Sejarah Dan Budaya Syiah Di Asia Tenggara

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Sejarah Dan Budaya Syiah Di Asia Tenggara SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA Penyunting Dicky Sofjan, Ph.D. Sejarah & Budaya Syiah di Asia Tenggara @ Katalog Dalam Terbitan (KDT) Penyunting Dicky Sofjan --cet. 1 -- Yogyakarta: Penerbit Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2013 hlm. xxviii + 330 ISBN 978-979-25-0118-6 1. Sejarah & Budaya Syiah di Asia Tenggara Judul 2. Kumpulan Essai Cetakan Pertama, Juli 2013 Penyunting Ahli: Dicky Sofjan Penyunting Bahasa: Elis Zuliati Anis Desain Cover: Joko Supriyanto Pradiastuti Purwitorosari Tata Letak : Pradiastuti Purwitorosari Foto Cover: Julispong Chularatana Keterangan Gambar Cover: Upacara Maharam pada hari peringatan Asyura di Bangkok, Thailand. Kuda Imam Husein yang bernama “Dzuljanah” membawa keranda matinya yang telah dihiasi sebagai bentuk peringatan terhadap tragedi pembantaian terhadap Imam Husein, keluarga, dan pengikutnya di Karbala. Penerbit: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Jl. Teknika Utara, Pogung Sleman, Yogyakarta Anggota IKAPI No: 077/DIY/2012 Hak Cipta @ 2013 pada Penerbit Dicetak oleh: Percetakan Lintang Pustaka Utama (0274-624801) Isi di luar tanggung jawab percetakan SANKSI PELANGGARAN PASAL 72: UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tutjuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau, menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (limaratus juta rupiah) SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA Penyunting Dicky Sofjan Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) KONTRIBUTOR 1. Azyumardi Azra Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta 2. Husein Heriyanto Universitas Indonesia, Jakarta 3. Imtiyaz Yusuf Universitas Mahidol, Bangkok 4. Julispong Chularatana Universitas Chulalongkorn, Bangkok 5. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniri, Banda Aceh 6. Mohammad Ali Rabbani Islamic Culture and Relations Organization, Jakarta 7. Mohd Faizal Bin Musa Universitas Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur 8. Rabitah Mohamad Ghazali Universitas Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur 9. Rima Sari Idra Putri Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Jawa Timur 10. Supratman Universitas Hasanuddin, Makasar 11. Yance Zadrak Rumahuru Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri, Ambon 12. Yudhi Andoni Universitas Andalas, Padang 13. Yusni Saby Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniri, Banda Aceh 14. Yusuf Roque Santos Morales Universitas Ateneo De Davao, Davao-Filipina 15. Zulkifl i Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta PENDAHULUAN enulisan buku ini berawal dari konferensi internasional yang diselenggarakan oleh Indonesian Consortium for Religious Studies P(ICRS) berlokasi di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. ICRS adalah sebuah lembaga konsorsium tiga universitas yang kesemuanya berada di Yogyakarta, yaitu Universitas Gadjah Mada, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka), dan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW). ICRS menawarkan program internasional di tingkat Ph.D. (Doctor of Philosophy) dengan tiga bidang spesialisasi, yaitu teks suci, sejarah sosial agama-agama serta agama, dan isu-isu kontemporer. Saat ini, setelah enam tahun didirikan, ICRS memiliki lebih dari 60 mahasiswa dari sepuluh negara yang berbeda. Dalam konferensi internasional ini, saya diberi kepercayaan sebagai anggota Steering Committee yang bertugas untuk mengawal substansi. Setelah melalui proses diskusi dan pertimbangan yang mendalam, kami di ICRS sepakat untuk memberi tema konferensi tersebut The Historical and Cultural Presence of Shias in Southeast Asia: Looking at Future Trajectory (Keberadaan Sejarah dan Kebudayaan Syiah di Asia Tenggara: Melihat Arah Masa Depan). Konferensi ini diselenggarakan pada 21 Februari 2013 dan dihadiri oleh para sarjana v dari Indonesia, Thailand, dan Malaysia yang mempunyai perhatian besar terhadap permasalahan Syiah di Asia Tenggara. Sayangnya, para sarjana dari Singapura dan Filipina berhalangan hadir untuk memberi kontribusi mereka dalam konferensi tersebut. Untuk sampai kepada tema ini pun, prosesnya juga tidaklah mudah karena terjadi persilangan pendapat. Tema pertama yang muncul sebenarnya menggunakan konsep “The Historical and Cultural Encounter”, di mana konsep “encounter” dapat diterjemahkan sebagai ‘perjumpaan’. Alasannya, kata encounter lebih dinamis dan interaktif, dibandingkan kata “presence” yang bermakna ‘kehadiran’ atau ‘keberadaan’. Ada yang beranggapan bahwa kata encounter mengandung konotasi yang sedikit negatif. Konotasi ini mungkin berasal dari potongan kata “counter” yang biasanya menggambarkan paralelisme atau bahkan perlawanan. Argumentasi ini sebenarnya kurang kuat karena dengan proposisi “en-”, makna dan orientasi kata tersebut berubah total. Hanya saja, kata ini memang berpotensi menimbulkan kesalahpahaman, seolah encounter mempunyai makna ‘mengkounter’, dalam Bahasa Indonesia. Dengan demikian, pada tataran persepsi politik, jika ada Syiah, maka pihak yang akan mengkounter tentunya saja kaum Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah atau Sunni. Mengingat sensitivitas dari isu yang diangkat dan beberapa peristiwa kekerasan yang terjadi mendahului konferensi tersebut, maka kemudian digunakanlah konsep “presence” sebagai konsep yang lebih netral, non-polemik dan non-politis. Persoalan lain yang muncul dalam penyuntingan buku ini menyangkut masalah bahasa. Dalam menghadapi persoalan terjemahan, saya meminta bantuan teman dekat saya, Saut Pasaribu, seorang fi losof yang sudah menerjemahkan lebih dari 60 buku- buku akademis yang serius dan tebal. Keyakinan saya kepada Bung Saut ini didasari oleh pemahaman dan penghayatannya terhadap kompleksitas beragam pemikiran dan lika-liku perjalanan sejarah tradisi pemikiran dan fi losofi . Kualifi kasi seperti itu yang saya butuhkan dari seorang penerjemah, dan bukan sebatas orang yang mampu mengalihbahasakan artikel dari Bahasa Inggris ke Indonesia. Hal lain menyangkut persoalan bahasa terkait dengan penggunaan banyak sekali istilah-istilah dan frase-frase asing. Ada Bahasa Arab, Farsi, Hindi, Thai, Tagalog, Aceh, Makasar, Jawa, Minang, Maluku, dan lainnya sehingga membuat buku ini seperti tampak multilingual. vi SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA Pada perjalanan menyunting buku ini, saya juga harus membuat beberapa keputusan sulit dalam memproses pilihan-pilihan diksi dan kebiasaan gaya para Penulis. Problematika pertama yang saya hadapi menyangkut penggunaan kata “Syiah”. Sebagaimana tertera dalam judul buku ini dan yang termaktub dalam semua bab yang ada, saya telah memutuskan untuk menggunakan pengejaan “Syiah”dan bukan “Syi’ah”, “Shiah” ataupun “Shia”. Hal ini saya lakukan semata- mata untuk mendahulukan kepentingan pembaca Indonesia yang terbiasa dengan pengejaan ini. Artinya, sebagai Penyunting, saya lebih memegang prinsip familiarity (keterbiasaan) dan functionality (kegunaan)—dari sudut pandang Pembaca—di atas prinsip transliterasi dan akurasi. Meskipun demikian, persoalan tidak berhenti di situ. Penggunaan kata Syiah sendiri dapat mengundang permasalahan tersendiri, mengingat kebanyakan orang Syiah lebih sering menggunakan istilah “ Tasyayyu” dan bukan “Syiah” untuk menyebut diri mereka sendiri. Makna dari kedua istilah ini sebenarnya sama karena hal yang dituju sama sekali tidak berbeda. Hanya saja, vantage point atau perspektif yang dipakai kedua kata tersebut berbeda secara hakiki. Syiah diambil secara langsung dari konsep “Syi’atu Ali” yang berarti “Pengikut Partai Ali bin Abu Thalib”. Para Syi’atu Ali ini adalah orang-orang pengikut garis kepemimpinan spiritual dan politik Imam Ali, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad. Mereka biasanya diposisikan vis-à-vis pengikut para khalifah seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan dinasti-dinasti Islam turunannya seperti Bani Ummayah serta Bani Abbasiyah. Perihal kaum Syiah, Ali Syariati (1971) dalam Fatimah is Fatimah menulis sebagai berikut: Mereka adalah yang terinspirasi oleh kebebasan dan keadilan. Mereka adalah api yang tak akan pernah sirna melawan para penguasa yang despotik dan mereka yang hatinya bias (prejudiced). Mereka adalah orang-orang yang berserah diri pada Jalan Kebenaran. Akibat keterikatan mereka dengan marahnya Kebenaran, para pengikut [Syiah] adalah para musuh yang menutupi Kebenaran. Mereka adalah musuh dari segala bentuk politik yang menjadikan manusia sebagai budak. Mereka adalah musuh dari eksploitasi ekonomi dan despotisme spiritual. Sedangkan Tasyayyu lebih diartikan sebagai sebuah ideologi atau paham Syiah, selanjutnya disebut Syiahisme. Ada hal yang esensial untuk membedakan dua istilah yang mirip ini. Istilah Syiah terkadang PENDAHULUAN vii terbagi dua, yaitu Syiah Diniyah (spiritual) dan Syiah Siyasah (politik), seolah keduanya dapat dipisahkan. Logika ini didasari oleh asumsi bahwa seseorang dapat menjadi Syiah secara spiritual, walaupun tanpa berbaiat secara politik. Sebaliknya pun dapat terjadi, yaitu seseorang dapat memegang teguh haluan politik Syiah, tanpa mengikuti kepemimpinan spiritual dari Imam Ali. Bagi sebagian orang, tentunya hal ini sangat absurd. Akan
Recommended publications
  • THE TRANSFORMATION of TRADITIONAL MANDAILING LEADERSHIP in INDONESIA and MALAYSIA in the AGE of GLOBALIZATION and REGIONAL AUTONOMY by Abdur-Razzaq Lubis1
    THE TRANSFORMATION OF TRADITIONAL MANDAILING LEADERSHIP IN INDONESIA AND MALAYSIA IN THE AGE OF GLOBALIZATION AND REGIONAL AUTONOMY by Abdur-Razzaq Lubis1 THE NOTION OF JUSTICE IN THE ORIGIN OF THE MANDAILING PEOPLE The Mandailing people, an ethnic group from the south-west corner of the province of North Sumatra today, went through a process of cultural hybridization and creolization centuries ago by incorporating into its gene pool the diverse people from the archipelago and beyond; adopting as well as adapting cultures from across the continents. The many clans of the Mandailing people have both indigenous as well as foreign infusions. The saro cino or Chinese-style curved roof, indicates Chinese influence in Mandailing architecture.(Drs. Z. Pangaduan Lubis, 1999: 8). The legacy of Indian influences, either direct or via other peoples, include key political terms such as huta (village, generally fortified), raja (chief) and marga (partilineal exogamous clan).(J. Gonda, 1952) There are several hypotheses about the origin of the Mandailing people, mainly based on the proximity and similarity of sounds. One theory closely associated with the idea of governance is that the name Mandailing originated from Mandala Holing. (Mangaraja Lelo Lubis, : 3,13 & 19) Current in Mandailing society is the usage 'Surat Tumbaga H(K)oling na so ra sasa' which means that the 'Copper H(K)oling cannot be erased'. What is meant is that the adat cannot be wiped out; in other words, the adat is everlasting. Both examples emphasises that justice has a central role in Mandailing civilization, which is upheld by its judicial assembly, called Na Mora Na Toras, the traditional institution of 1 The author is the project leader of The Toyota Foundation research grant on Mandailing migration, cultural heritage and governance since 1998.
    [Show full text]
  • Trauma, Gender, and Traditional Performance In
    UNIVERSITY OF CALIFORNIA Los Angeles The Art of Resistance: Trauma, Gender, and Traditional Performance in Acehnese Communities, 1976-2011 A dissertation submitted in partial satisfaction of the requirements for the degree Doctor of Philosophy in Women’s Studies by Kimberly Svea Clair 2012 ABSTRACT OF THE DISSERTATION The Art of Resistance: Trauma, Gender, and Traditional Performance in Acehnese Communities, 1976-2011 by Kimberly Svea Clair Doctor of Philosophy in Women’s Studies University of California, Los Angeles, 2012 Professor Susan McClary, Chair After nearly thirty years of separatist conflict, Aceh, Indonesia was hit by the 2004 Indian Ocean tsunami, a disaster that killed 230,000 and left 500,000 people homeless. Though numerous analyses have focused upon the immediate economic and political impact of the conflict and the tsunami upon Acehnese society, few studies have investigated the continuation of traumatic experience into the “aftermath” of these events and the efforts that Acehnese communities have made towards trauma recovery. My dissertation examines the significance of Acehnese performance traditions—including dance, music, and theater practices—for Acehnese trauma survivors. Focusing on the conflict, the tsunami, political and religious oppression, discrimination, and hardships experienced within the diaspora, my dissertation explores the ii benefits and limitations of Acehnese performance as a tool for resisting both large-scale and less visible forms of trauma. Humanitarian workers and local artists who used Acehnese performance to facilitate trauma recovery following the conflict and the tsunami in Aceh found that the traditional arts offered individuals a safe space in which to openly discuss their grievances, to strengthen feelings of cultural belonging, and to build solidarity with community members.
    [Show full text]
  • Peran Pemuda Terhadap Tinggalan Nisan Bersejarah Di Gampong Ateuk Jawo (Banda Aceh)
    PERAN PEMUDA TERHADAP TINGGALAN NISAN BERSEJARAH DI GAMPONG ATEUK JAWO (BANDA ACEH) SKRIPSI Diajukan oleh : FARID QHAIRI NIM. 150501046 Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY DARUSSALAM BANDA ACEH 2020 M / 1441 H i ii iii KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas berkat dan Ridha-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan sebuah karya ilmiah yang berjudul PERAN PEMUDA TERHADAP TINGGALAN NISAN BERSEJARAH DI GAMPONG ATEUK JAWO (BANDA ACEH) sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar S1 di Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. Kemudian shalawat dan salam tidak lupa kita hantarkan kepada Rasulullah SAW, beserta doa yang selalu teriring untuk para sahabat beliau yang telah memperjuangkan Islam sehingga kita dapat merasakan nikmatnya berada dalam Islam. Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, saran, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Drs. Husaini Husda, M.Pd. sebagai pembimbing I dan Ibu Hamdina Wahyuni, M.Ag. sebagai pembimbing II yang telah banyak memberikan saran dan bimbingan serta telah sudi meluangkan waktunya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Kemudian ucapan terima kasih kepada Bapak Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Drs. Fauzi Ismail, M.Si, ketua Prodi Sejarah Kebudayaan Islam, Sanusi, S.Ag., M.Hum. beserta stafnya. Selanjutnya kepada penasehat akademik Bapak Muhammad Thaib Muhammad, Lc., M.Ag. kemudian kepada bidang akademik dan bagian umum Bapak Syamsuddin, S.Pd. beserta stafnya dan para iv dosen yang telah mendidik penulis selama kuliah di Fakultas Adab dan Humaniora.
    [Show full text]
  • Volume 7: Shaping Global Islamic Discourses : the Role of Al-Azhar, Al-Medina and Al-Mustafa Masooda Bano Editor
    View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk brought to you by CORE provided by eCommons@AKU eCommons@AKU Exploring Muslim Contexts ISMC Series 3-2015 Volume 7: Shaping Global Islamic Discourses : The Role of al-Azhar, al-Medina and al-Mustafa Masooda Bano Editor Keiko Sakurai Editor Follow this and additional works at: https://ecommons.aku.edu/uk_ismc_series_emc Recommended Citation Bano, M. , Sakurai, K. (Eds.). (2015). Volume 7: Shaping Global Islamic Discourses : The Role of al-Azhar, al-Medina and al-Mustafa Vol. 7, p. 242. Available at: https://ecommons.aku.edu/uk_ismc_series_emc/9 Shaping Global Islamic Discourses Exploring Muslim Contexts Series Editor: Farouk Topan Books in the series include Development Models in Muslim Contexts: Chinese, “Islamic” and Neo-liberal Alternatives Edited by Robert Springborg The Challenge of Pluralism: Paradigms from Muslim Contexts Edited by Abdou Filali-Ansary and Sikeena Karmali Ahmed Ethnographies of Islam: Ritual Performances and Everyday Practices Edited by Badouin Dupret, Thomas Pierret, Paulo Pinto and Kathryn Spellman-Poots Cosmopolitanisms in Muslim Contexts: Perspectives from the Past Edited by Derryl MacLean and Sikeena Karmali Ahmed Genealogy and Knowledge in Muslim Societies: Understanding the Past Edited by Sarah Bowen Savant and Helena de Felipe Contemporary Islamic Law in Indonesia: Shariah and Legal Pluralism Arskal Salim Shaping Global Islamic Discourses: The Role of al-Azhar, al-Medina and al-Mustafa Edited by Masooda Bano and Keiko Sakurai www.euppublishing.com/series/ecmc
    [Show full text]
  • Glossaries of Words 30 1
    ENG L I SH ARABI C P ERSI AN TU RK I SH ARM EN I AN K U RD I SH SY RI AC by the G eog rap hical Section of the Na z al 1a112 67206 " D vision N val St miralt i , a qfi , A d y LONDON PUBLI SHED BY ms M AJ ESTY ’S ST ION ERY FFICE AT O . To b e p urc h ased t h rough any B ookse lle r or d ire c t ly f rom E . S TI NERY FFICE a t h e f ollowi n ad d r sse M . TA O O t g e s I M P I AL HOU KI G WA D W 2 an Y LO O C . d ER SE , N S , N N , . , 28 A B I N D O N S T T N D W G E L O O N S. l R E , , . ; 37 P ETER STREET M ANCH ESTER ; ’ 1 ST. D W éRESCEN T CA D I F F AN RE S , R ; 23 F ORTH S T T E D I B U G H REE , N R ; or from E S ST EET D B LI . P N NBY LTD 116 G AFTO U O O , R N R , N 19 2 0 Print ed und e r t h e afith ority of ’ H rs M AJ ESTY S STATI O NERY OF F I CE B F D I CK H AL L at t h e U nive sit P re ss Ox ford .
    [Show full text]
  • Mei 2019 Edisi 9 1 Journal of Islamic Law Studies, Center of Islamic And
    Mei 2019 Edisi 9 ADAT INSTITUTIONS IN ACEH GOVERNMENT: A CONSTITUTIONAL PERSPECTIVE Yunani Abiyoso, Ali Abdillah, Ryan Muthiara Wasti, Ghunarsa Sujatnika and Mustafa Fakhri All Authors are Lecturer at Faculty of Law, Universitas Indonesia Corresponding author email: [email protected] Acknowledgement This paper based on research titled “Adat Constitution in Indonesia: Analysis on Form of Government in Aceh in Indonesia Constitutional System”, funded by Research Grant Faculty of Law, Universitas Indonesia, 2017. Abstracts The existence of adat (customary law) in Indonesia becomes a source of value for the survival of the nation. Each region in Indonesia has different adat that can be used as a reference for the form of governmental system in Indonesia. The 1945 Constitution has recognized the existence of adat government that consisting of various forms of adat that have been adopted long before the 1945 Constitution existed. The existence of adat cannot be separated from national and Islamic values. This research was conducted to find out form of adat institution in Aceh and how the integration of such adat governance in local government system based into national law. Thus, to achieve the objectives, this study was conducted by normative juridical research method with historical approach and comparison with other indigenous peoples in Indonesia. Keywords: constitution; adat government; Aceh INTRODUCTION Adat (custom) in Indonesia is an integral part of the national constitutional system. Adat became the forerunner of the existence of this state since the character of the nation is formed from customs that have been built by each region. Adat in every region in Indonesia varies, usually in accordance with the values left by the ancestors in the region.
    [Show full text]
  • The Influence of Religious Purification Tuanku Nan Renceh Movement Against Minangkabau Culture in the Sub-District of Agam District Tilatang Kamang 1803-1838
    1 THE INFLUENCE OF RELIGIOUS PURIFICATION TUANKU NAN RENCEH MOVEMENT AGAINST MINANGKABAU CULTURE IN THE SUB-DISTRICT OF AGAM DISTRICT TILATANG KAMANG 1803-1838 Ifni Aulia Nisa TM *, Isjoni **, Bunari*** Email:[email protected] (085356611275), [email protected], [email protected] Faculty History Education Study Program FKIP-University of Riau Abstrak : The district Tilatang Kamang there are various traditions that deviate from religion norms. Customs and traditions have clung so hard so to be abolished. The ulama seeks to advise the public to follow the Islmanic Shari’a, but the fact is many people who do not want to listen to that advice, until a religious figure Tuanku Nan Renceh initiate new ideas to change people’s traditions with harsh and radical teachings.This study aims to determine the background (biography) Tuanku Nan Renceh, to know the culture and traditions of Tilatang Kamang society before and after the entry of the renewal, to know the cultures deviant who eradicated by Tuanku Nan Renceh, to know mindset Tuanku Nan Renceh about the culture to deviate, to find out what Tuanku Nan Renceh efforts in making changes to the system and habits of the people who have strayed of religious norms and customs norms prevailing in society.The theory used in this study is religious purification movement theory, the theory of religion, forms of movement of religious purification, and cultural theory. This study uses historical and documentary research. Data collection techniques in this study is the literature, documentation, comparative studies will then be deduced.The results showed that Tuanku Nan Renceh is known as the man who led a religious movement in Tilatang Kamang to change the tradition and culture of the people who deviate.
    [Show full text]
  • Download (1MB)
    BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang berasal dari berbagai macam latar belakang, tidak hanya dari berbagai macam agama seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu dan juga aliran kepercayaan. Tetapi masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang juga memiliki berbagai macam tradisi, adat istiadat dan juga kebudayaan sebagai ciri khas masing-masing wilayah mereka. Kebudayaan adalah keseluruhan dari kehidupan manusia yang terpola dan didapatkan dengan belajar atau yang diwariskan kepada generasi berikutnya, baik yang masih dalam pikiran, perasaan, dan hati pemiliknya (Agus, 2006: 35). Sebagai peninggalan yang diwariskan oleh leluhur dan nenek moyang kepada masyarakat yang sekarang, kebudayaan masih terus dilestarikan dengan cara melaksanakan apa yang telah diwariskan. Tentu saja kebudayaan itu memiliki makna dan tujuan yang baik serta mengandung nilai- nilai serta norma sehingga kebudayaan itu masih terus dilaksanakan hingga sekarang. Manusia dan kebudayaan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Sekalipun manusia sebagai pendukung kebudayaan akan mati namun kebudayaan yang dimilikinya akan tetap ada dan akan diwariskan pada keturunannya dan demikian seterusnya (Poerwanto, 2000: 50). Dengan beragamnya kebudayaan yang dimiliki oleh Indonesia maka dari kebudayaan 1 2 inilah diharapkan akan tercipta suatu masyarakat yang memiliki hubungan baik dalam kehidupannya serta tidak memandang dari latar belakang agama, ras, suku dan sebagainya. Dari sinilah manusia menjadi bagian penting dalam lestarinya kebudayaan tersebut. Dalam hal ini, masyarakat apabila dilihat dari segi budaya memiliki peran penting dalam pelestarian budaya. Dimana unsur- unsur yang dimiliki oleh kebudayaan ada tiga hal yakni; norma, nilai, keyakinan yang ada dalam pikiran, hati dan perasaan manusia. Kemudian tingkah laku yang dapat diamati dalam kehidupan nyata dan hasil material dan kreasi, pikiran, dan perasaan manusia (Koentjaraningrat, 2000: 179-202).
    [Show full text]
  • Philosophy of Power and the Mediation of Art:The Lasting Impressions of Artistic Intermediality from Seventeenth Century Persia to Present Shadieh Emami Mirmobiny
    Maine State Library Digital Maine Academic Research and Dissertations Maine State Library Special Collections 2018 Philosophy of Power and the Mediation of Art:The Lasting Impressions of Artistic Intermediality from Seventeenth Century Persia to Present Shadieh Emami Mirmobiny Follow this and additional works at: https://digitalmaine.com/academic PHILOSOPHY OF POWER AND THE MEDIATION OF ART: THE LASTING IMPRESSIONS OF ARTISTIC INTERMEDIALITY FROM SEVENTEENTH CENTURY PERSIA TO PRESENT Shadieh Emami Mirmobiny Submitted to the faculty of The Institute for Doctoral Studies in the Visual Arts in partial fulfillment of the requirements for the degree Doctor of Philosophy May, 2018 Accepted by the faculty of the Institute for Doctoral Studies in the Visual Arts in partial fulfillment of the degree of Doctor of Philosophy. COMMITTEE MEMBERS Committee Chair: Ali Anooshahr, Ph.D. Professor, Department of History University of California, Davis Committee Member: Christopher Yates, Ph.D. Assistant Professor of Philosophy, and Art Theory Institute for Doctoral Studies in the Visual Arts Committee Member: EL Putnam, Ph.D. Assistant Lecturer, Dublin School of Creative Arts Dublin Institute of Technology ii © 2018 Shadieh Emami Mirmobiny ALL RIGHTS RESERVED iii “Do we need a theory of power? Since a theory assumes a prior objectification, it cannot be asserted as a basis for analytical work. But this analytical work cannot proceed without an ongoing conceptualization. And this conceptualization implies critical thought—a constant checking.” — Foucault To my daughter Ariana, and the young generation of students in the Middle East in search of freedom. iv ACKNOWLEDGEMENTS I owe a debt of gratitude to a number of people, without whose assistance and support this dissertation project would not have taken shape and would not have been successfully completed as it was.
    [Show full text]
  • TRADISI TABUIK DI KOTA PARIAMAN Oleh
    TRADISI TABUIK DI KOTA PARIAMAN Oleh; Maezan Kahlil Gibran/1101136090 [email protected] Pembimbing; Drs. Syamsul Bahri, M.Si Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Dan ilmu Politik Universitas Riau Kampus Bina Widya , Jl. H.r Soebrantas km. 12,5 Simpang Baru Pekanbaru 28293- Telp/Fax0761-63277 ABSTRAK Kebudayaan adalah kompleks yang mencangkup, pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan lain kemampuan serta kebiasaan oleh manusia anggota masyarakat. Tradisi adalah kebiasaan sosial yang diturunkan dari suatu generasi ke generasi lainnya melalui proses sosialisasi. Tradisi menentukan nilai-nilai dan moral masyarakat, karena tradisi merupakan aturan-aturan tentang hal apa yang benar dan hal apa yang salah menurut warga masyarakat. Tabuik adalah suatu warisan budaya berbentuk ritual upacara yang berkembang di Pariaman sejak sekitar dua abad yang lalu. Tabuik merupakan upacara atau perayaan mengenang kematian Husain, tetapi kemudian berkembang menjadi pertunjukan budaya khas Pariaman setelah masuknya unsur-unsur budaya Minangkabau. Bagi masyarakat Pariaman upacara ini tidak menjadi akidah (kepercayaan yang menyangkut dengan ketuhanan atau yang dipuja), pelaksanaannya hanya semata-mata merupakan upacara memperingati kematian Husain. Bagian yang dianggap penting dari perayaan tabuik adalah pelaksanaan pestanya yang oleh masyarakat Pariaman disebut batabuik atau mahoyak tabuik. Perayaan tabuik terdiri atas ritus-ritus atau rangkaian upacara yang dimulai dari ritus maambiak tanah ke sungai, maambiak/manabang batang pisang, maatam, marandai, maarak jari-jari, maarak saroban, tabuik naiak pangkek, maoyak tabuik, hingga ditutup dengan ritus mambuang tabuik ke laut. Ritus-ritus itu diwujudkan dalam bentuk prosesi-prosesi (arakan). Rentang waktu yang digunakan untuk prosesi-prosesi itu berkisar antara 10 hingga 14 hari pada awal bulan Muharram, bahkan dapat saja terjadi lebih dari itu.
    [Show full text]
  • The World's 500 Most Influential Muslims, 2021
    PERSONS • OF THE YEAR • The Muslim500 THE WORLD’S 500 MOST INFLUENTIAL MUSLIMS • 2021 • B The Muslim500 THE WORLD’S 500 MOST INFLUENTIAL MUSLIMS • 2021 • i The Muslim 500: The World’s 500 Most Influential Chief Editor: Prof S Abdallah Schleifer Muslims, 2021 Editor: Dr Tarek Elgawhary ISBN: print: 978-9957-635-57-2 Managing Editor: Mr Aftab Ahmed e-book: 978-9957-635-56-5 Editorial Board: Dr Minwer Al-Meheid, Mr Moustafa Jordan National Library Elqabbany, and Ms Zeinab Asfour Deposit No: 2020/10/4503 Researchers: Lamya Al-Khraisha, Moustafa Elqabbany, © 2020 The Royal Islamic Strategic Studies Centre Zeinab Asfour, Noora Chahine, and M AbdulJaleal Nasreddin 20 Sa’ed Bino Road, Dabuq PO BOX 950361 Typeset by: Haji M AbdulJaleal Nasreddin Amman 11195, JORDAN www.rissc.jo All rights reserved. No part of this book may be repro- duced or utilised in any form or by any means, electronic or mechanic, including photocopying or recording or by any information storage and retrieval system, without the prior written permission of the publisher. Views expressed in The Muslim 500 do not necessarily reflect those of RISSC or its advisory board. Set in Garamond Premiere Pro Printed in The Hashemite Kingdom of Jordan Calligraphy used throughout the book provided courte- sy of www.FreeIslamicCalligraphy.com Title page Bismilla by Mothana Al-Obaydi MABDA • Contents • INTRODUCTION 1 Persons of the Year - 2021 5 A Selected Surveyof the Muslim World 7 COVID-19 Special Report: Covid-19 Comparing International Policy Effectiveness 25 THE HOUSE OF ISLAM 49 THE
    [Show full text]
  • Fight-Dancing and the Festival Paul H. Mason
    Paul H. Mason completed his PhD in cultural anthropology at CONTRIBUTOR Macquarie University (2012) under the supervision of Professors Greg Downey and John Sutton. He has conducted ethnographic fieldwork with arts communities in Indonesia and Brazil, religious minorities in India and Brazil, and tuberculosis patients in Australia and Vietnam. With support from Macquarie International, the National Department of Education in Indonesia, and the Australia Netherlands Research Collaboration, he has also conducted archival research in Australia, Brazil, Holland, and Indonesia. His research on martial arts has been published in Global Ethnographic, Cultures-Kairós, and Inside Indonesia, and he recently coedited The Fighting Art of Pencak Silat and its Music with Dr Uwe Paetzold (Robert Schumann University of Music, Düsseldorf), published as part of Brill’s Southeast Asian Library Series. FIGHT-DANCING AND THE FESTIVAL TABUIK IN PARIAMAN, INDONESIA AND IEMANJá IN SALVADOR DA BAHIA, BRAZIL PAUL H. MASON DOI ABSTRACT 10.18573/j.2016.10065 Festivals bring people together in affirmations of community. This article looks at two festivals in coastal locations in Indonesia and Brazil with a close inspection of performances of fight-dancing included within both festivals. The improvisatory or choreographed organization of the fight- KEYWORDs dancing performances echoes the manner in which the festivals themselves are assembled. As these festivals grow in popularity, Dance, festivals, the process of inventing tradition is heterogeneously co- Tabuik, Iemanjá, constituted by those parties who actively invest in the symbolic Capoeira, Silek, capital of the events. Verbal and non-verbal forms of expression Indonesia, Brazil. reinforce each other in the construction of a multivalent sense of regional traditions.
    [Show full text]