Quick viewing(Text Mode)

Efek Hegemonik Beasiswa Fulbright, Dikaji Ulang

Efek Hegemonik Beasiswa Fulbright, Dikaji Ulang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

EFEK HEGEMONIK BEASISWA FULBRIGHT, DIKAJI ULANG

STUDI KASUS BEASISWA FULBRIGHT BAGI TIGA DOKTOR

ILMU SOSIAL TAHUN 1970-1990

TESIS

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum)

di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya,

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

RETNO AGUSTIN

NIM: 066322010

MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

EFEK HEGEMONIK BEASISWA FULBRIGHT, DIKAJI ULANG

STUDI KASUS BEASISWA FULBRIGHT BAGI TIGA DOKTOR

ILMU SOSIAL INDONESIA TAHUN 1970-1990

TESIS

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum)

di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya,

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

RETNO AGUSTIN

NIM: 066322010

MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010

i

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

MOTTO

Dalam dunia intelektual, pikiran saya serasa terjebak dalam belantara tanpa jalan keluar, dari sanalah saya belajar berfikir dan menemukan jalan keluar.

Tesis adalah teror, ketika tak segera diselesaikan, maka ia berubah menjadi mimpi buruk yang menghantui siang dan malam.

vi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PERSEMBAHAN

Untuk Alfa dan Beta saya.

Kado pensiun Bapakku Triyatno, laki-laki tertabah itu. Bagi Ibuku Priyastuti. Menjawab pertanyaannya “Kenapa sekolah terus?”

Semoga menjadi peta jalan bagi adekku: Aris Kurniawan dan Aditia Tri Fujji Rahmawan.

Untuk Momo, anak kucing tersayang. Terimakasih telah menemani 3 tahun proses pencarian intelektual melalui penulisan tesis ini. Damai disurga ya nak.

Kepada teman-teman yang mengkontribusikan semangat, waktu dan budi baik bagi penyelesaian tesis ini. Mereka adalah kawan yang menjadi contoh dari tindakan, yang tak pernah mencela kebodohan dan menghakimi kesalahan saya, yang mengawani disaat gemilang maupun kalah: Johanes Arus, Mas Wid dan Kang Ali, Abang Ode, Vicky Djalong, Vicky Wijaya dan keluarga, Anne Vira, Mbak Ilma, Ariel Elfata, Rinto, Mbak Melati, Monica Laksono, Pandu dan Wikan, Mbak Iim, Bang Hasbi dan Bang Hendri, Bu Nahiyah dan Mbak Renny, Kang Sulz, Mbak Nehi, Kang Wahyu Basyir, Non Irma, Mbak Anna. Teman- teman baru: Nanda-Risa-Iyum-Oki-Nanda. Terimakasih.

Untuk organisasi yang saya cintai Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi serta seluruh perempuan akar rumput juga pengurus nasional yang tulus mendukung saya: Mbak Dian dan Mbak Damai. Serta kawan-kawan di Aekretariat Nasional.

Bagi keempat intelektual publik yang bersedia saya wawancarai: Pak Arief Budiman, Ibu Melani Budianta, Pak Amien Rais dan Pak Aristides Katoppo. Keramahan, kerendahatian beliau-beliau dalam membantu penelitian mengajarkan pada saya bahwa hal yang paling luar biasa dari intelektual publik adalah sikap personal dan praksis keseharian yang tidak congkak.

Untuk adik-adik intelektualku di Sintesa Fisipol UGM.

vii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

KATA PENGANTAR

Tesis ini bermula dari hasrat saya mempertanyakan alasan yang mendorong beratus anak muda menjejali ruang seminar sosialisasi beasiswa pendidikan asing, juga berlomba memenuhi prasyarat teknis-administratif beragam beasiswa. Dalam sebuah percakapan dengan Pak Budiawan, beliau menunjukkan sebuah artikel David Ransom mengenai strategi penciptaan elite intelektual Indonesia pada masa akhir demokrasi terpimpin melalui beasiswa Ford Foundation. Sebuah catatan sejarah yang menarik tentang intelektual. Kelompok ini selalu menarik dalam setiap tahapan sejarah, sebagai kelas menengah intelektual kerap dituduh sebagai aktor oportunis penuh kepentingan sekaligus dalam diri mereka disandangkan harapan besar perubahan sosial. Ketertarikan saya juga dipicu keinginan memeriksa diri saya sendiri berikut hasrat menjadi “scholar”. Begitu mula si(n)tesis ini.

Awalnya tak ada kehendak menjadikan karya ini sebagai uji coba intelektual. Saya menginginkan karya yang gemilang namun pada saat yang sama saya merasa merunduk tak mampu. Sebagai sebuah minat ilmu bagi mahasiswa pascasarjana mungkin pilihan tema tesis ini kurang strategis dan rasional, karena saya tidak memperhitungkan lama waktu yang dibutuhkan untuk penelitian dan penulisan. Ada banyak minat dan latar belakang pribasi yang bisa dibaca dengan kajian budaya dan tentu saja bisa dikelola dengan lebih cepat, misal tentang migrasi, kajian feminist yang saya tekuni wacana maupun realitas empiriknya sekian tahun ini. Sedangkan dalam tesis ini saya digerakkan oleh gairah untuk menakhlukan sesuatu di luar diri saya, sesuatu yang nampak tak teraih dan menjatuhkan, membuat gelisah-kalah dan kehendak untuk bangkit melawan. Bagi saya, tesis ini subversi.

Dalam dua tahun penulisannya, saya merasa seperti seorang pelarian, menjadi asylum. Dan pelarian itu disempurnakan dengan identitas saya yang plural: sebagai mahasiswa, aktivis ormas dan pekerja LSM. Kesemua peran

viii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

tersebut menuntut saya untuk cermat membagi waktu, perhatian dan ketekunan. Sayang saya tak sepenuhnya begitu, bahkan jauh dari itu. Saya memang mencintai aktivitas saya sebagai aktivis gerakan sekaligus pekerja lsm, namun dalam tahun terakhir penyusunan tesis ini kadang saya merasa ruang aktivisme saya menyerupai tempat persembunyian, merasa aman sekaligus tercekam pada saat bersamaan. Ketika saya merasa tidak sanggup lagi menahan detakan jantung dan nafas memberat setiap kali sedang bekerja dan teringat kuliah yang terabaikan. Pada lima bulan terakhir saya menemukan keberanian untuk berjarak dari semua aktivisme untuk kemudian bersembunyi di gua kecil saya, membaca dan menulis, itu saja.

Sebuah pembelajaran kehidupan yang sangat besar empat tahun kuliah yang diawali dengan modal kenekadan. Yang saya inginkan adalah sekolah yang tinggi, soal biaya studi ketika itu saya yakin akan saya temukan pemecahannya sambil menjalani. Namun ternyata dampaknya tidak ringan. Dan itu juga buah ketidakberhitungan saya dalam waktu yang berdekatan membuat beberapa komitmen besar dan berjangka panjang: menjadi pengurus ormas perempuan di tingkat propinsi, kuliah dan juga ikatan kerja. Bisa jadi saya serakah dalam hidup, tapi ketika itu saya merasa modal saya hanyalah idealisme dan kenekadan. Hingga saya bukan hanya menambal sulam hidup, namun harus akrobat dan kerap kelelahan menawar hidup. Tidak mampu lagi saya bekerja untuk dapat kuliah dan untuk dapat bekerja harus membolos kuliah. Di awal tahun ini dua komitmen lainnya saya pungkaskan karena tesis ini ternyata tak bisa disanding mendua atau men-tiga.

Saya sepenuhnya menyadari bahwa kelemahan karya ini adalah dampak empat tahun yang penuh penyambilan-penyambilan. Dalam karya yang tak sempurna ini terdapat dedikasi saya pada intelektulitas, juga penyambilan yang memberi kebanggaan kecil untuk berani menenun huruf demi huruf tesis ini. Sebelum merampungkan tesis ini saya telah menghabiskan 3 buah buku, dan kesemuanya hasil penelitian. Sebuah blessing in disguise yang membawa pada penghayatan bahwa dalam penulisan karya ilmiah, sikap rendah hati tak bisa

ix

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

berdiri sendiri, selalu butuh kebanggaan yang membuat kita tegak berdiri menghadapi gelombang intelektual yang tak jarang keras menghempas.

Terimakasih yang tiada terkira untuk Bapak Budiawan, guru saya yang terbaik dengan segenap kesabaran, ketelatenan dan kecerdasan intelektual. Saya mohon maaf yang sebesarnya pada Pak Nardi, teriring terimakasih yang dalam karena menerima saya sebagai mahasiswa bimbingan. Setelah beberapa kali berdialog, saya menemukan keluarbiasaan intelektual tersaji melalui cara-cara yang ramah dan sederhana, tak se ‘angker’ yang saya sangka. Romo Banar, ketua jurusan yang dengan segenap kebijaksanaannya membuka peluang kehidupan lebih baik bagi saya dengan mengijinkan saya mempertanggungjawabkan tesis ini di detik-detik terakhir studi. Saya ingat betul, keberadaan saya di IRB diawali dengan budi baik dan kebijaksanaan Romo Banar memberi saya keringanan pembayaran uang kuliah pada semester awal. Terimakasih Romo. Untuk Romo Bask dan Pak George, dari interaksi non akademik dan buku-buku kedua guru saya tersebut, saya belajar bahwa gagasan kritis serta subversif harus dihidupi secara emansipatoris dengan menimbang konteks ruang dan waktu. Mbak Katrin yang sederhana dan baik hati, keringanannya menjadi teman bicara merupakan katub yang meringankan beban pikiran dan kegelisahan intelektual. Apresiasi yang tak kalah banyaknya bagi Mbak Devi, keseluruhan kepribadian baik dan hangat, sapaannya membuat mahasiswa pembolos seperti saya berani untuk menjejakkan kaki ke kampus. Dan tak lupa peran-peran baik sahabat saya di kampus dalam membantu terselesaikannya tesis ini: Mas Tri Subagya, Monica Laksono, Anastasia Melati, Risma Sinaga, Anastasia Yunita.

Selama menyelesaikan tesis ini saya dibayangi ketakutan gagal. Takut untuk gagal adalah kegagalan saya untuk mengawali menenun catatan akhir. Gagal ialah kehampiran yang membuat saya kisut, membayangkan saya menambah daftar aktivis yang tak mampu/memilih tidak menyelesaikan studi- nya. Dengan demikian saya juga takut berada tapi tidak mengada, tanpa jejak, tanpa bekas. Berlalu begitu saja. Tapi eksistensi manusia bukan dibentuk dalam sepenggal waktu, ada kalanya dari kegagalan dia bisa belajar menjadi lebih kuat.

x

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Tesis saya ini mungkin bukan apa-apa, mungkin hanya jadi besi tua dan bukan cemerlang mutiara. Namun bagi saya punya makna besar sebagai penutup agar umur saya tidak busuk dalam ketakutan. Tesis ini adalah komitmen yang lambat, namun sebagaimana janji dengan segala catatannya, dia telah terpenuhi sebagai bentuk pertanggungjawaban pada mula.

Alhamdulillahirobil’alamin, menutup hari-hari penuh kegentingan ini. Sembah sujud saya bagi dia penguasa roh dan semesta alam. Kelemahan adalah milik saya, selesainya studi saya adalah karena Ia yang digdaya mengawani jiwa saya. Semoga saya adalah bagian orang yang selamat. Wallohua’alam bishowab.(ra)

xi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ABSTRAK

Tesis ini memahami pembentukan intelektual publik dan hegemoni beasiswa Fulbright di Indonesia dapat dilakukan melalui beberapa jalan yakni: pertama, melacak sejarah beasiswa pendidikan dari Amerika untuk intelektual Indonesia dalam konteks perang dingin; kedua, melacak pengalaman pribadi intelektual sebelum memperoleh beasiswa; ketiga, melihat pengalaman baik akademik maupun pengalaman keseharian selama besekolah di Amerika; dan keempat, melihat peran-peran intelektualisme publik yang mereka mainkan setelah kembali ke Indonesia. Penelitian ini ingin menilik kesadaran kritis intelektual atas proses hegemoni yang dijalani melalui pemberian beasiswa. Untuk menilai kekritisan tersebut dapat dilakukan dengan melihat gagasan, sikap dan tindakan mereka untuk mengembangkan hegemoni tandingan selama masa “Orde Baru”. Intelektual publik merupakan kategori yang dapat membantu melihat pengaruh serta perlawanan yang mereka bawa dalam wacana publik, karena intelektual publik memiliki perpaduan karakter akademik dan citra intelektual sebagai aktivis kritis. Ketiga intelektual publik yang dipilih sebagai subyek tesis ini memiliki latar belakang akademisi sekaligus aktivis. Kampus, gerakan dan media merupakan medan perlawanan ideologis. Arief Budiman memiliki kekuatan dalam mengembangkan tradisi hegemoni tandingan tersebut dalam ranah akademik serta media. Namun berbeda dengan kedua intelektual publik lainnya yakni Amien Rais dan Melani Budianta yang mencapai puncak ketokohan intelektualitas publik dalam masa Reformasi, sebelum tumbangnya Suharto, Arief Budiman harus meninggalkan Indonesia setelah konflik berkepanjangan di Universitas. Melani Budianta besar dengan membawa dan terlibat dalam wacana gerakan sosial baru yang dikembangkan gerakan perempuan dalam masa reformasi. Sedangkan Amien Rais yang memiliki kedekatan dengan ranah kekuasaan dan dunia politik mengalami masa berjaya sebagai intelektual publik dengan membawa wacana “anti Amerika” dan “suksesi” kepemimpinan nasional. Walaupun tesis ini membatasi kajiannya hingga masa reformasi yang ditandai tumbangnya Suharto, namun dalam rentang dua dekade semenjak keberangkatan bersekolah hingga masa reformasi telah dapat dilihat corak pembentukan intelektual dan upaya mereka membangun hegemoni tandingan. Dengan demikian intelektual adalah kategori diskursif dimana peran-peran mereka akan terus berkembang dan mengkerut seiring keberanian, momentum dan dinamika wacana yang mereka bawa. Intelektual bukanlah kategori yang mudah dihegemoni, selama dalam dirinya melekat sikap kritis dan tindakan yang emansipatoris. Kata kunci: intelektual publik, hegemoni tandingan, beasiswa Fulbright.

xii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Abstract This thesis aims at understanding the making of public intellectual and hegemony of Fulbright Scholarship in Indonesia. It is conducted in several ways: First, tracking the history of education scholarship from the U.S. for Indonesian intellectuals in the context of the cold war. Second, tracking personal experiences of the intellectuals before gaining the scholarship. Third, observing experiences both academic and personal during the study in the U.S. Fourth, observing roles of public intellectualism they have managed after going back to Indonesia. This research also aims to have a deep look at critical awareness of intellectuals on hegemony process through the granting of scholarship. To evaluate their being critical, it is conducted by observing their ideas, attitudes, actions to develop counter-hegemony during ‘New Order’. Public intellectuals constitute a category which helps to see the influence and resentment which they bring in public discourse. It is due to the combination of academic characters and intellectual image as critical activists which attach to public intellectuals. Three public intellectuals chosen as thesis subjects have specific background on academic and activist. Campus, movement, and media constitute areas of struggles. Arief Budiman is a public intellectual who has strength in developing a tradition of counter-hegemony in academic and media fields. When Amien Rais and Melanie Budianta achieved the peak of reformation figures, Arief Budiman before the falling of Soeharto, had left because of the lengthy conflicts in a university. Melanie Budianta has been known as a prominent figure who is deeply involved in the discourse of new social movements through the developing of woman movements during reformation period. Different from Melani Budianta, Amien Rais is close to power and politics areas. He had achieved the peak as a public intellectual who brought discourses of ‘Anti-America’ and ‘Suksesi’ of national leadership. Although this thesis limit its analysis up to reformation era which is marked by the falling of Soeharto, within only two decades since leaving for school to reformation era, it can be clearly seen the pattern of shaping intellectuals and their efforts to build counter-hegemony. Therefore, intellectual is a discourse category in which their roles will raise and reduce as long as there are courage, moments, and the dynamics which they bring. Intellectual is not an easy category to be controlled or dominated as long as they have critical attitudes and emancipatory actions. Key words: public intellectuals, counter-hegemony, Fulbright scholarship

xiii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...... i LEMBAR PENGESAHAN ...... ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... iii HALAMAN PERNYATAAN ...... iv HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ...... v MOTTO ...... vi PERSEMBAHAN ...... vii KATA PENGANTAR ...... viii ABSTRAK ...... xii ABSTRACT……………………………………………………………………xiii DAFTAR ISI ...... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...... 1 B. Rumusan dan Batasan Masalah ...... 5 C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian ...... 6 D. Tinjauan Pustaka ...... 7 E. Kerangka Konseptual ...... 11 1. Intelektual dan Intelektual Publik ...... 11 2. Hegemoni ...... 15 F. Metode Penelitian ...... 18 G. Sistematika Penulisan ...... 20

BAB II BEASISWA DARI AM ERIKA, INTELEKTUAL DAN FORMASI NEGARA OTORITARIAN A. Beasiswa: Sebuah Senjata Hegemonik Perang Dingin? ...... 25 1. Yayasan Sebagai Alat Hegemoni ...... 27

xiv

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2. Ilmu Sosial Indonesia dalam Pengaruh Yayasan Ford ...... 31 3. Fulbright dan Intelektual Ilmu Sosial Indonesia ...... 34 B. Pembangunan Nasional Sebagai “Area pertempuran Ideologi” ...... 37 C. Intelektual Publik dan Pembangunanisme ...... 41

BAB III INTELEKTUAL INDONESIA DI TANAH ASING ...... 49 A. “Fulbrighter” ...... 53 1. Beasiswa Fulbright sebagai Bunker bagi Intelektual Aktivis ...... 53 2. Beasiswa Fulbright dan Proyek Ilmu Sosial bagi Akademisi ...... 59 B. Belajar Amerika ...... 65 1. Tradisi Intelektual Kampus ...... 65 2. Miskin di Tanah Asing ...... 73 3. Aktivisme “Fulbrighter”...... 80 C. Catatan Penutup ...... 86

BAB IV JEJAK PERLAWANAN INTELEKTUAL PUBLIK ...... 90 A. Keberhasilan dan Kegagalan Pelembagaan Wacana ...... 93 B. Intelektual Publik dan Perjuangan Demokratik Baru ...... 115

BAB V KESIMPULAN ...... 128 DAFTAR PUSTAKA ...... 136

LAMPIRAN 1. Transkrip Wawancara 1 (Melani Budianta) ...... 141 2. Transkrip Wawancara 2 (Piet Hendrarjo) ...... 152 3. Transkrip Wawancara 3 (Aristides Katoppo) ...... 163 4. Transkrip Wawancara 4 (Arief Budiman) ...... 171 5. Transkrip Wawancara 5 (Amien Rais)...... 184

xv

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

That miracle took a decade to perform, and it came outside the maneuvers of diplomacy, the play of party politics, even the invasion of American troops. Those methods, in Indonesia and elsewhere, had failed. The miracle came instead through the hallowed halls of academe, guided by the noble hand of philanthropy. (David Ransom)

Perang dingin membawa sebuah narasi baru bahwa kekuatan terbesar untuk memenangkan peperangan jangka panjang tidaklah berada di ujung laras senjata, maupun bom atom melainkan dari sebuah kekuatan akademik berbungkus filantropi. David Ransom dalam artikelnya Ford Country: Building an Elite for

Indonesia memberi penjelasan sejarah bagaimana intelektual Orde Baru diproduksi oleh kepentingan ideologi politik agen-agen dana bantuan (filantropi) internasional, yaitu Ford Foundation dan Rockefeller Foundation.1 Filantropi menjadi alat manifestasi perang dingin antara blok “barat” dan “timur” dalam berebut pengaruh. Amerika Serikat berkepentingan besar untuk mengganjal laju komunisme dan paham ekonominya di Indonesia. Sehingga kemunculan sejumlah intelektual alumnus

1 Pada dekade 1950-1960 keduanya membidik para mahasiswa cerdas Indonesia untuk disekolahkan ke University of California, Berkeley. Besarnya peran agen dana bantuan internasional dalam pembentukan elite intelektual di Indonesia dimulai dari masa-masa akhir “era pemerintahan Sukarno”, yang juga turut berperan dalam kejatuhan orde lama. Dalam masa awal Orde Baru, Amerika Serikat dan negara-negara Eropa “barat” mempunyai relasi yang sangat dekat dengan Indonesia. Selain melakukan intervensi pada pembangunan Indonesia melalui penawaran hutang, bantuan teknis, negara-negara ini juga menawarkan beasiswa kepada sejumlah birokrat, akademisi maupun mahasiswa cerdas untuk bersekolah di negerinya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pendidikan Amerika Serikat yang membawa paradigma ekonomi pasar bebas dalam kebijakan pembangunan Indonesia dicurigai sebagai aliansi Amerika

Serikat di Indonesia (Ransom, 1974:95).1

Keberhasilan filantropi akademik sebagai strategi perebutan pengaruh blok besar dunia mendorong lahirnya skema-skema filantropi akademik lain paska perang dunia II. Selain beasiswaYayasan Ford yang diberikan oleh yayasan pembangunan swasta Amerika, Pemerintah Amerika Serikat juga menawarkan skema beasiswa Fulbright. Beasiswa ini diprakarsai oleh senator J. William

Fullbright tahun 1946 sebagai sebuah strategi membangun pengertian antara

Amerika dengan bangsa-bangsa lain paska perang dunia II.2

Selagi Senator J. William Fulbright membangun mimpinya atas sebuah dunia yang lebih baik, potret “Mafia Berkeley” sebagai produk “Amerikanisasi” intelektual Indonesia pada periode awal Orde Baru terus terpajang di etalase pembangunan Indonesia. Intelektual yang berprofesi sebagai akademisi maupun jurnalis menjadi sasaran dari beasiswa Fulbright. Meski tidak melegenda seperti pendahulunya, beberapa alumnus Fulbright (Fulbrighter) yang umumnya berasal

1 Dikemudian hari, teknokrat hasil pendidikan Amerika tersebut oleh Majalah Rolling Stones dijuluki sebagai “Berkeley Mafia” atau Mafia Berkeley.

2 Skema beasiswa ini memfasilitasi mahasiswa dari negara lain untuk belajar di universitas- universitas di Amerika Program ini memberikan beasiswa dalam jumlah yang besar, hingga saat ini partisipan dari program ini telah mencapai 279,500 participants. Mereka dipilih melalui kualifikasi akademik dan potensi kepemimpinan. Program ini memang secara khusus diarahkan agar intelektual (berbasis kampus dan pemerintahan) yang berpotensi dari negara lain mendapat kesempatan untuk mempertukarkan ide dan solusi dalam mengatasi sejumlah permasalahan Lebih jauh buka website http://www.cies.org/country/indonesia.htm dan www.aminef.or.id

2

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dari kalangan akademisi kampus memiliki peran penting sebagai arsitek kebijakan politik dalam dan luar negeri Indonesia pada masa Orde Baru.3

Berhasilnya filantropi akademik Amerika disokong oleh Orde Baru yang memberlakukan sistem politik tertutup dan sarat kolusi-nepotisme. Ideologi dan preferensi politik menjadi media saring untuk bisa mendapat akses sebagai elite intelektual, elite militer maupun elite di pemerintahan. Beasiswa sebagai jalan mendapat status intelektual pun didesain dengan skema tertutup dan untuk kalangan terbatas. Ideologi dan preferensi politik di hadapan rezim Orde Baru juga menjadi media saring untuk mengecap pendidikan gratis. Implikasinya, kalangan yang mendapat kesempatan bersekolah gratis di luar negeri pun sangat terbatas, yakni militer, birokrat dan akademisi.

Pada periode 1970,4 ditengah menguatnya gerakan perlawanan massa, diam- diam akses langsung ke pemberi beasiswa maupun universitas di luar negeri mulai diterobos oleh sejumlah aktifis gerakan sosial dan politik.5 Misalnya, Arief

Budiman yang mendapat beasiswa Fulbright untuk bersekolah di Harvard serta

Aristides Katoppo yang mendapatkan beasiswa sekolah jurnalistik di Universitas

Stanford. Masuknya para aktivis gerakan sosial politik ke dalam skema beasiswa

Fulbright, untuk tidak menyebut merubah peta namun memberi warna lain

3 Salah satu alumnus Fulbright yang memiliki peran penting dalam pembuatan kebijakan politik dalam dan luar negeri adalah Juwono Sudarsono. Hingga pada era sesudah Suharto, peran- perannya masih menonjol karena dalam beberapa kepala negara sesudah Suharto Ia masih dipercaya sebagai Menteri. 4 Pada awal tahun 1970 kritik dan perlawanan dari gerakan massa terhadap Orde Baru menguat. Sejumlah demonstrasi menolak pendirian TMII sebagai megaproyek Orde Baru, demonstrasi tersebut berbuah penangkapan sejumah aktivis sosial politik. 5 Perkembangan cepat teknologi informasi pada akhir abad 20 mendemokratisasi proses dan akses, semisal milis beasiswa, penyediakan kanal informasi beasiswa. Selain itu akses langsung kepada agen-agen dana bantuan internasional melalui situs jaringan juga membuka ruang kontestasi seluas-luasnya baik dari kalangan pemerintahan, akademisi, politisi maupun Ornop.

3

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

terhadap pandangan beasiswa Fulbright sebagai beasiswa bagi elite maupun calon elite intelektual.

Penelitian ini berangkat dari pembelajaran atas peristiwa sejarah bahwa pemberian beasiswa punya kepentingan ideologi politiknya sendiri yang kerap menentukan sejarah perjalanan suatu bangsa.6 Peristiwa sejarah itu bahkan telah menjadi common sense di kalangan awam bahwa setiap pemberi beasiswa pasti punya kepentingan atas setiap sen mata uang yang dikeluarkannya. Di mana kepercayaan terhadap common sense yang direproduksi dalam cerita-cerita keseharian kerap menjadi dalih untuk tidak secara kritis melihat fenomena yang lebih dalam. Studi ini berangkat dari kajian Ransom yang mempertegas common sense bahwa beasiswa adalah alat untuk menciptakan aliansi negara-negara

“barat” di Negara dunia ketiga. Dalam common sense tersebut terkandung pemaknaan Intelektual sebagai agen ideologi “barat”. Meskipun demikian, studi ini bermaksud bergerak melampaui common sense tersebut tanpa terjebak pada obsesi untuk membuktikan apakah beasiswa resmi dari Pemerintah Amerika

Serikat yakni beasiswa Fulbright maupun beasiswa dari yayasan pembangunan swasta Amerika hegemonik ataupun dalam kadar tertentu hegemonik. Penelitian ini ditujukan untuk melihat kecenderungan intelektual untuk bergerak di luar arus

6 L ihat A. Sudiarja dalam BASIS, nomor 07-08, tahun ke 51, juli-agustus 2002, halaman 5. Pada waktu itu pemerintah kolonial Belanda mencanangkan apa yang disebut sebagai politik etis van Deventer untuk mendirikan sekolah-sekolah bagi penduduk pribumi. Di satu pihak, politik ini bermaksud membalas budi kepada kaum pribumi yang telah banyak mendatangkan keuntungan bagi Belanda, dari lain pihak pendidikan ini diperlukan juga oleh pemerintah kolonial untuk menutupi kebutuhan tenaga yang baik dan kompeten untuk perusahaan-perusahaan mereka di Indonesia, maupun untuk mengisi kekurangan jabatan-jabatan “pangreh praja” yang berpendidikan. Dengan kata lain, disamping maksud baik untuk balas budi, masih juga terselip kepentingan untuk diri mereka sendiri.

4

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

utama ataupun mensubversi kemapanan sejarah besar tentang persekutuan

intelektual dan kekuasaan ataupun persekutuan Orde Baru dan Amerika Serikat.

Meminjam pandangan Hadiz dan Dhakidae (2005: 3), dalam relasi kuasa

dalam kondisi tertentu selalu menghasilkan perlawanan. Penelitian ini

dimaksudkan untuk mendokumentasikan catatan-catatan kecil perlawanan

tersebut.7 Dari penggalan-penggalan pengalaman intelektual, diharapkan

tergambar peta yang lebih utuh di mana selalu ada celah bagi lahirnya pejalan

kaki yang keluar dari “jalan utama” melalui sebuah resistensi sejarah ataupun

dengan mengembangkan hegemoni tandingan. Lebih khusus penelitian ini

bermaksud melihat lagi bagaimana beasiswa dari Fulbright melatarbelakangi

terbentuknya kesadaran ideologis sejumlah intelektual yang menjadi “anak

haram” sistem pendidikan “barat”, seperti pengalaman beberapa Intelektual

Publik di Indonesia yang merupakan alumnus beasiswa Fulbright. Salah satunya

adalah Arief Budiman yang sekembalinya ke Indonesia justru mengembangkan

ide-ide sosialisme yang berlawanan dengan ide liberalisme ekonomi yang

berkembang di Amerika Serikat.

A. Rumusan dan Batasan Masalah

Berangkat dari pertanyaan topik mengenai kesadaran ideologis intelektual

alumnus Fulbright, maka diturunkan sejumlah pertanyaan penelitian sebagai

berikut.

7 Relasi kuasa daam bentuk dominasi dan hegemoni dalam istilah Marxian merupakan tesa yang akan berhadapan dengan antitesa berupa perlawanan dan kontra hegemoni menuju pembentukan relasi sosial baru.

5

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1. Bagaimana para alumnus penerima beasiswa memahami

kepentingan ideologi dari Program Fulbright? Apakah mereka

memahami Program Fulbright semata-mata sebagai kepanjangan

tangan kebijakan luar negeri pemerintah AS ataukah lebih dari

itu? Apa yang membentuk pemahaman semacam itu? Mengapa

pemahaman tersebut bisa terbentuk?

2. Bagaimana gerak para penerima beasiswa yang berasal dari lokus

yang sama maupun berbeda setelah mereka kembali ke tanah air?

Apakah mereka terserap semata-mata ke dalam birokrasi

pemerintahan dan menjadi apparatus ideologis rezim Orde Baru?

Ataukah mereka justru bergerak dalam ranah non pemerintahan?

Lalu apakah alasan yang mendasari pilihan tersebut?

3. Bagaimana wacana yang dibangun dan dikontestasikan oleh

alumnus penerima beasiswa Program Fulbright? Apakah mereka

membangun wacana-wacana besar yang diusung Amerika seperti

neoliberalisme, demokrasi liberal atau malah sebaliknya?

Mengapa memilih mengembangkan wacana-wacana tertentu?

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian

Penelitian ini mengkaji relasi antara pembentukan intelektual dengan program beasiswa. Tujuan penelitian ini selain untuk menunjukkan keragaman ideologis dan lokus para intelektual alumnus penerima beasiswa Fulbright yang berujung pada perbedaan kesadaran ideologis, juga ingin melihat posisi diri

6

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

mereka sebagai intelektual. Ditengah harapan yang sangat tinggi terhadap peran dan kontribusi kaum intelektual dalam pembangunan bangsa, penelitian ini ingin menengok kembali integritas moral kaum intelektual melalui usaha melihat lebih dalam sebuah filantropi akademik. Diharapkan penelitian ini mampu menunjukkan posisi intelektual dalam konteks dunia mutakhir -yang antara lain ditandai dengan semakin kuatnya peran masyarakat madani, baik dalam skala lokal maupun internasional- sehingga dimungkinkan melihat peran yang mereka mainkan dan kontribusi yang mereka berikan dengan lebih jernih.

D. Tinjauan Pustaka

Kajian yang mengaitkan pembentukan intelektual dengan program beasiswa masih jarang dilakukan meskipun kajian mengenai intelektual telah banyak ditulis oleh sarjana Indonesia maupun asing. Pada umumnya kajian mengenai intelektual hanya dihubungkan dengan peran-perannya dalam pembangunan. Salah satunya adalah Selo Soemardjan (dalam jurnal Prisma,

1976), kaum intelektual sebagai bagian dari golongan pribumi yang mendapat pendidikan “barat” diharapkan untuk memainkan peran demokrasi dalam masyarakat yang berubah. Sayangnya, intelektual hanya dilihat sebagai produk pendidikan formal sekuler, dalam hubungannya dengan kapasitas untuk berfikir secara rasional. Syed Hussein Alatas (1988) melihat kaum intelektual bukan hanya produk universitas namun juga merupakan produk media massa, rumah tangga dan masyarakat. Kapasitas berfikir rasional menurutnya lebih menentukan kadar intelektualitas dibandingkan gelar kesarjanaan.

7

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Kajian yang dilakukan Daniel Dhakidae (2003) lebih luas dibanding Selo

Soemardjan serta Syed Hussein Alatas. Dia bukan hanya mengupas intelektual sebagai produk jadi lembaga pendidikan, namun juga fokus untuk mengupas wacana yang diproduksi kaum intelektual. Bagaimana intelektual memproduksi wacana dilihat sebagai bentuk pergulatan dengan kekuasaan, modal dan kebudayaan. Menurutnya, terdapat hubungan resiprokal antara intelektualitas dan kekuasaan. Hasilnya adalah dua wajah kekuasaan yang destruktif dan produktif.

Dhakidae merunut politik etis yang dijalankan oleh Belanda pada awal abad 20 merupakan contoh keberhasilan mengawinkan kekuasaan dengan terbentuknya intelektual yang berlatar belakang “barat” di Indonesia. Dengan seluruh paradoks politik etis dan politik asosiasi, usaha para pelopor Boedi Oetomo untuk mengangkat dan mendapatkan eksistensi dalam diskursus etis berupa peningkatan peran Boemiputra tidak pernah lebih besar dari keuntungan yang diperoleh

Belanda dengan tersedianya tenaga kerja administratur dari golongan pribumi yang terampil berbahasa Belanda.

Pelacakan Dhakidae mengenai politik etis sebagai akar historis kemunculan intelektual Indonesia, dilihat sebagai miskonsepsi oleh Yudi latif (2005). Latif melihat introduksi pendidikan “barat” sebenarnya telah berakar pada kebijakan liberal Belanda pada paruh akhir abad 19. Menurutnya, miskonsepsi ini merupakan ketidak tepatan pembacaan genealogi secara umum. Selain itu, ketika berbicara mengenai Orde Baru, Dhakidae juga tidak menyentuh mengenai karakteristik dan perkembangan pendidikan sebagai basis kultural kehadiran intelektual pada periode tersebut. Terlepas dari kritik atas keterbatasan Dhakidae

8

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dalam melihat proses transmisi dan transformasi dari ingatan dan tradisi kolektif intelektual antar generasi, Dhakidae secara sangat sadar melihat pentingnya struktur praktik diskursif sebagai sebuah faktor konstruktif dalam gerak perkembangan maupun konstruksi intelektual.

Sebagaimana Dhakidae, Latif juga melihat bagaimana struktur praktik diskursif penting dalam pembentukan intelektual. Struktur praktik diskursif ini diletakkan dalam latar politik dan periode historis tertentu, bagaimana intelektual bereaksi atasnya serta posisi struktural intelektual sebagai determinan yang mempengaruhi ekspresi dan strategi intelektual. Dengan menggunakan pendekatan yang begitu kaya, Latif secara khusus ingin memotret gerak perkembangan intelektual (inteligensia) khususnya inteligensia muslim. System pendidikan “barat” yang menjadi basis inteligensia muslim dikaji secara ekonomi- politik dengan perspektif poskolonial sehingga dapat dilihat bahwa dalam wacana yang dikembangkan oleh inteligensa muslim tersisa ingatan hierarki pengetahuan dan kekuasaan yang bersifat kolonial. Studi yang dikembangkan Latif cenderung melihat “barat” sebagai sesuatu yang general. Sehingga kepentingan ideologi politik yang beragam tidak mampu disajikan secara mendalam

David Ransom (1975), sependek pengetahuan saya merupakan penulis yang secara khusus mengaitkan intelektual, kekuasaan dengan kajian ekonomi politik dalam pemberian beasiswa. Dia melacak peran sejumlah elite intelektual pada masa awal Orde Baru yang merupakan alumnus universitas di Amerika Serikat.

Mereka adalah para ekonom yang bersekolah dengan menggunakan beasiswa dari

Yayasan Ford. Ransom membaca beasiswa semata-mata sebagai sebuah upaya

9

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sistematis untuk mendesakkan kepentingan ekonomi politik internasional terhadap negara berkembang. Sehingga para alumnus beasiswa dipandang sebagai pelaksana strategi pembangunan di Indonesia yang telah ditentukan oleh konspirasi internasional. Kajian Ransom bias cara pandang peneliti “barat” yang cenderung melihat supremasi kepentingan “barat” sebagai determinan. Ia menempatkan elite intelektual di Indonesia sekadar sebagai produk pasif dari pendidikan yang sarat kepentingan “barat”. Ransom abai pada bagaimana intelektual penerima beasiswa tersebut berproses dengan ilmu pengetahuan serta bagaimana mereka mereproduksi wacana serta kebudayaan Amerika sebagai entitas yang tidak tunggal. Ransom sangat baik dalam mengekplorasi ideologi ekonomi politik dalam pemberian beasiswa, namun dia lemah dalam melihat kemungkinan hegemoni tandingan terhadap setiap hegemoni yang sekuat apapun.

Terdapat satu kajian yang memaparkan pengaruh Amerika terhadap intelektual Indonesia yang ditulis oleh Nasir Tamara (1998). Nasir Tamara memang tidak secara khusus mengulas tentang motif ideologi dalam beasiswa

Fulbright, melainkan dia mengulas tentang kepentingan Amerika yang terbungkus dalam bahasa diplomasi dan filantropi. Kajian tersebut memberi konteks historis relasi Indonesia-Amerika yang timpang, Indonesia sebagai Negara mutlak dibawah penguasaan hegemoni Amerika bahkan semenjak Indonesia menyusun kemerdekaannya. Menariknya Nasir Tamara tak luput mencuplikkan narasi segelintir mahasiswa Indonesia di Amerika yang kelak menjadi elite intelektual maupun intelektual publik terkemuka di Indonesia.

10

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Kajian saya ini pada hakikatnya tidak berbicara secara langsung mengenai peran dan kontribusi intelektual dalam pembangunan. Pembicaraan mengenai peran dan kontribusi intelektual memang masih relevan, namun bila tak berhati- hati hanya akan tergiring untuk mengekor sejumlah kajian lama yang cenderung melekatkan intelektual dengan kewajiban-kewajiban dalam pembangunan. Kajian yang membahas mengenai pengaruh beasiswa dari Amerika dengan terbentuknya

Intelektual Indonesia juga masih terbatas pada tulisan David Ransom yang mengambil konteks perang dingin dan tulisan Nasir Tamara yang dalam hemat saya masih perlu dilengkapi dengan sejarah subtil intelektual di Indonesia dalam relasinya dengan ideologi besar Amerika serta relasinya dengan rezim Orde Baru untuk menjelaskan pengaruh beasiswa pendidikan sebagai alat hegemoni Amerika terhadap pembentukan karakter moral intelektual.

E. Kerangka Konseptual

1. Intelektual dan Intelektual Publik

Perspektif Marxis mengenai intelektual terkait dengan kesadaran seseorang terhadap eksistensi materialnya. Berbeda dengan pandangan pemikir non Marxist yang mempunyai gagasan bahwa intelektual adalah makhuk “suci”, sebab mereka tidak memiliki kepentingan praktis maupun kepentingan material. Hingga Julien

Benda berbicara mengenai penghianatan kaum intelektual di awal abad 20 saat para intelektual bercampur dengan politik. Senada dengan Karl Manheim yang menyatakan bahwa intelektual sebagai kelompok sosial yang mengambang bebas ataupun kelas yang tak memiliki kelas. Pemikir non Marxis berpendapat bahwa

11

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

keinginan besar intelektual untuk mengabdi pada kebenaran, dan hal tersebut memang tepat untuk pendeta yang secara tradisional memainkan peran sebagai intelektual (Budiman, 1978: 615-624).

Memahami intelektual sulit dipisahkan dengan pemahaman tentang kelas berkuasa serta pemimpin. Rumusan ini datang dari , seorang

Marxis pendiri partai Komunis Italia. Kepemimpinan yang dimunculkan berbentuk “kepemimpinan intelektual dan moral”, sebuah tangapan atas gaya kepemimpinan yang sarat pengabaian aspek intelektual dan moral (Sunardi,

2004:22). Ide Antonio Gramsci mengenai intelektual berasal dari perspektif

Marxist. Konsepnya mengenai intelektual organik merupakan usaha yang luar biasa untuk menjembatani strategi dasar marxisme antara ide ultra demokratik mengenai emansipasi dan garda depan. Intelektual tradisional adalah seseorang yang cakap menggali visi yang lebih luas dari keteraturan sosial yang mana dapat membentuk dasar ambisi hegemoni (Desai,1994: 2-3).

Antonio Gramsci sebagaimana dikutip dalam Simon (1999: 141) menolak pandangan tradisional dan vulgar terhadap intelektual yang hanya terdiri dari ahli sastra, filosof dan seniman. Bagi Antonio Gramsci intelektual bukan dicirikan oleh aktifitas berfikir yang secara instrinksik dimiliki oleh semua orang, namun dicirikan melalui peran yang mereka lakukan.. Aktifitas berfikir instrinsik sebagai parameter untuk mendefiniskan intelektual tidak lagi memadai. Karena parameter yang sangat abstrak tersebut hanya menunjuk pada semua orang sebagai intelektual namun tidak semua orang mempunyai fungsi intelektual.

12

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Selain menekankan pada struktur dan fungsi sosial tertentu, Antonio

Gramsci juga menekankan pentingnya kesadaran kelas. Dengan membuat perbedaan antara intelektual ‘organik’ dan ‘tradisional’, Gramsci menekankan bahwa intelektual bukanlah kelas sosial tersendiri melainkan setiap kelas mempunyai intelektualnya sendiri. Menurut penilaiannya intelektual tradisional mewakili kelanjutan sejarah dan cenderung menempatkan mereka di garis depan sebagai kelas berkuasa, otonom dan independent. Yudi latif (2005) menambahkan, Gramsci melihat sikap kritis intelektual tradisional terhadap status quo pun pada dasarnya akan berujung pada pembiaran sistem nilai yang dominan menentukan kerangka perdebatan mereka. Sementara intelektual organik menunjuk pada fungsi sebagai perumus dan artikulator ideologi dan kepentingan kelas, terutama dikaitkan dengan kepentingan kelas yang sedang tumbuh.

Intelektual memainkan peran yang penting dalam pembangkitan, pengorganisasian, dan persebaran ideologi hegemonik (Desai, 1994: 14).

Sedangkan menurut Moufee (via Hong Wong, 2002: 22-24), seorang

Intelektual harus secara aktif mempromosikan ideologi tertentu yang membawa cara pandang dunia kalangan awam menuju konformitas dengan aspirasi dari kelas dominan. Kelompok berkuasa harus terlibat usaha untuk membangun hegemoni atau untuk memenangkan legitimasi atas diri mereka di hadapan masyarakat madani. Konfrontasi ideologis melibatkan disartikulasi dan reartikulasi dari elemen ideologis yang terberi dengan jalan mentarungkan prinsip-prinsip hegemonik.

13

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Penjelasan yang merangkum diskusi tentang pengertian intelektual dan lebih sesuai untuk menjelaskan intelektual di Indonesia diberikan oleh Ariel Heryanto.

Menurutnya, istilah intelektual kerap dicampuradukkan dengan kelas menengah.

Penjelasan mengenai intelektual bergerak di antara mitos popular tentang kelas menengah sebagai sosok-sosok baik, pejuang kebenaran dan demokrasi, dan di sisi yang lain kajian akademis (terutama pandangan sarjana asing) tentang kelas menengah Indonesia sebagai sosok yang oportunis, pendukung rezim dan egois.

Pandangan yang kedua memiliki sejumlah kelemahan karena hanya menggunakan kategori ekonomi namun mengabaikan kelas menengah yang disusun dari kategori-kategori yang lebih politis seperti: aktivis gerakan mahasiswa, dosen serta intelektual publik yang dari segi jumlah memang tidak besar (Heryanto,

2004: 52-54). Saya sependapat dengan argumen, Heryanto yang meletakkan kategori “intelektual” maupun “kelas menengah” sebagai kategori yang lebih baik dimengerti sebagai konsep-konsep yang diskursif ideologis dan mitis, ketimbang sebagai dekripsi yang murni empiris dari sejumlah individu yang secara biologis ada dengan nama, profesi, pola-pola konsumsi atau afiliasi kelembagaan yang spesifik (Heryanto, 2004: 55-56).

Basis otoritas kaum intelektual beragam mulai dari jurnalisme, akademik, seni maupun agama (Heryanto, 2004: 56). Namun tidak semua pekerja media, akademisi, seniman serta agamawan mendapatkan pengakuan publik sebagai intelektual. Heryanto menengarai terdapat tuntutan maupun mitos yang kuat tentang aktivisme intelektual di Indonesia. Aktivisme ini didukung oleh citra pubik sebagai berikut: pertama, kaum intelektual harus menjaga jarak, setidaknya

14

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dalam penampilan public dengan kelompok yang paling berkuasa. Meskipun menurut Heryanto, sesungguhnya jarak antara Intelektual dengan kelompok yang paling berkuasa secara ekonomi dan politik tidak pernah total atau ekstrem, karena secara langsung maupun tidak langsung berupa perlindungan maupun keuntungan dari ketimpangan tata sosial. Kedua, meskipun mereka tidak selalu enggan menerima harta dan kuasa, namun intelektual publik perlu membangun klaim dan pengakuan publik bahwa mereka mengabdi pada upaya pencarian kebenaran, keadilan dan etika lebih daripada yang lainnya serta mampu bermain peran menyangkal status diistimewakan, berpamrih, keinginan dipuji dan gairah terhadap kekayaan dan kekuasaan. Ketiga, intelektual umumnya menjadi pekerja kerah putih yang tidak perlu menjual tenaga kasar dan berkotor-kotor untuk bertahan hidup. Beberapa dari mereka yang bersedia bekerja sebagaimana pekerja kerah biru –yang beresiko tinggi, sulit dan berbahaya- sebagai relawan. Pilihan ini menjadi pesona di hadapan publik. Kondisi ini bukan berarti intelektual selalu bekerja dengan pamrih pribadi, melainkan untuk dapat bekerja secara efektif aktivis kelas menengah harus bersedia bekerja secara publik atau bekerja bersama kelas sosial yang “lebih rendah”. Konteks aktivisme inilah yang memungkinkan munculnya julukan “intelektual publik” (Heryanto, 2004: 57-59)

2. Hegemoni

Dalam pemikiran Gramsci “hegemoni” adalah konsep sentral untuk memahami pemikiran Gramsci lainnya. Hegemoni ialah situasi di mana ”blok historis” kelas penguasa menjalankan otoritas kepemimpinannya atas kelas-kelas

15

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

subordinat melalui komninasi antara kekuatan dan persetujuan (Barker, 62-63).

Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Konsep hegemoni Gramscian lebih luas dari hegemoni ala Lenin yang menjelaskan hegemoni sebagai strategi revolusi. Konsep ini berkaitan dengan peran kelas kapitalis beserta anggotanya, baik dalam merebut kekuasaan negara maupun dalam mempertahankan kekuasaan yang sudah diperoleh.

Sehingga dalam masyarakat plural dan luas, politik sangat esensial untuk memperjuangan hegemoni. Hegemoni terlihat dalam beragam sebagai ‘politik, intelektual dan kepemimpinan moral di antara kelompok aliansi’ ataupun kompleksitas antara praksis dan aktifitas teoretis di mana kelas berkuasa bukan hanya mendapat pembenaran untuk melanggengkan dominasinya tapi juga memenangkan kepatuhan dari yang dikuasainya’.

Institusi hegemonik mendapatkan kepatuhan dengan jalan memproduksi dan mengembangkan ideologi yang nampak sebagai kebenaran yang masuk akal di hadapan publik (common sense). Menurut Raymond William, control hegemoni sangat halus dan tak teraba sebab merupakan proses yang dinamik, bertumbuh dengan terus menyesuaikan diri dengan perkembangan terkini. Institusi-institusi ini berusaha untuk menarik intelektual dengan menawarkan gengsi, kekuasaan, mobilitas sosial ke atas, akses pada sumber daya untuk kepentingan pribadi mereka dan tentu saja legitimasi (Roelofs, 2003: 1-3).

Untuk menilai hegemoni dalam konteks antar negara bangsa pada tahun

1970-1990, harus dilihat dalam medan pertarungan ideologi antar dua blok besar

16

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yang berkuasa yakni Amerika Serikat dan Unisoviet. Seiring berakhirnya peperangan bersenjata, pertarungan dilanjutkan dengan cara penebaran pengaruh dengan penggunaan alat-alat ideologis seperti institusi pendidikan, yayasan dan ilmu pengetahuan. Alat-alat ideologis tersebut bekerja secara terpisah maupun bersama-sama dengan elemen kapitalisme mutakhir untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar. Dalam pegalaman Indonesia, bagaimana intelektual dipengaruhi dengan jalan diberi beasiswa untuk bersekolah dan menimba ilmu pengetahuan khas Amerika dan kemudian setelah pulang menjadi bagian yang lekat dengan proyek-proyek pembangunan Amerika. Upaya mengontrol intelektual dilakukan semenjak keberangkatan, saat mereka bersekolah hingga mereka kembalui ke negaranya, sehingga dapat dikatakan sebagai sebuah proses hegemoni Amerika pada dekade awal Orde Baru menuai keberhasilan.

Untuk dapat mengatasi peperangan hegemonik ini, ideologi intelektual harus dikembangkan dalam arus yang tak bersejalan dengan arus utama.

Hegemoni tandingan dapat dikembangkan dengan jalan tidak mengkompromikan nilai ideologi dominan. Hegemoni tandingan harus dikembangakn dalam artian emansipatoris, artinya ketika memberi kritik, intelektual harus menjaga praksisnya agar tidak tunduk. Hegemoni merupakan sebuah proses yang lebih ramah daripada opresi, ketika mengembangkan hegemoni tandingan intelektual dapat tetap berada di antara para hegemonnnya dan membangun strategi bertahannya sendiri (Bennet, 1986:25).

17

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

F. Metode Penelitian

Teknik mengumpulkan data antara lain: wawancara, survei dokumen dan database. Kesemua teknik pengumpulan data tersebut berperan saling mendukung.

Wawancara dimaksudkan untuk menggali informasi dari narasumber kunci yakni alumnus Fulbright yang bersekolah dan lulus pada masa Orde Baru, juga mewawancarai pihak Fulbright-Aminef. Pertanyaan yang digali dari alumnus beasiswa Fulbright antara lain mengenai pengalaman-pengalaman baik akademik, epistemik maupun aktivisme selama belajar di Amerika, mengenai gerak paska kembali ke Indonesia, pandangan para alumnus Fulbright mengenai ideologi- hegemoni Amerika terhadap Indonesia, pandangan mengenai integritas moral intelektual. Selain itu wawancara juga dimaksudkan untuk menggali biografi elite intelektual tertentu, serta peristiwa sosial politik tertentu yang melibatkan para alumnus penerima beasiswa Fulbright.

Survei dokumen dilakukan untuk menemukan autobiografi elite intelektual tertentu, terbitan-terbitan serta pemikiran dan perdebatan yang dibangun elite intelektual dari periode sejarah tertentu. Selain itu juga dimaksudkan untuk mendapatkan dokumen program dan kebijakan yang dihasilkan oleh elite intelektual tertentu.

Kajian ini mengambil konteks waktu awal kekuasaan Orde Baru hingga kejatuhannya. Intelektual yang dipilih sebagai informan penelitian adalah intelektual yang pada rentang 1970 hingga awal 1990-an mendapatkan beasiswa

Fulbright sebagai beasiswa pertama untuk bersekolah di Amerika serikat. Batasan tahun 1970 hingga 1990-an dipilih dengan didasari sejumlah pertimbangan, yakni:

18

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(1) Pada periode tersebut perang bersenjata antara blok “barat” dan “timur” “telah berakhir”, begitupun manifestasi perang dingin di Indonesia seolah-olah telah berhenti dengan jatuhnya Indonesia ke dalam kekuasaan Suharto yang membawa

Indonesia lebih dekat dengan Amerika. (2). Tahun 1970-an merupakan tahun di mana terjadi kebangkitan gerakan rakyat yang kritis terhadap pembangunan nasional Orde Baru. Dalam setiap gerakan rakyat yang kritis, intelektual publik tumbuh subur sebagai kekuatan moral penyeimbang otoritarianisme Suharto. (3).

Intelektual yang berangkat bersekolah dengan beasiswa Fulbright pada tahun

1970 hingga 1990-an beberapa di antaranya adalah intelektual publik yang memiliki pengalaman melawan dan direpresi oleh Suharto. (4). Intelektual yang berangkat pada tahun 1970 hingga awal 1990 sepulang mereka dari studi di

Amerika memiliki waktu yang cukup untuk tumbuh menjadi intelektual publik terkemuka. Gagasan, sikap dan tindakan intelektual publik tersebut memiliki kontribusi penting dalam mensubversi hingga menginspirasi publik untuk menantang kekuasaan Suharto hingga berakhirnya kekuasaan formal Suharto pada tahun 1998.

Pilihan obyek kajian dijatuhkan kepada beasiswa Fulbright dengan pertimbangan utama bahwa pertimbangan beasiswa ini merupakan beasiswa resmi dari pemerintah Amerika. Beasiswa ini menekankan pada pemberian beasiswa pada ilmu sosial, di luar ilmu ekonomi dan hukum yang menjadi sasaran dari beasiswa dari yayasan pembangunan swasta. Berbeda dengan beasiswa lainnya, beasiswa ini secara seolah-olah ekslusif karena khusus menyasar akademisi sebagai penerima manfaat utama. Hal ini menjadikan program ini dipercaya

19

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menghasilkan intelektual dengan cita rasa akademik yang kuat, dengan kapasitas membangun opini sehingga pandangan-pandangannya mempengaruhi wacana publik. Subyek penelitian ini adalah intelektual yang pernah memperoleh beasiswa bersekolah di Amerika untuk pertama kali dari program beasiswa

Fulbright pada tahun 1970 sampai dengan 1990-an. Namun peneliti menyadari bahwa tidak mudah untuk mendapatkan intelektual publik yang selama bersekolah di Amerika hanya mendapatkan beasiswa Fulbright saja.8 Peneliti memandang keragaman beasiswa yang diperoleh intelektual publik tertentu menjadi temuan yang dapat menunjukkan kekhasan yang membedakan pengaruh beasiswa

Fulbright dibandingkan beasiswa lainnya dalam pembentukan karakter intelektual

Indonesia.

G. Sistematika Penulisan

Tesis ini direncanakan akan terdiri dari 5 bab. Bab 1 merupakan bagian pendahuluan tesis ini. Sebagai sebuah penunjuk arah untuk memasuki kajian ini dengan lebih dalam, bagian ini disusun dengan menyajikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tinjauan kepustakaan untuk menentukan posisi kajian ini dibandingkan kajian serupa, kerangka pemikiran serta metode penelitian.

8 Contoh beasiswa yang diperoleh intelektual yang merupakan kelanjutan beasiswa Fulbrigt adalah beasiswa dari Yayasan Ford, Yayasan Rockefeller, The Asia Foundation.

20

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Bab II. Beasiswa dari Amerika, Intelektual dan Formasi Negara Otoritarian a. Sejarah P embentukan I ntelektual D an E lite I ndonesia Melalui B easiswa

Pendidikan Asing

Bagian ini secara umum akan mengulas sejarah pembentukan intelektual melalui beasiswa pendidikan asing. Bab 2 diarahkan untuk memberi konteks sejarah bahwa terdapat relasi yang erat antara pendidikan di luar negeri melalui program beasiswa dengan terbentuknya karakter intelektual. Diawali dari konteks pra kemerdekaan hingga kelahiran para “Mafia Berkeley” yang dibidani oleh the Ford

Foundation. Di akhir bagian ini secara khusus juga akan diulas beasiswa

Fulbright, baik sejarah kelahirannya maupun implikasinya bagi pembentukan elite intelektual di sejumlah Negara. b. Intelektual Indonesia di Bawah Opresi Rezim Orde Baru.

Bagian ini akan menghamparkan kebijakan Orde Baru yang memasung kebebasan intelektual dan mimbar akademik, mulai dari kebijakan terhadap intelektual di dalam kampus hingga kontrol ketat terhadap organisasi kaum intelektual. Secara khusus juga akan diulas pola karakter intelektual yang tumbuh subur dalam rezim otoriter suharto. Bagian ini juga akan menyajikan tantangan dan ancaman yang dihadapi oleh kaum intelektual yang tak hendak tunduk pada kekuasaan Suharto berikut strategi integritas intelektual yang mereka pertahankan.

Bab III Intelektual Indonesia di Amerika.

Bagian ini diawali dengan narasi mengenai proses para intelektual Indonesia mendapatkan beasiswa Fulbright. Selanjutnya akan digambarkan secara umum

21

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dari kalangan mana sajakah para penerima beasiswa tersebut. Bagian ini memaparkan bagaimana para intelektual penerima beasiswa Fulbright

(Fulbrighter) dalam berdinamika dengan kehidupan akademik, sosial dan politik di Amerika. Yang dimaksud dengan kehidupan akademik termasuk di dalamnya adalah karakter pendidikan ala Amerika, tradisi keilmuan yang berkembang di beberapa kampus besar serta tradisi “pemuridan” yang dibangun oleh sejumlah

“mahaguru”. Berbanding lurus dengan kehidupan politik Amerika yang menuntut mereka untuk mengambil sikap untuk tunduk, apatis ataupun melakukan perlawanan melalui keterlibatan dengan gerakan sosial.

Bab IV Jejak Perlawanan Intelektual Publik

Ini merupakan bagian kunci dari keseluruhan kajian ini. Bagian ini menelusuri bidang gerak sekaligus mengupas diskursus yang dikembangkan oleh sejumlah intelektual sekembalinya mereka dari belajar di Amerika, serta bagaimana latar belakang pendidikan mereka di Amerika mempengaruhi pilihan bidang gerak dan diskursus. Upaya ini dilakukan dengan berpegang pada analisis buah pemikiran sejumlah intelektual publik terkemuka, baik berupa buku, otobiografi maupun tulisan akademis. Peta yang dihasilkan akan menunjukkan hulu ke hilir aliran intelektual baik yang mendukung semakin berjingkrangnya Orde Baru hingga intelektual yang murtad terhadap kuasa Suharto. Pembacaan yang lebih konkret mengenai intelektual alumnus Fulbright disajikan melalui pemotretan lebih dekat sejumlah intelektual yang mengembangkan pemikiran yang berada di luar arus utama Orde Baru maupun berada di luar jalan utama liberalisme ekonomi

22

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Amerika. Pembacaan ini berikut juga melihat peran sejumlah intelektual alumnus

Fulbright dalam mengawal reformasi, ide-ide yang muncul serta kontestasi ide

antar intelektual dalam mengisi ruang kekosongan ideologi yang ditinggalkan

oleh rezim Suharto.

Bab V Kesimpulan.

Bab terakhir ini berisi catatan-catatan penting dari bab-bab sebelumnya sekaligus

refleksi teoretik. Hal pokok yang ingin disajikan terkait dengan cara pandang

dualistik yang tidak lagi bisa dipertahankan dalam melihat intelektual. Ketika

intelektual menengok ke “barat” tidak selalu berarti mereka menggabungkan diri

sebagai “barat”, namun ketika mereka masih merasa sebagai “timur” bukan

berarti mereka tidak menyerap ideologi “barat” secara habis-habisan. Satu hal

yang tak bisa terabaikan, filantropi akademik sebagai sebuah proyek politik

berhasil menciptakan intelektual-intelektual mesin fotocopy “barat” bagi dunia

“timur”. Namun, seberapapun canggih proyek politik selalu tak akan mampu

menghasilkan hegemoni mutlak, selalu ada yang luput dan menghasilkan

intelektual-intelektual yang kritis terhadap penindasan gaya baru.

23

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB II

BEASISWA DARI AMERIKA, INTELEKTUAL DAN

FORMASI NEGARA OTORITARIAN

Melanjutkan bab Pendahuluan yang memberi pengantar mengenai kepentingan ideologis Amerika untuk membendung pengaruh komunisme dalam masa Perang dingin melalui pemberian beasiswa bagi intelektual negara-negara yang dianggap strategis untuk membentengi laju komunisme. Pada bab ini akan diuraikan lebih detil lagi bagaimana beasiswa dapat digunakan sebagai senjata hegemoni. Bagian ini meliputi penggunaan yayasan sebagai alat menggerakkan hegemoni Amerika, bagaimana bantuan pendidikan keluar negeri dan pengembangan ilmu sosial dari Amerika bersejalan dengan kepentingan Orde

Baru untuk memapankan stabilitas rezim-nya. Bab ini tentu saja juga akan mengurai relasi mutualis Orde Baru dengan teknokrat yang merupakan buah pendidikan Amerika melalui proyek pembangunan nasional-nya. Persoalan yang ingin diungkap adalah bagaimana intelektual yang pernah mendapatkan beasiswa dari Amerika terperangkap hegemoni Orde Baru dan Amerika, untuk tidak mengatakan mereka tunduk sepenuhnya pada kehendak Amerika dan Orde Baru.

Selain relasi mutualis, bab ini juga akan memuat relasi yang antagonis antara

Suharto dengan intelektual publik. Paparan tersebut akan menutup bab ini dengan kritik intelektual terhadap proyek pembangunan nasional Suharto. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yang sarat otoritarianisme beserta peristiwa represif dan kooptasi Orde Baru terhadap mereka yang terjadi pada tahun 1970-1980.

Secara keseluruhan, bab ini bertujuan untuk memberi konteks sejarah bahwa kepentingan Amerika untuk “menguasai” Indonesia dilakukan dengan kekuatan yang halus dengan jalan mempengaruhi intelektual yang berada di sekitar Suharto.

Beasiswa merupakan langkah sistematis untuk mempengaruhi intelektual

Indonesia dnegan gagasan-gagasan khas Amerika seperti demokrasi, pro pasar.

Kajian dalam bab ini menguraikan sejarah intelektual, yakni sejarah intelektual yang terbentuk melalui persentuhannya dengan pengetahuan, gagasan dan kepentingan-kepentingan.

A. Beasiswa: Sebuah Senjata Hegemonik Perang Dingin?

Sebagaimana diuraikan dalam bab pendahuluan, beasiswa dari Amerika, bukanlah sekadar misi filantropis belaka. Namun sebuah misi politis ideologis yang diwarnai oleh konteks perang dingin. Pemberian beasiswa bagi sejumlah

Intelektual di Asia, khususnya Indonesia oleh Amerika tak lepas dari perebutan pengaruh dua blok ideologis yang masing-masing dipimpin oleh Amerika dan Uni

Soviet.1 Ketika itu Indonesia berada di bawah Sukarno telah bergelayut mesra dalam poros -Hanoi-Peking. Untuk membendung menguatnya pengaruh komunisme di Indonesia, Amerika merasa penting untuk membentuk aliansi di

“timur” sebagai sekutunya. Pertama-tama Amerika memainkan strategi diplomasi

1 Amerika serikat sebagai superpower politik, militer dan ekonomi mempunyai arti penting bagi Indonesia. Amerika merupakan partner dagang terbesar untuk eksport minyak dan bahan mentah Indonesia. “Bantuan ekonomi” dan “asistensi” Amerika melalui sejumlah badan seperti IGGI, CGI, IMF, dan G7 terasa sangat berpengaruh dalam perekonomian Indonesia. (Tamara, 4-5).

25

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dan intelijen.2 Namun perebutan pengaruh itu akan lebih mudah apabila Amerika memiliki sekutu di Indonesia yang mendukung kebijakan politik luar negeri mereka. Untuk menjalankan tujuan tersebut, pendidikan dipilih sebagai sarana jitu untuk menciptakan sekutu-sekutu mereka di Indonesia (Ransom, 1974:95).3

Beasiswa pendidikan digunakan sebagai kendaraan untuk “mencuci otak”, membentuk opinin atau gagasan intelektual Indonesia agar sejalan dengan kebijakan ekonomi Amerika yang mempromosikan pasar bebas. David Ransom menganalisa hubungan beasiswa tersebut terkait dengan program politik Amerika

Serikat untuk menyingkirkan Soekarno dan menghancurkan PKI melalui penciptaan ”Mafia Berkeley.” Pandangan yang berbeda dengan Ransom menganggap ”Affiliation Program University of Indonesia with University of

California Berkeley, USA” hanya sebagai upaya untuk meningkatkan jumlah dan kualitas tenaga pengajar di FEUI. Artinya program tersebut bukan merupakan sebuah upaya terencana untuk menciptakan sekelompok ekonom pro-Amerika yang membawa Indonesia ke dalam pengaruh kapitalisme setelah jatuhnya

Soekarno (Irwan dalam Hadiz dan dakidae, 2005: 42)4. Pandangan yang kedua mengikuti argumen pluralis yang cenderung longgar menilai kekuatan filantropis

2 Lebih jauh mengenai strategi diplomasi dan intelijen yang diterapkan Amerika terhadap Indonesia, baca buku “Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin, 1953-1963” Baskara T Wardaya, 2008, Yogyakarta: Galang Press. 3 Semenjak tahun 1951, Presiden Truman menyediakan fasilitas dan bantuan untuk pengembangan pendidikan Indonesia. Di Pacific tahun 1952, Dean Rusk menyatakan bahwa pendidikan telah lama menjadi senjata bagi negarawan. Dia juga menyatakan bahwa agresi “Komunis” di Asia membutuhkan orang-orang Amerika untuk memerangi secara langsung, melainkan “Kita harus membuka fasilitas training untuk meningkatkan jumlah teman kita di seberang Pasifik 4 Semua lulusan FEUI yang kemudian menjadi teknokrat yang terkenal julukan Mafia Berkeley, yaitu Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Johannes B. Sumarlin, Emil Salim dan Mohammad Sadli dikirim ke UC Berkeley pada akhir dekade 1950-an dan awal 1960-an dengan menggunakan dana Ford Fundation . Sampai tahun 1965 ada 47 lulusan FEUI yang dikirim belajar ke AS dan hampir-hampir semuanya memang dikirim ke UC Berkeley. Meskipun ada pula beberapa yang dikirim ke Chicago, yang merupakan kandang pendekatan ekonomi pasar bebas (Dye, 1965: Appendix III)

26

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dapat digunakan untuk hal baik ataupun buruk. Argumen kedua menurut penulis cenderung mengabaikan konteks perang dingin di mana dua blok besar dunia saling berebut pengaruh, termasuk di dalamnya menggunakan “filantropi akademik” sebagai senjata menyebarkan pengaruh dan ideologi.5 Namun menurut hemat penulis, pandangan Ransom berbau ketergesaan khas teori konspirasi sehingga mengabaikan dialektika antara aktor dan penguasa Indonesia serta mengabaikan pertimbangan nilai, moral dan integritas yang sering melandasi pilihan tindakan intelektual. Argumen yang mengkritisi pandangan Ransom beserta paparan sejarahnya akan disajikan lebih lanjut di bagian akhir bab II.

Bagian ini akan menuntaskan lebih dulu paparan mengenai bagaimana Amerika menggerakkan hegemoni-nya melalui pemberian beasiswa.

1. Yayasan sebagai Alat Hegemoni

Beasiswa dari Amerika diberikan melalui dua cara. Pertama diberikan secara resmi oleh pemerintah Amerika melalui keputusan konggres. Kedua beasiswa diberikan melalui yayasan pembangunan swasta Amerika yang memiliki banyak kantor cabang atau “Country Representatif” di sejumlah negara. Meskipun beasiswa kategori yang pertama diberikan secara resmi oleh pemerintah Amerika, namun pengelolaannya dilakukan dengan kerjasama antara Amerika, pemerintah negara lain serta pihak ketiga yang biasanya merupakan yayasan atau lembaga

5 Melalui filantropi akademik yang diberikan oleh Yayasan Ford inilah dilahirkan sekelompok teknokrat yang nantinya disebut sebagai “Mafia Berkeley,” lima orang teknokrat-ekonom dari FEUI tersebut bahkan hingga saat ini masih dipercaya oleh sejumlah pihak sebagai bagian dari strategi Amerika untuk melahirkan aliansi di Negara dunia ketiga yang mampu menjadi mitra dalam membendung pengaruh komunisme. (menarik untuk mencari acuan yang menceritakan mengenai ribuan orang Indonesia yang dikirim ke negara-negara sosialis dalam rangka menunjang gagasan Sukarno untuk masa depan Indonesia).sudah cerita counter-nya Juga perlu menceritakan paa yang di counter??

27

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pengelola beasiswa. Contoh beasiswa kategoro yang pertama adalah beasiswa

Fulbright. Sedangkan beasiswa kategori yang kedua meskipun tidak secara langsung dinerikan oleh pemerintah Amerika, melainkan melalui tangan yayasan pembangunan swasta, namun bukan berarti tidak mengandung misi politik ideologis Amerika. Contoh beasiswa kategori yang kedua adalah beasiswa dari

Yayasan Ford dan Yayasan Rockefeller.

Joan Roellofs dalam bukunya Foundation and Public Policy: the Mask of

Pluralism, menjelaskan bahwa yayasan merupakan pembangun utama hegemoni.

Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa yayasan dari Negara “dunia pertama” khususnya Amerika memiliki daya tarik besar bagi intektual di “dunia ketiga” karena yayasan menyediakan gengsi dan kekuasaan serta akses. Intelektual- intelektual tersebut sejak dini direkrut melalui beasiswa pendidikan di negara asal yayasan. Setelah selesai sekolah mereka dipekerjakan dalam proyek-proyek yayasan ataupun menjadi aliansi yang mendukung kepentingan negara asal yayasan (Roellofs: 2003: 198).

Dalam konteks Indonesia, pandangan Roellofs tersebut menemukan bukti sejarah. Pada akhir kepemimpinan Sukarno dan tahun-tahun awal Orde Baru,

Yayasan Ford memberikan beasiswa bagi sejumlah intelektual Indonesia untuk bersekolah di Amerika (Roellofs, 2003: 25). Di tahun 1950-1960 kedua yayasan tersebut mengirimkan mahasiswa Indonesia untuk belajar di Universitas

California, Berkeley. Sekembalinya dari bersekolah di Amerika, para intelektual tersebut berubah menjadi teknokrat yang secara gigih menyebarkan gagasan- gagasan liberalisasi ekonomi. Kebijakan yang diambil para teknokrat mengenai

28

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pasar bebas bersejalan dengan kepentingan Amerika untuk memastikan Indonesia berada dalam jalur yang sama dengan Amerika. Salah satu kebijakan yang diambil oleh para teknokrat alumnus Universitas California, Berkeley adalah tentang penanaman modal asing (UU PMA) yang memudahkan investasi Amerika masuk ke Indonesia. Kebijakan tersebut merupakan pintu pertama yang memudahkan ekspansi modal Amerika ke Indonesia.

Tokoh terkemuka dibalik relasi yang penuh keberhasilan dengan Indonesia adalah Sumitro Djojohadikusumo dan Sudjatmoko. Mereka berdualah yang menangani manuver diplomatik dengan Amerika Serikat. Pada tahun 1949,

Sumitro bahkan sempat menjanjikan kepada audiens Sekolah “Advanced

International Studies” di Washington-yang dibiayai oleh Yayasan Ford. Investasi korporasi asing akan mendapatkan akses bebas ("free access") kapada sumber daya alam Indonesia dan insentif yang memadai.

Keberadaan teknokrat yang secara tidak langsung membuka ruang bagi pengaruh Amerika di Indonesia dan secara langsung membuka katub bagi ekspansi investasi perusahaan-perusahaan Amerika, oleh John Bresnan, Kepala

Perwakilan Yayasan Ford di Indonesia tahun 1965-1973, disebut sebagai ”kondisi yang saling menguntungkan”.

“Saya sangat menikmati kepercayaan yang saling menguntungkan di mana saya dan staff menikmati berelasi dengan lingkaran yang sangat bermanfaat yang memungkinkan kami untuk berdiskusi secara terbuka mengenai sejumlah masalah dan solusi yang mungkin dalam sebuah rasa percaya diri bahwa apa yang kami diskusikan bersama dengan orang-orang bertalenta itu akan tetap berhasil” (Bresnan, 2006:93-94).

29

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Relasi yang erat antara Yayasan Ford dengan ekonom Orde Baru memberi

Yayasan Ford profil yang lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Relasi yang erat antara Amerika beserta yayasan-yayasan-nya dengan teknokrat ekonom Orde Baru alumnus Universitas California, Berkeley mengakibatkan kelompok ini dikemudian hari dijuluki “Mafia Berkeley” (Ransom, 1975: 93).

Pada sisi yang lain, “Mafia Berkeley” juga mendapat sejumlah keuntungan dari yayasan-yayasan asing tersebut. Keuntungan pertama adalah dibiayai pendidikan di Amerika. Bantuan pendidikan dalam jumlah besar yang diberikan oleh badan-badan pemerintah Amerika termasuk di dalamnya yayasan-yayasan besar seperti Yayasan Ford dan Yayasan Rockefeller,6 menurut Nasir Tamara

(1997) menjadi satu dari tujuh alasan intelektual Indonesia memilih belajar di

Amerika. Keuntungan selanjutnya yang diperoleh ”Mafia berkeley” adalah dipercaya oleh Amerika bekerjasama dan bekerja untuk yayasan-yayasan tersebut sepulang mereka ke Indonesia.

Hal ini menjelaskan apa yang dideskripsikan David Ransom sebagai “Mafia

Berkeley” sebagai bagian plot yang lebih rumit yang didesain oleh Yayasan Ford,

Dewan Hubungan Internasional, Rand Corporation, MIT, Cornell, Harvard, dan

6 Enam alasan lainnya mengapa intelektual Indonesia memilih untuk belajar di Amerika: (1). Kemudahan bahasa karena bahasa Inggris diajarkan sejak SLTP, (2). Mayoritas studi-studi tentang Indonesia setelah kemerdekaan adalah tulisan ahli-ahli Amerika, (3). Amerika merupakan negara superpower –militer, ekonomi dan politik – dan karenanya diperkirakan merupakan tempat pendidikan terbaik didunia di mana dapat ditimba ilmu pengetahuan, dipelajari berbagai teori dan metodologi riset yang baik. (4). Setelah kemerdekaan hampir sebagian besar tokoh-tokoh dari lingkungan universitas, lembaga penelitian serta dari militer pernah mengenyam pendidikan di Amerika, (5). Perkiraan besarnya jumlah beasiswa di Amerika akan lebih besar daripada negara-negara lainnya dan system pendidikan Amerika menuntun mahasiswa di mana mahasiswa tidak membiarkan mencari sendiri seperti yang terjadi di Eropa “barat”, (6). Pengalaman sejumlah teknokrat lulusan pendidikan Amerika yang mendapat prestise selama Orde Baru besar pengaruhnya bagi mereka yang ingin melanjutkan pendidikan di Amerika

30

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

C.I.A (Ransom, 1970:27-28, 40-49; Bresnan, 94-96). Ekonom Orde Baru yang merupakan alumnus pendidikan Amerika tidak dilepaskan begitu saja dari kontrol ideologi agen pembiayaan seperti Yayasan Ford (Ford Foundation) dan Yayasan

Rockefeller (Rockefeller Foundation).

Keberadaan sekutu Amerika di Indonesia tersebut menjadi catatan serius bahwa dalam banyak atau sedikit, arah dan perkembangan pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia tidak lepas dari campur tangan yayasan pembangunan dan lembaga pendidikan Amerika. Pengaruh tersebut selain diciptakan melalui beasiswa pendidikan dan pelatihan bagi para perwira ABRI, serta memberi beasiswa pada para intelektual-teknokrat. Persekutun antara militer dan teknokrat ini merupakan pendukung utama Orde Baru. Selain itu pengaruh yang dibangun Amerika juga dilakukan melalui pemberian dana bagi ilmuwan sosial agar mengembangkan kajian dan lembaga pendidikan tinggi di Indonesia sebagaimana tempat mereka belajar di Amerika. (Tamara, 1997 ).

2. Ilmu Sosial Indonesia dalam Pengaruh Yayasan Ford

Selain menyebarkan pengaruh melalui penciptaan intelektual yang dapat dijadikan sekutu, Yayasan Ford juga menggunakan ilmu pengetahuan dalam hal ini ilmu sosial sebagai alat untuk memenangkan pertarungan ideologi. Yayasan Ford sebagai salah satu yayasan filantropi terkaya setelah perang dunia kedua memiliki kantor di sejumlah negara di Asia Tenggara. Salah satunya di Jakarta, Indonesia.

Dalam pengantar buku “Social Science and Power in Indonesia” Hans Antlov

(2005: xix), menjelaskan bahwa salah satu mandat Yayasan Ford kantor Jakarta adalah membangun sektor pendidikan tinggi dan mendukung perkembangan

31

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kapasitas penelitian dalam sejumlah disiplin ilmu, yakni ekonomi, administrasi publik, sosiology dan antropologi. Penjelasan Antlov ini sejalan dengan kebijakan

Yayasan Ford Amerika untuk mengalokasikan dana guna membiayai pengembangan ilmu sosial, salah satu area aktivitas utama adalah penguatan demokrasi. Hal tersebut merupakan bagian dari usaha Yayasan Ford untuk mengorganisir kembali studi politik, untuk kembali menaikkan pamor demokrasi klasik Amerika yang dibayang-bayangi krisis legitimasi dengan jalan merevisi teori demokrasi yang lebih realistis (Berndston, 2007:581-582).7

Meskipun proyek behavioralism-nya terhenti semenjak tahun 1957, namun konsentrasi Yayasan Ford untuk mendukung pengembangan ilmu sosial di

Indonesia terus berlanjut.8 Setidaknya semenjak 1955 hingga 1980, Yayasan Ford kantor Jakarta telah membantu sekitar 10 juta dolar untuk universitas dan pusat penelitan di seluruh Indonesia. Dua di antara universitas yang menerima bantuan

Yayasan Ford merupakan universitas terbesar di Indonesia yakni: Universitas

Gadjah Mada dan Universitas Indonesia yang cukup serius dan massif mengembangkan ilmu sosial.

Menggunakan anggaran yang luar biasa besar untuk pengembangan pendidikan dan penelitian ilmu sosial di Indonesia, Yayasan Ford menyisipkan

7 Program ini kemudian dilabeli sebagai studi politik behavioral (behavioralism). Teori demokrasi yang dilahirkan adalah teori demokrasi pluralis, yang popular pada masa 1950-1960. Karena dianggap tidak menunjukkan hasil yang diharapkan maka divisi ilmu behavioral di Yayasan Ford kemudian dihentikan pada tahun 1957. Robert Arnove menjelaskan lebih lanjut bahwa pada akhir 1960 paradigma penelitian yang dikembangkan Yayasan Ford terbukti tidak memadai untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa di dunia ketiga maupun di Amerika. (lebih lanjut lihat Seybold dalam Arnove, hal 296 dan Arnove hal 13-14) 8 Belajar dari kegagalan proyek behavioralism, Yayasan Ford terdorong untuk membiayai intelektual Marxist untuk melakukan riset yang kritis terhadap Amerika, terutama untuk memahami mengapa reformasi berbasis ideologi liberal tidak berjalan sebagaimana mestinya (Arnove 317-318 dan 321).

32

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pengaruh langsung dan tidak langsung kepada dosen dan mahasiswa melalui skema bantuan penelitian, internships, fellowship, scholarships dan dukungan lain bagi organisasi professional. Melalui kerjasama dengan universitas, Yayasan Ford tidak perlu mengontrol, mereka hanya perlu mengusulkan petunjuk praktis mengenai gagasan mereka kepada seluruh universitas di dunia, dan gagasan itu dengan cepat menjadi penunjuk arah bagi Intelektual di negara dunia ketiga (Laski via Roelofs, 2007:27). Peran Yayasan dari Amerika dalam mendorong universitas terlihat jelas dari perkembangan yang luar biasa dari Universitas Indonesia dan

Universitas Gadjah Mada.9

Pada saat Yayasan Ford menaruh perhatian yang sangat tinggi pada pengembangan ilmu sosial di Indonesia, pendidikan tinggi di Indonesia, terutama ilmu sosialnya telah cukup lama mengalami kooptasi dari negara terkait bagaimana negara mengontrol dan memanfaatkan ilmu sosial untuk memperkuat rezim Suharto. Ilmuwan sosial diarahkan untuk mengembangkan bidang ilmu yang dapat mendukung pembangunan dan ideologi negara (Pancasila). Betapapun kooptasi Orde Baru atas intelektual, namun tak bisa disanggah bahwa hanya dalam masa Orde Baru inilah pengembangan dan penggalakan ilmu sosial secara terencana dan sistematis, digerakkan atas kolaborasi yang manis antara negara dan

Yayasan Ford. Terdapat tiga bidang pokok yang menjadi indikator dari keseriusan

Orde Baru dalam menggarap Ilmu Sosial, yakni: pertama, dibukanya program

Ph.D. ilmu sosial (termasuk kesempatan belajar di luar negeri); kedua,

9 Universitas di Amerika membangun kerjasama dengan dua universitas terbesar di Indonesia, yakni. System universitas di Amerika yang memberlakukan system kredit serta jangka waktu pendidikan undergraduate selama 4 tahun (gelar BA) dan graduate selama 2 tahun lagi (gelar MA) agaknya menjadi contoh dan ditiru dalam berlakunya system pendidikan tinggi bagi S1 dan S2 di Indonesia sesuai surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No: 124/U/1979

33

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dimasukkannya metode dan teknik dari karya-karya empiris di universitas- universitas, demikian juga dibukanya pusat-pusat latihan ilmu sosial oleh Yayasan

Ilmu-Ilmu Sosial; ketiga, penerjemahan buku-buku untuk ilmu sosial ke dalam bahasa Indonesia, termasuk penerbitan hasil penelitian ilmu sosial ke dalam bentuk buku atau artikel serta jurnal nasional maupun internasional (Kleden,

1995: 21-22).

Begitu pentingnya ilmu sosial dalam mempengaruhi wacana pembangunan menjadikan Yayasan Ford tidak sungkan untuk mengalirkan dana dalam jumlah besar. Melalui ilmu sosial yang diimpor secara langsung dari Amerika inilah,

Indonesia mengenal gagasan dan praktik pembangunan. Apabila Yayasan Ford dikenal dengan pemberian beasiswa di bidang ilmu ekonomi –bidang utama penyangga pembangunanisme, maka satu program beasiswa resmi pemerintah

Amerika di Indonesia mengkhususkan diri untuk mencetak intelektual di bidang sosial kemanusiaan.

3. Fulbright dan Intelektual Ilmu Sosial Indonesia

Beasiswa Fulbright merupakan beasiswa yang diberikan pemerintah Amerika kepada intelektual dari Amerika untuk bersekolah di luar negeri, maupun intelektual dari negara lain untuk bersekolah di Amerika. Bagi Indonesia dan

Amerika, skema ini memberi peluang kerjasama bilateral dua negara. Bagi

Amerika, program beasiswa Fulbright memberi peluang bagi pembaratan orientasi intelektual di “negara berkembang”. Program beasiswa ini digagas oleh senator J.

34

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

William Fulbright.10 Bagi pemerintah Amerika Serikat, program beasiswa ini merupakan usaha luar biasa dari pemerintah AS dalam pendidikan internasional.

Di luar motif kebajikan, motif lain program beasiswa ini terkait dengan perhatian senator Fulbright kepada hutang perang. Paska perang dunia II, Amerika Serikat memiliki 4 juta barang yang tertinggal di gudang penyimpanan yang tersebar di seluruh dunia. Barang-barang ini disediakan oleh Amerika Serikat sebagai bagian program peminjaman dan sewa menyewa, negara yang meminjam wajib membayar kepada Amerika Serikat. Usulan senator Fulbright yang tertuang dalam rancangan peraturan menganjurkan setiap negara agar membeli surplus barang- barang, kemudian menggunakan uang tersebut untuk membayar biaya mahasiswa

Amerika di negara mereka maupun biaya transportasi mahasiswa muda dari negerinya saat bersekolah di Amerika (Jeffrey, 1987: 36-47).11

Gagasan ini kemudian berkembang menjadi pertukaran mahasiswa terbesar sepanjang sejarah umat manusia. Ide ini dimaksudkan untuk menyediakan mahasiswa yang berkualitas di dalam Ilmu sosial untuk meperoleh kesempatan belajar di AS. Mereka diharapkan mampu mempengaruhi orang-orang di negaranya melalui efek gelombang. Dengan cara inilah pencampaian maksimal

10 Tahun 1946, melalui Fulbright Act dan Public Law no 584, Kongress mengamandemen Surplus Property Act tahun 1944 untuk menyediakan kementrian dalam negeri porsi mata uang asing yang tak dapat dipertukarkan yang akan digunakan untuk pembiayaan program pertukaran pendidikan internasional. Tahun 1948, uang untuk memperbesar pembiayaan disahkan melalui undang-undang Pertukaran Pendidikan dan Informasi Amerika. 11 Program beasiswa Fulbright bersama dengan yayasan-yayasan liberal seperti Yayasan Ford dan Yayasan Rockefeller, berkontribusi pada proses pem”barat”an intelektual negara berkembang. Elite intelektual di negara berkembang berhutang banyak kepada Amerika untuk perolehan pendidikan mereka. ”dimulai melalui universitas asal yang didukung oleh dana bantuan Amerika, maupun dilanjutkan dengan dukungan Yayasan serta pembiayaan dari program Fulbright untuk bersekolah di Universitas di Amerika. Lebih lanjut lihat www.aminef.or.id.

35

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

program bisa diperoleh, yakni ketika mereka berhasil memasuki posisi strategis di pemerintahan maupun dunia pendidikan di negerinya (Tokorozawa, 1996: 39).

Bersekolah di Amerika secara tipikal menghasilkan pencapaian status di negara asal maupun kunci pencapaian jenjang karir professional (Hess via

Friedman and McGarvie: 336-337; Berndston, 2007:583-584). Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh tim dari the Middle East Technical University dan

The Fulbright Education Committee di Turki ditemukan bahwa semua alumnus

Fulbright sepakat bahwa pengalaman mereka di AS memberi pengaruh positif bagi peningkatan karirnya, kehidupan sosial dan kehidupan personal. Riset ini juga menyimpulkan bahwa alumnus Fulbright berkontribusi pada pembangunan di negaranya, sebab sebagian besar di antara mereka berada pada posisi tertinggi yang memungkinkan mereka untuk merancang dan mengimplementasikan kebijakan di sejumlah sektor (Demir, Aksu dan Paykoc, 2000: 103-111). Riset lain mengenai Fulbrighters (alumnus Fulbright) di Jepang dilakukan oleh

Yasutaka Tokorozawa (1996: xii-xiii). Risetnya menunjukkan bahwa Fulbrighters di Jepang menduduki posisi elite di kalangan masyarakat Jepang, hal tersebut meneguhkan sifat elitis dari program Fulbright.

Bagaimana dengan alumnus Fulbright dari Indonesia? Terdapat sebuah artikel mengenai Fulbright Indonesia dan alumnusnya. Namun belum ada penelitian yang spesifik meneliti tentang pengaruh program beasiswa Fulbright bagi pembangunan Indonesia, ataupun lebih jauh mempertanyakan signifikansi beasiswa Fulbright bagi pembangunan intelektual Indonesia. Kuatnya pengaruh program Fulbright sebagai program beasiwa bagi orang-orang terpilih yang akan

36

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menjadi calon pemimpin di negara asalnya, pun tereproduksi di Indonesia.

Gagasan tersebut tereproduksi bersamaan dengan pengaruh sejumlah bekas penerima beasiswa Fulbright (serta alumnus universitas di Amerika) yang menjadi teknorat, birokrat, elite politik maupun intelektual kampus yang cukup terpandang.12 Program Fulbright memiliki daya tarik yang berbeda dengan program beasiswa Yayasan Ford. Sebagian besar penerima beasiswa Fulbright memiliki latar belakang akademisi di lingkungan ilmu sosial dan politik.

Walaupun ada beberapa di antaranya yang memegang peranan besar sebagai pejabat dalam pemerintahan, namun sebagian lainnya mempunyai peran sebagai

”tukang kritik” proyek pembangunanisme Orde Baru. Paparan lebih lanjut mengenai program beasiswa Fulbright Indonesia dan intelektual yang memperoleh beasiswanya akan dipaparkan di bab III.

B. Pembangunan Nasional sebagai Area “Pertempuran Ideologi”

Setelah tertumbangkannya kepemimpinan Sukarno, relasi Indonesia dan Amerika menghangat dibandingkan sebelumnya. Keberhasilan program anti Komunis oleh

Orde Baru dan eksploitasi alam yang amat luas oleh korporasi Amerika memberi

Indonesia bobot yang luar biasa di mata Amerika.

Naiknya Mafia Berkeley sebagai perumus kebijakan ekonomi ketika

Soeharto naik ke tampuk kekuasaan dimulai dengan penjalinan hubungan kelembagaan dengan kalangan militer Seskoad (Sekolah staff Komando Angkatan darat) Bandung. Di tempat inilah Suharto mengenal para teknokrat alumnus UC

12 Iklan yang terdapat dalam website IIEF meneguhkan proses produksi dan reproduksi gagasan mengenai program beasiswa Fulbright sebagai program bagi intelektual terpilih.

37

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Berkeley.13 Terpesona pada pendekatan ekonomi politik mereka dan kemudian meminta mereka menjadi arsitek ekonominya ketika dia berhasil merebut tahta dari Sukarno (Irwan, 2006, 43-44, Malaranggeng, 2008: 44-46) .

Pembangunan nasional merupakan representasi dari keseluruhan tujuan utama politik Orde Baru sekaligus fondasi politik yang paling mendasar ( Kleden,

1995:11). Pembangunan nasional yang dibangun oleh Orde Baru menunjuk ekonomi sebagai panglima, sehingga dalam masa Orde Baru ekonom mendapat tempat istimewa dibandingkan dengan intelektual dengan basis ilmu sosial non ekonomi. Kleden menyebutkan pemosisian ekonom secara istimewa mengakibatkan pembagian kerja diam-diam antara ekonom dan ilmuwan sosial lainnya, ekonom bertugas menyelesaikan masalah ekonomi dengan pendekatan teknis, sedangkan masalah politik, sosial, dan budaya diselesaikan oleh ilmuwan sosial non ekonom (Kleden, 1995:12-14).14 Penguasaan aspek teknis dalam permasalahan ekonomi ini menjadikan para ekonom diseputar Suharto lazim disebut teknokrat.

Peran kelompok teknokrat pimpinan Profesor Widjojo Nitisastro sangat vital sebagai penjaga gawang atau bahkan wasit kebijakan ekonomi Suharto. Gagasan

13 Peran alumnus Amerika dalam pembangunan nasional sangat besar, baik militer Indonesia yang merupakan alumnus Forth Leavenworth maupun bersama-sama dengan teknokrat alumnus Universitas California, Berkeley, memainkan peran penting dalam mendesain kebijakan ekonomi Suharto. Aliansi militer dan teknokrat merupakan pendukung terkuat rezim Suharto.

14 Pembagian peran ini tidak serta merta membentuk ilmuwan sosial non ekonom sebagai Intelektual publik. Beberapa rintangan yang diciptakan rezim Orde Baru membatasi peran mereka tak lebih sebagai pendukung rekayasa sosial untuk memastikan legitimasi Orde Baru dalam wujud pertumbuhan ekonomi dapat mencapai stabilitas. Walaupun demikian, terselip usaha untuk menerobos kooptasi negara yang dilakukan imuwan sosial non ekonom, meskipun apabila diukur dari kerja perbaikan sosial terkait penyadaran rakyat atas hak-haknya, masih menurut Kleden, peran mereka tak lebih berpengaruh dibandingkan peran aktivis dan pekerja sosial.

38

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kelompok ini berputar pada upaya untuk mengurangi intervensi negara dalam pembangunan ekonomi, dengan penekanan pikirannya pada pertumbuhan pendapatan per kapita melalui perluasan peran swasta (domestik maupun asing) dalam perekonomian nasional. Berdasar gagasan tersebut, peran pemerintah adalah menciptakan kondisi yang memungkinkan mekanisme pasar dapat bekerja dengan baik. Pandangan para teknokrat tersebut mengalami transformasi dari pandangan yang memiliki kecenderungan nasionalis menjadi pandangan yang mempercayai liberalisme pasar.

Para teknokrat tersebut dengan cepat menjadi ahli ekonomi yang dipercaya

Suharto dan mendapatkan peluang-peluang emas untuk berbicara dalam forum- forum dan lembaga Internasional. Gagasan mereka berkisar pada upaya untuk meyakinkan lembaga keuangan internasional yakni IMF dan Bank Dunia bahwa

Indonesia telah siap untuk membangun ”kerjasama yang saling menguntungkan” dengan lembaga keuangan internasional maupun investor asing. Melalui diplomasi kelompok teknokrat inilah ”bantuan” keuangan bagi Indonesia mengalir serta dilakukannya penjadwalan kembali pembayaran hutang bagi Indonesia.

Kelompok ini juga mendorong munculnya peraturan yang mengurangi proteksi ekspor-impor dan Undang-undang penanaman modal asing (UU PMA No.

1/1967).

Gagasan liberalisasi pasar mereka impor dari kampus di Amerika di mana mereka belajar di bawah bimbingan ekonom penganut paham pasar bebas.

Kelompok ini disatukan melalui kelompok diskusi di mana mereka saling bertukar pikiran mengenai keadaan Indonesia dan bagaimana seharusnya Indonesia

39

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dibangun. Sebelum pada akhirnya menjadi pendukung utama rezim Suharto, mereka adalah intelektual yang secara aktif berpolitik dan mengkritik kebijakan ekonomi Sukarno yang dianggap terlalu dikendalikan oleh pertimbangan politik.

Bersama dengan kelompok mahasiswa dan kalangan akademik yang lain, mereka membangun aliansi anti Sukarno.

Transformasi yang cepat kelompok teknokrat pimpinan Widjojo dari cita rasa nasionalis menjadi orang-orang di belakang Suharto yang membumbui pembangunan dengan resep-resep pasar bebas menyulut kritik yang tajam dari kelompok yang dulunya adalah kawan-kawan mereka: intelektual dan gerakan mahasiswa. Salah satu intelektual yang kritis mengkritik kelompok Widjojo adalah Sudjatmoko. Baginya strategi pembangunan kaum teknokrat tidak lebih daripada jiplakan strategi yang dijalankan kaum kapitalis di dunia “barat” di awal proses pembangunan mereka (Malaranggeng, 2008: 66). Kritik ini menandaskan tuduhan-tuduhan yang dilayangkan kepada kelompok Widjojo sebagai komprador ideologi “barat”, dan pendidikan asing yang ditempuh di Amerika merupakan mesin yang mengisi mereka dengan ideologi tersebut.

Selain kelompok mahasiswa dan intelektual di luar kekuasaan juga terdapat sekelompok intelektual yang turut mengkritik kelompok Widjojo dengan kritik yang lebih ringan. Mereka bekerja di Centre for Strategic and International

Studies (CSIS), sebuah lembaga think-tank yang dipimpin oleh Ali Moertopo dan

Sudjono Humardhani-dua orang jenderal yang sangat dekat dan merupakan orang kepercayaan Soeharto. Dua orang ahli ekonomi CSIS yakni Daud Joesoef dan

Jusuf Panglaykim mengkritik pendekatan kelompok Widjojo yang tidak

40

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

mengambil peran kepemimpinan di bidang ekonomi. Bagi kelompok ini, negara seharusnya mengambil peran sentral dalam jaringan organisasi yang terdiri dari pemerintah, birokrat dan teknokrat serta sektor bisnis. Gagasan ini kemudian lebih dikenal sebagai Indonesia. Inc (Indonesia Incorporated). Meskipun cukup rajin mengutarakan pendapatnya dalam forum-forum maupun tulisan akademis, namun kritik kelompok ini tidak terlampau diperhitungkan oleh intelektual-intelektual dari kelompok yang lain karena kedekatan mereka dengan lingkaran kekuasaan baik Soeharto, Golkar, birokrat, maupun militer.

C. Intelektual Publik dan Pembangunanisme

Membicarakan intelektual Indonesia pada masa Orde Baru sulit dilakukan tanpa menghubungkannya dengan kebijakan Orde Baru bertajuk ”pembangunan nasional” serta intervensi negara yang sangat kuat pada kehidupan kampus serta ruang-ruang diskursif di luar kampus. Ignas Kleden mendefinisikan intelektual bukan hanya sebatas perannya dalam pembangunan nasional namun juga peran sertanya dalam memberikan kritik atas pembangunan nasional. Intelektual di

Indonesia begitu didengar pendapatnya sehingga sering menghiasi, atau bahkan pendapatnya mengisi penuh halaman-halaman utama surat kabar. Hal tersebut menempatkan Intelektual di Indonesia dalam posisi terhormat dibandingkan rekan sejawatnya di negara lain (Magniz-Suseno: x).15 Bidang kerja intelektual

Indonesia relatif beragam yakni: jurnalisme, akademik, seni, kepemimpinan

15 Franz Magnis-Suseno menyatakan bahwa Intelektual memiliki posisi penting akibat situasi yang tidak demokratis. Magniz-Suseno mengasumsikan bahwa intelektual berbeda dengan politisi, Intelektual lebih bebas untuk bersuara dan menyatakan pandangan alternatifnya. Suseno melihat intelektual mengambang di antara dua ekstrem, di satu sisi menjadi intelektual organik a la Gramsci dan filsuf raja a la Julien Benda.

41

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

agama, lembaga non pemerintahan serta lembaga think-tank. Apakah pendapat mereka mendukung pembangunan nasional atau justru mengkritik merupakan masalah yang lain, akan tetapi pendapat mereka selalu mendapat reaksi dari pemerintah maupun rekan sejawat dan masyarakat. Reaksi dari pemerintah Orde

Baru terhadap kritik tak jarang berbuah intimidasi, teror dan beragam penindasan.

Namun pendapat intelektual hampir selalu memicu diskursus di antara mereka yang saling mendukung maupun berbeda pandangan, terutama terkait posisi politik mereka terhadap rezim Orde Baru.

Berbeda dengan Kelompok Widjojo yang lebih berfokus pada masalah teknokratik dalam tatakelola pemerintahan serta tuntutan untuk segera mengintegrasikan diri dengan pasar bebas, maupun kelompok CSIS yang menginginkan kapitalisme yang dipimpin negara, pada masa yang hampir bersamaan muncul kritik yang tajam dari pemimpin gerakan mahasiswa. Pada awal 1970-an, gerakan mahasiswa telah tumbuh subur di sejumlah kampus terkemuka di Jawa. Gerakan ini dipimpin oleh sejumlah intelektual yang dikenal dengan aktivismenya. Walaupun jumlahnya tidak banyak dan relatif menyebar, intelektual jenis ini dikenal juga sebagai intelektual publik karena sikap kritisnya dan secara aktif terlibat dalam isu demokratisasi, penegakan hak dan kebebasan.

Kritisisme intelektual publik tersebut diwujudkan dalam bentuk resistensi terhadap gagasan dan perlawanan atas kebijakan Orde Baru yang membuka diri pada pasar bebas serta mengabdi pada lembaga keuangan internasional. Resistensi itu berkembang dalam corak yang beragam, yakni: dalam bentuk gagasan yang dikembangkan dalam diskusi publik dan opini media sedangkan dalam bentuk

42

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yang lebih massif melalui aktivisme jalanan yang digerakkan oleh intelektual publik bersama dengan aktivis dari gerakan lainnya seperti gerakan mahasiswa, gerakan perempuan, aktivis ORNOP serta gerakan sosial lainnya.

Kekuatan kapitalisme internasional dan Orde Baru adalah satu paket dari pilihan kebijakan berorientasi keluar yang dijalankan Orde Baru pada dekade pertama pemerintahannya (Mas’oed, 1989:95).16 Pilihan untuk menjalankan kebijakan berorientasi keluar ini tak lepas dari ambisi Suharto untuk membangun pertumbuhan ekonomi. Mapannya kekuatan kapitalisme internasional ini diperkukuh dengan kuatnya pengaruh luar negeri (baca: Amerika) di Indonesia yang dipengaruhi oleh pikiran Amerika yang dibawa oleh teknokrat yang pernah bersekolah di Amerika (baca: University Kalifornia, Berkeley). Aliansi teknokrat dan militer menjadi satu blok kekuasaan negara yang berbagi peran sebagai panglima ekonomi dan panglima stabilitas keamanan sosial politik.

Upaya untuk mengikat legitimasi publik melalui mendorong pertumbuhan ekonomi sebagai sarana mengikat legitimasi publik dilengkapi dengan pelaksanaan pemilu tahun 1971. Pemilu pertama Orde Baru yang digerakkan melalui mobilisasi massa besar-besaran melalui kekuatan birokrat dan militer ini berujung pada kemenangan mutlak golkar dibandingkan partai-partai lawannya.

Konsolidasi kekuatan negara melalui pemilu yang tidak demokratis menuai

16 Kebijakan berorientasi keluar dicirikan: (1). Pendekatan stabilitas drastic (shock treatment approach) untuk mengurangi inflasi secepat mungkin, (2). Pro bisnis yang “efisien”, (3). Perusahaan swasta sebagai unit ekonomi dominan dalam system pasar bebas, (4). Sangat menggantungkan diri pada modal asing selama stabilisasi dan tahap awal pembangunan, (5). Penekanan pada sector produksi primer dipandang penting sebagai jalan pintas untuk mengakumulasi modal selama tahap awal pembangunan, (6). Peranan daerah dalam ekonomi tidak otonom.

43

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

perdebatan kritik dan perlawanan dari golongan muda dengan gerakan kultural bernama Golongan Putih (Golput).

Deklarasi Golput dilakukan pada 28 mei 1971, pada momentum tersebut

Arief Budiman menyatakan dengan tegas alasan dan tujuan pendirian Golput ketidakpuasan atas diundangkannya UU pemulu tahun 1969 yang dianggap tidak demokratis, kekecewaan terhadap Golkar yang berusaha memenangkan pemilu dengan pengerahan aparatus negara (ABRI dan Birokrasi) dan dengan cara-cara tidak demokratis. Selain Arief Budiman, eksponen gerakan Golput antara lain:

Asmara Nababan, Imam Waluyo, Marsillam Simandjutak, Adnan Buyung

Nasution, Husain Umar, Julius Usman.

Gerakan kultural generasi muda ini mendapat reaksi yang berlebihan dari aparatur negara. Salah satunya dari Pangkopkamtib dengan mengeluarkan keputusan yang menganggap Golput sebagai ”organisasi terlarang”. Tiga orang eksponen Golput, yakni Arief Budiman, Julius Usman dan Imam Waluyo kemudian diinterogasi oleh Komdak Metro Jaya. Begitu juga diskusi, demonstrasi dan penyebaran pamflet yang dilakukan oleh Golput mengalami pemblokiran, pencekalan dan pembubaran oleh aparat keamanan. Namun gerakan ini secara signifikan memberi dinamika kritik terhadap Orde Baru, hal tersebut tidak lepas dari jasa dua koran yang secara rutin menyiarkan kabar-kabar aksi dari

Golongan Putih. Kedua koran tersebut adalah harian Kami yang dipimpin oleh

Nono Anwar Makarim dan koran Sinar Harapan dengan pimpinan editor

Aristides Katoppo, keduanya sahabat dekat Arief Budiman.

44

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Selain menyorot praktik pemilu yang tidak demokratis, golongan muda juga melakukan kritik atas rencana pembangunan taman miniatur Indonesia yang digagas oleh Tien Suharto. Proyek mercuar ini menyerap anggaran hingga 10,5

M, dengan anggaran bersumber dari pinjaman dalam dan luar negeri. Proyek yang ingin meniru disneyland di Amerika ini jelas ditentang oleh Golongan Muda dengan alasan pemborosan keuangan negara untuk pryek-proyek yang tidak membawa kemanfaatan langsung bagi rakyat , sementara saat itu keuangan negara dan perekonomian rakyat dalam kondisi yang memprihatinkan. Golongan muda yang memprotes ini berasal dari beberapa organisasi ekstra kampus serta kelompok penekan dari bebepa kota di Indonesia. Sejumlah golongan muda yang menjadi penganggas gerakan Golput juga terlibat dalam aksi protes anti Taman

Mini Indonesia Indah. Aksi-aksi gerakan anti TMII ini pada 7 Januari 1972 direspon Pangkopkamtib dengan mengeluarkan larangan aksi protes massa dan parlemen jalanan.

Kecaman keras gerakan mahasiswa sebagai mana diarahkan terhadap rencana pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), mega proyek ini dianggap oleh gerakan mahasiswa sebagai proyek irasional yang menyedot anggaran negara secara besar-besaran namun tidak merangsang produksi dan kemakmuran rakyat.

Sebuah demonstrasi yang dilakukan di daerah Matraman, Jakarta, pada tahun

1971 berujung dengan serangan gang paramiliter yang mengakibatkan beberapa aktivis gerakan mahasiswa luka-luka terkena bacokan golok.17 Selanjutnya, Arief

17 Lebih lanjut mengenai peristiwa penyerangan gang paramiliter di Matraman Raya bisa dilihat dalam Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis dalam Harian Indonesia Raya, Seri 2, 1997: 426-427, tanggal 19 january 1972, editor: Atmakusumah dan Wibisono. Gerakan mahasiswa yang diserang oleh gang paramiliter justru dituduh oleh Jendral Soemitro (Panglima Kopkamtib dan

45

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Budiman, salah satu pimpinan demonstran bersama dengan 3 tokoh gerakan mahasiswa lainnya (Jusuf A.R., Fairus B., H. Princen) ”diamankan” oleh

Kopkamtib sebagai akibat demonstrasi menentang proyek TMII (Budiman,1982:

8-9).

Ketika demonstrasi jalanan dihantam dengan kekuatan paramiliter, kondisi yang sedikit longgar terjadi di dunia kampus. Meski kampus sarat dengan larangan bicara politik, namun hal tersebut tidak menghalangi para aktivis mahasiswa untuk bicara tentang ekonomi. Kelompok mahasiswa yang digerakkan oleh komitmen moral bertemu dengan sejumlah intelektual kritis dari generasi yang lebih tua, antara lain: Hatta, Sudjatmoko, Mochtar Lubis dan Sarbini dalam diskusi pemikiran dan situasi nasional di kampus-kampus. Kelompok yang lebih tua berperan sebagai pembicara sedangkan generasi yang lebih muda dengan gairah berfikir kritis mencoba menyusun siasat-siasat praktis untuk menghadapi rezim. Diskusi-diskusi di kampus bak kawah candradimuka yang menempa kematangan intelektual, kritisisme dan aktivisme menjadi keberanian untuk menyuarakan dan memperjuangkan sesuatu yang dianggap benar. Setelah demontrasi menentang pembangunan TMII berhasil diredam secara represif oleh rezim Soeharto, gerakan mahasiswa kembali menemukan momentum perlawanan pada Januari 1974, saat kunjungan Perdana Menteri Tanaka dari Jepang. Tanggal

14 Januari 1974, dua hari setelah kunjungan Perdana Menteri Tanaka, protes mahasiswa dan masyarakat mengalir deras memenuhi jalan-jalan di Jakarta.

wakil Panglima ABRI) sengaja menggunakan gang pemuda yang lain untuk menembaki dan membelati mereka supaya mereka menjadi martelaar (korban syahid). Mochtar Lubis dalam tajuk rencananya mengecam tuduhan Jendera Sumitro dengan mengatakan bahwa mahasiswa Indonesia tidak sebodoh itu serta tidak meyakini semangat harakiri ada dalam tubuh pemuda pemrotes proyek pembangunan TMII.

46

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Demonstrasi menentang modal Jepang inipun berakhir dengan tragedi kemanusiaan yang menyisakan luka yang dalam atas meninggalnya 9 orang dan ratusan orang luka berat. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai peristiwa

”Malari” atau malapetaka lima belas Januari.18

Paska peristiwa Malari, Soeharto nampak memperhitungkan sungguh- sungguh kritik dari kalangan intelektual kritis, terutama dari gerakan mahasiswa dengan memberlakukan beberapa kebijakan baru yang kental dengan elemen proteksi dan berpihak pada ”golongan pribumi”. Pilihan kebijakan ini jelas bertentangan dengan gagasan kelompok Widjojo. Namun logika politik nampaknya mengharuskan kelompok Widjojo menekan ”hasrat” untuk mengimplementasikan kebijakan pasar bebas yang sepenuh hati. Pada sisi yang lain, peristiwa Malari menjadi titik serangan balik terhadap gerakan mahasiswa.

Di samping represi kepada intelektual dan aktivis yang bersifat fisik dengan menggunakan kekuatan militer dan paramiliter, Suharto juga melakukan represi halus melalui kooptasi perguruan tinggi. Pada tahun 1978, ketika Daud Jusuf menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dia mengeluarkan kebijakan

Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK/BKK) yang membatasi gerak mahasiswa di Kampus untuk secara bebas menggunakan mimbar akademik.19 Pembatasan mimbar akademik ini mengakibatkan mahasiswa dan dosen mengalami keterputusan dengan isu-isu nyata dalam masyarakat. Namun justru langkah Orde

Baru yang memformalisasi kegiatan mahasiswa menuai perlawanan melalui

18 Lebih jauh mengenai peristiwa Malari bisa membaca buku Eep Saefulloh Fatah “Konflik, Manipulasi dan Kebangkrutan Orde Baru, Burung Merak Pers, Jakarta: 2010 19 Untuk mengontrol gerak intelektual dan aktivis gerakan mahasiswa, Orde Baru menggunakan beberapa tangannya untuk meng-kooptasi kampus. Bukan hanya menteri pendidikan dan kebudayaan namun juga menteri penerangan dan kopkamtib.

47

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

berjamurnya kegiatan diskusi mahasiswa. Melalui kegiatan diskusi ini terjadi pertemuan dan dialog gagasan antara intelektual publik dengan rekan-rekan muda mereka di kampus. Walaupun demikian, masuknya kaki tangan Kopkamtib ke dalam kampus mengakibatkan diskusi yang terjadi di kampus harus dilakukan dengan sangat berhati-hati, cenderung menghindari diskusi mengenai kebijakan ekonomi Suharto, dan lebih menekankan kritik terhadap kebijakan politik Suharto.

Otoritarianisme Suharto yang telah menggurita melalui kaki tangan militer dan birokrasi represif mengakibatkan Intelektualisme publik terbatasi untuk tumbuh subur. Karakter intelektual yang dicirikan kekebasan berfikir merindukan ruang demokratik di mana mereka bebas untuk membaca, menulis dan menyebarkan gagasan secara terbuka. Situasi sosiologis dan psikologis yang tidak nyaman dan tenang sebagai intelektual pada tahun 1970-1980 inilah yang menjadi faktor pendorong bagi sejumlah intelektual dan aktivis untuk menjajaki sebuah ruang yang lebih demokratis di luar Indonesia. Dan tawaran beasiswa dari

Amerika memungkinkan untuk itu.

48

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB III

INTELEKTUAL DI TANAH ASING1

Dalam bab sebelumnya telah dibahas bagaimana beasiswa digunakan sebagai alat hegemoni Amerika atas Indonesia melalui penciptaan intelektual yang dikemudian hari berperan besar mengatur strategi pembangunan ekonomi Orde

Baru. Di antara Amerika dan Orde Baru terjadi persekutuan yang saling menguntungkan, di tengah-tengahnya terdapat teknokrat alumnus pendidikan

Amerika yang memperoleh keistimewaan dan legitimasi ekonomi politik dari

Orde Baru, sekaligus menerima apresiasi besar dari pimpinan yayasan Amerika maupun dari guru dan kolega mereka yang merupakan konsultan pembangunan

Indonesia. Dalam posisi sebaliknya, intelektual yang kritis pada kekuasaan

Suharto, dihimpit bersuara dalam mimbar akademik sekaligus tubuh dan psikisnya mengalami terror dari penguasa. Beasiswa yang diperoleh oleh Intelektual

Indonesia yang tidak tunduk pada hegemoni Orde Baru diwarnai oleh konteks sejarah intelektual Indonesia yang semacam ini.

Bab ini mepaparkan korelasi antara konteks sejarah intelektual Indonesia dengan pilihan untuk mengambil beasiswa dan perjuangan ketika bersekolah di

Amerika. Satu pertanyaan penting yang mengemuka adalah bagaimana proses para intelektual men`dapatkan beasiswa serta bagaimana mereka berdinamika dengan kehidupan akademik, sosial dan politik di Amerika?

1 Tanah Asing saya gunakan merujuk pada penggunaan kata-kata tersebut oleh Arief Budiman dalam bukunya “Pengalaman Belajar di Amerika” PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Bab ini terdiri dari 4 bagian. Bab ini diantarkan dengan penjelasan umum mengenai program beasiswa Fulbright pada tahun 1970-1990 dan siapa saja intelektual Indonesia yang menempuh beasiswa Fubright pada rentang tahun tersebut. Bagian pertama berisi kisah mengenai proses para Intelektual mendapatkan beasiswa Fulbright. Selanjutnya akan digambarkan secara umum dari kalangan mana sajakah para penerima beasiswa tersebut. Bagian kedua memaparkan bagaimana para intelektual penerima beasiswa Fulbright

(Fulbrighter) dalam berdinamika dengan kehidupan akademik, sosial dan politik di Amerika. Yang dimaksud dengan karakter akademik adalah karakter pendidikan ala Amerika, tradisi keilmuan yang berkembang di beberapa kampus besar serta tradisi “pemuridan” yang dibangun oleh sejumlah “mahaguru”.

Berbanding lurus dengan kehidupan politik Amerika yang menuntut mereka untuk mengambil sikap untuk tunduk, apatis ataukah mereka turut melakukan perlawanan melalui keterlibatan dengan gerakan sosial. Bab ini ditutup dengan bagian ketiga yang berisi analisis teori poskolonial mengenai perjalanan

Fulbrighter selama bersekolah di Amerika.

Beasiswa Fulbright merupakan magnit bagi intelektual terkemuka di negeri ini untuk bersekolah di Amerika. Semenjak 1970 beasiswa Fulbright bagi sarjana

Indonesia memprioritaskan pemberian beasiswa bagi akademisi dengan latar belakang ilmu sosial kemanusiaan. Kebijakan itu menjadi afirmasi bagi intelektual dengan latar belakang ilmu sosial kemanusiaan agar mendapatkan peluang bersekolah di Amerika. Kebijakan Fulbright bagi Indonesia itu dilatarbelakangi kondisi bahwa hingga tahun 1970 beasiswa bersekolah di

50

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Amerika dari yayasan pembangunan maupun pemerintah Amerika lebih memprioritaskan beasiswa dalam program belajar yang mendukung aktivitas pembangunan. Afirmasi tersebut tidak lepas dari peran Prof. Harsja Bachtiar, seorang alumnus Ph.D Harvard dan Prof. Parsudi Suparlan. Dalam kapaisitas sebagai pengorganisir beasiswa Fulbright, mereka berdua terlibat dalam pembicaraan dengan kedutaan Amerika di Indonesia agar beasiswa Fulbright dapat mengisi celah yang tidak mendapat perhatian dari lembaga lain.1

Usulan Harsja Bachtiar dan Parsudi Suparlan sejalan dengan misi program

Fulbright di Indonesia untuk membangun dialog dan pengertian antara Amerika dengan Indonesia. Saat itu terdapat kepercayaan dari Fulbright bahwa masalah nilai-nilai lebih mudah dipahami oleh orang-orang dengan latar belakang pendidikan sosial humaniora. Dengan penguasaan masalah nilai-nilai, diharapkan penerima beasiswa Fulbright dapat mengenalkan nilai-nilai Amerika ke Indonesia dan begitu juga sebaliknya.

Beberapa intelektual ternama Indonesia yang memiliki pengalaman sebagai penerima beasiswa Fulbright dalam rentang dekade 70 hingga akhir dekade 80, yakni: Arief Budiman, Melani Budianta, Aristides Katoppo, Amien Rais, Ahmad

Syafii Maarief, Ichlasul Amal, PM Laksono dan Juwono Sudarsono. Arief

Budiman dikenal sebagai alumnus Harvard di mana ia menyelesaikan Ph.D. di departemen Sosiologi. Melani Budianta dibiayai Fulbright untuk bersekolah di

University State of California dan Cornel, masing-masing untuk program MA dan

Ph.D. PM Laksono juga menempuh Ph.D. di Cornel. Aristides Katoppo

1 Wawancara dengan Piet Hendrarjo, Senior Program Officer Aminef untuk program Indonesia, Jakarta, 28 Juni 2010.

51

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

mendapatkan beasiswa Jurnalisme Profesional di Universitas Stanford, Ahmad

Syafii Maarief dibiayai Fubright untuk menempuh dua kali program master di dua universitas yakni Northern Illinois University dan Ohio University, sedangkan

Amien Rais menempuh program MA di Notre Dame University.

Bagian di bawah ini berusaha memotret pilihan dan strategi personal

Fulbrighter pada tahun 1970-1980-an yang merupakan intelektual publik terkemuka yang tumbuh dalam era Orde Baru. Agar pembahasan lebih mengkerucut ulasan mengenai beberapa orang alumnus yang dipandang kurang relevan hanya akan dilakukan sekilas. Penekanan pembahasan dipilih pada beberapa alumnus yakni: Arief Budiman; Melani Budianta; Aristides Katoppo; serta Ahmad Syafii Ma’arief; dan Amien Rais.

Pemilihan lima sosok intelektual publik tersebut didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut: 1. Kelima intelektual publik tersebut beasiswa pertama-nya untuk bersekolah di Amerika diperoleh dari program beasiswa

Fulbright. 2. Kelimanya memiliki latar belakang pengalaman yang cukup beragam, baik latar belakang aktivitas, profesi, maupun proses mendapatkan beasiswa hingga pengalaman yang beragam dalam berdinamika dengan kehidupan

Amerika. 3. Di Indonesia sosok-sosok tersebut dikenal sebagai intelektual yang memiliki kritik mengemuka terhadap pemerintahan Suharto. Pertimbangan ketiga tersebut bertujuan untuk mengantarkan pada bab IV yang akan menjelaskan mengenai peranan tiga intelektual publik yang mereka mainkan setelah pulang dari bersekolah di Amerika.

52

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Bab ini akan menyajikan pengalaman kelima intelektual publik dengan porsi yang berbeda-beda dengan menimbang relevansi pengalaman dengan tujuan penulisan bab ini. Secara keseluruhan bagian ini berisi kisah perjalanan para intelektual Indonesia di tanah Amerika. Tujuan pemaparan bagian ini adalah untuk menunjukkan bagaimana karakter intelektual para penerima beasiswa tersebut turut dibangun melalui dinamika dengan kehidupan sosial politik dan akademik Amerika.

A. Fulbrighter

Fulbrighter merupakan julukan bagi mereka yang bersekolah dengan beasiswa

Fulbright. Bagian ini akan menceritakan perjalanan mengenai konteks personal dan sosial politik ketika mereka bertransformasi dari intelektual kampus maupun aktivis menjadi mahasiswa yang belajar di Amerika.

1. Beasiswa Fulbright sebagai “Bunker” bagi Intelektual Aktivis

Arief Budiman merupakan salah satu intelektual publik Indonesia yang terkemuka dengan gagasannya tentang sosialisme. Ia dikenal sebagai aktivis mahasiswa, aktivis kebudayaan, penulis opini. Sebagai aktivis mahasiswa, ia adalah salah satu tokoh aktivis mahasiswa yang secara gigih melakukan protes-protes terhadap demokrasi terpimpin Sukarno. Sebagai mahasiswa yang mempercayai gagasan

Marxis, pada tahun-tahun di mana ia gigih melakukan unjuk rasa menentang

Sukarno memberinya pemahaman lain bahwa jalan sosialis haruslah diisi dengan ruh yang demokratis agar tidak terjebak pada otoritarianisme. Pada titik itulah ia mulai mempercayai demokrasi sebagai gagasan yang melengkapi ideologi

53

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sosialisme-nya. Diam-diam, ia pun mulai mengagumi Amerika sebagai negara asal gagasan demokrasi.2

Bagi Arief Budiman, harapan untuk bisa belajar demokrasi di Amerika bukan hal yang mudah untuk diperoleh. ia mulai mengusahakan mendapatkan beasiswa pada tahun 1968 setelah mendapatkan gelar sarjana Psikologi dari Universitas

Indonesia. Namun, sebagai aktivis muda yang peran-perannya mendapat sorotan rezim Orde Baru3, kegiatan Arief dalam aktivisme mengakibatkan ia tidak memiliki cukup waktu dan perhatian untuk secara aktif mengusahakan kemungkinan melanjutkan belajar ke luar negeri.

Aktivisme Arief menentang Orde Baru mengakibatkan dia sangat rentan menjadi incaran polisi, ABRI dan Kopkamtib. Berhadapan dengan kekuasaan negara Orde Baru yang otoritarian militeristik menyadarkan Arief betapa ia tidak berdaya berhadapan dengan Negara. Kehidupan privatnya pun kerap tidak tenang, karena sewaktu-waktu kekuasaan Negara dapat mencabut kebebasannya4.

Dalam suasana ditekan rezim dan kesempitan waktu untuk memperjuangkan kelanjutan belajar, Pada tahun 1971, Arief Budiman ditawari oleh Harsya

2 Wawancara dengan Arief Budiman, Salatiga 28 Juli 2010. 3 Pada tahun 1968 kegiatan Arief beragam, antara lain: menjadi wakil ketua Dewan Kesenian Jakarta, anggota Badan Sensor Film, Redaktur Majalah Sastra Horizon, Direktur Yayasan Indonesia. Selain itu dia masih terlibat dalam kegiatan mahasiswa, termasuk masih aktif berdemonstrasi untuk sejumlah isu penting (Mahasiswa Menggugat, Komite Anti Korupsi, Gerakan Anti Taman Mini Indonesia Indah, Golongan Putih, dan lain sebagainya) 4 “Diambil” oleh Kopkamtib, ditahan hingga beberapa minggu, atas perintah Kopkamtib dikeluarkan dari Badan Sensor Film hingga telpon teguran kepada pemimpin-pemimpin redaksi yang memuat tulisan Arief merupakan contoh kekuasaan Negara yang mengancamnya.

54

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Bachtiar, seorang sosiolog yang menjadi pengorganisir beasiswa Fulbright-Hays

Grant untuk mencoba mendapatkan beasiswa Fulbright5.

Tekanan demi tekanan dari rezim, semakin membesarkan semangatnya untuk belajar di Luar Negeri. Setelah mampu melewati ujian TOEFL dengan nilai

“lumayan”, atas saran dari Clifford Geertz, Arief memilih untuk mendaftar di 3 universitas besar di Amerika: Berkeley, Harvard dan Chicago. Namun, harapan

Arief Budiman untuk bersekolah di luar negeri terganjal oleh penolakan tiga universitas hebat tersebut.

Penolakan ketiga universitas tersebut tidak memberinya pilihan untuk keluar dari kondisi yang semakin terancam di negara sendiri. Beruntung dia memperoleh tawaran bekerja selama satu tahun di Prancis. Selama masa satu tahun tersebut,

Arief Budiman terus aktif berkontak dengan Institute of Internasional Education serta temannya yang bekerja di Yayasan Ford. Berkat ketekunannya membangun komunikasi dengan lembaga pengelola beasiswa tersebut, serta saran dari Harsya

Bachtiar untuk mencoba bersekolah di Amerika melalui jalur “special student”.

Harsya Bachtiar juga yang menyarankannya mengontak Profesor Seymour Martin

Lipset agar bersedia menjadi sponsor lamarannya sebagai “special student” di

Universitas Harvard. Beruntung Profesor Lipset bersedia menjadi sponsor baginya.

Arief Budiman meninggalkan Indonesia tahun 1973, tahun di mana gerakan mahasiswa dan rakyat yang kritis terhadap Suharto menguat. Harvard menjanjikan

5 Sepengetahuan Arief, beasiswa Fulbright hanya diberikan untuk dosen yang mengajar di universitas, khususnya universitas negeri. Namun karena jatah pengiriman keluar negeri sering tidak terpenuhi karena banyak mahasiswa yang tidak lulus dalam test TOEFL, Harsya Bachtiar berhasi meyakinkannya untuk mencoba mendapatkan beasiswa Fulbright-Hays Grant.

55

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kehidupan yang sama sekali baru bagi seorang Arief Budiman: sebuah kehidupan intelektual kampus, berjarak dari keterlibatan dengan aktivitas sosial politik di

Indonesia serta tentu saja jauh dari kawan-kawan aktivis gerakan yang selama ini berjuang bersamanya.6

Bagi seorang Arief Budiman, perjalanannya bersekolah di Amerika selain karena ketekunannya juga didukung oleh keberuntungan yang luar biasa. Saat itu, beasiswa Fulbright dikhususkan bagi dosen ataupun akademisi. Bagi seorang aktivis gerakan sosial politik sepertinya, berhasil menembus beasiswa Fulbright memberinya makna tambahan. Untuk sementara waktu, Arief Budiman terlepas dari ketercekaman dan ancaman represi Orde Baru

Beasiswa sebagai jalan untuk sementara terbebas dari kungkungan rezim

Orde Baru juga dialami oleh Aristides Katoppo, ia adalah seorang jurnalis senior yang secara konsisten menyuarakan kritik terhadap pemerintahan Suharto. Karir jurnalistiknya diawali tahun 1958 dengan menjadi wartawan di Harian Sinar

Harapan yang dikenal sangat kritis. Tulisan-tulisannya tajam dengan kritik terhadap kaum teknokrat yang berperan besar bagi masuknya system ekonomi pasar bebas. Tak jarang, kritiknya membuat telinga penguasa memerah.

Awal tahun 1973, Sinar Harapan mengalami ancaman prembedelan oleh

Departemen Penerangan. Ketika itu, Sinar Harapan memberitakan tentang peran

DPR yang terbatas, yakni sebagai tukang stempel Anggaran Penerimaan dan

Belanja Negara (APBN) yang disiapkan oleh beberapa menteri dan teknokrat.

6 Dua sahabat Arief yang bersekolah di Harvard, Harsya Bachtiar dan Sulaiman Sumardi telah lulus dan meninggalkan Amerika. Di sana dia memiliki beberapa kawan baik, yakni: Jujun Suriasumantri, yang berperan sebagai “lurah” kota Cambridge, Oey Mailing, Nono Anwar Makarim yang memiliki peran penting dalam proses belajar Arief di Amerika

56

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Sinar Harapan menilai APBN tersebut tidak memihak kepentingan rakyat banyak karena lebih memprioritaskan untuk memenuhi tuntutan dan prasyarat dari lembaga moneter internasional yang tergabung dalam IGGI.7

Pembredelan merupakan “hadiah” yang diberikan Orde Baru bagi pers yang dianggap terlalu kritis terhadap penguasa yang saat itu sedang gencar-gencarnya mendorong stabilitas sosial, ekonomi, dan politik. Ancaman “dimatikan” juga menyasar pekerja pers yang berani mengkritik penguasa. Ketika berita pembredelan terhadap Sinar Harapan diterima, Aristides Katoppo berada dalam posisi strategis sebagai pimpinan editor Sinar Harapan. Karena dianggap sebagai motor kritik yang tajam, Suharto memerintahkan anak buahnya untuk

“mematikan” Aristides Katoppo.

Perintah yang awalnya berarti “menamatkan riwayat” seorang Aristides

Katoppo tersebut justru ditindaklanjuti oleh anak buah Suharto dengan

“memindahkan” Aristides Katoppo keluar Indonesia. Menyusul ancaman pembredelan terhadap Sinar Harapan, Aristides Katoppo mendapat rekomendasi bahwa dirinya terpilih sebagai penerima Professional Journalist Scholarship untuk bersekolah di Universitas Stanford selama satu tahun melalui pembiayaan beasiswa Fulbright.

7 Lembaga moneter internasional tersebut yakni: Bank Dunia, IMF dan ADB serta beberapa lembaga moneter dan lembaga pembangunan internasiona yang lain. Prasyarat kredit yang diajukan oleh lembaga moneter internasional tersebut antara lain adanya proses transfer skill dan knowledge dalam pembangunan. Akibatnya Indonesia harus mengimpor alat-alat berat dari Amerika dan mendatangkan tenaga ahli/konsultan pembangunan dari Amerika, salah satunya dari Harvard. Anggaran yang digunakan untuk membeli peralatan dan membayar gaji tenaga ahli dan konsultan memakan dana pinjaman dalam jumlah yang besar. Kemanfaatan anggaran sebagian besar justru kembali ke Amerika.

57

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Pemberian beasiswa tersebut mengindikasikan terjadi peristiwa di balik layar:

Pertama, tampaknya terjadi pembicaraan rahasia antara Pangkopkamtib dengan lembaga pemberi beasiswa dari Amerika. Kedua, beasiswa dapat digunakan bukan hanya sebagai alat negara pemberi beasiswa, namun dapat digunakan sesuai kebutuhan Orde Baru. Dalam kasus ini, beasiswa dapat digunakan sebagai alat sekaligus langkah strategis dan sistematis Orde Baru untuk menjauhkan

Aristides Katoppo dari Sinar Harapan.

Didorong keinginan untuk menyelamatkan Sinar Harapan dari pembredelan, akhirnya Aristides Katoppo menerima tawaran beasiswa tersebut.8 Pandangannya tentang tawaran beasiswa tersebut sebagai berikut:

“Awalnya terus terang saja tidak terlalu senang. Saya senangnya menjadi wartawan. Teman saya banyak yang pergi ke luar negeri sebelumnya. Kemudian saya ditawari beasiswa (oleh Gustav Papanek- red)9, saya tidak mau. Tapi ini semacam keterpaksaan, menyangkut diriku dan menyangkut misi dan visi yang ada. Kalau enggak menerima tawaran beasiswa itu, akibatnya, sekian banyak orang kehilangan pekerjaan. Ya buat apa alat/mesinnya. Apakah sudah waktunya untuk mengorbankan seluruh alat perjuangan? Instrumen perjuangan juga kan ini.”10

8 Dalam wawancara Aristides Katoppo menuturkan bahwa sepuluh tahun setelah menerima beasiswa tersebut, Ia bertemu dengan anak buah Suharto tersebut. Keduanya sudah tidak lagi menjabat sebagai Pangkopkamtib dan Menteri Penerangan. Karena sudah tidak lagi berada dalam struktur, mereka terlibat pembicaraan yang akrab dengan Aristides Katoppo. Mereka menceritakan bahwa Suharto sebenarnya memerintahkan mereka untuk menamatkan riwayat Aristides Katoppo. Namun kedua anak buah Suharto tersebut mengusulkan untuk memindahkan Aristides katoppo dengan jalan menyekolahkan ke luar negeri. Usulan tersebut sebenarnya bermaksud untuk menyelamatkan Aristides Katoppo dan Sinar Harapan. Aristides Katoppo dapat menerima penjelasan tersebut bahwa kedua anak buah Suharto tersebut bermaksud baik untuk menyelamatkan dirinya dan Sinar Harapan. 9 Dalam bagian lain wawancara, nama Gustav Papanek disebut oleh Aristides Katoppo pernah menawarkan beasiswa bersekolah, namun ditolaknya dengan alasan Ia masih senang menjadi wartawan. Gustav Papanek adalah salah satu konsultan pembangunan Indonesia yang didatangkan dari Amerika. 10 Wawancara dengan Aristides Katoppo, 30 Juni 2010.

58

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Pengalaman Aristides Katoppo di atas menunjukkan bahwa bersekolah dengan beasiswa ke Amerika tidaklah selalu menjadi pilihan bagi setiap orang.

Keberangkatannya ke Amerika merupakan keadaan tanpa pilihan lain. Disatu sisi, hanya Amerika yang bersedia menyediakan dana beasiswa secara cepat pada momen politik yang tepat, di sisi yang lain tekanan otoritarianisme Orde Baru terhadap tradisi kritis pers memang mengharuskan Aristides Katoppo untuk meninggalkan Indonesia sebagai langkah strategis melindungi alat perjuangan serta dirinya.

2. Beasiswa Fulbright dan Proyek Ilmu Sosial bagi Akademisi

Melani Budianta termasuk golongan intelektual publik yang cukup beruntung.

Tidak banyak intelektual saat itu yang bisa mendapat beasiswa Fullbright dari sejak S2 hingga S3. Ia mendapatkan pendidikan Strata 1 (satu) dari Fakultas

Sastra, jurusan Sastra Inggris, Universitas Indonesia. Ia diterima di Universitas

Indonesia tahun 1973 dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1979. Setelah enam tahun menyelesaikan kuliah, dia kemudian melanjutkan karirnya sebagai asisten dosen di tempat yang sama.

Pada tahun pertama bekerja sebagai asisten dosen di Fakultas Sastra, jurusan

Sastra Inggris, Universitas Indonesia, Melani Budianta memperoleh informasi mengenai beasiswa Fulbright dari tiga dosennya, yakni Tuti Alisyahbana, Tuti

Indramalaon, dan Chris Silalahi. Ketiganya perempuan. Menurut Melani

Budianta, ketiga perempuan tersebut memiliki relasi yang dekat dengan pihak

Fulbright. Saat itu memang terdapat rintisan kerjasama kelembagaan antara

Fakultas Sastra, Universitas Indonesia dengan pihak Fulbright.

59

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Relasi kelembagaan antara Fulbright dengan Fakultas Sastra, Universitas

Indonesia tergambar dalam relasi mutualis. Dosen tamu dari Amerika yang difasilitasi Fulbright diberi kesempatan untuk mengajar di Fakultas Sastra,

Universitas Indonesia sebagai dosen tamu selama dua minggu hingga satu semester. Selain mengajar, mereka juga berperan sebagai pembina program paska sarjana American Studies yang akan didirikan di UI. Melalui para dosen tamu tersebut, akademisi muda dari UI dibukakan peluang untuk mengenal dan mencoba tawaran beasiswa dari Fulbright. Begitupun yang terjadi pada Melani

Budianta, dosen-dosen Amerika yang dikirim oleh Fulbright tersebut sangat membantunya untuk mengetahui minat pendidikan lanjutnya, menunjukkan jalan mendapatkan beasiswa, memberi rekomendasi serta menjadi pewawancara dalam seleksi beasiswa.

Pada tahun 1979, Melani Budianta mendapat beasiswa belajar program master dari Fulbright. Namun karena mengalami masalah status kewarganegaraan dan status kepegawaian, keberangkatannya ke Amerika harus ditunda hingga satu tahun. Melani Budianta adalah perempuan “keturunan” etnis Cina. Sebelum mendapatkan surat ijin belajar, Melani Budianta harus lebih dulu berbelit dengan pengurusan dokumen Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia

(SBKRI).11 Saat itu Orde Baru memberlakukan kebijakan kewarganegaraan yang diskriminatif bagi etnis Cina, salah satunya adalah dokumen SBKRI tersebut.

Hingga usia yang terbilang dewasa, bahkan telah menikah dan memiliki anak,

Melani Budianta belum memiliki SBKRI dengan alasan ia sudah merasa

11 Dokumen SBKRI merupakan salah satu kebijakan kewarganegaraan Orde Baru yang diskriminatif bagi etnis cina.

60

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

berkewarganegaraan Indonesia. Namun karena dokumen SBKRI tersebut adalah prasyarat yang harus dipenuhinya agar dapat memperoleh paspor dan mengurus surat ijin belajar, maka dengan memakan waktu yang lama akhirnya ia mengurus dokumen tersebut.12

Setelah mendapatkan SBKRI, Melani Budianta masih harus mengurus surat ijin beajar ke luar negeri dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K).

Saat itu program beasiswa Fulbright dikhususkan bagi akademisi yang telah menjadi pegawai negeri sipil, sedangkan sewaktu mendaftar beasiswa Fulbright,

Melani Budianta masih berstatus calon pegawai. Karena itu ia sulit memperoleh surat ijin belajar ke luar negeri dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Proses yang berbelit-belit dalam mengurus surat ijin belajar itu dilaluinya dengan bantuan penuh dari Chris Silalahi, dosennya yang memiliki jalur perkenalan yang luas baik dengan birokrat di departemen P dan K serta Fulbright. Maka pada tahun pada tahun 1980 surat ijin belajar ke luar negeri diperoleh Melani Budianta. Pada tahun yang sama ia berangkat bersekolah di University State of California.

Melani Budianta mengerti bahwa pemilihan jurusan yang tepat sangat mempengaruhi penilaian atas lamaran bersekolah di Amerika karena pihak

Fulbright yang akan mengirimkan aplikasinya ke Universitas yang dianggap tepat.

Ia menghitung akan lebih kecil peluang bagi seorang sarjana sastra Inggris lulusan universitas di Indonesia untuk dapat diterima dalam program master sastra Inggris di universitas yang baik di Amerika. Sementara untuk masuk langsung ke sastra

Inggris, dia harus mampu meyakinkan bahwa lulusan sastra Inggris dari

12 Wawancara dengan Melani Budianta, Desember 2009.

61

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

universitas di Indonesia memiliki tingkat kecanggihan bahasa yang tinggi sekali.

Sedangkan institusi yang mengampu sastra Inggris di Amerika terbilang “sangat mapan” sebagai bidang ilmu. Salah satu motif memilih jurusan American Studies sebagai minat studi lanjut dengan pertimbangan kebutuhan lembaga asal yang merintis program pasca sarja Kajian Wilayah Amerika,

Kendati demikian, program Pascasarjana Kajian Wilayah Amerika juga tidak lepas dari minat besar Amerika semenjak tahun 1970 terhadap kajian-kajian yang memungkinkan Intelektual dunia ke tiga, khususnya Indonesia mengenal lebih jauh mengenai Amerika dari beragam tinjauan, bukan hanya bahasa namun juga sosial, politik dan kebudayaan.13 Dengan mengenal Amerika lebih dalam, nampaknya Amerika berharap dapat lahir orang-orang Indonesia yang menjadi sekutunya dan menjadi jembatan yang memperlancar relasi kedua negara. Dengan kepentingan yang besar pada program Pascasarjana yang didirikan tahun 1980 tersebut, Amerika bersedia menanggung setengah dari biaya pengadaan program, yakni 50 juta dalam bentuk uang dan 30 juta dalam bentuk pengadaan buku-buku serta tentu saja akademisi yang dikirim langsung dari Amerika melalui program

Fulbright (Tamara, 1997:68).

Mengenai pandangannya terhadap keberadaan Kajian Wilayah Amerika,

Melani Budianta menyatakan sebagai berikut:

13 Kutipan wawancara dengan Melani Budianta, Desember 2010, “Karena UI sudah dianggap cukup kuat, mereka terus agak tidak membantu UI lagi. Mereka membantu cuma (orang-orang) daerah. UI dianggap sudah mulai tidak dikirim lagi. Dulu di setiap tahun, selalu ada yang dikirim satu. Yang terakhir itu kalau tidak salah sekitar tahun 1998. Tahun 1998/1999 itu yang terakhir sepertinya. Menjelang tahun 2000 tidak ada lagi. Karena dianggap UI sudah cukup kuat, tidak perlu dibantu lagi. Mereka membantu yang di luar. Dulu di setiap tahunnya ada dosen yang mendapat beasiswa.”

62

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

“Ini kan juga proyek.. hmm bukan proyek Amerika, tapi ini kan diprioritaskan waktu itu. Masih diprioritaskan. Sekarang tidak lagi. Jamannya sudah beda, bukan Cold War lagi. Kalau dulu kan masih masa Cold War, jadi American Studies kita tahu adalah satu proyek yang juga untuk membangun pemahaman Amerika di luar Amerika. Bagaimanapun ini political project. Artinya saya sadar itu, tapi mengapa tidak. Artinya, meskipun itu punya kepentingan politik Amerika, kepentingan luar negeri Amerika, atau apa, kita sadar akan hal itu. Karena yang kita pelajari memang macam-macam gitu yah. Kita tidak harus terhegemoni oleh political project American Studies itu. Walaupun American Studies Indonesia akhirnya, memang harus bernegosiasi dengan seperti itu. Kalau kita mendirikan program kajian Amerika bukan berarti menjadi anthek amerika kan dengan kata lain, ya kan. Tidak bisa dalam arti bahwa ketika teman-teman itu mendirikan program American Studies itu, ya kita terus menerus berupaya untuk membangun (kesadaran) itu bahwa kita adalah orang-orang yang mengkaji Amerika dari perspektif Indonesia”.

Pandangan Melani Budianta tersebut menunjukkan ia memiliki kesadaran atas konteks sejarah dan kepentingan yang melatarbelakangi bantuan Amerika dalam dunia akademik tidak terlepas dengan kepentingan Amerika dalam perang dingin. Dengan lebih banyak memperoleh intelektual yang belajar mengenai

Amerika dalam berbagai bidang kehidupan, Amerika berkemungkinan mendapatkan lebih banyak lagi intelektual yang memahami Amerika dan bersedia menjadi sekutunya. Berbagai bantuan pendidikan berupa asistensi untuk mengambangkan kajian kawasan Amerika maupun beasiswa pendidikan di

Amerika juga tidak lepas dari proyek politis Amerika untuk membangun lebih banyak lagi sekutunya dari negara yang strategis. Melani Budianta bergerak di antara kepentingannya sebagai intelektual yang terus ingin belajar dan kepentingan politik Amerika tersebut. Baginya, proyek politik sekuat apapun selalu bisa ditawar, walaupun ia sendiri mengakui pengaruhnya tidak bisa ditolak sama sekali.

63

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Berhadapan dengan pandangan orientalis terhadap kapasitas intelektual dunia ketiga, Melani Budianta memilih Jurusan American Studies sebagai cara berstrategi.14 Satu sisi mensiasati kelemahannya sebagai sarjana sastra Inggris dari dunia ketiga, di sisi yang lain memanfaatkan kepentingan Amerika pada pengembangan kajian Amerika bagi intelektual dunia ketiga. Menegosiasikan kepentingan sebagai intelektual dengan peluang yang tersedia, dengan tetap kritis dan memiliki perspektif yang kuat sebagai orang Indonesia yang belajar tentang

Amerika dan belajar di Amerika baginya merupakan salah satu cara untuk keluar dari hegemoni utuh proyek politik Amerika.

Peran besar dosen tamu yang dikirim Fulbright untuk mengajar American

Studies di Program Pascasarjana Kajian Wilayah Amerika terus berlanjut hingga

Melani Budianta hendak melanjutkan studi S3. Sebagai alumnus Amerika, Melani biasanya mendapat tugas menjadi mitra dan asisten bagi dosen tamu dari

Amerika, terlebih saat ia menjadi ketua jurusan pada program tersebut. Pada tahun

1985 hingga 1986, Fulbright mengirimkan seorang dosen dari Universitas Cornel bernama Chandra Viske saya. Dari intensitas bekerja bersama terjadi dialog dengan mereka. Chandra Viske menawarkan pada Melani Budianta untuk melanjutkan kuliah doktoral di Cornel, universitas yang paling diidam- idamkannya. Setelah sempat hampir kehilangan peluang bersekolah di Universitas

Cornel karena pihak Fulbright tidak sempat mengirimkan proposalnya, Chandra

Viske meminta Melani mengirimkan sendiri proposalnya ke Universitas Cornel.

14 Program master di bidang American Studies yang akan dimasukinya juga memberinya peluang untuk tetap belajar mengenai sastra, namun dengan perluasan kajian ke dalam bidang lain seperti politik dan sejarah. Dengan masuk ke dalam program American Studies, Melani Budianta merasa mendapat keuntungan dapat mempelajari konteks yang multi disiplin atas kajian sastra Inggris yang selama ini Ia pelajari.

64

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Akhirnya pada tahun 1988 Melani Budianta dapat bersekolah di Amerika kembali, masih dengan beasiswa Fulbright.

B. Belajar Amerika

Bersekolah di Amerika memberi peluang bagi sarjana Indonesia untuk menikmati tradisi intelektual kampus dengan ceramahnya, perpustakaannya serta diskusi- diskusi ilmiah. Namun lebih dari itu, para sarjana Indonesia berinteraksi dan merasakan secara langsung dinamika kehidupan sosial politik Amerika. Para sarjana Indonesia untuk periode yang remanen merasakan kondisi menjadi

“warga” Amerika, sedangkan pada saat yang sama mereka tetap menjadi “warga dunia ketiga” di Amerika. Kondisi ini membawa refleksi tentang demokrasi, makna kemiskinan serta ketegangan nasionalisme.

1. Tradisi Intelektual Kampus

Kampus-kampus besar di Amerika dikenal sebagai kampus di mana gagasan liberalisme ekonomi dan politik diproduksi dan di reproduksi. Kampus-kampus tersebut bahkan memiliki lembaga think-tank yang secara khusus berfokus pada pembangunan di dunia ketiga, khususnya kawasan Asia Tenggara. Sebagai contoh, keberadaan Harvard Advisory Group yang kemudian berubah menjadi

Harvard Institute for International Development (HIID), dalam masa Orde Baru

HIID memiliki peran besar dalam merancang pembangunan Indonesia. Hal tersebut menyebabkan kampus di Amerika dicurigai sebagai kepanjangan tangan pemerintah federal dan CIA untuk membangun hegemoni di Negara berkembang.

Kenyataan tersebut paradoks dengan keberadaan kampus di Amerika sebagai

65

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

penjaga tradisi moral dan keilmuan yang demokratis di mana tersedia akses bebas atas pengetahuan. Kondisi ini mendorong kampus menjadi lahan subur bagi intelektualisme di mana gagasan-gagasan yang beragam mendinamikakan pemikiran intelektual kampus. Dengan tradisi moral dan tradisi keilmuan yang demokratis, kampus di Amerika juga dipercaya mampu menjaga dirinya dari kooptasi negara yang terlalu besar. Gambaran tersebut menjadi konteks paradoks eksistensi akademik intelektual Indonesia yang belajar di Amerika dengan dukungan beasiswa Fulbright.

Menurut Arief Budiman, kampus di Amerika relatif demokratis dibandingkan kampus lain di luar Amerika, termasuk dibandingkan dengan kampus di Indonesia yang pada Orde Baru rentan dengan kooptasi negara yang sangat besar. Ia menggambarkan pengalamannya belajar di Amerika seperti merasa bekerja sendiri tanpa asistensi yang ketat dari professor maupun pembimbing akademik.15

Pengalamannya sebagai special student serta mahasiswa program doktoral di

Harvard menunjukkan bahwa peran seorang professor dalam studi di Amerika sangatlah kecil. Tugas profesor adalah memberi nilai pada makalah ataupun ujian akhir, selain juga memberikan penugasan untuk membaca buku-buku penting sesuai topik yang dikaji.

15 Selama bersekolah sebagai special student di Harvard, Arief Budiman hanya mendapatkan beasiswa dari Fulbright Hays Grant. Memasuki program PhD, beasiswa dari Fulbright Hays yang hanya mencukupi untuk 1 orang dirasa tidak cukup untuk 1 keluarga dengan 2 anak yang turut serta ke Amerika. Karenanya Arief mengontak Sudjatmoko, Selo Soemardjan dan Widjojo Nitisastro, untuk mendapatkan tambahan beasiswa dari TheYayasan Ford. Beasiswa itu kemudian disalurkan melalui Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial yang dipimpin oleh Selo Soemardjan. Pada Juni 1977, memasuki tahun ke 4 beasiswa dari theYayasan Ford tersebut diputus. Alasan informal yang disampaikan Sudjatmoko dan Selo Soemardjan adalah karena Arief Budiman terlalu lambat dama menyelesaikan studi.

66

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Pengalaman Arief Budiman tersebut merupakan pengalaman yang terasa lain dibandingkan pengalaman sejumlah intelektual Indonesia lainnya. Sebut saja kedekatan “Mafia Berkeley” dengan para gurunya seperti Prof. Nathan Kafetz dan

Prof. Gustav Papanek membawa pengaruh pada para ekonom Indonesia tersebut, terutama pada peran-peran mereka sebagai pewaris gagasan liberalisme Ekonomi

Amerika.16

Daripada melihat pengalaman Budiman ini sekadar sebagai deviasi, hemat penulis, lebih bermanfaat untuk meletakkan pengalaman Budiman sebagai sebuah runtuhan artefak yang memberi petunjuk untuk mencari pola sebaran artefak pengalaman intelektual yang memiliki kecenderungan otonom. Pola relasi professor dan mahasiswa di Harvard sebagaimana dialami Arief Budiman memang memberi kecenderungan otonom bagi mahasiswa. Namun bukan berarti tanpa perbedaan pendapat yang tak tajam antara dosen dan mahasiswa. Kondisi tersebut ia alami saat mengikuti mata kuliah sosiologi pembangunan.17 Dalam penulisan paper mengenai teori peran wanita dalam pembangunan, ia mengalami perbedaan pandangan yang cukup prinsipil dengan dua orang professor yakni:

Nathan Keyfitz dan Gustav Papanek.18Begitupun dalam disertasinya tentang persoalan ketergantungan dari Negara-negara berkembang, dengan study kasus

16 Sebagai akademisi, Harsja Bachtiar (via Tamara, 1997:28) mencatat afiliasi dengan Universitas di Amerika setidaknya berkontribusi pada usaha restrukturisasi kurikulum, metode pengajaran dan pengorganisasian fakultas. 17 Sebagai tugas akhir mata kuliah tersebut, Arief Budiman diwajibkan menuliskan paper setebal 10 halaman. Untuk paper ini Arief menuliskan teori peran wanita dalam pembangunan di mana dia harus mengetahui lebih dari 100 bahan bacaan serta di uji tiga professor. Proses penulisan paper ini memakan waktu yang lama karena selain Arief harus membaca atau paling tidak mengetahui isi dari 100 bahan bacaan tersebut. 18 Kedua Profesor tersebut adalah juga guru dari “Mafia Berkeley” yang kemudian pindah mengajar dari University California at Berkeley ke Harvard University. Gustav Papanek adalah juga konsultan untuk pembangunan di Indonesia yang tergabung dalam HIID.

67

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Chile, ia mengalami kritik yang tajam dari Thelda Schokpol, seorang ahli Marxist yang disebut Arief Budiman sebagai “agak kiri-kiri Amerika”.

Keberanian mengemukakan pendapat pribadi berdasar pengalaman Arief

Budiman merupakan kunci untuk tumbuh menjadi intelektual yang otonom.

Perbedaan pendapat dalam tradisi intelektual merupakan keniscayaan yang sangat dihormati. Meringkas pengalamannnya belajar di Harvard, Arief (1982:49) mendefinisikan sebagai “Saya merasa seperti dilempar ke sebuah toko serba ada, diberi uang dan dibiarkan saya belanja sendiri. Tidak ada yang membatasi saya mau masak makanan apa. Sayalah yang harus aktif berfikir, masakan apa yang mau saya buat untuk diri saya”.

Aristides Katoppo juga mengalami proses yang sangat longgar ketika menuntut ilmu sebagai fellow dalam bidang Jurnalisme Profesional di Universitas

Stanford.19 Statusnya sebagai fellow memang memberinya kemudahan akses sebagaimana dosen, ia bebas memasuki ruang koleksi buku. Berbeda dengan mahasiswa kebanyakan, sebagai fellow yang termasuk dalam program kursus non degree, ia tidak harus menulis karya akademik. Status sebagai fellow itu justru memberinya keistimewaan, missalkan ia boleh mengikuti program degree sebagaimana mahasiswa pada umumnya. Kewajiban yang ia miliki adalah mengikuti seminar yang diorganisir bersama-sama oleh para fellow dan sesekali menjadi mentor atau mengisi ceramah bagi mahasiswa. Program beasiswa

19 biasanya setelah bekerja 10 tahun atau 5 tahun supaya meningkatkan / mengedukasi diri melalui sabatikal entah 6 bulan, entah 3 bulan, ada yang sampai 1 tahun, akademisi yang sudah memiliki profesi biasanya 1 tahun itu.

68

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Jurnalisme Profesional tersebut diakui Aristides Katoppo sebagai program yang sangat bebas, bahkan setiap fellow berhak menentukan program mereka sendiri.20

Sebagai seorang wartawan yang dicerabut dari aktivitas kesehariannya,

Aristides Katoppo memanfaatkan kelonggaran program beasiswa tersebut untuk melakukan wawancara-wawancara dengan profesor-profesor terpandang yang ada di Amerika, terutama di Kalifornia. Sebagian besar waktunya digunakan untuk wawancara dan berdiskusi dengan profesor-profesor yang memiliki keahlian yang beragam. Hasil diskusi dengan satu professor menjadi bahan berpendapat dan mengajukan pertanyaan pada professor yang lain. Bagi Aristides Katoppo mewancarai professor-profesor yang berbeda pandangan memberi pengayaan yang tidak didapatkan di kelas. Kelemahan dalam metode ceramah di kelas tidak memberi intensitas waktu belajar yang memadai antara profesor dengan mahasiswa. Alasan lain yang ia kemukakan adalah dengan tidak mengikuti kelas ia tidak harus mengumpulkan paper dan membaca bacaan wajib yang sangat tebal.

Sebagai wartawan senior ia memiliki keahlian dalam mencari informasi serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Oleh karena itu, tak jarang profesor yang awalnya hanya memberi waktu lima belas hingga tiga puluh menit kemudian menjanjikan waktu lanjutan untuk berdiskusi karena terprovokasi oleh

20 Kutipan wawancara dengan Aristides Katoppo, Juni 2010, “Jadi saya waktu itu pertama ditawarin ada dua. Yang satu sekolah di Harvard, waktu itu namanya Neeman Fellow. Nah Neeman Fellow itu adalah untuk get carrier journalist yang sabatical di sana. Yang bisa semacam recharge diri dengan ya banyak berbagai ilmu yang ada di Harvard University. Jadi saya ditawarin itu. Tapi dikasih pilihan juga, yaitu Stanford University. Di situ yang namanya Professional Journalist itu mirip, sama lah. Nah saya memilih Stanford. Walaupun tawaran pertama adalah Neeman Fellow. Banyak orang Amerika yang geleng-geleng kepala. Kok Loe mau? misalnya begitu. Misalnya di sini, ditawari ke Unair atau ke UGM kok memilih Unpad. Tapi itu kan kebanggaan mereka. Kemudian saya menjawab, lho bukan begitu aku lebih senang di California karena mataharinya lebih.... ha...ha... Orang pada ribut, wong aku tidak peduli kok.”

69

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Aristides Katoppo. Ia merasa bahwa ilmu yang ia peroleh dari diskusi dan wawancara dengan profesor-profesor itu bobotnya melampaui kuliah di kelas.

Strategi Aristides Katoppo memanfaatkan sumber informasi yang luas di

Amerika dengan mewawancarai professor-profesor menunjukkan kualitas intelektual Indonesia yang kreatif dan penuh daya komunikasi. Supremasi

Amerika sebagai ‘pusat pengetahuan’ tidak dihadapi dengan sikap minder pendatang dari negara “sedang berkembang”, melainkan justru menantang supremasi tersebut dengan kelihaiannya bertanya dan mengemukakan pendapat.

Bagi Aristides Katoppo, proses belajar yang sama-sama di Amerika bisa menghasilkan intelektual dengan corak beragam. Hal yang penting untuk menentukan karakter intelektual adalah titik tolaknya dalam belajar di luar negeri.

Keberpihakan sebagai ciri moral intelektual tergambar sebagaimana pernyataan berikut:

“Tapi yang saya belajar di situ bahwa banyak orang banyak sources of information. Dan tentu banyak cara interpretasi dalam hal ini kan. Nah sebenarnya kan tergantung pada titik tolak. Anda mau titik tolaknya dari masyarakat miskin yang tidak punya suara, yang tidak berdaya, dan sebagainya, yang diperlakukan sebagai objek bukan sebagai subyek. Atau sebagai pemilik kekuasaan.”

Sedikit berbeda dengan pengalaman Arief Budiman bersekolah di Harvard dan Aristides Katoppo di Stanford, selama bersekolah untuk program masternya di university State of California Melani Budianta merasakan supervisor cukup berperan dalam mengarahkan studi S2. Supervisor bersama-sama dengan mahasiswa memilihkan mata kuliah yang sesuai dengan minat mahasiswa.

Sedangkan untuk studi doktoralnya di Universitas Cornel, ia merasakan

70

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

adanyanya kekebasan untuk memilih mata kuliah maupun satu tim penguji proposal serta disertasinya yang terdiri dari satu orang promotor dan empat orang co-promotor. Tentu saja peran tim ini sangat penting dalam memberi masukan untuk disertasi, namun mahasiswa memiliki otonomi untuk menentukan topiknya sendiri. Hal yang menguntungkan bagi mahasiswa adalah tim tersebut dipilihnya sendiri, mahasiswa juga yang harus mencari serta menghubungi seluruh anggota tim. Disini mahasiswa dituntut kejelian untuk mencari promotor dan co-promotor yang relevan dengan studinya.

Faktor yang mendukung terbentuknya karakter intelektual adalah luasnya sumber pengetahuan dalam bentuk buku-buku yang melimpah. Berbeda dengan sebagian besar perpustakaan di Indonesia yang memiliki koleksi terbatas dengan ruang pengab dan buku-buku yang tidak dirawat dengan baik, perpustakaan universitas besar di Amerika digambarkan sebagai surga buku. Sebagai salah satu negara pemilik koleksi buku terlengkap di dunia, Amerika Serikat memiliki koleksi buku yang luas dari segala macam aliran pemikiran dari pemikiran kiri hingga kanan.

Di perpustakaan itulah, mereka menemukan berbagai bahan bacaan untuk kuliah maupun mengembangkan pendapat pribadi dan perspektif melampaui mata kuliah yang ditawarkan oleh kampus. Harvard tempat Arief Budiman belajar memiliki koleksi yang sangat lengkap. Di perpustakaan yang selalu dikunjungi setiap hari mulai pagi hingga pukul 9 malam, ia bisa dengan mudah mengakses buku-buku dari aliran kanan hingga kiri. Yang menarik minatnya tentu saja koleksi buku-buku tentang sosialisme, marxisme yang sangat tidak mudah untuk

71

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ditemukan apalagi diakses di Indonesia. Buku-buku kiri tersebut menjadi referensinya untuk menulis tugas kuliah maupun tesis. Kekayaan bahan bacaan berupa buku-buku kiri yang bisa diakses Arief Budiman tampak dalam dua tugas kuliahnya yang kemudian dipublikasikan. Yang pertama dalam tugas kuliah mengenai teori peran wanita dalam pembangunan, ia menulis tentang pembagian kerja secara seksual yang dikemudian hari diterbitkan dan mendapat pengakuan sejumlah pihak sebagai buku Indonesia pertama yang secara sederhana, sistematis memaparkan beragam perspektif tentang peran perempuan dalam pembangunan.

Tugas yang kedua menuliskan tentang gerakan mahasiswa yang dikemudian hari ditulis ulang dalam jurnal intelektual Prisma.

Berangkat ke Amerika dalam masa di mana perang dingin belum berakhir - walaupun supremasi Amerika atas Indonesia sudah bertahta- Amien Rais memandang Amerika merupakan negara pembela status quo yakni imperialisme lama dan kapitalisme modern. Untuk mengimbangi gagasan-gagasan para pembela status quo, Amien Rais tekun mengembangkan gagasan radikal yang bersumber dari sosiologi Max Weber, Talcot Parsons, serta teologi revolusi. Begitupun Amien Rais yang semenjak di Gadjah Mada memiliki minat besar pada kajian Timur Tengah, selama kuliah MA di Notre Dame University memanfaatkan kekayaan bacaan di perpustakaan untuk membaca kajian-kajian tentang Timur Tengah. Hasil ketekunannya dalam membaca kajian-kajian Marxis dan Timur Tengah tampak dalam minatnya menuliskan tesis tentang politik luar negeri Mesir di bawah Anwar Sadat yang dekat dengan Moskwa (ketika itu Uni

Soviet) (Rais, 1998: 16-17).

72

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Di Stanford, Aristides Katoppo menikmati keistimewaan menjelajah ruang koleksi perpustakaan universitas sementara mahasiswa umumnya hanya bisa menembus ruang baca. Tentunya sebuah keistimewaan yang hanya bisa dimiliki oleh dosen. Melampaui keistimewaan mendapatkan akses hingga ke ruang koleksi buku, mendapatkan akses ke dalam bacaan yang kaya dan beragam bahkan untuk kajian-kajian tentang Indonesia merupakan sebuah keistimewaan yang tidak dapat dijumpai di Indonesia.

Kekayaan kajian Indonesia melimpah di perpustakaan-perpustakaan di kampus-kampus besar di Amerika. Universitas Cornell merupakan pusat studi

Indonesia nomor satu di Amerika pada periode tahun 1970-an, yang dilengkapi koleksi perpustakaan yang paling lengkap tentang Indonesia. Melani Budianta ketika melanjutkan studi doktoralnya di Universitas Cornell sangat menikmati kehidupan intelektual di dalam perpustakaan. Mulai jam delapan pagi hingga sore dan dilanjutkan pukul 21.00 hingga jam satu atau dua dini hari.

2. Miskin di Tanah Asing

Bersekolah di Amerika dengan membawa keluarga bukanlah pilihan yang secara ekonomi menguntungkan bagi mahasiswa Indonesia yang mendapatkan beasiswa

Fulbright.21 Beasiswa Fulbright diperuntukkan hanya bagi satu orang penerima beasiswa tanpa membiayai keluarganya, sebagaimana beasiswa lain seperti Ford dan Rockefeller. Arief Budiman dan Melani Budianta yang masing-masing membawa keluarganya, merasakan bahwa pilihan membawa keluarga ini

21 Pilihan nekad tersebut diambil dengan menimbang psikologi yang berat untuk berpisah hingga lebih dari 4 tahun dengan anak-anak dan istri/suami.

73

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

membawa mereka pada keadaan-keadaan terhimpit secara ekonomi namun memberi mereka kekayaan pengalaman sosial yang mungkin tidak dimiliki oleh mahasiswa yang bersekolah tanpa membawa keluarganya.

2.1. Kemiskinan dan Siasat Hidup Intelektual

Di Amerika, Arief Budiman mengupayakan bertahan hidup 4 orang anggota keluarganya dengan berbagai cara, uang beasiswa Fulbright tidak memadai untuk hidup keluarganya dengan standar yang baik. Istrinya, Laela Chaerani memiliki peran besar mendukung kelangsungan hidup keluarganya.22 Memasuki tahun kedua di Amerika, Arief berusaha menghubungi Sudjatmoko, Selo Sumardjan dan

Widjojo Nitisastro, menceritakan keadaannya dengan harapan ketiganya bisa membantu mendapatkan beasiswa tambahan. Beberapa waktu kemudian ia mendapatkan tawaran beasiswa Yayasan Ford yang diatur oleh Yayasan Ilmu- ilmu Sosial pimpinan Selo Sumardjan. Jumlah beasiswa tambahan dari Yayasan

Ford dua kali lipat dari beasiswa Fulbright.

Hingga 4 tahun, Arief belum juga memulai penulisan disertasinya.

Keterlambatan penyelesaian disertasi ini mengakibatkan pemberi beasiswa tambahan (TheYayasan Ford) memutuskan beasiswa pada tahun 1977.23 Yayasan

22 Ketika harga gas pemanas ruangan naik akibat naiknya minyak di pasaran dunia pada tahun 1973, Arief Budiman dan kekuarganya terpaksa mengurangi anggaran belanja agar mampu membeli gas, mereka juga mengalihkan makanan pokok dari beras menjadi kentang. Beruntung tidak lama kemudian Laela, diterima bekerja sebagai pengasuh bayi dengan gaji 1$ per jam. Pada tahun kedua setelah Arief Budiman diterima sebagai mahasiswa program Ph.D di Harvard, Laela diterima bekerja sebagai penjaga perpustaak Widener di Harvard dengan jumlah gaji yang sama besarnya dengan beasiswa Arief Budiman. 23Arief mengatakan bahwaYayasan Ford yang mengutamakan kecepatan seseorang menamatkan studinya , terpaksa menilai dirinya sebagai kasus yang gagal. Alasan lain penghentian beasiswa Ford didengar Arief dari Nono Makarim setelah pembicaraan dengan Peter Weldon, seorang pejabat Ford, yang menyatakan bahwa alas an

74

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Ford yang mengutamakan kecepatan seseorang menyelesaikan studinya menilai

Arief Budiman sebagai kasus yang gagal. Keterlambatannya menyelesaikan studi ini bersumber dari beberapa hal, antara lain: setidaknya dua kali dalam satu tahun

Arief terlibat menjadi pembicara dalam seminar dan konferensi-konferensi. Selain itu dia juga menjadi asisten untuk mengajar. Kedua aktivitas ini memang memperlambat penyelesaian studi Arief, namun Arief juga mengakui bahwa kedua aktivitas ini menjadi forum pendidikan yang menyajikan pengetahuan baru dan pengalaman mengajar.

Dalam proses mencari pekerjaan sebagai penjaga malam untuk menambal biaya hidup, Arief menerima surat dari Institute for Advanced Study untuk menjadi asisten Clifford Geertz selama satu tahun24. Di Institute ini Arief menggunakan kesempatan untuk membaca dan menuliskan lagi naskah pertama disertasinya. Dia memiliki waktu yang lapang untuk menjadi intelektual “menara gading dalam arti yang positif’, membaca dan menulis di kantor, ke perpustakaan, berdiskusi dengan anggota institute tentang macam-macam teori.

Peluang satu tahun yang diberikan oleh Geertz telah habis, namun Arief

Budiman belum juga menyelesaikan disertasinya. Artinya ia dan keluarganya setelah satu tahun ini berlalu kembali harus berhadapan dengan masalah keuangan. Ia hampir saja berfikir untuk melanjutkan lamaran sebagai penjaga malam di kampus Harvard yang belum sempat dilakoninya. Sekali lagi ia

penghentian beasiswa tersebut adalah karena makalah-makalah yang Arief tulis dianggap kurang ilmiah dan hanya punya nilai jurnalistik belaka. 24 Meski secara formal menjadi asisten Geertz, namun dalam kenyataannya Arief tidak mendapat tugas apa-apa selain mengerjakan sesuatu untuk dirinya sendiri. Menjadi asisten adalah prosedur yang diberikan Geertz untuk mengundang orang-orang yang belum menjadi PhD ke institute tersebut.

75

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

mendapat pertolongan yang tak terduga, lamarannya sebagai guru bahasa

Indonesia di kampus Universitas California Santa Cruz diterima. Walaupun ia harus bernegosiasi dengan waktu penulisan disertasi, pekerjaan tersebut ia terima

Sebagai intelektual aktivis yang dimusuhi Suharto, Arief Budiman memiliki tradisi komunikasi dan dialog yang baik dengan sejumlah intelektual baik yang berada di dalam maupun di luar kutub kekuasaan Suharto. Walaupun ia dan

Widjojo tidak memiliki hubungan dekat dan berbeda strategi dalam menghadapi

Suharto, rupanya di antara mereka terbangun solidaritas dan penghormatan atas perjuangan intelektual. Begitu juga relasinya dengan Sudjatmoko, seorang intelektual yang cukup terpandang terbangun melalui proses berdiskusi bersama.25

Sedangkan peluang yang diperoleh dari Geertz merupakan buah dari ketekunannya untuk mengirimkan makalah-makalah dan hasil tulisan semenjak ia di Indonesia, pertemuannya secara langsung dengan Geertz merupakan buah dari ketekunannya terlibat dalam konferensi-konferensi internasional di mana intelektual terpandang saling bertemu dan bertukar gagasan.

2.2. Kemiskinan dan Pembelajaran Intelektual Melani Budianta

2.2.1. Belajar Amerika dari Bawah

Berkelit dari nasib sebagai mahasiswa miskin membawa Arief Budiman pada peluang-peluang hidup baru, nasib sebagai mahasiswa miskin yang dialami

25 Arief Budiman menceritakan bahwa Ia dan Widjojo beberapa kali berdiskusi di rumah Sudjatmoko. Karenanya mereka saling tahu gagasan masing-masing. Arief Budiman dan kawan-kawan aktivis kiri berharap agar Suharto cepat dilengserkan karena otoritarianisme, kolusi dan korupsinya merajalela. Sedangkan kelompok Widjojo berpendirian lebih apolitis, bagi kelompok Widjojo yang juga tidak suka dengan gaya Suharto, lebih penting untuk menyelamatkan kondisi ekonomi rakyat yang mengalami inflasi tinggi ditengah situasi politik dan keamanan yang hancur.

76

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Melani Budianta membawa hikmah dan pengalaman multikultural yang berbeda dengan Arief Budiman. Ketika mengambil studi Master, Melani Budianta membawa keluarganya yang terdiri dari satu suami dan satu orang anak. Agar beasiswa dari Fulbright cukup untuk membiayai anak yang mulai bersekolah dan menjalankan aktivitas sehari-hari, maka ia memutuskan untuk pindah dari dormitory mahasiswa ke sebuah rumah kecil di Downtown yang biayanya jauh lebih murah.

Downtown terletak di sekitar USC yang mewah. Disebut Downtown karena kota ini telah banyak ditinggalkan oleh orang-orang kelas menengah atas. Karena semakin lama semakin bobrok, kota ini hanya ditinggali orang-orang pendatang kelas bawah, termasuk juga orang-orang kuliah yang kost di sana. Downtown merupakan kawasan yang sangat tidak aman. Di sana terdapat dua geng yakni

Geng Hispanik dan Geng Hitam yang seringkali tawuran, di antara dua gank itulah Melani dan keluarganya tinggal. Kenangan tinggal di antara suasana penuh kekerasan tergambar seperti ini

“Pernah sekali pada Natal pertama, wah kok seru ya banyak kembang api. Ternyata bukan kembang api, tapi itu tembak-tembakan di antara dua geng tersebut. Pagi-pagi, selongsongan peluru di sekitar rumah itu banyak sekali. Banyak yang dijejer-jejer, dibingkai jendela penuh dengan itu. Kami tinggal di antara dua geng itu.”

Tinggal di dalam suasana penuh miskin dan penuh kekerasan membuat

Melani Budianta merasakan suasana penuh ketakutan namun juga harus membangun empati karena mengamati dan merasakan betapa beratnya hidup sebagai orang “Amerika” yang miskin dan terpinggirkan. Ia dan keluarganya merasakan betul bagimana harus berhitung ongkos naik angkutan umum,

77

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bagaimana kesehatan keluarganya tidak dijamin, bagaimana jadi orang asing yang miskin di Amerika yang seringkali terancam kelaparan dan kekerasan. Baginya menjadi miskin di Amerika terasa jauh lebih berat daripada menjadi miskin di

Indonesia.

Namun pengalaman kerasnya hidup di Amerika membawanya pada pengalaman kajian kawasan Amerika yang kaya.26 Sebagai mahasiswa jurusan

American Studies, ia memaknai peristiwa yang terjadi di sekitarnya sebagai

America from bellow yang tak selalu ada dalam buku-buku teks yang ia baca.

2.2.2. Perseteruan dengan Anak-Anak Kaya Indonesia di USC

Tidak semua mahasiswa Indonesia belajar di Amerika dengan dukungan beasiswa. Di kampus Universitas California Santa Cruz atau State of California

(USC) terdapat banyak anak-anak elite terpandang Indonesia bersekolah. Melani

Budianta dan keluarganya pada awal kedatangan memiliki pergaulan yang baik dengan mereka. Untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia, suami Melani

Budianta (Eka Budianta) yang saat berada di Amerika diminta menjadi koresponden Tempo terinspirasi untuk menuliskan tentang peran pemuda-pemuda dan mahasiswa Indonesia di luar negeri sebagaimana yang dilakukan oleh Hatta.

Untuk melengkapi pelaporan tersebut ia mewawancara ke teman-teman di USC,

Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di USC.27

26 Pada waktu itu ada reference moon, korea selatan, penyebar agama moon easter. Sekte tersebut sedang marak melakukan syiar di kampus dan rumah-rumah mahasiswa. Bagi Melani Budianta, hal tersebut memperkaya pengalaman cultural studies. 27 USC adalah tempat mahasiswa Indonesia yang kaya-kaya. Di antaranya ada anaknya Ali Sadikin, anak-anaknya para konglomerat kuliahnya di USC atas biaya sendiri. Kehidupan anak-anak orang kaya memang betul-betul mewah, dengan mobil yang

78

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Namun apa yang dituliskan oleh suami Melani Budianta tentang peran mahasiwa tersebut, diolah lagi datanya oleh editor Tempo. Di dalam Tempo bulan

Agustus 1980 laporan itu terbit dengan fokus pada kehidupan glamour mahasiswa

Indonesia kaya di California yang bersekolah dengan dana pribadi orang tuanya yang berasal dari elite kaya. Laporan tersebut membuat mahasiswa Indonesia di

USC marah. Akibatnya Eka Budianta hampir diculik dan diinterogasi oleh mahasiswa yang jumlahnya puluhan orang. Kondisi intimidatif tersebut menimpa

Melani Budianta sekeluarga, sebagaimana tuturannya berikut:

“Mereka (mahasiswa kaya di USC) berusaha agar paspor kita jangan diperpanjang (karena mereka dekat dengan KBRI). Telpon juga diganggu. Rumah dilempar batu. Jadi kita menghadapi orang-orang kelas yang lebih tinggi. Jadi itu kita rasakan, jadi banyak pengalamannya lah. Rasanya jadi tidak betah ingin cepat pulang, karena situasinya seperti itu.”28

Sikap intimidatif yang dilakukan oleh anak-anak elit Orde Baru baik yang berasal dari kalangan elite pemerintahan maupun elite pengusaha merupakan pewarisan dari tradisi Orde Baru yang anti kritik dan selalu melakukan pembungkaman melalui tindakan intimidatif, represif. Pewarisan tradisi anti kritik tersebut bergerak lintas batas geografis, namun terus bertahan karena mereka berada pada struktur kelas atas yang memiliki kepentingan untuk menjaga kehormatan, citra diri agar posisinya sebagai bagian kelas atas terus langgeng.

sangat Amerika. Mereka hidup di tempat-tempat mewah seperti di Beverly. Karenanya dikalangan mahasiswa Indonesia USC itu sering disingkat University Choised Children. 28 Beruntung waktu itu kemarahan mahasiswa Indonesia di USC yang berasal dari kalangan kaya dapat dimediasi oleh ibu Ramadhan KH yang saat itu menjadi atase di California. Melani dan Eka Budianta memiliki kedekatan khusus dengan ibu Ramadhan KH karena persamaan minat pada masalah sastra dan kebudayaan. Namun mediasi tersebut tidak dapat menghentikan terror yang terus berlanjut selama mereka masih tinggal di USC.

79

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3. Aktivisme Fulbrighter

3.1. Aktivisme Melani Budianta

3.1.1. Kelompok Studi Mahasiswa Indonesia dan Universitas Cornel

Selain buku-buku, proses pembentukan pendapat intelektual sangat dipengaruhi oleh kelompok diskusi mahasiswa. Di Cornel dan Harvard terdapat cukup banyak mahasiswa Indonesia. Walaupun sebagian besar berasal dari kalangan pemerintahan seperti Bappenas. Ketika Melani Budianta bersekolah di Cornel, terdapat sejumlah intelektual yang secara aktif mengembangkan kelompok diskusi mahasiswa, yakni: Daniel Dakidae, PM Laksono, Hindro Samsoyo. Secara sosiologis, kampus Cornel lebih bisa membangun suasana kampung Indonesia dibandingkan ketika Melani Budianta bersekolah S2 di USC.

Secara resmi Melani Budianta memang bersekolah di jurusan sastra Inggris

Universitas Cornel dengan Sandra Vike, namun pergaulannya dengan teman- teman Indonesia yang rata-rata belajar Southeast Asia Studies memberi perspektif yang lebih luas. Kebetulan di Southeast Asia Studies diajar oleh James Siegel dan

Ben Anderson yang dikenal dengan kajian-kajiannya tentang Indonesia.

Keberadaan mereka menjadi pemacu mahasiswa Indonesia di Cornel membuat suatu pertemuan diskusi bernama 102 (One O two) atau disebut juga Brown Bag

Discussion. Diskusi rutin tentang Indonesia yang diadakan setiap Kamis, sembari makan siang dengan bekal masing-masing. Selain mendiskusikan persoalan- persoalan Indonesia mereka juga mendiskusikan soal-soal Asia Tenggara. Melani

80

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Budianta yang selama ini terbiasa dengan kajian kawasan Amerika merasa sangat senang dengan diskusi tersebut dan tertarik untuk ikut.29

Pengalaman membangun jejaring dengan sesama mahasiswa Indonesia bagi

Melani Budianta penting untuk memberi informasi mengenai perkembangan- perkembangan yang terjadi di Indonesia. Bahkan pertemanannya dengan Dhaniel

Dakidae dan PM Laksono terus bertahan setelah pulang ke Indonesia dan menjadi jejaring epistemic di mana mereka masih saling berdiskusi.

Jejaring epistemis mahasiswa Indonesia di Cornel dalam bentuk kelompok studi sangat ditunjang oleh letak rumah mereka yang berada dalam satu kompleks.

Untuk memimpin kompleks tersebut dipilih seorang lurah. Namun kelurahan tersebut akhirnya dibubarkan karena ada upaya dari sang lurah untuk menggiring mahasiwa Indonesia untuk mendukung Golkar menjelang pemilu 1991.

Perlawanan terhadap gaya mobilisasi dukungan ala Orba tersebut dilakukan karena Mahasiswa Indonesia telah terbiasa dengan tradisi kritis yang dibangun dalam kelompok diskusi. Fenomena mobilisasi suara terhadap Orba dilakukan oleh mahasiswa Indonesia karena banyak dari mereka berasal dari kalangan

29 Kutipan wawancara dengan Melani Budianta, Desember 2009, “Di sana kan bebas, saya boleh ambil kuliah macam-macam. Selain di jurusan Sastra Inggris, saya juga ambil kuliah politik, ada yang ahli bicara dari Amerika yang terkenal, Michael Canon, saya ambil kuliahnya juga. Saya juga ambil Southeast Studies walau hanya sebagai pendengar. Di kelasnya Pak Ben dan Pak James Siegel saya menjadi pendengar. Jadi saya bisa tahu tentang indonesia, tentang amerika, sastra Inggrisnya dan hal-hal lain dari situ. Di Cornel, sastra Inggrisnya tidak langsung Amerika yah. Jadi sastra-sastra yang dari British harus tahu lebih dulu. Semua test sastra Inggris juga harus saya ikuti. Jadi yang dipelajari adalah sastra Inggris murni. Tapi kemudian saya banyak mengambil kuliah-kuliah yang Amerika, ada beberapa mata kuliah. Jadi interaksi saya di dua wilayah itu, dengan teman-teman indonesia, dan ambil beberapa matakuliah sastra Inggris”.

81

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pemerintahan/birokrat yang telah terhegemoni oleh ideology Orde Baru.30

Sehingga tanpa disadari ataupun disadari mereka bergerak sebagai mesin hegemoni Orde Baru, bertindak dan berfikir tanpa kesadaran kritis mengikuti acuan ideologis Orde Baru. Salah satu peristiwa yang menunjukkan kuatnya hegemoni Orde Baru terhadap birokrat Indonesia yang bersekolah di Cornel terjadi dalam sebuah kuliah James Spiegel. Ketika Itu Spiegel seorang antropolog dari aliran kiri cultural tengah membahas karya Pramudya Ananta Toer. Seorang mahasiswa Indonesia yang berasal dari kalangan Departemen Pekerjaan Umum tidak berani memegang buku tersebut karena buku-buku karya Pramudya termasuk dalam daftar buku yang dilarang oleh Orde Baru.

Kesadaran kritis tentang Indonesia diperoleh Melani Budianta dalam kelompok studi mahasiswa. Baik dalam bentuk diskusi-diskusi tentang kondisi terkini Indonesia maupun dengan menghadapi situasi hegemonik yang diciptakan oleh birokrat yang bersekolah di Amerika yang telah menjadi aparat hegemoni

Orde Baru

3.1.2. Kritik terhadap Proyek Multikulturalisme Amerika

Akhir dekade 80-an, Amerika tengah memulai proyek multikulturalisme sebagai wacana baru yang mensubversi wacana lama tentang rasisme, diksriminasi berbasis ras, suku dan asal-usul. Sensor terbalik dilakukan terhadap tindakan- tindakan yang dicurigai mengandung unsur rasis dan diskriminatif, walaupun pada tahap awal euphoria multikulturalisme kadang terasa moralis. Kendati demikian,

30 Semisal dari kalangan PU, Bapennas, Agraria, Kesehatan/ Gizi, dan bermacam orang dari pemerintah. Umumnya mereka bukan penerima beasiswa Fulbright.

82

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

diterimanya multikulturalisme sebagai keyakinan politik yang benar ini merambah hingga ranah akademik.

Training sensitifitas ras, demonstrasi dan diskusi tentang multikulturalisme mewarnai semangat untuk menghidupkan kajian multikuturalisme di kampus.

Melani Budianta juga melibatkan diri dalam kelompok studi tentang multikultiralisme, poskolonialisme dan terlibat dalam rapat-rapat unjuk rasa mahasiswa.

Kesadaran mahasiswa untuk mendorong multikulturalisme ini tidak lepas dari sejarah sastra Inggris di Cornel yang dikenal sebagai kajian yang sangat

British, walaupun kemudian pasca 1960 terjadi perubahan mendasar dengan memasukkan kesusastraan lokal Amerika, terutama kesustraan kulit hitam.31

Ketika terjadi gerakan multikulturalisme pada tahun 1988, muatan multikultural di dalam pengajaran semakin berkembang kuat. Meningkatnya sensitifitas ras dalam pengajaran ini tidak lepas dari peran kelompok mahasiswa yang melakukan demontrasi menanggapi masalah Amerika, diskusi-diskusi tentang poskolonial, diskusi kelompok perempuan. Umumnya pegiatnya berlatar belakang Hispanic,

Afrika, dan melibatkan orang-orang asia juga. Melani Budianta sendiri merasa kawan-kawannya dalam gerakan multicultural tersebut mengikutsertakan dalam gerakan-gerakan multicultural seakan-akan dirinya adalah bagian dari multikulturalisme Amerika.

31 Pada tahun 1960 ketika kebangkitan civil right movement, mahasiswa sastra Inggris berdemo menuntut perhatian yang lebih pada kesusastraan lokal (Amerika) terutama perhatian terhadap sastra kulit hitam. Untuk memfasilitasi tuntutan tersebut akhirnya dibuka African-American Center.

83

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3.2. A rief B udiman d an P erlawanan t erhadap L embaga Think-Tank di

Harvard

Ditengah kesibukan menyelesaikan disertasi, Arief masih terlibat dalam politik praktis yang secara tidak langsung ada hubungan dengan studinya. Harvard, universitas tempat Arief belajar, melalui Harvard Institute for International

Development (HIID)32 meminta Prof Arnold Harberger, Dekan fakultas Ekonomi

Universitas Chicago untuk menjadi direktur menggantikan Lestev Gordon yang mengundurkan diri. Prof Harberger ditolak kedatangannya ke Harvard oeh mahasiswa karena perannya dalam melahirkan “Los Chicago Boys” (teknokrat ekonomi Chile lulusan Universitas Chicago). Teori-teori ekonomi kapitalis liberal yang diajarkan oleh Milton Friedman dan Harberger yang diterapkan oleh “Los

Chicago Boys” bekerjasama dengan rezim militer menjadi sumber dari malapetaka pembangunan di Chile. Di kalangan akademisi dan mahasiswa di

Amerika Serikat, pada umumnya terdapat sikap antipati yang kuat terhadap rezim militer di Chile karena dinilai tidak adil dalam menggulingkan pemerintahan marxis demokratis pimpinan Allende. Baik Friedman maupun Harberger, beberapa kali diundang ke Chile untuk memberikan nasehat tentang pembangunan ekonomi, mereka berdua dianggap terlibat dan bertanggung jawab atas malapetaka pembangunan di Chile (Budiman, 1982:63-65).

Keterlibatan dalam kegiatan menentang masuknya kaum ekonom liberal yang memiliki dosa atas kemiskinan dan kepalaran Chile terkait dengan tema

32 HIID dulu bernama Development Agency Service, pernah masuk ke Indonesia sebagai penasehat Bappenas sejak tahun 1966. Awal 80-an HIID menjadi penasehat departemen keuangan, pada pertengahan 1981 Harberger bekerja untuk HIID pada proyek pembaruan system perpajakan di Indonesia,

84

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

disertasinya tentang transisi kapitalis menuju sosialis melalui jalan demokratis di

Chile. Para aktivis mahasiswa di kampus Harvard yang mengetahui bahwa Arief

Budiman tengah melakukan penulisan disertasi tentang Chile menghubunginya.

Mereka saling bertukar informasi. Departemen Sosiologi juga menyusun surat pernyataan yang ditulis Arief Budiman bersama sejumlah teman untuk menolak kedatangan Harberger.

Dalam demonstrasi menolak Harberger, Arief Budiman selain terlibat aktif dalam demonstrasi juga menulis surat pembaca ke harian kampus The Harvard

Crimson untuk mengkritik apa yang dilakukan Harberger di Chile dan keterlibatan

HIID di Negara berkembang, khususnya Indonesia yang justru menguntungkan pengusaha, penguasa dan modal asing.33 Pada akhirnya Harberger menolak tawaran dari HIID. Namun DR. Malcom Gillis, seorang penting di HIID untuk proyek Indonesia sempat mengatakan pada Sjahrir bahwa dia marah atas tindakan

Arief. (Budiman, 1982:66).

Kegiatan politik praktis seperti ini bagi Arief Budiman penting untuk mematangkan diri sebagai manusia maupun ilmuwan. Ilmu memiliki makna emansipatoris bila tataran pikiran berpengaruh pada tindakan nyata di dalam proses sosial yang konkret. Pelibatan intelektual dalam aktivisme yang mensyaratkan keselarasan pikiran, sikap dan tindakan, dapat membuatnya

33 Arief tidak sempat terlibat hingga demonstrasi terhadap HIID selesai karena dia harus segera kembali ke Universitas California Santa Cruz, meneruskan tugas mengajar bahasa Indonesia dan menyunting disertasinya. Pada mei 1980, studi yang diawali sejak tahun 1973 diakhiri. Juli 1981 Arief dan keluarganya meninggalkan Amerika, kembali ke Indonesia.

85

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menangkap aspek-aspek dan inti masalah dan menjadi intelektual yang lebih matang.

C. Catatan penutup

Amerika yang mempesona dengan superioritas pengetahuan atas dunia, membuka pintunya bagi intelektual Indonesia yang dijuluki Fulbrighter. Memasuki sebuah peradaban asing yang molek, Fulbrighter kita tak bisa untuk menolak segala kemajuan gaya hidup dan teknologi (semisal komputer yang hingga tahun 1970 tingkat aksesibilitas di Indonesia masih sangat rendah) yang dimiliki “barat”.

Sebagai sebuah proses repetitif, konsumsi pada gaya hidup dan teknologi menjadi sebuah kebiasaan “barat” yang mereka tiru, bukan sebagai sebuah kebanggaan karena telah menjadi ‘seolah-olah “barat”’ namun sebagai bagian dari daya bertahan hidup di tengah-tengah masyarakat “barat”.

Terlibat dalam kehidupan keseharian masyarakat Amerika menjanjikan banyak pengalaman menarik yang jauh lebih kompleks dari sekadar proses adaptasi yang tak bisa disebut sebagai kepatuhan terhadap “barat”. Kendati demikian menjadi bagian dari segelintir “timur” di “barat”, Fulbrighter Indonesia di Amerika suka tidak suka harus menghadapi pandangan orientalis,34 bahkan semenjak mereka hendak berangkat ke Amerika. Bukan tidak mungkin

Fulbrighter Indonesia dalam beberapa pandangan terjebak dalam wacana orientalis berupa kekaguman pada “barat”. Namun sikap kritis intelektual menawarkan sebuah system berfikir yang selaku waspada terhadap hegemoni

34 Orientalis

86

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

‘“barat”, berupa sebuah paket sikap emansipasi intelektual dari pikiran hingga tindakan yang memungkinkan adanya resistensi dari bangsa-bangsa “timur” atas system pengetahuan “barat” yang hegemonik.

Tidak seperti peran-peran para antropolog Amerika yang datang ke Indonesia untuk menterjemahkan budaya Indonesia sebagai kebudayaan yang “eksotik,” para Fulbrighter Indonesia di Amerika berperan sebagai penerjemah budaya.

Mereka datang, memandang langsung kebudayaan “barat” yang selama ini merasa lebih memiliki klaim kebenaran atas pengetahuan “timur”. Amerika yang selama ini disebut sebagai surga demokrasi dan hak Asasi Manusia, ternyata pada tahun

1970-an pun tengah dalam proses belajar untuk berdemokrasi sebagaimana negara

“timur” yang kerap dijuluki negara demokrasi baru.

Keterlibatan para pendatang dari Indonesia di tengah-tengah masyarakat kelas menengah ke bawah Amerika memberi mereka otoritas untuk mengungkap momen-momen yang melampaui stage of authenticity dalam bentuk kemiskinan kelompok minoritas, kekerasan kelompok pinggiran, lembaga think tank yang berusaha mengontrol dunia ketiga, belum sensitifnya kurikulum pengajaran pada isu-isu minoritas, serta demokrasi liberal yang menghasilkan kemakmuran bagi dunia pertama namun menyisakan kemiskinan bagi dunia ketiga. Pada saat yang sama, para pendatang dari Indonesia tersebut bisa saja kecewa karena terkuaknya

“stage of authenticity” tersebut menggugurkan mitos “barat” yang selama ini memberi kemapanan berfikir. Di sisi lain, pendatang dari Indonesia seperti memenangkan lotre, menemukan kelemahan peradaban “barat” yang selama ini dicitrakan sebagai “superior”. Pemaknaan yang kedua membutuhkan kapasitas

87

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

berfikir dan bertindak kritis khas intelektual yang tidak mudah takhluk pada keindahan kulit ari, pemaknaan kritis tersebut merupakan upaya penjungkirbalikan kuasa pengetahuan dari tangan “barat” sekaligus sebagai sebuah upaya untuk melepas diri dari perangkap fantasi superioritas “barat” yang selama ini terepresentasikan dalam buku-buku (baik sastra maupun karya ilmiah), tayangan televisi dan siaran radio.

Berbeda dengan kehidupan sosial politik dan akademik Indonesia yang berada di bawah kontrol ketat negara. Di kampus, para Fulbrighter merasa menemukan surga yang hilang dari tanah airnya. Mereka tak perlu takut memegang buku-buku kiri, mereka bisa membaca buku apapun yang tersedia bebas, mereka tak perlu takut di’aman’kan setelah terlibat dalam demonstrasi maupun diawasi karena terlibat dalam kelompok studi dan forum-forum diskusi yang kritis pada pemerintah Indonesia maupun pemerintah Amerika. Peluang untuk menjejak “surga yang hilang” adalah sebuah hak istimewa yang dimiliki kaum intelektual, mereka tidak perlu harus membayar mahal, yang mereka harus lakukan adalah meyakinkan pemilik otoritas kunci surga bahwa mereka adalah warga ‘dunia ketiga’ yang layak bersandingan dengan masyarakat “barat”.

Kegairahan mengeksplorasi Amerika sebagai ‘surga yang hilang’ bersilih ganti dengan perasaan berisi ‘teror’ kecemasan sebagai warga asing di sebuah tempat yang baru. Teror khas orientalis tersebut yang mendorong mereka untuk memenuhi prasyarat kecakapan berbahasa, mencari jejaring pertemanan dengan sesama orang Indonesia, serta membuktikan bahwa mereka memiliki kualifikasi akademik yang baik sebagaimana kolega mereka dari Amerika.

88

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Walaupun Amerika bagi mereka bak “surga yang hilang” namun kerinduan pada tanah air membawa mereka untuk membangun jejaring pertemanan dengan sesama mahasiswa Indonesia. Dalam kasus Melani Budianta dengan mahasiswa

Indonesia dari kalangan elite di USC menunjukkan bahwa mitos konservatif tentang kelompok elite kaya di Indonesia tidak mengalami pergeseran walaupun secara fisik telah terjadi dislokasi. Sedangkan dalam komunitas Indonesia selama

Melani Budianta bersekolah di Cornel memberi ilustrasi ganda atas dua dunia yang sedang dipijaknya. Di satu kutup berupa kebebasan untuk melawan penguasa Orde Baru dalam bentuk symbol-simbol maupun mesin hegemoni-nya, di kutup yang lain berupa komunitas epistemik yang dicirikan oleh sikap kritis yang tidak dihantui ketakutan atas represi rezim. Orang-orang Indonesia yang berkumpul bersama di “barat” mendapatkan “surga yang hilang” melalui pergumulan mereka dengan komunitas akademik, kelas pinggiran Amerika, serta pergaulan dengan komunitas epistemik sesama orang Indonesia. Namun kemampuan untuk berpijak pada dua dunia tersebut juga membawa ilusi yang berbahaya akibat ketidakmendugaan atas kehadiran “penguasa tanah air” di negeri

“barat”. Di tanah asing yang merupakan “surga yang hilang” bagi intelektual

Indonesia, kehadiran kampung halaman dalam wujud sekabut apapun tidak dapat disangkal.

89

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB IV

JEJAK PERLAWANAN INTELEKTUAL PUBLIK

Bab ini menyajikan analisis dengan sampel tiga orang intelektual publik yang pernah menjalani beasiswa dari program Fulbright. Mereka bertiga adalah

Arief Budiman, Amien Rais dan Melani Budianta. Di antara beberapa intelektual publik yang pernah mendapatkan beasiswa Fulbright, mereka bertiga dipilih karena memiliki perlawanan yang khas dengan artikulasi gagasan yang mengemuka sehingga mereka ditahbiskn oleh publik sebagai pemimpin gerakan perlawanan..

Ketiga intelektual tersebut setidaknya dapat memberi penggambaran model perlawanan yang dikembangkan intelektual publik untuk dapat keluar dari hegemoni dan atau mengembangkan hegemoni tandingan.1 Sehingga bab IV ini memiliki tujuan khusus untuk menyajikan bagaimana ketiga intelektual publik tersebut membangun karir sebagai intelektual publik setelah mereka pulang dari

Amerika beserta gugatan dan perlawanan mereka terhadap Suharto dan dalam beberapa isu yang terkait dengan kepentingan Amerika.

Ketiga intelektual publik di atas dikenal dengan pemikiran, sikap dan tindakan politik yang tegas terhadap Suharto. Secara kasat mata seolah cukup mudah untuk menyebutkan bahwa mereka bertiga keluar dari hegemoni Orde Baru dan

Amerika.

1 Ketiga orang intelektual yang menjadi sampel dalam bab ini dipilih karena memiliki karakteristik sampel yang sesuai dengan tujuan penelitian. Peneliti mengakui kesulitan untuk mendapatkan database alumnus fulbright serta informasi mengenai alumni Fulbright dari Indonesia. Selain karena karakteristik yang sesuai, ketiga orang tersebut dipilih menjadi sampel karena dapat dijumpai penulis untuk dilakukan wawancara PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dari sudut sejarah dan sosiologi intelektual, penilaian semacam ini harus dianalisis lebih hati-hati. Oleh karena itu, analisis dalam bab ini akan dihubungkan dengan pembahasan dalam Bab Tiga, terkait pembelajaran akademik, sosial dan politik selama mereka bersekolah di Amerika. Dengan demikian dapat diperiksa kontribusi pendidikan di luar negeri melalui beasiswa bagi pembentukan maupun penguatan intelektualisme publik. Hal tersebutlah yang akan membedakan analisa dalam Bab Empat dengan kajian lain tentang ketiga intelektual tersebut. Sebagian besar informasi mengenai hal ini saya peroleh dari hasil wawancara dengan mereka serta ditunjang dengan autobiografi, buku-buku kajian yang mereka tulis sendiri, maupun profil tentang mereka.

Bab ini akan disusun sebagai berikut: pertama, saya akan meninjau peran yang dimainkan masing-masing intelektual publik setelah mereka kembali dari bersekolah di Amerika. Tinjauan ini tidak akan berfokus pada keseluruhan aspek kehidupan ketiga intelektual publik namun akan berfokus pada fase-fase penting gerak intelektual publik dalam berdinamika dengan kekuasaan negara baik pada struktur nasional maupun daerah. Kendati penulis menyadari bahwa fase-fase dalam proses personal tersebut nampak kurang sistematis namun menurut hemat penulis, fase tersebut dapat memberi penggambaran latar belakang peristiwa serta reaksi ideologis intelektual, sehingga menurut hemat penulis fase tersebut penting untuk mengetahui posisi ideologis intelektual tertentu. Tinjauan bagian pertama ini akan berfokus pada bagaimana pandangan, sikap dan tindakan sosial politik masing-masing intelektual memiliki korelasi dengan pengalaman dan nilai-nilai yang diperoleh selama bersekolah di Amerika. Kedua, saya akan menutup dengan

91

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sebuah analisis mengenai wacana yang dibangun dan dikontestasikan oleh intelektual publik tersebut, untuk menjelaskan apakah wacana tersebut bersejalan atau berberangan dengan ideologi Orde Baru dan Amerika. Sebagaimana tergambar dalam matriks di bawah ini:

No Tipologi Tokoh Arif Budiman Amin Rais Melani Budianta 1. Profesi Pra- Jurnalis Akademisi UGM Akademisi UI Fullbright Aktivis kebudayaan 2. Latar Belakang Cina Jawa Cina etnik 3. Posisi terhadap Aktivis anti Orde Aktivis anti Orde secara tidak Orde Lama Lama, secara tidak Lama langsung berperan langsung berperan dalam kelahiran dalam kelahiran Orde Baru Orde Baru 4. Pandangan Mendukung Kritis, sinis terhadap Moderat terhadap gagasan demokrasi demokrasi demokrasi dengan sejumlah catatan 5. Profesi pasca- Akademisi dan Akademisi, Akademisi, dan Fullbright aktivis gerakan pemimpin Ormas aktivis gerakan perlawanan rakyat Islam, dan politisi perempuan 6. Aliansi dengan - Mahasiswa - Mahasiswa HMI - Kelompok suara Masyarakat - Jurnalis - Jemaah ibu-ibu peduli - Seniman/ Muhammadiyah - Kelompok Budayawan - Mahasiswa Pro- perempuan anti - Masyarakat yang Reformasi kekerasan tergusur proyek - Partisan/ - Koalisi Perempuan pembangunan kelompok politik Indonesia (kasus Kedung Ombo)

7. Pelembagaan - Universitas - Universitas - Universitas - Media - Media - Media - Jejaring dengan - Ormas Islam - Kelompok budayawan - Ikatan Intelektual perempuan - Jejaring akar - Kelompok politik rumput

8. Strategi Oposisi - Konfrontasi - Tarik ulur diantara - Konfrontasi terhadap Orde permanen konfrontasi terbuka sporadis

92

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Baru dan kompromi

9. Wacana - Anti- -Anti- -Anti- otoritarianisme otoritarianisme otoritarianisme - Anti-militerisme -Anti-kolusi, -Anti militerisme - Anti- korupsi, nepotisme - Feminisme pembangunanisme -Anti-utang Advokasi hak-hak - Pro demokrasi -Anti-kapitalisme perempuan, anti - Anti hutang Global kekerasan (negara) -Anti Globalisasi terhadap perempuan -Reformasi/ Transisi demokrasi - Teologi Islam

A. Keberhasilan dan Kegagalan dalam Pelembagaan Wacana

Pelembagaan Pascasarjana S tudi Pembangunan dan Penetrasi R ezim Orde

Baru terhadap UKSW

Mulai tahun 1982 Arief Budiman berkarir sebagai dosen di UKSW di kota kecil Salatiga yang terletak di dekat Ibukota Jawa Tengah.1 Walaupun saat itu juga terbuka kemungkinan untuk mengajar di universitas negeri di kota Jogja maupun kembali ke almamaternya di Universitas Indonesia, Arief Budiman merasa nyaman memilih UKSW dengan pertimbangan UKSW adalah universitas kecil dengan perkembangan yang baik serta teratur dan terletak di kota kecil yang terbilang cukup jauh dari Jakarta. Rupanya Arief Budiman ingin membangun

1 Tahun 1981, sepulang belajar dari Amerika dengan ijasah doktor dibidang sosiologi dari Universitas Harvard, Arief Budiman belum memiliki pekerjaan, sementara sebelum meninggalkan Amerika ia sempat menolak tawaran menggiurkan sebagai pengajar di University California Santa Cruz. Kondisi yang ironis bagi seorang doktor lulusan Harvard. Meskipun demikian, tempaan dunia kampus selama belajar di Amerika lebih dari delapan tahun di Amerika semakin memupuk idealismenya untuk berkarir sebagai akademisi. Atas saran dari sahabatnya, Aristides Katoppo, ia mencoba menemui rektor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). Ia diminta melakukan pembicaraan atas kemungkinan-kemungkinan untuk berkarir di salah satu universitas swasta yang tengah mengalami perkembangan pesat tersebut. UKSW rupanya tak mau menyia-nyiakan kesempatan mendapatkan Doktor Sosiologi lulusan Harvard, yang hingga tahun 1981 kala itu di Indonesia hanya dua orang yakni: Arief Budiman dan Harsja Bachtiar.

93

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kehidupan sedikit berjarak dari sorotan, berbeda dengan kehidupannya di Jakarta yang dekat dengan pusat kekuasaan serta sarat intimidasi dari aparatur negara.2

Karir akademik Arief Budiman di UKSW berjalan pesat. Hal ini tidak lepas dari dukungan rektor waktu itu yakni Dr. Sutarno yang memintanya untuk langsung membentuk program Pascasarjana studi pembangunan. Kredibilitas program tersebut juga makin meningkat setelah pada pertengahan 1980 mendapat pengakuan sebagai perguruan tinggi swasta pertama yang diijinkan menyelenggarakan program Pascasarjana berakreditasi. Secara substansial popularitas UKSW sangat terdukung dengan masuknya beberapa intelelektual kritis dan mahasiswa-mahasiswa cerdas yang memiliki sejarah dalam gerakan mahasiwa tahun 1978 (Heryanto,2004:66-76).

Jabatan Arief sebagai sekretaris program Paska Sarjana Studi Pembangunan memungkinkannya untuk mengintegrasi kurikulum pendidikan di kampus tersebut dengan wacana-wacana sosial kritis dan gerakan sosial baru yang tengah bergeliat di penjuru Indonesia. Buku-buku “kiri” yang dilarang peredarannya oleh Orde

Baru dengan mudah bisa dijumpai di program studi tersebut. Tak jarang aktivis gerakan mahasiswa tahun 1974, aktivis pembebasan Timor Leste dan aktivis- aktivis pro demokrasi lainnya diundang ke kampus untuk berdiskusi. Kehidupan intelektual di kampus UKSW digambarkan Ariel Heryanto - yang saat itu menjadi staf pengajar- sebagai kampus dengan suasana dinamis dan hangat (2004: 76)

Salah satunya berkat popularitas Arief Budiman yang sering tampil mengisi kolom-kolom opini surat kabar nasional atau pendapatnya dijadikan rujukan

2 Wawancara dengan Arief Budiman, Salatiga 28 Juli 2010

94

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

wartawan, USKW sebagai kampus yang semula tidak dilihat pada kancah nasional mendapatkan sorotan. Kampus kecil yang tertata baik dengan kehidupan kampus yang hangat dan intelektual kritis yang dinamis pada akhirnya mengalami kemoyakan yang dipicu oleh perpecahan internal akibat pemilihan rektor yang tidak demokratis.

Perpecahan internal itu menghasilkan dua kelompok yang saling bertikai panjang selama dua tahun, yakni kelompok yang mendukung terpilihnya rektor yang tidak demokratis dan kelompok yang memptes rektor yang terpilih secara tidak demokratis atau disebut juga Kelompok Pro Demokrasi (KPD). Rektor baru adalah sosok pimpinan yang berbeda dengan rektor-rektor terdahulu yang memiliki visi sosial dan kekeluargaan yang erat, sosok yang lebih tercermin pada diri Liek Wilardjo, rektor yang didukung oleh kelompok kedua. Rektor baru sebagai sosok yang mendapat legitimasi dari yayasan karena memiliki kemungkinan untuk membawa kampus menjadi semacam pabrik bagi perusahaan- perusahan/industri atau lembaga pemerintah yang membutuhkan tenaga mahasiswa maupun dosen. Poyeksi kampus yang apolitis semacam itu sejalan dengan yang diharapkan oleh Orde Baru dalam kebijakan NKK/BKK-nya.

Namun rupanya seberapapun erat Orde Baru dan kelompok yang sejalan berusaha membendung jiwa-jiwa kritis mahasiswa dan dosen, kampus menyediakan titik sejarah untuk menguji keberpihakan dan nilai nilai sebagai intelektual. Negara Orde Baru yang kuat sekali mengkerangkeng kampus, tidak pernah mampu untuk membunuh benih intelektualitas publik hingga ke akar- akarnya. Tunas-tunas intelektualitas publik itu dapat tumbuh menembus keluar

95

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kerangkeng menuju masyarakat yang membutuhkan. Seperti itulah gambaran kooptasi negara Orde Baru terhadap kampus yang diharapkan mampu menghasilkan orang-orang kampus dengan kemampuan penalaran, administratif teknis tanpa kesadaran kritis, empati, kualitas kepemimpinan. Ketika NKK/BKK dijadikan dalih bagi Kopkamtib untuk mengawasi kampus sehingga kepemimpinan di dalam kampus sulit untuk subur, sejarah selalu menguji kesadaran kritis, empati dan kepemimpinan intelektual melalui peristiwa-peristiwa yang menuntut intelektual memikul tanggung jawab sosial.

Dalam mendorong demokratisasi di tingkat kampus, dan menjagai tumbuhnya jiwa-jiwa kritis mahasiswa, peran intelektual publik yang memiliki pengalaman berseteru dengan Suharto dan Orde Baru sangatlah penting. Mereka memiliki jejaring yang luas, strategi, metode dalam membangun penyadaran kritis dan mendapatkan dukungan. Sehingga tidak mengherankan bila kelompok kedua memiliki pendukung yang lebih besar, mulai dari mahasiswa, pesuruh kampus, dosen-dosen. Disamping perkuliahan, mahasiswa-mahasiswa tersebut secara sukarela melakukan aksi-aksi protes terhadap rektor baru karena terpilih secara tidak demokratis serta pada tahap selanjutnya secara otoriter memecat Arief

Budiman (Heryanto, 2004:72).

Dukungan besar juga diberikan oleh media massa kepada kelompok kedua.

Kelompok yang kedua juga lebih dikenal media karena terdapat nama-nama intelektual public yang tulisan-tulisannya cukup sering muncul di media dan terlibat dalam aktivisme sosial, di antaranya: Arief Budiman, George Junus

Aditjondro, Ariel Heryanto. Arief Budiman merupakan fenomena media.

96

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Sebagaimana paparan dimuka, ia adalah intelektual yang tekun menulis di media dan sering menjadi rujukan media sehingga popularitasnya juga mengangkat popularitas UKSW. Begitupun dalam konflik internal ini, namanya begitu sering muncul dalam pemberitaan terkait suksesi kepemimpinan universitas di daerah ini. Meskipun ia bukan pemimpin dari kelompok yang kedua, ia sering dijadikan rujukan wartawan untuk dimintai pendapatnya karena namanya paling menonjol dan dikenal di khalayak media massa. Terlebih sudah sejak lama ia memiliki kedekatan personal yang baik dengan pimpinan maupun wartawan surat kabar.

Akibat kevokalan Arief Budiman dalam menyuarakan tuntutan kelompok kedua melalui media, rektor yang baru meradang, kemudian memecatnya secara tidak hormat. Oleh rektor baru Ia dianggap mengumbar masalah internal ke publik. Perlawanan yang otoriter dari rektor baru justru menuai protes yang lebih besar lagi dari kelompok kedua. Walaupun resmi dipecat pada tahun 1994, hingga tahun 1995 Arief Budiman masih melanjutkan mengajar mahasiswanya di

UKSW, tanpa memperoleh hak-haknya sebagai dosen.3

Tindakan otoriter yang diambil rektor baru untuk membendung perlawanan memiliki kemiripan dengan tindakan yang diambil Orde Baru. Metode yang digunakan oleh rektor baru yakni: penggunaan cara-cara kekerasan untuk mengancam, pembungkaman yang dilakukan melalui pemecatan, pembatasan

3 Setelah ia dipecat sebagai dosen UKSW, Ia sempat melamar mengajar di sejumlah perguruan tinggi swasta di Jogja dan Jateng. Salah satunya diterima sebagai pengajar di Universitas Sanata Dharma, namun tidak berselang hari tawaran ini dibatalkan oleh pimpinan universitas, tentu dengan segenap permintaan maaf, penyesalan dan rasa sungkan terhadap Arief Budiman. Namun ia dapat memaklumi alasan pimpinan Universitas Sanata Dharma bahwa Ketika itu Universitas Sanata Dharma telah memproses akreditasi, keberadaan Arief Budiman sebagai tenaga pengajar dikhawatirkan akan menghambat proses akreditasi tersebut (wawancara dengan Arief Budiman, Salatiga, 28 Juli 2010)

97

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

akses, propaganda negative dan stigmatisasi terhadap aktor-aktor perlawanan merupakan metode yang sering dilakukan Orde Baru untuk membungkam lawan- lawan politiknya. Tindakan represif rezim otoriter kolonial dan paska kolonial justru semakin mengukuhkan mitos intelektual sebagai sosok yang dihormati karena kekuasaan moralnya.

Pelembagaan Muhammadiyah Sebagai Ruang Subversi

Karirnya dijajaran Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah melesat bak anak panah. Diawali dengan menjadi Ketua Majelis Tabligh pada tahun 1985, lima tahun kemudian ia terpilih sebagai wakil ketua PP melalui muktamar

Muhammadiyah ke 42 di Yogyakarta. Tahun 1994, ketua PP Muhammadiyah

Azhar meninggal, ketika itu Amien Rais didapuk untuk menggantikannya hingga diadakan muktamar ke 43 di Aceh pada pertengahan 1995. Dalam Muktamar

Aceh tersebut, Amien Rais terpilih sebagai ketua PP Muhammadiyah.

Tahun 1993, pada waktu tanwir Muhammadiyah di Surabaya ia menyerukan pentingnya suksesi kepemimpinan nasional. Amien Rais, menurut salah seorang pendekar Chicago, Syafii Maarif, ialah seorang dengan naluri politik yang kuat.

Walaupun gagasannya ditolak oleh peserta tanwir, namun keberaniannya untuk mencetuskan gagasan kontroversial ditengah carut marut politik nasional justru membuat nama Amien Rais semakin melambung tinggi di belantara perpolitikan bangsa (Maarif:230). Keberaniannya mengkritik rezim membuatnya sangat populer di kalangan wartawan koran maupun televisi sekaligus membuat Soeharto meradang. Tahun sesudah ia mencetuskan ide suksesi kepemimpinan nasional

98

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

hingga bergulirnya reformasi adalah tahun di mana ia menjadi primadona televisi dan koran. Menjelang muktamar ke 43 di Banda Aceh, pihak istana berusaha agar

Amien Rais tidak terpilih sebagai ketua PP Muhammadiyah. Namun upaya untuk membendung terpilihnya Amien Rais sia-sia belaka karena namanya telah begitu populer baik di dalam lingkungan Muhammadiyah maupun nasional, ketokohan tersebut tak lepas dari jasa media yang selalu mengangkat kiprahnya.

Pelembagaan Jejaring Akar Rumput

Rupanya karir sebagai akademisi tidak memupus karakter aktivis intelektual yang menjadi bagian dari hidup Arief Budiman sebelum berangkat bersekolah ke

Amerika. Walaupun telah mengajar dan tinggal di kota kecil Salatiga, ia tetap tekun menulis di media sebagaimana sebelum belajar ke Amerika. Popularitasnya sebagai pemikir kebudayaan, kesenian, sosial dan politik menjadi daya tarik wartawan koran-koran besar untuk mewawancarainya. Jarak dengan pusat pemerintahan tidak menjadi kendala bagi Arief Budiman karena pikiran-pikiran kritisnya mampu menembus jarak, salah satunya karena peran media yang begitu besar.

Tentu di luar perkiraannya ketika memutuskan bekerja di Salatiga, posisi geografisnya tersebut justru mendekatkannya dengan advokasi riil proyek pembangunan Waduk Kedung Ombo.4 Aktivitasnya di Kedung Ombo memang

4 Waduk Kedung Ombo adalah nama sebuah proyek pembangunan waduk di Kabupaten Sragen, Boyolali dan Grobogan, tidak jauh dengan Salatiga karena berada dalam propinsi yang sama yakni Jawa Tengah. Sebuah proyek mercu suar Orde Baru rentang tahun 1985-1989, yang sebagian besar didanai dengan hutang luar negeri dari Bank Dunia, Bank exim Jepang dan sebagian kecil pos dana APBN. Waduk mulai dialiri pada 14 January 1989 dengan menenggelamkan 37 desa, 7 kecamatan yang mana 5268 keluarga terpaksa kehilangan tanahnya

99

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

tidak seaktif beberapa aktivis yang terlibat langsung mengorganisir di tingkat akar rumput sebagaimana sosok agamawan dan budayawan YB.Mangunwijaya. Arief

Budiman melengkapi aktivisme gerakan dengan tulisan dan pemikirannya yang ia sebar di media internal kampus maupun surat kabar nasional. Ia beberapa kali turun ke lapangan untuk melihat langsung kondisi masyarakat serta mendengar langsung apa yang menjadi suara rakyat. Tulisan-tulisannya berupa kritik terhadap pembangunan Waduk Kedung Ombo membuatnya semakin dikenal dan ditakuti aparat Orde Baru, sebagai salah satu aktivis yang kritis terhadap proyek-proyek pembangunan Orde Baru.

Keterlibatannya dalam advokasi kasus kedung Ombo rupanya juga menginspirasi dan membuka pintu bagi mahasiswa-mahasiswanya untuk turut terlibat dalam salah satu advokasi dam terbesar di Jawa. George Junus Aditjondro dalam disertasinya menceritakan bahwa mahasiswa dari Paska Sarjana Studi

Pembangunan UKSW aktif terlibat dalam advokasi pembangunan Waduk Kedung

Ombo. Kontribusi Arief Budiman dalam pembelajaran di kampus UKSW adalah mengembangkan intelektual tradisional5 menjadi intelektual organik. Agar para intelektual tersebut menyeberang dari kelas sosial mereka, bertemu dengan intelektual organik yang secara alami dihasilkan oleh kelas-kelas yang lain.

Dengan jalan ini intelektual-intelektual muda mendapatkan pembelajaran berfikir

dengan ganti rugi tak layak dan di-bedol desa-kan ke propinsi lain, salah satunya Bengkulu. Dengan mengorbankan biaya pembangunan yang begitu besar, Suharto akhirnya meresmikan Waduk Kedung Ombo pada 18 Mei 1981. Namun advokasi yang menentang masih berlanjut. 5 Sebagaimana gagasan Gramsci, intelektual tradisional ialah intelektual yang secara tradisional lahir dari kampus yang umumnya dihasilkan oleh kelas Borjuis dan mengabdi demi kepentingan borjuasi dengan jalan mengukuhkan hegemoni negara dan kapital.

100

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kritis dan bekerja bersama intelektual organik dari kelas yang lain untuk melakukan perlawanan terhadap otoritarianisme negara dan kapitalis.

Gerakan R eformasi: Keberhasilan P elembagaan O rganisasi M assa d an

Jejaring Akar Rumput

Diawali dari keberangan Suharto atas keberanian Amien Rais mengumandangkan wacana ‘suksesi’ (tahun 1993) dan kritik terhadap pertambangan PT.Freeport dan

Busang (puncaknya awal tahun 1997) yang membuat Suharto berang, Amien Rais harus berhadapan dengan kuasa Rezim Suharto yang sewaktu-waktu dapat mencabut posisinya. Sebagai manifestasi kemarahannya, Suharto secara tidak adil mencoret namanya dari calon anggota MPR pada tahun 1997, setelah sebelumnya mendepaknya dari ICMI namun gagal menjungkalkan Amien Rais sebagai calon ketua PP Muhammadiyah dalam Muktamar 43 di Aceh.

Mengenai usahanya yang terang-terangan menghadang Amien Rais, Suharto nampaknya tidak berhitung dengan resiko peningkatan popularitas intelektual yang menjadi korban politik otoritarian. Amien Rais mengalami peningkatan popularitas dengan makin seringnya Suharto menggerakkan aparatus ideologisnya untuk menyingkirkannya dari posisi-posisi strategis di ranah publik. Wajah, pernyataan sikap dan pandangan politik Amien Rais yang pada tahun 1997 masih menjadi ketua PP Muhammadiyah makin sering menghiasi media-media nasional.

Kritik Amien Rais terhadap sistem politik Orde Baru terdiri dari dua isu besar yakni kolusi dan korupsi. Karena memilih wacana yang ketika itu tidak populer,

Amien Rais oleh Dien Syamsudin disebut sebagai “seperti tukang azan tapi

101

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

jamaahnya tidak ada yang datang”. Begitu pulalah Amien Rais mendefinisikan dirinya. Namun dibalik ketidakpopuleran isu yang dipilihnya justru menjadi sumber kharisma politik Amien Rais yang membedakannya dengan intelektual lain. Puncak popularitasnya pada tahun 1998 memang bersumber dari “suara azan” tentang kebobrokan sistem politik (kolusi dan korupsi), hingga pada perjalanan setelah berakhirnya rezim Orde Baru Ia bisa bergerak dari seorang tukang azan menjadi imam yang memimpin Majelis Permusyawaratan Rakyat

(MPR).

Kebebasan mengungkapkan pendapat dan pemikiran kritis sejatinya dapat menjadi amunisi perubahan apabila dibarengi dengan tindakan yang emansipatoris. Namun bagi intelektual kebebasan berpendapat dan pemikiran kritis ternyata memadai untuk mengganggu keadaan dan mengguncang stabilitas.

Aktivitas Amien Rais sebagai “anjing penggonggong” tidak selalu menghasilkan perubahan namun dapat mendorong distabilitas menuju perubahan. Melampaui kepercayaan diri pada kapasitas kritis intelektual publik, ia meyakini bahwa alienasi yang makin parah terhadap kelompok miskin mayoritas merupakan kondisi obyektif yang dapat memobilisasi gerakan di akar rumput (Rais,

1998:220-221). Peran intelektual sebagaimana dimainkan Amien Rais dalam merebut atau menciptakan momentum, mereka meniupkan wacana kritis ditengah momentum alienasi sehingga dapat mengguncangkan keadaan. Tanpa antagonisme yang kompleks, kritik intelektual bak monolog di alam mimpi, begitu pula tanpa wacana kritis intelektual, antagonisme yang kompleks mungkin perlu waktu yang lebih lama untuk merumuskan fokus dan tujuan gerakannya.

102

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Kebebasan mengungkapkan pendapat dan pemikiran kritis sejatinya dapat menjadi amunisi perubahan apabila dibarengi dengan tindakan yang emansipatoris. Namun bagi intelektual kebebasan berpendapat dan pemikiran kritis ternyata memadai untuk mengganggu keadaan dan mengguncang stabilitas.

Itulah fakta yang tidak disangka Amien Rais bahwa kerja sebagai “anjing penggonggong” apabila tidak dapat dikatakan menghasilkan perubahan namun dapat mendorong distabilitas menuju perubahan. Melampaui kepercayaan diri pada kapasitas kritis intelektual publik, ia meyakini bahwa alienasi yang makin parah terhadap kelompok miskin mayoritas merupakan kondisi obyektif yang dapat memobilisasi gerakan di akar rumput (Rais, 1998:220-221). Peran intelektual sebagaimana dimainkan Amien Rais dalam merebut atau menciptakan momentum, mereka meniupkan wacana kritis ditengah momentum alienasi sehingga dapat mengguncangkan keadaan. Tanpa antagonisme yang kompleks, kritik intelektual bak monolog di alam mimpi, begitu pula tanpa wacana kritis intelektual, antagonisme yang kompleks mungkin perlu waktu yang lebih lama untuk merumuskan fokus dan tujuan gerakannya.

Alienasi dan antagonisme yang diciptakan otoritarianisme Suharto makin kompleks dengan datangnya badai krisis ekonomi yang mengguncang Indonesia semenjak tahun 1996. Ketika itu digambarkan telah bermunculan kelompok- kelompok masyarakat, terutama mahasiswa yang mengorganisir diri untuk menyiapkan perlawanan terhadap Suharto. Sebagai seorang dosen, Amien Rais memiliki kedekatan dengan kampus dan dunia gerakan, terlebih Jogjakarta memiliki sejarah sebagai kantung gerakan mahasiswa disamping Jakarta.

103

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Momentum berpihak padanya, bersama dengan mahasiswa ia menggelindingkan bola reformasi dari muka tepian kampus Universitas Gadjah Mada Jogjakarta menuju pusat di Jakarta. Aksi-aksi gerakan mahasiswa sebagai kekuatan moral dan politik mulai bergelombang dengan kencang di Jogjakarta pada Januari 1998 melibatkan mahasiswa dan sejumlah tokoh nasional yang berdomisili di

Jogjakarta (La Ode ngkowe, 1998:9). Posisi Amien Rais sebagai akademisi dari

Universitas Gadjah Mada dan ketua Muhammadiyah sangat strategis baginya untuk tampil mengemuka dengan orasi yang membakar semangat yang menjadikannya bintang ditengah aksi-aksi demonstrasi mahasiswa. Dengan sejumlah kontroversi yang sebelum tahun 1998 ditampilkannya, ketika momentum reformasi terjadi ia telah tumbuh menjadi simbol perlawanan terhadap

Suharto. Dengan mendinamikakan ruang publik bertajuk “demonstrasi”, ia memperkokoh peran publik seorang intelektual kampus. Ketika mahasiswa sebagai kekuatan moral intelektual perlahan-lahan mengendurkan perannya sebagai kekuatan politik sehingga undur diri kembali ke kampus, Amien Rais masih melanjutkan menggiring bola reformasi yang ‘dititipkan’ kepadanya menuju pusat kekuasaan di Jakarta.

Mengapa Amien Rais memilih reformasi dan bukannya revolusi. Jauh hari sebelum reformasi 1998 terjadi, ia sering menyampaikan keberatannya dengan revolusi sebagai sesuatu yang sangat berbahaya dan tidak penad dengan kondisi

Indonesia.

“Jangan lupa bahwa secara alami saya bukan orang yang revolusioner. Saya tidak suka revolusi, karena ia sangat berbahaya. Tapi, kita perlu berfikir secara radikal, menyentuh akar permasalahan. Berfikir radikal itu tidak harus diikuti dengan aksi radikal. Apalagi radikal-dramatis-

104

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

revolusioner. Kalau kita tak boleh berfikir radikal dan hanya berfikir superfisial akar persoalannya tak akan pernah ketemu. Nanti kadang- kadang kita melakukan self deception (menipu diri sendiri). (Rais, 1998:205).

Revolusi tidak dipilih Amien Rais sebagai alternatif wacana bagi gerakan perlawanan terhadap otoritarianisme Suharto karena wataknya yang radikal secara tindakan. Menurutnya, revolusi merupakan proses perubahan sosial yang radikal, cepat dan menggunakan kekerasan (sic!) (Rais, 1998:96). Amien Rais sebagai salah satu eksponen angkatan 66 memiliki riwayat yang tidak menyenangkan dengan wacana revolusi yang sering digunakan Sukarno untuk membakar semangat rakyat sekaligus membuai rakyat sehingga lupa pada masalah ekonomi yang akut dengan tingkat inflasi mencapai 900 persen serta kekerasan berdarah kelompok komunis (PKI). Tentunya tuduhan kudeta terhadap PKI saat ini –setelah

Suharto tumbang dan fakta-fakta sejarah alternatif ditemukan- kita dapat memperdebatkan tuduhan tersebut, namun dalam konteks sejarah sebelum tumbangnya Suharto, penolakan atas penggunaan istilah revolusi justru menunjukkan terdapatnya pewarisan dan pengawetan ingatan tentang PKI sebagai pelaku radikalisme tindakan untuk merebut kekuasaan dengan jalan yang tidak sah. (Rais, 1998:212-213, Tempo, 4 Mei 2008)

Istilah reformasi menjadi slogan yang paling banter diucapkan oleh jutaan orang Indonesia tanpa organisasi rapi, yang menuntut pergantian pemerintahan dan perbaikan berbagai kondisi sosial yang memburuk. Berbagai kejahatan masa itu dirumuskan dalam bentuk akronim KKN yang merupakan kependekan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme. (Heryanto dan Mandal, 2004:13)

105

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Untuk menghindari watak radikal dari revolusi, Amien Rais menawarkan aternatif berupa reformasi. Reformasi menurutnya merupakan proses perubahan yang cukup cepat dan substantif, tetapi tanpa menggunakan kekerasan. Ia mempercayai bahwa dengan reformasi, bangsa Indonesia dapat mempraktikkan demokrasi yang benar (untuk membedakan dengan demokrasi palsu ala Suharto), yang dicirikan dengan terpenuhinya hak asasi rakyat, partai politik dikembangkan secara bebas dan pelaksaan pemilu yang bebas, rahasia, jujur dan adil agar aspirasi rakyat dapat dimengerti dan dilaksanakan (Rais, 1998:96-97). Dengan definisi tersebut, nampaknya Amien Rais mempersamakan momen reformasi dengan momen transisi demokrasi. Dengan menggunakan istilah reformasi,

Amien Rais berusaha membuka jalan bagi penggantian rezim di luar kudeta.

Sebagaimana istilah Samuel Huntington, transisi demokrasi membuka lebih dari satu jalan yakni kudeta, transplacement dan replacement. Artinya, kudeta pun sesungguhnya dapat menjadi jembatan bagi terbentuknya sebuah rezim baru.

Berkembangnya semangat zaman untuk melakukan reformasi merujuk pada skenario replacement yakni penggantian rezim yang berkuasa oleh oposisi secara sempurna/total. Pemaknaan reformasi sebagai jalan damai (bukan kudeta) itulah yang mendorong munculnya istilah reformasi damai. Semenjak bulan Januari hingga Mei 1998 mahasiswa meneriakkan slogan reformasi damai untuk membentengi aksi radikalisme dan anarki ala revolusi. Meskipun aksi anarki terjadi di sana-sini akibat hilangnya otoritas Suharto sehingga massa mengalami anomie, namun reformasi dinilai telah berhasil karena telah melenyapkan pemerintahan Suharto tanpa menggunakan jalan kekerasan. Sedangkan semangat

106

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

replacement yang tercermin dalam jargon reformasi total justru terjerembab pada skenario transplacement yakni perubahan setengah-setengah sebagai konsekwensi akomodasi serta pemakluman yang diberikan kepada sebagian elemen rezim lama

(La Ode Ngkowe, 1998:4-5).

Meskipun sosok Amien Rais begitu kuat menjadi simbol reformasi, sesungguhnya wacana reformasi bukanlah milik Amien Rais sendiri. Terdapat pula kelompok lain yang menggunakan istilah yang sama dengan pemaknaan yang berbeda. Dugaan Heryanto (1998:14) istilah reformasi bersumber dari pembicaraan diplomatik antara pejabat Orde Baru dengan IMF dan Bank Dunia.

Ketika itu, istilah reformasi mengacu pada syarat-syarat yang wajib dipenuhi

Suharto agar lembaga-lembaga donor bersedia memberikan paket bantuan. Syarat tersebut yakni diakhirinya korupsi, kolusi dan nepotisme. Namun gagasan yang berujung lebih radikal ini dimoderasi dalam istilah reformasi. Kekuatan istilah reformasi ini sulit untuk ditolak bahkan oleh mereka yang merasa gagasan yang radikal tersebut lebih tepat untuk disebut sebagai revolusi. Wacana reformasi digulirkan oleh banyak pihak dengan beragam kepentingannya, sehingga wacana reformasi merupakan kontestasi gagasan yang tidak tunggal. Walaupun demikian tidak dapat dipungkiri dalam kontestasi wacana tersebut memunculkan nama

Amien Rais sebagai tokoh pahlawan reformasi

Bingkai gerakan politik menjadikan intelektual sebagai subyek yang makin tidak mudah untuk dirumuskan, walaupun peran-perannya dapat dengan mudah didefinisikan melalui seperangkat harapan atas peran-perannya di ranah publik.

Kontroversi yang mengiringi sejarah intelektual tidak lepas dari harapan atas

107

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

peran intelektual dalam ranah publik dan kecurigaan-kecurigaan atas kepentingan mereka atas kekuasaan. Sebagaimana tersaji di atas, sosok Amien Rais merupakan salah satu intelektual yang memiliki kekakuan dan kelenturannya sendiri dalam berhadapan dengan kekuasaan.6 Sebagai intelektual yang berani berdekatan sekaligus menantang kekuasaan Amien Rais tak jarang harus berhadapan dengan harapan publik tentang peran intelektual ala Harry J. Benda yang mengokohkan mitos intelektual sebagai sosok “begawan suci” yang pantang bersekutu dengan kekuasaan. Sehingga ketika ia berada pada pendulum yang berhadap-hadapan menantang kekuasaan, sosoknya begitu mempesona publik sebagai sosok begawan yang kharismatik. Namun pada kutub yang lain, ketika ia berdekatan dengan kekuasaan terutama setelah Suharto berhasil dilengserkan dan ia berada pada posisi strategis sebagai ketua MPR, ia sebagaimana intelektual lainnya yang berdekatan dengan kekuasaan oleh sebagian kalangan distigma sebagai agen kekuasaan. Stigma tersebut bergerak lebih cepat dibandingkan penilaian obyektif atas kekuatan moral dan kapasitas intelektual sebagai pemikir. Stigma tersebut berpijak di atas keyakinan bahwa kekuasaan baik dalam bentuk negara maupun modal merupakan determinan atas kekuatan-kekuatan lain baik individu maupun kelompok. Kekuasaan (negara dan modal) dianggap mampu mengkooptasi intelektual -yang seharusnya mampu merawat pandangan moral dan etis- menjadi agen-agen yang selalu tunduk pada kekuasaan.

6 Walaupun Ia seringkali disebut sebagai pengkritik yang sangat vokal menantang kekuasaan Suharto, namun hingga kekuasaan rezim Suharto runtuh, dalam beberapa fragmen sejarah di mana eksistensinya terancam Ia dapat mengambil posisi mengendur sebagai strategi yang relatif aman agar dapat terus memainkan diskursus tandingan. Walaupun secara keseluruhan, titik negoisasinya tidak mengurangi kekentalan gagasan-gagasan subversifnya, misal mengenai suksesi kepemimpinan nasional

108

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Ketimbang mengukuhkan intelektual dalam stigma yang permanen, saya lebih sependapat dengan pandangan Heryanto yang melihat terdapat tarik menarik antara pandangan yang saling berlawanan tentang intelektual sebagai kelas menengah. Pada satu pendulum intelektual dinilai sebagai kelompok yang secara moral hebat dan progresif sedangkan disisi pendulum yang lain secara esensialis kelompok ini dipandang sebagai kelompok yang sesungguhnya konservatif dan sangat oportunistik. Amien Rais pun bergerak dalam pendulum tersebut, meskipun tidak dapat pula kita ingkari bahwa apresiasi tinggi yang diberikan masyarakat kepadanya dalam usahanya mendorong demokrasi sebagai elemen perlawanan otoritarianisme merupakan sebuah contoh yang menarik tentang bagaimana masyarakat Indonesia memberi penghargaan yang tinggi terhadap intelektual dibandingkan masyarakat di negara-negara “barat” (Heryanto,

2004:50-56).

Pelembagaan Je jaring d engan K elompok Perempuan d an Je jaring A kar

Rumput

Sekembalinya dari studi MA maupun Ph.D. di Amerika, Melani Budianta meneruskan mengajar di almamaternya, Jurusan Sastra Inggris, Universitas

Indonesia. Karirnya sebagai akademisi menanjak saat ia dipilih menjadi ketua jurusan Pascasarjana Kajian wilayah Amerika. Selain menjadi pengajar, ia memiliki kedekatan dengan LSM nasional yang banyak berkantor di Jakarta, di mana kerap diminta berbicara mengenai masalah-masalah perempuan. Ia juga aktif menulis di jurnal kebudayaan serta pendapatnya mengisi opini koran-koran

109

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

nasional. Perjalanan Melani Budianta dalam menggairahkan intelektualisme publik diperkokoh dengan aktivismenya bersama dengan aktivis gerakan perempuan dan aktivis gerakan lainnya dalam mendorong kejatuhan Suharto dan beberap fase sesudahnya.

Melani Budianta merupakan satu dari sedikit pemikir dan aktivis perempuan pada masa Orde Baru yang muncul ke permukaan. Gejala ini merupakan akibat dari

Ideologi “Ibuisme Negara”, yang sengaja diciptakan Orde Baru secara sistematis untuk mengandangkan perempuan dalam ranah domestik dengan peran sebagai istri dan ibu. Ideologi ini juga berisi berbagai kebijakan tentang perempuan yang sengaja ditumbuhkan sebagai penyeragaman ruang perempuan.7 Sedangkan perempuan aktivis yang bergerak di luar ruang-ruang yang diciptakan Orde Baru rentan untuk mendapat stigma “Gerwani gaya baru”. 8

Semenjak tahun 1970-an Orde Baru semakin kencang mengontrol seksualitas perempuan, sementara itu masalah keadilan dalam pembangunan nasional dan pelanggaran hak asasi yang menimpa perempuan serta masalah demokratisasi lainnya tidak mendapatkan penyikapan serius. Sementara pembangunan nasional yang menjadi slogan Orde Baru menghasilkan jurang kemiskinan yang makin tajam antara kelompok kaya dan miskin, di dalam piramida pemiskinan tersebut, perempuan dan anak-anak berada pada lapis terbawah. Ketidaksetaraan gender

7 Ini nampak antara lain dengan hadirnya banyak organisasi perempuan yang melekat dengan peran perempuan sebagai istri/ibu. Dalam deretan ini, nampak dari munculnya Dharmawanita sebagai wadah bagi istri pegawai negeri ataupun Persit Kartika Chandra bagi istri TNI, atau organisasi sejenis. 8 “Orde Baru” menggunakan politik ingatan yang direkayasa tentang gerwani untuk menakut- nakuti perempuan yang berkendak untuk melakukan aktivisme publik. Untuk mensiasatinya, gelombang feminisme yang masuk ke Indonesia pada tahun 80-an dengan berbagai wadah perjuangannya harus pelan-pelan dan menempuh cara bawah tanah dalam mengembangkan gagasan-gagasan yang liberal, radikal dan sosialis.

110

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

merupakan produk dari kolonisasi, imperialisme dan akumulasi kapital (pre capitalist societies). Kaum feminis mencurigai negara dan kekuatan modal adalah persekutuan yang menempatkan perempuan dalam posisi yang dikorbankan.

Sebagai gerakan pembebasan perempuan (women’s liberation), gerakan feminis memandang liberalisasi ekonomi (economic liberation) merupakan pandangan ekonomi yang tidak berpihak pada nasib perempuan.9

Pelanggaran hak-hak asasi perempuan juga makin akut yang ditunjukkan dengan tidak diprosesnya kasus-kasus perkosaan yang dilakukan militer terhadap perempuan di daerah operasi militer. Pengabaian dan kekerasan negara terhadap perempuan menjadi faktor pendorong gerakan perempuan untuk menggalang kekuatan dan melancarkan aksi menantang kekuatan Suharto. Apabila di tahun

80-an gerakan feminis jauh lebih hati-hati menyelindap di antara urat-akar hegemoni Orde Baru maka pada tahun 90-an, dengan makin maraknya subordinasi baru yang diciptakan Orde Baru terhadap perempuan justru menjadi lahan subur bagi tumbuhnya perlawanan gerakan perempuan (feminis).

Bersama dengan perlawanan kelompok dan gerakan sosial lainnya, sejumlah aktifis perempuan mendorong gerakan perempuan untuk terlibat dalam pengguliran reformasi. Di antara aktivis perempuan yang memiliki latar belakang pergerakan, Melani Budianta menjadi satu dari sedikit aktivis perempuan yang memiliki latar belakang sebagai akademisi. Keterlibatannya dalam gerakan perempuan massa reformasi bukan sebatas sebagai pengamat belaka sebagaimana peran yang sering dimainkan oleh akademisi, melainkan sebagai partisipan yang

9 Liberalisasi ekonomi merupakan upaya untuk membebaskan pemodal dan modal dari berbagai rintangan dan regulasi negara. Liberalisasi ekonomi didukung oleh Orde Baru pada masa-masa sebelum dan sesudah era bonanza minyak hingga saat ini.

111

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

secara aktif terlibat dalam sejumlah aksi yang penting bagi proses demokratisasi.

Ia terlibat dalam sebagian besar peristwa penting gerakan perempuan dan menjadi sebagai relawan dalam dua aksi, yakni Suara Ibu Peduli (SIP) dan Tim Relawan

Divisi Kekerasan terhadap Perempuan (TRKP).

Dalam aktivisme-nya bersama SIP, ia mengalami perjumpaan dalam aksi bersama dengan sesama perempuan aktivis dan intelektual dengan latar belakang kelas menengah atas dan perempuan-perempuan akar rumput yang berasal dari kelas menengah bawah. Perjumpaan perempuan-perempuan kelas menengah bawah dengan aktivis perempuan dan intelektual mendorong kelompok yang pertama mengenal isu jender dan feminisme, untuk kemudian bertransformasi minat dari sekedar berurusan dengan pemenuhan kebutuhan pokok hingga turut berwacana mengenai feminisme, menginternalisasinya sebagai nilai pribadi dan terlibat secara aktif dalam aktivisme perempuan (Budianta, 2004: 305-306)

Dalam aksi-aksi gerakan perempuan dapat dikatakan bukan berupa perjumpaan elit aktivis dan massa melainkan lebih kepada perjumpaan antar intelektual organik. Sebagaimana Gramsci dengan pandangan marxis-nya melihat intelektual inheren terdapat dalam setiap kelas, dalam gerakan perempuan terjadi pertemuan intelektual organik yang ada dalam setiap kelas sosial.10 Melani

Budianta, sebagai perempuan dengan latar belakang sosial dan akademik tinggi menjadi subyek yang mengalami pelompatan dari kelas asalnya dan bertranformasi dari peran-peran intelektual tradisional ke dalam peran-peran intelektual organik. Dalam gerakan sosial, ia mengalami perjumpaan dengan

10 Berbeda dengan Benda yang melihat intelektual dalam pandangan non marxis sebagai kelas tersendiri yang otonom.

112

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

intelektual-intelektual organik yang berasal baik dari kelas atas (borjuis) serta dari kelas proletariat.11

Keterlibatannya dalam aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan oleh kelompok perempuan pada tahun 1998 menggenapi kajian-kajian tentang perempuan dengan sebuah aksi bersama kelompok akar rumput. Mungkin terlalu berlebih untuk menyebut ia mengalami transformasi kepribadian sebagaimana aktivis perempuan lain yang tergabung dalam kelompok Suara Ibu Peduli, yakni: Karlina-Supelli dan

Gadis Arivia. Transformasi dimaknai sebagai titik balik para perempuan kelas menengah terpelajar yang sebelumnya terkungkung dalam dunia profesi dan domestik, melalui keterlibatan dalam organisasi dan aksi-aksi mereka memperluas geraknya dengan belajar tentang masalah sosial dan aktivisme politik (Budianta,

2004:304). Dalam kadar yang berbeda, Melani Budianta sebagai kelas menengah perkotaan di Indonesia pernah mencicipi pengalaman hidup sebagai warga yang secara ekonomi miskin ketika tinggal di Amerika untuk fase kuliah MA. Ia juga pernah mengalami fase terlibat sebagai aktivis yang menggugat proyek multikulturalisme Amerika ketika menempuh Ph.D. di Universitas Cornel. Sedikit banyak pengalaman pribadinya tersebut dapat menjadi bekal dalam menggalang aksi-aksi solidaritas bagi kelas sosial yang secara ekonomi dan politik lebih tertindas. Walaupun nama Melani Budianta ketika demonstrasi SIP tidak semeriah

11 Bagi Gramsci, setiap kelas entah bourjuis maupun proletar menghasilkan kaum intelektualnya masing-masing yakni intelektual organik dan intelektual tradisional. Ia lebih menekankan pada bagaimana intelektual harus memainkan fungsi bukan hanya dalam ranah ekonomi namun juga dalam ranah sosial politik. Dua ranah terakhir merupakan usaha yang penting untuk dilakukan agar dapat mencegah kelompok borjuis berhasil untuk mengurangi otonomi intelektual tradisional melalui penakhlukan ideologis. Apabila kelompok intelektual tradisional berhasil ditakhlukan oleh kaum borjuis maka kelompok ini akan kesulitan untuk melahirkan intelektual organiknya sendiri.

113

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

nama kedua aktivis perempuan tersebut, aktivisme Melani Budianta dengan tepat dapat dikatakan sebagai langkah emansipatoris intelektual di mana gagasan dan sikap secara konsisten didukung dalam bentuk tindakan.

Sebuah pertanggungjawaban moral dan akademik yang mungkin tidak dialami oleh aktivis perempuan lainnya adalah latar belakang Melani Budianta sebagai pengkaji cultural studies dan fokusnya pada kajian perempuan. Dalam artikelnya yang bertajuk ”Tragedi yang Menuai Berkah, Munculnya Aktivisme

Perempuan dalam Masa Reformasi,” dapat diketahui dari pengakuannya bahwa artikel tersebut bersumber dari keterlibatan, pengamatan dan dialognya dengan sebagian aktor dalam gerakan perempuan. Kepiawaiannya sebagai intelektual publik bersumber dari usaha kritisnya untuk mempertemukan minat akademiknya yakni kajian budaya dan minat politiknya yakni feminisme yang belakangan telah mendapatkan tempat istimewa dalam ranah akademik. Tegangan akademik dan moral dalam pengalaman pribadinya tersebut dapat dirunut melalui sejarah pertemuan kajian budaya dan feminisme, di mana keduanya saling memberi pengaruh. Feminisme sebagai gerakan mengenalkan isu baru dalam dunia akademik dengan mengangkat isu berbasis pengalaman perempuan. Sedangkan feminisme banyak belajar dari kajian budaya budaya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih kompleks tentang kekuasaan patriarki dan reproduksi atas ketidaksetaraan terutama dengan menggunakan teori-teori akademik seperti postrukturalisme dan posmodernisme yang membantunya mengidentifikasi ideologi, subyektivitas, wacana dan pembedaan secara seksual. Selain itu feminisme juga dipengaruhi oleh psikoanalisis yang membantu feminisme

114

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

mempertanyakan kembali kategori perempuan (Franklin, Lury dan Stacey, 1991:

258-261)

B. Intelektual Publik dan Perjuangan Demokratik Baru

Sebagaimana saya sampaikan pada paparan di muka bab Empat, saya akan menutup bagian inti tesis ini dengan sebuah analisis mengenai wacana yang dibangun dan dikontestasikan oleh ketiga intelektual publik. Untuk kemudian memeriksa apakah wacana tersebut bersejalan atau berseberangan dengan ideologi orde Baru dan Amerika.

Isu strategis

Pelembagaan Jejaring /Aliansi Wacana Strategis

Hegemoni Rezim

Dalam bagan diatas perlawanan intelektual publik disokong oleh setidaknya 4 elemen, yakni: keberhasilan merumuskan isu strategis, keberhasilan dalam pelembagaan wacana, keberhasilan membangung jejaring dan aliansi strategis dan keberhasilan dalam merumuskan musuh strategis. Ketiga intelektual publik yang menjadi pokok bahasan dalam bab ini memiliki irisan dan pembedaan dalam menggunakan empat elemen perlawanan tersebut.

Pelembagaan yang digunakan oleh ketiga intelektual tersebut tersaji dalam matriks dibawah ini;

Pelembagaan Arief Budiman Amien Rais Melanie Budianta

115

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Universitas Kuat namun Moderat Lemah berhasil dipenetrasi oleh Orde Baru Media Kuat Kuat Moderat Jejaring Kuat Lemah Kuat Seniman/Budayawan Jejaring dengan Lemah Kuat lemah Kelompok Politik Jejaring Akar Kuat Lemah Moderat Rumput Jejaring Kelompok Lemah Kuat Lemah Intelektual Jejaring Organisasi Lemah Kuat Moderat Massa

Universitas sebagai habitat yang sama dari intelektual publik, digunakan secara berbeda. Demikian, saya melihat ada ketertarikan minat yang hampir serupa pada beberapa wacana. Saya menemukan setidaknya terdapat empat simpangan wacana yang akan saya garis-tekankan untuk eksplorasi selanjutnya, yakni: (1).

Demokrasi, (2). (neo)-Liberalisme Pasar, (3). Hak Asasi Manusia, (4).

Liberalisme Pemikiran. Walaupun demikian, saya berpendapat bahwa empat simpangan wacana tersebut tidak selalu otonom dan saling terpisah, dalam sejumlah kasus akan sulit memisahkan wcana demokrasi terutama dengan hak asasi manusia, juga posisi demokrasi yang berantagonisme dengan ketidakadilan sosial akibat liberalisme pasar, serta demokrasi yang bersejalan dengan liberalisme pemikiran/liberalisme politik menentang otoritarianisme. Dinamika intelektual publik dalam mendorong wacana publik teresebut terkait dengan posisinya dengan aktor-aktor lainnya yakni: negara, rakyat, pasar, media, komunitas epistemik dan lembaga internasional/negara lain.

116

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dalam konteks negara otoritarian, demokrasi menjadi wacana yang menyela hegemoni negara dan kapital. Besarnya hegemoni negara dan kapital dicirikan dengan campur tangan yang makin besar dalam setiap aspek kehidupan, kaki tangan negara mengendalikan kehidupan sosial politik melalui birokratisasi dan penyeragaman serta berjingkrangnya pasar sebagai kekuatan yang turut mengendalikan jalannya negara. Demokrasi menjadi salah satu wacana penting yang mempengaruhi pikiran serta tindakan intelektual publik. Atas nama demokrasi, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat, intelektual publik menemukan senjata untuk melakukan perlawanan menentang rezim otoritarian dan kapitalisme yang menghasilkan subordinasi-subordinasi baru terhadap rakyat.

Pandangan tersebut sejalan dengan gagasan Chantal Mouffe sebagaimana dikutip

Melani Budianta (2003: 149):

Wacana demokrasi mempersoalkan semua bentuk ketidaksetaraan dan subordinasi. Itulah sebabnya saya usulkan untuk menyebut gerakan- gerakan sosial baru itu sebagai ‘perjuangan demokrasi baru’, karena gerakan-gerakan tersebut merupakan kepanjangan revolusi demokrasi terhadap bentuk-bentuk subordinasi baru. Demokrasi merupakan gagasan kita yang paling subversif, karena menyela semua wacana dan praktik subordinasi yang ada.

Keterkaitan antara kualitas demokrasi dan eksistensi sebagai intelektual publik sangat dipengaruhi oleh intensitas untuk mendorong gagasan-gagasan demokratik dalam bentuk pendapat, sikap dan tindakan-tindakan terkait masalah- masalah publik. Gairah intelektual untuk melibat dalam kehidupan publik yang demokratis merupakan prasyarat bagi intelektual agar diakui sebagai intelektual publik. Gairah dapat mewujud dalam berbagai bentuk aktivitas baik penyebaran ide melalui tulisan di media cetak dan jurnal, penyebaran pandangan dan gagasan

117

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

tentang masalah publik melalui radio, televisi dan diskusi publik maupun aktivitas tindakan bersama publik seperti demonstrasi, pengorganisasian dan aktivitas gerakan di tingkat akar rumput lainnya.

Intelektualitas publik adalah sebuah nama bagi jenis intelektualitas untuk menggairahkan kehidupan publik yang demokratis. Kalau ruang publik kita pahami sebagai ruang bagi para warga untuk berpartisipasi mempengaruhi kualitas res publica, intelektualitas publik berarti bentuk partisipasi intelektual kita pada kepentingan publik (Sunardi, 2004:28).

Makna penting intelektualitas publik bagi demokratisasi di atas sejalan dengan pandangan yang menempatkan intelektual publik sebagai golongan yang memiliki posisi istimewa di tengah-tengah masyarakat di negara berkembang

(Heryanto...). Mereka memiliki pengaruh yang besar untuk mempengaruhi pendapat dan opini kalangan awam karena gagasan-gagasannya yang berbeda dengan gagasan awam.

Sifat kritis merupakan ciri intelektual publik. Pandangan dan tindakannya diharapkan memiliki makna emansipatoris dalam artian kesatuan pikiran dan tindakan yang utuh. Walaupun pikiran dan tindakan itu terkadang tidak menjadi satu potongan puzzle dari gerakan yang lebih luas, namun intelektual publik berperan dalam menunjukkan potongan puzzle dari masalah publik yang dapat menginspirasi gerakan. Dengan demikian intelektual publik berperan dalam menginisiasi, membawa wacana agar tampil ke muka dan menjadi perhatian publik.

Ketiga intelektual publik yang dikaji dalam bab ini memiliki kekuatan dalam mendorong pendapat pribadi mengenai masalah-masalah masyarakat ke ranah publik. Arief Budiman dan Amien Rais pernah mengalami masa berjaya menjadi

118

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

idola media. Ketokohan keduanya selain dikaitkan dengan sepak terjang mereka berdua dalam membangun wacana resistensi terhadap Suharto juga tidak lepas dari dukungan media yang besar terhadap mereka berdua. Arief Budiman dalam relasinya dengan media memiliki hubungan yang sangat manis di mana ia berteman baik dengan pimpinan-pimpinan media besar seperti Jacob Utama

Pimpinan Umum Kompas dan Aristides Katoppo yang pernah menjadi pimpinan editor Sinar Harapan.

Media memiliki peran besar dalam membawa sepak terjang mereka dalam masalah-masalah yang terkait kepentingan publik agar menjadi wacana publik.

Publik memang tidak selalu terbatas dalam kategori kelas, walaupun sebagaimana kategori Gramsci publik yang dimaksud tidak menyempit sebagai kalangan borjuis. Publik sebagaimana terpapar dalam pengalaman tiga Fulbrighter di atas dapat memiliki kategori yang multiragam, yakni: masyarakat akar rumput yang mengalami subordinasi negara dan kapital (dalam kasus Kedung Ombo, dalam kasus perempuan akar rumput yang tergabung dalam SIP) maupun kelompok kelas menengah yang biasanya mengalami represi hak sipil politiknya (misal mahasiswa, dosen, wartawan, aktivis) maupun kerumunan massa dengan identitas yang cair (misal demonstrasi).

Arief Budiman mengoperasionalkan wacana demokrasi dalam mendukung gerakan masyarakat menentang pembangunan waduk Kedung Ombo serta perlawanan terhadap suksesi kepemimpinan yang tidak demokratis di kampus

UKSW. Sedangkan Amien Rais menggunakan wacana demokrasi untuk mendorong isu suksesi kepemimpinan nasional hingga reformasi. Sedangkan

119

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Melani Budianta menggunakan wacana demokrasi dalam perjuangan bersama dengan gerakan perempuan. Dalam kasus Kedung Ombo, wacana pembangunanisme menjadi legitimasi Orde Baru untuk merampas tanah rakyat, namun Arief Budiman mendorong gagasan sosialis demokrat serta penegakan hak asasi manusia sebagai senjata untuk perlawanan di tingkat wacana.

Mempercayai demokrasi sembari memegang teguh ideologi tertentu bukanlah hal yang mustahil walaupun bagi penganut otoritarianisme kehadiran wacana demokrasi bagaikan anjing pengganggu. Wacana demokrasi dalam pengertian teoretik post-marxisme Laclau dan Mouffe merupakan penanda yang pemaknaannya akan sangat tergantung dari posisi ideologis subyek. Perbedaan pemaknaan atas demokrasi merefleksikan perbedaan ideologi serta apresiasi subyek yang berbeda-beda. Artinya demokrasi sebagai sebuah gagasan besar membuka ruang bagi pertemuan sekaligus negoisasi dan kritik dari ideologi lainnya.Oleh karena pemaknaan demokrasi sangat tergantung posisi ideologis subyek, maka pendefinisian ideologi subyek oleh subyek sendiri atau oleh orang lain menjadi langkah yang penting.

Walaupun sejarah intelektual di negara berkembang menunjukkan peran intelektual yang sangat kuat dalam membangkitkan, mengatur dan menyebarkan ideologi hegemonik, menurut hemat saya penting untuk mengakui pula kontribusi intelektual publik dalam membangun kritik terhadap ideologi arus utama.

Ditengah derasnya ideologi pembangunan nasional dengan wacana modernisasi, negara Orde Baru memerlukan golongan intelektual terdidik sebagai perencana dan pelaksana pembangunan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka Orde

120

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Baru berusaha membangkitkan produksi wacana yang mendorong kalangan akademisi/pengabdi ilmu pengetahuan beralih menjadi intelektual dibalik pembuat kebijakan ataupun teknokrat. Di tengah berbondong-bondongnya intelektual diseret arus deras pembangunan nasional dan teknokratisasi intelektual tersebut intelektual publik dapat menahan kooptasi Orde Baru melalui usaha mereka untuk menemukan konsep politik alternatif (Desai, 1994:14).

Ketiga alumnus Fulbright memiliki spektrum ideologi yang cukup beragam dan taktik yang berbeda dalam berhadapan dengan rezim Orde Baru. Menurut

Sausmikat (2006:280-281), inteletual yang kritis dan intelektual yang membangun sikap oposisi merupakan dua kategori yang berbeda. Intelektual yang pertama membangun kedekatan dengan rezim serta tidak dapat menolak wacana rezim, namun pada saat yang bersamaan ia juga mendukung gerakan reformasi, sedangkan intelektual yang kedua mengalami opresi oleh rezim karena kritik terbuka. Namun saya berpendapat bahwa posisi intelektual akan sangat sulit untuk dikategorikan secara ketat karena dalam membangun wacana publik sikap dan tindakan intelektual akan sangat dipengaruhi situasi politik. Terdapat kelenturan dalam strategi beroposisi terhadap rezim sehingga dalam satu waktu intelektual berhadap-hadapan secara frontal dengan rezim namun di saat yang lain mereka membangun dialog, walaupun dari pengalaman ketiga intelektual publik di atas saya menilai tidak terjadi ketertundukan melalui sikap dan tindakan oportunis.

Resistensi intelektual publik untuk men-delegitimasi otoritarianisme Orde

Baru selain dilakukan dengan menggunakan model resistensi individual juga dilakukan melalui wacana perjuangan demokratik baru. Posisi ideologis

121

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

intelektual dan pandangannya terhadap demokrasi ketika mengalami penyatuan ideologi dan wacana dengan gerakan lainnya akan melahirkan berbagai bentuk perjuangan demokratik baru yang menunjukkan perlawanan terhadap bentuk- bentuk subordinasi baru. Subordinasi ini muncul dari jantung masyarakat industrial mutakhir, yang diakibatkan oleh hegemoni negara beserta kekuatan kapital yang mendukungnya. Berjingkrangnya hegemoni negara dan kapital yang menghasilkan antagonisme-antagonisme baru yang sulit untuk dilawan melalui resistensi individual justru menjadi situasi revolusioner bagi kemunculan perjuangan demokrasi baru yang digerakkan oleh masyarakat bersama dengan kelompok yang menentang perusakan lingkungan alam, kelompok penentang hutang pembangunan oleh lembaga Bretton Wood, maupun kelompok yang menentang subordinasi perempuan atas nama pembangunan.

Gagasan perjuangan demokratik baru memungkinkan berbagai gerakan atau perjuangan (struggle) yang tidak berbasis kelas dan tidak selalu gerakan buruh terangkum dalam satu gerakan bersama (Laclau and Mouffe 1999: 159-160).

Gerakan yang dilakukan oleh intelektual publik di atas yakni: gerakan lingkungan, gerakan anti-otoriterisme, gerakan feminis, gerakan anti hutang, gerakan anti globalisasi. Gerakan menentang pembangunan waduk Kedung Ombo didukung oleh beberapa gerakan demokratik baru, di antaranya gerakan lingkungan, gerakan anti otoritarianisme, gerakan anti hutang. Aksi-aksi menentang pemborosan sumber-sumber daya alam, pencemaran dan perusakan lingkungan, akibat ideologi masifikasi produksi demi modernisasi, melahirkan gerakan lingkungan.

Aksi-aksi menentang bedol desa dan menuntut ganti rugi yang memadai,

122

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

melahirkan gerakan menentang otoritarianisme. Aksi-aksi menolak hutang pembangunan sebagai pintu intervensi lembaga Bretton Wood pada pembangunan

Indonesia melahirkan gerakan anti hutang.

Gerakan reformasi merupakan puncak dari menumpuknya antagonisme Orde

Baru. Berbagai permasalahan publik menghasilkan berbagai subordinasi baru menjadi kegelisahan intelektual publik dan aktivis, yang menjadi amunisi untuk mendorong gerakan bersama yang jauh lebih besar. Walaupun baru terjadi pada

20 Mei 1998, namun gelombang perlawanan terhadap Suharto telah terjadi bertahun-tahun silam, misal peristiwa Malari, gerakan petisi 50, gerakan anti

TMII. Hingga berlanjut gelombang itu pada dekade 90-an, tahun 1993 Amien

Rais mengungkapkan istilah ‘suksesi kepemimpinan nasional.’ Tindakan ini walaupun bersifat individual, namun dalam konteks politik nasional yang otoritarian, menjadi sebuah tindakan merongrong legitimasi Suharto, serta membuka pembungkaman dan ke-diam-an yang berlangsung terlalu lama.

Usaha Melani Budianta dalam gerakan perempuan dalam masa reformasi juga menekankan pada usaha membongkar tatanan Orde Baru yang hegemonis terhadap perempuan sebagai kategori seks, gender dan warga negara. Gerakan perempuan selain menyepakati tuntutan kolektif tentang pemerintahan yang baru, bersih dan terdemiliterisasikan juga menggenapi agenda reformasi dengan pentingnya mengangkat isu-isu lain yang berkait dengan masalah kemanusiaan

(Budianta, 2004:288).

Sungguhpun yang dilakukan ketiga intelektual tersebut tidak menyeluruh dalam semua gerakan tersebut, tapi kapasitas mereka mengolah wacana menjadi

123

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

polemik di surat kabar merupakan sumber kekuatan bagi gerakan sehingga isu yang digulirkan menjaring perhatian publik yang lebih banyak. Melalui media serta aktivitas intelektual di ranah publik, intelektual publik secara aktif mempromosikan ideologi tertentu yang membawa cara pandang dunia kalangan awam menuju konformitas dengan ideologi yang dibawanya.

Ketika kelompok berkuasa terlibat usaha untuk membangun hegemoni atau untuk memenangkan legitimasi atas diri mereka di hadapan masyarakat madani, intelektual publik justru melakukan konfrontasi ideologis dengan jalan melibatkan disartikulasi dan reartikulasi dari elemen ideologis dengan jalan mentarungkan prinsip-prinsip hegemonik (Moufee, via Wong, 2002:22-24). Kemudian saat antagonisme baru yang diciptakan negara mengalami perlawanan langsung dari kelas/kelompok yang tersubordinasi baru, para intelektual ini dengan cepat menggabungkan diri dalam gerakan-gerakan tersebut, sehingga ideologi tandingan yang mereka kemukakan menemukan hubungan dengan gerakan yang lebih riil dan lebih besar. Akhirnya dapat dikatakan bahwa dalam gerakan demokratik baru, intelektual memainkan peran sebagai intelektual organik, merujuk pada fungsinya sebagai perumus dan artikulator ideologi dan kepentingan kelas maupun kelompok yang tersubordinasi. Peran organik dimainkan intelektual organik melalui pembangkitan, pengorganisasian, dan persebaran ideologi hegemonik

(Desai, 1994: 14).

Melalui wacana-wacana demokratisasi, hak asasi manusia, kebebasan berfikir, anti (neo) liberalisme ekonomi, ketiga intelektual publik berusaha keluar dari represi politik dan sosial pemerintahan Suharto yang otoriter. Mereka

124

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

mendorong wacana tersebut melalui gerakan politik dan gerakan sosial baik pada ranah akar rumput, ranah kampus, maupun ranah nasional. Dibandingkan dengan gerakan politik, gerakan sosial membuka peluang bagi intelektual publik untuk keluar dari ekslusivitas mereka sebagai kelas menengah, maupun kelompok yang dekat dengan elite. Inklusivitas dalam bentuk aktivisme mereka di tengah-tengah kelas sosial yang lain, disamping menjembatani kritik ideologis mereka dengan realitas masyarakat juga membawa dampak sampingan pada meningkatnya popularitas mereka sebagai intelektual publik.

Tak jarang para intelektual publik ini kemudian muncul sebagai sosok yang

’ditokohkan’ maupun ikon perlawanan dalam gerakan yang sesungguhnya disokong oleh banyak elemen. Hal tersebut terjadi pada Amien Rais yang dicitrakan sebagai tokoh/pahlawan reformasi. Demikian juga dengan Arief

Budiman dalam skala yang lebih sempit muncul sebagai sosok intelektual yang dikenal sebagai aktivis yang bersedia mendukung perjuangan rakyat Kedung

Ombo. Dalam ketokohan yang lebih sederhana dibandingkan aktivis perempuan kelas menengah yang oleh media dijadikan ikon perlawanan gerakan perempuan dalam gerakan reformasi, Melani Budianta dikenal juga sebagai sosok akademisi yang ’rela’ turun ke jalanan dan bekerja bersama perempuan akar rumput.

Sekalipun pada satu momen mereka nampak berdekatan dengan kekuasaan, dan seringkali berhadapan dengan common sense tentang hegemoni Amerika pada para alumnus-nya, sehingga begitu mudah untuk menyatakan tuduhan bahwa mereka secara ideologis terindoktrinasi. Saya lebih sepakat untuk melihat posisi

125

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

temporer mereka sebagai sebuah langkah strategis untuk membangun wacana yang mereka anggap lebih penting.

Dibandingkan berbicara mengenai ketertundukan intelektual pada hegemoni, saya lebih merasa bijak untuk memandang langkah-langkah tersebut tidak semata akibat ketertundukan idelogis namun penting juga untuk menyimak intelektual sebagai subyek yang aktif di mana mereka memiliki argumen masing-masing untuk melakukan taktik maupun strategi yang tidak menyimpang dari ideologi mereka. Hal tersebut sebagaimana terjadi pada Amien Rais ketika harus menghadapi Suharto dengan santun sebagai Ketua Pimpinan Pusat

Muhammadiyah setelah ia menyatakan siap mencalonkan diri sebagai Presiden sehingga membuka front terhadap Suharto, maupun ketika ia memilih untuk bergabung dengan ICMI.

Pada peristiwa yang pertama tentu terkait dengan kepentingan yang lebih luas yakni melindungi kepentingan Muhammadiyah sebagai lembaga amal usaha perserikatan dengan anggota yang beragam sedangkan untuk peristiwa yang kedua terjelaskan sebagai usahanya untuk membangun relasi baik dengan Habibie

(Maarif, 2009: 229-231).

Tidaklah mudah untuk menjawab pertanyaan tentang ideologi dan hegemoni karena keduanya adalah sebuah proses yang terus berkontestasi dengan ideologi intelektual publik dan hegemoni tandingannya. Bahkan ketika kelompok yang tersubordinasi secara politik, fisik dan sosial menerima kepemimpinan kelompok yang dominan bukan karena mereka secara mental dan fisik dipaksa menurut,

126

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB V

KESIMPULAN

Semenjak diawali, tesis ini ditujukan untuk melihat hegemoni tandingan yang dibangun oleh intelektual publik yang menjadi alumnus beasiswa Fulbright.

Walaupun tesis ini dibuka dengan peneguhan bahwa semenjak masa-masa terakhir

Demokrasi Terpimpin beasiswa pendidikan dari Amerika telah digunakan sebagai alat untuk membangun hegemoni Amerika atas Indonesia, penelitian ini tidak dimaksudkan untuk mengukur besar hegemoni tersebut. Argumen sejarah yang mengawali penelitian ini bertujuan untuk membangun simpulan bahwa beasiswa pendidikan merupakan alat ideologis karena memiliki karakter hegemonik.

Sehingga argumen tersebut dapat memudahkan untuk menguji proses yang sebaliknya yakni hegemoni tandingan yang dikembangkan oleh para penerima beasiswa.

Untuk memperoleh bentuk-bentuk hegemoni tandingan, proses tersebut dilakukan dengan cara menentukan subyek dan sasaran hegemoni tandingan.

Hegemoni dalam beasiswa dibangun melalui cara berlapis yakni terhadap subyek penerima beasiswa yang kemudian menjadi representasi hegemoni Amerika atas

Indonesia. Namun hegemoni Amerika atas Indonesia tidak semata melalui beasiswa, penyebaran pengaruh itu juga ditempuh melalui banyak cara, yang pengaruhnya terkuat yakni: investasi dan hutang pembangunan internasional.

Melalui lapisan hegemoni yang kedua, ditemukan bahwa antara Amerika dan pemerintah Orde Baru mengembangkan aliansi untuk mencapai tujuan ideologis masing-masing. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Sehingga dalam tesis ini sasaran hegemoni tandingan terdiri dari dua macam yakni Amerika dan pemerintahan Orde Baru.

Sedangkan pemilihan subyek pelaku hegemoni tandingan terbantu dengan menggunakan sosiologi sejarah, baik marxis maupun non marxis yang mempercayai bahwa intelektual adalah kelompok yang mengemban tugas moral perubahan sosial, sehingga intelektual diyakini sebagai sosok yang tak sudi berdekat-dekat dengan kekuasaan. Untuk memudahkan mengoperasionalisasi konsep ini, dipilihlah kategori intelektual publik yang lebih sesuai dengan konteks

Indonesia, di mana tuntutan maupun mitos tentang aktivisme Intelektual begitu kuat (Heryanto, 2004: 56).

Sehingga kategori tersebut dapat menjadi margin yang membatasi subyek, sekaligus membuka peluang untuk fokus hanya pada intelektual yang memiliki pengalaman baik dimitoskan sebagai tokoh/sosok/pahlawan dan atau aktivis pelaku perlawanan terhadap Amerika dan atau Orde Baru.

Dari data dalam bab sebelumnya menunjukkan bahwa habitat intelektual memiliki peran dalam mengembangkan bentuk-bentuk hegemoni tandingan.

Perjalanan intelektual publik dimulai dengan habitat sebelum diterima dalam program beasiswa Fubright, dilanjutkan dengan proses menghidupi intelektualitas dalam dunia akademik dan pengalaman poskolonial menjadi orang “timur” di

“barat” sebagai pengalaman yang turut membentuk karakter intelektualisme publik. Sedangkan pengalaman sepulang dari Amerika, baik berhadap-hadapan dengan ideologi Orde Baru maupun hegemoni Amerika merupakan pengujian

129

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

karakter intelektualitas publik, untuk tidak berharap secara general terjadi konsistensi ideologis.

Melalui habitat intelektual, dapat dilihat bagaimana cara pandang intelektual terhadap beasiswa Fulbright. Intelektual yang memiliki latar belakang aktivisme terhadap Demokrasi Terpimpin maupun Orde Baru.memiliki tingkat kesadaran serta kecurigaan yang tinggi terhadap beasiswa Amerika sebagai alat ideologisasi.

Pilihan untuk tetap melanjutkan sekolah di Amerika bukanlah sebuah pilihan untuk pasrah untuk memasrahkan proses ideologisasi, dalam beberapa kasus justru menggunakan kesempatan beasiswa tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk mempelajari Amerika lebih dalam lagi, dari sisi yang berbeda. Setidaknya dalam kasus yang dialami oleh Aristides Katoppo dan ditengarai terjadi juga pada

Arief Budiman di mana beasiswa yang diberikan memiliki latar belakang politis, beasiswa Fulbright menampakkan dirinya sebagai alat yang dapat dimanfaatkan bukan saja oleh Amerika namun juga Orde Baru. Beasiswa tersebut secara makro tidak dapat dilihat sebagai didesain untuk menundukkan intelektual secara ideologis. Walaupun tentu saja ketika bersekolah terjadi perjumpaan dengan ideologi yang berbeda, dalam kasus-kasus mikro lebih bisa dilihat sebagai pertarungan ideologis.

Sebagaimana stigma Fulbrighter di negara-negara lain seperti Mesir dan

Jepang, Fulbrighter Indonesia juga bertumbuh menjadi elite intelektual yang memiliki posisi sosial strategis di hadapan masyarakat. Yang membedakan dengan Fulbrighter di negara lain adalah mereka tidak selalu berada dalam lingkungan pembuat kebijakan, bahkan seringkali juga berada di dalam parlemen

130

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

jalanan. Tiga Fulbrighter Indonesia tumbuh menjadi intelektual publik ternama bukan karena invisible hand bernama kepentingan Amerika Serikat, melainkan karena keberanian mereka membangun wacana kritis dan menggerakkan wacana tersebut dalam gerakan sosial. Hal tersebut dapat disimpulkan sebagai buah dari latar belakang ilmu mereka yakni ilmu sosial, di mana ilmu sosial memiliki potensi kritis yang membedakan dengan ilmu-ilmu arus utama pembangunan seperti ekonomi, hukum dan teknik.

Intelektual publik yang mendapatkan beasiswa pertamanya dari Fulbright ternyata memiliki semacam dorongan akademik untuk terus melanjutkan karir akademik sebagai dosen. Sebagaimana karakter beasiswa Fulbright yang utamanya diberikan pada dosen, Arief Budiman yang sebelum berangkat ke

Amerika memiliki latar belakang aktivis sosial politik dan kebudayaan pada akhirnya memilih untuk berkarir sebagai dosen.

Pada tiga intelektual yang dipilih untuk dikaji peran intelektualitas publiknya dalam masa Orde Baru diperoleh pengalaman persentuhan dan perlawanan terhadap Suharto, ideologi dan aparatus ideologisnya. Ketika para intelektual tersebut kembali ke Indonesia, mereka dihadapkan pada Suharto yang semakin represif, korup dan feodal. Sehingga baik sebagai dosen maupun sebagai aktivis sosial politik perjumpaan tersebut membawa situasi bersiasat dan menawar untuk mengamankan posisi mereka maupun melakukan perlawanan terbuka.

Dalam pengalaman Melani Budianta, pengalaman aktivisme jutru menguat sepulang dari Amerika dan terlibat bersama aktivisme perempuan dalam masa reformasi. Sedangkan dalam pengalaman Amien Rais yang telah menjadi

131

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

akademisi dan aktivis, posisi strategisnya sebagai pimpinan organisasi massa besar di Indonesia membuatnya harus berhadap-hadapan lebih dekat dengan kekuasaan. Posisi ini kadang membuatnya harus mengerut dan menjaga sikap politiknya namun pada banyak momentum digunakannya untuk mendengungkan perlawanan baik terhadap Suharto maupun Amerika yang baginya serupa setali tiga uang. Dalam pengalaman Arief Budiman sebagai sosok aktivis sosial, politik, dan budaya cukup tersohor pada masa sebelum ia berangkat ke Amerika, posisi barunya sebagai dosen tak memupus kekritisan khas aktivis. Namun memang media yang ia gunakan untuk melakukan perlawanan tak lagi khas aktivis jalanan, ia memilih media publik untuk berpendapat serta ruang-ruang kelas sebagai sarana mengembangkan pemikiran kritis terhadap pembangunan nasional melalui gagasan sosialisme. Kesohorannya sebagai intelektual publik bukan lagi karena perlawanannya secara terbuka dengan “Suharto” melainkan karena pemecatannya yang tidak demokratis dalam kasus suksesi di UKSW. Meskipun karir akademiknya pasca UKSW banyak menuai pujian, beberapa pihak menyayangkan sebelum rezim Suharto habis ia telah berpindah menjadi pengajar di Australia.

Sebuah jarak yang tidak mudah bagi aktivis untuk berdinamika secara intensif dengan proses politik yang sangat penting di akhir dekade 90-an. Pengalaman aktivisme ketiga intelektual tersebut menggenapi tuntutan publik terhadap karakter intelektual, namun ketokohan mereka diperbesar dengan mitos tentang intelektual yang digelembungkan oleh media.

Melalui pembacaan pada pengalaman keseharian intelektual publik, dapat dilihat bahwa demokrasi digunakan sebagai alat untuk melakukan perlawanan

132

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

terhadap kondisi otoritarian. Namun demokrasi yang digunakan bukanlah demokrasi khas ala Amerika. Sebagaimana pemaknaan demokrasi ala Laclau dan

Mouffe di mana pemaknaan demokrasi sangat tergantung dengan posisi ideologis subyek, ketiga intelektual mengembangkan wacana demokrasi yang dikawinkan dengan ideologi masing-masing dan tentu saja dipenuhi dengan kritik atas demokrasi ala Amerika. Arief Budiman tidak menyepakati demokrasi yang memberi peluang pemilik kapital menindas proletar, demokrasi baginya adalah demokrasi sosialis yang menekankan pada kesetaraan dan keadilan. Amien Rais melihat demokrasi Amerika diwarnai ketidak kosistenan antara gagasan dan tindakan yang mengekspansi negara Islam, mengeruk kekayaan alam bangsa lain.

Bagi Melani Budianta, feminsime memungkinkan penggunaan demokrasi sebagai alat ntuk mempertanyakan penindasan yang dialami oleh kaum perempuan.

Secara garis besar, intelektual publik menyadari bahwa beasiswa tak lagi seideologis tahun-tahun awal perang dingin sehingga usaha untuk

“mengamankan” Indonesia dari pengaruh komunisme melalui beasiswa tak lagi sekuat dulu. Sehingga ada semacam ketenangan ideologis, walau bagaimanapun juga ternyata intelektual tetap mengembangkan kajian-kajian yang memungkinkan mereka tak terpukau pada ideologi Amerika, sebagaimana Arief Budiman yang belajar kajian sosialis serta Amien Rais yang belajar kajian Islam.

Dengan demikian cara pandang dualistik terhadap intelektual tidak dapat lagi dipertahankan. Ketika intelektual singgah ke “barat” ternyata mereka tengah meluaskan pandangannya ke segala penjuru yang lainnya. Filantropi akademik sebagai proyek politik dicurigai berhasil menciptakan intelektual-intelektual

133

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

mesin fotocopy “barat” bagi dunia “timur”. Kenyataannya, tak selalu proyek politik tersebut berhasil mem-barat-kan seluruh intelektual yang disekolahkan di

Amerika. Meskipun penulis juga menyadari bahwa dalam banyak hal, proyek- proyek barat yang dijalankan dalam lembaga-lembaga Indonesia dapat disebut sebagai upaya serius untuk membaratkan orientasi ilmu pengetahuan dan kebijakan Indonesia, mengenai hal ini telah banyak penelitian yang mengkaji.

Penulis mengambil kesimpulan bahwa ketergesaan khas teori konspirasi tak lagi penad untuk membaca dialektika ideologi dan hegemoni karena kalaupun kajian konspirasi akan tetap dipergunakan harus tetap melihat unsur-unsur mikro seperti pertimbangan nilai, moral, ideologi dan integritas personal yang sering melandasi pilihan tindakan intelektual. Dengan sederhana, disamping faktor hegemon, intelektual memiliki alasan, minat dalam pilihannya sendiri untuk membentuk dirinya hingga tak sepenuhnya tunduk. Karena dalam pilihan tidak tunduk tersebutlah berada intelektualisme publik.

Menutup tesis ini, yang dilakukan tesis ini adalah menemukenali pembentukan intelektual publik melalui beasiswa dan pertumbuhan mereka dengan jalan mengembangkan hegemoni tandingan. Sebagaimana batasan waktu yang diambil oleh tesis ini tak dapat meninjau perkembangan intelektualitas publik mereka pasca diturunkannya Suharto. Padahal periode tersebut sangat penting untuk melihat sejarah intelektual apakah mampu untuk terus memutar ideologi-nya dan menemukan antagonisme-antagonisme baru yang menjadi sasaran kritik intelektual publik. Sehingga penelitian ini merupakan penelitian pembuka bagi penelitian lainnya yang hendak melihat dinamika praksis dan

134

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pemikiran intelektual pada masa di mana banyak gerakan kemasyarakatan mengalami kegagalan merumuskan musuh bersama setelah tumbangnya Suharto.

135

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR PUSTAKA

Alatas, Syed Hussein. 1988. Intelektual Masyarakat Berkembang, Jakarta LP3ES. Altbach, Philip G.. “Twisted Roots : The Western Impact on Asian Higher Education.” Spinger, www.jstor.org/stable/3447441 (1989): 9-29. Althusser, Louis. 2004. Tentang Ideologi, Marxisme Strukturalis, Psikionalisis, Cultural Studies, Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra. Arnove, Robert F (ed). 1980. Philanthropy and Cultural Imperialism: The Foundation at Home and Abroad”. Boston: G.K.Hall and Co. Barber, Elinor G.. “Research Access: Scholarship Versus National Interest.” Annals, AAPSS, 491, (Mei 1987). 63-71. Barker, Chriss. 2009. Cultural Studies: Teori dan Praktik.Yogyakarta: Kreasi Wacana. Benda, Julien. 1997. Penghkianatan kaum Cendikiawan, Jakarta, PT. Gramedia. Bennett, Tonny. 1986 .“Introduction: Popular Culture and the Turn to Gramscy.” dalam Tony Bennet, Collin Mercer and Janet Woolacott (eds). Popular Culture and Sosial relations . Philadelphia: open university press. hal. 25 Berndtson, Erkki. 2007. “Review Essay : Power Of Foundation and American Ideology.” Critical Sosiology. hal: 575-587. Bisswas, Shampa. “Empire and Global Public Intellectuals: Reading Edward Said as an International Relation Theorist”. Millennium-Journal of International Studies. Hal: 117-134. http://mil.sagepup.com/cgi/content/abstract/36/1/117 (2007) Budianta, Melani. 2004. “Tragedi yang menuai Berkah: Munculnya Aktivisme Perempuan dalam Masa Reformasi”. dalam Ariel Heryanto dan Sumit K.Mandal (eds). Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan antara Indonesia dan Malaysia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Budiman, Arief. 1978. “The Student Movement in Indonesia: A Study of the Relationship between Culture and Structure”. Asian Survay. University of California Press. .1982. Pengalaman Belajar di Amerika Serikat. Jakarta: Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional. .1990. State and Civil Society In Indonesia. Australia: Centre of Southeast Asian Studies Monash University. Buttigieg, Joseph A. “Gramsci’s Method.” Duke University Press, www.jstor.org/stable/303565 (1990):60-81. Davidson, Alastair. 1968. Antonio Gramsci The Man, His Ideas, Australia: An Australian Left Review Publication.

136

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Desai, Radhika. 1994. Intellectual and “Social Democrats” and The British Labour Party, London: Lawrence and Wishart. Dhakidae, Daniel. 2003. Cendikia dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Jakarta: PT Gramedia. Easthope, Antony. & Kate McGowan.1997. Critical and Cultural Theory Reader, Buckingham: Open University Press. Faruk, 2007. Belenggu Pasca Kolonial, Hegemoni Dan Resistensi Dalam Sastra Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fatah, Eep Syaefulloh. 2010. Konflik. Manipulasi dan Kebangkrutan Orde Baru: Manajemen Konflik, Malari, Petisi 50. Tanjung Priok. Jakarta: Burung Merak Press. Gandhi, Leela. 1998. Postcolonial Theory. Australia: Allen&Unwin. Gramsci, Antonio. 1995. The Southern Question. US: Bordinghera. Inc Hadi, Kumala et.all. 1997. Agenda Aksi Liberralisasi Ekonomi dan Politik di Indonesia, Yogyakarta: UII Press & Tiara Wacana. Hadiz, Vedi R. & Daniel Dhakidae, 2005, Social Science and Power in Indonesia, Jakarta-Singapura: Equinox publishing and ISEAS Hadiz, Vedi R.. Indonesia a Decade After Reformasi : Continuity or Change? Departemen of Sosiology: National University of Singapore. Heryanto, Ariel. 2004. “Intelektual Publik, Media dan Demokratisasi: Politik Budaya Kelas-Menengah di Indonesia”. dalam Ariel Heryanto dan Sumit K.Mandal (eds). Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan antara Indonesia dan Malaysia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. , 2005. “Ideological Baggage and Orientations of the Social Sciences in Indonesia”. dalam Vedi R. Hadiz dan Dhaniel Dhakidae (eds). Social Science and Power in Indonesia. Jakarta dan Singapore: Equinox dan ISEAS. Hess, Gary R. 2003. “Waging the Cold War in the “Third World”. dalam Lawrence j.Friedman dan Mark D. McGarvie. Charity, Philanthropy and Civility in American Philanthropy. Cambridge: Cambridge University Press. Hitchens, Christopher. 2008. “The Plight of The Public Intellectual.” Foreign Policy. Hal: 62-64. Hong Wong, Ting. 2002. Hegemonies Compared State Formation and Chinese school Politics in Postwar Singapore and Hong Kong. Routledge. hal : 22-24. Howard, Dick. “Praxis Before Politics: The Problem of Satre.” A Socialist Journal. no 10/11 1984/1985. hal: 189-194.

137

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Irwan, Alexander. 2005. “Institutions, Discourse, and Conflict in Economics Thought”. dalam Vedi R. Hadiz dan Dhaniel Dhakidae (eds). Social Science and Power in Indonesia. Jakarta dan Singapore: Equinox dan ISEAS. Johnson, Pauline. “feminism and Humanism: Contemporary Feminist Thought Reconsidered.” A Socialist Journal. (number 10/11 1984/1985). hal: 241-249. Kartodirjo, Sartono. 1983. Elite dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Penerbit LP3ES . Karyanto, Ibe. 2007. “Pendidikan sebagai alat Kekuasaan”. dalam Menelusuri Akar Otoritarianisme Di Indonesia. Baskara T Wardaya dkk (eds). Jakarta: Elsam. Kleden, Ignas. 1995. “Ilmu Sosial di Indonesia: Tindakan dan Refeksi dalam Perspektif Asia Tenggara” dalam Nico G. Schulte Nordholt dan Leontine Visser (eds). Ilmu Sosial di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES. Laclau, Ernesto dan Chantal Mouffe. 2008. Hegemoni Dan Stategi Sosialis, Postmarxism dan Gerakan Sosial Baru. Yogyakarta: Resist Book. Latif , Yudi. 2005. Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia ke-20, Bandung: Mizan. La Ode Ngkowe, Ridaya. 1998. “Zoon Politicon Bergelar Mahasiswa”. dalam Alfian Hamzah, Musa Kazhim. Muhammad Ikhsan (eds). Suara Mahasiswa Suara Rakyat. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Liddle, R William.1993. “ Indonesia adalah Indonesia”. dalam Richard Tanter dan Kenneth Young (eds). Politik Kelas Menengah Indonesia. Jakarta: LP3ES. Lombard, Denys. 2000. Nusa Jawa, silang Budaya, bagian I: Batas-batas Pembaratan, Jakarta: PT. Gramedia. Lubis, Mochtar. 1997. Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya Seri 2: Korupsi dan Ekonomi, Pendidikan dan Generasi Muda, Hukum, ABRI. Jakarta: Buku Obor. Maarif, Achmad Syafii. 2009. Titik-Titik Kisar di Perjalananku: Autobiografi Ahmad Syafii Maarif. Bandung: Mizan. Malaranggeng, Rizal. 2008. Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia: 1986- 1992. Jakarta: KPG. Mangunwijaya, YB. 1984.“Cendekiawan dan Pijar-Pijar Kebenaran”. dalam Aswab Mahasin dan Ismed Natsir. Cendekiawan dan Politik. Jakarta: LP3ES. Mandal, Sumit K dan Ariel Heryanto. 2004. “Gugatan terhadap Otoriterisme di Indonesia dan Malaysia”. dalam Ariel Heryanto dan Sumit K.Mandal (eds). Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan

138

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Pertautan antara Indonesia dan Malaysia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Manheim, Karl. 1991. Ideologi dan Utopia, Menyingkap Pikiran Dan Politik, Yogyakarta: Kanisius. Mas’oed, Mochtar. 1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta: LP3ES. Moufee, Chantal dan Ernesto Laclau. Hegemony and Socialist Strategy: Toward a Radical Democratic Politics. London-New York: Verso. Miliband, Ralph. 1977. and Politics. Oxford: Oxford University Press. Myrdal, Gunnar. 1882. Obyektivitas Penelitian Sosial. Jakarta. LP3ES. Oetomo, Dede. 2007. “Militer (isme), intelektual dan Bahasa Politik Indonesia.” dalam Menelusuri Akar Otoritarianisme Di Indonesia. Baskara T Wardaya dkk (eds). Jakarta: Elsam. O’kane, John. “Theory and Cultural Politics : Althusser’s Interview” A Socialist Journal, (number 10/11 1984/1985) :hal: 250-254. Pusey, Mitchael. “Rationality. Organization and Language toward a of bureaucracy.” A Socialist Journal, (number 10/11 1984/1985) : 89-109. Rais, Amien. 1998. “Dua Skenario”. dalam Alfian Hamzah, Musa Kazhim. Muhammad Ikhsan (eds). Suara Mahasiswa Suara Rakyat. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. , 1998. Membangun Politik Adi Luhung: Membumikan Tauhid Sosial, Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Bandung: Zaman Wacana Mulia. Ransom, David. 1975.“Ford Country : building an Elite for Indonesia”. dalam Steve Weissman (ed). The Trojan Horse : A Radical Look at Foreign Aid. Polo Alto CA: Ramparts Press: 93-116. Roelofs, Joan. 2003. Foundation And Public Policy, The Mask Of Pluralism, New York: State of University of New York Prss. Shariati, Ali. 1994. Tugas Cendikiawan Muslim. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Simon, Roger. 1999. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist Press. Sunardi, St. 2004. Tahta Berkaki Tiga, Kepemimpinan Intelektual dan Moral Perguruan Tinggi, (Pidato Dies Natalis ke-49 Universitas Sanata Dharma, 18 Desember 2004). Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma. Sussman, Leonard R. 1982. The Culture of Freedom: The Small World of Fulbright Scholars. Maryland: Rowman & Littlefield.

139

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Tamara, Nasir. 1997. Mengkaji Indonesia: Pengaruh Amerika dalam Dunia Intelektual Indonesia.Yogyakarta: Bentang. Tim Editor Masika. 1996. Kebebasan Cendekiawan, Refleksi Kaum Muda, Yogyakarta:Pustaka Republika dan Yayasan Bentang Budaya Tincknell, Estella dan Richard Johnson, Deborah Chambers, Parvati Raghuram. The Practice of Cultural Studies. London-Thousand Oaks. New Delhi: Sage Publications. Turner, Graeme. 1996. British Cultural Studies.London and New York: Routledge. T Wardaya, Baskara. 2008. Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin 1953-1963. Yogyakarta: Galang Press.w W. Said, Edward. 1998, Peran Intelektual,Kuliah-Kuliah Reith Tahun 1993. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. White, Mimi dan James Schwoch. 2006. Questions of Method in Cultural Studies, US : Blakwell Publishing Ltd. Wiedarti, Pangesti & Togap Siagian. 2006. Kiat Memenangkan Beasiswa, Edisi Kedua, Yogyakarta: Tiara Wacana. Xu, GuangQiu. “The Ideological and Political Political Impact of U.S. Fullbrighters on Chinese Student : 1979-1989.” Asian Affairs, On American Riview; ProQuest Asian Business And Reference (1999): 139- 157. Zerai, Assata. “Models For Unity between Scholarship and Grassroots Activism”. Critical Sosiology”, http://crs.sagepub.com/cgi/content/abstract/28/1- 2/2001, (2002):201-216.

140

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Lampiran Wawancara 1: Wawancara dengan Melani Budianta (MB) Jakarta, 2 Desember 2009 Pewawancara: Retno Agustin (RA)

RA (perkenalan peneliti) R A= Yang ingin saya gali, sejauh mana peran-peran intelektual ibu, biografi (nama lengkap, tanggal lahir), pendidikan. Terkait dengan sejarah bagaimana Ibu akhirnya bisa menempuh beasiswa Fullbright itu? MB= bagaimana itu yah? Ha...ha...ha RA= Ibu dulu mendapatkan beasiswa fullbright sejak program S2 atau hanya S3-nya? MB= Saya mendapat beasiswa Fullbright dari sejak S2. Saya mengambil jurusan American Studies. Jadi saya S1-nya jurusan bahasa Inggris. Sebetulnya saya tertarik ke sastra dari awal. Memang sejak kecil, di rumah banyak, katakanlah, kami hanya punya hadiah buku kalau ulang tahun. Sejak kecil, keluarga semua senang membaca, membudayakan baca tulis begitu. Terus, kita dekat dengan budaya yah. Artinya, kami sering diajak nonton teater, pentas kesenian, kayak begitu. Jadi memang saya dekat dengan wilayah sastra dan budaya itu karena memang dekat hal-hal itu. Misalnya, saya juga senang membaca sastra bahasa indonesia, tapi rasanya yang berbahasa inggris itu kok kaya banget. Khasanahnya kaya, jadi saya ingin mendalami dulu yang berbahasa inggris. Pada waktu SMA memang masuk kelas A (alam). Karena saya memang merasa pada waktu itu kan pengkotakannya kan kuat. Orang yang dianggap masuk sospol yang dianggap sebagai orang yang tidak pintar. Saya malah merasa tertantang. Kalau masuk sastra, bukan karena saya tidak bisa, begitu. Meski SMA ngambil ilmu alam, tapi setelah itu saya daftar Cuma dua: Satra di UI dan Sastra di Unpad. Ternyata saya di terima di UI. Setelah diterima di UI, tahun 1973, selesainya memang agak lambat pada waktu itu, hingga tahun 1979. Karena saya sempat punya anak dulu. Sampai skripsinya selesai lama. Pada waktu itu kan modelnya begitu yah, waktu kuliah bisa mulur sekali.

Namun pada waktu itu pun, seangkatan saya pun paling cepat lulus kuliahnya, dari tahun 1973 – 1979. Enam tahun itu pun sudah paling cepat pada saat itu. Kalau sekarang 4 tahun saja sudah banyak yang selesai yah? Masa itu berarti sudah mundur 2 tahun. Begitu saya selesai, memang sejak kuliah saya sangat senang bahasa. Jadi lain rasanya, orang belajar karena memang kita punya semacam, bukan sekedar hobi saja kadang-kadang, banyak sekali persoalan yang ada di kepala kan lain rasanya. Jadi setelah selesai kuliah saya langsung ditawari jadi asisten dosen. Nah kebetulan waktu itu ada beasiswa Fullbright.

RA= Informasinya resmi ke Universitas ya Bu?

MB= informasinya dulu saya dapat dari dosen. Dari Tuti Alisyahbana, Tuti Indramalaon, Chris Silalahi. Tiga orang perempuan itu.

RA= dari tiga perempuan itu ada yang ngambil beasiswa Fullbright juga?

MB= saya kurang tahu apakah sebelumnya mereka mendapat beasiswa Fullbright. Sepertinya sih enggak. Tapi mereka sangat dekat ya. Karena mereka sama-sama di Jakarta dan melakukan kegiatan-kegiatan di fakultas bahasa inggris, semuanya dari fakultas inggris, jangan lupa. Sebelum saya dapat Fullbright, sudah ada pengembangan American Studies di fakultas sastra. Waktu saya kuliah, dosen-dosen sudah mulai mengarah ke situ. Waktu itu sudah banyak pertukaran, bukan pertukaran sih, tapi malah didatangkan doses tamu dari Amerika yang difasilitasi oleh Fullbright untuk menjadi dosen tamu di fakultas sastra. Saya masih ingat, karena yang menginterwiew saya waktu itu, sebelum saya melamar beasiswa Fullbright. Ada seorang dosen tamu itu yang ngajak berbicara tentang minat saya. Tapi dosen-dosen itu sangat berperan, mereka memberikan

141

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

rekomendasi, mereka menunjukkan jalannya lah begitu. Waktu itu UII mungkin masih dibina juga, karena memang baru mau mendirikan American Studies. Jadi baru pembinaan dosen-dosen dengan menghadirkan dosen tamu untuk memberikan kuliah, selama 2 minggu, bahkan ada yang hingga 1 semester.

Dari situ, kemudian saya melamar untuk ambil Master, dan kemudian saya mendapatkannya pada tahun 1980. Nah tapi masalahnya pada waktu itu, ijin untuk belajar itu tidak mudah saya dapatkan. Tidak seperti jaman sekarang yah. Pertama, karena proses pengurusan surat-surat itu cukup lama. Karena terus terang saya belum pegawai negeri. Saya waktu itu baru calon pegawai, karena baru setahun jadi asisten. Dari P&K agak sulit dapat ijinnya. Saya bahkan hampir ditolak barangkali yah, karena statusnya belum pegawai mungkin yah.

RA= memang beasiswa itu hanya untuk pegawai negeri ya Bu? MB= ya, pada waktu itu memang beasiswa hanya untuk pegawai negeri. Sekarang kan sudah tidak begitu. Pada waktu itu harus pegawai negeri. Terus juga, pada waktu itu, entah karena apa, bahkan mengurus surat itu pun baru setelah saya mendapatkan surat kewarganegaraan itu yah. Setelah dapat SBKRI – surat bukti kewarganegaraan RI—saya baru urus surat-surat (persyaratan) itu. Saya kan baru lahir ketika orang-orang Tionghoa itu harus punya SBKRI. Surat-surat itu kita kan harus punya terus, kalau kita pindah-pindah satu tempat ke tempat lain, tetap harus punya KK. ketika pindah KK juga harus pindah. Waktu itu saya kan sudah merasa jadi orang indonesia, jadi tidak pernah sadar kalau harus mengurus hal-hal begitu. Ternyata saya harus berdasarkan ayah, ayah saya kan surat kewarganegaraannya Tionghoa. Orang Tionghoa kan harus ada suratnya. Berarti anak-anaknya termasuk. Tapi kalau anak-anaknya sudah 17 tahun, dia harus mengurus sendiri gitu. Waktu itu saya sudah lewat (usia itu), Cuma tidak sadar saja karena sudah merasa berkewarganegaraan Indonesia. Jadi gak mikir. Tidak merasa harus mengurus yang begitu karena kita sudah mengasumsikan saja sebagai orang Indonesia begitu.

RA= surat itu memang sangat penting ya BU? MB= kalau tidak ada itu, kita tidak dapat pasport. Jadi itu tetap harus diurus dulu. Terus banyak segala macem, karena saya belum pegawai negeri, jadi dari P&K saya dipingpong terus. Waktunya pun bahkan mundur sampai ½ tahun atau mungkin 1 tahun, pokoknya mundur sampai agak lama. Dari tahun 1979, akhirnya berangkatnya pada januari 1980. Akhirnya bisa berangkat karena full dibantu oleh Chris Silalahi, karena memang harus memakai jalur orang-orang yang dikenal untuk bisa lewat. Waktu itu saya masih ada pilihan untuk mundur. Akhirnya jadilah pada awal tahun 1980, dan ambil jurusan American Studies.

RA= salah satu alasan mengapa memilih American Studies, karena di UI akan dibuka American Studies begitu? MB= salah satu alasannya itu. Jadi secara institusional memang dibutuhkan. Terus, untuk masuk sastra inggris dari sekolah di Indonesia, kita harus meyakinkan bahwa mutu jurusan sastra inggris di UI ini memang baik. Kita ini kan dunia ketiga, ya mereka pasti meragukan orangnya bisa bicara enggak ini, gitu loh. Ya artinya bukan sekadar dinilai dari kapasitas pribadi, tapi memang secara institusi mereka adalah universitas yang sudah mapan di dunia, sementara kita ini ada di dunia ketiga yang mau masuk ke sastra inggris. Saya waktu itu kan tidak mengirim begitu saja. Fullbright yang mengirimkan ke mana begitu. Jadi saya juga mengerti strategi, kalau masuk langsung ke sastra inggris. Tapi agak sulit diterima. Nah kalau saya tetap ingin masuk sastra tapi kira-kira yang lebih memungkinkan untuk diterima ya masuk ke American Studies. Karena kajiannya kan tidak melulu sastra, tapi dia juga ada politik, sejarah, dlsb. Jadi pertimbangannya, untuk sastra itu kan tingkat kecanggihan bahasanya harus tinggi sekali. Sastra inggris di sana, institusi mereka ini kan sudah paling mapan kan, sebagai suatu bidang ilmu. Mungkin dengan masuk melalui American Studies akans sedikit lebih luas dari sastra. Dan itu menurut saya lebih baik. Karena pertimbangan saya, harus diterima sebagai strategi masuk, kedua saya perlu ingin

142

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

mendapat konteks yang multi disiplin tentang apa yang saya pelajari. Dan ini nantinya sangat membantu, saya bisa lebih bermain di lintas disiplin. Menurut teman-teman ini merupakan strategi yang lebih baik. Akhirnya saya diterima di University State of California. Saya di situ belajar 1,5 tahun untuk Master.

RA= Cepat sekali? MB= ya cepat, karena memang 1,5 tahun rata-rata, dan memang jalur non-skripsi. Karena master sih tidak dianggap harus pakai skripsi kalau di sana. Bahkan ketika saya di sana, Saya ditanya: “kamu mau melanjutkan S3 apa tidak? Saya jawab mau. Kalau melanjutkan S3 tidak usah, untuk apa lama-lama, nanti kan malah lebih cepatan. Justru mereka begitu. Terserahlah kalau kau mau melanjutkan S3, apalagi kamu kan dosen, ya udah sekarang ambil course work saja. Dan saya justru suka yang kuliah karena berguna untuk mengajar begitu, sehingga makin banyak yang saya dapatkan kan. Dan itu yang saya sukai di Amerika, karena banyak sekali course work, ada banyak mata kuliah yang bisa diikuti. Dan itu memperkaya saya wawasan dan ketrampilan untuk mengajar. Saya bisa belajar tentang cara mengajar berbagai macam. Materi ajarnya juga begitu banyak. Jadi saya sangat senang karena sistem kuliahnya. Jadi 1,5 tahun saya di sana. Namun dalam 1,5 tahun itu saya kira saya bisa belajar banyak sekali bukan hanya dari kelas. Tapi justru dari luar kelas. Mengapa begitu juga, karena saya waktu pergi ke Amerika saya juga sudah berkeluarga. Jadi saya ini tipe orang yang barangkali tidak bisa pergi tanpa anak-anak saya. Waktu itu saya baru punya anak satu, usianya baru 1,5 tahun. Tapi saya tetap ingin dia ikut. Nah itu keinginan dari saya sendiri, dari Fullbright sendiri sama sekali tidak menganjurkan. Dan juga tidak ada tambahan biaya untuk itu kan. Betul-betul menegaskan itu sulit. Semua orang mengatakan itu sulit. Tapi saya tetap harus berusaha anak saya ikut. Jadi akhirnya setelah saya harus nunggu selama 3 bulan di Amerika, akhirnya Mas Eka (Budianta) dan anak saya bisa ikut. Kita hidup hanya dari uang Fulbright, untuk bertiga. Padahal jumlahnya itu, terakhir memungkinkan untuk hidup bertiga. Untuk rumahnya saja sudah sekitar US $ 850 kalau tidak salah. Nah anak saya kan tidak bisa untuk di rumah terus, anak akhirnya harus dititipkan atau kalau tidak dititipkan harus ikut semacam Be care. Di USA Itu semuanya sangat mahal kalau tidak salah US $ 150, semuanya yang formal itu mahal. Jadi sisa uang untuk makan saja hampir tidak cukup. Itu agak berat sekali untuk kita. Tapi pada saat yang sama, untuk American Studies, itu bagus sekali. Dilihat pada waktu itu berat sekali. Luar biasa beratnya, saya bisa merasakan bagaimana menjadi miskin di Amerika. Jadi orang asing di Amerika itu seperti apa. Ternyata luar biasa sulitnya, lebih berat dari menjadi miskin di indonesia. Jadi di Amerika itu tidak belajar glamournya atau Amerika yang serba begini. Saya lihat betul-betul mengamati kehidupan saya sendiri menjadi orang miskin di bumi Amerika. Bagaimana kesehatan tidak terjamin. Saya mungkin bisa, tapi untuk anak-anak dan suami tidak. Dan kalau sudah begitu, sakit gigi pun tidak bisa diobati kan. Jadi sulit sekali hidup di Amerika saya sudah rasakan. Terus karena, kedatangan saya di bulan januari, maka terpaksa harus tinggal di luar asrama kampus (dormitory), untuk masuk ke dorm harus antri lama. Akhirnya kami harus cari rumah di sekitar USC (kampus paling mewah) yang tempatnya di downtown. Downtown itu adalah kota yang ditinggalkan oleh orang- orang kelas menengah atas, karena semakin lama semakin bobok, hanya ditinggali orang-orang pendatang kelas bawah. Jadi saya tinggal di lingkungan orang-orang bawah selain orang-orang yang kuliah, ya ada sih banyak rumah semacam kost-kostan begitu yah. Tapi sungguh wilayah itu sangat tidak aman. Dan itu pengalaman-pengalaman yang luar biasa yang saya alami. Sekarang ya nggak akan mau mengulangi lagi atau apa. Tapi kalau melihat hikmahnya waktu itu ya luar biasa. Karena kami datang di bulan januari, trus suami saya datang di bulan maret. Jadi saya tinggal di downtown mulai bulan maret, sebelumnya saya numpang-numpang di rumah orang dari Indonesia. Terus saya tinggal di downtown itu. Kami baru menyadari bahwa kami tinggal diantara dua geng. Geng hispanik dan geng hitam yang seringkali tawuran. Pernah sekali pada Natal pertama, wah kok seru ya banyak kembang api. Ternyata bukan kembang api, tapi itu tembak- tembakan diantara dua geng tersebut. Pagi-pagi, selongsongan peluru di sekitar rumah itu banyak sekali. Banyak yang dijejer-jejer, dibingkai jendela penuh dengan itu. Kami tinggal

143

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

diantara dua geng itu. Dan ada juga dampak buruk yang mengefek ke saya yah. Tinggal di tempat itu, kita mestinya berempati yah. Memang berempati kepada orang yang terpinggirkan karena kita merasakan beratnya menjadi orang yang kesulitan. Tapi pada saat yang sama itu kan daerah yang tidak aman begitu yah. Jadi kalau saya belanja bawa barang dan jalan kaki, karena untuk naik kendaraan kita juga harus itung duitnya, anak-anak kecil di sana ingin mengambil barang yang kami bawa. Sampai begitu. Saya sendiri pernah dikasih kalung. Saya pikir itu kalung biasa ternyata mungkin ada emasnya. Ya itu mau diambil oleh anak-anak kecil itu. Jadi saya itu jadi takut dengan anak-anak kecil itu. Seperti film Crash yah. Pada saat yang sama kita juga ada yang terbongkar, karena di kalangan orang-orang yang harus hidup dari cara seperti itu, kita selalu harus awas sebisa mungkin. Beberapa kali terjadi begitu. Ketika kita baru keluar, pulangnya tiba- tiba ditodong pakai rifle, kebetulan saja orang yang ditodong itu tidak bawa apa-apa, dia Cuma bawa koin-koin, kita juga tidak pernah bawa uang banyak. Terus kebetulan saja ada mobil lewat, penodong itu lari karena ada mobil lewat. Penodong itu masuk rumah lagi, karena tidak jauh dari rumahnya. Biasanya penodongan terjadi di area itu. Trus sesampai rumah kami langsung telpon polisi, kami malah dimarahi. Kalian itu gila, kalian bisa mati itu. Kemarin ada nenek-nenek mati karena pas ditodong tidak bawa uang. Jadi kami baru tahu: “what is to be street-wild at LA. Orang akan dibunuh jika penodong marah gak dapat duit. Dia selamat karena ada mobil lewat itu. Orang itu tetangga kan. Itu tetangga di depan rumah, karena kita tinggal di sana. Begitulah cerita di sana.

Sepulang dari KBRI, malam-malam naik bis, trus kami lihat ada orang jalan dulu. Saya bilang, kita harus hati-hati, suami mengingatkan, kamu jadi orang jangan suka prasangka dong. Setelah nyebrang seorang ibu di depan kita sedang dirampok, persis di depan mata. Ditodong.

RA= tidak bisa berbuat apapun? MB= ya karena dia membawa anak kecil juga. Habis perampok itu pergi, kami datang ke tempat ibu itu. Dia menangis, karena dia baru aja gajian katanya. Trus kita sama-sama cari telepon. Nah ketika kita sedang cari telepon malem-malem begitu, orang yang sama sudah ngobrol di situ. Padahal itu telepon belum nyambung itu, masih tut..tut..tut. jadi kita pura-pura sudah ngomong dengan polisi, padahal teleponnya belum nyambung. Saking takutnya, jadi seperti itu. Dalam situasi itu, kita sendiri harus berperanan dan kita harus keras. Dan kita harus selesai kuliah.

RA= itu bertahan berapa lama Bu? MB=ya selama satu setengah tahun. RA= selama satu setengah tahun itu? Selama tinggal di Amerika pakai sim card? MB= terus terang sulit, kita belum punya modal apapun, modal budaya. Kita ke Amerika juga baru pertama kali. Mas Eka keluar negeri juga yang pertama kali. Kita belum punya kecanggihan lah untuk mencari networking untuk bisa bekerja. Belum punya keberanian dan rasa percaya diri juga. Jadi Mas eka seadanya saja. Ia termasuk yang tidak pakai ijin yah. Kerja di kapal, dlsb, pokoknya segala macem, sedapatnya. Jadi praktis ya hanya untuk sekedar untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Pada saat itu, sebetulnya dia (Eka Budianta), di Indonesia, jadi wartawan tempo, eh bukan wartawan tapi dilamar, saya rasa, jadi koresponden. Selama jadi koresponden itu, sebetulnya terinspirasi oleh, waktu itu kan bulan maret, bulan agustus yah, dia ingat Hatta, orang-orang di luar negeri. Dulu di luar negeri itu, pemuda-pemuda kita mempunyai peran. Lalu dia usul ke majalah tempo, untuk memberi liputan tentang mahasiswa-mahasiswa di luar negeri. Dan usulan itu disetujui. Ia sendiri sudah wawancara ke teman-teman. Di USC itu tempat mahasiswa Indonesia yang kaya-kaya. Saya ingat tuh anaknya Pak Ali Sadikin. Anak-anaknya para konglomerat kuliahnya di USC atas biaya sendiri. Jadi USC itu sering disingkat University Choised Children. Namanya itu. Dan kalau ketemu, ya mereka memang betul-betul mewah, dengan mobil yang sangat Amerika. Luar biasa. Kita bergaul dengan mereka, tapi begitu mereka pulang naik itu, ya kita pulang tetap jalan kaki begitu yah. Cuma kan tidak mungkin untuk mengatakan hal itu, gitu loh. Saya nggak punya duit nih, kan nggak mungkin gitu lho. Jadi kita berelasi dengan orang-

144

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

orang seperti itu. Tapi ya, hidupnya memang beda. Mereka betul-betul humburg yang hidupnya di tempat-tempat yang beverly. Nah trus mas Eka kemudian mewawancarai mahasiswa- mahasiswa itu, yang tergabung dalam Permios, atau apa saya lupa. Wawancara dan melihat trend yang ada. Tapi kan sampul itu apa yang anda kirim itu yang dimuat kan. Namun itu bukan jaminan apa yang anda kirim akan dimuat. Dan mereka berhak menulis kembali. Bukan wartawan yang menulis / mengirim tapi ada penulisnya sendiri pada waktu itu seperti itu. Kalau sekarang ada guideline. Dulu kan tidak ada itu. Mereka melakukan banyak sekali acara. Tapi mereka kan mendistribute kan gaya hidupnya yah. Wartawan kan tidak asal masuk yah. Kan wartawan biasanya rumahnya seperti apa dicatat gitu yah. Mobilnya seperti apa yah... itu kan termasuk observasi juga. Tapi setelah keluar (terbitan), mobilnya dua, dlsb, oleh Tempo itu yang ditulis. Jadi lebih banyak yang diambil dari laporannya Mas Eka itu justru wah-nya itu. Sementara bagaimana mereka bikin acara ini dan itu justru tidak dianggap terlalu penting oleh editor Temponya. Tempo tahun 1980- bulan agustus atau september. Jadi yang keluar itu dari semua (macem-macem), yang dari Amerika itu ditulis oleh Mas Eka. Yang dipilih oleh mereka itu justru aspek glamournya, padahal Mas Eka nulisnya kan berhalaman-halaman, segala macam aktivitas mereka itu. Mahasiswa Indonesia di sana kan marah. Dampaknya, bisa dikatakan Mas Eka itu seperti hampir nyaris diculik dan diinterogasi oleh mahasiswa, mungkin ada beberapa puluh orang. Waktu itu untuk ada ibu Ramadhan KH. Nah kita kan agak dekat dengan Ibu Ramadhan KH, sama-sama punya ini. Waktu itu jadi Atase di sana. Ibu Ramadhan KH itu tahu betapa marahnya mahasiswa-mahasiswa itu karena sangat dekat dengan KBRI kan anaknya orang-orang kaya. Jadi dia ikut datang dalam acara itu, saat Mas Eka diinterogasi. Ya terus terang dikatakan oleh Mas Eka, yang ditulis ya segala macam gitu yah. Yang ditulisnya bukan hanya yang itu kan. Tapi apa yang dimuat itu diluar kekuasaan dia.

RA= jadi itu dibelejeti habis tentang glamornya? MB= iya itu dilakukan oleh Temponya. Dampaknya, yang merasakan kan kita yang di sini. Aksi mereka, katanya karena saya tidak tahu ini, mereka berusaha agar paspor kita jangan diperpanjang. Telpon juga diganggu. Rumah dilempar batu. Jadi kita menghadapi orang-orang kelas yang lebih tinggi. Jadi itu kita rasakan, jadi banyak pengalamannya lah. Rasanya jadi tidak betah ingin cepat pulang, karena situasinya seperti itu. Terus saya sendiri banyak belajar karena di LA yah. Pada waktu itu ada reference moon, korea selatan, penyebar agama moon easter, sekte itu. Dan itu banyak di kampus. Jadi mereka datang ke rumah, ngajak ini itu. Jadi culture studies saya itu lumayan. Belajarnya bukan hanya buku-buku sastra, tapi saya diajak oleh sekte itu ke tempat mereka. Ada biaranya, ngobrol ini itu, juga ngobrol tentang cara mereka membuat comfort mencari pengikut. Menurut saya, saya mendapatkan banyak sih pengalaman tentang American Studies from below. Terus saya sekolah, tahun 1981, terus saya mengajar, harus ikut membantu di American Studies untuk program S2. Kemudian saya tertarik pada program remaja. Cukup lama ya sampai pada tahun 1987 baru saya mendaftar kembali untuk S3. Waktu itu masih dimungkinkan dari lulusan S2 mendaftar kedua kali (ke Fullbright) untuk S3. Kalau sekarang tidak bisa, sekali dapat Fullbright, maka tidak boleh lagi. Kalau dulu masih mungkin. Tapi waktu itu, program S3-nya memang baru muncul belakangan kan. Setelah itu, enggak tahu persis tahun berapa, kembali lagi dosen-dosen saya yang Nederland. Untuk memberikan dorongan. Kamu nggak masuk S3, setelah mengajar sekian lama. Kita perlu juga restoring. Saya terus mendaftar lagi. Dan saya kira, saya beruntung mendapat lagi (beasiswa Fullbright itu). Sekarang sulit kan untuk mendapatkan itu. Karena peminatnya juga banyak dan kesempatan itu langka lah. Tapi menurut saya justru kalau seandainya Cuma S2 begitu, dan berhenti di situ, saya tidak akan jadi seperti saya yang sekarang ini. Pengembangannya pasti beda. Saya sendiri merasa ada pematangan dari segi intelektualitasnya. Saya membutuhkan proses untuk S3 itu untuk bisa lebih berfikir secara konseptual, dan bisa mengembangkan pemikiran-pemikiran. Ya mungkin ada kesempatan dari yang lain, saya juga tidak tahu, tapi menurut saya sayang kalau saya hanya sampai Master/S2 (dengan beasiswa Fullbright) itu. Orang-orang yang sudah master kemudian

145

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dia punya potensi kan untuk mendapatkan S3. Kalau itu kemudian tidak diperkuat oleh Fullbright ya sebetulnya sayang.

RA=sejak kapan ada perubahan bahwa Fullbright hanya bisa untuk S2 atau S3 saja? MB= baru beberapa tahun belakangan. Mereka rupanya ingin agar sebanyak mungkin orang dapat Fullbright itu. Kalau orang mendapat dua kali, pasti itu hanya akan terpusat pada Anda kan. Padahal anda kan sudah pernah kan. Dia anggap anda mungkin sudah punya jembatan lain, karena Anda mungkin sudah punya bargainning position yang lebih tinggi. Kita juga bisa memahami sih logikanya. Tapi kalau saya lihat, sebetulnya sayang sih kalau hanya sampai dengan S2 saja. Karena master itu kan baru tingkat dasar, sementara untuk pengembangan konsep- konsep kan baru S3.

RA= kembali pada pilihan American Studies, itu pilihan ibu sendiri atau pihak lain, misalnya ada diskusi dengan siapa begitu? MB= Sebetulnya itu strategi saya sendiri juga. Artinya itu strategi dari saya. Keinginan, strategi, dan berdasarkan kebutuhan juga. Inisiatif dari saya sendiri, tapi juga saya perbincangkan dan diskusikan dengan institusi/ kebutuhan institusi, lalu saya melihat itu. Jadi bukan hanya sekedar asal pilih juga, tapi saya mempelajari situasi di UI, saya mempelajari medan yang akan saya hadapi. Apakah saya siap langsung meloncat ke sastra di sana yang tuntutan kecanggihan sastranya pasti sangat tinggi kan. Terus terang bahasa saya kan bahasa Inggris yang bukan paling... , saya belajar bahasa inggris sebagai bahasa sekunder. Kan sadar juga kekurangannya. Sampai ke tingkat analisis di sana kan membutuhkan waktu, nah nanti kalau S3 baru masuk sastra inggris. Setelah menempuh S3 di sana, semua terpapar, merasa lebih percaya diri dan saya sudah melatih kemampuan bahasa inggris saya. Dengan tinggal di sana setengah tahun dan kemudian menjadi dosen selama sekian tahun, saya nanti S3-nya kan sudah bisa ambil sastra Inggris. Karena saya merasa juga, bahwa saya ingin yang.... dulu, baru mengerucut, ke S3-nya lebih fokus. Untuk dapat yang komprehensif, American Studies lebih bagus. Politik amerika dll semuanya pasti dapat. Jadi kalau saya mengambil sastra ada konteksnya. Begitu. Jadi itu adalah strategi saya yang kemudian saya diskusikan juga.

RA= kalau peran Fullbright sendiri apa Buk, pada saat ibu mengambil American Studies itu? MB= ya tentu saja perannya besar. Ini kan juga proyek.. hmm bukan proyek Amerika, tapi ini kan diprioritaskan waktu itu. Masih diprioritaskan. Sekarang tidak lagi. Jamannya sudah beda, bukan Cold War lagi. Kalau dulu kan masih masa Cold War, jadi American Studies kita tahu adalah satu proyek yang juga untuk membangun pemahaman Amerika di luar Amerika. Bagaimanapun ini political project. Artinya saya sadar itu, tapi mengapa tidak. Artinya, meskipun itu punya kepentingan politik Amerika, kepentingan luar negeri Amerika, atau apa, kita sadar akan hal itu. Karena yang kita pelajari memang macam-macam gitu yah. Kita tidak harus terhegemoni oleh political project American Studies itu. Walaupun American Studies Indonesia akhirnya, memang harus bernegosiasi dengan seperti itu. Kalau kita mendirikan program kajian Amerika bukan berarti menjadi anthek amerika kan dengan kata lain, ya kan. Tidak bisa dalam arti bahwa ketika teman-teman itu mendirikan program American Studies itu, ya kita terus menerus berupaya untuk membangun (kesadaran) itu. Bahwa kita adalah orang-orang yang mengkaji Amerika dari perspektif Indonesia. Tentu saja dalam urusan dengan Fullbright dlsb, kita tahu bahwa mereka punya kepentingan untuk membangun konsep dasar itu. Tapi kita juga tahu bahwa Amerika itu tidak bermaksud juga membuat boneka-boneka yang kemudian tidak kritis. Artinya, kalau kita lihat misalnya penulis-penulis Amerika dikirim kemana-mana, mereka / penulis-penulis itu kan penulis black propaganda kan. Mereka itu kan tetap kritis terhadap dirinya sendiri. Artinya, memang American Studies ada kepentingan political project di dalamnya, tapi dalam demokrasinya sendiri memungkinkan ruang (untuk menjadi kritis). Kita bisa belajar kritis dari mereka dari penulis-penulis / pengarang-pengarannya, dari para penyairnya. Dan pemikir- pemikirnya banyak sekali yang mengkritik Amerika ya kan. Dan ketika belajar American Studies di

146

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Amerika, underframe-nya kan dari segala macam. Mereka dari intelektual yang bebas dan tidak terkotaki oleh pemerintahannya itu kan enggak. Pengajar-pengajar di sana sangat kritis terhadap negara, walaupun mereka mengajar American Studies kan. Jadi saya kira tidak ada masalah. Memang Fullbright memberi bantuan, memberi prioritas ya pada pengembangan American Studies. Jadi mungkin seperti itu. Bantuannya cukup banyak, seperti buku-buku, para pengajar yang terus menerus di-impor, dan mereka juga membutuhkan dukungan itu kan untuk memperkuat.

RA= jadi secara khusus Fullbright mensuport program American Studies itu ya? MB= walaupun itu hanya sampai pada tahap tertentu saja. Karena UI sudah dianggap cukup kuat, mereka terus agak tidak membantu UI lagi. Mereka membantu cuma (orang-orang) daerah. UI dianggap sudah mulai tidak dikirim lagi. Dulu di setiap tahun, selalu ada yang dikirim satu. Yang terakhir itu kalau tidak salah sekitar tahun 1998. Tahun 1998/1999 itu yang terakhir sepertinya. Menjelang tahun 2000 tidak ada lagi. Karena dianggap UI sudah cukup kuat, tidak perlu dibantu lagi. Mereka membantu yang di luar. Dulu di setiap tahunnya ada dosen yang mendapat beasiswa. Dan untuk S3 saya, ada peran Fullbright yang sangat besar. Waktu itu dia mengirimkan seorang dari Cornel University untuk mengajar American Studies di KWA yah. Nama orang Amerika itu adalah ChandraVike dari Cornel. Saya biasanya menjadi counterpart di UI, untuk dosen-dosen Amerika yang datang. Artinya saya harus menemani mereka kalau mempunyai kebutuhan- kebutuhan khusus. Saya sering dialog dengan mereka, saya seringkali masuk ke kelas untuk membantu sebagai asisten dosen-dosen Fullbright. Tentu saja kalau mereka memerlukan, kalau tidak ya tidak. Tapi artinya, saya seperti view mereka untuk melancarkan kuliah mereka. Tugas saya seperti itu di KWA di Salemba. Apalagi saya sebagai ketua program dlsb. Sandra Vike pada waktu itu datang tahun 1985, selama satu tahun kalau tidak salah. Setelah saya setahun bekerjasama dengan dia, dia mengatakan: kamu mau S3 lagi? Saya jawab Yah. Kenapa tidak di Cornel saja? Kemudian pada waktu itu, saya mengajukan ke Cornel dan ke beberapa tempat. Tapi oleh Fullbright waktu itu sempat tidak dikirim, yang ke Cornel, karena terlalu mahal. Akhirnya saya waktu itu dipilihkan dan mendapat yang Texas (Texas of ...) untuk Phd-nya. Terus Sandra kemudian mengatakan bahwa kami belum pernah mendapatkan proposal kamu, tidak pernah sampai ke kami. Kemudian saya meminta izin Pak Piet kemudian saya kirim sendiri.

RA= Lho Pak Piet sudah tahu sejak lama? MB= ya sudah lama sekali, dia tahu segalanya, dia tahu panjang sekali. Anda harus mewawancarai dia. Dia orang kunci di situ. Dia bisa cerita tentang kita-kita semua. Dia juga bisa menunjukkan siapa-siapa yang seharusnya Anda interview. Terus akhirnya saya mengirim ke Cornel dan kemudian di terima. Sebetulnya saya sudah diterima di Texas of ... tapi memang saya undur. Itu memang di luar prosedur juga. Saya minta diundur. Seharusnya saya pergi tahun 1987, saya minta diundur 1988. Waktu itu saya tidak siap untuk pergi karena saya punya anak 2. Dulu ketika sekolah S2 saya baru punya anak 1. Yang kedua kalinya saya pergi, anak saya sudah umur 10 tahun dan umur 4 tahun. Saya pikir, kalau dia di TK, jadi agak berat. TK kalau tidak salah umur 5 tahun. Jadi kalau saya perginya saat dia sudah TK lebih mudah secara finansial karena tidak harus membayar lebih besar begitu. Tapi kalau masih di Free school, saya tidak akan punya uang, begitu artinya. Jadi saya minta ditunda setahun. Terus saya mengurus ke Cornel, maka saya dapat di sana. Kenapa saya memilih Cornel, karena saya sudah bisa pergi dengan suami, karena Mas Eka itu diterima di BBC. Dan itu cita-cita dia sejak lama. Dan Cornel adalah cita-cita saya juga. Tidak ada yang bisa mengkompromikan begitu. Saya tidak bisa meninggalkan yang saya dapat dari Fullbright untuk BBC, dia juga tidak bisa meninggalkan BBC juga. Akhirnya dia harus ke BBC dan saya harus ke Amerika. Dia tinggal di London saya di Amerika. Kalau saya tinggal di Texas, biayanya makin panjang lagi. Karena naik pesawatnya kan lebih jauh. Jadi karena saya di philadelpia agak terbantu sedikit. Saya agak terbantu sedikit karena memilih di pantai utara (amerika).

147

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

RA= apakah memilih Cornel juga karena kajian kualitas Sastra Inggrisnya? MB= ya memang luar biasa. Saya masuk Cornel itu mimpi yang luar biasa. Saya sendiri sudah lama mempelajariya. Cornel sendiri sudah terkenal namanya. Itu termasuk ib leaugu, itu universitas-universitas yang dianggap private. Itu diibaratkan tumbuhan yang merambat, artinya universitas-universitas private yang sudah lama. Ibleaugu, itu juga universitas-universitas yang lama, yang private, yang prestigious di Amerika, termasuk seperti Cornel, Harvard. Kalau di Inggris itu barangkali termasuk Standford. Untuk saya, bisa belajar di tempat seperti itu sudah sangat luar biasa. Kami menganggap itu agak lebih dekat dibandingkan di Texas. Walaupun untuk beasiswa, di Texas itu lebih banyak. Negeri Texas kan kaya yah. Kami akhirnya pergi dengan dua anak, saya sendirian. Tapi bagi saya lebih baik begitu daripada meninggalkan mereka yah. Saya memilih mereka (2 anak) ikut. Karena saya ingin mengalami pengalaman yang beda (dengan sebelumnya di LA), pengalaman multikultural yang berbeda. Pengalaman sudah bermacam- macam, banyak orang asia, di LA, dengan berbagai macam pengalaman orang yang underpressure. Nah saya ingin mengalami bagaimana kalau mereka ikut begitu. Itu juga daerah dingin yah. Dari satu tempat ke tempat lainnya. Akhirnya saya pergi dengan dua anak. Karena waktu itu harus selesai 4 tahun, maka ya saya selesaikan 4 tahun. Begitu. Beasiswanya memang lebih baik dibandingkan dengan yang dulu, tapi tetap saja tidak mungkin sesungguhnya dengan 2 anak seperti itu. Cuma bagi saya, apapun kondisinya ya harus bisa. Jadi misalnya, kita downgreat untuk tempat tinggal yah, misalnya sebesar family housekeep, kalau ada laki-laki perempuan anaknya mestinya ya tetap dua kamar. Saya akhirnya meminta adjustion pindah dari yang dua kamar ke satu kamar, kan lebih murah. Dengan alasan ya karena keuangan kurang. Meski satu kamar, tidak masalah buat saya. Makan bisa empat kali atau tiga kali begitu. Saya termasuk sudah older student di sana. Karena mereka di sana biasanya dari S1 langsung Phd. Jadi umur mereka baru 23 atau 24 tahun begitu. Sedangkan saya sudah umur berapa, 34 tahun. Saya sudah termasuk yang paling tua, tidak ada yang lebih tua dari saya. Mereka kebanyakan anak yang freshgraduate langsung ambil program S3. Dan mereka rata-rata masih single. Teman saya yang dari luar Amerika adalah orang dari Cina ada satu atau dua, ada yang dari Thailand tapi dia ambil Master, sisanya dari Amerika semua. Mereka kebanyakan anak-anak muda yang memang waktunya untuk belajar penuh, walaupun mereka itu PA. Sedangkan saya dibayar Fullbright penuh tidak usah PA. Praktis, pagi hari saya menyiapkan mereka sekolah, jam 8 saya kuliah di kampus. Saya harus lari ke beberapa tempat, paling tidak ketika bis turun saya harus sudah siap untuk mereka pulang. Dan membantu mereka kalau sudah malam. Kalau mereka sudah tidur, sekitar jam 21.00 saya berangkat lagi ke kampus. Pulang jam 01.00 atau 02.00 pagi. Karena pada waktu itu saya belum punya komputer. Percaya nggak saya belajar komputer itu di sana. Jadi terlambat sekali. Jadi saya lari ke kampus itu mesti mengetik di kampus. Lalu kakak-kakak kelas itu menanya. Kamu enggak bisa pakai komputer? Enggak kataku. Waduh, kamu harus belajar komputer. Sama kakak-kakak kelas dimarahi. Saya dianggap udik banget sama mereka. Dalam waktu 15 menit kamu pasti bisa. Sejak itu saya belajar komputer. Sebenarnya sebelum berangkat juga sudah mulai sih mengenal komputer, tapi waktu itu sistem komputernya masih World Star. Saya baru belajar itu, tapi tidak punya komputernya. Di sana sistemnya kan lain juga. Akhirnya saya belajar di sana, tapi saya belum punya komputer sendiri. Belum punya. Jadi setiap malam saya berangkat ke kampus untuk mengetik sampai jam 01.00. Mengerikan sekali yah. Tapi di sana aman. Dan di sana yang beda, komunitas indonesianya di sana adalah rata-rata dari pemerintahan, seperti teman-teman dari Bapennas. Teman-teman intelektual saya di sana itu seperti Daniel Dakidae, PM Laksono, itu dapat beasiswa juga dari Fullbright, adiknya Umar Kayam, si Mas yoyok (Hindro Samsoyo). Jadi semua jadi teman. Betul-betul seperti kampung indonesia. Dan tinggal di satu perumahan lagi. Ada lurahnya segal. Tapi akhirnya lurahnya kita bubarkan karena waktu pemilu ada upaya dari sang lurah untuk mendukung Golkar. Nah kita kan sudah kritis, jadi kita bubarkan. Memang yang dikirim ke sana ada yang dari PU, pokoknya dari pemerintah banyak mengirim orang untuk sekolah. Dari PU, Bapennas, Agraria, Kesehatan/ Gizi, dan bermacam orang dari pemerintah. Jadi bukan hanya dosen-dosen, tapi banyak juga birokrat. Tapi tidak semua dibiayai dari Fullbright. Lucu-lucu ceritanya. Ada teman dari PU, waktu itu buku

148

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Pramudya masih dilarang, James Spiegel di kuliah antropologi, membahas pramudya, orang PU itu pegang bukunya saja tidak berani karena dihegemoni oleh Orde Baru. Dia takut untuk pegang, karena dilarang, sampai seperti itu.

RA= Spiegel itu masih ada relasinya dengan Sandra? MB= iya, jadi saya itu kan ambil Sastra Inggris dengan Sandra Vike, dan James Spiegel mengajar Southeast Studies dengan rata-rata teman indonesia. Orang indonesia yang ada di Cornel yang ambil Sastra Inggris itu hanya ada Ibu Pia (Abilin) di situ, tapi hanya beberapa semester begitu. Jadi saya orang kedua yang ambil sastra inggris di Cornel. Tapi ibu Pia tidak ambil gelar karena hanya ambil beberapa semester saja. Jadi saya orang indonesia pertama yang masuk Sastra Inggris di Cornel. Saya aja yang ambil. Nah James Spiegel di sana, sehingga saya ketemu dengan teman-teman dari Indonesia. Saya kemudian ikut pertemuan diskusi teman-teman itu namanya di 101 (One O one), mereka selalu ada pertemuan namanya Brown Back Discussion sambil lunch. Mereka itu selalu berdiskusi di setiap Kamis siang. Masing-masing membawa makan siangnya sendiri-sendiri. Yang didiskusikan soal-soal Asia Tenggara. Trus Pak Ben Anderson ngajar, james Spiegel juga ngajar juga. Saya juga jadi pingin ikut di sana yah. Walaupun dari jurusan Sastra Inggris, tapi tetap boleh ikut. Di sana kan bebas, saya boleh ambil kuliah macam-macam. Selain di jurusan Sastra Inggris, saya juga ambil kuliah politik, ada yang ahli bicara dari Amerika yang terkenal, Michael Canon, saya ambil kuliahnya juga. Saya juga ambil Southeast Studies walau hanya sebagai pendengar. Di kelasnya Pak Ben dan Pak James Spiegel saya menjadi pendengar. Jadi saya bisa tahu tentang indonesia, tentang amerika, sastra inggrisnya dan hal-hal lain dari situ. Di Cornel, sastra inggrisnya tidak langsung Amerika yah. Jadi sastra-sastra yang dari British harus tahu lebih dulu. Semua test sastra inggris juga harus saya ikuti. Jadi yang dipelajari adalah sastra inggris murni. Tapi kemudian saya banyak mengambil kuliah-kuliah yang Amerika, ada beberapa mata kuliah. Jadi interaksi saya di dua wilayah itu, dengan teman-teman indonesia, dan ambil beberapa matakuliah sastra inggris.

RA= tadi ibu mengungkapkan bahwa belajarnya tidak hanya di kelas, tapi banyak juga belajar di luar kelas. Saya menangkapnya, ternyata kehidupan di basecourt, ruang belajarnya, bukan hanya di perpus, tapi juga dengan kelompok-kelompok diskusi seperti tadi. Mungkin bisa diceritakan mengenai kehidupan politik di Amerika? MB= ya..benar. itu terkait dengan multikulturalismenya. Saya menulis itu. Setiap saat saya menulis sebetulnya. Setiap fase selalu ada tulisannya. Di ranah pribadi saya sudah seperti di Amerika itu. Waktu itu sudah mulai multikulturalisme, sebagai wacana. Multikulturalisme yang sudah menjadi political correctness. Jadi sudah menjadi semacam sensor yang terbalik begitu. Artinya orang menyensor kalau kita menjadi rasis itu akan disensor oleh banyak orang. Tapi kadang menjadi terlalu moralistis juga. Jadi waktu itu ada training kesadaran sensitifitas. Kalau kita sensitifitas gender, di sana ada sensitifitas ras di tingkat masyarakat. Ada juga demo-demo. Banyak teman yang sering ikut. Saya juga sering ikut rapat-rapat.

RA= teman-teman itu yang dimaksudkan teman-teman di S2 atau S3 bu? MB= teman-teman di S3. Ini tadi kan konteks ceritanya di S3. Cornel sendiri ada sejarahnya yang oleh sebagian intelektual amerika yang aliran kanan, itu dianggap bermasalah. Karena pada tahun 1960-an ketika Civil Right muncul, di Cornel pernah terjadi, justru di jurusan inggris, demonstrasi dan mahasiswa itu menyandra dosennya. Saya kira, mereka menuntut agar diadakan sastra yang membahas kulit hitam. Karena terus terang, inggrisnya Cornel ini, inggrisnya adalah inggris british. Jadi perhatian kesusastraan untuk yang lokal (Amerika) itu dirasa kurang. Nah pada tahun 1960-an itu mereka menuntut itu, akhirnya dibuka African-American Center. Jadi center itu membuka secara khusus program yang terkait dengan isu-isu African American itu. Menarik itu. Nah pada tahun 1988, muatan multikulturalnya semakin berkembang kuat. Jadi bagaimana orang hispanik, waktu itu ada kelompok native american, ulang tahunnya kedatangan Colombus, itu dirayakan dengan orang-orang indiannya. Kedatangan Columbus itu sendiri kan

149

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

tragedi bagi orang-orang indian. Nah kesadaran seperti itu diantara teman-teman kan cukup kuat. Itu dilakukan di jurusan sastra inggris. Untuk Southeast Asian tidak ada kaitannya dengan hal itu. Ini konteks di Amerika. Jurusan sastra inggris ini berurusan dengan (temas seputar) Amerika. Saya bermain di situ. Kesadaran tentang indonesia lahir dari situ. Tapi kesadaran tentang Amerika kan di jurusan inggris itu. Jurusan inggris memang banyak diwarnai oleh British. Tetapi pada saat yang sama student bandingan kan. Mahasiswa di jurusan inggris ini kesadaran kritisnya sangat kuat. Karena mereka sudah punya sejarah dari jurusan inggris yang seperti itu kan. Jadi anak-anak Hispanic, Afrika, orang-orang kulit hitam banyak membuat kelompok-kelompok diskusi dan memang di sastra inggris itu, kuliah ya tetap kuliah. Tetapi saya lebih banyak belajar dari diskusi mahasiswa. Ada yang diskusi tentang teori-teori, postkolonial, ya itu masuk sebelum kurikulumnya belum diprioritaskan. Sudah disisip-sisipkan tapi masih satu dua saja, belum terlalu banyak. Juga ada kelompok perempuan yang mendiskusikan tentang ras. Banyak kelompok diskusi yang saya ikuti. Mereka kadang suka demo, untuk menanggapi masalah-masalah di Amerika. Kalau mereka sedang merencanakan saya sering ikut. Terus mereka mengikutkan saya dengan perhatian Amerika begitu, seakan akan saya sebagai bagian dari multikulturalisme Amerika. Mereka tidak pedulikan saya orang indonesia. Jadi saya bisa memahami persoalan- persoalan multikultural yang muncul di sana.

Terus kemudian (tentang ruang belajar), di tempat tinggal saya. Saya kan tinggal dengan dua anak saya, yang laki-laki dan perempuan. Yang perempuan kan sudah masuk SMP. Yang laki-laki baru masuk TK kan. Nah anak saya yang laki-laki itu sering bermain di seputar family housing itu. Kebetulan ada anak orang Cina datang. Dia bermain dengan orang Cina, Mexico, pokoknya campuran di situ. Famili housing rata-rata dihuni oleh student dari berbagai macam negara. Entah bagaimana, anak saya itu mengatakan “you are Chiness” kepada anak orang cina itu. Terdengar oleh super intenden, semacam supervisor family housing. Kemudian saya dipanggil bersama dengan si orang tua anak dari Cina itu. Dia bilang, kami dapat laporan warga ada yang mendengar bahwa anak anda menyebut anak ini Chiness. Itu ternyata dipersoalkan sebagai ucapan yang mengandung rasisme. Saya kan glenik-glenik begitu, kami ini kalau di Indonesia disingkang-singkang. Tapi sekarang kami dipanggil karena dianggap mengatakan orang lain Cina. Jadi lucu sekali pengalaman itu. Itu multikulturalisme yang dipelajari di Amerika begitu.

RA= kalau peran profesor dari S2 dan S3 itu sebesar apa sih Bu? MB= S2 itu kuliah-kuliah aja, jadi hanya seperangkat kuliah-kuliah saja. Yang banyak berperan adalah supervisor namanya. Supervisor itu nanti akan memilihkan kuliah-kuliah yang hendak kita ambil. Bareng-bareng dengan kita memilih mata kuliah. Di situ perannya. Sedangkan kalau yang S3, kita harus kuliah mandiri. Tiga tahun penuh kuliah. Kita diberi kebebasan memilih mata kuliah. Nah nanti kita harus ambil qualifiying extent. Di sana kita harus menentukan pengutamaan kita apa. Kita diuji, jika sudah lulus, maka kita membuat proposal. Sejak masuk di qualifiying extent itu sudah disusun Tim yang terdiri dari Tim Promotor dan Co-promotor, jadi satu promotor adalah satu profesor yang menjadi promotor. Sisanya adalah timnya ada 4 orang. Lima orang dalam Tim itu membaca disertasi semuanya. Kemudian ada 4 penguji untuk disertasi itu. Pada masa itu sangat penting. Tapi yang menarik itu, saya menyusun sendiri. Jadi tidak ditentukan oleh program, kamu promotornya harus ini, bukan begitu. Saya mencari dan menghubungi sendiri. Mau enggak kamu jadi supervisor saya begitu. Dan kita kan harus menyusun 4 orang lainnya juga. Saya juga harus cari sendiri yang kira-kira relevan kaitannya dengan studi saya. Jadi saya membuat tim saya sendiri. Tentu saja promotor itu sangat penting, dalam arti, dia yang nanti memberi feed back untuk disertasi kita. Tapi kita ya tetap harus mandiri yah. Sebagian besar itu kita harus mandiri, kan harus menentukan topik kita sendiri.

RA= terkait dengan cerita siswa dari PU yang takut memegang buku Pramudya tadi, apakah dari pilihan-pilihan ini ada tekanan misalnya dari KBRI?

150

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

MB=saya kira enggak. KBRI tidak bisa menjangkau sampai wilayah itu. KBRI hanya mengurusi wilayah administrasi tuh. Saya enggak melihat pemerintah Orde Baru sampai seperti itu. Mereka juga tidak punya intelektual-intelektual yang ditaruh disitu yah. Pekerjaan administrasi aja sudah banyak sekali jadi tidak mungkin, mana sempat mengurusi hal itu. Itu sepertinya masih proses internalisasi saja.

RA= selama S3 bagaimana relasi Ibu sebagai penerima beasiswa dan pemberi beasiswa baik yang di Amerika maupun yang di indonesia? MB=Selama dua kali menerima Fullbright itu tidak pernah ada masalah ya. Memang rasanya tiap tahun itu, kan di setiap tahunnya tetap harus diperbaharui terus/ ngurus lagi kan, itu rasanya kurang enak ngurus-ngurus seperti itu. Seakan-akan belum pasti kalau akan diperpanjang begitu kan. Walaupun kita tahu pasti akan diperbanjang juga sebetulnya. Tapi sebetulnya tidak ada persoalan. Kayaknya mereka profesional dan sangat helpfull. Cuman waktu itu ada staf di international office-nya bertanya begini, Kamu orang dari mana? Indonesia. Oh ya subsisten. No Indonesia... bagaimana orang mendefinisikan kita lucu-lucu. Itu saja.

RA= ada pengalaman tentang sejarah keturunan... MB= ya.. saya iya, dan ariel juga. Tapi pengalaman dia berbeda lagi. tapi pengalaman saya dan teman-teman di sana itu cukup penting dalam membangun, karena di indonesia itu kemudian jadi relasi. Misalnya dengan Daniel Dakidae, PM Laksono, kita bertemu dalam satu lingkup yang sama di dunia internasional. Jadi kadang saya tidak mengerti kalau di ekonomi ada Mavia Berkeley, itu sebetulnya semacam jaringan dari pengalaman yang sama kan. Itu dunia intelektualitas yang kurang lebih sama kan, jadi kita sering berdialog di situ. Berjejaring di situ. Ketika kita pulang, jejaring itu terbangun.

RA=Ketika ibu berangkat, apakah Mavia Berkeley sudah dimunculkan dalam wacana di Indonesia? MB= tidak tahu saya. Apakah sudah muncul apa belum ketika itu. Tapi maksud saya, jejaring teman-teman di sana itu seringkali bisa diaktifkan. Oh iya ada Daniel Dakidae, dan PM Laksono gitu kan... seperti itu

RA= aliran-aliran ideologi sekolah itu sudah nampak atau belum buk ketika ibu sekolah dulu? MB= iya. Tapi kalau saya sebut namanya juga gak etis. Seperti itu tadi, kemudian ideologi Orde Baru yang kuat itu. Kemudian teman-teman yang berbau aktivis juga menentang adanya kelurahan di perumahan di sana. Dan kelurahan itu dibubarkan bener. Kelurahan itu namanya juga kita pilih bersama, biasanya untuk tempat ngumpul, inisiasi dari “lurah” kalau ada acara khusus bikin apa... seperti ketua RT gitu lah ya...Cuma ketika ada pemilu kok mulai bicara soal seperti itu... yang mengarahkan ke Golkar, akhirnya kita enggak mau lah. Kelihatan bau Orde Baru sangat kuat. Ada juga mahasiswa teknis yang tidak ada kesadaran politis lah... itu juga banyak. Terus teman-teman yang agak kritis tadi.

RA= tentang kesadaran kritis, ada kesempatan bagi saya untuk menindaklanjuti wawancara lagi? MB=boleh. Saya kirim saja FB itu. Karena sebetulnya saya sudah bicara di situ banyak. Kesadaran saya itu muncul kapan dan dimana itu sudah saya tulis semua.

RA- terimakasih Ibu, atas waktunya untuk saya.

151

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Lampiran Transkrip Wawancara 2:

Narasumber : Piet Hendrardjo (PH) Jabatan : Senior Program Officer Fulbright Program Indonesia Pewawancara : Retno Agustin (Ran) Tanggal : 28 Juni 2010

PH: Ada suatu program pertukaran. Jadi akhirnya pada tahun 1946, Konggres Amerika merintis / mensahkan UU Pertukaran Pendidikan dan Pekerjaan, dimana peserta dari Amerika dikirim ke luar negeri, ke beberapa negara yang mempunyai ide yang sama untuk bertemu dengan masyarakat di luar negeri, berbincan-bincang, dlsb. Demikian juga halnya, Amerika mendatangkan warga dari luar negeri ke Amerika untuk keperluan yang sama. JAdi tujuan atau Misi dan Visi Program adalah meningkatkan saling pengertian antara bangsa. Ini tujuannya demi terciptanya perdamaian dunia. Kemudian beberapa tahun kemudian, Fullbright di Indonesia dimulai pada tahun 1952, enam tahun setelah diundangkannya UU Pertukaran Pendidikan dan Pekerjaan di Amerika tahun 1946, Indonesia mulai membuka kesempatan itu. Kemudian Program ini ditawari (?) sebelumnya oleh Kedutaan Amerika, waktu itu khususnya oleh United State Information Services (USIS). Kemudian tahun 1987, ada beberapa pihak dari Indonesia, orang kita, melihat bahwa programnya (FULBRIGHT) semakin membesar, sehingga perlu ada suatu lembaga untuk menangani program ini, yaitu lembaga yang anggota-anggotanya mewakili kedua bangsa. Ini sesuai dengan ide awal FULBRIGHT, yaitu meningkatkan saling pengertian antar bangsa sehingga dianggap penting juga, dalam memilih calon peserta Program Fullbright ini juga ada masukan dari kedua bangsa. Sehingga tahun 1987 itu didirikan suatu Yayasan, AMINEF namanya, sebagai Yayasan Indonesia. Jadi ini lembaga hukum... lembaga hukum Indonesia. Pada tahun 1987, itu sudah didirikan sebagai badan hukum Indonesia. Kemudian tahun 1992, setelah pembicaraan sekian lama, akhirnya AMINEF berkembang menjadi suatu lembaga yang betul- betul sebagai komisi dwi bangsa, dimana pendiriannya itu dikuatkan dengan suatu nota kesepahaman (MoU) yang ditandatangani waktu itu oleh Mentri Luar Negri Ali Alatas (almarhum) dan juga Duta Besar Amerika untuk Indonesia pada waktu itu, namanya John Monjo (red- lengkapnya John C. Juli Monjo). Kira-kira begitu sejarahnya.

RAN: Jadi begitu ya Pak sejarahnya. Kan di dalam website AMINEF sendiri memang ada berbagai paparan sejarah, kemunculan FULBRIGHT di Indonesia, saya menemukan banyak sekali artikel- artikel di J-Store, tentang bagaimana Program FULBRIGHT dan bagaimana awal-awalnya Program FULBRIGHT masuk ke berbagai negara. Tapi kira-kira, apakah bapak mengetahui mengapa dianggap penting Indonesia dipilih menjadi salah satu negara penerima Program FULBRIGHT?

PH: Tentang dipilih atau tidak, dimana-mana Amerika akan menawarkan beasiswa untuk menghidupkan UU / perundang-undangan itu tadi ya (red-UU Pertukaran Pendidikan dan Pekerjaan).

RAN: UU itu dari Pemerintah Amerika ya?

PH: Iya... kemudian Kedutaan Amerika harus melaksanakan perundang-undangan itu. Apakah dari Indonesia ada yang tertarik untuk ikut program tersebut, atau mempunyai pandangan yang sama bahwa ada satu kepentingan untuk meningkatkan saling pengertian antara bangsa. Saya tidak tahu persisnya bagaimana menjawab itu (red-Indonesia dianggap penting untuk dipilih menjadi penerima program FULBRIGHT).

RAN: Atau mungkin nanti kalau memang... apakah ada ya Pak, sejarah tentang Program FULBRIGHT di Indonesia?

152

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PH: Di Indonesia? Saya rasa, saya belum pernah membaca juga.

RAN: Oh... Begitu ya?

PH: Ya... Jadi itu merupakan suatu Program kegiatan Amerika yang otomatis dilaksanakan.

RAN: Kalau... apanamanya... mungkin... tadi kan masuk tahun 1952 ya Pak ya? Artinya itu masuk dalam pemerintahan Pak Karno. Pernah tidak bapak mendengar cerita tentang bagaimana konteks politik waktu itu, terutama relasi Indonesia - Amerika?

PH: Hah... maaf saya enggak pernah. He.. he.. enggak pernah.

RAN: Jadi yang tadi Bapak ceritakan, yang menjadi pendubes (?) Program FULBRIGHT Indonesia salah satunya adalah Pak Ali Alatas ya Pak?

PH: Ya... Yang menandatangani nota kesepakatan, antar negara kan waktu itu.

RAN: Saya mau mengkonfirmasi temuan saya Pak. Jadi apakah betul bahwa Program FULBRIGHT itu memang memprioritaskan beasiswa bagi Ilmu Sosial?

PH: Memang betul di awal-awalnya yah... Sejak tahun 1952 sampai saya tidak tahu secara pasti. Waktu itu bidang studinya macam-macam, tapi memang yang paling banyak adalah Ilmu Sosial dan Ilmu Humaniora. Kemudian di tahun 1970-an, memang secara eksplisit dinyatakan bahwa yang diutamakan adalah bidang-bidang Ilmu Sosial dan humaniora. Dengan catatan bahwa untuk bidang-bidang studi yang lain, utamanya yang berkaitan dengan perkembangan ekonomi, engineering, dlsb, itu sudah ditangani oleh lembaga lain yaitu AWK. Namanya US DFID (?). Jadi itu program-program yang berkaitan dengan developmental activities, sedangkan bidang-bidang Ilmu Sosial dan Humaniora kurang mendapatkan perhatian dari program-program bantuan pemerintah pada waktu itu yah. Itu yang pertama, yaitu karena memang kurang mendapat perhatian. Yang kedua, juga... pada waktu itu ada anggapan bahwa masalah nilai-nilai/values, dlsb, itu lebih dipahami oleh orang-orang yang punya latar belakang didikan Ilmu Sosial dan Humaniora. Karena ini untuk meningkatkan kepribadian bangsa, pada waktu itu pengertiannya bahwa kita harus mengenalkan nilai-nilai Amerika ke Indonesia dan demikian juga orang-orang Indonesia mengenalkan nilai-nilai Indonesia ke Amerika. Orang yang bisa melakukan itu adalah orang-orang yang punya latar belakang pendidikan Ilmu Sosial dan Humaniora. Tapi hal itu sudah berubah sejak lima atau enam tahun yang lalu ya... akhirnya semua bidang ilmu pun seharusnya bisa, tergantung pada individunya.

RAN: Lima tahun lalu ya... Apakah memang ada keputusan tentang itu Pak?

PH: Ada. Ada satu apanamanya... semacam pembicaraan. Kan sebagai komisi biro bangsa, di sana kan ada Dewan Pengurusnya. Waktu itu ada pembicaraan: "Kalau begitu sekarang kita buka saja untuk semua bidang..." Jadi semakin terbatas Ilmu Sosial dan Humanioranya.

RAN: Tapi apakah kemudian ini adalah bagian dari refleksi atau kritik terhadap... mungkin ada kegagalan dari upaya menyerap lulusan dari Ilmu Sosial dan Humaniora ternyata tidak terlalu maksimal... ataukah memang hanya ingin membuka lebih banyak lagi pengertian dari lintas bidang ilmu?

PH: Enggak... enggak... ini tidak ada masalahnya dengan kegagalan. Tapi memang ada perspektif baru bahwa sebetulnya untuk program belajar semua orang pun bisa. Yang kita pentingkan adalah orangnya seperti apa, yang penting yang bersangkutan bisa membawa misi, visi itu.

153

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

RAN: Saya tertarik, Bapak tadi memberikan catatan bahwa sebenarnya program Ilmu Sosial - Humaniora tidak terlalu diperhatikan oleh program lain, artinya kan terjadi koordinasi antara misalnya program FULBRIGHT dengan beberapa program beasiswa lainya seperti DFID, dlsb. Apakah sekarang ini juga ada koordinasi semacam itu Pak? Ada semacam pembagian peran begitu?

PH: Eh.. Enggak... Jadi kita sama sekali tidak ada pertemuan dengan lembaga-lembaga itu untuk membicarakan, "Kamu di mana sih? Fokusnya kemana? Dlsb. Tidak begitu. Tapi pada waktu itu, eh.. tahun 1970-an ketika ada suatu Tim dari Indonesia, Profesor Hamsyah Bakthiar (almarhum), kemudian ada Profesor Parsudi Suparlan (almarhum juga), mereka bertemu dengan pihak Kedutaan Amerika dengan... Waktu itu saya juga tidak ada/ belum bekerja di sini... tapi saya dengar ada pembicaraan seperti itu. Sehingga melalui surat-surat yang kita kirimkan kalau seandainya ada pertanyaan: "Kenapa hanya Ilmu Sosial dan Humaniora saja?" Jawabannya untuk program-program yang lain itu sudah ada beasiswa yang besar sebenarnya dari lembaga lain. Jadi kita hanya mengisi celah yang masih kurang mendapat perhatian.

RAN: Oh.. seperti itu ya Pak. Jadi saya juga ingin mengkonfirmasi dan dalam beberapa dokumen yang saya temukan, kan dalam ceritanya Pak Arief itu, dalam dialognya dengan Pak Hamsyah Bahtiar, bahwa Program FULBRIGHT ini kemungkinan diberikan kepada PNS, seperti pendidik, seperti itu. Apakah itu betul Pak?

PH: Betul... Betul... Jadi pada waktu saya masuk itu saya ingat ada... apa namanya... ketentuan yang mengatakan hanya terbuka untuk--bukan PNS-- tapi dosen... bisa negeri maupun swasta. Pokoknya dari Perguruan Tinggi-lah. Seperti itulah. Dulu waktu itu ada pelamar dari LIPI tidak bisa ikut serta karena memang yang dicari adalah dosen.

RAN: Jadi mulai tahun 1952 memang...

PH: Tidak... tidak... saya tidak tahu tahun-tahun awal itu... tapi awal tahun 1980an, awal saya kerja di sini, ada ketentuan yang mengatakan bahwa harus seorang dosen...

RAN: Dosen ya Pak? Jadi sampai sekarang apa masih seperti itu?

PH: Sekarang enggak. Jadi akhirnya ada kata prioritas. Prioritas diberikan kepada dosen. Kata prioritas mengandung pengertian bahwa di luar itu pun masih punya kesempatan. Kalau bisa menunjukkan bahwa yang bersangkutan mampu membawa misi dan visi Program FULBRIGHT.

RAN: Begitu ya Pak ya. Karena Pak Arief itu masuk tahun 1970-an awal ya... Beliau bukan seorang akademisi ya dan beliau mendapatkan beasiswa. Seberapa besar sih Pak, kemungkinan dari orang-orang diluar akademisi untuk menembus program ini dan memenuhi syarat-syarat? Kan banyak sarat-saratnya...

PH: Secara representasi saya tidak dapat pastikan ya... Harus hitung saya... Tapi kurang lebih 30- 40% bukan dari Perguruan Tinggi akhirnya yang terpilih. Itu untuk yang program Master ya. Sedangkan untuk 3-4 tahun belakangan ini ada program visi yang hanya diperuntukkan untuk dosen saja. Jadi ada program yang namanya Fulbright Presidential Scholarship Program, merupakan suatu program yang lahir dari hasil pertemuan antara Presiden Georg Bush dan Presiden Susila Bambang Yudoyono. Dimana terungkap pada waktu itu, jumlah personal dosen Perguruan Tinggi yang bergelar Ph.D itu baru 6.000 orang. Sehingga akhirnya Amerika menyediakan dana untuk empat tahun, setiap tahunnya mendapat 40 orang dosen untuk meraih gelar Doktor. Dan ini sudah masuk tahun ke empat. Tapi kalau yang in general, dan juga dulu ada fisik dan jumlahnya hanya sedikit, hanya ada 3 atau 4 orang, sedangkan Master itu sedikit, cuma

154

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ada 15 atau 20 orang pada waktu itu ya... itu ya mungkin 30 %bukan dosen. Dan peralihan dari program harus dosen ke program prioritas dosen saya tidak ingat pastinya kapan, tapi perlahan- lahan akhirnya demikian.

RAN: Jadi sebenarnya memang lebih diprioritaskan apakah orangnya dipandang mampu untuk menjalankan peran visi -misi yang ingin dibawa program FULBRIGHT, masalahnya...

PH: Ya... dengan menempatkan dosen sebagai kelompok yang bisa membagikan ilmunya ke jumlah orang yang lebih besar ya... dibandingkan dengan orang yang dari satu kantor, mungkin hanya rekan sekerjanya saja yang lewat tularan ilmunya ya... Sedangkan dosen kan tiap tahun kan mahasiswanya baru, dan minimal ada alasan strategis memilih dosen dalam hal ini.

RAN: Eh... Apakah dari dulu sampai sekarang ini FULBRIGHT hanya merupakan Program Pertukaran Intelektual dari Amerika ke negara Indonesia, dari Indonesia ke Amerika, apakah sempat ada gagasan untuk membuka... apa namanya... misalnya ke negara lain, seperti misalkan program beasiswa Ford semacam itu kan...

PH: Oh iya.. iya.. sebetulnya program Fulbright bukan hanya ke Indonesia saja tapi ke seluruh dunia. Mungkin sekarang ada sekitar 150 daerah di dunia yang ikut dalam Program Fulbright.

RAN: terutama untuk yang indonesia Pak. Apakah pengirimannya hanya ke Amerika saja?

PH: Oh iya.. iya karenanya program pertukaran terpaksa ya dibatasi betul... hanya bisa ke Amerika saja dan orang Amerikanya ke Indonesia. Betul.

RAN: Jadi belum ada gagasan untuk membuka peluang ke negara lain begitu?

PH: Enggak...enggak karena Undang-Undangnya mengatakan demikian. Harus pertukaran antar dua negara.

RAN: Kalau boleh tahu Undang-Undangnya tadi apa namanya Pak?

PH: Wah saya enggak hafal... nanti bisa dilihat di...

RAN: Kalau begitu... Kalau memang ... Selama ini berarti Program FULBRIGHT memang untuk menyekolahkan ya, intelektual Indonesia ke Amerika, dan intelektual Amerika ke Indonesia. Apa yang menjelaskan menjadi salah satu capaian daripada program FULBRIGHT dibandingkan beasiswa lain yang bisa menyekolahkan intelektual ke manapun?

PH: Saya belum pernah melihat, membandingkan ya... Saya enggak bisa secara...

RAN: Kalau tadi terkait values studies Pak.. Apakah kemudian bapak merasa apakah values yang ingin dicapai program ini tercapai ketika para intelektual itu sudah kembali ke Indonesia?

PH: Eh... kita belum pernah mengadakan suatu riset, atau survei mengenai hasil dari keikutsertaan mereka dalam program FULBRIGHT. Tapi pada waktu recapitulate bisa meyakini bahwa yang bersangkutan bukan hanya seorang sarjana atau intelektual yang pinter, tapi juga mempunyai jiwa, bisa memainkan peran sebagai duta bangsa. Jadi kita bukan hanya mencari intelektual yang nilai IPK-nya 4 tapi orang yang juga mempunyai jiwa yang bisa menjelaskan tentang Bineka Tunggal Eka dan juga terbuka pikirannya sehingga saat kembali ke negara kita bisa menceritakan apa yang disaksikan di Amerika ke teman-temannya, atau mahasiswanya, atau masyarakat luas di Indonesia.

155

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

RAN: Kalau begitu apakah kemudian eh... setelah para alumni itu kembali ya Pak... apakah memang ada kegiatan atau program yang terorganisir?

PH: Secara terorganisir dalam pengertian membuat suatu perhimpunan alumni itu kita sudah coba tapi tidak berhasil karena apa namanya... kita tidak begitu jelas ya mengapa... tetapi memang alumni association di Indonesia itu kurang hidup ya... dan lebih berhasil kalau alumni association itu berdasarkan universitas tempat mereka belajar di Amerika. itu lebih mudah untuk mengumpulkan mereka dalam kesatuan. Oh saya dulu tinggal di asrama ini... kalian di mana?... tapi kalau terlalu luas dan sebagainya akhirnya ikatan mereka satu sama lain kurang... Pernah pada tahun 1998, kita dirikan suatu asosiasi alumni, namnya Masyarakat Fulbright Indonesia. Tapi Setelah itu tidak ada kegiatan.

RAN: Saya pernah mencoba mengungkap dengan Ketua Alumni Fulbright, maaf kalau tidak salah pas di USAID, saya pernah mengontak beliau, tapi saya lupa namanya. KEtua ini... pokoknya Ikatan Alumni.

PH: Ikatan Alumni Fulbright?

RAN: Iya, Fulbright.

PH: Kalau Fubright ya itu... eh.. Dulu Pak Dahana, Bu Wina Sapta Mariani, dosen FISIP UI, satu dari Fakultas Sastra. Kemudian Pak Asyumardi Asyra. Dan beberapa hal yang sudah saya lupa, karena sudah terlalu lama tidak aktif.

RAN: JAdi tadi ya... menariknya kalau satu universitas lebih mudah untuk itu...

PH: Iya... Ikatan batin satu sama lain ada satu yang cheek feeling... dulu saya tinggal di kamar ini, kamu tinggal di mana? He..he..

RAN: Selaman ini berarti apa... AMINEF masih bisa berkomunikasi dengan mereka?

PH: Ya... Jadi keterlibatan beberapa alumni ya itu tadi... terbatas. Tapi kita selalu hubungi mereka, mengundang mereka agar mengidentifikasi calon-calon yang potensial di beberapa angkatan FULBRIGHT. Kemudian kita juga mengundang mereka kalau ada interview kita jadikan mereka sebagai panitia sebagai tim pewawancara.

RAN: Kalau boleh tahu Pak, selama ini, semenjak Bapak bekerja di FULBRIGHT, siapa-siapa sajakah intelektual yang cukup berpengaruh dan menjadi salah satu... apa namanya... contoh keberhasilan FULBRIGHT? Dan seperti apa kriteria pemilihannya?

PH: Ehmm... Seperti Pak Yuwono Sudarsono, Pak Amin Rais, Bu Melani, kemudian ada Pak Syafii Maarif, Pak Din Syamsudin, Pak Asyumardi Asyra, Pak Arif Budiman seperti yang anda sebutkan tadi.

RAN: Beliau-beliau ini apakah juga pernah dilibatkan dalam panitia pewawancara Pak?

PH: Ehh... kebetulan yang Pak Yuwono Sudarsono pernah ikut... Pak Amin karena waktu itu beliau sibuk di organisasi jadi kita tidak libatkan beliau. Kemudian Pak Din Syamsudin, beliau juga sibuk sekali di organisasinya. Pak Asyumardi Asyra saya rasa beberapa kali membantu kita. RAN: Beliau sekolah era tahun 1980an ya Pak?

PH: Tahun... akhir 1980-an.

156

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

RAN: Saya bersyukur nih Pak... Dari beberapa nama itu ada di Jogja. Dengan Pak Syafii mungkin nanti bisa ketemu. Rumahnya dekat... PH: Oh begitu ya... Jadi dari aktivitas mereka, ternyata kelihatan bahwa mereka melaksanakan misi dan visi FULBRIGHT.

RAN: Ini yangkemudian dipandang sebagai intelektual-intelektual yang bisa menjadi contoh keberhasilan FULBRIGHT ya Pak. Kalau dilihat dari latar belakang beliau-beliau ini kan sebagian besar dosen ya... dan kemudian kalau melihat dari kualifikasi untuk mendapatkan beasiswa beberapa diantaranya kan bukan dosen ya Pak... Tadi Bapak ceritakan bahwa siapapun itu bisa mewakili misi dan visi FULBRIGHT semacam itu. Nah, sejauh ini... apa namanya... ehh... apakah seringkali juga ada pengecualian untuk orang-orang tertentu misalkan orang itu dianggap sebagai intelektual tapi kemudian dia bukan dari akademisi itu kan... Tapi kemudian dia dipandang intelektual publik begitu... Apakah dia mendapat pengecualian misalkan dalam beberapa syarat administrasi dia belum mampu? Apakah FULBRIGHT mendorong intelektual-intelektual seperti ini untuk bisa diterima?

PH: Hmm... Jadi prinsipnya kita terbuka untuk semua, tapi prioritas kita berikan pada dosen. Cuma tadi ada contoh Pak Arief Budiman yang khusus pada waktu itu ya... Tapi pada waktu mengisi aplikasi itu, sudah ada field-field yang menunjukkan apakah yang bersangkutan menunjukkan bisa membawa visi misi. Kita lihat bagaimana latarbelakang pendidikannya, aktivitasnya di masyarakat, kemudian sebagai tenaga akademik atau sebagai tokoh masyarakat ya... Ini kita menilai seseorang itu dari keseluruhan, secara holistik, dari keseluruhan yang bersangkutan itu. Bukan hanya dari satu persatu. Kita tidak hanya menilai IPK-nya, tidak hanya menilai TOEFL-nya. Kita juga melihat apakah yang bersangkutan juga aktif di lingkungannya, kegiatan mahasiswa, profesi, dll.

RAN: Kira-kira... adakah tokoh lain yang seperti Pak Arief Budiman ini yang kemudian beliau bukan akademisi tapi kemudian menjadi penerima beasiswa FULBRIGHT dan pulang kemudian menjadi tokoh?

PH: Ehh... secara... Pertama saya sudah sebutkan bahwa 70% yang dosen 30 % bukan dosen. Yang 30 % itu orang-orang yang bukan dosen tapi mereka aktif di masyarakat. Masyarakat profesi, banyak menulis di media masa sehingga banyak mempengaruhi publik kan ya... Ini kita lihat penting menjadi salah satu alternatif keluaran kita, bahwa mereka bisa menyampaikan apa yang disaksikan di Amerika Serikat ke masyarakat luas.

RAN: Tadi Bapak ceritakan ada pelamar dari LIPI yang terpaksa tidak bisa diterima karena...

PH: ...Waktu itu iya...

RAN: kalau kemudian apakah ada konteks perubahan prioritas Pak, kemudian setelah tidak harus akademisi, kemudian apakah kemudian ada banyak PNS yang melamar melalui program ini?

PH: PNS?

RAN: Iya Pegawai Negeri Sipil... LIPI kan PNS juga ya Pak ya...

PH: Iya..Iya.. Iya RAN: apakah ada yang melamar dan diterima?

PH: Iya... Jadi saya tidak ingat perubahan dari yang harus mutlak seorang dosen ke yang prioritas itu saya tidak tahu persis tahun berapa itu terjadi tapi apa yang dimaksud?He..he

157

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

RAN: tadi yang saya maksud, tadi Bapak Bercerita bahwa tadi ada juga pelamar yang dari LIPI

PH: Ya heeh... itu tahun 1980an awal itu...

RAN: Karena mereka bukan akademisi, kemudian mereka tidak bisa diterima apakah kemudian dalam perjalannya kan ada sekitar 30 % yang bukan akademisi bisa diterima, apakah yang pos 30% itu juga diisi murni oleh civil society, seperti ada tokoh masyarakat begitu, apakah di dalamnya juga ada birokrat PNS seperti itu?

PH: Ada yang 30 % itu dari berbagai latar belakang pekerjaan, ada yang Leksdam (?), ada yang PNS, ada yang dari swasta.

RAN: Artinya yang 30 % ini memang kompetisi...

PH: Iya.

RAN: Terimakasih... Saya hanya ingin mengkonfirmasi tadi, apakah yang 30% tadi apakah komposisinya hanya dari PNS atau bukan.

PH: Jadi prinsip program FULBRIGHT itu mengatakan bahwa proses seleksi itu harus terjadi proses seleksi terbuka. Terbuka akhirnya diprosentasi, katakanlah untuk dosen ya, tapi di luar itu masih terbuka juga, tidak bisa kita batasi hanya untuk kelompok tertentu saja yang kita tulis. Jadi harus ada persaingan terbuka.

RAN: Kalau boleh tahu Pak, ehh... mengenai peran FULBRIGHT bahwa penerima beasiswa bersekolah di Amerika, mulai memberi dana tentunya, apakah ada peran-peran lain yang dilakukan oleh FULBRIGHT selain itu?

PH: Eh... Yang pertama ya kita, pada waktu menyeleksi mereka ya kita sudah punya gambaran bahwa peserta bukan hanya seorang pelajar yang ingin mendalami ilmunya tetapi juga orang yang mempunyai kemampuan memainkan peran sebagai duta besar, suka bergaul, suka bertemu, dan kita dorong mereka untuk aktif di sana, dalam kelompok-kelompok masyarakat di sana, kemudian membuka diri seandainya misalnya untuk ikut serta berceramah mengenai Indonesia. Kita dorong mereka untuk memenuhi undangan tersebut. Ada yang juga diundang untuk ke sekolah dasar, taman kanak-kanak, jadi kita dorong mereka untuk menyiapkan alat-alat peraga atau souvenir atau peta untuk presentasi. Sehingga itu bisa digunakan untuk menjelaskan.

RAN: Karena merupakan pertukaran kebudayaan ya Pak ya... Oh seperti itu... Jadi apakah selama mereka sekolah apakah pernah terjadi permasalahan-permasalahan dalam monitoring- monitoring?

PH: Eh... kalau secara ini... umum begitu, kita umumkan ada satu lembaga semacam Institute International Education (?). Jadi mereka sebetulnya lebih memantau perkembangan akademis staf Program FULBRIGHT kita. Tapi dimungkinkan juga mereka memberi informasi mengenai cultural license yang ada di tempat mereka studi atau di negara-negara yang lain. Kemudian angkatan pertama setiap tahun pertama peserta program FULBRIGHT mengambil studi di sana itu suatu saat dikumpulkan di suatu tempat, 150 orang dari berbagai negara dan pada waktu itu Pemerintah Amerika memberi dana untuk memberi kesempatan mereka ikut seminar yang isinya/ topiknya mengenai masalah Amerika. Jadi mengenai masalah masyarakat Indian, mengenai masalah apa ya... ada kaitannya supaya mereka punya pengalaman bahwa Amerika seperti ini. Juga pandangannya tentang Indonesia.

158

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

RAN: Benar Pak. Jadi ini yang saya belum temukan beberapa dokumen. Jadi tadi yang satu memberi dana tentunya, kemudian yang kedua, eh... mendorong mereka untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan publik semacam itu. Kemudian juga mempertemukan masyarakat dengan masyarakat dari negara-negara lain untuk mempelajari masalah-masalah negara Amerika begitu.

PH: Sebetulnya dari awal mereka sudah dikumpulkan beberapa di antara mereka, semacam pra- akademis, pre-academics orientation program, dikumpulkan di suatu tempat dimana mereka nanti mengumpul dengan peserta FULBRIGHT dari negara lain. Jadi pada waktu itu sudah tertanam ide bahwa meningkatkan saling pengertian antar bangsa bukan hanya terbatas dengan Amerika saja tapi juga dengan bangsa-bangsa peserta program FULBRIGHT yang lainnya. Dan supaya hasilnya juga bagus. Supaya mereka bisa bercerita bahwa setelah program itu mereka masih punya hubungan dengan teman-teman sesama peserta program FULBRIGHT dari negara lain. Jadi dengan peserta dari negara lain mereka bikin mailing list, bahkan setelah mereka pulang dari sana, dari Amerika pun hubungan masih terjalin. Jadi ada suatu hasil sampingan dari itu... he..he

RAN: Kalau tadi Pak... Ini tadi kan sesudah mereka pulang mereka berteman dengan masyarakat dari negara lain juga mendorong saling pengertian ya artinya... kalau kemudian apakah kemudian ketika mereka mendaftar apakah ada semacam pertanyaan-pertanyaan tentang ini Pak... Sebenarnya apa sih maksud dari Amerika memberi beasiswa ini? Apakah ada pertanyaan dari para peserta calon penerima?

PH: Ya.. ya.. Jadi pertama, sebagai peserta, sebagai pelamar program FULBRIGHT, kita harapkan yang bersangkutan sudah... apa namanya.. punya gambaran mengenai program yang mereka lamar ya. Dan mereka yang sudah punya gambaran apa yang mereka lamar itu sebenarnya yang kemudian terpilih. Jadi tidak ada pertanyaan, bagaimana setelah tiba di Amerika apakah sudah siap menghadapi budaya yang berbeda dengan budaya yang ada di sini. Apakah anda terbuka dengan orang-orang yang memiliki keyakinan dan kebudayaan yang berbeda dengan anda. Kita pancing dengan pertanyaan seperti itu.

RAN: Kalau dari FAQ dari mereka, apakah sempat ada pertanyaan tentang, tentunya terkait dengan konteks politik Amerika begitu, apakah kemudian apa yang harus saya berikan, apa yang diinginkan dari saya setelah saya mendapatkan beasiswa. Apakah ada pertanyaan-pertanyaan seperti itu Pak di dalam FAQ yang di sini?

PH: Wah... jadi apa namanya... kita tidak tahu/ memperhatikan latar belakang politik seseorang ya... sebagai contoh pernah Rizal Malarangeng ya Anda kenal kan? Waktu diwawancara beliau pulang dari Irak. Waktu itu ada dua mahasiswa Indonesia yang berangkat ke Irak naik ke hotel memprotes serangan Amerika ke sana. Tapi yang bersangkutan tetap terpilih. Jadi masyarakat yang bersangkutan bisa menjelaskan dengan baik alasan yang bersangkutan untuk mempunyai pandangan politik seperti itu. Buktinya Rizal Malarangeng tetap bisa berangkat pada waktu itu. Sepulang dari sana, tiba-tiba dia melamar, diwawancara dan tetap terpilih. Padahal jelas-jelas pada waktu itu dia menentang... he..he..

RAN: Iya kebetulan saya S1-nya dari Fisipol UGM Pak... Saya satu Persma dengan Bang Celi. Jadi memang ada cerita lucu juga ya tadi dengan Bang Rizal ya... Beliau juga menerima FULBRIGHT juga yah? PH: Iya..iya.. ambil masternya pada waktu itu, di Ohio University.

RAN: Pak maaf... saya agak loncat-loncat beberapa... Eh... Apakah ada ini Pak... apa namanya... eh.. semacam tadi kan... eh yang ingin saya tanyakan adalah apakah ada kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh alumni FULBRIGHT ketika mereka pulang dan apakah mereka ada

159

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kewajiban untuk melaporkan perkembangan keilmuan mereka dlsb?

PH: Enggak.. enggak ada. Jadi setelah mereka selesai program di Amerika, mereka menulis final report yang diserahkan ke lembaga-lembaga yang kita kontrak di sana. Oh iya mereka juga menyerahkan disertasi atau tesis kepada kita pada waktu mereka pulang. Tapi setelah itu ya silahkan kembali ke institusi masing-masing dan membawa misi dan visi FULBRIGHT.

RAN: Kan di beberapa negara itu kan ada Pak, di Mesir itu ada riset yang dilakukan oleh FULBRIGHT juga tentang beberapa alumninya ternyata banyak menduduki posisi-posisi elit. Di Jepang juga, saya menemukan beberapa dokumen di University of (?) ada disertasi tentang itu juga. Nah saya tadi menanyakan apakah di AMINEF juga ada riset itu?

PH: Enggak... enggak... belum ada... belum ada... Dulu pernah ada suatu penelitian dilakukan oleh siapa namanya... saya lupa... itu meneliti tentang Culture of Freedom ada mengenai Indonesia, saya sudah foto copykan.

RAN: Oh... Terimakasih sekali Bapak.

PH: Cuma singkat... hanya beberapa halaman saja. Di situ juga ada wawancara Pak Bahtiar. Beliau bukan FULBRIGHT tapi beliau banyak terlibat dalam pemilihan peserta-peserta FULBRIGHT. Kemudian Pak Putu Wijaya lengkap saya foto copy.

RAN: Terimakasih sekali Pak.

PH: Bisa juga di catat bukunya, nanti bisa dicopy di depan.

RAN: Kalau tadi Pak, apakah ada pengaruh peralihan rezim di Indonesia terhadap kebijakan FULBRIGHT. Sampai saat ini kan program FULBRIGHT ini kan sudah cukup lama ya di Indonesia, sejak tahun 1952, artinya kan ada beberapa perubahan, apakah biasanya ada perubahan kebijakan di FULBRIGHT?

PH: Enggak ada... enggak ada...

RAN: Kalau tadi cerita pertemuan antara Pak SBY dengan Presiden Georg Bush kemudian melahirkan kebijakan PhD Presidential itu bagaimana?

PH: Oh itu suatu program inisiatif insidental yang masa berlakunya 4 tahun, jadi setiap tahun ada 40 orang yang dikirim.

RAN: Maaf... Bapak ini ada waktu kira-kira sampai jam berapa?

PH: Saya sampai jam 10.00 ya... nanti saya ada pertemuan.

RAN: Iya Pak tidak apa-apa. Kalau kira-kira bapak masih ada waktu saya mengajukan beberapa pertanyaan lagi. Kalau boleh saya tanya mengenai pendapat Bapak ya... kan memang ada semacam common sense bahwa selama ini ada beasiswa-beasiswa yang menggunakan ideologi- ideologi dari negara tertentu. Apa pandangan Bapak mengenai pandangan publik tersebut? PH: Saya bicara mengenai FULBRIGHT. Dan saya tidak melihat bahwa ada hal seperti itu dalam program FULBRIGHT ya... saya tidak bisa berbicara mengenai program-program yang lain.

RAN: Artinya kemudian itu berarti memang common sense begitu

160

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PH: Iya.

RAN: apakah selama ini FULBRIGHT memiliki semacam alumni award Pak, misalnya untuk alumni terbaiknya?

PH: Ah.. enggak-enggak... seperti Australi saya lihat beberapa waktu lalu ada. Mereka saya lihat betul-betul aktif ya... Mereka pendanaannya kuat sekali dari pemerintah. Sedangkan kita tidak ada. Boleh juga sih itu.

RAN: Kalau begitu berarti FULBRIGHT menyimpan hasil karya, tesis atau disertasi dari alumni ya Pak? ataukah yang menyimpan AMINEF?

PH: Kebetulan itu suatu peraturan yang belum diberlakukan lama ya... Pada waktu itu mahasiswanya mengatakan wah seneng juga karya kita disimpan di sini... Bukti bahwa mereka sudah menulis sesuatu di Amerika. Jadi kita baru terapkan mungkin pada tahun 2000 awal yah.. itu pun belum tentu semua menyerahkan karena ada peserta program yang tidak menulis tesis. Sehingga tidak terlalu banyak yang menyerahkan disertasi atau tesisnya ke kita.

RAN: Kira-kira berapa jumlah penerima biasiswa FULBRIGHT dari tahun awal sampai sekarang ya Pak?

PH: Nah itu sesuatu yang sulit ya... kita baru mulai mengumpulkan data itu tahun 1987. Waktu kita berdirikan AMINEF pertamakali ya. Itu pun datanya kita dapatkan dari kedutaan Amerika dan mereka juga bingung program yang mana ini... Fulbright atau bukan ya... akhirnya kita menggunakan angka perkiraan 2000 tapi sebetulnya berapa kita juga tidak tahu pasti.

RAN: Jadi sampai sekarang ada sekitar 2000?

PH: itu menurut angka perkiraan karena tidak pasti ya... Sedangkan yang terdata secara lengkap dibawah 1000 mungkin. Itu yang kita ketahui.

RAN: Itu sejak tahun 1987 tersebut atau?

PH: iya.. ada beberapa diantara mereka berasal dari tahun tahun sebelumnya tapi kita mengumpulkan data sejak tahun 1987 dan terkumpul data kira-kira 1000 sampai sekarang.

RAN: Apakah data-data itu bisa diakses Pak?

PH: Nah itu ada masalah dengan ini... kita harus dapat ijin untuk itu. karena HWK mempunyai semacam privacy text. jadi apakah kita boleh menyerahkan data FULBRIGHT ke masyarakat umum, itu selalu menjadi perdebatan selama ini. Bahkan sewaktu kita membuat apa namanya directory yang pertama kita harus mengirim surat ke mereka. Menanyakan apakah mereka bersedia namanya dicantumkan di dalam directory kita. Ada yang mengatakan bahwa mereka tidak bersedia. Jadi ini ada masalah priovacy text yang kita tidak bisa membuka data itu ke masyarakat umum.

RAN: Kalau ini Pak, dari program FULBRIGHT kan pusatnya di Amerika ya Pak, apakah mereka pernah melakukan kajian tentang perkembangan program FULBRIGHT di beberapa negara?

PH: Kalau di beberapa negara lain saya kira iya. Tapi untuk di Indonesia ya belum pernah ya. satu- satunya ini ada seorang penulis lepas dari lembaga mana... saya lupa... untuk feature dan difasilitasi oleh kedutaan Amerika. Yang jelas mereka melakukan penelitian di berbagai negara

161

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yah... ada dari jepang, india, indonesia, itali, ya keempat negara itu saja.

RAN: Jangan-jangan saya yang pertama kalinya ya Pak. Pada waktu itu gagasannya pada dasarnya ingin meneliti tentang keberadaan yayasan-yayasan dalam keberhasilannya memfasilitasi pendidikan beberapa... karena kan didorong oleh... apa namanya.. hasil riset development tentang Ford itu. Karena saya kemarin di Jogja banyak menjalankan program-program dari Ford. Besar sekali juga pendanaannya mungkin. Kita mencoba melihat program lain dari Amerika, terus kemudian saya menemukan Fulbright karena saya kan alumni Gadjah Mada dan di sana banyak sekali dosen saya yang alumni dari Fulbright. Dari kami ada kepercayaan FULBRIGHT itu berarti bukan Fulbright tapi Fullbright... hehe Bright yang penuh...

PH: Ya.. ya... kebetulan saja mereka pulang tidak bisa berkembang menjadi seorang pemimpin yah... Tapi pada awal pemilihannya kita tidak mengatakan kita tidak mengejar intelektual Indonesia ya... Program kita tidak ada mengejar seperti itu.. ada satu misi khusus mengejar seseorang untuk ikut program kita. kita ini open competition yah... Kalau mau ndaftar silakan ndaftar... kita adu dengan orang-orang yang bukan punya nama ya... Sekarang belum tentu mereka terpilih kan.

RAN: Hal-hal menarik itu yang besok akan saya kolaborasikan dengan para alumni, itu terkait dengan ini Pak, pengalaman mereka belajar di Amerika.Bu Melani yang cerita tentang pengalaman beliau tinggal di down town, karena ia membawa keluarganya yah... dan sering harus menghadapi kejadian-kejadian kekerasan di lingkungan mereka, menjadi miskin di Amerika.

PH: Perlu anda dalami, apakah mereka melakukan misi dan visi program FULBRIGHT tidak? apakah mereka hanya mengunci di kamar, belajar saja ataukah mereka juga keluar?

RAN: Kira-kira yang diharapkan FULBRIGHT yang ini ya pak ya....

PH: Yang... dia mau keluar dari keilmuannya juga.

RAN: Menarik Pak...

PH: Baik sementara itu dulu. ( nama UU yang mengatur pertukaran itu adalah Fulbright Hay's Act.

RAN: Saya berterimakasih sekali Pak, saya akan coba melihat lagi untuk... apa namanya.. apakah semua sudah terpenuhi, nanti kalau misalkan kurang, apakah saya boleh mengontak bapak via email atau mungkin bisa wawancara lagi dalam 3 hari ini?

PH: Anda tanya ke HP saya saja, jam segini bisa atau tidak begitu?

RAN: Kalau boleh begitu terimakasih sekali Pak.

Wawancara selesai

162

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Lampiran Transkrip Wawancara 3: Wawancara dengan Aristides Katoppo (AK) Jakarta, 30 Juni 2010 Pewawancara: Retno Agustin (RAN)

RAN: (Perkenalan Peneliti, dan maksud wawancara) Saya pernah mendengar dari Bapak kalau Bapak pernah bersekolah di Amerika ya... Kalau tidak salah waktu itu dengan beasiswa Fulbright betul? AK: Iya... betul. Fulbright itu satu dan yang satu dari Ford Foundation. Fulbright itu beasiswa di Standford University, di California ya... salah satu universitas yang termasuk top lah begitu. Itu biasa disebut the Harvard of the West. ya... dianggap, walau tidak terlalu... tapi dianggap sebagai The Best. Karena itu juga salah satu universitas tertua di Amerika. RAN: Itu tahun 1973? AK: Iya tahun 1973. RAN: Itu untuk studi apa Pak? AK: Ehh... namanya Professionalism Journalism Scholarship.. dan itu memang di bawah atap dari Department of Communication di sana. Departeman komunikasi yang ada semacam cabang jurnalism. Aturan ini, di Amerika kan ada istilahnya yang ... , biasanya setelah bekerja 10 tahun atau 5 tahun supaya meningkatkan / mengedukasi diri melalui sabatikal entah 6 bulan, entah 3 bulan, ada yang sampai 1 tahun, akademisi yang sudah memiliki profesi biasanya 1 tahun itu. Yang harus menulis tesis mengenai hal-hal tertentu. Nah itu namanya fellow. Fellow-fellow itu, kita diberikan status mirip-mirip dosen, dalam arti kata .... Jadi akses visitasinya di library, di perpustakaan, kita boleh masuk ke dalam. Kalau mahasiswa pertama kan cuma minta buku, dicarikan dan diambil lagi. Nah kita boleh masuk di ke dalam library. Bahkan di dalam library itu, di luar ada juga tempat baca, tapi yang di dalam lebih ok. Nah tugas kita, pada waktu itu di sana, semua adalah wartawan-wartawan yang bekerja rata-rata mungkin sudah bekerja lebih dari 10 tahun ya... RAN: Waktu itu Bapak sudah bekerja lebih dari 10 tahun juga? AK: Saya dari 1958 sampai ketika itu 1973. Ya sudah... Nah jadi.. kita ibarat program kita bikin sendiri. Dan kita itu termasuk non degree course, tapi kalau kita mau mengikuti degree course juga boleh. Tapi kita juga diharapkan 1 kali seminggu mengikuti satu seminar yang di organisir oleh para fellow dan kita bahas bersama. Para peserta program ini dan kita tentu juga harus standby, bersedia, siap, untuk mementor justru di depan para mahasiswa yang di Department of Communication. Biasanya mereka mau untuk mempelajari jurnalism. Kadang-kadang kita diminta ceramah atau kuliah atau apa begitu... Tapi program kita bebas sekali, kita boleh design sendiri. Makanya salah satu topik yang saya ambil adalah... karena saya itu tidak lulus akademik, saya kan bukan sarjana kan... Saya ini DO dari UKI dan UI. RAN: Kalau di UGM ada Kado Gama Pak, Keluarga DO Gadjah Mada. AK: Wah... Berarti saya ini termasuk Kado UI ha...ha... Ok. Sukses-sukses itu ya... RAN: Iya biasanya mereka sukses... AK: Ya... OK... nanti saja... ha..ha.. Jadi begitu. Nah sekarang bicara Fulbright. Namanya Fulbright Program itu yang memberi beasiswa. Tapi kan sebenarnya... saya kan karena... saya terus terang saja saya DO di UKI maupun UI. Tidak sampai 1 tahun di sana masing-masing. Di UI jurusan, pertama kali, Publisistik namanya. Tapi itu masuk ke Departemen waktu itu masih Ilmu Kemasyarakatan dan Hukum. Waktu itu Fakultas Hukum belum ada. Nah kemudian, kalau di UKI jurusan sastra Inggris. Saya ambil jurusan sastra Inggris karena dulu daftarnya cuma di papan tulis, tertera nama cewek semua... ha..ha.. Aku pikir... wah ini enak kalau kita ditemani sendiri... ya kan... RAN: Tahun berapa kuliah Pak? AK: Tahun 1960-an. Saya lulus SMA tahun 1957. Kalau tidak salah akhir 1957 saya jadi wartawan, mulai jadi wartawan. Nah Jadi, nanti salah satu... karena kan saya pada waktu itu di Sinar Harapan dianggap sangat kritis, sekitar tahun 1968, 1969, 1970, sehingga tak lama kemudian

163

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Sinar Harapan dibreidel, salah satu sarat supaya tidak di... saya mesti berada di luar negeri. Nah kemudian, pada waktu saya sudah berkenalan dengan... nah ini pada waktu itu kan para teknokrat sudah mulai berperan, yang disebut CIA, tapi jangan saya yang sebut, siapkan anda yang menulis. Rupanya sekolah di California kan... Tapi saya tukang kritik mereka. Walaupun cukup akrab tapi saya tetap kritis, salah satu yang saya kritik adalah... saya memakai istilah... "Bedanya antara teknokrat atau ekonom dengan wartawan adalah teknokrat/ekonom itu ketika akan menjelaskan besok (telling tomorrow), Why is.. apa dengan explanation yesterday is not valid today. Mengapa prediksinya atau pandangannya, analisanya kemarin ternyata tidak halal/benar. Padahal kalau wartawan akan mengatakan Yesterday the journalist will value yesterday (?) Dia kan enggak... dia akan nunggu sampai besok. Nah mengapa? Karena ekonom selalu bicara analisanya, prediksinya begini.. begini.. begini... dengan catatan atau dengan asumsi everything else is equal = (red-“all things being equal,”) keadaannya serba sama, keadaan sosialnya sama, segala macam, wajahnya sama. Nah saya bilang, wartawan kan empirical berdasarkan kenyataan, dari segi kenyataan kita tahu bahwa hari esok tidak sama dengan hari ini. Jadi tidak mungkin everithing is equal itu. Jadi pada dasarnya anda punya premises itu sudah keliru. Jadi tidak usah ditunggu sampai besok lah... wong asumsi itu sendiri sudah salah. Nah kemudian saya kenal juga dengan beberapa profesor-profesor dari Amerika yang pada waktu itu bekerja di, namanya waktu itu semacam Harvard Advisory Group yah RAN: Untuk pembangunan di Dunia KEtiga ya Pak ya? AK: Memang mereka itu seperti para mentor... bukan mentor lah tapi seperti para konsultan, para ahli, ya konsultan ahli lah dari Harvard. Tapi ya kalau pandangan saya begitu mereka kan ingin tahu mengapa loe seperti itu? Aku bilang... misalnya yah satu contoh: Jalan Jagorawi waktu itu, saya tanya kepada misalnya Mentri PU / Pekerjaan Umum. Kalau dengan biaya sekian... apa yang bisa Anda lakukan? Dia bilang, kalau sekarang, lebih baik uang itu... dan saya juga baca umpan kan... karena pilihannya bikin jalan dari Jakarta - Bogor supaya bisa mengurangi 1/2 jam perjalanan. Kalau sekarang mungkin agar 15 menit lebih cepat dari traffic jam, kemacetan yang berikut ya kan... Atau misalnya Jalan dari Jakarta Surabaya atau Merak - Banyuwangi diperlebar kiri kanan 2 meter dan dipertebal misalnya 10 cm lah. Tapi berarti manfaatnya kan terbagi rata lebih banyak.. yang penerima manfaat kan jauh lebih besar. Kalau yang tadi cuma 50 km sedangkan yang ini kan 500 km. Kenapa begitu kan? Dia bilang bahwa saya suruh pilih bahwa lebih bagus uang yang segitu dipakai dan untuk itu kita tidak perlu peralatan yang diimpor, peralatan besar, kita bisa kerjain sendiri, kita tidak usah impor insinyur-insinyur ahli yang high dari Amerika, dari Vestel atau dari mana... ya kan... Jadi kalau kasarnya kilometer ini tadi jauh lebih murah dan jauh lebih besar manfaatnya... Ok ya permisalannya... Ternyata yang di bagian keuangan, "Jelas kalau menurut saya sih sama aja. Kita kan duitnya itu mendapatkannya dari mana? Ini kan dikasih kredit... Tapi syaratnya dari kredit itu dipakai perusahaan Amerika, dipakai insinyur Amerika. Tapi itu kan transfer of know-how... teknologi dan lain sebagainya. Ya itulah harga yang harus dibayar... Pak Ali Wardana. Ya rata-rata begitulah komentar-komentarnya. Lho... lantas saya bilang... kelihatannya kok mereka sepakat bahwa sebenarnya lebih bagus, tapi kok yang dikerjakan yang lain... Ya semua kalau saya tanya setuju dengan gebrakan saya. Karena saya orang koran kan saya suka ungkapkan itu. Tapi akhirnya surat kabar saya dibredel... RAN: Dibreidel tahun berapa Pak? AK: Dibreidel tahun 1973... eh akhir 1972. Ya awal 1973. RAN: Dibreidel karena memberitakan apa ini Pak? AK: Lha ini... Waktu itu kita memberitakan Anggaran Belanja Negara. ABN dalam suatu dokumen disiapkan di Bappenas dengan beberapa menteri dan teknokrat atas persetujuan Presiden. Disampaikan oleh 2 orang dari Golkar atau apa... kemudian dibawa ke DPR. DPR pada waktu itu kan cuma jadi tukang stempel aja. Istilahnya Rubber Stamp kan? Ya kan.. Entah dia baca atau enggak ya diketok aja. Sekian duit dari World Bank, sekian duit dari IMF, sekian duit dari ADB mungkin, pada waktu itu belum ada ya... atau mungkin dari USAID atau apalah... Tapi namanya mungkin juga lain yah... IGGI tapi mungkin waktu itu namanya mungkin belum IGGI itu. Ya Pokoknya begitu. Katanya pembangunan itu untuk manfaat rakyat banyak, lho kok yang

164

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

penerima manfaatnya kok enggak ditanya. Bahkan seperti yang saya katakan tadi bahwa beberapa pelaksana kunci, seperti Pak Sudibyo Sutani, dia bilang kalau saya diberi pilihan saya pilih yang satu. Satu, manfaatnya jauh lebih luas. Jumlah orang yang dipekerjakan lebih banyak. Termasuk juga yang transfer know-how dan transfer of skill dlsb. Itu kan banyak orang Indonesia yang terlibat. Ya begitu begitulah. Nah saya kan kadang ngobrol-ngobrol dengan para konsultan itu diantaranya ada yang terbuka terhadap kritik lah. Salah satunya adalah Prof. Bush Tavanek. Coba nanti dicari aja. RAN: Ya Pak, saya sudah membaca tulisan beliau. AK: Oh iya? Akhirnya saya kira, dia termasuk salah satu yang mungkin merekomendasikan. Saya tidak tahu tapi saya duga paling tidak... saya sebenarnya sudah ditawarin: "Mau sekolah enggak?" Wah saya lagi pingin jadi wartawan. Jadi pada waktu diputus untuk pergi ke luar negeri ya sudah... terimakasih lah. RAN: Yang mengharuskan Bapak sekolah siapa? Bagaimana ceritanya koran dibreidel dan Bapak harus sekolah itu? AK: Lho... Dibreidel... Begini yah... Belakangan saya menjadi akrab dengan beberapa Jendral yang pada waktu itu ikut dalam kekuasaan kan. Salah satu Jendral Sumitro, Pangkokambtib. Kan waktu itu menteri penerangan, ya dari Magelang, dari Borobudur, Budiardjo. Marsekal atau Laksamana Udara, yang punya Pondok Tingal. Nah ya itu. Dia mantan menteri penerangan mengatakan ini keputusan dari Presiden karena ini dianggap menyangkut pertahanan lah. Karena saya dianggap mengkritik pemerintahannya lah atau kebijakannya. Kedua, menteri penerangan kemudian mengurusi pers. Tapi juga disitu istilahnya disekolahkan. Jadi putuslah karier menjadi wartawan. Jadi mereka belakangan, sepuluh tahun kemudian, setelah mereka tidak di struktur lagi, sudah tidak ini, dan kami mulai akrab. Mereka ceritakan, kami yang usulkan supaya anda disekolahkan. Ya saya percaya itu. Kami waktu itu, sebenarnya melakukan itu untuk menyelamatkan anda dan menyelamatkan Sinar Harapan. Sebab perintahnya, menuju ke mematikan. Waktu itu mereka pakai bahasa Jawa jadi saya tidak mengerti. Intinya tawatlah riwayatnya. Terus dia usulkan: Begini Pak, mereka mengusulkan ini kan... waktu itu mereka bilang kepada saya, anda adalah Pimpinan Editor, katakanlah yang menjadi play maker di sana yah... semacam combuster yang menjadi desk anti korupsi atau apa... Jadi kalau saya dipindahkan di situ... Tapi kalau saya matikan surat kabarnya sudah sah. Ada orang yang lebih baik disekolahkan. Akhirnya ya disekolahkan. Tapi tidak dikasih duit. Mending kalau dikasih tiket atau duit... Bukan. Tapi pada waktu itu, saya tidak enggak tahu. Faktanya, dari apa... ada rekomendasi bahwa saya dipilih untuk juara 1 Fulbright untuk sekolah di Stanford. RAN: Bapak mengetahui beasiswa FB dari mana? AK: Lho bukan... jadi saya waktu itu pertama ditawarin ada dua. Yang satu sekolah di Harvard, waktu itu namanya Neeman Fellow. Nah Neeman Fellow itu adalah untuk get carrier journalist yang sabatical di sana. Yang bisa semacam recharge diri dengan ya banyak berbagai ilmu yang ada di Harvard University. Jadi saya ditawarin itu. Tapi dikasih pilihan juga, yaitu Stanford University. Di situ yang namanya Professional Journalist itu mirip, sama lah. Nah saya memilih Stanford. Walaupun tawaran pertama adalah Neeman Fellow. Banyak orang Amerika yang geleng-geleng kepala. Kok Loe mau? misalnya begitu. Misalnya di sini, ditawari ke Unair atau ke UGM kok memilih Untra. Tapi itu kan kebanggaan mereka. Kemudian saya menjawab, lho bukan begitu aku lebih senang di California karena mataharinya lebih.... ha...ha... Orang pada ribut, wong aku tidak peduli kok. Tapi setelah di California, baru saya menyadari... bahwa yaitu kan... sebenarnya yang paling basic lah... input-process-output. Iya kan apakah itu Ilmu Ekonomi, Ilmu apapun, lalu proses apakah itu proses sosiologi, proses ekonomi, proses apalah... Dan kemudian bagaimana mencari informasi dan sesuatu yang menyajikan sesuatu yang masuk akal atau paling tidak ada referensinya. Jadi mirip wartawan juga nah karena itu saya tidak ada masalah walaupun saya tidak ada background academic, tapi buat saya gampang sekali itu. Karena saya pergi wawancara ke profesor-profesor saja. Saya wawancara 1/2 jam saya dapat ilmu 1 semester mata kuliah kan. Mau menemui Profesor itu bagaimana? Oh profesor itu baik, dia itu begini.. begini.. tapi kelemahannya begini.. begini.. Nah saya yang kerjakan itu. Jadi 1/2 jam wawancara tatap

165

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

muka dengan profesornya sama dengan 10 kali ikut mata kuliahnya kan dengan 50 orang yang lainnya. Ya itu saja kalau kita sendirian ketemu 60 menit mendapat full attention kan. Kalau kita ikut ini 10 kuliah dibagi 30 orang ya... 10 x 30 = 300. jadi kalau dia bisa mengajar 30 jam ya kan dapat / kebagian 5 menit. Kasarnya kan kalau mau pakai itung itungan metri-metri loh... Kalau mau pakai hitungan metri begitu ya direduce jadi angka ya begitu kan. Kelemahan metri kan tidak ada intensitas misalnya mendengarkan atau apa... Jadi saya tidak ada problem bikin assignment. Bahkan saya skotjam. Ada kan dosen yang mengatakan: Kalau ikut saya, anda harus ikuti semua. Ikuti segala kewajiban mahasiswa. Semua harus dilakukan. Sebenarnya saya tidak perlu diberi angka kan. Lho enggak, kalau anda ikut sini tetap ikut aturan itu. Tapi saya dapat nilai bagus. Kan kalau di sana kan nilai itu ada A, B, C, Failed. Tapi ternyata saya dapat, tidak ada A+ tapi ada istilahnya dengan Honorary Fence (?) woaah.... Orang heran kan. Kurang ajar.. suka ngobrol kiri kanan kok bisa dapat bagus. Karena saya sebenarnya satu, mencari informasi itu biasa. Kadang- kadang satu mata kuliah kan lebih dari satu profesor, tapi masing masing penekanannya berbeda. JAdi ada universitas lain, siapa profesor yang paling ahli sosiometri? Oh kalau di Gadjah Mada ini... kalau di ITB ini... kalau di Airlangga ini... Lho saya telepon saja ke profesor-profesor itu. Sebagai wartawan saya punya ilmu wartawan. Pertama kan mesti lewat sekertarisnya... I'm from Indonesia.. bla...bla... bla.. Oh sorry, the professor is very busy. Yes I know he is very busy. I came halfway around the world... bla... bla... ohh.... Beliau ada di LA. Ok... tapi very very early morning yah... Oh It's ok. No problem. Saya tidak masalah ya... The time is six a clock, jadi saya harus datang ke sini... sebelum jam 7 ya. Biasanya ada window, kira-kira 15 menit sebelum jam 7. Lima belas menit ya! Ya... Ok. Tapi seringkali karena pertanyaan saya burst enough dan provoking, Ok.. Time is up.. but please you call me again next week.. ha...ha... Jadi profesor ini geleng-geleng kepala. Wah orang ini betul... betul... Itu required reading... setengah apa Retno... satu hari di Amerika wah... untuk satu mata pelajaran itu gila... 100 halaman. Itu untuk satu mata pelajaran. Itu wajib dibaca. Kemudian kan ada recommended reading, kalau di sini semacam bacaan yang dianjurkan. Kalau anda mau lebih mendalami baca yang ini. Kemudian ada lagi buku-buku lain, kalau anda ingin sosialisasi. Daripada saya baca buku-buku, ya... mending aku telepon... ha..ha... Ada yang protes, wah itu kamu masukkan dalam buku. Oh Iya... ha..ha.. Jadi mahasiswa lain ada yang berlomba-lomba mau team with me kan... Udah ikut aku saja. Tapi saya tidak tahu begitu compete thesis, saya sih ok-ok saja. Tapi begitu aku ngomong sama yang lain... hey kau ngomong ke yang lain... wah aneh lagi nih. Ya Begitu lah. Tapi yang saya belajar di situ bahwa banyak orang banyak sources of information. Dan tentu banyak cara interpretasi dalam hal iklan. Nah sebenarnya kan tergantung pada titik tolak. Anda mau titik tolaknya dari masyarakat miskin yang tidak punya suara, yang tidak berdaya, dan sebagainya, yang diperlakukan sebagai objek bukan sebagai subyek, atau sebagai pemilik kekuasaan. Lho ini kan menggandeng kekuasaan yang dipercayakan. Titik tolaknya itu kan berbeda, cara penglihatan dari atas kan berbeda. Ini gampang saja lah, coba bentuk yang ini, kalau kita lihat dari sisi sini. Apa yang anda lihat? Nah sekarang saya di sini. Kubilang ini ada orang lain lihat. Ini ada birunya tidak? Enggak ada. Ada lensanya tidak? Enggak. Lho orang dari sisi lain mengatakan oh.. bohong dia, ada lensanya, ada warna birunya. Ini cuma dua sisi lho dari satu benda. Nah saya memakai common sense itu. Jadi dari titik pandangnya, sudut pandangnya, akan bisa merubah perspektifnya kan. Jadi sebagai wartawan kita harus hati-hati di situ. RAN: Ada common sense juga kan Pak kalau orang disekolahkan di Amerika, maka dia akan menjadi penginjil Amerika. Begitu kan? Tadi Bapak juga cerita kalau jendral-jendral ini ternyata bermaksud ya.. dijinakin saja lah agar dia tidak menjadi tukang kritik begitu kan? AK: itu kata-kata anda lho bukan aku punya kata-kata... RAN: Iya saya tadi quote tentang jendral-jendral tadi yang di cerita AK: Tapi mereka tidak bilang dengan memakai istilah itu yah... RAN: iya... Kalau menurut Bapak bagaimana ini dengan common sense ini? Dan kemudian ternyata juga ada kepentingan yang sejalan dengan kepentingan rezim? Dan apakah berhasil menjinakkan Bapak? AK: Ah..he..he.. Buktinya sesudah itu hidup kembali tetap saja itu dibreidel. Tidak lama ibreidel

166

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

lagi... Enggak. Gini kalau itu yah... begini... itu kan bukan soal either.. or... Pertanyaan itu... kalau ini benar, ini salah. Tapi sebagian ini benar, dan sebagian dari ini salah. Jadi ada yang begitu, ada juga yang tidak begitu. Misalnya waktu itu bersama saya, ikut sekolah adalah, bersamaan waktu ya, antara lain Bung Arief Budiman dan Nono Anwar Makarim. Yang satu belajar Hukum, yang satu belajar sosiologi. Kita berdekatan kok rumahnya. Lha mereka itu serius, aku kan jalan jalan saja ya kan. Mereka kan ilmuwan tidak masalah jadinya. Tapi kan cara pandang... saya cuma mau sebut ya... sesudah lima tahun kemudian lulus, cara pandang si Nono dan cara pandang si Arief kan berbeda sekali. Satu, tetap menjadi pengkritik yang keras dan terbuka terhadap rezim. Yang satu ya saya cari makan lah... saya menggunakan ilmu saya dalam peluang dan kesempatan yang ada. Ini kata-kata simplifikasi karikatural. Tapi maksudnya, sistem besar yang sama hasilnya justru... saya menyadari yah... di Amerika itu semuanya open system. Anda mau memilih ke kiri ya silahkan ke kiri, anda mau memilih negara silakan. Gak ada di situ larangan belajar Marxism, gak ada juga kewajiban belajar capitalism. Enggakk ada... You mau pilih ya silahkan! Mau belajar dua-duanya ya silahkan. Justru disitulah saya terbuka mata, misalnya di university. Di University mencari ilmu, semuanya di-burst. Begini, ada banyak ilmu jadi kita jangan terlalu cepat melompat bikin kesimpulan. Ceck your data first! Apalah teorinya, atau apalah...Saya punya kelakar lagi, kadang-kadang berdebat yah... Waktu itu saya katakan, komputer masih wow mesinnya jernih kayak isi rumah...(?) dan kita keluar masih dengan kartu-kartu yang ini, jadi orang jalan... (tersela oleh pertanyaan sopir Pak Aristides Kattopo) Kita di sana jam 15.30 kan? Ohh... 18.30 toh... kalau begitu kita ngopi dulu. Sori-sori... Bagaimana ngopi dulu kita? RAN: Ngopi Pak? Ok...ha..ha.. AK: Ya ok, pertama kita ke Periplus dulu. Kan seperti di Airlangga, Gadjah Mada, UI, ITB, dimanapun ilmunya kan sama, tapi ada nuansa yang berbeda, ya kan? Kalau menurut saya anda harus petakan dan memilih, memang ada kecenderungan-kecenderungan. Nah misalnya waktu itu, yang saya alami, karena saya di dua universitas, dan ini hanya generalisasi juga bahwa saya kuliah waktu itu, komputer lebih cepat diadaptasi, diadopsi di Barat. Sampai mereka sangat metri-metri itu.. KAdang-kadang berdebat dengan saya... Oh I question your data based, ya. Kan kalau sudah kepepet, mereka bertanya begitu... datanya bener tidak. Oh enggak saya sudah tabulasi... apalah... angka dari sekian-sekian sumber. Nah berikutnya, ini kelakar yah..., I question your paradigms. Saya ini salah satu yang pertama lho yang mempertanyakan itu. Siapa ini yang mempertanyakan paradigm dengan saya, pikirnya. Saya bukan berarti tidak menghormati anda. Saya berbeda saja. Mungkin dengan paradigma anda, anda benar dari pada paradigma saya. Ada cara lain untuk melihat sesuatu. Begitu salah satu yang saya pelajari di Amerika ya. Tentu ada kecenderungan bahwa mereka percaya kepada kebebasan. Bahwa kebebasan itu hanya melahirkan termasuk free enterprise kan. Tapi tentu masing-masing sistem memiliki kekurangannya kan. Artinya kalau kita percaya... apa... natural fire (?) atau apa... Kan ada dinamika ada energi ya kan? Coba lihat manusia sajalah, setiap langkah yang kita lakukan, memakai kaki kiri dan kanan, selalu kan mencari keseimbangan, ya kan? Jadi kalau ini ke kiri dan ini ke kanan agar badannya berimbang. Kalau hanya satu kaki kan susah. Ha..ha.. iya kan? RAN: Kalau saya mencoba flash back ya... tetap dengan cerita kalau guru-guru besar di UGM pun ketika bersekolah itu pun sebenarnya ada proses dicari oleh profesor. Mereka yang di Indonesia diajak bersekolah begitu. Kemudian artinya ada proses pemuridan, misalnya ini, Pak Selo Sumarjan dengan Profesor siapa. Ya sebenarnya muncul lagi dengan anak-anaknya Liedle. Pada waktu Bapak bersekolah di sana apakah ada kecenderungan pemuridan itu, masih kuatkah itu? Tadi Bapak bilang sudah open, free begitu. AK: Ya pada umumnya kuat, tapi yang anda katakan gejala itu ada juga. Tapi anda bebas, anda mau pilih A atau mau pilih yang B. Seperti yang saya bilang, saya di sana kan sebagai wartawan kan. Memang bisa berdasarkan bahwa ini international management, ya... Profesor A, Profesor B, intinya 80% sama, tapi di sini ada penekanan yang lain dan satunya lagi ada penekanan yang lain. Misalnya dampak kepada masyarakat. Apakah dampak sosialnya, atau mau ekonominya, ini semua pada masing-masing profit ekonominya. Lha kalau belajar di sini tentu mudah sekali anda terpengaruh. Tapi karena saya selalu sudah terbiasa, walaupun saya ikut mata kuliah di sini, saya

167

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

katakan saya mau wawancara ibu... dan ibu itu tahu dari pertanyaan saya... Loe ikut Profesor Siane. Ya Oklah, dia bagus di ini, ini, ini... tapi...laahhh... Sama aja Profesor dari Gadjah Mada yang mengatakan.. ohh aku dengar Loe dari UI ya... ok saja... tapi... nahhh... Ketika kita ke UI, sama lagi. Ya kan, namanya ada pilihan. Asal sadar saja pilihan yang kita lakukan. Jadi, maksudnya ya... di sana itu bukan interface lagi, cuma memang intensitas pelajaran itu memang... tentu ya kalau saya misalnya datang ke sana, saya enggak tahan itu minum nescafe... waduh.. buat saya tidak ada nikmatnya, tidak ada enaknya. Itu bukan kopi. Dia jual sebagai kopi, buat saya itu bukan kopi. Wanginya lain, tastenya lain. Tapi memang setelah satu atau dua tiga tahun di sana, karena itu yang tersedia lama-lama ya tahan aja. Tapi tetap saya anggap kopi Tubruk lebih enak. Begitu saja, tidak usah susah-susah kok. Ada lagi humberger... apa-apan ini... saya pertama kali... orang tanya kan which one do you want? Kalau makan gado-gado. Ada humberger lah, ada Kentucky Fried Chicken lah, lapar segala macam... ya udah lah... makan saja. Saya juga tidak mengatakan saya sama sekali tidak suka. Tapi sebulan sekali, ini Mom, saya punya mobil di sana, saya ibarat dari Bogor ke Jakarta naik bus pergi ke rumah, waktu itu, consult, kenalan. Dan si ibu itu sudah tahu. Seminggu sekali saya makan nasi ke rumah makan Cina atau apa biar dapat nasi. Gua mau makanan Indonesia...ha..ha bumbu Indonesia lah. Ya udah begitu saja. RAN: Tentang para jendral tadi Pak... MEreka kemudan berfikir kalau bapak di Amerika membuat ya ini, intelektual atau jurnalis atau apa... AK: Begini ya... mereka sebetulnya dalam rangka menyelamatkan. RAN: Hanya menyelamatkan? AK: Enggak... Tapi saya terima itu. Kenapa tidak. Kebetulan yang satu lulusan sekolah Inggris, yang satu sekolah di Jerman. Jadi ada sedikit... Saya akui bagaimanapun saya terpengaruh, sama seperti orang Batak yang sekolah di Gadjah Mada, pulang pulang kampung, orang kampungnya bilang ini orang tolol, orang Jogja apa, kan perilakunya sudah sedikit terpengaruh. Cara perperilaku itu kan dimulai dari cara berfikir. Tingkah laku berasal dari pola fikir juga. RAN: Kalau mau melihat seperti Mafia Berkeley misalnya untuk para teknokrat itu... kalau tidak salah istilah Mafia Berkeley itu muncul sesudahnya yah? Kenapa ketika mereka pulang mereka mendapat tuduhan mereka ini yang mengembangkan... AK: Begini yah... paling ekstremnya orang-orang ini bekerjanya dikendalikan oleh CIA lah. Tapi yang mengungkapkan itu orang-orang dari Rolling Stone koran dari Amerika juga. Jadi janganlah di.... Kayak kita di Indonesia, kan ada TNI, ada FPI, ada semua, ya kan, jangan hanya salah satu aja. Cuma kalau anda memang sudah punya suatu asumsi ya silahkan. Ya saya mungkin ingin... ya entah dari cerita saya mungkin juga sudah... karena the exception burst the rule... RAN: Saya justru mencari exceptionnya kok Pak... AK: Huaah...haa.. ha.. jadi anda mau menempatkan saya sebagai exception yah? RAN: Kita break dulu ya Pak... AK: Iya... ini ngomong-ngomong... direkam ya? RAN: Oh pasti.... AK: Mungkin salah satu ... ya mungkin sebagai katalisator yang membuka beberapa jendela untuk melihat. Seperti katak dalam tempurung, tidak mengetahui suatu dunia yang lebih luas. Dengan dibukanya jendela kan menarik juga, ternyata ada gunung, ada sawah, ada sungai, ada gedung dan sebagainya. Karena ayah saya dulu guru juga. Dan saya kira, dia tidak pernah istilahnya mengajar, tapi mengajak, ayo sekolah. Yah belajar sendiri lah... anda lihat tidak itu.. dlsb. Itu anda perhatikan tidak bintang ada warna kuning, ada warna kehijauan, merah, dlsb. Anda lihati tidak pulau-pulau ini, klusternya,... RAN: Jadi terlibat di dalam gerakan tahun berapa Pak? AK: Sudah membaca Soe Hoek Gie kan? Sudah baca itu belum? RAN: Tahun awal-awal masuk kuliah dulu. AK: Lha iya... saya kan sering-sering, kata orang dimana-mana, saya ditanya lho mas Tides kenal ya (red- dengan SHGie)? Kenal, wong itu teman naik gunung, teman ngobrol. Dia yang mengajari anda menjadi aktivis? Ya enggak tahu... ya gimana saya usianya tidak sebaya dengan Hoek Gie, saya lebih tua, saya sudah kerja waktu itu. Saya sudah jadi wartawan, tapi saya memang dari dulu

168

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

akrab dengan aktivis muda. Mungkin karena saya sendiri tidak mengalami begitu. Saya pikir, enak sekali jadi mahasiswa ini, jalan-jalan, bersenang-senang kan tidak ada tanggungjawab... he..he.. Kemudian saya kebetulan hobi naik gunung, jalan-jalan waktu itu dengan Hoek Gie. KArena dia mempunyai kelebihan dalam intelektual makanya banyak kan yang bikin PR saja sudah berat, kok masih harus baca-baca buku yang aneh-aneh seperti Main Kampt, Madilog, atau apa.. Nah tapi dia karena mungkin wawasan sejarahnya saya cocok sekali. Dan ayah saya dulu, banyak sekali memberikan penjelasan, tapi saya kira itu membangkitkan wawasan sejarah. Kalau naik kelas, dia katakan... wah bagus ayo ikut aku... eh dikasih hadiah... hadianya buku-buku. Mana yang kau tertarik? Anda sudah lihat belum buku sejarah? Belum. Ya cobalah anda baca mengenai sejarah. Entah sriwijaya lah, majapahit lah, Gadjah Mada lah atau apa... atau kedatangan Portugis, atau... RAN: Baik pak.. saya masih harus belajar banyak tentang hidup Pak. Tesis ini hanya satu bagian saja. AK: Lho... saya juga. MAnusia itu proses belajarnya tidak ada ujung-ujungnya... Karena katanya, pada waktu kita menempuh perjalanan dan seolah-olah kita mencapai yang kita anggap tujuan... (tersela Aristides angkat telepon: made appointment di Sinar Harapan dengan seseorang). AK: Ya manjadi aktivis... Saya latarbelakang sebenarnya dari usia sangat muda. Lumayan lah sudah jadi Manager Editor. Kemudian ini kan terjadi peralihan politik kan dari Soekarnoism ke Soehartoism. Dan emang katakanlah suatu ketika ada window, ada kesempatan, untuk mengajukan ide-ide baru sebelum militer mengkonsolidasi diri. Pada kesempatan itu saya kebetulan lagi intens juga, ya.. pergaulan saya sebagai wartawan ya begitu ya kan... Tapi cocok dengan Soe Hoek Gie karena orangnya punya wawasan sejarah. nah justru karena dia punya wawasan sejarah, dan baca banyak, tapi bukan hanya sejarah politik, tapi juga ada dimensi budayanya, pokoknya intelektual bukan hanya sekadar akademik ya... Saya sebagai aktivis walaupun saya ini bukan lulusan universitas, tapi di rumah, ayah saya itu kadang-kadang kalau dia bertanya sesuatu dia cuma bertanya, sudah baca buku ini, ini ensiklopedi, di sini ada daftar perpustakaan dan sebagainya. jadi tradisi berfikir dan mengutarakan pikiran, dan merumuskan, bahkan adu pendapat, tapi menguji pendapat dengan teman lain yang tidak selalu sepaham, artinya sering mengasah. Nah kebetulan punya hobi yang sama, jalan ke gunung dan saya katakan, karena teman-teman saya masih mahasiswa sementara saya kerja, jadi tiap hari saya traktir mereka. Saya dulu sudah punya income, mereka enggak punya income. Waktu itu saya masih mudalah. Tapi saya diajak juga ke warung senggol di Sastra UI. Biasa lah, kampus tapi mahasiswa kan keuangannya terbatas, ada warung, yang ngopi siapa, ada apa saja.... Waktu itu sudah di Rawamangun. Nah itu jadinya warung senggol. KArena saking sempitnya, tidak bisa kemana-mana, disitu-situ aja jadi namanya warung senggol. Begitu. KArena tidak banyak yang kenal tapi akhirnya jadi kenal, ya... oleh anak-anak mahasiswa waktu itu disebut warung senggol. Ya samalah seperti yang ditulis Di Kampus Biru. RAN: Ok Pak. Itu kan yang di sini saat pasca sebelum menjadi jurnalis tadi ya... rintisan intelektual, dan kemudian bertemu dengan intelektual yang lain yah... AK: Ya itu dimulai menjelang berakhirnya perjuangan militer, tapi masih sangat demokratis, pemilu segala, para tentara antri. Jendral itu belum tentu di antrian depan, ada jendral ada kopral, prajurit. Yang di depan ya duluan, karena memilih sebagai hak warga negara, artinya sama, tidak ada kepangkatan. Saya pas belum boleh ikut pemilu, tapi sudah boleh menyaksikan. Saya waktu itu baru duduk di SMA. Tapi kemudian kan Demokrasi Terpimpin. Kemudian perebutan Irian BArat. Dan Indonesia waktu berada di simpang jalan. Soekarno mencoba mensinergikan itu apa yang disebut NASAKOM kan. Mari kita bersatu, karena sudah dianggap menyelesaikan tugas revolusi, dan mempersiapkan rakyat Indonesia masuk yang disebut Irian Barat. dan Berhasil. Tapi waktu itu ketegangan antara TNI dan PKI sudah makin menajam, antara lain kan karena perang dingin, kan begitu, dimana kemudian terjadi PRRI Permesta, ada pemberontakan dimana ada ikut campur dari luar. AMerika mendukung pemberontakan. Karena Indonesia kan menyatakan diri aktif tapi netral. Yang dibaca oleh Amerika itu disebut immoral. Artinya tidak mau ikut kita. Jadi intinya, kita tidak ikut arus, tapi kok kita bermusuhan. Dia bilang kalau anda itu teman harus ikut kita. Kalau ada yang tidak ikut dia adalah lawan. Sehingga mereka mendukung pemberontakan

169

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

itu pada awalanya. Tapi kemudian kan saya juga bekerja di Surat KAbar yang... karena mulanya saya di Kantor Berita Indonesia, saya biro Indonesia. Dan kemudian gabung dengan Antara. Tapi suatu ketika Soekarno mendapat tentangan dari MAsumi, PSI dan sebagainya. Justru cenderung lebih bersandar ke anti TNI jelas yah... dan cenderung ke PKI. Ya kita tahu perang itu adalah perang saudara. Tapi bisa di lewati cuma memang Demokrasi Terpimpin. Nah kemudian proses itu banyak surat kabar yang dianggap tidak menerima NASAKOM, atau karena merasa takut kepada PKI, atau takut kepada PKI, dibreidel. Sehingga, dunia mass media itu timpang, yang suara nasionalis kiri/ PSI, Komunis, Harian Rakyat, itu tiba-tiba tidak ada imbangannya. Karena Abadi yang Masyumi, Pedoman Sosialis, Indonesia Raya sudah dibreidel. Nah pada waktu itulah kita muncul, tahun 1961. Nah kita jelas tidak pro PKI pada waktu itu. Intinya kita mengatakan memperjuangkan kepentingan rakyat itu bukan monopoli PKI saja. Jadi bodohlah, masak cuma PKI yang memakai atas nama perjuangan rakyat. Tapi kita juga tidak menempatkan diri sebagai anti siapa-siapa ya enggak lah. Pokoknya untuk memajukan kegiatan di Indonesia, ada banyak suku, ada banyak sudut pandang, ada banyak cara. Inilah kita berkompetisi siapa yang paling mahir, dan ukurannya adalah kemakmuran rakyat. Nah tapi pada waktu itu, memang arus kiri itu kencang sekali. Pada waktu itulah sebagai pilihan dari fakultas ekonomi itu difasilitasi untuk sekolah di Amerika. Tapi salah satu yang mestinya anda wawancara adalah Daud Yusuf. Daud Yusuf ditawarkan oleh Ford Foundation, untuk sekolah di luar negeri. Dia bilang ya saya mau... tapi saya tidak mau di Amerika, saya minta di Perancis. Memang dia bilang, karena dia punya pendirian kuat, akhirnya dibiayai oleh Amerika untuk sekolah di PErancis. RAN: Dan untuk program Ford itu memang sebenarnya tidak seterbuka.... Kalau sekarang kan Ford pilihannya sangat terbuka ya... AK: Ya... seperti yang dia maksudkan, saya mau tapi syarat menurut saya... lebih baik anda wawancara dia. Dia masih ada. Dia yang menormalisasi kampus. Haa...ha... Tapi kan saya punya kawan dimana-mana. RAN: Bapak ini... kadang-kadang oposisi... ada yang tidak bisa bicara itu pak. Tapi yang justru kemudian menjadi penting... bisa bicara... AK: Lho iya... misalnya tadi kan Pak Usmayanto tadi. KAn ada kelompok yang mau promote 30 tahun Indonesia, saya dari Sinar Harapan dan.... kami mengatakan Indonesia belum siap. Dan jelas kita punya sikap, jangan ikut angin lah, pemerintah mau kemana, tunduk. Kemarin kan mereka diskusi di Sinar Harapan, minggu yang lalu. Saya ngomong, saya ini dikenal sebagai orang yang Anti Nuklir, ya tercatatlah... entah dimana. Artinya saya tetap terbuka. Anda punya pendapat berbeda. Saya hormati pendapat yang berbeda. Memang teknologi dari segi ekonomi, nanti kita perlu energi, bicara kesiapan rakyat, tapi kan perlu energi yan g riil sangat murah, paling available. Tapi yang paling cepat dihasilkan adalah nuklir itu. Nah saya intinya ya itu mungkin benar. Tapi kita perhatikan ada faktor-faktor sosial, kultural, managemen, dlsb. Tapi kita terbuka untuk berdialog. Namanya open mind, open heart, hati terbuka, pikiran terbuka, niat terbuka. Tapi kita pakai nalar lah biar dialog itu menjadi cerdas. Jadi kalau dari sisi ini, saya bukan termasuk..., tapi ya gimana ya, saya berada di lain pihak. Dan awalnya terus terang saja tidak terlalu... senang... senangnya jadi wartawan kok. Teman saya banyak yang pergi ke luar negeri sebelumnya. Kemudian saya ditawari saya tidak mau. Tapi ini semacam keterpaksaan. menyangkut diriku dan menyangkut misi dan visi yang ada. Kalau enggak itu tuh... sekian banyak orang kehilangan pekerjaan. Ya buat apa alat / mesinya. Apakah sudah waktunya untuk mengorbankan seluruh alat perjuangan, instrumen perjuangan juga kan ini. Nah Tapi kemudian kan terjadi Malari. KArena terjadi malari saya, tadinya mau pulang, tapi kan ada jendral... wah untung ada di sini, kalau ketemu di Jakarta, saya tangkap kau. Kenapa? Ya nanti saja, nanti saya introgasi sesudah itu, mengapa... Tapi ya... saya terima sebagai suatu peringatan halus ya kan... karena popular, saya kira ini akan terjadi. Mungkin bagi orang lain kan itu ancaman, yah... terserah. Tapi saya kira beliau cukup cerdas lah... dia tahu saya tidak akan mempan dengan ancaman.

Wawancara selesai....

170

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Lampiran Wawancara 4: Wawancara Arief Budiman (AB) Salatiga, 28 Juli 2010 Pewawancara: Retno Agustin (RA) RA: Saya ingin mengambil pembelajaran dari bapak, bahwa beasiswa tidak selamanya digunakan untuk mencetak agen-agen, kalaupun memang digunakan mencetak agen-agen, masih ada peluang untuk keluar dari situ. Nah saya ingin mendapatkan cerita itu dari bapak. Dari ini memang banyak yang bisa diambil Pak, tapi mungkin bapak bisa menambahkan cerita-cerita, mungkin bagaimana bapak bisa memaknai beasiswa sekolah ke Amerika dalam mendorong intelektual kritis. Yang saya justru belum dapatkan adalah cerita sepulang dari Amerika, bagaimana jejaring yang dibangun dari Amerika itu juga berguna di Indonesia. Termasuk nanti pengalaman intelektual direpresi rezim. Saya mendapat sedikit cerita dari bukunya Pak Ariel Haryanto tentang intelektual publik dalam bukunya Menggugat Otoritarianisme itu di sana ada, mungkin bapak bisa tambahkan. Lebih banyak cerita yang ingin saya dapatkan dari bapak. Kira- kira saya bisa minta waktu berapa lama ke Bapak untuk wawancara saya ini? AB: Terserah saja. Saya bisa. RA: Ya saya membutuhkan waktu 1,5 sampai 2 jam untuk ini Pak. Terimakasih atas waktunya Pak. Mungkin bapak bisa memulai cerita dari mulai memaknai beasiswa untuk sekolah di Amerika bagi pengembangan intelektual. AB: Pertama, tentang agen, agen itu kan alat ya.. Itu, kita tergantung pada dua hal, yaitu apakah memang pemberi beasiswa sendiri memang mau membentuk agen dalam arti kata, tentu saja pemberi beasiswa memiliki suatu tujuan, yang dibilang agen itu kan disuruh-suruh untuk kepentingan dia. Yang kedua tergantung pada kita, yang mendapat beasiswa. Apakah dia mudah patuh, ataukah dia… ini kan sudah applical ya.. karena sudah taraf S3 yah. Mahasiswanya sudah kritis kan. Enggak begitu mudah untuk patuh begitu saja. Jadi dua hal itu yang menentukan beasiswa menjadi agen. Jadi pertama, kalau kita melihat beasiswa harus case by case juga, tidak bisa umum. Misalnya dalam hal saya, saya dapat dari Ford Foundation. Ford Foundation kepingin, sebetulnya FF simple, tujuannya meningkatkan intelektual di negara berkembang. Kalau beasiswa untuk Indonesia, meningkatkan kemampuan intelektual di Indonesia begitu. Karena mereka percaya, nah… kalau dilihat dari segi agen di sini, mereka percaya bahwa kalau di suatu negara banyak intelektual yang kritis itu tidak akan jadi komunis. Karena komunis kan lebih doktriner. Ya ada juga orang-orang yang pinter jadi komunis. Tapi pada umumnya komunis itu lebih doktriner. Jadi mereka, harapannya adalah dengan membuat pluralitas di masyarakat mereka bisa mencegah komunisme masuk ke negara-negara berkembang. Itu implisit, tidak secara eksplisit mengatakan itu. Tujuannya adalah mencerdaskan bangsa begitu, supaya bangsa itu berkembang. Oleh karena itu, mereka juga memberi beasiswa terutama kepada negara-negara yang mereka inginkan tidak jadi komunis, antara lain Indonesia, karena indonesia strategis sekali di Asia Tenggara. Kedua adalah negara-negara yang bisa tumbuh menjadi diktaktor gitu. Misalnya jaman Soekarno begitu. Jadi waktu Soekarno makin lama makin jadi diktaktor, dan juga makin ke kiri juga kan waktu itu, makin menjadi komunisme atau jadi hipernasionalisme, maka Ford Foundation merasa bahwa untuk mencegah Soekarno yang dianggap jelek buat Indonesia, bukan karena dia anti Amerika. Yang dianggap jelek untuk Indonesia itu, ditingkatkan kemampuan intelektualnya sehingga tanpa corp, masukin agen-agen dari Amerika, di Indonesia sendiri akan muncul perlawanan. Perlawanan yang bukan jadi alat Ford, tapi perlawanan untuk kemajuan bangsa Indonesia itu sendiri. Jadi saya kira Ford Foundation waktu itu ya, kalau dibilang menciptakan agen bener tapi dalam arti yang umum. Dalam arti, dia tidak mau Indonesia jatuh jadi komunis, dan caranya dengan menjadi intelektual, meningkatkan pluralitas. Tapi dalam hal lain, dia bisa dikatakan, dia bukan menciptakan agen, tapi dia menciptakan keintelektualan di negara-negara yang mereka bantu. Supaya kehidupan di sana bisa berkembang atas dasar pertukaran ide begitu. Dan itu secara indirect, secara tidak langsung, mencegah komunisme juga. Jadi kalau dibilang, memang, tujuan Ford Foundation jelas untuk meningkatkan kecerdasan, itu yang mereka sadari dan mereka inginkan juga. Tapi side effectnya mereka juga mencegah

171

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

komunisme, barangkali. Itu tadi dalam hal agen yah… Lalu kedua, orang yang diberi beasiswa, mahasiswa juga, itu juga tergantung ya.. Jelas kalau seandainya, orang ini membela otoriterisme, misalnya menciptakan diktaktor komunis begitu yah… dia kepingin indonesia menjadi komunis, itu jelas Ford Foundation tidak akan memberikan beasiswa pada orang itu. Tapi biasanya, kaum intelektual kalau memang dia seorang intelektual maka dia menghargai pluralitas, jadi orang yang diberi beasiswa itu tidak mudah jadi agen. Karena kalau orangnya pandai, dia tidak mau, lebih baik dia tidak terima beasiswa itu. Atau dia gunakan, pura-pura mau tapi sesudah selesai ya dia bebas lagi. RA: Bapak termasuk kategori mana ini pak? He..he.. AB: Saya dari mula, saya kira, saya anti komunis memang. Dasarnya karena pengalaman pribadi saya begitu. Tahu riwayat manifesto budaya kan? Jadi saya dari dulu memang saya anggap, sebenarnya saya bukan anti komunisme, saya anti kepada otoritarianisme, yang tidak demokratis. Saya pro demokrasi yah.. dan buat saya kapitalisme lebih demokratis dari komunisme. Karena itu saya cenderung ke sistem pasar, sistem pasar kan bebas orangnya, bersaing begitu, tapi saya anti terhadap ketidakadilan antara yang kaya dan miskin. Eksploitasi orang kaya terhadap yang miskin. Karena itu saya pada dasarnya seorang sosialis demokrat. Jadi sosialisme dalam arti kata saya ingin masyarakat tidak bertentangan kaya – miskin, bisa dikurangi, kalau bisa dihilangkan bahkan. Tapi saya tidak mau dengan cara yang diktaktor, tapi dengan cara yang demokratis. Itu yang disebut sosialisme demokrat, SosDem. Apa lagi tadi yang ditanyakan? RA: Ya.. makna sekolah di Amerika bagi pengembangan intelektual Bapak? AB: Di Amerika itu, meskipun Amerika negara kapitalis, di sana demokratis sekali. Pendidikannya fair. Kebetulan saya mendapat universitas yang baik, karena kemujuran juga sih, sehingga saya bisa masuk Harvard juga. Di sana diajari Marxisme, bahkan saya kemudian, teman-teman bergaul banyak yang dari pengikut Marxis begitu. Tapi kebanyakan mereka anti otoritarianisme dari komunisme. Lah belakangan saya belajar Marxisme dari Amerika, lebih banyak belajar dari teman-teman Marxis. Enggak harus dia seorang komunis, tetapi orang yang orientasinya Marxis. Bahkan juga akhirnya saya terpengaruh. Tadinya saya, pendekatan saya kan, kalau di teori ilmu sosial kan ada 3 yang saya lihat, teori kebudayaan, jadi bahwa masyarakat yang mempengaruhi adalah nilai-nilai kebudayaan yang ada dan perkembangannya. Yang kedua, teori psikologis, masyarakat kemajuannya ditentukan oleh adanya orang-orang pinter, jadi ada pribadi orang pinter, jadi ada orang maju di negara itu. Yang ketiga, teori struktural yah… jadi struktur masyarakat itu, bahwa sebenarnya nilai-nilai misalnya kenapa kebebasan penting, itu bukan kebebasan itu sendiri yang penting, tapi strukturnya.Di dalam masyarakat kapitalis, kebebasan penting karena pakai bersaing pasar. Kalau saya sudah kuat, saya senang kepada persaingan kan begitu. Tapi kalau saya lemah, maka saya tidak suka persaingan. Karena kalau pakai persaingan saya kalah. Jadi teori struktural itu yang saya kembangkan kemudian sesudah saya kembali dari Amerika. Apalagi dalam disertasi saya menulis tentang negara, Chile, negara yang menjadi sosialis, Salvador Ayende, tapi caranya demokratis. Itu benar-benar mencerminkan pandangan ideologi saya. Saya mau masyarakat yang sosialis tapi demokratis. Chile berhasil membentuk itu, Salvador Ayende, tapi dia digulingkan secara militer oleh Agusto Pinoche. Dia digulingkan dan akhirnya dibunuh. Dan itu akhirnya jadi diktaktor militer. Karena kapitalisme sendiri kalau sosialis demokratis berjalan, kapitalisme tidak akan menang, dia akan kalah. RA: Akumulasi kapitalnya tidak akan cepat.. AB: Iya.. akumulasi kapitalnya tidak akan cepat dan ada persamaan kehidupan, taraf kehidupan ekonomi, tapi tetap demokratis. Kecepatan tidak ngomongnya? RA: tidak pak… tidak.. sangat bisa diikuti. Saya justru takutnya yang malah terlalu cepat. Menarik ya pak, maksudnya posisi itu sebenarnya sudah tercermin dari buku ini, saya ingin mendengar statemen-statemen lebih jauh saja. Dalam buku ini saya juga membaca bahwa beasiswa juga menjadi blessing juga untuk bapak di bawah tekanan rezim Orde Baru yang bapak sebut “diamankan”, pada waktu bapak demonstrasi anti TMII itu ya… Saya diprotes sama Pak Budyawan, kenapa kamu menulisnya “diamankan”?, begitu beliau bilang. Itu kan ditangkap? Tapi memang saya menulisnya kata “diamankan”, seperti bukunya.

172

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

AB: Istilah dulu jamannya Soeharto kan memang “diamankan”. Jadi penguasanya mau aman karena dia jadi tidak aman ketika dikritik terus , maka ya diamankan, ditahanlah… belum divonis penjara, tapi ditahan begitu. Jadi kan suasananya aman tidak ada yang kritik-kritik lagi begitu. Ya.. aman buat penguasa. RA: tentang itu, apa yang bapak maknai, beasiswa sebagai seorang aktivis yang tengah mendapatkan tekanan? AB: ya saya bodoh sekali. Saya pingin studi di luar juga. Karena di dalam negeri saya lihat sudah jenuh, dan mau cari pengalaman di luar. Kemudian juga waktu itu, saya kan oleh Soeharto dimaksukan dalam black list. Entar dulu, saya ke luar negeri tahun berapa yah… RA: tahun 1973… AB: iya betul… sebelum Malari. Nah waktu itu saya sudah dilarang menulis sama Soeharto waktu itu. Jadi koran-koran tidak ada yang berani memuat tulisan saya. Begitu tulisan saya dipublikasi, korannya diperingatkan. Cara Soeharto memerintah kan, dia tahu kalau breidel koran kan salah nanti, kelihatan tidak demokratis dari luar, karena Soeharto kan pro atau dekat-dekat dengan Amerika kan. Barat. Jadi barat kan idealnya demokratis. Jadi kalau Soeharto diktator, Amerika juga malu bantunya mungkin. Ya walaupun tetap dibantu. Nah jadi Soeharto, untuk menciptakan keadaan yang seakan-akan demokratis, saya boleh ngomong, boleh apa, dan saya waktu ditangkap banyak yang protes kan. Waktu saya ditahan satu bulan lebih itu. Itu banyak yang protes. Jadi takut juga mereka nangkap saya karena takut publikasi terutama di luar negeri. Ini untungnya saya banyak network di luar negeri , ada juga lah, jadi banyak orang yang bisa membela, meskipun secara kecil-kecilan. Tapi Seoahrto dalam rangka itu maka mereka bukan menangkap saya karena saya mengkritik Soeharto tapi memperingatkan koran atau majalah yang memuat tulisan saya. Kalau koran kan bisnis, jadi perhitungannya, kalau dia mengalami kesulitan dengan pemerintah, maka ia bisa ditutup tidak bisa apa-apa. Jadi mereka menolak tulisan saya. Atau biasanya saya menulis dengan nama samaran. Dulu saya pernah menulis dengan menggunakan nama Satria Mitra atau apa itu… pakai nama samaran. Enggak papa kalau begitu. Asal tidak pakai nama saya saja. Kecuali kalau ketahuan. Tapi biasanya ya jadi rahasia umum saja itu. Jadi saya menulis di koran-koran dengan nama samaran di Kompas atau Sinar Harapan pada waktu itu. RA: Punya Pak Tides itu yah? AB: iya Pak Tides Kattopo. RA: Tapi akhirnya Sinar Harapan kan juga dibreidel juga kan Pak? AB: Dibreidel juga. Iya. Ya karena agak kritis sedikit, atau karena memberitakan, salah berita apa ya… ada satu komisi anti korupsi, laporannya dibocorin ke Sinar Harapan, dan kemudian dipublikasikan waktu itu yah… dibreidel karena itu yah? RA: iya… betul. Dan beliau diamankan di luar negeri… he..he AB: Iya.. si Tides akhirnya dikasih beasiswa. Dan itu juga melalui secara enggak langsung mungkin pemerintah Indonesia kerjasama sama Ford atau kerjasama dengan Rockefeler. Dia minta supaya orang ini, daripada ditangkap, mending Ford memberi beasiswa begitu. Kalau mahasiswa ya studi lanjut kayak saya, kalau Tides sebagai wartawan senior kali yah… jadi Fellow di sana. RA: Iya betul Pak. AB: Nah di sini, Universitas juga jadi Ford mendekati Universitas itu. Termasuk Harvard saya kira. Lalu dia minta supaya Tides diundang begitu. Uangnya dari mereka begitu. Nah Harvard berkepentingan dengan adanya suasana internasional yang seperti itu. Tapi dia tidak mau nurut begitu saja dengan pemerintah AS. Dia lihat dulu kualitas orangnya bagaimana. Tides kan sebagai wartawan konsisten. Dianggap wartawan senior yang tokoh gitu yah. Tides bukan seorang teoritikus, Tides seorang yang praktikus. Dia melaksanakan. Lain dengan Nono L Makarim. Memang teori dia kuasai banyak. Nono kalau tidak salah di Harvard juga, dihentikan begitu juga, karena kritis. Karena saya sama-sama Nono, tinggal bersebelahan dengan dia. RA: iya yang nasibya agak beda itu ya Pak? He..he AB: iya nasinya agak beda.. dapetnya dari Ford. Saya dapatnya dari Fulbright, cuman buat saya pribadi. Tapi saya mau sama keluarga, kalau tidak dengan keluarga saya tidak mau. Jadi saya ajak

173

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

keluarga, anak dua, istri saya, istri satu, jadi berempat gitu. Makan dari beasiswa yang sangat minim, yaitu dari beasiswa untuk satu orang. Jadi ya hidupnya serba sulit saya rasa. RA: iya.. seperti yang bapak tulis. Mengharukan juga sih pak. Menjadi miskin di Amerika ya? AB: Hooh… Tapi miskin di Amerika ya makannya jalan terus. Buat makan sih enggak ada masalah cuman tidak bisa beli oleh-oleh, tidak bisa beli… anak-anak itu kalau kemana… ke supermarket tuh… harus dijauhkan dari tempat es krim. Kalau enggak mereka nangis minta es krim hehe… Kecuali kalau ada uang lebih begitu… Leila untuk menambah ongkos, dia jadi babysitter… kalau ada bayi dititipin.. satu jam dapat berapa begitu, 5 dollar atau berapa. Kalau dititipi, anak-anak senang, artinya dia dapat es krim. He..he.. Kalau sudah selesai dan bayi dipulangin, ya… mereka seneng… semuanya ditarik sama anak-anak. Dapat Mac Donall atau apa itu… RA: He..he.. Menarik… Bapak yang pertama di Harvard itu kan special student juga kan dengan Fulbright ya? Waktu itu kan bapak sudah masuk black list, tapi masih mungkin keluar itu kan sebenarnya masih ada semacam misi dari pemerintah indonesia… sudahlah orang ini “diamankan” di luarnegeri begitu? Apakah ini tidak dipersulit? AB: ya memang dibiarkan saja. Jadi artinya pemerintah… saya tidak tahu yang terjadi di belakang… tapi tiba-tiba waktu itu saya dapat tawaran studi lanjut. Waktu saya kritis, dimusuhi Soeharto, tidak boleh nulis, tidak boleh… dapat tawaran studi lanjut saja begitu. Saya kira mungkin ada pembicaraan di Kopkamtib waktu itu dengan Ford, supaya saya tidak dicegah ke luar negeri. Mereka juga seneng kali ketika saya dapat beasiswa. Untuk itu apakah ada arrangement yang terencana betul atau itu Cuma kebetulan saja bahwa saya dapat beasiswa. Ya militer lebih seneng kalau saya di luar begitu saja. Dia nangkep saya tidak bisa, karena nama saya dikenal oleh media, oleh masyarakat. Karena nangkep saya tidak bisa, akhirnya saya dapat, dan kebetulan ada yang mau ngasih saya beasiswa ya mereka seneng –seneng saja, saya di luar. Dari luar negeri sendiri, karena saya dianggap cukup qualified untuk dijadikan intelektual untuk masa depan, maka mereka tawarin saya beasiswa. Saya nyari beasiswanya tuh, saya waktu ditanya, mau tidak studi ke Amerika. Ya mau. Ditawarkan kalau tidak salah di universitas di Texas atau dimana gitu. Ada yang mau menerima saya waktu itu, ada beberapa universitas kecil begitu. Saya waktu itu ngomong sama Mely Tan, kalau tidak salah. Kalau kuliah di Amerika jangan sembarangan aja dong cari universitas yang bagus. Saya tidak tahu universitas yang bagus yang mana? Ya Harvard, Chicago, Berkeley, itu. Ya lamar ke sana deh. Ya lalu saya lamar saja. Tapi kebetulan ada yang bilang ada cara lain masuk ke Amerika, kalau tidak salah Harsya Bahtiar. Dia tamatan Harvard toh… Kamu minta menjadi special student. Harvard enggak akan terima karena dia tidak tahu lulusan indonesia, meskipun angkanya A semua. Tapi kan standar kualitas pendidikannya indonesia, mereka kan tidak tahu. Nilai A dari Indonesia apakah berarti itu juga bagus, pinter gitu. Supaya tahu, mereka minta supaya orang itu tidak langsung diberi program. Jadi hanya diterima sementara 1 tahun, disuruh ngambil kuliah-kuliah biasa, entar dilihat angkanya bagus tidak. Saya waktu itu bilang… ok deh,.. jadi Harsya Bahtiar ngasih dua nama kalau tidak salah atau berapa nama itu.. untuk saya kontak Profesor yang mau menjamin saya sebagai special student. Karena Harvard tidak mau menerima kalau tidak ada jaminan dari orang yang mereka kenal. Profesor itu adalah Prof. Daniel Bell, yang satu lagi Prof. Seymor Martin Leipset (?)… Saya tulis surat ke dia.. saya bilang saya dianjurkan oleh Harsya Bathiar… dulu Harsya Bahtiar murid mereka. Mereka mau. Kalau Daniel Bell saya dapatkan dari seorang teman Amerika. Dia juga memberi rekomendasi ke saya. Daniel Bell dan Martin Leipset mau memberi materi dan sebagainya. Dia kasih rekomendasi ke Harvard bahwa dia mau menerimanya sebagai special student satu tahun. Dan pada semester pertama saya sudah dapat straight A… karena saya ambil yang gampang-gampang saja. Saya cari… jangan ngambil yang susah-susah, ngmbil yang gampang saja supaya seneng kelihatan yang pertama itu bagus. Jadi saya ambil teori yang saya sudah tahu… seperti teori pembangunan tentang indonesia. Kalau tidak salah dengan Prof. James Fox. Saya nulis tentang Indonesia ya lebih gampang karena saya penulis. Jadi waktu itu saya dapat straight A satu, 2 A, 1 A -, kalau tidak salah. Langsung itu diterima jadi mahasiswa biasa. Jadi degree program. Langsung PhD sih, karena di jurusan Sosiologi biasanya mereka kan master dulu. Kalau mereka tidak diterima. Tapi di jurusan Sosiologi Harvard enggak ada studi untuk

174

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

master sosiologi, BA atau PhD. Karena dosennya sedikit, mereka tidak mau terlalu banyak mahasiswa-mahasiswa. Mahasiswa PhD waktu itu ada 12 atau 13 orang kali. Hanya belasan untuk PhD program di jurusan Sosiologi. Nama Sosiologi tapi saya mengambil Political Economy. Karena sosiologi kan kebanyakan tentang masyarakat, dinamik, kalau saya kan tentang perubahan kapitalisme ke sosialisme secara demokratis. Itu kan lebih political economy. Dan satu lagi yang saya minta supaya, biasanya PhD researchnye harus empiris, dengan data-data, wawancara atau data-data di lapangan. Saya sebelumnya mau menulis tesis saya tertarik pada Cuba, tapi akhirnya saya jadi tertarik kepada sosialisme. Tapi yang demokratis saya carinya. Ada di Chile. Saya bilang mungkin ke Chile agak sukar saya tidak punya dana, dan juga untuk keluar dari Amerika agak sukar waktu itu. Tidak bisa kalau ke Chile dananya tidak ada, begitu saya bilang. Ford Foundation stop beasiswanya kalau tidak salah. Saya hidup dari ngajar bahasa indonesia di Santa Cruz California. Mereka bilang, boleh aja, coba tulis proposalnya dulu, bahan-bahannya cukup tidak. Saya bilang, saya akan wawancara orang-orang Chile yang lari ke Amerika. Reguge-refuge yang ada di Amerika. Ternyata diperbolehkan untuk tidak usah empirik, enggak usah lapangan, lapangannya melalui buku aja, kajian-kajian teori. Kalau tidak salah saya mungkin satu-satunya atau yang pertama yang menulis tesis dengan bahan hanya studi literatur. RA: dengan wawancara terbatas? AB: dengan wawancara terbatas. Jadi kalau ada orang dari Chile saya datangi mereka di Amerika. Karena saya tidak punya dana untuk jauh-jauh. Dan saya wawancara dengan mereka, gimana pengalaman mereka segala macam. Segala macam tulisan yang di tembok itu, saya tertarik antara lain di Chile kan ada itu tuh… waktu menggulingkan Salvador Ayende, Jendral Penoche itu pakai kode, code word… operation Jakarta. Karena Penoche itu orang militer yang dilatih di Amerika. Di Amerika itu, .. tahun berapa tuh Ayende dibunuh? Tahun berapa yah… pokoknya Penoche belajar di Amerika, model-model penggulingan rezim komunis. Rezim yang anti Amerika. Nah salah satu modelnya namanya model Jakarta. Yaitu bekerja sama dengan militer setempat untuk menghancurkan pemerintah yang nasionalis atau komunis itu. Militer bekerjasama dengan Amerika, dalam hal ini Soeharto, sama Amerika kerjasama menggulingkan pemerintah yang mau jadi komunis. Itu juga begitu kan. Nah Chile juga begitu kan. Jadi Ayende dianggap komunis, militer Amerika bekerjasama dengan Jendral Penoche untuk menggulingkan pemerintahan Ayende. Tapi yang dianggap bergerak itu bukan karena militer, tapi karena orang tidak puas dengan keadaan ekonomi. Ekonomi dipersulit dulu. Inflasi sampai 600% kalau tidak salah, di tahun-tahun terakhir Ayende berkuasa. RA: Indonesia lebih tinggi kan Pak inflasinya di tahun-tahun terkhir itu…? AB: Indonesia lebih tinggi… iya. Uang kita tukarkan hari ini, besok sudah tidak laku lagi. Tidak bisa dibelanjain lagi. Ya ekonomi dikacau dulu lah begitu. Kemudian militer datang menyelamatkan, menjaga ketenangan bukan sebagai penguasa, tapi akhirnya menjadi penguasa. Soeharto begitu. Itu juga persis. Di Chile terjadi hal yang sama. Polanya sama. Menggulingkan Soekarno, sama juga dengan menggulingkan Ayende. Militer Penochenya adalah Soeharto. Jadi waktu itu, mereka bilang, waktu Penoche belum berkuasa, dan masih jadi militer, Ayende berkuasa, mereka bilang, kita akan melakukan kudeta model Jakarta. Nah operasi itu oleh Pinoche dinamakan Operation Jakarta. Di buku saya, itu ada gambarnya. Lalu orang-orang yang kiri di Chile, dengar-dengar tuh militer punya Operation Jakarta. Apa tuh Jakarta? Tidak tahu mereka tentang Jakarta itu. Lalu di tembok ditulis Jakarta Bieno.. artinya Jakarta is coming… Jakarta is coming.. Jakarta is coming. Mereka juga tidak begitu mengerti waktu mereka lihat… ohh Jakarta ini kerjasama dengan militer menggulingkan orang yang sosialis, Soekarno kan dianggap sosialis, tokoh dunia ketiga. Mereka baru mengerti. Tapi yang sadar itu orang-orang kiri. Dan di tembok itu ditulis Jakarta is coming. Hati-hati… be careful… Jakarta bieno… Ada kontaknya, jadi saya merasa juga studi Chile itu ada ekstensi dari studi global operasi seperti yang di Indonesia. Menghancurkan tokoh kiri, dengan menggunakan militer, tapi militernya seakan-akan berkuasa tapi mula-mula bukan dia yang bergerak. RA: Jadi seperti pahlawan begitu…

175

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

AB: ya… jadi seperti pahlawan… mengamankan begitu. Mengamankan kekacauan. Kekacauan diciptakan oleh mereka sendiri. RA: Kalau tentang ini Pak… Maaf saya harus meluruskan tahap-tahap mendapat beasiswa itu, Bapak kan mendapat dua beasiswa ya? Fulbright dan Ford begitu? Tahun berapa Fulbright mulai dan tahun berapa Ford? AB: wah lupa saya… RA: Agak lupa ya pak? AB: ya. Tapi mula-mula dapat Fulbright, kemudian dihentikan. Fulbright itu dua tahun atau berapa tahun begitu… terus dapat Ford. Ford itu juga ada batasnya berapa tahun begitu. Empat kalau tidak salah… tapi saya belum selesai-selesai waktu itu. Belum selesai bahkan waktu saya ke luar negeri itu di samping nulis tesis saya lebih tertarik pada diskusi-diskusi begitu. Mau cari ilmu kan, artinya kalau dari kuliah saja terbatas sekali. Jadi saya ikut diskusi, diundang, kasih presentasi. Nah Ford menghentikan itu karena saya terlalu aktif di luar, kurang mengurus tesis. Nah saya membela diri dengan menulis surat kepada Ford bahwa ini adalah sebagian dari pendewasaan saya dalam belajar. Karena dalam diskusi itu saya banyak mendapat hal-hal yang di luar kuliah. Ya tapi karena mereka mengalami keterbatasan dana, jadi tidak diterima. Dan beasiswa dihentikan. Begitu dihentikan, saya mencari kerja, jadi guru bahasa indonesia. Kebetulan ada kerja itu di Santa Cruz California. Ada guru bahasa indonesia mau pensiun, namanya Tunggul Siagian. Saya gantikan dia di Santa Cruz di University of California. RA: itu setelah bapak dari tempatnya Profesor Georg itu yah? AB: oh iya… dari sana. Itu Institute for Extend Studies. RA: Iya.Nanti bisa lanjut di situ. Jadi bapak pas waktu mengawali S3 itu masih dengan Fulbright ya? AB: Iya masih dengan Fulbright. RA: masih sekitar 1-2 tahun? AB: iya. Sebagian Fulbright, dan ganti Ford. Tapi kemudian akhirnya saya pakai untuk kerja… tapi pada saat itu saya kuliahnya sudah selesai. Tinggal nulis tesis saja. Tesisnya terlambat karena saya harus kerja. RA: ha.. ha.. saya sebenarnya senang membaca buku bapak, karena saya mendapat pembenar..ha..ha. Jadi ehh… apa sih pak yang membedakan menjadi mahasiswa indonesia sekolah di Amerika dengan beasiswa Fulbright dan beasiswa Ford? Termasuk di dalamnya apakah ada intervensi-intervensi yang berbeda? AB: Pada dasarnya enggak ada bedanya. Cuma Ford biasanya lebih besar dari Fulbright. Ford kadang-kadang menjamin keluarga, kalau Fulbright hanya satu orang saja. Dalam hal intervensi mereka tidak melakukan intervensi kecuali kalau angkanya jelek. Kalau prestasinya tidak bagus, mereka tegur itu. Paling tidak pengalaman saya dan teman-teman yang saya tahu, enggak ada tuh, kamu harus ambil kuliah ini… kuliah itu… tidak ada. Kalau perlu dia jika prestasinya bagus di sekolah itu, dia direkomendasikan sebagai mahasiswa yang pandai lah begitu yah. Yang bisa menamatkan studinya… itu lebih.. daripada ukurannya tidak jelas. Potensi menamatkan studinya cukup besar, jadi itu yang oleh Ford / Fulbright yang jadi ukurannya. Kalau intervensi itunya dari sejak semula. Kalau mereka mau Social Science… ya Social Science, jangan pindah-pindah ke ilmu eksakta begitu. RA: saya dengar dari pengelola Fulbright, waktu itu Prof Harsya Bahtiar maunya Fulbright itu hanya untuk yang ilmu sosial, non ekonomi. Karena untuk melengkapi beasiswa yang lain sudah membiayai yang ekonomi. Kenapa waktu itu Ford mau memberikan beasiswa pada Bapak, padahal bapak kan mengambil ilmu sosial, non ekonomi? AB: Ya mungkin pada waktu itu saya kenal dengan orang-orang di Ford yah. Secara pribadi saya hubungi mereka. Dan mereka juga tidak memberikan terbatas juga kan. Ok dikasih sekian tahun, tapi tidak lebih dari itu. Biasanya mereka prioritaskan ekonomi dan bisnis school atau law school kelihatannya. Law school itu hukum yah… yah seperti pak Nono Makarim itu dari Law School. RA: Yang menarik pak… waktu itu bapak kritis terhadap Soeharto juga, tapi banyak orang-orang di sekeliling Soeharto, orang-orang yang biasa disebut.. apanamanya para pembela Soeharto,

176

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

seperti pak Selo Sumarjan dan bapak juga dekat yah… Bagaimana proses membangun diskusi intelektual seperti itu? AB: kalau orang seperti Pak Selo, itu dia hanya sarjana saja itu. Dia juga kritis kepada Soeharto tapi dia tidak politis, tidak bikin statement, tidak bikin apa gitu… dia sendiri enggak senang terhadap Soeharto, korupsinya merajalela, apalagi Ibu Tien segala itu, dan ikut-ikutan keluarganya diperkaya juga. Dia enggak senang tapi dia enggak memprotes secara terbuka. Dan saya kira banyak sekali yang kritis terhadap Soeharto, ya… cuman tidak berani ngomong. Kalau saya bedanya, saya ngomong. Dan bukan saya saja, ada beberapa orang yang seperti saya itu.

RA: itu termasuk dengan ini ya Pak… Kalau saya tidak salah membaca, termasuk dengan mereka- mereka yang di kemudian hari disebut dengan Mafia Berkeley itu? Apakah bapak pernah mengalami diskusi dengan mereka? AB: oh iya.. dengan Widjojo Nitisastro, Ali Wardana. Mafia Berkeley itu kan dididik di Berkeley, dapat doktor, dapat semuanya, kemudian dia pulang, jadi tim ekonomi. Mereka itu menganggap, mereka juga tidak setuju, kritis terhadap Soeharto. Karena saya kenal pribadinya Pak Widjoyo segala macam. Saya datang, bahkan dia yang merekomendasi saya untuk studi lanjut. Mereka juga kritis. Tapi mereka anggap tugas saya adalah kalau Soeharto sudah rusak, kalau dia tidak di tolong oleh tim ekonomi ini, rakyat yang akan hancur. Kasihan kalau negaranya rusak sama sekali. Jadi saya bekerja, meskipun saya tidak setuju sama Soeharto, tapi saya bekerja untuk rakyat Indonesia. Bukan untuk Soeharto. Jadi dia dengan kepercayaan itu, dia melakukan apa yang terbaik menurut mereka. Yaitu mengembangkan ekonomi Indonesia. Antara lain ya itu, tenaganya Widjojo segala, maka dana dari luar negeri dari Amerika, dipercaya. Karena dikelola oleh Widjoyo, sehingga aman begitu. Jadi Soeharto membutuhkan Widjojo Cs, Mafia Berkeley, supaya dapat dana. Sedangkan Berkeley Mafia membutuhkan Soeharto supaya dapat dana untuk menolong rakyat Indonesia. Tapi uangnya ya akhirnya secara tidak langsung memperkuat Soeharto juga. Tapi oleh orang kayak Pak Widjoyo itu, politik tidak mau campur begitu. Yang perlu saya adalah orang indonesia nih tidak punya uang, karena inflasinya tinggi sekali. Mencegah agar inflasi tidak terlalu tinggi ya perlu bantuan luar negeri. Dia yang keluar begitu. Jadi itulah yang dibilang teknokrat itu sebenarnya berpolitik atau enggak sih… dengan berpolitik dia jadi diperalat oleh politik. Jadi memang enggak bisa orang enggak berpolitik. Dan mau supaya Widjojo tegas begitu. Supaya cepat-cepat Soeharto jatuh, nanti kan cepat-cepat dibangun pemerintah yang lebih bersih. Tapi Widjojo menganggap ini tidak bertanggungjawab, kasihan rakyat indonesia. Udah politiknya rusak, diktaktor, tapi ekonominya juga rusak… dia mau menyelamatkan sepotong saja. Tapi apa bisa Indonesia diselamatkan dengan sepotong-sepotong begitu. Akhirnya Widjojo secara tidak langsung jadi alat Soeharto begitu. Tapi buat Widjojo pembenarannya adalah dia tidak menolong Soeharto, dia menolong rakyat Indonesia. Dia genuin dia, jadi memang jujur dia tidak senang dengan korupnya Soeharto. RA: Tapi Itu yang kemudian mereka mendapat tuduhan mereka diperalat oleh Amerika juga untuk melancarkan investasi itu? AB: iya..iya.. Karena dia membela modal Amerika soalnya. Juga kepentingan Amerika supaya Soeharto tetap anti komunis, itu tetap dipelihara. Jadi kompleks masalahnya , tidak hanya bisa dari satu sisi saja yah. Kalau saya anggap bahwa memang masalahnya susah sih… saya bisa benarkan Widjojo secara pribadi. Tapi secara umum soal Widjojo terlalu innocence gitu… terlalu murni gitu yah. Sehingga dia diperalat Soeharto. Tapi dia juga nolong sih… kalau tidak… ekonomi kita lebih hancur. Tapi dengan hancurnya ekonomi itu sebenrnya Soeharto juga akan cepat jatuh. Jadi susahlah. Jadi dilema bagi kaum intelektual kita. RA: Dilema intelektual juga ya? Eh.. dalam tulisannya John Bresmen mungkin bapak bisa memberikan tanggapan bahwa sebenarnya ada kerjasama yang sangat manis dengan para teknokrat indonesia itu, dan itu hanya dimungkinkan karena mereka pernah bersekolah di Amerika? Apakah kemudian, model-model membangun kerjasama melalui program beasiswa itu juga terjadi pada intelektual-intelektual lain di negara Indonesia, intelektual selain Mafia Berkeley? Misalnya terhadap bapak?

177

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

AB: Oh iya… saya kira tujuannya memang begitu sih. Bahwa itu berhasil tidak berhasil ya lain soal lagi yah. Jadi tujuannya mereka, Berkeley Mafia adalah juga orang yang tunduk pada keinginan mereka, bukan karena tunduk pada keinginan mereka secara membabi buta. Tapi karena itu piliahnnya yang paling baik buat rakyat Indonesia. Agar supaya perekonomiannya tidak hancur. Karena kalau diserahkan Soeharto, pasti hancur perekonomiannya. Jadi kepentingan Soeharto dikaitkan dengan kepentingan rakyat Indonesia. Sehingga Berkeley Mafia tidak bisa punya pilihan lain kecuali nolong Soeharto. Yang sebenarnya ditolong adalah rakyatnya. Jadi seperti itu keadannya. Tadi apalagi pertanyaannya? RA: Bapak sebagai intelektual kan juga memiliki jaringan-jaringan juga yang mungkin serupa dengan Mafia Berkeley itu. Apakah kemudian juga ada semacam tawaran kerjasama menjadi konsultan… dan semacam itu dari Amerika? AB: Tawaran kerjasama saya enggak tahu ada enggak adanya. Tapi saya tahu ada kerjasama dari Widjojo misalnya, suka diundang oleh sekelompok intelektual yang suka kumpul, di tempat Soedjatmoko. Waktu itu di jalan Tanjung saya masih ingat, di Menteng. Saya suka datang ke dia secara pribadi maupun kadang-kadang minta, dia kan tokoh senior, pernah jadi duta besar PBB segala. Dia rumahnya itu dipakai kelompok diskusi antara kelompok yang tidak setuju sama Soeharto dengan Widjojo. Widjojo diundang disuruh ceramah, ngomong gimana begitu. Jadi untuk menyadari kompleksitas masalah. Jadi kita paling mengerti lah posisi. Kita bisa melihat dan bisa menerima peran Widjojo untuk membantu Soeharto, karena kompleksitas itu dengan adanya dialog tersebut. Jadi antara intelektual yang anti Soeharto dengan kelompok Widjojo juga ada kerjasama begitu. Widjojo sebenarnya setuju dengan kelompok intelektual anti Soeharto tapi dianggap kasihan kalau diadakan konfrontasi , yang hancur ya Indonesia. Paling sedikit untuk beberapa tahun, kalau tidak selamanya. RA: Dan ternyata selamanya ya pak… ha.. Maaf Pak tadi yang saya maksud untuk kasus bapak sendiri, apakah sepulang dari Amerika kemudian bapak juga mendapatkan penawaran- penawaran bekerja sebagai konsultan dan jabatan dari Amerika? AB: Kalau saya enggak. Saya pulang dari Amerika itu kapan yah? RA: tahun 1981 Pak. AB: Tahun 1981.. Soeharto masih berkuasa ya… berakhir 1998… saya sih enggak mendapatkan tawaran-tawaran. Langsung… oh iya saya kalau dapat tawaran biasanya menghindar. Waktu itu saya mau kerja cari-cari tempat, kerja di mana nih, ada tawaran… bisa saya ajukan tawaran sih.. ke UI, ke Gadjah Mada barangkali. Tapi saya cari universitas kecil yang independen dan kemudian yang tidak begitu disorot. Tapi yang bagus track recordnya. Ini ada yang bilang Satya Wacana. Ada yang rekomendasi Satya Wacana. Universitas Kristen tapi baik pengelolaannya. Pak Sutarno waktu itu rektornya. Tides waktu itu yang bilang tentang itu.. Karena universitas Kristen dia mau saya ke sini begitu. Nah saya pulang ke Jakarta enggak punya kerjaan sama sekali waktu itu. Trus saya cari kerjaan kemudian. Udah deh, Tides bilang, saya biayai kamu ke Salatiga, ngomong aja dulu tidak usah bikin komitmen. Saya kemudian pergi ke Salatiga ketemu Pak Sutarno, rektornya waktu itu. Dan kelihatannya, reasonable sekali, saya melihat ininya juga bagus, universitasnya teratur begitu. Ya akhirnya saya kemari. Bahkan diminta langsung membentuk sebuah program pasca sarjana, Studi Pembangunan. Itu Tides yang anjurin. RA: Sampai tahun berapa ya Pak? Dari tahun 1981 itu sampai? AB: dari 1981 sampai geger tahun… berapa tuh… masih jaman Soeharto juga itu yah? Saya sudah tidak ingat itu… RA: Nanti saya cari ada di buku itu pak… tapi waktu itu sudah mulai diobok-obok Soeharto juga yah? AB: Heeh… karena Satya Wacana jadi kritis begitu. Jadi dipersulit begitu. Saya masih ingat, kemudian… saya akhirnya dipecat dari Satya Wacana. Sebagian karena konflik internal, tahunnya saya lupa, 1994 atau berapa… jadi konflik internalnya ada enggak di buku situ… ditulis tidak di situ? RA: Di bukunya Pak Ariel ada.

178

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

AB: jadi.. ada pemilihan Rektor biasanya dilakukan oleh senat Guru besar fakultas-fakultas begitu. Dipilih rektor ini secara demokratis. Biasanya yang dipilih oleh senat fakultas-fakultas itu dua calon biasanya diajukan dan ditentukan oleh Dewan Pembina Universitas Satya Wacana. Dewan Pembina Yayasannya. Dan pembina itu terdiri dari orang-orang gereja bukan dari akademik, enggak harus akademik. Jadi wakil-wakil gereja Dewan pembina Satya Wacana. Waktu itu yang kepilih ada dua orang, satu Lik Wielardjo, dia itu orang fisikawan, orangnya kaku tapi jujur sekali. Kaku dan kalau ngomong blak-blakan begitu. Itu Lik Wielardjo yang terpilih suaranya banyak. Yang satu lagi adalah Johni Halau, dia seorang ekonom yang sangat fleksibel , orangnya lincah sekali dan kalau dia terpilih kemungkinan dia akan membuat Satya Wacana, unit ekonomi tapi unit universitas juga, dan bisa membagi bagi gaji tambahan kepada dosen-dosen. Nah waktu itu, termasuk juga memberi uang transport yang besar kepada dewan pembina. Yang akan menentukan kedua calon itu siapa. Siapa yang akan jadi rektor. Dalam tradisi Satya Wacana yang paling banyak suaranya biasanya yang jadi Rektor. Jadi waktu itu kita anggap Lik waktu itu yang akan jadi rektor, karena suaranya banyak. Meskipun si Halau populer tapi suara terbanyak tetap pada Lik Wielardjo. Ketika diputuskan, ternyata yang mereka angkat adalah Johny Halau. Jadi kemudian ada demo. Pada protes kan semuanya tidak setuju. Secara tradisi, Lik Wielardjo yang menentukan, walaupun memang secara yuridis formal, benar pihak Yayasan Satya Wacana, karena mereka secara yuridis formal punya hak untuk menentukan siapa yang akan menjadi rektor, enggak usah yang suara terbanyak. Tapi praktik itu tidak dipraktikkan. Jadi tradisinya adalah demokratis. Yang terbanyak diangkat begitu. Jadi sebenarnya dewan pembina cuma mengadakan upacara aja. Tapi mereka punya hak yuridis formal, mereka tentukan Johny Halau yang jadi rektor. Nah kita protes kan. Beberapa unit unit universitas yang di Lik Wielardjo itu. Antara lain mogok ngajar. Saya juga termasuk yang protes. Jadi Satya Wacana sebuah universitas yang dianggap baik, meskipun kecil tapi baik, mendapat sorotan dari media nasional, seperti Kompas, Sinar Harapan… Saya yang kemudian seakan-akan menjadi juru bicaranya kemudian. Padahal saya bukan cubirnya. Tapi wartawan kan kenal saya lebih dari yang lain-lain. Yang lain tidak kenal, Lik Wielardjo mereka juga tidak kenal. Saya diawawancara jadi saya terekspose. Jadi saya kayak jadi pemimpin pemberontaknya yah… nah Johny Halau langsung mengeluarkan SK yang memberhentikan saya dengan tidak hormat. Karena dianggap membawa persoalan internal ke eksternal begitu. Membesar-besarkan masalah dalam lingkungan kampus ke luar begitu. Saya dipecat dengan tidak hormat. Tapi teman-teman yang mendukung Lik memprotes. Mereka bagus juga solidaritasnya. Lalu mereka mogok mengajar. Johny Halau orangnya kan memang tegas begitu, semua yang mogok mengajar dipecat juga. Ada kira-kira 20 orang waktu itu. RA: termasuk orang-orang yang di Percik sekarang? AB: ya itu untuk mencari makan lalu mereka bikin Percik. Gara-gara itu mereka bikin percik. Jadi gara-gara itu. Cinta kemanusiaan. Jadi mereka bikin proyek-proyek, riset-riset di daerah-daerah. Memang kebanyakan mereka adalah researcher kayak Samiana, Prajarta, Pak Nico L Kana. Itu orang-orang yang jago-jago di Satya Wacana. Habis. Satya Wacana down sekali waktu mereka keluar. Karena banyak dosen senior yang bukan hanya mengajar aja tapi juga punya wawasan yang bagus. Ya intinya mereka punya pendapat pribadi. Ya jadi Percik riwayatnya dari sana. Jadi ia tidak punya uang sama sekali sampai waktu itu. Jualan beras.. supaya bisa hidup mereka ambil beras dari Semarang dan dijual eceran di rumah tangga. Yang butuh beras diantar. Harganya lebih murah sedikit. Ya Samiana juga antar beras tapi Samiana bilang, pokoknya kalau orang itu orang dari Satya Wacana enggak mau dianter katanya… he he.. ini orang mau dagang atau mau perang? RA: tapi bapak gugatannya menang kan ya Pak? Kenapa bapak tidak proses? AB: Menang tapi saya tidak proses. Karena mereka tidak laksanakan, saya kan dipecat tidak hormat. Enggak di bayar pensiun. Diperjuangkan. Mula-mula, kalah. Naik banding lagi sama saya. Naik banding lagi pada banding terakhir. Tapi mereka tidak bayar juga. Tapi saya sudah menangani itu lebih penting daripada mendapat uang pensiuan itu. Waktu itu saya juga sudah mau… saya juga nyari-nyari kerja kan. Kemana-mana toh. Antara lain ke Sanata Dharma juga. Di terima sama Sanata Dharma sebenarnya. Saya ke Sugiyo Pranoto, Sanata Dharma. Kan jaman

179

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Soeharto, jadi agak keri juga telinga mereka. Sanata Dharma sudah diterima, sudah diwawancara saya, sama Sastra Pratedjo atau siapa… dia yang terima saya. Terus waktu diterima, saya pulang ke Salatiga, saya sudah merasa dapat kerjaan tidak ada masalah, ehh… ada kurir yang datang… minta saya untuk datang ke Jogja. Mereka di tengah rapat minta maaf, mereka membatalkan. Alasannya karena Sanata Dharma sedang dalam proses diakui oleh pemerintah. Nah adanya saya itu, bukan karena saya, mereka itu senang sekali saya masuk ke Sanata Dharma. Tapi karena dalam proses pengakuan, mereka takut saya akan jadi hambatan. Saya mengerti benar. Oh enggak masalah kok. Saya bilang, saya bisa mengerti. Tapi kasihan juga, mereka yang merasa bersalah begitu. Karena sudah ditawarkan kan. Akhirnya saya cari-cari lagi, yang berani terima saya si, saya cari keluar negeri akhirnya, tadinya kan enggak mau ke luar negeri, saya cari ke Malaysia, ke Jepang ada, Yosihara, dan ke Australia. Waktu saya diterima di Australi di Melbourne udah beres, eh… ini ada universitas Muhammadiyah Solo, waktu itu Pak, siapa yang jadi mentri agama tuh? Atau mentri pendidikan ya.. yang dari Malang? Dia yang terima saya, dia bilang…oh biarin pemerintah enggak setuju, kita untung dapat PhD dari Harvard. Enggak peduli lah pokoknya terima aja. Saya sebenarnya sudah mau mengajar di sana. Tapi karena sudah dapat dari Australi ya akhirnya saya pindah ke sana. RA: jadi berapa bulan lamanya bapak keluar dari UKSW ke Australia? Ada setahun atau hanya hitungan bulan? AB: dari UKSW , 1994 saya dipecat, dan tahun 1997 saya ke Australia. RA: oh 3 tahun itu pak? AB: ya itu saya cari-cari pekerjaan. RA: Tapi masih terus menulis ya? AB: ya m,asih terus menulis. RA: 1997 ke Australia. AB: Hooh 1997 di terima, kira-kira bulan Juli. RA: Tapi selama pasca bapak pulang dari Amerika, sampai akhirnya bapak ke Australia itu, Bapak kan masih terlibat dalam beberapa gerakan akhirnya ya Pak ya? Yang enggak ikut itu kan yang Malari itu? AB: Malari enggak ikut… yang 1978 saya juga tidak ikut. Yang di ITB. RA: setelah pulang setelah 1981 itu ikut gerakan apa Pak? AB: Saya kira hanya nulis saja tidak ikut gerakan-gerakan lagi. RA: yang NKK/BKK itu pak? AB: NKK/BKK saya tidak ada kontaknya waktu itu. Waktu itu saya juga bilang, yang muda-muda saja sudah banyak pemimpinnya yang juga muncul. Yang tua-tua…, kalau nanti saya dateng yang muda ketutup gitu. Nama saya pernah populer sebelumnya. Jadi lebih bagus kalau mereka yang kembangkan. Tapi saya membantu kalau mereka membutuhkan sesuatu. Nulis atau apa saya bantu. RA: Dalam kasus Kedung Ombo itu bapak juga terlibat kan? AB: iya.. dengan Romo Mangun itu. RA: Dalam kasus Kedung Ombo itu bapak terlibat sebagai apa pak? AB: Nulis-nulis juga aja kalau tidak salah. Pernah pergi ke sana juga sih ngelihat waktu mau ditenggelamkan. Protes segala. Tapi Romo Mangun yang aktif. Saya hanya mendukung Romo Mangun. RA: Bapak mohon maaf, kalau break sebentar bagaimana pak? AB: Ok.. RA: Mungkin kalau bapak mau curhat dengan ibu? AB: oh enggak. (break) Wawancara bagian ke-2 RA: Saya mendengar cerita tentang bapak mengalami represi sebelum ke amerika. Setelah pulang dari amerika kemudian bekerja di uksw, apakah bapak masih melakukan aktivitas sosial politik? Kemudian apakah rezim orba masih terus melakukan represi terhadap bapak?

180

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

AB: Ya, masih ada represi. Waktu itu sampai ada tentara jaga di depan rumah, ya seperti terror. Ini terkait wawancara media dengan saya waktu ngritik pangdam Wismoyo Arismunandar. Dia kalau tidak salah mantu pak harto atau masih sodara ibu tien. Waktu sia jadi panglima ada kasus- kasus. Waktu diwawancara sama media, saya cari-cari data dapat data kalau wismoyo ini lulusan yang enggak terlalu baik di akabri. Waktu diwawancara sama media, waktu itu saya ngomongkan hal itu sebagai background. Nah sama korannya dimuat juga. Langsung esoknya rumah kita dijaga militer. Mereka nggak ngapa-ngapain, intimidasi saja, kadang masuk ke garasi, tulisan saya digunting lalu dicoret “penghianat”. Mereka nggak berani ngapa-ngapain karena kalau saya diapa-apain media pasti bakal ramai. Cuma nggak enak aja, diintimidasi seperti itu, tapi nggak langsung. Yang menarik, 6 bulan kemudian tentara yang jaga di depan rumah datang secara pribadi ke rumah. Dia bilang dia Cuma disuruh, sebenarnya secara pribadi dia bersimpati pada perjuangan saya. Dia cerita macam-macam termasuk juga tentang petrus, dia ngaku yang dapat tugas nembakin. Dia tanya “ saya dosa nggak pak saya membunuh, sampai ada yang bilang ampun- ampun tetap saya bunuh juga.” Ini Suharto kan mau ciptakan keamaan dengan cara ringkas, kalau pakai hukum bakal lama dan mahal untuk operasi preman. Tentara itu Tanya “dosa nggak ya saya sebagai orang islam, ada juga perempuan yang tukang tadah, dia minta ampun tapi saya tembak juga?” Saya bilang karena ini perintah ya tanggung jawab ada pada yang memerintah. Ada juga preman yang minta ampun, akhirnya dia kasih uang agar jangan kembali ke desa, pindah ganti nama. Premannya pergi, eh sialnya ketangkep dan tentara tersebut ditegur. Susah juga liat tentara yang harus membunuh padahal hatinya gak tega, itu sisi humanism militer. Saya tahu itu karena dia datang secara pribadi kepada saya. RA: Dimana saja tulisan bapak sering dipublikasi? AB: Kompas, Sinar Harapan. Juga Harian kami, harian mahasiswa-nya nono makarim, mungkin sudah di bredel. Suara merdeka kadang-kadang. Seringnya di sinar harapan, kompas. Kalau dimuat disitu kan dilihat secara nasional. RA: Dalam buku bapak, bapak menuliskan tentang peran seorang Hasrya bachtiar. Dapatkan bapak menjelaskan lebih lanjut tentang sosok Bachtiar? AB: Ya, dia mungkin dapat beasiswa dari Fulbright atau Ford untuk sekolah di Harvard. Setelah pulang ke Indonesia, dia adalah lulusan Harvard pertama. Sehingga dia menjadi sangat dihormati. Dia juga yang turut menentukan siapa yang dapat beasiswa. Dia yang merekomendasi saya dengan martin lipset dan Daniel bell. Dia sebenarnya lebih dekat dengan adik saya, sama-sama dari fakultas sastra. RA: Bagaimana pandangan bapak tentang demokrasi Amerika ketika bapak bersekolah disana? AB: Demokrasi di Amerika sebagai demokrasi murni dia ideal. Tapi harus diingat demokrasi kelemahannya yang kuat yang lebih menentukan. Artinya semua orang punya hak suara, tidak bisa dibungkam dengan UU apapun. Tapi suara itu bisa dibeli, seperti diindonesia, pemilu, semua bisa dibeli seperti di pilkada juga. Di amerika juga, tapi relative sulit dibeli. Demokrasi yang benar adalah hak politik sulit direbut begitu saja. Tapi dalam kenyataannya sama saja, dalam demokrasi kapitalis, pemodal adalah orang yang lebih menentukan arah masyarakat. Bukan kepentingan yang bebas bagi orang per orang, di amerika ya begitu, tapi kecenderungannya lebih sedikit daripada di Indonesia. RA: bagaimana pandangan bapak terhadap investasi Amerika, pada saat Amerika “memberi beasiswa” pada Intelektual Indonesia pada saat yang sama investasinya juga merusak Indonesia? AB: Investasi kan mau ambil keuntungan, investasi dari manapun harus diawasi agar menguntungkan kedua belah pihak. Kebanyakan kan menguntungkan investor, negara yang jadi lahan harus pandai memainkan politik, agar faedah jatuh ke lebih banyak rakyatnya. Cuma yang jadi masalah ini kan yang dapat bukan rakyat tapi segelintir elite. Seolah kan investor bagi ke negara yang diinvest, tapi bagian itu jatuhnya bukan ke rakyat kecil tapi ke elite. Karena itu perlu di negara yang jadi lahan, ada perjuangan untuk membuat modal asing keuntungan jatuh ke rakyat di bawah.

181

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

RA: selama di Amerika bapak mengatakan bahwa bapak tertarik pada kajian mengenai perubahan kapitalis ke sosialis secara demokratis. Lalu setelah pulang apa langkah praksis yang bapak lakukan? AB: saya penulis, jadi menulis, ke lapangan paling ceramah. Saya bukan tipe orang yang membentuk grasstroot tapi saya dekat dengan mereka. Kebanyakan alat perjuangan saya melalui tulisan. Ada juga efeknya, terutrama bagi pelaku lapangan, yang seperti anda barangkali, yang mungkin beri perspektif yang lebih luas. Bagi saya itu sudah menyenangkan sekali. Tanpa orang- orang seperti anda ide saya itu ya mati saja, ngambang. RA: sependek pengetahuan saya, Harvard adalah salah satu laboratoraium ilmu sosial developmentalis. Lalu bagaimana perlawanan atau usaha yang bapak lakukan agar tidak terjebak ke dalam pengaruh developmentalisme/kapitalisme? AB: Kalau lembaga pendidikan biasanya tidak mau terlalu main politik praktis, mereka mengusahakan mutu mereka tinggi, informasi diberikan secara demokratis, ya tentu saja ada bias tapi diusahakan seminimal mungkin. Missal saya di Harvard - pasti universitas terbaik di amerika adalah sarangnya kapitalis- tapi disana saya liat siapa yang ngajar, kadang ada dosen yang bener2 marxist, kadang ada dosen tamu yang dari italia ngajar 1 semester saya ambil kuliahnya. Jadi Universitas itu sumber pengetahuan yang diusahakan tidak bias, itupun hasilnya masih begitu, masih pro kapitalisme, yang dominan masih itu. Mereka memperjuangkan kapitalis karena mereka percaya kapitalis lebih baik dari yang lain. Jadi saya melihat masih ada kejujuran di universitas di amerika. RA: lalu mengenai kepercayaan sejarah bahwa Amerika memiliki kepentingan terhadap intelektual Indonesia? AB: Mereka mau mendidik intelektual Indonesia, karena percaya pada intelektual yang kritis tanpa mau menjadikan agen. Karena mereka percaya komunis tidak senang ada pluralitas pemikiran. Kalau orang yang berfikir kritis pasti anti komunis karena komunis biasanya doktriner. RA: terdapat kasus dan kepercayaan public bahwa alumni amerika, jadi lebih barat dari orang barat. Bagaimana cara agarbisa keluar dari ini? AB: Kita lihat orangnya, ada memang yang punya kepentingan pribadi, karena dipekerjakan di lembaga kapitalistik misal. Ada juga yang percaya neolib karena percaya neolib lebih bener dari yang lain. Nah kalau yang percaya itu masih bisa dirubah dengan argument lain. Kalau yang memang jadi alat tergantung dari kecerdasan. Kalau cerdas bukan hanya jadi alat, kalaupun dia ikut neolib dengan tanggung jawab intelektual. Missal Celli (Rizal Malaranggeng). Celli bisa bilang dia sukar jadi alat, tapi dilain pihak orang liat dia dibawah bakrie, untuk membesarkan freedomnya. Mungkin ada timbal balik. Orang kayak celli saya percaya lebih banyak intelektualnya. Dia percaya ke neolib dan ketika ketemu bakrie dia mungkin makin percaya neolib. Tapi celli tetap seorang intelektual, dia bisa cari makan di tempat lain. RA: bagaimana penjelasan bapak bahwa ideology, termasuk neolib bisa dibentuk dari tradisi pemuritan? AB: Tergantung pandangan, seperti Bill Lidle dia percaya neolib karenanya dia kembangkan pemikiran yang dia percayai. Tapi dia jujur, dia masih menerima perbedaan, dia mempercayai neolib bukan karena oportunis tapi karena dia melihat itu yang paling baik dengan segala keterbatasannya. Ben Anderson, dia jadi kiri, tapi kiri cultural left, dia akademisi sejati, dia percaya itu dan itu dia pertanggungjawabkan. Itu keliatan dari argument-argumen yang dia bangun. Buat saya bagi orang yang kredibilitasnya baik, hasil pikirannya jadi yang sekunder, dalam arti kata banyak daya kritis dan alasannya. Kalau dalam perdebatan bisa kita yakinkan, dia bisa berubah pendapat karena dia setia pada pemikiran intelektual bukan pada produk dari pemikiran itu. Bedanya dengan agen kan percaya produk. RA: Tradisi pemikiran di amerika univ menjadi lebih popular, pro pasar. Dulu professor mencari murid. Menurut bapak bagaimana universitas di amerika menaruh perhatian pada Indonesia? AB: Saya rasa perhatian pada Indonesia berkurang. Pada waktu Sukarno yang studi Indonesia dapat uang dari pemerintah amerika. Sukarno kan jadi komunis, jadi Amerika punya kepentingan, kalau sekarang Indonesia tidak lagi jadi prioritas. Di Australia juga studi Indonesia berkurang,

182

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sekarang studinya cina, jepang lebih dibutuhkan di pasaran. Ahli indo dulu dicari, kalau sekarang tidak lagi, ada gunanya juga Sukarno mempopulerkan Indonesia, membuat Indonesia jadi popular di pasaran. Kalau dulu studi Indonesia beasiswanya lebih mudah karena pemerintah Amerika punya kepentingan. Di australia studi tentang Indonesia berkurang, beasiswanya berkurang. Itu yang saya lihat langsung dari Melbourne. Yang terbesar kajian asia tentang Cina, Jepang, dulu Indonesia ketiga, arab yang keempat, paling sedikit. RA: bagaimana pandangan Bapak tentang masa depan relasi intelektual Indonesia Amerika? AB: Saya kira banyak neolib-nya. Apalagi pandangan sosialis makin kurang. RRC juga mulai pakai ekonomi pasar, neolib sudah kuasai global capitalism. Dalam hal ini jadi kurang menarik, keduanya sudah sepaham sih, tinggal pelajari teknis. Kalau ada intelektual kiri disini yang masih laku, jadi menarik, atau intelektual amerika pelajari perspektif kiri seperti jaman sukarno. Itu lebih menarik, lebih exciting. Sementara sekarang keduanya sama, tinggal cocokin buku yang dibaca. RA: ada yang berpandangan beasiswa menciptakan rasa hutang budi pada Amerika, kalau bagi Bapak? AB: Saya In between. Ada hutang budi juga, tapi itu juga keharusan amerika, karena dia punya kepentingan supaya orang disini yang tau amerika, pro amerika lebih banyak. Tapi tidak bisa disangkal orang yang pergi ke amerika tidak selalu jadi pro amerika, bisa jadi anti amerika. Saya tidak anti tapi kritis terhadap amerika. Dulu saya memuja-muja Amerika sebelum berangkat, sesudah berangkat kan saya belajar Marxist di amerika. Ada teman di amerika, jomo Sundaran dari Malaysia juga belajar Marxist. Kalau dosen yang agak kiri-kiri Amerika, yaitu Tthelda Schokpol, dia baca buku saya kritis, banyak beri input, dia bukan ahli chili tapi ahli Marxist.

183

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Lampiran Wawancara 5: Wawancara dengan Amien Rais (AR) Jogja 27 Juli 2010 Pewawancara: Retno Agustin (RA) Perkenalan peneliti: Tema penelitian: meneliti tentang pengaruh beasisiwa pada pembentukan intelektual. Terutama tentang potensi intelektual untuk mengembangkan kontruksi yang berbeda dengan yang dimaksudkan pemberi beasiswa. RA: pertanyan pertama. Makna mendapatkan beassiswa bagi bapak? AR: Pertanyaan ini sangat penting karena beasiswa seperti FB ada motivasinya ada maksudnya, dan tidak bersifat value free. Ada semacam goal atau tujuan yang secara resmi oleh pemerintah amerika dimaksudkan untuk menakhlukan intelektual di dunia ke 3 supaya dengan belajar di AS dapat memahami demokrasi amerika tentu demokrasi ideal dari sudut pandang amerika. Lalu setelah pulang dari amerika menjadi intelektual yang pro amerika dan dapat mempengaruhi kebijakan politik luar negeri negara masing-masing. Tetapi jangan lupa bahwa dalam konstruksi internasional itu dunia ketiga sudah banyak diserap sumber daya alamnya oleh negara-negara besar baik Amerika, Inggris, dll. Jadi bagi intelektual yang berfikir kritis dan jeli, dia harus tahu bahwa beasisiwa dari amerika bukan sebuah kebajikan, kedemawanan atau aksi kemanusiaan yang tanpa tujuan politik. Maka sesungguhnya cara berfikir yang benar adalah bahwa mereka telah menguras kekayaan SD alam kita, mereka telah menjual produk dari mobil, alat kantor dan alat berat untuk industri, maka sesungguhnya yang diberikan untuk beasiswa adalah jumlah yang sangat kecil dibandingkan jumlah yang mereka ambil dari negara berkembang. Sehingga saya tidak pernah merasa berhutang budi pada AS. Karena sesungguhnya yang membiayai adalah rakyat Indonesia, tapi tidak langsung. Jadi karena AS telah ambil sumber daya alam kita lewat Exxon mobil , phillip mc moran lewat segala macam korporasi mereka dan kita telah membeli alat elektronik mereka maka yang diberikan kepada dosen UGM, IPB, UI itu hanya sejumlah amat sangat kecil sehingga sesungguhnya kita tidak perlu merasa berhutang budi pada AS karena itu uang rakyat kita sendiri hanya berputar lewat AS. RA: Saya akan menindaklanjuti pertanyaan tersebut nanti. Selanjutnya saya ingin menanyakan tentang proses mendapatkan beasiswa? AR: Semua dosen kan mendapatkan untuk ujian aligo dan toefl. Aligo, American language Georgetown university, check point 100 soal, kemudian yang lulus dengan nilai baik ditempatkan oleh IIE. RA: Apakah pada saat yang sama ada kerjasama antara UGM dengan lembaga pemberi beasiswa? AR: Saya kira payungnya amerika dengan departemen pendidikan. RA: lalu apakah Fulbright sebagai pemberi beasiswa yang memilihkan universitas atau Bapak memilih sendiri? AR: Saya dapat FB untuk kuliah di notre dame. S3 dari Rockefeller. Saya mendapat beasiswa 2 kali, yang pertama resmi dari pemerintah amerika, yakni dari Fulbright, yang kedua dari Rockefeller. RA: bukankah saat itu Chicago terkenal dengan kampusnya kaum developmentalis. Salah satunya yang menghasilkan lost chicago boys di chile. Kenapa Bapak tetap memilih bersekolah ke Chicago? AR: Saya melamar ke 2 universitas, yang pertama di Harvard dan Chicago. Yang di Harvard diterima juga tapi pakai probation period 1 tahun. Kalau nilai saya baik saya diterima, kalau nilai saya tidak baik saya keluar atau dikeluarkan. Kalau di Chicago tidak perlu pakai probation. Keduanya termasuk dalam 10 universitas terbaik di amerika. Si pemberi beasiswa tentu tidak mau memberi yang spekulatif, makanya saya dialihkan ke Chicago. Tahun 1975 teori tentang ketergantungan, kemudian developmentalisme, juga konflik antara pendekatan structural dan non structural, cultural itu baru marak tahun 80 akhir. Dan saya sadar bahwa Chicago adalah dedengkotnya kapitalisme disana tinggal tokoh besar pembela kapitelisme dunia yakni Milton friedman, dan seluruh ekonom di Chicago adalah kapitalis, neokon dan neolib. Pentingnya menyadari keadaan itu supaya kita tidak kena westomania, sehingga kita lebih barat dari orang barat, sehingga kita tidak kecanduan barat. Jadi kita berangkat dengan self confidence, keyakinan

184

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

diri yang besar bahwa saya berangkat dari negara yang sedang berkembang, negara yang pernah dijajah dan dalam cengkeraman imperalialisme belanda berabad-abad. Maka saya mengambil kesempatan belajar di AS itu untuk menimba ilmu sedalam mungkin supaya tahu ideology barat itu apa, dan bagaimana kita menghadapi ideology barat yang memang ingin selalu memegang supremasi dan hegemoni. Salah satu temuan saya adalah bahwa ideology barat adalah kekuatan pembela status quo, dengan itu mereka betul-betul menikmati keunggulan ekonomi, politik dan hankam. Dan selama kita menuruti barat, maka kita selalu menjadi agen dan selamanya kita tidak akan pernah berkembang. Jadi ada philosophie utang yang dilancarkan barat pada dunia ketiga itu adalah bahwa kita tidak boleh tenggelam tapi kita juga tidak boleh kuat. Jadi sekedar survive supaya kita bisa dieksploitasi. RA: Selama menjadi mahasiswa di Amerika bagaimana mengembangkan intelektual kritis di tengah pemikiran liberalism? AR: Saya selalu mengimbangi gagasan-gagasan status quo dengan gagasan radikal. Saya tentu saja mendalami sosiologi max weber, talcot parson, sosiologi yang diajarkan tokoh-tokoh pembela status quo tapi saya juga mempelajari sosiologi marxis, sosiologi yang berubah jadi teologi revolusi, dll. Kemudian juga mengingat kebutuhan pokok bangsa kita sendiri. Saya bersyukur kepada Tuhan, bahwa saya ambil MA di Notre Dame, ambil PhD di Chicago tapi saya tidak pernah berputar haluan dan menjadi agen amerika di Indonesia kemudian lupa diri dan berperilaku kadang-kadang aneh seperti sebagian teman yang melihat amerika adalah segala- galanya, amerika adalah kiblat kebajikan, kiblat demokrasi, kiblat keutamaan, amerika sebagai kiblat sosial justice-economic justice, yang sesungguhnya mereka adalah kepanjangan dari kekuatan kapitalisme lama, imperialism lama. Bahkan amerika adalah imperialis kesiangan. RA: Sebagai seorang muslim yang pernah sekolah di Amerika apa tantangan yang bapak hadapi? AR: Ada sebuah cerita menarik ketika perang amerika dan irak yang pertama. Tahun 90an awal, maka seorang deputi dubes as di Jakarta menemui saya di rumah saya, saya mendapat kehormatan kedatangan wakil dubes itu. Pertanyaannya sangat mudah “mengapa saya sebagai orang yang tinggal lama di Amerika, belajar di 2 kampus terkemuka di AS, sudah tahu politik luar negeri Amerika kok jadi pembela irak?” Karena waktu itu tulisan saya di jawa pos, ceramah saya di berbagai kampus selalu membela Saddam Hussain. Ada satu dua Koran yang mula-mula ragu- ragu, tapi karena semua rakyat Indonesia pro irak, maka dua Koran tersebut akhirnya angkat tangan menyesuaikan diri. Nah si hick tianse agak heran mengapa saya tidak bela amerika, saya katakan, “se, exactly because I know your policy, I against you.” Karena saya tahu anda adalah kepanjangan tangan imperialism lama dan ketakutan saya terbukti di akhir abad 20 dan awal abad 21 masih ada kolonialisme fisik, masih ada negara besar menjajah secara ekonomi, politik, militer negara kecil yang tidak terbanyangkan setelah ada PBB yang berusia 60 tahun. Karenanya saya bersyukur kepada Alloh saya diberi kejernihan berfikir, semoga tidak jadi penghianat bangsa sendiri. RA: intelektual seperti bapak jumlahnya sangat sedikit, yang menarik dalam salah satu tulisan bapak, bapak mengatakan banyak mahasiswa Indonesia yang beragama islam yang bersekolah di barat dan kemudian setelah pulang keislaman mereka makin terpupuk. Penjelasan bapak, bagaimana proses seperti ini bisa terjadi? AR: nah saya kira ada 2 tipe, ada yang carried away, kemudian lupa pada institusi keagamaannya, menjadi makin permisif, seolah-olah sudah menjadi orang amerika serikat, sekalipun matanya hitam, rambutnya hitam, kulitnya sawo mateng. Dia menjadi budak. Tapi saya juga melihat ada teman-teman seperti DR. Kuntowijoyo, Dr. Djamaludin ancok, Affan Gaffar alm. Dan sejumlah teman saya dari jogja, itu makin tinggi nasionalisme ekonomi politik, artinya setelah melihat dengan mata kepala masyarakat bisa makin kaya dengan bertengger dari penderitaan masyarakat dunia ketiga. Artinya teman-teman saya mnejadi resah secara inteektual, sehingga jika membaca tulisan-tulisan mereka, itu menjelaskan tentang ketidakadilan dunia pertama terhadap dunia ketiga, dan itu perlu. Kalau lulusan amerika sudah jadi kepanjangan tangan amerika, maka yang rugi adalah bangsa Indonesia.

185

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

RA: Apakah Amerika dalam artian institusi amerika pernah medekati bapak untuk menjadi konsultan pembangunan atau konsultan perdamaian barat dan arab? AR: Saya kira tidak pernah, namun sungguhnya gerak saya terus dipantau. Saya pernah terkejut, setelah pulang dari libia, bertemu khadafi, tidak sampai tiga atau empat hari saya dapat tepon dari kalangan yahudi di Sidney “mr. Rais kami kalangan yahudi di Sydney, kami ingin menanyakan kenapa anda mengunjungi libia?” dengan nada agak membentak saya katakana “mind your own business, saya bisa ke libia, saya bisa ke turki, saya bisa ke Australia, saya bisa ke amerika sesuai dengan kemauan saya, jadi apa urusan anda? Artinya apa, mereka masih mengharapkan seorang lulusan amerika menjadi kepanjangan kepentingan amerika, langsung maupun tidak langsung. Masuknya Freeport di Indonesia dimudahkan oleh UU PMA yang dirancang oleh para teknokrat alumni Amerika, sedangkan bapak menjalankan gagasan yang berusaha mengontrol investrasi asing dengan mendorong Freeport menjadi pembayar pajak terbesar. Bagaimana pandangan bapak tentang investasi asing dari Amerika? Sesungguhnya dalam tulisan saya Ada Hutang di Balik Busang saya singgung tentang Freeport mc moran. Itu bukan hanya pajak yang dikemplang. 1. Eco side, ekologi yang tidak masuk akal, sehingga ice cap atau topi salju di gunung jaya wijaya tidak ada untuk gelontor konsentrat dari pusat tambang sampai laut arafura satu harinya butuh ribuan kibik, ini akibatkan pemanasan di papua. 2. Memang jelas Freeport ini pengempllang pajak nomor wahid karena bagaimana mungkin pertambangan paling besar di muka bumi bayar pajaknya tidak lebih besar dari gudang garam, jarum super. 3. Telah terjadi violation of human right, banyak orang yang ditrembaki polisi amerika, ada penggusuran pemukiman teman-teman di branti, 8 km dr pemukiman tambang. Kalau anda pernah pergi ke sana anda akan menangis dalam hati, karena melihat lokasi pertambangan itu seperti enclave, yang sangat makmur dan sejahtera sehingga dinamakan kota tembaga pura yang seperti kota kecil di amerika yang ditanam disana. Sedangkan tujuh kilometer ke bawah masih akan temukan pemukiman penduduk asli yang masih pakai koteka yang masih sangat primitive dan tidak tersentuh oleh kemakmuran yang disentuh Freeport. RA: lalu bagaimana kritik intelektual lain terhadap langkah Bapak? AR: Dalam wacana intelektual lain memang banyak yang tidak setuju dengan saya. Ketika saya menerbitkan buku Selamatkan Indonesia itu banyak yang mendukung, banyak yang menentang. Tapi saya bersyukur masih banyak yang mendukung. Itu biasa. Produk intelektual itu ada pro kontranya, itu biasa. Namun jangan lupa baik yang pro dan kontra itu ada kepentingan. RA: pada tahun 1993, bapak menyatakan mewacanakan suksesi, kemudian bapak bersedia dicalonkan diri jadi presiden. Bagaimana pandangan bapak tentang kaitan antara intelektual dan kekuasaan? AR: Jadi memang tidak semua intelektual berhasil memperoleh kekuasaan. Memang ada seperti kasus di cheko, Vaclav hafel dari seorang intelektual budayawan terpilih sebagai presiden. Namun bagaimana fenomena vaclaf hafel ini fenomena yangs angat jarang. Biasanya intelektual kalah oleh politisi, karena intelektual dibebani dengan sejumlah nilai, moral , perhitungan yang terllau njlimet, dibebani pertimbangan kemanusiaan. Sementara politisi murni, menerapkan the end just … ketika saya dibebani menjadi ketua mpr saya berusaha semaksimal mungkin mencuatkan pikiran saya jadi ketika saya kemudian ikut pilpres saya kalah dan kekalahan itu saya terima dengan legawa karena saya tahu untuk menyakinkan rakyat itu bukan perkara satu dua minggu. Saya sendiri tidak pernah menyalahkan rakyat. Cuma yang saya ambil jadi pelajaran adalah bahwa dimanapun juga rakyat sangat rentan terhadap propaganda, poitisasi, image building, dll. Bahkan kalau kita lari ke jaman para nabi, kita diberitahu bahwa rakyat awam kadang sulit dimenegrtikan kepada tujuan mulai yang akan berdampak positif pada mereka. Ketika musa akan membebaskan bani musa dari cengekaraman firaun itu, salah paham mereka luar biasa, karena musa mau menawarkan perubahan budak dan hamba sahaya mereka sudah at home dengan ketertindasannya. Karena saya belajar sejarah kurang lebih cukup kita tidak akan heran dimanapun juga melihat rakyat kebanyakan mudah untuk diarahkan dengan engineering dan rekapaksa.

186

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

RA: Indonesia memiliki common sense tentang “Mafia Berkeley” bagaimana pandangan bapak bahwa beasiswa asing bisa diarahkan untuk hegemoni? Lalu bagaimana masa depan relasi intelektual indonesia amerika? RA: Saya kira persoalannya mendasar pada penguasa kita snediri, ketika 1972 ke notre dame. Yang pergi bersama saya, yang saya kenal yang satu kampus adaah syafii maarif dan ichlasul amal, mansur surya negara. Ketiganya mengambil kuliah di northern ilinois university. Saya diberitahu bahwa hanya ada 3 orang Indonesia di kampusnya tapi ada 600 anak muda malaysia. Yang lulus sma dan s1. Ini saya ceritakan untuk mengiustrasikan bahwa pemimpin Malaysia sangat jauh berfikirnya untuk membangun masa depan. Tahun 70an kita mengalami bonanza minyak, malay kalah. Tapi cara berfikir penguasa kita itu betul-betul short term. Uang dihambur-hamburkan untuk proyek departemen, yang kadang-kadang tidak bisa menghabiskan anggaran dianggap bodoh, malah dimarahi karena tidak bisa menghabiskan anggaran. Sementara Malaysia menggunakan sebagian anggaran belanja departemennya untuk menyekolahkan anak mudanya ke amerika. Waktu itu idonesia tidak pernah memberi beasiswa ke anak bangsa sendiri. Sehingga jatuhlah anak muda kita itu ke pelukan Fulbright, ke pelukan east-west centre, ke pelukan world bank, ke pelukan ford foundation, berbagai yayasan swasta amerika. Saya tidak ingin menyalahkan intelektual yang kemudian mengalami brainwashing karena merasa berhutang budi pada amerika, karena ujung-ujungnya kesalahan ada pada kita sendiri, mengapa kita yang sebenarnya relative mampu menyekolahkan ratusan anak muda kita tapi tidak pernah dilakukan. RA: Kalau memang yayaysan pemberi dana memang mampu mengarahkan, bagaimana mereka mengarahkan, khususnya untuk Fulbright? AR: Kalau Fulbright saya kira ada misi politiknya, tapi ini masih lebih netral daripada asia foundation. Asia foundation yang saya ketahui adalah wajah akademis dari CIA. Sehingga kita harus hati-hati kalau undanga ceramah prof dari TAF karena terselip pesan CIA, misi hegemoni dan supremasi dari amerika. Sekalipun fb tidak seganas asia foundation, tapi tetap harus waspada karena di dunia ini tidak ada non binding grant, credit, tidak ada bantuan, beasisiwa,e konomi, medis yang tanpa strange, senar, tanpa ikatam. Yang dinamakan bantuan kemanusiaan pun ujung-ujungnya ada motif politik. Yang perlu kita ketahui dalam hubungan antar negara tidak ada thanks, gratitude, empathy commitment, sympathy, dan perasaan-perasaan yang sifatnya emosional. Jadi kalau kita kena musibah gempa, kemudian jepang membantu kita, amerika membantu. wah jangan berfikir jepang, amerika luar biasa berkemanusiaan. Tapi yakinlah bahwa dalam ilmu hubungan internasional yang saya pelajari itu, kita diberitahu bahwa dalam hubungan antar negara itu tidak ada such thing: thanks, gratitude, empathy commitment, sympathy, artinya, bangsa besar ini hanya jadi besar sungguh-sungguh kalau bsia standing on our own feet, punya self confidence dan jangan sampai dihinggapi kompleks inferioritas dan kompleks superioritas. Ini saya kira pengalaman hidup yang saya timba selama saya berkelana di luar negeri. Saya hamper setiap tahun ngasih ceramah di luar negeri di eropa, amerika, australia, jepang dari sepanjang saya menjelajah dunia, kesimpulan saya makin mantap jadi india jadi kuat karena punya self reliance, RRC jadi raksasa dunia karena punya self reliance, begitupun iran negara yang lebih kecil jadi kuat tidak punya utang luar negeri yang menyulitkan karena punya sef reliance. Kalau kita melihat kasus Venezuela dengan hugo chavesnya atau juga .. dengan evo moralesnya itu menunjukkan atau malaysisa dengan mahathirnya kemaren itu sungguh-sungguh terpulang pada masing-masing bangsa dan pimpinan. Jadi kritik saya ya itu.

187