HASAN BASRI NST

PENDIDIKANPANCASILA

BUNG HATTA UNIVERSITY PRESS PENDIDIKAN

BUNG HATTA UNIVERSITY PRESS

ii Sanksi pelanggaran pasal 44: Undang-undang No. 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tentang hak cipta. 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu dipidana dengan pidana penjara paling lamaT (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat | (satu), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (Iima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)

iii PENDIDIKAN PANCASILA

Hasan Basri Nst

Penerbit Bung Hatta University Press 2011

iv Judul : PENDIDIKAN PANCASILA Penulis : Hasan Basri Nst Sampul : Hasan Basri Nst Perwajahan: Bung Hatta University Press Diterbitkan oleh Bung Hatta University Press Juni 201I Alamat Penerbit: Badan Penerbit Universitas Bung Hatta Bung Hatta University Press Gedung Rektorat LI.III (LPPM) Universitas Bung Hatta Jl. Sumatra Ulak Karang , Sumbar, Telp. (075 I ) 7 05 I 67 8 8xt.323, Fax. (075 I ) 7 0 5 547 5 e-mail: [email protected] Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruhnya isi buku ini tanpa izin tertulis penerbit Isi diluar tanggung jawab percetakan Cetakan Pertama : Juni 20l l Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Hasan Basri Nst PENDIDIKAN PANCASILA oleh : Hasan Basri Nst Bung Hatta University Press, Juni 2011 218 Hlm + xii; 14,8 cm ISBN 978 - 602 - 8899 - 47 - 5

v SAMBUTAN REKTOR UNIVERSITAS BUNG HATTA

Visi Universitas Bung Hatta adalah Menjadikan Universitas Bung Hatta Bermutu dan Terkemuka dengan Misi utamanya meningkatkan mutu sumber daya manusia yang berada dalam jangkauan fungsinya. Mencermati betapa beratnya tantangan Universitas Bung Hatta terhadap dampak globalisasi, baik yang bersumber dari tuntunan internal maupun eksternal dalam meningkatkan daya saing lulusan perguruan tinggi, maka upaya peningkatan kualitas lulusan Universitas Bung Hatta adalah suatu hal yang harus dilakukan dengan terencana dan terukur. Untuk mewujudkan hal itu, Universitas Bung Hatta melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat merancang program kerja dan memberikan dana kepada dosen untuk menulis buku, karena kompetensi seorang dosen tidak cukup hanya menguasai bidang ilmunya dengan kualifikasi 52 dan 53. Kita dituntut untuk memahami elemen kompetensi yang bisa diaplikasikan dalam proses pembelajaran, melakukan riset dan menuangkan dalam bentuk buku.

Saya ingin menyampaikan penghargaan kepada saudara Hasan Basri Nst yang telah menulis buku "PENDIDIKAN PANCASILA' Harapan saya buku ini akan tetap eksis sebagai wahana komunikasi bagi kelompok dosen dalam bidang "PPKN" sehingga dapat dijadikan sebagai sumber bahan ajar untuk mata kuliah yang diampu dan menambah khasanah ilmu pengetahuan mahasiswa.

vi Tantangan ke depan tentu lebih berat lagi, karena kendala yang sering dihadapi dalam penulisan buku adalah tidak dipunyai hasil-hasil riset yang bernas. Kesemuanya itu menjadi tantangan kita bersama terutama para dosen di Universitas Bung Hatta. Demikian sambutan saya, sekali lagi saya ucapkan selamat atas penerbitan buku ini. Semoga Tuhan yang Maha Kuasa meridhoi segala upaya yang kita perbuat bagi memajukan pendidikan di Universitas Bung Hafta.

Padang, Juni 2011 Rektor

Prof. Dr. lr. Hafrizal Syandri, MS

vii KATA PENGANTAR

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan bahwa kurikulum Pendidikan Tinggi wajib memuat Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan dan Bahasa. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 232/ U/ 2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa. Kemudian keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi telah ditetapkan bahwa Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila, dan Pendidikan Kewarganegaraan merupakan kelompok mata kuliah Pengembangan Kepribadian yang wajib diberikan dalam kurikulum setiap Program Studi/ Kelompok Program Studi. Kurikulum baru yang diterapkan di Jurusan PSP dan BDP Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta sejak Tahun Ajaran 2010/ 2011, khusus untuk kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian mengintegrasikan mata kuliah Pancasila ke dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dengan beban 3 SKS. Realita ini mengakibatkan pembahasan Pancasila dalam perkuliahan waktunya semakin terbatas. Oleh karena itu penyusun berinisiatif untuk menyajikan buku Pendidikan Pancasila ini sebagai pengkayaan materi bagi para mahasiswa khususya di Jurusa PSP dan BDP Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta. Terima kasih untuk para senior yang pemikirannya menjadi sumber bagi penulisan buku ini. Semoga hasil karyanya berguna dan menjadi kebajikan disisi Allah SWT.

Semoga Bermanfaat

Padang, Maret 2011 Penyusun,

Hasan Basri Nst.

i DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI ii BAB I LANDASAN DAN TUJUAN PENDIDIKAN PANCASILA 1 1. Landasan Pendidikan Pancasila 1 1.1. Landasan Historis 1 1.2. Landasan Kultural 6 1.3. Landasa Yuridis 7 1.4. Landasan Filosofis 8 2. Tujuan Pendidikan Pancasila 8 2.1. Tujuan Nasional 8 2.2. Tujuan Pendidikan Nasional 9 2.3. Tujuan Pendidikan Pancasila 9 BAB II PERTUMBUHAN PAHAM KEBANGSAAN INDONESIA 12 1. Masa Kejayaan Nasional 12 1.1. Masa Kejayaan Sriwijaya 12 1.2. Kerajaan Majapahit 13 2. Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan Penjajahan 14 2.1. Perjuangan Sebelum Abad XX 14 2.2. Kebangkitan Nasional 16 2.3. Sumpah Pemuda 1928 17 2.4. Perjuangan Bangsa Indonesia pada Masa Penjajahan Jepang 17 3. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 26 3.1. Proses Perumusan Pancasila dan UUD 1945 26 3.2. Proklamasi Kemerdekaan dan Maknanya 29 3.3. Proses Pengesahan Pancasila Dasar Negara dan UUD 1945 Sidang PPKI 31 4. Perjuangan Mempertahankan dan Mengisi Kemerdekaan Indonesia 34

ii 4.1. Masa Revolusi Fisik 34 4.2. Masa Demokrasi Liberal 35 4.3. Masa Orde Lama 37 4.4. Masa Orde Baru 39 4.5. Masa Reformasi 40

BAB III SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA BERDASARKAN PANCASILA DAN UUD 1945 43 1. Pengertian, Kedudukan, Sifat dan Fungsi UUD 1945 43 1.1.Pengertian Hukum Dasar 43 1.2.Pengertian UIID 1945 45 1.3.Kedudukaan UUD l945 46 1.4.Sifat UUD 1945 48 1.5.Fungsi UUD 1945 49 2. Pembukaan UUD 1945 49 2.1. Makna dari Pembukaan UUD 1945 49 2.2. Makna Alinea-alinea dalam Pembukaan UUD 1945 50 2.3. Pokok-pokok Pikiran Pembukaan UUD 1945 53 2.4. Hubungan Pokok-pokok Pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 dengan Batang Tubuh UUD 1945 55 3. Batang Tubuh dan Penjelasan UUD 1945 57 3.1. Sistem Pemerintahan Negara RI 57 3.2. Kelembagaan Negara 62 3.3. Hubungan Negara dengan Warga Negara dan HAM menurut UUD 1945 66 3.4. Lambang-Lambang Persatuan Indonesia 70 3.5. Perubahan UUD 1945 75 3.6. Kedudukan Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan 76 BAB IV DINAMIKA PELAKSANAAN UUD 1945 77 1. Awal Kemerdekaan 77 2. Masa Orde Lama 79 3. Masa Orde Baru 81 4. Masa Reformasi 86

iii BAB V PANCASILA SEBAGAI SISTEM F1LSAFAT 89 1. Pengertian Sistem 89 2. Pengertian Pancasila Sebagai Sistem Filsafat Asal Istilah Filsafat 89 BAB VI PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA 98 1. Pengertian Nilai, Moral dan Norma 98 2. Nilai Dasar, Nilai Instrumental dan Nilai Praksis 103 3. Pancasila Sebagai Nilai Dasar Fundamental bagi Bangsa dan Negara RI 104 4. Makna Nilai-Nilai Setiap Sila Pancasila 107 BAB VII PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI 129 1. Pengertian Ideologi 129 2. Makna Ideologi bagi Negara 130 3. Perbandingan Ideologi Pancasila dengan Ideologi Lain 132 3.1. Liberalisme 134 3.2. Sosialisme 135 4. Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka 135 BAB VIII PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN BERMASYARAKAT BERBANGSA DAN BERNEGARA 139 1. Pengertian Paradigma 135 2. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional 140 2.1. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi Hukum 140 2.2. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasl Politik 143 2.3. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi Ekonomi 140

DAFTAR PUSTAKA 152

iv BAB I LANDASAN DAN TUJUAN PENDIDIKAN PANCASILA

1. Landasan Pendidikan Pancasila 1.1.Landasan Historis a. Ideologi Liberalisme Perjanjian luhur bangsa yang telah disepakati oleh para pendiri Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 belum sempat dijelaskan ke seluruh lapisan masyarakat Indonesia karena sebagian wilayah Republik Indonesia masih berada di bawah kekuasaan pemerintah pendudukan asing, yakni Jepang dan Sekutu yang menerima penyerahan pasukan-pasukan Jepang itu. Pemerintah Sekutu sendiri belum mengakui eksistensi Negara RI, bahkan menganggap pemerintah RI sebagai boneka- boneka atau kaki-tangan Jepang yang mendukung fasisme. Padahal, sesungguhnya faham fasisme justru merupakan musuh besar negara yang berkedaulatan rakyat. Kesalah pengertian pemerintah Sekutu tersebut tidak dapat dipandang remeh karena dapat menghilangkan legitimasi Republik Indonesia sebagai negara nasional baru. Pemerintah harus mengeluarkan pernyataan politik resmi mengenai sifat negaranya ini. Dalam proses diplomasi untuk mendapat pengakuan internasional atas eksistensi negara RI, dikeluarkan Maklumat Politik tanggal 1 November 1945 yang memuat kebijaksanaan pemerintah, baik tentang politik luar negeri, khususnya terhadap kerajaan Jepang dan Belanda, maupun mengenai politik dalam negeri tentang berbagai suku dalam bangsa Indonesia. Untuk memperoleh citra demokratis yang baik terhadap dunia luar, pemerintah Republik Indonesia selanjutnya mengeluarkan maklumat lain, pada tanggal 3 November sebagai kelanjutan dari Maklumat X tanggal 16 Oktober, yang mengizinkan terbentuknya partai-partai politik, asalkan tetap bertujuan untuk memelihara persatuan dan kesatuan. Kesempatan membentuk partai-partai politik tersebut menyebabkan bangkitnya

1 berbagai partai politik yang didasarkan kepada ideologi golongan. Adanya berbagai ideologi golongan itu sendiri sesungguhnya mencerminkan aneka ragam orientasi dan cita-cita politik dalam masyarakat Indonesia, seperti tradisi leluhur, tradisi Islam, tradisi Jawa Hindu, nasionalisme radikal, komunisme, sosialisme, demokrat, modernis dan sekular. Secara perlahan, sejak diberlakukannya sistem partai banyak tersebut, telah berubah pula titik berat kekuasaan. Pusat kekuasaan tidak lagi berada dalam tangan Presiden sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi pada parlemen. Dalam pemerintahan diadakan jabatan perdana menteri. Presiden tidak lagi langsung menjalankan kekuasaan eksekutif melainkan hanya berfungsi sebagai tokoh pemersatu. Sementara itu, berbagai golongan mulai menafsirkan sendiri Pancasila menurut pandangannya masing-masing. Hal itu dimungkinkan oleh karena belum adanya proses pendidikan politik dengan bahan yang baku, yang berorientasi pada wawasan kebangsaan, seperti yang telah disepakati para pendiri negara kesatuan Republik Indonesia. Pengalaman kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dalam periode demokrasi parlementer tersebut telah menimbulkan benturan dan pergolakan yang sangat mengganggu stabilitas kehidupan nasional. Pelbagai tafsiran golongan terhadap Pancasila telah semakin jauh dari konsensus para pendiri Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945. Perjuangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan negara merdeka mengalami pasang-surut. Dalam mengarungi pasang-surut itu bangsa Indonesia pernah mempraktikkan tiga Undang-Undang Dasar (UUD), yaltu UUD 1945, Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat), dan UUD Sementara 1950. Untuk mempersiapkan UUD) yang tetap, telah diadakan Pemilu tahun 1955, yang berhasil membentuk konstituante pada tahun 1956 untuk menentukan dasar negara. Namun, pembicaraan mengenai dasar negara dalam Konstituante tersebut seakan-akan merupakan pengulangan pembahasan tentang topik serupa dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI periode Mei sampai

2 dengan Agustus 1945. Sama sekali tidak terdapat kesan bahwa masalah dasar negara sesungguhnya sudah selesai disepakati pada tanggal 18 Agustus 1945. Suasana sidang konstituante seakan-akan bendak membentuk negara baru. Konstituante ini berhasil merumuskan kesepakatan mengenai hak asasi manusia dan beberapa masalah lainnya, tetapi mengalami kemacetan sewaktu membahas dasar negara, dasar negara Islam dengan Pancasila atau nasionalisme. Dalam pemungutan suara, jumlah suara yang diperoleh ternyata relatif seimbang, pada hal tata tertib rapat mengharuskan adanya dua pertiga suara agar dapat diambil keputusan yang sah. Oleh karena masing-masing golongan tidak bersedia berkompromi lebih lanjut, terjadilah kemacetan dalam proses pengambilan keputusan. Kemacetan dalam pengambilan keputusan tentang dasar negara dapat menimbulkan krisis ekonomi Negara Republik Indonesia. Itulah pengalaman berpolitik yang mewarnai kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia sampai tahun 1959, sebagai konsekuensi dari pilihan sistem demokrasi liberal, yang pada dasarnya diambil pada bulan Oktober 1945 untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa pemerintah Indonesia bukan pendukung fasisme Jepang yang bertentangan dengan semangat demokrasi zaman baru. Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945 dan membubarkan konstituante membawa kehidupan kenegaraan memasuki periode baru, periode demokrasi terpimpin antara tahun 1959- 1965, yang memberi peranan mengemuka kepada ideologi komunisme. b. Ideologi Komunisme Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, diberlakukan kembali UUD 1945, yang memuat Pancasila sebagai dasar negara. Seyogiyanya, sejak saat itu Pancasila dapat kita hayati dan kita amalkan secara murni dan konsekwen. Namun, justru selama periode 1959-1965 terjadilah penafsiran baru serta terhadap Pancasila dan UUD 1945, yang juga menyimpang dan konsensus nasional 18 Agustus 1945. Penyimpangan tersebut bersumber dari konsepsi Nasakom, singkatan dari nasionalisme, agama, dan

3 komunisme, yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno dan dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia dengan menafsirkan Pancasila sebagai marxisme yang diterapkan sesuai dengan kondisi Indonesia. Pancasila dipandang sekedar sebagai alat pemersatu, yang berarti bahwa kalau persatuan sudah terbentuk Pancasila tidak diperlukan lagi. Pandangan seperti itu jelas tidak sesuai dengan konsensus bangsa ketika pertama kali Pancasila disepakati. Betapapun orang Indonesia sudah bersatu, selama bangsa Indonesia masih majemuk, selama itu alat pemersatu masih diperlukan. Kalaupun sudah bersatu, persatuan harus dijaga dan dipertahankan. Tantangan besar menjelang tahun 1966 sebagai puncak gerakan anti Pancasila adalah pemberontakan Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia. Partai Komunis Indonesia sekali lagi mencoba mendirikan suatu Republik Indonesia. Dengan menggunakan oknum-oknum militer yang dapat dipengaruhinya, PKI melakukan pembunuhan terhadap tokoh- tokoh pimpinan TNI Angkatan Darat di dan dini hari tanggal 1 Oktober 1965, yang mereka nilai menghalangi niatnya.ABRI dan rakyat Indonesia yang Pancasilais berhasil menumpas pemberontakan itu dan menyelamatkan negara Pancasila. c. Penyalahgunaan Agama Selain paham liberalisme dan komunisme tersebut, penyimpangan terhadap Pancasila juga dilakukan oleh berbagai pihak yang menyalahgunakan ajaran agama. Golongan ekstrim keagamaan cenderung mengartikan Pancasila dengan sila pertama saja dan selanjutnya menganggap sila pertama identik dengan agama. Pandangan ini dapat menyesatkan karena dengan menekankan satu sila semata-mata, maka sila- sila yang lain akan dilupakan dan menjurus ke arah negara teokrasi. Para penganut paham ini bukan saja tidak toleran terhadap penganut agama lainnya tetapi juga bisa tidak toleran terhadap sesama penganut agama itu sendiri. Pandangan keagamaan yang sempit seperti itu tidaklah sesuai dengan paham kebangsaan. Untuk mencegah berlanjutnya penyalahgunaan ajaran

4 agama itu sebagai warga negara Republik Indonesia yang bertanggung jawab, seluruh umat beragama mengambil langkah-langkah yang jelas untuk mengakui Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Yang justru bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang disepakati oleh para pendiri negara. Keadaan tersebut bukan saja telah menimbulkan kesengsaraan rakyat banyak, dan munculnya konflik ideologi melainkan juga telah menyebabkan ketidakstabilan pemerintahan. Pengalaman berkonflik selama dua puluh tahun antar berbagai ideologi golongan telah menyadarkan bangsa kita tentang pentingnya pendidikan politik yang diupayakan oleh para pendiri Republik Indonesia, serta langkah-langkah yang perlu diambil untuk masa depan. Salah satu pusat perhatian para pendiri negara yang perlu tetap dipelihara adalah proses modernisasi politik Indonesia. Masyarakat mulai menerima dan menghayati wawasan bahwa sumber legitimasi kekuasaan negara bukanlah berasal dari sumber kekuasaan sakral yang tidak dapat diganggu gugat, seperti diyakini dalam sistem feodalisme masa silam, tetapi dari kesepakatan bersama seluruh rakyat itu sendiri. Dalam kenyataannya, dalam bidang politik rakyat mengorganisasi diri dalam pelbagai kekuatan sosial-politik, yang berwenang melahirkan rangkaian konsensus nasional. Kesadaran politik masyarakat tentang sumber kekuasaan negara yang bercorak konstitusional ini bisa kita pandang sebagai hasil pendidikan politik selama dua puluh tahun pertama berdirinya Republik Indonesia dan merupakan kekayaan rohani bangsa Indonesia. Modernisasi kehidupan politik yang menggerakan mentalitas budaya politik masyarakat seperti itu pada gilirannya akan menyumbangkan kesadaran politik yang lebih modem lagi dalam langkah menuju penghayatan nilai-nilai Pancasila pada periode sesudahnya. d. Tantangan Masa Depan dan Pergantian Generasi Selain adanya kebutuhan untuk mencegah berulangnya paham golongan yang sempit tersebut, kita juga menghadapi tantangan besar dan masa depan, yaitu dunia yang semakin terbuka terhadap pengaruh dari luar

5 serta timbulnya generasi baru yang sama sekali tidak pernah mengalami pahit getirnya mendirikan serta mempertahankan Republik Indonesia dan berbagai jenis ancaman ideologis tersebut. Dalam suasana baru ini, bahkan paham negara kebangsaan itu sendiri dapat menjadi surut karena proses globalisasi. Dalam suasana yang semakin melonggar tersebut, jika semangat persatuan dan kesatuan serta kebersamaan tidak dipelihara dengan sebaik- baiknya, dan jika persatuan, kesatuan, serta kebersamaan itu tidak terwujud dan berbuah dalam kesejahteraan serta keadilan, negara nasional dapat terancam bahaya perpecahan dalam proses disintegrasi nasional yang amat berbahaya. Karena itu, pembangunan nasional yang bertumpu pada trilogi pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas nasional (stabilitas politik dan stabilitas ekonomi) harus benar-benar berhasil. Pendidikan politik yang berdasarkan Pancasila merupakan bagian dalam rangka mewujudkan Trilogi Pembangunan itu.

1.2.Landasan Kultural Terbentuknya negara kesatuan Republik Indonesia dan pembangunan politik yang mengikutinya tidak hanya merupakan peristiwa politik, tetapi juga merupakan peristiwa budaya. Aspek budaya pertama, ialah bahwa perubahan dan kesatuan-kesatuan etnis kepada kesatuan baru, yaitu negara kebangasan mengimplikasikan perubahan identitas masyarakat. Individu harus mendefinisikan dirinya secara baru daläm suatu sistem politik yang baru. Identitas dengan basis kesukuan, agama, atau sistem budaya tertentu barulah menjadi identitas berdasarkan nasionalisme. Ia harus commited kepada kepentingan yang lebih luas: bangsa dan negara. Oleh C. Geertz proses ini disebut “revolusi integrative”. Pancasila sebagai ideologi di sini berperan sebagai referensi bagi pembentukan identitas baru sebagai warga negara. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan kategori baru yang mengatasi batasan-batasan berdasarkan agama tertentu. Kemanusiaan menunjukkan pada nilai universal. Kedua prinsip ini mencerminkan peralihan dari lingkup yang partikularistik

6 kepada yang universalistik, sebagai gejala dari modernisasi. Prinsip persatuan Indonesia menunjuk kepada referensi kelompok yang baru dan ikatan yang baru. Sedangkan kerakyatan dan keadilan sosial merupakan prinsip yang dituntut dan status baru sebagai warga negara yang sama.

1.3.Landasa Yuridis Dalam wacana politik Indonesia interpretasi terhadap Pancasila mengalami berbagai macam perkembangan serta dinamika yang sebenarnya justru hal tersebut menunjukkan sifat Pancasila yang terbuka, aktual, dinamis serta reformatif yang senantiasa dikembangkan selaras dengan aspirasi masyarakat sebagai kausa materialis Pancasila itu sendiri. Perkembangan tersebut bukan berarti hilangnya dasar yuridis perkuliahan Pancasila melainkan justru sebagai dasar yang memperkuat atas pelaksanaan perkuliahan Pancasila. a. Undang-Undang Dasar 1945 Sesuai dengan isi yang terkandung dalam UUD 1945, bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pengajaran (Pasal 31) ayat (1) serta pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan Pendidikan Nasional dalam suatu sistem pengajaran nasional yang diatur dalam undang-undang, ayat (2). Selain itu yang terpenting lagi adalah berkaitan dengan tujuan negara secara khusus yaitu “Pemerintah negara Indonesia. memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.

b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pelaksanaan Pendidikan Nasional diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989, yang memuat tentang sistem pendidikan nasional Indonesia. Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa “…..Pendidikan nasiona1 adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila serta Undang- Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat (2). Berdasarkan ketentuan Undang- Undang tersebut sudah seharusnya dalam sistem pendidikan nasional itu

7 sendiri wajib mengembangkan dan menanamkan nilai-nilai Pancasila secara ilmiah dan objektif.

1.4.Landasan Filosofis a. Membentuk keseimbangan kepribadian yaitu unsur mental spntual (kerohanian), religius (Ketuhanan) serta kemanusiaan dengan unsur di bidang kemampuan intelektualnya di bidangnya masing-masing termasuk kecerdasan dan keterampilannya. b. Membentuk manusia susila, berjiwa Pancasila, bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti yang luhur, berjiwa ksatria, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, serta bertanggungjawab atas kesejahteraan dan kebahagiaan bangsa Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya. c. Menumbuhkan kecerdasan berfikir serta mengembangkan kesadaran tentang kedudukan ilmu pengetahuan dalam hidup kemanusiaan. d. Menumbuhkan kesadaran untuk mengabdikan diri kepada kebenaran dan kenyataan. Maka hal ini sesuai dengan semangat kebebasan mimbar dan kebebasan akademis yang dijiwai oleh hikmat kebijaksanaan. Maka dengan pengetahuan filsafat Pancasila secara ilmiah akan membentuk rasa tanggungjawab moral terhadap ilmu pengetahuan demi kebahagiaan dan kemanfaatan masyarakat, bangsa dan umat manusia. e. Dengan pengetahuan filsafat Pancasila maka akan memperdalam kesadaran akan persatuan Indonesia, kesadaran kemanusiaan, kesadaran tentang Ketuhanan serta kesadaran dan kehormatan yang sama terhadap keyakinan agama demi kepentingan inasyarakat, bangsa dan kemanusiaan.

2. Tujuan Pendidikan Pancasila 2.1.Tujuan Nasional Dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dirumuskan tujuan nasional negara Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17

8 Agustus 1945 yaitu: Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam bentuk suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan dalam permusyawaratan/ perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2.2.Tujuan Pendidikan Nasional Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai hubungan langsung dengan Undang-Undang Dasar 1945 itu sendiri ialah bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengandung pokok-pokok pikiran yang dijelmakan dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 yaitu di dalam pasal-pasalnya. Sehubungan dengan kehendak untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dapat dilihat penjelmaannya dalam pasal 31 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945. 1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. 2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang.

2.3.Tujuan Pendidikan Pancasila Dalam penjelasan UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dikatakan bahwa: Pendidikan Pancasila mengarahkan perhatian pada moral yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu perilaku yang memancarkan iman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama, perilaku yang

9 bersifat kemanusiaan yang adil dan beradap, perilaku yang mendukung persatuan bangsa daiam masyarakat yang beraneka agama kebudayaan dan beraneka ragam kepentingan, perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perorangan dan golongan sehingga perbedaan pemikiran, pendapat, ataupun kepentingan diatasi melalui musyawarah dan mufakat, serta perilaku yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kalau kita artikan kompetensi sebagai seperangkat tindakan inteligen, penuh tanggungjawab yang harus dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dapat dianggap mampu melaksanàkan tugas-tugas dalam bidang okupasi tertentu, maka kompetensi lulusan pendidikan Pancasila adalah seperangkat tindakan inteligen, penuh tanggung jawab seorang warga negara dalam memecahkan berbagai masalah hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan menerapkan pemikiran yang berlandasarkan Pancasila. Sifat inteligen yang dimaksud tampak pada kemahiran, ketepatan dan keberhasilan bertindak, sedangkan sifat penuh tanggungjawab diperlihatkan sebagai kebenaran tindakan ditilik dari nilai iptek, etik ataupun kepatutan agama dan budaya. Pendidikan Pancasila yang berhasil, akan membuahkan sikap mental bersifat inteligen, penuh tanggung jawab dari peserta didik dengan perilaku yang: a. beriman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa. b. berperikemanusiaan yang adil dan beradab. c. mendukung persatuan bangsa. d. mendukung kerakyatan. yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perorangan. e. mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial. Warga negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersikap mental seperti tersebut di atas melalui Pendidikan Pancasila diharapkan mampu: Memahami, menganalisis dan menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat bangsanya secara berkesinambungan dan konsisten dengan cita- cita dan tujuan nasional yang digariskan dalam UUD 1945.

10 Pada saatnya dapat menghayati filsafat dan pandangan hidup Pancasila, sehingga menjiwai tingkah lakunya selaku warga negara Republik Indonesia. Diharapkan melalui Pendidikan Pancasila warga negara Republik Indonesia, akan menjadi manusia Indonesia terlebih dahulu, sebelum menguasai, memiliki Iptekkes yang dipelajarinya. Kita mendambakan warga negara Indonesia yang unggul dalam penguasaan iptekkes, namun kita tidak mengingini warga Negara Kesatuan Republik Indonesia kehilangan jati dirinya (Pancasila) apalagi tercabut dari akar budayanya.

11 BAB II PERTUMBUHAN PAHAM KEBANGSAAN INDONESIA

1. Masa Kejayaan Nasional 1.1.Masa Kejayaan Sriwijaya Sebelum negara kebangsaan modern yaitu negara Indonesia merdeka (sekarang negara Proklamasi 17 Agustus 1945) diproklamirkan,pada abad ke VII muncullah suatu kerajaan di Sumatera yaitu kerajaan Sriwijaya, di bawah kekuasaan bangsa Syailendra. Hal ini termuat dalam Prasasti Kedukan Bukit di kaki bukit Siguntang dekat Palembang yang bertarikh 605 Caka atau 683 M, dalam bahasa Melayu kuno dan huruf Pallawa. Kerajaan itu adalah kerajaan maritim yang mengandalkan kekuatan lautnya, kunci-kunci lalulintas laut di sebelah barat dikuasainya seperti selat Sunda (686), kemudian selat Malaka (775). Pada zaman itu kerajaan Sriwijaya merupakan suatu kerajaan besar yang cukup disegani di kawasan Asia Selatan. Perdagangan dilakukan dengan mempersatukan pedagang dengan pengrajin dan pegawai raja yang disebut Tuha An Vatakvurah sebagai pengawas dan pengumpul semacam koperasi sehingga rakyat mudah untuk memasarkan barang dagangannya. Demikian pula dalam sistem pemerintahannya terdapat pegawai pengurus pajak, harta benda kerajaan, rokhaniawan yang menjadi pengawas teknis pembangunan gedung-gedung dan patung patung suci sehingga pada saat itu kerajaan dalam menjalankan sistem negaranya tidak dapat dilepaskan dengan nilai Ketuhanan. Agama dan kebudayaan dikembangkannya dengan mendirikan suatu Universitas Agama Büdha, yang sangat terkenal di negara lain di Asia. Banyak musyafir dari negara lain misalnya dari Cina belajar terlebih dahulu di Universitas tersebut terutama tentang agama Budha dan bahasa Sanskerta sebelum melanjutkan studinya ke India. Malahan banyak guru-guru besar tamu dari India yang mengajar di Sriwijaya misalnya Dharmakitri. Cita-cita tentang kesejahteraan bersama dalam suatu negara telah tercermin pada kerajaan Sriwijaya tersebut yaitu berbunyi ‘marvuat vanua Criwijaya siddhayatra subhiksa’ (suatu cita-cita negara yang adil dan makmur) .

12 1.2.Kerajaan Majapahit Pada tahun 1293 berdirilah kerajaan Majapahit yang mencapai zaman keemasannya pada pemerintahan raja Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada yang dibantu oleh laksamana Nala dalam memimpin armadanya untuk menguasai nusantara. Wilayah kekuasaan Majapahit semasa jayanya itu membentang dari semenanjung melayu (Malaysia sekarang) sampai Irian Barat melalui Kalimantan Utara. Pada waktu itu agama Hindu dan Budha hidup berdampingan dengan damai dalam satu kerajaan. Empu Prapanca menulis Negarakertagama (1365). Dalam kitab tersebut telah terdapat istilah “Pancasila”. Empu Tantular mengarang buku Sutasoma, dan di dalam buku itulah kita jumpai seloka persatuan nasional yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”, yang bunyi lengkapnya “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua”, artinya walaupun berbeda, namun satu jua adanya sebab tidak ada agama yang memiliki Tuhan yang berbeda. Hal mi menunjukkan adanya realitas kehidupan agama pada saat itu, yaitu agama Hindu dan Budha. Bahkan salah satu bawahan kekuasaannya yaitu Pasai justru telah memeluk agama Islam. Toleransi positif dalam bidang agama dijunjung tinggi sejak masa bahari yang telah silam. Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Mahapatih Gajah Mada dalam sidang Ratu dan Menteri-menteri di Paseban Keprabuan Majapahit pada tahun 1331, yang berisi cita-cita mempersatukan seluruh nusantara raya sebagai berikut: “Saya baru akan berhenti berpuasa makan pelapa, jikalau seluruh nusantara bertakluk di bawah kekuasaan negara, jikalau Gurun, Seram, Tanjung, Haru, Pahang, Dempo, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik telah dikalahkan ”. Selain itu dalam hubungannya dengan negara lain raja Hayam Wuruk senantiasa mengadakan hubungan bertetangga dengan baik dengan kerajaan Tiongkok, Ayodya, Champa dan Kamboja. Menurut prasasti Brumbung (l329) dalam tata pemerintahan kerajaan Majapahit terdapat semacam penasehat seperti Rakryan I Hino, I Sirikan, dan I Halu yang bertugas memberikan

13 nasehat kepada raja, hal ini sebagai nilai-nilai musyawarah mufakat yang dilakukan oleh sistem pemerintahan kerajaan Majapahit. Majapahit menjulang dalam arena sejarah kebangsaan Indonesia dan banyak meninggalkan nilai-nilai yang diangkat dalam nasionalisme negara kebangsaan Indonesia 17 Agustus 1945. Kemudian disebabkan oleh faktor keadaan dalam negeri sendiri seperti perselisihan dan perang saudara pada permulaan abad XV, maka sinar kejayaan Majapahit berangsur-angsur mulai memudar dan akhirnya mengalami keruntuhan dengan “Sinar Hilang Kertaning Bumi” pada permulaan abad XVI (1520).

2. Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan Penjajahan 2.1.Perjuangan Sebelum Abad XX Setelah Majapahit runtuh pada permulaan abad XVI maka berkembanglah agama Islam dengan pesatnya di Indonesia. Bersamaan dengan itu berkembang pulalah kerajaan-kerajaan Islam seperti kerajaan Demak, dan mulailah berdatangan orang-orang Eropa ke nusantara. Mereka itu antara lain orang Portugis yang kemudian diikuti oleh orang orang Spanyol yang ingin mencari pusat tanaman rempah-rempah. Bangsa asing yang masuk ke Indonesia yang pada awalnya berdagang adalah orang-orang bangsa Portugis. Namun lama kelamaan bangsa Portugis mulai menunjukkan peranannya dalam bidang perdagangan yang meningkat menjadi praktek penjajahan misalnya Malaka sejak tahun 1511 dikuasai oleh Portugis. Pada akhir abad ke XVI bangsa Belanda datang pula ke Indonesia dengan menempuh jalan yang penuh kesulitan. Untuk menghindarkan persaingan di antara mereka sendiri (Belanda), kemudian mereka mendirikan suatu perkumpulan dagang yang bernama V.O.C., (Verenigde Oost Indische Compagnie), yang dikalangan rakyat dikenal dengan istilah “Kompeni’. Praktek-praktek VOC mulai kelihatan dengan paksaan-paksaan sehingga rakyat mulai mengadakan perlawanan. Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) berupaya mengadakan perlawanan dan menyerang ke Batavia pada tahun 1628 dan tahun 1929, walaupun tidak

14 berhasil meruntuhkan Batavia namun Gubemur Jenderal J.P. Coen tewas dalam serangan Sultan Agung yang kedua itu. Beberapa saat setelah Sultan Agung mangkat maka Mataram menjadi bagian kekuasaan kompeni, bangsa Belanda mulai memainkan peranan politiknya dengan licik di Indonesia. Di Makasar yang memiliki kedudukan yang sangat vital berhasil juga dikuasai oleh kompeni tahun (1667) dan timbullah perlawanan dari rakyat Makasar di bawah Hasanuddin. Menyusul pula wilayah (sultan Ageng Tirtoyoso) dapat ditundukkan pula oleh kompeni pada tahun 1684. Perlawanan Trunojoyo, Untung Suropati di Jawa Timur pada akhir abad ke XVII nampaknya tidak mampu meruntuhkan kekuasaan kompeni pada saat itu. Demikian pula ajakan Ibnu Iskandar pimpinan armada dari Minangkabau untuk mengadakan perlawanan bersama terhadap kompeni juga tidak mendapat sambutan yang hangat. Perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah yang terpencar-pencar dan tidak memiliki koordinasi tersebut banyak mengalami kegagalan sehingga banyak menimbulkan korban bagi anak-anak bangsa. Demikianlah Belanda pada awalnya menguasai daerah-daerah yang strategis dan kaya akan hasil rempah- rempah pada abad ke XVII dan nampaknya semakin memperkuat kedudukannya dengan didukung oleh kekuatan militer. Pada abad itu sejarah mencatat bahwa Belanda berusaha dengan keras untuk memperkuat dan mengintensifkan kekuasaannya di seluruh Indonesia. Mereka ingin membulatkan hegemoninya sampai ke pelosok-pelosok nusantara kita. Melihat praktek-praktek penjajahan Belanda tersebut maka meledaklah perlawanan rakyat di berbagai wilayah nusantara, antara lain : Patimura di Maluku (1817), Baharudin di Palembang (1819), Imam Bonjol di Minangkabau (1821- 1837). Pangeran di Jawa Tengah (1825- 1830), Jlentik, Panglima Polim, Teuku Tjik di Tiro, dalam perang Aceh (1860), anak Agung Made dalam perang Lombok (1894- 1895). Sisingamangaraja di tanah Batak (1900), dan masih banyak perlawanan rakyat di berbagai daerah di nusantara. Dorongan akan cinta tanah air menimbulkan semangat untuk melawan penindasan dari bangsa Belanda, namun sekali lagi karena tidak adanya kesatuan dan persatuan di antara mereka dalam

15 perlawanan melawan penjajah, maka perlawanan tersebut senantiasa kandas dan menimbulkan banyak korban. Penghisapan mulai memuncak ketika Belanda mulai menerapkan sistem monopoli melalui tanam paksa (1830- 1870) dengan memaksakan beban kewajiban terhadap rakyat yang tidak berdosa. Penderitaan rakyat semakin menjadi-jadi dan Belanda sudah tidak peduli lagi dengan ratap penderitaan tersebut, bahkan mereka semakin gigih dalam menghisap rakyat untuk memperbanyak kekayaan bangsa Belanda.

2.2.Kebangkitan Nasional Pada abad XX di panggung politik internasional terjadilah pergolakan kebangkitan Dunia Timur dengan suatu kesadaran akan kekuatannya sendiri Republik Filipina (1898), yang dipelopori Joze Rizal, kemenangan Jepang atas Rusia di Tsunia (1905), gerakan Sun Yat Sen dengan Republik Cinanya (1911). Partai Kongres di India dengan tokoh Tilak dan Gandhi, adapun di Indonesia bergolaklah kebangkitan akan kesadaran berbangsa yaitu kebangkitan nasional (1908) dipelopori oleh dr. Wahidin Sudirohusodo dengan Budi Utomonya. Gerakan inilah yang merupakan awal gerakan nasional untuk mewujudkan suatu bangsa yang memiliki kehormatan akan kemerdekaan dan kekuatannya sendiri. Budi Utomo yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 inilah yang merupakan pelopor pergerakan nasional, sehingga segera setelah itu muncullah organisasi-organisasi pergerakan lainnya. Organisasi-organisasi pergerakan nasional itu antara lain: Serikat Dagang Islam (SDI) (1909), yang kemudian dengan cepat mengubah bentuknya inenjadi gerakan politik dengan mengganti namanya menjadi Serikat Islam (SI) tahun (1911) di bawah H.O.S. Cokroaminoto. Berikutnya muncullah Indische Partij (1913), yang dipimpin oleh tiga serangkai yaitu: Douwes Dekker, Ciptomangunkusumo, Suwardi Suryaningrat (yang kemudian lebih dilcenal dengan nama Ki Hajar Dewantoro). Sejak semula partai ini menunjukkan keradikalannya, sehingga tidak dapat berumur panjang karena pemimpinnya dibuang ke luar negeri (1913).

16 2.3.Sumpah Pemuda 1928 Dalam situasi yang menggoncangkan itu muncullah Partai Nasional Indonesia (PNI) (1927) yang dipelopori oleh Soekarno, Ciptomangunkusumo, , dan tokoh lainnya. Mulailah kini perjuangan nasional Indonesia dititik beratkan pada kesatuan nasional dengan tujuan yang jelas yaitu Indonesia merdeka. Tujuan itu diekspresikannya dengan kata-kata yang jelas, kemudian diikuti dengan tampilnya golongan pemuda yang tokoh-tokohnya antara lain: Muh. Yamin, , Kuncoro Purbopranoto, serta tokoh- tokoh muda lainnya. Perjuangan rintisan kesatuan nasional kemudian diikuti dengan Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, yang isinya satu bahasa, satu bangsa dan satu tanah air Indonesia. Lagu Indonesia Raya pada saat ini pertama kali dikumandangkan dan sekaligus sebagai penggerak kebangkitan kesadaran berbangsa. Kemudian PNI oleh para pengikutnya dibubarkan, dan diganti bentuknya dengan Partai Indonesia dengan singkatan Partindo (1931). Kemudian golongan Demokrat antara lain Moh. Hatta dan St. Syahrir mendirikan PNI baru yaitu Pendidikan Nasional Indonesia (1933), dengan semboyan kemerdekaan Indonesia harus dicapai dengan kekuatan sendiri.

2.4.Perjuangan Bangsa Indonesia pada Masa Penjajahan Jepang Setelah Netherland diserbu oleh tentara Nazi Jerman pada tanggal 5 Mei 1940 dan jatuh pada tanggal 10 Mei 1940, maka Ratu Wihelmina dengan segenap aparat pemerintahannya mengungsi ke Inggris, sehingga pemerintahan Belanda masih dapat berkomunikasi dengan pemerintahan jajahan di Indonesia. Janji Belanda tentang Indonesia merdeka dikelak kemudian hari dalam kenyataannya hanya suatu kebohongan belaka sehingga tidak pernah menjadi kenyataan. Bahkan sampai akhir pendudukan pada tanggai 10 Maret 1940, kemerdekaan bangsa Indonesia itu tidak pernah terwujud.

17 Fasis Jepang masuk ke Indonesia dengan propaganda “Jepang Pemimpin Asia, Jepang saudara tua bangsa Indonesia”. Akan tetapi dalam perang melawan Sekutu Barat yaitu (Amerika, Inggris, Rusia, Perancis, Belanda, dan negara Sekutu lainnya) nampaknya Jepang semakin terdesak. Oleh karena itu agar mendapat dukungan dari bangsa Indonesia, maka pemerintah Jepang bersikap bermurah hati terhadap bangsa Indonesia, yaitu menjanjikan Indonesia merdeka di kelak kemudian hari. Pada tanggal 29 April 1945 bersamaan dengan hari Ulang Tahun Kaisar Jepang beliau memberikan hadiah ‘ulang tahun’ kepada bangsa Indonesia yaitu janji kedua pemerintah Jepang berupa ‘kemerdekaan tanpa syarat’. Janji itu disampaikan kepada bangsa Indonesia seminggu sebelum bangsa Jepang menyerah dengan Maklumat Gunseikan (Pembesar Tertinggi Sipil dari Pemerintah Militer Jepang di seluruh Jawa dan Madura), No. 23 dalam janji kemerdekaan yang kedua tersebut bangsa Indonesia diperkenankan untuk memperjuangkan kemerdekaannya. Bahkan dianjurkan kepada bangsa Indonesia untuk berani mendirikan negara Indonesia merdeka di hadapan musuh-musuh Jepang yaitu Sekutu termasuk kaki tangannya Nica (Netherlands Indie Civil Administration), yang ingin mengembalikan kekuasaan kolonialnya di Indonesia. Bahkan Nica telah melancarkan serangannya di pulau Tarakan dan Morotai. Untuk mendapatkan simpati dan dukungan dari bangsa Indonesia maka sebagai realisasi janji tersebut dibentuklah suatu badan yang bertugas untuk menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia yaitu Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritu Zyunbi Tioosakai. Pada hari itu juga diumumkan nama-nama ketua, wakil ketua serta para anggota sebagai berikut: Pada waktu itu susunan Badan Penyelidik itu adalali sebagai berikut: Ketua (Kaicoo) : Dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat Ketua Muda : Iclubangse (seorang anggota luar biasa) (Fuku Kaicoo Tokubetsu Iin)

18 Ketua Muda : R.P. (Merangkap Kepala) (Fuku Kaicoo atau Zimukyoku Kucoo) Enampuluh (60) orang anggota biasa (Iin) bangsa Indonesia (tidak termasuk ketua dan ketua muda), yang kebanyakan berasal dan pulau Jawa, tetapi terdapat beberapa dari Sumatera, Maluku, Sulawesi dan beberapa orang peranakan Eropa, Cina, Arab. Semuanya itu bertempat tinggal di Jawa, karena Badan Penyelidik itu diadakan oleh Saikoo Sikikan Jawa. Nama para anggota itu menurut nomor tempat duduknya dalam sidang adalah sebagai berikut: 1. Ir. Soekarno 31. Dr. R. Boentaran M 2. Mr. Muh. Yamin 32. 3. Dr. R. 33. Mr. J. Latuharhary 4. R. Abdulrähim Pratalykrama 34. Mr. R. Hindromartono 5. R. Aris 35. R. Soekarjo Wirjopranoto 6. K. H. Dewantara 36. Hadji Ah. Sanoesi 7. K. Bagus H. Hadikusuma 37. A.M. Dasaat 8. M.P.H. Bintoro 38. Mr. Tan Eng Hoa 9. A.K. Moezakir 39. Ir. R.M.P. Soerachman 10. B.P.H. Poerbojo Tjokroadisurjo 11. R.A.A Wiranatakoesoema 40. R.A.A.Soemitro Kolopaking 12. Ir. R. Asharsoetedjo Moenandar Poerbonegoro 13. Oeij Tjiang Tjoei 41. K.R.M.T.H. Woeiyaningrat 14. Drs. Muh. Hatta 42. Mr. A. Soebardjo 15. Oei Tjong Hauw 43. Prof. Dr. R. Djenal Asiki 16. H. Widjayakoesoema 17. M. Soetardjo Kartohadikusumo 44. Abikoesno 18. R.M. Margono Djojohadikusumo 45. Parada Harahap 19. K.H. 46. Mr. R.M. Sartono 20. K.H. Masjkoer 47. K.H.M. Mansoer 21. R. Soedirman 48. K.R.M.A. Sosrodiningrat 22. Prof. Dr. P.A.H. Djayadiningrat 49. Mr. Soewandi 23. Prof. Dr. 50. K.H.A. Wachid Hasyim 24. Prof. Ir. Roeseno 51. P.F. Dahier 25. Mr. R.P. Singgih 52. Dr. Soekiman

19 26. Mr. Ny. 53. Mr.K.R.M.T. Wongsonegoro 27. R.M.T. A. Soejo 54. R. Oto Iskandar Dinata 28. R. Ruslan Wongsokusumo 55. A. Baswedan 29. R. Soesanto Tirtoprodjo 56. Abdul Kadir 30. Ny. R.S.S. Soemario 57. Dr. Samsi Mangunpoespito 58. Mr. A.A. Maramis 59. Mr. Samsoedin 60. Mr. R. Sastromoeljono (Sekretariat Negara, 1995 )

Sidang BPUPKI Pertama Sidang BPUPKI pertama dilaksanakan selama empat hari, berturut- turut yang tampil untuk berpidato menyampaikan usulannya adalah sebagai berikut (a) tanggal 29 Mei 1945 Mr. Muh. Yamin, (b) tanggal 31 Mei 1945 Prof. Soepomo dan (c) tanggal 1 Juni 1945 Jr. Soekarno. a) Mr. Muh. Yamin (29 Mel 1945). Dalam pidatonya tanggal 29 Mei 1945 Muh. Yamin mengusulkan calon rumusan dasar negara Indonesia sebagai berikut : I. Peri Kebangsaan, II. Peri Kemanusiaan, III. Peri Ketuhanan, IV. Peri Kerakyatan (A. Permusyawaratan, B. Perwakilan, C. Kebijaksanaan) dan V Kesejahteraan rakyat (Keadilan Sosial). Selain usulan tersebut pada akhir pidatonya Mr. Muh. Yamin menyerahkan naskah sebagai lampiran yaitu suatu rancangan usulan sementara berisi rumusan UUD RI dan rancangan itu dimulai dengan Pembukaan yang bunyinya adalah sebagai berikut: “Untuk membentuk Pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, menyuburkan hidup kekeluargaan, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan

20 berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Persatuan Indonesia, dan rasa Kemanusiaan yang adil dan beradab, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” b) Prof. Dr. Soepomo (31 Mei 1945) Berbeda dengan usulan Mr. Muh. Yamin, Prof. Dr. Soepomo mengemukakan teori-teori negara sebagai berikut: 1) Teori negara perseorangan (Individualis), sebagaimana diajarkan oleh Thomas Hobbes (abad 17), Jean Jacques Rousseau (abad 18), Herbert Spencer (abad 19), H.J. Laski (abad 20). Menurut paham ini, negara adalah masyarakat hukum (Legal society) yang disusun atas kontrak antara seluruh individu (contract social). Paham negara ini banyak terdapat di Eropa dan Amerika. 2) Paham negara kelas (Class theory) atau teori ‘golongan’. Teori ini sebagaimana diajarkan oleh Marx, Engels, dan Lenin. Negara adalah alat dari suatu golongan (suatu klas) untuk menindas klas lain. Negara kapitalis adalah alat dari kaum borjuis, oleh karena itu kaum Marxis menganjurkan untuk meraih kekuasaan agar kaum buruh dapat ganti menindas kaum borjuis. 3) Paham negara integralistik, yang diajarkan oleh Spinoza, Adam Muller, Hegel (abad 18 dan 19). Menurut paham ini negara bukanlah untuk menjamin perseorangan atau golongan akan tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai suatu persatuan. Negara adalah susunan masyarakat yang integral, segala golongan, bagian atau anggotanya saling berhubungan erat satu dengan lainnya dan merupakan kesatuan organis. Menurut paham ini yang terpenting dalam negara adalah penghidupan bangsa seluruhnya. Negara tidak memihak kepada golongan yang paling kuat atau yang paling besar, tidak memandang kepentingan seseorang sebagai pusat akan tetapi negara menjamin keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai suatu persatuan .

21 Selanjutnya dalam kaitannya dengan dasar filsafat negara Indonesia Soepomo mengusulkan hal-hal sebagai berikut: 2) Saya mengusulkan pendirian negara nasional yang bersatu dalam arti totaliter sebagaimana yang saya uraikan tadi, yaitu negara yang tidak akan mempersatukan diri dengan golongan terbesar, akan tetapi yang mengatasi semua golongan, baik golongan besar atau kecil. Dalam negara yang bersatu itu urusan agama diserahkan kepada golongan- golongan agama yang bersangkutan. 3) Kemudian dianjurkan supaya para warga negara takluk kepada Tuhan, supaya tiap-tiap waktu ingat kepada Tuhan. 4) Mengenai kerakyatan disebutkan sebagai berikut: untuk menjamin supaya pimpinan negara, terutama kepala negara terus-menerus bersatu jiwa dengan rakyat dalam susunan pemerintahan negara Indonesia harus dibentuk sistem badan permusyawaratan. Kepala negara akan terus bergaul dengan badan permusyawaratan supaya senantiasa mengetahui dan merasakan rasa keadilan dan cita cita rakyat. 5) Menurut Prof. Soepomo dalam lapangan ekonomi negara akan bersifat kekeluargaan juga, oleh karena kekeluargaan itu sifat masyarakat timur yang harus kita pelihara sebaik-baiknya. Sistem tolong-menolong, sistem koperasi hendaknya dipakai sebagai salah satu dasar ekonomi negara Indonesia yang makmur, bersatu, berdaulat, adil. 6) Mengenai hubungan antar bangsa, Prof. Soepomo membatasi diri dan menganjurkan supaya negara Indonesia bersifat negara Asia Timur raya, anggota dan kekeluargaan Asia Timur Raya. c) Ir. Soekarno (1 Juni 1945) Usulan dasar negara dalam sidang BPUPKI pertama berikutnya adalah pidato dari Ir. Soekarno, yang disampaikannya dalam sidang tersebut secara lisan tanpa teks. Beliau mengusulkan dasar negara yang terdiri atas lima prinsip yang rumusannya adalah sebagai berikut: 1) Nasionalisme (kebangsaan Indonesia) 2) Internasionalisme (perikemanusiaan) 3) Mufakat (demokrasi)

22 4) Kesejahteraan sosial 5) Ketuhanan Yang Maha Esa (Ketuhanan Yang Berkebudayaan) Lima prinsip sebagai dasar negara tersebut kemudian oleh Soekarno diusulkan agar diberi nama “Pancasila” atas saran salah seorang teman beliau ahli bahasa. Berikutnya menurut Soekarno kelima sila tersebut dapat diperas menjadi “Tri Sila” yang meliputi (1) Sosio nasionalisme yang merupakan sintesa dari “Kebangsaan (nasionalisme) dengan Peri Kemanusiaan (internasionalisme), (2) Sosio demokrasi yang merupakan sintesa dari “Mufakat (demokrasi), dengan Kesejahteraan sosial, serta (3) Ketuhanan. Berikutnya beliau juga mengusulkan bahwa “Tri Sila.” tersebut juga dapat diperas menjadi “Eka Sila” yang intinya adalah “gotong royong”. Beliau mengusulkan bahwa Pancasila adalah sebagai dasar filsafat negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia atau “Philosophische grondslag” juga pandangan dunia yang setingkat dengan aliran-aliran besar dunia atau sebagai ‘weltanschauung’ dan di atas dasar itulah kita dirikan negara Indonesia. Sangat menarik untuk dikaji bahwa beliau dalam mengusulkan dasar negara tersebut selain secara lisan juga dalam uraiannya juga membandingkan dasar filsafat negara “Pancasila” dengan ideologi-ideologi besar dunia seperti liberalisme, komunisme, chauvinisme, kosmopolitisme, San Min Chui dan ideologi besar dunia lainnya .

Sidang BPUPKI Kedua (10-16 Juli 1945) Hari pertama sebelum sidang BPUPKI Kedua dimulai, diumumkan oleh ketua penambahan 6 anggota baru Badan Penyelidik yaitu: (1) , (2) Asikin Natanegara, (3) Soerjo Hamidjojo, (4) Muhammad Noor, (5) Besar, dan (6) Abdul Kaffar. Selain tambahan anggota BPUPKI Ir. Soekarno sebagai Ketua Panitia Kecil melaporkan hasil pertemuannya yang dilakukan sejak tanggal 1 Juni yang telah lalu. Menurut laporan itu pada tanggal 22 Juni 1945 Ir. Soekarno mengadakan pertemuan antara Panitia Kecil dengan anggota-anggota badan Penyelidik. Yang hadir dalam pertemuan itu berjumlah 38 anggota, yaitu

23 anggota-anggota yang bertempat tinggal di Jakarta dan anggota-anggota Badan Penyelidik yang merangkap menjadi anggota Tituoo Sangi In dari luar Jakarta, dan pada waktu itu Jakarta menjadi tempat rapat Tituoo Sangi In. Pertemuan antara 38 orang anggota itu diadakan di gedung kantor besar Jawa Hooko Kai (Kantornya Bung Karno sebagai Honbucoo/ Sekretaris Jenderal Jawa Hooko Kai). Mereka membentuk panitia kecil yang terdiri atas 9 orang, dan populer disebut “Panitia Sembilan” yang anggotanya adalah sebagai berikut: 1. Ir. Soekarno 6. Mr. Soebardjo 2. Wachid Hasyim 7. Kyai Abdul Kahar Moezakir 3. Mr. Muh. Yamin 8. Abikoesno Tjokrosoejoso 4. Mr. Maramis 9. Haji Agus Salim 5. Drs. Moh. Hatta Panitia sembilan ini setelah mengadakan pertemuan secara masak dan sempurna telah mencapai suatu hasil yang baik yaitu suatu modus atau persetujuan antara golongan Islam dengan golongan kebangsaan. Modus atau persetujuan tersebut tertuang dalam suatu rancangan Pembukaan Hukum Dasar, rancangan Preambul Hukum Dasar yang dipermaklumkan oleh Panitia kecil Badan Penyelidik dalam rapat BPUPKI kedua tanggal 10 Juli 1945. Panitia Kecil Badan Penyelidik menyetujui sebulat-bulatnya rancangan Preambule yang disusun oleh panitia sembilan tersebut. Adapun bagian terakhir naskah Preambule tersebut adalah sebagai berikut: “……….maka disusunlah kemerdekaan bangsa Indonesia itu dalam suatu hukum dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Terdapat hal yang sangat menarik perhatian juga yaitu pemakaian istilah

‘hukum dasar’ yang kemudian diganti dengan istilah Undang-Undang Dasar.

Hal mi menurut keterangan Prof. Soepomo dalam rapat tanggal 15 Juli 1945,

24 bahwa istilah hukum dalam bahasa Belanda ‘recht’ itu meliputi yang tertulis dan tidak tertulis. Sedangkan Undang-Undang Dasar adalah hukum yang tertulis. Oleh karena itu tidak lagi digunakan istilah hukum dasar untuk rancangan yang harus disusun oleh Panitia Perancang yang dibentuk dalam rapat 11 Juli, adapun istilah yang benar adalah Undang-Undang Dasar.

Beberapa keputusan penting yang patut diketahui dalam rapat BPUPKI kedua adalah sebagai berikut: dalam rapat tanggal 10 Juli antara lain diambil keputusan tentang bentuk negara. Dari 64 suara (ada beberapa anggota yang tidak hadir) yang pro Republik 55 orang yang meminta kerajaan 6 orang adapun bentuk lain dan blanko 1 orang.

Pada tanggal 11 Juli 1945 keputusan yang penting adalah tentang luas wilayah negara baru, terdapat tiga usul, yaitu (a) Hindia Belanda yang dulu,

(b) Hindia Belanda ditambah dengan Malaya, Borneo Utara (Borneo Inggris),

Irian Timur, Timor Portugis dan pulau-pulau sekitarnya, dan (c) Hindia

Belanda ditambah Malaya, akan tetapi dikurangi dengan Irian Barat.

Berdasarkan hasil pemungutan suara dari 66 orang suara yang memilih

(a) Hindia Belanda ada 19, yang memilih (b) yaitu daerah yang terbesar yaitu jumlah yang terbanyak yaitu 39, sedangkan yang naemilih (c) ada 6 lain-lain daerah I serta blangko 1. Jadi pada waktu itu angan-angan sebagian besar anggota Badan Penyelidik adalah menghendaki Indonesia Raya yang sesungguhnya yang mempersatukan semua kepulauan Indonesia yang pada bulan Juli 1945 itu sebagian besar wilayah Indonesia kecuali Irian, Tarakan dan Morotai yang masih dikuasai Jepang.

25 Keputusan-keputusan lain adalah untuk membentuk panitia kecil yaitu:

(1) Panitia perancang Undang-Undang Dasar yang diketuai oleh Ir. Soekarno,

(2) Panitia ekonomi dan keuangan yang diketuai oleh Drs. Moh. Hatta, dan (3)

Panitia pembelaan tanah air diketuai oleh Abikusno Tjokrosoejoso. Pada

tanggal 14 Juli Badan Penyelidik bersidang lagi dan Panitia Perancang

Undang-Undang Dasar melaporkan hasil pertemuannya. Susunan Undang-

Undang Dasar yang diusulkan terdiri atas 3 bagian, yaitu (a) Pernyataan

Indonesia merdeka, yang berupa dakwaan di muka dunia atas penjajahan

Belanda, (b) Pembukaan yang di dalamnya terkandung dasar negara Pancasila

dan (c) Pasal-pasal Undang-Undang Dasar .

3. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 3.1.Proses Perumusan Pancasila dan UUD 1945

Kemenangan Sekutu dalam Perang Dunia membawa hikmah bagi bangsa

Indonesia. Menurut pengumuman Nanpoo Gun (Pemerintah Tentara Jepang

untuk seluruh daerah Selatan), tanggal 7 Agustus akan dibentuk Panitia

Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau ‘Dokuritu Zyunbi Iinkai’.

Untuk keperluan membentuk panitia itu pada tanggal 8 Agustus Ir.

Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan Dr. Radjiman diberangkatkan ke Saigon atas

panggilan Jenderal Besar Terauchi, Saiko Sikikan untuk Daerah Selatan

(Nanpoo Gun), jadi penguasa tersebut juga meliputi kekuasaan wilayah

Indonesia. Menurut Soekarno, Jenderal Terauchi pada tanggal 9 Agustus

memberikan kepadanya 3 cap yaitu:

1) Soekarno diangkat sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan,

Moh. Hatta sebagai Wakil Ketua, Radjiman sebagai Anggota.

26 2) Panitia persiapan boleh mulai bekerja pada tanggal 9 Agustus itu.

3) Cepat atau tidaknya pekerjaan Panitia diserahkan sepenuhnya kepada

Panitia

Panitia Persiapan Kemerdekaan atau Dokuritu Zyunbi Iinkai itu terdiri atas 21 orang, termasuk Ketua dan Wakil Ketua. Adapun susunan keanggotaan

PPKI tersebut adalah sebagai berikut:

1) Ir. Soekarno (Ketua)

2) Drs. Moh. Hatta (Wakil Ketua)

Adapun anggota-anggotanya sebagai berikut:

3) dr. Rajidman Widiodiningrat

4) Ki Bagus Hadikoesoemo

5) Oto Iskandardinata

6) Pangeran Purbojo

7) Pangeran Soerjohamodjojo

8) Soetardjo Kartohamidjojo

9) Prof. Dr. Mr. Soepomo

10) Abdul Kadir

11) Drs. Yap Tjwan Bing

12) Dr. Mohammad Amir (didatangkan dari Sumatera)

13) Mr. Abdul Abbas (didatangkan dari Sumatera)

14) Dr. Ratulangi (didatangkan dari Sulawesi)

15) Andi Pangerang (didatangkan dari Sulawesi)

16) Mr. Latuharhary

17) Mr. Pudja (didatangkan dari Bali)

27 18) A.H. Hamidan (didatangkan dari Kalimantan)

19) R.P. Soeroso

20) Abdul Wachid Hasyim

21) Mr. Mohammad Hassan (didatangkan dari Sumatera)

Berbeda dengan Badan Penyelidik (Dokuritu Zyunbi Tioosakai), dalam susunan kepanitiaan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritu

Zyunbi Iinkai) tidak duduk seorangpun bangsa Jepang, demikian pula dalam kantor tata usahanya.

Sekembalinya dari Saigon pada tanggal 14 Agustus 1945 di Kemayoran

Ir. Soekarno mengumumkan di muka orang banyak bahwa bangsa Indonesia akan merdeka sebelum jagung berbunga (secepat mungkin), dan kemerdekaan bangsa Indonesia bukan merupakan hadiah dari Jepang melainkan merupakan hasil perjuangan bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itulah maka ketua

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia kemudian menambahkan sejumlah anggota atas tanggung jawabnya sendiri. Agar dengan demikian sifat Panitia

Persiapan Kemerdekaan itu berubah menjadi badan pendahuluan bagi Komite

Nasional. Dalam bathinnya sebagai Komite Nasional, Panitia Persiapan

Kemerdekaan itu menyelenggarakan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia dan kemudian memilih Presiden dan Wakil Presiden. Dalam hal ini untuk tidak dilupakan bahwa anggota-anggotanya datang dan seluruh kepulauan Indonesia sebagai wakil-wakil daerah masing-masing, kemudian ditambah dengan enam orang lagi sebagai wakil golongan yang terpenting dalam masyarakat lndonesia. Oleh karena itu Panitia Persiapan Kemerdekaan

28 Indonesia yang pada hakikatnya juga sebagai Komite Nasional memiliki sifat representif, sifat perwakilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Berdasarkan fakta sejarah tersebut bahwa Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia yang semula adalah merupakan badan bentukan

Pemerintah Tentara Jepang, kemudian sejak Jepang jatuh dan kemudian ditambahnya enam anggota baru atas tanggungan sendiri maka berubahlah sifatnya dari badan Jepang menjadi badan nasional sebagai badan pendahuluan bagi Komite Nasional. Adapun enam anggota baru tambahan tersebut adalah :

(1) Wiranatakusuma, (2) Ki Hadjar Dewantara, (3) Kasman Singodimejo, (4)

Sajuti Melik, (5) Mr. Iwa Kusuma Sumantri, dan (6) Mr. .

3.2. Proklamasi Kemerdekaan dan Maknanya

Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, maka kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh para pejuang kemerdekaan bangsa

Indonesia. Namun terdapat perbedaan pendapat dalam pelaksanaan serta waktu Proklamasi. Perbedaan itu terjadi antara golongan pemuda antara lain:

Sukarni, , Kusnaini, Syahrir, Soedarsono, Soepomo, dkk. Dalam masalah ini golongan pemuda lebih bersikap agresif yaitu untuk menghendaki kemerdekaan secepat mungkin. Perbedaan itu memuncak dengan diamankannya Ir. soekarno dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok, agar tidak mendapat pengaruh dari Jepang. Setelah diadakan pertemuan di Pejambon

Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1945 dan diperoleh kepastian bahwa Jepang telah menyerah maka Dwitunggal Soekarno-Hatta setuju untuk dilaksanakannya proklamasi kemerdekaan, akan tetapi dilaksanakan di

Jakarta.

29 Untuk mempersiapkan proklamasi tersebut maka pada tengah malam,

Soekarno-Hatta pergi ke rumah Laksamana Maeda di Oranye Nassau

Boulevard (sekarang Jl. Imam Bonjol No. 1) di mana telah berkumpul di sana;

B.M. Diah, Bakri, Sayuti Melik, Iwa Kusumasumantri, Chaerul Saleh, dkk., untuk menegaskan bahwa pemerintah Jepang tidak campur tangan tentang prokramasi. Setelah diperoleh kepastian maka Soekarno-Hatta mengadakan pertemuan pada larut malam dengan Mr. Achmad soebadjo, Soekarni, Chaerul

Saleh, B.M. Diah, Sayuti Melik, Dr. Buntaran, Mr. Iwa Kusumasumantri dan beberapa anggota PPKI untuk merumuskan redaksi naskah proklamasi. Pada pertemuan tersebut akhirnya konsep Soekarnolah yang diterima dan diketik oleh Sayuti Malik.

Kemudian pagi harinya pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan

Timur 56 Jakarta, tepat pada hari Jum'at legi, jam 10 pagi waktu Indonesia

Barat (jam 11.30 waktu Jepang), Bung Karno dengan didampingi Bung Hatta membacakan naskah Proklamasi dengan khidmat dan diawali dengan pidato, sebagai berikut :

PROKLAMASI

Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia. Hal- hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Jakarta, 17 Agustus 2605 Atas Nama Bangsa Indonesia

Soekarno Hatta

Makna proklamasi sebagai titik kulminasi perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia dan titik tolak bagi pertumbuhan bangsa Indonesia

30 selanjutnya. Secara ilmiah proklamasi kemerdekaan mengandung pengertian sebagai berikut:

a. Dari sudut ilmu hukum (secara Yuridis) merupakan saat tidak

berlakunya lagi tertib-tertib hukum kolonial, dan saat mulai berlakunya

tertib hukum nasional.

b. Secara politis ideologis mengandung arti bahwa bangsa Indonesia

terbebas dari penjajahan bangsa asing dan memiliki kedaulatan untuk

menentukan nasib sendiri dalam suatu negara proklamasi Republik

Indonesia.

3.3.Proses Pengesahan Pancasila Dasar Negara dan UUD 1945

Sidang PPKI

Sehari setelah Proklamasi keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus

1945, PPKI mengadakan sidangnya yang pertama. Sebelum sidang resmi dimulai, kira-kira 20 menit dilakukan pertemuan untuk membahas beberapa perubahan yang berkaitan dengan rancangan naskah Panitia Pembukaan UUD

1945 yang pada saat itu dikenal dengan nama Piagam Jakarta, terutama yang menyangkut perubahan sila pertama Pancasila. Dalam pertemuan tersebut syukur Alhamdulillah para pendiri negara kita bermusyawarah dengan moral yang luhur sehingga mencapai suatu kesepakatan, dan akhirnya disempurnakan sebagaimana naskah Pembukaan UUD 1945 sekarang ini.

1) Sidang Pertama (18 Agustus 1945) Sidang pertama PPKI dihadiri 27 orang dan menghasilkan keputusan-keputusan sebagai berikut : a. Mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945 yang meliputi :

31 a. Setelah melakukan beberapa perubahan pada Piagam Jakarta yang kemudian berfungsi sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. b. Menetapkan rancangan Hukum Dasar yang telah diterima dari Badan Penyelidik pada tanggal 17 Juli 1945, setelah mengalami berbagai perubahan karena berkaitan dengan perubahan Piagam Jakarta, kemudian berfungsi sebagai Undang-Undang Dasar 1945. b. Memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama. c. Menetapkan berdirinya Komite Nasional Indonesia Pusat sebagai badan musyawarah darurat. Tentang pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat, dalam masa transisi dari pemerintahan jajahan kepada pemerintahan nasional, hal itu telah ditentukan dalam pasal IV Aturan Peralihan. Adapun keanggotaan Komite Nasional adalah PPKI sebagai intinya ditambah dengan pemimpin-pemimpin rakyat dari semua golongan, aliran dan lapisan masyarakat, seperti : Pamong, Praja, Alim ulama, Kaum Pergerakan, Pemuda, Pengusaha/pedagang, cendikiawan, wartawan dan golongan lainnya. Komite Nasional tersebut dilantik pada tanggal 29 Agustus 1945 dan diketuai oleh Mr. Kasman Singodimedjo. Komite Nasional ini kemudian dinamakan dengan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Adapun perubahan yang menyangkut Piagam Jakarta menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah sebagai berikut: Piagam Jakarta Pembukaan UUD 1945

1. Kata mukaddimah Diganti Pembukaan 2. Dalam suatu hukum dasar ------dalam suatu UUD negara 3...... dengan berdasar ------...... dengan berdasarkan kepada Ketuhanan dengan kepada Ketuhanan Yang kewajiban menjalankan Maha Esa syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya 4...... menurut dasar ------..... kemanusiaan yang kemanusiaan yang adil adil dan beradap dan beradap

32 Adapun perubahan yang menyangkut pasal pasal UUD sebagai berikut : Rancangan Hukum Dasar UUD 1945 (1) Istilah "Hukum Dasar" diganti Undang-Undang Dasar atas usul Soepomo (2) dalam rancangan dua orang diganti seorang Wakil Presiden Wakil Fresiden (3) Presiden harus orang diganti Presiden harus orang Indonesia Asli yang Indonesia asli beragama Islam. (4) Dalam rancangan dihapuskan disebutkan selama perang pimpinan perang, dipegang oleh Jepang dengan persetujuan Pemerintahan Indonesia.

Demikianlah berbagai perubahan yang menyangkut Piagam Jakarta menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 beserta pasal-pasalnya. 2) Kedua (19 Agustus 1945) Pada sidang kedua PPKI berhasil menentukan ketetapan berikut: (1) Tentang daerah Propinsi, dengan pembagian sebagai berikut: a. Jawa Barat b. Jawa Tengah c. Jawa Timur d. Sumatera e. Borneo f. Sulawesi g. Maluku h. Sunda Kecil (2) Untuk sementara waktu kedudukan Kooti dan sebagainya diteruskan seperti sekarang. (3) Untuk sementara waktu kedudukan kota dan Gemeente diteruskan seperti sekarang.

33 Hasil yang ketiga dalam sidang tersebut adalah dibentuknya Kementerian, atau Departemen yang meliputi 12 Departemen, sebagai berikut: a) Departemen Dalam Negeri b) Departemen Luar Negeri c) Departemen Kehakiman d) Departemen Keuangan e) Departemen kemakmuran f) Departemen Kesehatan g) Departemen Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan h) Departemen Sosial i) DepartemenPertahanan j) DepartemenPenerangan k) Departemen Perhubungan l) Departemen Pekerjaan Umum. 3) Sidang Ketiga (12 Agustus 1945) Pada sidang ketiga PPKI dilakukan pembahasan terhadap agenda tentang "Badan Penolong Keluarga Korban Perang". Adapun keputusan yang dihasilkan adalah terdiri atas delapan pasal. Salah satu dari pasal tersebut yaitu pasal 2 dibentuklah suatu badan yang disebut "Badan Keamanan Rakyat" {BKR). 4) Sidang Keempat (22 Agustus 1945) Pada sidang keempat PPKI membahas agenda tentang Komite Nasional Partai Nasional Indonesia, yang pusatnya berkedudukan di Jakarta.

4. Perjuangan Mempertahankan dan Mengisi Kemerdekaan Indonesia 4.1.Masa Revolusi Fisik Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 ternyata bangsa Indonesia masih menghadapi kekuatan Sekutu yang berupaya untuk menanamkan kembali kekuasaan Belanda di Indonesia, yaitu pemaksaan untuk mengakui pemerintah NICA (Netherlands Indies Civil Administration).

34 Selain itu Belanda secara licik mempropagandakan kepada dunia luar bahwa negara proklamasi RI hadiah Fasis Jepang. Untuk melawan propaganda Belanda pada dunia Internasional, maka pemerintah RI mengeluarkan 3 buah maklumat: 1. Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 yang menghentikan kekuasaan luar biasa dari Presiden sebelum masa waktunya (seharusnya berlaku selama 6 bulan). Kemudian Maklumat tersebut memberikan kekuasaan MPR dan DPR yang semula dipegang oleh Presiden kepada KNIP. 2. Maklumat pemerintah tanggal 3 Nopember 1945, tentang pembentukan partai politik yang sebanyak-banyaknya oleh rakyat. Hal ini sebagai akibat dari anggapan pada saat itu bahwa salah satu ciri demokrasi adalah multi partai. Maklumat tersebut juga sebagai upaya agar dunia Barat menilai bahwa Negara Proklamasi sebagai negara Demokratis. 3. Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945, yang intinya Maklumat itu mengubah sistem Kabinet Presidensial menjadi Kabinet Parlementer berdasarkan asas demokrasi liberal. Keadaan yang demikian ini telah membawa ketidak stabilan di bidang politik. Berlakunya sistem demokrasi liberal adalah jelas-jelas merupakan penyimpangan secara konstitusional terhadap UUD 1945, serta secara ideologis terhadap Pancasila. Akibat penerapan sistem kabinet Parlementer tersebut maka pemerintahan Negara Indonesia mengalami jatuh bangunnya kabinet sehingga membawa konsekuensi yang sangat serius terhadap kedaulatan negara Indonesia saat itu.

4.2. Masa Demokrasi Liberal Pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) Sebagai hasil dari Konferensi Meja Bunda (KMB) maka ditandatangani suatu persetujuan (Mantelresolusi) oleh Ratu Belanda Yuliana dan Wakil Pemerintah RI di kota Den Haag pada tanggal 27 Desember 1949, maka berlaku pulalah secara otomatis anak-anak persetujuan hasil KMB lainnya dengan Konstitusi RIS, antara lain :

35 a. Konstitusi RIS menentukan bentuk negara serikat (federalis) yaitu 16 negara bagian {pasal 1 dan 2). b. Konstitusi RIS menentukan sifat pemerintahan berdasarkan asas demokrasi liberal dimana menteri-menteri bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah kepada Parlemen (Pasal 118 ayat 2). c. Mukadimah Konstitusi RIS telah menghapuskan sama sekali jiwa dan semangat maupun isi Pembukaan UUD 1945, Proklamasi Kemerdekaan sebagai naskah Proklamasi yang terinci. Sebelum persetujuan KMB, bangsa Indonesia telah memiliki kedaulatan, oleh karena itu persetujuan 27 Desember 1949 tersebut bukannya penyerahan kedaulatan melainkan 'pemulihan kedaulatan' atau 'pengakuan kedaulatan'. Terbentuknya Negara Kesatuan RI Tahun 1950 Berdirinya negara RIS dalam sejarah Ketatanegaraan Indonesia adalah sebagai suatu taktik secara politis untuk tetap konsisten terhadap deklarasi Proklamasi yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu negara persatuan dan kesatuan sebagaimana termuat dalam alinea IV, bahwa Pemerintahan Negara .....' yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah negara Indonesia .....' yang berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila. Maka terjadilah gerakan unitaristis secara spontan dan rakyat untuk membentuk negara kesatuan yaitu dengan menggabungkan diri dengan negara Proklamasi RI yang berpusat di Yogyakarta itu hanya berstatus sebagai negara bagian RIS saja. Pada suatu ketika negara bagian dalam RIS tinggalah 3 buah negara bagian saja yaitu: 1. Negara bagian RI Proklamasi 2. Negara Indonesia Timur [NIT) 3. Negara Sumatera Timur (NST) Akhirnya berdasarkan persetujuan RIS dengan negara RI tanggal 19 Mei 1950, maka seluruh negara bersatu dalam negara kesatuan, dengan Konstitusi Sementara yang berlaku sejak 17 Agustus 1950. Walaupun UUDS 1950 telah merupakan tonggak untuk menuju cita- cita Proklamasi, Pancasila dan UUD 1945, namun kenyatannya masih

36 berorientasi kepada pemerintah yang berasas demokrasi liberal sehingga isi maupun jiwanya merupakan penyimpangan terhadap Pancasila. Hal ini disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut : a. Sistem multi partai dan kabinet parlementer berakibat silih bergantinya kabinet yang rata-rata hanya berumur 6 atau 8 bulan. Ha1 ini berakibat tidak mampunya pemerintah untuk menyusun program serta tidak mampu menyalurkan dinamika masyarakat ke arah pembangunan, bahkan menimbulkan pertentangan-pertentangan, gangguan-gangguan keamanan serta penyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat. b. Secara ideologis Mukadimah Konstitusi Sementara 1950, tidak berhasil mendekati perumusan otentik Pembukaan UUD 1945, yang dikenal sebagai Declaratian of Independence bangsa Indonesia. Demikian pula perumusan Pancasila dasar negara juga terjadi penyimpangan. Namun bagaimanapun juga UUDS 1950, adalah merupakan suatu strategi ke arah negara RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dari negara Republik Indonesia Serikat.

4.3.Masa Orde Lama Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Pemilu tahun 1955 dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi harapan dan keinginan masyarakat, bahkan mengakibatkan ketidakstabilan pada bidang politik, ekonomi, sosial, maupun hankam. Keadaan seperti itu disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut : 1. Makin berkuasanya modal-modal raksasa terhadap perekonomian Indonesia. 2. Akibat silih bergantinya kabinet, maka Pemerintah tidak mampu menyalurkan dinamika masyarakat ke arah pembangunan terutama pembangunan bidang ekonomi. 3. Sistem Liberal yang berdasarkan UUDS 1950 mengakibatkan kabinet jatuh bangun, sehingga pemerintah tidak stabil. 4. Pemilu 1955 ternyata tidak mampu mencerminkan dalam DPR suatu perimbangan kekuasaan politik yang sebenarnya hidup dalam

37 masyarakat. Misalnya masih banyak kekuatan-kekuatan sosial politik dari daerah-daerah dan golongan yang belum terwakili dalam DPR. 5. Faktor yang paling menentukan adanya Dekrit Presiden adalah karena Konstituante yang bertugas membentuk UUD yang tetap bagi negara RI, ternyata gagal, walaupun telah bersidang selama dua setengah tahun. Bahkan separoh anggota sidang menyatakan tidak akan hadir dalam pertemuan-pertemuan Konstituante. Hal ini disebabkan Konstituante yang seharusnya bertugas untuk membuat UUD negara RI ternyata membahas kembali dasar negara. Atas dasar hal-hal tersebut maka Presiden sebagai badan yang harus bertanggung jawab menyatakan bahwa hal-hal yang demikian ini mengakibatkan keadilan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan kesatuan serta keselamatan negara, nusa dan bangsa. Atas dasar inilah maka Presiden akhirnya mengeluarkan Dekrit atau pernyataan pada tanggal 5 Juli 1959, yang isinya : 1. Membubarkan Konstituante 2. Menetapkan berlakunya kembali UUD 1945. Tidak berlakunya lagi UUDS tahun 1950. 3. Dibentuknya MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat- singkatnya. Berdasarkan Dekrit Presiden tersebut maka UUD 1945 berlaku kembali di Negara Republik Indonesia hingga saat ini. Pengertian Dekrit Dekrit adalah suatu putusan dari organ tertinggi (kepala negara atau organ lain) yang merupakan penjelmaan kehendak yang sifatnya sepihak. Dekrit dilakukan bilamana negara dalam keadaan darurat, keselamatan bangsa dan negara terancam oleh bahaya. Iandasan hukum Dekrit adalah 'Hukum Darurat'. Puncak peristiwa tersebut yaitu meletusnya pemberontakan Gestapu PKI atau dikenal dengan G 30 S/PKI pada tanggal 30 September 1965 untuk merebut kekuasaan yang sah negara RI yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945, disertai dengan pembunuhan yang keji dari para

38 Jenderal yang tidak berdosa. Pemberontakan PKI tersebut berupaya untuk mengganti secara paksa ideologi dan dasar filsafat negara Pancasila dengan ideologi komunis Marxis. Berkat lindungan Allah yang Maha Kuasa maka bangsa Indonesia tidak goyah walaupun akan diganti dengan ideologi komunis secara paksa. Hal ini dikarenakan Pancasila telah merupakan pandangan hidup bangsa serta sebagai jiwa bangsa. Atas dasar peristiwa tersebut maka 1 Oktober 1965 diperingati bangsa Indonesia sebagai "Hari Kesaktian Pancasila".

4.4.Masa Orde Baru Suatu tatanan masyarakat serta pemerintah sampai saat meletusnya pemberontakan G 30 SPKI dalam sejarah Indonesia disebut sebagai masa "orde Lama". Maka tatanan masyarakat dan pemerintahan setelah meletusnya G 30 S PKI sampai tahun 1998 disebut sebagai "Orde Baru", yaitu suatu tatanan masyarakat dan pemerintahan yang menuntut dilaksanakannya Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen- Munculya "Orde Baru" diawali dengan munculnya aksi-aksi dari seluruh masyarakat antara lain Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia [KAMI), Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI), dan lain sebagainya. Gelombang aksi rakyat tersebut muncul di mana-mana dengan suatu tuntutan yang terkenal dengan "Tritura" atau {Tiga Tuntutan Hati Nurani Rakyat), sebagai perwujudan dari tuntutan rasa keadilan dan kebenaran. Adapun isi "Tritura" tersebut adalah sebagai berikut : 1. Pembubaran PKI dan ormas-ormasnya. 2. Pembersihan Kabinet dari unsur-unsur G 30 S PKI 3. Penurunan harga. Karena Orde lama akhirnya tidak mampu lagi, menguasai pimpinan negara, maka presiden/panglima Tertinggi memberikan kekuasan penuh kepada panglima Angkatan Darat Letnan Jendral Soeharto, yaitu dalam bentuk suatu "Surat Perintah 11 Maret 1966" (Super Semar). Tugas

39 pemegang Super Semar cukup berat, yaitu untuk memulihkan keamanan dengan jalan menindak pengacau keamanan yang dilakukan oleh PKI beserta ormas-ormasnya, membubarkan PKI dan ormas-ormasnya serta mengamankan 15 menteri yang memiliki indikasi terlibat G 30 S PKI dan lain-lainnya . Sidang MPRS lV/ 1966, menerima dan memperkuat Super Semar dengan dituangkan dalam Tap No. IX/MPRS/1966. Hal ini berarti semenjak itu Super Semar tidak lagi bersumberkan Hukum Tata Negara Darurat akan tetapi bersumber pada kedaulatan rakyat (Pasal I ayat 2 UUD 1945). Pemerintah Orde Baru kemudian melaksanakan Pemilu pada tahun 1971 dan terbentuknya MPR tahun 1973. Adapun misi yang harus diemban berdasarkan Tap. No. X/MPR/1973 meliputi: 1. Melanjutkan pembangunan lima tahun dan menyusun serta melaksanakan Rencana Lima Tahun II dalam rangka GBHN. 2. Membina kehidupan masyarakat agar sesuai dengan demokrasi Pancasila. 3. Melaksanakan Politik Luar Negeri yang bebas dan aktif dengan orientasi pada kepentingan nasional. Demikianlah Orde Baru berangsur-angsur melaksanakan program- programnya dalam upaya untuk merealisasikan pembangunan nasional sebagai perwujudan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. 4.5.Masa Reformasi Pelaksanaan GBHN 1998 pada PJP II Pelita ke tujuh ini bangsa Indonesia menghadapi bencana hebat, yaitu dampak krisis ekonomi Asia terutama Asia Tenggara sehingga menyebabkan stabilitas politik menjadi goyah. Terutama praktek-praktek pemerintahan di bawah orde baru hanya membawa kebahagiaan semu, ekonomi rakyat menjadi semakin terpuruk sistem ekonomi menjadi kapitalistik di mana kekuasaan ekonomi di Indonesia hanya berada pada sebagian kecil penguasa dan konglomerat. Terlebih lagi merajalelanya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme pada hampir seluruh instansi serta lembaga pemerintahan, serta

40 penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang di kalangan para pejabat dan pelaksana pemerintahan negara membawa rakyat semakin menderita. Para wakil-wakil rakyat yang seharusnya membawa amanat rakyat dalam kenyataannya tidak dapat berfungsi secara demokatis, DPR serta MPR menjadi mandul karena sendi-sendi demokrasi telah dijangkiti penyakit nepotisme. Sistem politik dikembangkan ke arah sistem "Birokratik Otoritarian" dan suatu sistem "Korporatik". Sistem ini ditandai dengan konsentrasi kekuasaan dan paritisipasi di dalam pembuatan keputusan-keputusan nasional yang berada hampir seluruhnya pada tangan penguasa negara, kelompok militer, keiompok cerdik cendekiawan dan kelompok wiraswastawan oligopolistik dan bekerjasama dengan masyarakat bisnis internasional. Keadaan yang demikian membawa ekonomi rakyat menjadi tidak tersentuh dan semakin parah. Pada sisi lain rakyat dikelabui dengan berbagai macam program yang mengatas namakan rakyat, namun dalam kenyataannya hanya menguntungkan sekelompok kecil yaitu para elit ekonomi dan para pejabat, sehingga hampir di seluruh tanah air banyak pejabat melakukan praktek KKN untuk kepentingan pribadi. Pancasila yang seharusnya sebagai sumber nilai, dasar moral etik bagi negara dan aparat pelaksana negara dalam kenyataannya digunakan sebagai alat legitimasi politik, semua kebijaksanaan dan tindakan penguasa mengatas namakan Pancasila, bahkan kebijaksanaan dan tindakan yang bertentangan sekalipun diistilahkan sebagai pelaksanaan Pancasila yang murni dan konsekuen. Puncak dari keadaan tersebut ditandai dengan hancurnya ekonomi nasional, maka timbullah berbagai gerakan masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa, cendekiawan dan masyarakat sebagai gerakan moral politik yang menuntut adanya "Reformasi” di segala bidang terutama bidang politik, ekonomi dan hukum. Awal keberhasilan gerakkan Reformasi tersebut ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, yang kemudian disusul dengan dilantiknya Wakil Presiden Prof. Dr. B.J. Habibie menggantikan kedudukan Presiden. Kemudian diikuti dengan

41 pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan. Pemerintahan Habibie inilah yang merupakan pemerintahan transisi yang akan mengantarkan rakyat Indonesia untuk melakukan reformasi secara menyeluruh, terutama pengubahan 5 paket uu Politik tahun 1985, kemudian diikuti dengan reformasi ekonomi yang menyangkut perlindungan hukum sehingga perlu diwujudkan UU Anti Monopoli, UU Persaingan Sehat, UU Kepailitan, UU Usaha Kecil, UU Bank Sentral, UU Perlindungan Konsumen, UU Perlindungan Buruh dan lain sebagainya. Dengan demikian reformasi harus diikuti juga dengan reformasi hukum bersama aparat penegaknya serta reformasi pada berbagai instansi pemerintahan. Yang lebih mendasar lagi reformasi dilakukan pada kelembagaan tinggi dan tertinggi negara yaitu pada susunan DPR dan MPR, yang dengan sendirinya harus dilakukan melalui Pemilu secepatnya dan diawali dengan pengubahan: a. UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU No./1969 jis. UU No. 5/ 1975 dan UU No. 2/1985) b. UU tentang Partai Politik dan Golongan Karya (UU No. 3/1975,jo, UU No. 3/ 1985). c. UU tentang Pemilihan Umum UU No. 1611969 jis UU No.4/ 1975, UU No. 2/1980, dan UU No. 1/ 1985). Reformasi terhadap UU Politik tersebut di atas harus benar-benar dapat mewujudkan iklim politik yang demokratis sesuai dengan kehendak pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa "kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR .

42 BAB III SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA BERDASARKAN PANCASILA DAN UUD 1945

1. Pengertian, Kedudukan, Sifat dan Fungsi UUD 1945 1.1.Pengertian Hukum Dasar Undang-Undang Dasar dari sesuatu Negara hanyalah merupakan sebagian saja dari hukum dasar negara itu dan bukanlah merupakan satu- satunya sumber hukum. Undang-Undang Dasar adalah hukum dasar tertulis, sedang di samping Undang-Undang Dasar berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis yang merupakan sumber hukum lain, misalnya kebiasaan- kebiasaan, traktat-traktat dan sebagainya. Oleh karena itulah di dalam ketatanegaraan dikenal dua macam hukum dasar yaitu : a. Hukum dasar tertulis yaitu Undang-Undang Dasar; b. Hukum dasar yang tidak tertulis (umumnya disebut "konvensi"). Hukum dasar tertulis (UUD) adalah piagam-piagam tertulis yang sengaja diadakan dan memuat segala apa yang dianggap oleh pembuatnya menjadi asas fundamental dari pada negara pada waktu itu. Berhubung karena hukum dasar tertulis ini dengan sengaja diadakan, maka Undang-Undang Dasar ini lebih terang dan tegas daripada hukum dasar tidak tertulis. Selain itu hukum dasar tertulis lebih menjamin kepastian hukum daripada yang tidak tertulis. Oleh karena cara pembuatannya melalui suatu badan tertentu yang mempunyai tingkat tertinggi dalam suatu negara, menyebabkan sulitnya untuk mengadakan perubahan terhadap Undang- Undang Dasar, sehingga dengan demikian Undang-Undang Dasar adalah bersifat lebih kaku (rigid) jika dibandingkan dengan hukum dasar tak tertulis. Oleh karenanya hukum. dasar tak tertulis adalah lebih luwes (soepel) dan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan. Negara-negara yang mempunyai Undang-Undang Dasar tertulis misalnya : Amerika Serikat (1789), Perancis (1791), Uni Sovyet (1918), Indonesia (1945), dan lain-lain. Pada waktu sekarang hampir semua negara di dunia mempunyai Undang-Undang Dasar.

43 Suatu pengecualian adalah negara Inggris yang tidak mempunyai Undang-Undang Dasar tertulis. Pemerintahan negara ini didasarkan kepada hukum dasar tak tertulis yang disebut "konvensi" yaitu kebiasaan ketatanegaraan yang pada umumnya sudah tua sekali, misalnya: a. Piagam Magna Charta, tahun 1215; b. Petition of Right, tahun 1628; c. The Habeas Corpus Act, tahun 1679; d. Bill of Rights, tahun 1689; e. Piagam Weshminster, tahun 1931; Walaupun induk Negara Commonwealth Inggris ini tidak mempunyai Konstitusi Tertulis, namun tidaklah berarti bahwa negara-negara anggota commonwealth juga tidak mempunyai undang-undang Dasar; Negara India bahkan mempunyai Undang-Undang Dasar yang amat panjang isinya (395 pasal). Seperti telah dijelaskan, konstitusi tak tertulis itu bersifat kurang tegas/terang dan juga tidak sistematis. Tetapi sebaliknya ia tidak kaku (soepel=elastic atau flexible) seperti Undang-Undang Dasar (tertulis) yang bersifat kaku (rigid) melainkan bersifat luwes, mudah diubah sehingga mudah menyesuaikan diri dengan keadaan. Cara Timbulnya Undang-Undang Dasar Negara-negara modern memperoleh undang-undang Dasar mereka dengan melalui beberapa cara seperti berikut: Cara Pemberian (Grants) Undang-Undang Dasar yang diperoleh dengan cara pemberian terdapat pada negara-negara yang berbentuk Kerajaan. Negara-negara monarkhi yang mula-mula bersifat mutlak, lambat laun sebagai akibat faham demokrasi berubah sifatnya menjadi negara monarkhi yang konstitusional. Raja-raja dari negara-negara monarkhi kemudian seorang demi seorang memberikan undang-undang dasar kepada rakyatnya, dimana ia berjanji akan menjalankan kekuasaannya dalam batas-batas yang diperkenankan oleh Undang-Undang Dasar yang diberikannya itu. Undang-

44 Undang Dasar yang diberikan Raja itu disebut Undang-Undang Dasar Oktroi (misalnya UUD Kerajaan Jepang). Cara Pembuatan Dengan Sengaja (Deliberate Creation) Dalam hal ini pembuatan suatu undang-undang Dasar dilakukan setelah sesuatu negara baru didirikan. Negara Amerika serikat adalah negara yang pertama membuat Undang-Undang Dasar tertulis. Konstitusi Amerika serikat disusun oleh Majelis Konstituante di kota Philadelphia pada 1 Maret 1781 dan disahkan pada 17 September 1787 oleh sidang Konstituante tersebut.Negara-negara baru banyak pula yang mengikuti jejak Amerika serikat membuat Undang-Undang Dasar sendiri, misalnya negara R.I dengan UUD 1945. Cara Revolusi (Revolution) Salah satu cara untuk menggulingkan suatu pemerintahan Negara yang tidak disenangi rakyatnya ialah mengadakan revolusi melalui suatu perebutan kekuasaan (coup d'Etat). Pemerintah baru yang lahir akibat revolusi lalu membuat Undang-Undang Dasar yang diusahakan mendapat persetujuan rakyatnya. Negara-negara ,yang membuat Undang-Undang Dasar setelah melalui suatu revolusi adalah misalnya: Perancis (1791), Uni Soviet (1918), dan Spanyol (1932).

1.2.Pengertian UUD 1945 Bila kita menyebut UUD 1945, tentu yang kita maksudkan ialah keseluruhan naskah yang meliputi: 1. Pembukaan 2. Pasal 1 sampai dengan 37, Aturan peralihan yang terdiri dari 4 pasal, dan 2 ayat Aturan Tambahan. 3. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 Naskahnya yang resmi pernah dimuat dalam“Berita Republik Indonesia" suatu penerbitan resmi pemerintah Republik Indonesia yang terbit pada tanggal 15 Februari 1946. Undang-Undang Dasar 1945 ini disahkan oleh sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus

45 1945 dan mulai berlaku untuk pertama kali pada tanggal 18 Agustus 1945 tersebut. Undang-Undang Dasar inilah yang kini berlaku di Tanah Air kita. Di samping hukum dasar yang tertulis terdapat juga hukum dasar yang tidak tertulis. Menurut penjelasan UUD 1945, yang dimaksud dengan hukum dasar yang tidak tertulis ialah "aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara". Aturan-aturan dasar ini biasanya disebut konvensi. Dari uraian di atas kini anda semakin jelas, bukan? Kini kita telah mempunyai pengertian yang sama tentang apa yang dimaksud dengan Undang-Undang Dasar 1945 itu. Pengertian ini sesuai dengan sumbernya yang resmi (otentik). Kini kita telah mempunyai bahasa yang sama tentang pengertian UUD 1945. Jadi yang dimaksud dengan Undang-Undang Dasar 1945 ialah hukum dasar tertulis yang diwujudkan dalam naskah resmi, yang lengkapnya meliputi pembukaan, pasal-pasal 1 sampai dengan 37, Aturan peralihan, dan Aturan Tambahan serta Penjelasannya.

1.3.Kedudukaan UUD l945 Sebagai hukum dasar, UUD 1945 ini mengikat, mengikat pemerintah, mengikat setiap lembaga negara dan lembaga masyarakat, serta mengikat setiap warganegara Indonesia. Jadi kita semua tanpa kecuali harus tunduk dan patuh pada UUD 1945. Undang-undang Dasar ini berisi norma-norma dasar kenegaraan. Norma-norma ini merupakan petunjuk hidup atau ketentuan- ketentuan yang harus dilaksanakan dan ditaati. UUD 1945 ini dapat diibaratkan sebagai rel di atas mana kita semua harus berjalan. Siapapun yang keluar dan rel ia akan mengalami bahaya. Tidak beda dengan kereta api yang keluar dari relnya. Sebagai hukum dasar, UUD 1945 merupakan sumber hukum "tertinggi" yang resmi. Artinya, segala peraturan yang lebih rendah tingkatannya harus bersumber pada UUD 1945. Oleh kerena itu tata tertib kerja, tata tertib Perguruan Tinggi, tata tertib keluarga, masyarakat dan negara harus mencerminkan isi UUD 1945.

46 Bagi kita, UUD1945 berfungsi sebagai alat pengontrol. Apakah peraturan lain yang lebih rendah sesuai atau tidak, apakah kita termasuk warga negara yang baik atau bukan dapat diukur dari hakekat isi UUD 1945. Jadi UUD 1945 mempunyai kedudukan tertinggi dalam tata urutan peraturan perundangan di negara Republik Indonesia. Ia merupakan hukum dasar yang mengikat kita semua. Tidak ada kecualinya, siapapun harus tunduk dan melaksanakan UUD ini. Seperti telah dijelaskan UUD 1945 ditetapkan dan disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Dalam ayat 2 Aturan Tambahan UUD 1945 disebutkan bahwa dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar. Dari Aturan Tambahan ini dapatlah disimpulkan bahwa status UUD 1945 adalah sementara. Sesungguhnya menurut rencana pembuat UUD 1945, sebelum 17 Agustus 1946 kiranya dapat diharapkan akan telah tersusun suatu Undang- Undang Dasar tetap yang disusun oleh badan yang berwenang, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum sebagairnana ditetapkan dalam UUD 1945 itu sendiri. Amatlah disayangkan suasana politik waktu itu tidaklah memungkinkan pelaksanaan rencana tersebut. Pada tanggal 5 Juli 1959 dengan Dekrit Presiden, UUD 1945 telah dinyatakan berlaku kembali dan tidak berlakunya lagi UUDS-1950 di Indonesia. Ketentuan ayat 2 Aturan Tambahan UUD-1945 tidak juga dapat dilaksanakan dengan segera, karena MPR belum dapat dibentuk. MPRS yang dibentuk berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, kemudian dengan Ketetapannya No. XX\MPRS/1966 telah menyatakan Dekrit Presiden tersebut sebagai sumber tertib hukum bagi beriakunya kembali UUD-1945. Akhirnya pada tanggal 1 Oktober 1972 MPR hasil Pemilihan Umum (3 Juli 1971) baru dapat dibentuk setelah pelantikan anggota-anggotanya oleh Presiden RI. Dalam Sidang Umum tanggal 22 Maret 1973. MPR telah menetapkan Ketetapan MPR No. V/MPR/ 1973. Pasal 3 TAP MPR No. V/MPR/ 1973 mengatakan tetap berlaku TAP MPRS No. XX\ MPRS\1966. Dengan demikian MPR hasil Pemilu telah menetapkan UUD 1945 menjadi UUD Negara Republik Indonesia.

47 1.4. Sifat UUD 1945 Undang-Undalg Dasar 1945 bersifat singkat dan kenyal. Apa artinya? Mengapa dibuat demikian? Apakah keuntungannya dari sifat ini? Memang benar UUD 1945 ini termasuk UUD yang singkat karena isinya hanya 37 pasal ditambah dengan empat pasal Aturan Peralihan, dan dua ayat Aturan Tambahan. Aturan-aturan yang dimuat di dalamnya hanyalah yang pokok- pokok saja, atau hanyalah merupakan garis-garis besar saja. Dapatkah kita mengatakan karena singkatnya itu berarti tidak lengkap? Atau tidak sempurna? Tentu tidak! Meskipun isinya singkat tetapi sangat padat. Aturan- aturan yang pokok ini cukup berisi prinsip-prinsip yang dasar. Ia dapat dijabarkan ke dalam peraturan-peraturan lain yang lebih rendah secara lengkap dan terperinci. Sebagai suatu negara yang masih harus berkembang, Negara Republik Indonesia harus hidup dinamis. Dalam keadaan ini diperlukan UUD yang mampu menyesuaikan diri dengan segala kondisi dan situasi, sehingga ia tetap dapat dijadikan rel yang tidak kunjung akhir. Artinya meskipun masyarakat terus berubah dengan cepat, tetapi selalu berjalan di atas rel yang tetap. Untuk ini Undang-Undang Dasar 1945 lah yareg paling sesuai untuk kita bangsa Indonesia. Diandaikan sebagai rel kereta api, UUD 1945 rnerupakan re1 yang tepat. ia dapat dijalani oleh segala jenis kereta api. Kalau kita sekarang belum mempunyai kereta api tercepat dan satu saat akan memilikinya, relnya tidak perlu diubah. Sifat UUD 1945 yang singkat dan kenyal ini banyak membawa keuntungan. Yang jelas, dengan berdasar pada aturan-aturan yang sangat pokok itu sejumlah peraturan lain yang lebih rendah dapat dibuat. Peraturan- peraturan yang lebih rendahlah yang akan menterjemahkannya lebih panjang; ini mudah dibuat. Berlainan dengan peraturan perundangan yang lebih rendah tingkatnya, yang lebih mudah dibuat dan diubah, undang-undang dasar tidak mudah dapat diubah. Demikian pemikiran yang berkembang dimasa Orde Baru.

48 MPR bahkan dalam Ketetapan MPR No. I/MPR/ 1983 pasal 104 menegaskan, bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadapnya serta akan melaksanakannya secara murni dan konsekuen. Tentu kita dapat menyimpulkan bahwa UUD 1945 benar-benar bersifat singkat dan kenyal. sifat ini sesuai sekali dengan gerak kehidupan bangsa Indonesia. Dengan UUD 1945 kita dapat menyesuaikannya dalam segala zaman. UUD 1945 akan dapat berlaku pada zaman apapun nanti. Kepastian hukumnya akan tetap dapat dijamin.

1.5.Fungsi UUD 1945 Konstitusi Negara atau Undang-Undang Dasar adalah peraturan Negara dan merupakan batang tubuh sesuatu negara yang memuat ketentuan- ketentuan pokok dan menjadi salah satu sumber dari pada peraturan- perundangan lainnya yang kemudian dikeluarkan oleh Negara itu.

2. Pembukaan UUD 1945 2.1.Makna dari Pembukaan UUD 1945 Di muka telah dikemukakan dengan jelas bahwa UUD 1945 merupakan Sumber hukum tertinggi dalam Negara Republik Indonesia. Pembukaan UUD 1945 rnerupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan isi UUD 1945, pembukaan UUD 1945 merupakan sumber dari daya pendorong dan cita-cita serta tekad perjuangan bangsa Indonesia. Ia juga merupakan sumber cita-cita hukum dan cita-cita moral dalam kehidupan bernegara Indonesia dan dalam pergaulan masyarakat dunia. Jika anda membaca pembukaan UUD 1945, tentu akan anda temukan rumusan kata-kata yang padat, penuh dan khidmat. Memang isinya hanya meliputi empat alinea saja. Akan tetapi isi empat alinea (bait) itu penuh dengan rumusan nilai-nilai yang berlaku umum dan tahan lama. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya merupakan nilai-nilai yang juga dijunjung tinggi oleh bangsa-bangsa beradab di dunia ini. Bagi bangsa Indonesia sendiri nilai-nilai ini akan dapat menampung gerak maju kehidupan masyarakat.

49 Oleh karena begitu tinggi nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 ini, ia akan tetap menjadi landasan perjuangan bangsa Indonesia sepanjang masa. Untuk membuktikan betapa indahnya dan khidmatnya rumusan-rumusan kata-kata dalam pembukaan tersebut, anda diharapkan membacanya dengan cermat. Resapkanlah hakekat dari rumusan kata-kata itu. pada akhirnya, anda akan sampai pada kesimpulan betapa luhur cita-cita yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut.

2.2.Makna Alinea-alinea dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea Pertama dari pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi: "Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan" menunjukkan keteguhan dan kuatnya pendirian bangsa Indonesia menghadapi masalah "kemerdekaan lawan penjajahan". Dengan pernyataan itu bukan saja bangsa Indonesia bertekad untuk merdeka, tetapi akan tetap berdiri di barisan yang paling depan untuk menentang dan menghapuskan penjajahan di atas dunia. Alinea ini mengungkapkan suatu dalil obyektif, yaitu bahwa penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan dan oleh karenanya harus ditentang dan dihapuskan agar semua bangsa di dunia ini dapat menjalankan hak kemerdekaannya yang merupakan hak asasinya. Di situlah letak moral luhur dari pernyataan kemerdekaan Indonesia. Alinea ini juga mengandung suatu pernyataan subyektif, yaitu aspirasi bangsa Indonesia sendiri untuk membebaskan diri dari penjajahan. Dalil tersebut di atas meletakkan tugas kewajiban kepada bangsa/pemerintah Indonesia untuk senantiasa berjuang melawan setiap bentuk penjajahan dan mendukung kemerdekaan setiap bangsa. Sudah jelas pendirian yang sedemikian itu yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar akan tetap menjadi landasan pokok dalam mengendalikan politik luar negeri kita. Alasan bangsa Indonesia menentang penjajahan, karena bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Ini berarti bahwa setiap hal atau

50 sifat, yang bertentangan atau tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan juga harus secara sadar ditentang oleh bangsa Indonesia. Alinea Kedua yang berbunyi : "Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur" menunjukkan kebanggaan dan penghargaan kita atas perjuangan bangsa Indonesia selama itu. Ini juga berarti adanya kesadaran bahwa keadaan sekarang tidak dapat dipisahkan dari keadaan kemarin dan langkah yang kita ambil sekarang akan menentukan keadaan yang akan datang. Dalam alinea itu jelas apa yang dikehendaki, atau diharapkan oleh para "pengantar" kemerdekaan, ialah Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Nilai-nilai itulah yang selalu menjiwai segenap bangsa Indonesia dan terus berusaha untuk mewujudkannya. Alinea ini menunjukkan adanya ketepatan dan ketajaman penilaian: a. bahwa perjuangan pergerakan di Indonesia telah sampai pada tingkat yang menentukan; b. bahwa momentum yang telah dicapai tersebut harus dimanfaatkan untuk menyatakan kemerdekaan ; c. bahwa kemerdekaan tersebut bukan merupakan tujuan akhir tetapi masih harus diisi dengan mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Alinea Ketiga yang berbunyi : "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaanya", bukan saja menegaskan lagi apa yang menjadi motivasi riil dan materiil bangsa Indonesia untuk mengatakan kemerdekaannya, tetapi juga menjadi keyakinan/ kepercayaan, menjadi motivasi spritualnya, bahwa maksud dan tindakannya menyatakan kemerdekaan itu diberkati oleh Allah yang Maha Kuasa.

51 Dengan ini digambarkan bahwa bangsa Indonesia mendambakan kehidupan yarg berkeseimbangan, keseimbangan kehidupan materiil dan spritual, keseimbangan kehidupan di dunia dan di akhirat. Alinea ini memuat motivasi spritual yang luhur serta suatu pengukuhan dari proklamasi Kemerdekaan. Alinea ini menunjukkan pula ketakwaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan yang Maha Esa. Berkat ridho-Nyalah bangsa Indonesia berhasil dalam perjuangan kemerdekaannya. Alinea Keempat berbunyi : "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang- Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Alinea ini merumuskan dengan padat sekali tujuan dan prinsip-prinsip dasar untuk mencapai tujuan bangsa Indonesia setelah menyatakan dirinya merdeka itu. Tujuan perjuangan negara Indonesia dirumuskan dengan "Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia seluruh tumpah darah Indonesia" dan untuk "memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa", dan "ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial". Sedangkan prinsip dasar yang harus dipegang teguh untuk mencapai tujuan itu adalah dengan : menyusun kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan

52 Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan berdasarkan kepada Pancasila. Dengan rumusan yang panjang dan padat, alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar sekaligus menegaskan: 1) Negara Indonesia mempunyai fungsi yang sekaligus menjadi tujuannya, yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksalakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial; 2) Negara Indonesia berbentuk Republik dan berkedaulatan Rakyat; 3) Negara Indonesia mempunyai dasar falsafah Pancasila, yaitu: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan/ perwakilan dan Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Itulah uraian penjelasan mengenai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjiwai batang tubuh Undang-Undang Dasar dan harus menjiwai para penyelenggara negara.

2.1. Pokok-pokok Pikiran Pembukaan UUD 1945 1. Pokok Pikiran Pertama: Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pokok pikiran ini menegaskan bahwa dalam "pembukaan" diterima aliran pengertian negara persatuan. Negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa dan wilayah seluruhnya. Jadi negara mengatasi segala faham golongan, mengatasi segala faham perorangan, negara menurut pengertian Pembukaan UUD 1945 tersebut menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Hal ini menunjukkan pokok pikiran persatuan. Dengan pengertian yang lazim, negara penyelenggara negara dan setiap warga negara wajib mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan golongan ataupun

53 perorangan. Pokok pikiran ini merupakan penjabaran Sila Ketiga Pancasila. 2. Pokok Pikiran Kedua : Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pokok pikiran ini menempatkan suatu tujuan atau cita-cita yang ingin dicapai dalam Pembukaan, dan merupakan suatu kausa finalis (sebab tujuan), sehingga dapat menentukan jalan serta aturan-aturan mana yang harus dilaksanakan dalam Undang-Undang Dasar untuk sampai pada tujuan itu yang didasari dengan bekal persatuan. Ini merupakan pokok pikiran keadilan sosial yang didasarkan pada kesadaran bahwa manusia mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat. Pokok pikiran ini merupakan penjabaran Sila Kelima pancasila. 3. Pokok Pikiran Ketiga : Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Pokok pikiran ini dalam "Pembukaan” mengandung konsekuensi logis bahwa sistem negara yang terbentuk dalam Undang-Undang Dasar harus berdasarkan atas kedaulatan rakyat dan berdasarkan permusyawaratan/ perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis permusyawaratan Rakyat. Pokok pikiran yang merupakan Dasar Politik Negara. Pokok pikiran ini merupakan penjabaran Sila Keempat, Pancasila. 4. Pokok Pikiran Keempat : Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Pokok pikiran keempat dalam "Pembukaan" ini mengandung konsekuensi logis Undang-Undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara, untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur. Hal ini menegaskan pokok pikiran Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mengandung pengertian taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan pokok pikiran kemanusiaan yang adil dan beradab yang mengandung pengertian menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia atau nilai kemanusiaan yang luhur. Pokok pikiran

54 keempat ini merupakan Dasar Moral Negara yang pada hakikatnya merupakan suatu penjabaran dari Sila Pertama dan Sila Kedua Pancasila. Empat pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, menurut Penjelasan Undang-Undang Dasar ini, merupakan penjelasan logis dari inti alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Atau dengan lain perkataan bahwa keempat pokok pikiran tersebut tidak lain adalah merupakan penjabaran dari Dasar Filsafat Negara Pancasila. Dalam pokok pikiran yang pertama ditekankan tentang aliran bentuk negara persatuan, pokok pikiran kedua tentang cita-cita negara yaitu keadilan sosial dan pokok pikiran ketiga adalah merupakan dasar politik negara berkedaulatan rakyat. Bilamana kita pahami secara sistematis maka pokok pikiran I, II dan III memiliki makna kenegaraan sebagai berikut: negara ingin mewujudkan suatu tujuan negara yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia (pokok pikiran I). Agar terwujudnya tujuan negara tersebut maka dalam pelaksana negara harus didasarkan pada suatu kedaulatan rakyat (pokok pikiran II dan III). Dalam kehidupan kenegaraan mendasarkan pada suatu dasar moral yaitu negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa serta kemanusiaan yang adil dan beradab (pokok pikiran IV). Sebagai suatu bangsa yang hidup dalam suatu negara sudah semestinya memiliki suatu cita-cita yang. ingin dicapai yaitu suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (pokok pikiran keempat) sehingga pokok pikiran ini merupakan suatu dasar cita-cita. Negara. Maka untuk mencapai cita-cita kenegaraan yaitu suatu keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial), negara mewujudkan dalam suatu dasar tujuan negara yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia (pokok pikiran I).

2.2. Hubungan Pokok-pokok Pikiran dalamn Pembukaan UUD 1945 dengan Batang Tubuh UUD 1945 Karena pokok-pokok pikiran itu menurut penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, ”meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia serta mewujudkan cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar

55 negara, baik yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis", sedangkan pokok-pokok pikiran itu dijelmakan dalam pasal-pasalnya oleh Undang- Undang Dasar 1945, maka dapatlah disimpulkan bahwa suasana kebatinan Undang-Undang Dasar 1945 bersumber atau dijiwai oleh dasar fatsafah Pancasila. Di sinilah arti dan fungsi pancasila sebagai dasar negara. Selain dari apa yang diuraikan di muka dan sesuai pula dengan Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai fungsi atau hubungan langsung dengan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 itu sendiri, ialah bahwa : Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 mengandung pokok-pokok pikiran yang dijabarkan dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar . Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa Pembukaan UUD 1945 dan UUD 1945 merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. 1. Dengan tetap menyadari keagungan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan dengan memperhatikan hubungan antara Pembukaa'' dengat Batang Tubuh Undang-Undang Dasar sendiri, maka dapatlah disimpulkan bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan; bahkan merupakan rangkaian kesatuan nilai dan norma yang terpadu. 2. Undang-Undang Dasar 1945 terdiri dari rangkaian pasal-pasal yang merupakan perwujudan dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang tidak lain adalah pokok-pokok pikiran, yaitu : Persatuan Indonesia, Keadilan Sosial, Kedaulatan rakyat berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan dan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang tidak lain adalah sila-sila dari Pancasila, sedangkan Pancasila itu sendiri memancarkan nilai- nilai yang luhur yang telah mampu memberikan semangat kepada dan terpancang dengan khidmat dalam perangkat Undang-Undang Dasar 1945. 3. Semangat (Pembukaan) dan yang disemangati (pasal-pasal Undang- Undang Dasar 1945 serta Penjelasannya) pada hakekatnya merupakan

56 satu rangkaian kesatuan yang tak dapat dipisahkan Kesatuan serta semangat yang demikian itulah yang harus diketahui, dipahami, dan dihayati oleh setiap insan Indonesia.

3. Batang Tubuh dan Penjelasan UUD 1945 3.1. Sistem Pemerintahan Negara RI Sebelum diamandemen Sistem Pemerintahan Negara Indonesia dijelaskan dengan terang dan sistematis dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Di dalam Penjelasan itu dikenal 7 {tujuh) buah kunci pokok. 1. Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat). 2. Sistem Konstitusional 3. Kekuasaan Negara yang tertinggi di tangan MPR 4. Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi di bawah MPR. 5. Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR. 6. Menteri Negara ialah pembantu Presiden, dan mereka tidak bertanggung jawab kepada DPR. 7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas (kekuasaan terbatas). Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat). Ini mengandung arti bahwa negara termasuk di dalamnya. Pemerintah dan lembaga-lembaga negara yang lain dalam melaksanakan tindakan-tindakan apapun, harus dilandasi oleh hukum atau harus dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Tekanan pada hukum (recht) di sini dihadapkan sebagai lawan dari kekuasaan (macht). prinsip dan sistem ini di samping akan tampak dalamn rumusan pasal- pasalnya, jelas terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang diwujudkan oleh cita-cita hukum (rechtsidee) yang memakai Undang- Undang Dasar 1945 dan hukum dasar yang tidak tetulis. Sesuai dengan semangat dan ketegasan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, jelas bahwa negara hukum yang dimaksud bukanlah sekedar sebagai negara hukum dalam arti formal, lebih-lebih bukanlah negara hanya sebagai polisi lalu lintas atau penjaga malam, yang menjaga jangan sampai

57 terjadi pelanggaran dan menindak para pelanggar hukum. Pengertian negara hukum menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah negara hukum dalam arti luas, yaitu negara hukum dalam arti material. Dengan landasan dan semangat negara hukum dalam arti material itu, setiap tindakan negara haruslah mempertimbangkan dua kepentingan ataupun landasan, ialah kegunaannya (doelmatigheid) dan lain dasar hukum (rechtmatigheid). Harus selalu diusahakan agar setiap tindakan negara (pemerintah) itu selalu memenuhi kedua kepentingan atau landasan tersebut. Adalah suatu seni tersendiri untuk mengambil keputusan yang tepat apabila ada pertentangan kepentingan atau salah satu kepentingan atau landasan itu tidak dipenuhi. Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yaang tidak terbatas). Sistem ini memberikan ketegasan bahwa cara pengendalian Pemerintah dibatasi oleh ketentuan- ketentuan konstitusi, yang dengan sendirinya juga oleh ketentuan-ketentuan dan hukum lain yang merupakan produk konstitusional, seperti garis-garis besar dari haluan negara, undang-undang, dan sebagainya. Dengan demikian system ini memperkuat dan menegaskan lagi sistem negara hukum seperti yang dikemukakan di muka. Dengan landasan kedua sistem itu sistem negara hukum dan sistem konstitusional diciptakanlah sistem mekanisme hubungan tugas dan hukum antara lembaga-lembaga negara, yang dapat menjamin terlaksananya sistem itu sendiri dan dengan sendirinya juga dapat memperlancar pelaksanaan pencapaian cita-cita nasional. "Kedaulatan Rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vetretungsorgan des Willens des Staatsvolkes). Majelis ini menetapkan Undang-Undang Dasar dan menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Majelis ini mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi, sedang presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis- garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh

58 Majelis, tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia adalah "mandataris" dari Majelis, ia wajib menjalankan putusan-putusan majelis. Presiden tidak "neben", akan tetapi "untergeordnet" kepada "Majelis". Demikian diuraikan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Di sinilah terjelmanya pokok pikiran kedaulatan rakyat yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi, MPR mempunyai tugas dan wewenang yang sangat menentukan jalannya negara dan bangsa, yaitu berupa : . menetapkan Undang-Undang Dasar; . menetapkan garis-garis besar dari haluan negara; . mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Dengan kewenangan yang demikian itu, menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar dari Haluan Negara, maka kekuasaan MPR luas sekali. Ini adalah logis, karena MPR adalah pemegang kedaulatan Negara. Sebagai badan yang merupakan penjelmaan dari seluruh rakyat, maka segala keputusan yang diambil haruslah mencerminkan keinginan dan aspirasi seluruh rakyat. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan : "Di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat, presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan Presiden (concenration of power and responsibily upon the President)". Sistem ini logis, karena Presiden diangkat oleh Majelis Presiden bukan saja diangkat oleh Majelis, tetapi ia dipercaya dan diberi tugas untuk melaksanakan kebijaksanaan rakyat yang berupa Garis-garis Besar Haluan Negara ataupun ketetapan lairnya. Oleh karena itu presiden adalah Mandataris Majelis. Presidenlah yang memegang tanggungjawab atas jalannya pemerintahan yang dipercayakan kepadanya dan tanggungiawab itu adalah kepada Majelis, bukan kepada badan lain. Namun berdasarkan amandemen UUD 1945 tahun 2002 dijelaskan bahwa kekuasaan tertinggi ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD (Pasal 1 ayat 2).MPR hanya memiliki kekuasaan melakukan perubahan UUD,

59 melantik Presiden dan Wakil presiden serta menghentikan Presiden/Wakil Presiden sesuai masa jabatan atau jika melanggar konstitusi. Dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan sebagai berikut : "Di samping Presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden harus mendapat persetujuan Dewan perwakilan Rakyat untuk membentuk Undang- Undang (Gesetzgebung) dan untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara (Staatsbegrooting). Oleh karena itu, presiden harus bekerja bersarna-sama dengan Dewan, akan tetapi presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan, artinya kedudukan presiden tidak tergantung dari Dewan". Menurut sistem pemerintahan kita, presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR. Tetapi Presiden bekerjasama dengan Dewan. Dalam ha1 penbuatan undang-undang dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Presiden harus mendapatkan persetujuan DPR, presiden tidak dapat membubarkan DPR seperti pada sistem Parlementer, namun DPR pun tidak dapat menjatuhkan Presiden, karena Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan : "Presiden mengangkat dan memberhentikan Menteri-menteri Negara, Menteri-menteri itu tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukannva tidak tergantung dari Dewan, akan tetapi tergantung dari Presiden. Mereka ialah pembantu Presiden". Pengangkatan dan pemberhentian Menteri-menteri Negara adalah sepenuhnya wewenang Presiden. Menteri-menteri tersebut tidak bertanggungjawab kepada DPR, tetapi bertanggungjawab kepada Presiden. oleh karenanya status mereka adalah sebagai pembantu presiden. Meskipun demikian tidak dapat dikatakan bahwa menteri-menteri Negara itu adalah pegawai tinggi biasa oleh karena dengan petunjuk dan persetujuan Presiden, Menteri-menteri inilah yang pada kenyataannya menjalankan kekuasaan pemerintahan di bidangnya masing-masing. Inilah yang disebut sistem Kabinet Presidensial. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan :

60 "Meskipun Kepala Negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, ia bukan "diktator" artinya kekuasaan tidak tak terbatas". Di atas telah ditegaskan bahwa ia bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kecuali itu ia harus memperhatikan sungguh- sungguh suara Dewan Perwakilan Rakyat”. Dalam UUD 1945 hasil amandemen tahun 2002, pasal 17 ayat 1 dijelaskan : ”Presiden dalam melaksanakan tugas pemerintahannya dibantu oleh menteri-menteri negara.Kemudian pada pasal 2 berbunyi sebagai berikut :”Presiden mengangkat dan memberhentikan Menteri-menteri negara.Menteri-menteri negara itu tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.Kedudukannya tidak tergantung kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Menurut sistem ini kekuasaan presiden tidak tak terbatas ditekankan lagi di samping sudah tegas dalam kunci sistem yang ke-2- sistem pemerintahan Konstitusional, bukan bersifat absolut dengan menunjukkan fungsi/peranan Dewan Perwakilan Rakyat dan fungsi/peranan para Menteri sebagai pembantu presiden, yang dapat mencegah kemungkinan kemerosotan kekuasaan pemerintahan di tangan Presiden ke arah kekuasaan mutlak (absolutisme). Sesuai dengan sistem ini, maka kedudukan dan peranan DPR adalah kuat. Bukan saja ia tidak dapat dibubarkan oleh Presiden (seperti halnya dalam sistem parlementer) dan juga bukan saja ia memegang wewenang memberikan persetujuan kepada Presiden dalam membentuk undang-undang dan menetapkan APBN, tetapi DPR adalah juga badan yang rnemegang pengawasan terhadap pemerintah dalam hal ini Presiden yang efektif. 1. DPR yang anggota-anggotanya adalah anggota MPR mempunyai wewenang memanggil MPR untuk mengadakan persidangan istimewa untuk meminta pertanggung jawaban Presiden. Apabila DPR menganggap presiden sungguh melanggar haluan negara yang ditetapkan oleh Undang- Undang Dasar atau Majelis Permusyawaratan Rakyat. 2. Jadi sesuai dengan sistem ini, maka kebijaksanaan atau tindakan Presiden dibatasi oleh adanya pengawasan yang efektif oleh DPR. Sistem atau

61 mekanisme ini merupakan sarana preventif untuk mencegah pemerosotan sistem konstitusional menjadi absolutisme. Demikian juga sistem "kekuasaan presiden tidak tak terbatas" itu, ditunjukkan dengan adanya fungsi dan peranan para Menteri Negara sebagai pembantu presiden yang cukup besar pula. Seperti dijelaskan di muka Menteri bukan pegawai tinggi biasa, tetapi Menteri-menteri adalah yang terutama menjalankan kekuasaan/pemerintah di bidangnya. Di bidangnya, Menteri dianggap mengetahui seluk beluk masalah yang dihadapinya, sehingga Menteri mempunyai pengaruh besar terhadap Presiden dalam menentukan politik negara yang rnengenai departemennya". Dengan penjelasan yang demikian itu tidaklah berarti mengurangi wewenang dan tanggungjawab Presiden dan juga tidak berarti bahwa dengan demikian Presiden hanya didikte saja oleh Menteri-menteri. Dengan sistem ini yang ingin ditonjolkan adalah bahwa Menteri-menteri itu adalah juga "pemimpin- pemimpin negara", yang membantu Presiden agar dalam sistem pemerintahan sesuai Undang-Undang Dasar-Negara Hukum, Pemerintahan Konstitusional, dan sebagainya, sehingga dapat dicegah agar jalannya pemerintahan negara yang terletak pada satu orang ialah Presiden tidak cenderung menjurus ke absolutisme. Dalam sistem ini sekaligus juga ingin ditekankan perlunya daya guna dan hasil guna kerja pemerintah, dengan menyatakan dalam Penjelasan sebagai berikut: "Untuk menetapkan politik pemerintah dan koordinasi dalam pemerintahan negara para Menteri bekerjasama satu sama lain seerat-eratnya di bawah pimpinan presiden". Dalam kerangka inilah sistem pemerintahan negara lndonesia memiliki kabinet yang dipimpin oleh presiden.

3.2. Kelembagaan Negara Hubungan tata kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan lembaga- lembaga Tinggi Negara menurut Ketetapan MPR No. III/MPR/ 1978, adalah sebagai berikut :

62 1. Lembaga Tertinggi Negara adalah Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR sebagai lembaga penjelmaan seluruh rakyat Indonesia adalah pemegang kekuasaan Negara Tertinggi dan pelaksana dari Kedaulatan Rakyat. MPR memilih dan mengangkat presiden/ mandataris dan wakil Presiden untuk membantu presiden. MPR memberikan mandat kepada Presiden untuk melaksanakan Garis-garis Besar Haluan Negara dan putusan-putusan MPR lainnya. MPR dapat memberhentikan Presiden sebelum masa jabatannya karena : a. Atas permintaan sendiri b. Berhalangan tetap (mangkat, berhenti atau tidak dapat melaksanakan kewajiban dalam masa jabatan). c. Sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara. Presiden tunduk dan bertanggungjawab kepada MPR dan pada akhir jabatannya memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan Haluan Negara yang ditetapkan oleh UUD 1945 di hadapan Sidang MPR. Presiden wajib memberikan pertanggungjawaban di hadapan Sidang Istimewa MPR yang khusus diadakan untuk meminta pertanggungjawaban Presiden dalam rnelaksanakan haluan Negara yang ditetapkan oleh UUD 1945 dan MPR. Apabila Wakil Presiden berhalangan tetap, maka Presiden dan atau Dewan Perwakilan Rakyat dapat meminta MPR inengadakan Sidang Istimewa untuk memilih Wakil Presiden. Dalam pidato pertanggungjawaban Presiden/ Mandataris MPR pada tanggal 12 Maret 1973 ditegaskan, bahwa baik MPRS dahulu maupun MPR hasil Pemilu tahun 1971 adalah Lembaga Tertinggi Negara, penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Menurut UUD 1945 hasil amandemen tahun 2002, Presiden merupakan penyelenggara pemerintahan tertinggi di samping MPR dan DPR oleh karena Presiden dipilih langsung oleh rakyat ( pasal 6 A ayat 1).Presiden tidak lagi sebagai mandataris MPR tetapi dipilih langsung oleh rakyat.

63 2. Lembaga-lembaga Tinggi Negara yang sesuai dengan urutan-urutan yang terdapat dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut. a. Presiden Presiden adalah penyelenggara Kekuasaan Pemerintahan Negara Tertinggi di samping MPR, yang dalam melakukan kewajibannya dibantu oleh Wakil Presiden. Hubungan kerjasama antara Presiden dengan lembaga-lembaga lainnya dibantu oleh Wakil Presiden. Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat membentuk Undang-Undang termasuk menetapkan Undang-Undang, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, dan Presiden juga tidak dapat membubarkan DPR. Presiden harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR. b. Dewan Pertimbangan Agung (DPA) DPA adalah Badan Penasehat pemerintah yang berkewajiban memberikan jawaban atas pertanyaan Presiden. Di samping itu DPA berhak mengajukan usul dan wajib memajukan pertimbangan kepada presiden. Dalam UUD 1945 hasil amandemen DPA tidak ada lagi. c. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) DPR yang seluruh anggotanya adalah juga anggota MPR berkewajiban senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dalam rangka pelaksanaan haluan negara. Apabila DPR menganggap bahwa Presiden sungguh melanggar haluan negara, maka DPR menyampaikan Memorándum untuk mengingatkan Presiden. Jikalau dalam waktu tiga bulan presiden tidak memperhatikan memorándum DPR tersebut, maka DPR menyampaikan Memorandum yang kedua. Apabila dalam waktu satu bulan Memorandum yang kedua tersebut tidak diindahkan

64 oleh presiden, maka DPR dapat meminta MPR mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden. d. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) BPK adalah Badan yang memeriksa tentang tanggungjawab keuangan negara, yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah, akan tetapi tidak berdiri di atas pemerintah. BPK memeriksa semua pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Hasil pemeriksaan BPK diberitahukan kepada DPR. Cara-cara pemberitahuan itu lebih lanjut ditentukan bersama oleh pimpinan BPK dengan pimpinan DPR dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan Undang-Undang yang berlaku. Dalam UUD 1945 hasil amandemen tahun 2002 pasal 23 E ayat (1) disebutkan bahwa “ Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara, diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri “.Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD dan Dewan Perwakilan Daerah, sesuai dengan kewenangannya pasal 23 E ayat (2).Hasil pemeriksaan tersebut ditindak lanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang pasal 23 E ayat (3).Fungsi BPK menjadi sangat penting oleh karena agenda utama reformasi adalah memberantas KKN. e. Mahkamah Agung Mahkamah Agung adalah suatu Badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksanaan tugasnya, terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah dan pengaruh-pengaruh Iainnya. Mahkamali Agung dapat memberikan pertimbangan- pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak, kepada lembaga-lembaga tinggi negara. Mahkamah Agung juga memberikan nasihat hukum kepada Presiden sebagai Kepala Negara untuk pemberian/penolakan grasi. Di samping itu Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji

65 secara material hanya terhadap peraturan-peraturan perundangundangan di bawah Undang-Undang.

3.3. Hubungan Negara dengan Warga Negara dan HAM Menurut UUD 1945 Dalam pasal 26 UUD 1945 disebutkan, bahwa yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disyahkan dengan Undang-Undang sebagai warga negara. Hal ini berarti bahwa yang dapat menjadi warga negara Indonesia ialah juga orang-orang dan keturunan bangsa asing. Hal tersebut diatur dalam suatu Undang-Undang Kewarganegaraan (antara lain, Undang-Undang No. 62 tahun 1958). Selanjutnya pasal 27 UUD 1945 menjelaskan hak-hak azasi manusia. Dalam pasal ini ditegaskan sebagai berikut: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan Pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan tidak ada kecualinya. Ketentuan inipun mengandung asas demokrasi dalam negara, yang berarti tidak membeda-bedakan warga negara yang satu dengan yang lain, tanpa memandang kedudukan, jabatan, keturunan ataupun kekayaannya. Semuanya berhak menikmati perlindungan hukum atas diri pribadi, jiwa, kehormatan dan harta bendanya. Sebaliknya tiap warga negara dibebankan kewajiban untuk menaati peraturan yang dikeluarkan oleh Negara. Tertib hukum harus dilaksanakan tanpa kecuali. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yanglayak bagi kemanusiaan ( pasal 27 ayat 2 ).

Ketentuan ini adalah sesuai dengan sila ke-5 dan Dasar Negara Pancasila yakni Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Adapun hak-hak warga negara lainnya yang merupakan hak azasi manusia tercantum dalam pasal 28 UUD 1945 yang mengatakan: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.

66 Rincian hak-hak asasi manusia dalam pasal-pasal UUD 1945 adalah sebagai berikut: a. Hak atas Kebebasan untuk Mengeluarkan Pendapat Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Declaration of Human Right, Pasal 19: Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hak ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat- pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat- pendapat dengan cara apapun juga dan tidak memandang batas-batas. Convenant on Civil and Political Right, Pasal 19. b. Hak atas Kedudukan yang Sama di dalam Hukum Undang-Undang Dasar 1945 , Pasal 27 ayat (1) Segala warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Declaration of Human Right, Pasal 7: Sekalian orang adalah sama terhadap Undang-Undang dan berhak atas perlindungan hukum yang sama dengan tak ada perbedaan. Sekalian orang berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap perbedaan yang memperkosa pernyataan ini dan terhadap segala hasutan yang ditujukan kepada perbedaan semacam ini. Convenant on Civil and Political Right, Pasal 26. c. Hak atas Kebebasan Berkumpul Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Declaration of Human Right, Pasal 20: 1) Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berapat.

67 2) Tiada seorang juapun dapat dipaksakan memasuki salah satu perkumpulan. Convenant on Civil and Political Right, Pasal 21. d. Hak atas Kebebasan Beragama Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 29: 1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. 2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Declaration of Human Right, Pasal 18: Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsyafan batin dan agamanya, dalam hal mi termasuk kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara mengajarkannya, melakukannya beribadat dan menepatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun yang tersendiri. e. Hak atas Penghidupan yang Layak Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 (2), Pasal 34 Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat 2). Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara (Pasal 34 ayat 2). Declaration of Human Right, Pasal 25: 1) Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang menjamin kesehatan dan keadaan baik untuk dirinya sendiri dan keluarganya, terrnasuk soal makanan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatannya, serta usaha-usaha sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan di waktu mengalami pengangguran, janda, lanjut usia atau mengalami kekurangan nafkah lain-lain karena keadaan di luar kekuasaannya. 2) Ibu dan anak-anak berhak mendapat perawatan dan bantuan istimewa, semua anak-anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus mendapat perlindungan sosial yang sama

68 Convenant on Economic, Social and Cultural Right, Pasal 11. f. Hak atas Kebebasan Berserikat Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Declaration of Human Right, Pasal 23 ayat (4): Setiap orang berhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat sekerja untuk melindungi kepentingannya. Convenant on Economic, Social and Cultural Right, Pasal 8 Convenant on Civil and Political Right, Pasal 22. g. Hak atas Pengajaran Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 31: 1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan 2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Declaration of Human Right, Pasal 26: Convenant on Economic, Social and Cultural Right, Pasal 13. h. Hak atas Kewarganegaraan Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 26: 1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli, dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang- undang sebagai warga negara. 2) Hal hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang. Declaration of Human Right, Pasal 15: (1) Setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan. Declaration of Human Rights, Pasal 29 termuat pernyataan:

69 (1) Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap sesuatu masyarakat di mana ia mendapat kemungkinan untuk mengembangkan pribadinya dengan penuh dan bebas. Convenant on Civil and Political Rights, Pasal 24. Dalam proses reformasi dewasa ini perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia merupakan target vital, karena pada masa orde baru banyak pelanggaran hak hak asasi manusia yaitu pembatasan atas hak asasi bidang politik misalnya dengan asas tunggal, hak asasi dalam mengemukakan pendapat dan lain sebagainya. Oleh karena itu untuk merealisasikan reformasi dalam hal perlindungan atas hak-hak asasi manusia MPR melalui Sidang Istimewa menetapkan suatu ketetapan No. XVII/MPR/ 1998 tentang hak-hak asasi manusia yang akhirnva akan diwujudkan dalam suatu Undang-Undang.

3.4. Lambang-Lambang Persatuan Indonesia PERATURAN PEMERINTAR No. 66 TAHUN 1951 TENTANG LAMBANG NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MENIMBANG : bahwa menurut Undang-Undang Dasar perlu ditetapkan Lambang Negara untuk Republik Indonesia; MENGINGAT : Pasal 3 ayat 3 Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia; MENDENGAR : Dewan Menteri dalam rapatnya tanggal 10 Juli 1951. MEMUTUSKAN: MENETAPKAN: Peraturan Pemerintah tentang Lambang Negara. Pasal 1 Lambang Negara Republik Indonesia terbagi atas 3 bagian, yaitu 1. Burung Garuda yang menengok dengan kepalanya lurus ke sebelah kanannya.

70 2. Perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda. 3. Semboyan ditulis pada pita yang dicengkeram oleh Garuda. Pasal 2 Perbandingan-perbandingan ukuran adalah menurut gambar tersebut dalam pasal 6. Warna terutama yang dipakai adalah tiga, yaitu Merah, Putih, dan kuning-emas, sedang dipakai pula warna hitam dan warna yang sebenarnya pada alam. Warna emas dipakai untuk seluruh burung garuda,dan Merah Putih di dapat pada ruangan perisai di tengah-tengah. Pasal 3 Garuda yang digantungi perisai dengan memakai paruh, sayap, ekor dan cakar mewujudkan lambang tenaga pembangunan. Sayap Garuda berbulu 17 dan ekornya berbulu 8. Warna, perbandingan-perbandingan ukuran dan bentuk Garuda adalah seperti dilukiskan dalam gambar tersebut dalam pasal 6. Pasal 4 Di tengah perisai yang berbentuk jantung itu, terdapat sebuah garis hitam tebal yang maksudnya melukiskan katulistiwa (equator). Lima buah ruang pada perisai itu masing-masing mewujudkan dasar Pancasila. I. Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa terlukis dengan nur cahaya di ruang tengah berbentuk bintang yang bersudut lima. II. Dasar Kerakyatan dilukiskan dengan kepala banteng sebagai lambang tenaga rakyat. III. Dasar Kebangsaan dilukiskan dengan pohon beringin, tempat berlindung. IV. Dasar Perikemanusiaan dilukiskan dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi. V. Dasar Keadilan Sosial dilukiskan dengan kapas dan padi, sebagai tanda tujuan kemakmuran.

71 Pasal 5 Di bawah lambang tertulis dengan huruf latin sebuah semboyan dalam bahasa Jawa Kuno, yang berbunyi BHINNEKA TUNGGAL IKA.

Pasal 6 Bentuk warna dan perbandingan ukuran Lambang Negara Republik Indonesia adalah seperti terlukis dalam lampiran ini.

Pasal 7 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan penetapan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 17 Oktober 1951 PRESIDEN Diundangkan REPUBLIK INDONESIA, Pada tanggal 28 Nop. 1951 MENTERI KEHAKIMAN, ttd (SOEKARNO) ttd (M. NASROEN) PERDANA MENTERI,

ttd ()

72 LAMPIRAN PADA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 66 TAHUN 1951 (Lembaran Negara Nomor 111 Tahun 1951)

WARNA PERBANDINGAN UKURAN Seluruh burung Garuda, bintang Nur Cahaya, kapas, padi dan rantai = kuning-emas Jarak a - b = 5 Ruangan perisai di tengah-tengah = merah-putih c - d = 12 (kiri atas dan kanan bawah) = merah “ e - f = 13 ½ (kanan atas dan kiri bawah) = putih ” g - h = 16 Dasar atas dan kiri bawah = hitam “ i - j = 41/2 Kepala Banteng = hitam “ k -1 = 5 Pohon beringin = hijau “ l- m = 6 Pita = hitam “ p – q = 17 JUMLAH BULU: Pada tiap-tiap sayap = 17 Kecil di bawah perisai = 19 Pada ekor = 8 Kecil di leher = 45 Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun 1951 tentang Lambang Negara. Menurut Pasal 2 ayat 3 Undang-Undang Sementara Republik Indonesia, maka Pemerintahlah yang menetapkan Lambang Negara. Penjelasan pasal demi pasal: P.1. Mengambil gambar hewan untuk Lambang Negara bukanlah sesuatu yang aneh. Misalnya untuk Lambang Republik India diambil lukisan singa, lembu, kuda dan gajah, seperti tergambar pada tiang Maharaja Priyadafsi Asyeka berasal dari Sarnath dekat Benares. Lukisan garuda diambil dari benda peradaban Indonesia, seperti hidup dalam mythologi, symbologi dan kesusasteraan Indonesia dan seperti pula tergambar pada beberapa candi sejak abad ke-6 sampai abad ke-16. Perisai adalah asli, sedangkan arti semboyan yang dituliskan dengan huruf Latin berbahasa Jawa Kuno menunjukkan peradaban klasik.

73 P.2. Warna kemegahan emas bermaksud kebesaran bangsa atau keluhuran Negara. Warna-warna pembantu dilukiskan dengan hitam atau meniru seperti yang sebenarnya dalam alam. P.3. Burung Garuda, yang digantung perisai itu, ialah lambang tenaga pembangunan (Creatief vermogen) seperti dikenal pada peradaban Indonesia. Burung Garuda dan mythologi menurut perasaan Indonesia berdekatan dengan burung elang rajawali. Burung itu dilukiskan di candi Dieng, Prambanan dan Penataran. Adakalanya dengan memakai lukisan berupa manusia dengan berparuh burung dan bersayap (Dieng); di candi Prambanan dan di candi Jawa Timur rupanya seperti burung, dengan berparuh panjang berambut raksasa dan bercakar. Lihatlah lukisan di candi Mendut, Prambanan dan di candi Sukuh, Kendal di Jawa Timur. Umumnya maka garuda terkenal baik oleh archeologi, kesusasteraan dan mythologi Indonesia. Lencana garuda pernah dipakai oleh prabu Airlangga pada abad kesembilan, dengan bernama GARUDAMUKHA. Menurut patung Belahan beliau dilukiskan dengan mengendarai garuda. Pergerakan Indonesia Muda (1928) pernah memakai panji-panji sayap garuda yang di tengah-tengahnya berdiri sebilah keris di atas tiga girisan garis. Sayap garuda berbulu 17 (tanggal 17) dan ekornya berbulu 8 (bulan 8= Agustus). P.4. Perisai atau tameng dikenal oleh kebudayaan dan peradaban Indonesia sebagai senjata dalam perjuangan mencapai tujuan dengan melindungi diri. Perkakas perjuangan yang sedemikian dijadikan lambang, wujud dan artinya tetap tidak berubah-ubah yaitu lambang perjuangan dan perlindungan. Dengan mengambil bentuk perisai itu, maka Republik Indonesia berhubungan Iangsung dengan peradaban Indonesia asli. Dengan garis yang melukiskan katulistiwa (equator) itu, maka ternyatalah bahwa Republik Indonesia satu satunya Negara Asli

74 yang merdeka berdaulat di permukaan bumi berhawa panas; garis khatulistiwa melewati Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian.

3.5. Perubahan UUD 1945 Pasal terakhir dari UUD 1945 yaitu pasal 37 berbunyi sebagai berikut: 1. Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota MPR harus hadir. 2. Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yang hadir. Dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/ 1983 tentang Referendum ditegaskan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadapnya serta akan melaksanakannya secara murni dan konsekuen (Pasal 1). Namun apabila MPR berkehendak untuk merubah UUD 1945, maka terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui Referendum (Pasal 2). Referendum dilaksanakan oleh Presiden/Mandataris MPR yang diatur dengan Undang-Undang (Pasal 3). Ketetapan MPR No. I/MPR/ 1983 tentang Peraturan Tata Tertib MPR dalam Pasal 105 menjelaskan bahwa, apabila ada kehendak MPR untuk mengajukan usul perubahan UUD 1945, maka usul tersebut harus diajukan oleh sekurang-kurangnya 4 Fraksi seutuhnya (dalam MPR terdapat 5 Fraksi) dengan daftar nama dan tanda tangan seluruh anggotanya. Untuk pengambilan Keputusan secara mufakat terhadap kehendak untuk mengusulkan perubahan UD 1945 sebagaimana dimaksud di atas, maka sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR yang terdiri dari seluruh Fraksi harus hadir. Untuk pengambilan Keputusan dengan suara terbanyak terhadap kehendak untuk mengusulkan perubahan UndangUndang Dasar 1945, maka sekurang-kurangnya 2/3 dan jumlah anggota Majelis harus hadir. Putusan terhadap kehendak untuk mengusulkan perubahan Undang-Undang Dasar 1945, diambil: a. Secara mufakat dalam Rapat yang dihadiri oleh seluruh Fraksi, atau

75 b. Atas persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota yang hadir.

3.6. Kedudukan Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan Aturan Peralihan dari UUD 1945 terdiri dan 4 pasal yang berikut: Pasal I : Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengatur dan menyelenggarakan kepindahan pemerintahan kepada Pemerintah Indonesia; Pasal II : Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru rnenurut Undang- Undang Dasar ini; Pasal III : Untuk pertama kali Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia; Pasal IV : Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional. Pada akhir UUD 1945 dicantumkan Aturan Tambahan yang terdiri dari 2 ayat yang berbunyi sebagai berikut: 1) Dalam enam bulan sesudah akhirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar ini. 2) Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis ini bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar. Adapun Aturan Peralihan itu adalah termasuk dalam lingkungan Hukum Transitoir, yaitu hukum yang berlaku dalam suatu masa peralihan (peralihan dari suatu Pemerintahan Negara kepada Pemerintahan Negara yang lain).

76 BAB IV DINAMIKA PELAKSAAAN UUD 1945

1. Awal Kemerdekaan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku di Indonesia dalam dua kurun waktu. Yang pertama antara 1945 sampai tanggal 17 Agustus 1950, yaitu sejak ditetapkannya oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945 sampal dengan mulai berlakunya UUDS 1950. Pada tanggal 27 Desember 1949 sampal 17 Agustus 1950, UUD 1945 berlaku dalam Negara Bagian RIS (yakni RI Yogyakarta). Yang kedua adalah dalam kurun waktu 1959 sampai sekarang, yaitu sejak diumumkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Dalam kedua kurun waktu berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 itu kita telah dapat mencatat dan menarik pengalaman-pengalaman tentang gerak pelaksanaan dari UndangUndang Dasar 1945 itu, termasuk juga penyimpangan- penyimpangan dari ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 itu. Dalam kurun waktu 1945-1949, jelas Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat dilaksanakan dengan baik, karena kita memang sedang dalam pancaroba, dalam usaha membela dan mempertahankan kemerdekaan yang baru saja kita proklamasikan, sedangkan pihak kolonialis Belanda justru ingin menjajah kembali bekas jajahannya yang telah merdeka itu. Segala perhatian bangsa dan negara diarahkan untuk memenangkan perang kemerdekaan. Sistem Pemerintahan dan kelembagaan yang ditentukan dalam Undang- Undang 1945 jelas belum dapat dilaksanakan. Dalam kurun waktu ini sempat diangkat Anggota DPA Sementara, sedangkan MPR dan DPR belum dapat dibentuk. Waktu itu masih terus diberlakukan ketentuan Aturan Peralihan pasal IV yang menyatakan bahwa: Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional”. Namun ada satu penyimpangan konstitusional yang prinsipil yang dapat dicatat

77 dalam kurun waktu 1945 - 1949 itu, ialah perubahan sistem Kabinet Presidensial menjadi sistem Kabinet Parlementer. Berdasarkan usul Badan Pekeija Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) pada tanggai 11 November 1945, yang kemudian disetujui oleh Presiden dan diumumkan dengan Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945, sistem Kabinet Presidensial tersebut diganti dengan sistem Kabinet Parlementer. Sejak saat itu kekuasaan Pemerintah (eksekutif) dipegang oleh Perdana Menteri sebagai pimpinan Kabinet dengan para Menteri sebagai anggota Kabinet. Secara bersama-sama atau sendiri, Perdana Menteri dan para Menteri bertanggungjawab kepada KNIP, yang berfungsi sebagai DPR, tidak bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan sistem Undang-Undang Dasar 1945. Dengan penyimpangan sistem ini jelas pengaruhnya terhadap stabilitas poitik dan stabilitas Pemerintah. Akhirnya Belanda mengakui Kemerdekaan Indonesia, namun pihak “Republik Proklamasi” terpaksa menerima berdirinya Negara Indonesia yang lain dan yang di proklamirkan pada tanggal 17 Agustus dan didirikan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 yang di tetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Negara Kesatuan Republik Indonesia terpaksa menjadi Negara Federasi RIS berdasarkan pada konstitusi RIS. UndangUndang Dasar 1945 berlaku hanya di Negara Bagian RI yang meliputi sebagian pulau Jawa dan Sumatera dengan Ibukota Yogyakarta. Untunglah Negara Federasi RIS ini hanya berlangsung sangat sementara. Berkat kesadaran para pemimpin RIS dengan dipelopori oleh pimpinan-pimpinan yang “republikan”, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, Negara Federasi RIS kembali menjadi Negara Kesatuan RI, tetapi dengan landasan Undang-Undang Dasar yang lain dari Undang-Undang Dasar 1945. Negara Kesatuan Republik Indonesia telah menetapkan Undang-Undang Dasar Sementara yang diberii nama Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Menurut Undang-Undang Dasar ini sistem Pemerintahan yang dianut adalah sistem pemerintahan Parlementer bukan sistem kabinet Presidensial. Menurut sistem Pemerintahan Parlementer ini maka Presiden dan Wakil Presiden adalah sekedar Presiden konstitusional dan “tidak

78 dapat diganggu gugat”. Yang bertanggungjawab adalah Perdana Menteri, ialah bertanggungjawab kepada Parlemen. Penentuan sistem yang demikian ini sebenarnya bersumber pada landasan pemikiran yang lain dari yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar Sementara 1950, yang menganut sistem Parlementer berpijak pada landasan pemikiran demokrasi liberal yang mengutamakan pada kebebasan individu, sedangkan Undang-Undang Dasar 1945 yang menganut sistem Presidensial berpijak pada landasan demokrasi Pancasila, yang berintikan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, di mana Presiden bertanggungjawab kepada pemberi mandat, MPR, tidak kepada Parlemen.

2. Masa Orde Lama Konstituante yang berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 bertugas rnenyusun Undang-Undang Dasar yang tetap, ternyata telah mengalami kemacetan total dan bahkan mempunyai akibat yang sangat membahayakan keutuhan bangsa dan negara. Maka dengan dasar alasan yang kuat dan dengan dukungan dari sebagian terbesar rakyat Indonesia dikeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 tentang kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Diktum Dekrit Presiden itu adalah: 1) Menetapkan pembubaran Konstituante; 2) Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara 1950; 3) Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang terdiri atas Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan- utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, serta Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Dalam Orde Lama, Lembaga-lembaga Negara seperti MPR, DPR, DPA dan BPK belum dibentuk berdasarkan Undang-Undang seperti yang

79 ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Karenanya lembaga-lembaga tersebut masih dalam bentuk sementara. Belum lagi kita kupas mengenai berfungsinya lembaga-lembaga tersebut sesuai atau tidak dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif dan pemegang kekuasaan legislatif bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat telah menggunakan kekuasaan itu dengan tidak semestinya. Presiden telah mengeluarkan produk-produk legislatif yang mestinya berbentuk Undang- Undang (artinya dengan persetujuan DPR) dalam bentuk Penetapan Presiden tanpa persetujuan DPR. MPRS telah mengambil keputusan untuk mengangkat seseorang sebagai Presiden seumur hidup, yang jelas bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 yang menetapkan masa jabatan Presiden 5 tahun. Hak Budget DPR tidak berjalan, artinya Pemerintah tidak mengajukan Rancangan Undang-Undang APBN untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum berlakunya tahun anggaran yang bersangkutan. Bahkan dalam tahun 1960 Presiden waktu itu telah membubarkan DPR, karena DPR tidak dapat menyetujui RAPBN yang diajukan oleh Pemerintah. Itulah beberapa kasus penyimpangan yang serius terhadap Undang- Undang Dasar 1945. Penyimpangan-penyhnpangan ini jelas bukan saja telah mengakibatkan tidak berjalannya sistem yang ditetapkan dalam Undang- Undang Dasar 1945, melainkan ternyata telah mengakibatkan memburuknya keadaan politik dan keamanan serta kemerosotan di bidang ekonomi, yang mencapai puncaknya dengan pemberontakan yang gagal oleh G 30 S/PKI. Pemberontakan G 30 S/PKI yang dapat digagalkan berkat kewaspadaan dan kesigapan ABRI dengan dukungan kekuatan rakyat, telah mendorong lahirnya Orde Baru yang bertekad untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Dengan gagalnya perebutan kekuasan 030 S/PKI itu telah dapat diungkapkan dan dibuktikan - baik melalui sidang-sidang pengadilan maupun bahan-bahan keterangan lainnya bahwa PKI-lah yang mendalangi secara sadar dan terencana “Coup d’etat” itu. Perbuatan jahat tersebut bukan saja telah menimbulkan korban jiwa dan benda

80 yang cukup besar, bukan saja bertentangan dan melanggar ketentuan Undang- Undang Dasar dan hukum yang berlaku, tetapi jelas mempunyai tujuan untuk merubah dan meniadakan dasar falsafah negara Pancasila dengan dasar falsafah yang lain. Dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia, PKI telah dua kali mengkhianati negara, bangsa dan dasar negara yang sama-sama kita cintai dan kita agungkan bersama. Atas dasar itulah maka rakyat menghendaki dan menuntut dibubarkannya PKI. Namun Pimpinan Negara waktu itu, tidak mau mendengarkan dan tidak mau memenuhi tuntutan rakyat, sehingga timbullah apa yang disebut: “situasi konflik” antara rakyat di satu pihak dan Presiden di lain pihak. Keadaan semakin meruncing, keadaan ekonomi dan keamanan makin tidak terkendalikan.

3. Masa Orde Baru Dengan dipelopori oleh Pemuda/Mahasiswa, rakyat menyampaikan “Tri Tuntutan Rakyat” (Tritura), yaitu: 1) Bubarkan PKI, 2) Bersihkan Kabinet dari unsur-unsur PKI; 3) Turunkan harga-harga/perbaikan ekonomi. Gerakan memperjuangkan TRITURA ini makin hari semakin meningkat sehingga Pemerintah/Presiden waktu itu boleh dikatakan tidak dapat menguasai keadaan lagi. Dalam situasi yang demikian itulah Presiden waktu itu pada tanggal 11 Maret 1966 mengeluarkan Surat Perintah kepada Letnan Jenderal TNI Soeharto, Menteri/Panglima Angkatan Darat yang intinya memberikan wewenang kepadanya untuk mengambil langkah-langkah pengamanan untuk menyelamatkan keadaan. Lahirnya Surat Penintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR) ini dianggap oleh rakyat sebagai lahirnya ORDE BARU. SUPERSEMAR pada tahun 1966 dikukuhkan dengan Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/ 1966 dan Jenderal Soeharto menjadi pengemban TAP. IX/MPRS/ 1966.

81 Dengan berlandaskan kepada SUPERSEMAR itu, pengemban SUPERSEMAR telah membubarkan PKI dan ormas-ormasnya yang ditanggapi dan disambut dengan penuh kelegaan oleh seluruh rakyat. Dan dengan semangat SUPERSEMAR itu pula Orde Baru mengambil langkah- langkah, koreksi dengan cara-cara yang konstitusional terutama dalam menegakkan, mengamankan dan mengamalkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Sungguh telah banyak langkah-langkah yang dilakukan dan berhasil dilakukan oleh Orde Baru dalam rangka menegakkan Undang-Undang Dasar 1945 selama 10-12 tahun terakhir ini (1966-1978). Orde Baru telah berhasil menyalurkan aspirasi rakyat dalam mengadakan koreksi-koreksi terhadap penyimpangan-penyimpangan, kekacauan-kekacauan dan keadaan-keadaan buruk diberbagai bidang selama Orde Lama melalui cara yang konstitusional, artinya melalui Sidang-sidang MPR, yaitu Sidang Umum MPR(S) ke 1V tahun 1966 dan Sidang Istimewa tahun 1967. Sejumlah Ketetapan yang bersifat prinsipil telah dihasilkan dalam Sidang Umum MPR(S) tahun 1966 itu, seperti TAP IX/ MPRS/66 yang mengukuhkan SUPERSEMAR, TAP XXV/MPRS/ 66 mengenai pembubaran PKI dan ormas-ormasnya (semacam pengukuhan keputusan Pengemban Supersemar), TAP XII/ MPRS/66 tentang pembaharuan landasan politik luar negeri, TAP XXIII/MPRS/66 tentang pembaharuan landasan di bidang ekonomi dan pembangunan, dan sejumlah TAP-TAP lainnya yang menyangkut atau berisi masalah-masalah yang sifatnya koreksi dan pembaharuan terhadap keadaan yang lama. Sidang Istimewa MPR(S) tahun 1967 diadakan atas perrnintaan DPR yang menganggap bahwa Presiden waktu itu telah dengan sungguh-sungguh melanggar ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Kenaudian Sidang Istimewa MPR(S) telah memutuskan menarik kembali mandat MPR(S) dari Presiden Soekarno waktu itu, karena dianggap telah tidak dapat menjalankan haluan negara dan keputusan-keputusan Majelis sebagai layaknya dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden.

82 Kemudian pada Sidang Umum MPR(S) tahun 1968, MPR(S) telah mengangkat Jenderal Soeharto Pengemban TAP IX sebagai Presiden (tetap) sampai terpilihnya Presiden oleh MPR hasil Pemilihan Umum. Sejak itulah pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 diusahakan untuk dapat berlangsung sebaik-baiknya secara mumi dan konsekuen. Dalam rangka ini diusahakan pembentukan kelembagaan negara MPR, DPR, DPA, BPK dan Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa pembentukan lembaga- lembaga tersebut harus dilakukan dengan Undang-Undang. Karenanya Pemerintah bersama DPR berusaha keras dan berhasil dalam waktu yang ditentukan membuat Undang-undangnya. Terbentuklah berbagai Undang-Undang yang mengatur pembentukan MPR, DPR, DPA, BPK dan juga Mahkamah Agung, yaitu: 1) Undang-Undang No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwkilan Rakyat Daerah, yang kemudian dirubah dengan Undang- undang No. 5 tahun 1975; 2) Undang-Undang No. 3 Tahun 1967 tentang Dewan Pertimbangan Agung, yang kemudian dirubah dengan UndangUndang No. 4 Tahun 1978; 3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1973 tentang Susunan dan Kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan; 4) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang No. 13 Tahun 1965, yang menjadi landasan kerja bagi Mahkamah Agung dan Badan-badan Pengadilan lainnya. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku, maka penyusunan/pembentukan badan-badan perwakilan rakyat serta DPR RI, DPRD tingkat I dan DPRD tingkat II harus dilakukan melalui pemilihan umum. Undang-Undang Pemilihan Umum itu juga telah dapat dihasilkan. Berdasarkan Undang-Undang Pemilihan Umum tadi telah diadakan pemilihan umum pada tahun 1971 (yang pertama dalam Orde Baru), untuk memilih

83 anggota-anggota DPR-RI, DPRD tingkat I dan DPRD tingkat II. Dengan hasil pemilihan umum tahun 1971 itu terbentuklah DPR-RI, DPRD tingkat I dan DPRD tingkat II , kemudian terbentuklah MPR pada tahun 1972, yang anggota-anggotanya terdiri dan seluruh anggota DPR hasil Pemilihan Umum, utusan-utusan daerah yang dipilih oleh DPRD tingkat I dan utusan-utusan golongan-golongan baik dan ABRI maupun non ABRI yang mewakili berbagai golongan fungsionil, termasuk koperasi dan organisasi yang berkecimpung di bidang ekonomi, seperti yang dikehendaki oleh Undang-Undang Dasar 1945. MPR hasil Pemilu tahun 1971 telah mengadakan Sidang Umumnya pada tahun 1973 dan telah berhasil melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 dengan baik yaitu: membuat GBHN tahun 1973-1978 dan memilih Presiden dan Wakil Presiden untuk lima tahun. Demikian pula DPA telah dibentuk berdasarkan UndangUndang DPA yang pertama kali pada tahun 1967 sebagai badan pertimbangan Presiden yang (sesuai dengan Undang-undangnya) mempunyai masa jabatan sama dengan masa jabatan Presiden. BPK akhirnya pada tahun 1973 telah dapat dibentuk berdasarkan Undang-Undang BPK yang dihasilkan pada tahun 1973 itu. Pelaksanaan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 yang lain juga diusahakan berjalan sebaik-baiknya , menyangkut anggaran belanja. Orde Baru sudah sejak 1967 melaksanakan ketentuan pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 itu, dan telah berlaku setiap tahun sampai sekarang. Mungkin telah dapat dianggap sebagai konvensi (hukum dasar tidak tertulis, sebagai pelengkap Undang- Undang Dasar) bahwa RAPBN itu diajukan oleh pemerintah kepada DPR pada permulaan bulan Januari, 3 bulan sebelum berlakunya tahun anggaran baru. Dan DPR dapat menyelesaikan tugasnya (memberikan persetujuan) satu bulan, sebelum mulainya tahun anggaran yang bersangkutan. Dalam bidang kegiatan legislatif (pembentukan UndangUndang juga telah berjalan dengan baik melalui “partnership” yang lugas antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan ketentuan dan semangat Undang-Undang Dasar 1945.

84 Dewan Perwakilan Rakyat ternyata telah dapat berfungsi dengan intensif dan efektif, baik dalam melaksanakan “kekuasaan” legislatifnya maupun hak budgetnya. DPR yang menurut ketentuan Undang-Undang Dasar bersidang sedikitnya sekali dalam 1 tahun, ternyata telah menggunakan waktunya hampir seluruh tahun (4 kali masa sidang dalam setahun) untuk persidangan. Dalam hubungan ini dapat dicatat juga bahwa selama Orde Baru ini telah banyak dihasilkan Undang-Undang dalam rangka rnelaksanakan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Di samping Undang- undang mengenai Lembaga-lembaga Negara seperti yang telah disebutkan tadi, dapat dikemukakan misalnya Undang-Undang Partai Politik dan Golongan Karya dan UndangUndang Pokok Pers sebagai pelaksanaan pasal 28 UndangUndang Dasar 1945. Demikian juga Undang-Undang mengenai pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Pokok Kesejahteraan Sosial. Undang-Undang Perkawinan dan lain-lain adalah pelaksanaan dari ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Namun selama Orde Baru ini baik pemerintah maupun DPR telah melaksanakan fungsinya dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Pelaksanaan ketentuan Undang-Undang Dasar itu dalam 12 tahun (1966-1978) telah mulai terbina dan terpelihara dengan baik. Mekanisme kepemimpinan nasional yang lima tahunan telah dapat berjalan dengan baik (dua kali dalam 12 tahun terakhir ). Mekanisme lima tahunan itu secara garis besar meliputi kegiatan- kegiatan kenegaraan sebagai berikut: 1) MPR yang terdiri dari seluruh anggota DPR, utusan-utusan daerah dan golongan-golongan sebagai hasil Pemilu berdasarkan Undang- Undang, mengadakan Sidang Umum sekali dalam 5 tahun (demikian juga Pemilu diadakan sekali dalam 5 tahun). 2) Dalam Sidang Umum tersebut, MPR melaksanakan tugasnya: - menetapkan GBHN; - memilih Presiden dan Wakil Presiden untuk masa 5 tahun dengan tugas untuk melaksanakan GBHN yang ditetapkan oleh MPR.

85 4. Masa Reformasi Makna “Reformasi secara etimologis berasal dan kata ‘reformation’ dengan akar kata ‘reform’ yang secara semantik bermakna ‘make or become better by removing or putting right what is bad or wrong” (Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English,, 1980). Secara harfiah reformasi memiliki makna suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat . Oleh karena itu suatu gerakan reformasi memiliki kondisi syarat-syarat sebagai berikut: a. Suatu gerakan reformasi dilakukan karena adanya suatu penyimpangan- penyimpangan. Masa pemerintahan Orde Baru banyak terjadi penyimpangan misalnya asas kekeluargaan menjadi ‘nepotisme, kolusi, dan korupsi’ yang tidak sesuai dengan makna dan semangat Pembukaan UUD 1945 serta batang tubuh UUD 1945. b. Suatu gerakan reformasi dilakukan harus dengan suatu cita-cita yang jelas (landasan ideologis) tertentu, dalam hal ini Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia. Jadi reformasi pada prinsipnya suatu gerakan untuk mengembalikan kepada dasar nilai-nilai sebagaimana yang dicita- citakan oleh bangsa Indonesia. Tanpa landasan ideologis yang jelas maka gerakan reformasi akan mengarah kepada anarkisme, disintegrasi bangsa dan akhirnya jatuh pada suatu kehancuran bangsa dan negara Indonesia, sebagaimana yang telah terjadi di Uni Sovyet dan Yugoslavia. c. Suatu gerakan reformasi dilakukan dengan berdasarkan pada suatu kerangka struktural tertentu (dalam hal ini UUD) sebagai kerangka acuan reformasi. Reformasi pada prinsipnya gerakan untuk mengadakan suatu perubahan untuk mengembalikan pada suatu tatanan struktural yang ada karena adanya suatu penyimpangan. Maka reformasi akan mengembalikan pada dasar serta sistem negara demokrasi, bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat sebagaimana terkandung dalam pasal 1 ayat (2). Reformasi harus mengembalikan dan melakukan perubahan ke arah sistem negara

86 hukum dalam arti yang sebenamya sebagairnana terkandung dalam penjelasan UUD 1945, yaitu harus adanya perlindungan hak-hak asasi manusia, peradilan yang bebas dari penguasa, serta legalitas dalam arti hukum. Oleh karena itu reformasi sendiri harus berdasarkan pada kerangka hukum yang jelas. Selain itu reformasi harus diarahkan pada suatu perubahan ke arah transparansi dalam setiap kebijaksanaan dalam penyelenggaraan negara karena hal ini sebagai manifestasi bahwa rakyatlah sebagai asal mula kekuasaan negara dan untuk rakyatlah segala aspek kegiatan negara. d. Reformasi dilakukan ke arah suatu perubahan ke arah kondisi serta keadaan yang lebih baik. Perubahan yang dilakukan dalam reformasi harus mengarah pada suatu kondisi kehidupan rakyat yang lebih baik dalam segala aspeknya antara lain bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, serta kehidupan keagamaan. Dengan lain perkataan reformasi harus dilakukan ke arah peningkatan harkat dan martabat rakyat Indonesia sebagai manusia. e. Reformasi dilakukan dengan suatu dasar moral dan etik sebagai manusia yang Berketuhanan Yang Maha Esa, serta terjaminnya persatuan dan kesatuan bangsa. Pada masa reformasi telah terjadi dua kali perubahan terhadap UUD 1945 oleh MPR. Perubahan pertama tanggal 19 Oktober 1999. Pasal-pasal yang dirobah ialah Pasal 5 (1), pasal 7, pasal 9, pasal 13 (2), pasal 14, pasal 15, pasal 17 (2) dan pasal 17 (3), pasal 20 dan pasal 21. Perubahan kedua tanggal 18 Agustus 2000. Yang dirobah ialah : Pasal 18, pasal 18 A, pasal 18 B, pasal 19, pasal 20 (5), pasal 20 A, pasal 22 A, pasal 22 B, Bab LX A, pasal 25 E, Bab X, pasal 26 (2) dan pasa1 26 (3), pasal 27 (3), Bab X A, Pasal 28 A, pasal 28 B, pasal 28 C, pasal 28 D, pasal 28 E, pasal 28 F, pasal 28 G, pasal 28 H, pasal. 28 I, pasal 28 3, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36 A, pasal 36 B dan pasal 36 C. Perubahan ketiga tanggal 10 November 2001.Yang dirobah ialah : Pasal 1 (2), pasal 1 (3), pasal 3 (1), pasal 3 (2), pasal 3 (3), pasal 6 (1), pasal 6 (2), pasal 6A (1), pasal 6A (2), pasal 6A (3), pasal 6A (5), pasal pasal 7A, pasal

87 7B (1), pasal 7B (2), pasal 7B (3), pasal 7B (4), pasal 7B (5), pasal 7B (6), pasal 7B (7), pasal 7C, pasal 8 (1), pasal 8 (2), pasal 11 (2), pasal 11 (3), pasal 17 (3), Bab VIIA, pasal 22C (1), pasal 22C (2), pasal 22C (3), pasal 22C (4), pasal 22D (1), pasal 22D (2), pasal 22D (3), pasal 22D (4), pasal 22E (1), pasal 22E (2), pasal 22E (3), pasal 22E (4), pasal 22E (5), pasal 22E (6), pasal 23 (1), pasal 23 (2), pasal 23 (3), pasal 23A, pasal 23C, pasal 23E (1), pasal 23E (2), pasal 23E (3), pasal 23F (1), pasal 23F (2),pasal 23G (1), pasal 23G (2), pasal 24 (1), pasal 24 (2), pasal 24A (1), pasal 24A (2), pasal 24A (3), pasal 24A (4), pasal 24A (5), pasal 24B (1), pasal 24B (2), pasal 24B (3), pasal 24B (4), pasal 24C (1), pasal 24C (2), pasal 24C (3), pasal 24C (4), pasal 24C (5) dan pasal 24C (6). Perubahan keempat tanggal 10 Agustus 2002.Yang dirobah ialah : Pasal 2 (1), pasal 3 (2), pasal 3 (3), pasal 8 (3), pasal 11 (1), pasal 16, Bab IV, pasal 23B, pasal 23D, pasal 25A, pasal 31 (1), pasal 31 (2), pasal 31 (3), pasal 31 (4), pasal 31 (5), pasal 32 (1), pasal 32 (2), Bab XIV, pasal 33 (4), pasal 33 (5), pasal 34 (1), pasal 34 (2), pasal 34 (3), pasal 34 (4), pasal 37 (1), pasal 37 (2), pasal 37 (3), pasal 37 (4), pasal 37 (5), Aturan Peralihan pasal I, pasal II, pasal III dan Aturan Tambahan pasal I, pasal II.

88 BAB V PANCASILA SEBAGAI SISTEM F1LSAFAT

1. Pengertian Sistem Berfikir secara kefilsafatan pada hakikatnya tidak bersifat fragmentaris dan acak. Perenungan kefilsafatan yang dicirikan secara komprehensif, universal serta runtut senantiasa merupakan suatu keseluruhan yang bersistem. Hal ini dimaksudkan bahwa pemikiran kefilsafatan senantiasa memiliki bagian-bagian dan di antara bagian-bagian tersebut senantiasa berhubungan antara satu dengan lainnya. Hubungan tersebut terjalin dalam suatu kerjasama yang saling ketergantungan. Maka bilamana dirinci ciri-ciri sistem adalah sebagai berikut: a. Suatu kesatuan bagian-bagian. b. Bagian-bagian tersebut memiliki fungsi sendiri-sendiri. c. Saling berhubungan (saling ketergantungan). d. Kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan bersama atau tujuan sistem. e. Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks. Jadi pemikiran kefilsafatan yang bersifat rasional dan runtut pastilah merupakan suatu sistem. Pemikiran-pemikiran kefilsafatan memiliki bagian- bagian, yang berada dalam suatu jalinan hubungan, terdapat fungsi-fungsi bagian, bersifat kompleks serta empiris. John Locke (1632-1704), yang membagi pengalaman menjadi dua macam aliran yaitu: Pengalaman lahiriah (‘sensation’) dan pengalaman batiniah (‘reflexion’). Kedua sumber pengalaman itu menghasilkan idea-idea tunggal (‘simple ideas’), namun roh membentuk idea majemuk.

2. Pengertian Pancasila Sebagai Sistem Filsafat Asal Istilah Filsafat Perkataan dan istilah di dalam bahasa Arab ialah falsafah. Secara etimologi perkataan falsalah berasal dan bahasa Yunani philosophia, yang terdiri atas dua suku kata, yakni philen artinya: “mencari” atau “mencintai” dan sophia artinya “kebenaran” atau “kebijaksanaan”.

89 Jadi kata majemuk “philophia” berarti “daya upaya pemikiran manusia untuk mencari kebenaran atau kebijaksanaan”. Dan istilah tersebut jelas bahwa orang yang berfilsafat ialah orang yang mencintai kebenaran atau mencari kebenaran dan bukan memiliki kebenaran. Bila kita kaji bahwa kebenaran itu adalah relatif sifatnya, karena ada yang dianggap benar pada waktu sekarang ini, mungkin pada masa datang hal itu tidak benar lagi. Jadi kebenaran mutlak adalah di tangan Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Prof. H. Muhammad Yamin, S.H bahwa perkataan Yunani philosophos itu mula-mula dibentuk karena hendak menandingi kata sophos, yang berarti “Si tahu” atau “Si pandai” karena merasa telah memegang kebenaran dalam genggamannya. Sedangkan philo-sophos dalam segala kerendahan hati hanya mencintai dan masih bergerak di tengah jalan menuju kebenaran. Mencari kebenaran dan tidak memiliki kebenaran itulah tujuan semua filsafat, dan akhirnya mendekati kebenaran sebagai kesungguhan. Tetapi kebenaran yang sesungguhnya atau mutlak hanya ada pada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam arti praktis, filsafat ialah alam berpikir atau alam pikiran. Berfilsafat ialah berpikir, tetapi. berpikir secara mendalam, artinya berpikir sampai ke akar- akarnya dan dengan sungguh-sungguh tentang hakikat sesuatu. Ilmu filsafat merupakan induk dari ilmu-ilmu vak, dapat mengatur dan menyelesaikan masalah hubungan dan perbedaan batas-batas antara ilmu-ilmu vak lainnya. Beberapa Definisi Filsafat a. Plato (427 SM - 348 SM), Ahli filsafat Yunani: Filsafat ialah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran asli. b. Aristoteles (382 SM - 322 SM), murid Plato: Filsafat ialah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu- iimu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi politik dan estetika. c. Al-Farabi (870 - 950 SM), ahli Filsafat Islam: Filsafat ialah ilmu pengetahuan tentang alam maujud bagaimana hakikatnya yang sebenarnya. d. Immanuel Kant (1724 - 1804) ahli filsafat Katolik: Filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dan segala pengetahuan yang di dalamnya tercakup empat persoalan:

90 1) Apakah yang dapat kita ketahui? (jawabnya: “metafisika”) 2) Apakah yang seharusnva kita kerjakan? (jawabnya: “etika”) 3) Sampai di manakah harapan kita? (jawabnya: “agama”) 4) Apakah yang dinamakan manusia? (jawabnya: “antropologi”). Dari bermacam-macam definisi filsafat yang dikemukakan oleh para ahli, seorang ahli filsafat Indonesia, Drs. Hasbullah Bakry, mengambil kesimpulan sebagai berikut : “Ilmu filsafat ialah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai Ketuhanan,alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu”. Prof. H. Muhammad Yamin, S.H, berpendapat: “Filsafat ialah pemusatan pikiran, sehingga manusia menemui kepribadiannya dan dalam kepribadiannya itu dialaminya kesungguhan”. Jadi, jelaslah bagi kita tiap-tiap manusia mendapatkan kepribadiannya dan dapat mengalami kesungguhan karena menempuh jalan memusatkan pikiran dalam segala hubungan cabang pikiran, pada hakikatnya sudah ikut membentuk philosophie, juga menolak atau tidak menerima pemusatan pemikiran orang lain sekalipun juga sudah ikut pula membentuk filosofi. Kedua-duanya adalah cara perjalanan atau pemakaian hikmah yang ada pada manusia. Dengan demikian dapatlah kita simpulkan, bahwa apa yang disebut: filsafat ialah suatu usaha pemikiran manusia yang sungguh-sungguh, secara sistematis dan radikal untuk mencari kebenaran sesuai dengan ruang dan waktu. Jadi makna filsafat dapat ditinjau dari dua segi yakni segi etimologis yang terdiri atas kata philos artinya “sahabat”, dan sofia artinya: kebijaksanaan. Filsafat artinya ajaran atau orang yang mencapai taraf persahabatan dan mencintai kebijaksanaan. Makna kedua ialah suatu aktivitas pikir yang rnenghasilkan kebenaran atau kebijaksanaan yang kemudian menjadi keyakinan atau pandangan hidup orang itu atau suatu bangsa. Sumber dan filsafat yang ada di dunia mi sesuai dengan istilahnya ialah manusia; dalam hal ini akal dan pikiran manusia yang sehat, yang

91 berusaha keras dengan sungguh-sungguh mencari kebenaran dan akhirnya mendekati kebenaran. Oleh karena manusia itu adalah makhluk Tuhan, meskipun manusia itu tinggi martabatnya, mempunyai dignity akan tetapi tidak sempurna; maka kebenaran yang dapat dicapai oleh akal pildran manusia itu tidak sempurna adanya. Kebenaran yang dicapai manusia bersifat relatif atau nisbi. ini tidak berarti bahwa setiap hasil pemikiran manusia itu tak ada yang benar, semuanya serba salah. Tidak! Hasil pemikiran manusia itu kebenarannya tidak mutlak. Sedangkan ajaran agama atau agama-agama samawi mempunyai kitab suci bersumber dan Tuhan Yang Maha Esa, yang disampaikan kepada seluruh umat manusia untuk menjadi pedoman hidupnya melalui wahyu dengan perantara Rasul-rasulNya atau utusan Tuhan. Ajaran-ajaran agama mengandung kebenaran mutlak bersifat sempurna dan lengkap isinya serta berlaku secara universal, tidak terikat dengan ruang dan waktu. Ajaran agama lebih luas dan lengkap isinya, baik kaidah-kaidah pokok, norma- norma kebenaran, petunjuk-petunjuk pelaksanaannya secara teknik maupun sanksi-sanksinya yang tegas dan jelas atau pahala dan dosa serta siksa tercantum di dalamnya. 3. Kesatuan Sila-sila Pancasila Sebagai Sistem Filsafat Pancasila Sebagai Filsafat Negara. Seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau seorang yang berdiri di puncak tinggi, memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya. Dia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya. Karakter berpikir filsafat yang pertama adalah filsafat menyeluruh. Seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandangan ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral. Kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya.

92 Dari contoh di atas dapat kita simpulkan bahwa filsafat dalam kehidupan manusia tidak dapat terpisahkan, bukan saja karena sejarahnya yang panjang ke belakang dalam catatan-catatan yang ada. Melainkan juga karena ajaran filsafat malahan telah menguasai kehidupan manusia masa kini, bahkan telah menjangkau masa depan umat manusia dalam bentuk- bentuk ideologi. Manusia, bangsa-bangsa dan negara-negara yang ada dalam zaman modem ini semuanya hidup sebagai pengabdi setia nilai-nilai filsafat tertentu, sebagai ideologi nasional masing-masing. Demikian pula bangsa Indonesia tumbuh dan berkembang sesuai dengan sejarah perjuangan yang cukup panjang. Bangsa Indonesia sudah ada sejak zaman Sriwijaya dan zaman Majapahit dalam satu kesatuan. Namun, dengan datangnya bangsa-bangsa Barat persatuan dan kesatuan itu dipecah oleh mereka dalam rangka menguasai daerah Indonesia yang kaya raya ini. Perjalanan sejarah yang sangat panjang ini menempa bangsa Indonesia untuk membangun suatu bangsa yang merdeka. Berkat perjuangan yang gigih dari seluruh rakyat Indonesia pada zaman penjajahan Jepang dibentuk suatu badan yang berusaha untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Badan mi diberi nama Dokuritsu Junbi Cosakai atau dalam bahasa Indonesia diartikan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, atau disingkat BPUPKI. Badan ini diresmikan pada tanggal 28 Mei 1945 oleh pemerintahan Jepang. Pada tanggal 29 Mei 1945 Mr. Muhammad Yamin diminta oleh ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan untuk menyampaikan pidatonya. Mr. Muhammad Yamin mengutarakan prinsip dasar negara yang sekaligus sesudah berpidato menyerahkan teks pidatonya beserta rancangan undang- undang dasar. Pada tanggal 1 Juni, Ir. Soekarno berpidato membahas dasar negara. Kita kutip sebagian kecil dari pidato beliau mengenai filsafat negara Indonesia. “Menurut anggapan saya yang diminta Paduka tuan Ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda, Philosofische grondslag dan pada Indonesia Merdeka. Philosofische grondslag itulah fondamen filsafat,

93 pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk didirikan di atasnya gedung Indonesia merdeka yang kekal dan abadi”. Pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan undang-undang dasar yang diberi nama Undang-Undang Dasar 1945. Sekaligus dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar sila-sila Pancasila ditetapkan. Jadi Pancasila sebagai filsafat bangsa Indonesia ditetapkan bersamaan dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945, dan menjadi ideologi bangsa Indonesia. Sebagai dasar filsafat atau dasar kerohanian negara, yang merupakan cita- cita bangsa, Pancasila harus dilaksanakan atau diamalkan yang mewujudkan kenyataan dalam penyelenggaraan hidup kenegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatan kita. Arti Pancasila sebagai dasar filsafat negara adalah sama dan mutlak bagi seluruh bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Tidak ada tempat bagi warga negara Indonesia untuk pro dan kontra, karena Pancasila sudah ditetapkan sebagai filsafat bangsa Indonesia. Setelah kita memahami pengertian filsafat secara umum dan membandingkannya dengan filsafat Pancasila, marilah kita kutip beberapa pendapat para ahli mengenai definisi filsafat sebagai dasar pemikiran selanjutnya. Definisi tentang filsafat itu banyak sekali, berbeda menurut rumusan dan tekanan yang diberikan oleh setiap filsuf. Namun persamaan yang umum dapat kita temukan. Fungsi Filsafat Pancasila Bagian terdahulu telah kita uraikan pengertian dan bagian dari berbagai sistem filsafat Pancasila. Dalam bagian mi akan kita lanjutkan tentang fungsi dan filsafat Pancasila itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu perlu kita kaji tentang ilmu-ilmu yang erat kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini lebih dahulu diuraikan, karena untuk terus menguraikan fungsi filsafat maka harus diketahui tentang arti dari ilmu-ilmu apa saja yang harus diikat dan disatukan oleh filsafat itu dalam kehidupan bernegara. Pengertian fungsi filsafat secara umum, dapat kita simpulkan sebagai berikut:

94 a) memberi jawaban atas pertanyaan yang bersifat fundamental atau mendasar dalam kehidupan bernegara; b) mencari kebenaran yang bersifat substansi tentang hakikat negara, ide negara atau tujuan bernegara; dan c) berusaha menempatkan dan menjadi perangka dari berbagai ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan bernegara. 1) Pertanyaan apa saja yang bersifat fundamental dalam kehidupan bernegara itu? Kira-kira jawabannya ialah segala aspek yang erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat bangsa tersebut dan yang berkaitan dengan kelangsungan hidup dari negara bersangkutan. Oleh karena itu, fungsi Pancasila sebagai filsafat dalam kehidupan bernegara, haruslah memberikan jawaban yang mendasar tentang hakikat kehidupan bernegara. Hal yang fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, susunan politik atau sistem politik dari negara, bentuk negara/ susunan perekonomian dan dasar- dasar pengembangan ilmu pengetahuan. Semua yang tersebut di atas haruslah mampu dijelaskan oleh filsafat. Dalam hal ini Pancasila yang dikaji dari sudut fungsinya telah mampu memberikan jawabannya. Semua yang di atas itu sudah tertuang dalam berbagai ketentuan kita bernegara. 2) Filsafat Pancasila harus mampu memberikan dan mencari kebenaran yang substansi tentang hakikat negara, ide negara, dan tujuan negara. Dasar negara kita adalah lima dasar dalam mana setiap silanya berkaitan dengan sila yang lain. Kelima sila itu merupakan kesatuan yang utuh, dan tidak terbagi dan tidak terpisahkan. Saling memberikan arah dan dasar kepada sila yang lainnya. Karenanya Pancasila sebagai dasar negara. Misalnya kita lihat sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa, memberikan sinar dan pedoman pada sila yang empat di bawahnya. Begitu seterusnya kalau kita bicarakan fungsi Pancasila sebagai pemberi dasar yang menjawab pertanvaan “hakikat negara’.

95 Tujuan negara akan selalu kita temukan dalam setiap konstitusi negara bersangkutan. Karenanya tidak selalu sama dan bahkan ada kecenderungan perbedaan yang jauh sekali antara tujuan di satu negara dengan negara lain. Sebagai contoh tujuan negara-negara di Eropa Barat sudah barang tentu sangat berbeda dengan tujuan negara-negara di Eropa Timur. Begitu juga tujuan negara Indonesia tidak akan sama dengan tujuan negara tetangga dekat kita misalnya Malaysia dan Singapura. Karena filsafat negara harus mampu memberikan jawaban tentang tujuan negara itu. Bagi Indonesia secara fundamental tujuan itu ialah Pancasila dan sekaligus menjadi dasar berdirinya negara ini. 3) Pancasila sebagai filsafat bangsa harus mampu memberikan perangka dan pemersatu dari berbagai ilmu yang dikembangkan di Indonesia. Fungsi filsafat akan terlihat jelas, kalau di negara itu sudah berjalan keteraturan kehidupan bernegara. Sebagai contoh di dunia Barat yang liberal, kita menemukan pengembangan ilmu pengetahuan yang didasari dan bertujuan pengembangan liberalisme itu dalam semua aspek kehidupan manusia. Begitu juga di negara- negara komunis, kita menemukan pengembangan ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mengembangkan filsafat komunis itu sendiri dan setiap ilmu itu haruslah mendasari dirinya dengan filsafat negaranya. Bagi kita Pancasila harus mampu menjawab fungsi filsafat Pancasila itu sebagai perangka dan pemersatu ilmu pengetahuan. Untuk itu, permasalahannya terletak di atas pundak para ilmuwan dan pengendali kekuasaan negara. Dua kutub ini haruslah menjalin dirinya menjadi satu dasar dan satu arah. Di satu pihak ilmuwan haruslah rnenggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan mendasarkan diri dan bertujuan untuk inemfungsikan Pancasila sebagai filsafat pemersatu dari ilmu pengetahuan; Di sisi lain penguasa negara atau pemerintahan haruslah berketepatan hati dan selalu bijaksana dalam memberikan arah, bimbingan dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam kehidupan

96 bernegara. Hal ini perlu kita telaah, karena negara tidak mungkin terpisahkan dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang selalu dikaji dan dikembangkan oleh para ilmuwan haruslah seirama dan sejalan dengan kebijaksanaan pemerintahan dan kekuasaan politik yang sedang berjalan. Dalam hal ini ilmuwan dan pemegang kendali kekuasaan harus menyadari bahwa ilmu pengetahuan adalah tulang punggung kemajuan negara jangan sampai salah arah dan salah bimbingan, sehingga pengembangan ilmu itu menjauh dari dasar negara atau filsafat negara. Ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mensejahterakan manusia itu haruslah selalu di bawah kendali filsafat negara. Jangan hanya filsafat negara itu bagaikan dasar substansi yang statis, dia adalah dinamis dan dia adalah pedoman dan cermin pengembangan ilmu pengetahuan. Di dunia sekarang ini banyak kita temukan kepincangan antara dasar negara dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Dasar negaranya tinggal secara konstitusional dalam undang-undang dasar negara, sedangkan ilmu pengetahuan berjalan menurut arah dan dasar di mana ilmu itu dikajinya. Karenanya banyak para ilmuwan kurang bijaksana dalam penggalian iimu pengetahuan, mereka hanya berorientasi pada ilmu itu sendiri. Mereka lupa dan memandang tidak relevan untuk menyesuaikan dan mengkaji ilmu itu dengan filsafat negaranya. Dalam hal ini terlihat kepincangan dalam berbagai aspek kehidupan sosial ini sangat buruk akibatnya untuk masa yang panjang. Akhirnya keadaan ini akan membawa negara pada keadaan serba dilematis; dalam kehidupan sosial dari negara tersebut.

97 BAB VI PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA

1. Pengertian Nilai, Moral dan Norma Pengertian Nilai Menilai artinya menimbang, yaitu kegiatan manusia menghubungkan sesuatu dengan sesuatu untuk selanjutnya mengambil keputusan. Keputusan ini dapat mengatakan, berguna atau tidak berguna benar atau tidak benar, indah atau tidak indah, baik atau tidak baik, religius atau tidak religius. Ini semua dihubungkan dengan unsur-unsur yang ada pada manusia yaitu jasmani, cipta, karsa, dan rasa serta kepercayaan. Dikatakan mempunyai nilai, apabila berguna (nilai kegunaan), benar (nilai kebenaran/logis), baik (nilai moral dan ethis) dan nilai religus (nilai agama). Dengan demikian dapat pula dibedakan nilai material (nilai kebendaan) dan nilai spritual (nilai keroharian). Kalau kita perhatikan inti isi Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar negara, maka terkandung nilai- nilai: a. “Nilai Ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan dan nilai keadilan”. b. “Nilai Ideal, nilai material, nilai spritual, nilai pragmatis dan nilai positif. c. ”Nilai Logis, nilai estetis, nilai etis, nilai sosial, dan nilai religius”.

Nilai-nilai Luhur yang Terkandung dalam Pancasila Dalam pandangan hidup suatu bangsa terkandung konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan oleh bangsa itu, terkandung pikiran- pikiran yang terdalam dan gagasan sesuatu bangsa rnengenai wujud kehidupan yang dianggp baik. Pandangan hidup suatu bangsa adalah suatu kristalisasi dan nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa itu sendiri, yang diyakini kebenarannya dan menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujudkannya. Pandangan Hidup Bangsa Indonesia adalah Pancasila.

98 Pengertian Moral Moral adalah ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan (akhlak). Moral, mengenai moral artinya bantuan berupa sokongan bathin (bukan berupa uang atau benda). Jadi, moral adalah membicarakan tingkah laku manusia yang dilakukan dengan sadar dari sudut baik dan buruk. Moral dihubungkan dengan etik dan etiket yang membicarakan tentang tata susila dan tata sopan santun. Tata susila adalah budi pekerti manusia tentang budi baik dan buruk, salah dan benar dari sikap, perbuatan dan kelakuan. Dengan perkataan lain adalah falsafah tentang praktek kehidupan manusia. Tata sopan santun adalah penilaian baik dan buruk, benar dan salah digantungkan pada pihak lain. Tata susila berusaha berbuat baik karena hati kecilnya menganggap baik dan bersumber dalam hati nuraninya lepas hubungan dari pengaruh orang lain berarti tata sopan santun adalah berbuat baik sekedar lahir saja tidak bersumber dan perasaan hati, hanya sekedar menghargai orang lain dalam pergaulan. Jadi tata susila berasal dari dalam diri manusia dan memberi pengaruh ke luar sedangkan tata kesopanan berasal dari luar manusia dan memberi pengaruh ke dalam. Moral meliputi hidup manusia seluruhnya, hidup manusia dalam diri sendiri dan dalam hidup bersama yaitu dalam keluarga, masyarakat, bangsa dan dalam negara serta duniapun meliputi hidup manusia terhadap Tuhan sebagai makhluk-Nya.

Pengertian Norma Norma (kaedah) adalah petunjuk tingkah laku/ prilaku yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam hidup sehari-hari, berdasarkan suatu alasan (motivasi) tertentu dengan disertai sanksi. Sanksi adalah ancaman/ akibat yang akan diterima apabila norma (kaedah) tidak dilakukan. Dari hubungan nilai, norma, dan sangsi dalam pengalaman Pancasila dapat diuraikan sebagai berikut: a. Bahwa sebelum dilaksanakan pengamalan perlu diperhatikan terlebih dahulu pengertian dari Pancasila. Untuk tidak menimbulkan keraguan dan kekaburan, maka perlu pengertian yang jelas dan harus

99 dipertanggungjawabkan. Pancasila sebagai dasar negara yang merupakan pokok kaedah negara yang fundamental, harus dipertanggungjawabkan secara juridis konstitusional, artinya dalam pengamalannya harus sesuai dengan peraturan perundangan yang ada dan yang berlaku, yang merupakan tertib hukum (hukum positif) negara. Pelaksanaannya bersifat perintah (imperatif) dalam pengertian harus bersumber dan tidak boleh menyimpang atau melampaui peraturan perundangan tersebut. Bila bertentangan atau menyimpang akan mendapat ganjaran atau sanksi berupa hukuman. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah untuk menjamin objektivitasnya. Segalanya harus berdasarkan dan berorientasi bukan menyimpang atau membuat tafsiran sendiri. Pancasila harus dipertanggungjawabkan secara religius, karena Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sila dasar yang meliputi dasar keroharian dan keduniawian, sifat religius lebih menonjol. Pancasila harus dipertanggungjawabkan secara filosofis karena sebagai filsafat negara dan bangsa untuk mencari kebenaran. Kebenaran yang dituntut di sini adalah kebenaran yang relatif (nisbi) bukan kebenaran mutlak (absolut). Kebenaran yang mutlak ada pada Tuhan sesuai dengan sifat Tuhan itu sendiri. Pancasila dipertanggungjawabkan secara sosiologis karena mengatur dan menyangkut manusia dalam segala aspek sesuai dengan kemanusiaan yang merupakan identitas dan manusia itu sendiri. Sebaliknya Pancasila dapat juga dipertanggungjawabkan secara moral/ etis, karena Pancasila dipergunakan sebagai petunjuk-petunjuk hidup sehari-hari sesuai dengan norma-norma yang telah ditentukan. Oleh sebab itu pengamalan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa berarti melaksanakan Pancasila dalam hidup sehari-hari. Pengamalan dalam hidup sehari-hari tidak boleh bertentangan dengan pengamalan dalam kehidupan kenegaraan dan hidup kemasyarakatan dalam negara. Jadi harus serasi dan harmonis. Karena corak dan ragam dalam kehidupan sehari-hari yang bersifat jamak (pluralistis), bermacam ragam maka sukar dibuat peraturan-

100 peraturan secara terperinci dan menyeluruh, sebagaimana peraturan perundangan negara. Oleh sebab itu pengamalannya diserahkan kepada kesadaran dari masyarakat itu sendiri terhadap Pancasila asal tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku (norma hukum, norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan dan kebiasaan yang ada). Pengamalan Pancasila sebagai dasar negara disebut pengamalan Pancasila secara obyektif, sedangkan pengamalan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa disebut pengamalan secara subyektif. Pengamalan Pancasila secara subyektif meliputi bidang yang luas antara lain ekonomi politik, sosial budaya, hankam, agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Meliputi juga lingkungan hidup pribadi, hidup keluarga, hidup kemasyarakatan dan lain-lain. Kesemuanya harus dipertanggung jawabkan secara obyektif, secara filosofis, secara sosiologis dan secara moral dan etis sesuai dengan keadaan dan kapan dilaksanakan, ditentukan waktu dan tempat, baik sendiri maupun bersama-sama. b. Pancasila sebagai dasar dan arah dalam menyelesaikan masalah-masalah konkrit menggambarkan adanya lompatan dari nilai-nilai filosofis ke nilai praktis. Untuk itu kita menyebutnya sebagai pengamalan Pancasila. Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat melihat bahwa suatu pengamalan nilai fillosofis itu, memerlukan bentuk-bentuk yang sesuai dengan kebutuhan tempat dan waktu serta keadaan, tanpa menyimpang dari pengertian filosofis yang dijadikan dasar dan arah. Di dalam pengamalan Pancasila ini dibedakan antara: 1) Pengamalan obyektif: pengamalan di bidang kehidupan negara/masyarakat yang penjelmaannya berupa ketentuan-ketentuan hukum positif yaitu : pasal-pasal UUD, Ketetapan MPR, Undang- Undang Organik serta peraturan dan pelaksanaannya termasuk pula kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dianut dalam kehidupan masyarakat.

101 2) Pengamalan subyektif: pengamalan yang dilakukan oleh manusia, manusia sebagai pribadi, warga negara, warga rnasyarakat dan penyelenggara negara/ pemerintahan. Pengamalan secara subyektif inilah yang utama (primer). Bahkan yang menentukan artinya pengamalan obyektif hanya dapat berlangsung dengan baik apabila terlebih dahulu pengamalan subyektif dapat baik. Untuk menuju terwujudnya pengamalan subyektif yang baik, maka secara bertahap sebaiknya ditempuh melalui pendidikan. Sebab melalui pendidikan inilah, kepada para subyektif (manusia- manusianya) akan dapat diberikan pengertian dan pengetahuan yang tepat mengenai arti dan makna daripada Pancasila. Dan hanya dengan pengetahuannya yang tepat atau yang baik, barulah dapat dtharapkan tumbuhnya kesadaran, dan kemudian dan rasa kesadaran dtharapkan adanya rasa ketaatan dan kemampuan untuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kenyataan hidup sehari-.hari. Situasi ideal dalam pengamalan Pancasila yang seharusnya dapat kita capai adalah, bagaimana kita semua dalam mengamalkan Pancasila itu tidak hanya sekedar didasarkan pada kewajiban hukum saja melainkan juga berdasarkan pada kewajiban moral atau etis. Kewajiban moral atau etis di dalam mengamalkan Pancasila mengandung makna bahwa hati nurani kita sendirilah yang mewajibkan diri kita masing-masing untuk selalu berorientasi kepada nilai-nilai Pancasila itu, yaitu bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut agama/ kepercayaan kita masing-masing, memandang sesama manusia sebagai makhluk yang sama harkat dan derajatnya, mendahulukan persatuan dan kesatuan masyarakat/bangsa, segala sesuatu dimusyawarahkan demi tercapainya keadilan di mana masing-masing dapat memiliki apa yang memang menjadi haknya.

2. Nilai Dasar, Nilai Instrumental dan Nilai Praksis Ada tatanan nilai dalam kehidupan bernegara: yaitu yang disebut sebagai (1) nilai dasar; (2) nilai instrumental dan (3) nilai praksis. Kelihatannya konsep ini

102 berguna untuk menata pemahaman kita. Nilai dasar adalah asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang bersifat banyak sedikitnya mutlak. Kita menerima nilai dasar sebagai suatu hal yang tidak dipertanyakan lagi. Semangat kekeluargaan bisa kita sebut sebagai nilai dasar, sifatnya mutlak, dan tidak akan berubah lagi. Nilai instrumental adalah pelaksanaan umum dari nilai dasar itu, biasanya dalam wujud norma sosial ataupun norma hukum, yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam lembaga-lembaga. Sifatnya dinamis dan dalam istilah sekarang, kontekstual, yaitu sesuai dengan kebutuhan tempat dan waktu. Nilai instrumental ini walaupun lebih rendah dari nilai dasar, namun tidak kalah pentingnya, karena nilai instrumental inilah yang menjabarkan nilai dasar yang umum itu dalam wujud yang konkrit serta sesuai dengan zaman. Nilai instrumental merupakan semacam tafsir positif terhadap nilai dasar yang umum itu. Betapapun pentingnya nilai-nilai dasar tersebut, namun sifatnya belum operasional, artinya kita belum dapat menjabarkannya secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Penjelasan UUD 1945 sendiri menunjuk pada adanya undang-undang sebagai pelaksanaan hukum dasar tertulis itu. Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 itu memerlukan penjabaran lanjut, sebagai arahan untuk kehidupan nyata. Penjabaran lanjut mi kita namakan nilai instrumental. Nilai instrumental harus tetap mengacu kepada nilai-nilai dasar yang dijabarkannya. Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif dan dinamis dalam bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat yang sama, dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh nilai dasar itu. Penjabaran itu jelas tidak boleh berten.tangan dengan nilai-nilai dasar yang dijabarkannya. Dokumen konstitusional yang disediakan untuk penjabaran secara kreatif dan nilai-nilai dasar itu adaiah GBHN, yang merupakan kewenangan MPR, peraturan perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan pemerintah lainnya. Apapun bentuknya, ada satu syarat yang merupakan conditio sine qua non yang harus dipenuhi penjabaran ini, yaitu dimufakati seluruh bangsa. Tolok ukur kebenaran dalam nilai dasar Pancasila adalah kebersamaan, kekeluargaan, persatuan, dan kesatuan. Gagasan-gagasan perseorangan dan golongan sampai ia menjadi kesepakatan bersama, baik secara formal maupun secara informal. Dalam

103 Orde Baru, disebut sebagai “konsensus nasional”. Pengamalan Pancasila itu melalui rangkaian konsensus nasional yang tidak putus-putusnya. Kehidupan ber Pancasila itu memang merupakan kehidupan yang penuh dengan dialog, dengan musyawarah, dengan mufakat. Diperlukan kesabaran, keterbukaan, kearifan dan ketekunan, yang juga dituntut pada setiap bentuk negara yang hendak menegakkan demokrasi. Nilai yang sudah memperoleh kesepakatan rnasyarakat, perlu kita bakukan, untuk kita masyarakatkan serta kita budayakan selanjutnya. Nilai-nilai yang masth belum memperoleh kesepakatan masyarakat, kita kaji kembali untuk kemudian kita ajukan kembali dalam bentuknya yang sudah disempurnakan. Cepatnya perkembangan nilai-nilai instrumental ini bisa mempunyai suatu dampak negatif, yaitu timbulnya rasa tidak pasti mengenai konsep-konsep yang kita anut. Namun memang demikianlah suatu resiko masyarakat yang sedang berubah. Nilai praksis adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Nilai praksis mi seyogyanya sama semangatnya dengan nilai dasar dan nilai instrumental di atásnya. Lebih dari itu, nilai praksis inilah yang sesungguhnya akan merupakan batu ujian apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu sungguh-sungguh hidup dalam masyarakat ataukah tidak. Jika kita renungkan, maka dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya Soepomo menghendaki agar semangat kekeluargaan itu terwujud, baik sebagai nilai dasar, sebagai nilai instrumental maupun sebagai nilai praksis. Untuk itu kita memerlukan penjabarannya, dan beliau menghendakinya dalam wujud undang- undang. Dengan lain perkataan, menegakkan semangat kekeluargaan adalah melalui penegakkan hukum, melalui, “rule of law” dalam suatu negara yang bersifat kekeluargaan.

3. Pancasila Sebagai Nilai Dasar Fundamental bagi Bangsa dan Negara RI Dari demikian banyak pembahasan yang berkenaan dengan Pancasila sebagai pandangan hidup dan sebagai dasar negara, masalah yang kita hadapi

104 sehubungan dengan nilai dasarnya adalah nilai-nilai mana yang merupakan niiai dasar yang tidak berubah dan tidak boleh diubah lagi? Nilai dasar Pancasila yang abadi itu kita temukan dalam empat alinea Pembukaan UUD 1945. Alinea pertama memuat keyakinan kita kepada kemerdekaan sebagai hak segala bangsa, sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Penghapusan penjajahan adalah merupakan suatu konsekuensi logis dari keyakinan kita ini. Kemerdekaan, perikemanusiaan dan perikeadilan adalah rangkai aksioma tempat bertumpunya seluruh wawasan kenegaraan pada tataran formal, serta seluruh wawasan kita tentang kehidupan kebangsaan secara substantial. Ada perbedaan arti antara “negara” dan “bangsa”. “Negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang meliputi unsur-unsur rakyat, wilayah, pemerintah serta kedaulatan. Sedangkan “bangsa” adalah kesatuan tekad dari rakyat untuk hidup bersama mencapai cita-cita dan tujuan bersama, terlepas dari perbedaan etnik, ras, agama ataupun golongan asalnya. Kesadaran kebangsaan adalah perekat yang akan mengikat batin seluruh rakyat. Alinea kedua memuat cita-cita nasional sekaligus cita-cita kemerdekaan kita itu; yaitu suatu negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Pengertian-pengertian singkat yang terdapat dalam alinea ini harus diberi makna filsafati yang rnendasar. Rakvat Indonesia dalam negara Indonesia yang kita bentuk itu ingin hidup dalam suasana yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Inilah nilai yang merupakan tolok ukur terakhir apakah negara yang kita bentuk itu sudah sesuai dengan apa yang kita harapkan apa belum. Alinea ketiga, memuat watak aktif dari rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaan, untuk mencapai kehidupan kebangsaan yang bebas, bukan dengan keangkuhan yang bersifat chauvinistis, tetapi dengan sikap religius, dengan kesadaran akan rahmat Allah Yang Maha Kuasa serta didorongkan oleh keinginan luhur. Bangsa yang ingin kita bangun bukanlah bangsa yang pasif, yang pasrah kepada nasibnya, tetapi bangsa yang aktif, yang percaya kepada dirinya serta berbuat secara nyata untuk mengubah nasibnya itu. Namun nasionalisme kita bukanlah nasionalisme yang sekular, yang hanya tahu dengan apa yang nyata kelihatan. Nasionalisme kita adalah nasionalisme

105 yang sarat dengan niiai religi serta kemanusiaan. Nasionalisme kita bukanlah nasionalisme yang berkehendak mengagresi bangsa lain, tetapi nasionalisme yang terbatas pada tuntutan pengakuan akan eksistensi dirinya sebagai bangsa. Alinea keempat memberi arahan mengenai tujuan negara, susunan negara, sistem pemerintahan dan dasar negara. Tujuan negara kita jelas: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh turnpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Susunan Negara Republik Indonesia jelas-jelas disebutkan berkedaulatan rakyat, yang berarti sumber dan seluruh otoritas kenegaraan dalam Republik ini adalah Rakyat. Sistem Pemerintahan kita juga jelas, yaitu sistem pemerintahan konstitusional, yang secara padat dirumuskan sebagai “disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia”. Kemerdekaan bukanlah sekedar suatu konsep filosofis, tetapi juga suatu konsep yuridis dengan pengertian yang pasti dan dirumuskan dalam konstitusi. Semua kegiatan pemerintah harus mempunyai alasan pembenar dalam konstitusi sebagai hukum dasar tertulis, yang dapat dikembangkan dalam hukum tidak tertulis yang tumbuh praktek penyelenggaraan negara. Akhirnya. Dasar Negara kita tercantum dalam lima sila, yang rumusannya sudah kita kenal benar. Makna nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 itu dapat kita cari dalam berbagai sumber. Sumber pertama jelas adalah Penjelasan UUD 1945. Jika kita ingin lebih dalam memahaminya, kita harus membaca risalah sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Dan jika ingin mempunyai perspektif kesejarahan yang lebih lengkap, kita harus mendalami keseluruhan gerakan kemerdekaan nasional, khususnya sejak awal abad ke 20. Rumusan-rumusan dalam UUD 45 tidaklah timbul mendadak dalam ruang sidang BPUPKI di Jalan Pejambon Jakarta dalam tahun 1945 itu. Seperti halnya dengan sejarah pemikiran filsafati lainnya, ada akar sejarah, akar sosiologis serta akar kulturalnya. Itulah nilai-nilai dasar dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang kita anut, yang tidak ingin dan tidak boleh kita ubah lagi. Mengutip

106 terminologi para ahli hukum, mengubah nilai-nilai dasar itu berarti membubarkan negara.

4. Makna Nilai-Nilai Setiap Sila Pancasila Nilai Ketuhanan YME Prof. Dr. Notonegoro, membagi riilai menjadi 3 yakni: a. Nilai material yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur manusia. b. Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan dan aktivitas. c. Nilai kerohanian yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian ini dapat dibedakan atas 4 macam yakni: a. Nilai kebenaran/kenyataan yang bersumber pada unsur akal manusia (ratio, budi, cipta); b. Nilai keindahan yang bersumber pada unsur rasa manusia (gevoels, dan aesthetis); c. Nilai kebaikan atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak/ kemauan manusia (will, karsa, ethic); d. Nilai religius, yang merupakan nilai ketuhanan, kerohanian yang tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber pada kepercayaan/ keyakinan manusia. Jadi yang mempunyai nilai itu tidak hanya sesuatu yang berwujud benda material saja, tetapi juga sesuatu yang tidak berwujud benda material. Bahkan sesuatu yang bukan benda material itu dapat menjadi nilai yang sangat tinggi dan mutlak bagi manusia. Nilai material secara relatif lebih mudah diukur dengan alat-alat pengukur, misalnya alat pengukur berat (gram), alat pengukur panjang (meter), alat pengukur luas (meter persegi), alat pengukur isi (liter), dan sebagainya. Sedangkan nilai rohari tidak dapat diukur dengan menggunakan alat- alat pengukur tersebut di atas, tetapi diukur dengan “budi nurani manusia”, karena itu lebih sulit dilakukan. Hal ini terlebih lagi apabila dipermasalahkan apakah ada perwujudan budi nurani yang universal.

107 Manusia yang mengadakan penilaian terhadap sesuatu yang bersifat keroharian menggunakan budi nurani dengan dibantu oleh indera, akal, perasaan, kehendak, dan oleh keyakinan. Sampai sejauh mana kemampuan dan alat-alat bantu ini bagi manusia dalam memantulkan penilaiannya tidak sama bagi manusia yang satu dengan yang lain, dipengaruhi situasi dan keadaan manusia yang bersangkutan. Bagi manusia nilai dijadikan landasan, alasan atau motivasi dalam segala perbuatannya. Hal ini terlepas dari kenyataan bahwa ada orang-orang yang dengan sadar berbuat lain daripada kesadaran nilai dengan alasan yang lain pula. Dalam bidang pelaksanaannya, nilai-nilai dijabarkan dalam bentuk/norma/ukuran (normatif), sehingga merupakan suatu perintah/ keharusan, anjuran atau merupakan larangan, tidak diinginkan atau celaan. Segala sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran, keindahan, kebaikan dan sebagainya, diperintahkan/ dianjurkan. Sedangkan segala sesuatu yang sebaliknya (tidak benar, tidak indah, tidak baik dan sebagainya) dilarang/tidak diinginkan atau dicela. Dan uraian yang telah dikemukakan kiranya, jelas bahwa nilai berperan sebagai dasar pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai berada dalam hati nurani, suatu hati atau kata kati dan pikiran sebagai sesuatu keyakinan/kepercayaan yang bersumber dari berbagai dasar, aspek atau sumber.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa Dengan adanya dasar Ketuhanan maka Indonesia mengakui dan percaya kepada adanya Tuhan. Tuhan Yang Maha Esa yang menjadi sebab adanya manusia dan alam semesta serta segala hidup dan kehidupan di dalamnya. Dasar ini menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk Indonesia untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya/ kepercayaannya, sebagai tercantum dalam pasal 29 UUD 1945. Hal ini berarti, bahwa negara Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau dengan lebih kurang 230 juta penduduk yang menganut beberapa agama (Islam, Kristen-Protestan, Kristen-Katolik, Hindu dan Budha) menghendaki semua agama itu hidup tenteram, rukun dan saling menghormati.

108 Dengan demikian, semua agama yang diakui di RI dapat bergerak dan berkembang dengan leluasa. Dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan oleh karenanya manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Di dalam kehidupan masyarakat Indonesia dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama antara pemeluk-pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga dapat selalu dibina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sadar bahwa agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa yang dipercayai dan diyakininya, maka dikembangkanlah sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya dan tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaannya itu kepada orang lain. Dengan rumusan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa seperti tersebut di atas tidak berarti bahwa negara memaksa agama atau suatu kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebab agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu berdasarkan keyakinan hingga tidak dapat dipaksakan dan memang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri tidak memaksa setiap manusia untuk memeluk agama dan kepercayaan tertentu. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untiik memeluk agamanya masing-masing dan beribadat rnenurut agamanya dan kepercayaannya itu. Kebebasan agama adalah merupakan salah satu hak yang paling asasi di antara hak-hak asasi manusia, karena kebebasan beragama itu langsung bersumber kepada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hak kebebasan beragama bukan pemberian negara atau bukan pemberian golongan.

109 Sila pertama Pancasila berbunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa’. Sila ini mengandung dua pengertian pokok yaitu pengertian tentang Ketuhanan dan tentang Yang Maha Esa. Ketuhanan Ketuhanan berasal dan kata Tuhan yakni Allah, zat Yang Maha Esa, Pencipta segala kejadian termasuk Pencipta semua Makhluk. Oleh karena itu, Tuhan sering disebut juga Sebab Yang Pertama yang tidak disebabkan lagi. Alam beserta kekayaannya seperti sumber-sumber minyak bumi, batubara, besi, air, udara dan lain-lainnya merupakan ciptaan-Nya. Demikian pula makhluk hidup seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, dan juga manusia, semuanya berasal dan Tuhan dan nantinya akan kembali kepada Tuhan. Yang Maha Esa Yang Maha Esa berarti Yang Maha Satu atau Yang Maha Tunggal dan tidak ada yang mempersekutukannya. Dia esa dalam zat-Nya, esa dalam sifat- Nya dan esa dalam perbuatan-Nya. Oleh karena kekhususan-Nya itu, maka tidak ada yang menyamai-Nya. Dia Maha Sempurna. Ketuhanan Yang Maha Esa Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung pengertian bahwa kita bangsa Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta Alam Semesta beserta isinya, baik benda mati maupun makhluk hidup. Kepercayaan dan ketakwaan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa itu bersifat aktif. Artinya kita harus selalu berusaha menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala laranganNya menurut ajaran agama dan kepercayaan kita masing-masing. Seluruh warga negara Indonesia apakah dia si A dari Tapanuli ataukah Si B dari puncak pegunungan Jaya Wijaya, bebas mengikuti agama dan kepercayaan masing-masing dengan saling menghormati serta penuh toleransi. Dalam hidup kenegaraan kita, arti sila pertama yang demikian itu tergambar dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ketiga yang berbunyi “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Selanjutnya hal itu

110 dijabarkan dalam pasal 29 batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: 1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. 2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Apabila dirinci sila Ketuhanan Yang Maha Esa, maka setidaknya ada beberapa kewajiban moral dan tingkah laku yang harus ditunjukkan ditengah – tengah masyarakat antara lain : a) Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. b) Hormat-menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga terbina kerukunan hidup. c) Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. d) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain. Nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Internasionalisme ataupun perikemanusiaan adalah penting sekali bagi kehidupan suatu bangsa dalam negara yang merdeka dalam hubungannya dengan bangsa-bangsa lain. Manusia adalah makhluk Tuhan, dan Tuhan tidak mengadakan perbedaan antara sesama manusia. Pandangan hidup demikian menimbulkan pandangan yang luas, tak terikat oleh batas-batas negara atau bangsa sendiri, melainkan negara selalu harus membuka pintu bagi persahabatan dunia atas dasar persamaan derajat. Manusia mempunyai hak-hak yang sama; oleh karena itu tidaklah dibenarkan manusia yang satu menguasai manusia lain, ataupun bangsa yang satu menguasai bangsa yang lain. Berhubung dengan itu maka dasar itu tidak membenarkan adanya penjajahan di atas bumi, karena hal yang demikian bertentangan dengan perikemanusiaan serta hak setiap bangsa menentukan nasibnya sendiri.

111 Sesungguhnya manusia itu sejak dilahirkan mempunyai hak yang tidak dapat dirampas dan dihilangkan. Hak-hak itu harus dihormati oleh siapapun. Golongan manusia yang berkuasa tidaklah diperkenankan memaksakan kehendaknya yang bertentangan dengan hak seseorang. Juga pemerintah sesuatu negara harus menjunjung tinggi hak-hak manusia itu. Tidak seorang penduduk pun dapat diperlakukan melampaui batas perikemanusiaan, misalnya dipidana secara ganas, keji atau dihina. Manusia harus bebas dari rasa ketakutan/kesengsaraan. Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Juga nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme. Kebangsaan dan perikemanusiaan mempunyai hubungan yang erat. “Dengan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, manusia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajiban- kewajiban asasinya, tanpa membeda-bedakan suku, warna kulit, dan sebagainya. Karena itu dikembangkanlah sikap saling mencintai sesama manusia, sikap tenggang rasa dan “tepo seliro”, serta sikap tidak semena-mena terhadap orang lain”.

Kemanusiaan yang adil dan beradab berarti menjunjung tinggi nilai- nilai kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan, dan berani membela kebenaran dan keadilan. Sadar bahwa manusia adalah sederajat, maka bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkanlah sikap hormat menghormati dan bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain”. Sila kedua Pancasila berbunyi: “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Sila ini terdiri atas tiga pengertian pokok yaitu pengertian tentang kemanusiaan, adil dan tentang beradab. Kemanusiaan Kemanusiaan berasal dari kata manusia, yang merupakan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh Tuhan manusia dikarunia jasmani dan rohani, yang keduanya merupakan satu kesatuan serasi, yang sering disebut pribadi manusia. Artinya dalam pribadi manusia terdapat jasmani dan rohani

112 yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Salah satu tidak ada, berarti bukan manusia. Jasmani memiliki kebutuhan jasmaniah seperti makan, minum, tidur, dan nafsu-nafsu jasmaniah. Jasmani juga mempunyai indera yang menyebabkan kita dapat melihat, mencium, mendengar, mengecap dan meraba. Rohani memiliki akal, perasaan, kemauan dan kepercayaan. Dengan akal, perasaan dan kemauan, manusia dapat memecahkan dan menimbang- nimbang persoalan yang dihadapinya, dan sekaligus melaksanakan hasil pertimbangan itu dengan alat rohani ini, manusia sebagai warga masyarakat dapat maju dan berkembang. Di samping itu manusia masih memiliki kepercayaan. Dengan kepercayaan ini, manusia dapat menjangkau hal-hal yang tidak dapat dicapai oleh akal dan kemampuan yang lain seperti misalnya percaya terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa. Adil Adil mengandung arti objektif atau sesuai dengan adanya, misalnya kita memberikan sesuatu kepada orang karena memang sesuatu itu merupakan haknya. Jadi kita tidak subjektif, tidak berat sebelah, tidak pilih kasih. lebih- lebih lagi, seorang yang bersifat adil tidak akan sewenang-wenang. Orang yang demikian akan memperlakukan orang lain dengan penuh kebijaksanaan. Sifat adil ini tidak hanya untuk orang lain, tetapi juga untuk diri kita sendiri. Sering kita terlalu mudah menunjuk kesalahan orang lain dan sering lupa menunjuk kekurangan diri sendiri. Beradab Beradab berasal dari kata adab yang secara bebas berarti budaya, beradab berarti berbudaya. Manusia yang beradab berarti manusia yang tingkah lakunya selalu dijiwai oleh nilai-nilai kebudayaan. Nilai-nilai budaya tidak lain ialah hal-hal yang luhur, yang dijunjung tinggi oleh manusia, yang karena luhurnya itu dijadikan pedoman, ukuran, atau tuntutan untuk diikuti. Kalau sesuai, berarti baik, kalau tidak sesuai, berarti tidak baik. Kebudayaan merupakan hasil yang luhur dari manusia selama berabad-abad. Oleh karena itu, wujudnya sering juga disebut peradaban manusia. Misalnya,

113 kesenian, candi, sampai kebiasaan-kebiasaan hidup merupakan wujud dari kebudayaan. Demikian pula nilai-nilai yang mendasari sikap yang luhur dan terpuji, seperti sikap berani karena benar, berani berkorban untuk negara, itu semua juga merupakan wujud kebudayaan, wujud peradaban. Demikian pula orang-orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan, mereka adalah orang yang berbudaya, orang yang beradab. Apabila ia membandingkan orang yang mengutamakan kepentingan masyarakat, maka orang yang mengutamakan masyarakat itulah yang lebih beradab, lebih berbudaya. Sebabnya ialah karena ia memenangkan kepentingan yang lebih besar (lebih luas) daripada kepentingan yang lebih kecil (lebih sempit). Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Keseluruhan pengertian tentang sila kedua dari Pancasila ini, dengan rnemperhatikan uraian di muka, jelaslah merupakan suatu kebulatan pengertian yang lengkap tentang manusia. Secara lain dapat dikatakan bahwa manusia bebas keinginannya, tetapi terikat oleh keterbatasan dan tanggung jawabnya kepada masyarakat dan negara, dibatasi juga oleh lingkungannya. Itu semua disebabkan manusia tidak hidup sendiri. Walaupun dia ingin hidup sendiri, tetapi hal itu tidak mungkin. Dia akan selalu bergantung pada lingkungannya, baik berupa orang-orang lain ataupun alam sekitarnya. Sebagai bangsa, kita juga selalu bergantung pada bangsa-bangsa lain di dunia. Demikian halnya bangsa lain, sebagian bergantung pada bangsa kita. Misalnya kita memerlukan mesin dari Jerman, sebaliknya bangsa itu perlu bahan mentah dari Indonesia. Oleh karena itu, selain manusia pada hakikatnya sama, maka bangsa-bangsa di dunia pada hakikatnya juga sama derajatnya. Sampai di sini dapat kita mengerti mengapa dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 dinyatakan: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”. Begitu pula dalam pasal-pasal pada batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, banyak diungkapkan hal-hal yang menunjukkan bahwa manusia di bumi Indonesia itu pada hakikatnya sama. Persamaan itu antara lain diungkapkan dalam hal berkumpul, menerima pendidikan, hubungannya

114 dengan hukum, dan dalam mengusahakan kesejahteraan, di samping sama pula dalam menjalankan kewajiban untuk membela negara dan bangsa Indonesia yang sangat beraneka ragam ini. Akan kita jabarkan isi sila kedua ini lebih rinci agar jelas pengertiannya. Sehingga, akan mudah mewujudkannya dalam sikap di dalam praktek. Hal itu berarti, sebagai nilai luhur, dapat diamalkan dalam hidup sehari-hari. Apabila dirinci, sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab itu dapat dijabarkan lebih kurang menjadi beberapa kewajiban moral atau tuntunan tingkah laku. Petunjuk-petunjuk nyata dan wujud pengamalan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah: a. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia; b. Saling mencintai antara sesama manusia; c. Mengembangkan sikap tenggang rasa; d. Tidak semena-mena terhadap orang lain; e. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan; f. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan; g. Berani membela kebenaran dan keadilan; h. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.

Nilai Persatuan Indonesia Sila Persatuan Indonesia Dengan dasar kebangsaan (nasionalisme) dimaksudkan bahwa bangsa Indonesia seluruhnya harus memupuk persatuan yang erat antara sesama warga negara, tanpa membeda-bedakan suku atau golongan serta berdasarkan satu tekad yang bulat dan satu cita-cita bersama. Prinsip kebangsaan itu merupakan ikatan yang erat antara golongan dan suku bangsa. Atas prinsip itu pembinaan bahasa dan kesenian daerah akan maju, memperkaya hidup kita dan mengisi perkembangan kebudayaan Indonesia seluruhnya.

115 Kebangsaan meliputi seluruh golongan dan daerah di Indonesia serta unsur-unsur kebudayaan dan tata hidupnya. Dasar kebangsaan mi adalah penting sekali dan harus dibina, tanpa melupakan bahwa di dunia ada bangsa lain yang terdiri atas semua manusia dan seluruhnya membentuk satu keluarga umat manusia. Kebangsaan Indonesia itu bukanlah paham kebangsaan yang sempit, yang hanya mengagungkan bangsa sendiri dan merendahkan bangsa lain. Paham kebangsaan kita adalah satu dasar kebangsaan yang menuju kepada persaudaraan dunia, yang menghendaki bangsa-bangsa itu saling hormat- menghormati dan harga-menghargai. Paham kebangsaan yang dianut bangsa Indonesia ialah: a. Ke dalam menggalang kepentingan seluruh rakyat dengan tidak membeda- bedakan suku atau golongan; b. Ke luar: tidak mengagungkan bangsa sendiri, namun dengan berdiri tegas atas dasar kebangsaan sendiri juga menuju ke arah hidup berdampingan secara damai, berdasar atas persamaan derajat antar bangsa serta berdaya upaya untuk melaksanakan terciptanya perdamaian dunia yang kekal dan abadi, serta membina kerjasama untuk kesejahteraan umat manusia. Oleh karena paham kebangsaan ini mengandung pengakuan hak hidup dan perkembangan setiap bangsa di dunia, maka paham ini menentang segala macam penjajahan dalam bentuk apapun juga, baik penjajahan politik, ekonomi maupun penjajahan dalam bentuk lainnya. Dengan sila Persatuan Indonesia, manusia Indonesia menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan. Menurut kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan pribadi, berarti bahwa manusia Indonesia sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa, apabila diperlukan. Oleh karena sikap rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa itu dilandasi oleh rasa cinta kepada tanah air dan bangsanya, maka dikembangkanlah rasa kebangsaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia, dalam rangka memelihara

116 ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Persatuan dikembangkan atas dasar Bhineka Tunggal Ika, dengan memajukan pergaulan demi kesatuan dan persatuan bangsa. Sila ketiga Pancasila berbunyi: “Persatuan Indonesia”. Sila ini mengandung dua pokok pengertian yaitu pengertian tentang persatuan dan tentang Indonesia. Persatuan Persatuan berasal dan kata satu yang berarti utuh, tidak pecah belah, persatuan mengandung pengertian disatukannya berbagai macam corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan. Dengan perkatan lain, hal-hal yang beraneka ragam itu, setelah disatukan, menjadi sesuatu yang serasi, utuh dan tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Indonesia Yang dimaksud dengan Indonesia ialah Indonesia dalam pengertian geografis dan bangsa. Indonesia dengan pengertian geografis berarti bagian bumi yang membentang dari 950 - 1410 Bujur Timur dan dari 6° Lintang Utara sampai 110 Lintang Selatan. Sedangkan Indonesia dalam arti bangsa ialah bangsa yang secara politis hidup dalam wilayah tersebut. Persatuan Indonesia Sila Persatuan Indonesia mengandung arti persatuan bangsa yang mendiami wilayah Indonesia. Persatuan ini didorong untuk mencapai kehidupan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat. Sebagaimana arti sila yang lain, sila ini mempunyai sifat yang dinamis yaitu sifat yang bertujuan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut mewujudkan perdamaian dunia yang abadi. Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, masing-masing menempati wilayahnya. Demikian pula manusia yang mendiami kepulauan nusantara ini, lambat-laun berkembang menjadi bangsa Indonesia. Sedangkan yang bermukim di wilayah bumi yang lain menjadi bangsa-bangsa lain seperti misalnya bangsa Malaysia, Jepang, Prancis, dan sebagainya.

117 Secara khusus pertumbuhan tersebut berkembang menjadi persatuan bangsa Indonesia, yang tahap-tahapnya seperti berikut: Kebangkitan Nasional Kesadaran nasional bangkit pada tahun 1908, dirintis oleh Budi Utomo. Tokoh-tokohnya berasal dan berbagai suku dan berjuang untuk mengembangkan berbagai bidang kehidupan secara keseluruhan, baik bidang ekonomi, politik, sosial budaya maupun bidang-bidang lain. Itulah sebabnya gerakan itu memiliki sifat nasional. Sumpah Pemuda Proses kebangkitan nasional itu berkembang terus dan salah satu hasilnya adalah Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta. Bunyi sumpah itu ialah: a. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. b. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. c. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Kesadaran sebagai satu bangsa adalah pangkal kesadaran akan harga diri sebagai bangsa Indonesia yang memiliki dan bersatu dengan wilayah Indonesia. Demikian pula halnya dengan bahasa Indonesia, antara ketiganya tidak dapat dipisahkan. Proklamasi Kemerdekaan RI Sejarah perjuangan yang panjang akhirnya meledak dalam bentuk Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dengan itu, bangsa Indonesia memberitahukan kepada dunia akan kemerdekaannya setelah berjuang lama dan memakan banyak korban. Pemberitahuan itu berisi tiga hal yaitu: a. Kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh karena itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. b. Bangsa Indonesia mendirikan negara Republik Indonesia.

118 c. Bangsa Indonesia akan mewujudkan kesejahteraan hidup, serta akan mencapai terselenggaranya perdamaian dunia yang abadi. Ketiga hal itu tidak lain merupakan wujud dari persatuan Indonesia yang harus kita pertahankan dan perjuangkan. Apabila dikaji lebih lama hal- hal yang berhubungan dengan makna persatuan Indonesia itu, terdapat beberapa prinsip lagi yang harus dikemukakan yaitu: Prinsip Bhineka Tunggal Ika Prinsip ini mengharuskan kita untuk mengakui bahwa bangsa Indonesia, baik segi suku, bahasa, agama, dan lain-lain sungguh sangat beragam, sangat bhineka. Hal itu mewajibkan kita untuk tetap bersatu (tunggal ika) sebagai Indonesia. Membina persatuan bangsa ini benar- benar tugas yang berat tetapi mulia. Prinsip Nasionalisme Indonesia Kita mencintai bangsa kita, Indonesia. Itu tidak berarti kita mengagung-agungkan bangsa sendiri, tidak. Kita tetap mencintai bangsa kita. Di samping kita itu juga menghargai bangsa-bangsa lain. Mereka mempunyai hak hidup yang sama seperti Indonesia. Oleh karena itu kita harus saling menghargai antara semua bangsa. Di dunia yang luas ini, bangsa Indonesia, merupakan satu bagiannya. Demikian pula bangsa- bangsa lain. Prinsip Kebebasan Warga Negara dalam Rangka Persatuan Bangsa Manusia Indonesia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa adalah bebas. Kebebasan itu dibatasi oleh keadaannya sendiri. Misalnya kemampuan jasmani dan roharinya terbatas. Di samping itu juga, kebebasan dibatasi oleh alam lingkungan yang menjadi sumber kebutuhannya. Misalnya, kita ingin makan, sangat bergantung pada adanya makanan. Ada lagi yang membatasi kebebasan yaitu tuntutan masyarakat, bangsa dan negara di mana kita menjadi warganya, seperti misalnya pasal 30 ayat I Undang-Undang Dasar 1945 yang bunyinya : “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara”.

119 Demikianlah kita mengakui kebebasan perseorangan, tetapi kebebasan itu harus teratur dengan baik, artinya bertanggung jawab kepada kepentingan bersama. Di dalam menuntut hak, kita harus ingat akan kewajiban. Prinsip Wawasan Nusantara Dan seluruh uraian di muka, pada dasarnya dapat dirangkum menjadi satu dalam bentuk prinsip Wawasan Nusantara. Pokok pengertian dan Wawasan Nusantara ialah bahwa Indonesia merupakan (1) kesatuan politik, (2) kesatuan sosial-budaya, (3) kesatuan ekonomi, dan (4) kesatuan pertahanan dan keamanan. Demikianlah uraian tentang persatuan Indonesia. Di dalam persatuan itu terkandung bagian-bagian yang saling bertemu secara serasi sehingga merupakan kebulatan yang utuh. Sebagaimana sila-sila sebelumnya, sila Persatuan Indonesia merupakan nilai yang luhur dari bangsa kita. Karena itu, nilai luhur itu hendaknya menjadi tuntunan dalam praktek tingkah laku kita sehari-hari. Petunjuk-petunjuk nyata dan wujud pengamalan sila Persatuan Indonesia antara lain adalah: a. Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan; b. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara; c. Cinta tanah air dan bangsa; d. Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia; e. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber Bhineka Tunggal Ika. Nilai Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan Dasar mufakat, kerakyatan atau demokrasi menunjukkan bahwa negara Indonesia menganut paham demokrasi. Paham demokrasi berarti bahwa kekuasaan tertinggi (kedaulatan) untuk mengatur negara dan rakyat terletak di tangan seluruh rakyat. Dalam UUD 1945 dinyatakan “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan

120 Rakyat” (dalam UUD 1945 sebelum diamandemen). Kerakyatan yang dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945 adalah sebagai berikut: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan”. Demokrasi Indonesia seperti yang dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945 adalah demokrasi yang tercantum dalam Pancasila sebagai sila ke-4 dan dinamakan Demokrasi Pancasila. Menurut Ketetapan MPR No. II/MPR/ 1988, asas demokrasi di Indonesia ialah demokrasi berdasarkan Pancasila yang meliputi bidang- bidang politik, sosial dan ekonomi, serta yang dalam penyelesaian masalah- masalah nasional berusaha sejauh mungkin menempuh jalan permusyawaratan untuk mencapai mufakat. Selanjutnya dalam Ketetapan MPR No. I/MPR/ 1983, ditegaskan bahwa pengambilan keputusan pada asasnya diusahakan sejauh mungkin dengan musyawarah untuk mencapai mufakat dan apabila hal ini tidak mungkin, maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Mufakat dan/atau putusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak sebagai hasil musyarawah, haruslah bermutu tinggi yang dapat dipertanggungjawabkan dan tidak bertentangan dengan dasar negara Pancasila dan Cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sebagai termaktub dalam Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan Undang Undang Dasar 1945. Musyawarah menuju ke arah persatuan dengan mengutamakan ikut sertanya semua pihak serta berpangkal tolak pada sikap harga-menghargai setiap pendirian para peserta. Setiap peserta musvawarah mempunyai hak dan kesempatan yang sama bebas untuk mengemukakan pendapat, melahirkan kritik yang bersifat membangun tanpa tekanan dari pihak manapun. Rapat untuk dapat mengambil keputusan, memerlukan quorum; apabila quorum tidak tercapai, maka rapat ditunda sampai paling banyak 2 (dua) kali dengan selang waktu paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam. Apabila setelah dua kali penundaan masih juga quorum belum tercapai maka: a. Jika terjadi di dalam Rapat Panipurna permasalahannya menjadi batal.

121 b. Jika terjadi dalam Rapat Badan Pekerja, Komisi dan Panitia Ad Hoc, pemecahannya diserahkan pada pemimpin. Setelah dipandang cukup diberikan kesempatan kepada Para anggota mengemukakan pendapat serta saran sebagai sumbangan pendapat dan pikiran bagi penyelesaian masalah yang sedang dimusyawarahkan, maka pemimpin rapat mengusahakan secara bijaksana agar rapat segera dapat mengambil putusan. Untuk mencapai apa yang dimaksud, maka pemimpin rapat ataupun panitia yang diberi tugas untuk itu wajib membuat kesimpulan dan rumusan/naskah putusan yang mencerminkan pendapat-pendapat yang hidup dalam rapat. Keputusan Berdasarkan Mufakat Hakikat dan musyawarah untuk mufakat dalam kemurniannya adalah suatu tata ciri khas yang bersumber pada inti paham Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan untuk merumuskan dan/ atau memutuskan sesuatu hal berdasarkan kehendak rakyat, dengan jalan mengemukakan hikmat kebijaksanaan yang tiada lain daripada pikiran (ratio) yang sehat yang mengungkapkan dan mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat sebagaimana yang menjadi tujuan pembentukan pemerintah negara terrnaksud dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, pengaruh-pengaruh waktu, oleh semua wakil/utusan yang mencerminkan penjelmaan seluruh rakyat, untuk mencapai keputusan berdasarkan kebulatan pendapat (mufakat) yang diiktikadkan untuk di1aksankn secara jujur dan bertanggungjawab. Segala keputusan diusahakan dengan cara musyawarah untuk mufakat di antara semua piliak. Apabila hal tersebut tidak dapat segera terlaksana, maka pemimpin rapat dapat mengusahakan/berdaya-upaya agar rapat dapat berhasil mencapai mufakat. Keputusan berdasarkan mufakat adalah sah bilamana diambil dalam rapat dihadiri oleh lebih dan separuh jumlah anggota rapat. Pengambilan Keputusan Berdasarkan Suara Terbanyak (quorum). Keputusan berdasarkan suara terbanyak diambil apabila keputusan berdasarkan mufakat sudah tidak

122 mungkin diusahakan karena adanya pendirian dari sebagian peserta musyawarah yang tidak dapat didekatkan lagi atau karena faktor waktu yang mendesak. Dengan sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, manusia Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. Dalam menggunakan hak-haknya ia menyadari perlunya selalu memperhatikan dan mengutamakan kepentingan negara dan kepentingan masyarakat. Karena mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama, maka pada dasarnya tidak boleh ada suatu kehendak yang dipaksakan kepada pihak lain. Sebelum diambil keputusan yang menyangkut kepentingan bersama terlebih dahulu diadakan musyawarah. Keputusan diusahakan secara mufakat. Musyawarah untuk mencapai mufakat ini diliputi oleh semangat kekeluargaan yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Sila keempat dari Pancasila berbunyi: ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan”. Sila ini mengandung empat pengertian pokok yaitu pengertian tentang kerakyatan, hikmat kebijaksanaan, permusyawaratan dan tentang perwakilan. Kerakyatan Kerakyatan berasal dari kata rakyat yang berarti sekelompok manusia yang mendiami suatu wilayah tertentu. Kerakyatan berarti suatu prinsip yang mengakui bahwa kekuasan tertinggi berada di tangan rakyat. Kerakyatan disebut juga kedaulatan rakyat, artinya rakyat yang berdaulat, berkuasa. Hal ini disebut juga demokrasi yang berarti rakyat yang memerintah. Hikmat Kebijaksanaan Hikmat kebijaksanaan berarti suatu sikap yang dilandasi dengan penggunaan pikiran sehat dengan selalu mempertimbangkan kepentingan persatuan dan kesatuan bangsa. Kepentingan rakyat akan dijamin dengan sadar, jujur, dan bertanggung jawab serta didorong oleh itikad baik sesuai dengan hati nurani yang murni. Dengan uraian di atas, maka hasil dan suatu

123 perbuatan atau kebijaksanaan akan baik dan benar karena dihadapi dengan mempergunakan seluruh daya manusia yang tinggi. Permusyawaratan Permusyawaratan. berarti suatu tata cara yang khas Indonesia untuk merumuskan dan atau memutuskan sesuatu hal berdasarkan kehendak rakyat sehingga tercapai keputusan berdasarkan mufakat. Pelaksanaan dan kebenaran ini, memerlukan semangat mengutamakan kepentingan nasional dibandingkan dengan kepentingan daerah, golongan, dan pribadi. Hal ini memerlukan pula itikad yang baik dan ikhlas, dilandasi oleh pikiran yang sehat serta ditopang oleh kesadaran bahwa kepentingan bangsa dan negara mengalahkan kepentingan yang lain. Oleh karena itu, diperlukan kesediaan untuk mengembangkan sebagian pamrih-pamrih tertentu agar kepentingan nasional dapat terpenuhi. Kemudian dituntut pula tanggung jawab yang tinggi dan semua pihak untuk melaksanakan semua keputusan yang telah diambil bersama.

Perwakilan Perwakilan berarti suatu tata cara untuk mengusahakan ikut sertanya rakyat mengambil bagian urusan bernegara. Bentuk keikutsertaan itu ialah badan-badan perwakilan, baik di pusat seperti MPR dan DPR maupun di daerah yang berwujud DPRD. Keanggotaan badan-badan perwakilan itu ditentukan melalui suatu pemilihan yang bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia. Di sinilah diperlukan kedewasaan dan kesadaran warga masyarakat agar dapat memilih wakil-wakilnya dengan tepat. Hal itu sangat penting agar kepentingannya dapat terpenuhi. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan Sila keempat ini mengandung arti bahwa rakyat dalam menjalankan kekuasaannya, dilakukan melalui perwakilan, jadi tidak langsung. Keputusan- keputusan yang diambil oleh wakil-wakil itu dilakukan melalui musyawarah yang dipimpin oleh akal sehat serta penuh rasa tanggung jawab baik kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun kepada rakyat yang diwakilinya.

124 Hal itu semua sumbernya dapat diperiksa pada Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa: “maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. ..“ Petunjuk-petunjuk yang nyata dan wujud pengamalan sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, antara lain adalah: a. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat; b. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain; c. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama; d. Musyawarah untuk mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan; e. Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah; f. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur; g. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Nilai Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia Dalam pidato 1 Juni 1945 ditegaskan bahwa prinsip kesejahteraan adalah prinsip tidak adanya kemiskinan di alam Indonesia Merdeka. Keadilan sosial adalah sifat masyarakat adil dan makmur kebahagiaan buat semua orang, tidak ada penghisapan, tidak ada penindasan dan penghinaan; semuanya bahagia, cukup sandang pangan. Tidak dengan sendirinya kita dapat mencapai kesejahteraan ini, walau telah ada perwakilan rakyat. Di negara-negara Eropa dan Amerika telah ada Badan Perwakilan, Parlementaire Democratie, tetapi justru di sanalah kapitalis merajalela. Hal ini disebabkan yang dinamakan demokrasi di sana hanyalah demokrasi politik

125 saja, tak ada keadilan sosial, tak ada demokrasi ekonomi. Seorang pemirnpin Prancis, Jean Jaures menggambarkan tentang demokrasi politik itu sebagai berikut: Di dalam Demokrasi Parlementer tiap orang boleh memilih, boleh menjadi anggota parlemen. Tetapi adakah sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat? Wakil kaum buruh mempunyai hak politik itu di dalam parlemen, ia dapat menjatuhkan Menteri; akan tetapi jika hari ini ia berhasil menjatuhkan Menteri, besok pagi di tempat ia bekerja, di dalam pabrik, ia dapat dilempar keluar jalan raya, dijadikan penganggur yang tidak mendapat makanan suatu apapun. Oleh karena itu dalam Pidato 1 Juni 1945 diusulkan kepada sidang ‘supaya mencari demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni demokrasi politik dan ekonomi yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial. Rakyat Indonesia sudah lama mengharapkan kedatangan Ratu Adil. Yang dimaksud dengan paham Ratu Adil; ialah keadilan sosial, rakyat ingin hidup sejahtera, rakyat yang tadinya nierasa dirinya kurang makan dan kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadiian, di bawah pimpinan Ratu Adil. Oleh karena itu jika memang benar-benar kita mengerti, mengingat dan mencintai rakyat Indonesia, kita harus terima prinsip keadilan sosial, yang bukan saja persamaan politik, tetapi juga di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik- baiknya”. Prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat diwujudkan dalam Bab XIV UUD 1945 yang berjudul: “Kesejahteraan Sosial” yang terdiri atas pasal 33 dan 34. Dalam pasal 33 ditegaskan bahwa: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas-asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

126 (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan dalam pasal 34 ditegaskan bahwa fakir miskin dan anak- anak terlantar dipelihara oleh negara. Sila kelima dari Pancasila berbunyi: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sila mi mengandung dua pengertian pokok yaitu pengertian tentang keadilan sosial dan tentang seluruh rakyat Indonesia. Keadilan Sosial Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang kehidupan baik material maupun spritual. Artinya keadilan itu tidak untuk golongan kaya saja tetapi juga untuk si miskin; bukan hanya untuk para pemimpin juga untuk rakyat yang dipimpin; tidak hanya untuk orang Jawa tetapi untuk orang Mentawai. Demikian pula yang kita usahakan, tidak hanya makanan dan pakaian tetapi juga sampai kepada kebutuhan untuk menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seluruh Rakyat Indonesia Seluruh rakyat Indonesia berarti setiap orang yang menjadi rakyat Indonesia baik yang berdiam di wilayah kekuasaan Republik Indonesia maupun warga negara Indonesia yang berada di negara lain. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia Sila inii secara bulat berarti bahwa setiap rakyat Indonesia mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hukum, poitik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, pengertian keadilan sosial mencakup pula pengertian adil dan makmur. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 antara lain tersirat bahwa cita-cita bangsa Indonesia ialah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makrnur, material dan spritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia. Seperti halnya sila-sila yang lain, sila kelima juga merupakan nilai luhur dari bangsa Indonesia. Oleh karena itu, merupakan tuntutan tingkah

127 laku kita semua. Petunjuk-petunjuk nyata dan wujud pengamalan sila Keadilan Sosiai bagi Seluruh Rakyat Indonesia antara lain adalah: a. Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong royongan. b. Bersikap adil; c. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban; d. Menghormati hak-hak orang lain; e. Suka memberi pertolongan kepada orang lain; f. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain; g. Tidak bersifat boros; h. Tidak bergaya hidup mewah; i. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum; j. Suka bekerja keras; k. Menghargai karya orang lain; l. Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.

128 BAB VII PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI

1. Pengertian Ideologi Filsafat merupakan suatu ajaran nilai atau kebenaran yang dijadikan keyakinan atau pandangan hidup suatu bangsa. Bagi suatu bangsa, kebenaran ini dijadikan dasar negara atau ideologi negara. Setelah kita mengkaji pengertian filsafat dari uraian di atas, selanjutnya marilah kita kaji pengertian tentang ideo1ogi dan ideologi Pancasila. Ideologi berasal dan kata ideo artinya: cita-cita dan logy berarti: “pengetahuan, ilmu dan paham”. Menurut W. White definisi dari ideologi ialah: The sun of political ideas or doctrines of a distinguishable class or group of people; artinya: Ideologi ialah soal cita-cita politik atau doktrin atau ajaran dari suatu lapisan masyarakat atau sekelompok manusia yang dapat dibeda-bedakan. Sedangkan Menurut pendapat Harol H. Titus, definisi dari ideologi itu adalah: A term used for amy group of ideas concerning various political and economic issues and social philosphies often applied to a systematic scheme of ideas held by groups or classes; artinya: suatu istilah yang dipergunakan untuk sekelompok cita-cita mengenai berbagai macam masalah politik dan ekonomi, filsafat sosial yang sering dilaksanakan bagi suatu rencana yang sistematis tentang cita-cita yang dijalankan oleh kelompok atau lapisan masyarakat. Adapun ideologi negara itu termasuk dalam golongan Ilmu Pengetahuan Sosial, dan tepatnya dapat digolongkan ke dalam ilmu politik atau Political Sciences sebagai anak cabangnya. Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara dihubungkan dengan fungsinya sebagai dasar negara, yang merupakan landasan idiil bangsa Indonesia dan negara Republik Indonesia dapatlah disebut pula sebagai ideologi nasional atau lebih tepat ideologi negara. Artinya Pancasila merupakan satu ideologi yang dianut oleh negara atau pemerintah dan rakyat Indonesia secara keseluruhan, bukan milik atau monopoli seseorang ataupun sesuatu golongan masyarakat tertentu.

129 2. Makna Ideologi bagi Negara Berbagai literatur menunjukkan kepada kita bahwa fikiran hidup bernegara bisa ditata secara hirarkis dari tataran yang paling abstrak dan merupakan aksioma, sampai pada yang paling konkrit yang bersifat praktek empirik yang dapat diuji. Hal ini penting untuk kita kaji sejenak, agar kita bisa menempatkan di mana posisi ideologi. Ada berbagai pilihan dalam menata fikiran secara hirarkis itu. Salah satu pilihan, yang cukup sederhana, adalah jika kita menatanya secara berurutan: falsafah, ideologi, politik dan strategi. Falsafah dan ideologi termasuk dalam tataran nilai dasar, sedangkan politik dan strategi termasuk dalam tataran nilai instrumental. Falsafah merupakan hasil pemikiran manusia yang paling tinggi, yang timbul dari upaya yang tidak kenal henti mencari kebenaran yang paling dasar. Kebenaran itu dicari karena kecintaan kepada kebenaran itu sendiri. Manusia menemukan berbagai kebenaran abadi melalui upaya berfilsafat ini, seperti kejujuran, kebahagiaan, kesetiakawanan ataupun cintakasih. Berdasarkan hakikat kebenaran tertinggi yang diperoleh, disusunlah sistem filsafat yang sesuai. Falsafah berbeda dari agama, yang nilai-nilai tertingginya tidak diperoleh melalui upaya refleksi kritis manusia, tetapi dari keimanan terhadap wahyu supranatural. Falsafah dapat mendukung agama. Ideologi adalah berada satu tingkat lebih rendah dan falsafah. Berbeda dengan falsafah, yang digerakkan oleh kecintaan kepada kebenaran, dan sering tanpa pamrih apapun juga, maka ideologi digerakkan oleh tekad untuk mengubah keadaan yang tidak diinginkan, menuju ke arah keadaan yang diinginkan. Dalam ideologi sudah ada suatu komitmen, sudah terkandung wawasan masa depan yang dikehendaki dan hendak diwujudkan dalam kenyataan. Jika falsafah merupakan kegemaran dari sebagian kecil orang saja, karena memang tidak semua orang mempunyai kecenderungan pribadi mencari kebenaran tertinggi itu, maka ideologi diminati oleh lebih banyak manusia. Menurut Edward Shils, salah seorang pakar mengenai ideologi ini, jika manusia sudah mencapai suatu taraf perkembangan intelektual tertentu, maka kecenderungan menyusun ideologi ini merupakan suatu ciri dasar

130 kemanusiaannya.Hal ini ada benarnya, karena manusia adalah makhluk yang berfikir, yang selalu bertanya: mengapa? Dengan lain perkataan, semakin cerdas dan semakin terdidik warga masyarakat, semakin meningkat kebutuhannya akan wawasan ideologis ini. Oleh karena ideologi merupakan wawasan yang hendak diwujudkan, maka ideologi selalu berkonotasi politik. Ideologi hampir selalu bersumber dari nilai falsafah yang mendahuluinya dan menghubungkannya dengan politik yang menangani dunia nyata yang hendak diubah. Menurut Frans Magnis Suseno ideologi sebagai suatu sistem pemikiran dapat dibedakan kepada ideologi tertutup dan ideologi terbuka.Ideologi tertutup ciri-cirinya sebagai berikut : Merupakan cita-cita suatu kelompok orang untuk mengubah dan memperbarui masyarakat.Atas nama ideologi dibenarkan pengorbanan-pengorbanan yang dibebankan kepada masyarakat.Isinya bukan hanya nilai-nilai dan cita-cita tertentu melainkan terdiri dari tuntutan-tuntutan kongkrit dan operasional yang keras yang diajukan dengan mutlak.Ideologi terbuka mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : Bahwa nilai-nilai dan cita-citanya tidak dapat dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari moral, budaya masyarakat itu sendiri.Dasarnya bukan keyakinan ideologis sekelompok orang melainkah hasil musyawarah dari konsensus masyarakat tersebut.Nilai-nilai itu sifatnya dasar, secara garis besar saja sehingga tidak langsung operasional. Politik, yang juga bisa kita terjemahkan sebagai kebijaksanaan, menyangkut asas serta dasar bagaimana mewujudkan ideologi itu ke dalam kenyataan, khususnya dengan membangun kekuatan yang diperlukan, serta untuk mempergunakan kekuatan itu untuk mencapai tujuan. Tingkat terakhir, strategi menyangkut upaya untuk secara berencana mencapai tujuan yang ditetapkan ideologi ke dalam kenyataan, yang berubah secara terus-menerus. Strategilah yang menjembatani falsafah-ideologi dan kebijaksanaan, yang sifatnya abstrak, dengan kenyataan konkrit. Dalam masyarakat yang stabil, empat tataran fikir manusia ini berhubungan secara dinamis dan tersusun hirarkis. Dari falsafah dan ideologi diperoleh apa yang kita sebut sebagai stabilitas, sedang dari kebijaksanaan dan strategi kita peroleh yang kita sebut sebagai dinamika. Edward Shils, mengungkapkan adanya keuntungan

131 tatanan berfikir demikian, yaitu adanya “a constant process of orderly selfrevision’, atau suatu proses berkesinambungan dan upaya memperbaharui diri secara tertib. Selanjutnya, menurut Edward Shils, ada lima syarat teoretikal yang harus dipenuhi, jika tatanan demikian akan kita wujudkan, yaitu: a. Adanya taraf konsensus yang tinggi mengenai nilai-nilai sosial bersama yang hendak diwujudkan itu. Tanpa konsensus jelas tidak mungkin ada ketertiban yang mantap. b. Pembedaan yang jelas antara nilai dan norma yang melaksanakannya, agar supaya pelanggaran norma dalam kenyataan tidak sekaligus dianggap sebagai pelanggaran nilai, yang mendasarinya. c. Relatif tidak adanya perpecahan dan kesenjangan di antara golongan yang ada dalam masyarakat. d. Adanya stabilitas pola kelembagaan untuk proses legislatif, yang menjabarkan norma-norma itu dalam peraturan perundangan yang mengikat seluruh warga masyarakat secara adil. e. Akhirnya, adanya stabilitas pola kelembagaan untuk menampilkan keluhan serta menyelesaikan masalah yang melatar belakanginya. 3. Perbandingan Ideologi Pancasila dengan Ideologi Lain Sebagai suatu ideologi bangsa dan negara Indonesia maka Pancasila pada hakikatnya bukan hanya merupakan suatu hasil perenungan atau permikiran seseorang atau sekelompok orang sebagaimana ideologi-ideologi lain di dunia, namun Pancasila diangkat dari nilai-nilai adat-istiadat, nilai-nilai kebudayaan serta nilai religius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum membentuk negara. Dengan lain perkataan unsur-unsur yang merupakan materi (bahan) Pancasila tidak lain diangkat dari pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri, sehingga bangsa Indonesia merupakan kausa materialis (asal bahan) Pancasila. Unsur-unsur Pancasila tersebut kemudian diangkat dan dirumuskan oleh para pendiri negara, sehingga Pancasila berkedudukan sebagai dasar negara dan ideologi bangsa dan negara Indonesia. Dengan demikian Pancasila sebagai

132 ideologi bangsa dan negara Indonesia berakar pada pandangan hidup dan budaya bangsa, dan bukan mengangkat atau mengambil ideologi dari bangsa lain. Pengertian ideologi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan gagasan-gagasan, ide-ide, keyakinan-keyakinan serta kepercayaan-kepercayaan yang bersifat sistematis yang memberikan arah dan menyangkut tingkah laku sekelompok manusia tertentu, dalam pelbagai bidang kehidupan. Hal ini menyangkut berbagai bidang kehidupan yaitu: a. Bidang politik, termasuk di dalamnya bidang hukum, pertahanan dan keamanan. b. Bidang sosial c. Bidang kebudayaan d. Bidang keagamaan. Maka ideologi negara dalam arti cita-cita negara atau citacita yang menjadi basis bagi suatu teori atau sistem kenegaraan untuk seluruh rakyat dan bangsa yang bersangkutan, pada hakikatnya merupakan asas kerokhanian yang antara lain memiliki ciri sebagai berikut: a. Mempunyai derajat yang tertinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan kenegaraan. b. Oleh karena itu mewujudkan suatu asas kerokhanian, pandangan dunia, pandangan hidup, pegangan hidup yang harus dipelihara dikembangkan, diamalkan, dilestarikan kepada generasi penerus bangsa, diperjuangkan dan dipertahankan dengan kesediaan berkorban. Namun hendaklah diketahui bahwa Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara adalah diangkat dan pandangan hidup masyarakat Indonesia, kemudian menjadi pandangan hidup bangsa dan pada gilirannya menjadi suatu dasar filsafat negara yang sekaligus sebagai suatu ideologi bangsa dan negara. Ideologi Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara tumbuh dan berkembang melalui dan dalam pandangan hidup masyarakat dan bangsa Indonesia sendiri dan melalui wakil-wakil bangsa dalam lembaga pembentuk negara dengan suatu kesepakatan serta perjanjian yang luhur diangkat menjadi ideologi bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu ideologi Pancasila berakar pada pandangan hidup dan budaya bangsa itu sendiri

133 sehingga antara Pancasila dengan bangsa Indonesia merupakan suatu kesatuan yang mutlak karena menyangkut kehidupan bangsa. Sebagai suatu ideologi, maka Pancasila merupakan sumber cita-cita, harapan nilai-nilai serta norma-norma yang dianggap baik, sehingga ideologi Pancasila pada hakikatnya demi kesejahteraan hidup bangsa Indonesia. Dasar yuridis formal ideologi Pancasila tersimpul dalam Pembukaan UUD 1945, dalam suatu kalimat “…. dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, dst “. pada hakikatnya memiliki makna dasar filsafat negara yang sekaligus sebagai asas kerokhanian negara dan konsekuensinya sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia. Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara menyatakan suatu cita-cita yang ingin dicapai sebagai titik tekanannya dan mencakup nilai-nilai yang menjadi dasar dan pedoman negara dan kehidupannya. Pancasila sebagai ideologi negara memiliki konsekuensi bahwa segala sesuatu tujuan dalam bidang pemerintah ataupun semua yang berhubungan dengan hidup kenegaraan harus dilandasi dalam hal titik tolak pelaksanaannya, dibatasi dalam gerak pelaksanaannya, dan diarahkan dalam mencapai tujuannya yaitu dengan asas kerokhanian Pancasila. Dengan menyatakan cita-cita yang ingin dicapai ini sumbernya adalah pada sila kelima yaitu untuk mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat yang dengan sendirinya diliputi dan dijiwai oleh keempat sila lainnya. Selanjutnya dalam rangka penerapan ideologi di bidang kenegaraan adalah politik, karena ideologi merupakan suatu asas kerokhanian dan bersifat asasi, sedangkan politik adalah suatu kebijaksanaan yaitu pelaksanaan ideologi selaras dengan keadaan, kondisi, waktu serta tempat. Oleh karena itu dengan bersumber pada ideologi Pancasila dapat dikembangkan berbagai macam kebijaksanaan bidang politik.. 3.1 Liberalisme Teori individualistik mengajarkan bahwa negara adalah masyarakat hukum (legal society) yang disusun atas kontrak antara seluruh perorangan dalam masyarakat itu (contract social).

134 Teori individualistik ini diterapkan di negara-negara Eropa Barat dan Amerika. Teori individualistik dipelopori oleh Thomas Hobbes (1988-1978), John Locke (1632-1704), Jean Jacques Rousseau (1712-1778), Herbert Spencer (1820-1903) dan Harold Joseph Laski (1893-1950). Susunan negara yang berdasar individualisme terdapat di negeri Eropa Barat dan Amerika.

3.2 Sosialisme Teori golongan/teori kelas dipelopori Karl Marx (1818-1883), Friedrich Engels (1820-1895) dan Lenin (1870-1924). Teori golongan menganggap bahwa negara adalah alat dari suatu golongan/kelas untuk menindas kelas yang lain. Kelas/golongan ekonomi kuat menindas golongan/ekonomi lemah. Golongan borjuis menindas golongan proletar (kaum buruh). Marx menganjurkan revolusi politik dari kaum buruh untuk merebut kekuasaan negara agar kaum buruh dapat ganti menindas kaum borjuis. Teori ini diterapkan di Negara-negara komunis dalam bentuk diktator proletariat.

4. Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka Pancasila sebagai suatu ideologi tidak bersifat kaku dan tertutup, namun bersifat reformatif, dinamis dan terbuka. Hal ini dimaksudkan bahwa ideologi Pancasila adalah bersifat aktual, dinamis, antisipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika perkembangan aspirasi masyarakat. Keterbukaan ideologi Pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya, namun mengeksplisitkan wawasannya secara lebih kongkrit, sehingga memiliki kemampuan yang reformatif untuk memecahkan masalah-masalah aktual yang senantiasa berkembang seiring dengan aspirasi rakyat. Dalam ideologi terbuka terdapat cita-cita dan nilai-nilai yang mendasar yang bersifat tetap dan tidak berubah sehingga tidak langsung bersifat operasional, oleh karena itu setiap kali harus dieksplisitkan. Eksplitasi dilakukan dengan menghadapkannya pada berbagai masalah yang selalu silih berganti melalui refleksi yang rasional sehingga terungkap makna operasionalnya. Dengan demikian penjabaran ideologi dilaksanakan dengan interpretasi yang kritis dan

135 rasional. Sebagai suatu contoh keterbukaan ideologi Pancasila antara lain dalam kaitannya dengan kebebasan berserikat berkumpul sekarang terdapat 48 partai politik, dalam kaitan dengan ekonomi (misalnya ekonomi kerakyatan), demikian pula dalarn kaitannya dengan pendidikan, hukum, kebudayaan, Iptek, hankam dan bidang lainnya. Berdasarkan pengertian tentang ideologi terbuka tersebut nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah sebagai berikut: Nilai Dasar, yaitu hakikat kelima sila Pancasila yaitu Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Nilai dasar tersebut adalah merupakan essensi dari sila-sila Pancasila yang sifatnya universal, sehingga dalam nilai dasar tersebut terkandung cita-cita, tujuan serta nilai-nilai yang baik dan benar. Nilai dasar ideologi tersebut tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, sehingga oleh karena Pembukaan memuat nilai-nilai dasar ideologi Pancasila maka Pembukaan UUI) 1945 merupakan suatu norma dasar yang merupakan tertib hukum tertinggi, sebagai sumber hukum positif sehingga dalam negara memiliki kedudukan sebagai ‘Staatsfundamentalnorm’ atau Pokok Kaidah Negara yang Fundamental yang terlekat pada kelangsungan hidup negara. Sebagai ideologi terbuka nilai dasar inilah yang bersifat tetap dan oleh karena Pembukaan UUD 1945 juga memuat sifat yang tetap dan terlekat pada kelangsungan hidup negara, sehingga mengubah Pembukaan UUD 1945 yang memuat nilai dasar ideologi Pancasila tersebut sama halnya dengan pembubaran negara. Adapun nilai dasar tersebut kemudian dijabarkan dalam pasal-pasal UUD 1945 yang di dalamnya terkandung lembaga-lembaga penyelenggara negara, hubungan antar lembaga penyelenggara negara beserta tugas dan wewenangnya. Nilai Instrumental yang merupakan arahan, kebijakan, strategi, sasaran serta lembaga pelaksananya. Nilai instrumental ini merupakan eksplisitasi, penjabaran lebih lanjut dari nilai-nilai dasar dalam rangka penyesuaian dalam pelaksanaan nilai-nilai dasar ideologi Pancasila. Misainva GBHN yang lima tahun sekali senantiasa disesuaikan dengan perkembangan zaman serta aspirasi masyarakat, undang-undang, departemen-departemen sebagai lembaga pelaksana dan lain sebagainya.

136 Nilai Praktis, yaitu merupakan realisasi nilai-nilai instrumental dalam suatu realisasi pengamalan yang bersifat nyata, dalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam pengamalan praksis inilah maka akan nampak apakah penjabaran serta eksplisitasi nilai-nilai dasar ideologi Pancasila itu sesuai atau tidak dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika masyarakat. Suatu ideologi selain memiliki aspek-aspek yang bersifat ideal yang berupa cita-cita, pemikiran-pemikiran serta nilai-nilai yang dianggap baik, juga harus memiliki norma yang jelas karena ideologi harus mampu direalisasikan dalam kehidupan praksis yang merupakan suatu pengalaman nyata. Oleh karena itu Pancasila sebagai suatu ideologi yang bersifat terbuka memiliki tiga dimensi yaitu: 1) Dimensi Idealistis, yaitu nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila yang bersifat sistematis, rasional dan menyeluruh, yaitu hakikat nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila yaitu Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Hakikat nilai-nilai Pancasila tersebut bersumber pada filsafat Pancasila (nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam Pancasila). . Kadar serta idealisme yang terkandung dalam Pancasila mampu memberikan harapan, optimisme serta mampu menggugah motivasi para pendukungnya untuk berupaya mewujudkan apa yang dicita-citakan . 2) Dimensi Normatif, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila perlu dijabarkan dalam suatu sistem norma, sebagaimana terkandung dalam norma-norma kenegaraan. Dalam pengertian ini Pancasila terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan norma tertib hukum tertinggi dalam negara Indonesia serta merupakan Staatsfundamentalnorm (Pokok Kaidah negara yang Fundamental). Dalam pengertian ini ideologi Pancasila agar mampu dijabarkan ke dalam langkah operasional, maka perlu memiliki norma yang jelas . 3) Dimensi Relistis, yaitu suatu ideologi harus mampu mencerminkan realitas yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu Pancasila selain memiliki dimensi nilai-nilai ideal serta normatif maka Pancasila harus mampu dijabarkan dalam kehidupan masyarakat secara nyata (kongkrit)

137 baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam penyelenggaraan negara. Dengan demikian Pancasila sebagai ideologi terbuka tidak bersifat ‘utopis’ yang hanya berisi ide-ide yang bersifat mengawang, melainkan suatu ideologi yang bersifat ‘realistis’ artinya mampu dijabarkan dalam segala aspek kehidupan nyata. Berdasarkan dimensi yang dimiliki oleh Pancasila sebagai ideologi terbuka, maka sifat ideologi Pancasila tidak bersifat ‘utopis’ yaitu hanya merupakan sistem ide-ide belaka yang jauh dari kehidupan sehari-hari secara nyata. Demikian pula ideologi Pancasila bukanlah merupakan suatu ‘doktrin’ belaka yang bersifat tertutup yang merupakan norma-norma yang beku, melainkan di samping memiliki idealisme Pancasila juga bersifat nyata dan dinamis. Akhirnya Pancasila juga bukan merupakan suatu ideologi yang ‘pragmatis yang hanya menekankan segi praktis belaka tanpa adanya aspek idealisme. Maka ideologi Pancasila yang bersifat terbuka pada hakikatnya, nilai-nilai dasar (hakikat sila-sila Pancasila) yang bersifat universal dan tetap, adapun penjabaran dan realisasinya senantiasa dieksplisitkan secara dinamis, terbuka dan senantiasa mengikuti perkembangan zaman serta dinamika aspirasi para pendukungnya.

138 BAB VIII PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN BERMASYARAKAT BERBANGSA DAN BERNEGARA

1. Pengertian Paradigma Secara terminologis yang dimaksud dengan pengertian Paradigma berasal dari Thomas S. Khun dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution (1970: 94), yang inti sarinya bahwa paradigma adalah suatu asumsi- asumsi dasar dan asumsi teoretis yang umum (sumber nilai) sehingga merupakan suatu sumber hukum, metode serta penerapan dalam ilmu pengetahuan. Sehingga dengan demikian paradigrna merupakan suatu dasar yang fundamental (suatu dasar ontologis) dari suatu ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri serta karakter ilmu itu sendiri. Oleh karena itu dalam pengertian yang lebih populer yang digunakan dalam berbagai bidang termasuk dalam hukum, politik, ekonomi, budaya serta bidang-bidang lainnya yang dimaksud dengan pengertian Paradigma yaitu suatu sumber nilai, kerangka berfikir, orientasi dasar, sumber asas serta dasar arah dan tujuan dan pengembangan, perubahan serta proses suatu bidang tertentu, termasuk proses reformasi. Secara historis telah kita pahami bersama bahwa para pendiri negara telah menentukan suatu asas, sumber nilai serta sumber norma yang fundamental dari negara Indonesia yaitu Pancasila, yang bersumber dari apa yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri yaitu nilai-nilai yang merupakan pandangan hidup sehari-hari bangsa Indonesia. Nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan adalah ada secara objektif dan melekat pada bangsa Indonesia yang merupakan pandangan dalam kehidupan bangsa sehari-hari.Maka dalam kehidupan politik kenegaraan dewasa ini yang sedang melakukan reformasi bukan berarti kita akan mengubah cita-cita, dasar nilai serta pandangan hidup bangsa melainkan melakukan perubahan dengan menata kembali dalam suatu platform yang bersumber pada nilai-nilai dan sila-sila tersebut dalam segala bidang , antara lain dalam bidang hukum, politik, ekonomi, serta bidang-bidang lainnya.

139 Reformasi dengan melakükan perubahan dalam berbagai bidang yang sering diteriakkan dengan jargon reformasi total tidak mungkin melakukan perubahan terhadap sumbernya itu sendiri. Mungkinkah reformasi total dewasa ini akan mengubah kehidupan bangsa Indonesia menjadi tidak berketuhanan, tidak berkemanusiaan, tidak berpersatuan, tidak berkerakyatan serta tidak berkeadilan, dan kiranya hal itu tidak mungkin dilakukan. Oleh karena itu justru sebaliknya reformasi itu harus memiliki tujuan, dasar, cita-cita serta platform yang jelas dan bagi bangsa Indonesia Nilai-nilai Pancasila itulah yang merupakan paradigma Reformasi Total tersebut.

2. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional 2.1. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi Hukum Dalam era reformasi akhir-akhir ini seruan dan tuntutan rakyat terhadap pembaharuan hukum sudah merupakan suatu keharusan karena proses reformasi yang melakukan penataan kembali tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan perubahan-perubahan terhadap peraturan perundangan-undangan. Agenda yang lebih kongkret yang diperjuangkan oleh para pelaku reformasi yang paling mendesak adalah reformasi bidang hukum. Hal ini berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa setelah peristiwa 21 Mei 1998 saat runtuhnya kekuatan Orde Baru, salah satu subsistem yang mengalami kerusakan parah selama Orde Baru adalah bidang hukum. Produk hukum baik materi maupun penegakkannya dirasakan semakin menjauh dari nilái-nilai kemanusiaan, kerakyatan serta keadilan. Subsistem hukum nampaknya tidak mampu menjadi pelindung bagi kepentingan masyarakat dan yang berlaku hanya bersifat imperatif bagi penyelenggara pemerintahan. Oleh karena kerusakan atas subsistem hukum akan sangat menentukan terhadap berbagai bidang lainnya misalnya: politik, ekonomi maka bangsa Indonesia ingin melakukan suatu reformasi, menata kembali subsistem yang mengalami kerusakan tersebut. Namun demikian hendaklah dipahami bahwa dalam melakukan reformasi tidak mungkin dilakukan secara spekulatif saja melainkan harus memiliki dasar, landasan serta sumber nilai yang jelas, dan

140 dalam masalah ini nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang merupakan dasar cita-cita reformasi. Pancasila Sebagai Sumber Nilai Perubahan Hukum Dalam negara terdapat suatu dasar fundamental atau pokok kaidah yang merupakan sumber hukum positif yang dalam ilmu hukum tata negara disebut “Staatsfundamentalnorm”. Dalam negara Indonesia “Staatsfundamentalnorm” tersebut intinya tidak lain adalah Pancasila. Maka Pancasila merupakan cita- cita hukum, kerangka berpikir, sumber nilai serta sumber arah penyusunan dan perubahan hukum positif di Indonesia. Dalam pengertian inilah maka Pancasila berfungsi sebagai paradigma hukum terutama dalam kaitannya dengan berbagai macam upaya perubahan hukum, atau Pancasila harus merupakan paradigma dalam suatu pembaharuan hukum. Materi-materi dalam suatu produk hukum atau perubahan hukum dapat senantiasa berubah dan diubah sesuai dengan perkembangan zaman, perkembangan Iptek serta perkembangan aspirasi masyarakat namun sumber nilai (yaitu nilai-nilai Pancasila) harus senantiasa tetap. Hal ini mengingat kenyataan bahwa hukum itu tidak berada pada situasi vacum. Oleh karena itu agar hukum berfungsi sebagai pelayanan kebutuhan masyarakat maka hukum harus senantiasa diperbaharui agar aktual atau sesuai dengan keadaan serta kebutuhan masyarakat yang dilayaninya dan dalam pembaharuan hukum yang terus-menerus tersebut Pancasila harus tetap sebagai kerangka berpikir, sumber norma dan sumber nilai-nilainya. Sebagai paradigma dalam pembaharuan tatanan hukum Pancasila itu dapat dipandang sebagai “Cita-cita hukum” yang berkedudukan sebagai Staatsfundamentalnorm dalam negara Indonesia. Sebagai cita-cita hukum Pancasila dapat memenuhi fungsi konstitutif maupun sebagai regulatif. Dengan fungsi regulatifnya Pancasila menentukan dasar suatu tata hukum yang memberi arti dan makna bagi hukum itu sendiri sehingga tanpa dasar yang diberikan oleh Pancasila maka hukum akan kehilangan arti dan nilainya sebagai hukum itu sendiri. Demikian juga dengan fungsi regulatifnya Pancasila menentukan apakah suatu hukum positif itu sebagai produk yang adil ataukah tidak adil. Sebagai Staatsfundamentalnorm Pancasila merupakan

141 pangkal tolak derivasi (sumber penjabaran) dari tertib hukum di Indonesia termasuk UUD 1945. Dalam pengertian inilah menurut istilah ilmu hukum disebut sebagai sumber dari segala peraturan perundang-undangan di Indonesia . Sumber hukum meliputi dua macam pengertian ; (1) Sumber formal hukum, yaitu sumber hukum ditinjau dari bentuk dan tata cara penyusunan hukum, yang mengikat terhadap komunitasnya, misalnya Undang-undang, Permen, Perda; dan (2) sumber material hukum, yaitu suatu sumber hukum yang menentukan materi atau isi suatu norma hukum . Pancasila yang di dalamnya terkandung nilai-nilai religius, nilai hukum kodrat, nilai hukum moral pada haklkatnya merupakan suatu sumber material hukum positif di Indonesia. Dengan demikian Pancasila menentukan isi dan bentuk peraturan perundang-undangan Indonesia yang tersusun secara hierarkis. Dalam susunan yang hierarkis ini Pancasila menjamin keserasian atau tiadanya kontradiksi antara berbagai peraturan perundang-undangan baik secara vertikal maupun horizontal. ini mengandung konsekuensi jikalau terjadi ketidak serasian atau pertentangan satu norma hukum dengan norma hukum lainnya yang secara hierarkis lebih tinggi apalagi dengan Pancasila sebagai sumbernya, berarti terjadi inkonstitusionalitas (unconstitutionality) dan ketidaklegalan (illegality) dan karenanya norma hukum yang lebih rendah itu batal demi hukum . Selain sumber nilai yang terkandung dalam Pancasila reformasi dan pembaharuan hukum juga harus bersumber pada kenyataan empiris yang ada dalam masyarakat terutama dalam wujud aspirasi-aspirasi yang dikehendakinya. Menurut Johan Galtung suatu perubahn serta pengembangan secara ilmiah harus mempertimbangkan tiga unsur (1) nilai, (2) teori (norma), dan (3) fakta atau realitas empiris . Oleh karena itu dalam reformasi hukum dewasa ini selain Pancasila sebagai paradigma pembaharuan hukum yang merupakan sumber norma dan sumber nilai, terdapat unsur pokok yang justru tidak kalah pentingnya yaitu kenyataan empiris yang ada dalam masyarakat. Oleh karena masyarakat

142 bersifat dinamis baik menyangkut aspirasinya, kemajuan peradaban serta kemajuan Iptek maka perubahan dan pembaharuan hukum harus mampu mengakomodasikannya dalam norma-norma hukum dengan sendirinya selama hal tersebut tidak bertentangan dengan nilai hakiki yang terkandung dalam sila-sila Pancasila. Dengan demikin maka upaya untuk reformasi hukum akan benar-benar mampu mengantarkan manusia ketingkatan harkat dan martabat yang lebih tinggi sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab. 2.2. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasl Politik Landasan aksiologis (sumber nilai) bagi sistem politik Indonesia adalah sebagaimana terkandung dalam Deklarasi Bangsa Indonesia yaitu Pembukaan UUD 1945 alinea IV yang berbunyi “. . . . maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebjjaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Jikalau dikaitkan dengan makna alinea II tentang cita-cita negara dan kemerdekaan yaitu demokrasi (bebas, bersatu, berdaulat, adil) dan (makmur) kemakmuran dasar politik ini menunjukkan kepada kita bahwa bentuk dan bangunan kehidupan masyarakat yang bersatu (sila III), demokrasi (sila 1V), berkeadilan dan berkemakmuran (sila V) serta negara yang memiliki dasar- dasar moral Ketuhanan dan kemanusiaan. Nilai demokrasi politik sebagaimana terkandung dalam Pancasila sebagai fondasi bangunan negara yang dikehendaki oleh para pendiri negara kita dalam kenyataannya tidak dilaksanakan berdasarkan suasana kerokhanian berdasarkan nilai-nilai tersebut. Dalam realisasinya baik pada masa orde lama maupun masa orde baru, negara mengarah pada praktek otoritarianisme yang mengarah pada porsi kekuasaan yang terbesar kepada Presiden. Nilai demokrasi politik tersebut secara normatif terjabarkan dalam Pasal-pasal UUD 1945 yaitu Pasal 1 ayat (2) menyatakan “Kedaulatan adalah

143 di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Pasal 2 ayat (2) menyatakan, “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dan daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang”. Pasal 5 ayat (1) menyatakan, “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.

Pasal 6 ayat (2) menyatakan, “Presiden dan Wakil Presiden dipilIh oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak”. Rangkaian keempat pasal tersebut terkesan sangat unik, karena berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga tertinggi negara untuk menjalankan kedaulatan rakyat, serta berdasarkan Pasal 6 ayat (2) berkuasa memilhi Presiden. Akan tetapi berdasarkan Pasal 2 ayat (1) susunan dan kedudukannya justru diatur dengan undang-undang yang ditetapkan oleh Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut terdapat suatu pertanyaan mendasar berkaitan dengan mekanisme demokrasi yaitu bagaimana MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang memiliki kekuasaan tertinggi, namun ditentukan oleh Presiden bersama-sama dengan DPR yang kekuasaannya di bawah MPR. Hal ini bilamana dipahami secara harfiah akan menimbulkan interpretasi negatif. Oleh karena itu harus dipahami berdasarkan semangat dari UUD 1945 yang merupakan esensi pasal-pasal itu: a. Rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara. b. Kedaulatan rakyat dijalankan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. c. Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan karenanya harus tunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.

144 d. Produk hukum apapun yang dihasilkan oleh Presiden, baik sendiri maupun bersama-sama lembaga lain, kekuatannya berada di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat atau produk-produknya. Prinsip-prinsip demokrasi tersebut bilamana kita kembalikan pada nilai esensial yang terkandung dalam Pancasila maka kedaulatan tertinggi negara adalah di tangan rakyat. Rakyat adalah merupakan asal mula kekuasaan negara. Oleh karena itu paradigma ini harus merupakan dasar pijak dalam reformasi politik. Reformasi atas Sistem Politik Sistem mekanisme demokrasi tersebut tertuang dalam Undang-Undang Politik yang berlaku selama Orde Baru yaitu: a. UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU No. 16/1969 jis UU No. 5/1975 dan UU No. 2/1985). b. UU tentang Partai Politik dan Golongan Karya (UU No. 3/ 1975, jo. UU No. 3/ 1985). c. UU tentang Pemilihan Umum (UU No. 16/1969 jis UU No.4/1975. UU No. 2/1980, dan UU No. 1/1985). Oleh karena itu untuk melakukan reformasi atas sistem politik harus juga melalui reformasi pada UndangUndang yang mengatur sistem politik tersebut, dengan tetap mendasarkan pada paradigma nilai-nilai kerakyatan sebagaimana terkandung dalam Pancasila. Susunan Keanggotaan MPR Target yang sangat vital dalam proses reformasi dewasa ini adalah menyangkut penjabaran sistem kekuasaan rakyat dalam sistem politik Indonesia. Walaupun gelombang protes dari masyarakat yang merupakan aspirasi murni dari rakyat untuk melakukan perubahan terhadap susunan keanggotaan DPR, MPR tidak mungkin dilakukan hanya dengan sekedar copot dan diganti dengan orang lain yang dianggap aspiratif tanpa melalul dasar-dasar aturan normatif dan konstitusional. Oleh karena itu untuk melakukan perubahan terhadap susunan keanggotan MPR, DPR maka terlebih dahulu harus melakukan reformasi terhadap peraturan perundangan yang merupakan dasar acuan penyusunan keanggotaan MPR, DPR.

145 Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD pada masa Orde Baru termuat dalam UU No. 2/1985 sebagai berikut: a. Susunan keanggotaan MPR terdiri atas keseluruhan anggota DPR, ditambah dengan anggota utusan daerah dan utusan golongan “sebagai kelompok yang lain” dalam jumlah yang sama. b. Utusan golongan diangkat oleh Presiden, sedangkan utusan daerah ditetapkan oleh DPRD Tingkat I yang didalamnya harus termasuk Gubernur/ Kepala Daerah Tingkat I. c. Susunan keanggotaan DPR dan DPRD Tingkat I dan Tingkat II tidak seluruhnya dipilih oleh rakyat melalui Pemilu, melainkan sebagian dipilih dan diangkat oleh Presiden. d. Kata “ditambah” seperti termaktub dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 secara matematis menunjukkan perbandingan jumlah anggota MPR Utusan Daerah dan Utusan Golongan yang notabene diangkat dan sekedar sebagai tambahan akan lebih besar dibandingkan jumlah anggota MPR yang dipilih langsung oleh rakyat, bahkan ditambah lagi anggota DPR dan fraksi ABRI yang juga tidak dipilih melalui Pemilu. Susunan keanggotaan MPR sebagaimana termuat dalam Undang- Undang Politik No. 2/1985 tersebut jelas tidak demokratis dan tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat sebagai tertuang dalam semangat UUD 1945. Berdasarkan kenyataan susunan keanggotaan MPR, DPR dan DPRD tersebut di atas maka rakyat bertekad melakukan reformasi dengan mengubah sistem politik tersebut melalui Sidang Istimewa MPR tahun 1998, yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Politik Tahun 1999. Undang- Undang No. 4 Tahun 1999 yang mengatur tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Perubahan yang telah dilakukan antara lain Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan bahwa jumlah anggota MPR sebanyak 700 orang. Anggota DPR hasil Pemilu sebanyak 500 orang. Utusan Daerah sebanyak 135

146 orang, yaitu 5 orang dan setiap Daerah Tingkat I. Utusan Golongan sebanyak 65 orang. Kemudian perubahan yang mendasar berikutnya adalah pada Pasal 2, ayat (3) yaitu Utusan daerah dipilih oleh DPR, dan sebagaimana diketahui bahwa DPR adalah merupakan hasil Pemilu jadi bersifat demokratis. Kalau pada UU No. 2/1985 dipilih dan diangkat oleh Presiden. Demikian pula perubahan atas penentuan Utusan Golongan tertuang dalam Pasal 2, ayat (6) bahwa Utusan Golongan diusulkan oleh golongan masing-masing kepada DPR untuk ditetapkan. Adapun jenis dan jumlah wakil dan masing-masing golongan ditetapkan oleh DPR Pasal 2, ayat (5). Susunan Keanggotaan DPR Perubahan atas isi keanggotaan DPR tertuang dalam Undang-Undang No. 4 Pasal 11 sebagai berikut: Pasal 4 ayat (2) menyatakan keanggotaan DPR terdiri atas: a. Anggota partai politik hasil Permilu b. Anggota ABRI yang diangkat. Pasal 11 ayat (3) menjelaskan: a. Anggota partai politik hasil Pemilu sebanyak 462 orang. b. Anggota ABRI yang diangkat sebanyak 38 orang. Berdasarkan Sidang Istimewa MPR tahun 1998, untuk keanggotaan ABRI akan dikurangi secara bertahap. Berdasarkan pertimbangan dan hasil musyawarah saat itu masih perlu partisipasi ABRI dalam sistem demokrasi demi persatuan dan kesatuan bangsa.Saat ini tidak ada lagi anggota aktif ABRI di DPR.maupun DPRD. Susunan Keanggotn DPRD Tingkat I Reformasi atas Undang-Undang Politik yang mengatur Susunan Keanggotaan DPRD Tingkat I, tertuang dalam Undang-Undang Politik No. 4 Tahun 1999, sebagai berikut: Pasal 18 ayat (1) bahwa pengisian anggota DPRD I dilakukan melalui Pemilu dan pengangkatan. Pasal 18 ayat (2) menyatakan bahwa DPRD I terdiri atas: a. anggota partai politik hasil Pemilihan Umum.

147 b. anggota ABRI yang diangkat. Pasal 18 ayat (3) menyatakan bahwa jumlah anggota DPRD I ditetapkan sekurang-kurangnya 45 orang dan sebanyak-banyaknya 100 orang termasuk 10% anggota ABRI yang diangkat. Demikianlah kiranya upaya untuk mengembalikan tatanan demokrasi pada dasar nilai kedaulatan di tangan rakyat dituangkan dalam Undang- Undang Politik Tahun 1999. Susunan Keanggotaan DPRD II Reformasi atas susunan keanggotaan DPRD II tertuang dalam Undang- Undang Politik No. 4 Tahun 1999, sebagai berikut: Pasal 25 ayat (1) menyatakan : pengisian anggota DPRD II dilakukan berdasarkan hasil Pemilihan Umum dan pengangkatan. Pasal 25 ayat (2) menyatakan DPRD II terdiri atas: a. anggota partai politik hasil Pemilihan Umum. b. anggota ABRI yang diangkat. Pasal 25 ayat (3) menyatakan bahwa jumlah anggota DPRD II ditetapkan sekurang-kurangnya 20 orang dan sebanyak-banyaknya 45 orang termasuk 10% anggota ABRI yang diangkat. Dalam rangka peningkatan peran dan tanggung jawab lembaga lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan UUD 1945 yang telah diamandemen 4 kali, maka telah dilakukan perubahan terhadap undang-undang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratn Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 yang kemudian dirubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 pada tanggal 29 Agustus 2009.Dalam undang-undang ini MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum.Dimasa orde baru lembaga DPD ini belum dikenal.Pada masa itu anggota “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang” ( pasal 2 ayat 2 ).

148 Setelah 4 kali amandemen UUD 1945, maka anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipilih langsung oleh rakyat (pasal 22E).Demikian pula Gubernur, Bupati dan Walikota juga dipilih langsung oleh rakyat pada Pemilukada.Pada pasal 18 (4), berbunyi : “ Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah propinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Demikianlah perubahan atas Undang-undang tentang Susunan Keanggotaan MPR, DPR, DPD dan DPRD agar benar-benar mencerminkan nilai Kerakyatan sebagaimana terkandung dalam sila keempat Pancasila yang merupakan paradigma demokrasi. 2.3 Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi Ekonomi Tidak terwujudnya pelembagaan proses politik yang demokratis, mengakibatkan hubungan pribadi merupakan mekanisme utama dalam hubungan sosial, politik dan ekonomi dalam suatu negara. Kelemahan atas sistem hubungan kelembagaan demokratis tersebut memberikan peluang bagi tumbuh berkembangnya hubungan antara penguasa politik dengan pengusaha, bahkan antara birokrat dengan pengusaha . Terlebih lagi karena lemahnya sistem kontrol kelembagaan berkembang pula penguasa sekaligus sebagai pengusaha, yang didasarkan atas birokrasi dan wibawa keluarga penguasa. Kondisi yang demikian ini jelas tidak mendasarkan atas nilai-nilai Pancasila yang meletakkan kemakmuran pada paradigma demi kesejahteraan seluruh bangsa. Bangsa sebagai unsur pokok serta subjek dalam negara yang merupakan penjelmaan sifat kodrat manusia individu makhluk sosial, adalah sebagai satu keluarga bangsa. Oleh karena itu perubahan dan pengembangan ekonomi harus diletakkan pada peningkatan harkat martabat serta kesejahteraan seluruh bangsa sebagai satu keluarga. Sistem ekonomi yang berbasis pada kesejahteraan rakyat menurut Moh. Hatta, adalah rnerupakan pilar (soko guru) ekonomi Indonesia. Sistem ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru bersifat “birokratik otoritarian” yang ditandai dengan pemusatan kekuasaan dan partisipasi dalam membuat keputusan-keputusan nasional hampir sepenuhnya berada di tangan penguasa bekerjasama dengan kelompok militer dan kaum teknokrat. Adapun

149 kelompok pengusaha oligopolistik didukung oleh pemerintah bekerjasama dengan masyarakat bisnis internasional, dan terlebih lagi kuatnya pengaruh otoritas kekuasaan keluarga pejabat negara termasuk Presiden . Kebijaksanaan ekonomi yang selama ini diterapkan yang hanya mendasarkan pada pertumbuhan dan mengabaikan prinsip nilai kesejahteraan bersama seluruh bangsa, dalam kenyataannya hanya menyentuh kesejahteraan sekelompok kecil orang bahkan penguasa. Pada era ekonomi global dewasa ini dalam kenyataannya tidak mampu bertahan. Krisis ekonomi yang terjadi di dunia dan melanda Indonesia mengakibatkan ekonomi Indonesia terpuruk, sehingga kepailitan yang diderita oleh para pengusaha harus ditanggung oleh rakyat. Dalam kenyataannya sektor ekonomi yang justru mampu bertahan pada masa krisis dewasa ini adalah ekonomi kerakyatan, yaitu ekonomi yang berbasis pada usaha rakyat. Oleh karena itu subsidi yang luar biasa banyaknya pada kebijaksanaan masa orde baru hanya dinikmati oleh sebagian kecil orang yaitu oleh sekelompok konglomerat, sedangkan bilamana mengalami kebangkrutan seperti saat ini rakyatlah yang banyak dirugikan. Oleh karena itu rekapitalisasi pengusaha pada masa krisis dewasa ini sama halnya dengan rakyat banyak membantu pengusaha yang sedang terpuruk. Langkah yang strategis dalam upaya melakukan reformasi ekonomi yang berbasis pada ekonomi rakyat yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila yang mengutamakan kesejahteraan seluruh bangsa adalah sebagai berikut: (1) Keamanan pangan dan mengembalikan kepercayaan, yaitu dilakukan dengan program “social safety net” yang populer dengan program Jaringan Pengaman Sosial (JPS). Sementara untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah, maka pemerintah harus secara konsisten menghapuskan KKN, serta mengadili bagi oknum pemerintah masa orde baru yang melakukan pelanggaran. Hal ini akan memberikan kepercayaan dan kepastian usaha. (2) Program rehabilitasi dan pemulihan ekonomi. Upaya ini dilakukan dengan perlindungan hukum serta Undang-undang persaingan yang sehat. Untuk itu pembenahan dan penyehatan dalam sektor perbankan menjadi prioritas utama, karena perbankan merupakan jantung perekonomian. (3) Transformasi struktur, yaitu guna memperkuat ekonomi rakyat maka perlu diciptakan sistem untuk mendorong

150 percepatan perubahan struktural (structural transformation). Transformasi struktural ini meliputi proses perubahan dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern, dari ekonomi lemah ke ekonomi yang tangguh, dari ekonomi subsistem ke ekonomi pasar, dari ketergantungan kepada kemandirian, dari orientasi dalam negeri ke orientasi ekspor . Dengan sendirinya intervensi birokrat pemerintahan yang ikut dalam proses ekonomi melalui monopoli demi kepentingan pribadi harus segera diakhiri. Dengan sistem ekonomi yang mendasarkan nilai pada upaya terwujudnya kesejahteraan seluruh bangsa maka peningkatan kesejahteraan akan dirasakan oleh sebagian besar rakyat, sehingga dapat mengurangi kesenjangan ekonomi.

151 DAFTAR PUSTAKA

BP-7 Pusat. 1993. Pancasila Sebagai Ideologi.

Dirjen Dikti. 1995. UUD 1945, P4, GBHN.

El- Muhtaj Majda 2005. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia :

Kencana.

Kaelan. 1999. Filsafat Pancasila. Penerbit: Paradigma.

Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan. Penerbit: Paradigma.

Kansil, 1984. Pancasila dan UUD 1945. Penerbit : Pradnya Paramita.

Notonagoro, 1975. Pancasila Secara Ilmiah Populer, Pancuran Tujuh.

Sekretariat Negara R.I 1995. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI ).

Usman Oetojo, 1991. Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara : BP-7 Pusat.

Wijaya, A.W. 1985. Pedoman Pokok dan Materi Perkuliahan Pancasila Pada Perguruan Tinggi. Penerbit: Akademi Presindo.

...... 1989. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan UUD Negara Indonesia Dalam Lintasan Sejarah Dua Dasawarsa. Penerbit C.V. Fajar Agung.

Winarno, 2010. Pendidikan Kewarganegaraan : Sinar Grafika Offset.

Zaelani Sukaya Endang dkk, 2002. Pendidikan Kewarganegaraan.Penerbit Paradigma.

152 BIOGRAFI PENULIS

Hasan Basri Nst, lahir di Kotonopan tanggal 28 September 1949, dari seorang Ibu bernama Hj. Siti Maryam Lubis dan ayah H. Baginda Mangaraja Mulia Nasution. Menyelesaikan Pendidikan Dasar dan Menengah , SR, SMP dan SMA di Panyabungan. Tahun 1969 melanjutkan pendidikan di Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang. Semasa mahasiswa aktif pada berbagai kegiatan kemahasiswaan dan kemasyarakatan. Di antaranya tahun 1971 – 1972 menjadi Ketua Senat Mahasiswa Faterna Unand. Tahun 1973 - 1974 Ketua I Dewan Mahasiswa Unand.Tahun 1974 – 1978 menjadi Ketua KNPI Sumatera Barat. Tahun 1977 – 1992 menjadi Anggota DPRD Tk I Sumatera Barat. Menyelesaikan pendidikan sarjana tahun 1980. Diangkat sebagai dosen Kopertis Wilayah X pada tahun 1985. Mengajar mata kuliah Kewiraan/ Pendidikan Kewarganegaraan setelah mengikuti Kursus Dosen Kewiraan yang dilaksanakan Lemhanas tahun 1994/ 1995. Juga mengajar mata kuliah Pancasila setelah mengikuti Kursus Dosen Pancasila yang dilaksanakan Dikti Tahun 1995. Di samping mata kuliah tersebut di atas juga mengajar mata kuliah Pendidikan Koperasi dan mata kuliah Klimatologi di Fakultas Perikanan Universitas Bung Hatta. Menulis beberapa diktat, hasil penelitian dan lain-lain. Di tengah-tengah masyarakat aktif berkoperasi, membangun sarana ibadah, perkumpulan sosial dan sebagainya.Bersama dengan istri melaksanakan ibadah haji sebagai rukun Islam yang kelima tahun 2010.