Teks Rujukan Sinema yang Mendesak Diperbaharui

Debra H. Yatim Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian [email protected]

ABSTRACT

Urgent Need to Update Reference Text on Indonesian Cinema. The book Indonesian Cinema: Framing the New Order by Krishna Sen, which is a mandatory text on FFTV-IKJ, when translated and published in the Indonesian version alone, has expired 15 years. Now 12 more years have passed. It is time for an academic initiative to re-examine some of the premises offered by Sen when conducting his research in 1980- 1982, reviewing the arguments he put forward about the shaping forces of cinema sensibility in Indonesia, and accepting the challenge he threw 27 years ago to observe the contribution of women to Indonesian cinema.

Keywords: Indonesian films, power in Indonesian cinema, women and Indonesian films

ABSTRAK

Buku Kuasa Dalam Sinema: Negara, Masyarakat dan Sinema Orde Baru karya Krishna Sen, yang mer- upakan teks wajib di FFTV-IKJ, saat diterjemahkan dan terbit dalam versi bahasa Indonesia saja sudah kedaluwarsa 27 tahun. Sudah saatnya muncul inisiatif akademik untuk melakukan penelusuran ulang terhadap beberapa premis yang ditawarkan oleh Sen saat melakukan penelitiannya pada 1980- 1982, mengkaji kembali argumentasi yang disodorkannya tentang kekuatan-kekuatan pembentuk sensibilitas sinema di Indonesia, dan menerima tantangan yang dilemparkannya 27 tahun silam untuk mengamati sumbangsih perempuan dalam perfilman Indonesia.

Kata Kunci: film Indonesia, kuasa dalam sinema Indonesia, perempuan dan film Indonesia

Teks Rujukan Sinema Indonesia yang Mendesak Diperbaharui | 16 PENDAHULUAN

Krishna Sen, yang kala itu dosen di Universitas yang spesifik terhadap medium film negara Dunia Murdoch, Australia, dalam prakata edisi Ketiga ini—tentu saja, maksudnya Indonesia. Indonesia dari bukunya Indonesian Cinema: Kaden menyitir bagaimana Sen mendefinisikan Framing the New Order (1994), mengingatkan perspektif kritisnya atas peran ideologis yang bahwa, kendati ia sangat gembira menyaksikan diemban sinema Indonesia antara 1965 sampai buku itu diterjemahkan, “konteks politik ketika 1990 sebagai berikut: “Jika 1965 bisa dilihat buku (tersebut) ditulis sudah lampau sekali. sebagai kemenangan Negara atas masyarakat, dan Hambatan-hambatan budaya yang sangat para Priyayi-Kapitalis yang laki-laki atas sang mengemuka dalam teks-teks yang didiskusikan ‘Liyan’ (yang beragam dan kontradiktif itu), pada (buku tersebut) pun telah menghilang atau galibnya, kemenangan tersebut tidak mampu berubah” (Sen 2009). jadi katup penutup pamungkas kegalauan dalam masyarakat.” Buku terjemahan yang dimaksud ialah Kuasa Dalam Sinema: Negara, Masyarakat dan Sinema Menurut Kaden, Sen menjabarkan kemenangan Orde Baru, terbitan 2009 oleh Penerbit Ombak, itu sebagai sama sekali tidak mampu melenyapkan buku wajib dalam mata kuliah Sejarah Film secara tuntas kegelisahan masyarakat yang Dunia di Fakultas Film dan Televisi, Institut bersauh pada peristiwa “perang sipil” (tanda Kesenian Jakarta.1 Dalam buku tersebut, Sen, kutip dari Penulis) yang terjadi pada 1965; yang melakukan riset lapangannya antara 1980- Karenanya, (Negara/Priyayi-Kapitalis laki-laki) 1982, tepat pada pertengahan era Orde Baru, ternyata terpaksa secara senantiasa dan terus- menghaturkan pembahasan yang mencakup menerus mereproduksinya secara simbolik agar lingkup luas, yakni sinema Indonesia dalam (kegelisahan itu) dapat dikerangkeng, juga secara rentang waktu dari masa tahun 1920-an sampai simbolik. tahun 1990-an. Kaden menunjukkan bagaimana Sen Michael Kaden, yang menulis resensi dalam menyuguhkan kerangka rujukan yang kukuh, Book Reviews yang dimuat di Bijdragen tot de dengan melakukan analisis terlebih dulu terhadap Taal-, Land- en Volkenkunde (1995), mengatakan, perkembangan ekonomi, politik, dan kelembagaan buku Krishna Sen tersebut merupakan satu dari perfilman Indonesia sejak awal tahun 1900-an. penelitian paling komprehensif yang pernah Setelah itu, baru Sen menyodorkan secara rinci terbit secara internasional sejauh itu tentang bagaimana perfilman Indonesia, lewat kajian kebudayaan perfilman Indonesia, yang—mirip film-film pilihan tertentu—yakni teks-teks sinema Vietnam dan Thailand—merupakan film—memenuhi fungsi ideologis terbidiknya. budaya-film di pinggiran peripheral( ), dan tidak “Terutama dalam penjelasannya mengenai memiliki volume besar kepustakaan tentang perkembangan film pasca-1965, Sen sangat dirinya dibandingkan banjir kepustakaan tentang berhasil memberikan gambaran jernih tentang “negara film-negara film besar Asia” macam struktur industri film Indonesia,” tulis Kaden. India, Cina, dan Jepang. Saat melakukan resensi, Kaden hanya bisa Meski penuh dengan pujian, Kaden tetap membandingkan buku Sen dengan Indonesian berhasil menemukan kelemahan pada kajian Cinema: National Culture on Screen karya Karl Sen. Keterangan-keterangan Sen mengenai Heider (1991) dan Shadows on the Silver Screen: masa sebelum Perang (Dunia Kedua, atau bagi A Social History of Indonesian Film karya Salim kita, tentu saja, Perang Kemerdekaan), menurut Said (1991). Dalam perbandingan itu, buku Sen, Kaden, mengandung beberapa kesalahan dan menurutnya, mampu menambahkan analisis kritis kekurangan. Film musikal Terang Boelan (1937) misalnya, film pertama produksi Hindia Belanda yang meraih keberhasilan box office, dan karya 1 Daftar bacaan wajib Semester 1, mata kuliah acuan kunci bagi sinema populer di Indonesia, Sejarah Film Dunia, 2019 disebut Sen—tanpa analisis mendalam, tandas

Teks Rujukan Sinema Indonesia yang Mendesak Diperbaharui | 17 Kaden—sebagai “film Indonesia paling pertama karya-karya film yang ia kaji di dalam buku. yang menggunakan suara,” hal mana sama Namun, sebagai penutup, Kaden mengatakan, sekali khilaf, tulis Kaden. Untuk menunjukkan sekali pun terdapat beberapa kekurangan, kehandalan akademiknya sendiri, Kaden buku Krishna Sen merupakan sumbangan melanjutkan dengan mengatakan, produser film kritis dan menawarkan sudut pandang penting domestik di Hindia Belanda sesungguhnya sejak dalam perdebatan akademik mengenai sinema awal 1930-an telah mulai memproduksi karya- Indonesia. karya film menggunakan suara, agar bisa bersaing dengan film-film impor bersuara kala itu. PERLUNYA BUKU BARU Pada bagian kedua kajian Sen, berjudul “Society and Politics in Film Texts” (dalam versi Bahasa Kembali ke Sen dalam prakata pada bukunya, Sen Indonesia menjadi “Masyarakat dan Politik menegaskan bahwa sekian perubahan dramatis Dalam Teks-teks Film”), Kaden menunjuk telah berlangsung sejak kejatuhan Soeharto dan bagaimana Sen memereteli secara kritis pesan- menciptakan transformasi budaya dan politik pesan ideologis film-film dangenre-genre tertentu Indonesia. “Tentunya mustahil merangkum sinema Indonesia di dalam era Orde Baru. perubahan-perubahan yang tengah berlangsung Penjelasan-penjelasannya mengenai film-film dalam industri film Indonesia dan teks-teksnya tersebut, menurut hemat Kaden, menawarkan hanya dalam sedikit halaman prakata; Perlu sudut pandang sangat menarik terhadap tata ditulis buku yang benar-benar baru tentang bahasa medium film, dalam konteks wacana sinema Indonesia pasca-Orde Baru!” (Tanda politik luas yang tengah beredar di masyarakat baca seru dibubuhkan oleh Sen sendiri.) Indonesia kala itu. Ini tantangan yang muncul di awal buku Kuasa Meski demikian, kata Kaden, terjadi problem Dalam Sinema, meski pun sebetulnya merupakan besar ketika seorang peneliti (Sen) melemparkan tantangan yang dilemparkan Sen belakangan, kajian rinci mengenai sinema periferal (dalam karena edisi versi Indonesia baru muncul 15 hal ini maksudnya sinema Indonesia, yang di tahun setelah buku edisi internasionalnya sudah luar tapal Indonesia sedikit sekali ditonton beredar di dunia. Boleh jadi ketika menulis orang): yakni bahwa sebagian besar pembaca kalimat bertanda baca seru itu, Sen sedang teks tak mungkin berkesempatan menonton bergumam kepada dirinya sendiri bahwa sudah dalam jumlah cukup film-film yang dianalisis saatnya ia mulai menulis buku yang “benar- Sen sehingga tidak mungkin mengerti apa yang benar baru (itu) tentang sinema Indonesia pasca- tengah dibahasnya. Dengan demikian, diskursus Orde Baru.” Untuk menyusun tulisan kecil ini interpretasi Krishna Sen terhadap film-film itu untuk Jurnal Imaji, Penulis tidak sempat (atau dengan sendirinya jadi sangat terbatas. pun mampu) melakukan penelusuran terhadap berapa persisnya jumlah disertasi dan tesis yang Penulis akan melompat masuk di titik ini: tidak telah ditulis dalam kurun sejak Kuasa Dalam saja bagi pembaca internasional, bacaan wajib Sinema beredar, dan judul-judul mana saja yang FFTV-IKJ ini ternyata tidak berbicara bagi membahas aspek spesifik atau menyeluruh sekian mahasiswa kelahiran pertengahan tahun 1990-an masalah yang diungkit oleh Sen dalam karya ini. dan 2000-an ke atas, karena copy film-film yang Sen menandaskan, “Bahkan saat diterbitkan dalam dibahas tidak ada di YouTube, dan sebagian tidak bahasa Inggris pada 1994 (penelitian lapangan terdapat di perpustakaan kampus.2 yang ia lakukan di Indonesia berlangsung antara Masih senafas dengan kelemahannya, Kaden 1980-1982), kekuatan propaganda dan sensor menambahkan bahwa buku Sen mengandung Orde Baru yang diamati dalam buku ini (telah) satu kekosongan yang menganga melompong. Sen melemah.” Sepanjang dasawarsa 1990-an, Sen sama sekali lupa untuk mencantumkan filmografi melanjutkan, perubahan-perubahan teknologi (yang memproduksi cara-cara baru encoding dan decoding teks), perubahan tata ekonomi 2 Percakapan langsung dengan beberapa media secara global, kebijakan-kebijakan yang mahasiswa FFTV-IKJ Angkatan 2019, Desember 2019

Teks Rujukan Sinema Indonesia yang Mendesak Diperbaharui | 18 mengatur kepemilikan media pemerintah, dan Dalam kajian di bagian pertama buku ini, Sen tumbuhnya perlawanan terhadap pemerintahan mengajukan argumentasi bahwa dalam masa represif Soeharto yang telah lama berlangsung, represi Orde Baru, mayoritas film Indonesia menggugat dominasi pesan-pesan didaktis terbentuk oleh resep-resep yang berasal dari sebuah ‘tatanan’ (order) yang mendominasi sinema institusi yang justru bukan Badan Sensor Film. Indonesia di pertengahan masa pemerintahan Sebelumnya, Sen mengingatkan bahwa meski Soeharto. Pokok-pokok inilah yang menjadi pun para pembuat film di Indonesia (dugaan beberapa bahasan kunci buku Sen tersebut. Penulis, maksudnya para pembuat film yang sempat ia wawancarai saat melangsungkan Intan Paramadhita—kala itu kandidat doktor penelitian lapangan pada 1980-1982, seperti Kajian Sinema di New York University—dalam Ami Prijono, , Anizar Abdurahman, Kata Pengantar edisi terjemahan buku Krishna Arifin C. Noer, Asrul Sani, Gotot Prakosa, et Sen mengakui bahwa ia pertama kali membaca al) kerap mengatakan kekuasaan BSF sangat buku ini sebagai mahasiswa S1 pada tahun 1997 membatasi, hanya sedikit sekali terjadi kasus di dan ia merasa “menemukan harta karun.” Bukan mana kekuatan BSF digunakan secara langsung hal berlebihan, dalam kata pengantar yang sama dalam bentuk pemangkasan bagian-bagian Paramadhita menulis, “Bila dikatakan bahwa tertentu dari film, mau pun melarangnya.3 saya, dan juga rekan-rekan lain yang kini tengah meneliti film Indonesia berutang banyak kepada Melanjutkan pemikirannya, Sen mengatakan penelitian Sen.” bahwa institusi-institusi di luar BSF tersebut mencakup perusahaan produksi (film), organisasi Kata pengantar Paramadhita memperluas profesional komunitas film, sekolah film, dan beberapa premis dasar Sen dan melontarkan festival film. “Merekalah yang bersama-sama keseluruhan argumentasi telak-telak ke era mendefinisikan apa itu film Indonesia dan Reformasi. Cukup mencemaskan membaca kata menentukan siapakah yang berhak menjadi pengantar yang ditulis pada 2009—satu dekade pembuat film. Tentunya institusi-insititusi penuh setelah berlakunya Reformasi—dan perfilman itu sendiri dibentuk oleh institusi membaca penilaian Paramadhita bahwa, terlepas ekonomi dan sosial masyarakat (semisal dari perubahan performans (ia menggunakan pendidikan dan agama). Akses literasi, sekolah, istilah kata yang bagi Penulis agak problematik dan kehidupan urban membatasi siapa saja yang secara tata bahasa, yakni: “performativitas”) nantinya akan berhubungan dengan studio film pemerintah dan upaya pembaruan, “Ada banyak dan memiliki pilihan menjadi pembuat film,” hal yang secara esensial tetap sama. Logika tulis Sen. dasar yang menggerakkan Undang-Undang Film baru menyadarkan kita bahwa hantu Orde Penulis memutuskan menyebut institusi-institusi Baru masih ada.” Ia menambahkan bahwa, ini sebagai “kekuatan-kekuatan pembentuk “Tatapan pemerintah terhadap warga negaranya sensibilitas sinema di Indonesia” sebagaimana masih terayun antara kecurigaan di satu sisi diajukan oleh Sen yang disitirnya pada halaman dan asumsi atas ketidakmampuan masyarakat 89 buku ini, dalam sub-judul Badan-badan melindungi diri sendiri di sisi lain… Peraturan Korporatik dan Profesional. Sen mengatakan yang seperti pendaftaran judul film dan sertifikasi tercakup dalam kategori ini adalah tiga macam yang diwajibkan atas pekerja film adalah upaya organisasi: pelestarian birokrasi saat film Indonesia pasca- Soeharto, tanpa pengawasan mau pun dukungan pemerintah, bergerak ke arah yang berbeda- beda.” Seluruh situasi ini, menurut Paramadhita, membuat kita membaca deskripsi Krishna Sen tentang Orde Baru dengan kesadaran “saya seperti 3 Untuk pembahasan lengkap mengenai asal-usul pernah ada di sini—bukan, bukan sebelumnya, BSF sebagai Lembaga otoriter yang tumbuh dan langgeng tetapi saat ini.” di Orde Lama sebagai warisan dan rezim penjajah, baca Sinema Pada Masa Soekarno, karya Tanete Pong Masak (FFTV IKJ Press, 2018).

Teks Rujukan Sinema Indonesia yang Mendesak Diperbaharui | 19 • Dewan film yang terus berganti, badan TANTANGAN NOMOR TIGA DALAM penasihat yang menghubungkan pemerintah BUKU SEN dan komunitas film; Penulis lebih ingin menyorot kalimat berikutnya • Festival film tahunan (Festival Film Sen, yang merupakan tantangan ketiga yang Indonesia) yang memberikan penilaian atas dilemparkan buku ini, yang sangat perlu kita film-film yang diproduksi setiap tahunnya; kaji dan memberikan tanggapan serius. Sen menyitir ada kekuatan-kekuatan lain yang (dulu) • Organisasi korporatik di bawah membatasi peluang orang untuk berhubungan wewenang pemerintah. dengan studio film dan menjatuhkan pilihan menjadi pembuat film. Berangkat dari pokok Meski bersifat otonom, tulis Sen, organisasi pikiran itu, Sen menyorot stigma sosial yang korporatik dan profesional ini berada di bawah berurat-akar mengenai dunia perfilman dan wewenang pemerintah dan memiliki tempat pekerjaan perempuan. Sensibilitas tersebut, khusus dalam program-program pemerintah menurutnya, menyingkirkan perempuan dari (yakni dengan) “pedoman dan pembangunan” banyak aspek perfilman. “Sepanjang 60 tahun industri film. Dengan pengecualian terbatas perfilman Indonesia,” tulisnya di halaman 88, organisasi profesional, kata Sen, organisasi- “hanya terdapat empat sutradara perempuan, organisasi ini tidak mempunyai kekuatan dan semuanya terkait dengan para lelaki (yang pemaksa atas sektor mana pun dalam produksi menonjol jumlahnya) dari komunitas film.” film. Namun mereka punya pengaruh yang Dalam catatan kaki di halaman itu, ia membuat signifikan pada dunia perfilman sebagai forum daftar nama empat perempuan tersebut: Ratna bagi kelompok penekan. Asmara, istri dari penulis skenario dan sutradara Anjar Asmara, Citra Dewi, istri dari produser Setelah hampir tiga dasawarsa sejak alinea itu film N.J. Hoffman, Ida Farida, adik dari penulis ditulis Sen, kita lihat perkembangan teknologi skenario dan sutradara , dan digital yang tidak terbayangkan sebelumnya, Sofia W.D., yang merupakan pengecualian karena dalam mana orang per orang kini bisa menjadi ia posisinya lebih menonjol dalam komunitas film pembuat film sendiri, menjadi aktor sendiri, ketimbang dua suaminya berturut-turut, Waldy pengusung kamera, editor, perancang tata suara dan W.D. Mochtar—keduanya aktor. sendiri, bahkan menjadi distributor karya filmnya sendiri menggunakan alat kecil yang pas dalam Belum pernah, kata Sen, ada penata sinematografi genggaman tangan, yakni sang gadget serba bisa dan penata musik perempuan. Pertanyaan yang bernama ponsel. Maka, kajian Sen mengenai seperti mengapa lelaki mengontrol—hampir pokok yang satu ini sudah terbuka lebar untuk secara ekslusif—aspek-aspek produksi film yang patut ditinjau kembali, diperbaiki, diperluas dan nilainya paling tinggi, terkait dengan fenomena diberi kajian bernas mengenai peluang-luang yang sosial dan budaya yang lebih luas daripada tema dibentan oleh teknologi digitalisasi, terutama, diskusi (buku) di sini, tuturnya. Bagaimana pun, justru terutama, dalam dunia perfilman. (Sen fokus bagian ini pada lembaga-lembaga film sendiri membahas lebih lanjutan secara serba (ingat bahwa kondisi sosial dan historis terbentuk sedikit tentang perkembangan teknologi dalam dan melanggengkannya) memungkinkan buku Media, Culture and Politics in Indonesia pengidentifikasian ciri-ciri spesifik dari hal-hal bersama David T. Hill, pada 2007 terbitan di atas serta kekhususan sinema sebagai sebuah Equinox Publishing). medium.

Selain sedikitnya populasi begender perempuan dalam perfilman Indonesia kala itu, Sen juga menyorot pokok bahwa sebagian besar genre film Indonesia secara definitif terberi (istilah dari Penulis), “mengenai lelaki, dan mengenai

Teks Rujukan Sinema Indonesia yang Mendesak Diperbaharui | 20 apa yang didefinisikan oleh film bersangkutan gender di Indonesia,” tulisnya. Membaca bab ini sebagai lingkup kegiatan kaum lelaki.” bersama-sama dengan kajian gender Orde Baru lainnya… memberikan pemahaman tentang Kendati lantas film-film tersebutbagaimana ideologi “Ibuisme” rezim Soeharto mengetengahkan beberapa sosok perempuan, bekerja di wilayah budaya populer. Dan seperti lanjut Sen, para perempuan itu cuma punya kalangan akademis/feminis lainnya di masa peran sampingan, sehingga citra dan kegiatan Orde Baru, antara lain Madelon Djajadiningrat- perempuan hanya memiliki fungsi yang kecil dan/ Nieuwenhaus, Julia Suryakusuma, dan Tineke atau tidak penting dalam keseluruhan naratif. Hellwig, Sen memberi perhatian besar pada Melanjutkan argumentasinya, Sen mencatat dua konstruksi femininitas, tetapi kurang menyorot hal: film Indonesia kala itu menekankan bahwa bentukan atau pemaknaan maskulinitas kekuatan perempuan itu adalah sebagai ibu; dan maupun diskursus seksualitas di luar kerangka film Indonesia memarjinalkan penggambaran heteronormative. Namun tak dapat disangkal perempuan yang bekerja (di luar rumah). bahwa Sen adalah salah seorang yang pertama kali merintis penelitian tentang gender dalam Dalam Bab 3, Sen telah membahas mengenai film Indonesia. sangat sedikitnya perempuan yang berada di posisi menentukan dalam lingkup administratif Satu dekade berikutnya, lanjut Paramadhita, (Penulis berpandangan terjemahan yang lebih studi Sen mendorong munculnya beberapa tepat mungkin seharusnya “manajerial”) dan penelitian yang mengeksploitasi lebih jauh kesenian (terjemahan yang lebih tepat mungkin masalah maskulinitas dan homoseksualitas “artistik”) di industri film. “Dari 1965 sampai dalam film Indonesia. Terakhir, Paramadhita 1985, 1170 judul film diproduksi di Indonesia, dan mengingatkan bahwa, “Agensi dari pembuat film hanya selusin dari jumlah itu yang disutradarai dan cara mereka mencari celah dalam sistem perempuan. Dalam keanggotaan Badan Sensor di luar sensor diri, saya kira, merupakan aspek Film berkuasa penuh itu, peran perempuan jauh yang belum banyak didiskusikan dalam buku lebih berkurang sejak 1965. Dalam Dewan Film, ini.” Paramadhita juga mengingatkan bahwa Sen bahkan perwakilan dari Departemen Urusan mendiskusikan beberapa film karya pembuat film Wanita berkali-kali dipegang oleh tentara laki- “minoritas” (yang dalam tradisi patriarkal industri laki. Melihat dominasi laki-laki yang luas atas film era Orde Baru adalah perempuan), namun medium film, tidak mengejutkan jika perempuan tidak bahas bentuk negosiasi yang dilakukan yang akhirnya berhasil masuk ke dunia film (selain perempuan di dunia film, terlepas dari fakta sebagai aktris) hanya bisa memberikan legitimasi bahwa mereka ternyata mengadopsi nilai-nilai atas proses kerja yang sedang berlangsung maskulin. (dan dilakukan laki-laki), agar diterima dan bisa bertahan. Dalam catatan kaki di halaman Dalam Bagian Kedua, Sen memang mengkritik ini, Sen menandaskan kenyataan bahwa kaum pedas sikap Sofia W.D. sebagai satu dari cuma tiga perempuan yang berhasil berkecimpung di dalam sutradara perempuan kala itu, ketika membuat perfilman “harus berjuang untuk menjadi bagian filmHalimun, diangkat dari novelet karya penulis dari bentuk kesenian yang didominasi laki-laki… perempuan A.M. Amalia, yang diiklankan sebagai dan (fakta bahwa mereka harus berjuang itu) “sebuah film untuk perempuan, oleh perempuan, menyulitkan sekali bagi mereka untuk mengambil tentang masalah perempuan.” Baik secara visual posisi yang radikal, terutama menyangkut isu-isu mau pun psikologis, kata Sen, para perempuan perempuan.” dalam film ini dikonstruksi dari perspektif tokoh utama (baca: laki-laki - Penulis), dan dinilai Intan Paramaditha dalam kata pengantar dari sudut pandangnya pula. Kritikan pedasnya memang menyorot argumen-argumen sengit itu ditutup oleh Sen dengan kalimat: “Apa yang Sen dalam Bagian Kedua. Bab tentang digembar-gemborkan reklame… sebagai film representasi perempuan dalam film-film Orde perempuan, ternyata hanya dilihat dari mata laki- Baru “merupakan sumbangan besar dalam studi laki dan berbicara dengan suara laki-laki.”

Teks Rujukan Sinema Indonesia yang Mendesak Diperbaharui | 21 KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA

Diskusi pendek tentang buku Kuasa Dalam Clark, Marshall. Men, Masculinity and Symbolic Sinema: Negara, Masyarakat dan Sinema Orde Violence in Recent Indonesian Cinema, Baru karya Krishna Sen ini, yang menjadi bacaan Journal of Southeast Asian Studies, 35 rujukan dalam perkuliahan di FFTV-IKJ, ingin (1), U.K., National University of menyorot tiga tantangan yang dihaturkan oleh Singapore, Feb. 2004 karya Sen tersebut: KITLV, www.kitlv-journals.nl Sen sendiri tegas mengatakan hendaknya ada buku benar-benar baru tentang sinema Indonesia Masak, Tanete Pong. Sinema pada Masa Soekarno, pasca-Orde Baru. Penulis ingin menambahkan, cet. 2, Jakarta: Fakultas Film & Televisi juga yang membahas perfilman dalam era Institut Kesenian Jakarta, 2018 Reformasi dan dalam era digital yang sedang kita gumuli dewasa ini; Said, Salim. Shadows on the Silver Screen: A Social History of Indonesian Film, Jakarta: Betulkah masih berlaku kualitas agensi dari Lontar Foundation, 1991 pembuat film sebagaimana dideskripsikan Sen dalam teks, dan bagaimana pembuat film Sen, Krishna Kuasa Dalam Sinema: Negara, berhadapan dengan institusi-institusi dalam Masyarakat dan Sinema Orde Baru, masyarakat ketika berekspresi? Ini merupakan Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2009 pekerjaan penelusuran menarik dan besar; Sen, Krishna, dan David T. Hill. Media, Culture Terakhir, karya Sen menantang para pengkaji film and Politics in Indonesia, Jakarta-Kuala untuk memetakan sumbang-peran perempuan Lumpur: Equinox Publishing, 2007 dalam perfilman Indonesia yang memang meningkat tajam dalam dua dekade terakhir, dan bukan di satu atau dua bidang semata, tapi melebar di hampir seluruh aspek filmmaking. Namun, Penulis masih khawatir, ketika sekian tulisan di media mengelu-elukan kehandalan seorang dan seorang Kamila Andini sebagai sineas, dan sekian rekan-rekan perempuan mereka lainnya, kita tetap belum melakukan kajian mengenai populasi bergender perempuan sesungguhnya di dalam perfilman. Satu lagi, masih belum ada kajian mengapa tiap tahun, meski sudah ada sekian sineas perempuan kuat dalam khazanah perfilman, jumlah perempuan yang mendaftar ke sekolah film masih kurang dari sepertiga jumlah laki yang disekolahkan orang tuanya ke lembaga-lembaga tersebut.

Teks Rujukan Sinema Indonesia yang Mendesak Diperbaharui | 22