Budaya Pop Indonesia I(Ehangatan Seusai Perang Dingin

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Budaya Pop Indonesia I(Ehangatan Seusai Perang Dingin Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> Budaya Pop Indonesia I(ehangatan Seusai Perang Dingin AriellIeryanto Tulisan ini mengkaji dinamika hebudayaan pop di Indonesia pada awal abad ke-21, dan beberapa masalah dalam pendekatan ten tang kajian budaya lpnumnya. Kajian iui diletahhan dalam honteksdua arus besar peruhahan kemasyarakatan,yahni berakhinlya Perang Dingin dan semakin mantapnya industri kapitalisme dalam kehidupan sehari-hari. Ulasan ini diawali dengan mempertanyakan apa yang terjadi dalam dinamiha kehudayaan mutakhir. Kemudian, mengapa perhatian kaum peneliti untuk hudaya pop selanta ini masih sangat langka. Pada bagian penutup dibahas tiga kasus yang menggambarlwn dinamika dan tantangan yang dihadapi Indonesia da/am beberapa dekade ke depan: seniman dangdut Illll! DaratistaJilm Ayat-ayat Cinta, dan demam sinetroll dari Asia Timur. ndonesia sedang memasuki sebuah bagi­ Tulisan ini memusatkan perhatian pada an baru dari sejarahnya. Perubahan ini ti­ dinamika kebudayaan pop di Indonesia pada I dak berpangkal dan tidak disebabkan oleh awal abad ke-21, dan beberapa masalah dalam jatuhnya rezim Orde Baru dan apa yang disebut pendekatan tenlang kajian budaya umumnya. reformasi. Perubahan ini berlingkup luas, me­ Uraian ini didasarkan pada asumsi bahwa dua lintasi batas-batas nasional, dan prosesnya proses bt'sar telah memungkinkan terjadinya sudah berlangsung sebelum jatuhnya Orde perubahan mutakhir yang dibahas di sini, yakni Bam. Boleh dikatakan secara terbalik, jatuhnya berakhimya Perang Dingin dan semakin man­ Orde Bam dan percik-percik so sial yang disebut tapnya industri kapitalisme dalam kehidupan reformasi merupakan sebagian dari akibat tak sehari-hari. Keduanya berlingkup global. Ke­ tere1akkan dan sebagian kecil dari wajah per­ duanya bukan sosok orang, kelompok orang, ubahan tersebut.1 atau lembaga yang dibentuk orang. Keduanya 1 Banyak ulasan yang secara gegabah mengang­ Orde Baru tidak serta-rnerta clisusul clengan gap runtuhnya Orde Baru clan gerakan rt'for­ serangkaian perubahan yang serba anti-Orde masi menjacli pangkal dan pen)'l'bab berbagai Baru atau koreksi terhadap praktik politik Orde perubahan sosial. politik. dan kebudayaan di Baru. Jika gf'rakan rdormasi diangankan Indonesia. Pandangan arus utama seperti itu sebag<.li keku<.ltan yang sedeI11ikian hebat tidak mampu nwnjelaskan dua hal [lenting. sehingga I11aI11[lu menggulingkan OrM Baru, Pertarna, bila kejatuhan Orde Baru nlf'nj<.lcli awal tidak Has I11mgapa gerabn itu segf'r<.l lunglai dan "S;:mg Sebab", apa yang menjadi penyebab clengan sendirinya sdelah Ordl' Baru yang "Sang Sebab"? Kedua, nwngapa tumbangnya dim usuhiny<.l tum bang. ---------~ -_.- - Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> 16 Prisnza Vol. 28, No.2, Oktober 2009 berbeda dan tidak saling bergantung seC31-a dan penclekatan yang berbeda clibutuhkan un­ internal, tetapi dalam kenyataan keduanya tuk memahami proses pembahan yang sudah berjalan seiring dan saling menguatkan. dan sedang terjadi di sekitar kita. (JIasan ini Walau dua proses global itu "memungkin­ diawali dengan mempertanyakan apa yang kan" terjaclinya sejumlah pembahan penting di teliadi dalam dinamika kebudayaan mutakhir. Indonesia clan Asia pada awal abad ke-21, tidak Kemudian dipertanyakan mengapa selama ini beraIii keduanya serba menentukan, apalagi perhatian kaum peneliti untuk hal-hal ini masih secara seragam dan rinci, pem bahan itu dari sangat langka. Dan sedikit kajian yang ada, kita masa ke masa dan dari sat u masyarakat ke paparkan kekuatan dan kelemahan mereka. masyarakat lainnya. Kebudayaan mutakhir Pada bagian penutup dibahas tiga kasus yang berkembang dalam bentuk dan ke arah yang menggambarkan clinamika dan tantangan yang berbeda-beda. Untuk memahami proses ini dihadapi Indonesia dalam beberapa clekade ke dibutuhkan berbagai keterbukaan sikap, wa­ depan: kasus artis dangdut Inul Daratista, film wasan, pendekatan, kerangka kerja dan materi Ayat-ayat Cinta, dan demam sinetron dari Asia kajian yang lebih luwes dari yang telah menjadi Timur. kebiasaan umum di kalangan ilmuwan. Sengaja budaya pop dijaclikan pokok ba­ Perubahan Budaya Pop hasan clalam tulisan ini, karena dua alasan. Di Mutakhir satu pihak, pada awal abad ke-21 ini kita me­ nyaksikan pembahan besar-besaran, baik claIan1 Masuknya seorang seniman ke dalam poli­ produksi dan konsumsi budaya pop di Indonesia tik bisa dijumpai di banyak negara, juga eli maupun cli beberapa negara tetangga. Di pihak Indonesia. Tetapi proses yang sebaliknya - lain, kebudayaan pada umumnya dan buclaya politikus menampilkan din terlibat dalam hiruk pop khususnya, mempakan "wilayah gelap" pikuk budaya pop - seperti eli Indonesia, mung­ atau "binatang ganjil" yang seIama ini tidak kin agak langka. Sampai dengan tumbangnya pemah cukup berhasil dipahami clan diminati rezim Orde Bam di tahun 1998 belum pernah para pene1iti kemasyarakatan. Para penggiat terbayangkan ada calon presiden RI yang bere­ dalam biclang seni dan budaya mutakhir (term a­ but perhatian massa lewat panggung reality suk pop) selama ini tampaknya kurang benninat show di televisi atau sejenisnya dengan ikut menawarkan metode kajian kritis kebudayaan berlomba bakat menyanyi clan berhasil masuk tandingan dan pendekatan yang telah mapan. Di grandjinal.3 Bukan karena di masa yang lampau kalangan para peneliti akaclemik sendiri, analisis belum ada acara sejenis itu. Sebelum abad ke- kebuclayaan mempakan titik terlemah clalam 21 belum terbayang bakal ada Presiden RI yang berbagai teori besar ilmu-ilmu sosial pada abad dengan bangga membuat lagu, main giLar di ke-20.2 depan umum, menyanyi lagu pop, dan membuat Di abad ke-20 tidak hanya sekali Prism a album rekaman lagu-lagunya. Tiga album re­ membahas masalah kebudayaan sebagai tema kaman Presiden Susilo Bambang Yuclhoyono utama. Beberapa di antaranya secara khusus masih di bawah jumlah album politikus lain eli membahas kebudayaan pop. Boleh disimpulkan masa yang hampir sama. 4 Mungkin baru di abad kalau semua pembahasan tersebut menjadi se­ ke-21 ini ada menteri yang secara khusus buah bagian sejarah yang telah lewat. Wawasan 1 Lihat, Tulus Wijanarko et aI, "Wiranto dan SBY 2 Lihat, Bryan S Turner, "Baudrillard for Socio­ 'Lolos' Grand Final AFI", dalam Koran Tempo, 20 logists", dalam C Rojek dan Bryan S Turner Juni 2004. (eds.), Forget Baudrillard? (London: Routledge, 4 "Laporan Utama", dalam Jawa Pas, 2 Februari 1993), hal. 70-87. 2009, hal. 2. Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com> Ariel Heryanto, Budaya Pop Indonesia: Kehangatan Seusai Perang Dingin 17 menyecliakan waktu berlatih menyanyikan lagu tiga juta orang. Inilah film yang paling banyak kelompok musikus muda yang sedang populer. dielu-elukan dan diperbincangkan media massa Menteri Perdagangan Mari Pangestu mengaku sebagai film Islami, walau beberapa kritikus dan berlatih menyanyikan lagu-Iagu Samsons "se­ kaum Muslim menyanggah penilaian demikian. kitar satu jam bersama instmktur musik" (entah lnilah salah satu film Indonesia paling awal yang setiap minggu atau bulan) di sela-sela kesi­ kepopulerannya clijadikan rebutan para politikus bukannya, dan hal ini cliberitakan dalam sebuah tingkat tinggi untuk membonceng ketenaran harian di bawah rubrik berita "Ekonomi dan atau ikut merebut perhatian massa. Bisnis".5 Setelah Ketua Majelis Pennusyawaratan Walau mencintai kesenian, Presiden Sukar­ Rakyat Hidayat Nur Wahid, mantan Presiden no sempat melabrak dan memusuhi musik pop BJ Habibie, Wakil Presiden dan Ny Mufida Barat. Di masa pemerintahan Presiden Suharto, Jusuf Kalla, berbondong-bondong menyaksikan musik dangdut pemah dilarang siaran di stasiun Ayat-ayat Cinta, Presiden Susilo Bambang televisi, dan pertunjukan pemusik dangdut Yudhoyono mengajak istrinya "yang bam sem­ paling p6pulerwaktu itu diganggu karena men­ buh dari sakit" untuk ikut menonton film itu dukung kampanye partai saingan partai peme­ pada 28 Maret 2008. Hal yang luar biasa, rintah.6 Pada saat memuncaknya popularitas Presiden Susilo B Yudhoyono juga mengajak lagu "Hati Yang Luka" (1988) Menteri Pene­ anggota keluarga dan menantunya yang sedang rangan Harmoko segera menyatakan peno­ hamil, ditambah "sebanyak 107 diplomat dan lakannya terhadap lagu-Iagu cengeng.7 53 perwakilan kedutaan besar". Rombongan Sejak awal abad ke-21, kita saksikan secara presiden juga diikuti Menko Kesra Aburizal berturut-turut pecahnya rekor penjualan tiket Bakrie, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, oleh beberapa film buatan Indonesia mengung­ Menteri war Negeri Hassan Wirajuda, Menteri guli film-film laris Hollywood: ] elangkung Perdagangan Mari Pangestu, Menteri N egara (2001), Ada Apa dengan Cinta? (2002), Ayat­ Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, Men­ Ayat Cinta (2008), dan Laskar Pelangi (2009) teri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, dan mungkin akan berlanjut terus. Ini bukan serta Menteri Agama Maftuh Basyuni.8 Maka sekadar masalah jumlah. Sebelum masa ini tidak terbentanglah sebuah "pertunjukan tentang pernah ada seorang Presiden, Wakil Presiden, pejabat tinggi menonton pertunjukan", apalagi dan Ketua MPR dalam kesempatan berbeda­ disertai pidato dan air mata. Keesokan harinya, beda memberi sambutan besar-besaran pada di bawah rubrik "Politik Hukum", harian Kmn­ sebuah film yang oleh pembuatnya sendiri pas memberitakan kejaclian di atas. Sulit mem­ dimaksudkan pertama-tama dan terutama se­ bayangkan hal seperti itu dilakukan oleh bagai komoclitas hiburan. presiden-presiden RI sebelumnya, atau bahkan Film Ayat-ayat Cinta penting dalam sejarah salah seorang menteri negara. Tampaknya kita. Bukan saja karena ini film kali pertama yang
Recommended publications
  • Plagiat Merupakan Tindakan Tidak Terpuji Plagiat
    PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI PEMERINTAHAN PRESIDEN B.J. HABIBIE (1998-1999): KEBIJAKAN POLITIK DALAM NEGERI MAKALAH Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Oleh: ALBERTO FERRY FIRNANDUS NIM: 101314023 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2015 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI PEMERINTAHAN PRESIDEN B.J. HABIBIE (1998-1999): KEBIJAKAN POLITIK DALAM NEGERI MAKALAH Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Oleh: ALBERTO FERRY FIRNANDUS NIM: 101314023 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2015 i PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI ii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI iii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI HALAMAN PERSEMBAHAN Makalah ini ku persembahkan kepada: Kedua orang tua ku yang selalu mendoakan dan mendukungku. Teman-teman yang selalu memberikan bantuan, semangat dan doa. Almamaterku. iv PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI HALAMAN MOTTO Selama kita bersungguh-sungguh maka kita akan memetik buah yang manis, segala keputusan hanya ditangan kita sendiri, kita mampu untuk itu. (B.J. Habibie) Dimanapun engkau berada selalulah menjadi yg terbaik dan berikan yang terbaik dari yg bisa kita berikan. (B.J. Habibie) Pandanglah hari ini, kemarin sudah jadi mimpi. Dan esok hanyalah sebuah visi. Tetapi, hari ini sesungguhnya nyata, menjadikan kemarin sebagai mimpi kebahagiaan, dan setiap hari esok adalah visi harapan.
    [Show full text]
  • Digital Repository Universitas Jember Digital Repository Universitas Jember 106
    DigitalDigital RepositoryRepository UniversitasUniversitas JemberJember SKRIPSI PERAN AKBAR TANDJUNG DALAM MENYELAMATKAN PARTAI GOLKAR PADA MASA KRISIS POLITIK PADA TAHUN 1998-1999 Oleh Mega Ayu Lestari NIM 090110301022 JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS JEMBER 2016 DigitalDigital RepositoryRepository UniversitasUniversitas JemberJember PERAN AKBAR TANDJUNG DALAM MENYELAMATKAN PARTAI GOLKAR PADA MASA KRISIS POLITIK PADA TAHUN 1998-1999 SKRIPSI Skripsi diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Jurusan Sejarah (S1) dan mencapai gelar sarjana sastra Oleh Mega Ayu Lestari NIM 090110301022 JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS JEMBER 2016 DigitalDigital RepositoryRepository UniversitasUniversitas JemberJember PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Mega Ayu Lestari NIM : 090110301022 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah yang berjudul:Peran Akbar Tandjung Dalam Menyelamatkan Partai Golkar Pada Masa Krisis Politik Pada Tahun 1998-1999”adalah benar-benar hasil karya ilmiah sendiri, kecuali jika dalam pengutipan substansi disebutkan sumbernya, dan belum pernah diajukan pada institusi manapun, serta bukan karya jiplakan. Saya bertanggung jawab atas keabsahan dan kebenaran isinya sesuai dengan sikap ilmiah yang harus dijunjung tinggi. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa adanya tekanan dan paksaan dari pihak manapun serta bersedia mendapat sanksi akademik jika ternyata dikemudian hari pernyataan ini tidak benar. Jember,14Maret
    [Show full text]
  • The Cultural Traffic of Classic Indonesian Exploitation Cinema
    The Cultural Traffic of Classic Indonesian Exploitation Cinema Ekky Imanjaya Thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy University of East Anglia School of Art, Media and American Studies December 2016 © This copy of the thesis has been supplied on condition that anyone who consults it is understood to recognise that its copyright rests with the author and that use of any information derived there from must be in accordance with current UK Copyright Law. In addition, any quotation or extract must include full attribution. 1 Abstract Classic Indonesian exploitation films (originally produced, distributed, and exhibited in the New Order’s Indonesia from 1979 to 1995) are commonly negligible in both national and transnational cinema contexts, in the discourses of film criticism, journalism, and studies. Nonetheless, in the 2000s, there has been a global interest in re-circulating and consuming this kind of films. The films are internationally considered as “cult movies” and celebrated by global fans. This thesis will focus on the cultural traffic of the films, from late 1970s to early 2010s, from Indonesia to other countries. By analyzing the global flows of the films I will argue that despite the marginal status of the films, classic Indonesian exploitation films become the center of a taste battle among a variety of interest groups and agencies. The process will include challenging the official history of Indonesian cinema by investigating the framework of cultural traffic as well as politics of taste, and highlighting the significance of exploitation and B-films, paving the way into some findings that recommend accommodating the movies in serious discourses on cinema, nationally and globally.
    [Show full text]
  • Indonesia: Press Closures in Indonesia One Year Later
    Indonesi2 Page 1 of 5 Recent Reports Support HRW About HRW Site Map July 1995 Vol. 7, No. 9 INDONESIA PRESS CLOSURES IN INDONESIA ONE YEAR LATER Today marks the first anniversary of the Indonesian government's ban on three popular Indonesian news publications: the weekly magazines, Tempo and Editor, and the tabloid newspaper, Detik. The ban reversed a trend toward greater openness in Indonesia. It was followed by harassment, including arrests, of independent journalists, attempts to prevent discussions of social and political issues from taking place in the media or in seminars; and gag orders, detention proceedings, and other punitive measures against well-known critics or political opponents of the government. The ban on the three publications, apparently triggered by a Tempo article critical of Soeharto favorite B.J. Habibie, minister of research and technology, also caused unprecedented public outrage and street demonstrations in Jakarta and other cities. It led to the formation in August 1994 of the Alliance of Independent Journalists (AJI, in its Indonesian acronym), a direct challenge to the government-sponsored Association of Indonesian Journalists (Persatuan Wartawan Indonesia or PWI). On Friday, June 16, 1995, the trial of three AJI members opened in Central Jakarta District Court. They are charged, among other things, with spreading hatred toward the government for publishing a bulletin of lively and critical political commentary. Human Rights Watch calls on the Indonesian government to release all those detained for peaceful expression of their opinion; to end the use of the "spreading hatred" clauses of the Indonesian Criminal Code and work towards their elimination from the code; and to show the kind of tolerance for differing views that Indonesian officials up to and including President Soeharto have said is the hallmark of a mature state.
    [Show full text]
  • Analisis Wacana Dalam Film Titian Serambut Dibelah
    ANALISIS WACANA FILM TITIAN SERAMBUT DIBELAH TUJUH KARYA CHAERUL UMAM Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) Oleh: ZAKKA ABDUL MALIK SYAM NIM: 105051001918 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M / 1430 H ABSTRAK “Analisis Wacana Film Titian Serambut Dibelah Tujuh karya Chaerul Umam” Oleh : Zakka Abdul Malik Syam 105051001918 Film Titian Serambut dibelah Tujuh merupakan salah satu film ber-genre drama religi, mengusung tema seputar perjuangan sesosok guru muda yang bernama Ibrahim yang telah menimba ilmu dari pesantren. Dalam langkahnya sebagai guru muda yang ingin menerapkan ilmunya di tengah masyarakat ia menemui banyak sekali tantangan dan lika-liku dalam kehidupannya, namun semua itu ia hadapi dengan keikhlasan dan kesabaran serta perjuangan. Kemudian yang menjadi pertanyaan utama adalah bagaimana gagasan atau wacana yang terdapat dalam film Titian Serambut Dibelah Tujuh yang di sutradarai oleh Chaerul umam? Selanjutnya akan melahirkan sub-question mengenai nilai-nilai moral apa saja yang terdapat dalam film titian serambut dibelah tujuh ini? Metode yang digunakan adalah analisis wacana dari model Teun Van Dijk. Dalam model Van Dijk ada tiga dimensi yang menjadi objek penelitiannya, yaitu dimensi teks, kognisi sosial, dan juga konteks sosial adalah pandangan atau pemahaman komunikator terhadap situasi yang melatar belakangi dibuatnya film tersebut. Sedangkan dimensi teks adalah susunan struktur teks yang terdapat dalam film ini. Jika dianalisa, secara umum guru Ibrahim dalam film titian serambut dibelah tujuh ini hendak mengkonstruksi tema besar yakni tentang keikhlasan, kesabaran dan perjuangan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar serta cobaan yang dihadapinya.
    [Show full text]
  • Membaca Kemungkinan Film Sebagai Objek Penelitian Sastra
    Parafrase Vol. 17 No.02 Oktober 2017 Halaman 33 – 38 https://doi.org/10.30996/parafrase.v17i2.1369 MEMBACA KEMUNGKINAN FILM SEBAGAI OBJEK PENELITIAN SASTRA Tri Wahyudi Akademi Film Yogyakarta Abstract. There is still a debate on film and literature relationship. Some argued that films and videos were in the opposite site of language activities, that is, films and videos tried to present the concrete, particular, and sensational forms of life. While others argued that films might be the objects of literary researches. This article aims at exploring the relationship of films and literature and uncovering the position of films as the object of research of literature students. Films and literatue’s relationship cannot be separated from the activity of adapting literary work into movie, or ecranisation. Ecranisation theory bridges the relationship of film and literature and make a film suitable object of a literary research. Yet, there are some who argue that a film which is not the product of ecranisation can become the object of a literary research under the umbrella of culture study, that everything may undergo a redefinition. Key words: literature, film, ecranisation, text, redefinition Pendahuluan Dari fenomena tersebut, sastra dan Sastra dan film adalah dua hal film adalah peluang yang paling mudah yang akrab dalam kehidupan manusia saat bagi manusia mengisi ruang sunyi untuk ini. Di antara hiruk pikuk aktivitas sehari- mendapatkan pleasure. Novel, misalnya, hari, sastra dan film hadir sebagai alternatif dapat dibawa kemana saja dan dibaca saat yang gampang ditemui untuk santai atau di waktu senggang. Demikian menghilangkan kebosanan, mengatasi juga film, sepulang kerja atau ketika kejenuhan, dan mengusir kepenatan di sela- liburan, orang dapat pergi ke biosskop sela pekerjaan.
    [Show full text]
  • Indonesia Has Held General Elections Many Times from 1955 to 2019. The
    LEGAL REGULATIONS FOR THE GENERAL ELECTION SYSTEM IN INDONESIA FROM THE 1955 ELECTION TO THE CONCURRENT ELECTION OF 2019 Mahesa Rannie1 Abstract: Indonesia has held general elections many times from 1955 to 2019. The arrangement of the electoral system in Indonesia always changes from time to time in each election administration. In the process of changing the laws and the regulations for every election, there has always been legal political dynamics. After the 2014 elections, there have been changes regarding the conduct of elections in Indonesia. The Constitutional Court (MK) granted the petition for a judicial review of Law Number 42 of 2008 concerning the Election of President and Vice President in 2014, so that the implementation of elections in Indonesia entered a new phase in 2019 and beyond. In 2019, for the first time Indonesia held simultaneous elections. The methodology used in this study is normative. The approaches used in this study are the historical approach, the statute approach, the legal analysis approach, and the conceptual approach. Legal arrangements regarding the conduct of elections always change, starting from the highest level of legislative regulations to the lowest (from the laws to the General Election Commission regulations, presidential decrees, ministerial regulations, or other regulations). The changes in the regulations regarding the implementation of elections in Indonesia have been present since the time of the 1955 elections until the 2019 elections. Since the implementation of the 1955 elections, Indonesia has always practiced a proportional electoral system, the electoral system that is considered suitable to be applied in Indonesia. This proportional electoral system is practiced with various modifications (both the open proportional electoral system and the closed proportional system).
    [Show full text]
  • “After Suharto” in Newsweek and “End of an Era” Article in Time Magazine
    NEWS IDEOLOGY OF SUHARTO’S FALL EVENT IN “AFTER SUHARTO” IN NEWSWEEK AND “END OF AN ERA” ARTICLE IN TIME MAGAZINE AN UNDERGRADUATE THESIS Presented as Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of Sarjana Sastra in English Letters By MEITA ESTININGSIH Student Number: 044214102 ENGLISH LETTERS STUDY PROGRAMME DEPARTMENT OF ENGLISH LETTERS FACULTY OF LETTERS SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA 2010 NEWS IDEOLOGY OF SUHARTO’S FALL EVENT IN “AFTER SUHARTO” IN NEWSWEEK AND “END OF AN ERA” ARTICLE IN TIME MAGAZINE AN UNDERGRADUATE THESIS Presented as Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of Sarjana Sastra in English Letters By MEITA ESTININGSIH Student Number: 044214102 ENGLISH LETTERS STUDY PROGRAMME DEPARTMENT OF ENGLISH LETTERS FACULTY OF LETTERS SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA 2010 i ii iii A newspaper is a collection of half-injustices Which, bawled by boys from mile to mile, Spreads its curious opinion To a million merciful and sneering men, While families cuddle the joys of the fireside When spurred by tale of dire lone agony. A newspaper is a court Where every one is kindly and unfairly tried By a squalor of honest men. A newspaper is a market Where wisdom sells its freedom And melons are crowned by the crowd. A newspaper is a game Where his error scores the player victory While another's skill wins death. A newspaper is a symbol; It is feckless life's chronicle, A collection of loud tales Concentrating eternal stupidities, That in remote ages lived unhaltered, Roaming through a fenceless world. A poem by Stephen crane iv g{|á à{xá|á |á wxw|vtàxw àÉ Åç uxÄÉäxw ÑtÜxÇàá? ytÅ|Äç tÇw yÜ|xÇwá‹ TÇw àÉ tÄÄ à{x ÑxÉÑÄx ã{É Üxtw à{|á‹ v STATEMENT OF WORK’S ORIGINALITY I honestly declared that this thesis, which I have written, does not contain the work or parts of the work of other people, except those cited in the quotations and the references, as a scientific paper should.
    [Show full text]
  • INDO 78 0 1108140653 61 92.Pdf (681.3Kb)
    Indonesia's Accountability Trap: Party Cartels and Presidential Power after Democratic Transition Dan Slater1 Idolization and "Immediate Help!": Campaigning as if Voters Mattered On July 14, 2004, just nine days after Indonesia's first-ever direct presidential election, a massive inferno ripped through the impoverished, gang-infested district of Tanah Abang in central Jakarta. Hundreds of dwellings were destroyed and over a thousand Jakartans were rendered homeless. While such catastrophes are nothing unusual in the nation's chaotic capital, the political responses suggested that some interesting changes are afoot in Indonesia's fledgling electoral democracy. The next day, presidential frontrunner Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) took a break from watching his burgeoning vote totals at the five-star Borobodur Hotel to visit Tanah Abang's fire victims. Since he had just clinched pole position in Indonesia's run-off presidential election in late September, SBY's public appearance made fantastic copy. The handsome former general comforted distraught families, then crept, head and shoulders protruding through the sunroof of his campaign minivan, through a swarm of star-struck locals. Never mind the knock-off reality-television program screening for talent just a few miles away at the swanky Semanggi shopping complex; here, in one of Jakarta's least swanky settings, appeared to be the true Indonesian Idol. 1 This article draws on a comparative project with Marc Craighead, conversations and collaboration with whom have been invaluable in refining the theoretical arguments presented here. It has also greatly benefited from the thoughtful comments of Jamie Davidson, Dirk Tomsa, and an anonymous reviewer at Indonesia; the savvy and sensitive editing of Deborah Homsher; and generous fieldwork support from the Academy for Educational Development, Emory University, and the Ford Foundation.
    [Show full text]
  • STUDI KRITIS HISTORIS KOMUNIKASI MENTERI PENERANGAN HARMOKO DENGAN PERS DI ERA ORDE BARU Panggih Sundoro
    Print ISSN: 2614-8153 Online ISSN: 2614-8498 STUDI KRITIS HISTORIS KOMUNIKASI MENTERI PENERANGAN HARMOKO DENGAN PERS DI ERA ORDE BARU Panggih Sundoro Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) [email protected] Abstract The study the historical-critical communication study of Information Minister of Harmoko and press in New Order Era is an interesting phenomenon particularly during the rule of the New Order government. The struggle for freedom of the press is the symbol of press struggle like in the American Revolution. It also prevails for Indonesian press with its major figures. They were successful to insert the freedom of the press in some articles of the 1945 Constitution. After the independence, however, Indonesian press did not get the freedom instantly. In the New Order Era, the press was under the control of the government of President Suharto through the hand of Information Minister Harmoko during his three periods of ministerial office. Finally, Harmoko, a former journalist, occupied the position of Chairman of MPR RI (People’s Consultative Assembly of Republic of Indonesia). Harmoko’s communication skill to control the Indonesian press were carried out through some measures, i.e. the establishment of Indonesian Journalists’ Association (PWI), the control of Indonesian Press Board and The Indonesian News Publishers’ Association (SPS) as well as the appointment of chief editors as the Golkar party officials. Harmoko also adopted the Press Law Number 21 of 1982 and issued Press Publication Permit (SIUPP). The study applies qualitative research constructivist paradigm. It occurs in the past because it uses historical approach and public relations theories, mass media/press communication, sociological communication, psychological communication and political communication.
    [Show full text]
  • Reconfiguring Ideal Masculinity: Gender Politics in Indonesian Cinema
    Reconfiguring Ideal Masculinity: Gender Politics in Indonesian Cinema Evi Eliyanah A thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy Australian National University February 2019 © Copyright Evi Eliyanah All Rights Reserved I declare that the work presented in this thesis is my own. Where information has been derived from other sources, I confirm that this has been indicated in the thesis. Signed: 12 February 2019 Word Count: 77,081 Two roads diverged in a wood, and I— I took the one less travelled by, And that has made all the difference. Robert Frost, The Road Not Taken For Fadli. Thanks for being with me in travelling the less trodden path. Acknowledgements Praise to Allah, the Lord Almighty that I can finally get to the end of the tunnel. This thesis will never be in its final version without the constant support, confidence, and intellectually rigorous feedback and inspiration from my supervisor: Prof Ariel Heryanto. He was the one who convinced me that I could do a PhD, something previously unthinkable. He was also the one who convinced me to work in an area which I had never trodden before: masculinities. But, Robert Frost said that the road less travelled has ‘made all the difference’. It did and will always do so. My most sincere appreciation also goes to my two other highly supportive supervisors: Dr Ross Tapsell and Dr Roald Maliangkaij. Their confidence in me, intellectual insights and support have helped me build my self-confidence. They are just exceptionally kind and supportive. I would also like to thank Prof Kathryn Robinson for countless hours of fruitful discussion on masculinities in Indonesia and theories of masculinities.
    [Show full text]
  • Rendra, Nggak Pernah Mati (Setelah 10 Tahun Kepergiannya) - 11-08-2019 by Benny Benke - Alif.ID
    Rendra, Nggak Pernah Mati (Setelah 10 Tahun Kepergiannya) - 11-08-2019 by Benny Benke - Alif.ID - https://alif.id Rendra, Nggak Pernah Mati (Setelah 10 Tahun Kepergiannya) Ditulis oleh Benny Benke pada Jumat, 08 November 2019 Sepuluh tahun lalu, 6 Agustus 2009, Willibrordus Surendra Broto Rendra, yang kemudian menjadi Wahyu Sulaiman Rendra setelah memeluk Islam, wafat. Tepatnya pada malam purnama, hari Kamis, atau malam Jumat. Saya tidak dekat dengan mas Willy — sapaan penyair besar kelahiran 7 November 1935 itu. Namun saya sempat main ke Bengkel Teater beberapa kali, di tengah malam tua, dan diterima langsung dengan hati terbuka oleh mas Willy. Biasanya, begitu saya dan penyair Doddy Achmad Fauzy tiba di sana, mas Willy akan menghimpum pasukannya yang tersisa. Lalu mendongeng tentang apa saja, kepada kami semua. Seperti biasa pula, kami hanya mengamini apa yang dikatakannya. Kalau ceritanya lucu, kami terbahak tentu saja. Saat itu, awal tahun 2000-an, kesehatan mas Willy masih baik- baik saja. Meski tampak sepuh, tapi elan vitalnya kalau bercerita, masih luar biasa. 1 / 10 Rendra, Nggak Pernah Mati (Setelah 10 Tahun Kepergiannya) - 11-08-2019 by Benny Benke - Alif.ID - https://alif.id Mas Willy bisa bercerita tentang anak SMA yang belum selesai tumbuh, maaf, jemb**nya, sampai negara yang sebenarnya menjadi penjahat sebenarnya. Kami pokoknya cukup menjadi pendengar yang baik. Sisanya, biarkan mas Willy ndongeng tentang apa saja. Mas Willy happy, dan kami dapat limpahan ilmu tak berperi. Singkatnya, sebelum azan subuh tiba, kami biasanya mohon pamit. Sebelum anak-anak SMA yang belum selesai tumbuh jemb**nya terbangun untuk sekolah, kami sudah cabut. Pertemuan lain dengan mas Willy biasanya terjadi di Taman Ismail Marzuki.
    [Show full text]