Setangkai Kumpulan Esai Sastra Mahasiswa 2013

© Andiana Habibi, dkk.

Penyusun: Dr. H. Sutejo, M.Hum. Editor: Agus Setiawan Tata Letak: Ahmady Averoez DK56 Desain Sampul: Solucky A.K.

Cetakan I, Januari 2017

xviii + 286 hlm; 14,5 cm x 20,5 cm ISBN: 978-602-1217-62-7

Copyright © 2017 Andiana Habibi, dkk. Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun termasuk mengcopy tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Diterbitkan atas kerjasama: MAGNUM PUSTAKA UTAMA Beran RT. 07 No. 56 Ds IX Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Telp: (0274) 8276966 Email: [email protected] dan STKIP PGRI PONOROGO Jalan Ukel 39 Ponorogo Telp./Fax. (0352) 481841-485809 E-mail: [email protected] Kata Pengantar Mula-Mula Adalah Bahasa

erciptanya sebuah karya sastra mula-mula adalah bahasa. Bahasa merupakan sarana retorik karya sastra. Menurut TAminuddin, bahasa sebagai sistem tanda, bahasa sebagai gejala aktual yang dapat mewujud dalam berbagai bentuk manifestasinya1. Oleh karenanya, bahasa memegang peran penting dalam karya sastra, baik bagi pengarang maupun penikmat. Bahasa, bagi pengarang, merupakan manifestasi pemikiran, yang dimanfaatkan sebagai sarana ekspresi dalam menghasilkan karya sastra, bagi penikmat sastra, bahasa digunakan untuk mentranformasikan pemikiran pengarang yang terwujud dalam hasil kreasinya. Menurut Becker, dalam Satoto2(2012:105) ahli sastra jarang sekali melihat ke dalam kalimat untuk mengetahui bahwa di sana ada struktur- struktur dan sistem-sistem yang mencerminkan arsitektur keseluruhan karya sastra. Salah satu struktur dan sistem yang membangun arsitektur keseluruhan karya sastra tidak lain dan tidak bukan adalah bahasa.

1. Aminuddin, Stilistika: Pengantar Mememahami Bahasa dalam Karya Sastra, IKIP Press, Semarang, 1995. 2. Sudiro Satoto, Stilistika, Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2012.

Esai Stilistika v Oleh karena itu, unsur bahasa di dalam karya sastra menjadi persoalan penting yang harus diperhatikan. Sebagai medium ekspresi karya sastra, bahasa mempunyai kekuatan yang luar biasa, karena bahasa mampu mengantarkan gagasan pengarang untuk disampaikan kepada pembaca. Pengarang merupakan pencari sekaligus pembentuk dan pencipta bahasa yang sangat piawai. Di tangan pengarang, bahasa yang biasa menjadi luar biasa, bahasa yang mati bisa bernyawa, bahasa yang kurang berdaya dapat diformulasi menjadi bahasa yang mengandung daya hidup, sehingga karya sastra mampu menggugah pemikiran dan imajinasi penikmatnya.

Lisensia puitika Karya sastra dibangun dalam wujud bentuk dan isi. Jika dilihat dari sudut pandang stilistika, penciptaan karya sastra memerhatikan bentuk, bisa jadi bentuk lebih penting bila dibandingkan dengan isi. Hal ini, karena, salah satu unsur bentuk adalah bahasa dan bahasa salah satu unsur yang menjadikan karya sastra bermakna. Sebagai pembungkus, bahasa dapat memengaruhi isi. Isi yang baik juga sangat ditentukan oleh bungkus yang menarik. Dalam persoalan bungkus, seoarang sastrawan, utamanaya penyair, memunyai hak istimewa dalam memanfaatkan bahasa yang disebut licentia poeitica. Seorang penyair, bebas memanfaatkan bahasa sesuai dengan kebutuhan untuk mengekspresikan gagasan yang ingin diungkapkan. Dalam kebebasan memanfaatkan bahasa tersebut, menurut istilah Bambang Kaswanti Purwa3, seorang penyair sebagai pemerkosa bahasa. Kepiawaian memerkosa bahasa ini merupakan kelebihan seorang penyair dalam memanfaatkaan fungsi dan eksistensi bahasa. Pemanfaatan tersebut dapat berupa pengolahan dan penciptaan

3. Bambang Kaswanti Purwa, “Puisi: Memperkosa Bahasa”, dalam, Yoseph Yapi Taum (ed.) Bahasa, Sastra, dan Budaya dalam Jebakan Kapitalisme, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2012.

vi Esai Stilistika bunyi, kata, frase, dan kalimat. Permainan bunyi, pemilihan kata, pengolahan frase, dan penciptaan kalimat menjadi kekuatan tersendiri dalam sebuah puisi. Dalam buku Diksi dan Gaya Bahasa karya Gorys Keraf dinyatakan bahwa “kesesuaian dan ketepatan pilihan kata” menjadi dasar pendayagunaan kata4. Dengan pemikiran kreatif seorang pengarang, bahasa menjadi kekuatan tersendiri dalam kehadiran karya sastra. Ia mampu mengemban makna, meski kata penyair Sutardji5, ia sudah lelah. Dalam kelelahan itulah sesungguhnya ia juga bermakna.

Pemanfaatan Bahasa Buku ini merupakan kumpulan esei yang ditulis oleh mahasiswa STKIP PGRI Ponorogo dalam upaya memenuhi tugas Mata Kuliah Stilistika. Maka dari itu, buku ini merupakan kumpulan esei sastra yang berpijak pada kajian stilistika. Membaca esei yang ditulis mahasiswa yang terkumpul di dalam buku ini, mengingatkan pada kepiawaian pengarang dalam memanfaatkan bahasa sebagai sarana penciptaan karya sastra. Pemanfaatan bahasa tersebut dapat berupa pemakaian bahasa secara umum, pnggunaan gaya bahasa, pemilihan kata, permainan bunyi, dan pemanfaatan citraan. Kepiawaian pemanfaatan bahasa dapat disimak pada penyair Joko Pinurbo. Sebagai penyair yang sangat produktif, kehebatan dalam memanfaatkan bahasa diangkat oleh Luluk Fitriani dalam judul “Bahasa Figuratif Sajak-sajak Jako Pinurbo” dan ditulis Yayuk Risnawati dalam judul “Nada-nada Cinta dalam Nuansa Romantik Bahasa Kias Pengucapan W.S. Rendara”. Menurut Yayuk penyair Rendra dalam mencipta puisi memanfaatkan bahasa kias sebagai pilihan dalam upaya mengantarkan pesan yang disugukan kepada pembaca. Sementara, Ririn Puspitasari dalam melihat bahasa dalam judul “Mendedah

4. Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, Gramedia, , 1984. 5. Sutardji Calzoum Bachri, O, Amuk, Kapak,

Esai Stilistika vii Pengungkapan Sitok Srengenge Geliat Metafora Bahasa yang Memesona dalam Puisi Cahaya”. Penggunaan gaya bahasa, seperti dalam judul “Analisis Gaya Bahasa pada Kumpulan Puisi Manusia Istana Karya Radhar Panca Dahana” oleh Linda Yulianti, “Analisis Gaya Bahasa dalam Cerpen Terbang Karya Ayu Utami” oleh Arifai dan “Permainan Permajasan dalam kumpulan Puisi Hujan Bulan Juni Karya Sapari Djoko Damono” yang ditulis oleh Dian Dwi Saputra. Menurut Dian, Sosok Sapardi sebagai penyair kondang memainkan permajasan dengan sangat menarik. Pemakaian gaya bahasa tersebut lebih spesifik ditulis dalam judul “Gaya Bahasa Hiperbola dalam Roman Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta Toer” oleh Bayu Mardian, “Pengungkapan Gaya Bahasa Hiperbola dalam Novel Ayat-ayat Cinta Karya Habiburahmman El Shirazy” oleh Sri Alim. Baik Bayu Mardian maupun Sri Alim sama- sama mempersoalkan penggunaan gaya bahasa hiperbola. Bayu melihat kepiawaian Pram dan Sri melihat kepiawaian Habiburahmman dalam menggunakan gaya bahasa yang melebih-lebihkan itu. Di samping Bayu dan Sri, masih banyak yang melihat kepiawaian para pengarang dalam memanfaatkan gaya bahasa. Sebagai misal, “Aroma Alegori dalam Kumpulan Puisi Nikah Ilalang Karya Dorothea Rosa Herliany” oleh Dewi Maratus Solikhah, “Menguak Aroma Permainan Gaya Bahasa Metafora dalam Novel Pudarnya Pesona Cleopatra Karya Habiburrahman El Shirazy oleh Ilham Qosim A, “Menafsirkan Gaya Bahasa Parabel pada Kumpulan Cerpen Setangkai Melati di Sayap Jibril Karya Danarto oleh Khusnul Alifah, dan “Permainan Bahasa Personifikasi dalam Puisi Lidah Ibu Karya Sitok Srengenge” oleh Muclas Mei A. Pemanfaatan bahasa yang memfokuskan pada pemilihan kata (diksi) menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan seorang penyair dalam mewujudkan pemikiran kreatif dalam puisi-puisi yang diciptakannya. Persoalan pemilihan kata ini ditulis oleh Siti Maslamatul Munawaroh viii Esai Stilistika dalam judul “Permainan Kata tentang Perasaan Patah Hati dalam Kumpulan Puisi Hati yang Patah Berjalan Karya Dina Oktavian”. Diksi menurut Siti Maslamatul Munawaroh dimanfaatkan oleh penyair Dina Oktavian dengan menarik. Dina, sebagai penyair mampu memainkan pilihan kata menjadi kekuatan tersendiri dalam puisi-puisinya. Kepiawaian penyair dalam memanfaatkan bunyi diangkat oleh Lina Handayani dengan judul “Analisis Unsur Bunyi dalam Kumpulan Puisi O, Amuk, dan Kapak Karya Sutardji Calzoum Bachri”, Ariska Yessika Nurfadillah dengan judul “Permainan Bunyi dalam Kumpulan Puisi Jangan Panggil Aku Penyair Karya Muhammad Lefand”. Salah satu kekuatan kumpulan puisi O, Amuk, dan Kapak, menurut Lina karena kehebatan Sutardji dalam mengolah bunyi, sedangkan menurut Yessika, kekuatan kumpulan puisi Jangan Panggil Aku Penyair karya Lefand terdapat pada permainan bunyinya. Permainan bunyi secara spesifik ditulis oleh Dwi Wahyu Nur H. dengan judul “Perpaduan Variasi Bunyi dalam Pusi Kwartin Himmirsky Karya Sitok Srengenge” dan Saryudi dengan judul “Analisis Rima dalam Kumpulan Sajak Ballada Orang-orang Tercinta Karya WS Rendra, serta Komaruddin dengan judul “Membingkai Gemulai Permainan Bunyi dalam Puisi Air Karya Sitok Srengenge”. Wahyu melihat permainan bunyi Sitok dalam puisi Air mencermati kevariasian penggunaan bunyi, Saryudi lebih menitikberatkan pada persajakan, dan Komarudin melihat permainan bunyi. Dalam persoalan citraan diangkat oleh Andiana Habibi dengan judul “Ungkapan Puitis Sitok Srengenge: Rangkaian Citraan dalam Puisi Musim”, Heni Mustikawati dengan judul “Pencitraan Puisi Ruang Karya Sitok Srengenge”, Fahrotun Nisa’ dalam judul “Visualisasi Citraan dalam Kumpulan Cerpen Kado Istimewa Cerpen Pilihan Kompas Tahun 1992”. Menurut Habibi, Mustikawati, dan Fahrotun citraan merupakan sarana penting bagi penyair dalam rangka mengantarkan pesan lewat puisi yang ditulisnya. Citraan menjadi kekuatan tersendiri ketika puisi tersebut dinikmati pembaca. Oleh karenanya, dalam merebut makna

Esai Stilistika ix puisi dapat melaui pemahaman dan perhatian pada citraan yang dimanfaatkan oleh penyairnya. Citraan yang masih luas itu, oleh Anis Novianti dispesifikkan, sehingga lahir judul “Menguak Citraan Visual yang Diekspresikan Seno Gumira Adjidarma dalam Cerpen “Pelajaran Mengarang”, Defi Yunaningsih dengan judul Lantunan Lirik Visual Imagery: Sebuah Potret Kehidupan Madura dalam Kumpulan Puisi Pembisik Musim Karya A’yat Khalili, Puput dengan judul “Analisis Pencitraan Visual Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari”, Vara dengan judul “Analisis Citraan Visual dalam Kumpulan Puisi Rembulan dalam Jantung Laba-laba Karya Jefita Atapeni”, Laili Nuryana dengan judul “Memandang Jakarta Lewat Visual Imagery pada Kumpulan Puisi Dari Negeri Daun Gugur Karya ”, Tika Dewi Sulistianing dengan judul “Menguak Tabir Visual Imagery dalam Puisi Kereta Karya Sitok Srengenge”, Nur Intan Alemia dengan judul “Lukisan Citraan Visual Romantisme Cinta dalam Kumpulan Puisi Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono”. Di samping citraan visual, citraan erotisme diangkat oleh Luky Andani dengan judul “Potret Citraan Erotisme dalam Kumpulan Puisi Kuda Ranjang Karya Binhad Nurrohmat” dan Zaiful dengan judul “Kajian Citraan Erotika dalam Prosa Liris Pengakuan Pariyem Karya Linus Suryadi”. Sementara, Elliza Ayu Paramita dengan judul Analisis Citraan Gerak dalam Kumpulan Puisi Rembulan dalam Jaring Laba-laba Karya Jefita Atapeni”, dan Efi Kristiani dengan judul Analisis Citraan Penciuman dalam Novel Sang Nyai 1: Malam-malam Mistis dan Kisah 7 Lukisan Karya Budi Sardjono.

Rujukan Aminuddin. 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press. Keraf, Gorys, 1984. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.

x Esai Stilistika Purwa, Bambang Kaswanti. “Puisi: Memperkosa Bahasa”, dalam, Taum, Yoseph Yapi (ed.). 2012. Bahasa, Sastra, dan Budaya Indonesia dalam Jebakan Kapitalisme. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Satoto, Sudiro. 2012. Stilistika. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Esai Stilistika xi

Daftar Isi

Kata Pengantar: Mula-Mula Adalah Bahasa ...... v Daftar Isi ...... xiii 1. Ungkapan Puitis Sitok Srengenge: Rangkaian Citraan Dalam Puisi Musim Andiana Habibi ...... 1 2. Menguak Citraan Visual Seno Gumira Adji Darma dalam Cerpen Pelajaran Mengarang Anis Novianti ...... 10 3. Analisis Citraan Gerak dalam Kumpulan Puisi Rembulan dalam Jaring Laba-Laba Karya Jefta Atapeni Elliza Ayu Paramita ...... 18 4. Analisis Gaya Bahasa dalam Cerpen Terbang Karya Ayu Utami Arifai ...... 23 5. Permainan Bunyi dalam Kumpulan Puisi Jangan Panggil Aku Penyair Karya Muhammad Lefand Arisza Yessika Nurfadhilah ...... 30

Esai Stilistika xiii 6. Analisis Gaya Bahasa Hiperbola dalam Roman Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta Toer Bayu Mardiyan ...... 39 7. Visual Imagery; Sebuah Potret Kehidupan Madura dalam Kumpulan Puisi Pembisik Musim Karya A’yat Khalili Defi Yunaningsih ...... 47 8. Aroma Alegori dalam Kumpulan Puisi Nikah Ilalang Karya Dorothea Rosa Herliany Dewi Maratu Solikhah ...... 61 9. Permainan Permajasan dalam Kumpulan Puisi Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono Dian Dwi S...... 74 10. Perpaduan Variasi Bunyi dalam Puisi Kwatrin Himmirsky Karya Sitok Srengenge Dwi Wahyu Nur Handayani ...... 80 11. Citraan Penciuman dalam Novel Sang Nyai 1: Malam-Malam Mistis Dan Kisah 7 Lukisan Karya Budi Sardjono Efi Kristiana ...... 86 12. Visualisasi Citraan dalam Kumpulan Cerpen Kado Istimewa Cerpen Pilihan Kompas 1992 Fahrotun Nisa ...... 92 13. Pencitraan Puisi Ruang Karya Sitok Srengenge Heni Mustikawati ...... 106 14. Menguak Aroma Permainan Gaya Bahasa Metafora dalam Novel Pudarnya Pesona Cleopatra Karya Habiburrahman El Shirazy Ilham Qosim A ...... 111

xiv Esai Stilistika 15. Menafsirkan Gaya Bahasa Parabel Pada Kumpulan Cerpen Melati Di Sayap-Sayap Jibril Karya Danarto Khusnul Alifah ...... 119 16. Membingkai Gemulai Permainan Bunyi dan Gaya Bahasa dalam Puisi Air Karya Sitok Srengenge Komarudin ...... 134 17. Memandang Jakarta Lewat Visual Imagery Pada Kumpulan Puisi Dari Negeri Daun Gugur Karya Ahmadun Yosi Herfanda Laili Nuryana ...... 142 18. Analisis Unsur Bunyi dalam Kumpulan Puisi O Amuk Kapak Karya Sutardji Calzoum Bachri (Kajian Stilistika) Lina Andryani ...... 156 19. Analisis Gaya Bahasa Pada Kumpulan Puisi Manusia Istana Karya Radhar Panca Dahana (Pendekatan Stilistika) Linda Yulianti ...... 166 20. Potret Citraan Erotisme dalam Kumpulan Puisi Kuda Ranjang Karya Binhad Nurrohmat Luky Andani ...... 175 21. Permainan Bahasa Personifikasi dalam Puisi Lidah Ibu Karya Sitok Srengenge Muclas Mei A...... 180 22. Membingkai Sejarah Sastra Melalui Kepenulisan Triyatno Triwikromo dalam Kumpulan Puisi Kematian Kecil Kartosoewirjo Mufrodatul Muwafiqah ...... 187

Esai Stilistika xv 23. Lukisan Citraan Visual Romantisme Cinta dalam Kumpulan Puisi Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono Nur Intan Alimia ...... 197 24. Analisis Pencitraan Visual Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari Puput Prastya Ning Tyas ...... 206 25. Analisis Rima dalam Kumpulan Sajak Ballada Orang Orang Tercinta Karya WS Rendra Saryudi ...... 215 26. Permainan Kata Tentang Perasaan Patah Hati dalam Kumpulan Puisi Hati yang Patah Berjalan Karya Dina Oktavian Siti Maslamatul Munawaroh ...... 221 27. Hiperbola dalam Novel Ayat-Ayat Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy Sri Alim ...... 229 28. Aroma Kepedihan dalam Novel Negeri Senja Karya Seno Gumira Ajidarma Sunarsih ...... 240 29. Analisis Citraan Visual dalam Kumpulan Puisi Rembulan Dalam Jantung Laba-Laba Karya Jefita Atapeni Vara Dwi Nova Laurenchia ...... 249 30. Nada-Nada Cinta dalam Nuansa Romantik Bahasa Kias Pengucapan WS Rendra Yayuk Risnawati ...... 255 31. Kajian Citraan Erotika dalam Prosa Liris Pengakuan Pariyem Karya Linus Suryadi Zaiful Nur Fatroni ...... 265

xvi Esai Stilistika 32. Membedah Pengungkapan Sitok Srengenge Geliat Metafora Bahasa yang Mempesona dalam Puisi Cahaya Ririn P...... 275 33. Menguak Tabir Visual Imagery dalam Puisi Kereta Karya Sitok Srengenge Tika Dewi Sulistianing ...... 280

Esai Stilistika xvii

UNGKAPAN PUITIS SITOK SRENGENGE: RANGKAIAN CITRAAN DALAM PUISI MUSIM

Andiana Habibi Mahasiswa PBSI 2013

/1/ Bahasa adalah alat yang dipakai untuk membentuk pikiran, perasaan, keinginan dan perbuatan. Melalui bahasa seseorang dapat mengetahui latar belakang pendidikan, pergaulan, adat istiadat dan budayanya. Semua gejolak kemanusiaan yang ada dalam kehidupan dapat diutarakan kepada orang lain dengan menggunakan bahasa, baik dalam komunikasi sehari-hari maupun dalam bentuk sastra yang pada akhirnya menghasilkan karya sastra. Kajian stilistika menjadikan bahasa sebagai objek utama untuk mengulas atau mengkaji karya sastra, karena stilistika lebih kuat bicara tentang keindahan bahasa yang dihadirkan dalam karya sastra. Stilistika atau stylistic (Inggris) adalah ilmu tentang style atau gaya. Menurut Wellek dan Warren, stilistika mencakup semua teknik yang dipakai untuk tujuan ekspresi tertentu dan meliputi wilayah yang lebih luas dari sastra atau retorika (1993:222-223). Meminjam bahasa Sutejo bahwa stilistika berbicara tentang keindahan pengucapan bahasa dalam karya

Esai Stilistika 1 satra. Lebih kuat lagi jika dalam pengkajian peneliti paham mengenai kode-kode penting dalam teks sastra, yaitu; (i) kode bahasa, (ii) kode budaya dan (iii) kode sastra (2010:01). Kode-kode bahasa dalam teks sastra mesti berbeda dengan bahasa secara umum dalam komunikasi sehari-hari. Style/citra yang dimaksudkan sebagai gaya bahasa, memberikan kesan tersendiri di dalam sebuah karya sastra. Meski Wellek dan Werren pernah menyinggung tentang penggunaan model gaya bahasa yang tumpang tindih. Namun style/citra sendiri merupakan reproduksi mental, suatu ingatan masa lalu yang bersifat indrawi dan berdasarkan persepsi dan tidak selalu bersifat visual. Citra ini selanjutnya mencakup (a) citra pencicipan, (b) penciuman, (c) kinaesthetic, (d) termasuk haptic, dan (e) empathic. Rahmad Djoko Pradopo, membedakaan citraan ke dalam beberapa jenis (i) citra penglihatan (visual imagery), (ii) citra pendengaran (audio imagery), (iii) citra penciuman, (iv) citra pencecapan, (v) citra gerak (movement imagery) dan (vi) citra kekotaan dan kehidupan modern (Sutejo, 2010:19-20). Dari sini, dapat kita pahami bahwasanya style tidak dapat lepas dari pilihan gaya seseorang, tujuan kepengarangan seseorang sampai konteks yang menjadi latar belakang bagaimana seseorang memilih gaya penuturan atau pengucapan tertentu. Kajian stilistika ini memfokuskan pada puisi Musimnya Sitok Srengenge tentang pemakaian bahasa puitis (persoalan bunyi) berikut idiom yang dibuat serta pengucapan yang indah dan citraan yang di gunakan untuk menyampaikan kenindahan imajinya.

/2/ Puisi Musim karya Sitok Srengenge ini akan dianalisis secara mendalam dua aspek menarik sebagaimana diungkapkan dalam teori stilistika. Bahasa puitis dan citraan yang digunakan penyair. Bahasa puitis dengan kalimat-kalimatnya yang padat, gaya bahasa yang

2 Esai Stilistika membingkai, larik larik puitis yang mampu menyuguhkan gambaran citra yang sempurna. Sitok Srengenge adalah seorang di antara 20 Exceptional People di Asia yang dinobatkan Asia Week yang dianugerahi penghargaan Leaders for the Millenium in Society & Culture (id.wikipedia.org/Sitok_Srengenge) lahir di Dorolegi. Sebuah perkampungan petani dengan tradisi sastra lisan yang kukuh, di pedalaman Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Pada usia ke dua puluh ia hijrah ke Jakarta untuk mendalami teater, bahasa dan sastra. Sebagai seorang penyair sekaligus dramawan ternama Indonesia. Karya-karya Sitok telah melanglang di berbagai media. Puisi-puisnya acap kali mengangkat tema cinta, budaya serta masalah-masalah sosial. Salah satu puisi yang mengangkat cinta adalah Musim, puisi yang indah diungkapkan dengan bahasa metafor penuh, sarat simbol dengan kekayaan rima yang menghiasinya. Menggambarkan citraan yang indah pula. Mari kita lihat bagaimana Sitok mengawali pengucapanya di dua larik awal penyair menulis//Tak pernah henti cinta mencintai/Sampai usia tak letih silih mengisi//. Kutipan tersebut memperlihatkan kemearikan bahasa yang digunakannya. Pertama, sebuah pembukaan larik puisi yang indah dengan makna yang tidak sebenarya Si aku liris dituliskan sedang mengalami gejolak jiwa yang merasakan cinta. Kata-kata awal yang tersusun metafor dibalut kepedihan untuk mengungkapkan kebahagian yang sejati. Pada larik selanjutnya dapat kita lihat dengan visual imaginery. Dapat dilihat dominan konsonan/h/ dan vokal/i/; aliterasi dan asonansi, yang merupakan salah satu dua jenis rima dalam bahasa puitis. Aliterasi/h/di sini seringkali menggambarkan luka dan kepedihan//Tak pernah henti/tak letih silih//kata yang berkonsonan/h/ini dapat kita pahami secara sebenarnya kepedihan yang tersurat dan frase/tak pernah/berarti belum sama sekali dilakukan atau diungkapkan dan itu pun diulangi pada larik kedua/tak letih/ini. Tetapi kata-kata di samping diselamatkan dengan asonansi/i/di kata/

Esai Stilistika 3 cinta mencintai/silih mengisi//, yang di lakukan berulang-ulang karena pengulangan asonansi (vokal) seringkali menggambarkan bahagia dan canda. Penyair ingin mengungkapkan dengan metafor yang halus, alunan aliterasi dulu dengan latar kepedihan tetapi karena cinta yang mendampinginya akhirya dapat menjadi bahagia yang tiada henti mencintai. Hingga tidak lelah juga untuk terus mengisi hari-harinya dengan kekuatan cinta. Bahwa Sitok sangat peka menggunakan kata- kata dengan sederhana yang menyebabkan pembaca terasa merasuk di lariknya, diajak bergulat dengan bahasa dan sifat kesehariannya. Penyair menangkap citra visual dalam lariknya//Aku bergelar lapar/ Kau bernama dahaga//. Aku dimetaforkan dengan/bergelar lapar/dan kau dimetaforkan/ bernama dahaga/. Dua sifat yang saling berkaitan, ketika Si Aku liris ini merasakan satu hal dia membayangkan pula bahwa lawannya/kau/di sini juga merasakan hal sama tapi mungkin dengan cara berbeda/lapar/ sifat yang sedang membutuhkan asupan atau perlakuan keinginan untuk diisi makanan./dahaga/sifat yang mengungkapkan bahwa apabila telah terasa kering di tenggorokan maka membutuhkan penyejuk. Dari sinilah terlihat penyair mencoba menggabungkan dua sifat yang sama-sama saling membutuhkan. Sepasang manusia yang sedang di mabuk cinta itu akan saling tarik menarik saling berbagi kasih dan sayang untuk menghaluskan cinta mereka.

Lalu Dibimbing Waktu Aku melahapmu Kau meregukku

Pada larik di atas sangat kental penggunaan asonansi (u), dimaksudkan untuk mengokohkan imajinasi awal pembaca tentang cinta yang sedang dirasakan. Larik di atas merupakan anapora, karena terjadi

4 Esai Stilistika pengulangan kata atau frase yang sama di depan larik-larik (kalimat- kalimat sebelumnya). Sutejo dalam bukunya Apresiasi Puisi (2014:75) juga menegaskan bahwa seorang pengkaji harus menemukan majas (figuratife language) karena fungsinya yaitu untuk dapat memperjelas, menjadikan sesuatu lebih menarik dan memberikan daya hidup. Dapat kita lihat juga bahwa penyair dalam puisinya juga menggunakan kekuatan untuk lebih menarik pembaca dalam imajinasinya.

Betapa perkasa cinta

Asonansi (a) menyatakan kebahagiaan yang tak terkira dengan ketakjuban yang menyertainya, kata sifat/betapa/inilah yang menjadi pertanda untuk menghentakkan diri menghargai cinta yang didapatnya.

Ia jelmakan kita jadi manusia Kuhasratkan kau rebah di tanah Sebabkan aku petani yang tabah

Majas personifikasi tampak jelas terucap dalam bait/ia jelmakan kita jadi manusia/tetapi majas ini menimbulkan pertanyaan imajinatif mengapa aku liris ingin menjelma jadi manusia? Sebelum jadi manusia menjadi apa sebenarnya? Mengapa ingin jadi manusia?, tidak bunga atau serigala. Untuk menjawab itu mari kita tengok peryataan M. Fetullah Gulen (2011) tentang cinta, beliau mengatakan cinta adalah kuntum mawar yang bersemayam dalam keyakinan kita, alam hati yang tidak pernah layu. Hubungan terkuat antara individu-individu yang membentuk keluarga, masyarakat dan bangsa adalah cinta. Dengan tidak menyalahgunakan semangat cinta dan demi cinta seperti adanya, setiap orang semestinya bersedia menawarkan bantuan dan dukungan nyata kepada orang lain. Mereka semestinya melindungi keharmonisan bersama yang telah ada dalam semangat keberadaan

Esai Stilistika 5 yang mempertimbangkan, baik hukum alam maupun hukum yang telah dibuat, untuk mengatur kehidupan manusia (Gulen, 2011:08). Di sinilah hakikat cinta yang sebenarnya bahwa bisa merubah manusia menjadi sosok mahkluk hidup yang secara tepat bisa mendayagunakan kekutan untuk saling menghargai dan menghormati sesama pecinta. Larik/ia jelmakan kita jadi manusia/membuat aku lirik menjadikan dirinya lebih humanisme dan semakin menjadi lebih manusiawi karena merasakan cinta. Sangat terasa Citra perabaan (Tactil Imagery) dalam larik/kuhasratkan kau rebah di tanah/dengan majas personifikasi yang menggoda pembaca, citra perabaan ini mengungkapkan bahwa bagaimana sesuatu secara “erotis” dan “sensual” dapat memancing imaji pembaca dan itu terjadi pada larik/sebab aku petani yang tabah/setia membajak dan mencangkulmu//.

Hingga kau bunting Melahirkan nasi ribuan piring

Terdapat konsonan (g) yang di ulang di akhir larik, kepedihankah? Atau kebahagiaan yang ditampilkan? Hakikat konsonan dan aliterasi yang di ulang menyatakan kepedihan tetapi apabila dikaitkan dengan larik sebelumnya, larik ini menjadi penguat atas larik sebelumnya./ hingga kau bunting/alunan erotis yang tertuang dalam larik ini menjadi larik-larik nakal yang dapat memancing pembaca dibawa kedua imaji yang nakal.

Kadangkala aku pekerja pabrik gula Merawat ladang tebu Atau menjaga gerak mesin gilingmu Agar tak cuma aku Tapi semua dekat kita Tetap bisa menikmati manismu

6 Esai Stilistika Pada larik ini pengulangan asonansi a/u/a/u yang dituliskan secara apik di akhir larik, kekuatan asonansi/u/menggambarkan kekuatan cinta, perlambang kebahagian. Menyusul dengan itu citraan gerak (movement imaginery) terlukis juga pada larik-larik di atas/ atau menjaga gerak mesin gilingmu/, citraan demikian seringkali menggambarkan sesuatu lebih dinamis dalam karya fiksi. Dengan demikian, penyair mampu membangun citraan gerak, pembaca diajak merasakan kesederhanaan, dengan bahasa metaforik yang indah. Dan juga penyair mengajak kita mendapatkan manfaat dari cinta yang dirasakannya./tapi semua dekat kita/tetap bisa menikmati manismu/.

Dalam dambaku kau seindah musim basah Selalu murung dan menangis.

Sutejo dalam bukunya Stilistika, mengungkapkan bahwa secara lebih kongkret ciri bahasa yang merupakan citra penglihatan demikian lebih akan tampak dalam puisi (2010:21). Dalam larik di atas nampak jelas kekuatan visual imaginery dituangkan/seindah musim basah/. Maksud dari citraan visual adalah menekankan pengalaman visual yang dialami pengarang kemudian diformulasikan ke dalam rangkaian kata yang seringkali metaforis dan simbolis./musim basah/menggambarkan keadaan hujan yang selalu dikaitkan dengan air yang turun dari langit. Kita dapat merasakan bahwa hawa yang dibangun oleh penyair adalah kepedihan. Hawa itu dikuatkan oleh larik selanjutnya/selalu murung dan menangis/. Betapa parahnya ketika rasa cinta itu diiringi dengan perasaan gundah dan gulana yang menghampiri.

Sebelum kau berpaling sebagai musim kering Membuatku gering rindu peluhmu Aku bergantung padamu

Citraan visual yang jelas nampak dari larik di atas sebagai refleksi indera penglihatan pengarang./membuatku gering rindu

Esai Stilistika 7 peluhmu/aku bergantung padamu/aliterasi dan asonansi (g) dan (u) mengungkapkan bahwa kepasrahan yang di alami aku liris tentang cinta yang dirasakannya.

Tak perlu kuminta kau jadi yang kumau Cinta ibarat bunga: merekah indah Sudah itu layu luruh demi buah Petani dan musim Tak terpisah

Asonansi (u) yang diulang-ulang melambangkan kebahagian yang di ungkapkan penyair, karena ia mendapatkan cinta. Metafora yang digunakan sangat apik/cinta ibarat bunga: merekah indah/diksi bunga sebagai alegori dari cinta, bahwa bunga adalah ciptaan Tuhan yang indah dan menawan. Dan pada bungalah citraan pencium terasa dilarik ini karena bunga mempunyai sifat harum dan wangi perlambang keindahan serta keindahan, seperti yang dirasakan penyair dalam menggambarkan cinta./sudah itu layu lalu luruh demi buah/larik ini terdapat aliterasi (h) yang seringkali menggambarkan kepedihan, tetapi dapat dilihat kepedihan dalam cinta itu mempunyai maksud yang universal, kalau melihat larik sebelumnya/cinta ibarat bunga: merekah indah/bila dikaitkan larik kedua ini menjadikan kepedihan yang akan menjadi awal dari kebahagian yang diperoleh karena kelutulasan cintanya, kata/ buah/yang diartikan sebagai hasil dari perjuangan untuk merasakan cinta./petani dan musim//tak terpisah/larik ini mengungkapkan bahwa aku liris dimetaforkan sebagai petani dan pasangannya musim, karena petani agar bercocok tanam jika musimnya sedang hujan dan ketika sedang musim kemarau mereka memilih untuk bekerja di pabrik. Metafor petani dan musim adalah kebersamaan yang dirasakan dalam perjalanan cinta karena musim itu juga mempengaruhi kegiatan petani. Mereka saling membutuhkan saling menghargai saling berkaitan dan berjalan bersama seperti cinta tak akan terpisahkan, apabila cuma

8 Esai Stilistika satu yang merasakanya, tidak akan nikmat dan menjadi bertepuk sebelah tangan. Gulen dalam bukunya Cinta dan Toleransi, mengatakan ada banyak bias cinta pada paras matahari: air menguap, naik membumbung tinggi, dan setelah mengembun dalam tetesan-tetesan di bubungan tinggi itu, tetesan-tetesan itu jatuh dengan riangnya ke bumi pada sayap-sayap cinta. Lalu, ribuan kuntum bunga bermekaran bersamaan dengan cinta, menawarkan senyuman indah di sekeliling (2011:01). Pada akhirnya Sitok tak membuat pembaitan itu berjumlah- jumlah, tetapi ia membuat bait puisi itu cuma satu, larik demi larik tertata rapi di kiri. Sitok percaya bahwa semua bermula dari tempat yang sama dan menjadi satu seperti/petani dan musim/telah menjadi satu irama/tak terpisah/.

/3/ Di akhir, dapat disimpulkan bahwa, melalui stilistika yang mengungkapkan maksud puisi dengan citraan yang dibuat oleh penyair. Puisi Musim memberikan gambaran sangat apik dalam permainan majas dan rangkaian citraan lewat alunan bunyi aliterasi dan asonansi yang tertata rapi. Banyak citraan yang mucul dalam puisi ini, menegaskan bahwa penyair –Sitok Srengege—sangat piawai dalam menggunakan panca indera sebagai penangkap penglihatan (visual), pendengaran (audio), penciuman, perabaan (tactil), gerak (movement). Dalam puisi Musim ini visual imaginery sangat kuat, larik larik yang ritmis penguangkapannya yang indah. Bahasa-bahasa tersebut yang kemudian memberikan kesan apik (imajiantif) dalam sebuah puisi, sekligus menjadikan bahasa puisi adalah bahasa yang padat, bahasa yang indah, bahasa yang imajinatif, bahasa konotatif tetapi tetap mempertahankan makna di balik bahasa itu sendiri.

***

Esai Stilistika 9 MENGUAK CITRAAN VISUAL SENO GUMIRA ADJI DARMA DALAM CERPEN PELAJARAN MENGARANG

Anis Novianti Mahasiswa PBSI 2013

arya sastra adalah hasil buah pikir pengarang yang di dalamya mengandung unsur kreativitas dan imajinasi. Tujuan karya Ksastra tidak lain memberi pesan dan hiburan kepada pembaca. Sebuah karya sastra tidak akan terlepas dari fiksionalitasnya yang menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama interaksinya dengan diri sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan. Selain itu, karya sastra juga memiliki tujuan estetik, sebuah karya haruslah menarik, memiliki bangunan struktur yang koheren dan bernilai estetis. Karya sastra merupakan paduan antar unsur memetik dan kreasi, peniruan dan kreativitas, khayalan dan realitas. Pengarang atau sastrawan, dalam membuatnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pengalaman pengarang itu sendiri. Realitas pengarang juga menjadi stimulus yang sangat besar yang dituangkan dalam karya sastra. Plato juga mengungkapkan bahwa sastra dan seni hanya peniruan atau pencerminan dari kenyataan, maka ia berada di bawah

10 Esai Stilistika kenyataan itu sendiri. Berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles bahwa dalam proses penciptaan, sastrawan tidak semata- mata meniru kenyataan, tetapi juga menciptakan dunia baru dengan kekuatan kreativitasnya. Dalam karya sastra kita mengenai istilah cerpen. Cerpen secara umum dikenal sebagai cerita pendek yang habis sekali baca. Jassin mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk (Nurgiyantoro, 2000:10). Karena bentuknya yang pendek, cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas, tidak sampai pada detil-detil khusus yang lebih memperpanjang cerita. Cerpen merupakan jenis karya sastra yang paling banyak dibaca orang dengan pemahaman yang cukup memadai. Cerpen banyak menggunakan bahasa yang lugas dan mengacu pada makna denotatif sehingga lebih bersifat transparan. Namun, adapula cerpen yang tidak transparan tetapi bersifat prismatis dan penuh dengan perlambangan. Menurut Hendy (1989:184) cerpen memiliki beberapa ciri, yaitu; (1) panjang kisahannya lebih singkat daripada novel, (2) alur ceritanya rapat, (3) berfokus pada satu klimaks, (4) memusatkan cerita pada tokoh tertentu, waktu tertentu dan situasi tertentu, (5) sifat tikaiannya dramatik, yaitu berintikan pada perbenturan yang berlawanan, dan (6) tokoh-tokoh di dalamnya ditampilkan pada suatu latar atau latar belakang melalui lakuan dalam satu situasi. Berbicara mengenai cerpen, sontak teringat Seno Gumira Ajidarma, salah satu sastrawan Indonesia yang banyak menghasilkan karya sastra prosa, baik cerpen maupun novel. Cerpennya menjadi karya monumental, macam Penembak Misterius, Dilarang Mandi di Kamar Mandi, Sepotong Senja Untuk Pacarku, Dunia Sukab, Pelajaran Mengarang dan masih banyak karya lainnya. Dari beberapa karya tersebut, penulis sangat tertarik pada Pelajaran Mengarang. Ketertarikan ini, muncul karena karya tersebut sangat mudah dipahami. Tidak memaksudkan karya yang lain tidak mudah dipahami. Karena, penulis sudah sering

Esai Stilistika 11 membaca Pelajaran Mengarang. Sehingga menemukan titik temu yang sangat menarik dari karya tersebut. Ketertarikan tersebut mendorong penulis untuk membaca lebih intens untuk menemukan pemahaman citraan visual yang terkadung di dalamnya. Hal itu bersumber dari kekhasan munculnya dominasi gaya penceritaan, penggunaan bahasa yang khas, pemanfaatan diksi dan munculnya gaya permajasan seperti gaya perumpaman, personifikasi dan metafora. Selain itu, gaya tersebut dijadikan sarana pembungkus makna sehingga layak dilakukan pembongkaran guna mengetahui makna, efek, dan citraan yang ditimbulkan dari penggunaan gaya tersebut. Sebelum masuk lebih dalam pada pembahasan alangkah baiknya memahami pengertian stilistika dan citraan yang merupakan penompang pembahasan. Stilistika menurut Kridalaksana (1983: 15) menyatakan bahwa (1) stilistika adalah ilmu yang menyelediki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdisipliner antara linguistik dengan kesusasatraan; (2) penerangan linguistik pada penelitian gaya bahasa. Di sini didapatkan beberapa konsep stilistika antara lain; stilistika sebagai ilmu yang menyelidiki bahasa dalam sastra, stilistika ilmu interdisipliner antara linguistik dengan kesusastraan, serta penerangan linguistik pada penelitian gaya bahasa. Dengan demikian, stilistika tidak hanya untuk meneliti puisi saja karena, stilistika menyelidiki seluruh bahasa yang ada dalam karya sastra. Stilistika juga mengandung pengertian pengetahuan tentang kata berjiwa (Slamet Muljana, 1956: 4). Kata berjiwa adalah kata yang dipergunakan dalam cipta sastra yang mengandung perasaan pengarangnya. Dari pengertian ini diperoleh sebuah pemahaman bahwa kata berjiwa sangat erat kaitrannya dengan perasaan pengarangnya dalam mencipta karya sastra. Dalam hal ini, pengarang akan benar- benar mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata yang telah diresapi jiwanya sehingga dapat diproduksi sebuah karya sastra yang

12 Esai Stilistika mencerminkan perasaan pengarangnya. Kemudian ini menjadi tugas stilistika untuk membeberkan pemakaian susun kata dalam kalimat kepada pembacanya. Penempatan kata dalam kalimat menyebabkan gaya kalimat, di samping ketepatan pemilihan kata, memegang peranan penting dalam ciptaan sastra (Slamet Muljana, 1956:5). Berdasarkan teori dari Slamet Muljana di atas diperoleh sebuah pemahaman bahwa tugas stilistika adalah menjabarkan kesan kata-kata yang dipakai seorang pengarang dalam karya sastranya. Kesan ini akan dimiliki oleh setiap pembaca ketika atau pada saat membaca karya sastra yang memakai susun kata tertentu dari penulis karya sastra. Kesan ketika membaca karya sastra dengan kata-kata yang telah dipilih oleh pengarang akan tersimpan dalam ingatan pembaca karena ada penggunaaan kata-kata yang menarik bagi pembaca. Stilistika sebagai studi sumber-sumber ekspresif bahasa yang dibicarakan dan mengeluarkan dari dalamnya studi bahasa sastra yang diorganisasikan untuk tujuan estetik (Pradopo, 2005: 2). Ini mengandung penelitian bahwa bahasa di seluruh dunia ini sumber- sumber ekspresif dari para pengarang atau pengguna bahasa pada umumnya. Jika dipakai dalam sebuah karya sastra, maka bahasa sebagai alat ekspresi bagi pengarang dan ini dipakai untuk tujuan estetik atau memiliki nilai keindahan. Berbicara tentang stilistika berkaitan juga dengan citraan, sama halnya berbicara tetang kesan yang dapat kita tangkap (terima) pada kalimat atau baris dalam sastra. Citraan berhubungan dengan indra manusia. Citraan merupakan gambaran-gambaran angan dalam puisi yang ditimbulkan melalui kata-kata (Pradopo, 1987). Citraan digambarkan melalui kiasan-kiasan yang merupakan suatu bentuk keindahan dalam bahasa. Dalam pembangunan citraan, setiap sastrawan berusaha mengkongkritkan ide yang masih abstrak. Ia berusaha intuisinya sebagai

Esai Stilistika 13 penyair dengan imajinasi yang ada pada pembaca. Akibatnya, ia harus berusaha menata kata sedemikian rupa agar makna-makna abstrak menjadi kongkret dan nyata, misalnya lewat bahasa atau lewat gerak. Citraan memang merupakan salah satu cara memanfaatkan sarana kebahasaan di dalam sajak. Pemanfaatan secara baik dan tepat dapat menciptakan suasana kepuitisan. Beberapa penyair, bahkan banyak penyair justru menyandarkan kekuatan sajaknya pada faktor citraan ini. Di dalam sajak diperlukan kekongkretan gambaran, kejelasan, dan hidupnya gambaran sehingga pembaca atau penikmat dapat turut merasakan dan hidup dalam pengamatan batin penyair. Citraan dapat digolongkan menjadi; (1) Citraan penglihatan yaitu citraan yang ditimbulkan oleh indra penglihatan (mata), (2) Citraan pendengaran berhubungan dengan kesan dan gambaran yang diperoleh melalui indra pendengaran, (3) Citra perabaan berkaitan dengan indra peraba (kulit). Pada saat kita membaca puisi kita dapat menemukan diksi yang membawa kita seolah-olah merasakan apa yang disyairkan, (4) Citraan penciuman yaitu citraan yang dapat dirasakan oleh indra penciuman. (5) Citraan pencecapan/pencicipan/rasaan yaitu citraan yang muncul dari puisi sehingga kita seakan-akan mencicipi suatu benda yang menimbulkan rasa pahit, manis, asam, pedas, dll. (6) Citraan gerak yaitu citraan yang ditimbulkan oleh gerak tubuh sehingga kita merasakan atau seolah melihat gerakan tersebut. Dari beberapa citraan tersebut, penulis memfokuskan pada citraan visual dalam proses pemahaman dalam Pelajaran Mengarangnya Seno Gumirah Ajidararma.

Citraan Visual Anasilis pencintraan visual dalam cerpen Pelajaran Mengarang karya Seno Gumirah Ajidarma penting untuk menujukkan situasi yang dialami oleh tokoh Sandra dalam cerpen. Selain terdapat banyak mengunakan indra visual, fungsi indra visual sendiri efektif untuk

14 Esai Stilistika membangun situasi dan pelukisan fisik tokoh. Citraan visual merupakan cara paling efektif untuk membangun estetika sesuai kalimat yang bersankutan. Ada beberapa kalimat dalam cerpen Pelajaran Mengarang karya Seno Gumirah Ajidarma yang mengunakan citraan visual dalam pembawaan peristiwa dalam ceritanya. “Ingin rasanya Ia lari keluar dari kelas.” (hal. 1). “...Ibu Guru Tati mondar-mandir di depan kelas.” (hal. 2). “...Beberapa diantaranya sudah selesai dan setelah menyerahkan segera berlari keluar kelas.” (hal. 4).

Kutipan di atas dapat dipahami tentang bagaimana keadaan kelas saat pelajarang berlangsung, keadaan kelas terasa sempit bagi Sandra karena harus mengarang tentang keluarganya. Membuat pembaca benar- benar melihat bagaimana suasana itu benar teradisi di hadapannya, bahkan pembaca mampu merasa ikut dalam cerita tersebut. Citraan visual selanjutnya digambarkan pada kutipan berikut. “…Sandra mendapatkan gambaran sebuah rumah berantakan.” (hal. 1). “..Ini titipan si Marti. Aku tak mungkin meninggalkanya sendri di rumah.” (hal. 2). “..Di rumahnya sambil nonto RCTI, Ibu Guru Tati memeriksa pelajaran murid-muridnya.” (hal. 4).

Kutipan di atas menggambarkan tentang keadaan rumah tokoh Sandra yang begitu berantakan. Kemudian digiring lagi bagaimana rumah yang ditinggali ibu Tati yang penuh dengan kesibukannya. “..Sandra tahu, setiap kali pager ini menyebut nama hotel, nomer kamar dan sebuah jam pertemuan, Ibunya akan pulang terlambat,” (hal. 4).

Penglihatan Sandra menuju pada pesan pager yang menunjukan hotel dan kamar yang dipesan pelangan ibunya. Hal ini membangun

Esai Stilistika 15 prespektif pembaca kepada ibu Sandra yang dapat dipesan lelaki. Ditambah dengan “..Di ruang depan, Ia muntah-muntah.” (hal. 3). Untuk memperkuat citra terhadap ibu Sandra. “..Botol-botol beresakan di meja bahkan sampai ke tempat tidur.” (hal. 1). “..Ia juga hanya berbisik malam itu, ketika dipindahkan di kolong ranjang.” (hal. 4). “..Sandra tak akan pernah mendengar suara lenguhanya yang panjang maupun yang pendek di atas ranjang.” (hal. 4).

Gambaran ruang kamar yang dimajikan melalui citraan membuat pembaca tergiring pada peristiwa tentang apa yang dilakukan ibu sandra saat melayani tamunya. “..Ibu Guru Tati memandang anak-anak manis yang menulis dengan kening berkerut. Terdengar gesekan halus pada pena kertas. Anak-anak itu sedang tenggelam ke dalam dunianya, pikir Ibu Guru Tati.” (hal. 1) “..Sandra masih memandang keluar jendela. Ada langit biru diluar sana. Seekor burung terbang dengan kepakan sayaap yang anggun.” (hal. 2).

Keadaan sepi juga diciptakan dari citraan visual. Dalam cerita hal yang terjadi dalam kutipan diatas jelas mengambarkan depinya suatu tempat jika terjadi hal semacam itu. “..Sandra melihat banyak orang dewasa berpeluk-pelukan sampai lengket. Sandra juga mendengar musik yang keras.” (hal. 2).

Keadaan mencekam juga digambarkan dalam bentuk visual. Dimana tempat pelacuran merupakan hal yang tabu bagi anak seusia Sandra. “..Sandra pernah terbangun malam-malam melihat wanita itu menangis sendirian, dan wanita itu menangis sambil memeluk Sandra.” (hal, 3).

16 Esai Stilistika “.. Wanita itu juga tak mengira bahwa Sandra masih terbangun ketika dirinya terkapar tanpa daya dan lelaki yang memeluknya sudah mendengkur keras sekali. Wanita itu tak mendengar ketika di kolong ranjang Sandra berbisik tertahan-tahan “Mama, mama..” Dan pipinya basah oleh air mata.” (hal. 4).

Perasaan sedih yang digambarkan dalam bentuk visual terdapat dalam kutipan diatas. Dimana seorang anak kecil yang melihat ibunya tidur dengan laki-laki yang bukan suaminya. “..Anak-anak kelas V menulis dengan kepala hampir menyentuh meja”.

Anak-anak yang serius dalam mengerjakan tugas mengarangnya terlihat serius hingga terlihat kepala mereka hampir menyentuh meja. Hal inilah yang dapat menjadi bukti bahwa citraan visual dapat membangun secara estetis tentang keadaan, situasi, dan tokoh dalam indera pengelihatan.

Penutup Kejelian pengarang dalam memanfaatkan citraan visual membuat bahasa seakan hidup dalam dunia pembaca. Ketepatan pilihan itu juga menimbulkan rasa akrab antara pembaca dengan tokoh, seolah-olah pembaca berada di tengah-tengah mereka dan mengalami semua peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam cerita. Pada analisis ini cerpen Pelajaran Mengarang karya Seno Gumira Adjidarma mengandung sebuah kajian dari unsur gaya bahasa yaitu citraan visual. fungsi indra visual sendiri efektif untuk membangun situasi dan pelukisan fisik tokoh. Citraan visual merupakan cara paling efektif untuk membangun estetika sesuai kalimat yang bersangkutan.

***

Esai Stilistika 17 ANALISIS CITRAAN GERAK DALAM KUMPULAN PUISI REMBULAN DALAM JARING LABA-LABA KARYA JEFTA ATAPENI

Elliza Ayu Paramita Mahasiswi PBSI 2013

etika berbicara masalah sastra sebagai karya imajinatif, maka kita akan sampai pada kesadaran bahwa bahasa merupakan Kkunci mediumnya. Bahasa sastra karena itu bersifat ambigu dan homonimitas. Di sinilah metaforis simbolik yang bisa jadi bersifat pribadi sebagaimana kasus puisi-puisi frost berbicara, karya fiksi secara simbolis pada sisi lain, tentunya tidak dapat dilepaskan dengan sifatnya yang konotatif. Kekonotatifan itu dapat dimunculkan dari berbagai unsur, salah satunya unsur citraan. Dalam kumpulan puisi Jaring Laba- Laba karya Jefta Atapeni terdapat banyak citraan salah satunya yang menjadi fokus adalah citraan gerak. Citraan tersebut penting ditelusuri kedalam untuk menemukan makna yang terkandung, tidak terlepas dari dasar pemahaman bahwa dari sisi itu puisi memiliki makna tersendiri. Citraan sendiri sebagaimana dijelaskan oleh Rene Wellek dan Austin Warren dapat ditelusuri dari yang paling sederhana sampai pada sistem mitologi.

18 Esai Stilistika Secara substansif, kemudian Wellek dan Werren memperbicangkan penggunaan istilah citra, metafora, simbol dan mitos yang seringkali dipergunakan secara tumpang tindih (karena secara semantis menyiratkan demikian) citra kemudian diformulasikan lebih jauh sebagai reproduksi mental, suatu ingatan masa lalu yang bersifat inderawi dan berdasarkan persepsi dan tidak selalu bersifat visual. Sementara Rachmad Djoko Pradopo, memaknakan citraan sebagai gambar-gambar dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya. Lebih jauh dijelaskan oleh Warren, citraan dapat mencakup; (1) citraan pencicipan, (2) penciuman, (3) kinaesthetic-termasuk haptic dan (4) empatic, (5) synaestatic, (6) citraan terikat dan (7) citraan bebas. Sedangkan Racmad Djoko Pradopo, membedakan citraan ke dalam beberapa jenis yaitu (a) citra penglihatan (visual imagery), (b) citra pendengaran (audio imagery), (c) citra penciuman, (d) citra pengecapan, (e) citra gerak (movement imagery), (f) citra kekotaan dan (g) kehidupan modern. Sedangkan Burhan Nurgiayantoro mengelompokan citra didasarkan pada pengalaman kelima indera. Kelima citra itu meliputi (i) citra penglihatan, (ii) citra pendengaran, (iii) citra gerak, (iv) citra perabaan dan (v) citra penciuman. Citra (imagery) jika ingin lebih ilmiah, sebenarnya dapat dikembangkan menjadi lebih banyak dari yang disebutkan sebelumnya. Karena sebagaimana ahli psikologi membatasinya hanya ke dalam enam atau lima indera, maka untuk pengkajian puisi ini klasifikasi di atas dipandang telah memenuhi. Berikut ini akan dipaparkan bagaimana citraan dibangun yang sebenarnya banyak dipergunakan dalam puisi, maka kajian teoritis berikut lebih banyak mendasarkan pada penggunaan citraan yang dipergunakan dalam pemahaman puisi. Mengikuti pemahaman citra sebagaimana diformulasikan Wellek dan Werren sebagai reproduksi mental, suatu ingatan masa lalu yang bersifat inderawi dan berdasarkan persepsi dan tidak selalu bersifat visual.

Esai Stilistika 19 Citraan gerak ini tampaknya lebih banyak dipergunakan oleh pengarang daripada citraan penciuman dan citraan perabaan. Citraan ini menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak, ataupun gambaran gerak pada umumnya. Citraan demikian seringkali dapat menggambarkan sesuatu lebih dinamis dalam karya fiksi. Dalam kumpulan puisi ini banyak terdapat citraan gerak yang dipergunakan Jefta Atapeni untuk melukiskan kondisi, peristiwa, tempat, waktu yang dinamis, pelukisan karakter tokoh dan untuk menggambarkan intensitas tema yang dikemukakan. Citraan gerak itu secara menarik diperkuat dengan citraan audio yang menggambarkan bagaimana kekejaman yang didengar melalui telinganya. Gaya Bahasa klimaks kemudian dipergunakan untuk membingkai penajaman pengungkapan citra gerak itu menjadi ungkapan mental dalam setting dan peristiwa yang mencekam, yang dihiasi dengan sinestetic menarik. Kemudian citraan gerak yang terdapat dalam kumpulan puisi Rembulan dalam jaring laba-laba karya Jefta Atapeni dapat dilihat dalam ungkapan puisi “Cuaca Malam” berikut;// Seperti seribu panah/Meluncur dari wajah rembulan/Menusuk jantung bumi/Segala bersimbah darah/Jadi cuaca malam/Selimuti satu hati/Yang masih terjaga//. Dari bait puisi tersebut menggambarkan bagaimana citraan gerak muncul pada bait kedua dan ketiga, pada larik/meluncur dari wajah rembulan/. Bait tersebut memiliki maksud mendapat masalah yang sangat banyak./menusuk jantung bumi/dimaksudkan adannya masalah yang sangat banyak itu tepat mengenainya Seperti yang dialami oleh kebanyakan orang saat sedang banyak masalah, tidak bisa tidur di malam hari, lalu pikiran ke mana-mana seolah semua masalah saat itu ditimpakan padanya. Sehingga merubah suasana malam menjadi sunyi dan menyakitkan karena tusukan seribu panah. Hal serupa juga muncul di puisi selanjutnya “Alama Nyawa Kita”, berikut;//Kita sering bertemu/Di balik bantal kepala

20 Esai Stilistika ini/Bercakap-cakap/Dengan kata-kata/Yang tak ada dalam kamus/ Aku memelukmu/Layaknya manusi dungu/Sebelum pada waktu yang sama/Kau memeluku/Bawa aku ketiga tempat/Yang berbeda: kau salah satu/Tapi aku lebih mengenalmu/Seperti orang bisu/Mengenali Bahasa tubuhnya//. Puisi di atas yang termasuk citraan gerak adalah pada bait ke-1, ke-2, ke-3, ke-4, ke-6, ke-9, dan ke-10. Kita sering bertemu, yang dimaksud pengarang di sini adalah sepasang kekasih yang selalu bersama. Di balik bantal kepala ini, maksudnya kenangan yang terdapat pada bantal, yang biasanya sering digunakan saat bersama dengan kekasihnya. Bercakap-cakap, maksudnya selalu ada pembahasan atau topik yang dibahas ketika bersama. Dengan kata-kata, maksudnya dengan kata-kata yang tidak saling menyakiti. Aku memelukmu, maksudnya memberikan kenyamanan kepada kekasihnya. Kau memelukku, sebaliknya, kekasihnya juga memberikan kenyaman. Bawa aku ketiga tempa tiga, maksudnya bawa aku ketempat ke mana kau akan pergi. Bait tersebut secara umum dapat digambarkan mengenai seseorang yang sedih, karena ditinggal pergi (mati) oleh kekasihnya. Sebelum kekasinya pergi, dia punya banyak kenangan di kamar tersebut. Dan setelah kekasihnya pergi, orang itu merasa masih mendapati kehadiran sang kekasih di kamar. Sehingga dia selalu berkhayal (seperti orang gila) yang suka berbicara sendiri dan membayangkan sang kekasih masih tetap ada. Penggambaran gerak juga terdapat dalam puisinya “Rembulan Dalam Jaring Laba-Laba”. Puisi tersebut memperlihatkan begitu kompleks sang Penyair memanfaatkan citra gerak dalam menyusun alir makna di dalam puisinya. Dilihat secara umum puisi tersebut berkisah tentang. Kisah cinta yang dialami oleh seorang laki-laki durja yang mempunyai masa lalu suram (teroris) di situ bisa jadi makna sebenarnya. Ia menaruh cinta kepada sosok wanita jelita (yang dikisahkan cantiknya seperti rembulan) sang laki-laki dengan masa lalunya tersebut merasa

Esai Stilistika 21 minder. Hingga ia berani berharap, tanpa berani melakukan sebuah tindakan pasti untuk mendapatkan wanita tersebut. Hingga suatu ketika sang lelaki menyadari bahwa di balik keadaannya seperti ini yang penuh dengan kekurangan, ternyata masih ada seseorang yang mengidolakannya. Hal ini yang membuatnya menjadi percaya diri, untuk berani mengatakan cintanya kepada perempuan jelita tersebut, dengan ketulusan yang dimilikinya, ternyata sang lelaki mampu meluluhkan hati wanita tersebut. Di akhir, dapat dikesimpulkan bahwa dalam puisi Puisi Rembulan Dalam Jaring Laba-Laba Karya Jefta Atapeni mengandung banyak unsur citra gerak disetiap baitnya. Citraan tersebut tidak hanya berdiri sebagai maksud memperindah puisi, melainkan lebih dari itu. Citra gerak menjadi peran penting bagi penyair dalam menyampaikan pesan puisi, dengan memberikan penggambaran gerak sebenarnya kepada pembaca.

***

22 Esai Stilistika ANALISIS GAYA BAHASA DALAM CERPEN TERBANG KARYA AYU UTAMI

Arifai Mahasiswa PBSI 2013

/1/ Cerita pendek merupakan salah satu karya sastra yang habis dibaca sekali duduk. Menurut Soeharianto (1982), cerpen adalah wadah yang biasanya dipakai oleh pengarang untuk menyuguhkan sebagian kecil saja dari kehidupan tokoh yang paling menarik perhatian pengarang. Cerita pendek bukan ditentukan oleh banyaknya halaman untuk mewujudkan cerita atau sedikit tokoh yang terdapat di dalam cerita itu, melainkan lebih disebabkan oleh ruang lingkup permasalahan yang ingin disampaikan. jika ruang lingkup permasalahannya tidak memenuhi persyaratan sebagai cerpen. Maka, sudah dipastikan tidak tergolong jenis cerita pendek. Dalam penulisan karya sastra seperti cerpen untuk menyampaikan pikiran pengarang menggunakan medium bahasa. Bahasa dalam karya sastra –cerpen- merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian atau konvensi dari masyarakat. Bahasa yang digunakan di dalam karya sastra cenderung menyimpang dari kaidah kebahasaan, bahkan menggunakan bahasa yang dianggap aneh atau

Esai Stilistika 23 khas. Penyimpangan penggunaan bahasa dalam karya sastra, menurut Riffaterre (dalam Supriyanto, 2009: 2) disebabkan oleh tiga hal yaitu (i) displacing of meaning (pengganitan arti), (ii) creating of meaning (perusakan atau penyimpangan arti), dan (iii) creating of meaning (penciptaan arti). Karena banyaknya penyimpangan arti dalam karya sastra, maka pengamatan atau pengkajian terhadap karya sastra khususnya cerpen dapat dilihat dari gaya bahasa yang sering digunakan. Pengamatan terhadap karya sastra (cerpen) melalui pendekatan struktur untuk menghubungkan suatu tulisan dengan pengalaman bahasanya disebut sebagai analisis stilistika. Salah satu cerpen yang menarik untuk dikaji dengan analisis adalah cerpen Terbang karya Ayu Utami. Cerpen ini menarik karena Ayu Utami menggunakan beragam gaya bahasa untuk memberikan kesan estetik dan tentu tetap dalam koridor bermakna. Sehingga, dari kelebihan itulah tumbuh ketertarikan menganalisisnya sebagai bekal pemahaman kepada pembaca.

Temuan Gaya Bahasa Menggunakan teori stilistika dalam proses analisis menaruh perhatian pada penggunaan bahasa dalam karya sastra. Persoalan yang menjadi fokus perhatian stilistika adalah pemakaian bahasa yang menyimpang dari bahasa sehari-hari, atau disebut bahasa khas dalam wacana sastra. Penyimpangan penggunaan bahasa bisa berupa penyimpangan terhadap kaidah bahasa, banyaknya pemakaian bahasa daerah dan pemakaian bahasa asing atau unsur-unsur asing. Penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan tersebut diduga dilakukan untuk tujuan tertentu. Pusat perhatian stilistika adalah penggunaan bahasa (gaya bahasa) secara literer dan sehari-hari. Sebagai stylist, seseorang harus mampu menguasai norma bahasa pada masa yang sama dengan bahasa yang

24 Esai Stilistika dipakai dalam karya sastra. Penggunaan gaya bahasa juga diarahkan oleh bentuk karya sastra yang ingin dihasilkan. Misalnya, gaya penataan prosa fiksi (cerpen) berbeda dengan gaya penataan bentuk puisi. Dalam cerpen, selain fokus dalam alur cerita, penulis dapat menggunakan gaya bahasa dan bahasa kiasan agar cerpen yang dihasilkan lebih hidup dan menarik pembaca. Salah satu cerpen yang sarat dengan gaya bahasa dan bahasa kiasan adalah cerpen Terbang karya Ayu Utami. Hampir di setiap paragraf, terdapat gaya bahasa yang menggunakan kata kiasan sehingga pembaca diajak untuk menikmati kalimat demi kalimat, bukan hanya menikmati alur ceritanya saja. Jadi dari kelebihan cerpen inilah peneliti mengambil gaya bahasa merupakan pengungkapan ide, gagasan, pikiran-pikiran seorang penulis yang meliputi hierarki kebahasaan yaitu kata, frasa, klausa, bahkan wacana untuk menghadapi situasi tertentu. Selain itu, gaya bahasa juga sebagai pemanfaatan kekayaan bahasa, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra dan cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan baik secara lisan maupun tulis. Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, majas citraan, pola rima, matra yang digunakan sastrawan atau yang terdapat dalam karya sastra. Majas bagian dari karya sastra yang turut memberi kesan keidahan, menjadi hal penting untuk dipahami maknananya. Majas sendiri merupakan peristiwa pemakaian kata yang melewati batas-batas maknanya yang lazim atau menyimpang dari arti harfiah (Aminudddin, 1995). Gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati pengarang. Meskipun ada banyak macam gaya bahasa ataupun majas, di dalam analisis ini peniliti hanya menekankan pada kenyataan macam majas yang terdapat dalam cerpen Terbang karya Ayu Utami ini. Berikut daftar gaya bahasa yang terdapat dalam cerita:

Esai Stilistika 25 Hiperbola Hiperbola adalah cara pengungkapan dengan melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan itu menjadi tidak masuk akal. Berikut kutipan cerita yang terdapat gaya bahasa hiperbola. “Lagian, meski persentase lebih kecil pun, kalau kita kena lotre buruk, meledak ya meledak, nyemplung ke laut ya nyemplung ke laut. Itu namanya sial, kalau bukan takdir.” (Paragraf 6)

Analisis gaya bahasa hiperbola di atas begitu nampak pada maksud tokoh yang begitu melebih-lebihkan dugaan yang belum dialaminya. Padahal kalau dipikir secara rasional dugaan itu hanyalah sebuah perasaan takut (menghantu-hantui/trauma) yang dialami tokoh hendak naik pesawat terbang.

Metafora Metafora adalah pengungkapan berupa perbandingan analogis satu hal dengan hal lain, dengan menghilangkan kata-kata seperti, layaknya, bagaikan. Berikut kutipan cerita yang terdapat gaya bahasa metafora: “Statistik mengatakan, moda transportasi pembunuh paling besar adalah lalu lintas darat. Begitu katanya. Kecelakaan maut motor lebih banyak daripada kecelakaan pesawat. Itu statistik.” (Paragraf 4)

Analisis metafora pada kutipan cerita di atas nampak pada usaha membandingkan kecelakaan maut motor lebih banyak daripada kecelakaan pesawat hal ini dilakukan pengarang tanpa menggunakan kata-kata.

Personifikasi Personifikasi adalah cara pengungkapan dengan menjadikan benda mati atau tidak bernyawa sebagai manusia. Berikut kutipan cerita yang terdapat gaya bahasa personifikasi.

26 Esai Stilistika “Adam Air terbang tanpa alat navigasi. Adam Air jeblug di laut. Mandala jatuh waktu lepas landas. Garuda meledak ketika mendarat. Semua terjadi dalam satu tahun!” (Paragraf 6)

Analisis personifikasi pada kutipan cerita di atas terbukti pada usaha penginsanan terhadap benda mati sebagai manusia yang dilakukan pengarang nampak pada nama macam-macam pesawat yang mengalami kecelakaan. Nama macam-macam pesawat itu diibaratkan manusia yang mengalami musibah tanpa adanya dugaan.

Simile Simile adalah pengungkapan dengan menggunakan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan penghubung seperti layaknya, bagaikan, bagai dan seperti. Berikut kutipan cerita yang terdapat gaya bahasa simile: “Mesin pesawat propeler sudah menyala. Derunya seperti makhluk hidup terkena bronkitis, penyakit yang sudah lama tidak disebut-sebut di negeri ini.” (Paragraf 8)

Kutipan di atas menggambarkan maja simile, ketika membandingkan deru pesawat dengan makhluk yang terkena bronkitis. Pengarang menggunakan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan menggunakan kata seperti.

Litotes Litotes adalah ungkapan berupa mengkecilkan fakta dengan tujuan untuk merendahkan diri. Berikut kutipan cerita yang terdapat gaya bahasa litotes: “Aku memandang ke bandara yang kecil, yang lebih pantas disebut rumah besar ketimbang pelabuhan.” (Paragraf 7)

Analisis litotes pada kutipan cerita di atas nampak pada pengungkapan berupa mengkecilkan fakta dengan tujuan untuk

Esai Stilistika 27 merendahkan. Hal ini dilukiskan pengarang pada pengungkapan tokoh dalam menilai bandara yang seharusnya berukuran luas dan megah disamarkan berukuran kecil seperti rumah.

Alegori Alegori adalah cara menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran. Berikut kutipan cerita yang terdapat gaya bahasa alegori. “Seorang peneliti lapangan. Seorang peneliti yang biasa di alam bebas. Di hutan. Bukan di lab. Di goa, di padang rumput berpasir. Ia mengenakan kaca mata. Perawakannya keras. Otot kedang tangannya tegas. Urat-urat pada lengannya mencuat.” (Paragraf 12)

Analisis alegori pada kutipan cerita di atas dilakukan pengarang dengan menggambarkan postur seorang peneliti lapangan dengan menggunakan bahasa kiasan yang alamiah atau berkaitan dengan fenomena yang ada pada seorang peneliti.

Aptronim Aptronim adalah pemberian nama yang cocok dengan sifat atau pekerjaan. Berikut kutipan cerita yang terdapat gaya bahasa aptronim. “Ia memiliki wajah lelaki baik. Lelaki baik adalah lelaki yang tidak tengil atau sesumbar, tidak sok tahu atau menggurui. Meski tidak berarti lelaki baik-baik.” (Paragraf 17)

Analisis aptronim pada kutipan cerita di atas nampak pada pemberian nama salah satu tokoh cerita yang cocok dengan sifat atau peringainya. Hal ini dilakukan pengarang dalam pemberian nama pada laki-laki yang memiliki sifat baik.

28 Esai Stilistika Eksklamasio Eksklamasio adalah ungkapan dengan menggunakan kata seru. Misalnya wah, ahh, ohh, lho, dan lainnya. Berikut kutipan cerita yang terdapat gaya bahasa eksklamasio: “Ohhh, berhati haluskan dia. “Jadi motret apa?”

Analisis eksklamasio pada kutipan cerita di atas terdapat pada penggunaan kata ‘Ohhh’ sebagai pengungkapan rasa ketakjuban, kagum, atupun heran. Terungkap ketika seseorang melihat ataupun tahu akan sesuatu hal yang baru atau beda.

Kesimpulan Dari analisis cerpen Terbang karya Ayu Utami yang ditinjau dari ilmu stilistika dapat disimpulkan bahwa di dalam cerpen tersebut mengandung gaya bahasa yang terdiri dari hiperbola, personifikasi, metafora, simile, litotes, alegori, aptronim dan eksklamasio. Gaya bahasa tersebut dimanfaatkan pengarang sebagai usaha memberikan efek estetis atau keindahan dalam cerita. Walaupun sebenarnya tema yang diangkat Ayu Utami dalam cerpen Terbang ini merupakan tema yang sederhana, tetapi dengan kejelian dan teknik penulisan pengarang yang begitu baik maka cerpen ini menjadi karya sastra yang luar biasa. Hal keluarbiasaan itu nampak pada kekayaan gaya bahasa yang ada dalam cerita, sehingga begitu nikmat jika dibaca oleh pembaca. Hal ini menjadikan karya Ayu Utami menjadi lebih hidup dan berbeda.

***

Esai Stilistika 29 PERMAINAN BUNYI DALAM KUMPULAN PUISI JANGAN PANGGIL AKU PENYAIR KARYA MUHAMMAD LEFAND

Arisza Yessika Nurfadhilah PBSI 2013

/1/ Sastra merupakan ciptaan manusia yang memiliki ciri khas yang diciptakan oleh sastrawan. Secara umum sastra dibagi menjadi beberapa bagian yaitu; prosa, puisi dan drama. Pada tulisan ini peneliti fokus pada puisi sebagai bahan analisis. Puisi merupakan salah satu genre yang dihasilkan oleh penyair. Secara etimologis, puisi berasal dari bahasa Yunani poema yang berarti “membuat” atau poesis yang berarti “pembuatan”, dengan menulis puisi berarti suatu pembuatan, karena dengan menulis puisi, berarti sudah menciptakan sebuah dunia. Puisi sebagai salah sebuah karya seni sastra dapat dikaji dari macam-macam aspeknya. Puisi dapat dikaji struktur dan unsur- unsurnya, mengingat bahwa puisi itu adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan. Dapat pula puisi dikaji jenis-jenis atau ragam-ragamnya, mengingat bahwa ada ragam- ragam puisi. Begitu juga, puisi dapat dikaji dari sudut sejarah dari waktu ke waktu, puisi selalu ditulis dan dibaca orang (Pradopo, 2010:3).

30 Esai Stilistika Meskipun demikian, orang tidak akan dapat memahami puisi secara sepenuhnya tanpa mengetahui dan menyadari bahwa puisi itu karya estetik yang bermakna, yang mempunyai arti, bukan hanya sesuatu yang kosong tanpa makna. Karena karya sastra diciptakan untuk dinikmati dan diapresiasi. Dalam hal ini penulis memilih menggunakan teori stilistika untuk membantu mendalami analisi mengenai kebahasaan dalam karya sastra. Hakikatnya stilistika berbicara tetang keindahan penggucapan bahasa dalam karya sastra. Stilistika (stylistic) dapat diterjemahkan sebagai ilmu tentang gaya. Secara etimologis stylistic berhubungan dengan kata style yaitu gaya. Dengan demikian stilistika adalah ilmu pemanfaatan bahasa dalam karya sastra. Penggunaan gaya bahasa secara khusus dalam karya sastra. Gaya bahasa yang muncul ketika pengarang mengungkapkan idenya. Gaya bahasa ini merupakan efek seni dan dipengaruhi oleh hati nurani. Melalui gaya bahasa itu seorang penyair mengungkapkan idenya. Pengungkapan ide yang diciptakan melalui keindahan dengan gaya bahasa pengarangnya (Endraswara, 2011:72-73). Stilistika menurut Sudjiman (dalam Satoto, 1995:6) adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra. Sangat menarik bahwa dalam perkembangan linguistik terapan bahwa munculnya minat bahkan kesungguhan hati para pakar linguis untuk menerapkan teori dan pendekatan linguistik dalam rangka pengkajian sastra (Satoto, 1995:6). Begitu eratnya pengkajian bahasa dan sastra, sehingga bidang studi stilistika menjadi incaran yang menggairahkan bagi para ahli bahasa dan ahli sastra. Stilistika adalah studi yang menjembatani pengkajian bahasa dan sastra dengan mengkaji apa sebenarnya hubungan antara bahasa dan sastra. Kajian stilistika merupakan bentuk kajian yang menggunakan pendekatan obyektif. Dinyatakan demikian karena ditinjau dari sasaran kajian dan penjelasan yang dibuahkan, kajian stilistika merupakan

Esai Stilistika 31 kajian yang berfokus pada wujud penggunaan sistem tanda dalam karya sastra yang diperoleh secara rasional-empirik. Landasan empirik merujuk pada kesesuian landasan konseptual dengan cara kerja yang digunakan bila dihubungkan dengan karakteristik fakta yang dijadikan sasaran kajian. Sedangkan menurut Rene Wellek dan Austin Warren (1990:221) stilistika perhatian utamanya adalah kontras sistem bahasa pada zamannya. Pada apresiasi sastra, analisis kajian stilistika digunakan untuk memudahkan menikmati, memahami, dan menghayati sistem tanda yang digunakan dalam karya sastra yang berfungsi untuk mengetahui ungkapan ekspresif yang ingin diungkapkan oleh pengarang. Dalam kontek objek ini penulis akan mengkaji stilistika pada puisi Musim lebih terarah pada permainan bunyi pada karya Sitok Srengenge. Puisi adalah salah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya. Unsur-unsur puisi adalah segala sesuatu yang berperan membentuk/membangun puisi menjadi satu kesatuan. Unsur-unsur puisi dapat terdiri dari; (1) bunyi, (2) imaji, (3) kiasan, (4) tipografi, (5) diksi, (6) baris, (7) bait, (8) manipulasi tata bahasa dan lain-lain. Secara garis besar puisi memiliki struktur, baik struktur fisik maupun batin. Adapun struktur batin dan struktur fisik puisi sebagai berikut. Menurut Waluyo (1991:4) puisi dibangun oleh dua unsur pokok yaitu; struktur fisik yang berupa bahasa, dan struktur batin atau struktur makna. Yang termasuk kedalam struktur fisik puisi yaitu tifografi, diksi, pengimajian (citraan), kata konkret, bahasa figuratif (majas), verifikasi (rima, ritme, metrum). Dan yang termasuk kedalam struktur batin puisi yaitu tema atau makna (sense), rasa (feeling), nada (tone) dan amanat.

32 Esai Stilistika /2/ Dalam kontek objek kajian stilistika atas kumpulan puisi Jangan Panggil Aku Penyair karya Muhammad Lefand ini akan dianalisis secara mendalam tentang permainan bunyi. Karena bunyi di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas yang penting lagi, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus dan sebagainya. Menurut Aminuddin (dalam Sutejo 2012: 32) di antaranya (i) permainan bunyi (rima) dalam kalimat (larik), (ii) permainan bunyi antar kalimat, (iii) irama, sebuah permainan bunyi yang menimbulkan gambaran imajinasi pembaca. Pada rima sendiri dapat mencangkup; asosiasi atau runtut vokal, aliterasi atau purwakanti, rima akhir, rima dalam, rima rupa, rima identik dan rima sempurna. Rima adalah bunyi yang berselang/berulang, baik dalam (kalimat) larik maupun pada akhir kalimat (larik). Permainan rima mencangkup pengulangan vokal dalam kalimat (larik) biasa disebut dengan asonansi dan pengulangan konsonannya dinamakan aliterasi. Menurut Aminudddin kombinasi dan permainan bunyi vokal (asonansi) dan konsonan (aliterasi) misalnya seringkali dapat menggambarkan bunyi merdu dan berirama disebut euphony (Sutejo, 2010:33-34). Euphony ini dominasi dengan menggunakan bunyi-bunyi vokal biasanya untuk menggambarkan situasi yang menyenagkan, mesra indah dan penuh bahagia. Sebaliknya ada permainan bunyi yang menggambarkan situasi kelam, duka, luka, mencekam, sesak dan menyedihkan yang sering disebut dengan cocophony. Dalam objek kajian ini penulis akan menganalisis kumpulan Puisi Jangan Panggil Aku Penyair karya Muhammad Lefand yang diterbitkan oleh Gading Pustaka cetakan kedua dari 89 puisi penulis hanya mengambil 5 puisi sebagai objek kajian ini. Pada kumpulan puisi Jangan Panggil Kau Penyair ini menggunakan bahasa yang lugas dan mudah

Esai Stilistika 33 dipahami oleh pembaca, buku ini menceritakan pengalaman pengarang yang dituangkan kedalam bentuk puisi. Aku Ingin Menulis Puisi//aku ingin menulis puisi/kepada kekasih pujaan hati/untuk menyatakan kerinduan sepi//ingin juga/nulis puisi untuk ibu di desa/genapi rasa yang lama tak jumpa/: ibu, antara jarak dan batas ada cita-cita/nampak airmatamu mendoakanku dengan dzikir kata-kata//menulis puisi/ eloklah kata berdiksi/nyatakan semua rahasia hati/ungkapkan rindu beraroma kasturi/lupakan kesunyian-kesunyian tentang hilangnya mimpi/: ingin aku tulis semua kisah kasih dalam hidup menjadi puisi/ setiap kata akan aku beri tanda agar aku bisa mengingat kesalahan diri// puisi, ingin kutulis puisi/untuk siapa saja yang suka puisi/: ini kisah kita, kisah para anak negeri/seperti sejarah tapi berbentuk bait-bait puisi/ ingatlah! kita adalah generasi yang bersumpah dengan puisi//. Puisi karya Muhammad Lefand ini menggunakan permainan bunyi antar kalimat (larik) penggunaan akhiran huruf vokal i (euphony) pada bait pertama, ketiga dan keempat sedang pada bait kedua menggunakan huruf vokal a (euphony). Sedangkan asonansi yang digunakan pengarang dalam menggambarkan suasana bahagia dan ceria ia lebih memilih menggunakan penggulangan vokal I (Euphony) pada bait pertama menggambarkan bahwa ia ingin menulis sebuah puisi untuk diberikan kepada kekasih hatinya sebagi bentuk pengungkapan bahwa ia sedang rindu, pada bait kedua menggunakan asonansi vokal A (euphony) yang menggambarkan imajinasi kerinduan pada seorang ibu di desa karena adanya jarak, pada bait ketiga pengarang menggunakan asonansi vokal I (euphony) yang berlainan dari penggambaran sebenarnya bahwa rasa pengarang merasakan gejolak dalam hidupnya yang diungkapkan ke dalam bentuk puisi, sedang pada bait terakhir pengarang menggunakan asonansi vokal A (euphony) menggambarkan keadaan yang pasrah pada puisi ia menuliskannya dalam bait-bait puisi sebagai bentuk kisahnya. Dalam penggambaran puisi Aku Ingin Menulis Puisi ini pengarang

34 Esai Stilistika menggunakan diksi yang lugas yang mudah dipahami serta pemilihan kata sehingga membentuk rima sempurna. Kedua, berjudul “Jangan Panggil Aku Penyair”, yang berbunyi berikut.//Telah kubaca firman-nya/kuulang-ulang/jelas sudah peringatan itu//aku hanya ingin terlepas/dari segala macam rupa dosa/dan dusta-dusta//semua yang kutulis tentangmu/tentang dia dan kata-kata/itu bukan dusta//pada setiap kata/kutitipkan harap segala harapan/kadang berupa dzikir dan doa-doa//aku tak mau jadi pendusta/ meski sebatas fatamorgana/dalam setiap kata//. Pada puisi karya Muhammad Lefand berjudul “Jangan Panggil Aku Penyair” ini merupakan tubuh dari buku kumpulan puisi Jangan panggil aku penyair menggunakan permainan bunyi pada setiap baitnya. Terdapat rima mutlak, diksi yang diulang dua kali pada tempat yang sama seperti pada bait pertama menggunakan kata kuulang-ulang, pada bait kedua dusta-dusta, pada bait ketiga kata-kata sedang pada bait keempat doa-doa. Jadi setiap bait pada puisi ini menggunakan kata yang diulang-ulang sebagai penanda atau penekanan. Puisi ini mengambarkan pengarang yang sebenarnya pencipta puisi yang biasa disebut sebagai penyair, namun tidak mau dipanggil penyair karena pada diri penyair itu sebenarnya menyandang suatu tanggung jawab yang harus dipertanggung jawabkan, jelas pada bait keempat pengarang menyatakan//aku tak mau jadi pendusta/meski sebatas fatamorgana/ dalam setiap kata//. Jelas sebagai suatu kejelasan yang diminta pengarang Jangan Panggil Aku Penyair ini. Ketiga berjudul “Hikayat Anak Rantau”, berikut;//hidupnya seperti puisi/yang tak pernah selesai/tidak bisa ditafsiri/dengan logika ataupun esai//baginya hidup adalah jalan/menuju asal kehidupan//. Puisi tersebut menggunakan permainan bunyi antar kalimat (larik) penggunaan akhiran huruf vokal I (euphony) pada bait pertama, sedang pada bait kedua menggunakan huruf konsonan n (cocophony). Sedangkan asonansi yang digunakan pengarang dalam menggambarkan

Esai Stilistika 35 suasana bahagia dan ceria ia lebih memilih menggunakan penggulangan vokal I (Euphony) pada bait pertama menggambarkan bahwa ia sebenarnya anak rantau yang ia sendiri ibaratkan jalan hidupnya seperti puisi, pada bait kedua menggunakan aliterasi konsonan n (cocophony) yang menggambarkan imajinasi bahawa keadaan hidup sebagai anak rantau akan tetapi harus dijalani karena sebagaimana hidup menuju asal kehidupan. Pada puisi ini pengarang menceritakan apa yang dialami sebagai anak rantau semua masalah kehidupan yang harus dihadapi dan dijalani. Serta pada puisi ini pengarang memilih menggunakan rima sempurna pada puisinya. Keempat berjudul “Mengenang Pertemuan” ditulisnya sebagai berikut;//kota dan wajahmu ketika itu/kunikmati dengan rahasia kata/ di balik rimbun kagum waktu/rasa berjarak pandangan mata//dekat tempat dudukku dudukmu/tak ada kata-kata di antara kita/senyum hanya isyaratmu padaku/rasa hati masih misteri di mata//pernah juga kau memotretku/dengan kamera kau pandang mata/rasaku seperti derai syahdu/meski kau takkan merasakan sama//jarak kita memisahkan waktu/kenangan menjadi rindu dalam makna/pertemuan itu serahasia batu/sesudahnya hanya bisa dikenang saja//. Pada puisi karya Muhammad Lefand ini menggunakan permainan bunyi antar kalimat (larik) penggunaan huruf vokal u dan a (euphony) pada penulisan puisi ini pengarang menggunakan rima bersilang seperti halnya baris pertama, kedua, ketiga dan baris keempat. Asonansi yang digunakan pengarang pada penulisan ini menggunakan huruf vokal a (euphony) sehingga menggambarkan kebahagian yang dirasa bahwa pengarang menulis ini menceritakan sebuah kenangan yang pernah dilaluinya. Pertemuan yang dianggapnya spesial ternyata hanya menganggap biasa saja, di sini pengarang mengabadikannya ke dalam bentuk puisi sebagai kenangan. Selanjutnya//Pesan Yang Tak Sampai Pada Presiden/kutulis airmata budaya/di dinding harapan asa/untuk presidenku tercinta//“bapak

36 Esai Stilistika presiden yang berbahagia/sudikah kiranya anda menemui kita/di pemukiman kaki gunung raung/tempat anak-anak bernaug/dari derita kekurangan buku/syarat mendapatkan ilmu”//semoga tak sia-sia pesan kata/semoga akan cepat terbaca/meski tak sampai ke presiden tercinta//. Puisi tersebut menggambarkan permainan bunyi antar kalimat (larik) penggunaan akhiran huruf vokal A (Euphony) pada bait pertama dan ketiga, sedang pada bait kedua menggunakan huruf vokal A dan u (Euphony) konsonan g (cocophony). Sedangkan asonansi yang digunakan pengarang dalam menggam- barkan suasana bahagia dan ceria lebih memilih menggunakan pe- ngulangan vokal a dan u (euphony). Pada bait pertama menggambarkan bahwa ia menulis sebuah harapan kepada Presiden walaupun ia tahu itu tidak akan sampai pada Presiden. Bait kedua mengambarkan bahwa isi surat tersebut meminta sebuah pertemuan denganya pengarang yang berlatar belakang sebagai pengajar dikota Jember yang bertepatan di pemukiman kaki gunung Raung meminta bantuan buku untuk anak didiknya sebagai sumber ilmu. Pada bait ketiga ini pengarang menekan- kan//semoga tak sia-sia pesan kata/semoga akan cepat terbaca/meski tak sampai ke presiden tercinta//, Rima yang digunakan pengarang rima berpeluk pada bait pembuka dan penutup sama-sama menggunakan akhiran huruf vokal a.

/3/ Akhirnya, banyak permaianan bunyi (rima) dalam kumpulan puisi Jangan Panggil Aku Penyair karya Muhamad Lefanddari. Meliputi permainan bunyi (rima) dalam kalimat (larik), permainan bunyi antar kalimat, irama sebuah permainan bunyi yang menimbulkan gambaran imajinasi pembaca. Kombinasi dan permainan bunyi vokal (asonansi) dan konsonan (aliterasi) misalnya seringkali dapat menggambarkan bunyi merdu dan berirama disebut euphony. Euphony ini dapat menggambarkan situasi yang menyenangkan, mesra indah, dan penuh

Esai Stilistika 37 bahagia. Sebaliknya ada permainan bunyi yang menggambarkan situasi kelam, duka, luka, mencekam, sesak dan menyedihkan yang sering disebut dengan cocophony. Dari gambaran puisi kumpulan puisi Jangan Panggil Aku Penyair di atas kita mengatahui bagaimana permainam bunyi yang digunakan pengarang sangatlah kuat. Sehingga, kita sebagai penikmat puisi sangat terkagum dengan puisi yang dihasilkan pemilihan diksi menarik yang menghasilkan bunyi yang indah jika dibaca.

***

38 Esai Stilistika ANALISIS GAYA BAHASA HIPERBOLA DALAM ROMAN BUKAN PASAR MALAM KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

Bayu Mardiyan Mahasiswa PBSI 2013

arya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi seorang pengarang terhadap gejala-gejala sosial di Klingkungan sekitarnya. Karya sastra diciptakan pengarangnya untuk menyampaikan sesuatu kepada penikmat karyanya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) arti kata sastra adalah karya tulis yang jika dibandingkan dengan karya tulis lain, memiliki berbagai ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya. Karya sastra berarti karangan yang mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah. Sastra memberi wawasan yang umum tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual dengan caranya yang khas. Pembaca karya sastra dimungkinkan untuk menginterprentasikan teks sastra sesuai dengan wawasannya sendiri. Sastra bukanlah seni bahasa belaka, melainkan suatu kecakapan dalam menggunakan bahasa yang terbentuk dan bernilai sastra. Sastra selalu bersinggungan dengan pengalaman manusia yang lebih

Esai Stilistika 39 luas daripada yang sifat estetik saja. Sastra melibatkan pikiran pada kehidupan sosial, moral, psikologi, dan agama. Berbagai segi kehidupan tersebut dapat diungkapkan dalam karya sastra. Sastra dapat memberikan kesenangan atau kenikmatan kepada pembacanya. Seringkali dengan membaca karya sastra muncul ketegangan-ketegangan. Dalam ketegangan itulah diperoleh kenikmatan estetik yang aktif. Ada kalanya dengan membaca sastra kita terlibat secara total dengan apa yang dikisahkan. Dalam keterlibatan itulah kemungkinan besar muncul kenikmatan estetik. Menurut Luxembrug, dkk (1989) sastra bermanfaat secara rohaniah. Dengan membaca sastra, kita dapat memperoleh wawasan yang luas tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual dengan cara yang khusus. Menurut bentuk karya sastra terbagi atas prosa, puisi, dan drama. Prosa adalah karangan bebas yang tidak terikat bentuk, irama dan rima (sajak) atau terikat oleh banyaknya suku kata dan jumlah baris. Terletak pada gaya bahasa pengarang yang mencerminkan jiwanya dalam menyusun dan menyampaikan buah pikirannya. Dalam dunia karya sastra terdapat dua jenis prosa, yaitu prosa lama dan prosa baru. Prosa lama adalah sebuah cerita yang berkisah tentang khayalan-khayalan masyarakat pada zaman dahulu. Sedangkan prosa baru adalah bentuk prosa yang muncul setelah mendapat pengaruh dari budaya-budaya asing atau barat. Salah satu bentuk prosa baru adalah roman. Roman menceritakan tentang kehidupan seseorang, dimulai dari latar hingga kematiannya. Bentuk prosa ini menyajikan suatu aspek kehidupan masyarakat secara utuh dan menyeluruh dan memiliki banyak alur yang bercabang-cabang. Dalam karya sastra, satu pengarang berbeda dengan pengarang- pengarang lain. Dalam kasus pengarang indonesia mutakir, dijumpai bagaimana gaya kepengarangan Budi Darma yang berbeda dengan gaya kepengarangan Pramoedya Ananta Toer. Dari perbedaan kepengarangan tersebut, biasanya terdapat penemuan-penemuan menarik yang

40 Esai Stilistika terdapat pada isi suatu karya sastra dapat diketahui setelah pembaca menganalisis kata-kata yang menurut pembaca mengandung makna yang tersembunyi. Untuk mengetahui makna yang terkandung dalam sebuah kalimat pada isi karya sastra, pembaca dapat menggunakan pendekatan stilistika. Dalam memahami karya sastra kita dapat melakukan apresiasi dan mengulas karya itu dengan teori-teori dan pendekatan. Karya sastra tulis menyampaikan isi dengan menggunakan medium bahasa yang indah, menggunakan pemahaman dan pemaknaan. Maka dalam mengapresiasi karya sastra tulis dapat menggunakan teori stilistika, karena teori stilistika lebih kuat dalam berbicara tentang keindahan bahasa yang dihadirkan dalam karya sastra. Stilistika atau stylistic (Inggris) adalah tentang ilmu style atau gaya. Menurut Wellek dan Warren, stilistika mencakup semua teknik yang dipakai untuk tujuan ekspresi tertentu dan meliputi wilayah yang lebih luas dari sastra atau retorika (222-3:1993). Sutejo mengatakan bahwa hakikat stilistika akan berbicara keindahan pengucapan bahasa dalam karya sastra (01:2010). Salah satu mewujutkan citraan yang dilakukan pengarang ialah dengan menggunakan gaya bahasa. Gaya bahasa merupakan sarana strategis yang seringkali dipilih pengarang untuk mengungkapkan pengalaman kejiwaan ke dalam karya fiksi. Gaya bahas menurut Burhan Nurgiyanto, tidaklah memiliki makna harfiah melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang tersirat. Pendapat tersebut, tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan Panuti Sudiman yang mengatakan bahwa, majas merupakan peristiwa pemakaian kata yang melewati batas-batas maknanya yang lazim atau menyimpang dari arti harfiahnya. Menurut Keraf (2004: 113) menyatakan bahwa gaya bahasa merupakan cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).

Esai Stilistika 41 Secara singkat penggunaan gaya bahasa dalam penulisan karya sastra dapat mencerminkan kepribadian seorang penulis. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa merupakan cara menggunakan pikiran dan perasaan melalui bahasa secara imajinatif untuk memperoleh kesan yang indah. Gaya bahasa merupakan bentuk retorika yakni penggunaan kata-kata dalam berbicara dan menulis untuk mempengaruhi pembaca dan pendengar (Tarigan dalam Al- Ma’ruf, 2009: 15). Jadi, gaya bahasa berfungsi sebagai alat untuk meyakinkan atau mempengaruhi pembaca dan pendengar. Gaya bahasa juga berkaitan dengan situasi dan suasana karangan. Dalam teori stilistika terdapat jenis-jenis gaya bahasa atau majas. Salah satunya adalah gaya bahasa atau majas pertentangan. Majas pertentangan yaitu majas yang cara melukiskan hal apapun dengan mempertentangkan antara hal yang satu dengan hal yang lainnya. Yang termasuk ke dalam jenis majas ini antara lain hiperbola, litotes, oksimoron, paronomasia, ironi, paralipsis, dan lain-lain. Dari sekian banyak jenis majas pertentangan tersebut, mempunyai perbedaan yang jauh. Misalnya gaya bahasa atau majas hiperbola. Gaya bahasa hiperbola ialah gaya bahasa yang mengandung pernyataan melebih- lebihkan baik jumlah, ukuran, ataupun sifatnya dengan tujuan untuk menekan, memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya. Hiperbola merupakan pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal. Adalah sepatah kata yang diganti dengan kata lain yang memberikan pengertian lebih hebat daripada kata lain. Gaya bahasa hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal yang diungkapkan secara berlebihan (Keraf, 2005: 13). Dalam kajian roman ini, yang dipergunakan untuk mengenalisis adalah gaya bahasa atau majas hiperbola. Gaya bahasa atau majas hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang

42 Esai Stilistika berlebih-lebihan baik jumlah, ukuran, ataupun sifatnya dengan tujuan untuk menekan, memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya. Sedangkan majas adalah bahasa kias, bahasa yang dipergunakan untuk menciptakan efek tertentu. Data-data berikut ini, menunjukkan bagaimana pengungkapan gaya bahasa yang dilebih-lebihkan untuk menggambarkan sesuatu. “Sesungguhnya surat itu takkan menyayat hatiku, kalau sebelumnya aku tak mengirim surat yang berisi sesuatu yang tak enak dibaca.” Pada tersebut digambarkan oleh suatu kalimat yang menunjukkan rasa penyesalan, dalam kalimat tersebut terlihat jelas bahwa penulis melebih-lebihkan kata, dan terletak pada kata “menyayat hatiku”, maksud dari kata tersebut sebenarnya adalah suatu penyesalan yang dialami oleh penulis terhadap surat dari ayahnya kepadanya, penulis merasa menyesal karena surat dari ayahnya yang membuat dia sedih. Dalam kalimat tersebut penulis memberi pengaruh kepada pembaca tentang suatu keadaannya dengan melebih-lebihkan kata dalam kalimat dan dalam keadaan sebenarnya. “Dan berpuluh-puluh kenangan yang pahit dan yang senang dengan sewenang-wenangnya menyerbu ke dalam kepalaku.” Kutipan tersebut terlihat gaya bahasa atau majas hiperbola yang terdapat pada kata “menyerbu ke dalam kepalaku”. Dapat dianalisis dari perkataan penulis tersebut, bahwa penulis sedang mengenang masa-masa dulu yang begitu pahit dan secara terus menerut terbayang-bayang kedalam pikirannya. Kata diatas menunjukkan bahwa penulis ingin memberi kesan yang lebih dalam tentang suatu keadaan. “Barangkali kedatanganmu bisa menjadi obat mujarab untuknya.” Kalimat tersebut menggambarkan bahwa kedatangan bisa jadi obat mujarab, maksudnya adalah sebuah kerinduan yang mendalam yang mungkin dengan kehadirannya bisa menjadi obat dari kerinduan tersebut. Dalam kalimat tersebut penulis ingin memberikan pengaruh

Esai Stilistika 43 dan kesan yang mendalam tentang sebuah kerinduan. Sehingga penulis menyampaikan dengan gaya bahasa atau majas hiperbola. “Dan gedung PTT yang menjadi kebanggaan penduduk Blora yang kecil itu kini tinggal beton-beton tiangnya yang tersusun-tindih seperti bantal dan guling”. Pada data tersebut dapat dilihat gaya bahasa atau majas hiperbola yang melebih-lebihkan sesuatu, yaitu sebuah bangunan tua yang dulu berdiri kokoh dan sekarang tinggal beton-beton sebagai penyangga dan tersusun seperti bantal dan guling. Bantal dan guling di sini termasuk baya bahasa atau majas hiperbola karena melebih- lebihkan sesuatu. “Surat balasan itu membuat kegaranganku kuluh cair.” Data tersebut menggambarkan gaya bahasa atau majas hiperbola yang dapat dilihat pada kata “kegarangan luluh cair”. Maksud penulis menggunakan majas hiperbola dalam kata tersebut adalah kemarahan penulis telah mereda dan sudah tidak ada lagi kemarahan dalam dirinya. Begitu dalam bait selanjutnya “Tangisnya kian tertekan dan ditekannya agar tidak membadai,” menggambarkan sebuah kesedihan yang mengharuskan dia menangis, dalam tangisnya pelaku menahan tangisannya agar tidak memnimbulkan tangisan yang berkepanjangan karena kesedihan yang dialaminya. “Dan kini kulihat badan Ayah yang dulu tegap itu kini telah menyerupai sebilah papan.” Kutipan tersebut digambarkan tubuh seorang Ayah yang kini telah kurus karena terserang penyakit. Dalam kalimat di atas terlihat gaya bahasa atau majas hiperbola, yaitu pada kata “tubuh yang menyerupai sebilah papan”. Terlihat bahwa penulis melebih-lebihkan dalam penulisannya. “Dan tiap kepala membayangkan tubuh ayah yang mengelepak di ranjang rumah sakit seperti sebilah papan.” Data tersebut menggambarkan sebuah kegelisahan penulis tentang ayahnya yang sedang sakit di rumah sakit dan tubuhnya kurus seperti sebilah papan. Dari kalimat tersebut

44 Esai Stilistika termasuk dalam gaya bahasa atau majas hiperbola karena melebih- lebihkan dari makna yang sebenarnya. “Sebagian dari dinding temboknya telah runtuh oleh tuanya.” Pada data tersebut menggambarkan keadaan sebuah bangunan yang hampir runtuh karena termakan usia. Dalam kalimat tersebut terlihat bahwa termasuk dalam gaya bahasa atau majas hiperbola, karena melebih- lebihkan ukuran umur supaya memberi pengaruh kepada pembaca. “Kemudian badai batuk menerjang” data tersebut menggambarkan suatu keadaan sedang terserang penyakit, dalam kalimat tersebut terlalu memperhebat keadaan sehingga memberi kesan yang begitu kuat, dan kalimat tersebut bisa dikatakan gaya bahasa atau majas hiperbola. “Kudekati ranjang Ayahku, kuraba kakinya yang kering, hatiku tersayat.” Pada data tersebut terlihat penulis melebih-lebihkan siuatu keadaan untuk memberi pengaruh pembaca, sehingga dalam frase “hatiku tersayat” menjadi frase yang tidak masuk akal karena penulis memberi pengaruh yang begitu kuat. “Dan pernyataan itu menusuk-nusuk dalam benak kami.” Data tersebut juga menggambarkan suatu pernyataan yang melebih-lebihkan dalam pengungkapannya. Dengan tujuan memberi pengaruh dan kesan yang mendalam, penulis menggunakan gaya bahasa atau majas hiperbola dalam penyampaiannya. “Sebagaimana biasanya kalau sedang tertidur, dahak yang menahani jalan nafasnya menimbulkan keruh yang menggemparkan dadaku.” Ungkapan tersebutr menggambarkan keadaan yang dilebih-lebihkan penulis, dengan tujuan memberi pengaruh besar terhadap keadaan dalam cerita tersebut. Penulis ingin memberikan kesan yang mendalam dari keadaan sebenarnya dengan menggunakan gaya bahasa atau majas hiperbola. “Dan debu menyembur-nyembur mengisi ruang hawa yang panas itu.” Data tersebut menunjukkan bahwa gaya bahasa atau majas hiperbola dipergunakan olah penulis untuk memberi pengaruh kepada

Esai Stilistika 45 pembaca dengan melebih-lebihkan suatu keadaan yang terjadi. Penulis memberi kesan bahwa keadaan saat itu dengan menggunakan kalimat yang dilebih-lebihkan sehingga kesannya begitu mendalam. “Beribu-ribu pertanyaan pun muncul, dan asap setinggi mengepul- ngepul dari bawah bale jenazah.” Penggambaran suasana pada saat kejadian, penulis memberi gambaran tentang keadaan tersebut dengan melebih-lebihkan sehingga meningkatkan kesan yang mendalam tentang keadaan dalam cerita. “Dan para pelayat yang tak memincangkan mata semalam.” Dari data tersebut menggambarkan suatu keadaan yang penulis katakan dengan memberi kesan mendalam dari keadaan sebenarnya, penulis menceritakan keadaan dengan melebih-lebihkan keadaan sbenarnya, supaya memberi pengaruh kepada pembaca.

Wasana Akhir Di akhir, dari ulasan tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan gaya bahasa atau majas hiperbola dalam roman Bukan Pasa Malam, dikemas begitu apik oleh penulisnya. Sehingga gaya bahasa dan majas tersebut menjadi bagian hal yang penting dalam sisi karya. Sebagai jalan penyampaian makna yang dikemas dengan balutan bahasa hiperbola. Sehingga pembaca mampu merasakan tentang roman tersebut. Roman ini berlangsung dalam satu putaran perjalanan seorang anak yang pulang kampung karena Ayahandanya sakit. Dari seputaran perjalanan itu, terungkap beberapa potong puing gejolak hati yang tak pernah terungkap dalam gebyar-gebyar revolusi.

***

46 Esai Stilistika VISUAL IMAGERY; SEBUAH POTRET KEHIDUPAN MADURA DALAM KUMPULAN PUISI PEMBISIK MUSIM KARYA A’YAT KHALILI

Defi Yunaningsih Mahasiswa PBSI 2013

uisi merupakan ekpresi jiwa yang ditulis demi kepentingan pribadi. Namun, sering kali puisi dihubungkan dengan Ppersonalitas atau reaksi psikologis dan sosial penyair. Puisi bisa disebut sebagai bentuk kasusasteraan yang paling tua. Karya-karya besar dunia yang bersifat monumental ditulis dalam bentuk puisi. Karya-karya pujangga besar seperti; Oedipus, Antigone, Hamlet, Macbeth, Mahabharata, Ramayana, Bhatara Yudha, dan sebagainya ditulis dalam bentuk puisi. Puisi tidak hanya dipergunakan untuk penulisan karya- karya besar, namun ternyata puisi juga sangat erat kaitannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Dunia telah diperindah dengan adanya puisi (Waluyo, 2010:1). Sebagai bentuk karya sastra, puisi mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya (Waluyo, 2010:29).

Esai Stilistika 47 Seperti sedang mendengarkan sebuah lagu, semua itu tidak semata- mata karena irama lagunya yang indah, namun terlebih pada isi lagu yang mempunyai gaya puitis yang bisa menarik para pendengarnya. Gaya puitis yang dilantunkan sangat padat dengan makna dan tentu mempertimbangkan aspek keindahan bahasan yang menjadikan lagu tersebut memiliki nuansa puitis. Keindahan pada puisi dapat dilihat atau ditelisik salah satunya dengan menggunakan pendekatan stilistika. Menurut Shipley (dalam Ratna, 2016:8) stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya (style), sedangkan style itu sendiri berasal dari kata stilus (Latin), semula berarti alat berujung runcing yang digunakan untuk menulis di atas bidang berlapis lilin. Bagi mereka yang dapat menggunakan alat tersebut secara baik sebagai praktisi gaya yang sukses, sebaliknya bagi mereka yang tidak dapat menggunakannya dengan baik disebut praktisi gaya kasar atau gagal. Benda runcing sebagai alat untuk menulis dapat diartikan bermacam-macam. Salah satu di antaranya adalah menggores, melukai, menembus, menusuk bidang datar sebagai alat tulis. A’yat Khalili merupakan penyair muda yang berasal dari Madura. Bumi Madura selain kaya dengan sumber daya alam yang melimpah juga kaya akan budaya dan tradisi. Sumber daya alam yang dihasilkan dari Madura yaitu garam dan migas. Sedangkan kesenian dari Madura antara lain; karapan sapi, topeng, keris, batik, celurit dan sebagainya. Berbagai situs sejarah yang berada di empat Kabupaten di Madura berusaha dijaga dan dilestarikan oleh pemerintah setempat. Di Kabupaten Bangkalan misalnya, ada situs sejarah Makam Pasarean Syaichono Kholi dan setra kerajinan batik Madura di Tanjung Bumi. Di Kabupaten Sampang, ada Makam Ratu Ebu di Madegan dan Waduk Klampis di Kecamatan Kedudung. Juga di Kabupaten Pamekasan ada wisata api abadi atau api tak kunjung padam, keindahan Monumen Arek Lancor dan ada juga makam para ulama dan raja (makam keramat pasarean Batu Ampar), sedangkan di Kabupaten Sumenep ada Musium Keraton

48 Esai Stilistika Sumenep, makam para raja asta tinggi dan keindahan bangunan Masjid Agung Sumenep yang dibangun tahun 1763 dan panorama taman laut pulau Gili Labak. Selain itu di Sumenep juga ada acara karapan sapi dan sapi nonok. Tak pelak, hal itu membuat wisatawan baik asing maupun domestik tertarik untuk mengunjungi. Bahkan, tidak sedikit yang menjadikannya sebagai objek penelitian. Seiring dengan perkembangan teknologi dan modernisasi, terutama sejak jembatan Suramadu yang membentang di selat Madura beroperasi, Madura mulai berbenah. Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi masyarakat Madura untuk menjaga keeksotisan dan kelestariannya agar tidak terkontaminasi oleh budaya-budaya asing yang semakin gencar memasuki pulau garam. Sebagai Rasa cinta dan kepedulian untuk menjaga segala keindahan kekayaan budaya Madura ditunjukkan Ayat Khalili melalui puisi-puisinya yang terangkum dalam kumpulan puisi Pembisik Musim. Dalam antologi solonya ini penyair berusaha menampilkan bagaimana kehidupan di Madura dengan bahasa puisi dalam tiap larik-larik puisinya. Membaca kumpulan puisi Pembisik Musim karya Ayat Khalili yang berjudul Musim Majang, penulis menemukan penggunaan citraan penglihatan dengan baik untuk menciptakan imajinasi pembaca tentang lukisan suasana, keadaan serta tempat yang secara memikat dan melatari puisi tersebut. Penyair dengan penuh ketulusan menggambarkan sosok nelayan yang pulang melaut dengan membawa hasil tangkapannya, pada bait pertama saja penulis sudah menemukan visual imagery, berikut dibait pertama.//Pulang dari laut/Rambut pirangmu/Selalu memaduku/ Seperti kuntum bulan/Tergantung di ujung pulau//. Pada bait pertama pembaca sudah disuguhi dengan lirik puisi padat akan citraan penglihatan (visual imagery) yang terdapat pada larik pertama dan kedua yaitu/pulang dari laut/rambut pirangmu/ penggunaan citraan penglihatan yang membuat pembaca seolah-olah melihat sosok nelayan yang pulang melaut, dengan rambut pirang akibat terkena sinar matahari yang tidak dipedulikan oleh sang nelayan. Lalu

Esai Stilistika 49 dipercantik dengan penggunaan majas asosiasi yang terdapat pada larik keempat/seperti kuntum bunga/penulis mengambarkan bagimana kegembiraan nelayan atas hasil tangkapnya. Selanjutnya di bait kedua dan ketiga.//Pohon-pohon menyala/ Sepanjang tanah/Di bukit pikul/Di sela jazirah/Turun ke halaman/ Mengangkat wajah/Dari kedap mata Tentang waktu pelayaran//. Pada bait kedua dan ketiga dalam puisi Musim Majang, bait kedua lebih mengambarkan makna atas rasa syukur, penyair menggunakan majas persofikasi pada larik/pohon-pohon menyala/disini penyair bermaksud menyampaikan rasa syukur dari sang nelayan yang mengikut sertakan pohon-pohon nyiur yang ikut menyala, menyala dalam diksi ini bukan seperti api, namun lebih lembut lagi bahwa pohon-pohon disekitar wilayah tersebut juga merasakan kebahagiaan atas kedatangan nelayan dan hasil lautnya. Pada bait ketiga, larik pertama/turun ke halaman/mengangkat wajahmu/adalah penggambaran visual imagery bahwa kaki-kaki lelah nelayan telah menginjak dengan selamat diatas tanah kelahirannya, dengan mengangkat wajah penuh rasa gembira. Penyair menggunakan diksi kedap mata yang sangat inti dalam pancaran rasa lelah atas sebuah pekerjaan, bahwa sang nelayan yang baru pulang itu sangat terlihat rapat matanya, menahan rasa kantuk saat berada di tengah laut atas lamanya sebuah pelayaran. Sementara itu, pada puisi kedua yang berjudul Bumi Pembatik penyair menggambarkan keadaan Madura tentang keuletan dan ketelatenan dalam kegiatan membatik. Orang Madura dengan telaten melukis keindahan yang digoreskan pada bentangan kain yang hasilnya memang cukup terkenal sebagai produk lokal yang mendunia. Puisi ini ditulis pada tahun 2011, berikut kutipan puisinya;//Kami ikat segala yang terlampir/Sayup-sayup dedaunan melambai/Disapu sinar matahari/Menguak garis nusantara/Kami lukis segala urat/ Memperteguh larik jiwa/Kelanamu di bumi orang/Memendari kami

50 Esai Stilistika di sini/Kami selami segala arti/Pada sesuatu yang sejak dahulu kami mengerti/Menjabar ceruk nurani/Menghangati wajahamu pada pijarnya//. Bait puisi tersebut, setiap larik pertama menggambarkan visual imagery “//kami ikat segala yang terlampir//kamu lukis segala urat//kami selami segala arti//” kutipan tersebut menggambarkan bagaimana penggunaan citraan visual secara intensif digunakan untuk melukiskan bagaimana karakter orang Madura yang sangat telaten dalam hal membatik. Setiap lukisan pada batik memiliki arti sendiri, begitu halnya dengan batik Madura yang dilukis dengan sangat tulus dan memiliki arti yang berbeda meskipun sama dari madura. Pada larik kedua bait pertama/sayup-sayup dedaunan melambai/diperindah dengan majas personifikasi yang menambah sikap ketelatenan dalam membatik dengan menggunakan diksi sayup-sayup, dengan lembut dan tenang daun-daun dihembus oleh sayup angin hingga melambai mengalun merdu. Demikian juga digambarkan di bait selanjutnya,/Ini pulau cantik nan asri/Ini pulau batik mengenali diri/. Bait tersebut terdapat dua larik puisi yang sangat kental dengan visual imagery yang jelas melukiskan keadaan Madura yang memiliki hasil kerajinan batik. Larik tersebut menjelaskan bahwa Madura adalah pulau yang cantik, indah dan asri, juga pulau yang memiliki hasil batik yang telah dikenal dunia. Pada bait terakhir juga didapati larik visual imagery,//Kami pun lukis sinar matamu/Dan kami hayati lubuk hatimu/Menerjemah segala rahasia/ Yang diombak puncak rasa//. Pada larik pertama dan kedua, visual imagery yang terlihat/Kami pun lukis sinar matamu/Dan kami hayati lubuk hatimu/yang digambarkan penyair tentang ketelatenan dan hasil lukisan para pembatik yang penuh keikhlasan, terbukti pada tiap goresan malam yang terpatri diatas bentangan kain. Puisi yang berjudul Di atas Ferry juga mengandung visual imagery yang berkisah tentang perjalanan penyair yang saat berada dalam

Esai Stilistika 51 keadaan di tengah laut yang menggunakan transportasi kapal ferry. Dilihat dari kisah hidupnya Ayat Khalili memang suka berkelana, seperti kedatangannya di beberapa negara asing seperti Singapura dan . Tidak heran jika puisi ketiga ini mengandung makna kisah perjalanan yang digambarkan dengan menggunakan kapal. Dimana penyair hanya dapat melihat riuh laut dan birunya langit. Berikut kutipan puisinya;//Hanya bentangan laut yang kulihat membungkuk di tubuhmu,/Lalu separuh pulau melandai-landai di balik bukit/. Larik pertama puisi di atas menggambarkan visual imagery, dimana penyair dalam perjalanannya dengan menggunakan kapal ferry hanya melihat laut yang amat luas, penyair seakan membawa suasana para pembaca supaya ikut melihat serta merasakan keindahan ditengah laut yang dapat dilihat hanyalah air laut yang amat luas seakan laut itu sudah menyelimuti bumi. Larik kedua diperindah dengan majas hiperbola/ lalu separuh pulau melandai-landai di balik bukit/. Puisi yang berjudul Pembisik Musim yang dijadikan penyair sebagai judul buku solonya meskipun tidak lagi menggambarkan keadaan suasana laut tapi tetap menceritakan bagaimana keadaan di Madura saat menghadapi musim penghujan. Bagi penduduk Madura musim penghujan adalah musim yang malang, bagaimana tidak malang? Jika mayoritas penduduk Madura adalah sebagai nelayan, jika hujan maka nelayan libur untuk melaut. Dan penghasilan garam juga terhenti disebabkan oleh minimnya sinar matahari untuk penjemuran garam. Puisi Pembisik Musim ditulis di Telenteyan, kampung halaman penyair pada tahun 2013. Berikut kutipan puisinya:

Pembisik musim

Setelah langit pudar dengan jejak pulang yang kulewati Membekas tanda dalam gurat telapak yang lamat-lenyap Gemuruh musim masih menantimu sebagai peladang ulung Yang melukis nasib ribuan bibit dari mimpi sunyi. Kucium

52 Esai Stilistika Nafas dan rahasia birahi yang mengaburkan angin Pada puncuk berbunga berkisar kawin di ujung waktu

Seperti mimpi kita yang riuh, menangkap musim Dalam mamaca sesak di ujung lidah yang mengiris malam Tanpa jerit menegpak dengan sayap obur ke dasar ladang

Dalam sesungkup pijak, tak ada alamat retak pada daun yang jatuh Menanti semi yang jauh-sebantang jarak darimu mengukur bumi Jejak hujan di tubuh telah lesap dan kering tak bersisa air Hingga peladang pulang, nelayan kembali, menjeritkan impian di malam hari. Ribuan tangan merobek langit gelap memintal segenap permohonan curah

buka matamu pak, usai sudah kita meladang, terkubur dengan tangan hampa, aku ingin panen! Di ladang-ladang ini, meski hanya dengan lahan doa

sampai hujan kembali turun, ladang, ladang subur di hatimu dan engkau menembang lagi ujung tabun ke hari tiada tepi sampai langit yang pudar segala bunyi kembali retak oleh bisik nasib malangku-malangmu, di sini.

Sajak di atas merupakan ekspresi perasaan penyair sebagai penduduk Madura yang juga merasakan kemalangan akibat musim penghujan yang akan segara datang. Penyair menggunakan diksi ‘pembisik’ yang berasal dari kata bisik, sebelum datang musim penghujan bumi sudah memberi isyarat atau bisikan yang dirasakan oleh penyair. Bait pertama puisi Pembisik Musim yang kental dengan gaya bahasa dan imaji yang menarik. Sebuah bait yang menggambarkan visual imagery yang kental dengan aroma majas metaforik/Setelah langit pudar dengan jejak pulang yang kulewati/Membekas tanda dalam gurat telapak yang lamat-lenyap/. Bagaimana musim bisa memberikan bisikan pada telinga manusia? Tetapi dalam larik-larik itu oleh Ayat

Esai Stilistika 53 Khalili dimataforikan sebagai tanda dalam gurat telapak dan melukis nasib yang dianggapkan menjadi keluh kesah penduduk Madura. Sebuah imaji visual yang natural. Pada bait ketiga juga sangat kental dengan visual imagery;/ Menanti semi yang jauh-sebantang jarak darimu mengukur bumi/Jejak hujan di tubuh telah lesap dan kering tak bersisa alir/Hingga peladang pulang, nelayan kembali, menjeritkan impian/di malam hari/di sini penyair dengan puisi naratifnya menggambarkan keadaan saat musim penghujan telah datang, dimana para peladang juga nelayan yang pulang dari mencari penghasilan lalu menjeritkan sebuah impian pada malam hari. Berharap musim penghujan segera berlalu. Puisi yang berjudul Paddhu Ara juga menyimpan visual imagery yang sulit dipahami pembaca. Saat memahami judul puisi Paddhu Ara penulis mengalami sedikit kesulitan untuk memahami maknanya, meskipun di bagian glosarium penyair juga melampirkan arti kosa- katanya. Ayat Khalili dalam kumpulan puisi pembisik musim sedikit banyak menggunakan kosa-kata Madura yang memang sangat aman dipahami oleh pembaca yang berasal dari luar Madura. Pada akhirnya penulis mengartikan puisi Paddhu Ara adalah puisi yang mengisahkan tentang pulau yang berada di pojok dengan limpahan sumber daya alamnya yang berupa garam, karena penyair sendiri berasal dari Sumenep yang merupakan salah satu kabupaten di Madura yang berada di diujung pulau. Padhhu Ara Setelah langit menembus senja Kemarau membakar seluruh tanah Perlahan terbakar juga jiwaku

Puisi singkat yang hanya terdiri dari tiga larik memiliki citraan penglihatan pada larik kedua/Kemarau membakar seluruh tanah/. Penulis menghipnotis pembaca dengan larik puisi singkatnya yang

54 Esai Stilistika secara tidak sadar membawa mata pembaca untuk melihat keadaan Madura yang sedang merasakan musim panen garam, dimana saat kemarau pulau Madura menghasilkan limpahan jutaan butir garam yang siap dijual. Diksi terbakar pada larik ketiga bukan perasaan luka yang dirasakan penyair melainkan rasa senang yang teramat karena penduduk Madura mendapatkan penghasilan dari kerja keras dalam menjemur air laut yang menjelma garam. Puisi selanjutnya berbeda dengan puisi-puisi sebelumnya, puisi sebelumnya lebih menggambarkan suasana laut dan kebudayan Madura. Pada puisi yang berjudul Pemukul Gendang Saronen menggambarkan sosok laki-laki yang sedang memainkan alat musik Madura bernama ‘saronen’ yang digunakan saat acara pernikahan. Saronen adalah alat musik khas madura yang terbuat dari kayu sejenis klarinet, menimbulkan bunyi yang melengking. Di sini penyair kembali lagi menggunakan bahasa Madura dalam puisinya. Berikut puisinya. Pemukul Gendang Saronen

Dengan kepala berselendang Ia tabuh sebentang kulit Hangat dan terik

Berdentum di puncak lembah

Matahari tepat di atas kepala Memanah sang pengantan jharan

Dalam gelegar suara Yang membakar kisar lalang Tak tumbuh

Ditingkah pengantin berkuda Ia menjelma pengiring Dengan kaki kungseng

Esai Stilistika 55 Setiap kali bunyi diacak Acapkali dingin menepi Ke puncak nurani

Di tubuhnya Yang menopang gendang Tersulam gemuruh

Ia berlenggak-lenggok Menghujam tatapanmu Yang silau Dihempas gelora waktu

Sementara pendar bunyi Dari serat tabuh Masih membumbung angkasa Terus memburu di tanahku

Puisi Pemukul Gendang Saronen seakan memperkenalkan alat musik Madura yang selama ini kurang dikenal oleh kebanyak orang. Muncul kesadaran hakiki dari penyair untuk memperkanalkan alat musik dari tanah kelahirannya. Penyair seakan mengajak pembaca untuk ikut menyaksikan kemeriahan suasana pernikahan yang diiringi dengan suara tabuh gendang saronen. Bait pertama/dengan kepala berselendang/menggambarkan visual imagery yang mewakili sosok pemukul gendang dengan menggunakan selendang dikepalanya saat memainkan tabuhnya. Bait kedua dan ketiga dipercantik dengan citraan pendengaran/ia tabuh sebentang kulit/berdentum di puncak lembah/ menggambarkan sosok pemukul tabuh mulai memainkan saronen. Bait keempat juga ditemukan lagi visual imagery/matahari tepat di atas kepala/acara pernikahan yang dilakukan pada siang hari. Selanjutnya penyair menggunakan bahasa Madura penganten jharan yang artinya pengantin. Terdapat lagi pada bait keempat. Kelima

56 Esai Stilistika dan keenam yang menggambarkan visual imagery/ia menjelma pengiring//yang menopang gendang//ia berlenggak-lenggok//. Disini penyair secara lengkap menggambarkan kegiatan yang dilakukan oleh sang pemukul gendang dalam tugasnya. Yang semula menggunakan selendang dikepala, kemudian menjadi pengiring pengantin dengan gendang yang di bawa dan mulai memainkan gendang saronen dengan berjalan berlenggak-lenggok. Pada bait kedelapan yang merupakan bait terakhir didapati citraan pendengaran yang memperkuat penggambaran suara dari saronen,//Sementara pendar bunyi/Dari serat tabuh/Masih membumbung angkasa/Terus memburu di tanahku//. Penyair juga mengajak pembaca untuk menikmati alunan musik saronen yang dihasilkan dari pendar bunyi, alunan musik yang membumbung di angkasa membuat orang di sekitarnya sangat menikmati. Puisi terakhir yang akan dibahas oleh penulis adalah puisi yang berjudul Kota Genting puisi ini ditulis saat penyair berada di daerah Andulang yang merupakan dearah penghasil genting di Madura. Berikut kutipan puisinya: Kota genting Bermimpilah kami, seperti kuntum kota terus membara dalam pelukan-pelukan rumah tangga dan pijar hasrat sekian jalan denyar syair masih mengingatkan kami bagaimana berpijak dalam rekaan panas-api penjalin hidup dan mati setiap terputar berkeciprak bagai lumpur dan olahan menyalin tetirah dalam dada-koya genting yang meluap

maka, kuceritakan hawa hatiku di atas muka abu berwarna merah tubuhmu yang terbakar dalam kolare penuh derita menangkap setiap himpitan, kedipan dan kesangsian memulai percik keringat, kuselami tubuhmu-kota penuh kepal dan kupecahkan hujan di malam buta penuh doa agar langit mengacak setiap yang ada jadi kristal pelangi bagai pandai besi melurut urat dalam tempaan-tempaan hampa terbalur percik dan rapi api sekian mengasah jantung bumi

Esai Stilistika 57 bertahanlah kami, seperti setumpuk genting terus membahana dalam manai jantungmu-cahaya dan sorot saling bersitatap sebagai pembakar, bagaimana hidup tetap berbara dan berapi meski hanya dapat mewarnai kericak lampu yang berlataran di rumah-rumah gelapmu

Puisi Kota Genting ditulis pada saat penyair berada di daerah yang terkenal dengan kerajinan gerabahnya, yaitu salah satunya genting. Puisi yang berjudul Kota Genting juga memiliki visual imagery yang sangat kuat. Digambarkan untuk menambah gambaran suasana dan keadaan daerah Andulang dengan sifat ketelatenan kerja orang Madura. Visual imagery terdapat pada larik keempat bait pertama/berkeciprak bagai lumpur dan olahan/menggambarkan bahan dari genting yang terbuat dari tanah liat kemudian diolah menjadi lumpur yang dicetak untuk menjadikan sebuah Genting. Juga pada bait kedua/di atas muka abu berwarna merah tubuhmu yang terbakar dalam kolera penuh derita/di sini penyair sangat jelas menggambarkan bagaimana olahan lumpur itu pada saat mencapai tahap pembakaran. Di bakar di atas abu merah dengan menggunakan kolera. Di sini terdapat diksi kolera yang merupakan bahasa Madura yang berarti pohon nyiur yang kering. Kolera ini digunakan untuk membakar olahan tanah liat sebelum menjadi genting. Puisi yang menggambarkan kerajinan gerabah genting juga diperindah dengan majas asosiasi yang terdapat pada larik pertama/ seperti sekuntum kota terus membara/. Diksi membara mewakili kobaran semangat penduduk Andulang dalam menghasilkan genting juga dengan cara pembakaran genting dengan suhu api yang sangat panas. Sama halnya dengan gaya bahasa citraan visual yang digunakan oleh penyair Abdul Hadi W.M yang juga berasal dari Madura. Abdul Hadi juga mendendangkan keindahan tanah Madura. Karena ia juga dilahir dan dibesarkan di daerah pesisir, maka kata-kata laut, angin, ombak, pantai, gelombaang dan sebagainya sangat dominan dalam

58 Esai Stilistika puisi-puisinya. Hal ini juga berbeda dengan penyair yang lahir dan di besarkan di daerah pedalam yang akan lebih banyak menggunakan diksi daun, gunung, lembah, sawah, mega dan sebagainya (Waluyo, 2010:58). Berikut kutipan salah satu puisi Abdul Hadi W.M sebagai berikut. Ketika Masih Bocah

Ketika masih bocah, rumahku di tepi laut Bila pagi pulang dari perjalanan jauhnya Menghalau malam dan bayang-bayangnya, setiap kali Kulihat matahari menghembuskan sinarnya Seraya menertawakan gelombang Yang hilir mudik di antara kekosongan Sebab itu aku selalu riang Bermendung atau berawan, udara tetap terang Setiap butir buku pelajaran bagiku Kusaksikan semesta di dalam Dan keluasan mendekapku seperti Seperti seorang ibu Batang kayu untuk perahu masih lembut Tapi kuat Kuhadapkan senantiasa jendelaku ke wajah kebebasan Aku tak tahu mengapa aku tak takut Pada bahaya Duri dan kepedihan kukenal Melalui kakiku sendiri yang telanjang

Arus begitu akrab denganku Selalu ada tempat bernaung jika udara panas Dan angin bertiup kencang Tak banyak yang mesti dicemaskan Oleh hati yang selalu terjaga Pulau begitu luas dan jalan lebar Seperti kepercayaan Dan kukenal seperti pengasih Tuhan Seperti kukenal getaran yang bangkit Di hatiku sendiri

Esai Stilistika 59 Dari kutipan puisi Ketika Masih Bocah karya Abdul Hadi W.M juga sangat kental dengan visual imagery. Tertulis pada larik/rumahku di tepi laut/kulihat matahari menghembuskan sinarnya/Bermendung atau berawan, udara tetap terang/tiga larik puisi tersebut sudah sangat mewakili citraan penglihatan, Abdul Hadi menggambarkan masa kecilnya yang dulu pernah tinggal di tepi laut, melihat sinar matahari dan menyaksikan perubahan cuaca antara mendung dan terang. Terlihat sangat kontras dengan puisi A’yat Khalili yang juga menggambarkan keindahan Madura lewat sajak-sajak naratifnya. Bahwa latar belakang daerah juga sangat mempengaruhi gaya kepenulisan seorang penyair. Di akhir, kekayaan visual imagery dalam pilihan diksi yang dibawakan oleh A’yat Khalili memang sangat berpijak dari citraan alam. Sesekali narasi dari puisinya terasa kental, membuat pembaca jadi terjungkal seperti sedang berada dalam puisnya.

***

60 Esai Stilistika AROMA ALEGORI DALAM KUMPULAN PUISI NIKAH ILALANG KARYA DOROTHEA ROSA HERLIANY

Dewi Maratu Solikhah Mahasiswa PBSI 2013

/1/ Puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias atau imajinatif (Waluyo, 2005: 1). Puisi termasuk karya seni sastra yang telah dikenal sejak lama dan gejala sosial yang muncul adalah sesuatu kewajaran. Dengan perenungan yang dalam, maka puisi yang dihasilkan akan sangat baik tetapi jika dangkal perenungannya, maka puisi sepintas hanya reaksi sesaat yang menjadikan puisi kurang berkualitas. Sedangkan dalam KBBI (2002: 903), puisi diartikan sebagai berikut; (1) ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait; (2) gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama dan makna khusus. Pengertian puisi juga dapat kita temui dalam bukunya Sutejo (2014: 22) yang mengemukakan bahwa puisi merupakan ungkapan batin dan pikiran

Esai Stilistika 61 penyair dalam menciptakan sebuah dunia berdasarkan pengalaman batin yang digelutinya. Dalam mengkaji sebuah karya sastra yang menitikberatkan pada gaya bahasa adalah stilistika. Stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya, sedangkan stil (style) secara umum sebagaimana akan dibicarakan secara lebih luas pada bagian berikut adalah cara-cara yang khas, bagaimana cara tertentu diungkapkan dengan cara tertentu, sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai dengan maksimal (Ratna, 2009:3). Gaya bahasa sendiri merupakan sarana setrategis yang seringkali dipilih pengarang untuk mengungkapkan pengalaman kejiwaan ke dalam karya fiksi (Sutejo, 2012: 25). Dalam pengertian kita sendiri gaya bahasa sering kita sebut dengan majas. Ada banyak sekali jenis dan macam majas, misalnya saja majas personifikasi, metafora, alegori, asosiasi, dll. Dalam kajian ini penulis hanya menitikberatkan pada analisis penggunaan gaya bahasa alegori dalam kumpulan puisi Nikah Ilalang karya Dorothea Rosa Herliany. Alegori merupakan jenis gaya bahasa yang menyatakan sesuatu hal dengan perlambang atau kiasan (Sutejo, 2012:26). Gaya bahasa alegori ini merupakan cara pandang yang menggambarkan sebuah peristiwa dengan menggunakan sebuah lambang atau kiasan yang digunakan oleh pengarang atau sastrawan untuk menambahkan kesan estetika sebuah karya sastra. Tulisan ini menitikberatkan pada gaya bahasa alegori, karena penulis menemukan beragam bahasa alegori dalam kumpulan puisi Nikah Ilalang ini. Hal ini yang menjadi ciri khas Dorothea Rosa Herliany yang selalu menggunakan perlambangan dalam setiap puisi-puisinya. Puisi-puisi dalam Nikah Ilalang ini, sebagaimana ciri puisi Dorothea yang lain, mencitrakan dunia yang keras, kosong, gelap, berbau kematian, kebusukan yang menghadirkan realitas yang jamak. Citra pernikahan, percintaan, kelahiran, keluarga dihadirkan sebagai sesuatu yang menyakitkan, penuh luka, kemunafikan, dan gelap serta hampa.

62 Esai Stilistika /2/ Puisi Nikah Ilalang menggambarkan sebuah pernikahan yang penuh kehampaan dan kegersangan. Dalam larik//engkau nikahi ilalang//berarti sebuah pernikahan dilakukan pada suatu keadaan yang keterbatasan yakni suatu keadaan yang serba kekurangan. Dalam hal tersebut dikatakan kurang dalam masalah ekonominya yang dijelaskan pada larik berikutnya yaitu//berumah di negeri semak- semak//mencerminkan sebuah kehidupan dari pernikahan golongan rendah yang penuh dengan kesengsaraan. Diksi ilalang merupakan perlambangan yang menggambarkan sebuah kehidupan yang rendah dan gelap serta hampa. Sedangkan untuk diksi negeri semak-semak di sini melambangkan sebuah penderitaan dan kesengsaraan hidup yang serba kekurangan. Penderitaan dalam puisi ini tidak hanya dalam larik tersebut, tapi dijelaskan lagi dalam larik//diamlah dalam kemerisik angin yang mengecoh cakrawala//. Larik tersebut memperjelas larik sebelumnya yang mencerminkan sebuah penerimaan akan kesengsaraan yang dialaminya, dimana seseorang harus rela dan ikhlas dalam menjalani sebuah takdir yang harus diterimanya. Frase kemerisik angin merupakan sebuah perlambangan yang menunjukan sebuah sindiran dan cacian dari berbagai pihak masyarakat yang tidak suka dengan pernikahan tersebut. Dalam bait selanjutnya pada larik//tapi orang-orang lalu melayat padamu//menggambarkan sebuah pernikahan yang tidak bahagia, dimana para tamu undangan dalam pernikahan tersebut diibaratkan sebagai para pelayat yang mengungkapkan bahwa sebuah pernikahan tersebut dianggap sebagai akhir dari segalanya. Mengapa demikian? Karena pelayat menggambarkan sebuah kematian. Kematian di sini adalah masa depan kehidupan sebuah pernikahan itu sendiri yang tidak disempurnakan dengan kebahagiaan. Sedangkan dalam larik//terasa kelam perkawinan dan pesta syahwat//menjelaskan larik sebelumnya

Esai Stilistika 63 yang memberikan gambaran bawasannya pernikahan itu terasa kelam dan tidak ada kebahagiaan dan hanya dilandasi oleh kesenangan sementara semata tanpa memikirkan masa depan perkawinan tersebut. Di dalamnya yang ditunjukkan oleh diksi kelam dan pesta syahwat yang melambangkan keadaan pernikahan tersebut yang kelam dan penuh dengan kekuragan seperti yang terdapat dalam larik-larik sebelumnya dan pada puisi-puisi yang sebelumnya. Sedangkan untuk pesta syawat sendiri melambangkan kebahagiaan orang-orang disekitar yang memiliki perbedaan yang sangat besar dan keras yang sulit untuk depecahkan dan diterjang ataupun sulit juga untuk dilalui. Dalam sebuah pernikahan dibutuhkan segala sesuatu yang indah dan memberikan sebuah kenyamanan bagi semua pihak seperti yang diungkapkan sastrawan dalam larik//engkau butuhkan bunga-bunga ditaburkan//. Aroma alegori dapat kita jumpai pula dalam larik ini yaitu dalam diksi bunga yang berlaku sebagai perlambangan yang memiliki makna tidak sebenarnya. Dalam larik ini diksi bunga memiliki arti sebagai keindahan, kebahagiaan, kecantikan, ataupun keelokan. Sedangkan aroma alegori dalam larik//Do’a-do’a penghabisan, dan ziarah bertubi- tubi//terdapat dalam diksi doa dan ziarah yang melambangkan suatu perasaan duka cita yang ditujukan kepada pasangan pengantin tersebut. Hal ini dikarenakan dalam pernikahan tersebut selalu dalam kesulitan dan tidak ada kebahagiaan sama sekali. Selanjutnya, membahas puisi Nikah Laut yang di dalamnya menceritakan kehidupan yang menggambarkan sebuah penantian untuk mendapatkan kebahagiaan dengan penuh kecemasan dan ketakutan akan hal-hal yang tidak diinginkan. Hal ini terlihat pula sebuah pernikahan yang terjadi akibat keterpaksaan karena tingkat perekonomian yang rendah yang tergambar dalam larik//Garam-garam itu kau peras dari keringat nelayan//. Makna diksi garam-garam di sini adalah melambangkan sebuah kebahagiaan, sedangkan kebahagiaan itu tidaklah bermakna kebahagiaan yang diharapkan dan diksi keringat

64 Esai Stilistika nelayan merupakan kesengsaraan dan kerja keras. Jadi makna dari larik tersebut adalah kebahagiaan yang terjadi akibat keterpaksaan yang menjadikan kesengsaraan dan penderitaan bertubi-tubi. Dalam larik selanjutnya menjelaskan pedihnya penderitaan akibat keterpaksaan itu dengan pilihan yang membuatnya menderita, yang dulunya menjanjikan kebahagiaan yang sempurna namun malah sebaliknya seperti apa yang telah ia bayangkan sebelumnya, yakni pada larik//Aku pilih ikan-ikan dari persetubuhan dengan laut//sama asinnya dengan kecemasan yang tak usai-usai//hal ini menggambarkan kebahagiaan yang diangan-angan malah berubah menjadi penderitaan yang tak pernah ada ujung. Bait kedua, menggambarkan sebuah penantian dengan sabar dan ikhlas menjalani penderitaan yang ia alami dan jalani dengan diiringi gelombang kehidupan yang terkadang surut dan terkadang pasang. Pasang surutnya kehidupan ini selalu saja datang menghadang dan merusak setiap sisi-sisi kebahagiaan yang mulai muncul dipermukaan. Namun, ketegaran mengalahkan sebesar apapun gelombang tersebut dan menghancurkannya. Seperti terlihat pada larik//kita menunggu di puncak karang//dalam debur ombak dan nafasnya//. Seperti ibarat kata barang siapa yang rela, ikhlas dan bersabar, maka merekalah yang akan menerima kebahagiaan di kemudian hari. Hal tersebut dapat terlihat dalam larik//menyaksikan pertemuan langit dan laut yang terjaring jala-jala//yang memiliki makna sebuah penderitaan dan kebahagiaan bertemu dalam satu lingkup dalam genggaman, dan penderitaan tersebut adalah suatu keindahan menuju kebahagiaan yang sempurna yang dijelaskan kembali dalam larik//inilah perkawinan yag sempurna//. Tak Cuma itu, sebuah pernikahan juga digambarkan sebagai sesuatu yang menyakitkan, penuh keegoisan, dan terkesan murahan. Hal ini dikemas apik dengan bahasa alegori yang menarik dan penuh estetika tinggi. Seperti dalam puisi Nikah Perkampungan pada larik//

Esai Stilistika 65 dengan sadar, aku kawini rumah-rumah kardus//yang memiliki sebuah makna yang dalam dan penuh dengan kesedihan akan keikhlasan melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan. Diksi kawini disini dimaksudkan dengan pernikahan yang dia langsungkan dengan terpaksa karena keadaan namun ia jalani dengan keiklasan walaupun selalu diiringi dengan penderitaan yang tak usai-usai. Sedangkan diksi rumah-rumah kardus merupakan sebuah perlambangan dari keadaan yang sangat memprihatinkan dengan tempat tinggal di tempat yang kumuh dengan dikelilingi dengan kardus-kardus bekas. Dalam kehidupan ini yang digambarkan adalah sosok pemulung yang hidup dibawah jembatan dengan tempat tinggal rumah yang terbuat dari kardus. Dorothea menggambarkan sebuah kehidupan yang ada di daerah metropolitan. Karena memang sastrawan kebanyakan menggunakan tema yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka. Dalam analisis ini memang Dorothea tinggal di pinggiran metropolitan di pesisir sungai di tepi jalan raya hal ini terlihat dalam puisi Nikah Perkampungan pada larik//dengan sadar, aku kawini rumah-rumah kardus//. Dari larik puisi tersebut kita dapat merasakan bagaimana sulitnya menghadapi kehidupan yang kelam tersebut. Dalam larik//tanpa cicin kawin, selain kemiskinan dan ilmu daur ulang//memiliki makna sebuah pernikahan yang tidak dilandasi dengan cinta dan bukan karena harta melainkan sebuah pernikahan yang dijalani dengan rela bersatu dengan ketiadaan dan kekurangan serta hidup dari ilmu daur ulang. Dijelaskan kembali dalam larik selajutnya yakni//tanpa perjamuan, selain wabah dan ilmu tata kota//tanpa nyanyian pengiring, selain ketergusuran hewan hewan jelata//. Dalam larik tersebut menjelaskan larik sebelumnya yakni menggambarkan sebuah pernikahan tersebut juga tidak ada pesta, tidak ada perjamuan, tidak ada yang mengiring langkah perjalanan mereka selain penderitaan akibat pembangunan dan ancaman dari pihak-pihak berwajib.

66 Esai Stilistika Dalam larik ketiga ini, diksi wabah dan ilmu tata kota merupakan sebuah perlambangan dan memiliki arti yang tidak sebenarnya. Wabah sebagai symbol penderitaan dan kesengsaraan, sedangkan diksi ilmu tata kota melambangkan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah yang merugikan dan menghancurkan rumah-rumah kardus tersebut. Sedangkan untuk diksi hewan-hewan jelata sendiri melambangkan suatu lembaga wang melakukan kesewenangannya dan menyalahgunakan jabatan yang dimilikinya. Selanjutnya dalam bait berikutnya dijelaskan kembali betapa penderitaan itu tidak cukup disana bahkan setiap kali perasaannya selau gelisah karena pernikahannya tersebut. Hanyalah do’a dan harapan yang mampu membangunkan semangat hidupnya kembali dan sebagai motivasi untuk mampu merubah kehidupannya menjadi lebih baik. Seperti yang tergambar dalam larik//dengan sadar, aku nikahi dunia yang gelisah//kuganti doa jadi harapan//kuganti janji jadi ratapan//. Sebuah pengorbanan yang ia lakukan dalam menjalani kehidupan yang kelam dan penuh dengan penderitaan diharapkan mampu menjadi motivasi dalam hidupnya untuk terus berusaha dengan ikhlas serta do’a dan harapan sebagai motivasi untu memandang masa depan yang lebih terang. Sebuah pernikahan yang tidak pernah memberikan kebahagian namun memaksanya untuk tetap memberikan kebahagiaan walau dirinya tak pernah mendapatkan kebahagian tersebut. Seperti dalam bait terakhi dalam puisi Nikah Perkampungan yang menjelaskan sebuah penderitaan yang dialami tokoh dengan terpaksa mengorbankan dirinya untuk kehidupan yang tidak adil baginya. Namun ia jalani dengan ikhlas, karena menurutnya hal itu merupakan takdir yang harus ia jalan dan ia tempuh dengan harapan yang besar yang ia akan dapat dikemudian hari. Pada dasarnya sebuah pernikahan bukan hanya sepihak saja yang harus berkorban dan menderita tetapi pernikahan itu harus di landasi dengan keadilan, kebersamaan dan kasih sayang.

Esai Stilistika 67 Puisi selanjutnya adala puisi Nikah Pisau yang sebenarnya merupakan puisi yang pertama dalam kumpulan puisi Nikah Ilalang karya Dorothea Rosa Herliany. Dalam puisi ini menceritakan ketidakjelasan sebuah perjalanan dalam menempuh kehidupan. Ibarat kata berjalan di lingkunagan asing tanpa memiliki sebah peta. Pastinya kita akan tersesat dan tidak tahu jalan kemana kita akan melangkah. Pada dasarnya dalam menjalani sebuah kehidupan harus memiliki dasar, bekal, dan prinsip untuk berdiri kokoh dan berjalan tegak dalam menghadapi rintangan dan hambatan yang akan kita temui seperti dalam larik//perjalanan terpanjang tanpa peta//yang memiliki arti bawasanya dalam puisi ini menggambarkan kehidupan orang-orang yang hidup Selain itu dalam puisi ini juga menggambarkan suatu perjalanan dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan kesia-siaan. Karena tidak memiliki bekal untuk berjalan meniti kehidupan yang kelam ini. Hanya menemukan jalam buntu seperti terdapat dalam larik// aku sampai entah di mana//Berputar-putar dalam labirin//yang melambangkan sebuah kehidupan yang terhenti karena tidak tahu akan berjalan memilih jalan yang mana untuk sampai pada tujuan yang ia inginkan. Larik//dan inilah warna gelap paling sempurna//kuraba gang di antara sungai dan jurang//memiliki makna sebuah kehidupan yang gelap dan kelam dimana sudah tak ada jalan lagi untuk menempuh kehidupan selain diam dan pasrah menghadapi takdirnya. Diksi warna gelap melambangkan kesedihan yang mendalam karena kehidupannya yang sangat sulit, sedangkan diksi gang, sungai, dan jurang merupakan pilihan hidup yang harus dipilih untuk merubah hidupnya dan pilihan itu sangatlah sulit dia pilih. Dalam bait selanjutnya menggambarkan sebuah jeritan yang ia rasakan dari dalam dirinya sendiri. yakni terlihat dalam larik-larik// ada jerit, serupa nyanyi mungkin dari mulutku sendiri//kudengar erangan, serupa senandung, mungkin dari mulutku sendiri. Diksi jeritan

68 Esai Stilistika yang dimaksudkan dalam larik tersebut adalah melambangkan sebuah rintihan akibat keadaan dan penderitaan. Begitu pula pada diksi nyanyian, erangan, dan nyanyian melambangkan sebuah rintihan yang ia luapkan dalam dirinya oleh keadaan yang menyakitkan dan penderitaan yang tak usai-usai. Di samping melambangkan sebuah perjalanan hidup, puisi ini juga menyuarakan kegelisahan akan perbedaan dalam status sosial antara laki-laki dan perempuan. Dalam puisi ini juga banyak sekali memberikan pernyataan-pernyataan terhadap dunia keras seperti terlihat dalam larik//tapi inilah daratan dengan keasingan paling sempurna//yang memiliki makna bahwa kehidupan ini sangatlah keras dan kejam menghujam serta membunuh siapa saja. Seperti dalam puisi ini yang mengibaratkan sebuah kehidupan dengan sebuah pisau yang siap mengoyak dan merobek apa saja. Kemudian dalam larik selanjutnya membahas tentang kehidupan yang dipenuhi dengan rintangan yang merayap memenuhi setiap lembar perjalanan yang selalu diabaikan sebelum kebahagiaan itu membungkus setiap sisi kehidupan yang mampu mencabik dan merobek serta membunuh setiap nadi-nadi penderitaan.//tubuhmu yang bertaburan ulat-ulat, kuabaikan//sampai kurampungkan kenikmatan sanggama// sebelum merampungkanmu juga: menikam jantung dan merobek zakarmu, dalam segala ngilu//. Kerasnya kehidupan yang harus dijalani terlihat dalam puisi Nikah Pisau yang melambangkan sebuah penderitaan yang begitu mendalam hingga ketidakberdayaan muncul. Namun dengan segala kebesaran hati dan kepercayaan akan kebahagiaan segalanya berubah, melebur menjadi kebahagiaan yang sejati. Hal ini berkebalikan dengan makna yang terkandung dalam puisi Nikah Sungai yang mengharapkan sebuah kebahagiaan namun malah menjadi penderitaan yang membunuh semangat hidupnya. Dalam larik//engkau bawakan aku bunga-bunga// di sini pasir semak dan lumut melulu//memiliki makna seseorang

Esai Stilistika 69 yang mengharapkan diberikan kebahagiaan dengan kehidupan yang sempurna, namun yang didapat hanya kekecewaan dan sakit hati yang membunuh setiap sisi semangat yang dimilikinya. Yang dijelaskan dalam larik berikutnya. Kemudian dalam bait berikutnya pada larik//dimana ruang yang kau sediakan buatku?//melambangkan sebuah pengharapan seseorang kepada hidup yang menjanjikan kebahagiaan dalam hidup. Tapi hanya janji belaka tanpa ada bukti dan hanya menimbulkan kekecewaan yang abadi. Yang kemudian dijelaskan oleh larik selanjutnya yaitu// buat percintaan mahadasyat//buat pertempuran tak usai-usai//. Diksi percintaan mahadasyat melambangkan sebuah kebahagiaan dan kasih sayang yang menenangkan dan mengharukan. Sedangkan diksi pertempuran melambangkan sebuah pertikaian atau adu mulut yang terjadi akibat kekecewaan yang dirasakan karena janji yang tak kunjung terbukti dan hanya janji-janji saja tak pernah ada usaha nyata dan hanya membuahkan kebencian dan perdebatan. Yang pada akhirnya harapan itu pupus, pasrah yang hanya bisa dilakukan menghadapi kekecewaan akan janji yang tumbuh berkembang menjadi negeri seribu janji. Demikian lima puisi yang kata penyusunnya diawali dengan kata Nikah yang menggambarkan sebuah pernikahan. Apakah sesungguhnya pernikahan itu? Cobalah lihat dan pahami sajaksajak Dorothea Rosa Herliany. Kesan pernikahan sebagai sesuatu yang indah dan kudus tak akan kita dapati. Kita hanya akan berjumpa dengan gambaran pernikahan yang mengerikan, penuh keegois dan kadangkadang terkesan murahan. Ketegangan dan kegelisahan yang terjadi dalam sajaksajak Dorothea berkisar pada bagaimana diri sebagai individu yang otonom dan merdeka harus meleburkan diri dalam identitas baru: keluarga.

70 Esai Stilistika /3/ Tak hanya itu puisi yang terdapat dalam kumpulan puisi Nikah Ilalang karya Dorothea Rosa Herliany. Dalam kumpulan puisi yang kerap disebut kumpulan sajak Dorothea ini masih banyak terdapat judul-judul seperti puisi Ibadah Sepanjang Masa yang didalamnya menggambarkan sebuah harapan yang tak pernah ia temukan. Dalam larik//kalimat- kalimat yang kau ucapkan berguguran dalam sahadatku//memiliki makna sebuah janji kebahagiaan yang diucapkan oleh pasangannya menjadi harapan dalam hidupnya. Diksi berguguran melambangkan sesuatu yang selalu dan selalu di lantunkan atau diucapkan. Dalam larik ini ia sangat berharap dengan kebahagiaan itu dan ia pun sangat menanti saat-saat itu terjadi. Sedang dalam larik//kidung yang digumamkan!// berapa putaran dalam sembahyang langit//mengandung makna begitu mendalamnya harapan yang ia gantungkan pada janji manis yang telah ia terima tersebut. Diksi kidung melambangkan suatu nyanyian atau do’a untuk kebahagiaan atau keselamatan, namun dalam hal ini yang dimaksudkan adalah sebuah do’a untuk kebahagiaan di dalam menjalani kehidupan. Sedangkan diksi sembahyang langit melambangkan harapan yang terlalu tinggi yang digantungkan pada janji tersebut. //tengadah dibawah hujan yang menaburkan ayat-ayat tak pernah dibaca//memiliki makna suatu keadaan yang selalu memohon dengan melantunkan kata-kata yang indah namun tak pernah dihiraukan. Diksi hujan dalam larik ini melambangkan sebuah impian yang telah menjadi harapannya. Sedangkan diksi ayat-ayat melambangkan permohonan yang dalam larik tersebut tak pernah ada jawaban. Selanjutnya dalam larik//aku tak menemu akhir sembahyangku yang gagap//. Diksi sembahyang disini melambangkan harapan-harapan yang selalu ia nantikan akhir dengan kebahagiaan yang tak sempurna. Dan larik// lilin-lilin tak menyala dalam ruangan tanpa cahaya//gema mazmur yang disenandungkan dari ruang mimpimu beterbangan dalam tidur

Esai Stilistika 71 gelisahku//. Diksi lilin-lilin melambangkan sebuah kehidupan yang dalam larik tersebut menggambarkan sebuah kehidupan yang tak memberikan penerangan bagi sekelilingnya. Dan larik selanjutnya menggambarkan sebuah pesan yang disampaikan hanya berserakan dan tak pernah tersampaikan. Kemudian dalam larik//dan kotbah yang sayup, bertebaran dari mulut-mulut kesunyian//telah kautabuh loncengmu?//Sembahyangku tak juga menemu akhir//memiliki makna sebuah saran atau pesan yang redup dan hanya membuahkan kesunyian, hingga waktu yang di targetkan telah habis kebahagiaanpu tidak pernah ia dapatkan. Diksi kotbah dalam larik ini melambangkan sebuah pengharapan, sedangkan diksi lonceng melambangkan waktu atau penanda yang dalam larik ini menjelaskan waktu yang telah sampai pada ujungnya, namun kebahagiaan yang dia gantungkan tersebut tidak menuai hasil. Selain puisi Ibadah Sepanjang Usia juga terdapat puisi Para Pengembara yang termasuk juga dalam kumpulan puisi Nikah Ilalang yang didalamnya menceritakan sebuah perjalaanan hidup yang harus ditempuh. Dalam hal ini di jelaskan dalam larik//kutempuh perjalanan dalam lagu-lagu dan notasi-notasi bungkam: dalam kegagapan//diksi perjalanan dalam hal ini melambangkan sebuah kehidupan yang harus dihadapi dengan rela dan penuh pengorbanan, sedangkan diksi lagu dan notasi melambangkan sebuah lika-liku kehidupan penuh dengan penderitaan namun terlihat hanya sebuah lamunan yang indah-indah dan mencekam. Kemudian di jelaskan terperinci dalam larik-larik selanjutnya yaitu//setelah lelah kita berdesak-desakan//berderet-deret menunggu di depan loket//begitu setia menunggu//dalam larik-larik ini mengandung arti yang tidak sebenarnya yang hanya digunakan sebagai perlambangan atau simbol perjalanan kehidupan dalam sosial yang lebih mengutamakan golongan-golongan menengah keatas dan menggambarkan pula sebagai pejabat negara yang selalu memandang rendah rakyat-rakyat miskin.

72 Esai Stilistika Kemudian untuk bait yang selanjutnya menggambarkan sebuah penantian yang tiada ujung dengan ditandai dengan adanya diksi jam, dinding-dinding, dan igauan yang melambangkan sebuah kecemasan dalam penantian yang tiada ujung. Entah apa yang diangan-angankan bisa tercapai dan bisa ia dapakan sesuai dengan harapannya atau tidak. Dalam bait ini melambangkan pula bahwa rakyat kecil itu tak pernah mendapatkan jatah yang paling depan. Para pejabat tinggi akan mendominasi dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti halnya karakter Dorothea yang melukiskan kehidupan metropolitan, ia juga menciptakan puisi yang berjudul Tidur Berdiri di Sebuah Plaza dalam puisi ini menggambarkan kehidupan orang- orang rendah yang dinjak-injak harga dirinya oleh para pejabat tinggi. Dimana dilukiskan dalam puisi ini yakni terdapat pada larik-larik yang berestetika tinggi dengan menggunakan perlambangan-perlambangan sebagai unsure kebahasaan dan estetikanya. Dalam larik//bunga yang kutanam dalam tidur ku, tumbuh dalam pot-pot yang tak jadi kulukis// daun-daunan mengembang//, diksi bunga menjadi symbol kebahagiaan, diksi kutanam yang memiliki makna harapan dalam kehidupan, diksi pot- pot melambangkan sebagai tempat menggantungkan harapan tersebut, sedangkan diksi daun-daun dijelaskan dengan diksi mengembang memiliki arti bahwasannya sebuah harapan dan angan-angan yang mulai memperlihatkan jalan, kembali tertutup oleh cacian dan makian yang harus ia terima.

***

Esai Stilistika 73 PERMAINAN PERMAJASAN DALAM KUMPULAN PUISI HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO

Dian Dwi S. Mahasiswa PBSI 2013

uisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono (SDD) yang ditulis pada 1989 dan dimuat dalam antologi (kumpulan Pkarangan) dengan judul yang sama. Hujan Bulan Juni merupakan puisi yang sangat terkenal dan dideretkan dalam jajaran puisi cinta romantis bersama dengan puisi Aku Ingin yang juga dimuat dalam antologi ini. Esai ini tidak secara khusus membahas Hujan Bulan Juni sebagai sebuah puisi melainkan sebagai antologi yang di dalamnya terdapat sembilan puluh enam puisi karya SDD, yang bulan Juni 2013 kembali diterbitkan oleh kelompok penerbit Kompas-Gramedia. Pertamakali kumpulan puisi tersebut diterbitkan oleh kelompok penerbit Kompas-Gramedia (Grasindo) pada tahun 1994. Kemudian diterbitkan kembali oleh penerbit Editum pada tahun 2009 tanpa perubahan yang berarti. Puisi-puisi dalam Hujan Bulan Juni ditulis antara tahun 1964-1994. Sebagian besar puisi di dalamnya pernah terbit dalam antologi Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), dan Perahu Kertas (1983). Proses penyeleksian puisi yang

74 Esai Stilistika pernah terbit dalam antologi yang berbeda-beda untuk diterbitkan kembali dalam buku Hujan Bulan Juni menunjukkan bahwa buku ini memang dianggap (paling) penting oleh penulisnya. SDD memilih sendiri sajak-sajaknya untuk buku ini dari sekian ratus sajak yang pernah dihasilkannya selama 30 tahun (1964 – 1994). Mengenai ini ia menulis bahwa ada “sesuatu yang mengikat sajak-sajak ini menjadi satu buku.” SDD memang tidak menjelaskan apa sesuatu yang mengikat itu. Namun, akunya sajak-sajak lain tidak dimasukkan dalam antologi ini karena suasananya — atau entah apanya — agak berbeda dengan buku ini. Secara sepintas judul buku Hujan Bulan Juni yang diambil dari salah satu judul puisinya menunjukkan bahwa suasana yang ingin dibangun dalam buku ini ialah suasana “hujan” dengan berbagai konotasi dan metafornya. Dari 96 puisi yang dimuat dalam Hujan Bulan Juni terdapat sembilan judul puisi yang memakai kata “hujan”. Judul-judul tersebut adalah: Hujan Turun Sepanjang Jalan, Hujan dalam Komposisi 1, Hujan dalam Komposisi 2, Hujan dalam Komposisi 3, Di Beranda Waktu Hujan, Kuhentikan Hujan, Hujan Bulan Juni, Hujan-Jalak-dan-Daun-Jambu, Percakapan Malam Hujan. Dan satu judul yang senada: Gerimis Kecil di Jalan Jakarta, Malang. Kata “hujan” juga disebut dalam berbagai puisinya; Pada Suatu Pagi Hari, Dalam Doa II, Aku Ingin, Puisi Cat Air untuk Rizki, Sepasang Sepatu Tua, dan sebagainya. Kalau boleh menyebut puisi di luar antologi ini yang juga menggunakan kata hujan, simak saja misalnya “Di Sebuah Halte Bis” (Hujan tengah malam membimbingmu ke sebuah halte bis dan membaringkanmu di sana), “Lirik untuk Lagu Pop” (jangan pejamkan matamu: aku ingin tinggal di hutan yang gerimis), dan “Kepompong Itu” (…ketika kau menutup jendela waktu hari hujan). Walaupun banyak kumpulan puisi yang bertemakan hujan, tapi jelas tidak ada yang “basah-kuyup” melebihi Hujan Bulan Juni. Belum lagi puisi tentang hujan yang tidak dimasukkan dalam antologi ini seperti

Esai Stilistika 75 “Tajam Hujanmu” dan “Kuterka Gerimis”, yang dimuat dalam antologi Perahu Kertas. Jika selama ini puisi-puisi tentang hujan selalu dikaitkan dengan kesendirian, kehampaan, kerinduan dan kesepian, maka tidak terlalu keliru pandangan bahwa SDD ialah penyair sunyi yang melanjutkan tradisi Amir Hamzah dan Chairil Anwar, terutama pada puisi-puisi awalnya. Simak misalnya bait dalam puisi yang ditulis pada tahun 1967 berikut: Hujan turun sepanjang jalan/Hujan rinai waktu musim berdesik-desik pelan/Kembali bernama sunyi.. Mengapa hujan begitu istimewa di mata penyair SDD, tentu ada rahasia yang ingin dia kemukakan melalui pelukisannya atas peristiwa alam tersebut. Tidak ada diksi yang istimewa dalam ketiga puisi (Sihir Hujan, Percakapan Malam Hujan, Hujan Turun Sepanjang Jalan). Semua kata dipungut dari perbendaharaan sehari-hari yang ada di sekitar kita dan akrab; jalan, selokan, mantel, sepatu, pohon, pintu, jendela, debu, tiang listrik. Kata-kata sederhana itu juga dirangkai dalam larik dan bait yang sederhana, nyaris tidak ada dentuman yang tercipta oleh bangunan puisi tersebut. Ia hanya menceritakan suasana saat hujan turun. Cara berceritanya pun sangat sederhana, tidak meledak-ledak. Namun di balik kesederhanaannya, puisi-puisi tersebut menjadikan benda-benda itu seakan hidup. Kita dapat membayangkan Hujan yang mengenakan mantel, sepatu panjang dan payung, berdiri di samping tiang listrik. SDD sangat piawai menghidupkan suasana melalui kata-kata yang sederhana. Bait-bait yang tersusun dari kata-katanya menjadi sangat indah manakala kita hanyut terbawa oleh suasana yang ia hidupkan melalui proses imagery atau penggambaran. Sang penyair pada dasarnya memang seperti pelukis yang menggambarkan sesuatu dengan kata-kata sehingga apa yang dia lihat dan rasakan juga dapat dilihat dan dirasakan oleh pembaca.3) Di dalam suasana yang sudah dihidupkan oleh penyairnya melalui kata-kata (pada contoh tiga puisi di atas), kita tidak lagi bertemu dengan hujan sebagai

76 Esai Stilistika benda mati, melainkan makhluk hidup entah malaikat atau manusia, bahkan seseorang yang misterius namun humoris seperti pada puisi “Percakapan Malam Hujan”. Dalam puisi Hujan Bulan Juni yang menjadi judul antologi ini, goresan tangan SDD pada kanfas puisinya bahkan terasa lebih lembut. Kesederhanaan kata tetap dijaga. Bangunan puisi tegak dengan tiang pancang bait-bait yang transparan. Pengungkapannya halus, alur pikirnya jernih. Puisi ini sering diartikan sebagai ketabahan dari seseorang yang sedang menanti. Sebab, bulan Juni ialah musim kemarau, dan hujan dipastikan tidak turun. Jika ia (hujan) ingin bertemu dengan pohon bunga, maka ia harus bersabar menunggu musim kemarau berlalu. Di sini SDD tidak lagi bicara tentang sunyi yang gelisah. Ia bahkan tidak menonjolkan si aku-lirik. Kalaupun ada, si aku-lirik hanya menceritakan perilaku hujan yang merahasiakan rindu, menghapus jejak dan membiarkan isi hatinya. Hujan dipersonifikasi sebagai makhluk yang berjiwa dengan sifat dan perilaku tertentu. Ini juga tampak pada ketiga puisi di atas. Dengan menerbitkan kembali puisi-puisinya dalam Hujan Bulan Juni yang merefleksikan aneka pengalaman batin dan perjalanan hidup yang terus bergerak, SDD tampaknya ingin jatidiri kepenyairannya dilihat kembali, tidak melulu diletakkan di ruang sunyi. Sebab, sebagaimana diakuinya dalam kata pengantar buku ini, ia tidak tahu apakah selama 30 tahun itu ada perubahan stilistik dan tematik dalam puisinya. Seorang penyair, ujarnya, belajar dari banyak pihak: keluarga, penyair lain, kritikus, teman, pembaca, tetangga, masyarakat luas, koran, televisi, dan sebagainya. Esai ini berpandangan bahwa SDD tidak hendak menancapkan tonggak kepenyairannya di ruang estetika sunyi yang telah terbangun dengan megahnya sejak masa kejayaan Amir Hamzah. Kita tahu bahwa puisi-puisi awal SDD, kendatipun dipandang sebagai pembebasan

Esai Stilistika 77 dan penemuan baru, 4) tetap saja diletakkan di dalam mainstream puisi tentang kesunyian. Salah satu puisinya, Solitude (1965), yang menyuarakan “jagat sunyi” bahkan disebut sebagai visi estetika kepenyairannya, dimana puisi-puisi sebelum dan sesudah itu hanyalah “dinamika visi estetik dalam keseluruhan kepenyairan SDD.”5) Senada dengan itu, penyair Goenawan Mohamad menyebut antologi puisi SDD yang pertama, Duka-Mu Abadi, sebagai Nyanyi Sunyi kedua (setelah Nyanyi Sunyi yang pertama diciptakan oleh Amir Hamzah).6) Jika kesunyian dipandang sebagai tema utama dalam puisi-puisi Sapardi, lantas di mana letak kepeloporannya dalam jagat perpuisian tanah air? Bukankah tema itu telah sangat mapan di tangan para penyair besar sejak Amir Hamzah, Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, dan puncaknya pada Sutardji Calzoum Bachri? Jika kita memotret SDD dari Duka-Mu Abadi memang akan terbentang hamparan kesunyian yang—boleh jadi—merupakan kelanjutan dari “tradisi” perpuisian sebelumnya, kendatipun ia membunyikan kesunyian itu dengan cara yang berbeda. Namun saya berpandangan bahwa Hujan Bulan Juni-lah yang merupakan tonggak kepenyairan SDD. Antologi ini memperlihatkan kekuatan SDD sebagai penyair yang mampu keluar dari labirin kesunyian yang melahirkan kefanaan (Amir Hamzah), kepasrahan (Chairil Anwar), atau amukan (Sutardji Calzoum Bachri), menuju ruang kontemplasi yang mencerahkan. Puisi-puisi dalam Hujan Bulan Juni lebih dari sekadar membunyikan kesunyian melalui ungkapan perasaan yang melimpah, melainkan juga menghadirkan kesadaran intelektual penyairnya. Sejumlah puisinya tentang kematian, misalnya, memang menghadirkan kesunyian yang mencekam, namun jika dicermati lagi sebenarnya merupakan renungan filosofis yang mendalam, seperti pada puisi//Tentang Seorang Penjaga Kubur yang Mati/Saat Sebelum Berangkat/Iring-iringan di Bawah Matahari/Dalam Kereta Bawah Tanah Chicago/Ajaran Hidup/dan lain- lain. Begitu juga puisi-puisinya//Tiga Lembar Kartu Pos, Pada Suatu Hari

78 Esai Stilistika Nanti,/Dalam Diriku,/Tuan,/Yang Fana Adalah Waktu,//dan lain-lain, yang bertemakan hidup, waktu, dan Tuhan — semuanya merupakan lukisan kesunyian yang merefleksikan perenungan intelektual yang dalam. Dalam puisi Hujan Bulan Juni SDD mempertentangkan dua realitas, membuat paradoks (hujan yang turun di musim kemarau), yang memungkinkan keniscayaan, sebagai gambaran dari pribadinya yang senantiasa terlibat dan optimistis. Paradoks atau pertentangan itulah yang menjadi kekuatan khas SDD sebagai seorang penyair. Hal itu juga tercermin dari pemakaian kata-kata yang sederhana namun menyimpan makna yang dalam. Di akhir dapat disimpulkan, bahwa permainan majas dalam sebuah karya sastra (puisi) memberikan nilai lain. Karena di balik itu mengandung maksud yang begitu dalam. Adanya permajasan dalam puisi menjadikan sebuah karya memiliki nilai yang tinggi, juga membuat pembaca tertarik dengan hal itu. Nilai majas sendiri adalah salah satu bagian tubuh, yang turut memberikan kekuatan disetiap diksi dalam puisi. Dari majas, akan menemukan pemahaman mendalam untuk memahami sajak yang arif.

***

Esai Stilistika 79 PERPADUAN VARIASI BUNYI DALAM PUISI KWATRIN HIMMIRSKY KARYA SITOK SRENGENGE

Dwi Wahyu Nur Handayani Mahasiswa PBSI 2013

/1/ Hakikat karya sastra terletak pada unsur bahasa sebagai alat keindahan. Begitu pula dengan pengkajian stilistika dalam sebuah teks sastra juga bertujuan untuk menemukan keestetikaan bahasa. Gaya bahasa dalam stilistika merupakan ekspresi linguistik baik di dalam puisi maupun prosa. Menurut Abrams (dalam Ratna, 2009: 22) secara teoretis penelitian stilistika dibedakan menjadi dua macam yaitu penelitian tradisonal dan modern. Pada penelitian tradisional masih dipengaruhi oleh isi dan bentuk, apa dan bagaimana cara melukiskan suatu objek. Isi meliputi informasi, pesan dan makna proposissional (saranan), sedangkan bentuk adalah gaya bahasa itu sendiri. Penelitian modern menganalisis ciri-ciri formal diantaranya fonologi (bunyi, sajak, dan irama), sintaksis (struktur kalimat), leksikal, retorika (bahasa kiasan dan perumpamaan). Penelitian stilistika modern objek kajiannya cenderung berpijak pada puisi, karena sesuai dengan ciri-ciri formalnya yang menitikberatkan

80 Esai Stilistika pada bunyi, sajak, irama, diksi dan retorika. Medium bahasa dalam puisi tidak semata-mata hanya meniru bahasa keseharian, melainkan di dalamnya mengandung kekhasan, karena gaya bahasalah yang menjadi unsur pokok untuk mencapai berbagai bentuk keindahan. Pada dasarnya puisi merupakan salah satu karya sastra yang paling sederhana dibandingkan beberapa karya sastra lainnya, seperti prosa (cerpen, novel, novelet dll) dan drama. Namu perlu menjadi perhatian, bahwa puisi membutuhkan efek-efek motif yang mempengaruhinya. Memperoleh efek-efek tersebut dapat melalui kebahasaan, paduan bunyi, penggunaan tanda baca, cara penulisan dan lain sebagainya. Puisi bisa dikatakan karya sastra paling sederhana, sebab semua orang dapat menulis puisi. Pradopo (2010:13) puisi itu sebagai karya seni itu puitis, yang mempunyai arti, bukan hanya sesuatu yang kosong tanpa makana. Oleh karena itu, sebelum pengkajian aspek-aspek yang lain, terlebih dahulu puisi dikaji sebagai sebuah struktur yang bermakna dan bernilai estetis. Pembentuk utama unsur puisi selain bahasa adalah keindahan. Pada dasarnya kajian stilistika dikemukakan beberapa teori-teori yang berhubungan. Menurut Pradopo (2010:13) kepuitisan itu bisa dicapai dengan bermacam-macam cara, misalnya dengan bentuk visual; tipografi, susunan bait, dengan bunyi; persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, lambing rasa, dan orkestrasi; dengan pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan, sarana retorika, unsur-unsur ketatabahasaan, gaya bahasa, dan sebagainya. Kehadiran puisi tentu tidak terlepas dari sosok insan yang bergulat dengan dunia syair. Setiap penyair dalam menuis karya puisi memiliki kekhasan tersendiri sehingga menjadikan hasil karyanya menjadi menarik dan estetik. Tidak hanya itu puisi yang diciptakannya juga mampu mendongkrak sisi karakter pribadi dan kehidupan sosialnya.

Esai Stilistika 81 Aspek bahasa yang menonjol dalam pemakaian bahasa puisi adalah dari aspek bunyi. Seperti hanya pada puisi karya Sitok Srengenge yang berjudul Kwatrin Himmirsky. Kwatrin Himmirsky

Kulepas kau lekas, mumpung hujan murung dan Laut Hitam, rahim yang membiru karena rindu masih mau menunggumu

Tunggu aku di pantai landai sebelum berpaut tangan sepanjang pawai dari istana ke kubur tua pencipta aksara menziarahi jazirah cahaya

Kita simak benua-benua mengeja nama kita dalam tujuh ribu bahasa sambil mencari kata paling cermin yang mempu memantulkan batin

Kelak, pada satu malam buta, mungkin kau terjaga oleh lengking kata berisak tangis dilepih mendung sajak yang kautulis masih menggantung

Saat itu, kau tahu, tak ada lagi yang perlu ditunggu Lekas lepas namaku yang lama kauperam bubuhkan di larik lumpang itu sebelum kembali pejam

Bebaskan beban biar ambyar menjelma serbuk harapan yang tiap butirnya berkilau, antara ragu dan risau, seperti aku dan kau

82 Esai Stilistika Latu yang meletik sesekali lalu lindap kembali bagai degup hidup atau kemelut maut dalam puisi memiuh aku dan kau terjamah jauh ribuan pulau

/2/ Di dalam puisi tersebut banyak keunikan bahasa yang memanfaatkan unsur permainan bunyi. Pada puisi Kwatrin Himmirsky ini vocal a dan u lebih mendominasi pada setiap baris. Menurut Pradopo (1987:33) bunyi vokal a, o dan u terasa berat dan rendah. Perasaan yang sedih, gundah, murung itu cocok dan ekspresif untuk digambarkan dengan bunyi- bunyi yang berat tersebut. Sehingga merujuk pada pendapat tersebut puisi Kwatrin Himmirsky ini bersuasana berat dan sedih. Terihat pada bait pertama baris pertama dan kedua ditemukan permainan bunyi asonansi/a/dikombinasikan bunyi u yaitu pada diksi kulepas, lekas dan mumpung, murung. Hal ini terdapat pada larik/kulepas kau lekas/ mumpung hujang murung/. Pengulangan konsonan/s/dalam kulepas, lekas; pengulangan konsonan/g/dalam mumpung, murung. Pada baris ketiga dan keempat asonansi u pada diksi membiru, rindu dan mau, menunggumu. Pengulangan konsonan/m/pada diksi hitam, rahim. Diksi hitam yang berarti suatu pengungkapan kesedihan dan diksi rahim yang berarti memendam. Hal tersebut terdapat pada larik dan Laut Hitam, rahim yang membiru karena rindu//masih mau menunggumu. Kombinasi bunyi sengau m, n, ng menyebabkan menyebabkan berirama dan liris. Pada bait pertama melukiskan kesedihan karena dia harus memendam rasa rindu yang mendalam meskipun kekasihnya berada jauh dia masih mau menunggu kekasihnya untuk kembali. Pada bait kedua ini permainan bunyi juga terdapat pada baris pertama dan kedua. Terdapat pengulangan vokal u/i.pengulangan vokal/u/dan/i/pada baris pertama terdapat pada tunggu, aku dan pantai, landai. Pada beris tersebut menggambarkan bagaimana sabarnya

Esai Stilistika 83 ia menunggu dan hampir menyerah. Pada baris kedua asonansi/u/ dalam sebelum, berpaut. Kombinasi bunyi sengau n, ng, r pada tunggu, pantai, landau, berpaut, tangan, sepanjang, pencipta, menziarai, jazirah menyababkan berirama dan liris. Pada bait kedua mmenggambarkan bagaimana aku lirik telah menunggu sekian lama dan banyak masaah yang harus dihadapi. Bait keempat,//Kita simak benua-benua mengeja nama kita//dalam tujuh ribu bahasa//sambil mencari kata paling cermin//yang mampu memantulkan batin/. Pada kutipan data tersebut terdapat pengulangan vokal a, i, u. Vokal/a/bisa ditemukan pada baris pertama Kita simak benua-benua mengeja nama kita. Dari baris pertama itu bisa dilukiskan banyak orang-orang yang membicarakan hubungan mereka. Pada larik ketiga dan keempat terdapat aliterasi/n/dan asonansi/i/yaitu pada diksi cermin dan batin. Sehingga menjadikan puisi ini merdu untuk dinikmati pembaca. Hal ini tampak pada larik sambil mencari kata paling cermin//yang mempu memantulkan batin. Permainana bunyi puisi Kwatrin Himmiersky pada bait keempat baris pertama dan kedua terdapat asonansi/a/yaitu pada diksi buta, kata. Hal tersebut ditemukan pada larik Kelak, pada satu malam buta// mungkin kau terjaga oleh lengking kata/dan aliterasi terdapat pada baris ketiga dan keempat berisak tangis dilepih mendung//sajak yang kautulis masih menggantungng/pada diksi mendung, menggantung. Dapat dilukiskan bagaimana cintanya yang belum ada kepastian karena status cintanya masih menggantung. Pada bait kelima pengulangan vokal/u/pada diksi itu, kau,tahu,perlu, ditunggu dan konsonan/s/pada diksi lekas, lepas. Hal tersebut ditemukan pada Saat itu, kau tahu tak ada lagi yang perlu ditunggu Lekas lepas namaku yang lama kauperam bubuhkan di larik lumpang itu sebelum kembali pejam.

84 Esai Stilistika Pada larik Lekas lepas namaku yang lama kauperam//bubuhkan di larik lumpang itu sebelum kembali pejam terdapat aliterasi/m/ pada diksi peram, pejam. Dari bait tersebut tergambarkan dia menginginkn kekasihnya untuk melupakannya dan melepaskan saja dari kehidupannya, tidak perlu menunggu lagi. Karena kekasihnya tak bisa memberikan kepastian akan cintanya. Bait keenam asonansi/a/yang dominan dikombinasi bunyi/u/ pada keempat barisnya mempekuat situasi dan suasana muram dan keraguan. Bebaskan beban biar ambyar menjelma serbuk harapan yang tiap butirnya berkilau, antara ragu dan risau, seperti aku dan kau

Pengulangan konsonan/n/dan/r/terdapat pada diksi Bebaskan, beban dan biar, ambyar. Pada bait ketujuh asonansi/i/terdapat pada larik Latu yang meletik sesekali lalu lindap kembali//bagai degup hidup atau kemelut maut dalam puisi. Pada bait tersebut bunyi e (pepet) tampak berulang-ulang menambah liris juga: meletik, sesekali, kemballi,degup, kemelut, memiuhdan terjamah. Hal tersebut memperkeras makna muram atau murung.

/3/ Tampak pada keseluruhan sajak, kombinasi bunyinya membuat bunyi musik (orchestra) yang merdu menyebabkan sajak ini menjadi liris. Perasaan sedih, gundah, dan suasana murung dapat terjelma dan terlukiskan sesuai tema atau masalah sajaknya. Sajak ini juga tampak gaya bunyi yang utama adalah asonansi/a/dikombinasi bunyi u, sajak akhir pada bait yang bersuasana berat, dan kombinasi bunyi sengau: m, n, ng. perpaduan bunyi kesemuanya itu menyebabkan sajak berirama liris. Sehingga puisi tersebut mengandung rasa berat dan rendah. ***

Esai Stilistika 85 CITRAAN PENCIUMAN DALAM NOVEL SANG NYAI 1: MALAM-MALAM MISTIS DAN KISAH 7 LUKISAN KARYA BUDI SARDJONO

Efi Kristiana Mahasiswa PBSI 2013

ahasa dalam proses kajian sastra menjadi salah satu perhatian yang besar. Karena melalui bahasa dapat diketahui maksud Bdan tujuan dari karya sastra tersebut dibuat. Untuk menggali melalui kebahasaa, stilistika menjadi salah satu teori pengantar yang tepat guna mempermudah menemukan sisi penting suatu karya sastra jika dilihat dari segi bahasannya. Stilistika sendiri hakikatnya berbicara keindahan pengucapan bahasa dalam karya sastra. Kajian stilistika sebenarnya kajian yang menarik karena penemuan makna sastra seringkali dipengaruhi oleh pemahaman pembaca atas bahasa sastra (Sutejo, 2012: 1). Stilistika merupakan bidang linguistik yang mengemukakan teori dan metodologi pengkajian atau penganalisaan formal sebuah teks sastra, termasuk dalam pengertiannya yang ekstended relevan (Sudiro Satoto, 1995:4). Ekstended artinya suatu sifat pandangan yang mencakup bidang kajian yang menggunakan bahasa sebagai unsur

86 Esai Stilistika penting dan menerima teori linguistik sebagai sesuatu yang amat relevan (Sutejo, 2012:2). Sementara itu, Sudjiman dalam Bunga Rampai Stilistika (1993:3) mengatakan bahwa stilistika adalah mengkaji wacana sastra dengan orientasi linguistik. Stilistika mengkaji cara sastrawan memanfaatkan unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa dan efek yang ditimbulkan oleh penggunaannya itu. Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri-ciri yang membedakan atau mempertimbangkan dengan wacana non sastra, meneliti deviasi terhadap tata bahasa sebagai sarana literature. Singkatnya stilistika meneliti sastra fungsi puitik suatu bahasa. Style, sebagai salah satu bentuk dari stilistika itu sendiri, yang dalam bahasa sastra perlu untuk dipahami kedalamannya. Sebagaimana dikemukakan para ahli di atas memang sangatlah beragam pengertiannya. Namun hakikatnya dapat dipahami style sebagai sarana kebahasaan yang dipergunakan pengarang (penyair) dalam pengucapannya. Dengan kata lain, style dapat disepakati sebagai sebuah sarana retoris, sebagai cara mengekspresikan keindahan, sebagai bentuk pengungkapan emosi terdalam dan sebagai cara dan bentuk ekspresi dunia yang mungkin (Aminuddin, 1995: 2-23). Dapat dipahami bahwa style tidak dapat dipisahkan dari tujuan kepengarangan seseorang dan latar belakang pengarang dalam memilih gaya pengucapan tertentu. Dalam konteks objek kajian ini, yakni kajian stilistika atas citra dalam Sang Nyai i: Malam-malam Mistis dan Kisah 7 Lukisan karya Budi Sardjono, nantinya akan difokuskan pada citraan penciuman yang dipilih pengarang untuk mengungkapkan keindahan imajinya.

Citraan Penciuman Dalam kajian stilistika atas Sang Nyai 1: Malam-malam Mistis dan Kisah 7 Lukisan karya Budi Sardjono ini akan membahas secara

Esai Stilistika 87 mendalam mengenai citraan penciuman sebagaimana diungkapkan teori yang melatari sebelumnya. Citraan ini jarang sekali dipergunakan oleh pengarang dan penyair. Yang dimaksud dengan citraan penciuman ialah penggambaran yang diperoleh melalui pengalaman indera penciuman (Depdiknas, 2001: 74). Budi Sardjono pada novel Sang Nyai 1: Malam-malam Mistis dan Kisah 7 Lukisan ini dapat membius dan membangkitkan emosi pembaca lewat keindahan imajinya. Budi Sardjono menggunakan citraan penciuman untuk membangun pelukisan karakter para tokoh dan penggambaran setting. Selain itu citraan penciuman juga berfungsi memudahkan imajinasi pembaca, menggugah pikiran dan perasaan dan menghadirkan suasana yang lebih konkret dalam cerita bagi pembaca. Untuk memperjelas bagaimana citraan penciuman pada novel ini dapat dilihat dalam kutipan-kutipan berikut: “.....Aku menghela napas. Tercium aroma parfum yang tidak bisa kuketahui merek dan jenisnya. Terasa menyegarkan dan memancing gairah. “Sekarang berdua. Maaf, kita belum kenalan,” kataku sambil menyodorkan tangan dan memperkenalkan diri. Perempuan itu menyambut tanganku dan menyebut namanya, Kesi.” (Sang Nyai 1: Malam-malam Mistis dan Kisah 7 Lukisan, hal. 19)

Kutipan di atas, dapat dipahami bahwa citra penciuman- meski hanya dengan menyebut aroma parfum, namun memiliki simbolisasi dan pembayangan akan imajinasi pembaca yang memberi rangsangan kepada indera penciuman, sehingga pembaca tergiring akan simbol atau nuansa tertentu yang diungkapkan pengarang atau penyair. “Dari pintu cepuri sudah tercium bau kemenyan yang menyengat. Halaman dalam cepuri sudah dipenuhi orang. Entah mereka itu pejiarah asli atau orang-orang iseng yang ingin tahu saja.” (Sang Nyai 1: Malam-malam Mistis dan Kisah 7 Lukisan, hal. 32)

88 Esai Stilistika Kutipan ini menunjukkan penggunaan citraan penciuman secara intensif untuk memberikan citraan tempat terjadinya peristiwa dalam novel tersebut. “Bau kemenyan” misalnya, mencitrakan sesuatu yang berbau mistis. Bau kemenyan tersebut tercium dari pintu cepuri. Cepuri merupakan tempat yang dikeramatkan penduduk Parangkusumo dan Parangtritis. “Kepalaku mulai pusing karena mencium parfum ditubuhnya. Jelas bukan parfum masa kini. Ini parfum zaman dulu, ketika aku masih bayi.” (Sang Nyai 1: Malam-malam Mistis dan Kisah 7 Lukisan, hal. 34)

Citraan penciuman dalam kutipan di atas menggugah daya imajinasi pembaca untuk dapat membayangkan dan ikut merasakan bagaimana bau atau aroma parfum yang membuat kepala menjadi pusing. Citraan ini menjadikan karya sastra tidak hanya sekedar dimengerti dan dibaca melainkan pembaca dapat pula meresapi dan ikut terlibat dalam cerita. “Secara langsung, tidak ada. Namun, dari juru kunci di sana, saya pernah mendengar bahwa Gusti Kanjeng Ratu Kidul memang sering datang. Tanda-tandanya kalau beliau datang, angin bertiup sangat kencang dan tercium bau kembang melati. Biasanya, jika ada pejabat tinggi negara yang datang berziarah ke sana,” tutur Mas Darpo. “Biasanya menjelang pemilu atau pemilihan presiden. Akhir-akhir ini juga para calon bupati, wali kota, gubernur, bahkan calon lurah, sering ziarah ke sana.” (Sang Nyai 1: Malam-malam Mistis dan Kisah 7 Lukisan, hal. 56-57) “Aroma kembang melati menusuk hidung ketika aku sampai di ruang yang dimaksudkan Tohir. Ini mirip sebuah galeri benda-benda pusaka lain tertata rapi di sudut ruangan. Namun, mataku berhenti pada deretan tujuh lukisan yang dijajar rapi di dinding kayu.” (Sang Nyai 1: Malam-malam Mistis dan Kisah 7 Lukisan, hal. 91)

Esai Stilistika 89 Dua kutipan di atas menunjukkan bagaimana penggunaan citraan penciuman secara intensif dipergunakan untuk melukiskan situasi dan kondisi yang mencekam. Dimana terdapat kata angin bertiup sangat kencang dan tercium bau kembang melati yang menambah nuansa mistis. “Hafal sekali ya tidak. Cuma tahu satu dua tempat saja. Namanya juga lagi jadi pemandu wisata. Tidak ada jeleknya menawarkan tempat yang bisa menghibur jiwa lelaki yang kesepian,” kilahnya. “Tidak usah basa-basi lagi. Kita sudah sama-sama dewasa. Sudah sama-sama banyak makan asam garam dan mencium banyak keringat perempuan, hahaha.....” (Sang Nyai 1: Malam-malam Mistis dan Kisah 7 Lukisan, hal. 168)

Gambaran citraan penciuman ini dipergunakan Budi Sardjono pada kutipan diatas untuk melukiskan karakter tokoh yang suka bermain perempuan, dimana jelas terlihat pada kata mencium banyak keringat perempuan. “Hem. Kedua tanganku secara reflek menggerayangi kanan kiri. Mencoba mencari-cari tubuh yang semalam menjadi sangat dekat. Tetapi yang kutemukan hanya dua buah guling. Ketika aku mengangkat kepala, pintu kamar mandi sudah terbuka. Apakah Kesi sedang mandi? Mungkinn saja. Ia sedang membersihkan tubuhnya agar kembali harum. Namun ku tunggu beberapa menit, tidak ada suara apa-apa dari kamar mandi. Tidak terdengar suara air jatuh ke lantai.” (Sang Nyai 1: Malam-malam Mistis dan Kisah 7 Lukisan, hal. 189).

Citraan penciuman dalam kutipan di atas dipergunakan secara bersama-sama dengan citraan perabaan untuk melukiskan situasi dalam cerita. Ulasan citraan penciuman di atas menegaskan bahwa membaca novel Sang Nyai 1: Malam-malam Mistis dan Kisah 7 Lukisan, seraya kita melihat kekaguman pengimajian dan sekaligus penggambaran pengalaman indera penciuman. Budi Sardjono mampu membangkitkan

90 Esai Stilistika emosi penciuman pembaca melalui penggambaran yang utuh. Citraan penciuman begitu intensif dipergunakan untuk menggambarkan karakter dan setting peristiwa dalam novel tersebut.

Wasana Akhir Di akhir, dari analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa penyair memanfaatkan citra penciuman sebagai salah satu cara untuk memberi efek hidup pada tulisan. Melalui efek itulah kemudian pembaca seakan dibawa dalam suasana tulisan yang ada. Tidak saja sebagai penggambaran satu titik saja, melainkan citraa penciuman begitu kompleks mewakili kehidupan nyata dalam tulisan. Seperti penggambaran karakter tokoh, setting peristiwa juga yang lainnya. Melalui citraa peciuman itulah sastra seperti kisah yang bergerak dalam hati, disuguhkan melalui jalan pemahaman dan imajinasi.

***

Esai Stilistika 91 VISUALISASI CITRAAN DALAM KUMPULAN CERPEN KADO ISTIMEWA CERPEN PILIHAN KOMPAS 1992

Fahrotun Nisa Mahasiswa PBSI 2013

erpen hakikatnya karya sastra yang memaparkan kisah kehidupan manusia lewat tulisan, yang dikemas dalam cerita Csingkat dan selesai dibaca sekali duduk. Dalam karya, sang penulis akan menorehkannya dengan bahasa yang berbeda-beda. Lewat tulisan itulah karakter seorang penulis dapat dilihat oleh pembaca. Namun, yang paling menarik diantara mereka adalah siapa yang bisa memainkan bahasa tulisnya, seperti pembaca menikmati langsung karya tulisnya menjadi nyata dan masuk dalam dunia cerita karya tersebut. Untuk memberikan gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana, untuk membuat lebih hidup dan menarik, dalam karya sastra. Khususnya cerpen, penulis juga sering menggunakan gambaran angan. Gambaran angan dalam karya tulis ini disebut citraan (imagery). Citraan atau pengimajian adalah gambar-gambar dalam pikiran atau gambaran angan si penulis. Setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji (image). Gambaran pikiran ini adalah sebuah efek dalam pikiran menyerupai gambaran yang dihasilkan oleh penangkapan terhadap

92 Esai Stilistika sebuah objek yang dapat dilihat oleh mata (indera penglihatan). Citraan tidak membuat kesan baru dalam pikiran. Jenis/macam citraan (imaji) ada beberapa diantaranya adalah; (a) Citraan penglihatan (visual imagery), (b) citraan pendengaran (auditory imagery), (c) citraan perabaan (tactile imagery), (d) citraan penciuman (olfactory) (e) citraan pencecapan (gustatory), (f) citraan gerak (kinaesthetic imagery) (g) citraan perasaan (h) citraan intelektual. Ada banyak citraan yang digunakan penulis untuk mempercantik karya mereka. Dalam kumpulan cerpen kompas Kado istimewa tahun 1992 yang di dalamnya terdapat 15 cerpen pilihan yang pernah dimuat di edisi minggu harian kompas. Kumpulan cerpen tersebut adalah cerpen terbaik yang sdah dipilih oleh kompas sendiri. Pada tahun 1992 kompas pertama kali membukukan cerpen terbaiknya. Uniknya dari berbagai judul dan penulis-penulis handal menyimpan tema-tema dengan bahasa yang menarik untuk diselami dalam maknanya. Beberapa judul cerpen dan penulis tersebut adalah Jujur Prananto dengan Kado Istimewa, Hudri Hamdi dengan Petaka Kampar, Ahmad Tohari dengan Penipu Yang Keempat, Jujur Prananto dengan Nurjanah, dengan Ke Solo, Ke Njati, Ratna Indraswari Ibrahim dengan Perempuan Itu Cantik, Santyarini dengan Mak Dan Ikan Teri, Putu Wijaya dengan Sket, B.M. Syamsuddin dengan Cengkeh Pun Berbunga Di Natuna, Abrar Yusra dengan Burung Ketitiran, Harris Effendi Thahar dengan Ngarai, Agus Vrisaba dengan Randu Alas, Yanusa Nugroho dengan Purnama Dan Ringkik Kuda, Edi Haryono dengan Paing, Ahmad Tohari dengan cerpennya Mata Yang Enak Dipandang. Pembaca bisa menikmati di samping penggunaan pemilihan kata yang unik dengan pengalimatan yang unik pula. Pembahasan ini ditemukan juga penggunaan citraan yang khas dipergunakan oleh penulis, yaitu citraan visual. Citraan visual merupakan teknik pengucapan pengimajian penulis dengan melukiskan bahasa yang merupakan perwujudan dari pengalaman penglihatan (visual).

Esai Stilistika 93 Citra Visual dalam Kado Istimewa Citraan visual karena itu dapat memberi rangsangan kepada indera penglihatan sehingga mengusik imajinasi pembaca untuk memahami teks sastra secara secara hidup pelatarannya, baik itu latar waktu, tempat, maupun peristiwanya secara utuh, pemanfaatan citraan visual itu tampak pada kutipan cerpen Kado istimewa berikut. 1) “Ketergesa-gesaannya meninggalkan rumah akhirnya malah membuatnya bertambah gelisah. Rasanya ia ingin secepatnya sampai di Jakarta dan bersalam-salaman dengan Pak Gi. Berbincang- bincang tentang masa lalu. Tentang kenang-kenangan manis di dapur umum. Tentang nasi yang terpaksa dihidangkan setengah matang, tentang kurir Ngatimin yang pintar menyamar, tentang Nyai Kemuning penghuni tangsi pengisi mimpi-mimpi para bujangan. Ah, begitu banyaknya cerita-cerita lucu yang rasanya takkan terlupakan biarpun terlibas oleh berputarnya roda zaman.” 2) “Pasangan-pasangan tamu bergiliran masuk ke ruang resepsi. Masing-masing membawa amplop undangan berukuran dua puluh kali dua puluh senti, dengan pemukaan berelief ukiran warna keemasan. Dengan langkah yang digagah-gagahkan Totok dan Wawuk mengikuti arus para tamu ini, mengawal Bu Kus masuk lebih dulu lewat pintu detector.” 3) “Semua lega. Tapi tak ada yang bisa menandingi kelegaan Bu Kus. Ruang resepsi yang maha indah dan luas itu dirasakannya hangat menyambut kedatangannya. Ia mengajak Totok dan Wawuk menjelajahi seluruh ruangan, mencicipi semua jenis makanan.”

Pada data (1), (2) dan (3) di atas, citraan visual menggambarkan suasana pada waktu itu. Seperti contoh data (1) tentang bagaimana penulis mengisahkan suasana masa lalu Bu Kustiyah yang dia kenang ketika masih bersama dengan pak Gi. Sedangkan dalam data (2) pengungkapan citraan visual suasana di tempat resepsi yang dihadiri

94 Esai Stilistika oleh bu kustiyah, wawuk dan totok. Namun, kemudian suasana tersebut mampu menghadirkan imaji lain tatkala jujur prananto kemudian menggambarkan pelaminan yang megah dalam imaji visual suasana dalam contoh (3). Dalam bentuk lain, pelukisan tokoh sosok Pak Hargi yang sangat dikagumi oleh Bu Kustiyah juga digambarkan lewat kutipan berikut. 4) “Pak Hargi adalah seorang pejabat eselon satu pada pos yang sangat penting. Sedemikian penting jabatan itu hingga ibarat kata beliau terkena gejala flu saja – baru gejalanya saja – rasa-rasanya seluruh departemen bakal tahu. Itulah maka dengan gampang suami Wawuk bisa memperoleh keterangan lengkap, termasuk copy undangan resepsi pernikahan tersebut.”

Data (4) dalam kutipan di atas Jujur Prananto menggambarkan seperti seolah-olah Pak Hargi adalah orang yang sangat penting dan punya kedudukan yang tinggi. 5) “Di meja terletak nampan anyaman bambu yang sudah dilapisi kain putih berhias bordiran. Bakul-bakul kecil ditempatkan di atasnya secara rapi. Di atas kompor yang menyala terletak dandang yang mengepulkan uap tebal.” 6) “Penjagaan ketat mewarnai ruang resepsi hotel Sahid Jaya. Di halaman bertebaran petugas security, lengkap mengenakan setelan jas hitam dan handy-talky di tangan. Pintu masuk hanya separuh terbuka kurang lebih Cuma semeter, dilengkapi dengan bingkai detektor beralarm.” 7) “Seminggu kemudian, di rumah pengantin baru, di kamar penyimpanan kado. Pengantin pria duduk kelelahan berselonjor di kursi panjang sementara istrinya yang masih gres itu sibuk menginventarisasi kado, yang bahkan belum pernah dibuka sejak resepsi tempo hari.”

Esai Stilistika 95 Kutipan data (5) adalah memvisualisasikan bagaimana sang Ibu Kustijah, dengan telaten memasak nasi tiwul kenangannya dulu dengan pak hargi. Dengan harapan sang putra nanti akan senang dengan kado tersebut dan bertanya dengan bapaknya. Sedang kedua data (6) dan (7) menggambarkan dua keadaan tempat, yang satu adalah bagaimana penjagaan ketat saat resepsi pernikahan anak pak hargi dan rumah yang penuh dengan kado setelah melaksanakan resepsi pernikahan tersebut. 8) “Di bagian sudutnya tampak basah. Kado itu pun dibuka. Mereka tak tahu apa nama makanan dalam nampan anyaman bambu yang ditutup kain putih berbordir itu, sebab rupanya sudah tak keruan dan berjamur di sana-sini. Ada selembar kertas bertuliskan tangan yang sulit terbaca karena tintanya sudah menyebar kena lelehan gula merah.”

Data (8) adalah bagaiaman jujur prananto melukiskan sebuah benda yang awalnya terlihat istimewa oleh Si Empu pembuat kado tersebut, namun kemudian kado tersebut terlihat seperti jijik dan jorok. Dari analisisi sebelumnya dapat disimpulkan, bahwa penggunaan citraan dalam cerpen kado istimewa dipergunakan untuk beragam pelukisan. Dari pelukisan suasana, tempat dan juga tokoh.

Cita Visual dalam Penipu yang Keempat Dalam cerpen selanjutnya yaitu, cerpen Penipu Yang Keempat Karya Ahmad Tohari, si penulis tak jauh berbeda dengan penulis cerpen sebelumnya, si penulis juga menggunakan citraan visual untuk melukiskan karakter tokoh dan juga suasana dalam cerpen tersebu. Penggunaan sitraan visual untuk melukiskan keadaan tokoh seperti tampak pada kutipan-kutipan berikut. 1) “Dia adalah penipu ketiga yang datang kepadaku hari ini. Dengan menampilkan kesan orang lapar dan lelah dia, seorang lelaki yang

96 Esai Stilistika baru ku kenal, minta uang padaku. katanya, ia harus segera pulang ke Cikokol karena anaknya sedang sakit disana. Tetapi katanya, ia tak bisa berangkat kecuali aku mau bermurah hati memberinya ongkos perjalanan.”

Citraan visual pada data (1) menggambarkan bagaimana sosok penipu ketiga yang berusaha menipu si tokoh utama dalam cerita dengan acting yang dibuat agar si tokoh dalam cerita memberi uang kepadanya. Meski sebenarnya si tokoh tersebut sangat tau bahwa dirinya ditipu. Karena sebelum penipu ketiga sudah sebelumnya penipu yang lain sudah mendatangi rumahnya. Hal itu tampak sebagai berikut. 2) “..tadi pagi seorang perempuan mengetuk pintu rumahku. ia memperlihatkan kesan seorang perempuan saleh dan datang padaku minta sumbangan.” 3) “Tak lama sesudah perempuan itu pergi. datanglah tamu lain. Kali ini seorang lelaki yang memberi kesan amat lugu. Dia membawa bungkusan agak panjang berisi lap bulu ayam serta empat pisau dapur. kata lelaki itu, barang-barang yang dibawanya adalah buatan anak-anak penyandang cacat dikota solo. Dia menawarkan barang- barang itu kepadaku dengan harga,kukira,tiga kali lipat harga yang sewajarnya.” 4) “Laki-laki itu membeku dan kelihatan tersiksa. Padahal sungguh aku tak bermaksud menyakitinya.”

Data no (2) dan (3) melukiskan bagaimana penipu pertama dan penipu kedua dengan ektingnya yang berusaha mengelabui dengan terlihat menimbulkan perasaan kasihan kepada mereka. Data (4), menggunakan gaya bahasa asosiasi, untuk melukiskan keadaan laki- laki penipu kedua, dengan mengasosiasikan sifat-sifat tertentu dengan keadaan lelaki tersebut. 5) “Seperti ular kehilangan mangsa yang sudah dililitnya laki-laki dari Cikokol itu termangu sendiri. Namun matanya yang licik dan awas

Esai Stilistika 97 mengalihkan pandangan kepadaku. Oh, ternyata orang memang mudah tertipu.” 6) “Mendadak lelaki Cikokol itu menghentikan kata-katanya. Kedua matanya terbuka lebar dan wajahnya tegang. Dan kegugupannya gagal disembunyikan ketika lelaki Cikokol itu mengenali kembali diriku. Tetapi dia seniman pantomim yang baik. Kunikmati dengan seksama ketegangan di wajahnya yang perlahan-lahan mencair. Kini kesan malu terlihat disana. Hanya sepintas, sebab lelaki cikokol itu akhirnya malah tersenyum. Aku pun membalasnya dengan Senyum.”

Jenis pemanfaatan gaya bahasa asosiasi lain yang dipergunakan Ahmad Tohari dalam cerpen penipu keempat adalah asosiasi yang dipergunakan pada data (5), mengasosiasikan kelicikan penipu pertama sebagai kelicikan. Diasosiasikan sebagai ular yang kehilangan mangsa dan matanya yang mengamati dengan teliti seperti mata yang licik juga awas.dan pada data (6) gaya bahasa asosiasi digunakan untuk menggambarkan ketegangan wajah si penipu seperti suatu benda yang yang dapat membeku dan mencair. 7) “Namun apa jadinya bila orang Cikokol itu tahu bahwa ada penipu lain yang jauh lebih pandai, yakni dia yang hari ini memberi uang empat belas ribu kepada tiga penipu teri. Dengan empat belas ribu itu dia berharap tuhan bisa tertipu lalu memberkahi uangnnya, tak peduli dengan cara apa uang itu didapat. Dan aku yakin, hanya seorang penipu sejati bisa sangat menyadari akan penipuannya.”

Data (7), menunjukkan bagaimana sosok penipu keempat adalah dirinya sendiri yang menyadari telah tertipu dengan beberapa penipu dalam satu hari. 8) “Dan mengapa orang tidak suka mencoba menikmati keindahan seni penipuan. Perempuan yang mengaku utusan yayasan yatim piatu di banyuwangi itu. Kalau bukan orang yang benar-benar berbakat dia

98 Esai Stilistika takkan berhasil Acting sebagai tokoh yang dilakonkannya. Kalau bukan benar orang yang benar-benar teguh, dia tidak akan berani untung-untungan minta dana kepadaku. Sebab dengan membuka kedoknya. Jadi perempuan itu telah menyajikan bakat, keteguhan dan keberanian menghadapi kemungkinan dipermalukan. Ketiganya diartikulasikan dengan baik sehingga menjadi sajian artistik yang bisa kunikmati.”

Data (8) menggunakan gaya bahasa repetisi anaphora adalah gaya bahasa penegasan dengan jalan mengulang satuan lingual berkali-kali diawal kalimat. Pengulangan kata keadaan kalau bukan adalah sebuat repetisi anaphora. Gaya bahasa ini dipergunakan untuk memberikan penegasan tokoh sekaligus menguatkan intensitas lakuan yang dialaminya. 9) “Agar aku bisa lebih lama menikmati sajian istimewa itu aku harus bisa mengendalikan perasaan sebaik mungkin. Dan aku berhasil. Sampai lelaki Cikokol itu selesai mengemukakan segala dalih mengapa dia terpaksa jadi penipu. Aku tetap bersikap sungguh- sungguh mendengarkannya, bahkan menikmatinya. Lelaki cikokol itu pun kelihatan demikian yakin bahwa dirinya berhasil menipuku buat kali yang kedua. Dengan demikian dia boleh merasa menjadi penipu yang paling unggul.” 10) “Katanya, ia diutus oleh sebuah yayasan pemeliharaan anak-anak yatim piatu di banyuwangi. Ia tunjukkan surat-surat berstempel sebagai bukti jati dirinya. Dan akhirnya ia berkata bahwa yayasan yang mengutusnya sangat memerlukan bantuan dana. Tanpa bantuan semacam itu katanya, anak-anak yatim piatu disana akan bertambah sengsara.”

Data (8) adalah melukiskan citraan visual suasana bagaimana laki-laki cikokol menipu si tokoh aku. Dan pada data (9) digambarkan

Esai Stilistika 99 bagaimana penderitaan penipu kedua jika si tokoh aku tidak memberinya uang, maka anak-anak yatim piatu akan bertambah sengsara. Dari analisis sebelumnya dapat disimpulkan bahwa penggunaan citraan visual dalam cerpen Penipu keempat dipergunakan untuk beragam pelukisan. Dari pelukisan tokoh dan pelukisan suasana serta penggambaran waktu. Adapun penggunaan citra itu sendiri dipadukan dengan penggunaan beragam gaya bahasa seperti, gaya bahasa asosiasi dan juga gaya bahasa repetisi.

Citra Visual dalam Nurjanah Dalam cerpen selanjutnya yaitu, cerpen yang berjudul Nurjanah karya Jujur Prananto. Penulis tak jauh berbeda dengan penulis cerpen sebelumnya, si penulis juga menggunakan citraan visual untuk melukiskan suasana dan waktu dalam cerpen tersebut. Penggunaan citraan visual untuk melukiskan keadaan tokoh seperti tampak pada kutipan-kutipan berikut. 1) uasana seperti tak terkendali. Siulan-siulan panjang melengking tak henti-henti. Warna lampu panggung sudah berubah merah. Dentuman gendang mulai membahana. Dan begitu suara seruling kedengarannya mengalun nyaring, puluhan penonton pun berteriak-teriak ganas. 2) Dengan hentakan kecil Nurjanah meloncat ke atas panggung. Begitu kakinya menapak, tubuhnya yang terbungkus rok terusan merah berkelip-kelip itu langsung berputar satu lingkaran dan berhenti persis menghadap penonton dalam posisi membungkukkan badan. Sorak-sorai panjang memenuhi lapangan. Nurjanah mencabut mikrofon dan berteriak lantang. 3) “Lihat rembulan, putih berseri. Derita sebulan lupakan malam ini. Kita joget-joget-joget…

100 Esai Stilistika Data-data di atas dapat dianalisis bahwa penggunaan kata maupun bagian kalimat oleh pengarang disisipkan ke dalam suatu kalimat untuk memberikan penegasan terhadap kalimat sebelumnya. Pada data (1), (2) penulis memberi penegasan dalam suasana pentas tentang bagaimana suara yang ada serta setting lampu, serta bagaimana suasana tokoh dalam setting cerpen yang diungkapkan penulis dengan gaya bahasa interupsi untuk menegaskan sesuatu yang dilukiskan dan digambarkan oleh penulis. Pada data (3) gaya bahasa interupsi digunakan untuk menegaskan dan memperjelas rembulan yang putih berseri. Gaya bahasa interupsi juga digunakan jujur prananto yang juga dipadukan dengan gaya bahasa repetisi epizeuksis, seperti yang terdapat dalam contoh data (4), bagaimana gaya bahasa penegasan dengan jalan mengulang satuan lingual berkali-kali di awal kalimat. Penggunaan kata satu, dimanfaatkan untuk menegaskan keadaan yang menyenangkan, menggambarkan suasana panggung, sehingga tampak intensif. 4) “Segera setelah itu orang-orang seperti terpimpin untuk bersama- sama melenggak-lenggokkan badan. Satu ayunan. Satu irama. Satu desah. Satu napas. Saat sebelah kaki Nurjanah terangkat tinggi- tinggi, saat pinggulnya berputar delapan kali ke kanan delapan kali ke kiri. Panas. Histeris. Birahi.” 5) “Bau keringat para penjoget merebak tajam, membaur dengan aroma tisyu kolonyet dan berbagai wewangian murah. Sementara di tepi lapangan banyak pula yang duduk mengerumuni warung, menenggak bir, minum TKW, anggur ketan-item, sambil mata mereka tak lepas-lepas menelanjangi tubuh Nurjanah, membayangkan pergelutan di ranjang dengan peremouan seronok itu. Semua terkesima. Tenganga. Teler.” 6) “Sesungguhnya Nurjanah merasakan sesuatu yang tiba-tiba saja menyelinap ke dalam inderanya. Suatu isyarat yang perlu diwaspadai. Nyaris seperti yang dirasakannya ketika menggung di depan pasar Paduraksa setengah tahun yang lalu. Suara musik yang

Esai Stilistika 101 berdebam-debam mendadak didengarnya menjadi hanya samar- samar. Telinganya dipenuhi suara mendenging tinggi. Perutnya mual. Badannya terasa panas tapi sama sekali tak berkeringat.” 7) “Waktu itu ia langsung bisa merasakan siapa yang mengirim isyarat permusuhan tersebut. Wajah orang itu begitu jelas terbayang di benaknya. Leha namanya, primadona orkes Kemilau Mutiara. Ia termakan gosip yang menyebutkan bahwa kedudukannya bakal tergeser oleh Nurjanah yang lebih bahenol dan konon “bersedia melakukan apa saja demi popularitas.”

Pada data (5), (6) berikut menggambarkan bagaimana citraan visual dipergunakan pengarang secara intensif berbingkai gaya bahasa klimaks dan gaya bahasa interupsi. Hal ini dimanfaatkan untuk melukiskan suasana panggung yang juga ditegaskan dengan gambaran keadaan sekitar. Begitu juga bagaimana suasana menegangkan yang digambarkan oleh data (6) ketika Nurjanah merasa diguna-guna seperti yang pernah dialaminya juga dengan konflik yang meningkat dengan gambaran sesuatu yang dirasakan semakin membuatnya tersiksa. Dan gambaran sosok yang menggunanya dipertegas dalam data (7) yang menyebutkan dengan gaya bahasa klimaks dan gaya bahasa interupsi sebagaimana terdapat kalimat sisipan untuk memberi penekanan pada sosok Leha, yang diduga memberi guna-guna kepada nurjanah. 8) “Baru jam dua belas kurang seperempat. Di belakang panggung Nurjanah segera melepas kostum dan sepatunya. Satu-satunya stoking merah yang dimilikinya dibukanya hati-hati, tapi tetap saja menambah robekan yang memanjang di bagian paha kirinya.” 9) “Matahari belum lagi terbit ketika ia sampai di terminal bis. Seorang calo yang badannya penuh tato setengah berteriak menegurnya. “Janah! Tadi malam dicari si Ping mau diajak minum-minum.”

Citraan visual juga dipergunakan untuk menggambarkan waktu terjadinya peristiwa. Penggambaran citraan visual untuk melukiskan

102 Esai Stilistika saat (waktu) terjadinya peristiwa itu seperti tampak pada kutipan data (8) dan data (9), yang tergambarkan bagaimana situasi malam dan pagi sebelum matahari terbit. Gaya bahasa asosiasi juga banyak digunakan jujur prananto untuk membandingkan sifat-sifat atau keadaannya. Data-data ini berikut ini menunjukkan hal itu. 10) “Atau ketika ia ditanggap lurah seberang kali dalam rangka sunatan anaknya. Nurjanah baru menyanyi dua lagu ketika merasa “diganggu”. Pengirimnya gampang ditebak, istri lurah itu sendiri, yang hatinya panas dingin mengetahui suaminya tergila-gila pada Nurjanah.” 11) “Saya merasa tidak enak betul kalau sedang berhadapan dengan ibu. Seperti berhadapan dengan malaikat saja. Wajahnya suci sekali, hingga di hadapannya kita serasa mau diadili.” 12) Waktu itu Pak Marsan terdiam lama sekali. Yang biasanya tangannya langsung gerayangan, kali ini membeku seperti patung. Nurjanah sendiri tidak berani memulai, sampai kedengaran azan subuh bersahut-sahutan. 13) Di pasar Randudongkal dibelinya seekor ayam kate jantan, dipilihnya yang benar-benar gagah, juga sekian banyak jajan pasar yang masih segar. Dari situ ia berjalan kaki beberapa puluh meter dan menumpang ojek ke arah barat selama kurang lebih sejam perjalanan

Data nomor (10) mengasosiasikan keadaan istri lurah yang hatinya marah mengetahui suaminya menyukasi nurjanah. Data (11) mengasosiasikan sifat ibu, yaitu istri Pak Camat yang sangat baik kepada Nurjanah, sampai–Sampai Nurjanah menganggap istri Pak Camat seperti malaikat. Begitu juga dalam menggambarkan bagaimana keadaan ketika yang alami oleh Nurjanah ketika ia menanyakan hal tersebut kepada pak marsan, dan membuat Pak Marsan menjadi tak berkutik, seperti pada

Esai Stilistika 103 data (12). Data (13) mengasosiasikan bagaimana bagaimana sifat fisik dari ayam kate, yang digambarkan gagah seperti sifat manusia. 14) “Sejak itu Pak Marsan tak pernah mengajaknya pergi. Gosip terakhir menyebutkan, kedudukannya sebagai camat bakal berakhir sebelum masa tugasnya habis, konon ia harus mempertanggungjawabkan kebobrokan lima KUD di wilayahnya. Artinya, musibah yang menimpa diri Pak Marsan itu bukan lantaran terbongkarnya skandal cinta yang dijalaninya sekian lama dengan Nurjanah. Dengan kata lain, Bu Marsan tidak – atau belum – ada alasan untuk mendendam pada diri Nurjanah.” 15) “Nurjanah cepat membaca gelagat buruk. Buru-buru ia masuk kamar anaknya. Empat adik perempuannya duduk di tepian ranjang mendampingi seorang mantri kesehatan yang tengah memeriksa Ipin. Mata bocah lelaki umur lima tahun itu setengah terpejam, bibirnya bergerak-gerak menyuarakan kata-kata yang tak jelas. Nurjanah mengangkat tubuh anaknya, memeluknya, menciumnya, mendekapnya erat. Badannya sangat panas. Sementara itu mantri kesehatan mengemasi barang-barang bawaanya. “Teruskan saja kompresnya,” katanya pelan sebelum berpamitan.”

Gaya bahasa klimaks selanjutnya ini dipergunakan secara berturut-turut untuk memberikan gambaran keadaan atau setting yang dipaparkan secara berturut-turut semakin lama semakin menggambarkan kompleksitasnya. Seperti kompleksitas peristiwa yang digambarkan pada data (14), hal ini digambarkan bagaimana mula-mula meneyebutkan pak marsan yang tak lagi mengajak nurjanah pergi, kemudian terdengar kabar bahwa jabatannya akan dicopot karena kebrobokan 5 KUD diwilayahnya dan bias dipastikan skandal cinta mereka masih tertututp dengan rapat. Sedangkan pada data (15), klimaks digunakan secara kongkrit untuk menggambarkan apa yang dialami nurjanah ketika sampai di rumah. Mula-mula ketika Nurjanah

104 Esai Stilistika membaca firasat buruk yang terjadi ketika pertama kali masuk kedalam rumah, sampai akhirnya didapati empat adik perempuannya yang duduk di tepian ranjang mendampingi seorang mantra kesehatan yang memeriksa anak nurjanah. Kemudian Nurjanah baru sadar ternyata, Ipin anaknya sedang sakit panas. 16) “Tidak seperti biasanya pintu depan rumahnya terbuka. Sebuah sepeda motor bebek terparkir di halaman. Ayahnya duduk di amben bambu samping pintu, memegang tongkat panjang kayu melandingan. Nurjanah meraih tangan ayahnya dan menciumnya. “Pak…”

Gaya bahasa interupsi juga digunakan dalam data (16), yang meenggambarkan setting tempat dan keadaan yang digambarkan secara berturut-turut dengan penegasan kalimat penunjang yang mendukung suasana pada setting tersebut.

Wasana Akhir Gaya bahasa yang digunakan oleh beberapa penyair dalam buku kumpulan cerpen memang sangat kental dan terasa. Pembaca tentu akan sangat menikmati penggunaan pelukisan citraan visual yang digunakan oleh penulis untuk menciptakan kondisi yang memperkuat sosok karakter tokoh, suasana, setting tempat, peristiwa maupun waktu yang terdapat dalam isi cerita. Dan penggunaan gaya bahasa yang terdapat dalam tiga cerpen diatas membuat bahasa semakin intens untuk dinikmati pembaca seperti merasakan begitu kuat pengimajian penulis dalam menghadirkan rangkaian cerita yang apik.

***

Esai Stilistika 105 PENCITRAAN PUISI RUANG KARYA SITOK SRENGENGE

Heni Mustikawati Mahasiswi PBSI 2013

/1/ Salah satu sifat sastra adalah framing (penciptaan kerangka seni), dalam hal framing ini setiap pengarang mempunyai ciri tersendiri yang dapat membedakan pengarang yang satu dengan yang lainnya. Salah satu bentuk penciptaan karya seni adalah pemakaian bahasa termasuk pilihan kata. Karena pemakaian bahasa dan pemilihan kata memegang peranan yang penting dalam penciptaan karya sastra. Teeuw mengatakan bahwa untuk memahami karya sastra pembaca harus memahami kode bahasa, kode sastra, dan kode budaya (Sutejo 2012:16). Bahasa sastra sering disinyalir banyak orang memiliki ciri tersendiri yang berbeda dengan istilah bahasa lain. Sebagai salah satu ganre sastra, puisi merupakan salah satu katya sastra yang memiliki ungkapan estetik dengan instrumen bahasa. Artinya, sebagaimana seni yang lain seperti seni rupa yang berinstrumen cat maupun seni suara dengan instrumen suara. Keindahan puisi adalah keindahan bahasa itu sendiri. Pemakaian bahasa dan pemilihan kata dalam puisi merupakan salah satu kunci keberhasilan seorang penyair di dalam mengekspresikan jiwanya.

106 Esai Stilistika Bahasa puisi adalah bahasa pilihan, padat, kaya, prismatis, konkret, figuratif dan penuh ekspresi. Pemakaian bahasa yang tidak demikian, akan melahirkan bahasa yang cair yang tidak mampu mengemban sekian banyak makna yang diamanatkan penyairnya. Ketika berbicara masalah sastra sebagai karya imajinatif, maka kita akan sampai pada kesadaran bahwa bahasa merupakan kunci mediumnya. Bahasa sastra karena itu bersifat ambigu dan homonimitas. Selain ambigu dan homonimitas bahasa sastra juga harus memberikan gambaran yang jelas khususnya puisi. Untuk membuat lebih hidup dan menarik, dalam puisi juga sering menggunakan gambaran angan. Gambaran angan ini disebut dengan pencitraan (imagery). Citraan atau pengimajian adalah gambar-gambar dalam pikiran atau gambaran angan si penyair. Setiap gambaran pikiran disebut citraan atau imajinasi. Gambaran pikiran ini adalah sebuah efek dalam pikiran yang sangat menyerupai gambaran yang dihasilkan oleh penangkapan kita terhadap sebuah objek yang dapat dilihat oleh mata (indera penglihatan). Berikut akan dipaparkan bagaimana citraan dibangun yang sebenarnya banyak dipergunakan dalam puisi maka kajian teoritis berikut lebih banyak mendasar pada penggunaan citraan yang dipergunakan dalam pemahaman puisi. Mengikuti pemahaman citra sebagaimana diformulasikan Wellek dan Warren sebagai reproduksi mental, suatu ingatan masa lalu yang bersifat inderawi dan berdasarkan persepsi dan tidak selalu bersifat visual. Citra penglihatan visual (visual imagery) mengikuti pemahaman citra sebagaimana diformulasikan Wallek dan Warren sebagai reproduksi mental, suatu ingatan masa lalu yang bersifat inderawi dan berdasarkan persepsi dan tidak selalu bersifat visual, maka ekspresi pengalaman masa lalu, akan terekspresikan sedemikian rupa oleh pengarang dengan instrumen bahasa. Bahasa pengarang karena itu seringkali bersifat konotatif, metaforis, dan simbolis. Dalam banyak karya fiksi banyak digunakan ciri bahasa yang demikian.

Esai Stilistika 107 Sedangkan citra pendengaran (audio imagery) merupakan bagaimana pelukisan bahasa yang merupakan perwujudan dari pengalaman pendengaran (audio). Citra pendengaran karena itu juga dapat memberi rangsangan kepada indera pendengaran sehingga mengusik imajinasi pembaca untuk memahami teks sastra secara lebih utuh. Citraan penciuman adalah pemahaman yang diperoleh melalui indera penciuman. Citraan jenis ini membangkitkan emosi penciuman pembaca untuk memperoleh gambaran yang utuh atas pengalaman indera yang lain. Citra perabaan (tactil imagery) ialah penggambaran atau pembayangan dalam cerita yang diperoleh melalui pengalaman indera perabaan. Citraan perabaan seringkali menggambarkan bagaimana sesuatu secara erotik dan sensual dapat memancing imajinasi pembaca. Sedangkan citra gerak (movement imagery) yaitu citraan yang menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tak bergerak ataupun gambaran gerak pada umumnya. Citraan demikian, seringkali dapat menggambarkan sesuatu lebih dinamis dalam karya fiksi. Salah satu contoh puisi yang paling banyak menggunakan pencitraan adalah puisi yang berjudul Ruang karya Sitok Srengenge.

/2/ Berikut ini diperlihatkan bait puisi yang menggunkaan citra penglihatan yaitu terdapat pada larik yang berbunyi/Aku ceruk cangkir yang membayangkan kau sebagai kopi di pagi hari/Kitab yang ku intip kisah kesiapku kala pertama ku intip wajah kekasih//Manik mata yang mendekap dunia//. Dalam larik tersebut penyair seolah dapat menyaksikan cuaca pagi ketika ia membayangkan gadis itu. Ketika penyair membuka kitab, seolah ia melihat wajah kekasih yang selalu dipuja-puja. Mata penyair seakan-akan mampu untuk mendekap kekasih itu. Adapun citraan pendengaran terdapat pada larik yang berbunyi Kau bidang padang yang

108 Esai Stilistika mengerang gersang jika aku bukan rimbun pepohonan, Aku takjub pada hidup yang berdegup cinta yang bergema. Diksi mengerang, berdegup, dan bergema menujukkan citra pendengaran. Pengarang bermaksud, apabila ia tidak memberi kesejukan dan keteduhan untuk kekasihnya maka wanita itu akan mengerang. Ia juga berdegup karena selama ini cintanya tak kunjung datang dan ia sangat terkejut dengan kondisinya yang seperti ini penuh dengan penantian. Suara cinta di dalam hatinya selalu bergema karena ia belum menemukan wanita itu yang selama ini masih dalam angan. Sedangkan citra gerak terdapat pada larik yang bunyinya: Lubang baju yang butuh merengkuh tubuh/Kau greonggang rahang yang mengulum kelu lidahku/Manik mata yang mendekap dunia, kakus yang utuh menadah limbah/Menjagamu ku bebaskan kau bergerak dan berbiak dalam diriku//. Dari larik tersebut menggunakan citra gerak yaitu kata merengkuh tubuh. Di sini penyair memposisikan dirinya sebagai baju. Jika dipahami lebih lanjut maka dalam hal ini penyair akan menjadi kekasih yang mampu menutupi segala kekurangan dan kelebihan kekasihnya karena fungsi dari baju adalah sebagai penutup dan tubuh merupakan aurat yang harus ditutupi dan tidak boleh dilihat oleh siapapun kecuali pasangannya yang sudah terikat pernikahan. Diksi “mengulum” di sini penyair menginginkan jika dirinya sudah tidak mampu berkata apa-apa lagi ia ingin kekasihnya itu yang menasehatinya, kekasihnya yang berbicara padanya maka ia menuliskannya dengan mengulum kelu lidahku. Di sini juga terdapat diksi “mendekap” yang berarti penyair ingin memiliki wanita itu seutuhnya, sedangkan frase “menadah limbah” berarti penyair ikhlas menerima wanita tersebut dalam kondisi apapun. Diksi “limbah” jika diartikan secara umum adalah kotoran yang tidak lagi dibutuhkan oleh manusia. Akan tetapi dalam puisi ini bermakna lain, bahkan penyair rela menerima wanita itu meskipun kondisinya sudah tak suci lagi, dalam hal ini mampu menujukkan betapa besarnya rasa

Esai Stilistika 109 cinta penyair hingga ia rela mewadahi limbah. Penyair juga memberikan kebebasan kepada wanita yang dipuja untuk melakukan apapun asalkan penyair mengetahui apa yang ingin dilakukan oleh wanitanya itu sehingga ia akan selalu menjaga dan mendampinginya.

/3/ Di akhir, penggunaan citraan dalam sastra –puisi—memberikan suasana lain, karena dengan citraan dapat menghidupkan puisi sebagai bagaian yang bermakna. Dengan adannya citraan dalam puisi, seakan puisi hidup sebagai cerita yang padat yang dikemas dalam setiap diksi, bait, juga larik yang bermkana. Bahasa citraan dalam puisi menyimpan hal yang lain, jika ditelisik mengenai hal-hal lain di dalam diksinnya memiliki akar makna yang hendak disampaikan penyair kepada pembaca. Semisal dalam puisi Sitok Srengege yang sikupas dalam uraian di atas membuktikan bagaimana konkritnya penggunaan citraan untuk memberikan suasana hidup dalam puisinya.

***

110 Esai Stilistika MENGUAK AROMA PERMAINAN GAYA BAHASA METAFORA DALAM NOVEL PUDARNYA PESONA CLEOPATRA KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY

Ilham Qosim A Mahasiawa PBSI 2013

/1/ Karya sastra merupakan salah satu buah pikir manusia yang bermediumkan bahasa tulis atau lisan yang bersifat ekspresif dan imajinatif. Melalui karya sastra pengarang berusaha menuangkan segala imajinasi yang ada melalui kata-kata. Sejalan pekembangannya karya sastra di bagi menjadi beberapa genre; puisi, novel, cerpen, novelet, dan drama. Novel sebagai salah satu bagian dari karya sastra merupakan hasil karya yang bersifat bebas, melibatkan permasalahan secara bebas, melibatkan permasalahan secara kompleks, dan bersifat mengurai. Novel tidak memiliki batasan panjangnya. Karena novel memiliki peluang yang cukup untuk menjelaskan secara detail setiap permasalahan karakter tokoh dalam perjalanan waktu peristiwa. Sastra lahir karena dorongan keinginan dasar manusia untuk mengungkapkan

Esai Stilistika 111 diri, apa yang telah dijalani dalam kehidupan dengan pengungkapan lewat bahasa. Unsur-unsur pembangun karya sastra dapat dikelompokan menjadi dua unsur yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrisik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Unsur intrinsik meliputi tema, alur, penokohan, seting, sudut pandang dan gaya bahasa. Sedangkan unsur ekstrinsik meliputi psikologi, biografi, sosial, historis, ekonomi, ilmu, serta agama. Pengarang mempunyai kebebasan dalam menggunakan bahasa sehingga akan menghasilkan karya sastra yang menarik dan indah untuk dinikmati. Kebebasan berbahasa tersebut, kini dikenal dengan namanya gaya bahasa untuk mendapatkan efek estetik dalam penggunaannya. Gaya bahasa dapat dimunculkan melalui cara retorika dan stilistika. Retorika sendiri diartikan suatu teknik pemakaian bahasa sebagai seni, yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang tersusun baik (Keraf, 2006:1). Pengunaan retorika berkaitan dengan semua penggunaan unsur bahasa kiasan dan pemanfaatan bentuk citraan. Unsur stilistika terdiri dari unsur leksikal, unsur gramatikal dan unsur retorika. Unsur leksikal meliputi kata benda, kata kerja, kata sifat, kata bilangan. Bertujuan untuk mengetahui ketepatan pilihan kata yang dipilih oleh pengarang untuk tujuan estetik dan untuk mengungkapkan gagasan. Unsur gramatikal meliputi pembalikan kata, pemendekan dan pengulangan kata. Bertujuan untuk mengetahui hubungan kosa kata yang dipergunakan dalam penyusunan kalimat sehinnga jelas maksudnya. Unsur retorika meliputi pemajasan, penyiasaan struktur, pencitraan dan kohesi. Penulis memfokuskan menganalisis gaya bahasa dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra Karya Habiburrahman El Shirazy. Novel tersebut benar-benar mengajak kita untuk menyelami akan rindu dendam dan ungkapan pesona cinta suci karena illahi yang benar- benar mampu memberikan kebahagiaan nyata. Cerita yang dikemas

112 Esai Stilistika sedemikian rupa, penuh hikmah bahkan membuat hati merindukan akan ungkapan cintatulus-Nya. Untuk itu penulis juga smenggunakan teori stilistika sebagai acuan, untuk mempermudah menganalisis gaya bahasa dalam novel tersebut. Tujuan dari analisis ini untuk mengetahui kreatifitas penggunaan gaya bahasa yang digunakan pengarang. Penulis di dalam analisis ini lebih menitik beratkan pada unsur stilistika novel, pada novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy. Stilistika merupakan ilmu yang mempelajari tentang gaya bahasa. Menurut Slamet muljono gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul dan hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca (Pradopo, 2001: 93). Gaya bahasa merupakan cara penggunaan bahasa secara khusus untuk mendapat efek tertentu. Dalam karya sastra efek ini adalah efek estetik yang akan membuat karya sastra akan memiliki nilai seni. Nilai karya sastra bukan semata-mata disebabkan oleh gaya bahasa, bisa juga karena gaya cerita atau penyusunan alurnya. Namun, gaya bahasa sangat besar sumbangannya kepada pencapaian nilai seni karya sastra.Suatu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis adalah unsur retorika. Macam-macam unsur retorika meliputi; pemajasan, penyiasan, struktur, pencintaan dan kohesi. Namun untuk memberikan pemabahan secara mendalam dan spesifik akan menjabarkan terkait permajasan.

/2/ Pemajasan atau penggunaan gaya bahasa merupakan suatu teknik penungkapan bahasa yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah, tetapi menuju pada makna tersirat. Tujuan digunakan majas atau bahasa kiasan dalam satu karya sastra dimaksudkan untuk memperoleh efek keindahan, kepuitisan dan tujuan-tujuan lainnya sesuai dengan pengertian masing-masing majas tersebut. Adapun majas

Esai Stilistika 113 atau gaya bahasa yang digunakan oleh Habiburrahman El Shirazy dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra antara lain.

Gaya Bahasa Metafora (1) Sehingga diriku tak ubahnya patung batu (hlm. 8). (2) Jelaskan padaku apa yang harus aku lakukan untuk membuat rumah ini penuh bunga-bunga indah yang bermekaran? (hlm. 10). (3) Mona Zaki, aktris belia yang sedang naik daun itu? (hlm 13). (4) Kata terkenal dibandingkan menjadi naik daun. Dulu dia adalah bintang di kampus ini (hlm. 26). (5) Menurut cerita Pak Soerdarmaji, Zaenab memang tidak secantik bintang film tapi untuk ukuran di desanya bisa dikatakan kembang desa (hlm. 26).

Maksud kutipan data (1) Sebagai gadis paling cantik di desanya dibandingkan dengan kata kembang desa. Kutipan (2) Maksudnya si aku ingin membuat rumahnya wangi dan berwarna dan membuat bahagia seperti dipenuhi bunga-bunga indah yang bermekaran. Data (3) Karena begitu pandai dan terkenal dikampus maka di sebut dengan bintang di kampus. Maksudnya adalah aku yang hanya diam tak bisa berbuat apa- apa seperti patung batu. Data (4) Kata Naik Daun bermaksud menjadi terkenal, tersohor, dikalangan masyarakat. Sedangkan data (5) kembang desa memiliki arti seorang yang dianggap paling cantik di desa tempat tinggalnya.

Gaya Bahasa Simile Simile merupakan perbandingan yang bersifat eksplisit, maksudnya ialah bahwa ia langsung mengatakan sesuatu sama dengan hal lain (Keraf:138). Dalam hal ini bahasa yang membandingkan mengunakan kata-kata perbandingan, terlihat dalam kutipan berikut:

114 Esai Stilistika (1) Aku datang seumpam atawanan yang digiring ke tiang gantungan (hlm. 4). (2) Dalam balutan jilbab sutera putih wajah gadis Mesir itu bersinar-sinar, seperti permata Zabarjad yang bersih, indah berkilauan tertimpa sinar purnama (hlm. 3). (3) Meskipun Cuma mimpi itu sangat indah dan seperti dalam alam nyata (hlm. 15. (4) Kelembutannya seperti Dewi Sembodro tak juga membuatku jatuh cinta (hlm. 16). (5) Aku ingin mencintai isteriku seperti Ibnu Hazm mencintai isterinya. Dan aku ingin dicintai isteriku seperti Ibnu Hazm dicintai isterinya (hlm. 19). (6) Dan aku ingin dicintai isteriku seperti Ibnu Hazm dicintai isterinya. Dan jika ada sedikit letupan atau masalah antara kami berdua, maka rumah seperti neraka (hlm. 34). (7) Dan hati saya seperti ditusuk-tusuk dengan sembilu setiap kali mendengar si sulung mengigau meminta ibunya pulang tiap malam (hlm. 38).

Data 1, dalam kalimat di atas, kata “seumpama” menjelaskan makna bahwa kedatangan si aku yang diumpamakan seperti seorang tawanan yang digiring ke tiang gantungan yang berarti karena terpaksa si aku melakukan itu. Data 2, dalam hal ini diartikan wajah gadis Mesir yang berbalut jilbab dibandingkan secantik permata Zabarjad yang bersih, indah berkilauan tertimpa sinar. Data 3, maksudnya adalah mimpinya terasa seperti kenyataan, munkin karena saking indahnya mimpi si aku itu. Data 4 Dewi Sembodro adalah tokoh pewayangan yang sangat lembut, hal inilah yang membuat pengarang membandingkan kelembutan tokoh Raihanadengan Dewi sembodro. Data 5, Si aku membandingan ia dapat mencintai isterinya seperti Ibnu Hazm mencintai isterinya. Karena saking panasnya keadaan rumah jika terjadi masalah hingga dibandingkan seperti neraka.Kini saya merasa menjadi lelaki paling malang di dunia. Data 6, hati yang sakit di gambarkan denganseperti ditusuk-tusuk dengan sembilu.

Esai Stilistika 115 Gaya Bahasa Personifikasi Personifikasi Adalah semacam gaya bahasa kiasan yang meng- gambarkan banda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan (Keraf: 140). Mengambil gaya bahasa personifikasi yang digunakan pengarang yang digunakan untuk penjabaran. (1) Meskipun sesungguhnya dalam hatiku ada kecemasan- kecemasan yang mengintai (hlm. 3). (2) Saat Raihana tersenyum mengembang, hatiku merintih menangisi kebohongan dan kepura-puraanku (hlm. 5).

Data 1, mengambarkan kecemasan sebagai suasana hati atau perasaan seseorang yang digambarkan mamiliki sifat seperti manusia yang mengintai. Sedangkan data 2, frase “Hatiku merintih” merupakan bahasa kiasan dimana hati yang digambarkan bisa merintih seperti manusia.

Gaya Bahasa Metonimia Metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain karena memiliki pertalian yang sangat erat (Keraf:142). Gaya bahasa metanimia terlihat dalam kutipan berikut: (1) Aku ingin menjadi mentari pagi di hatinya, meskipun untuk itu aku harusmengorbankan diriku (hlm. 2). (2) Aku justru melihat jika ada delapan gadis Mesir m aka yang cantik ada enam belas karena bayangannya juga ikut cantik (hlm. 17).

Data 1, terjadi pertalian hubungan berupa sebab untuk akibat. Sedangkan, data 2 terjadi pertalian hubungan berupa akibat untuk sebab.

116 Esai Stilistika Gaya Bahasa Litotes Litotes Adalah gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan untuk merendahkan diri. Gaya bahasa ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut: (1) Gaji saya sebagai dosen hanya cukup untuk makan saja (hlm. 33).

Dalam hal ini terlihat segali, digambarkan dengan gaji seorang dosen yang hanya cukup untuk makan saja.

Gaya Bahasa Sinekdoke Gaya bahasa yang terdiri atas dua macam, yaitu sinekdokepars pro toto (mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan) dan sinekdoketotem proparte (mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian) (Keraf: 142). (1) Sinekdokepars pro toto; Wajah-wajah yang cukup manis tapi tidak semanis dan seindah gadis-gadis lembah sungai Nil (hlm. 12). (2) Anda sangat beruntung orang Indonesia (hlm. 14).

Data 1, menyatakan lembah sungai Nil mewakili untuk menyebutkan Mesir. sedangkam data ke 2 memiliki maksud penunjukan orang Indonesia yang luas sesungguhnya hanya ditujukan pada satu orang.

/3/ Karya sastra novel mempunyai nilai estetik yang tinggi yang dituangkan dalam tulisan yang mengandung gaya bahasa atau style. Dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy banyak dijumpai unsur-unsur style dalam penggunaan gaya bahasanya. Gaya bahasa yang digunakan pengarang antara lain; metafora, simile, personifikasi, sinekdoke, dan litotes. Penggunaan gaya bahasa yang paling dominan adalah gaya bahasa metafora, sedangkan

Esai Stilistika 117 yang sedikit dipakai adalahlitotes. Gaya bahasa yang dipakai dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman El Shirazy sangat seuai dalam perangkaiannya. Penggunaan kalimat serta klausa yang indah membuat novel ini indah untuk dibaca dan dipelajari secara kusus tentang nilai kesasteraannya.

***

118 Esai Stilistika MENAFSIRKAN GAYA BAHASA PARABEL PADA KUMPULAN CERPEN MELATI DI SAYAP-SAYAP JIBRIL KARYA DANARTO

Khusnul Alifah Mahasiswa PBSI 2013

tilistika, hakikatnya berbicara tentang keindahan pengucapan bahasa dalam karya sastra.1 Sementara karya sastra adalah karya Syang imajinatif dan bukan pula representatif dari kenyataan. Akan sia-sia bila mengharapkan dapat berjumpa dengan kehidupan sebagaimana disajikan dalam karya sastra. Apabila karya sastra bersifat imajinatif, maka dengan sendirinya karya sastra bersifat subjektif, baik subjektif dalam penciptaan maupun subjektif dalam pemahaman.2 Keserasian yang ada dalam karya sastra tidak secara otomatis berhubungan dengan keselarasan yang ada dalam masyarakat tempat sastra itu terlahir. Sastra dan manusia sangat erat kaitannya, karena pada dasarnya keberadaan sastra bermula dari permasalahan serta persoalan yang

1. Sutejo, Stilistika, Ponorogo: Spectrum, (2012), hal. 1 2. Lihat Jurnal Stilistika, hal. 1

Esai Stilistika 119 berada di dalam lingkungan kehidupan manusia. Adanya ide kreatif serta imajinatifnya dan lingkunagan sosial pengarang, memberikan pengaruh terhadap karya yang ditulis. Keterkaitan antara sastra dan kehidupan manusia yang demikian erat memberikan petunjuk bahwa karya sastra tidak diciptakan tanpa tujuan, artinya bahwa karya sastra tidak diciptakan kosong tanpa ada arti yang berada di dalamnya. Karya sastra berusaha memberikan sesuatu kepada pembaca, sebab bukan berarti karya sastra tidak mungkin memberikan gagasan yang dapat memberikan informasi, hiburan kepada manusia dengan kehidupannya. Jadi, karya sastra yang berasil tidak hanya ditentukan dari segi keestetikannya, tapi juga dilihat dari kemanfaatan karya tersebut bagi pembaca dan kehidupannya (Estain, 1987: 8) Sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan. Dalam sebuah teks sastra, dapat dijumpai dengan sederet arti yang dalam bahasa sehari-hari tidak dapat diungkapkan. Pandangan romantik tersebut masih dijumpai dalam sebuah ucapan Roland Barthes. Menurut dia, menafsirkan sebuah teks sastra tidak boleh menunjukkan satu arti saja, melainkan membedakan aneka kemungkinan (Luxemburg, 1981:6). Karya sastra memiliki keestetikan yang akan menghipnotis pembacanya. Karya sastra sendiri merupakan suatu karya yang menggambarkan kehidupan yang tidak selalu nyata atau yang disebut dengan fiksi. Di dalam karya sastra memiliki berbagai unsur yang dapat mebangun lahirnya karya sastra. Sementara karya sastra itu sendiri dapat dikaji dengan pendekatan stilistika yang di dalamnya terdapat gaya bahasa. Gaya bahasa itu sendiri terbagi atas beberapa bagian. Mengikuti apa yang dikemukakan oleh Altenbern sebagaimana dikutip Rachmad Djoko Pradopo gaya bahasa itu mencakup: (i) perbandingan,

120 Esai Stilistika (ii) metafora, (iii) perumpamaan epos, (iv) personifikasi, (v) metonimi, (vi) sinekdoce dan (vii) alegori3. Gaya bahasa sendiri tidak hanya digunakan sebagai kajian untuk novel, puisi, prosa dan lain sebagainya akan tetapi gaya bahasa di sini juga dapat digunakan untuk karya seni yang lain, seperti: (i) seni lukis, (ii) seni suara, (iii) seni patung, (iv) seni tari dan sebagainya. Bahkan gaya bahasa juga ada dalam kehidupan sehari-hari, baik lisan maupun tulisan. Tidak ada kehidupan tanpa gaya bahasa. Meskipun demikian, seperti di atas gaya bahasa berkaitan dengan penggunaan bahsa, khususnya dalam karya sastra4. Dengan demikian gaya bahasa dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan tidak hanya digunakan dalam karya sastra. Sehingga dapat dilakukan penelitian pada apapun dengan menggunakan konsep stilistika asal benar dan sesuai dengan kaidah yang telah ditentukan. Menurut Fowler (1987:237) sebagai kualitas ekspresi semua teks pada dasarya menampilkan gaya bahasa5. Tujuan utama gaya bahasa adalah menghadirkan aspek keindahan. Menurut Wellek dan Warren (Ibid: 225-226) kualitas estetis menjadi pokok permasalahan pada tataran bahasa kedua sebab dalam sastralah, melalui metode dan teknik diungkapkan secara rinci, ciri-ciri bahasa yang disebut indah, sebagai stilistika6. Dalam studi bahasa inilah, maka persoalan kajian stilistika tidak dilakukan dengan baik jika tanpa dasar linguistik yang kuat. Di sinilah, maka pemikiran akan perhatian utama pada pengkontrasan sistem bahasa karya sastra dengan penggunaan zamannya menjadi hal menarik untuk dikaji7.

3. Sutejo, Stilistika, Ponorogo: Spectrum, (2012), hal. 26 4. Nyoman Khuta Ratna, Stilistika, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, (2009), hal. 18 5. Nyoman Khuta Ratna, Stilistika, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, (2009), hal. 17 6. Nyoman Khuta Ratna, Stilistika, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, (2009), hal. 67 7. Sutejo, Stilistika, Ponorogo: Spectrum, (2012), hal. 15

Esai Stilistika 121 Dengan demikian, gaya bahasa merupakan suatu sarana pengucapan yang digunakan oleh penyair, cerpenis maupun novelis untuk mengestetikan suatu karya sastra yang mereka ciptakan. Suatu gaya bahasa memiliki beberapa bagian yang dapat digunakan untuk mengetahui karya sastra dalam ranah kiasan seperti alegori, metafora, hiperbola dan lain sebagainya. Karya sastra yang menarik dengan keestetikan bahasa yang digunakan dan juga sulit dipahami ini memiliki gaya bahasa yang sangatlah kuat sehingga membutuhkan penafsiran dalam mengetahui isi dan arti dari suatu karya sastra baik itu puisi, cerpen dan lain sebagainya. Setiap karya sastra memang tidak pernah lepas dari gaya bahasa. Dapat dikatakan bahwa gaya bahasa berkaitan erat dengan suatu karya sastra. Hal ini yang selalu penulis gunakan dalam mencapai suatu hasil karya sastra. Karya sastra yang berwujud novel hakikatnya merupakanya suatu karya yang di dalamnya berisi tentang cerita yang selalu berkaitan dengan cerita yang runtut hingga dapat dibaca berulang kali. Sementara cerpen merupakan karya sastra yang didalamnya terdiri dari 500-1000 kata, selesai dibaca sekali duduk. Paparan tersebut tidak lepas dari gaya bahasa yang dipilih oleh seorang pengarang, biasanya berbeda dengan pengarang-pengarang lainnya. Layaknya karya sastra yang diciptakan oleh Budi Darma akan berbeda dengan gaya bahasa yang dimiliki oleh Danarto8. Karya Danarto memiliki gaya bahasa metafora yang tidak lain dalam kumpulan cerpennya yang berjudul Setangkai Melati di Sayap-Sayap Jibril (selanjutnya disingkat SMDSJ). Aliran yang ada di dalamnya bercorak sufistik. Dalam pengantar SDMSJ Agus Noor berpendapat, bahwa Danarto berhasil meletakkan tradisi penulisan cerpen yang berakhir pada khasanah sufistik. Dalam kesusastraan Indonesia hal ini terasa

8. Sutejo, Stilistika, Ponorogo: Spectrum, (2012), hal. 9

122 Esai Stilistika signifikan, apabila menempatkannya pada kecendurungan umum realisme dan absurdisme yang berakar pada pada pertumbuhan kebudayaan Barat yang nyaris dijadikan acuan utama para sastrawan Indonesia. Dengan mengembangkan sufistik pada cerpen-cerpennya, Danarto meretaskan jalan bagi kemungkinan yang kreatif yang bisa dijelajahi kesusastraan Indonesia. Itu berarti, pengayaan di satu sisi, sekaligus membuka wilayah baru di luar jangkauan logika. Danarto adalah pengarang yang intensif memanfaatkan paham- paham sufistik sebagai jiwa di dalam cerpen-cerpennya. Hal yang menarik dari karya-karya Danarto ialah munculnya karya-karya yang mengungkapkan seluk beluk sufistik dalam mewujudkan parabel-parabel yang diambil dari berbagai pusat kebudayaan seperti kebudayaan Jawa, Eropa, Kristen, Bali dan lain sebagainya. Kadang- kadang juga ditransformasikan ke dalam bentuk keadaan sosial kontenporer Indonesia. Hal ini menjadi kelebihan dalam SMDSJ9. Cerpen-cerpen seperti dalam kumpulan cerpen SMDSJ banyak bercerita tentang proses penghayatan pengalaman mistis. Hal-hal aneh bersifat tidak nyata dan non real yang dieksplorasi dalam bentuk surealis atau bahkan absurd. Nuansa fantastik amat kental terhadap cerpen Surga dan Neraka. Dalam cerpen-cerpennya, yang dituangkan Danarto bukan semata- mata menceritakan kembali kenyataan-kenyataan inderawi yang me- nyergapnya, tetapi menjadi sebuah usaha untuk menstransendentasikan kenyataan-kenyataan inderawi itu menjadi pengalaman batin. Dengan memahami hal itu, menjadikan cerpen-cerpen karya Danarto men- jadi unik, sekaligus memukau. Dari cerita-cerita Danarto dapat digaris

9. Danarto, Setangakai Melati di Sayap-sayap Jibril, Yogyakarta: DIVA Press, (2016), hal. 5

Esai Stilistika 123 bawahi bila beliau membawa pembaca ke dunia sonya ruru, yang tidak real tapi juga tidak sepenuhnya abstrak10. Di sinilah “unikum” cerpen-cerpen Danarto bila dibandingkan dengan kebanyakan cerpen-cerpen yang ditulis cerpenis Indonesia yang juga mengesplorasi wilayah non real ssebagai suatu hal yang surealis, atau bahkan sesuatu yang absurd. Pada tingkatan inilah, cerpen Danarto, pada akhirnya tidak semata-mata sebagai “sastra fantasi”, karena kita juga tak bisa begitu saja mengabaikan unsur-unsur mistikisme dan sufisme yang membauri cerpen-cerpen Danarto11. Apa yang ditulis oleh Danarto, kian menegaskan keyakianan, betapa sastra ditulis memang untuk membuat manusia kian mengenali seluruh potensi kemanusiaannya. Bahkan sebagaimana kata Albert Camus, ia adalah sumbangan bagi berlangsungnya peradapan dimasa depan. Rasanya tak berlebih, semua itu disematkan pada kumpulan cerpen Danarto12. Dari pemaparan diatas gaya bahasa yang digunakan Danarto merupakan gaya bahasa parabel dimana di dalamnya memiliki pedoman hidup yang digambarkan di dalam ceritanya. Seperti yang terlihat dalam kumpulan cerpenya SMDSJ cerita yang berjudul O, Jiwa yang Edan. Dicerpennya tersebut terdapat pedoman hidup yang menunjukkan bahwa hidup itu perjuangan jangan menyerah untuk meraih sesuatu sebelum titik darah penghabisan atau dalam kematian pernyataan ini dapat dilihat pada paragraf pertama dari kalimat yang berbunyi. (1) “Langkahi dulu mayatku, untuk memberi kesaksian akan keyakinan yang harus diperjuangkan.” (SMDSJ, hal. 110).

10. Danarto, Setangakai Melati di Sayap-sayap Jibril, Yogyakarta: DIVA Press, (2016), hal. 7 11. Danarto, Setangakai Melati di Sayap-sayap Jibril, Yogyakarta: DIVA Press, (2016), hal. 9 12. Danarto, Setangakai Melati di Sayap-sayap Jibril, Yogyakarta: DIVA Press, (2016), hal. 10

124 Esai Stilistika Sementara pada paragraf selanjutnya yang mana menjelaskan bila hidup ini tidak harus mendengarkan tuduhan, omongan yang tidak bermanfaat jika hal tersebut hanya merugikan diri sendiri. Hal ini dapat dilihat dari kutipan dibawah ini. (2) “Atas tuduhan ini, keluarga Pandawa tidak menggubrisnya. Kemudian terbukti bahwa Pandawa tidak tahu menahu tentang munculnya medan perang tersebut.” (SMDSJ, hal. 111).

Pada dasarnya hidup ini merupakan suatu perjuangan yang nanti akan mendapatkan balasan di akhirat. Jika di dunia kita berbuat baik maka balasan yang akan kita dapat sesuai dengan perbuatan baik kita tersebut begitu selanjutnya hingga kematian tiba dan menuju pada akhirat. Dalam cerpen O, Jiwa yang Edan terdapat kalimat yang menyatakan pernyataan di atas sebagai berikut. (3) “Segala hal yang dapat menstransformasikan dirinya pada kehidupan di dunia ini maupun di akhirat.” (SMDSJ, hal. 112).

Kemudian hidup ini sudah ada yang mengatur dan yang menentukan jalan hidup kita hanya akan berjuang dan terus berjuang untuk menunjukkan yang terbaik. Kita hanya bisa berencana namun akhirnya hanya Tuhan yang menentukan segala sesuatu tersebut. Dan dimana Tuhanlah yang tahu diantara yang benar dan yang salah. Hal ini dapat dilihat dari kutipan di bawah ini. (4) “Ia menjawab bahwa kebenaran itu berada ditangan Sang Hyang Tunggal. Manusia hanya bisa merabanya namun tak tahu bentuknya.” (SMDSJ, hal. 112).

Dosa memang tak terlihat wujudnya namun setiap dosa bisa dilihat dari perbuatan dan tingkah laku pada diri manusia. Dan dosa itu dapat dilihat dari kebohongan yang akan merugikan diri sendiri. Akan tetapi dosa yang kita perbuat ini lebih banyak yang tidak kita sadari. Setiap

Esai Stilistika 125 orang lebih pandai membohongi dirinya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari perumpamaan yang tertera di bawah ini. (5) “kamu jangan mengarang, Anakku. Ketika kamu berburu bintang, apakah kamu mengalkulasi perbuatanmu yang kemudian melahirkan dosa ketika sejumlah bintang buruan berkaparan di kakimu?” “Tentu, Paduka” “Tidak mungkin lidah bertulang” (SMDSJ, hal. 117).

Ketika kita dicurangi dan dijatuhkan seharusnya kita dapat menjadi pribadi yang kuat, tegat, sabar dan tetap bertahan dalam cobaan yang kita hadapi. Dalam hidup ini membutuhkan kejujuran dan kedisiplinan agar memiliki jiwa yang taat kepada sesama. Agar orang lain tidak merasa dikecewakan. Seperti yang terdapat pada kutipan dibawah ini. (6) “Paduka curang!” teriak Srikandi dalam suara yang tertelan. “Eyang Bisma bukanlah senapati yang jujur. Tidak pula menjunjung disiplin” “Bahkan dalam luka-lukaku, aku tetap tegak untuk menghadapimu sepenuh had, Srikandi.” “Paduka sungguh mengecewakan Srikandi.” (SMDSJ, hal. 122)

Segala sesuatu yang ada dalam hidup ini tidak akan lepas dari percobaan dimana semua makhluk akan terus memperjuangkan hidup ini agar tetap bertahan. Mencoba terus walaupun kadang merasa terjatuh dan mengalami kesulitan. Jangan menyerah selagi kita masih bisa terus mencoba. Seperti dalam kutipan di bawah ini. (7) “Kalau begitu hamba sebaikanya berlepas tangan.” “Kamu tidak akan mampu berbuat seperti itu.” “Akan hamba coba.....” (SMDSJ, hal. 126).

Dari kutipan-kutipan cerpen di atas yang berjudul O, Jiwa yang Edan dapat disimpulkan bahwa Danarto menciptakan cerpen tersebut dengan

126 Esai Stilistika gaya bahasa parabel, yang di dalamnya memiliki pedoman hidup dengan perumpamaan-perumpamaan tertentu. Pesan yang terkandung dalam cerpen tersebut merupakan pedoman hidup sehingga dapat dijadikan acuan bahwa hidup itu tidak mudah. Semua membutuhkan proses untuk berjuang menghadapi segala cobaan. Ketika cobaan datang sebagai manusia haruslah sabar dalam menghadapinya bahwa setiap kejadian memiliki hikmah yang tiada diduga. Selanjutnya dalam cerpen SMDSJ juga memiliki gaya bahasa parabel yang memiliki beberapa perumpamaan yang akan menjadikan pedoman hidup. Gaya bahasa yang menarik meskipun dari kumpulan cerpen SMDSJ agak susah dipahami dan dimengerti maksudnya. Dengan demikian dalam cerpen SMDSJ ini memiliki beberapa perumpamaan sebagai pedoman hidup. Sebagaimana manusia yang tidak lepas dari kekurangan, maka ulamapun juga tidak harus tercipta sempurna karena sebagian ulama ada yang tidak menyukai suatu hal, namun dengan seiring berjalannya waktu akan merubah setiap keadaan yang ada dalam diri masing-masing orang. (8) “Kiai yang bersimpuh khusyuk itu terheran-heran menatap setangkai melati yang menggeletak di ujung sajadahnya. Ia tidak pernah menyukai kembang, manatap melati itu dengan takjub. (SMDSJ, hal. 127).”

Barang yang hilang akan tetap dicari oleh pemiliknya merupakan suatu kenyataan. Jika barang itu memang bukan hak kita maka seharusnya dikembalikan bukan untuk disembunyikan atau diakui milik sendiri. Hal ini menjadikan barang tersebut tidak berkah dan tidak barokah. Hanya akan merugikan diri sendiri dan orang lain akan merasa sedih atas hilangnya barang yang berharga tersebut. Hal ini dapat dilihat dari kutipan dibawah ini.

Esai Stilistika 127 (9) “Sewaktu Malaikat Jibril datang berkunjung menemui kiai itu, ditanyakan perihal setangkai melati yang barangkali kiai tahu, yang terlepas dari sayapnya.” (SMDSJ, hal. 129)

Ikhlas menerima dari apa yang telah terjadi merupakan sifat yang ada pada diri setiap manusia. Karena dengan ikhlas maka akan mempermudah segala urusan. Dengan ikhlas maka akan tergantikan lebih dari apa yang diikhlaskan. Kemungkinan besar yang didapatkan adalah hidayah ketika seseorang tidak menyukai sesuatu dengan munculnya kekaguman maka akan timbul rasa cinta itu. Seperti yang terjadi pada kutipan dibawah ini. (10) “Jibril lalu meminta untuk melupakannya. Malaikat itu lalu memungut sekuntum melati yang terselip di kusen pintu yang telah layu. Ia menyelipkan di bulu sayapnya, maka seketika melati itu menjadi segar kembali dan bercahaya. Bau harum pun lantas berkumandang memenuhi angkasa ketika Jibril pamit mengakhiri kunjungannya. Masya Allah, sejak sang Kiai terbuka hatinya untuk bisa mencintai kembang.” (SMDSJ, hal. 129).

Keindah dan gemerlap dunia akan menggelapkan sebagian orang meskipun mereka hapal ranah keagamaan yang kuat. Pasti, pernah terkecoh dengan keindahan dan tergoda kenikmatan dunia. Banyak yang mengalami seperti ini hingga mengakibatkan kedustaan yang berakhir pada dosa. Hal ini terdapat pada kutipan di bawah ini. (11) “Tidak,” jawaban ibunya berdusta ketika ditanyainya apakah melihat melati di sajadahnya. Tentu siapapun akan berdusta-pikir sang Nenek-bila ditanya tentang melati yang bercahaya itu. Begitu bagus, mungi, harum pekat (dan seperti barang yang pernah ada di dunia).” (SMDSJ, hal. 129)

Pada dasarnya manusia memiliki rahasia mengenai dirinya sendiri kemungkinan akan takut jika rahasianya terbongkar. Jika

128 Esai Stilistika kita mengetahui rahasia orang lain maka sembunyikanlah seperti menyembunyikan aib kita sendiri. Begitulah pedoman hidup yang harus dilakukan karena pada gaya bahasa parabel Danarto mengumpamakan kalimat seperti pada kutipan di bawah ini. (12) “Serta merta ia ingin mengantar sang ibunya untuk menemui anaknya. Sang Nenek menolak, takut rahasianya terbuka.” (SMDSJ, hal. 131).

Manusia memiliki beraneka sikap yang akan membuat dirinya menjadi terlihat antara murung, sedih, marah bahkan bahagia. Hal ini disebabkan karena manusia memiliki keegoisan sehingga sikap tersebut muncul dengan sendirinya. Berbagai keadaan yang menimpa seseorang akan menimbulkan sikap-sikap tersebut. Begitulah yang terdapat kutipan di bawah ini. (13) “Aneh sekali kiai melihat ibunya tampak murung. Apakah kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh.” (SMDSJ, hal. 133).

Dalam hidup ini tidak lepas dari sikap tolong menolong sehingga memudahkan setiap manusia untuk bersosialisasi dan saling menguntungkan satu sama lain. Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Itulah yang harusnya dilakukan agar memiliki tali silaturahmi kepada sesama. Dari kutipan di bawah inilah pemaparan tersebut. (14) “Supaya semuanya masuk akal Jibril memingsankan intel-intel itu, dan mengangkat kiai, nenek, cucu dan si kecil ke dalam bak truk yang sedang kencang melarikan puluhan ekor ayam kepada pemesan.” (SMDSJ, hal. 136).

Kesimpulan dari pedoman yang terdapat dalam cerpen SMDSJ ini yaitu manusia tidak lepas dari kekurangan, ketertarikan, kemunafikan, kesabaran, keikhlasan dan sikap yang tidak lepas dari ketergantungan.

Esai Stilistika 129 Karena dengan sikap-sikap seperti ini manusia akan mendapati jiwa yang sesungguhnya yang tak hanya mengedepankan egoisnya saja akan tetapi memiliki prikemanusiaan dan saling menguntungkan satu sama lain. Beda cerita beda pula pedoman yang ada di dalamnya. Gaya bahasa yang masih dalam ranah parabel namun juga memiliki pedoman hidup yang berbeda antara cerpen Tuhan yang Dijual dengan cerpen SMDSJ. Di dalam cerpen Tuhan yang Dijual memiliki gaya bahasa yang mana perumpamaan didalamnya diartikan ketika seseorang dalam tatapan kosong itu tidak berarti bahwa seseorang tersebut sedang dalam masa yang menyedihkan atau mungkin lebih kepada semangat yang berkobar. Dari sini dapat kita tarik suatu makna bahwa seseorang yang kita nilai luarnya tidak sesuai dengan isi hatinya. Paparan ini dapat kita jumpai pada kutipan di bawah. (15) “Setelah mengaduk-aduk sejumlah kota, akhirnya Ayah kami temukan juga. Duduk mencakung di bawah pohon trembesi di alun-alun Lamongan, Jawa Timur, Ayah tetap membersit- kan semangat yang menyala.” (SMDSJ, hal. 138).

Manusia memang tidak memiliki kepuasan selalu kurang dengan hal ini itu. Bahkan ada yang melakukan hal konyol seperti mencari dimana Tuhan sebenarnya. Jika sudah seperti ini bukankah manusia benar-benar tidak memiliki kepuasan. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini. (16) “Sudah lama Ayah mencari Tuhan. Beliau sudah tidak puas lagi dengan hanya shalat lima waktu. Ayah ikut tarekat ini dan itu. Tapi tidak puas juga.” (SMDSJ, hal. 139).

Berbagai macam cara untuk mendapatkan ridha Tuhan dan mendapatkan hidayahnya. Tidak hanya berhenti pada ibadah lima waktu saja namun dengan berbagai tindakan yang harus dilakukan. Hal

130 Esai Stilistika ini akan mendekatkan diri pada Tuhan. Paparan tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini. (17) “Di Banyumas itulah akhirnya Ayah merasa mendapatkan apa yang selama ini dicarinya: Tuhan. Beliau ikut sesuatu tarekat yang namanya “Tarekat Tanpa Nama” (SMDSJ, hal. 139).

Dari penafsiran cerpen Tuhan yang Dijual Danarto menyajiknnya dengan gaya bahasa parabel karena dalam memiliki perumpamaan yang berkaitan dengan pedoman hidup sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia tak akan pernah puas dengan apa yang telah dimilikinya, selalu terasa kurang jika memenuhi hawa nafsu yang dimilikinya. Jadi, seharusnya manusia mampu membatasi diri agar tidak terpaku pada hawa nafsu yang ada pada dirinya. Untuk selanjutnya penafsiran cerpen yang berjudul Surga dan Neraka, dimana gaya bahasanya sangat kental dengan perumpamaan yang akan menemukan pedoman hidup yang akan dibingkai dengan kalimat yang unik sehingga akan menjerumuskan pembaca yang memiliki niat yang keluar dari jalan benar. Seperti yang dikutip di bawah ini, bahwa manusia tidak dikatakan sehat apabila berada pada jalur yang benar. (18) “Ketika semua telah menjalani hukuman mati, tinggal seorang bendaharawan yang gigih mempertahankan diri. Ia yakin tidak bersalah. Bendaharawan itu, bahkan melontarkan pandangannya, bahwa korupsi adalah suatu penjelajahan naluri yang harus terus dikembangkan, jika orang ingin tetap disebut sehat. (SMDSJ, hal. 307).

Sebagai pihak yang berwenang dalam negara yang melindungi sumber keuangan akan lebih baik jika korupsi memang dijatuhkan hukuman mati. Sehingga pihak yang melakukan korupsi akan jera.

Esai Stilistika 131 Seharusnya negara ini memiliki ketegasan seperti yang ada dalam kutipan di bawah ini. (19) “Saya sudah mendengar semuanya tentang kamu.” “Yang Mulia.” “Tapi, saya kepingin ngobrol sebelum kamu menjalani hukuman matimu.” (SMDSJ, hal. 308).

Jika manusia sudah tidak dihadapi dengan manusia makan Tuhan- lah yang akan menghadapi setiap sikap yang pernah dilakukan. Tuhan berhak marah, karena Tuhan memiliki wewenang atas hidup ini. Dengan demikian jika manusia tidak dapat menghukum manusia maka yang akan menghukum manusia adalah Tuhan sendiri sebagai Penguasa alam dan seisinya. (20) “Bagaimana Tuhan bisa marah padaku.” “Bagaimana aku tidak marah? Kamu licik dan biadab!” “Seorang Tuhan tidak boleh marah, Yang Mulia.” “Tuan adalah tuhan penguasa negeri ini, lautnya, daratan dan angkasanya. Saya cuma hamba negeri ini. Kenapa tuhan mau berurusan dengan hamba yang hina-dina ini?” (SMDSJ, hal. 309).

Dari hidup ini dapat diambil kesimpulan bahwa setiap manusia memiliki perbedaan pendapat. Akan tetapi, pendapat tersebut yang akan menjadikan kita menuju kemajuan yang menuntun pada jalan kebenaran. Tidak semua orang dapat menerima perbedaan pada diri kita. Namun, dengan perbedaan yang ada akan dapat belajar dari kegagalan yang pernah kita alami. Jika menafsirkan antara surga dan neraka seharusnya lebih berhati-hati agar tidak salah kaprah. Hal ini dapat dilihat dari kutipan yang tertera dibawah ini. (21) “Jika yakin perasaanmu bisa salah, mengapa kamu mengatakan hal-hal kepada orang lain?” “Tidak menjadi soal mengatakan sesuatu pendapat kepada orang lain.”

132 Esai Stilistika “Itu menjadi persoalan jika mengenai surga-neraka.” “Kita sama-sama belum pernah menjenguknya kesana.”

Manusia yang selalu ada dalam jalan kebenaran maka akan dapat menyingkirkan api neraka yang saat itu berada di depanya. Semua membutuhkan usaha yang keras dalam meraih menuju kemenangan yang sesungguhnya. Dalam hidup ini yang dicari adalah ridho Tuhan yang nanti akan menepatkan kita pada tempat yang layak. Antara surga dan neraka. Dari analisis empat cerpen di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa cerpen yang diciptakan oleh Danarto memiliki gaya bahasa yang kuat dan tidak mudah untuk dipahami. Dengan gaya bahasa parabel dapat dilihat bahwa cerpen-cerpen Danarto memiliki perumpamaan yang di dalamnya mengandung pedoman-pedoman terkait dengan kehidupan yang selama ini manusia jalani. Oleh karena itu Danarto lebih mengabsurdkan cerita yang dibuatnya agar tidak tampak nyata jika dibaca.

***

Esai Stilistika 133 MEMBINGKAI GEMULAI PERMAINAN BUNYI DAN GAYA BAHASA DALAM PUISI AIR KARYA SITOK SRENGENGE

Komarudin Mahasiswa PBSI 2013

/1/ Manusia tidak terlepas dari peristiwa komunikasi. Dalam berkomunikasi manusia memerlukan sarana untuk mengungkapkan berbagai ide, gagasan, isi pikiran, maksud yang dituju, realitas dan sebagainya. Sarana yang paling utama dan sangat vital untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah bahasa. Fungsi bahasa yang paling utama adalah sebagai sarana berkomunikasi. Berkaitan dengan fungsi bahasa, telah banyak para ahli bahasa yang membahas dan menjabarkannya secara terperinci. MAK Halliday, misalnya, didalam bukunya yang berjudul Explorations in the functions of language (1976; dari 1973) pada abad 2, mengemukakan tujuh fungsi bahasa. (1) fungsi instrumental (the instrumental function), (2) fungsi regulasi (the regulatory funtion), (3) fungsi pemerian atau fungsi representasi (the representational function), (4) fungsi interaksi (the interactional function), (5) fungsi perorangan (the personal function), (6) fungsi heuristik (the heuristic function), (7) fungsi imajinatif

134 Esai Stilistika (the imaginative function). Dengan adanya fungsi dan wacana untuk berkomunikasi serta melakukan iteraksi sosial maka, dapat ditegaskan bahawa wacana baik wacana lisan ataupun tertulis mengemban fungsi tekstual. Dalam fungsi tekstual tersebut ide-ide, gagasan, dan isi pikiran diungkapkan. Melalui itu pula masyarakat umumnya (participation) berkesempatan menjalin komunikasi dan pergaulan baik melakukan interaksi sosial ataupun kerjasama. Berkaitan dengan fungsi bahasa yang dimaksud, seorang sastrawan pun mengguakan bahasa sebagai suatu sarana untuk mengkomunikasikan berbagai karya sastra yang telah dibuatnya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa sarana kebahasaan yang dipergunakan pengarang dalam pengucapanya tentulah berbeda-beda. Sastra merupakan karya seni tercipta dari pemikiran yang kreatif diambil dari kehidupan masyarakat. Seorang penulis sastra tidak hanya sekedar menuliskan pemikirannya melalui angan-angan belaka, menulis tidak hanya berangkat dari kekosongan. Dalam menciptakan sebuah karya sastra, penulis mampu mengaitkan unsur cerita dengan hal yang bermanfaat dalam kehidupan. Karya sastra juga merupakan suatu rekonstruksi (pengembalian seperti semula) dilihat dari sudut pandang tertentu yang kemudian dimunculkan dalam produksi fiksional. Sastra merupakan ekspresi pengarang yang bersifat estetis, imajinatif, dan integratif dengan menggunakan medium bahasa untuk menyampaikan amanat tertentu. Sebagaimana yang tersirat di atas, adapun karya sastra yang menyajikan dengan bahasa yang indah, kias, serta mengandung unsur simbolik yang di dalamnya memuat artian tertentu. Salah satu yang memiliki ciri seperti di atas adalah puisi. Beberapa ahli moderen memiliki pendekatan dengan mendefinisikan puisi tidak sebagai jenis literatur tapi sebagai perwujudan imajinasi manusia, yang menjadi sumber segala kreativitas. Selain itu puisi juga merupakan curahan isi

Esai Stilistika 135 hati seseorang penyair yang membawa ke dalam hati pembaca. Dengan kata lain melalui bahasa puisi dapat terhipnotis. Menurut Hudson puisi adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai medium penyamapaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi, seperti halnya lukisan yang menggunakan garis dan warna dalam menggambarkan gagasan pelukisnya (dalam Sutejo, 2014:22). Dengan demikian, sebenarnya, puisi merupakan ungkapan batin dan pikiran penyair dalam menciptakan sebuah dunia berdasarkan pengalaman batin yang digelutinya. Sedangkan menurut Herman J. Waluyo, puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengonsentrasian struktur fisik dan batinnya. Dalam kepenulisan karya sastra terutama pada puisi seorang penulis menggunakan kata-kata idiomatik atau menggunakan sebuah simbol baik berupa benda-benda mati maupun benda hidup. Misalkan batu, bunga, lautan, mendung ataupun yang hidup katakanlah seperti hewan bahkan dari sang penulis itu sendiri. Dalam memahami puisi biasanya berkaitan dengan (1) pencarian ide (ilham), (2) pemilihan tema, (3) pemilihan aliran, (4) penentuan jenis puisi, (5) pemilihan diksi (kata) yang padat dan khas, (6) pemilihan permainan bunyi, (7) pembuatan larik yang menarik, (8) pemilihan pengucapan, (9) pemanfaatan gaya bahasa, (10) pembaitan atau Subjek mater, (11) pemilihan tipografi, (12) pemuatan aspek psikologi (kejiwaan), (13) pemuatan aspek sosiologi (sosial masyarakat), (14) penentuan tone dan feeling dalam puisi, (15) pemuatan pesan (meaning), dan (16) pemilihan judul yang menarik (Sutejo, 2014:21). Puisi merupakan karya sastra yang segala unsur sastra mengental dalamnya. Puisi mengandung karya estetis yang bermakna, mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, merangsang panca indra dalam susunan yang berirama. Puisi

136 Esai Stilistika merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang diubah dalam wujud yang paling berkesan. Melalui puisi kita dapat merasakan tawa, tangis, senyum, berfikir, merenung, terharu bahkan emosi dan marah. Sampai saat ini, puisi selalu mengikat hati dan digemari oleh semua lapisan masyarakat.

/2/ Dalam kajian setilistika atas puisi Air karya Sitok Srengenge ini dianalisis secara mendalam dengan gaya bahasa parabel sebagaimana yang diungkapkan pada puisi. Parabel adalah suatu gaya bahasa perbandingan dengan mempergunakan perumpamaan dalam hidup. Gaya bahasa ini terkandung dalam seluruh isi karangan. Dengan tersimpul berupa pedoman hidup. Bahasa dengan keunikan pada bait-bait yang tersirat, padatnya gaya bahasa yang membingkai, sehingga menyuguhkan pencitraan yang sempurna dalam keseluruhan puisi. Penggunaan gaya bahasa ini memanglah langka dan khas. Letak keunikan tersebut terkandung dikeseluruhan puisi. Pada setiap bait dengan bait yang lain saling terkait kuat dimana sang penyair menggambarkan suatu realita kehidupan. Sebuah lukisan simbolis yang terdapat pada penggalan puisi ini di antaranya aku, luka, rusuk, sumsum, sakit, duka, perih, rasa, gairah, wujud, kau, peluh, bibir.//Rela aku mengalir dilekuk liku lukamu// merasuk ke sesela rusuk//merumrum sampai ke sumsum//mengusap sakitmu//membasuh debu dukamu//Rela aku menghulu hilir di parit perih perasaanmu//bertubi-tubi tiba di tubir tabumu//. Dalam segi bunyi baik konsonan dan vokal yang disusun dapat mengalirkan perasaan, imajiimaji dalam pikiran atau pengalaman- pengalaman jiwa pendengar atau pembaca. Seperti misalnya bila kita mendengar bunyi musik instrumentalia, bunyi yg merdu itu menimbulkan perasaan-perasaan, pikiran-pikiran dan gambaran angan; pendek kata menimbulkan pengalaman jiwa yang menggagumkan.

Esai Stilistika 137 Kombinasi bunyi yang merdu atau indah itu biasanya disebut efoni (euphony). Kombinasi bunyi merdu ini menggambarkan perasaan mesra, kasih, sayang atau cinta, serta hal-hal yang menggembirakan. //Kau tenang aku tertenung/Kau mengeram aku karam/Kau meresap aku lembab/Kau membeku aku rindu//, Dalam penggalan puisi ini perpaduan bunyi asonansi memperkaut perbandingan seorang penyair dengan obyek yang dilukiskannya. Pemerkuatan terletak pada kata kau dan aku dimana keduanya seolah-olah mempunyai karakter yang sangatlah berbeda. Ini dijadikannya sebagai penggambaran hidup dari seorang atau dari sesuatu yang dialaminaya. Kata kau menunjukkan obyek atau simbolis sebuah pengungkapan yang begitu mendalam. //Rela aku menjadi rinai gerimis yang menggeriapkkan gairahmu/ menjadi kabut yang mengubur seluruh kalut/mengabur segala wujud/ kecuali kau dan aku/Rela aku jadi peluh penat penantianmu/menjadi kantuk yang mengatupkan pelupukmu//, Tidak ubahnya penggalan puisi di atas, dimana permainan bunyi asonansi yang menjadikannya makna yang kuat serta perbandingan antara larik satu dengan yang lain sangat erat berkaitan. Hal inilah yang menjadikan perbandingan baik dari suku kata yang dipergunakan. Bukan hanya itu saja, gaya bahasa parabel yang terkandung didalamnya mempunyai makna dimana sang penyair melukiskan suatu pengorbanan yang tiada tara dalam setiap pengorbanan. Rela aku menjadi rinai gerimis yang menggeriapkkan gairahmu ini misalnya. Penggunaan gaya bahasa ini menunjukkan suatu pedoman hidup sang penyair atas kerelaan seperti halnya air yang rela untuk menjadi hujan walaupun hanya gerimis yang dapat mengembalikan suatu gairah hidup makhluk dialam semesta ini. Adapun penggunaan majas personifikasi yang dipergunakan sang penyair juga ditunjukkan dengan tujuan agar sang pembaca sama- sama bisa merasakan bagaimana kepedihan, keterpurukan, dengan adanya suatu rasa saling membutuhkan didalamnya. Sang penyair

138 Esai Stilistika mengungkapkan dengan begitu mendalam serta mempunyai energi yang kuat. Tidak hanya sampai disitu didalamnya juga mengandung unsur-unsur kepenarikan perasaan kepada pembaca. Kemudian diikuti larik berikutnya/Rela aku jadi peluh penat penantianmu,/menjadi kantuk yang mengatupkan pelupukmu yang menggambarkan kerelaan pada suatu objek yang menjadikan dirinya lebih masuk kedalam objek yang dikiaskan, menjadikan sebuah ungkapan perasaan. //Kau berdebur aku berdebar/Kau menggelombang aku limbung/ Kau mengalun aku terayun/Kau menguap aku berharap//. Kutipan tersebut menyiratkan suasana ketidakpastian atau kebimbangan. Disatu sisi sang penyair menggambarkan suatu pengharapan yang begitu mendalam. Bisa kita lihat dari penggalan puisi diatas pada larik terakhir Kau menguap aku berharap. Penggambaran ini ditunjukan kepada Kau yang beratikan objek. Objek disini adalah air. Berbeda dengan bait selanjutnya dimana ini kali sang penyai tidak lagi membahas atau menggambarkan tentang alam. Akan tetapi berubah dengan penggambaran manusia. //Rela aku menjadi bayang-bayang dibalik bilik benakmu//yang kau lafalkan dengan getar getir bibir dalam tidurmu//Dan ketika kau terjaga//aku rela jadi deret aksara yang jika kau baca akan membawamu tamasya ke tempat tarikh tak terduga//Kau mencurah aku basah/ Kau mericik aku tergelitik/Kau mengarus aku tergerus/Kau tiada aku dahaga//. Penyair menggunakan bahasa yang bersusun-susunatau berpigura sehingga disebut bahasa figuratif. Figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. figuratif ialah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara langsung tidak mengungkapkan makna. Kata atau bahasanya bermakna kias atau makna lambang.

Esai Stilistika 139 Setiap gambaran pikiran disebut citra atau imaji (image). Gambaran pikiran itu adalah efek dalam pikiran yang sangat menyerupai (lukisan) yang dihasilkan oleh penangkapan pembaca terhadap suatu objek yang dapat dilihat oleh mata, saraf penglihatan dan daerah-daerah otak yang berhubungan. Citraan atau imaji dalam karya sastra berperan penting untuk menimbulkan pembayangan imajinatif, membentuk gambaran mental, dan dapat membangkitkan pengalaman tertentu pada pembaca. Dalam puisi Air penyair memanfaatkan citraan untuk menghidupkan imajinasi pembaca melalui ungkapan secara tidak langsung. Tidak hanya itu parabel-parabel yang diungkapkan sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya, menjadikan penguat dalam setiap larik dan baris yang tersirat dalam puisi. Dalam pesan pun, disemua teks telah didapati ikonitas, khususnya dalam teks-teks di luar situasi yang dialami. Hal ini dapat dijelaskan bahwa dalam situasi komunitas di mana pengirim dan penerima sama- sama hadirkan. Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal (sebabakibat) antara penanda dan petandanya, misalnya rusuk menandai salah satu organ tubuh manusia, alat penanda rinai hujan menunjukkan air. Dalam sastra gambaran suasana biasanya merupakan indeks bahwa tokoh sedang bersusah hati, kerinduan, bimbang, serta harapan. Tidak lepas pula dari makna denotatif dimana makna yang disampaikan penyair berbentuk antara tanda dan objek yang diacunya, seperti benda, tindakan peristiwa, perasaan, dansebagainya. Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya hubungan bersifat arbitrer. Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi. “air” adalah simbol, yang dinyatakan dengan kata kau.

140 Esai Stilistika /3/ Dengan demikian, gaya bahasa dan bunyi dalam setiap bait puisi yang digunakan Sitok Srengenge untuk memberikan gambaran (citra) lebih spesifik dan menjadikan kemudahan penggambaran terhadap pembaca. Dalam arti membantu mempermudahkan pembaca untuk memancing pengimajinasian setiap pembaca dalam memahami dari sertiap bait puisi. Ketajaman bahasa dan bunyi ini di susun secara rapi serta runtut baik dari kata-kata yang dipilih maupun permainan bunyi yang selaras.

***

Esai Stilistika 141 MEMANDANG JAKARTA LEWAT VISUAL IMAGERY PADA KUMPULAN PUISI DARI NEGERI DAUN GUGUR KARYA AHMADUN YOSI HERFANDA

Laili Nuryana Mahasisawi PBSI 2013

/1/ Puisi secara umum diketahui sebagai barisan kata-kata yang indah sebagai hasil imajinasi, pikiran maupun perasaan penyair. Namun, membaca puisi bukan hanya membaca deretan kata-kata indah dan berima merdu. Lebih dari itu, membaca puisi seseorang akan melukis. Melukiskan dalam imajinasi kata-kata indah yang dilarikkan dalam puisi. Bahkan, seseorang yang membaca puisi juga akan mampu melihat, mendengar, merasakan manis-pahit rasa, meraba kasar-halus sentuhan, merasa geliat gerak, dan mampu mencium aroma puisi. Lalu mengapa seseorang mampu merasakan hal-hal yang dihadirkan dalam puisi? Hal itu, karena puisi menyajikan citraan-citraan yang membuat pembaca mengimajinasikan hal yang disampaikan dalam puisi dan juga pembaca sepenuh hati mengaktifkan segala inderanya untuk ikut serta membaca puisi. Dengan adanya citraan pembaca

142 Esai Stilistika seolah-olah dapat tergugah tanggapan inderanya. Dalam citraan akan menimbulkan suatu kesan dan pikiran yang dimunculkan dari kata, kelompok kata, atau kalimat di dalam puisi. Hakikatnya puisi merupakan suatu karya sastra hasil pemikiran, perasaan, maupun imajinasi penyair yang dituliskan dengan memperhatikan unsur-unsurnya sehingga indah dan bermakna. Seperti halnya hakikat puisi yang disampaikan Herman J. Waluyo dalam Sutejo (2014: 22) adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan struktur fisik dan struktur batinnya. Dari pengertian tersebut tampak bahwa puisi sangat terikat berdasarkan susunan pembentuknya, didukung dengan pemikiran, dan perasaan untuk dapat menciptakan sesuatu yang indah. Sedangkan citraan (imagery) sebagai unsur penting dalam puisi merupakan gambaran yang dibangkitkan lewat sebuah kata sehingga pembaca dengan mudah dapat mengimajinasikannya. Menurut Sayuti, (2002:170) menyatakan bahwa citraan adalah kesan yang terbentuk dalam rongga imajinasi melalui sebuah kata atau rangkaian kata, yang seringkali merupakan gambaran dalam angan-angan. Citraan memiliki dua segi yakni secara reseptif (dari sisi pembaca) dan secara ekspresif (dari sisi penyair). Kedua, segi tersebut sangat berkaitan dengan proses pemahaman. Dalam sifatnya yang reseptif, citraan dalam puisi merupakan unsur yang sangat penting. Pembaca seakan dipertemukan dengan sesuatu yang tampak nyata dan dapat membantu penafsiran atau penghayatan puisi secara menyeluruh. Sedangkan, dalam sifatnya yang ekspresif, citraan dalam puisi merupakan proses kreatif yang berfungsi untuk membangun keutuhan puisi karena melalui pengalaman keindraan penyair mengkomunikasikan hal tersebut kepada pembaca. Melalui citraan kita sebagai pembaca dapat memperoleh gambaran yang jelas mengenai pikiran dan perasaan yang diungkapkan oleh sang penyair.

Esai Stilistika 143 Terdapat beberapa jenis citraan, seperti yang diungkapkan Pradopo dalam Sutejo (2012: 18) jenis citraan yaitu (i) citra penglihatan (visual imagery), (ii) citra pendengaran (audio imagery), (iii) citra penciuman, (iv) citra pencecapan, (v) citra gerak (movement imagery), dan (vi) citra kekotaan dan kehidupan modern. Citraan penglihatan (visual imagery) adalah citraan yang memberi rangsangan kepada indera penglihatan, hingga sering hal-hal yang tak terlihat jadi seolah-olah terlihat. Maka, dapat dipahami bahwa adanya kekuatan citraan dalam puisi akan mempermudah seseorang untuk melukiskan kata-kata yang dilarikkan dalam puisi dan dapat memahaminya dengan tepat. Dalam kajian ini akan dibahas tentang citraan penglihatan (visual imagery) pada beberapa puisi dalam kumpulan puisi Dari Negeri Daun Gugur (DNDG) karya Ahmadun Yosi Herfanda. Puisi-puisi dalam buku ini memiliki tema yang berbeda-beda, diantaranya tema perjuangan, percintaan, religius, alam kota metropolitan, tanah air Indonesia dan sebagainya. Dari 69 judul puisi terdapat 8 puisi yang memiliki objek pembahasan yang sama yakni membicarakan kota Jakarta. Puisi-puisi ini menarik untuk dibahas karena visual imagery yang dilukiskan mampu membuat pembaca memandang kota Jakarta lewat deretan kata-kata yang terbingkai dalam bait-bait puisi.

/2/ Belajar Memahami Citraan dalam Puisi Dalam kajian kumpulan puisi Dari Negeri Daun Gugur karya Ahmadun Yosi Herfanda akan dianalisis secara mendalam citraan penglihatan. Puisi-puisi yang dibahas adalah puisi yang bertemakan Jakarta. Delapan puisi yang akan dibahas telah memotret Jakarta dari berbagai sisi sehingga menghasilkan gambar yang berbeda-beda. Pembaca seakan diajak untuk memandang Jakarta lewat visual imagery dari deretan kata-kata dalam puisi.

144 Esai Stilistika Jakarta dan Sampah Animo puisi Ingin Kulipat Ciliwung membaca penulis untuk menemukan alir makna dalam sekte suasana yang konkrit. Dilihat judul puisinya, pembaca akan langsung membawa imajinasinya pada sebuah sungai di kota Jakarta,//Ingin kulipat ciliwung/Dari hulu hingga hilir/ Memindah banjirnya ke dalam sajak/membingkai sampahnya/ke dalam kata-kata bijak karmina//. Kutipan bait puisi tersebut merupakan bait pertama. Larik “dari hulu hingga hilir dan membingkai sampahnya” merupakan citraan visual yang membuat mata pembaca seakan melihat sampah-sampah yang ada di hulu hingga hilir sungai yang menjadi penyebab banjir kota Jakarta. Sungai Ciliwung berhulu di Gunung Pangrango, Ciawi, Jawa Barat dan mengalir memelok ke arah utara melalui Bogor dan akhirnya bermuara di Teluk Jakarta. Betapa panjang aliran sungai ini yang lurus seperti garis mistar lalu membelok di kawasan Hayam Wuruk kemudian menumpahkan airnya di Sungai Tangsi di sisi Jalan Labu (jakartapedia. bpadjakarta.net//index.php). Tak berhenti di situ, bait selanjutnya larik-larik menyebutkan gambaran sungai Ciliwung yang kotor, kumuh dan airnya yang berwarna coklat.//Memindahkan kaum miskin/dari bantaran kumuhnya/Biarlah air ciliwung coklat warnanya/Asal tak mengapungkan sampah ke muara/ Sebab di sana terapung sajak-sajakku/Dalam perahu-perahu kayu cinta// (Ahmadun, 2015: 31). Visual imagery pada bait ini menggambarkan air sungai Ciliwung yang berwarna kecoklatan membawa sampah- sampahnya ke muara. Kekumuhan sungai ini akan membuat bergidik orang yang melihatnya. Namun, diksi “Biarlah” yang dituliskan penyair seakan mengungkapkan kepasrahan atas kekumuhan dan kesemrawutan yang telah menghiasi sungai Ciliwung. Ia membiarkan hal itu karena terdapat orang-orang yang menggantungkan hidup atas

Esai Stilistika 145 sampah-sampah itu. Orang-orang pnggiran sungai yang hanya mampu mengais sampah untuk bertahan hidup. Gambaran sungai Ciliwung yang kumuh, penuh dengan sampah dan air kecoklatannya serta orang-orang yang bertahan hidup di bantaran sungai inilah yang ingin ditunjukkan penyair kepada semua orang terutama kepada pemerintah, seperti yang tertulis pada larik// Ingin kulipat ciliwung/dari hulu hingga hilir/dan kubingkai jadi hiasan dinding/ruang tamu balaikota//(Ahmadun, 2015: 31). Masih tentang kesemrawutan kota Jakarta, pada puisi Catatan Buram Awal Tahun memotret keadaan ibu kota setelah perayaan tahun baru. Kota yang selalu menjadi ikon ketika tahun baru ini justru mengawali tahun dengan menebar sampah dimana-mana.//kelingking jam telah menunjuk angka sembilan/tapi cuaca masih remang oleh asap dan sisa hujan/“Ini tahun baru. Bersemangatlah!” pekiknya/ pada seorang bocah yang terkantuk-kantuk/di sofa di luar terompet bergeletakan di jalan-jalan/di antara serpihan kembang api dan petasan//(Ahmadun, 2015: 44) Berdasarkan citraan penglihatan pada bait puisi diatas, membuat pembaca seakan melihat suasana pagi kota Jakarta setelah perayaan tahun baru. Banyak orang yang tidak bersemangat di pagi hari karena semalam suntuk begadang menyambut tahun baru. Di jalan-jalan tergeletak terompet-terompet bekas euforia tahun baru yang dibuang sekenanya. Terompet merupakan barang wajib saat newyear party sehingga tak terhitung banyaknya sampah terompet yang mengotori jalan. Tak berhenti disitu euforia tahun baru juga menyisakan kertas- kertas bekas petasan dan serpihan kembang api. Itulah gambaran kota Jakarta saat tahun baru. Banyak sekali sampah yang menghiasi setiap sudut kota. Hingga pada akhir puisi ini penyair mengisahkan bahwa bumi yang telah renta usianya meratapi hati tuanya di balik tirai jendela dan menyesalkan suatu. Penyesalan itu digambarkan dengan majas personifikasi yang menyebutkan bahwa

146 Esai Stilistika bumi menangis tersedu karena di akhir usianya, tubuhnya malah dipenuhi dengan sampah//moyang matahari melepas lagi sehelai bulu dadanya/kakek bumi yang renta hanya tersedu di balik tirai/jendela: menyesali sisa usia yang tinggal sedepa//, (Ahmadun, 2015: 44).

Kota Metropolitan Jakarta sebagai ibu kota negara secara otomatis menjadi pusat pergerakan segala bidang kenegaraan, baik itu politik, hukum, ekonomi, budaya, pendidikan, sosial hingga industri. Pemusatan yang semacam ini dapat berdampak buruk bagi kota Jakarta sendiri karena akan terjadi kepadatan penduduk, polusi akibat industri maupun silang budaya yang tidak jelas. Atas dasar tersbut kota Jakarta sah disebut sebagai kota metropolitan, yakni kota yang memiliki populasi yang besar yang menjadi pusat perhatian (https://id.m.wikipedia.org/wiki/ metropolitan//) Suasana kota metropolitan ini tergambar dalam puisi Fragmen Perjamuan. Puisi ini berisi tentang berbagai sajian yang akan dijamukan dihidangkan pada tamu kota Jakarta. Pada bait pertama, pembaca disuguhkan dengan larik-larik puisi yang penuh dengan citraan penciuman kalau kau mau, teguklah/ini minuman metropolitan/ada rasa comberan, amis darah/kasus penusukan, pedih air mata/korban penggusuran, atau anyir/keringat buruh yang bercucuran/di bilik- bilik pengap penindasan//. Aroma busuk comberan, amis darah dan keringat buruh tersaji lengkap di kota metropolitan. Bagaimana tidak?, Karena memang di kota Jakarta banyak sekali got-got penuh comberan yang mampet hingga menimbulkan bau yang tidak sedap. Kemudian, kejahatan yang berakibat hilangnya nyawa juga sering terjadi. Selain itu kota yang padat penduduk yang terdiri dari berbagai profesi ini terdapat banyak buruh dimana-mana yang aroma keringatnya terbang dibawa angin. Itulah aroma kota metropolitan yang sesak dan bau.

Esai Stilistika 147 tak perlu ragu untuk memilih hidangan: soto ban bekas dengan kuah banjir ciliwung gado-gado knalpot panggang bus kota, sop tulang rakyat kalau kau mau yang lebih besar jutaan rumah rakyat dapat digusur seperti pion-pion dalam catur tinggal kau telan tanahnya seperti menelan irisan semangka (Ahmadun, 2015: 56)

Pada bait di atas disajikan diksi-diksi konotatif diantaranya soto ban bekas, kuah banjir ciliwung, gado-gado knalpot, panggang bus kota, sop tulang rakyat. Diksi-diksi tersebut juga sebagai citraan penglihatan yang memunculkan gambaran kota Jakarta yang penuh ban bekas di kanan kiri jalannya, juga pemandangan kali Ciliwung yang meluap, serta asap knalpot yang membumbung pun dengan orang-orang miskin yang bekerja banting tulang. Gambaran buruk tentang Jakarta semakin diperkuat dengan diksi yang lugas pada bait berikutnya. jangan terkejut, bung!/ini perjamuan ala metropolitan/perkosaan, korupsi dan manipulasi/ Puisi di atas, diakhiri dengan pernyataan penyair bahwa kota yang disebutkan itu adalah kota Jakarta yang hingar bingar dan penuh kejahatan bukan lagi kota Betawi yang aman dan tenteram. ini Jakarta, bung, bukan lagi/betawi mereka bilang: ketimbang jadi tikus berdasi/ lebih enak jadi buaya bertopeng manusia!// Kemetropolitan Jakarta yang demikian dengan segala hingar bingar dang kerusuhannya tidak serta merta membuat semua orang benci. Ada sebagian yang merasa bahagia atas segala kesibukan Jakarta, seperti yang ditulis Ahmadun pada puisi Jakarta, Kota yang Membuatku Bahagia.

148 Esai Stilistika Jakarta, kota yang selalu membuatku bahagia Lampu-lampu warna di malam tiba celoteh anak sekolah di halte trans jakarta bau keringat tukang sayur di KRL pertama dan siulan kernet-kernet angkutan kota selalu membiusku untuk tertawa pada dunia dan kemacetan di jalan-jalan raya ya, kemacetan yang makin gila itu membuatku selalu rindu kembali dalam pelukannya (Ahmadun, 2015: 32)

Gambaran kota Jakarta dengan visual imagery saat malam dengan lampu-lampu warna yang menyala dan kesesakan kotanya dengan kemacetan di jalan raya. Gambaran ini semakin menarik karena dibarengi dengan audio imagery yang memperdengarkan suara celoteh anak di halte bis juga suara siulan kernet-kernet angkutan kota. Tak hanya itu, penyair juga menghadirkan citraan penciuman untuk memperkuat aroma Jakarta dengan bau keringat tukang sayur. Di Jakarta tersedia racun dan gula yang nyaris sama rasa dan aromanya Di Jakarta tersedia sorga dan neraka yang tumpang-tindih batas wilayahnya Di Jakarta juga hidup setan dan dewa yang sulit dibedakan raut wajahnya

Jakarta, kota yang selalu membuatku bahagia dalam nikmat sekaligus rasa sakit kutukannya (kutahu, kaupun betah tinggal di sana lupa pulang kampung dan lupa silsilah keluarga) (Ahmadun, 2015: 32)

Esai Stilistika 149 Walaupun begitu wajah Jakarta, bagi para penduduknya hal itulah yang membuat rindu pada kota sesak itu. Rasa bahagia itu tampak dari asonansi i-u-a yang mengorkestrasikan bunyi yang indah. Sedangkan, di bait terakhir menyebutkan bahwa Jakarta membuat warganya bahagia pun juga merasa sakit dengan kutukannya, karena jika sudah betah di Jakarta maka kan lupa dengan kampung halamannya. Sehingga, segala kebahagiaan di Jakarta selalu ada konsekuensinya.

Jakarta dan Politik Jakarta yang merupakan ibu kota negara maka juga menjadi poros kegiatan politik. Para pelaku pemerintahan akan melakukan segala siasatnya untuk memainkan peran politik yang diinginkan. Puisi Sajak Bulan-Bulanan menceritakan tentang para pemerintah yang bermain- main politik. Di atas Monas bulan mengintip Nonton pejabat baca puisi Di seberang Monas Orang-orang besar bermain bulan Menendang ke kanan Menendang ke kiri (Ahmadun, 2015: 57).

Diksi Monas telah membangun persepsi pembaca pada kota Jakarta, karena Monas merupakan monumen sejarah Indonesia yang letaknya di kota Jakarta. Kemudian, ditampakkan para pejabat membaca puisi di waktu malam (ditunjukkan dengan diksi bulan mengintip) sedangkan di seberang Monas orangorang besar bermain bulan. Jika, melihat bait selanjutnya bulan yang dimainkan itu adalah bulan Agustus. Bulan Agustus bulan upacara/Saatnya bangsa mengenang pahlawannya/Bulan Agustus bulan devaluasi/Bulan taipan melarikan modalnya/Ke luar negeri, agar menjadi pahlawan/Bagi duitnya sendiri//. Bulan Agustus adalah bulan perayaaan kemerdekan, juga sebagai bulan

150 Esai Stilistika untuk menghormasti jasa paara pahlawan. di atas Monas tersenyum bulan/nonton pejabat baca sajak perjuangan. Hal ini terasa kontras jika disandingkan dengan keaadaan keuangan padaa bulan itu. Saat bulan Agustus nilai mata uang negara menurun terhadap mata uang luar negeri. Oleh karenanya, para pejabat pemerintah yang berduit segera melarikan modalnya ke luar negeri. Alih-alih membaca puisi di depan Monas hanyalah ceremonial seperti upacara bendera saat perayaan tujuhbelas Agustus. Hal yang demikian akan menguntungkan kaum-kaum berduit itu. Namun, devaluasi ini akan berimbas padaa kenaikan harga dan tentu saja rakyat-rakyat kecil yang akan merasakan susahnya. jika makin banyak orang besar menendang bulan/makin banyak pula orang kecil/ menjadi bulan-bulanan//

Romantisme Jakarta Di balik kemetropolitan Jakarta, segala polemik politik yang melingkupinya sekalipun masalah sampahnya yang tak kunjung usai, Jakarta merupakan kota yang romantis dan indah. Terdapat sudut kota Jakarta yang dibingkai penyair menjadi lukisan pemandangan kota yang dengan lewat puisi Sore di Taman Surapati. Taman Surapati yang terletak di Menteng, Jakarta pusat dihadirkan dengan indah dalam puisi ini. Audio imagery yang membuka puisi ini seakan menjadi orkestrasi alam yang terdengar ketika puisi ini dibaca. Ada suara clarinet/meningkahi angin sore/dan sesekali derum knalpot/ mengusik komposisi//seorang remaja menyanyi/lagu padamu negeri diantar/suara biola dan cericit burung gereja di pohon maoni. Asonansi a-i pada diksi-diksi larik tersebut menjadi rangkaian bunyi yang syahdu seakan pembaca berada di tengah-tengah taman. ada bocah berlari-lari terjatuh dan bangkit lagi ada remaja bermain sepeda

Esai Stilistika 151 keliling taman sesuka hati ada sepasang anak muda bergandeng tangan menjalin harapan bagai sulur-sulur batang sirih di pohon berkelindan tak terpisahkan (Ahmadun, 2015: 43)

Bait di atas penuh dengan citraan penglihatan yang membuat pembaca seakan memandang taman yang ramai dengan bocah yang berlari-lari, jatuh dan bangkit lagi, juga remaja yang bermain sepeda dan pasangan yang bergandeng tangan. Penggambaran taman yang sempurna tersebut didukung dengan asonansi a-i pada diksi lari, bangkit lagi, bermain, hati, menjalin menimbulkan kesan riang dalam peristiwa yang ada pada puisi. Pembahasan keindahan kota Jakarta masih berlanjut pada puisi Memindah Langit: kota tua, jakarta. Pada puisi ini keindahan kota Jakarta digambarkan pada malam hari di kawasan kota tua. Kawasan kota yang penuh dengan cerita sejarah ini berada di Jakarta Barat. Seperti seorang photografer profesional, Ahmadun mengambil anggle yang tepat untuk memotret Kota Tua Jakarta sehingga, menghasilkan gambar yang tak hanya indah tapi juga menakjubkan. Berikut hasil jepretan Ahmadun yang dilarikkan dalam barisan kata-kata yang mengandung citraan penglihatan. di kota tua bintang-bintang tak lagi bertabur di langit tapi di bumi, dan mendung yang menjatuhkan gerimis tak mampu lagi menghalangi cahaya redupnya yang berbinar sampai dini

pohon berdekapan dengan angin, tiang listrik bercumbu dengan lampu, dan tembok-tembok tua terkenang kembali masa lalu yang bahagia. pedang gelatin yang menancap di punggung museum pun tak bisa melukai doa putihnya

152 Esai Stilistika dari arah cahaya ke kegelapan, prajurit masa lalu berjajar dengan mulut penuh luka sejarah yang tak dapat lagi diucapkannya. maka, di kota tua langit berpindah ke bumi, dan di atasnya tertuang semua rahasia: tentang kesetiaan dan cinta khianat dan pura-pura darah dan derita bangsa

di kota tua bintang-bintang tak lagi bertabur di langit tapi di taman hati yang sunyi Jakarta, 2011 (Ahmadun, 2015: 74)

Dari puisi dia atas digambarkan suasana kota tua saat malam hari. Bintang-bintang tak lagi bertabur di langit namun sinarnya tetap menerangi bumi. Walau awan mendung cahaya bintang tetap bersinar di kawasan kota tua. Kemudian, pohon-pohon bergerak disentuh angin dan d pinggir jalan menyala lampu-lampu untuk penerangan. Melompat pada masa silam kota tua ini digunakan sebagai tempat berkumpulnya para prajurit. Kota Tua menjadi saksi tentang luka sejarah, kesetiaan rakyat dan penderitaan rakyat juga sebagai saksi rakyat-rakyat yang berkhianat atas negerinya. Pada akhirnya bangsa ini merdeka dan kemerdekaan yang sesungguhnya terdapat dalam hati. Romantisme Jakarta yang semacam inilah yang membuat Ahmadun menulis Sajak Cinta untuk Jakarta. Puisi ini berisi sebuah pesan cinta untuk seluruh warga Jakarta yang setiap hari sibuk bekerja untuk tetap saling menjaga rasa bersaudara. di jantungmu, Jakarta, aku menebar rasa bersaudara dari senja temaram dan malam yang benderang lelampu kota hingga hari kembali mekar dalam gairah kerja tiap warga

kuterbangkan kata-kata cinta dengan seribu sayap pekerja melayang-layang ia bersama asap knalpot, debu, dan rinai hujan

Esai Stilistika 153 mengusap tubuh-tubuh lelah yang terjepit dalam penuh sesak gerbong-gerbong krl dan bus-bus kota lalu lenyap di balik gedung-gedung berkaca (Ahmadun, 2015: 33)

Visual imagery yang dihadirkan dalam puisi di atas hampir sama dengan yang di tampilkan pada puisi-puisi sebelumnya yakni Jakarta, Kota yang Membuatku Bahagia, Fragmen Perjamuan, dan Sore di Taman Surapati. Jakarta ditampilkan sebagai kota yang sesak, penuh deru knalpot, debu dan orang-orang yang berdesakan di gerbong KRL. Di suasana yang demikian, penyair menitipkan pesan rasa bersaudara kepada warganya yang ketika matahari mulai bersinar sudah sibuk bekerja hingga senja tiba.

/3/ Wasana Akhir Jakarta, ibu kota negara disajikan oleh Ahmadun dengan sempurna. Lewat citraan penglihatan (visual imagery) yang dihadirkannya pembaca mampu memandang Jakarta dari berbagai sudut. Sudut kumuhnya Jakarta dengan sampah dan sungai kecoklatan di potret pada puisi Ingin Kulipat Ciliwung dan Catatan Buram Awal Tahun. Kemudian, sudut metropolisme Jakarta dengan sesaknya penduduk serta pergeseran sosial politiknya tertulis pada puisi Fragmen Perjamuan dan Jakarta, Kota yang Membuatku Bahagia. Lalu Jakarta yang penuh permainan politik ditulis dalam larik-larik puisi Sajak Bulan-bulanan. Dibalik itu semua kota metropolis ini juga memiliki sisi keindahan yang romantis dan penuh historis yang lukiskan pada puisi Sore di Taman Surapati dan Memindah Langit: kota tua, jakarta, sehingga membuat Ahmadun menuliskan puisi cinta untuk Jakarta yang berjudul Sajak Cinta untuk Jakarta. Kedelapan puisi di atas, lewat citraan penglihatan yang di dukung citraan-citraan lainnya serta majas-majas yang membuatnya semakin

154 Esai Stilistika indah telah mengajak pembaca berkeliling kota Jakarta. Kekuatan citraan mampu membuka mata imajinasi untuk menggambarkan larik yang tertulis, menghidupkan sajak-sajak yang terbaca sehingga tampak seperti nyata.

***

Esai Stilistika 155 ANALISIS UNSUR BUNYI DALAM KUMPULAN PUISI O AMUK KAPAK KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI (KAJIAN STILISTIKA)

Lina Andryani Mahasiswi PBSI 2013

/1/ Puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra yang populer di masyarakat. Jenis karya sastra yang lahir sebagai hasil pemikiran seseorang yang didasarkan pada pengalaman, baik yang dialaminya secara langsung ataupun tidak langsung. Hasil pemikiran ini terwujud dalam untaian kata yang memiliki nilai estetis. Hal ini, seperti dinyatakan Zulfahnur dalam teori sastra, bahwa puisi merupakan ekspresi pengalaman batin (jiwa) penyair mengenai kehidupan manusia, alam dan Tuhan melalui media bahasa yang estetik (assanudin, 2002: 56). Bunyi dalam puisi mempunyai peranan yang sangat penting, karena bunyi menggambarkan suasana dalam puisi tersebut. Bunyi di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu sebagai media untuk menyampaikan pesan, memperdalam ucapan,

156 Esai Stilistika menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas serta menimbulkan suasana yang khusus. Untuk itu, bunyi dibentuk oleh rima dan irama. Rima (perpuisian) adalah bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh huruf atau kata-kata dalam larik dan bait atau persamaam bunyi dalam puisi. Sedangkan, irama (ritme) adalah pergantian tinggi rendah, panjang pendek, dan keras lembut ucapan bunyi. Timbulnya irama disebabkan oleh perulangan bunyi secara berturut-turut dan bervariasi (misalnya karena adanya rima, perulangan kata, perulangan bait), tekanan-tekanan kata yang bergantian keras lemahnya (karena sifat- sifat konsonan dan vokal), atau panjang pendek kata. Berbicara tentang permainan bunyi, kita langsung tertuju pada penyair Sutardji Calzoum Bachri. Beliau merupakan penyair yang terkenal dan berani mendobrak tradisi puisi dengan kredo puisinya yang membebaskan kata dari maknanya. Dalam hal ini Sutardji menitikberatkan bukan pada makna puisi tapi unsur bunyi yang begitu mencolok, seperti pada kumpulan puisinya O Amuk Kapak pada tahun 1978.

/2/ Belajar dari Bunyi Bunyi merupakan penanda yang dapat diamati melalui pendengaran atau penglihatan. Dalam puisi bunyi memiliki perannan untuk menjadi merdu ketika dibaca dan didengarkan, sebab pada hakikatnya puisi diciptakan untuk didengarkan untuk menikmati bunyi yang estetik. Namun, tidak menutup kemungkinan puisi untuk dinikmati secara pribadi melalui melalui kata yang dibangun. Mengingat pentingnya unsur bunyi dalam puisi, bahkan seorang penyair melakukan pemilihan dan penempatan kata sering kali didasarkan pada nilai bunyi. Beberapa pertimbangan dianataranya: (1) bagaimanakah kekuatan bunyi dalam suatu kata mampu membangkitkan pikiran dan perasaan pembaca?, (2) bagaimanakah

Esai Stilistika 157 bunyi mampu memperjelas ekspresi, (3) ikut membangun suasa puisi, dan (4) membangkitkan asosiasi-asosiasi tertentu (Sayuti, 2002:103) Menurut Hasanuddin (2002:56) terdapat berbagai beberapa unsur bunyi; (1) irama bunyi yang teratur, terpola, menimbulkan variasi bunyi, sehingga dapat menimbulkan suasana, (2) kakafoni dan efoni, pemanfaatan bunyi sedemikian rupa sehingga bunyi yang dirangkaikan didalam puisi dapat menimbulkan kesan yang cerah atau sebaliknya, suatu kesan keburaman. Kesan ini tercermin dari keseluruhan puisi, (3) onomatope pemanfaatan unsur bunyi yang cukup dominan dalam puisi, (4) aliterasi, perulangan yang memanfaatkan kata-kata yang bunyi awalnya sama, dan (5) asonansi, pemanfaatan unsur bunyi secara berulang –ulang dalam satu baris puisi. Bunyi dalam puisi memegang peranan penting. Tanpa bunyi yang ditata secara serasi dan indah, tidak akan memunculkan kepuitisan bisa jadi akan merusak makna dan kepuitisan itu sendiri. Dengan demikian, bunyi di dalam puisi memiliki peran ganda. Jika, di dalam prosa fiksi bunyi berperan menentukan makna, maka didalam puisi bunyi tidak hanya sekedar menentukan makna melainkan ikut menentukan nilai estetis puisi. Peran ganda unsur bunyi dalam puisi menempatkan aspek bunyi pada kedudukan yang penting. Bunyi begitu fungsional dan mendasar di dalam penciptaan puisi. Sebelum sampai kepada unsur-unsur lain, maka lapis bunyi berperan terlebih dahulu. Jika unsur bunyi di dalam puisi tidak dimanfaatkan secara baik oleh penyair, maka tidak dapat diharapkan timbulnya suatu suasana dan pengaruh pada diri pembaca atau penikmat puisi. Bahkan, ketika berhadapan dengan puisi yang diciptakannya. Dengan demikian, sugesti di dalam diri pembaca dan penikmat puisi juga tidak akan muncul. Keharuan yang indah, itulah yang kiranya dapat ditemui pada beberapa puisi Sutardji Calzoum Bachri. Maka lukisan luka dalam puisi- puisinya pun sungguh membawa pada suatu keharuan yang indah, suatu

158 Esai Stilistika tragedi, dan suatu kebahagiaan. Suatu lukisan yang digoreskan melalui mantera, itulah kedalaman makna yang dicapai oleh seorang manusia yang biasa dipanggil Tardji itu. Membaca puisi-puisinya adalah suatu pengalaman menuju suatu tanah mistis. Puisi-puisinya adalah lukisan luka yang membawa pada suatu pencapaian ekstase. Hal ini mungkin kedengaran terlalu mengada-ngada. Tapi untuk lebih memahami mengenai lukisan luka ini, ada baiknya mencoba belajar membaca puisi-puisi Sutardji melalui salah satu puisi, yang merupakan karya puncaknya, yaitu Belajar Membaca. Puisi yang ditulis tahun 1979 itu lengkapnya berbunyi. Belajar Membaca kakiku luka luka kakiku kakikau lukakah lukakah kakikau kalau kakikau luka lukakukah kakikau kakiku luka lukakaukah kakiku kalau lukaku lukakau kakiku kakikaukah kakikaukah kakiku kakiku luka kaku kalau lukaku lukakau lukakakukakiku lukakakukakikaukah lukakakukakikaukah lukakakukakiku (O Amuk Kapak, 1973: 133).

Puisi Belajar Membaca bukanlah sekedar mantera. Ia bukan pula sekedar permainan bunyi, bukan sekedar menata kesejajaran atau kontras antara konsonan l dan k serta vokal a, i, dan u. Ia juga bukan sekedar kombinasi kata luka, kaku, kaki, kau, aku, kalau, dan akhiran kah hanya demi membentuk dunia bunyi dan makna yang unik. Ia

Esai Stilistika 159 juga bukan sekedar menyarankan semacam keinginan untuk berbagi pengalaman dalam luka, dalam penderitaan. puisi Belajar Membaca adalah suatu lukisan yang menyeru-nyeru panggilan mistis. Panggilan ini membangkitkan kembali suatu gambaran mengenai purba dari ritual pemujaan dewa kemabukan dan mimpi. Cobalah baca puisi Belajar Membaca, pandanglah dan sekaligus lisankan, maka akan mendapati suatu rupa yang sedap dipandang sekaligus bunyi yang sedap didengar. Dengan kredonya Tardji, melepaskan kata-kata dalam puisi- puisinya melompat-lompat, menari-nari bebas mencari dan menemukan maknanya sendiri. hal itu dapat kita simak dalam puisi berikut. Spisaupi

Sepisau luka sepisau duri sepikul dosa sepukau sepi sepisau duka serisau diri sepisau sepi sepisau nyanyi

sepisaupa sepisaupi sepisapanya sepikau sepi sepisaupa sepisaupi sepikul diri keranjang diri

sepisaupa sepisaupi sepisaupa sepisaupi sepisaupa sepisaupi sampai pisaunya ke dalam nyanyi

Puisi Sutardji di atas menunjukkan penggunaan aliterasi yang sedominan. Akibatnya, muncul unsur irama dan musikalitas. unsur musikalitas dari puisi tersebut tmampu memancing dan menciptakan sugesti bagi pembaca untuk menyatu dengan puisi tersebut. Menariknya, Sutardji tidak hanya menampilkan suatu kesan luka yang melulu pedih

160 Esai Stilistika dan perih, seakan-akan luka hanya membawa tragedi di atas muka bumi ini. Ada kalanya Ia justru menulis puisi yang menghadirkan kesan komedi mengenai luka tadi. Dalam salah satu puisi berjudul Luka yang dibuatnya tahun 1976. LUKA ha ha (O Amuk Kapak, 1973: 96)

Mengenai luka yang kerap muncul dalam puisi-puisinya, kiranya Sutardji sudah menjelaskannya secara tidak langsung ketika ia mengutip perkataan orang Spanyol: El poeta habla de la boca de la herida, penyair bicara dari mulut luka (SCB, 2001:22). Hal ini tidak mengherankan penyair ditantang untuk menghadirkan suatu keharuan. Alasannya, timbulnya keharuan sudah lama dianggap sebagai ukuran keindahan suatu puisi. Puisi harus sanggup memindahkan keaaslian dari pada penyair, baik rasa duka maupun haru. Maka, tak mengherankan pula apabila para pembaca pun juga sering mengejar keharuan ketika membaca suatu puisi. Aspek musikalitasnya sebagai salah satu unsur bunyi juga memegang peranan penting. Musikalitas yang ditimbulkan mungkin saja berasal dari perulangan bunyi yang sama bisa juga dari pemanfaatan bunyi dengan cara mempolakannnya secara teratur. Cara-cara semacam ini mampu membangkitkan, mengarahkan asosiasi pembaca atau penikmat puisi untuk bisa sampai pada suasana haru. Puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri, khususnya sebagian dari puisi-puisi awalnya memanfatkan unsur bunyi sepenuhnya seperti pada puisi berikut. Shang Hai ping di atas pong pong di atas ping ping ping bilang pong pong pong bilang ping mau pong? bilang ping

Esai Stilistika 161 mau mau bilang pong mau ping? bilang pong mau mau bilang ping ya pong ya ping ya ping ya pong tak ya pong tak ya ping tak ya ping tak ya pong kutakpunya ping kutakpunya pong pinggir ping kamu pong tak tak bilang ping pinggir pong kamu ping tak tak bilang pong sembilu jarakmu merancap nyaring (O Amuk Kapak, 1973: 84).

Pil memang pil seperti pil macam pil walau pil hanya pil hampir pil sekedar pil ya toh pil meski pil tapi tak pil apalah pil pil pil pil mengapa gigil? ku demam pil bilang obat jadi barah apakah pasien? tempeleng! (O Amuk Kapak, 1973: 93).

Puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri di atas diciptakan dengan cara mempermainkan unsur bunyi. Akibatnya, unsur musikalitas menjadi dominan. Dengan memanfaatkan bunyi sepenuhnya, irama puisi tercipta, hal tersebut dapat membantu menciptakan suasana tertentu. Hal itu menyebabkan pembaca berkonsentrasi dan meleburkan diri kedalam puisi-puisi tersebut. Dengan cara seperti itu, akhirnya daya saran (makna) puisi akan sampai kepada penikmat atau pembaca.

162 Esai Stilistika Menarik untuk disimak bahwa penerobosan yang dilakukan Sutardji terhadap makna membawanya kepada percobaan lain untuk menerobos batas-batas bahasa. Penerobosan terhadap batas-batas bahasa ini dilakukan dengan melakukan penyimpangan dari semantik dan penyimpangan dari sintaksis. Semantik menunjuk hubungan antara bahasa dan suatu obyek di luar bahasa, sedangkan sintaksis menunjuk hubungan internal antara unsur-unsur bahasa itu sendiri. Penerobosan terhadap semantik dilakukan dengan memakai fonem- fonem atau bunyi-bunyi bahasa yang tidak ada maknanya secara leksikal. Meski demikian, penyairnya sadar bahwa hanya dengan bunyi-bunyi tanpa makna puisi hanya hadir sebagai pemanis, bukan penanam nilai bagi pembaca. Maka, dalam beberapa puisinya Sutardji menerapkan teknik menyusun pantun dalam bentuk yang lebih diperluas. Jumlah baris dalam bait jauh lebih bebas dan tidak hanya terbatas pada empat baris, jumlah suku kata juga dibuat tanpa mengikuti pakem pantun, dan rima juga tidak harus mengikuti formula ab/ab. Akan tetapi, yang dipertahankan dari unsur pantun adalah kontras antara sampiran dan isi, kontestasi antara makna dan tanpa makna. Dengan demikian, fonem-fonem yang tanpa makna itu seakan-akan menjadi sampiran dalam puisi-puisi Sutardji, tetapi isi puisinya masih selalu dimunculkan dalam kata-kata dengan makna yang kita kenal. Contoh paling tipikal dari kecenderungan ini dapat diamati dalam beberapa baris puisi berikut ini. hai Kau dengar manteraku kau dengar kucing memanggilMu izukalizu mapakazaba itazatali tutulita papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco zukuzangga zegezegeze zukuzangga zege

Esai Stilistika 163 zegeze zukuzangga zegezegeze zukuzang ga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zu ku zangga zegezegeze aahh....! nama nama kalian bebas carilah tuhan semaumu

Dua larik//Kau dengar manteraku/Kau dengar kucing memanggilMu/menunjukkan seruan kepada sesuatu yang rupa-rupanya mengatasi semua kategori manusia termasuk bahasa, mungkin sesuatu yang tak terbatas, yang kudus atau yang ilahi, yang dicoba didekati dengan memanggilNya dengan berbagai nama yang tidak kenal dalam kode leksikal bahasa Indonesia.

/3/ Wasana Akhir Dalam puisi, bunyi bersifat estetik, merupakan unsur puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi erat hubungannya dengan anasir-anasir musik, misalnya lagu, melodi, irama dan sebagainya. Menurut kamus istilah sastra, bunyi merupakan nada, laras, suara yang ditangkap atau diterima oleh alat indera, terutama alat- alat bicara yang memegang peranan penting. Tanpa bunyi yang ditata secara serasi dan apik, unsur kepuitisan di dalam puisi tidak mungkin dibangun. Dengan demikian, bunyi di dalam puisi memiliki peran ganda. Jika di dalam prosa fiksi bunyi berperan menentukan makna, maka didalam puisi, bunyi tidak hanya sekedar menentukan makna melainkan ikut menentukan nilai estetis puisi. Pengaruh bunyi terhadap puisi Karya Sutardji Calzoum Bachri yaitu puisi sutardji menunjukkan penggunaan aliterasi yang dimanfaatkan sedominan mungkin. Akibatnya, muncul unsur irama dan musikalitas. Unsur musikalitas dari puisi tersebut mampu memancing dan menciptakan sugesti bagi pembaca untuk menyatu dengan puisi

164 Esai Stilistika tersebut. Aliterasi pada puisi diatas, persamaan serta pengulangan bunyi pada awal kata setiap barisnya.

***

Esai Stilistika 165 ANALISIS GAYA BAHASA PADA KUMPULAN PUISI MANUSIA ISTANA KARYA RADHAR PANCA DAHANA (PENDEKATAN STILISTIKA)

Linda Yulianti Mahasiswi PBSI 2013

/1/ Karya sastra menggunakan bahasa media penyampai dan sebagai sarana estetis. Bahasa yang digunakan oleh pengarang merupakan bahasa yang dapat mengungkapkan imaji dan pesan tersembunyi kepada pembaca. Setiap pengarang memiliki kekhasan tersendiri karena mengingat pengarang merupakan seorang individu yang mempunyai karakter dan pola pemikiran berbeda. Kekhasan tersebut juga berdampak pada gaya bahasa yang digunakan. Gaya bahasa atau style berkaitan dengan ekspresi kejiwaan dan sosiologis yang estetis dari pengarangnya, sebuah bentuk pengungkapan emosi terdalam, dan sebagai cara dan bentuk ekspresi dunia. Sedangkan dalam (Sujeto, 2012:8) Stilistika genetis (individual) memandang gaya (style) sebagai ungkapan yang khas pribadi dengan melakukan analisis rinci terhadap motif bahasa dan pilihan kata dalam sebuah karya sehingga, dapat

166 Esai Stilistika digali visi batin pengarangnya. Dengan begitu, style adalah gaya pribadi. Selain itu, gaya bahasa juga bisa disimpulkan sebagai cara bagaimana pengarang mengungkapkan isi pemikirannya lewat bahasa-bahasa yang khas dalam uraian ceritanya yang menimbulkan kesan tertentu. Berkaitan dengan kajian gaya bahasa, pendekatan stilistika kiranya yang sesuai digunakan untuk jalan dalam pendekatan yang konkrit. Pendekatan stilistika sendiri merupakan studi tentang style (gaya bahasa). Menurut Abrams, stilistika kesastraan merupakan sebuah metode analisis karya sastra yang mengkaji berbagai bentuk dan tanda- tanda kebahasaan yang digunakan seperti yang terlihat pada struktur lahirnya. Pendekatan dalam karya sastra merupakan sebuah cara pandang dalam memahami karya sastra. Dalam kajian stilistika, winfried Noth mengemukakan tiga pendekatan utama dalam memahaminya yang diadopsi dari berbagai pemikiran. Pendekatan tersebut mencakup pendekatan pragmatik, pendekatan sintakmatik, dan pendekatan semantik. Namun, disamping ketiga pendekatan tersebut, Aminudin mengungkapkan adanya tiga jenis pendekatan lain yang dapat dipergunakan dalam kajian stilistika, yaitu pendekatan monisme, pendekatan dualisme dan pendekatan pluralisme. Beberapa pendekatan yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya semua pendekatan tersebut memandang persoalan style dan bahasa sebagai sesuatu yang tak terpisahkan dari bentuk pilihan pengarangnya. Bentuk dan isi merupakan satu kesatuan dalam estetika bahasa yang digunakannya. Melalui kajian stilistika dapat dijelaskan interaksi yang rumit antara bentuk dan makna yang sering luput dari perhatian dan pengamatan para kritikus sastra. Sebab, kajian stilistika dalam sastra melihat bagaimana unsur-unsur bahasa digunakan untuk melahirkan pesan-pesan dalam karya sastra. Atau dengan kata lain, kajian stilistika berhubungan dengan pengkajian pola-pola bahasa yang digunakan

Esai Stilistika 167 dalam teks sastra secara khas. Kajian stilistika merupakan bentuk kajian yang menggunakan pendekatan obyektif. Kajian yang terfokus pada wujud penggunaan sistem tanda dalam karya sastra yang diperoleh secara rasional-empirik dapat dipertanggungjawabkan. Kembali pada pembahasan mengenai gaya bahasa, sebagaimana yang diungkapkan oleh P.Suparman Natawijaya (Sutejo, 2012:26-31) membagi gaya bahasa menjadi beberapa jenis: alegori, alusio, anapora, antitetis, antonomasia, asidenton, asosiasi, enumerasia, epipora, hiperbola, interupsi, ironi, klimaks, koreksio, metafora, metonomia, parabel, paradoks, personifikasi, polisidenton, prifrase, repetisi, retoris, sarkasme, simetri dan sinekdoce. Atau pengungkapan yang khas diajarkan sejak sekolah dasar, gaya bahasa ini disebut juga dengan majas. Dalam buku kumpulan puisi Manusia Istana karya Radhar Panca Dahana juga menggunakan pengungkapan-pengungkapan yang khas gaya penulisan Radhar Panca Dahana yang tentu saja hal tersebut tidak akan ditemukan dalam karya pengarang lain.

/2/ Belajar dari Gaya bahasa Puisi erat kaitannya dengan penggunaan kata-kata singkat, padat dan indah. Berbagai jenis gaya bahasa banyak digunakan dalam sebuah puisi, seperti personifikasi, metafora, anafora,dan masih banyak lagi. Penggunaan gaya bahasa selain sebagai ciri khas pengarang juga sebagai tanda dalam menyampaikan pesan kepada pembaca. Untuk itu, puisi mengandung makna yang luas dari pilihan-pilihan kata yang padat. Ada banyak cara untuk mengkaji atau menganalisis sebuah puisi. Salah satunya dengan menggunakan pendekatan stilistika yang khusus mengurai tentang gaya bahasa sebagaimana telah diungkapkan pada bab pendahuluan.

168 Esai Stilistika Untuk itu buku kumpulan puisi berjudul Manusia Istana karya Radhar Panca Dahana ini juga akan di analisis berdasarkan pendekatan stilistika, karena obyek kajian terfokus pada obyek gaya bahasa dalam puisi. Diungkapkan oleh P.Suparman Natawijaya (Sutejo, 2012:26-31) membagi gaya bahasa menjadi beberapa jenis; alegori, alusio, anapora, antitetis, antonomasia, asidenton, asosiasi, enumerasia, epipora, hiperbola, interupsi, ironi, klimaks, koreksio, metafora, metonomia, parabel, paradoks, personifikasi, polisidenton, prifrase, repetisi, retoris, sarkasme, simetri dan sinekdoce. Namun, dalam hal ini tidak akan mengambil semua gaya bahasa yang disebutkan. Hanya akan diambil tiga gaya bahasa, yaitu Alegori, Anapora, dan Personifikasi. Karena ketiga gaya bahasa tersebut lebih mendominasi dari buku kumpulan puisi Manusia Istana. Buku kumpulan puisi karya Radhar Panca Dahana ini memuat 31 satu puisi yang bertemakan sama, yaitu politik. Dalam setiap puisinya berisi tuturan-tuturan dalam diksi yang khas Radhar Panca Dahana. Disampaikan dengan lugas dan membara, terkadang sengit, terkadang mencibir tetapi juga empiris, dalam, dan terasa nyata.

Alegori Alegori merupakan jenis gaya bahasa yang menyatakan sesuatu hal dengan perlambang. Perlambangan yang dimaksud ialah perlambangan dengan menggunakan perbandingan penuh. Alegori mengungkapkan sebuah pernyataan dengan menggunakan perumpamaan atau kiasan yang tidak menjelaskan maksud secara harfiah, atau makna sebenarnya. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, alegori adalah cerita yang dipakai sebagai lambang (ibarat atau kias) peri kehidupan manusia yang sebenarnya untuk mendidik (terutama moral) atau menerangkan sesuatu (gagasan, cita-cita, atau nilai kehidupan, seperti kebijaksanaan, kesetiaan, dan kejujuran).

Esai Stilistika 169 Sedangkan dalam kumpulan puisi Manusia Istana ini dapat ditemu- kan larik ataupun bait yang masuk dalam kategori Alegori. Sebagaimana yang terdapat dalam puisi berjudul “Kopiah Sang Jenderal”, gaya bahasa Alegori ditemukan dalam bait/hidup hanya sebuah pertempuran/makna cuma sisa kemenangan/selebihnya: melulu senjata//. Bait di atas merupakan sebuah pernyataan dengan perumpamaan secara kias, dimana dinyatakan mengenai diksi “hidup” lalu sebuah perumpamaan yang menyebutkan hanya sebuah pertempuran. Diksi “pertempuran” bukanlah makna sebenarnya, namun bermak kesulitan- kesulitan dalam hidup. Selanjutnya gaya bahasa Alegori terdapat dalam puisi “Kampanye Hari Ke-5” dengan larik/kuasa adalah tuhannya/uang untuknya menyerah/. Lalu pada puisi Airmata Umara, 1 yang menyatakan dengan larik/Kemenangan adalah kegagalanku/melahirkan panutan baru/. Sebuah perumpamaan yang berkebalikan dengan pernyataan. Puisi ini berkisahkan seorang pemimpin yang gagal mengemban amanah, diatas kemenangan yang ia peroleh, ternyata banyak hal yang ia abaikan dengan tanggung jawab yang tidak ia tunaikan. Lalu alegori dalam puisi Airmata Umara, 1 ini masih berlanjut pada puisi Airmata Umara, 2 pada bait kesepuluhnya yaitu//kemenangan ini/adalah suksesmu jadi pecundang/kotak kecilmu dalam sejarah/bukan sebagai pemimpin tanpa makna// Lalu gaya bahasa Alegori selanjutnya dapat ditemukan pada puisi Politik Itu Hutan, Anakku dengan larik....,cahaya adalah jarak tanpa senti. Sebuah pernyataan mengenai diksi “Matahari” yang diumpamakandengan larik jarak tanpa henti. Kemudian pada puisi “Yang Sisa di Daster Misna” terdapat dua alegori yaitu pada bait ketiga// Hati perempuan seperti badai semalam:/sepanas infotainment yang tak pernah/usai, sementara jantung dan jempol/uaki kirinya membeku, sudah/lebih tiga tahun ini. dan bait kelima,/Seperti tungku yang membesi, ia/tidak menunggu. tidak lili dan tata. Bait ketiga menyatakan

170 Esai Stilistika pernyataan mengenai Hati perempuan yang diumpakan seperti badai semalam. Menggambarkan suasana yang kacau dan menakutkan. Sedangkan pada bait kelima yang juga merupakan alegori terakhir dalam kumpulan puisi Manusia Istana ini, langsung pada perumpamaan yang menyebutkan Seperti tungku yang membesi.

Anapora Anapora kebalikannya dari epipora. Jika epipora menggunakan perulangan kata di akhir larik, maka Anapora didepan larik. Anapora termasuk ke dalam gaya bahasa paralelisme. Gaya bahasa yang menggunakan kata atau frase yang sama di awal larik-larik (kalimat sebelumnya) secara berulang-ulang. Gaya bahasa anapora dapat ditemukan dalam beberapa puisi, seperti yang terdapat pada puisi “Demonkrasi Pagi Ini”,//semua ada ganjarannya/semua aman kantongnya/semua ikut saja denganku//. Dapat dilihat adanya persamaan kata di awal larik, yaitu diksi “Semua”. Lalu pada puisi selanjutnya yang berjudul “Warisan Akhirmu, Sukarno” Anapora ditemukan pada bait kedua sebagaimana berikut.//bukan Cuma tujuh kaki smaudra/bukan hanya tuhan 25 bangsa/bukan semata seribu mantra purba//. Jika pada puisi sebelumnya terdapat pengulangan kata Semua, maka pada bait ini pengulangannya yaitu kata Bukan. Pada puisi “Pejuang”, Konon Kabarnya letak anapora ada pada bait kesebelas yang berbunyi//anak jelata jadi pahlawan/anak jelata juga hartawan/anak jelata kini bangsawan. Pada puisi ini pengulangan menggunakan dua suku kata yaitu Anak Jelata, yang diulang sebanyak tiga kali//jadi wibawa jadi kata/jadi alpa jadi istana/jadi harta kita punya/jadi nama kita berbangga/jadi dusta kita teperdaya. Petikan bait gaya bahasa anapora di atas pada puisi Sepetak “Sawah Di Istana”. Yaitu adanya pengulangan kata Jadi diawal larik sebanyak lima kali. Pengulangan tersebut memberikan maksud tertentu dalam sebuah puisi. Bisa bentuk penegasan, hal yang terpenting dari sebuah

Esai Stilistika 171 puisi itu tersendiri. Sehingga dengan pengulangan pembaca akan fokus untuk memahami titik pegulangan tersebut.

Personifikasi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Personifikasi ialah peng- umpamaan (pelambangan) benda mati sebagai orang atau manusia. Jadi, personifikasi merupakan gaya bahasa perbandingan yang mengambar- kan benda mati atau tidak bergerak seolah-olah menjadi bernyawa dan dapat berperilaku seperti manusia. Dalam buku kumpulan puisi Manusia Istana karya Radhar Panca Dahana ini dapat ditemukan larik-larik yang menggunakan gaya bahasa personifikasi pada beberapa puisinya. Se- perti pada puisi yang berjudul “Di Toilet Istana” berikut:

Bait kedua, ...... Dendang lagu membentak tembok tua Lampu kristal menggerutu ...... Sabun cair celoteh tak tentu

Bait ketiga, ...... Di dinding, cermin besar tertawa Bait keempat, Hahaha... keramik impor terpingkal Bait ketujuh, Toilet itu tersenyum

Larik-larik tersebut dapat dilihat adanya personifikasi. Bait kedua, frase Dendang lagu dan lampu kristal adalah benda mati, namun mereka ditulis mampu membentak dan menggerutu yang mana itu merupakan sifat manusia. Begitupun pada larik Sabun cair celoteh tak tentu. Diksi “celoteh” merupakan kegiatan yang dilakukan oleh manusia. Kemudian pada bait-bait selanjutnya dimana cermin besar tertawa, keramik impor

172 Esai Stilistika terpingkal, dan Toilet itu tersenyum. Diksi “tertawa”, “terpingkal”, dan “tersenyum” merupakan sifat yang dimiliki dan dilakukan oleh manusia. Namun dalam larik tersebut, yang mempunyai sifat tersebut ialah benda mati seperti cermin, keramik, dan toilet. Kemudian pada puisi Parlemen Gerutu, bait pertama puisi yang berbunyi. dua-tiga ratus kursi mengeluh pagi terlalu kantuk kertaskertas terlampau mabuk dua-tiga puluh kursi mengutuk

Sifat-sifat mengeluh, kantuk, mabuk, dan mengutuk adalah sifat yang ada pada manusia. Namun, pada larik diatas, yang mengeluh ialah Dua-tiga ratus kursi, yang mengantuk ialah pagi, yang mabuk ialah kertas-kertas, dan yang mengutuk ialah dua-tiga puluh kursi. Gaya bahasa personifikasi selanjutnya yaitu pada puisi “Ekonomi Plastik” dengan larik tumbuhan berbuah putus asa. Sifat putus asa biasanya hanya dilakukan oleh manusia, namun kini ialah tumbuhan berbuah, meskipun tumbuhan juga sesama makhluk hidup, namun jika dilogika tumbuhan tak akan mempunyai sifat itu. Lalu pada puisi “Syair Hussein Obama” yang berbunyi tapi mikrophon terus berteriak. Pagi ini, matahari malas bersinar pada puisi Memori Tuan Udeen-mar. Dan puisi Sobat Melodrama pada larik. Usia mengunyahmu Hidup menelanmu Ambisi memperkosamu

Memperlihatkan adanya kegiatan yang biasanya dilakukan oleh manusia. Lalu terakhir terdapat pada puisi “Dunia Fantasi” dengan larik matahari kusam matanya lebam. Dimana menggambarkan suatu keadaan yang berkaitan dengan fisik. Kusam ialah kondisi yang tidak terurus, sedangkan matahari tidak mungkin mengalami hal itu dan juga kata matanya lebam, matahari tidak memiliki mata.

Esai Stilistika 173 /3/ Wasana Akhir Menurut P.Suparman Natawijaya (Sutejo, 2012:26-31) membagi gaya bahasa menjadi beberapa jenis: Alegori, Alusio, Anapora, Antitetis, Antonomasia, Asidenton, Asosiasi, Enumerasia, Epipora, Hiperbola, Interupsi, Ironi, Klimaks, Koreksio, Metafora, Metonomia, Parabel, Paradoks, Personifikasi, Polisidenton, Prifrase, Repetisi, Retoris, Sarkasme, Simetri, dan Sinekdoce. Beragam gaya bahasa tersebut tidak dijabarkan secara keseluruhannya hanya diambil tiga gaya bahasa, yaitu Alegori, Anapora, dan Personifikasi. Karena lebih menekankan pada dominasi gaya bahasa yang digunakan penyair. Alegori merupakan jenis gaya bahasa yang menyatakan sesuatu hal dengan perlambang. Sebagaimana pada puisi “Kopiah Sang Jenderal” pada larik,//hidup hanya sebuah pertempuran//makna cuma sisa kemenangan//selebihnya: melulu senjata. Lalu anapora adalah gaya bahasa yang menggunakan kata atau frase yang sama di awal larik-larik (kalimat sebelumnya) secara berulang-ulang, seperti yang terdapat pada puisi “Pejuang, Konon Kabarnya” dengan larik anak jelata jadi pahlawan//anak jelata juga hartawan//anak jelata kini bangsawan. Sedangkan, personifikasi ialah gaya bahasa perbandingan yang membandingkan benda mati atau tidak bergerak seolah-olah menjadi bernyawa dan dapat berperilaku seperti manusia. Seperti dalam puisi “Di Toilet Istana”,//Dendang lagu membentak tembok tua/Lampu kristal menggerutu//. Sehingga, dapat dipahami bahwasanya di dalam suatu karya puisi tidak serta merta mengandung seluruh gaya bahasa yang ada. Mungkin keberadaannya hanya beberapa.

***

174 Esai Stilistika POTRET CITRAAN EROTISME DALAM KUMPULAN PUISI KUDA RANJANG KARYA BINHAD NURROHMAT

Luky Andani Mahasiswi PBSI 2013

/1/ Sastra merupakan kegiatan kreatif sastrawan yang fundamental, baik itu dalam bentuk prosa, drama, dan puisi sehingga penikmat atau pengapresiasi dengan disuguhkan rangkaian cerita yang mempu menuntut pembaca menjadi tokoh dalam karya. Menikmati perjalanan kisah, terbawa keharuan bahkan kebahagiaan, dan terakhir mengambil nilai untuk diterapkan dalam kehidapan nyata. Tjahjono (2008:1), menyatakan bahwa sastra jika dilihat dari teks merupakan entitas yang hidup, bukan barang mati. Teks sastra itu sebenarnya sebuah organisme yang hidup bukan sekedar onggokan unsur-unsur bisu dan mati. Salah satu jenis karya sastra adalah puisi. Puisi merupakan ungkapan perasaan yang dituangkan dalam bentuk bahasa yang padat. Penyair memberikan imajinasi atau pencitraan yang khas sesuai dengan kehendak penyair. Nurhayati (2008: 46) mengemukakan terdapat dua unsur dalam menganalisis puisi, yaitu pada kajian stilistika dan stuktur batin puisi. Kajian stilistika membahas

Esai Stilistika 175 masalah penerimaan, linguistik, diksi, pencitraan, kata-kata kongkret dan bahasa figuratif. Sedangkan, struktur batin membahas masalah tema, perasaan, nada dan amanat.

/2/ Membaca Erotisme Kuda Ranjang Citraan erotisme dalam kumpulan puisi Kuda Ranjang karya Binhad Nurrohmat memberikan penggambaran yang menarik untuk dipelajari. Dalam citraan erotisme terdapat dua kategori utama yaitu citraan erotisme biologis dan citraan erotisme matabiologis. Sutejo (2012: 133), berpendapat bahwa citraan biologis adalah penggambaran kejadian seksualitas divisualisasikan pengarang secara jelas, terang-terangan, transparan, dan terinci. Citraan erotisme biologis dalam pengungkapannya menggunakan jenis-jenis pengalaman indera sebelumnya, tetapi tekanannya pada pengalaman seksualitas, karena itu dalam perwujudannya dapat berupa citraan audio, citraan visual, citraan penciuman, citraan taktil dan citraan gerak. Kelima jenis citraan tersebut yang menggambarkan bagaimana pengalaman (gambaran) dari imaji seksualitas. Sedangkan, pengertian citraan erotisme matabiologis menurut Sutejo (2012: 143) merupakan pengalaman mental yang berangkat dari pengalaman inderawi untuk mengungkapkan persoalan seksualitas secara simbolik, metaforis, dan dikemas dalam wacana estetis yang halus. Artinya, seksualitas itu dikemas tidak semata-mata, tidak harfiah. Namun, penuh dengan penyembunyian imaji semantik seksual secara artistik. Kumpulan puisi Kuda Ranjang karya Binhad Nurromat terlihat unsur seksualitasnya. Pada puisi yang Gaung penulis menggunakan citraan erotisme biologis dengan berwujudan citraan penglihatan (visual) nampak pada bait terakhir,//Mimpi basah pertama/Banjir bandang sperma pembenam lantai kamar/Membangunkanku di tengah

176 Esai Stilistika amis malam/Dan mataku berkobar cemas sampai pagi/Melorotkan celana dalam berkilat keemasan//. Citraan erotisme biologis digambarkan begitu menarik oleh Binhad Nurrohmat melalui citraan penglihatan (visual). Penggambaran pengalaman indera penglihatan begitu tampak ketika melukiskan keadaan di kamar. Menggambarkan keadaan seseorang baru pertama mengalami mimpi basah. Dan pada bait banjir bandang sperma pembenam lantai kamar, penyair memancing imaji pembaca dengan citraan penglihan (visual) yang memberi rangsangan kepada indera penglihatan hingga hal-hal yang tak terlihat jadi seolah-olah terlihat. Juga pada diksi “mataku” dapat menjadi kata kunci sebagai citraan penglihatan. Pada puisi “Bunting” begitu juga memamerkan hal yang sama. Erotisme yang diformulasikan dengan visualisasi, membuat pembaca merasakan bagaimana aroma puisi itu dalam diri pembaca. Erotisme nampak dalam kalimat//Dan girang mengintip mata air penismu/ Setiap malam mengaliri selokan kecilnya//. Diksi “mengintip” seakan sebagai mata panjing imaji pembaca untuk masuk dalam pemahaman selanjutnya, diksi tersebut sebagai kata kunci bahwa termasuk dalam citraan penglihatan. Tidak hanya citraan penglihatan namun, penyair juga menggunakan citraan pendengaran (audio) dalam citraan erotisme biologis dalam puisinya,//Bulu halusmu menujah gelembung birahiku/Kaudengar suaranya, katamu/Ia nyanyikan lagu negerinya//. Terlihat pada tersebut penyair bermaksud agar pembaca juga mendengarkan suara nyanyian. Memancing indera pendengaran pembaca, kata kuncinya pada diksi “kaudengar”. Maksud dari potongan bait puisi tersebut nyanyian itu bukan sebuah lagu melainkan mendengarkan kisah atau cerita yang mampu menggugah napsu. Demikian dalam bait berikut//Cekikik kita mengkremasi ranjang/Melunasi bekas hari yang keras dan muram/ Merintih di lembut tapak tangan//.

Esai Stilistika 177 Kutipan puisi “Gaung” di atas megartikan bahwa penulis mengeksplor imaji pendengar pembaca dengan menggunakan kata cekikik dan merintih. Pemilihan kata tersebut agar pembaca juga bisa mendengarkan suara yang dimaksudkan oleh penulis. Potongan bait diatas menggambarkan suasana seseorang saat melakukan hubungan seksual dengan prasaan yang senang. Dengan melakukan hubungan seksual bisa membuat permasalahan yang sedang dipikirkan hilang seketika. Citraan erotisme matabiologis juga muncul pada puisi karya Binhad Nurrohmat, prakejadian dilukiskan juga dengan memanfaatkan metafora-metafora menarik untuk menggambarkan bagaimana citraan erotisme secara intensif dan memikat. Pnyair menggunakan kalimat yang indah dan puitis yang dipadukan dengan citraan visual tampak pada potongan puisi “Gigolo” berikut kutipannya,//Dikolam taman bayangan wajahku hancur/Ingin mengenali lagi diriku/Membikinku ingin telanjang/Membakar diri bermalam-malam/Dan menghanguskan kelamin perempuan/Yang menunggang birahiku seperti binatang//. Bait puisi di atas menunjukkan bagaimana citraan erotisme matabiologis prakejadian dengan melukiskan setting yang mengiring imaji kepada situasi dan kondisi seksualitas. Bahkan secara terpadu disinergiskan dengan citraan visual dikolam taman bayangan wajahku hancur. Bait diatas menggambarkan betapa sedih dan malu seorang laki-laki dengan keadaannya yang tidak baik, malu atas semua yang telah dilakukannya selama ini. Dan ingin menjahui atau menghilangkan semua hal yang selama ini membuat hidupnya merasa malu, sedih dan marah. Citraan erotisme matabiologis juga terdapat pada puisi “Gaung” yang menggunakan citraan gerak dan citraan pendengaran. Berikut potongan bait puisi //Syahwatku tak mau tamat/Teguh menggali liang semesta tubuh/ Menyemburkan/sperma sepanjang selokan dunia/Melunaskan liur kelamin leluhur//.

178 Esai Stilistika Binhad Nurrohmat manarik imaji pembaca dengan citraan gerak menggunakan gaya bahasa personifikasi, yaitu pada bait teguh menggali liang semesta tubuh. Diksi “menggali” sebagai kunci dalam citraan gerak. Bait pertama menggambarkan seseorang yang memiliki nafsu yang tinggi serta tidak akan bosan dan lelah melakukan hubungan seksualitas dengan banyak wanita. Sedangan pada potongan puisi yang kedua terdapat citraan pendengaran pada bait dan terdengar suara terpancar di bawah pusar. Menyiratkan keadaan sepasang manusia yang sedang melakukan hubungan seksual dengan napsu yang sudah memuncak.

/3/ Wasana Akhir Dengan demikian, citraan erotisme biologis dan citraan erotisme matabiologis dalam kumpulan puisi Kuda Ranjang menggunakan beberapa teknik citraan yang menarik untuk melukiskan pengalaman seksualitas dalam berbagai bentuknya. Pertama, dilukiskan dengan menggunakan citraan erotisme biologis yang memanfaatkan citraan visual dan citraan audio untuk mengintensifkan imajinasi seksualitas. Kedua, melukiskan citraan erotisme matabiologis dengan memanfaatkan citraan visul, citraan audio dan citraan gerak untuk menghidupkan imaji pembaca dalam merasakan apa yang dirasakan oleh penyair dan membantu pembaca dalam menghayati makana puisi.

***

Esai Stilistika 179 PERMAINAN BAHASA PERSONIFIKASI DALAM PUISI LIDAH IBU KARYA SITOK SRENGENGE

Muclas Mei A. Mahasiswa PBSI 2013

arya sastra merupakan refleksi cipta, rasa, dan karsa manusia tentang kehidupan. Refleksi cipta artinya karya sastra Kmerupakan hasil penciptaan yang berisis keindahan. Tanpa penciptaan, karya sastra tidak mungkin ada. Karya sastra sebagai refleksi rasa dan karsa berarti bahwa karya sastra diciptakan untuk menyatakan perasaan yang di dalamnya terkandung maksud atau tujuan tertentu. Hal ini membuat karya sastra memiliki kelebihan dibandingkan dengan cabang seni lain, baik dalam bentuk maupun sarana atau media yang digunakan, yaitu kata-kata atau bahasa (Suroso, 1995:14). Sumardjo (1991:7) mengemukakan bahwa keindahan dalam sastra terjadi karena adanya keselarasan bahasa atau kata-kata yang digunakan. Dengan demikian, keindahan dalam karya sastra pada hakikatnya adalah wujud dari keselarasan perasaan dan pikiran yang dinyatakan dengan kata-kata atau bahasa yang tepat. Bahasa merupakan medium dalam sebuah karya sastra. Bahasa sebagai ujaran yang diucapkan oleh alat ucap manusia mengandung

180 Esai Stilistika suatu tanda yang kuat di dalamnya. Kekuatan tanda itu muncul dari kekuatan tanda dengan tanda (sintaksis), hubungan tanda dengan maknanya (semantik), dan hubungan tanda dengan penggunanya (pragmatik). Pradopo (1995:72) juga mengemukakan bahwa karya sastra merupakan karya seni yang mempergunakan bahasa sebagai mediumnya. Begitu juga dengan puisi yang menggunakan bahasa sebagai alat penyampainya. Puisi merupakan salah satu genre sastra yang mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap tanda bahasa karena hakikat puisi adalah kepekaan ekspresi secara tidak langsung. Hakikat ini berhubungan dengan penyampaian suatu hal atau pengekspresian suatu hal dengan hal yang lain. Ekspresi tersebut dituangkan secara indah oleh seorang penyair ke dalam wadah yaitu puisi. Oleh sebab itu, seorang penyair dalam membuat puisi tidak lepas dari pengalaman hidupnya. Puisi menemukan artinya kehidupan apabila bersumber pada sesuatu yang menemukan gemanya. Si penyair dalam hal ini berperan sebagai instrumen yang melahirkan puisi. Karena bersumber pada sesuatu yang menemukan gemanya dalam kehidupan bersama, maka puisi dengan caranya sendiri pencatat yang baik dan dalam beberapa segi tertentu malahan yang terbaik tentang segala sesuatu yang berharga sepanjang penemuan-penemuannya pada zamannya. Sering puisi juga disebut pengamat yang tajam terhadap berbagai kecendrungan dalam kehidupan bersama pada zamannya. Puisi dapat mengawasi dengan tajam ke mana kecendrungan itu bakal menuju, artinya bila kecendrungan itu mencapai tujuannya nanti. Karya sastra dalam bentuk puisi merupakan salah satu wadah bagi para sastrawan untuk menuangkan ide ataupun curahan isi hatinya. Dalam menuangkan pemikirannya, penyair menggunakan gaya bahasa untuk menghasilkan karya sastra yang indah dan mencoba untuk memperlihatkan isi hati atau perasaan yang dialami oleh penulis di

Esai Stilistika 181 dalam karya-karyanya. Gaya bahasa yang sering digunakan dalam karya sastra biasanya berupa gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa pertentangan, gaya bahasa sindiran dan gaya bahasa penegasan. Tanpa penggunaan gaya bahasa dalam suatu karya sastra, pembaca hanya akan disuguhi bahasa-bahasa formal yang biasa mereka hadapi dan terlihat membosankan untuk membacanya. Oleh karena itu, penggunaan gaya bahasa sangatlah penting digunakan dalam sebuah karya sastra agar lebih indah dan terlihat tidak monoton. Tidak dapat dipungkiri bahwa gaya bahasa memainkan peranan yang penting dalam sebuah puisi. Gaya bahasa yang menjadikan karya itu hidup atau kaku. Kalau gaya bahasa dimanfaatkan secara baik, indah dan sempurna menjadikan karya itu menarik dan memikat hati pembaca. Begitu pula sebaliknya, penggunaan gaya bahasa yang kurang dioptimalkan dalam puisi justru tidak akan membawa efek apapun bagi puisi tersebut. Dalam penulisan sajak atau puisi, setiap penyair memanfaatkan gaya bahasa dengan cara mereka sendiri. Pembaca akan dapat menangkap gaya bahasa yang berbeda antara penyair yang satu dengan penyair yang lain. Gaya bahasa juga menjadikan sebuah karya itu bermutu tinggi di mata pembaca. Dan biasanya gaya bahasa itu bergantung kepada pengalaman, ilmu dan kemahiran berbahasa yang dimiliki oleh setiap individu penyair. Majas atau figurative language adalah bahasa kias, bahasa yang dipergunakan untuk menciptakan efek tertentu. Majas merupakan bentuk retoris yang pengunaannya antara lain untuk menimbulkan kesan imajinatif bagi penyimak atau pembacanya. Gaya bahasa personifikasi atau prosopopoeia merupakan salah satu jenis gaya bahasa perbandingan yang mengumpamakan benda- benda yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat seperti manusia. Keraf (2004: 140) menyatakan bahwa gaya bahasa personifikasi atau prosopopoeia merupakan semacam gaya bahasa kiasan yang

182 Esai Stilistika menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Personifikasi (penginsanan) merupakan suatu corak khusus dari metafora, yang mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia. Berikut ini penggunaan majas personifikasi dalam puisi Lidah Ibu Karya Sitok Srengenge. Lidah Ibu Cahaya yang pendar dalam kata, bukan percik api bintang pagi Bayang samar yang gemetar di sana, bukan geliat muslihat fatamorgana Ini sajak menampik suara yang disumbar para pendusta Di sesela konsonan-vokal menggema cinta tak terlafal Huruf-hurufku bersembulan bagai gairah bebunga, mencerap cerah cahaya Di bawah tanah kaki-kaki mereka menjalar seliar akar, menjangkau sumber air Kata-kataku menautkan daya renggut inti bumi dan medan magnet yang dilancit lambung langit, menggerakkan yang diam, meneriakkan yang bungkam Larik-larikku dirimai rindu pada pencinta yang datang tanpa predikat tanpa belati di belikat Nafasnya meraba rabu, kelembutannya membelai betak benakmu Lidah ibu menyalakan lampu dalam kataku Benda-benda yang tersentuh cahayanya pun mengada: riuh menyebut nama-nama, piuh merajut semesta Di semesta sajak ini tak sebiji benci semi bagi pendengki Lidah ibuku menjelma pohon pengasih buah hati

Dalam baris pertama Sitok Srengenge menggambarkan sebuah kata yang dapat hidup seperti manusia./Cahaya yang pendar dalam kata/ maksudnya adalah sebuah kata-kata yang indah melantun pada lidah ibu, kata-kata itu hidup di dalam lidah ibu sehingga dapat melantun begitu indah. Jelas, itu merupakan penggambaran majas personifikasi karena

Esai Stilistika 183 sebuah kata-kata dapat hidup menyerupai manusia, hidup bercahaya sehingga dapat meluapkan semua yang ada didalam maknanya. Larik kedua juga bermajas personifikasi/bayang samar gemetar disana/, penulis menggambarkan bayangan samar seolah-olah hidup menyerupai manusia, kata gemetar identik dengan fisik manusia yang mungkin karena kedinginan jadi gemetar, gemetar itu sangat identik dengan tubuh manusia. Sedangkan bayang adalah sebuah wujud hitam yang berada di balik benda hitam yang terkena cahaya matahari. Bayangan itu pada dasarnya tidak bisa hidup, bayangan itu benda mati, terciptanya juga karena ada cahaya yang menghampirinya. Di dalam larik kedua itu penulis menggambarkan bayangan itu dapat gemetar seperti seorang manusia yang dapat gemetar karena terkena sesuatu hal. Larik ke empat bermajas personifikasi karena mengibaratkan benda mati yaitu “sajak” yang dapat menampik atau menolak suara yang didendangkan oleh para pendusta. Sajak merupakan benda mati karena sajak adalah sebuah tulisan karya sastra yang tidak mempunyai kehidupan. Tetapi, dalam larik puisi sang penulis menggambarkan sajak seolah dapat hidup dan dapat mendengarkan suara. Suara yang didendangkan oleh para pendusta. Larik keenam/huruf-huruf bersembulan bagai gairah berbunga/. Ada dua gabungan kata yang dapat bermakna personifikasi di dalam larik puisi tersebut. Pertama huruf-huruf bersembulan, arti dari sebuah huruf adalah benda mati yang dapat melambangkan bunyi. Sedangkan bersembulan adalah sebuah kata kerja yang umumnya dibuat oleh manusia. Maksud dari kata-kata tersebut adalah sebuah huruf yang dapat menampakkan diri dari yang sebelumnya tiada menjadi ada. Sehingga huruf dapat hidup atau ada menjejaki kehidupan manusia. Kata kedua yang bermajas personifikasi adalah “gairah berbunga.” Gairah merupakan sifat manusia atau makhuk hidup dalam melakukan suatu hal, entah itu melakukan mandi, tidur, makan dan yang

184 Esai Stilistika lainnya. Sedangkan bunga merupakan benda mati yang tidak mempunyai gairah. Bunga hanya dapat kita nikmati keindahannya dari segi warna dan bentuknya. Bunga tidak mempunyai gairah makan, minum, tidur ataupun yang lainnya. Tetapi di dalam larik puisi ini, bunga digambarkan mempunyai gairah seolah-olah seperti manusia yang hidup. Larik kesebelas terdapat kata-kata lambung langit Seyogyanya langit itu bagian dari tata surya dan merupakan benda mati. Langit tidak mempunyai kehidupan seperti manusia. Sedangkan lambung merupakan bagian organ tubuh dari manusia. Majas personifikasi dalam kata-kata tersebut begitu nampak sebenarnya benda mati, yaitu langit seolah-olah hidup. Perumpamaannya pada organ tersebut, hanya dimiliki oleh manusia tetapi di dalam kata-kata tersebut penulis mengibaratkan langit mempunyai organ tubuh yaitu manusia. Larik-larik ku dirimai rindu merupakan majas personifikasi. Kenapa bisa disebut majas personifikasi? Larik merupakan benda mati yang di dalamnya hanya berisi sebuah tulisan atau goresan kata-kata. Larik tidak mempunyai kehidupan atau nafas atau bahkan sifat yang menyerupai manusia. Tetapi, di dalam puisi tersebut, sang penulis menggambarkan seolah-olah larik itu hidup seperti manusia. Mengetahui larik itu hidup dari kata rinai yang artinya dalam KBBI adalah mengulang-ulang, yang diulangi dalam kata tersebut adalah rindu, sedangkan rindu itu hanya dimiliki oleh manusia, rindu merupakan sifat dari manusia yang seyogyanya manusia adalah makhluk hidup. Jadi, cukup jelas majas personifikasi dalam larik puisi tersebut adalah mengibaratkan benda mati yaitu larik seolah hidup dan mempunyai sifat rindu seperti manusia. Majas personifikasi yang terakhir dalam puisi ini adalah lidah ibu menyalakan lampu. Kita mengetahui bahwa lidah adalah sebuah organ tubuh yang tidak mempunyai tangan ataupun kaki. Lidah hanyalah segumpal daging yang ada di dalam mulut kita masing-masing. Lidah hanya bisa membantu kita untuk berbicara dan makan saja. Tetapi di

Esai Stilistika 185 dalam puisi ini tertuliskan bahwa lidah ibu dapat mematikan lampu. Yang bisa mematikan lampu itu hanya kita manusia, sedangkan lidah hanyalah sebuah organ tubuh manusia yang tidak dapat seperti itu. Lidah seolah hidup seperti manusia dan dapat mematikan lampu. Majas personifikasi yang cukup jelas di dalam larik tersebut. Jadi, puisi Lidah Ibu karya Sitok Srengenge dengan balutan majas personifikasi memberikan pembayangan nyata pada pembaca. Pembaca digiring menikmati sesuatu yang tidak lazim digambarkan hidup dan memiliki sifat seperti manusia. Namun, hal demikian menjadikan puisi Lidah Ibu begitu indah, bermakna, dan mempermainkan perasaan serta pemikiran pembaca.

***

186 Esai Stilistika MEMBINGKAI SEJARAH SASTRA MELALUI KEPENULISAN TRIYATNO TRIWIKROMO DALAM KUMPULAN PUISI KEMATIAN KECIL KARTOSOEWIRJO

Mufrodatul Muwafiqah Mahasiswa PBSI 2013

/1/ Karya sastra disebut juga sebagai dunia tiruan (mimetis) atas peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (imatitation of reality), maka karya sastra merupakan dokumen yang mencatat realitas masa lalu menurut pengamatan, pencermatan dan pemikiran subjektif pengarang. Hal ini, sebagaimana dikatakan Junus (1981:72- 75), pengertian karya sastra sebagai refleksi realitas, tidak sekadar melaporkan realitas itu sendiri, namun melaporkan realitas yang telah menjadi pemikiran pengarangnya. Dengan demikian, realitas hadir untuk kepentingan pemikiran itu sendiri. Dalam karya sastra, sastrawan bisa mengespresikan segala realita yang ada disekitarnya dengan imajinasi-imajinasi yang mereka inginkan, sehingga akan lebih leluasa dalam mengungkapkan sebuah keadaan sejarah atau masa lampau dalam tulisan sejarah. Bahan

Esai Stilistika 187 baku peristiwa sejarah itu telah diproses melalui prosedur tertentu, melainkan secara mengalir hadir ditengah-tengah dunia pengarang yang menjadi inspirasi karya sastra. Melalui sumber-sumber sejarah, sejarawan harus melakukan kritik, interpretasi, dan sintesa sampai ia sanggup menyuguhkan rekonstruksi sejarah. Karya sastra mempunyai pendekatan lain, peristiwa sejarah dapat menjadi pangkal tolak bagi sebuah karya sastra, menjadi bahan baku, tetapi tidak perlu dipertanggung jawabkan terlebih dahulu. Novel sejarah lahir sebagai jawaban intelektual dan literer terhadap problematik suatu zaman lampau sebagai refleksi. Novel sejarah tidak perlu menjadikan tokoh sejarah menjadi tokoh utamanya, karena melalui cerita sudah mewakili massa tersebut. Realitas sejarah muncul dalam novel sejarah, menurut Georg Lukacs (dalam Kuntowijoyo,1987:133), di dalamnya terdapat: (a) Historical authenticity (keaslian sejarah) yaitu kualitas dari kehidupan batin, moralitas, heroisme, kemampuan untuk berkorban, keteguhan hati, dan sebagainya, yang khas untuk suatu zaman, (b) Historical faithfulnes (kesetian sejarah) yaitu keharusan- keharusan sejarah yang didasarkan pada basis sosial ekonomi rakyat yang sesungguhnya, (c) Local colour (keadaan tempat) yaitu deskripsi yang setia tentang keadaan-keadaan fisik, tata cara, peralatan, dan sebagainya, novel sejarah membantu memudahkan penghayatan sejarah. Tidak hanya novel namun, puisi juga dapat menggambarkan sebuah sejarah yang ada disekitar pengarang, seperti yang dikatakan Waluyo dalam bukunya Pengkajian dan Apresiasi Puisi (2010:3), kenyataan sejarah yang melatarbelakangi proses penciptaan puisi mempunyai peranan yang penting dalam memberikan makna puisi itu. Puisi seringkali memotret jaman tertentu dan akan menjadi refleksi jaman tertentu pula. Kaidah estetika yang digunakan penyair biasanya selaras dengan kaidah estetika jaman tertentu. Penafsiran puisi yang mengacu pada kenyataan sejarah akan lebih kongkrit dan akan mendekati maksud

188 Esai Stilistika penyair yang sebenarnya. Oleh karena itu, karya sastra bisa dikatakan cermin sejarah yag di dalamnya terdapat imajinasi dari pengarang. Banyak sastrawan-sastrawan menuliskan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masanya, bisa masalah ekonomi, masalah kebudayaan atau bahkan masalah politik yang seringkali akan ditutupi kejadiannya oleh orang-orang tertentu, bisa diungkapkan oleh sastrawan selaku pemegang kendali dalam jalanya sebuah cerita. Bicara sastrawan, tentu kita mengenal Ahmad Tohari dengan novelnya Ronggeng Dukuh Paruk, novel tersebut menceritakan kebudayaan dan juga politik, budaya tarian ronggeng yang di dalamnya tidak hanya untuk menari namun, ada ritual-ritual lain sebagai rutinitas penari ronggeng. Menariknya kebudayaan itu dihubungkan dengan kejadian politik G 30/S PKI, dari novel itulah kita tau bagaimana tarian ronggeng yang memang bukan kebudayaan dari daerah kita. Disebabkan ada pengaruh G 30/S PKI yang hampir menyebar di segala penjuru negeri. Tidak hanya novel, puisi pun juga mewakili peristiwa yang terjadi di masanya misalnya saja puisi-puisi pemberontakan Wiji Thukul. Memang pada jaman Wiji tukul negara kita negara yang krisis ekonomi, banyak penderitaan yang dialami oleh warga di kala itu, di sinilah peran puisi sebagai aspirasi yang ingin disampaikan. Sejarah ditulis rapi pada bait-bait puisi sehingga kita tahu bagaiman perasaan Wiji Thukul dan masyarakat kala itu, begitulah sastra dalam membingkai sejarah kita bisa tau sejarah dengan kemasan yang menarik. Kedua, sastrawan dengan karya sastra yang berbeda tersebut adalah sebagian contoh kecil peran karya sastra terhadap kepenulisan sejarah, berbeda dengan kumpulan puisi Kematian Kecil Kartosoewirjo karya Triyatno Triwikromo yang akan dibahas lebih detail. Triwikromo adalah sastrawan yang lahir pada 15 Desember 1964 di Salatiga. Beliau sekarang bekerja sebagai dosen penulisan kreatif di Universitas Diponegoro, yang juga menjadi almamater universitasnya dengan jurusan ilmu kesastraan.

Esai Stilistika 189 Selain menjadi guru besar Triyatno Triwikromo adalah redaktur pelaksana harian Suara Merdeka, dengan karya-karya sastra dan penghargaan-penghargaan yang ia tulis dan dapatkan, Triyatno Triwikromo menjadi sastrawan yang dapat dikatakan sastrawan besar. Salah satu karya sastranya adalah kumpulan puisi Kemartian Kecil Kartosoewirjo, yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka tahun 2015 yang terdapat 107 puisi di dalamnya dengan berbagai ungkapan sejarah seputar kematian Kartosoewirjo.

/2/ Triyatno Triwikromo yang lahir pada tahu 1964. Hukuman mati Kartosoewirjo terjadi pada tahun 1962. Selang 2 tahun dari kelahiran Triyatno Triwikromo hukuman mati yang ditimpakan terhadap kartosoewirjo terjadi sebelum kelahiran Triyatno Triwikromo. Kartosoewirjo sendiri adalah seorang pribumi yang sempat mengenyam pendidikan di penjajahan belanda. Ia sekolah ke Inlandsche School der Tweede Klasse (ISTK). Sekolah ini menjadi sekolah nomor dua bagi kalangan Bumi Putera. Empat tahun kemudian, ia masuk ELS di Bojonegoro (sekolah untuk orang Eropa). Orang Indonesia yang berhasil masuk ELS adalah orang yang memiliki kecerdasan yang tinggi. Di Bojonegoro, Kartosoewirjo mengenal guru rohaninya yang bernama Notodiharjo, seorang tokoh Islam modern yang mengikuti alur pemikiran Muhammadiyah. Ia menanamkan pemikiran Islam modern ke dalam alam pemikiran Kartosoewirjo. Pemikiran Notodiharjo ini sangat memengaruhi sikap Kartosoewirjo dalam meresponi ajaran- ajaran Islam Setelah lulus dari ELS pada tahun 1923, Kartosoewirjo melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi Kedokteran Nederlands Indische Artsen School. Pada masa ini, ia mengenal dan bergabung dengan organisasi Syarikat Islam yang dipimpin oleh H. O. S. Tjokroaminoto. Ia sempat tinggal di rumah Tjokroaminoto. Ia menjadi murid sekaligus sekretaris

190 Esai Stilistika pribadi H.O.S. Tjokroaminoto sangat memengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi politik Kartosoewirjo. Ketertarikan Kartosoewirjo untuk mempelajari dunia politik semakin dirangsang oleh pamannya yang semakin memengaruhinya untuk semakin mendalami ilmu politik. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila nanti Kartosoewirjo tumbuh sebagai orang yang memiliki integritas keislaman yang kuat dan kesadaran politik yang tinggi. Tahun 1927, Kartosoewirjo dikeluarkan dari Nederlands Indische Artsen School karena ia dianggap menjadi aktivis politik serta memiliki buku sosialis dan komunis. Dan setelah itu Kartosoewirjo menjadi sekretaris jenderal Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). PSII merupakan kelanjutan dari Sarekat Islam. Kartosoewirjo kemudian bercita-cita untuk mendirikan negara Islam (Daulah Islamiyah). Karena cita-citanya itulah dia mendapat hukuman mati karena menjadi pemberontak di negaranya sendiri. Kekecewaannya terhadap pemerintah pusat semakin membulatkan tekadnya untuk membentuk Negara Islam Indonesia. Kartosoewirjo kemudian memproklamirkan NII pada 7 Agustus 1949. Tercatat beberapa daerah menyatakan menjadi bagian dari NII terutama Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh. Pemerintah Indonesia kemudian bereaksi dengan menjalankan operasi untuk menangkap Kartosoewirjo. Gerilya NII melawan pemerintah berlangsung lama. Perjuangan Kartosoewirjo berakhir ketika aparat keamanan menangkapnya setelah melalui perburuan panjang di wilayah Gunung Rakutak di Jawa Barat pada 4 Juni1962. Pemerintah Indonesia kemudian menghukum mati Kartosoewirjo pada 5 September1962 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta. Dilatar belakangi sejarah tentang Kartisoewiryo di atas, Triyatno Triwikromo akhirnya menuliskan puisi tentang kematian Kartosoewiryo yang dianggap pemberontak. Disalah satu puisi dalam kumpulan puisinya yang berjudul Penangkapan, di situ menggambarkan bagaimana Kartisoewirjo pasrah akan penangkapannya di dalam hutan seperti

Esai Stilistika 191 kutipan puisinya.//Hutan biru menyembunyikan apapun,atau siapapun,/ yang bertabur fosfor dan aura krimizi dari ancaman serdadu.//Hutan biru menyembunyikan aku dari kutuk kematianku//. Dari kutipan puisi tersebut kita bisa tahu persembunyian Kartosoewirjo yang berada di dalam hutan, dengan majas asosiasi, Triyatno Triwikromo menggambarkan hutan yang dapat merasakan kehadira Kartosoewirjo dan dapat melindunginya. Dalam kutipan puisi itu juga digambarkan keadaan yang menakutkan dengan kata ancaman serdadu, di situ kita tahu Triyatno menggambarkan kematian Kartisoewirjo yang semakit dekat. Namun Kartosoewirjo tak pernah takut ia pasrah ditangkap oleh para prajurit yang mengejarnya digambarkan pada kutipan puisi yang sama di bait selanjutnya yaitu Itu berarti kau harus mengatakan pada komandanmu: tak ada lagi pemburuan. Pemburuan tak bisa dilakukan lagi saat binatang bantaian tak bisa lagi mencari lobang persembunyian. “tapi kau bukan binatang kau justru tampak seperti ganggang yang mahir melilit terumbu karang. Kau....” Aku bukan siapa-siapa aku hanya mimpi orang-orang yang kau abaikan. Sekarang segera penjarakan aku. Katakan pada siapapun, seorang pemberontak yang kesepian telah menyerah dan tak ingin lagi melanjutkan perang. “tapi aku tak pernah menglahkan mu....” Kau memang tak pernah mengalahkan aku. Akulah yang mengalahkan diriku sendiri. Akulah mengalahkan kekalifahan sunyi. Kekalifahan yang kusangka bisa kubangun diantara ribuan pohon di antara akar hujan dan lenguh lembu.

Kutipan puisi selanjutnya, Triwikromo menggambarkan perasaan dari Kartosoewirjo yang mengalah ada cita-citanya membangun negara Islam. Walaupun sebenarya masih mampu. Dikatakan pada kutipan di atas kau tampak seperti ganggang yang mahir melilit terumbu karang, dengan penggunaan majas alegori yaitu majas yang menggunakan perlambangan dengan perbandingan penuh, mengambarkan keteguhan

192 Esai Stilistika Kartosoewirjo seperti ganggang yang dapat menghancurkan terumbu karang yang sangat keras. Perasaan yang tidak akan ditulis oleh buku sejarah ataupu buku pelajaran SMP atau SMA, dengan puisi yang ditulis oleh Triyatno kita bisa merasakan bagaimana perasaan seseorang menghadapi kematian, yang sebenarnya keinginannya adalah untuk membatu orang lian namun dengan caranya yang salah. Kartosoewirjo menurut keluarga adalah seseorang yang sangat bertanggugjawab, menurut istrinya dia tak menyesal menjadi istri Kartosoewirjo walaupun kehidupan ekonominya sangatlah kurang karena tak mempunyai rumah sendiri, ia harus berpindah-pindah tempat tinggal karena Kartosoewiryo lebih mementingkan kegiatanya di Lajnah Tanfidziyah, serikat Islam dengan demikian mencari nafkah pun dengan sekedarnya. Oleh karena itu, Kartosoewirjo tetaplah diangap pahlawan oleh sebagian orang. Dalam kumpulan puisinya Kematian Kecil Kartosoewirjo, Triwikromo mengambarkan pengakuan Kartosoewiryo disalah satu puisinya yang berjudul Di mobil Tahanan, di situlah pandangan kartosoewiryo terhadap Suekarno dan Tjokroaminono, dikatakan sebelumnya Tjokoaminoto adalah guru spiritual dari Kartosoewirjo dan tinggal bersama dengan Soekarno. Larik-larik puisinya sebagai berikut. Di mobil tahanan, tanpa konvoi dan bendera laskar, sambil tertawa, aku ceritakan kisah perih ku: Tank-tank tidak melindas jalan-jalan dicepu saat aku lahir: saat Selasa Kliwon, 7 Februari 1905 tidak berbau mambang, tetapi Ayahku masih harus mengatur penjualan candu. Candu untukmu. Bukan candu untukku Tentu saja aku bukan anak setan. Meskipun tidak suka pada kerumitan garis-garis merah biru di peta, aku selesaikan sekolah bumi putra kelas dua, sekolah dasar Eropa. Pada saat itu Samin Surosentiko (yang selalu kusebut sebagai keboarum

Esai Stilistika 193 yang bakal mendepak kebo bule) dipenjara di sawah lunto, dan aku belum menjenguknya. Pada 1923 (hutan-hutan kayu belum digali, hutan-hutan kayu belum ditebang), aku masuk sekolah dokter Hindia Belanda. Aku katakan kepada khalayak,”aku tak akan jadi raja sombong. Aku hanya ingin memimpin Jong Java atau Jong Islamieten Bond.” Tapi kau tahu seorang calon dokter tak boleh berpolitik. Pada 1927, aku dikeluarkan dari Nederlands Artsen Scool. Tapi mas Marcokartodikromo, pamanku, bilang, “jadilah dokter jiwa jika untuk masyarakat yang kehilangan hati.” Lalu akupun belajar pada raja jawa tanpa mahkota, aku belajar pada Tjokroaminoto. Aku belajar pada keheningan cinta. Aku belajar pada kesucia angin.(aku tahu Sukarno pun belajar kakikat keindahan setitik embun dipadang gersang pada laki- laki harum kopi, pemimpin serikat islam hindia timur ini)

Kutipan puisi tersebut adalah sepenggal perjalanan hidup Kartosoewirjo pada saat ia dilahirkan lengkap dengan tanggal neptunya, sampai ia harus dikeluarkan dari sekolah kedokteranya karena ingin menjadi pemimpin pada akhirnya ia ikut dengan Tjokroaminoto bersama dengan Soekarno. Pada puisi tersebut Triyatno menceritakan kehidupan Kartosoewirjo dengan bahasa yang puitika bisa dilihat dari kata raja jawa tanpa mahkota adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan Tjokroaminoto yang menjadi orang penting pada masa itu, selain itu kalimat ketika Kartosoewiryo belajar agama diibaratakan sebagia kesucian anggin dan hakikat keindahan setitik embun, agama yang suci adalah agama islam, dengan agama tersebut dapat dirasakan keindahan karena agama selalu mengajarkan yang baik, semua yang dilandaskan oleh kebaikan maka hasilnya pun akan baik pula.

194 Esai Stilistika Baiklah kupertegas ceritaku: bagiku Tjokroaminoto terus saja menjadidurna. Bagai bambang ekalaya, aku belajar padanya apapuntanpa dia tau aku telah mengerukseluruh ilmunya. Dan Sukarno tetapsaja jadi arjuna. Tjokroaminoto begitu cinta padanya, sehingga banyak pengetahuan rahasia yang ia susupkan kepada murid yang dianggap tiada cela. Aku tahu pada akhirnya sukarno jadi putra sang fajar. tapi aku juga tahu akulah yang sesungguhnyajadi fajar asia. Mengerjakan koran ini aku selalu berteriak,” kau boleh terus menjadi hujan disepetak sawah, tetapi aku akan menjadi kemarau sepanjang waktu di sehampar pulau.”

Kutipan lanjutan puisi Di mobil Tahanan menggunakan majas alegori untuk mengibaratkan Tjokroaminoto dan Suekarno, Tjokroaminoto diibaratkankan seperti Durna dan sukarno adalah Arjuna yang menjadi tokoh wewayangan yang terkenal sakti dan tampan serta dikenal karena kepahlawanannya. Karena Sukarno adalah murid kesayangan yang dianggap sempurna itulah mengapa tokoh wayang Arjuna cocok menggambarkan sosok Sukarno. Dalam kutipan puisi di atas juga ditegaskan bahwa jalan yang ditempuh Suekarno dan Kartosoewirjo berbeda, bisa dilihat pada kalimat, kau boleh terus menjadi hujan di sepetak sawah, tetapi aku akan menjadi kemarau sepanjang waktu di sehampar pulau. Hujan dan kemarau adalah keadaan cuaca yang berbeda yang tak mungkin berjalan dengan beriringan.

/3/ Dalam kumpulan puisi kematian kecil Katosoewirjo, menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca, Triwikromo hanya menggunakan simbol-simbol yang sudah melekat dengan kehidupan sehari-hari. Jika dibaca keseluruhan, puisi-puisi Triyanto terlihat cerdik dan luwes ketika memilih kata demi kata untuk puisinya. Triyanto menggunakan kisah-kisah dari alkitab, pewayangan, Arab dan Jawa.

Esai Stilistika 195 Islam dan Hindu. Pembaca akan disuguhi karnaval petilan kisahan Nuh, Ibrahim,Isa, Daud, Musa, Muhammad, Nuh lagi, Musa lagi, Durna, Bambang Ekalaya, Gandari, Sangkuriang, Ibrahim lagi, Adam, Ular, Pohon Hayat, Hawa, Destrarata, serta pembelokan-pembelokan lain. Gugus substansi dari puisi Nahkoda pemimpin, pemegang kemudi, imam dari komunitas akan memiliki ikatan dan relevansi dengan alusi- nya. Toh, segala rupa dari intertekstualitas yang diwanti-wantikan baik Mikhail Bakhtin, Todorov maupun Julia Kristeva, memang semestinya memiliki posisi keterikatan yang kuat dalam teks. Triwikromo mengatakan dalam menulis kumpulan puisi Kematian Kecil Kartosoewiryo, “Buku ini lahir dari pemahaman saya atas manusia yang memperjuangkan kemanusiaan dan kebangsaan. Saya tak sedang membuat buku sejarah, tapi saya menggunakan renik-renik sejarah. Saya justru sedang menggelorakan suara lain Kartosoewirjo,’’ ungkapnya dalam (Wisnu Kisawa, Sri Wahjoedi-71). Itulah karya sastra bisa mengungkapkan perasaan yang ingin diungkapkan oleh Kartosoewirjuo, yang selama ini ia hanya dianggap pemberontak dengan keimanannya tanpa mengetahui jalan pikiranya yang mendalam. Dengan puisi-puisinya, Triyanto telah melahirkan suasana getir atau perih yang belum banyak diketahui khalayak tentang Kartosoewirjo. Karena seperti memberi lilin untuk membuka lorong-lorong gelap dari sejarah Kartosoewirjo yang hanya dikenal dalam pemberontakan DI TII.

196 Esai Stilistika LUKISAN CITRAAN VISUAL ROMANTISME CINTA DALAM KUMPULAN PUISI HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO

Nur Intan Alimia Mahasiswi PBSI 2013

arya sastra merupakan wujud dari hasil pemikiran manusia. Karya sastra diciptakan untuk dinikmati dan diapresiasi, dalam Khal ini setiap penulis memiliki cara dalam mengemukakan gagasan atau ide untuk meghasilkan efek-efek tertentu kepda pembacanya. Sastra pada dasarnya wujud nyata dari pengungkapan emosi terdalam pengarang, pergolakan emosi, pengalaman batin dan gejolak kejiwaan pengarang yang diolah ke dalam karya sastra yang ekspresif pula. Sastra dianggap baik jika bahasa yang digunakan mencerminkan spontanitas, kekuatan, dan kedalaman emosi serta kejernihan refleksi. Berbicara bahasa tidak terlepas dari stilistika. Stilistika dapat diartikan sebagai keindahan pengucapan bahasa dalam karya sastra. Stilistika sebenarya cukup unik karena, seringkali makna karya sastra dipengaruhi oleh pemahaman pembaca atas bahasa sastra. Istilah stilistika berasal dari istilah stylistics dalam Bahasa Inggris yang terdiri

Esai Stilistika 197 dari dua suku kata yaitu style dan ics. Stylist adalahpengarang atau pembicara yang baik bahasanya, perancang atau ahli dalam mode. Sedangkan ics atau adalah ilmu, kaji, telaah jadi stilistika adalah ilmu gaya atau ilmu gaya bahasa. Sedangkan, stilistika menurut Rene Wellek dan Austin Warren dalam Sutejo (2014:33) mencakup semua teknik yang dipakai untuk tujuan ekspresi tertentu,dan meliputi wilayah yang lebih luas dari sastra atau retorika. Semua wujud atau teknik untuk membuat penekanan dan kejelasan dapat dimasukkan dalam wilayah stilistika. Sedangkan, Sudiro Satoto mendefinisikan sebagai bidang linguistik yang mengemukakan teori dan metodologi pengkajian atau pengenalisian formal sebuah teks karya sastra. Namun, hakikatnya dapat diartikan style sebagai sarana kebahasaan yang dipergunakan oleh pengarang dalam pengucapannya. Kata style dapat pula dipahami sebagai cara atau sarana cara mengekspresikan keindahan, sebagai cara pengungkapan emosi terdalam dan sabagai cara dan bentuk pengungkapan emosi terdalam dan sebagai cara ekspresi dunia. Secara sederhana ilmu gaya bahasa yang pada prinsipnya selalu meneliti pemakaian bahasa yang khas dan istimewa, karena itu pula style ditandai ciri-ciri formal kebahasaan seperti dalam pemilihan diksi, struktur kalimat, bahasa figuratif, penggunaan penanda kohesi, perlambangan, metafora, dan lain-lain. Dengan demikian penulisan karya sastra tidak dapat dilepaskan dari persoalan style. Style untuk tujuan estetis, dan dalam konteks kesastraan dilakukan untuk menuansakan estetika sebuah karya sastra. Karena itu pada hakikatnya style menganjurkan pengarang bagaimana cara memilih teknik nebgolah bahasa, memilih ungkapan kebahasaan yang dipandang representatif untuk mengungkapkan gagasan atau ide seorang pengarang. Disatu sisi style dapat dipahami sebagai bentuk dan formulasi bahasa pengarang yang ekspresif. Karena

198 Esai Stilistika hal ini bersifat sangat individualisme dan bagaimna style ini dapat dipahami sebagai gaya bahasa. Salah satu unsur bahasa adalah citraan yang diartika sebagai sarana kepuitisan yang digunakan oleh penyair untuk memperkuat gambaran pikiran dan perasaan pembaca. Sarana ini berkaitan erat dengan pengalaman inderawi penyair atas objek-objek yang disebutkan atau yang diterangkan dalam puisi. Guna tercapai kesinambungan maksud, pengalaman pembaca juga menjadi bagian dari sebuah proses pemahaman puisi. Citraan bersifat deskriptif dan imajinatif yang diwujudkan dalam bentuk kebendaan melalui kata. Citraan berfungsi sebagai sarana atau cara mengundang kembali ingatan pembaca atas berbagai pengalaman inderawi yang pernah dirasakan. Citraan visual dapat diartikan sebagai suatu penggambaran pengalaman yang berhubungan dengan benda, peristiwa dan keadaan yang sedang atau sudah dialami oleh seorang pengarang dengan menggunakan kata-kata yang khas dan istimewa agar mampu memberikan gambaran secara nyata baik itu hal yang lebih bersifat kejiwaan, kebendaan, maupun metaforik. Citraan ini ditimbulkan oleh indera penglihatan (mata). Citraan ini mampu memberi suatu dorongan serta rangsangan kepada indera penglihatan sehingga hal-hal yang seharunya tidak terlihat menjadi seolah-seolah terlihat. Citraan visual ini juga menggambarkan bagaimana pengarang dengan lihai dan mahirnya menggambarkan sebuah karakter tokoh dengan segala amarah, kegembiraan, dan fisik seperti kecantikan, keterampilan yang tertuang dalam citraan visual ini bak pesepakbola mengocek si kulit bundar yang begitu lihainya seolah menari-nari di atas rumput untuk menghasilkan sebuah keindahan seni yang maha luar biasa ini. Secara lebih konkretnya ciri bahasa yang merupakan citra penglihatan lebih tampak penggunaanya dalam sebuah puisi. Karena hal itu, penyair biasanya lebih dominan dalam penggunaanya terutama pada citraan visual ini, tanpa pengalaman visual ini tentunya pengarang akan

Esai Stilistika 199 dikatakan gagal dalam pelukisan pelataran secara empatif dan deskriptif. Pada akhirnya citra penglihatan ini sendiri dapatlah dimengerti sebagai ciri penglihatan yang memberi rangsangan pada indera penglihatan hingga seringkali hal-hal yang tak terlihat jadi seolah-olah terlihat. Puisi merupakan hasil buah pemikiran manusia yang bersifat imajinatif. Bahasanya bersifat konotatif karena banyak menggunakan kata bermakna kiasan dan simbol-simbol, bahasa dalam puisi tidaklah terikat dengan kaidah kebahasaan pada umunya karena itu pula puisi memiliki hak mutlak kebebasan untuk menyimpang dari kaidah kebahasaan yang ada dan hal ini bisa dikatakan sebagai lisencia poetica. Dalam proses penulisan puisi terjadi pemadatan kata dengan berbagai bentuk kekuatan bahasa yang ada. Secara etimologi puisi berasal dari dari bahasa Yunani poeima yang berarti membuat atau poeisis yang berarti pembuatan. Di dalam bahasa Inggris disebut dengan poem atau poetry. Jadi dapat pula puisi diartikan sebagai pembuatan, karena memahami puisi berarti telah menciptakan sebuah dunia di luar dunia orang lain pada umumnya dengan puisi pula pengarang akan tetap hidup walau zaman akan terus berganti. Puisi ini pula adalah salah satu jenis karya satra yang paing banyak diminati oleh kebanyakan orang, bahkan banyak sekali ruang-ruang yang terbuka lebar bagi pengarang umtuk menunjukkan betapa dahsyatnya sebuah puisi ke khalayak umum. Puisi bila disusun dengan memperhatikan struktu-struktur baik secara batin maupun fisik akan menghasilkan suatu rangkaian kata yang indah dan bermakna. Rangkaian indah yang mengandung makna yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembacanya, maka dalam Kumpulan Puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono ini perlu adanya suatu kajian untuk mengungkap makna di balik karya besar seorang Sapardi Djoko Damono ini. Kajian yang dipih berupa citraan visual utuk menangkap hal-hal yang terlihat dalam Puisi Djoko Damono.

200 Esai Stilistika Sapardi Djoko Damono ini sendiri merupakan seorang pengarang terkemuka di indonesia, beliau lahir di Solo 20 maret 1940, pengarang merupakan salah satu anggota masyarakat begitu pula dengan pengarang yang tidak dapat lepas dari pengaruh sosial budaya masayrakatnya. Begitu pula dengan Sapardi Djoko Damono dalam hidupnya beliau telah mengalami berbagai peristiwa dan pengalaman yang mampu dijadikan informasi atau sumber dalam setiap karyanya.

Belajar melihat puisi Hujan Bulan Juli Pertama-tama yang akan di bedah tentang citraan viusalnya adalah puisi Hujan Bulan Juni dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono. Hujan Bulan Juni

tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni dirahasiakannyan rintik rindunya kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni dihapusnya jejak-jejak kakinya yang bragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu

Puisi di atas seperti menceritakan sebuah rasa yang tertahan rasa yang mungkin berupa rasa rindu dan cinta yang tak sempat untuk disampaikan dengan rangkaian kata. Melalui pemilihan kata yang tepat dan dekat dengan kehidupan sehari-hari puisi ini mampu menyulap

Esai Stilistika 201 kata-kata yang sederhana menjadi pesan yang penuh makna dan mampu membuat menghadirkan sebuah imaji bagi pembacanya. Pada bait pertama ditulis;//tak ada yang lebih tabah/dari hujan bulan juni/ dirahasiakannya rintik rindunya/kepada pohon berbunga itu//. Pada bait tersebut hujan digambarkan seolah-olah memiliki sifat seperti manusia yaitu sifat yang tabah seperti seorang yang sabar menahan suatu gejolak yang besar pada diri seseorang, kemudian untuk yang kata berikutnya hujan di bulan juni itu rasanya sangat ganjil karena di mana seharusnya menurut penanggalan musim di Indonesia Juni seharusnya masuk pada musim kemarau. Apabila kedua kata ini yaitu bulan Juni ini digabungkan maka akan terlihat seolah-olah menggambarkan seseorang yang sedang menahan sebuah persaan rindu atau pun cinta diibaratkan hujan yang seharusnya menahan diri untuk tidak muncul di musim kemarau. Hujan seolah diharapkan menahan bulir-bulirnya untuk tidak jatuh, lalu pada kata dirahasiakannya rintik rindunya seolah-olah menggambarkan perasaan yang tengah dirasakan sang pengarang. Pohon yang ber- bunga diindikasikan seperti itu tambatan atau seseorang yang dicintai oleh pengarang atau muara dari semua rasa yang dimiliki penyair. Dan kata ”dirahasiakannya” seakan mempertegas penyair tengah memendam rasa. Kemudian pada bait yang kedua,//tak ada yang lebih bijak/dari hujan bulan juni/dihapusnya jejak-jejak kakinya/yang ragu-ragu di jalan itu//. Hujan dalam bait tersebut digambarkan seakan- akan hujan di bulan Juni ini memiliki sifat yang bijak dalam menyikapi perasaannya dewasa dalam mengendalikan perasaannya, kemudian selanjutnya seakan pembaca di bawah pada dimensi di mana kata itu hidup seakan pembaca dapat melihat dihapusnya jejak kaki di jalan. Hal terebut juga seolah menggambarkan keraguan penyair karena suatu hal ia tidak berani mengungkapkan perasaannya, kata dihapusnya pun seolah menggambarkan penulis mungkin mulai menyerah dan

202 Esai Stilistika berhenti meneruskan perasaannya dipertegaskan lagi dengan kata jejak- jejak kaki yang seperti menggambarkan rasa rindu dan cintanya. Selanjutnya pada bait ketiga,/tak ada yang lebih arif/hujan bulan juni/dibiarkannya yang tak terucapkan/dierap akar pohon bunga itu/. Bait itu seolah-olah hujan memiliki sifat yang arif dalam memperalakukan perasaannya terhadap seseorang, tak dibiarkannya perasaan datang tanpa kendali atas dirinya. Kemudian pada baris selanjutnya seakan mempertegas bahwa penyair seakan tak ingin lagi meneruskan persaannya dengan memendam segala rasa rindu dan cintanya. Dengan cara yang begitu arifnya hal ini bisa dibuktikan dengan kalimat diserapnya akar pohon bunga itu kata-kata yang ada di pada puisi ini amatlah sederhana, tidak rumit, dan begitu dekat denga kehidupan sehari-hari masyarakat umum, namun begitu tidak dapat mengurangi kualitas estetika dan isi. Namun, sebaliknya dengan kesederhanaan yang dihadirkan pada puisi ini mampu membangkitkan pengalaman pembaca puisi dengan sederhananya yang disajikan oleh pengarang telah memiliki tafsiran yang sangat luas. Sikap penyair terhadap inti masalah pada puisi dapat diketahui melalui gambaran ungkapan yan digunakan dalam setiap unsur strukturnya yang dikandung di dalam puisi, guna menyampaikan suasana hati yang sedang dirasakan oleh penyair. Pilihan citraan visual pada puisi Hujan Bulan Juni ini dengan jelas menunjukkan bagaimana perasaan rindu dan cinta yang ditahan yang memilih untuk tidak diungkapkan kepada seseorang. Namun, malah sebaliknya saat proses untuk menahannya penyair dengan begitu berbesar hati tabah menyimpannnya dan dengan begitu bijaknya berusaha untuk menghilangkan rasa yang tengah disimpannnya. Puisi Hujan Bulan Juni ini memiliki sebuah makna di balik citraan visualnya dengan berbagai kata-katanya yang nampak secara visual untuk mengajarkan tentang ketabahan, kearifan, dan kebijaksanaan yang harus dimiliki seseorang dalam keadaan sesulit apa pun. Puisi ini

Esai Stilistika 203 juga dengan citraan visualnya agar tidak berlarut-larut dalam persaan sedihnya agar segera melupakan perasaan yang membuatnya tidak nyaman.

Belajar Melihat puisi Aku Ingin Analisis selanjutnya adalah puisi “Aku Ingin” yang juga ada dalam buku kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. Aku Ingin aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Kata-kata yang terdapat pada puisi ini sangatlah sederhana, namun tidak mengurangi nilai keindahan yang disajikan oleh pengarang lewat kata-katanya yang begitu bersahaja. Pengarang berhasil membuat jantung pembaca berdetak kencang dari biasanya. Goresan-goresan kata yang telah ditanamkan pengarang mampu berbicara dengan begitu indahnya. Walau dengan kata-kata yang sederhana ini tak akan mudah bagi pembaca untuk menyibak makna apa di balik puisi ini, dengan citraan visual kita akan mampu menerka-nerka makna yang ada di balik puisi ini. Seperti larik aku ingin mencintaimu dengan sederhana seolah pengarang ini menunjukkan bahwa ia mencintai seseorang dengan cara sesederhana mungkin, tidak masalah bila memang seorang yang dicintainya ini tidak balik mencintainya. Karena ia cuma menginginkan kesederhanaan dalam mencintai dan ketika cinta itu terbalas maka, cinta itu tidak akan sesederhana lagi. Lalu pada kata “kayu” kayu di sini seolah menggambarkan bahwa ia mampu dan akan menanggung apa pun

204 Esai Stilistika resikonya saat orang yang dicintainya itu tak akan menerima cintanya, kemudian kata ”api” menggambar seseorang yang dicintai pengarang yang siap kapan saja membakar pengarang dengan cintanya yang begitu membaranya. Selanjutnya pada kata “abu” seolah menggambarkan apa pun yang dilakukan orang dicintai pengarang kepadanya ia dengan sederhananya akan menerimanya sekali pun ia harus hancur seperti abu. Bait selanjutnya ada kata “awan” bisa juga dimaknai dengan masih banyak isi hati yang ingin dinyatakan, tapi orang dicintainya itu tak ingin mendengarnya sehingga isi hatinya tak tersampaikan, “hujan” bisa dimaknai bahwa hujan adalah seseorang yang dicintai oleh Si pengarang atau Si awan ini. Jadi, bisa juga diperumpamakan awan mencintai hujan tapi ketika ia mencoba memberi tahu kepadanya tentang perasaan cinta itu tanpa dicegah hujan mengguyur bumi dan menjadikan awan tersebut tiada sehinga seolah Si pengarang belum sempat menyampaikan apa yang dirasakannya. Makna yang bisa di tangkap seperti awan masih tetap mencintai hujan walau sudah membuatnya hilang dan tetap mencintainya dengan sederhana.

***

Esai Stilistika 205 ANALISIS PENCITRAAN VISUAL NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI

Puput Prastya Ning Tyas Mahasiswa PBSI 2013

/1/ Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi serta refleksinya terhadap gejala-gajala sosial di sekitarnya (Ismanto, 2003: 59). Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang mencoba menghasilkan pandangan dunianya tentang realitas sosial di sekitarnya untuk menunjukkan karya sastra yang berakar pada kultur tertentu. Pernyataan di atas sesungguhnya mengandung implikasi bahwa sastra adalah sebagai lembaga sosial yang menyuarakan pandangan dunia pengarangnya. Pandangan dunia ini bukan semata-mata fakta atau yang bersifat langsung, tetapi merupakan suatu gagasan, aspirasi dan perasaan yang dapat mempersatukan kelompok sosial masyarakat. Novel karya Ahmad Tohari yang bertema budaya bercerita tentang perjuangan hidup seorang perempuan desa dengan karakter setting yang begitu detail. Novel tersebut berjudul Ronggeng Dukuh Paruk. Novel yang berlatar belakang sebuah kebudayaan di daerah tertentu.

206 Esai Stilistika Di samping itu, novel ini menjadi sebuah refleksi bagi kehidupan bermasyarakat, yaitu dipergunakan sebagai literatur dengan pesan- pesan yang ada di dalamnya. Pesan yang berusaha digarap oleh pengarang. Novel yang bertema kebudayaan merupakan satu dari trilogi yang ditulis oleh Ahmad Tohari. Novel ini mengambil cerita tentang seorang ronggeng dengan kehidupannya di dalam masyarakat. Perjuangan seorang perempuan di dalam meniti pilihan hidupnya. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ditemukan citraan visual dengan baik untuk menciptakan imajinasi pembaca tentang lukisan suasana, keadaan, tempat, secara memikat yang melatari novel tersebut,lukisan karakter tokoh-tokoh dalam novel, dan lukisan peristiwa membangun sebuah alur cerita. Citraan visual ini merupakan teknik pengucapaan pengimajian pengarang dengan melukiskan bahasa yang merupakan perwujudan dari pengalaman penglihatan (visual). Citraan visual juga dapat memberi rangsangan kepada indera penglihatan sehingga mengusik imajinasi pembaca untuk memahami teks sastra secara utuh. Ronggeng Dukuh Paruk adalah bercerita tentang kehidupan seorang ronggeng yang bernama Srintil. Novel ini berlatar tempat di Dukuh Paruk. Dukuh Paruk merupakan sebuah kampung terpencil yang merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Dawuhan. Novel Ronggeng Dukuh Paruk dapat dikelompokkan menjadi dua pokok, yaitu budaya, adat istiadat. Adat dalam novel Rongeng Dukuh Paruk diperjelas seperti dalam kutipan berikut. “Adat Dukuk Paruk mengajarkan, kerja sama antara ketiga laki-laki itu harus berhenti di sini. Rasus, Warta, dan Darsun kini harus saling adu tenaga memperebutkan umbi singkong yang baru mereka cabut.” (hal:11)

Uraian di atas dapat diketahui bahwa kerja sama yang dilakukan bersama untuk memperoleh suatu tujuan, harus berakhir ketika tujuan

Esai Stilistika 207 tersebut telah dicapai. Hal itu dilakuakan untuk menemukan pemenang, siapa yang layak memperoleh bagian yang lebih banyak dari apa yang diperoleh dan ketika pemenang ditentukan maka tidak ada protes diantara mereka, karena sudah merupakan adat dari daerah Dukuh Paruk. Menanggapi hal itu dapat disimpulkan bahwa tidak ada budaya gotong royong dinovel Rongeng DukuhParuk, yang ada hanyalah kerja sama kemudian kemudian bersaing untuk menjadi pemenang. Pengarang menjadikan Dukuh Paruk pendukuhan yang terkenal dengan dunia ronggengnya. Dukuh paruk tanpa ronggeng bukanlah Dukuh Paruk karena ronggeng merupakan ciri khas dari wilayah Dukuh paruk. Ronggeng yang diceritakan dalam novel tersebut bernama srintil. Novel ini menceritakan dari srintil masih kecil hingga dia menjadi Ronggeng Dukuh Paruk, dia dipercaya sebagai seorang ronggeng sejati yang kemasukan indang ronggeng. Indang adalah semacam wangsit yang dimuliakan di dunia peronggengan. Selain itu ada kepercayaan bahwa srintil dilahirkan di Dukuh Paruk atas restu arwah Ki Secemenggala dengan tugas menjadi Ronggeng. Sehingga dapat disimpulkan Dukuh Paruk hanya lengkap ketika ada keramat ki Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah serapah, dan khusunya ada ronggeng bersama perangkat calungnya. Novel Rongeng Dukuh Paruk berlatar utama di suatu wilayah yang bernama Dukuh Paruk. Latar tempat ini terlihat dalam kutipan berikut. “Darah dagingnya dua pululuh tiga rumah berada di pendukuhan itu, di huni oleh orang-orang seketurunan. Di Dukuh Paruk inilah akhirnya Ki Secamenggala menitipkan.” (hal:10)

Kutipan diatas dapat diketahui bahwa latar tempat di dalam rumah novel Rongeng Dukuh Paruk terjadi di Dukuh Paruk, sedangkan latar tempat di luar rumah tidak ditemukan dalam novel. Adanya dua puluh tiga rumah di dukuh tersebut menggambarkan bahwa Dukuh Paruk

208 Esai Stilistika merupakan pemukiman kecil yang keberadaannya ditempat terpencil. Dari kutipan diatas, juga terlihat jelas bahwa masyarakat Dukuh Paruk dihuni oleh masyarakat seketurunan, yang mana Ki Secamenggala adalah orang pertama yang tinggal di Dukuh Paruk menjadi nenek moyang mereka. Dukuh Paruk adalah pemukiman di tengah hamparan sawah yang luas terdapat dua puluh tiga rumah, dihuni oleh orang-orang seketurunan. Cerita dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk tidak punya tanggal tapi, novel trilogi ini terjadi tahun 1965. Hal ini tercermin ketika Srintil terlibat dalam kekalutan politik pada tahun 1965. Sedangkan latar terjadinya peristiwa kematian sebagian warga Dukuh Paruk akibat keracunan tempe bongkrek terjadi tahun 1946. Hal ini secara eksplisit disampaikan pengarang sebagaimana tampak pada kutipan berikut. “Seandainya ada seorang di Dukuh Paruk yang pernah bersekolah, dia dapat mengira-ngira saai itu hampir pukul dua belas tengah malam, tahun 1964. Semua penghuni pendukuhan itu telah tidur pulas, kecuali santayib, ayah srintil.” (hal:21)

Kutipan diatas mengambarkan bahwa kematian sebagian masyarakat Dukuh Paruk terjadi pada 1946 yang mana saat saat itu Srintil masih kecil. Dalam novel tersebut yang disalahkan atas kematian masyarakat Dukuh paruk adalah Santayib. Pengarang sengaja mengahadirkan cerita ini untuk mengajak pembaca seakan melihat dan mengalaminya serta mengingatkan ronggeng terakhir di Dukuh Paruk yang mati ketika Srintil masih kecil, yang kemudian ronggeng tersebut digantikan oleh Srintil. Latar waktu dalam novel Rongeng Dukuh Paruk juga terjadi tahun 1960. Hal ini tergambar pada kutipan berikut. “Tahun 1960 wilayah kecamatan Dawuan tidak aman. Perampok dengan kekerasan senjata sering terjadi. Tidak jarang perampok membakar rumah korbannya.” (hal:90)

Esai Stilistika 209 Kutipan di atas menggambarkan peristiwa fenomenal yang terjadi dalam novel Rongeng Dukuh Paruk tidak hanya kematian akibat tempe bongkrek, tapi peristiwa perampokan yang terjadi di Dawuan. Peristiwa tersebut masyarakat Dawuan khususnya dan rasus tokoh pendatang dari Dukuh Paruk. Novel Ronggeng Dukuh Paruk juga menyajikan gaya penokohan naratif, yaitu cara mendeskripsikan watak tokoh cerita yang diambil alih oleh seorang pencerita tunggal, yaitu Rasus. Dalam novel tersebut pencerita memaparkan watak tokoh-tokoh cerita dan menambahkan komentar tentang watak tersebut. Tokoh utama dalam novel adalah Rasus, pengarang menampilkan rasus sebagai narrator dalam peristiwa novel Rongeng DukuhParuk sedang srintil ditampilkan sebagai tokoh yang diceritakan Rasus. Tokoh Rasus merupakan tokoh yang serba tahu akan segala peristiwa dalam cerita itu. Rasus dilukiskan sebagai seorang pemuda yang tidak mempunyai status kebangsaan, tinggal di daerah terpencil yang mempunayi status rendah, kurang pengetahuan serta mudah rapuh. Hal ini secara eksplisit disampaikan pengarang sebagaimana tampak pada kutipan berikut. “Aku tidak rela hal semacam itu terjadi. Tetapi lagi-lagi terbukti seorang anak dari Dukuh Paruk bernama Rasus terlalu lemah untuk menolak hal buruk yang amat dibencinya. Jadiaku hanya bisa mengumpat dalam hati dan meludah. Asu buntung!” (hal:53).

Dalam kutipan di atas watak rapuh Rasus tampak jelas dalam pengakuannya bahwa kejadian tersebut disebabkan oleh ketidak mampuannya melawan hukum pasti di Dukuh Paruk yang harus dilakukan seorang ronggeng yaitu malam bukak-klambu. Rasus harus merelakan orang yang dicintainya yaitu srintil untuk menyelesaikan persyaratan terakhir menjadi seorang ronggeng yang bernama bukak-

210 Esai Stilistika klambu. Menghadapi hal itu rarus tidak dapat berbuat apa-apa, dia hanya dapat pasrah pada apa yang akan terjadi pada srintil. Dalam novel Rongeng Dukuh Paruk pengarang menggambarkan Srintil sebagai seorang ronggeng yang cantik berperawakan menarik serta perempuan yang sempurna fisiknya yang dianggap sebagai titisan dari Ki Secamanggala. Kutipan berikut memperlihatkan kecantikan Srintil serta kesempurnaan fisik yang dimilikinya. “Mulutnya mungil. Cambang tipis di pipinya menjadi nyata setelah Srintil dibedaki. Alis yang diperjelas dengan jelaga bercampur getah pepaya membuatnya kelihatan seperti boneka.” (hal:18)

Kutipan di atas menampilkan Srintil sebagai seorang ronggeng yang sempurna, yaitu dengan kecantikan dan fisik yang dimilikinya. Srintil yang sebelumnya hanya anak Dukuh Paruk biasa yang tidak mempunyai status kebangsaan dijadikan pengarang sebagai perempuan mempunyai status yang tinggi ketika menjadi ronggeng. Hal tersebut menimbulkan perubahan watak yang dimiliki Srintil. Dulu srintil yang sering bermain bersama Rasus, Warta dan Darsun tapi setelah menjadi seorang ronggeng dia sudah tidak ada waktu untuk bermain bersama mereka. Dari situ sangat terlihat perubahan sifat srintil. Cerita dalam novel Rongeng Dukuh Paruk di buku pertama yang berjudul Catatan Buat Emak terdapat pada Bagian pertama novel diawali dengan peristiwa yang menunjukkan alur mundur, yaitu peristiwa malapetaka yang terjadi di Dukuh paruk akibat keracunan tempe bongkrek. Hal ini tergambar dari kutipan berikut. “Sebelas tahun yang lalu ketika srintil masih bayi. Dukuh Paruk yang kecil basah kuyup tersiram hujan lebat. Dalam kegelapan yang pekat, pemukiman yang kecil itu lengang, amat lengang.” (hal:21)

Kutipan di atas memberi gambaran bahwa kejadian malapetaka yang membunuh sebagian masyarakat Dukuh Paruk akibat keracunan

Esai Stilistika 211 tempe bongkrek terjadi sebelas tahun yang lalu yaitu ketika srintil masih kecil. Kutipan di atas juga menjadi paragraf awal novel dalam penceritaan tentang malapetaka tempe bongkrek. Sehingga dapat diketahui bahwa penceritaan tentang malapetaka tempe bongkrek dalam novel menggunakan alur mundur. Sedangkan, pada bagian kedua dan seterusnya menggunakan alur maju yang menceritakan tentang inti dari cerita novel, yaitu kisah Srintil dengan Rasus dan kisah Srintil yang menjadi Ronggeng baru setelah tidak adanya Ronggeng selama 11 tahun. Juga menceritakan kebingungan rasus akan asal-usul ibunya yang menghilang sejak ia kecil. Adanya alur maju terlihat dari kutipan berikut. “Sudah dua bulan Srintil menjadi ronggeng. Namun adat Dukuh Paruk mengatakan masih ada dua tahapan yang harus dilaluinya sebelum Srintil berhak menyebut dirinya seorang ronggeng yang sebenarnya.” (hal:43)

Kutipan di atas menjelaskan tentang srintil yang sudah menjadi ronggeng. Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa alur begerak maju sampai akhir cerita, yaitu dari srintil yang dulunya masih kecil saat malapetaka tempe bongkrek dan sekarang sudah berusia 11 tahun menjadi seorang ronggeng. Berdasarkan beberapa pandangan tentang pusat pengisahan, dapat diperoleh gambaran bahwa ada beberapa kemungkinan yang dapat dipergunakan oleh pengarang dalam menceritakan ceritanya melalui pusat pengisahan, seperti halnya dalam novel Rongeng Dukuh Paruk pada bagian pertama menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut. “Ia merasa srintil telah menjadi milik semua orang Dukuh Paruk. Rasus cemas tidak bisa lagi bermain sepuasnya dengan Srintil di bawah pohon nangka. Tetapi Rasus tak berkata apapun.” (hal:20)

212 Esai Stilistika Pengarang dalam kutipan di atas ikut terlibat dalam cerita sekaligus sebagai pengamat. Penggunaan orang ketiga dalam novel ini dapat dikatakan logis, dalam gaya penceritaan orang ketiga serta serba tahu karena pengarang berada di luar cerita, pengarang mengetahui batin tokoh utama, seperti tokoh Rasus ketika menyaksikan pentas menari srintil. Pengarang seperti ikut merasakan apa yang dirasakan Rasus, yaitu perasaan hati Rasus. Nilai yang terkandung dalam novel Rongeng Dukuh Paruk yaitu nilai yang dapat memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan suatu masyatrakat, peradaban, atau kebudayaan. Hal ini secara eksplisit disampaikan pengarang sebagaimana tampak pada kutipan berikut. “Orang-orang yang sudah berkumpul hendak melihat Srintil menari mulai gelisah. Mereka sudah begitu rindu akan suara calung. Belasan tahun lamanya mereka tidak melihat pagelaran ronggeng.” (hal:19)

Kutipan di atas menggambarkan bahwa Dukuh Paruk begitu erat dengan budaya pertunjukkan ronggeng. Adanya ronggeng merupakan pemersatu masyarakat yang ada di Dukuh Paruk. Nilai budaya yang terdapat dalam novel juga sangat erat dengan adat yang ada di Dukuh paruk. Dukuh Paruk yang identik dengan adanya ronggeng juga mengaitkan budayanya dengan perilaku masyarakat, pertunjukkan ronggeng yang dihadirkan dalam novel menimbulkan perilaku yang kurang dapat diterima di masyarakat sekarang. Misalnya Dukuh Paruk dengan kemelaratannya, keterbelakangannya, kebodohannya tanpa pengetahuan, di Dukuh paruk hal seperti sudah biasa. Sedangkan moral yang terdapat dalam novel “Rongeng Dukuh Paruk” yaitu moral yang didapat dari ajaran pelbagai ajaran adat yang menguasai peputaran manusia atau disebut moral terapan. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut.

Esai Stilistika 213 “Di belakangku Dukuh Paruh diam membisu. Namun segalanya masih utuh di sana: keramat Ki Secamenggala, kemelaratan, sumpah serapah, irama calung, dan seorang ronggeng. “(hal:107)

Kutipan di atas pengarang melukiskan kehidupan masyarakat yang masih berada dalam alam pikiran mitis, miskin, longgar tatanan moralnya, dan ronggeng. Kutipan di atas menggambarkan bagaimana moral yang tercipta di Dukuh paruk. Dengan kemelaratan yang turun temurun tidak menumbuhkan semangat masyarakat Dukuh Paruk untuk memperbaiki hidup. Tapi walaupun begitu kehidupan mereka sangat bergantung pada pertunjukkan ronggeng yang menghasilkan kesenangan pribadi. Tingkah laku masyarakat Dukuh Paruk yang biasa dengan sumpah serapah mencerminkan kebiasaan yang dinilai tidak baik. Sehinggan moral yang terdapat dalam novel Rongeng Dukuh Paruk banyak membahas tentang bentuk moral etika, yaitu membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai tidak baik. Secara analisis, novel Ronggeng Dukuh Paruk dapat menambah pemahaman kepada pembaca dalam menemukan unsur intrinsik maupun unsur ekstrinsik cerpen. Unsur novel Ronggeng Dukuh Paruk yang dianalisi yaitu latar, penokohan dan perwatakan, alur, sudut pandang, dan nilai moral. Tema pokok dalam novel Rongeng Dukuh Paruk, yaitu pertentangan antara keramat Ki Secamenggala dengan kaum terpelajar. Latar yang terjadi di Dukuh paruk. Tokoh utama Rasus dan tokoh pembantu utama Srintil. Alur yang terjadi alur campuran dengan menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku utama serta nilai moral tergambar kurang baik. ***

214 Esai Stilistika ANALISIS RIMA DALAM KUMPULAN SAJAK BALLADA ORANG ORANG TERCINTA KARYA WS RENDRA

Saryudi Mahasiswa PBSI 2013

/1/ Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat. Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena itu sastra lahir dengan fenomena- fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat. Sehingga, tidak salah sastra mencerminkan realita kehidupan. Sebagai salah satu cabang seni, karya sastra digolongkan menjadi prosa, puisi, dan drama. Puisi secara hakikat merupakan karya sastra hasil perenungan penyair atas suatu keadaan atau peristiwa yang diamati, dihayati, dan dilihatnya. Cetusan ide penyair dikemas dalam bahasa yang padat dan indah. Sebagai salah satu karya sastra puisi mempunyai dunia sendiri, yang dibangun oleh unsur-unsur yang memiliki perpaduan seperti tema, irama dan rima, diksi atau pilihan kata, baris dan bait, dan gaya bahasa, yang selanjutnya disebut dengan

Esai Stilistika 215 unsur intrinsik. Puisi selain menghibur dengan cara menyajikan keindahan, juga memberikan suatu yang bermakna bagi kehidupan. Puisi juga tidak pernah lepas dengan bahasa, keduanya sebagai pasangan yang tidak mungkin berpisah. Bahasa dalam sajak hakikatnya adalah bunyi, yaitu bunyi yang dirangkai dengan menggunakan pola tertentu. Jika, sebuah sajak dibacakan maka pertama-tama yang tertangkap oleh telinga kita sesungguhnya adalah rangkaian bunyi. Hanya karena bunyi itu dirangkai dengan mengikuti konvensi bahasa, maka bunyi itu sekaligus mengandung makna. Bunyi di dalam sajak memegang peranan penting. Tanpa bunyi yang ditata secara serasi dan apik, unsur kepuitisan dalam sajak tidak mungkin dapat dibangun. Dengan demikian, bunyi di dalam sajak memiliki peran ganda. Jika di dalam prosa fiksi bunyi berperan menentukan makna maka, di dalam sajak bunyi tidak hanya sekedar menentukan makna melainkan ikut menentukan nilai estetis sajak. Peran ganda unsur bunyi menempatkannya pada kedudukan yang begitu penting. Bunyi begitu fungsional dan mendasar dalam penciptaan sajak. Sebelum sampai kepada unsur-unsur lain, maka lapis bunyi berperan lebih dahulu. Jika unsur bunyi dalam sajak tidak dimanfaatkan secara baik oleh penyair, maka tidak dapat diharapkan timbulnya suatu suasana dan pengaruh pada diri pembaca. Dengan demikian, sugesti dalam diri pembaca dan penikmat sajak juga tidak akan muncul. Bunyi memang dapat menciptakan efek dan kesan. Bunyi mampu memberikan penekanan dan dapat pula menimbulkan suasana tertentu. Mendengar bunyi jangkerik malam hari misalnya, akan menimbulkan efek semakin terasa sepinya malam, menambah keheningan yang seakan menusuk relun jiwa. Mendengar suara kicau burung yang bersahut- sahutan di pagi hari, akan membangkitkan suasana riang, sedangkan mendengar suara lolongan anjing di tengah malam akan menciptakan suasana mencekam yang membangkitkan bulu roma. Bunyi-bunyi yang berasal dari hewan tersebut secara konvensi bahasa manusia

216 Esai Stilistika tidak dapat dipahami maknanya, tetapi dari suasana yang diciptakan dapat dirasakan kesannya. Dengan demikian, bunyi di samping sebagai hiasan yang dapat membangkitkan keindahan dan kepuitisan, juga ikut berperan membentuk suasana yang mempertajam makna. Bunyi sekaligus menimbulkan daya saran yang efektif dan memancing sugestif. Bunyi erat hubungannya dengan unsur musikalitas. Bunyi vokal dan konsonan jika dirangkai dan disusun sedemikian rupa akan mampu menimbulkan bunyi yang menarik dan berirama. Bunyi berirama ini menimbulkan tekanan tempo dan dinamik tertentu seperti layaknya bunyi musik dan melodi. Asonansi merupakan pemanatan unsur bunyi scara berulang- ulang dalam satu baris atau sajak. Permainan bunyi okal (asonansi) dan konsonan (aliterasi) dapat menggambarkan bunyi merdu dan berirama yang disebut euphony ini dapat menggambarkan suasana yang menyenangkan, mesra, indah, dan penuh bahagia. Contoh efoni antara lain berupa kombinasi bunyi-bunyi vokal (asonansi) a, e, i, u, o.

/2/ Pemanfaatan bunyi daalam kumpulan Sajak Ballada Orang Orang Tercinta, sedemikian rupa dikemas dengan indah sehingga bunyi yang dirangkaikan di dalam sajak menimbulkan kesan yang cerah serta sebaliknya, suatu kesan keburaman. Kesan ini tercermin dari keseluruhan sajak dan tertangkap dari keseluruhan sajak melalui suasana yang melingkupinya dalam kumpulan sajak Ballada oarang- orang tercinta. Secara teoritis, kesan buram timbul karena bunyi yang dirangkaikan berasal dari konsonan tak bersuara seperti/k/,/p/,/t/,/s/. Penggunaan bunyi konsonan tersebut menciptakan perasaan jiwa yang tertekan, gelisah, bahkan yang memuakkan. Karena menggambarkan perasaan yang demikian, akibatnya yang muncul adalah kesan suasana buram.

Esai Stilistika 217 Seperti dalam sajak yang berjudul Ada Tilgram Tiba Senja, berikut bait di dalamnya//Ada tilgram tiba senja/Dari pusat kota yang bila/Disemat didada bunda. Bait ke-1 menunjukkan asonansi yang menonjol, yaitu bunyi vokal/a/. Asonansi bunyi/a/pada bait I tersebut selain memberikan efek estetis pada indra pendengaran pembaca, juga mengandung makna yang mendalam. Bait tersebut seakan akan menggambarkan rasa suka yang sangat dalam ketika Ibu menerima Tilgram dari anaknya yang jauh darinya. Susunan bunyi tersebut memberikan efek lebih pada rasa suka Ibu saat mendapat tilgram dari anaknya. Di bait kedua juga diperlihatkan permainan bunyi yang menarik;// Bunda Letihku Tandus ke tulang,/Anakda kembali pulang//. Pada bait ke-2, digambarkan isi dari Tilgram si anak yang diterima oleh si Ibu. Anak tersebut mengabarkan pada Ibu bahwa Ia akan pulang. Pada bait II terdapat pengulangan bunyi vokal/a/dan/u/. Asonansi bunyi tersebut selain memberi efek estetis juga menggambarkan sifat manja si Anak. Selain dari Asonansinya juga dari pilihan-pilihan kata yang pengarang hadirkan asonansi, juga dapat menggambarkan kemanjaan Si Anak. Selanjutnya di bait ketiga:/kapuk randu! Kapuk randu!/Selembut tudung cendawan/Kuncup-kuncup di hatiku/Pada mengembang bermekaran/Pada bait ke-3, yang menonjol adalah aliterasi konsonan/k/ dan/d/. Susunan dan pengulangan bunyi-bunyi tersebut selain menimbulkan efek estetis, juga dapat mengungkapkan rasa suka si Ibu dengan kabar bahwa anaknya akan segera pulang. Rasa suka cita tersebut diungkapkan pada alam sekitarnya kapuk randu. Selanjutnya bait keempat/Dulu ketika pamit mengembara/Kuberi Ia kuda bapanya/Berwarna sawo muda/Cepat larinya/Jauh perginny//Pada bait ke-4 ini, terdapat asonansi bunyi yang menonjol pada vokal/a/. Asonansi bunyi vokal/a/pada puisi di atas memberikan efek estetis dan nilai rasa suka duka si Ibu ketika melepas kepergian Anaknya. Dengan hadirnya asonansi tersebut secara tidak langsung menguatkan rasa dan

218 Esai Stilistika menggambarkan betapa suka dukanya ketika si Anak pamit padanya sebelum berangkat ke kota. Bait kelima juga masih dipertontonkan penggunaan permainan bunyi yang indah//Dulu masanya rontok asam jawa/Untuk apa kurontokkan air mata?/Cepat larinya/Jauh perginya//. Pada bait kelima tersebut bunyi yang menonjol adalah bunyi asonansi vokal/a/. Melalui asonansi bunyi tersebut dapat kita ketahui ketegaran hati si ibu lirik saat ditinggal pergi oleh anaknya. Permainan bunyi dituliskan dalam puisi Rendra, tidak saja dalam satu puisi. Melaikan dalam puisi-puisi yang lain juga demikian, yang memberikan kesan estetik. Misalnya dalam puisi Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo, dibait pertaman//Dengan kuku-kuku besi kuda menambah perut bumi/Bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya/Di pucuk-pucuk para/Mengepit kuat-kuat lutut penunggang perampok yang diburu/Surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang//. Pada bait pertama, lebih monjolkan asonansi yaitu bunyi vokal/a/ dan/u/. Melalui asonansi bunyi tersebut dapat kita ketahui bahwa si aku (atmo karpo dilanda kesialan karena malam itu bulan purnama dapat menerangi seluruh malam. Di bait kedua juga terdapat permainan bunyi yang hampir sama// Segenap warga desa mengepung hutan itu/Dalam satu pusaran pulang- balik Atmo Karpo/Mengutuki bulan betina dan nasibnya yang malang/ Berpacaran bunga api,anak panah di bahu kiri/. Bait kedua, terdapat asonansi bunyi vokal/a/dan/u/. Asonansi bunyi vokal/a/memberikan efek estetis dan nilai rasa duka yang dirasakan ole Atmo Karpo ia tak bisa bersembunyi dari sinar rembulan. Demikian juga dengan bait selanjutnya//Nyawa barang pasar,ai orang-orang bebal!/Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang/ Papa/Majulah oko pandang! Di mana ia?/Majulah ia kerna padanya seorang kukandaung/Dosa//. Baik keempat di atas terdapat asonansi yang menonjol, yaitu bunyi vokal/a/dan/u/Asonansi bunyi vokal/a/ yang memberikan efek estetis dan nilai rasa suka Ia tidak menyerah

Esai Stilistika 219 begitu saja si Atmo Karpo berusaha melawan semua orang yang akan menangkapnya. Sehingga, terjadilah pertumpahan darah dan si Atmo Karpo menganggap warga dan pasukan yang akan menangkapnya hanya orang rendahan saja dan bukan tandingannya. Bait kelima//Anak panah empat arah dan musuh tiga silang/ Atmo Karpo masih tegak,luka tujuh liang//. Bait dengan asonansi yang menonjol bunyi vokal/a/mengandung arti bahwa ia tetap tegak meski dengan luka tujuh liang. Selanjutnya dalam bait 11 juga demikian terlihat permainan bunyi asonansi yang menonjol, yaitu bunyi vokal/a/ yang memberikan suasana yang sedih ketika mengalami kekalaan dalam pertarungan sengit sebelumnya, si Atmo Karpo bertarung melawan pasukan kerajaan dan warga yang hendak menangkapnya. Pertarungan tersebut menghasilkan buah yang membahagiakan bagi warga dan Joko Pandan. Bunyi tersebut terlihat dalam bait berikut// Pada langkah pertama keduanya sama baja/Pada langkah ke tiga rubuhlah AtmoKarpo/Panas luka-luka,terbuka/daging kelopak-kelopak angsoka//.

/3/ Wasana Akhir Dalam puisi terdapat bunyi yang berselang atau berulang. Baik dalam kalimat larik maupun akhir kalimat (larik). Permainan bunyi yang memberikan kesan estetik puisi, sekligus menegaskan bahawa bahasa puisi adalah bahasa yang padat dan berisi. Berbeda dengan karya yang lain, cerderung lugas atau apa adanya tentang suatu makna. Pengulangan vokal dalam kalimat (larik) biasa disebut dengan asonansi, dan pengulangan konsonannya dinamakan aliterasi. Keduanya dapat memberikan makna tertentu, sesuai dengan suasana yang digambarkan.

***

220 Esai Stilistika PERMAINAN KATA TENTANG PERASAAN PATAH HATI DALAM KUMPULAN PUISI HATI YANG PATAH BERJALAN KARYA DINA OKTAVIAN

Siti Maslamatul Munawaroh Mahasiswi PBSI 2013

/1/ Karya sastra merupakan bentuk kreativitas pengarang dalam mengolah pengalaman, realita sosial, dan perenungan dalam bahasa yang estetik. Karya sastra juga merupakan ekspresi dari hasil pemikiran dan perasaan manusia baik secara tertulis maupun lisan. Satrawan meletakkan keindahan karya sastranya biasanya dengan melahirkan bahasa kiasan yang indah dan beraneka ragam. Karya sastra sendiri juga merupakan hasil cipta, rasa, dan karya manusia yang memiliki kekhasan tersendiri. Puisi adalah salah satu genre sastra yang paling sederhana tetapi kompleks. Bahasa yang digunakan dalam sebuah puisi berbeda dengan bahasa sehari-hari, dalam sebuah puisi kata diseleksi, dimanipulasi dan dikombinasi sedemikian rupa oleh penyair sehingga butuh pemahaman lebih dalam membaca puisi untuk memahami isinya. Jika, dalam bahasa

Esai Stilistika 221 sehari-hari terdapat konteks yang membantu pemahaman penutur dan lawan tutur, maka puisi tidak ada konteks yang membantu pembaca atau pendengar memahami isi puisi. Untuk itu, pembaca harus mengetahui makna dari setiap kata dalam puisi, salah satu cara untuk mengetahui makna puisi adalah dengan mengetahui bentuk diksi yang digunakan penyair. Puisi lebih menonjolkan diksi dan keindahan bunyi dalam penulisannya. Setiap sastrawan memiliki gaya menulis yang berbeda dalam sebuah karya. Karena, puisi memiliki unsur-unsur pembangun, yaitu bunyi, diksi, bahasa kiasan, sarana retorika, citraan, bentuk visual, dan makna. Menurut Pradopo (2009:7) puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indra dalam suasana yang berirama. Unsur-unsur pembangun puisi tersebut menggunakan kata-kata sebagai sarananya yang akhirnya menjadi sebuah bahasa yang indah dan bermakna. Keberadaan puisi erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari tidak bisa lepas pula dari masyarakat serta budaya tempat lahirnya penyair. Selain itu, karya sastra khususnya puisi merupakan cerminan masyarakat dan budaya, terutama sikap pengarang dan pengalaman- pengalaman hidupnya dalam masyarakat termasuk budayanya. Karya sastra khususnya puisi merupakan karya yang tidak mudah dipahami oleh pembacanya. Puisi adalah salah satu karya sastra yang mengutamakan keindahan kata-kata atau bahasanya, untuk itu para penulis puisi menggunakan diksi yang beraneka ragam dalam mencapai efek puitis. Ciri khas dari puisi terletak pada kepadatan pemakaian bhasa sehingga besar kemungkinan untuk adanya penggunaan diksi didalamnya. Diksi merupakan pilihan kata yang tepat dan selaras yang digunakan untuk mengungkapkan gagasan sehingga, memperoleh efek tertentu yang dapat memperindah suatu karya sastra. Dalam penulisan karya sastra terutama puisi, penyair tidak serta merta menulis secara sederhana (apa adanya). Penyair lebih memilih beragam diksi agar

222 Esai Stilistika sebuah karyanya menjadi indah, tetapi tidak sekedar indah ada makna yang disiratkan. Dalam karyanya seorang penyair yang memiliki daya estetika tinggi biasanya menggunakan bahasa yang tidak mudah dimaknai secara sederhana (sekilas). Perlu pemahaman secara khusus disertai dengan pengalaman, pengetahuan, dan memahami kode-kode sastra. Diksi atau permainan kata menjadi satu hal yang pokok bagi seorang sastrawan dalam membuat karyanya. Diksi yang dipakai oleh pengarang melalui bahasa puitis dapat memaparkan ide atau gagasan sesuai dengan efek yang ingin dihadirkan melalui karya-karyanya. Efek yang ingin dihadirkan oleh pengarang merupakan usaha memperkaya makna, penggambaran objek dan peristiwa yang imajinatif, maupun efek emotif bagi pembaca. Melalui kajian diksi ini penulis akan mengkaji diksi dalam sebuah karya sastra yaitu puisi. Seorang pembaca lebih sering fokus pada cerita dan keindahan kata-kata, tanpa memperhatikan jenis atau diksi yang digunakan dalam puisi tersebut. Ketepatan diksi menyangkut masalah makna kata dan kosakata dimana kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penyair. Penyair sering menggunakan diksi untuk membangkitkan imajinasi dalam melukiskan sesuatu. Begitulah cara penyair menggunakan diksi untuk memperjelas maksud serta menjelma menjadi kata puitik sehingga lebih menarik, bahkan dapat menyentuh perasaan bagi pembaca tersendiri. Tujuan utama diksi adalah menghadirkan aspek keindahan. Diksi pada puisi merupakan kiasan yang dipakai penyair melalui kata- kata yang digunakannya untuk pengungkapan perasaan penyair secara tersirat. Menurut Barfield bahwa bila kata-kata dipilih dan disusun dengan cara yang sedemikian rupa hingga artinya menimbulkan atau dimaksudkan untuk menimbulkan imajinasi estetik, maka hasilnya itu disebut diksi (Pradopo, 2009:54). Penyair tentu menyeleksi kata-kata agar dapat menimbulkan efak yang puitis dari ekspresi pengalaman

Esai Stilistika 223 jiwanya secara padat, hebat dan sangat kuat. Efek-efek yang ditimbulkan inilah akan melahirkan diksi repetitif maupun kiasan.

/2/ Mengungkap diksi dalam puisi Penggunakan diksi atau permainan kata juga digunakan oleh Dina Oktaviani pada kumpulan puisi Hati Yang Patah Berjalan. Puisi tersebut seolah menyingkapkan tentang sosok Dina Oktaviani yang memiliki jalan hidup penuh batu-batu tajam, Dina yang dadanya berdarah, tetapi hatinya tidak, digambarkan dengan permainan kata yang sangat apik sehingga, membuat karyanya menjadi begitu sangat indah yang membuat pembaca tidak mudah dalam menafsirkannya. Kumpulan puisi Hati Yang Patah Berjalan karya Dina Oktaviani ini diterjemahkan dalam dua bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Selain itu, dalam kumpulan puisi ini juga terdiri atas tiga bagian yaitu: Jalan Kecil Menuju Dina, Trinitas, dan Rumah-rumah Bayangan. Hampir semua puisi yang ada dalam kumpulan puisi Hati yang Patah Berjalan berkisah tentang cinta, rindu, patah hati, keputusasaan, kegalauan, harapan dan kemarahan. Hampir semuanya digambarkan secara muram oleh Dina. Bahkan, saat hendak mengungkapkan rasa cinta pun Dina masih tetap menunjukkan kemuraman. Seperti bait;// aku berharap mengatakan cinta/ketika cuaca memburuk/dan malam mengalir//kengeriaan di jalan-jalan/hati tak bisa beranjak kemana- mana//ia tahu, ditengah perasaan yang berbahaya/dusta satu-satunya yang kuandalkan//tapi aku berharap mengatakan cinta/ketika lonceng bergerak/dan rasa sakit menemukanku di pintu rumah//dan masih banyak lagi yang digambarkan oleh Dina dalam kumpulan puisi Hati yang Patah Berjalan. Penggunaan diksi atau permainan kata yang terdapat pada puisi Nyanyian Pecinta dalam kumpulan puisi Hati yang Patah Berjalan karya Dina Oktaviani. menggambarkan begitu banyak diksi yang digunakan

224 Esai Stilistika oleh Dina. Permainan kata yang digunakan sangatlah apik. Puisi yang berisi tentang beberapa orang yang singgah dihati dan hidup si aku lirik. Mereka semua berusaha menggambil hati si aku lirik yang menurut si aku lirik hanyalah semu belaka, tidak ada yang pasti. Semua akan digambarkan secara apik oleh Dina,//sekarang kata-kata itu terasa bagai dini hari/yang menelantarkanku dengan dingin di jalan-jalan/di dapur, dan di kamarku//. Bait tersebut melukiskan tentang perasaan kekecewaan atau hilang harapan yang dirasakan oleh si aku lirik yang digambarakan secara apik melalui permainan kata yang dipilih oleh Dina. Diksi/bagai dini hari/yang bermakna kegelapan yang sunyi yang tidak adanya harapan. Dina memilih menggunakan kata tersebut mungkin karena menurut penyair rasa kekecewaan dan hilang harapan itu seperti gelapnya malam tengah malam yang sunyi dan tidak adanya cahaya yang ada. Selain itu, permainan kata yang digunakan oleh penyair juga terdapat pada bait berikutnya,//Musim demi musim, kekasih tinggallah deru angin/Menusukku di dada, di jantung/Melecutku di punggung, di siang dan malam/Di dalam mimpi, membisikkan ketakutan dan kerapuhan//. Sedangkan frase deru angin bait di atas memiliki makna semua kata-kata yang diucapkan oleh orang yang mendekati si aku lirik tersebut hanyalah sesaat, semua hanyalah sekedar singgah dan hanya bisa dirasakan dan didengar saja. Penyair memilih menggunakan frase deru angin untuk memberikan kesan estetik untuk sesuatu yang segera berlalu, tanpa dapat dipegang maupun dirasakan secara mendalam. Satu lagi permainan kata yang apik yang digunakan oleh penyair yaitu dalam bait puisinya//Diantara seluruh kata-kata dan bisikan itu/Tak satu pun kebenaran dapat kurasakan/Hanya kesunyian, yang tumpul/ Yang memancarkan luka-luka yang kasar atas cinta//. Bait di atas menggambarkan rasa sakit yang dirasakan oleh si aku lirik yang digambarkan oleh penyair melalui permainan kata yang

Esai Stilistika 225 dipilih yaitu dengan menggunakan kata/tumpul/. Pada kata tersebut sebenarnya bermakna bukan tumpul yang sebenarnya. Melainkan tumpul disini bermakna bahwa dia sangat melukai hati si aku lirik yang sangat menyakitkan yang tidak hanya saat luka yang dihasilkan melainkan beberapa luka yang sangat menyakitkan. Pilihan kata/ tumpul/yang dilih oleh penyair tersebut mungkin beralasan karena jika benda tumpul yang kita gunakan untuk melukai, maka sakit yang dirasakan tidaklah melebihi rasa sakit benda yang tajam. Maka, kata tersebut sangat mewakili betapa sakitnya rasa kekecewaan yang dirasakan oleh si kau lirik. Itulah gambaran tentang permainan kata patah hati yang digunakan oleh Dina Oktaviani pada puisi Nyanyian Pecinta. Tidak hanya pada puisi itu saja permainan kata yang sangat apik yang digunakan oleh Dina dalam kumpulan puisi “Hati yang Patah Berjalan”. Permainan kata tersebut juga terdapat pada puisi “Kemiskinan Cinta”. Puisi tersebut berceritakan tentang kerinduan seseorang yang sangat dalam terhadap kenangan indah saat bersama dengan seorang yang disayanginya (kekasih). Perasaan tersebut tidak hanya digambarkan secara sederhana oleh Dina. Ia memilih kata yang sangat apik untuk menggambarkan perasaan tersebut kedalam puisinya itu.//Aku tak mengalami apa pun/ Kecuali kerinduan/Ia yang menggigil dilengan-lenganku/Di syaraf- syarafku menderita trauma/Akan pertemuan dan kehilangan//. Pada bait tersebut digambarkan secara jelas betapa kerinduannya si aku lirik terhadap sesuatu. Rasa rindu yang sangat mendalam tersebut digambarkan dengan menggunakan permainan kata menggigil. Seperti yang kita ketahui bahwa meggigil berarti kita merasakan dingin yang sangat pada tubuh kita. Begitu juga dengan rsa rindu. Jika kita merasakan rasa rindu yang sangat dalam maka kita akan menggigil dan tidak bisa berbuat apa-apa. Selain itu, penyair memilih menggunakan kata menggigil karena jika kita menggigil maka berarti kita sangat merasakan apa yang kita rasakan.

226 Esai Stilistika Pada bait tersebut kata/menggigil/juga disandingkan dengan anggota tubuh yang dapat merasakannya sehingga terjadi permainan kata yang pas pada bait tersebut. Selain itu juga nampak dalam kalimat//Aku takpunya apa-apa/Siang dan malam/Kecuali kerinduan ini/Ialah yang menjelma mata/Dan menangisi matahari dan bintang/Dengan hasrat penuh keibuan//. Bait puisi diatas sedikit berbeda dengan bait-bait sebelumnya. Dina menggunakan permainan kata yang tidak begitu berlebih seperti yang sudah-sudah pada bait-bait sebelumnya. Bait di atas Dina menggunakan kata keibuan. Kata tersebut bermakna bahwa si aku lirik mempunyai sifat yang tidak sakit hati dan penuh dengan kasih saying. Seperti yang kita tahu bahwa ibu adalah seorang yang penuh dengan kasih saying dan tidak pernah sakit hati. Penggunaan kata tersebut digunakan untuk menjelaskan bahwa saat dia tersakiti dia tetap menangis akan tetapi dia tidak pernah balas dendam dan juga tetap memiliki kasih sayang. Puisi Hati yang Patah Berjalan juga menunjukkan pemilihan kata yang menyiratkan kesedihan, berupa patah hati. Puisi dikemas dalam bahasa yang baik,menarik, dan penuh makna.//Tempat tidur yang mnggeliat/Dalam tatapan asing/Empat daging musim yang tumbuh/ Di bibirku dan bibirnya//. Bait tersebut, penyair memilih menggunakan permainan kata menggeliat. Kata yang bermakna sesuatu yang menempel pada dirinya. Maksudnya melilit pada tubuhnya, sulit untuk lepas. Yang dimaksud pada bait yang menggeliat yaitu kenangan yang telah hilang bersama orang yang dia sayangi. Penyair memilih menggunakan kata menggeliat karena dengan kata tersebut dapat digambarkan dengan apik bahwa kenangan seseorang yang patah hati sangatlah menempel di hidupnya dan sangat sulit untuk dilepaskan dari dirinya. Selain itu, juga terdapat pada bait lain yang menggunakan permainan kata yang sangat indah.//Tak ada yang sedih dan yang indah/Semuanya cuma kenangan sekarng/Bahkan meski begitu deras hatku tergelincir//.

Esai Stilistika 227 Bait tersebut, penyair memilih permainan kata patah hati dengan menggunkan kata tergelincir. Kata tersebut bermakan jatuh dari sesuatu yang tanpa disengaja yang terasa begitu sakit. Penyair menggambarkan sesorang yang patah hati itu layaknya seseorang yang tergelincir, yang jatuh tanpa diinginkan dan kemudian merasakan sakit yang sangat.

/3/ Wasana Akhir Permainan kata atau diksi yang indah dapat menggambarkan tentang makna yang hendak disampaikan penyair kepada pembaca. Diksi dalam puisi memiliki peranan yang sanagat dalam, karena bagaimapapun bahasa puisi adalah bahasa padat berisi. Diksi puisi merupakan bagian makna yang terselubung bermakna konotatif. Itulah kemudian melalui puisi perasaan patah hati seseorang yang tidak menjadikannya biasa, dengan puisi seperti apa yang disampaikan Dina- adalah makna yang hendak disampaikan dalam bahasa yang padat dan imajinatif.

***

228 Esai Stilistika HIPERBOLA DALAM NOVEL AYAT-AYAT CINTA KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY

Sri Alim Mahasiswi PBSI 2013

/1/ Novel pada hakikatnya merupakan salah satu jenis karya sastra yang sangat erat berhubungan dengan kehidupan manusia. Kehidupan yang berupa gambaran perjalanan dengan segala problematikanya. Novel sebagai perwujudan penggunaan bahasa penulis untuk mengemukakan gambaran, gagasan, pendapat, dan membuahkan efek tertentu bagi pembaca. Bahasa yang tidak sekedar ada, tetapi bermakna serta memiliki nilai estetik. Bahasa yang demikian menjadikan novel menyentuh hati pembaca. Pada tataran ini, kehadiran gaya bahasa lebih memperindah balutan makna dalam kata. Selain itu gaya bahasa marupakan sarana strategis yang banyak dipilih oleh pengarang untuk mengungkapkan pengalaman kejiwaanya. Gaya bahasa, dalam bahasa Burhan Nugiantoro, tidaklah memiliki makna harfiah melainkan pada makna yang tersirat (Sutejo, 2014:75) Aminuddin (2004:72) mengatakan bahwa gaya bahasa pada dasarnya berhubungan erat dengan cara seseorang pengarang dalam menampilkan gagasannya. Gagasan tersebut dituangkan dalam karya

Esai Stilistika 229 tertulis sehingga tampak tampilan gaya bahasanya. Hal itu dapat dinyatakan bahwa setiap penulis wacana memiliki karakter penulisan, karena setiap orang memiliki gaya yang berbeda. Pengalaman, latar belakang keilmuan, dan target yang dituju menjadi indikator pembeda tersebut. Berdasarkan kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa merupakan cara pengarang mengungkapkan pikiran dan maksud dengan menggunakan media bahasa. Untuk memahami bahasa perlu adanya sebuah teori yang dapat digunakan. Teori yang diapakai sebagai petunjuk untuk mengkaji bahasa itu sendiri. Beberapa teori kebahasaan dalam sastra, stilistika memiliki relevansi untuk mengkaji gaya bahasa. Menurut Nurgiantoro (2000: 270) stilistika ditandai dengan oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain sekaligus untuk mendapatkan keindahan yang menonjol. Sedangkan menurut Aminuddin (1997:21) stilistika merupakan kajian linguistik modern. Kajiannya meliputi hampir semua fenomena kebahasaan hingga makna. Pendapat tokoh di atas dapat ditarik garis besar, bahwa pada hakikatnya stilistika merupakan sarana kebahasaan yang digunakan pengarang (penyair) dalam pengucapannya. Dengan kata lain, gaya bahasa itu merupakan kesepakan yang dijadikan sebagai sebuah sarana retoris, sebagai saran mengekspresikan keindahan, pengungkapan bentuk emosi yang terdalam serta sebagai cara dan bentuk ekspresi dunia kepenyairan. Penggunaan kekhasan bahasa Habibuburrahman El Shirazy dalam novel Ayat-Ayat Cinta yang akan dijadikan sebagai objek kajian, karena novel tersebut mudah dipahami dan mengandung syarat gaya bahasa. Dalam pengungkapan gaya bahasa Habibuburrahman El Shirazy memiliki kekhasan sendiri. Hal ini tampak pada novel Ayat-Ayat Cinta. Novel ini pernah diangkat ke layar lebar pada tahun 2004. Banyak yang

230 Esai Stilistika mengatakan sebagai novel yang fenomenal pada tahun itu. Selain itu Ahmad Tohari juga mengatakan bahwa novel itu merupakan novel yang bagus dan menyebutnya sebagai novel pembangun jiwa. Gaya pengungkapannya disetiap bab mengajak pembaca untuk menyusuri lekuk Mesir yang eksotis, tanpa lelah. Selain itu melalui gaya bahasanya Habibuburrahman El Shirazy mampu menggambarkan latar/ setting Sosial- budaya Timur Tengah, karakteristik tokoh yang begitu kuat serta gambaran latar yang begitu hidup. Berikut analisis gaya bahasa hiperbola yang digunakan oleh Habiburrahman El Shirazy, dipilih sebagai salah satu sarana pengungkapan dalam novel Ayat-Ayat Cinta. Berikut adalah analisis novel Ayat-Ayat Cinta karya Habibuburrahman El Shirazy.

/2/ Hiperbola dalam Novel Ayat-Ayat Cinta Pada dasarnya novel Ayat-Ayat Cinta banyak terdapat beragam gaya bahasa, namun dalam menganalisisnya lebih difokuskan pada gaya bahasa hiperbola dimana bahasa tersebutlah yang mendominasi novel Ayat-Ayat Cinta. Dominasi gaya bahasa hiperbola dalam novel ini memberikan nuansa yang bombastis sehingga pembaca semakin tertarik untuk terus membaca novel. Habiburrahman El Shirazy banyak menggunakan bahasa hiperbola dengan tujuan untuk memberikan keindahan dan memberikan pengaruh yang kuat kepada pembaca. Adapun pengertian mengenai gaya bahasa hiperbola yaitu gaya bahasa yang dipakai untuk melukiskan sesuatu keadaan secara berlebihan dari pada sesungguhnya. (Sutejo, 2014:77). Berikut data-data yang mampu menunjukkan gaya pengungkapan hiprbola dalam novel Ayat-Ayat Cinta Habibuburrahman El Shirazy. “Maka aku harus tetap berusaha datang selama masih mampu menempuh perjalanan sampai ke Shubra, meskipun panas

Esai Stilistika 231 membara dan badai debu bergulung-gulung di luar sana.”(AAC, hal: 17).

Data di atas, menggambarkan bagaimana kesungguhan Fahri dalam belajar Al-Qur’an kepada Syaikh Utsman meskipun kondisi cuaca tidak mendukung. Ia tetap memberanikan diri untuk datang ke Shubra demi rasa hormatnya kepada Syaikh Utsman yang dikenal sangat disiplin. Pengarang melukiskan keadaan ini dengan gaya bahasa hiperbola. Hal ini diungkapkan dengan kalimat meskipun panas membara dan badai debu bergulung-gulung di luar sana. Menggambarkan cuacana panas yang menggebu-gebu saat musim panas datang. “Salah satu keindahan hidup dimesir adalah penduduknya yang lembut hatinya. Jika sudah tersentuh mereka akan memperlaku- kan kita seumpama raja. Mereka kadang keras kepala, tapi jika sudah jinak dan luluk mereka bisa melakukan kebaikan seperti malaikat. Mereka kalau sudah marah meledak-ledak tapi kalau sudah reda benar-benar reda kemarahannya, hilang tanpa bekas. Tak ada dendam dibelakang yang diingat sampai tujuh keturunan seperti orang Jawa. Mereka mudah menerima kebenaran dari siapa saja.” (AAC:51)

Ketika terjadi konflik dalam metro antara orang Amerika dengan Mesir dengan penyebabnya Aisha memberikan tempat duduk kepada seorang nenek berkebangsaan Amerika. Melihat hal itu, tiga orang pemuda berkebangsaan Mesir menghujat habis-habisan Aisha. Kebudayaan orang Mesir kalau sudah bicara maunya menang sendiri. Saat terjadinya konflik itu Fahri menengahi permasalahan yang terjadi. Hingga berakhir pada rasa bersalah orang-orang Mesir karena memperlakukan orang Amerika dengan semena-mena. Pengarang melukiskan keadaan ini dengan gaya bahasa hiperbola Jika sudah tersentuh mereka akan memperlakukan kita seumpama raja. Mereka kadang keras kepala, tapi jika sudah jinak dan luluh mereka bisa melakukan kebaikan seperti malaikat. Menggambarkan bagaimana

232 Esai Stilistika karakteristik orang mesir terhadap sesama manusia terutama pada orang yang beda kebangsaan. “Kunyalakan tape kecil disamping tempat tidur. Enaknya adalah memutar murattal Syaikh Abu Bakar Asy-Syathiri. Suaranya yang sangat lembut dan penuh penghayatandalam membaca Al-Qur’an sering membawa terbang imajinasiku ke tempat-tempat sejuk. Ke sebuah danau bening di tengah hutan yang penuh buah-buahan. Kadang kesuasana senja yang indah ditepi pantai Ageeba, pantai laut amaediterania yang menakjubkan di Mersa Mathruh. Bahkan bisa membawaku ke dunia lain, dunia indah di dalam laut dengan ikan-ikan hias dan bebatuan seperti permata-permata di surga.” (AAC, 62-63)

Kekaguman Fahri kepada Syaikh Abu Bakar Asy-Syathiri mengenai suaranya. Yang dianggap mampu menghilangkan rasa lelah setelah beraktivitas melawan cuaca yang begitu panas. Penggarang melukiskannya dengan menggunakan gaya bahasa hiperbola begitu banyak dengsn tujuan memperindah keadaan saat itu, sehingga pembaca seolah-olah ikut merasakan apa yang dirasakan oleh pengarang. Ketika Noura diusir oleh keluaganya. Tuan Boutros, Maria, dan Fahri mencari cara untuk menyelamatkan Noura dari keluarganya yang berbuat kejam terhadap Noura. Untuk itu Maria berpendapat agar Noura ditempatkan dengan orang satu keyakinan dengannya agar dia merasa tidak canggung dalam menjalankan ibadahnya. Mendengar ucapan itu Fahri tersentuh hatinya dan berusahan mencarikan jalan keluar atas permasalahan yang dihadapinya. Pengarang melukiskan keadaan ini dengan gaya bahasa hiperbola, sungguh bijak dia. Kata-kata adalah cerminan isi hati dan keadaan jiwanya. Kata-kata Maria menyinarkan kebersihan jiwanya. Menggambarkan bagaimana kepribadian seorang Kristen Koptik yang begitu menghormati dan meghargai orang muslim. Lebih tegasnya tampak pada kutipan data berikut ini.

Esai Stilistika 233 “Aku merenungkan penjelasan Maria. Sungguh bijak dia. Kata-kata adalah cerminan isi hati dan keadaan jiwanya. Kata-kata Maria menyinarkan kebersihan jiwanya. Sebesar apa pun keihklasan untuk menolong tapi masalah akhidah, masalah keimanan keyakinan seseorang harus dijaga dan dihormati.” (AAC, 83)

Pada bagian ini menggambarkan bagaimana perjalaan Fahri dari Nasr City menuju ke kampus Al Azhar di Maydan Husein untuk melihat- lihat buku terbaru di Dar El-Salam yang akan dijadikan bahan menyusun proposal tesis. Di perjalanan pulang dia merasakan bagaiman cuaca di kota-kota yang begitu panas. Hal ini digambarkan dalam kalimat Dalam perjalanan, panas matahari kembali memanggang. Menggambarkan keadaan cuaca dikota yang dikatakan begitu panas yang menyebabkan rasa lelah pada setiap orang yang bepergian. “Begitu masuk mahattah metro, azan zuhur berkumandang. Dalam perjalanan, panas matahari kembali memanggang. Sampai dirumah pukul dua seperempat. Aku akan masik kamar dengan ubun-ubun kepala terasa mendidih. Musim panas memang melelahkan. Sampai di flat aku langsung teler. Terlintang di karpet dengan dada telanjang menikmati belaian hawa sejuk yang dipancarkan kipas angin kesayangan yang membuatku terlelap sesaat.” (AAC, 87)

Penggunaan gaya bahasa hiperbola, digunakan pengarang dalam percakapan Aisha dengan Fahri dalam Metro yang akan menuju ke masjid Indonesia. Percakapan keduanya membicarakan tentang penyusunan proposal tesis yang akan diajukan Fahri. Hal itu tampak dalam klimat Semoga diterima. Jika kelak tesismu jadi siapa tahu bisa diterbitkan di Turki. Jelas menggambarkan bagaimana Aisha memberikan semangat pada Fahri untuk mengerjakan tesis yang akan dikerjakannya. Lebih jelasnya lagi dapat dilihat pada data di bawah ini. “Apa kau yakin sekarang tidak perlu data tambahan? ”

234 Esai Stilistika “Untuk sekedar proposal mengajukan judul, konsepnya sudah matang dan tinggal saya ketik. Saya sydah punya empat ratus referensi. Jika diterima oleh tim penilai, barulah perlu bahan selengkap-langkapnya untuk penyusunan tesis.” “Semoga diterima. Jika kelak tesismu jadi siapa tahu bisa diterbitkan di Turki. (AAC: 103)

Pada data menggambarkan perjalanan yang akan ditempuh Fahri ke Doki untuk mengisi dakwah sangatlah jauh. Pengarang menggunakan gaya bahasa hiperbola Perjalanan dari Hadayek sampai Doki cukup memakan waktu. Menggambarkan seberapa lama waktu yang diperlukan untuk berjalan menuju kota Doki sangatlah lama. Saat menjelang hari ulang tahun Madame dan Yousef, Fahri dan teman-temannya berencana untuk memberikan kejutan kepada mereka. Ketika membungkus kado Fahri meminta bantuan kepada Rudi untuk membungkusnya. Gaya bahasa hiperbola tampak dalam kalimat Kau kan jagonya membungkus kado. hal tersebut menggambarkan bahwa Rudi memang pandai kalau hanya membungkus kado. Berikut merupakan data yang menunjukkan pernyataan di atas. “Rud, tolong sambil kau bantu membungkus yang satunya! Kau “kan jagonya membungkus kado.” pintaku pada Rudi. “Beres Mas.” (AAC:112)

Suatu ketika Fahri mengalami sakit setelah sehari penuh melakukan kegiatan diluar rumah melawan panasnya sinar matahari. Keluarga Tuan Boutros mengunjungi Fahri yang sedang sakit. Madame Nahed memeriksa kondisi tubuh Fahriyang sedang sakit. Untuk itu Madame Nahed menasehati Fahri untuk tidak memfosir dirinya melakukan kegiatan diluar rumah. Karena dia terjangkit gejala stroke. Istirahat dulu, jangan bepergian menantang matahari! Gaya hiperbola tersebut menggambarkan bagimana cuaca panas yang tidak memungkinkan bagi Fahri untuk tidak keluar rumah. Lebih tegasnya tampak pada kutipan data berikut ini.

Esai Stilistika 235 “Agaknya kau terlalu memfosir dirimu. Banyak-banyaklah istirahat. Ada gejala heat stroke. Kau harus minum yang banyak dan makan buah-buahan yang segar “istirahat dulu, jangan bepergian menantang matahari!” kata Madame Nahed lembut.” (AAC:142)

Di dalam Metro Fahri bertemu dengan seorang pedagang mainan anak-anak yang menawarka barang dagangannya kepada Fahri. Melihat orang itu, Fahri teringat masa kecilnya dulu yang selalu diajak ayahnya berdagang keliling menjual tape ketika ia libur sekolah. Pengarang menggambarkan bagaimana suka duka Fahri ketika masih kecil. Jika ada yang membeli hati senangnya bukan main. Rasa lelah seperti hilang begitu saja. Apalagi jika ada yang memborong sampai belasa bungkus, kami akan merasa menjadi orang paling beruntung di dunia. Gaya hiperbola yang menggambarkan bagaimana perasaan seorang pedagang ketika barang dagangannya laku di jual. “Jika ayah lelah akulah yang bergantian berteriak menawarkan tape. Jika ada yang membeli hati senangnya bukan main. Rasa lelah seperti hilang begitu saja. Apalagi jika ada yang memborong sampai belasa bungkus, kami akan merasa menjadi orang paling beruntung di dunia. Mataku basah mengingat itu semua.” (AAC:148)

Perjalanan Fahri untuk senantiasa melawannya demi melakukan perjalanannya yang menjadi rutinitas kesehariannya dia harus menempuh perjalan. Di Hadayek Halwan Fahri bertemu dengan Maria yang ingin memberi tumpangan payung agar Fahri tidak kepanasan. Namun, Fahri menolaknya dengan alasan bahwa mereka bukanlah mukhrim. Pengarang menggunakan gaya bahasa hiperbola nampak dalam kalimat Panas sengatan matahari semakin menjadi-jadi, Hawa panas terasa menyengat ubun-ubun kepala, langkah cepat secepat kilat cahaya. Pernyatan tersebut, pengarang menggambarkan bagaimana musim panas mampu membuat seseorang untuk berjalan dengan

236 Esai Stilistika cepat supaya dapat melindungi diri dari cuaca panas. Berikut data yang mampu membuktikan pernyataan di atas. “Metro yang kutumpang sampai di Hadayek Halwan pukul dua. Panas sengatan matahari semakin menjadi-jadi. Hawa panas terasa menyengat ubun-ubun kepala. Aku keluar Mahattah dengan langkah cepat secepat kilat cahaya. (AAC:154)

Data di atas merupakan bagian dari salam pembuka Surat Noura yang dikirimkan kepada Fahri sebagai pengucapan terimakasih atas pertolongan yang diberikannya. Gaya bahasa hiperbola digunakan pengarang untuk memperindah kalimat-kalimat yang menyusunnya. Serta mengajak pembaca agar ikut serta merasakan bagaimana kekaguman Noura terhadap kebaikan Fahri. “Di luar gedung terik panas benar-benar menggila. Aku naik metro.” (AAC:173) “Aku meneruskan perjalanan. Ubun-ubun kepalaku terasa nyeri sekali. Di Tura El-Esmen badai panas bergulung menebar debu ke dalam metro sangat tidak nyaman.” (AAC:173)

Data di atas menggambarkan bagaimana cuaca yang begitu panas tidak mengurangi aktivitas seseorang. Fahri, Alicia, dan Aisha tetap melanjutkan diskusi mereka mengenai pertanyaan Alicia yaitu perempuan dalam Islam. Sebenarnya sudah dijelaskan Fahri melalui tulisan setebal 40 halaman. Namun, penjelasan itu tidaklah cukup mendukung tanpa adanya suatu diskusi. Maka, dari itu dengan diadakannya diskusi diharapkan agar tidak ada kesalahpahaman mengenai pertanyaan yang diajukan oleh Alicia. Gaya bahasa hiperbola itu tampak pada kalimat panas benar-benar menggila dan badai panas bergulung menebar debu ke dalam metro. Gaya bahasa yang menggambarkan kondisi kota disaat itu sangat panas dan membuat orang yang ada disana merasa tidak nyaman.

Esai Stilistika 237 “Semuanya kembali terasa gelap. Aku berlayar dalam gelap dan keheningan. Mengarungi dunia yang tidak aku tahu namanya. Aku mendengar suara magic suara Syaikh Utsman Abdul Fattah.” (AAC: 174)

Data di atas menggambarkan bagaimana sakit kepala yang dirasakan begitu berat membuat Fahri tak mampu melihat dan mendengar apa- apa. Dia hanya mampu mendengar suara Syaikh Utsman Abdul Fattah membaca surat Al- Furqon. Pada ayat empat puluh lima Syaikh Utsman, menangis tersedu-sedu. Aku berlayar dalam gelap dan keheningan. Mengarungi dunia yang tidak aku tahu namanya. Kalimat hiperbolis yang menggambarkan perasaan Fahri yang begitu kebingungan atas sakit yang dideritanya Melihat keadaan Fahri yang tak sadarkan diri Maria menangis sambil mennyentuh pipi Fahri yang basah. Fahri meminta agar Maria tidak melakukan itu sebab mereka bukanlah mukhrim dan Maria terlupakan hal itu sebab keadaan haru yang diterpanya. Air matamu meleleh tiada henti menggambarkan penyair secara hiperbola melukiskan kesedihan Fahri saat merasakan sakit yang deritanya. Hiperbola yang lain mucul dalam kalimat-kalimat selanjutnya: “Kalimat yang diucapkan Madame Nened bagaikan guntur yang menyambar kepala. “Tak mungkin itu terjadi pada Madame!bantahku.” (AAC: 341)

Data di atas menggambarkan bagaimana Fahri begitu kaget mendengar cerita Madame Nened bahwa sebenarnya Maria mencintainya sejak pertama bertemu. Namun, dia tak mampu untuk mengutarakannya menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapannya. Bagaikan guntur menyambar kepala kalimat hiperbolis yang menggambarkan rasa kaget Fahri mendengarkan kata-kata Madame Nened. Dia tidak percaya dengan apa yang dudah didengarnya.

238 Esai Stilistika “Sampai ayat ini, bibir Maria berhenti bergetar lelehan air matanya semakin deras. Namun ia juga tidak membuka mata. Entah apa yang ia rasa. Aku hanya bisa ikut melelehkan air mata,berdoa dan memegang erat tangannya.” (AAC: 396)

Data tersebut menggambarkan keadaan Maria yang terbaring dirumah sakit hanya dengan mata tertutup. Dengan melantunkan ayat Al-Quran dalam tidurnya itu dia bertemu dengan Maryam. Dia bertanya akan kebingungannya saat akan masuk pintu surga. Mariyam pun menyuruhnya untuk berwudu. Saat itu Maria tak menemukan air yang akan digunakan untuk berwudu lalu dia bangun dari tidurnya. Meminta Fahri untuk mengajarkan cara berwudlu. Gaya Bahasa Hiperbola nampak dalam kalimat lelehan air mata semakin beras. Gaya bahasa yang menggambarkan kesedihan Maria saat dalam mimpi dia mendapati surga namun setiap mengetuk pintu tidak ada yang membuka hanya Mariam yang membuka dan mengisyaratkan untuk berwudlu dahulu sebelum memasukinya.

/3/ Wasana Akhir Berdasarkan beberapa data di atas, membuktikan bahwa novel Ayat-Ayat Cinta karya habiburrahman el shirazy mengandung gaya bahasa hiperbola. Penggunaan bahasa hiperbola dalam sebuah karya sastra dimaksudkan untuk memberikan nuansa lain, yang diluar dari garis kemampuan. Karena memang hiperbola adalah yang melabih- lebihkan. Sehinga memunculkan asumsi tentang ketidakmungkinan. Bahasa hiperbola menjadikan tulisan menjadi hidup, seakan bernyawa sehingga pembaca akan disuguhkan dalam nuansa lain dari biasannya. Sekaligus penggunaan bahasa hiperbola sekaligus menguatkan bahasa sastra yang bahasa konotatif, ambigu, imajinatif.

***

Esai Stilistika 239 AROMA KEPEDIHAN DALAM NOVEL NEGERI SENJA KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA

Sunarsih Mahasiswi PBSI 2013

/1/ Art is like a mirror, salah satu ungkapan abrams (1976:31) yang menjelaskan bahwa sebagai salah satu bentuk karya seni, karya sastra merupakan cermin masyarakat tempat karya sastra tersebut dilahirkan. Karya sastra merupakan imitasi dari universe atau semesta, yang dalam pengertian kritik sastra marxis sering disebut dengan istilah refleksi masyarakat (Abrams, 1981:178-179). Selanjutnya, Kuntowijoyo (2006:181) menyatakan bahwa karya sastra khususnya novel sejarah dan novel sosial dapat menggunakan sejarah kontemporer sebagai bahan. Peristiwa sejarah kontemporer tersebut barangkali pada zaman pengarangnya hanya dianggap sebagai peristiwa sosial, tetapi bagi generasi sesudahnya dapat diangkat sebagai peristiwa sejarah. Dalam konteks ini, novel sosial dan peristiwa sejarah dapat mempunyai hubungan timbal-balik. Karya sastra menjadi saksi yang diilhami oleh zamannya, dan sebaliknya, karya sastra tersebut dapat mempengaruhi

240 Esai Stilistika peristiwa-peristiwa sejarah zamannya dengan membentuk opini publik. Karya sastra sebagai simbol verbal, menurut kuntowijoyo (2006:171) mempunyai tiga peranan; (1) sebagai cara pemahaman (mode of comprehension), (2) sebagai cara perhubungan (mode of communication) dan (3) sebagai cara penciptaan (mode of creation). Dalam kaitannya dengan peristiwa sejarah, Kuntowijoyo mendeskripsikan bahwa pada dasarnya objek karya sastra adalah realitas. Bila realitas tersebut berupa peristiwa sejarah, karya sastra dapat dikategorikan menjadi; (1) upaya menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang, (2) media bagi pengarang untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan tanggapan mengenai suatu peristiwa sejarah, dan (3) media penciptaan kembali sebuah peristiwa sejarah, seperti halnya karya sejarah sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang. Dalam karya sastra yang menjadikan peristiwa sebagai bahan, ketiga hal di atas dapat menjadi satu. Perbedaan masing-masing hanya dalam kadar campur tangan dan motivasi pengarangnya (kuntowijoyo, 2006:171). Karakteristik karya sastra tersebut tidak hanya terdapat dalam novel, tetapi juga terdapat dalam cerita cerpen. Dilihat dari bentuk fisiknya, Stanton (2007:75) mengemukakan perbedaan cerpen dan novel terletak pada panjang atau jumlah kata yang digunakan dalam cerita. Akan tetapi, mengenai ukuran panjang pendek suatu cerita tidak terdapat aturan yang pasti (Nurgiyantoro, 2010:101). Karya sastra erat kaitannya dengan kehidupan. Karya sastra merupakan buah pikiran dari seorang pengarang. Antara seorang pengarang dengan pengarang yang lain dalam menampilkan karyanya berbeda sebab mereka mempunyai ciri khas tersendiri. Meskipun terdapat perbedaan di antara pengarang yang satu dengan yang lain, permasalahan yang dibahas hampir sama yaitu berbicara tentang

Esai Stilistika 241 kehidupan. Keterkaitan sastra dan sosial amat erat sebab sastra merupakan cermin dari kehidupan sosial masyarakat itu sendiri. Apa yang diungkapkan pengarang dalam karyanya merupakan kegelisahan terhadap lingkungannya. Sehingga, setiap karya sastra tidak lepas dari pengaruh sosial budaya yang melingkupinya. Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial. Sastra dan masyarakat mengacu pada hubungan antara sastra dengan masyarakatnya. Perspektif tersebut menyarankan pentingnya meneliti hubungan reflektif antara sastra dengan masyarakat. Apakah karya sastra mencerminkan atau tidak kondisi masyarakatnya, merupakan cermin realitas suatu masyarakat atau merupakan dunia impian yang didambakan oleh masyarakat. Manifestasi sosial yang berwujud karya sastra tidaklah lahir dengan cara yang sederhana, tetapi ia lahir dengan cara pengarang terlebih dahulu melakukan sebuah observasi yang rasional dan pengalaman pengarang dari sebuah realitas pengarang. Pada umumnya sebuah novel memuat tentang problemika kehidupan masyarakat yang digambarkan oleh pengarang melalui tokoh dan penokohan serta setting yang sengaja dipilih pengarang untuk mewakili idenya. Gambaran terhadap kehidupan yang di apresiasikan dalam bentuk tulisan. Bahasa sebagai alat komunikasi dalam karya sastra bisa merwujud simbol-simbol mempunyai arti khusus terhadap pemikirannya. Simbol-simbol yang digunakan dalam komunikasi tidaklah mutlak bersifat universal yang berlaku untuk semua wilayah atau daerah. Makna dari simbol bergantung pada kesepakatan. Apapun wujudnya tindakan manusia akan dapat dimengerti apabila seseorang mampu berempati terhadap tindakan atau peran orang lain. Interaksi simbolik menurut effendy (dalam sobur 2004:194) adalah suatu paham yang manyatakan bahwa hakekat terjadinya interaksi sosial antara individu

242 Esai Stilistika dan antarindividu dengan kelompok, kemudian antara kelompok dengan kelompok dalam masyarakat.komunikasi suatu kesatuan pemikiran dimana sebelumnya pada diri masing-masing yang terlibat berlangsung internalisasi atau pembatinan.

/2/ Belajar dari Kekuasaan yang mengancam Negeri senja adalah salah satu novel karya Seno Gumira Ajidarma yang diterbitkan oleh kepustakaan popular Gramedia pada tahun 2003, novel ini mengantarkan Seno memenangi penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa untuk kategori fiksi pada tahun 2004. Novel roman Negeri Senja tersebut bercerita tentang catatan seorang pengembara/ musyafir lata yang sedang melakukan perjalanan di sebuah negeri yang tidak terdapat di dalam peta, negeri ini ada tapi tiada, negeri yang miskin dimana waktu seolah-olah tidak bergerak, karena selalu berada dalam keadaan senja, matahari tertahan terus di cakrawala, tidak ada pagi, tidak ada siang, tidak ada malam yang ada hanya senja. Negeri ini disebut negeri senja. Bagi si pengembara sendiri, negeri senja adalah negeri yang paling indah karena kegemarannya yang selalu mencari pesona senja ke seluruh pelosok negeri. Namun ternyata, bukan hanya pesona senja yang dia temukan di negeri senja. Di balik keindahan senja itu dia temukan drama manusia dalam permainan kekuasasaan yang intrik, penindasan dan pembantaian. Di negeri senja ini konon, dan memang hanya konon negeri ini telah berdiri semenjak 500 tahun semenjak pengembara itu terdampar di negeri ini, dan sejak 200 tahun ini di pimpin oleh puan tirana seorang perempuan buta yang memimpin dengan kejam di mana semua hal yang berbau pengetahuan dan kebebasan berpendapat merupakan hal yang sangat tabu di lakukan, ironis sekali, di negeri yang sepertinya tiada pernah habis-habisnya cahaya senja yang teramat indah itu, kata cinta tidak ada definisinya tidak di fikiran penduduknya bahkan

Esai Stilistika 243 tidak juga ada dalam kamus bahasa antarbangsa – negeri senja dan negeri senja – antarbangsa, yang dipunyai musafir lata itu. Karena cinta, kasih dan sayang telah dihapus dari kamus bahasa negeri senja oleh tirana. Penghapusan ini konon dan memang hanya konon karena dilatarbelakangi sebuah pengkhianatan cinta yang pernah dialami sang penguasa tirana. Naiknya tirana ke pundak kekuasaan diselimuti misteri. Tidak ada seorangpun saksi hidup yang bisa berkisah tentang bagaimana perempuan itu bisa berkuasa. Ketika mereka dilahirkan, tirana telah menjadi penguasa negeri senja dan di negeri itu catatan sejarah yang bisa dibaca tidak ada sama sekali. Selama kepemimpinan tirana pemberontakan, penentangan, dan percobaan pembunuhan pun sering kali dilakukan terhadapnya, tapi dengan kemampuannya membaca fikiran setiap orang yang terkena sinar senja dan pasukan khusus beserta mata-mata yang dipunyainya dia bisa menghancurkan serta memberengus semuanya, bahkan konon, dan memang hanya konon arwah para pemberontak pun akan di penjarakannya dan selama itu pulalah semua penduduk negeri senja berbicara seperlunya bahkan berfikirpun mereka batasi hanya pada tempat-tempat yang gelap, di lorong-lorong yang gelap dan pengap dimana cahaya senja tidak bisa menembus, mereka berani untuk berfikir dan berbicara tetapi itu pun hanya untuk hal-hal yang dirasakan teramat sangat penting. Oleh karea itu, rakyat negeri senja menjadi terbiasa hidup dalam kegelapan dan selalu menghindari cahaya. Memang itulah yang dikehendaki oleh tirana agar rakyatnya selalu hidup dalam kegelapan seperti halnya dirinya yang buta. Sejumlah rakyat yang merasa sudah sangat tertindas oleh kekuasaan sang tirana, bersama-sama menggalang kesatuan untuk menggerakkan perlawanan terhadap sang penguasa. Mereka menamakan dirinya sebagai partai hitam. Namun di tengah usaha pembunuhan tirana dalam suatu pemberontakan yang dilakukan oleh kaum perlawanan itu, tirana

244 Esai Stilistika yang memiliki kekuatan seperti Tuhan namun bukan Tuhan membantai orang-orang dan membakar negeri senja hingga hanya tersisa istana pasir tempat ia dan pengikutnya berada.Menyaksikan seluruh peristiwa mengerikan ini, si pengembara tak tahan karena selalu dihantui setiap hari sehingga memutuskan untuk meninggalkan negeri senja dengan segala rahasia di dalamnya dan meneruskan perjalanan yang memang menjadi tujuan hidupnya. “Senja merupakan sebuah fenomena yang indah, terlebih jika senja tak berubah malam. Negeri senja diibaratkan sebuaah negeri yang dapat memberikan kehidupan yang indah dan penuh ketentraman. Namun negeri senja tidaklah seperti yang dibayangkan.“ tidak ada apa-apa, selain kemiskinan, kejahatan dan penindasan (hlm.9).”

Pembunuhan di negeri senja menjadi pemandangan yang biasa. Pembunuhan terjadi dimana-mana, kekerasan menjadi bahasa lazim di negeri senja. Banyaknya komplotan pembunuh bayaran terutama gank pisau belati yang ditugaskan untuk membunuh siapa saja yang dianggap berbahaya untuk negeri senja. Tokoh penguasa negeri senja adalah tirana, perempuan buta yang keji sekaligus penindas sebagai pemimpin. “Tirana melakukan pembersihan besar-besaran. Lawan-lawan politik dari semua golongan disapu bersih, nyaris tanpa sisa. Siapapun bisa ditangkap, ditahan dan hukuman mati dalam keadaan apapun (hlm. 68).”

Tirana adalah pemimpin negeri senja, selain membunuh lawan politik, dia juga menghapus catatan sejarah yang sudah lama dan mengubah dengan yang baru dan kadang pula bertentangan dengan sejarah negeri senja itu sendiri. Di tengah kondisi yang demikian kacau, beberapa kaum intelektual membuat gerakan bawah tanah tanpa diketahui oleh Tirana dan pengawalnya yang kejam. Mayat-mayat para cendekiawan bergelimpangan di berbagai pojok gelap dengan luka

Esai Stilistika 245 tusukan. Pisau melengkung menancap di dada, di punggung atau merobek lambung sehingga usus hati, empedu dan ginjalnya berhamburan di jalanan (hlm 77). Kekejaman Tirana membuat negeri senja tak seindah senja, namun membuat hidup di negeri senja selalu dalam kegelapan. Beberapa bagian dalam novel negeri senja jelas membawa ingatan pada masa pemerintahan Soeharto yakni pada masa orde baru, dimana ketika itu Soeharto berkuasa dan menindas kebebasan. Bila orde baru tumbang, karena gelombang demonstrasi 98, maka kekuasaan tirana di negeri senja digoyang oleh pemberontakan yang dipimpin oleh partai hitam. Gelombang protes, penjarahan dan pembantaian terjadi di seantero negeri senja. Tirana memang berkuasa seperti Tuhan, tapi dia bukanlah Tuhan (hlm. 198). Secara jelas mewakili negara atau lebih tepatnya oknum aparat negara. Inilah karakteristik karya sastra sebagai yang menuntut adanya tingkat pemaknaan oleh pembacanya. Kekerasan tidak langsung muncul dalam cerpen, melainkan tema yang diangkat pada umumnya berupa kemiskinan. Tema ini muncul dalam sejumlah cerpen seperti pada Tragedi Asih Istrinya Sukab (dalam antologi penembak misterius), Junior (dalam antologi saksi mata), Ngesti Kurawa, Cerita Dari Sebuah Pantai, Selingan Perjalanan (dalam antologi matinya seorang penari telanjang), Anak-Anak Langit (dalam antologi iblis tidak pernah mati), dan Teriakan Di Pagi Buta (dalam antologi dunia sukab). Dalam beberapa cerpen ini, kemiskinanlah yang menyebabkan sejumlah tokoh perempuannya melacur, kemiskinan jugalah yang menjadikan beberapa tokoh lainnya menjadi korban tindak kriminalitas. Para pelaku tindak kekerasan (baik kekerasan alienatif, kekerasan represif, kekerasan tidak langsung, maupun kekerasan langsung) dalam sejumlah karya fiksi Seno Gumira Ajidarma tersebut kebanyakan berupa aparat negara. Para korbannya kebanyakan para warga negara yang seharusnya mendapat perlindungan oleh aparat negara atas keselamatan dan keamanannya. Beberapa peristiwa yang dikisahkan

246 Esai Stilistika dalam sejumlah karya fiksi Seno Gumira Ajidarma ini dapat ditelusuri atau dikaitkan dengan sejumlah peristiwa faktual yang menjadi acuannya. Peristiwa-peristiwa sosial politik yang menjadi acuan dalam penceritaan karya-karya fiksi Seno meliputi: peristiwa G30s-1965/PKI, pembunuhan misterius terhadap para gali pada 1983-an, insiden dili 12 november 1991, dan peristiwa Timor Timur, peristiwa kerusuhan mei 1998 di Jakarta, dan sejumlah peristiwa lainnya yang terkait dengan Soeharto beserta ordebarunya. Peristiwa-peristiwa faktual tersebut tidak ditampilkan secara langsung. Hal ini sejalan dengan sejumlah pembatasan yang dialami Seno Gumira Ajidarma sendiri manakala menuliskan peristiwa itu sebagai berita sehingga jalur sastra yang bersifat fiksi inilah yang dipilih sebagai alternatif membungkus peristiwa tersebut. Peristiwa- peristiwa faktual yang terkait dengan kekerasan pemerintahan orde baru ini disampaikan dengan cara dikodekan, disamarkan,disisipkan, disurealistikkan, dimetaforakan, disimbolkan. Sejumlah cerpen dalam antologi saksi mata dan dalam roman jazz, parfum & insidenyang mengisahkan sejumlah peristiwa faktual terkait dengan pembantaian terhadap sejumlah demonstran yang dikenal dengan insiden dili 1991 (dan peristiwa di timor timur lainnya) Dalam cerpen Saksi Mata berawal dari sidang kesaksian terhadap pembantaian para demonstran di ruang pengadilan. Sang saksi mata yang bola matanya telah hilang itu menjawab sejumlah pertanyaan dari hakim atas peristiwa tersebut. Bagian awal cerpen ini sangat realistik, tetapi pada bagian akhir dikisahkan darah yang mengalir dari kedua bola matanya yang dicungkil itu telah memenuhi ruang pengadilan itu, bahkan hingga jalanan. Akhir penggambaran sosok Soeharto menjadi paman gober seperti yang digambarkan dalam cerpen Kematian Paman Gober dalam antologi iblis tidak pernah mati. Soeharto dalam cerpen ini dimetaforkan menjadi paman gober,tokoh cerita donald duck, yang sangat berkuasa dan kaya sehingga tidak ada yang berani

Esai Stilistika 247 menentangnya. Satu-satunya bentuk perlawanan terhadapnya hanyalah dengan menantikan kematiannya yang bakal dimuat setiap koran pada halaman pertama. Dalam konteks karya-karya fiksi Seno Gumira Ajidarma, pemerintahan yang otoriter itu adalah orde baru di bawah kepresidenan Soeharto. Meskipun demikian, perlu ditambahkan bahwa apa yang dilakukan seno gumira ajidarma dalam karya-karya fiksinya yang bertemakan kekerasan itu terjadi secara koinsiden karena memang seno menulis dan mereaksi terhadap kehidupan sosial politik yang tengahdihadapinya, masa ketika orde baru berkuasa. Bahkan dalam jawaban e-mailnya (4/2/2009) Seno menyatakan sasaran kritiknya tidak tertuju pada pemerintahan orde baru, tetapi lebih kepada perilaku bangsa Indonesia. Artinya, jika pemerintahan lain atau situasi sosial politik Indonesia mengalami suatu “penyimpangan” Seno sebagai penulis akan tetap melakukan kritik Lewat karya-karyanya. Lewat cerpennya yang berjudul Ibu Yang Anaknya Diculik Itu dalam kompas (16/11/2008), satu dasawarsa setelah kejatuhan pemerintahan orde baru atau kepresidenan Soeharto, Seno tetap kritis ketika beberapa tokoh yang diduga sebagai pelaku penculikan aktivis pada tahun 1998 yang mencalonkan diri menjadi presiden untuk pemilu2009.

/3/ Akhirnya, bagaimana aroma kepedihan sebagai refleksi kondisi sosial politik dalam karya-karya fiksi Seno Gumira Ajidarma ini tidak hanya untuk melihat cerminan kekerasan negara Indonesia dalam karya sastra, tetapi juga dapat menjadi ajang pemikiran untuk mempertanyakan sejauh mana negara melakukan tindak kekerasan itu mendapatkan pembenarannya. Ungkapan penuh konotasi maupun simbolik dapat menyentuh dengan ungkapan yang sederhana namun dapat dijadikan sebagai suatu perenungan untuk Indonesia.

248 Esai Stilistika ANALISIS CITRAAN VISUAL DALAM KUMPULAN PUISI REMBULAN DALAM JANTUNG LABA-LABA KARYA JEFITA ATAPENI

Vara Dwi Nova Laurenchia Mahasiswi PBSI 2013

/1/ Salah satu sifat sastra adalah framing (penciptaan kerangka seni). Dalam hal framing setiap pengarang mempunyai ciri tersendiri yang dapat membedakan dengan pengarang lainnya. Salah satu bentuk penciptaan kerangka seni adalah pemakaian bahasa yang di dalamnya termasuk pemilihan kata. Pemakaian bahasa dan pemilihan bahasa memegang peranan penting dalam penciptaan karya sastra, maka Teeuw (1984: 12) mengemukakan bahwa untuk memahami karya sastra pembaca harus memahami kode bahasa, kode sastra, dan kode budaya. Kode yang menyarankan kepada pembaca untuk dipahami secara mendalam, sehingga tidak mengalami kebinggungan dalam penafsiran. Sebagai salah satu genre sastra, puisi adalah ungkapan estetik dengan instrumen bahasa. Artinya, sebagaimana seni yang lain seperti

Esai Stilistika 249 seni rupa yang berinstrumen cat maupun seni suara dengan instrumen suara. Keindahan puisi adalah keindahan bahasa itu sendiri. Pemakaian bahasa dan pemilihan kata dalam puisi merupakan salah satu kunci keberhasilan seorang penyair di dalam mengekspresikan isi jiwanya. Bahasa puisi adalah bahasa pilihan, padat, kaya, prismatis, konkret, figuratif, dan penuh ekspresi. Pemakaian bahasa yang tidak demikian, akan melahirkan bahasa yang cair yang tidak mampu mengemban sekian banyak makna yang diamanatkan penyairnya. Secara substansif penggunaan istilah citra, metafora, simbol, dan mitos yang seringkali dipergunakan secara tumpang tindih. Citra, kemudian diformulasikan lebih jauh sebagai reproduksi mental, suatu ingatan masa lalu yang bersifat inderawi dan berdasarkan persepsi dan tidak selalu bersifat visual. Sementara, Rachmat Djoko Pradopo, memaknakan citra sebagai gambar-gambar dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya. Citraan secara umum dibagi menjadi lima yang meliputi; (i) citra penglihatan (visual), (ii) citra pendengaran (auditoris), (iii) citra gerak (kinestetik), (iv) citra rabaan (taktil termal) dan (v) citra penciuman (olfaktori). Kumpulan Puisi Rembulan Dalam Jantung Laba-laba Karya Jefita Atapeni. Dalam karya-karyanya sangat memperhatikan kata-katanya dengan imajinya yang kuat, sehingga membuat penulis tertarik untuk menganalisisnya. Semoga apa yang penulis sampaikan dapat bermanfaat bagi kita semua.

/2/ Di Beranda Tua Di lembah Di bawah beranda tua Kita duduk terpaku Menahan dingin malam

250 Esai Stilistika Dalam kabut basah Menghitung detak jantung Mendengar iring-iringan suara Burung-burung hantu Kunang-kunang terang benderang Diranting-ranting cemara dan bambu Perlahan rembulan keluar Dari rimba lembah Kandas di ranting bambu Dan tersenyum mendengar Kita bersapa bahasa cinta.

Puisi di atas, pada bait ke dua dan tiga menunjukkan penggunaan citraan visual secara intensif. Citraan yang digunakan untuk melukiskan keindahan pemandangan. Pada bait ketiga pengungkapan citraan visual yang merupakan imaji keindahan ditunjukkan pada larik kunang- kunang terang benderang kemudian diranting-ranting cemara dan bambu. Seolah-olah pengarang mengajak pembaca untuk menikmati keindahan pemandangan tersebut, dan dilanjutkan bait keempat perlahan rembulan keluar dari rimba lembah kandas di ranting bamboo di sini pengarang menambahkan keindahan keindahan yang lain. Seolah pengarang menciptakan suasana yang romantis. Cinta “seperti apa cinta itu, ayah?” “cinta itu seperti bulan dan bintang-bintang yang memberimu cahaya di gelap malam dan menuntun langkahmu menuju pagi. cinta itu seperti matahari yang memberimu hidup, memberimu kehangatan namun bisa membuatmu terbakar” Esai Stilistika 251 Kemenarikan puisi diatas terletak pada bagaimana variasi citraan visual yang diungkapkan Jefta Atapeni dengan menggambarkan suasana yang teduh. Puisi menggambarkan citraan visual pada bait pertama baris tiga, empat, dan lima. Tokoh dalam puisi tersebut menggambarkan bahwa cinta itu bak bulan dan bintang yang memberi cahaya di dalam kegelapan. Seolah olah pengarang mengajak pembaca untuk melihat bahwa cinta itu seindah bintang dan bulan yang memberi cahaya didalam kegelapan. Samar Samar kumemandang dirimu Dalam pelukan jagat raya Kau menatap jejak langkah Satu bayang yang patah Di sini bayang bertanya Adakah celah ranting Tembus cahaya menanti Karena samar terdengar Kicauan burung pipit hilang Ada bayang melangkah Bukan serupa hantu pengemis Hampiri takhta rasa Karena ada samar terdengar Nyanyian angin sunyi merdu Pijarlah matamu, tajam Menusuk bayang menghantui Hingga serupa tubuh Tembus ke relung Agar kau pun rebah Dalam keheningan malamnya Sinari matanya yang samar Agar ia tahu, ia yakin Antara dua bayangan Bukan lagi serupa hantu Tak ada lagi samar Karena kau dan dia ada.

252 Esai Stilistika Citraan visual ini diiringi dengan penggunaan pelukisan peristiwa yang menggambarkan pengalaman penglihatan yang demikian kental. Hal itu tampak pada kutipan puisi pada bait pertama baris ke satu, tiga, dan empat, bait ke tiga baris ke satu dan dua, lalu pada bait terakhir baris enam, tujuh, delapan, dan sembilan. Pada data tersebut, citraan visual atas pengalaman indera penglihatan tampak demikian memikat. Data yang diungkapakan Jefta Atapeni dalam larik: (1) samar ku memandang dirimu, (2) kau menatap jejak langkah satu bayang yang patah, (3) ada bayang melangkah, bukan serupa hantu pengemis, (4) Sinari matanya yang samar agar ia tahu, ia yakin antara dua bayangan bukan lagi serupa hantu. Sebuah permainan citraan visual yang unik, dan demikian bagaimana pengarang menggambarkan suasa yang absurd. Bahasa Religi/kau tunjukkan setitik cahaya/menembus gelap/tapi aku melihat cahaya itu/datang dari gelap/cahaya itu gelap/tapi aku tak yakin/cahaya itu cahaya/kecuali gelap/gelap yang bercahayaa/ cahaya yang bersemayam//. Dalam puisi di atas citraan visual itu lagi-lagi diungkapkan dengan menuansakan penggambaran semesta. Terlihat sangat jelas pada bait pertama baris kesatu, tiga, dan empat. Dan bait kedua pada baris kesatu, tiga, dan lima. Penggambaran yang ditulis terlukis indah dalam pengimajian visual yang semakin kuat pada pembaca. Di sini pengarang mengajak pembaca untuk menikmati keindahan semesta kembali.

/3/ Melalui larik-larik penuh citraan yang mampu mengiring pembaca pada pembayangan yang utuh. Dapat disimpulkan kumpulan puisi karya Jefta Atapeni terlihat jelas bahwa dalam puisinya tersebut, penyair memperhatikan setiap katanya agar memiliki makna dari imaji atau citraan dari kata-kata yang telah dihasilkannya. Kelima citraan tidak hadir secara utuh dalam setiap larik, penyair memiliki pesan implinsit

Esai Stilistika 253 untuk mewakilkan pada satu citraan yang estetik. Sehingga, sampai pada titik temu citraan visual dominan dalam kumpulan puisi Jefta.

***

254 Esai Stilistika NADA-NADA CINTA DALAM NUANSA ROMANTIK BAHASA KIAS PENGUCAPAN WS RENDRA

Yayuk Risnawati Mahasiswi PBSI 2013

arya sastra merupakan buah perenungan dari sastrawan pada zamannya yang dalamnya terkandung makna sebagai hasil Kmanifestasi gejolak batin penyair. Karya yang menyiratkan suatu permasalahan atau kondisi sosial tertentu. Karya sastra sendiri hakikatnya adalah sebuah renungan atas berbagai gejolak kehidupan yang menyelimuti batin, pikiran, dan perasaan penyair yang dituangkan dalam sebuah karya dengan formulasi gaya pengucapan yang khas menggunakan balutan imaji yang imajinatif sehingga tercipta dunia tersendiri. Berkiatan dengan gaya pengucapan penyair tidak terlepas dengan stilistika. Stilistika sendiri berbicara mengenai keindahan pengucapan bahasa yang dituliskan penyair. Berkaitan dengan stilistika Nyoman Kutha Ratna mengartikan (stylistic) adalah ilmu tentang gaya, sedangkan stil (style) secara umum adalah cara-cara yang khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu, sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat tercapai secara maksimal (2009:3). Sejalan dengan pendapat Nyoman di atas, Rene Wellek dan Austin Warren dalam Sutejo (2012:2) berpendapat

Esai Stilistika 255 bahwa stilistika mencangkup semua teknik yang dipakai untuk tujuan ekspresi tertentu, dan meliputi wilayah yang lebih luas dari sastra atau retorika. Semua wujud dan teknik untuk membuat penekanan dan kejelasan dapat dimasukkan ke dalam stilistika. Berbicara mengenai style, hakikatnya dapatlah dipahami sebagai suatu sarana kebahasaan yang digunakan penyair dalam pegucapnnya. Dengan kata lain, style dapat disepakati sebuah sarana retoris yang dapat digunakan penyair sebagai wahana untuk mengekspresikan keindahan dan sebagai bentuk pengungkapan emosi yang terdalam, serta sebagai cara dan bentuk ekspresi dunia. Dalam karya sastra sangat penting mengusung nilai-nilai estetik sebagai media atau alat pengekspresian jiwa sebagai bahan memperindah karya yang tentu tidak melepas maknanya. Sebagai salah satu dunia dalam kata, puisi termasuk karya sastra yang mengusung nilai-nilai keindahan itu. Dengan bidikan stilistika, maka makna serta keindahan bahasa yang dibalut dengan warna imaji yang khas dari penyair dapat terkupas menjadi pesan-pesan yang dapat dijadikan cermin bagi para pembaca karya sastra khususnya puisi. Seperti yang diungkapkan Rachmat Djoko Pradopo (2010:7) puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu yang penting untuk direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan. Puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting untuk direkam dalam tulisan. Tidak hanya menceritakan pengalaman tersebut, tetapi memberikan nilai terhadap pemabaca. Sebagai media ekspresi puisi tentunya tidak pernah lepas dengan bahasa-bahasa puitis. Seperti yang diungkap oleh Rachmat Djoko Pradopo (2010:13), kata puitis itu sudah mengandung nilai keindahan yang khusus untuk puisi. Dalam karya sastra sesuatu hal yang dapat membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan

256 Esai Stilistika yang jelas, secara umum bila hal itu menimbulkan keharuan disebut puitis. Kepuitisan itu dapat dicapai dengan bermacam cara, salah satunya adalah dengan penggunaan bahasa kiasan (figurative language). Adanya bahasa kiasan menyebabkan puisi menjadi menarik, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan angan. Bahasa kiasan mengiaskan atau mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain supaya menjadi jelas, lebih menarik, dan hidup. Ada bermacam-macam bahasa kiasan seperti perbandingan, metafora, perumpamaan, personifikasi, metonimi, sinekdoki, dan alegori (Rahmat Djoko Pradopo, 2010: 61-62). Ragam bahasa kiasan yang digunakan penyair untuk melahirkan citra imajinasi, sebagai hakikat penggambaran dunia dalam kata. Dalam hal ini, penyair dapat mengggunakan bahasa kias untuk membandingkan, menyamakan, bahkan mempertentangkan segala sesuatu sesuai dengan nuansa yang ingin ia ciptakan dalam bait-bait yang hidup dalam puisi-puisinya. Berbicara tentang bahasa kiasan teringat WS Rendra sastrawan yang begitu lihai mengolah kata. Setiap puisi menggambarkan bahasa kias yang romantik dan penuh makna. WS Rendra menyuguhkan beragam makna puitis dengan larik-larik imajinasi yang menggelitik dan menyesakkan bagi para pembacanya. Dengan gaya romantiknya yang khas WS Rendra mampu menyulap irama kata menjadi melodi-melodi nan cantik dengan bait nada yang memikat hati pembacanya. Sebagai sang mestro romantik, WS Rendra sebagai aliran romantik ingin menggambarkan kenyataan hidup tanpa cela. Dalam aliran romantik, misalnya menggambarkan tentang kebahagiaan, kebahagiaan itu perlu sempurna tanpa tara. Sebaliknya, jika yang dilukiskan kesedihan, maka pengarang ingin air mata terkuras. Sebab itu, aliran romantik sering dikaitkan dengan sifat sentimental atau cengeng. Sehingga aliran romantik lebih menekankan pada perasaan. Pertimbangan rasio sering dinomorduakan. Karya-karya yang bersifat

Esai Stilistika 257 romantik seringkali membuai perasaan pembacanya. Kecenderungan menggambarkan keindahan alam, bunga, sungai, tumbuhan, gunung, daun, dan bulan, didasarkan atas kepentingan memperindah kenyataan itu (Herman J. Waluyo, 2010: 37). Puisi-puisi Rendra yang kental dengan aroma romantik mulai terekam saat masa remajanya, pengalamannya sejak berpacaran, bercintaan, dan pengalaman perkawinannya dilukiskan dengan gaya romantik yang memikat. Kumpulan puisi-puisi cintanya ialah Romansa dan kekawin-kawin melukiskan masa pacarann dan perkawinan di gereja. Pada baik berikut Rendra berusaha memikat hati pembaca dengan imajinya yang mengalun begitu indah. “Selusin malaikat. Telah turun. Di kala hujan gerimis. Di muka kaca jendela. Mereka mengaca dan mencuci rambutnya untuk ke pesta. Wahai, dik Narti, dengan pakaian pengantin yang anggun. Bunga-bunga serta keris keramat. Aku ingin membimbingmu ke altar. Untuk dikawinkan.”

Kutipan di atas menegaskan motivasi besar kekuatan cinta aku lirik dilebih-lebihkan seakan disaksikan oleh selusin malaikat yang siap mengiringi pesta perkawinan dan dituntunnya sang kekasih ke langit (altar) untuk menjalani perkawinan suci. Aroma bahasa kias hiperbola yang disuguhkan oleh Rendra pada sungguh seolah menjadi citra romantik seorang laki-laki yang tengah dilanda kasmaran. Gaya keromantisannya Rendra mampu menyulap perasaan pembaca untuk ikut menyelami kata demi kata pada larik-larik tersebut, sehingga hiperbola yang diusungnya mampu menghipnotik setiap sudut perasaan para pembaca. Gaya keromantisan pengucapan Rendra yang ditaburkan pada sebagian besar puisi-puisi romantiknya, mampu membingkai menjadi sebuah potret karya yang indah dan memberikan ruang tersendiri di hati pembacanya. Pengalaman cintanya itu dilukiskan dengan ungkapan perasaan remaja yang alamiah.

258 Esai Stilistika Demikian juga pada bait keenam, penggunaan bahasa kias beraroma romantik dengan balutan metafora dan hiperbola juga menyiratkan kekuatan cinta yang mengalirkan semangat kehidupan yang kuat mampu mengirimkan berjuta jarum ke langit sehingga melahirkan hujan sebagai pertanda restu sang langit yang wingit, hal tersebut nampak dalam kutipan berikut: /Semangat kehidupan yang kuat bagai berjuta jarum alit/ menusuki kulit langit/kantong rejeki dan restu wingit// /lalu tumpahlah gerimi// /angin dan cinta/mendesah dalam gerimis// /angin dan cinta/mendesah dalam gerimis// /semangat cintaku yang kuat// /Bagai seribu tangan gaib// /Menyebarkan seribu jarring// /Menyergap hatimu// /Yang selalu tersenyum padaku

Begitulah, kekuatan cinta yang oleh Rendra diungkapkan dengan larik-larik berhias hiperbola. Sebuah pesan penting barangkali dapat ditarik kesimpulan bahwa begitu dahsyatnya kekuatan cinta sehingga dalam kehidupan realitas kita sering kali cinta menjadi tragedi sosial. Dengan begitu, maka penting disadari bahwa cinta (boleh jadi) memang bermata dua. Tidak heran, jika orang yang sedang jatuh cinta mau dan mampu melakukan apapun untuk sang pujaan. Secara metafora, aroma keromantikan Rendra juga tergambar pada keindahan Narti sebagai si putri duyung dengan segala pesona yang ada. “engkau adalah putri duyung, tawananku. Putri duyung dengan suara merdu lembut, bagai angin laut. Mendesahlah bagiku! Angin mendesah selalu mendesah. Dengan ratapnya yang merdu. Engkau adalah putri duyung tergolek lemas. Mengejap-ngecap- jakan matanya yang indah dalam jaringku.”

Esai Stilistika 259 Kutipan di atas menunjukkan bagaimana kekaguman penyair pada kekasih dimetaforikkan seperti duyung. Suara putri duyung dipersonifikasikan seperti angin laut yang mendesah. Sebuah ratapan yang merdu mengundang syahdu aku lirik untuk menebarkan jaring cinta dalam perangkap kehidupan di masa depan. Bahkan aku lirik, merindukan agar si putri duyung menjadi ibu dari anak-anaknya di masa depan. Hal ini sebagaimana tampak dalam bait terakhir,//Kutulis surat ini/Kala hujan gerimis/Karna langit/Gadis manja dan manis/Menangis minta mainan/Dua anak lelaki nakal/Bersenda-gurau dalam selokan/ Dan langit iri melihatnya/Wahai, Dik Narti,/Ku ingin dikau/Menjadi ibu anak-anakku!//. Demikianlah, potret-potret cinta penuh keromantikan pada kumpulan puisi Rendra berjudul Ku Tulis Surat Ini romantisme yang ditonjolkan mampu membuat imaji pembaca tertuntun pada panorama cinta yang memesona. Sebuah tema cinta yang romantik dengan balutan bahasa kias indah bernuansakan kasih sayang antara lawan jenis yang tengah dicambuk asmara. Dalam kumpulan pusisi Balada Orang-orang Tercinta tidak jauh berbeda, masih tetap teguh menyuguhkan keromatikkan kata. Keromantikkan yang tak kalah dahsyatnya dengan puisi sebelumnya. Dawai-dawai keromantikan yang nampak dalam puisi Surat Cinta. Rendra membicarakan tentang perampok Atmo Karpo, gadis Anita yang kesepian, orang tua yang tersia yang bernama Kasan dan Patim, gadis desa malang yang gila karena fitnah bernama Sumillah, juga tentang Yesus Kristus. Semuanya terramu dalam sebuah wadah makna penuh imjinasi puitis dengan irama bahasa kiasan yang serasi dan menawan. Dalam kumpulan sajaknya Ballada Sumilah kita dapat menemukan bait-bait yang puitis dengan hiasan bahasa kias hiperbola yang mengusung nilai-nilai keindahan tersendiri di batin para pembacanya./ Segala perang adalah keturunan dendam/Sumber air pancar yang merah/ Berbunga berwarna nafsu/Dinginnya angin pucuk pelor/Dingiinya mata

260 Esai Stilistika baja/Merunduklah semua merunduk/Bahasa dan kata adalah batu yang dungu//. Ungkapan lainnya yang tidak kalah puitis adalah,//Sumilah yang malang mendamba Samijonya/Menyuruk musang/Burung gantil nyanyikan ballada hitam//. /Burung gantil yang nyanyikan ballada hitam/memberikan suasana yang sangat duka pada pelukisan jiwa Sumillah. Gadis malang yang meninggal dunia setelah gila karena menyesali nasib Sumijo, kekasihnya yang mati bunuh diri di depan tangsi Belanda. Samijo bunuh diri karena berita bohong tentang ketidakperawanan Sumilah. Dalam puisinya yang lain, Rendra juga berhasil meramu kata- kata kias ke dalam wadah cinta dengan aroma imajinasi yang begitu romantik, dalam puisinya yang berjudul Kangen. Setiap orang memiliki kekangenan terhadap sesuatu. Kangen merupakan gejolak emosi seseorang untuk bertemu dan menumpahkan segala rasa kepada sesuatu yang dirindukan. Kangen pada umumnya berkaitan dengan kerinduan akan perjumpaan dengan lawan jenis yang disebut kekasih. Puisi Rendra yang berjudul Kangen karena itu juga bertemakan cinta, atau tepatnya kesepian cinta. Sikap penyair kepada pembaca mengajak untuk merasakan betapa dahsya cinta ketika dalam belenggu kangen. Penyair menyimbolkannya sebagai pisau bermata dua. Berikut dikutipkan utuh puisi itu. //Kau tak mengerti bagaimana kesepianku/menghadapi kemerdekaan tanpa cinta/kau tak akan mengerti segala lukaku/karena cinta telah sembunyikan pisaunya/membanyangkan wajahmu adalah siksa/kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan/engkau telah menjadi racun bagi darahku/apabila aku dalam kangen dan sepi/itu berarti/aku tungku dalam api//. Pesan mendalam si penyair mengajak kita agar dapat memaknai rasa rindu atau kangen, sehingga tidak berubah menjadi pisau kesepian, seperti yang nampak pada kutipan larik karena cinta telah sembunyikan pisaunya diikuti larik membayangkan wajahmu adalah siksa di sini Rendra kembali menunjukkan kepada

Esai Stilistika 261 pembaca akan kesepian yang dirasakan oleh si aku liris yang begitu mendalam, hingga rasa kangen yang dirasanya jutru menyiksa batinnya. Sebuah panorama cinta yang tak mampu tergenggam hingga menjadi racun yang justru menyesakkan batinnya. Kemudian di akhir bait puisi tersebut aku tungku tanpa api, Rendra kembali megasosiasikan si aku liris sebagai tungku yang tanpa api, bila ia tidak bertemu dengan kekasihnya, sepi, kosong, dan mungkin hanya kegelapan hati yang ia rasakan tanpa cinta. Dalam puisinya yang lain, yang tak kalah menarik untuk dibicarakan yaitu seperti Pamplet Cinta, NotaBene: Aku Kangen juga mengandung keromantikan tersendiri di hati pembacanya. Jika pada puisi-puisi Rendra bertemakan keromantikan cinta, dengan nuansa bahasa kiasnya yang mengalun merdu, kita juga dapat menemukan puisi-puisi romantik dengan nada-nada penuh cinta seperti Chairil Anwar, pada puisinya yang berjudul Senja di Pelabuhan Kecil yang bertemakan cinta dan remaja. Puisi yang ditulis oleh Chairil Anwar saat jatuh cinta dengan Sri Ayati tersebut menjadi sebuah bukti keromantikan Chairil dalam meluluhkan hati lawan jenisnya. Beragam imaji yang seakan merasuk ke dalam urat-urat halus batin pembacanya. Secara umum puisi tersebut menggambarkan pengalaman jiwa penyair yang sangat intensif. Diksi senja pada awalnya bermakna surup dalam bahasa Jawa menggambarkan pergantian siang dan malam, namun secara simbolis (makna senja) menggambarkan bagaimana sebuah fenomena waktu yang menjelaskan kepada kita (secara metafora) bahwa sudah akan berakhir saat cerah matahari dan sesaat lagi akan tiba saatnya gulita. Pengalaman yang menyenangkan (simbolisasi dari siang/terang) Chairil Anwar dengan Sriyati, karena itu, sesaat lagi akan berganti dengan kesedihan (simbol dari gelap/petang). Kedua penyair yang sama-sama memiliki kecenderungan dalam meramu bait-bait kata romantik. Bagaimana meraka dapat menghipnotik para pembaca dengan sihir-sihir cinta yang terjalin dalam bingkai indah

262 Esai Stilistika imajinasi. Namun, tidak semua penyair seperti Rendra, dan Chairil yang memikat hati pembacanya dengan kata-kata romantik. Berbeda dengan penyair Wiji Thukul. Ia menghipnotik para pembacanya dengan bahasa kias yang dapat mengisakkan hati pembacanya. Kata kias yang dipilih Wiji Thukul pun terlihat berbeda dengan Rendra. Jika kita menengok puisi Wiji Thukul. Wiji Thukul menggunakan bahasa Bunga dan Tembok kias yang tidak jauh dengan makna aslinya, misalnya pada puisi Bunga dan Tembok yang bertemakan perlawanan sosial yang dilakukan oleh masyarakat, dan Tentang Sebuah Gerakan kata gerakan pada puisi tersebut bermakna sebagai sebuah perlawanan untuk terus maju membela keadilan. Dengan penggunaan kata-katanya yang demikian, puisi-puisi Wiji Thukul cenderung lebih mudah untuk dipahami oleh pembaca. Bila Rendra, dan Chairil Anwar lebih memilih bahasa kias bergaya romantik pada larik-larik puisinya, maka Wiji Thukul lebih condong menggunakan bahasa sehari-hari yang mudah untuk dipahami, sebagai penggambaran sebuah realitas kongkret pada zamannya, selain itu tema yang diangkat oleh Rendra dan Wiji Thukul pun amat berbeda. Jika pada puisi-puisi Rendra di atas bertemakan kasih sayang, maka puisi-puisi Wiji Thukul bertemakan perlawanan-perlawanan sosial yang dilakukan oleh rakyat kecil sebagai hasil pemberontakan terhadap kesewenang- wenangan para penguasa. Namun, perbedaan yang muncul diantara para penyair tersebut tidak lah membuat kusut dawai-dawai imajinasi yang dikandungnya, karena setiap penyair akan memberikan warna tersendiri, dengan corak yang khas sesuai dengan daya kretifitas mereka sendiri dan dengan latar belakang yang berbeda pula, sehingga hal-hal itulah yang justru menambah semerbaknya rona-rona gradasi dalam puisi-puisi Indonesia. Melihat keberagaman dari puisi-puisi di atas, maka biarkanlah mereka (penyair) menyugesti pembacanya dengan gayanya sendiri. Wiji Thukul dengan permainan kata yang penuh dengan realitas sedangkan

Esai Stilistika 263 WS Rendra dengan pengucapannya yang penuh dengan: aroma cinta, romantik, imajis dan eksistensialis. Sebuah upaya pengimajian serta penggambaran suatu angan dalam merengkuh kode-kode estetik. Nada- nada cinta yang tertahta diantara gugusan keromantikan bahasa kias yang sungguh memesona. Sebuah pembayangan semu, yang menjadi ruh kehidupan dalam lirik-lirik merdu puitis, berbalut keromantikan.

***

264 Esai Stilistika KAJIAN CITRAAN EROTIKA DALAM PROSA LIRIS PENGAKUAN PARIYEM KARYA LINUS SURYADI

Zaiful Nur Fatroni Mahasiswa PBSI 2013

/1/ Prosa merupakan salah satu produk sastra yang memegang peranan penting dalam memberikan pandangan hidup. Cerita dalam prosa cenderung menggambarkan sikap dan cara pandang pengarang terhadap kehidupan. Peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh memberikan gambaran dalam menghadapi problematika kehidupan. Prosa diartikan sebagai karya yang dibangun melalui atas unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik bersumber pada teks sastra itu sendiri, sedangkan unsur ekstrinsik sumber di luar yang sifatnya pendukung. Unsur-unsur tersebut akan membangun karya sastra secara totalitas. Prosa hakikatnya menawarkan dunia baru kehidupan yang diidealkan (imajinatif), namun tidak menutup kemungkinan menawarkan dunia sesungguhnya. Dunia yang dibalut dengan kreativitas pengarang. Mengingat prosa yang menawarkan dunia kehidupan fana dan nyata. Patut untuk ditelaah lebih dalam untuk menelisik nilai di

Esai Stilistika 265 dalamnya. Salah satu prosa liris yang menarik yaitu Pengakuan Pariyem. Prosa yang dibuat dengan daya kreatif pengarang dengan memiliki keunikan-keunikan tersendiri. Keunikan tersebut berupa gaya bahasa yang digunakan dan citraan untuk mendukung suasana cerita. Bahasa yang digunakan juga mudah dan sederhana. Prosa liris Pengakuan Pariyem ini banyak menampilkan penggunaan citraan, sehingga membuat pembaca seakan hadir langsung dalam cerita. Tidak saja itu, penggunaan citraan yang dominan mampu menjadi pembeda dengan prosa-prosa pada umumnya. Menelisik isi Prosa yang bercerita tentang kehidupan wanita Jawa yang dapat menerima segala situasi, bahkan yang terpahit sekalipun. Wanita Jawa digambarka pintar memendam penderitaan dan pintar pula memaknainya. Mereka kuat dan tahan derita. Jika pada masyarakat luas ia berada di bawah tekanan psikis untuk menyembunyikan perasaan- perasaan yang sebenarnya serta dituntut untuk selalu memperhatikan kedudukan dan pangkat setiap pihak, maka keluarga menjadi tempat peraduan tekanan sosial. Bagaimana sikap batin seorang wanita Jawa digambarkan dengan cantik oleh Linus Suryadi Ag melalui prosa liriknya yang berjudul Pengakuan Pariyem. Keseluruhan isi yang diungkapkan dengan bahasa yang khas dan sederhana sehingga mudah dipahami dan menarik untuk dibaca. Berbicara masalah bahasa tidak lepas dari teori stilistika. Sutejo (2012:1) mengemukakan bahwa stilistika hakikatnya akan berbicara keindahan pengucapan bahasa dalam karya sastra memiliki kesinambungan sebagai acuan untuk landasan menupas Pengakuan Pariyem. Alasan lain muncul karena citraan dalam novel Pengakuan Pariyem beragam dan dominan untuk mengmabarkan keadaan tokoh dan juga keadaan sekitarnnya. Citraan berfungsi sebagai gambaran dalam penginderaan dan pikiran, menarik perhatian, membangkitkan intelektualitas dan emosi pembaca dengan cepat sehingga seakan larut dalam cerita.

266 Esai Stilistika Berbicara masalah citraan lebih jauh dijelaskan oleh Wallek dan Warren (dalam Sutejo 2012:18) yang meliputi citra pencicipan, penciuman, kinesthetic termasuk haptic dan empathic, citraan terikat dan citraan bebas. Sedangkan menurut Rahmad Djoko Pradopo (dalam Sutejo 2012:18), membedakan citraan ke dalam beberapa jenis (i) citraan penglihatan (visual imagery), (i) citraan pendengaran (audio imagery), (iii) citraan penciuman, (iv) citraan pencecepan, (v) citraan gerak (movement imagery), dan (vi) citraan kekotaan dan kehidupan modern. Pandangan lain tentang citraan diungkapkan oleh Burhan Nurgiyantoro (dalam Sutejo 2012:19) yang mengelompokkan citra didasarkan pada pengalaman kelima panca indra. Kelima citraan itu meliputi (i) citra penglihatan, (ii) citra pendengaran, (iii) citra gerak, (iv) citra rabaan dan (v) citra penciuman. Selain itu, ada pengembangan tentang citraan yang diturunkan dari pemikiran Fadilah S.S (dalam Sutejo 2012:116) yang membedakan citraan erotika ke dalam dua jenis citraan erotika biologis dan citraan erotika metabiologis. Untuk citraan erotika biologis akan dikelompokkan lagi menajadi (i) penggambaran saat prakejadian, (ii) memaparkan menjadi berita, (iii) menggambarkan dengan memanfaatkan cerita rakyat, (iv) menggambarkan saat proses kejadian dengan monolog batin, dengan metafor-metafor alam, dan menyelewengkan klimaks dengan peristiwa lain, serta (v) mengungkapkannya secara humor. Sedangkan citraan erotika metabiologis juga dikategorikan ke dalam (i) erotisme yang menggambarkan saat prakejadian, (ii) memaparkan menjadi berita, (iii) menggambarkan dengan memanfaatkan cerita rakyat, (iv) menggambarkan saat proses kejadian dengan monolog batin dengan metafora alam dan menyelewengkan klimaks dengan peristiwa lain serta mengungkapkannya secara humor. Berdasarkan penjabaran tersebut, penulis tertarik untuk menganalisis dari segi citraan erotika biologis dan citraan erotika

Esai Stilistika 267 metabiologis yang digunakan dalam prosa liris Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi.

/2/ Citraan Erotisme Biologis Hakikat citraan erotika biologis adalah penggambaran kejadian seksualitas divisualisasikan pengarang secara jelas, terang-terangan, transparan, dan terinci. Citraan demikian, dalam prosa liris Pengakuan Pariyem tampak dominan mencangkup beberapa kategori penglompokan. Citraan erotika biologis dalam pengungkapannya menggunakan beragam pengalaman indra sebelumnya. Citraan erotisme biologis dalam perwujudannya dapat berupa citraan audio, citraan visual, citraan penciuman, citraan taktil dan citraan gerak itu sendiri. Berikut kutipan yang menggambarkan citraan erotika prakejadian: “…ketika itu rumah lagi kosong sedang ditinggal pergi plesir ke kebun binatang gembiro loko, tapi Den bagus Aryo tidak ikut lagi tidak enak badan alasannya, tinggal saya dan dia dirumah berdua lha, tidak salah lagi betul, iya dia masih malu-malu memang dia clingus banget, tapi sorot matanya tidak bisa menipu saya kenal betul dengan hasrat lelaki, dia kasmaran sama saya, selagi saya membersihkan kamarnya tiba-tiba saya di renggut dari belakang O, Allah saya kaget setengah mati, mas sekujur tubuh saya digerayanginya, pipi, bibir, pentil saya dingok pula paha saya diraba-raba, alangkah bergidik bulu kuduk saya alangkah merinding urat saraf saya tapi saya pasrah saja kok, saya lega lila. Tapi dalam tempo sekejap tubuh saya penuh keringat dan basah air kehidupan.”

Untuk memancing imajinasi pembaca pengarang seringkali menceritakan keadaan awal. Demikian juga yang dilakukan Linus Suryadi dalam mengimajinasikan Pariyem ketika akan melakukan pergaulan dengan anak majikannnya Den Bagus Aryoatmojo. Pengarang secara jelas dan terang-terangan melukiskan tergadi hubungan terlarangnya.

268 Esai Stilistika Melalui citraan visual pengraang mampu memberikan rangsangan terhadap indra penglihatan seakan pembaca terlibat dan hadir dalam cerita. Penggambaran indra penglihatan itu tampak pada bagaimana melukiskan rumah, kebun binatang dan saat membersihkan di kamar. Di samping menggunakan citraan visual pengarang juga menggunakan citraan perabaan untuk menajamkan citraan erotika biologis melalui Den Bagus Aryoatmojo ketika menggrayahi sekujur tubuh Pariyem. Citraan erotisme biologis prakejadian dengan pengungkapan citraan visual yang digambarkan secara jelas terang-terangan, trasnsparan dan terinci dan dikemas dalam bahasa yang vulgar juga tampak pada kutipan berikut: “Saya diseret ke gubuk reyot tempat menunggu padi di hari siang Oo…Saya belum tahu mau diajak apa namun naluri sudah mengatakan rasa gagu menjebak saya, hati kemrungsung meraung-raung saya pun tidak bisa menggelakkan, dia buka surjan, sarung dan kathok kolornya dia pun buka kebaya, jarit dan kutang saya, Oooo.....Allah gusti nyuwung ngapuro, kami telanjang bulat!! Bibir saya diciumnya, ciuman pertama dari seorang pria, pentil saya diremasnya remasan pertama dari seorang pria, dan kuping bawah saya dikulumnya kuluman pertama dari seorang pria, Oo Allah gelinya luar biasa!!... bulu kuduk saya merinding loo, berdiri semua, paha saya di rabanya rabaan pertama dari seorang pria, pinggul saya diremetnya remetan pertama dari seorang pria, dan pusar saya dijilatinnya jilatan pertama dari seorang pria, Oohh... jagad gelap gulita, napas saya berdebur keras, darah saya mengalir deras, jangan tanya dia pun pasang kuda-kuda menjatuhkan diri dan menggasak saya badan saya ditindihnya begitu rupa.”

Di samping menggunakan citraan visual untuk menajamkan citraan erotisme biologis prakejadian, pengarang juga menggunakan citraan perabaan untuk menekankan kesan seksualnya. Citraan perabaan

Esai Stilistika 269 digunakan untuk mengungkapkan pengalaman erotik perabaan terhadap organ tubuh Pariyem yang dilakukan oleh Sokidi Kliwon ketika akan melakukan suatu hubungan seksualitas di gubuk tempat menyimpan padi. Linus juga menggunakan cara pengucapan seksualitasnya menarik untuk menunjukkan perbandingan sindiran tentang bagaimana komunikasi seksualitas, melontarkan sindiran yang menggelitik tentang bagaimana hakikatnya seksualitas sesungguhnya. Dengan bahasa yang nakal Linus mengungkapkan dalam prosanya ekspresi secara biologis, memuaskan hasrat seksualitas dengan dirinya sendiri (masturbasi). Hal demikian tampak pada kutipan berikut ini: ”Saya buka semua pakaian di badan saya tanpa kebaya, jarit, dan tanpa kutang. Ahh. yaa saya telanjang. Saya kucel-kucel pentil saya sebagaimana Den Bagus mengucel-ngucelnya, saya uyeg-uyeg pinggul saya sebagaimana Den Bagus menguyek- uyeknya, dan saya ubeg-ubeg anu saya sebagaimana Den Bagus mengubeg-ubegnya,, merem-meleklah mata saya, mata sayapun merem-melek,, Oohh.. Dewi Ratih, Oohh Dewa Kama kursi tempat saya duduk basah dengan cairan..!! ndlewer dari sumber kehidupan.”

Kutipan data di atas tampak citraan perabaan yang digunakan untuk menggambarkan Pariyem dalam memuaskan hasrat libido. dengan cara melakukan masturbasi. Dengan demikian citraan erotika biologis dalam prosa liris Pengakuan Pariyem oleh Linus Suryadi dipergunakan beberapa teknik menarik untuk melukiskan pengalaman seksualitasnya yang dilukiskan dengan menggunakan citraan erotisme biologis prakejadian yang memanfaatkan citraan visual dan citraan perabaan secara bergantian untuk mengimajinasikan masalah seksualitas yang dipadukan dengan gaya bahasa secara variatif.

270 Esai Stilistika Citraan Erotisme Metabiologis Berbeda dengan citraan biologis, citraan metabiologis hakikatnya merupakan pengalaman mental yang berangkat dari pengalaman inderawi untuk mengungkapkan persoalan seksualitas secara simbolik, metaforis dan dikemas dalam wacana estetis yang halus. Artinya seksualitas itu dikemas tidak semata-mata harfiah namun penuh penyembunyian imaji. Adapun citraan yang pertama adalah citraan metabiologis prakejadian, hal ini tampak dalam kutipan berikut: “Saya di bopong diambunginya saya dibaringkan di atas amben, tempat tidur saya bila malam, tempat ngaso saya ketika siang, dalam keriat keriut diselingi sunyi saya digulatinya dengan habis-habisan, tak malam, tak siang, tak sore, waktu hilang diatas bale-bale dalam dahaga saya reguk air murni jagad merasuk kedalam sanubari Ooohh, ya ampun!! Anunyaa gedhe bangt lohh, saya marem meladeninya”

Kutipan yang menunjukkan bagaimana citraan metabiologis prakejadian menggambarkan hubungan Pariyem dan Den Bagus Aryo Atmodjo yang mengiring imaji kepada situasi dan kondisi seksualitas. Bahkan secara terpadu disinergiskan dengan citraan gerak dengan menggunakan gaya bahasa metafora dan personifikasi: “…saya digulatinya dengan habis-habisan, tak malam, tak siang, tak sore, waktu hilang di atas bale-bale dalam dahaga saya reguk air murni jagad merasuk ke dalam sanubari. Ooohh, ya ampun!! Anunyaa gedhe banget lohh, saya marem meladeninya.”

Di samping itu citraan erotisme metabiologis prakejadian dilukiskan juga dengan memanfaatkan metafora-metafora yang menarik untuk menggambarkan bagaimana citraan erotisme secara intensif dan memikat seperti pada kata reguk air murni, bale-bale dalam dahaga.

Esai Stilistika 271 Citraan erotisme metabiologis yang selanjutnnya juga tampak pada penggalan paragraph berikut: “Semalam kami asik bercumbu-cumbuan bak sampah diombang- ambingkan gelombang kami berdua menjelajah kegelapan malam, sebagaimana saya mengulum punya dia, demikianpun dia mengulum punya saya. Tak ada priyayi, tak ada babu pula jarak hilang dinding pun tenggelam saya dan dia sebagai sepasang insan masing-masing pun mempunyai kepribadian. Oh, ampun ya ampun, anunya panjang banget.. lho... senantiasa saya kewalahan, kelap-kelip lampu pelita tertiup angin gunung yang dingin, dalam musim-musim bediding saya kangen saya demen!!!”

Citraan erotisme metabiologis prakejadian di atas dibangun dengan memanfaatkan kalimat-kalimat yang puitis dengan memadukan citraan visual melalui pelukisan setting yang menarik diawali dengan menggunakan citraan visual, kemudian diikuti larik puitis: “Semalam kami asik bercumbu-cumbuan bak sampah diombang- ambingkan gelombang kami berdua menjelajah kegelapan malam, sebagaimana saya mengulum punya dia, demikian pun dia mengulum punya saya.”

Secara metaforik gambaran seks yang dilukiskan tampak aspek seksualitas yang merupakan bagian hidup yang tak dapat dipisahkan. Sehingga sebagaimana pelukisan seksualitas yang terjadi antara babu dan majikan dilukisan dengan gaya bahasa yang intensif, nakal, dan imajinatif. Selajutnya dipertajam melalui kutipan berikut: “…oh, ampun ya ampun, anunya panjang banget.. lho... senantiasa saya kewalahan, kelap-kelip lampu pelita tertiup angin gunung yang dingin, dalam musim-musim bediding saya kangen saya demen!!!”.

Menyirat bagaimana sosok Pariyem yang sangat suka dan senang meladeni hasrat seksualitas majikannya. Kesenangan yang dilandasi akan kesukaan Pariyem terhadap organ seks saat berhubungan.

272 Esai Stilistika Pada bagian lain, penggunaan humor dimanfaatkan Linus Suryadi untuk melukiskan citraan erotisme metabiologis. Penggambaran citraan erotisme bernada humor yang dinarasikan dan divariasikan melalui dialog antartokoh. Menjadi semacam variasi pembaca dalam pembayangan seksualitas yang lebih intensif, hal ini tampak pada kutipan berikut: “Ooo....Allah gusti kulo nyuwun ngapuro, apabila saya menyapa Den Bagus bayang matanya penuh alam mimpi dia menelan ludah berkali-kali, anunya lalu ngaceng, lhooo membikin dia cegukan, lalu didhehem-dhehem tiga kali hemm...hemmm..hemmm, pertanda hasrat ngrasuk rasa bangkit, dan saya pun tanggap ing sasmito beberapa putri yang seneng lelewa ehek-ehek, Den Bagus pun kehilangan akalnya, kesabaran sampai di ubun-ubun menumpuk dari tahun ke tahun.”

Data di atas menunjukkan bahwa gaya humor yang digunakan pengarang untuk mendiskripsikan persoalan seksualitas secara metabiologis yang dialami oleh Den Bagus Aryoatmojo ketika disapa oleh Pariyem membuat nafsu birahi sang majikan bergejolak. Penggambaran citraan erotisme metabiologis di atas dipertajam dengan menggunakan citraan visual pada, seperti nampak dalam kutipan berikut: “Ooo...Allah gusti kulo nyuwun ngapuro, apabila saya menyapa Den Bagus bayang matanya penuh alam mimpi dia menelan ludah berkali-kali, anunya lalu ngaceng.”

/3/ Wasana Akhir Dengan demikian, citraan erotisme metabiologis dalam prosa liris Pengakuan Pariyem, Linus Suryadi mempergunakannya dengan beberapa teknik citraan yang menarik dalam melukiskan pengalaman seksualitas dalam berbagai bentuk. Pertama, dilukiskan dengan menggunakan citraan erotisme prakejadian yang memanfaatkan

Esai Stilistika 273 citraan visual dan citraan gerak secara bergantian untuk mempertajam imajinasi seksual. Kedua, citraan erotisme metabiologis oleh Linus Suryadi dilukiskan dengan mengungkapkannya humor dengan narasi. Sehingga dalam pembahasan prosa liris Pengakuan Pariyem dapat disimpulkan bahwa citraan erotisme dibagi menjadi citraan erotisme metabiologis dan citraan erotisme biologis. Citraan erotismes biologis menggambarkan bahwa kejadian seksualitas divisualisasikan oleh pengarang secara jelas, terang-terangan, trans-paran dan terinci. Akan tetapi secara simbolik, metaforis, dikemas dalam wacana estetis yang halus maka imaji seksualitas itu dapat dikatakan bersifat metabiologis.

***

274 Esai Stilistika MEMBEDAH PENGUNGKAPAN SITOK SRENGENGE GELIAT METAFORA BAHASA YANG MEMPESONA DALAM PUISI CAHAYA

Ririn P. Mahasiswi PBSI 2013

/1/ Sastra merupakan pengungkapan baku dari peristiwa yang telah dialami, yang telah direnungkan dan dirasakan orang mengenai segi- segi kehidupan. Sastra hadir sebagai hasil perenungan pengarang terhadap fenomena yang ada. Tidak saja dinilai sebagai sebuah karya seni yang memiliki budi, imajinasi, dan emosi. Akan tetapi, sastra telah dianggap sebagai suatu karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual di samping konsumsi emosi. Pemahaman teks sastra mencakup kode penting: (i) kode bahasa, (ii) kode sastra, dan (iii) kode budaya. Pengarang atau penyair tidak sekedar menggunakan bahasa sehari-hari tetapi bahasa yang digunakan berciri estetis, dan menyampaikan pesan tersembunyi dan dapat memancing imajinasi pembaca (Sutejo 2012:2). Dalam penciptaan karya sastra tak pernah terlepas dari penggunaan gaya bahasa. Sangat mustahil bila sebuah karya sastra lahir tanpa adanya keterkaitan gaya bahasa. Sehingga semakin pekat penggunaan gaya

Esai Stilistika 275 bahasa dalam sastra, semakin terasa pula nilai estetik yang terkandung di dalamnya. Seperti yang dicatat oleh Jabrohim (2012:221), secara etimologis stilistika berkaitan dengan style (bahasa Inggris). Sytle artinya gaya, sedangkan stylistics artinya ilmu tentang gaya. Stilistika adalah style, yaitu cara yang digunakan seorang pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana. Konsep Style sebagai bentuk ekspresi keindahan sudah ada sejak jaman klasik Renaisance, karena pada jaman tersebut persoalan style dikaitkan dengan ornament dan elegance. Secara umum, lingkup telaah stilistika mencakupi diksi atau pilihan kata (pilihan leksikal), struktur kalimat, majas, citraan, pola rima, dan matra yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam karya sastra (Sudjiman 1993:13-14). Gaya bahasa adalah cara pemakaian bahasa dalam karangan, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca. Gaya itu menghidupkan kalimat dan memberi gerak pada kalimat. Gaya bahasa tersebut untuk menimbulkan reaksi tertentu dan menimbulkan tanggapan pikiran kepada pembaca. Pradopo menyatakan bahwa gaya bahasa bersifat prismatis, artinya memancarkan makna yang lebih dari satu. Selain itu, dalam penggunaannya gaya bahasa yakni dapat memperjelas, menjadikan sesuatu lebih menarik dan memberikan daya hidup dalam karya sastra.

/2/ Dalam kajian stilistika menurut Altenbernd (dalam Pradopo 2010:66), metafora merupakan sesuatu hal yang sama atau seharga dengan kata lain, yang sesungguhnya tidak sama. Metafora tersebut bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak menggunakan kata- kata pembanding. Majas metafora melihat sesuatu dengan perantara

276 Esai Stilistika benda yang lain. Majas metafora merupakan gaya perbandingan yang bersifat tidak langsung dan implisit. Hubungan antar sesuatu yang pertama dengan yang kedua hanya bersifat sugestif, tidak ada kata-kata petunjuk pembanding eksplisit (Nurgiyantoro 2010:229). Metafora adalah bahasa kiasan seperti perbandingan hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding, seperti bagai, laksana, seperti, dan sebagainya. Dengan demikian, metafora merupakan wujud nyata dari citraan; bentuk yang paling tepat untuk menggambarkan citraan atau imagery. Metafora mengidentifikasikan dua objek yang berbeda dan menyatukannya dalam pijaran imajinasi. Dalam hal ini metafora bertugas membangkitkan daya bayang yang terdapat dalam angan pembaca. Majas metafora adalah sejenis gaya bahasa perbandingan yang diungkapkan secara singkat, tersusun rapi, dan padat (Tarigan 2009:15). Dalam majas metafora terlihat dua gagasan, yang satu adalah suatu kenyataan yang dipikirkan dan yang satunya merupakan pembanding terhadap kenyataan tersebut, sebagai perbandingan langsung tidak memperggunakan kata seperti, bak, bagai, laksana, dan sebagainya, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua. Puisi Cahaya karya Sitok Srengenge terdapat majas metafora. Jika dianalisis lebih mendalam, meski menggunakan citraan erotis tetapi didalamnya mengajarkan penyatuan diri kepada Tuhan. Berikut kutipan puisinya://(dalam semesta alam)/Dibanding pedih angan di musim dingin/Atau keling dan kelamin/yang menggali hangat dalam tubuh kekasih/Aku lebih butuh kau/Tawaku akan/menyala bila terpercik kedip matamu/Alangkah senang berenang dan menyelam/hingga hangus di kobar tubuhmu/Aku berkeruh karna bahagia/Andaikata seluruh/dirimu adalah neraka/Siang malam aku ingin menciummu/Biar matahari dan bintang-bintang terbakar cemburu/Agar semua darah tidak membeku/ Andai anggur merah yang lembut ingin ku cecap merah bibirmu/Demi gairahmu menyusur saluran darahku/Menyembur kekal derap kalbu

Esai Stilistika 277 menenap masa kanakku/Kau magma dihatiku yang menjaga hangat hidupku/Tinimbang para pesakitan yang mimpi tentang kebebasan abadi/Atau para nabi yang mengabarkan kebenaran hakiki/Aku lebih perlu kau/Bersama kau aku akan sampai ke hening/Dimana aku bebas bernyanyi tanpa suara, menari tanpa gerak,/terbang tanpa sayap/Aku akan mengasihi nasib buruk melebihi nasib baik mencintaiku/Singgahlah ke kata-kataku/Agar puisi ini tak menggigil dalam sepi/Kita bisa bercinta dengan panas sambil membayangkan betapa hidupku akan/kelam kalau kau/Padam/Lelahkan aku dengan lidahmu, luluhkan lelahku/Kandaskan tubuhmu/Kuduskan ruh/Aku debu kelak kembali ke debu/Kita/bersama dalam cinta/Menyatu dengan cahaya/. Puisi di atas mempunyai tema cinta Tuhani. Sang penyair memiliki kerinduan kepada Tuhannya. Bagaimana kerelaan atas penyerahan jiwanya. Ia bayangkan Tuhan seperti kekasihnya. Sebuah metafora yang sempurna, motivasi cinta Tuhani. Penyerahan kepada kesukaran hidup hanya untuk mendapat kasih Tuhannya. Pada baris terakhir// Aku debu kelak kembali ke debu/Kita bersama dalam cinta/Menyatu dengan cahaya// Manusia diciptakan dari tanah dan kembali ke tanah. Bermula dari peristiwa penciptaan manusia, Ia menemukan kasih dan cinta Tuhannya. Ia memilih menyatu dengan Tuhannya. Bagaimana makhluk dan Tuhannya menyatu dalam cinta dan cahayanya. Bait pertama pada puisi Cahaya kental dengan gaya bahasa dan imaji yang menarik. Meski beraroma erotis tetapi pada akhir puisi tersebut menjelaskan tentang penyatuan dirinya dalam cahaya Tuhan. Pada bait pertama, terdapat majas metafora yang menarik.//Alangkah senang berenang dan menyelam hingga hangus di kobar tubuhmu/Aku berkeruh karna bahagia/Andaikata seluruh dirimu adalah neraka/ Siang malam aku ingin menciummu//. Untuk memunculkan citraan yang lebih mengesan, penyair menggunakan bahasa figuratif dan kata konkret. Metafora “berkeruh” memunculkan citra visual. Pembaca dapat

278 Esai Stilistika membayangkan seorang yang rela melakukan segalanya. Memiskinkan diri, rela didzolimi. Pengorbanan seseorang kepada Tuhan, ia sangat bangga ketika ia harus berenang dan menyelam hingga hangus. Sebuah penyerahan jiwa si aku lirik kepada Tuhannya. Selanjutnya Ia rela berkeruh. Sebuah metafora yang mempesona digambarkan Sitok Srengenge. Diksi “neraka” digunakan sebagai penggambaraan dosa, dosa yang melekat pada manusia seperti dosa yang selalu dibawanya dan dekat dengannya. Sebuah metaforik, bahwa neraka itu adalah sebuah penggambaran kedekatan dengan Tuhannya. Ia ingin mencium neraka itu. Pada bait kedua metaforis ini muncul pada baris empat./Kau magma dihatiku yang menjaga hangat hidupku/. Diksi “magma” dipilih penyair tersebut sebagai simbol energi. Magma adalah bahan yang berada di inti bumi. Yang menjadi energi yang besar tatkala keluar dari gunung. “Magma” sebagai sebuah simbol kepada Tuhannya. Yang terus menjadi inti bagi jiwanya. Tuhan yang selalu berada padaa dadanya. Memberikan energi untuknya./Aku akan mengasihi nasib buruk melebihi nasib baik mencintaiku/. Sebuah kerelaan ia lebih baik merasakan kesedihan, sebagai sebuah penyerahan diri. Ia lebih menunggu cinta Tuhani.

***

Esai Stilistika 279 MENGUAK TABIR VISUAL IMAGERY DALAM PUISI KERETA KARYA SITOK SRENGENGE

Tika Dewi Sulistianing Mahasiswi PBSI 2013

/1/ Setiap sastrawan mempunyai gaya kepenyairan sendiri yang membedakan dengan yang lainnya. Hal itu menjadi ciri khas mereka dalam setiap karya yang dihasilkan. Setiap penyair dalam mengintensifkan bahasa sebagai sarana pengucapan estetiknya banyak menggunakan sarana bahasa yang indah seperti konotatif, simbolis, permainan bunyi, gaya bahasa, serta citraan. Maka, setilistika menaruh perhatian besar pada aspek kebahasaan. Kajian yang dalam tataran penemuan makna sastra seringkali dipengaruhi oleh pemahaman dan pengalaman pembaca sastra. Stilistika atau stylistic dalam bahasa Inggris adalah ilmu tentang style (gaya). Menuruk Wellek dan Warren, stilistika mencangkup semua teknik yang dipakai untuk tujuan ekspresi tertentu dan meliputi wilayah yang lebih luas dari sastra atau retorika.13 Dengan begitu,

13. Rene Wellek dan Austin Warren (Penerjemah: Meilani Budianta), Teori Kesusastraan, Jakarta: Gramedia, (1993), hal. 222-3.

280 Esai Stilistika semua wujud dan teknik untuk membuat penekanan dan kejelasan dapat dimasukan pada wilayah stilistika. Sudiro Satoto mendefinisikan sebagai bidang linguistik yang mengemukakan teori dan metodologi pengkajian secara formal sebuah teks sastra termasuk pengertiannya yang extended.14 Extended adalah suatu sifat estetik yang melompati keindahan teks itu sendiri, sifat-sifat bahasa sastra yang memesono (konotatif, simbolik,asosiatif, metaforik, dsb). Beragam gaya lahir dari penyiasatan struktur kalimat. Gaya yang sering digunakan adalah yang berangkat dari bentuk pengulangan, baik berupa pengulangan kata, frase, kalimat, maupun bentuk-bentuk lain, seperti: repetisi, pararelisme, anafora, polisendenton, epipora, dsb. Style merupakan kekhasan pengucapan sastrawan. Umar Junus menyebutnya sebagai pemakaian atau penggunaan bahasa dalam karya sastra.15 Karena itulah style sesungguhnya ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti dalam pemilihan bunyi, diksi, struktur kalimat, bahasa figuratif, penggunaan penanda kohesi, perlambangan, metafora, dan lain-lain. Style juga berkaitan dengan pencitraan atau imagery. Pencitraan merupakan perwujudan dari citraan yang dilakukan oleh seorang pengarang yang digunakan untuk melukiskan kualitas respon indera baik secara harfiah maupun kiasan. Citraan sendiri merupakan gambaran pengalaman indera yang diungkapkan melalui bahasa. Burhan Nurgiyantoro, menyebutkan pecitraan ke dalam lima jenis citraan (a) citraan penglihatan (visual imageri) (b) citraan pendengaran (audio imagery), (c) citraan gerak (cinestetic imagery), (d) citraan perabaan (tactil imagery), dan (e) citraan penciuman (alfaktori).16 Citra

14. Sudiro Satoto, Stilistika, Surakarta: STSI Press Surakarta, (1995), hal.4. 15. Umar Junus, Stilistik: Suatu Pengantar, Kuala Lumpur (Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1989), hal. xvii. 16. Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakart: Gajah Mada University Press. 1998. Hal. 304

Esai Stilistika 281 atau imagery, sebenarnya dapat dikembangkan menjadi lebih banyak dari yang disebutkan sebelumnya. Karena sebagaimana ahli psikologi membatasinya hanya ke dalam lima atau enam indera, maka untuk pengkajian puisi ini klasifikasi diatas dipandang telah memenuhi. Sehingga dapat dipahami pengertian style tidak bisa terlepas dari pilihan gaya seseorang, tujuan pengarangan seseorang, sampai konteks yang melatari bagaimana seorang pengarang atau penyair memilih gaya pengucapan tertentu. Dalam konteks kajian ini, yakni kajian stilistika atas puisi Kereta karya Sitok Srengenge akan difokuskan pada pemakaian diksi yang menggunakan citraan visual atau penglihatan. Adapun yang dimaksud dengan citraan visual adalah jenis citraan yang sering menekankan pada pengalaman visual atau penglihatan yang dialami pengarang yang kemudian diformulasikan dengan kata yang metaforis dan simbolis. Akhirnya, citra penglihatan itu sendiri dapatlah dipahami sebagai ciri penglihatan yang memberi rangsangan kepada indera penglihatan, hingga sering hal-hal yang tak terlihat jadi seolah-olah terlihat.

/2/ Dalam kajian stilistika terhadap puisi Kereta karya Sitok Srengenge akan dianalisis secara mendalam salah satu aspek yang dianggap menarik sebagaimana yang diungkapkan pada teori yang melatari sebelumnya. Bahasa puitis Sitok Srengenge dengan keunikan pemilihan katanya, padatnya gaya bahasa yang digunakan, sehingga menyuguhkan citra yang sempurna. Citraan visual banyak ditemukan dalam puisi tersebut. Pada bait pertama sendiri di Stasiun Tugu, entah siapa yang ia tunggu, orang-orang datang dan lalu, ia Cuma termangu. Bait tersebut menggambarkan citraan visual berupa tempat atau seting yang melatarbelakangi puisi tersebut. Sebuah stasiun yang ramai penuh sesak sedangkan tokoh aku lirik digambarkan hanya termangu. Dengan

282 Esai Stilistika permainan bunyi vokal atau asonansi/u/yang dapat menggambarkan situasi yang gembira menyenangkan, indah ataupun bahagia. Tetapi dalam bait tersebut lebih cenderung menggambarkan kesedihan ataupun duka. Penggunaan gaya bahasa interupsi yang seakan lebih mempertegas sebuah visualisasi dari keadaan yang jauh dari kata menyenangkan. Sepasang orang muda berpelukan, (sebelum pisah) seolah memeluk harapan. Lirik puisi tersebut memperlihatkan sepasang kekasih yang berpelukan yang kemudian diasosiasikan seolah memeluk harapan. Dengan menggunakan permainan bunyi konsonan atau aliterasi/n/ semakin menambah kesan kesedihan didalamnya. Citraan visual kembali muncul pada baris ia tatap rel menjauh dan lenyap didalam gelap. Penyair memvisualkan aku lirik yang melihat sebuah rel yang semakin jauh dan hilang didalam kegelapan. Penggunaan permainan bunyi aliterasi/p/mempertegas kesedihan yang dirasakan. Citraan visual ini diiringi oleh pelukisan peristiwa yang menggambarkan pengalaman penglihatan yang demikian kuat. Hal itu juga terdapat pada lirik diantara orang berlalang-lalu, ada masinis ada portir. Citraan visual semakin terlihat setting tempat yang melatar belakinya yakni sebuah setasiun kereta, dengan masinis, portir dan tentunya banyak orang yang berlalu lalang disana. Cahaya biru berkelebat dalam gelap, kunang-kunang digerumbul malam. Pada lirik tersebut penyair memvisualkan suasana malam yang gelap yang hanya sedikit cahaya, dari lirik tersebut sebenarnya hanya sebuah simbol yang mengandung makna konotatif berupa harapan yang di simbulkan dengan warna biru yang hanya sekelebat atau hanya sesaat lalu pergi. Kunang-kunang yang hanya terang pada suatu malam dan hilang ke esokan harinya. Penyair mengibaratkan harapan aku lirik serupa hanyalah sia-sia dengan citraan penglihatan sebuah cahaya biru yang hilang dalam gelap dan kunang-kunang yang digerumbul malam.

Esai Stilistika 283 Pada lirik selanjutnya puisi kereta karya Sitok Srengenge dua garis rel itu, seperti kau dan aku, hanya bersama tapi tak bertemu. Citraan visual yang dipadukan dengan gaya bahasa asosiasi dan menggunakan permainan bunyi asonansi/u/. Asonansi yang biasanya memberi nuansa keriangan atau kebahagiaan akan tetapi tidak dengan penggambaran puisi ini yang penuh kesedihan. Diikuti dengan larik selanjutnya hanya bisa bersama namun tak bertemu, semakin memperjelas bagaimana asonansi lebih digunakan penyair untuk menggambarkan kesedihan. Citraan visual yang digunakan penyair untuk memberikan rangsangan kepada pembaca akan bayangan rel kereta. Pembayangan yang sesungguhnya tidak begitu asing bagi pembaca, namun lebih menekankan pada makna rel yang berjajar. Penyair mengasosiasikan sebuah rel yang selalu berdampingan tak akan bisa menyatu sama seperti dua insan yang saling mngasihi namun tak bisa bersatu. Sama halnya dengan lirik berikut bagai balok-balok bantalan tangan kita bertautan, terlalu berat menahan beban. Kembali penyair menggunakan citraan visual yang dipadupadankan dengan gaya bahasa asosiasi dengan permainan bunyi aliterasi /n/. Pembaca seolah diajak berimajinasi dengan memvisualisasikan sebuah balok-balok bantalan kereta yang selalu menahan beban berat kereta yang lewat di atasnya. Begitulah penggambaran visual Sitok Srengenge dengan mengasosiasikannya bagai dua insan yang menanggung beban karena tak bisa bersatu yang kemudian akan menjadi sebuah kenangan saja. Mungkin kita hanya penumpang, duduk berdampingan tapi tak berbincang. Dari larik tersebut. Ririk tersebut memvisualisasikan kebiasaan penumpang yang ada di dalam kereta, meskipun duduk berdampingan mereka tak akan saling berbicara karena kebanyakan tidak saling kenal satu sama lain. Dalam hal ini penyair kembali mengasosiasikannya dengan menggunakan permainan bunyi aliterasi /ng/. Sehingga larik tersebut seolah menggambarkan keadaan yang sangat dramatis yang dialami oleh keduanya.

284 Esai Stilistika Pada baris-baris terakhir puisi kereta juga masih terdapat citraan visual yang digunakan penyair untuk lebih mempertegas gambaran kesedihan yang dialami oleh akulirik, seperti terlihat pada kutipan puisi berikut. jadilah masinis bagi kereta waktumu, menembus padang lembah gulita tak perlu tangis jika kita sua suatu waktu sebab segalanya sudah beda aku tak tahu kapan keretaku akan letih tapi aku tahu dalam buku harianku kau tak lebih dari sebaris kalimat sedih. (Puisi Kereta karya Sitok Srengenge).

Sangat jelas puisi tersebut menggambarkan kesedihan. Sebagaimana lirik menembus padang lembah gulita, citraan visual juga bisa terlihat pada lirik tersebut kata padang yang bermakna tanah yang datar dan luas, tidak ditumbuhi pohon-pohon yang berkayu besar. Seharusnya indera penglihatan bisa melihat dengan jelas, namun lirik berikutnya terdapat kata lembah gulita sehingga mengisyaratkan sesuatu yang gelap dan sulit terlihat. Lirik yang mengandung makna konotasi di dalamnya yang bermakna bahwa sebuah masa depan adalah sebuah misteri yang tiada satupun yang tahu.

/3/ Wasana Akhir Begitulah pencitraan visual atau visual imagery yang digunakan Sitok Srengenge dalam menggambarkan sebuah setting dan makna tersirat dalam larik-larik puisinya. Penuh permainan bunyi yang estetik dan penggunaan gaya bahasa yang padu dengan citraan yang menyertainya. Penggunakan visual tersebut juga memberikan kemasan puisi menjadi sebuah tulisan yang menarik dan enak untuk dinikmati, sekaligus mengandung makna di dalamnya. Citraan visual imagery

Esai Stilistika 285 memberikan nuansa lain dari sebuah puisi, karena dengan begitu pembaca seakan dibawa hidup dalam sebuah pandangan peristiwa yang terdapat dalam puisi.

***

286 Esai Stilistika