ESAI STILISTIKA.Indd
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Setangkai Kumpulan Esai Sastra Mahasiswa 2013 © Andiana Habibi, dkk. Penyusun: Dr. H. Sutejo, M.Hum. Editor: Agus Setiawan Tata Letak: Ahmady Averoez DK56 Desain Sampul: Solucky A.K. Cetakan I, Januari 2017 xviii + 286 hlm; 14,5 cm x 20,5 cm ISBN: 978-602-1217-62-7 Copyright © 2017 Andiana Habibi, dkk. Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun termasuk mengcopy tanpa izin tertulis dari Penerbit. Diterbitkan atas kerjasama: MAGNUM PUSTAKA UTAMA Beran RT. 07 No. 56 Ds IX Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta Telp: (0274) 8276966 Email: [email protected] dan STKIP PGRI PONOROGO Jalan Ukel 39 Ponorogo Telp./Fax. (0352) 481841-485809 E-mail: [email protected] Kata Pengantar Mula-Mula Adalah Bahasa erciptanya sebuah karya sastra mula-mula adalah bahasa. Bahasa merupakan sarana retorik karya sastra. Menurut TAminuddin, bahasa sebagai sistem tanda, bahasa sebagai gejala aktual yang dapat mewujud dalam berbagai bentuk manifestasinya1. Oleh karenanya, bahasa memegang peran penting dalam karya sastra, baik bagi pengarang maupun penikmat. Bahasa, bagi pengarang, merupakan manifestasi pemikiran, yang dimanfaatkan sebagai sarana ekspresi dalam menghasilkan karya sastra, bagi penikmat sastra, bahasa digunakan untuk mentranformasikan pemikiran pengarang yang terwujud dalam hasil kreasinya. Menurut Becker, dalam Satoto2(2012:105) ahli sastra jarang sekali melihat ke dalam kalimat untuk mengetahui bahwa di sana ada struktur- struktur dan sistem-sistem yang mencerminkan arsitektur keseluruhan karya sastra. Salah satu struktur dan sistem yang membangun arsitektur keseluruhan karya sastra tidak lain dan tidak bukan adalah bahasa. 1. Aminuddin, Stilistika: Pengantar Mememahami Bahasa dalam Karya Sastra, IKIP Semarang Press, Semarang, 1995. 2. Sudiro Satoto, Stilistika, Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2012. Esai Stilistika v Oleh karena itu, unsur bahasa di dalam karya sastra menjadi persoalan penting yang harus diperhatikan. Sebagai medium ekspresi karya sastra, bahasa mempunyai kekuatan yang luar biasa, karena bahasa mampu mengantarkan gagasan pengarang untuk disampaikan kepada pembaca. Pengarang merupakan pencari sekaligus pembentuk dan pencipta bahasa yang sangat piawai. Di tangan pengarang, bahasa yang biasa menjadi luar biasa, bahasa yang mati bisa bernyawa, bahasa yang kurang berdaya dapat diformulasi menjadi bahasa yang mengandung daya hidup, sehingga karya sastra mampu menggugah pemikiran dan imajinasi penikmatnya. Lisensia puitika Karya sastra dibangun dalam wujud bentuk dan isi. Jika dilihat dari sudut pandang stilistika, penciptaan karya sastra memerhatikan bentuk, bisa jadi bentuk lebih penting bila dibandingkan dengan isi. Hal ini, karena, salah satu unsur bentuk adalah bahasa dan bahasa salah satu unsur yang menjadikan karya sastra bermakna. Sebagai pembungkus, bahasa dapat memengaruhi isi. Isi yang baik juga sangat ditentukan oleh bungkus yang menarik. Dalam persoalan bungkus, seoarang sastrawan, utamanaya penyair, memunyai hak istimewa dalam memanfaatkan bahasa yang disebut licentia poeitica. Seorang penyair, bebas memanfaatkan bahasa sesuai dengan kebutuhan untuk mengekspresikan gagasan yang ingin diungkapkan. Dalam kebebasan memanfaatkan bahasa tersebut, menurut istilah Bambang Kaswanti Purwa3, seorang penyair sebagai pemerkosa bahasa. Kepiawaian memerkosa bahasa ini merupakan kelebihan seorang penyair dalam memanfaatkaan fungsi dan eksistensi bahasa. Pemanfaatan tersebut dapat berupa pengolahan dan penciptaan 3. Bambang Kaswanti Purwa, “Puisi: Memperkosa Bahasa”, dalam, Yoseph Yapi Taum (ed.) Bahasa, Sastra, dan Budaya Indonesia dalam Jebakan Kapitalisme, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2012. vi Esai Stilistika bunyi, kata, frase, dan kalimat. Permainan bunyi, pemilihan kata, pengolahan frase, dan penciptaan kalimat menjadi kekuatan tersendiri dalam sebuah puisi. Dalam buku Diksi dan Gaya Bahasa karya Gorys Keraf dinyatakan bahwa “kesesuaian dan ketepatan pilihan kata” menjadi dasar pendayagunaan kata4. Dengan pemikiran kreatif seorang pengarang, bahasa menjadi kekuatan tersendiri dalam kehadiran karya sastra. Ia mampu mengemban makna, meski kata penyair Sutardji5, ia sudah lelah. Dalam kelelahan itulah sesungguhnya ia juga bermakna. Pemanfaatan Bahasa Buku ini merupakan kumpulan esei yang ditulis oleh mahasiswa STKIP PGRI Ponorogo dalam upaya memenuhi tugas Mata Kuliah Stilistika. Maka dari itu, buku ini merupakan kumpulan esei sastra yang berpijak pada kajian stilistika. Membaca esei yang ditulis mahasiswa yang terkumpul di dalam buku ini, mengingatkan pada kepiawaian pengarang dalam memanfaatkan bahasa sebagai sarana penciptaan karya sastra. Pemanfaatan bahasa tersebut dapat berupa pemakaian bahasa secara umum, pnggunaan gaya bahasa, pemilihan kata, permainan bunyi, dan pemanfaatan citraan. Kepiawaian pemanfaatan bahasa dapat disimak pada penyair Joko Pinurbo. Sebagai penyair yang sangat produktif, kehebatan dalam memanfaatkan bahasa diangkat oleh Luluk Fitriani dalam judul “Bahasa Figuratif Sajak-sajak Jako Pinurbo” dan ditulis Yayuk Risnawati dalam judul “Nada-nada Cinta dalam Nuansa Romantik Bahasa Kias Pengucapan W.S. Rendara”. Menurut Yayuk penyair Rendra dalam mencipta puisi memanfaatkan bahasa kias sebagai pilihan dalam upaya mengantarkan pesan yang disugukan kepada pembaca. Sementara, Ririn Puspitasari dalam melihat bahasa dalam judul “Mendedah 4. Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, Gramedia, Jakarta, 1984. 5. Sutardji Calzoum Bachri, O, Amuk, Kapak, Esai Stilistika vii Pengungkapan Sitok Srengenge Geliat Metafora Bahasa yang Memesona dalam Puisi Cahaya”. Penggunaan gaya bahasa, seperti dalam judul “Analisis Gaya Bahasa pada Kumpulan Puisi Manusia Istana Karya Radhar Panca Dahana” oleh Linda Yulianti, “Analisis Gaya Bahasa dalam Cerpen Terbang Karya Ayu Utami” oleh Arifai dan “Permainan Permajasan dalam kumpulan Puisi Hujan Bulan Juni Karya Sapari Djoko Damono” yang ditulis oleh Dian Dwi Saputra. Menurut Dian, Sosok Sapardi sebagai penyair kondang memainkan permajasan dengan sangat menarik. Pemakaian gaya bahasa tersebut lebih spesifik ditulis dalam judul “Gaya Bahasa Hiperbola dalam Roman Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta Toer” oleh Bayu Mardian, “Pengungkapan Gaya Bahasa Hiperbola dalam Novel Ayat-ayat Cinta Karya Habiburahmman El Shirazy” oleh Sri Alim. Baik Bayu Mardian maupun Sri Alim sama- sama mempersoalkan penggunaan gaya bahasa hiperbola. Bayu melihat kepiawaian Pram dan Sri melihat kepiawaian Habiburahmman dalam menggunakan gaya bahasa yang melebih-lebihkan itu. Di samping Bayu dan Sri, masih banyak yang melihat kepiawaian para pengarang dalam memanfaatkan gaya bahasa. Sebagai misal, “Aroma Alegori dalam Kumpulan Puisi Nikah Ilalang Karya Dorothea Rosa Herliany” oleh Dewi Maratus Solikhah, “Menguak Aroma Permainan Gaya Bahasa Metafora dalam Novel Pudarnya Pesona Cleopatra Karya Habiburrahman El Shirazy oleh Ilham Qosim A, “Menafsirkan Gaya Bahasa Parabel pada Kumpulan Cerpen Setangkai Melati di Sayap Jibril Karya Danarto oleh Khusnul Alifah, dan “Permainan Bahasa Personifikasi dalam Puisi Lidah Ibu Karya Sitok Srengenge” oleh Muclas Mei A. Pemanfaatan bahasa yang memfokuskan pada pemilihan kata (diksi) menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan seorang penyair dalam mewujudkan pemikiran kreatif dalam puisi-puisi yang diciptakannya. Persoalan pemilihan kata ini ditulis oleh Siti Maslamatul Munawaroh viii Esai Stilistika dalam judul “Permainan Kata tentang Perasaan Patah Hati dalam Kumpulan Puisi Hati yang Patah Berjalan Karya Dina Oktavian”. Diksi menurut Siti Maslamatul Munawaroh dimanfaatkan oleh penyair Dina Oktavian dengan menarik. Dina, sebagai penyair mampu memainkan pilihan kata menjadi kekuatan tersendiri dalam puisi-puisinya. Kepiawaian penyair dalam memanfaatkan bunyi diangkat oleh Lina Handayani dengan judul “Analisis Unsur Bunyi dalam Kumpulan Puisi O, Amuk, dan Kapak Karya Sutardji Calzoum Bachri”, Ariska Yessika Nurfadillah dengan judul “Permainan Bunyi dalam Kumpulan Puisi Jangan Panggil Aku Penyair Karya Muhammad Lefand”. Salah satu kekuatan kumpulan puisi O, Amuk, dan Kapak, menurut Lina karena kehebatan Sutardji dalam mengolah bunyi, sedangkan menurut Yessika, kekuatan kumpulan puisi Jangan Panggil Aku Penyair karya Lefand terdapat pada permainan bunyinya. Permainan bunyi secara spesifik ditulis oleh Dwi Wahyu Nur H. dengan judul “Perpaduan Variasi Bunyi dalam Pusi Kwartin Himmirsky Karya Sitok Srengenge” dan Saryudi dengan judul “Analisis Rima dalam Kumpulan Sajak Ballada Orang-orang Tercinta Karya WS Rendra, serta Komaruddin dengan judul “Membingkai Gemulai Permainan Bunyi dalam Puisi Air Karya Sitok Srengenge”. Wahyu melihat permainan bunyi Sitok dalam puisi Air mencermati kevariasian penggunaan bunyi, Saryudi lebih menitikberatkan pada persajakan, dan Komarudin melihat permainan bunyi. Dalam persoalan citraan diangkat oleh Andiana Habibi dengan judul “Ungkapan Puitis Sitok Srengenge: Rangkaian Citraan dalam Puisi Musim”, Heni Mustikawati dengan judul “Pencitraan Puisi Ruang Karya Sitok Srengenge”, Fahrotun Nisa’ dalam judul “Visualisasi Citraan dalam Kumpulan Cerpen Kado Istimewa Cerpen Pilihan Kompas Tahun 1992”. Menurut Habibi, Mustikawati, dan Fahrotun citraan merupakan sarana penting bagi penyair dalam rangka mengantarkan pesan lewat puisi yang ditulisnya. Citraan menjadi kekuatan tersendiri ketika puisi tersebut dinikmati pembaca. Oleh karenanya, dalam merebut makna Esai Stilistika ix puisi dapat melaui pemahaman dan perhatian pada citraan yang dimanfaatkan