JAMBI DAN SETERU DUA PENJURU: DUALISME KESULTANAN DI TAHUN 1696-1725

Skripsi

Diajukan untuk Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Sejarah Peradaban Islam

Oleh Al Hafiz NIM. 402170784

PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI TAHUN 1442 H/2021 M

SURAT PERNYATAAN ORISINILITAS SKRIPSI

Nama : Al Hafiz

NIM : 402170784

Pembimbing I : Rahyu Zami, M. Hum

Pembimbing II : M. Husnul Abid, S.S., M. A.

Jurusan : Sejarah Peradaban Islam

Fakultas : Adab dan Humaniora

Judul Skripsi : Jambi Dan Seteru Dua Penjuru: Dualisme Kesultanan Di Jambi Tahun 1696-1725.

Menytakan dengan ini bahwa karya ilmiah/skripsi ini adalah asli bukan plagiasi serta telah disesuaikan dengan ketentuan ilmiah menurut peraturan yang berlaku.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari, ternyata telah ditemukan pelanggaran plagiasi dalam karya ilmiah/skripsi ini, maka saya siap untuk di proses berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Jambi, 23 Februari 2021

Al Hafiz NIM. 402170784

i

NOTA DINAS

Pembimbing I : Rahyu Zami, M. Hum

Pembimbing II : M. Husnul Abid, S.S., M. A.

Alamat : Fakultas Adab dan Humaniora

UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

Di_

Jambi

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Setelah membaca dan megadakan perbaikan seperlunya, kami berpendapat bahwa skripsi saudara Al Hafiz, NIM. 402170784 yang berjudul “Jambi dan Seteru Dua Penjuru: Dualisme Kesultanan di Jambi Tahun 1696-1725” telah dapat diajukan untuk dimunaqasahkan guna melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat mencapai gelar Sarjana strata Satu (S-1) pada Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Maka dengan ini kami ajukan skripsi tersebut agar dapat diterima dengan baik.

Demikianlah, kami ucapkan terima kasih semoga bermanfaat bagi kepentingan agama, nusa dan bangsa.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Pembimbing I Pembimbing II

Rahyu Zami, M. Hum M. Husnul Abid, S. S., M. A NIP. 198904102018011002 NIP. 198204132009011007

ii

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dimunaqasyahkan oleh siding Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Pada hari Jum’at tanggal 28 Mei 2021 dan telah diterima sebagai bagian dari persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Sejarah Peradaban Islam.

iii

MOTTO

ِا َّنا َع َر ۡض َنا اۡۡلَ َما َنة َ َع َلى ال َّس ٰم ٰو ِت َواۡۡلَ ۡر ِض َواۡل ِج َبا ِل َفاَ َبۡي َن اَ ۡن َّي ۡح ِمۡل َن َها

َواَ ۡش َف ۡق َن ِمۡن َها َ و َح َم َل َها اۡ ِۡلۡن َسا ن ِا َّن ه َكا َن َظل ۡو ًما َج ه ۡو ًۡل

“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya menolak memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh”.1

1 QS. Al-Ahzab Ayat 71

iv

PERSEMBAHAN

Sujud serta syukur kepada Allah SWT atas segala kasih karunia-Nya yang telah memberikan kekuatan dan ilmu pengetahuan, serta mendapat kemudahan dan kelancaran dalam penyusunan skripsi ini. Sholawat serta salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW semoga kelak diakhirat kita semua mendapatkan syafa’atnya. Aamiin Ya Rabb.

Teruntuk yang tersayang karya kecil ini dipersembahkan, teruntuk lentera dalam gulita, teruntuk yang do’anya meliputi jiwa ini, teruntuk pintu-pintu surga, teruntuk yang setiap langkahnya mengiringi jejak kaki ini. Kepada ayahanda (Kusnan) dan ibunda (Lismuryati) karya ini adalah hadiah kecil sebagai bentuk bakti, rasa hormat dan terima kasih yang begitu mendalam. Apapun yang diri ini lakukan tidak akan pernah bisa menggantikan segala kasih sayang, doa, usaha semangat dan materi yang telah diberikan sampai skripsi ini terselesaikan.

Tidak luput teruntuk Seluruh keluarga besar. Bibir ini hanya mampu ucapkan terimakasih yang medalam, mewakili segala do’a, cinta, kasih sayang dan segala bantuan yang pernah tertoreh untuk diri ini. Hanya karya sederhana inilah yang dapat dipersembahkan, semoga dapat menjadi sesuatu yang membanggakan buat kalian. Terimakasih kepada keluarga SDN 146/VIII Rejosari dan Pondok Pesantren Baabussalam Al-Islami.

Terkhusus untuk sahabat se-Sejarah Peradaban Islam, ada ingatan yang tidak akan lekang di makan zaman. Terima kasih atas semua canda, tawa, air mata, serta genggaman yang menggelorakan semangat dalam diri ini. untuk terimakasih juga untuk makanan gratis, tebengan gratis, tempat mandi gratis, dan semuanya yang gratis-gratis yang telah kalian berikan selama ini. Semoga kita senantiasa berada dalam jalur kesuksesan, tentunya kesuksesan di dunia dan akhirat. Aaminn..

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji Syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah memeberikan rahmat, karunia serta hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Jambi dan Seteru Dua Penjuru: Silsilah Kesultanan Jambi Ulu Tahun 1696-1725”. sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.

Dengan segala keterbatasan ilmu yang penulis punya, tidak sedikit rintangan dan hambatan yang penulis hadapi dalam upaya menyelesaikan skripsi ini. Namun, berkat bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak, pada akhirnya hambatan dan kendala tersebut dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis yaitu Bapak Rahyu Zami, M. Hum. Dan Bapak M. Husnul Abid, S. S., M. A. Adapun maksud dan tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menjadi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

Selanjutnya penulis juga ingin mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan dan bantuan demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini tak lupa penulis mengaturkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Yth. Bapak Prof. Dr. H. Sua’idi Asyari, MA, Ph. D, selaku Rektor UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. 2. Yth. Ibu Dr. Rofiqoh Ferawati, SE., M.EI., yth. Bapak Dr. As’ad Isma, M. Pd. yth. Bapak Dr. Bahrul Ulum, S.Ag., MA selaku Wakil Rektor I, II, dan III UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. 3. Yth. Ibu Dr. Halimah Dja’far, M.Fil selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN SulthanThahaSaifuddin Jambi.

vi

4. Yth. Bapak Dr. Ali Muzakir, M.Ag, yth. Bapak Dr. Alfian,S.Pd., M.Ed ,yth. Ibu Dr.Roudhoh, S.Ag, SS., M.Pd.I selaku Wakil Dekan I, II, dan III Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. 5. Yth. Bapak Agus Fiadi, S.IP, M,Si selaku ketua Jurusan Sejarah Peradaban Islam UIN SulthanThaha Saifuddin Jambi. 6. Yth. Bapak Rahyu Zami, M. Hum. selaku sekretaris Jurusan Sejarah Peradaban Islam UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah membantu dan memberi kritikan maupun saran serta nasehat dalam penyusunan skripsi ini. 7. Yth. M. Husnul Abid, S. S., M. A. selaku Dosen Pembimbing II yang telah membantu dan memberi kritikan maupun saran serta nasehat dalam penyusunan skripsi ini. 8. Yth. Kepada Seluruh Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi yang telah mengajar dan memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis. 9. Yth. Seluruh karyawan/ti di lingkungan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. 10. Yth. Bapak Drs. Muhammad Erman selaku pihak Musium Siginjei yang telah memberikan izin riset di Museum Singginjai dan membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 11. Yth. Ibu Harvedrida, S.Pd selaku perwakilan dari Dinas Kearsipan dan Pepustakaan Daerah yang telah memberikan yang telah memberikan izin riset di Dinas Kearsipan dan Pepustakaan Daerah dan membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 12. Keluarga tercinta yang telah memberikan motivasi dan dorongan serta do’a yang tiada hentinya agar dapat segera menyelesaikan skripsi ini. 13. Terimakasih Kepada Semua Sahabat, terkhusus Sahabat SPI 17 yang sama-sama berjuang di Fakultas Adab dan Humaniora UIN STS Jambi. yang telah menjadi partner diskusi yang baik bagi penulis. Penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penyusunan skripsi ini, semoga Allah

vii

SWT memberikan keberkahan kepada kita semua. Akhir kata penulis sangat berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Jambi, 3 Mei 2021

Penulis

Al Hafiz NIM. 402170784

viii

ABSTRAK

Al Hafiz “Jambi dan Seteru Dua Penjuru: Dualisme Kesultanan di Jambi Tahun 1696-1725”, Prodi Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Pembimbing (I) Rahyu Zami, M. Hum, (II) M. Husnul Abid, S. S., M. A. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pengamatan penulis terhadap sejarah Kesultanan Jambi Ulu. Terkait informasi yang mengacu kepada sejarah Kesultanan Jambi Ulu masih belum banyak di tulis secara khusus dan mendalam. Sejauh ini, dokumen-dokumen dan catatan sejarah hanya menempatkan Kesultanan Jambi Ulu sebagai pelengkap saja dalam sejarah panjang Kesultanan Jambi. oleh karena itu penulis tertarik untuk mengangkat judul Jambi dan Seteru Dua Penjuru: Dualisme Kesultanan di Jambi Tahun 1696-1725. Penelitian ini ditujukan untuk menelisik lebih dalam masalah-masalah yang melatarbelakangi berdirinya Kesultanan Jambi Ulu serta masalah-masalah yang terjadi setelah berdirinya Kesultanan Jambi Ulu tersebut. Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif serta pendekatan sejarah, peneliti akan berusaha untuk menggambarkan dan menceritakan apa yang penulis temukan. Hasil penelitian ini menunjukkan, Pertama bahwa Kesultanan Jambi Ulu berdiri akibat rusaknya pemerintahan di Kesultanan Jambi di Tanah Pilih akibat dari intervensi Belanda. Kedua Belanda berhasil memisah bukan sekadar penduduk hulu dan hilir, melainkan memisahkan hubungan darah antara Maharaja Batu dan Kiyai Gede, sehingga dalam waktu tersebut Belanda berhasil menguasai belahan Jambi yang berajakan Kiyai Gede. Ketiga setelah pecahnya Jambi menjadi dua kesultanan, tidak akan ada lagi keharmonisan antara penduduk hulu dan hilir, antara rakyat Kesultanan Jambi Ulu dan Kesultanan Jambi Ilir bahkan hingga Jambi disatukan lagi menjadi satu kesultanan. Kata Kunci: Jambi, Kesultanan Jambi, Seteru hulu dan hilir.

viii

ABSTRACT

Al Hafiz "Jambi and The Two Corners: dualism sultanate in Jambi year 1696- 1725", Study Program of Islamic Civilization History, Faculty of Adab and Humanities, UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Advisor (I) Rahyu Zami, M. Hum, (II) M. Husnul Abid, S. S., M. A. This research is based on the author's observations on the history of Jambi Ulu Sultanate. Related information that refers to the history of Jambi Ulu Sultanate is still not much written specifically and in depth. So far, the documents and historical records only place the Sultanate of Jambi Ulu as a complement only in the long history of the Sultanate of Jambi. There fore the author is interested to raise the title of Jambi and The Two Corners: dualism sultanate in Jambi Year 1696-1725. This research is intended to investigate more deeply the problems that are behind the establishment of Jambi Ulu Sultanate and the problems that occurred after the establishment of jambi ulu sultanate. This type of research is a literature study using qualitative descriptive methods as well as historical approaches, researchers will attempt to describe and tell what the authors found. The results of this study showed, Firstly, the Sultanate of Jambi Ulu stood due to the destruction of government in jambi sultanate in Tanah Pilih as a result of Dutch intervention. The two Dutch managed to separate not only the upstream and downstream population, but separated the blood relationship between Maharaja Batu and Kiyai Gede, so that in that time the Dutch managed to control the part of Jambi that ruled Kiyai Gede. Thirdly, after the breakup of Jambi into two sultanates, there will be no more harmony between the upstream and downstream population, between the people of Jambi Ulu Sultanate and Jambi Ilir Sultanate even until Jambi is united again into one sultanate.

Keywords: Jambi, Jambi Sultanate, Upstream and downstream rivals.

ix

DAFTAR ISI

SURAT PERNYATAAN ORISINILITAS SKRIPSI ...... i NOTA DINAS ...... ii PENGESAHAN ...... iii MOTTO ...... iv PERSEMBAHAN ...... v KATA PENGANTAR ...... vi ABSTRAK ...... viii ABSTRACT ...... ix DAFTAR ISI ...... x DAFTAR GAMBAR ...... xii BAB I ...... 1 PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Rumusan Masalah ...... 7 C. Batasan Penelitian ...... 7 D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...... 8 E. Tinjauan Pustaka ...... 8 BAB II ...... 13 KERANGKA TEORI ...... 13 BAB III ...... 17 METODE PENELITIAN ...... 17 A. Jenis Penelitian ...... 18 B. Instrumen Penelitian ...... 18 C. Langkah-Langkah Penelitian ...... 19 1. Heurustik (pengumpulan sumber) ...... 20 2. Verifikasi (Kritik Sumber) ...... 23 3. Interpretasi (Analisis Fakta Sejarah) ...... 24 4. Historiografi (Penulisan Sejarah) ...... 26 BAB IV ...... 28 x

PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN ...... 28 A. Intervensi Pemicu Komplikasi dalam Kesultanan Jambi ...... 28 1. Hubungan Jambi dan VOC Awal Abad Ke-17 ...... 28 2. Konflik-Konflik dan Intervensi ...... 32 3. Satu Kapal Dua Kemudi: Kesultanan Jambi dan Kesultanan VOC35 B. Hulu dan Hilir dan Perpecahan Kedaulatan ...... 41 1. Seteru di Istana ...... 41 2. Rakyat di Hulu dan Rakyat di Hilir ...... 43 C. Kesultanan Jambi Ulu (1696-1725) ...... 45 1. Menjelang Deklarasi ...... 45 3. Rekonsiliasi Hulu dan Hilir ...... 54 D. Suatu Tinjauan Implikasi dari Sejarah Kesultanan Jambi Ulu ...... 62 1. Sultan Thaha Saifuddin dan Pecahnya Jambi yang Kedua Kalinya62 2. Perang Raja Batu ...... 63 BAB V ...... 66 PENUTUP ...... 66 A. Kesimpulan ...... 66 B. Saran ...... 67 DAFTAR RUJUKAN ...... 69 Curriculum Vitae ...... 74 LAMPIRAN ...... 75

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4. 1. Potongan Naskah “Ini Sejarah Kerajaan Jambi Sejak Tahun 700 Hijriah” 34 Gambar 4. 2. Potongan Manuskrip Salinan Naskah “Silsilah (Raja-Raja) Djambi.” Or. 2304 d ...... 39 Gambar 4. 3. Potongan Naskah “Hikayat Negeri Jambi” Or. 2013, Publish Muara Kumpai, 1253 H/1837 M...... 40 Gambar 4. 4. Potongan Surat-surat kerajaan untuk Penguasa Kerinci...... 50

xii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada Abad Ke-16 terjadi ledakan pasar2 di Tanah di Bawah Angin3, demikian Anthony Reid menjelaskan. Ledakan yang tentunya sangat berpengaruh setidaknya bagi separuh pusat-pusat pemukiman dunia, tak terkecuali Eropa.4 Setidaknya dengan alasan itu Eropa mengembangkan layar menuju Asia Tenggara, demi kepentingan pasar, rempah dan kapitalisme saudagar. Svarnadvipa5, sebagai salah satu penyumbang terbesar rempah- rempah juga sebagai gerbang semua harta Asia Tenggara,6 membuat kapal- kapal bangsa-bangsa dunia menurunkan sauh di pesisir Sumatera.7

Lada (selain cengkih dan pala), sekian dari komoditas unggulan di Sumatera yang menjadi salah satu penyulut api euforia perdagangan rempah

2 Ledakan pasar internasional di Asia Tenggara terjadi akibat dari meningkatnya kebutuhan rempah di belahan Barat bumi. Di sisi lain orang-orang Timur memonopoli impor rempah ke Eropa, hal ini memotivasi orang-orang Eropa untuk mencari “kepulauan rempah- rempah” tersebut. Dalam kurun Abad Ke-16 ditandai dengan kedatangan Portugis, kemudian Belanda, dan seterusnya menjadikan Asia Tenggara bukan lagi sebagai titik temu antara bangsa-bangsa dari belahan timur dan Asia saja, melainkan antar Timur, Barat, dan bangsa- bangsa dari belahan dunia lainnya. Lihat dalam M. C. Ricklefs. Sejarah Modern 1200-2004. Terj. Satrio Wahono, dkk. (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007)., hlm. 61 3 Ibrahim menggambarkan Asia Tenggara sebagai “Tanah di Bawah Angin”, sebuah kutipan dari Ibrahim, “Sebagian besar penduduk ‘di Bawah Angin’ tak hentinya menikmati musim semi, seperti yang selamanya berlangsung ‘di Bawah Angin’, pusat-pusat yang ada tidaklah didasarkan pada suatu kekuasaan atau daulat. Segalanya tak lain dari pameran. Penduduk asli menghitung tingginya derajat dan kekyaan seseorang berdasarkan jumlah budak yang dimilikinya”, (Ibrahim 1688). Lihat Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I: Tanah di Bawah Angin. Terj. Mochtar Pabotinggi. (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014)., hlm. 3. 4 Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid II: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara. Terj. R. Z. Leirissa, dan P. Soemitra. (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011)., hlm. 3 5 Julukan Sumatera sebagai Bumi Emas, hal ini dikarenakan hasil bumi yang melimpah ruah yang menjadikan pulau ini diakui dunia sebagai pulau yang kaya raya akan rempah-rempah. Lihat Anthony Reid, Menuju Sejarah : Antara Indonesia dan Dunia, Terj. Masri Maris. (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonegsia, 2011)., hlm. 1 6 Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra., hlm. 1 7 Dedi Arman, “Perdagangan Lada di Jambi Abad XVI-XVIII,” dalam Handep: Vol. 1, No. 2, Juni 2018, hlm. 82 1

di pasar maritim internasional Negeri di Bawah Angin. Tumbuhan ini menyebar luas dalam Abad itu, dari Malabar (India) lada menyebar hingga ke Kannara; sedang di Sumatera Utara menyebar hingga ke pedalaman Minangkabau lantas menyeberang ke Semenanjung Malaya. Dalam kurun 60 tahun jalur Laut Tengah sebagai trend street menggiring sebagian bangsa Portugis dan Belanda memasok lada dari Sumatera.8

Ketika Portugis berhasil menggenggam Melaka pada 1511, memberi angin kehidupan kepada dua benih pelabuhan (Jambi dan ), meski kala itu, terkhusus Jambi, masih menjadi vassal Mataram9, juga harus berhadapan langsung dengan ekspansi Aceh.10 Tak hanya itu, Portugis dan Belanda (VOC) tentu tidak serta-merta mengikhlaskan pelabuhan-pelabuhan kecil, seperti Jambi, jatuh ke tangan Aceh, sehingga pelabuhan kecil itu harus terlibat dalam seteru keempat bandar dagang tersebut.11

Di paruh kedua Abad itu, pasca-merdeka dari vassal Mataram perlahan Jambi memperlihatkan tanda-tanda kehidupan sebagai negeri dengan kedaulatannya sendiri. Lambat laun Jambi mulai diperhitungkan dalam perniagaan internasional di perairan Malaya. Karena, Jambi dapat dikatakan sebagai pemasok lada yang cukup besar bagi pedagang-pedagang dari

8Anthony Reid, Asia Tenggara…Jilid II., hlm. 12 9Jambi (Melayu) mulanya merupakan wilayah kekuasaan . setelah runtuhnya Srivijaya, Melayu berdiri dengan kedaulatannya sendiri sebagai Melayu II. Di fase ini Melayu terikat kontrak dengan (Elsbeth Locher lebih menekankan bahwa Melayu Jambi dengan Majapahit bukan hanya sebatas hubungan kontrak, melainkan sebagai vasal), Lihat dalam Elsbeth Locher dan Scholten. Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial, hubungan Jambi dan Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda, Terj. Noor Kholis. (Jakarta: Banana, KITLV-Jakarta, 2008), hlm. 42. Pasca runtuhnya Majapahit, Melayu berdiri sendiri sebagai Kerajaan Jambi. Namun, ia masih menjadi vasal dari Kesultanan Demak (Mataram) dikisaran awal Abad Ke-16.” Lihat Junaidi T. Noor dalam Menyibak Sejarah Tanah Pilih Pesako Betuah., hlm. 6-8, dan “Naskah Salinan Undang- Undang Piagam Pencacahan Jambi” oleh Anakdo Ngebih Sutho Delogo Priyai Jebus Rajosari (1317 H). 10 Ekspansi itu digalakkan oleh Aceh yang kala itu juga tergiur dengan perkebunan lada di Jambi yang begitu luas hingga mencapai pedalaman Minang Kabau. Lihat dalam Benny Agusti Putra, “Sejarah Melayu Jambi Dari Abad 7 Sampai Abad 20”, dalam Tsaqofah & Tarikh: Vol. 3 No. 1 Januari-Juni 2018, hlm. 5 11 Benny, “Sejarah Melayu Jambi”., hlm. 5 2

berbagai belahan dunia.12 Selain itu, Jambi adalah pengimpor beras dan garam dari Mataram dan Jepara, juga sebagai pemasok lada ke Jepara,13 Peluang itu membuat jalur perdagangan Jambi menjadi incaran bandar dagang internasional, terutama pedagang-pedagang Eropa.14

Taufik Abdullah lebih dalam menjelaskan bahwa Vereenigde Oost- Indische Compagnie (VOC) yang waktu itu Jan Pieterzoon Coen sebagai gubernur jenderal serikat dagang tersebut, mengirim dua kapal ke Jambi pada 1615, di bawah pimpinan kepala perwakilan dagang (opperkoopman) Sterck. Tujuan kunjungannya adalah menyelidiki kemungkinan perdagangan di Jambi,15 mengingat Jambi sudah melenggang di laut Semenanjung Malaya dengan ladanya dan tingginya permintaan beras dan garam di sana. Taufik melanjutkan, bahwa hubungan VOC dan kerajaan di Nusantara tidak sesederhana hubungan dagang semata. Karena terdapat pola seteru-sekutu antara VOC dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Susanto Zuhdi menambahkan, bahwa hubungan antara VOC, Jambi, Palembang dan Johor dapat beralih satu sama lain sebagai sekutu atau seteru, sehingga dengan VOC menjalin hubungan dagang dengan Jambi dan kesultanan lainnya, maka kemungkinan besar seteru-sekutu tersebut akan berpeluang besar terjadi. Tentu yang diharapkan VOC adalah seteru antar-kesultanan tersebut.16

Tidak hanya Belanda, Inggris juga ikut serta berlayar menuju Jambi. Tujuan kunjungan tersebut sebenarnya menguak rasa penasaran terhadap lada Jambi yang cukup terkenal dikalangan pedagang internasional. Pasalnya, Portugis yang terlebih dahulu bermain di pasar Jambi merahasiakan informasi mengenai hasil bumi Jambi yang melimpah. Namun rahasia itu tersebar

12. Scholten, Kesultanan Sumatera., hlm. 43 13 Adrian B. Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17. (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008)., hlm. 50 14 Dedi Arman, “Perdagangan Lada”., hlm. 84 15 M. Husnul Abid, “Saifuddin atau Safiuddin? Atau Jambi di Pinggir Sejarah,” dalam Kontekstualita: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan: Vol. 25, No. 2, 2010, hlm. 336 16 Susanto Zuhdi, “Laut, Sungai dan Perkembangan Peradaban-Dunia Maritim Asia Tenggara, Indonesia dan Metodologi Strukturis,” dalam Konferensi Nasional Sejarah VIII, 14-16 November 2006., hlm. 12 3

karena tak mungkin bagi Portugis merahasiakan informasi mengenai Jambi dari pedagang-pedagang lainnya.17

Perang dagang di Jambi tak terelakkan. Jambi yang kala itu dipimpin oleh Sultan Abd al-Qahar menerima perusahaan dagang Belanda (VOC) sebagai mitra dagangnya. Setahun kemudian, izin mendirikan kantor dagang didapatkan oleh VOC, namun terkendala oleh orang-orang lokal yang enggan menjual hasil bumi mereka kepada perusahaan tersebut.18 Pasalnya, Belanda masih kalah saing dengan pemain senior (Cina dan Portugis). Namun, kepiawaian Belanda terlihat saat mereka berhasil memperalat seorang pedagang perantara asal Cina bernama Kecil Japon yang bergelar Orang Kayo Sirre Lela. Dengan orang Cina jualah mereka berhasil mensiasati para pedagang Cina di Jambi.19 Pada 1636, VOC kembali mendirikan kantor dagangnya di Jambi yang sebelumnya ditutup karena kalah saing dengan pedagang lainnya, dengan bantuan Kecil Japon dan berita konflik antara Jambi dan Johor,20 membuka peluang bagi VOC melakukan intervensi terhadap Kesultanan Jambi.21 Setidaknya sejak 1615 Jambi terikat dalam kerja sama dagang dengan VOC, berlangsung hingga VOC dibubarkan pada 1799.22

Kian lama VOC kian berani mencampuri urusan-urusan internal Kesultanan Jambi. Akibatnya, masalah-masalah yang sekiranya dapat

17 Kerahasiaan mengenai ladang lada di Jambi yang semula dirahasiakan lambat laun terbongkar, hingga berita-berita tersebut sampai ke telinga Belanda. Lihat Dedi Arman, “Perdagangan Lada”., hlm. 95 18 Adrianus Chatib, dkk. Kesultanan Jambi Dalam Konteks Sejarah Nusantara - Edisi Revisi. (Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, cetakan kedua, 2013)., hlm. 50 19 Kecik Japon membocorkan semua informasi mengenai Cina kepada Belanda, sehingga Belanda bisa bersaing dengan pedagang-pedagang Cina di pelabuhan Jambi. lihat dalam Dedi Arman, “Perdagangan Lada”., hlm. 96-98 20 Arif Rahim, “Perang Jambi-Johor (1667-1679) sebagai Sejarah Sosial”, dalam Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi: Vol. 15, No. 3, 2015., hlm. 60 21 Hartono Margono, dkk, Sejarah Sosial Jambi-Jambi sebagai Kota Dagang (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasiona, 1984)., hlm. 31 22 Lindayanty, dkk, Jambi Dalam Sejarah 1500-1942, (Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2013)., hlm. 6 4

menguntungkan bandar Belanda itu kian disulut-sulut. Demi suatu monopoli dan teror propaganda, VOC telah berhasil memecah Kesultanan Jambi menjadi Hulu dan Ilir. Dampaknya, VOC berhasil menggulingkan kekuasaan sebelumnya dan menggantikan sultan yang pro terhadap mereka.

Kekuatan yang tak terbendung dari pihak VOC bahkan mampu mengendalikan setidaknya separuh otoritas Sultan. Akibatnya, rakyat geram dan konflik tak terelakkan. Kantor VOC di Muaro Kumpeh luluh lantak, juga seorang kepala perwakilan terbunuh. Pada 1690, Sultan Sri Ingologo (m. 1665-1690)23 harus dibuang ke Pulau Banda karena dituduh terlibat dalam konflik yang terjadi lima tahun sebelum ia menjabat sultan.24

Pasca-penangkapan tersebut, VOC mengangkat Pangeran Cakra Negara sebagai sultan, dengan gelar Kyai Gede (1690-1696). Pengangkatan sultan tersebut secara penuh mendapatkan dukungan dari Belanda, sehingga tidak sedikit orang-orang istana menolak atau tidak menyetujui pengangkatan Kyai Gede tersebut, termasuk dari pihak istana sendiri. Dua saudara Kyai Gede yang bernama Raden Jaelat dan Pangeran Senapati menentang pangangkatan sultan baru itu. Respons yang paling kentara adalah dengan lari ke daerah VII Koto dan XI Koto bersama para pengikut mereka. Akibatnya daerah Ilir sebagai pusat Kesultanan Jambi dan daerah huluan kurang harmonis.

Di pedalaman kedua saudara tersebut mendapat dukungan penuh dari rakyat. Rakyat-rakyat di VII Koto yang semula ditugaskan sebagai militer Kesultanan Jambi kini beralih mendukung kedua saudara tersebut mendirikan kesultanan sendiri di huluan. Alhasil, berdirilah Kesultanan Jambi Ulu, dipimpin oleh Raden Jaelat dengan gelar Sri Maharaja Batu, dan Pangeran Singapati berkedudukan sebagai Pangeran Ratu. Kesultanan tersebut berkedudukan di daerah Mangunjayo. Setidaknya semenjak berdirinya

23 Adrianus Chatib. Kesultanan Jambi., hlm. 48 24 Adrianus Chatib. Kesultanan Jambi., hlm. 51 5

Kesultanan Jambi Ulu (1696-1725) VOC kewalahan menembus pertahanan di daerah huluan. Karena hulu sebagai ladang pertanian Jambi masa itu dan mereka menutup akses ke Kesultanan Jambi Ilir, VOC mengalami kerugian karena tidak mendapatkan rempah seperti biasanya. Akibatnya, kantor dagang VOC di Muara Kumpeh sempat bangkrut dan tutup.25

Kesultanan Jambi Ulu eksis selama sekitar 29/30 tahun26. Menguasai seluruh ladang-ladang komoditas di huluan, dengan bandar dagang Melaka Kecil (Kelurahan Muaro Tebo sekarang) yang dahulu menjadi bandar transit primadona bagi pedagang dari Kualatungkal dan daerah-daerah pesisir lainnya.27 Setidaknya dalam hal ini Kesultanan Jambi terbagi menjadi dua bagian; Kesultanan atau pemerintahan yang diangkat oleh Belanda (Kesultanan Jambi Ilir berkedudukan Tanah Pilih) dan Kesultanan Jambi Ulu yang tidak diangkat oleh Belanda (Kesultanan Jambi Ulu berkedudukan di Mangunjayo).28

Meskipun demikian, hingga kini historiografi yang secara khusus membahas tentang Dualisme Kesultanan Di Jambi belum ditemukan. Akibatnya, sedikit sekali orang-orang yang mengetahui sejarah kelam Jambi di masa itu. Oleh karena itu, agar Jambi tidak mengulangi sejarah kelam yang serupa, konflik yang telah memecah Kesultanan Jambi menjadi Ulu dan Ilir sepertinya sangat perlu diteliti dan di bahas secara khusus. Oleh karena itu penulis akan menindaklanjuti penelitian ini dengan judul: JAMBI DAN SETERU DUA PENJURU: DUALISME KESULTANAN DI JAMBI TAHUN 1696-1725.

25 Susanto Zuhdi, Sejarah Kabupaten Tebo (Pemkab Tebo, 2008)., hlm. 39-41 26 29 tahun menurut Anonim, Kerangka Acuan Penyusuna Sejarah Pembentukan Museum Departemen Dalam Negeri, (Badan Pendidikan dan Latihan Depertemenen Dalam Negara)., hlm. 18, dan 30 tahun menurut naskah Ngebih Shutho Delogo, Naskah “Ini Sejarah Kerajaan Jambi Sejak Tahun 700 Hijriah”. (Hari Jumat, 7-8, 1414 Hijriah.)., Hlm. 6 27 Mengenai jaringan dagang Melaka Kecil dan Selat Melaka, lihat di Dedi Arman, “Perdagangan Lada”., hlm. 92 28 Anonim, Kerangka Acuan., hlm. 18

6

B. Rumusan Masalah

Untuk kepentingan berbagai analisis, beberapa faktor yang berkaitan dengan permasalahan utama tersebut dapat dirumuskan:

1. Bagaimana sejarah perpecahan Kesultanan Jambi pada 1696-1725?

2. Apa faktor perpecahan dan seteru antara hulu dan hilir?

3. Bagaimana implikasi dari sejarah panjang seteru dan Kesultanan Jambi Ulu?

C. Batasan Penelitian

Batasan penelitian terhadap ruang lingkup penelitian sejarah sangatlah penting, terutama sebagai acuan dalam pengumpulan data dan pembahasan penelitian. Batasan tersebut dimaksudkan supaya peneliti tidak tergiur ke dalam banyaknya data yang ingin diteliti, sehingga luasan dalam batasan penelitian dalam tempat (spesial) dan waktu (temporal) perlu dijelaskan.29

Penelitian ini memiliki rentang waktu masa Kesultanan Jambi tepatnya tahun 1696-1725. Tahun 1696 sebagai awal pembahasan karena pada tahun itu Kesultanan Jambi terpecah sehingga terjadi dualisme kesultanan di Jambi, yaitu Kesultanan Jambi Ilir di Tanah Pilih dan Kesultanan jambi Ulu di Mangunjayo. Sedangkan muara dari penelitian ini adalah tahun 1725, karena pada tahun tersebut Kesultanan Jambi yang semulanya pecah direkonsiliasikan Kembali menjadi satu kesultanan.30

29 Dudung Abdurahman, Metodologi Penelitian Sejarah Islam, (Yogyakarta: Ombak, 2011), Hlm. 126. 30 Zuhdi, Sejarah Kabupaten Tebo., hlm. 39-41 dan Tim Penyusun Monografi Daerah Jambi, Monografi Daerah Jambi, (Jakarta: Proyek Pengembangan media Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R. I. 1976)., hlm. 9

7

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Setelah diketahui permasalahan utama penelitian ini, tujuan yang hendak dicapai dalam kajian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui sejarah perpecahan Kesultanan Jambi tahun 1696- 1725.

2. Mengetahui faktor-faktor penyebab perpecahan dan seteru antara hulu dan hilir.

3. Mengetahui implikasi dari terpecahnya Kesultanan Jambi tahun 1696-1725 di masa-masa setelahnya.

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai acuan sejarah, khususnya bagi generasi penerus di Jambi.

2. Untuk memperkaya historiografi Indonesia, khususnya di Jambi.

3. Sebagai sumbangsih pada pengetahuan sejarah dan ilmu-ilmu lainnya untuk perkembangan ilmu pengetahuan bagi pihak terkait serta kajian penelitian berikutnya.

4. Untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar sarjana strata satu (S-1) pada jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, fakultas Adab dan Humaniora, universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

E. Tinjauan Pustaka

Penelitian ini memerlukan referensi guna memperkaya kajian mengenai sejarah “Jambi Dan Seteru Dua Penjuru: Dualisme Kesultanan Di Jambi Tahun 1696-1725”. Yang terdapat dalam sumber pustaka. Adapun sumber kepustakaan yang penulis gunakan dalam penelitian ini meliputi sumber- sumber primer, sekunder, maupun tersier yang akan membuka cakrawala

8

dasar dalam memahami sejarah “Jambi Dan Seteru Dua Penjuru: Dualisme Kesultanan Di Jambi Tahun 1696-1725”.

Dari sumber-sumber yang sudah dikaji oleh peneliti, ada banyak kajian yang berusaha menjelaskan kolonialisme dan perdagangan rempah di Jambi, apalagi yang berkaitan dengan Kesultanan Jambi itu sendiri, baik itu kajian yang diteliti oleh peneliti dari dalam negeri maupun peneliti dari luar negeri, penulis akademis dan penulis non-akademis.

Pertama adalah tulisan Barbara Waston Andaya dengan judul: Hidup Bersaudara; Sumatera Tenggara Pada Abad XVII dan XVIII. Dalam tulisan ini aspek-aspek penting yang menyangkut dengan Kesultanan Jambi Abad Ke-17 dan Ke-18 dikupas secara detail. Jambi yang sebagai salah satu kesultanan dalam lingkar persaudaraan Sumatera Tenggara tentunya ikut menyumbangkan rangkaian sejarah panjangnya terhadap keberagaman sejarah di Sumatera. Secara garis besar, tulisan ini lebih mengarah kepada hubungan dan polemik-polemik yang diakibatkan kontrak dagang dan hubungan diplomatis lainnya. Sehingga nyaris tidak ada sama sekali tulisan yang mengarah kepada sejarah yang terjadi akibat dari suatu fenomena budaya dan sebagainya. Namun sebagai keterbatasannya, kontrak-kontrak dan perjanjian diplomatik pada masa itu tidak diikutsertakan dalam tulisan ini. Sehingga kontrak-kontrak yang disebutkan hanya disajikan dalam bentuk penjelasan saja, bukan bentuk fisik dari isi kontrak dan perjanjian tersebut.

Berikutnya buku Elsbeth Locher-Scholten. Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial, hubungan Jambi dan Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda. Meski konteks buku ini lebih membahas kepada tahun 1830-1907, Jambi dalam kurun sebelum 1600-an juga cukup detil di kupas dalam buku ini, tak terkecuali Abad-Abad intervensi Belanda hingga seteru antara hilir dan hulu. Sama dengan buku sebelumnya, buku ini lebih kepada kontrak-kontrak dagang dan hubungan diplomatik yang terjadi di Kesultanan Jambi. terutama dalam mengulas ekonomi Jambi, buku ini secara terperinci

9

menjelaskan hasil-hasil dari kontrak dagang dengan berupa data kuantitatif, sehingga kemajuan atau kemunduran sejarah Jambi khususnya pada bagian Abada Ke-17 dan Ke-18 dapat diukur melalu pendapatan kesultanan dan semacamnya pada masa itu.

Selanjutnya buku karya Mukti Nasaruddin dengan judul Jambi Dalam Sejarah Nuantara 692-1949 M. Dapat dilihat dari tahun yang tertera pada judul buku ini, waktu selama itu jika ditulis dalam sebuah buku tentu akan menghasilkan tulisan yang pembahasannya bersifat umum. Tulisan ini berguna dalam menggambarkan situasi Jambi Abad Ke-17 dan Ke-18 secara garis besar. Sehingga dalam menyusun data-data yang terdapat pada buku- buku diatas akan lebih mudah.

Kemudian laporan Belanda dengan Judul Pemberontakan di Jambi, dialihaksarakan oleh S. Hertini Adiwoso dan Budi Prihatna. Laporan ini berisikan artikel-artikel singkat yang di tulis oleh penjelajah Belanda. Tulisan ini akan sangat membantu data-data diatas karena dapat memberikan informasi empiris dari sudut pandang penjelajah Belanda di Jambi. Namun kendati demikan, tulisan ini disusun berdasarkan temuan penulisnya dilapangan, sehingga data ini sangat bergantung kepada tulisan-tulisan sebelumnya yang lebih sistematis.

Berikutnya adalah manuskrip dengan ejaan lama yang merupakan Salinan dari naska “Silsilah (Raja-Raja) Jambi”. Manuskrip ini berisi seluruh cerita mengenai keturunan raja-raja Jambi yang bermuara dari Putri Selaras Pinang Masak hingga masa Sulthan Thaha Saifuddin. Sehingga dalam mensistematisasikan silsilah para penguasa Jambi khususnya Abad ke-17 dan Abad ke-18 akan lebih mudah. Namun yang menjadi minus dari tulisan ini adalah waktu yang tidak akurat karena tahun terjadinya peristiwa tidak disertakan disana.

Selanjutnya naskah dengan Judul “Hikayat Negeri Jambi”. waktu pembuatan naskah ini terhitung pada 1293 H bertempat di Muaara Kumpeh. 10

Sama seperti naskah sebelumnya, naskah ini berisi mengenai sejarah Jambi sejak zaman purbakala, yakni Jambi berada di bawah kekuasaan Tun Talanai, dan berakhir pada masa Sulthan Mahmud Fahkruddin, keturunan dari Maharaja Batu. Sama seperti naskah sebelumnya, naskah ini sebenarnya juga berisi silsilah penguasa Jambi sejak masa purbakala hingga Abad Ke-19. Kekurangan dari catatan-catatan seperti ini adalah miniminya data yang menunjukkan waktu yang akurat. Sehingga data-data seperti ini akan terlihat seperti mitologi jika tidak disertai dengan data-data Belanda yang lebih akurat dalam semua sisi.

Kemudian buku gubahan G. J. F. Biegman dengan judul Enambelas Tjeritera pada Menjatakan Hikajat Tanah Hindia. Dalam buku ini, tercatat sebuah data penting yang kronologi ceritanya berbanding lurus dengan apa yang terjadi di Kesultanan Jambi Abad Ke-17 dan 18. Catatan tersebut berisi riwayat hidup seorang penghianat, yakni Aroe Palaka (Arung Palakka). Sejarah ini juga akan mewakili kisah penghianatan Kiyai Gede terhadap rakyat Jambi.

Berikutnya buku dengan judul Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Jambi. buku ini di susun oleh Leirissa, dkk. Jika data-data sebelumnya lebih kepada hubungan kontrak dagang, diplomatis dan lain sebagainya, Buku ini lebih kepada sejarah perjuangan rakyat Jambi dalam menghadapi imperialism dan kolonialisme. Dalam Abad Ke-17 dan Ke-18, perlawanan rakyat Jambi akan cenderung diwarnai oleh VOC.

Selanjutnya tulisan dengan judul “Perdagangan Lada di Jambi Abad XVI-XVIII,” yang di muat dalam Handep gubahan Dedi Arman. Jika tulisan- tulisan sebelumnya lebih kepada ekonomi, politik dan perjuangan, maka tulisan ini membahas seluk beluk perdagangan lada di Jambi kisaran Abad ke-16 hingga Abad ke-18. Pemilihan lada dalam tulisan ini karena meninjau lada adalah tanaman yang pada abad tersebut banyak dimintai di pasar

11

internasional. Oleh karena itu, dengan tulisan ini sejarah Jambi akan terlacak dari sudut pandang yang berbeda dari data-data sebelumnnya.

Dari tulisan-tulisan diatas, dapat disimpulkan bahwa banyak sumber yang membahas keadaan Jambi, terutama kisaran tahun 1696-1725. Tentu sumber-sumber tersebut sudah berupaya menjelaskan dan mengungkap sejarah dan peristiwa-peristiwa di Kesultanan Jambi. Oleh sebab itu, penulis merasa perlu melakukan pengembangan lebih lanjut dalam melihat peristiwa-peristiwa di Kesultanan Jambi dalam tahun 1696-1725.

12

BAB II

KERANGKA TEORI

Seperti yang dituturkan Snelbecker, teori patut diterapkan dalam penelitian berdasarkan empat fungsi, yaitu mensistematisasi penemuan- penemuan penelitian, menjadi pendorong untuk menyusun analisa dan dengan analisis membimbing peneliti mencari jawaban-jawaban, membuat ramalan atas dasar penemuan, dan yang terakhir untuk menyajikan penjelasan dan, dalam hal ini, untuk menjawab pertanyaan mengapa.31 Dari penjelasan di tersebut, penulis berupaya membawa tulisan ini ke dalam hipotesis-hipotesis yang berusaha menjelaskan peristiwa yang terjadi di Kesultanan Jambi pada Abad ke-17, sehingga terpecah menjadi Ulu dan Ilir.

Mengenai tajuk yang mengarah kepada intervensi VOC di Jambi, akan ada gambaran-gambaran bagaimana mereka berusaha mengendalikan kekuasaan pribumi di tanah kelahiran pribumi itu sendiri. berangkat dari ungkapan seorang sosiolog mengenai definisi kekuasaan, Max Weber. Ia menjelaskan bahwa:

“Kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apapun dasar kemampuan ini.”32 Seperti halnya di atas, Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan juga sependapat. Mereka menjelaskan bahwa:

“Kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain ke arah tujuan dari pihak pertama.”33 Lebih lanjut Ibnu Khaldun memaparkan bahwa kekuasaan merupakan upaya penguasaan dan pengendalian terhadap sesuatu yang berada di bawah kendalinya, meski dengan paksaan-paksaan. Bahkan ia mengklasifikasikan

31 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 57-58 32 Tertuang dalam bukunya Wirtschaft und Gesellschaft (Tubingen, Mohr, 1922). Lihat dalam Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik - Edisi Revisi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007)., hlm. 60 33 Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan, 1950. Power and Society. Lihat dalam Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik., hlm. 60 13

antara kekuasaan dan kepemimpinan, bahwa sebenarnya kepemimpinan hanya memiliki cakupan kecil dalam suatu kekuasaan tersebut, atau dapat dikatakan kepemimpinan hanyalah sebatas status sahaja.34

Dari definisi-definisi yang tertuang di atas, tentu sudah dapat diambil benang merah arti dari kekuasaan. Intinya, kekuasaan adalah suatu hubungan yang kemudian ada unsur yang sifatnya sepihak memerintah dan pihak lainnya diperintah, meski dalam hal ini terdapat unsur paksaan untuk menguasai suatu keadaan dengan berbagai cara. Oleh karena itu definisi di atas memberikan landasan berpikir dalam penelitian ini, sehingga penelitian ini dapat menyelidiki cara VOC yang dipersenjatai politik dalam rangka menguasai Kesultanan Jambi.

Unsur-unsur ini terlihat dari cara VOC mengendalikan kemudi dagang di Kesultanan Jambi dengan sistem monopolinya, hingga mampu menekan pihak internal Kesultanan. Hal ini dalam artian, meski VOC belum sepenuhnya duduk dalam pemerintahan dan masih berupa perusahaan dagang, secara tidak langsung mereka berhasil mengendalikan Kesultanan Jambi, meskipun tidak sedikit menerima perlawanan dari pihak rakyat Jambi itu sendiri. Kemudian jika ada intervensi dari pihak eksternal, akan ada konflik di sana, baik konflik internal di Kesultanan Jambi maupun konflik antara rakyat Jambi dan perusahana dagang VOC tersebut. Menurut David Jary dan Julia Jary dalam Kamus Sosiologi, konflik adalah;

“The overt struggle between inthviduals or groups within a society, or between nation states”, (“pertentangan secara terbuka antara individu-individu atau kelompok-kelompok di dalam masyarakat atau antara bangsa-bangsa”).35 Dari kekuasaan akan berlanjut kepada kolonialisme dan imperialisme. Untuk lebih memperdalam apa itu imperialisme dan kolonialisme, yang paling bendasar adalah kedua hal ini meski berbeda namun senantiasa tidak dapat dipisahkan. Jika di tilik secara defititif, kolonialisme adalah upaya menyebarkan pengaruh politik ke

34 Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Terj. Masturi Irham, Malik Supar, dan Abidun Zuhri. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011)., hlm. 218 35 David Jary dan Julia jary, 1991. Sosiology Dictionary. Lihat dalam M. Wahid Nur Tualeka, “Teori Konflik Sosiologi Klasik dan Modern”, dalam Al-Hikmah: Vol. 3, No. 1, Januari 2017., hlm. 34 14

luar wilayah toritorial mereka dengan tujuan memperdayakan wilayah luar tersebut. Sedangkan imperialisme yaitu berupa ekspansi terhadap wilayah lain yang direalisasikan melalui penaklukan-penaklukan dan cara-cara lainnya.36

Meski Scholten lebih cenderung kepada penjelasan, bahwa istilah imperialisme dan kolonialisme ini mengacu kepada Abad Ke-19 dan 20, sejatinya apa yang dilakukan oleh kaum Barat itu sudah terjadi sejak lama, yaitu sejak mereka mulai menapakkan kaki di Nusantara sebagai kompeni dagang. Mengapa demikian? Menurut Scholten, imperialisme adalah di mana negara-negara Barat merampas wilayah non-Barat. Non-Barat ini lebih mengacu kepada wilayah Asia- Afrika,37 tak terkecuali wilayah Kesultanan Jambi.

Oleh karena itu, belakangan konflik kerap terjadi disebabkan kedua faktor di atas, imperialisme dan kolonialisme. Meski boleh dikata konflik adalah hal lumrah yang patut terjadi di dalam hubungan sosial, perlu dicatat bahwa konflik di Kesultanan Jambi bisa dikatakan konflik yang cukup menguntungkan bagi VOC. Dengan konflik tersebut, Kesultanan Jambi pecah menjadi dua bagian kekuasaan, dan hal itu membuat VOC lebih leluasa dalam mempengaruhi pusat kekuasaan Jambi di Tanah Pilih. Selain kekuatan internal yang semakin lemah, mereka juga dapat memanfaatkan situasi menjadi konflik adu domba, bahkan menunggangi satu kekuasan demi menumbangkan kedua kekuasaan yang berselisih paham tersebut.

Melalui pendekatan di atas, keadaan-keadaan di Kesultanan Jambi (Ilir) di Tanah Pilih pasca-pecah serta keadaan di Kesultanan Jambi Ulu setelah berdiri akan senantiasa terlihat bagaimana hubungan sosial antarkeduanya atau dengan pihak VOC. Dari pengaruh gejala-gejala sosial dan politik, jawaban-jawaban tentang keadaan-keadaan serta peristiwa sejarah dalam rentang waktu itu akan bertemu titik terang.

36 Miftakhuddin, Kolonialisme, Eksploitasi dan Pembangunan Menuju Hegemoni. (Jawa Barat: Jejak, 2019)., hlm. 7 37 Scholten, Kesultanan Sumatera., hlm. 17 15

Selanjutnya, dalam menelisik bagaimana terbentuknya suatu peradaban baru, dalam hal ini Kesultanan Jambi Ulu di Mangunjayo yang notabene merupakan fragmentasi dari Kesultanan Jambi di Tanah Pilih. Seperti yang diungkapkan Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah pada bagian pasal “Munculnya Kerajaan Baru”, bahwa seyogianya berdirinya kerajaan atau Kesultanan baru itu lumrah terjadi. Dalam sejarah Kesultanan Jambi, telah terjadi deklarasi dan pemberontakan pada Kesultanan yang dilakukan oleh Raden Jaelat bersama para pengikutnya. Dua hal yang mendukung terjadinya pergolakan tersebut, adalah ashabiyah38 dan perasaan terhormat yang memadai. 39

Dalam konteks Kesultanan Jambi, ashabiyah antar-rakyat dan sebagian keluarga istana yang anti-VOC telah berhasil membentuk suatu kekuatan yang kelak akan mampu menghimpun sebagian wilayah di huluan Kesultanan Jambi. Ashabiyah antara rakyat dan Raden Jaelat dengan Minangkabau juga menjadi alasan kuat bagi perpecahan tersebut. Pasalnya, Minangkabau memberikan dukungan penuh kepada Raden Jaelat dan rakyat Jambi untuk membentuk Kesultanan baru di daerah huluan. Kemudian dilanjutkan dengan perasaan terhormat antara rakyat yang cukup memadai terhadap pihak keluarga istana yang anti-VOC, membuat alasan untuk melakukan deklarasi Kesultanan Jambi di Tanah Pilih semakin kuat.40 Jawaban-jawaban dan alasan tersebut menuntun terbentuknya Kesultanan Jambi Ulu yang berkedudukan di Mangunjayo.

38 Persatuan antar makhluk sosial sehingga membentuk satu koloni yang memiliki kekuatan yang cukup. 39 Lihat dalam Ibnu Khaldun, Muqaddimah., hlm. 532-538 40 Ibnu Khaldun, Muqaddimah., hlm. 534 16

BAB III

METODE PENELITIAN

Secara harfiah, metode dapat diartikan sebagai, “Cara yang telah diatur dan berpikir baik-baik untuk mencapai sesuatu maksud dalam ilmu pengetahuan.”41 Eka Rostartina menggambakan istilah metode ke dalam pengertian yang luas, menurutnya metode adalah prosedur, prinsip, dan proses yang di pakai dalam menetapkan pendekatan untuk satu masalah serta mencari jawabannya.42

Penelitian (research), menurut John Cresswell merupakan sebuah proses di mana proses terebut akan melalui tahapan-tahapan dan siklus yang diawali dengan identifikasi masalah yang akan diteliti.43 Jika di tinjau secara etimologi, research (dalam bahasa Inggris) di ambil dari dua suku kata, re dan search yang berarti kembali dan menjelajahi, mencari, atau menemukan makna. Maka dapat diartikan bahwa penelitian adalah suatu upaya menjelajahi, mencari, atau menemukan kembali makna suatu pengetahuan.44

Secara harfiah, makna sejarah ialah pohon, silsilah, asal. Kata sejarah syajaratun) yang kata ini) شجرة ,sendiri merupkan serapan dari bahasa Arab dapat dianalogikan dengan seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Artiya, ada proses dan tahap-tahap yang sama antara keduanya.45 Dudung lebih menekankan makna sejarah kepada “sejarah adalah kisah dan sejarah adalah peristwa”46,

41 Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Baru. (Jakarta: Media Pustaka Phoenix, 2010)., hlm. 579 42 Benyamin Lakitan, dkk, Metodologi Peneitia, (Palembang: Universitas Sriwijaya, 1998)., hlm. 152 43 J. R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif, Jenis, Karakteristik, dan Keunggulannya. (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010)., hlm. 6 44 Sandu Suyoto dan M. Ali Sodik, Dasar Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Literasi Media Publishing, 2015)., hlm. 8 45 Lilik Zulaicha, Metodologi Sejarah-Buku Perkuliahan Program S-1, (Surabaya: UIN Sunan Ampel)., hlm. 5 46 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah Islam, (Yogyakarta: Ombak, 2011)., hlm. 1 17

Sedangkan Kuntowijoyo mengemukakan secara keseluruhan bahwa metode sejarah dapat diartikan sebagai upaya memasyhurkan metode penelitin dan penulisan sejarah.47 Gilbert J. Garraghan juga menambahkan, bahwa metode sejarah adalah azas-azas serta kaidah yang tersusun secara sistematis, membantu dalam pengumpulan data, memferivikasi, menginterpretasi, dan menghidangkan hasil yang di capai kepada publik.48

A. Jenis Penelitian

Secara keseluruhan penelitian ini merupakan kajian pustaka (library research), yaitu suatu metode untuk mengumpulkan atau mencari data, memilih, dan membaca data yang relevan melalui peninggalan tertulis terutama berupa buku-buku tentang pendapat, teori, dalil/hukum-hukum, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah-masalah penelitian.49 Penulis untuk mencari data mengunjungi berbagai perpustakaan, antaranya Perpustakaan Daerah Provinsi Jambi, Perpustakaan Wilayah dan Arsip Daerah Provinsi Jambi, Perpustakaan Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sultan Thaha Saifuddin Jambi, situs Kajang Lako, dan website Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Dengan begitu, penulis berusaha mengumpulkan buku-buku atau bahan-bahan sebagai pedoman dan me-review buku dengan cara membedah isi buku yang terkait dengan penelitian ini.

B. Instrumen Penelitian

Dalam pengumpulan data penelitian, ada dua instrumen yang secara umum digunakan. Yaitu, Panduan Wawancara dan Penelitian Sendiri.50 Dikarenakan dalam penelitian ini merupakan penelitian review dokumen atau penelitian

47 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2018)., hlm. 64 48 Lilik Zulaicha, Metodologi Sejarah., hlm. 15 49 Joko Nurkamto, “Kajian Pustaka dalam Penelitian Kualitatif”. Makalah, 2020., hlm. 3 50 Jonatan Sarwono, Metjode Peneliutian Kuantitatif dan Kualitatif. (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006)., hlm. 211 18

kepustakaan, maka sarana untuk mendapatkan informasi, instrumen yang digunakan adalah penelitian sendiri.

Penelitian sendiri maksudnya adalah upaya peneliti dalam mencari data berbekal ingatan, catatan, kamera atau video.51 Dalam poin ini Mirshad juga memberi informasi yang sama meski dengan istilah yang berbeda. Ia menyebutnya dengan Pengumpulan Data Bentuk Verbal Simbolik. Maksudnya sama, yaitu pengumpulan dokumen atau naskah-naskah dengan menggunakan alat seperti yang sudah disebut di atas. Selain itu, Mirshad juga menambahkan satu instrument lagi kedalam penelitian ini. Yaitu, Kartu Data, yang nantinya berfungsi untuk mencatat semua hasil data yang didapat. Tujuannya adalah untuk memudahkan dalam mengklarifikasi data nantinya.52

Barbara Waston Andaya Hidup Bersaudara, Sumatra Tenggara pada Abad XVII dan XVIII, (Penerbit Ombak, 2016)

Buku ini menjelaskan aspek-aspek penting yang menyangkut dengan Kesultanan Jambi Abad Ke-17 dan Ke-18 dikupas secara detail. Jambi yang sebagai salah satu kesultanan dalam lingkar persaudaraan Sumatera Tenggara tentunya ikut menyumbangkan rangkaian sejarah panjangnya terhadap keberagaman sejarah di Sumatera. Secara garis besar, tulisan ini lebih mengarah kepada hubungan dan polemik-polemik yang diakibatkan kontrak dagang dan hubungan diplomatis lainnya. Sehingga nyaris tidak ada sama sekali tulisan yang mengarah kepada sejarah yang terjadi akibat dari suatu fenomena budaya dan sebagainya.

C. Langkah-Langkah Penelitian

Sistematika metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis, yaitu proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masalah berdasarkan data yang diperoleh. Dalam rangka memaparkan jalur masuknya Belanda dalam melangsungkan kolonialisasi di

51 Jonatan, Metode Penelitian., hlm. 212 52 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan., hlm. 5 19

Jambi, penulis melakukan empat langkah penelitian yaitu, heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi.

1. Heurustik (pengumpulan sumber)

Kuntowijoyo, merupakan keterampilan untuk mengumpulkan sumber. Penulis mengumpulkan sumber-sumber yang didapat dari berbagai literatur baik buku, skripsi, jurnal, laporan penelitian, arsip maupun manuskrip kolonial, yang relevan dengan tema penelitian. Kemudian sumber-sumber lain yang kiranya dapat mendukung penelitian ini. Misalnya, artefak, sumber lisan, atau sumber- sumber kuantitatif.53

Dalam penelitian kepustakaan, tehnik yang paling relevan digunakan dalam pengumpulan data adalah melalui metode dokumentasi. Di mana tehnik ini, seperti yang dijelaskan di atas, adalah mencari data berupa catatan, buku, majalah dan surat kabar, dokumen, prasasti, dan lain sebagainya54, yang tentunya berkaitan dengan tajuk yang penulis angkat dalam penelitian ini.

1. Mengumpulkan semua data yang ada baik yang terdapat di buku-buku, jurnal, skripsi, arsip, naskah dan dokumen lainya. 2. Menganalisa semua data yang sudah terkumpul sehingga peneliti dapat mengambil kesimpulan terhadap masalah yang di teliti. Langkah awal yang harus di lakukan oleh penulis yaitu menentukan tempat atau lokasi, yakni dimana lokasi data dapat ditemukan.55 kemudian setelah data di dapat, penulis mulai menelusuri data yang diperlukan. kemudian penulis harus membaca dan mencermati semua data dengan seksama. Tahapapan yang dilakukan dalam menelaah data yang sudah diperoleh yaitu sebagai berikut: 1. Membaca pada tingkat simbolik. Penulis tidak perlu membaca keseluruhan sumber (buku, skripsi, dan lain-lain, karena akan menyia-nyiakan banyak waktu dan sangat menurunkan efisiensi dalam masa penelitian. Maka penulis akan

53 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah., hlm. 73-74 54 Sandu Siyoto, Dasar Metodoli Penelitan., hlm. 77-78 55 Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2002), Hlm. 52. 20

lebih fokus pada sipnosis sumber (jika ada), bab dan sub bab sumber. Hal ini dilakukan untuk mengetahui peta dalam penelitian.56 2. Membaca pada tingkat semantik. Yakni membaca secara mendalam terhadap data yang telah di dapat kemudian menangkap esensi yang terkandung di dalam data tersebut. Peneliti hendaknya mengutamakan data primer baru kemudian data sekunder.57 Setelah penulis membaca pada tingkat semantik, kemudian peneliti mencatatnya pada kartu data. Tahap yang dilakukan dalam pencatatan adalah sebagai berikut : 1. Mencatat secara quotasi, yakni mencatat kutipan secara langsung tanpa merubah redaksi sumber data tersebut. 2. Mencatat secara paraphrase, yakni mencatat inti yang terpenting saja dari data yang berupa penjelasan panjang, lalu diambil inti dari pemahaman yang termaktub dalam uraian tersebut menjadi kalimat yang lebih ringkas. 3. Mencatat secara sinoptik, yakni mencatat data secara lebih singkat dalam bentuk sipnosis atau ringkasan. 4. Mencatat secara presi, langkah ini yakni kelanjutan dari langkah sebelumnya. Peneliti harus melakukan pengkategorian terhadap data-data tersebut. 5. Pengkodean, tunjuanya yaitu untuk mensistematiskan data supaya lebih teratur.58

56 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, Hlm. 3. 57 Nursapla Harahap, “ Penelitian Kepustakaam“, Iqra’, : Vol. 8, No. 01, Mei 2014 : 11-16. Hlm. 3. 58 Zaki Mirshad, Tesis : Motivasi Konsumsi Islam Versus Sekuler (Studi Komparatif Pemikiran Al-Ghazalidan Abdurrahman Maslow (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel, 2011), Hlm. 57. 21

Adapun sumber-sumber dalam penelitian ini, dikategorisasikan kedalam dua bentuk sumber, yaitu:

a. Sumber Primer

Sumber primer yaitu sumber utama atau sumber pokok yang dikumpulkan langsung oleh peneliti. Yakni berupa buku-buku atau artikel yang menjelaskan objek penelitian.59 Dalam tahapan data primer, yaitu data yang dikumpulkan, akan di olah lalu disajikan oleh peneltiti langsung dari sumber pertamanya.60 dalam penelitian ini, sumber primer yang penulis digunakan adalah dokumen-dokumen, buku-buku, Arsip dan naskah yang berkaitan dengan sejarah Jambi Dan Seteru Dua Penjuru: Dualisme Kesultanan Di Jambi Tahun 1696-1725. Buku-buku tersebut antara lain, ialah:

Buku Hidup Bersaudara Sumatra Tenggara Pada Abad XVII dan XVIII yang di tulis oleh Barbara Waston Andaya. Kemudian buku berjudul Jambi Dalam Sejarah Nusatara 692-1949 M gubahan Mukti Nasaruddin. Selanjutnya buku berupa laporan Belanda yang dialihaksarakan oleh S. Hertini Adiwoso dan Budi Prihatna, buku ini berjudul Pemberontakan di Jambi. Berikutnya adalah manuskrip yang di tulis dengan ejaan lama yang merupakan Salinan dari naska “Silsilah (Raja- Raja) Jambi”. Selanjutnya naskah dengan Judul “Hikayat Negeri Jambi”.

Berikutnya buku bertajuk Menelusuri Jejak Kerajaan Melayu Jambi dan Perkembangannya gubahan Aulia Tasman. Selanjutnya buku karya DR.Lindayanty, Junaidi T. Noor, dan Ujang Ariyadi dengan judul Jambi Dalam Sejarah 1500-1942. Kemudian tulisan Adrianus Chatib, Kesultanan Jambi Dalam Konteks Sejarah Nusantara (Edisi Revisi). Berikutnya buku dengan judul Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Jambi. Kemudian buku

59 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan., hlm. 4. 60 Tim Penyusunan Buku Pedoman Skripsi, Pedoman Skripsi Fakultas Adab dan Humaniora, (Jambi : UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 2021), Hlm. 42. 22

yang di susun oleh Kementerian Penerangan dengan judul Propinsi Sumatera Tengah.

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder adalah sumber tambahan yang dapat menunjang data pokok atau data utama. yakni buku-buku, artikel atau lainya yang sifatnya sebagai pendukung buku-buku, artikel primer yang ditujukan sebagai penguat konsep yang ada didalam sumber primer.61 Dalam penelitian ni sumber-sumber sekunder tersebut dapat berupa buku, artikel, jurnal dan skripsi yang masih memilki hubungan dengan penelitian yang berjudul Jambi Dan Seteru Dua Penjuru: Dualisme Kesultanan Di Jambi Tahun 1696-1725.

Dengan demikian, metode heuristik menjadi langkah awal yang harus dilakukan dalam penelitian ini. Hal ini karena, heuristik adalah tahapan yang mendasar dalam suatu penelitian. Jika tanpa heuristik, atau tanpa data yang dikumpulkan, maka tentu saja penelitian ini tidak akan berjalan sebagaimana semestinya.

2. Verifikasi (Kritik Sumber)

metode ini dilakukan untuk mengkritik sumber-sumber yang penulis peroleh. Dalam tahapan ini ada dua macam kritik yang harus ditempuh oleh penulis, yaitu:

a. Keaslian sumber (otentitas), adalah bentuk kritik yang bertujuan untuk menguji keabsahan tentang keaslian sumber yang dilakukan melalui kritik eksternal.

61 Dudung Abdurahman, Metodologi Penelitian Sejarah Islam, (Jakarta: Ombak, 2011), Hlm. 108. 23

b. Kesahihan Sumber (kredibilitas), adalah bentuk kritik yang bertujuan untuk menguji keabsahan tentang kesahihan sumber yang ditelusuri melalu kritik internal.62

Seperti yang dijelaskan Kuntowijoyo, bahwa kedua cara di atas merupakan jalan terbaik untuk mencapai kebenaran sumber-sumber yang sudah dikumpulkan. Sebab tahapan ini bukan hanya mengupas kebenaran suatu isi sumber semata, melainkan jika sumber-sumber berupa arsip atau naskah, setidaknya memang benar-benar sumber tersebut otentik, bukan manipulasi yang ditujukan untuk suatu kepentingan. Selanjutnya barulah sumber-sumber tersebut dilakukan perbandingan, sehingga garis tengah akan mudah diperoleh dan meminimalisir subjektivitas dalam penulisannya nanti.63

Tahapan ini, yang penulis lakukan adalah mencocokkan isi dari sumber- sumber tersebut. Semakin banyak yang mengacu kepada satu topik yang sama, maka akan semakin kredibel sumber tersebut. Namun jika satu sumber bertolak belakang dengan sumber yang lainnya, maka sumber yang paling banyak memiliki data pendukung atau sumber lain yang mendukung, maka untuk tahap itu, sumber tersebutlah yang penulis anggap paling kredibel.

Sedangkan sumber yang bertolak belakang tersebut, tetap akan penulis cantumkan sebagai mana mestinya. Hal ini bertujuan sebagai perbandinga dan menghindari subjektivitas dalam mengolah data, sehingga pembaca dapat memahami topik dari kedua sumber yang bertolak belakang tersebut. Tentunya dengan analisis mereka sendiri.

3. Interpretasi (Analisis Fakta Sejarah)

Interpretasi atau penafsiran sejarah sering kali diistilahkan dengan analisis sejarah, ini mengacu kepada definisi analisis yang berarti menyatukan. Tujuan analisis sendiri adalah melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh

62 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian., hlm. 105-110 63 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah., hlm. 77-78 24

dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta itu ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh.64 Tahapan ini kejujuran penulis akan di uji. Pasalnya, penulis harus mencantumkan semua sumber yang penulis dapat tanpa memburuk-burukkan sumber yang menurut penulis kurang kredibel. Sehingga hasil penelitian akan terlihat dari segala sudut pandang dan lebih bisa di bilang objektiv.65 Seperti yang sudah ditekankan oleh Kuntowijoyo dalam kesempatan yang lain, bahwa sejarawan harus menggambarkan fakta yang sebenarnya.66

Sebagai penelitian yang sifatnya kualitatif, Teknik dalam menganalisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan tehnik model Miles dan Huberman. Dengan model ini penelitian kualitatif akan terlaksana dengan lebih interaktif dan dilakukan secara konsisten terus-menerus sampai dirasa cukup. Terdapat dua tahap pada teknik analisis data dalam penelitian kepustakaan. Yakni, analisis dilakukan pada saat proses pengumpulan data, dan analisis kembali setelah proses pengumpulan data. Hal ini di maksudkan untuk menentukan hubungan antara satu data dengan data yang lain.67

Adapun tahapan yang harus dilakukan peneliti dalam menganalisis data, yakni sebagai berikut :

1. Reduksi data, yakni melakukan pemilahan, lebih memfokuskan, menyederhanakan , mengabstraksikan dan mentranformasikan data-data yang masih mentah ke dalam catatan tertulis. Hal ini ditujukan agar dalam menemukan data yang menjadi fokus penelitian yang bertajuk Jambi Dan Seteru Dua Penjuru: Dualisme Kesultanan Di Jambi Tahun 1696-1725.

64 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian, hlm. 111-113 65 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah., hlm. 85 66 Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah-Historical Explanation, (Yogyjakarta: Tiara Wacana, 2008)., hlm. 35 67 Zaki Mirshad, Tesis : Motivasi Konsumsi Islam., hlm. 56 25

2. Display data, pada tahapan ini, setelah data direduksi, selanjutnya data harus di display supaya dapat memberikan pemahaman mengenai data tersebut, sehingga peneliti bisa menentukan tahapan berikutnya.

3. Gambaran kesimpulan, setelah tahapan di atas terlaksana dengan baik, maka harus dilakukan penarikan simpulan dari data yang sudah di teliti, dari simpulan itu, akan dipaparkan penemuan baru dari penelitian yang dilaksanakan. Namun hasil diteliti kembali dengan langkah-langkah yang sama agar mendapatkan hasil yang lebih maksimal.68

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan hermeneutik. hermeneutik sebagai metode pemahaman, yakni interpretasi terhadap obyek yang mengandung makna yang tujuannya agar menghasilkan kemungkinan yang lebih obyektif.69 Karena dalam penelitian ini menganalisis sejarah perpecahan di Jambi, maka metodologi penelitian yang akan digunakan yaitu tinjauan kesejarahan atau disebut juga dengan historical approach.70 Dengan menggunakan metodologi ini tujuannya agar dapat merekonstruksi kejadian-kejadian masa lampau yang berkaitan dengan Sejarah terbentuknya Kesultanan Jambi Ulu hingga seteru yang menyebabkan terbentuknya kesultanan tersebut dan seteru yang terjadi pasca pecahnya Jambi, yakni setelah kesultanan Jambi ulu berdiri. Sehingga akan memperoleh gambaran yang jelas mengenai kronologi sejarah dualism kesultanan di Jambi tahun 1696- 1725.

4. Historiografi (Penulisan Sejarah)

Merupakan cara penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan. Layaknya laporan ilmiah, penulisan hasil sejarah hendaknya memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian sedari

68 Nursapla Harahap, “ Penelitian Kepustakaam“, hlm.5 69 Zaki Mirshad, Tesis : Motivasi Konsumsi Islam., hlm. 56 70 Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer , (Jakarta : Yayasan Idayu, 1978), Hlm. 36. Mengenai Histical approach adalah sebuah cara menempatkan diri pada ruang dan waktu di dalam sejarah peradabn manusia. Caranya adalah dengan mempelajari sejarah sebagai satu, kesatuan yang utuh, tidak terkotak oleh batas-batas politik dan agama bahkan batasan waktu. 26

awal (fase perencanaan) sampai dengan akhir dari penelitian (penarikan kesimpulan).71

Kuntowijoyo memaparkan, setidaknya ada tiga komponen yang harus dilengkapi dalam penulisan sejarah, antara lain: pengantar, hasil penelitian, dan kesimpulan, sehingga tercipta hasil karya ilmiah yang sistematis.72 Oleh karenanya, penulis berupaya keras melengkapi seluruh komponen yang dijelaskan di atas. Sehingga skripsi ini dapat dikategorikan sebagai karya imiah yang sistematis.

71 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian, hlm. 117 72 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah., hlm. 81 27

BAB IV

PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

A. Intervensi Pemicu Komplikasi dalam Kesultanan Jambi 1. Hubungan Jambi dan VOC Awal Abad Ke-17

Pada Abad Ke-16, para penguasa-penguasa Jambi mulai tertarik pada pertumbuhan pasar di perairan Malaya. Diperkirakan sejak pertengahan 1550-an hingga akhir Abad Ke-17, Jambi sebagai pemasok merica/lada73 dan banyak mendapat keuntungan dari komoditas itu.74 Kenaikan minat terhadap lada di pasar internasional, seakan menomorduakan komoditas hutan lainnya, seperti gaharu dan emas. Fenomena yang paling kentara adalah ketika pelabuhan Banten ditutup bagi pedagang-pedagang yang beragama Kristen (Portugis),75 membuat haluan-haluan kapal mereka beralih ke pelabuhan Jambi untuk memperoleh lada.76 Ini sebentuk pelampiasan dari semua kerugian yang mereka peroleh dari pemblokadean Banten terhadap pedagang Kristen. Pasalnya, Jambi hanya dijadikan sebagai penyambung nyawa bagi Portugis, karena selama ini terlalu menggantungkan pasokan rempah dari Banten.77

Namun belakangan, yang semula hanya tempat pelarian, semakin lama kian terlihat bahwa Portugis mulai tertarik kepada Sumatera Tenggara (terkhusus Jambi). Meski beberapa waktu Jambi hanya berada di posisi kecil, karena Palembang yang secara geografis daerahnya lebih besar dan memiliki penduduk lebih banyak, selalu lebih unggul dari Jambi. Namun, beriring meningkatnya nilai lada di pasaran, perlahan Jambi mulai tumbuh dan dapat mengungguli kesultanan

73 Merica adalah lada yang belum diolah dan masih berbentuk buah. Merica juga disebut sebagai lada putih. Sedangkan lada adalah bumbu atau rempah yang berbahan dasar merica. 74 Scholten, Kesultanan Sumatera., hlm. 43 75 Barbara Waston Andaya, Hidup Bersaudara Sumatera Tenggara Pada Abad XVII dan XVIII, Terj. Septian Dhaniar Rahman dan Aditya Pratama. (Yogyakarta: Ombak, 2016)., hlm. 84 76 Junaidi T. Noor, Menyibak Sejarah., hlm. 8 77 Arsip, Pemberontakan di Jambi, Terj. S. Hertini Adiwoso dan Budi Prihatna, (Kantor Arsip Daerah Provinsi Jambi, 2007)., hlm. 2 28

lain se-Sumatera Tenggara.78 Jambi dipandang menjadi pelabuhan terkaya setelah Aceh, membuatnya semakin melenggang bahkan berperan aktif dalam kancah politik internasional di daerah tersebut hingga 1720-an.79 Sehingga wilayah- wilayah penghasil rempah, seperti Jambi dan wilayah-wilayah lainnya menjadi rebutan bandar-bandar Eropa, terkhusus Belanda dan Inggris yang saling berebut pasar monopoli sehingga keduanya saling seteru. Oleh karena itu, Inggris berusaha lebih dahulu menancapkan pengaruh mereka dengan mendirikan kantor dagang di daerah-daerah penghasil rempah tersebut.80

Barulah pada 1615, pada masa pemerintahan Pangeran Kedak bergelar Sultan Abdul Qahar81, berlabuh dua kapal milik perusahaan Belanda (Vereenigde Oost- Indische Compagnie, atau VOC) di dermaga pelabuhan Jambi. Kapal yang dinamai Wapen’s van Amsterdam dan Middelburg itu dikepalai Abraham Strek, tujuannya adalah bermitra dengan Jambi dan membujuk Sulthan agar memberikan izin kepada mereka untuk mendirikan loji (kantor dagang) di Jambi.82 Setahun berikutnya, barulah VOC bisa bernegosiasi dengan Jambi, dan berhasil mendirikan kantor dagangnya di Muara Kumpeh.83 Selain Belanda, perusahaan Inggris juga tak mau kalah dari pesaingnya tersebut. Maka, bersamaan dengan itu, Inggris juga mengirimkan dermaga kompeni (EIC84) mereka ke Jambi.85

Seperti yang dijelaskan Mukti Nasaruddin, mulanya antara orang-orang Jambi-VOC memiliki hubungan yang cukup baik, sebagaimana hubungan orang Jambi dengan pedagang asing lainnya. Metode dagang yang digunakan adalah sistem barter, sehingga kepuasan kedua belah pihak boleh dikata seimbang. Dari pihak orang-orang lokal, VOC disuguhkan hasil bumi berupa lada, damar, emas,

78 Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 13 79 Scholten, Kesultanan Sumatera., hlm. 44 80 Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern., hlm. 75 81 Di masa pemerintahan Sultan Abdul Qahar, kata “sultan” mulai digunakan sebagai ganti istilah “panembahan” dan merubah istilah Kerajaan Jambi menjadi Kesultanan Jambi. Lihat dalam Margono, Sejarah Sosial Jambi., hlm. 31 82 Usman Meng, Napak Tilas Provinsi Jambi Jilid 4. (Jambi: Pemerintah Provinsi Jambi, 2006)., hlm. 9 83 Lindayanti, Jambi dalam Sejarah., hlm. 6 84 English East India Company. Lihat Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 3 85 Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 13 29

dan lain sebagainya. Sebaliknya, VOC menukarkan hasil bumi tersebut dengan segala macam jenis tekstil, alat-alat pertanian, dan lain sebagainya.86 Hubungan yang semakin erat antara Jambi-VOC sebenarnya didasari oleh hubungan keluarga antara Jambi-Johor. Raja Johor yang merupakan menantu Panembahan87 rupanya sudah lebih dulu menjalin hubungan dengan VOC. Menantu Panembahan Jambi itu mengirimkan surat kepada Sultan Jambi, surat tersebut ditujukan untuk memperkenalkan para pedagang Belanda tersebut kepada Sultan Jambi. Rupanya upaya itu membuat hati Sultan luluh, utusan Belanda tersebut di sambut hangat dan ramah oleh Sultan Jambi. Pada 15 September 1616 Sultan memberikan izin pendirian kantor dagang mereka di tanah Jambi.88 Selanjutnya, sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas, bahwa tujuan hubungan itu bukan sekadar hubungan dagang semata seperti yang dijelaskan di atas, melainkan “Van winstgewest tot biheer (dari daerah jual beli menjadi daerah koloni)”.89

Namun tak lama, keuntungan itu berbalik arah menjadi kerugian yang cukup signifikan di pihak VOC, dikarenakan orang-orang Jambi enggan menjual hasil hutan kepada mereka.90 Selain itu Mukti juga menambahkan, bahwa ada dua pendapat lain yang memicu kerugian itu. Pertama, ada kegagalan dalam sistem monopolinya, terjadi perdagangan bebas antara orang-orang Jambi dan pedagang asing lainnya, sehingga eksploitasi yang digadang-gadang akan meguntungkan malah berbalik merugikan. Kedua, ada hubungan spesial antara Jambi dan Jawa, sehingga impor-ekspor tidak lagi dengan Belanda, melainkan dengan Jawa.91 Sumber Belanda mengatakan bahwa bangsa Jawa yang mereka maksud adalah Jepara92 dan Mataram93.

86 Mukti Nasaruddin, Jambi dalam Sejarah Nusantara 692-1949 M. (Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, 1999)., hlm. 115 87 Istilah yang dipakai oleh penguasa Jambi sebelum Jambi menjadi kesultanan. 88 Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 88 89 Nasaruddin, Jambi dalam Sejarah., hlm. 115 90 Adrianus, Kesultanan Jambi., hlm. 50 91 Nasaruddin, Jambi dalam Sejarah., hlm. 115-116 92 B. Lapian, Pelayaran dan Pernigaan Nusantara., hlm. 50. Melihat lebih konkrit mengenai hubungan Jepara dan Jambi, lihat halaman 108 93 Benny, “Sejarah Melayu Jambi”., hlm. 5 30

Bukan sekadar kegagalan monopoli VOC dan hubungan spesial Jambi dan Jawa, ada kecurigaan orang-orang Jambi terhadap VOC yang tidak diketahui atas dasar apa kecurigaan tersebut. Namun dengan kecurigaan itulah orang-orang Jambi tidak lagi menjual hasil bumi mereka kepada VOC. Dalam waktu tujuh tahun, orang-orang Jambi lebih siap menanggung risiko berdagang langsung ke Jepara dan pelabuhan lain atau menggaet pedagang Cina sebagai perentara ketimbang menukarkan hasil bumi mereka kepada VOC.94

Dalam sumber lain, mengenai kerugian VOC, lebih cenderung kepada masalah yang timbul di luar hubungan petani Jambi dengan VOC. Bahwa di rentang tahun 1625 itu kerap terjadi perampokan yang dialami petani yang tengah pergi ke atau pulang dari pelabuhan Jambi. Dampaknya, petani memilih urung untuk menjual hasil kebun mereka kepada bandar di hilir. Lagi pula, ada beberapa pilihan tempat yang menurut mereka memiliki daya tawar yang cukup tinggi, dan tentunya sangat menguntungkan.95 Selain itu, akses yang dipengaruhi oleh iklim terkadang juga menjadi masalah. Lada hanya bisa dikirim ketika debit air Batanghari naik. Selebihnya, ketika surut, selama berbulan-bulan pula pelayaran ke hulu akan tertunda. Hal ini dikarenakan debit air yang kurang baik setelah melewati wilayah Muaro Tembesi. Selain itu, ada konflik yang tengah berlangsung di hulu. Konflik kecil-kecilan yang terjadi antar petani Minangkabau membuat terhentinya penyuplaian lada selama dua tahun berturut-turut.96 Sebagai dampak dari kerugian yang dialami VOC, pada kisaran tahun 1623/1624/162597 kantor dagangnya di Muara Kumpeh mengalami kebangkrutan dan ditutup.98

94 R. Z. Leirissa, Anhar Ganggong, dan M. Soenyata K, Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Jambi, (Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek-Proyek dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983/1984)., hlm. 9 95 Masalah-masalah lain yang terus bergulir hingga ke tahun-tahun berikutnya dapat di lihat dalam, Lindayanti, Jambi dalam Sejarah., hlm. 73-74 96 Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 89-90 97 Mengenai tahun tutupnya loji VOC di Jambi terdapat beberapa versi, tahun 1623 termaktub dalam Kementerian Penerangan, Republik Indonesia Propinsi Sumatera Tengah. (Property of The University of Michigan Kibraries, Artes Scientia Veritas, 1817)., hlm. 61. Tahun 1624 dalam Leirissa, Sejarah Perlawanan., hlm. 9, dan tahun 1625 dalam Margono, Sejarah Sosial Jambi., hlm. 31, dan Nasaruddin, Jambi dalam Sejarah., hlm. 115 98 Margono, Sejarah Sosial Jambi., hlm. 31 31

2. Konflik-Konflik dan Intervensi

Fase kedua VOC datang dengan wajah baru. Bukan lagi sebagai perusahaan dagang yang memainkan peran monopoli, melainkan sebagai pemenang. Pada 1636 kantor dagangnya di Muara Kumpeh kembali dibuka,99 tanpa alasan, hingga memicu kecurigaan orang-orang Jambi bahwa Johor telah di hasut oleh VOC.100 Sebab, perebutan hegemoni di Melaka yang melibatkan daerah Tungkal sebagai perebutan, membuat Johor mempererat hubungan mereka dengan VOC untuk beraliansi. Di pihak lain, Jambi, Palembang, dan Mataram membuat aliansi tandingan, hingga konflik antar-aliansi kian memanas.

Namun dengan liciknya VOC menengahi. Dengan berdalih, “Demi meredam konflik yang semakin mendalam”, mereka bersedia menjadi mediator yang netral. Sehingga apa pun yang nantinya akan terjadi, VOC-lah pemenangnya. Cara kedua dalam mencari jalan damai diadakan perjodohan putera Sultan Muhammat Syah (1613-1623) yang bergelar Raja Muda Johor dengan seorang puteri Depati Anom yang kala itu menjabat sebagai Pangeran Ratu.101

Sementara itu, lepas dari petaka selisih dengan tetangga (Johor), perkara lain digebu-gebu oleh VOC. Mereka menuduh Kesultanan Jambi lebih memihak Mataram dari pada VOC.102 Seperti yang dijelaskan oleh Mukti, “Biasanya kalau tidak ada jalan yang bisa di adu-dombakannya, ia sendiri yang menimbulkan jalan ke arah satu pertikaian hingga terjadi satu kontak senjata dengan perimbangan kekuatan yang telah diperhitungkannya terlebih dahulu, bahwa kemenangan akan berada dalam genggamannya”. Dan benar saja, pada 1642, dengan menuduh Sulthan Jambi memihak kepada Sulthan Agung penguasa Mataram untuk menyulut-nyulut api pertikaian.103

99 Meng, Napak Tilas., hlm. 9 100 Nasaruddin, Jambi dalam Sejarah., hlm. 116 101 Arif Rahim, “Perang Jambi-Johor”., hlm. 60. 102 Margono, Sejarah Sosial Jambi., hlm. 32 103 Nasaruddin, Jambi dalam Sejarah., hlm. 116 32

Mengenai VOC-Mataram dan aliansi saat konflik Jambi-Johor, sebenarnya VOC dengan Mataram sudah berseberangan kubu.104 Namun dengan liciknya VOC, saat konflik terjadi, aliansi Jambi, Palembang, dan Mataram itu tidak dipermasalahkannya. Bahkan mereka bersedia menjadi mediator untuk menengahi kedua kubu tersebut. Namun terlepas dari perkara itu, perkara baru mereka ciptakan.

Sebenarnya, tuduhan VOC atas Jambi itu hanyalah siasat politik belaka. Pasalnya, Depati Anom yang kala itu menjabat sebagai Pangeran Ratu menyangkal adanya hubungan spesial antara Jambi dan Mataram. Ia berdalih bahwa Jambi dan Mataram hanya berhubungan dagang dan ukhuwah Islamiyyah saja. Namun karena kelicikan Handrik van Gent sebagai pembesar VOC kala itu, berhasil menyulut api amarah Antoni van Diemen selaku Gubernur Jenderal di Batavia kala itu. Jambi mendapat kiriman surat berupa ultimatum, bahwa Belanda tidak akan segan-segan angkat senjata terhadap Kesultanan Jambi.105

Ultimatum dan desakan untuk mengganti Sulthan Abdul Qohar nampaknya berbuah manis bagi VOC. Pasalnya, pada 6 Juli 1643, Abdul Qohar diturunkan dan di ganti dengan Depati Anom (Abdul Jalil 1643-1665) dengan gelar Sulthan Agung yang semula menjabat sebagai Pangeran Ratu.106 Namun penurunan Abdul Qahar disangkal oleh sumber lokal, bahwa sebenarnya Abdul Qahar bukan diturunkan, melainkan wafat.107 Selisih ini perlu di telaah lebih lanjut.

104 Mengenai konflik antara VOC dan Mataram, lihat dalam Ricklefs. Sejarah Indonesia., hlm. 106-109, dan D. Iken, Hikajat Kompeni Orang Wolanda di Hindia Timoer ini, (Amsterdam: Tjitakan Njonja Djanda J. Tak Dengan Anaknja, 1893)., hlm. 42-49 105 Nasaruddin, Jambi dalam Sejarah., hlm. 116 106 Adrianus, Kesultanan Jambi., hlm. 50 107 Ngebih Shutho Delogo, Naskah “Ini Sejarah Kerajaan Jambi”., Hlm. 6 33

Gambar 4. 1. Potongan Naskah “Ini Sejarah Kerajaan Jambi Sejak Tahun 700 Hijriah”

Sumber: Koleksi Museum Siginjai Provinsi Jambi

Selepas menggantikan sulthan, VOC berhasil mendesak Sultan Agung untuk menandatangani kontrak dengan mereka. Tidak tanggung-tanggung, perjanjian itu merampas setidaknya dari bidang perdagangan hingga pemerintahan. Hal ini memungkinkan VOC, untuk daerah Jambi yang kala itu dikepalai Anries Dogart Ploeg, semakin dalam mencampuri urusan ekonomi dan pemerintahan di Kesultanan Jambi.108

Salah satu hasil dari perjanjian yang sudah ditandatangani oleh Sultan adalah VOC berhasil menekan Sultan Agung untuk menutup akses terhadap orang Cina yang hendak melakukan perdagangan di perairan Kesultanan Jambi. Mengapa Cina yang diberikan kecaman yang cukup keras? Itu karena Cina mengendalikan intensulair109 terbesar.110 sesuai dalam isi perjanjian pada ayat pertama:

“Bahwa semua pedagang yang datang melakukan aktivitas perdagangan di Jambi, yang bukan orang Belanda, seperti orang Siam, orang Cina, orang Makasar, orang Borneo, dan orang Jawa ataupun bangsa asing lainnya tidak boleh melintasi dari sebelah timur sampai ke Ajer Hitam di sebelah barat daya sampai ke sungai Tungkal

108 Margono, Sejarah Sosial Jambi., hlm. 32 109 Makna intensulair itu sendiri adalah perdagangan antar pulau. Mengenai Cina sebagai Intensulair terbesar, dapat dilihat dalam Iyus Jayusman, “Peranan Orang Cina dalam Perdagangan di Jawa pada Zaman VOC Abad XVII”, dalam jurnal Bihari: Jurnal Pendidikan Sejaran dan Ilmu Sejarah, Vol. 2, No. 2, 2019. 110 Nasaruddin, Jambi dalam Sejarah., hlm. 117 34

dan daerah perairan Jambi, dan lain-lain (pada surat Sourij disebutkan pula) dan perairan Poulo Verelle (Pulau Berhala) yang mana sejak dahulu merupakan daerah perairan Yang Mulia (Sulthan Jambi).”111 Sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada 1653, selisih antara VOC dan Sultan terjadi. Masalah ini di sulut oleh pedagang Portugis yang bebas berdagang di sungai Batanghari. Namun dengan tegas Sulthan mengatakan bahwa “Atas nama Sulthan”, Portugis diizinkan berdagang di perairan Jambi. Perkataan Sultan tersebut termaktub dalam sebuah catatan Belanda dengan judul “Aardrijkskunding Genootscap”:

“Maka maksudnya, bahwa ia Pangeran (Sulthan) menyatakan, bahwa ia: mengizinkan Kapitain Portoegis itu beroperasi dagang di sungai Batanghari, atas haknya sebagai Sulthan berkuasa sepanjang sampai sungai Air Hitam di laut hingga Pulau Berhala dan sebelah utara sampai ke sungai Tungkal.”112 3. Satu Kapal Dua Kemudi: Kesultanan Jambi dan Kesultanan VOC

Pada 1665 Sultan Agung wafat. Tampuk pemerintahan Kesultanan Jambi dialihkan kepada putranya, Raden Penulis, dengan gelar Sulthan Abdul Mahyi Sri Ingologo (1665-1690).113 Dalam masa pemerintahannya, Jambi semakin tenggelam ke dalam konflik saudara dengan Johor. Terhitung sejak 1666, peperangan yang dipicu oleh pernikahan Raja Muda Johor dengan Putri Jambi yang dahulu pernah digadang-gadang sebagai peredam konflik.114

Pada 1667 konflik dengan Johor masih terus bergulir. Jambi meraih kemenangan dari Johor dengan serangkaian serangan yang mengakibatkan Johor Baru luluh lantak dalam peperangan tersebut. Namun Johor berhasil menggaet petualang Makassar yang dahulunya pernah bersekutu dengan Jambi. Dengan pengkhianatan para petualang Makassar tersebut, Jambi kalah telak dari Johor. 115 Tak hanya itu, serangan juga diluncurkan oleh Palembang, yang diakibatkan karena Jambi pernah membantu VOC dalam memberikan informasi mengenai Palembang.

111 Junaidi T. Noor, Menyibak Sejarah., hlm. 23 112 Nasaruddin, Jambi dalam Sejarah., hlm. 117 113 Ngebih Shutho Delogo, Naskah “Ini Sejarah Kerajaan Jambi”., Hlm. 6 dan Nasaruddin, Jambi dalam Sejarah., hlm. 117 114 Mengenai pernikahan pewaris tahta Kerajaan Johor dengan Putri Jambi dapat di lihat dalam, Adrianus, Kesultanan Jambi,. Hlm. 66-67 115 Nasaruddin, Jambi dalam Sejarah., hlm. 132 35

Hal ini yang membuat Jambi mendapat serangan dari persekutuan Johor, Palembang, dan petualang Makassar.116

Mengenai Palembang, sebenarnya perselisihan Jambi-Palembang sudah pecah sejak lama. Kisaran 1665 daerah Tembesi Ulu yang pada 1627 dahulu dijadikan maskawin putra Mahkota Sultan Jambi (Pangeran Depati Anom) kepada putri tunggal Raja Palembang (Ratu Mas)117 menjadi biang konflik antara Jambi- Palembang. Sebab, orang-orang Palembang yang tinggal di Tembesi Ulu kembali menghadap Sultan Palembang untuk meminta keringanan pajak. Pada akhirnya masalah ini menjadi pertengkaran yang serius antara Jambi-Palembang seperti yang sudah dijelaskan di atas.118

Dengan kekalahan yang diterima Jambi atas serangkaian serangan, pada akhirnya Jambi meminta bantuan kepada VOC dan VOC menanggapi permintaan tersebut dengan menjadi hakim antara Jambi dan Palembang dan bersedia membantu Jambi dalam mengatasi Johor. Tanggapan itu tentu diiringi dengan serangkaian kompensasi yang tentunya menguntungkan pihak VOC.119 Dengan persetujuan Jambi, Gubernur Jenderal Rijcklof Van Goens mengirim sejumlah kapal dan satu pasukan militer tangguh yang dikomandoi oleh Tack dan Yonker.120

Kemenangan kembali diraih oleh Jambi. Sejak 1670-an Jambi kembali menjadi daerah yang kuat, bahkan kekuatannya kala itu mampu menandingi keperkasaan Johor dan Palembang.121 Setelah peperangan usai, atas perdamaian Jambi-Palembang, kedua kesultanan tersebut berada dalam satu naungan kekuatan persekutuan, yakni kekuatan Belanda. Perlindungan tersebut diiringi dengan suatu keputusan perdamaian yang harus disepakati oleh Jambi-Palembang. Keputusan tersebut berbunyi: “Tembesi-begitulah keputusannya tetap di bawah Djambi tetapi djika terdjadi lagi suatu perlawanan antara seorang puteri Djambi dengan seorang

116 Mengenai konflik antara Jambi dengan tetangga (Johor dan Palembang), lihat dalam Arif Rahim, “Perang Jambi-Johor” dan Adrianus, Kesultanan Jambi,. Hlm. 66-70 117 Arsip, Sejarah Perlawanan., hlm. 10 118 Arsip, Sejarah Perlawanan., hlm. 13 119 Adrianus, Kesultanan Jambi., hlm. 50 120 Arsip, Sejarah Perlawanan., hlm. 13 121 Scholten, Kesultanan Sumatera., hlm. 44 36

Pangeran Palembang maka daerah sengketa itu sebagai maskawin kembali ke Palembang”.122

Kemudian atas kemenangan tersebut, VOC menagih konpensasi yang telah dijanjikan Jambi di awal. Konpensasi yang berisikan kontrak perdagangan di Jambi yang mengacu kepada monopoli perdagangan lada, dan mereka diperbolehkan memasok kain dan tembakau di Jambi.123 Akibat kontrak ini, terjadi selisih paham antara rakyat Jambi-VOC. Seteru tak terelakkan, pada 31 Oktober 1690124 kantor VOC di Muara Kumpeh diserang, dan Sybrantt Swart selaku kepala perwakilannya terbunuh. Masalah ini, sebelum menimbulkan seteru dengan rakyat Jambi, sebenarnya sudah menyinggung pedagang-pedagang Inggris yang berdagang di perairan Jambi, ditambah lagi di tahun-tahun itu perekonomian Jambi mulai merosot, sehingga mereka menarik tuas kemudi meninggalkan pelabuhan Jambi.125

Sebenarnya konflik itu bukan semata atas kontrak yang menyudutkan Jambi dalam ihwal ekonomi. Setidaknya faktor agama dan pemerintahan berimbang lurus penyumbang kemarahan rakyat. Di bidang ekonomi, tentu sistem monopoli yang tertuang dalam kontrak perdagangan mereka sangat merugikan rakyat Jambi, apalagi sejak 1679 terjadi lagi kemerosotan ekonomi di Kesultanan Jambi126. Pada segi pemerintahan dan agama, orang-orang Islam sudah berkomitmen untuk tidak dipimpin atau diperintah oleh pendatang, alih-alih yang beragama selain Islam.127

Mengenai terbunuhnya kepala kantor dagang VOC (Sybrantt Swart), terdapat suatu rahasia yang menjadi tonggak reputasi VOC di Jambi. Sebab, faktanya, seperti yang tertera dalam sebuah surat dari William Sabelaer dan Rippert Pelle

122 Arsip, Sejarah Perlawanan., hlm. 13 123 Adrianus, Kesultanan Jambi., hlm. 50 124 Angka 1690 tertuang dalam Meng, Napak Tilas., hlm. 9, dan Junaidi T. Noor, Menyibak Sejarah., hlm. 32. sedang dalam Adrianus, Kesultanan Jambi,. Hlm. 51, dan Kementerian Penerangan, Propinsi Sumatera Tengah., hlm. 62, masalah antara VOC dengan rakyat Jambi terjadi pada 1660. Sedangkan dalam Tim Penyusun, Monografi Daerah Jambi., hlm. 13, konflik tersebut terjadi pada 1698. Mengenai perbedaan tahun tersebut, penulis lebih cenderung kepada tahun yang cocok dengan kronologi data hasil temuan penulis. 125 Adrianus, Kesultanan Jambi., hlm. 51 126 Mengenai kemerosotan ekonomi di Kesultanan Jambi, lihat dalam Elsbeth, Kesultanan Sumatera., hlm. 44 127 Team Penyusun, Monografi Daerah Jambi., hlm. 13 37

yang ditujukan kepada gubernur Jenderal Joannes Camphuys dan para anggota Dewan Nederlands India pada 6 November 1690, Sybrantt Swart bukanlah mati terbunuh saat konflik, melainkan dibunuh oleh pembantunya sendiri. Berikut bunyi surat tersebut:

“Tuan-Tuan yang sangat mulia

Sesudah menutup surat ini, perkenankan kami menyampaikan berita yang sudah diketahui Dewan di Jambi berkenaan dengan P mengenai S. Sybrandt Swart yang lebih dari dua bulan sakit parah, dan beberapa lama beristirahat agar kuat kembali, menjadi marah pada pembantu rumah tangga (S. Swart). Walau budak itu di rantai, dia masih dapat mengambil keris yang ada di kursi, dan dengan keris itu menusuk majikannya yang tidak dapat melarikan diri, di empat tempat. Oleh karena itu Yang Mulia, tidak lama kemudian dia meninggal. Peristiwa ini, baik di antara orang-orang Jambi maupun kami, menjadi kehebohan besar.”128 Fakta ini sengaja disembunyikan dari khalayak, hal ini bertujuan untuk menyerang Sultan dengan menuduhnya terlibat dalam konflik dan pembunuhan tersebut. Akibatnya, Sultan Sri Ingologo ditangkap dan diasingkan ke Banda (Maluku)129, sehingga ke depan VOC lebih leluasa dalam mengendalikan Kesultanan Jambi. Selanjutnya, demi mempermulus rencana mereka, diangkatlah seorang anak Sultan yang bersekongkol dengan VOC untuk mengambil alih takhta ayahnya. Inilah awal dari semua perpecahan Kesultanan Jambi.

Mengenai putra Sultan Sri Ingologo dan terbuangnya Sultan ke Banda, tertera dalam Arsip Kolonial yang merupakan alih aksara dari naskah “Silsilah (Raja-Raja) Djambi”.130

“Raden Penulis menjadi Shulthan bergelar Abdul Mohi, ia lah jang seboet orang Shulthan Srie ‘An Laga, maka beranag doewa orang. Jang Toewa bernama Tjokro Negara, jang moeda bernama Raden Djoelit. Dan pada waktoe soeda besar kedoewanja, maka jang toewa bernama Pangeran Depatti, jang moeda bernama Pangeran Ratoe. Dan kata jang ampoenja tjatro (tjarita), pada masa itoe Negri Djambi berprang dengan Holanda, maka dengan takadir Hallah Te Allah, maka koempoella kapada Pangeran Depati berboewat doeraka kepada ajahnya. Maka di soeroeh boenoeh oleh Sulthan, maka tiada di makan oleh sendjata kerana sanggat kebal. Maka tatkala jakinlah ia akan di boenoeh, maka larinja Pangeran Depatti itoe pirahoe Holanda. Maka tiadalah melarang lagi orang negeri kerana orang besar-besar banjak jang soeka menjadjakan Pangeran Depatti, maka moetokla Holanda serta orang

128 Arsip, Pemberontakan di Jambi., hlm. 6 129 Margono, Sejarah Sosial Jambi., hlm. 41 130 Naskah koleksi Leiden Library, Salinan naskah “Silsilah (Raja-Raja) Djambi.” Or. 2304 d., hlm. 4. Informasi serupa juga tertuang dalam Ngebih Shutho Delogo, Naskah “Ini Sejarah Kerajaan Jambi”., Hlm. 6 38

Djambi banjak-banjak kendag mengradjakan Pangeran Depatti. Maka bergelarla ia Sulthan Kiai Gede. Dan ajahnja Solthan Srie An Laga itoe di antarkan di Batawi laloe ke Poeloe Bandang (Banda).”

Gambar 4. 2. Potongan Salinan Naskah “Silsilah (Raja-Raja) Djambi.” Or. 2304 d

Sumber:https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/2381157?solr_nav%5Bid%5D=b0 29292b9e484c79d172&solr_nav%5Bpage%5D=0&solr_nav%5Boffset%5D=7#page/1/mode/1up.

Informasi yang serupa juga tertuang dalam naskah “Hikayat Negeri Jambi”.131

“Pasal menyatakan Sulthan Agung dibuangkan anaqnya, syahdan adalah kepada satu masa tersebutlah perkataan anaq Sulthan Agung itu dua orang, nama Radin Gagdih (Kiyai Gede) dan Radin Jumut (Raden Jaelat). Kemudian dari pada itu maka itu Radin Gagdih itu dikhabarkan orang ada berbuat salah kepada orang di dalam, maka hendaq di bunuh orang, tiada terbunuh. Maka di dukung itu ketika malam hari, maka Sulthan Agung sedang tidur, maka Radin Gagdeh berbicaralah kepada Tuan Pitur mintaklah buangkan Sulthan Agung itu. Maka berpatutanlah bicaranya itu Radin Gagdeh pada Tuan Pitur, maka dikhabarkan pada masa itu Tuan Pitur membuat satu pesta besar, maka itu Sulthan Agung di panggil oleh Tuan Pitur. Maka di dalam pesta itulah Sulthan Agung tertangkap oleh Pitur lalu di bawa ke Batawi. Dan kepada masa itu nama Radin Jumut anaq Sulthan Agung dengan Kedemang Kecik hendak mengamuk tiada di beri oleh Radin Gagdih itu, dan tahulah orang Radin Gagdih punya pekerjaan itu adanya. Sahdan diwasiatlah Radin Jumut dengan kedemang Kecik lari mudik ke Muaro Tebo. Dan segala orang pun dibawaknya sekali, dan Raden Gagdeh pun jadi sultanlah di dalam Negeri Jambi.”

131 Naskah koleksi Leiden Library, “Hikayat Negeri Jambi.” Or. 2013, Publish Muara Kumpai, 1253 H/1837 M., hlm. 15 39

Gambar 4. 3. Potongan Naskah “Hikayat Negeri Jambi” Or. 2013, Publish Muara Kumpai, 1253 H/1837 M.

Sumber:https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/2041483?solr_nav%5Bid%5D=b0 29292b9e484c79d172&solr_nav%5Bpage%5D=0&solr_nav%5Boffset%5D=1#page/1/mode/1up.

Setidaknya, setelah diasingkannya Sultan Sri Ingologo132, Jambi benar-benar sudah dikendalikan oleh VOC. Tujuan yang semula hanya sebatas monopoli, kini telah berhasil mengkudeta takhta Kesultanan Jambi secara substansi. Sejak pengangkatan Raden Cakra Negara pada 1690, seperti yang dilaporkan oleh J. W. J. Wellan dengan judul “Loji di Jambi Tahun 1707” untuk sementara waktu loji mereka ditutup. Dan pada 1707 barulah Sultan mengadakan kontrak dagang lagi dengan VOC.133 Berarti, dalam kurun tujuh tahun (1690-1707), VOC tampil bukan sebagai bandar dagang, melainkan sebagai kekuatan politik yang berusaha mengendalikan inangnya. Untuk hal ini, VOC bahkan seperti telah mendirikan kedaulatannya sendiri, layaknya Kesultanan VOC.

132 Dalam naskah “Hikayat Negeri Jambi”, Pemerintahan Sulthan Sri Ingologo tidak termaktub. Dalam runutan silsilahnya pun, anak dari Sulthan Agung adalah Raden Gede (Cakra Negara) dan Raden Jumut (Jaelat). Namun dalam naskah dan sumber lain, keturunan dari Sulthan Agung adalah Raden Penulis bernama Abdul Muhyi yang bergelar Sulthan Sri Ingologo, yang kemudian memilik dua orang anak (Kyai Gede dan Raden Jaelat). Bahwasanya Sulthan Agung adalah Kakek dari Kyai Gede dan Raden Jaelat. 133 Arsip, Pemberontakan di Jambi., hlm. 2 40

B. Hulu dan Hilir dan Perpecahan Kedaulatan

1. Seteru di Istana

Semakin dalam intervensi VOC semakin keropos pula kedaulatan dalam istana Kesultanan Jambi. Keluarga istana harus terpecah belah oleh ketidakselarasan pemikiran. Akibatnya, pengaruh sultan juga harus terbagi atas dua kelompok. Pertama kelompok pro-Belanda dan dan sisanya masuk ke dalam kelompok yang kontra-Belanda.

Pangeran Ratu yang bernama Raden Jaelat (Pringgabaya/Culip134) bersama adiknya, Kyai Senopati/Singopatih, sebagai petinggi yang kontra terhadap intervensi Belanda dengan rasa penuh kecewa meninggalkan kesultanan dan mudik menyusuri sungai Batanghari dengan membawa pusaka negeri (keris Siginjai)135 hingga sampai ke Muaro Tebo. Dalam versi lain dikatakan bahwa Raden Jaelat terusir dari istana ke pedalaman Muaro Tebo karena telah melakukan pemberontakan atas pengangkatan Cakra Negara tersebut.136 Kekecewaan yang timbul itu dikarenakan “Adat terlepas tangan”, suatu pelanggaran Adat Tata Kerajaan Jambi dan tentunya tidak akan diterima oleh rakyat. Adat yang dimaksudkan itu adalah, sebagai penerus sultan haruslah seorang Putra Mahkota (Pangeran Ratu). Sedangkan Kyai Gede adalah seorang Pangeran Depati.137

Mengenai konflik dalam istana Kesultanan Jambi, termaktub dalam Manuskrip Salinan Naskah “Silsilah (Raja-Raja) Djambi”.138

134 Dalam beberapa sumber, Raden Jaelat memiliki beberapa nama, seperti dalam naskah “Hikayat Negeri Jambi”., hlm. 15, disebutkan sebagai Jumut. Dalam Adrianus, Kesultanan Jambi., hlm. 51, disebutkan sebagai Pringgabaya. Dalam Meng, Napak Tilas., hlm. 10, dan dalam Mukti, Jambi dalam Sejarah., hlm. 133, disebutkan sebagai Raden Culip. Dalam Margono, Sejarah Sosial Jambi., hlm. 32 disebutkan sebagai Raden Tyulip (Raden Julat). dalam manuskrip salinan naskah “Silsilah (Raja-Raja) Djambi” di sebut sebagai Raden Joelat. Sedangkan dalam Arsip Kolonial, Nota Serah Terima Jabatan Residen H. L. C. Petri, terj. S. Hertini Adiwoso dan Budi Prihatna. (Jambi: Kantor Arsip Daerah Provinsi Jambi, 2006)., hlm. 22, disebutkan sebagai Perban. Dan masih banyak sumber-sumber lain yang menggunakan nama yang sama seperti yang tertera di atas. 135 Adrianus, Kesultanan Jambi., hlm. 51 136 Lihat dalam Kementerian Penerangan, Propinsi Sumatera Tengah., hlm. 62 137 Nasaruddin, Jambi dalam Sejarah., hlm. 132 138 Manuskrip Salinan Naskah “Silsilah (Raja-Raja) Djambi”., hlm. 5 41

“Maka sebla samalah ada mati Solthan Srie ‘An Laga akan hal anagnja bernama Pangeran Ratoe serta Kiai Singgapatih Moediglah ke Moeara Tebo, laloelah ia menghimpoenkan sekalian orang Telok Rantau dari Penjingat Moedig Poetjooek Djambi Sembilan Lurah kompoella ke Moeara Tebo.”

Penjelasan serupa juga tertuang dalam naskah “Hikayat Negeri Jambi”.139

“Adapun tersebutlah Radin Jumut duduk di Muaro Tebo itu dan Kedemang Kecik jadi hulubalangnya. Adapun segala orang pucukan itu semuanya di bawak oleh Radin Jumut mudik berkumpul di Muaro Tebo itu, dan Radin Jumut pun di angkat orang pula menjadi Raja di Muaro Tebo itu, di sebut orang Sulthan Maharaja Batu namanya adanya.” Perpecahan tak terelakkan, Bangsa XII140 harus tersekat-sekat mengikuti Sultan yang mereka setujui. Karena Muaro Tebo adalah pusat Kalbu VII-IX Koto,141 maka Bangsa VII, Bangsa VIII, dan Bangsa IX setia kepada Raden Jaelat, sedangkan bangsa yang lainnya tetap ikut kepada kesultanan Kyai Gede di Tanah Pilih.142 Dua beradik, Raden Jaelat dan Singopatih, bersama para pengikutnya yang disebut orang Teluk Rantau mudik ke pedalaman di Muaro Tebo.

Masa itu Jambi berada dalam situasi kritis. Suatu tahkta yang terpecah mengakibatkan roda perekonomian ikut merosot. Pada 15 September 1690, VOC yang ikut merasakan dampak dari kemerosotan ekonomi tersebut terpaksa mencabut status Jambi sebagai pos dagang tersendiri. Selanjutnya VOC menempatkan Jambi di bawah kekuasaan Palembang. Hal ini termaktub dalam “Daftar Resolusi Umum dari Casteels Batavia dan Diputuskan dalam Dewan- Dewan India Sejak 1 Januari Sampai Akhir Desember A° 1690 (Regsiter der Generale Resolution des Casteels Batavia Genoemen in Raden van India zedert primo Januarij tot ult° December A° 1690)”. Catatan tersebut berbunyi:

“Berlainan dari Sabelaer (Willem Sabelaer, salah satu Residen Palembang) yang di sebut sebelumnya di resolir menjadi kepala Palembang untuk menggantikan Coopman. Yang sekarang kepala di Jambi Sybrandt Swart, yang terakhir ‘comptoir’ di bawah yang pertama, dan mula-mulanya mudah dilakukan vaendrig selama ditempatnya sana, tidak ada atau sedikit yang dikerjakan. Untuk mengatur kedudukan

139 Naskah “Hikayat Negeri Jambi”., hlm. 15 140 Mengenai penjelasan Bangsa XII, lihat dalam Anonim, Kerangka Acuan., hlm. 8-10, Adrianus, Kesultanan Jambi,. Hlm. 53-55, dan Zawawi Ali, Sejarah Pemerintahan di Daerah Tingkat I Propinsi Jambi, Koleksi Kantor Arsip Daerah Provinsi Jambi., hlm. 2-6 141 Kementerian Penerangan, propinsi Sumatera Tengah., 62 142 Nasaruddin, Jambi dalam Sejarah., hlm. 133 42

kami dengan baik, akan kami ajukan komisaris (komisaris ini adalah Isaacq van Thijn) untuk mempertahankannya.”143 Seperti yang tertera pada sub-bab sebelumnya, bahwa VOC benar-benar keluar dari roda perdagangan di pelabuhan Jambi. Sebenarnya, kemerosotan Jambi dalam sistem perekonomian itu merupakan pembuka gerbang bagi kedaulatan VOC di tanah Jambi. Selama tujuh tahun mereka menggandeng Sultan, sebagai kaki tangan, yang tentunya dengan seluruh jiwa, harta, akan Sultan pertaruhkan demi saudara sulungnya itu (VOC). VOC Berjaya menjadi pemangku politik di dalam pemerintahan Kesultanan Jambi.

2. Rakyat di Hulu dan Rakyat di Hilir

Atas istilah hulu dan hilir, kenyataannya ini bukan sekadar penjuru atau dari dan ke mana mata air mengalir. Lebih dari itu, pernyataan hulu dan hilir lebih kepada tata letak dan identitas penduduknya.144 Jika ditilik jauh ke belakang, ada pemisahan alur dari sejarah panjang perkembangannya. Daerah hulu lebih cenderung dihuni oleh orang-orang yang perkembangannya berjalan secara mandiri. Sedang di pesisir, kebalikan dari apa yang terjadi di hulu. Orang-orang Melayu bahkan lebih identik dengan orang-orang yang berada di pesisir (hilir), sedangkan hulu, orang mengatakan diri mereka sebagai orang ulu. Pernyataan sempat mencuat pada Abad Ke-18, seorang lelaki Rejang mengungkapkan mengenai identitas dirinya. “Malayo tidah, orang ulu betul sayo.” Demikian pemuda tersebut berucap, bahwa dia bukanlah orang Melayu, akan tetapi dia adalah orang hulu asli.145

Lebih luas, hulu dan hilir disekat oleh perbedaan lingkungan fisik dan ekonomi. Di hilir yang meliputi daerah pesisir yang kontur tanahnya lebih cenderung ke hutan berlumpur dan dataran rendah yang meliputi tanah gambut. Daratan di hilir juga tidak layak dijadikan lahan pertanian, sehingga sumber ekonomi yang mendominasi di hilir adalah nelayan dan sebagai pelabuhan-

143 Arsip, Pemberontakan di Jambi., hlm. 5 144 Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 37 145 Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 31-32 43

pelabuhan dagang. Sedang di hulu, daerah yang diliputi oleh dataran tinggi ini biasanya menyimpan lebih banyak sumber kehidupan ketimbang di hilir. Hamparan tanah yang subur yang bergerak di sepanjang aliran sungai dan kaki bukit, membuat hampir seluruh tanaman tropis dapat tumbuh di sana. Sehingga, keberlangsungan hidup di hulu didominasi oleh pertanian dan perkebunan.146

Atas perbedaan-perbedaan inilah, kesempatan yang sangat baik bagi Raden Jaelat untuk memperoleh dukungan. Sebab, jika pemberontakan hanya berkembang di sekitaran rakyat di hilir, maka akan sulit baginya untuk mendapatkan suara. Pasalnya, rakyat jelas akan cenderung kepada arah suara yang lebih dominan dan kepada pemegang kuasa yang dapat mengendalikan roda kehidupan sekehendakhatinya. Alih-alih masa itu penguasa Jambi memiliki sekutu sebagai sumber kekuatan eksternal yang cukup kuat.

Oleh karena itu, atas nama hulu, ia telah berhasil melemahkan tatanan pemerintahan di Tanah Pilih. Artinya, kekuatan akan sebanding dengan kekuatan istana karena sebagian orang-orang hilir ia bawa serta mudik ke hulu. Hulu dan hilir sudah menonjolkan keretakan. Pasalnya, mereka sudah menemukan sang jawara. Orang-orang hulu ikut merasakan kemarahan atas ditangkapnya Sultan Sri Ingologo. Oleh karena itu, sang jawara dan perlawanan yang mereka maksud, adalah hasil dari satu frekuensinya antara orang-orang hulu dan Raden Jaelat.147

Hasil dari silang sengketa ini, yakni meruncingnya hubungan antara hulu dan hilir. Keharmonisan bukan lagi menjadi kongsi bersama, melainkan dari segala pihak ingin memenangkan suara satu sama lain. Orang-orang di tanah Pilih dengan sekutunya, ingin menguasai Jambi seutuhnya, dan tentunya dengan segala keuntungan-keuntungan yang tercurah dari sumber daya alamnya. Sedang di hulu, orang-orang huluan bersama pangeran yang menjadi jawara, senantiasa ingin mengembalikan Jambi kepada sedia kala, dengan ketentuan-ketentuan adat yang berlaku, dengan takhta yang diturunkan secara sukarela dan sesuai dengan

146 Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 38 147 Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 226 44

ketentuan yang sudah ada, dengan kemakmuran yang dirasakan bukan sebatas pagar istana, atau sebatas dunia hilir saja, melainkan meliputi seluru penjuru Jambi, termasuk juga hulu.

C. Kesultanan Jambi Ulu (1696-1725)

1. Menjelang Deklarasi

Dalam masa-masa pengasingan Raden Jaelat, terjadi konflik di Tanah Pilih. Konflik yang bermuara dari pemberontakan itu berhasil dipadamkan oleh pihak istana. Padamnya pemberontakan itu karena terbunuhnya Pangeran Singopatih dalam pergolakan tersebut.148 Namun dalam beberapa sumber menjelaskan bahwa kematian Pangeran Singopatih itu tepat saat terjadinya pertempuran di Bukit Serpih, yaitu setelah pendeklarasian Kesultanan Jambi Ulu.149

Sedang di hulu, riuh tak teredam. Orang-orang di huluan terus mendesak Pangeran Jaelat agar segera memisahkan diri dari Kesultanan Jambi dan membuat kesultanan tandingan. Karena itu, Pangeran Jaelat pergi ke Pagaruyung dengan tujuan agar memperoleh dukungan serta pengakuan dari istana Pagaruyung.150 hal ini termaktub dalam Salinan naskah “Silsilah (Raja-Raja) Djambi”, berikut bunyinya:

“Pangeran Ratoe laloela ke Menang Kabau naik Pagger Roeiong laloe di ankat Radja oleh Djira toean Paggar Roeiong bergelar Srie Maharadja Batoe. Maka djadila Radja di Moeara Tebo. Di galar tampat itoe negrie Manggondjaja, dan mengradjakanja Singgopatti bermakkan (bertampat) di Boekit Serpi (Soemi) ia la bergelar Solthan Abdul Raehman. Menjadi dewa la Solthan pada maisa itoe jang Solthan Kiaie Gede di Tanah Pilih Holanda jang Mengradjakan, Solthan Srie Maharadja Batoe di Moeara Tebo, Singgapatti jang mengradjakan maka adalah berdiri doewa Solthan itoe ada tiga poeloeh tahoen lamanja.”151

148 Lihat dalam Nasaruddin, Jambi dalam Sejarah., hlm. 133 149 Lihat dalam naskah Naskah “Hikayat Negeri Jambi”., hlm. 15, dan Manuskrip Salinan Naskah “Silsilah (Raja-Raja) Djambi”., hlm. 5, penulis menduga, pemberontakan yang di maksud pada sumber pertama tersebut adalah perang yang terjadi di bukit serpih seperti yang tertera dalam naskah ini. Namun, demi kepentingan akademis, penulis akan mencantupkan kedua pendapat ini dengan runutan waktunya yang sesuai dengan kronologi peristiwa. Untuk kecenderungan penulis mengenai sumber yang lebih relevan, lihat penjelasannya pada catatan kaki dengan nomor 127. 150 Adrianus, Kesultanan Jambi., hlm. 51 151 Manuskrip Salinan Naskah “Silsilah (Raja-Raja) Djambi”., hlm. 5 45

Dalam kunjungannya ke Pagaruyung, seperti yang digambarkan Andaya, Pangeran Jaelat membawa sesembahan berupa “segumpal tanah, setetes air, sepotong rumput dan seekor ikan”152 yang akan dihadiahkan kepada Sultan Ahmad Syah yang kala itu memegang takhta Kesultanan Pagaruyung.153 Artinya, Raden Jaelat telah berserah diri kepada Pagaruyung, bersedia menyembahkan tanah air serta segala hasil bumi mereka kepada Pagaruyung. Dan yang terpenting adalah, Raden Jaelat mengharapkan perlindungan kepada Kesultanan Pagaruyung.

2. Maharaja Batu dan Takhta di Ulu

Sekembalinya dari Pagaruyung, dengan dukungan dari rakyat154 dan pengakuan dari Sulthan Pagaruyung, ia mendeklarasikan kedaulatannya sendiri dan selama 29/30 tahun155 resmi berpisah dari Kesultanan Jambi di Tanah Pilih. Tepat pada 1696, ia dinobatkan sebagai sultan, istana kedaulatan berada di Mangunjayo dengan gelar Sulthan Sri Maharaja Batu Johan Pahlawansyah156, dan wilayah kekuasaan meliputi seluruh kediaman Kalbu VII Koto, VIII Koto, IX Koto, Petajen, Air Hitam, dan lain-lain. Sedang Pangeran Singopatih diangkat sebagai tangan kanan Maharaja Batu dengan gelar Sultan Abdul Rahman yang bertakhta di Bukit Serpih.157 Dalam sumber lain juga dikatakan bahwa di daerah-daerah VII Koto dan IX Koto ini merupakan pemukiman militer Kesultanan Jambi sebelumnya. Alhasil, Kesultanan Jambi Ulu dalam sekejap sudah menjadi negeri kuat, bahkan mampu menyaingi saudaranya di Tanah Pilih.158

152 Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 227 153 Hafiful Hadi Sunliensyar, “Surat-Surat Kerajaan Untuk Penguasa Kerinci: Tinjauan Terhadap Naskah Cod. Or. 12.326 Koleksi Perpustakaan Universitas Leiden”, dalam jurnal Jumantara. Vol. 10, No. 2, 2019., hlm. 174 154 Adrianus, Kesultanan Jambi., hlm. 51 155 29 tahun menurut Anonim, Kerangka Acuan Penyusuna Sejarah Pembentukan Museum Departemen Dalam Negeri, (Badan Pendidikan dan Latihan Depertemenen Dalam Negara)., hlm. 18, dan 30 tahun menurut naskah Ngebih Shutho Delogo, Naskah “Ini Sejarah Kerajaan Jambi Sejak Tahun 700 Hijriah”. (Hari Jumat, 7-8, 1414 Hijriah.)., Hlm. 6 156 “Sri Maharaja batu Johan Pahlawansyah” berarti “Raja hebat dan prajurit jawara”. Lihat dalam Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 227 157 Kementerian Penerangan, propinsi Sumatera Tengah.,hlm. 62 158 Zuhdi, Sejarah Kabupaten Tebo., hlm. 41 46

Dusun Mangunjayo, Andaya menuturkan bahwa daerah itu merupakan perkampungan yang didirikan atas dasar sebagai ibukota kerajaan yang kelak akan menjadi kerajaan yang independen. Daerah ini dipilih atas dasar letak geografis yang sangat menguntungkan. Selain dari lahan-lahan pertanian yang subur di pesisir sungai induk, daerah ini juga sebagai daratan utama serta jalur sungai-sungai Minangkabau, Indragiri, Tungkal, dan Tanjung. Selain itu, Mangunjayo yang juga meliputi wilayah Muaro Tebo juga memiliki akses penting berupa persimpangan sungai Batanghari, Batang Tebo, dan Batang Sumay. Dengan semua ini, Mangunjayo berada dalam posisi yang sangat penting dalam segi ekonomi di hulu.159

Sulthan Maharaja Batu, ketika tampuk Kekuasaan kesultanan Jambi Ulu berada dalam genggamannya, siasat yang paling kentara yang dilakukan oleh Maharaja Batu untuk melemahkan Kesultanan Jambi Ilir di Tanah Pilih adalah memblokade seluruh akses ke Tanah Pilih di hilir, bahkan orang-orang huluan pun di larang ke hilir, sekalipun untuk sekadar mengunjungi sanak saudara di Tanah Pilih. Akibat pemblokadean itu, roda perekonomian di Tanah Pilih semakin menurun.

Kesultanan Jambi Ulu memegang kendali perdagangan global di persimpangan Batanghari di Muaro Tebo, hal ini memungkinkan Jambi Ulu tak terlalu membutuhkan pelabuhan yang ada di Tanah Pilih. Pasalnya, jalur alternatif yang sudah ada sejak era awal perdagangan lada di Jambi memberikan peluang yang sangat bagus bagi Kesultanan Jambi Ulu untuk memperburuk keadaan di hilir. Jalur tersebut meliputi Indragiri dan Kuala Tungkal agar dapat mencapai Selat Melaka. Dari Muaro Tebo, pedagang akan terus berlayar menyusuri sungai Sumay, kemudian perjalanan dilanjutkan dengan membelah hutan dengan akses jalan setapak hingga sampai ke sungai yang berada di wilayah Indragiri. Perjalanan terus berlanjut hingga sampai ke laut, dan hasil bumi tersebut akan langsung dibawa ke

159 Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 227 47

perairan Melaka, tentu tanpa bersentuhan lagi dengan pemerintahan dan monopoli VOC di Tanah Pilih.160

Selain itu, Andaya juga mencatat, bahwa orang-orang Bugis tertarik kepada Mangunjayo. Mereka datang berbondong-bondong membawa barang dagangan berupa kain dan garam untuk ditukarkan dengan lada dan emas yang ditambang di sepanjang sungai Batanghari Ulu. Selain itu, orang-orang Johor juga ikut serta dalam perdagangan di Muaro Tebo. Mereka membawa candu dan tekstil yang didapat dari pedagang India di Riau. Dari jalur lain, Palembang ikut berkontribusi. Dari Tembesi mereka terus mudik ke hulu untuk mencapai perairan Muaro Tebo. Sebagai komoditas unggulan, lada, emas, dan diikuti oleh hasil hutan lainnya, Sulthan Maharaja Batu berhasil mengelola semuanya dengan baik. Hingga orang- orang kubu mempercayainya sebagai pengepul hasil buruan mereka.161

Selain itu, seperti yang sudah disepakati Sultan Raja Batu pada waktu yang lalu mengenai sumpah setianya kepada Pagaruyung dan didorong pula oleh kultur dari Pagaruyung yang sudah tertanam di huluan akibat dari transmigrasi orang- orang Minang beberapa Abad silam, membuat orang-orang di Jambi Ulu dengan senang hati menyatakan afinitas kultur terhadap Pagaruyung yang menurut mereka itulah kampung halaman mereka. Oleh karena itu, Jambi Ulu menjadi kesultanan yang sangat unggul, yang tentunya tak akan tergoyahkan oleh Kesultanan Jambi Ilir.162

Atas apa yang dilakukan Maharaja Batu memicu kemarahan Sultan Kiyai Gede di Tanah Pilih. Untuk melampiaskan kemarahannya dan berupaya membuka blokade tersebut, Kiyai Gede meminta bantuan ke Palembang untuk memerangi istana adiknya di Mangunjayo. Palembang bersedia membantu Kiyai Gede, hingga pertempuran saudara tak terelakkan. Perang yang berlokasi di Bukit Serpih itu telah

160 Dedi Arman, “Perdagangan Lada”., hlm. 91 161 Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 227 162 Scholten, Kesultanan Sumatera. Hlm. 45 48

berhasil merenggut nyawa Sultan Abdul Rahman (Pangeran Singopatih)163. Berikut kronologi yang tertuang dalam naskah “Hikayat Negeri Jambi” 164:

“Dan sekalian orang uluan pun tiada boleh ilir ditahankan oleh Sulthan maharaja Batu. Kemudian maka terdengarlah oleh Sulthan Gagdeh itu yang sudara maqsud menjadi sultan itu. Maka sangatlah marahnya. Dan tatkala itu Sulthan Gagdeh itu bersuruhan ke Palembang mintaklah batu ia hendak berperang dengan Sulthan Maharaja Batu. Dan bantu dari Palembang pun dapatlah, dan Sulthan Gagdeh pun mudiqlah ke bukit Serpih dan itulah tempat orang berperang itu. Dan dikhabarkan orang di dalam perang bukit Serpih Kedemang Kecik (Pangeran Singopatti), terpunggallah lehernya oleh bantu dari Palembang. Maka kepala Kedemang Kecik pun terbawaklah ke Palembang dan badannya tinggallah di bukit Serpih itu.”

Pertempuran baru berakhir ketika Sultan Pagaruyung datang menengahi. Inisiatif Sultan Pagaruyung dalam melerai konflik ini adalah, akibat seteru hulu dan hilir, perdagangan di hulu Minangkabau mengalami kerugian yang cukup besar,165 juga sebagai tanggapan atas surat yang dikirimkan oleh Sultan Maharaja Batu agar Sultan Pagaruyung bersedia membantu menghadapi Jambi Ilir yang di bantu oleh Palembang. Berikut bunyi surat tersebut:

“Telah kami junjungkan pada segala hamba kami, sekarang kami junjungkan kepada hamba kami Depati Empat, Pamangku Lima serta Depati yang Empat Puluh Empat. karena sekarang ini duli Yang Dipatuanlah menjadi raja sembilan laras batang sungai ini jika lagi mengaku tuan kepada Duli Yang Dipatuan, Depati Empat jika lagi teguh setianya, Dipati Empat dengan Duli Yang Dipatuan. Keris yang dipegang oleh Depati Empat celak kembang tingkat masnya itulah tanda hamba kepada kamu. Karena kamu suruh berkelahi dengan orang Palembang sekarang maulah turun Dipati Empat lengkap dengan senjatanya. Jikalau tidak turun tanggallah setia orang tua-tua Dipati Empat ke bawah duli Yang Dipatuan. Tambahan pula titah Pangeran Suta Mangunjaya datang kepada Depati Empat selama ini kami berkelahi dua bersaudara, patutlah Depati Empat tiada mengawal turun, sekarang ini orang Palembang hendak

163 Penjelasan ini merupakan riwayat kematian Pangeran Senopati yang waktu terjadinya pasca pendeklarasian kedaulatan Kesultanan Jambi Ulu. Penulis lebih cenderung kepada sumber ini. Karena, selain terbit dari beberapa naskah, sumber ini lebih banyak di pakai oleh para akademisi belakangan ini. Meski antara sumber yang menjelaskan kematian Singopati tepat sebelum Kesultanan Jambi Ulu mendeklarasikan kemerdekaan, dan sumber yang menjelaskan kematian Singopati adalah setelah pendeklarasian, dua-duanya merupakan sumber kolektif, untuk saat ini, menurut penulis, sumber kedua lebih relevan dan sesuai dengan temuan penulis di lapangan. Yaitu, setelah Raden Jaelat mendeklarasikan kedaulatan, dia pun menobatkan Pangeran Singopati menjadi wakilnya yang kelak memiliki kekuasaan di Bukit Serpih. Untuk itu, tidak mungkin akan ada wakil Raden Jaelat, seperti yang dijelaskan oleh sumber kedua dan beberapa sumber yang di tulis belakangan yang lebih akademis, jika Pangeran Singopati mati sebelum pendeklarasian. Untuk kebenaran dua pendapat ini, perlu dilakukan penelitian lebih dalam. 164 Naskah “Hikayat Negeri Jambi”., hlm. 15 165 Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 234 49

merusak kami jika lagi teguh setianya, dengan Raja Batu datang kepada anak cucu Raja Batu, mau lah turun dengan segala senjata kamu, tammat fi llaili wa nnahar.” 166

Gambar 4. 4. Potongan Surat-surat kerajaan untuk Penguasa Kerinci

Sumber: Hafiful Hadi Sunliensyar, “Surat-Surat Kerajaan Untuk Penguasa Kerinci: Tinjauan Terhadap Naskah Cod. Or. 12.326 Koleksi Perpustakaan Universitas Leiden”, dalam jurnal Jumantara. Vol. 10, No. 2, 2019., hlm. 174

Setelah pertempuran dapat di lerai, seluruh pemuda yang terlibat dalam peperangan dipaksa pulang ke daerah masing-masing, sehingga keadaan di Jambi kembali seperti sedia kalanya. Untuk sementara waktu pertikaian saudara tersebut berhenti, hingga beberapa saat kedua kesultanan yang saling berselisih itu tidak memperlihatkan ketegangan lagi. Berikut teks dalam naskah “Hikayat Negeri Jambi”167:

“Sahdan di dalam perang itu maka tersebutlah Yang Dipertuan dari Mangkubu (Minangkabau) pun datang menyapih orang berperang itu. Maka Yang Dipertuan berkata: ‘Dangar pada perang ini hendaklah berhenti, janganlah lagi berperang itu’. Maka perang itu pun berhenti. Orang Palembang pulang ke Palembang dan jeju (ku) yang di Jambi pulang ke Jambi dan jejuku yang di Muaro Tebo itu pulang ke Muaro Tebo adanya, dan Yang Dipertuan pulanglah ke Minangkabau.”

166 Pasal tersebut termaktub dalam naskah “Surat-Surat Kerajaan untuk Penguasa Kerinci” Mengenai Naskah ini lebih detil, lihat dalam Sunliensyar, “Surat-Surat Kerajaan”., hlm. 171-173 167 Naskah “Hikayat Negeri Jambi”., hlm. 15 50

Pasca-pertempuran sengit di Bukit Serpih itu, pada 1696, di Tanah Pilih, Sultan Kiyai Gede menyerahkan takhta kepada anaknya, Muhammad Syah168. Setelah itu, maka kelanjutan dari seteru hulu dan hilir adalah antara Sultan Maharaja Batu dan keponakannya yang sudah duduk di tahta Kesultanan Jambi Hilir. Lihat kronologi pada naskah “Hikayat Negeri Jambi” di bawah ini:

“Dan telah selesai pada perang itu, maka Sulthan Maharaja Batu itu duduklah di Muaro Tebo, maka dapat anak tiga orang adanya. Dan sedating Sulthan Gagdeh dari ulu itu, maka ia pun menjadikan anaknya sultan nama Mahmud Sah dan ia pun berhenti jadi raja. Tiada berapa lamanya Sulthan Mahmud Sah jadi sultan itu maka mati pula. Maka balik pula Sulthan Gagdeh menjadi raja pula.”

Pada 1698, upaya damai diselenggarakan di hulu. Kiyai Gede berangkat menghadiri pertemuan itu. Di sana, sejumlah kepala suku Minangkabau dan orang- orang pedalaman ikut serta. Sumpah setia terucap dari kedua sultan tersebut. Sebagai pengakuan dan penyerahan tongkat kekuasaan, maka diserahkanlah keris “Macan Turu” kepada putra Maharaja Batu. Artinya, kelak takhta Kesultanan Jambi akan diserahkan kepada keturunan dari Maharaja Batu. Dan sebaliknya, sebagai teman di masa pensiunnya, Maharaja Batu menyerahkan anaknya agar kelak anak itu bisa berbakti kepada temannya di hari tuanya nanti.169

Namun nyatanya, Kiyai Gede tak mengindahkan perjanjian yang sudah dibuat tempo hari. Ia enggan menyerahkan kekuasaannya meski rakyat sendiri tidak lagi menyukainya170. Dalam hal lain pun, budi pekerti yang buruk yang meliputi Kiyai Gede seakan telah menyeretnya kepada dosa yang besar. Sehingga, menurut rakyat, “Ia sudah melakukan suatu penghinaan terhadap Tuhan dan adat”. Atas kewajiban nafkah ayahnya yang renta dipengasingan, itu semua di tanggung oleh Maharaja Batu. Sedang Kiyai Gede menolak semua tanggung jawab itu.171

168 Lihat dalam Naskah “Hikayat Negeri Jambi”., hlm. 15. Dalam bebrapa sumber mengatakan bahwa penyerahan tahta kerajaan itu dikarenakan Sulthan Kiyai Gede Wafat. Lihat dalam R. Z. Lerissa, dkk (Eds). Sejarah Perlawanan., hlm. 14 169 Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 234 170 Hal ini ditandai dengan terasingkannya Kiyai Gede dari rakyat, petinggi-petinggi istana lainnya juga ikut menolaknya hingga berpengaruh kepada hilangnya legitimasi Sultan. Lihat Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 235 171 Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 236 51

Untuk rentang waktu ini, interaksi VOC tak lagi terngiang, bahkan saat Jambi Ulu dan Ilir bersitegang. Sebab, beberapa waktu sebelum itu, terjadi selisih paham antara Kiyai Gede-VOC. Akibatnya, kebun-kebun lada milik rakyat ludas terbakar dan lagi-lagi VOC menutup kantornya di Tanah Pilih.172 Mungkin hal ini juga yang menjadi alasan Sulthan Kiyai Gede meminta bantuan ke Palembang saat menghadapi Jambi Ulu.

Mulai menginjak Abad Ke-18, keadaan di Jambi Ilir semakin memburuk. Di hulu, orang-orang tidak lagi mempedulikan merica, semua berbondong-bondong mengganti tanaman mereka kepada tanaman padi dan kapas.173 Lagi-lagi keberhasilan Sulthan Maharaja Batu dalam memporak-porandakan pundi-pundi lumbung Jambi Ilir semakin terlihat. Jambi Ulu yang sudah “ter-Minangkabau-kan” itu semakin tak tergoyahkan.174 Dengan emas, lumbung-lumbung padi, kapas dan peternakan-peternakan menjadikan Jambi Ulu tercukupi dalam segi ekonomi, meski dalam konteks ini Jambi Ulu terikat sebagai Vasal Minangkabau.175

Sementara di hulu orang-orang uluan masih sibuk dengan komoditas barunya, di hilir Sultan berusaha keras membangun kembali kekuatan yang rusak tersebut. VOC yang beberapa tahun lalu sudah meninggalkan kantor dagangnya di Jambi karena tidak memperoleh keuntungan, kini kembali membuka kantornya di Jambi. Atas permintaan Sultan Kiyai Gede (beberapa sumber mengatakan Muhammad Syah karena Kiyai Gede sudah wafat pada 1696,176 mengenai ini akan dijelaskan di depan), pada 1705, VOC kembali mengirim Komisaris P. Ronselaar untuk menyelidiki keadaan di Jambi. Barulah pada 1707, Jambi menjadi comptoir yang mandiri dari Palembang.177

172 R. Z. Lerissa, dkk (Eds). Sejarah Perlawanan., hlm. 14 173 Adrianus, Kesultanan Jambi., hlm. 80 174 Scholten, Kesultanan Sumatera. Hlm. 45 175 Adrianus, Kesultanan Jambi., hlm. 88, dan G. J. F. Biegman, Enambelas Tjeritera Pada Menjatakan Hikajat Tanah Hindia, (Batawi: Pertjetakan Goebernemen, 1894)., hlm. 13 176 Kementerian Penerangan, propinsi Sumatera Tengah., hlm. 62, Alih Aksara dan Kajian Naskah Silsilah Raja-Raja Jambi, Undang-Undang Piagam dan Cerita Rakyat Jambi. (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi Bidang Sejarah dan Purbakala, 2018)., hlm. 17, Nasaruddin, Jambi dalam Sejarah., hlm. 133, Naskah “Hikayat Negeri Jambi”., hlm. 15, dan R. Z. Lerissa, dkk (Eds). Sejarah Perlawanan., hlm. 14 177 Arsip, Pemberontakan di Jambi., hlm. 7 52

Mengenai penyerahan takhta oleh Sulthan Kiyai Gede kepada anaknya Muhammad Syah (Surianegara), ke depan ada beberapa versi mengenai cerita ini. Seperti pada naskah “Hikayat Negeri Jambi”, bahwa penyerahan takhta yang dilakukan Kiyai Gede kepada putranya seperti tanpa sebab. Kemudian pada masa berikutnya, ketika Sulthan Muhammad Syah wafat, takhta kembali pada dirinya. Hal ini dilakukan, untuk dugaan sementara, sebagai siasat politiknya dalam melancarkan beberapa kepentingan.

Sedang Mukti Nasruddin menjelaskan bahwa penyerahan takhta tersebut dikarenakan Kiyai Gede wafat pada 1696178. Data ini didukung oleh transliterasi naskah “Silsilah Raja-Raja Jambi, Undang-Undang Piagam, dan Cerita Rakyat Jambi”179. Namun dengan segera tulisan ini dibantah oleh arsip Belanda yang menjelaskan bahwa pada 1705 VOC bersedia berhubungan kembali dengan Kiyai Gede, dan pada 1707 VOC membantu Kiyai Gede membujuk Sultan Maharaja Batu untuk kembali ke Tanah Pilih.180 Pasal ini juga tertera dalam naskah “Hikayat Negeri Jambi”.181

“Kemudian Sulthan Gagdih pun berkirim surat kepada Sulthan Maharaja Batu di Muaro Tebo itu menyuruhkan ilir ke negeri.”

Mengenai Muhammad Syah yang menjadi sultan pada 1696. Andaya membantah semua itu. Menurutnya, mengacu kepada sumber-sumber VOC, pada 1719, usia Surianegara yang kemudian hari lebih dikenal dengan Muhammad Syah barulah berusia sekitar 13 tahun.182 Untuk jabatannya sendiri, itu kisaran 1725 barulah bertakhta di Tanah Pilih dan wafat pada 1726 karena diserang cacar yang hebat.183

178 Nasaruddin, Jambi dalam Sejarah., hlm. 133 179 Alih Aksara Naskah Silsilah Raja-Raja Jambi., hlm. 17 180 Arsip, Pemberontakan di Jambi., hlm. 7-8 181 Naskah “Hikayat Negeri Jambi”., hlm. 15 182 Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 267 183 Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 270 53

3. Rekonsiliasi Hulu dan Hilir

Mengenai surat yang dilayangkan Sultan Kiyai Gede kepada Sultan Maharaja Batu seperti yang dijelaskan di atas, tercatat pada 26 September 1707, atau bersamaan dengan datanganya A. Patras. Surat itu, meski dalam sumber lokal adalah surat Kiyai Gede, namun dalam sumber ini, surat itu sebenarnya berupa bujukan dari Gubernur Jenderal di Batavia agar Sultan Maharaja Batu bersedia kembali ke Tanah Pilih, berbaikan dengan Sultan Kiyai Gede dan VOC. Surat itu dibawa oleh Korpol Willem de la Garde untuk menghadap Sulthan Maharaja Batu di Mangunjayo dan memberikan surat tersebut.184

Pada mulanya bujukan itu gagal. Namun, pada 1708185 akhirnya Sultan Maharaja Batu bersedia ke Tanah Pilih dengan alasan perdamaian dengan kompensasi Sultan maharaja Batu yang akan menjadi sultan di Tanah Pilih dan menyatukan kembali antara Jambi Ulu dan Jambi Ilir seperti yang tertera dalam naskah Hikayat Negeri Jambi,186 “Dan tiada beberapa lamanya maka Sultan Maharaja Batu pun ilirlah”. Begitu juga dalam manuskrip salinan naskah Silsilah (Raja-Raja) Jambi187, “Soedah itoe maka mati la Kiaie Singgapatti, kemudian maka di hilirkanla Sholthan Srie Maharadja Batoe (Abdul Raehman) ke Tanah Pilleh”.

Sampai di Tanah Pilih, upaya rekonsiliasi itu berjalan dengan baik. Sebagai sumpah setia antara keduanya, dengan disaksikan seluruh penghuni istana dan seluruh rakyat Jambi, Maharaja Batu bersumpah bahwa Kiyai Gede adalah kakaknya dan begitu pula sebaliknya.188 Dalam rekonsiliasi ini, Sultan Maharaja Batu diangkat menjadi sultan dengan gelar Suto Ingologo189, memegang kendali antara Jambi Ulu dan Ilir. Namun dalam hal ini, jabatannya masih dikategorikan sebagai pejabat pemerintahan junior. Sedangkan Kiyai Gede ditetapkan sebagai pejabat pemerintahan senior.190

184 Arsip, Pemberontakan di Jambi., hlm. 7 185 Lindayanti, Jambi dalam Sejarah., hlm. 154 186 Naskah “Hikayat Negeri Jambi”., hlm. 15 187 Manuskrip Salinan Naskah “Silsilah (Raja-Raja) Djambi”., hlm. 5 188 Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 242 189 Team Penyusun Monografi, Monografi Daerah Jambi., hlm. 14 190 Lindayanti, Jambi dalam Sejarah., hlm. 155 54

Sultan Muhammad Syah serta-merta mengakui kedaulatan pamannya Maharaja Batu. Dalam sumber ini, kemungkinan Sultan Muhammad Syah menyadari betapa buruknya pengaruh Belanda dan menganggap Belanda itu musuh bebuyutan Jambi. Oleh karena itu, ia meminta Maharaja batu untuk naik takhta mengganti dirinya.191 Namun, seperti keterangan di atas, dalam naskah “Hikayat negeri Jambi”, bahwa yang menyerahkan takhta kerajaan itu kepada Maharaja Batu adalah Kiyai Gede. Sebab, Sultan Muhammad Syah, seperti yang diisukan, sudah wafat belakangan hari, sehingga pada waktu itu takhta berada di tangan Kiyai Gede.

Pemerintahan seperti ini rupanya hanya berjalan kurang-lebih dua tahun. Apa yang diharapkan rupanya berbalik menjadi memburuk. Pertama, sudah barang tentu Sultan Kiyai Gede dari awal tidak menyetujui sumpah setia yang diadakan tempo hari. Pasalnya, ia masih penuh harap, bahwa kelak putranyalah yang lebih berhak mewarisi takhta Kesultanan Jambi. Lagi pula, karena sumpah setia itu, Raja Muda- lah (Maharaja Batu) yang berhak tinggal di istana, dan Raja Tua (Kiyai Gede) harus tinggal di rumah pengasingan peninggalan sultan terdahulu. Sudah barang tentu akan memberatkan hatinya melepas jabatan yang semula. Kedua, rakyat di Tanah Pilih sudah telanjur tidak mempercayai Maharaja Batu. Sebab, konsentrasinya terhadap hilir tentu tidak akan sebaik sultan-sultan sebelumnya. Pasalnya, ada takhta dan keluarga yang mereka tinggalkan di hulu, serta para pengikutnya tidak diizinkan kembali ke rumah mereka di hilir seperti yang sudah dijelaskan di atas. Semakin memperkuat bahwa keterikatan batin antara Maharaja Batu dan hulu sudah tidak dapat diragukan lagi.192

Pada 1710, seperti yang tertuang dalam Resolusi 26 September, Maharaja Batu ditangkap dan diturunkan dari takhtanya. Takhta Kesultanan Jambi kembali digenggam oleh Sultan Kiyai Gede atas persetujuan Belanda.193 Alasan penurunan itu; pertama, di hilir, secara tidak langsung rakyat sudah tidak dapat memberikan kepercayaan mereka kepada Sultan Maharaja Batu seperti yang dijelaskan di atas.

191 Nasaruddin, Jambi dalam Sejarah., hlm. 133 192 Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 249-250 193 Arsip, Pemberontakan di Jambi., hlm. 8 55

Kedua, di hulu, terjadi pemberontakan di istana Mangunjayo. Pemberontakan yang didalangi oleh seorang lelaki dan perempuan itu sudah bulat ingin menggantikan Sultan Maharaja Batu dengan putranya Suto Wijaya.194 Namun alasannya belum diketahui atas dasar apa mereka ingin mengganti Sultan Maharaja Batu.

Upaya kudeta dan penangkapan terhadap Maharaja Batu sebenarnya merupakan tipu muslihat Sultan Kiyai Gede. Sejak awal, dengan keberadaan Sultan Maharaja Batu, seluruh rencananya menguasai Jambi, terutama ladang-ladang lada di huluan yang sekarang sudah berganti padi dan kapas, selalu saja dapat digagalkan. Hingga dengan cara membuat jebakan inilah satu-satunya jalan yang bisa membawa Maharaja Batu kembali ke Tanah Pilih dan kemudian dibuang ke luar Sumatera.

“Dan tiada beberapa lamanya duduk di negeri itu maka dibicarakan pulalah Sulthan Gagdih kepada Tuan Pitur mintak buangkan pula ke Batawi. Dan tertangkap pula Sulthan Maharaja Batu lalu di bawa ke Batawi. Kepada Sulthan Maharaja batu adanya. Dan di belakang Sulthan Maharaja Batu suda terbuang itu, maka Sulthan Gagdih pun Mudik ke Muaro Tebo itu menetapkan segala orang yang berkumpul di Muaro Tebo itu. Maka Sulthan Gagdih Pulanglah ke negeri.”195

“Laloela di antarkanla orang ke Batawi laloe ke Poeloe Dammar, maka di sana la mati Solthan Srie Maharadja Batue.”196

Seperti yang diharapkan Kiyai Gede, pada 14 Desember 1710 Sultan Maharaja Batu dan para pengikutnya197 berjumlah 99 orang ditangkap dan dijadikan sebagai tawanan perang. Seperti yang tertuang dalam Resolusi 6 Januari 1711, bahwa mereka dibawa ke Pulau Edam198, kemudian dibawa lagi ke Pulau Banda dan diasingkan di sana.199 Nasib buruk menimpa keluarga tersebut. Atas pengkhianatan seorang anggota keluarga (Kiyai Gede), Sultan Sri Ingologa Bersama anaknya Sultan Maharaja Batu (w. 1716) harus menghembuskan napas terakhirnya dipengasingan.

194 Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 254 195 Naskah “Hikayat Negeri Jambi”., hlm. 15-16 196 Manuskrip Salinan Naskah “Silsilah (Raja-Raja) Djambi”., hlm. 5 197 Andaya menyebutnya keluarga. Lihat dalam Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 255. 198 Pulau Edam atau Pulau Damar seperti yang termakrub pada manuskrip Salinan Naskah “Silsilah (Raja-Raja) Jambi”, pulau ini merupakan salah satu pulau yang terlepat dalam gugusan Kepulauan Seribu. 199 Arsip, Pemberontakan di Jambi., hlm. 8 56

Pada 1712,200 dengan bantuan VOC, Kiyai Gede berusaha menguasai daerah hulu, namun upaya ini tentu saja membuahkan hasil yang tidak sesuai dengan keinginan.201 Serangan berbalik menjadi bumerang, orang-orang huluan malah memberontak dengan kekuatan yang cukup besar. Meski sebelumnya orang-orang huluan kukuh ingin menggantikan Maharaja Batu dengan Suto Wijaya, belakangan mereka termakan hasut utusan dari Minangkabau (Pagaruyung) yang bernama Raja Ibrahim (mengaku utusan dari Yang Dipertuan Sakti dan Putri Jamilan) mengatakan Maharaja Batu adalah salah satu tokoh Minangkabau yang ditempatkan di Mangunjayo.202

Namun tidak lama, Pagaruyung mati kutu hanya dengan satu gertakan. VOC mengancam untuk memblokade pasokan garam ke hulu, sebab masa itu daerah pedalaman sulit mendapatkan garam dari tempat lain. Sehingga, tiga orang bupati Minangkabau bersedia meredam konflik yang terjadi di Mangunjayo. Hal ini dilakukan atas titah Yang Dipertuan Sultan Pagaruyung. Namun para pemberontak yang dipimpin Raja Ibrahim tetap terus berjuang hingga kekalahan tak terelakkan, Mangunjayo berhasil dikuasai oleh pasukan Kiyai Gede. Pada Februari 1712, ia kembali ke Tanah Pilih. Sebagai hukuman, Raja Ibrahim harus dieksekusi mati. Namun rencana itu gagal, karena pada 1714 Raja Ibrahim sudah lebih dahulu mati di dalam penjara. Sedang tiga orang rekannya mati di tiang gantungan dengan disaksikan oleh khalayak umum.203

Tahun-tahun berikutnya, rekonsiliasi antara rakyat hulu dan hilir yang terjadi di tengah kegagalan rekonsiliasi penguasa rupanya belakangan menjadi badai bagi takhta Kiyai Gede. Keangkuhannya dalam memerintah membuat para pejabat istana di hilir muak, karena setiap keputusan, para pejabat dan bangsawan tidak dilibatkan. Bersamaan dengan itu, di hulu orang-orang mulai resah dengan keputusan-keputusan Kiyai Gede yang sudah terlewat batas, bahkan

200 Andaya menjelaskan, bahwa kejadian itu terjadi masih pada tahun yang sama (1711). Lihat Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 262 201 Ricklefs. Sejarah Indonesia., hlm. 157 202 Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 260 203 Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 261-262 57

menyengsarakan rakyat. Hingga pada 1718, para bangsawan Jambi mulai menyusun rencana untuk mengkudeta takhta Kiyai Gede dan menggantikannya dengan anak Maharaja Batu (Suto Wijaya). Setahun berikutnya, dengan perencanaan yang matang, 800 pasukan pemberontak dari Tanah Pilih sudah bersemayam di hulu. Penyerangan itu tercatat pada 1717/1719204 dengan kekuatan sekitar 8000 orang,205 yang sebagian besar pasukan adalah penduduk yang senantiasa ikut bergabung.

Bersamaan dengan itu, Sultan Kiyai Gede menghembuskan napas terakhirnya pada akhir Mei setelah sakit selama dua minggu lebih.206 Sesuai tuntutan para pemberontak, untuk pemegang kuasa Kesultanan Jambi, sebagai ganti Kiyai Gede, ditunjuklah Sultan Suto Wijaya (dikenal juga Astra Wijaya) dengan gelar Astra Ingologo (m. 1719-1725).207 Oleh karena itu, pada September 1719, atas tuntutan orang-orang Jambi, Suto Wijaya dipulangkan dari pengasingannya di Pulau Banda.208

Sementara waktu, sultan baru masih dikarantina di loji milik Belanda, di istana, para petinggi dan penduduk merundingkan solusi atas masalah Jambi. Menantu dan cucu Kiyai Gede209 ikut serta, dan mengakui Suto Wijaya sebagai sultan. Untuk itu, genderang kesultanan baru diumumkan sampai ke pedalaman, terutama hulu. Pengangkatan ini diselenggarakan oleh Belanda dengan kompensasi

204 Andaya menjelaskan 1719, karena perencanaan pemberontakan itu saja baru terlihat pada tahun 1718. Lihat Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 265 205 Lindayanti, Jambi dalam Sejarah., hlm. 155 206 Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 266. Sebagai dugaan wafatnya Kiyai Gede adalah karena diracuni oleh seorang gundik miliknya sendiri. Tuduhan ini sebenarnya marak ketika di masa Suto Wijaya, karena ia tidak suka dengan gundik tersebut. Lihat dalam Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 267 207 Ricklefs. Sejarah Indonesia., hlm. 157. Mengenai Sulthan Astra Wijaya (Astra Ingologo), nama sebenarnya adalah Suto Wijaya, kemudian gelarnya barulah Istera Ingologo. Lihat dalam Ngebih Shutho Delogo, Naskah “Ini Sejarah Kerajaan Jambi”., hlm. 15. Namun dalam S. Hertini, Nota Serah Terima Jabatan., hlm. 59, dijelaskan bahwa, Istera Ingologo dan Suto Wijaya adalah orang berbeda. Suto Wijaya berkedudukan di Mangunjayo bersama kakaknya Pangeran Diponegoro, dan menjadi sultan di sana setelah Pangeran Diponegoro (Panembahan) wafat. Sedangkan Istera Ingologo di tunjuk menjadi sultan di Tanah Pilih untuk menggantikan Kiyai Gede. 208 Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 266 209 Menantunya adalah Nattaningrat, lihat dalam Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 267. dan cucunya bernama Demang bin Nattaningrat. 58

seperti yang dahulu pernah terlaksana pada saat membantu menyelesaikan konflik Jambi-Johor. Kompensasi berupa kontrak tertulis, yang kemudian pada Desember tahun itu, seluruh para bangsawan dan penghulu dari “Sembilan Lurah” menandatangani kontrak tersebut.210

Pada awal-awal pemerintahan Sultan Suto Wijaya, yang tercatat adalah penambahan-penambahan konflik. Bukannya berkurang, melainkan terus bertambah, bahkan dari dalam istana itu sendiri. Pasalnya, karena kas istana yang kosong, sehingga di huluan orang mengeluh karena ditekan untuk membayar pajak dan upeti yang tidak wajar. Selain itu, di istana, Sultan tidak benar-benar serius dalam menyelesaikan masalah keluarga. Ia menceraikan istrinya tanpa menafkahi mantan istrinya tersebut. Menelantarkan janda Kiai Gede dan putranya (Pangeran Surianegara), yang semua itu merupakan pelanggaran istana itu sendiri. Selain itu, Sultan juga melanggar kontraknya dahulu yang menegaskan bahwa dia tidak ingin meniduri gundik milik Kiyai Gede, tapi kenyataannya, belakangan ia mengatakan bahwa ia sudah menghamili gundik tersebut.211 Ia juga seorang pecandu opium, serta bangun tidur selalu menjelang tengah hari.212

Hal ini tentu membuat geram khalayak, sebab sultan yang mestinya dijadikan tonggak segala urusan, tidak konsisten dengan ucapannya sendiri, serta tidak layak dijadikan sebagai contoh dan panutan. Pada 1720, di hulu kembali digaungkan perlawanan terhadap sultan. Seperti yang dijelaskan di atas, atas kesamaan kepentingan dengan rakyat di hulu, Nattaningrat yang menuntut keadilan terhadap janda Kiyai Gede dan iparnya, terus menghasut rakyat untuk ikut menyuarakan agar kedudukan Sulthan Suto Wijaya dilengserkan dan digantikan dengan Surianegara (anak Kiyai Gede). Namun suara Nattaningrat tidak begitu didengar di hulu. Meski khalayak begitu kesal, mereka tetap setia kepada Sultan Suto Wijaya. Bahkan, para pemimpin suku dari segala penjuru hulu bersedia menuliskan nama mereka di dokumen yang berisi pengakuan kedudukan Sulthan Suto Wijaya. Atas apa yang

210 Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 266 211 Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 267 212 Ricklefs. Sejarah Indonesia., hlm. 157 59

dilakukan Nattaningrat terhadap sultan, sultan menyandera Nattaningrat dan putranya di penjara istana.213

Upaya damai terus saja digaungkan dari pihak luar. Kali ini VOC sendiri yang turun tangan mencoba menyatukan kepelikan antara hulu dan hilir. Pada 1721, dengan berat hati, Surianegara menyerahkan pusaka kepada Sultan Suto Wijaya. Dengan penyerahan pusaka itu, Surianegara sudah mengakui Sultan Suto Wijaya sebagai penguasa Jambi, dan Jambi kembali dipimpin oleh satu sultan.214 Sebagai balasannya, Surianegara dinikahkan dengan adik Sultan, kemudian diberi nama kehormatan sebagai Sultan Muhammad Syah. Pada 1724, Surianegara (Muhammad Syah) bersama keluarganya dibawa oleh Belanda ke Batavia, dengan tujuan agar kehidupan dan masa depannya menjadi baik dengan kontrol Belanda.215 Bersamaan dengan itu, orang-orang Belanda ikut serta meninggalkan Jambi.

Pada Januari 1725, Sultan Suto Wijaya dipecat.216 Setelah diturunkan dari takhtanya, ia disekap di rumah batu. Kudeta ini berlangsung karena ketidakpuasan Raden Demang dan para bangsawan Jambi terhadap sistem kepemimpinan Sultan Suto Wijaya yang kurang baik. Mereka menganggap Suto Wijaya terlalu labil dengan keputusan-keputusan dan tidak menepati janji. Lagi pula, kekesalan atas mangkatnya Surianegara seakan melemahkan kedudukan dari garis keturunan Kiyai Gede. Oleh karena itu, penangkapan ini juga bertujuan pengambilan alih hak dari garis keturunan Kiyai Gede. Kader yang dicanangkan sebagai ganti Sultan Suto Wijaya adalah Surianegara. Jika tidak, maka Raden Demang yang akan naik takhta.217

Dalam kurun empat bulan terjadi kekosongan kepemimpinan di Jambi. Pada Mei, orang-orang huluan bergerak menyerbu hilir dengan tujuan membebaskan Sultan Suto Wijaya. Pergerakan ini dipimpin oleh saudara Sultan Suto Wijaya yang

213 Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 268 214 Anonim, Kerangka Acuan., hlm. 19 215 Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 269 216 Aulia Tasman, Menelusuri Jejak Kerajaan Melayu Jambi dan Perkembangannya. (Jakarta: REFERENSI [GP Press Group], 2016)., hlm. 322 217 Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 269 60

tempo hari melarikan diri dari istana. Karena orang-orang hulu masih tetap setia kepada nasab Maharaja Batu, senantiasa bersama saudara Sultan Suto Wijaya itu, mereka berhasil membebaskan Sultan Suto Wijaya dari penyanderaan. Pada Juni, orang-orang di Tanah Pilih dipaksa untuk mengakui kekuasaan Suto Wijaya.218

Namun nantinya, takhta di Tanah Pilih akan direbut kembali oleh Muhammad Syah.219 Raden Demang yang masih gigih berjuang akhirnya berhasil memukul mundur pasukan-pasukan dari hulu. Pada Juli, orang-orang Belanda membawa kembali Surianegara ke Jambi. Seluruh rakyat Tanah Pilih gembira menyambut, upacara besar digelar, Surianegara dilantik sebagai pemimpin baru Negeri Jambi masih dengan gelar Sultan Muhammad Syah. Orang-orang hulu mau tidak mau harus mengakui Sultan Muhammad Syah sebagai sultan. Dengan demikian, maka berakhirlah kisah perpecahan hulu dan hilir tempo hari.220 Upaya reunifikasi yang memakan sejarah panjang akhirnya khatam di satu titik, bahwa Jambi akan tetap menjadi negeri yang satu, dengan pemimpin yang satu. Meski kenyataannya, keharmonisan antara hulu dan hilir tak seharmonis pada masa-masa sebelum perpecahan.

Kekuasaan Sultan Muhammad Syah tak berjalan lama. Pada akhir 1726 ia diserang wabah cacar yang sangat hebat. Orang-orang menyangka, bahwa penyakit itu merupakan kutukan yang akan melanda kepada garis keturunan Kiyai Gede jika terus berupaya untuk memimpin negeri. Oleh karena itu, pada 1727, diangkatlah Suto Wijaya untuk kembali memimpin Jambi.221 Hingga seterusnya, Jambi akan dipimpin oleh keturunan Maharaja Batu. Menurut mereka, keturunan orang-orang yang luruslah yang layak menjadi pemimpin negeri.222

218 Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 269 219 Lindayanti, Jambi dalam Sejarah., hlm. 155 220 Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 270 221 Tasman, Menelusuri Jejak Kerajaan., hlm. 322 222 Andaya, Hidup Bersaudara., hlm. 270 61

D. Suatu Tinjauan Implikasi dari Sejarah Kesultanan Jambi Ulu

1. Sultan Thaha Saifuddin dan Pecahnya Jambi yang Kedua Kalinya

Dalam perjalanannya, sejarah Kesultanan Jambi Ulu banyak sekali mewarnai kehidupan-kehidupan setelahnya. Bagian ini akan mengarah kepada akibat-akibat yang terjadi setelah perjalanan panjang sejarah Jambi Abad Ke-17 sampai paruh pertama Abad Ke-18. Bagian ini akan menyuguhkan informasi betapa pentingnya sejarah Jambi masa itu terhadap kehidupan yang akan datang.

Informasi awal yang sangat menarik untuk diulas adalah perjuangan Sultan Thaha Saifuddin (m. 1855-1904)223. Dalam hal ini, kronologi perjuangannya hampir merupakan dampak dari sejarah Maharaja Batu yang menjadikan hulu tempat yang sangat baik untuk menyusun suatu kekuatan. Pasalnya, konflik yang dihadapinya adalah pengulangan sejarah yang terjadi pada masa Kiyai Gede dengan Maharaja Batu dahulu.

Sultan Thaha menduduki kekuasaan pada usia 39 tahun.224 Pada masa-masa awal pemerintahannya, Sultan Thaha diminta untuk mengakui kursi Belanda dalam kabinet Kesultanan Jambi. Hal ini tentu saja mendapat penolakan dari Sultan Thaha, sehingga kontak senjata tak terelakkan, kraton berhasil ditaklukkan oleh Belanda, dan Sultan Thaha harus melarikan diri ke hulu.225 Untuk itu terjadi kekosongan kepemimpinan di Tanah Pilih, maka ditunjuklah Panembahan Ratu (paman Sultan Thaha) untuk menjadi sultan dengan gelar Sultan Ratu Ahmad Nazaruddin226 atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Bayang, karena kekuasaannya hanya sebatas kraton dan merupakan boneka Belanda.227

223 Nasaruddin, Jambi dalam Sejarah., hlm. 144 224 Junaidi T. Noor, Mencari Jejak Sangkala, Mengirik Pernik-Pernik Sejarah Jambi. (Jambi: Pusat Kajian Pengembangan Sejarah dan Budaya Jambi, 2011)., hlm. 127 225 R. Zainuddin, Dkk. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi, (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978-1979)., hlm. 25 226 A. Wahab Madjid, Sultan Thaha Saifuddin. Buku Koleksi Arsip Daerah Provinsi Jambi., hlm. 13 227 Zainuddin, Sejarah Kebangkitan., hlm. 25 62

Dengan semua itu, Jambi kembali terpecah menjadi dua.228 Namun bedanya kali ini, pecahnya Jambi sebatas pembagian wilayah toritorial. Artinya, meski hulu dan hilir terbagi, seluruh rakyat Jambi tetap mengakui Sultan Thaha sebagai sultan di Negeri Jambi. Sedang Sultan Ahmad Nazaruddin, terpaksa diakui oleh orang- orang yang berada di wilayah kekuasaan Sultan Ahmad Nazaruddin.229

Namun perpecahan ini berhasil disatukan oleh Belanda dengan suatu siasat politik, yaitu mengangkat putra Sultan Thaha sebagai Pangeran Ratu di kraton Tanah Pilih. Oleh karena itu, reunifikasi berhasil dengan ditandai diserahkannya keris Siginjai kepada Sultan Ahmad Zainuddin (sebagai ganti dari Sultan Ahmad Nazaruddin yang wafat).230

Hakikatnya, semenjak peristiwa Maharaja Batu yang mangkat ke hulu sebagai tempat pelarian, kedekatan hulu dengan penguasa-penguasa Jambi laksana anak dan ibu. Bahkan, meski keris Siginjai sudah diserahkan kepada penguasa di Tanah Pilih, perjuangan Sultan Thaha beserta panglima-panglima kepercayaannya terus bergelora. Setelah berjuang selama kurang lebih 46 tahun231, pada 26 April 1904, Sultan Thaha wafat dalam medan pertempuran di Betung Bedarah.232

2. Perang Raja Batu

Suatu faktor yang sangat kentara akan kejayaan sejarah di masa lampau, yaitu bagaimana orang-orang sesudahnya terus-menerus mengenang bahkan berupaya mengulangi sejarah tersebut. Suatu eksplanasi sejarah dapat ditilik dalam catatan perang tahun 1916, di mana orang-orang lebih mengenal perang tersebut sebagai Perang Raja Batu233.

228 M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI & XVII, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995)., hlm. 90 229 Kementerian Penerangan, propinsi Sumatera Tengah., hlm. 68 230 Kementerian Penerangan, propinsi Sumatera Tengah., hlm. 71 231 Tasman, Menelusuri Jejak Kerajaan., hlm. 360 232 R. Z. Lerissa, dkk (Eds). Sejarah Perlawanan., hlm. 38-39 233 Ilhamzah, Skripsi: Abdul Wahid dan Perannya Dalam Perang Raja Batu di Jambi Tahun 1916. (Jambi: UIN Sulthan Thaha Saifuddin, Adab dan Humaniora, Sejarah Peradaban Islam, 2019)., hlm. 50 63

Pada mulanya, sebagian orang menyebutnya dengan Perang Serikat Abang, Perang Sabil, dan Perang Serikat.234 Namun belakangan, terjadi penggabungan kekuatan antara kaum “Jihad fi Sabilillah” dengan kaum “Anti-Kolonialisme”. Sebagai upaya penyelarasan pasukan tersebut, oleh pencetusnya (Abdul Wahid) di beri nama perang Raja Batu. Nama perang ini mengacu kepada pergerakan Maharaja Batu pada Abad Ke-18 silam, yakni sama-sama anti terhadap Belanda dan jihad fi Sabilillah sebagai upaya mempertahankan kedaulatan negerinya dari campur tangan para perusak.235 Dalam upaya penghormatan, sang pencetus gerakan tersebut digelari Sri Maharaja Batu.

Jika ditinjau lebih jauh, sang pencetus gerakan tersebut bukanlah keturunan dari bangsawan Jambi, melainkan hanya seorang pemuda bernama Abdul Wahid bin Dualip236 atau lebih akrab dengan sapaan Duwahid. Ia adalah seorang pemuda kelahiran Sungai Ketalo,237 dengan keseharian sebagai penyadap getah karet di daerah Mersam yang masa itu masuk ke dalam Onder Afdeeling Muaro Tembesi.238 Duwahid dalam perjalanannya kerap kali mengganti gelar, antara lain ia pernah memakai nama Raden Gunawan239, kemudian berganti menjadi Raden Mat Tahir240, dan pada akhirnya barulah bergelar Maharaja Batu, menyesuaikan dengan gerakan yang ia cetuskan.

Ambisinya, selain jihad fi Sabilillah dan anti-kolonialisme seperti yang sudah dijelaskan di atas, ia juga ingin mengembalikan kejayaan dan kebesaran Kesultanan Jambi pada Abad Ke-18 dahulu.241 Gerakan dengan penuh ambisi ini tidak lagi dapat dibendung, hingga seantero hulu ikut serta ke dalam pemberontakan Raja

234 Nasaruddin, Jambi Dalam Sejarah., hlm. 272 235 Nasaruddin, Jambi Dalam Sejarah., hlm. 273 236 R. Z. Lerissa, dkk (Eds). Sejarah Perlawanan., hlm. 68 237 Usman Meng, Napak Tilas., hlm. 26. Sungai Ketalo, sekarang daerah tersebut berada dalam wilayah Kecamatan Tebo Ilir. 238 Ilhamzah, Skripsi: Abdul Wahid., hlm. 49 239 Raden Gunawan adalah pendiri Sarekat Islam di Rawas (Palembang). Lihat dalam Ilhamzah, Skripsi: Abdul Wahid., hlm. 53 240 Raden Mat Thaher merupakan panglima perang Sulthan Thaha. Perjuangannya terhitung sejak 1900 bersama Sulthan Thaha dan berakhir pada 10 September 1907. Lihat dalam R. Z. Lerissa, dkk (Eds). Sejarah Perlawanan., hlm. 39-44 241 R. Z. Lerissa, dkk (Eds). Sejarah Perlawanan., hlm. 68 64

Batu tersebut. Sayangnya, tanpa komando yang jelas, pemberontakan ini malah memberi efek yang tidak baik kepada pasukan lokal, sehingga menelan korban yang amat banyak.242 Perang ini baru berakhir sekitar Oktober 1916 dengan diasingkannya para pemimpin pemberontak ke Jawa.243

242 R. Z. Lerissa, dkk (Eds). Sejarah Perlawanan., hlm. 69 243 Kementerian Penerangan, propinsi Sumatera Tengah., hlm. 74 65

BAB V

PENUTUP A. Kesimpulan

Dari penelitian Jambi dan Seteru Dua Penjuru: Dualisme Kesultanan di Jambi Tahun 1696-1725, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Sebelum membuat keributan di Nusantara (termasuk Jambi), sama seperti pendatang lainnya, Belanda adalah pedagang yang menyusuri jalur rempah yang kala itu masih masyhur di seantero dunia. Belakangan, seiring dengan meningkatnya kebutuhan rempah, para saudagar Belanda bersatu membentuk satu kompeni yang dinamai VOC. Di Jambi, interaksi pertamanya dengan VOC terhitung sejak 1615. 2. Kerusakan dalam pemerintahan Kesultanan Jambi dimulai sejak VOC melakukan intervensi. Berbagai permasalahan silih berganti merundung sultan, mulai dari konflik dengan tetangga, konflik dengan VOC, bahkan konflik sesama penghuni istana yang mengakibatkan Jambi terpecah antara hulu dan hilir. Semenjak itu, keadaan Jambi nyaris tidak pernah membaik, bahkan hingga Jambi disatukan kembali. 3. Mengenai hulu dan hilir, sebenarnya wilayah Jambi terbagi atas dua wilayah, yaitu daerah hilir yang meliputi wilayah pesisir dan sebagian dataran rendah. Kemudian daerah hulu yang wilayahnya meliputi daerah dataran tinggi dan sebagian dataran rendah. Identitas kewilayahan ini seakan menjadi penambah kekacauan ketika terjadi konflik di istana Kesultanan Jambi. 4. Akibat perpecahan di istana, Jambi memiliki dua kesultanan, yaitu Kesultanan Jambi Ulu di Mangunjayo dan Kesultanan Jambi Ilir di Tanah Pilih. Perpecahan terjadi selama sekitar 30 tahun. Berbagai macam cara dilakukan untuk reunifikasi, namun tak seperti yang diharapkan. Meski Jambi sudah menyatu, keharmonisan hulu dan hilir tak seperti sebelum pecah.

66

B. Saran

Dari hasil penelitian yang berjudul Jambi dan Seteru Dua Penjuru: Dualisme Kesultanan di Jambi Tahun 1696-1725, penulis ingin memberikan beberapa saran, sebagai berikut:

1. Kepada pembaca, penulis ingin memberikan saran agar hasil penelitian ini bisa dijadikan sebagai sumber referensi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sejarah Kesultanan Jambi Ulu dan seteru-seteru yang terjadi masa itu. Kemudian agar pembaca senantiasa melakukan kritik terhadap hasil penelitian ini. 2. Kepada mahasiswa/i Provinsi Jambi hendaknya dalam menciptakan suatu karya ilmiah baik itu dalam bentuk proposal, skripsi, artikel dan lainya, agar lebih memprioritaskan untuk mengangkat potensi-potensi lokal daerah Jambi. Terkhusus untuk mahasiswa/i prodi Sejarah Peradaban Islam, hendaknya memprioritaskan topik sejarah lokal untuk diangkat. Agar masyarakat pada umumnya mendapatkan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai sejarah-sejarah lokal Provinsi Jambi. 3. Kepada masyarakat agar lebih untuk memperkuat persatuan antar satu sama lainnya. Senantiasa untuk menambah pengetahuan sejarahnya agar mendapatkan banyak pelajaran dari peristiwa yang telah terjadi pada masa lampau. Tujuan utamanya adalah agar masyarakat dapat menghadapi imperialisme dan kolonialisme modern. 4. Kepada pemerintah agara lebih memperhatikan para pejuang kemerdekaan. Tanpa perjuangan dan jasa mereka, tidak mungkin kita bisa merasakan indahnya kemerdekaan seperti yang kita rasakan sekarang ini. Kemudian penulis juga berpesan untuk pemerintah agar lebih memperhatikan tinggalan-tinggalan sejarah yang ada, baik berupa dokumen, benda, bangunan dan lainya. Karena tinggalan-tinggalan tersebut akan sangat diperlukan oleh masyarakat pada umunya dan mahasiswa pada khususnya untuk mengetahui sejarah-sejarah Jambi.

67

Di bagian akhir penulisan skripsi ini, penulis ingin memanjatkan rasa puji dan syukur kepada Allah SWT, karena limpahan taufik dan hidayah-Nya. berupa nikmat kekuatan, kesehatan, dan semangat sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi yang berjudul Jambi dan Seteru Dua Penjuru: Dualisme Kesultanan di Jambi Tahun 1696-1725.

Penulis sangat menyadari bahwa dalam penulisan ini masih terdapat banyak kekurangan. Karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran agar skripsi ini bisa menjadi lebih baik lagi. Tak lupa kepada semua pihak yang telah ikut berkontribusi dalam pengerjaan skripri ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Akhirnya kepada Allah SWT, penulis memohon ampunan, semoga skripsi ini yang berjudul Jambi dan Seteru Dua Penjuru: Dualisme Kesultanan di Jambi Tahun 1696-1725 dapat memberikan manfaat bagi penulis pribadi dan pembaca.

68

DAFTAR RUJUKAN

Buku

Abdurrahman, Dudung. 2011. Metode Penelitian Sejarah Islam. Yogyakarta: Ombak.

Ali, Zawawi. Sejarah Pemerintahan di Daerah Tingkat I Propinsi Jambi, Koleksi Kantor Arsip Daerah Provinsi Jambi.

Anonim. 2018. Alih Aksara dan Kajian Naskah Silsilah Raja-Raja Jambi, Undang- Undang, Piagam, dan Cerita Rakyat Jambi. Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi Bidang Sejarah dan Purbakala.

-----. 2011. Selayan Pandang Kabupaten Tebo-Bumi Seentak Galah Serengkuh Dayung.

-----. 1985. Jambi Selayang Pandang. Jakarta: Pameran Produksi Indonesia Paviliun Provinsi Jambi.

Andaya, Barbara Waston, 2016. Hidup Bersaudara Sumatra Tenggara pada Abad XVII dan XVIII. Terj. Septian Dhaniar Rahman dan Aditya Pratama. Yogyakarta: Ombak.

B. Lapian, Adrian. 2008. Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17. Jakarta: Komunitas Bambu.

Biegman, G. J. F., 1894. Enambelas Tjeritera Pada Menjatakan Hikajat Tanah Hindia, Batawi: Pertjetakan Goebernemen.

Budiardjo, Miriam. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik - Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Chatib, Adrianus, Subhan, Ali Muzakkir, Risnal Mawardi, Junaidi T. Noor. 2013. Kesultanan Jambi Dalam Konteks Sejarah Nusantara - Edisi Revisi. PUSLITBANG LEKTUR dan KHAZANAH KEAGAMAAN BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA RI, cetakan kedua.

Harun, M. Yahya, 1995. Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI & XVII, Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera.

Iken, D., 1893. Hikajat Kompeni Orang Wolanda di Hindia Timoer ini. Amsterdam: Tjitakan Njonja Djanda J. Tak Dengan Anaknja.

Kementerian Penerangan, 1817, Republik Indonesia Propinsi Sumatera Tengah. Property of The University of Michigan Kibraries, Artes Scientia Veritas.

Khaldun, Ibnu. 2011. Muqaddimah, Terj. Masturi Irham, Malik Supar, dan Abidun Zuhri. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Kuntowijoyo, 2008. Penjelasan Sejarah-Historical Explanation, Yogyjakarta: Tiara Wacana.

-----, 2018. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Lakitan, Benyamin, dkk, 1998. Metodologi Peneitia, Palembang: Universitas Sriwijaya.

Leirissa, R. Z., Anhar Ganggong, dan M. Soenyata K, 1983/1984. Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Jambi. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek-Proyek dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

Lindayanty, Junaidi T. Noor, Ujang Hariadi. 2013. Jambi Dalam Sejarah 1500- 1942, Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.

Locher, Elsbeth dan Scholten. 2008. Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial, hubungan Jambi dan Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda, Terj. Noor Kholis. Jakarta: Banana, KITLV-Jakarta.

Madjid, A. Wahab, Sultan Thaha Saifuddin. Buku Koleksi Arsip Daerah Provinsi Jambi.

Margono, Hartono, dkk, 1984. Sejarah Sosial Jambi-Jambi sebagai Kota Dagang. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

Meng, Usman. 2006. Napak Tilas Provinsi Jambi-Jilid 4. Jambi: Pemerintahan Provinsi Jambi.

Miftakhuddin, 2019. Kolonialisme, Eksploitasi dan Pembangunan Menuju Hegemoni. Jawa Barat: Jejak.

Moleong, Lexy J. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nasruddin, Mukti, 1999. Jambi dalam Sejarah Nusantara 692-1949 M. Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi.

Notosusanto, Nugroho, 1978. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, Jakarta : Yayasan Idayu.

Raco, J. R. 2010. Metode Penelitian Kualitatif, Jenis, Karakteristik, dan Keunggulannya. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Reid, Anthony, 2014. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I: Tanah di Bawah Angin. Terj. Mochtar Pabotinggi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

-----, 2011. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2: Jaringan Perdagangan Global, Terj. R. Z. Leirissa dan P. Soemitro. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

-----, 2011. Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia, Terj. Masri Maris. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonegsia.

Ricklefs, M. C., 2007. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Terj. Satrio Wahono, dkk. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Sari, Ngebi Sutho Dilogo Periai Rajo. 1982. Undang-Undang, Piagam, dan Kisah Negeri Jambi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.

Sarwono, Jonatan, 2006. Metjode Peneliutian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sutopo, 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Suyoto, Sandu dan M. Ali Sodik, 2015. Dasar Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Literasi Media Publishing.

Tasman, Aulia, 2016. Menelusuri Jejak Kerajaan Melayu Jambi dan Perkembangannya. Jakarta: REFERENSI (GP Press Group).

T. Noor, Junaidi, dkk. 2013. Menyibak Sejarah Tanah Pilih Pesako Betuah. Jambi: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jambi.

-----, 2011. Mencari Jejak Sangkala, Mengirik Pernik-Pernik Sejarah Jambi. Jambi: Pusat Kajian Pengembangan Sejarah dan Budaya Jambi.

Tim Penyusunan Buku Pedoman Skripsi, 2021. Pedoman Skripsi Fakultas Adab dan Humaniora, Jambi : UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

Tim Penyusun Monografi Daerah Jambi, 1976, Monografi Daerah Jambi. Jakarta: Proyek Pengembangan media Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R. I.

Tim Pustaka Phoenix, 2010. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Baru. Jakarta: Media Pustaka Phoenix.

Zed, Mestika, 2003. Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Zuhdi, Susanto. 2008. Sejarah Kabupaten Tebo. Pemkab Tebo.

Zainuddin, R., Dkk. 1978-1979. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Naskah dan Arsip

Arsip Kolonial, 2006. Nota Serah Terima Jabatan Residen H. L. C. Petri, Terj. Hertini Adiwoso dan Budi Prihatna. Jambi: Kantor Arsip Daerah Provinsi Jambi.

-----. Kerangka Acuan Penyusuna Sejarah Pembentukan Museum Departemen Dalam Negeri. Badan Pendidikan dan Latihan Depertemenen Dalam Negara.

-----, 2007. Pemberontakan di Jambi, Terj. S. Hertini Adiwoso dan Budi Prihatna. Kantor Arsip Daerah Provinsi Jambi.

Delogo, Ngebih Shutho, Hari Jumat, 7-8, 1414 Hijriah. Naskah “Ini Sejarah Kerajaan Jambi Sejak Tahun 700 Hijriah”.

Naskah koleksi Leiden Library, Salinan naskah “Silsilah (Raja-Raja) Djambi.” Or. 2304 d

-----, 1253 H/1837 M. “Hikayat Negeri Jambi.” Or. 2013, Publish Muara Kumpai.

-----, “Surat-Surat Kerajaan Untuk Penguasa Kerinci”. Cod. Or. 12326-5.

Rajosari, Anakdo Ngebih Sutho Delogo Priyai Jebus, 1317 H. “Naskah Salinan Undang-Undang Piagam Pencacahan Jambi”.

Skripsi

Ilhamzah, 2019. Skripsi: Abdul Wahid dan Perannya Dalam Perang Raja Batu di Jambi Tahun 1916. Jambi: UIN Sulthan Thaha Saifuddin, Adab dan Humaniora, Sejarah Peradaban Islam.

Mirshad, Zaki, 2011. Tesis : Motivasi Konsumsi Islam Versus Sekuler (Studi Komparatif Pemikiran Al-Ghazalidan Abdurrahman Maslow. Surabaya: IAIN Sunan Ampel, Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel.

Jurnal

Abid, M. Husnul. 2010. “Saifuddin atau Safiuddin?: Atau Jambi di Pinggir Sejarah,” Dalam Jurnal Kontekstualita: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan. Vol. 25, No. 2.

Arman, Dedi. Juni 2018. “Perdagangan Lada di Jambi Abad XVI-XVIII,” Dalam Jurnal Handep. Kepulaun Riau, Vol. 1, No. 2.

Nursapla Harahap, 2014. “ Penelitian Kepustakaam“, Iqra’, : Vol. 8, No. 01, Mei: 11-16.

Jayusman, Iyus, 2019. “Peranan Orang Cina dalam Perdagangan di Jawa pada Zaman VOC Abad XVII”, dalam jurnal Bihari: Jurnal Pendidikan Sejaran dan Ilmu Sejarah, Vol. 2, No. 2.

Joko Nurkamto, 2020. Makalah “Kajian Pustaka dalam Penelitian Kualitatif”.

Putra, Benny Agusti. Januari-Juni 2018. “Sejarah Melayu Jambi Dari Abad 7 Sampai Abad 20” Dalam Jurnal Tsaqofah & Tarikh. Jambi: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jambi, Vol. 3 No. 1.

Rahim, Arif. 2015. “Perang Jambi-Johor (1667-1679) sebagai Sejarah Sosial”, dalam Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi. Jambi: Vol. 15, No. 3.

Sunliensyar, Hafiful Hadi. 2019. “Surat-Surat Kerajaan Untuk Penguasa Kerinci: Tinjauan Terhadap Naskah Cod.Or. 12.326 Koleksi Perpustakaan Universitas Leiden”, dalam Jurnal Jumantara, Vol. 10, No. 2.

Tualeka, M. Wahid Nur. Januari 2017. “Teori Konflik Sosiologi Klasik dan Modern”, dalam jurnal Al-Hikmah, Universitas Muhammadiyah Surabaya: Vol. 3, No. 1.

Zuhdi, Susanto. 14-16 November 2006. Laut, Sungai dan Perkembangan Peradaban-Dunia Maritim Asia Tenggara, Indonesia dan Metodologi Strukturis, (Jakarta: Konferensi Nasional Sejarah VIII.

Curriculum Vitae

• NAMA : AL HAFIZ • TTL : MENGUPEH, 08 DESEMBER 1998 • ALAMAT : RT 009, DUSUN REJOSARI, DESA MENGUPEH, KECAMATAN TENGAH ILIR, KABUPATEN TEBO, PROVINSI JAMBI, INDONESIA • NIM : 402170784 • JURUSAN : SEJARAH PERADABAN ISLAM • FAKULTAS : ADAB DAN HUMANIORA • NAMA AYAH : KUSNAN • NAMA IBU : LISMURYATI • EMAIL : [email protected] • NO HANDPHONE : 0853-8172-9650 • JENIS KELAMIN : LAKI-LAKI • AGAMA : ISLAM • STATUS : BELUM MENIKAH • TINGGI : 170 CM • GOLONGAN DARAH : - • KEWARGANEGARAAN : INDONESIA

• 2017-2021 : SEJARAH PERADABAN ISLAM, UIN SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI. • 2013-2016 : MADRASAH ALIYAH PONDOK PESANTREN BAABUSSALAM AL ISLAMI • 2010-2013 : MADRASAH TSANAWIYAH PONDOK PESANTREN BAABUSSALAM • 2004-2010: SDN 146/VIII REJOSARI, KECAMATAN TENGAH ILIR KABUPATEN TEBO

LAMPIRAN Naskah-Naskah Kesultanan Jambi

Cover naskah “Ini Sejarah kerajaan Jambi Sejak Tahun 700 Hijriah”

Bagian isi naskah “Ini Sejarah kerajaan Jambi Sejak Tahun 700 Hijriah”

Halaman depan salinan naskah “Silsilah (Raja-Raja) Jambi”

Bagian isi salinan naskah “Silsilah (Raja-Raja) Djambi”

Cover naskah “Hikayat Negeri Jambi”

Halaman depan naskah “Hikayat Negeri Jambi”

Bagian isi naskah “Hikayat Negeri Jambi”

Potongan surat kerajaan untuk Penguasa Kerinci

Penelitian di Kantor Arsip Daerah Provinsi Jambi

Penelitian di Museum Siginjei Provinsi Jambi