Volume Vii No. 2 November 2019 Issn 2355-5181

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Volume Vii No. 2 November 2019 Issn 2355-5181 JURNAL KOMUNIKASI DAN BISNIS VOLUME VII NO. 2 NOVEMBER 2019 ISSN 2355-5181 ANALISIS WACANA IDEOLOGI GENDER DALAM FILM KARTINI VERSI 1982 DAN 2017 (STUDI KOMPARATIF) Jacksen Gunawan Ngorang Philipus1 Abstract Feminism is quite influential on popular culture. This can be known from the many products of popular culture (such as film, for example) that the theme of feminism. This study wanted to find out how the construction of feminism in Indonesia films by director Sjuman Djaya (1982) and Hanung Brahmantyo (2017). The object of this research is: R.A Kartini (1982) and Kartini (2017). This study is a qualitative descriptive study using critical discourse analysis method, by adopting the model Sara Mills. This model was adopted because it adjusts the object of research in the form of films. By performing the analysis of two levels, namely the micro level and macro level, obtained results that there is construction of feminism in films that became the object of research, as follows: In the analysis of micro level, there are some aspects of the center of attention, namely: theme, setting, characters, dialogue, costume, photography, and music. From all of these aspects can be known how the films construct feminism. In the analysis of the macro level, there are some aspects that are used, namely the use of various greeting and a link between social context with the film. Meanwhile, construction of feminism that is widely available in these films is liberal feminism, of which enhance the careers of women's rights, rights of women in sexual terms, and the right of women to determine its future. Keywords : feminism, film, critical discourse analysis, Sara Mills Abstrak Feminisme cukup berpengaruh pada budaya populer. Ini bisa diketahui dari banyak produk budaya populer (seperti film, misalnya) yang mengangkat tema feminisme. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana konstruksi feminisme dalam film Indonesia oleh sutradara Sjuman Djaya (1982) dan Hanung Brahmantyo (2017).Objek penelitian ini adalah: R.A Kartini (1982) dan Kartini (2017). Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode analisis wacana kritis, dengan mengadopsi model Sara Mills. Dengan melakukan analisis dua tingkat, yaitu tingkat mikro dan tingkat makro, diperoleh hasil bahwa ada konstruksi feminisme dalam film yang menjadi objek penelitian, sebagai berikut: Dalam analisis tingkat mikro, ada beberapa aspek dari pusat yang menjadi perhatian, yaitu: tema, latar, karakter, dialog, kostum, fotografi, dan musik. Dari semua aspek tersebut dapat diketahui bagaimana film-film mengkonstruksi feminisme. Dalam analisis level makro, ada beberapa aspek yang digunakan, yaitu penggunaan berbagai sapaan dan hubungan antara konteks sosial dengan film. Sementara itu, konstruksi feminisme yang banyak tersedia dalam film-film ini adalah feminisme liberal, di antaranya meningkatkan karier hak-hak perempuan, hak-hak perempuan dalam hal seksual, dan hak perempuan untuk menentukan masa depannya. Kata Kunci : Film, komunikasi massa, feminisme, analisis wacana kritis. ___________________________ 1Alamat kini: Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie, Jln Yos Sudarso Kav. 87 Sunter, Jakarta 14350. Penulis untuk korespodensi : Telp : (021) 65307062 Ext 705. E-mail : [email protected] Program Studi Ilmu Komunikasi – Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie 90 JURNAL KOMUNIKASI DAN BISNIS VOLUME VII NO. 2 NOVEMBER 2019 ISSN 2355-5181 PENDAHULUAN ditampilkan dalam teks sebagai pihak yang lemah, marjinal dibanding dengan pihak laki-laki. Film sebagai salah satu media Ketidakadilan dan penggambaran yang buruk komunikasi massa, sekaligus produk budaya mengenai perempuan inilah yang menjadi sasaran populer, dipercaya mempunyai andil besar dalam utama penelitian ini. Hal serupa juga terjadi mengkonstruksi berbagai realitas. Salah satu yang dalam media berita. Banyak berita yang populer adalah realitas media. Realitas media menampilkan perempuan sebagai objek tersebut seringkali berupa simbol-simbol atau pemberitaan. Berita mengenai hambatan karir tanda-tanda tertentu yang terdapat dalam isi dari pada perempuan merupakan salah satu dimensi produk suatu media massa. Sehingga, bisa dari berita yang menampilkan perempuan sebagai disimpulkan bahwa realitas media adalah simbol objek pemberitaan. simbol yang terdapat dalam isi dari suatu produk media (Bungin, 2007). LANDASAN TEORITIS Adapun realitas media yang paparkan di atas diuraikan dalam tulisan berjudul “Analisis Sarah Mills, sebagaimana dikutip Eriyanto Wacana Ideologi Gender dalam Film Kartini menguraikan tentang bagaimana wanita Versi 1982 dan 2017”. Ada dua film yang akan digambarkan dalam teks (terutama sastra). diteliti. Kedua film ini mengambil tema yang Wanita yang digambarkan dalam teks oleh Sarah sama yaitu film Kartini tetapi dengan dua Mills juga dapat dipakai secara lebih luas untuk sutradara yang beda dan setting tahun yang menganalisis teks berita (Eriyanto 2008:210). berbeda. Kedua film itu adalah film karya Secara umum, ada dua hal yang diperhatikan sutradara Sjuman Djaya (1982) dan Hanung dalam analisis wacana kritis. Pertama, bagaimana Brahmantyo (2017). Kedua film tersebut aktor sosial dalam berita tersebut diposisikan dijadikan bahan penelitian yakni film Kartini dalam pemberitaan. Siapa pihak yang diposisikan versi 1982 dan film Kartini versi 2017. sebagai penafsir dalam teks untuk memaknai Alasan peneliti menelaah film tersebut peristiwa, dan apa akibatnya. Kedua, bagaimana karena ada perbedaan yang sangat signifikan pembaca diposisikan dalam teks. Teks berita mengenai peran gender dalam kedua versi film dimaknai sebagai hasil negosiasi antara penulis kartini tersebut. Gender merupakan perbedaan dan pembaca. Hal tersebut juga bermakna antara perempuan dan laki-laki berdasarkan nilai khalayak macam apa yang diimajinasikan oleh dan perilaku. Perbedaan gender adalah perbedaan penulis untuk ditulis. peran dari masing-masing gender di tengah Kajian dari Sarah Mills sering disebut masyarakat. Perbedaan gender menghasilkan pula sebagai kajian dalam perspektif feminis. pembagian peran gender yang dikenal sebagai yaitu bentuk titik perhatian dari perspektif pembagian kerja berdasarkan seksual. Lebih feminis adalah bagaimana teks bias dalam tepatnya adanya pembagian tugas antara menampilkan wanita. Wanita cenderung perempuan dan laki-laki. Perbedaan tersebut ditampilkan dalam teks sebagai pihak yang salah, misalnya perempuan yang diasumsikan berada terbatas dibandingkan dengan pihak laki-laki. pada sector domestic sebagai ibu rumah tangga Ketidakadilan dan penggambaran buruk inilah dan berada di dapur. Sementara kaum laki-laki yang menjadi pusat kajian Sarah Mills. Banyak bekerja di sector masyarakat luas atau sector berita yang menampilkan berita tentang wanita publik. Kedua sector tersebut memiliki perbedaan sebagai sumber atau awal permasalahan yang yang sangat signifikan. Misalnya sector domestic muncul. Titik perhatian dari analisis wacana kritis diasumsikan sebagai sector yang komsumtif dan menggunakan model Sarah Mills ini adalah statis sementara sector public adalah sector bagaimana bentuk dan pola pemarjinalan itu dinamis dan memegang kekuasaan dalam dilakukan. berbagai bidang. Sarah Mills menempatkan pemeran Adapun fokus dari penelitian ini adalah pemberitaan dalam posisi-posisi tertentu. Ada wacana feminisme, bagaimana perempuan yang menduduki posisi subjek penceritaan, ada ditampilkan dalam teks. Perempuan cenderung pula yang menjadi objek pemberitaan. Penentuan Program Studi Ilmu Komunikasi – Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie 91 JURNAL KOMUNIKASI DAN BISNIS VOLUME VII NO. 2 NOVEMBER 2019 ISSN 2355-5181 posisi inilah yang nantinya akan menentukan merupakan seorang teoritisi (ahli yang banyak bagaimana struktur teks dan bagaimana makna menemukan teori) wacana kritis. Titik teks diperlakukan dalam teks secara keseluruhan. perhatiannya berfokus pada wacana kritis Selain subjek penceritaan dan objek pemberitaan, mengenai feminisme, salah satunya mengenai Sarah Mills juga memusatkan perhatian pada bagaimana perempuan ditampilkan dalam teks, bagaimana pembaca dan penulis ditampilkan baik itu berupa teks novel, gambar, foto, ataupun dalam teks. Bagaimana pembaca dalam berita. Sehinga Mills seringkali disebuat mengidentifikasi dan menempatkan dirinya sebagai ahli wacana kritis dengan perspektif dalam penceritaan teks. Posisi seperti inilah yang feminis. akan menempatkan pembaca pada posisi dan Gagasan Sarah Mills ini berbeda dengan mempengaruhi bagaimana teks itu hendak para ahli wacana kritis penganut pendekatan dipahami dan bagaimana pula aktor sosial ini critical lingustics. Critical lingustics lebih ditempatkan. Analisis wacana kritis merupakan memusatkan kajiannya pada struktur kebahasaan salah satu alternatif dari analisis isi, selain analisis dan bagaimana pengaruhnya dalam pemaknaan isi kuantitatif yang cukup mendominasi ranah khalayak, sementara Sarah Mills lebih ilmu pengetahuan komunikasi massa yang sering memusatkan pada bagaimana posisi-posisi aktor digunakan oleh banyak peneliti isi media. ditampilkan dalam teks, serta bagaimana Namun, berbeda dengan analisis isi kuantitatif, pembaca (audiens) mengidentifikasikan dan analisis wacana kritis lebih menekankan unsur menempatkan dirinya dalam penceritaan teks “why” atau mengapa suatu pesan yang (Eriyanto, 2001). Jika melihat karakteristik terkandung dalam sebuah isi media, bukan hanya analisis wacana kritis yang selalu melibatkan unsur “what” atau apa. (Eriyanto, 2001). analisis level mikro serta analisis
Recommended publications
  • The Cultural Traffic of Classic Indonesian Exploitation Cinema
    The Cultural Traffic of Classic Indonesian Exploitation Cinema Ekky Imanjaya Thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy University of East Anglia School of Art, Media and American Studies December 2016 © This copy of the thesis has been supplied on condition that anyone who consults it is understood to recognise that its copyright rests with the author and that use of any information derived there from must be in accordance with current UK Copyright Law. In addition, any quotation or extract must include full attribution. 1 Abstract Classic Indonesian exploitation films (originally produced, distributed, and exhibited in the New Order’s Indonesia from 1979 to 1995) are commonly negligible in both national and transnational cinema contexts, in the discourses of film criticism, journalism, and studies. Nonetheless, in the 2000s, there has been a global interest in re-circulating and consuming this kind of films. The films are internationally considered as “cult movies” and celebrated by global fans. This thesis will focus on the cultural traffic of the films, from late 1970s to early 2010s, from Indonesia to other countries. By analyzing the global flows of the films I will argue that despite the marginal status of the films, classic Indonesian exploitation films become the center of a taste battle among a variety of interest groups and agencies. The process will include challenging the official history of Indonesian cinema by investigating the framework of cultural traffic as well as politics of taste, and highlighting the significance of exploitation and B-films, paving the way into some findings that recommend accommodating the movies in serious discourses on cinema, nationally and globally.
    [Show full text]
  • Preferensi Penonton Terhadap Film Indonesia
    PREFERENSI PENONTON TERHADAP FILM INDONESIA Muhammad Yaumul Rizky, Yolanda Stellarosa STIKOM The London School of Public Relations – Jakarta [email protected], [email protected] ABSTRACT This research aims to discover the preference of audiences towards Indonesian movie, located in Jakarta. The purpose of this study is to understand the audience preferences of Indonesia movie through movie attributes such as genre, symbolism, actor, director, sequel, production house, film set, and marketing. Quantitative descriptive research method was used in the research and questionnaire distributed to 200 respondents by applying purposive sampling technique. This research found that the most average of audience preferences from film attributes are: genre, marketing, sequel, symbolism, director, actor, film set and production house. Keywords: Preference, Audience, Indonesian Movie, Quantitative, Uses and Gratification Theory, Film Attribute. ABSTRAK Perkembangan perfilman Indonesia dari tahun ke tahun cenderung lambat. Dikabarkan juga bahwa perfilman Indonesia akan redup. Namun saat ini perfilman Indonesia justru semakin berkembang dan mulai diminati. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tentang preferensi penonton terhadap film Indonesia di Jakarta dilihat dari atribut film seperti genre, karya saduran, pemain, sutradara, sekuel, rumah produksi, latar, dan pemasaran. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif deskriptif, kuesioner dibagikan kepada 200 orang responden dengan teknik purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa preferensi penonton terhadap film Indonesia cenderung pada atribut film genre film, preferensi kedua adalah pemasaran, preferensi ketiga adalah sekuel, preferensi keempat adalah karya saduran, preferensi kelima adalah sutradara, preferensi keenam adalah pemain, preferensi ketujuh adalah latar dan preferensi terakhir adalah rumah produksi. Kata kunci: Preferensi, Penonton, Film Indonesia, Kuantitatif, Teori Uses and Gratification, Atribut Film.
    [Show full text]
  • Analisis Wacana Dalam Film Titian Serambut Dibelah
    ANALISIS WACANA FILM TITIAN SERAMBUT DIBELAH TUJUH KARYA CHAERUL UMAM Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) Oleh: ZAKKA ABDUL MALIK SYAM NIM: 105051001918 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M / 1430 H ABSTRAK “Analisis Wacana Film Titian Serambut Dibelah Tujuh karya Chaerul Umam” Oleh : Zakka Abdul Malik Syam 105051001918 Film Titian Serambut dibelah Tujuh merupakan salah satu film ber-genre drama religi, mengusung tema seputar perjuangan sesosok guru muda yang bernama Ibrahim yang telah menimba ilmu dari pesantren. Dalam langkahnya sebagai guru muda yang ingin menerapkan ilmunya di tengah masyarakat ia menemui banyak sekali tantangan dan lika-liku dalam kehidupannya, namun semua itu ia hadapi dengan keikhlasan dan kesabaran serta perjuangan. Kemudian yang menjadi pertanyaan utama adalah bagaimana gagasan atau wacana yang terdapat dalam film Titian Serambut Dibelah Tujuh yang di sutradarai oleh Chaerul umam? Selanjutnya akan melahirkan sub-question mengenai nilai-nilai moral apa saja yang terdapat dalam film titian serambut dibelah tujuh ini? Metode yang digunakan adalah analisis wacana dari model Teun Van Dijk. Dalam model Van Dijk ada tiga dimensi yang menjadi objek penelitiannya, yaitu dimensi teks, kognisi sosial, dan juga konteks sosial adalah pandangan atau pemahaman komunikator terhadap situasi yang melatar belakangi dibuatnya film tersebut. Sedangkan dimensi teks adalah susunan struktur teks yang terdapat dalam film ini. Jika dianalisa, secara umum guru Ibrahim dalam film titian serambut dibelah tujuh ini hendak mengkonstruksi tema besar yakni tentang keikhlasan, kesabaran dan perjuangan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar serta cobaan yang dihadapinya.
    [Show full text]
  • Nilai-Nilai Pendidikan Profetik Dalam Film Sang Pencerah Karya Hanung Bramantyo
    NILAI-NILAI PENDIDIKAN PROFETIK DALAM FILM SANG PENCERAH KARYA HANUNG BRAMANTYO SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Purwokerto Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam Oleh: ALFIATIN NIM. 1123301017 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO 2015 i ii MOTTO “Segala yang Aku Tahu, Aku Tahu Hanya Karena Cinta” 1 (Leo Tolstoy) 1 Michael Hoffman, The Last Station, (Hollywood, Egoli Tossel Film Halle, 2009), sebuah film biopic Leo Tolstoy. iii PERSEMBAHAN Terimakasih Tuhan atas segala kasih sayang-Mu, memberikan orang-orang terbaik untuk menemani hidup ini. Karya sederhana ini penulis persembahkan dengan setulus kasih kepada sepasang pahlawan yang telah mengajariku membaca mulai dari Alif-Ba-Ta, A-B-C-D, hingga Ha-Na-Ca-Ra-Ka, Bapak Ikhwan dan Ibu Markhamah. Dan sebagai kado sederhana kepada persyarikatan, selamat Muktamar ke-47 dan selamat milad ke 106 tahun. Selamat Muktamar ke-33 juga, organisasi seperjuangan, Nahdlatul ‘Ulama, semoga terjalin persaudaraan seperti halnya para founding father keduanya. iv v NOTA DINAS PEMBIMBING Kepada Yth. Dekan FTIK IAIN Purwokerto Di Purwokerto Assalamu’alaikum Wr. Wb. Setelah melakukan bimbingan, telaah, arahan, dan koreksi terhadap penulisan skripsi dari Alfiatin, NIM: 1123301017 yang berjudul Nilai-Nilai Pendidikan Profetik dalam Film Sang Pencerah Karya Hanung Bramantyo Saya berpendapat bahwa skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada Rektor IAIN Purwokerto untuk diujikan dalam rangka memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Pendidikan Islam (S.Pd.I). Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Purwokerto, Juli 2015 Pembimbing, Dr. H. Moh. Roqib, M.Ag. 19680816 199403 1 004 vi Nilai-nilai Pendidikan Profetik dalam Film Sang Pencerah Karya Hanung Bramantyo Alfiatin NIM: 1123301017 ABSTRAK Penelitian ini meneliti tentang Nilai-nilai Pendidikan Profetik dalam Film Sang Pencerah Karya Hanung Bramantyo.
    [Show full text]
  • Membaca Kemungkinan Film Sebagai Objek Penelitian Sastra
    Parafrase Vol. 17 No.02 Oktober 2017 Halaman 33 – 38 https://doi.org/10.30996/parafrase.v17i2.1369 MEMBACA KEMUNGKINAN FILM SEBAGAI OBJEK PENELITIAN SASTRA Tri Wahyudi Akademi Film Yogyakarta Abstract. There is still a debate on film and literature relationship. Some argued that films and videos were in the opposite site of language activities, that is, films and videos tried to present the concrete, particular, and sensational forms of life. While others argued that films might be the objects of literary researches. This article aims at exploring the relationship of films and literature and uncovering the position of films as the object of research of literature students. Films and literatue’s relationship cannot be separated from the activity of adapting literary work into movie, or ecranisation. Ecranisation theory bridges the relationship of film and literature and make a film suitable object of a literary research. Yet, there are some who argue that a film which is not the product of ecranisation can become the object of a literary research under the umbrella of culture study, that everything may undergo a redefinition. Key words: literature, film, ecranisation, text, redefinition Pendahuluan Dari fenomena tersebut, sastra dan Sastra dan film adalah dua hal film adalah peluang yang paling mudah yang akrab dalam kehidupan manusia saat bagi manusia mengisi ruang sunyi untuk ini. Di antara hiruk pikuk aktivitas sehari- mendapatkan pleasure. Novel, misalnya, hari, sastra dan film hadir sebagai alternatif dapat dibawa kemana saja dan dibaca saat yang gampang ditemui untuk santai atau di waktu senggang. Demikian menghilangkan kebosanan, mengatasi juga film, sepulang kerja atau ketika kejenuhan, dan mengusir kepenatan di sela- liburan, orang dapat pergi ke biosskop sela pekerjaan.
    [Show full text]
  • BAB II GAMBARAN UMUM FILM SANG PENCERAH A. Film Sang
    BAB II GAMBARAN UMUM FILM SANG PENCERAH A. Film Sang Pencerah Film Sang Pencerah merupakan film karya Hanung Bramantyo yang berangkat dari kisah sejarah perjuangan salah satu tokoh besar K.H. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah. Kisah ini diadopsi dan dikembangkan oleh Hanung Bramantyo menjadi skenario film yang selanjutnya diproduksi menjadi film yang berjudul “Sang Pencerah”. Film Sang Pencerah berdurasi 112 menit dan menghabiskan biaya 12 Miliyar ini ditulis dan disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Film ini diproduseri oleh Raam Punjabi di bawah naungan PT Multivision Plus (MVP) dan mendapat dukungan penuh dari PP Muhammadiyah. Pemain film ini diantaranya: Lukman Sardi, Ihsan Taroreh, Slamet Rahardjo, Zazkia Adya Mecca, Yati Surachman, Pangki Suwito, Ikranegara, Sujewo Tejo, Ricky Perdana, Mario Irwansyah, Denis Adhiswara, Abdurrahman Afif, serta penampilan perdana dari Giring Nidji. Syuting perdana Film Sang Pencerah dimulai tanggal 21 Mei 2010 sekaligus menandai rangkaian proses produksi film yang menjadi kado istemewa Milad ke-100 warga Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Berbicara masalah proses pembuatan film serta sukses atau tidaknya dalam proses produksinya, tentu saja tidak akan pernah lepas dari peran tim kreatif yang terlibat. 30 Berikut beberapa tim kreatif yang terlibat di dalam proses produksi film, diantaranya : (Gambar 2 : Cover Film Sang Pencerah) Sumber: www.wikepedia.com B. Tokoh-tokoh Dalam Film Sang Pencerah Keberhasilan sebuah film ditentukan oleh performa pemain (cast) dan akting, keberhasilan film tentu juga tidak lepas dari orang-orang yang bekerja dibalik layar yang biasa dikenal sebagai crew film (Pratista, 2008: 154). Berikut adalah cast dan crew dalam film sang pencerah yang peneliti kaji. CAST Pemeran Tokoh - Ikhsan Taroreh - Muhammad Darwis - Lukman Sardi - Ahmad Dahlan - Yati Soerachman - Nyai Abubakar - Slamet Rahardjo Jarot - Kyai Penghulu Kamaludiningrat 31 - Giring Nidji - M.
    [Show full text]
  • Indonesian Muslim Youth Identity Construction in Indonesian Religious Films
    Indonesian Muslim Youth Identity Construction in Indonesian Religious Films Fadhillah Sri Meutia1, Jalaluddin2 ¹Sociology Department, University of Indonesia 2Islamic Communication and Broadcasting Study Program, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Indonesia [email protected] Abstract Keywords popular culture; film industry; This paper seeks to describe the development of cultural sociology studies from a media perspective as a response to technological Indonesian Muslim youth developments and globalization to see today's screen culture. Interestingly, it examines the encounters of American, European, Asian and Muslim cultures through Indonesian screen culture. The researcher chose the film Ayat-Ayat Cinta, as a study material because it got the attention of contemporary Indonesian Muslim audiences, making it interesting to observe. This research examines the workings of Indonesian popular religious films in shaping public opinion regarding the rise of post-Islamism by educated young Indonesian Muslims. The integration between Islam and consumption of popular culture is significantly studied in this study. Through text observation, This research finds that the relationship between religion and popular culture is not a simple cause and effect relationship. Through the perspective of semiotics and the theory of reality construction from Peter L. Berger and Thomas Luckmann, this study suggests that Indonesian Muslim youths shape themselves as subjects of modern Islam. This adjustment is modified from certain values offered by Islamic films very subtly. I. Introduction In this century, religion has become a practice of commodification and commercialization in such a way. This situation is possible because films, music, radio, television, tabloids, and newspapers have become the main concern of contemporary society, which spends most of its time constructing itself in the formation of identity.
    [Show full text]
  • Negotiating Islam with Cinema a Theoretical Discussion on Indonesian Islamic Films
    PB Vol. 14 No. 1 (April 2012) AHMADWacana NURIL Vol. HUDA 14 No., Negotiating 1 (April 2012):Islam with1–16 cinema 1 Negotiating Islam with cinema A theoretical discussion on Indonesian Islamic films AHMAD NURIL HUDA Abstract This paper aims at exploring certain negotiations that justify Muslim’s cinematic texts and practices. It focuses on the questions about what is Islamic and un- Islamic about film, who and what decides certain films as Islamic, and what are the meanings of cinematic practices of Islam for Muslim society. Furthermore, this paper tries to investigate these questions from a theoretical basis using concepts of Islamic modernity, Islamic Ummah and Public, in order to shed some light on the idea of how a production of an Islamic film may trigger the creation of a political and religious identity. Keywords Indonesian Islamic film, Islamic modernity, Islamic Ummah and Public. a. Introduction Over the last five years, we have witnessed Islam’s increasing omnipresence in the realm of Indonesian cinema. At present, in Indonesia, Islamic films with a large variety of themes abound using many ways of mediations and practices. Films picturing Islamic symbols, rituals and values, whether in a propagative (dakwah) manner or not, are not only screened in theatres, but also broadcast on TV, available on disks, and may be downloaded from the Internet. As a result, new cinematic practices have emerged in the country. If in the early 1960s many good Indonesian Muslims avoided going to the movies because it was associated with improper behaviour, now a days, even devout Muslims living in pesantren (Islamic boarding house) may attend films screened in theatres and produce films of their own.
    [Show full text]
  • Alcoholic Beverages in Indonesian Movies
    Ashdin Publishing Journal of Drug and Alcohol Research ASHDIN Vol. 7 (2018), Article ID 236062, 09 pages publishing doi:10.4303/jdar/236062 Research Article Alcoholic Beverages in Indonesian Movies Redi Panuju and Daniel Susilo* Faculty of Communications Science, Dr Soetomo University, Indonesia Address correspondence to Daniel Susilo, [email protected] Received 28 August 2018; Revised 08 November 2018; Accepted 14 November 2018 Copyright © 2018 Daniel Susilo, et al. This is an open access article distributed under the terms of the Creative Commons Attribution License, which permits unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly cited. Abstract The State prohibition on free circulation of liquor Alcoholic beverages, or what is often referred to as liquor is a threat to is related to consequences of excessive consumption. people's lives due to destructive effects when consumed in excess. In Excessive consumption of liquor can lead to disruption Indonesia, the prohibition on using alcoholic beverages is regulated in of liver function, which can lead to hepatitis, gastric Criminal Code (KUHP). Dealers who cause drunkenness and anyone who makes children under the age of 16 drunk are subject to prison damage, damage to body tissues, increased risk of breast sentences. However, as a life story, the phenomenon of using alcoholic cancer, damage to brain function, and damage to the heart beverages is fascinating and because of that, many works of art such as and kidneys. This could result in a stroke, nerve paralysis movies make use of the phenomenon of using alcoholic beverages as and organ failure, which could lead to disability and even a story.
    [Show full text]
  • Nilai-Nilai Dakwah Dalam Film Sang Pencerah
    Nilai-nilai Dakwah dalam Film Sang Pencerah Edi Amin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Abstract: Religious movies have been largely produced nowadays. One of them is Sang Pencerah, a movie directed by Hanung Bramantyo and sponsored by one of the largest religious organization in Indonesia, Muhammadiyah. This is a biography movie from its founder, KH. Ahmad Dahlan. Since it describes about a religious leaders and his central role in establishing Muhammadiyah, we can find many experiences and facts from Dahlan during his proselytizing. Muhammadiyah is known as a proselytizing organization, with the main principles of amar makruf nahi munkar (call for goodness and forbidden disavowal). This article presents the proselytizing dimensions by Dahlan as seen in the movie. Keywords: Sang Pencerah, film religius, dakwah, KH. Ahmad Dahlan. A. Pendahuluan Tulisan ini melihat pesan-pesan dakwah yang disampaikan dalam film Sang Pencerah (SP). Film religi SP yang mengangkat perjuangan seorang tokoh pendiri organinisasi masa Islam Muhammadiyah, KH. Achmad Dahlan, pada dasarnya merupakan transformasi budaya masa lalu (sejarah). Bangsa besarlah yang mau becermin pada sejarah, dalam arti sejarah masa lalu dijadikan guru bagi menata visi dan misi bangsa ke depan. Film sebagai media komunikasi memiliki peran efektif dalam Kontekstualita, Vol. 25, No. 2, 2010 313 EDI AMIN menyampaikan pesan. Stephen W. Littlejohn dan Kareen A. Foss menyatakan bahwa media merupakan bagian dari kekuatan institusi suatu masyarakat (society’s institutional forces); penyebaran pesan dapat memengaruhi masyarakat sebagai representasi budaya.1 Sayangnya, nilai budaya tidak sepenuhnya dapat ditranformasikan, apalagi jika budaya itu dianggap telah lalu. Banyak kendala, selain persoalan dana atau biaya produksi, karena masih ada anggapan bahwa yang lama telah usang.
    [Show full text]
  • Bab I Pendahuluan
    BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Industri perfilman Indonesia telah berkembang sejak tahun 1900 hingga saat ini. Ratusan bahkan ribuan judul film telah diproduksi para sineas film Indonesia dengan berbagai genre. Berbagai pelosok negeri telah dijelajahi para sineas bangsa untuk dijadikan sebagai latar cerita film, tidak terkecuali Yogyakarta. Yogyakarta merupakan salah satu kota yang sangat berperan penting bagi perkembangan dunia perfilman di Indonesia. Dimulai pada zaman revolusi terdapat tiga sekolah film yang berada di Yogyakarta, yakni Kino Drama Atelier (KDA) yang didirikan oleh Dr. Huyung, D. Djajakusuma, D. Suraji, dan Kusbini. Selanjutnya Stichting Hiburan Mataram (STM) didirikan oleh pejabat Kementrian Penerangan, yaitu R.M. Daryono, R.M. Haryoto, dan R. Margono Djojohadikusumo. Pada tahun 1948, Kementrian Penerangan mendirikan sekolah yang ketiga yaitu, Cine Drama Atelier (CDI).1 Keberadaan sekolah film di Yogyakarta tidak berhenti pada zaman revolusi saja. Pada saat ini, jumlah sekolah film semakin berkembang akibat dari semakin meningkatnya minat kaum muda terhadap dunia perfilman. Beberapa sekolah tersebut antara lain, Institut Seni Indonesia (ISI), Sekolah Tinggi Multi Media Yogyakarta, dan Art Film School. Adanya sekolah-sekolah film tersebut di Yogyakarta dapat membantu menggali potensi para sineas muda yang berasal dari Yogyakarta agar dapat berkiprah dalam dunia perfilman nasional bahkan internasional. Berbicara mengenai dunia perfilman pasti tidak lepas dengan peran penting sutradara untuk mengarahkan jalannya cerita dalam suatu film. Dalam hal ini, Yogyakarta juga telah menyumbangkan anak daerah terbaiknya untuk berkarya dalam dunia perfilman nasional. Sebut saja Garin Nugroho dan Hanung Bramantyo. Keduanya merupakan sutradara populer di dunia perfilman Indonesia yang berasal dari Yogyakarta. Garin Nugroho merupakan salah satu sutradara dan produser yang terkenal di Indonesia.
    [Show full text]
  • The Conservation of Cultural Heritage Areas of Film City in Kota Lama of Semarang
    The Conservation of Cultural Heritage Areas of Film City in Kota Lama of Semarang Sri Wastiwi Setiawati, Titus Soepono Adji, Widhi Nugroho, Iwan Darmawan, Moh. Rusnoto Susanto, Adri Yandi { [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected] } Jurusan Televisi, Institut Seni Indonesia Surakarta, Surakarta-Indonesia1,2,3, Jurusan Televisi Institut Kesenian Jakarta, Jakarta-Indonesia4, Program Studi Pendidikan Seni Rupa, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta-Indonesia5, Jurusan Televisi, Institut Seni Budaya Indonesia, Padang Panjang-Indonesia6 Abstract. The objective of this study is (1) to obtain the potential data of Kota Lama of Semarang, as a Cultural Heritage area of a Film City and (2) to produce a map of the potential of Kota Lama, both aesthetic and artistic potentials through a visual potential that might be used as a shooting location in Kota Lama. As a qualitative research, the approach used is a verification that has an inductive approach toward the entire research processes. The study explored qualitatively and verificatively, along with data from area managers, and filmmakers who made movies in Kota Lama of Semarang. As the data show, around 20 films use Kota Lama Area as a shooting location, and most of the historical genre films are colossal in nature. In addition to the visual potential of the region, the research results seek to maximize the role of Kota Lama area as a center for film production in Indonesia, as it is much-needed to map out problems and obstacles, regulation and licensing, technical support for film production, public supporting facilities, and warehousing of a workshop for storing and cultivating artistic sets.
    [Show full text]