Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303 - 341X

Volume 4, Nomor 1, Januari-April 2016

Studi Evaluasi Program Bus Pemerintah Provinsi

I Gusti Agung Bagus Angga Putra1 Mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Airlangga

Abstract

This study aims to answer the question about the slackness of the Trans Sarbagita Program. This study is a descriptive qualitative evaluation. The type of evaluation that is used in this study is the formative evaluation. The data were taken from the local government institutions which directly involved in the implementation of the Trans Sarbagita. They were, The Regional Development Planning Body of Bali Province, The Department of Transportation, Information and Communication Technology of Bali and Technical Implementation Unit Trans Sarbagita, the last one is the III Commission of the Bali Provincial Parliament. Key informant were choosen purposively. The techniques of collecting data consist of in-depth interviews with open-ended question format, direct observation and the use of written documents. The techniques which are used to check on the validity of the data are triangulation technique. Meanwhile the techniques of analyzing data in this study are data reduction, data presentation and drawing conclusions. The study shows that in general the slackness of Trans Sarbagita program is caused by shortage of funds for capital expenditure and investments of the opening of a new corridor and the behavior and the culture of Balinese people who are not accustomed to travel by public transportation. Moreover, the Balinese government haven’t put Trans Sarbagita as a priority yet, the mismatch of the type of bus with the conditions of the route, and the lack of support in form of regulation that is capable of providing privileges and advantages for Trans Sarbagita create a cycle process that cause slackness of this first integrated program of public transport in the Bali Province.

Keywords: Slackness of Program Development, Public Transportation, Trans Sarbagita Bali.

Latar Belakang Masalah menggunakan fasilitas transportasi massal atau umum, Transportasi berperan besar dalam kemajuan pelayanan transportasi umum yang rendah dan belum suatu bangsa, daya saing sebuah bangsa amat terintegrasinya Sistem Pelayanan Transportasi (SPT) di ditentukan oleh bagaimana bangsa tersebut mengelola beberapa daerah di menyebabkan masyarakat sistem transportasinya (Schumer, 1968 dalam enggan untuk menjadikan pelayanan transportasi yang Adisasmita, 2011c:19 dan Adisasmita 2014:1). Hal dikelola pemerintah sebagai pilihan utama untuk tersebut disebabkan karena transportasi memegang bepergian. Alhasil kini kemacetan di jalan raya dengan peranan penting dalam dua hal yaitu pembangunan mudah dapat kita temui di banyak kota-kota besar di ekonomis dan pembangunan non ekonomis. Pada Indonesia. akhirnya, Keberhasilan pembangunan sangat Kemacetan yang kerap terjadi di kota-kota dipengaruhi oleh peran transportasi sebagai urat nadi besar di Indonesia berakibat pada lumpuhnya berbagai kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, dan aktivitas warga termasuk pada kegiatan produksi. pertahanan keamanan (Munawar, 2007: 2). Kegiatan produksi di pelbagai sektor (pertanian, Peran transportasi begitu strategis dalam konstruksi, industri, perdagangan, pendidikan, mendistribusikan hasil-hasil pembangunan dan kesehatan, pariwisata dan lain sebagainya) persebaran penduduk (Salim, 2006: 12) terlebih pada membutuhkan tersedianya jasa transportasi yang bebas negara kepulauan seperti Indonesia. Tiadanya sistem hambatan (Adisasmita, 2011c: 19). Sehingga apabila transportasi publik yang dapat diandalkan (reliable) kemacetan di pusat-pusat ekonomi dan pemerintahan akan mengakibatkan pembangunan mengalami sering kali terjadi, tentu akan berdampak pada aglomerasi sehingga pemerataan pembangunan tidak timbulnya kerugian dari kemacetan tersebut karena akan bisa diwujudkan. Sayangnya, saat ini sistem aktivitas produksi menjadi terhambat oleh kemacetan. transportasi publik di Indonesia belum mampu Sebagaimana dialami oleh beberapa kota menjawab pelbagai kebutuhan dari masyarakat. Selama besar di Indonesia, Bali pun tidak luput dari persoalan ini jamak diketahui sistem transportasi publik di kemacetan. Aglomerasi kawasan yang teramat pesat Indonesia kurang diminati oleh masyarakat (Kompas, khususnya di Bali Selatan telah menjadikan kawasan 30 Januari 2015). Hal ini diakibatkan oleh beberapa tersebut amat padat, sehingga kemacetan pun tidak faktor, yakni, dari semakin mudahnya sistem kredit dapat dihindarkan (Kompas, 6 Maret 2012). Hal ini kendaraan bermotor sehingga menyebabkan menjadi ancaman tersendiri mengingat keamanan dan masyarakat tidak kesulitan untuk memiliki kendaraan bebas dari kemacetan merupakan salah satu syarat pribadi, tidak adanya jaminan keamanan selama untuk mewujudkan destinasi pariwisata yang ideal.

1 1. Korespondensi I Gusti Agung Bagus Angga Putra, Mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Airlangga, Jl Airlangga 4-6 Surabaya Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303 - 341X

Volume 4, Nomor 1, Januari-April 2016

Pemerintah Provinsi Bali pun tidak tinggal pelayanan transportasi publik yang terintegrasi serta diam dan berupaya mengatasi kemacetan di Bali reliable. Akibat kurang responsifnya pengembangan Selatan dengan beberapa langkah seperti pembangunan dan penyempurnaan program yang tercermin dari ruas jalan baru (underpass Simpang Dewa Ruci dan lambannya pembukaan koridor lainnya menyebabkan Jalan Tol Bali Mandara) serta mewujudkan program hingga kini Bus Trans Sarbagita belum juga menjadi transportasi publik massal berbasis bus (Trans transportasi publik pilihan utama masyarakat Bali Sarbagita) guna menekan pertumbuhan kepemilikan Selatan. kendaraan pribadi. Adapun penelitian terdahulu yang juga Program Bus Trans Sarbagita menjadi salah satu mengkaji tentang program transportasi publik program yang diharapkan mampu menggiring dilakukan oleh Setyawati (2012). Dalam penelitiannya masyarakat beralih menggunakan transportasi publik, tersebut Setyawati mengevaluasi program Bus Trans program ini hadir selain untuk menjawab persoalan dalam kaitannya dengan upaya perbaikan kemacetan di Bali Selatan juga sebagai respon transportasi publik di Jakarta. Penelitian Setyawati pemerintah Provinsi Bali terhadap minimnya jumlah tersebut bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas dari transportasi publik di Bali. Akan tetapi sejak awal program Bus Trans Jakarta. Adapun hasil beroperasi, program ini sepertinya kurang mendapat penelitiannya adalah program transportasi publik sambutan yang baik dari masyarakat di dan Trans Jakarta tidak efektif karena dari data yang telah sekitarnya (Metro Bali, 10 April 2013). Hingga dianalisis diperoleh informasi bahwa program Trans menjelang 3 tahun pengoperasiannya, tingkat keterisian Jakarta kekurangan armada bus sehingga terjadi penumpang bus Trans Sarbagita utamanya pada overload penumpang. Selain itu, kendati telah koridor II masih antara 30-40 persen setiap hari disediakan lajur khusus untuk Bus Trans Jakarta, (Tribunnews.com, 30 Juni 2014). Minat masyarakat namun lajur tersebut kerap tidak steril sehingga untuk memanfaatkan angkutan ini jauh dari harapan, menghambat laju bus. Kendala lainnya adalah kendati tarif bus itu tergolong cukup murah kurangnya Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas Disamping permasalahan pelayanan seperti (SPBBG) untuk pengisian bahan bakar bus. sering tidak tepat waktu dalam mengangkut Sementara itu penelitian lainnya dilakukan penumpang, proyek besar program Bus Trans oleh Putera (2012). Dalam penelitiannya, Putera Sarbagita ini masih menyisakan beberapa pekerjaan mengevaluasi implementasi kebijakan Trans Pakuan di rumah yang belum dapat diselesaikan hingga kini. Kota Bogor dengan menggunakan pendekatan atau Salah satunya adalah lambannya pembukaan koridor teori William N. Dunn. Putera menggunakan sesuai target. Program Bus Trans Sarbagita menurut implementasi sebagai dimensi dan menggunakan 6 rencana akan mengoperasikan 17 (tujuh belas) koridor. (enam) kriteria yang diungkapkan oleh Dunn, yakni Perencanaan pengoperasian ketujuh belas koridor efektivitas, efisiensi, kecukupan, keadilan, tersebut adalah sebagai berikut. responsivitas dan ketepatan sebagai indikator dari implementasi kebijakan yang akan dievaluasi. Tabel 1.1 Rencana Pengoperasian Koridor Bus Hasil penelitian Putera (2012) adalah Trans Sarbagita beserta Tahun kebijakan Trans Pakuan Bogor masih belum berjalan secara optimal. Hal ini dikarenakan tidak fokusnya pengelolaan Trans Pakuan yang tercermin dengan adanya divisi-divisi usaha selain Trans Pakuan yang dikelola oleh Perusahaan Daerah (PD) Jasa Transportasi. Selain itu, tidak optimalnya kebijakan ini disebabkan ketidakmampuan PD Jasa Transportasi dalam mengoptimalisasikan pelayanan Trans Pakuan dan mengembangkan sumber pendapatan diluar penerimaan tiket. Penyebab selanjutnya menurut Putera (2012) adalah trayek Trans Pakuan masih beririsan dengan trayek angkutan kota. Hal ini menjadikan Trans Pakuan menjadi pilihan transportasi kedua oleh masyarakat.

Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang berfokus pada evaluasi terhadap efektivitas serta Sumber: SK Gubernur Bali Nomor 1186/03-F/HK/2010 implementasi program pelayanan jasa transportasi Tanggal 11 November 2010. publik oleh pemerintah, dalam penelitian ini peneliti Dari kondisi inilah peneliti tertarik untuk lebih berfokus pada upaya menggali informasi meneliti program Bus Trans Sarbagita. Penelitian yang mengenai lambannya pengembangan serta bertujuan mengetahui secara mendalam mengapa penyempurnaan program Bus Trans Sarbagita. program Bus Trans Sarbagita hingga hampir 5 (lima) Penelitian yang bertujuan untuk mengevaluasi tahun masa operasionalnya terkesan sangat lamban sekaligus mencari tahu penyebab kelambanan dalam merespon tuntutan masyarakat akan tersedianya pemerintah daerah dalam mengembangkan serta

2 Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303 - 341X

Volume 4, Nomor 1, Januari-April 2016 menyempurnakan program transportasi publik masih bertujuan untuk menjelaskan mengapa hal tersebut belum begitu banyak dilakukan. Penelitian-penelitian terjadi (atau tidak terjadi), dan apa saja implikasi terdahulu banyak meneliti mengenai evaluasi program kebijakan yang mungkin muncul (Blomquist, 2006). yang diukur dari efektivitas atau tujuan program Lebih lanjut Wibawa, Purbokusumo dan Pramusinto transportasi tersebut serta evaluasi implementasi dan (1994) menjelaskan secara lebih mendalam fungsi kinerja program transportasi publik. Akan tetapi isu-isu evaluasi kebijakan publik diantaranya adalah untuk seperti program yang dijalankan setengah hati, eksplanasi, kepatuhan, audit, dan akunting. anggaran yang terbatas, lemahnya political will dari pemerintah serta perencanaan program yang kurang Evaluasi Formatif matang, masih menyisakan pertanyaan. Patton (2002: 218; 2009: 40) menjelaskan evaluasi fomatif dilaksanakan dalam rangka Rumusan Masalah meningkatkan program. Lebih lanjut menurut Patton, Rumusan masalah penelitian ini mengenai mengapa evaluasi formatif sering termasuk strategi proses Program Transportasi Bus Trans Sarbagita Pemerintah evaluasi. Evaluasi formatif sering mengandalkan, Provinsi Bali lamban berkembang semenjak bahkan terutama, pada metode kualitatif (Patton, 2002: diluncurkan? 220) temuan yang konteks dan yang spesifik. Menurut Patton (2002: 220) kebanyakan Tujuan Penelitian analisis evaluasi formatif dilakukan dengan sangat Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi bergantung pada proses (process studies) dan program Bus Trans Sarbagita sehingga dapat implementasi (implementation evaluation). Oleh sebab ditemukan penjelasan atas kelambanan perkembangan itu, menurut Patton, evaluasi formatif sangat dan penyempurnaan program Bus Trans Sarbagita. Di mengandalkan, bahkan mengutamakan metode samping itu, penelitian ini juga bertujuan untuk kualitatif dan temuan penelitian yang spesifik. memperbaiki kinerja program melalui saran dan rekomendasi dari hasil penelitian ini. Kebijakan Transportasi Daerah Manfaat Penelitian Menurut Timney (2007: 357) pemerintah Hasil kajian dari peneliti ini diharapkan dapat daerah lebih memiliki kemampuan dan keahlian dalam mengisi kekosongan dan menjawab keraguan menemukan kebutuhan yang lebih spesifik untuk akademik (theoretical problem) mengenai kebijakan memecahkan permasalahan transportasi pada tingkat penyediaan pelayanan transportasi oleh pemerintah pemerintah daerah, kebijakan transportasi menurut daerah. Selain itu diharapkan pula dapat menjadi bahan Timney, sangat tepat dan strategis jika dibangun pada rujukan untuk penelitian selanjutnya sekaligus tataran lokal. pendorong pengembangan studi kebijakan pelayanan Secara umum transportasi publik yang ada di transportasi oleh pemerintah daerah pada bidang Ilmu daerah perkotaan adalah ojek, taksi, angkutan kota dan angkutan massal (bus, kereta api maupun waterways). Administrasi Negara kedepannya. Sementara manfaat praktis penelitian ini Atas dasar inilah maka kebijakan-kebijakan yang mampu memberikan informasi mengenai alasan-alasan disusun oleh pemerintah kota seharusnya yang menjadi penyebab program Bus Trans Sarbagita memperhatikan semua moda transportasi publik yang ada dan mungkin dimanfaatkan oleh masyarakat kota mengalami stagnansi dalam pelaksanaannya bahkan (Sulistio dan Kagungan, 2012: 179). cenderung mengalami kemunduran sehingga menuai banyak keluhan dan kritik atas pelaksanaan program ini. Informasi yang dihasilkan dari penelitian ini dapat Faktor Kendala Penyebab Kelambanan menjadi bahan masukan, pertimbangan, saran ataupun Perkembangan Program Transportasi Publik rekomendasi kepada pengelola program Trans Muhadjir Darwin (1995) memaparkan Sarbagita. beberapa penyebab sebuah kebijakan kurang bisa dirasakan manfaatnya bagi kalangan luas dikarenakan Tinjauan Teori beberapa faktor diantaranya adalah kepentingan, asas manfaat, budaya, anggaran, dan aparat pelaksana. Evaluasi Kebijakan Publik Menurut Bennet (2003: 7), terdapat 2 (dua) Menurut Eko Prasojo dan Teguh Kurniawan (2008: 13- alasan utama diadakannya evaluasi. Pertama, evaluasi 14) pelaksanaan sebuah program pemerintah pada dilakukan dengan alasan untuk memutuskan awalnya akan menjadi sebuah cost center, karena keefektifan dari sebuah program baru yang telah sebuah program pastinya akan membutuhkan anggaran diimplementasikan sebelumnya. Sedangkan alasan yang relatif besar dan mencukupi guna implementasi kedua adalah untuk mengumpulkan informasi untuk program tersebut. Hal tersebut senada dengan apa yang meningkatkan program sejak pertama kali dicetuskan. dipaparkan oleh Anggarini dan Puranto (2010: 96) Di lain pihak, Winarno (2011:228) memaparkan bahwa bahwa anggaran merupakan kontrol unit utama dalam evaluasi kebijakan dilakukan karena tidak semua melaksanakan suatu kebijakan atau program yang telah kebijakan publik dapat meraih hasil yang diinginkan. ditetapkan, suatu program akan sulit diwujudkan pelaksanaannya tanpa didukung oleh ketersediaan Evaluasi yang baik tidak hanya terdiri dari anggaran. Untuk itu lebih lanjut Prasojo mengatakan analisa kuantitatif dari dampak program, tapi juga

3 Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303 - 341X

Volume 4, Nomor 1, Januari-April 2016 diperlukan efisiensi terhadap semua sektor guna mereka anggap terlalu rendah, dibandingkan dengan memenuhi kebutuhan pembiayaan ini. kendaraan pribadi yang begitu nyaman dengan Secara umum, kota-kota di seluruh dunia pelayanan dari pintu ke pintu (Munawar, 2007). menghadapi ketimpangan besar antara kebutuhan Lebih lanjut dijelaskan oleh Goodwin (2003: penduduk setempat akan sistem transportasi kota yang 57) bahwa harga bahan bakar kendaraan juga efisien, adil dan ramah lingkungan, dengan sumber menentukan kecenderungan masyarakat dalam keuangan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan bertransportasi. Apabila harga bahan bakar mengalami ini. Seringkali, infrastruktur untuk transportasi publik kenaikan menurut Goodwin maka akan menggiring tidak dapat dibiayai (Sakamoto & Belka, 2011:1). masyarakat untuk tidak bepergian dengan kendaraan Menurut Sakamoto dan Belka (2011: 11) pembiayaan pribadi sehingga tingkat kemacetan di jalan raya akan proyek infratruktur transportasi sering menjadi tidak bisa ditekan. berkelanjutan secara finansial ketika kekurangan Terkait dengan maraknya penggunaan pendapatan dikombinasikan dengan pengeluaran yang kendaraan pribadi, Yusuf (2012: 94) menjelaskan berlebihan. Hal tersebut menyebabkan layanan bahwa kepemilikan masyarakat atas alat transportasi transportasi publik sering menjadi tidak berkelanjutan pribadi juga merupakan simbol dari kesejahteraan secara finansial dalam masyarakat perkotaan. Menurut Yusuf, semakin banyak sebuah rumah tangga memiliki kendaraan Sinkronisasi Potensi Trayek dengan Kapasitas Bus pribadi, semakin baru kendaraan dan semakin maju Sinkronisasi berarti jumlah dari kapasitas muat sarana teknologi yang digunakan dan semakin mahal harga transportasi yang disediakan harus disesuaikan dengan belinya, maka simbol tersebut dianggap sebagai simbol permintaan atau kebutuhan jasa transportasi, jangan kekayaan, kepemilikan, dan kesejahteraan (Yusuf, sampai berlebih atau kekurangan (Adisasmita, 2012: 2012: 94). 52). Fasilitas transportasi harus disediakan secara tepat Lebih lanjut Yusuf (2012: 94) mengatakan, jumlahnya, tepat kapasitasnya dan tepat pada trayek kepemilikan atas alat transportasi pribadi dinilai atau rute yang telah ditetapkan serta tepat waktu sebagai prestise sosial, simbol kedudukan dalam (Adisasmita, 2012:52, Kanafami, 1990: 56). masyarakat. Kondisi tersebut diperparah lagi dengan Tersinkronisasi berarti pula untuk pelayanan trayek minimnya sarana dan prasarana yang disediakan yang memiliki volume lalu lintas yang besar (trayek pemerintah sebagai insentif atas minimalisasi gemuk), maka penempatan sarana transportasi besar penggunaan kendaraan pribadi (Yusuf, 2003: 94). adalah merupakan langkah yang tepat. Sebaliknya untuk trayek kurus, agar ditempatkan sarana Keberpihakan Pemerintah transportasi berukuran kecil, agar supaya pelayanan Menurut pakar transportasi dari Universitas transportasi menjadi serasi atau tersinkronisasi Gadjah Mada, Danang Parikesit, sebagaimana dikutip (Adisasmita, 2012:52). oleh Antara, berpendapat bahwa pemerintah perlu memprioritaskan upaya modernisasi di sektor angkutan Perilaku dan Budaya Masyarakat perkotaan untuk menghambat potensi lonjakan Goodwin (2003: 49-73) memaparkan bahwa pengguna kendaraan pribadi. kesuksesan sebuah proyek transportasi massal sangat Kebutuhan akan transportasi publik yang bergantung dari bagaimana travelers (masyarakat yang aman, cepat, nyaman dan murah adalah kebutuhan bepergian) menyikapi kebijakan tersebut. Dijelaskan bersama. Seiring dengan pertumbuhan jumlah oleh Goodwin bahwa kecenderungan perilaku penduduk dan adanya pertumbuhan ekonomi, bepergian oleh masyarakat atau wisatawan teramat kebutuhan akan transportasi akan semakin bertambah. begitu kuat, dan kebiasaan mereka dalam bepergian Salah satu opsi untuk mengatasi untuk mengatasi telah mengakar, sekalipun kebebasan dibatasi begitu masalah transportasi publik, moda transportasi umum ketat, sehingga masyarakat sangat resisten terhadap harus menjadi prioritas utama pilihan kebijakan perubahan. Hal tersebut mengindikasikan kebiasaan transportasi (Yusuf, 2012: 97). masyarakat dalam bertransportasi tidak dapat diubah secara signifikan oleh inisiatif kebijakan transportasi Ketergantungan terhadap Bantuan Pemerintah yang layak dari pemerintah (Goodwin, 2003: 49). Pusat Adapun kaitannya dengan pendapat tersebut Susiyati (1987: 92) mengungkapkan beberapa terhadap kondisi masyarakat di Bali Selatan adalah permasalahan yang dihadapi pemerintah daerah selama masyarakat di Bali Selatan sudah sangat terbiasa ini adalah ketergantungan pemerintah daerah terhadap bepergian ke mana pun dengan menggunakan bantuan dari pemerintah pusat yang tercermin dari kendaraan pribadi, sehingga pemerintah mengalami besarnya bantuan pusat baik dari sudut anggaran rutin kesulitan untuk membatasi penggunaan kendaraan yaitu melalui subsidi daerah otonom maupun dari sudut pribadi. Kecenderungan yang terjadi adalah pemakai anggaran pembangunan pemerintah daerah. Lebih jasa angkutan umum masih terbatas pada kalangan lanjut menurut Susiyati, kekurangan lainnya adalah bawah dan sebagian kalangan menengah. Orang-orang masih rendahnya usaha dan kemampuan pemerintah berdasi masih enggan memakai angkutan umum, daerah untuk membiayai banyaknya program mereka karena comfortability angkutan umum yang masih dari upaya mengelola dan menggali sumber pendapatan

4 Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303 - 341X

Volume 4, Nomor 1, Januari-April 2016

yang mereka miliki. berbeda dengan memeriksa bukti-bukti yang beragam, Hal senada turut diungkapkan oleh Kuncoro dan menggunakannya untuk membangun justifikasi (2004) yang mengatakan bahwa permasalahan yang tema-tema secara koheren. Tema-tema yang dibangun sering terjadi terkait dengan diberlakukannya otonomi berdasarkan sejumlah sumber data atau perspektif dari daerah dan desentralisasi adalah bagaimana daerah para partisipan yang menambah validitas penelitian dapat mengatasi ketergantungan terhadap pemerintah (Creswell, J.W., 2015: 286-287). pusat dalam hak ketergantungan fiskal untuk kebutuhan segala kegiatan pembangunan daerah. Hasil dan Pembahasan Latar belakang atau alasan yang mendasari Metode Penelitian kemunculan program transportasi publik terintegrasi Berdasarkan pada rumusan masalah dan pertama di Bali ini adalah adanya permasalahan analisis data yang digunakan, penelitian evaluasi ini kemacetan yang semakin parah di Bali Selatan menggunakan epistemologi post-positivistic atau (kawasan Sarbagita) utamanya di Kota Denpasar dan postempiricist sehingga metodologinya adalah Kabupaten Badung. Upaya mengatasi persoalan kualitatif atau lebih tepatnya naturalistic inquiry. kemacetan ditempuh pemerintah dengan pelbagai Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian upaya seperti membangun jalan tol di atas laut, evaluasi (evaluation research). Patton (2009: 30-31) membangun underpass di kawasan Simpang Dewa mengungkapkan bahwa penelitian evaluasi Ruci serta meluncurkan program transportasi Bus dimaksudkan untuk menguraikan dan memahami Trans Sarbagita. dinamika internal berjalannya suatu program yang Langkah-langkah yang ditempuh Pemerintah bertujuan untuk membangkitkan informasi yang Provinsi Bali untuk mengatasi kemacetan dengan berguna untuk suatu tindakan. membangun ruas jalan tol, underpass, dan Sebagaimana maksud dari tujuan penelitian ini yang mengembangkan layanan transportasi umum berkaitan telah dipaparkan sebelumnya, maka jenis evaluasi dengan pendapat Farkas (2007: 212), Sakamoto (2011: yang digunakan adalah evaluasi formatif. Evaluasi 13) dan (Wiyono, 2012: 2) yang menyebutkan formatif digunakan karena peneliti bermaksud untuk penataan serta pengoperasian moda angkutan umum melakukan evaluasi terhadap proses atau dalam hal ini akan mampu mengatasi persoalan kemacetan, namun adalah pelaksanaan program transportasi publik Bus tidak demikian halnya dengan pembangunan jalan Trans Sarbagita sehingga dapat diperoleh penjelasan baru, Farkas dan Sakamoto menjelaskan bahwa atas kurang berkembangnya pelaksanaan program ini. menambah ruas jalan atau menambah konstruksi jalan tidak akan serta merta membebaskan kawasan Pengumpulan Data metropolitan dari kemacetan parah. Pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi:

1. Observasi, 2. Wawancara kualitatif kepada : Kepala Badan Penyebab Kelambanan Program Bus Trans Sarbagita Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Bali sekaligus anggota Tim Anggaran Pemerintah Daerah Setelah mendapat restu dari pelbagai pihak, (TAPD) Provinsi Bali, I Putu Astawa; anggota Tim akhirnya pada tanggal 11 Agustus 2011 program Bus Anggaran Pemerintah Daerah Provinsi Bali, Ketut Trans Sarbagita resmi diluncurkan pemerintah Provinsi Adhiarsa; Kepala Sub Bidang Prasarana Bali. Kendati seharusnya program diluncurkan pada Perhubungan Bappeda Provinsi Bali, Ekapria awal-awal tahun namun terpaksa tertunda akibat terlambatnya kedatangan bus bantuan dari Dharana; Kepala Sub Bidang Keuangan dan Kementerian Perhubungan Penyusunan Program Dinas Perhubungan Informasi dan Komunikasi Pemprov Bali, Sri Rukmini; kepala Namun seiring berjalannya waktu, tidak ada bidang perhubungan darat Dinas Perhubungan penambahan jumlah koridor lagi sampai pada Informasi dan Komunikasi Pemprov Bali, Standly pertengahan tahun 2015, secara gamblang dapat J.E; Kepala UPT Trans Sarbagita, Gede Gunawan; dikatakan jika program Bus Trans Sarbagita lamban Kepala Seksi Teknik UPT Trans Sarbagita, Nyoman berkembang mengingat sampai pada tahun 2019 nanti, Trisnawati; Bapak Ida Bagus Gede Udiyana selaku atau sisa 4 tahun lagi dari tahun 2015, jumlah koridor wakil ketua Komisi III DPRD Provinsi Bali; Bapak yang ditargetkan dapat tercapai sebanyak 17 koridor Ady Sucipto, selaku wartawan Harian Tribun Bali; pada tahun 2019 belum juga menunjukkan tanda-tanda Bapak Pande Dharma Putra, selaku Pramujasa Bus bakal diwujudkan. Selama hampir 5 tahun pasca Trans Sarbagita Koridor I. diluncurkan, program Bus Trans Sarbagita hanya mampu melaksanakan pelayanan pada Koridor I dan 3. Dokumentasi penelitian berupa data yang diperoleh Koridor II. dari lapangan, dokumentasi bersumber media cetak dan elektronik. Beberapa penyebab kelambanan perkembangan program telah peneliti identifikasi dari Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data temuan data di lapangan. Secara garis besar, Penelitian ini, peneliti menggunakan metode lambannya perkembangan program Bus Trans triangulasi data, yakni memeriksa sumber-sumber yang Sarbagita disebabkan oleh 3 (tiga) hal utama, yakni belum diprioritaskannya program, keterbatasan

5 Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303 - 341X

Volume 4, Nomor 1, Januari-April 2016 anggara, serta perilaku dan budaya masyarakat. Selain Sumber: Laporan Tahunan Pelayanan Angkutan Umum Trans 3 faktor tersebut, beberapa faktor penghambat lainnya Sarbagita 2014, LKPJ Dinas Perhubungan Informasi dan Komunikasi Provinsi Bali tahun 2011-2014, Diolah. seperti komunikasi dan koordinasi antar instansi yang tidak berjalan baik, kelangkaan suku cadang bus, masih Kondisi yang terjadi ini berlawanan dengan mudahnya akses masyarakat untuk memiliki kendaraan apa yang diungkapkan oleh Yusuf (2012: 98) bahwa pribadi, prasarana yang belum memadai, serta subsidi pemerintah terhadap alat transportasi publik ketergantungan yang teramat besar terhadap bantuan harus mengalami penurunan seiring berjalannya waktu. pemerintah pusat turut berperan dalam kelambanan Lebih lanjut, keterbatasan dana ini menurut World perkembangan program. Hal ini sejalan dengan Bank (1996) akan menyebabkan permasalahan pendapat Susantono, Santosa dan Budiyono (2011: berikutnya, yang meliputi pemeliharaan prasarana 155) yang mengatakan bahwa permasalahan program yang kurang memadai, penyediaan layanan yang tidak transportasi di suatu kota tidak terlepas dari efisien, dan respon terhadap peningkatan permintaan permasalahan sosial politik dan budaya yang sangat transportasi tidak dilakukan dengan baik. kompleks dan terkait satu-sama lain. . Sementara itu, program Bali Mandara unggulan lainnya seperti Bedah Rumah, Gerbangsadu, Simantri, Bagan 3.1 Ilustrasi Jalinan Keterkaitan Faktor- dan JKBM perlu mendapat perhatian dari pemerintah Faktor Penyebab Kelambanan Program Bus Trans pula dan anggaran yang dibutuhkan untuk program- Sarbagita program tersebut juga termasuk besar. Oleh sebab itu, program Bus Trans Sarbagita terpaksa harus “menepi” terlebih dahulu demi keberlangsungan program-program lainnya. Untuk sementara ini, program Bus Trans Sarbagita berjalan hanya di dua koridor. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Meakin (2011: 25) dan Sakamoto (2011: 76) yang mengatakan bahwa pemerintah di kota negara berkembang sering kekurangan dana untuk mensubidi pengembangan transportasi publik karena adanya prioritas lain.

Indikasi keterbatasan anggaran untuk program Bus Trans Sarbagita karena banyaknya program unggulan lain yang harus dibiayai dari APBD semakin menguat ketika pengoperasian bus untuk Koridor III yang rencananya dimulai setelah pertengahan tahun 2015 ini Kelambanan perkembangan program Bus Trans akan diserahkan kepada Perum Damri untuk pengadaan Sarbagita tidak bisa dilepaskan dari kondisi bus serta biaya operasional pada Koridor III. keterbatasan anggaran untuk pengembangan program Sementara tugas UPT Trans Sarbagita adalah sebagai pengawas Perum Damri agar mampu menjalankan dari Pemerintah Provinsi Bali. Karena subsidi yang pelayanan sesuai dengan SPM yang telah dirancang digelontorkan Pemerintah Provinsi Bali terhadap dan ditentukan oleh UPT. program Bus Trans Sarbagita senantiasa mengalami peningkatan maka praktis program ini memerlukan Grafik 3.7 Besaran Pos Anggaran untuk Program biaya yang tidak sedikit, bahkan untuk menjalankan Bali Mandara Tahun 2013 layanan di dua koridor yang saat ini tersedia pun pemerintah Provinsi Bali telah menghabiskan dana tidak kurang dari Rp. 21 Milyar setiap tahunnya agar pelayanan di dua koridor saat ini bisa terus berjalan.

Grafik 3.5 Besaran Subsidi yang Digelontorkan Pemprov Bali untuk Menutupi Defisit Biaya Operasional Program Bus Trans Sarbagita Tahun 2011-2014

Sumber: LKPJ Gubernur Bali 2012-2013, Lakip Provinsi Bali tahun 2013, Diolah.

Sementara itu, prioritas atau keberpihakan pemerintah Provinsi Bali terhadap Trans Sarbagita

melalui peraturan yang berupaya memberikan peluang 6 Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303 - 341X

Volume 4, Nomor 1, Januari-April 2016 lebih besar bagi Trans Sarbagita untuk berkembang peningkatan kendaraan pribadi di jalan raya dan belum peneliti temukan selama proses pengumpulan rendahnya tingkat keterisian penumpang Trans data. Keberadaan sebuah Perda yang memberikan Sarbagita. Pertimbangan lain terkait minimnya jumlah keistimewaan sekaligus keunggulan bagi Trans angkutan publik di Bali serta belum rampungnya Sarbagita adalah sebuah hal yang penting. proyek Trans Sarbagita yang direncanakan terwujud 17 Dengan tiadanya Perda tersebut, maka Trans koridor untuk melayani mobilitas masyarakat di Sarbagita tidak akan bisa memiliki kelebihan-kelebihan kawasan Sarbagita juga harus dipertimbangkan sebgai yang dapat diperbandingkan dengan kendaraan pribadi. penyebab peningkatan jumlah kendaran pribadi di jalan World Bank (2014) menjelaskan bahwa keberadaan raya, karena dengan koridor saat ini yang terbatas sebuah Perda terhadap pelaksanan program turut jumlahnya belum mampu memenuhi permintaan akan merefleksikan seberapa jauh komitmen pemerintah transportasi di koridor lain yang belum terwujud, terhadap program tersebut. Selain itu, Gwilliam (2003: sehingga masih ada masyarakat yang sesungguhnya 19) dan Farkas (2007: 210) turut berpendapat bahwa berminat menggunakan Trans Sarbagita untuk dalam upaya untuk reformasi angkutan bus di negara bepergian akhirnya terpaksa menggunakan kendaraan berkembang, komitmen politik (political will) dan pribadi karena layanan Trans Sarbagita masih terbatas instrumen kerangka hukum yang kuat sangat penting pada 2 koridor saja. untuk diperhatikan.. Penyebab belum berkembangnya Trans Terkait dengan maraknya penggunaan Sarbagita berikutnya adalah perilaku dan budaya kendaraan pribadi, Yusuf (2012: 94) menjelaskan masyarakat terhadap program transportasi publik, hal bahwa kepemilikan masyarakat atas alat transportasi ini diungkapkan oleh Professor Phil Goodwin (2003: pribadi juga merupakan simbol dari kesejahteraan 49-73), beliau menjelaskan bahwa kesuksesan sebuah dalam masyarakat perkotaan. Menurut Yusuf, semakin proyek transportasi massal sangat bergantung dari banyak sebuah rumah tangga memiliki kendaraan bagaimana travelers (masyarakat yang bepergian) pribadi, semakin baru kendaraan dan semakin maju menyikapi kebijakan tersebut. Dijelaskan oleh teknologi yang digunakan dan semakin mahal harga Goodwin bahwa kecenderungan perilaku bepergian belinya, maka simbol tersebut dianggap sebagai simbol oleh masyarakat atau wisatawan teramat begitu kuat, kekayaan, kepemilikan, dan kesejahteraan (Yusuf, dan kebiasaan mereka dalam bepergian telah 2012: 94). Lebih lanjut Yusuf mengatakan, mengakar, sekalipun kebebasan dibatasi begitu ketat, kepemilikan atas alat transportasi pribadi dinilai sehingga masyarakat sangat resisten terhadap sebagai prestise sosial, simbol kedudukan dalam perubahan. masyarakat. Kondisi tersebut diperparah lagi dengan Hal tersebut mengindikasikan kebiasaan masyarakat minimnya sarana dan prasarana yang disediakan dalam bertransportasi tidak dapat diubah secara pemerintah sebagai insentif atas minimalisasi signifikan oleh inisiatif kebijakan transportasi yang penggunaan kendaraan pribadi (Yusuf, 2003: 94). layak dari pemerintah. Adapun kaitannya dengan pendapat tersebut terhadap kondisi masyarakat di Bali Kesimpulan Selatan adalah masyarakat di Bali Selatan sudah sangat Penyebab kelambanan perkembangan program Bus terbiasa bepergian ke mana pun dengan menggunakan Trans Sarbagita terdiri dari beberapa faktor yang kendaraan pribadi, sehingga pemerintah mengalami menyebabkan program menjadi kurang responsif kesulitan untuk membatasi penggunaan kendaraan terhadap tuntutan masyarakat. Secara garis besar, pribadi. Kecenderungan yang terjadi adalah pemakai penyebab kelambanan program Bus Trans Sarbagita jasa angkutan umum masih terbatas pada kalangan adalah berpangkal dari ketiadaan dana untuk belanja bawah dan sebagian kalangan menengah. Orang-orang modal serta investasi pembukaan koridor baru secara berdasi masih enggan memakai angkutan umum, mandiri. Alokasi anggaran program Trans Sarbagita karena comfortability angkutan umum yang masih yang selama ini dikucurkan hanya difokuskan untuk mereka anggap terlalu rendah, dibandingkan dengan biaya operasional program, dan tidak untuk pembukaan kendaraan pribadi yang begitu nyaman dengan koridor baru. Selain itu, selama ini skema pembukaan pelayanan dari pintu ke pintu (Munawar, 2007). koridor baru selalu bergantung terhadap bantuan bus Sehingga bisa dipahami bahwa kemacetan di kawasan dari pemerintah pusat. Sehingga kejelasan waktu perkotaan muncul dipengaruhi oleh gaya hidup warga pembukaan koridor baru menjadi tidak pasti, kota sendiri (Aminah, 2009). mengingat pemerintah pusat juga tidak hanya Selain hal tersebut, rendahnya antusiasme membantu Provinsi Bali dalam hal pengadaan bus, ada masyarakat Bali terhadap program transportasi publik banyak daerah provinsi di Indonesia yang harus diberi juga disebabkan faktor prestise dan gengsi ketika bantuan dan diperhatikan oleh pemerintah pusat seperti menggunakan angkutan umum ketika bepergian. Trans Pekanbaru di Riau, Trans Musi di Palembang Mudah dipahami jika masyarakat yang menumpang dan Trans Kawanua di Manado. kendaraan umum biasanya merasa rendah diri. Terlebih Lambannya perkembangan program Bus orangorang disekitarnya terbiasa ke mana-mana Trans Sarbagita juga tidak bisa dilepaskan dari dengan kendaraan pribadi. Meskipun, masyarakat juga pengaruh perilaku dan budaya masyarakat Bali yang tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas fenomena sudah terbiasa bepergian menggunakan kendaraan

7 Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303 - 341X

Volume 4, Nomor 1, Januari-April 2016 pribadi. Prestise dan faktor gengsi berperan di sini terbatas dan kebanyakan terkuras untuk keperluan dalam membentuk budaya serta perilaku masyarakat pengenalan layanan, operasional program serta Bali. Pelbagai upaya telah ditempuh oleh UPT Trans penataan angkutan Trans Sarbagita. Oleh sebab itu, Sarbagita sebagai pengelola program untuk menggiring upaya untuk mencapai tujuan pembangunan sistem masyarakat secara perlahan dari kendaraan pribadi agar transportasi massal terintegrasi harus dilakukan beralih menggunakan transportasi publik, namun dengan cara yang berkelanjutan secara keuangan dan menemui kendala besar akibat perilaku dan budaya ekonomis. Secara kasar, keberlanjutan fiskal dalam tersebut. Hal itu disebabkan masih berkembangnya program Trans Sarbagita harus terpenuhi dengan anggapan di dalam masyarakat Bali bahwa mengupayakan pendapatan agar seimbang dengan kepemilikan masyarakat atas alat transportasi pribadi pengeluaranAkurasi penilaian diri dapat dipenuhi merupakan simbol kesejahteraan dan prestise sosial. dengan keterbukaan diri Ibu Risma terhadap umpan Hal ini turut mempengaruhi tingkat keterisian bus tiap balik dan kritik yang berasal dari masyarakat, media, harinya karena kebanyakan masyarakat masih lebih staff dan legislatif. Sebagai seorang pemangku memilih menggunakan kendaraan pribadi tinimbang jabatan politik sangat mudah untuknya menjadi lupa transportasi publik. akan nilai-nilai yang dibawanya sejak awal sehingga Selain disebabkan oleh budaya dan perilaku kritik dan saran sangat diperlukan. Hal ini juga masyarakat, ketiadaan jaminan ketepatan waktu sebagai perwujudan sikap transparansi dimana layanan serta masih jauh dari memadainya kondisi pemimpin mestinya secara terbuka mengakui halte turut memengaruhi minat masyarakat dalam kesalahan kepada pihak-pihak yang pernah berada menggunakan angkutan publik Trans Sarbagita. Dari dalam satu masalah dengannya. hasil observasi yang peneliti lakukan, pembangunan 2. Pengadaan armada bus untuk pembukaan koridor halte yang seharusnya sesuai dengan lokasi-lokasi atau baru harus terus diperjuangkan ke pemerintah pusat. tempat-tempat strategis menjadi urung dilaksanakan Namun, apabila kepentingan pemerintah pusat karena adanya keengganan masyarakat sekitar untuk terhadap daerah lainnya juga tidak bisa ditinggalkan memberikan ijin kepada UPT Trans Sarbagita maka tidak ada jalan lain bagi UPT Trans Sarbagita membangun halte di dekat kediaman mereka. Hal ini untuk mencoba melakukan pengadaan bus dari menyebabkan lokasi halte tidak bisa sesuai dengan kantong sendiri (kas pemerintah daerah) atau perencanaan semula dan terpaksa harus dibangun di menggandenga pihak swasta sebagai sponsor. tempat yang tidak strategis dan jauh dari permukiman, Langkah ini bisa menjadi opsi terakhir apabila perkantoran, serta titik-titik yang ramai penumpang. bantuan bus dari pemerintah pusat dirasa terlalu Oleh karenanya aksesibilitas halte menjadi rendah, terlambat realisasinya terlebih masyarakat Bali tergolong malas untuk berjalan kaki ke halte terdekat. Kondisi tersebut coba 3. Ketika dana atau pembiayaan untuk pembukaan dipecahkan dengan mengoperasikan angkutan koridor baru kedepannya telah tersedia, ada baiknya pengumpan (feeder) untuk menjemput serta UPT Trans Sarbagita melakukan perencanaan serta menurunkn penumpang di lokasi-lokasi yang tidak perhitungan yang matang mengenai penentuan dapat dijangkau oleh halte bus serta Trans Sarbagita. trayek atau koridor mana yang akan dibuka untuk Namun lagi-lagi karena masih tingginya jumlah diprioritaskan terlebih dahulu. Pembukaan koridor baru alangkah lebih bagusnya jika disusun secara kendaraan pribadi yang terdapat di jalan raya sehingga sistematik dari koridor atau trayek yang paling menyebabkan kemacetan, ketepatan waktu pelayanan dibutuhkan masyarakat dahulu baru kemudian ke angkutan pengumpan juga menjadi rendah. trayek atau koridor yang agak rendah peminatnya (trayek gemuk dahulu yang diprioritaskan untuk Saran dibuka baru kemudian trayek kurus). Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, 4. Langkah lainnya yang perlu untuk diperhatikan kelambanan perkembangan program Bus Trans adalah meningkatkan konektivitas antarmoda Sarbagita disebabkan karena ketidakmampuan program transportasi publik, sehingga akesesibilitas terhadap untuk memenuhi tuntutan masyarakat, belum halte-halte menjadi meningkat. Perbaikan akses diposisikannya program sebagai salah satu prioritas pejalan kaki juga wajib menjadi pertimbangan utama kinerja pemerintahan, serta perilaku dan budaya pemerintah. Namun apabila hal tersebut dirasa masih masyarakat yang belum menjadikan transportasi publik sulit direalisasikan, maka pilihan yang ada bisa sebagai andalan ketika bepergian, sehingga tingkat memindahkan halte-halte yang dirasa kurang efektif keterisian bus menjadi belum optimal yang ke lokasi-lokasi yang lebih strategis. Atau memberikan pengaruh terhadap rendahnya hasil pendapatan operasional bus. Beberapa hal yang dapat pemerintah bisa mengembangkan kawasan di sekitar halte-halte tersebut menjadi pusat layanan kesehatan peneliti rekomendasikan untuk upaya-upaya pengembangan program antara lain sebagai berikut: (rumah sakit, puskesmas) dan pendidikan (sekolah- sekolah), perkantoran dan tempat hiburan. Dalam 1. Pangkal persoalan dari kelambanan perkembangan literatur ilmu Perencanaan Wilayah Kota, program Bus Trans Sarbagita adalah ketiadaan mekanisme ini lebih dikenal sebagai konsep Transit anggaran untuk belanja modal serta investasi Oriented Development. Hal ini dilakukan guna pembukaan koridor baru. Selama ini, alokasi meningkatkan aksesibilitas serta konektivitas anggaran yang dikucurkan pemerintah sangat 8 Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303 - 341X

Volume 4, Nomor 1, Januari-April 2016

wilayah dengan lokasi transit transportasi publik. Bank Experience. In Proceedings of the 8 th 5. Untuk menarik minat masyarakat terhadap Trans Conference on Competition and Ownership in Sarbagita, ada baiknya mempertimbangkan Land Passenger Transport, Rio de Janeiro, mekanisme promosi bagi masyarakat. promosi yang Brazil. dilakukan itu pun harus disuntikkan dengan inovasi- Kuncoro, M. 2004. Otonomi dan Pembangunan inovasi menarik. Seperti misalnya bebas biaya Daerah, Reformasi Perencanaan, Strategi dan menaiki Trans Sarbagita selama sehari penuh Peluang. Jakarta: Penerbit Erlangga. dengan menukarkan 20 tiket perjalanan Trans Patton, Michael Quinn. 2006. Metode Evaluasi Sarbagita. Atau, gratis satu bulan menikmati layanan Kualitatif. : Pustaka Pelajar. Trans Sarbagita apabila masyarakat melakukan Prasojo, E., & Kurniawan, T. 2008. Reformasi pembayaran di muka untuk 6 bulan kartu Birokrasi dan Good Governance: Kasus Best berlangganan. Inovasi-inovasi untuk promosi ini Practices dari Sejumlah Daerah di Indonesia. penting dilakukan agar masyarakat semakin tertarik Dipresentasikan dalam The 5th International mencoba layanan Trans Sarbagita. Tentu saja hal ini Symposium of Journal Ant ropologi harus diimbangi dengan pengembangan koridor daru Indonesia. dan peningkatan kualitas layanan (tepat waktu) agar Putera, R. P. 2012. Evaluasi Kebijakan Trans Pakuan masyarakat menaruh kepercayaan terhadap Trans di Kota Bogor. Skripsi Universitas Indonesia. . Sarbagita. Sakamoto, K. & Stefan Belka. 2011. Financing Sustainable Urban Transport, GTZ Daftar Pustaka Sourcebook Module, Sustainable Urban Adisasmita, S. A. 2011a. Perencanaan Pembangunan Transport Project (www.sutp.org) Asia and Transportasi. Yogyakarta: Graha Ilmu. the German Technical Cooperation. Adisasmita, S, A. 2011b. Transportasi dan Salim, H.A. 2006. Manajemen Transportasi. Jakarta: Pengembangan Wilayah. Yogyakarta: Graha Raja Grafindo Persada. Ilmu. Setyawati, A. 2012. Evaluasi Program Transjakarta Adisasmita, S. A. 2011c. Transportation and Regional dalam Upaya Perbaikan Transportasi Publik Planning. Yogyakarta: Graha Ilmu. di Jakarta. Skripsi Universitas Indonesia. Adisasmita, R. 2014. Manajemen Pembangunan Depok. Transportasi. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sulistio, E. B., & Kagungan, D. 2012. Studi Formulasi Aminah, S. 2009. Transportasi Publik dan Kebijakan Penataan Sistem Transportasi Aksesibilitas Masyarakat Perkotaan. Jurusan Perkotaan di Kota Bandarlampung. Prosiding Ilmu Politik FISIP. Surabaya: Universitas Penelitian FISIP Unila, 174-196. Diakses di Airlangga. http://fisip.unila.ac.id/jurnal/files/journals/1/ar Anggarini, Y., & Puranto, B. H. 2010. Anggaran tic les/16/submission/review/16-34-1-RV.pdf Berbasis Kinerja: Penyusunan APBD Secara pada tanggal 28 Maret 2015. Komprehensif. Yogyakarta: UPP STIM Susiyati B. H. 1987. Perspektif Daerah Dalam YKPN. Pembangunan Nasional: Keuangan Daerah di Bennett, J. 2003. Evaluation Methods in Research. Indonesia. Badan Otonom Economica bekerja London: Bloomsbury Publishing. sama dengan LPFE-UI Jakarta. Blomquist, J. 2006. Dampak Evaluasi Timney, M. M. 2007. Transportation and Energy: Program Sosial: Sebuah Perspektif Policy Dilemmas for the Twenty-First Kebijakan. Social Safety Nets Primer Notes; Century. Handbook of Transportation Policy no. 14. Washington, DC: World Bank. and Administration, 359-369. Creswell, J.W. 2013. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed. Diterjemahkan oleh Fawaid, Achmad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Darwin. M. 1995. Implementasi Kebijakan. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan. Farkas, Z. A. 2007. Urban Transportation Policy: The Baltimore Experience, Dalam Handbook of Transportation Policy and Administration. Florida: CRC Press. Goodwin, P. B. 2003. How Easy Is It to Change Behaviour. Fifty Years of Transport Policy: Successes, Failures and New Challenges (European Conference of Ministers of Transport). P. 49-73. Paris: OECD/ECMT. Gwilliam, K. 2003, June. Bus Franchising in Developing Countries: Some Recent World

9