PEMBERONTAKAN PETANI DI KARESIDENAN BATAVIA TAHUN 1869

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Oleh Hardiyanti NIM 11140220000057

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/ 2019 M

ABSTRAK Hardiyanti, Pemberontakan Petani di Karesidenan Batavia Tahun 1869. Studi ini bertujuan untuk mendeskripsikan tiga permasalahan pokok yaitu 1. latar belakang terjadinya pemberontakan petani di Karesidenan Batavia. 2. Jalannya peristiwa pemberontakan petani di Karesidenan Batavia. 3. Dampak yang ditimbulkan dari pemberontakan petani di Karesidenan Batavia. Penelitian ini dipilih bedasarkan metode penelitian historis yang dipilih dengan tahapan pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi, interpretasi dan historiografi. Pendekatan yang dilakukan adalah Pendekatan Sosial dengan menggunakan teori gerakan sosial. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa 1. Munculnya pemberontakan petani di Residen Batavia terkait dengan kebijakan pemerintah kolonial Belanda yaitu Tanah-tanah Partikelir yang memunculkan penguasa-penguasa baru atas tanah 2. Jalannya pemberontakan dimulai ketika Ba Rama bertemu dengan Arpan yang mengatakan ia mempunyai hak atas tanah di wilayah Cipamingkis yang kemudian memotivasi Ba Rama untuk menguasai lahan-lahan di sepanjang Sungai Citarum dan Cisadane 3. Meskipun pemberontakan ini mengalami kegagalan namun membuat pemerintah kolonial khawatir jika pengikutnya akan meneruskan perjuangan untuk itu mereka menghukum para pemberontak dengan hukuman gantung dan membangun garnisium di wilayah Cimanggis sebagai tambahan pengamanan. KATA PENGANTAR ﺑﺴﻢ ﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﯿﻢ

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala, Tuhan semesta alam, yang telah memberikan limpahan rahmat dan karunianya kepada umat manusia di muka bumi ini, khususnya kepada penulis. Shalawat beriringan salam disampaikan kepada Nabi Muhammad Shallallah ‘Alayhi wa Sallam, keluarga serta para sahabatnya yang merupakan suri tauladan bagi seluruh umat manusia.

Untaian kata terima kasih penulis haturkan kepada seluruh jajaran staf Fakultas Adab dan Humaniora, khususnya Saiful Umam, Ph,D. selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora beserta Wakil Dekan I, II, dan III. Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Ibu Dr. Awalia Rahma, M.A. dan Sekretaris Jurusan Ibu Hikmah Irfaniah, M.Hum , yang telah mengurus urusan birokrasi kampus, hingga skripsi dapat diselesaikan dengan baik.

Tidak ketinggalan penulis haturkan banyak terima kasih kepada pembimbing skripsi, Prof. Dr. Jajat Burhanudin, MA. yang telah menyediakan waktunya untuk membimbing penulis secara intensif tentang bagaimana menulis skripsi yang akademik. Dalam hal ini, beliau telah memberikan ide-idenya untuk penyempurnaan skripsi ini, serta memeriksa dan memberikan saran terhadap penulisan skripsi ini. Beliau juga pernah mengajar

i ii

penulis pada mata kuliah Historiografi Barat. Untaian rasa terima kasih tidak lupa juga penuli haturkan kepada semua dosen yang telah memberikan ilmunya selama penulis kuliah di Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam.

Terima kasih juga, kepada jajaran staf Perpustakaan Nasional Republik khususnya pegawai bagian koleksi buku langka dan koleksi berkala mutakhir yang telah mengizinkan penulis untuk mengakses koleksi di sana meskipun belum dibuka untuk umum karena masih dalam tahap pendataan dan penataan. jajaran staf Perpustakaan Terpadu Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Perpustakaan Universitas Indonesia yang telah menyediakan sumber data untuk penulisan skripsi ini.

Tidak lupa juga, ucapan terima kasih penulis tujukan kepada teman-teman Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, khususnya teman-teman SPI B dan teristimewa kepada Atun, Aul, Dana, Hajar, Hesti, Nida, Sarah, Vida, Putri, dan Yuli yang selalu mengingatkan penulis di kala lengah dan menyemangati di kala lelah. Semoga kita semuanya menjadi perempuan yang sukses. Amin.

Penulis juga berterimakasih kepada Mas Akhir Matua Harahap, Endra dan Ibu Prita Wulandari yang telah memberitahu penulis mengenai sumber primer arsip dari tema skripsi ini.

Terakhir, untuk keluargaku tercinta . Terima kasih kepada Ayahanda Anhar dan Ibunda Chodijah yang telah menghadap iii

Allah SWT. Yang selama beberapa semester sebelum mereka menghadap Allah yang selalu mensupport penulis. Allahummaghfirlii waliwaalidayya warham huma kamaa rabbayani shaghiiraa.

Serta segenap kerabat dan kolega penulis yang membantu baik langsung, maupun tidak langsung, semoga Tuhan melancarkan segala urusan kalian. Amin.

Ciputat, 16 September 2019

Penulis iv DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ABSTRAK Kata Pengantar...... i Daftar Isi ...... v BAB I PENDAHULUAN...... 1 A. Latar Belakang Masalah...... 1 B. Identifikasi Masalah ...... 6 C. Batasan Masalah ...... 6 D. Rumusan Masalah ...... 7 E. Tujuan dan Manfaat Penulisan ...... 7 F. Kajian Terdahulu...... 8 G. Metode Penelitian...... 11 H. Sistematika Penulisan...... 15

BAB II KAJIAN PUSTAKA ...... 17

A. Landasan Teori ...... 17 B. Kerangka Berfikir...... 20

BAB III LATAR BELAKANG SOSIO-EKONOMIS . 23

A. Daerah Peristiwa dan Faktor-Faktor yang Relevan ...... 23 B. Struktur Sosial Masyarakat di Tanah Partikelir32 C. Hukum Agraria Masa Kolonial ...... 35

v vi

BAB IV MUNCULNYA PEMBERONTAKAN...... 43

A. Tokoh-Tokoh Pemberontakan...... 43 1. Ba Rama ...... 43 2. Ba Kollot ...... 44 3. Djoengkat Ba Nata ...... 45 4. Ba Selan...... 47 5. Dries ...... 47 6. Aleng ...... 48 7. Raden Moestapha ...... 48 8. Manan Basiroen...... 48 9. Ba Toenda ...... 48 10. Arsain ...... 48 11. Bongsoe Ba Rabean dan Boedin Ba Simin ...... 49 B. Perencanaan Awal Pemberontakan ...... 49 C. Terjadinya Pemberontakan ...... 59 D. Kegagalan di Depok ...... 65 BAB V USAHA-USAHA PENUMPASAN PEMBERONTAKAN ...... 67

A. Penyelidikan Polisi...... 67 B. Pembangunan Garnisium...... 74 C. Hum Gantung Para Pemberontak ...... 75

BAB VI PENUTUP ...... 79

A. Kesimpulan...... 79 vii

GLOSARIUM...... 81

DAFTAR PUSTAKA ...... 83

LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Sejarah panjang bangsa Indonesia dari masa kerajaan hingga saat ini memiliki andil terhadap corak kebijakan pertanahan. Tanah memiliki sifat yang sangat berharga, “tanah menyangkut soal hidup dan penghidupan manusia, tanah adalah sumber dan asal makanan bagi manusia. Siapa yang menguasai tanah,dia menguasai makanan”1.

Dengan nilainya yang sangat berharga, konflik ketegangan mengenai tanah selalu hadir di tengah-tengah dinamika sosial masyarakat. Setidaknya ada dua hal yang melatarbelakangi konflik antar manusia dari dulu hingga sekarang ini, yaitu mempertahankan keturunan dan memperebutkan tanah. Tanah terbagi-bagi akibat dari adanya stratifikasi sosial, penguasaan produksi, kekuasaan politik dan sebagainya.

Kebijakan mengenai pertanahan sudah dimulai sejak zaman kerajaan. Pada masa kerajaan, tanah bukanlah sebuah barang yang diperjual belikan. Masyarakat menjalankan kehidupan bedasarkan perintah raja. Pola pembagian wilayah di kerajaan di Jawa adalah berupa pembagian tanah bedasarkan

1 Mochammad Tauchid, “Masalah Agraria Di Indonesia,” in Masalah Agraria: Sebagai Masalah Penghidupan Dan Kemakmuran Rakyat Indonesia (Yogyakarta: STPN Press, 2009), 3.

1 2

penguasaan dan pengawasan, yang diberikan kepada pejabat yang ditunjuk oleh raja2.

Masa kejayaan kerajaan-kerajaan mulai terganggu ketika bangsa penjajah datang ke Indonesia. Dimulai ketika kongsi dagang VOC datang dan berhasil menaklukan raja-raja yang kemudian mereka memberlakukan sistem perdagangan Verpelichte Leverantie dan Contingenten yaitu dengan menyerahkan hasil bumi dengan harga yang sudah ditentukan dan hasil bumi yang diserahkan dipandang sebagai pajak tanah3. Selain itu VOC juga membentuk sebuah Lembaga Tanah Partikelir pada tahun 1621, yang mana mereka menjual tanah- tanah yang berada di bawah kekuasaan VOC kepada orang Arab dan Cina, namun tidak ada bukti surah jual beli karena pada masa itu belum adanya notaris. Tanah-tanah partikelir tersebut dicatat dalam catatan “eigendom” milik Belanda4.

Setelah VOC bangkrut dan kekuasaan pindah ke tangan Inggris pada tahun 1811, Raffles memberlakukan sistem pajak tanah ‘Landrent’. Kemudian ketika Belanda datang kembali ke Indonesia pada tahun 1830 Van De Bosch menerapkan sistem tanam paksa ‘Cultuurstelsel’, yakni kewajiban menanam 1/5 tanah mereka dengan tanaman ekspor Eropa.

2 Harto Juwono, “Antara Bezitsrecht Dan Eigendomrecht: Kajian Tentang Hak Atas Tanah Oleh Penduduk,” Jurnal Hukum Dan Peradilan 2 No. 1 (March 2013): 136. 3 Muchsin, Imam Koeswahyono, and Soimin, Hukum Agraria Dalam Perspektif Sejarah (Bandung: Refika Aditama, 2007). 4 Herman Soesangoben, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan Dan Agraria (Yogyakarta: STPN Press, 2012). 3

Ketika hak kuasa feodal dihapuskan dan digantikan dengan tanah-tanah yang diperjual belikan oleh pengusaha swasta dan pemerintah kolonial, terjadilah pembukaan lahan sebesar- besarnya yang mengakibatkan peningkatan jumlah penduduk di Jawa.

Kelangkaan tanah menyebabkan petani mengalami kehidupan yang semakin sulit. Kesulitan yang dialami petani tersebut menimbulkan pemberontakan yang melibatkan petani. Perlawanan, huru-hara, protes, kerusuhan, kekacauan, dan aksi berandalan terjadi hampir setiap tahun di suatu daerah, sehingga tepat bila dikatakan pergolakan tersebut bersifat endemis. Sebagian besar gerakan sosial itu terdapat di basis masyarakat.

Berbagai aksi protes terjadi di beberapa tanah partikelir. salah satunya yang terjadi di Tambun, Bekasi. Tercatat pada tanggal 3 April 1869 muncul sebuah perlawanan di tanah partikelir Tambun yang dilakukan oleh para Jago5, yang berasal dari berbagai etnis yang sudah bermukim menjadi petani di tanah partikelir. Para petani yang terlibat dalam perlawanan tersebut adalah bapak Rama, Arpan, Jungkat, Bapak Nata, Bapak Selan, Dris, Adiarsa, Bapak Delang, Raden Mustafa, Manan Bapak

5 Etimologi kata Jago ditengarai berasal dari bahasa Portugis, jogo yang secara harfiah berarti permainan. Mengacu pada permainan sabung ayam jantan yang muncul di Banten pada tahun 1248. Permainan sabung ayam ini sangat digemari orang-orang portugis. Kemudian istilah jago ini berkembang menjadi predikat juara atau jawara sabung ayam, istilah ini muncul di Banten pada tahun 1810 istilah ini pun berkembang menjadi orang yang ahli bela diri untuk melindungi masyarakat. Lihat : G.J Nawi, Maen Pukulan Khas Betawi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016) : 33 4

Basirun, Bapak Tunda, Raden Sipat alias Arsain, Piun, Bungsu, Bapak Basirun, Bapak Djiba, Bapak Kollet, Aleng, Budin, dan Simin6. Para jago tersebut dipimpin oleh Bapak Rama dalam merencanakan penyerangan.

Hal yang menarik dari aksi penyerangan yang terjadi di Tambun adalah aksi penyerangan tersebut juga melibatkan beberapa wilayah yang tergabung ke dalam Karesidenan Batavia7.

Dalam pandangan Ba Rama, tanah-tanah partikelir antara Sungai Citarum dan Sungai Cisadane adalah milik penduduk, bukan milik tuan tanah. Pendapat tersebut muncul ketika Ba Rama bertemu dengan Arpan yang masih meyakini pesan almarhum ayahnya bahwa tanah di Cipamingkis merupakan miliknya. Tanah yang terdapat di Cipamingkis merupakan tanah di antara Sungai Citarum dan Cisadane. Bedasarkan cerita Arpan tersebut dia bertekad untuk merebut tanah disekitar Sungai Citarum dan Sungai Cisadane tersebut. Tekad itu semakin berapi-api tatkala Ba Rama pindah ke Ratujaya, Citayam, Depok. Sumber perjuangan Ba Rama dimulai di Depok, saat itu beliau mengajak beberapa petani untuk ikut bergabung dalam

6 Dinas Kebudayaan Dan Permuseuman Provinsi Jakarta, “Jakarta Kota Joang” (Jakarta: Dinas Kebudayaan Dan Permuseuman Provinsi Jakarta, 2003), 85. 7 Almanak 1869 (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, n.d.). Karesidenan Batavia berbatasan dengan Residentie Bantam. Residentie Krawang dan Residentie Preanger Regenschappen. Residentie Batavia terdiri dari Stad dan Voorsteden yaitu Afdeeling Tangerang, Afd Meester Cornelis, Afd Bekassi dan Afd Buitenzorg. 5

merebut tanah-tanah tersebut. Cara-cara yang dilakukan Bapak Rama untuk menarik perhatian para petani lain pun membuka sedikit tabir asal usul Bapak Rama. Bapak Rama sepertinya bukanlah seorang petani biasa karena beliau memiliki kemampuan bela diri dan ilmu kebatinan. Berita mengenai penyerangan yang dilakukan oleh Bapak Rama dan kawan-kawannya termuat dalam dua surat kabar yang terbit di Belanda8. Bahkan penyerangan tersebut menewaskan Asisten Residen Meester Cornelis. Cara mereka dalam meyakinkan masyarakat untuk ikut bergabung melakukan penyerangan pun khas seorang Jago Jagoan9, yaitu dengan menjual mantra-mantra dan mengasosiasikan diri dengan mengubah nama menjadi Pangeran Alibasa serta satu rekannya mengubah nama menjadi Raden Salah.

Meskipun penyerangan mereka tidak mencapai keberhasilan, namun mereka mampu membuat pasukan kolonial Belanda kewalahan, bahkan pasukan Kolonial Belanda sampai mengerahkan satu kesatuan kompagnie (dibawah satu Batalion dan diatas satu detasement).

Hal itu yang membuat penulis tertarik untuk membahas kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial abad ke 19 dan munculnya tanah-tanah partikelir di sekitar Karesidenan Batavia

8 Bataviaassch Handelsblad, Www.Delpher.Nl, April 7, 1869. 9 Para Jago dan jagoan yang melakukan perlawanan terhadap para penguasa di daerah pertanian disebut pemerintah kolonial sebagai bandit sosial. Lihat : G.J Nawi, Maen Pukulan Pencak Silat Khas Betawi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016) 33 6

yang membuat sebuah gejolak sosial di dalam lapisan masyarakat paling bawah yaitu petani. Untuk itu skripsi ini berjudul “ Pemberontakan Petani di Karesidenan Batavia Tahun 1869”.

B. Identifikasi Masalah

Persoalan atas penguasaan tanah seringkali memicu adanya konflik. Runtuhnya kekuasaan lokal dan mendominasinya kekuasaan Barat memunculkan disintegrasi tatanan sosial yang ada, yang diakibatkan meningkatnya penetrasi Barat dari segala bidang baik ekonomi ataupun politik. Salah satunya muncul tanah partikelir (Particullari Landerij) penguasaan atas tanah-tanah rakyat yang diperjual belikan kepada tuan tanah dari pihak swasta. Dari gejolak dan fenomena sosial tersebut terjadilah sebuah serangan di sekitar Karesidenan Batavia dan terealisasi di Tambun Bekasi.

C. Batasan Masalah Studi mengenai pemberontakan petani ini berfokus pada permasalahan konflik atas penguasaan tanah yang terjadi di masa kolonial tepatnya tahun 1869. Sudut pandang difokuskan pada kebijakan mengenai pertanahan yang terjadi pada masa kerajaan hingga beralih kepada masa penjajahan yang pada akhirnya membuat rakyat dalam hal ini petani mengalami kesulitan. Selain itu wilayah yang dijadikan fokus studi ini adalah Karesidenan 7

Batavia yaitu Ratu Jaya dan Tambun karena merupakan tempat perjuangan dan terjadinya pemberontakan.

D. Rumusan Masalah Masalah yang ingin diangkat oleh penulis adalah bagaimana dan apa sebabnya hal itu terjadi. sehingga dari permasalahan itu penulis merumuskan masalah yaitu : 1. Apa yang melatarbelakangi terjadinya pemberontakan petani di Karesidenan Batavia pada tahun 1869 ? 2. Bagaimana Jalannya peristiwa dan peran tokoh petani dalam pemberontakan petani di Karesidenan Batavia pada 1869 ? 3. Bagaimana Usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial dalam menumpas aksi pemberontakan petani di Karesidenan Batavia tahun 1869 ?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Bedasarkan dengan perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui faktor yang melatarbelakangi terjadinya pemberontakan petani di karesidenan Batavia pada tahun 1869 2. Untuk mengetahui jalannya peristiwa dan peran tokoh petani dalam peristiwa pemberontakan petani di Karesidenan Batavia tahun 1869 ini 8

3. Untuk mengetahui Usaha-usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial dalam menumpas aksi pemberontakan petani di Karesidenan Batavia tahun 1869 .

Hasil penelitian ini memiliki manfaat antara lan :

1. Penelitian ini, diharapkan dapat memperkaya dan memberikan sumbangan bagi historiografi sejarah yang menjadikan orang Indonesia sebagai pusat kajian dalam historiografi. 2. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan di bidang sejarah dalam pembahasan mengenai serangkain pemberontakan yang dilakukan oleh masyarakat kelas bawah dalam hal ini petani terhadap pemerintah kolonial Belanda. Selain itu dapat dijadikan sumber informasi bagi penulis lain dengan tema sejenis. 3. Bagi penulis, penelitian ini dijadikan sebagai tambahan pengetahuan mengenai sejarah pemberontakan petani terhadap pemerintah kolonial Belanda.

F. Kajian Terdahulu

Studi mengenai pemberontakan petani sebagai sebuah gerakan sosial di Indonesia pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda sudah dilakukan oleh beberapa kalangan, salah satunya seperti Sartono Kartodirjo dalam kajiannya mengenai 9

pemberontakan petani Banten pada 188810. Dalam buku ini jelaskan dinamika protes petani di Banten sebagai reaksi atas kolonialisasi yang pernah terjadi. Tujuan pertama studi ini adalah membahas aspek-aspek dari gerakan sosial yang melibatkan lapisan-lapisan luar rakyat biasa.

Selain itu buku karangan James C Scott yang berjudul Perlawanan Kaum Tani11 mencatat bahwa buruh tani yang yang masih berakar pada dusun masih menganut ikatan guyub di mana daya swakarsa perorangan atau kolektif mampu mempertahankan ketahanan mereka. Keterlibatan buruh tani di luar dusun umumnya tidak terlepas dari perantaraan patron baru. Gotong- royong petani Jawa disimpulkan oleh James C Scoot sebagai bentuk resistensi sekaligus tindakan bertahan hidup atas tekanan dari pihak luar. Moral ekonomi petani mengandalkan kolektifitas kebertahanan hidup melalui praktek-praktek seperti sistem bagi hasil dan selamatan yang dilakukan oleh petani kaya sebagai tanda pembagian rezeki.

Sementara pemberontakan petani yang secara khusus terjadi di wilayah sekitar Batavia dalam hal ini di Tambun Bekasi yang secara berkait dengan wilayah yang tergabung dalam Karesidenan Batavia antara lan :

10 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1984). 11 James C Scott, Perlawanan Kaum Tani (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993). 10

Skripsi yang ditulis oleh Prita Wulandari tahun 1987 yang berjudul “Kerusuhan di Tambun 3 April 1869”12 memang membahas mengenai kerusuhan yang terjadi di Tambun namun skripsi ini hanya fokus pada peristiwanya saja dan tidak mencantumkan alasan wilayah lain yang tergabung di dalam wilayah Karesidenan Batavia ikut terlibat. Untuk itu penulis menulis kembali skripsi judul ini untuk menambahkan informasi mengenai kerusuhan yang ada di Tambun ini yang ternyata melibatkan wilayah lain.

Buku yang berjudul Maen Pukulan Pencak Silat Khas Betawi13 oleh G.J Nawi memang sedikit membahas mengenai latar belakang terjadinya pemberontakan di Tambun bekasi dan pemberontakan lain yang menyertai di Batavia. Namun gejolak sosial yang melatarbelakangi yang dibahas pada buku ini lebih terfokus pada terbentuknya Jago dan jagoan di Batavia. Sedangkan gejolak lain seperti pada faktor ekonomi ataupun politik tidak dijelaskan.

Buku yang ditulis Endra Kusnawan yang berjudul Sejarah Bekasi, Sejak Peradaban Buni Ampe Wayah Gini hanya menceritakan peristiwa pemberontakan petani di Tambun tahun 1869 tidak ditulis secara proporsional meskipun melampirkan sumber-sumber primer seperti surat-surat dari residen Meester

12 Prita Wulandari, “Kerusuhan Di Tambun 3 April 1869” (Universitas Indonesia, 1987). 13 G.J Nawi, Maen Pukulan Pencak Silat Khas Betawi (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016). 11

Cornelis dan beberapa surat kabar asing seperti Sydney Morning Herald14.

Masih minimnya penelitian mengenai pemberontakan petani di Tambun tahun 1869 secara proporsional membuat penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai tema ini.

G. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode historis dengan menempuh tahapan-tahapan kerja, seperti heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi untuk memaparkan Pemberontakan Petani di Karesidenan Batavia tahun 186915. Berikut ini akan dijelaskan beberapa point penting yang menjadi instrumen dalam sebuah penelitian, antara lain :

1. Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan ilmu sosial. Sejarah ialah sebuah ilmu yang menuliskan pikiran pelaku, ilmu tentang sesuatu yang mempunyai makna sosial, sehingga sejarah dapat bersentuhan dengan ilmu sosial. Pendekan sosial sudah barang tentu akan meneropong dari segi-segi sosial peristiwa yang dikaji, contohnya golongan sosial mana yang berperan, serta nilai-nilainya, hubungan dengan kelompok lain, konflik

14 Endra Kusnawan, Sejarah Bekasi Sejak Peradaban Buni Ampe Wayah Gini (Depok: Herya Media, 2016). 15 Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah, Teori, Metode, Contoh Aplikasi (Bandung: Pustaka Setia, 2014). 12

bedasarkan kepentingan, ideologi, dan lain sebagainya16. Dalam mengkaji peristiwa pemberontakan petani di Karesidenan Batavia ini akan dilihat dari struktur sosial petani atas kepemilikan tanah pada masa peralihan dari masa kerajaan menuju kolonial, dan juga menggunakan teori gerakan sosial.

2. Sumber Data

Dalam metode historis, tahap pengumpulan data atau heuristik merupakan langkah awal yang harus dilakukan seorang peneliti. Heuristik merupakan tahapan atau kegiatan menemukan dan menghimpun sumber, informasi, dan jejak masa lampau17.

Data atau sumber dapat dikategorikan kedalam dua kategori, yaitu : Sumber primer yang merupakan kesaksian dari orang yang melihat sejarah dengan mata kepala sendiri atau alat mekanis yang hadir pada peristiwa itu (saksi, pandangan mata, misalnya kamera, mesin ketik, alat tulis dan kertas). Sumber primer harus sejaman dengan peristiwa yang dikisahkan,18 untuk kepentingan penulisan dalam menulis pemberontakan petani di Karesidenan Batavia tahun 1869. Penulis menggunakan beberapa sumber dokumen tertulis. Diantaranya : catatan yang tergabung dalam kumpulan arsip Politik verslag 1869 yang penulis temukan di Arsip Nasional Republik Indonesia di Jl. Ampera, Jakarta Selatan, dalam arsip ini berisi mengenai kronologi tanggal per

16 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993). 17 Nina Herlina, Metode Sejarah (Bandung: Satya Historika, 2008). 18 Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah, Teori, Metode, Contoh Aplikasi. 13

tanggal mengenai peristiwa serangan-serangan yang terjadi dalam pemberontakan tersebut. Selain itu penulis juga menemukan di beberapa surat kabar yang sejaman yaitu surat kabar Dagblad Van Zuidholland en ‘s Gravenhage berita pertama ditulis di Batavia pada tanggal 20 April 1869 yang kemudian dimuat pada edisi 1 Juni 1869 dan berita kedua ditulis tanggal 30 April 1869 di Batavia dan dimuat pada edisi 15 Juni 1869. Juga dalam surat kabar Bataviaasch Handelsblad tanggal 7 April 1869, yang berisi tentang peristiwa yang terjadi pada malam hari dari tanggal 2 sampai 3, serta tewasnya beberapa personil polisi. Juga - bode; nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch- Indie tanggal 7 April 1869, yang berisi tentang munculnya rumor akan adanya serangan susulan di Depok. Serta media di Australia, The Sydney Morning Herald edisi Sabtu, 12 Juni 1869 dan diberitakan ulang pada 21 Juni 1986. Juga oleh The Mercury yang terbit pada Senin 21 Juni 1986, surat kabar tersebut penulis peroleh dari website www.delpher.nl dan juga Perpustakaan Nasional Salemba lantai 3. Arsip-Arsip dan sumber Koran tersebut menceritakan mengenai kronologis peristiwa yang terjadi di Tambun serta aksi serangan susulan yang menyasar wilayah Depok. Untuk penggunaan sumber sekunder, penulis memperoleh sumber skunder dari beberapa perpustakaan seperti perpustakaan Universitas Indonesia di Depok, Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora di Ciputat dan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Ciputat. Untuk menambah pemahaman penulis terhadap tema tulisan ini. 14

Kritik Sumber Kritik sumber eksternal penulis tujukan untuk kumpulan arsip Politiek Verslag 1869 yang tulisannya sudah tidak terlalu terbaca serta susunannya yang berantakan serta sulit untuk diakses. Interpretasi Interpretasi atau penafsiran sering disebut sebagai penafsiran dari fakta sejarah. Interpretasi digunakan untuk mencari berbagai hal yang saling berkaitan antara satu fakta dengan fakta lainnya sehingga mempunyai fakta yang logis dan mempunyai makna. Setelah semua sumber terkumpul pada akhirnya penulis melakukan penulisan sejarah atau historiografi. 15

H. Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri dari enam bab, setiap bab terdiri dari sub-sub bab. Adapun secara garis besar pembagiannya adalah : Bab I : Pada bab ini dibicarakan mengenai latar belakang masalah, identifikasi, batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, rumusan masalah, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II : pada bab ini dibicarakan mengenai landasan teori dan kerangka berfikir Bab III : pada bab ini membicarakan mengenai keadaan sosio-ekonomis masyarakat di tanah partikelir khususnya Ratu Jaya dan Tambun dan faktor-faktor yang melatarbelakangi peristiwa seperti struktur sosial masyarakat dan kebijakan pemerintah kolonial terhadap hukum Agraria . Bab IV : pada bab ini dibicarakan mengenai kronologi terjadinya peristiwa dan pihak-pihak yang terlibat dan kegagalan pemberontakan susulan di Depok Bab V : pada bab ini dijelaskan mengenai usaha pemerintah kolonial Belanda dalam menumpas aksi pemberontakan Bab VI : berisi penutup, kesimpulan, Glosarium serta daftar pustaka yang menjadi rujukan penulis 16 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori

Penggunaan landasan teori dalam penelitian ilmu-ilmu sosial sangat penting dalam mendekati sebuah pokok persoalan. Penggunaan teori-teori sosial dalam penelitian sejarah masih sangat relevan untuk diajukan. Teori-teori sosial menuntut peneliti sejarah untuk berfikir teoritis historis dalam menemukan fakta sejarah dan menunjukan gerak sejarah yang terjadi. Teori yang sesuai dengan pembahasan Pemberontakan Petani di Karesidenan Batavia 1869 adalah Gerakan Sosial. Kadang-kadang pertentangan (Resistensi) sehari-hari berubah menjadi sebuah perlawanan terbuka atau semacam “Gerakan Sosial”19. Sartono Kartodirdjo, menguraikan bahwa, gerakan sosial adalah: gerakan perjuangan yang dilakukan oleh golongan sosial tertentu melawan eksploitasi ekonomi, sosial, politik, agama, dan kultural, oleh kelompok penekan, apakah itu penguasa atau negara. Termasuk dalam gerakan semacam ini, diantaranya, adalah kaum petani dan buruh20. Selain itu, Teori Prilaku Kolektif (Theory of Collective Behavior) juga sesuai untuk pembahasan ini. Teori ini diperkenalkan oleh Neil J. Smelser yang merinci sebagai mobilisasi atas dasar suatu keyakinan (belief) yang

19 Peter Burke, Sejarah Dan Teori Sosial (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011). 20 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993).

17 18

mendefinisikan kembali aksi-aksi sosial (social action)21. Sedangkan menurut Blumer mendefinisikan sebagai suatu gerakan sosial (Social Movement) yang dilakukan secara kolekstif untuk menata kehidupan yang baru. Dasar gerakan sosial adalah the basic frustration22. Dari pengertian di atas, dapat ditarik benang merah bahwa, tanpa adanya ketidakpuasan, gerakan sosial pun tidak mungkin tercipta. Tapi, pendapat ini agak diragukan, bila mengacu pada pendapat Charles Tilly, dan Horton, yaitu bahwa faktor ketidakpuasan belum memberikan penjelasan yang cukup bagi faktor penyebab terjadinya gerakan sosial. Sejauh ini, belum ada bukti yang meyakinkan menyangkut kaitan antara kadar keluhan dan ketidakpuasan, dengan tingkat keaktifan sebuah gerakan sosial23. Ketidakpuasan, memang merupakan kondisi yang diperlukan dalam proses kelahiran suatu gerakan sosial, akan tetapi kondisi ketidakpuasan itu sendiri belum cukup untuk membangkitkan sebuah gerakan sosial. Dalam hubungannya dengan itu, Hopper, seorang sosiolog, memandang gerakan sosial sebagai tempat penyaluran kegagalan pribadi. Dari beberapa teori di atas, dapat dikemukakan bahwa, menyangkut gerakan sosial petani atau pemberontakan petani di Karesidenan Batavia tahun 1869, maka teori gerakan sosial yang

21 Richard Jung, “A Review Of Theory Of Collective Behavior Neill J Smellser,” Industrial And Labour Review 19, no. 2 (1966): 318–320. 22 Zaiyardam Zubir, Radikalisme Kaum Pinggiran (Yogyakarta: Insist, 2002). 23 Syamsu A Kamarudin, “Pemberontakan Petani UNRA 1943: Studi Kasus Mengenai Gerakan Sosial Di Sulawesi Selatan Pada Masa Pendudukan Jepang,” Jurnal Makara, Sosial Humaniora 16, no. 1 (July 2012). 19

relevan untuk dipakai adalah: teori ketidakpuasan dengan cara aksi kolektif atau teori aksi kolektif. Pemberontakan terjadi karena adanya ketidakpuasan, ketidakadilan, perampasan hak, dan tindakan kekerasan oleh penguasa atau negara. Tahapan Gerakan Sosial. Proses tahapan sebuah gerakan sosial, adalah meliputi: (1) Tahap ketidaktentraman (keresahan), ketidakpastian, dan ketidakpuasan, yang semakin meningkat; (2) Tahap perangsangan, yakni ketika perasaan ketidakpuasan sudah semakin memuncak. Penyebabnya sudah diidentifikasi, dan ada ajakan, serta petunjuk-petunjuk dari kalangan tokoh sebagai pembangkit semangat emosi massa; (3) Tahap formalisasi, yakni ketika para pemimpin telah muncul, rencana telah disusun, para pendukung telah ditempa, dan taktik telah dimatangkan; (4) Tahap institusionalisasi, yakni ketika organisasi telah diambil alih dari pemimpin terdahulu, birokrasi telah diperkuat, dan ideologi, serta rencana telah diwujudkan.Tahap ini seringkali merupakan akhir dari kegiatan aktif gerakan sosial; (5) Tahap pembubaran (disolusi), yakni ketika gerakan itu berubah menjadi organisasi atau justru mengalami pembubaran24. Pada kasus gerakan petani di Karesidenan Batavia tahun 1869, tahap 4 tidak terlaksana karena pemberontakan gagal akibat bocornya informasi tentang rencana mereka memberontak.

24 H Siahaan, Gerakan Sosial Petani (Jakarta: Kompas, 2000). 20

B. Kerangka Berfikir Pemberontakan yang dilakukan oleh Petani di wilayah Karesidenan Batavia dapat terjadi akibat adanya kontak antara budaya Barat dengan Budaya Tradisional. Dalam hal ini tanah bagi masyarakat agraris merupakan Sumber penghidupan maupun sebagai penentu tinggi rendahnya status sosial dalam masyarakat. Tanah mencerminkan bentuk dasar kemakmuran sebagai sumber kekuasaan ekonomi dan politik, serta mencerminkan hubungan dan klasifikasi sosial. Namun ketika pengaruh kolonial mucul timbulah berbagai aturan yang bersebrangan bahkan merugikan bagi masyarakat agraris dalam hal ini petani. Sejak masuknya VOC ke Batavia pada tahun 1602 setelah mengalahkan Sunda Kelapa, sesungguhunya VOC tidak merubah sistem lama antara masyarakat dengan keraton. Namun akibat dari perang Jawa pada tahun 1825 sampai tahun 1830 yang menyebabkan kerugian bagi VOC pada akhirnya VOC membuat sebuah kebijakan yaitu menjual tanah-tanah kepada pihak swasta dalam hal ini pengusaha asal Eropa dan China untuk membuka lahan perkebunan. Di Tambun khususnya sejak pembukaan pabrik gula oleh seorang tuan tanah Cina akhirnya membuat migrasi beberapa petani asal Cirebon ke Bekasi. Dari sini munculah petani asal Cirebon yang bernama Rama yang nantinya menjadi agensi dari peristiwa pemberontakan ini. sejak terjadinya kontak antara kebudayaan tradisional dengan kebudayaan barat menyebabkan beberapa perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat khususnya dalam bidang ekonomi yang mana pada saat itu dikenal perekonomian uang, timbulnya buruh upahan dan 21

ditegakannya administrasi pusat yang pada akhirnya terjadilah keruntuhan umum struktur ekonomi dan politik yang tradisional.

Akibat dari keresahan-keresahan tersebut munculan aksi kolektif para petani disekitar tanah partikelir yang pada gilirannya membuat sebuah gerakan sosial dengan menyerang tanah partikelir yang berada di wilayah Karesidenan Batavia. Meskipun aksi pengambilan hak tanah itu gagal, namun peristiwa ini menjadi perhatian serius pemerintah kolonial pada saat itu dengan membangun garnisium untuk menambah pengamanan. 22

Perubahan Sosial

(Berubahnya struktur kekuasaan dari masa kerajaan ke masa kolonial)

Gerakan Sosial

Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Tahap 1 Tahap 5 Perangsan Formalisa Institusio Pembuba Keresahan gan si nal ran

Pesta Ba Rama Tokoh-tokoh Penjualan atas pernikahan Mengalami sebagai pemberonta tanah yang mewah di kegagalan tokoh utama kan memunculkan mengajak Ratu Jaya karena ditangkap penguasa baru beberapa untuk bocornya atas tanah dan temannya perencanaan informasi untuk taktik serta dieksekusi meyakinkan waktu mati penduduk pemberontak agar mau an dan ikut Terjadinya konflik memberont pembagian ak wilayah yang menggunakan kekuasan kekerasan antara petani dan tuan tanah BAB III LATAR BELAKANG SOSIO-EKONOMIS A. Daerah Peristiwa dan Faktor-faktor yang Relevan

Daerah di sekitar Batavia terbentuk atas daerah inti yang bernama Jakarta, meluas ke arah timur dan selatan membentuk perkampungan baru. Perkampungan baru tersebut dikenal sebagai Ommelanden25. Wilayah Ommelanden dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Ommelanden bagian barat yang merupakan Tangerang (Benteng), dan Ommelanden bagian selatan yaitu Buitenzorg (Bogor). Pada awalnya wilayah Ommelanden dikuasai oleh kepala daerah dari kalangan bumiputera namun secara administratif kekuasaan bumiputera itu dirampas dan diletakan di bawah Belanda.

Pada abad ke 17, wilayah Ommelanden ditempati oleh imigran Cina, mereka mencari pekerjaan dari industri gula yang pada saat itu berkembang di Ommelanden.

Bedasarkan sensus heemraden26, menunjukan bahwa Cina merupakan salah satu etnis yang mendiami wilayah Ommelanden. Pada tahun 1689 jumlah mereka sebanyak 2.342.136 dan meningkat menjadi 7.550.137 pada tahun 1719, kemudian pada tahun 1739 jumlahnya telah mencapai 10.574.138 orang Tionghoa yang mendiami wilayah Ommelanden. Warga

25 Ommelanden adalah sebutan untuk daerah di luar tembok Batavia 26 Heemraden merupakan lembaga pemerintah yang memiliki daerah kekuasaan di luar kota Jakarta yang salah satu tugasnya membuat suatu peta umum dari tanah-tanah yang terletak dalam wilayah kerjanya. Lihat : Supriyadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) 154

23 24

pendatang Cina tersebut mencari nafkah dengan menjadi seorang pedagang, tukang kayu, dan pengerajin lainnya.

Selain imigran Cina, migran bebas lainnya yang terdapat di wilayah Ommelanden yang mengalir dalam jumlah besar, mereka berasal dari Pulau Jawa, jumlah mereka pada tahun 1742 tidak sampai 5.000 orang, namun pada abad ke 19 jumlahnya bertambah hingga puluhan ribu27. Sebagian besar dari mereka berasal dari Mataram dan Cirebon di bagian timur dan Banten dibagian barat. Mereka juga menetap di daerah-daerah yang dikuasai pemerintah kolonial disekitar Batavia atau di tanah kosong di kaki dari pegunungan di selatan Ommelanden. Beberapa dari mereka bekerja sebagai petani yang membersihkan daerah hutan perawan dan mengubahnya menjadi sawah, dan yang lainnya adalah pekerja musiman yang memperkerjakan sendiri dalam kelompok sebagai buruh di industri gula, pengembala ternak, atau pemotong kayu.

Dalam upaya mengendalikan jumlah migran Jawa dan pekerja musiman, pemerintah kolonial memusatkan mereka di area yang khusus. Orang-orang Jawa tersebut tersebar di pedesaan dan menetap di tanah milik pribadi, atau bahkan di tanah perusahaan.

Kelompok etnis terkecil yang mendiami wilayah Ommelanden adalah orang Eropa dan Mestizos. Meskipun jumlah mereka tidak pernah sampai pada 3% dari total populasi

27 C.H.F Riesz, “De Particiliere Landerijen van Westelijk Java”, Vol. 1. 98 25

penduduk Ommelanden, namun mereka menikmati status sosial yang tinggi dan bermain pada peran penting dalam perekonomian.

Pada abad ke 18, pemerintah kolonial menjual tanah di Ommelanden kepada orang Eropa partikulir dan bangsa-bangsa lain untuk mendapatkan uang secara cepat. Dengan demikian Ommelanden sudah menjadi wilayah di luar kekuasaan Belanda. Mencakup sungai Angke di sebelah barat Tangerang dan Bekasi- Kerawang di sebelah timur, meluas ke selatan hingga Pelabuhan Ratu sampai Bogor.

Pemerintahan wilayah Ommelanden diserahkan kepada pemimpin lokal yang dianugerahi gelar kemiliteran seperti Kapitan, Leuitenant, dan sebagainya. Karena kurangnya pengawasan pemerintah kolonial, wilayah ini sering mengalami pergolakan yang dilakukan oleh petani. Hingga Inggris datang pada tahun 1811, di daerah Ommelanden sudah ditetapkan berbagai sistem pemerintahan namun keadaan belum juga aman. Kurangnya kontrol dari pemerintah pusat di Batavia terhadap wilayah Ommelanden membuat serangkaian peristiwa kriminal terjadi. Kemudian untuk mengantisipasi gangguan keamanan akibat jauhnya wilayah Ommelanden dengan pusat pemerintahan, maka dibentuklah menjadi satu karesidenan yaitu Residensi Batavia. 26

Secara Administratif Karesidenan Batavia merupakan suatu Residentie (Karesidenan)28 yang dipimpin oleh seorang residen. Daerah administratif Residentie Batavia dibagi pula dalam lingkungan-lingkungan yang lebih kecil yang disebut afdeling. Residentie Batavia terdiri atas Afdeling Stad en Voorsteden, Afdeling Meester Cornelis, Afdeling Tangerang, Afdeling Buitenzorg dan Afdeling Karawang29.

Bedasarkan Almanak tahun 1869, Karesidenan Batavia berbatasan dengan Residen Bantam, Residen Karawang dan Residen Preanger Regenschapen. Yang mana disetiap Afdeling ditempati oleh seorang Asisten Residen. Pada masa itu dibeberapa wilayah di Karesidenan Batavia tanah-tanah pertaniannya telah diusahakan oleh penguasa swasta. Seperti di Landrein Pondok Terong of Ratoe Djaija dimiliki oleh Jo Tjoeta dengan komoditi utamanya padi. Di Landrein Bekasi West. Rawa Posong, Kali Abang dan Kali Poetih dimiliki oleh Khouw Tjeng Tjoan, beliau juga memiliki tanah di Tjikoenir, dan Pondok Gede yang semua tanah miliknya disewa oleh Tio Tian Soe yang mengusahakan padi, kelapa, gula dan kacang. Sementara lahan di Landrein Bekassi Oost dimiliki oleh Kang Keng. Tiang c.s yang lahannya diusahakan untuk komoditi padi, kacang dan kelapa.

28 Istilah ini pertama kali dikenalkan oleh Raffles pada masa pemerintahan Interregnum Inggris yang saat ini setara dengan Provinsi (1811- 1816) . lihat : Pustaka Unpad, “Priangan Abad Ke 19: Tinjauan Sejarah Dan Demografi, Jurnal Metahumaniora,: 6 29 Aditya Hatmawan, “Perkembangan Transportasi Kereta Api Di Batavia 1870-1925”, (skripsi jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI, 2002): 17 27

Dua wilayah yang menjadi tempat terjadinya peristiwa pemberontakan petani tersebut yakni Tambun dan Ratu Jaya Depok memiliki kesamaan latar belakang yakni sama-sama merupakan tanah partikelir.

Pada tahun 1869 penduduk Bekasi berjumlah kurang lebih 73.000 orang, terdiri dari 11 orang eropa, 4601 orang Cina, 25 orang Arab dan sekitar 63.963 sampai 68.600 orang pribumi.30 Penduduk Bekasi sangat mudah percaya dan mereka percaya akan takhayul. Meskipun mereka beragama Islam namun itu hanya dalam nama saja dan alim ulama pribumi tidak banyak berpengaruh. Bahkan mereka lebih percaya kepada yang mudah mengelabui mereka dengan mengatakan mereka mempunyai kekuatan ghaib dan dapat melindungi penduduk terhadap penyakit dan panen yang gagal dengan memberikan jimat. Untuk jimat itu para dukun meminta bayaran. Penduduk Bekasi dengan mudah percaya dan percaya takhayul itu sangat berbeda dengan penduduk lain di daerah sekitar Batavia. Penduduk distrik Bekasi berbeda dengan penduduk distrik lain karena tanah-tanah partikelir di daerah ini tidak memiliki penduduk asli. Pada pembukaan pertama tanah-tanah partikelir , utamanamya setelah tahun 1822 dan 1823, sewaktu tuan Jensen dan Trail membangun pabrik gula pertama di tanah karang Congok, para kontraktor mendatangkan kuli-kuli dari Cirebon melalui Bupati Cirebon. Diperkirakan mereka menggunakan

30 Arsip Nasional Republik Indonesia, Politik Verslag 1869 28

kesempatan Ini untuk mengurangi penduduk yang mereka tidak sukai31.

Umumnya penduduk yang berada di wilayah residen Meester Cornelis (termasuk Bekasi) berprilaku baik. Sebutan ini lebih cocok bagi penduduk yang tinggal di sekitar Batavia karena mereka lebih sering berinteraksi dengan kaum terpelajar dari keresidenan Batavia. Namun yang berbeda justru penduduk yang berasal dari perbatasan Buitenzorg dan Krawang seperti penduduk Tanjung Barat, Pondok Petung, kampung Cikarang dan Cibereum (daerah Tambun yang terdapat di perbatasan Cibarusah). Kampung Kemejing (di Kedung Gedeh dekat perbatasan Krawang) juga penduduk Pondok Benda tidak bisa disebut berkelakuan baik. Bahkan penduduk Pondok Petung, kampung Cikarang, kampung Cibelong lebih cocok disebut pembangkang32.

Pemilik tanah partikelir Tambun adalah seorang tuan tanah keturunan Cina bernama bapa (Ba) Bairah, Ba Bairah mempunyai kandang kerbau di hutan kemejing di tanah Kedung Gedeh. Di kandang tersebut selalu ada 300 sampai 400 ekor kerbau, di antaranya kerbau-kerbau curian, untuk kemudian dipindahkan ketempat lain. Banyak penduduk kehilangan kerbau dan tidak menemukan kembali kerbaunya yang hilang. Hal ini menimbulkan dendam terpendam dari penduduk Tambun dan sekitarnya. Ba Bairah juga melindungi pencuri-pencuri ternak

31 Arsip Nasional Republik Indonesia , Politik Verslag 1869 32 Arsip Nasional Republik Indonesia, Politik Verslag 1869 29

sehingga di sekitar Tambun orang selalu cemas akan keamanan kerbaunya.33

Di samping itu ada keluhan dari penduduk bahwa Ba Bairah meminjamkan uang sejumlah f.5 sampai f.10 kepada petani yang membutuhkannya dan kalau mereka tidak dapat membayarnya kembali, ia-mengambil ternak mereka dengan semena-mena. Ia juga memeras penduduk pada saat menagih cukai. Pada kesempatan tersebut ia selalu memilih ikatan padi yang terbesar dan terbaik. Permusuhan penduduk Ba Bairah juga di sebabkan perbedaan pendapat mengenai cukai yang harus di serahkan dalam keadaan basah atau kering. 34

Selain itu Ba Bairah meminjamkan padi kepada penduduk tidak lama sebelum sawah-sawah harus di kerjakan. Padi ini harus dikembalikan setelah panen 4 sampai 5 bulan kemudian dengan bunga 50% sehingga misalnya 10 gerobak padi yang dipinjam, harus dikembalikan 15 gerobak padi. Transaksi demikian amatlah berat, terutama apabila panen gagal dan petani tidak mungkin melunasi hutang yang telah di buatnya. Petani dapat memperoleh penangguhan pengembalian padi di tambah 50% bunganya sampai panen berikutnya, dengan perjanjian bahwa hutang kesuluruhan nanti dikembalikan ditambah lagi 50% bunga. Jadi untuk sepuluh gerobak padi yang semula di pinjamkan dan pada panen pertama seharusnya di kembalikan 15

33 Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan Residen Batavia kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda tanggal 24 Mei 1869 34 Surat Kabar Bataviaasch Handelsblad, 5 April 1869 30

gerobak, kini pada panen berikutnya harus dilunasi dengan 22,5 gerobak padi, jadi si petani terkena 125%. Bunga untuk pinjaman selama 14-15 bulan. Apabila duakali berturut-turut panennya gagal, maka si petani sedemikian terjerat oleh hutangnya sehingga tak ada lagi jalan baginya selain menyerahkan semua sawahnya kepada tuan tanah untuk melunasi hutangnya. Hal lain yang membuat penduduk dendam terhadap Ba Bairah karena anak laki-lakinya sering memperkosa gadis-gadis dan wanita muda.35.

Pada tahun 1861, bedasarkan statistik Buitenzorg luas Pondok Terong 1.221m dan Ratu Jaya seluas 349 geo miljen. Dua kawasan pertanian yang disatukan ini terdapat 11 kampung dengan total penduduk pribumi sebanyak 2.071 jiwa dan 93 orang Tionghoa. Sebagai pembanding, tetangga kawasan pertanian ini adalah Depok yang memiliki luas 872 geo miljen yang terdiri dari tujuh kampung yang dihuni oleh 1.443 orang pribumi, 32 orang Tionghoa dan sebanyak 803 orang Eropa. Pada tahun 1847 penduduk Pondok Terong dan Ratu Jaya ada 1.273 jiwa yang terdiri dari dua orang Eropa, 26 Orang Tionghoa dan sebanyak 1.245 orang pribumi.

Ratu Jaya berada diantara Depok dan Pondok Terong. Lahan di Pondok Terong termasuk yang paling subur di hulu sungai Ciliwung, lebih subur dari lahan di Depok. Pemilik

35 Hal ini dialami oleh seorang penduduk yang bernama Mangkreng. Lihat laporan asisten residen meester cornelis tanggal 1 September 1869. 31

pertama yang mengusahakan lahan di Pondok Terong Adalah St. Martin.

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, yang di mulai pada masa pemerintahan Deandles lahan-lahan yang terdapat di sekitar hulu sungai Ciliwung diaktifkan lagi dengan cara menjual atau megutip sewa/pajak tinggi bagi swasta yang dikenal dengan lahan-lahan hak pertuanan (Tanah Partikelir).

Lahan-lahan yang terdapat di Pondok Terong dan Ratu Jaya telah memiliki akses jalan yang baik ke Batavia dan kelas jalannya masuk dalam kategori kedua36.

Penduduk yang hidup di wilayah Karesidenan Batavia terkenal sebagai penduduk yang penurut. Begitupula bagi penduduk yang tinggal di Ratu Jaya. Jika dibandingkan dengan penduduk yang tinggal di Tambun. Faktor kedekatan penduduk Ratu Jaya yang wilayahnya dekat dengan tanah partikelir Depok membuat mereka berinteraksi dengan penduduk Depok yang berpendidikan. Pada tahun 1869, jumlah sekolah pribumi yang

36 Pembagian jalan yaitu: jalan kelas satu yaitu Batavia over Tangerang naar Bantam, Meester Cornelis over Buitenzorg en Megamendoeng naar Preanger Regentscpapen dan Batavia naar Meester Cornelis over Poelo Gadung en Bekassie naar Krawangsche. Jalan kelas dua adalah Middenweg van Parapattan tot Westerweg Land Pondok Terong /Ratu Jaya, Tanah Abang naar middenweg via Land Karret, Westerweg Tanah Abang naar Buitenzorg (via Parong), dll. Pembagian kelas jalan tersebut bedasarkan kendaraan yang dapat dilalui, Jalan kelas satu merupakan jalan utama jalan pos, jalan kelas dua adalah jalan yang dapat dilalui gerobak, penunggang kuda dan pejalan kaki, lihat : Register der Resolutien van der Governouer General No 21 tahun 1836 32

ada di Keresidenan Batavia hanya ada tiga buah yaitu di Tugu dan dua buah di Depok37.

Untuk itu sifat pembangkang yang dimiliki oleh penduduk Tambun dikarenakan kurangnya pendidikan yang mereka peroleh serta tidak adanya interaksi dengan orang yang berpendidikan sehingga mereka kurang sadar akan kewajiban kemasyarakatan. Sedangkan penduduk di Ratu Jaya karena letaknya yang dekat dengan Depok sehingga memungkinkan mereka lebih sering berinteraksi dengan orang yang lebih berpendidikan. Untuk itu para tokoh pemberontakan tersebut dan pasukannya meskipun mereka berkumpul di Ratu Jaya namun kebanyakan berasal dari Bekasi dan sekitarnya.

B. Struktur Sosial Masyarakat di Tanah Partikelir

Tanah partikelir muncul akibat dari praktek-praktek penjualan tanah yang dilakukan oleh Belanda sejak VOC mulai berkuasa (1602) sampai seperempat abad pertama abad ke 19. Tanah-tanah partikelir ini terdapat di sekitar Batavia. Di sebagian besar daerah pedalaman antara Batavia dan Buitenzorg; daerah Banten, Karawang, Cilegon, Semarang dan Surabaya. Di sekitar Batavia dan daerah pantai terdapat hampir seratus buah perkebunan gula partikelir yang tanahnya disewa dari penguasa- penguasa setempat yang telah dijadikan pegawai VOC. Akibatnya para pemilik perkebunan yang hampir semuanya orang

37 Almanak 1869 33

Cina, memiliki hak istimewa sebagai tuan besar atas diri penduduk yang bertempat tinggal di desa-desa tersebut38.

Pada masa awal Pemerintah kolonial berkuasa di Hindia Belanda, Banyak tanah-tanah dihadiahkan kepada orang-orang yang bertanggung jawab atas keamanan dan ketentraman daerah Batavia, dan juga kepala-kepala pribumi yang dianggap berjasa kepada kompeni. Sementara itu tuan tanah yang ada di daerah Buitenzorg menjadi milik pribumi para gubernur Jendral secara berturut”. Setelah tahun 1868, pemerintah Hindia Belanda menghentikan pemberian semacam itu dan selanjutnya tanah- tanah itu diserahkan melalui suatu penjualan atas dasar hak eigendom (hak milik), transaksinya dilakukan melalui suatu penawaran dan penaksiran di muka umum, yang artinya siapa pun boleh membeli asalkan dia mampu. Tanah-tanah yang dijual pada periode itu antara lain tanah srengseng, Depok dan juga Buitenzorg39.

Di tanah partikelir biasanya ditempatkan seorang kepala desa (Demang) yang diangkat oleh residen dan digaji oleh tuan tanah. Kepala desa dibantu oleh seorang juru tulis, seorang kepala kampung atau lebih, alim ulama desa (amil), juga seorang

38 Clifford Geertz, Involusi Pertanian, (Jakarta: Bhtara, 1976): 53 39 Encyclopedia van Netherlandsch Indie, ‘s Gravenhage Martinus Nijhoff, Leiden. 1921, deel III, : 345 34

pencalang (pegawai polisi desa), seorang kabayan (pesuruh desa) dan seorang ulu-ulu (penguasa pengairan)40.

Pada umumnya satuan politik masyarakat desa di Jawa adalah desa (dukuh) yang terdiri atas sekelompok rumah yang relative besar serta kebum-kebun yang ada di sekitarnya. Kehidupan ekonomi dan sosial berpusat di sekitar batih (keluarga Inti). Seperti dalam masyarakat agrarian lain tanah merupakan penentu status yang utama untuk membagi-bagikan tanggung jawab masyarakat yang sesuai dengan status tersebut41.

Dilihat dari hirarki status susunan masyarakat dapat dibedakan menjadi dua yaitu tuan tanah sendiri, mandor dan pemuka agama. Dan yang kedua yang tidak memiliki tanah sendiri yaitu buruh tani sebagai penggarap, tukang dan pedagang.

Lapisan paling atas adalah tuan tanah termasuk pula keluarganya. Lapisan berikutnya adalah mandor yang merupakan pegawai tuan tanah dan biasanya ia juga merupakan kepala desa42. Statusnya sebagai pengawas dan bertugas sebagai pemungut pajak dari penduduk dan memelihara ketertiban umum43. Tindakan mandor biasanya selalu menguntungkan tuan tanah dan berpihak kepadanya karena ia merupakan orang

40 J. Tideman, Penduduk Penduduk Kabupaten-Kabupaten Batavia, Meester Cornelis Dan Buitenzorg, Tanah Dan Penduduk Di Indonesia (Jakarta: Bhrata, 1974) 41 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1984): 41 42 Sediono Tjondronegoro, Gunawan wiradi (ed), Dua Abad Penguasaan Tanah (Jakarta: PT. Gramedia, 1984): 38 43 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 ( Jakarta: Pustaka Jaya, 1984): 111 35

kepercayaan dan digaji oleh tuan tanah. Citra mandor pun di mata penduduk menjadi buruk karena mementingkan tuan tanah daripada mementingkan kepentingan penduduk.

Lapisan selanjutnya adalah pemuka agama, yang rata-rata beragama islam. Biasanya mereka disebut kiayi, kebanyakn para haji adalah pemilik tanah dan terkemuka. Hal ini membuat mereka mandiri secara ekonomi.

Satu golongan yang merupakan lapisan paling bawah adalah golongan orang yang tidak mempunyai apa yang dimiliki oleh golongan yang diatas. Golongan ini terbagi dua yaitu petani penggarap yang biasanya menggarap tanah tuan tanah. Dan ada juga yang berdagang keliling . kedua adalah orang-orang yang cenderung untuk membangkan dengan jalan yang melakukan kegiatan yang dipandang anti sosial dan jahat seperti merampok dan tidak memiliki tempat tinggal yang tetap44. Daerah Tambun pada saat itu terkenal; sebagai wilayah yang tidak baik karena dijadikan tempat pelarian dari orang-orang yang ingin menghindar dari hukuman kejahatan yang mereka lakukan45.

C. Hukum Agraria Masa Kolonial

Kata Agraria berasal dari bahasa latin “ager” yang berarti tanah atau sebidang tanah. Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia Agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian, juga urusan kepemilikan tanah.

44 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888.,.83-5 45 Surat Kabar Nieuwe Bataviaasch Handelsblad, 5 April 1869 36

Perkembangan hukum agraria sudah dimulai sejak zaman kerajaan, yang mana tanah bukanlah sebuah barang yang dapat diperjualbelikan karena pada masa itu tanah yang belum dimiliki masih berlimpah. Pada masa kerajaan, masyarakat menjalani kehidupan bedasarkan ketentuan raja. Raja berdaulat penuh atas semua yang ada di wilayah yuridiksinya. . dalam hal tanah pun raja sudah menentukan batasan dan bagian masing-masing bagi rakyatnya. Pada masa pembagian tanah yang menonjol di kerajaan Jawa adalah berupa pembagian tanah kedalam beragam penguasaan dan pengawasan, tanah-tanah tersebut diberikan ke tangan pejabat-pejabat yang ditunjuk oleh raja atau berwenang di kerajaan46.

Ketika VOC datang pada sekitar abad ke 17, masa kejayaan kerajaan digantikan. Penaklukan Raja-raja oleh kongsi dagang VOC telah merampas hak raja dalam kekuasaan. Selain itu tanah-tanah yang dimiliki oleh para raja-raja pun pada akhirnya jatuh ke tangan mereka. Sejarah hukum agrarian kolonial pun dimulai oleh perkumpulan dagang tersebut antara tahun 1602-179947. Mereka diberikan hak oleh Pemerintah negri Belanda (Staten General) untuk berdagang sendiri di Indonesia, dan sejak tahun 1602 itu VOC mendapat hak untuk mendirikan

46 Gunawan Wiradi, Reforma Agraria Perjalanan Yang Belum Berakhir, (Jakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria, Bogor: Sajogyo Institute, Bandung, AKATIGA, 2009): 66 47 Muchsin, Imam Koeswahyono, dan Soimin, Hukum Agraria Dalam Perspektif Sejarah (Bandung: Refika Aditama, 2007): 9 37

benteng-benteng serta membuat perjanjian dengan raja-raja di Indonesia.48

Awalnya VOC mulai menaklukan raja-raja dari kerajaan kecil dengan cara mengharuskan menandatangani perjanjian (tractaat) bahwa mereka harus tunduk dan patuh terhadap VOC dengan sistem dagang Verpelichte Leverantie dan Contingenten.49 dan kemudian hukum perdata Negri Belanda (Burgerlijk Wetboek) mulai diberlakukan di seluruh wilayah kekuasaan VOC, penekanan praktek penegakannya adalah pada perolehan tanah untuk hubungan keagrariaan bagi pengumpulan hasil bumi untuk dijual di pasaran Eropa.50

Dimulainya pemberlakukan hukum barat tersebut maka hak-hak tanah yang dipegang oleh rakyat dan raja-raja di Indonesia pada akhirnya tidak dipedulikan lagi. Namun rakyat Indonesia tetap diperbolehkan hidup bedasarkan hukum adat dan kebiasaan mereka.

Seluruh lahan yang berada di wilayah kekuasaan VOC itu diklaim menjadi milik VOC sehingga merekalah yang sekarang menjadi pemguasa baru atas tanah tanah tersebut sehingga mereka bebas menggunakannya, termasuk dengan menjualnya

48 Supomo, Djokusutono. Sejarah Politik Hukum Adat 1609-1848 (Jakarta: Djambatan, cet-4, 1955): 1 49 Sebuah sistem dimana para raja-raja tersebut diharuskan menyerahkan hasil bumi dengan harga yang sudah dipatok atau ditentukan dan hasil bumi yang diserahkan dipandang sebagai pajak tanah. Lihat: Muchsin, Imam Koeswahyono, dan Soimin, Hukum Agraria Dalam Perspektif Sejarah (Bandung: Refika Aditama, 2007):10 50 Herman Soesangbeng, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, Dan Agraria, (Yogyakarta: STPN Press, 2012): 37 38

kepada pihak-pihak selain dari masyarakat Indonesia. Salah satunya dengan dibentuknya Lembaga Tanah Partikelir sejak tahun 1621, yang didominasi pembeli tanah-tanah tersebut merupakan pedagang-pedagang kaya orang Arab dan Cina, namun pembelian tersebut tidak ada surat bukti jual beli dikarenakan pada saat itu belum ada pejabat notaris. Maka tanah partikelir dicatat dalam catatan eigendom milik Belanda.51

Situasi tersebut berjalan cukup lama, sehingga membuat rakyat Indonesia semakin kehilangan atas hak tanah nya dan membuat hidupnya semakin miskin karena eksploitasi yang berlebihan. Lalu pada tahun 1799, VOC dibubarkan Karena mengalami kerugian akibat perang dan kekosongan kas.

Setelah bangkrutnya VOC pada awal abad ke 19, kekuasaan pemerintah kolonial Belanda dijatuhkan oleh tentara Inggris dan pada tahun 1811 Belanda harus menyerahkan Pulau Jawa kepada Inggris.52 Raffles kemudian mengungkapkan teori Raffles tentang hak milik tanah (domein theory53). Domein theory itu sebagai hasil dari penyelidikan komisi yang dibentuknya untuk menyelidiki soal-soal masalah sosial di Jawa dan mengenai hukum adat terutama hubungannya dengan hak milik tanah.

51 Herman Soesangbeng, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, Dan Agraria, (Yogyakarta: STPN Press, 2012): 69 52 R. Tresna, Peradilan Di Indonesia Dari Abad Ke Abad (Jakarta: Paramita, ): 43 53 Gunawan Wiradi, Reforma Agraria Perjalanan Yang Belum Berakhir, (Jakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria, Bogor: Sajogyo Institute, Bandung, AKATIGA, 2009): 70 39

Dari hasil penyelidikan tersebut menerangkan bahwa tanah di Jawa adalah milik raja, karena kekuasaan raja berpindah ke tangan kekuasaan yang baru, maka penguasa baru berhak menguasainya sebagaimana raja menguasainya.

Pada masa Gubernur Jendral Raffless, ia menerapkan kebijakan sewa tanah landrent bedasarkan tafsirannya bahwa semua tanah yang ada ditangan rakyat merupakan kepunyaan raja. Setelah raja ditaklukan maka jatuhlah hak raja tersebut kepada kekuasaan pemerintahan yang baru. Karena itu, maka rakyat yang mengerjakan tanah diharuskan membayar sewa (rent) berupa uang yang besarnya kira-kira sama dengan yang mereka serahkan dahulu kepada raja.

Lalu dengan terbentuknya perjanjian pada tanggal 13 Agustus 1814 antara Inggris dan Belanda, maka semua wilayah yang dahulu bekas tanah jajahan Belanda yang di duduki oleh Inggris dikembalikan kembali kepada Belanda.54.

Pada masa pemerintahan gubernur jendral Van De Bosch, pada tahun 1830 diterapkanlah sistem tanam paksa Cultuurstelsel yaitu dengan peniadaan pajak petani di desa namun digantikan dengan kewajiban menanami 1/5 tanahnya dengan komoditas pilihan pemerintah kolonial Belanda yaitu nila, kopi, tembakau,

54 Supomo, Djokusutono. Sejarah Politik Hukum Adat 1609-1848 (Jakarta: Djambatan, cet-4, 1955): 83 40

teh, tebu dan sebagainya untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah kolonial untuk di ekspor.55

Dengan kebijakan-kebijakan yang semakin membuat rakyat Indonesia menderita ditanah mereka sendiri. Munculah beberapa kritik dari berbagai kalangan. Salah satunya Douwes Dekker (Multatuli) munculah Regerings Reglement yang dalam pasal 64 disebutkan bahwa Gubernur Jendral dilarang menjual tanah kecuali tanah sempit bagi perluasan kota dan industry dan boleh menyewakan tanah bedasarkan Ordonnantie (peraturan) kecuali tanah hak ulayat.56

Kebijakan itu untuk membina tata hukum kolonial dalam mengontrol kekuasaan dan kewenangan raja da aparat eksekutif atas daerah jajahan.57 Dalam hukum pertanahan Belanda di Indonesia pelaksanaannnya dimulai secara sah sejak tahun 1848 ketika diberlakukannya undang-undang hukum perdata belanda (Nederlands Burgelijk Wetboek-BW) yang baru dan di Indonesia disebut kitab Undang-undang Hukum perdata Indonesia.(KHUPInd).58 Kodifikasi hukum berlangsung untuk pertama kali, BW berlaku khusus untuk golongan Eropa, kemudian berlaku juga untuk golongan Timur Asing (sejak tahun

55 Gunawan Wiradi, Reforma Agraria Perjalanan Yang Belum Berakhir, (Jakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria, Bogor: Sajogyo Institute, Bandung, AKATIGA, 2009): 70-71 56 Muchsin, Imam Koeswahyono, dan Soimin, Hukum Agraria Dalam Perspektif Sejarah (Bandung: Refika Aditama, 2007): 13 57 Soetandyo Wignjosoebroto, dalam monograf Untuk Apa Pluralisme Hukum? Regulasi, Negosiasi, dan Perlawanan dalam konflik Agraria di Indonesia (Jakarta: Epistema Institute, 2011): 29 58 Herman Soesangobeng, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, Dan Agraria. 37 41

1855), sedangkan untuk golongan bumiputera berlaku hukum masing-masing (yakni hukum adat).

Dalam pratiknya, pelanggaran demi pelanggaran hukum dilakukan oleh pemerintah belanda. Pemerintah acapkali mencabut hak milik tanah seorang tanpa didasarkan ketentuan hukum karena penduduk pribumi tidak ditentukan sebagai pihak yang berhak atas hak milikdan ganti rugi atas tanah.59 Kemudian dengan semakin berkembangnya dominan ide liberalisme di bidang hukum, lahirlah Regeelings Reglement (RR) pada tahun 1854 yang dimaksudkan untuk membatasi dan mengontrol kekuasaan eksekutif yang berada di tangan para administrator kolonial.60

Menurut ayat (3) dari pasal 62 RR menyebutkan bahwa Gubernur Jendral dapat menyewakan tanah menurut peraturan yang harus ditetapkan dengan peraturan umum. Dalam hal ini tidak termasuk tanah-tanah yang dibuka oleh orang-orang Bumiputera, atau yang termasuk lingkungan suatu desa, baik sebagai tempat penggembalan umum, maupun dengan sifat lain. Tujuan gerakan kaum liberal dalam bidang agraria ini adalah agar pemerintah memberikan pengakuan terhadap penguasaan tanah oleh pribumi sebagai hak milik mutlak (eigendom) untuk memungkinkan penjualan dan penyewaan, serta agar dengan asas

59 Cornelis van Vollenhoven, Orang Indonesia Dan Tanahnya (De Indonesier En Zijn Ground). (Yogyakarta: STPN Press, 2013): 16

60 Soetandyo Wignjosoebroto, dalam monograf Untuk Apa Pluralisme Hukum? Regulasi, Negosiasi, dan Perlawanan dalam konflik Agraria di Indonesia (Jakarta: Epistema Institute, 2011): 32 42

domein pemerintah memberikan kesempatan kepada penguasa swasta untuk menyewa tanah jangka panjang dan murah (erfpacht).61

Namun pada akhirnya kurangnya pengawasan dan control dari pemerintah kolonial membuat serangkaian pelanggaran demi pelanggaran terjadi. Utamanya di wilayah yang tergabung dalam Ommelanden. Sehingga Arpan yang merasa mempunyai hak atas tanah di Cipamingkis pun tidak dapat mendapatkannya, hal itulah yang kemudian memotivasi Ba Rama untuk merebut tanah-tanah yang dikuasai pemerintah kolonial yang kemudian di jual kepada pihak swasta secara radikal yakni dengan cara-cara kekerasan.

61 Gunawan Wiradi, Reforma Agraria Perjalanan Yang Belum Berakhir, (Jakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria, Bogor: Sajogyo Institute, Bandung, AKATIGA, 2009):71-72 BAB IV MUNCULNYA PEMBERONTAKAN

A. Tokoh-Tokoh Pemberontakan

Gerakan petani dalam melawan tuan tanah yang terjadi di Karesidenan Batavia tahun 1869 dipimpin dan direkrut oleh petani sendiri. Salah satu pemimpinnya adalah Ba Rama yang menyerukan perang suci dan menggunakan gelar panembahan khas gerakan messianisme. Para tokoh-tokoh yang berperan dalam pemberontakan ini akan dibahas mengenai latar belakang kehidupannya.

1. Ba Rama

Ba Rama di lahirkan di Kuningan, Cirebon. Nama sebenarnya adalah Moesti Ba Tinggal. Di Kuningan ia bekerja sebagai petani kemudian pindah ke Gabus daerah Bekasi, sekitar tahun 1866 karena cekcok dengan istrinya yang diakhiri dengan perceraian. Di Gabus ia tinggal selama tiga tahun dan ia tetap sebagai petani. Setelah itu ia pindah ke luwicatang daerah Cibarusa yang masuk dalam Afdeling Buitenzorg. kemudian pindah lagi ke Ratu Jaya dan menjadi petani disana. Dahulu hidupnya dibiayai oleh mertuanya yang bernama Ma Onja, setelah Ma Onja wafat ia membuat kebun sayuran dan akhirnya memiliki sawah. Ia juga mengaku dirinya adalah dukun yang dapat membuat keajaiban.

Banyak pendapat mengenai sosok Ba Rama, Ba Rama dulunya adalah seorang petualang dan kerap menipu orang.

43 44

Namun adapula yang mengatakan bahwa dia adalah bekas kepala pemberontak di Bantam dan terlibat dalam kerusuhan di Panter Jati daerah Indramayu sekitar tahun 1858. Kegemarannya berpindah-pindah tempat dia lakukan dengan pindah dari Lampung hingga Cilacap pada tahun 1864 dan kemudian dia datang ke Karesidenan Batavia. dan mempunyai peran besar dalam kerusuhan di Mauk pada tahun tersebut, setelah itu ia lari ke Cirebon63.

2. Ba Kollot

Ba Kollot dilahirkan di kampung Losarang daerah Cirebon. kemudian ia pindah ke Parung Serab untuk mencari nafkah sebagai petani. Perkenalkan Ba Kollot dengan Ba Rama terjadi di Cipamingkis, ketika ia menemani Arpan menemui juragan Emed untuk minta keterangan adanya lempengan tembaga bertulisan yang dapat membuktikan hak Arpan atas tanah Cipamingkis.64 Beberapa waktu kemudian Ba Rama pindah ke Ratu Jaya jauh dari rumah Ba Kollot di Parung Serab. Sejak saat itu kedua orang itu sering bertemu.

Ba Kollot mengetahui bahwa Raden Saleh sedang mencari barang-barang antik untuk koleksi bataviaasch genootschap van kunsten en wetenschappen (perkumpulan

63 Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan Residen Batavia, dalam: Prita Wulandari, “Kerusuhan Di Tambun 3 April 1869” (Universitas Indonesia, 1987). 64 Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan Residen Batavia tanggal 5 Agustus 1869. Dalam : Prita Wulandari, “Kerusuhan Di Tambun 3 April 1869” (Universitas Indonesia, 1987). 45

kesenian dan ilmu pengetahuan Batavia). Ia menawarkan kepada Raden Saleh untuk mencarikan barang-barang kuno dengan syarat ia diberi surat pernyataan sebagai bukti bahwa ialah orang yg di tunjuk. Raden Saleh kemudian memberikan surat bukti yang di minta Ba Kollot tersebut.65

Ketika Ba Kollot akan ke Solo menemui Raden Saleh, Ba Rama memastikan dirinya menjadi teman seperjalan Ba kollot. Ia berharap akan bertemu dengan Raden Saleh yang pada waktu itu berada di Yogyakarta, melalui perantaraan Ba kollot.

3. Djoengkat Ba Nata

Djongkat Ba Nata di lahirkan di Cirebon dan berumur kira-kira 70 tahun namun masih berbadan kuat. Ia mengaku dirinya adalah keturunan Ratu Galoeh dari Ciamis.66 Sekitar tahun 1822-1823 ia datang ke Karang Congok daerah Bekasi sebagai kuli mandor dan bekerja pada tuan Jessen dan Trali. Sejak saat itu ia tinggal bergantian di Karang Congok atau Gabus dan hidup dari hasil beberapa sawah yang dia miliki.

65 “Raden Saleh en bekassische Onlusten”, Tijdschrift voor Nederlansch Indie, III, 1873, Lihat surat Raden Saleh kepada Ba kollot tanggal 9 Maret 1896, Ent 25/9-69-5

66 Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan residen Batavia kepada gubernur jendral Hindia Belanda tanggal 5 Agustus 1870. Dalam : Prita Wulandari, “Kerusuhan Di Tambun 3 April 1869” (Universitas Indonesia, 1987). 46

Sudah beberapa tahun ia dianggap sebagai orang yang menderita mono mania.67 Ia mempunyai daya ingat yang kuat dan dapat bercerita tentang orang-orang dan peristiwa-peristiwa 40 tahun yang lalu dan berhubungan dengan penggarapan pertama tanah-tanah Bekasi. karena ia tidak melakukan perbuatan yang menggangu ketenangan masyarakat, ia di biarkan begitu saja.

Ba Nata ini juga menulis dua surat yang tak jelas isi dan maksudnya, sekembalinya dari pesta di Ratu Jaya bulan Maret 1869, Surat tersebut disebarkan ke penduduk Bekasi. Dalam surat pertama dia menyatakan telah di perintah oleh Sultan Solo untuk merebut tanah-tanah antara Citarum dan Cisadane, yang merupakan milik nenek moyangnya, tanah-tanah itu telah disewakan oleh nenek moyang selama 8 alip kepada pemerintah. Sejak saat itu telah lewat 37 alip dan tanah-tanah itu belum juga dikembalikan dan kini dia mau merebut tanah-tanah itu kembali.68 Surat kedua di tunjukan kepada Asisten Residen Meester Cornelis yaitu De Kuijper, dengan bahasa campur aduk dan sulit dimengerti. Dalam surat itu ia minta supaya Asisten Residen Meester Cornelis segera menyingkirkan orang-orang

67 Monomania adalah bentuk mania (kurang waras) dimana pikiran si penderita hanya di penuhi oleh satu id saja. The new Dictionary of the English Language vol. 1. New York: Grolier, 1965, hal. 545 68 Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan Residen Batavia 24 Mei 1869 dalam: Prita Wulandari, “Kerusuhan Di Tambun 3 April 1869” (Universitas Indonesia, 1987). 47

Cina dari tanah-tanah itu.69 Surat-surat itu semuanya ditulis dengan huruf Arab.

Selain itu pada tahun 1869, ketika peringatan 250 tahun berdirinya Batavia, Ba Nata juga terlihat berunding dengan pihak otoritas tentang pengakuan atas tanah miliknya di Tambun, dan perundingan itu terjadi di Bekasi70.

4. Ba Selan

Mengenai Ba Selan tidak diketahui tentang dirinya. Nama sebenarnya adalah Ba Eke. dia adalah seorang petani di kampung Kerenjung Cidomba daerah Karawang, tetapi sejak bulan Maret 1869 dia tidak lagi terlihat di kampungnya.71

5. Dries

Dries adalah penduduk tanah Tambun. Lahir dan tinggal di kampung Kali Jambi daerah Tambun. Dulu dia seorang pencalang atau pegawai polisi desa, dipekerjakan oleh Ba Bairah di tanah Tambun. Dia pernah terlibat perkara pembunuhan, diadili di depan pengadilan tetapi kemudian di bebaskan karena tidak cukup bukti yang memberatkannya. Dia juga orang yang cukup berada di kampungnya.

69 Arsip Nasional Republik Indonesia , Surat Asisten Residen Cornelis E.R.J.C de kuijer kepada Reseiden Batavia tanggal 23 Maret 1869 no. 538/16. Dalam : Prita Wulandari, “Kerusuhan Di Tambun 3 April 1869” (Universitas Indonesia, 1987). 70 Margaret Van Till, Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit, dan Senjata Api, (Depok: Masup Jakarta, 2018) 18 71 Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan Residen Batavia 5 Agustus 1870. Dalam : Prita Wulandari, “Kerusuhan Di Tambun 3 April 1869” (Universitas Indonesia, 1987). 48

6. Aleng

Aleng dilahirkan dan tinggal di kampung Cibereus daerah Tambun dan menjadi mandor di Tambun. Dia terkenal sebagai orang yang tidak dapat di percaya.

7. Raden Moestapha

Mengenai Raden Moestapha tidak banyak diketahui. Ia adalah pekerja harian dari Cirebon, dan baru pada pesta di Ratu Jaya ia memakai sebutan Raden.

8. Manan Ba Basiroen

Manan Ba Basiroen dilahirkan dikampung Cimuning daerah Tanggerang. Dia datang ke Gabus dan bekerja sebagai kuli di pabrik gula. Sejak saat itu ia menetap disana sebagai pekerja harian dan petani.

9. Ba Toenda

Ba Toenda lahir di Adiarsa daerah Karawang. dia adalah seorang petani, di samping itu dia juga menjadi tukang khitan. Dalam menjalankan pekerjaan itu ia sering ke Meester Cornelis maupun ke Buitenzorg.

10. Arsain

Arsain dilahirkan di Cianjur, sewaktu kecil ia bersama ibunya pindah ke Batavia dan menetap di kampung Luar Batang. 49

Ia menikah dengan gadis dari Tanah Tinggi dekat Pasar Senen. Ia bekerja sebagai petani dan juga berdagang barang-barang dari toko orang Cina ke Buitenzorg. Pada salah satu kesempatan ia bertemu dengan Ba Rama yang waktu itu masih tinggal di Luwi Catang setelah Ba Rama pindah ke Ratu Jaya, ia pernah juga tinggal di sana sebentar dan kemudian kembali lagi ke Tanah Tinggi. Tidak lama sebelum kerusuhan di Tambun ia menjadi penjaja barang-barang kelontong di Batavia.

11. Boengsoe Ba Rabean dan Boedin Ba Simin

Boengsoe Ba Rabean dilahirkan di kampung Sukasari daerah Cirebon, dan bekerja sebagai petani. Kemudian ia bekerja sebagai tukang pangur atau pengasah gigi, kemudian pindah ke Gabus. Dalam menjalankan pekerjaannya ia sering berkeliling ke daerah-daerah di sekitarnya. Mengenai Boedin Ba Simin hanya sedikit yang diketahui. Ia tinggal di Luwing daerah Karang Congok daerah Bekasi dan mencari nafkah sebagai petani dan menangkap ikan di rawa-rawa.72

B. Perencanaan Awal Pemberontakan

Ide awal munculnya keinginan untuk memberontak kepada tuan tanah dan pemerintah kolonial muncul sewaktu Ba Rama masih bertempat tinggal di Luwi Catang (sebelum pindah ke Ratu Jaya) berkenalan dengan Arpan, melalui Sarpien. Ketika itu Sarpien dan Arpan sedang dalam perjalanan ke Cipamingkis

72 Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan Residen Batavia 5 Agustus 1870 dalam : Prita Wulandari, “Kerusuhan Di Tambun 3 April 1869” (Universitas Indonesia, 1987). 50

(Buitezorg) dan singgah ke Luwi Catang, karena Sarpien hendak membeli padi di Luwi Catang. Kepada Ba Rama, Arpan menceritakan tujuannya ke Cipamingkis untuk menemui Amboe Maria. Ayah Arpan, Haji Arsad, yang bertempat tinggal di Rawa Bangke (Bekasi) memberitahu Arpan bahwa Arpan mempunyai hak atas tanah Cipamingkis, karena tanah itu milik nenek moyangnya. Hak ini dapat di buktikan dengan beberapa lempengan tembaga bertulisan.73 Lempengan tembaga itu berada di tangan seseorang yang bernama Amboe Maria yang bertempat tinggal di Cipamingkis.

Mendengar maksud tujuan Arpan, Ba Rama yang terkenal sebagai penipu itu mengelabui Arpan dengan mengatakan bahwa ia sendiri juga keturunan nenek moyang yang sama dengan Arpan. Oleh karena itu apabila Arpan berhasil membuktikan hak nya atas tanah Cipamingkis, tanah itu harus dibagi dengannya. Arpan, seorang petani yang sederhana begitu saja pecaya akan pertanyaan Ba Rama mengenai nenek moyang yang sama seperti Arpan. Dan Arpan menyetujui membagi tanah Cipamingkis dengan Ba Rama apabila berhasil membuktikan haknya.74

Setelah Arpan memperoleh lempengan-lempengan logam yang diambil dari Amboe Maria, Selanjutnya Ba Rama menemui

73 Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan Residen Batavia tgl 5 Agustus,1oc cit Lihat juga laporan Asisten Residen Mr. Cornelis kepada Residen Batavia no 1464 a/16 tanggal 1 September 1869. 74 Sifat lekas percaya ini menimbulkan gagasan Ba Rama untuk memanfaatkan sifat tersebut agar penduduk mempercayai perkataannya di kemudian hari bahwa ia berhasil atas tanah-tanah antara Citarum dan Cisadane. 51

Ba Kollot untuk menjadi perantaranya dalam bertanya kepada Raden Saleh. dengan perantaraan Ba kollot yang ditugaskan Raden Saleh untuk mencari benda-benda kuno, Ia meminta tolong pada Raden Saleh untuk meneliti hak-hak apa yang di sebutkan dalam lempengan itu. Sesudah melihat lempengan- lempengan tersebut, Raden Saleh menyatakan bahwa lempengan itu tidak menunjukkan apa-apa tentang hak-hak itu. Pada kesempatan itu Raden Saleh balik meminta tolong pada Arpan untuk ikut mencari benda-benda kuno dan Arpan menyanggupinya. Sekali lagi Arpan ditemani Ba kollot pergi ke Cipamingkis menemui juragan Emed untuk minta keterangan tentang adanya piring emas yang dapat membuktikan haknya atas tanah Cipamingkis, tetapi tanpa hasil. Setelah itu Arpan tidak menghiraukan persoalan itu lagi.75

Sementara itu Ba Rama yang tinggal di Luwi Catang pindah ke Ratu Jaya tidak jauh dari Ba kollot di Parung Serab. Sejak saat itu kedua orang itu sering berjumpa. Keduanya berasal dari Cirebon, hal ini merupakan kemudahan untuk saling mempercayai.

Pertemuan antara Ba Rama dan Arpan di Luwi Catang rupanya telah melahirkan gagasan pada Ba Rama untuk menghasut penduduk melawan Pemerintah. Alasannya adalah ia mempunyai hak atas tanah-tanah antara Citarum dan Cisadane karena tanah-tanah merupakan milik nenek moyangnya.

75 Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan Residen Batavia tanggal 5 Agustus 1869 dalam : Prita Wulandari, “Kerusuhan Di Tambun 3 April 1869” (Universitas Indonesia, 1987). 52

Bulan juni 1860 Ba kollot bersama Ba Rama pergi ke Solo. Tujuannya perjalanan ini tidak jelas karena pernyataan Ba Rama dan Ba kollot mengenai hal ini berbeda. Ba Rama mengatakan ia menemani Ba kollot ke Solo karena hendak menemui kakaknya Prawira Admadja di Salatiga dalam perjalanan ke Solo. Sebaliknya Ba kollot mengatakan bahwa Ba Rama mau menemani Ba kollot ke Solo karena ia hendak minta dari kakaknya seorang raja yang berkuasa di Solo, sebuah piring emas yang dapat membuktikan haknya atas tanah Cipamingkis. Sebelumnya Ba Rama memberitahu Ba Kollot bahwa ia di temui seorang mandor bernama Djamaan dari Kampung Menan (Cipamingkis). Djamaan menanyakan rumah Ba kollot, karena ada seorang bekas narapidana kerja paksa yang bernama Djalak yang telah kembali ke kampungnya setelah menjalani hukuman di Solo, untuk memberitahukan Ba kollot agar pergi ke Solo. Kemudian Raden Saleh yang waktu itu telah berada di Solo meminta Ba kollot untuk datang menemuinya. Ba kollot memutuskan untuk datang ke Solo.76

Salah satu faktor penting dalam sebuah perencanaan adalah hadirnya seorang pemimpin yang revolusioner, unsur- unsur ideologi messianic seperti sebuah gelar panembahan serta

76 Ucapan Djamaa-an ternyata hanya isapan jempol ia telah di bujuk oleh Ba Rama untuk menceritakan isi jempol itu kepada Ba kollot untuk bekerja melaksanakan rencana Ba Rama agar ikut pergi ke Solo. Lihat : Prita Wulandari, “Kerusuhan Di Tambun 3 April 1869” (Universitas Indonesia, 1987) 53

asal-usul dari kerajaan77 disematkan oleh Ba Rama yang sadar bahawa untuk merebut tanah Cipamingkis dan juga tanah-tanah antara Citarum dan Cisadane, bahwa sebagai petani biasa tanpa asal usul yang jelas, tidak mungkin berhasil melaksanakan rencananya. Jikalau ia tidak dapat menyakinkan penduduk bahwa ia didukung oleh orang-orang berdarah biru dan berpengaruh, ia tidak akan dapat dukungan penduduk.akhirnya Ba Rama mempunyai rencana seperti yang diketahui oleh penduduk bahwa Ba kollot bekerja pada Raden Saleh untuk mencari benda-benda kuno. Juga beberapa waktu sebelumnya Raden Saleh berangkat ke vorstenlanden (Solo dan Jogya). Ini menjadi alasan bagi Ba Rama untuk memastikan Ba kollot menjadi teman seperjalannya sehingga dapat diusahakan agar ia dapat bertemu dengan Raden Saleh melalui Ba kollot.78 Dalam perjalanan ke Solo itu ikut pula empat orang yaitu Djamaa-an79, Adjie, Karinan Ba Onja dan Sarpien.

Kemudian pada bulan Desember 1868, tidak lama setelah kembali dari Solo, di rumah Aleng, mandor kampung Cibereum, Ba Rama bertemu dengan Djoengkat Ba Nata, Ba selan dan Dries. Sejak pertemuan di rumah mandor Aleng telah diadakan

77 Sartono Kartodirdjo, Protest Movement In Rural Java: A Studi Of Agrarian Unrest In The Nineteenth And Early Twentieth Centuries, (Jakarta: Oxford University Press, 1973) 32 78 Keberadaan Raden Saleh di Solo telah memberikan kesempatan untuk mewujudkan rencananya. Sebagai petani kecil sangat sulit baginya untuk bertemu dengan Raden Saleh seandainya isa pergi sendiri ke Solo. Adalah sangat logis ia mencoba membuktikan bahwa ia telah mengadakan pembicaraan dengan bangsawan yang berpengaruh di Solo. 79 Sekembalinya dari Solo ia menyebarluaskan kepada penduduk bahwa Ba Rama telah mengadakan pertemuan-pertemuan penting dengan Raden Saleh di Solo. 54

pembicaraan mengenai pembuatan tanah yang akan di rebut dari Pemerintah baik di rumah Dries di kali Jambi, di rumah Aleng, maupun di rumah Ba Rama di Ratu Jaya. Dalam pertemuan- pertemuan itu juga hadir Raden Moestapha, Menan Ba Basiroen, Ba toenda, Arsain alias Raden Sipat, Boengsoe, Ba Rabean dan Boedin Ba Simin.

Dalam pertemuan-pertemuan tersebut telah disepakati oleh orang-orang itu untuk merebut kembali tanah-tanah antara Citarum dan Cisadane dari tangan pemerintah. Maka ditentukan bahwa pada pesta pernikahan anak perempuan ma Onja (Ibu mertua Ba Rama) yang akan diadakan Ba Rama di Ratu Jaya pada bulan Maret 1869, Pesta pernikahan itu akan dipakai untuk memperoleh dukungan dalam melaksanakan rencana mereka. Juga ditetapkan mengenai cara-cara pembagian tanah-tanah tersebut bila berhasil. Ba Toenda akan memperoleh tanah Kedung Gade, tanah Cikarang di berikan kepada Djoengkat Ba Nata, Dries dan Raden Moestapha mendapat Teluk Pucung, Arsain dan Boengsoe mendapat Buitenzorg, sedang Ba kollot mendapat Depok. Tanah-tanah sisa untuk Ba Rama dan di bawah perebutan Pangeran Alibassa ia akan memegang pucuk pemerintahan atas semua tanah yang di rebut.80 Boedin Ba Simin tidak memperoleh bagian, tugasnya hanya membangkitkan kepercayaan penduduk akan kekuatan yg di punyai Ba Rama dan Moersia Ma Karsima, istri Boedin Ba Simin.

80 Laporan Residen Batavia tanggal 5 Agustus 1870,10c LIhat juga laporan Asisten Residen Mr. Cornelis 1 1869 55

Kegiatan-kegiatan persiapan pemberontakan sudah dilakukan sejak bulan Desember 1868, pertama orang-orang tersebut diatas sibuk membujuk orang-orang untuk datang ke pesta Ratu Jaya. Untuk mengadakan pesta pernikahan yang meriah, tentu saja Ba Rama membutuhkan dana sehingga Ba Rama juga mengumpulkan dana dari penduduk dengan jalan menjual jimat-jimat yang ampuh terhadap penyakit dan kegagalan panen. Dana tersebut digunakan untuk membiayai pesta tersebut.81

Menjual jimat-jimat termasuk dalam ide agar penduduk meyakini bahwa tokoh-tokoh tersebut memang orang sakti dan orang-orang pilihan yang mampu membebaskan mereka dari belenggu eksploitasi tuan tanah dan pemerintah kolonial.

Pesta di Ratu Jaya dimulai tanggal 14 Maret 1869, dengan memperdengarkan musik Eropa, pertunjukan orang yang sengaja di datangkan dari Karawang dan permainan rakyat lain seperti ronggeng. Membuat pesta itu menjadi makin meriah. Belum pernah orang menyasikan pesta perkawinan yang diselanggarakan orang setara Ba Rama yang begitu semarak. Pesta itu berlangusng selama 3 hari. Gamelan sudah di bunyikan pada tanggal 14 dan 15 Maret 1869, dan para penari conggeng mulai menari. Pesta yang sebenarnya baru di mulai pada tanggal 16 Maret 1869.

81 Dalam laporan Asisten Residen Meester Cornelis tanggal 1 September 1869 disebutkan Ba Rama yang menjual jimat, sedang dalam Laporan Residen Batavia tanggal 5 agustus 1870 dikatakan Ba Selan dan Dries yang menjual jimat. 56

Pesta tersebut dihadiri lebih dari 500 orang dari daerah Parung, Cibasura (Buitenzorg), Bekasi dan Tegalwaru (Karawang).82 Orang-orang terpenting dalam pesta itu adalah Djoengkat Ba Nata, Ba Selan, Raden Moestapha, Ba Toenda, Ba kollot, Dries, Mandor Aleng, Manan Ba Basiroen, Boengsoe Ba Rabean, Boedin Ba Simin dan istrinya Moersia Ma Karisma. Orang-orang ini adalag mereka yang ikut pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh Ba Rama.

Pada hari Selasa sore tanggal 16 Maret 1869, Ba Rama membuka pesta dengan membaca doa dan selamatan. Pada kesempatan itu Ba Rama, Ba Selan dan Djoengkat Ba Nata mengungkapkan kepada hadirin rencana mereka untuk merebut kembali tanah-tanah antara Citarum dan Cisadane yang dahulu milik nenek moyang mereka dan dan telah di sewakan kepada pemerintah berdasarkan konrak 8 alip lamanya dan masa tersebut telah lewat. Untuk itu mereka meminta bantuan kepada penduduk untuk melaksanakannya. Sebagai imbalan dijanjikan kepada penduduk apabila rencana tersebut berhasil merekan akan di bebaskan dari kerja paksa dan pembayaran cukai.83

Sewaktu pesta itu, Ba Rama, Ba Selan , Djoengkat Ba Nata dan Ba Kollot dengan berdiri di samping makam keramat, memohon kepada arwah raja untuk mengembalikan tanah-tanah

82 Laporan Residen Batavia tanggal 24 Mei 1869. sedangkan dalam laporan Residen Batavia tanggal 5 Agustus 1870 diperkirajan di hadiri 1000 orang. 83 Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan Residen Batavia 5 Agustus 1870. Dalam : Prita Wulandari, “Kerusuhan Di Tambun 3 April 1869” (Universitas Indonesia, 1987). 57

yang menjadi miliknya dulu, kepada penduduk dan memohon petunjuk saat terbaik untuk memulai perebutan kembali tanah- tanah itu.

Ba Rama, Ba Selan, Ba Toenda juga memanfaatkan sifat mudah percaya dari penduduk dengan memberikan gelar-gelar bangsawan kepada dirinya sendiri. Meraka mengaku memiliki kekuatan gaib agar mudah mendapat pengikut sebanyak mungkin. Juga penduduk yang tidak menyutujui rencana itu ditakut-takuti agar tidak membocorkan rencana itu. Hanya dengan hanya dengan menunjuk dengan jari kepada seseorang cukup untuk membuat mereka mati. Siapa yang membocorkanrahasia tersebut di ancam akan dibunuh dengan cara itu.

Ba Rama menanamkan dirinya kepada Pangeran Alibassa, Ba Selan memakai nama Kyai Mas Tjondro Biro Sapu Djagat, Ba Nata memakai nama Bagoes Pangin, Ba kollot memakai nama Raden Saleh, Manan Ba Basiroen Menamakan dirinya Raden Lengkong, Moestapha memakai Raden Moestapha, Arsain memakai Raden Sipat, sedangkan Boedin Bin Simin dipanggil Ejang Toebagoes Gienter dan istrinya Njai Iboe Ejang Gienter. Orang-orang lain yang terlibat dan juga hadir dalam pesta itu memakai nama-nama Raden Kesoema, Raden Keos, Pangeran Radja Saut, Raden Soenging, Raden Sekong; Sultan Banteng dan Pangeran Aroeman.84

84 Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan Residen Batavia 5 Agustus 1870 dalam : Prita Wulandari, “Kerusuhan Di Tambun 3 April 1869” (Universitas Indonesia, 1987). 58

Pada pesta tersebut ada seseorang yang menamakan dirinya dan di panggil dengan nama Raden Saleh. Ia berpakaian seperti Raden Saleh dengan 2 bintang didadanya. Bintang-bintang itu hanyalah mata uang lama f.3 dan f-5, yang dirangkai dengan manik-manik diselempangkan di atas pundak. Alasan orang itu menggunakan nama Raden Saleh adalah karena pada saat itu Raden Saleh merupakan orang yang dianggap penduduk memiliki kekuatan ghaib karena mampu berteman dengan orang-orang Belanda85.

Ba Rama kemudian meramal bahwa pada tanggal 20 bulan haji (3 April 1869) akan terjadi gerhana total selama 7 hari dan itulah saat memulai perang, karena gerhana tersebut para serdadu tidak dapat melihat mereka tetapi mereka mereka tetap dapat melihat serdadu itu. Di tentukan bahwa Tambun, Depok dan Buitenzorg akan di serang pada waktu bersamaan. Tambun akan di serang di bawah pimpinan Ba Selan, Ba Toenda, Raden Moestapha, Dries dan Ba Djieba. Pada waktu yang sama Buitenzorg akan diserbu dibawah pimpinan Arsain dan Boengsoe. Penyerangan ke depok akan di pimpin oleh Ba Kollot. Setelah Tambun diserang, gerombolan terus bergerak ke Bekasi untuk membebaskan para tahanan di sana dan dari sana bergerak Meester Cornelis lewat Teluk Pucung dimana mereka akan di tunggu oleh Ba Rama untuk bersama-sana merebut Batavia.

85 Masyarakat meyakini hal itu karena mereka merasa mana mungkin orang Jawa dapat memperoleh kepercayaan dari tuan-tuan kolonial. Lihat : Werner Kraus, Raden Saleh, Kehidupan dan Karyanya (Jakarta: Gramedia: 2018) 174 59

Cimuning (daerah Buitenzorg) ditentukan sebagai tempat pertemuan dan pengaturan penyerangan terakhir.86 Ba Rama mengatkan kepada tamu-tamunya agar ikut dalam pemberontakan ini karena bila ia sudah menguasai tanah-tanah itu, mereka akan di bebaskan dari pembayaran cukai dan kerja paksa.

Hari rabu 17 Maret 1869 Demang Parung Mas Djiedja Radja setelah mendengar betapa mewahnya pesta itu, mengirim bebebrapa orang polisi kerumah Ba Rama untuk menyaksikan sendiri apa yang terjadi disana. Ditemukan beberapa pelanggaran peraturan polisi, yaitu memotong kerbau tanpa membayar pajak kepada tuan tanah, dan mengadakan pertunjukan ronggeng jawa tanpa izin dari pamong praja, dan juga memperbolehkan menghisap candu dalam pesta tanpa izin, dan megelabui penduduk dengan mengaku dirinya seorang dukun. Atas perintah Demang Parung, Ba Rama ditangkap karena pelanggaran tersebut diatas. Juga di tangkap Ba Piah karena menjual candu kepada Ba Rama. Dewan juragan tanah Citayam dan Ba Nissa, kepala kampung Ratu Jaya, karena tidak mengambil tindakan atas pelanggaran-pelanggaran peraturan polisi.

C. Terjadinya Pemberontakan

Pada pukul 7 pagi kurang lebih 70 orang telah berkumpul di Tambun , di antaranya terdapat beberapa kepala kampung. Hanya ada 3 orang diantara mereka yang bersenjatkan golok,

86 Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan Residen Batavia tanggal 5 Agustus 1870 dalam : Prita Wulandari, “Kerusuhan Di Tambun 3 April 1869” (Universitas Indonesia, 1987). 60

sedangkan yang lainnya karena tidak bersenjata dibuatkan bambu runcing.87

Pagi-pagi sekali gerombolan perusuh telah berangkat dari Cimuning menuju Tambun yang dipimpin oleh Ba Salen, Raden Moestapha, Dries dan Ba Djieba. Diperkirakan sekitar 100 orang yang ikut dalam gerombolan tersebut sewaktu berangkat dari Cimuning. Banyak lagi yang berkumpul di tengah jalan. Beberapa diantaranya bergabung secara sukarela. Mereka yang tidak mau bergabung dipaksa oleh Ba Selan dan Ba Toenda, jika mereka tetap tidak mau, mereka akan diancam akan dibunuh, oleh sebab itu mereka menurut karena takut.

Mereka berhenti dirumah Dries di Kali Jambi. Konflik yang sering muncul dalam gerakan sosial adalah konflik diantara partisipan yang dipersiapkan untuk menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan mereka. Selain itu menurut Sosiolog Charles Tilly, kegaduhan yang spontan dalam konteks aslinya, merupakan repertoar seperti ritual-ritual yang akrab dalam budaya tertentu88. Untuk itu, di sana mereka di beri makan sirih dan air kelapa untuk diminum dengan maksud agar mereka menjadi berani. Sebelumnya Ba Selan dan Raden Moestapha membakar kemenyan dan mengasapi air kelapa dan daun sirih itu sambil membaca mantera-mantera. Kedua orang tersebut

87 Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan Residen Batavia tanggal 5 Agustus 1870 dalam : Prita Wulandari, “Kerusuhan Di Tambun 3 April 1869” (Universitas Indonesia, 1987). 88 Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial Edisi Kedua, (Jakarta : Yayasan Pustaka Obor: 2015) 137 61

mengatakan bahwa sejak saat itu tidak ada seorangpun boleh menginjak rumah lagi sebelum Tambun diserbu. Sambil mimum air kelapa dan menyungah daun sirih, Ba selan memerintahkan Ba Toenda untuk mengetuk kepala setiap orang yang hadir dengan sisi pipih pedangnya.89

Sekitar pukul 8.30 gerombolan bergerak kerumah perkebunan Tambun yang terletak kira-kira seperempat pal dari rumah Dries. Gerembolan berjumlah kurang lebih 260 orang bersenjatakan golok, kris dan tombak.90 paling depan berjalan 3 orang, yang satu memukul gendang, yang kedua meniup suling. Ba Toenda berjalan di belakang ketiga pemain music tadi dengan pedang terhunus. Sisi pipih pedangnya di ketuk pada punggung pemain musik untuk memaksa mereka maju sambil berteriak “hayo maju, kapan sudah sampai…masuk…ngamuk”. Ba Selan kadang-kadang ada di depan, kemudian di belakang gerombolan untuk menggiring mereka maju. Ia menyerukan kepada Ba Toenda agar berbuat demikian sambil berteriak yang sama dan juga “la illaha illlallah”, yang disambut oleh masa gerembolan. Dries berjalan dibelakang. Ba Toenda dan Raden Moestapha berada di tengah sedangkan Ba Djiba bersenjatakan tombak dan golok bahkan berjalan di depan pemusik.91

89 Laporan Residen Batavia tanggal 24 Mei 1869 no.2696 s/27 , lihat juga Laporan Residen Batavia tanggal 5 Agustus 1870 90 Arsip Nasional Republik Indonesia, Politiek Varslag 1869 91 Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan Residen Batavia tanggal 24 Mei 1869 62

Sementara itu seorang pencalang (pengawal Polisi desa) sekitar pukul 8 pagi memberitahu asisten residen bahwa perusuh yang berkekuatan 200 orang telah mendekat. De Kuijper diikuti kepala polisi Maijer, jaksa dan Ba Bairah menuju kejalan besar untuk memastikan kebenaran berita itu. Sewaktu melihat gerombolan pesuruh itu benar mendekat lewat jalan dari Cimuning ke Tambun. Asisten Residen dan rombongannya segera kembali ke rumah Ba Bairah. De Kuijper menyuruh menghalang-halangi pintu masuk.

Asisten Residen De Kuijper, Kepala Polisi Maijer, Jaksa Raboedin, seorang dokter jawa bernama Amin Oelah yang kebetulan ada di Tambun untuk merawat penderita cacar, Ba Bairah, goendang anak laki-laki Ba Bairah, dan sersan opas Djapang telah siap dengan senjata di serambi depan di sertai 2 anggota polisi. Beberapa orang yang yang kebetulan ada dirumah penguasa perkebunan Tambun unuk kerja paksa ditempatkan di depan rumah bersenjatakan bambu runcing, sedangkan pelantaran rumah dibuat barikade dengan gerobak.92

De Kuijper dan Maijer masing-masing bersenjatakan senapan berburu dan pedang, Raboedin dan Goedang masing- masing bersenjatakan senapan berburu berlaras dua dan golok. Ba Bairah bersenjatakan golok dan dokter Amin Oelah memegang keris. Sersan polisi Djapang dan dua Polisi lagi bersenjatakan kelewang. Didepan rumah di pasang meriam kecil yang di isi

92 Surat Kabar Bataviaaasch Handelsbad tanggal 6 April 1869. Lihat juga Laporan Asisten Residen Meester Cornelis 1869 no. 1464 a/16 63

potongan-potongan besi sebagai peluru dan dijaga oleh seorang penduduk Tambun yang bekas militer.93

Setelah gerombolan berada di depan perkarangan rumah Ba Bairah yang pintu masuk nya di halang-halangi kereta kuda dan beberapa gerobak, Asisten Residen De Kuijper mencoba berbicara dengan para perusuh dengan maksud supaya mereka menggurungkan niatnya, tetapi mereka terus saja maju hendak masuk pekarangan. Ba Djieba yang pertama-tama melompati gerobak-gerobak itu, dengan segera diikuti Ba Selan dan Raden Moestapha. Ba Toenda berdiri di pintu masuk sambil menggiring masa yang masih ada diluar supaya masuk dengan berteriak; “hayo, hayo” dan memukul-mukul punggung mereka dengan sisi pipih pedangnya, sementara itu Ba selan dan Raden Moestapha terus berteriak histeris “hayo, hayo , bunuh, bunuh”.94

Pihak otoritas yang mendengar terjadinya pemberontakan itu di buat panik, sesampainya di Bekasi, sang schout kurang mempertimbangkan dalam menangani pemberontakan tersebut, karena tidak melibatkan pasukan militer, akan tetapi asisten residen menganggap bahwa menangani sendiri pemberontakan tersebut memang sudah merupakan tugas schout95. Melihat gerombolan dengan ganasnya menyerbu, tembakan-tembakan segera dilepaskan dalam rumah, meriam kecil juga ditembak-

93 Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan Residen Batavia tanggal 5 Agustus 1870 94 Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan Residen Batavia 24 Mei 1869 95 Margareth Van Till, Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit dan Senjata Api, (Depok: Masup Jakarta, 2018) 18 64

tembakkan sehingga 2 orang tewas dari gerombolan itu. Tembakan pertama dilepaskan oleh asisten residen. Gerombolan pesuruh tersebut kemudian menyerang mereka, membacok atau membunuh dengan golok. Melihat tak ada gunanya melanjutkan perlawanan terhadap kekuatan yang jauh lebih besar, De Kuijper dan orang-orang bersamanya mencoba menyelamatkan diri. Sersan Djapang berada di depan Asisten Residen dan mencoba membuka jalan dengan kelewang, tetapi keduanya terdorong lagi masuk rumah. Ketika beberapa pesuruh mencoba hendak naik tangga ke beranda rumah, Djapang meloncat kebawah dan dengan berani berusaha mencegah mereka masuk. Usahanya sia- sia dan ia segera mendapat sabetan golok yang bertubi-tubi dari Mengkreng Ba Niroen, Niran Ba Saderan dan Bodjod Ba Sean yang menyebabkan kematiannya. Begitu Djapang Jatuh Djaidien Ba Djieba menusuk lambung Kiri De Kuijper dengan tombaknya sehingga De Kuijper langsung jatuh. Juragan Tambun, Oetanam yang dengan sia-sia mencoba melewati pesuruh-pesuruh terdorong masuk dan menangkap De Kuijper dalam pelukannya, kemudian menyeretnya ke kebun cabe didekat rumah. Pejabat itu kemudian meninggal karena lukanya.

Jaksa Roboedin adalah orang pertama yang melarikan diri. Ia melepas pakaiannya dan hanya memakai celana pendek dan sarung saja dan karenanya ia lolos dari kejaran para perusuh. Mungkin dengan berpakaian demikian Kamba Ba Sidan yang membunuhnya dengan kejam. Seran Ba Nisan menombaknya dari belakang, Sidan Ba Arsina menggoloknya, Kasian Ba Maila 65

menyabet kepala belakang dengan golok sedangkan Nisan Ba Neran memakai pedang kepala polisi sendiri untuk membacok kakinya, sewaktu kepala polisi itu telah jatuh tersungkur.

Dokter Amin Oelah dibacok lehernya oleh Selok Ba Belan dan Mairan Ba Maina, sehingga kepalanya hampir putus dari badannya. Seorang yang yang bernama Goendoel Yang bekerja pada Ba Bairah sebagai penagih cukai dibunuh dengan tusukan tombak dan bacokan golok ketika hendak melarikan diri oleh Seran Ba Arsan, seorang Cina yang bernama Kongsan bersembunyi dalam satu kamar samping rumah perkebunan itu, dibunuh oleh Mairoen Ba Maina dan Bidan Ba Bela dengan tusukan tombak dan bacokan golok. Centeng rumah perkebunan itu, Ba Djaeleha, dibacok bertubi-tubi oleh Bodjod Ba Sean sehingga ia meninggal.

Ba Bairah berhasil bersembunyi di bawah rumahnya (rumah panggung) dan begitu keadaan memungkinkan berhasil masuk semak-semak dibelakang rumah. Ia tetap bersembunyi disana sampai perusuh meninggalkan Tambun. Goedang, anak Ba Bairah melihat Asisten Residen terdesak, kembali masuk rumah. Ia membantu Djapang mempertahankan tangga masuk, tetapi ia dilukai tangan dan leher oleh Mengkreng Ba Niroen, Bojoed Ba Sean dan Niran Ba Saderan. Ia masih sempat melarikan diri dalam keadaan luka berat seperti itu. Dua orang opas polisi yang bersama Djapang telah melarikan diri begitu serbuan dimulai. 66

D. Kegagalan di Depok

Segera setelah peristiwa pemberontakan di Tambun Bekasi, tersiar sebuah rumor di Batavia bahwa akan ada pemberontakan susulan yang akan menyerang Depok.

Hal ini bermula dari informasi yang disampaikan seorang pendeta di Depok kepada Residen Batavia bahwa pada hari senin 5 April 1869 diduga aka nada serangan dari Ratu Jaya, untuk itu penduduk Depok dikumpulkan di gereja dan sekolah dan dipersenjatai lengkap.

Segera setelah mendapatkan informasi tersebut, residen langsung merespon dan membawa sekitar 70 orang dari pasukan Batalion 11 dibawah pimpinan Kapten Godin dan Sheriff Sprew. Namun setelah mendengar dan melihat kondisi di Depok yang masih kondusif akhirnya pada malam hari itu juga Residen memutuskan kembali ke Batavia. namun untuk tindakan penjagaan, satu detasemen militer sebanyak 25 orang ditinggalkan di depok untuk berjaga-jaga.96

96 Surat Kabar Java Boede: Nieuws, Handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 07-04-1869 BAB V USAHA-USAHA PENUMPASAN PEMBERONTAKAN Sebelum membahas mengenai penyelidikan polisi pada kasus pemberontakan petani di Karesidenan Batavia Tahun 1869, akan dibahas mengenai struktur keamanan di wilayah kota Batavia dan Ommelanden. Puncak pimpinan tertinggi, dipimpin oleh seorang residen yang dibawahnya terdapat seorang asisten residen (dalam kasus keamanan dikenal dengan opas dan spiun), seorang asisten residen dibantu oleh Schout yang mana mereka berpakaian lengkap untuk ikut berparade di sekitarnya. Tugas mereka adalah mencari pelaku-pelaku kejahatan dan pelanggaran hukum lainnya.

A. Penyelidikan Polisi

Kepala polisi Bekasi F. Maijer pada tanggal 2 April 1869 memberitahukan Asisten Residen Meester Cornelis, ERJC De Kuijper, bahwa pada hari rabu malam tanggal 31 Maret, beberapa orang mencurigakan dari daerah Buitenzorg telah berkumpul di rumah Mandor Aleng di kampung Cibereum dan mengadakan pertemuan di rumah tersebut. Orang-orang itu mengelabui penduduk dengan mengatakan bahwa hari sabtu tanggal 3 April 1869 akan terjadi gerhana total bersamaan dengan pecahnya perang dan siapa-siapa yang mau terbebas dari malapetaka dapat memperoleh jimat-jimat dari mereka. Kepada polisi dan jaksa Bekasi Raboedin segera berangkat ke sana untuk menangkap

67 68

orang-orang itu tetapi mereka telah pergi hari itu juga (1 April 1869). menurut keterangan yang didapat.

Kemudian pada hari Sabtu Tanggal 3 April 1869 Kongsiehuis di Tambun di bakar yang merupakan tempat tinggal anak Ba Bairah. Sedangkan Ba Bairah berhasil melarikan diri. Lalu asisten Residen Kuijper dan Sherif datang ke TKP untuk menenangkan situasi, namun malah menjadi sumber petaka. Dalam peninjauannya ke TKP itu Asisten Residen yang tidak di damping militer diserang. Dr. Amanoelah merupakan dokter Djawa yang bertugas di Bekasi pun tewas. Selain itu di Meester Cornelis pada pukul 12 datang sebuah berita bahwa Asisten Residen Kuijper dan Sheriff Meijer terbunuh1.

Pasukan kapten Stoecker, Letnan Vis Eijbergen, Letnan Altensteijn, Letnan Von Ende dan Letnan de Jongh bersiap pada jam 12, petugas kesehatan Hamilton diperbantukan ke tempat pasukan. Di antara area Pal 11 dan Pal 15 kemudian bergabung Residen Batavia dan Asisten polisi yang datang naik kereta kuda. Di Oedjoeng Menteng (Pal 17), pasukan dipecah, pasukan utama ada di bawah komando Stoecker menuju Teluk Pucung, dan satu detasemen di bawah komando Letnan Von Ende bersama Residen menuju Bekasi untuk berjaga-jaga.

Pada pal 16 datang gerobak yang mengangkut jasad Asisten Residen dan Sherif. yang terkena luka bekas tombak yang telah dijahit antara rusuk 5 dan 6 dada kiri. Jenazah Asisten

1 Surat Kabar Bataviaasch Handelsblad, 07-04-1869 69

Residen dan Sherif diteruskan ke Meester Cornelis dan di Oedjoeng Menteng pasukan dipecah. Di daerah Kali Mang, 2 pal dari Telok Poetjoeng, pasukan pemberontak sekitar 12 orang sudah terlihat di sisi jalan. Asisten Residen polisi meminta mereka meletakan senjata. Lalu senjata seperti pisau, golok, klewang dan tombak dimuat dalam dua gerobak. Pasukan merangsek ke Kali Abang (Telok Poetjoeng). Pasukan Stoecker bertemu pemberontak. Mereka bersenjata klewang, tombak dan beberapa senapan. Setelah dikepung mereka diminta untuk menyerah. Kemudian para pemberontak yang dalam posisi sudah dikepung sempat terdengar teriakan untuk melawan. Namun para pemberontak mengikuti perintah musuh (pasukan militer) dengan membaringkan badan (tiarap) di tanah. Di antara pemberontak yang tiarap masih ada yang berdiri dengan senjata. Untuk menghindari para pemberontak yang sudah berbaring di tanah berdiri mengikuti salah satu anggota yang berdiri, para pasukan militer mengikat para pemberontak yang berbaring dengan tali agar gerakan mereka terhambat. Kemudian para pemberontak akhirnya menyerah tanpa perlawanan. Gerobak yang berisi senjata para pemberontak akhirnya dibawa ke Bekasi. Sebanyak 162 yang ditangkap (dalam posisi terikat) akan dibawa oleh satu detasemen kavelari ke Bekasi untuk ditahan. Di antara para tahanan tersebut terdapat orang yang melakukan pembunuhan terhadap Asisten Residen. Pasuka infantri melakukan penyusuran hingga pal 20. Namun karena pasukan yang sudah tampak lelah diputuskan kembali ke Bekasi. Tahanan dibawa ke Bekasi dimana 70

penjara sebagai markas.kemudian ekspedisi akan dilanjutkan esok harinya.

Pada tanggal 4 April 1869 pasukan dan Residen mulai bergerak ke Tamboen tempat dimana Asisten Residen dan Sherif dibunuh, sedangkan seorang Jaksa berhasil meloloskan diri. Pada saat perjalanan dilakukan, di 5 pal terlihat Kongsihuis milik penyewa lahan Ba Bairah yang menjadi tempat tinggal anaknya yang dibakar masih mengeluarkan asap dan kayu-kayunya membara. Bangunan yang terbuat dari batu masih terlihat utuh. Lalu di depan halaman ditemukan mayat Dr.Amanoellah yang tewas dengan tubuh termutilasi. Sementara itu detasemen Buitenzorg dengan kekuatan 60 orang Eropa yang dipimpin oleh Letnan Opscholten yang didampingi Asisten Residen Buitenzorg Muschenbroek tiba pada pagi hari di Bekasi.

Setelah bertemu Asisten Residen dengan Residen, pada hari yang sama Asisten Residen dan Residen kembali ke Batavia. Asisten Residen selanjutnya akan melanjutkan perjalanan ke Buitenzorg.

Pada sore hari jenazah Asisten Residen dan Sherif Meester Cornelis dimakamkan di Tanah Abang, di wilayah Batavia, dengan upacara militer. Kemudian ekspedisi Kapten Stoekcker dihentikan dan sore hari kembali ke Bekasi. Tujuan utama untuk meyakinkan penduduk dan menangkap pemimpin utamanya, yaitu mandor dari Cibarusah. Namun sang mandor yang bernama Raden Koesoma tidak ditemukan dan diduga sudah 71

pergi ke Cibarusa. Lalu dua Kompagnie (pasukan) dari Bataliaon ke 11 akan kembali ke Meester Cornelis besok hari. Raden Koesema akan dikejar oleh asisten penduduk Buitenzorg dengan pasukannya yang terdiri dari enam puluh orang. Dan perbatasan Kerawang dijaga ketat.

Pada hari Senin tanggal 5 April 1869 untuk tugas pengamanan di Bekasi ditransfer kepada satu detasemen infantry dari Cilingsi. Pada sore hari jam 6 datang detasemen kavelari di bawah komando Letnan Ritmeester Jhr dan Letnan Dussenten Bosch. Pasukan berkuda ini akan membantu infantri untuk patrol di Kaliabang. Cikarang, Citarum dan lain-lain.

Kemudian pada hari Selasa tanggal 6 April 1869 ada sebuah laporan dari pendeta Biekhof bahwa akan ada serangan ke Depok. Kemudian segera Residen Batavia dan didampingi Sherif berangkat ke Depok dengan membawa pasukan sebanyak 70 orang. Ketika sampai di Depok, residen tidak menemukan indikasi adanya penyerangan. Kemudian Residen pada malam harinya memutuskan kembali ke Batavia dengan meninggalkan sebanyak 25 orang militer untuk keamanan dan melakukan penyelidikan di Ratu Jaya2.

Ba Toenda salah satu pemimpin dalam penyerangan di Bekasi pada tanggal 6 ini ditangkap di wilayah Residensi Karawang dan ditawan ke Meester Cornelis. Selain itu juga Tugat asal Cibarusa berhasil tertangkap di Karawang. Dari interogasi

2 Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch- Indie, 07-04-1869 72

yang dilakukan terhadap Ba Toenda dan Tugat diperoleh sebuah keterangan bahwa gerakan Buitenzorgsche dan kampung Ratu Jaya telah dimulai.

Pada hari Kamis tanggal 8 April 1869 di Cimanggis ditangkap pasukan pemberontak sebanyak 10 orang. Jumlah yang ditangkap dan ditahan pada hari pertama yakni tanggal 4 sebanyak 162 orang, dan kini secara keseluruhan jumlah yang berhasil ditangkap sebanyak 172 orang. Yang berhasil ditangkap di Cimanggis salah satunya terdapat pemimpin pemberontakan yaitu Ba Kollot bersama istrinya, ayah mertua dan saudara iparnya. Selain itu Nisa kepala desa Ratu Jaya, Sipitang dan Boeang pembantu dari Rama atau Pangeran Alibasa. Mereka yang ditangkap ini dibawa dan ditahan di Depok dibawah pengawasan detasemen infantri Cimanggis.

Pelukis terkena Raden Saleh pun masuk dalam daftar penyelidikan. Beliau ditangkap di Buitenzorg. Penangkapan Raden Saleh ini bedasarkan informasi yang muncul di Depok bahwa Raden Saleh datang ke Ratu Jaya pada saat pesta yang dilakukan tanggal 14 Maret3. Bupati Batavia, merupakan pegawai paling penting di Batavia setelah gubernur jendral melakukan penyelidikan terhadap Raden Saleh. Bupati tersebut adalah HJC Hoogeven yang memiliki keakraban dengan Raden Saleh. Ketika

3 Informasi ini didapat dari orang Depok yang mengeluh ketika Residen Batavia datang ke Depok. Disebutkan bahwa Raden saleh yang merupakan pelukis terkenal yang bersekolah di Belanda bukan hanya menghadiri pesta pertemuan tersebut melainkan juga telah berperan dalam perencanaan pemberontakan di Ratu Jaya 73

Raden Saleh dituduh oleh Jaksa Agung mengunjungi acara para pemberontak di Ratu Jaya yang disangkal Raden Saleh dengan marah. Lalu kemudian kusir dan pembantunya di ikat di depan rumahnya oleh polisi. Raden Saleh menjelaskan kalau pada Desember 1868 dia telah pindah ke Buitenzorg dan di sana dia menyewa rumah milik sultan Banjarmasin4.

Lalu pada hari Senin tanggal 12 April 1869 Residen Batavia berangkat ke Buitenzorg pada pagi hari dan melanjutkan perjalanan ke Bekasi melalui Depok demi melanjutkan peninjauan atas kasus ini. Alasan Residen Batavia yang ke Buitenzorg yang turut didampingi Jaksa penuntut umum adalah dalam rangka tuduhan yang dialamatkan kepada Raden Saleh5.

Dalam kasus yang melibatkan nama Raden Saleh, diketahui dari hasil penyelidikan bahwa Bapak Kollot lah yang mengaku sebagai Raden Saleh. Dalam pesta pertemuan di Ratu Jaya, Ba Kollot di depan para tamu undangan mengaku sebagai Raden Saleh. Pada situasi ini seorang ‘mata-mata’ yang berasal dari Depok yang hadir menginformasikan kepada pendeta Beikhof. Dari hasil informasi inilah pendeta Beikhof menyampaikan kepada Residen Batavia pada tanggal 6 April ketika sedang berada di Depok.

4 Werner Kraus, Raden Saleh, Kehidupan dan Karyanya (Jakarta: Gramedia, 2018) 175 5 Sebagaimana yang diketahui Raden Saleh memiliki dua rumah yaitu di Menteng dan Buitenzorg tepatnya di daerah Empang 74

Bagi penduduk, pengakuan Ba Kollot sebagai Raden Saleh merupakan daya tarik tersendiri untuk menghadiri undangan pesta pertemuan tersebut. Kehadiran sosok Raden Saleh dalam pesta pertemuan di Ratu Jaya telah mengalami difusi secara cepat di seluruh Afdelling Buitenzorg dan Afdelling Bekasi.

Atas kemauan Raden Saleh sendiri, dari Buitenzorg beliau beserta jaksa penuntut umum berangkat ke Depok untuk bertemu dengan Ba Kollot. Dari hasil konfrontir ini dikatakan bahwa Ba Kollot telah menyalahgunakan nama Raden Saleh. Media pun ramai-ramai menyindir Residen yang tidak memastikan kebenaran tuduhan terhadap Raden Saleh. Ba Kollot pada akhirnya telah berhasil membentuk opini di dalam masyarakat dalam membangun semangat penduduk. Sedangkan Residen Batavia telah gagal mengklarifikasi informasi yang berasal dari pendeta Biekhof.

Lalu pada tanggal 19 April 1869 di Afdelling Buitenzorg, wilayah Residentie Batavia telah dijaga oleh satu detasemen untuk memastikan situasi dan kondisi keamanan . detasemen ini juga untuk mendukung polisi dalam penyelidikan kasus terhadap para pemberontak. Detasemen ini telah mengecek wilayah rata- rata 23 pos per hari dalam 14 hari.

B. Pembangunan Garnisium 75

Pemberontakan yang dilakukan oleh Ba Rama memang tidak berhasil mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan. Namun tetap saja menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah kolonial Belanda. Meskipun Ba Rama telah meninggal dunia di Penjara pada tahun 1869 namun pemerintah kolonial tetap takut jika sepak terjangnya nanti diikuti oleh para pengikutnya.

Pemerintah kolonial akhirnya akan membangun sebuah garnisium militer di Cimanggis, yaitu suatu garnisium penghubung antara garnisium Meester Cornelis dengan Garnisium Buitenzorg. Cimanggis merupakan wilayah yang terletak di antara Buitenzorg dan Batavia, dekat dengan wilayah Ratu Jaya. Ratu Jaya merupakan wilayah yang telah menjadi tempat perencanaan pemberontakan.

Pemerintah Kolonial bernegosiasi dengan pemilik lahan Cimanggis yaitu Lauw Tek Lok, untuk bisa mendirikan garnisium untuk artileri di lahan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar dapat menginspirasi penduduk untuk bersikap kondusif6.

C. Hukuman Gantung Para Pemberontak

Bedasarkan catatan penyelidikan yang berakhir pada Agustus 1869, diketahui bahwa dari 302 yang ditangkap, ada 243 orang yang dibebaskan karena mereka terbukti dipaksa untuk ikut menyerang Tambun atau bergabung di Kali Abang. Sebanyak 59

6 Surat Kabar Java-Bode : Nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch Indie 11-08-1876 76

orang didakwa, dan 8 orang di antaranya telah meninggal dunia sebelum menjalani siding, dan yang meninggal tersebut termasuk tokoh utama dari pemberontak yaitu Ba Rama. Dalam sidang pengadilan pada tanggal 29 Desember 1869 dinyatakan bahwa 29 pelaku divonis hukuman mati, 19 terdakwa dihukum 15 tahun hukuman kerja paksa. Adapun Djoengkat Ba Nata dibebaskan karena terbukti mengalami penyakit kejiwaan7.

Sebanyak 8 narapidana menjalani hukuman mati di Bekasi pada hari Rabu, 24 Agustus 1870. Mereka mendapat julukan dari pemerintah kolonial Belanda sebagai acht Tamboenmoordenaars8. Meskipun ada sekitar 8 orang yang di hukum mati, namun tidak ada satupun surat kabar yang memberitakannya. Hanya surat kabar dari Betawi, yaitu Bintang Barat, yang sekilas menceritakan sedikit mengenai hukuman mati yang dijalani para terdakwa tersebut

“Ini perkara soeda djadi seblonnja itoe 8 orang brandal di gantoeng…,”9

Eksekusi yang dilakukan pada waktu siang bolong di lapangan terbuka dan disaksikan oleh khalayak ramai yang sangat berbeda dengan hukuman mati zaman sekarang yang dilakukan tertutup dan tidak dapat disaksikan oleh orang umum.

7 Telegram Residen Batavia kepada Gubernur Jendral Buitenzorg 3/9 1869 No. 570 dan Politik Verslag 1869 8 Julukan tersebut diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda yang berarti delapan jagal dari Tambun 9 Berita tersebut dimuat dalam surat kabar berbahas melayu yang terbit dua kali sepekan setiap Rabu dan Sabtu. Lihat : Bintang Barat, edisi Sabtu, 3 September 1870 77

Disaksikannya hukuman mati oleh khalayak umum memang sudah sering dilakukan pada masa pemerintah kolonial. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat tidak meniru prilaku kriminal seperti yang dilakukan oleh para terdakwa dan jika melakukannya maka hukumannya seperti apa yang mereka saksikan.

Selain itu pemerintah kolonial juga mewajibkan para pejabat dan tokoh masyarakat pribumi untuk menyaksikan hukuman mati tersebut.“mereka itu termasuk mandor, demang, wedana sampai patih. Mungkin maksudknya agar mereka bercerita kepada rakyat di daerah kekuasaannya masing-masing tentang seramnya hukuman mati sehingga tak berani melanggar hukum”10 Eksekusi yang dilakukan di lapangan terbuka memang sudah menjadi hal biasa pada masa kolonial Belanda, tercatat sejak masa VOC yaitu abad ke-17. Pada masa itu pelaksanaan hukuman mati selalu dilakukan di depan halaman Balaikota Batavia yang sekarang menjadi Taman Fatahillah11

10 Pendapat yang dikemukakan oleh Lilie Suratminto Sejarawan dan Pakar Kebudayaan Belanda dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesi. Lihat : Koran Kompas,edisi Kamis, 23 April 2009, kolom 1 hal. 21 11 Atas permintaan Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen, pada 1629 serdadu VOC itu dihukum pancung karena telah menggauli seorang gadis bernama Sara Specx. Sara Specx merupakan anak dari pejabat VOC yaitu Jacques Specx 78 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan

Peralihan kekuasaan antara VOC kepada Peemerintah Kolonial akibat kebangkrutan dan korupsi memunculkan kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat. Salah satunya kebijakan tanah partikelir atau Particulari Landrij yang memunculkan penguasa-penguasa baru atas tanah.

Penguasa-penguasa atas tanah tersebut atau yang lebih dikenal dengan tuan tanah bersikap sewenang-wenang terhadap masyarakat yang tinggal di tanah-tanah yang mereka kuasai. Tindakan pengambilan paksa tanah, pemerkosaan, pencurian merupakan tindakan yang mewarnai kehidupan masyarakat sehari-hari.Kurangnya kontrol pemerintah kolonial di tanah partikelir membuat munculnya gejolak sosial di masyarakat khususnya kaum tani. Aksi protes, huru-hara, kerusuhan pun terjadi hampir di beberapa wilayah di Pulau Jawa.

Munculah seorang petani yang bernama Ba Rama yang kemudian merubah namanya menjadi pangeran Alibasa menjadi pemantik masyarakat untuk merebut kembali hak-hak mereka di tanah partikelir. Perlawanan yang bermula ketika dia bertemu dengan seorang bernama Arpan yang mengatakan bahwa dia diminta oleh Ayahnya yaitu H. Arsyad untuk menemui Amboe Maria di Cipamingkis, menurutnya Arpan memiliki hak atas tanah di Cipamingkis bedasarkan lempengan tembaga. Dari situlah muncul keinginan untuk melakukan pemberontakan dalam

79 80

merebut tanah-tanah disepanjang sungai Citarum hingga Cisadane.

Meskipun pemberontakan itu mengalami kegagalan, namun mampu membuat pemerintah kolonial khawatir kalau- kalau akan terjadi pemberontakan susulan. Untuk itu pemerintah melakukan serangkaian penyelidikan guna mencari tokoh-tokoh utama dan para pemberontak tersebut dihukum dengan cara melakukan kerja paksa dan eksekusi mati. Pemerintah kolonial juga membangun sebuah garnisium di wilayah Cimanngis untuk membuat suasana kondusif di Ratu Jaya. GLOSARIUM

Afdeling : Wilayah administrasi pada masa pemerintah kolonial Belanda setingkat dengan Kabupaten

Amboe : Berarti Ibu

Ba : Panggilan untuk Bapak

Burgerlijk Wetboek : Hukum perdata

Contingenten : Pajak wajib berupa hasil bumi yang langsung di serahkan kepada VOC. Dampaknya yaitu menjadikan pendapatan rakyat berkurang karena sebagian hasil bumi mereka harus di bayarkan kepada VOC.

Cultuurstelsel : Sistem tanam paksa yang diterapkan pemerintah colonial Belanda atas prakarsa Van den Bosch

Domein Theory : Suatu ketentuan tentang kekuasaan bangsawan Inggris atas tanah, yaitu bahwa orang biasa hanya dapat menyewa tanah tersebut. Teori Domein ini untuk pertama kalinya diterapkan oleh Thomas Stamford Raffles

Eigendom : Hak atas tanah barat yang dikenal sebagai hak mili

Heemraden : Merupakan lembaga pemerintah yang memiliki daerah kekuasaan di luar kota Jakarta yang salah satu tugasnya membuat suatu peta umum dari tanah-tanah yang terletak dalam wilayah kerjanya

Kompagnie : Istilah pada masa pemerintah colonial Belanda yang sekarang dikenal dengan Kompi. Kompi terdiri dari 100 pasukan

Landrent : Kebijakan yang di lakukan Raffless berupa sewa tanah dan setiap penduduk wajib memberikan pajak kepada pemerintah colonial Inggris

Meestizos : Orang yang berdarah campuran Eropa dan non Eropa

81 82

Nederlands Burgerlijk Wetboek : Kitab undang-undang hukum perdata Belanda

Ordonantie : Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Gubernur Jendral (Gouverneur Generaal) bersama-sama dengan Volksraad (Dewan Rakyat) di Batavia dan berlaku bagi wilayah Hindia Belanda

Pal : Tonggak batu sebagai tanda jarak, antara satu tonggak dan tonggak yang lain berjarak 1,5 km

Regerings Reglement : Setingkat Undang-undang dasar

Residentie : Keresidenan sebuah daerah Administratif yang dikepalai oleh residen.

Staten General : Badan legislasi bikameral Belanda, yang terdiri dari Eerste Kamer atau Senat dan Tweede Kamer atau Dewan Perwakilan Rakyat.

Tractaat : Sebuah perjanjian yang dibuat di bawah hukum internasional oleh beberapa pihak yang utamanya adalah negara

Verpelichte Leverantie : Penyerahan wajib hasil bumi dengan harga yang telah ditentukan VOC. DAFTAR PUSTAKA

Sumber Primer

Almanak 1869

Bataviaasch Handelsblad

Koran Bintang Barat

Java-Bode-Nieuws 07-04-1869, 11-08-1876

Laporan Asisten Meester Cornelis

Laporan Asisten Residen Batavia

Politik Verslag 1869

Register der Resolution Van Der Governouer General No 21 Tahun 1836

Sumber Jurnal

Juwono, Harto. “Antara Bezitsrecht dan Eigendomnecht : Kajian Tentang Hak Atas Tanah Oleh Penduduk”, Jurnal hukum dan Peradilan Vol. 2, No. 1 (2013)

Leirissa, R.Z. “VOC Sebagai Sejarah Sosial”,

Rahmawati, Desi. “Gerakan Petani dalam Konteks Masyarakat Sipil”, Jurnal Ilmu Sosial dan Politik Vol. 6, No. 3 (2003)

Sumber Skripsi

Hatmawan, Aditya. “Perkembangan Transportasi Kereta Api di Batavia 1870”, Skripsi, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, Depok.2002

Wulandari, Prita. “Kerusuhan di Tambun 3 April 1869”, Skripsi, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, Depok.1987

83 84

Sumber Buku

Djoened, Marwati, Notosusanto, Nugroho. Sejarah Nasional Jilid V. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1984

Encyclopedia Van Nederlandsch Indie’s Gravenhag Martinus Nijhoff. Leiden, 1921

Fadjrin, Mochammad. Dinamika Gerakan Petani: Kemunculan dan Kelangsungannya. Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2011

Geertz, Clifford. Involusi Pertanian. Jakarta: Bhtara, 1976

Geertz, Clifford. The Interpretation Of Cultures. New York: Basic Book Inc, 1973

Husken, Frans. Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah dan Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980. Jakarta: Grasindo, 1998

Kartodirdjo, Sartono. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1984

Kartodirdjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992

Kartodirdjo, Sartono. Protest Movement in Rural Java: A Study Of Agrarian Unrest In Nineteenth and Twentieth Centuries. Oxford University Press, 1973

Kartodirdjo, Sartono. Ratu Adil. Jakarta: Sinar Harapan

Kusnawan, Endra. Sejarah Bekasi Sejak Peradaban Buni Ampe Wayah Gini. Depok: Herya Media, 2016

Mubyanto, Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1983

Muchsin, Koeswahyono, Imam dan Soimin. Hukum Agraria dalam Perspektif Sejarah. Bandung: Refika Aditama, 2007 81

Nawi, G.J. Maen Pukulan Pencak Silat Khas Betawi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016

R.Z, Leiriza, Tjandrasasmita, Uka, Sujono, Nana Nurlina dan Sutopo Susanto. Jakarta Kota Joang. Jakarta

Raffles, Thomas Standford Sir. The History Of Java. London: John Murray, 1877

Sadikin. Perlawanan Petani, Konflik Agraria dan Gerakan Sosial. Yayasan Akaiga, 2005

Scott, C, James. Perlawanan Kaum Tani. Yayasan Obor Indonesia, 1993

Scott, C, James. Senjatanya Orang-orang Yang Kalah: Bentuk Perlawanan Sehari-hari Kaum Tani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000

Soepomo, dan Djokosutono. Sejarah Politik Hukum Adat 1609-1848, Jakarta: Djambatan, 1955

Soesangoben, Herman. Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanian dan Agrarian. Yogyakarta: STPN Press, 2012

T.I, Alfian (ed). Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis. Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 1987

Till, Van Margareth. Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit, dan Senjata api. Depok: Masup Jakarta, 2018

Tauchid, Moch. Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. STPN Press, 2009

The New Dictionary Of The English Language Vol 1. New York: Grolier, 1965 82

Tiderman, J. Penduduk-penduduk Kabupaten-kabupaten Batavia, Meester Cornelis dan Buitenzorg, Tanah dan Penduduk di Indonesia. Jakarta: Bhrata, 1974

Tjondronegoro, Soediono, Wiradi, Gunawan(ed). Dua Abad Penguasaan Tanah. Jakarta: Pt. Gramedia, 1984

Tresna, R. Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Jakarta: Pradnya Paramita,

Vollenhoeven, Van Cornelis. Orang Indonesia dan Tanahnya (De Indonesier en Zijn Ground), Yogyakarta: STPN Press, 2013

Wiharyanto, A Kardiyat. Asia Tenggara Zaman Pranasionalisme. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2005

Wiradi, Gunawan. Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir. Jakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria, 2009 LAMPIRAN

Berita ini mengenai tanah partikelir di Pondok Perong

Berita mengenai peristiwa pemberontakan petani di Karesidenan Batavia Peristiwa pemberontakan petani di Karesidenan Batavia dimuat ulang di Koran Sydney Morning Herald