Diunduh dari

Budaya Pop I(ehangatan Seusai Perang Dingin

AriellIeryanto

Tulisan ini mengkaji dinamika hebudayaan pop di Indonesia pada awal abad ke-21, dan beberapa masalah dalam pendekatan ten tang kajian budaya lpnumnya. Kajian iui diletahhan dalam honteksdua arus besar peruhahan kemasyarakatan,yahni berakhinlya Perang Dingin dan semakin mantapnya industri kapitalisme dalam kehidupan sehari-hari. Ulasan ini diawali dengan mempertanyakan apa yang terjadi dalam dinamiha kehudayaan mutakhir. Kemudian, mengapa perhatian kaum peneliti untuk hudaya pop selanta ini masih sangat langka. Pada bagian penutup dibahas tiga kasus yang menggambarlwn dinamika dan tantangan yang dihadapi Indonesia da/am beberapa dekade ke depan: seniman dangdut Illll! DaratistaJilm Ayat-ayat Cinta, dan demam sinetroll dari Asia Timur.

ndonesia sedang memasuki sebuah bagi­ Tulisan ini memusatkan perhatian pada an baru dari sejarahnya. Perubahan ini ti­ dinamika kebudayaan pop di Indonesia pada I dak berpangkal dan tidak disebabkan oleh awal abad ke-21, dan beberapa masalah dalam jatuhnya rezim Orde Baru dan apa yang disebut pendekatan tenlang kajian budaya umumnya. reformasi. Perubahan ini berlingkup luas, me­ Uraian ini didasarkan pada asumsi bahwa dua lintasi batas-batas nasional, dan prosesnya proses bt'sar telah memungkinkan terjadinya sudah berlangsung sebelum jatuhnya Orde perubahan mutakhir yang dibahas di sini, yakni Bam. Boleh dikatakan secara terbalik, jatuhnya berakhimya Perang Dingin dan semakin man­ Orde Bam dan percik-percik so sial yang disebut tapnya industri kapitalisme dalam kehidupan reformasi merupakan sebagian dari akibat tak sehari-hari. Keduanya berlingkup global. Ke­ tere1akkan dan sebagian kecil dari wajah per­ duanya bukan sosok orang, kelompok orang, ubahan tersebut.1 atau lembaga yang dibentuk orang. Keduanya

1 Banyak ulasan yang secara gegabah mengang­ Orde Baru tidak serta-rnerta clisusul clengan gap runtuhnya Orde Baru clan gerakan rt'for­ serangkaian perubahan yang serba anti-Orde masi menjacli pangkal dan pen)'l'bab berbagai Baru atau koreksi terhadap praktik politik Orde perubahan sosial. politik. dan kebudayaan di Baru. Jika gf'rakan rdormasi diangankan Indonesia. Pandangan arus utama seperti itu sebag<.li keku<.ltan yang sedeI11ikian hebat tidak mampu nwnjelaskan dua hal [lenting. sehingga I11aI11[lu menggulingkan OrM Baru, Pertarna, bila kejatuhan Orde Baru nlf'nj<.lcli awal tidak Has I11mgapa gerabn itu segf'r<.l lunglai dan "S;:mg Sebab", apa yang menjadi penyebab clengan sendirinya sdelah Ordl' Baru yang "Sang Sebab"? Kedua, nwngapa tumbangnya dim usuhiny<.l tum bang. ------~ -_.- -

Diunduh dari

16 Prisnza Vol. 28, No.2, Oktober 2009

berbeda dan tidak saling bergantung seC31-a dan penclekatan yang berbeda clibutuhkan un­ internal, tetapi dalam kenyataan keduanya tuk memahami proses pembahan yang sudah berjalan seiring dan saling menguatkan. dan sedang terjadi di sekitar kita. (JIasan ini Walau dua proses global itu "memungkin­ diawali dengan mempertanyakan apa yang kan" terjaclinya sejumlah pembahan penting di teliadi dalam dinamika kebudayaan mutakhir. Indonesia clan Asia pada awal abad ke-21, tidak Kemudian dipertanyakan mengapa selama ini beraIii keduanya serba menentukan, apalagi perhatian kaum peneliti untuk hal-hal ini masih secara seragam dan rinci, pem bahan itu dari sangat langka. Dan sedikit kajian yang ada, kita masa ke masa dan dari sat u masyarakat ke paparkan kekuatan dan kelemahan mereka. masyarakat lainnya. Kebudayaan mutakhir Pada bagian penutup dibahas tiga kasus yang berkembang dalam bentuk dan ke arah yang menggambarkan clinamika dan tantangan yang berbeda-beda. Untuk memahami proses ini dihadapi Indonesia dalam beberapa clekade ke dibutuhkan berbagai keterbukaan sikap, wa­ depan: kasus artis dangdut Inul Daratista, film wasan, pendekatan, kerangka kerja dan materi Ayat-ayat Cinta, dan demam sinetron dari Asia kajian yang lebih luwes dari yang telah menjadi Timur. kebiasaan umum di kalangan ilmuwan. Sengaja budaya pop dijaclikan pokok ba­ Perubahan Budaya Pop hasan clalam tulisan ini, karena dua alasan. Di Mutakhir satu pihak, pada awal abad ke-21 ini kita me­ nyaksikan pembahan besar-besaran, baik claIan1 Masuknya seorang seniman ke dalam poli­ produksi dan konsumsi budaya pop di Indonesia tik bisa dijumpai di banyak negara, juga eli maupun cli beberapa negara tetangga. Di pihak Indonesia. Tetapi proses yang sebaliknya - lain, kebudayaan pada umumnya dan buclaya politikus menampilkan din terlibat dalam hiruk pop khususnya, mempakan "wilayah gelap" pikuk budaya pop - seperti eli Indonesia, mung­ atau "binatang ganjil" yang seIama ini tidak kin agak langka. Sampai dengan tumbangnya pemah cukup berhasil dipahami clan diminati rezim Orde Bam di tahun 1998 belum pernah para pene1iti kemasyarakatan. Para penggiat terbayangkan ada calon presiden RI yang bere­ dalam biclang seni dan budaya mutakhir (term a­ but perhatian massa lewat panggung reality suk pop) selama ini tampaknya kurang benninat show di televisi atau sejenisnya dengan ikut menawarkan metode kajian kritis kebudayaan berlomba bakat menyanyi clan berhasil masuk tandingan dan pendekatan yang telah mapan. Di grandjinal.3 Bukan karena di masa yang lampau kalangan para peneliti akaclemik sendiri, analisis belum ada acara sejenis itu. Sebelum abad ke- kebuclayaan mempakan titik terlemah clalam 21 belum terbayang bakal ada Presiden RI yang berbagai teori besar ilmu-ilmu sosial pada abad dengan bangga membuat lagu, main giLar di ke-20.2 depan umum, menyanyi lagu pop, dan membuat Di abad ke-20 tidak hanya sekali Prism a album rekaman lagu-lagunya. Tiga album re­ membahas masalah kebudayaan sebagai tema kaman Presiden Susilo Bambang Yuclhoyono utama. Beberapa di antaranya secara khusus masih di bawah jumlah album politikus lain eli membahas kebudayaan pop. Boleh disimpulkan masa yang hampir sama. 4 Mungkin baru di abad kalau semua pembahasan tersebut menjadi se­ ke-21 ini ada menteri yang secara khusus buah bagian sejarah yang telah lewat. Wawasan

1 Lihat, Tulus Wijanarko et aI, " dan SBY 2 Lihat, Bryan S Turner, "Baudrillard for Socio­ 'Lolos' Grand Final AFI", dalam Koran Tempo, 20 logists", dalam C Rojek dan Bryan S Turner Juni 2004. (eds.), Forget Baudrillard? (London: Routledge, 4 "Laporan Utama", dalam Jawa Pas, 2 Februari 1993), hal. 70-87. 2009, hal. 2. Diunduh dari

Ariel Heryanto, Budaya Pop Indonesia: Kehangatan Seusai Perang Dingin 17

menyecliakan waktu berlatih menyanyikan lagu tiga juta orang. Inilah film yang paling banyak kelompok musikus muda yang sedang populer. dielu-elukan dan diperbincangkan media massa Menteri Perdagangan Mari Pangestu mengaku sebagai film Islami, walau beberapa kritikus dan berlatih menyanyikan lagu-Iagu Samsons "se­ kaum Muslim menyanggah penilaian demikian. kitar satu jam bersama instmktur musik" (entah lnilah salah satu film Indonesia paling awal yang setiap minggu atau bulan) di sela-sela kesi­ kepopulerannya clijadikan rebutan para politikus bukannya, dan hal ini cliberitakan dalam sebuah tingkat tinggi untuk membonceng ketenaran harian di bawah rubrik berita "Ekonomi dan atau ikut merebut perhatian massa. Bisnis".5 Setelah Ketua Majelis Pennusyawaratan Walau mencintai kesenian, Presiden Sukar­ Rakyat Hidayat Nur Wahid, mantan Presiden no sempat melabrak dan memusuhi musik pop BJ Habibie, Wakil Presiden dan Ny Mufida Barat. Di masa pemerintahan Presiden , Jusuf Kalla, berbondong-bondong menyaksikan musik dangdut pemah dilarang siaran di stasiun Ayat-ayat Cinta, Presiden Susilo Bambang televisi, dan pertunjukan pemusik dangdut Yudhoyono mengajak istrinya "yang bam sem­ paling p6pulerwaktu itu diganggu karena men­ buh dari sakit" untuk ikut menonton film itu dukung kampanye partai saingan partai peme­ pada 28 Maret 2008. Hal yang luar biasa, rintah.6 Pada saat memuncaknya popularitas Presiden Susilo B Yudhoyono juga mengajak lagu "Hati Yang Luka" (1988) Menteri Pene­ anggota keluarga dan menantunya yang sedang rangan segera menyatakan peno­ hamil, ditambah "sebanyak 107 diplomat dan lakannya terhadap lagu-Iagu cengeng.7 53 perwakilan kedutaan besar". Rombongan Sejak awal abad ke-21, kita saksikan secara presiden juga diikuti Menko Kesra Aburizal berturut-turut pecahnya rekor penjualan tiket Bakrie, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, oleh beberapa film buatan Indonesia mengung­ Menteri war Negeri Hassan Wirajuda, Menteri guli film-film laris Hollywood: ] elangkung Perdagangan Mari Pangestu, Menteri N egara (2001), Ada Apa dengan Cinta? (2002), Ayat­ Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, Men­ Ayat Cinta (2008), dan Laskar Pelangi (2009) teri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, dan mungkin akan berlanjut terus. Ini bukan serta Menteri Agama Maftuh Basyuni.8 Maka sekadar masalah jumlah. Sebelum masa ini tidak terbentanglah sebuah "pertunjukan tentang pernah ada seorang Presiden, Wakil Presiden, pejabat tinggi menonton pertunjukan", apalagi dan Ketua MPR dalam kesempatan berbeda­ disertai pidato dan air mata. Keesokan harinya, beda memberi sambutan besar-besaran pada di bawah rubrik "Politik Hukum", harian Kmn­ sebuah film yang oleh pembuatnya sendiri pas memberitakan kejaclian di atas. Sulit mem­ dimaksudkan pertama-tama dan terutama se­ bayangkan hal seperti itu dilakukan oleh bagai komoclitas hiburan. presiden-presiden RI sebelumnya, atau bahkan Film Ayat-ayat Cinta penting dalam sejarah salah seorang menteri negara. Tampaknya kita. Bukan saja karena ini film kali pertama yang berbeda bukan hanya kepribadian sang yang mencet9-k rekor jumlah penonton di atas kepala negara atau bahkan keseluruhan peme­ rintahannya, tetapi sebuah konteks pembahan Lihat, Yuliawati, "Lagu Band Samsons", dalam sejarah yang lebih besar. Koran Tempo, 27 Juni 2008. Semakin pentingnya budaya pop tidak se­ 6 Karena larangan ini tidak berhasil, beberapa mata-mata terukur oleh perubahan sikap dan tahun kemudian partai pemerintah yang ber­ penghargaan para elite politikus terhadapnya. kuasa ikut-ikutan memanfaatkan dangdut sebagai alat kampanye. Lihat, Philip Yampolsky, "Hati Yang Luka, an 8 Lihat, Kmnpas, "Aktivitas Presiden: Presiden Indonesian Hit", dalam Indonesia, 47 (April, Berkali-kali Menghapus Air Matanya", 31 Maret 1989), hal. 1-18. 2008. Diunduh dari

18 PrisJIla Vol. 28, No.2, Oktober 2009

Budaya pop juga telah menjadi bagian yang Belum lagi bila kita pertimbangkan per­ sangat penting dalam kehidupan masyarakat luasan konsumsi budaya pop dari Hong Kong luas lintas-kelas sosial di Indonesia, walau ber­ dan Taiwan, khususnya di sekitar Asia Timur awal dari prestasi mereka eli kelas bawah. Kasus dan daratan China. Begitu pula film dan musik Inul Daratista, seperti akan say a uraikan lebih mutakhir dari India. 1o Di Indonesia, budaya pop jauh, merupakan contoh gamblang dari proses yang tersebut belakangan ini punya sejarahjauh perubahan yang layak dibandingkan dengan lebih panjang ke belakang, dan kedudukan Ayat-ayat Cinta. mereka saat ini masih kuat, meskipun tidak Perubahan so sial budaya pada tingkat setangguh beberapa negara lain di Asia, dan nasional tidak terlepas dari gelombang per­ tidak sekuat pengaruh dari Korea Selatan dan ubahan pada skala regional dan global. Untuk Jepang. pertama kalinya sejak masa kolonialisme Eropa, Harian Kompas edisi 14 J anuari 2007, misal­ dunia hiburan kelas menengah di Indonesia - nya, memuat serangkaian laporan tentang dan banyak negara Asia lainnya - kini dikuasai berbagai film, musik, dan acara sinetron Indo­ budaya pop dari negara Asia lain, jauh meng­ nesia yang turun-temurun "diilhami, diadaptasi, ungguli dominasi budaya pop Barat, khususnya diterjemahkan, dipengaruhi, elirasuki, diindone­ Amerika Serikat. Sejak tahun 1970-an, komik, siakan, at au dicontek dari film Iuar negeri".ll film animasi dan lagu-lagu pop J epang merebut Laporan itu juga memuat elaftar sinetron Indo­ hati dan mimpi remaja Asia jauh menggeser nesia yang bersumber dari sinetron asing. kegandrungan generasi sebelumnya pada mu­ Seandainya laporan itu tidak keliru, paling sik dan hiburan lain dari Amerika Serikat atau sedikit kita bisa mendapatkan gambaran kasar Inggris. Pada dasawarsa pertama abad ke-21, tentang persentase sumber ilham asing bagi drama televisi bersambung dari Korea Selatan sinetron Indonesia pada dekade awal abad ke- merajai siaran televisi di Indonesia serta banyak 21: 60 persen dari Korea (Selatan); 20 persen negara lain di Asia maupun eli luar Asia, meng­ dari J epang, 10 perscn dari Taiwan, dan hanya geser dominasi Jepang. Lagu-Iagu pop dan 10 persen dari Amerika Serikat.12 Kebiasaan itu musikus pria Korea mengisi rongga terelalam sarna sekali tidak baru dalam sejarah industri fantasi perempuan remaja dan ibu-ibu muda di film dan musik di Indonesia, dan tidak hanya jepang, Taiwan, Korea Selatan, Thailand, dan Singapura.9 oleh-untuk sesama Asia Timur ditulis oleh Chua Beng H uat, "C onceptualizing an East Asian ~ Silakan baca buku Koichi Iwabuchi, Recentering Popular Culture", dalam Intrr-Asia Cultural Globalization: Popular Culture and Japanese Studies, 5 (2), 2004, hal. 200-221. Tentang Transnationalis1n (Durham: Duke University peredaran global budaya pop dari India, lihat, Press, 2002) tentang sejarah dan dinamika Sangita Gopal dan Sujata Moorti (eds.), Global t Sollywood: Travels of Hindi Song and Dance transnasionalisasi budaya pop ]epang, khusus­ I nya di kawasan Asia. Kisah meledaknya industri (Minneapolis & London: University of Min­ budaya pop Korea yang disertai data kuantatif neapolis Press, 2008). disajikan oleh Doobo Sim "Hybridity and the 10 Bettina David, "Intimate Neighbors: Bollywoocl, RjsE' of Korean Popular Culture in Asia", dalam Dangdut Music, and Globalizing Modernities in Media, Culture & Society, 28 (1),2006, hal. 25-44. Indonesia", dalam S Goral dan S Moorti (eds.), Untuk kajian ten tang Asianisasi budaya pop di Global Bollywood: Travels ajHindi Song and Dance Thailand, lihat, Ubonrat Siriyuvasak dan Shin (Minneapolis & London: University of Min­ Hyunjoon, "Asianizing K-pop: Production, neapolis Press), hal. 179-199. Consumption and Identification Patterns among II Lihat, Bre Redana, "Ada Apa dengan Film Thai Youth", dalam Inter-Asia Cultural Studies, 8 Kita ... ", dalam Kampas, 14 Januari 2007. (1), 2007, hal. 109-136. Analisis kualitatif dan 12 Lihat, "Daftar Sinetron dan Film Aslinya", dalam metodologis atas peredaran budaya pop dari- K01llpas, 14 Januari 2007.

1 Diunduh dari

Ariel Heryanto, Budaya Pop Indonesia: Kelzangatan Seusai Perang Dingin 19 .1

\ terjadi di negeri ini. Sebelum produknya ditiru di Indonesia dan Asia pada umumnya memang ! habis-habisan di berbagai negara, Korea sendiri sedang berayun ke sesama Asia. 16 ! pada awalnya juga tergila-gila dan meniru men­ Untuk kali pertama dalam seluruh per­ tah-mentah sinetron dari ] epang. 13 jalanan sejarah modern di Asia Tenggara, per­ Angka-angka perbandingan di atas tidak debatan tentang budaya atau nilai "Tin1Ur lawan melingkupi seluruh acara drama bersambung Barat" tidak lagi teramat penting, meskipun di televisi Indonesia. Semua itu hanya menyang­ tidak sepenuhnya pudar. Bukan karen a ke­ kut sinetron yang dianggap sangat mirip dengan duanya melebur, tetapi karena yang "Barat" drama televisi asing. Apa artinya? Di satu pihak semakin lama semakin kurang penting, seti­ mungkin sekali kebudayaan pop Barat (khu­ daknya dalam lingkup produksi dan konsumsi susnya Amerika) masih mengambil bagian budaya pop. Bila kecenderungan ini terus lebih besar dalam keseluruhan acara hiburan berlanjut, kebiasaan bergantung pada kerangka yang disiarkan televisi di Indonesia dan gedung­ teoretis kebudayaan dari Barat untuk analisis gedung bioskop kita ketimbang yang disajikan budaya pop Asia akan semakin digugat banyak dalam laporan itu, walau tidak sebesar produk orang, dan sebuah kerangka teoretis yang lebih nasional yang diperkirakan lebih dari 50 per­ berpijak pada kenyataan empiris lintas-Asia itu sen.14 Di pihak lain, dan ini yang lebih menarik terasa semakin mendesak dibutuhkan. 17 Pa­ untuk diulas, dalam hal selera dan minat, dahal, dikotomi 'Timur lawan Barat" selama ini hiburan dari Asia (khususnya Korea dan Je­ merupakan salah satu pusat persoalan dalam pang) jauh lebih unggul ketimbang hiburan dari wacana politik dan intelektual terbesar di Asia. Barat. Ini menjungkirbalikkan pemahaman Pada masa kolonial, dikotomi itu memberi umum yang telanjur melekat dalam benak semacam pembenaran politis maupun antro­ banyak orang. Besarnya acara hiburan televisi pologis mengapa ada satu bangsa yang merasa dari Asia belakangan ini diduga bersumber dari sah ditugaskan sejarah untuk menjajah bangsa alas an ekonomis - yang dari Asia lebih murah lain agar yang dijajah ikut dibawa maju ke surga ketimbang dari Barat, dan perbedaan ini penting modernisasi. Pada masa pascakolonial, dikotomi sejak krisis ekonomi 1997. 15 Bila keterbatasn itu diacu berkali-kali oleh penguasa negeri­ anggaran yang menjadi masalah, seharusnya negeri yang baru merdeka resmi untuk meno­ tidak ada beda besar bagi Indonesia untuk lak liberalisme atau demokrasi ala "Barat". Ke­ meniru acara hiburan dari mana saja. Kalau biasaan ini terus berlanjut hingga membuncah­ minat dan selera orang masih tergila-gila pada nya perbincangan tentang "Nilai-Nilai Asia" yang semua hiburan dari Arnerika, semestinya dikampanyekan Mahathir Mohamad, ketika itu sinetron tiruan di Indonesia akan berbondong­ Perdana Menteri Malaysia, dan Lee Kuan Yew, bondong berkiblat ke Barat. Namun, yang waktu itu Menteri Senior Singapura. Dikotomi terjadi menurut beberapa petinggi sejumlah serupa menjadi menu utama dalam perbincang­ perusahaan televisi di Indonesia, selera publik an intelektual di kalangan cendekiawan Indo­ nesia, tidak saja di tahun E)30-an (Polemik

J:l Huat, "Conceptualizing an East Asian Popular Culture", haL 207. 10 Lihat, Buyung Wijaya Kusuma, "Selamat 1~ Rachmah Ida, "Consuming Taiwanese Boys Berpisah Film Serial Hollywood", dalam Kompas, Culture", dalam Ariel Heryanto (ed.), Popular 23 April200S. Culture in Indonesia: Fluid identiti('s in Post­ 17 Lihat, Iwabuchi, Raentering Globalization ... ; I Authoritarian Politics (London & New York: Nissim Kadosh Otmazgin, "J apanese Popular Routledge, 2008), hal. 97. Culture in East and Southeast Asia: Time for a I 15 Ida, "Consuming Taiwanese Boys Culture", hal. Regional Paradigm?", dalam Kyoto Review of 98. Southeast Asia, 8/9 (March/October 2007). 1 Diunduh dari

20 Prislila Vol. 28, No.2, Oktober 2009

Kebudayaan) tetapi juga selama 30 tahun lebih dipakai Pemelintah Malaysia sebagai bagian pemerintahan Orde Baru. Dalam edisi No­ dari promosi paliwisata mereka, atau tradisi vember 1981, majalah Prisma secara khwms reog dan batik konon juga akan diambil menampilkan pokok itu sebagai tema utama. Malaysia sebagai bagian dari kebudayaan Masih ada banyak contoh untuk gejala nasionaI mereka. Bahkan, ketika kasus Ambalat "Asianisasi Asia" sepelti di atas. Saya sudah muncullagi di abad ke-21, spanduk dan yel para menyebutkan bcberapa di antaranya, dan itu demonstran di Jakalta ada yang berbunyi "Ga­ cukup mcnunjukkan perubahan besar-besaran nyang Malaysia - Selamatkan Siti Nurhaliza!" dalam masyarakat mutakhir, tidak hanya di atau "Siti Yes, Malaysia NO".19 Indonesia, tetapi juga di tingkat dunia, khu­ Sebagai majalah dari Lembaga Penelitian, susnya Asia. Akan tetapi, di balik berbagai Pendidikan dan Penerangan Ekonorni dan So­ peru bahan penting sepelti itu ada masalah sial yang mengkhususkan diri pada "pem­ mendasar yang tidak banyak belllbah, yakni bahasan masalah pembangunan ekonomi, per­ peltumbuhan kapitalisme disertai berbagai kembangan so sial dan pClllbahan kulturil", para cabang dan ranting dinamikanya: persaingan pcncinta kebudayaan pop tidak berhak ber­ pasar, pertentangan kepentingan kelas, me­ harap banyak. Namun kenyataannya perhatian lebarnya kesenjangan sosial dan ekonomi, dan untuk masalah kebudayaan, termasuk budaya ketcrasingan. Hal yang berubah adalah tingkat pop, yang pemah diberikan Prisma lumayan keberhasilannya dalam menembus batas-batas besar dan patut dihargai, walau bukan tanpa lllang, waktu, dan kelompok sosial.18 bias. Pada masa itu cendekiawan dan politikus pada umumnya melihat budaya pop sebagai Kajian Budaya Pop dalam semacam "kecelakaan" atau "hasil sampingan" PrismaLama dari proses modernisasi yang terpusat pada "pembangunan ekonomi" dan "perkembangan Besarnya pelllbahan yang tetjadi di dalam so sial". Semua itu menuntut "perubahan kul­ masyarakat juga dapat diamati dati pergeseran tmil" dari yang tradisional menjadi "modern". dalam majalah Prism a sendiri dari abad ke-20 Budaya pop tidak diidamkan, tetapi bila ternyata tentang budaya pop. Generasi penulis dan hadir juga tidak ditolak mentah-mentah selama pembaca Prisma edisi lama dilahirkan dan tidak terlalu menjengkelkan. Berikut adalah menjadi remaja ketika Malaysia dan Indonesia beberapa contoh ulasan tentang budaya pop di terlibat konfrontasi bersenjata. Generasi beri­ Prisma dari masa ke masa. Menurut kutnya beltum buh ketika kedua negara ber­ Hcnschkel, sikap dan pandangan tidak jauh sengketa dan berebut wilayah teritori kene­ berbeda dapat pula dijumpai pada majalah garaan (Ambalat). Kini Prisma terbit lagi di abad Tempo tahun 1980-1990.20 ke-21, kt'tika generasi muda Indonesia berang Prisma Juni 1977 menerbitkan edisi mcngenai hal-hal yang sangat nonmatelial dan khusus tentang "Kebudayaan Pop". Dcngan seakan-akan nonpolitis: misalnya, hak cipta atas beberapa perkecualian, suara paling lantang lagu "Rasa Sayange" dan tari pendet yang yang tampil dati edisi itu mengecam budaya

18 Bila diibaratkan waktu dalam sehari atau per­ 1<) Lihat, Farish A Noor, "Crush Malaysia but Save edaran bumi mengelilingi matahari. kapitalisme Siti Nurhaliza", dalam TheJakarta Post, 19 Maret bukannya tampak sedang mendekati masa senja 2005. dan segera tcnggelam seperti yang disarankan c(J Marina Henschkel, "Perception of Popular dalam sampul majalah Prislna edisi perdana abacl Culture in Contemporary Indonesia: Five Articles ke-21. Justru sebaliknya, ia kini mendekati titik from Tempo, 1980-90", dalam RIMA, 28 (2),1994, terik krtinggi di atas ubun-ubun kita. hal. 53-70. Diunduh dari

Ariel Heryanto, Budaya Pop Indonesia: Keilangatall Seusai Perang Dingin 21

pop. Hal yang menonjo1 ada1ah ke1uhan, disesalkan, dan suara mereka clibungkam dalam ejekan, dan kecaman. Sikap demikian tidak arena perdebatan. 21 hanya datang dari ilmuwan. Ironisnya kecaman Prisma edisi tersebut sama sekali tidak paling keras justru datang dari seniman dan membahas, apalagi mengecam, tekanan politik kritikus yang terlibat dalam industIi budaya negara terhadap kegiatan budaya umumnya dan pop itu sendiri. Dengan sikap superdefensif perfilrnan khususnya. Ada satu dua tulisan yang dan sekaligus agresif mereka menampilkan selintas menyebut soal sensor dalam anak diri sebagai kelompok yang berada di kursi kalimatnya. Namun, tidak ada satu pun yang tinggi peradaban, melihat dunia di sekitamya secara khusus mernbahas sepak terjang sensor yang kotor berlumpur. masa itu dalarn satu kalimat penuh. Seakan-akan Mungkin tidak adil bila sikap mereka yang industri perfilman berlangsung dalam situasi nOlmal pada masanya diukur dengan semangat yang dibiarkan berjalan liar oleh negara, dan abad ke-21 ini. Akan tetapi, sebagai rekaman produser bebas rnemaksakan selera rendah sejarah dan untuk kepentingan analisis, hal-hal terhadap produk film yang dimodalinya. Pa­ ini penting unluk diperhatikan. Misalnya, sikap dahal, film dan televisi masa itu rnerupakan defensif mereka terhadap perkembangan per­ media massa yang paling teliindas oleh lembaga fi1man Indonesia yang menonjo1kan keme­ sensor negara. Lembaga itu sendiri secara wahan, kekerasan, kecengengan dan adegan khusus dipadati oleh pejabat militer dan sipil seksual yang vulgar. Prisma memberi ruang dengan tugas utama melindungi kepentingan seluas-Iuasnya bagi suara lantang sejum1ah penguasa. sutradara dan kritikus film yang meno1ak ikut Prisma juga tidak membahas bagaimana bertanggung jawab atas cacat perfilman seperti kebijakan negara memperlakukan kaum mi­ itu. Mereka beramai-ramai menuduh pihak noritas "nonpribumi" masa itu secara para­ produser berse1era rendah sebagai biang kela­ doksikal. Di satu pihak, elite politik negara dinya. Namun, dalam forum yang sama tidak memberi sejurnlah kernudahan kepada elite ada satu pun suara dati pihak produser yang pengusaha dan bisnis dari kelornpok etnis itu, dikecam.llisah disampaikan dalam Prisma me­ sambi! sekaligus menindas hak sipil seluruh rupakan kisah sepihak. anggota kelompok minoritas ini. Tidak ada salu Hal yang lebih merisaukan, berbagai tu­ penjdasan dalarn Prisma edisi khusus itu yang duhan kesalahan terhadap para produser film menyebut kebijakan negara Orde Baru yang Indonesia itu dikait-kaitkan dengan ras mereka membatasi peluang anggota kelompok rnino­ sebagai orang Indonesia dari etnis Tionghoa ritas ini di luar dunia dagang, apa1agi untuk yang "bukan pribumi". Seakan-akan ini masalah menjadi anggota parlemen, kabinet, atau per­ keturunan dan bukan produk sejarah politik ma­ Wild tinggi militer. sa itu. Ke1ompok yang tersebut belakangan ini dibahas berkali-kali sebagai s.ebuah ras, tanpa :n Secara teliti dan gamblang Krishna Sen melacak ada satu pun anggota kelompok itu yang di­ scjarah pembungkaman terhaclap etnis minoritas ini yang Pf~rannya sang at besar dalam seluruh sebut dengan nama pribadi, atau identitas lain. sejarah film di Indonesia: lihat, Khrisna Sen, Mereka ditampilkan secard kontras dengan para "Chinese' Indonesians in National Cinema", pekerja film dari ras lain yang dibahas dengan clalam In tn-Asia Cultural Studies, 7 (1), 2006, pujian dan lengkap dengan nama pribadi ma­ hal. 171-184. Lihatjuga uraian saya tentang soal sing-masing. Dari sisi ini, pembahasan seperti terkait, Ariel Heryanto, "Citizenship and Inclont'sian Ethnic Chinese in Post-1998 Films", itu mengingatkan kita pada sikap dan kebijakan dalam Ariel Heryanto (M.), Popular Culture in politik negara Orde Baru: modal dana orang Indonesia: Fluid Irlpntities in Post-Authoritarian "nonpribumi" diperlukan, tetapi kehadiran Politics (London & New York: Routledgp), hal. I mereka dalam tubuh bangsa Indonesia sangat 70-92. i '1 Diunduh dari

22 PrislIla Vol. 28, No.2, Oktober 2009

Sepuluh tahun kemudian (Mei 1987), yang menceritakan kaum miskin".24 Secara rinci Prisma menerbitkan sejumlah tulisan tentang dan panjang-Iebar Krishna menganalisis :film Si "Kebudayaan Pop" dengan wawasan yang jauh Mamad yang ceritanya ditulis dan filmnya sangat berbeda. Ignas Kleden, misalnya, me­ disutradarai sebagai contoh film lontarkan kritik balik terhadap kebiasaan orang seperti itu. Krishna berpendapat bahwa para yang cenderung memaki tanpa cukup mema­ pembuat film ternyata tidak berpihak pada hami budaya pop itu: "Kebudayaan pop bu­ orang-orang kecil dalam film tentang mereka. kanlah sekali-kali sejenis kebudayaan yang Mengamini apa yang telah ditegaskan Ignas kurang bagus. 1a adalah sejenis kebudayaan Kleden dalam kutipan di atas, Krishna me­ yang lain, yang ingin punya Cili sendiri yang n yimpulkan: berbeda dari apa yang telah mapan".22 Me­ Si Mamad menyebabkan Sjuman mempunyai nurutnya, tidak ada nilai seni yang netral dan nama besar sebagai orang yang radikal dan universal: "para seniman, pelukis dan kom­ sekaIigus sutradara film. Dengan film ini, dia ponis" yang dielu-elukan dalam edisi khusus mendapatkan penghargaan sebagai sutradara Prisma sepuluh tahun sebelumnya berkarya terbaik dalam FFI 1974, yang jurinya terdiri demi menyenangkan sesama seniman elite dan dari wartawan, ilmuwan. dan seniman. Si Marnad adalah gambaran tentang golongan kritikus. "Berprestasi dalam kesenian [bukan miskin yang diproduksi dan dikonsumsi oleh pop 1sama artinya dengan menyenangkan para kaum terpelajar.25 kritikus", berbeda sekali dengan budaya pop yang menyenangkan masyarakat luas.23 Selain Usmar Ismail, Sjumandjaja adalah Pandangan demikian diperkuat oleh pendapat salah seorang seniman film yang paling banyak akademikus Ina RM Suparti dan novelis pop menuai pujian dalam Prisma Juni 1977 yang Maria A Sardjono dalam rubrik "Dialog" dari dipertentangkan dengan para pedagang dari ras edisi yang sama. Tionghoa (tanpa nama plibadi) yang dianggap Tahun 1990 merupakan awal dari ber­ terlalu mendiktekan selera rendah pada film-film akhimya Perang Dingin. Legitimasi Orde Baru Indonesia. Sjumandjaja sendiri menjadi salah mulai goyah dan merosot terus pada tahun­ satu dari mereka yang secara tajam mengecam tahun berikutnya. Pada tahun itu Pn'sma meng­ para produser itu sebagai "borjuis kelontong" angkat "Film Indonesia" sebagai tema utama. karena mereka datang dari Shantung. Menurut Suara utama yang tampil dalam edisi itu jauh Sjumandjaja: "Bagaimana bisa mengharapkan lebih kritis, kendati pandangan beberapa tokoh sesuatu yang sifatnya kulturil dan artistik dari tua dari masa-masa sebelumnya masih tersisa orang-orang sejenis ini? Asalnya saja dari bor­ di beberapa bagian. Dalam artikel utama edisi juasi kelas bawah. Maka yang dihasilkan betul­ itu, ahli politik Krishna Sen dengan data dan betul kerdil".26 analisis sangat meyakinkan berhasil mem­ Menurut Krishna Sen, dan saya sepakat, bongkar sejumlah mitos yang telanjur mapan jika film-film yang menampilkan rakyat kecil dalam berbagai pembahasan tentang film In­ seperti itu temyata tidak diminati oleh penonton donesia. Misalnya, bertolak belakang dengan kelas bawah, sebabnya bukan karena penonton pandangan umum, Krishna menunjukkan ada ini bodoh atau karena mereka lebih suka me- masa ketika film Indonesia beramai-ramai memusatkan perhatian pada orang-orang kecil. 24 Krishna SE'n, "Persoalan-pE'rsoalan Sosial dalam Tahun 1973-1974 merupakan masa "banjir film Film Indonesia", dalam Prisma, XIX (5). 1990, hal. 8. 25 Sen, "Persoalan-persoalan Sosial... ", hal. 11. "2 Ignas Kleden, "Kebudayaan Pop: Kritik dan 26 Sjumandjaja "Di Tangan Borjuis Kelontong, Film Pengakuan", dalam Prisma, XVI (5), 1987, hal. 4. Hanya Barang Dagangan", dalam Prism a, No.6/ 21 Kleden, "Kebudayaan Pop ... ". VI. Juni 1977. hal. 42. Diunduh dari

Ariel Heryanto, Budaya Pop Indonesia: Kehangatan Seusai Perang Dingin 23

nonton film-film mimpi tentang kemewahan - biasanya berasal dari skripsi mahasiswa yang dipaksakan para produser. Kemungkinan dengan bahasa dan fOlmat sangat fonnal- yang besar itu merupakan bentuk "penolakan ter­ tidak tersedia meluas di toko-toko buku atau hadap gambaran ientang mereka sendiri (yaitu perpustakaan. Buku yang pemah dipajang eli golongan bawah) sebagai korban yang tidak rak-rak toko buku pun tidak cukup lama di­ berdaya, bukan hanya di film tetapi juga dalam pasang eli situ. Mungkin kondisi ini berlaku keseluruhan radikalisme kelas menengah awal umum untuk semua jenis penerbitan buku eli 1970-an".27 Indonesia. Akan tetapi, mengingat meluasnya Masalah kelas so sial menjacli penting dalam peredaran budaya pop dalam beberapa tahun kajian tentang budaya pop masa ini. Saya akan belakangan, kajian tentangnya terasa sangat membahas seelikit lebihjauh masalah itu dalam minim dibanding jumlah buku tentang politik, bagian penutup tulisan ini. Sebelum itu, saya ekonomi, korupsi, atau agama. Jika kita ber­ ingin mengangkat beberapa pertanyaan lebih harap kajian tentang budaya pop kita mening­ umum tentang kegagapan ilmuwan Indonesia kat, baik jumlah maupun mutu, perlu dipertim­ dalam menghadapi gelombang budaya pop di bangkan beberapa kemungkinan sebab yang masa lampau, dan terlebih lagi eli masa sekarang pemah menghambatnya selama ini. ketika budaya pop telah menjadi sesuatu yang Alasan pertama telah diuraikan di atas. 1cbih besar dari keserakahan pedagang ke­ Perselingkuhan an tara kebudayaan dan kese­ lontong mana pun, dan dari ego seniman yang nian dengan kepentingan bisnis telah menim­ mengecam mereka. Persoalannya bukan seka­ bulkan kecurigaan elan penolakan banyak ordllg. dar "kelemahan" atau "cacat" pada satu atau dua Penolakan ini bisa datang dari dua kemungkinan kajian tentang budaya pop yang dapat eliperbaiki sumber sebab. Sumber pertama, sebuah ta­ bila dikehendaki penelitinya. Tampaknya ada khayul modem yang luar biasa pengaruhnya di masalah yang lebih besar dalam sejarah inte­ sepanjang abaci ke-20, ken dati usianya jauh lektual kita, dan bukan hanya di Indonesia, lebih lama, yakni masalah kebudayaan dan ketika menghadapi budaya pop. kesenian merupakan dua wilayah yang elianggap seharusnya mumi, otonom, dan bebas dari Beberapa IIambatan kepentingan-kepentingan lain. Campur tangan unsur lain dalam kehidupan masyarakat, dalam Buku kajian mendalam tentang budaya pop proses kreatif budaya dan kesenian dianggap Indonesia masih sangat langka. Dari sedikit sebagai cela yang merusak hakikat budaya atau yang langka itu, sebagian besar diterbitkan di seni. Pandangan seperti ini menjadi sasaran luar Indonesia dan daIam bahasa asing. Sebagian kritik dalam diskusi tentang Sastra Konteks­ lagi yang terbit dalam bahasa Indonesia me­ tual/B sebagaimana dipaparkan oleh Ignas rupakan kumpulan tulisan pendek-pendek ten­ Kleden dalam kutipan di atas. 29 Persoalannya tang berbagai aspek budaya. pop yang tidak bukan saja apakah pemah ada sebentuk budaya terpadu menjadi satu kesatuan yang utuh. Ada at au karya seni yang demikian di planet bumi juga beberapajudul buku berbahasa Indonesia ini. Apakah bisa diadakan? Kalau jawabnya ya, persoalan berikutnya, apakah budaya/seni

2; Sen, "Persoalan-persoalan Sosial... ", hal. 11. seperti itu dengan sendirinya lebih terhonnat Kekonyolan radikalisme kelas menengah Indo­ dan tinggi nilainya? Apa ukurannya, bagaimana nesia dari masa yang sama hingga satu dekade mengukumya, dan ujung-ujungnya siapa yang berikutnya tampak pada gerakan "Golput" seperti yang telah saya uraikan di tempat lain, lihat, Ariel Heryanto, State-Terrorism and Identity "8 Lihat, Ariel Heryanto (ed.), Perriebatan Sastra Politics in Indonpsia: Fatally Belonging (London Kontekstual Oakarta: CV Raj awali , 1985). & New York: Routledge, 2006), hal. 149-151. ~~ Kleden, "Kebudayaan Pop ... ". Diunduh dari

24 Prisnza Vol. 28, No.2, Oktober 2009

berhak menentukan ukuran itu? Ini mengantar kinan besar bertolak belakang dengan gagasan kita pada sumber kedua yang mendorong ba­ "seni dengan beretika dan berpolitik" dari nyak orang menolak budaya pop. kelompok lain dengan etika dan warna politik Sumber kedua datang dari mereka yang lain, misalnya, mereka yang sangat taat ber­ menganggap seni-budaya sah-sah saja dan layak agama atau mereka yang tergabung dalam bersenyawa dengan unsur lain dalam masya­ Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organ rakat, namun unsur "lain" ini tidak sembarang­ Partai Komunis Indonesia. Kesan yang muncul an. Edisi khusus tentang "Kebudayaan Pop" dari Prism a Juni 1977 itu adalah sebuah ga­ dalam PrismaJuni 1977, misalnya, merupakan bungan antara keangkuhan sikap berbudaya dan contoh gamblang dalam soal itu. Banyak yang kegagalan memahami secara kritis etika dan mengecam campur tangan selera para produser politik yang tidak lebih dari satu ragam dari dari ras tertentu dalam perfilman Indonesia. Se­ banyak rag am yang pemah hadir di Indonesia. benamya, para pengecam ini bukan penganut Bukan kebetulan yang satu itu merupakan etika gagasan "seni untuk seni" di ruang yang otonom dan politik yang paling direstui rezim Orde Bam dan netral dari sejarah sosial. Mereka berminat dengan mengorbankan berbagai kemajemukan dan mendukung kerja budaya dan seni yang etika dan politik lewat pembantaian massal. dapat mewujudkan identitas "otentik" Indonesia. Gejala semacam itu dapat diperbandingkan 3 Apakah identitas otentik itu ada secara nyata di dengan pertumbuhan ilmu sosial di Indonesia. ! bumi atau sesuatu yang hanya ada dalam angan­ Alasan kedua mengapa budaya pop kurang angan mereka? Itu persoalanlain. Hal yang jelas, mendapat perhatian cukup di kalangan cende­ bagi mereka, seni boleh bercampur dengan kiawan adalah elitisme, seperti dibahas Krishna 32 kepentingan etik atau politik tetapi tidak bisnis Sen dan dikutip di atas. Budaya pop dicurigai atau material. Mereka berpendapat Indonesia dan direndahkan bukan hanya karena ia terIalu yang menekankan gairah kemewahan material, bermesraan dengan dunia bisnis, tetapi lebih kekerasan, atau kenikmatan seksual - seperti parah lagi karena ini industri komoditas massal. yang tampak di mana-mana selama ini dan Budaya pop menjadi barang murahan yang digambarkan dengan bagus dalam film Novel diproduksi dalam jumlah besar dan tersedia Tanpa Huruf "R" (2003), 9 Naga (2006), dan secara demokratis nymis untuk semua orang. Perempuan Punya Cerita (2008) - bukanlah Dengan kata lain, budaya pop tidak disukai para Indonesia yang sesungguhnya atau otentik. cendekiawan dan seniman kelas elite karena Bukan Indonesia yang "pliburni".30 budaya ini digemari dan sangat menyukai rakyat Gagasan "seni dengan beretika dan ber­ luas. Sudah banyak analisis tentang budaya pop politik" yang tampil daIam Prisma Juni 1977 Indonesia yang mempersoalkan kecongkakan 33 hanyalah satu dari sekian banyak versi "seni elite Indonesia. Akan tetapi, gejala itu sangat dengan beretika dan berpolitik" yang pemah umum dan bukan sesuatu khas Indonesia, hadir dalam sejarah Indonesia. Gagasan yang tampil galak dalam Prisma Juni 1977 kemung- 11 Lihat, Vedi R Hadiz dan Daniel Dhakidac (eds.), Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia aakarta 1n Film Novel Tanpa Huru/ "R" (2003) disutradarai dan Singapore: Equinox dan ISEAS, 2006). Aria Kusumadewa dengan produsPf Lola 1~ Sen, "Persoalan-persoalan Sosial.. .". Arnaria. Film 9 Naga (2006) disutradarai Rudi B Dua contoh mutakhir adaJah Mark Hubart, Soedjarwo dengan Monty Tiwa sebagai penulis "Entertaining Illusions: How Indonesian Elites cerita dan Krishto Damar Alam sebagai produser. Imagine Reality TV Affects the Masses, dalam Film Perempuan Punya Cerita (2008) terdiri dari Asian Journal of Communication, 16 (4), 2006, empat bagian, masing-masing disutradarai Upi hal. 393-410 dan Andrew Weintraub. "Dance Avianto, Nia Dinata, Fatimah Rony, dan Lasja F Drills, Faith Spills': Islam, Body Politics, and Susatyo. Mereka dibanLu penulis cerita Vivian Popular Music In Post-Suharto Indonesia", dalam ldris dan Melissa Karim. Popular l'vfusic. 27(3), 2008. hal. 367-392. Diunduh dari

Ariel Heryanto, Budaya Pop Indonesia: Kehangatan Seusai Perang Dingin 25

kenikmatan khalayak banyak melahap Baik mereka yang dirugikan maupun diun­ budaya pop selalu menjadi masalah bagi pihak tungkan oleh perubahan sejarah ini pada lain, entah itu kaum intelektual, politikus at au umumnya mengalami keeemasan berlarut-larut. tokoh pembaru dalam bidang moral atau kemasyarakatan. Pihak-pihak yang tersebut Mereka tidak langsung siap mental ketika belakangan ini selalu beranggapan bahwa bertatapan langsung dengan gelombang per­ masyarakat seharusnya mengonsumsikan hal­ ubahan itu. Sebagian meneurigai berlebihan dan hal yang lebih mencerdaskan bangsa atau selalu bemostalgia tentang masa lamp au dan lebih berharga ketimbang budaya pop .... :14 masyarakat nonindustrial yang tergeser. Se­ bagian lagi berfantasi muluk-muluk dan ke­ Alasan ketiga mengapa budaya pop selama mudian keeewa ketika terbentur kenyataan ini kurang diperhatikan dan dihargai ilmuwan yang sesungguhnya. Seeara umum boleh dika­ berkait dengan usianya yang relatif muda. Ba­ takan masyarakat Indonesia akhir dekade per­ gian pertama dari tulisan ini telah menunjukkan tama abad ke-21 jauh lebih siap ketimbang beberapa perkembangan penting dalam sejarah generasi terdahulu dalam menerima kenyataan budaya pop Indonesia. Semua itu sulit diabaikan, bahwa seni-budaya Guga pendidikan atau pela­ dan sangat berbeda dibanding masa lampau yanan kesehatan) telah menjadi bagian dari ketika "jam terbang", ambisi, kesempatan, serta sebuah industri dengan logika mirip sebuah modal kerja dalam industri ini masih serba perusahaan dagang. terbatas. Entah bagaimana komentar dan peni­ Di sejumlah negara Asia lain yang tengah laian mereka yang pada abad ke-20 banyak memasuki tahap industrialisasi lebih lanjut mencemooh budaya pop Indonesia bila mereka terlihat beberapa perubahan cukup menarik. berkesempatan menyaksikan beberapa contoh Kaum elite mereka tidak lagi mempersoalkan terkemuka budaya pop Indonesia awal abad ke- kebudayaan semata-mata atau terutama sebagai 21 ini. warisan leluhur atau sebagai sumber dan sosok Kebudayaan pop merupakan anak kandung identitas nasional. Mereka berbicara tentang industri kapitalisme dengan segala segi dan kebudayaan sebagai bagian dari industri: 10- berbagai manfaat dan petakanya sekaligus. wongan kerja, sumbangan pajak, ekspor nasio­ Peru bahan dalam masyarakat dari satu tahap nal, hak cipta, dan dikerjakan secara sangat awal industrialisasi ke tahap berikutnya meru­ profesional.36 Di Indonesia, masalah "nilai buda­ pakan sebuah proses transisi yang dahsyat bagi ya Timur lawan nilai budaya Barat" memang banyak orang. Sebagian masyarakat menjadi tidak lagi menjadi momok atau mantera, namun korban dan mengalami penderitaan lahir batin. kaum elite masih sibuk mempersoalkan ma­ Sebagian lagi menikmati peningkatan kesejah­ salah moral atau religiositas dalam televisi atau teraan lahir batin yang tak terbayangkan sebe­ film. Masalah "industri kreatif' pemah dinya­ lumnya. Untuk Indonesia mutakhir, transisi itu takan seorang menteri kabinet dan tidak di­ sangat terasa sekitar pertengahan tahun 1980- sambut banyak orang karena mungkin tidak an hingga sekarang, diselingi dengan masa dipahami. Sementara generasi muda di Ban­ krisis berkep~njangan sejak 1997.35 dung dan Yogyakarta sudah mempraktikkannya dalam berbagai bentuk kegiatan bisnis berlabel indie atau "DIY" (do it yourself). :14 Dominic Strinati, An Introduction to Theories of Popular Culture (London: Routledge, 1994), hal. :16 Lihat, Ubonrat Siriyuvasa, "Cultural Industry 45. and Asianization: The New 'Imagined' Inter-Asia :15 Lihat, Ariel Heryanto, "The Years of Living Economy", makalah dalam konferensi Pop Luxuriously", dalam M Pinches (ed.), Culture Culture Formations across East Asia in the 21st and Privilege in Capitalist Asia (London & New Century: Hybridization or Asianization, 1-4 York: Routledge, 1999), hal. 159-187. February 2009, Burapha University, Thailand.

T C P I K Diunduh dari

26 Prislna Vol. 28, No.2, Oktober 2009

Alasan keempat yang tidak kalah penting eksploitasi kerniskinan untuk mempertahankan untuk menjelaskan langkanya kajian budaya pop status quo. adalah berkuasanya eara bel1Jikir kelaki-Iakian Selama abad ke-20 ada dua kecenderungan dalam seluruh bangtman pemikiran intelektual, kuat dalam kajian tentang budaya mutakhir. Di kebudayaan, dan akademik Indonesia, seperti satu sisi, para pencinta, penggiat, seniman, dan halnya di bagian lain dunia.37 Hal ini sudah sa­ juga peneliti asyik membiearakan masalah ngat banyak dibahas, sehingga tak perlu diu­ budaya dan seni dalam "dirinya sendiri". Seakan­ lang. Berikut ini beberapa hal yang perlu di­ akan yang dibicarakan itu berada di ruang ham­ tekankan. Masalah modemisasi - atau dalam pa atau di luar s,ejarah yang penuh belang dan rumusan Pr£sma: "pembahasan masalah pem­ luka. Campur tangan unsur-unsur lain (politik, bangunan ekonomi, perkembangan sosial" - bisnis, moral, atau agama) dianggap sesuatu pada hakikatnya merupakan masalah kaum yang tidak reI evan atau noda yang seharusnnya lelaki. Kisah tentang pembangunan bangsa dijauhi. Di sisi lain, sebagian besar pejabat dan dengan segala liku-likunya (demokrasi, pemilu, peneliti ilmu-ilmu so sial membiearakan masalah desentralisasi, hak asasi) dan berbagai ham­ budaya atau seni mutakhir tak lebih dari batannya (militerisme, korupsi, kolusi, nepo­ "hiasan" atau "dekorasi" (ibarat lagu di latar tisme, dan belakangan terorisme) pada intinya belakang acara resmi atau di kamar lift) atau melUpakan kisah kaum lelaki, tentang pahlawan "alat" yang dieksploitasi tanpa dirawat untuk utama dan penjahat utama yang sama-sama suatu persoalan lain yang lebih besar dan lelaki, dan dikisahkan lewat berbagai fOlUm penting (misalnya, kebudayaan sebagai daya (misalnya, rapat kerja atau media massa) yang tarik dalam industri pariwisata atau pemodal dikelola dan dikonsumsi kaum lelaki. Budaya asing). Ini berbeda dari sikap birokrat dan in­ pop clianggap tidak lebih dari "hiburan" orang dustriawan di Korea atau Jepang yang meng­ yang sedang santai atau kurang kerjaan di garap komoditas budaya pop dengan semangat, kawasan domestik yang pada umumnya terdiri tenaga, dan perhatian besar-besaran walau dari ibu rumah tangga dan remaja perempuan tujuan akhimya keuntungan material. Bahkan (dengan mobilitas untuk keluar rumah lebih masih banyak kalangan pejabat dan tokoh terbatas ketimbang suami/bapak/saudam lelaki masyarakat yang menghadapi budaya pop mereka) dan pembantu lUmah tangga. dengan sikap was-was akan kemungkinan Hambatan-hambatan di atas - dan itu pun "pengalUh negatifkebudayaan asing". bukan sebuah daftar lengkap - perlu ditanggapi Berbagai contoh empiris yang bertubi-tubi secara cermat jika ada minat dan usaha sung­ mencolok mata di abad ke-21 ini, sehingga tidak guh-sungguh di kalangan ilmuwan sosial dan dibutuhkan uraian teoretis atau perclebatan budaya untuk memperbaiki mutu kajian budaya berbuih-buih, menyadarkan kita akan caeat pop sebagai bagian dari perubahan mutakhir kedua ragam pemahaman di atas. Kebudayaan dalam masyarakat di Asia umumnya dan Indo­ mana pun tidak pemah hadir di ruang hampa nesia khususnya. Tanpa itu, kajian masalah atau di luar sejarah sosial, dan semakin tidak budaya pop hanya bisa meningkat dalam jum­ tersisa l11ang di bawah langit ini yang bebas dari lah, mirip dengan eara membuat film tentang budaya pop. Kebudayaan tidak lagi dan tidak rakyat kecil eli tahun 1970-an yang hanya meng- hanya mel11pakan gejala sampingan, atau ekses modemisasi atau dekorasi untuk sesuatu yang lebih penting. Budaya pop tidak hanya menjadi 17 Barbara O'Connor dan Elisabeth Klaus, sasaran "dampak" dari perubahan sosial at all "Pleasure and Meaningful Discourse: An Over­ view of Research Issues", dalam International ekonomi. 1a tidak berada di luar, di bawah, atau Journal of Cultural Studies, 3 (3), 2000, hal. 379- di atas proses sosial, politik, dan ekonomi. 1a 382. menjadi salah satu wilayah terpenting dalam

l _h:;:-~_ Diunduh dari

Ariel Heryanto, Budaya Pop Indonesia: Kehangatan Seusai Perang Dingin 27

industri, medan perebutan kekuatan politik, dan tetapi juga tidak dengan penindasan berdarah­ sekaligus kekuatan perekat identitas kelompok darah, kecuali sejak rezim Orde Bam yang sosial. Ini berlangsung mulai dari tingkat lokal bangkit dengan membantai komunis, menindas di kampung-kampung hingga elite nasional dan politik Islam, dan melecehkan rakyat di Aceh hubungan transnasional. Semua itu sudah dan Papua. Dalam banyak hal kesatuan Indo­ berlangsung lama, tetapi sosoknya tampil jauh nesia tercapai lewat sejumlah kompromi dari lebih gamblang saat ini ketimbang masa se­ berbagai pihak dengan menahan diri untuk tidak belumnya. menyatakan atau membesar-besarkan perbe­ daan identitas golongan di antara mereka. Per­ Politik Identitas satuan dan kesatuan yang rapuh semacam itu berkali-kali retak ketika sebagian kelompok Pada bagian awal tulisan ini diberikan be­ bangsa ini merasa tidak puas dengan proses berapa contoh empiris perubahan dalam budaya pembangunan bangsa yang dianggap tidak adil. pop. Namun, contoh-contoh itu lebih banyak Bangkitnya Orde Baru merupakan tuntutan terkait dengan perilaku elite politik. Saya ingin Perang Dingin dengan tugas utama menghabisi menutup tulisan ini dengan mengajukan tiga komunis, memenangkan Blok Barat dalam kasus mutakhir di kalangan menengah dan perang itu, dan melancarkan perluasan jaringan menengah bawah masyarakat Indonesia: pe­ industri kapitalisme global. Dengan tangan besi, nyanyi-penari dangdut Inul Daratista, film Ayat­ Orde Bam berhasil menunda atau mengubur ayat Cinta, dan demam sinetron dariAsiaTimur kemajemukan Indonesia - yang diutamakan (khususnya Meteor Garden dari Taiwan dan seri stabilitas, persatuan dan kesatuan menumt sinetron Endless Love dari Korea Selatan). versi penguasa, di samping pertumbuhan Dalam bentuk dan arah berbeda, ketiganya ekonomi. Dengan berakhirnya Perang Dingin memberi sedikit petunjuk ke mana Indonesia di tahun 1990-an, ditambah dengan parahnya bergerak di abad ke-21 dan tantangan yang akan penyimpangan kompsi, kolusi dan nepotisme dihadapi dalam beberapa dekade ke depan. dalam menjalankan industri kapitalisme, ber­ Karena keterbatasan ruang yang tersedia dan akhirlah peran sejarah Orde Bam. Berbagai kompleksitas masalah yang dibahas, uraian unsur yang dulu terkubur hidup-hidup di bawah berikut terpaksa disodorkan dalam bentuk dan sepatu lars Orde Bam kembali bangkit dan bahasa sangat kasar dan karikaturdl. Singkatnya, memperebutkan definisi ulang Indonesia me­ masa pascaperang dingin dan semakin ma­ numt kepentingan masing-masing. Ini mirip pannya "nonnalisasi" industri kapitalistik mem­ yang terjadi di awal masa kemerdekaan. bawa Indonesia kembali ke pertanyaan dasar Bedanya, konteks sejarah kita pada abad ke-21 yang pernah hadir di awal masa kemerdekaan, sudah berubah. yakni apa artinya menjadi Indonesia. Indonesia Tiga di antara ban yak kekuatan yang tampil dengan sosok macam apa yang kita inginkan? ini adalah kekuatan modernis Islam, golongan Menimbang betapa majemuk bangsa ini, bawah di ]awa, dan kaum liberal. Salah satu tidak berlebihan jika sebagian pengamat asing kekuatan terbesar dalam pembentukan Indo­ menganggap terbentuknya Indonesia meru­ nesia di awal kemerdekaan sudah habis ter­ pakan sebuah keajaiban.38 Hal ini tercapai tidak bantai, sehingga tidak lagi terlibat dalam tawar­ secara langsung dengan mulus dan mudah, menawar abad ke-21, yakni kelompok komunis. Ketiga kelompok ini sangat berperan dalam proses tawar-menawar menentukan identitas 18 Lihat, misalnya, Robert Cribb, "Nation: Making Indonesia. Proses tawar-menawar itu berlang­ Indonesia", dalam Donald K Emmerson (ed.), Indonesia Beyond Suharto (Armonk, NY: Asia sung dalam berbagai medan: pendidikan, peme­ Society, 1999), hal. 3-38. rintahan, perdebatan publik dan sebagainya. Di

T C P K: Diunduh dari

28 Prisma Vol. 28, No.2, Oktober 2009

abad ke-21 ini, budaya pop menjadi salah satu baratan.42 Kontroversi Inul merupakan bagian medan yang sangat penting bagi proses tawar­ dan kelanjutan dari konflik yang sudah berdbad­ menawar itu. abad sejak masuknya Islam ke ]awa, jauh Saya pernah menguraikan bagaimana kon­ sebelum masuknya kekuatan kolonial Eropa troversi Inul Daratista dapat dipahami sebagai apalagi budaya pop Amerika. Akan tetapi, pertemuan lima konflik besar dalam masyarakat konflik ini ditabukan dalam perbicangan selama Indonesia pasea-Orde Baru.39 Salah satunya ada­ rezim kolonial, Soekarno, dan Suharto, serta lah konflik bersejarah panjang antara kenik­ masih dianggap terlalu peka untuk dibahas matan sensual dalam tradisi rakyat J awa secara terbuka di mas a pasea-Orde Baru. Inul (khususnya di kalangan nonpriyayi) dengan sendiri mengaku beragama Islam. Bukan ke­ ketaatan modernis pada ajaran Islam yang betulan jika artis yang semula berkarier di dianut, baik orang Jawa priyayi maupun non­ kalangan bawah ini mengubah namanya dari priyayi. lni bukan pertentangan an tara Jawa dan yang as Ii bereorak ke-arab-araban "Ainur Islam, karena banyak orang Islam yang J awa Rokhimah" menjadi "I nul Daratista" yang ke­ dan sebaliknya. Ini merupakan ketegangan di jawa-jawaan dan sedikit bereorak Sanskerta. Jika an tara sejumlah ragam atau versi identitas diterus-teruskan, kita bisa menduga kekalahan menjadi Jawa/Islam seperti digambarkan dalam sejumlah partai politik yang seeara tegas film 3 Doa 3 Cinta (2008) .40 Penggemar Inul menekankan ke-Islam-an dalam pemilihan pada awalnya terbatas di kalangan bawah kota­ parlemen 2004 dan 2009 juga sedikit atau kota di J awa Timur. Ketika dikenal seeara nasio­ banyak merupakan reaksi balik massa di dalam nal dan diperdebatkan, pengecam Inul tidak ter­ maupun luar J awa terhadap islamisasi di tingkat batas hanya di kalangan Muslim, tetapi juga me­ elite (misalnya, disahkannya Undang-Undang reka yang beragama Nasrani dan kaum priyayi Anti-Pornografi atau maraknya Perda Syariah). Jawa. Namun, pengkritik Inul yang menggu­ Meledaknya sukses film Ayat-ayat Cinta nakan acuan agama Islam tampil paling depan dapat dikupas dari berbagai sudut, dan layak dalam masyarakat bennayoritas Muslim ini. dibahas lebih mendalam daripada yang dapat Karena sebagian besar dari kita belum siap diuraikan di sini. 43 Untuk keperluan di sini, saya atau bebas membicarakan arus bawah konflik hanya menyebutkan salah satu bagian. Film ini tersebut, banyak orang menutup-nutupi per­ berhasil merebut hati banyak orang, khususnya so alan itu dan mengalihkan perdebatan kasus Inul seakan-akan merupakan persoalan etika erotika. Hal yang lebih parah, beberapa peng­ 12 Lihat, Media Indonesia, "KH Hasyim Muzadi: Goyang Inul 'Belum Spberapa"', 19 Februari amat menerbitkan ulasan ten tang Inul dengan 2003. gegabah mengait-ngaitkan atau membanding­ 41 Upaya untuk membahas sedikit lebih mendalam kannya dengan budaya pop dari Arnerika atau ten tang ini saya paparkan dalam naskah Amerika Latin41 atau pengaruh kebarat- "Upgraded Piety and Pleasure: The New Middle Class and Islam in Indonesian Popular Culture", yang akan terbit sebagai sebuah bab dalam .19 Ariel Heryanto. "Pop culture and Competing buku dengan judul sementara Islam and Popular Identities", dalam Ariel Heryanto (cd.), Popular Culture in Indonfsia and Malaysia, suntingan Culture in Indonfsia: Fluid identitifs in Post­ Andrew W eintrau b. Ulasan saya di sini hanya Authoritarian Politics (London & New York: terbatas pada keberhasilan film itu, bukan Routledge, 2008), hal. 1-36. novelnya yang juga sukses dan dijadikan dasar

.jn Nurman Hakim menjadi penulis dan sutradara pembuatan film. Ada sejumlah perbeclaan an tara film ini. Nan Achnas bertindak sebagai produser. novel dan film dengan judul yang sarna. Seba­ ,)1 Lihat, Anita Susanti, "Inul Daratista, Ngetop di gian dari pandangan saya ten tang "meledaknya" Surabaya, Emoh Hijrah Ke ", dalamJawa film itu tidak berlaku untuk memahami ke­ t Pas, 31 October 2002. suksesan novelnya. c Diunduh dari

Ariel HerY(Jl1 to, Budaya Pop Indonesia: Keizangata}1 Se1fsai Perang Dingin 29

kaum muda Muslim dan kelas menengah kota, perilaku yang jelas sangat tidak terpuji dalam karena berhasil menjawab kf'gelisahan kf'­ Islam modem, walau sangat populer eli kalangan lompok ini. Tokoh utama pna dalam film ini, massa Jawa, ten11asuk m ereka yang beragama Fahn, merupakan gabungan anf'ka unsur yang Islam secara longgar. Ada Apa Dengan Cinta? diidolakan anak muda kelas menengah di kota tampil dengan gaya hura-hura anak muda dan pada umumnya, khususnya yang bcragama semangat liberal Amerika. Kedua film terse but Islam. Dia seorang mahasiswa pascas31jana melayani kebutuhan dua segmen masyarakat yang taat dan cerdas, tamp an dan gaul. Fahn Indonesia yang sama-sama besar. Ayat-ayat bersikap terbuka terhadap gaya hidup Barat Cinta melayani kebutuhan segmen lain yang yang mengglo bal. Dia fasih berbahasa Arab dan tidak kalah besar dan tidak terpuaskan, baik Inggns, dan bisa sedikit-sedikit bahasa Jelman. secara mental maupun moral, oleh hiburan ala Dia tidak memelihara jenggot dan berbusana Jelangkung atau Ada Apa Dengan Cinta? Ketiga Timur Tengah seperti yang sedang marak di film paling populer di dasawarsa awal abad ke- Indonesia. Sehari-hari dia tampil dengan busana 21 ini menggambarkan sebagian dati kema­ anak muda sekuler, kacamata hitam dan po­ jemukan masyarakat Indonesia, dan sekaligus tongan rambut yang bisa dijumpai di antara menunjuk tantangan berat mac am apa yang tokoh utama film-film sekuler di Indonesia, sedang dihadapi bangs a ini usai berakhirnya Hollywood, Bollywood, atau Taiwan dan Hong Perang Dingin. Kong. Fahn jauh dari pergaulan Muslim raelikaI Dari segi itu, sukses sinetron Meteor Gar­ yang siap berjihad, tidak juga kaum santri den dan gelombang demam Korea dapat dipa­ pedesaan yang tradisional, tetapi juga tidak hami dengan perspektif serupa. Karya-karya sepelii kelas menengah Indonesia dimabuk budaya pop ini digandrungi anak muda di Asia, gaya-hidup hedonis. ten11asuk Indonesia, bukan sekadar sebagai Singkatnya, Fahri tampil sebagai salah satu hiburdn, tetapi juga bahan renungan, lawan ber­ pilihan idola untuk rcmaja Indonesia kelas dialog dan cennin untuk tawar-menawar dalam menengah pasca-Perang Dingin: tokoh yang proses pembentukan identitas kaum muda, terbuka terhadap dunia Timur dan Barat, tetapi kelas menengah, di tengah globalisasi industri tidak pernah total menjadi salah satu dari kapitalisme yang semakin kencang. Sebagian keduanya. Dia seakan-akan "otentik" Indonesia besar dari kisah dalam sinetron Asia Timur itu yang hiblid. Karena hal ini, dan sejumlah sebab berpusat pada pergulatan anak muda - plia dan lain yang tidak perlu disajikan di sini, tidak wanita - kelas menengah kota; tidak saja dalam semua pengamat setuju dengan pandangan soal cinta tetapi juga persahabatan dan per­ umum yang menganggap film ini "sangat" at au saingan dalam menye1esaikan studi atau me­ "paling" IsIami yang pernah diedarkan di Indo­ ngejar karier segera setelah lulus kuliah, dan nesia, walau setting-nya di Mcsir, musik latar jauh dari orangtna. Mirip Ayat-ayat Cinta, ber­ belakangnya ke-Islam-Islam-an, tokoh perem­ bagai sinetron Asia Timur ini menampilkan puan utamanya bertutup burkah nyaris penuh, tokoh berparas cantik dan tampan, latar bela­ y dan ada poligami dalam alur ceritanya. kang a1am dan gemerlap pusat kota. Mirip Ayat­ Ada satu alasan lain n1f'ngapa Ayaf-ayat ayat Cinta, berbagai sinetron Asia Timur itu :1 Cinta sangat penting dan dibanggakan oleh para mempcragakan kebiasaan para tokohnya dalam 1 penggemarnya. Film ini memecahkan rekor mengonsumsi aneka gaya hidup Barat yang r bam dalam haljumlah penonton, sete1ahJelang­ sedang mengglobal tanpa menjacli "Barat", yang a 1- kung (2001) dan Ada Apa Dengan Cinta? ditampilkan dalam serial tclevisi dan film l " (2002). Jelangkung bertema horor, berkisah Hollywood: bebas dalam seksualitas dan sangat ~- tentang beberapa anak muda kC'las menengah otonom dalam hubungan dengan orangtua dan t di lawa ben11ain-main dr-ngan roh-roh - suatu kerabat. Hal yang membedakan Ayat-ayat Cinfa

K 11'~i' "'~-O:: Diunduh dari

30 Prism a Vol. 28, No.2, Oktober 2009

dengan berbagai sinetron Asia Timur itu se­ tahun-tahun pertama kariernya di J awa Timur. lembar tirai tipis, yakni ikatan agama an tara Saya sempat memperhatikan rombongan tokoh utama dan para penontonnya. Berbeda massa yang datang menghadili pertunjukan dari Ayat-ayat Cinta yang khusus dibuat untuk dangdut Inul pada akhir 2002 dan awal 2003 memuaskan penonton dalam negeri sendiri, yang bubar seusai pertunjukan. Pemandangan berbagai sinetron Asia Timur disiapkan untuk itu mengingatkan saya pada rombongan dipasarkan secara regional dan global. Pe­ penonLon yang barn bubar seusai pertandingan nonton dari berbagai negeri tidak hams me­ sepak bola di stadion koLa-kota menengah atau ngenal seluk-beluk kebudayaan dan sejardh asal rombongan buruh yang keluar dari wilayah barang hiburan itu. Beberapa dari film dan paorik ketika sore hari. Inul sempat tenggelam sinetron Asia Timur itu mengambil setting di beberapa bulan sesudah dihardik oleh sejumlah luar negeri asal, termasuk Bangkok, Denpasar, artis dan tokoh ulama kelas elite. Walaupun Jakarta atau Singapura, dan beberapa kota di alasan moral dan agama mewamai tindakan Amerika atau Eropa yang banyak dikunjungi represi itu, konflik kelas dan selera budaya orang Asia. antarkelas sulit diabaikan dalam pertikaian Selain lenyapnya pihak komunis, meluas­ waktu itu. nya popularitas budaya pop Asia Timur ini men­ Ketika Inul kemudian tampi! lagi, iden­ jadi satu faktor "baru" dalam proses tawar-me­ titasnya berbeda. Dia "naik kelas" menjadi nawar politik identitas Indonesia abad ke-21. "artis" nasional yang gemerlapan. Ini terjadi Untuk kali pertama, wawasan perdebatan tidak berkat uluran tangan industri kapitalisme eli lagi terkurung oleh dikotomi "Timur lawan bidang hiburan yang tielak hanya melihat pe­ Barat". Namun, penambahan faktor bam ini luang bisnis di balik ketenaran InuI, tetapi juga tidak lantas mengubah faktor lama yang kini sebuah peluang untuk membalas kritik ke­ semakin mengental, yakni identitas berda­ lompok-kelompok yang mengatasnamakan sarkan kelas sosial. Identitas ini dipertajam oleh agama terhadap sepak terjang industri hiburan kian meluasnya normalisasi hubungan sosial yang dianggap mengumbar erotika, kekerasan, berdasarkan logika industri kapitalisme. dan takhayul. Dalam hal itu, peran sejarah Inul Penonton ketiga film di atas - Jelangkung, sesudah naik kelas tidak jauh berbeda dari Ada Apa Dengan Cinta?, dan Ayat-ayat Cinta sosok Fahri dalam Ayat-ayat Cinta, atau Dao - tidak sarna dengan massa penggemar Inul di Ming Tze dalam Meteor Garden dari Taiwan • ( 1 s b n n d, y,

i ill f itt I pe I se pe !I ga ! DE

,< ..l -.-~. :"-~- Diunduh dari

Prisma diterbltkan oleh Lembaga Penell!lan. Perdldikal1 d1n Penerang;:m E:kCIlOfnl don S051al (LP3ES) dan dunaksudkan seba.gal media informasi dan forum pembahasan m;':!sctiah pcmbangunan ei

Vol. 28, No.2, Oktober 2009 Terbit setiap tiga bulan (Januari, April, Juli, Oktober)

TOPIK KITA

Daniel Dhakidae 2 Pulau-pulau Tak Bemama eli Nusantara Antonius !v!ade Tony Supriatma 3 Menguatnya Katiel Politik Para "Bos" Ariel Heryanto 15 Budaya Pop Indonesia: Kehangatan Seusai Perang Dingin Dede Oetomo 31 Reflt'ksi Kritis Manusia Indonesia !v! Dawam Rahardjo 40 Menuju Kemanelirian Ekonomi Indonesia

E S A I

Daniel Dhakidae 50 Hubungan Cinta-Benci antard Indonesia dan Malaysia

DIALOG

Franz Magnis-Suseno 54 Kita Butuh Proyeksi Besar Cita-cita Bangsa

SURVEI

A Tony Prasetiantono 61 Perbankan Indonesia eli Tt'ngah Turbulensi Ekonomi Global

LAPORAN DAERAH

Amiruddin al Rahab 71 Papua dalam SE'ngketa Separdiis

BUKU

Andi Achdian 83 Membicarakan Indonesia

90 K R I T I K & K 0 MEN TAR

93 PAR APE NUL I S

PrismaVol. 29, No.1: Sistem Pert.7hanall GafJlbar o/piz Clv] Sudarir1 Prism.? Vol. 29, No.2: Otollomi Daerah

Pendiri: Ismid Hadad, Nono Anwar Makarim • Pemimpin Umum: Suhardi Suryadi • Wakil Pemimpin Umum: Sudar Dwi Atmanto • Pemimpin Redaksi: Daniel Dhakidae • Redaktur Pelaksana: MA Satyasuryawan • Dewan Redaksi: A Tony Prasetiantono, Azyumardi Azra, Jaleswari Pramodhawardani, Kamala Chandrakirana, Sumit Mandai (Jerman). Taufik Abdullah, Vedi R Hadiz (Singapura) • Redaksi: Daniel Dhakidae, E Dwi Arya Wisesa. MA Satyasuryawan, Nezar Patria, Rahadi T Wiratama Sekretaris Redaksi: Eriko Sustia • Produksi: Awan Dewangga • Bisnis dan Pemasaran: Anis lIahi Wahdati, PanJi Anggoro

Alamat: Jalan Letjen S Parman 81, Jakarta 11420, Indonesia. Tip.: (6221) 5674211, Faks.: 568 3785 Email: [email protected]; [email protected]; Website: www.lp3es.or.id Bank: '}ANDIRI, KCP RSKD. Jakarta. Nomor Rekening: 116-00-0526-169-9 a/n LP3ES