METODE PEMAHAMAN HADIS DI : Studi atas Pemikiran T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Agama (M.Ag)

Oleh: Ira Nur Azizah NIM: 21170340000014

PROGRAM MAGISTER TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Tesis ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata dua (S2) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 10 Desember 2019

Ira Nur Azizah

i

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA: STUDI ATAS PEMIKIRAN T.M. HASBI ASH-SHIDDEIQY” yang ditulis oleh Ira Nur Azizah, NIM. 21170340000014, telah diujikan dan dinyatakan lulus dalam sidang munaqasyah Program Magister Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 17 Desember 2019. Tesis tersebut telah diperbaiki sesuai saran dan rekomendasi dari Tim Penguji serta diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Agama (M.Ag) pada Program Studi Tafsir Hadis dengan Konsentrasi Hadis.

TIM PENGUJI

Dr. Bustamin, M.Si.

NIP. 19630701 199803 1 003 Ketua Tim Penguji …………………………………………. Dr. Atiyatul Ulya, M.A. NIP. 19700112 199603 2011 Penguji I …………………………………………. Dr. Muhammad Zuhdi Zaini, M.Ag NIP. 19650817 200003 1 001 Penguji II …………………………………………. Dr. Ahmad Fudhaili, M.A. NIP. 19740510 200501 1 009 Pembimbing I/Penguji III …………………………………………. Dr. Abdul Hakim Wahid, M.A.

NIP. 19780424 201503 1 001 Pembimbing II/Penguji IV …………………………………………. Dr. Ahmad Fudhaili, M.A. NIP. 19740510 200501 1 009 Sekretaris Tim Penguji ………………………………………….

ii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam tesis ini berdasarkan pada Pedoman Penulisan Tesis yang digunakan oleh Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2019.

1. Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

tidak dilambangkan ا b be ب t te ت ts te dan es ث j je ج h h dengan garis di bawah ح kh ka dan ha خ d de د dz de dan zet ذ r er ر z zet ز s es س sy es dan ye ش s es dengan garis di bawah ص ḏ de dengan garis di bawah ض ṯ te dengan garis di bawah ط ẕ zet dengan garis di bawah ظ koma terbalik di atas hadap kanan „ ع gh ge dan ha غ f ef ف q ki ق

iii

k ka ك l el ل m em م n en ن w we و h ha ه apostrof ` ء y ye ي

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan a fathah i kasra u ḏammah و

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ai a dan i ي au a dan u و

3. Vokal Panjang Ketentuan alih aksara untuk vokal panjang (madd) di dalam bahasa Arab dilambangkan dengan:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ā a dengan garis di atas ا

iv

ī i dengan daris di atas ي ū u dengan garis di atas و

4. Kata Sandang Kata sandang yang dalam aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu alif dan lam, kemudian dialih aksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-zahrah bukan az-zahrah, al- nisā` bukan an-nisā`.

5. Syaddah (Tasydīd) Dalam sistem tulisan Arab, syaddah atau tasydīd dilambangkan dengan tanda ,Huruf yang ber-tasydīd ditulis dengan dua huruf serupa secara berturut-turut .( ّ ) .al-dīn = الدين seperti

6. Ta marbūṯah Jika huruf ta marbūṯah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf Āisyah. Hal yang sama„ = عائشة tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/, seperti الجامعة اإلسالمية juga diterapkan jika huruf ta marbūṯah diikuti dengan na’at, seperti = al-jāmi‟ah al-Islāmiyyah. Namun jika ta marbūṯah diikuti dengan isim maka -wahdat al = وحدة الوجود huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/, seperti wujūd.

7. Huruf Kapital

Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan .al-Ghazāli = الغزالي huruf awal atau kata sandangnya, seperti

v

DAFTAR ISTILAH

Metode : Berasal dari kata method yang berarti cara dan langkah. Secara umum metode dapat didefinisikan sebagai sebuah prosedur atau cara yang ditempuh untuk menggapai sebuah tujuan tertentu.

Metodologi : Berasal dari bahasa Yunani “metodos” dan “logos” yang berarti cara dan ilmu. Sedangkan menurut istilah, metodologi berarti ilmu tentang cara atau analisis teoritis tentang suatu cara.

Integral : Meliputi semua bagiannya yang utuh, lengkap dan sempurna serta saling mengikat satu sama lain.

Meunasah : Sebutan yang digunakan oleh masyarakat Aceh terhadap bangunan umum di desa-desa yang berfungsi sebagai tempat dilaksanakannya upacara agama, proses belajar- mengajar materi ke-Islaman dan bermusyawarah.

vi

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi metode pemahaman hadis T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dan upayanya dalam mengembangkan kajian pemahaman hadis di Indonesia. Pembacaan terhadap karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy pada bidang hadis menunjukkan bahwa dalam memahami hadis ia menggunakan beberapa langkah dan metode, yaitu memahami hadis dengan petunjuk al-Qur‟an, mentakwil hadis-hadis musykīl, mengkompromikan hadis-hadis yang bertentangan, merujuk pada sejumlah referensi dan menggunakan beberapa pendekatan yang meliputi pendekatan historis, bahasa dan kesehatan. Adapun upaya Hasbi dalam mengembangkan kajian hadis di Indonesia tergambar dari langkahnya untuk menyajikan karya syarah hadis berbahasa lokal disaat hal tersebut masih jarang ditemui pada awal sampai pertengahan abad ke-20 karena ulama-ulama yang hidup sebelum Hasbi menulis kitab syarah hadis dalam bahasa Melayu dan Arab. Di samping itu, konsumen atau pembaca dari karya Hasbi adalah para mahasiswa dan masyarakat secara umum, sehingga membuatnya berbeda dari karya-karya sebelumnya yang lebih cenderung dikaji oleh para di . Penelitian ini mendukung pendapat Hasep Saputra dan Dede Rodliyana yang menyatakan bahwa kajian terhadap metode pemahaman hadis di Indonesia telah sampai pada perkembangan yang dinamis. Hal tersebut tercermin dari usaha para pengkaji hadis di Indonesia dalam merekonstruksi metodologi pemahaman hadis agar dapat menyesuaikan dengan kondisi zaman sehingga lebih dapat diterima oleh masyarakat. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy menjadi salah seorang ulama yang mengambil peran dalam bidang ini, yaitu dengan menerapkan metode pemahaman kontekstual dalam menjelaskan hadis-hadis Nabi Saw. Karakteristik yang melekat pada karya-karya hadis T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy juga merupakan bukti bahwa perkembangan kajian terhadap metode pemahaman hadis di Indonesia adalah benar adanya. Sumber utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah karya-karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bidang hadis meliputi buku 2002 Mutiara Hadis, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Problematika Hadis sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam dan Sejarah Perkembangan Hadis. Di samping itu, ada juga sumber sekunder yang diambil dari tulisan-tulisan yang relevan dengan penelitian ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dalam bentuk library research (riset kepustakaan). Data yang sudah dikumpulkan kemudian dikaji dengan analisis deskriptif.

vii

الملخص

يهدف ىذا البحث إىل استكشاف طرق فهم احلديث لألستاذ تنكو حممد حسيب الصديقي وجهوده ىف تطوير دراسة فهم احلديث ىف إندونيسيا. وبعد االستقراء اىل تصانيفو يف جمال احلديث يبدو أنو يستخدم عدة الطرق لفهم احلديث، وىي فهم احلديث النبوي مستندا إىل داللة القرآن الكرمي، وتأويل األحاديث ادلشكلة، واجلمع بني األحاديث ادلختلفة، ومستمدا إىل عدة ادلراجع ومستخدما بادلناىج العديد اليت تشمل ادلنهج التارخيي واللغوي والصحي. وأما جهوده ىف تطوير دراسة احلديث النبوي بإندونسيا يتصور من عملو يف تقدمي كتب شرح احلديث باللغة احمللية إذ كان نادر احلدوث يف منتصف القرن العشرين حيث كان العلماء الذين عاشوا حينئذ يكتبون كتب احلديث باللغة ادلاليو واللغة العربية. وجبانب ذلك ان ق راء مصنفات حسيب الصديقي ىم الطالب وعامة الناس، دما جيعلها خمتلفة عن التصانيف السابقة اليت متيل اىل تعلمها الطالب يف ادلعاىد اإلسالمية. يدعم ىذا البحث رأي ىاسيب سابوترا وديدي رضيانا اللذين صرحا بأن البحوث عن طرق فهم احلديث يف إندونيسيا قد وصلت إىل التطور السريع. وذلك يتصور من جهود دارسي احلديث بإندونيسيا يف إعادة بناء طرق فهم احلديث لتكون مطابقا حبالة الزمان حىت تكون مقبوال بأكثر لدى اجملتمع. أصبح األستاذ حسيب عادلا من العلماء الذي اخذ دورا ىاما يف ىذا اجملال بتطبيق طريقة فهم احلديث السياقي يف شرح األحاديث النبوي. واخلصائص الكامنة يف تصانيفو احلديثية، ىي دليل على صحة تطوير دراسة طرق فهم احلديث يف إندونيسيا. وادلصادر الرئيسية ادلستخدمة يف ىذا البحث ىي مصنفات األستاذ حسيب يف احلديث النبوي، منها: كتاب 2002 درر احلديث، جمموعات أحايث األحكام، التاريخ وادلقدمة يف علم احلديث، والنقاط الرئيسية يف علم الدراية ، مشاكل احلديث كأساس لتعزيز الشريعة اإلسالميةو تاريخ تطور احلديث النبوي. ويستخدم الباحث إىل ادلصادر األخرى من الكتب اليت كانت ذات صلة هبذا البحث. والطريقة ادلستخدمة يف ىذا البحث ىي الطريقة النوعية يف جمال البحث ادلكتيب، و يتم حتليلها باستخدام طريق التحليل الوصفى.

viii

ABSTRACT

This study aims to explore the methods of T.M. Hasbi Ash Shiddiqy on understanding of Hadith and his efforts in developing hadith studies in Indonesia. The reading of his works in the field of Hadith shows that he used a several methods in understanding the Hadith, namely understanding the Hadith with the guidance of the Qur'an, interpreting the problematic Hadiths, compromising the contradictory Hadiths, referring on a number of references and using several approaches which include historical, language and health approaches. As for his efforts in developing hadith studies in Indonesia it is reflected in his steps to present the explanation of Hadiths in the local language at a time in which it was still rarely encountered in the early to mid-20th century when the scholars who lived before Hasbi wrote the book of hadith in the Malay and Arabic language. In addition, the readers of his writings are students and the general public that makes it different from previous works that are more likely to be studied by students in the Islamic boardings. This study supports the opinions of Hasep Saputra and Dede Rodliyana who stated that the studies of the methods of understanding of Hadith in Indonesia has reached a dynamic development. This is reflected in the efforts of the Hadith scholars in Indonesia to reconstruct the methodology of Hadith understandings so that it can adjust to the conditions of the times and more acceptable to the community. Hasbi became one of the scholars who took a role in this field by applying the method of contextual understanding in explaining the Hadiths of the Prophet – pbuh - . The characteristics inherent in the works of Hasbi, are also the evidence of the development of studies on the methods of understanding of Hadith in Indonesia. The main sources used in this research are the works of T.M Hasbi Ash Shiddiqy in the field of Hadith including the book of 2002 pearls of Hadith, the collections of legal Hadiths, the history and introduction to the science of Hadith, the main points of science of diraya, the problems of Hadith as a basis for the development of Islamic law and the history of the development of Hadith. In addition, the other sources are also taken from relevant books in this study. The method used in this research is qualitative in the form of library research. The data that had been collected was then processed and analyzed using descriptive-analysis method.

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah Swt yang berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Metode Pemahaman Hadis di Indonesia: Studi atas Pemikiran T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy” ini dengan baik. Salawat beserta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw, kepada keluarganya, sahabat dan para pengikutnya. Selesainya tesis ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, M.A. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Dr. Bustamin, SE, M.Si selaku Ketua Program Magister Fakultas Ushuluddin dan Bapak Dr. Ahmad Fudhaili, M.Ag selaku Sekretaris Program S-2 Magister Fakultas Ushuluddin. 4. Bapak Dr. Ahmad Fudhaili, M.A. dan Bapak Dr. Abdul Wahid Hakim M.A. selaku dosen pembimbing penulisan tesis. Penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya karena telah dengan sabar membimbing, mengarahkan dan memotivasi penulis hingga dapat menyelesaikan tesis ini. 5. Bapak Dr. Bustamin, SE, M.Si, Ibu Dr. Atiyatul Ulya, M.A. dan Bapak Dr. Muhammad Zuhdi Zaini, M.A. selaku Tim Penguji sidang munasqasyah yang telah memberi banyak saran dan masukan dalam perbaikan tesis ini. 6. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen yang mengajar di Program Magister yang telah mendidik dan memberikan berbagai macam ilmu kepada penulis. Semoga ilmu yang Bapak dan Ibu berikan dapat bermanfaat dan menjadi amal jariyah. 7. Teruntuk Ayahanda Sari Muda dan Ibunda Desi Narti, penulis menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya atas kasih sayang,

x

kesabaran, kepercayaan, dukungan dan doa yang tidak henti-hentinya diberikan kepada penulis. Semoga Ayah dan Ibu selalu disayang Allah Swt dan bahagia di dunia maupun di akhirat nanti. Dan juga, untuk Adinda Muhammad Aldi Aripan yang selalu menyemangati kakaknya, terimakasih sudah tumbuh menjadi anak yang baik, terimakasih untuk segalanya. 8. Segenap karyawan/i akademik Fakultas Ushuluddin yang telah membantu penulis selama menjalani perkuliahan. 9. Teman-teman di Magister Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah yang telah berjuang bersama penulis selama duduk di bangku kuliah. Perjalanan masih panjang, kawan! 10. Keluarga besar di kampung, Maknga, Makwo (almh.), Wak Rilo (alm.), Wo Ang, Wak Abang Yon, Wak Oki, Wak Dang Lik, Wak Ema, Datuk Gajah, Mamang Cut dan semua nama yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih atas doa dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis selama ini. 11. Teman-teman penulis di manapun berada, Martiyul, Mbak Apil, Chapap, Ipeh, Ciul, Nelfi, Alumni PPAH Bengkulu, MF 2023, TXT members dan semua rekan seperjuangan yang selalu memberi support dalam menyelesaikan penulisan tesis ini. Semoga bantuan dan dukungan yang mereka berikan menjadi amal jariyah bagi mereka dan Allah Swt balas dengan sebaik-baiknya balasan. Selanjutnya, penulis menyadari bahwa ilmu yang dimiliki penulis masih sangat minim sehingga tulisan ini pasti memiliki kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Untuk itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Akhirnya, hanya kepada Allah penulis mengharap ridha dan mengucap rasa syukur. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan yang memberi motivasi kepada kita agar senantiasa mengkaji hadisnya. Amin.

Ciputat, 24 Desember 2019 Ira Nur Azizah

xi

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ...... i LEMBAR PENGESAHAN ...... ii PEDOMAN TRANSLITERASI ...... iii DAFTAR ISTILAH ...... vi ABSTRAK ...... vii KATA PENGANTAR ...... x DAFTAR ISI ...... xii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...... 1 B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ...... 7 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ...... 9 D. Kajian Terdahulu yang Relevan ...... 9 E. Kerangka Teoritik ...... 14 F. Metodologi Penelitian ...... 17 G. Sistematika Penulisan ...... 18 BAB II PERKEMBANGAN METODE PEMAHAMAN HADIS A. Sejarah Metode Pemahaman Hadis ...... 20 B. Perkembangan Kajian Hadis di Indonesia ...... 31 C. Dinamika Metode Pemahaman Hadis di Indonesia ...... 36 BAB III SKETSA BIOGRAFIS T.M. HASBI ASH-SHIDDIEQY A. Biografi T.M. Ash-Shiddieqy ...... 48 1. Riwayat Hidup ...... 48 2. Latar Belakang Pendidikan dan Karir ...... 50 3. Karya-karya ...... 57 B. Sumbangsih Pemikiran T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy ...... 63 1. Bidang Tafsir ...... 64 2. Bidang Fiqih ...... 68 3. Bidang Hadis ...... 71

xii

BAB IV PEMAHAMAN HADIS T.M. HASBI ASH-SHIDDIEQY A. Metode Pemahaman Hadis T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy ...... 89 1. Memahami Hadis dengan Petunjuk Al-Qur‟an ...... 89 2. Mentakwil Hadis-hadis Musykīl ...... 94 3. Merujuk pada Sejumlah Referensi ...... 101 4. Mengkompromikan Hadis-hadis Mukhtalif ...... 106 5. Memahami Hadis dengan Berbagai Pendekatan ...... 111 B. Upaya T.M Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Mengembangkan Kajian Pemahaman Hadis di Indonesia ...... 142 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...... 146 B. Saran-saran ...... 147

DAFTAR PUSTAKA ...... 148

xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadis menempati posisi yang istimewa dalam Islam yaitu sebagai salah satu sumber syariat dan hujjah bagi kaum muslimin.1 Di samping itu, hadis juga mempunyai peran yang strategis berupa penjelas bagi ajaran-ajaran yang masih umum dan global dalam Al-Qur‟an.2 Karena kedudukannya tersebut, ia dijadikan pedoman hidup sekaligus referensi untuk permasalahan-permasalahan yang dihadapi manusia. Sama halnya dengan Al-Qur‟an, proses pembacaan terhadap hadis juga membutuhkan interpretasi lebih lanjut dan mendalam untuk mendapatkan pemahaman yang utuh dan komprehensif, terutama pada hadis-hadis yang redaksinya sulit dipahami atau tampak bertentangan. Jika penjelasan terhadap Al-Qur‟an disebut dengan tafsir, maka pada kajian hadis dikenal istilah fahm, fiqh dan syarh. Beberapa istilah tersebut mengacu pada satu definisi yaitu aktivitas memahami makna yang terkandung dalam hadis. Kajian terhadap pemahaman hadis tidak lepas dari perkembangan hadis itu sendiri. Hadis mulai berkembang dan menjadi kajian yang mandiri didukung oleh pengkodifikasian yang diprakarsai oleh Muhammad bin Syihāb al-Zuhri (w. 124 H) atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Azīz (w. 101 H) pada masa Dinasti Umayyah. Hal tersebut telah memberi dampak yang sangat besar pada kelanjutan kajian hadis dalam Islam.3 Namun pada awalnya, kajian mengenai pemahaman hadis memang tidak se-intens kajian terhadap periwayatannya. Hal ini dikarenakan ulama

1 Ibnu Naṣiruddīn al-Dimasyqī, Mutiara Ilmu Atsar: Kitab Klasifikasi Hadis Permata Salaf yang Terpendam (833H/1429M), Terj. oleh Faisal Saleh Dkk (Jakarta: Penerbit Akbar, 2008), h. 107. 2 Idri, Studi Hadis, Cet-3 (Jakarta: Prenada Media Group 2016), h. 24. 3 Meskipun hasil tadwīn yang dilakukan oleh al-Zuhri tidak sampai kepada kita, namun sudah cukup memotivasi ulama yang lain untuk mengumpulkan dan menyusun kitab tadwin hadis pada masa selanjutnya. Ulama yang berhasil menyusun kitab hadis dan karyanya dapat dibaca oleh umat Islam saat ini adalah Malik bin Anas dengan karyanya Al-Muwaṭṭa’. Sehingga kitab ini dianggap sebagai kitab hadis pertama yang terkodifikasi secara utuh. Lihat: Idri, Studi Hadis, Cet-3 (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), h. 47-48.

1

2

mutaqaddimīn lebih terfokus pada pembuktian ke-otentikan sebuah hadis.4 Di samping itu, pada masa awal Islam hampir tidak ada permasalahan yang berkenaan dengan pemahaman redaksi hadis, karena para sahabat dapat bertanya langsung kepada Nabi Saw mengenai hal-hal yang belum jelas dan belum mereka pahami.5 Kalaupun terjadi perselisihan di antara sahabat, maka penyelesaiannya selalu dikembalikan kepada Nabi Saw.6 Setelah beberapa generasi terlewati, barulah sebagian dari hadis-hadis Nabi Saw mulai terlihat sulit untuk dipahami (musykīl) dan bahkan beberapa darinya dipandang mukhtalīf atau bertentangan satu sama lain.7 Salah satu faktor yang melatarbelakangi hal tersebut adalah ekspansi wilayah Islam yang semakin meluas ke luar wilayah Arab. Sehingga muncul berbagai masalah mengenai pemahaman redaksi hadis yang terasa aneh dan asing pada masa-masa berikutya.8 Menanggapi hal tersebut, para ulama kemudian menulis dan melahirkan karya berupa kitab-kitab yang secara khusus membahas tentang penjelasan terhadap hadis. Maka satu per-satu kitab syarah hadis pun mulai bermunculan, diawali dengan kitab Tafsīr fī Al-Muwaṯṯā’ yang ditulis oleh Abdullah bin Nāfi‟ al-Masr al-Saigh (w. 186 H) yang merupakan syarah dari kitab Al-Muwaṯṯā’. Kemudian diikuti dengan kitab A’lām al-Sunan karya Abu Sulaimān Hammād bin Muhammad al-Khiṯābi (w. 388 H) yang merupakan syarah kitab Shahih al-Bukhāri dan lain-lain. Geliat terhadap penulisan kitab syarah ini semakin marak dilakukan pada abad pertengahan yang pada masa tersebut lahir

4 Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits: Paradigma Interkoneksi Berbagai Teori dan Metode Memahami Hadis Nabi, Cet-2 (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2016), h. 5. 5 Nabi Muhammad Saw merupakan mufassir dan mubayyin yang diberi legitimasi langsung oleh Allah Swt untuk menerangkan semua dalil-dalil agama. ketika beliau masih hidup, para sahabat tidak mengalami kesulitan dalam memahami ajaran agama karena kehadiran Nabi Saw sebagai tempat bertanya. Lihat: Mustafa al-Sibā‟i, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam: Sebuah Pembelaan Kaum Sunni, Terjemah Oleh (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 3-8. 6 T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadits, Cet-2 ( Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 22. 7 Hasep Saputra, “Geneologi Perkembangan Studi Hadis di Indonesia,” Studi Al-Qur’an dan Hadis 1, No. 1 (2017): h. 45. 8 Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits: Paradigma Interkoneksi Berbagai Teori dan Metode Memahami Hadis Nabi, h. 6.

3

kitab-kitab syarah legendaris seperti Fath al-Bāri Syarh Sahīh al-Bukhāri dan Al- Minhāj Syarh Sahīh Muslim.9 Perkembangan hadis semakin mengalami peningkatan dari masa ke masa. Pada awalnya ia hanya dikaji di wilayah Arab dan sekitarnya saja. Namun setelah Islam menyebar ke hampir seluruh penjuru dunia, kajian-kajian ke-Islaman seperti syarah dan pemahaman hadis juga turut mengalami perkembangan. Perluasan wilayah yang dilakukan pada masa ke-khalifahan Islam lambat laun juga berhasil menyentuh daerah Asia Tenggara, termasuk Indonesia.10 Adapun Islam pertama kali masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke-7, beberapa pendapat mengatakan abad ke-8 dan ke-1311 yang masing-masing darinya mempunyai argumentasi pembuktian yang kuat. Terlepas dari teori-teori tersebut, sudah dapat dipastikan bahwa kajian terhadap pemahaman hadis terjadi jauh setelah masuknya Islam ke Indonesia. Hal tersebut erat kaitannya dengan kenyataan bahwa perkembangan kajian hadis di Indonesia tergolong sedikit lebih lambat dibandingkan ilmu-ilmu ke-Islaman yang lain. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Martin Van Bruinessen, hadis merupakan mata pelajaran yang relatif baru di pesantren dan dan belum dijadikan kurikulum resmi pada lembaga pendidikan sebelum abad ke-20 di Indonesia. Pada saat itu, para santri hanya menemui hadis-hadis sebagai pendukung dan penjelas mata

9 Sandi Santosa, “Melacak Jejak Pensyarahan Kitab Hadis,” Diroyah: Ilmu Hadis 1, No. 1 (September 2016), h. 82-83. 10 Masuknya Islam ke daerah Asia Tenggara lewat media dakwah dan dagang, bukan penaklukan. Hal ini tidak lepas dari peran para pedagang muslim yang berasal dari India (ada juga yang menyebutnya pedagang dari Arab). Para pedagang tersebut melakukan aktifitas perdagangan dan sekaligus memperkenalkan tata cara jual beli dalam Islam. Karena dalam berinteraksi dengan penduduk pribumi para pedagang tersebut menanamkan adab-adab yang ramah dan toleran, ajaran- ajaran Islam yang mereka bawa dapat cepat diserap dan diterima. Lihat: Dudung Abdurrahman Dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern, Cet-2 (Yogyakarta: LESFI, 2004), h. 318. 11 Teori pertama mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia langsung dari Arab, yaitu pada abad ke-7 M. Pendapat ini diperkuat dengan dokumen yang ditulis oleh Chu Fan Chi yang dikutipnya dari catatan Chou Ku-Fei mengenai sebuah perkampungan Islam di Pantai Barus yang dikenal dengan sebutan Ta-Shih. Teori kedua menyatakan kalau Islam datang dari Gujarat pada abad ke-8 M dengan bukti berupa batu nisan Sultan Malik as-Saleh yang bertuliskan angka 1297 bercorak Gujarat. Sedangkan teori yang terakhir mengatakan kalau Islam datang dari Persia pada abad ke-12 M karena maraknya paham Syi‟ah pada awal kemunculan Islam di Indonesia, seperti tabuik atau tabot. Lihat: Latifa Annum D, “Kajian Proses Islamisasi di Indonesia,” Studi Agama dan Masyarakat 12, No. 1 (Juni 2016), h. 117-119 dan Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta Selatan: UIN Jakarta Press, 2007), h. 193-196.

4

pelajaran yang lain seperti fiqih dan akidah.12 Namun meskipun perkembangannya mengalami keterlambatan, hal tersebut bukan berarti para ulama sama sekali tidak memberi perhatian pada kajian hadis, terbukti dengan lahirnya beberapa karya dalam bidang tersebut pada masa-masa selanjutnya. Adapun mengenai kajian terhadap metodologi pemahaman hadis di Indonesia pada awalnya dilakukan dengan sangat sederhana yaitu dengan mengambil penjelasan dari kitab-kitab syarah yang ditulis oleh para ulama. Tercatat bahwa pada abad ke-17 sampai 19 M belum ada buku yang secara mandiri memaparkan langkah-langkah sistematis dalam memahami hadis. Sehingga, untuk memetakan metode yang ditempuh para ulama Indonesia dalam memahami hadis hanya dapat ditelusuri dari kitab-kitab syarah yang mereka tulis.13 Kitab-kitab tersebut sudah mempunyai karakteristik tersendiri baik dari segi metodologi,14 pendekatan,15 dan mazhab16 yang digunakan, hanya saja para ulama yang menulis tidak menjelaskannya secara langsung dan detail mengenai metode yang mereka gunakan. Memasuki abad ke-20, kajian hadis di Indonesia menapaki babak baru dengan munculnya banyak pemikir hadis yang mumpuni dan menghasilkan karya-karya yang cemerlang. Salah seorang tokoh yang ikut mengambil peran dalam pengembangan kajian pemahaman hadis di Indonesia adalah T.M. Hasbi Ash Shiddieqy. Ia merupakan ulama yang berasal dari Aceh dan termasuk salah seorang tokoh

12 Lihat: Martin Van Bruinessen, : Pesantren dan Tarekat, Cet-3 (Bandung: Mizan, 1999), h. 29 dan 161. 13 Geliat penulisan kitab syarah hadis di Indonesia sudah dimulai pada abad ke 17 dengan munculnya karya yang ditulis para ulama seperti Abdul Rauf al-Sinkili yang menulis kitab Syaraḥ Latīef ‘ala Hadītsan li Imām al-Nawawi. Disusul dengan Hidāyat al-Ḥabīb fi al-Targhīb wa al-Tartīb yang ditulis oleh Nuruddin al-Raniri. Keterangan lebih lanjut baca: Muhajirin, Kebangkitan Hadits di Nusantra (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2016), h. 47-50. 14 Dalam kajian syarah hadis dikenal beberapa metode yang sering digunakan oleh para ulama dalam mensyarah yaitu tahlili (analisis), ijmali (global) dan muqarin (komparatif). Lihat: Moh. Muhtador, “Sejarah Perkembangan Metode dan Pendekatan Syarah Hadis,” Studi Hadis 2, No. 2 (2016): h. 266. 15 Menurut Alfatih Suryadilaga, terdapat tiga pendekatan dalam syarah hadis yaitu: pendekatan historis, pendekatan sosiologi dan pendekatan antropoloogi. Lihat: M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis dari Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Kalimedia, 2017), h. 57-83. 16 Mazhab atau aliran syarah hadis terbagi dalam dua kategori, yaitu mazhab ulama hadis klasik dan ulama hadis kontemporer. Mazhab klasik lebih cenderung tekstual (original meaning) dan tema sesuai dengan susunan kitab induknya, sedangkan mazhab kontemporer tema kajian syarah bersifat kontekstual (applicable meaning) dan tema kajian tidak harus sesuai dengan kitab induknya. Lihat: Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis dari Klasik hingga Kontemporer, h. xx.

5

pembaharu yang giat menyuarakan tentang pentingnya ijtihad. Hasbi juga dikenal sebagai seorang akademisi yang produktif menulis. Sepanjang hidupnya ia telah menghasilkan 72 judul buku (142 jilid) dan 8 judul (26 jilid) di antaranya merupakan tulisannya dalam bidang hadis yang meliputi tentang sejarah perkembangan hadis, ulūm al-hadīts dan syarah hadis.17 Jika dilihat dari beberapa karya Hasbi dalam bidang hadis, memang tidak ada yang secara khusus membahas tentang metode pemahaman hadis. Namun metode yang ia gunakan dapat dilihat dari langkahnya menjelaskan hadis-hadis di dalam karya syarahnya.18 Dari pembacaan terhadap karyanya tersebut, diketahui bahwa di samping memahami hadis secara tekstual Hasbi juga menerapkan pemahaman kontekstual pada hadis.19 Menurutnya, dalam memahami hadis adalah sesuatu yang sangat penting untuk memperhatikan „illat yang terkandung di dalamnya, karena hal tersebut dapat mempengaruhi status hukum dan pengamalannya.20 Di samping itu, dalam memahami hadis Hasbi juga sangat berpedoman kepada Al-Qur‟an. Langkah inilah yang kemudian membuatnya berkesimpulan bahwa tidak ada syafa’at kubra karena tidak ada ayat Al-Qur‟an yang menjelaskan keberadaannya secara tegas.21

17 N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia:Penggagas dan Gagasannya, h. 265-276. 18 Diketahui bahwa Hasbi menulis dua karya dalam bidang syarah hadis yang ia kemas dalam beberapa jilid. Karyanya dalam bidang syarah juga dipandang unik karena ditulis dalam bahasa lokal. Hal tersebut membuatnya berbeda dari ulama-ulama sebelumnya yang menulis kitab syarah dalam bahasa Arab seperti Nawawi al-Bantani (1815-1897) yang menulis kitab syarah berjudul Tanqīh al- Qaul al-Hasis fi Syarḥ Lubab al-Hadīs dan Mahmūd al-Tarmasi (1868-1920) yang menulis kitab Al- Khil’ah al-Fikriyyah Syaraḥ al-Mihnaḥ al-Khairiyyah. Maka hadirnya syarah hadis dalam bahasa Indonesia merupakan sesuatu yang baru kala itu. Langkah yang dilakukan oleh Hasbi ini bukan tidak mempunyai alasan. Sebagaimana dikutip oleh Noer Chalida, bahwa Hasbi mengungkapkan tujuannya menulis syarah hadis dalam bahasa Indonesia adalah agar masyarakat dapat dengan mudah memahami ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Saw, dengan begitu Islam juga dapat lebih cepat diterima oleh mereka. Lihat; Noer Chalida, “Pemikiran Hasbi Ash-Shiddieqy tentang Hadis,” Al-Hikmah 5, No. 2 (Oktober 2017): h. 90. 19 Menurut Ramli istilah kontekstual belum familiar dalam kajian hadis di Indonesia sebelum abad ke-20. Lihat: Ramli Abdul Wahid, Perkembangan Metode Pemahaman Hadis di Indonesia, Jurnal Analytica Islamica, Volume 4 No. 2, 2015, h. 232. 20 “Disaat „illat dari sesuatu hilang, maka hukum yang terkandung di dalamnya juga lenyap”, hal ini seringkali disebutkan oleh Hasbi di beberapa pembahasannya tentang hadis (hadis tentang jenggot dan hadis tentang larangan memakan dua kurma dalam satu suapan. Lihat: Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 212; Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid VII, h. 65. 21 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Cet ke-3, Jilid I 9Jakarta; Buan Bintang, 1961) h. 409.

6

Pada sisi lain, Hasbi juga seringkali mengemukakan pendapat yang dinilai berbeda dari ulama kebanyakan seperti pemahamannya mengenai shalat Jum‟at yang menurutnya merupakan pengganti shalat Zuhur pada hari Jum‟at sehingga semua laki-laki dan perempuan wajib mendirikan shalat Jum‟at baik di masjid atau sendirian.22 Ia juga berpendapat bahwa mengqashar shalat diperbolehkan di dalam safar selama si musāfir tidak berniat untuk mukim di tempat yang ia kunjungi dan tidak ada batasan waktunya karena hadis yang menjelaskan hal tersebut juga tidak ditemukan.23 Pendapat-pendapat yang ia kemukakan selalu ia sandarkan dengan hadis Nabi Saw. Maka menjadi sesuatu yang penting untuk diteliti bagaimana cara Hasbi dalam menetapkan sebuah hukum dan apa metode yang ia gunakan dalam memahami hadis hingga ia mempunyai kesimpulan yang berbeda dari ulama jumhur. Dari pemaparan di atas, penulis merasa penting untuk melakukan penelitian terhadap metode pemahaman hadis yang ditawarkan oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy melalui beberapa karyanya dalam bidang hadis. Selain dikarenakan belum ada penelitian yang menyoroti hal tersebut secara komprehensif, Hasbi juga tidak mengungkapkan secara pribadi metode yang ia gunakan dalam memahami hadis dan juga tidak menulis karya khusus dalam bidang tersebut. Sehingga jalan untuk mengetahui hal tersebut adalah dengan mengkaji karya-karya beliau dalam bidang hadis untuk kemudian dipetakan secara sistematis. Dengan mempertimbangkan alasan-alasan tersebut, maka tesis ini dengan judul “Metode Pemahaman Hadis di Indonesia: Studi atas Pemikiran T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy” laik untuk dikaji pada penelitian lebih lanjut.

22 Hasbi menjelaskan tentang hal ini dalam sebuah bab yang cukup panjang. Penjelasan selengkapnya lihat: T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 4 (Bandung: Al- Ma‟arif, 1974), h. 209. Lihat juga: T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, Cet-11 (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 389. 23 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 4, h. 332 dan Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, Cet-11, h. 430.

7

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dipaparkan, terdapat beberapa masalah yang dapat diidentifikasi, antara lain: a. Dari konteks sejarah, perkembangan kajian hadis di Indonesia dianggap mengalami keterlambatan jika dibandingkan dengan cabang-cabang keilmuan yang lain seperti Tafsir dan Fikih. b. Metode pemahaman hadis di Indonesia terus mengalami dinamika dan perkembangan. Seperti halnya pemahaman kontekstual yang sebelumnya tidak dikenal dalam kajian pemahaman hadis dan baru muncul serta diperkenalkan oleh tokoh-tokoh hadis Indonesia pada pertengahan abad ke-20. Kemunculan metode ini menimbulkan tanda tanya, apakah metode yang diterapkan oleh ulama klasik sudah tidak relevan untuk dijadikan pegangan dalam memahami hadis Nabi Saw pada masa kontemporer ini. c. Dalam upayanya untuk mengembangkan kajian hadis di Indonesia T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy mempunyai cara tersendiri yaitu dengan menghadirkan kitab syarah dalam bahasa lokal. Hal tersebut menjadikan karyanya berbeda dari ulama-ulama sebelumnya karena mayoritas dari mereka menulis kitab hadis dalam bahasa Arab dan Melayu. Namun langkah yang ditempuh oleh Hasbi ini tidak sepenuhnya menguntungkan karena karya syarahnya sulit untuk mendunia dan tidak populer di kalangan pesantren yang mayoritas pesantren lebih mengutamakan kitab-kitab berbahasa Arab. d. Di samping dikenal sebagai ulama hadis, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy juga disebut sebagai tokoh pembaharu pemikiran Islam di Indonesia. Paham pembaharuan yang ia anut sedikit banyaknya telah mempengaruhi pola pikir dan caranya dalam membaca teks agama, sehingga tidak jarang pendapatnya mengenai suatu hukum sangat berbeda dengan yang diyakini oleh ulama jumhur. e. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy merupakan ulama yang produktif. Ia menghasilkan 72 judul buku (142 jilid) yang 8 judul (26 jilid) di antaranya

8

membahas tentang hadis. Namun dari delapan karyanya pada bidang hadis, ia tidak menulis karya khusus terkait metode pemahaman hadis. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy juga tidak menjelaskan secara eksplisit metode yang ia gunakan dalam memahami hadis, sehingga jalan untuk mengetahui metodologinya adalah dengan mengkaji semua karyanya dalam bidang hadis dan kemudian memetakannya.

2. Pembatasan Masalah

Dari beberapa masalah yang sudah diidentifikasi, penelitian ini akan dibatasi hanya pada pembahasan seputar metodologi yang digunakan oleh T.M. Hasbi Ash- Shiddieqy dalam memahami hadis Nabi Saw dengan merujuk pada karya-karyanya pada bidang hadis. Adapun karya yang ia tulis dalam bidang hadis antara lain adalah 2002 Mutiara Hadis, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Sejarah Perkembangan Hadis Sejarah Perkembangan Hadis Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Problematika Hadis sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam, Beberapa Rangkuman Hadis, dan Rijal al-Hadith. Dari delapan karyanya tersebut, penulis hanya akan meneliti enam buku yang disebutkan paling awal karena pokok pembahasan dalam tesis ini terkait dengan metode pemahaman hadis sehingga karya beliau seperti Beberapa Rangkuman Hadis dan Rijal al-Hadith tidak dijadikan sebagai sumber penelitian. Adapun alasan penulis memilih T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy sebagai tokoh yang akan dikaji pada penelitian ini karena beliau merupakan salah seorang tokoh pembaharu di Indonesia. Di samping itu, beliau juga merupakan seorang akademisi yang mempunyai kontribusi besar dalam dunia pendidikan. Beliau aktif mengajar di berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia, dan juga mempunyai banyak karya di bidang hadis yang karya-karyanya tersebut terus dicetak dan dikaji. Dengan ini tentu saja pemikiran-pemikirannya sangat berpengaruh pada cara pandang murid-murid, pembaca setianya dan juga masyarakat Indonesia secara umum.

9

3. Rumusan masalah

Berdasarkan pembatasan di atas, maka penulis merumuskan dua masalah pokok, yaitu: a. Bagaimana metode T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam memahami hadis Nabi Saw? b. Bagaimana upaya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam mengembangkan kajian pemahaman hadis di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka secara garis besar tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan, mengetahui dan memetakan metode pemahaman hadis yang diterapkan oleh T.M. Hasbi Ash- Shiddieqy di dalam karya-karyanya pada bidang hadis.

Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain adalah: 1. Sebagai sumbangan ilmiah bagi para akademisi dan para peminat kajian hadis terutama yang berkenaan dengan perkembangan metodologi pemahaman hadis di Indonesia. 2. Penelitian ini juga diharapkan dapat berkontribusi dalam kemajuan kajian hadis di Indonesia dan dapat menarik minat peneliti lain untuk melakukan penelitian-penelitian lanjutan yang berkenaan dengan tema yang sama.

D. Kajian Terdahulu yang Relevan

Dalam mempersiapkan tesis ini, penulis telah melakukan penelusuran terhadap beberapa penelitian terdahulu yang mempunyai keterkaitan dengan tema tentang metode pemahaman hadis dan pemikiran hadis T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Penelitian-penelitian tersebut antara lain sebagai berikut: M. Alfatih Suryadilaga menulis sebuah buku berjudul Metodologi Syarah Hadis dari Klasik hingga Kontemporer.24 Buku ini berisi pembahasan tentang

24 M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis dari Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Kalimedia, 2017).

10

beberapa metode, pendekatan dan pola yang digunakan para ulama dalam mensyarah hadis. Alfatih menyimpulkan bahwa ada tiga metode dalam syarah hadis, yaitu metode tahlili, metode ijmali dan metode muqaran. Pendekatan dalam kajian syarah hadis juga ada tiga yaitu pendekatan historis, sosiologi dan antropologi. Adapun pola dalam syarah hadis ada empat, antara lain memahami hadis dengan Al-Qur‟an, memahami hadis dengan hadis, memahami hadis dengan literasi bahasa dan dengan ijtihad. Di dalam buku ini, Alfatih juga menguraikan metodologi dari beberapa kitab kitab hadis sebagai pelengkap. Sebuah tulisan yang berjudul Berbagai Pendekatan dalam Memahami Hadis ditulis oleh A. Shamad juga membahas mengenai pendekatan-pendekatan yang bisa digunakan dalam kajian pemahaman hadis.25 Tulisan ini diterbitkan oleh SEAR (South East Asia Regional Forum Intellectual Qoran Hadith) dan berkolaborasi dengan UIN Ar-Raniry. Penelitiannya berkenaan dengan beberapa pendekatan dalam memahami hadis, yaitu pendekatan linguistik, historis dan sosiologis. Dalam penelitiannya, A. Shamad juga membuat pembahasan khusus tentang pendekatan kontekstual dalam memahami hadis. Ia menuturkan bahwa sudah seharusnya pendekatan kontekstual berupa peninjauan terhadap historisitas hadis lebih dikembangkan, karena ada hadis-hadis yang jika dipahami secara tekstual akan terlihat seperti tidak komunikatif lagi dengan zaman. Sebelumnya Yūsuf al-Qarḍāwi juga pernah menulis sebuah buku yang berjudul Kaifa Nata’āmal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah. Dalam bukunya ini, ia menguraikan beberapa metode yang dapat digunakan untuk memahami hadis Nabi Saw. Muḥammad al-Ghazāli juga mengarang sebuah kitab yang berjudul Al-Sunnah al-Nabawiyyah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Ḥadīts dan sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Studi Kritik atas Hadis Nabi Saw antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual.26 Di dalam buku tersebut dibahas mengenai otoritas Nabi Saw dalam menyampaikan hadis sebagai sumber hukum Islam,

25 A. Shamad, “Berbagai Pendekatan dalam Memahami Hadis,” Al-Mu’assirah 13, No. 1 (Januari 2016): 34-45. 26 Muḥammad al-Ghazāli, Studi Kritis atas Hadis Nabi Saw antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (Bandung: Mizan, 1996).

11

metodologi kritik hadis dan beberapa pemahaman hadis ditinjau dari pendekatan para ulama Fiqh dan ulama Hadis. Sebuah penelitian pernah dilakukan oleh Liliek Channa AW dengan judul Memahami Makna Hadis secara Tekstual dan Kontekstual.27 Penelitiannya membahas tentang metode dalam memahami hadis secara tekstual dan kontekstual dan beberapa cara dalam menginterpretasi hadis dari konteksnya. Menurutnya, untuk merealisasikan hadis sebagai dalil yang berlaku sepanjang zaman dibutuhkan pendekatan dari segi konteks hadis. Namun, ada konsekuensi yang harus dihadapi dari pemahaman hadis kontekstual yaitu, arti hadis bisa saja menjadi tawaqquf (diabaikan) jika hadisnya bersifat temporal, selain itu pemahaman kontekstual juga akan memberikan penjelasan yang berbeda dengan yang tersurat dalam teks. Mewakili beberapa pemikir hadis modern di Indonesia Said Agil al- Munawwar menghasilkan sebuah karya berjudul Asbābul Wurūd: Studi Kritik Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual.28 Buku ini merupakan terjemahan dari kitab Asbāb al-Wurūd al-Hadīts wa al-Luma’ fi Asbāb al-Hadīts karya Jalāl al-Dīn al-Suyūṯi dengan penambahan beberapa bab mengenai pemahaman hadis. Buku ini berupaya untuk memberikan penjelasan tentang asbāb al-wurūd, fungsi dan urgensinya dalam memahami hadis. Di samping itu, M. Syuhudi Ismail juga menulis sebuah buku yang berkenaan dengan metodologi memahami hadis ia beri judul Hadis yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani Al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal29 yang secara umum memaparkan tentang penjelasan beberapa hadis berdasarkan pengelompokannya secara tekstual dan kontekstual. Penelitian yang dilakukan oleh Badri Khaeruman berjudul Perkembangan Hadis di Indonesia pada Abad XX30 menjelaskan tentang perjalanan perkembangan kajian hadis di Indonesia. Agung Danarta juga melakukan penelitian serupa dengan

27 Liliek Channa AW, “Memahami Makna Hadis secara Tekstual dan Kontekstual,” Ulumuna XV, No. 2 (Desember 2011): 391-414. 28 Said Agil al-Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud: Studi Kritik Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001). 29 M. Syuhudi Ismail, Hadis yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani Al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, Cet-2 (Jakarta: Bulan Bintang, 2009). 30 Badri Khaeruman, “Perkembangan Hadis di Indonesia pada Abad XX,” Dirayah Ilmu Hadis 1, No. 2 (Maret 2017): h. 187-202.

12

judul Perkembangan Pemikiran Hadis di Indonesia: Sebuah Upaya Pemetaan.31 Muhajirin menulis sebuah buku berjudul Kebangkitan Hadits din Nusantara.32 Karya lain yang berhubungan dengan kajian hadis di Indonesia juga dihasilkan oleh Muh. Tasrif dengan judul Studi Hadis di Indonesia: Telaah Historis Studi Hadis dari Abad XVII-Sekarang.33 Pada awalnya tulisannya ini dipublikasikan dalam jurnal namun sekarang sudah dicetak dalam bentuk buku dengan judul Kajian Hadis di Indonesia: Sejarah dan Pemikiran. Adapun sebuah penelitian terkait perkembangan kajian hadis di Indonesia juga pernah dilakukan oleh Muhammad Dede Rodliyana. Penelitiannya terfokus pada pergeseran pemikiran Ulūm al-Hadīts di Indonesia yang pada kesimpulannya ia mengungkapkan bahwa seiring berjalannya waktu metodologi yang digunakan oleh para ulama terkait Ulūm al-Hadīts telah mengalami perkembangan.34 Kesimpulan yang serupa juga disampaikan oleh Hasep Saputera di dalam penelitiannya. Ia menyatakan bahwa telah terjadi perkembangan pada kajian pemahaman hadis di Indonesia, terbukti dengan langkah yang ditempuh oleh para pengkaji hadisnya yang berusaha untuk merekonstruksi metodologi kajian hadis agar dapat diterima oleh masyarakat pada saat ini. pergeseran yang terjadi pada pemahaman hadis di Indonesia juga tampak dari munculnya metode-metode baru yang digunakan oleh para ulama dalam memahami hadis seperti antropologi, sosiologi dan hermeneutic. Namun secara keseluruhan metode-metode tersebut terangkum dalam dua tipologi, yaitu pemahaman tekstual dan pemahaman kontekstual.35 Sedangkan penelitian yang khusus membahas tentang M. Hasbi Ash- Shiddieqy salah satunya adalah yang ditulis oleh Nourouzzaman Shiddiqi berjudul Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya. Di dalam buku ini dijelaskan secara

31 Agung Danarta, “Perkembangan Pemikiran Hadis di Indonesia: Sebuah Upaya Pemetaan,” Tarjih, Edisi 7 (Januari 2004): h. 73-82. 32 Muhajirin, Kebangkitan Hadits di Nusantra (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2016). 33 Muh. Tasrif, “Studi Hadis di Indonesia: Telaah Historis Studi Hadis dari Abad XVII- Sekarang,” Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis 5, No. 1 (Januari 2004). 34 Muhammad Dede Rodliyana, “Pergeseran Pemikiran Ulum al-Hadis dan Pengaruhnya terhadap Pemikiran Ulum al-Hadis di Indonesia,” Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Tahun 2003. 35 Hasep Saputra. “Perkembangan Studi Hadis di Indonesia: Pemetaan dan Analisis Genealogi.” Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Tahun 2014.

13

lengkap mengenai biografi M. Hasbi Ash-Shiddieqy berikut beberapa poin-poin penting dari ide pemikirannya.36 Penelitian lainnya berjudul Kontribusi Pemikiran Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Kajian Ilmu Hadis yang ditulis oleh Aan Supian. Penelitian ini berisi tentang pemikiran Hasbi mengenai periode hadis, kriteria hadis shahih dan dhaif serta sedikit pembahasan tentang metode syarah hadis yang beliau gunakan.37 Hefni Julidar Daulay melakukan penelitian dengan judul Pemikiran Hadis T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy pada Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum Jilid Satu Pembahasan Pertama (Taharah).38 Secara umum penelitian ini membahas tentang perbedaan antara pemikiran fikih Hasbi dengan pemahaman yang dianut oleh umat Islam kebanyakan. Setelah melacak dan menelusuri literatur-literatur yang berkenaan dengan tema yang dibahas dalam tesis ini, penulis melihat bahwa kebanyakan dari penelitian tersebut hanya menguraikan pembahasannya secara sepintas dan dalam bab-bab tertentu saja. Di samping itu, terdapat beberapa hal yang menjadikan penelitian ini berbeda dari kajian terdahulu, yaitu:

1. Penelitian ini akan mengkaji tentang metodologi T.M. Hasbi Ash- Shiddieqy dalam memahami hadis. Kajian terdahulu mengenai kontribusi T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bidang hadis sudah pernah dilakukan, namun masih dalam porsi yang sangat umum dan belum menyentuh ranah metodologi pemahaman hadis yang ditawarkan oleh beliau. 2. Penelitian ini ingin membuktikan bahwa T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy merupakan salah satu tokoh awal yang membuka wacana baru dalam kajian pemahaman hadis di Indonesia, baik dari segi metodologi atau karakteristiknya.

36 Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia:Penggagas dan Gagasannya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997). 37 Aan Supian, “Kontribusi Pemikiran Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Kajian Ilmu Hadis,” Mutawatir: Jurnal Tafsir Hadis 4, No. 2 (Desember 2014): 270-291. 38 Hefni Julidar Daulay, Pemikiran Hadis T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy pada Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum Jilid Satu Pembahasan Pertama (Thaharah), Tesis Prodi Tafsir Hadis UIN Sumatera Utara.

14

E. Kerangka Teoritik

Salah satu bentuk kajian dalam bidang hadis adalah studi tokoh. Studi yang dimaksud berupa kajian terhadap kontribusi tokoh dalam bidang hadis meliputi karya-karya dan pemikiran serta ide yang disampaikan secara langsung maupun dalam bentuk tulisan. Maka dari itu metode yang digunakan oleh seorang tokoh dalam memahami hadis merupakan bagian dari kajian dalam kategori ini. Adapun penelitian ini berupaya untuk mengetahui metode pemahaman hadis salah seorang tokoh di Indonesia yang hidup pada pertengahan abad ke-20, T.M. Hasbi Ash- Shiddieqy. Juga include di dalam penelitian ini pembahasan mengenai perkembangan kajian hadis di Indonesia dan epistemologi hadis beliau secara umum. Dalam meneliti metode pemahaman hadis yang digunakan oleh Hasbi, penulis menggunakan teori komparatif tekstual-kontekstual. Sebagaimana sudah lumrah di dunia akademik bahwa komparatif berarti perbandingan. Maka dalam penelitian ini selain mengkaji pemikiran Hasbi penulis juga melakukan peninjauan terhadap pemikiran ulama-ulama lain dalam tema yang sama. Hal ini ditujukan untuk memilah antara pemikiran serta idenya yang original dan pemikirannya yang terinspirasi dari ulama lain atau bahkan memang secara jelas mengutipnya sebagai rujukan. Di dalam karya-karyanya, Hasbi seringkali mengutip perkataan-perkataan ulama seperti Ibnu Hajar dan imam mazhab fikih yang empat, namun pada beberapa tempat ia tidak menyebutkan sumbernya sehingga besar kemungkinan hal tersebut merupakan hasil ijtihadnya sendiri. Dalam praktiknya terdapat sebuah metode yang sangat menonjol dari Hasbi dalam memahami hadis yaitu dengan berpegang teguh pada petunjuk al-Qur‟an. Jika ia menemukan sebuah hadis bertentangan kandungannya dengan yang tertera di dalam al-Qur‟an, maka ia akan menolak hadis tersebut sekalipun sanadnya shahih. Sebagai contoh pemahamannya tentang syafa‟at berupa penyelamatan manusia dari api neraka. Menurutnya hal tersebut bertentangan dengan firman Allah Swt yang menyatakan bahwa tidak ada manusia yang dapat menyelamatkan manusia dari api neraka. Pemahaman hadis dengan merujuk kepada petunjuk al-Qur‟an sebenarnya telah dipraktikkan oleh ulama-ulama terdahulu dan juga ulama kekinian seperti Yusuf

15

al-Qarḏāwi dan Muhammad al-Ghāzali,39 sehingga metode ini bukanlah original dari Hasbi. Namun dalam hal ini memang Hasbi terlihat lebih berani dibandingkan ulama- ulama yang lain karena dengan tegas menyatakan penolakannya terhadap hadis yang kandungannya bertentangan dengan al-Qur‟an. Adapun tekstual dan kontekstual merupakan istilah yang juga sudah familiar di kalangan pengkaji hadis. Tekstual merupakan pemahaman terhadap hadis yang terfokus pada makna harfiyah teks, sedangkan kontekstual merupakan pemahaman hadis yang bersifat fleksibel dengan mempertimbangkan asal usul (asbab al-wurud) hadis serta konteks yang mengitarinya.40 Dalam kajian hadis, pemahaman kontekstual sulit untuk dihindari karena hadis disampaikan oleh Nabi Saw dalam berbagai corak dan bentuk yang terkadang dianggap bertolak belakang dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman.41 Di samping itu, karena semakin kompleksnya problem hidup manusia, ada ranah yang tidak tersentuh oleh hadis sebagai sumber ajaran kedua setelah al-Qur‟an.42 Oleh karena itu, dibutuhkan alternatif untuk menjawab semua tuntutan yang ada serta untuk menghindari misunderstanding dan misperception terhadap kandungan hadis. Sebuah konsep yang disampaikan oleh Muhammad „Abid al-Jābiri tentang tradisi menunjukkan bahwa pemahaman hadis yang hanya ditarik dari literal teksnya tanpa mempertimbangkan asumsi sosial yang melingkupinya sangat rentan menimbulkan kesalahpahaman. Dengan demikian dibutuhkan alternatif dan kreatifitas dari para ulama yang diharapkan dapat mengatasi krisis makna yang dimunculkannya. Beliau menyatakan bahwa hadis yang sampai kepada umat Islam adalah warisan tradisi masa lalu yang tidak lain merupakan gambaran dari aktifitas- aktifitas yang dilakukan oleh Nabi Saw dan para sahabat, dan setiap tradisi pasti

39 Penjelasan selengkapnya lihat: Yusuf Qardhawi, Metode Memahami as-Sunnah dengan Benar, Penerjemah Saifullah Kamalie (Jakarta: Media Dakwah, 1994), h. 105, dan Muhammad al- Ghazali, Studi Kritis atas Hadis Nabi Saw: Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Penerjemah Muhammad al-Baqir (Bandung: Mizan, 1996), h. 11. 40 Liliek Channa AW, Memahami Makna Hadis secara Tekstual dan Kontekstual, Jurnal Ulumuna Vo. XV Nomor 2, Desember 2011, h. 395. 41 Tasbih, Urgensi Pemahaman Kontekstual Hadis: Refleksi terhadap Wacana , Jurnal Al-Ulum Vol. 16 No. 1, Juni 2016, h. 82. 42 Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 182.

16

mengalami transformasi yang dinamis. Secara tekstual memang interpretasi dari sebuah hadis tidak berubah, namun jika terus dipahami secara tekstual maka makna teks tidak akan mampu berdialaog dengan keadaan zaman.43 Dalam perkembangannya, metode pemahaman hadis telah menunjukkan dinamika yang nyata. Ulama klasik misalnya, mereka lebih cenderung memahami hadis secara tekstual karena pada saat itu memang pemahamahan dengan mempertimbangkan hal-hal yang berada di luar teks belum terlalu dibutuhkan. Namun seiring berjalannya waktu dan berkembangnya peradaban, metode yang pada awalnya hanya diwarnai dengan corak tekstual kemudian berkembang hingga memunculkan istilah seperti pemahaman kontekstual dan lain sebagainya. Maka berangkat dari kenyataan bahwa terdapat dua aliran pemahaman hadis, penelitian ini dititikberatkan pada upaya melihat kecenderungan Hasbi, apakah beliau seorang tokoh yang tekstualis atau kontekstualis. Dari beberapa penjelasan Hasbi terhadap hadis-hadis yang terdapat di dalam karya-karyanya, terlihat bahwa ia tidak konsisten dengan satu pemahaman saja. Pada satu kesempatan ia memahami hadis secara tekstual dan pada kesempatan yang lain ia memahami hadis secara kontekstual. Sebagai contoh, ia memahami hadis tentang mengqashar shalat dalam safar secara tekstual dan memahami hadis tentang perintah untuk mematikan lampu ketika hendak tidur secara kontekstual dan mengatakan bahwa karena ‘illat yang terkandung di dalamnya telah hilang maka perintah tersebut sudah tidak berlaku lagi. Para pembaca yang mengkaji penjelasan Hasbi mengenai hadis ini tentu akan menilai dan menggolongkannya sebagai tokoh yang kontekstualis. Namun sejatinya beliau merupakan tokoh yang lebih cenderung memahami hadis secara tekstual.

43 Teori ini diungkapkan oleh Muhammad Abid al-Jābiri di dalam kitabnya al-Turāts wa al- Hadatsah: Dirāsah wa Munāqasyah, cetakan Beirut tahun 1991 halaman 45 dan dikutip oleh Alamsyah, “Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam dalam Pemahaman Syahrūr dan al-Qarḏāwi,” Disertasi Universitas Islam Negeri tahun 2004, h. 13.

17

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan riset kepustakaan (Library Research) yang bersifat kualitatif. Langkah yang ditempuh adalah dengan mengumpulkan data dan menelaah buku-buku, literatur-literatur, catatan dan laporan sehingga menghasilkan data yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah yang sudah dirumuskan.44

2. Sumber Data Sumber yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari sumber primer dan sumber sekunder. Adapun yang menjadi sumber primer adalah karya-karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bidang hadis, yaitu 2002 Mutiara Hadis, Koleksi Hadis- hadis Hukum, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis dan Sejarah Perkembangan Hadis. Sedangkan sumber sekunder diambil dari karya- karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bidang keilmuan Islam secara umum. Di samping itu juga diambil dari karya-karya yang mengangkat tema yang relevan dengan penelitian ini seperti jurnal, artikel, majalah dan tulisan-tulisan lainnya.

3. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menelusuri literatur primer yaitu buku- buku M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bidang hadis. Adapun metode yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah metode dokumentasi. Metode ini dilakukan dengan mengumpulkan semua data yang berkaitan dengan tema yang akan dibahas pada penelitian berupa buku, jurnal dan lain sebagainya.45 Maka pada penelitian ini, penulis akan mengumpulkan semua data yang relevan dengan tema penelitian, baik berupa karya-karya dalam bidang metodologi pemahaman hadis ataupun yang membahas tentang kontekstualisasi hadis secara umum.

44 M. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003), h. 27. 45 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis (Jakarta: Bina Aksara, 1989), h. 231.

18

4. Analisis Data

Dalam mengolah dan menganalisa data yang sudah dikumpulkan, penulis menggunakan metode deskriptif-analisis. Metode deskriptif dalam penelitian bertujuan untuk menjelaskan suatu keadaan, peristiwa, objek, ataupun segala sesuatu yang berkaitan dengan variabel-variabel yang bisa dijelaskan.46 Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan ilmu hadis. Lebih lanjut, langkah operasional yang ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a) Mendeskripsikan gambaran umum tokoh yang dibahas pada penelitian ini, mulai dari riwayat hidup, latar belakang pendidikan dan karya-karyanya; b) Membaca secara teliti karya-karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bidang hadis; c) Menganalisa metodologi yang digunakan oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam memahami hadis; d) Merumuskan dan memetakan secara komprehensif langkah-langkah yang T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy gunakan dalam memahami hadis; e) Langkah terakhir adalah menarik kesimpulan dari analisa yang dilakukan dalam penelitian untuk melihat metode pemahaman hadis yang ditawarkan oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy.

G. Sistematika Penulisan

Tesis ini disusun dalam lima bab yang terdiri dari pasal-pasal terkait, dengan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab pertama merupakan pendahuluan sebagai bangunan awal penulisan tesis. Bagian ini terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka atau penelitian terdahulu yang relevan, kerangka teori, metodologi penelitian dan sitematika penulisan. Bab ini sangat penting karena sebagai pondasi yang menunjang jalannya proses penelitian pada bab-bab selanjutnya. Bab kedua membahas gambaran umum tentang metode pemahaman hadis di Indonesia. Hal ini perlu untuk dibahas sebagai bagian landasan teori. Pada awal bab diuraikan mengenai mengenai sejarah metode pemahaman hadis secara umum dari

46 Setyosar Punaji, Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan, (Jakarta: PT. Kencana, 2010), h. 36.

19

masa klasik hingga kontemporer. Dilanjutkan dengan penjelasan tentang perkembangan hadis di Indonesia. Pada akhir bab diuraikan tentang dinamika yang terjadi pada metodologi pemahaman hadis di Indonesia. Bab ketiga membahas tentang sketsa biografis T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Pembahasan pada bab ini diawali dengan uraian mengenai riwayat hidup T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, latar belakang pendidikan dan karya-karya yang beliau hasilkan. Kemudian dilanjutkan dengan uraian mengenai kotokohan beliau di Indonesia. Di samping sebagai tokoh hadis, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy juga dikenal sebagai tokoh tafsir dan fikih. Maka pada bab ini dipaparkan mengenai kontribusi beliau dalam bidang hadis, tafsir dan fikih serta sekilas tentang pemikirannya pada masing-masing bidang tersebut. Bab keempat berisi jawaban atas masalah yang telah dirumuskan pada bab pertama. Pada bab ini dibahas mengenai metode yang digunakan oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam memahami hadis. Karena beliau diketahui tidak mengungkapkan sendiri metodologi pemahaman hadis yang ia gunakan dan juga tidak menulis karya khusus dalam bidang tersebut, maka pada bab ini akan dibahas mengenai metode yang ia terapkan ketika memahami hadis dengan menyandarkannya pada penjelasan-penjelasan terhadap hadis yang ia paparkan di dalam karya- karyanya. Pada akhir bab diuraikan tentang upaya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam mengembangkan kajian hadis di Indonesia. Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan yang ditarik dari pembahasan-pembahasan pada bab sebelumnya. Pada kesimpulan akan terjawab pertanyaan dari masalah-masalah yang sudah dirumuskan pada bab pertama. Di samping itu, juga berisi beberapa saran bagi dunia akademik untuk menggali lebih spesifik tentang tema terkait dan mengembangkannya. Terakhir adalah daftar pustaka yang menjadi rujukan penulis dan lampiran-lampiran.

BAB II PERKEMBANGAN METODE PEMAHAMAN HADIS

A. Sejarah Metode Pemahaman Hadis

Hadis memegang peranan yang sangat penting dalam Islam yakni sebagai salah satu sumber otoritatif yang dijadikan hujjah dalam berbagai permasalahan hidup manusia. Darinya dapat diketahui perkataan dan perbuatan Nabi Saw yang harus diteladani oleh kaum muslimin. Banyak nash yang menjelaskan tentang kehujjahan hadis, mulai dari al-Qur‟an, perbuatan sahabat dan perintah Allah Swt yang mujmāl dalam al-Qur‟an yang membutuhkan penjelasan dari Nabi Saw.1 Salah satu ayat al- Qur‟an yang menjelaskan tentang kehujjahan hadis adalah QS. An-Nisa ayat 59 tentang perintah mentaati Allah Swt dan Nabi Saw.2 Taat kepada Nabi Saw di dalam ayat ini maksudnya adalah mengikuti semua perintahnya, baik perintah untuk melakukan sesuatu atau perintah agar tidak melakukannya, sebagaimana yang tertera dalam sunnahnya yang shahih.3 Maka mengikuti dan meneladani Nabi Saw merupakan sebuah keharusan bagi kaum muslimin.4 Untuk menempati kedudukan yang tinggi dan istimewa sebagai sumber hukum kedua setelah al-Quran, pada prakteknya hadis harus melalui fase yang

1 Mannā‟ al-Qaṯṯān, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Penerjemah Mifdhol Abdurrahman (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 30-34. yang ”ياأيها الريي أهٌىا أطيعىا هللا وأطيعىا السسىل وأولي األهس هٌكن…“ Ayat yang dimaksud berbunyi 2 artinya “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya dan kepada ūlil amri di antara kalian” 3 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Lentera Hati: Jakarta, 2002), h. 483. 4 Meskipun telah jelas dalil yang menyebutkan tentang kehujjahan hadis, namun masih ada golongan yang enggan menerima hadis sebagai sumber hukum dalam Islam. Mereka menganggap al- Qur‟an sebagai satu-satunya sumber otoritatif dalam melaksanakan perintah Allah Swt. Padahal langkah yang mereka tempuh sungguh keliru karena hampir seluruh hukum yang tertera di dalam al- Qur‟an masih bersifat ām dan penjelasannya hanya dapat ditemukan di dalam hadis Nabi Saw. Kelompok yang menolak hadis sebagai sumber hukum dalam Islam dikenal dengan sebutan kaum inkar sunnah. Sebagai contoh kelompok ini adalah Jam’iyyah Ahli Qur’an yang muncul pada tahun 1906 di India dan Pakistan. Di samping itu gerakan serupa juga muncul di Mesir yang tergambar dalam tulisan Muhammad Taufīq Ṣidqi dalam majalah al-Manār. Pada tahun 1080-an di wilayah Asia Tenggara juga muncul gerakan inkar sunnah di Malaysia yang dipelopori oleh Kassim Ahmad. Pemikirannya tentang inkar sunnah tertuang dengan jelas dalam buku Hadis Satu Penilaian Semula yang merupakan kumpulan ceramah-ceramah Kassim di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Lihat: Zikri Darussamin, “Kassim Ahmad Pelopor Inkar Sunnah di Malaysia,” Alfikra: Jurnal Ilmiah Keislaman 8, No. 1 (Januari-Juni 2009): h. 3.

20

21

panjang.5 Sebut saja pada sejarah awal pengkodifikasiannya, hadis baru dikodifikasikan pada masa Umar bin Abdul Azīz (w. 101 H) yang memerintah Dinasti Umayyah di saat al-Qur‟an telah dikumpulkan dan dikodifikasi lebih awal pada masa Al-Khulafā` Al-Rāsyidūn.6 Dari segi kitābah pun al-Qur‟an mendapat mandat khusus dari Nabi Saw agar para sahabat menulis setiap kali wahyu turun. Sedangkan untuk penulisan hadis para sahabat lebih cenderung berhati-hati dan menahan diri karena mereka ingin menjaga dan menyelamatkan al-Qur‟an. Oleh sebab itu, permasalahan yang timbul pada kajian hadis yang notabennya adalah ẕanni al-wurūd lebih kompleks dibanding al-Qur‟an yang bersifat qaṯ’iy al-wurūd.7 Dalam kajian hadis terdapat dua unsur penting yaitu sanad dan matan. Sanad merupakan rangkaian nama perawi yang memindahkan matan dari sumber primernya.8 Ia adalah gerbang awal yang harus dilalui sebelum memasuki pembahasan yang lebih mendalam terhadap matan hadis.9 Studi sanad akan mengantarkan pada pengetahuan mengenai otentisitas sebuah hadis dengan melihat ketersambungannya sampai kepada Nabi Saw. Sedangkan matan adalah redaksi atau isi hadis. Penamaan “matan/mutūn” didasarkan karena ia adalah bagian yang tampak atau yang menjadi poin dari sebuah hadis. Oleh sebab itulah definisi matan sebenarnya merupakan representasi dari maknanya secara bahasa.10 Baik sanad maupun matan sama-sama mempunyai kedudukan yang penting dalam kajian hadis.

5 Abdul Malik Ghozali, “Metodologi Pemahaman Kontekstual Hadis Ibn Qutaibah dalam Ta‟wīl Mukhtalaf al-Ḥadīs,” Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam 8, No. 1 (Juni 2014): h. 120. 6 , Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), h.11. 7 Dalam penetapan hukum istilah qaṯ’iy al-wurūd dan ẕanni al-wurūd bukanlah sesuatu yang asing. Safi Hasan Abu Ṯalib mengatakan bahwa qaṭ’iy al-wurūd merupakan nash-nash yang sampai kepada kita secara pasti dan tidak ada keraguan terhadapnya karena ia diriwayatkan secara mutawātir. Sedangkan ẕanni al-wurūd adalah nash-nash yang tidak diriwayatkan secara mutawātir sehingga masih sering diperdebatkan Al-Qur‟an sebagai sumber hukum tertinggi dalam Islam bersifat qaṯ’iy al-wurūd sedangkan hadis keberadaanya bersifat ẕanni al-wurūd. Lihat: Safi Hasan Abu Ṯālib, Tatbi al-Syarī’ah al-Islāmiyah fī al-Bilād al-Arabiyyah (Kairo: Dār al-Nahḏah al-Arabiyah, 1990), h. 62. 8 Muḥammad „Ajjāj al-Khaṭīb, Uṣūl al-Hadīs Ulūmuhu wa Musṯalāhuh (Beirut: Dār al-Fikr, 1989), h. 32. 9 Ali Imron, “Dasar-dasar Ilmu Jarh Wa Ta‟dil,” Mukaddimah: Jurnal Studi Islam 2, No. 2 (Desember 2017): h. 288. 10 Suryadi, “Rekonstruksi Kritik Sanad dan Matan dalam Studi Hadis,” Esensia 16, No. 2 (Oktober 2015): h. 180.

22

Jika sebuah hadis matannya shahih namun sanadnya tidak shahih, maka hadis tersebut tidak bisa dijadikan hujjah begitupun sebaliknya.11 Meskipun keduanya merupakan komponen yang sama-sama penting, namun tidak dapat dipungkiri bahwa kajian hadis kontemporer lebih terfokus pada bagian matan. Sementara jika melirik pada catatan sejarah, keadaan ini berbanding terbalik dengan ketika hadis pertama kali hadir di tengah-tengah umat Islam.12 Sebenarnya hal ini cukup beralasan karena kajian sanad bisa dianggap sudah selesai. Kitab-kitab al- Jarh Wa al-Ta’dīl13 sudah merangkum dengan jelas nama-nama perawi lengkap dengan riwayat hidup, guru dan murid, serta komentar para ulama kritikus hadis terhadap mereka. Sedangkan kajian matan belum dapat dikatakan selesai. Hal ini dikarenakan peradaban yang terus berkembang, ditambah lagi situasi dan kondisi di saat hadis disampaikan dan konteks saat ini sungguh berbeda. Sehingga kajian

11 Menurut Kamaruddin, penting untuk melakukan pengkajian pada sanad dan matan dengan tidak menganaktirikan salah satunya. Karena shahihnya sebuah sanad belum dapat menjamin matannya juga shahih. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa penilaian “buruk” yang disematkan kepada perawi merupakan sebuah asumsi, ditambah lagi seorang perawi yang dianggap tsiqah pada saat yang sama juga dapat dinilai sebaliknya oleh kritikus hadis yang lain. Dengan adanya kritik matan, penilaian seorang kritikus terhadap sebuah hadis dapat diverifikasi. Beberapa hal yang telah disebutkan merupakan alasan mengapa kajian matan juga penting dan tidak dapat diabaikan serta mendapat kedudukan yang sama dengan kajian sanad. Lihat: Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta: Penerbit Hikmah, 2009), h. 56. 12 Dahulunya, ulama-ulama klasik terutama pada periode sahabat dan tabi‟in lebih terfokus pada pembuktian ke-otentikan sebuah hadis dibanding pada kajian redaksi hadis. Lihat: Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits: Paradigma Interkoneksi Berbagai Teori dan Metode Memahami Hadis Nabi, Cet-2 (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2016), h. 5. 13 Al-Jarh dan al-Ta’dīl merupakan disiplin ilmu dalam kajian hadis yang meneliti para periwayat dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan mereka. Al-Jarh berasal dari Bahasa Arab jaraha-yajrahu-jarhan-jarahan yang berarti melukai. Menurut istilah al-Jarh adalah sifat yang terlihat pada seorang perawi yang membuat cacat pada keadilannya atau hafalnnya sehingga ia gugur dan ditolak periwayatannya. Sedangkan al-ta’dīl adalah kebalikan dari al-jarh yaitu memberikan sifat kepada perawi sehingga bersihlah namanya dan tampaklah keadilan pada dirinya. Ilmu Al-Jarh wa al- Ta’dīl merupakan salah satu hal pokok yang harus dipahami oleh pengkaji hadis. IImu ini sudah ada semenjak dahulu, bahkan pada masa Nabi Saw masih hidup. Beberapa sahabat contohnya menguji kedhabitan sahabat lain yang menyampaikan sebuah riwayat dengan menanyai sahabat yang lain sebagai saksi. Hal inilah yang dipraktikkan oleh Umar bin al-Khattāb sebelum beliau menerima periwayatan dari seorang sahabat. Para ulama terdahulu telah mengumpulkan informasi mengenai kredibilitas perawi dipandang dari keadilan dan kedhabitannya. Informasi tersebut kemudian mereka rangkum dalam bentuk kitab dan mayoritas dari kitab-kitab tersebut dapat kita akses pada saat ini, seperti kitab al-Jarh wa al-Ta’dīl karya Abu Harim al-Rāzi, Ma’rīfah al-Rijāl karya Yahya bin Ma‟īn, al-Ḏu’afā` karya al-Bukhāri, al-Tsiqāt karya Ibnu Hibbān dan lain-lain. Dari kitab-kitab inilah diperoleh pengetahuan tentang riwayat hidup dan kepribadian perawi yang sangat membantu dalam aktifitas pengkajian sanad hadis. Lihat: Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), h. 98-100 dan Ali Imron, “Dasar-dasar Ilmu Jarh Wa Ta‟dil,” h. 287-302.

23

terhadap matan hadis masih menjadi fokus para ulama hingga saat ini dalam usaha mereka untuk mendapatkan makna yang komprehensif dan acceptable. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa pada awalnya perhatian ulama lebih terfokus pada kajian sanad atau lebih tepatnya pada pembuktian keorisinilan sabda Rasulullah Saw. Sebagai contoh sikap Abu Bakr Al-Siddīq (w. 13 H) dan Umar bin al-Khaṯṯāb (w. 23 H) yang sangat ketat dalam menyeleksi hadis-hadis yang menyebar di kalangan para sahabat pasca wafatnya Rasulullah Saw. Al-Hāfiẕ Al- Dzahabi (w. 131 H) dalam kitabnya Tadzkirāt al-Huffāẕ mengatakan bahwa Abu Bakr Al-Siddīq (w. 13 H) merupakan orang yang pertama kali bersifat hati-hati dalam menerima hadis.14 Pernah suatu kali seorang nenek datang menemui Abu Bakr untuk meminta pembagian waris. Kemudian ia mengatakan bahwa ia tidak menemukan dalam al-Qur‟an dan juga tidak mengetahui kalau Nabi Saw pernah menyebutkan sesuatu mengenai harta warisan untuk nenek tersebut. Kemudian Abu Bakr bertanya kepada para sahabat yang hadir kala itu dan berdirilah al-Mughīrah sembari mengatakan, “Rasulullah Saw pernah memberikan nenek seperti dia sepertiga bagian.” Lalu Abu Bakr bertanya lagi, “Apakah ada orang lain bersamamu?” Kemudian Muhammad bin Maslamah (w. 46 H) mengiyakan bahwa ia menyaksikan hal serupa. Maka setelah mendengar dua kesaksian sahabat tersebut, Abu Bakr pun melaksanakan ketentuan itu untuk sang nenek.15 Selain Abu Bakr al-Siddīq, Umar bin al-Khaṯṯāb juga dikenal dengan kebijaksanaan dan kehati-hatiannya dalam menyampaikan dan menerima hadis.16

14 Walaupun banyak menerima hadis, Abu Bakar diketahui sangat sedikit dalam meriwayatkannya. Beliau hanya meriwayatkan 132 hadis padahal beliau adalah sahabat terdekat yang selalu membersamai Nabi Muhammad Saw. Ini menunjukkan bahwa selain berhati-hati dalam menerima hadis, Abu Bakr juga sangat berhati-hati dalam meriwayatkan. Lihat: T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadis, Cet-2 (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 23. 15 Mustafa al-Sibā‟i, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam: Sebuah Pembelaan Kaum Sunni, Penerjemah Nurcholish Madjid (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 25. 16 Karena kehati-hatiannya tersebut, sempat beredar kabar yang menyatakan bahwa Umar menahan tiga orang sahabat karena banyak menuturkan hadis. Tiga orang sahabat tersebut adalah Ibnu Mas‟ūd, Abu al-Dardā‟ dan Abu Dzar. Namun kabar ini diragukan kebenarannya karena banyak kejanggalan seperti tidak mungkinnya Umar menahan Ibnu Mas‟ūd agar tidak menyampaikan hadis di saat Ibnu Mas‟ūd adalah seorang tokoh besar dari kalangan sahabat yang bahkan Umar sendiri yang mengirimnya ke Irak untuk berdakwah di sana. Rasanya mustahil jika Umar menahan atau melarang Ibnu Mas‟ūd menyampaikan hadis. Meskipun kisah di atas diragukan kebenarannya, namun tidak menghilangkan fakta bahwa Umar adalah sosok sahabat yang tegas dalam penyeleksian hadis. Lihat:

24

Sebagaimana dijelaskan di dalam sebuah riwayat bahwa suatu hari ada seorang sahabat datang ke rumah Umar. Ia mengucapkan salam kepada Umar dari balik pintu tiga kali, namun karena tidak ada jawaban dan tidak dipersilahkan masuk ia pun pergi. Lalu Umar menyuruh seseorang untuk mengejarnya, dan Umar pun bertanya kepadanya, “Kenapa engkau pergi?” Sahabat tersebut pun menjawab, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, „Jika salah seorang dari kamu memberi salam tiga kali dan tidak dijawab maka hendaklah ia kembali‟.” Mendengar ucapan sahabat tersebut Umar tidak langsung mempercayainya dan berkata kepadanya, “Kamu harus mendatangkan bukti kepadaku untuk itu atau aku akan berbuat sesuatu kepadamu (jika hal tersebut tidak benar)”. Maka ia pun menghampiri para sahabat yang lain dengan pucat pasi dan menceritakan kepada mereka. Lalu diutuslah salah seorang di antara mereka untuk datang menemui Umar dan menyampaikan bahwa berita yang dibawa oleh sahabat itu adalah benar.17 Dari beberapa riwayat yang telah disebutkan, terlihat bahwa Abu Bakr dan Umar tidak akan menerima periwayatan kecuali jika orang yang menyampaikannya dapat mendatangkan saksi atau sahabat lain yang juga mendengar dari Nabi Saw hal yang sama.18 Namun bukan berarti mereka tidak menerima hadis yang hanya disampaikan oleh seorang periwayat. Pada beberapa kesempatan Umar diketahui juga menerima periwayatan dari satu orang perawi. Sebagai contoh adalah penerimaan Umar terhadap riwayat dari Sa‟ad bin Abi Waqqās (w. 54 H) tentang dibolehkannya mengusap kedua kasut ketika berwudhu. Juga pada kasus tentang Umar hendak merajam wanita yang gila. Namun hal tersebut ia urungkan setelah mendengar

G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir: 1890-1960, Penerjemah Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1999), h. 110. 17 Al-Sibā‟i, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam: Sebuah Pembelaan Kaum Sunni, h. 25-26. 18 Fakta mengenai para sahabat mutaqaddimīn, terutama Umar bin al-Khaṭṭāb, yang sangat berhati-hati dalam mengambil riwayat dan meminta bukti serta saksi dari sahabat lain ditafsirkan dengan cara yang berbeda oleh kaum ortodoks dan modernis. Kaum ortodoks memandang bahwa sikap tegas dari Umar tersebut dikarenakan semangatnya terhadap agama dan kesungguhannya untuk membukukan al-Qur‟an dengan cermat. Sedangkan kaum modernis memandang sikap tegas Umar dalam menyeleksi hadis dikarenakan kecurigaannya terhadap kebiasaan berdusta atas nama Nabi Saw. Lihat: Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir: 1890-1960, h. 68.

25

riwayat dari seorang sahabat mengenai diangkatnya pena dari tiga perkara dan salah satunya adalah dari orang yang gila.19 Adapun wacana terhadap kajian matan sebenarnya juga sudah muncul sejak masa Nabi Saw dan setelah wafatnya beliau. Ummu al-Mukminīn Siti Aisyah (w. 58 H) dikenal memiliki kecerdasan dan banyak bertanya kepada Nabi Saw, suaminya. Dengan pengetahuannya yang luas dan ketelitian yang luar biasa, dalam berbagai kesempatan Aisyah diketahui mengkitik riwayat-riwayat yang disampaikan oleh para sahabat jika tidak sesuai dengan pemahaman yang seharusnya. Sebagai contoh sebuah riwayat dari Umar tentang menangisi mayat, berbunyi, “Sesungguhnya mayat akan diazab karena tangis/ratapan keluarganya atas kematiannya”. Menanggapi riwayat tersebut, Aisyah berkata:

رحماهلل عمر واهلل ما حدث رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم أن اهلل يعذب املؤمن ببكاء أحد, ولكن قال: أن اهلل يزيد الكافر عذابا ببكاء أهله عليه, مث قال: حسبكم القرأن: وال تزر وازرة وزرا أخرى20

“Semoga Allah merahmati Umar, demi Allah Rasulullah Saw tidak pernah berkata bahwa Allah akan mengazab orang mukmin dengan tangisan seseorang, akan tetapi beliau berkata: Sesungguhnya Allah menambah siksaan pada orang kafir karena tangisan keluarganya. Kemudian Rasulullah melanjutkan: Cukuplah bagi kamu ayat al-Qur‟an “Tidaklah seseorang menanggung dosa orang lain.”

Riwayat di atas merupakan salah satu contoh kritik yang Aisyah berikan kepada sahabat Umar karena menurutnya isi dari riwayat tersebut tidak sesuai dengan pemahamannya sebagaimana yang tertera di dalam al-Qur‟an. Namun yang perlu digaris bawahi, kritikan yang dilontarkan oleh Aisyah kepada riwayat yang disampaikan oleh para sahabat bukanlah karena tidak percaya atau menuduh mereka berdusta, namun ia hanya berprasangka bahwa mungkin saja sahabat yang meriwayatkan keliru dalam memahami sabda Nabi Saw atau salah mendengar.

19 Al-Sibā‟i, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam: Sebuah Pembelaan Kaum Sunni, h. 29. 20 Lihat: Muhammad bin Ismāīl bin al Mughīrah Al-Bukhāri, Sahih al-Bukhāri, Kitab Al- Janā`iz Bab 32 (Riyāḏ: Maktabah al-Rusyd, 2006), h. 172 dan Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjāj al- Naisabūry, Sahih Muslim, Kitab Al-Janā`iz Bab 9, hadis nomor 22, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991), h. 638.

26

Sebagaimana pernah berkata, “Sesungguhnya engkau menceritakan riwayat kepadaku bukan dari orang yang berdusta dan engkau tidak termasuk orang yang berdusta, namun hanya salah mendengar.”21 Kehati-hatian Aisyah terhadap riwayat para sahabat dan kritikannya terhadap matan hadis yang disampaikan oleh Umar merupakan bukti bahwa para sahabat juga memberikan perhatian terhadap kajian matan hadis, meskipun porsinya tidak sebesar perhatian mereka terhadap kajian sanad hadis/pembuktian keorisinilan sabda Nabi Saw. Lebih lanjut, dalam memahami matan hadis para ulama terbagi menjadi dua golongan yaitu yang memahami secara tekstual dan yang memahami secara kontekstual. Pemahaman tekstual merupakan metode paling awal yang digunakan dalam memahami hadis Nabi Saw. Para sababat dan tabi‟in lebih cenderung menggunakan metode ini. Di samping karena dahulu ketika Nabi Saw masih hidup di tengah-tengah kaum muslimin, ia dijadikan tumpuan dan tempat bertanya, pemahaman tekstual menjadi metode paling awal dalam memahami hadis karena hal yang akan pertama kali terbesit ketika membaca sebuah teks tentu adalah apa yang tesurat. Tekstual sendiri berasal dari kata teks yang sesuatu yang tertulis atau kata- kata asli dari pengarangnya.22 Namun metode ini memiliki sebuah kelemahaman yang paling mendasar yaitu makna dan ruh yang terkandung di dalam redaksi hadis menjadi asing di tengah konteks yang terus berkembang.23 Sedangkan waktu dan kondisi sosial tidak mungkin mundur atau berhenti, maka kenyataan bahwa dalam memahami hadis memerlukan pendekatan lain di samping pendekatan tekstual tidak dapat diabaikan.

21 Hal ini disampaikan oleh Badruddin al-Zarkasyi, sebagaimana dikutip oleh Mimi Rahma dalam penelitiannya. Selengkapnya lihat: Mimi Rahma Sari, “Aisyah dan Kontribusinya dalam Ilmu Kritik Hadis,” (Tesis S2 Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 7-8. Adapun hadis tentang Aisyah menganggap bahwa sahabat salah dengar atau mungkin lupa berbunyi sebagai berikut: ...أًها سوع ُت عائشح وذكس لها أى اتي عوس يقىل: إى الويت ليعرب تثكاء الحي عليه فقالت عائسح: غفس هللا ألتي عثد السحوي أها إًه لن يكرب ولكٌه ًسي أو أخطأ إًوا هس زسىل هللا صلى هللا عليه وسلن يهىديح يثكى عليها فقال: إًهن ليثكىى عليها وإًها لتعرب في قثسها Lihat: Abu Īsa Muhammad bin Saura al-Tirmidzī, Jāmi’al-Tirmidzī, Kitab al-Janā`iz Bab 24 Hadis nomor 1006 (Beirūt: Bait al-Afkār al-Dauliyyah t.t) h. 180. 22 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), h. 1035. 23 Liliek Channa AW, “Memahami Makna Hadis secara Tekstual dan Kontekstual,” Ulumuna 17, No. 2 (Desember 2011): h. 393.

27

Berbeda halnya dengan pemahaman tekstual yang lebih mengunggulkan pemaknaan berdasarkan unsur linguistik, pemahaman kontekstual mencoba keluar dari ranah tersebut dan mempertimbangkan unsur lain seperti sosial, politik, sejarah, budaya dan lain-lain dalam usaha memahami kandungan teks pada saat diturunkan, dipahami dan diterapkan.24 Pemahaman kontekstual terhadap hadis diharapkan dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi di kehidupan manusia sekaligus menjadi alternatif dalam memahami hadis-hadis yang musykīl dan diragukan oleh sebagian kelompok disebabkan redaksi matannya. Karena tidak dapat dipungkiri, dewasa ini banyak pemahaman yang sempit terhadap hadis yang menyebabkan timbulnya sikap radikalisme, anarkisme dan berbagai sikap lainnya dengan mengatasnamakan ajaran agama.25 Metodologi pemahaman hadis kontekstual sebenarnya sudah dipraktikkan pada masa Nabi Saw, hanya saja belum menjadi sebuah disiplin ilmu yang terkonsep seperti yang dipakai pada saat ini.26 Salah satu riwayat yang membuktikan bahwa wacana kontekstual dalam memahami hadis sudah ada sejak masa Nabi Saw adalah pemahaman para sahabat terhadap sabda Nabi Saw mengenai pelaksanaan shalat Ashar di perkampungan Bani Quraizah. Hadis tersebut diriwayatkan dari Abdullah bin Umar (w. 73 H), berbunyi:

حدثنا عبد اهلل بن حممد بن أمساء: حدثنا جويرية بن أمساء عن نافع عن ابن عمر قال: قال النيب صلى ِّ َِّ ِ ِ َِّ ِ اهلل عليه وسلم يوم األحزاب: َال يُ َصلَََّي أَ َحٌد الَْع ْصَر إال ِف بَِِن ق َُريْظَةَ. فَأَْدَرَك ب َْع ُضُه ْم الَْع ْصَر ِف الطريق،

24 Muhammad Hasbiyallah, “Paradigma Tafsir Kontekstual: Upaya Membumikan Nilai-nilai Al-Qur‟an,” Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu al-Qur’an dan al-Hadits 12, No. 1 (Juni 2018): h. 34. 25 Muhammad Nurudin, “Signifikansi Pemahaman Kontekstual pada Era Global (Analisis Hadis Ijtima‟i),” Riwayah: Jurnal Studi Hadis 2, No. 2 (2016): h. 228. 26 Ketika Nabi Saw masih hidup, beliau adalah teks Islam yang menjadi rujukan dan tempat mengadu para sahabat. Semua teks yang beliau ucapkan dari lisannya dapat dengan mudah dipahami. Begitupun jika para sahabat ragu dan kurang mengerti, mereka dapat langsung menanyakannya kepada Nabi Saw. Kondisi berubah pasca wafatnya Nabi Saw, karena teks hidup yang selama ini hadir di tengah-tengah sahabat telah tiada. Maka kala itu yang tersisa hanyalah para sahabat selaku saksi sejarah, yang masing-masing dari mereka mempunyai kenangan dan pengalaman yang berbeda-beda. Lihat: Ahmad Ubaydi Hasbillah, Nalar Tekstual Ahli Hadis: Akar Formula Kultur Moderat Berbasis Tekstualisme (Ciputat: Maktabah Darus Sunnah, 2018), h. 170.

28

ِّ ِ ِّ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َّ فَ َقاَل ب َْع ُضُه ْم: َال نُ َصلي َحََّّت نَأْتيَ َها. َوقَاَل ب َْع ُضُه ْم: بَ ْل نُ َصلي، ََلْ يُرْد منَّا ذَل َك .فَُذكَر ذَل َك للنَِِّّيب َصلى ِ َّ ِ ِ 27 اهللُ َعلَْيه َو َسل َم فَ لَ ْم ي َُعنِّ ْف َواحًدا مْن ُه ْم

“Janganlah ada satupun yang shalat „Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraiẕah.” Lalu ada di antara mereka mendapati waktu „Ashar di tengah jalan, maka berkatalah sebagian mereka: “Kita tidak shalat sampai tiba di sana.” Yang lain mengatakan: “Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang beliau inginkan dari kita.” Kemudian hal itu disampaikan kepada Rasulullah Saw, namun beliau tidak mencela salah satunya.”

Dalam menyikapi sabda Nabi Saw tersebut, sebagian sahabat memahaminya secara tekstual sebagai perintah untuk shalat di kampung Bani Quraiẕah. Sebagian sahabat yang lain memandang hadis tersebut sebagai isyarat Nabi Saw agar para sahabat bersegera menuju Bani Quraiẕah. Para sahabat dari golongan kedua tetap melaksanakan shalat meskipun belum sampai di kampung Bani Quraiẕah sedangkan sahabat yang memahami sabda Nabi Saw tersebut secara tekstual menunggu tiba di tempat tujuan baru kemudian melaksanakan shalat meskipun sebenarnya waktu shalat sudah masuk.28 Ketika hal ini disampaikan kepada Nabi Saw, beliau tidak mencela salah satu dari dua golongan sahabat yang bersangkutan. Hal ini memberi pengertian bahwa tidak ada dosa atau larangan bagi mereka yang ingin berijtihad dalam memahami teks agama. Fakta di atas merupakan bukti bahwa wacana pemahaman kontekstual sudah ada pada masa Nabi Saw. Akan tetapi hal tersebut tidak serta-merta menjadikannya langsung populer di kalangan pengkaji hadis. Pendapat yang kuat menyatakan bahwa kajian kontekstual terhadap hadis Nabi Saw semakin menunjukkan perkembangannya ketika Imam al-Syāfi‟i (w. 204 H) menulis kitab yang berkenaan dengan penyelesaian terhadap hadis mukhtalīf. Karya yang beliau beri judul Ikhtilāf al-Hadīs29 telah membuka cakrawala baru dalam kajian pemahaman hadis dalam Islam.

27 Al-Bukhāri, Sahih al-Bukhāri, Kitab Al-Maghāzi Bab 30 Hadis nomor 4119, h. 562. 28 Uraian ini disampaiakan oleh M. Quraish Shihab di “Kata Pengantar” dalam buku Muhammad Al-Ghazāli, Studi Kritik atas Hadis Nabi Saw, Cet-6 (Bandung: Mizan, 1998), h. 8-9. 29 Kitab ini berisi penyelesaian hadis-hadis yang secara zahirnya tampak bertentangan. Kitab ini merupakan karya pertama al-Syāfi‟ī yang memperbincangkan tentang mukhtalaf al-hadīs, dan karya beliau yang terakhir di sepanjang hidupnya menurut Joseph Schacht. Lihat: Abu Irfah, “Karya

29

Dalam menyelesaikan hadis-hadis yang kontradiktif, al-Syāfi‟ī (w. 204 H) menawarkan beberapa metode penyelesaian. Selain dengan langkah nasakh mansūkh dan tarjīḥ, beliau juga menggunakan metode kompromi. Menurut Edi Safri, sebagaimana yang dikutip oleh Kaizal Bay, metode penyelesaian hadis yang dikemukakan oleh al-Syāfi‟ī dengan metode kompromi terdiri dari beberapa bentuk, di antaranya adalah penyelesaian berdasarkan pemahaman kontekstual, penyelesaian dengan kaidah Ushul Fiqih, pemahaman koleratif dan penyelesaian dengan takwīl. Terkhusus dalam bidang penyelesaian dengan pemahaman kontekstual, al-Syāfi‟ī fokus memperhatikan keterkaitan hadis dengan peristiwa yang melatarbelakanginya (konteksnya).30 Salah satu contoh adalah pemahamannya terhadap hadis tentang larangan meminang seorang perempuan yang berada di bawah pinangan orang lain. Dalam sebuah riwayat Nabi Saw melarang perbuatan tersebut, namun di riwayat yang lain disebutkan bahwa beliau pernah meminangkan Fāṯimah binti Qais (w. 50 H) untuk Usāmah bin Zaid (w. 54 H) yang sebenarnya telah dipinang oleh Abu Jahm dan Mu‟āwiyah (w. 60 H). Kedua hadis yang kontra ini diselesaikan oleh al-Syāfi‟ī (w. 204 H) dengan menggunakan pendekatan asbāb al-wurūd. Menurut beliau, kedua riwayat tidaklah bertentangan, karena disampaikan oleh Nabi Saw dalam kasus yang berbeda.31

Ulama: Kitab Ikhtilaf al-Hadith,” artikel diakses pada 14 Juni 2019 dari abusyahmin.blogspot.com/2013/07/kitab-ikhtilaf-al-hadith.html 30 Kaizal Bay, “Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi‟i,” Ushuluddin 17, No. 2 (Juli 2011): h. 189. 31 Hadis tentang pinangan ini mempunyai dua sisi yang bertentangan. Hadis pertama melarang pinangan di atas pinangan orang lain, sedangkan hadis kedua menyatakan bahwa Nabi Saw sendiri pernah meminang Fāṯimah binti Qais untuk Usāmah bin Zaid yang kala itu telah dipinang oleh Abu Jahm dan Mu‟āwiyah. Secara lahiriyah, kedua hadis ini memang tampak kontradiktif. Namun al- Syāfi‟ī menjelaskan bahwa kedua hadis ini pada hakikatnya tidaklah bertentangan, karena mempunyai konteks yang berbeda. Hadis pertama memiliki makna tersendiri dan berlaku pada kondisi dan situasi tertentu, tidak pada kondisi yang lainnya. Sedangkan hadis kedua tidak termasuk dalam kondisi dan situasi yang dimaksud oleh hadis pertama. Hadis pertama mempunyai latar belakang dimana seorang sahabat bertanya kepada Nabi Saw tentang seseorang yang meminang perempuan disaat saudaranya telah meminang perempuan terlebih dahulu. Maka dijawablah oleh Nabi Saw sebagaimana yang tertera dalam hadis pertama. Pada hadis kedua ada dua hal yang mesti diperhatikan yaitu: a) kenyataan bahwa Nabi Saw meminang Fāṯimah untuk Usāmah karena sebenarnya Fatimah secara pribadi belum menerima pinangan Mu‟āwiyah maupun Abu Jahm; b) Al-Syāfi‟ī meyakini bahwa keadaan yang terjadi pada Fatimah tidaklah sama dengan keadaan yang dijelaskan pada hadis pertama. Maka sebenarnya tidak ada pertentangan pada dua hadis ini dan penyelesaiannya adalah dengan

30

Metode pemahaman hadis kontekstual semakin dilirik oleh para pengkaji hadis terutama pada abad kontemporer ini. Pada paruh pertama abad ke-20 Muhammad Syahrūr32 hadir dan mengemukakan idenya mengenai dua tipologi yaitu al-sunnah al-Rasūliyah dan al-sunnah al-Nabawiyah. Al-sunnah al-Rasūliyah adalah istilah yang ia maksudkan untuk risalah yang diturunkan kepada Nabi Saw sebagai wahyu berupa syi‟ar agama, tatanan nilai, amar ma’rūf dan nahi munkar yang wajib diikuti, ditaati dan dijadikan uswah. Sedangkan al-sunnah al-Nabawiyah dijelaskan Syahrūr sebagai apa yang dikatakan, dilakukan dan ditetapkan oleh Nabi Saw. Termasuk semua hal yang berhubungan dengan Nabi Saw sebagaimana yang tertera dalam kitab-kitab sirah, meliputi kisah tentang kepribadian beliau dan ijtihad-ijtihad yang beliau lakukan dalam perkara sosial dan kepemimpinan militer. Menurut Syahrūr, sunnah dalam kategori kedua bukan tergolong wahyu dan tidak bersifat mutlak sehingga tidak mengharuskan pengaplikasiannya di semua zaman.33 Pemahaman kontekstual hadis yang ditawarkan oleh Syahrūr sebenarnya telah dikemukakan terlebih dahulu oleh al-Dahlawy34 dua abad sebelumnya. Perbedaannya hanya dari segi istilah yang mereka gunakan. Al-Dahlawy juga mengategorikan sunnah kepada dua tipologi yaitu sunnah risālah dan sunnah ghairu risālah. Pembagian ini berdasarkan fungsi Nabi Saw yang menurut al-Dahlawy bisa berkedudukan sebagai pembawa risalah dan bisa sebagai manusia biasa. Maka terhadap hadis-hadis yang disampaikan Nabi Saw ranah risālah (wahyu), wajib untuk mempertimbangkan konteks saat hadis yang bersangkutan disampaikan oleh Nabi Saw (kontekstual). Lihat: Kaizal Bay, Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’ī, h. 191-192. 32 Nama lengkapnya adalah Muhammad Syahrūr ibn Daib ibn Daib Syahrūr dan berasal dari Damaskus, Syiria. Ia lahir pada 11 April 1938. Sama seperti tokoh-tokoh pemikir Islam yang lain, Syahrūr juga menghasilkan karya-karya dalam berbagai bidang keilmuan. Namun karyanya yang paling mendapatkan sorotan adalah Al-Sunnah Al-Rasūliyyah wa Al-Sunnah Al-Nabawiyyah: Ru’yah Jadīdah. Karyanya ini menjadi fenomenal tidak lain dikarenakan oleh kontroversinya. Di dalam kitab tersebutlah Syahrūr mengemukakan pendapatnya mengenai tipologi sunnah. 33 Azhari Andi, dkk., “Reinterpretasi Sunnah: Studi Pemikiran Muhammad Syahrur terhadap Sunnah,” Living Hadis 1, No. 1 (Mei 2016): h. 88-89. 34 Nama lengkapnya adalah Quṯ al-Dīn Ahmad bin al-Syah Abd al-Rahīm bin Wajih al- Syahīd bin Muqaddam bin Mansūr bin Ahmad bin Mahmūd bin Qiwām al-Dīn. Namun ia lebih dikenal dengan nama Syah al-Dahlawy. Ia lahir pada tahun 1114 H/1703 M di Delhi, India. Dari kecil ia sudah dididik dalam lingkungan yang islami, bahkan pada usia 7 tahun ia sudah hafal al-Qur‟an seluruhnya. Salah satu karyanya yang sangat terkenal adalah Ḥujjatullah al-Bālighah, bahkan W.C. Smith menyebut kitab ini sebagai karya terbesar al-Dahlawy. Lihat: Ghazali Munir, “Pemikiran Pembaharuan Teologi Islam Syah Wali Allah Ad-Dahlawi,” Teologia 23, No. 1 (Januari 2012): h. 18.

31

ditaati dan diikuti. Yang tergolong dalam sunnah risālah adalah segala berita tentang alam akhirat, keberadaan malaikat serta ijtihad dan istinbāṯ hukum yang dilakukan oleh Nabi Saw yang merupakan petunjuk dari Allah Swt. Sedangkan sunnah kategori kedua atau sunnah ghairu risālah adalah berita yang disampaikan Nabi Saw dalam posisinya sebagai manusia biasa, seperti pengobatan, kebiasaan-kebiasaan beliau yang tidak berhubungan dengan ibadah dan hal-hal lain yang sifatnya insidental. Maka, umat Islam tidak diwajibkan untuk mengikuti sunnah dalam kategori ini.35 Demikianlah kemudian pemahaman kontekstual semakin menjamur di masa kontemporer ini. Ia menjadi sebuah disiplin ilmu yang dikaji oleh para ulama, bahkan beberapa dari mereka menulis kitab khusus yang berkenaan dengannya. Di Indonesia sendiri, dikenal tokoh seperti M. Syuhudi Ismail yang menulis buku “Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma‟ani Al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal” dan Ali Mustafa Yaqub yang menulis buku “Cara Benar Memahami Hadis”. Tidak hanya berbentuk buku, dewasa ini banyak pengkaji hadis yang juga menulis tentang metode kontekstual dalam memahami hadis dan menerbitkannya di dalam jurnal dan artikel yang lebih mudah diakses melalui internet. Demikianlah sejarah perkembangan metode pemahaman hadis yang pada awalnya sangat sederhana dan cenderung tekstualis hingga akhirnya terus berkembang dan memunculkan metode-metode baru seiring dengan majunya peradaban. Konteks zaman yang terus berubah dan semakin kompleksnya problem hidup manusia menjadi faktor penting dari terjadinya perkembangan metode dalam memahami hadis.

B. Perkembangan Kajian Hadis di Indonesia

Sejarah perkembangan hadis di Indonesia tentu tidak dapat dipisahkan dari sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara. Diketahui bahwa Islam

35 Fatichatus Sa‟diyah, “Pemikiran Hadis Shah Waliyullah Al-Dahlawi tentang Metode Pemahaman Hadis,” (Tesis S2 UIN Surabaya, 2018), h. 82-84.

32

pertama kali hadir di Nusantara melalui kegiatan perdagangan.36 Pada awalnya para pedagang yang datang tidak tertarik pada permasalahan politik, budaya dan agama. Namun karena Islam semakin berjaya di wilayah Timur Tengah, menjadikan para pelancong dan pelaut muslim termotivasi untuk menyebarkan Islam bersamaan dengan melakukan transaksi dagang.37 Adapun pedagang yang datang selain berasal dari Timur Tengah, diketahui juga datang dari India dan Cina. Menurut Sartono Kartodirdjo, sebagaimana dikutip oleh Atno, hubungan perdagangan antara India dan Cina sudah terjalin sejak awal Masehi. Salah satu alasan yang melatarbelakangi terjadinya transaksi perdagangan ini kemungkinan besar dikarenakan sudah familiarnya sistem angin dan bintang yang berlaku di Laut Cina dan Laut Hindia, sehingga pelayaran dari Barat dan Timur atau sebaliknya dapat berpola dengan teratur dan tetap.38 Kegiatan perdagangan yang berlangsung pun menjadikan beberapa titik wilayah di Nusantara sebagai tempat berlabuh dan singgah kapal-kapal yang datang.39 Islam datang ke wilayah Nusantara dengan damai, bukan melalui perang ataupun penaklukkan. Sementara itu, ada beberapa teori tentang masuknya Islam ke Indonesia. Salah satu teori mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pertama kali di Pesisir Aceh pada abad ke-7 M. Teori ini didukung oleh beberapa tokoh seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas, Niemann, , M. Yunus Jamil dan A. Hasjmi.40 Teori ini diperkuat dengan ditemukannya dokumen yang ditulis oleh Chu Fan Chi yang dikutipnya dari catatan Chou Ku-Fei mengenai perkampungan Muslim

36 Kegiatan dagang yang berlangsung ketika itu menjadi penopang dalam proses Islamisasi. Lihat.: Abd. Rasyid Rahman, “Perkembangan Islam di Indonesia Masa Kemerdekaan: Suatu Kajian Historis,” Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences 12, No. 2 (Oktober 2017): h. 117. 37 Muhajirin, Kebangkitan Hadits di Nusantara (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2016), h. 25. 38 Atno, Teori Masuknya Agama dan Budaya Islam ke Indonesia, dalam RISTEKDIKTI: Pendalaman Materi Sejarah Indonesia PPG dalam Jabatan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, h. 1. 39 Seperti para pelayar dari Arab yang berdagang di Nusantara yang memiliki rute tersendiri, hampir separuh wilayah yang mereka lewati adalah Indonesia. Pelayaran mereka dimulai dari Aden, kemudian menyisiri pantai menuju Maskat, Raisut, Siraf, Guadar, Daibul, Malabar (Gujarat, Keras, Quilon dan Kalicut), lalu menyusuri pantai Karamandel, Akyab (sekarang Myanmar), Selat Malaka Peureulak (daerah Aceh Timur), Lamno (pantai Aceh sebelah barat), Barut, Padang, Banten, Cirebon, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ampel, Makassar, Ternate dan Tidore. Lihat: Ahmad Syafrizal, “Sejarah Islam Nusantara,” Ulumuna 2, No. 2 (Desember 2015): h. 236-237. 40 , Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1994), h. 31.

33

di Pantai Barus yang populer dengan sebutan Ta-Shih. Teori kedua mengatakan bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-8 M dari Gujarat. Hal ini didukung dengan bukti penemuan batu nisan Sultan Malik as-Saleh yang bertuliskan angka 1297 bercorak huruf Gujarat. Adapun teori ketiga menyatakan bahwa Islam datang pada abad ke-12 M dan dibawa dari Persia. Teori ini muncul karena maraknya paham Syi‟ah pada masa tersebut, seperti tradisi tabot atau tabuik.41 Ketika Islam masuk ke Indonesia, dengan serta-merta ajarannya pun juga perlahan berkembang di masyarakat. Berkat peran para tokoh agama, Islam mengalami perkembangan yang cukup signifikan.42 Berbagai cabang keilmuan Islam mulai dikenal, seperti kajian terhadap al-Qur‟an (tafsir), fiqih, tasawuf, hadis dan lain-lain. Namun, dibandingkan dengan keilmuan Islam yang lain, studi hadis terbilang sulit dan tidak gampang. Sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa pada abad ke-17 dan 18, kajian Islam yang dominan sangat marak dan diminati, sehingga kajian terhadap hadis terlupakan. Padahal pada masa tersebut hadir dua ulama yang telah berkontribusi besar dalam merintis kajian hadis pertama kali di Indonesia, mereka adalah Nuruddin Ar-Raniri (w. 1658 M) dan Abdul Rauf As-Sinkili (w. 1693 M).43 Nuruddin Ar-Raniri dianggap sebagai perintis pertama kajian hadis di Indonesia. Beliau menulis kitab berjudul Hidāyat al-Habīb fi al-Targhīb wa al-Tartīb yang dilabeli sebagai kitab hadis Melayu yang pertama.44 Pada masa yang sama, Abdul Rauf al-Sinkili juga menulis sebuah kitab yang berjudul Syarah Latīf ‘ala Hadītsan li Imām al-Nawawi. Kedua kitab ini masih berbentuk manuskrip, sehingga untuk mengadakan pengkajian terhadapnya membutuhkan usaha yang gigih. Satu-

41 Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta Selatan: UIN Jakarta Press, 2007), h. 193-196. Sebagai perbandingan lihat: Latifa Annum D, “Kajian Proses Islamisasi di Indonesia,” Studi Agama dan Masyarakat 12, No. 1 (Juni 2016): h. 117-119. 42 Hal ini tidak luput dari peran para ulama Indonesia, yang menurut Azyumardi Azra, sebagaimana dikutip oleh Muhajirin, para ulama secara konsekuen berangkat ke Timur Tengah untuk menimba ilmu. Dan sebagian dari mereka juga mendapatkan ijazah untuk mengajar di halaqah Masjidil Haram. Sekembalinya dari Timur Tengah, masing-masing dari mereka mengajar dan berkarya dengan menulis kitab-kitab tentang Islam. Lihat: Muhajirin, Kebangkitan Hadits di Nusantara , h. 37. 43 Muhajirin, Kebangkitan Hadits di Nusantara, h. 46. 44 Umma Farida, “Kontribusi Nur Ad-Din Ar-Raniri dan Abd Ar-Rauf As-Sinkili dalam Pengembangan Kajian Hadis di Indonesia”, Riwayah: Jurnal Studi Hadis 3, No. 1 (2017): h. 2.

34

satunya tempat yang menyimpan manuskrip dari kitab ini adalah PNM (Perpustakaan Negara Malaysia). Jika membaca catatan sejarah, diketahui perkembangan kajian hadis tergolong sedikit lambat dibandingkan ilmu-ilmu yang lain. Menurut Ramli, keterlambatan ini berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama, mulai dari awal masuknya Islam di Indonesia sampai sekitar abad ke-20.45 Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Martin Van Bruinessen yang menyoroti perkembangan studi Islam di pesantren. Data yang didapatkan dari penelitiannya menunjukkan bahwa hadis merupakan mata pelajaran yang tergolong baru dipelajari di pesantren karena belum dijadikan sebagai kurikulum resmi sebelum abad ke-20. Posisi hadis pada saat itu hanya “mendukung” mata pelajaran lainnya.46 Dalam arti lain, hadis belum mendapatkan tempat yang mandiri karena hanya dapat ditemukan sebagai pelengkap di dalam kitab-kitab pada mata pelajaran Islam yang lain. Sebagai contoh, di dalam kitab fiqih pada bab shalat, akan ditemui hadis-hadis tentang shalat sebagai dalil-dalil penjelas. Namun, berkembang dengan lambat bukan berarti tidak berkembang sama sekali. Hadis tetap diminati para ulama dan akademisi muslim, meski tidak terlalu marak seperti kajian tafsir dan fiqih. Kehadiran Ar-Raniri dan As-Sinkili telah memotivasi ulama-ulama pada masa selanjutnya untuk mengkaji hadis dan menulis kitab-kitab yang berkenaan dengannya. Pada abad ke-19, dikenal sesosok ulama yang berkontribusi besar dalam kemajuan hadis di Indonesia. Beliau adalah Muhammad Mahfūẕ bin Abdullah bin Abdul Mannān al-Tarmasi, atau lebih familiar dengan nama al-Tarmasi.47 Beliau merupakan pemegang isnad yang sah dalam tranmisi pengajaran Shahih Bukhari, ia bahkan berhak untuk memberikan ijazah kepada para muridnya yang telah menguasai Shahih Bukhari. Al-Tarmasi berjasa dalam mengembangkan kajian hadis di pesantren, kemudian usahanya tersebut dilanjutkan oleh muridnya KH. Hasyim Asy‟ari yang mengelola pondok hadis terkenal, Tebu Ireng. Pada masa

45 Ramli Abdul Wahid dan Dedi Masri, “Perkembangan Terkini Studi Hadis di Indonesia,” Miqot 40, No. 2 (Juli-Desember 2018): h. 263. 46 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, Cet-3 (Bandung: Mizan, 1999), h. 29 dan 161. 47 Agung Danarta, “Perkembangan Pemikiran Hadis di Indonesia Sebuah Upaya Pemetaan,” Tarjih, Edisi 7 (Januari 1994): h. 73-74.

35

KH. Hasyim Asy‟ari inilah kajian hadis mulai mengalami perkembangan di daerah Jawa, khususnya di Jawa Timur. Beliau mengadakan pengajian hadis yang secara khusus mengkaji kitab Shahih Bukhari. Majelis hadis tersebut mendapat respon baik dari masyarakat dan banyak para penggiat hadis dari berbagai daerah di Jawa yang turut serta meramaikannya.48 Pada abad ke-20, Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang dinamis. Paham-paham pembaharuan dari Timur dan ilmu-ilmu modern dari Barat ikut berperan dalam membuat hal ini menjadi mungkin. Dengan masuknya paham-paham ini, banyak perubahan dan konsekuensi yang harus dihadapi. Pada bidang hadis salah satunya, konsekuensi yang harus diterima adalah kenyataan bahwa paham tersebut membawa studi hadis menjauh dari proses awal yang tradisional. Hal ini sontak menimbulkan berbagai respon dari umat Islam di Indonesia. Namun satu hal yang pasti, bahwa tidak semua umat Islam menerima ide pembaharuan ini. Maka dengan demikian seolah-olah prospek kajian hadis di Indonesia berjalan menuju dua arah yang berbeda. Pada satu sisi, berkeinginan untuk mempertahankan ciri Islam yang tradisional, dan pada sisi yang lain bersemangat untuk mengadakan pembaharuan dengan menerima ide-ide modernitas.49 Menurut Daud Rasyid, sebagaimana dikutip oleh Badri, tercatat sekitar 69 orang ulama hadis pada paruh pertama abad ke-20 di Indonesia. Namun Daud tidak menjelaskan batasan-batasan dan kriteria yang ia gunakan ketika menilai seseorang layak digolongkan sebagai seorang muhaddis/ulama hadis yang ia maksud. Kemungkinan besar, angka tersebut didasarkan oleh pemahaman seseorang terhadap hampir seluruh cabang ilmu dalam Islam. Jadi, 69 orang yang dikategorikan oleh Daud Rasyid belum tentu semuanya merupakan ulama yang benar-benar mendalami hadis, seperti At-Tarmasi misalnya. Sedangkan Badri mengungkapkan bahwa ulama Indonesia hadis pada abad ke 20 ada delapan orang, antara lain Ahmad Khatib bin Abdul Latif (1959-1918), Muhammad Mahfūẕ bin Abdullah At-

48 Luthfi Maulana, “Periodesasi Perkembangan Studi Hadits: Dari Tradisi Lisan/Tulisan hingga Berbasis Digital,” Esensia 17, No. 1 (April 2016): h. 117. 49 Badri Khaeruman, “Perkembangan Hadis di Indonesia pada Abad XX,” Diroyah: Jurnal Ilmu Hadis 1, No. 2 (Maret 2017): h. 190.

36

Tarmasi (1878-1919), Hasyim Asy‟ari (1865-1946), A. Hassan (1886-1957), Munawar Khalil (1908-1960), T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (1904-1974), Abdul Qadir Hassan Bangil (w.1984) dan Muhammad Yasin bin Isa Padang al-Makky (1916- 1960).50 Memasuki awal abad 21, fenomena kajian hadis menunjukkan perkembangan yang pesat, baik kualitas maupun kuantitas. Hal ini tergambar dari semakin banyaknya program studi Hadis dan Ilmu Hadis di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia. Di samping itu, semakin maraknya penulisan skripsi, tesis dan disertasi yang meneliti hal-hal terkait dengan hadis. Tidak hanya itu, pada masa ini juga banyak buku-buku tentang hadis yang diterbitkan.51 Muhajirin di dalam karyanya “Kebangkitan Hadis di Nusantara” menyebutkan 78 judul buku dengan tema hadis, dan menurutnya buku-buku tersebut belum dapat mewakili semuanya karena jumlahnya lebih dari itu. Ia juga menambahkan bahwa perbedaan antara karya-karya tentang hadis pada tahun tahun 90-an dan 2000-an terletak pada usaha penerjemahannya. Pada tahun 90-an penerjemahan kitab hadis dari bahasa asing ke dalam Bahasa Indonesia lebih banyak dibandingkan dengan tahun 2000-an.52

C. Dinamika Metode Pemahaman Hadis di Indonesia

Kenyataan bahwa pemahaman hadis juga merupakan bagian dari pengkajian hadis menyebabkan perkembangan keduanya senantiasa beriringan. Di Indonesia, perkembangan hadis memang terbilang sedikit lebih lambat dibanding cabang keilmuan Islam yang lain. Namun kondisi tersebut sudah tidak terjadi lagi sekarang, karena dewasa ini hadis sudah menjadi salah satu kajian yang paling diminati dan digemari oleh para akademisi muslim di Indonesia. Mengenai kajian terhadap pemahaman hadis, pada awalnya dilakukan dengan sangat sederhana yaitu

50 Badri, “Perkembangan Hadis di Indonesia pada Abad XX., h. 192. 51 Ramli Abdul Wahid dan Dedi Masri, Perkembangan Terkini Studi Hadis di Indonesia, h. 264. 52 Semakin sedikitnya penerjemahan kitab-kitab hadis ke dalam bahasa lokal pada tahun 2000-an menunjukkan bahwa para intelektual muslim, terkhusus para pengkaji hadis di Indonesia semakin menaruh perhatian yang mendalam terhadap hadis. Hal ini bukanlah sebuah kemunduran, melainkan pertanda bahwa kajian hadis semakin berkembang dan mendapat posisi yang layak di dalam wacana keilmuan Islam. Lihat: Muhajirin, Kebangkitan Hadits di Nusantara, h. 148-153.

37

mengambil penjelasan-penjelasan dari kitab syarah hadis secara tekstual dan tidak melirik metode serta pendekatan selain dari pendekatan kebahasaan yang bersifat tradisionalis.53 Sejak kedatangan Islam ke Indonesia, pemahaman tekstual berkembang dengan sangat baik. Di samping nalar para ahli hadis, pemahaman tekstual juga berperan sebagai sentral dalam mengorisinalisasi tradisi-tradisi keagamaan dan memformulasikan kebudayaan Islam di Indonesia.54 Metode pemahaman hadis senantiasa mengalami dinamika dan perkembangan. Sebagaimana halnya dengan metode pemahaman hadis klasik yang terus berkembang dan memunculkan metode-metode baru pada abad kontemporer ini. Pada awalnya metode pemahaman hadis yang digunakan oleh para ulama hadis klasik cenderung tekstualis,55 kemudian metode tersebut terus berkembang hingga akhirnya pada abad kontemporer dikenal istilah-istilah baru seperti hermeneutika, semiotika dan kontekstual. Maka begitu pula dengan praktek kajian pemahaman hadis yang berlangsung di Indonesia yang juga terus berdinamika dari masa ke masa. Karena bagaimanapun, stuck di satu metode pemahaman hadis dirasa kurang cukup dalam memenuhi tuntutan zaman, sehingga para ulama terus berupaya menemukan alternatif terbaik untuk menjawab semua tuntutan tersebut. Untuk melacak dinamika metodologi pemahaman hadis di Indonesia harus merujuk kepada kitab-kitab syarah yang telah ditulis oleh para ulama. Karena menurut catatan sejarah, pada awal munculnya kajian hadis di Indonesia, para ulama belum menulis kitab-kitab yang secara khusus menerangkan tentang metodologi dalam memahami hadis, sehingga untuk melihat langkah yang mereka tempuh dalam memahami hadis harus merujuk pada kitab yang mereka tulis, terutama kitab syarah hadis. Di Indonesia, tercatat bahwa penulisan kitab syarah hadis sudah mulai

53 Ramli Abdul Wahid, “Perkembangan Metode pemahaman Hadis di Indonesia,” Analytica Islamica 3, No. 2 (2014): h. 209. 54 Ahmad Ubaydi Hasbillah, Nalar Tekstual Ahli Hadis: Akar Formula Kultur Moderat Berbasis Tekstualisme, h. xx. 55 Pada awal Islam, sebagian ulama sudah puas dengan mengatakan “Allah Yang Maha Mengetahui maksud-Nya” (Wa Allahu a’lam). Namun ketika zaman berubah, dan peradaban yang terus-menerus menunjukkan perkembangan sehingga problem-problem kehidupan yang muncul juga semakin kompleks. Pada titik ini, pemahaman yang bersifat literalisme sulit untuk memuaskan pemikiran beberapa pihak. Lihat: Hasep Saputra, “Geneologi Perkembangan Studi Hadis di Indonesia,” Al-Quds: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Hadis 1, No. 1 (2017): h. 43-44.

38

dilakukan pada abad ke 17. Langkah awal ini diprakarsai oleh Nuruddin al-Raniri yang menulis kitab berjudul Hidāyat al-Habīb fi al-Targhīb wa al-Tartīb. Usaha pensyarahan hadis juga dilakukan oleh Abdul Rauf al-Sinkili yang melahirkan karya berupa kitab yang ia beri judul Syarah Latīf ‘ala Hadītsan li Imām al-Nawawi.56 Pada abad ke-19 seorang ulama asal Banten juga menghasilkan karya dalam bidang syarah hadis. Beliau adalah Nawawi al-Bantani (1815-1897) dengan karyanya yang berjudul Tanqīh al-Qaul al-Hasis fi Syarḥ Lubāb al-Hadīs. Pada akhir abad 19 dan awal abad 20, Mahmud al-Tarmasi (1868-1920) juga menulis seuah kitab syarah hadis berjudul Al-Khil’ah al-Fikriyyah Syarh al-Mihnah al-Khairiyyah. Meskipun hampir semua ulama yang menulis kitab syarah hadis di atas lahir di Indonesia, uniknya semua kitab tersebut ditulis dalam Bahasa Arab dan Melayu.57 Baru kemudian pada pertengahan abad ke-20, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy berinisiatif untuk menulis sebuah kitab syarah berbahasa Indonesia. Hal ini merupakan salah satu hal yang ia cita-citakan, karena menurutnya salah satu langkah untuk mengembangkan ajaran Islam di Indonesia adalah dengan menyajikan kajian- kajian dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat. Adapun kitab-kitab tersebut mempunyai karakteristiknya tersendiri baik dari segi metodologi,58 pendekatan,59 dan mazhab60 yang digunakan, tergantung siapa yang menulisnya. Warna dari sebuah karya juga dipengaruhi oleh latar belakang intelektual penulis, seperti kepada siapa dia berguru dan dimana dia menuntut ilmu.

56 Muhajirin, Kebangkitan Hadits di Nusantara, h. 47-50. 57 Hal ini besar kemungkinan dikarenakan latar belakang pendidikan mereka yang rata-rata merupakan tamatan dari Timur Tengah. Di samping itu, ghirah atau semangat mereka untuk melanjutkan tradisi penulisan kitab dalam Islam yang dari awal sudah ditulis dalam Bahasa Arab juga bisa menjadi alasan yang lain. 58 Dalam kajian syarah hadis dikenal beberapa metode yang sering digunakan oleh para ulama dalam mensyarah yaitu tahlili (analisis), ijmali (global) dan muqarin (komparatif). Lihat: Moh. Muhtador, “Sejarah Perkembangan Metode dan Pendekatan Syarah Hadis,” Studi Hadis 2, No. 2, (2016): h. 266. 59 Menurut Alfatih Suryadilaga, terdapat tiga pendekatan dalam syarah hadis yaitu: pendekatan historis, pendekatan sosiologi dan pendekatan antropoloogi. Lihat: M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis dari Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Kalimedia, 2017), h. 57-83. 60 Mazhab atau aliran syarah hadis terbagi dalam dua kategori, yaitu mazhab ulama hadis klasik dan ulama hadis kontemporer. Mazhab klasik lebih cenderung tekstual (original meaning) dan tema sesuai dengan susunan kitab induknya, sedangkan mazhab kontemporer tema kajian syarah bersifat kontekstual (applicable meaning) dan tema kajian tidak harus sesuai dengan kitab induknya. Lihat: Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis dari Klasik hingga Kontemporer, h. xx.

39

Metodologi syarah hadis di Indonesia terus mengalami dinamika dan perkembangan. Sebagaimana dahulu pada masa awal penulisan kitab syarah di Indonesia, tidak ditemukan istilah-istilah seperti pemahaman kontekstual, semantik dan hermeneutik. Seiring berubahnya keadaan sosial, berkembangnya peradaban dan semakin kompleksnya problem hidup manusia, istilah-istilah tersebut kemudian muncul dan mulai digunakan dalam kajian pemahaman hadis pada pertengahan tahun 1990-an.61 Penulisan kitab syarah hadis pertama di Indonesia dilakukan oleh Nuruddin Ar-Raniri yang menulis kitab berjudul Hidāyat al-Habīb fi al-Targhīb wa al-Tartīb. Selain sebagai kitab syarah hadis pertama, karya Ar-Raniri ini juga merupakan kitab hadis Melayu yang menjadi tolak ukur munculnya kajian hadis pertama kali di sejarah perkembangan ilmu pengetahuan Islam di Indonesia. Hidāyat al-Habīb fi al- Targhīb wa al-Tarhīb juga dikenal dengan sebutan al-Fawā`id al-Bahiyah li al- Ahādīs al-Nabawiyyah. Meskipun memiliki nama yang berbeda, kedua kitab ini hakikatnya adalah sama, yang membedakan hanyalah Hidāyat al-Habīb masih berbentuk manuskrip sedangkan al-Fawā`id al-Bahiyah sudah dicetak dalam bentuk kitab. Menurut Abdullah sebagaimana dikutip Alimron, sejauh ini hanya satu tempat yang menyimpan teks Hidāyat al-Habīb yaitu Perpustakaan Negara Malaysia (PNM). Namun penelitian terbaru menyatakan bahwa teks kitab tersebut juga terdapat di Perpustakaan Manuskrip Malaysia, meskipun masih dalam versi tidak lengkap.62 Literatur yang membahas mengenai kitab Hidāyat al-Habīb sangat sedikit sehingga sulit untuk melakukan pelacakan terhadapnya. Penelitian yang mengupas mengenai deskripsi kitab ini pernah dilakukan oleh Azyumardi Azra dan Oman Fathurrahman. Menurut Azra, tujuan Ar-Raniri menulis kitab Hidāyat al-Habīb adalah karena kepeduliannya terhadap pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai tuntunan Nabi Saw mengenai syariat Islam. Kitab ini memuat 831 hadis yang diambil dari 22 kitab hadis seperti Shahih al-Bukhāri, Shahih Muslim dan kitab hadis lainnya. Pada sisi lain, Abdul Rauf al-Sinkili juga menulis sebuah kitab dengan judul Syarah Latīf ‘ala Hadītsan li Imām al-Nawawi yang merupakan penjelasan

61 Ramli, “Perkembangan Metode pemahaman Hadis di Indonesia,” h. 232. 62 Alimron, “Teks dan Konteks Kitab Hadis Melayu Pertama: Studi atas Naskah Hidāyat al- Ḥabīb Karya Ar-Raniri,” Diyā al-Afkār 6, No. 1 (Juni 2018), h. 6-7.

40

ringkas dari 40 hadis (al-Arba’īn al-Nawawi). Langkah yang ditempuh oleh As- Sinkili dalam menulis kitabnya adalah dengan menghimpun hadis-hadis Nabi Saw yang shahih, namun hanya menulis matannya saja dan tidak menulis isnad hadisnya. Menurut Azyumardi Azra, sebagaimana yang dikutip oleh Umma Farida, As-Singkili bertekad untuk menulis kitab syarah terhadap Arba’īn Nawawi dikarenakan kepeduliannya terhadap kaum awam agar mereka mudah mengkaji dan memahami kandungan hadis-hadis yang kerap digunakan dalam kehidupan sehari-hari.63 Baik kitab Syarah Latīf ‘ala Hadītsan li Imām al-Nawawi maupun Hidāyat al- Habīb fi al-Targhīb wa al-Tartīb masih sangat minim literatur yang membahasnya. Di samping itu, kitab tersebut diketahui masih berbentuk manuskrip dan belum dicetak dalam bentuk buku. Namun, dari ulasan singkat yang kemukakan oleh Azra dan Oman, tampaknya kedua kitab ini belum menerapkan metodologi pensyarahan modern seperti kontekstual, hermeneutik dan semiotika. Hal ini tergambar dari tujuan Ar-Raniri dan As-Sinkili menulis kitab-kitab tersebut, yakni untuk memudahkan masyarakat dalam memahami hadis Nabi Saw. Sehingga, dalam hal ini sisi tekstualitas dari sebuah redaksi hadis lebih memungkinkan untuk diterima dan dicerna oleh masyarakat muslim kala itu. Ditambah lagi, persoalan-persoalan agama yang muncul pada awal masuknya Islam di Indonesia tentu tidak serumit persoalan yang harus dihadapi pada saat ini. Karena kajian pada saat itu terfokus pada tema pokok ajaran agama seperti tauhid dan rukun Islam yang lima.64 Pada abad ke-19, Nawawi al-Bantani (1815-1897) menulis sebuah kitab yang berjudul Tanqīh al-Qaul al-Hasis fi Syarḥ Lubāb al-Hadīs. Kitab ini berisi 404 hadis, namun yang disyarah oleh al-Bantani hanya 360 hadis. Fakhri dalam penelitiannya membagi metode pemahaman hadis al-Bantani kepada dua tipologi, yaitu metode tekstual dan intertekstual. Metode tekstual untuk hadis-hadis yang bisa dipahami

63 Umma, “Kontribusi Nur Ad-Din Ar-Raniri dan Abd Ar-Rauf As-Sinkili dalam Pengembangan Kajian Hadis di Indonesia,” h. 4. 64 Hal inilah yang diajarkan oleh baginda Rasulullah Saw. Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, bahwa dakwah beliau terbagi pada dua periode yaitu periode Mekah dan periode Madinah. Selama 13 tahun berdakwah di Mekah, beliau fokus mendakwahkan tauhid , memperbaiki kerusakan akidah dan kejahiliyaan. Lihat: Hasan Basri, “Manajemen Dakwah Rasul SAW di Mekkah,” Al-Munzir 7, No. 2 (November 2014): h. 29.

41

secara mandiri tanpa harus dihubungkan dengan riwayat lain, dan metode intertekstual untuk hadis-hadis yang perlu penjelas dari selain redaksinya sendiri, seperti riwayat lain dan pendapat-pendapat para ulama.65 Di samping menggunakan dua metode yang telah disebutkan, al-Bantani juga menerapkan beberapa pendekatan dalam menjelaskan potongan-potongan hadis, seperti pendekatan kebahasaan.66 Di samping itu, kitab Tanqīh al-Qaul juga kental dengan corak sufi. Dalam menjelaskan sebuah hadis, al-Bantani seringkali mengutip pendapat ulama, seperti Imam al-Ghazāli dan Abdul Qadīr al-Jailāni. Salah satu hadis yang beliau pahami dengan jalan tasawuf adalah hadis tentang faḏīlah shalat wajib. Menurutnya, seluruh gerakan yang dilakukan dalam shalat menyimpan makna yang dalam. Seperti gerakan mengangkat kedua tangan yang bermakna seorang hamba sedang mengakui bahwa dirinya telah melakukan maksiat dan penuh kesalahan, sehingga ia seolah berkata, “Wahai Tuhanku, tolong hamba yang terjebak dalam jurang kemaksiatan ini.” Kemudian gerakan rukū’ merupakan bentuk merendahkan diri di hadapan Sang Ilahi. Gerakan bangun dari rukū’ menggambarkan permintaan seorang hamba agar ia terbebas dari dosa-dosa. Posisi sujud seolah-olah seorang hamba berkata, “Dari

65 Fakhri Tajuddi Mahdy, “Metodologi Syarah Hadis Nabi Saw: Telaah Kitab Tanqīh al-Qaul al-Hasīs fī Syarh Lubāb al-Hadīs Karya Imam Nawawi Al-Bantani,” (Tesis S2 UIN Alauddin Makassar, 2016), h. 98. 66 Salah satu pendekatan yang al-Bantani gunakan pendekatan kebahasaan. Hal ini tercermin ketika beliau memahami hadis pada bab tentang Fī Faḏīlah al-Farīḏah (Bab Keutamaan shalat Al-Bantani .(صلىا كوا زأيتوىًي) fardhu). Pada hadis ketujuh dalam bab ini membahas sabda Nabi Saw menjelaskan bahwa kata “ra`aitumūnī” maknanya adalah “’alimtmūnī”. Maka, meskipun umat Islam tidak pernah berjumpa dengan beliau, tetap memiliki kewajiban untuk mendirikan shalat karena telah mengetahui tentang perintah shalat, dan juga tata caranya juga diketahui dari riwayat-riwayat yang shahih. Di samping itu, al-Bantani juga menerapkan pendekatan antropologi (mempertimbangkan tatanan nilai masyarakat tertentu). Salah satu contohnya adalah ketika al-Bantani memahami hadis pada bab tentang Fī Faḏīlah ‘Iyādah al-Marīḏ (Bab Keutamaan Menjenguk Orang yang Sakit). Hadis tidak wajib menjenguk orang sakit kecuali setelah) ”ال تجة عيادج الوسيض إال تعد ثالثح أيام“ ,tersebut berbunyi tiga hari). Al-Bantani menjelaskan hadis ini dengan mengatakan bahwa batasan tiga hari tersebut berdasarkan kebiasaan orang Arab yang biasanya menjenguk orang sakit jika ia telah sakit selama tiga hari. Ia menambahkan, bahwa batasan ini disesuaikan dengan ‘urf yang berlaku. Sebagaimana diketahui bahwa pendekatan antropologis merupakan bagian dari pemahaman kontekstual. Maka dalam hal ini, menurut penulis, al-Bantani telah mempraktekkan metode kontekstual dalam kitab syarahnya, namun hal tersebut bersifat tidak baku dalam artian hanya dalam bentuk praktek dan belum terkonsep secara sistematis. Karena pada saat itu belum dikenal istilah kontekstual apalagi hermeneutik dan semiotika. Inilah yang disampaikan oleh Ramli Abdul Wahid, menurutnya istilah kontekstual, hermeneutika, semiotika, dan beberapa pendekatan seperti pendekatan historis, sosiologis, psikologis dan antropologis baru muncul di Indonesia pada pertengahan abad ke-20. Lihat: Ramli, “Perkembangan Metode Pemahaman Hadis di Indonesia,” h. 232.

42

materi (tanah) inilah Engkau menciptakanku, Ya Allah”. Disaat bangun dari sujud, seolah seorang hamba berkata, “Engkau telah mengeluarkanku”, dan gerakan sujud yang kedua, seorang hamba seolah berkata, “Ke sinilah aku akan kembali lagi”. Pada gerakan bangkit dari sujud yang kedua, seolah seorang hamba berkata, “Dari sini jualah aku dikeluarkan untuk yang kedua kalinya”. Sedangkan makna salam adalah, “Ya Allah berilah aku kitabku dari arah kanan dan jangan Engkau beri aku kitabku dari arah kiri.”67 Tradisi penulisan kitab syarah hadis terus berlanjut hingga paruh akhir abad 19 dan awal abad 20. Pada periode ini Mahmud al-Tarmasi (1868-1920) menulis kitab Al-Khil’ah al-Fikriyyah Syarḥ al-Mihnah al-Khairiyyah. Kitab ini berisi empat puluh hadis pilihan dan ditulis dalam bahasa Arab.68 Berbeda dengan al-Bantani yang menggunakan metode ijmali dalam kitab syarahnya,69 al-Tarmasi menggunakan metode tahlili. Hal ini tergambar ketika beliau menjelaskan makna dari kata “bismillah” dengan panjang lebar, mulai dari mencantumkan hadis terkait lengkap dengan sanadnya,70 dilanjutkan dengan keutamaan-keutamaan apabila membacanya.71 Kenyataan bahwa al-Tarmasi menggunakan metode tahlili dalam menjelaskan hadis-hadis dalam kitab syarahnya, memberi pengertian bahwa ia berkemungkinan besar juga memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal di luar redaksi hadis. Pada abad ke-20 dan paruh awal abad ke-21 di Indonesia, dikenal istilah baru dalam memahami hadis yaitu metode pemahaman kontekstual. Pada masa tersebut juga muncul beberapa tokoh seperti M. Syuhudi Ismail, Daniel Djuned, dan Ali Mustafa Yaqub yang menerapkan metode kontekstual di dalam karyanya. Tokoh

67 Nawawi Al-Bantani, Tanqīh al-Qaul al-Hadīs fī Syarh Lubāb al-Hadīs (Jakarta: Dār al- Kutub al-Islāmiyah, 2011), h. 12. 68 Muhajirin, Kebangkitan Hadits di Nusantara, h. 108-109. 69 Dalam mensyarah hadis, al-Bantani menggunakan metode ijmali. Beliau secara pribadi mengemukakan dalam mukadimah kitabnya, bahwa penjelasan yang ia cantumkan dalam Tanqīh al- Qaul sangat singkat. Hal tersebut ia lakukan sesuai dengan permintaan orang-orang di Jawa. Lihat: Al- Bantani, Tanqīh al-Qaul al-Hadīs fī Syarh Lubāb al-Hadīs, h. 8. 70 Diketahui bahwa kitab-kitab syarah hadis yang ditulis oleh para ulama Indonesia sebelumnya hanya mencantumkan redaksi hadisnya saja dan tidak menyertakan sanad hadisnya. 71 Mahmud al-Tarmasi, Al-Khil’ah al-Fikriyyah Syarh al-Mihnah al-Khairiyyah (Kementerian Agama RI: T.tp, 2008), h. 2.

43

pertama yaitu M. Syuhudi Ismail, memandang Islam sebagai ajaran yang sifatnya umum dan diperuntukkan untuk semua umat manusia serta relevan dengan perubahan sosial. Beliau memahami bahwa posisi Nabi Saw diutus sebagai rahmat bagi semesta alam. Namun pada sisi lain ia juga meyadari bahwa kenyataannya Nabi Saw hidup dalam batas ruang dan waktu tertentu. Dengan demikian, menurutnya hadis Nabi merupakan sumber otoritatif Islam yang pada satu sisi bersifat universal, namun pada sisi yang lain juga bersifat temporal dan lokal.72 Atas dasar inilah, Syuhudi kemudian membagi pemahaman hadis kepada dua tipologi, yaitu pemahaman tekstual dan kontekstual. Langkah ini beliau tempuh agar umat Islam tidak mudah men-ḏa’if-kan hadis-hadis yang sanadnya ṣaḥiḥ atau ḥasan hanya karena redaksinya tidak sesuai dengan kaidah kashahihan matan.73 Salah satu contoh pemahaman Syuhudi terhadap hadis dengan metode kontekstual tercermin dari penjelasannya mengenai hadis larangan melukis.

حدثنا احلميدي حدثنا سفيان قال حدثنا األعماش عن مسلم قال : كنا مع مسروق ِف دار يسار بن منريفرأى ِف صفته متاثيل فقال : مسعت عبد اهلل قال : مسعت النيب صلى اهلل عليه وسلم يقول : إن أشد الناس عذابا عند اهلل يوم القيامة املصورون74

“Telah menceritakan kepada kami Al-Humaidy, telah menceritakan kepada kami Sufyān, ia berkata telah menceritakan kepada kami al-A‟māsy dari Muslim ia berkata: Kami sedang bersama Masrūq di rumah Yasar bin Numair, dan kami melihat terdapat beberapa lukisan. Maka ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang menerima siksaan paling dahsyat dari Allah Swt pada hari kiamat kelak adalah para pelukis.”

Cukup banyak hadis-hadis yang menjelaskan tentang larangan menggambar makhluk bernyawa. Pada hadis yang lain disebutkan bahwa pelakunya akan dituntut

72 Universal adalah yang berlaku umum, untuk semua orang dan setiap waktu. Temporal yaitu sesuatu yang berhubungan dengan waktu-waktu tertentu, sedangkan lokal adalah terjadi dan berlaku pada suatu tempat tertentu/tidak merata. 73 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, Cet. II (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), h. 90. 74 Muhammad bin Ismāīl bin al Mughīrah al-Bukhāri, Sahih al-Bukhāri, Kitab al-Libas Bab 89 (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), h. 1511.

44

untuk memberikan nyawa kepada yang dilukisnya pada hari kiamat dan pada riwayat lain juga disebutkan bahwa malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang terdapat lukisan. Berbagai hadis yang berkenaan dengan larangan melukis dan memajang lukisan disabdakan Nabi Saw dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah Saw, karena berhubungan dengan konsekuensi bagi pelakunya pada Hari Kiamat kelak.75 Larangan melukis yang disabdakan Nabi Saw mempunyai latar belakang hukum (illat al-hukum). Pada zaman Nabi Saw, masyarakat belum lama terlepas dari kepercayaan menyekutukan Allah Swt dalam bentuk menyembah berhala-berhala. Nabi Saw berusaha menjauhkan umat Islam dari hal-hal yang dikhawatirkan akan mengembalikan mereka kepada kemusyrikan. Jika „illat hukumnya76 memang demikian, maka pada saat umat Islam tidak lagi dikhawatirkan akan terjebak kepada kemusyrikan, khususnya dalam penyembahan terhadap lukisan, maka membuat dan memajang lukisan diperbolehkan. Berdasarkan analisis sejarah tersebut maka Syuhudi memahami hadis itu secara kontekstual.77 Tokoh yang juga mendukung metode pemahaman hadis kontekstual adalah Daniel Djuned. Ia menulis sebuah buku dalam bidang hadis berjudul Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis. Di dalam buku tersebut Daniel mengungkapkan bahwa merupakan sesuatu yang urgent untuk mencari format baru dan melakukan rekonstruksi terhadap metodologi pemahaman hadis ulama klasik. Karena banyak pemahaman terhadap hadis yang terlalu kaku dan hanya mengandalkan sisi tekstualitas matan saja. Hal tersebut membuat usaha yang pada awalnya bertujuan untuk “pemurnian” malah terjebak menjadi “pengikisan” terhadap ajaran agama Islam itu sendiri.78

75 Syuhudi, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, h. 36-37. الحكن يدوز هع العلح وجىدا و عداها :Dalam Ushul Fiqh terdapat sebuah kaidah yang berbunyi 76 “Hukum itu berkisar pada „illatnya, keberadaan dan ketiadaannya.” Dalam arti, jika illatnya ada, maka hukumnya ada, namun jika illatnya lenyap, maka hukumnya juga ikut lenyap. 77 Syuhudi, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, h. 37. 78 Daniel Djuned, Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), h. 5.

45

Daniel menekankan pendekatan historis dan pertimbangan terhadap kondisi sosial kultural dalam memahami hadis. Memahami hadis tanpa mempertimbangkan latar belakang sejarah merupakan sebuah kekeliruan. Ia juga mengatakan bahwa istilah kontekstual sangat erat kaitannya dengan asbāb al-wurūd. Ada sebagian orang yang mendefinisikan kontekstual dengan asbāb al-wurūd itu sendiri. Namun, Daniel secara pribadi mengatakan bahwa kontekstual lebih luas daripada sekedar asbāb al- wurūd karena konteks tidak hanya meliputi ruang dan waktu namun juga circumstances (lingkungan) seperti antropologis, geografis, sosio-kultural dan lain sebagainya.79 Daniel juga menyebutkan bahwa budaya Arab dan non-Arab memiliki ketidaksamaan sehingga dalam memahami hadis juga perlu mempertimbangkan konteks antropologis dan geografisnya. Sebagai contoh adalah hadis tentang safar yang dilakukan oleh perempuan. Dalam sebuah hadis disebutkan:

حدثنا زهري بن حرب حممدبن واملثىن قاال: حدثنا حيىي )وهو القطان( عن عبيد اهلل أخربين نافع عن ابن ٍ 80 عمر: أن رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم قال: ال تسافر املرأةُ ثالثا إال مع ذي حمرم

“Menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb dan Muhammad bin al-Matsna mereka berkata: menceritakan kepada kami Yahya (yaitu al-Qaththan) dari Ubaidillah, menceritakan kepadaku Nafi‟ dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw berkata: Wanita dilarang berpergian selama tiga hari kecuali didampingi mahramnya.”

Redaksi hadis tersebut di atas melarang para perempuan melakukan safar sendirian kecuali jika ditemani oleh mahram. Sedangkan pada saat ini sangat banyak keperluan yang menuntut perempuan untuk melakukan kegiatannya sendirian, seperti studi ke luar negeri dan menunaikan haji. Maka tentu akan memakan biaya yang lebih besar jika mengharuskan mereka untuk berpergian dengan mahramnya. Di samping itu, tidak semua perempuan memiliki mahram. Sehingga hal tersebut akan mempersulit kaum perempuan terutama ketika hendak menunaikan ibadah haji. Menurut Daniel bukan seperti ini konklusi yang diinginkan oleh agama. Zaman

79 Daniel Djuned, Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis h. 179. 80 Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjāj al-Naisabūri, Sahih Muslim, Kitab al-Hāj Bab 74 Hadis ke-413, h. 975.

46

ketika hadis tersebut disampaikan oleh Nabi Saw dengan zaman sekarang sudah berbeda. Dahulu kendaraan yang digunakan adalah kuda atau unta sedangkan sekarang sudah ada pesawat terbang, kereta api dan kendaraan lainnya yang mudah untuk diakses. Maka menurut Daniel jika keamanan terjamin, perempuan boleh saja melakukan safar tanpa harus didampingi mahramnya.81 Di samping M. Syuhudi Ismail dan Daniel Djuned, Ali Mustafa Yaqub juga mengambil andil dalam mengembangkan kajian metode pemahaman hadis di Indonesia. Dalam wacana kajian hadis, Ali Mustafa Yaqub mengungkapkan bahwa sebuah hadis pada dasarnya dipahami secara tekstual, namun jika tidak memungkinkan maka boleh dipahami secara kontekstual. Menurut beliau terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan ketika memahami hadis secara kontekstual, yaitu asbāb al-wurūd al-hadīs, makāni wa zamāni (lokal dan temporal), ‘illah al- kalām (hubungan kausalitas) dan sosio-kultural.82 Pemikiran Ali Mustafa Yaqub mengenai kontekstualisasi hadis tergambar ketika beliau memahami hadis tentang surban. Hadis yang dimaksud berbunyi, “Perbedaan antara kita dari kaum musyrikin adalah kain surban (yang dikenakan) di atas kopiah.” Belakangan ini pemakaian serban sudah mengalami inflasi di Indonesia. Para ulama dan tokoh agama tidak banyak lagi yang memakai serban, sedangkan orang-orang yang tidak sampai kepada level para ulama malah berbondong-bondong memakainya. Bahkan sudah menjadi hal yang biasa melihat para pemusik, pejoget dan penabuh gendang yang mengenakannya pada bulan Ramadhan. Tidak ada yang benar-benar mengetahui tujuan mereka memakai serban tersebut, apakah karena sekedar fashion atau memang ingin mengikuti sunnah Nabi Saw. Menanggapi hadis tentang serban di atas, Ali Mustafa Yaqub mengatakan bahwa serban merupakan salah satu dari banyaknya tradisi bangsa Arab yang setiap

81 Daniel, Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis h. 180-182. 82 Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 152. Penjelasan lebih lengkap dapat dibaca dalam karyanya: Ali Mustafa Yaqub, Cara benar Memahami Hadisi, Cet-3 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2019). Di dalam buku tersebut, beliau memaparkan hadis- hadis yang dibagi kepada beberapa bagian sesuai dengan metode dalam memahaminya. Bagian-bagian yang dimaksud seperti memahami hadis dengan majaz, takwīl, pengetahuan tentang illat dalam hadis, pertimbangan terhadap budaya, kondisi geografis Arab dan asbāb al-wurūd.

47

muslim boleh mengikuti atau mengabaikannya. Serban merupakan pakaian kemuliaan yang dipakai oleh orang-orang yang tinggal di wilayah Arab. Sedangkan pakaian kemuliaan di setiap wilayah berbeda-beda. Penutup kepala di Asia Tenggara dikenal dengan hitam sedangkan penduduk Turki menggunakan topi turbus. Menurut Ali Mustafa Yaqub, selama seseorang mengenakan penutup kepala, baik dengan songkok, turbus atau lainnya maka ia dihitung telah mengikuti sunnah Nabi Saw.83 Ditambah lagi, karena serban yang dikenakan oleh Nabi Saw merupakan penyesuaian dengan tradisi Arab maka hadis tentang serban tergolong dalam sunnah yang harus dipahami secara kontekstual. Nilai moral yang didapat dari hal ini adalah bahwa mengenakan serban bukanlah sebuah tuntutan bagi kaum muslimin.84 Dari pelacakan terhadap metode pemahaman hadis yang diterapkan oleh para ulama Indonesia di dalam kitab syarahnya, terlihat bahwa memang benar metode tersebut mengalami dinamika. Yang pada awalnya cenderung tekstual, kemudian beranjak memasuki era baru yang menggunakan pendekatan di luar literalis teks seperti pendekatan dan tasawuf, sebagaimana yang diterapkan oleh Nawawi al- Bantani pada paruh awal abad ke-19.85 Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, al-Tarmasi mendobrak tradisi penulisan kitab syarah hadis sebelumnya86 dengan menerapkan metode tahlili dalam mensyarah hadis. Dinamika metode pemahaman hadis terus terjadi hingga pada paruh akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 muncul metode baru yang dikenal dengan sebutan metode pemahaman hadis kontekstual.

83 Ali Mustafa Yaqub, Cara benar Memahami Hadisi, h. 90-91. 84 Miski, “Pemahaman Hadis Ali Mustafa Yaqub: Studi atas Fatwa Pengharaman Serban dalam Konteks Indonesia,” Riwayah: Jurnal Studi Hadis 2, No. 1 (2016): h. 28. 85 Pada masa ini, juga terlihat bahwa fokus para ulama adalah memberikan pemahaman yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Karena Islam belum lama masuk ke Indonesia, di tambah lagi kajian hadis yang belum begitu marak dibandingkan kajian-kajian ke-Islam-an lainnya, para ulama berupaya menyajikan kajian yang sederhana dan mudah dimengerti saja. Seperti halnya al-Bantani yang lebih memilih untuk menerapkan metode ijmali dibanding tahlili di dalam kitab syarahnya. Ini menunjukkan bahwa poin utama yang ingin diraihnya adalah pemahaman umat dan mengesampingkan dulu hal-hal di luar itu. 86 Kitab-kitab syarah hadis sebelumnya, seperti Syarah Latīf ‘ala Hadītsan li Imām al- Nawawi, Hidāyat al-Habīb fi al-Targhīb wa al-Tartīb dan Tanqīh al-Qaul al-Ḥadīs fī Syarḥ Lubāb al- Ḥadīs ditulis dengan metode ijmali (global dan ringkas).

BAB III SKETSA BIOGRAFIS T.M. HASBI ASH-SHIDDIEQY

A. Biografi T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy 1. Riwayat Hidup Nama lengkapnya adalah Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. Ia dilahirkan di Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Utara pada 10 Maret 1904 M atau 22 Dzulhijjah 1321 H. Orang tua Hasbi adalah tokoh dan keturunan ulama yang terpandang di tengah masyarakat. Ayahnya merupakan seorang hakim kepala di Lhok Seumawe bernama Teungku Muhammad Husayn bin Muhammad Su'ud yang berasal dari anggota rumpun Teungku1 Cik di Simeuluk Semalanga, keturunan Faqir Muhammad (Muhammad al-Ma‟ṣum). Sedangkan Ibunya bernama Teungku Amra binti Teungku Abdul Aziz, seorang pemangku jabatan Qadhi Cik Maharaja Mangkubumi. Ia juga merupakan keponakan Abdul Jalil yang mempunyai julukan Teungku Cik di Awe Geutah, seorang ulama yang ikut bertempur melawan Belanda di Aceh.2 Menurut silsilah keluarga, ayah Hasbi merupakan keturunan ke-36 dari khalifah pertama Islam, Abu Bakr al-Shiddīq (w. 12 H). Silsilah ini menjadikan Hasbi sebagai keturunan ke-37 dan atas dasar ini jugalah gelar Ash-Shiddieqy melekat di belakang namanya.3 Jika dijabarkan, silsilah keluarganya adalah Muhammad Hasbi ibn Muhammad Su‟ūd ibn Muhammad Taufīq ibn Fāṯimī ibn Ahmad ibn Ḏiyā‟ al-Ḏīn ibn Muhammad Ma‟sūm ibn Ahmad Alfar ibn Mu‟aiy al- Ḏīn ibn Khawajaki ibn Darwīs ibn Muhammad Zāhid ibn Marwaj al-Ḏīn ibn Ya‟qūb ibn „Alā al-Ḏīn ibn Bahā‟ al-Ḏīn ibn Amīr Kilāl ibn Syammas ibn Abd al-Azīz ibn Yazīd ibn Ja‟far ibn Qāsim ibn Muhammad ibn Abu Bakr al-Siddīq.4

1 Teungku adalah sapaan untuk laki-laki dewasa di Aceh dan secara khusus merupakan gelar yang disematkan kepada seorang pakar atau tokoh agama. 2 Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 3. 3 Bibit Suprapto, Ensiklopedia Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan Ulama Nusantara (Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2009), h. 369. 4 Aan Supian, “Kontribusi Pemikiran Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Kajian Ilmu Hadis,” Mutawatir 4, No. 2 (Desember 2014): h. 273.

48

49

Hasbi tumbuh dalam lingkungan yang taat beragama dan mendapatkan pelajaran tentang Islam langsung dari ayahnya. Ia juga diasuh dalam kasih sayang dan didikan ibunya. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama karena pada tahun 1910 ibunya meninggal dunia. Ketika itu usia Hasbi masih terbilang sangat dini yaitu enam tahun.5 Setelah ibunya wafat, ia dirawat oleh Teungku Syamsiyah yang merupakan saudara ibunya yang tidak mempunyai anak laki-laki.6 Ia berada dalam asuhan bibinya hanya dalam waktu dua tahun karena pada tahun 1912 Teungku Syamsiyah berpulang ke rahmatullah. Sejak saat itu, Hasbi pun memutuskan untuk tinggal bersama kakaknya, Teungku Maneh. Namun meskipun tinggal dengan kakaknya, Hasbi lebih sering tidur di meunasah atau sampai kemudian nyantri dari dayah ke dayah. Ia hanya sesekali bertemu ayahnya ketika akan belajar dan mendengarkan fatwanya.7 Sejak kecil Hasbi telah menunjukkan tanda-tanda kecerdasannya. Ia juga telah menampakkan sikapnya yang ingin bebas dan tidak mau terikat dengan kungkungan tradisi yang berlaku. Ayahnya selalu melarang agar tidak bergaul terlalu bebas dengan teman-temannya, sebaliknya ia justru tidur di meunasah (musholla) dengan mereka. Ayahnya juga selalu menyuruh salah seorang muridnya untuk menggendong Hasbi ketika bepergian. Namun Hasbi tidak ingin dimanja atau diperlakukan secara spesial. Ketika bermain sepeda bersama teman-temannya, malah dialah yang mengayuh sepeda dan membonceng temannya. Hal ini menunjukkan bahwa sejak kecil sifat kepemimpinan sudah mengalir dalam diri Hasbi. Ditambah lagi, sifatnya yang enggan terikat dengan peraturan dan tradisi inilah yang dikemudian hari menjadikan ia sangat keras dalam menolak taklid buta.8 Hasbi tumbuh menjadi pemuda yang rajin dan sangat gemar membaca. Ia menjadikan membaca sebagai hobi terbesarnya. Seringkali ia menyibukkan dirinya untuk membaca sendiri di kamarnya atau di tempat-tempat lain seperti perpustakaan.

5 Depag RI, Ensiklopedia Islam di Indonesia (Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, 1992), h. 767. 6 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur‟ān: Membahas Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur‟ān, Ed. 3, Cet ke-6 (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), 299. 7 N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 8. 8 N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 9.

50

Semangatnya dalam membaca tidak hanya sebatas pada buku-buku berbahasa Arab atau aksara Arab saja. Ia juga membaca buku-buku yang ditulis dengan aksara latin dan bahasa lain selain Arab dan Melayu, seperti Belanda. Bagi Hasbi, belajar bisa dengan siapa saja dan darimana saja, sebagai contoh ia mempelajari aksara latin dari sahabatnya yang bernama Teungku Muhammad. Sedangkan untuk Bahasa Belanda ia belajar dari seorang Belanda yang minta diajari Bahasa Arab ketika ia berada di Kutaraja.9 Menginjak usia sembilan belas tahun, Hasbi menikah dengan Siti Khadijah, seorang perempuan yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengannya. Pernikahannya ini tidak berlangsung lama karena Siti Khadijah meninggal dunia ketika melahirkan anak pertama mereka. Kemudian, Hasbi menikah lagi dengan Teungku Nyak Asiyah binti Teungku Haji Hanum, saudara sepupunya. Teungku Haji Hanum atau yang juga dikenal dengan Teungku Haji Nom merupakan saudara kandung dari ibu Hasbi, Teungku Amrah. Dengan istri keduanya inilah ia menghabiskan sisa hidupnya hingga akhir hayatnya. Dari pernikahan tersebut ia dikaruniai empat orang anak, dua laki-laki dan dua perempuan.10 Pada tanggal 9 Desember 1975 setelah beberapa hari memasuki masa karantina untuk pelaksanaan haji, Hasbi menghembuskan nafas terakhirnya. Jasadnya dikebumikan di pemakaman keluarga IAIN Ciputat Jakarta. Pada saat upacara pelepasan jenazahnya, Buya Hamka hadir dan memberikan kata sambutan dan pemakamannya dilepas oleh Mr. Moh. Rum.11

2. Latar Belakang Pendidikan dan Karir

Hasbi telah khatam mengaji al-Qur‟an dari usia delapan tahun. Ayahnya adalah guru pertamanya yang mengajarkannya banyak konten ilmu agama. Dari ayahnya ia belajar qira‟ah dan tajwid. Ayahnya jualah yang pertama kali

9 N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 14-15. 10 N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 10. 11 Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur‟ān: Membahas Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al- Qur‟ān, h. 300.

51

mengirimnya ke dayah.12. Hasbi dilarang masuk ke sekolah Gubernemen karena takut dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Nasrani dan pada sisi lain ayahnya juga mengharapkan Hasbi untuk menjadi seorang ulama.13 Pada tahun 1912 ia belajar di Dayah Teungku Cik di Piyeung untuk mempelajari Bahasa Arab khususnya nahwu dan saraf. Setelah satu tahun belajar disana, kemudian Hasbi pindah ke Dayah Teungku Cik di Bluk Bayu. Pada tahun berikutnya, ia belajar di Dayah Blang Kabu Gendong, kemudian melanjutkan pelajarannya di Blang Manyak dan Kurok. dan pada 1916 melanjutkan pembelajarannya di dayah Teungku Cik Idris di Tanjungan Barat. Dua tahun kemudian atau tepatnya pada 1918 ia pindah ke dayah Teungku Cik Hasan di Kruengkale hingga tahun 1920 dan resmi mendapatkan syahadah pada tahun berikutnya sebagai tanda bahwa ia sudah layak dan cakap untuk mendirikan dayah sendiri.14 Sepulangnya dari Kruengkale, Hasbi bertemu dengan Syeikh Muhammad ibn Salim al-Kalāli, salah seorang anggota kelompok pembaharu pemikiran Islam di Indonesia yang tinggal di Lhokseumawe. Darinya Hasbi belajar banyak dan mendapat kesempatan untuk membaca kitab-kitab yang ditulis oleh tokoh-tokoh pembaharu dan juga majalah-majalah yang berisi tentang pembaharuan pemikiran Islam yang diterbitkan di Padang, Singapura dan Pulau Pinang. Kehadiran Syeikh al-Kalāli sangat berarti dalam kehidupan Hasbi karena selain mendapat banyak pencerahan dan

12 Dayah adalah semacam lembaga pendidikan Islam dan dakwah tertua di Aceh. Keberadaannya telah banyak membantu perkembangan dan pembangunan peradaban Islam di Aceh. Hingga saat ini hampir pada tiap-tiap wilayah di Nanggroe (negeri) berdiri dayah. Sebagian dayah ada yang berpusat di masjid, tapi kebanyakan dayah mempunyai balai tersendiri seperti aula yang terpisah dari masjid sebagai tempat belajar dan shalat berjamaah. Pelajaran di dayah diajarkan dalam berbahasa Arab dan bersumber dari kitab-kitab berbahasa Arab juga. Di antara ilmu yang diajarkan di dayah adalah Akidah, Tauhid, Fiqih, Tasawuf, Tarikh, Tafsir, Hadis, Nahwu dan Dakwah. Para murid yang baru masuk dayah tidak langsung berguru pada Teungku Syeikh (Pemimpin Dayah) namun terlebih dahulu harus belajar pada teungku-teungku di rangkang. Dan hal ini diterapkan pada hampir seluruh dayah yang ada di Aceh, seolah sudah menjadi aturannya. Lihat: Muhsinah Ibrahim, “Dayah, Masjid, Meunasah sebagai Lembaga Pendidikan dan Lembaga Dakwah di Aceh,” Al-Bayan 21, No. 30 (Juli- Desember 2014): h. 24. 13 Mansun Tahir, “Pemikiran T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy: Sumber Hukum Islam dan Relevansinya dengan Pemikiran Hukum Islam di Indonesia” Al-Aḥwāl 1, No. 1 (2008): h. 124. 14 N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 13.

52

inspirasi, Syeikh al-Kalali lah yang menyarankan agar Hasbi berangkat ke Surabaya untuk belajar di perguruan al-Irsyad.15 Pada tahun 1926 ia berangkat ke Surabaya dan mulai belajar di Madrasah Al- Irsyad. Pada saat itu Al-Irsyad di bawah kepemimpinan Umar Hubes, salah seorang murid Ahmad Surkati.16 Benar kalimat bijak yang mengatakan bahwa lingkungan dapat mempengaruhi dan membentuk seseorang. Karena menuntut ilmu dan hidup di lingkungan yang dibina oleh para guru yang menyuarakan ijtihad dan menolak taklid, Hasbi pun juga banyak terinspirasi dari pemikiran-pemikiran mereka, terutama Ahmad Surkati yang mendidiknya secara langsung di kelas khusus (takhassus) Madrasah Al-Irsyad. Di madrasah ini Hasbi berkesempatan untuk memperdalam kemampuan Bahasa Arab dan cabang-cabang keilmuan Islam lainnya. Di samping itu, penguasaannya terhadap Bahasa Arab juga didukung karena ia berteman dengan orang-orang Arab di Surabaya, mereka seringkali bermain sepakbola bersama. Hasbi juga mondok di rumah salah seorang Arab. Setelah belajar di Madrasah Al-Irsyad selama kurang lebih satu setengah tahun Hasbi dinyatakan lulus dengan predikat baik pada tahun 1927.17 Pendidikan di Madrasah Al-Irsyad adalah pendidikan formal terakhir yang ditempuh oleh Hasbi. Setelah menamatkan pembelajarannya di Al-Irsyad ia memfokuskan diri untuk memperkaya diri dengan banyak membaca dan belajar secara otodidak. Berkat semangat belajar dan membacanyan yang tinggi, Hasbi menghasilkan banyak sekali karya tulis baik dalam bentuk buku maupun artikel. Ia menerima dua gelar Doktor Honoris Causa karena jasanya terhadap pengembangan

15 N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 15. 16 Ahmad Surkati adalah ulama keturunan Arab yang melakukan reformasi terhadap pendidikan dan praktek keagamaan di Indonesia. Kehidupan intelektualnya dan pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Muhammad Abduh dan Jamāluddin Al-Afghāni. Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad Surkati Al-Anṣāri. Ia lahir di Pulau Arqu dekat Dongola pada tahun 1975. Pada awalnya, Ahmad Surkati mengajar di Mekah, namun kemudian ia bertolak ke Hindia atau lebih tepatnya ke Jawa, Indonesia. Kedatangannya ke Indonesia menimbulkan pertanyaan dan kontroversi bagi kalangan muslim Arab Internasional. Hal tersebut ia jawab dengan menjelaskan bahwa perantauannya dikarenakan ia merasa lebih bisa menebar banyak manfaat dan berkontribusi untuk Islam di Jawa. Lihat: Rusydi Baya‟qub, “Konstruksi Pemikiran Reformasi Islam Ahmad Surkati,” Al- Adalah 15, No. 2 (Desember 2012): h. 224. 17 Tahir, Pemikiran T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy: Sumber Hukum Islam dan Relevansinya dengan Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, h. 125.

53

Perguruan Tinggi Islam dan ilmu pengetahuan Islam di Indonesia. Salah satu gelar tersebut ia peroleh dari Unisba (Universitas Islam Bandung) pada tanggal 22 Maret 1975, dan satu lagi dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 29 Oktober 1975.18 Hasbi juga mendapatkan gelar fungsional guru besar. Dalam surat keputusan pengangkatannya sebagai guru besar tertulis Guru Besar dalam Bidang Pengetahuan Hadis, meskipun ia juga konsen mengajar fiqih dan ushul fiqih. Pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar berjudul Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman.19 Pidato ini disampaikan melaui orasi ilmiah dalam acara peringatan setengah tahun pergantian nama PTAIN menjadi IAIN pada tahun 1961.20 Di samping giat menuntut ilmu, Hasbi juga berkeinginan kuat untuk mengamalkan ilmu yang dimilikinya. Langkah awal yang dilakukan olehnya adalah dengan membangun dayah atau madrasah sebagai tempat belajar bagi anak-anak muslim di Aceh.21 Pada tahun 1924, atas usahanya berdirilah madrasah di Buloh Beureughang. Pembangunan madrasah ini mendapat dukungan penuh dari Teungku Raja Itam Uleebalang. Namun sangat disayangkan madrasah ini harus dibubarkan karena keberangkatan Hasbi ke Surabaya untuk menimba ilmu di Al-Irsyad. Alhasil madrasah ini hanya berusia dua tahun. Sepulangnya dari Surabaya, pada tahun 1928 Hasbi bersama gurunya, Syeikh Kalāli22 mendirikan madrasah di Lhokseumawe yang

18 Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur‟ān: Membahas Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al- Qur‟ān, h. 300. 19 N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 28. 20 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur‟an (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008) , h. 204. 21 Tercatat dalam sejarah bahwa menjelang abad ke-20 pendidikan di Aceh sempat mengalami kemunduran karena terjadinya perang dengan Belanda. Kemudian mulai bangkit kembali setelah perang usai, ditandai dengan bermunculan dayah-dayah yang didirikan oleh para ulama. Hasbi merupakan salah satu tokoh yang ikut mengambil andil dalam memajukan pendidikan di ranah kelahirannya ini. Lihat: Najamuddin, Perjalanan Pendidikan di Tanah Air: Tahun 1800-1945 (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), h. 54. 22 Nama lengkapnya adalah Syekh Muhammad bin Sālim al-Kalāli. Ia lahir di Hadramaut pada tahun 1856 dan wafat di Lhokseumawe pada tahun 1946. Ia merupakan pencetus lahirnya Al- Imam, majalah Islam pertama di dunia Melayu yang terbit dalam Bahasa Jawiy bersama dengan sahabatnya Syekh Ṭahir Jalāl al-Dīn al-Azhāry. Majalah ini berisi suara pembaharuan untuk umat Islam di Asia Tenggara yang kala itu masih berada di bawah tekanan para penjajah. Setelah bertemua dengan Hasbi, ialah yang mengajari dan menunjuki Hasbi Bahasa Arab dan menyarankannya untuk bersekolah di Al-Irsyad Surabaya. Sumber: Taqiyuddin Muhammad, Al-Kalaliy: Pembaharu yang Terlupa di Tengah Kota, diakses pada 15 Mei 2019 pukul 15:40 WIB dari misykah.com/al-kalaliy- pembaharu-yang-terlupa-di-tengah-kota/

54

dinamai Al-Irsyad juga. Meskipun senama dengan Al-Irsyad yang ada di Surabaya, kedua madrasah ini tidak mempunyai hubungan organisatoris yang menjadikannya terhubung dengan gerakan al-Irsyād wa al-Islah.23 Hanya saja, dalam pemberian materi dan proses belajar mengikuti kurikulum dan ide-ide yang dikembangkan di Al- Irsyad Surabaya.24 Ketika sekolah Al-Irsyad dibangun dan mulai mendapat perhatian dari masyarakat, pada saat bersamaan Abdullah TB juga sedang membangun sebuah dayah di Uteun Bayi Lhokseumawe. Entah karena motif ingin menjatuhkan atau ada faktor lain, Abdullah TB memulai kampanyenya dengan menyebutkan bahwa murid- murid yang bersekolah di Al-Irsyad akan sesat seperti Hasbi. Sekolah yang memakai kursi dan papan tulis adalah praktek orang kafir dan mengakibatkan ada anak yang duduk di depan dan yang lain duduk di belakang. Kampanye yang disuarakan oleh Abdullah TB rupanya berhasil membuat sekolah yang dibangun Hasbi kehabisan murid. Hasbi tidak memberikan reaksi apapun, pikirnya untuk menghindari konflik lebih lanjut. Namun hal tersebut tidak menyurutkan semangatnya. Pada langkah selanjutnya, ia memulai untuk membangun sekolah baru yang letaknya di Krueng Mane, lebih kurang 20 KM dari Lhokseumawe. Berkat bantuan Teungku Ubit

23 Disebut juga dengan Jam‟iyyāt al-Iṣlaḥ wa al-Irsyād, merupakan sebuah organisasi yang didirikan atas inisiatif Ahmad Surkati. Sebelum organisasi ini terbentuk, Ahmad Surkati telah terlebih dahulu membuka sebuah sekolah yang bernama Madrasah Al-Irsyād Al-Islāmiyah pada tahun 1913. Baru kemudian pada 16 September 1914 terbentuklah Jam‟iyyāt al-Iṣlaḥ wa al-Irsyād sebagai organisasi yang akan menaungi Madrasah Al-Irsyād. Organisasi ini mempunyai misi utama yaitu untuk melakukan reformasi pada praktek Islam dan menerapkan sistem baru dengan konsep pendidikan modern. Di samping itu, misi penting lain yang ingin dicapai adalah untuk membasmi semua bentuk bid‟ah, syirik dan khurafat serta mewujudkan kesetaraan dalam kehidupan dengan tidak membeda-bedakan kedudukan sayyid dan non-sayyid. Karena menurut mereka perbedaan status tersebut hanya akan membuat stratifikasi sosial dalam masyarakat. Salah satu pendapat Ahmad Surkati mengenai kesetaraan ini adalah mengizinkan seorang syarīfah menikah dengan pria non-alawiyah. Prinsip yang dibawa oleh organisasi ini juga banyak terinspirasi dari pemahaman yang dikembangkan oleh Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyīd Riḍa di Mesir. Baca: Abdul Aziz Bin Fauzi, Dinamika Gerakan Al-Irsyad dalam Mempengaruhi Perubahan Sosial Warga Keturunan Arab Kampong Ampel Surabaya Utara, dalam AntroUnairDotNet, Volume 2 No. 2, No 1, Januari-Februari 2013, h. 233. Sebagai perbandingan, baca: Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900- 1942 (Jakarta: LP3ES,1980) , h.73. 24 N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 20.

55

saudaranya Teungku Luthan, Uleebalang Krueng Mane ia berhasil mendirikan madrasah yang ia namai Al-Huda.25 Namun lagi-lagi madrasah Al-Huda juga harus mengalami nasib yang sama dengan madrasah Al-Irsyad. Usia madrasah ini hanya seumur jagung karena terjadi perselisihan dan persaingan antara kakak-beradik Teungku Ubit dan Tengku Luthan. Sengketa ini membuat Madrasah Al-Huda tidak mendapat izin dari penguasa setempat. Akhirnya madrasah inipun harus ditutup dan dicabut izinnya berdasarkan Ordanansi Guru tahun 1905 No. 550 yang diperbaharui pada tahun 1925. Setelah kejadian ini Hasbi memutuskan pulang ke Lhokseumawe. Tidak berkelang lama, ia kemudian memulai kehidupan yang baru di Kutaraja. Kepindahaannya ke Kutaraja sebenarnya bukan murni keinginannya. Tapi dilatarbelakangi oleh protes dan reaksi para tokoh masyarakat terhadap bukunya yang berjudul Penoetoep Moeloet.26 Sepertinya dimanapun Hasbi berada, keinginannya untuk menebar ilmu tetaplah sama. Di Kutaraja ia juga meniti karirnya sebagai seorang guru. Ia menjadi pengajar di beberapa tempat kursus yang dikelola oleh JIBDA (Yong Islamieten Bon Daerah Aceh). Ia juga menjadi pengajar di sekolah HIS dan MULO .pada tahun 1937 ia diminta untuk mengajar di Jadam Montasik. Kemudian pada tahun 1941 ia menjadi pendidik sekaligus pembina di Ma‟had Imanul Mukhlis atau MIM (Ma‟had Iskandar Muda) di Lampaku. Setelah beberapa tahun di Kutaraja, Hasbi kembali lagi ke Lhokseumawe. Di Lhokseumawe ia mendirikan sebuah dayah di samping rumahnnya sebagai tempat untuk memberi pengajaran tentang Islam setiap usai shalat Subuh dan Magrib. Setahun sebelum keberangkatannya ke Yogyakarta atau pada tahun 1948, ia diminta oleh Bupati Aceh Utara untuk mengajar dan menjadi Pimpinan di Sekolah Menengah Islam (SMI) di Lhokseumawe.27

25 N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 21. 26 N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 21. 27 N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 25-26.

56

Pada tanggal 20-25 Desember 1949 Hasbi bertolak ke Yogyakarta untuk menghadiri KMI (Kongres Muslimin Indonesia) ke XV.28 Sepulang dari acara tersebut, ia mendapat tawaran dari Menteri Agama, KH untuk menjadi salah satu tenaga Pengajar di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Dalam menanggapi tawaran ini, pada awalnya ia masih ragu. Pada satu sisi ia bahagia karena ilmunya akan digunai dan mendapat penghargaan, pada sisi yang lain ia ragu karena membayangkan kesulitan-kesulitan yang akan ia hadapi. Ia khawatir akankah nanti ia bisa menghidupi keluarganya di Yogyakarta. Namun karena semangatnya untuk mengabdi sangat besar, keraguan tersebut segera ia tepis dan meyakinkan pilihannya. Maka pada bulan Januari 1951, dengan membawa anak dan istrinya Hasbi pun berangkat ke Yogyakarta. Setapak demi setapak jalan karir ia lalui. Pada awalnya ia hanya menjadi tenaga pengajar biasa, kemudian naik ke jabatan direktur. Tidak berkelang lama, ia dipercayai untuk memegang matakuliah Hadis. Pada tahun 1960 PTAIN beralih menjadi IAIN, oleh keputusan Menteri Agama No. 35 Hasbi pun diangkat menjadi Dekan Fakultas Syari‟ah. Ia menduduki jabatan ini selama 12 tahun, hingga tahun 1972. Pada waktu bersamaan, Hasbi juga diminta oleh Kolonel Syammun Gaharu (Panglima Kodam I/Iskandar Muda) dan Ali Hasjmy (Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Aceh) untuk menjadi Dekan Fakultas Syari‟ah di Darussalam Aceh yang berinduk ke IAIN Yogyakarta. Jabatan rangkap ini ia jalani selama kurang lebih dua tahun, yaitu dari September 1960 sampai 12 Desember 1962. Pada tahun 1963-1966 Hasbi menjadi Pembantu Rektor III di samping menjadi Dekan Fakultas Syari‟ah di IAIN Yogyakarta. Di samping menjadi Dekan dan juga Pembantu Rektor III, ia mengajar di berbagai Perguruan Tinggi Swasta. Ia mengajar di UII (Universitas Islam Indonesia) dari tahun 1964. Ia juga mengajar dan sekaligus menjadi Dekan Fakultas Syari‟ah di Unnissula (Universitas Islam Sultan Agung) di Semarang dari tahun 1967 sampai wafatnya pada tahun 1975. Pada tahun

28 Pada acara Kongres tersebut Hasbi hadir sebagai perwakilan Muhammadiyah. Ia menyampaikan sebuah makalah berjudul “Pedoman Perjuangan Islam Mengenai Sosial Kenegaraan. Lihat: Sudariyah, “Konstruksi Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nur Karya M. Hasbi Ash-Shiddieqy,” Shahih 3, No. 1 (Januari-Juni 2018): h. 96.

57

1961 sampai tahun 1971, Hasbi menjabat sebagai rektor Universitas Al-Irsyad Surakarta, dan rektor di Universitas Cokroaminoto yang awalnya adalah Akademi Agama Islam (AAI) Surakarta.29 Hasbi mengabdikan dirinya untuk mengajar di berbagai lembaga pendidikan dalam waktu yang cukup lama. Namun, kontribusinya yang paling menonjol adalah ketika menetap di Yogyakarta. Dalam proses belajar mengajar Hasbi menggunakan metode dialogis atau diskusi. Dalam berpendapat dan menjawab pertanyaan dari murid-muridnya, ia juga bersikap bijaksana. Ia tidak serta-merta menolak atau mengesampingkan pendapat yang berbeda dengannya. Namun terlebih dahulu di komparasikan, ditarjih, baru kemudian memilih pendapat yang terkuat. Hal ini berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh Nourouzzaman Shiddiqi kepada beberapa murid-murid Hasbi.30

3. Karya-karya

Sebuah karya akan abadi meskipun tangan yang menulisnya telah tiada. Para ulama, tokoh agama dan ilmuan sekalipun tentu ingin mengabadikan tulisannya dalam bentuk buku, tidak ubahnya dengan T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Ia tergolong ulama yang produktif dalam berkarya dan sudah mulai menulis dari tahun 1930. Karya tulis pertamanya adalah sebuah booklet yang berjudul Penoetoep Moeloet. Pada tahun 1933 ia menulis artikel di Soeara Atjeh. Begitupun pada beberapa tahun setelahnya ia masih giat menulis, bahkan pada 1937 ia menjadi pemimpin redaksi sekaligus penulis sejumlah artikel majalah bulanan edisi Fiqih Islami Al-Ahkam. Pada tahun 1939-1940 ia menjadi penulis tetap di majalah bulanan seperti Pedoman Islam dan Pandji Islam yang diterbitkan di Medan.31 Sepanjang karir intelektualnya, ia telah menghasilkan 72 judul buku yang mencakup di dalamnya 142 jilid. Dari 72 buah buku yang ia tulis, 36 di antaranya merupakan buku fiqih, 6 judul buku dalam bidang ilmu Al-Quran dan tafsir, 8 judul buku dalam bidang hadis, 5 judul buku

29 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur‟an, h. 205. 30 N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 31. 31 N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 53-55.

58

dalam bidang tauhid atau ilmu kalam dan 17 judul yang lain merupakan buku-buku dalam bidang Islam secara umum.32 Berikut rincian dari karya-karya Hasbi. Dalam bidang Tafsir dan Ilmu Al- Qur‟an ia menulis enam judul buku: 1) Beberapa Rangkaian Ajat, diterbitkan oleh Penerbit Al-Ma‟arif Bandung dan berisi 44 halaman; 2) Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur‟an/Tafsir, diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang di Jakarta dan berisi 308 halaman. Buku ini sudah dicetak beberapa kali, yaitu pada tahun 1954, 1955, 1961, 1965, 1972, 1974 1977 dan 1980; 3) Tafsir Al-Qur‟an Majied (An-Nur)33, pertama kali diterbitkan pada tahun 1956 oleh Penerbit Bulan Bintang Jakarta; 4) Tafsir al- Bayān 2 jilid berisi 1647 halaman, diterbitkan pertama kali pada tahun 1966 oleh Penerbit Al-Ma‟arif Bandung; 5) Mu‟djizat Al-Qur‟an, 56 halaman, diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang Jakarta pada tahun 1966; 6) Ilmu-ilmu Al-Qur‟an Media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur‟an, 319 halaman, diterbitkan oleh Bulan Bintang Jakarta pada tahun 1972.34 Dalam bidang hadis Hasbi menulis delapan judul buku, di antaranya adalah: 1) Beberapa Rangkuman Hadis, 45 halaman, diterbitkan oleh Penerbit Al-Ma‟arif Bandung pada tahun 1952; 2) Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, 420 halaman, diterbitkan pertama kali pada tahun 1954 oleh Penerbit Bulan Bintang Jakarta dan hingga saat ini masih terus dicetak; 3) 2002 Mutiara Hadis,35 8 jilid, diterbitkan

32 N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 265. 33 Tafsir An-Nur merupakan salah satu karya fenomenal dalam bidang tafsir di Indonesia. Tafsir ini ditulis oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy selama kurang lebih 10 tahun, yaitu dari tahun 1952- 1961 dikala ia sedang sibuk menjadi tenaga pengajar dan terlibat dalam aktifitas-aktifitas ilmiah di Yogyakarta. Di antara hal yang melatarbelakangi Hasbi tergerak untuk menulis tafsir ini adalah karena ia merasa perlu adanya penafsiran Al-Qur‟an dalam Bahasa Indonesia agar masyarakat yang tidak mengerti Bahasa Arab bisa memahami Al-Qur‟an dengan mudah dan praktis. Lihat: T.M. Hasbi Ash- Shiddieqy, Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nur, Jilid I (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), h. xi. Tafsir An-Nur juga merupakan kitab tafsir pertama yang diterbitkan di Indonesia, menjadikannya sebagai pelopor dan pencetus di khazanah perpustakaan tanah air. Sumber: www.referensiagama.blogsspot.com/2011/01/tafsir-nur-karya-prof-dr-hasbi-al-html?m=1,diakses pada 12 Mei 2019 pukul 24.45 WIB. 34 N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 265. 35 Buku 2002 Mutiara Hadis merupakan karya Hasbi dalam bidang syarah hadis. Buku yang terdiri dari 8 jilid ini ditulis dalam Bahasa Indonesia dan merupakan salah satu pelopor buku tentang syarah hadis yang penulisannya dalam Bahasa Indonesia. Karena pada masa-masa sebelumnya, penulisan kitab syarah hadis oleh ulama Indonesia masih menggunakan Bahasa Arab, seperti Tanqih al-Qaul al-Hasis fi Syarh Lubab al-Hadis karya Nawawi al-Bantani (1815-1897), Al-Khil‟ah al-

59

pertama kali pada tahun 1954 oleh Penerbit Bulan Bintang Jakarta. Tiap-tiap jilidnya dicetak pada tahun yang berbeda, Jilid I (1954, 1955, 1961, 1975), Jilid II (1956, 1975, 1981), Jilid III (1962, 1977), Jilid IV-V (1977), Jilid VI (1979), Jilid VII (1980). Sedangkan untuk jilid ke-delapan belum diterbitkan; 4) Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, 2 jilid, diterbitkan pertama kali pada tahun 1958 oleh Penerbit Bulan Bintang Jakarta; 5) Problematika Hadis sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam, 63 halaman, diterbitkan pada 1964 oleh Penerbit Bulan Bintang Jakarta; 6) Koleksi Hadis-hadis Hukum, 11 jilid, pertama kali dicetak pada tahun 1970 oleh Penerbit Al- Ma‟arif Bandung; 7) Ridjalul Hadis, 187 halaman, diterbitkan pada tahun 1970 oleh Penerbit Matahari Masa Yogyakarta; 8) Sejarah Perkembangan Hadis, 187 halaman, diterbitkan oleh Bulan Bintang Jakarta pada tahun 1973.36 Pada bidang fiqih, Hasbi menulis beberapa buku sebagai berikut: 1) Sedjarah Peradilan Islam, 92 halaman; 2) Tuntunan Qurban, 68 halaman; 3) Pedoman Shalat, 520 halaman; 4) Hukum-hukum Fiqh Islam, 677 halaman; 5) Pengantar Hukum Islam, 2 jilid; 6) Pedoman Zakat, 316 halaman; 7) Al-Ahkam (Pedoman Muslimin), 240-250 halaman, 8) Pedoman Puasa, 384 halaman; 9) Kuliah Ibadah, 272 halaman; 10) Pemindahan Darah (Blood Transfusion) Dipandang dari Sudut Hukum Agama Islam, 25 halaman; 11) Ichtisar Tuntunan Zakat dan Fitrah, 64 halaman; 12) Sjari‟at Islam Mendjawab Tantangan Zaman 46 halaman; 13) Peradilan dan Hukum Acara Islam 46 halaman; 14) Poligami Menurut Sjari‟at Islam, 40 halaman; 15) Pengantar Ilmu Fiqh, 227 halaman; 16) Baital Mal Sumber-sumber dan Penggunaan Keuangan Negara Menurut Adjaran Islam, 48 halaman; 17) Zakat sebagai Salah Satu Unsur Pembina Masjarakat Sedjahtera, 71 halaman; 18) Asas-asas Hukum Tatanegara Menurut Sjari‟at Islam, 88 halaman; 19) Sedjarah Pertumbuhan dan Perkembangan

Fikriyyah Syarh al-Mihnah al-Khairiyyah karya Mahmud al-Tarmasi (1868-1920), Risalah Ahl al- Sunnah wa al-Jama‟ah karya Hasyim Asy‟ari (1871-1947) dan Al-Tabyin al-Rawi Syarah Arba‟in Nawawi karya Muhammad Kasyful Anwar (1887-1940). Motif Hasbi menulis syarah hadis dalam bahasa lokal masih sama dengan latarbelakangnya ketika menulis kitab tafsir An-Nur (30 jilid) dalam Bahasa Indonesia. Menurutnya, untuk memahamkan masyarakat Indonesia tentang ajaran Islam, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan menyajikan buku-buku tentang Islam dengan bahasa yang mudah dimengerti. Lihat: Noer Chalida, “Pemikiran Hasbi Ash-Shiddieqy tentang Hadis,” Al-Hikmah 5, No. 2 (Oktober 2017): h. 90. 36 N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 266-268.

60

Hukum Islam, 292 halaman; 20) Hukum antar Golongan dalam Fiqh Islam, 163 halaman; 21) Perbedaan Mathla‟ Tidak Mengharuskan Kita Berlainan pada Memulai Puasa, 35 halaman; 22) Ushul Fiqh (Sekitar Ijtihad Bir Ra‟ji dan Djalan-djalannya, 32 halaman; 23) Ilmu Kenegaraan dalam Fiqh Islam, 139 halaman; 24) Beberapa Problematika Hukum Islam, 40 halaman; 25) Kumpulan Soal Jawab, 108 halaman; 26) Pidana Mati dalam Sjari‟at Islam, 40 halaman; 27) Sebab-sebab Perbedaan Faham para Ulama dalam Menetapkan Hukum Islam, 19 halaman; 28) Pokok-pokok Pegangan Imam-imam Mazhab dalam Membina Hukum Islam, 336 halaman; 29) Pengantar Fiqh Mu‟amalah Serie I, 215 halaman; 30) Fakta-fakta Keagungan Syari‟at Islam, 54 halaman; 31) Falsafah Hukum Islam, 488 halaman; 32) Fiqh Islam Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat dan Tuntas, 168 halaman; 33) Pengantar Ilmu Perbandingan Madzhab, 92 halaman; 34) Ruang Lingkup Ijtihad Para Ulama dalam Membina Hukum Islam, 40 halaman; 35) Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam, 40 halaman dan 36) Pedoman Haji, 262 halaman.37 Karya tulis Hasbi dalam bidang Tauhid/Kalam tercatat sebanyak lima judul buku, antara lain: 1) Peladjaran Tauhid, 56 halaman, terbit pada tahun 1954; 2) Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, 208 halaman, terbit pada tahun 1973; 3) Fungsi Akidah dalam Kehidupan Manusia dan Perpautannya dengan Agama, terbit pada tahun 1973; 4) Studi Aqidah Islam, 52 halaman, terbit pada tahun 1974 dan 5) Hakikat Islam dan Unsur-unsur Agama, 117 halaman, terbit pada tahun 1977. Selain menulis buku-buku seputar tafsir, hadis, fiqh dan kalam, Hasbi juga menulis buku-buku tentang pengetahuan Islam yang umum, di antaranya adalah: 1) Al-Islam, 2 jilid, terbit pertama kali tahun 1950; 2) Pedoman Berumah Tangga, terbit tahun 1950 dan sudah dicetak sebanyak lima kali; 3) Sejarah Peradilan Islam, terbit tahun 1952; 4) Dasar-dasar Ideologi Islam, terbit tahun 1953; 5) Sedjarah Islam, Pemerintahan Amawijah Timur, terbit tahun 1953; 6) Sedjarah Islam Pemerintahan Abbasiyah, terbit tahun 1953; 7) Peladjaran Sendi Islam, 67 halaman; 8) Sedjarah dan Perdjuangan 40 Pahlawan Utama dalam Islam, terbit tahun 1955; 9) Dasar- dasar Kehakiman dalam Pemerintahan Islam, terbit tahun 1955; 10) Pedoman Dzikir

37 N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 268-273.

61

dan Do‟a, terbit pertama kali tahun 1951; 11) Kriteria antara Sunnah dan Bid‟ah, 128 halaman; 12) Lembaga Pribadi, terbit tahun 1956; 13) Ulum al-Lisan al-Arabi (Ilmu-ilmu Bahasa Arab), tiga jilid, terbit tahun 1967; 14) Problematika Bulan Ramadhan, 59 halaman; 15) Lapangan Perjoangan Wanita Islam, 40 halaman; 16) Problematika Idul Fitri, 34 halaman dan 17) Gubahan Dzikir dan Do‟a, Istimewa dalam Pelaksanaan Ibadah Haji, terbit tahun 1975.38 Karya tulis Hasbi tidak semuanya ia bukukan, sebagian darinya berbentuk artikel yang terbit dalam majalah-majalah dan jurnal.39 Artikel yang ia tulis mencapai 50 judul, antara lain: Ilmoe Moeshathalah Ahli Hadits (1940), Sejarah Hadis-hadis Tasjri (1940), Dewan Tafsir (1940), Hoekoemnja Perempoean Keloear ke Tanah Lapang Boeat Mengerdjakan Sembhjang Hari Raya atau Mendengarkan Choetbah (1940), Islam Memboetoehi Pemoeda (1940), Pandoe Moeslimin: Moeda Pahlawan Empat Poeloeh (1940), Mengoepas Faham Soekarno tentang Memoedakan Pengertian Islam, Kewadjiban Kembali kepada Al-Qur‟an dan as-Soenah, Imam dan Islam, Choetbah Idul Adha, Maulid Nabi Sepanjang Ilmoe Fiqih dan Tarich, Me‟moedahkan Pengertian Islam, Maksoed-maksoed dan Toejoean Islam, Poeasa Ramadhan dan Toejoean al-Qur‟an, Toentoenan Berhari Raja Menoeroet Agama Islam, Menghidupkan Hukum Islam dalam Masjarakat (1948), Tugas Hidup Pribadi Muslim terhadap Dirinja (1951), Status Aqiedah dalam Agama Islam (1952), Hukum- hukum Penjembelihan Qurban (1952), Kembali kepada Sunnah Dasar Persatuan Ummat yang Kokoh (1952), Dasar-dasar Pokok Hukum Islam (!954), Perguruan Tinggi dan Masjarakat (1955), Apa Sebenarnya Hukum Islam Itu (1956), Pemeliharaan Anak-anak Jatim dalam Islam, Menghadapi Bulan Rajab: Bulan Sembahjang dan Rahasia-rahasia jang Terpendam di Dalamja (1966), Apa Hukumja Membatasi Kelahiran Ditinjau dari Segi Hukum Sjara (1967), Kedudukan Keadilan

38 N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 274-276. 39 Beberapa jurnal yang menerbitkan tulisan T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy di antaranya adalah Jurnal Pedoman Islam (4 judul), Jurnal Aliran Moeda (1 judul), Jurnal Lasjkar Islam (3 judul), Jurnal Pandji Islam (7 judul), Jurnal Aliran Islam (2 judul), Jurnal Hikmah (6 judul), Jurnal Asj‟Sjir‟ah: Gema Fakultas Sjari‟ah (6 judul), Jurnal Sinar Darussalam (3 judul), Jurnal Suara Muhammadijah (9 juduul), Jurnal Al-Djami‟ah (4 judul) dan Jurnal Panji Masyarakat (2 judul). Selebihnya artikel yang ia tulis terbit di dalam majalah bulanan.

62

dalam Pembangunan Masjarakat (1967), Fiqih Islam; Fakta-fakta Keistimewaannya (1967), Hadits-hadits Ihja‟ Ulumuddin Ditinjau dari Ilmu Djarhi wa Ta‟dil (1968 dan 1969), Ulama dan Sardjana (1971), Hari Hidjrah adalah Titik Tolak Sedjarah Baru (1968), Hukum Pidana Mati dalam Sjariat Islam (1968), Sekelumit Pembahasan tentang Ilmu Qiraat dan Kepentingannja (1970), Muhammad Rasulullah SAW (1969), Seljang Pandang tentang Nikah dan Talak dalam Sjariat Islam (1970), Menjingkap Falsafah Rahasia Isra‟ dan Mi‟radj (1970), Malam Nishfu Sja‟ban Wadjar Diperingati Sebagai Malam Pergantian Qiblat (1970), Tilawatil Qur‟an dan Hukum Memusabaqahkannja (1971), Beberapa Masalah di Sekitar Puasa Ramadlan (1973), Masalah Lailatul Qadr dan I‟tikaf (1973), Mengarahkan Pandangan pada Ru‟yah Makkah Tidak Menimbulkan Problem Negatif (1973), Zakat Sebagai Salah Satu Unsur Pembina Masjarakat Sedjahtera (!969), Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam (1973), Mengapa Saya Menyalahi Jumhur dan Mewajibkan Jum‟at Juga atas Orang yang Tidak ke Mesjid (1974), Data-data Keuniversalan Syariat Islam (1975), Tugas Para Ulama Sekarang dalam Memelihara dan Mengembangkan Qur‟an, Hadits dan Fiqh dalam Generasi yang Sedang Berkembang (1973), Beberapa Problematika Hukum Islam (1973), dan Ilmu-ilmu yang Mutlak Diperlukan oleh Para Pembina Hukum Islam (1975).40 Orang bijak mengatakan, “Jika kamu ingin menjadi pembicara yang baik maka banyak-banyaklah mendengar. Jika kamu ingin menjadi penulis yang handal maka banyak-banyaklah membaca.” Hal ini sangat sesuai dengan perjuangan Hasbi yang dengan ketekunannya dalam membaca, ia berhasil melahirkan karya tulis yang sangat banyak dan diakui oleh publik. Hasbi juga menerima tanda penghargaan sebagai salah seorang dari sepuluh penulis terkemuka di Indonesia pada tahun 1957/1958.41

40 N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 276-281. 41 Andi Miswar, “Tafsir Al-Qur‟an Al-Majid “Al-Nūr” Karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy: Corak Tafsir berdasarkan Perkembangan Kebudayaan Islam Nusantara,” Adabiyah, XV, No. 1 (2015): h. 85.

63

B. Sumbangsih Pemikiran T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Kajian Islam

T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy telah memulai aktifitas belajar dan mengajar dari usia muda. Seiring dengan proses tersebut, ia juga muncul sebagai tokoh masyarakat yang banyak memberikan pencerahan berupa ceramah agama dan kajian ke-Islaman. Pada periode awal dakwahnya ia membawa tema pokok seperti Iman, Islam dan Ihsan. Tema-tema tersebut menjadi lebih mendalam sejak ia bertemu dengan para tokoh pembaharu dan menyerap pemikiran-pemikiran mereka. Ia mulai berdakwah dengan tema-tema tajdīd (pembaharuan) seperti pemberantasan terhadap bid‟ah dan khurafat,42 serta mengkritik praktek ushalli,43 talqin,44 kenduri atas kematian, amalan membakar kemenyan ketika berdoa dan ziarah ke makam wali untuk membuat permohonan. Kritikan-kritikan yang dilontarkan oleh Hasbi tergolong keras, sehingga respon yang ia terima dari masyarakat yang ingin mempertahankan tradisi-tradisi tersebut juga sama kerasnya dengan kritikan yang ia berikan.45 Namun penolakan dan respon kurang baik yang diterima tidak berpengaruh sedikitpun terhadap Hasbi. Ia tetap melanjutkan misinya untuk mengajarkan Islam yang benar dan lurus kepada masyarakat di Indonesia. Tidak hanya dengan memberikan dakwah dan ceramah secara langsung, ia juga menulis sekian banyak buku dalam berbagai tema, seperti hadis, tafsir dan fikih. Sehingga dengan hal ini ia tidak hanya dikenal sebagai seorang da‟i, namun juga akademisi yang mahir dalam

42 Sudariyah, “Konstruksi Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nur Karya M. Hasbi Ash-Shiddieqy,” Shahih 3, No. 1 (Januari-Juni 2018): h. 96. 43 Usalli adalah melafalkan niat saat akan melaksanakan shalat. Sebenarnya hal ini sudah menjadi topik perbincangan ulama-ulama terdahulu, seperti halnya imam empat mazhab. Menurut kesepatakan pengikut mazhab Imam Syafi‟i (Syafi‟iyah) dan Imam Hanbal (Hanabilah) membaca niat sebelum shalat adalah sunnah. Sedangkan para pengikut Imam Malik (Malikiyah) dan Imam Abu Hanifah (Hanafiyah) mengatakan bahwa hal tersebut tidak disyari‟atkan kecuali bagi orang-orang yang sering ragu dan was-was hatinya (mengenai apakah ia sudah berniat atau belum). Ini membuktikan bahwa masalah tentang melafalkan niat sebelum shalat bukanlah hal yang baru. Namun karena hal tersebut merupakan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan di masyarakat (melafalkan niat), jadi mereka sedikit terkejut ketika Hasbi mengemukakan kritikannya. 44 Talqin adalah membisikkan (menyebutkan) kalimat syahadat dekat orang yang akan meninggal atau dalam bentuk doa untuk mayat yang baru dikuburkan. Lihat: Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, T.t), h. 996. Dari definisi tersebut, terlihat bahwa talqin ada dua macam, yaitu talqin sebelum meninggal dan talqin sesudah mayat dikuburkan. Yang dikritik oleh Hasbi adalah praktek talqin yang kedua. 45 N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 17.

64

banyak bidang keilmuan. Pada kalangan pengkaji hadis Hasbi lebih dikenal sebagai tokoh hadis, demikian pula halnya pada kalangan pengkaji al-Qur‟an dan fiqih ia lebih dikenal sebagai tokoh tafsir dan fiqih. Adapun kajian lebih lanjut mengenai pemikiran Hasbi dalam beberapa bidang ilmu ini akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.

1. Bidang Tafsir

Sepanjang riwayat hidupnya, Hasbi menghasilkan dua tafsir yang dinamai dengan Tafsir al-Qur‟an al-Majid al-Nur dan Tafsir al-Bayan. Tafsir al-Qur‟an al- Majid al-Nur atau lebih sering disebut dengan Tafsir al-Nur pertama kali diterbitkan pada tahun 1956 dan menyusul cetakan kedua pada tahun 1965. Tafsir ini terdiri dari sepuluh jilid ditulis dalam bahasa latin ejaan lama.46 Adapun Tafsir al-Bayan pertama kali dicetak pada tahun 1966 dan dicetak kembali pada tahun 2002 karena besarnya permintaan dari masyarakat. Tafsir ini terdiri dari dua jilid dan pada tiap jilidnya berisi lima belas juz. Pada kata pengantar Tafsir al-Bayan, Hasbi menjelaskan bahwa yang melatarbelakanginya menulis Tafsir al-Bayan adalah karena ia menyadari ada hal-hal yang terlewatkan dan belum ia jelaskan secara rinci dalam Tafsir al-Nur.47 Sehingga ia berkeinginan untuk mengembangkan dan menyempurnakan karya tafsirnya dengan menjelaskan lafaz-lafaz ayat secara lebih mendalam.48 Sebagai contoh adalah, kata alīf lām mīm pada QS. al-Baqarah: 2 di dalam Tafsir al-Nur hanya ditafsirkan oleh Hasbi dengan “Allah lebih mengetahui maksudnya.” Sedangkan di dalam tafsir al-Bayan, ia tafsirkan dengan, “Para mufassirīn mempunyai beberapa pendapat dalam memaknakan alīf lām mīm. Lafaz ini mutasyābih dan diletakkan pada permulaan surat untuk menarik perhatian pendengar dan untuk mengisyaratkan bahwa al-Qur‟an tersusun dari huruf-huruf,

46 Andi Miswar, “Tafsir Al-Qur‟an Al-Majid „Al-Nur‟ Karya T.M Hasbi Ash-Shiddieqy: Corak Tafsir berdasarkan Perkembangan Kebudayaan Islam Nusantara,” Adabiyah 15, No. 1 (2015): h. 86. 47 Sulaiman Ibrahim, “Khazanah Tafsir Nusantara: Telaah atas Tafsir al-Bayan Karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy,” Farabi” Jurnal Pemikiran Konstruktif Bidang Filsafat dan Dakwah 18, No. 2 (Desember 2018): h. 107-108. 48 Lihat “Pembuka Kata” dalam T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Bayan, Vol. I, Edisi II (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), h. xi.

65

yang dari huruf-huruf tersebutlah orang Arab menyusun perkataannya. Maka mereka tidak akan sanggup menandinginya dan nyatalah bahwa al-Qur‟an bukan perkataan manusia.” Maka dari sampel ini jelaslah bahwa Hasbi berupaya untuk mengembangkan dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an secara lebih mendalam di dalam Tafsir al-Bayan.49 Di samping Tafsir al-Nur dan Tafsir al-Bayan, Hasbi juga menulis beberapa judul buku dalam bidang Tafsir dan Ilmu Al-Qur‟an, seperti Beberapa Rangkaian Ajat, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur‟an/Tafsir, Mu‟djizat Al-Qur‟an dan Ilmu- ilmu Al-Qur‟an Media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur‟an. Di antara semua karyanya dalam bidang ini, Tafsir al-Nur merupakan yang paling awal ditulis dan tercatat sebagai kitab tafsir berbahasa Indonesia pertama yang diterbitkan di Indonesia dan tentu saja ini merupakan sebuah pencapaian yang besar bagi Hasbi.50 Hadirnya kitab tafsir yang ditulisnya ini, telah membawa perubahan di Indonesia terutama bagi masyarakat yang sangat membutuhkan penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur‟an dalam bahasa Indonesia sehingga dapat dengan mudah dipahami. Sebenarnya jauh sebelum itu, pada abad ke-17 sudah hadir sebuah kitab tafsir yang ditulis oleh ulama Indonesia, yaitu Tarjumān al-Mustafīd karya Abdurrauf Singkili, namun kitab ini ditulis dalam bahasa lokal Melayu dengan aksara Arab (Jawa).51 Selain dengan menulis tafsir berbahasa lokal, langkah yang juga ditempuh oleh Hasbi untuk mengembangkan kajian tafsir di Indonesia adalah menerapkan metodologi dan corak yang sangat memungkinkan untuk dapat dipahami dengan mudah oleh masyarakat. Dalam penulisan tafsirnya, Hasbi menggunakan metode tahlili dan maudhū‟i. Metode tahlili yang ia gunakan terlihat dari upayanya menganalisa dan menjelaskan kandungan ayat dari berbagai aspek. Sedangkan

49 Ibrahim, “Khazanah Tafsir Nusantara: Telaah atas Tafsir al-Bayan Karya T.M. Hasbi Ash- Shiddieqy,” 107-108. 50 Pada pertengahan abad ke-20, di samping hadirnya Tafsir al-Nur dan al-Bayan, juga dikenal Tafsir al-Azhar yang diselesaikan oleh Hamka pada tahun 1966 disaat ia menjadi tahanan pada masa pemerintahan orde lama. Lihat: Arivaie Rahman, “Al-Fatihah dalam Perspektif Mufasir Nusantara: Studi Komparatif Tafsir al-Qur‟an Majid an-Nur dan Tafsir al-Azhar,” Journal of Contemporary Islam and Muslim Societies 2, No. 1 (Januari-Juni 2018), h. 8-9. 51 Arivaie Rahman, “Tafsir Tarjumān al-Mustafīd Karya Abd al-Rauf Al-Fanshuri: DIskursus Biografi, Kontestasi, Politis-Teologis dan Metodologi Tafsir,” Miqot 42, No. 1 (Januari-Juni 2018): h. 3.

66

metode maudhū‟i tergambar dari caranya mengelompokkan ayat-ayat ke dalam satu tema sentral. Adapun tafsir Hasbi sangat kental dengan corak fikih. Terutama pada ayat-ayat ahkām, ia akan lebih menonjolkan sisi hukum yang terkandung di dalamnya. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar, karena Hasbi menghasilkan lebih dari 30 judul entri dalam bidang fikih, menunjukkan bahwa ia merupakan pakar dalam bidang tersebut. Dalam menafsirkan ayat al-Qur‟an, sumber yang dipakai oleh Hasbi adalah dalil naqli dan ijtihad, sehingga tafsirnya merupakan campuran dari tafsir bi al- ma‟tsūr dan tafsir bi al-ra‟yi. Digolongkan sebagai tafsir bi al-ma‟tsūr karena dalam menafirkan al-Qur‟an Hasbi bersandar pada nash al-Qur‟an, hadis dan riwayat dari sahabat. Di samping itu, ia juga berpedoman pada kitab tafsir klasik seperti Tafsir al- Qur‟an al-Adzīm karya Ibnu Katsīr (w. 774 H) dan Tafsir Jamī‟ al-Bayān karya Ibnu Jarīr al-Ṯabary (w. 310 H). Adapun disebut sebagai tafsir bi al-ra‟yi karena Hasbi menggunakan penalaran dan ijtihad dalam menafsirkan ayat. Tafsir yang ditulis oleh Hasbi juga memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri, yaitu berupaya untuk menyesuaikan maksud ayat dengan realita sosial yang berkembang di masyarakat. Salah satu contohnya adalah penafsiran Hasbi terhadap ayat tentang perintah mengenakan jilbab. Di dalam al-Qur‟an surat al-Ahzab ayat 59 disebutkan: ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ يَا أَي َُّها النَُِِّّب قُ ْل ِلَْزَواج َك َوب َنَات َك َون َساء الُْمْؤمن َني يُْدن َني َعلَْيه َّن م ْن َجََلبيبه َّن ذل َك أَْد ََٰن أَْن ي ُْعَرفْ َن فَََل َّ ِ ي ُْؤذَيْ َن َوَكا َن اللو ُ َغُفوًرا َرحيًما. “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dalam menafsirkan ayat di atas Hasbi terlebih dahulu menyebutkan asbāb al- nuzūl-nya yaitu bahwa pada masa Nabi Saw kaum perempuan sering diganggu oleh sekelompok pemuda, dan mereka juga mengganggu perempuan-perempuan yang merdeka. Ketika ditanyakan kepada orang-orang tersebut kenapa mereka

67

mengganggu perempuan yang merdeka, jawaban mereka selalu sama yaitu mereka menyangka kalau perempuan yang diganggunya adalah budak. Maka turunlah ayat ini yang menyuruh para perempuan untuk mengenakan jilbab agar mereka mudah dikenali dan tidak diganggu lagi oleh orang-orang tersebut. Setelah menyajikan latar belakang dari turunnya ayat tersebut, Hasbi kemudian mengungkapkan bahwa hukum yang terkandung di dalamnya adalah agar para perempuan berpakaian layak dan sopan serta menjauhkan diri dari sikap-sikap yang dapat menimbulkan fitnah. Ia tidak menyebutkan detailnya seperti wajib menutup kepala dan seluruh badan kecuali telapak tangan dan wajah.52 Menanggapi tafsiran yang dilakukan oleh Hasbi mengenai ayat jilbab ini, Sudariyah dalam penelitiannya berjudul “Konstruksi Tafsir al-Qur‟anul Majid An- Nur Karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy” mengungkapkan bahwa dari penjelasan Hasbi tampak sekali ia berupaya untuk memahami kondisi sosial dan kemasyarakatan di Indonesia. Langkah tersebut ditempuh oleh Hasbi dengan tujuan agar tafsirnya lebih mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat Indonesia. Pendapat ini dapat dipertanggungjawabkan karena jika menelusuri sejarah, memang pada pertengahan abad ke-20 mayoritas penduduk Indonesia berprofesi sebagai petani, baik laki-laki maupun perempuan. Sehingga jika jilbab dipahami sebagai kain penutup kepala dan badan, maka akan sedikit menyulitkan para perempuan yang bekerja di sawah atau di ladang.53 Lebih lanjut, sebagaimana telah disebutkan di awal pembahasan, Hasbi mempunyai enam judul buku dalam bidang tafsir dan ilmu al-Qur‟an. Jadi pemikiran serta ide-idenya yang berkaitan dengan tafsir juga dapat ditemukan pada buku-buku tersebut. Salah satu pemikiran Hasbi yang menarik untuk dikaji adalah tentang naskh wa mansūkh dalam al-Qur‟an. Menurutnya tidak ada ayat al-Qur‟an yang me-naskh dan juga tidak ada ayat yang mansukh. Hasbi memandang golongan yang mengatakan bahwa ada ayat yang mansukh telah bersikap berlebih-lebihan. Yang demikian karena

52 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur‟an Majid An-Nur (Semarang: Pustaka Rizki Putera, t.t.), h. 45. 53 Sudariyah, “Konstruksi Tafsir Al-Qur‟an Majid An-Nur Karya M. Hasbi Ash-Shiddieqy,” Shahih 3, No. 1 (Januari-Juni 2018): h, 104.

68

beberapa alasan, yaitu: a) Mereka menggolongkan ayat-ayat umum yang di-takhsis sebagai ayat yang mansūkh, padahal makna dan keadaan keduanya berbeda; Sebagian dari mereka ada yang mengatakan bahwa ayat yang me-naskh dapat di-naskh pula, seperti ayat ke- 6 surat al-Kāfirūn di-naskh oleh ayat ke- 5 dari surat al-Taubah, dan kemudian ayat ke- 5 dari surat al-Taubah juga di-naskh oleh ayat ke-29 dari surat al- Taubah dan c) Mereka membagi naskh kepada tiga, yaitu naskh hukum tidak tilawah, naskh tilawah tidak hukum dan naskh hukum dan tilawah. Tindakan-tindakan yang seperti ini tidaklah tepat menurut Hasbi. Lebih Dalam hal ini ia mengatakan,

“Sikap berlebih-lebihan dari sebagian ulama tentang naskh dan mansūkh kadang-kadang tidak masuk akal. Perlulah diketahui dan dipegangi bahwa ayat al-Qur‟an smeuanya muhkam, bukan mansūkh, terkecuali jika ada dalil yang tegas yang menunjukkan kepada ke-mansūkhannya.”54

Adapun yang dimaksud oleh Hasbi dengan “dalil yang tegas” adalah keterangan dari Rasulullah Saw atau dari sahabat-sahabat beliau yang menyatakan dengan jelas bahwa sebuah ayat telah di naskh oleh ayat lain. Hasbi juga menambahkan bahwa dalam perkara naskh tidak dapat berpegang kepada pendapat ahli-ahli tafsir dan tidak pula dari ijtihad para mujtahid tanpa ada nukilan yang benar.55

2. Bidang Fiqih T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy memberikan perhatian dan keseriusan yang besar terhadap kajian fikih, terbukti dengan banyaknya karya yang ia hasilkan dalam bidang tersebut.56 Salah satu pemikirannya yang ia tuangkan di dalam karyanya adalah tentang sumber hukum dalam Islam yang menurutnya terbagi menjadi dua, yaitu sumber yang disepakati (al-adillah al-muttafaq „alaihā) dan sumber yang masih diperdebatkan (al-adillah al-mukhtalaf fīha). Sumber yang disepakati oleh para

54 T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur‟an: Membahas Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan al-Qur‟an, Ed. 3 (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 146. 55 Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur‟an: Membahas Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan al- Qur‟an, h. 147. 56 Tercatat bahwa Hasbi menghasilkan tiga puluh enam judul buku dalam bidang fikih sepanjang hidupnya. Selengkapnya lihat: Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia:Penggagas dan Gagasannya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 268-273.

69

fuqahā‟ adalah al-Qur‟an, hadis, ijmā‟ dan qiyās. Sedangkan sumber yang masih diperdebatkan adalah istihsān, maslahah mursalah, „urf, istishāb, sadd al-zarāi‟ dan mazhab sahabi.57 Namun dari semua sumber tersebut, yang menjadi sumber pokok adalah al-Qur‟an dan hadis karena selebihnya merupakan kombinasi antara dalil naqli dan akal manusia. Adapun Hasbi, sebagaimana dijelaskan oleh Nourouzzaman, menggunakan enam sumber, yaitu empat sumber yang disepakati oleh fuqahā‟ ditambah ra‟yu dan urf.58 Di samping itu, pemikiran dalam bidang fikih yang juga dikembangkan oleh Hasbi adalah “Fikih Indonesia”, bahkan ini dianggap sebagai tema pokok dari pemikirannyanya di bidang hukum. Melalui tulisannya yang berjudul “Menghidupkan Hukum Islam dalam Masyarakat” Hasbi menuturkan bahwa eksistensi praktek hukum Islam di Indonesia telah menjadi sesuatu yang asing dan kehadirannya tidak dianggap lagi disebabkan ketidakmampuannya dalam mengakomodir tuntutan perubahan zaman. Berangkat dari kenyataan tersebutlah ide tentang fikih Indonesia lahir dan terus dikembangkan oleh Hasbi. Secara umum, yang dimaksud dengan fikih Indonesia adalah keyakinan bahwa prinsip-prinsip hukum Islam pada hakikatnya memberikan ruang gerak yang luas bagi pengembangan ijtihad-ijtihad baru. Oleh karenanya, menurut Hasbi gerakan penutupan pintu ijtihad merupakan ide lama yang harus segera ditinggalkan.59 Fikih Indonesia juga dapat didefinisikan sebagai fikih yang ditetapkan sesuai dengan kepribadian, watak dan tabi‟at Indonesia.60 Dari definisi ini terlihat bahwa

57 MasnunTahir, “Pemikiran T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy: Sumber Hukum Islam dan Relevansinya dengan Pemikiran Hukum Islam di Indonesia,” Al-Ahwal 1, No. 1 (2008): h. 133. 58 Ra‟yu yang dimaksud oleh Hasbi meliputi semua upaya ijtihad yang dilakukan oleh ulama, seperti istihsān, istishāb, syar‟u man qablanā, maslahah mursalah, syadd al-zarāi‟ dan lain sebagainya. Lihat: Nurouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia:Penggagas dan Gagasannya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 105-124, dan Ash-Shiddieqy, Fiqih Islam Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat dan Tuntas, h. 55. 59 Ma‟arif, “Fiqih Indonesia menurut Pemikiran Hasbi Ash-Shiddiqi, Hazairin dan Munawir Syadzali,” h. 29-30. 60 Pengembangan fikih dengan jenis ini juga dapat ditemui di berbagai negara, seperti fikih Hijaz yaitu fikih yang terbentuk atas dasar kebiasaan dan istiadat yang berlaku di Hijaz, fikih Mesir yaitu fikih yang terbentuk atas dasar kebiasaan dan adat istiadat yang berlaku di Mesir. Lihat: Ma‟arif, “Fiqih Indonesia menurut Pemikiran Hasbi Ash-Shiddiqi, Hazairin dan Munawir Syadzali,” h. 31.

70

yang ingin disampaikan oleh Hasbi dari ide fikih Indonesia adalah untuk meninjau dan mempertimbangkan lokalitas masyarakat setempat sebagai bagian dari proses penetapan hukum, jadi hukum tidak bersifat sempit dan kaku. Karena menurut Hasbi fikih baru berfungsi dengan baik ketika dapat menyesuaikan dengan kondisi masyarakat sebagai objek tujuan dari pensyari‟atan hukum itu sendiri.61 Salah satu contoh pengaplikasian fikih Indonesia yang diharapkan oleh Hasbi adalah dalam masalah zakat. Menurutnya, dalam prosesi pembayaran zakat harus ada campur tangan dan keterlibatan pemerintah karena satu paket dengan upaya penyejahteraan kehidupan rakyat. Ia menambahkan, bahwa zakat merupakan ibadah yang erat kaitannya dengan aktifitas sosial antara si kaya dan si fakir. Oleh karena itu dalam pandangannya zakat dapat dipungut dari orang-orang non muslim untuk diserahkan kembali kepada yang membutuhkan dari golongan mereka. Pendapat ini ia sandarkan pada kebijakan Umar bin al-Khaṯṯāb yang memberikan zakat kepada kafir zimmi yang renta dan miskin. Umar juga pernah memungut zakat dari kaum Nasrani Bani Tughlab. Pembayaran zakat model ini ia pandang sangat relevan dengan usaha pembangunan negara yang membutuhkan banyak modal di samping menyejahterakan rakyat di Indonesia.62 Poin penting lainnya yang ingin disampaikan oleh Hasbi terkait fikih Indonesia adalah agar para mujtahid bersikap elastis dan lentur dalam memahami nash-nash hukum. Sikap ini sudah terlebih dahulu terlihat dari diri Hasbi yang tidak ingin terpaku pada mazhab tertentu. Jika biasanya ulama hanya berpegang pada satu mazhab fikih yang diyakininya, berbeda halnya dengan Hasbi yang menerima dan membuka diri kepada semua aliran mazhab dalam Islam.63 Hal ini sesuai dengan pengakuannya sendiri, “Kita harus mempelajari fikih tingkat tinggi secara muqaranah

61 Maimun “Fiqih Nusantara: Kontekstualisasi Hukum Islam dalam Pandangan T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi,” Islamuna 3 No. 1 (Juni 2016): h. 30. 62 Maimun “Fiqih Nusantara: Kontekstualisasi Hukum Islam dalam Pandangan T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi,” h. 31. 63 Hasbi menuturkan bahwa dalam menetapkan sebuah hukum harus terlebih dahulu melepaskan diri dari taklid terhadap mazhab tertentu. Sikap fanatik inilah yang menurutnya menjadi penghalang bagi lahirnya fikih berkepribadian Indonesia pada pertengahan abad ke-20. Lihat: Toha Ma‟arif, “Fiqih Indonesia menurut Pemikiran Hasbi Ash-Shiddiqi, Hazairin dan Munawir Syadzali,” Pengembangan Masyarakat Islam 8, No. 2 (Agustus 2015): h. 31.

71

dan jangan terbatas dalam mazhab tertentu.”64 Ia menganjurkan para mujtahid untuk melakukan perbandingan terhadap hukum yang ditetapkan oleh ulama, baik dari sunni, syi‟ah dan lain-lain.65 Dari beberapa karyanya pun terlihat bahwa ia tidak hanya mengambil pendapat dari satu imam mazhab saja, ia seringkali mengutip dari Hanafiyah, namun pada kesempatan lain juga menyandarkan pendapatnya pada pendapat kelompok Syafi‟iyah, Hanābilah dan Malikiyah. Lebih lanjut, pemikiran Hasbi sebagai seorang tokoh pembaharu di Indonesia dengan giat menyuarakan ijtihad kepada umat Islam. Menurutnya, sekalipun nash- nash al-Qur‟an dan hadis yang shahih dan mutawatir adalah qath‟iyyah al-tsubūt yang tidak ada keraguan lagi bahwa ia datang dari Allah Swt dan benar-benar dituturkan oleh Nabi Muhammad Saw, namun tidak semuanya qath‟iyyah al-dalalah. Hal inilah yang menuntut para ulama untuk melakukan ijtihad dalam rangka menangkap intisari dan kandungannya secara tepat.66 Di dalam buku-bukunya, Hasbi seringkali menyinggung tentang ijtihad dan batasan-batasannya. Ia menuturkan, bahwa boleh saja berijtihad dan menakwilkan nash-nash yang samar maknanya, tapi dengan syarat tidak boleh lupa dengan akarnya. Sebagai contoh, perbedaan pendapat tentang membaca basmalah di awal shalat. Boleh saja berbeda pendapat dan berijtihad dalam perkara ini, namun terlepas dari masalah membaca secara nyaring atau tidak nyaringnya, tidak boleh menghilangkan hukum asal yaitu kewajiban membaca al- Fātihah dalam shalat.

3. Bidang Hadis Hadis merupakan salah satu dari beberapa cabang ilmu yang didalami oleh Hasbi di samping tafsir dan fikih. Dengan ketekunannya dalam belajar dan membaca, ia membuktikan bahwa seseorang yang hanya menempuh jalur otodidak pun dapat menjadi pakar jika ia bersungguh-sungguh. Dalam bidang hadis Hasbi menghasilkan

64 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqih Islam Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat dan Tuntas (Jakarta: Bulan Bintang, 1975. 65 T.M. Hasbi Ahs-Shiddieqy menulis secara khusus terkait bahasan ini. Di dalam bukunya tersebut ia menjelaskan tentang sistem dan prinsip hukum yang dipegangi oleh kelompok Sunni dan Syi‟ah. Selengkapnya lihat: T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997). 66 Ash-Shiddieqy, Fiqih Islam Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat dan Tuntas, h. 38.

72

delapan judul buku yang dua di antaranya merupakan syarah atau penjelasan hadis, sedangkan selebihnya berkenaan dengan ilmu hadis dan sejarah pengantarnya. Seorang bijak mengatakan bahwa untuk memetakan pemikiran seseorang, dapatlah dilihat dari karya yang ia hasilkan. Maka untuk membaca dan memetakan pemikiran Hasbi mengenai hadis Nabi Saw, penulis merujuk kepada beberapa karya tulisnya dalam bidang terkait. Adapun pembahasan tentang hal ini dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu defenisi hadis dan sunnah, kedudukan sanad dan matan dalam kajian hadis dan kriteria keshahihan hadis.

a. Definisi Hadis dan Sunnah

Keistimewaaan Islam terletak pada orisinalitas dan otentisitas sumber-sumber hukumnya. Kaum muslimin telah sepakat bahwa hadis merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur‟an yang disampaikan melalui metode transmisi (periwayatan) dan kritik (naqd) dengan kaidah-kaidah tertentu yang menyertainya.67 Dengan demikian, riwayat-riwayat dari Nabi Saw yang digolongkan sebagai hadis maqbūl68 dapat dijadikan hujjah dan pedoman yang dipercaya bagi umat Islam. Kehujjahan hadis tidak hanya dijelaskan dalam al-Qur‟an (QS. Al-Hasyr: 7 dan QS. An-Nisā`: 59), namun juga dari lisan Nabi Muhammad Saw sendiri. Sebagaimana sabda beliau:

ِ ٍ ِ حدثنا علي ب ُن ُح ْجٍر حدثنا بقية بن الوليد عن حبري ب ِن سْعد عن خالد ب ِن َمْعَدا َن عن عبد الرمحن عن ٍ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َعمر ال ُسلَمي عن الْعْربَا ِض بْ ِن َساريةَ قَاَل: َوَعظَنَا َرُسْوُل اهلل َصل َّى اهلل عليو وسلم َمْوعظَةً َوجلَ ْت مْن َها ِ ِ ِ ِ ِ ِ الُْقلُْو ُب، َوذَرفَ ْت مْن َها الْعُيُ ْوُن، فَ ُقْلنَا : يَا َرُسْوَل اهلل، َكأَن ََّها َمْوعظَةُ ُمَوَّدٍع، فَأَْوصنَا، ق َاَل : أُْوصْي ُك ْم ِ ِ َّ ِ ِ ِ ِ ِ ِ بتَ ْقَوى اهلل َعَّز َوَج َّل، َوال َّس ْمِع َوالطا َعة َوإ ْن تَأََّمَر َعلَْي ُك ْم َعْبٌد، فَإنَّوُ َم ْن يَع ْش مْن ُك ْم فَ َسيَ َرى ا ْختَلَفاً

67 Umma Farida, “Diskursus Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam: Perspektif Ushuliyyin dan Muhadditsin” YUDISIA: Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 6, No. 1 (Juni 2015): h. 237. 68 Hadis maqbūl merupakan hadis yang memenuhi syarat-syarat penerimaannya sehingga dapat dijadikan sebagai pedoman dan hujjah bagi kaum muslimin. Persyaratan yang dimaksud adalah ittisāl al-sanad, diriwayatkan dari perawi yang adil dan ḏabīṯ serta tidak syādz dan tidak memiliki cacat („illat). Ulama membagi hadis maqbūl kepada dua bagian, yaitu shahih dan hasan. Sedangkan tingkatannya terbagi kepada empat, antara lain shahih li dzātihi, shahih li ghairih, hasan li dzātihi dan hasan li ghairihi. Lihat: Mahmud Aziz dan Mahmud Yunus, Ilmu Mustolah Hadith (Jakarta: PT Hadikarya Agung, 1984), h. 96, dan Mannā‟ al-Qattān, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Penerjemah Mifdhol Abdurrahman (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 116.

73

ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ًكثْرياً. فَ َعلَْي ُك ْم ب ُسنَِِّت َو ُسنَّة ا ْْلُلََفاء الَّراشديْ َن الَْمْهدي َِّْني َع ُّضوا َعلَْي َها بالنَّ َواجذ، َ وإي َّا ُك ْم َوُُْمَدثَات اِْلُُمْور، ٍ 69 فَِإ َّن ُك َّل بِْد َعة َضَلَلَة ٌ

“Menceritakan kepada kami Ali bin Hujr, menceritakan kepada kami Baqiyyah bin al-Walīd bin Sa‟d dari Khālid bin Ma‟dān dari Abdurrahmān dari Amr al-Sulami dari al-„Irbād bin Sāriyah ia berkata: „Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam memberikan kami nasehat yang membuat hati kami bergetar dan air mata kami berlinang. Maka kami berkata: Ya Rasulullah, seakan-akan ini merupakan nasehat perpisahan, maka berilah kami wasiat.‟ Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam bersabda: „Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah Ta‟ala, tunduk dan patuh kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Karena di antara kalian yang hidup (setelah ini) akan menyaksikan banyaknya perbedaan pendapat. Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap ajaranku dan ajaran Khulafā‟ al-Rāsyidīn yang mendapatkan petunjuk, gigitlah (genggamlah dengan kuat) dengan geraham. Hendaklah kalian menghindari perkara yang diada- adakan, karena semua perkara bid‟ah adalah sesat‟.”

Potongan hadis yang berbunyi “Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap ajaranku……gigitlah (genggamlah dengan kuat) dengan geraham” sudah cukup untuk menunjukkan bahwa hadis dapat dijadikan pedoman bagi kaum muslimin dalam urusan-urusannya. Di samping itu, juga terdapat sebuah hadis yang membicarakan hal serupa yaitu, “Sungguh telah aku tinggalkan dua perkara kepadamu yang kamu tidak akan tersesat selama berpegang kepada keduanya, yaitu al-Qur‟an dan Sunnah Rasul-Nya.”70 Dua riwayat ini menunjukkan bahwa kehujjahan hadis sebagai sumber hukum dalam Islam tidak hanya dijelaskan oleh al- Qur‟an, namun juga dari lisan sang penerima wahyu sendiri, yaitu Nabi Muhammad Saw. Adapun terkait definisi, para muhadditsīn mengartikan hadis sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw baik berupa ucapan, perbuatan, taqrīr, sifat atau sirah beliau, sebelum dan sesudah kenabian.71 Sedangkan menurut para

69 Abu Īsa Muhammad bin Saura al-Tirmidzī, Jāmi‟al-Tirmidzī, Hadis No. 2676 (Riyāḏ: Bait al-Afkār al-Dauliyyah, t.t), h. 433. Lihat juga: Abu Dāwud Sulaimān bin al-Asy‟āts al-Sijistāni, Sunan Abī Dāwud, Hadis No. 4607 (Riyāḏ: Bait al-Afkār al-Dauliyyah, t.t.), h. 504. 70 Mālik bin Anas, Al-Muwaṯṯā`, Ditahqiq oleh Muhammad Musṯafa Al-A‟ẕāmi, Jilid 5, Kitab al-Jāmi‟, Hadis no. 3338 (Abu Dabi: Mu`assasah Zayed bin Sulṯān, 2004), h. 1323. 71 Mannā‟ al-Qattān, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Penerjemah Mifdhol Abdurrahman, Cet-8 (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), h. 22.

74

usūliyyīn, hadis merupakan segala yang disandarkan kepada Nabi Saw setelah kenabian. Adapun yang terjadi sebelum kenabian tidak termasuk hadis menurut mereka, karena yang dimaksud dengan hadis adalah mengerjakan sesuatu yang menjadi konsekuensinya atau yang mempunyai dampak hukum, dan hal ini hanya dapat terjadi setelah kenabian.72 Menanggapi perbedaan yang dikemukakan oleh para ulama mengenai definisi hadis, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy mengatakan bahwa hal tersebut terjadi karena berlainan sudut pandang. Para muhadditsīn membahas pribadi Nabi Saw sebagai uswah hasanah bagi umat Islam. Oleh sebab itulah mereka pada umumnya menukil segala sesuatu yang berasal dengan Nabi Saw, dari budi pekertinya, riwayat perjalanannya, tutur-katanya, keutamaannya, baik yang berdampak pada hukum syar‟i maupun tidak. Berbeda halnya dengan sudut pandang para usūliyyīn yang membahas pribadi Nabi Saw sebagai pengatur undang-undang, sehingga mereka memperhatikan hal-hal yang bersangkutan dengan soal penetapan hukum saja.73 Dalam disiplin „ulūm al-hadīts dikenal beberapa istilah yang disebut-sebut sebagai murādif dari hadis, yaitu sunnah, khabar dan atsar. Khabar merupakan bentuk mufrad dari akhbar yang berarti berita (al-nabā`).74 Sedangkan menurut istilah berarti segala sesuatu yang datang dari Nabi Saw atau dari selain Nabi Saw seperti dari sahabat, tābi‟īn, tābi‟ al-tābi‟īn atau yang datang dari siapapun bahkan orang-orang pada abad ini. Hal ini memberi pengertian bahwa makna khabar lebih umum daripada hadis, seluruh hadis adalah khabar namun tidak semua khabar adalah hadis.75 Selanjutnya atsar menurut bahasa al-baqiyyah atau baqiyyah al-saiyk yang berarti peninggalan atau bekas sesuatu. Sedangkan menurut istilah, ada yang menyamakannya dengan hadis dan ada juga yang membedakan keduanya dan

72 al-Qattān, Pengantar Studi Ilmu Hadits, h. 22. 73 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Cet-2 (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 13-14. 74 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Cet-2 (Jakarta: Amzah, 2013), h. 10. 75 Amru Abd al-Mun‟im Salīm, Al-Mu‟allim Fī Ma‟rīfah „Ulūm al-Hadīs wa Taṯbīqātihi al- „Ilmiyyah wa al-„Amaliyyah: Musṯalah al-Hadīs (Riyāḏ: Dār al-Tadmuriyyah, 2005), h. 12.

75

berpendapat bahwa atsar adalah sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat (mauqūf) dan tabi‟īn (maqṯū‟).76 Adapun term yang paling sering disandingkan dengan hadis adalah sunnah. Jika ditinjau dari definisinya menurut bahasa, hadis dan sunnah memiliki makna yang berbeda. Hadis merupakan bentuk ism dari kata al-tahdīts yang berarti al-ikhbār atau pemberitaan77 dengan bentuk jamak ahādits78, sedangkan sunnah menurut bahasa berarti al-ṯarīqah atau jalan yang dilalui. Jika ditinjau dari segi istilah, sebagian ulama ada yang menyamakan definisi keduanya dan sebagian yang lain membedakannya. Para muhadditsīn berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara hadis dan sunnah kecuali dalam segi etimologi.79 Dalam hal ini, Hasbi tampaknya kurang sejalan dengan pendapat yang menyatakan hadis dan sunnah memiliki definisi yang sama. Menurut Hasbi, hadis dan sunnah merupakan dua term yang berbeda, baik dari segi bahasa maupun istilah.80 Hadis adalah segala peristiwa yang disandarkan kepada Nabi Saw, meskipun hanya terjadi sekali sepanjang hidupnya dan walaupun hanya diriwayatkan dari seorang perawi saja. Sedangkan sunnah merupakan adalah istilah bagi amaliyah yang mutawātir,81 yaitu cara Nabi Saw melaksanakan suatu ibadah bersama dengan para sahabat, lalu para sabahat terus melakukannya. Begitu seterusnya ibadah yang sama juga dilakukan pada masa tābi‟īn, meskipun lafalnya tidak mutawātir namun cara pelaksanaannya mutawātir. Hal yang ingin ditekankan oleh Hasbi di sini adalah bahwa sunnah merupakan pelaksanaan yang mutawātir atau melekat dan terus dilakukan. Maka sekalipun dari segi penukilan redaksinya tidak

76 Majid Khon, Ulumul Hadis, h. 11. 77 Bustamin, Dasar-Dasar Ilmu Hadis (Jakarta: Ushul Press, 2009), h. 1. 78 Subhi al-Sālih, Ulūm al-Hadīts wa Musṯalahuh (Malaysia: Dār al-Ilm li al-Malāyīn, 1988), h. 3. 79 Ibnu Nashirudin al-Dimasyqi, Mutiara Ilmu Atsar Klarifikasi Kitab Hadis; Permata Salaf yang Terpendam, Penerjemah Faisal Saleh (Jakarta: AKBAR Media Eka Sarana, 2008), h. 128. 80 Menurut istilah syara‟, sunnah adalah jalan yang dijalani dalam agama, karena telah biasa dijalani oleh Rasulullah dan oleh para salaf al-salih setelah wafatnya Rasulullah. Lihat: T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Kriteria antara Sunnah dan Bid‟ah (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 29. 81 Istilah mutawatir biasanya selalu dihubungkan dengan proses penyampaian sebuah riwayat. Adapun yang dimaksud dengan amaliyah mutawātirah adalah amalan-amalan yang dilakukan dari masa ke masa, sehingga beberapa pihak mungkin memandangnya sebagai sebuah “tradisi” karena terus berlangsung dan telah mendarah daging di tengah masyarakat.

76

mutawātir, jika pengamalannya terus-menerus dilakukan dari generasi ke generasi, hal tersebut tetap digolongkan sebagai sunnah menurut Hasbi.82 Lebih lanjut, menurut Hasbi sesuatu yang ditradisikan dan telah dipraktekkan umat Islam memiliki nilai mutawātir „amaly. Praktek inilah yang digolongkan sebagai sunnah mutawātirah, sunnah mutāba‟ah dan sunnah ma‟lūmah. Ia menambahkan bahwa boleh jadi ada sunnah yang lepas dari rekaman sejarah atau tidak termaktub di dalam kitab-kitab hadis dalam bentuk tulisan. Meskipun praktek- praktek keagamaan yang tidak tertera dalam bentuk tulisan, hal tersebut masih digolongkan sunnah menurut Hasbi.83 Dewasa ini juga dikenal istilah kajian Living Sunnah atau penelitian terhadap “sunnah yang hidup di tengah-tengah masyarakat.” Hal ini cukup booming dan bahkan Living Sunnah menjadi salah satu disiplin ilmu dalam kajian hadis kontemporer yang dijadikan fokus pembahasan di beberapa Perguruan Tinggi Islam di Indonesia. Jika selama ini di dalam disiplin ilmu hadis dikenal istilah hadis fi‟li dan hadis qauli, maka Hasbi pun membagi sunnah kepada dua tipologi, yaitu sunnah fi‟liyah dan sunnah tarkiyah. Sunnah fi‟liyah merupakan segala sesuatu yang dilakukan oleh Nabi Saw. Amaliyah Nabi Saw yang mengandung dasar ibadah maka hukumnya sunnah menurut Hasbi. Sedangkan untuk amaliyah Nabi Saw dan tidak mengandung unsur ibadah, maka hal tersebut menegaskan kebolehannya saja, dalam artian bahwa perbuatan tersebut tidak haram jika dilakukan.84 Adapun sunnah tarkiyah merupakan amalan yang tidak dilakukan oleh Nabi Saw. Maka meninggalkan amalan tersebut

82 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Cet-2 (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 17-18. 83 Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Cet-2 (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 22. 84 Dalam hal ini Hasbi mengutip beberapa pendapat ulama seperti al-Amidi dan al-Syaukāni. Menurut al-Amidy, perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Saw bukan atas dasar ibadah dan tidak ada dalil yang memerintahkan untuk mengerjakannya secara tegas, maka perbuatan tersebut tidak wajib dan juga tidak sunnah melainkan hanya pertanda bahwa hal tersebut diperbolehkan. Pada sisi lain, menurut al-Syaukāni perbuatan yang seperti itu sunnah hukumnya. Sebagai contoh adalah pemakaian jubah yang Nabi Saw memakainya namun tidak beliau mewajibkan umatnya untuk menggunakannya. Menurut al-Syaukāni jubah itu sunnah sedangkan menurut al-Amidi hal tersebut menjadi tanda bahwa memakai jubah tidak dilarang oleh Nabi Saw. Dari dua pendapat ulama di atas, Hasbi tampaknya lebih sepandapat dengan al-Amidi. Lihat: Ash-Shiddieqy, Kriteria antara Sunnah dan Bid‟ah, h. 33-34.

77

dihitung sebagai bentuk ketaatan.85 Namun hal ini tidak serta merta menunjukkan kalau pengamalan terhadap hal-hal yang ditinggalkan oleh beliau menjadi sebuah dosa atau larangan. Sebagaimana kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti Nabi Saw pada hal-hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt, begitu juga dengan perintah untuk meninggalkan pekerjaan yang tidak beliau lakukan.86 Di dalam salah satu tulisannya Hasbi menjelaskan makna dari mengikuti Rasulullah dan kewajiban umat untuk mengamalkan hadis. Ia mengatakan bahwa makna dari mengikuti Rasulullah adalah menjalankan semua titah-titahnya jika sabda yang beliau tuturkan bersifat umum untuk seluruh umat di setiap tempat dan waktu. Maka dari itu, semua hadis yang dinyatakan shahih dan tidak berlawanan dengan petunjuk al-Qur‟an wajib diikuti oleh umat muslim secara keseluruhan, tidak hanya muslim Arab atau muslim Eropa, namun kaum muslimin seluruhnya. Pada akhir penjelasannya Hasbi menambahkan, hal tersebut berlaku selama hadisnya bersifat umum, dan jika ada dalil yang menunjukkan kekhususannya (jika dilihat dari asbāb al-wurūd-nya) maka tidak ada kewajiban untuk mengikutinya.87 Dari penjelasan di atas, tampaknya tidak ada perbedaan yang signifikan antara pendapat Hasbi dengan pendapat ulama-ulama lain terkait definisi hadis dan sunnah. Pada beberapa bagian di dalam tulisannya, ia hanya mengungkapkan hal-hal yang menjadi sebab perbedaan di kalangan muhadditsīn dan fuqahā‟, yang tidak lain dikarenakan perbedaan cara pandang mereka terhadap kedudukan Nabi Saw. Ulama hadis memandang Nabi Saw sebagai uswah sedangkan ulama fikih memandang Nabi Saw sebagai pengatur undang-undang. Tetapi terlepas dari pendefinisian-

85 Al-Qasṯalāni sebagaimana yang dikutip oleh Hasbi mengatakan, “Apabila Rasulullah Saw tidak melakukan sebuah amalan, maka tidak mengerjakan amalan tersebut termasuk sunnah.” Baca: Ash-Shiddieqy, Kriteria antara Sunnah dan Bid‟ah, h. 36. 86 Di dalam tulisannya Hasbi sudah memikirkan kemungkinan beberapa pihak yang akan mempertanyakan mengenai amalan yang ditinggalkan atau tidak dikerjakan oleh Nabi Saw dan mengatakan, “Bukankah amalan yang ditinggalkan oleh Nabi Saw dan dikerjakan oleh para sahabat sangat banyak?”. Ia menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan “meninggalkan sesuatu” adalah Nabi Saw meninggalkan amalan-amalan yang sebenarnya tidak ada halangan bagi beliau untuk mengerjakannya, seperti Nabi Saw meninggalkan azan (tidak mengumandangkannya) pada solat Hari Raya. Lihat: Ash-Shiddieqy, Kriteria antara Sunnah dan Bid‟ah, h. 35. 87 Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 128.

78

pendefinisian tersebut, hadis dan sunnah disepakati oleh ulama sebagai segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad Saw.

b. Kedudukan Sanad dan Matan dalam Kajian Hadis

Sanad dan matan merupakan dua komponen penting dari hadis yang keberadaan dan ketiadaannya sangat berpengaruh terhadap status diterima atau ditolaknya sebuah periwayatan. Para ulama bersepakat mengenai pentingnya pengetahuan mengenai sanad dan bahkan menyebutnya sebagai bagian dari agama. Sebagaimana perkataan Abdullah bin Mubārak (w. 181 H), “Sanad merupakan bagian dari agama, maka seandainya sanad hadis tidak ada, niscaya orang-orang akan dengan bebas mengatakan apa saja yang ia kehendaki.”88 Muhammad bin Sīrīn (w. 110 H) juga mengatakan, “Sesungguhnya pengetahuan mengenai hadis adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama itu.”89 Begitu pula dengan pentingnya pemahaman terhadap matan yang merupakan isi dari sebuah hadis. Karena apa artinya sebuah rangkaian sanad jika tidak disertai matan. Adapun mengenai pengertian sanad, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy memberikan definisi yang tidak jauh berbeda atau bisa dikatakan sama dengan definisi menurut para jumhur. Ia menuturkan bahwa sanad menurut bahasa berarti ssesuatu yang kita bersandar kepadanya, baik tembok atau selainnya. Sedangkan menurut istilah artinya jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadis.90 Sebagai contoh, ada seorang perawi mengatakan, “Telah mengabarkan kepadaku Nāfi‟, ia mendengar dari Abdullah bahwa Rasulullah Saw bersabda begini ….” Maka perkataan perawi yang berupa rangkaian nama yang disebutkan sampai kepada Nabi Saw dinamakan sanad.

88 Diriwayatkan oleh Iman Muslim di dalam kitab Shahihnya dengan redaksi sebagai berikut: وحدثُي يحًد بٍ عبد هللا بٍ قُ ْه صا َذ – يٍ أهم َي ْس َو - قال: سًع ُت َع ْبدا ٌَ ب ٍَ عثًاٌ يقىل: سًع ُت عبد هللا بٍ انًباز ِك يقىل: اإل ْسَُا ُد ِي ٍَ ان ّد ْي ٍِ نَ ْى الَ اإل ْسَُا ُد نَقَا َل َي ٍْ َشا َء َيا َشا َء Lihat: Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjāj Al Naisabūry, Sahih Muslim, Bab Muqadimah, Cet-1 (Beirūt: Dār al-Fikr, 2003), h. 17. 89 Ungkapan Ibnu Sīrīn ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya dengan redaksi sebagai berikut: حدثُا حسٍ بٍ انسبيع حدثُا حًاد بٍ شيد عٍ أيىب وهشاو عٍ يحًد بٍ سيسي ٍَ قال: إٌ هرا انعه َى ِد ْي ٌٍ, فاَظسوا َعً ٍْ تأخروٌ ِد ْيَُ ُك ْى Lihat: Al Naisabūry, Sahih Muslim, Bab Muqadimah, h. 16. 90 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Dirayah Hadits, Jilid I, Cet-4 (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 42.

79

Namun Hasbi juga menyebutkan bahwa rangkaian nama perawi yang sampai kepada Nabi Saw dapat disebut dengan ṯarīq, wajh, dan terkadang juga dinamai isnad.91 Hasbi mendefinisikan isnad sebagai menerangkan sanad hadis. Maka makna dari “Saya isnad-kan hadis” adalah saya sebutkan sanadnya, saya terangkan jalan datangnya riwayat ini. Dalam memahami makna sanad dan isnad, Hasbi memiliki langkah yang dapat mempermudah dalam membedakan kedua term tersebut dengan mengkategorikan keduanya seperti ism dan fi‟il. Ia memahami sanad sebagai bentuk dari “sesuatu”, sedangkan isnad merupakan kegiatan atau proses. Di samping sanad dan isnad, juga dikenal istilah musnid dan musnad. Musnid merupakan sebutan bagi orang yang meriwayatkan hadis dengan menyebutkan sanadnya, baik dia mengetahui benar tentang sanad tersebut ataupun tidak.92 Adapun yang dinamakan dengan musnad adalah hadis yang disebutkan dengan keterangan sanadnya sampai kepada Nabi Saw.93 Musnad juga merupakan sebutan untuk kitab hadis yang penyusunan babnya disesuaikan dengan daftar nama rawi tertinggi atau sahabat.94 Hasbi menyadari bahwa sanad merupakan bagian yang sangat penting dari sebuah hadis. Menurutnya, keberadaan sanad dalam Islam merupakan sebuah keistimewaan karena tidak ada agama lain yang mempunyai silsilah sanad bersambung seperti yang ada di

91 Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 147. 92 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Dirayah Hadits, Jilid 2, Cet-6 (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 384. 93 Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 147. 94 Terdapat beberapa tipologi penulis kitab hadis menurut para ulama yang salah satu di antaranya adalah kitab musnad. Di samping itu, juga dikenal kitab juz`u yang berarti kitab yang disusun dengan mengumpulkan hadis-hadis dengan satu tema seperti kitab al-Jihād dan al-Zuhūd karya Ibn al-Ṯābari. Selanjutnya juga dikenal kitab aṯrāf yang merupakan kitab yang penulisannya dengan menyebutkan potongan hadisnya saja/awal matan tanpa menyebutkan matan seluruhnya. Contoh kitab yang ditulis dengan tipe ini adalah Atrāf Shahīhain karya Abu Mas‟ūd Ibrāhīm bin Muhammad al-Dimasyq. Kemudian juga terdapat kitab al-Sunan yang yang disusun berdasarkan bab- bab fikih seperti kitab Sunan Abu Dawūd karya Abu Dawūd al-Sijistani. Selanjutnya juga dikenal kitab al-Mustadrak yang menghimpun hadis-hadis yang tidak terdapat di dalam kitab shahih seperti Shahih al-Bukhāri dan Shahih Muslim. Salah satu contoh kitab tergolong dalam jenis ini adalah al-Mustadrak „ala Sahīhaini karya Muhammad bin Abdullah al-Hākim al-Naisabūri. Di samping itu juga dikenal kitab al-Mustakhraj yang disusun dengan mengambil hadis dari kitab tertentu namun mengambil jalur sanad yang berbeda. penyusun kitab menempuh sanad dari gurunya, tapi gurunya mempunyai jalur sanad yang sama dengan sanad dari penyusun kitab yang ia takhrijatau dua guru tersebut bertemu pada rangkaian sanad di atasnya. Contoh kitab yang ditulis yang tergolong jenis ini adalah Mustakhraj Abu Awanah „ala Muslim. Selengkapnya lihat: Idri, Studi Hadis, Cet-3 (Jakarta: Prenada Media Group 2016) h. 112-128, dan Arif Wahyudi, “Mengurai Peta Kitab-kitab Hadits: Kajian Referensi atas Kitab- kitab Hadits,” Al-Ihkam 8, No.1 (Juni 2013): h. 5-7.

80

dalam Islam. Mungkin agama lain seperti Yahudi dan Nasrani juga menggunakan periwayatan, namun kebanyakan riwayat dari mereka tidak bersambung.95 Mengenai keutamaan sanad Hasbi mengatakan,

“Maka nyatalah keutamaan sanad, dengan dialah diketahui maqbūl dan mardūd mana yang sah diamalkan dan mana yang tidak sah diamalkan. Dialah jalan yang kita tempuh untuk menetapkan hukum syari‟at Islam.”96

Adapun matan menurut bahasa adalah tengah jalan, punggung bumi atau bumi yang keras dan tinggi. Sedangkan menurut istilah, matan adalah lafaz-lafaz hadis yang dengan lafaz-lafaz itulah terbentuk makna.97 Matan juga disebut sebagian bagian inti dari sebuah hadis karena berisi pesan dan berita yang disampaikan oleh Nabi Saw.98 Menurut Hasbi, sebuah hadis belum dapat dipandang shahih hanya karena sanadnya shahih, harus ada penelitian lebih lanjut terhadap kedudukan matannya. Mengenai hal ini ia mengatakan,

“Kemudian perlu kita ketahui bahwa hadis itu tidak dipandang shahih dengan karena sanadnya telah shahih, jika matannya nyata berlawanan dengan keterangan-keterangan yang lebih kuat daripadanya. Tidak cukup untuk menshahihkan sesuatu hadis, melihat kepada sanadnya saja, sebagaimana yang dilakukan oleh sebahagian ahli jumud dan taqlīd.”99

Dari pernyataan Hasbi di atas, telihat bahwa ia tidak ingin mengunggulkan salah satu dari sanad atau matan. Sikapnya ini seperti berada di tengah-tengah antara pemikiran Muhammad al-Ghazāli (w. 1996) dan al-Albāni (w. 1999). Al Ghazāli dikenal sebagai ulama yang lebih menekankan kajian matan dari pada kajian sanad hadis, sementara al-Albāni lebih menekankan kepada kajian sanad hadis. Bukan berarti menafikan keberadaan salah satunya, namun dari cara mereka dalam menyikapi sebuah hadis dan menentukan keshahihannya sangat bergantung pada matan hadis (menurut al-Ghazāli) dan sanad (menurut al-Albāni). Sebagai contoh, al-

95 Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Dirayah Hadits, Jilid I, h. 51 96 Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Dirayah Hadits, Jilid I, h. 49. 97 Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Dirayah Hadits, Jilid I, h. 44. 98 Suryadi, “Rekonstruksi Kritik Sanad dan Matan dalam Studi Hadis,” Esensia 16, No. 2 (Oktober 2015): h. 180. 99 Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Dirayah Hadits, Jilid I, h. 116.

81

Ghazāli berpendapat bahwa hadis yang sanadnya berstatus ḏa‟īf masih dapat digunakan sebagai dasar fatwa ketika matan hadis tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur'an dan ajaran Islam. Pada sisi lain al-Albāni mendha‟ifkan beberapa hadis di dalam Shahih al-Bukhāri dan Shahih Muslim karena kualitas dari sanadnya yang ia pandang tidak memenuhi persyaratan dari hadis shahih.100 Maka adalah Hasbi yang ingin kajian terhadap sanad dan matan imbang dan tidak berat sebelah. Hasbi menganggap sanad dan matan sebagai dua komponen penting yang membangun sebuah hadis. Secara teori, memang ia tidak banyak menjelaskan rincian mengenai sanad dan matan, namun perhatiannya terhadap keberadaan keduanya tergambar dengan jelas dari langkah-langkahnya dalam mensyarah hadis. Baik di dalam buku 2002 Mutiara Hadits maupun Koleksi Hadis-hadis Hukum yang merupakan karyanya dalam bidang syarah, sebelum masuk kepada penjelasan hadis, biasanya Hasbi menyebutkan terlebih dahulu kedudukan dari sanad hadis yang akan dibahas.101 Ia juga menjelaskan status perawi hadis, seperti tsiqah atau tidaknya rawi yang meriwayatkan. Demikian halnya Hasbi juga menaruh perhatian yang besar terhadap kajian matan hadis. Hal tersebut telihat dari caranya menambahkan satu kriteria (di samping lima kriteria yang sering digunakan oleh jumhur) dalam menetapkan keshahihan sebuah hadis, dan kriteria tersebut berhubungan dengan matan. Penjelasan mengenai hal tersebut akan dipaparkan pada pembahasan selanjutnya.

c. Kriteria Keshahihan Hadis

Al-Qur‟an dan hadis sama-sama mempunyai posisi istimewa dalam Islam, namun keduanya tidaklah sama. Kehujjahan al-Qur‟an bersifat ḏarūri (harus diterima dan diamalkan tanpa perlu diperiksa keabsahannya). Sedangkan hadis masih

100 Muhammad Nāsir al-Dīn al-Albāni, Ḏa‟īf al-Adab al-Mufrad, Penerjemah Hery Wibowo (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), h. 16. Lihat juga: Sri Purwaningsih, “Kritik terhadap Rekonstruksi Metode Pemahaman Hadis Muhammad Al-Ghazali,” Theologia 28, No. 1 (2017): 75-102. 101 Sebagaimana Hasbi mensyarah hadis tentang permulaan wahyu kepada Rasulullah Saw. Pada awal syarahannya, ia menjelaskan terlebih dahulu status hadisnya yaitu bagian dari hadis mursal. Hal tersebut dikarenakan Aisyah, selaku periwayat, tidak mendapati masa ketika hadis tersebut disampaikan. Aisyah mendengarnya dari sahabat yang lain. Selengkapnya lihat: M. Hasbi Ash- Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadiets, Jilid I, Cet-3 (Jakarta: Bulan Bintang, 1961), h. 322.

82

memerlukan penelitian lebih lanjut dalam rangka untuk membuktikan kebenarannya. Pasalnya ketika wahyu al-Qur‟an diturunkan, Nabi Saw langsung menyuruh para sahabat untuk menulisnya. Berbeda dengan hadis yang penulisannya tidak semarak al-Qur‟an dan hanya dicatat oleh beberapa sahabat saja di dalam catatan pribadi mereka.102 Sebelum pada akhirnya dikodifikasi pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (w. 101 H), selama kurang lebih seratus tahun hadis hanya beredar secara oral tradition (dari mulut ke mulut) dengan berpegang pada ingatan para sahabat.103 Dengan jangka waktu yang cukup lama ini, tentunya mustahil para perawi yang merupakan manusia biasa dapat luput dari keliru dan khilaf, sehingga penelitian terhadap kredibilitas mereka menjadi sesuatu yang sangat urgent.104 Para ulama menetapkan beberapa poin yang harus dipenuhi oleh sebuah hadis sehingga dapat digolongkan sebagai hadis shahih. Mannā‟ al-Qaṯṯān dan Nural-Dīn „Itr mengemukakan beberapa poin tersebut, antara lain ittisāl al-sanad, „adālah al- ruwāt, ḏabṯ al-ruwāt, „adam al-syudzūdz dan „adam al-illah.105 Lima kriteria ini juga dikemukakan oleh ulama seperti Muhammad „Ajaj al-Khātib, Mustafa al-Sibā`i dan

102 Beberapa sahabat diketahui telah menuliskan hadis yang mereka dengar dari Nabi Saw, seperti Abdullah bin Amru bin As, beliau mempunyai sahīfah yang dinamai sādiqah. Hal ini mungkin akan membuat beberapa orang bingung karena pada faktanya ada riwayat yang menyebutkan tentang larangan menulis hadis, sebagaimana sabda Nabi Saw, “Janganlah kalian menulis –apa yang kamu dengar dariku- selain al-Qur‟an. Barangsiapa yang menulis selain al-Qur‟an maka hapuslah.” (HR. Muslim Kitab al-Zuhd). Namun pada sisi lain juga ada riwayat yang menyebutkan bahwa pada saat Fath Makkah Nabi Saw menyuruh menulis perihal penyelesaian sebuah kasus dengan bersabda, “Tuliskanlah ini untuk Abu Syah!” (HR. al-Bukhāri Kitab al-Ilm). Mustafa Azami mengomentari dua hadis yang tampak kontadiktif ini dan mengungkapkan bahwa sejatinya tidaklah demikian. Ia menjelaskan larangan menulis yang dimaksud oleh hadis yang pertama disabdakan pada situasi dan kondisi khusus, sehingga larangan menulis hadis tidak berlaku untuk setiap saat. Di samping itu, menulis hadis yang dilarang adalah jika menulisnya pada lembaran yang sama dengan al-Qur‟an karena takut akan tercampur antara keduanya. Lihat: Radinal Mukhtar Harahap, “Hadis pada Masa Nabi Muhammad Saw dan Sahabat,” Al-Bukhāri: Jurnal Ilmu Hadis 1, No. 1 (Januari-Juli 2018): h. 42, dan Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Dirayah Hadits, Jilid 2, h. 77-81. 103 Namun yang penting untuk digaris bawahi disini adalah bahwa daya ingat yang dimiliki oleh para sahabat tentu berbeda dengan yang manusia pada umumnya. Abd al-Nasr, sebagaiman dikutip oleh Idri, menjelaskan bahwa Allah telah memberikan keistimewaan kepada para sahabat berupa kekuatan hafalan yang luar biasa, sehingga mereka dapat meriwayatkan al-Qur‟an, hadis dan syair dengan sangat baik, seakan-akan mereka membaca sebuah buku. Lihat: Idri, Studi Hadis, Cet-3 (Jakarta: Prenada Media Group, 2016), h. 35-36. 104 Erwati Aziz, “Fitrah Perspektif Hadith: Studi Kritik Sanad, Matan dan Pemahamannya,” Al-A‟raf 14, No. 1 (Januari-Juni 2017): h. 144-145. 105 Al-Ṯahhān, Taisīr Musṯalah al-Hadīs, h. 34 dan Nuruddin „Itr, Ulumul Hadis, Penerjemah Mujiyo Cet-2 (Banfung: Remaja Rosdakarya, 2012), h. 241-242.

83

disepakati oleh jumhur muhadditsīn menyetujuinya.106 Maka bisa dikatakan bahwa poin-poin tersebut sudah menjadi standar umum keshahihan sebuah hadis. Sebenarnya, jauh sebelum itu ulama seperti al-Bukhāri (w. 256 H) dan Muslim (261 H) telah memiliki kriteria tersendiri dalam menetapkan keabsahan sebuah hadis. Namun baik al-Bukhāri maupun Muslim tidak menjelaskannya secara lugas, ulama- ulama yang hidup setelah merekalah yang meneliti dan memetakan metode yang digunakan oleh keduanya. Dalam penelitian terhadap sanad hadis, al-Bukhāri menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi agar hadisnya digolongkan shahih. Syarat-syarat tersebut memiliki poin yang tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh ulama muta`akhkhirīn, antara lain perawi yang meriwayatkan harus adil, ḏābiṯ, tsiqah dan tidak mudallis, sanadnya harus bersambung (muttashil), tidak munqathi‟, mursal atau mu‟dhal. Adapun berkenaan dengan ittisāl al-sanad yang ditetapkan oleh al-Bukhāri, Ibnu Hajar al-Asqalāny (w. 852 H)107 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan bersambungnya sanad tidak hanya harus sezaman melainkan harus adanya liqa‟ (pertemuan) antara guru dan murid meskipun hanya sekali saja.108 Maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa al-Bukhari menetapkan syarat dari ittishal al-sanad, yaitu mengharuskan adanya mu‟assarah (sezaman) dan liqa‟ (pertemuan). Di samping itu itu, menurut Hammam Abdurrahim, al-Bukhari menetapkan beberapa kriteria tingkat perawi, yaitu: a) Tingkatan pertama adalah perawi yang

106 Lihat: Mustafa al-Sibā`i, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam: Sebuah Pembelaan Kaum Sunni, Penerjemah Nurcholish Madjid (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 61 dan Muhammad Ajaj al-Khātib sebagaimana dikutip oleh Aziz, “Fitrah Perspektif Hadith: Studi Kritik Sanad, Matan dan Pemahamannya”, h. 146. 107 Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Ali bin Muhammad Abu al-Faḏl al-Kināni al-Syāfi‟i, lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Hajr al-Asqalani. Ia lahir di Mesir pada bulan Sya‟ban tahun 773 H. Dikenal sebagai seseorang yang gemar dengan ilmu pengetahuan, Ibnu Hajr telah mengelilingi banyak negeri seperti Mekah, Hijāz, Syām, Irāq dan masih banyak lagi. Keilmuannya mencakup berbagai cabang, tidak hanya mempelajari hadis dan ilmu hadis, ia juga mendalami ilmu tafsir dan fiqih. Selama hidupnya ia berhasil mengarang 150 kitab yang meliputi beberapa cabang keilmuan seperti hadis, fiqih, ilmu al-Qur‟an dan tarikh. Dari semua karyanya ini, yang paling populer adalah Fath al-Bāri yang merupakan kitab syarah Shahih al-Bukhāri yang beliau karang selama bertahun-tahun. Biografi Ibnu Hajar selengkapnya lihat: Muhammad bin Ismā‟īl al-San‟ani, Subul al-Salam, Jilid I (Mesir: Maktabah Mustafa al-Bāb al-Halby, T.t), h.5. 108 Masrukin Muhsin, “Metode Bukhari dalam al-Jami‟ al-Shahih: Telaah atas Tashhih dan Tadh‟if menurut Bukhari,” Holistic al-Hadis 2, No. 2 (Juli-Desember 2016): h. 286.

84

dikenal sebagai seorang yang adil, ḏābiṯ dan lama bersama gurunya; b) Tingkatan kedua adalah perawi yang dikenal sebagai seorang yang adil, ḏābiṯ, namun sebentar bersama gurunya; c) Tingkatan ketiga adalah perawi yang lama kebersamaannya dengan gurunya namun kurang ḏābiṯ; d) Tingkatan keempat adalah perawi yang sebentar bersama gurunya dan kurang ḏābiṯ; dan e) Tingkatan kelima adalah perawi yang terdapat cela dan cacat pada dirinya. Dari lima tingkatan yang disebutkan di atas, al-Bukhāri memilih tingkatan yang pertama dari para perawi untuk di ambil periwayatannya.109 Ini menunjukkan bahwa keriteria yang dipakai oleh al-Bukhari berkualitas sangat tinggi. Muslim juga menerapkan kriteria keshahihan yang sama dengan al-Bukhāri, hanya saja yang menjadi perbedaan adalah mengenai standar dari ketersambungan sanad yang ditetapkan oleh keduanya. Menurut Muslim, walaupun sebuah hadis diriwayatkan secara „an‟anah asal diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah, maka predikat hadisnya sudah memenuhi status qabūl al-riwayah dan bisa dijadikan hujjah.110 Di samping itu, Muslim juga tidak mensyaratkan harus adanya liqa‟, jika sudah terbukti bahwa guru dan murid sezaman (mu‟assarah), maka itu sudah cukup menurutnya. Hal inilah yang mendasari para ulama lebih mengunggulkan kitab Shahih al-Bukhari daripada Shahih Muslim. Persyaratan dari shahihnya sebuah hadis tidak banyak mengalami perubahan. Karena terlihat bahwa para ulama muta`akhkhirīn juga menerapkan kaidah yang sama dengan yang telah digunakan oleh ulama terdahulu. Tidak ubahnya dengan Hasbi yang juga mengutarakan hal serupa mengenai kriteria keshahihan hadis. Ia mendefinisikan hadis shahih dengan:111 ما تصل سنده بنقل العدل الضابط عن مثلو وسلم من شذوذ وعلة

“Hadis yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh orang yang adil dan kokoh ingatannya, tidak terdapat keganjilan dan cacat yang memburukkannya.”

109 Muhsin, “Metode Bukhari dalam al-Jami‟ al-Shahih: Telaah atas Tashhih dan Tadh‟if menurut Bukhari, h. 287. 110 Marzuki, Kritik terhadap Kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, Jurnal Humanika Volume 6 No. 1, Maret 2006, h. 34. 111 Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 162.

85

Hasbi menuturkan bahwa tidak tergolong shahih semua hadis yang munqaṯi‟ dan mursal.112 Begitu pula tidak termasuk hadis shahih jika perawinya terdapat cacat dan tidak kuat hafalannya atau memiliki banyak kekeliruan. Adapun yang dimaksud dengan syādz menurut Hasbi adalah keganjilan seperti menyalahi riwayat dari orang- orang yang terpercaya. Terhindar dari „illat atau cacat maksudnya adalah tidak mengandung kesalahan-kesalahan yang tersembunyi. Sebagai contoh adalah didapatinya sebuah fakta bahwa di antara perawi yang meriwayatkan hadis ada yang tidak kuat hafalannya, padahal sebelumnya ia diketahui kuat ingatannya.113 Illat yang terdapat di dalam hadis hanya dapat ditemukan dengan pengkajian secara menyeluruh dan mendalam dan tidak sembarang orang dapat mengetahuinya. Dari lima syarat yang harus dipenuhi hadis shahih, tiga di antaranya berkaitan dengan sanad yang mencakup ketersambungan sanad, „adālah al-ruwāt dan ḏabṯ al- ruwāt, sedangkan dua lainnya berkaitan dengan matan. „Adālah al-ruwāt atau keadilan perawi tidaklah sama maknanya dengan adālah dalam syahādah (persaksian). Adil yang dimaksud dalam hal ini bukanlah menimbang sama rata. Di dalam disiplin ilmu hadis, seorang perawi akan digolongkan adil jika ia muslim, taklīf dan terbebas dari sebab-sebab kefasikan serta dapat mejaga murū`ah.114 Hasbi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan menjaga murū`ah adalah menjauhkan diri dari segala macam dosa besar. Ia juga menambahkan, bahwa periwayatan tidak terbatas untuk kaum laki-laki saja, wanita dan para budak riwayatnya juga dapat

112 Hadis munqaṯi‟ merupakan hadis yang sanadnya tidak bersambung dari semua sisi. Dari definisi ini, maka munqaṯi‟ mencakup hadis mursal, mu‟allaq dan mu‟ḏal. Sementara itu, hadis mursal adalah hadis yang gugur perawinya pada tingkatan sahabat. Ulama tidak sepenuhnya bersepakat mengenai status dari hadis mursal. Jumhur muhadditsīn dan beberapa ahli ushul dan fuqahā` berpendapat bahwa hadis mursal tergolong ḏa‟īf dan menganggapnya sebagai hadis yang tertolak atau mardūd karena tidak ada kepastian mengenai keadaan dari perawi yang gugur. Pendapat kedua mengatakan bahwa hadis mursal adalah shahih dan dijadikan hujjah. Pendapat ini masyhur di kalangan mazhab Abu Hanīfah, Mālik dan Ahmad. Mereka mengatakan bahwa mustahil para tabi‟in akan mengatakan, “Telah bersabda Rasulullah Saw…” kecuali jika mereka benar-benar mendengarnya dari para sahabat yang tsīqah. Pendapat terakhir datang dari al-Syāfi‟i yang mengatakan bahwa hadis mursal para tabi‟in senior dapat diterima dan dijadikan hujjah dengan syarat yang memursalkan hadis adalah dari golongan pembesar tabi‟in dan ada hadis dari jalur lain yang mendukungnya. Selengkapnya lihat: Al-Qattān, Taisīr Musṯalah al-Hadīs, h. 72-73. 113 Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 162. 114 Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Dirayah Hadits, Jilid 2, h. 32.

86

diterima. Adapun ḏabṯ, menurut Hasbi adalah perhatian penuh seorang perawi terhadap hadis (memperhatikan dan selalu memelihara hafalannya) yang ia terima dan memahami kandungan darinya hingga ia menyampaikannya kepada orang lain.115 Ia juga menambahkan, bahwa ḏabṯ-nya seorang perawi juga disyaratkan dengan harus menjaga kitabnya dengan baik, tidak disentuh oleh tangan-tangan kotor jika ia meriwayatkan dari catatannya. Karena orang yang lengah (mughaffal) tidak dapat diterima periwayatannya.116 Jika memperhatikan definisi ḏabṯ yang dikemukakan oleh Hasbi, tampaknya ia memilih tingkatan ḏabṯ yang paling tinggi.117 Terlepas dari lima syarat keshahihan hadis yang telah dijelaskan di atas, pada salah satu tulisannya Hasbi menambahkan hal lain yang menjadi kriteria hadis shahih. Menurutnya, sebuah hadis dapat digolongkan sebagai hadis shahih jika tidak bertentangan dengan nash mutawatir dan tidak menyalahi kaidah agama yang telah disepakati. Jadi, jika sebuah hadis memiliki sanad yang shahih namun tidak memenuhi dua syarat di atas, maka hadis tersebut tertolak. Hal ini tergambar dari caranya memahami hadis tentang Nabi Saw terkena sihir. Hadis tersebut diriwayatkan dari Aisyah r.a (w. 58 H), menyebutkan bahwa Nabi Saw pernah disihir oleh seseorang sehingga beliau merasa mendatangi isteri-isterinya padahal beliau tidak melakukannya. Beberapa ulama menolak hadis ini karena dianggap telah merendahkan derajat kenabian. Begitu pula halnya dengan Hasbi, meskipun hadis ini terdapat di dalam Shahih al-Bukhāri dan Shahih Muslim, ia tidak menerimanya

115 Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Dirayah Hadits, Jilid 2, h. 33. 116 Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Dirayah Hadits, Jilid I, h. 110. 117 Para ulama diketahui memberikan definisi yang beragam terhadap term ḏabṯ. Sebagaimana yang dikutip oleh Syuhudi Ismail di dalam salah satu bukunya, bahwa Ibnu Hajar al-Asqalāny mengartikan ḏābiṯ sebagai seorang yang kuat hafalannya terhadap apa yang ia dengar dan mampu menyampaikannya kapan saja ia menghendaki. Pada sisi lain juga ada ulama yang mengartikan orang yang ḏabṯ sebagai seseorang yang mendengarkan riwayat sebagaimana seharusnya, memahaminya dengan pemahaman yang mendetail dan menghafalnya secara sempurna hingga ia menyampaikannya kepada orang lain. Meskipun redaksi yang disampaikan oleh ulama berbeda-beda, prinsip mereka dalam mendefinisikan ḏabṯ sebenarnya sama. Dari definisi-definisi tersebut, Syuhudi kemudian merumuskannya menjadi beberapa tingkatan, yaitu perawi yang hafal dengan sempurna hadis yang diterimanya dan mampu menyampaikan dengan baik apa yang hafal kepada orang lain dan perawi yang hafal hadis yang ia terima dengan sempurna dan mampu menyampaikan apa yang ia hafal serta paham dengan baik hadis yang dihafalnya tersebut. Tingkatan yang kedua inilah yang digunakan Hasbi dalam mendefinisikan term ḏabṯ. Lihat: M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Cet-4 (Jakarta: Bulan Bintang, 2014), h. 140.

87

karena menurutnya hal ini bertentangan dengan nash mutawatir dan kaidah agama. Ia mengatakan,

“Apabila kita perhatikan sebab-sebab menolak sebuah hadis walaupun ia dipandang shahih sanadnya, yaitu berlawanan dengan nash-nash yang mutawātir dan berlawanan dengan kaidah agama yang disepakati, yaitu keharusan terpeliharanya Nabi daripada terkena sihir, maka hadis Bukhari dan Muslim ini haruslah ditolak.”118

Pada beberapa karyanya, Hasbi juga menyinggung tentang status hadis ḏa‟īf dan pengamalannya. Ia menjelaskan bahwa hadis ḏa‟īf tidak bisa menetapkan sebuah hukum, baik yang wajib maupun yang sunnah.119 Menurutnya, sebuah hukum haruslah berasal dari sumber yang kuat, dalam hal ini yang ia maksud adalah hadis shahih dan hasan. Sedangkan hadis ḏa‟īf tidak mempunyai kedudukan yang sama kuat dengan hadis shahih dan hasan. Beberapa ulama membolehkan penggunaan hadis ḏa‟īf jika berhubungan dengan faḏā`il al-a‟māl. Hasbi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan boleh menjadikan hadis ḏa‟īf dalam perkara faḏā`il al-a‟māl jika kedudukannya sekedar untuk menjelaskan keutamaan-keutamaan amal yang telah disebutkan di dalam hadis shahih atau hasan.120 Jadi jika hadis ḏa‟īf berdiri sendiri dan membuat hukum (yang sebenarnya tidak pernah dijelaskan di dalam hadis shahih atau hasan), maka hal tersebut tidak dapat diterima. Adapun perihal kehujjahan hadis ḏa‟īf, para ulama memiliki pandangan yang berbeda-beda. Al-Bukhāri dan Muslim menjelaskan bahwa hadis ḏa‟īf tidak dapat diamalkan secara mutlak, baik pada perkara ahkām maupun faḏā`il al-a‟māl, karena sebuah hukum harus didasarkan pada al-Qur‟an dan sunnah Nabi Saw yang shahih. Hal ini berbanding jauh dengan pendapat yang dipegang oleh Abu Dawūd (w. 275 H) dan Ahmad (w. 241 H). Sebagaimana yang dijelaskan oleh Nuruddin Itr dalam kitabnya bahwa Abu Dawūd dan Ahmad membolehkan penggunaan hadis ḏa‟īf dengan dalil bahwa hadis ḏa‟īf lebih kuat daripada ra`yi perorangan.121 Sementara itu, Ibnu Hajar berpendapat bahwa hadis ḏa‟īf boleh digunakan pada masalah faḏā`il al-

118 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Jilid VII (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 273. 119 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 5 (Bandung: Al-Ma‟arif, 1976) , h. 17. 120 Ash-Shiddieqy, Kriteria antara Sunnah dan Bid‟ah, h. 100. 121 Nuruddin Itr, Manhāj al-Naqd fi Ulūm al-Hadīs, Cet-2 (Beirūt: Dār al-Fikr, 1979) , h. 291.

88

a‟māl dengan beberapa syarat, yaitu jika ḏa‟īf-nya tidak berlebihan, atau perawi yang meriwayatkan bukan pendusta dan hadis tersebut tidak keluar dari kaidah Islam serta masuk dalam cakupan hadis pokok (juga dijelaskan dalam hadis shahih).122 Pendapat yang dipegangi oleh Hasbi lebih mendekati pendapat Ibnu Hajar, bahwa hadis ḏa‟īf dapat digunakan dalam perkara faḏā`il al-a‟māl dengan syarat hukum pokoknya sudah dijelaskan di dalam hadis yang lebih kuat statusnya. Dari pemaparan tentang kriteria keshahihan dalam perspektif Hasbi di atas, tampaknya ia tetap meneruskan pondasi yang telah dibangun oleh ulama-ulama klasik. Pondasi yang dimaksud adalah lima syarat khusus agar sebuah hadis digolongkan sebagai hadis shahih, meliputi ittisāl al-sanad, diriwayatkan dari perawi yang adil dan ḏābiṯ serta tidak mempunyai syazd dan „illat. Lima kriteria keshahihan hadis ini juga dikemukakan oleh beberapa ulama seperti Mannā‟ al-Qaṯṯān, Mahmūd al-Ṯahhān di dalam karya mereka.123 Namun Hasbi di dalam tulisannya mengungkapkan bahwa ada satu syarat lagi yang harus ditambahkan yaitu matan hadisnya tidak bertentangan dengan nash mutawatir dan juga tidak menyalahi kaidah agama yang telah disepakati.124

122 Abdul Rokhim, “Hadis Dla‟īf dan Kehujjahannya: Telaah terhadap Kontroversi Penerapan Ulama sebagai Sumber Hukum,” Al-Ihkam 1, No. 2 (Desember 2009): h. 194-195. 123 Penjelasan selengkapnya baca: Mannā‟ Al Qaṯṯān, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Penerjemah Mifdhol Abdurrahman (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 117 dan Mahmūd Al Ṯahhān, Taisīr Musṯalah al-Hadīs, Singapura-Jeddah: Al-Haramain, t.t), h. 34-35. 124 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Jilid VII (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 273.

BAB IV PEMAHAMAN HADIS T.M. HASBI ASH-SHIDDIEQY

A. Metodologi Pemahaman Hadis T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy memilih untuk menulis karya hadisnya dalam bahasa Indonesia bukan tanpa alasan. Pada berbagai kesempatan beliau mengungkapkan bahwa salah satu langkah yang harus ditempuh oleh akademisi Islam dalam negeri untuk mengembangkan kajian hadis di Indonesia adalah dengan menyuguhkan karya-karya yang ditulis dalam bahasa yang dapat dengan mudah dimengerti oleh masyarakat. Hal tersebutlah yang menjadi motivasi beliau, hingga akhirnya dengan semangat yang dimiliki ia berhasil menulis berbagai karya hadis yang cemerlang, termasuk dua karya besarnya mengenai syarah hadis yaitu “2002 Mutiara Hadis” dan “Koleksi Hadis-hadis Hukum”. Adapun terkait dengan metode pemahaman yang beliau gunakan dalam memahami hadis tercermin dengan jelas dari penjelasan yang terdapat di dalam karya syarahnya tersebut dan juga dari penjelasan secara sepintas di dalam karya-karyanya yang lain. Di bawah ini akan dipaparkan beberapa metode pemahaman hadis yang digunakan oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy.

1. Memahami Hadis dengan Petunjuk Al-Qur’an Untuk memahami hadis dengan benar dan agar tidak jatuh pada kekeliruan harus di bawah naungan al-Qur‟an. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa hadis dan al-Qur‟an memiliki hubungan yang integral dan saling mengikat.1 Hubungan antara keduanya dapat diibaratkan dengan simbiosis mutualisme. Bagaimana tidak, beberapa ayat al-Qur‟an yang sifatnya masih umum, penjelasan dan rinciannya dapat ditemukan di dalam hadis. Sebagai contoh, dalil tentang perintah mendirikan shalat yang tertera dengan tegas di dalam al-Qur‟an namun masih bersifat sangat umum. Semua tata cara dan ketentuannya dijelaskan oleh hadis. Demikian halnya dengan

1 Tasbih, Kedudukan dan Fungsi hadis sebagai Sumber Hukum Islam, Jurnal Al-Fikr Volume 14 No. 3, Tahun 2010, h. 331.

89

90

hadis yang keberadaannya senantiasa berkisar dalam cakrawala al-Qur‟an dan tidak pernah melampauinya.2 Dalam memahami hadis Hasbi selalu merujuk kepada al-Qur‟an. Hal ini tergambar dari pemahamannya terhadap hadis tentang syafa‟at berikut ini:

عن أيب ىريرة رضي اهلل عنو قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: لكل ن ٍّيب َد ْعَوةٌ فأريُْد إن شاء اهلل ِ ِ أن أَ ْختَ َيب د ْعوِت شفاعةً ألَُّميت يوَم القيامة )رواه البخاري ومسلم( “Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, telah bersabda Rasulullah Saw: Bagi tiap- tiap Nabi ada permohonannya, maka aku insyā`Allah akan menyimpan doaku untuk syafa‟at bagi umatku di Hari Kiamat.”3

عن أنس بن مالك رضي اهلل عنو قال: قال النيب صلى اهلل عليو وسلم: ك ُّل ن ٍّيب َسأََل ُسؤاالً, أو قال: ِ لكل ن ٍّيب َد ْعَوةٌ قَْد َدعا ّٔا فاستُجْيبَ ْت, ف َجَع ْل ُت َد ْعَوِت شفاعةً ألَُّميت يوَم القيامة )رواه البخاري ومسلم( “Dari Anas bin Mālik r.a. ia berkata, telah bersabda Nabi Saw: Tiap-tiap Nabi telah meminta sesuatu permintaan, atau Nabi Saw berkata: Bagi tiap-tiap Nabi ada do‟a yang diperkenankan, maka aku jadikan do‟aku syafa‟at bagi umatku di Hari Kiamat.”4

Zahir dari hadis di atas menunjukkan bahwa setiap Nabi mempunyai satu doa yang diyakini pasti akan dikabulkan oleh Allah Swt. Adapun Nabi Muhammad Saw menahan doanya yang pasti dikabulkan itu untuk beliau doakan pada Hari Kiamat sebagai syafa‟at untuk umatnya. Hasbi menjelaskan, hadis ini juga menunjukkan betapa besarnya kasih sayang dan perhatian Nabi Saw kepada umatnya.5 Nabi Saw tidak meminta hal lain ketika diberi kesempatan untuk meminta sesuatu yang pasti di- ijābah oleh Allah Swt, beliau lebih memilih untuk mentakhirkan doa tersebut pada

2 Amir Hamzah Nasution Dkk, “Kontribusi Pemikiran Yusuf Al-Qaradawi dalam Kitab Kaifa Nata‟amal Ma‟a As-Sunnah Nabawiyah,” At-Tahdis: Journal of Hadith Studies 1, No. 1 (Januari-Juni 2017): h. 148 3 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Cet ke-3, Jilid I (Jakarta: Bulan Bintang, 1961), h. 405. 4 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Cet ke-3, Jilid I, h. 405. 5 Nabi Muhammad Saw dikenal sebagai sosok yang penyayang. Kasih sayang yang ia beri tidak hanya kepada orang yang menyukainya saja, namun juga ia tunjukkan kepada orang yang memusuhinya. Banyak riwayat yang menceritakan tentang beberapa orang yang memusuhi dan bahkan berencana untuk membunuhnya, malah beliau balas dengan mendoakan orang tersebut dan justru memohon agar mereka diberi ampunan karena mereka tidak mengerti. Lihat: Usiono, “Potret Rasulullah sebagai Pendidik,” Ansiru 1, No. 1 (Juni 2017): h. 206.

91

saat yang benar-benar dibutuhkan dan memberikannya kepada umatnya dalam bentuk syafa‟at.6 Penjelasan Hasbi ini menujukkan bahwa ia membenarkan adanya syafa‟at yang diberikan oleh Nabi Saw untuk umatnya. Namun ia juga menyatakan bahwa syafa‟at itu sebenarnya tidak ada karena ada ayat al-Qur‟an menunjukkan ketiadaannya.7 Maka dalam hal ini yang ditolak oleh Hasbi adalah syafa‟at yang diberikan Nabi Saw kepada penghuni neraka agar mereka dikeluarkan dari neraka.8 Syafa‟at merupakan tema yang banyak diperbincangkan oleh ulama. Mayoritas ulama meyakini bahwa Nabi Muhammad Saw kelak pada Hari Akhir akan memberikan syafa‟at kepada umatnya, yang bahkan dengan syafa‟at beliau ada umat Islam terselamatkan dari siksa api neraka. Namun pendapat tersebut tidak bulat, karena ada ulama yang tidak sepakat dengan hal tersebut, salah satunya adalah Hasbi. Menurutnya, banyak ayat al-Qur‟an yang menunjukkan bahwa syafa‟at itu sebenarnya tidak ada sama sekali. Di antara ayat al-Qur‟an yang dimaksud adalah QS. Al-Baqarah: 254, QS. Hūd: 105; 108 dan QS. al-Anbiyā`: 28.9

ال بي ٌع فيها وال ُخلَّةٌ وال شفاعةٌ )سورة البقرة: 52ٕ( “(Yaitu hari) dimana tidak ada jual-beli dan tidak ada lagi syafa‟at.” ِ وال ي ْشَفعُون إال لَم ِن اْرتَ َضى )سورة األنبياء: 2ٕ( “Dan mereka tiada memberi syafa‟at melainkan kepada orang yang diridhoi Allah Swt.” ِ خالدين فيها مادامت السماوا ُت واألر ُض إال ماشاء َربُّ َك )سورة ىود: 1ٓٔ( “Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki.”

6 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Cet ke-3, Jilid I, h. 406. 7 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Cet-3, Jilid I, h. 408. 8 Syafa‟at terbagi menjadi beberapa macam, antara lain adalah syafa‟at yang diberikan Nabi Saw kepada umatnya pada saat di Padang Mahsyar, syafa‟at Nabi Saw kepada calon penghuni surga agar segera masuk ke dalam surga, syafa‟at Nabi Saw untuk meringankan siksa pamannya Abu Ṯālib di neraka dan syafa‟at yang diberikan sesama manusia (sebagaimana di dalam hadis dijelaskan bahwa jika seorang muslim wafat dan dishalatkan oleh lebih dari empat puluh orang jama‟ah maka ia berhak mendapatkan syafa‟at). Sumber: Abu Ibrahim Arman bin Amri, “Mengenal Syafa‟at,” diakses pada 8 Oktober 2019 dari https:// almanhaj.or.id/2734-mengenal-syafa‟at.html 9 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Cet-3, Jilid I, h. 407.

92

Ayat pertama menyatakan bahwa tidak ada lagi syafa‟at pada Hari Akhir, sedangkan ayat kedua menunjukkan bahwa syafa‟at hanya dapat diberikan kepada orang yang Allah Swt ridhoi. Ayat ketiga memberi pengertian bahwa setiap manusia yang telah terjerumus ke dalam neraka, maka tidak ada jalan keluar baginya, mereka kekal di dalamnya. Ayat-ayat ini menurut Hasbi merupakan dalil yang jelas menunjukkan bahwa sebenarnya syafa‟at itu tidak ada. Tidak ada yang dapat menyelamatkan manusia dari siksa neraka karena dosa yang telah ia perbuat selama di dunia. Satu-satunya yang bisa menyelamatkannya dari neraka adalah dirinya sendiri. Hasbi menjelaskan,

“Kalau demikian, maka tidak ada nash di dalam al-Qur‟an yang tepat dan tegas menyatakan adanya syafa‟at itu.”10

Ia melanjutkan penjelasannya, bahwa memang benar ada hadis yang menyatakan tentang keberadaan syafa‟at, Di antaranya:

ِ ِ ِ َشفا َعِيت ألَْىِل ال َكبَائِر م ْن أَُّميت فََم ْن َكَذ َب ّٔا مل ي َنَ ْلها “Syafa‟atku untuk orang-orang yang berdosa besar dari umatku. Maka barangsiapa yang mendustakannya (tidak percaya), tidak akan memperolehnya.”11

Namun menurutnya perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap makna syafa‟at yang diterangkan oleh hadis tersebut dan bagaimana keadaan syafa‟at di dunia dan di akhirat. Karena pendefinisian atas sesuatu akan sangat mempengaruhi seluruh aspek yang berkaitan dengannya. Adapun menurut bahasa syafa‟at12 berasal

10 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Cet-3, Jilid I, h. 408. 11 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Cet-3, Jilid I, h. 408. 12 Definisi syafa‟at yang dikemukakan oleh para ulama berbeda-beda sesuai dengan konteks atau nash yang sedang dibicarakan. Seperti halnya Abu al-Qāsim yang memaknai kata syafa‟at dalam QS. al-Fajar:3 dengan tiga definisi yaitu makhluk yang tersusun, hari Idul Aḏha dan keturunan Adam. Adapun al-Raghīb al-Asfhāni memaknai syafa‟at sebagai bergabung dengan yang lain untuk memberikan pertolongan. Al-Syaukāni mengartikannya sebagai menghubungkan orang lain kepada tuannya. Menurut Abu Bakr Jābir al-Jazairi syafa‟at adalah meminta orang lain menjadi perantara antara dirinya dengan seorang penguasa untuk menyampaikan apa yang ia perlukan. Muhammad Alwy al-Māliky memaknainya sebagai doa, sementara Abdul Aziz mengartikannya sebagai suatu pertolongan dari Allah Swt. Selengkapnya lihat: Abu al-Qāsim al-Husain bin Muhammad, Al- Mufradāt fi Gharīb al-Qur’ān (T.tp: Maktabah Nizar Mustafa al-Bāz, t.t.), h. 348, dan Fahruddien,

93

dari kata al-syaf’u (ganda) atau lawan dari kata al-witr (tunggal), yaitu menjadikan sesuatu yang witr menjadi ganda seperti satu menjadi dua dan tiga menjadi empat. Sedangkan menurut istilah, syafa‟at berarti memberikan manfaat kepada seseorang atau menolak mudharat, dalam hal ini yang dimaksud dengan memberikan manfaat adalah dengan memohonkan ampunan baginya dari dosa-dosanya.13 Pengertian inilah yang dipercayai oleh kaum muslimin hingga saat ini. Hal ini tidak sama dengan pemahaman yang dipegangi oleh Hasbi. Menurutnya, syafa‟at yang dikenal di dunia ini adalah seseorang meminta belas kasih agar orang yang dimintainya melakukan sebuah perbuatan atau meninggalkan yang sebaliknya. Sebagai contoh adalah seseorang yang dihukum meminta belas kasih dari hakim yang menimpakan hukuman terhadapnya. Maka hakim yang adil tidak mau menerima syafa‟at yang semacam ini. Jika ia memenuhi permohonan dari orang yang meminta belas kasih agar tidak diberi hukuman padahal sudah terbukti bersalah, maka ia tergolong hakim yang zolim. Hal seperti ini tidak mungkin dilakukan oleh Allah Swt di Hari Akhir nanti.14 Karena irādat Tuhan adalah menurut ilmu-Nya yang azali tidak dapat di ubah dan digantikan.15 Maka jika seorang manusia yang telah ditentukan untuk masuk neraka dikarenakan oleh dosa-dosanya, tidak ada seorang pun yang dapat mengubah ketentuan tersebut. Lebih lanjut, Hasbi menuturkan maksud dari hadis “Bagi tiap-tiap Nabi ada permohonannya, maka aku insyā`Allah akan menyimpan doaku untuk syafa’at bagi umatku di Hari Kiamat” lebih mengarah kepada kenyataan bahwa Allah Swt memberikan kemuliaan kepada pemohon syafa‟at (para Nabi). Ia mengatakan,

“Para muta`akkhirīn seperti Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa syafa‟at adalah doa yang dipanjatkan oleh Nabi lalu diperkenankan oleh Allah Sw. Dan syafa‟at dalam arti ini tidak berarti Tuhan surut (menghentikan) dari

“Syafa‟at dalam al-QUr‟an: Suatu Kajian atas Tafsir al-Maraghi” (Tesis S2 Pascasarjana IAIN Surakarta, 2017), h. 31-38. 13 Nurliana Damanik, “Konsep Syafa‟at dalam Perspektif al-Qur‟an dan al-Hadis”, Shahih: Jurnal Kewahyuan Islam (Jan-Des 2017): h. 72. 14 Manusia sebagai makhluk yang lalai dan tidak luput dari kesalahan tentu dapat melakukan hal yang zolim, namun mustahil hal tersebut terjadi kepada Allah Swt. Ia adalah zat Yang Maha Agung dan terhindar dari segala cela. 15 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Cet ke-3, Jilid I, h. 408.

94

kehendak-Nya lantaran permintaan seorang pemohon syafa‟at. Hanya saja melahirkan suatu kemuliaan terhadap pemohon syafa‟at. Tidak ada dalam syafa‟at ini sesuatu yang memenuhi kerakusan orang-orang yang tertipu dengan bermudah-mudah dan meringan-ringankan perintah agama karena berharap akan syafa‟at itu.”16

Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa Hasbi berupaya memahami hadis dengan cara membandingkan kandungannya dengan ayat al-Qur‟an yang menjelaskan tema serupa. Jika ternyata kandungannya bertentangan dengan yang dijelaskan oleh al-Qur‟an maka ia akan lebih memilih untuk berpegang kepada al-Qur‟an. Demikianlah langkah yang ditempuh Hasbi ketika memahami hadis syafa‟at. ia menyatakan bahwa syafa‟at tidak akan dapat menyelamatkan manusia dari api neraka sekalipun Nabi Muhammas Saw yang memintanya kepada Allah Saw, karena irādah- Nya tidak dapat diubah. Lalu timbul pertanyaan, bagaimana dengan hadis-hadis shahih yang menjelaskan tentang syafa‟at? Maka dalam hal ini hendaknya kita mencermati hal-hal yang menjadi kriteria hadis shahih menurut Hasbi. Selain dari lima kriteria yang sudah lumrah digunakan oleh para ulama, ia juga menetapkan satu persyaratan lagi yaitu tidak bertentangan dengan nash mutawātir. Ayat-ayat al-Qur‟an yang berkenaan dengan syafa‟at tidak dengan tegas menjelaskan mengenai keberadaannya, dan bahkan pada QS. al-Baqarah: 254 disebutkan bahwa pada Hari Akhir nanti tidak akan ada jual beli dan syafa‟at. Atas dasar inilah Hasbi kemudian menunjukkan sikapnya yang menolak keyakinan bahwa manusia dapat diselamatkan dan dikeluarkan dari neraka kerena syafa‟at dari Nabi Saw.

2. Mentakwil Hadis-hadis Musykīl Hadis musykīl adalah hadis yang sulit dipahami karena ada kata-kata yang janggal dan asing sehingga diperlukan ilmu khusus untuk memahaminya yaitu ilmu musykīl hadīs.17 Salah satu contoh pemahaman Hasbi terhadap hadis musykīl adalah tentang muslim makan dengan satu usus dan orang kafir makan dengan tujuh usus. Hadis tersebut berbunyi sebagai berikut:

16 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Cet ke-3, Jilid I, h. 409. 17 Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits: Paradigma Interkoneksi Berbagai Teori dan Metode Memahami Hadis Nabi (Yogyakarta: Idea Press, 2006), h. 83.

95

ِ ٍ عن ابن عمر رضي اهلل عنو قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: إن ادلؤم َن يأكلُ يف مًعى واحد ٍ وإن الكافَر أو ادلنافق يأكل يف سْبعة أمعاء )رواه البخاري ومسلم( “Dari Ibnu Umar r.a ia berkata: Rasulullah Saw bersabda, „Sesungguhnya orang-orang mukmin, makan dalam satu usus dan sesungguhnya orang kafir dan munafik itu makan dalam tujuh usus.”18 ِ عن أيب ىريرة رضي اهلل عنو قال: أن رُجًًل كان يأ ُك ُل أَ ْكًًل كثريا, فأسلَ َم فكان يأ ُكلُ أَ ْكًًل قلْيًل, فَُذكَر ِ ٍ ٍ ذلك للنيب صلى اهلل عليو وسلم فقال: إن ادلؤم َن يأك ُل يف مًعى واحد و الكافَر يأكل يف سْبعة أمعاء )رواه البخاري ومسلم( “Dari Abu Hurairah r.a ia berkata: Bahwasannya seorang lelaki selalu makan banyak, maka dia masuk agama Islam lalu dia makan sedikit. Hal tersebut diterangkan orang kepada Nabi Saw, kemudian beliau bersabda, „Sesungguhnya orang-orang mukmin, makan dalam satu usus dan orang kafir makan dalam tujuh usus.”19

Beberapa kalangan memandang asing bahkan sinis hadis ini karena redaksinya yang sulit diterima oleh akal. Bagaimana mungkin seorang mempunyai lebih dari satu usus disaat struktur tubuh manusia semuanya adalah sama, terlepas dari agama apapun yang ia anut.20 Maka menurut Hasbi hadis ini tidak dapat dipahami secara tekstual karena merupakan bentuk kiasan. Karenanya hendaklah hadis tersebut ditakwil. Ia mengungkapkan,

“Maksud hadis ini adalah menggambarkan bahwa orang mukmin merelekan sedikit yang diperoleh dari harta keduniaan, sedangkan orang kafir berlomba- lomba mencari keduniaan sebanyak mungkin. Juga memberi pengertian bahwa para mukmin dianjurkan supaya tidak terlalu banyak makan, karena yang demikian itu menimbulkan nafsu kebinatangan dan lain-lain yang menimbulkan kerusakan.”21

18 Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7 (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 92. 19 Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 92. 20 M. Fatih, “Pemahaman Hadis „Makan dengan Tiga Jari‟ dan „Perbedaan Usus Orang Mumin dan Orang Kafir Ketika Makan‟: Kajian Ma‟anil Hadits,” Progressa Journal of Islamic Religious Instruction 1, No. 1 (Februari 2017): h. 131. 21 Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 93.

96

Dari penjelasan di atas, hadis tentang perbedaan perut mukmin dan kafir dipahami Hasbi dengan dua makna. Pertama, bahwa orang mukmin hendaknya tidak tamak dengan kenikmatan duniawi karena ia bersifat fana, dan hal tersebut juga yang membedakan antara muslim dan kafir karena orang kafir lebih mendahulukan nafsu duniawi dibanding mengingat akhirat. Kedua, bahwa orang mukmin hendaknya tidak menganggap makan sebagai tujuan hidup, dengan rakus dan tidak kenal kenyang. Inilah yang menjadi poin pembeda antara mukmin dan kafir.22 Jika demikian, maka tidak ada yang perlu diragukan dari hadis tentang perbedaan usus orang mukmin dan kafir, karena maksud yang ingin disampaikan oleh Nabi Saw bukanlah tentang perbedaan anatomi susunan tubuh namun perbedaan sifat dan karakter yang dimiliki oleh keduanya. Selanjutnya adalah pemahaman Hasbi terhadap hadis tentang tidak ada iman pada orang yang berbuat maksiat. Hadis tersebut berbunyi:

ِ عن أبو ىريرة رضي اهلل عنو قال: قال النيب صلى اهلل عليو وسلم: ال يَزِِن الزاِن حَْْي ي َْزِن وىو مؤمن وال ِ يشَر ُب اخلمَر حْي يشرّٔا وىو مؤمن وال ي ْسرُق السارق حْي يسرق وىو مؤمن )وزاد يف رواية( وال ِ ٍ ِ يْنتَه ُب ن ُْهبَةً ذَا َت َشَرف ي َْرفَُع الناس إليو أبصاَرىم فيما حْي ي َْنتَهبُها وىو مؤمن )رواه البخاري ومسلم(

“Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, Nabi Saw bersabda: Tidaklah berzina seorang pezina, ketika ia berzina sedang ia beriman. Tidaklah sesorang minum khamar ketika ia meminumnya sedang ia beriman. (dalam riwayat lain ditambahkan) tidaklah seseorang merampas sesuatu hak orang lain yang mempunyai nilai tinggi, yang penglihatan manusia tertuju kepadanya, ketika ia merampasnya sedang ia beriman.”23

Hadis ini merupakan salah satu yang diperselisihkan maknanya oleh para ulama. Ada yang berpendapat bahwa orang yang bermaksiat telah hilang imannya

22 Dalam memahami hadis pada tema ini, Hasbi juga menyertakan beberapa hadis sebagai إن أه َم ان َّش ْبعِ فى اندوياهُم أ ْه ُم ان ُج ْو ِع َغ ًدا فى األخرة :penguat. Salah satunya adalah riwayat yang berbunyi “Sesungguhnya orang-orang yang sangat kekenyangan di dunia, itulah orang-orang yang menderita Barangsiapa banyak“ مه َكثُ َر تَفَ َّك ُرهُ قَ َّم َم ْط َع ُمهُ و َم ْه َق َّم تَفَ َّك ُرهُ َكثُ َر َم ْط َع ُمهُ يَ ْق ِسى قَ ْهبُه ُ kelaparan di akhirat”, dan bertafakkur, niscaya sedikitlah makannya, dan barangsiapa yang sedikit bertafakkur, niscaya banyaklah makannya dan kesatlah hatinya.” Kedua hadis ini menganjurkan umat Islam untuk tidak rakus dalam menghadapi makanan dan sederhana dalam meakan merupakan salah satu ciri orang yang gemar bertafakkur. Lihat: Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 94-95. 23 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 1, Cet-3, h. 451.

97

sementara sebagian yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah tidak sempurnanya imannya dan bukan hilang seluruhnya. Golongan Khawārij menjadikan hadis ini sebagai salah satu pegangan dalam mengkafirkan para pelaku dosa besar.24 Sementara itu Ibnu Battal (w. 449 H), sebagaimana dikutip oleh Muhammad Nuh, mengatakan bahwa hadis tersebut merupakan ancaman bagi pelaku maksiat. Ia juga menuturkan, bahwa yang dimaksud dengan iman dalam hadis tersebut adalah iman yang sempurna, maka jika seseorang bermaksiat imannya menjadi lebih rendah dibanding yang terbebas dari melakukannya.25 Dalam memahami hadis ini, Hasbi memandang perlu dilakukan pentakwilan karena mengingat ada hadis lain yang diriwayatkan dari Abu Dzar r.a. (w. 32 H) bahwa Nabi Saw bersabda, “Barangsiapa yang mengucapkan Lā Ilāha Illa Allah masuk surga walaupun ia berzina dan walaupun ia mencuri.” Ia juga menampilkan QS. An-Nisā`: 48, “Bahwasannya Allah tidak mengampuni dosa orang yang mempersekutukannya dan mengampuni dosa yang selain itu.” Dengan dasar dua nash ini, Hasbi menuturkan bahwa hadis tersebut tidak dapat dipahami dari zahirnya saja. Karena baik al-Qur‟an maupun hadis mengatakan hal yang sebaliknya.26 Jika memang pezina, pencuri dan peminum khamar tercabut iman dari hatinya, maka ia menjadi kafir, sedangkan orang yang kafir tidak masuk surga. Hal ini tentu berlawanan dengan kandungan hadis riwayat Abu Dzar dan ayat al-Qur‟an yang telah disebutkan di atas. Pada sisi lain Abu Ja‟far Muhammad bin Jarīr aṯ-Ṯhabary (w. 311 H) menyatakan bahwa makna hadis tersebut adalah dicabutnya semua nama baik (seperti wal-wali Allah) dari orang yang melakukan maksiat, kemudian dilekatkan gelar

24 Kaum Khawārij meyakini bahwa siapa saja melakukan dosa besar tergolong kafir. Pendapat ini bermula dari kekecewaan mereka terhadap peristiwa Tahkim hingga kemudian mereka menganggap kafir semua yang tidak berhukum dengan hukum Allah (QS. al-Mā`idah: 44). Keyakinan ini kemudian menjadi lebih luas sehingga melingkupi perihal martakib al-kabā`ir (capital sinner), yang juga mereka golongkan sebagai orang yang telah keluar dari agama Islam. Zina, mabuk-mabukan dan mencuri termasuk dosa besar, maka dari itulah mereka menyebut pelakunya sebagai tidak lagi beriman. Mereka pun menjadikan hadis ini sebagai penguat argumen mereka di samping al-Qur‟an. Selangkapnya lihat: Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Cet-6 (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), h. 31-32. 25 Muhammad Nuh Siregar, “Hadis tentang Keimanan Orang yang Berbuat Maksiat”, Shahih: Jurnal Kewahyuan Islam (Jan-Des 2019): h. 5-6. 26 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 1, Cet-3, h. 169.

98

“pencuri”, “pezina”, “pemabuk” kepada mereka. Hasbi secara pribadi menyatakan bahwa pelaku maksiat berkurang imannya bukan lenyap seluruhnya. Oleh karena itu pezina, pencuri, peminum khamar tidak dipandang kafir. Jika mereka bertaubat, maka gugurlah dosa mereka, namun jika perbuatan tersebut terus-menerus dilakukan maka itu merupakan urusannya dengan Allah Swt kelak di Hari Akhir.27 Ia menjelaskan,

“Apabila hadis ini dipegangi zahirnya, maka dipahami bahwa pezina kala ia berzina tercabut daripadanya iman dan tidak dipandang mukmin lagi, dan jika ditakwilkan makan pezina ketika berzina hanya dipandang kurang imannya.”

Dari dua keadaan ini Hasbi lebih memilih untuk mentakwil hadis tersebut. Ia juga memberikan makna kepada pencuri, peminum khamar dan pezina dengan perbuatan-perbuatan lain yang menurutnya masih dalam kategori yang sama. Menurutnya, hadis ini mencakup segala rupa maksiat. Zina yang dimaksud dari hadis pada pembahasan ini mencakup semua syahwat. Pencurian meliputi segala kegemaran pada keduniaan dan haus pada barang yang haram. Khamar mencakup semua yang menghambat manusia dari mengingat Allah Swt dan menyebabkan lalai dari menunaikan hak-hakNya.28 Maka sekalipun perbuatan maksiat seperti berzina, mencuri dan meminum khamar tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam, tetap saja harus dihindari. Termasuk hal-hal yang merupakan indikasi-indikasi dari ketiga perbuatan tersebut, juga harus dijauhi dan ditinggalkan. Selanjutnya adalah pemahaman Hasbi terhadap hadis tentang Nabi Musa memukul malaikat maut yang datang menemuinya. Disebutkan dalam sebuah riwayat:

ِ عن أيب ىريرة رضي اهلل عنو قال: أُرِشل ملَ ُك ادلوت إىل موسى عليهم السًلم. فلما جاءهً ص َّكو فَ َفَقأَ ْ َ َ َ َُ َ ُ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ َعْي نَوُ فَرَج َع إىل ربّْو.فقال: أْرَسْلتَين إىل َعْبد ال يُريُْد ادلو َت. فَ َرَّد اهللُ عليو َعْي نَوُ وقال: اْرج ْع فُق ْل لَوُ يَ َض ُع ِ ٍ َّ ٍ يََدهُ على َمْْت ث َْور. فلو ب ُك ّْل ما َغط ْت بو يََدُىب ُك ّْل َشْعَرة َسنَةٌ. قال: أي ريب! ُُثَّ ماذا؟ قال: ُث ادلو ُت.

27 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 1, Cet-3, h. 170. 28 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 1, Cet-3, h. 171.

99

قال: فاآل َن. فَسأََل اهلل أن ي ْدنِيو من األرض ادلَقدسِة رميةً حبجٍر. قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو َ َ ُ َُ ُ ََْ َِّ ِ ِ ِ ِ وسلم: فَ لَْو ُكْن ُت ُُثَّ ألَريْ تُ ُك ْم قْب َرهُ إىل جانب الطريق عند ال َكثْيب األ ْْحَر )رواه البخاري ومسلم( “Dari Abu Hurairah r.a ia berkata, „Malaikat maut diutus untuk mendatangi Nabi Mūsa. Ketika sampai di tempatnya Mūsa, beliau memukul malaikat itu, sampai lepas matanya. Kemudian Malaikat ini kembali menemui Rabbnya. Ia mengadu, „Engkau mengutusku untuk menemui hamba yang tidak menghendaki kematian.‟ Kemudian Allah mengembalikan matanya, dan berfirman, „Kembali temui Mūsa, sampaikan kepadanya, „Silahkan dia letakkan tangannya di punggung sapi, maka usia Mūsa akan ditambahkan sejumlah bulu yang ditutupi tangannya, setiap satu bulu dihitung satu tahun.‟ Mūsa bertanya, „Wahai Rabbku, lalu setelah itu apa yang terjadi?‟ Allah menjawab, „Setelah itu, mati.‟ Mūsa berkata, „Kalau begitu, sekarang saja.‟ Lalu Musa memohon kepada Allah agar didekatkan ke tanah suci (Baitul Maqdis), sejauh lemparan sebuah batu‟, Abu Hurairah berkata: Rasulullah Saw bersabda, „Sekiranya aku berada disana, tentulah aku perlihatkan kuburannya di pinggir jalan di sisi tumpukan pasir merah‟.”29

Sebagian ulama kontemporer memandang hadis di atas sebagai hadis musykil karena redaksinya yang dianggap sulit diterima oleh akal sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.30 Malaikat merupakan makhluk mulia dan mempunyai kedudukan yang istimewa karena ketaatannya kepada Allah Swt.31 Pada sisi lain, bagaimana mungkin seorang Nabi yang merupakan manusia pilihan melakukan aksi seperti memukul malaikat hingga matanya terlepas. Beberapa keadaan yang diceritakan di dalam hadis tersebut memerlukan penjelasan lebih mendalam agar kandungannya tidak disalahpahami. Hasbi menjelaskan hadis ini dengan cara mentakwilnya. Ia mengatakan,

“Dan dapat juga hadis ini kita takwil. Maksudnya, Mūsa dapat mengalahkan hujjah malaikat maut dalam perdebatan. Sedangkan yang dimaksud dengan Allah mengembalikan mata malaikat maut adalah memenangkan hujjahnya atas hujjah Mūsa.”32

29 Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 552. 30 Nizar Ali, Hadis Versus Sains: Memahami Hadis-hadis Musykil (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2008), h. 72. 31 Abd Kahar, “Eksistensi dan Keistimewaan Malaikat Jibril AS dalam Al-Qur‟an”, JPIK 1, No. 2 (September 2018): h. 286. 32 Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 560.

100

Namun Hasbi juga tampaknya tidak begitu teguh dengan pendapatnya karena pada penjelasan lebih lanjut terhadap hadis ini ia juga menyebutkan bahwa Nabi Mūsa mengira yang datang menemuinya adalah manusia yang hendak berbuat jahat kepadanya. Maka karena itulah ia memukul wajah orang yang datang menemuinya tersebut.33 Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa Hasbi tidak memahami hadis musykīl secara tekstual. Ia memahaminya dengan memalingkan makna zahirnya kepadanya makna yang lebih tepat dan lebih dapat diterima. Hasbi membedakan kandungan hadis yang bermakna sebenarnya dengan makna yang berbentuk kiasan. Langkah ini juga digunakan oleh ulama hadis yang lain, seperti Yūsuf al-Qarḏāwi. Di dalam salah satu karyanya yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul “Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw” ia juga menyebutkan metode tersebut.34 Untuk memahami hadis-hadis yang tidak bermakna hakiki atau mengandung kiasan, hendaklah ditakwil. Demikian yang dijelaskan oleh Hasbi dan Yūsuf al-Qarḏāwi. ال – يأول - ) Adapun takwil secara bahasa berasal dari kata ala-ya`ūlu-aulan yang berarti kembali. Sedangkan menurut istilah, takwil adalah mengembalikan (اوال atau memalingkan makna harfiyah sebuah teks kepada maknanya yang tersembunyi.35 Hasbi menuturkan bahwa jika ditemukan pertentangan antara akal dan naql maka jalan yang harus ditempuh adalah takwil bagi naql. Untuk mendukung penyataannya tersebut ia mengutip perkataan Ibnu Rusyd (w. 594 H) di dalam Fashl Maqāl, “Jika syara‟ menurut lahirnya berlawanan dengan akal, hendaklah ditakwilkan.” Dalam proses takwil, Hasbi memberikan beberapa rambu-rambu yang harus diingat dan dipatuhi, yaitu: a) Tidak boleh menafsirkan nash sekedar agar menyesuaikannya dengan akal tanpa memperdulikan riwayat yang shahih b) Takwil hanya boleh diterapkan pada nash-nash selain sifat Tuhan dan aqā`id karena nash

33 Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 558. 34 Kitab aslinya berjudul Kaifa Nata’āmal Ma’a al-Sunnati al-Nabawiyyah dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan juga telah beberapa diterbitkan. Adapun penjelasan Yūsuf al-Qarḏāwi mengenai metode membedakan makna hakiki dan kiasan, lihat: Yūsuf al-Qarḏāwi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, Penerjemah Muhammad al-Baqir, Cet- 4 (Bandung: Karisma, 1995), h. 167-188. 35 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 7 (Jakarta: Lentera hati, 2006), h. 353.

101

tentang kedua hal tersebut harus dipahami sesuai dengan pemahaman salaf, sahabat dan tabi‟in c) Takwil boleh diterapkan terus-menerus pada nash-nash yang tidak berhubungan dengan sifat Tuhan dan aqā`id, asalkan tidak merusak suatu ketetapan syara‟ yang sudah jelas dan tegas hukumnya.36 Maka dari pernyataan Hasbi di atas, telihat bahwa menurutnya ada beberapa hal yang menjadikan sebuah hadis digolongkan sebagai hadis musykīl sehingga menghendaki pentakwilan, antara lain: Pertama, ketika redaksinya sulit untuk diterima akal. Contohnya ia mentakwil Hadis tentang muslim makan dengan satu usus dan orang kafir makan dengan tujuh usus karena hal tersebut dan hadis tentang Nabi Musa As. memukul malaikat maut yang datang menemuinya. Kedua, ketika redaksinya tidak satu alur dengan yang dijelaskan oleh hadis yang lain.37 Hal ini tergambar dari pemahamannya terhadap hadis tentang tidak ada imam di dalam hati para pemaksiat (pezina, pencuri dan peminum khamar).

3. Merujuk pada Sejumlah Referensi Dalam memahami hadis, Hasbi banyak merujuk kepada pendapat-pendapat para ulama. Langkah ini sebenarnya tidak hanya diterapkan oleh Hasbi, namun juga oleh kebanyakan ulama lainnya. Seperti halnya Ibnu Hajr al-Asqalāni di dalam Fath al-Bāri, tidak jarang beliau mengutip pendapat dari ulama lain sebagai referensi.38 Adapun Hasbi dalam memahami hadis merujuk kepada pendapat-pendapat para fuqahā` seperti imam mazhab yang empat. Di samping itu ia juga mengutip perkataan muhadditsīn seperti Ibnu Hajar (w. 852 H) dan al-Nawawi (w. 676 H). Bahkan dapat dikatakan bahwa Hasbi sangat menjadikan dua ulama ini sebagai panutan, karena hampir pada setiap penjelasan hadis, pendapat dari dua ulama ini tidak pernah

36 N. Shiddiqi, Fikih Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 130-131. 37 Namun tidak semua hadis yang semacam ini harus ditakwil karena Hasbi juga menawarkan metode lain jika sebuah hadis redaksinya tampak bertentangan dengan hadis yang lain. Hal ini akan akan dijelaskan pada pembahasan tersendiri. 38 Sebagai contoh Ibnu Hajar merujuk kepada pendapat Imam al-Syāfi‟i, Ahmad bin Hanbal, Ishāq bin Rāhawaih dan lain-lain yang dinukil oleh Abu al-Qāsim al-Lālikā‟i di dalam Kitāb al- Sunnah. Ia juga merujuk kepada pendapat Sufyān al-Tsaury, Mālik bin Anas al-Auzā‟i dan ulama- ulama fikih lainnya yang dinukil oleh Abd al-Razzāq di dalam musannaf-nya. Lihat: Ahmad bin Ali bin Hajr al-Asqalāni, Fath al-Bāri bi Syarh Sahīh al-Bukhāri, Jilid 1 (Riyāḏ: Dār al-Ṯibah, 2005), h. 95.

102

ketinggalan. Ia juga merujuk kepada pendapat ulama seperti Ibnu Qudamah (w. 629 H), al-Baghāwi (w. 516 H) dan Ibnu Daqīq al-Īed (702 H). Pemahaman Hasbi terhadap hadis dengan merujuk kepada berbagai referensi atau pendapat para ulama tercermin dari penjelasannya terhadap hadis tentang kewajiban shalat Jum‟at. Penjelasannya tentang shalat Jum‟at sedikit berbeda dengan yang menjadi keyakinan umat Islam kebanyakan. Selama ini, pemahaman yang berkembang di masyarakat, terutama di Indonesia, adalah shalat Jum‟at wajib untuk laki-laki dengan jama‟ah harus lebih dari 40 orang.39 Di samping itu, khotbah merupakan salah satu rukunnya dan siapa saja yang benar-benar memiliki uzur atau halangan untuk tidak shalat Jum‟at berjama‟ah di masjid, maka ia melaksanakan shalat Zuhur. Namun hal ini sangat berbeda dengan penjelasan yang dikemukakan oleh Hasbi. Menurutnya, pada hari Jumat tidak ada shalat Zuhur empat rakaat karena sudah diganti oleh shalat Juma‟at dua rakaat.40 Shalat Jum‟at diwajibkan untuk semua kaum muslimin, baik laki-laki maupun perempuan. Jika berhalangan tidak ke masjid, maka tidak mengapa melakukannya sendirian di rumah karena mendengarkan khotbah bukanlah rukun dan syarat dari shalat Jumat. Jadi, bagi siapa yang tidak sempat melaksanakan shalat Jumat di masjid, ia boleh shalat dimanapun ia bisa, dan bukan shalat Zuhur tapi shalat Jumat. Berkenaan dengan hal ini Hasbi berkata:

“Sesungguhnya jama‟ah shalat Jum‟at itu tidak diisyaratkan mempunyai bilangan tertentu. Perbedaan antara jama‟ah Jum‟at dengan jama‟ah yang lain- lain hanyalah pada khutbah saja. Karena itu, wajiblah atas tiap-tiap segolongan manusia mendirikan shalat Jum‟at, dimana saja ia berada. Dan tidak boleh seseorang mengundurkan diri dari jama‟ah Jum‟at dan tidak boleh mendirikan Zuhur hanya karena bilangan jama‟ahnya tidak banyak. Juga tidak boleh mendirikan Zuhur sesudah ber-Jum‟at yang dikerjakan dengan bilangan yang tidak cukup banyak itu (40 orang). Tidak dapat diragui bahwa mengerjakan shalat Zuhur sesudah shalat Jum‟at atas jalan ikhtiyāṯ, adalah

39 Pendapat ini disandarkan pada ajaran Mazhab Syafi‟i yang banyak dipakai oleh masyarakat Indonesia. Sedangkan Mazhab Hanafi menyatakan bahwa minimal jumlah jama‟ah adalah tiga orang, Mazhab Maliki dua belas orang. Menurut Ibnu Hajr terdapat lima belas pendapat, dan yang paling banyak adalah delapan puluh jama‟ah. Lihat: Ali Abubakar, “Reinterpretasi Shalat Jumat: Kajian Dalil dan Pendapat Ulama”, Media Syariah XIII, No. 2 (Juli-Desember 2011): h. 171. 40 N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 179.

103

bid‟ah muhdatsah. Orang yang mengerjakannya berdosa karena yang demikian berarti menambahkan agama.”41

Mengenai kewajiban shalat Jum‟at, Hasbi menampilkan beberapa hadis, antara lain sebagai berikut:

ِ عن عبد اهلل بن َعمر قال: قال النيب صلى اهلل عليو وسلم: اجلُُمَعةُ على َم ْن ََس َع النَّْداء َ )رواه أبو داود( “Dari Abdullah bin Amr ia berkata, Nabi Saw bersabda: Jum‟at itu wajib bagi mereka yang mendengar seruan (azan).”42 ِ ِ ِ عن حفصةَ قالت: إن النيب صلى اهلل وسلم قال: َرَوا ُح اجلُُمَعة واج ٌب على كل ُُْمتَلٍم )رواه الشوكاِن يف الُدرر ادلضية( َ ُ “Dari Hafsah ia berkata, bahwasannya Nabi Saw bersabda: Pergi ke Jum‟at itu wajib bagi mereka yang sudah bermimpi (sudah sampai umur).”43

Dari dua hadis di atas, Hasbi menjadikannya dalil dari diwajibkannya shalat Jum‟at untuk masing-masing pribadi muslim sebanyak dua raka‟at. Pemahaman ini ia sandarkan kepada hadis Umar, “Sembahyang Jum‟at dua raka‟at, sembahyang musafir dua raka‟at, sempurna bukan qashar.” Ia juga mengatakan bahwa tidak mengapa tidak melakukannya secara berjam‟ah jika memang berhalangan, namun tetap harus melaksanakannya ketika sendirian. Hasbi sendiri telah menyatakan bahwa shalat Jum‟at dinamakan shalat Jum‟at bukan karena dilaksanakan secara berjama‟ah tapi karena ia dilakukan pada hari Jum‟at. Sehingga sekalipun tidak dilakukan secara berjama‟ah, tidak apa-apa.44 Ia mengatakan,

“Sebab dinamai shalat Jum‟at dengan shalat Jum‟at ialah karena kita mengerjakannya pada hari Jum‟at, sebagaimana halnya „Ied. Dinamainya dengan shalat „Ied disebabkan kita mengerjakannya pada hari „Ied (raya).”45

41 Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, Cet-11 (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 389. 42 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV (Bandung: PT Al-Ma‟arif, 1974), h. 209. 43 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 209. 44 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 218. 45 Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, Cet-11, h. 393.

104

Pendapatnya mengenai kebolehan melaksanakan shalat Jum‟at sendirian ia kuatkan dengan mengutip pentahqiqan yang dilakukan oleh Muhammad Ahmad Syakir (w. 1377 H), yaitu jama‟ah bukanlah syarat sah shalat Jum‟at, hanya saja jika dengan sengaja meninggalkan jama‟ah padahal tidak ada halangan maka orang tersebut akan berdosa. Lebih lanjut Hasbi menjelaskan bahwa apabila seseorang tidak menghadiri jama‟ah Jum‟at ke masjid, hendaklah ia mengerjakan dua raka‟at juga (shalat Jum‟at sendirian). Karena menurutnya, “Tidak ada hadis –walau satupun- yang menyuruh mengerjakan Zuhur karena tidak menghadiri jama‟ah Jum‟at.” Hasbi juga menambahkan, “Jika saja ada yang mengatakan bahwa Nabi Saw tidak pernah melakukan shalat Jum‟at dengan tidak berjama‟ah, yang demikian itu menunjukkan bahwa wajib berjama‟ah, maka kami akan menjawab, „Shalat fardhu yang lain pun tidak pernah Nabi Saw lakukan dengan tidak berjama‟ah, apakah berjama‟ah menjadi syarat sahnya?‟.”46 Di samping itu, Hasbi juga menjelaskan sebuah hadis tentang orang-orang yang gugur dari kewajiban shalat Jum‟at berjama‟ah. Hadis tersebut berbunyi sebagai berikut: ِ عن طارق بن شهاب قال: قال النيب صلى اهلل عليو وسلم: اجلُُمعة ح ّّق واج ٌب على كل مسلٍم يف ٍ مجاعة إالّ أربعةً, عبٌد مملُوٌك أو اْمَرأةٌ أو َصِّّيب أو مري ٌض “Dari Ṯāriq bin Syihāb ia berkata, Nabi Saw bersabda: Jum‟at adalah hak yang wajib (tugas yang diberatkan) kepada setiap muslim dalam berjama‟ah, kecuali empat golongan yaitu budak yang dimiliki, wanita, anak kecil dan orang yang sakit.”47

Menurut Hasbi, potongan hadis yang berbunyi “Jumat itu hak wajib bagi tiap- tiap muslim dalam berjama‟ah kecuali bagi empat golongan yaitu hamba sahaya, wanita, anak kecil dan orang sakit” menunjukkan bahwa mereka tidak wajib untuk shalat Jum‟at berjama‟ah di masjid, bukan berarti tidak wajib mengerjakan Jum‟at.48 Karena yang dipahami oleh Hasbi bahwa shalat Jum‟at adalah wajib bagi seluruh

46 Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, Cet-11, h. 393. 47 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 210. 48 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 219.

105

kaum muslimin, sehingga sekalipun ada golongan yang dikecualikan oleh Nabi Saw dari kewajiban untuk berjama‟ah, tetap wajib untuk mendirikannya di manapun ia berada dan dalam kondisi apapun yang sedang ia hadapi. Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa beberapa hal yang dipahami Hasbi dari hadis-hadis tentang shalat Jum‟at adalah: Pertama, hukum shalat jum‟at adalah wajib ‘ain.49 Kedua, shalat Jum‟at adalah pengganti Shalat Zuhur pada hari Jum‟at, jadi seandainya seseorang berhalangan tidak dapat berjama‟ah maka orang tersebut wajib shalat Jum‟at dan hal ini berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Ketiga, khutbah bukanlah rukun shalat Jum‟at, jadi tidak mengapa jika shalat Jum‟at dilakukan tidak berjama‟ah jika sedang mempunyai uzur sehingga tidak dapat melaksanakannya secara berjama‟ah. Keempat, menurut Hasbi yang dimaksud dengan empat golongan yang dikecualikan dari perintah untuk shalat Jum‟at adalah mereka yang tidak berkewajiban untuk melaksanakan shalat Jum‟at secara berjama‟ah namun tetap wajib melaksanakannya di rumah. Dalam memahami hadis dengan tema shalat Jum‟at ini, Hasbi juga merujuk kepada pendapat beberapa ulama seperti Ibnul Mundzir (w. 319 H) yang mengatakan bahwa shalat Jum‟at adalah fardhu „ain. Pada sisi lain Al-Khaṯṯābi (w. 388 H) menyatakan bahwa di antara para ulama ada yang menetapkan hukum shalat Jum‟at sebagai fardhu „ain dan ada juga yang fardhu kifayah. Kebanyakan fuqaha‟ yang menetapkan fardhu kifāyah adalah dari pendapat Syafi‟iyah dalam al-Qadim. Dengan menyandarkan pendapatnya kepada Ibnul Araby (w. 543 H), Hasbi membantah pernyataan dari al-Khaṯṯābi (w. 388 H) mengenai kalimat “kebanyakan ulama”, karena menurutnya imam yang empat telah muwāfakat menetapkan bahwa shalat Jum‟at adalah fardhu „ain walaupun masing-masingnya mempunyai syarat-syaratnya tersendiri. Hasbi mengatakan,

49 Wajib ‘ain adalah suatu kewajiban untuk mengerjakan perintah Allah Swt dan wajib mutlak harus dilakukan oleh tiap-tiap individu muslim. Contoh amalan yang hukumnya wajib „ain adalah shalat lima waktu dan puasa Ramadhan. Di samping itu juga dikenal istilah wajib kifayah yang merupakan suatu kewajiban yang tidak menghendaki seluruh individu untuk melakukannya, jika pada suatu lingkungan ada sebagian orang yang melaksanakannya maka hal tersebut sudah cukup. Contoh amalan yang hukumnya wajib kifayah adalah mengurus jenazah hingga menguburkannya dan membersihkan masjid.

106

“Menurut penyelidikan kami sesudah memperhatikan pendapat-pendapat fuqaha` dan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan masalah ini, bahwasannya Jum‟at itu diwajibkan atas tiap-tiap pribadi (mukallaf) sebanyak dua rakaat, baik dikerjakan sendiri-sendiri maupun dikerjakan atas berjama‟ah. Jum‟at itu bukanlah diwajibkan atas jama‟ah saja, tetapi diwajibkan atas masing-masing pribadi, dalam arti baik dikerjakan sendiri- sendiri ataupun dikerjakan berjama‟ah, tetap dikerjakan sebanyak dua raka‟at.”50

Dari pernyataan Hasbi di atas dapat dipahami bahwa menurutnya jika seseorang tidak mengerjakan shalat Jum‟at berjama‟ah maka harus menggantinya dengan shalat dua raka‟at sendirian.51 Pendapat ini ia sandarkan kepada pentahqiqan ulama yang ia kutip untuk memperkuat penjelasannya. Maka di sini tampak bahwa salah satu metode yang digunakan oleh Hasbi dalam memahami hadis adalah dengan merujuk pada beberapa referensi. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa ijtihad-ijtihad yang dilakukan oleh para ulama sangat membantu proses pemahaman hadis, terutama dengan membandingkan satu perndapat dengan pendapat lainnya untuk menemukan yang lebih tepat dan mendekati kebenaran.

4. Mengkompromikan Hadis-hadis Mukhtalīf Hadis yang disampaikan oleh Nabi Saw tidak semuanya dapat langsung dipahami dengan melihat redaksinya saja, ada sebagian darinya yang memerlukan kajian lebih lanjut dan mendalam. Salah satu hadis yang harus dikaji secara mendalam adalah hadis-hadis yang terlihat bertentangan atau hadis mukhtalīf. Kajian terhadap hadis mukhtalīf mendapat sorotan lebih dari para ulama, tercermin dari upaya mereka dalam melahirkan karya-karya pada bidang tersebut.52 Adapun mengenai definisinya, hadis mukhtalif diartikan sebagai hadis maqbūl yang redaksinya kontradiktif dengan hadis maqbūl lainnya dan memungkinkan untuk

50 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 217. 51 Ridwan Hasbi, “Paradigma Shalat Jum‟at dalam Hadits Nabi,” Jurnal Ushuluddin 18, No. 1 (Januari 2012): h. 78. 52 Banyak kitab dalam bidang ilmu mukhtalīf hadīs yang ditulis oleh para ulama, seperti Ikhtilāf al-Hadīs karya Imam al-Syāfi‟i, Takwīl Mukhtalīf al-Hadīs karya al-Hāfiz Abdullah bin Muslim bin Qutaibah al-Dainawari, Musykil al-Atsar karya al-Ṯahawi dan Musykil al-Hadis wa Bayānuhu karya Abu Bakr Muhammad bin al-Hasan. Lihat: Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), h. 208-209.

107

dikompromikan.53 Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada tiga kriteria yang menjadi patokan sehingga digolongkan sebagai hadis mukhtalīf yaitu kontradiktif secara lahiriah, merupakan hadis yang maqbūl dan memungkinkan untuk dikompromikan. Para ulama berupaya memberikan alternatif dalam penyelesaian hadis yang bertentangan. Beberapa metode yang mereka tawarkan antara lain adalah Al-jam’u wa al-taufīq, al-naskh, al-tarjīh dan al-tawaqquf.54 Metode al-jam’u yaitu pengkomromian antara hadis-hadis yang berlawanan dengan cara mentakhsis hadis yang umum atau mentaqyidkan yang mutlak.55 Adapun metode al-naskh dilakukan dengan cara meneliti sejarah datangnya dua hadis yang bertentangan kemudian hadis yang diketahui datang terlebih dahulu akan mansūkh atau dihapus.56 Selanjutnya metode al-tarjīh dilakukan dengan membandingkan dalil-dalil dari kedua hadis yang tampak bertentangan untuk mengetahui di antara keduanya mana yang lebih kuat dan dapat diunggulkan.57 Metode yang terakhir adalah al-tawaqquf atau meninggalkan untuk beristidlal dengan kedua hadis yang bertentangan dan pindah beristidalal dengan hadis yang lain. Metode ini hanya dilakukan ketika metode satu, dua dan tiga tidak dapat diterapkan, namun ini sangat jarang terjadi.58

53 Mahmūd Al-Ṯahhān, Taisīr Musṯalāh al-Hadīs, (Singapura: Al-Haramain, 1980), h. 56. 54 Muhammad Misbah, “Hadis Mukhtalif dan Pengaruhnya terhadap Hukum Fikih: Studi Kasus Haid dalam Kitab Bidāyatul Mujtahid”, Riwayah: Jurnal Studi Hadis 2, No. 1 (2016): h. 108. 55 Salah satu contoh dari penerapan metode ini adalah pada hadis tentang pencurian. Hadis pertama berisi tentang seorang pencuri telur dan tali dipootng tangannya, sedangkan hadis kedua berisi tentang pencuri yang mencapai ¼ dinar dipotong tangannya. Kedua hadis ini tidak bertentangan, jika dikompromikan maka hadis kedua membatasi kemutlakan hadis pertama. Lihat: Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, h. 200. 56 Contoh dari penerapan metode ini adalah hadis tentang pelarangan menyimpan daging kurban selama lebih dari tiga hari dan kemudian Nabi Saw membolehkannya. Larangan tersebut telah mansūkh karena dinaskh oleh pernyataan Nabi Saw tentang kebolehannya. Lihat: Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, h. 201. 57 Contoh penerapan metode ini adalah hadis tentang puasa ketika belum mandi junub saat subuh. Hadis-hadis tentangnya tampak bertentangan karena riwayat pertama (dari Abu Hurairah) menjelaskan bahwa tidak sah puasa seseorang yang pada waktu subuh mandi wajib. Sementara riwayat kedua (dari Aisyah) menyatakan bahwa Nabi Saw pernah mandi junub saat subuh dan siangnya berpuasa Ramadhan. Ulama mengunggulkan hadis dari Aisyah dengan alasan Aisyah sebagai istri Nabi Saw tentu lebih mengetahui perihal apa saja yang dilakukan oleh suaminya. Lihat: Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, h. 204. 58 Contohnya adalah hadis tentang membaca basmalah di waktu shalat ketika membaca al- Fātihah. Pada hadis pertama disebutkan bahwa Nabi Saw tidak membaca basmalah dan memulai al- Fātihah dengan alhamdulillāhi rabbil’ālamīn. Sementara hadis kedua menerangkan bahwa Nabi Saw

108

Salah satu hadis yang ia selesaikan dengan metode al-jam’u adalah hadis tentang penyakit menular pada unta. Dalam sebuah riwayat disebutkan:

عن أيب ىريرة رضي اهلل عنو قال: أن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم قال: ال َع ْدَوى وال َصَفَر وال ىاَّمةَ, ِِِ َّ ّْ ِ فقال أَْعَريب: يا رسول اهلل فما بَاُل إبلى تَ ُكْوُن ىف الَّرْمِل َكأََّنا الظبَاءُ, فَ يَأِْت البَعْي ُر األ ْجَر ُب فَ يَْد ُخ ُل ب َْي نَها فَ يُ ْجِرُّٔا؟ فقال: فمن أَْعَدى األَّوُل؟ )رواه البخاري ومسلم( “Dari Abu Hurairah r.a ia berkata, bahwa Rasulullah Saw bersabda, „Tidak ada penularan, tidak ada cacing dan tidak ada burung hantu‟, seorang Arab dusun bertanya, „Wahai Rasulullah, mengapakah unta-untaku yang berada di padang pasir seolah-olah dia binatang kijang, kemudian datanglah unta yang berkurap lalu mencampurinya dan menumbuhi kurap padanya?‟, Nabi Saw menjawab, „Maka siapa yang menimbulkan penyakit terhadap yang pertama?‟.”59

Poin penting yang digaris bawahi oleh Hasbi dari hadis di atas adalah Nabi Saw menyatakan bahwa tidak ada istilah penularan penyakit pada unta, karena jika memang penyakit itu dapat menular, maka siapa yang menularkan penyakit kepada unta yang membawa penyakit pertama kali? Namun pada hadis lain disebutkan bahwa Nabi Saw melarang seseorang membawa untanya yang sakit berbaur dengan unta yang sehat, seolah-olah beliau memberitahu jika unta-unta tersebut berbaur maka akan terjadi penularan. Hadis yang dimaksud berbunyi sebagai berikut:

ِ عن أيب ىريرة رضي اهلل عنو قال: قال النيب صلى اهلل عليو وسلم: ال ي ُْوِرَد َّن ُممِْر ٌض على ُمص ٍّح )رواه البخاري ومسلم(

“Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, Nabi Saw bersabda, „Janganlah orang yang mempunyai unta yang berpenyakit membawa untanya kepada orang yang mempunyai unta yang sehat‟.”60

membaca dengan keras basmalah di awal al-Fātihah. Kedua riwayat ini tidak dapat ditarjih karena redaksinya yang sama-sama berbunyi “Aku shalat di belakang Nabi…” Jika saja salah satu riwayat tidak menyebutkannya maka mungkin tarjih bisa dilakukan. Namun karena kenyataannya kedua riwayat masing-masing menyebutkannya maka hadis-hadis tersebut dibiarkan (tawaqquf). Lihat: Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, h. 205-207. 59 Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid VII (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 320. 60 Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid VII (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 320.

109

Kedua hadis di atas statusnya adalah shahih, namun lahir teksnya menunjukkan pertentangan. Maka untuk menyelesaikannya Hasbi menggunakan metode kompromi. Ia menjelaskan,

“Lahir hadis ini berlawanan dengan hadis yang telah lalu, sedang keduanya adalah shahih. Karena itu perlu kita kumpulkan. Maka cara mengumpulkannya adalah, hadis pertama menetapkan bahwa penyakit- penyakit itu tidak berpindah dengan sendirinya. Sementara hadis kedua menetapkan bahwa agama menghendaki supaya kita menjauhkan diri dari sesuatu yang dapat menghasilkan kemelaratan dengan qadar Allah, supaya apabila kebetulan kita menjadi sakit sesudah bercampur dengan orang sakit tidaklah tumbuh kepercayaan bahwa percampuran itu yang menyebabkan kita sakit, sehingga menimbulkan penyesalan yang tidak habis-habisnya.”

Dari penjelasan Hasbi di atas dapat dipahami bahwa dua hadis di atas tidaklah bertentangan. Nabi Saw menyampaikan larangan agar tidak membawa unta yang sakit berbaur dengan unta yang sakit bertujuan agar umat Islam tidak mempunyai kepercayaan bahwa “penyakit itu menular” jika pada akhirnya unta yang sehat menjadi ikut sakit. Itu adalah bentuk antisipasi dari Nabi Saw karena pada waktu itu berkembang di masyarakat kepercayaan bahwa penyakit itu dapat ditularkan dari satu individu kepada individu yang lain. Maka tidak ada pertentangan antara hadis pertama dan kedua, karena pada intinya tidak ada penyakit yang menular. Metode al-jam’u juga diterapkan oleh Hasbi dalam memahami hadis tentang perkara yang pertama kali dihisab di akhirat. Pada riwayat pertama disebutkan, “Perkara yang pertama kali dihisab di antara manusia pada Hari Kiamat adalah perkara darah.” Sementara pada riwayat kedua disebutkan, “Perkara yang pertama kali dihisab dari seoarang hamba adalah shalatnya.” Jika dibaca dari redaksinya saja, sebagian orang mungkin akan terperangkap dalam dugaan-dugaan bahwa kedua hadis tersebut bertentangan, padahal pada hakikatnya tidak. Menurut Hasbi, hadis tersebut tidaklah bertentangan, karena hadis pertama merupakan hisab pertama yang terjadi antara manusia dengan manusia, sedangkan hadis kedua adalah hisab pertama antara

110

manusia dalam kedudukannya sebagai hamba dengan Allah Swt. Oleh karena itu sangat penting untuk membaca redaksi hadis secara teliti.61 Metode yang sama juga digunakan oleh Hasbi dalam menyelesaikan hadis tentang jangka waktu pengembalian luqatah (barang temuan). Pada hadis pertama disebutkan:

ُّ عنزيد بن خالد رضي اهلل عنو قال: جاء رجل إىل رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم ف َسأَلَوُ عن اللَقطَة ِ ِ ِ َّ ِ ِ فقال: ا ْعر ْف عفا َضها َوِوكاءَىا, ُُثَّ َعّْرفْها َسنَةً, فإن جاء صاحبُها واال فَ َشأْنَ َك ّٔا, قال: فَ َضالّةُ الغَنَم؟ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ قال: ىي لَ َك أْو ألخْي َك أْو للّْذئْب. فَ َضالّةُ اإلبِل؟ قال: ما لَ َك وذلا؟ َمَعها سَقاُؤىا َوح َذائُها, تَرُد ادلاءَ َوتَاُْكلُ ال َش َجَر َحََّّت ي َْلقاىا َرُّّٔا )رواه البخاري ومسلم( “Dari Zaid bin Khālid r.a. ia berkata: Seorang lelaki pernah datang menemui Nabi Saw dan menanyakan tentang luqaṯah, maka beliau bersabda, „Kenalilah kantong dan talinya, lalu umumkanlah selama setahun. Jika datang pemiliknya (maka berikanlah), jika tidak, maka itu terserahmu.‟ Lelaki tersebut bertanya lagi, „Lalu bagaimana dengan kambing yang hilang?‟ Beliau menjawab, „Itu untukmu, untuk saudaramu atau untuk serigala.‟ Ia bertanya lagi, „Lalu bagaimana dengan unta yang hilang?‟ Beliau menjawab, „Apa urusanmu dengannya, sesungguhnya ia memiliki tempat airnya dan sepatu kakinya, ia bisa mendatangi tempat air dan memakan pepohonan sehingga ditemui oleh pemiliknya‟.”62

Sementara itu pada hadis kedua disebutkan:

ِ ِ ِ َّ َّ ِ َّ ِ ِ ِ ٍ ع ْن أيب بن كعب رض َي اهللُ عنوُ قال: َوَج ْد ُت ُصَّرةً َعلَى َعْهد النَّ ّْيب َصلى اللوُ َعلَْيو َو َسل َم فيَها مائَةُ دينَار ِ َّ َّ ِ َّ فَأَتَ ْي ُت َّٔا النََِّّيب َص لى اللوُ َعلَْيو َو َسل َم فَ َقاَل َعّْرفْ َها َحْوًال فَ َعَّرفْ تُ َها َحْوًال ُُثَّ أَتَ ْي ُت فَ َقاَل َعّْرفْ َها َحْوًال ِ ِ ِ فَ َعَّرفْ تُ َها َحْوًال ُُثَّ أَتَ ْيتُوُ فَ َقاَل َعّْرفْ َها َحْوًال فَ َعَّرفْ تُ َها َحْوًال ُُثَّ أَتَ ْيتُوُ الَّرابَعةَ فَ َقاَل ا ْع ر ْف عَّدتَ َها َوِوَكاءََىا ِ ِ َِّ ِ ِ َوِوَعاءََىا فَإ ْن َجاءَ َصاحبُ َها َوإال ا ْستَْمت ْع َّٔا )رواه البخاري ومسلم( “Dari Ubay bin Ka‟an r.a. ia berkata: Di zaman Nabi Saw aku pernah menemukan bungkusan berisi uang seratus dinar lalu aku menemui Nabi Saw dengan membawa barang tersebut, maka beliau berkata, „Umumkanlah (agar diketahui orang) selama satu tahun.‟ Maka aku lakukan selama setahun. Kemudian aku datangi lagi beliau dan beliau berkata, „Umumkanlah selama satu tahun.‟ Maka aku lakukan selama setahun lagi. Kemudian aku datangi lagi beliau dan beliau berkata,

61 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Jilid 6, 1979, h. 49-50. 62 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Jilid 6, 1979, h. 142.

111

„Umumkanlah selama satu tahun.‟ Maka aku lakukan selama setahun lagi. Kemudian aku temui beliau untuk yang keempat kali lalu beliau berkata, „Kenalilah jumlah isinya dan bungkusan serta penutupnya, nanti bila ada yang datang sebagai pemiliknya berikanlah namun bila tidak ada yang datang maka nikmatilah‟.”63

Pada hadis pertama dijelaskan bahwa menurut jawaban Nabi Saw atas pertanyaan sahabat, jika sudah ditemukan selama setahun dan tidak ada pemiliknya yang mencarinya maka barang tersebut boleh disimpan. Sedangkan pada hadis kedua, seorang sahabat baru bertanya kepada Nabi Saw selama empat tahun berturut-turut dan disuruh untuk menunggu pemiliknya mencarinya. Baru pada tahun yang keempat Nabi Saw memperbolehkannya untuk menyimpannya. Redaksi dari dua hadis ini bertentangan karena perbedaan dalam jangka waktu sehingga barang temuan dapat disimpan atau dimiliki. Namun menurut Hasbi, pada hakikatnya hadis-hadis tersebut tidak bertentangan. Ia mengatakan, “Untuk mempertemukan dua hadis yang tersebut ini, kita dapat mengatakan bahwa satu tahun adalah batas minimum, sedangkan tiga tahun adalah batas maksimun.”64 Dengan demikian, kedua hadis tersebut tidak bertentangan, hanya saja salah satunya mentaqyidkan yang lainnya. Dalam memahami hadis-hadis yang bertentangan tampaknya Hasbi hanya fokus pada satu metode saja, yaitu al-jam’u atau kompromi. Penulis tidak menemukan metode lain yang ia gunakan untuk menyelesaikan hadis yang bertentangan di dalam karyanya selain dari metode kompromi. Hal ini cukup berbeda dengan ulama-ulama hadis yang lain, yang biasanya memberikan beberapa metode dalam memahami hadis yang kontradiktif. Seperti Imam al-Syāfi‟i yang menawarkan empat langkah penyelesaian yang dimulai dengan kompromi, al-naskh, al-tarjīh dan al-tawaqquf.

5. Memahami Hadis dengan Berbagai Pendekatan

Dalam mengkaji hadis diperlukan seperangkat instrument seperti pendekatan- pendekatan yang ditawarkan oleh para ulama untuk membantu proses pemahamannya. Sebagaimana diketahui, hadis disampaikan oleh Nabi Muhammad

63 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Jilid 6, 1979, h. 143. 64 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Jilid 6, 1979, h. 146.

112

Saw lebih kurang empat belas abad yang lalu kepada kaum muslimin di wilayah Jazirah Arab. Riwayat-riwayat yang datang dari Nabi Saw semuanya disampaikan berbahasa Arab, sehingga untuk memahaminya tidak dapat luput dari aturan-aturan yang berlaku dalam bahasa Arab. Selain memahami ilmu bahasa, seorang pengkaji hadis juga perlu memperhatikan konteks sejarah ketika hadis disampaikan oleh Nabi Saw,65 dengan demikian keshahihan hadis tidak hanya dilihat dari satu segi saja, namun juga dari perspektif yang lain.66 Maka dalam hal ini dikenal istilah pendekatan historis yaitu dengan memperhatikan peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi sebuah hadis. Di samping itu, pendekatan-pendekatan lain seperti sains dan antropologis juga turut mewarnai perkembangan kajian pemahaman hadis seiring dengan berputarnya roda zaman dan semakin tersebar luasnya hadis di seluruh kalangan. Dengan adanya pendekatan-pendekatan dalam diskursus hadis, diharapkan akan mampu mengantarkan umat kepada pemaknaan yang relatif lebih tepat dan akomodatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman.67 Pendekatan-pendekatan dalam memahami hadis telah diterapkan para ulama sesuai dengan porsi yang mereka butuhkan. Tidak ubahnya dengan tokoh yang dibahas pada penelitian ini, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Dalam memahami hadis, langkah yang juga ditempuh oleh Hasbi adalah dengan menerapkan beberapa pendekatan, seperti pendekatan bahasa, pendekatan historis, pendekatan sains dan pendekatan logika. Di bawah ini akan diuraikan mengenai pendekatan yang digunakan oleh Hasbi dalam memahami hadis.

a. Pendekatan Bahasa

Sebagaimana telah disebutkan di atas, hadis seluruhnya disampaikan oleh Nabi Saw dalam bahasa Arab dan beliau merupakan orang yang paling fasih lisannya di kalangan Arab ketika itu. Maka dari itu kaidah-kaidah dalam bahasa Arab menjadi

65 Moh. Muhtador, “Sejarah Perkembangan Metode dan Pendekatan Syarah Hadis,” Riwayah: Jurnal Studi Hadis 2, No. 2 (2016): h. 268. 66 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Pemahaman Hadis Nabi, Cet-2 (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), h. 25. 67 M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis dari Klasik hinga Kontemporer (Yogyakarta: Kalimedia, 2017), h. 60.

113

sebuah poin penting yang harus senantiasa diperhatikan ketika memahami hadis.68 A. Shamad mengemukakan beberapa objek penelitian dari pendekatan bahasa, antara lain adalah:69 a) Struktur bahasa, apakah sesuai dengan susunan dan kaedah bahasa Arab atau tidak; b) Kata-kata yang terdapat di dalam teks hadis, apakah menggunakan kata-kata yang lumrah digunakan pada masa Nabi Saw atau yang muncul kemudian; c) Matan hadis harus menggambarkan bahasa kenabian; dan d) Menelusuri makna kata yang tertera di matan hadis, apakah kata yang diucapkan oleh Nabi Saw memiliki kesamaan dengan yang dipahami oleh peneliti.70 Setelah memperhatikan beberapa objek dari pendekatan bahasa ini, tampaknya Hasbi dalam memahami hadis tidak pernah terlepas dari poin pertama. Hal ini tergambar dari langkahnya yang hampir pada setiap bab hadis yang ia syarah selalu mencantumkan makna redaksi hadis ditinjau dari kedudukannya di kaidah-kaidah bahasa Arab. Sebagai contoh yaitu pemahamannya terhadap hadis tentang pemeliharaan aurat. Hadis tersebut berbunyi:

عن جابر بن عبد اهلل رضي اهلل عنو قال: أن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم كان ي َْن ُق ُل معهم احلجارةَ ِ ِ للكعبة وعليو إزاُره فقال لو العبا ُس عُّموُ يابن أخي! لو حلل َت إزا َرَك ف َجَعْلتَوُ على َمْنكبَ ْيو دوَن احلجارة. َّ ِ ِ ِ قال ف َحلوُ ف َجَعلَوُ على َمْنكبَ ْيو. ف َسَق َط َمْغشيِّا عليو. فما روي بعد ذالك عُْربانا )رواه البخاري ومسلم( “Jābir bin Abdulllah berkata: Bahwa Rasulullah Saw mengangkat batu untuk Ka‟bah bersama dengan jema‟ah Quraisy dan pada saat itu beliau mengenakan sarung. Maka Abbas pamannya berkata kepadanya: “Wahai anak saudaraku! Apakah tidak lebih baik engkau tinggalkan sarungmu dan meletakkannya di bahumu sebagai landasan batu?” Jābir melanjutkan: Maka Nabi Saw kemudian melepaskan sarungnya dan meletakkan di atas bahunya. Seketika itu Nabi Saw pun rebah pingsan. Maka tidak pernah orang melihat Nabi bertelanjang setelah kejadian itu.”71

68 Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis dari Klasik hingga Kontemporer, h. 112. 69 Lihat: Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 76, dan A. Shamad, “Berbagai Pendekatan dalam Memahami Hadis,” Al-Mu’ashirah 13, No. 1 (Januari 2016): h. 35. 70 Bahasa kenabian yang dimaksud adalah disampaikan dengan singkat, padat, jelas dan mengandung nilai dakwah. 71 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 1, Cet-3, h. 596.

114

Dalam menjelaskan hadis ini, Hasbi memperhatikan redaksi matan dari segi susunan kalimatnya. Kata izār ia artikan sebagai mā yuttajaru bihi atau kain yang dipinggangkan. Menurutnya, kata ini bisa dipandang muzakkar atau mu`annats. Term yang mempunyai makna yang sama dengan izār adalah mi’zar. Lebih lanjut, Hasbi memaknai kata lau yang terdapat dalam teks hadis ini dapat diartikan “jikalau” dan juga dapat dimaknai “apakah tidak lebih baik” atau “mudah-mudahan”, dan masing- masing dari makna ini dapat mempengaruhi syarahannya. Jika memaknai kata lau dengan jikalau, maka ia menjadi syarṯiyyah dan jawab-nya dibuang, yaitu lakāna ashala ‘alaika (maka itu akan lebih menggampangkan bagi dirimu).72 Contoh lain dari pemahaman hadis dengan pendekatan bahasa menurut Hasbi adalah hadis tentang larangan bunuh diri.

عن ثابت بن ض ّحاك رضي اهلل عنو قال: قال النيب صلى اهلل عليو وسلم: من ترَّدى من جبل فقتل َّ نف َسو فهو يف نار جهنم ي َرتَّدى فيو خالدا خملدا فيها أبدا ومن حتَ َّسى َُسِّا فقتل نف َسو ف ُسُّموُ يف يده ٍ يت َح َّسىاهُ يف نار جهنم خالدا خملَّدا فيها أبدا ومن قتل نفسو حبديدة فحديَدتو يف يده ََيَأُ ّٔا يف بطنو يف نار جهنم خالدا فيو خالدا خملَّدا فيها أبدا )رواه البخاري ومسلم(

“Dari Tsābit bin Ḏahhāk r.a. ia berkata: Nabi Saw bersabda, „Siapa yang menjatuhkan dirinya dari gunung hingga mati maka di neraka Jahanam dia akan menjatuhkan dirinya, kekal di dalamnya selamanya. Siapa yang meneguk racun sampai mati, maka racun itu akan diberikan di tangannya, kemudian dia minum di neraka Jahanam, kekal di dalamnya selamanya. Siapa yang membunuh dirinya dengan senjata tajam maka senjata itu akan diberikan di tangannya kemudian dia tusuk perutnya di neraka Jahanam, kekal selamanya‟.”73

Pada salah satu potongan hadis disebutkan kata taradda,74 yang jika dilihat di kamus berarti jatuh. Pada hal ini, Hasbi memberi penjelasan lebih rinci bahwa yang dimaksud dengan taradda dalam hadis ini adalah menjatuhkan atau menghempas diri dari tempat yang tinggi agar hilang nyawanya. Ia juga mengatakan makna kata

72 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 1, Cet-3, h. 596-597. 73 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 1, Cet-3, h. 246. 74 Di dalam kamus Bahasa Arab, akan banyak ditemukan variasi dari kata yang mirip dengan taradda. Kata radda-yaruddu-raddan berarti mengembalikan, menolak, menjawab. Sedangkan raddada berarti mengulang-ulang. Taraddada berarti ragu-ragu atau bimbang. Kata taradda-yataraddi sendiri berarti jatuh atau kadaluwarsa. Lihat: Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 1989), h. 140.

115

jahannam yang tidak munsarif karena tergolong a’jamiyah atau bukan berasal dari bahasa Arab. Ia menambahkan bahwa latar belakang penamaan jahannam, yang dinamakan demikian karena jauh sekali dasarnya.75 Pendekatan bahasa yang diterapkan Hasbi dalam memahami hadis terlihat sangat sederhana, namun hal ini tentu akan memudahkan pembaca untuk memahami makna hadis karena ia memilah kata-kata yang menurutnya perlu untuk dibahas dari segi kebahasaannya. Di samping itu, dengan mencantumkan kaidah nahwu dan sharaf dalam penjelasan hadis juga menjadi nilai tambah, karena mendukung umat Islam yang non-Arab untuk mendalami dan memahami bahasa Arab. Di samping memberikan perhatian terhadap kaidah-kaidah bahasa Arab dalam memahami hadis, Hasbi juga menunjukkan bahwa ia merupakan ulama yang tekstualis. Hal ini tergambar dari langkahnya yang seringkali menonjolkan sisi literal teks hadis yang sedang ia jelaskan. Ia biasanya menggunakan kalimat “zahir hadis ini menunjukkan…” untuk menerangkan kandungan sebuah hadis. Salah satu contoh hadis yang dipahami oleh Hasbi secara tekstual adalah hadis tentang mengqashar76 shalat dalam safar. Beberapa hadis yang ia cantumkan pada bahasan tema ini adalah sebagai berikut:

ِ عن ابن عمر رضي اهلل عنو قال: َصحْب ُت النيب صلى اهلل عليو وسلم, فكان ال يِزيُْد يف السفر على ِ ٍ َرْكَعتَ ْْي وابا بكر وعمر وعثمان كذلك )رواه البخاري ومسلم(

“Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata: Aku telah menyertai Nabi Saw, maka beliau tidak melebihi dua raka‟at (ketika shalat) dalam safar. Abu Bakr, Umar dan Utsmān juga demikian.”77

75 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 1, Cet-3, h. 246. 76 Secara bahasa, qasr berarti berarti memendekkan. Sedangkan menurut istilah meringkas jumlah raka‟at shalat yang awalnya empat raka‟at menjadi dua raka‟at, dan shalat yang bisa diqasr hanyalah yang berjumlah empat raka‟at saja sehingga Magrib dan Subuh tidak bisa diqasr. Lihat: Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 1989) , h. 344, dan Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyien al-Kattani Dkk, Jilid II (Jakarta: Gema Insani, 2010), h.424. 77 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, Cet-1 (Bandung: Al-Ma‟arif, 197), h. 317.

116

ِ ِ ِ عن عمر رضي اهلل عنو قال: صًلةُ السَفِر رْكَعتَان وصًلة األ ْضحى رْكَعتَان وصًلة الفطر رْكَعتَان وصًلة ِ ٍ ِ ِ ٍ ا ُجل ُمَعة رْكَعتَان, ََتاٌم غريُ قَ ْصر, على لسان ُممد صلى اهلل عليو وسلم )رواه أْحد والنسائ وابن ماجو(

“Dari Umar r.a. ia berkata: Shalat safar itu dua raka‟at, shalat Ḏuha dua raka‟at, shalat „Ied Fitri dua raka‟at, shalat Jum‟at dua raka‟at. Yang demikian itu sempurna, bukan qasr, menurut penetapan Muhammad saw.”78

َّ َّ ِ عن ابن عمر رضي اهلل عنو قال: إن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم أَتاناَ و ْحن ُن ُضًلٌل فَ َعلَمنا, فكان ممَّا َّ ّْ ِ ِ علَمنا أن اهلل عز وج َّل أََمَرنا أن نُ َصلي َرْكَعتَ ْْي يف السَفر )رواه النسائ(

“Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah Saw datang kepada kita sedang kita adalah orang yang tidak tau apa-apa, lalu beliau mengajari kita. Maka di antara hal yang beliau ajarkan adalah bahwasannya Allah Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk shalat dua raka‟at di dalam safar.”79

Lebih lanjut, Hasbi menampilkan beberapa hadis yang berkaitan dengan jangka waktu Nabi Saw dalam safar80 dan selama itu juga beliau terus mengqasr shalatnya.81

ِ عن أيب ىريرة رضي اهلل عنو قال: إنو )أبا ىريرة( صلَّى مع النيب صلى اهلل عليو وسلم إىل مكةَ ىف ادلسِْري ِ ِ ِ وادلَقام إىل أ ْن َرَجعُْوا َرْكَعتَ ْْي َرْكَعتَ ْْي )رواه أبو داود( “Dari Abu Hurairah r.a. berkata, bahwasannya beliau shalat bersama Nabi Saw dalam perjalanan dari Mekah dan dikala bermukim di sana sampai ia kembali dua raka‟at dua raka‟at.”82

78 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 319. 79 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 319. 80 Para ulama berbeda pendapat mengenai jangka waktu safar sehingga membolehkan seseorang terus-menerus menqasr shalatnya. Mazhab Mālik dan Syāfi‟i berpendapat jika musafir sudah berniat menetap di tempat tujuannya selama empat hari maka shalatnya tidak boleh di qasr lagi. Sedangkan Mazhab Abu Hanīfah menyatakan bahwa jika musafir sudah berniat mukim di tempat tujuannya selama lima hari maka ia tidak boleh lagi menqasr shalatnya. Lihat: Beni Firdaus, “Kemacetan dan Kesibukan Sebagai Alasan Jama‟ dan Qashr Shalat”, Alhurriyah: Jurnal Hukum Islam 2, No. 2 (Juli-Desember 2017): h. 173. 81 Dalil mengenai keringanan bagi para musāfir untuk mengqasr shalatnya selain terdapat di dalam hadis juga dijelaskan oleh ayat al-Qur‟an yaitu QS. An-Nisā`: 101 yang artinya, “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” 82 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 330.

117

ِ َّ عن أنس بن مالك رضي اهلل عنو قال: َخَرْجنا مع النيب صلى اهلل عليو وسلم من ادلدينة إىل مكةَ, فصلى ِ ِ ِ َرْكَعتَ ْْي َرْكَعتَ ْْي َحََّّت َرَجْعنا إىل ادلدينة. قل ُت: أَقَْمتُ ْم ّٔا شيئا؟ قال: أَقَْمنا ّٔا َع ْشًرا )رواه البخاري ومسلم( “Dari Anas bin Mālik r.a ia berkata: Kami bepergian bersama Nabi Saw dari Madinah ke Mekah, maka kami shalat dua raka‟at-dua raka‟at sampai kami kembali ke Madinah. Aku berkata (Yahya bin Ishāq): Apakah kalian bermukim di sana? Anas menjawab: Kami bermukim di sana selama sepuluh hari.”83

ِ ِ ِ عن جابر رضي اهلل عنو قال: أقام النيب صلى اهلل عليو وسلم بتَبُ ْوَك ع ْشري َن يوما يْق ُصُر الصًلَة )رواه أْحد وأبو داود( “Dari Jābir r.a. ia berkata: Nabi bermukim di Tabūk selama dua puluh hari dan beliau menqasr shalatnya.”84 ِ ٍ ِ عن ع ْمرا َن بن ُح َصْي رضي اهلل عنو قال: َغَزْو ُت مع النيب صلى اهلل عليو وسلم و َشه ْد ُت معو الَفْت َح, ّْ ِ ِ ُّ فأقاَم مبكةَ ََثاِنْ َع ْشرَة ليلةً َال يُ َصلي إال َرْكَعتَ ْْي. يُقوُل: يا أى َل البَ ْلَدة, َصلوا أْرب ًَعا فَإنَّا َسْفٌر )رواه أبو داود( “Dari Imrān bin Husain r.a. ia berkata: Aku ikut berperang bersama Nabi Saw dan kami sama-sama menyaksikan penaklukkan kota Mekah, maka Nabi Saw bermukim di Mekah selama delapan belas malam, beliau selalu shalat dua raka‟at (ketika di Mekah). Nabi bersabda: Wahai penduduk Mekah, kalian harus shalat empat raka‟at, kami ini orang safar (sedang dalam safar).”85

ِ ِِ ِ َع ْن َُثاَمةَ بن ُشراحْي َل رضي اهلل عنو قال: َخرْج ُت إىل اب ِن عَُمَر فُقْل ُت: ما صًلةُ ادلسافر؟ قال: َرْكَعتَ ْْي ِ رْكعتَ ِْي إال صًلَة ادلغِر ِب ثًلثا. قلت: ارأيت أن ُكنَّا بِذي ادلجاِز؟ قال: وما ذُو آّاِز؟ قلت: م َكا ٌن َ َ ْ ُ َ َ َ َ ْ َ ُ َ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ََْنتَم ُع فيو َو نَبْي ُع فيو وََنْ ُك ُث ع ْشريْ َن لَْي لَةً أْو ََخْ َس َع ْشَرةَ ليلةً, فقال: أيُّها الُّرُجلُ ُكْن ُت أ ْذرب َْي َجا َن. ال ٍ ُّ ِ ِ أْدري, قال: أْرب ََعةَ أ ْشُهر أْو َشْهَريْ ِن, فَأََريْ تُ ُه ْم يُ َصلْوََّنا َرْكَعتَ ْْي َرْكَعتَ ْْي )رواه أْحد( “Dari Tsumāmah bin Syurāhīl r.a. ia berkata: Aku datang menemui Ibnu Umar dan bertanya padanya: Apa itu shalat musāfir? Ibnu Umar menjawab: dua raka‟at-dua raka‟at kecuali untuk shalat Magrib yang tetap tiga raka‟at. Aku bertanya lagi: Bagaimana pendapatmu mengenai jika kita berada di dzi al-majāz? Ia

83 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 330. 84 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 333. 85 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 333.

118

menjawab: Apa itu dzu al-majāz? Aku berkata: Sebuah tempat, kita berkumpul di sana, dan berdagang di sana dan berdiam di sana selama dua puluh malam atau lima belas hari. Ia kemudian menjawab: Wahai kawan, aku pernah berada di Adzrabijān, „Tsumamah melanjutkan: aku tidak ingat empat bulan atau dua bulan yang beliau katakan‟, maka saya lihat para sahabat shalat dua raka‟at-dua raka‟at.”86

Hasbi mempunyai pendapat yang sedikit berbeda dalam hal mengqasr shalat ketika di perjalanan. Menurutnya ketika seseorang sedang dalam safar, maka ia boleh mengqasr shalatnya, sekalipun safarnya dalam jangka waktu yang lama (bertahun- tahun), selama musafir tidak berniat untuk bermukim di tempat yang ia kunjungi.87 Maka selama itu juga seseorang boleh mengqasr shalatnya menjadi dua raka‟at-dua raka‟at.88 Ia mengatakan,

“Menurut pentahqiqan kami, apabila kita memasuki suatu tempat dan berdiam di sana selama beberapa hari sedang kita tetap dalam keadaan safar, yakni tidak bermaksud untuk menetap di sana, bolehlah kita terus-menerus mengqasrkan shalat. Nabi Saw bermukim di Tabuk selama dua puluh hari dengan terus-menerus melakukan qasr, beliau tidak mengatakan tidak boleh qasr kalau lebih banyak dari hari beliau berada di Tabuk. Kebetulan pada waktu itu beliau bermukim di sana selama dua puluh hari. Bermukim di suatu tempat dalam keadaan safar tidaklah mengeluarkan kita dari hukum safar, baik panjang atau pendek. Seperti keadaan para jama‟ah haji yang bermukim di Mekah menanti masa pulangnya. Walaupun mereka di sana tinggal sampai dua bulan atau lebih, namun mereka dinamakan orang musafir karena mereka tidak bermaksud menetap di sana.”89

86 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 335. 87 Hasbi menyatakan bahwa seseorang akan tetap dihitung sebagai musāfir disaat niatnya tidak untuk mukim, selama apapun ia bepergian. Imam al-Syāfi‟i juga mendasarkan kebolehan qasr dalam safar dengan niat. Namun menurutnya jika seseorang menetap di suatu tempat tanpa meniatkan batas waktunya maka otomatis ia menjadi seorang yang mukim jika lebih dari empat hari. Lihat: Yeni Sri Whayuni dan Yusrizal bin Razali, “Batas Waktu Musafir Bermukim untuk Kebolehan Qasar Shalat”, Dusturiyah: Jurnal Hukum Islam, Perundang-undangan dan Pranata Sosial IX, No. 1 (Januari-Juni 2019): h. 16-17. 88 Ia tidak hanya berpendapat bahwa shalat pada waktu safar boleh di qasr, lebih dari itu menurutnya shalat dua raka‟at pada safar merupakan sebuah tuntutan. Ia mengatakan, “Apabila seseorang pergi merantau (bersafar), maka dituntutlah adanya mengerjakan shalat yang seharusnya empat raka‟at menjadi dua raka‟at saja.” Pendapatnya ini ia sandarkan kepada beberapa riwayat seperti yang diriwayatkan dari Umar bin al-Khaṯṯāb, Aisyah, Ibnu Abbās dan Ibnu Umar yang menyatakan bahwa shalat pada waktu safar adalah dua raka‟at. Di samping itu Hasbi juga banyak mengutip pendapat para ulama klasik. Selengkapnya lihat: T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, Cet-11 (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 430-431. 89 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 331-332.

119

Hal ini ia sandarkan pada hadis-hadis yang ia cantumkan pada bab safar, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Pada hadis-hadis di atas disebutkan bahwa Nabi Saw pernah melakukan safar selama delapan belas hari, dua puluh hari, dan beliau terus menerus melakukan qashar. Di samping itu, Hasbi juga banyak mengutip riwayat-riwayat yang berisi tentang amalan para sahabat yang menqasr shalatnya dalam safar dengan jangka waktu yang cukup lama. Sebagaimana riwayat dari Nāfi‟ (w. 117 H) yang mengatakan bahwa Ibnu Umar (w. 73 H) pernah menqasr shalatnya selama enam bulan di saat safar. Hafs bin Ubaidillah mengabarkan bahwa Anas bin Mālik (w. 93 H) tinggal di Syām selama beberapa tahun dan terus mengqasr shalatnya. Al-Hasan berkata bahwa ia pernah bermukim bersama Abdurrahmān bin Samurah (w. 50 H) di Qabūl selama dua tahun dengan mengqasrkan shalatnya. Hasbi mengatakan,

“Maka setelah kita mengetahui petunjuk Nabi Saw dan petunjuk para sahabat dalam masalah qasr sembahyang di kala kita singgah di suatu tempat, sedang kita masih dalam keadaan safar, tertolaklah paham yang mengatakan bahwa apabila kita bermukim di suatu tempat selama empat hari penuh tidak boleh qasr lagi.”90

Dari pemaparan mengenai hadis safar di atas, dapat disimpulkan bahwa Hasbi memahaminya secara tekstual. Ia menangkap makna tersurat dari redaksi hadis tentang safar tanpa melihat sisi-sisi lain yang mengiri hadis tersebut seperti historisitas atau kondisi sosial yang menjadi qarīnah. Sebagaimana pemahamannya terhadap hadis tentang Nabi Saw pernah bersafar ke Tabuk selama belasan hari dan selama itu pula beliau selalu mengqashar shalatnya. Ia menangkap makna hadis tersebut dari redaksinya saja dan tidak melihat kondisi serta situasi yang terjadi pada saat itu yang rupanya sedang ada gejolak perang dan keadaannya sedang tidak aman. Maka disaat safar dilakukan selama bertahun-tahun dan bukan dalam keadaan yang tidak aman, bukankah lebih baik jika melaksanakan shalat dengan bilangan raka‟at yang sempurna?

90 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 332.

120

b. Pendekatan Historis Hadis disampaikan oleh Nabi Saw pada waktu dan kondisi tertentu, dan hal tersebut merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dibantah dan dipungkiri. Teks hadis tidak lepas dari dampak perjalanan waktu, demikianlah yang disampaikan oleh Daniel Djuned. Bagaimana tidak, hadis telah melalui pejalanan dari hulu ke hilir, yaitu dari guru pertama, Rasulullah Saw sampai kepada pembuku hadis, dan telah mengalami imbasan sejarah dengan segala konsekuensinya. Kenyataan ini menyebabkan pemahaman atas sebuah hadis membutuhkan pendekatan yang beragam, salah satunya dengan memperhatikan dimensi historis.91 Wacana tentang pendekatan ini sebenarnya telah muncul di kalangan ulama hadis terdahulu, semenjak dikenal ilmu asbāb al-wurūd.92 Sebab biasanya hadis yang disampaikan oleh Nabi Saw bersifat kasuistik, lokal temporal bahkan temporal, oleh karenanya memperhatikan konteks historisitas munculnya hadis menjadi sangat penting untuk menghindarkan dari kesalahpahaman dalam menangkap maksud sebuah hadis.93 Pertanyaan mendasar yang digunakan dalam pendekatan historis adalah “Mengapa Nabi Saw bersabda demikian?” dan “Bagaimana kondisi pada saat hadis tersebut disampaikan, kepada siapa dan dimana?” Jawaban dari pertanyaan- pertanyaan ini akan memberi keterangan mengenai status sebuah hadis, apakah bersifat umum atau khusus untuk pribadi dan wilayah tertentu. Dengan pendekatan historis pengkaji hadis juga harus jeli dalam memperhatikan kedudukan Nabi Saw ketika menyampaikan sebuah hadis. Karena dalam sejarah hidupnya Nabi Saw

91 Daniel Djuned, Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 32. 92 Asbāb al-wurūd terdiri dari dua kata yaitu asbāb dan wurūd. Kata asbāb merupakan bentuk jamak dari kata sabab yang berarti sebab. Sedangkan wurūd merupakan masdar dari kata warada- yaridu yang berarti datang. Adapun menurut istilah, asbāb al-wurūd berarti ilmu yang menerangkan latar belakang datangnya hadis dan beberapa hal yang relevan dengannya. Latar belakang tersebut bisa berupa pertanyaan dari sahabat atau respon Nabi Saw mengenai sebuah kejadian. Asbab al-wurud mempunyai peran yang sangat penting untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang sebuah hadis. Lihat: Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), h. 177. 93 Abdul Mustaqim Dkk, Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami Hadis Nabi (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Kalijaga, 2008), h. 7.

121

mempunyai banyak peran, di antaranya adalah sebagai Rasulullah, kepala negara, hakim dan juga sebagai manusia biasa.94 Hasbi menyadari pentingnya pendekatan historis dalam kajian pemahaman hadis. Dalam menjelaskan kandungan sebuah hadis, ia terlebih dahulu mencantumkan asbāb al-wurūd dari hadis tersebut baru kemudian masuk ke penjelasannya. Contoh dari penerapan pendekatan historis oleh Hasbi adalah pemahamannya terhadap hadis tentang meringankan bacaan shalat. Hadis tersebut berbunyi:

عن أىب مسعود األنصاري رضي اهلل عنو قال: جاء رجل إىل رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم قال: يا ِ ٍ ِ ِ رسول اهلل إِن واهلل ألتأ َّخر عن صًلة الغََداة من أ ْجِل فًلن مما يُطْي ُل بنا فيها. قال: فما رأيْ ُت النيب صلى ُّ ٍ ٍ اهلل عليو وسلم قَط أَ َشَّد َغ ْضبًا يف موعظة منو ّيئذ. ُث قال: يا أيها الناس إن منكم ُمنَ ّْفِريْ َن فأيُّ ُك ْم ما َّ ِ ِ َصلى بالناس فليُوجْز فإن فيهم الكب َري الضعيف وذَا احلاجة )رواه البخاري ومسلم(

“Abu Mas‟ūd al-Ansāri berkata, “Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah Saw dan berkata: Wahai Rasulullah, Demi Allah, sesungguhnya saya menarik diri dari shalat subuh berjama‟ah dikarenakan si Fulan, lantaran ia memanjangkan bacaannya untuk kami”, Abu Mas‟ūd menambahkan, “Aku belum pernah melihat Nabi Saw lebih keras marahnya dalam memberi pelajaran daripada hari itu” , kemudian Nabi Saw bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya sebagian dari kalian telah menjauhkan manusia (dari agama), maka siapa saja di antara kalian yang melaksanakan shalat berjama‟ah, hendaklah ia ringkaskan, karena di antara kalian ada yang telah tua, ada yang lemah dan ada yang mempunyai keperluan.”95

Riwayat lain dengan tema yang sama berbunyi:

عنأيب ىريرة رضي اهلل عنو قال: أن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم قال: إذا صلى أحدكم للناس فليخفف فإن منهم الضعي َف والسقيم والكبري وإذا صلى أحدكم لنفسو فليطول ما شاء )رواه البخاري ومسلم( “Abu Hurairah berkata bahwasannya Rasulullah Saw bersabda: Jika salah seorang dari kalian sholat untuk manusia (menjadi imam), maka hendaklah meringankan (bacaannya) karena di antara mereka ada yang lemah, ada yang sakit,

94 Zainuddin, “Metodologi Pemahaman Hadis Islamolog dan Ulama Kontemporer,” Substantia 14, No. 2 (Oktober 2012): h. 181. 95 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 2, h. 524.

122

ada yang sudah renta. Namun jika salah seorang di antara kalian shalat sendirian, maka panjangkanlah (bacaannya) sebagaimana yang ia mau.”96

Menanggapi hadis di atas, Hasbi menjelaskan bahwa ada peristiwa yang menjadi latar belakang Nabi Saw menyampaikan hadis ini. Ia mengatakan,

“Bahwasannya ada seorang lelaki yang namanya tidak diketahui oleh ahli hadis menerangkan kepada Rasulullah bahwa dia tidak menghadiri jama‟ah sembahyang subuh karena imamnya memanjangkan shalat itu. mendengar aduan tersebut, beliau menjadi sangat marah dan dengan nada marah beliau memberikan pelajaran kepada para sahabat. Beliau bersabda, „Sungguh di antara para sahabat ada yang menyebabkan orang lari dari agama dengan jalan memanjangkan shalat yang menyebabkan para makmum mengalami kesukaran.‟ Dan beliau memberi nasehat agar para imam yang bersembahyang dengan jama‟ah meringkas bacaannya, tidak memanjangkannya karena di antara jama‟ah tersebut ada orang tua, yang lemah dan bekeperluan.”97

Dua hal yang dapat dipetik dari asbāb al-wurūd hadis di atas yaitu bahwa Nabi Saw menyuruh umatnya yang ditunjuk sebagai imam shalat agar tidak keterlaluan dalam memanjang-memanjangkan bacaannya karena orang yang berbuat demikian tergolong sebagai “orang yang membuat orang lain lari dari agama.”98 Di samping itu, Hasbi menerangkan bahwa Nabi Saw menampakkan kemarahannya untuk memberi ketegasan kepada para sahabat agar mereka memperhatikan dengan benar setiap ajaran agama. Sekarang timbul pertanyaan, apakah Nabi Saw tetap akan menyampaikan hal ini jika tidak ada sahabat yang mengadu tentang perkara tersebut? Jawabannya ada para riwayat lain dari Anas bin Mālik (w. 93 H),

عن أنس بن مالك رضي اهلل عنو قال: أن النيب صلى اهلل عليو قال: إِن َألَْد ُخلُ يف الصًلة وأنا أُريُد ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ إطَالَتَها فَأَ َْسَُع بُ َكاءَ ال َّصِّْيب فَأَََتََّوُز يف صًلِت ممَّا أَْعلَ ُم م ْن شَّدة َو ْجد أُّْمو من بُكائو

96 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 2, h. 525. 97 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 2, h. 526. 98 Disebut dengan dapat membuat orang lari dari agama karena bacaan shalat dari imam shalat sangat berkemungkinan besar dapat membuat para jama‟ah enggan untuk mengikuti shalat berjama‟ah lagi. Terutama untuk orang-orang yang dijelaskan oleh Nabi Saw yaitu orang yang sudah tua, orang yang sakit dan orang yang mempunyai keperluan mendesak. Maka ketika orang-orang pergi meninggalkan shalat jama‟ah atau menjadi malas untuk berjama‟ah lagi dikarenakan bacaan shalat yang panjang, pada saat itulah seseorang yang menjadi imam disebut telah membuat orang lain lari dari agama.

123

“Dari Anas bin Mālik r.a. ia berkata, bahwa Nabi Saw bersabda: Sesungguhnya aku masuk menjadi imam sembahyang dan aku berniat untuk memanjangkannya, lalu aku mendengar tangisan anak kecil. Maka aku ringankan bacaan shalatku, lantaran aku mengetahui bahwa pikiran ibunya sangat terganggu karena tangisan bayinya itu.”99

Dari hadis di atas tampak jelas bahwa Nabi dengan sendirinya menjelaskan sikap yang beliau ambil ketika menjadi imam dan mengurungkan niatnya untuk memanjangkan bacaan shalat karena mendengar suara tangisan bayi. Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun tidak ada yang mengadu kepada Nabi Saw hukum untuk tidak memanjang-memanjangkan bacaan shalat tetap akan ada. Maka hadis terkait meringankan bacaan shalat hukumnya adalah umum dan universal, berlaku untuk semua ruang dan waktu. Berikutnya akan diuraikan mengenai hadis tentang perintah untuk memanjangkan jenggot dan mencukur kumis yang juga dipahami Hasbi dengan pendekatan historis. Hadis tersebut berbunyi:

ْ ِ ِِِ عن زيد بن أَْرق َم رضي اهلل عنو قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: من لن يأ ُخ ْذ م ْن َشاربو فلي َس منَّأ )رواه أْحد والنسائ والرتمذي(

“Dari Zaid bin Arqam r.a. ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa tidak memangkas kumisnya, bukanlah dia dari golongan kami.”100

ِ ّْ عن زيد بن أَْرق َم رضي اهلل عنو قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: ُجُّزوا ال َّشَوار َب واَْرُخوا الل َحى خالِفوا آّوس )رواه أْحد ومسلم( “Dari Zaid bin Arqam r.a. ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: Guntinglah kumis dan panjangkanlah jenggot, hendaklah kamu menyalahi (berbeda dengan) orang-orang Majūsi.”101 ِ ِ عن ابن عمر رضي اهلل عنهما قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: خالفوا ادلشرك َْي َوفُّروا اللّْ َحى ِ واَ ْحُفْوا ال َّشَوار َب )رواه أْحد والبخاري ومسلم(

99 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 2, h. 525. 100 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 210. 101 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 210.

124

“Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: Hendaklah kamu membedakan diri dari orang-orang musyrik, perihalah jenggot dan guntinglah kumis.”102

Menurut catatan sejarah, di wilayah jazirah Arab sebelum dan setelah datangnya Islam terdapat sejumlah kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya. Di antara mereka ada yang memeluk agama Yahudi, Nasrani dan sebagiannya adalah Majusi.103 Maka dari itu, karena kondisi kegamaan yang sangat beragam, Allah Saw memerintahkan Nabi Muhammad Saw agar memiliki identitas untuk membedakan umat Islam dengan kepercayaan lainnya.104 Dalam hal ini, beberapa hadis yang disampaikan oleh Nabi Saw menjelaskan tindakan yang dapat memberi identitas kepada umat Islam yaitu dengan memelihara jenggot dan memangkas kumis.105 Sebagaimana tertera dalam tiga hadis di atas, zahir teksnya memberi pengertian bahwa Nabi Saw menganggap orang yang tidak memanjangkan jenggot dan tidak memangkas kumis sebagai “laisa minna” atau bukan dari bagian kami. Para ulama mempunyai pandangannya tersendiri dalam menanggapi hadis ini. Para ulama salaf, sebagaimana diterangkan oleh Hasbi, menyukai untuk memelihara jenggot. Namun jika memelihara jenggot dengan tujuan untuk aksi dan mengalimkan diri, maka hal tersebut tidak mereka sukai. Adapun mengenai kumis, menurut ulama seperti Abu Hanīfah (w. 148 H) dan Abu Yūsuf (w. 182 H) memelihara rambut dan kumis lebih utama daripada menggutingnya. Al-Nawawi (w. 676 H) juga menuturkan bahwa pendapat yang terpilih adalah kumis itu digunting hingga kelihatan tepi bibir dan jangan dicukur seluruhnya.106 Ibnu al-Qayyim (w. 751 H) menjelaskan dalam kitabnya, bahwa banyak ulama mazhab yang mengamalkan hadis menggunting kumis

102 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 210. 103 Muhammad Yamin, “Peradaban Islam pada Masa Nabi Muhammad Saw,” Ihyā` al- Arabiyyah: al-Sunnah 3, No. 1 (2017):, h. 110. 104 Pada masa Nabi Saw, kaum musyrikin tidak mencukur kumis dan juga tidak memanjangkan jenggotnya hingga lebat. Sehingga Nabi Saw menyuruh kaum muslimin untuk melakukan hal yang berbeda dari mereka yaitu dengan mencukur kumis dan memelihara jenggot. Selengkapnya lihat: Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2019), h. 59 105 Mahmudi, “Pemahaman Hadis tentang Memelihara Jenggot dalam Konteks Kekinian,” Riwayah: Jurnal Studi Hadis 3, No. 2 (2018): h. 272-273. 106 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 211.

125

dan memelihara jenggot dan menyimpulkan bahwa perbuatan tersebut merupakan sebuah keutamaan yang harus dilakukan oleh kaum muslimin. Di samping hal tersebut perintah Nabi Saw, menggunting kumis dan memanjangkan jenggot juga merupakan fitrah manusia yang harus diperlihara.107 Sementara itu, ulama muta`akhkhirīn seperti Yusuf Qarḏāwi menjelaskan bahwa hadis tersebut mengandung perintah Nabi Saw agar umat Islam berbeda dengan orang-orang yang selain Islam. Akan tetapi, bukan berarti kaum muslimin tidak boleh mencukur jenggot karena ia akan terus tumbuh memanjang. Maka menurut al-Qarḏāwi boleh mencukur jenggot dengan alasan untuk merapikannya.108 Ulama muta`akhkhirīn lainnya seperti Ali Mustafa Yaqub menuturkan, karena tujuan dari disampaikannya hadis tentang jenggot dan kumis oleh Rasulullah adalah untuk membedakan kaum muslimin dan musyrik, maka untuk berbeda tidak hanya dengan mencukur kumis dan memelihara jenggot, tapi dapat dilakukan dengan cara yang lain seperti dalam hal pakaian dan nama atau lain sebagainya.109 Dalam memahami hadis-hadis di atas, Hasbi berpendapat bahwa pada saat ini memanjangkan jenggot bukanlah sesuatu yang mutlak harus dilakukan dan mencukurnya juga tidak dilarang. Menurutnya, ada illat yang menjadi latar belakang dari disampaikannya hadis tersebut oleh Nabi Saw. Dalam hal ini Hasbi mengatakan,

“Bila kita meninjau hadis-hadis ini dengan pandangan yang luas, jauh dan mendalam, nyatalah bahwa sebabnya Nabi menyuruh sahabat-sahabatnya memangkas kumis dan memelihara jenggot ialah supaya membedakan diri dari orang-rang Majusi dan musyrikin. Orang-orang Majusi dan musyrikin di zaman Nabi tidak memangkas kumis dan tidak memanjangkan jenggot.”110 Maka jelaslah bahwa penyebab dari perintah Nabi Saw untuk memotong kumis dan memelihara jenggot adalah sebagai pembeda antara kaum muslimin dan orang-orang musyrik. Lebih lanjut, Hasbi menuturkan bahwa hal tersebut telah berubah. Memelihara jenggot tidak lagi menjadi standar pembeda antara muslim dan

107 Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, Petunjuk Nabi Saw Menjadi Hamba Teladan dalam Berbagai Aspek Kehidupan, Penerjemah Achmad Sunarto (Jakarta: Rabbani Press, 1998), h. 71-72. 108 Yusūf Qarḏāwi, Halal dan Haram dalam Islam (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2009), h. 125-127. 109 Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis, h. 214. 110 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 211.

126

muslim, bahkan dewasa ini banyak dijumpai orang-orang non-muslim yang berjenggot panjang dan lebat.111 Sehingga hadis tentang perintah Nabi Saw untuk memanjangkan jenggot dan mencukur kumis ini harus dipahami secara kontekstual, karena bersifat lokal-temporal. Bersifat lokal karena hadis tersebut disampaikan Nabi Saw kepada bangsa Arab muslim yang rata-rata memiliki rambut yang subur, dan bersifat temporal karena illat yang tersembunyi di dalam hadis tersebut telah terhapus. Menurut Hasbi, sesuai dengan kaidah Ushul, apabila illat112 dari sesuatu telah hilang maka hukumnya pun ikut lenyap. Oleh karena itu, umat Islam telah terlepas dari kewajiban untuk memotong kumis dan memanjangkan jenggot di masa sekarang. Ia mengatakan,

“Menurut kaidah Ushul, apabila telah hilang illat sesuatu, maka hilanglah hukum yang disebabkan illat atau motif itu. Maka menurut kaidah ini, memelihara jenggot tidaklah lagi menjadi lambang perbedaan antara orang- orang Islam dengan orang-orang yang bukan Islam. Dengan keterangan yang singkat ini, jelaslah sudah bahwa memotong jenggot di masa kini tidak lagi terlarang, karena illatnya sudah tidak berlaku lagi.”113

Pendekatan historis yang diterapkan oleh Hasbi dalam memahami hadis juga tercermin dalam pemahamannya tentang hadis rajam. Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhāri dan Muslim disebutkan:

عن عمر بن اخلطاب رضي اهلل عنو قال :إن اهلل بعث ُممدا صلى اهلل عليو وسلم باحلق و أنزل عليو

الكتاب فكان أنزل اهلل أيةُ الرْجِم فقرأناىا وَعَقْلناىا وَوَعْيناىا, رَجم رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم رَمجْنا ِ ِ ِ ُِّ ِ ِ بعَده. فأخشى, إن طاَل بالنا ِس زما ٌن, أن يقل قائلٌ: واهلل ما ََنُد أيةَ الرجم يف كتاب اهلل, فيَضلْوا برتك

111 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 212. 112 Illat memegang peranan yang sangat penting dalam hukum Islam. Di kalangan ushuliyyin, ia didefinisikan sebagai suatu dasar yang melatarbelakangi penetapan hukum syara‟. Setiap ketentuan hukum yang diturunkan Allah dalam bentuk perintah dan larangan pasti mempunyai alasan tersendiri. Maka disaat „illat atau alasan dari sebuah perkara hilang, hukum yang terkandung di dalamnya juga ikut hilang. Demikianlah yang diatur di dalam disiplin ilmu Ushul Fiqih. Lihat: Romli, “Illat dan Pengembangan Hukum Islam”, Intizar 20, No. 2 (2014): h. 222. 113 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 212.

127

ِ ٍ ِ ِ فريْضة أنزذلا اهلل. والرْج ُم يف كتاب اهلل ح ّّق على من َزََن, إذا أُ ْحص َن من الرجال النساء إذا قامت البَ يّْ نَة ُ, ِ أو كان احلَبَلُ أو اإلعرتا ُف )رواه البخاري ومسلم( “Umar bin al-Khaṯṯāb berkata: „Bahwasannya Allah Swt mengutus Muhammad Saw membawa ajaran agama yang benar dan menurunkan kepadanya al- Qur‟an. Maka di antara yang telah Allah Swt turunkan adalah ayat rajam. Kami telah membacanya, kami terus memahaminya dan menghafalnya. Rasulullah Saw telah menjatuhkan hukuman rajam dan kami juga menjatuhkan hukum rajam sesudahnya. Aku takut jika telah berlalu beberapa masa, datanglah seseorang yang mengatakan, „Demi Allah kami tidak mendapati ayat rajam di dalam al-Qur‟an‟, maka mereka menjadi sesat karena meninggalkan fardhu yang telah Allah turunkan. Rajam adalah sebuah hak dalam al-Qur‟an yang dijatuhkan pada pelaku zina, jika yang berzina adalah laki-laki dan perempuan yang sudah menikah, apabila cukup bukti atau telah hamil atau mengaku berzina.”114

Rajam115 merupakan salah satu fenomena hukum dalam Islam yang mengalami pro-kontra di masyarakat dan berbagai negara. Beberapa kalangan menolak pemberlakuan rajam, karena menurut mereka perlu diadakan peninjauan kembali terhadap dalil-dalil tentang hukuman bagi pezina yang terdapat di dalam al- Qur‟an dan hadis. Sebagaimana diketahui bahwa dalil tentang rajam hanya terdapat di dalam hadis dan tidak ditemukan di dalam al-Qur‟an. Yang terdapat di dalam al- Qur‟an hanyalah penjelasan tentang hukuman cambuk seratus kali (QS. An-Nūr: 2).116 Maka dari itu, beberapa kelompok seperti Azāriqah dari golongan Khawārij menetapkan bahwa hukuman bagi pezina baik yang muhsan dan ghairu muhsan adalah dicambuk seratus kali. Namun ulama yang menyepakati hukuman rajam bagi pelaku zina muhsan berpendapat bahwa hadis tentang rajam adalah shahih dan dapat men-takhsīs QS. An-Nur:2.117

114 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 6 (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 72. 115 Kata rajam berasal dari Bahasa Arab rajama-yarjumu-rajmun yang berarti melempar dengan batu. Menurut istilah, rajam adalah hukuman yang berupa ditanam dalam tanah dan dilempari dengan batu sampai yang diberi hukuman mati. Hukuman rajam juga dipertontonkan didepan khalayak umum agar memberi efek jera kepada yang menyaksikannya. Lihat: Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 32. 116 Ali, “Pengaruh Tradisi Arab Pra Islam terhadap Hukuman Rajam,” Ilmiah Islam Futura 14, No. 1 (Agustus 2014): h. 32. 117 Rokhmadi, “Hukuman Rajam bagi Pelaku Zina Muhsan dalam Hukum Pidana Islam,” At- Taqaddum 7, No. 2 (November 2015): h. 311.

128

Pada sisi lain, jika ditinjau dari setting historis, hukuman rajam telah diterapkan oleh umat pra-Islam dan penjelasannya terdapat di dalam Taurat. Maka terjadi kesulitan untuk mengetahui status dari teks hadis tentang rajam, apakah bagian dari wahyu atau tidak karena pada kenyataannya rajam bukan hanya berasal dari syari‟at Islam. Mengenai hal ini, Nizar Ali berpendapat bahwa dahulu hukuman rajam pernah beliau jatuhkan kepada orang Islam dan Yahudi. Untuk kaum Yahudi, hukuman rajam yang diberikan oleh Nabi Saw adalah wajar karena rajam merupakan ajaran dari kitab suci mereka, Taurat. Namun, menurut Nizar hadis yang menjelaskan tentang hukum rajam yang dijatuhkan kepada kaum muslimin tidak diketahui waktunya. Sehingga timbul berbagai pendapat yang mengatakan bahwa rajam yang diberlakukan pada masa Nabi Saw terjadi sebelum QS. An-Nūr:2 diturunkan. Maka siapapun pasti ingin menjadikan al-Qur‟an sebagai acuan utama daripada memberlakukan sebuah hadis yang tidak diketahui waktu pelaksanaanya secara pasti.118 Lebih lanjut, Hasbi menjelaskan bahwa rajam bukanlah sebuah hukum yang mutlak harus dilakukan. ia berpegang pada kenyataan bahwa tidak ada satu ayatpun di dalam al-Qur‟an yang menyuruh umat Islam untuk menerapkan hukuman tersebut. Ia juga berpendapat bahwa dalam memahami hadis perlu peninjauan terhadap fungsi dan kedudukan Nabi Saw ketika menyampaikan hadis. Karena di samping berkedudukan sebagai Rasulullah beliau juga merupakan seorang hakim dan Kepala Negara yang mengurus berbagai hal seperti pengangkatan gubernur dan pengerahan tentara.119 Hasbi mengatakan,

“Menurut pemeriksaan saya, hukuman rajam disini bukan hukuman mutlak, tetapi suatu hukuman yang diserahkan pelaksanaannya kepada pertimbangan hakim. Karenanya al-Qur‟an tidak menegaskan hukuman yang demikian saja, hanya menyerahkan kepada pertimbangan Rasul yang bertindak sebagai hakim.”120

118 Nizar Ali, Rekonstruksi Hukuman Rajam dalam Perspektif Hadis Nabi, h. 5-6. 119 Hasbi, Fiqih Islam Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat dan Tuntas, h. 154. 120 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 6 (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 75-76.

129

Ketika suatu hadis disampaikan oleh Nabi Saw dalam kedudukannya selain sebagai “Rasulullah”, maka hadis tersebut tidak dapat menjadi sebuah ketetapan hukum yang mutlak. Pemahaman ini juga dipegangi oleh tokoh seperti Muhammad Syahrūr121 yang mengemukakan ide tentang sunah rasul dan sunah nabi, serta al- Dahlawi (w. 1176 H)122 yang membagi sunnah kepada dua tipologi yaitu sunnah risālah dan sunnah ghairu risālah. Maka pada poin ini, Hasbi telah mengkonfirmasi bahwa dirinya membolehkan hukuman selain rajam pada pelaku zina muhsan, dengan menyesuaikan terhadap siapa yang memiliki kuasa menjadi hakim. Hal yang sama juga ditemukan pada pembahasan tentang hukuman cambuk bagi peminum khamar. Menurut Hasbi, hukuman rajam ataupun peminum khamar termasuk uqūbah tafwiḏiyyah atau uqūbah yang diserahkan kepada keputusan hakim. Jika dahulu Nabi Saw mencambuk peminum khamar sebanyak empat puluh cambukan, kemudian Umar mencambuk delapan puluh kali, maka dalam pandangan Hasbi pada saat ini boleh mencambuk empat ratus kali, sesuai dengan perkembangan masa dan keputusan hakim.123

121 Muhammad Syahrūr membagi hadis/sunnah kepada dua tipologi yaitu al-sunnah al- rasūliyah dan al-sunnah al-nabawiyah. Al-sunnah al-rasūliyah adalah setiap yang beliau lakukan dan ucapkan dalam kapasitasnya sebagai seorang utusan Allah Swt dan merupakan wahyu yang harus dipatuhi. Sedangkan al-sunnah al-nabawiyah adalah semua yang Nabi Saw sampaikan atau ijtihad yang beliau lakukan dalam kapasitasnya sebagai selain utusan Allah Swt (hakim, pemimpin dan manusia biasa) dan sunnah dalam kriteria ini bukan termasuk wahyu sehingga tidak mengharuskan pengamalannya pada setiap zaman. Contoh dari sunnah kategori kedua menurut Syahrūr adalah talak (ayat al-Qur‟an berawalan “yā ayyuha al-nabi”). Menurutnya, talak merupakan praktek sunnah yang dilakukan Rasul dalam kapasitasnya sebagai Nabi, maka diperlukan talak yang sesuai dan cocok untuk zaman sekarang. Selengkapnya lihat: Azhari Andi, dkk., “Reinterpretasi Sunnah: Studi Pemikiran Muhammad Syahrur terhadap Sunnah,” Living Hadis 1, No. 1 (Mei 2016): h. 88-89, dan Fakhrul Akmi, “Pemikiran As-Sunnah Kontemporer Muhammad Syahrur: Studi terhadap Kitab As-Sunnah Ar- Rasuliyah wa As-Sunnah An-Nabawiyah,” (Tesis S2 Pascasarjana UIN Sumatera Utara, 2018), h. 81. 122 Ide yang dikemukakan oleh al-Dahlawy sebenarnya tidak jauh berbeda dari yang diutarakan oleh Muhammad Syahrur. Tipologi yang beliau buat berdasarkan fungsi Nabi Saw yang menurut al-Dahlawy dapat berkedudukan sebagai Rasulullah (pembawa risalah) atau sebagai manusia biasa. Semua hal yang berasal dari Nabi Saw yang berkenaan dengan berita ghaib seperti keberadaan malaikat serta ijtihad beliau atas petunjuk Allah Swt termasuk ke dalam sunnah risalah yang patut diamalkan dan ditaati. Sedangkan semua hal yang berasal dari Nabi Saw seperti kebiasaan-kebiasaan beliau yang tidak berhubungan dengan ibadah termasuk ke dalam sunnah ghoiru risālah, yang kaum muslimin tidak diwajibkan untuk mengikuti dan mengamalkannya. Lihat: Fatichatus Sa‟diyah, “Pemikiran Hadis Shah Waliyullah Al-Dahlawi tentang Metode Pemahaman Hadis,” (Tesis S2 UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018), h. 82-84. 123 Ash-Shiddieqy, Fiqih Islam Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat dan Tuntas, h. 78- 79.

130

Hadis selanjutnya yang dipahami Hasbi dengan pendekatan historis adalah hadis tentang larangan memakai wadah dari emas dan perak.

ِ عن ُحذيفةَ بن اليَمان رضي اهلل عنو قال: َسع ُت رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم يقوُل: ال تَ ْشَربُوا يف ِ ِ َّ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ اَنيَة الذَىب والف َّضة والتأ ُكلُْوا يف ص َحافهما فإَّنما ذلم ىف الُّديْ يَا ولَ ُك ْم يف األخَرة )رواه أْحد و البخاري(

“Dari Huzaifah bin al-Yamāni r.a. berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: Janganlah kamu minum di piala emas dan perak, jangan kamu makan di piring emas dan perak, karena sesungguhnya dua jenis barang itu buat mereka di dalam dunia dan buat kamu di akhirat.”124

Dalam memahami hadis di atas, Hasbi mencoba menjelaskannya dari segi latar belakang sejarah dari larangan makan dan minum dari bejana yang dibuat dari emas dan perak. Menurut Hasbi, larangan ini tidak disampaikan oleh Nabi Saw tanpa sebab. Nabi Saw melarang kaum muslimin kala itu memakai wadah dari emas dan perak untuk mencegah timbulnya individualistis di tengah masyarakat. Dahulunya emas dan perak dijadikan sebagai salah satu alat tukar, alias mata uang. Maka jika banyak kaum muslimin yang memakai emas dan perak sebagai wadah tempat air, dikhawatirkan akan terjadi ketidakseimbangan sosial dan menghancurkan perasaan orang-orang miskin dan fakir. Hasbi menjelaskan,

“Menurut penyelidikan kami, mungkin sekali Nabi mencegah kita memakai piring dan piala emas dan perak untuk tempat makan dan minum, adalah sebagai suatu dasar untuk mencegah pembendaharaan emas dan perak oleh seseorang. Emas dan perak dijadikan untuk alat tukar-menukar yang diperedarkan di masyarakat. Maka jika dibenarkan membuat piring dan piala untuk makan dan minum dari emas dan perak, dapatlah orang-orang tamak, menumpuk-numpuk emas dan perak dalam satu rumah, yang menyebabkan timbul kepincangan hidup dalam masyarakat.”125

Dengan mengetahui historisitas dari disampaikannya hadis tentang larangan memakai wadah dari emas dan perak, maka dapat dipahami bahwa Nabi Saw melarang perilaku tersebut untuk menghindari perbedaan kasta antara si kaya dan si

124 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5 (Jakarta: PT Magenta Bhakti Guna, 1994), h. 72. 125 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 74-75.

131

miskin. Islam adalah agama yang melestarikan sistem persamaan bagi sesama manusia, hal ini tergambar dari hal yang paling kecil sekalipun yaitu shalat berjama‟ah. Ketika shalat dilaksanakan, semua berdiri sesuai dengan shaf yang ia dapatkan, tidak ada aturan bahwa orang yang kaya harus di barisan shaf terdepan atau sebaliknya. Maka dari itu, hikmah dari larangan memakai emas dan perak sebagai wadah makan selain karena menyebabkan ketimpangan sosial, namun juga menyebabkan orang miskin bersedih hati. Jika hal ini ditarik ke zaman kontemporer, disaat alat tukar bukan lagi menggunakan emas dan perak melainkan dengan mata uang, maka larangan tersebut ikut hilang.126 Namun tetap saja, menggunakan emas dan perak sebagai wadah disaat ada wadah lain dari bahan yang lebih terjangkau tampaknya sedikit berlebihan. Karena Nabi Saw mengajarkan umatnya untuk hidup sederhana.127 Hadis lain yang juga dipahami Hasbi dengan pendekatan historis adalah hadis tentang mematikan lampu ketika hendak tidur. Di dalam hadis disebutkan:

عن جابر بن عبد اهلل رضي اهلل عنو قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: إذا كان ُجْن ُح اللَْي ِل, أو ِ ِ ِ ِ ٍ ِ أَْم َسْيتُم فَ ُكُّفوا صْبيانَ ُكم فإن الشياطْي تَ ْنتَشُر حْي نَئذ فإذا ذََى َب َسا َعةٌ من الليِل وا ْغلُقوا األبوا َب واذُك ُروا اسم اهلل فإن الشيطان ال ي َْفتَ ُح بابًا ُمْغلًَقا )رواه البخاري ومسلم( “Dari Jābir bin Abdillah r.a ia berkata: Rasulullah Saw bersabda, „Apabila telah mulai gelap malam atau telah mulai masuk ke malam hari, maka laranglah anak- anak kecilmu (keluar rumah), karena setan-setan berkeliaran pada saat itu. tetapi jika telah berlalu beberapa saat dari malam hari, maka biarkanlah mereka. Dan kuncilah

126 “Disaat „illat dari sesuatu hilang, maka hukum yang terkandung di dalamnya juga lenyap”, hal ini seringkali disebutkan oleh Hasbi di beberapa pembahasannya tentang hadis (hadis tentang jenggot dan hadis tentang larangan memakan dua kurma dalam satu suapan. Lihat: Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 212; Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid VII, h. 65. 127 Nabi Muhammad Saw adalah sosok yang sangat sederhana dan zuhud. Beliau tidak berlebih-lebihan dalam segala sesuatunya. Banyak riwayat yang berisikan kabar tentang sifat zuhud yang beliau miliki. Salah satunya adalah Nabi Saw pernah menahan lapar sampai-sampai mengikat dua batu di perutnya. Padahal kala itu beliau adalah orang paling berpengaruh di masyarakat dan sangat dihormati, jika ingin, beliau bisa saja dengan mudah mendapatkan segala hal yang beliau mau. Namun beliau lebih memilih hidup sederhana dan tidak menggunakan kedudukannya sebagai alasan untuk berfoya-foya. Lihat: Khairil Ikhsan Siregar, “Kesederhanaan Pribadi Nabi Muhammad dan Aplikasinya dalam Fakta Sosial: Sebuah Kajian Nilai Al-Qur‟an dan Hadis,” Studi Al-Qur’an: Membangun Tradisi Berfikir Qur’an 9, No. 1 (2013): h. 54.

132

pintu-pintu rumah serta sebutlah nama Allah, sesungguhnya setan tidak dapat membuka pintu yang telah dikunci‟.”128

ِ ِ عن ابن عمر رضي اهلل عنو قال: قال النيب صلى اهلل عليو وسلم: ال تَ ْت ُرُكوا النَّاَر يف ب ُيُ ْوت ُك ْم حَْْي تَناُمون )رواه البخاري ومسلم(

“Dari Ibnu Umar r.a ia berkata: Nabi Saw bersabda, „Janganlah kamu membiarkan api menyala di rumah-rumahmu ketika kamu tidur‟.”129

Redaksi hadis di atas menunjukkan larangan yang disampaikan Nabi Saw agar kaum muslimin tidak menghidupkan lampu ketika tidur. Yang demikian merupakan pemahaman secara tekstual. Namun menurut Hasbi makna hadis ini harus digali secara mendalam lebih dari sekedar pembacaan terhadap teksnya. Menurutnya, dalam memahami hadis ini perlu pertimbangan terhadap konteks yang meliputinya, salah satunya yaitu dengan melihat asbāb al-wurūd-nya. Ia kemudian menampilkan sebuah hadis yang mengandung sebab larangan tersebut keluar dari lisan Nabi Saw. Hadis tersebut berbunyi sebagai berikut:

ِ ِِ ِ ِِ عن أيب موسى رضي اهلل عنو قال: ا ْحتَ َرَق بْي ٌت بادلدينة على أْىلو من الليل ف َحَّد َث بشأَّْن ُم الن َّيب صلى َّ ِ ِ ِ اهلل عليو وسلم قال: إن ىذه النَّاَر إَنا ى َي عُدُّو ل ُكم فإذا َنْتُ ْم فأَطْفئُوىا عنكم )رواه البخاري ومسلم( “Dari Abu Mūsa r.a ia berkata: Telah terbakar sebuah rumah di Madinah beserta isinya pada suatu malam. Maka orang menceritakan hal tersebut kepada Nabi Saw lalu beliau bersabda, „Sesungguhnya api ini adalah musuh bagi kamu, karena itu apabila kamu tidur, maka padamkanlah api terhadap dirimu‟.”130

Dari keterangan hadis di atas terlihat bahwa ada hal yang menjadi latar belakang Nabi Saw menyampaikan larangan tersebut yaitu karena kekhawatiran beliau akan terjadinya kebakaran karena hal tersebut pernah menimpa penduduk Madinah. Menurut Hasbi, jika kekhawatiran terhadap terjadinya kebakaran sudah

128 Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7 (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 26. 129 Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 26. 130 Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 27

133

tidak ada, maka perintah untuk mematikan lampu ketika tidur juga tidak harus dijalankan lagi. Hasbi menuturkan,

“Perintah ini adalah suatu anjuran untuk menghindarkan kita dari kemungkinan terjadinya kebakaran. Apabila tidak ada kekhawatiran kepada terjadinya kebakaran, maka sudah barang tentu tidak diperintahkan supaya kita memadamkan lampu di malam hari.”131

Hasbi menganggap bahwa perintah untuk memadamkan lampu ketika tidur hanyalah sebuah petunjuk dan bukanlah sebuah kewajiban. Ia berpegang pada kenyataan bahwa ‘illat yang terkandung di dalam hadis tersebut telah hilang sehingga tidak menghendaki pengamalannya lagi. Maka jelas menurutnya hadis tentang perintah memadamkan lampu ketika tidur ini merupakan bagian dari hadis yang hukumnya bersifat sementara atau temporal. Ia menjelaskan,

“Perintah itu sebenarnya merupakan suatu petunjuk belaka, bukan sesuatu yang diwajibkan. Untuk menghindari kebakaran. Dan di masa dahulu, lampu yang dipakai adalah lampu minyak yang apabila tersenggol sedikit oleh tikus dan semacamnya akan menimbulkan kebakaran. Apabila „illat tersebut tidak ada lagi, maka tentulah hukum memadamkan lampu di malam hari tidak tergolong perintah yang harus dijalankan lagi.”132

Lebih lanjut, Hasbi juga menjelaskan kandungan hadis tentang menjawab salam dari orang non-muslim. Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Anas disebutkan bahwa cara menjawab salam dari orang non-muslim adalah dengan mengucapkan “wa ‘alaikum”.

َّ عن أنس بن بن مالك رضي اهلل عنو قال: قال النيب صلى اهلل عليو وسلم: إذا سل َم عليكم أىلُ الكتاب فقولوا وعليكم )رواه البخاري ومسلم( “Dari Anas bin Mālik r.a ia berkata: Nabi Saw bersabda, „Apabila ahli kitab mengucapkan salam kepadamu maka jawablah dengan wa’alaikum‟.”133

131 Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 28. 132 Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 28. 133 Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 225.

134

Perihal ini menjadi perdebatan di antara para ulama. Tidak hanya seputar menjawab salam, hukum mengucapkan salam terlebih dahulu kepada non-muslim juga diperselisihkan.134 Ulama yang membolehkan untuk mengucapkan dan menjawab salam dari kaum non-muslim mengatakan bahwa adalah hal yang manusiawi untuk memberi penghormatan kepada mereka selama hati dan keyakinan tetap pada Islam. Sementara itu juga ada ulama yang menentang keras perbuatan tersebut karena di dalam hadis sudah dijelaskan bahwa tidak boleh memulai salam dengan alasan apapun dan juga apabila mereka yang memulai maka jawablah dengan “wa ‘alaikum” saja. Adapun mengenai jawaban “wa‘alaikum” terhadap salam yang diucapkan oleh non-muslim harus ditelusuri latar belakang historisnya, menurut Hasbi. Karena ternyata ada hal yang menjadi penyebab Nabi Saw menjawab salam dari non-muslim dengan ucapan tersebut. Hal ini didasarkan oleh riwayat Ibnu Umar:

َّ عن عبد اهلل بن عمر قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو سلم: إذا سل َم عليكم اليهوُد فإَنا يقول أحدىم ال َّسام عليك فقل وعلي َك )رواه البخاري ومسلم( “Dari Abdullah bin Umar ra.a ia berkata: Rasulullah Saw bersabda, „Apabila orang Yahudi memberi salam kepadamu maka sesungguhnya mereka mengatakan al- sāmu ‘alaika, maka dari itu jawablah wa’alaika‟.”135

Di samping itu juga ada riwayat dari Aisyah: ِ عن عائشة رضي اهلل عنها قالت: َد َخ َل َرْى ٌط من اليَ ُهود على رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم فقالوا: ال َّسام عليك فَ َفِه ْمتُها, فُقْل ُت: عليكم السامُ واللعنة. فقال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: َمْهًل يا

134 Sayyid Quṯb mewakili ulama yang tidak menyetujui pengucapan salam kepada non- muslim. Menurutnya, salam tidak selayaknya diucapkan kepada orang-orang yang bukan muslim karena itu merupakan sebuah tahiyyah (penghormatan) dan budaya khas Islam. Pada sisi lain, Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam (penulis kitab Bulūgh al-Marām) mengungkapkan bahwa memang benar umat Islam tidak boleh memulai salam kepada non-muslim, namun jika mereka yang terlebih dahulu mengucapkan salam maka harus dijawab dengan wa ‘alaikum (bagimu juga). Lihat: Sayyid Quṯb, Tafsīr Fī Dzilāl al-Qur’ān, Penerjemah As‟ad Yasin Dkk, Jilid 2 (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 471, dan Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam, Syarh Bulūgh al-Marām, Penerjemah Thahirin Suparta Dkk (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), h. 363. 135 Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 225.

135

ِ ِ عائشةُ! فإن اهلل ُُي ُّب الّْرفْ َق يف األمِر ُكلّْو. فقل ُت: يا رسول اهلل أََوَملْ تَ ْسَم ْع ما قالوا؟ قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: فقد قل ُت وعليكم )رواه البخاري ومسلم( “Dari Aisyah r.a. ia berkata: Segolongan Yahudi datang ke tempat Rasulullah Saw dan berkata al-sāmu ‘alaika, aku memahaminya, karena itu aku menjawab „alaikum al-sāmu wa la’natuhu‟, maka Rasulullah Saw bersabda, „Perlahan-lahan wahai Aisyah! Sesungguhnya Allah Swt menyukai kita berlemah-lembut dalam setiap urusan‟. Aku menjawab, „Ya Rasulullah, tidakkah engkau mendengar apa yang mereka katakan?‟ Rasulullah menjawab, „Sesungguhnya aku telah mengucapkan wa’alaikum‟.”136

Dari riwayat di atas, tampak bahwa penyebab Nabi Saw menjawab wa ’alaikum pada salam dari orang non-muslim karena mereka bukan mengucapkan al- salāmu melainkan al-sāmu atau kematian atasmu. Menurut Hasbi, jika salam yang diucapkan oleh orang non-muslim benar (al-salāmu ‘alaikum) maka wajiblah dijawab dengan wa ‘alaikum al-salām karena jawaban yang diberikan Nabi Saw sebagaimana yang diterangkan oleh hadis di atas adalah cara beliau untuk mengimbangi salam dari orang yang mengucapkan salam kepadanya. Hasbi menuturkan,

“Hadis ini memberi pengertian bahwa Rasulullah tetap berlaku lunak terhadap siapa saja yang beliau hadapi dan memerintahkan pula agar kita juga melakukan hal yang demikian walaupun yang kita hadapi itu orang kafir. Dan dari hadis ini kita dapat mengambil pengertian pula, bahwa apabila orang kafir itu benar-benar mengucapkan „al-salāmu ‘alaikum‟, maka wajib pula kita menjawab, „wa ‘alaikum al-salām‟. Karena Nabi menyuruh kita menjawab „wa ’alaikum‟ saja adalah untuk mengimbangi salam orang Yahudi yang telah diterangkan itu.”137

Dari pemaparan mengenai beberapa hadis di atas, terlihat bahwa Hasbi memberikan perhatian yang cukup besar terhadap kondisi dan situasi yang mengiringi disampaikannya sebuah hadis oleh Nabi Saw. Hal ini merupakan bukti bahwa dalam memahami hadis ia menggunakan pendekatan historis yang besar kemungkinan keberadaannya menjadikan kandungan sesebuah hadis menjadi kondisional atau

136 Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 226. 137 Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 228-229.

136

menyesuaikan. Maka dengan demikian sebenarnya Hasbi juga telah menunjukkan identitasnya sebagai ulama yang mendukung pemahaman kontekstual. Hal ini tergambar dari penjelasannya terhadap hadis tentang perintah memelihara jenggot yang setelah ditelusuri latar belakang dan kondisi yang meliputinya menunjukkan adanya ‘illat atau alasan Nabi Saw memerintahkannya, yaitu sebagai pembeda antara kaum muslimin dan yang bukan muslim. Namun alasan yang dimaksud telah hilang seiring berkembangnya peradaban manusia, sehingga menurut Hasbi memanjangkan jenggot tidak menjadi sebuah kewajiban lagi. Pemahaman yang demikian hanya dilakukan oleh tokoh yang kontekstualis, karena jika Hasbi memahaminya secara tekstual saja, tentu ia akan mengatakan bahwa memanjangkan jenggot adalah wajib.

c. Pendekatan Sains atau Kesehatan Di samping menggunakan pendekatan bahasa dan historis, pada beberapa tema hadis Hasbi juga menjelaskannya dengan mengaitkannya pada pengetahuan tentang sains dan kesehatan. Sebagaimana pemahamannya terhadap hadis tentang cara membersihkan bejana bekas jilatan anjing. Di dalam sebuah riwayat disebutkan:

ِ ِ ِ عن أيب ىريرة رضي اهلل عنو قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: إذا َولََغ ال َكْل ُب يف إناء أ َحدُك ْم ِ ٍ فَ ْلُِريقْوُ ولْيَ ْغ سْلوُ َسْب َع َمَّرات )رواه النساء( “Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, bersabda Rasulullah Saw: Apabila anjing menjilat bejana seseorang, hendaklah ditumpahkan air dalam bejana itu, kemudian hendaklah dibasuhnya tujuh kali.”138 Hasbi juga mencantumkan riwayat dari Abu Hurairah yang berbunyi sebagai berikut: ِ ِ ِ عن أيب ىريرة رضي اهلل عنو قال: قال النيب صلى اهلل عليو وسلم: طَُهْوُر إناء أ َحدُك ْم إذا َولََغ فيو ال َكْل ُب ِ ٍ ِ أن ي َْغسلَوُ َسْب َع َمَّرات أُْوالُى َّن بالتُّ َراب )رواه البخاري ومسلم(

138 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 39.

137

“Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, Nabi Saw bersabda: Cara kamu menyucikan bejana yang dijilati anjing ialah dengan membasuhnya tujuh kali, yang pertama dari yang tujuh itu dengan tanah.”139

Dalam memahami hadis di atas, Hasbi terlebih dahulu menjelaskan asbāb al- wurūd nya. Asbāb al-wurūd dari hadis tersebut adalah Abdullah bin Mughaffal (w. 57 H) menerangkan bahwa Rasulullah Saw memerintahkan untuk membunuh semua anjing. Beberapa waktu kemudian, Rasulullah berkata lagi, “Mengapa anjing terus- terusan dibunuh?” Sesudah itu beliau membolehkan orang memelihara anjing buruan, anjing gembala dan anjing penjaga tanaman. Nabi juga bersabda: Apabila anjing menjilati bejana kamu, basuhlah tujuh kali dan gosoklah dengan tanah pada kali ke delapan.”140 Semua ahli fiqih dan jumhur sepakat tentang keharusan untuk membasuh bejana bekas jilatan anjing. Yang banyak diperselisihkan adalah cara membasuhnya. Hasbi dengan cermat mengemukakan tentang penyebab dari diwajibkannya membasuh bejana yang dijilat anjing dari segi kesehatan. Dalam hal ini ia mengatakan,

“Dalam ilmu kedokteran ada disebutkan, bahwa ada penyakit yang terdapat pada moncong anjing yang tak dapat dibasmi oleh yang selain dari tanah. Maka memakai tanah ini adalah untuk membasmi bahaya kuman-kuman di mulut anjing. Karena itu, jika terdapat benda cair yang dapat menghilangkan bahaya kuman moncong anjing itu, tentulah boleh kita memakainya. Para dokter telah menerangkan hikmat dari membasuh jilatan anjing sekian kali banyaknya. Sebab perintah membasuh jilatan anjing ditekankan ialah karena dalam perut besar anjing ada terdapat cacing tambang yang sangat kecil (kuman-kuman penyakit anjing gila), panjangnya 4 mm. Apabila anjing berak, keluarlah telur-telur bersama beraknya. Apabila anjing membersihkan badannya dengan lidahnya, seperti biasa dilakukan anjing, berlumurlah lidahnya dengan cacing-cacing itu. Maka apabila anjing menjilat air dalam suatu bejana, lengketlah telur-telur atau kuma-kuman itu padanya. Kalau air itu diminum oleh manusia, masuklah ke dalam perutnya kuma-kuman dan telur-telur itu dan beranaklah ia di dalam perut, lalu merusaklah dinding pencernaan dan masuklah ke dalam saluran darah yang menyebabkan timbul penyakit otak, jantung dan paru-paru. Karena membedakan antara anjing yang berpenyakit dengan yang tidak, sukar sekali.”141

139 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 45. 140 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 46. 141 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 47-48.

138

Dari keterangan yang dikemukakan oleh Hasbi di atas, terlihat bahwa ia berusaha untuk memberikan alasan yang logis dari perintah untuk membasuh bejana yang dijilat oleh anjing. Namun yang penulis garis bawahi dari uraian di atas adalah sikap Hasbi yang luwes dalam tata cara membersihkan bejana yang dimaksud. Menurutnya, karena zaman yang sudah berperadaban dan berkembang ini menyediakan sabun dengan berbagai merek dan kualitas tinggi, maka boleh tidak memakai tanah dan diganti dengan sabun saja. Karena alasan dari Nabi Saw menyuruh untuk membersihkan bejana yang dijilati anjing adalah khawatir jika hal tersebut dapat merusak kesehatan umat Islam. Maka disaat sudah ada benda yang dapat menghilangkan “sebab” dari keharusan membasuh bejana yang dijilati anjing, maka menurut Hasbi sah-sah saja jika memakai benda lain selain tanah. Ia juga menambahkan, bahwa hadis-hadis di atas hanya menunjukkan kepada kenajisan mulut anjing saja dan meqiyaskan seluruh badan anjing kepada mulutnya tidak dibenarkan.142 Lebih lanjut, Hasbi juga menggunakan sebuah istilah “naluri budi” dalam memahami hadis. Hadis yang ia pahami dengan naluri budi berkenaan dengan meminum kencing unta. Hadis tersebut berbunyi sebagai berikut:

ِ عن أنس بن مالك رضي اهلل عنو قال: إن َرْىنا من عُ ْكٍل أو قال عَُريْنة قَدموا على رسول اهلل صلى اهلل ِِ عليو وسلم فا ْجتَ َوُوا ادلدينةَ فأمر ذلم رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم بلَقاٍح وأَمرىم أن َِيُْرجوا فيَ ْشَرب ُْوا من ِ ِ أبْ َواذلا وأَلْبَاَّنا )رواه البخاري ومسلم( “Dari Anas bin Mālik RA ia berkata: Bahwasannya serombongan orang dari kabilah Ukal atau „Urainah datang ke Madinah, maka Nabi Saw menyuruh berikan kepada mereka beberapa ekor unta betina dan menyuruh mereka tinggal di luar kota. Mereka pergi bertempat di luar kota dan mereka minum kencing-kencing unta dan susu-susunya.”143

Ia menerangkan, “Menurut pendapat kami hadis ini tidak perlu rasanya ditegaskan syara‟. Cukup diserahkan pada naluri budi kita sendiri-sendiri. Naluri budi

142 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 2, Cet-2 (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 95. 143 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid I, Cet-4, Edisi 2 (Jakarta: Karya Unipress, 1993), h. 55-57.

139

yang sehat tentu menyatakan kencing unta itu menjijikkan. Kalau demikian, najislah ia dan hendaklah kita membersihkan diri dari padanya.”144 Naluri budi yang dimaksud oleh Hasbi adalah wijdān atau perasaan hati. Siapapun yang berpikiran dan berperasaan yang sehat tentu akan memandang bahwa air kencing (baik yang berasal dari manusia atau hewan) merupakan sesuatu yang kotor. Maka dari itu, patutlah hal tersebut untuk dihindari dan tidak dikonsumsi. Dari pemaparan pada sub-bab ini, tampak bahwa beberapa pemahaman Hasbi terhadap hadis memang sedikit berbeda dari ulama mayoritas. Maka dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah metode yang ia gunakan dalam memahami hadis. Sama halnya dengan ulama lain, ketika memahami hadis Hasbi juga menerapkan langkah-langkah seperti memahami hadis dengan al-Qur‟an dan riwayat hadis yang lain. Namun tidak hanya itu, ia juga sangat menyandarkan pemahamannya kepada amalan para sahabat dan pendapat para ulama. Karena kadar perhatiannya terhadap perkataan para sahabat dan ulama yang besar-lah sehingga ia dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada shalat Zuhur pada hari Jum‟at dan mengqasr shalat ketika safar meskipun dalam jangka waktu yang lama.145 Dalam memahami hadis, Hasbi menggunakan beberapa metode yang sebagian darinya sama dengan yang telah dikemukakan oleh ulama klasik dan sebagian darinya merupakan hasil dari olah pikir ia sendiri. Salah satu hal yang menarik untuk dikaji adalah kriteria keshahihan yang ditetapkan oleh Hasbi. Ia menambahkan satu kriteria di samping lima kriteria yang sering digunakan oleh ulama, yaitu matan hadis tidak bertentangan dengan nash mutawātir dan juga tidak bertentangan dengan kaidah agama yang telah disepakati. Ia menolak hadis tentang Nabi Saw terkena sihir karena

144 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid I, h. 57. 145 Hasbi merupakan tokoh yang turut serta dalam menyuarakan ijtihad dan menolak taqlid. Ketika membaca karya-karyanya akan ditemukan fakta bahwa Hasbi banyak mengutip dan menyandarkan pendapatnya pada pandangan ulama-ulama terdahulu, yang demikian mungkin saja akan membuat beberapa orang menganggapnya jumud. Namun, menurut Hasbi mengutip pendapat ulama terdahulu tidaklah termasuk taqlid. Jika menyandarkan pendapat kepada ulama terdahulu termasuk taqlid, maka sama saja dengan mengatakan bahwa telah taqlid orang-orang yang berpegang pada pendapat salaf dan mutaqaddimīn. Bagi Hasbi, seseorang baru dikatakan taqlid ketika ia bertaqlid pada pendapat ulama muta’akhkhirīn yang hidup pada kurun waktu lima ratus atau dua ratus tahun belakangan ini yang mereka lebih banyak berpegang pada pendapat imam mazhab mereka dibanding al-Qur‟an dan hadis. Lihat: N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 125-127.

140

menurutnya kandungan hadis tersebut bertentangan dengan kaidah yang telah disepakati yaitu Nabi Saw sebagai manusia yang mulia dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah Swt tidak mungkin terkena sihir. Padahal hadis tersebut terdapat di dalam Shahih al-Bukhāri dan Shahih Muslim. Hal yang sama juga terjadi ketika Hasbi memahami hadis tentang syafa‟at. Ia berkesimpulan bahwa syafa‟at yang berupa penyelamatan manusia dari api neraka tidak ada karena di dalam al-Qur‟an terdapat ayat yang menjelaskan bahwa tidak ada syafa‟at pada Hari Akhir. Di samping itu, adalah sebuah ketidakmungkinan jika Allah Swt mengubah ketetapan-Nya terhadap seorang hamba. Seseorang yang telah dihisab dan ditentukan untuk masuk neraka tidak mungkin dapat diselamatkan dari siksaan sekalipun itu adalah syafa‟at dari Nabi Saw. Demikianlah pemahaman yang diyakini oleh Hasbi. Hal ini juga menunjukkan bahwa dalam memahami hadis Hasbi sangat berpatokan kepada petunjuk al-Qur‟an, sehingga jika ada sebuah hadis yang kandungannya tidak satu alur dengan penjelasan yang tertera di dalam al-Qur‟an maka ia akan cenderung menunjukkan penolakannya terhadap hadis yang bersangkutan. Dalam memahami hadis, di samping menggunakan pemahaman tekstual, Hasbi juga menggunakan pemahaman kontekstual. Hasbi memberikan perhatiannya terhadap perkembangan zaman dengan keterkaitannya dengan ketetapan hukum. Menurut Hasbi, peradaban manusia akan membawa fatwa-fatwa baru karena hukum timbul mengikuti keadaan. Ia menyadari bahwa perkembangan zaman dan kemajuan peradaban yang dialami oleh umat manusia merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Maka ketika terjadi perkara-perkara baru, akal diharapkan mampu untuk mengimbangi keadaan tersebut. Hal inilah yang mendorong Hasbi untuk menggunakan metode kontekstual dalam memahami hadis.146

146 Pemahaman kontekstual meraih puncak kepopulerannya di kalangan akademisi hadis Indonesia pada akhir abad dua puluh dan awal abad dua puluh satu. Maka dikenal-lah tokoh-tokoh seperti KH. Ali Mustafa Yaqub, M. Syuhudi Ismail, Daniel Djuned, Nizar Ali dan lain-lain sebagai ulama yang mencurahkan perhatiannya di bidang ini. Dari beberapa tokoh ini, Hasbi tercatat telah dahulu menulis karya yang memuat tentang pemahaman kontekstual terhadap hadis dengan terbitnya dua bukunya sekitar tahun 1950-1970 yaitu 2002 Mutiara hadis Nabi dan Koleksi Hadis-hadis Hukum. Meskipun dua karyanya ini tidak berisi tentang pemahaman kontekstual secara utuh dan mendalam,

141

Beberapa hadis yang dipahami oleh Hasbi secara kontekstual adalah hadis tentang memelihara jenggot, hadis menjawab salam dari non-muslim, hadis mematikan lampu saat hendak tidur, hadis larangan menggunakan wadah dari emas dan perak. Pemahaman hadis yang digunakan oleh Hasbi sangat erat hubungannya dengan ‘illat yang terkandung di dalam sebuah hadis. ‘Illat yang ia maksudkan adalah segala sesuatu yang menjadi latar belakang ditetapkannya hukum, termasuk di dalamnya alasan, sebab dan tujuan Nabi Saw menyabdakan sebuah hadis. Menurut Hasbi, ketika ‘illat dari sebuah hadis hilang, hukum yang terkandung di dalam hadis tersebut juga ikut lenyap. Demikianlah ia memahami hadis tentang memelihara jenggot, yang menurutnya ‘illat hukumnya sudah hilang sehingga perintah untuk memanjangkan jenggot dan memotong kumis sudah tidak harus dijalankan lagi pada saat ini. Begitupula halnya dengan hadis mematikan lampu saat hendak tidur. Karena „illat hukum yang terkandung di dalamnya berupa kekhawatiran akan terjadinya kebakaran sudah tidak ada lagi (sudah ada listrik), maka boleh untuk tidak mematikan lampu ketika hendak tidur. Hal yang sama juga berlaku pada hadis tentang menjawab salam dari orang non-muslim. Karena alasan Nabi Saw menjawab “wa ‘alaikum” kepada non-muslim adalah karena mereka bukan mengucap salam melainkan al-sāmu ‘alaikum, maka disaat alasan tersebut telah berubah atau jika orang non-muslim mengucap salam dengan benar wajib dijawab dengan benar pula. Demikian juga pada hadis tentang larangan memakai wadah dari emas dan perak. Menurut Hasbi, karena „illat hukum yang terkandung di dalamnya sudah lenyap, maka larangan untuk memakai wadah dari emas dan perak juga hilang seiring dengan lenyapnya ‘illat tersebut. Selanjutnya, dalam memahami hadis musykīl Hasbi cenderung menggunakan takwil. Namun menurutnya tidak semua hadis musykīl boleh ditakwil. Hadis musykīl namun beberapa hadis yang terdapat di dalamnya telah ia pahami dengan metode tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa wacana dan nalar kontekstual Hasbi sudah ada pada saat itu. Tokoh lain menulis dan menerbitkan karyanya pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Seperti halnya M. Syuhudi Ismail dengan karnyanya “Hadis Tekstual dan Kontekstual” pertama terbit pada tahun 1984, Nizar Ali dengan karyanya “Hadis Versus Sains: Memahami Hadis-hadis Musykil” terbit pertama kali pada tahun 2008, Daniel Djuned dengan karyanya “Ilmu Hadis Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis” terbit pada tahun 2010 dan K.H. Ali Mustafa Yaqub dengan karyanya “Cara Benar Memahami Hadis” terbit pertama kali pada tahun 2014.

142

yang boleh ditakwil adalah hadis yang sulit diterima oleh akal dan hadis yang kandungannya menunjukkan perbedaan dengan yang dijelaskan oleh al-Qur‟an. Dalam mentakwil hadis Hasbi juga memberikan rambu-rambu, yaitu tidak boleh mensyarah hadis sekedar untuk menyesuaikannya dengan akal tanpa melirik hadis shahih yang lain, takwil hanya boleh diterapkan pada hadis-hadis yang tidak berkenaan dengan sifat Tuhan dan aqā`id, dan boleh menerapkan takwil terus- menerus pada hadis-hadis yang tidak berhubungan dengan sifat Tuhan dan aqā`id selama tidak merusak suatu ketetapan syara‟ yang sudah tegas hukumnya.147Adapun dalam memahami hadis yang kontradiktif Hasbi tampaknya hanya menggunakan satu metode saja, yaitu kompromi atau al-jam’u. Hal ini tergambar dari langkahnya memahami hadis di dalam dua karyanya pada bidang syarah, yaitu 2002 Mutiara Hadis dan Koleksi Hadis-hadis Hukum.

B. Upaya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Mengembangkan Kajian Pemahaman Hadis di Indonesia

Perkembangan kajian hadis di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga periode, yaitu periode awal (abad ke-17-18), periode kedua (abad ke-19) dan periode ketiga (abad ke-20 hingga sekarang). Hal inilah yang diungkapkan oleh Ahmad Fudhaili di dalam penelitiannya mengenai geneologi perkembangan hadis di Nusantara.148 Menurutnya, masing-masing periode memiliki ciri khas dan karakteristik yang berbeda-beda. Pada periode pertama misalnya, karya-karya hadis yang dihasilkan oleh ulama Indonesia masih dalam ruang lingkup yang sangat terbatas berupa antologi hadis-hadis pilihan yang diarahkan untuk menjadi pedoman bagi pembinaan praktek ibadah.149 Kitab-kitabnya juga ditulis dalam bahasa Melayu

147 N. Shiddiqi, Fikih Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 130-131. 148Ahmad Fudhaili, “Perkembangan Hadis di Nusantara: Studi Genealogi dan Metodologi,” Laporan Penelitian UIN Syarid Hidayatullah Jakarta, 2018, h. 203-209. 149 Hal ini juga dikemukakan oleh Muh. Tasrif di dalam penelitiannya. Hanya saja ada sedikit perbedaan antara Muh. Tasrif dan Ahmad Fudhaili, menurut Muh. Tasrif periode pertama terjadi pada abad ke 17-19 sedangkan menurut Ahmad Fudhaili periode pertama terjadi pada abad ke 17-18. Namun hal ini tidak merubah kenyataan bahwa kajian hadis di Indonesia pertama kali berkembang dan dikenal pada abad ke 17 dengan munculnya kitab-kitab hadis yang ditulis oleh ulama pada abad 17.

143

dan aksara pegon.150 Pada periode kedua kitab-kitab hadis cenderung ditulis di dalam bahasa Arab dan banyak dikaji di pesantren-pesantren. Sedangkan periode ketiga adalah masa dimana muncul tokoh-tokoh yang melahirkan karya-karya dengan inisiatif-inisiatif yang baru. Ulama pada periode ketiga mayoritas menulis karya- karyanya dengan bahasa lokal, sehingga hal tersebut dapat memberi kemudahan bagi masyarakat untuk memahaminya. Namun hal yang demikian juga berpengaruh pada konsumen yang membaca karya mereka. Pada periode kedua karya-karya ulama banyak dikaji oleh para santri, sedangkan karya ulama para periode ketiga lebih banyak dikaji oleh para akademisi, mahasiswa dan masyarakat secara umum.151 Dari beberapa periode yang telah disebutkan di atas, kajian hadis meraih puncaknya pada periode ketiga. Pada masa ini muncul tokoh-tokoh hadis yang melahirkan karya-karya yang cemerlang. Salah satu tokoh pada periode ketiga adalah T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Ia telah banyak berkontribusi dalam mengembangkan dan memberikan warna baru dalam pengkajian hadis di Indonesia, terutama pada bidang pemahaman hadis. Peran dan kontribusinya tercermin dari karya-karyanya yang terus dikaji hingga saat ini oleh banyak kalangan, baik oleh akademisi hadis maupun masyarakat biasa. Karya-karya yang dihasilkan oleh Hasbi juga terus dicetak dan diperbaharui hingga awal abad ke-21. Hal tersebut menunjukkan bahwa kontribusinya terus hidup di tengah-tengah masyarakat meskipun tangan yang menulisnya telah tiada. Hasbi telah berhasil mendobrak tradisi penulisan kitab hadis di Indonesia. Ia hadir dengan delapan karyanya dalam bidang hadis yang dua di antaranya merupakan karyanya mengenai syarah hadis. Dalam menulis karyanya, Hasbi memfokuskan dirinya untuk menulis karya dalam bahasa Indonesia karena menurutnya hal pertama yang harus dilakukan agar kajian Islam dapat berkembang dan tersebar di Indonesia

Lihat: Muh. Tasrif, Kajian Hadis di Indonesia: Sejarah dan Perkembangan (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2007), 171. 150 Sebagai contoh adalah kitab Hidāyah al-Habīb fī al-Targhīb wa al-Tarhīb karya ar-Raniri. Kitab ini merupakan kitab hadis berbahasa Arab yang disertai dengan penjelasan-penjelasan berbahasa Melayu terawal yang muncul di Indonesia. Lihat: Ahmad Fudhaili, “Perkembangan Hadis di Nusantara: Studi Genealogi dan Metodologi,” h. 204. 151 Fudhaili, “Perkembangan Hadis di Nusantara: Studi Genealogi dan Metodologi,” h. 203- 209.

144

adalah dengan menyajikan karya-karya dalam bahasa yang dapat dengan mudah dipahami oleh masyarakat secara umum. Langkah yang ditempuhnya ini berbeda dari ulama-ulama yang hidup sebelumnya yang mayoritas menulis karya syarahnya dengan bahasa Arab dan sebagian lain dengan bahasa Melayu. Dari konteks sejarah juga terlihat bahwa sebelum abad ke-20 hampir tidak ada kitab hadis produk ulama dalam negeri yang berbahasa Indonesia. Sebut saja kitab Hidāyat al-Habīb fi al-Targhīb wa al-Tarhīb karya Nuruddin al-Raniri152 yang penjelasannya ditulis dalam bahasa Melayu dengan aksara Pegon. Kemudian pada abad ke-19 juga lahir beberapa kitab seperti Tanqīh al-Qaul al-Hasis fi Syarḥ Lubab al-Hadīs karya Nawawi al-Bantani dan Al-Khil’ah al-Fikriyyah Syaraḥ al-Mihnaḥ al- Khairiyyah karya Mahmūd al-Tarmasi, yang keduanya ditulis dalam bahasa Arab asli. Maka hadirnya karya Hasbi berupa syarah hadis merupakan sesuatu yang baru dalam sejarah kajian hadis di Indonesia dan menjadi salah satu ciri khas yang melekat pada Hasbi sebagai tokoh hadis kala itu. Tentu saja hal tersebut juga erat kaitannya dengan perkembangan kajian pemahaman hadis, karena penjelasan Hasbi tentang hadis dan juga metode yang beliau gunakan di dalam karya syarahnya ketika menjelaskan sebuah hadis juga merupakan bagian dari kajian pemahaman. Lebih lanjut, langkah yang ditempuh oleh Hasbi untuk menulis karya hadis berbahasa Indonesia pada satu sisi memang mempunyai kelebihan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut juga memiliki kekurangan. Kelebihannya tentu saja dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat karena ditulis dalam bahasa nasional yang pasti diketahui oleh semua penduduk Indonesia. Sedangkan kekurangannya terletak pada sulitnya karya tersebut untuk mendunia karena tidak ditulis dengan bahasa Internasional seperti bahasa Arab atau bahasa Inggris. Kitab tersebut mungkin saja dapat mendunia namun harus melalui proses yang panjang, di antaranya adalah

152 Kitab ini diklaim sebagai kitab syarah hadis pertama di Indonesia Selain sebagai kitab syarah hadis pertama, karya Ar-Raniri ini juga merupakan kitab hadis Melayu yang menjadi tolak ukur munculnya kajian hadis pertama kali di sejarah perkembangan ilmu pengetahuan Islam di Indonesia. Namun sejauh ini akses terhadap kitab ini sangat terbatas karena diketahui hanya satu tempat yang menyimpan teksnya yaitu Perpustakaan Negara Malaysia (PNM), dan sebuah penelitian terbaru menyatakan bahwa teks kitab tersebut juga ada di Perpustakaan Manuskrip Malaysia, meskipun masih dalam versi tidak lengkap. Lihat: Alimron, “Teks dan Konteks Kitab Hadis Melayu Pertama: Studi atas Naskah Hidāyat al-Ḥabīb Karya Ar-Raniri,” Diyā al-Afkār 6, No. 1 (Juni 2018), h. 6-7.

145

dengan diterjemahkan terlebih dahulu. Di samping itu, karya Hasbi dalam bidang hadis yang ia tulis dalam bahasa Indonesia juga kurang dapat diterima oleh oleh para santri. Pesantren-pesantren yang ada di Indonesia mayoritas menggunakan kitab-kitab berbahasa Arab. Hal ini erat hubungannya dengan “Arab oriented” yang menyebabkan beberapa kelompok tidak menggolongkan karya berbahasa Indonesia sebagai sebuah “kitab”. Menurut mereka sebuah karya dapat disebut sebagai kitab hanya jika ditulis dalam bahasa Arab.153 Lebih lanjut, jika diperhatikan ulama-ulama sebelum Hasbi atau lebih tepatnya yang hidup pada periode perkembangan hadis pertama dan kedua menulis kitabnya dengan menyesuaikan pada kondisi dan kebutuhan masyarakat kala itu. Pada periode awal masyarakat banyak yang baru mengenal Islam, sehingga kitab-kitab hadis ditulis dengan ringkas dan lebih diarahkan pada praktik-praktik keagamaan saja seperti kewajiban-kewajiban dasar yang harus dilakukan oleh kaum muslimin.154 Maka sudah jelas bahwa sasaran yang ingin dicapai oleh ulama pada periode ini adalah masyarakat secara umum. Sedangkan pada periode kedua, sasaran yang ingin dituju oleh para ulama tampaknya adalah para santri dan program pembelajaran hadis di pesantren. Kitab-kitab hadis pada masa ini juga ditulis dalam bahasa Arab sangat sesuai dengan standar yang diinginkan oleh pesantren. Adapun Hasbi sebagai tokoh yang masuk dalam periode ketiga menjadikan mahasiswa dan masyarakat umum sebagai sasaran dari karya-karya hadis yang ia hasilkan. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa Hasbi adalah dosen yang aktif mengajar di Perguruan Tinggi Islam kala itu. Maka adalah sesuatu yang sangat memungkinkan jika karyanya dijadikan sebagai buku wajib mahasiswa dan rujukan pada mata kuliah hadis di tempat ia mengajar.

153 Fudhaili, “Perkembangan Hadis di Nusantara: Studi Genealogi dan Metodologi,” h. 211- 212. 154 Hurin‟in Am, “Karakteristik Karya Hadis di Indonesia Abad XVII hingga Awal Abad XXI,” Tesis Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdatul Ulama (STAINU) 2017, h. 111.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan berupa jawaban dan respon yang selaras dengan masalah yang telah dirumuskan. Kesimpulan pokok dari penelitian ini adalah terkait dengan metode T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam memahami hadis. Dari pembacaan terhadap karya-karya beliau pada bidang hadis, terutama yang berkenaan dengan syarah seperti karyanya yang berjudul “2002 Mutiara Hadis” dan “Koleksi Hadis- hadis Hukum”, ditemukan beberapa metode yang beliau gunakan dalam memahami hadis, yaitu antara lain: a) Memahami hadis dengan petunjuk al-Qur’an; b) Mentakwil hadis-hadis musykīl; c) Merujuk pada sejumlah referensi; d) Mengkompromikan hadis-hadis yang bertentangan. Di samping itu, dalam memahami hadis Hasbi juga menggunakan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan bahasa, pendekatan historis dan pendekatan sains atau kesehatan. Selanjutnya, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy juga mempunyai upaya tersendiri untuk mengembangkan kajian pemahaman hadis di Indonesia. Upaya tersebut tergambar dari langkah beliau dalam menyajikan kajian berbentuk karya-karya syarah yang sengaja beliau tulis dalam bahasa lokal. Hasbi secara pribadi menyatakan bahwa hal pertama yang harus dilakukan agar kajian hadis dapat diterima dan berkembang di Indonesia adalah dengan memberikan kajian-kajian dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat. Hal ini juga membuat Hasbi stand out karena berhasil menghadirkan karya hadis berbahasa lokal disaat mayoritas ulama-ulama yang hidup sebelumnya menulis karya hadis mereka dalam bahasa Melayu (abad ke 17-18) dan bahasa Arab (abad ke-19). Adapun langkah yang ditempuh oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam menghasilkan karya-karya hadis berbahasa lokal mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya terdapat pada sisi penerimaan dan jangkauan perkembangannya yang dapat menyentuh masyarakat luas secara umum. Sedangkan

146

147

kekurangannya adalah karyanya menjadi sulit untuk mendunia karena tidak ditulis dalam bahasa Internasional (Arab atau Inggris). Di samping itu, karya-karya yang ditulis dalam bahasa Indonesia sulit untuk masuk lembaga pesantren. Mayoritas pesantren tidak menggunakan buku-buku berbahasa Indonesia karena menurut mereka karya-karya tersebut adalah “buku” bukan “kitab”. Hal ini juga erat kaitannya dengan “Arab Oriented” yang dianut oleh beberapa pesantren sehingga mereka lebih mengutamakan kitab-kitab berbahasa Arab sebagai kajian pokok bagi para santrinya.

B. Saran-saran

Penelitian ini sifatnya tidak mutlak, sehingga jika di kemudian hari ditemukan kekeliruan atau terdapat penelitian yang lebih akurat, maka kesimpulan dari penelitian ini dapat disesuaikan. Oleh karena itu dengan selesainya penelitian yang berjudul “Metode Pemahaman Hadis di Indonesia: Studi atas Pemikiran T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy” ini diharapkan dapat menambah wawasan para pembaca. Penulis juga menghimbau kepada para akademisi hadis di Indonesia dapat memberikan perhatian yang lebih besar terhadap pengkajian mengenai metodologi pemahaman hadis. Karena sejauh ini penelitian terkait metode pemahaman hadis masih terbilang sedikit dibandingkan kajian-kajian hadis yang lain seperti studi hadis tematik dan sejarah perkembangan hadis.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung. dkk. Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern. Cet-2. Yogyakarta: LESFI. 2004.

Abu Ṯālib, Safi Hasan. Tatbi al-Syarī’ah al-Islāmiyah fī al-Bilād al-Arabiyyah. Kairo: Dār al-Nahḏah al-Arabiyah, 1990.

Abubakar, Ali. “Reinterpretasi Shalat Jumat: Kajian Dalil dan Pendapat Ulama.” Media Syariah XIII, No. 2 (Juli-Desember 2011): h. 171.

Ali. “Pengaruh Tradisi Arab Pra Islam terhadap Hukuman Rajam.” Jurnal Ilmiah Islam Futura 14, No. 1 (Agustus 2014): h. 32.

Ali, Nizar. Hadis Versus Sains: Memahami Hadis-hadis Musykil. Yogyakarta: Penerbit Teras, 2008.

Alimron. “Teks dan Konteks Kitab Hadis Melayu Pertama: Studi atas Naskah Hidāyat al-Ḥabīb Karya Ar-Raniri.” Diyā al-Afkār 6, No. 1 (Juni 2018), h. 6- 7. Amin, Kamaruddin. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis. Jakarta: Penerbit Hikmah, 2009.

Andi, Azhari. dkk. “Reinterpretasi Sunnah: Studi Pemikiran Muhammad Syahrur terhadap Sunnah.” Living Hadis 1, No. 1 (Mei 2016): h. 88-89.

Annum, Latifa D. “Kajian Proses Islamisasi di Indonesia.” Jurnal Studi Agama dan Masyarakat 12, No. 1 (Juni 2016): h. 117-119.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Bina Aksara, 1989.

Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi. Sejarah Perkembangan Hadits. Cet-2. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.

______. Ilmu-ilmu Al-Qur’ān: Membahas Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al- Qur’ān. Ed. 3. Cet ke-6. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.

______. Pedoman Shalat. Cet-11. Jakarta: Bulan Bintang, 1983.

______. Kriteria antara Sunnah dan Bid’ah. Jakarta: Bulan Bintang, 1967.

______. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur. Jilid I. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000

148

______. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

______. Fiqih Islam Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat dan Tuntas (Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

______. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Cet-2. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.

______. Pokok-pokok Dirayah Hadits. Jilid I. Cet-4. Jakarta: Bulan Bintang, 1976.

______. Pokok-pokok Dirayah Hadits. Jilid 2. Cet-6. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

______. 2002 Mutiara Hadits. Jilid I. Cet-3. Jakarta: Bulan Bintang, 1961.

______. 2002 Mutiara Hadits. Jilid 2. Cet-2. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

______. 2002 Mutiara Hadits. Jilid 6. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

______. 2002 Mutiara Hadis. Jilid 7. Jakarta: Bulan Bintang, 1980.

______. Koleksi Hadis-hadis Hukum. Jilid 1. Cet-5. Jakarta: PT Magenta Bhakti Guna, 1994.

______. Koleksi Hadis-hadis Hukum. Jilid 3. Cet-2. Bandung: Al-Ma‟arif. 1972.

______. Koleksi Hadis-hadis Hukum. Jilid 4. Bandung: Al-Ma‟arif, 1974.

______. Koleksi Hadis-hadis Hukum. Jilid 5. Bandung: Al-Ma‟arif, 1976.

______. Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997.

Al Asqalāni, Ahmad bin Ali bin Hajr. Fath al-Bāri bi Syarh Sahīh al-Bukhāri. Riyāḏ: Dār al-Ṯibah, 2005.

Atno. “Teori Masuknya Agama dan Budaya Islam ke Indonesia” RISTEKDIKTI: Pendalaman Materi Sejarah Indonesia PPG dalam Jabatan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, h. 1.

Aziz, Erwati. “Fitrah Perspektif Hadith: Studi Kritik Sanad, Matan dan Pemahamannya.” Al-A’raf 14, No. 1 (Januari-Juni 2017): h. 144-145.

Aziz, Mahmud dan Yunus, Mahmud. Ilmu Mustolah Hadith. Jakarta: PT Hadikarya Agung, 1984.

149

Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan, 1994.

Al Bantani, Nawawi. Tanqīh al-Qaul al-Hadīs fī Syarh Lubāb al-Hadīs. Jakarta: Dār al-Kutub al-Islāmiyah, 2011.

Basri, Hasan. “Manajemen Dakwah Rasul SAW di Mekkah.” Al-Munzir 7, No. 2 (November 2014): h. 29.

Al Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. Syarh Bulūgh al-Marām. Penerjemah Thahirin Suparta Dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2010.

Bay, Kaizal. “Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi‟i.” Ushuluddin 17, No. 2 (Juli 2011): h. 189.

Baya‟qub, Rusydi. “Konstruksi Pemikiran Reformasi Islam Ahmad Surkati.” Al- Adalah 15, No. 2 (Desember 2012): h. 224.

Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat. Cet-3. Bandung: Mizan, 1999.

Al Bukhāri, Muhammad bin Ismāīl bin al Mughīrah. Sahih al-Bukhāri. Kitab Al- Janā`iz Bab 32. Riyāḏ: Maktabah al-Rusyd, 2006.

Bustamin. Dasar-Dasar Ilmu Hadis. Jakarta: Ushul Press, 2009.

Bustamin dan Salam, M. Isa H.A. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.

Chalida, Noer. “Pemikiran Hasbi Ash-Shiddieqy tentang Hadis.” Al-Hikmah 5, No. 2 (Oktober 2017): h. 92.

Channa, Liliek AW. Memahami Makna Hadis secara Tekstual dan Kontekstual.” Jurnal Ulumuna 15, No. 2 (Desember 2011): h. 395.

Damanik, Nurliana. “Konsep Syafa‟at dalam Perspektif al-Qur‟an dan al-Hadis.” Shahih: Jurnal Kewahyuan Islam, (Jan-Des 2017): h. 72.

Danarta, Agung. “Perkembangan Pemikiran Hadis di Indonesia: Sebuah Upaya Pemetaan.” Jurnal Tarjih Edisi 7 (Januari 2004): h. 73-82.

Darussamin, Zikri. “Kassim Ahmad Pelopor Inkar Sunnah di Malaysia.” Alfikra: Jurnal Ilmiah Keislaman 8, No. 1 (Januari-Juni 2009): h. 3.

150

Daulay, Hefni Julidar. “Pemikiran Hadis T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy pada Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum Jilid Satu Pembahasan Pertama (Thaharah),” (Tesis Prodi Tafsir Hadis UIN Sumatera Utara).

Al Dimasyqī, Ibnu Naṣiruddīn. Mutiara Ilmu Atsar: Kitab Klasifikasi Hadis Permata Salaf yang Terpendam (833H/1429M). PenerjemahaFaisal Saleh Dkk. Jakarta: Penerbit Akbar, 2008.

Djuned, Daniel. Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010.

Fahruddien. “Syafa‟at dalam al-Qur‟an: Suatu Kajian atas Tafsir al-Maraghi,” (Tesis S2 Pascasarjana IAIN Surakarta, 2017), h. 31-38.

Farida, Umma. “Diskursus Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam: Perspektif Ushuliyyin dan Muhadditsin.” YUDISIA: Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 6, No. 1 (Juni 2015): h. 237.

______. “Kontribusi Nur Ad-Din Ar-Raniri dan Abd Ar-Rauf As-Sinkili dalam Pengembangan Kajian Hadis di Indonesia.” Riwayah: Jurnal Studi Hadis 3, No. 1 (2017): h. 2.

Firdaus, Beni. “Kemacetan dan Kesibukan Sebagai Alasan Jama‟ dan Qashr Shalat.” Alhurriyah: Jurnal Hukum Islam 2, No. 2 (Juli-Desember 2017): h. 173.

Fatih, M. “Pemahaman Hadis „Makan dengan Tiga Jari‟ dan „Perbedaan Usus Orang Mumin dan Orang Kafir Ketika Makan‟: Kajian Ma‟anil Hadits.” Progressa Journal of Islamic Religious Instruction 1, No. 1 (Februari 2017): h. 131.

Al Ghazāli, Muḥammad. Studi Kritis atas Hadis Nabi Saw antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual. Bandung: Mizan, 1996.

Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufassir Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008.

Ghozali, Abdul Malik. “Metodologi Pemahaman Kontekstual Hadis Ibn Qutaibah dalam Ta‟wīl Mukhtalaf al-Ḥadīs.” Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam 8, No. 1 (Juni 2014): h. 120.

Harahap, Radinal Mukhtar. “Hadis pada Masa Nabi Muhammad Saw dan Sahabat.” Al-Bukhāri: Jurnal Ilmu Hadis 1, No. 1 (Januari-Juli 2018): h. 42.

Hasbi, Ridwan. “Paradigma Shalat Jum‟at dalam Hadits Nabi.” Jurnal Ushuluddin 18, No. 1 (Januari 2012): h. 78.

151

Hasbillah, Ahmad Ubaydi. Nalar Tekstual Ahli Hadis: Akar Formula Kultur Moderat Berbasis Tekstualisme. Ciputat: Maktabah Darus Sunnah, 2018.

Hasbiyallah, Muhammad. “Paradigma Tafsir Kontekstual: Upaya Membumikan Nilai-nilai Al-Qur‟an.” Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu al-Qur’an dan al- Hadits 12, No. 1 (Juni 2018): h. 34.

Ibnu Amri, Abu Ibrahim Arman. Mengenal Syafa‟at,” diakses pada 8 Oktober 2019 dari https:// almanhaj.or.id/2734-mengenal-syafa‟at.html

Ibnu Anas, Mālik. Al-Muwaṯṯā`. Ditahqiq oleh Muhammad Musṯafa Al-A‟ẕāmi. Jilid 5, Kitab al-Jāmi’. Abu Dabi: Mu`assasah Zayed bin Sulṯān, 2004.

Ibnu Fauzi, Abdul Aziz. “Dinamika Gerakan Al-Irsyad dalam Mempengaruhi Perubahan Sosial Warga Keturunan Arab Kampong Ampel Surabaya Utara.” AntroUnairDotNet 2, No. 2 (Januari-Februari 2013): h. 233.

Ibnu Muhammad, Abu al-Qāsim al-Husain. Al-Mufradāt fi Gharīb al-Qur’ān. T.tp: Maktabah Nizar Mustafa al-Bāz, t.t.

Ibrahim, Muhsinah. “Dayah, Masjid, Meunasah sebagai Lembaga Pendidikan dan Lembaga Dakwah di Aceh.” Al-Bayan 21, No. 30 (Juli-Desember 2014): h. 24.

Idri. Studi Hadis. Cet-3. Jakarta: Prenada Media Group, 2016.

Imron, Ali. “Dasar-dasar Ilmu Jarh Wa Ta‟dil.” Mukaddimah: Jurnal Studi Islam 2, No. 2 (Desember 2017): h. 288.

Irfah, Abu. “Karya Ulama: Kitab Ikhtilaf al-Hadith.” Artikel diakses pada 14 Juni 2019 dari abusyahmin.blogspot.com/2013/07/kitab-ikhtilaf-al-hadith.html

Ismail, M. Syuhudi. Hadis yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal. Cet-2. Jakarta: Bulan Bintang, 2009.

______. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Cet-4. Jakarta: Bulan Bintang, 2014.

Itr, Nuruddin. Ulumul Hadis. Penerjemah Mujiyo. Cet-2. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012.

Al Jawziyah, Ibnu al-Qayyim. Petunjuk Nabi Saw Menjadi Hamba Teladan dalam Berbagai Aspek Kehidupan. Penerjemah Achmad Sunarto. Jakarta: Rabbani Press, 1998.

152

Juynboll, G.H.A. Kontroversi Hadis di Mesir: 1890-1960, Penerjemah Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1999.

Kahar, Abd. “Eksistensi dan Keistimewaan Malaikat Jibril AS dalam Al-Qur‟an.” JPIK 1, No. 2 (September 2018): h. 286.

Khaeruman, Badri. “Perkembangan Hadis di Indonesia pada Abad XX.” Jurnal Dirayah Ilmu Hadis 1, No. 2 (Maret 2017): h. 187-202.

Al Khaṭīb, Muhammad „Ajjāj. Uṣūl al-Hadīs Ulūmuhu wa Musṯalāhuh. Beirut: Dār al-Fikr, 1989.

Khon, Abdul Majid. Takhrij dan Metode Memahami Hadis. Jakarta: Amzah, 2014.

Ma‟arif, Toha. “Fiqih Indonesia menurut Pemikiran Hasbi Ash-Shiddiqi, Hazairin dan Munawir Syadzali.” Pengembangan Masyarakat Islam 8, No. 2 (Agustus 2015): h. 31.

Mahdy, Fakhri Tajuddi. “Metodologi Syarah Hadis Nabi Saw: Telaah Kitab Tanqīh al-Qaul al-Hasīs fī Syarh Lubāb al-Hadīs Karya Imam Nawawi Al-Bantani,” (Tesis S2 UIN Alauddin Makassar, 2016), h. 98.

Mahmudi. “Pemahaman Hadis tentang Memelihara Jenggot dalam Konteks Kekinian.” Riwayah: Jurnal Studi Hadis 3, No. 2 (2018): h. 272-273.

Marzuki. “Kritik terhadap Kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.” Jurnal Humanika 6, No. 1 (Maret 2006): h. 34.

Maulana, Luthfi. “Periodesasi Perkembangan Studi Hadits: Dari Tradisi Lisan/Tulisan hingga Berbasis Digital.” Esensia 17, No. 1 (April 2016): h. 117.

Misbah, Muhammad. “Hadis Mukhtalif dan Pengaruhnya terhadap Hukum Fikih: Studi Kasus Haid dalam Kitab Bidāyatul Mujtahid.” Riwayah: Jurnal Studi Hadis 2, No. 1 (2016): h. 108.

Miski. “Pemahaman Hadis Ali Mustafa Yaqub: Studi atas Fatwa Pengharaman Serban dalam Konteks Indonesia.” Riwayah: Jurnal Studi Hadis 2, No. 1 (2016): h. 28.

Miswar, Andi. “Tafsir Al-Qur‟an Al-Majid „Al-Nūr‟ Karya T.M. Hasbi Ash- Shiddieqy: Corak Tafsir berdasarkan Perkembangan Kebudayaan Islam Nusantara.” Adabiyah XV, No. 1 (2015): h. 85.

153

Muhajirin. Kebangkitan Hadits di Nusantara. Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2016.

Muhammad, Taqiyuddin. “Al-Kalaliy: Pembaharu yang Terlupa di Tengah Kota.” Artikel diakses pada 15 Mei 2019 dari misykah.com/al-kalaliy-pembaharu- yang-terlupa-di-tengah-kota/

Muhsin, Masrukin. “Metode Bukhari dalam al-Jami‟ al-Shahih: Telaah atas Tashhih dan Tadh‟if menurut Bukhari.” Holistic al-Hadis 2, No. 2 (Juli-Desember 2016): h. 286.

Muhtador, Moh. “Sejarah Perkembangan Metode dan Pendekatan Syarah Hadis.” Jurnal Studi Hadis 2, No. 2 (2016): h. 266.

Al Munawwar, Said Agil dan Mustaqim, Abdul. Asbabul Wurud: Studi Kritik Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Munir, Ghazali. “Pemikiran Pembaharuan Teologi Islam Syah Wali Allah Ad- Dahlawi.” Teologia 23, No. 1 (Januari 2012): h. 18.

Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Mustaqim, Abdul. Ilmu Ma’anil Hadits: Paradigma Interkoneksi Berbagai Teori dan Metode Memahami Hadis Nabi. Cet-2. Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2016.

Al Naisabūry, Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjāj. Sahih Muslim. Beirut: Dār al- Kutub al-Ilmiyyah, 1991.

______. Sahih Muslim. Beirūt: Dār al-Fikr, 2003.

Najamuddin. Perjalanan Pendidikan di Tanah Air: Tahun 1800-1945. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005.

Nasution, Amir Hamzah. Dkk. “Kontribusi Pemikiran Yusuf Al-Qaradawi dalam Kitab Kaifa Nata‟amal Ma‟a As-Sunnah Nabawiyah.” At-Tahdis: Journal of Hadith Studies 1, No. 1 (Januari-Juni 2017): h. 148.

Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid II. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986.

Nazir, M. Metode Penelitian. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003.

Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1980.

154

Nurudin, Muhammad. “Signifikansi Pemahaman Kontekstual pada Era Global (Analisis Hadis Ijtima‟i.” Riwayah: Jurnal Studi Hadis 2, No. 2 (2016): h. 228.

Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1985.

Punaji, Setyosar. Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan. Jakarta: PT. Kencana, 2010.

Qarḏāwi, Yusūf. Halal dan Haram dalam Islam. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2009.

______. Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw. Penerjemah Muhammad al-Baqir. Cet- 4. Bandung: Karisma, 1995.

Al Qaṯṯān, Mannā‟. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Penerjemah Mifdhol Abdurrahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005.

Quṯb, Sayyid. Tafsīr Fī Dzilāl al-Qur’ān. Penerjemah As‟ad Yasin Dkk. Jilid 2. Jakarta: Gema Insani Press, 2000.

Rahman, Abd. Rasyid. “Perkembangan Islam di Indonesia Masa Kemerdekaan: Suatu Kajian Historis.” Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences 12, No. 2 (Oktober 2017): h. 117.

Rahman, Arivaie. “Al-Fatihah dalam Perspektif Mufasir Nusantara: Studi Komparatif Tafsir al-Qur‟an Majid an-Nur dan Tafsir al-Azhar,.” Journal of Contemporary Islam and Muslim Societies 2, No. 1 (Januari-Juni 2018), h. 8-9.

Rokhmadi. “Hukuman Rajam bagi Pelaku Zina Muhsan dalam Hukum Pidana Islam.” At-Taqaddum 7, No. 2 (November 2015): h. 311.

Romli. “Illat dan Pengembangan Hukum Islam.” Intizar 20, No. 2 (2014): h. 222.

Sa‟diyah, Fatichatus. “Pemikiran Hadis Shah Waliyullah Al-Dahlawi tentang Metode Pemahaman Hadis.” (Tesis S2 UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018), h. 82-84.

Saepudin, Didin. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta Selatan: UIN Jakarta Press, 2007.

Al Sālih, Subhi. Ulūm al-Hadīts wa Musṯalahuh. Malaysia: Dār al-Ilm li al-Malāyīn, 1988.

155

Salīm, Amru Abd al-Mun‟im. Al-Mu’allim Fī Ma’rīfah ‘Ulūm al-Hadīs wa Taṯbīqātihi al-‘Ilmiyyah wa al-‘Amaliyyah: Musṯalah al-Hadīs. Riyāḏ: Dār al-Tadmuriyyah, 2005.

Al San‟āni, Muhammad bin Ismā‟īl. Subul al-Salam. Jilid I. Mesir: Maktabah Mustafa al-Bāb al-Halby, t.t.

Santosa, Sandi. “Melacak Jejak Pensyarahan Kitab Hadis.” Jurnal Diroyah: Ilmu Hadis 1, No. 1 (September 2016): h. 82-83.

Saputra, Hasep. “Geneologi Perkembangan Studi Hadis di Indonesia.” Jurnal Studi Al-Qur’an dan Hadis 1, No. 1 (2017): h. 45.

Sari, Mimi Rahma. “Aisyah dan Kontribusinya dalam Ilmu Kritik Hadis,” (Tesis S2 Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 7-8.

Shamad, A. “Berbagai Pendekatan dalam Memahami Hadis.” Al-Mu’ashirah 13, No. 1 (Januari 2016): h. 35.

Shiddiqi, Nourouzzaman. Fiqh Indonesia:Penggagas dan Gagasannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Lentera Hati: Jakarta, 2002.

Al Sibā`i, Mustafa. Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam: Sebuah Pembelaan Kaum Sunni. Penerjemah Nurcholish Madjid. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.

Siregar, Khairil Ikhsan. “Kesederhanaan Pribadi Nabi Muhammad dan Aplikasinya dalam Fakta Sosial: Sebuah Kajian Nilai Al-Qur‟an dan Hadis.” Jurnal Studi Al-Qur’an: Membangun Tradisi Berfikir Qur’an 9, No. 1 (2013): h. 54.

Siregar, Muhammad Nuh. “Hadis tentang Keimanan Orang yang Berbuat Maksiat.” Shahih: Jurnal Kewahyuan Islam (Jan-Des 2019): h. 5-6.

Sudariyah. “Konstruksi Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nur Karya M. Hasbi Ash- Shiddieqy.” Shahih 3, No. 1 (Januari-Juni 2018): h. 96.

Supian, Aan. “Kontribusi Pemikiran Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Kajian Ilmu Hadis.” Mutawatir: Jurnal Tafsir Hadis 4, No. 2 (Desember 2014): h. 271.

Suprapto, Bibit. Ensiklopedia Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan Ulama Nusantara. Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2009.

156

Suryadi. “Rekonstruksi Kritik Sanad dan Matan dalam Studi Hadis.” Esensia 16, No. 2 (Oktober 2015): h. 180.

Suryadilaga, M. Alfatih. Metodologi Syarah Hadis dari Klasik hingga Kontemporer. Yogyakarta: Kalimedia, 2017.

Syafrizal, Ahmad. “Sejarah Islam Nusantara.” Ulumuna 2, No. 2 (Desember 2015): h. 236-237.

Al Ṯahhān, Mahmūd. Taisīr Musṯalah al-Hadīs. Singapura-Jeddah: Al-Haramain, t.t.

Tahir, Mansun. “Pemikiran T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy: Sumber Hukum Islam dan Relevansinya dengan Pemikiran Hukum Islam di Indonesia.” Al-Aḥwāl 1, No. 1 (2008): h. 124.

Al Tarmasi, Mahmud. Al-Khil’ah al-Fikriyyah Syarh al-Mihnah al-Khairiyyah. Kementerian Agama RI: T.tp, 2008.

Tasbih. “Urgensi Pemahaman Kontekstual Hadis: Refleksi terhadap Wacana Islam Nusantara.” Jurnal Al-Ulum 16, No. 1 (Juni 2016): h. 82.

Tasrif, Muh. “Studi Hadis di Indonesia: Telaah Historis Studi Hadis dariAbad XVII- Sekarang.” Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis 5, No. 1 (Januari 2004).

Al Tirmidzī, Abu Īsa Muhammad bin Saura. Jāmi’al-Tirmidzī, Kitab al-Janā`iz Bab 24. Beirūt: Bait al-Afkār al-Dauliyyah t.t.

Usiono. “Potret Rasulullah sebagai Pendidik.” Ansiru 1, No. 1 (Juni 2017): h. 206.

Wahid, Ramli Abdul. “Perkembangan Metode Pemahaman Hadis di Indonesia.” Jurnal Analytica Islamica 4, No. 2 (2015): h. 232.

Wahid, Ramli Abdul dan Masri, Dedi. “Perkembangan Terkini Studi Hadis di Indonesia.” Miqot 40, No. 2 (Juli-Desember 2018): h. 263.

Wahyuni, Yeni Sri dan Bin Razali, Yusrizal. “Batas Waktu Musafir Bermukim untuk Kebolehan Qasar Shalat.” Dusturiyah: Jurnal Hukum Islam, Perundang- undangan dan Pranata Sosial IX, No. 1 (Januari-Juni 2019): h. 16-17.

Yamin, Muhammad. “Peradaban Islam pada Masa Nabi Muhammad Saw.” Ihyā` al- Arabiyyah: al-Sunnah 3, No. 1 (2017): h. 110.

Yaqub, Ali Mustafa. Cara benar Memahami Hadisi. Cet-3. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2019.

157

______. Haji Pengabdi Setan. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006.

Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 1989.

Zainuddin. “Metodologi Pemahaman Hadis Islamolog dan Ulama Kontemporer.” Jurnal Substantia 14, No. 2 (Oktober 2012): h. 181.

Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Penerjemah Abdul Hayyien al-Kattani Dkk. Jilid II. Jakarta: Gema Insani, 2010.

158