85 Vol. XI No.1 Th. 2012 DUNIA PEREMPUAN DALAM KARYA

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

85 Vol. XI No.1 Th. 2012 DUNIA PEREMPUAN DALAM KARYA Vol. XI No.1 Th. 2012 DUNIA PEREMPUAN DALAM KARYA SASTRA PEREMPUAN INDONESIA (Kajian Feminisme) Yenni Hayati Fakultas Bahasa, Seni, dan Sastra Universitas Negeri Padang Abstract This article describes the world of and images of women depicted in women fiction writer, particularly in short story literature. ,n depicting women‘s world, an ,ndonesian writer tends to focus on their domestic than public life. This is because domestic life is considered safer for women, and women are considered best settled in the domestic life. There are six images closely associated with women; a mother, a loyal woman, a successful woman, a second woman, an ideal woman, and a bad woman. Mother image is the most found, 14 of 15 fictions examined in this research. The description of domestic life associates with mother image, because the two are closely related with the life of Indonesian women. Key words: women‘s world, women‘s image, women‘s literature Pendahuluan kanon sastra tradisional maupun pandangan Berhadapan dengan sebuah karya fiksi, tentang manusia dalam karya sastra pada pada dasarnya kita dihadapkan pada sebuah umumnya mencerminkan ketimpangan. Salah dunia, dunia rekaan, sebuah dunia yang sudah satu kegiatan kritik feminis adalah dilengkapi dengan penghuni dan permasalahan- mengungkapkan teks-teks karya perempuan nya. Dunia yang ditemui dalam karya fiksi bisa yang terlupakan dan tersisihkan dengan maksud dunia apa saja, seperti dunia binatang, politik, menilai ulang teks-teks itu sehingga tercipta apa ilmu pengetahuan, pendidikan bahkan dunia yang disebut gynocritism, yaitu suatu kegiatan kehidupan perempuan. kritik feminis yang memusatkan perhatian pada Dunia perempuan yang terdapat dalam tulisan-tulisan yang berfokus pada perempuan karya sastra diciptakan baik oleh pengarang (misalnya; representasi perempuan yang laki-laki maupun pengarang perempuan. berbeda dan lebih positif terhadap perempuan Sayangnya pada awal perkembangan karya yang tidak menikah, pengaruh penulis sastra Indonesia hanya karya pengarang laki- perempuan terhadap penulis perempuan laki yang diperhitungkan, sedangkan karya lainnya, penggambaran hubungan antar perempuan dianggap hanya sebagai karya perempuan atau komunitas perempuan dalam populer yang tidak layak diperhitungkan. teks-teks yang selama ini dianggap sepele Berkaitan dengan permasalahan tersebut karena pemilihan topiknya tidak sesuai dengan di atas para kritikus feminis berusaha untuk selera maskulin) untuk menyusun kanon sastra mengkaji karya-karya pengarang perempuan perempuan. Kegiatan yang juga sangat penting dengan tujuan agar karya pengarang perempuan dilakukan kritik feminis adalah menjelajahi pun layak dibaca, dikaji dan selanjutnya konkstruksi budaya gender dan identitas dalam diadakan penelitian terhadapnya. Dalam karya sastra. membedah karya sastra menurut kajian Pada awal perkembangan sastra feminisme ada kritik sastra yang berkaitan Indonesia, para pengarang yang dikenal dan dengannya yaitu —kritiN sastra feminis“. dikaji karyanya sebagian besar adalah Menurut Djajanegara (2000:17-18), kritik sastra pengarang laki-laki, padahal pengarang feminis berawal dari kenyataan bahwa baik perempuan sudah ada sejak awal perkembangan 85 Dunia Perempuan dalam Karya ... sastra. Sebagai contoh, Hamidah dengan perempuan yang digambarkan oleh pengarang karyanya yang berjudul Kehilangan Mestika, laki-laki pun merupakan pencitraan laki-laki Selasih dengan karyanya Kalau tak Untung, dan terhadap perempuan, seperti tokoh Siti Nurbaya Suwarsih Djojopuspito dengan cerpen-cerpen- yang diciptakan Marah Rusli dalam novelnya nya yang sebagian besasr berbahasa Belanda. Siti Nurbaya, tokoh Tuti yang diciptakan Sutan Kemudian dekade 1950-an, NH Dini takdir Alisjahbana dalam novelnya Layar menyemarakkan sastra Indonesia dengan karya- Terkembang, dan tokoh Srintil yang diciptakan karyanya yang sangat bermutu dan bernilai oleh Ahmad Thohari dalam trilogi Ronggeng bagus. Prihatmi (1977: 5) malah menempatkan Dukuh Paruk-nya. NH Dini sebagai peringkat pertama menurut Hal lain yang membuat kumpulan cerpen kedudukan nilai literer karya-karyanya. ini menarik dikaji adalah, karena adanya asumsi Kemudian pada tahun 1998 pembaca karya yang menyatakan bahwa hanya perempuan sastra Indonesia dikejutkan oleh kehadiran yang bisa menghayati selera khalayak sastrawan perempuan yang dianggap sebagai perempuan. Kumpulan cerpen ini memuat pengarang yang berbeda gaya dari pengarang berbagai suara perempuan yang berbicara lainnya, dia adalah Ayu Utami dengan novelnya melalui karya sastra, mengungkapkan masalah- yang berjudul Saman. masalah perempuan dan mencoba memutuskan Menurut Rampan (1992:23) hingga awal mengenai berbagai hal, serta kumpulan cerpen 1990 tercatat + 40 penulis perempuan Indonesia ini menggambarkan dunia perempuan baik yang baik sebagai penulis prosa fiksi, puisi, maupun tersirat maupun yang tersurat yang berasal dari drama. Dalam tulisannya yang lain Rampan berbagai waktu dan tempat. Sehubungan (1991) mencatat ada 22 perempuan yang dengan itu kumpulan cerpen ini sangat pantas menulis cerpen yang dianggap sudah memiliki dikaji dengan kerangka kritik feminis. nilai sastra yang cukup menggembirakan. Hal nyata yang dilakukan oleh kritik Tulisan ini merupakan hasil dari sastra feminis adalah salah satunya dengan penelitian yang mengkaji karya-karya sastra mengumpulkan antologi cerpen yang kesemua pengarang perempuan khususnya cerpen. pengarangya adalah perempuan (Kartika: 2003; Cerpen-cerpen yang dikaji dalam penelitian 130). Kumpulan cerpen Dunia Perempuan diambil dari kumpulan cerpen Dunia merupakan contoh nyata dari hal tersebut. Maka Perempuan. Kumpulan cerpen Dunia makin lengkaplah alasan pengambilan Perempuan ini adalah kumpulan cerpen yang kumpulan cerpen ini sebagai objek penelitian memuat 55 buah cerpen yang dikarang oleh 55 kerangka kritik sastra feminis. orang pengarang perempuan. Cerpen-cerpen Dari 55 buah cerpen yang terdapat dalam yang dimuat dalam kumpulan tersebut adalah kumpulan ini, dengan berbagai alasan dipilih 15 cerpen-cerpen yang terbit pada tahun 1941 cerpen yang dianggap sebagai cerpen-cerpen sampai pada tahun 2000. Cerpen-cerpen yang paling representatif yaitu; (1)“Kalau tersebut dikarang oleh para pengarang Timur Masih Memanggil“ Narya saadah Alim perempuan yang berasal dari latar belakang (1941), (2) —.esepian“ Narya Suwarsih kehidupan yang berbeda, seperti latar belakang DMoMopuspito (1957), (3) —Dua .erinduan“ sosial budaya, ekonomi maupun pendidikan. karya Salsiah Tjahjaningsih (1963), (4) Meskipun mereka mempunyai latar belakang —-akarta“ Narya Totilawati Tjitrawarsita (1976), yang berbeda, mereka memiliki satu persamaan (5)“MeMa Gambar“ .arya Titis Basino (1976), yaitu sama-sama mengungkapkan dunian (6)“Lereng Pegunungan“ Narya 1H Dini perempuan. (1982), (7)“Hati-hati terhadap 2rang Asing“ Kumpulan cerpen ini menarik dikaji Narya Th. Sri Rahayu Prihatmi (1988), (8)“Tiga mengingat selama ini tidak banyak kajian yang Wanita“ Narya Yati Setiawan (1989), (9)“ ,stri memfokuskan objek kajian pada pengarang Model Baru“ Narya Rayni 1 Massardi (1992), perempuan dan juga pada cerpen. Selama ini (10)“Bintang -atuh“ Narya Lili 0unir C (1993), kajian sastra lebih banyak terfokus pada (11)“Perempuan“ Narya Fitri Asdtuti /estari pengarang laki-laki dan karya sastra novel. (1996), (12) —Peristiwa Semalam“ Narya SiriNit Pengarang laki-laki tersebut bertutur juga Syah (1993), (13)“Dunia ,bu“ Narya Ratna tentang perempuan, tetapi pandangan dunia ,ndraswari ,brahim (1994), (14)“ PerniNahan yang mereka ungkapkan adalah pandangan .isah 3erempuan 1adin“ Narya Mona sylvia dunia mereka sebagai laki-laki. Citra (1996), dan (15)“Pemahat Abad“ Narya Oka 86 Vol. XI No.1 Th. 2012 Rusmini (2000). mempertimbangkan hubungan timbal balik Berdasarkan pemikiran yang telah antara keseluruhan karya dengan bagian- diuraikan tersebut di atas, artikel ini bertujuan bagiannya. Metode ini dilakukan dengan cara untuk menguraikan dan menerangkan dunia (1) mengindentifikasi unsur-unsur cerpen (2) perempuan yang digambarkan oleh pengarang mengklasifikasikan unsur-unsur tersebut perempuan dalam karya sastra khususnya berdasarkan fokus kajian yaitu latar dan cerpen. Di samping itu juga menggambarkan penokohan, (3) memberikan analisis tentang pencitraan yang diberikan oleh pengarang cara pengarang perempuan menggambarkan perempuan terhadap tokoh-tokoh perempuan dunia perempuan dalam karya sastra, (4) dalam karya sastra mereka. memberikan analisis tentang pencitraan Artikel yang disusun berdasarkan hasil pengarang perempuan terhadap tokoh penelitian ini diharapkan dapat memberikan perempuan dalam karya sastra, dan selanjutnya mamfaat yang berkaitan langsung dengan (5) memberikan kesimpulan terhadap hasil pengembangan bidang kajian sastra khususnya penelitian. Data penelitian ini disajikan dalam kritik sastra feminis. Penelitian ini juga bentuk diskriptif. diharapkan dapat menjadi acuan bagi peneliti- peneliti selanjutnya yang akan mengkaji Hasil dan Pembahasan feminisme khususnya dalam karya sastra. Dunia Perempuan dalam Karya Sastra Dunia perempuan yang dibicarakan di Metode Penelitian sini menyangkut dua hal pokok, pertama dunia Penelitian yang dijadikan dasar penulisan perempuan sebagai dunia yang digeluti artikel ini adalah termasuk jenis content perempuan atau tempat perempuan melakukan analysis dengan metode kualitatif. Penelitian ini aktivitas (baik di dunia nyata maupun dalam melalui tiga tahap penelitian yaitu tahap karya sastra), dan kedua Dunia Perempuan pengumpulan data, penganalisisan data dan sebagai judul kumpulan cerpen yang
Recommended publications
  • Abstrak-Feminist-Voice-In-The-Works
    Journal of International Women's Studies Volume 19 | Issue 2 Article 15 Jan-2018 Feminist Voice in the Works of Indonesian Early Woman Writers: Reading Novels and Short Stories by Suwarsih Djojopuspito Aquarini Priyatna Follow this and additional works at: http://vc.bridgew.edu/jiws Part of the Women's Studies Commons Recommended Citation Priyatna, Aquarini (2018). Feminist Voice in the Works of Indonesian Early Woman Writers: Reading Novels and Short Stories by Suwarsih Djojopuspito. Journal of International Women's Studies, 19(2), 230-243. Available at: http://vc.bridgew.edu/jiws/vol19/iss2/15 This item is available as part of Virtual Commons, the open-access institutional repository of Bridgewater State University, Bridgewater, Massachusetts. This journal and its contents may be used for research, teaching and private study purposes. Any substantial or systematic reproduction, re-distribution, re-selling, loan or sub-licensing, systematic supply or distribution in any form to anyone is expressly forbidden. ©2018 Journal of International Women’s Studies. Feminist Voice in the Works of Indonesian Early Woman Writers: Reading Novels and Short Stories by Suwarsih Djojopuspito1 By Aquarini Priyatna2 Abstract Suwarsih Djojopuspito is among the most important early Indonesian women/feminist writers. This research intends to emphasize her rightful position among the first Indonesian feminist writers. Focusing on her very important novel Manusia Bebas (published originally in Dutch as Buiten het Gareel in 1940)3, one collection of short stories, Empat Serangkai (1954), and a novel written in Sundanese, Marjanah (1959), I argue that feminist spirits and ideas actually have existed and been elaborated in works by women writers in the era prior to the Indonesian New Order (1966-1998) as exemplified by Suwarsih’s works.
    [Show full text]
  • Melahirkan Sastra Indonesia …………
    POTRET SASTRA INDONESIA Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) POTRET SASTRA INDONESIA Penulis : Drs. Harjito, M.Hum Editor : Dra. Sri Suciati, M.Hum. IKIP PGRI Semarang Press, 2007 vi, 102 / 16 X 24,5 cm ISBN: 978 – 602 – 8047 – 01 - 2 Hak cipta, 2007 Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku dengan cara apa pun termasuk menggunakan mesin fotokopi tanpa seizin penerbit. 2007 POTRET SASTRA INDONESIA IKIP PGRI Semarang Press Prakata Puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Bijaksana. Akhirnya, penulis dapat menyelesaikan dan menerbitkan buku ini. Buku ini berisi tentang sejarah sastra Indonesia. Terbagi atas sebelas bab, buku ini diawali dengan pembahasan tentang sastra lama dan foklor. Bab berikutnya berisi tentang sastra Indonesia dan sastra daerah. Bab-bab berikutnya membahas tentang periode Balai Pustaka hingga Periode Pasca 66. Sejarah adalah sesuatu yang bergerak dan selalu akan terus bergerak. Menulis sejarah sastra Indonesia adalah menuliskan sesuatu yang terus bergerak. Yang patut disadari adalah pada saat menuliskan sejarah, selalu dibutuhkan jarak waktu antara peristiwa dan penulisannya. Hal ini dilakukan agar terdapat jarak pandang dan objektivitas dalam memandang sebuah peristiwa, termasuk perisiwa dalam kesastraan. Tidak mudah menulis tentang sejarah sastra, terutama sejarah sastra Indonesia. Selalu ada keberpihakan atas satu peristiwa dan mengabaikan sudut pandang yang lain. Dalam satu sisi, itulah kelemahan penulis. Di sisi lain, di situlah secara sadar atau tidak penulis berdiri
    [Show full text]
  • EMPOWERING WOMEN THROUGH ISLAM: FATAYAT NU BETWEEN TRADITION and CHANGE Downloaded from MONIKA ARNEZ1 University of Hamburg
    Journal of Islamic Studies 21:1 (2010) pp. 59–88 doi:10.1093/jis/etp025 EMPOWERING WOMEN THROUGH ISLAM: FATAYAT NU BETWEEN TRADITION AND CHANGE Downloaded from MONIKA ARNEZ1 University of Hamburg http://jis.oxfordjournals.org/ INTRODUCTION The Muslim mass organizations (ormas), the modernist Muhammadiyah and the traditionalist Nahdlatul Ulama (NU), have been playing an important role in Indonesian civil society and politics since their at Staats - und Universitaetsbibliothek Hamburg on September 13, 2012 foundation. Kiai Haji Ahmad Dahlan established Muhammadiyah in Kauman, Yogyakarta, in 1912, at a time when civil associations and political organizations were emerging nationwide in Indonesia. The Muhammadiyah has a predominantly urban, middle-class base through- out Indonesia. As Muhammad Fuad observes, it was Dahlan’s concern with the poverty and backwardness of the people of the Netherlands East Indies, the majority of whom belonged to the Islamic umma, which led him to the fields of education and health.2 He was interested in issues such as reform of Islamic law and the introduction of modern education. In addition, kiai Dahlan’s revolutionary social treatment of women should be highlighted. He considered women as independent human beings, responsible and accountable for their own deeds in the same fashion as men, and that they should be given access to and opportunity to acquire religious knowledge.3 Aisyiyah, the women’s branch of 1 Author’s note: I would like to thank Prof. Susanne Schro¨ ter and three anonymous reviewers for their thoughtful comments on an earlier version of this paper. My thanks also to Jeff Lucash for editing this article.
    [Show full text]
  • ASPECTS of INDONESIAN INTELLECTUAL LIFE in the 1930S
    PUDJANGGA BARU: ASPECTS OF INDONESIAN INTELLECTUAL LIFE IN THE 1930s Heather Sutherland Pudjangga Baru, the "New Writer," was a cultural periodical put out in the colonial capital of Batavia by a group of young Indonesian intellectuals from 1933 until the invasion of the Netherlands Indies by Japan in 1942.1 In Bahasa Indonesia, the term pudjangga means "literary man, man of letters; author, poet; linguist, philologist."2 34 The choice of this term for the title of the monthly was no doubt also influenced by an awareness of its historical connotations, for the word can be traced back through such Old Javanese forms as bhujanga to an original Sanskrit root associated with sacred and priestly learning. It implied nobility and integrity as well as literary ability; and it is therefore no accident that the writings appearing in it claimed high idealism and a sense of mission. The purpose proclaimed by Pudjangga Baru became more fervent as the years passed. In the beginning, it described itself simply as a literary, artistic, and cultural monthly. At the start of its third year it declared itself a "bearer of a new spirit in literature, art, culture, and general social affairs."^ At the beginning of its fifth year it claimed to be the "leader of the new dynamic spirit to create a new culture, the culture of Indonesian unity."1* In 1928, when the second All-Indonesia Youth Congress swore the famous oath to work for "one fatherland, one people, and one language" Pudjangga Baru pledged itself to work for the development of the national language and also to strive for a national culture, adding "one culture" to its 1.
    [Show full text]
  • Women's Perspective on Love, Loyalty, and the Other Woman In
    Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume 424 3rd International Conference on Language, Literature, Culture, and Education (ICOLLITE 2019) Women’s Perspective on Love, Loyalty, and the Other Woman in Indonesian literature Yasnur Asri Yenni Hayati, Muhammad Adek Indonesia Language Education Study Program Indonesian Literature Universitas Negeri Padang Universitas Negeri Padang Padang, Indonesia Padang, Indonesia [email protected] [email protected] Abstract—This paper tries to see how women writers see only considered as lowly or petty works, which will never be topics of love, loyalty, and the other woman through literary aligned with the writings produced by male writers (Suryaman, works spread across the periods in Indonesian literature. The Wiyatmi, & Liliani, 2011). Therefore, one of the long-term data in this study were taken from short stories written by visions of feminist literary critics is to explore, study, and various female authors published in 1940-2000 which were select the potential and unique women works and writers to be assembled in a collection of Dunia Perempuan short stories. Data compiled into their own literary canon. were discussed by using the theory of Gynocritics and analyzed with the content analysis method. Based on the results of data At the beginning of the development of literature in analysis, it was found that female authors tend to assume that Indonesia, the authors were introduced to the public and love and loyalty are the most important thing in their lives, studied extensively is only limited to male authors. In fact, particularly in their marriage lives. Moreover, they do not literary works written by women have existed since the associate the other woman who is present in the midst of their beginning of the development of literature in Indonesia.
    [Show full text]
  • Sastra Feminis Indonesia ~ Rizqi.Pdf
    Sastra Feminis Indonesia: Dulu dan Kini Oleh: Rizqi Handayani, MA. Pendahuluan Sepanjang perjalanan kesusastraan Indonesia1 yang dimulai sejak lahirnya bahasa Indonesia pada awal abad ke 20, khususnya setelah Bahasa Indonesia diikrarkan sebagai bahasa Nasional melalui Sumpah Pemuda pada tahun 1928, kesusastraan Indonesia selalu dikerumuni oleh para pengarang laki-laki. Bahkan, dunia kesusastraan menjadi sangat maskulin karena hanya dipenuhi dengan tulisan dari pengarang laki-laki dan tulisan pengarang laki-lakilah yang dibaca oleh khalayak masyarakat. Heryanto menyebut fenomena ini sebagai Phallic Esthetics yang menjadikan perempuan sebagai objek di dalam karya sastra (Heryanto, 1986: 37). Domestikasi perempuan dalam ranah domestik merupakan faktor dominan yang menyebabkan fenomena ini tumbuh subur. Di mana laki-laki lebih dekat dengan dunia publik dibandingkan perempuan sehingga laki-laki memiliki akses yang lebih besar untuk mengembangkan kemampuan diri mereka melalui dunia kepengarangan. Sementara itu, perempuan hanya berkutat di dunia domestik sehingga menghambat berkembangnya daya kreatifitas mereka. Namun, di tengah kesibukan para perempuan di dunia domestik, sebagian kecil dari pengarang perempuan di awal abad kedua puluh masih menyempatkan diri untuk menulis beberapa karya sastra. Misalnya Selasih atau Seleguri (L. 1909) yang menulis dua buah roman dan sajak-sajak yang berjudul Kalau Tak Untung (1933) dan Pengaruh Keadaan (1937), sementara sajak-sajaknya banyak dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe dan Pandji Poestaka. Selain Selasih, sempat juga muncul nama pengarang perempuan lainnya, Hamidah, yang menulis roman berjudul Kehilangan Mestika (1935) (Rosidi 1968: 55-56). Tema-tema yang diangkat oleh para pengarang perempuan tersebut merupakan tema-tema yang ringan tentang penderitaan dan kemelaratan hidup yang dihadapi kaum perempuan. Agaknya, tema-tema tentang kesedihan menjadi pilihan bagi pengarang perempuan masa itu, karena perempuan-perempuan tidak dapat menyuarakan penderitaan dan kemalangan hidup yang mereka alami secara gamblang.
    [Show full text]
  • 7 a Bridge to the Outside World Literary Translation in Indonesia
    7 A bridge to the outside world Literary translation in Indonesia, 1950-1965 Maya H.T. Liem Literary translation has played an important role in the cultural development of new states.1 In the case of Indonesia in the period between 1950 and 1965, matters related to culture figured promi- nently in the efforts of both government and civil society to con- struct a national identity for Indonesia as a modern, independent nation free from Dutch colonialism. Both internally and in the eyes of the world at large, cultural identity was seen as the mark of a strong and established state, and in the building of culture, the development of a national literature was an area that attracted sig- nificant attention. Models of literary expression were often drawn from foreign sources, and this meant that a large number of Indo- nesian writers found themselves engaged in the business of liter- ary translation. It is noteworthy that throughout this period, the Indonesian government itself took no active role in sponsoring literary translation, leaving this aspect of cultural traffic between Indonesia and the outside world entirely in the hands of writer/ translators as individuals. The Cold War context in which the literary translations of this period took place meant that translation was not only an opening to the outside world on the part of Indonesian writer/translators themselves. It was also a means by which foreign powers were able to spread the cultural principles and ideologies that underlay their attempts to gain political advantage and influence in the newly emerging states of the post-war era.
    [Show full text]
  • The Construction of the Role of Women in Indonesia Novels in the 1920S
    Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume 263 International Conference on Language, Literature, and Education (ICLLE 2018) The Construction of The Role of Women in Indonesia Novels in the 1920s Ade Putra, Yasnur Asri, Yenni Hayati Universitas Negeri Padang [email protected] Abstract--This study aimed to describe the construction of the role of women in the novels of Indonesia in the 1920s. The data in study were figure of speeches, speeches of the narrator, description of the behavior of character. Issue in this study is about the construction role of women contained in the novels of Indonesia in the 1920s. This study used four novels as the sources; Sitti Nurbaya by Marah Rusli, Azab dan Sengsara by Merari Siregar, Kehilangan Mestika by Hamidah, and Manusia Bebas by Suwarsih Djojopuspito. This study used a qualitative content analysis techniques. Data validation was done by triangulation techniques, which checks the validity of data that take advantage of something else outside of the data. Based on the results, we can conclude the role of women in the novels Indonesia in the 1920s is divided into two parts. First, the domestic role of women in the world that includes the role as a child, the role of wife and motherhood. Second, the role of the public world that includes the role of education and role in the public organization. Keywords--gender construction; Indonesian women; and 1920s novels I. INTRODUCTION The position of women in the social environment has been constructed for long ago. This construction as a friend put women behind men whose lives revolve around the issue only wells, mattresses and kitchen.
    [Show full text]
  • Woman's Fight for Survival in Novel the Scarlet Letter by Nathaniel
    Woman’s Fight for Survival in Novel The Scarlet Letter by Nathaniel Hawthorne THESIS By: Mardiyatus Sholihah Reg. Number: A73215108 English Department Faculty of Arts and Humanities State Islamic University of Sunan Ampel Surabaya 2019 ABSTRACT Mardiyatus, Sholihah. 2019. Woman‟s Fight for Survival in Novel The Scarlet Letter by Nathaniel Hawthorne (2019), Thesis. English Department, Faculty of Letters and Humanities, State Islamic University of Sunan Ampel Surabaya. Advisor : Abu Fanani M.Pd Key Words : Feminism, Struggle, and Effort. The Scarlet Letter novel tells about a young woman, Hester Prynne who had committed adultery with a young priest in Puritan, while she had a husband whom she did not love. This study discusses about the struggle of the main character fighting for survival after her alienation in Puritan society. Therefore, the study aims to explain and describe how hard the main character‟s effort to begin a new life and take care of her daughter, Pearl, by herself without any helps from others. This study uses feminism theory. This study uses feminism theory. This study uses descriptive qualitative method by analyzing The Scarlet Letter novel by Nathaniel Hawthorne as the primary data source. The data analysis was taken from the quotations from the novel that could explain the effort of the main caharacter in the novel, and the effect of Hester Prynne‟s effort. The result of this study indicates that Hester Prynne could live independently by building a small business that she got from her talent, embroidery, and also she was relying on her daughter strength. Hester could easily avowed by the poor people because she gave her special time to get an income from her embroidery for them.
    [Show full text]
  • Part I. a Short History of Indonesian Cultural Policy
    47 Part I. A Short History of Indonesian Cultural Policy 48 Chapter 1 The Genesis of Modern Cultural Policy in Indonesia: Culture and Government in the Late Colonial and Japanese Occupation Periods, 1900-1945 Benedict Anderson, in his introduction to Southeast Asian Tribal Groups and Ethnic Minorities, writes: It is easy to forget that minorities came into existence in tandem with majorities ... They were born of the political and cultural revolution brought about by the maturing of the colonial state and by the rise against it of popular nationalism. The former fundamentally changed the structures and aims of governance, the latter its legitimacy. (1987a, p. 1) This chapter explores how Indonesian cultural policy was born within the complex relationship between Indonesian populations and the policies of foreign administrations. Anderson’s observation highlights that when the Indonesian nationalists declared independence, they declared popular dominion over a territory that was already profoundly shaped by modern methods of government. Indeed, the resistance of anticolonial nationalists, as noted by David Scott, was articulated into a ‘political game’ that was itself linked to the ‘political rationality’ of the colonial state (1995, p. 198) and also, in the case of much of Southeast Asia, then impacted by Japanese occupation. Dutch colonial cultural policy, which bloomed at the beginning of the twentieth century, and Japanese occupying cultural policy should not be understood as fundamentally different to post-independence cultural policy, but as its precursors. 1. Culture and Government in Indonesia from 1900 to 1945 Scott writes that ‘in order to understand the project of colonial power at any given historical moment one has to understand the character of the political rationality that constituted it’ (1995, p.
    [Show full text]
  • Riwayat Hidup Selasih
    BIOGRAFI SELASIH DAN KARYANYA ; • ti'isnj »•• r.ijif; pERi^USTAKAAN oiOAt^ BAHASA Guru kejam guru garang Guru pelajaran tidak berarti Bahasa Indonesia dan Sejarah Dapat tiga akan naik juga Tapi berkesan di hati kalian Tidak dua orang atau tiga Tapi hampir seluruhnya Kalian patuhi, kalian cintai Dari masa sekolah sampai sekarang Anakku, tak ada syukur Tak ada ham Memijak tali hati Rangkaian kalau Seperti kini bunda rasai Semua yang terpendam selama ini Kalian pendam di hati sendiri Kini nyata pada semua Ibumu yang disangka tersia-sia Gum seperti bengkel sepeda Kalian cinta kalian puja Allah tak kan lupa Membalas jasa semua hambanya Pekanbam, 4 Juli 1984 Ibumu Sariamin (Selasih) Singgalangy TahunilS, Nomor 3287 Senin, 7 Juli 1986, him. 6 kolom 8-9 Biogrqfi Selasih dan Karyanya 79 TIDAK 0IPER0A6AN6KAN UNTUK UMUM Selasih UNTUK TABRANI RAB PEl^USTAKAAN Anakku Tab BADAU BAHASA Tak kusangka DEPABTEMEN PENDIOIKAN NASJONAL Tak kukira Anakku si nakal Sirambut gondrong Si tukang sanggah Si tukang turang Menjadi bulan-bulanan BIOGRAFI fi dalam kelasnya Bergelar si tolol SELASIH DAN KARYANYA -Kan mencintaiku Sepenuh hati Dengan selunih jiwa Erlis Nur Mujiningsih Banyak sudah bhaktimu Dan selunih temanmu Semua bekas muridku Yang juga mencintaiku Dengan cinta Cinta suci penuh arti Berapa besarnya Dan cara bagaimana Yang tahu hanya Yang Maha Esa Sekarang kau bentangkan Kau beri cahaya terang Cahaya benderang gilang gemilang Supaya tahu semua orang 00049214 Bahwa ibumu Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta 1995 Lampiran 78 ISBN 979-459-486-5 Terima kasih pada saudara Yang telah berseru memanggil beta ; Penyunting Naskah Berkat ilahi Tuhan yang satu Farida Dahlan Sampai ke tempat yang kita tuju.
    [Show full text]
  • 85 Vol. XI No.1 Th. 2012 DUNIA PEREMPUAN DALAM KARYA
    Vol. XI No.1 Th. 2012 DUNIA PEREMPUAN DALAM KARYA SASTRA PEREMPUAN INDONESIA (Kajian Feminisme) Yenni Hayati Fakultas Bahasa, Seni, dan Sastra Universitas Negeri Padang Abstract This article describes the world of and images of women depicted in women fiction writer, particularly in short story literature. In depicting women’s world, an Indonesian writer tends to focus on their domestic than public life. This is because domestic life is considered safer for women, and women are considered best settled in the domestic life. There are six images closely associated with women; a mother, a loyal woman, a successful woman, a second woman, an ideal woman, and a bad woman. Mother image is the most found, 14 of 15 fictions examined in this research. The description of domestic life associates with mother image, because the two are closely related with the life of Indonesian women. Key words: women’s world, women’s image, women’s literature Pendahuluan kanon sastra tradisional maupun pandangan Berhadapan dengan sebuah karya fiksi, tentang manusia dalam karya sastra pada pada dasarnya kita dihadapkan pada sebuah umumnya mencerminkan ketimpangan. Salah dunia, dunia rekaan, sebuah dunia yang sudah satu kegiatan kritik feminis adalah dilengkapi dengan penghuni dan permasalahan- mengungkapkan teks-teks karya perempuan nya. Dunia yang ditemui dalam karya fiksi bisa yang terlupakan dan tersisihkan dengan maksud dunia apa saja, seperti dunia binatang, politik, menilai ulang teks-teks itu sehingga tercipta apa ilmu pengetahuan, pendidikan bahkan dunia yang disebut gynocritism, yaitu suatu kegiatan kehidupan perempuan. kritik feminis yang memusatkan perhatian pada Dunia perempuan yang terdapat dalam tulisan-tulisan yang berfokus pada perempuan karya sastra diciptakan baik oleh pengarang (misalnya; representasi perempuan yang laki-laki maupun pengarang perempuan.
    [Show full text]