleh Belanda/VOC, Perancis, Inggris, Belanda) 1677-1942, Priangan (Eks Sumedang-Larang, sejak VOC, seterusnya, idem di atas) 1677-1942, Karawang (Eks Rangkas-Sumedang, idem Priangan, 265 tahun) 1705-1942, Galuh (237 tahun, sejak jaman VOC juga) 1755-1942, Cirebon (187 tahun, sejak jaman VOC juga) 1815-1942, Banten (127 tahun, oleh Inggris, Belanda)

Di abad ke-20, saat Hindia Belanda makin sophisticated, Jawa bagian barat ini dibagi- bagi lagi, menjadi Karesidenan, yang sebetulnya, batas-batasnya sudah dirintis sejak jaman Raffles memodernisir administrasi kolonial di tahun 1815-an.

Jangan dibayangkan, keenam Karesidenan itu seperti masa kini. Masa Hindia Belanda, wilayah yang 'berperadaban moderen', itu hanya sporadik, dan karena itu ya sudah, dibiarkan saja, cuma secara teoritis digabungkan ke kota terbesar-terdekat. Banten misalnya, area selatannya itu masih daerah ganas. Demikian pula Priangan. Ibukotanya semula Tjiandjoer (diberi sebutan keren: Preanger Regentschappen), supaya bisa mudah dapat re-inforcement kalau ada pemberontakan. Tapi lama-lama, saat bibit pemberontakan hilang, pindah ke Bandoeng yang lebih ke tengah. ***

Babak-9: Jaman Jepang

Tahun 1942, Jepang datang. Serbuan Jepang datang dari tiga titik, yaitu di Merak, teluk Banten (teluk Bantam), dan Eretan Wetan, Subang. Menjelang pendaratan marinir itu, Jepang menghujani bom daerah-daerah Belanda di Jawa Barat, khususnya Bandung, Batavia, dan sekitarnya. Mendarat 1 Maret 1942, Jepang akhirnya berhasil memaksa Belanda kapitulasi dan menyerahkan seluruh Jawa Barat (beserta semua area Hindia Belanda) pada 8-9 Maret 1942. Sejak itu, seluruh Jawa Barat menjadi wilayah pendudukan Jepang. Hindia Belanda tutup buku. Yang statusnya masih negeri bawahan (bukan teraneksasi penuh oleh Belanda), ya sudah, beralih status jadi bawahan Jepang.

Segala berbau Belanda kemudian dihapus, antara lain: (1) Bahasa Belanda dilarang (diganti bahasa melayu ala jaman Malaka, dan bahasa Jepang kalau bisa), (2) rupiah alias gulden jaman Belanda juga dinyatakan tidak berlaku, diganti rupiah jaman Jepang (dan penghapusan ini banyak orang miskin mendadak), (3) nama kota-kota yang terlalu Belanda di-rename (Butienzorg jadi Bogor, Batavia jadi Jakarta, Mester Cornelis jadi Jatinegara, seterusnya), (4) Sekolah-sekolah juga dirombak total. Selain namanya diganti nama Jepang, yang semula eksklusif untuk kalangan tertentu saja dijadikan massal, dan semua rakyat dikerahkan untuk bisa dihimpun jadi kekuatan massa (yang semula jaman Hindia Belanda, pengumpulan massa pribumi itu selalu coba dihalang).

Di sisi lain, legacy atau warisan yang bagus-bagus, oleh Jepang tetap dipertahankan. Infrastruktur, hanya jalur-jalur kereta tertentu saja yang dimatikan dan dibongkar besi- besinya oleh Jepang. Lalu perkebunan-perkebunan yang luas. Pabrik-pabrik, institusi- institusi yang sudah mapan, tetap dioptimalkan.

Hasilnya, walau jaman Jepang hanya tiga tahunan (1942-1945), tetapi berhubung pakai tangan besi pendudukannya, maka transformasinya gila-gilaan. Jawa Barat menjadi satu kesatuan solid, yang massa rakyatnya bisa tergerak besar-besaran secara militan, bahasanya juga satu, rasa kedaerahannya juga satu.

Walau (kata sejarawan romantis) persatuan dirintisnya saat sumpah pemuda 1928, kenyataannya, tahun 1928 itu sebenernya cuma rapat kecil-kecilan saja, selesai rapat semua orang bicara dengan bahasa daerahnya sendiri-sendiri, dan masih merasa milik etnisnya masing-masing. Bahkan se-Jawa Barat, perasaan se-etnis pun masih rendah. Sebagai kontrasnya, di Jaman Jepang, pribumi yang merasa beda-beda etnis dengan pribumi lain, urusannya bisa potong leher.

Di sisi lain, bule-bule eropa (dan sampai batas tertentu indo juga), kemudian turunan cina, itu tetap dibedakan. Bala Jepang bencinya setengah mati dengan orang-orang turunan cina. Kebetulan: senofobia atau rasa anti-cina juga sudah disuburkan oleh Belanda dari kapan ta'uk, jadilah di jawa bagian barat (dan banyak tempat lain di Indonesia juga), perasaan anti cina dan anti eropa ini menjadi laten, atau anti asing. Menajam saat perang kemerdekaan, dan mungkin benang merahnya masih ada sampai sekarang. Walau uniknya, kalau sama turunan Arab atau India, biasa-biasa saja.

***

Babak-10: Jaman Indonesia

Perang dunia berkecamuk beberapa tahun, setelah di bom atom Agustus 1945, Jepang lalu kapitulasi pada sekutu awal September 1945.

Sekutu pun lalu mengambil alih Jawa Barat sejenak, dan untuk kawasan Indonesia, ex Hindia Belanda, yang pegang komando adalah Inggris.

Lantas, Inggris menyerahkannya pada Belanda kembali 1946. Di pihak lain, rakyat sudah memproklamasikan kemerdekaan Agustus 1945. Jadi, antara Belanda yang mau kembali, dengan rakyat yang mau merdeka terus bentrok 1946-1949.

Kemudian, Belanda yang pada saat itu sudah jauh kecilan dibanding masa jayanya.. tidak sukses menghidupkan lagi Hindia Belanda. Maka.. Jawa Barat pun merdeka (lagi), menjadi satu kesatuan dengan negara Indonesia, yang persatuannya (sorry to say) dibentuk dengan tangan besi oleh Jepang dan oleh perang Kemerdekaan.

Sentimen kedaerahan meluntur tahun 50-an, dan ide-ide radikal separatisme teredam awal 70-an. Insiden-insiden sara kejadian beberapa kali (pembantaian bule-indo jaman kemerdekaan, anti cina, anti-Jepang jaman malari, dan seterusnya ada tapi relatif kecil). Pemberontakan juga sempat sporadik (APRA dan pemberontakan orang-orang ex KNIL, , kayak begitu...) Kerajaan bawahan yang masih eksis di masa kemerdekaan tinggal Cirebon saja, yang sifatnya pun tinggal simbolik tanpa teritorial.

Mainstream islam bawaan jaman abad ke-16 masih eksis. Multi etnis yang terus menjelma menjadi suku Betawi (yang di barat kental dipengaruhi budaya Arab, di selatan kentalnya budaya Sunda, di timur dan tengah kental budaya Cina, dan di keseluruhannya amat ter-melayu-nisasi) juga tetap eksis (walau makin ke sini makin terpinggirkan). Pengaruh Jawa, Bali, , Maluku, Belanda, juga eksis di kantong- kantong komunitas tertentu di Jakarta dan sekitarnya. Komunitas indo juga eksis, lebih eksis dari kebanyakan daerah lain. Pengaruh Jepang saja yang jauh meluntur.

Setelah masa orde baru, Jawa Bagian barat masa kini terdiri dari tiga propinsi, yaitu DKI Jaya, Banten, dan Jawa Barat. Ini nyaris persis di jaman Mataram-VOC, saat Jawa Barat itu terdiri dari Batavia, Banten, dan Jawa Barat tersisa yang jajahan Mataram. Walau relatif jauh susut, bahasa sunda yang mulai mapan sejak jaman Tarumanagara pada abad ke-2 atau ke-4, sekarang ini.. nyaris seribu tahun kemudian, masih eksis. Mestinya bisa dilestarikan. Budaya-budaya tuanya, di jalur mainstream tuntas terkikis habis oleh islamisasi, tetapi masih tersisanya suku Baduy dan yang semacam itu di pedalaman, menunjukkan bahwa budaya tua itu pun termasuk 'die hard' juga.

Rimba raya penuh binatang buas juga jauh menyusut. Walau begitu, maung harimau macan masih belum punah juga, celeng masih gentayangan di hutan-hutan, badak bercula satu masih ada di ujung kulon, badak cap kaki tiga juga eksis, jadi minuman.

***

Selesai

Kalau mau detil tentang Batavia-Betawi, bisa dilihat di internet, di wikipedia atau di situs khusus. Demikian juga Sumedang-Larang. Sedangkan di sini, dalam tulisan lain, bisa dilihat riwayat Banten, Cirebon, yang dibuat lebih dulu dari tulisan ini. Semoga, pada iterasi berikutnya, lebih banyak lagi bisa diulas tulisan tentang Jawa Barat.

(ilmuiman.net / Selesai)