PERFORMANSI PEMBERIAN MAKANAN TRADISIONAL PADA UPACARA ADAT TOBA

TESIS

Oleh

MASLAN M.R. SIHOMBING 157009030/ LNG

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PERFORMANSI PEMBERIAN MAKANAN TRADISIONAL PADA UPACARA ADAT BATAK TOBA

TESIS

Oleh

MASLAN M.R. SIHOMBING 157009030/ LNG

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PERFORMANSI PEMBERIAN MAKANAN TRADISIONAL PADA UPACARA ADAT BATAK TOBA

TESIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Linguistik pada Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Oleh

MASLAN M.R. SIHOMBING 157009030/ LNG

FAKULTAS ILMU BAHASA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PERNYATAAN

Judul Tesis

PERFORMANSI PEMBERIAN MAKANAN TRADISIONAL Pada UPACARA ADAT BATAK TOBA

Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelas Magister Sains di bidang Linguistik pada Program Studi

Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara adalah benar hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan penulisan ilmian

Apabila dikemudian hari ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Juli 2019 Penulis

Maslan M.R. Sihombing

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PERFORMANSI PEMBERIAN MAKANAN TRADISIONAL PADA UPACARA ADAT BATAK TOBA ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan domain, taksonomi, komponen makna, dan menemukan pola penamaan makanan, mendeskripisikan performansi dan menemukan kearifan lokal pemberian makanan tradisional Batak Toba. Sumber data pemberian makanan pada upacara adat kelahiran, pernikahan dan kematian diperoleh dari penelitian di desa Simarmata, Kabupaten Samosir dan Medan. Informan yang diwawancarai adalah orang yang terlibat aktif dalam upacara adat kelahiran, pernikahan, dan kematian. Penelitian ini menggunakan pendekatan antropolinguistik dengan metode penelitian etnografi. Hasil penelitian makanan yang diberikan adalah tudu-tudu sipanganon ’penanda makanan’ dan dengke simudur-udur ‘ikan beriringan’. Teks yang diucapkan saat pemberian makanan disebut pasahat hata. Hasil penelitian ditemukan domain kelahiran, dengan lima subdomain yaitu 1)mambosuri ‘membuat kenyang’, 2)maranggap ‘menjaga’, 3)mamboan aek ni unte ‘membawa air asam’, 4)martutu aek ‘dipermandikan’, dan 5)mebat ‘datang’. Domain pernikahan memiliki sembilan subdomain yaitu 1)mangarisik ‘menelisik’, 2)marhori-hori dinding ‘mencari tau’, 3)marhusip‘berbisik’ ,4)martumpol ‘berjanji’, 5)martonggo raja‘memohon doa’ ,6)marsibuha-buhai ‘pembuka’, 7)unjuk ‘pesta’, 8)paulak une ‘mengembalikan’, 9)maningkir tangga ‘periksa tangga’. Domain kematian, terdiri atas delapan subdomain yaitu: 1)saur matua mauli bulung ‘panjang umur’,2) saur matua ‘panjang umur’, 3)sari matua ‘masih ada anak yang belum menikah’, 4)mate mangkar ‘mati anak yang ditinggal masih kecil’, 5)mate poso ‘mati muda’, 6)mate dakdanak ‘mati usia anak-anak’, 7)mate di bortian ‘mati dalam kandungan, dan 8)mate maningkot ‘bunuh diri’. Ditemukan taksonomi atau pengklasifikasian makanan Batak Toba yang disusun dalam bentuk diagram garis. Ditemukan komponen makna marsipanganon ‘makan’, komponen makna cara pengolahan makanan dan aktivitas memasak. Performansi pemberian makanan melibatkan pamoruan ‘orangtua suami’, hula-hula ‘orangtua istri’, dan tulang ‘paman’. Kearifan lokal pemberian makanan adat Batak Toba diantaranya, nilai spritual, rasa syukur, gotong royong, kesehatan, kerukunan dan penyelesaian konflik. Temuan pada pola penamaan makanan. Pola penamaan makanan tradisional berubah pada saat makanan tersebut menjadi makanan adat. Pola penamaan makanan tradisional na ni + (Verba), berubah menjadi: dengke simudur-udur (Adj), dengke sahat (Adj), dengke sitio-tio (Adj), dengke naporngis (Adj), dengke upa (Adj).

Kata kunci: Makanan, antropolinguistik, domain, performansi, kearifan lokal.

i

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PERFORMANCE OF BATAK TOBA TRADITONAL FEEDING CEREMONY

ABSTRACT

The purposes of this study are to describe the domain, taxonomy, and semantic components; to find food naming patterns; to describe performance; and to find local wisdom in Batak Toba feeding tradition. Data collection was conducted by observation and interview. The object of observation was the feeding tradition conducted during birth ceremony, marriage ceremony and funeral in Batak Toba society located in the village of Simarmata, Samosir district and around the city of Medan. Informants interviewed were the ones you actively participated or acted as actors in the ceremony of birth, marriage and funeral. Anthropolinguistic approach was applied in this study with ethnographic method. The results of the study showed that there were two kinds of food fed in the ceremony of birth, marriage and funeral, namely: tudu-tudu sipanganon ‘food marker’ and dengke simudur-udur ‘fish put together on plate’. The text spoken at the time of feeding is called pasahat hata. It was found that birth domain consists of five sub-domains, namely 1) mambosuri 'to make full', 2) maranggap 'to guard', 3) mamboan aek ni unte 'to carry sour water', 4) martutu aek 'to be bathed', and 5) mebat 'to come'; marriage domain consists of nine sub-domains, namely 1) mangarisik 'to approach', 2) marhori-hori dinding 'to find out', 3) marhusip 'to whisper', 4) martumpol 'to promise', 5) martonggo raja 'to pray', 6 ) marsibuha- buhai 'opener', 7) unjuk 'party', 8) paulak une 'to return', 9) maningkir tangga 'check the stairs'; and the domain of death consists of eight sub-domains, namely: 1) saur matua mauli bulung 'longevity', 2) saur matua 'longevity', 3) sari matua 'there are still unmarried children', 4) mate mangkar 'died and leaving small child behind', 5) mate poso' died young ', 6) mate dakdanak 'died in the age of children', 7) mate di bortian 'died in the womb’, and 8) mate maningkot ‘the type of death caused by suicide’. It was also found the food taxonomies or classifications of Batak Toba foods arranged in a line diagram. Semantic component of marsipanganon ‘to eat’, semantic component of how to process food and cooking activities, naming patterns of traditional food na ni + verbs. The performance of feeding involves the recognition of 'husband's parents', hula-hula 'parent wife', and tulang 'uncle'. Local wisdom of Batak Toba feeding tradition, namely gratitude, mutual cooperation, health, harmony and conflict resolution. The research findings are the naming pattern of traditional food differs from the naming patterns of ritual foods. Traditional food na ni+ arsik (Verb) ‘stewed fish dish’, turns to : dengke simudur-udur (Adj), dengke sahat (Adj), dengke sitio-tio (Adj), dengke naporngis (Adj), dengke upa (Adj).

Keywords: Food, anthropolinguistics, domain, performance, local wisdom.

ii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

KATA PENGANTAR Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas kemurahanNya, tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelah magister linguistik pada Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan karena dukungan dan bantuan baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada pihak-pihak terkait.

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum., Rektor Universitas Sumatera Utara,

atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan

menyelesaikan pendidikan Program Magister.

2. Bapak Dr. Budi Agustono, M.A., Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas

Sumatera Utara, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk

mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Linguistik

3. Bapak Dr. Eddy Setia M.Ed. TESP., Ketua Program Studi Linguistik Program

Pascasarjana, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, atas

kesempatan dan bantuan yang diberikan kepada penulis selama kuliah hingga

dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

4. Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A., Sekretaris Program Studi Linguistik Program

Pascasarjana, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Terima

kasih atas kelembutan, perhatian, bimbingan dan motivasi yang telah beliau

berikan selama penulis menjalani pendidikan di program pascasarjana

linguistik.

iii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 5. Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S., Ketua Komisi Pembimbing. Terima kasih atas

bimbingan, motivasi tanpa pamrih dan ketulusan Bapak dalam membimbing

penulis hingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini

6. Dr. Mulyadi, M.Hum, Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan

waktunya, dan dengan penuh perhatian memberikan dukungan, motivasi,

bimbingan, saran serta masukan yang sangat berarti.

7. Prof . Dr. Amrin Saragih, M.A., Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D dan

ibu Dr. T.Thyrhaya Zein, M.A., tim penguji, terima kasih telah menilai,

memeriksa dan memberikan banyak saran dalam rangka perbaikan tesis ini.

8. Bapak dan Ibu dosen yang dengan tulus memberikan ilmu yang sangat

bermanfaat dan dan staf pegawai yang sangat profesional melayani

mahasiswa.

9. Kepala Desa Simarmata, Bapak J. Simarmata, dan juga Bapak Jandra

Simarmata, Joker Simarmata (Opung Nova), Drs. S.W. Silalahi, J.F.Gultom,

Duma br Sihombing (Opung Hardi), Rinim Manik (Opung Mahatan), yang

bersedia menjadi informan pada penelitian ini. Terima kasih atas bantuan

Bapak dan Ibu yang telah dengan sukarela memberikan informasi penting

dalam pemberian makanan pada upacara adat Batak Toba.

10. Orangtua tercinta, ayahanda S. Sihombing (alm) dan ibunda P. Nababan (alm),

terima kasih atas kasih sayang tulus dari kalian, sungguh pun kita tidak di

alam yang sama lagi, tetapi hangatnya cinta dan kasih sayang kalian,

senantiasa menjadi motivasi bagi penulis. Secara khusus terima kasih kepada

Ibunda mertua Rinim Manik, terima kasih atas doa, kasih sayang yang

menjadikan penulis bersemangat menyelesaikan tesis ini

iv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 11. Suami tercinta Herlin Simarmata dan ananda Mahatan Yizreel Simarmata,

Sangiang Adri Genius Lo_ami Simarmata, Sari Yesica Simarmata. Yang telah

memberikan pelukan, perhatian dan kehangatan cinta dari suami dan anak-

anakku, sehingga penulis semakin memiliki sumber semangat menyelesaikan

penulisan tesis ini.

12. Bapak dr. Rainhard Silalahi, Ketua Yayasan AMIK Medicom Medan, beserta

rekan-rekan pengelola, dosen dan pegawai AMIK Medicom yang telah

memberikan bantuan, dan kemudahan kepada penulis, selama proses

penyelesaian studi di Program Pascasarjana USU.

13. Rekan sesama mahasiswa Program Studi Linguistik Pascasarjana FIB, terima

kasih atas kebersamaan selama menempuh pendidikan di USU.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi seluruh pembaca dan kiranya Tuhan Yang Maha

Esa memberkati kita semua. Amin.

Medan, Juli 2019

Penulis

Maslan M.R. Sihombing

v

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Maslan M.R. Sihombing

Tempat/ tanggal lahir : Siborongborong, 4 Februari 1972

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat Rumah : Jl. Mesjid Taufiq Gg. Pelita A no. 14 Medan Perjuangan

Status : Menikah

No. Hp : 082165392426

Email : [email protected]

Pendidikan Formal:

SD : SD Nasrani V, Medan

SMP : SMP Sutomo1, Medan

SMA : SMA Negeri 6, Medan

S1 : Universitas Sumatera Utara

S2 : Universitas Sumatera Utara

Medan, Juli 2019

Maslan M.R. Sihombing

vi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ...... i ABSTRACT ...... ii KATA PENGANTAR ...... iii DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...... vi DAFTAR ISI ...... vii DAFTAR TABEL ...... viii DAFTAR GAMBAR ...... ix DAFTAR LAMPIRAN ...... xi DAFTAR SINGKATAN ...... xii BAB I PENDAHULUAN ...... 1 1.1 Latar Belakang ...... 1 1.2 Rumusan Masalah ...... 5 1.3 Tujuan Penelitian ...... 6 1.4 Manfaat Penelitian ...... 6 1.4.1 Manfaat Teoretis ...... 6 1.4.2 Manfaat Praktis ...... 6 1.5 Klarifikasi Istilah ...... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...... 10 2.1 Konsep ...... 10 2.1.1 Makanan Tradisional...... 10 2.1.2 Domain ...... 12 2.1.3 Taksonomi ...... 13 2.1.4 Komponen Makna ...... 16 2.1.5 Kearifaan Lokal ...... 17 2.2 Landasan Teori ...... 19 2.2.1 Pendekatan Antropolinguistik ...... 19 2.2.1.1 Performansi, Indeksikalitas, Partisipasi ...... 21 2.3 Penelitian yang Relevan ...... 23 2.4 Kerangka Pikir ...... 27

BAB III METODE PENELITIAN ...... 29 3.1 Penelitian Kualitatif ...... 29 3.2 Lokasi Penelitian ...... 29 3.3 Data dan Sumber Data ...... 30 3.4 Metode Penelitian ...... 31 3.4.1 Pengumpulan Data ...... 32 3.4.2 Analisis Data ...... 34

BAB IV HASIL PENELITIAN ...... 37 4.1 Paparan Data ...... 37 4.1.1 Data Domain Makanan...... 38 4.1.1.1 Data Makanan pada Domain Kelahiran ...... 38 4.1.1.2 Data Makanan pada Ritus Pernikahan ...... 46

vii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 4.1.1.3 Data Makanan pada Ritus Kematian ...... 55 4.2 Data Teks Pemberian Makanan ...... 60 4.2.1 Performansi Pemberian Makanan Domain Kelahiran ...... 60 4.2.1.1 Teks Subdomain Mambosuri ...... 60 4.2.1.2 Teks Subdomain Mamboan Aek ni Unte ...... 63 4.2.1.3 Teks Subdomain Mebat ...... 65 4.2.2 Teks Pemberian Makanan Domain Pernikahan ...... 66 4.2.2.1 Teks Subdomain Martumpol ...... 66 4.2.2.2 Teks Subdomain Marunjuk ...... 69 4.2.3 Teks Pemberian Makanan pada Domain Kematian ...... 72 4.3 Data Kearifan Lokal Pemberian Makanan Batak Toba ...... 72

BAB V PEMBAHASAN ...... 75 5.1 Domain, Taksonomi, Komponen Makna Pola Penamaan ...... 75 5.1.1 Domain Makanan Tradisional Batak Toba ...... 79 5.1.2 Taksonomi Makanan Tradisional pada Upacara Adat ...... 83 5.1.3 Komponen Makna Makanan Tradisional Batak Toba ...... 85 5.1.4 Pola Penamaan Makanan Tradisional Batak Toba ...... 89 5.2 Performansi Pemberian Makanan pada Adat Batak Toba ...... 92 5.2.1 Performansi pada Ritus Kelahiran...... 92 5.2.2 Performansi pada Ritus Pernikahan ...... 97 5.2.3 Performansi pada Ritus Kematian ...... 105 5.3 Kearifan Lokal Pemberian Makanan Adat Batak Toba ...... 108 5.3.1 Kearifan Lokal Menciptakan Kedamaian ...... 109 5.3.1.1 Kesopansantunan...... 109 5.3.1.2 Kesetiakawanan Sosial ...... 110 5.3.1.3 Kerukunan dan Penyelesaian Konflik ...... 113 5.3.1.4 Rasa Syukur ...... 115 5.3.2 Kearifan Lokal Meningkatkan Kesejahteraan ...... 116 5.3.2.1 Kesehatan ...... 116 5.3.2.2 Gotong Royong ...... 118 5.4 Temuan ...... 119

BAB VI SIMPULAN dan SARAN ...... 121 6.1 Simpulan ...... 121 6.2 Saran ...... 123

DAFTAR PUSTAKA ...... 124

viii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR TABEL

No Judul Halaman 2.1 Makanan Tradisional di ...... 11 2.2 Hubungan Semantik Universal ...... 13 2.3 Komponen Verba Membawa dalam Bahasa Indonesia ...... 17 4.1 Makanan pada Domain Kelahiran ...... 39 4.2 Makanan pada Subdomain Mambosuri ...... 40 4.3 Makanan pada Subomain Maranggap ...... 41 4.4 Makanan pada Subdomain Mamboan aek ni unte...... 43 4.5 Makanan pada Subdomain Martutu Aek ...... 44 4.6 Makanan pada Subdomain Mebat ...... 45 4.7 Makanan pada Domain Pernikahan ...... 47 4.8 Makanan pada Subdomain Marhusip ...... 49 4.9 Makanan pada Subdomain Marhata Sinamot ...... 50 4.10 Makanan pada Subdomain Martonggo Raja ...... 51 4.11 Makanan pada Subdomain Marsibuha-buhai ...... 52 4.12 Makanan pada Subdomain Marunjuk...... 53 4.13 Makanan pada Subdomain Paulak Une dan Maningkir Tangga ...... 55 4.14 Makanan pada Domain Kematian ...... 57 4.15 Makanan pada Subdomain Saur Matua Mauli Bulung ...... 58 4.16 Makanan pada Subdomain Saur Matua ...... 58 4.17 Makanan pada Subdomain Sari Matua ...... 59 4.18 Makanan Indahan sipaet-paet ...... 60 4.20 Makna, Fungsi, Nilai dan Norma Makanan ...... 73 5.1 Domain dan Sub Domain Upacara Adat Batak Toba...... 79 5.2 Domain Makanan Adat Batak Toba Berdasarkan Partisipan ...... 81 5.3 Jenis Makanan Berdasarkan Cara Pengolahan ...... 85 5.4 Komponen Makna Aktivitas Memasak ...... 86 5.5 Komponen Makna Marsipanganon ...... 87 5.6 Komponen Makna Indahan ...... 88 5.7 Penamaan Makanan Berdasarkan Cara Memasaknya ...... 89 5.8 Penggunaan Frasi na ni...... 89 5.9 Penggunaan Frasa Dengke...... 90 5.10 Perubahan Nama Makanan ...... 90 5.11 Performansi Mambosuri ...... 96 5.12 Performansi Marhusip ...... 99 5.13 Performansi Marhata Sinamot ...... 101 5.14 Performansi Marunjuk ...... 104 5.15 Performansi Kematian ...... 107

ix

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman 2.1 Hierarki Bercabang dan Tidak Bercabang ...... 14 2.2 Tipe-tipe Diagram Taksonomi ...... 15 2.3 Lapisan Pemaknaan ...... 18 2.4 Jenis Kearifan Lokal ...... 19 2.5 Model Antropolinguistik ...... 21 2.6 Kerangka Pikir ...... 28 5.1 Tudu-tudu Sipanganon dan Dengke Simudur-udur ...... 75 5.2 Taksonomi Makanan Tradisional Batak Toba ...... 84

x

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman 1 Makanan Tradisional Batak Toba ...... 127 2 Daftar Kuisioner ...... 129 3 Daftar Informan ...... 130

xi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR SINGKATAN

MTBT = Makanan Tradisional Batak Toba STM = Serikat Tolong Menolong ASI = Air Susu Ibu

xii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Makanan menjadi penting sebagai pembeda status, hierarki sosial, dan kekuasaan, dalam kelompok masyarakat (Tierney, 2012). Setiap kolompok masyarakat memiliki makanan khusus yang dapat membedakannya dari kolompok masyarakat lain. Lebih lanjut Paeni (2009), menjelaskan bahwa makanan tradisional adalah jenis makanan yang sering disebut dengan kuliner turun-temurun, tidak hanya berwujud makanan melainkan juga minuman.

Menurut Gennep (1992), manusia mengalami perubahan-perubahan biologis sejak ia lahir hingga mati, hal ini berdampak pada status sosial budayanya. Situasi pada masa peralihan menuju tahap biologis selanjutnya, disebut masa liminal.

Keberadaan manusia pada situasi ini, berdampak pada jiwanya dan dapat menimbulkan krisis mental. Oleh karena itu, setiap manusia yang berada pada tahapan masa liminal, diharuskan mengikuti upacara inisiasi untuk menandai dan mengantarkan peralihannya ke tahap kehidupan yang baru dan yang lebih stabil.

Upacara inisiasi yang ada pada masyarakat Batak Toba digolongkan atas 3 yaitu 1) upacara adat, 2) upacara agama dan 3) upacara yang berhubungan dengan lingkungan hidup. Upacara yang berhubungan dengan adat, misalnya adat kelahiran, adat pernikahan dan adat kematian (Siahaan, E.K. dan T. Sitanggang, 1993). Bagi masyarakat Batak Toba, masa peralihan sejak seseorang dilahirkan, menikah hingga meninggal dunia, ditandai dengan tradisi pemberian makanan, yang disebut sebagai makanan adat. Tradisi pemberian makanan memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang berperan dalam pembentukan karakter masyarakatnya.

1 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2

Hal yang sangat menarik adalah berdasarkan angket dengan pertanyaan tertutup yang diberikan kepada 100 orang responden pemuda Batak Toba usia 20 s.d

27 yang tinggal di Medan, diperoleh data, dari 100 responden, ada 42 responden

(42%) yang tidak tahu nama makanan yang diberikan pada upacara adat Batak Toba.

Sampel data ini menggambarkan kecenderungan generasi Batak Toba, sudah tidak mengenal makanan tradisional, apalagi memahami kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Hal tersebut dapat berdampak negatif pada pelestarian nilai-nilai budaya dan bila dibiarkan, nilai-nilai luhur budaya bangsa akan terancam hilang.

Minimnya pengetahuan generasi muda, mengenai makanan tradisional daerahnya, dan bagaimana tradisi pemberian makanan dalam upacara adat Batak

Toba, dapat menjadi ancaman yang sangat serius bagi keberlangsungan tradisi makan dan makanan Batak Toba, karena pada hakikatnya proses pembuatan makanan dan makan diturunkan secara lisan dari suatu generasi ke generasi berikutnya, (lihat Sibarani, 2014). Oleh karena itu, penulis sangat tertarik meneliti jenis makanan apa saja yang disajikan dalam upacara adat Batak Toba, bagaimana performansi pemberian makanan dan mendeskripsikan nilai-nilai kearifan lokal dalam proses pemberian makanan tradisional pada upacara adat Batak Toba.

Pada performansi pemberian makanan, digunakan bahasa sebagai sarana penyampaian doa dan harapan yang baik terjadi kepada penerimanya. Oleh karena itu, bagaimana makna dan nilai budaya dalam tradisi pemberian makanan dan apa makna dari simbol-simbol makanan hanya dapat dimengerti dengan cara mempelajari budaya dan bahasa. Hal ini sejalan dengan penjelasan Duranti (2000), bahwa melalui pendekatan antropolinguistik, bahasa dapat dimengerti sebagai sumber budaya dan berbahasa sebagai praktik budaya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 3

Siahaan et al (1993) menjelaskan bahwa, dalihan na tolu ‘tiga penyangga tungku’, merupakan landasan dalam tradisi pemberian makanan pada upacara adat

Batak Toba. Dalihan na tolu terdiri dari dongan tubu atau dongan sabutuha ‘kerabat semarga’, hula-hula ‘orangtua dan saudara laki-laki dari istri’ dan boru ‘saudara perempuan’. Ketiga unsur ini menjadi pilar utama dalam kehidupan dan pelaksanaan setiap upacara adat masyarakat Batak Toba. Pada penelitian ini, penulis mendata makanan dan menganalisis performansi pemberian makanan pada upacara adat kelahiran, pernikahan dan kematian.

Makanan adat yang harus ada pada domain kelahiran, pernikahan dan kematian adalah tudu-tudu sipanganon ‘penanda perjamuan’ yaitu simbol makanan yang berasal dari ternak yang dikorbankan untuk menunjukkan penghormatan hasuhuton ‘penyelenggara pesta’, kepada hula-hula ‘kerabat dari pihak istri’ dan juga kepada tondong ‘undangan’. Sebutan lain untuk tudu-tudu sipanganon adalah na margoar yang artinya bagian-bagian hewan yang diberikan kepada pihak yang berhak menerimanya dalam parjambaran ‘pembagian’. Tudu-tudu sipanganon terdiri dari narmarngingi ‘kepala’, tanggalan atau aliang ‘leher’, soit ‘pangkal paha’ dan ihur-ihur ‘ekor’ yang diletakkan dalam wadah yang besar. Hula-hula akan memberikan makanan dengke ‘ikan’ dan boras sipir ni tondi ‘beras penguat roh’, atau boras parbue ‘beras buah kehidupan’ sebagai balasan dari pemberian makanan tudu-tudu sipanganon, .

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara kepada informan, diketahui bahwa ada tradisi pemberian makanan yang sudah jarang dilaksanakan, yaitu melek- melekan ‘membangunkan’, mamboan aek ni unte ‘membawa air asam asam jeruk’, martutu aek ‘pemberian nama oleh dukun beranak’, sebagai rangkaian upacara kelahiran. Alasan utama hilangnya tradisi ini karena pengaruh agama, pola hidup di

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 4 kota besar yaitu pekerjaan yang heterogen sehingga membutuhkan efisiensi waktu.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan model etnografi yang dikemukakan Spradley (2007). Penelitian etnografi adalah kegiatan pengumpulan data yang dilakukan secara sistematik, mengenai cara hidup, aktivitas sosial dan berbagai benda kebudayaan dari suatu masyarakat. Etnografi pada dasarnya lebih memanfaatkan teknik pengumpulan data melalui pengamatan yang mendalam. Melalui cara ini, akan terungkap pandangan hidup dari sudut pandang penduduk setempat. Dengan demikian akan ditemukan makna tindakan budaya suatu komunitas yang diekspresikan melalui makanan. Fokus pada penelitian ini adalah:

1. Menemukan domain, taksonomi, komponen makna dan pola penamaan makanan

tradisional Batak Toba. Domain pada penelitian ini adalah makanan tradisional

dalam siklus kehidupan manusia yang ada pada upacara adat kelahiran,

pernikahan dan kematian. Selanjutnya berdasarkan domain yang telah dipilih,

penulis menyusun taksonomi dan melanjutkan pada penelitian komponen makna

untuk menemukan makna dan fungsi makanan tradisional Batak Toba (MTBT).

2. Mendeskripsikan performansi pemberian makanan tradisional pada upacara adat

kelahiran, pernikahan, dan kematian suku Batak Toba. Penulis menggunakan

pendekatan antropolinguistik Duranti (2000) yang menjelaskan bahwa dalam

mengkaji bahasa, kebudayaan, dan aspek-aspek lain kehidupan manusia,

perhatian utama antropolinguistik ditekankan pada tiga topik penting, yaitu 1)

performansi, 2) indeksikalitas, 3) partisipasi.

Melalui konsep performansi, bahasa dipahami dalam proses kegiatan,

tindakan, dan pertunjukan komunikatif, yang membutuhkan kreativitas. Nilai dan

norma budaya yang dirumuskan dari hubungan struktur teks, ko-teks, dan konteks

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 5

dalam suatu peristiwa atau performansi mengindikasikan bahwa nilai dan norma

budaya tradisi lisan sebagai cerminan realitas sosial.

3. Bagaimana kearifan lokal pemberian makanan tradisional Batak Toba menjadi

fokus kajian yang ke tiga. Kearifan lokal berasal dari kebiasaan, pengetahuan,

persepsi, norma, dan kebudayaan yang dipatuhi bersama suatu masyarakat lokal

yang hidup turun-temurun. Kearifan lokal mampu mendominasi kehidupan

masyarakat yang penuh keadaban. Penulis menggunakan teori lapisan pemaknaan

untuk menemukan kearifan lokal makanan tradisional Batak Toba.

Lebih lanjut Sibarani (2015), menjelaskan bahwa kearifan lokal mencakup adat-istiadat lokal, norma lokal, pengetahuan lokal, keterampilan lokal, sumber daya lokal, proses sosial lokal, institusi lokal, dan keindahan lokal. Apabila cakupan kearifan lokal digali dari suatu tradisi lisan atau tradisi budaya dan diterapkan pada generasi mudanya, hal itu dapat membangun karakter dalam rangka menciptakan kedamaian dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Berdasarkan latar belakang tersebut, kajian pada penelitian ini difokuskan untuk menganalisis performansi pemberian makanan pada upacara adat Batak Toba.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian etnografi yang dikemukan Spradley

(2007) dengan menerapkan pendekatan antropolinguistik Duranti (2000), diharapkan kajian ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemajuan di bidang linguistik, khususnya antropolinguistik

1.2 Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang pada kajian ini, masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah domain, taksonomi, komponen makna, dan pola penamaan

makanan tradisional Batak Toba?

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 6

2. Bagaimanakah performansi pemberian makanan pada upacara adat Batak Toba?

3. Bagaimanakah kearifan lokal pada pemberian makanan tradisional Batak Toba?

1.3 Tujuan Penelitian

Merujuk pada rumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis domain, taksonomi, komponen makna, dan pola penamaan

makanan tradisional Batak Toba

2. Menganalisis performansi pemberian makanan pada upacara adat kelahiran,

pernikahan dan kematian masyarakat Batak Toba.

3. Menemukan kearifan lokal pada pemberian makanan tradisional Batak Toba

1.4 Manfaat Penelitian

Temuan penelitian ini memberikan manfaat teoretis dan manfaat praktis.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis, temuan pada penelitian ini bermanfaat untuk:

1. Menambah atau memperkaya teori linguistik, khususnya antropolinguistik.

Melalui pendekatan antropolinguistik yang terdiri dari performansi,

indeksikalitas dan partisipan dalam teks, koteks dan konteks untuk menemukan

kearifan lokal pemberiaan makanan tradisional pada upacara adat Batak Toba.

2. Menjadi sumber acuan bagi para linguis dan para peneliti yang fokus pada

penelitian budaya dan bahasa, dengan metode kajian etnografi.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis diantaranya:

1. Penulis dapat memahami kekuatan tradisi pemberian makanan masyarakat Batak

Toba. Apa tujuan dan jenis makanan yang diberikan, bagaimana tata cara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 7

pemberian makanan, siapa yang memberikan dan siapa pula yang menerima

makanan. Apa harapan yang disampaikan saat pemberian makanan.

2. Menjadi acuan pemberian makanan pada upacara adat kelahiran, pernikahan dan

kematian

3. Menjadi motivasi bagi generasi muda Batak Toba dapat mempertahankan

nilai-nilai kearifan lokal pada pemberian makanan tradisional.

1.5 Klarifikasi Istilah

Pada tulisan ini, digunakan beberapa istilah yang memiliki makna berbeda

1. Dalihan na Tolu ‘tiga penyangga tungku’

Siahaan et al (1993) menjelaskan dalihan na tolu adalah tiga posisi penting

sebagai falsafah hidup masyarakat Batak Toba. 1) Somba marhula-hula ‘hormat

kepada orangtua dan saudara laki-laki istri’. 2) Elek marboru ‘sikap membujuk/

mengayomi saudara perempuan’. 3) Manat mardongan tubu ‘bersikap hati-hati

kepada sesama abang-adik’. Hula-hula menempati posisi yang paling dihormati

dalam adat dan pergaulan masyarakat Batak Toba. Sikap yang ditunjukkan

terhadap hula-hula adalah harus somba marhula-hula ‘sembah-hormat-kepada

hula-hula’. Dongan tubu, dongan sabutuha ‘lahir dari perut yang sama’ atau

haha anggi ‘abang adik’, semua orang Batak harus bersikap bijaksana kepada

saudara semarga. Sedangkan boru menempati posisi sebagai parhobas ‘pelayan’

dan manumpahi ‘memberikan bantuan dana’. Sikap terhadap boru adalah elek

marboru ‘sayang pada saudara perempuan’.

2. Domain

Spradley (2007), menjelaskan bahwa suatu domain terdiri dari tiga elemen, yaitu

cover terms (nama suatu domain budaya), included terms (nama suatu kategori

atau rincian domain), semantic relationship (hubungan semantik antar kategori).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 8

3. Komponen Makna

Spradley (2007), menjelaskan bahwa komponen makna yaitu analisis yang

mencari ciri spesifik pada setiap struktur internal dengan cara mengkontraskan

antara elemen. Analisis dilakukan sebagai observasi dan wawancara terseleksi

dengan mengajukan pertanyaan kontras.

4. Kearifan Lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat

yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan

masyarakatnya (Sibarani 2012).

5. Leksem

Subroto (2011) menyatakan bahwa leksem adalah bentuk abstrak atau hasil

abstraksi bentuk-bentuk kata yang berbeda tercakup dalam leksem yang sama

yang terdapat dalam paradigma yang sama yang disebut paradigma infleksional.

Paradigma infleksional adalah paradigma yang kemunculannya dapat diramalkan

berdasarkan kondisi sintaksis tertentu. Contoh: WRITE adalah sebuah leksem

simpel, terkecil; namun WRITER adalah sebuah leksem terkecil (karena tidak

dapat diperkecil lagi, jika diperkecil akan menjadi leksem lain yaitu WRITE

yang merupakan leksem V), kompleks (karena terdiri dari leksem WRITE yang

termasuk V dan sufiks –er yang menominalkan). Pembentukan leksem WRITE

(V) ke leksem WRITER (N) termasuk derivasional. Dapat dikatakan derivasi

adalah pembentukan yang selalu menghasilkan leksem baru (Subroto, 2012:19).

6. Makanan

Makanan bagi orang Batak Toba dapat digolongkan pada 1) makanan sehari-hari,

2) makanan pelengkap, 3) makanan untuk tamu dan 4) makanan untuk upacara-

upacara. Jenis-jenis makanan dalam konsep orang Batak Toba terdiri atas nasi,

lauk pauk dan minuman. Makanan yang diberikan dapat berbeda-beda sesuai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 9

dengan kedudukan seseorang dalam falsafah dalihan na tolu ‘tiga penyangga

tungku’. Bagi masyarakat Batak Toba, kedudukan secara ekonomis tidak

mengakibatkan penggolongan jenis-jenis makanan. Walaupun ada perbedaan,

hanyalah pada perbedaan kuantitas, kualitas dan nilai gizi, namun perbedaan

secara adat atau nilai kultural tidak ada (Siahaan et al, 1993)

7. Makanan Tradisional

Nuraida (2001) mengemukakan bahwa makanan tradisional adalah makanan dan

minuman, termasuk makanan jajanan serta bahan campuran yang digunakan

secara tradisional dan telah lama berkembang secara spesifik di daerah atau

masyarakat Indonesia.

8. Performansi

Menurut Hymes (1975), performansi merupakan ranah aksi sosial, yang

mengemuka dari interaksi dengan penutur lain. Lebih lanjut Duranti (2000),

menjelaskan bahwa melalui konsep performansi, bahasa dipahami dalam proses

kegiatan, tindakan, dan pertunjukan komunikatif, yang membutuhkan kreativitas.

9. Taksonomi

Spradley (2007), menjelaskan taksonomi atau klasifikasi merupakan hubungan

tata tingkat berlapis. Taksonomi digunakan untuk mengorganisir atau

mengklasifikasikan data berdasarkan kategori alamiahnya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Pada bagian ini, dipaparkan konsep dan teori yang berkenaan dengan konsep makanan tradisional, penelitian yang relevan dan teori-teori yang menjadi dasar penyusunan hasil penelitian performansi pemberian makanan tradisional pada adat

Batak Toba.

2.1.1 Makanan Tradisional

Manusia sebagai makhluk Tuhan yang sempurna, dikarunia kemampuan berbahasa. Kemampuan manusia berbahasa, diwujudkan dalam pemberian nama kepada benda-benda yang ada di sekitarnya, seperti pada pemberian nama makanan.

Makanan selalu memiliki nama, misalnya singgang makanan khas Melayu, coto makanan khas Makasar, makanan khas Batak Toba dan lain sebagainya.

Nama makanan dari manca negara, diantaranya burger, spaghetti, pizza, ice cream, sushi, dan sebagainya. Melalui nama makanan, terlihat hubungan antara makanan dengan bahasa, karena melalui nama makanan, dapat diketahui cara pembuatannya, cara penyajian, rasa, dan daerah asal makanan tersebut.

Makanan tradisional adalah makanan dan minuman, termasuk makanan jajanan serta bahan campuran yang digunakan secara tradisional dan telah lama berkembang secara spesifik di daerah atau masyarakat Indonesia (Nuraida dan

Dewanti Hariyadi, 2001). Adapun kriteria makanan tradisional seperti yang dikemukakan oleh Nurhayati, Endang, Mulyana, Veny IE, dan Evi M (2013) adalah

1. Makanan diolah menurut resep makanan atau komposisi yang telah dikenal

dan diterapkan secara turun-temurun dalam sistem keluarga atau masyarakat.

10

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 11

2. Bahan baku makanan berasal dari daerah setempat, baik merupakan hasil usaha

tani sendiri maupun tersedia dalam sistem pasar setempat. 3) Cara pengolahan

makanan spesifik menurut cara-cara yang telah dikembangkan masyarakat

setempat, (lihat Paeni, 2009).

Lebih lanjut Verbeke (2011), menjelaskan bahwa makanan tradisional adalah jenis makanan yang sering dikonsumsi atau hanya disajikan pada perayaan tertentu.

Makanan tradisional dapat juga dibedakan melalui cara pengolahannya yang diwariskan secara turun-temurun, bentuk dan rasa, daerah, wilayah atau negara tertentu. Makanan yang disajikan khusus pada upacara adat, disebut dengan makanan adat.

Tabel 2.1 Makanan Tradisional di Indonesia Nama Makanan Tradisional Daerah Asal Arsik, na niura, bangun-bangun, lomok-lomok, dali, Batak Toba saksang, sasagun, tipa-tipa. , kerupuak sanjay, bakar. Sumatera Barat , , Betawi Bubur lambuk, singgang ikan, Melayu kapal selam, , Sumatera Selatan Kopi santan, rujak cingur, , jenang Jawa Timur Tempe , , babat Jawa Tengah , babi guling, basa genep, pia legong, jaja gipang Bali Ikan kuah air garam, kue apem ternate Maluku Utara Coto Makasar, putu cangkiri, barangko Makasar

Sumber: (Agmasari, 2013)

Masyarakat Batak Toba, meyakini bahwa setiap makanan yang dikonsumsi memiliki daya tondi ‘kekuatan bagi jiwa’, sehingga proses makan harus dilakukan dalam keadaan damai dan tenang, Siahaan et al (1993). Tujuan penyelenggaraan pesta dan pemberian makanan pada upacara adat adalah untuk mendapatkan pasu- pasu ‘berkat’ dari Tuhan Yang Maha Esa. Makanan adat yang disajikan, merupakan pernyataan penghormatan kepada tamu dan sekaligus penyataan keinginan untuk

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 12 mendapatkan doa berkat yang diungkapkan pada saat pemberian makanan,

Vergouwen (2004).

Makanan yang berasal dari ikan, babi, lembu atau kerbau menjadi unsur utama dalam upacara adat Batak Toba. Keunikan makanan adat Batak Toba adalah makanan yang diberikan pada upacara adat harus utuh dari satu ekor hewan. Dalihan natolu menjadi pedoman dalam pemberian makanan dan pembagian jambar juhut

‘pembagian daging’ pada upacara adat.

Dalihan na tolu ‘tiga penyangga tungku’ adalah tiga posisi penting sebagai falsafah hidup masyarakat Batak Toba. Dalam adat Batak Toba, dalihan natolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama. Pertama, somba marhula-hula ‘hormat kepada orangtua dan saudara laki-laki dari pihak istri’.

Kedua, elek marboru ‘sikap membujuk/ mengayomi saudara perempuan’. Ketiga, manat mardongan tubu ‘bersikap hati-hati kepada teman semarga-dari pihak suami’,

(lihat Siahaan et al, 1993). Dalihan natolu menjadi dasar yang meliputi hubungan darah dan hubungan perkawinan yang menyatukan atau mempertalikan suatu kelompok marga.

2.1.2 Domain

Wijaya (2018), menyatakan bahwa domain disebut juga dengan ranah, yaitu kategori simbolis atau kategori konseptual beserta simbol yang dirangkumnya.

Setiap domain atau kategori simbolis memiliki makna atau pengertian yang lebih luas dari kategori atau simbol yang merangkumnya, misalnya 1) Perguruan tinggi merupakan domain dari kategori simbolis universitas, institut, sekolah tinggi, dan akademi. Dalam contoh ini kita menemukan atau memahami adanya domain jenis perguruan tinggi. 2) Sistem pendidikan di Indonesia, terdapat banyak domain, seperti

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 13 domain tenaga kependidikan tercakup di dalamnya kategori simbolis seperti guru, dosen, konselor, penilik, dan administrator pendidikan.

Lebih lanjut Spradley (2007), menjelaskan bahwa suatu domain terdiri atas tiga elemen, yaitu cover terms ‘nama suatu domain budaya’, included terms ‘nama suatu kategori atau rincian domain’, semantic relationship ‘hubungan semantik antar kategori’. Spradley (2007) menyusun tabel hubungan semantik universal yang menjadi acuan penulis untuk menemukan domain dalam suatu budaya, seperti terlihat pada tabel 2.2 berikut ini.

Tabel 2.2 Hubungan Semantik Universal No Hubungan Hubungan Semantik Antar Kategori 1. Pencakupan tugas X adalah sejenis dari Y 2. Tempat X adalah suatu tempat di Y X adalah satu bagian dari Y 3. Sebab akibat X adalah akibat dari Y, X adalah satu penyebab dari Y 4. Alasan X adalah alasan untuk melakukan Y 5. Tempat Aksi X adalah suatu tempat untuk melakukan Y 6. Fungsi X digunakan untuk Y 7. Cara X adalah suatu cara untuk melakukan Y 8. Urutan X adalah salah satu langkah dalam Y 9. Atribut X adalah salah satu atribut (karakteristik) dari Y Sumber: Spradley (2007)

Sementara Sugiyono (2013), menjelaskan bahwa analisis domain dilakukan untuk memperoleh gambaran yang umum dan menyeluruh tentang situasi yang diteliti dalam objek penelitian.

2.1.3 Taksonomi

Taksonomi berasal dari bahasa Yunani, tassein ‘mengelompokkan’ dan nomos ‘aturan’. Taksonomi dapat diartikan sebagai pengelompokan berdasarkan hierarki atau tingkatan tertentu. Taksonomi yang lebih tinggi bersifat lebih umum dan taksonomi yang lebih rendah bersifat lebih spesifik. Hierarki ini digunakan untuk mengorganisir atau mengklasifikasikan data berdasarkan kategori alamiahnya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 14

Analisis taksonomi adalah analisis yang memusatkan perhatian pada domain tertentu yang sangat berguna untuk menggambarkan fenomena atau masalah yang yang diteliti. Pengumpulan data dilakukan secara terus-menerus melalui observasi atau pengamatan, wawancara mendalam dan dokumentasi sehingga data yang terkumpul menjadi banyak. Data dikumpulkan melalui teknik wawancara struktural kepada informan, seperti contoh berikut “Apa saja yang terdapat dalam tudu-tudu sipanganon?”.

Taksonomi atau klasifikasi merupakan hubungan tata tingkat berlapis.

Menurut Cruse (1986), struktur hierarki adalah relasi antar butir semantik secara karakterstik. Struktur tersebut dibedakan menjadi dua tipe yaitu branching hierarchies ‘hierarki bercabang’ dan non-branching hierarchies ‘hierarki tidak bercabang’. A W

Y B C

X D E F G Z

Gambar 2.1 Hierarki Bercabang dan Tidak Bercabang

Lebih lanjut Sugiyono (2013), menjelaskan bahwa analisis taksonomi adalah kelanjutan dari analisis domain. Pada tahap analisis taksonomi, peneliti berupaya memahami domain-domain tertentu sesuai fokus masalah yang yang diteliti. Masing- masing domain mulai dipahami secara mendalam, dan membaginya lagi menjadi subdomain, dan dari sub-domain itu dirinci menjadi bagian-bagian yang lebih khusus, demikian seterusnya hingga tidak ada lagi yang tersisa. Analisis taksonomi terhadap keseluruhan data yang terkumpul berdasarkan domain yang telah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 15 ditetapkan, hasilnya dapat disajikan dalam bentuk diagram kotak, diagram garis dan titik, atau diagram garis besar. Pada penelitian ini, penulis menggunakan taksonomi diagram hierarki bercabang tipe titik dan garis. Berikut ini jenis-jenis diagram taksonomi yang dikemukakan oleh Spradley.

1. DIAGRAM KOTAK Istilah Pencakupan A B C D 1 2 3 1 2 3 A b

2. GARIS DAN TITIK

Istilah Pencakupan

A B C D

1 2 3 1 2 3

a b

3. GARIS BESAR

Istilah Pencakupan A. 1. a. 2. b. 3. B. C. D. 1. 2. 3.

3.

Gambar 2.2 Tipe-tipe Diagram Taksonomi (Sumber: Spradley, 2007)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 16

2.1.4 Komponen Makna

Analisis komponen makna bertujuan mencari ciri spesifik pada setiap struktur internal dengan cara mengontraskan antar elemen. Menurut Chaer (2009), komponen makna adalah setiap kata atau unsur leksikal yang terdiri dari satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata atau makna unsur leksikal tersebut. Oleh karena itu, untuk mengidentifikasi komponen makna dalam sebuah medan leksikal, diperlukan analisis komponen.

Analisis komponen digunakan untuk menata dan menghubungkan data berdasarkan domain, kategori bentuk, kategori fungsi, atau kategori lainnya.

Spradley (2007), menjelaskan bahwa analisis komponen merupakan suatu pencarian sistematik berbagai atribut (komponen makna) yang berhubungan dengan simbol- simbol budaya. Analisis komponen yaitu analisis yang mencari ciri spesifik pada setiap struktur internal dengan cara mengkontraskan antara elemen. Analisis dilakukan sebagai observasi dan wawancara terseleksi dengan mengajukan pertanyaan kontras.

Kempson (1995), mengemukakan bahwa leksem-leksem dalam analisis komponen dianggap tidak mempunyai makna keutuhan, tetapi merupakan kumpulan komponen-komponen arti. Kempson memberi contoh dengan leksem spinster

‘perawan tua’ yang dianalisis sebagai kumpulan semantik yang dibentuk oleh fitur- fitur atau komponen makna female, never married, adult, human. Arti leksikal sebuah leksem dapat diurai melalui ciri-ciri/ komponen-komponen arti yang membangunnya. Sejalan dengan apa yang dikemukakan Sugiyono (2012), bahwa pada analisis komponen, yang dicari untuk diorganisasikan dalam domain bukanlah keserupaan dalam domain, tetapi justru yang memiliki perbedaan atau yang kontras.

Ginanjar, Subroto, Sumarlam (2013), menjelaskan bahwa notasi semantis (+)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 17 menandai kehadiran komponen; (-) menandai ketidakhadiran komponen. Misalnya kata menjinjing dan menggendong dapat dibedakan berdasarkan ciri makna atau komponen makna. Persamaan dan perbedaan ciri-ciri semantik menjinjing dan menggendong dapat dilihat pada tabel 2.3 Dapat diketahui bahwa menjinjing meggunakan tangan, sedangkan menggendong dilakukan dengan menggunakan bahu, tangan dan pinggang. Dengan menggunakan komponen makna penutur dapat memilih penggunaan kata atau diksi yang tepat dalam berkomunikasi.

Tabel 2.3 Komponen Verba Membawa dalam Bahasa Indonesia

Komponen Menjinjing Menggendong Makna Bahu - + Tangan + + Pinggang - + Kepala - - Keterangan: tanda + berarti mempunyai komponen makna tanda - berarti tidak mempunyai komponen makna

Setelah ditemukan kesamaan ciri atau kesamaan pola dari analisis taksonomi, selanjutnya peneliti melakukan pengamatan yang lebih dalam untuk mengungkapkan gambaran atau pola-pola tertentu dalam data. Peneliti melanjutkan pembuatan pedoman wawancara dengan mengajukan pertanyaan kontras yang mampu mengkonfirmasi temuan peneliti dalam analisis komponen.

2.1.5 Kearifan Lokal

Kearifan Lokal adalah hasil terjemahan dari local genius yang berarti kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebuadayaan bertemu (Rosidi, 2011). Menurut Sibarani (2015), kearifan lokal adalah kebijaksaaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradsi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat.

Jenis-jenis kearifan lokal diantaranya adalah kesejahteraan, kerja keras, disiplin,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 18 pendidikan, kesehatan, gotong royong, pengelolaan gender, pelestarian dan kreativitas budaya, peduli lingkungan, kedamaian, kesopansantunan, kejujuran, kesetiakawanan sosial, kerukunan dan penyelesaian konflik, komitmen, pikiran positif, dan rasa syukur. Leluhur kita memanfaatkan kearifan lokal untuk mengatur berbagai tatanan kehidupan secara arif, meskipun mereka tidak memiliki pendidikan formal. Hal ini membuktikan bahwa kearifan lokal mampu mengatur tatanan kehidupan masyarakatnya.

Lebih lanjut Sibarani (2015), menjelaskan bahwa dalam kajian kearifan lokal sebaiknya dipertimbangkan teori lapisan, yang sering dianalogikan dengan teori

‘bawang merah”. Lapisan luar (outer layer) adalah suatu tradisi budaya atau tradisi lisan memperlihatkan makna dan fungsi tradisi yang dapat diamati, ditonton, didengar atau dinikmati secara empiris, tetapi lapisan tengah (middle layer) suatu tradisi budaya atau tradisi lisan akan memperlihatkan nilai dan norma tradisi tersebut, sedangkan lapisan inti (the core layer) akan memperlihatkan kearifan lokal yang menjadi keyakinan, kepercayaan, dan asumsi dasar yang dapat menyelesaikan persoalan hidup yang dihadapi manusia dalam komunitasnya. Dengan pembedaan ketiga lapisan tersebut, dapat diketahui makna-fungsi, nilai-norma, dan kearifan lokal seperti terlihat pada diagram berikut ini.

Gambar 2.3 Lapisan Pemaknaan (Sumber: Sibarani 2015)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 19

Sibarani (2004) mengklasifikasi jenis kearifan lokal menjadi dua bagian yaitu kearifan lokal yang bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan dan kearifan lokal yang bermanfaat untuk menciptakan kedamaian, seperti terlihat pada bagan berikut ini.

KEARIFAN LOKAL

Kedamaian Kesejahteraan

1. Kesopansantunan 1. Kerja Keras 2. Kejujuran 2. Disiplin 3. Kesetiakaanan sosial 3. Pendidikan 4. Kerukunan dan 4. Kesehatan Penyelesaian Konflik 5. Gotong Royong 5. Komitmen 6. Pengelolaan Gender 6. Pikiran Positif 7. Pelestarian dan

7.Rasa Syukur Kreativitas Budaya 8. Peduli Linkungan

Gambar 2.4 Jenis Kearifan Lokal. (Sumber: Sibarani 2014) 2.2 Landasan Teori

2.2.1 Pendekatan Antropolinguistik

Pendekatan Antropolinguistik dikemukakan oleh Duranti (2000), yang menjelaskan bahwa antropolinguistik menggunakan tiga pendekatan utama yaitu performansi, indeksikalitas, partisipasi, yang terbukti efektif dalam mengkaji hubungan struktur teks, koteks dan konteks (budaya, ideologi, sosial, dan situasi) suatu tradisi lisan yang dilatarbelakangi unsur-unsur budaya dan aspek kehidupan manusia yang berbeda-beda. Antropolinguistik membedakan proses berbahasa dari bahasa sebagai bagian dari kajian seluk-beluk kehidupan manusia. Dalam kajian antropolinguistik, proses berbahasa sebagai hakikat bahasa yang berwujud kelisanan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 20 dan bahasa itu sendiri sebagai alat berbahasa keduanya menjadi objek kajiannya.

Duranti menjelaskan pula, bahwa antropolinguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa sebagai sumber budaya dan yang mempelajari berbahasa atau berbicara sebagai praktik budaya.

Sibarani (2014), menegaskan bahwa antropologi linguistik merupakan bidang ilmu interdisipliner yang mempelajari hubungan bahasa dengan seluk-beluk kehidupan manusia termasuk kebudayaannya. Sebagai bidang interdisipliner, ada tiga bidang kajian antropologi linguistik, yakni studi mengenai bahasa, studi mengenai budaya, dan studi mengenai aspek lain kehidupan manusia, ketiga bidang itu dipelajari dari kerangka kerja linguistik dan antropologi. Kerangka kerja linguistik didasarkan pada kajian bahasa dan kerangka kerja antropologi didasarkan pada kajian seluk-beluk kehidupan manusia. Dengan demikian, antropolinguistik adalah 1) Studi bahasa dalam kerangka kerja antropologi, 2) Studi kebudayaan dalam kerangka kerja linguistik, dan 3) Studi aspek kehidupan manusia dalam kerangka kerja bersama antropologi dan linguistik. Antropolinguistik juga berupaya menggali nilai, norma, dan kearifan lokal atau isi tradisi lisan serta berupaya merumuskan model penghidupan kembali, pengelolaan, dan proses pewarisan serta pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan (pelestarian) tradisi lisan. Selanjutnya Sibarani

(2014) menjelaskan, antropolinguistik tidak hanya mengkaji bahasa, melainkan juga budaya dan aspek-aspek lain kehidupan manusia. Namun, ketika mengkaji budaya dan aspek-aspek kehidupan manusia, antropolinguistik mempelajarinya dari bahasa atau teks lingual.

Sibarani (2015) menambahkan bahwa parameter analisis antropolinguistik terdiri atas keterhubungan (interconnections), kebernilaian (cultural value), keberlanjutan (continuity). Keterhubungan merupakan parameter menentukan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 21

“gramatika” teks, konteks, dan koteks secara internal dan eksternal. Kebernilaian memperlihatkan makna atau fungsi, nilai atau norma, dan kearifan lokal objek antropolinguistik, yaitu bahasa dan berbahasa. Keberlanjutan memperlihatkan keadaan objek yang diteliti, termasuk nilai budaya kearifan lokal dan pewarisannya pada generasi muda merupakan kajian penting dalam antropolinguistik. Berikut ini bagan yang memperlihatkan model antropolinguistik.

Gambar 2.5 Model Antropolinguistik (Sumber: Sibarani 2015)

2.2.1.1 Performansi, Indeksikalitas, Partisipasi

Performansi merupakan penggunaan bahasa secara nyata dalam situasi komunikasi yang merupakan cerminan dari sistem bahasa yang ada pada pikiran penutur. Istilah performansi artinya tampilan, kapan sesuatu itu ditampilkan atau dipertunjukkan. Makanan yang disajikan khusus pada upacara adat Batak Toba adalah suatu performansi yang selalu hadir sebagai wujud doa, harapan dan permohonan pada setiap upacara adat Batak Toba.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 22

Menurut Hymes (1975), performansi merupakan ranah aksi sosial, yang mengemuka dari interaksi dengan penutur lain. Oleh karena itu, tidak dapat dibatasi dengan penggunaan pengetahuan linguistik yang dikendalikan oleh seorang individu.

Lebih lanjut Duranti (2000), menjelaskan bahwa melalui konsep performansi, bahasa dipahami dalam proses kegiatan, tindakan, dan pertunjukan komunikatif, yang membutuhkan kreativitas. Bahasa sebagai unsur lingual yang menyimpan sumber- sumber kultural tidak dapat dipahami secara terpisah dari pertunjukan atau kegiatan berbahasa tersebut.

Komponen-komponen dalam performansi menurut Finnegan (1992), mencakup komponen utama dan komponen lainnya. Komponen utama mencakup pelaku (pemain), penonton (khalayak) dan peserta, sedangkan komponen lainnya mencakup 1) situasi dan organisasi pertunjukan, 2) organisasi internal, 3) media pertunjukan, dan 4) keterampilan pertunjukan dan konvensi.

Performansi pemberian makanan tradisional pada adat Batak Toba, selalu diiringi dengan pasahat hata ‘penyampaian harapan dan doa melalui kalimat dan diakhiri dengan umpasa ‘pantun’ kepada orang yang diupacarai. Hal yang diharapkan dari pemberian makanan adalah agar yang menerima makanan mendapatkan kebaikan. Salah satu contoh umpasa pada saat memberikan makanan kepada pasangan pengantin:

1. Giring-giring ma tu gosta-gosta, tu boras ni sikkoru, Sai tibu ma hamu

mangiring-iring, huhut mangompa-ompa anak dohot boru. ‘Semoga cepat

memiliki dan menimang anak laki-laki dan perempuan.”

2. Bintang na rumiris, ombon na sumorop. Anak pe riris, boru pe antong torop

‘Memiliki anak yang banyaknya seperti bintang di langit dan anak memiliki anak

perempuan yang banyaknya seperti embun.”

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 23

Konsep indeksikalitas ini berasal dari pemikiran filosof Amerika Charles

Sanders Pierce yang membedakan tanda atas tiga jenis yakni indeks, simbol, dan ikon. Indeks adalah tanda yang mengindikasikan bahwa ada hubungan alamiah dan eksistensial antara yang menandai dan yang ditandai. Indeks atau indeksikalitas diterapkan pada ekspresi linguistik seperti pronomina demonstratif, pronomina diri, adverbia waktu, dan adverbia tempat. Partisipasi memandang bahasa sebagai aktivitas sosial yang melibatkan pembicara dan pendengar sebagai pelaku sosial.

Dalam pendekatan etnografi, performansi dapat dipandang sebagai satu lahan lain di samping teks sebagai salah satu unit deskripsi dan analisis yang fundamental dalam mendukung kerangka kerja empiris bagi pemahaman terhadap sastra lisan.

Sebagai sebuah pendekatan, etnografi menaruh perhatian pada tingkah laku yang aktual pada saat penyajian lisan yang bersifat artistik dalam kehidupan masyarakat tertentu.

Partisipan pemberian makanan tradisional Batak Toba pada ritus kelahiran, pernikahan dan kematian adalah hula-hula ‘orangtua dan saudara laki-laki dari pihak istri’, tulang ‘paman’, boru atau pamoruon ‘orangtua dan pihak keluarga dari suami’ dan dongan tubu ‘teman semarga’.

2.3 Penelitian Relevan

Penelitian dengan objek kajian tradisi lisan dan kearifan lokal telah banyak dilakukan para peneliti. Hal ini sejalan dengan program pemerintah yang mencoba menghidupkan ekonomi kerakyatan melalui kearifan lokal. Kearifan lokal dapat ditemukan dalam makanan, tarian, obat-obatan, senandung, rumah adat, mata pencaharian dan hasil karya seni lainnya.

Penulis menemukan beberapa penelitian yang relevan berdasarkan substansi yang terdapat dalam rumusan masalah. Penelitian Eriksen (2013), menggunakan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 24 metode penelitian kualitatif untuk mengidentifikasi taksonomi makanan lokal berdasarkan tiga domain, yaitu kedekatan geografis, kedekatan relasional, dan kedekatan nilai-nilai. Dengan menjelaskan arti yang berbeda dari makanan lokal, dapat memperkaya kemampuan untuk memahami makanan secara menyeluruh.

Penelitian Eriksen tersebut memberikan kontribusi untuk menjawab rumusan masalah pertama yaitu ‘Bagaimana domain, taksonomi dan komponen makna makanan tradisional pada upacara adat Batak Toba?’. Yang membedakan penelitian

Eriksen dengan penelitian ini adalah, penelitian Eriksen tidak membahas performansi dan kearifan lokal.

Hasil penelitian Manurung (2015) tentang teks dalam tradisi napuran sirih pada masyarakat Batak Toba di Samosir berupa kalimat dalam bentuk umpasa dan dalam bentuk berbicara biasa. Struktur teks pada penelitian ini dianalisis berdasarkan pragmatik dan sintaksis. Hasil penelitian Manurung ditemukan empat kearifan lokal, yaitu: 1) kearifan gotong royong-royong, 2) kearifan rasa syukur, 3) kearifan kerukunan, 4) kearifan kesopanan. Metode Penelitian yang digunakan Manurung, dalam menemukan kearifan lokal pada napuran ‘sirih’, memberikan kontribusi untuk menjawab rumusan masalah ketiga yaitu ‘Bagaimana kearifan lokal makanan tradisional Batak Toba?’.

Ginanjar et al (2013), menunjukkan adanya komponen makna yang membangun medan leksikal sekaligus yang membangun struktur makna setiap leksem sehingga diketahui perbedaan arti leksikal tiap-tiap leksem. Sekalipun objek penelitian Ginanjar et al, berbeda dengan penelitian ini, namun sangat berkontribusi untuk menganalisis komponen makna dalam rumusan masalah yang pertama. Yang membedakan penelitian Ginanjar et al dengan penelitian ini terletak pada objek

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 25 kajiannya, dan juga pada pembahasan performansi, domain, taksonomi dan sistem penamaan makanan dan kearifan lokal.

Penelitian mengenai makanan berikutnya dilakukan oleh Stajcic (2013).

Masalah penelitian Stajcic adalah bagaimana memahami makanan sebagai sarana berkomunikasi. Melalui komunikasi, dapat diketahui bagaimana proses pembuatan makanan, bahan apa yang ada di dalamnya, apa tujuan pembuatan makanan.

Jawabannya diperoleh melalui pemahaman budaya, kebiasaan, ritual dan tradisi.

Hasil penelitian Stajcic (2013), menemukan bahwa makanan dapat menunjukkan identitas. Di sisi lain, makanan juga dapat menunjukkan status ekonomi, sosial, budaya, peristiwa dan harapan. Stajcic menggunakan teori komunikasi untuk menjelaskan hubungan makanan dengan makna, sedangkan peneliti menggunakan pendekatan antropolinguistik. Penelitian Stajcic memberikan kontribusi dalam pembahasan performansi makanan, namun Stajcic tidak membahas domain, taksonomi, komponen makna dan kearifan lokal.

Murni dan Sri Minda (2012), dalam artikelnya mengkaji realisasi perilaku normatif dan perilaku santun dalam meminta informasi dan mengungkapkan ketidaksetujuan. Dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dan teknik observasi partisipatori, Murni et al, menemukan bahwa kesantunan linguistik pada rapat dewan dapat diidentifikasi dari taksonomi struktur kesantunan linguistik.

Penelitian Murni et al, berkontribusi dalam hal penyusunan taksonomi.

Fitrisia (2018), dalam karya ilmiahnya menyampaikan bahwa makanan dan bahasa adalah bagian dari kegiatan sosial dalam suatu kelompok keyakinan. Fitrisia menggunakan teori linguistik kuliner yang merupakan studi tentang makanan dalam perspektif bahasa, untuk menemukan kearifan lokal dari budaya makanan tradisional suatu kelompok masyarakat. Adapun kontribusi penelitian Fitrisia

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 26 menjawab rumusan masalah ke tiga “Bagaimanakah kearifan lokal makanan tradisional Batak Toba”. Kesamaan penelitian Fitrisia dengan penelitian ini adalah menjadikan makanan sebagai objek kajian, namun Fitrisia tidak membicarakan domain, taksonomi dan komponen.

Raji, Shahrim Ab Karim, Farah Adibah Che Ishak, dkk (2017) melakukan penelitian makanan tradisional dengan cara meneliti makanan sebagai warisan dan budaya di Malaysia. Dalam penelitian yang menggunakan metode deskriptif kualitatif, Raji et al menjelaskan praktek budaya Melayu dulu dan sekarang, karakteristik makanan Melayu dan etika makan diantara komunitas orang Melayu.

Secara tradisional, makan malam diletakkan di atas tikar pandan. Sepotong kain diletakkan di atas tikar dan kemudian makanan disajikan. Mempertahankan makanan

Melayu sangat penting untuk menanamkan pengetahuan pada generasi yang akan datang. Penelitian Raji et al ini, memberikan kontribusi, khususnya dalam hal menguraikan jenis-jenis makanan tradisional dan pemberian makanan kepada orang- oran tertentu.

Sibarani (2013) dalam karya ilmiahnya menuliskan bahwa wujud tradisi lisan atau tradisi budaya itu dapat berupa 1) tradisi berkesusastraan lisan seperti tradisi menggunakan bahasa rakyat, tradisi, penyebutan ungkapan tradisional, tradisi pertanyaan tradisional atau berteka-teki, berpuisi rakyat, bercerita rakyat, melantunkan nyanyian rakyat, dan menabalkan gelar kebangsawanan; 2) tradisi pertunjukan dan permainan rakyat seperti kepercayaan rakyat, teater rakyat, permainan rakyat, tari rakyat, adat-istiadat, upacara atau ritual, dan pesta rakyat; 3) tradisi upacara adat dan ritual seperti upacara yang berkenaan dengan siklus kehidupan (kelahiran, pernikahan, dan kematian) dan upacara yang berkenaan dengan siklus mata pencaharian (menanam, merawat, dan memanen); 4) tradisi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 27 teknologi tradisional seperti arsitektur rakyat, ukiran rakyat, pembuatan pupuk tradisional, kerajinan tangan rakyat, keterampilan jahit pakaian, keterampilan perhiasan adat, pengolahan makanan dan minuman rakyat, dan peramuan obat- obatan tradisional; 5) tradisi pelambangan atau simbolisme seperti tradisi gerak isyarat tradisional, bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat; dan 6) tradisi musik rakyat seperti tradisi pertunjukan permainan gendang, seruling, dan alat-alat musik lainnya.

Kontribusi penelitian Sibarani terhadap penelitian ini adalah untuk menjawab rumusan masalah ke tiga ‘Bagaimana kearifan lokal makanan tradisional Batak

Toba?’. Pada penelitian Sibarani, ditemukan wujud tradisi lisan atau tradisi budaya yang sarat akan kearifan lokal dalam masyarakat Batak Toba. Dengan mempertimbangkan beberapa penelitian di atas, penulis sangat tertarik melakukan penelitian untuk menemukan kearifan lokal yang terdapat pada pemberian makanan tradisional pada upacara adat kelahiran, pernikahan dan kematian.

2.4 Kerangka Pikir

Kerangka berpikir adalah landasan untuk mengadakan penelitian lebih lanjut, hal ini diperlukan untuk memberikan gambaran mengenai alur pemikiran yang digunakan dalam proses penelitian. Objek pada penelitian ini adalah makanan tradisional Batak Toba pada upacara adat kelahiran, pernikahan dan kematian. Data diperoleh dengan cara membaca dokumen, melakukan observasi dan mewawancarai informan yang memahami proses pembuatan dan fungsi makanan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Selanjutnya makanan dikelompokkan dalam dua bagian yaitu, makanan sehari-hari dan makanan adat, khususnya adat kelahiran, pernikahan dan kematian.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 28

Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan metode etnografi model Spradley untuk menganalisis domain, taksonomi dan komponen makna.

Pendekatan antropolinguistik untuk menemukan performansi, sedangkan untuk menganalisis kearifan lokal MTBT penulis menggunakan teori lapisan makna.

Skema kerangka pikir pada penelitian MTBT lebih jelas terlihat pada gambar berikut: Makanan Tradisional Batak Toba (MTBT)

Antropolinguistik

Domain Performansi Taksonomi Pemberian Makanan

Komponen Semantik Tradisioal Pola Penamaan Makanan indeksikalitas partisipan

Kearifan Lokal MTBT Gambar 2.6 Kerangka Pikir

Melalui kerangka pikir di atas, terlihat bahwa objek pada penelitian ini adalah makanan tradisional Batak Toba. Selanjutnya dengan menggunakan pendekatan antropolinguistik Duranti (2000), dengan tiga pendekatan utama yaitu 1) performansi, 2) indeksikalitas, 3) partisipan, digunakan untuk mengkaji hubungan struktur teks, koteks dan konteks (budaya, ideologi, sosial, dan situasi).

Analisis domain, taksonomi, komponen makna adalah bagian dari indeksikalitas.

Melalui konsep performansi, bahasa dapat dipahami dalam proses kegiatan, tindakan, dan pertunjukan komunikatif, yang membutuhkan kreativitas. Performansi pemberian makanan tradisional melibatkan partisipan. Melalui analisis ini, diharapkan dapat ditemukan kearifan lokal makanan tradisional pada upacara adat Batak Toba.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 29

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Penelitian Kualitatif

Jenis Penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif model etnografi dengan pendekatan antropolinguistik. Yusuf (2017) menjelaskan, bahwa pendekatan kualitatif pada prinsipnya ingin memerikan, menerangkan, mendeskripsikan secara kritis, atau menggambarkan suatu fenomena atau peristiwa interaksi sosial dalam masyarakat untuk mencari dan menemukan makna dalam konteks yang sesungguhnya. Oleh karena itu, semua jenis penelitian kualitatif bersifat deskriptif, dengan mengumpulkan data lunak (soft data), bukan hard data yang akan dioleh dengan statistik. Lebih lanjut Sugiyono (2013) mengemukakan bahwa penelitian kualitatif digunakan untuk meneliti kondisi obyek yang alamiah. Peneliti adalah sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowbaal.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta domain, taksonomi, komponen makna, sistem penamaan makanan, performansi dan kearifan lokal pada objek makanan tradisional dan pemberian makanan tradisional pada upacara adat Batak Toba.

3.2 Lokasi Penelitian

Salah satu tahapan penting dalam penelitian adalah menentukan lokasi penelitian dan melibatkan orang-orang yang memahami proses pelaksanaan adat, misalnya tokoh adat. Mahsun (2011) menjelaskan penelitian yang dilakukan harus mencakup bahan atau materi penelitian, alat, jalan penelitian, variabel, dan data yang hendak disediakan dan analisis data. Bahan atau materi penelitian dapat berupa

29

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 30 uraian tentang populasi dan sampel penelitian, serta informan. Sampel penelitian dapat berupa lokasi atau daerah pemakaian bahasa tertentu.

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Samosir, desa Simarmata dan

Medan, khususnya wilayah Medan Perjuangan dan Mandala. Pemilihan tempat ini disebabkan masyarakat di desa Simarmata masih sangat kuat menjalankan tradisi leluhur Batak Toba. Pemilihan Medan Perjuangan dan Mandala sebagai daerah penelitian, karena masyarakat suku Batak Toba di daerah ini, yang merupakan pendatang atau anak rantau, tetapi masih tetap menjalankan tradisi pemberian makanan pada upacara adat kelahiran, pernikahan dan kematian.

Pada penelitian kulitatif deskriptif, jumlah sampel minimum adalah 100

(Frankel dan Wallen, 1993). Oleh sebab itu, peneliti telah menetapkan 100 orang responden generasi muda Batak Toba yang merantau maupun penduduk asli Medan sebagai sampel untuk mendapatkan data apakah generasi muda Batak Toba masih mengenal makanan tradisional Batak Toba. Apakah generasi muda Batak Toba mengetahui nilai-nilai kearifan lokal dalam pemberian makanan. Diperoleh data sebagai berikut, dari 100 responden, ada 42 responden (42%) tidak tahu atau tidak ingat nama makanan yang diberikan pada upacara adat Batak Toba, dan 58 responden (58%) tahu dan masih mengingat nama makanan Batak Toba.

3.3 Data dan Sumber Data

Data yang diteliti adalah makanan tradisional Batak Toba yang disajikan dalam upacara adat Batak Toba dan bagaimana performansi pemberian makanan tradisional tersebut pada domain kelahiran, pernikahan dan kematian. Peneliti mendata jenis pemberian makanan adat dan jenis makanan tradisional apa saja yang disajikan dalam upacara kelahiran, pernikahan dan kematian.

30

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 31

Data yang telah dikumpulkan, selanjutnya dikelompokkan berdasarkan kegunaan, cara pengolahan, dan bahan baku. Sumber data primer diperoleh dari informan yang memahami adat Batak Toba, dibuktikan yang bersangkutan sering terlibat dalam upacara adat Batak Toba. Peneliti pun melakukan observasi dan melibatkan diri pada upacara adat kelahiran, pernikahan dan kematian sehingga data yang diperlukan untuk memahami bagaimana proses persiapan sampai dengan proses pemberian makanan pada hula-hula dan boru dapat dikumpulkan untuk dianalisis. Sumber data sekunder berupa dokumen, gambar, dan buku.

3.4 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif model etnografi.

Spradley (2007) menjelaskan, ada dua belas langkah penelitian etnografi, yaitu:

1. Menetapkan informan 2. Mewawancarai informan 3. Membuat catatan etnografi 4. Mengajukan pertanyaan deskriptif 5. Melakukan analisis wawancara 6. Membuat analisis domain 7. Mengajukan pertanyaan struktural 8. Membuat analisis taksonomik 9. Mengajukan pertanyaan kontras 10. Membuat analisis komponen 11. Menemukan tema budaya 12. Menulis sebuah etnografi.

Metode observasi berpartisipasi Spradley (2007) ada 12 langkah alur maju bertahap, yaitu:

1. Menentukan lokasi pengamatan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 32

2. Melakukan pengamatan-partisipatif

3. Membuat rekaman etnografis

4. Melakukan pengamatan deskriptif

5. Melakukan analisis domain

6. Melakukan pengamatan terfokus

7. Melakukan analisis taksonomi

8. Melakukan pengamatan selektif

9. Melakukan analisis komponensial

10. Melakukan analisis tema

11. Menemukan nilai budaya

12. Menulis etnografi

Kedua belas langkah penelitian model Spradley yang menggunakan teknik wawancara dan observasi berpartisipasi menunjukkan bahwa semua langkah-langkah dalam penelitian merupakan sebuah konstruksi yang didalamnya juga ada tahapan pengumpulan data dan analisis data.

3.4.1 Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini berpedoman pada model etnografi yang dikemukakan Spradley, yaitu dengan menggunakan teknik wawancara dan observasi. Wawancara yang dilakukan sesuai dengan langkah

1,2,3,4,7 dan 9 dengan perincian sebagai berikut:

1. Menetapkan informan (langkah pertama)

Ada lima syarat minimal untuk memilih informan, yaitu: 1) enkulturasi penuh,

artinya mengetahui budaya miliknya dengan baik, 2) keterlibatan langsung, 3)

dia tidak basa-basi, 4) memiliki waktu yang cukup, 5) non analitis. Dalam

penelitian ini, penulis menetapkan tujuh orang informan yang memahami budaya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 33

Batak Toba dan terlibat langsung dalam setiap upacara adat Batak Toba.

Informan berusia diantara 45 s.d. 75 tahun, sehat jasmani dan rohani.

2. Mewawancarai informan (langkah kedua)

Ada tiga unsur wawancara yang penting yaitu, tujuan eksplisit, penjelasan dan

pertanyaan yang bersifat etnofrafis. Penulis mewawancarai informan mengenai

apa saja makanan Batak Toba, siapa yang memberikan dan siapa yang menerima

makanan tersebut dalam upacara adat Batak Toba. Apa saja yang disampaikan

saat memberikan dan menerima makanan. Penulis juga menanyakan apa maksud

dan tujuan pemberian makanan. Apa yang melatarbelakangi pemilihan makanan

tersebut dalam budaya Batak Toba.

3. Membuat catatan etnografi (langkah ke tiga)

Penulis mencatat semua informasi yang disampaikan informan selama

wawancara dan observasi. Mengingat keterbatasan daya ingat, penulis pun

menggunakan alat perekam untuk menghindari hilangnya informasi.

4. Mengajukan pertanyaan deskriptif (langkah ke empat)

Prinsip kunci dalam mengajukan pertanyaan deskriptif adalah memperluas

pertanyaan, cenderung memperluas jawaban. Contoh pertanyaan deskriptif yang

diajukan adalah: 1) bagaimanakan proses pemberian makanan tradisional pada

upacara kelahiran? 2) bagaimana sikap hula-hula saat memberi makanan? 3)

bagaimana sikap pamoruan saat menerima makanan?

5. Mengajukan pertanyaan struktural (langkah ke tujuh)

Contoh pertanyaan struktural kepada informan: 1) Apa saja yang perlu

dipersiapkan pihak-pihak yang memberi makanan? 2) Apa saja proses

pernikahan yang harus dilalui dalam upacara adat Batak Toba? 3) Apa saja yang

terdapat dalam tudu-tudu sipanganon?

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 34

6. Mengajukan pertanyaan kontras (langkah ke sembilan )

Pertanyaan kontras merupakan alat untuk menemukan berbagai perbedaaan, baik

yang tersembunyi maupun yang eksplisit. Pertanyaan ini membantu peneliti

dalam membuat analisis komponensial. Contoh pertanyaan kontras yang

diajukan kepada informan: 1) hal apa saja yang membedakan antara mamboan

aek ni unte dengan mangharoan? 2) Apa yang membedakan ikan mas dengan

ikan ihan?

Selain wawancara, untuk mendapatkan data yang lebih akurat, digunakan teknik observasi. Dalam penelitian etnografi ada tiga tahapan observasi, yaitu observasi deskriptif, observasi terfokus, observasi terseleksi (Spradley, 2007).

Penjelasan tahapan observasi terlihat pada bagan berikut ini:

Observasi Observasi Terfokus Observasi Seleksi Deskriptif Menentukan fokus: Mengurai fokus: Memasuki situasi memilih diantara yang menjadi komponen sosial: di tempat, telah dideskripsikan yang lebih rinci aktor, aktivitas

Pada tahap observasi deskriptif, penulis mengamati dan ikut terlibat dalam upacara kelahiran, pernikahan dan kematian. Selanjutnya pada observasi terfokus, penulis memilih data yang diperoleh sesuai dengan kebutuhan penelitian, yaitu performansi pemberian makanan pada upacara adat kelahiran, pernikahan dan kematian. Bagian akhir observasi adalah observasi seleksi yaitu menguraikan secara detail hasil observasi yang telah direduksi.

3.4.2 Analisis Data

Analisis data adalah proses mengolah, memisahkan, mengelompokkan dan memadukan sejumlah data yang dikumpulkan baik di lapangan maupun dari dokumen. Untuk menganalisis data peneliti merujuk pada analisis maju bertahap

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 35 yang dikemukakan oleh Spradley (2007). Analisis maju bertahap yang diajukan oleh

Spradley terdiri dari analisis domain, analisis taksonomi, dan analisis komponen.

1. Analisis domain

Analisis domain adalah tahap lanjutan setelah dilakukan pengamatan dan

wawancara dengan mengajukan pertanyaan deskriptif kepada informan. Langkah

analisis domain berpedoman pada empat poin pendapat Spradley (2007), 1)

memilih hubungan semantik tertentu atas dasar informasi atau fakta yang tersedia

dalam catatan harian di lapangan, 2) menyiapkan kerja analisis domain, 3)

memilih kesamaan-kesamaan data dari catatan harian peneliti di lapangan, 4)

mencari konsep-konsep induk dan kategori-kategori simbolis dari domain

tertentu yang sesuai dengan sesuatu pola hubungan semantik.

2. Analisis Taksonomi

Tujuan analisis taksonomi adalah untuk memperjelas istilah atau bagian perilaku

dalam domain khusus serta untuk menemukan bila dan bagaimanakah istilah/

bagian perilaku itu secara sistematis diorganisasikan atau dihubung-hubungkan.

Tahap ini dilakukan setelah peneliti melakukan pengamatan terfokus dan

wawancara terstruktur. Analisis taksonomi dilakukan untuk mendalami domain

yang telah ditentukan terkait dengan tema penelitian yaitu makanan tradisional

pada upacara adat kelahiran, pernikahan dan kematian pada masyarakat Batak

Toba. Menurut Spradley (2007), lima langkah penting dalam menyusun

taksonomi, adalah 1) Pilih sebuah domain analisis taksonomi, 2) Identifikasi

kerangka substitusi yang tepat untuk dianalisis, 3) Cari subset di antara beberapa

istilah tercakup, 4) Cari domain yang lebih besar, 5) Buat taksonomi sementara.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 36

3. Analisis komponen

Pada bagian analisis komponen, peneliti mengajukan pertanyaan kontras kepada

informan. Analisis komponen adalah pencarian secara sistematis terhadap atribut

atau komponen yang berhubungan dengan makanan tradisional Batak Toba,

yakni dengan mengontraskan antar elemen dalam domain yang diperoleh dari

hasil pengamatan dan wawancara yang telah dilakukan.

4. Menemukan tema budaya

Analisis tema budaya untuk mencari hubungan antara domain, dan bagaimana

hubungan dengan keseluruhan, dan selanjutnya dinyatakan ke dalam tema atau

judul penelitian “Performansi Pemberian Makanan Tradisional pada Upacara

Adat Batak Toba”.

5. Menulis sebuah etnografi.

Pada tahap ini, berdasarkan data yang diperloh di lapangan, informan dan buku

literatur lainnya, peneliti menguraikan analisis dan menarik kesimpulan dari

kebudayaan memberi makanan dalam pada upacara adat Batak Toba.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 37

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Paparan data

Pada bagian paparan data, peneliti memaparkan temuan data objek penelitian mengenai makanan tradisional pada upacara kelahiran, pernikahan dan kematian

Batak Toba. Lokasi penelitian di desa Simarmata, Kecamatan Simanindo, Kabupaten

Samosir dan di Medan wilayah kelurahan Medan Perjuangan, Mandala. Pemilihan lokasi penelitian desa Simarmata kabupaten Samosir disebabkan masyarakatnya masih kuat menjalankan ritus-ritus kelahiran, pernikahan dan kematian, sedangkan pemilihan daerah Medan untuk melihat apakah ada pergeseran pelaksanaan adat

Batak Toba di daerah asal dengan daerah perantuaan.

Desa Simarmata adalah salah satu desa yang terdapat di Kabupaten Samosir, dengan jumlah penduduk sekitar 1.200 jiwa. Secara Umum masyarakat Batak Toba yang tinggal di desa Simarmata memiliki mata pencaharian bertani dan lainnya adalah pedagang, nelayan, guru dan aparat sipil negara. Sampai pada tahun 90-an mata pencaharian utama adalah dari bercocok tanam bawang, namun saat ini, beralih ke jenis tanaman jagung, ubi, kopi, dan cengkeh. Hal ini disebabkan perubahan iklim dan wabah hama yang menyerang hampir semua tanaman bawang berakibat turunnya kualitas bawang asal Samosir dan bahkan saat ini sudah sangat sedikit penduduk yang menanam bawang.

Perubahan pada jenis tanaman, tidak berdampak pada perubahan tradisi. masyarakat Batak Toba di desa Simarmata, masih tetap mempertahankan tradisi kelahiran, pernikahan dan kematian. Jenis makanan yang disajikan pada ritus kelahiran, pernikahan dan kematian tidak jauh berbeda dari tradisi yang diturunkan nenek moyang. Perbedaan nampak pada jenis ikan yang disajikan. Kalau dahulu ikan

37

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 38 yang digunakan adalah ikan ihan batak atau ikan jurung-jurung, dengan nama ilmiah neolissochillus thienemanni sumatranus. Namun, saat ini ihan batak sering digantikan dengan ikan mas, yang disebabkan oleh karena menurunnya populasi ihan batak di daerah Toba. Kemiripan karakteristik antara ihan batak dan ikan mas menjadi alasan kuat pemilihanan ikan mas, cara memasaknya pun relatif sama, yaitu niarsik ‘digulai kering’ dan niura ‘dimasak dengan asam’. Tradisi yang berubah, adalah tradisi martutu aek ‘pemberian nama dengan membawa bayi ke pancuran’, digantikan dengan babtisan air yang dilaksanakan di gereja.

Pada pelaksanaan ritus kelahiran, pernikahan dan kematian berpedoman pada falsafah Batak Toba, dalihan na tolu ‘tiga batu penyangga tungku’ yaitu 1) Somba marhula-hula ‘hormat kepada pihak keluarga istri’, 2) Manat mardongan tubu ‘Hati- hati dengan teman semarga’, dan 3)Elek marboru ‘sayang kepada saudara perempuan’, dan tiga unsur utama ini harus hadir pada setiap penyelenggaraan upacara adat. Berikut adalah data berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu data domain, performansi dan kearifan lokal pada pemberian makanan pada upacara adat Batak Toba.

4.1.1 Data Domain Makanan

Pada bagian ini, diuraikan data makanan apa saja yang diberikan pada domain 1) kelahiran, 2) pernikahan dan 3) kematian.

4.1.1.1 Data Makanan pada Domain Kelahiran

Pada domain kelahiran terdapat lima subdomain yaitu 1) mambosuri, 2) maranggap, 3) mamboan aek ni unte, 4) martutu aek ‘pemberian nama dengan membawa anak ke air pancuran’ atau tardidi ‘permandikan’ yaitu pemberian nama secara Kristen, 5) mebat ‘membawa anak ke rumah opung bao ‘orangtua istri’. Dari

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 39 enam subdomain kelahiran, domain ke-4 yaitu martutu aek sudah tidak pernah lagi dilaksanakan. Tradisi martutu aek digantikan dengan baptis air yang dilaksanakan pendeta di gereja. Setelah acara babtis di gereja selesai, dilanjutkan dengan upacara adat yang dilaksanakan di rumah orangtua laki-laki. Jenis makanan yang diberikan pada domain kelahiran dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Makanan pada Domain Kelahiran Makanan Domain Tradisional Adat Juhut Tudu-tudu sipanganon Dengke simudur-udur, dengke na porngis, Dengke na niarsik dengke na ganjang, dengke na mokmok, dengke sahat. Ikan na nitombur* Jambar Kelahiran Dengke na niura * - bangun-bangun - Manuk na nipadar * - Bagot ni horbo* - Saksang namargota - - Sagu-sagu - Tuak tangkasan -

Makanan utama yang harus ada pada domain kelahiran adalah makanan tradisional juhut, dengke na niarsik, saksang dan bangun-bangun, sedangkan dengke na nitombur, dengke na niura, manuk na nipadar, bagot ni horbo, lampet, sagu-sagu dan bersifat opsional. Artinya disajikan ataupun tidak, tergantung pada permintaan ibu hamil dan kesepakatan dan kemampuan keluarga. Pada upacara adat, terjadi perubahan penyebutan nama makanan, seperti juhut menjadi na margoar atau tudu-tudu sipanganon dan na niarsik menjadi dengke simudur-udur, dengke na porngis, dengke na ganjang, dengke na mokmok, dengke sahat.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 40

Terdapat lima subdomain pada domain kelahiran yaitu:

1. Subdomain Mambosuri

Mambosuri ‘membuat kenyang’ sering juga disebut dengan mangirdak adalah ritus pemberian makanan oleh orangtua dari pihak istri kepada calon ibu yang usia kandungannya sudah memasuki bulan ke tujuh. Istilah lain dari mambosuri adalah mamboan ulos mula gabe atau ulos tondi. Selanjutnya orangtua dari pihak suami memberikan tudu-tudu sipangananon kepada hula-hula ‘pihak keluarga istri’.

Pada saat usia kandungan memasuki bulan ke tujuh, pamoruon ‘orangtua suami’ memberitahukan kabar baik ini kepada hula-hula ‘orangtua istri’. Kehamilan merupakan kabar baik yang ditunggu-tunggu oleh kedua belah pihak. Selanjutnya pihak hula-hula dan pamoruon bersepakat kapan dilaksanakan adat mambosuri.

Makanan yang diberikan ada tiga kelompok, yaitu 1) makanan yang diberikan kepada ibu yang mengandung, 2) makanan yang diberikan hula-hula kepada pamoruon ‘orangtua suami’ dan 3) makanan yang diberikan oleh pamoruon kepada hula-hula.

Tabel 4.2 Makanan pada Subdomain Mambosuri ‘Membuat Kenyang’ Diberikan Hula-Hula Diberikan Pamoruon (Pihak Keluarga Istri) (Pihak Keluarga Suami) Dengke simudur-udur Tudu-tudu sipanganon/ Na margoar Dengke na niura * Ringgit ‘uang’ Manuk na nipadar * Lampet Ikan na nitombur * Tuak tangkasan Sagu-sagu * - * = dibuat, bila ada permintaan khusus dari yang ibu yang mengandung.

Pihak pamoruon ‘keluarga suami’ terlebih dahulu memberikan tudu-tudu sipanganon dan juga ringgit ‘uang’ kepada hula-hula ‘pihak keluarga istri’.

Selanjutnya hula-hula memberikan dengke simudur-udur. Makanan adat pada subdomain mambosuri adalah dengke simudur-udur dan tudu-tudu sipanganon.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 41

Sedangkan dengke na niura, manuk na nipadar, ikan na nitombur, lampet dan tuak tangkasa adalah kelompok makanan tradisional.

2. Subdomain Maranggap ‘menjaga atau menjagai’

Maranggap berasal dari kata anggap ‘menjaga atau menjagai’. Istilah lain dari maranggap adalah mandungoi ‘membangunkan’ atau melek-melekan ‘tidak tidur’ dilaksanakan pada malam pertama kelahiran sampai dengan hari ke tujuh.

Maranggap dilakukan karena masyarakat Batak Toba meyakini, bahwa bila rumah orang yang baru melahirkan dalam kondisi sepi, makhluk astral akan datang mengganggu ibu ataupun bayi yang baru dilahirkan. Saat ini pelaksanaan maranggap tidak lagi atas dasar kemungkinan gangguan makhluk astral, tetapi pada kondisi fisik si ibu yang masih lemah, yang berkemungkinan tertidur dan lupa memberikan ASI kepada bayinya. Itulah sebabnya, tuan rumah sangat mengharapkan para tetangga, kaum kerabat datang untuk ikut menjagai ibu dan bayi yang baru dilahirkan.

Kaum ibu yang maranggap biasanya kembali ke rumahnya sekitar pukul

22.00, sedangkan kaum bapak tetap maranggap sampai pagi hari. Kegiatan yang dilakukan kaum Bapak adalah bercerita atau bermain joker. Makanan yang disuguhkan untuk melawan rasa kantuk adalah lampet dan tuak yang bermanfaat untuk menghangatkan tubuh. Tradisi maranggap masih berlangsung di desa

Simarmata, namun di Medan sudah jarang ditemukan.

Tabel 4.3 Makanan Tradisional pada Subdomain Maranggap ‘menjaga’ Makanan Maranggap Makanan Tutup Anggap Tuak Tuak Tambul ‘daging pendamping minum tuak’ Lampet jagal rambingan

Pada subdomain maranggap tidak ada makanan adat, makanan yang disajikan hanya makanan tradisional tambul, jagal, lampet dan tuak.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 42

3. Subdomain Mamboan Aek ni Unte ‘Membawa air asam jeruk’

Tradisi mamboan aek ni unte biasanya dilaksanakan dua minggu setelah kelahiran. Hasil wawancara dengan informan Opung Hardi dan Opung Nova di desa

Simarmata, diketahui bahwa upacara mamboan aek ni unte ‘membawa air asam’ disebut juga dengan mangharoani ‘menyambut kedatangan’. Hal yang mirip dengan maresek-esek ‘syukuran kelahiran’. Perbedaannya adalah mamboan aek ni unte, mangharoani melibatkan pihak dalihan na tolu, sedangkan, maresek-esek tidak perlu melibatkan unsur dalihan na tolu, sehingga tidak membutuhkan tudu-tudu sipanganon dan dengke. Karena pada prinsipnya maresek-esek adalah acara keluarga berupa ucapan syukur atas kelahiran anak, dengan cara mengundang tetangga untuk makan bersama. Jenis makanan yang disediakan pada maresek-esek sangat tergantung dengan kemampuan dan keikhlasan keluarga yang mengundang.

Pada ritus mamboan aek ni unte, hula-hula datang membawa dengke ‘ikan mas’ dan bangun-bangun na nidugu ‘sayur bangun-bangun yang dipulas’. Bangun- bangun atau na nidugu dalam bahasa Latin disebut dengan coleus amboinicus lour adalah jenis sayuran yang diyakini dapat memperlancar air susu ibu dan mempercepat proses penyembuhan luka akibat persalinan. Karena rasanya yang pahit dan getir, sayur bangun-bangun nidugu ‘dipulas’ sampai semua getahnya keluar. Selanjutnya bangun-bangun siap dimasak dengan santan, asam dan daging ayam kampung, sehingga rasanya menjadi gurih. Makanan tradisional lainnya yang diberikan kepada ibu yang baru melahirkan adalah haruting ‘ikan gabus’ dan sibahut

‘lele’ na nipolgang ‘dipanggang’. Tujuan pemberian makanan bergizi tinggi ini adalah agar kondisi fisik ibu cepat pulih, karena kualitas ASI yang baik berdampak pada kesehatan bayi yang dilahirkan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 43

Menyambut kehadiran hula-hula, tuan rumah manghara [ma’kara] mengundang saudara dekat dan juga dongan sahuta ‘teman sekampung’. Kepada undangan, disuguhkan bangun-bangun, saksang ‘daging cincang’, ikan mas, sop dan jambar ‘pembagian daging’ sesuai dengan statusnya dalam adat Batak Toba.

Kedatangan pihak hula-hula dipercaya akan membawa pasu-pasu ‘berkat’. Hula- hula memberikan dengke ‘ikan’ yang dimasak dengan cara niarsik, jenis makanan ini disebut dengan dengke na niarsik ‘ikan yang dimasak sampai airnya kering’.

Dengke yang diberikan dengan jumlah tiga ekor melambangkan sukacita bahwa telah bertambah satu orang anggota dalam keluarga tersebut. Sebagai balasan kepada hulu-hula, pamoruon ‘keluarga suami’ memberikan tudu-tudu sipanganon. Saat ini, khususnya di daerah Medan, ritus mamboan aek ni sudah diganti dengan upacara tardidi ‘babtis air’. Tujuan ritus mamboan aek ni unte adalah untuk berdoa menaikkan syukur atas kelahiran anak yang sehat dan juga ibu yang sehat.

Sedangkan tujuan babtis air adalah pernyataan anak tersebut sah menjadi warga gereja. Pada domain mamboan aek ni unte, makanan adat yang diberikan hula-hula adalah dengke simudur-udur sedangkan pamoruon memberikan tudu-tudu sipanganon. Makanan pada ritus mamboan aek ni unte terdapat pada tabel 4.4.

Tabel 4.4 Makanan Subdomain Mamboan aek ni unte ‘air asam’

No Diberikan Hula-Hula Diberikan Paranak Tradisional Adat Tradisional Adat 1 Bangun-bangun Dengke Juhut Tudu-tudu na nidugu simudur-udur Saksang na margota sipanganon 2 - - Lampet Jambar 3 - - Tuak tangkasan -

4. Subdomain Martutu Aek atau Tardidi ‘dipermandikan’

Upacara martutu aek ‘membawa bayi ke air pancuran atau sungai’ yang bertujuan untuk pemberian nama pada bayi yang baru lahir dan mendoakan bayi dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 44 ibunya agar sehat dan diberkati opung mula jadi na bolon ‘Tuhan Yang Maha Esa’ menurut keyakinan suku Batak Toba sebelum memeluk agama. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan Ibu Rinim Manik, di desa Simarmata, diketahui bahwa di daerah Samosir tidak pernah lagi ada upacara martutu aek, karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Saat ini, pemberian nama disebut tardidi ‘baptis’ yaitu ritus pemberian nama, yang dipimpin oleh pendeta dan dilaksanakan di gereja.

Ungkapan rasa syukur atas pembabtisan anak, keluarga mengundang unsur dalihan na tolu, dongan sahuta ‘tetangga’. Tujuannya adalah memberitahukan nama si anak dan sekaligus sebutan kepada orangtuanya ataupun ompung-nya. Bila anak yang lahir adalah anak pertama dan sekaligus cucu pertama, diberikan nama

‘Hotman’, maka nama orangtuanya menjadi ‘Apa Hotman’ (ayah), ‘Nai Hotman’

(ibu) dan Opung Hotman (nenek/ kakek). Kelahiran ini sekaligus menaikkan status sosial orangtua si anak di tengah kumpulan masyarakat Batak Toba. Oleh karena itu, bagi masyarakat Batak sangat penting memberitahukan nama tersebut kepada keluarga besar. Makanan adat pada subdomain tardidi ‘baptis’ terlihat pada tabel 4.5 berikut ini.

Tabel 4.5 Makanan Subdomain Martutu aek atau Tardidi ‘dipermandiankan’ Diberikan Hula-Hula Diberikan Paranak Tradisional Adat Tradisional Adat - Dengke Juhut Tudu-tudu simudur-udur Saksang na margota sipanganon - - Lampet Jambar - - Tuak tangkasan - - - Hare ‘bubur’ -

Pada upacara adat martutu aek atau tardidi, makanan adat yang diberikan pihak pamoruon kepada hula-hula adalah tudu-tudu sipanganon. Setelah pemberian tudu- tudu sipanganon, pihak hula-hula memberikan dengke simudur-udur atau disebut juga dengan dengke na porngis, dengke sahat, dengke tio.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 45

5. Subdomain Mebat

Mebat ’datang’ sering juga disebut dengan paebaton yang bermakna, anak akan dibawa ayah dan ibunya menjumpai ompung bao ‘nenek/kakek –orangtua istri’.

Tradisi mebat biasanya dilaksananakan oleh keluarga yang tinggal di perantuan, khususnya pada kelahiran pahompu panggoari ‘cucu pertama’. Tujuan paebaton adalah untuk memperkenalkan si anak kepada opung bao dan keluarga besar dari pihak istri.

Cita-cita hidup orang Batak Toba diantaranya adalah hagabeon ‘memiliki keturunan’, sehingga bagi masyarakat Batak Toba, kelahiran anak pertama atau anak sulung, akan mendapatkan perlakuan khusus. Hal ini disebabkan anak sulung merupakan mataniari na binsar ‘matahari pagi’ bagi keluarga besar. Tradisi membawa anak ke rumah opung bao untuk memperkenalkan anak yang baru lahir kepada keluarga besar disebut dengan mebat atau paebaton ‘memperkenalkan’. Bagi orang Batak Toba, kelahiran cucu, menaikkan status sosial menjadi ompung ‘kakek- nenek’.

Makanan yang diberikan untuk menghormati opung bao’ adalah tudu-tudu sipanganon. Hula-hula memberikan dengke simudur-udur dan ulos parompa ‘kain gendongan’ kepada pahompu ’cucu’ yang datang mangebati ompung-nya. Ompung bao mengundang dalihan na tolu dan tetangga menyambut kehadiran anak dan cucunya.

Tabel 4.6 Makanan pada Subdomain Mebat Diberikan Opung Bao Diberikan Anak Tradisional Adat Tradisional Adat - Dengke Juhut Tudu-tudu simudur-udur Saksang na margota sipanganon - - Lampet Jambar - - Tuak tangkasan -

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 46

Pada ritus mebat, anak yang mendatangi hula-hula atau orangtua dari pihak istri. Anak datang bersama rombongan dari kelompok keluarga suami dan

didampingi raja parhata ‘juru bicara’ pada saat pemberian makanan.

4.1.1.2 Data Makanan pada Domain Pernikahan

Domain pernikahan pada adat Batak Toba, terdiri dari sembilan subdomain yaitu: 1) mangarisik ‘menelisik’ atau marhori-hori dinding ‘pertemuan keluarga inti’, 2) marhusip ‘berbisik’, 3) martumpol ‘ikat janji’, 4) marhata sinamot

‘membicarakan mahar’, 5) martonggo raja ‘rapat penetua adat’, 6) marsibuha-buhai

‘memulai’, 7) marunjuk ‘pesta adat’, 8) paulak une ‘kembalikan yang baik’, 9) maningkir tangga ‘melihat tangga’.

Bagi masyarakat Batak Toba, pernikahan dapat dilaksanakan dengan dua cara yaitu 1) Marunjuk ‘pesta pernikahan’, pernikahan yang disahkan secara agama dan adat, 2) Pasu-pasu raja ‘disahkan penetua adat’. Pernikahan pasu-pasu raja disebut juga dengan mangalua ‘kawin lari’, pihak perempuan dibawa laki-laki ke rumah orangtuanya tanpa seijin orangtua perempuan. Pada jenis pernikahan ini, upacara manggarar adat ‘membayar adat’ kepada orangtua perempuan dilaksanakan setelah pasangan tersebut memiliki anak. Tradisi manggarar adat ‘membayar adat’ atau disebut juga dengan sulang-sulang pahompu ‘pemberian makanan dari cucu’, masih ada terjadi hingga pada saat ini. Alasan mangalua bukan saja karena tidak mendapat restu orangtua pihak istri, tetapi bisa juga karena keterbatasan biaya untuk melaksanakan adat na gok ‘adat yang penuh’ sehingga atas kesepakatan bersama, kawin lari bisa saja terjadi.

Pada tabel 4.7 dapat dilihat makanan tradisional dan makanan adat yang diberikan pada domain pernikahan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 47

Tabel 4.7 Makanan pada Domain Pernikahan Makanan Domain Tradisional Adat Tudu-tudu Juhut sipanganon Dengke na niarsik Dengke simudur-udur Indahan na las‘nasi Jambar yang panas’ Pernikahan Aek sitio-tio ‘air yang Daon pogu jernih’ Saksang - Hare’bubur’ - - Lampet -

Makanan tudu-tudu sipanganon, dengke simudur-udur dan jambar menjadi makanan utama pada penyelenggaraan upacara adat pernikahan.

1. Subdomain Mangarisik dan Marhori-hori dinding

Mangarisik merupakan pertemuan antara orangtua kedua mempelai. Topik utama pembicaraan adalah saling memberitahukan bahwasanya anak-anak mereka sedang menjalin hubungan khusus. Bila terdapat kesesuaian pembicaraan, maka akan dilanjutkan pada tahap berikutnya, yaitu marhori-hori dinding. Pertemuan ini digolongkan pada pertemuan belum resmi secara adat. Hal ini dikarenakan pada acara marhori-hori dinding belum berjalan makanan adat. Pada saat paranak

‘orangtua calon mempelaki pria’ datang, biasanya hanya membawa kue atau buah- buahan.

Ada juga pernikahan yang tidak melalui tahap mangarisik, tetapi langsung pada pelaksanaan marhori-hori dinding atau marbona ni siala ‘berawal karena’ atau marbalik balik dinding ‘dibalik dinding’ yang mengandung makna pembicaraan rahasia, yang mengarah pada rencana pernikahan putra-putri kedua belah pihak. Hasil pembicaraan kedua belah pihak akan diberitahukan kepada

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 48 dongan tubu ‘teman semarga’, boru ‘pihak pengambil istri’, hula-hula ’pihak pemberi istri’

Topik pembicaraan pada marhori-hori dinding, adalah 1) rencana jumlah sinamot ‘mahar’ yang akan diberikan kepada pihak keluarga wanita, 2) tanggal martupol ‘ikat janji di gereja’, 3) pelaksanaan pesta (jenis pesta, tempat, tanggal, jumlah undangan), 4) juhut ‘jenis hewan yang akan dikorbankan’, 5) jumlah ulos, dan 6) kapan dilaksanakan acara marhusip ‘berbisik’. Pihak boru ‘menantu laki-laki’ bertugas mencatat semua hasil pembicaraan yang telah disepakati kedua belah pihak sebagai landasan untuk pelaksanaan rangkaian acara adat sampai pada hari pelaksanaan pesta pernikahan.

2. Makanan pada Subdomain Marhusip

Upacara marhusip ’berbisik’ sering juga disebut dengan acara patua hata

‘melamar’. Pelaksanaan acara ini sesuai dengan kesepakatan pada acara marhori- hori dinding. Pihak keluarga paranak datang bersama dengan rombongannya yang terdiri dari haha-anggi ni paranak ‘abang beradik’, dongan tubu na sumolhot ‘teman semarga yang memiliki hubungan dekat’, boru atau bere ‘keponakan laki-laki’, ibebere ’keponakan perempuan’, dan raja parhata ’juru bicara adat’. Jumlah rombongan sekitar sepuluh sampai dengan lima belas orang. Posisi raja parhata dalam peristiwa adat Batak Toba sangat penting karena dialah yang akan menjadi juru bicara pihak hasuhutan ‘yang menyelenggarakan pesta adat’

Sebagai rasa hormat pihak paranak ‘keluarga calon mempelai pria’ kepada pihak keluarga calon mempelai wanita, maka mereka membawa sipanganon

‘makanan’ indahan na las ‘nasi yang panas’ dan lompan na tabo ‘makanan yang enak’ yaitu lomok-lomok ‘daging babi berukuran kecil’, lengkap dengan tudu-tudu sipanganon ‘makanan adat’ yang diletakkan dalam wadah yang besar, seperti talam

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 49 atau baskom. Selanjutnya tudu-tudu sipanganon diletakkan di hadapan pihak orangtua parboru ‘orangtua calon mempelai wanita’. Pihak keluarga calon mempelai perempuan menyiapkan dengke sahat ’ikan sampai’ yang akan diberikan kepada orangtua paranak.

Tabel 4.8 Makanan pada Subdomain Marhusip ‘berbisik’

Diberikan Paranak Diberikan Hula-Hula Tudu-tudu sipanganon Dengke sahat Saksang - Indahan na las -

Tudu-tudu sipanganon diletakkan di hadapan orangtua calon mempelai wanita, dan dengke sahat diberikan orangtua calon mempelai wanita kepada orangtua pihak laki-laki.

3. Makanan pada Subdomain Martumpol

Martumpol asal kata tumpol ‘tatap muka, dialog’ adalah merupakan rangkaian urutan persiapan pernikahan. Martumpol juga memiliki makna ikat janji kedua calon mempelai yang dilaksanakan di gereja. Calon mempelai berjanji di hadapan pendeta, pengurus gereja, orangtua, saksi kedua belah pihak, dan jemaat, bahwasanya kedua calon mempelai berjanji saling mengasihi, menaati hukum/ aturan gereja tempat mereka menikah dan janji bahwa masing-masing calon mempelai tidak memiliki ikatan dengan pihak lain.

Pelaksanaan upacara martumpol sekurang-kurangnya dua minggu sebelum hari pernikahan dilaksanakan. Setelah martumpol, pengurus gereja mengumumkan ren cana pernikahan kedua mempelai kepada seluruh jemaat melalui warta gereja.

Apabila ada pihak-pihak yang keberatan atas rencana pernikahan ke dua mempelai, maka pengurus gereja berhak untuk menunda proses pemberkatan nikah sampai permasalahan tersebut diselesaikan secara kekeluargaan atau hukum yang berlaku.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 50

Setelah upacara rohani martumpol ‘perjanjian pranikah’ di gereja selesai, acara dilanjutkan dengan upacara adat marhata sinamot ‘membicarakan mahar’.

Marhata Sinamot ‘membicarakan mahar’ atau disebut juga dengan pudun saut ‘ikat janji’ yaitu manjalo tuhor boru ‘menerima uang mahar anak perempuan’.

Adat marhata sinamot dilaksanakan setelah selesai acara martumpol dari gereja.

Pada acara marhata sinamot, unsur dalihan na tolu (hula-hula, boru, dongan tubu) wajib hadir.

Tabel 4.9 Makanan Subdomain Marhata Sinamot ‘Membicarakan Mahar’ Diberikan Hula-Hula Diberikan Paranak Tradisional Adat Tradisional Adat - Dengke sahat Juhut Tudu-tudu Saksang na margota sipanganon - - - Jambar - - - -

Pada Tabel 4.9 terlihat makanan yang diberikan masing-masing pihak pada kolom makanan adat, sedangkan makanan tradisional merupakan makanan yang dihidangkan pada subdomain marhata sinamot.

4. Makanan pada Subdomain Martonggo Raja ‘Rapat Penetua Adat’

Martonggo raja ‘rapat penetua adat’, sering juga disebut dengan marria raja dilaksanakan sekitar satu minggu sebelum hari pelaksanaan pernikahan. Pihak keluarga mempelai pria atau yang melaksanakan unjuk ‘pesta’, mengundang penetua adat, dongan tubu ‘kawan semarga’, tetangga dan dongan sahuta ‘teman sekampung’ atau kumpulan serikat tolong-menolong (STM). Tujuan martonggo raja adalah memastikan persiapan pesta unjuk ’pesta pernikahan’. Hal-hal yang dibicarakan adalah persiapan teknis pelaksanaan pesta. Penetua adat menanyakan persiapan apa saja yang sudah dikerjakan keluarga mempelai, apakah sudah sesuai dengan pembicaraan pada pelaksanaan marhata sinamot.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 51

Kumpulan STM yang berlandaskan prinsip si sada anak, si sada boru ‘satu anak laki-laki, satu anak perempuan’ yaitu prinsip kumpulan STM berada pada posisi yang sama dengan tuan rumah, yaitu sama-sama pemilik anak. Pimpinan STM akan mengarahkan semua anggota untuk membantu keluarga yang akan melaksanakan pesta, mulai dari marsibuha-buhai ‘acara awal sebelum pernikahan’ sampai dengan acara pernikahan secara adat dinyatakan selesai. Tidak hanya bantuan tenaga dan pemikiran, kumpulan STM juga memberikan bantuan dana kepada keluarga yang akan berpesta. Mengingat pentingnya peranan kumpulan, menjadi anggota STM bagi orang Batak Toba adalah merupakan salah satu kewajiban selain menjadi anggota jemaat di gereja, dan anggota kumpulan marga suami, istri ataupun kumpulan marga orangtua. STM akan mendampingi keluarga yang melaksanakan pesta, sampai pesta berakhir.

Sebelum martonggo raja dimulai, tuan rumah menjamu dengan makan malam. Tuan rumah menyajikan makanan dari daging rambingan ’daging babi kiloan’ atau gulai ayam, ikan dan lengkap dengan sop dan sayuran. Berikut ini tabel jenis makana yang disajikan pada subdomain martonggo raja.

Tabel 4.10 Makanan pada Subdomain Martonggo Raja ‘Rapat’ Disajikan Tuan Rumah Na margoar atau rambingan ‘daging kiloan’ saksang

Pada subdomain martonggo raja, yang dilaksanakan di kediaman keluarga

Bapak Noverdi Simarmata/ br Manik desa Simarmata, dihidangkan makanan saksang dan na margoar dari pinahan lomok-lomok ‘babi berukuran kecil’. Makanan ini diberikan kepada raja parhata dongan sahuta ‘juru bicara kawan sekampung’ yang akan menjadi juru bicara hasuhuton ‘pihak yang berpesta’ pada hari pernikahan yang telah ditentukan. Hal ini berbeda dengan adat martonggo raja yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 52 dilaksanakan di Medan, rumah keluarga Toni Pakpahan/ Br Sihombing. Makanan yang disajikan pada acara martonggo raja adalah makanan dari jagal rambingan

‘daging kiloan’. Namun demikian, topik pembicaraan sama, yaitu hal-hal penting sebagai persiapan untuk upacara adat pernikahan.

5. Makanan pada Subdomain Marsibuha-buhai ‘Pembuka’

Marsibuha-buhai, asal kata buha ‘mulai, buka’. Marsibuha-buhai memiliki makna mengawali acara pemberkatan nikah dan marunjuk ‘pesta adat’. Pelaksanaan marsibuha-buhai biasanya di kediaman mempelai wanita. Secara garis besar, tujuan marsibuha-buhai ada dua, yaitu: 1) menunjukkan rasa hormat dan terima kasih kepada keluarga mempelai wanita karena telah memberikan putrinya menjadi menantu mereka, 2) sarapan bersama sebelum berangkat ke gereja.

Pihak paranak ‘mempelai pria’, membawa makanan adat tudu-tudu sipanganon dan pihak parboru ‘mempelai wanita’ menyiapkan dengke sahat ‘ikan mas’. Tudu-tudu sipanganon diletakkan dalam wadah besar yang ditutupi ulos ‘ulos

Batak’, dibawa oleh boru ‘saudara perempuan’ dengan cara manghuti [makkuti] menjunjungnya di atas kepala saat memasuki rumah mempelai wanita. Orang yang membawa tudu-tudu sipanganon disebut dengan sihunti ampang [appang]. Acara diakhiri dengan doa yang dipimpin oleh tulang ‘paman’ yaitu saudara laki-laki ibu dari pengantin wanita, doa berisi ucapan syukur dan permohonan kepada Tuhan

Yang Maha Esa, kiranya pemberkatan nikah dan unjuk ‘pesta’ berjalan dengan baik.

Tabel 4.11 Makanan pada Subdomain Marsibuha-buhai ‘Pembukaan’ Diberikan Hula-Hula Diberikan Paranak (Pihak Keluarga calon Istri) (Pihak Keluarga calon Suami) Dengke simudur-udur Tudu-tudu sipanganon

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 53

6. Makanan pada Subdomain Marunjuk

Subdomain marunjuk ‘pesta adat pernikahan’ disebut juga dengan pesta bolon ‘pesta besar’. Posisi tempat duduk undangan dari pihak mempelai wanita, terpisah dari undangan pihak mempelai pria. Keluarga mempelai pria memberikan tudu-tudu sipanganon kepada orangtua mempelai wanita dan dilanjutkan dengan penyerahan dengke simudur-udur ‘ikan mas’ sebagai balasan kepada keluarga mempelai pria. Tudu-tudu sipanganon ‘tanda makanan adat’ yang terdiri atas kepala hewan yang dikurbankan, tanggalan ‘leher’, somba-somba ‘rusuk melingkar’, soit

‘pangkal paha’, upasira ‘punggung dengan ekor’, hati dan jantung yang ditempatkan dalam wadah baskom atau ember besar.

Menurut informan Bapak Jandra Simarmata, dulu di Samosir, dengke ‘ikan’ yang diberikan kepada pamoruan ‘sapaan bagi keluarga mempelai pria’ adalah ihan

‘ikan Batak’, jenis ikan yang hanya hidup di Danau Toba dan Sungai Asahan bagian hulu. Saat ini, ihan sangat jarang digunakan dalam pesta adat, dikarenakan populasi ihan sudah sulit ditemukan, dan kalau pun ada, harganya tergolong mahal, berdasarkan pengamatan peneliti Rp. 300.000 sd Rp 600.000/ ekor. Uniknya lagi, saat membeli ikan (ihan batak), diyakini bahwa pantang bagi pembeli untuk menawar harganya dari pedagang.

Tabel 4.12 Makanan pada Subdomain Marunjuk ‘Pesta’ Diberikan Hula-Hula Diberikan Pamoruon (Orangtua mempelai wanita) (Orangtua mempelai pria) Tradisional Adat Tradisional Adat - Dengke simudur- Juhut Tudu-tudu udur, dengke sahat, Saksang na margota sipanganon dengke tio. - - Dali ni horbo Jambar - - Hare - - - Lampet - - - Tuak tangkasan - - - Indahan na las - - - Aek sitio-tio -

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 54

7. Subdomain Paulak Une ‘Mengembalikan yang Baik’ dan Maningkir Tangga

Pada hakekatnya, paulak une ‘mengembalikan yang baik’ dilaksanakan setelah pesta unjuk selesai dan mempelai wanita sudah dibawa ke rumah mempelai pria. Setelah beberapa hari kemudian barulah dilaksanakan paulak une. Paulak une merupakan rangkaian ucapan syukur atas pernikahan yang berlangsung dengan une

‘baik’. Ucapan syukur yang dilaksanakan dengan cara berkunjung ke rumah besan, mertua, atau orangtua mempelai wanita untuk tujuan silahturahmi, mengingat pada pada saat pesta unjuk hanya fokus untuk pelaksanaan adat dan menerima tamu.

Tujuan utama paulak une sebagai ucapan terima kasih kepada orangtua mempelai wanita. Terima kasih karena telah berhasil menjaga dan mendidik putrinya dengan adat dan adab, terbukti kegadisannya yang masih tetap terjaga sampai hari pernikahan. Bila mempelai wanita dinilai ‘tidak baik’, orangtua pria dapat mengembalikan ke rumah orangtuanya. Makanan yang dibawa kepada keluarga istri adalah tudu-tudu sipanganon dari pinahan na marmiak-miak ‘babi’. Sedangkan hula-hula memberikan dengke simudur-udur.

Maningkir tangga ‘menilik tangga’, merupakan kunjungan balasan keluarga mempelai wanita ke rumah orangtua mempelai pria. Tujuan maningkir tangga adalah untuk melihat langsung kondisi putri mereka apakah dia bahagia dan diperlakukan baik oleh kelurga mertuanya. Paulak une dan maningkir tangga keduanya bertujuan untuk menjalin silaturahmi antara kedua keluarga besar, yang telah dipersatukan oleh pernikahan. Hula-hula memberikan dengke sahat ‘ikan’ kepada keluarga mempelai laki-laki.

Saat ini di desa Simarmata dan juga di Medan, upacara adat paulak une dan maningkir tangga, sudah dilaksanakan dihari yang sama dengan pesta unjuk, hal ini disebut dengan ulaon sadari ‘dikerjakan dalam satu hari’. Alasan utama adalah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 55 efisiensi waktu dan juga biaya. Pada acara paulak une, makanan yang diberikan paranak kepada hula-hula adalah tudu-tudu sipanganon atau na margoar. Pada acara maningkir tangga, makanan yang diberikan hula-hula kepada paranak adalah dengke sahat.

Tabel 4.13 Makanan Subdomain Paulak Une dan Maningkir tangga Diberikan Paranak Diberikan Hula-hula (orangtua mempelai pria) (orangtua mempelai wanita) Tudu-tudu sipanganon/ Na Dengke Sahat margoar Indahan na las -

4.1.1.3 Data Makanan pada Ritus Kematian

Bagi masyarakat Batak Toba, khususnya yang tinggal di kawasan desa

Simarmata Kabupaten Samosir, kematian merupakan suatu peristiwa yang harus ada upacara adatnya sesuai dengan status kematian seseorang. Sebutan pada jenis kematian yang diberikan sesuai usia dan sesuai dengan status pernikahan sebagai beriktut:

1. Kematian Berdasarkan Usia.

Sesuai usia almarhum, jenis kematian terbagi atas: 1) mate dibortian ‘mati dalam

kandungan’, 2) mate dakdanak ‘mati usia anak-anak’, 3) mate poso ‘mati muda’.

Bagi orangtua yang kematian anak, disebut dengan martilaha atau tilahaon.

2. Kematian setelah Pernikahan.

Kematian setelah pernikahan terdiri atas 1) mate mangkar ‘kematian saat belum

ada anak yang menikah atau kematian yang meninggalkan anak-anak yang masih

kecil’. Sebutan lain untuk kematian ini adalah matipul ulu ‘putus kepala’ sebutan

bila yang meninggal adalah suami, matompas tataring ‘hancur tempat masak’

sebutan bila yang meninggal adalah istri, 2) mate sari matua ‘mati dalam kondisi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 56

anak masih ada lagi anaknya yang belum menikah’, 3) mate saur matua ‘mati

dalam kondisi sudah semua anak menikah’, 4) mate saur matua mauli bulung

‘mati dalam kondisi semua anaknya telah maranak marboru ‘mempunyai

eturunan anak laki-laki dan perempuan’, kehidupan yang sejahtera dan tidak ada

satu pun diantara kerutunannya yang meninggal dunia’.

Status kematian yang paling diharapkan sesuai dengan adat Batak Toba adalah saur matua mauli bulung. Kematian yang dianggap aib adalah kematian maningkot ‘bunuh diri’. Pada jenis kematian bunuh diri, tidak ada upacara adat maupun upacara gereja. Bagi masyarakat Batak Toba, perbedaan status kematian, berdampak pada perbedaan makanan yang disajikan.

Tradisi pemberian makanan dan makan bersama setelah jenazah dikebumikan disebut dengan pemberian makanan indahan sipaet-paet ‘nasi pahit’. Tradisi mangan indahan sipaet-paet disebut juga dengan marhata togar-togar ‘memberikan kata penghiburan’, karena setelah makan bersama, dilanjutkan dengan memberikan kata- kata penghiburan dan pemberi semangat. Makanan diberikan dan disuapkan kepada istri atau suami yang ditinggalkan. Rangkaian pemberian makan, didahului dengan buka tujung ‘buka penutup kepala’ suami atau istri yang ditinggalkan almarhum.

Pemberian makanan indahan sipaet-paet dilaksanakan pada jenis kematian matipul ulu ‘kematian suami’, matompas tataring ‘kematian istri’ dan sari matua ‘masih ada anak yang belum menikah’. Pada acara kematian martilaha ‘kematian anak’, mate poso ‘mati dalam usia muda’, tidak ada upacara buka tujung, yang ada hanya makan indahan sipaet-paet.

Pada budaya Batak Toba, kematian saur matua atau saur matua mauli bulung digolongkan pada kematian yang sangat diharapkan, sehingga upacara adat kematiannya dilaksanakan layaknya dalam suasana sukacita. Diyakini masyarakat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 57

Batak Toba, kematian saur matua atau saur matua mauli bulung adalah status kematian tertinggi karena pada saat kematiannya, yang bersangkutan telah memiliki hagabeon ‘keturunan-punya anak, cucu, cicit- dan hidupnya sejahtera’.

Pada jenis kematian maningkot ‘bunuh diri’ tidak ada pemberian makanan indahan sipaet-paet. Hal ini dikarenakan masyarakat Batak Toba meyakini bahwa kematian yang diakibatkan oleh bunuh diri merupakan jenis kematian yang membuat malu keluarga dan dilarang agama. Pada tabel 4.14 terlihat jenis makanan dalam domain kematian .

Tabel 4.14 Jenis Makanan pada Domain Kematian Domain Makanan Tradisional Makanan Adat Juhut saksang Tudu-tudu sipanganon Aek sitio-tio dari gajah toba ‘kerbau Dali ni horbo besar’ atau sigagat duhut Kematian ‘lembu’ ataupun - namarmiak-miak ‘babi’ Indahan sipaet-paet

Data makanan domain kematian mulai dari subdomain kematian yang paling diharapkan sampai pada subdomain kematian yang paling tidak diharapkan:

1. Subdomain Saur Matua Mauli Bulung

Saur matua mauli bulung ‘semua ranting berdaun lebat’ adalah jenis kematian yang sangat diharapkan atau disyukuri oleh masyarakat Batak Toba.

Kematian saur matua mauli bulung atau mauli bulung merupakan istilah bagi seseorang yang meninggal dunia dalam posisi titir maranak, titir marboru, marpahompu sian anak, marpahompu sian boru sahat tu namar-nini, sahat tu namar-nono dan marondok-ondok ‘seseorang yang sudah memiliki cucu, cicit, nini, nono dan selama hayatnya, tidak seorang pun dari antara keturunannya manjoloi

‘mendahului’ kematiannya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 58

Tabel 4.15 Makanan Subdomain Saur Matua Mauli Bulung ‘Umur Panjang’ Disediakan Keluarga Almarhum Na margoar dari Horbo Sitingko Tanduk, atau gajah toba ‘kerbau paling besar’ Saksang Indahan Aek sitio-tio Dali ni horbo

2. Makanan pada Subdomain Saur Matua

Saur matua ‘usia lanjut’ adalah istilah untuk kematian seseorang yang sudah memiliki hagabeon ‘memiliki keturunan yang lengkap’, titir maranak ‘banyak anak laki-laki’, titir marboru ‘banyak anak perempuan’, marpahompu sian anak dohot boru ‘cucu dari anak laki-laki dan perempuan’. Berdasarkan wawancara yang diperoleh dari informan S.W. Silalahi, saat ini status kematian saur matua dapat diberikan kepada seseorang yang semua anaknya sudah hot ripe ‘menikah’ sekalipun masih ada diantara anaknya yang belum mempunyai anak. Naiknya status kematian ini harus sepengetahuan para raja adat yang dilaksanakan pada acara ria raja ‘rapat raja adat’ yang dilaksanakan pada malam hari sebelum upacara adat kematian.

Tabel 4.16 Makanan Subdomain Saur Matua ‘Umur Panjang’ Disediakan Keluarga Almarhum Jambar dari gajah Toba ‘kerbau’ atau sigagat duhut ‘lembu’ Saksang Indahan Aek sitio-tio

Pada subdomain saur matua hewan yang disembelih untuk jambar ‘pembagian’ kepada hula-hula, dongan tubu, dongan sahuta dan pihak-pihak lain yang berhak mendapatkan jambar adalah lembu ataupun kerbau sebagai lambang status dan ucapan rasa syukur anak cucu yang sudah banyak.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 59

3. Makanan pada Subdomain Sari Matua

Sari matua adalah jenis kematian seseorang yang salah satu anaknya sudah menikah, tetapi masih ada di antara anak-anaknya yang harus disarihon

‘diperhatikan’ karena belum hot ripe ‘menikah’. Bagi orang Batak Toba, anak yang belum menikah, sungguhpun secara ekonomi sudah berkecukupan dan usia lanjut, orang tersebut tetap dikelompokkan pada anak na sinarihon ‘anak yang masih perlu diperhatikan’. Biaya hidup, pendidikan dan pernikahan kelak masih ditanggungulangi orangtuanya.

Jenis kematian sari matua, bagi suku Batak Toba termasuk pada kematian yang disyukuri karena almarhum sudah memiliki keturunan dari sebahagian anak- anaknya. Bagi orang Batak, mempunyai cucu merupakan kebanggaan kerena sudah menyambung garis keturunan. Sungguhpun pada hakekatnya setiap perpisahan yang disebabkan oleh kematian meninggalkan duka mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan. Makanan adat pada kematian sari matua dengan mengorbankan na marmiak-miak ‘daging babi’. Berikut ini adalah makanan adat pada kematian sari matua yang dirangkum pada data tabel 4.17.

Tabel 4.17 Makanan Subdomain Sari Matua ‘Masih AdaTanggungan’ Disediakan Keluarga Almarhum namarmiak-miak ‘daging babi’ Indahan Aek sitio-tio

Setelah jenazah dikebumikan, dilakukan acara buka tujung ‘membuka kain penutup kepala’. Selanjutnya, berdasarkan kesepakatan, bergantian keluarga dekat, teman semarga ataupun anggota perkumpulan datang memberikan apul-apul

‘penghiburan’ kepada keluarga yang sedang berdukacita, tradisi ini disebut juga dengan mangapuli ‘memberi penghiburan’. Melalui acara mangapuli diharapkan keluarga yang berduka kembali semangat dan dapat menjalani kehidupannya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 60

Makanan adat yang diberikan pada tradisi mangapuli yang diberikan keluarga dekat disebut dengan indahan sipaet-paet, atau indahan soso-soso, atau indahan hapit- hapit. Acara mangapuli juga diberikan oleh kelompok sosial satu profesi, gereja, dan lingkungan. Kelompok sosial yang datang, biasanya tidak membawa makanan.

Acara dimulai dengan ibadah, penyampaian hata togar-togar ‘kata penghiburan’ dan penyerahan bantuan dana sesuai anggaran dasar yang telah disepakati bersama.

Tabel 4.18 menjelaskan makanan yang diberikan pada upacara pemberian makanan indahan sipaet-paet.

Tabel 4.18 Makanan Indahan Sipaet-paet ‘Nasi Pahit’ Makanan yang diberikan kepada suami atau istri yang berduka Jagal rambingan ‘daging kiloan’ Jagal manuk ‘daging ayam’ Indahan sipaet-paet/ soso-soso/ hapit-hapit Aek sitio-tio

Bentuk maupun rasa indahan sipaet-paet sama dengan indahan ‘nasi’ yang dikonsumsi sehari-hari. Penyebutan indahan sipaet-paet disebabkan orang yang sedang berdukacita karena kehilangan suami ataupun istri, tidak selera makan dan apa pun jenis makanan yang dimakanannya akan terasa pahit.

4.2 Data Teks Pemberian Makanan

Bagian ini, menjelaskan hasil temuan berupa data teks pemberian makanan tradisional pada upacara adat kelahiran, pernikahan dan kematian. Subdomain kelahiran upacara adat mambosuri, mamboan aek ni unte, mebat subdomain pernikahan martumpol/ marhata sinamot dan marunjuk, sedangkan subdomain kematian, teks pada pemberian indahan sipaet-paet.

4.2.1 Performansi Pemberian makanan pada domain Kelahiran

Teks pemberian makanan pada domain kelahiran yang terdiri dari subdomain mambosuri, dan mamboan aek ni unte.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 61

4.2.1.1 Teks Pemberian Makanan subdomain Mambosuri ‘Membuat Kenyang’

Pemberian makanan dengke ‘ikan’ dilakukan oleh orangtua istri. Sebelum pemberian dengke, didahului dengan pasahat hata ‘penyampaian kata’, yang diakhiri dengan umpasa ‘pantun yang berisikan doa dan harapan’. Berdasarkan observasi deskriptif upacara mambosuri pada keluarga Evander Siahaan/ boru Simarmata, teks pemberian makanan dengke ‘ikan’:

(1) “On ma Inang, nang dihamu Amang hela Ini lah putriku, dan kepadmu Amang (sapaan kepada laki-laki) menantu

upa-upa di hamu, upa-upa ni badan pemberi semangat untuk kalian, pemberi semangat di badan

upa-upa ni tondi, asa hipas-hipas jala horas hamu pemberi semangat di jiwa, agar sehat-sehat dan selamat kalian

na paimahon basa-basa ni Tuhan ta na naeng pasahatonNa yang menantikan berkat dari Tuhan kita yang akan diberikanNya

dihamu. Dengke sahat sai sahat ma na ta paima kepada kalian. Ikan sampai, semoga sampai lah yang kita tunggu

Dao ma nasa abat-abat, sai tiarma parsaulian Jauh lah semua rintangan, semoga teranglah rezeki

Di hamu tu joloan on.” kepada kalian ke depan ini.”

‘Inilah anakku dan menantuku, doa keselamatan untuk tubuh dan roh kalian, semoga sehat-sehat, selamat dan sejahtera menantikan berkat yang akan Tuhan berikan kepada kalian berdua. Ikan sampai, semoga sampailah yang kita tunggu (anak). Semoga dijauhkan dari rintangan, semoga murah rezeki pada masa yang akan datang.’

Selain makanan utama yaitu dengke, orangtua istri juga menyediakan makanan sesuai dengan kesukaan putrinya. Orangtua mendampingi putrinya selama menyantap makanan yang disediakan sampai dia mengatakan nunga bosur ‘sudah kenyang’. Ritual dilanjutkan dengan pemberian ulos ‘kain tradisional Batak’, yang bernama ulos mangiring disematkan di pundak putri dan menantunya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 62

Sebagai ungkapan terima kasih, pihak pamoruon ‘keluarga suami’ memberikan tudu-tudu sipanganon kepada hula-hula ‘keluarga istri’. Berikut ini adalah teks yang disampaikan pada saat pemberian tudu-tudu sipanganon:

(2) ”Hula-hula nami, mauliate ma di Tuhan, Hula-hula kami, terima kasih lah kepada Tuhan

mauliate ma di parpunguan ta. Di ari na uli, Terima kasih lah pada pertemuan kita. Pada hari yang indah,

na denggan ima tutu di ari on jala di parnangkok yang baik itulah tepat pada hari ini dan pada kenaikan

mataniari do, songop do partikkian di hami marhite-hite angka matahari nya, hinggap nya waktu pada kami melalui setiap

las ni roha songoni na uli na denggan diangka tangiang gembira nya hati seperti yang cantik yang baik setiap doa

sian raja i, hula-hula nami marhite haroro muna raja nami dari raja itu, hula-hula kami melalui kedatangan kalian raja kami

diboan hamuna tu hami nangkin ima dengke simudur-udur, dibawa kalian kepada kami tadi itulah ikan simudur-udur,

dengke na mokmok, dengke sahat, anggiat ma mangudurhon ikan yang gemuk, ikan sampai, semoga lah membawa banyak

angka las ni roha i marhite-hite angka tangiang muna, setiap gembira di hati itu melalui setiap doa kalian,

marhite-hita angka pasu-pasu mu di anak nami melalui setiap berkat-berkat kalian kepada anak (laki-laki) kami

naung gabe hela muna dohot boru muna telah jadi menantu (laki-laki) kalian dengan anak (perempuan) kalian

naung gabe parumaen nami. telah jadi menantu (perempuan) kami.

‘Hula-hula kami, terima kasihlah kepada Tuhan, terima kasih atas pertemuan kita pada hari yang indah dan baik ini, pada saat naikknya matahari, kami telah menerima hal-hal baik melalui kegembiraan dan hal- hal baik melalui doa dari raja ‘sapaan penghormatan kepada hula-hula’. Melalui kedatangan raja yang telah membawa ikan simudur-udur, ikan yang gemuk, ikan sahat, semoga mendatangkan sukacita, melalui doa kalian

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 63

kepada anak kami yang sudah menjadi menantu kalian dan putri kalian yang sudah menjadi menantu kami.’

(3) marhite i ma tong raja ni hula-hula nami di partingkian na uli on melalui itu lah juga raja hula-hula kami pada waktu yang indah ini

dina marsiadopan hita di bagasan tingki on dipasahat hami dimana berhadapan kita pada dalam waktu ini disampaikan kami

tu hamu tudu-tudu ni sipanganon. Raja nami, dohonon nami ma kepada kalian penanda dari makanan. Raja kami, katakan kami lah

hata ni situa-tua na mandokhon asa bagot na mar kata yang leluhur yang mengatakan agar pohon enau yang memiliki

halto ma, songgop di robean. Horas ma hamu raja nami na buah halto lah, hinggap di hutan. Selamat lah kalian raja kami yang

manjalo, suang songoni ma hami na mangalehon menerima, demikian juga lah kami yang memberikan

(ima tutu). Botima marsijalangan ma hita. ya benar. Demikianlah bersalaman lah kita.

‘Oleh karena itu, pada pertemuan kita saat ini, kami berikan tudu-tudu ni sipanganon. Raja kami, kami sampaikan seperti halnya pesan nenek moyang kita yang mengatakan, pohon enau yang berbuah ada di hutan, selamatlah raja kami yang menerimanya, demikian juga kami yang memberikan, (disambut hula-hula dengan ‘ya semogalah’). Demikianlah kami sampaikan, marilah kita bersalaman’

Setelah ritual pemberian makanan selesai dilaksanakan, acara dilanjutkan dengan makan bersama para tamu yang telah diundang.

4.2.1.2 Teks Pemberian makanan pada Subdomain Mamboan Aek ni Unte

Ritus mamboan aek ni unte ’membawa air asam’ dilaksanakan setelah anak lahir. Pada umumnya mamboan aek ni unte hanya dilaksanakan untuk kelahiran anak pertama. Keluarga dari pihak istri diantaranya orangtua istri, saudara laki-laki, tulang

‘paman’ dan keluarga dekat lainnya datang membawa makanan. Masing-masing membawa boras sipir ni tondi ‘beras penguat jiwa’, tetapi orangtua dari pihak istri,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 64 selain membawa boras sipir ni tondi ‘beras penguat jiwa’, dengke ‘ikan’, dan bangun-bangun ‘sejenis sayur yang bermanfaat untuk memperlancar ASI’.

Kedatangan rombongan hula-hula didampingi raja parhata ‘orang yang memahami adat’. Acara dibuka oleh raja parhata dari masing-masing pihak yang menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan hula-hula. Teks pemberian dengke

‘ikan sebagai simbol keselamatan’:

(4) Dihamu boruku dohot helaku, suangsongoni nang pahompuku, Kalian, putriku dan menantuku. demikian juga cucuku,

Sadari on ro do hami natoras muna dohot sude angka satu hari ini datang nya kami orangtua kalian ikut semua setiap

horong ni hula-hula muna marlas ni roha tutu manomu-nomu kelompok yang hula-hula kalian bergembira di hati benar menjumpai

hamu, disiala naung sorang anak di hamu, ima kalian, dikarenakan telah lahir anak (laki-laki) pada kalian, itulah

pahompu nami. Dison ro do hami mamboan dengke simudur-udur, cucu kami. Di sini kamimembawa ikan yang beriring-iringan (konotasi)

dengke sahat, dengke upa-upa. Mandok mauliate ma Ikan sampai (konotasi), ikan selamat. Mengucapkan terima kasih lah

hita tu Aman ta Debata Par denggan Basa i, ai kita kepada Bapa kita Allah Yang baik Pemurah itu, (attribut)

tibu do antong dioloi tangiang ta i ma cepat nya memang dikabulkan doa kita itu lah

naung sorang dakdanak bawa di hamu. Hu boan hami do telah lahir anak laki-laki pada kalian. Ku bawa kami nya

dison aek ni unte si padoras bagot ni di sini air nya asam jeruk si pelancar getah (konotasi air susu) nya

si unsok on dohot tangiang pangidoan si ucok (sebutan untuk bayi laki-laki) ini dengan doa permintaan

tu Aman ta Debata Par asi roha i, di pasu-pasu Na, kepada Bapa kita Allah Yang Maha Kasih itu, pada berkat Nya,

hipas-hipas ma ibana, imbur-imbur magodang las dao ma sehat-sehat lah dia, bertumbuh besar sekaligus jauh lah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 65

panahit-nahiton. Songon na nidok ni umpasa ma dohonon Sakit-sakitan. Seperti yang dikatakan oleh perumpamaan lah katakan

nami. Dangka ni hariara pinangait-aithon, tubu ma kami. Ranting nya hariara (pohon) berkait-kaitan, lahir lah

anak tubu ma boru si tongka panahit-nahiton. anak laki-laki lahir lah perempun yang pantang sakit-sakitan.

‘Kepada kalian, putriku dan menantuku, demikian juga cucuku, hari ini kami orangtuamu datang bersama keluarga besar kita, bersukacita menjumpai kalian, karena sudah lahir ditengah-tengah keluarga kalian yaitu cucu kami. Di sini, kami membawa dengke simudur-udur, dengke sahat, dengke upa-upa (ikan). Kita patut bersyukur kepada Allah Bapa Yang Maha Pemurah, karena telah mengabulkan doa kita dengan cepat, yaitu telah lahir anak laki-laki dalam keluarga kalian. Di sini kami membawa air asam jeruk untuk melancarkan asi si ucok (sebutan pada anak laki-laki yang belum diberi nama) dengan doa pengharapan kepada Allah Bapa Yang Maha Pemurah, kiranya diberikan berkat, sehat-sehat dia (bayi), bertumbuh besar dan dijauhkan dari sakit penyakit. Kami sampaikan sebagai perumpamaan, ranting pohon hariara saling berkait, lahirlah anak laki-laki dan dan perempuan yang tidak akan sakit-sakitan.’

4.2.1.3 Teks Pemberian makanan pada Subdomain Mebat ‘datang’

Setelah semua undangan dan unsur dalihan na tolu hadir dan telah duduk sesuai dengan posisi masing-masing, pihak paranak menyampaikan maksud kedatangannya dan memberikan tudu-tudu sipanganon. Didampingin raja parhata meletakkan tudu-tudu sipanganon di hadapan hula-hula, dan memberikan tudu-tudu sipanganon dengan mengatakan:

(5) “Di hamu hula-hula nami, marnatampak do hami di son laho Kepada kalian hula-hula kami, datang serentak nya kami di sini untuk

pasahathon tudu-tudu ni sipanganon na marsaudara, menyampaikan penanda nya makanan yang bercampur darah

tudu-tudu ni panggabean, parhorasan do on raja nami, dinaung las penanda nya berketurunan, keselamatan nya ini raja kami, telah senang

roha nami dohot rohamu, naung dapot hami songon hata ni natua-tua

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 66

hati kami dan hati kalian, telah dapat kami seperti kata nya orangtua

dapot na jinalahan jumpang na niluluan dapat yang dicita-citakan bertemu yang dicari

di tumpak asi dohot holong ni Tuhan ta i. di berkati kasih dan sayang nya Tuhan kita itu

Molo tung songon on pe na boi hu pasahat hami di tingki on Kalau pun seperti ini lah yang bisa ku sampaikan kami pada saat ini las ma rohamu. senang lah hati mu.

(6) Umpasa Bagot na mar halto ma diagatan di robean Pohon enau yang mempunyai halto (buah) lah disadap di perbukitan

Horas ma hamu hula-hula nami na manjalo Sejahtera lah kalian hula-hula kami yang menerima

Tu tamba na ma di hami, raja pamoruon muna na mangalean. Ke tambah nya lah pada kami, raja pamoruon kalian yang memberikan.

‘selamat sejahteralah hula-hula yang menerima makanan (tudu-tudu sipanganon), terlebih lagilah kami pamoruon ‘pihak keluarga suami yang memberikannya’’

4.2.2 Teks Pemberian Makanan pada Domain Pernikahan

Data pemberian makanan pada subdomain martumpol, marsibuha-buhai dan pesta unjuk atau pesta pernikahan. Penelitian dengan menggunakan teknik observasi deskriptif, observasi terfokus dan terseleksi pada pesta unjuk pernikahan Rudi

Gultom dan Lusi Rengsi Hutagalung.

4.2.2.1 Teks Pemberian Makanan pada Subdomain Martumpol ‘ikat janji

Martumpol atau marhata sinamot ‘membicarakan mahar’ adalah gabungan antara upacara kerohanian dan adat. Pada pesta adat martumpol Rudi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 67

Gultom dengan Lusi Rengsi Hutagalung, berikut ini teks pemberian makanan tudu- tudu sipanganon dan dengke simudur-udur. a. Pasahat Tudu-Tudu Sipanganon ‘memberikan penanda makanan’

(7) Jadi, di hamu raja i, hula-hula nami Hutagalung, di son Jadi, pada kalian raja itu, hula-hula kami Hutagalung (marga) di sini

ro do hami raja ni pamoruon muna marga datang nya kami raja nya pamoruon (pihak keluarga laki-laki) marga

Gultom. Di son ro hami mandapothon hamu. Songon dalan nami Gultom. Di sini datang kami menjumpai kalian. Seperti jalan kami

manghatai tu raja i, dipatupa hami songon parbue ni sipanganon. berbicara kepada raja itu, disiapkan kami seperti buah nya makanan.

anggiat ma asi roha ni Tuhan ta, tiur angka na ta semoga lah kasihan hati nya Tuhan kita, terang semua yang kita

sangkapi di angka siulaon ta dope dung sipul hita mardaon rencanakan pada setiap pekerjaan kita lagi setelah selesai kita makan

pogu. Asa songon na nidok ni natua-tua i antong sederhana. Agar seperti yang dikatakan oleh tetua itulah jadi

dohonon nami, tintin do na tinopa, golang-golang do anggo katakan kami, cincin nya yang ditempa, gelang-gelang nya kalau

panga rahut na, songon i pe raja nami na boi tar patupa hami peng ikat nya, seperti itu pun raja kami yang bisa ter buat kami

apala di tikki on, pos roha nami Tuhan ta ma na manggohi tepat pada waktu ini, yakin hati kami Tuhan kita lah yang memenuhi

pasu-pasu Na. Sai tu tamba na ma silas ni roha di hamu. berkat Nya. Semoga ke tambah nya lah sukacita nya hati pada kalian.

Asa sahat-sahat ni solu ma, sahat tu botean, Agar sampai-sampailah yang perahu lah, sampai ke tambatan perahu,

alai jolo tu Tigaras. , tetapi terlebih dahulu ke Tigaras (nama tempat).

Hu pasahat hami ma tudu-tudu sipanganon Ku sampaikan kami lah penunjuk makanan

songon panggohi sipa nganon tu raja i. Asa asima roha ni seperti memenuhi makanan kepada raja itu. Agar kasihanlah hati Nya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 68

Tuhan ta, leleng ma atong hita magolu, sai tong-tong ma hamu Tuhan kita, lama lah kiranya kita hidup, semoga tetap lah kalian

horas-horas. selamat-sejahtera.

‘Jadi, kepada raja hula-hula kami marga Hutagalung, di sini kami datang raja pamoruon kalian marga Gultom. Di sini kami datang menjumpai kalian, sebagai cara kami berbicara kepada raja (hula-hula), di sini sebagai buah tangan, kiranya atas kemurahan Tuhan, semogalah berjalan semua yang telah kita rencanakan. Seperti petuah nenek moyang kami katakan, ‘cincin ditempah, tali pengikatnya, walaupun seperti ini (makanan) yang bisa kami berikan kepada raja pada saat ini, semoga Tuhanlah yang akan menambahkan berkatNya. Semoga kalian semakin diberkati dengan kebahagiaan. Seperti kata perumpamaan ‘sampai-sampailah perahu, sampai ke tepian, tapi lebih dulu melewati Tigaras. Kami sampaikan (tudu-tudu sipanganon) sebagai penyempurna hidangan kepada hula-hula kami. Kiranya Tuhan bermurah hati, kita semua panjang umur, dan selalu dalam lindunganNya selamat dan sejahtera.’

b. Pasahat dengke simudur-udur ‘pemberian ikan’

(8) Jadi, songoni ma di hamu raja ni pamoruon nami, Jadi, demikian lah kepada kalian raja nya pihak keluarga perempuan kami

raja ni Gultom. Las ni roha nami di haradeon raja nya Gultom (marga). Senang nya hati kami pada kesediaan

muna dibagasan manogot on, dison dipatupa hami do dengke, kalian di dalam pagi ini, di sini disiapkan kami nya ikan,

dengke sitio, tangiang nami ma on tu Ama ta Debata, asa anggiat ikan jernih, doa kami lah ini kepada Bapa kita Allah, agar kiranya

ma tutu tu joloan on lam tio na passamotan pasu-pasuon ni lah benar ke depan ini tambah jernih nya rezeki diberkat oleh

Aman ta Debata tu hamu. Dison dipasahat hami dengke Bapa kita Allah kepada kalian. Di sini disampaikan kami ikan

simudur-udur asa par hiteon ma on tutu pangidoan nami beriring-iringan agar menjadi jembatan lah ini benar permintaan kami

tu Aman ta Debata, asa sauduran ma hamu tu dolok tu toruan, kepada Bapa kita Allah, agar seiring lah kalian ke bukit ke lembah,

songo ni nang dengke sahat, asa anggiat ma tutu sahat angka na seperti itu juga ikan sampai, agar semoga lah benar sampai setiap yang uli sahat angka na denggan di ulaon ta sadari on

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 69

indah sampai setiap yang baik dalam pekerjaan kita hari ini

dipasu-pasu Ama ta Debata. Songon na nidok ni umpasa ma diberkati Bapa kita Allah. Seperti yang dikatakan di umpama lah

dohonon nami katakan kami

(9) Umpasa sahat-sahat ni solu, sahat tu Tigaras sampai-sampai nya sampan, sampai ke Tigaras (nama tempat)

nunga di pasahat hami tu hamu dengke simudur-udur sudah di sampaikan kami kepada kalian ikan simudur-udur

sahat ma hita horas-horas! boti ma, marsijalangan ma hita semoga lah kita sehat-sejahtera! demikian lah, bersalaman lah kita.

‘Jadi, kepada raja dari pihak boru kami, raja marga Hutagalung. Kami sangat bersukacita atas kehadiran kalian di rumah kami ini, disini kami hidangkan ikan. Ikan sitio, doa kami kepada Tuhan Yang Maha Esa, semoga kalian semakin diberkati Tuhan Yang Maha Esa. Di sini kami juga menyampaikan ikan simudur-udur, inilah sebagai cara kami menyampaikan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa, semoga kalian seiring dan sejalan melewati bukit maupun lembah. Demikian juga ikan sahat, semogalah semua yang indah, semua yang baik khususnya pada acara kita hari ini diberkati Tuhan Allah Bapa kita. Kami sampaikan seperti dalam perumpamaan ‘sampai- sampainya sampan, sampai ke Tigaras (nama tempat), sudah kami berikan kepada kalian ikan simudur-udur, semogalah kita sehat-sejahtera! demikian lah, marilah kita bersalaman.

4.2.2.2 Teks Pemberian Makanan pada Marunjuk ‘Pesta Pernikahan’ a. Pasahat tudu-tudu sipanganon ‘memberikan penanda makanan’

Teks pemberian tudu-tudu sipanganon kepada hula-hula ‘orangtua mempelai wanita’, hasil observasi terfokus pada pesta pernikahan Rudi Gultom dan Lusi

Rengsi Hutagalung.

(10) Di tikki on, ro do hami raja ni pamoruon Pada waktu ini, datang nya kami raja nya pamoruon (orangtua suami)

muna marga Gultom, ima pasahathon tudu-tudu sipanganon kalian marga Gultom, itu menyampaikan penanda makanan

na tabo, na mar saudara, na marala ma i Raja nami

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 70

yang enak, yang ber darah, yang berawal lah itu raja kami

di ulaon ta, ala naung manjalo pamasu-masuon pada pekerjaan kita, kerena telah menerima pemberkatan

parumatanggaon anak nami dohot boru ni raja i nangkin rumah tangga anak kami dengan putri nya raja itu tadi

sian bagas joro ni Tuhan ta, asa di ari na uli, di ari dari dalam rumah nya Tuhan kita, agar pada hari yang indah, pada hari

na denggan on, di tingki naung ta buhul on, ro do hami yang bagus ini, pada waktu telah kita tentukan ini, datang nya kami

ima pasahathon tudu-tudu ni sipanganon na tabo, i ma itulah menyampaikan penanda nya makanan yang enak, itu lah

juhut na mar saudara, i ma disiala ulaon ta sadari on, daging yang ber darah, itu lah karena pekerjaan kita hari ini,

asa dohonon nami ma antong songon hata ni umpasa:” agar katakan kami lah memang seperti kata nya umpama:”

(11) Umpasa sahat-sahat ni solu, sahat tu bortean sampai-sampai nya sampan, sampai ke tepian

nunga hu pasahat hami tu hamu tudu-tudu sipanganon na tabo sudah ku sampaikan kami kepada kalian penanda makanan yang enak

sai sahat ma hita tu parhorasan, sahat ma tu panggabean Semoga sampai lah kita kepada kesejahteraan, sampai lah kepada kebahagiaan

Boti ma! Demikian lah!

‘Pada kesempatan ini, kami Raja Pamoruon ‘sebutan bagi keluarga mempelai pria’ marga Gultom, datang untuk menyampaikan tudu-tudu sipanganon yang enak, yang dicampur darah, pada pesta kita ini. Karena sudah menerima pemberkatan pernikahan anak kami dengan putri Bapak, tadi di rumah Tuhan (gereja), agar, raja kami, raja hula-hula kami, pada hari yang berbahagia ini dan pada hari yang indah ini, pada waktu yang telah kita sepakati, kami datang dari pihak Raja pamoruon kalian, marga Gultom, yang akan memberikan tudu-tudu sipanganon ‘makanan’ yang enak, yaitu daging yang bercampur darah, dikarenakan pesta kita hari ini, seperti kata perumpamaan berikut ini:’

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 71 b. Pasahat Dengke ‘memberikan ikan’

(12) Di hamu Raja ni pamoruon nami marga Gultom, nangkin nunga Kepada kalian raja nya pamoruon kami marga Gultom, tadi telah

di pasahat hamu tu hami tudu-tudu sipanganon na tabo, di sampaikan kalian kepada kami penanda makanan yang enak,

nuaeng pe pasahaton nami ma muse tu hamu Raja ni Pamoruon nami, sekarang pun berikan kami lah lagi kepada kalian raja nya pamoruon kami

dengke simudur- udur, dengke sitio-tio, dengke sahat, sai anggiat ma ikan beriring-iringan, ikan jernih, ikan sampai, agar semoga lah

antong rap udur hamu raja ni Pamoruon nami tu dolok tu toruan, memang sama seiring kalian raja nya pamoruon kami ke tebing ke lembah,

sai tio ma parhorasan, tio nang panggabean, semoga jernih lah kesejahteraan, jernih juga kebahagiaan,

dengke sahat, sai sahat ma pasu-pasu ni Amanta Debata ikan sampai, semoga sampai lah berkat nya Bapa Allah

tu hamu sude raja ni pamoruon nami. kepada kalian semua raja nya pamoruon kami.

Songon nidok ni umpasa ma dohonon nami: Seperti dikata di perumpamaan lah katakan kami:

(13) Umpasa asa napuran tano-tano gatap gatip dipardembanan agar sirih tanah-tanah putus-putus di tempat sirih

horas ma hamu raja ni pamoruon nami na manjalo. Sejahtera lah kalian raja nya pamoruon kami yang menerima

tu tamba na ma di hami hula-hula muna na mangalean. ke tambah nya lah pada kami hula-hula kalian yang memberikan

‘Kepada Raja pamoruon kami (sebutan bagi keluarga mempelai pria) marga Gultom, tadi sudah kalian berikan kepada kami tudu-tudu sipanganon makanan yang enak. Sekarang pun akan kami berikan kepada kalian raja ni pamoruon kami, ikan simudur-udur, ikan sitio-tio, ikan sahat, kiranya kalian raja pamoruon kami, selalu seiring sejalan baik ke bukit ataupun lembah, semoga semua yang baik, semua kebahagiaan, ikan sahat, semogalah Tuhan mencurahkan semua berkat-Nya kepada kalian semua raja pamoruon kami. Seperti kata dalam umpasa: ‘harapan agar kedua belah pihak (pamoruon dan hula-hula) hidup sejahtera’

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 72

4.2.3 Teks Pemberian Makanan pada Domain Kematian

Indahan sipaet-paet atau indahan soso-soso atau indahan hapit-hapit merupakan penyebutan nama makannan dalam suasana dukacita. Karena bagi keluarga yang sedang berduka, apa pun jenis makanan yang disajikan, tetap terasa pahit atau tidak enak. Hal ini dikarenakan perasaan dukacita yang disebabkan meninggalnya salah satu anggota keluarga. Diharapkan melalui kedatangan keluarga yang membawa indahan sipaet-paet, dapat membangkitkan semangat untuk kembali melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari setelah kepergian almarhum. Hasil penelitian dengan menggunakan teknik observasi deskriptif yang dilanjutkan dengan obserservasi terfokus dan terseleksi pada upacara adat kematian alm. Manson

Simarmata di desa Simarmata. Jenis kematian almarhum adalah mate mangkar disebabkan belum ada satu pun diantara anaknya yang sudah menikah. Upacara buka tujung ‘buka penutup kepala’ dan memberikan indahan sipaet-paet diberikan hula- hula marga Naibaho ‘suadara laki-laki’ dari istri almarhum. diberikan berikut teks pemberian makanan indahan sipaet-paet.

(14) Pangan hamu ma on, asa margogo hamu itoku marmudu Makan kalian lah ini, agar ber kuat kamu saudara perempuanku menjaga

angka bere on. Inum ma mual na tio on, anggiat tio ari para ponakan ini, minum lah air sumur yang jernih ini, semoga jernih hari

sidalanan muna tu ari na mangihut. Yang akan dijalani kalian ke hari yang berikut.

‘makanlah ini, agar kamu sehat dan kuat untuk mengasuh para keponakanku, minumlah air yang jernih ini, semoga hari-harimu cerah di hari yang akan datang.’

4.3 Data Kearifan Lokal pada Makanan Tradisional Batak Toba

Kajian kearifan lokal mempertimbangkan tiga teori lapisan, yaitu 1) lapisan luar, 2) lapisan tengah dan 3) lapisan inti. Lapisan luar adalah suatu tradisi budaya atau tradisi lisan yang memperlihatkan makna dan fungsi tradisi yang dapat diamati,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 73 ditonton, didengar atau dinikmati secara empiris. Lapisan tengah suatu tradisi budaya atau tradisi lisan akan memperlihatkan nilai dan norma tradisi tersebut. Lapisan inti memperlihatkan kearifan lokal yang menjadi keyakinan, kepercayaan, dan asumsi dasar yang dapat menyelesaikan persoalan hidup yang dihadapi manusia dalam komunitasnya. Dengan pembedaan ketiga lapisan tersebut, dapat diketahui makna- fungsi, nilai-norma (Sibarani, 2015).

Berikut ini data lapisan luar (makna dan fungsi), dan lapisan tengah (nilai dan norma) yang terdapat pada makanan tradisional Batak Toba.

Tabel 4.20 Makna, Fungsi, Nilai dan Norma Makanan N Jenis Lapisan Luar Lapisan Tengah o Makanan Makna Fungsi Nilai Norma tanda jenis Diberikan Penghormatan Tudu-tudu hewan yang Rasa pamoruon 1 kepada hula- sipanganon dikorbankan hormat kepada hula untuk pesta hula-hula Ungkapan Diberikan Ikan yang Kasih sayang Dengke Religius, hula-hula 2 berjalan dari hula-hula Simudur-udur berdoa kepada beriring-iringan kepada pamoruon pamoruon Kerukun Saling 3 Indahan na las Nasi yang panas Bersyukur an memberi Diberikan Perduli keluarga Menghibur Indahan dan dekat 4 Nasi yang pahit keluarga yang sipaet-paet berbelas kepada berdukcita kasihan yang berdukacita Ketekuna Jenis sayur n agar Diberikan Bangun- untuk makanan Baik untuk 5 ibu dan saat ada bangun ibu yang baru kesehatan bayi kelahiran melahirkan sehat

Pada jenis makanan tudu-tudu sipanganon terdapat nilai rasa hormat yang disampaikan oleh pamoruon (pihak keluarga suami) kepada hula-hula (pihak keluarga istri). Sedangkan nilai religius terdapat pada makanan dengke simudur- udur, hula-hula memanjatkan doa kepada Tuhan. Dengke juga diberikan kepada

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 74 pengantin dengan isi doa agar kedua mempelai bahagia sampai. Makanan indahan na las ‘nasi panas’ adalah sebutan untuk makanan nasi yang disajikan dalam sukacita seperti kelahiran dan pernikahan, yang didalamnya terkandung nilai kerukunan.

Indahan sipaet-paet merupakan makanan yang khusus disajikan dalam suasana dukacita. Makanan indahan sipaet-paet mengandung nilai perduli dan berbelas kasihan. Makanan bangun-bangun terdapat nilai perduli terhadap hidup sehat dan keberlanjutan generasi berikutnya yang lebih baik sesuai dengan pandangan hidup masyarakat Batak Toba anakonhi do hamoraon diau ‘anakkulah kekayaanku’

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 75

BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Domain, Taksonomi, Komponen Makna dan Pola Penamaan Makanan

Pada bagian ini, diuraikan analisis domain makanan, taksonomi makanan, komponen makna dan pola penamaan makanan tradisional Batak Toba. Ada dua jenis makanan utama pada upacara kelahiran, pernikahan dan kematian adat Batak

Toba, yaitu tudu-tudu sipanganon dan dengke.

Gambar 5.1 Tudu-tudu Sipanganon

Gambar 5.2 Dengke simudur-udur

Tudu-tudu sipanganon ‘penanda makananan’ merupakan simbol penghormatan kepada hula-hula. Jenis hewan yang disembelih untuk tudu-tudu

75

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 76 sipanganon ada tiga yaitu pinahan lobu ‘ternak babi’, sigagat duhut ‘pemakan rumput’ yaitu lembu, dan gajah batak sitingko tanduk ‘kerbau’. Bagi masyarakat

Batak Toba, tudu-tudu sipanganon adalah makanan adat pada masa peralihan atau siklus kehidupan yang dimulai sejak dari kelahiran, pernikahan, sampai dengan kematian. Jenis ternak yang dijadikan sebagai tudu-tudu sipanganon disesuaikan dengan jenis adat yang dilaksanakan dan pertimbangan kondisi perekonomian hasuhuton ‘pihak yang melaksanakan acara adat’.

Tudu-tudu ni sipanganon ‘tanda makanan’ disusun menyerupai bentuk hewan yang dikorbankan saat hidup. Selanjutnya diletakkan di dalam wadah yang lebar seperti talam, baskom atau tampi yang dilapisi daun pisang. Tudu-tudu sipanganon ditaruh dihadapan hula-hula dengan posisi kepala menghadap kepada hula-hula.

Selanjutnya pamoruon menyampaikan maksud dan tujuan pemberian tudu-tudu sipanganon yang disebut dengan pasahat hata. Posisi tangan yang memberikan berada di atas wadah, sedangkan posisi tangan yang menerima makanan berada di bawah. Tudu-tudu sianganon dibagikan sebagai jambar juhut ‘pembagian daging’, diantaranya diberikan kepada hula-hula, dongan tubu ‘saudara satu marga’, boru atau pariban ‘saudara perempuan’, tulang ‘saudara laki-laki pihak istri’, dongan sahuta ‘tetangga’, ale-ale ‘sahabat’, pangula huria ‘pengurus gereja’, dan pemerintah setempat. Pada prinsipnya jambar juhut ‘pembagian daging’ ini merupakan penghormatan hasuhuton ‘penyelenggara acara’ kepada pihak-pihak yang hadir pada upacara adat yang diselenggarakan. Berdasarkan pengamatan dan informasi dari informan Pestol Simarmata, diperoleh data pembagian jambar juhut di desa Simarmata sebagai berikut:

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 77 a. Tudu-tudu sipanganon dari pinahan lobu ‘ternak babi’

1. Namarngingi parhambirang ‘kepala bagian atas sebelah kiri’ diberikan kepada

boru ‘perempuan’, bere ‘keponakan laki-laki’, ibebere ‘keponakan perempuan.

2. Namarngingi parsiamun ‘kepala bagian atas sebelah kanan’ diberikan kepada

haha anggi ‘kakak beradik’

3. Osang ‘dagu’ atau kepala bagian bawah diberikan kepada hula-hula ‘saudara

laki-laki istri’ dan tulang ‘paman’

4. Somba-somba ‘rusuk’ diberikan kepada bona ni ari ‘paman dari kakek’,

5. Tulan bolon atau Soit ‘pangkal paha ’, diberikan kepada bona tulang ‘paman

dari ayah’

6. Ihur-ihur ‘bagian ekor’ diberikan kepada suhut ‘penyelenggara pesta’

7. Juhut na saur ‘bagian daging suhut’ diberikan kepada tulang rorobot ‘saudara

laki-laki dari ibu’

8. Aliang ‘bagian leher’ dan Ate-ate ‘hati’ dipotong kecil-kecil untuk dibagikan

undangan yang sedang makan bersama. Sebahagian lagi diberikan kepada

perangkat desa, pangula huria ‘pengurus gereja’, pariban ‘saudara perempuan

semarga dengan istri’, ale-ale ‘sahabat’, dongan sahuta ‘teman sekampung’,

punguan ‘perkumpulan’. b. Tudu-tudu sipanganon dari sigagat duhut ‘lembu’ atau horbo ‘kerbau’

1. Namarngingi ‘yang bergigi’ yaitu bagian atas kepala, diberikan kepada Tulang

2. Osang ‘dagu’ yaitu bagian bawah kepala, diberikan kepada hula-hula

3. Somba-somba ‘rusuk’ diberikan kepada bona tulang ‘paman dari ayah’,

tulang rorobot ‘saudara laki-laki ibu’ dan bona ni ari ‘paman dari kakek’.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 78

4. Tanggalan ‘leher’dipotong kecil-kecil dan uhu-buhu ‘pangkal paha’, diberikan

kepada dongan sahuta ‘tetangga’, dongan tubu ‘saudara semarga’ , ale-ale

‘sahabat’, pengurus gereja dan pemerintah setempat

5. Ihur-ihur ‘ekor’, diberikan kepada suhut ‘penyelenggara pesta’.

Dengke na niarsik ‘ikan yang dimasak gulai sampai kering’ adalah hidangan khas Batak yang menjadi simbol berkat kehidupan. Dengke ‘ikan’ yang diberikan harus ganjil, misalnya 1 atau 3 ekor. Dengke yang diberikan dengan jumlah 1 ekor pada upacara adat disebut dengan nama dengke sahat, dengke upa-upa, dengke tio, dengke na porngis, dengke na mokmok yang bermakna persatuan, kerukunan, kesehatan, dan kekuatan. Sedangkan dengke yang diberikan dengan jumlah 3 ekor disebut dengan dengke simudur-udur, dengke sahat, dengke upa-upa, dengke tio yang bermakna kekuatan yang terkandung dalam falsafah dalihan na tolu ‘tiga tungku’.

Dengke diberikan pada domain kelahiran, pernikahan, kematian. Penyajian dengke diletakkan di atas nasi dalam pinggan berukuran besar, dengan posisi ikan seperti berenang. Pada domain kematian, ikan diletakkan di atas nasi dengan posisi menghadap ke kanan. Pada saat pemberian dengke, kepala ikan menghadap kepada orang yang menerima. Bila jumlah ikan yang diberikan tiga ekor, disebut dengan dengke simudur-udur ‘ikan beriringan’, maka ikan yang lebih besar harus diletakkan di tengah. Dengke simudur-udur memiliki makna, agar keluarga yang menerima dengke ’ikan’ tersebut seiring sejalan dan satu tujuan sehingga bila kelak menemukan rintangan, yang menerima makananan (dengke) akan dapat menyelesaikannya.

Masyarakat Batak Toba memiliki keyakinan bahwa sipanganon ‘makanan’ memiliki kekuatan, seperti dalam ungkapan hot situtu do nasa na pinadanhon di atas

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 79 ni juhut dohot indahan ‘sangat kuatlah semua janji di atas lauk (daging) dan nasi’.

Ungkapan ini memiliki makna bahwa janji yang telah disepakati dengan makan bersama, maka janji tersebut mutlak dipatuhi semua pihak yang telah mengikat janji.

5.1.1 Domain Makanan Tradisional Batak Toba

Analisis domain bertujuan untuk memperoleh gambaran yang umum dan menyeluruh tentang situasi yang diteliti (Sugiyono, 2013). Di lain pihak Spradley

(2007) menjelaskan suatu domain terdiri dari tiga elemen, yaitu cover terms (nama suatu domain budaya), included terms (nama suatu kategori atau rincian domain), semantic relationship (hubungan semantik antar kategori).

Dengan mengajukan pertanyaan deskriptif kepada beberapa informan, diperoleh gambaran umum makanan Batak Toba. Gambaran tersebut diantaranya adalah 1) Makanan yang harus tersedia dalam upacara adat kelahiran, pernikahan dan kematian Batak Toba. 2) Bagaimana cara memberikan makanan, 3) Apa nama makanan yang diberikan, 4) Bagaimanan letak makanan saat diberikan, 5)

Bagaimana cara pemberian makanan, 6) Kapan makanan tersebut diberikan, 7) Apa tujuan pemberian makanan. Pada bagian ini, penulis mendeskripsikan makanan apa saja pada domain kelahiran, pernikahan dan kematian masyarakat Batak Toba.

Berikut ini domain dan subdomain makanan pada upacara adat Batak Toba:

Tabel 5.1 Domain dan Subdomain Upacara adat Batak Toba Do Makanan Diberikan Oleh ma Subdomain Hula-hula ‘Pihak Istri’ Paranak ‘Pihak Suami’ in Dengke simudur-udur K Mambosuri Ikan na nitombur* Tudu-tudu sipanganon e Martutu aek atau tardidi Dengke na niura * Saksang, Indahan na las, l Mebat Manuk na nipadar * Lampet, Tuak tangkasan a Sagu-sagu * h i Maranggap Tuak, tambul, bangun- r bangun na nidugu, Saksang, a Maresek-esek Lampet, Indahan na las, Sop n

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 80

P Mangarisik Lampet Marhori-hori dinding - e Jagal rambingan r Martonggo raja n Marhusip Tudu-tudu sipanganon i Martumpol/ Marhata Saksang k sinamot Indahan na las Dengke simudur-udur a Marsibuha-buhai Hare’bubur’

h Marunjuk Sop dan sayuran a Paulak une Dali ni horbo, Lampet n Maningkir tangga Aek sitio-tio K Mauli bulung Tudu-tudu sipanganon e Saur matua Boras ‘beras’ Saksang, Indahan na las m Sari matua Aek sitio-tio, Sop a Mate mangkar Indahan sipaet-paet t Mate poso Dengke simudur-udur Indahan sipaet-paet i Mate dakdanak Jagal manuk, Jagal manuk, rambingan a Mate dibortian rambingan n Maningkot ‘bunuh diri’ - -

Melalui tabel 5.1, dapat dijelaskan pemberian makanan pada upacara adat

Batak Toba sebagai berikut:

1. Pemberian makanan tradisional Batak Toba pada domain kelahiran terdiri dari

lima subdomain. Domain pernikahan terdiri dari sembilan subdomain, sedangkan

domain kematian terdiri dari delapan subdomain. Banyaknya subdomain pada

setiap ritus, menunjukkan bahwa masyarakat Batak Toba menghargai setiap fase

kehidupan, yang dimanifestasikan dengan makan bersama dan menyembelih

hewan sebagai korban syukuran dan penghormatan pada setiap acara yang

diselenggarakan.

2. Ada dua kelompok yang saling memberi makanan yaitu pamoruon (pihak

keluarga suami) dan hula-hula (pihak keluarga istri). Makanan yang diberikan

terdiri dari makanan utama dan makanan pelengkap. Jenis makanan yang

diberikan hula-hula adalah dengke, sedangkan pihak pamoruon memberikan

tudu-tudu sipanganon dan indahan na las, aek sitio-tio. Makanan pelengkap,

pada domain kelahiran adalah bangun-bangun na nidugu, indahan na las, aek

sitio-tio, tuak tangkasan. Sedangkan hare ‘bubur’, dali ni horbo, lampet, sop, na

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 81

niura, na nipadar adalah makanan pelengkap yang sifatnya boleh ada, dan boleh

juga tidak ada, tergantung kemampuan keluarga penyelenggara adat.

3. Pada upacara adat Batak Toba tidak dikenal status sosial, yang berlaku adalah

status adat sesuai dengan falsafah dalihan na tolu. Posisi seseorang pada upacara

adat bisa berbeda sesuai dengan siapa yang menjadi hasuhuton ‘penyelenggara

pesta adat’.

4. Jenis makanan adat yang diberikan hula-hula adalah dengke ‘ikan’ sedangkan

yang diberikan pamoruon adalah pinahan lobu ‘babi’, sigagat duhut ‘lembu’,

dan horbo ‘kerbau’. Ikan merupakan simbol kehidupan di air, sedangkan ternak

babi, lembu dan kerbau adalah ternak yang hidup di darat. Air dan darat adalah

sumber mata pencaharian masyarakat Batak Toba. Melalui makanan terbaik yang

dioleh dari kedua sumber ini, masyarakat Batak Toba berharap Tuhan Yang

Maha Esa semakin memberkati mereka.

Berdasarkan fungsi makanan dalam upacara adat Batak Toba, berikut ini dijelaskan dalam bentuk tabel 5.2. Dalam tabel ini dapat dilihat masing-masing domain makanan yang digunakan pada upacara adat apa saja serta siapa yang menjadi partisipan dalam memberi dan menerima makanan tersebut.

Tabel 5.2 Domain Makanan Adat Berdasarkan Partisipan Domain Subdomain Digunakan pada Makanan Partisipan Makanan Adat Upacara Adat Adat Dengke upa-upa Mambosuri Dengke Tio Mamboan aek ni unte Hula-hula Dengke Simudur-udur Mebat ‘orangtua dan Dengke Dengke Saur Marhusip saudara laki-laki ‘ikan’ Dengke sahat Marhata sinamot pihak istri’ Dengke na mokmok Marsibuha-buhai

Dengke na ganjang Marunjuk Dengke porngis Paulak Une

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 82

Namarngingi ‘kepala’ Maningkir Tangga Tudu-tudu Osang ‘dagu’ Sari Matua Paranak Sipanganon Tanggalan ‘leher’ Saur Matua ‘orangtua dan ‘ternak babi, Ate-ate ‘hati’ Mauli Bulung saudara laki-laki lembu atau Somba-somba ‘rusuk’ pihak suami’ kerbau’ Soit ‘paha' ihur-ihur ‘ekor’ Indahan na las Hasuhuton Daon pogu ‘penyelenggara ‘nasi panas’ pesta’ Indahan Indahan sipaet-paet ‘nasi’ ‘nasi pahit’ Acara dukacita Keluarga dekat Indahan soso-soso (meninggal dunia) Indahan hapit-hapit

Gambaran umum lain yang dapat terlihat bahwa dalam proses pemberian makanan melibatkan partisipan hula-hula ‘pihak keluarga istri’, pamoruon ‘pihak keluarga suami’ dan hasuhuton ‘penyelenggara pesta’. Jenis makanan yang diberikan hula-hula adalah dengke ‘ikan’, yaitu ikan mas atau ikan batak yang dimasak dengan cara niarsik ‘gulai hingga airnya kering’, sedangkan makanan yang diberikan pamoruon ‘pihak keluarga suami’ adalah tudu-tudu sipanganon ‘penanda makanan’.

Hewan yang dikorbankan untuk tudu-tudu sipanganon disesuaikan dengan jenis pesta adat yang diselenggarakan. Pada domain kelahiran, hewan yang dikorbankan adalah pinahan lobu ‘ternak babi’, pada domain pernikahan menggunakan ternak babi, lembu atau kerbau, sedangkan pada kematiaan saur matua dan saur matua mauli bulung, digunakan lembu atau kerbau. Masyarakat Batak Toba tidak mengenal ataupun membedakan status sosial saat penyelenggaraan upacara adat. Pemberian dan pembagian makanan adat hanya berpedoman pada falsafah dalihan natolu

‘tungku yang tiga’.

Dalam suasana sukacita, sebutan untuk indahan ‘nasi’ adalah indahan na las

‘nasi yang panas’ atau indahan pogu atau daon pogu, sedangkan dalam suasana dukacita sebutan untuk indahan ‘nasi’, adalah indahan sipaet-paet ‘nasi pahit’, indahan soso-soso ‘nasi, atau indahan hapit-hapit ‘nasi jepit-jepit’. Ketiga jenis

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 83 makanan ini, memiliki tujuan yang sama, yaitu memberikan dukungan dan penghiburan kepada keluarga yang berduka. Indahan sipaet-paet dan indahan soso- soso dibawa menuju rumah duka dengan cara makanan dijunjung di kepala.

Tujuannya adalah agar makanan yang dibawa dapat terlihat oleh keluarga dekat dan tetangga, yang juga diundang untuk makan bersama di rumah duka. Indahan hapit- hapit cara membawanya dijepit atau agak disembunyikan sehingga tidak terlihat orang lain, karena pada saat makan indahan hapit-hapit tetangga tidak diundang untuk makan bersama.

Makanan yang diberikan pihak boru atau pamoruon pada upacara adat kelahiran, pernikahan, dan kematian adalah tudu-tudu sipanganon atau disebut juga dengan na margoar. Pemberian tudu-tudu sipanganon, pada hakekatnya adalah simbol rasa hormat terhadap pihak hula-hula, maka pihak pamoruon menyembelih satu ekor hewan ternak seperti pinahan lobu ‘babi’, lembu atau kerbau. Setelah tudu- tudu sipanganon diterima hula-hula, selanjutnya akan dibagi kepada pihak-pihak yang secara adat berhak menerimanya, pembagian ini disebut juga dengan jambar.

Hula-hula membalas pemberian makanan tudu-tudu sipanganon kepada pihak boru dengan memberikan dengke ‘ikan’ yang disebut juga dengan dengke saur ‘tercapai yang diharapkan’, dengke na porngis ‘ikan yang gemuk’, dengke sitio-tio , dengke sahat, dengke na ganjang, dengke na mokmok, dengke upa-upa.

5.1.2 Taksonomi Makanan Tradisional pada Upacara Adat Batak Toba

Analisis taksonomi adalah analisis terhadap keseluruhan data yang terkumpul berdasarkan domain yang telah ditetapkan. Pada analisis taksonomi, fokus penelitan ditetapkan pada domain tertentu yang sangat berguna dalam upaya mendeskripisikan atau menjelaskan fenomena penelitian. Merujuk pada tipe diagram taksonomi yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 84 dikemukakan Spradley pada gambar 2.2, penulis menggunakan taksonomi bentuk tabel dan garis.

Penulis berupaya memahami domain-domain tertentu sesuai fokus masalah atau sasaran penelitian yaitu performansi pemberian makanan tradisional pada upacara adat Batak Toba. Masing-masing domain dipahami secara mendalam, dan membaginya lagi menjadi subdomain, dan dari subdomain itu dirinci lagi menjadi bagian-bagian yang lebih khusus lagi hingga tidak ada lagi yang tersisa. Taksonomi makanan tradisional Batak Toba dengan menggunakan titik dan garis disusun berdasarkan domain yang makanan pada pembahasan sebelumnya. Melalui taksonomi makanan tradisional pada upacara adat Batak Toba, dapat diketahui dalam gambar diagram garis di bawah ini.

MAKANAN ADAT BATAK TOBA

Kelahiran Pernikahan Kematian

Dengke Tudu-tudu Dengke Tudu-tudu Dengke Tudu-tudu sipanganon sipanganon sipanganon

1. Dengke Pinahan 1.Dengke Pinahan 1. Dengke Pinahan simudur- Lobu simudur- lobu simudur Lobu udur udur -udur a. Namarngigi a. Namarngigi a. Namarngigi 2. Dengke na b. Osang 2.Dengke b.Osang 2.Dengke b. Osang mokmok c. Tanggalan/ sahat c.Aliang sahat c. Tanggalan/ aliang d. Ate-ate aliang 3. Dengke na d. Ate-ate 3.Dengke 3. Dengke niura Sitio-tio e.Somba-somba Sitio-tio d. Ate-ate e. Somba-somba f. Soit e. Somba-somba 4. Dengke f. Soit 4.Dengke f. Soit saur saur Sigagat Sigagat 5. Dengke duhut duhut upa-upa 7. Dengke Gajah Gajah sitio-tio Toba/ Toba/ Horbo Horbo 6. Dengke na ganjang

8. Dengke na porngis

Gambar 5.3 Taksonomi Makanan Tradisional Batak Toba

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 85

5.1.3 Komponen Makna pada Makanan Tradisonal Batak Toba

Bahasa lisan dan tulisan atau verbal dan nonverbal, menggambarkan berbagai aktivitas manusia. Ditemukan untuk menyatakan satu kegiatan, digunakan lebih dari satu kata. Penamaan itu membentuk suatu medan makna dengan komponen- komponen, relasi, dan fitur unik tersendiri yang mampu membedakan antara satu dengan yang lain. Analisis komponen digunakan untuk menata dan menghubungkan data berdasarkan domain, kategori bentuk, kategori fungsi, atau kategori lainnya.

Spradley (2007), menjelaskan bahwa analisis komponen merupakan suatu pencarian sistematik berbagai atribut (komponen makna) yang berhubungan dengan simbol- simbol budaya. Analisis komponen yaitu analisis yang mencari ciri spesifik pada setiap struktur internal dengan cara mengkontraskan antara elemen.

Analisis dilakukan sebagai observasi dan wawancara terseleksi dengan mengajukan pertanyaan kontras kepada informan. Makanan tradisional Batak Toba yang disajikan pada upacara adat, dimasak dengan cara-cara tradisional. yang dirangkum dalam tabel berikut ini:

Tabel 5.3 Jenis Makanan Berdasarkan Cara Pengolahan Na nigaor Nanirobus ‘Direbus’ Na Na Na nisaok tata Sampai Masih nilompa nitutung ‘disangrai’ ‘dicampur Kering ada air ‘dikukus’ ‘bakar’ mentah’ Arsik Sop Lampet na nitombur Sasagun Na niura Bangun- Dolung- Biji kopi Itak gurgur Dali ni bangun dolung na nipadar horbo Ombus- Beras Ura-ura Hare ombus (untuk obat)

Hal unik dalam tradisi makanan Batak Toba salah satunya terlihat pada cara pengolahan dengan cara na nigaor tata ‘dicampur mentah’. Makanan tersebut adalah na niura yaitu makanan berbahan dasar ikan (ikan mas atau ihan batak) yang dicampur dengan rempah-rempah khas tanah Batak yaitu andaliman (Zanthoxylum

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 86 acanthopodium) dengan cara mencampurkan asam pada bumbu dan ikan. Itak gurgur merupakan makanan ringan berupa kue yang cara pengolahannya dari campuran tepung beras, gula merah, kelapa dan garam. Makanan ini disajikan pada saat acara mambosuri salah satu subdomain kelahiran. Sedangkan ura-ura adalah jenis makanan dari nangka muda yang ditumbuk bersama dengan cabai, bawang, dan garam. Makanan ini sering dijadikan lalapan teman makan.

Analisis komponen makna berdasarkan cara pengolahannya dapat dikelompokkan dalam beberapa leksem, 1) leksem arsik ‘kering’, makanan yang dimasak sampai airnya kering. 2) leksem padar ‘panggang’, makanan dimasak dengan cara diletakkan di atas bara api atau sama dengan panggang, selanjutnya bumbu dicampur dengan darah. 3) leksem ura ‘masak dengan asam‘, 4) leksem tombur ‘dibakar lalu disiram bumbu pedas’, 5) leksem saok, ‘sangrai’, bahan makanan dimasak tanpa menggunakan minyak. 6) leksem tutung ‘bakar’, makanan dibakar langsung di atas api.

Tabel 5.4 Komponen Makna Aktivitas Memasak Komponen Dimensi Kontras Makna Ikan Ayam Ubi Beras Sayur Babi Lembu Kerbau Arsik + - - - - + - - Padar + + - - - + - - Ura + ------Tombur + ------Saok - - - + - - - - Tutung + + + - - + + +

Aktivitas memasak makanan yang disajikan pada upacara adat Batak Toba, dikelompokkan dalam ciri semantis yang sama. Ciri semantis bahan utama yang digunakan untuk memasak adalah ikan, ayam, ubi, beras, beras, babi, lembu dan kerbau. Leksem memasak makanan dengan cara arsik ‘gulai kering’, padar

‘panggang campur darah’, ura ‘dimasak dengan asam’, tombur ‘panggang disiram bumbu’, saok ‘sangrai’ dan tutung ‘bakar’.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 87

Ciri-ciri khusus yang membedakan antar leksem arsik, padar, ura, tombur, saok, dan tutung adalah tutung digunakan untuk hampir semua aktivitas memasak, contoh manutung gadong ‘membakar ubi’ (+), manutung jagal manuk ‘membakar daging ayam’ (+), manutung dengke ‘membakar ikan’ (+), manutung boras (?), manutung ingkau ‘sayur’ (?). Padar digunakan untuk aktivitas memasak ayam dan ikan, sementara saok ‘sangrai’ aktivitas memasak sasagun ‘makanan dari tepung beras, gula dan kelapa’.

Tradisi marsipanganon ‘makan’ dalam budaya Batak Toba, berdasarkan tujuannya, terbagi atas: 1) mamboan sipanganon ‘membawa makanan untuk seseorang’, 2) mamio ‘mengundang orang untuk makan bersama’, 3) manulangi ‘menyuapi orangtua’, 4) mangupa ‘memberi makanan penghibur bagi orang yang nyaris celaka, atau memberi makanan sukacita bagi mereka yang baru saja berprestasi, naik pangkat atau jabatan’, 5) mambosuri; mangharoan; mamoholi;

‘memberi makan ibu yang usia kandungan tujuh bulan’, 8) mangallang ‘acara makan-makan bersama teman’, 7) mangan indahan sipaet-paet ‘makan untuk menghibur keluarga yang berdukacita’. Masing-masing kata marsipanganon

‘makan’ dalam bahasa Batak Toba dapat dilihat melalui tabel komponen makna berikut ini.

Tabel 5.5 Komponen Makna Marsipanganon ‘Makan’ Dimensi Kontras Komponen Makna Sukacita Dukacita Mohon doa Mamboan sipanganon + - + Mamio + - + Manulangi + - + Mangupa + - + Mambosuri + - + Mangallang + - - Mangan indahan sipaet-paet - + +

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 88

Berdasarkan tabel komponen makna marsipanganganon ‘makan bersama’ terdapat tiga peristiwa, yaitu sukacita, dukacita dan memohon doa. Hampir semua komponen makna makan bersama dilaksanakan dalam kondisi sukacita sekaligus memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Terdapat satu peristiwa makan bersama yang dilaksanakan dalam dukacita, yaitu memakan indahan sipaet-paet

‘makan bersama keluarga yang baru mengalami kemalangan’

Komponen makna makanan indahan ‘nasi’, yang terdiri dari leksem 1) indahan na las ‘nasi yang panas’, 2) indahan sipaet-paet ‘nasi pahit’, 3) indahan soso-soso ‘nasi nasihat’, 4) indahan hapit-hapit ‘nasi jepit’ dan indahan saor ‘nasi bersatu’.

Tabel 5.6 Komponen Makna Indahan ‘Nasi’ Dimensi Kontras Komponen Makna Sukacita Dukacita Berdoa Indahan na las + - + Indahan sipaet-paet - + + Indahan soso-soso - + + Indahan hapit-hapit - + + Indahan saor + - +

Analisis komponen berdasarkan ciri semantis sukacita, dukacita, dan berdoa, terlihat dalam ciri semantis bernilai + untuk setiap peristiwa makan indahan ‘nasi’, terlihat bahwa masyarakat Batak Toba adalah kelompok masyarakat yang relegius.

Leksem indahan sipaet-paet, indahan soso-soso, dan indahan hapit-hapit bernilai + pada peristiwa dukacita. Indahan sipaet-paet bermakna bahwa semua makanan terasa tidak enak atau pahit saat mengalami dukacita. Indahan soso-soso adalah nasi yang dibawa oleh keluarga dekat untuk memberikan nasihat dan kata-kata penghiburan kepada keluarga yang sedang mengalami dukacita. Indahan hapit-hapit berfungsi sama dengan indahan soso-soso, hanya saja cara membawanya memasuki rumah yang sedang berdukacita seolah-olah disembunyikan atau dijepit, Hal ini

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 89 dikarenakan, kedatangan pihak yang akan memberikan makanan dan penghiburan sebaiknya tidak diketahui tetangga sekitar rumah duka karena tetangga tidak ikut diundang makan. Sedangkan indahan saor adalah nasi yang digunakan sebagai simbol perdamaian bagi pihak-pihak yang berselisih faham.

5.1.4 Pola Penamaan Makanan Tradisional Batak Toba

Penamaan jenis-jenis makanan tradisional Batak Toba sangat berhubungan dengan cara pengolahan, dan fungsi makanan tersebut, misalnya untuk penamaan makanan indahan ‘nasi’. Nasi adalah makanan pokok masyarakat Batak Toba, namum penamaan nasi berbeda berdasarkan fungsinya, apakah disajikan dalam suasana dukacita atau dukacita. Penamaan makanan dapat terlihat pada tabel berikut ini.

Tabel 5.7 Penamaan Makanan Berdasarkan Cara Memasaknya Nama Cara Pengolahan Makanan Na niarsik yang digulai kering Na nidugu yang dipulas Na nitombur yang dipanggang dan disiram bumbu Na nipolgang yang dipanggang Na nitutung yang dibakar Na nilompa yang dimasak Na nirobus yang direbus Na nipadar yang dipanggang Na niura yang dimasak dengan asam Na nisoak yang disangrai Na nigotaan yang dimasak campur darah

Ditemukan pada sistem penulisan nama makanan tradisional Batak Toba terdapat pola penamaan na ni + verba atau cara pengolahan makanan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 90

Tabel 5.8 Penggunaan Frasa na ni...’yang di...’ Frasa na ni... Contoh Na niarsik ‘yang digulai kering’ Dengke na niarsik ‘ikan yang diarsik’ Na nidugu ‘yang dipulas’ Bangun-bangun na nidugu ‘sayur bangun- bangun yang dipulas’ Na nitombur ‘yang disiram’ Dengke na nitombur ‘ikan yang disiram dengan bumbu’ Na nipolgang ‘yang dipanggang’ Dengke na nipolgang ‘ikan yang dipanggang’ Na nitutung ‘yang dibakar’ Gadong na nitutung ‘ubi yang dibakar’ Na nilompa ‘yang dimasak’ Indahan na nilompa ‘nasi yang dimasak’ Na nirobus ‘yang direbus’ Gadong na nirobus ‘ubi yang direbus’ Na nipadar ‘yang dibakar ‘ Manuk na nipadar ‘ayam yang dibakar’ Na niura ‘yang dimasak pakai Dengke naniura ‘ikan yang dimasak dengan asam’ asam’ Na nisaok ‘yang disangrai Boras na nisaok ‘beras yang disangrai’ Na nigotaan ‘yang dicampur Juhut na nigotaan ‘daging yang dicampur darah’ atau na margota ‘yang darah’ bercampur darah’

Penggunaan frasa dari turunan kata dengke ‘ikan’, seperti dengke simudur- udur ‘ikan yang beriringan’, dengke sahat ‘ikan sampai pada tujuan’, dengke upa- upa ‘ikan doa keselamatan’, dengke saur ‘ikan umur panjang’, dengke sitio-tio ‘ikan dari air jernih’. Berikut pada tabel 5.10 adalah penggunaan frase dengke pada teks pemberian makanan yang diberikan oleh hula-hula kepada pamoruon.

Tabel 5.9 Penggunaan Frasa Dengke Frasa Makna Teks Dengke Selalu seiring dan ...(4) marlas niroha manomu-nomu hamu, simudur- sejalan disiala naung sorang anak dihamu ima udur pahompu nami. Dison ro do hami mamboan Dengke Tercapai yang dengke simudur-udur, dengke sahat, sahat diinginkan dengke upa-upa.

Dengke upa- Mendatangkan ...(13) Dison hupasahat hami dengke saur, upa kebaikan, dengke simudur-udur, dengke tio, dohot keselamatan pangidoan tu Tuhanta pardenggan basai. Dengke Mudah rezeki Asa sai mudur-udur ma hamu tu dolok tu sitio-tio toruan, tio ma mual inumonmu, jala sai sahat ma nauli sahat ma nadenggan di hamu

Dengke saur Tercapai yang ... nuaeng pe pasahaton hami ma dengke diinginkan simudur-udur, dengke sitio-tio, dengke sahat, sai anggiat ma antong rap udur hamu Rajani Pamoruon nami tu dolok tu toruan, sai tio ma parhorasan, tio nang panggabean, dengke sahat, sai sahat ma pasu-pasu ni Amanta Debata tu hamu sude Raja ni Pamoruon nami.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 91

Pola penamaan makanan makanan tradisional mengalami perubahan, apabila makanan tersebut disajikan sebagai makanan pada upacara adat. Perubahan terjadi pada penulisan dan juga makna. Contoh perubahan terlihat pada tabel berikut ini:

Tabel 5.10 Perubahanan Nama Makanan Nama Makanan Nama Makanan Adat Perubahan Tradisional Tulisan Makna Indahan ‘nasi’ Indahan na las ‘nasi panas’ + + Indahan sipaet-paet ‘nasi pahit’ + + Indahan soso-soso ‘nasi sapa’ + + Indahan hapit-hapit ‘nasi jepit’ + + Indahan saor ‘nasi menyatu’ + + Na niarsik ‘ikan Simudur-udur ‘beriringan’ + + yang digulai Sahat ‘sampai pada tujuan’ + + kering’ Upa-upa ‘doa’ + + Sitio-tio ‘jernih’ + + Saur ‘panjang umur’ + + Na porngis ‘yang gemuk’ + + Juhut na nigotaan Tudu-tudu sipanganon atau na + + atau na margota margoar ‘yang punya nama’ Bagi masyarakat Batak Toba, makanan sehari-hari adalah indahan ‘nasi’, yaitu beras na nilompa ‘yang dimasak’. Penamaan indahan pada upacara berubah menjadi indahan na las ‘nasi yang panas’. Indahan na las biasaya disebutkan pada upacara adat kelahiran dan pernikahan atau adat sukacita. Indahan sipaet-paet, indahan soso-soso dan indahan hapit-hapit adalah nasi yang pada ritus kematian.

Sedangkan indahan saor adalah adalah nasi yang dihidangkan pada penyelesaian pertikaian yang diakhiri dengan makan bersama.

Makanan tradisional na niarsik ‘yang digulai kering’, adalah makanan tradisional orang Batak Toba. Dengke mas ‘ikan mas’ menjadi bahan dasar na niarsik, ikan yang dimasak dengan cara menggulai dan membiarkannya sampai marsik ‘kering’ disebut dengan dengke na niarsik. Pada upacara adat, dengke diberikan hula-hula kepada pamoruon. Penyebutan nama dengke na niarsik berubah menjadi dengke simudur-udur, dengke sahat, dengke sitio-tio, dengke upa-upa dan dengke na porngis.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 92

5.2 Performansi Pemberian Makanan pada Adat Batak Toba

Duranti (2000), menjelaskan bahwa antropolinguistik menggunakan tiga pendekatan utama yaitu performansi, indeksikalitas, partisipan, yang terbukti efektif dalam mengkaji hubungan struktur teks, koteks dan konteks (budaya, ideologi, sosial, dan situasi) suatu tradisi lisan yang dilatarbelakangi unsur-unsur budaya dan aspek kehidupan manusia yang berbeda-beda.

Ada tiga parameter yang digunakan antropolinguis dalam mengkaji penggunaan bahasa dalam kebudayaan, yaitu keterhubungan, kebernilaian dan keberlanjutan. Keterhubungan memperlihatkan performansi yang berkenaan dengan struktur bahasa atau teks dengan konteks (budaya, ideologi, sosial, dan situasi) dan ko-teks (paralinguistik, gerak isyarat, unsur-unsur material). Kebernilaian memperlihatkan indeksikalitas yang berkenaan dengan makna atau fungsi, sampai ke nilai atau norma, serta akhirnya sampai pada kearifan lokal. Keberlanjutan memperlihatkan partisipasi yang berkenaan dengan keadaan objek yang diteliti termasuk nilai budayanya dan pewarisannya pada generasi berikutnya.

5.2.1 Performansi pada Ritus Kelahiran

Dalam pembahasan ini performansi pemberian makanan pada ritus kelahiran terdiri dari mambosuri dan mamboan aek ni unte. Upacara mambosuri dan mamboan aek ni unte dilaksanakan pada parnangkok ni mataniari ‘naiknya matahari’, sekitar pukul 09.00 sd 11.00 WIB. Makanan diberikan kepada calon ibu yang usia kandungannya sudah memasuki bulan ke tujuh. Mambosuri ‘membuat kenyang’ disebut juga dengan mangirdak, mangganjae, manonggoti ‘membuat terkejut’, pasahat ulos gomgoman ‘memberikan kain ulos’, pasahat ulos tondi, mangkahunik

‘memberi ’. Tradisi mambosuri ‘membuat kenyang’ biasanya dilaksanakan hanya pada anak pertama.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 93

Mambosuri atau mangirdak atau mangganjae disebut juga dengan upacara adat tujuh bulanan. Pihak paranak ‘keluarga suami’ menyambut kehadiran hula-hula dengan menyiapkan makanan adat yang disebut dengan na margoar atau tudu-tudu sipanganon ‘penanda makanan’ yaitu bagian dari hewan yang dikorbankan, disusun menyerupai bentuk aslinya dan diletakkan dalam wadah besar. Oleh pihak hula-hula, tudu-tudu sipanganon ini akan dibagi kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya. Pembagian ini disebut dengan jambar ‘bagian’.

Menurut data yang diperoleh melalui pengamatan dan informan Opung Hardi

Sihombing, ada tiga tujuan utama pemberian makanan pada upacara mambosuri yaitu: 1) Calon ibu sehat dan bersemangat mempersiapkan hari kelahiran, 2)

Memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar kelak pada saat kelahiran, ibu dan bayinya sehat, 3) Anak yang dilahirkan menjadi anak yang berbakti dan membawa kebanggaan bagi orangtua dan keluarga besarnya. Pengamatan yang dilaksanakan di kediaman keluarga Bapak Evander Siahaan dan Ibu Lina boru

Simarmata, upacara mambosuri dimulai dari kedatangan orangtua dan utusan keluarga dari pihak istri (hula-hula Simarmata). Mereka datang membawa membawa makanan adat berupa dengke simudur-udur yang disebut juga dengan dengke tio dan juga makanan kesukaan putrinya. Sementara pihak pamoruan ‘pihak keluarga suami’ marga Siahaan menyiapkan makanan tudu-tudu sipanganon untuk menghormati hula-hula yang datang.

Dengke ‘ikan’ mas atau ihan diletakkan di atas nasi dalam pinggan ‘piring berukuran besar’. Jumlah ikan yang diberikan adalah tiga, ikan dengan ukuran paling besar diletakkan di tengah dengan posisi berdiri dan kepala menghadap kepada boru dohot hela ‘putri dan menantunya’. Tangan kanan keduanya memegang pinggan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 94 pasu dari bagian bawah, sedangkan Bapak Simarmata bersama istrinya memegang bagian atas pinggan, dan mengucapkan:

(14) On ma inang, boru hasian dohot dihamu amang hela Ini lah putri, anak perempuan kesayangan dengan kamu amang menantu

sipanganon na hu pasahat hami on na gabe upa-upa makanan yang ku sampaikan kami ini yang jadi doa keselamatan

di badanmu dohot 1 di tondi muna pasupasuon pada tubuhmu dengan doa keselamatan pada jiwa kalian diberkati

ni Aman ta Parasi roha i. Sai dao ma sahit dibahen Tuhan ta oleh Bapa kita Pemurah hati itu. Semoga jauh lah sakit dibuat Tuhan kita

jala sai dibagasan hahipason ma hamu paima-ima denggan kemudian semoga didalam kesehatan lah kalian menanti-nanti bagus

basa sian Tuhan ta i, jala sai di pargogoi Tuhan ta ma murah hati dari Tuhan kita itu, dan semoga di perkuat Tuhan kita lah

ho inang marorot naung pinasonggop ni Tuhan ta tu ho kamu putri menjaga (anak) telah dihinggapkan oleh Tuhan kita pada mu Dengke Sitio-tio do ginoaran dengke na hu upahon hami on, Ikan si jernih-jernih nya dinamakan ikan yang ku berikan kami ini,

asa anggiat tio parngoluan mu tu joloan on; agar semoga jernih kehidupan mu ke depan ini;

Dengke Simudur-udur do huhut goar na asa sai tongtong Ikan simudur-udur nya juga nama nya agar selalu tetap

tu joloan on sai denggan hamu mudurudur mar sihaholongan ke depan ini semoga baik kamu seiring sejalan saling mengasihi

di sasude parngoluan muna; Dengke Saur do deba goar na, pada semua kehidupan kalian; ikan saur juga sebagian nama nya,

asa anggiat nian saur hamu rap saur matua, saur agar semoga lah umur panjang kalian sama panjang umur, sama

di hahipason; ginoaran dope on Dengke Sahat asa sahat ma nian pada kesehatan; dinamakan juga ini ikan sahat agar sampai lah kiranya

sude na uli na denggan sahat pangabean sahat semua yang indah yang baik sampai beranak cucu sampai

parhorasan di hamu lehonon ni Aman ta Debata

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 95

kesejahteraan pada kalian diberikan oleh Bapa kita Allah

Par denggan basa i. Jadi inang Yang murah hati itu. Jadi inang (sapaan untuk anak perempuan)

dohot hamu amang sahat ma upa-upa nami serta kamu amang (sapaan untuk anak laki-laki) sampai lah doa-doa kami

tu hamu di namanagam tubuan anak manang boru, asa kepada kalian menantikan kelahiran anak laki-laki ataupun perempuan agar

margogo ho inang. Sahat ma na uli na denggan memiliki kekuatan kamu inang. Sampai lah yang indah yang baik

di ngolu mu ditumpak asi dohot holong na sian Tuhan ta i. di hidup mu diberkati kasih dengan cinta yang dari Tuhan kita itu.

Asa songon hata ni umpasa ma dohonon hu: Agar seperti kata di perumpamaan lah katakan ku:

Tubu ma lata di toru ni bunga-bunga, Tumbuh lah biji di bawah nya bunga-bunga

Sai tubu ma di hamu anak na mar sangap dohot Semoga lahir lah pada kalian anak laki-laki yang mempunyai hormat dan angka boru na mar tua. setiap anak perempuan yang mempunyai berkah

Sahat-sahat ni solu, sahat ma tu bontean. Sampai-sampai nya perahu, sampai lah ke tepian.

Sahat ma hamu leleng mangolu, jala sahat tu panggabean. Sampai lah kalian lama hidup, dan juga sampai kepada hidup sejahtera

‘sampailah perahu, sampailah di pelabuhan, Semogalah kalian panjang umur, dan selalu hidup sejahtera.’

‘Inilah putriku, putri kesayanganku dan juga menantuku, makanan yang kami berikan ini menjadi semangat ditubuh kalian dan semangat di jiwa kalian, diberkati Tuhan Yang Maha Pemurah. Semoga Tuhan menjauhkan sakit peyakit dan selalu diberikan kesehatan kepada kalian dalam menantikan (anak) anugerah Tuhan, dan semoga Tuhan memberikan kekuatan kepadamu putriku merawat berkat yang Tuhan berikan kepadamu. Ikan yang kami berikan ini disebut dengan dengke sitio-tio, semoga kalian mendapatkan hidup yang baik, dengke simudur-udur juga namanya, semoga kalian selalu hidup seiring dan sejalan dalam mengarungi biduk rumah tangga; ‘dengke saur’ juga adalah namanya, semogalah kalian panjang umur, sehat-sehat dan sehidup semati; disebut juga ‘dengke sahat’ semoga semua kebaikan, kesejahteraan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 96

diberikan Tuhan Yang Maha Pemurah kepada keluarga kalian. Jadi, putriku dan menantuku, semoga terkabullah doa dan harapan kami kepada kalian dalam menantian kelahiran anak laki-laki ataupun anak perempuan, semoga kamu kuat putriku. Semogalah semua yang baik terjadi dalam hidup kalian, diberkati dengan kasih dan kemurahan dari Tuhan kita. seperti kata dalam perumpamaan saya sampaikan: Tumbuhlan biji tananam di bagian bawah bunga-bunga, Semogalah lahir anak laki-laki yang membawa hormat dan anak perempuan yang membawa berkah’

Ibu yang sedang mengandung (Lina Simarmata), memakan kesukaannya sampai merasa bosur ‘kenyang’, inilah asal kata mambosuri ‘membuat kenyang’.

Setelah itu, ibunya menyuapkan makan indahan na las ‘nasi yang panas’ dan dengke

‘ikan’ kepada boruna ‘putrinya’ Lina boru Simarmata sebanyak tiga kali, dilanjutkan dengan memberikan aek sitio-tio ‘air minum yang jernih’. Orangtua pun bertanya apakah masih ada keinginan yang belum terkabul atau apakah ada perasaan yang masih menganjal di hati, misalnya mengidamkan suatu barang atau makanan. Jika masih ada, maka hula-hula ‘orangtua istri’, suami dan mertua pasti berusaha memenuhinya, agar tidak menjadi penghalang pada saat melahirkan nanti. Karena masyarakat Batak Toba meyakini, keinginan calon ibu yang tidak terpenuhi, akan menjadi hangalan ‘halangan hidup’ pada masa pertumbuhan dan masa depan anak yang akan dilahirkan.

Setelah proses pemberian makanan dan ulos mula gabe selesai disematkan, orangtua mengakhiri proses mambosuri dengan menyampaikan doa dan harapan melalui suatu umpasa, “pirma inna poki, bahul-bahul passalongan. Sai pir ma antong tondi muna boruku dohot helaku, sai lunju-lunju ma nang pangomoan”.

‘pohon pokki tegak tumbuh keras, lumbung besar tempat penyimpanan. Semogalah roh dan jiwa kalian putriku dan menantuku semakin bersemangat, dan mudah- mudahan kalian mendapatkan berkat dan keberuntungan. Seluruh undangan langsung menyambutnya dengan ima tutu ‘itulah yang benar’. Kata ima tutu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 97 bermakna bahwa semua undangan pun turut mengaminkan doa yang telah dipanjatkan kiranya segera terwujud. Ritual mambosuri diakhiri dengan menaburkan boras si pir ni tondi ‘beras penguat jiwa’.

Tabel 5.11 Performansi Mambosuri Performansi Saat memberikan makanan, tangan berada di atas pinggan, rombongan yang tidak bisa memegang pinggan, akan saling berpegangan, sementara tangan penerima (boru) berada di bawah pinggan Indeksikalitas Kata on ma pada data no (14) menunjuk pada dengke ‘ikan’ Partisipan Hula-hula, istri, menantu, orangtua suami Keterhubungan Pemberian dengke simudur-udur dan ulos mula gabe untuk memanjatkan doa permohonan Kebernilaian Makanan yang diberikan bermakna agar ibu yang sedang mengandung, sehat dan semangat menantikan kelahiran bayinya. Anak yang dilahirkan adalah anak yang sehat, anak membawa kebahagiaan. Keberlanjutan Pada masyarakat Batak Toba di Samosir maupun Medan, pelaksanaan adat mambosuri masih sering dijumpai.

Selanjutnya pamoruon ‘orangtua suami’ memberikan makanan tudu-tudu sipanganon kepada hula-hula ‘orangtua istri’. Tudu-tudu sipanganon disusun dalam wadah yang besar, diletakkan di hadapan hula-hula, dengan posisi kepala menghadap hula-hula. Hula-hula menerima tudu-tudu sipanganon dengan cara meletakkan tangannya di bawah wadah makanan, sedangkan pihak suami (yang memberi makanan) meletakkan tangan di bagian atas wadah makanan.

5.2.2 Performansi pada Ritus Pernikahan

Pada ritus pernikahah terdapat enam domain yang menggunakan makanan adat, yaitu marhusip, martumpol atau marhata sinamot, marsibuha-buhai, pesta unjuk, paulak une dan maningkir tangga. a. Performansi Marhusip ‘berbisik’.

Pihak paranak ‘mempelai laki-laki’ beserta rombongan yang terdiri dari dongan tubu ‘saudara semarga’, hula-hula ‘keluarga dari pihak istri’, boru ‘saudara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 98 perempuan’ dan kerabat lainnya berjumlah sekitar 20 s.d 50 orang. Orangtua calon mempelai pria disebut dengan hasuhuton ‘penyelenggara pesta’ selalu didampingi raja parhata atau parsinabul. Raja parhata bertugas sebagai moderator atau penyambung lidah hasuhuton selama acara berlangsung. Berdasarkan observasi deskriptif dan terfokus pada upacara adat marhusip untuk rencana pernikahan antara

Johanes Simarmata dan Roida boru Napitupulu pada Sabtu 22 April 2017, pemberian tudu-tudu sipanganon kepada orangtua calon mempelai wanita:

(15) Mauliate ma di Tuhanta Parasi Roha Bolon i Terima kasih lah kepada Tuhan kita mempunyai kasih hati besar itu

Na mangalehon tingki na uli on di hita raja nami, di ari yang memberikan waktu yang indah ini kepada kita raja kami, pada hari

na uli di ari na denggan on, di na ro hami yang indah pada hari yang baik ini, dimana yang datang kami

pamoruon muna mandapothon pamoruon (pihak keluarga yang mengambil istri) kalian menemui

hamu raja nami. Hula-hula nami, di son kalian raja kami. Hula-hula (pihak keluarga istri) kami, di sini

hu pasahat hami tu hamu tudu-tudu ni sipanganon na hu boan ku sampaikan kami kepada kalian penanda nya makanan yang ku bawa

hami si pa las roha mu. Molo tung songon on dope na kami yang membuat gembira hati mu. Kalau pun seperti ini masih yang

boi tar patupa hami raja nami pasangaphon hamu di tingki on, dapat ter buat kami raja kami menghormati kalian pada saat ini,

las ma roha mu raja nami manjalo, sai songon nidok gembira lah hati mu raja kami menerima, semoga seperti dikatakan

ni umpasa ma dohonon nami: di perumpamaan lah kata kami:

godang si butong-butong, otik si pir ni tondi, banyak yang kenyang-kenyang, sedikit yang keras di roh (konotasi)

tung songon on dope na boi tar patupa hami lao pasangaphon walaupun seperti ini masih yang dapat ter buat kami untuk menghormati

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 99

hamu raja nami, las ma roha mu manjalo. kalian raja kami, gembira lah hati mu menerima. (denotasi)

Bagot na mar halto ma na ni agatan ni paronan, Pohon enau yang ber buah lah yang di sadap oleh pedagang

Horas jala las ma roha mu Tulang dohot Nantulang nami na sejahtera dan gembira lah hati mu paman dan bibi kami yang

mangan hon songon las ni roha nami boru mu na makan kan seperti gembira nya hati kami anak perempuan mu yang

mangalean. Songon i ma jolo hata nami Tulang, mauliate ma. Memberikan. Seperti ini lah dulu kata kami paman, terima kasih lah.

‘terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Besar, yang telah memberikan waktu yang indah kepada kita raja kami (sapaan hormat kepada hula-hula). Pada hari yang indah dan hari yang baik ini, kami pamoruon datang menjumpai raja kami. Hula-hula kami, disini kami sampaikan kepada kalian penanda makanan yang kami bawa untuk menyenangkan hati hula-hula kami, walaupun masih seperti ini yang dapat kami perbuat untuk menghormati kalian, kiranya terimalah dengan sukacita. semoga seperti yang dikatakan dalam perumpamaan, kami sampaikan; banyak yang kenyang, sedikit penguat roh; walaupun seperti ini yang dapat kami perbuat menghormati hula-hula kami, semogalah gembira menerimanya. Pohon enau yang berbuah kulang- kaling, disadap para pedagang; sejahtera dan bersukacitalah Paman dan Bibi menikmatinya, seperti sukacitanya kami yang memberikannya. Demikianlah kami sampaikan, terima kasih’

Tabel 5.12 Performansi Marhusip Performansi Tudu-tudu sipanganon diberikan kepada orangtua calon mempelai wanita dan orangtua calon mempelai wanita memberikan dengke simudur-udur. Posisi tangan pihak yang menerima berada di bawah pinggan, sedangkan yang memberi makanan berada di bagian atas pinggan. Indeksikallitas Kata on ‘ini’ pada teks (15) songon on pe ‘seperti ini pun’, kata on menunjuk kepada makanan tudu-tudu sipanganon. Partisipan Orangtua calon mempelai pria dan orangtua calon mempelai wanita Keterhubungan Tudu-tudu sipanganon cara untuk menghormati keluarga mempelai wanita dan dengke simudur-udur sebagai cara berdoa dari harapan mendapatkan hidup yang damai. Kebernilaian Saling menghormati antar kedua belah pihak yang akan melangsungkan pernikahan Keberlanjutan Pada masyarakat Batak Toba di Samosir maupun Medan, pelaksanaan adat marhusip masih tetap dilaksanakan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 100 b. Performansi Marhata Sinamot ‘membicarakan mahar’.

Hal-hal penting yang dibicarakan adalah persiapan untuk pelaksanaan pesta unjuk ‘hari adat pernikahan’. Urutan acara marhata sinamot adalah 1) pasahat tudu- tudu sipanganon ‘memberikan makanan daging’ kepada orangtua mempelai wanita,

2) pasahat dengke ’memberikan ikan’ kepada orangtua mempelai pria, 3) tangiang mangan ‘doa makan’, 4) mangan ‘makan’, 5) bagi jambar ‘pembagian’, 6) marhata sinamot ‘membicarakan mahar’, 7) manuari ‘membacakan kesimpulan’ dan 8) padalan ingot-ingot ‘memberikan pengingat’ agar para undangan yang hadir pada acara marhata sinamot, mereka ingat untuk mendoakan kesuksesan pesta dan ingat hadir pada acara unjuk ’pesta’.

Inti marhata sinamot adalah mendiskusikan 1) jumlah mahar, 2) sifat pelaksanaan pesta apakah taruhon jual ’pesta diselenggarakan pihak keluarga pria’ atau dialap jual ‘pesta diselenggarakan keluarga wanita, 3) sibuaton ‘jenis hewan yang akan dikorbankan’, apakah namarmiak-miak ‘babi’ atau sigagat duhut ‘lembu’, atau gajah toba ‘kerbau’, 4) jumlah ulos yang akan diberikan kepada keluarga mempelai pria, 5) jumlah undangan masing-masing pihak, 7) tanggal pelaksanaan pemberkatan nikah dan pesta, 8) sibuha-buhai ‘pembuka pesta’. Merujuk pada data teks no.(7) yaitu pemberian makanan tudu-tudu sipanganon kepada orangtua mempelai wanita:

Jadi, di hamu raja i, hula-hula nami Napitupulu, di son Jadi, pada kalian raja itu, hula-hula kami Napitupulu (marga) di sini

ro do hami raja ni pamoruon muna marga datang nya kami raja nya pamoruon (pihak keluarga perempuan) marga

Simarmata. Di son ro hami mandapothon hamu. Songon dalan nami Simarmata. Di sini datang kami menjumpai kalian. Seperti jalan kami

manghatai tu raja i, dipatupa hami songon parbue ni sipanganon. berbicara kepada raja itu, disiapkan kami seperti buah nya makanan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 101

anggiat ma asi roha ni Tuhan ta, tiur angka na ta semoga lah kasihan hati Nya Tuhan kita, terang semua yang kita sangkapi di angka siulaon ta dope dung sipul hita rencanakan pada setiap pekerjaan kita lagi setelah selesai kita

mardaun pogu. makan

‘Jadi, kepada raja hula-hula kami marga Panjaitan, di sini kami data raja pamoruon kalian marga Marbun. Di sini kami datang menemui kalian, sebagai cara kami berbicara kepada raja, kami berikan sebagai buah tangan, kiranya atas kemurahan Tuhan, semua yang telah kita rencanakan akan berjalan lancar khususnya setelah kita selesai makan nanti.

Asa songon na nidok ni natua-tua i antong Agar seperti yang dikatakan yang tetua itulah jadi

dohonon nami, tintin do na tinopa, golang-golang do anggo katakan kami, cincin nya yang ditempa, gelang-gelang nya kalau

pang arahut na, songon i pe raja nami na boi tar patupa hami peng ikat nya, seperti itu pun raja kami yang bisa ter buat kami

apala di tikki on, pos roha nami Tuhan ta ma na manggohi tepat pada waktu ini, yakin hati kami Tuhan kita lah yang memenuhi

pasu-pasu Na. Sai tu tamba na ma silas ni roha di hamu. berkat Nya. Semoga ke tambah nya lah sukacita nya hati pada kalian.

Asa songon na nidok ni natua-tua i antong dohonon nami, tintin do na tinopa, golang-golang do anggo pangarahutna, songon i pe raja nami na boi tarpatupa hami apala di tingki on, pos roha nami Tuhanta ma na manggohi pasu-pasu na. Sai tu tambana ma si las ni roha di hamu. ‘seperti petuah nenek moyang kami katakan, ‘cincin ditempah, tali pengikatnya, walaupun seperti ini (makanan) yang bisa kami berikan kepada raja pada saat ini, kami yakin Tuhan yang akan menambahkan berkatNya. Semoga kalian semakin diberikan kebahagiaan.

Asa sahat-sahat ni solu ma, sahat tu botean, alai jolo tu Tigaras. Hu pasahat hami, songon panggohi sipanganon tu raja i. Asa asima roha ni Tuhanta, leleng ma atong hita magolo, sai tong-tong ma hamu horas-horas. ‘tibalah kapal, tiba sampai ke tujuan, tetapi singgah dulu ke Tigaras. Kami berikan sebagai penyempurna makanan kepada raja. Semogalah Tuhan kita memberikan belas kasihNya, semoga kita panjang umur, dan semogalah kalian juga sehat dan sejahtera.

Dalam budaya Batak Toba, sebutan kata ‘raja’ diucapkan sebagai cara saling menghormati antar pihak yang sedang menjalin komunikasi. Dahulu dalam struktur

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 102 sosial masyarakat Batak Toba yang masih berbentuk kerajaan, raja merupakan pemimpin yang identik dengan sifat-sifat sebagai berikut; bijaksana, memiliki kekuatan supranatural dan dihormati rakyatnya. Sifat-sifat raja inilah yang mendasari sebutan ‘raja’ kepada pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pesta adat di Batak Toba. Tabel 5.13 Performansi Marhata sinamot Performansi Tudu-tudu sipanganon diberikan kepada orangtua calon mempelai wanita dan orangtua calon mempelai wanita memberikan dengke simudur-udur. Posisi tangan pihak yang menerima berada di bawah pinggan, sedangkan yang memberi makanan berada di bagian atas pinggan. Indeksikallitas Data teks no (7) Kata parbue ni sipanganon ‘buah makanan’ dan songon i ‘seperti ini’ pada teks songon i ‘seperti ini pun’, menunjuk pada makanan tudu-tudu sipanganon. Partisipan Orangtua calon mempelai pria dan orangtua wanita Keterhubungan Tudu-tudu sipanganon sebagai sarana untuk menjumpai keluarga calon mempelai wanita. Kebernilaian Makanan sebagai sarana untuk berkomunikasi antara kedua belah pihak. Keberlanjutan Masyarakat Batak Toba di Samosir maupun Medan, adat marhata sinamot masih tetap dilaksanakan.

c. Performansi pada Unjuk ‘Pesta Pernikahan’.

Pernikahan atau marhajabuan ‘berumah-tangga’, yang diselenggarakan oleh keluarga mempelai pria disebut alap jual, sedangkan bila pernikahan diselenggarakan keluarga mempelai wanita disebut dengan taruhon jual. Marunjuk dilaksanakan setelah selesai acara pemberkatan nikah di gereja. Dibutuhkan tempat yang luas untuk penyelenggaraan pesta unjuk, hal ini disebabkan seluruh sanak keluarga dari pihak pria maupun wanita diundang untuk hadir memberikan restu kepada kedua mempelai yang menikah. Tempat pelaksanaan marunjuk di desa

Simarmata Samosir disebut maralaman ’halaman rumah’ penyelenggara pesta. Bagi masyarakat Batak Toba yang tinggal di kota, pesta dilaksanakan di gedung pertemuan atau wisma.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 103

Pemilihan ihan atau ikan mas dalam performansi pernikahan dikarenakan ihan mempunyai sifat hidup di air na tio ‘yang jernih’ dengan ciri khas kalau berenang selalu mudur-udur ‘beriringan’, oleh karena itu disebut ; dengke sitio-tio

‘ikan yang hidup jernih’, dengke si mudur-udur ‘beriringan/ jalan bersama). Karena sifat dan karakteristik ikan mas mirip dengan ihan, sehingga digunakanlah ikan mas sebagai pengganti ihan. Simbol inilah yang menjadi harapan kiranya kedua mempelai dan keluarganya selalu seia sekata, seiring sejalan dan tio pancarian dohot pangomoan ‘murah rejeki’.

Pemberian satu ekor dengke melambangkan harapan bahwa kedua orang yang mengikat diri dalam jalinan pernikahan telah menjadi satu. Dengke yang diberikan melambangkan berkat-berkat dan doa orangtua yang melepaskan anak perempuannya menjadi bagian dari keluarga suaminya. Ikan mas yang diberikan adalah ikan betina yang bertelur, sebagai pertanda bahwa orangtua si perempuan berharap boruna ‘putrinya’ segera memiliki keturunan untuk meneruskan marga suaminya. Dengke ‘ikan’ yang disajikan harus dalam kondisi utuh, hanya empedu yang dibuang, sedangkan kepala, insang, isi perut, ekor dan sisik pun ikut dimasak.

Pemberian makanan pada upacara adat pernikahan, dilaksanakan setelah selesai pemberkatan nikah di gereja. Pihak paranak ’orangtua mempelai pria’ pasahathon tudu-tudu ni sipanganon ‘memberikan makanan yang dikorbankan untuk pesta’ kepada hula-hula. Tujuan pemberian makanan ini adalah sebagai tanda penghormatan kepada orangtua mempelai wanita, karena telah merelakan putrinya menjadi keluarga dari suaminya, dan sekaligus memberitahukan kepada undangan, hewan apa yang dikorbankan untuk penyelenggaraan unjuk ‘pesta’. Merujuk pada data teks no. (8), pemberian makanan tudu-tudu sipanganon kepada hula-hula:

Di tikki on, ro do hami raja ni pamoruon Pada waktu ini, datang nya kami raja nya pamoruon (orangtua suami)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 104 muna marga Simarmata, ima pasahathon tudu-tudu sipanganon kalian marga Simarmata, itulah menyampaikan penanda makanan na tabo, na mar saudara, na marala ma i Raja nami yang enak, yang ber darah, yang berawal lah itu raja kami di ulaon ta, ala naung manjalo pamasu-masuon pada pekerjaan kita, kerena telah menerima pemberkatan

parumatanggaon anak nami dohot boru ni raja i nangkin rumah tangga anak kami dengan putri nya raja itu tadi sian bagas joro ni Tuhan ta, asa di ari na uli, di ari dari dalam rumah nya Tuhan kita, agar pada hari yang indah, pada hari na denggan on, di tingki naung ta buhul on, ro do hami yang bagus ini, pada waktu telah kita tentukan ini, datang nya kami

ima pasahathon tudu-tudu ni sipanganon na tabo, i ma itulah menyampaikan penanda nya makanan yang enak, itu lah juhut na mar saudara, i ma disiala ulaon ta sadari on, daging yang ber darah, itu lah karena pekerjaan kita hari ini,

“Di tikki on, ro do hami Raja ni Pamoruon muna marga Simarmata, ima pasahathon tudu-tudu sipanganon na tabo, na marsaudara, na marala ma i Rajanami di ulaonta, ala naung manjalo pamasu-masuon parumatanggaon anak nami dohot boru ni Raja i nangkin sian bagas joro ni Tuhanta, asa, Rajanami, Raja ni Hula-hula nami, di ari na uli, di ari na denggan on, di tingki naung tabuhul on, ro do hami Raja ni Pamoruon muna marga Gultom, ima pasahathon tudu-tudu ni sipanganon na tabo, ima juhut na marsaudara, ima di siala ulaonta sadari on. ‘Pada kesempatan ini, kami Raja Pamoruon ‘sebutan bagi keluarga mempelai pria’ marga Simarmata, datang untuk menyampaikan tudu-tudu sipanganon yang enak, yang dicampur darah, pada pesta kita ini. Karena sudah menerima pemberkatan pernikahan anak kami dengan putri Bapak, tadi di rumah Tuhan (gereja), agar, raja kami, raja hula-hula kami, pada hari yang berbahagia ini dan pada hari yang indah ini, pada waktu yang telah kita sepakati, kami datang dari pihak Raja pamoruon kalian, marga Gultom, yang akan memberikan tudu-tudu sipanganon ‘makanan’ yang enak, yaitu daging yang dicampur darah, dikarenakan pesta kita hari ini.

Tabel 5.14 Performansi Marunjuk Performansi Tudu-tudu sipanganon diberikan kepada orangtua mempelai wanita dan orangtua mempelai wanita memberikan dengke simudur-udur. Posisi tangan pihak yang menerima berada di bawah pinggan, sedangkan yang memberi makanan berada di bagian

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 105

atas pinggan. Indeksikallitas Kata juhut ‘daging’ pada teks juhut na marsaudara ‘daging yang dicampur darah’ menunjuk pada makanan tudu-tudu sipanganon. Partisipan Orangtua mempelai pria dan orangtua mempelai wanita Keterhubungan Tudu-tudu sipanganon sebagai sarana untuk menjumpai keluarga calon mempelai wanita. Kebernilaian Makanan sebagai sarana megucap syukur atas berlangsugnya pernikahan putra dan putri kedua belah pihak. Keberlanjutan Pada masyarakat Batak Toba di Samosir maupun Medan, pelaksanaan adat marunjuk wajib dilaksanakan .

5.2.3 Performansi pada Ritus Kematian

Domain kematian pada adat suku Batak Toba terbagi atas tujuh (tujuh) subdomain. Berikut ini subdomain kematian berdasarkan kematian yang paling diharapkan orang Batak Toba yaitu hagabeon ‘memiliki keturunan yang banyak’ yaitu: 1) saur matua mauli bulung ‘kematian seseorang yang telah memiliki cucu, cicit dan nono’, 2) saur matua ‘kematian orang yang semua anaknya telah menikah’,

3) sari matua ‘kematian orang yang punya cucu, tapi masih ada anak yang belum menikah’, 4) mate mangkar ‘kematian orang yang belum punya anak’, 5) mate poso

‘mati usia dewasa/ belum menikah’, 6) mate dakdanak ‘kematian diusia anak-anak’,

7) mate dibortian ‘mati dalam kandungan’,

Istilah kematian yang dikenal dalam masyarakat Batak Toba adalah 1) martilaha ‘kematian anak’, 2) matipul ulu ‘kematian suami’, 3) matompas tataring

‘kematian istri’, dan 4) maningkot ‘mati bunuh diri’. Penamaan jenis kematian dapat berdasarkan usia, penyebab kematian, jenis kelamin dan status sangat menentukan bagaimana almarhum akan dikebumikan.

Keluarga dekat, baik dari pihak istri maupun suami, seperti tulang ‘paman’, uda ‘adik ayah’, namboru ‘saudara perempuan ayah’ datang bergantian untuk

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 106 memberikan hata apul-apul ‘kata-kata penghiburan’ kepada keluarga yang berdukacita dengan membawa makanan yang disebut dengan indahan hapit-hapit, indahan soso-soso atau indahan sipaet-paet ‘nasi pahit’. Tradisi memberikan penghiburan bagi keluarga yang berduka disebut dengan mangapuli ‘menghibur’.

Tradisi mangapuli diawali dengan mangan indahan sipaet-paet ‘makan nasi pahit’.

Jenis kematian saur matua mauli bulung sudah tidak perlu ditangisi, sebaliknya harus disyukuri dengan mengadakan pesta adat yang besar. Hewan yang dikorbankan untuk pesta adat saur matua mauli bulung adalah horbo sitingko tanduk, atau gajah toba ‘kerbau paling besar’ untuk panjuhution ‘daging yang dikonsumsi pada saat adat berlangsung’ dan jambar juhut ‘bagian hewan yang dibagi-bagi’. Pada upacara adat saur matua mauli bulung semua kelompok hula-hula memberikan ulos dan dibalas oleh paranak dengan somba-somba’persembahan’, memberikan penghormatan dengan memberikan uang yang diselipkan dijari hulu- hula pada saat manortor ‘menari’ dan sekaligus dengan pemberian jambar

‘pembagian’ daging hewan yang dikorbankan. Banyaknya uang yang diberikan sangat tergantung pada kemampuan ekonomi keluarga almarhum.

Upacara adat kematian saur matua bulung, dilaksanakan dalam suasana sukacita karena sebagai orang Batak Toba, almarhum sudah menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik yaitu membesarkan dan menikahkan anak- anaknya. Ungkapan syukur atas kematian saur matua bulung, dinyatakan dengan mengorbankan hewan kerbau atupun lembu dalam upacara adat.

Tahap pertama yang dilakukan dalam tradisi mangan indahan sipaet-paet adalah hula-hula membuka ulos tujung ‘kain penutup kepada istri atau suami yang ditinggal mati’ atau ulos sampe tua ‘ulos yang disematkan di abara ‘pundak’ suami atau istri yang ditinggal mati pasangannya. Setelah tujung dilepaskan, kemudian

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 107 hula-hula mengusap wajah yang berduka (suami atau istri yang ditinggalkan) dengan aek parsuapan ‘air bersih yang diberi perasan jeruk purut untuk mencuci muka’.

Hula-hula mengusapkan air ke wajah, rambut, tangan dan kaki yang mabalu ‘orang yang ditinggal mati oleh suami/ istri’ sebanyak tiga kali sambil mengatakan

“Husuapi ma hamu ito, asa unang be sai ro ilu sian simalolong muna”, ‘Saya usaplah wajahmu ini ito (sapaan untuk saudara perempuan), supaya jangan lagi wajahmu basah oleh air mata’.

Di akhir pemberian makanan indahan sipaet-paet, hula-hula meletakkan boras sipir ni tondi atau boras parbue ‘bulir beras’ di kepala yang mabalu dengan mengucapkan: “Pir ma tondim ito. Sai Debata ma na mandongani hamu laho manogu-nogu angka gelleng muna on”. ‘Kiranya hati dan semangatmu kuat, kiranya

Tuhan menyertai dan menolongmu membesarkan anak-anakmu’. Pemberian boras sipir ni tondi ke atas kepala yang mabalu memiliki makna sebagai kembalinya tondi

‘roh’ yang mabalu tadi dengan tujuan untuk memperkuat keimanan, karena menurut kepercayaan masyarakat Batak Toba, orang yang ditinggalkan anggota keluarganya dianggap ditinggalkan oleh tondina ‘rohnya’, sehingga pikirannya bisa melayang- layang dan bahkan sampai kehilangan kesadaran. Beras tidak hanya diletakkan di atas kepala yang mabalu, tetapi juga ditaburkan ke atas kepala seluruh keluarga yang berduka. Pir ma tondi ‘keteguhan roh atau jiwa’ dan sebuah pengharapan, yaitu harapan kepada seluruh keluarga yang berduka agar tidak larut dalam suasana duka.

Setelah acara mangan indahan sipaet-paet ‘makan’ selesai, anggota keluarga memberikan kata-kata penghiburan, barulah pihak hasuhuton ‘keluarga yang mengalami dukacita’ mangampu ‘terima kasih’. Acara diakhiri dengan doa bersama.

Teks pemberian makanan indahan sipaet-paet ‘nasi pahit’ data no (13):

Pangan hamu ma on, asa margogo hamu bere marmudu-mudu Makan kalian lah ini, agar ber kuat kalian ponakan menjaga-jaga

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 108

angka pahompu on. Inum ma mual na tio on, anggiat tio ari setiap cucu ini. Minum lah sumur yang jernih ini, semoga jernih hari

sidalanan muna tu ari na mangihut. dijalani kalian ke hari yang berikut.

Pangan hamu ma on, asa margogo hamu bere marmudu-mudu angka pahompu on”. Inum ma mual na tio on, anggiat tio ari sidalanan muna tu ari na mangihut.

‘makanlah ini, agar kamu sehat dan bertenaga mengasuh anak-anakmu’, minumlah air yang jernih ini, semoga hari-harimu cerah di hari yang akan datang.’

Tabel 5.15 Performansi Kematian Performansi Sebelum pemberian indahan sipaet-paet hula-hula membuka tujung ‘kain ulos penutup kepala’ suami atau istri. Indeksikallitas Kata juhut ‘daging’ pada teks juhut na marsaudara ‘daging yang dicampur darah’ menunjuk pada makanan tudu-tudu sipanganon. Partisipan Orangtua mempelai pria, mempelai wanita, pengantin Keterhubungan Dengke simudur-mudur sarana untuk menyampaikan harapan dan doa agar kedua mempelai hidup rukun dan bahagia. Kebernilaian Makanan sebagai sarana megucap syukur dan mengikat persaudaraan keluarga besar kedua mempelai. Keberlanjutan Pada masyarakat Batak Toba di Samosir maupun Medan, pelaksanaan adat marunjuk sesuatu yang wajib dilaksanakan .

5.3 Kearifan Lokal Pemberian Makanan Adat Batak Toba

Sibarani (2004) mengklasifikasi manfaat kearifan lokal menjadi dua bagian

1) Menciptakan kedamaian dan 2) Meningkatkan kesejahteraan. Manfaat Kearifan lokal dalam menciptakan kedamaian terdiri dari: 1) Kesopansantunan, 2) Kejujuran,

3) Kesetiakawanan sosial, 4) Kerukunan dan Penyelesaian konflik, 5) Komitmen, 6)

Pikiran positif dan 7) Rasa syukur. Kearifan lokal yang bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan terdiri dari: 1) Kerja keras, 2) Disiplin, 3) Pendidikan,

4) Kesehatan, 5) Gotong royong, 6) Pengelolaan gender, 7) Pelestarian dan

Kreativitas budaya serta 8) Peduli terhadap lingkungan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 109

5.3.1 Kearifan Lokal Menciptakan Kedamaian

Istilah ‘kedamaian’ berkaitan dengan tiga hal, yaitu kerukunan, keamanan dan kenyamanan. Dalam konteks sosial, kedamaian merupakan salah satu tujuan

Adathidup masyarakat Batak Toba. Ungkapan yang sangat dikenal masyarakat Batak

Toba yang menyatakan pentingnya menciptakan rasa damai.

1. Jujur mula ni bada, bolus do mula ni dame. ‘berdebat awal pertengkaran lapang

dada sumber damai’. Ungkapan ini bermakna suka menghitung perbuatan baik

kita menjadi sumber perselisihan, tetapi cepat memaafkan kesalahan orang lain

adalah sumber kedamaian.

2. Si boru puas si boru bakkara, molo dung puas sae ma soada mara ‘si boru puas

si boru bakkara, kalau sudah tersampaikan selesailah tanpa ada malapetaka’ .

Ungkapan ini bermakna semua masalah harus dituntaskan dengan pembicaraan

yang terus terang sehingga masalah dapat diselesaikan atau terjadi perdamaian.

Ungkapan ini umumnya mewarnai sifat orang Batak Toba.

5.3.1.1 Kesopansantunan

Kesopansantunan sangat penting bagi masyarakat Batak Toba yang sudah menjadi bagian dari kepribadian. Salah satu prinsip hidup orang Batak Toba terdapat dalam ungkapan pantun hangoluan, tois hamagoan ‘sopan santun sumber kehidupan, kesombongan sumber kehancuran’. Kearifan lokal kesopansantunan terlihat jelas pada setiap upacara adat pemberian makanan. Sapaan raja ‘orang yang terhormat’ antara partisipan yang terlibat dalam proses pemberian makanan. Kata ganti raja digunakan untuk menyapa pihak hula-hula ataupun pamoruon. Hal ini terlihat pada data teks no. (3) berikut ini:

Raja ni hula-hula nami di partingkian na uli on dina Raja hula-hula kami pada waktu yang indah ini dimana

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 110

marsiadopan hita di bagasan tingki on dipasahat hami berhadapan kita pada dalam waktu ini disampaikan kami

tu hamu tudu-tudu ni sipanganon. Raja nami, dohonon nami ma kepada kalian penanda dari makanan. Raja kami, kami katakan lah

hata ni situa-tua na mandokhon ... kata yang leluhur yang mengatakan ...

‘Raja hula-hula kami, pada waktu yang indah ini kita berhadapan, pada saat ini kamis sampaikan kepada kalian penanda makanan. Raja kami, seperti kata leluhur yang mengatakan...’

Kesopansantunan dalam konteks sosial menjadi karakter orang Batak Toba yang ditunjukkan melalui sikap dan kata sapaan kepada lawan bicara, baik dalam konteks upacara adat maupun dalam konteks sosial dan budaya.

5.3.1.2 Kesetiakawanan Sosial

Setiap upacara adat, selalu melibatkan unsur dalihan na tolu, yaitu hula-hula, dongan tubu, boru. Posisi seseorang sebagai masyarakat adat, sangat tergantung pada siapa yang menyelenggarakan unjuk ‘pesta’. Sebagai contoh, marga Sihombing yang memperistrikan boru Manik, bila pesta pada keluarga Sihombing, maka Bapak

Sihombing sebagai dongan tubu atau na marhamaranggi ‘abang-adik’, bila yang yang mengadakan pesta adat dari pihak istri yaitu marga Manik, maka posisi Bapak

Sihombing berubah menjadi boru. Sedangkan bila yang pesta adalah saudara perempuan dari marga Sihombing, maka posisi Bapak Sihombing adalah sebagai hula-hula. Menyadari bahwa setiap orang bisa menduduki posisi berbeda tersebutlah yang menjadikan masyarakat Batak Toba selalu menjaga kesetiakawanan sosial, sehingga sebagai masyarakat adat, apapun posisinya, sebagai hula-hula, dongan tubu maupun boru, dapat diterima dengan baik. Ungkapan berikut ini menjelaskan pentingnya kesetiakawanan sosial bagi masyarkat Batak Toba

Somba mar hula-hula, manat mar dongan tubu, Hormat mempunyai hula-hula, hati-hati mempunyai teman lahir,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 111

elek mar boru. Angka na so somba membujuk mempunyai (saudara) perempuan. Siapa yang tidak sembah

mar hula-hula, siraraon ma gadong na, molo so manat mempunyai hula-hula, rusah parah lah ubi nya, bila tidak hati-hati

mar dongan tubu, na tajom ma adopan na, jala mempunyai teman lahir, yang tajam lah dihadapi nya, juga

molo so elek mar boru, andurabion ma tarusan na. jika tidak membujuk mempunyai boru, kena kutuk lah air susu nya

Somba mar hula-hula, manat mar dongan tubu, elek mar boru. Angka na so somba mar hula-hula, siraraon ma gadong na, molo so manat mar dongan tubu, na tajom ma adopan na, jala molo so elek mar boru, andurabion ma tarusan na. ‘hormat pada hula-hula, jaga sikap (sangat hati-hati) terhadap teman semarga, sayang pada saudara perempuan. Barang siapa yang tidak menghormati hula-hulanya maka tanaman ubinya akan rusak, bila tidak menjaga sikap pada teman semarga, akan mendapatkan kesulitan, dan bila tidak sayang pada saudara perempuan, akan terkena kutuk karena tidak mengurus keluarganya. Disebutkan, naso somba marhula-hula, siraraon ma gadong na. ‘barang siapa yang tidak menghormati hula-hulanya, ubinya akan rusak’. Gadong ‘ubi’ bagi masyarakat Batak dianggap sebagai makanan pokok pengganti nasi. Siraraon ‘ubi yang rasanya hambar, busuk dan isinya berair’. Pernyataan itu mengandung makna, barangsiapa yang tidak menghormati hula-hula, akan menemui kesulitan mencari nafkah. Harapan yang disampaikan hula-hula melalui doa, diyakini orang Batak

Toba, akan didengarkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Dongan tubu adalah hubungan semarga ataupun abang adik. Dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat, namun adakalanya hubungan tersebut renggang disebabkan oleh perselisihan. Itulah sebabnya kearifan lokal pada teks angka na so manat mardongan tubu, na tajom ma adopanna

‘barangsiapa yang tidak menjaga sikapnya pada teman semarga, akan mendapatkan kesulitan’. Ungkapan itu mengingatkan, manat mardongan tubu ‘yang semarga’

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 112 harus saling menjaga sikap, menjaga perasaan dan menjaga tindakan sehingga tidak menimbulkan perselisihan.

Pada adat Batak Toba, dikenal istilah panombol suhut ‘perwakilan tuan rumah’ yang menyelenggarakan acara adat kelahiran, pernikahan maupun kematian. Na mardongan tubu ‘kelompok semarga’ terlebih dahulu selalu berdiskusi mengenai hal-hal penting yang akan dilaksanakan dalam upacara adat tersebut. Panombol selalu diambil setingkat di bawah dan/ atau setingkat di atas marga yang bersangkutan.

Elek marboru ‘sayang pada boru-saudara perempuan dan pihak marga suami- bermakna hula-hula harus bersikap lemah lembut dan penuh kasih sayang kepada boru. Dalam adat Batak Toba, boru harus dilindungi, sekali pun boru melakukan kesalahan, pihak hula-hula harus bisa memaklumi dan memaafkannya. Pihak boru sangat berperan mensukseskan jalannya ritual adat yang diselenggarakan, karena sudah menjadi tugas boru adalah memberi bantuan tenaga dan juga materi kepada pihak hula-hula. Biasanya boru ini dibantu oleh bere (anak dari boru). Kalau boru tidak hadir dalam upacara atau pesta adat, hal dipercaya akan mengurangi nilai atau kualitas acaranya.

Posisi hula-hula, dongan tubu dan boru dalam upacara adat Batak Toba tidak memandang pangkat, jabatan maupun status sosialnya dalam masyarakat. Seseorang dalam posisi apa pun harus menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya, dengan demikian dia akan mendapatkan pengakuan si boto adat atau maradat ‘orang yang ber-adat’. Oleh karena itu, kearifan lokal dalam falsafah dalihan na tolu, menanamkan nilai-nilai gotong royong, kesetiakawanan sosial, penyelesaian konflik.

Nilai-nilai kerukunan dapat terlihat dalam umpasa berikut ini:

1. Balintang ma pagabe, tumandanghon sitandoan Arinta ma gabe, molo masi paolo-oloan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 113

‘balintang dan pagabe, tempat alas kaki waktu bertenun saatnya kita diberkati, jika saling seia sekata.’ Maknanya: Barangsiapa yang hidup rukun dengan saudara dan sesamana, akan mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya

2. Unang sumuan dulang, mangaithon jabi-jabi Unang mamabahen na so uhum, mangulahon na so jadi ‘Jangan menanam dulang, menarik beringin jabi-jabi jangan berbuat yang tidak patut, mengerjakan yang tidak pantas Maknanya: Hidup rukun dengan menjaga sikap dan tindak tanduk sehingga terhindar dari perbuatan yang tercela.

3. Jujur do mula ni bada, bolus do mula ni dame ‘mengingat kesalahan orang lain adalah awal pertengkaran, tulus hati awal kedamaian’ Makananya: Dalam pergaulan sehari-hari, janganlah selalu mengingat kesalahan orang lain, karena itulah asal muasal pertengkaran, tetapi hati yang tulus dan mau memaafkan akan membawa pada kerukunan dan kedamaian.

4. Aek godang do aek laut, dos ni roha do sibaen nasaut ‘air sungai air laut, kesepakatan hati membuat semua terlaksana Maknanya: Sangat penting menjaga kerukunan bersaudara, karena perlu kesepakatan agar apapun yang direncakan dapat terlanksana dengan baik.

5.3.1.3 Kerukunan dan Penyelesaian Konflik a. Kerukunan

Pada konteks sosial masyarakat Batak Toba, kerukunan dan penyelesaian konflik disampaikan melalui narasi pemberian makanan pada upacara kelahiran, pernikahan dan kematian. Koteks dengke simudur-mudur menunjuk pada karakteristik ikan mas berenang beriringan dalam kelompoknya. Koteks dengke pada pemberian makanan dengke simudur-udur atau disebut juga dengan dengke sahat, dengke na porngis, dengke na ganjang, dengke na mokmok.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 114

Kearifan lokal kerukunan dalam konteks kehidupan sosial masyarakat Batak

Toba pada pemberian makanan dengke kepada pamoruon ‘keluarga dari pihak suami’ terlihat pada data teks no. (4), narasi pemberian makanan sebagai berikut:

Dison ro do hami mamboan dengke simudur-udur, Di sini kami datang membawa ikan yang beriring-iringan

dengke sahat, dengke upa-upa. Mandok mauliate ma ikan sampai, ikan selamat. Mengucapkan terima kasih lah

hita tu Aman ta Debata Par denggan Basa i, ai kita kepada Bapa kita Allah Yang baik Pemurah itu, (attribut)

tibu do antong dioloi tangiang ta i ma cepat nya memang dikabulkan doa kita itu lah

naung sorang dakdanak bawa di hamu. telah lahir anak laki-laki pada kalian.

‘Kami datang membawa dengke simudur-udur (ikan yang beriring-iringan), dengke sahat (ikan sampai), dengke upa-upa (ikan selamat). Kita ucapkan terima kasih kepada Allah Bapa Yang Maha Pemurah, karena doa kita cepat dikabulkan yaitu telah lahir anak laki-laki dalam keluarga kalian’

Makna dengke simudur-udur ‘ikan yang beriring-iringan’ adalah keluarga yang menerima makanan tersebut, memiliki sifat yang mudur-udur yaitu hidup rukun dalam rumahtangga.

b. Penyelesaian Konflik

Dalam kehidupan bermasyarakat, tidak dapat dipungkiri akan terjadi konflik antar sesama. Konflik yang berkepanjangan bisa berakhir dengan tindakan kriminal.

Bagi masyarakat Batak Toba, konflik akan diselesaikan dengan cara kekeluargaan.

Dalam hal ini unsur-unsur dalihan na tolu tetap memegang peranan yang penting.

Selain itu, para penetua adat juga ikut berperan dalam menyelesaikan konflik.

Konflik yang sering terjadi adalah perceraian, pembagian harta warisan, perbatasan tanah, dan masalah anak-anak. Penyelesaian konflik dilaksanakan dengan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 115 cara musyawarah. Penetua adat menentukan hari pertemuan kedua belah pihak yang berselisih faham, unsur dalihan natolu dan saksi lainnya.

Penyelesain konflik ditandai dengan makan bersama yang disebut dengan indahan saor ‘nasi yang menyatukan’. Indahan saor adalah ungkapan untuk menyatakan bahwa kedua belah pihak telah menemukan solusi untuk masalah yang dihadapi. Nilai kearifan lokal penyelesaian konflik, terlihat pada umpasa berikut ini:

1. Ampapaga dolok, ampapaga sibuluan ampapaga gunung, ampapaga sibuluan

Unang hita marbada, ai hita do marsogot, jangan kita bertengkar, karena kita nya besok,

hita haduan kita yang akan datang

‘ampapaga dolok, ampapaga sibuluan; jangan kita bertengkar, karena kitanya besok, kita juga yang akan datang’ Makna: dalam mengerjakan sesuatu harus mau bekerjasama, jangan ada yang memulai pertengakaran, orang yang bersaudara itu harus hidup berdamai selamanya.

2. Aek godang, aek laut Air banyak, air laut

Dos ni roha sibahen na saut Kesepakatan hati membuat nya jadi

‘air sungai, air laut; Bila kita sehati, apapun bisa terjadi’ Makna: Hasil musyawarah untuk mufakat, itulah keputusan yang terbaik

5.3.1.4 Rasa Syukur

Domain kelahiran, pernikahan, dan kematian bagi masyarakan Batak Toba merupakan ekspresi rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam konteks ideologi, diyakini bahwa kelahiran, pernikahan bahkan kematian terjadi atas

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 116 kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Pada pemberian makanan tudu-tudu sipanganon data no.(15) terlihat ungkapan rasa syukur.

Mauliate ma di Tuhanta Parasi Roha Bolon i Terima kasih lah kepada Tuhan kita mempunyai kasih hati besar itu

Na mangalehon tingki na uli on di hita raja nami, di ari yang memberikan waktu yang indah ini kepada kita raja kami, pada hari

na uli di ari na denggan on, di na ro hami yang indah pada hari yang baik ini, dimana yang datang kami

pamoruon muna mandapothon pamoruon (pihak keluarga yang mengambil istri) kalian menemui

hamu raja nami. Hula-hula nami, di son hu pasahat hami tu hamu kalian raja kami. Hula-hula kami, di sini kami sampaikan kepada kalian

tudu-tudu ni sipanganon na hu boan hami si pa las roha mu penanda nya makanan yang kami bawa membuat gembira hati mu

Mauliate ma di Tuhanta Parasi Roha Bolon i na mangalehon tingki na uli on di hita raja nami, di ari na uli di ari na denggan on, dina ro hami pamoruon muna mandapothon hamu raja nami. Hula-hula nami, di son hu pasahat hami tu hamu tudu-tudu ni sipanganon na hu boan hami si pa las roha mu...‘Puji syukur kepada Tuhan kita Yang Maha Pengasih, yang telah memberikan waktu yang indah ini kepada kita. Pada hari yang indah dan hari yang baik ini, kami datang pamoruon (pihak keluarga yang mengambil istri) menghadap kalian raja kami. Hula-hula kami, di sini kami sampaikan kepada kalian tudu-tudu sipanganon supaya kalian berbahagia menerimanya...’

Rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas pemberian tingki na uli

‘waktu yang indah’, ari na uli ‘hari yang indah, ari na denggan ‘hari yang baik’.

5.3.2 Kearifan Lokal Meningkatkan Kesejahteraan

5.3.2.1 Kesehatan

Koteks makanan bangun-bangun ‘jenis sayuran’ dan aek ni unte ‘air asam’ pada domain kelahiran, makanan yang diberikan kepada ibu yang baru melahirkan.

Kedua makanan tersebut kaya gizi sehingga baik untuk kesehatan ibu dan anaknya.

Dalam konteks kesehatan, aek ni unte ‘air asam’ dan bangun-bangun dengan nama

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 117

Latin coleus amboinicus lour ‘gulai sayur’ bermanfaat untuk memperlancar asi.

Daun bangun-bangun atau torbangun yang merupakan tanaman perdu dari keluarga

Lamiaceae ini memiliki ciri-ciri berbatang tebal, lunak dan sedikit berkayu. Berasal dari Sumatera Utara, daun bangun-bangun memiliki manfaat untuk kesehatan.

Salah satu manfaat dari tanaman bangun-bangun adalah menjaga stamina tubuh, meringankan gejala masuk angin, obat batuk, sariawan hingga laktagoga atau pelancar asi. Tekstur daun yang agak bergerigi, daun ini mengandung kalium dan minyak atsiri. Di dalam minyak atsiri tersebut terdapat kandungan karvakrol, idoprofil-o-kresol dan fenol. Selain itu, daun bangun-bangun juga mengandung flavonoid seperti quercentin, apigenin, luteolin serta salvigenin. Kearifan lokal kesehatan pada makanan tradisional Batak Toba aek ni unte ‘air asam jeruk’ di daerah penelitian desa Simarmata terlihat pada penggalan data teks (4) berikut ini:

dison aek ni unte si padoras bagot ni di sini air nya asam jeruk si pelancar getah (konotasi air susu) nya

si unsok on dohot tangiang pangidoan si ucok (sebutan untuk bayi laki-laki) ini dengan doa permintaan

tu Aman ta Debata Par asi roha i, di pasu-pasu Na, kepada Bapa kita Allah Yang Maha Kasih itu, pada berkat Nya,

hipas-hipas ma ibana, imbur-imbur magodang las dao ma sehat-sehat lah dia, bertumbuh besar sekaligus jauh lah

panahit-nahiton. Songon na nidok ni umpasa ma dohonon Sakit-sakitan. Seperti yang dikatakan oleh perumpamaan lah katakan

nami. Dangka ni hariara pinangait-aithon, tubu ma kami. Ranting nya hariara (pohon) berkait-kaitan, lahir lah

anak tubu ma boru si tongka panahit-nahiton. anak laki-laki lahir lah perempun yang pantang sakit-sakitan.

dison aek ni unte si padoras bagot ni si unsok on dohot tangiang pangidoan tu Aman ta Debata Par asi roha i, dipasu-pasu Na. Hipas- hipas ma ibana, imbur-imbur magodang las dao ma panahit- nahiton. Songon na nidok ni umpasa ma dohonon nami. Dangka ni

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 118

hariara pinangait-aithon, tubu ma anak tubu ma boru sitongka panahit- nahiton. ‘Di sini kami membawa air asam jeruk untuk melancarkan asi si ucok (sebutan pada anak laki-laki yang belum diberi nama) dengan doa pengharapan kepada Allah Bapa Yang Maha Pemurah, kiranya diberikan berkat, sehat-sehat dia (bayi), bertumbuh besar dan dijauhkan dari sakit penyakit. Kami sampaikan sebagai perumpamaan, ranting pohon hariara saling berkait, lahirlah anak laki-laki dan dan perempuan yang tidak akan sakit-sakitan.’

5.3.2.2 Gotong Royong

Pada Masyarakat Batak Toba ada istilah marsiurupan ‘saling membantu’.

Marsiurupan adalah wujud gotong royong. Tidak saja ketiga unsur dalam dalihan na tolu yaitu hula-hula, dongan tubu, dan boru yang menunjukkan sikap gotong royong, tetapi juga para tetangga dan komunitas marga. Pada upacara adat Batak

Toba, sukacita maupun dukacita, terlihat wujud gotong royong. Bahkan dalam komunitas marga selalu berlandaskan si sada anak, si sada boru ‘memiliki anak laki- laki dan anak perempuan yang sama’. Dengan demikian setiap anggota komunitas yang akan melaksanakan pesta adat, khususnya pernikahan dan kematian, bekerja sama dengan anggota komunitas marga karena peranan mereka yang sangat dibutuhkan untuk menanggungjawabi hal-hal penting demi terselenggaranya pesta.

Pada domain kelahiran, subdomain maresek-esek, mangharoan atau mamboan aek ni unte, pihak hula-hula dan dongan sahuta ‘teman sekampung atau tetangga’ yang diundang akan membawa boras pir ‘beras’ dalam tandok ‘sumpit’ sedangkan dongan tubu akan memberikan tumpak ‘bantuan dana’, sebagai ungkapan sukacita atas kelahiran anak hasuhutan ‘pihak yang mengundang’. Beras dan dana yang diberikan, dapat digunakan untuk meringankan beban hasuhutan

‘penyelenggara pesta’.

Gotong royong juga terdapat pada domain pernikahan, subdomain pesta atau unjuk. Masing-masing partisipan membawa buah tangan yang berbeda sesaui dengan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 119 siapa yang mengundang dan siapa yang dinikahkan, apakah anak laki-laki atau perempuan. Bila yang menikah adalah anak laki-laki, maka pihak dongan tubu akan memberikan tumpak ‘bantuan uang’, dan bila anak perempuan yang menikah, maka akan diberikan ulos. Hula-hula akan membawa boras pir ‘beras atau padi’, dengke

‘ikan’ dan ulos sedangkan pihak boru membawa tumpak.

Pada domain kematian, kearifan lokal gotong royong semakin jelas terlihat.

Unsur dalihan na tolu, tetangga dan komunitas marga, masing-masing akan bergotong-royong meringankan beban keluarga na marhabot ni roha ‘yang berduka’.

Hasuhuton akan mengeluarkan biaya yang besar untuk penyelenggaraan adat kematian. Oleh karena itu dengan prinsip gotong royong, ritual adat kematian dapat terselenggara sesuai dengan adat yang dilaksanakan berdasarkan jenis kematian.

Hula-hula akan membawa boras pir, dan ulos, dongan tubu, boru dan komunitas marga memberikan tumpak ‘sumbangan dana’. Kearifan gotong royong dalam tradisi

Batak Toba, sampai saat ini masih tetap relevan dalam kehidupan sehari-hari.

5.4 Temuan

Pola penamaan makanan Batak Toba terdiri atas dua bagian yaitu: 1) pola penamaan makanan tradisional dan 2) pola penamaan makanan adat. a. Pola penamaan makanan tradisional

Pada penamaan makanan tradisional terdapat pola: na ni ‘yang di’ + verba.

na ni + arsik ➔ na niarsik ‘yang diarsik’ na ni + dugu ➔ na nidugu ‘yang dipulas’ na ni + padar ➔ na nipadar ‘yang dipanggang’ na ni + robus ➔ na nirobus ‘yang direbus’ na ni + lompa ➔ na nilompa ‘yang dimasak’.

Nama makanan menjelaskan proses pembuatan makanan. Hal ini mengandung

makna bahwa makanan yang diberikan kepada hula-hula dan pamoruon harus

dipersiapkan dengan sangat baik, karena kesalahan meracik bumbu dan

119 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 120

meletakan makanan akan berdampak, sanksi sosial dengan sebutan ’tidak tahu

adat’, sanksi sosial merupakan sanksi yang lebih berat daripada sanksi fisik. b. Pola penamaan Makanan Adat.

Makanan adat yang dimaksud adalah makanan tradisional yang diberikan pada

upacara adat. Pada pergantian fungsi makanan, dari makanan tradisional menjadi

makanan adat, terjadi perubahan kelas kata, perubahan makna dan penulisan.

Contoh:

Makanan tradisional: na ni + arsik (V) ➔ na niarsik ‘yang diarsik’ (V)

Penulisan dengke na niarsik ‘ikan yang digulai hingga airnya marsik ‘kering’’,

berubah nama makanan, kelas kata dan maknanya bila menjadi makanan adat.

Makanan tradisional: na niarsik (V) ➔ makanan adat berubah nama menjadi:

dengke simudur-udur (Adj)

dengke sahat (Adj)

dengke sitio-tio (Adj)

dengke naporngis (Adj)

dengke upa (Adj)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 121

BAB VI

SIMPULAN dan SARAN

6.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan uraian Performansi Pemberian Makanan

Tradisional pada Upacara Adat Batak Toba, maka pada bab ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Domain kelahiran memiliki lima subdomain diantaranya 1) mambosuri, 2)

maranggap, 3) mamboan aek ni unte, 4) martutu aek, dan 5) mebat. Domain

pernikahan terdiri dari sembilan subdomain 1) mangarisik, 2) marhori-hori

dinding, 3) marhusip, 4) martumpol atau marhata sinamot, 5) martonggo raja, 6)

marsibuha-buhai, 7) pesta unjuk, 8) paulak une, dan 9) maningkir tangga.

Domain kematian, terdiri dari delapan subdomain yaitu 1) saur matua mauli

bulung, 2) saur matua, 3) sari matua, 4) mate mangkar, dengan subdomain

matipul ulu, matompas tataring, 5) mate poso, 6) mate dakdanak, 7) mate di

bortian, dan 8) mate maningkot.

2. Ditemukan pola penamaan makanan tradisional Batak Toba adalah na ni +

verba. Na ni mengandung arti ‘yang di’, seperti na niarsik ‘yang diarsik’, na

nidugu ‘yang dipulas’, na nipadar ‘yang dipanggang’, na nirobus ‘yang direbus’,

na nilompa ‘yang dimasak sampai tanak’. Dari penamaan makanan dapat

diketahui proses pembuatan makanan. Hal ini mengandung makna bahwa

makanan yang diberikan kepada hula-hula dan pamoruon harus dipersiapkan

dengan sangat baik, karena kesalahan meracik bumbu dan meletakan makanan

akan berdampak, sanksi sosial dengan sebutan’tidak tahu adat’, sanksi sosial ini

dipandang sebagai sanksi yang lebih berat dari sanksi hukuman fisik. Penamaan

makanan tradisional berubah setelah makanan tersebut diberikan sebagai

121

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 122

makanan adat. Perubahan terjadi pada penulisan maupun maknanya. Contoh

makanan yang berubah nama tersebut adalah 1) juhut saksang berubah menjadi

tudu-tudu sipanganon atau namargoar. 2) na niarsik berubah menjadi simudur-

udur, sahat, sitio-tio, porngis, upa-upa.

3. Ditemukan performansi pemberian makanan melibatkan partisipan pamoruon

‘pihak keluarga suami’ dan hula-hula ‘pihak keluarga istri’, tulang ‘saudara laki-

laki ibu’ dan bere ‘keponakan’. Makanan tudu-tudu sipanganon diberikan

pamoruon kepada hula-hula. Makanan yang diberikan hula-hula kepada

pamoruon adalah dengke simudur-udur. Makanan yang diberikan tulang kepada

bere adalah dengke simudur-udur. Sebutan lain untuk tudu-tudu sipanganon

adalah na margoar. Dengke simudur-udur dalam pemberian makanan juga

mendapat sebutan lain diantaranya adalah dengke sahat, dengke upa-upa, dengke

na porngis, dengke sitio-tio, dengke na mokmok, dengke na ganjang, dengke

saur.

4. Ditemukan kearifan lokal menciptakan kedamaian dan peningkatkan

kesejahteraan pada pemberian makanan tradisional Batak Toba. Kearifan lokal

menciptakan kedamaian diantaranya: 1) Kesopansantunan, 2) Kesetiakawanan

sosial, 3) Rasa syukur, 4) Kerukunan dan penyelesaian konflik. Kearifan lokal

peningkatan kesejahteraan diantaranya: 1) Kesehatan, 2) Gotong royong.

Masyarakat Batak Toba meyakini bahwa makanan memiliki memiliki daya tondi

‘kekuatan bagi jiwa’, sehingga proses makan harus dipersiapkan dengan baik,

dan dilaksanakan dalam keadaan damai dan tenang. Hal ini jelas sekali terlihat

pada setiap pemberian makanan dilengkapi dengan umpasa ‘sejenis pantun’ yang

berisikan nilai-nilai dalam hidup, harapan, syukur, dan permohonan kepada Yang

Maha Kuasa. Setelah umpasa selesai diucapkan, segera disambut semua

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 123

undangan dengan kata “ima tutu” yang memiliki makna ‘ya benar, semogalah

terkabul apa yang diharapkan’.

6.2 Saran

Pada akhir tulisan ini, penulis memberikan saran kepada rekan mahasiswa program studi linguistik kiranya sudah mulai melakukan penelitian pada semester dua, agar memiliki waktu yang cukup untuk melakukan penelitian sehingga banyak kesempatan observasi sesuai objek kajian yang dipilih. Diharapkan dengan demikian, jadwal tempuh kuliah di program pascasarjana USU dapat selesai tepat waktu dengan kualitas penelitian yang lebih baik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 124

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, W. E. Tinambunan, “Makna Simbolik Mangan Indahan Sipaet-Paet (Makan Nasi Pahit) Dalam Acara Mangapuli (Penghiburan) Adat Batak Toba Sebagai Bentuk Kearifan Lokal Di Pekanbaru”, Jom FISIP Vol. 1 No. 2 – Oktober 2014 Agmasari, Silvita, 2013. 100 Makanan Tradisional Indonesia Maknyus. Jakarta: Kompas. Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Chomsky, Noam. 2006. Language and Mind. New York: Cambridge University Press. Cruse, D.A. 1986. Lexical Semantics. Cambridge: Cambridge University Press. Duranti, Alessandro. 2000. Linguistic Antropology. United Kingdom: Cambridge University Press. Eriksen, Safania Norman. 2013, “Defining Local Food: Constructing A New Taxonomy–Three Domains Of Proximity”. Online Journal homepage: http://www.tandfonline.com, Acta Agriculturae Scandinavica, Section B- Soil& Plant Science, 63: 47-55. Fitrisia, Dohra, Robert Sibarani, Mulyadi, Mara Untung Ritonga. 2018, “Traditional Food in the Perspective of Culinary Linguistic”. International Journal of Multidisciplinary Research and Development, Online 5:24-27 Foley, William A.1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. Oxford: Blackwell. Gennep, Arnold Van. 1992. The Rites Of Passage. United States of America: The Unversity Of Chicago. Ginanjar, Bakdal, D. Edi Subroto, Sumarlam. 2013. “Dimensi Dan Komponen Makna Medan Leksikal Verba Bahasa Indonesia yang Berciri (+Tindakan +Kepala +Manusia).” TransLing Journal: Translation and Linguistics Vol 1, No 1: 65-75. Hidayah, Zulyani. 2015. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta: Pustaka Obor Indonesia. Hymes, Dell , 1975. Breakthrough Into Performance. Stanford: Guaraldi. Kempson, Ruth M. 1995. Teori Semantik. Terjemahan oleh Abdul Wahab. Malang: Airlangga University Press. Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi Pokok-Pokok Etnografi II. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Leech, Geoffrey. 1997. Semantics. Penerjemah Paina P dan Soemitro Surabaya: UNS Press. Lauder, Multamia RMT, Kushartanti dan Untung Y, 2007. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Manurung, Rolan, 2015. Tradisi Napuran Sirih pada Masyarakat Batak Toba di Samosir: Kajian Antropolinguistik [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara, Program Pascasarjana. Milles, M.B. and Huberman, M.A. 2014. Qualitative Data Analysis. London: Sage Publication. Murni, Sri Minda. 2012. “Piranti Bahasa dan Kesantunan.” Masyarakat Linguistik Indonesia Vol 2: 183-200.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 125

Nuraida dan Dewanti Hariyadi (ed). 2001. Pangan Tradisional: Basis bagi Industri Pangan Fungsional dan Suplemen. Pusat Kajian Makanan Tradisional. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Nurhayati, Endang, Mulyana, Veny IE, Evi M, 2013. Inventarisasi Makanan Tradisional Jawa Serta Alternatif Pengembangannya [Laporan Akhir Penelitian Guru Besar]. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Paeni, Mukhlis (editor), 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia ‘Bahasa, Sastra, dan Aksara. Jakarta: Rajawali Pers. Peirce, S.Charles, 2005. Semiotica. Brasil: Perpectiva Raji, Mohd Nazri Abdul, Shahrim Ab Karim, Farah Adibah Che Ishak, dkk. 2017. Past and present practices of the Malay Food Heritage and Culture in Malaysia. Journal of Ethenic Foods 4: 221-231. Rahyono, F.X. 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Siahaan, E.K. dan T. Sitanggang, dkk. 1993. Makanan Wujud, Variasi dan Fungsinya Serta Cara Penyajiannya Daerah Sumatera Utara, Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan. Sangadji, Etta Mamang. Sopiah, 2010. Metodologi Penelitian pendekatan praktis dalam penelitian. Yogyakarta: Andi Offset. Sedyawati, Edi. 1996 “Kedudukan Tradisi Lisan Dalam Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu- Ilmu Budaya, Warta ATL, edisi II/Maret. Sibarani, Robert. 2013. Prosiding The 5th International Conference on Indonesian Studies: Ethnicity and Globalization. “Pendekatan Antropolinguistik dalam Menggali Kearifan Lokal Sebagai Indentitas Bangsa.” Yogyakarta, 13-14 Juni 2013. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. hlm 277-278. Sibarani, Robert. 2014. Antropolinguistik: Antropologi Linguistik, Linguistik Antropologi. Medan: Poda. Sibarani, Robert. 2014. Kearifan Lokal. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan. Sibarani, Robert. 2015 “Pendekatan Antropolinguistik Terhadap Kajian Tradisi Lisan.” Retorika: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 1, No.1 April 2015, Universitas Sumatera Utara. Sibarani, Robert. 2015. Pembentukan Karakter Langkah-Langkah Berbasis Kearifan Lokal. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan. Sibarani Robert, Hamzon. S and M.A. Pawiro. 2018. “Concerning Toba Batak’s Local Wisdoms and Cultural Values for Regional Character Building.” Indian Journal of Science and Technology, Vol 11(20):43. Sibarani Robert . 2018. “The Role of Local Wisdom in Developing Friendly City.” Conf. Series: Earth and Environmental Science , 3-4. Sibarani Robert. 2018. “Batak Toba Society’s Local Wisdom of Mutual Cooperation in Toba Lake Area: A linguistic Anthropology Study.” International Journal of Human Rights in Healthcare. Vol 11 (1): 47. Simanjutak Bungaran Antonius. 2006. Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba hingga 1945, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Penerjemah: Misbah Zulfa Elizabeth Yogyakarta: Tiara Wacana, Edisi II. Spradley, James P. 2008. The Ethnographic Interview. United States of America: Holt, Rinehart and Winston. Michigan University

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 126

Stajcic, Nevana. 2013. Artikel “Understanding Culture: Food as a Means of Communication.” PL ISSN 0239-8818 HEMISPHERES No. 28. Subroto, Edi. 2011. Pengantar Studi Semantik dan Pragmatik. Surakarta: Cakrawala Media. Sugiyono. 2013. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta Tierney Kenji. R dan Emiko Ohnuki-Tierney. 2012. Anthropology of Food. [Oxford Handbooks Online]. http://www.oxfordhandbooks.com/view/10.1093/oxford hb/978 01. [18 Mar 2018] Verbeke, Wim. 2011. “Consumers Expectations Towards Traditional Foods.” FOCUS‐BALKANS 2nd OPEN SEMINAR; Brussels, 23 September 2011. Ghent University, Belgium Department of Agricultural Economics. Hlm 1. Vergouwen J.C. 2004. Masyarakat dan Hukum Batak Toba, Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara. Wijaya, Hengki. 2018. “Analisis Data Kualitatif Model Spradley (Etnografi)”. Artikel: Maret: Reserchgate. Yusuf, A. Muri. 2017. Metode Penelitian. Jakarta: Kencana

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/65922, diakses Rabu 2 Mei 2018, pkl 13.15 WIB http://www.deptan.go.id, diakses Jumat 15 Juni 2018, pkl 23.15 WIB http://www.sumutprov.go.id, diakses Minggu 1 Juli 2018, pkl 20.00 WIB https://www.researchgate.net/publication/323557072, diakses Senin 3 Desember 2018, pkl 17.05 WIB https://www.food.detik.com, diakses Senin 25 Februari 2019, pkl 15.45 WIB

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 127

Lampiran 1: Makanan Tradisional Batak Toba

No Gambar Keterangan 1 Tudu-tudu sipanganon atau Namargoar ‘makanan adat’ dari ternak kerbau atau lembu , disusun menyerupai wujud asli. Makanan ini diserhkan kepada hula-hula (kerabat istri) 2 ` Na margoar (pinahan) ‘makanan adat dari ternak babi, disusun menyerupai wujud asli dalam wadah yang lebar. Makanan ini diserahkan kepada hula-hula (kerabat istri) 3 Na niura ‘mentah yang diolah dengan unte’ asam’ dan bumbu khas andaliman, cabe rawit, bawang merah, bawang putih, jahe dan kemiri. Biasanya yang diolah adalah ikan mas atau ihan ‘ikan khas Danau Toba’ 4 Na niarsik, masakan khas Batak, sering juga disebut dengan gulai Batak. Ciri khas masakan ini adalah bumbu andaliman, ikan dimasak hingga ‘kering’ marsik, sehingga disebut dengan ikan arsik 5 Manuk na nipadar ‘ayam panggang yang diberi bumbu dan diatur di atas piring. Makanan ini biasanya disajikan saat memberangkatkan anak ujian, mambosuri atau mangirdak ‘tujuh bulanan’.

6 Dali atau bagot ni horbo ‘susu kerbau ‘ cara memasaknya direbut dengan serat nenas, didiamkan semalaman sehingga bentuknya mirip tahu.

7 Na nitombur ‘yang disiram’ ikan panggang dengan bumbu-bumbu yang disangrai. Setelah digiling halus, ditambahkan perasan asam dan air hangat, disiramkan di atas ikan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 128

No Gambar Keterangan 8 Saksang ‘daging cincang’ menjadi lauk utama dalam pesta adat Batak Toba. Sekarang, lauk ini sudah menjadi makanan sehari-hari dan mudah dijumpai di rumah makan Batak Toba. 9 Sasagun, makanan ringan dari bahan dasar tepung beras, gula merah dan kelapa. Cara memasaknya disangrai dengan api kecil hingga semua bahan kering. Rasanya gurih.

10 Lampet, sejenis lepat. Bahan dasar tepung beras, kelapa, gula merah dan sedikit garam. Tepung, kelapa dicampur, gula merah diselipkan di tengah, selanjutnya dibungkus daun, lalu dikukus hingga matang.

12 Hare ‘bubur nasi’. Makanan ringan, biasanya disajikan sebelum makanan utama. Terbuat dari tepung beras, air, dicampur bumbu dan dimasak hingga matang .

13 Bangun-bangun dengan bahasa Latin coleus amboinicus lour ‘gulai sayur’. Bumbu asam potong, kunyit, bawang merah, bawang putih, andaliman, santan dan daging. Sayur ini disajikan bagi ibu yang baru melahirkan 14 Itak gurgur ‘lampet mentah’, pohul- pohul ‘lampet masak’. Biasanya dihidangkan pada upacara memasuki rumah, mambosuri atau mangirdak ‘tujuh bulanan’.

15 Tuak tangkasan ‘nira manis’. Tuak sering ditambah dengan rendaman kulit kayu atau bagot, sehingga lebih terasa beralkohol. Minuman ini disajikan setelah selesai makanan utama.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 129

Lampiran 2: Daftar Kuisioner

Pilihlah jawaban yang paling sesui menurut Anda (berikan tanda silang)

No Daftar Pertanyaan 1 Tudu-tudu sipanganon adalah nama makanan adat Batak Toba yang diberikan kepada Hula-Hula ‘orangtua dan saudara laki-laki pihak istri’ ( ) Ya, sangat setuju ( ) Tidak tahu ( ) Lupa ( ) Ragu-ragu 2 Dengke simudur-udur adalah nama makanan adat Batak Toba yang diberikan kepada Pamoruon ‘orangtua dan keluarga dari pihak suami’ ( ) Ya, setuju ( ) Tidak tahu ( ) Lupa ( ) Ragu-ragu 3 Mengapa banyak generasi muda Batak Toba tidak mengenal makanan tradisionalnya ( ) Tidak tahu ( ) tidak dilibatkan dalam rangkaian upacara adat ( ) Tidak tertarik mempelajarinya ( ) Tidak ada yang mengajarkan ( ) Tidak punya waktu untuk mempelajarinya 4 Makanan tradisional Batak Toba, sebaiknya diajarkan kepada generasi muda melalui kurikulum pendidikan formal atupun secara nonformal demi kelestariannya. ( ) Sangat setuju sekali ( ) Setuju sekali ( ) Tidak setuju ( ) Sangat tidak setuju 5 Ancaman apa saja yang mungkin dapat menyebabkan hilangnya makanan tradisional Batak Toba ( ) Tidak tahu ( ) Perubahan Gaya hidup ( ) Kurang rasa keperdulian ( ) Pengaruh budaya luar ( ) Tidak diajarkan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 130

Lampiran 2: Daftar Informan

Informan 1

Nama : Drs. S.W Silalahi Usia : 70 tahun Pekerjaan : Pensiunan Guru Alamat : Jln. Mapilindo Gg. Bintara no. 14 Medan

Informan 2

Nama : Jandra Simarmata Usia : 48 tahun Pekerjaan : Petani Alamat : Lumban Sinaga, Desa Simarmata

Informan 3

Nama : J. Sinaga Usia : 55 tahun Pekerjaan : Kepala Desa Simarmata Alamat : Lumban Sinaga, Desa Simarmata

Informan 4

Nama : JF. Gultom Usia : 62 tahun Pekerjaan : Wiraswasta Alamat : Jln Pelita II No. 13 Medan

Informan 5

Nama : Duma br. Sihombing (Opung Hardi) Usia : 64 tahun Pekerjaan : Bertani Alamat : Lumban Manik, Desa Simarmata

Informan 6

Nama : Rinim Manik (Opung Mahatan) Umur : 76 tahun Pekerjaan : Ibu rumah tangga Alamat : Lumban Manik, Desa Simarmata

Informan 7

Nama : Joker Simarmata (Opung Nova) Umur : 60 tahun Pekerjaan : Petani Alamat : Sidaji, Desa Simarmata

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA