Parafrase Vol. 17 No.02 Oktober 2017 Halaman 33 – 38 https://doi.org/10.30996/parafrase.v17i2.1369

MEMBACA KEMUNGKINAN FILM SEBAGAI OBJEK PENELITIAN SASTRA

Tri Wahyudi Akademi Film Yogyakarta

Abstract. There is still a debate on film and literature relationship. Some argued that films and videos were in the opposite site of language activities, that is, films and videos tried to present the concrete, particular, and sensational forms of life. While others argued that films might be the objects of literary researches. This article aims at exploring the relationship of films and literature and uncovering the position of films as the object of research of literature students. Films and literatue’s relationship cannot be separated from the activity of adapting literary work into movie, or ecranisation. Ecranisation theory bridges the relationship of film and literature and make a film suitable object of a literary research. Yet, there are some who argue that a film which is not the product of ecranisation can become the object of a literary research under the umbrella of culture study, that everything may undergo a redefinition.

Key words: literature, film, ecranisation, text, redefinition

Pendahuluan Dari fenomena tersebut, sastra dan Sastra dan film adalah dua hal film adalah peluang yang paling mudah yang akrab dalam kehidupan manusia saat bagi manusia mengisi ruang sunyi untuk ini. Di antara hiruk pikuk aktivitas sehari- mendapatkan pleasure. Novel, misalnya, hari, sastra dan film hadir sebagai alternatif dapat dibawa kemana saja dan dibaca saat yang gampang ditemui untuk santai atau di waktu senggang. Demikian menghilangkan kebosanan, mengatasi juga film, sepulang kerja atau ketika kejenuhan, dan mengusir kepenatan di sela- liburan, orang dapat pergi ke biosskop sela pekerjaan. Upaya tadi adalah dalam menikmati film-film kesukaan mereka. rangka memenuhi kepuasan hidup manusia Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang sering diistilahkan dengan sastra, pun juga film, adalah hasil upaya kebahagiaan. Adapun pewujudannya dapat manusia untuk menciptakan kepuasan dillihat dari berbagai bentuk, baik batiniahnya. Hal mencipta ini secara masif pencapaian material maupun nonmaterial. mewujud dalam pola perilaku yang bukan Kedua hal ini tidak dapat dipisahkan sekedar idividu tetapi kolektif dan begitu saja karena kedudukannya adalah memungkinkan untuk menjadi kebiasaan saling melengkapi. Misalnya seseorang atau mentradisi. Oleh karenanya adalah dengan pencapaian material yang berlebih jelas bahwa sastra dan film dapat tidak dapat menegasikan kebutuhannya digunakan sebagai penanda aktivitas untuk bersenang-senang, bahkan memiliki budaya. kesempatan dan pilihan yang lebih untuk Istilah budaya sendiri hingga saat mendapatkan pleasure-nya. Sebaliknya, ini memiliki beragam pengertian yang orang yang menyukai ‘apa adanya’ tidak kadang tumpang tindih dan saling berarti menempatkan pilihan kenikmatan berlawanan. Berkaitan dengan penandaan hidup yang sama sekali menjauhkannya budaya, T.S Eliot mengemukakan sebagai dari entitas materi. Ketimbal-balikan ini berikut: acap didengar dengan istilah no free lunch: “by ‘culture’’ then, I means first of all bahwa sebenarnya tidak ada yang benar- what anthropologists mean: the way of benar gratis di dunia ini, meskipun tidak life of particular people living together in one place. The culture is mae visible selalu identik dengan uang.

ISSN 0854-6126 (Cetak); 2580-5886 (Online) 33

Tri Wahyudi Parafrase Vol. 17 No.02 Oktober 2017

in their arts, in their social system, in merupakan bahasa (kata-kata, gaya bahasa) their habits and in their religion. But yang dipakai di kitab-kitab (bukan bahasa these things added together do not sehari-hari; karya tulis, yang jika constitute the culture though we often dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki speak for conveience as if they did. These things are simply the parts in berbagai ciri keunggulan seperti keaslian, which culture can be anatomised, as a keartistikan, keindahan dalam isi dan human body can (Elliot, 1948). ungkapannya; kitab suci (Hindu), kitab (ilmu pengetahuan, dan sebagainya); Jadi di sini budaya didefinisikan sebagai tulisan; atau huruf. Hal ini menunjukkan pola perilaku sekelompok orang yang hidup bahwa sastra berbeda dari bahasa atau bersama di suatu tempat yang dapat tulisan biasa. Ellis (1974:26-27) dikenali dari kesenian, sistem sosial, dan menemukan beberapa penciri sastra dalam agama mereka. Meskipun begitu, hal kaitannya dengan kegiatan kajian yaitu “(a) tersebut tidak dapat dikatakan sebagai specific ‘literary’ ingredients in the texts, (b) pembentuk budaya, akan tetapi sebagai specifically ‘ literary’ organization of ordinary bagian-bagian yang melekat pada linguistic material of the texts, (c) the authorship kebudayaan dan dapat dipisah-pisahkan of the text by specifically ‘literary’ authors, i.e. sebagaimana ragam anatomis tubuh poets.” Yang dapat diterjemahkan sebagai manusia. berikut: (a) unsur-unsur kesastraan yang Jika sastra dan film merupakan spesifik dalam teks, (b) organisasi hasil seni yang dapat digunakan untuk kesastraan yang menggunakan materi melihat suatu kebudayaan, wajar jika linguistik biasa dalam teks, (c) keahlian terdapat banyak kajian yang dilakukan kesastraan penulis dalam teks. terhadap kedua hal tersebut. Yang menjadi Dari eksplorasi di atas adalah benar pertanyaan kemudian adalah apakah sastra jika sastra merupakan aktivitas estetis dan film benar-benar terpisah? menggunakan media bahasa yang dituangkan dalam teks. Sehingga, SASTRA DAN FILM: (TAK) SALING pemahaman ini juga mengarah pada MENYAPA pembatasan bentuk-bentuk sastra, semisal Ketika mendengar kata sastra, yang novel, puisi, cerpen, drama, dll. Lalu terbayang pertama kali adalah novel, puisi, bagaimana dengan film? atau drama. Hal ini menunjukkan bahwa Berbeda dengan sastra, film sastra identik dengan bahasa tulis yang merupakan konkretisasi pengalaman, indah dan mendayu-dayu serta mampu harapan, dan imajinasi manusia dalam membuat pembaca berimajinasi. Dalam bentuk media visual. Film sendiri memiliki perjalanannya, banyak orang perjalanan panjang mulai dari mendefinisikan sastra. Eagleton (1983:1) kemunculannya hingga saat ini yang sudah mengatakan bahwa sastra adalah mampu menghadirkan sensasi 3D atau tiga tulisan/karya imajinasi (imaginative writing). dimensi. Secara harfiah, film lebih dikenal Pendapat ini menyepakati bahwa sastra sebagai kegiatan sinematografi yang berasal adalah hasil karangan fiktif, mengangan- dari kata cinematography yang merupakan angan, dan memisahkan dari kenyataan– penggabungan dari cinema+ tho (cahaya) fiksi. Padahal sastra tidak melulu fiksi dan graph (tulisan = citra) yang kemudian karena ada juga nonfiksi. diartikan sebagai melukis gerak dengan Definisi lain menurut Kamus Besar cahaya. Dalam Kamus Besar Bahasa Bahasa , karya sastra mengacu Indonesia, film didefinisikan sebagai pada beberapa hal, yaitu bahwa sastra berikut:

34 ISSN 0854-6126 (Cetak); 2580-5886 (Online)

Parafrase Vol. 17 No.02 Oktober 2017 Tri Wahyudi

- Selaput. Selaput yang terbuat dari konkretisasi sastra kedalam wahana visual. seluloid untuk tempat negative yang dari Ekranisasi sebenarnya bukan gejala yang situ dibuat potretnya,tempat gambar benar-benar baru di industri perfilman. Di positif yang akan dibuat di bioskop. barat, kegiatan ini sudah dilakukan sejak - Gulungan serangkaian gambar-gambar akhir Perang Dunia Pertama. Salah satu yang diambil dari objek-objek yang contohnya adalah Rumah Produksi Disney bergerak dan akhirnya proyeksi dari yang pada tahun 1930 memfilmkan cerita hasil pengambilan gambar tersebut. dongeng Snow White and The Seven Dwarfs. - Cerita yang diputar di bioskop. Selain itu juga ada beberapa produksi film Dalam sejarahnya, kemunculan yang mengadaptasi karya-karya besar, film bermula dari penemuan kamera antara lain The Name of The Rose karya Obscura pada pertengahan abad ke-12. Ini Umberto Eco, The God Father I, II, dan III adalah langkah pertama media rekam karya Mario Puzo, hingga yang terkenal di visual diperkenalkan sebagai temuan baru. tahun 2000-an, The Lord of The Rings karya Perkembangan teknologi film mengalami J.R.R Tolkiens, dan Harry Potter series kemajuan pesat dari masa ke masa. Film karya J.K Rowling. Fenomena ini yang semula hanya bernuansa hitam putih, memberikan pekerjaan baru bagi para bisu, dan bertempo sangat cepat saat ini peneliti untuk melihat apakah sastra benar- sudah berkembang mendekati realitas. benar memisahkan dirinya dari film, atau Dengan menggabungkan teknik audio, efek adakah kemungkinan bahwa film adalah dramatis film semakin tervisualisasi dengan merupakan salah satu karya yang dapat baik. dikaji dalam lingkup sastra. Dengan mencermati bahasan tersebut, dapat dilihat bahwa film dengan Ekranisasi: Sebuah Jalan Tengah? menggunakan teknologi visual langsung Sebagaimana yang telah disinggung mengendalikan imajinasi penonton melalui sebelumnya, ekranisasi adalah buah pikir tayangan gambar bergeraknya. Sementara Pamusuk Eneste dalam bukunya yang itu, sastra memberikan penggambaran yang berjudul Novel dan Film (1991) yang nyata kepada pembaca melalui kata-kata. berusaha menjembatani gejala baru Pembaca dibebaskan untuk membuat pemfilman karya sastra dalam kerangka visualisasi dalam benak mereka kajian teoretis sehingga dapat didekati berdasarkan narasi untuk kemudian secara ilmiah. Dalam pendefinisiannya, menerjemahkannya sesuai dengan rekaman Eneste mengatakan bahwa ekranisasi peristiwa yang pernah mereka alami. adalah pelayarputihan atau pemindahan/ Pengarang atau penulis sastra memilih gaya pengangkatan sebuah novel ke film. Istilah komunikasi mereka sesuai dengan selera tersebut diambil dari bahasa Perancis, ecran, dan pilihannya, pun juga bentuknya. yang berarti layar. Ekranisasi –terlepas dari Sastra dan film, sebagai media asumsi tentang kemapanannya – komunikasi, seharusnya tetap merupakan sebuah apresiasi penting di memperhatikan isi atau muatan yang akan ranah kajian sastra dalam menanggapi disampaikan. Pada perkembangannya, fenomena filmisasi novel yang akhir-akhir gejala yang muncul berikutnya adalah ini berkembang secara signifikan (dalam aktivitas mengadaptasi karya sastra hal ini di Indonesia). menjadi film atau sering disebut filmisasi Filmisasi dibentuk dari kata film+ atau ekranisasi. (imbuhan)-isasi. Sufiks -isasi sendiri Ekranisasi adalah istilah yang merupakan sufiks pembentuk nomina digunakan oleh Pamusuk Eneste untuk proses, cara, dan pembuatan (dalam KBBI memberikan apresiasi terhadap usaha Edisi III). Sedangkan dalam kamus

ISSN 0854-6126 (Cetak); 2580-5886 (Online) 35

Tri Wahyudi Parafrase Vol. 17 No.02 Oktober 2017

elektronik Merriam-Webster’s diartikan berikutnya adalah penambahan, yaitu sebagai adaptasi novel atau drama ke kreasi sineas untuk menambahkan unsur- gambar bergerak. Di Indonesia, kegiatan unsur yang dianggap penting dan perlu. ini muncul sejak tahun 1970-an, antara lain Variannya bisa dengan memunculkan dengan difilmkannya Salah Asuhan karya tokoh tambahan, memperkuat ilustrasi, Abdoel Moeis oleh Asrul Sani (1972), Si efek, dan hal-hal yang dianggap perlu Doel Anak Betawi karya Aman Datuk untuk menambahkan efek dramatik pada Madjoindo oleh Sjumandjaja (1973), dan film. Perubahan ketiga adalah perubahan karya Achdiat Karta Mihardja oleh dengan variasi, di sini memungkinkan Ami Prijono. Di masa yang lebih kekinian terjadinya perluasan yang dapat berupa ide tayang film Ca Bau Kan (Remy Silado) yang cerita maupun gaya penceritaan. difilmkan oleh Nia Dinata (2002), dan Dengan teori ekranisasi, dapat Ayat-Ayat Cinta karya Habibburahman dikatakan bahwa titik singgung sastra dan yang difilmkan oleh . film dapat dilihat benang merahnya, Terakhir yang paling fenomeal dan menjadi sehingga film dapat didudukkan sebagai salah satu film dengan jumlah pentonton objek kajian sastra. Namun demikian, ada terbanyak adalah Laskar Pelangi karya film yang murni diciptakan dari ide, Andrea Hirata oleh Riri Rriza (2008). diskenariokan, dan langsung diwujudkan Pada kenyataannya tidak semua ke dalam film. Tidak ada pelayarputihan hasil filmisasi dinilai sukses. Pemindahan maupun pemindahan. Di sini film hadir dari novel yang sepenuhnya merupakan sebagai sajian dari suatu individu kolektif kreasi dari sang penulis untuk kemudian (tim pembuat film) yang disajikan secara diadaptasi menjadi skenario, dan diolah utuh ke hadapan penonton dan memaksa lagi oleh sutradara, pasti mengalami untuk menerima apa adanya sajian perubahan dari bentuk aslinya. Ada yang tersebut. Dalam hal ini ketersinggungan merasa setelah membaca novelnya, filmnya sastra sama sekali tidak nampak. dianggap jauh dari penggambaran novel Jauh sebelum menyusun tulisan sehingga dianggap merusak keindahan ini, sering dijumpai mahasiswa sastra imajinassi yang dibangun sebelumnya. Ada (kebanyakan sastra Inggris) mengangkat pula yang merasa bahwa sebuah film sukses film sebagai objek material dalam mewakili novel seperti yang diangankan skripsinya. Sebelum menggunakannya penulisnya maupun pembacanya. Gejala sebagai objek material penelitian, saya perubahan ini oleh Eneste dianggap sebagai sama sekali tidak menemukan ada usaha hal yang harus diwadahi dalam ranah baik berupa pengantar wacana maupun teoretis. kutipan yang menggiring bahwa film Selanjutnya Eneste (1991: 61-66) termasuk objek sastra. Dalam penelitian membagi perubahan tersebut dalam tiga tersebut, film diperlakukan serupa karya katagori besar, yaitu penciutan/ sastra yang diolah dengan mengutip dialog- pemotongan, penambahan, perubahan dialog seperti dalam novel dan kemudian dengan variasi. Penciutan/pemotongan diteliti menggunakan teori sastra. Padahal adalah proses perubahan yang dilakukan jika dilihat dari titik tolak oleh seorang pembuat film (sineas) dengan keberangkatannya, sastra menekankan menyingkat, memotong, atau wilayah bahasa, sedangkan film menghilangkan bagian-bagian novel yang menggunakan media audio visual yang dianggap tidak penting atau tidak harus indrawi. dimunculkan dalam film dengan tidak Banyak yang menolak bahwa film mengurangi bobot cerita. Perubahan dapat dijadikan bahan kajian dalam ranah

36 ISSN 0854-6126 (Cetak); 2580-5886 (Online)

Parafrase Vol. 17 No.02 Oktober 2017 Tri Wahyudi

kesastraan. Beberapa berpendapat bahwa dan memiliki legitimasi-legitimasi lain, saat selain bentuknya yang berbeda, proses ini banyak bermunculan ‘seniman’ di dunia produksinya juga berbeda. Sastra digital. Predikat seniman atau pengarang diciptakan dari ruang perenungan tentu tidak mudah disematkan begitu saja, individual, sementara film adalah hasil mengingat keberangkatan seseorang ke kerja kolektif. Faruk menyebutkan bahwa dalam arena kesusasteraan sejati film dan video berada pada posisi membutuhkan proses yang panjang. bertentangan dengan bentuk aktivitas Apalagi keindahan karya sastra selalu bahasa, yaitu berusaha menghadirkan dinilai dari apa yag didramatisasikannya. kehidupan dalam bentuk yang konkret, Secara spesifik Sumardjo (1984:14) partikular, dan sensasional. Faruk juga mengatakan bahwa “betapapun menariknya menambahkan bahwa hal yang karya sastra kalau ia berisi pengalaman yang membedakan keduanya adalah peralatan menyesatkan hidup manusia, ia tidak pantas yang digunakan untuk memproduksi disebut sebagai karya sastra”. Kriteria pantas kehidupan tersebut. (2001:27). Lantas dan tidak pantas yang secara khusus bagaimana dengan fenomena mahasiswa bersimpul erat dengan nilai-nilai inilah sastra mengkaji film sebagai obyek material yang memposisikan sebuah tulisan dapat sastra? dikatakan sebagai karya sastra atau bukan. Meskipun begitu, gejala yang Film sebagai Bahan Kajian Sastra muncul bersamaan dengan perkembangan Jurnal berjudul New Literary Hybrids teknologi terus memberikan ruang untuk in the Age of Multimedia Expression: crossing ‘mereka yang sekadar menulis’ borders, crossing genres yang berkonsentrasi mengekspresikan perasaannya secara pada sejarah perbandingan sastra di Eropa bebas. Hal ini bukanlah sesuatu yang bisa membahas tentang perubahan definisi dipandang sederhana. Seiring dengan literasi oleh Nancy Kaplan. Di masa tersedianya akses digital dan internet, lampau, literasi selalu dikaitkan dengan muncul beragam tulisan yang memotret dengan teknologi printing atau cetak. kondisi-kondisi kekinian. Mereka tidak Sementara saat ini definisi literasi sudah membutuhkan printed karena tulisan bukan lagi hanya huruf (tercetak) mereka tetap dapat dibaca dan dinikmati melainkan visual, elektronik, nonverbal, oleh warga dunia maya yang acap disebut gestural, atau literasi sosial. Hal ini sudah netizen. Tulisan-tulisan ini diposisikan barang tentu tidak dapat dilepaskan dari berseberangan dengan karya yang dianggap perkembangan teknologi yang begitu pesat. adiluhung dan memiliki nilai tinggi. Munculnya temuan-temuan baru yang Tulisan ini hanya dianggap sebagai memudahkan manusia melakukan pemenuhan kebutuhan estetis semata, tidak lompatan-lompatan aktivitas dan pemikiran menekankan pada nilai, hanya menghibur, menimbulkan kemungkinan definisi baru kitch atau picisan. Dalam kajian sastra pula. populer, karya ini menempati ruang yang Teknologi yang tersedia saat ini secara serius dianggap memberikan memudahkan orang untuk membaca dan pengaruh besar terhadap para pembacanya. menulis di mana saja dan kapan saja. Mau Dari pembahasan di atas, baik yang tidak mau harus diakui bahwa kemajuan adiluhung maupun yang populer, dapat teknologi memang mendekatkan manusia disejajarkan dalam terminologi sastra. pada segala aspek kehidupan, termasuk Kedua katagori itu memiliki pengaruh sastra. Jika pada zaman dahulu yang dapat terhadap pembacanya. Apabila dikatakan menulis karya sastra (novel, puisi, cerpen) bahwa sastra adiluhung adalah yang adalah seseorang yang cendekia, dikenal, bernilai tinggi dan sarat pesan moral,

ISSN 0854-6126 (Cetak); 2580-5886 (Online) 37

Tri Wahyudi Parafrase Vol. 17 No.02 Oktober 2017

ternyata kemungkinan tersebut juga terjadi disampaikan. Sebagaimana yang dikatakan pada sastra populer. Pada tahun 1960-an di atas, pada dekade akhir abad ke-20 teks sastra populer di Amerika mengalami sudah memiliki definisi baru. Teks perkembangan pesat dan tidak lagi dipahami sebagai publikasi web, iklan, dianggap sebagai picisan. Dalam dekade film, televisi, video, suara digital, dan lain- tersebut teori dan metode yang digunakan lain. Kiranya hal ini dapat menjadi awalan untuk menelaah sastra populer untuk memahami bahwa film dapat menunjukkan kedudukannya sebagai dijadikan objek material sastra. artefak budaya sama nilainya dengan Pembacaan tersebut juga budaya adiluhung (Adi, 2011:20). menjawab kecurigaan sebelumnya, yaitu Dengan temuan tersebut, apabila bagaimana bisa mahasiswa sastra meneliti dihubungkan dengan media yang film sebagai objek material sastra, apakah digunakan, tulisan-tulisan saat ini sekali mereka melakukannya karena sudah lagi tidak lagi mengandalkan cetak untuk melewati wacana tersebut, atau sebuah menemukan pembacanya. Era digital dan kebetulan karena diizinkan oleh internet mampu mengubah semua data pembimbingnya. Yang dapat dicermati menjadi soft copy yang dapat disajikan di bahwa seiring dengan perkembangan media visual, baik itu tulisan, film , kebudayaan, segala hal akan mengalami maupun bentuk-benutuk lainnya. Apabila redefinisi berikut implikasi teoretisnya. demikian, bagimana dengan tradisi printed yang hampir dikatakan selalu melekat pada DAFTAR PUSTAKA sastra? Banyak sekali sastra klasik yang saat Adi, Ida Rochani. 2011. Fiksi Populer: Teori ini di compress menjadi bentuk pdf dan dan Media. Yogyakarta: Pustaka dinikmati secara visual dengan melihat Pelajar aksara pada layar sebagaimana melihat film Eagleton, Terry. 1983. Literary Theory: an pada layar. Berkaitan dengan hal ini, Pope Introduction. Minneapolis: University mengatakan bahwa: of Minessota Press.

“Historically, textual study meant Elliot, T.S. 1948. Notes Towards a Definition writing and reading verbal texts in the of Culture. London medium of print. The final decades of the twentieth century witnessed an Faruk. 2001. Beyond Imagination: Sastra explosion of new media forms, mutakhir dan ideologi. Yogyakarta: expanding the concept of “texts” far Gama Media. beyond the printed word. “Texts” now Pope, Marcell Conis. 2014. Literature and include web publications, advertising, Multimedia through the Latter Half of film, television, video and digitalized the Twentieth and Early Twenty-First sound, graphic media, mixed media Century dalam New Literary Hybridsin texts, and even installations” (2014). the Age of Multimedia Expression: Crossing Borders, Crossing Genres. Dengan demikian dapat dikatakan Amsterdam Philadelphia: John bahwa kebaruan teknologi mengubah dan Benjamin Publishing Company. atau menghilangkan sekat, batas, dan Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1988. Apresiasi Kesusasteraan. : PT. bentuk. Pemahaman ini selanjutnya dapat Gramedia digunakan untuk mengatakan bahwa: sastra dan film adalah media untuk menyampaikan teks, dalam hal ini ide yang

38 ISSN 0854-6126 (Cetak); 2580-5886 (Online)