JILID 2, NOMOR 1, APRIL 2012 ISSN 2089-0117

JURNAL

BAHASA, SASTRA, DAN PEMBELAJARANNYA

JBSP

DITERBITKAN OLEH PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA

DENGAN

MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA (MLI) CABANG UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT,

DAN

HIMPUNAN SARJANA KESUSASTERAAN INDONESIA (HISKI) DAERAH BANJARMASIN

HALAMAN BANJARMASIN ISSN I S S N 2 0 8 9 - 0 1 1 7 JILID 2 NOMOR 1 JBSP 1-138 APRIL 2012 2089-0117

9 7 7 2 0 8 9 0 1 1 0 0 0 Petunjuk bagi (Calon) Penulis JBSP Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya (JBSP) JURNAL BAHASA, SASTRA, DAN PEMBELAJARANNYA 1. Artikel yang ditulis untuk JBSP meliputi hasil pemikiran dan hasil penelitian di bidang bahasa, sastra, dan pembelajarannya. Naskah diketik dengan huruf Times New Roman, ukuran 11 pts, dengan spasi At least 11 pts, dicetak pada kertas A4 sepanjang maksimum 20 halaman, dan JILID 2, NOMOR 1, APRIL 2012 ISSN 2089-0117 diserahkan dalam bentuk print out sebanyak 3 eksemplar beserta disketnya. Berkas (file) dibuat dengan Microsoft Word. 2. Nama penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik dan ditempatkan di bawah judul artikel. Jika naskah ditulis oleh tim, penyunting Terbit dua kali setahun pada bulan April dan Oktober. Berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian atau hanya berhubungan dengan penulis utama atau penulis yang namanya tercantum pada urutan pertama. Penulis perlu memcantumkan alamat e- mail dan/atau alamat korespondensi. hasil pemikiran di bidang bahasa, sastra, dan pembelajarannya. 3. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris dengan format esai, disertai judul pada masing-masing bagian artikel kecuali bagian pendahuluan yang disajikan tanpa judul bagian. Judul artikel dicetak dengan huruf besar di tengah-tengah, dengan huruf sebesar 14 poin. ISSN 2089-0117 Peringkat judul bagian dinyatakan dengan jenis huruf yang berbeda (semua judul bagian dan sub bagian dicetak tebal atau tebal dan miring), dan tidak menggunakan angka atau nomor pada judul bagian: Ketua Penyunting PERINGKAT 1 (HURUF BESAR SEMUA, TEBAL, RATA TEPI KIRI) M. Rafiek Peringkat 2 (Huruf Besar Kecil, Tebal, Rata Tepi Kiri) Peringkat 3 (Huruf Besar Kecil, Tebal-Miring, Rata Tepi Kiri) Penyunting Pelaksana 4. Sistematika artikel telaah adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); abstrak (maksimum 100 kata); kata kunci; pendahuluan yang berisi latar belakang dan tujuan atau ruang lingkup tulisan; bahasan utama (dapat dibagi ke dalam beberapa subbagian); penutup atau Rusma Noortyani kesimpulan, daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk). Noor Cahaya 5. Sistematika artikel hasil penelitian adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik), abstrak (maksimum 100 kata) yang berisi tujuan, metode, Dwi Wahyu Candra Dewi dan hasil penelitian; kata kunci; pendahuluan (tanpa judul) yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian, metode; hasil; pembahasan; kesimpulan dan saran; daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk). Penelaah Ahli (Mitra Bebestari) 6. Sumber rujukan sedapat mungkin merupakan pustaka-pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan yang diutamakan adalah sumber-sumber Imam Suyitno (Universitas Negeri Malang) primer berupa laporan penelitian (termasuk skripsi, tesis, disertasi) atau artikel-artikel penelitian dalam jurnal dan/atau majalah ilmiah. Hilaluddin Hanafi (Universitas Halu Oleo, Kendari) 7. Perujukan dan pengutipan menggunakan teknik rujukan berkurung (nama, tahun). Pencantuman sumber pada kutipan langsung hendaknya disertai keterangan tentang nomor halaman tempat asal kutipan. Contohnya: (Rafiek, 2011: 2). M. Siddik (Universitas Mulawarman, Samarinda) 8. Daftar Rujukan disusun dengan tata cara seperti contoh berikut ini dan diurutkan secara alfabetis dan kronologis. Akmal Hamsa (Universitas Negeri Makasar) Suminto A. Sayuti (Universitas Negeri Yogyakarta) Buku: Rafiek, Muhammad. 2010. Psikolinguistik: Kajian Bahasa Anak dan Gangguan Berbahasa. Malang: Universitas Negeri Malang Press. Zulkifli (Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) Jumadi (Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) Buku kumpulan artikel: Saukah, Ali & Waseso, Mulyadi Guntur (Eds.). 2002. Menulis Artikel untuk Jurnal Ilmiah. Malang: Universitas Negeri Malang Press. Rustam Effendi (Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) Buku terjemahan: Bucaille, Maurice. 1995. Firaun dalam Bibel dan Al-Quran: Menafsirkan Kisah Historis Firaun dalam Kitab Suci Berdasarkan Temuan Arkeologi. Terjemahan oleh Muslikh Madiyant. Pelaksana Tata Usaha 2007. Bandung: Mizania.

Noor Fajriah Artikel dalam buku kumpulan artikel: Bottoms, J. C. 1965. Some Malay Historical Sources: A Bibliographical Note. Dalam Soedjatmoko, Mohammad Ali, G. J. Resink, & G. MCT. Kahin (Eds.), An Introduction to Indonesian Historiography (hlm. 156-193). New York: Cornell University Press. Pembantu Pelaksana Tata Usaha Artikel dalam jurnal: Deny Erwansyah Bertens, K. 1989. Etika dan Etiket Pentingnya Sebuah Perbedaan. Basis, XXXVIII (7): 266-273. Ratna Yulinda Artikel dalam Koran: Rezki Amelia Antemas, Anggraini. 6 Desember 2006. Adat Istiadat Perkawinan Urang Banjar (III), Bapingit-Badudus Sebelum Akad Nikah. Banjarmasin Post, tanpa halaman.

Dokumen resmi berupa kamus atau pedoman atau undang-undang: Alamat Penyunting dan Tata Usaha: Ruang bidang Akademik Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. : PT. Gramedia Pustaka Utama. Sastra Indonesia, Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kode Pos 70123, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 1990. Jakarta: PT Armas Duta Jaya.

Gedung Sekretariat Bersama Lt. II Jl. Brigjend. H. Hasan Basry Telepon/Fax. (0511) 3308295. E-mail : Skripsi, Tesis, Disertasi, Laporan Penelitian: Rafiek, Muhammad. 2010. Mitos Raja dalam Hikayat Raja Banjar. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. [email protected] Makalah seminar, lokakarya, penataran: Indriyanto. 2001. Peranan dan Posisi Ilmu Sejarah dalam Menjawab Tantangan Zaman. Makalah disajikan dalam Diskusi Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah di , Fakultas Sastra UNDIP, Semarang, 30 Mei.

JURNAL BAHASA, SASTRA, DAN PEMBELAJARANNYA diterbitkan sejak 1 April 2011 oleh Program Rujukan dari internet: Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dengan Himpunan Sarjana Kesusasteraan Indonesia Ahmad, Syarwan. 2009. Filologi Hikayat Prang Sabi (Online), (http://blog.harian-aceh.com/filologi-hikayat-prang-sabi.jsp, diakses 18 Desember 2009). (HISKI) Daerah Banjarmasin dan Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) cabang Universitas Lambung Manuaba, Putera. 2001. Hermeneutika dan Interpretasi Sastra, (Online), (http://www.angelfire.com/journal/fsulimelight/hermen.html, diakses 10 November 2009). Mangkurat 9. Tata cara penyajian kutipan, rujukan, tabel, dan gambar mengikuti ketentuan dalam Pedoman Penulisan Karya Ilmiah atau mencontoh langsung dari artikel yang sudah terbit dalam JBSP. 10. Semua naskah ditelaah oleh penelaah ahli yang ditunjuk oleh penyunting menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan oleh media yang lain. Naskah diketik di untuk memperbaiki artikelnya atas saran perbaikan dari penelaah ahli. Kepastian pemuatan artikel ilmiah akan diberitahukan kepada penulis. atas kertas HVS kuarto spasi ganda sepanjang lebih kurang 20 halaman, dengan format seperti tercantum pada 11. Segala sesuatu yang menyangkut izin pengutipan atau penggunaan software komputer untuk pembuatan naskah artikel atau hal ikhwal lain yang terkait dengan HAKI yang dilakukan oleh penulis artikel termasuk konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi halaman belakang (Petunjuk bagi Calon Penulis JBSP). Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk tanggung jawab penuh penulis artikel tersebut. keseragaman format, istilah, dan tata cara lainnya. 12. Sebagai prasyarat bagi pemrosesan artikel, para penyumbang artikel wajib menjadi pelanggan minimal selama satu tahun. Penulis yang artikelnya dimuat wajib membayar kontribusi biaya cetak sebesar Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) per judul. Sebagai imbalannya, penulis menerima nomor bukti pemuatan sebanyak 2 (dua) eksemplar. 1i KATA PENGANTAR

Pengelola Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya (JBSP) mulai jilid 2, nomor 1, April 2012 tampil dengan perubahan pada nama Program Studi Magister yang semula Program Studi Magister Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah menjadi Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Isi jurnal tetap 11 artikel ilmiah yang disaring dengan seleksi ketat oleh tim pengelola JBSP. Dalam terbitan ini pula, Pengelola jurnal Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya pun menambah satu orang penyunting pelaksana, yaitu Dra. Hj. Zakiah Agus Kusasi, M. Pd. dan satu orang penelaah ahli (mitra bebestari), yaitu Prof. Dr. Suminto A. Sayuti dari Universitas Negeri Yogyakarta. Dalam terbitan ini kami juga masih menggunakan abstrak dalam bahasa Inggris dan rencananya dalam terbitan keempat, Oktober 2012, akan dilengkapi dengan abstrak berbahasa Indonesia. Dalam format penyajiannya, JBSP mengacu pada Jurnal Ilmu Pendidikan (JIP) Universitas Negeri Malang, Jurnal Linguistik Indonesia Masyarakat Linguistik Indonesia, dan Jurnal Humaniora Universitas Gadjah Mada. Khusus pencantuman nama penelaah ahli atau mitra bebestari, kami mengacu kepada Jurnal Linguistik Indonesia Masyarakat Linguistik Indonesia dan Jurnal Humaniora Universitas Gadjah Mada.

Tim Penyunting JBSP

2 DAFTAR ISI

Hikayat Raja Banjar, Tutur Candi, dan Pararaton: Suatu Perbandingan M. Rafiek (Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) 5-17

Proposing the Future Implementation of E-Books for English (Rethinking of the Use of E-Books in Indonesian Schools Raudhatun Nisa (MTs Negeri Kelayan, Banjarmasin) 18-23

Tinjauan Strategis dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing Zulkifli (Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) 24-30

Meningkatkan Kecepatan Membaca Siswa Kelas XI IPA 1 SMA Negeri 11 Banjarmasin dengan Metode SQ3R Syafruddin Noor (SMAN 11, Banjarmasin) 31-44

Pengaruh Perlakuan Guru dalam Proses Pembelajaran terhadap Penguasaan Kemampuan Siswa Membaca Ahmad Yasluh (Universitas Palangka Raya) 45-51

Bentuk-Bentuk Sapaan Kekerabatan Bahasa Maanyan Patrisia Cuesdeyeni (Universitas Palangka Raya) 52-65

Analisis Keefektifan Penulisan Judul Naskah Berita Warta Kalsel TVRI Kalimantan Selatan Tahun 2010 Rusma Noortyani (Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) 66-74

Pemerolehan Kalimat pada Anak Usia Dini Nurril Rahmadani Maliq dan Jumadi (Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin 75-101

Pelaksanaan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan dalam Acara Big Brother Indonesia di Trans TV Ifriani Syahwinda dan Zakiah Agus Kusasi (Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) 102-113

3 Nilai-Nilai Karakter dalam Antologi Puisi Indonesia Modern Anak-Anak Terbitan Pusat Bahasa Depdiknas Elsy Suriani (SMP Negeri 8, Palangka Raya) 114-125

Struktur dan Fungsi Mantra Masyarakat Dayak Deah Desa Pangelak Kecamatan Upau Kabupaten Tabalong Isna Kasmilawati dan Rustam Effendi (Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) 126-138

4 HIKAYAT RAJA BANJAR, TUTUR CANDI, DAN PARARATON: SUATU PERBANDINGAN

M. Rafiek1 Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, e-mail [email protected]

Abstract

This research is aimed at describing and explaining the comparison among Hikayat Raja Banjar and Pararaton. The result of the research encompasses findings on (1) the similarity of story motif of myth of miasma I in the story si Saban, (2) the similarity of story motif of myth of miasma II in the story of Raden Rangga Kesuma, and (3) the similarity of story motif of a character whose supranatural power, (4) unsuitability (name error) of king Majapahit in Hikayat Raja Banjar with that in the history.

Keywords: comparison, the similarity of story motif

PENDAHULUAN Hikayat Raja Banjar (selanjutnya disingkat HRB) merupakan karya sastra sejarah dari Banjar, Kalimantan Selatan yang cukup fenomenal. Penelitian ini dimaksudkan untuk menanggapi tulisan Ras (dalam Hellwig dan Robson, 1986: 184-203) yang berjudul Hikayat Banjar dan Pararaton: A Structural Comparison of Two Chronicles. Dalam tulisannya itu, Ras menyatakan bahwa struktur isi dari HRB terdiri atas (1) pendirian Negara Dipa, (2) mitos asal-usul rumah (tempat tinggal) raja Banjar (kraton I) (3) raja-raja Negara Dipa, (4) pendirian Negara Daha (kraton II), (5) raja-raja Negara Daha, (6) pendirian Banjarmasin (kraton III), (7) raja-raja Banjarmasin, (8) pendirian Martapura (kraton IV). Ras juga menyatakan bahwa struktur isi dari Pararaton (selanjutnya disingkat P) terdiri atas (1) mitos asal-usul rumah (tempat tinggal) raja Singhasari, (2) raja-raja Tumapel-Singhasari, (3) pendirian Majapahit, dan (4) raja-raja Majapahit. Pada intinya, Ras ingin menyatakan bahwa HRB dan P sama-sama terbagi atas cerita empat masa pemerintahan. Penelitian ini ingin mengkritisi hasil temuan Ras tersebut dari sisi yang lain, yaitu dengan mengkaji perbandingan HRB dan P dari sisi kesamaan motif cerita. Memang seperti temuan Ras di atas bahwa HRB berisi cerita masa Negara Dipa, Negara Daha, Banjarmasih, dan Martapura, akan tetapi masa praIslam, khususnya masa Negara Dipa dan Negara Daha masih sangat gelap dasar historisnya. Penelitian ini berusaha membuktikan bahwa apa yang sudah ditemukan oleh Ras sebenarnya hanya temuan struktur luar cerita HRB saja yang sama dengan P. Sekalipun dalam pembahasan selanjutnya dalam tulisannya tersebut, Ras membahas hubungan sastra antara dan Jawa, akan tetapi yang dibahas hanya kesamaan motif pelayaran saudagar dari Keling menuju Borneo dalam HRB dan cerita tentang Awab, saudara raja Gujerat yang berlayar ke Jawa dan menetap di sana. Cerita yang menurut Ras juga ditemukan dalam Serat Kanda. Menurut Ras, adanya episode Empu Jatmaka dalam HRB merepresentasikan pinjaman langsung dari sastra Jawa Pesisir. Kehadiran cerita tersebut dalam HRB menurut Ras, penting, karena hal itu membuktikan bahwa tradisi Kanda Jawa telah dikenal di Borneo Tenggara pada abad ke-16. Dalam perbandingannya atas HRB dan P, Ras (dalam Hellwig dan Robson, 1986: 196) memang ada menyatakan bahwa

1 Doktor alumnus Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Negeri Malang, tahun 2010. Spesialisasi Sastra. 5 motif Watu Gunung juga terjadi dalam HRB. Berdasarkan penjelasan di atas, memang Ras dalam tulisannya itu sudah ada sedikit membahas tentang adanya kesamaan motif cerita antara HRB dan P, namun tidak dibahasnya secara jelas dan terperinci. Untuk itu, penelitian ini sangat penting dilakukan untuk menemukan persamaan apa saja yang ada antara HRB dan P itu.

METODE Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan perbandingan, dalam hal ini persamaan antara HRB, Tutur Candi (TC), dan P. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pembacaan dan pencatatan serta analisis isi. Teknik pembacaan dan pencatatan digunakan untuk mengumpulkan data penelitian, sedangkan teknik analisis isi digunakan untuk menganalisis isi HRB, TC, dan P dari segi persamaan motif ceritanya. Sejalan dengan pendapat Holsti (1969: 116-118), analisis isi terdiri atas unit-unit yang tercatat, unit-unit konteks, dan menggunakan sistem enumerasi. Unit-unit hasil pembacaan dan pencatatan kemudian dibagi atas unit-unit konteks. Peneliti melakukan analisis unit-unit konteks dengan cara seperti dalam tabel di bawah ini.

Dengan teknik analisis isi diharapkan unit tercatat dapat disesuaikan dengan unit konteks. Untuk membatasi banyaknya data atau berulangnya data yang sama, peneliti menggunakan sistem enumerasi seperti yang disarankan oleh Holsti (1969: 119-120).

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kesamaan Motif Cerita Mitos Miasma I Cerita Maharaja Mangkubumi dibunuh oleh si Saban dan si Saban disuruh bunuh oleh Pangeran Tumenggung dalam HRB adalah cerita ’senjata makan tuan’ bagi orang yang disuruh. Cerita ini dimulai dengan pertentangan antara Maharaja Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung dalam menyelesaikan masalah si Saban yang berzina dengan si Harum. Masalah ini dimanfaatkan oleh Pangeran Tumenggung untuk menghasut si Saban agar dia membunuh Maharaja Mangkubumi. Pangeran Tumenggung beralasan bahwa si Saban akan dibunuh dengan cara diracun oleh Maharaja Mangkubumi. Si Saban pun akhirnya mau disuruh membunuh Maharaja Mangkubumi karena terus-menerus didesak oleh Pangeran Tumenggung. Setelah selesai membunuh, si Saban malah disuruh bunuh oleh Pangeran Tumenggung. Hal itu bisa dilihat pada kutipan di bawah ini.

Kemudian daripada itu hatta berapa lamanya maka kata Pangeran Tumenggung: “Hai Saban, maukah engkau membunuh Maharaja Mangkubumi itu? Kalau dia itu masih ada hidup tiada sebulan-sebulan engkau dibunuhnya, karena engkau masih disuruhnya matikan pada orang. Engkau barang kerjamu tiada sedap rasa hatimu. Baik kalau masih ada hajatku; kalau aku tiada akan tiada engkau dibunuhnya itu. Adapun kalau sudah mati maharaja itu, si Harum itu kuberikan pada engkau. Jangankan si Harum itu, meski barang yang lain itu engkau kehendaki, kuberikan”. Maka sembah si Saban: “Bisa hamba membunuh itu. Seperti apa hamba sekarang ini. Sudah terjauh, tiada hampir seperti dahulu itu”. Kata Pangeran Tumenggung: “Sahil itu”, artinya gampang itu, “nanti aku

6 berbuat sandi upaya maka gong. Maka Pangeran Tumenggung menyuruh perempuan empat orang kepada Maharaja Mangkubumi. Maka suruhan itu diajarinya berkata oleh Pangeran Tumenggung itu. Maka suruhan itu datang kepada Maharaja Mangkubumi itu, sembahnya: “Hamba dititahkan adinda Pangeran Tumenggung kepada paduka syah alam. Sembah adinda menyembahkan si Saban itu, karena sudah si Saban itu dinasihati adinda itu. Maka sembahnya hamba syah alam si Saban itu tiada dua-dua memohonkan ampun, hendak kembali, minta perhambakan kepada syah alam”. Maka kata Maharaja Mangkubumi: “Baik, kalau demikian si Saban itu suruh kemari”. Maka suruhan itu memohon kembali. Maka datang suruhan itu, sembahnya pada Pangeran Tumenggung: “Sabda kakanda Maharaja Mangkubumi: Si Saban itu suruh kembali karena sudah kuampuni”. Maka kata Pangeran Tumenggung: “Antarkanlah si Saban itu”. Sudah dipersembahkan oleh suruhan itu Pangeran Mangkubumi itu maka banyak tiada tersebut itu si Saban itu dipercayai pula seperti mulanya serta dijadikan sekali dengan si Harum itu. Maka si Saban itu hilanglah hatinya yang hendak membunuh itu (HRB edisi Ras alinea ke-170). Hatta maka berapa lamanya maka si Saban disuruh panggil oleh Pangeran Tumenggung itu. Datang si Saban, kata Pangeran Tumenggung: “Hai Saban, bagaimana janji kita?” Kata si Saban: “Nanti jua dahulu, karena hamba mencari jalan yang patut”. Maka berkata demikian si Saban itu takut pada Pangeran Tumenggung itu karena katanya sudah bercakap itu. Kata Pangeran Tumenggung, berbuat sandi upaya membujuk si Saban itu: “Hai Saban, tiadakah engkau tahu engkau itu maka dijadikan dengan si Harum itu engkau hendak dibunuh? Supaya jangan serupa berubah katanya yang mengampuni engkau itu malu dia kepada orang raja-raja yang berubah katanya itu, itulah maka engkau hendak dimatikannya dengan racun; karena engkau itu masih hendak dibunuhnya jua itu oleh Maharaja Mangkubumi itu. Segera-segera engkau membunuh itu, kalau engkau kedahuluan dimakaninya racun”. Maka kata si Saban: “Kalau demikian tiada akan tiada aku dibunuh jua itu”. Maka sembahnya si Saban: “Malam nanti hamba membunuh kakanda itu”. Sudah itu si Saban memohon kembali. Maka dia membawa keris Pangeran Tumenggung itu, malela (HRB edisi Ras alinea ke-171). Sudah itu, hari pun malam, maka Maharaja Mangkubumi berjejogetan bersuka-sukaan berminum-minuman. Si Saban itu masih hampir di bawah Maharaja Mangkubumi itu. Kira-kira sudah masuk dekat waktu dini hari besar, orang pun ada yang mabuk ada yang mengantuk itu, maka dihunusnya kerisnya itu serta menerjang menusuk di ulu hati Maharaja Mangkubumi itu, terus ke belakang; serta si Saban itu lari keluar, tiada terbuntuti itu karena orang sama gempar terkejut itu. Maka si Saban itu lari ke seberang bernenaung kepada Pangeran Tumenggung itu. Maka datang Aria Trenggana serta menteri sekaliannya. Si Saban dicari, tiada dapat. Maharaja Mangkubumi sudah payah, maka dia berkata: “Hai Aria Trenggana, si Saban itu jangan diapa-apakan karena tiada kehendaknya sendiri itu; karena itu kehendak adikku si Tumenggung, hendak menjadi raja mengganti kerajaanku ini. Tetapi anakku si Dayang Sari Bulan suruh peliharakan pada si Tumenggung itu”. Sudah itu maka Maharaja Mangkubumi itu mati (HRB edisi Ras alinea ke-172). Si Saban itu datang dia pada Pangeran Tumenggung menyembahkan keris malela itu serta mengatakan perihalnya itu. Sudah itu si Saban ditangkap serta disuruh bunuh oleh Pangeran Tumenggung itu. Kata Pangeran Tumenggung: “Membahayakan pada aku pula. Maka benar seandainya orang ada mengupah menyuruh membunuh aku

7 dibunuhnya jua aku. Saling pada Maharaja Mangkubumi tiada akan kepalang kasihnya itu lagi dibunuhnya, istimewa aku”. Maka benar hatinya itu, lagi pula hendak melindungkan kejahatannya, Pangeran Tumenggung itu. Maka si Saban itu disuruhnya bunuh itu. Tetapi orang sekalian tahu akan perbuatan Pangeran Tumenggung itu. Banyak tiada tersebut (HRB edisi Ras alinea ke-173).

Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa Pangeran Tumenggung menyuruh si Saban untuk membunuh Maharaja Mangkubumi, kakaknya. Si Saban berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik. Sekembalinya dari membunuh itu, si Saban kemudian disuruh bunuh oleh Pangeran Tumenggung. Senjata yang digunakan oleh si Saban untuk membunuh Maharaja Mangkubumi adalah keris malela. Keris ini namanya sama dengan pisau yang digunakan oleh istri Empu Mandastana untuk bunuh diri. Kisah ’senjata makan tuan’ ini juga terdapat dalam P. Dalam P, Ken Arok membunuh Empu Gandring dengan keris buatan empu itu. Empu Gandring adalah pandai keris di Lulumbang. Cerita ini mengingatkan kita pada tokoh pembuat keris yang digunakan oleh Empu Mandastana bunuh diri. Dalam HRB edisi Ras, Empu Mandastana diceritakan bunuh diri dengan menggunakan keris Parungsari2 buatan Empu Lumbang di Majapahit. Ada dugaan Empu Lumbang dalam HRB edisi Ras adalah pinjaman dari P. Empu Gandring, Pandai keris di Lulumbang lalu bersumpah bahwa Ken Arok dan keturunannya akan mati akibat keris itu. Ken Arok juga membunuh Tunggul Ametung dengan keris tersebut. Ken Arok akhirnya mati dibunuh oleh orang Batil dengan keris itu atas suruhan Anusapati, anak Tunggul Ametung dari Ken Dedes. Anusapati sendiri juga dibunuh oleh Raden Tohjaya, anak Ken Arok dari istri mudanya dengan menggunakan keris itu. Cerita Maharaja Mangkubumi dibunuh oleh si Saban dan si Saban disuruh bunuh oleh Pangeran Tumenggung ini sebenarnya hampir mirip dengan kisah orang Batil dalam P. Orang Batil itu adalah suruhan Anusapati. Setelah berhasil membunuh Ken Arok, orang Batil sendiri akhirnya dibunuh oleh Anusapati. Hal itu sama dengan kisah si Saban dalam HRB edisi Ras. Si Saban disuruh membunuh Maharaja Mangkubumi oleh Pangeran Tumenggung. Setelah tugasnya berhasil, si Saban lalu disuruh bunuh oleh Pangeran Tumenggung. Di bawah ini disajikan mitos yang terdapat dalam P itu.

Tersebutlah seorang hamba Anusapati berpangkat pengalasan di Batil. Dipanggillah dia oleh Anusapati. Disuruhnya membunuh Ken Angrok. Diberinya keris buatan Mpu Gandring untuk membunuh sang Amurwabumi. Orang dari Batil itu dijanjikan akan diberi upah oleh Anusapati. Berangkatlah orang Batil itu dan kemudian masuk ke dalam istana. Dijumpainya sang Amurwabumi sedang bersantap. Ditusuklah sang Amurwabumi dengan segera oleh orang Batil. Kejadian itu terjadi pada hari Kamis Pon, Minggu Landep, saat dia sedang makan, pada waktu senjakala, matahari telah terbenam dan ketika orang telah menyiapkan pelita pada tempatnya. Sesudah sang Amurwabumi mati, maka larilah orang Batil mencari perlindungan pada sang Anusapati. Orang Batil berkata, “Sudah wafatlah ayahanda tuan oleh hamba”. Kemudian orang Batil ditusuk oleh Anusapati (Komandoko, 2008: 36- 37).

2 Kisah Keris Parungsari juga terdapat dalam PKN Dalam PKN, namanya adalah keris Parangsari. Keris Parangsari adalah salah satu perangkat pakaian pria yang diberikan Resi Narada untuk Dewi Sekartaji ketika diubah menjadi pria (Sastronaryatmo dan Nitriani, 1983: 21-22).

8 Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa Anusapati menyuruh orang Batil untuk membunuh Ken Arok. Orang Batil akhirnya berhasil membunuh Ken Arok dengan menggunakan keris Empu Gandring. Setelah berhasil membunuh Ken Arok, orang Batil pun juga dibunuh oleh Anusapati. Dalam P dan HRB edisi Ras terdapat kesamaan, yaitu orang Batil dan si Saban sama- sama dijanjikan akan diberi hadiah jika berhasil membunuh maharaja. Tetapi setelah tugasnya berhasil, mereka malah dibunuh oleh orang yang menyuruh. Selain itu, setelah maharaja wafat, orang yang menyuruh membunuh pada akhirnya menjadi raja. Hal ini terlihat pada tokoh Anusapati dan Pangeran Tumenggung. Perbedaannya, tokoh Anusapati terbunuh oleh keris Empu Gandring, sedangkan tokoh Pangeran Tumenggung tidak terbunuh oleh keris malela. Cerita pembunuhan Maharaja Mangkubumi oleh si Saban, suruhan Pangeran Tumenggung sama dengan kisah pembunuhan Ken Arok oleh pengalasan, suruhan Anusapati. Setelah si Saban membunuh Maharaja Mangkubumi, dia datang kepada Pangeran Tumenggung memberitahukan keberhasilannya itu. Namun akhirnya, si Saban disuruh bunuh oleh bawahan Pangeran Tumenggung, sedangkan dalam P, setelah orang Batil membunuh Ken Arok, dia datang kepada Anusapati memberitahukan keberhasilannya. Dia juga akhirnya dibunuh oleh Anusapati. Bedanya, si Saban membunuh Maharaja Mangkubumi, kakak Pangeran Tumenggung, sedangkan orang Batil membunuh Ken Arok, ayah tiri Anusapati. Di bawah ini disajikan cerita pembunuhan Maharaja Mangkubumi oleh si Saban sampai akhirnya dia sendiri dibunuh oleh Pangeran Tumenggung. Dalam HRB dan P terdapat perbedaan keris yang digunakan untuk membunuh sang raja. Dalam HRB edisi Ras, keris yang digunakan oleh si Saban adalah keris malela, sedangkan dalam P, keris yang digunakan oleh orang Batil adalah keris Empu Gandring. Keris malela si Saban itu adalah milik Pangeran Tumenggung. Nama keris malela itu mengingatkan kita kepada lading malela atau pisau malela yang digunakan oleh istri Empu Mandastana untuk bunuh diri di pinggir Candi Agung. Lading malela itu adalah buatan pandai besi di Negeri Keling yang kemudian diambil oleh Lembu Mangkurat. Di bawah ini disajikan pula cerita singkat peristiwa pembunuhan Ken Arok oleh orang Batil, suruhan Anusapati.

Ada pada Anusapati seorang pengalasan, berasal dari dusun Batil. Orang itu segera dipanggilnya. Ia diperintahkan membunuh sang Amurwabumi dengan keris pusaka Empu Gandring. Orang Batil itu lalu berangkat menuju kedaton. Pada waktu itu, sang Amurwabumi sedang bersantap. Dengan serta merta keris Gandring ditikamkan kepadanya. Ketika itu hari Kamis Pon Wuku Landep pada waktu senja; matahari baru saja terbenam. Orang Batil itu tergopoh-gopoh lari, mengungsi kepada Anusapati, katanya: “Telah mati terbunuh ayah paduka oleh hamba!” Dengan serta merta pula orang Batil itu dihabisi hidupnya oleh Anusapati. Kabar yang tersiar: “Sang Prabu mati kena amuk orang Batil. Anusapati angembari amuk. Pangalasannya dibunuh!

Kedua cerita dalam HRB edisi Ras dan P tersebut memberikan gambaran kepada kita tentang peristiwa senjata makan tuan. Namun tuan di sini bukan menimpa orang yang menyuruh tetapi menimpa orang yang disuruh. Senjata makan tuan itu menimpa si Saban dan orang Batil. Mereka disuruh membunuh seseorang kemudian mereka sendiri dibunuh oleh orang yang menyuruh. Cerita serupa ditemukan pula pada Pangeran Singasari yang dibunuh oleh si Bagar (alinea ke- 260) dan Raden Kesuma Negara yang dibunuh si Rendah yang akhirnya dapat dibunuh oleh Kiai Tanuraksa (alinea ke-267). Kisah seperti dalam P itu juga ditemukan dalam TC edisi Kadir. Hal itu dapat diketahui dari kutipan di bawah ini.

9 .... Maka Pangeran Suka Rama di seberang itu pun dengan beberapa waktu sudah hendak membunuh tiada jua dapat. Maka pada suatu malam orang bermain wayang di rumah Pangeran Tumenggung. Maka kata Pangeran Suka Rama, “Hai kamu sekalian ini, adakah yang cakap membunuh kakanda itu”. Maka sembahnya yang sekalian, “Tiadalah hamba berani membunuh. Jangan membunuh, beritikat pun tiada berani jua”. Maka kata Pangeran Suka Rama, “Jika ada yang cakap aku gelari Pangeran Mas Prabu, untuk di bawahku dan sekalian perintah habis padanya. Lagi negeri sebuah kuberi padanya, dan istriku itu aku berikan seorang”. Maka di antara yang banyak itu ada seorang berdatang sembah, “Hamba orang Biyantu”. Sembahnya, “Ya tuanku, hambalah cakap membunuhnya”. Maka kata Pangeran Suka Rama, “Baiklah, jika engkau berani nanti aku gelari Pangeran Mas Prabu, buat di bawahku dan perintah habis padamu. Lagi negeri sebuah aku beri dan istri seorang aku berikan jua”. Maka kata pangeran, “Hai Danta, jika engkau cakap ini malam jua, karena Pangeran Tumenggung sidin jadi dedalang”. Maka sembah Danta, “Ya tuanku, hamba saat ini jua membunuh”. Maka kata pangeran, “Hai Danta, inilah keris pakai membunuh, tetapi jangan engkau celup ke air itu keris. Kalau engkau celup, tiadalah aku percaya padamu ini, supaya aku melihat keris”. Maka sembah Danta, “Hamba junjunglah titah tuanku ini”. Maka Danta pun terjunlah menyeberang air berenang serta datanglah, lalu ia naik pada tempat Pangeran Tumenggung itu, lalu ia duduk di belakang pangeran itu. Katanya pangeran, “Hai Danta, apakah habar ikam ini”. Maka sembah Danta sambil menangis-nangis sembahnya, “Ya tuanku pangeran. Hamba minta hidupi karena ulun hendak dibunuh oleh Pangeran Sukarama. Hamba tiada berisi bulan dan matahari lagi lain daripada tuanku ini”. Maka kata pangeran, “Jika demikian duduklah engkau di belakangku ini. Tiadalah Pangeran Suka Rama kemari lagi”. Maka Danta itu pun duduklah, maka Pangeran Tumenggung itu pun pada saat mengadu wayang itu, maka lalu saja ditikamnya oleh Danta dengan keris dari belakang, maka terus ke dada, maka Danta itu pun lari ke luar lalu terjun menyeberang dan keris itu dijunjungnya. Maka Pangeran Suka Rama itu menghadang di tebing, katanya, “Hai Danta, marilah keris ini aku melihat”. Lalu diberikannya oleh Danta. Maka kata Pangeran Suka Rama, “Hai Danta, engkau ini tiada berisi akal. Rakaku Pangeran Tumenggung raja besar, kamu bunuh mati. Maka kamu berdosa besarlah”. Maka lalu dilemasnya itu Danta oleh Pangeran Suka Rama. Pangeran Tumenggung itu meninggallah, dan Danta itu pun mati jua, sebab dilemas oleh Pangeran Suka Rama. .... (TC edisi Kadir alinea ke-102).

Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa Pangeran Sukarama menyuruh Danta untuk membunuh Pangeran Tumenggung. Danta akhirnya berhasil membunuh Pangeran Tumenggung. Akan tetapi Danta sendiri juga dibunuh oleh Pangeran Sukarama. Raden Samudera, anak Pangeran Tumenggung yang berhasil dihanyutkan oleh ibunya dan ditemukan oleh Patih Masih, setelah besar meminta bantuan ke Giri untuk meminta dibunuh juga oleh pamannya itu. Namun Pangeran Sukarama terlebih dahulu melarikan diri dan tidak mau bertemu dengan kemenakannya itu. Hal yang sama juga ditemukan dalam TC edisi Saleh di bawah ini.

.... maka kata Pangeran Sukarama, “Hai sekalian kamu, adakah yang jago membunuhkan kakanda Pangeran Tumenggung itu”. Maka sembahnya yang sekalian itu, “Hamba tiada berani membunuh. Mengangkatkan muka pun tiada berani”. Maka kata Pangeran Sukarama, “Adakah yang jago kalau ada aku ganjar lalu aku gelar Pangeran Mas Prabu untuk di bawahku”. Maka sekalian perintah habislah padanya

10 dan negeri sebuah aku berikan dan isteriku satu aku berikan padanya. Maka ada seorang hambanya orang berlainan katanya, “Ya tuanku, hambalah yang jago”. Maka kata pangeran, “Baiklah jika engkau jago aku gelar Pangeran Mas Prabu dan isterinya seorang aku berikan padamu dan negeri sebuah aku berikan padamu”. Maka kata Pangeran Sukarama, “Hai Nata, jika engkau jago malam ini jua karena Pangeran Tumenggung beliau jadi dedalang. Maka orang berwayanglah ini malam” (TC edisi Saleh alinea ke- 576). Maka sembahnya Nata, “Ya tuanku, hamba saat ini jua membunuh Pangeran Tumenggung itu”. Maka kata Pangeran Sukarama, “Ini kerisku pakai engkau membunuh. Jika engkau sudah tikamkan jangan engkau celup ke air karena tiadalah aku percaya kepadamu”. Maka sembahnya, “Ya tuanku, hamba junjunglah titah tuanku ini”. Maka Nata pun terjun ke seberang dengan tilasan sarung dia menyelam dan berenang serta datang lalu naik pada istana Pangeran Tumenggung. Maka Pangeran Tumenggung berwayang. Maka katanya Nata, “Ya tuanku Pangeran hamba hendak minta hidupi karena hamba hendak dibunuh Pangeran Sukarama karena hamba tiada berisi bulan matahari hanya sampian yang menghidupi hamba ini”. Maka kata Pangeran Tumenggung, “Jika demikian duduklah engkau di belakangku ini, tiadalah Pangeran Sukarama kemari”. Maka Nata pun duduklah (TC edisi Saleh alinea ke-577). Maka pangeran pada saat mengadu wayang lalu ditikamnya oleh Danata di belakang. Maka terus ke dada. Maka Danata itu pun lari lalu dia terjun pula ke seberang. Maka keris pun diberikannya. Maka Pangeran Sukarama itu menghadang di batang, katanya, “Hai Danata, marilah keris ini aku melihat”. Lalu diberikannya oleh Danata. Maka kata Pangeran Sukarama, “Hai Danata, engkau ini tiada lalu berisi akal, gelarku ini Pangeran Tumenggung raja baru. Cakap engkau membunuh mandahin, maka aku tiada dibunuhmu, “Lalu ditikam oleh Pangeran Sukarama jatuh ke air lalu mati. Maka Pangeran Tumenggung mati jua (TC edisi Saleh alinea ke-578). Maka Puteri Intan Sari, “Hai kamu sekalian, buatkan rakit untuk membuat puteraku ini pada lanting itu dan orang dalam seorang dan panakawan seorang dan beras dibuat, dan ringgit banyak-banyak pakai sangu. Maka dilarutkan lanting itu tiada tahu Pangeran Sukarama daripada puteri itu bunting dan melahirkan. Jika tahu Pangeran Sukarama pasti dibunuhnya jua. Maka Puteri Intan Sari itu pun menangis siang dan malam tiada berhenti lagi (TC edisi Saleh alinea ke-580). Alkisah tersebut perkataan Patih Minasih dia menahan rengge pada batang banyu itu beberapa lamanya dia merengge mendapat lanting hanyut serta diusirnya lanting itu. Ada bersuara maka, kata yang di dalam lanting, “Hai kakekku yang bijaksana, hidupi hamba ini”, lalu dia menangis (TC edisi Saleh alinea ke-581). Maka Ki patih, “Hai dayang, datang di manakah lanting ini?” Maka sahut orang dalam, “Karena hamba ini dibuang oleh Puteri Intan Sari dan putera sidin kalau ketahuan oleh Pangeran Sukarama karena Pangeran Tumenggung sudah mati dibunuh oleh Pangeran Sukarama, saudara tua oleh Pangeran Sukarama. Maka kata Patih Minasih, “Inilah putera Pangeran Tumenggung”. Maka kata orang dalam, “Inilah puteranya”. Maka kata Patih Minasih, “Baiklah aku memeliharanya gustiku ini”, lalu berbuat pada lanting itu serta dikayuhnya berhanyut banyu (TC edisi Saleh alinea ke-582).

11 .... Maka, yaitu Pangeran Sukarama, “Baiklah kita langkur, tetapi berlayar dahulu ke Negeri Giri minta bantu kepada Susunan Serabut itu mamarina Pangeran Tumenggung itu. Maka kata Raden Jaya Samudera, “Baiklah kita bersegera” (TC edisi Saleh alinea ke- 589). .... Maka kata susunan, “Aku berilah bantuan engkau meminta melainkan aku beri, tetapi islamlah engkau kalau tiada Islam tiadalah aku mau”. Maka sembahnya, “Ya tuanku, hamba junjunglah titah tuanku ini” (TC edisi Saleh alinea ke-590). Maka beberapa lamanya dia berlayar itu maka datanglah dia pada negeri Candi Agung maka dia pun mengislamkan negeri Candi Agung dan Kuripan serta dia pergi pula ke Babirik menanyakan ibunya, ada juakah lagi. Maka berlayar pula ke Penyeberangan lalu dia langgar Pangeran Sukarama (TC edisi Saleh alinea ke-596). Maka dia bertanya kepada orang di dalam negeri katanya, “Sultan pada orang dalam negeri, hai kamu engkau beritahukan kepada Pangeran Sukarama ini Pangeran Agung, puteranya Pangeran Tumenggung ini hendak minta bunuh juga karena tiada patutlah sekali-kali, kalau bapaknya saja yang dibunuh baiklah anaknya ini dibunuh juga”. Maka sembah orang di dalam negeri itu, “Pangeran Sukarama tiada, karena pangeran itu berburu dengan jerat” (TC edisi Saleh alinea ke-597).

Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa Pangeran Sukarama menyuruh Danata untuk membunuh Pangeran Tumenggung, kakaknya. Danata akhirnya berhasil membunuh Pangeran Tumenggung. Akan tetapi dia sendiri juga dibunuh oleh Pangeran Sukarama. Peristiwa ’senjata makan tuan’ itu sangat mirip dengan cerita dalam P. Pinjaman cerita dari P ini menunjukkan bahwa HRB edisi Ras ditulis oleh orang yang pernah membaca atau mengetahui cerita Ken Arok tersebut.

2. Kesamaan Motif Cerita Mitos Miasma II Mitos Kiai Wangsa dan keluarganya disuruh dibunuh oleh Raden Rangga Kesuma dan Raden Rangga Kesuma disuruh dihukum mati oleh Marhum Panembahan mengandung makna hukum karma. Karma dalam bahasa Sanskerta berarti tindakan. Karma juga berarti hukum yang mengatur semua tindakan dan akibat yang tidak terelakkan pada orang yang melakukan (Syuropati, 2010: 72). Karma juga diartikan sebagai perbuatan atau kerja yang dilakukan (Kawuryan, Tanpa tahun: 365). Pada awalnya istilah ini merujuk pada perbuatan, termasuk tindakan mental seperti ketakutan, keterikatan, hasrat, atau kebencian. Jadi, hukum karma berarti hukuman atas tindakan atau perbuatan yang telah dilakukan oleh seseorang. Menurut Munoz (2009: 526), karma atau kamma itu adalah doktrin Hindu dan Buddha tentang sebab dan akibat dari hasil kebebasan bersikap dan memilih. Tindakan itu memiliki akibat bagi si pelaku terkait dengan tindakan yang dilakukan. Oleh karena itu, hukum karma diartikan sebagai hukum balasan atas perbuatan seseorang di dunia (Kawuryan, Tanpa tahun: 365). Dalam HRB edisi Ras diceritakan bahwa Raden Rangga Kesuma sebelum dihukum mati, dia pernah melakukan pembunuhan terhadap Kiai Wangsa dan keluarganya. Raden Rangga Kesuma kemudian diceritakan juga dihukum mati oleh Marhum Panembahan sebagai akibat perbuatannya tersebut. Di bawah ini disajikan kutipan ceritanya.

Sudah itu disuruhkanlah segala Biaju itu oleh Raden Rangga Kesuma itu serta soraknya, berajak, bersumpit, beramuk. Huru-haralah bunyi sawak, bunyi tangis orang itu. Anak- anak dan perempuan dan yang berlaung daun pucuk tiada dibunuhnya oleh Biaju itu. Habis mati Kyai Wangsa itu, Kyai Warga itu, Kyai Kanduruan, Kyai Jagabaya, Kyai Lurah Sanan sekeluarganya itu. .... (HRB edisi Ras alinea ke-235). 12 .... Maka pangandika Marhum Panembahan dan Ratu Agung: Balik kamu. Suruh lestarikan, tetapi kujut3 saja itu”. Serta Marhum Panembahan dan Ratu Agung sedih (menangis) itu. Maka Gedungsalat kembali, datang pada Raden Rangga Kesuma: “Pangandika raka andika keduanya meminta maaf, andika dilestarikan”. Kata Raden Rangga Kesuma: “Insya Allah ta’ala suka, halal dunia akhirat aku”. Maka sudah itu Raden Rangga Kesuma dikujut itu. Seperti orang tidur itu rupanya (HRB edisi Ras alinea ke-242).

Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa Raden Rangga Kesuma sebelum dihukum mati oleh Marhum Panembahan, dia juga pernah menyuruh suku Biaju untuk membunuh Kiai Wangsa beserta keluarganya. Perbuatannya itu harus dibayarnya dengan hukuman mati sebagai balasannya. Cerita ini seolah-olah ingin mengesahkan adanya hukum karma bagi pelaku pembunuhan. Mitos Raden Rangga Kesuma yang semula menyuruh suku Biaju membunuh Kiai Wangsa beserta keluarganya dan dia sendiri akhirnya dihukum mati oleh raja mempunyai kemiripan dengan P. Dalam P, Raja Jayanagara sebelumnya juga menyuruh menumpas pemberontakan Rangga Lawe, Lembu Sora, dan Nambi. Raja Jayanagara sendiri akhirnya dibunuh oleh Tanca. Peristiwa pembunuhan Raja Jayanagara itu diawali oleh fitnahan dari istri Tanca yang menyatakan bahwa dia diperlakukan tidak baik oleh raja. Pada saat itu, raja dalam keadaan sakit bengkak dan atas perintah Gajah Mada, Tanca disuruh membedahnya dengan taji. Hal ini dimanfaatkan dengan baik oleh Tanca untuk membalaskan sakit hatinya. Semula tajinya tidak tembus untuk menusuk karena raja memakai jimat. Setelah raja diminta melepaskan jimatnya, baru Tanca berhasil menusuk sang raja hingga tewas. Perbuatan Tanca itu akhirnya diketahui oleh Gajah Mada yang segera membunuhnya. Jika dilihat dari cerita P ini, terdapat kesamaan dengan HRB edisi Ras. Kesamaan itu terletak pada cerita fitnah dan letak ilmu kebal dari kedua tokoh. Dalam P, Raja Jayanagara difitnah oleh istri Tanca dengan mengatakan raja berbuat tidak baik padanya, sedangkan dalam HRB edisi Ras, Raden Rangga Kesuma difitnah oleh Pangeran Mangkunegara dengan mengatakan dia telah mengganggu anak-istri orang. Dalam P, ilmu kebal Raja Jayanagara dapat hilang ketika jimatnya dilepaskan, sedangkan dalam HRB edisi Ras, ilmu kebal Raden Rangga Kesuma dapat hilang ketika dia sendiri menunjukkan letak kelemahannya. Cerita Raden Rangga Kesuma menyuruh suku Biaju menumpas pemberontakan Kiai Wangsa, Kiai Warga, Kiai Kanduruan, Kiai Jagabaya, Kyai Lurah Sanan dan keluarganya dapat disamakan dengan cerita Raja Jayanagara dalam P. Dalam P, Raja Jayanagara juga pernah menyuruh menumpas pemberontakan Rangga Lawe, Lembu Sora, dan Nambi. Bedanya Raden Rangga Kesuma dalam HRB edisi Ras bukan seorang raja, dia hanya diceritakan sebagai seorang anak raja yang menyuruh Biaju menumpas pemberontakan itu karena diperintah oleh Sultan Hidayatullah, ayahnya. Cerita tentang hasutan Pangeran Mangkunegara bahwa Raden Rangga Kesuma itu suka mengganggu anak-istri orang sama seperti dalam P. Dalam P, Raja Jayanagara juga diceritakan difitnah oleh istri Tanca bahwa dia diperlakukan tidak baik. Fitnahan istri Tanca itu menyebabkan suaminya membunuh Raja Jayanagara. Di bawah ini disajikan kutipan cerita P itu selengkapnya.

Istri Tanca menyiarkan berita bahwa dia diperlakukan tidak baik oleh raja. Tanca dituntut Gajah Mada. Kebetulan Raja Jayanagara menderita sakit bengkak, tidak dapat pergi ke

3 Kujut adalah ikat atau kebat. Mengujut berarti mengikat (mencekik) leher dengan tali. Berkujut berarti menggantung diri dengan mengikat (mencekik) leher dengan tali (Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 751). Kujut di sini berarti hukuman gantung.

13 luar. Tanca mendapat perintah untuk melakukan pembedahan dengan taji. Dia menghadap di dekat tempat tidur. Raja ditusuk oleh Tanca dengan taji sekali-dua kali, namun tidak makan tajinya. Lalu raja diminta supaya meletakkan jimatnya. Dia meletakkan jimatnya di dekat tempat tidur. Ditusuk oleh Tanca, tajinya makan. Diteruskan ditusuk oleh Tanca sehingga mati di tempat tidur itu. Tanca segera dibunuh oleh Gajah Mada, matilah Tanca (Komandoko, 2008: 66-67).

Jika diperhatikan dari penyebab munculnya hasutan Pangeran Mangkunegara kepada saudaranya dan Marhum Panembahan, yaitu Raden Rangga Kesuma sangat disayangi raja dan ratu karena berjasa dalam menumpas pemberontakan Kiai Wangsa, Kiai Warga, Kiai Kanduruan, Kiai Jagabaya, dan Kiai Lurah Sanan serta keluarganya yang ikut. Hal itu ternyata sama pula dengan P, yaitu pada cerita pemberontakan Nambi. Dia terpaksa memberontak karena hasutan Mahapati dan juga raja yang tidak pernah memperhatikan jasa-jasa perangnya. Pemberontakannya akhirnya dapat ditumpas oleh pasukan Majapahit. Hal yang sama pun terjadi pada tokoh Raden Rangga Kesuma dalam HRB edisi Ras, dia dijatuhi hukuman mati oleh raja tanpa mempertimbangkan lagi jasanya dalam menumpas pemberontakan. Hal itu terjadi karena raja telah dihasut oleh Pangeran Mangkunegara.

3. Kesamaan Motif Cerita Tokoh Mempunyai Ilmu Kebal Mitos kesaktian Raden Rangga Kesuma yang mempunyai ilmu kebal ternyata juga memiliki kemiripan dengan P. Dalam P diceritakan bahwa Raja Jayanagara juga mempunyai ilmu kebal. Raja Jayanagara baru dapat ditembus senjata setelah melepaskan jimatnya. Sebelumnya Raja Jayanagara tidak bisa ditembus senjata, sekalipun sudah ditusuk sebanyak dua kali oleh Tanca. Hal ini sama dengan yang dialami oleh Raden Rangga Kesuma. Raden Rangga Kesuma diceritakan mempunyai ilmu kebal sekalipun sudah ditusuk oleh Wirayuda sebanyak tiga kali. Raden Rangga Kesuma baru dapat ditembus oleh keris setelah memberitahukan letak kelemahannya. Cerita tentang Raja Jayanagara yang mempunyai ilmu kebal dalam P itu dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.

Tanca mendapat perintah untuk melakukan pembedahan dengan taji. Dia menghadap di dekat tempat tidur. Raja ditusuk oleh Tanca dengan taji sekali-dua kali, namun tidak makan tajinya. Lalu raja diminta supaya meletakkan jimatnya. Dia meletakkan jimatnya di dekat tempat tidur. Ditusuk oleh Tanca, tajinya makan. Diteruskan ditusuk oleh Tanca sehingga mati di tempat tidur itu. (Komandoko, 2008: 66-67).

Cerita kesaktian Raden Rangga Kesuma yang mempunyai ilmu kebal tidak pernah ditemukan dalam sejarah Banjar. Cerita ini hanya merupakan rekaan pengarang HRB edisi Ras agar tokoh Raden Rangga Kesuma mempunyai kesaktian yang sama seperti Raja Jayanagara dalam P. Jika diperhatikan sekali lagi kutipan di atas dapat diketahui bahwa tokoh Raja Jayanagara mempunyai kesaktian yang sama dengan Raden Rangga Kesuma, yaitu memiliki ilmu kebal. Sebagaimana diketahui, Raden Rangga Kesuma dalam HRB edisi Ras juga mempunyai ilmu kekebalan tubuh atau tidak mempan dengan senjata. Raden Rangga Kesuma baru dapat ditembus oleh keris setelah dia memberitahukan letak kelemahannya. Hal itu pun terjadi pada tokoh Raja Jayanagara di atas, dia baru dapat ditembus oleh taji setelah melepaskan jimatnya.

14 4. Ketidaksesuaian (Kesalahan Nama) Raja Majapahit dalam HRB dengan Sejarah Dalam HRB edisi Ras diceritakan bahwa raja Majapahit yang pernah menaklukkan daerah nusantara adalah Tunggul Ametung. Sepeninggalnya, pemerintahan dilanjutkan oleh Dipati Hangrok. Patih pada masa Tunggul Ametung bernama Gajah Mada, sedangkan pada masa pemerintahan Dipati Hangrok yang menjadi patihnya adalah Patih Maudara. Ketidaksesuaian nama raja Majapahit itu menunjukkan bahwa cerita ini mengandung mitos yang menyamakan Tunggul Ametung dan Dipati Hangrok dengan Raja Hayam Wuruk yang pernah menaklukkan daerah nusantara. Di bawah ini disajikan kutipan mengenai mitos raja Majapahit itu.

“Adapun tatkala dahulu kala kaula mendengar kabar orang yang tua-tua itu negeri Majapahit, tatkala rajanya itu bernama Tunggul Ametung mangkubuminya Patih Gajah Mada itu, sekaliannya orang besar-besar di tanah Jawa itu sama takluk pada raja Tunggul Ametung itu. Banten, Jambi, Palembang, Bugis, Makasar, Johor, Patani, Pahang, Campa, Minangkabau, Aceh, Pasai, sekaliannya negeri itu sama takluk pada raja Tunggul Ametung itu. Sudah itu mati, Gajah Mada mati, turun-temurun pada cucunya Majapahit patih itu, rajanya bernama Dipati Hangrok, mangkubuminya Patih Maudara namanya (HRB edisi Ras alinea ke-197).

Dalam kutipan di atas terdapat kejanggalan mengenai nama raja Majapahit yang memerintah yaitu Tunggul Ametung dan Dipati Hangrok. Tunggul Ametung bukan raja Majapahit, dia adalah seorang Akuwu (kepala daerah) di Tumapel seperti diceritakan dalam P. Sementara itu, Dipati Hangrok dalam P bernama Ken Angrok. Ken Angrok diceritakan sebagai anak Dewa Brahma yang lahir dari rahim Ken Endok. Dia adalah titisan Dewa Wisnu dari anak janda di Jiput. Dia diceritakan sebagai tokoh yang telah membunuh Tunggul Ametung dengan keris buatan Empu Gandring. Dia juga berhasil mengalahkan raja Daha yang bernama Dandang Gendhis. Setelah itu, dia menguasai tanah Jawa. Raja Majapahit yang seharusnya adalah Hayam Wuruk atau Rajasanagara karena dia yang memerintahkan Mahapatih Gajah Mada untuk menaklukkan nusantara. Ketidaktepatan pemberian nama raja Majapahit ini menandakan perlunya pemisahan mitos dan realitas dalam HRB edisi Ras. Pemasukan nama Tunggul Ametung dan Dipati Hangrok menjadi raja Majapahit dalam HRB edisi Ras merupakan peminjaman nama tokoh dari P. Dalam P, tokoh Tunggul Ametung dan Dipati Hangrok bukan raja Majapahit, melainkan tokoh yang kelak menurunkan raja-raja Singasari dan Majapahit. Mereka adalah penguasa daerah Tumapel. Dipati Hangrok sebelum menjadi penguasa Tumapel adalah hamba Tunggul Ametung. Dia lalu membunuh Tunggul Ametung karena ingin mendapatkan istrinya yang bernama Ken Dedes. Hal itu dia lakukan karena menurut Dang Hyang Loh Gawe, Ken Dedes memiliki tanda yang baik, barang siapa yang dapat memperistrinya akan menjadi maharaja. Setelah membunuh Tunggul Ametung, Ken Arok lalu memperistri Ken Dedes. Ken Arok yang telah menguasai Tumapel kemudian melakukan penyerangan terhadap kerajaan Kediri dan berhasil mengalahkan Raja Kertajaya. Setelah itu, dia menjadi penguasa seluruh Jawa Timur. Ken Arok atau Ken Angrok adalah raja Singasari yang memerintah dari tahun 1222 sampai 1227 M. Dia adalah pendiri dinasti Girindra atau dinasti Rajasa. Dengan nama lain, dia disebut wangsakara atau pendiri wangsa atau dinasti. Dia juga bergelar Sri Ranggah Rajasa Batara Sang Amurwabumi. Dia yang kemudian menurunkan raja-raja Singasari dan Majapahit.

15 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa perbandingan HRB dan P dilihat dari kesamaan motif cerita menunjukkan adanya peminjaman cerita dari P oleh HRB. Hal ini berdasarkan fakta bahwa P lebih dahulu ditulis, yaitu pada tahun 1535 Saka atau 1613 Masehi. Bahkan menurut Ras (dalam Hellwig dan Robson, 1986: 192), bagian akhir dari P telah ditulis antara tahun 1481 sampai 1600. Sementara, HRB baru ditulis antara tahun 1761 sampai 1801 atau abad ke-18. Peminjaman cerita itu dimaksudkan untuk memperkaya isi HRB.

Saran Bagi para peneliti selanjutnya, agar melakukan penelitian perbandingan HRB dan P dari segi realitas sejarah yang terkandung di dalamnya terutama tentang tokoh pada awal ceritanya. Dengan penelitian yang disarankan tersebut, diharapkan nanti akan diketahui apakah tokoh pendiri dinasti atau kerajaan itu adalah mitos atau realitas.

16 DAFTAR RUJUKAN

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Holsti, Ole R. 1969. Content Analysis for the Social Sciences and Humanities. Reading, Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company. Kadir, M. Saperi. 1982. Tutur Candi. Kalimantan Selatan: Depdikbud. Kawuryan, Megandaru W. Tanpa tahun. Kamus Lengkap Jawa-Indonesia, Indonesia-Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka. Komandoko, Gamal. 2008. Pararaton, Legenda Ken Arok dan Ken Dedes. Yogyakarta: Narasi. Munoz, Paul Michel. 2006. Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung , Perkembangan Sejarah dan Budaya Asia Tenggara (Zaman Prasejarah-Abad XVI). Terjemahan oleh Tim Media Abadi. 2009. Yogyakarta: Mitra Abadi. Rafiek, Muhammad. 2010. Mitos Raja dalam Hikayat Raja Banjar. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang. Rafiek, Muhammad. 2011. Hikayat Raja Banjar: Kajian Jenis, Makna, dan Fungsi Mitos Raja. Dalam Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya, 1 (1): 3-27. Ras, Johanes Jacobus. 1968. Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography. The Hague: Martinus Nijhoff. Ras, J. J. 1986. Hikayat Banjar dan Pararaton: A Structural Comparison of Two Chronicles. Dalam C. M. S. Hellwig dan S. O. Robson (Eds.). A Man of Indonesian Letters, Essays in Honour of Professor A. Teeuw (hal. 184-203). Dordrecht-Holland/Cinnaminson-U.S.A: Foris Publications. Saleh, M. Idwar. Tanpa tahun. Sedjarah Bandjarmasin. Bandung: KPPK Balai Pendidikan Guru. Saleh, M. Idwar. 1986. Tutur Candi, Sebuah Karya Sastra Sejarah Banjarmasin. Jakarta: Depdikbud. Sastronaryatmo, Moelyono & Nitriani, R. Aj. Indri. 1983. Panji Kuda Narawangsa. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Syuropati, Mohammad A. 2010. Kamus Pintar Kawruh Jawa. Yogyakarta: In Azna Books.

17 PROPOSING THE FUTURE IMPLEMENTATION OF E-BOOKS FOR ENGLISH (RETHINKING OF THE USE OF E-BOOKS IN INDONESIAN SCHOOLS)

Raudhatun Nisa4 Guru Bahasa Inggris MTs N Kelayan, Banjarmasin

Abstract

An e-book is an electronic design of an ordinary book. It is expected to be the solution for every student who cannot get the instructional materials easily or those who cannot buy them because of economical reason. However, the implementation of the policy of e- books nowadays, according to some opinions, is susceptible to fail. The reasons of why it is so will be explained in the following discussion. The discussion will investigate about the challenges, consideration, and controversy in implementing e-books as the instructional materials in Indonesian schools. In addition, the writer proposes the future implementation of e-books in Indonesian schools.

Keywords: e-book

INTRODUCTION The quality of students of Indonesian schools cannot be generalized as a whole. The quality of students in remote areas, for instance, is absolutely not the same with those who lives in big cities. One of the reasons of why this imbalance condition happens is that the supply of books as instructional materials is sometimes difficult to get because of the isolated area or the expensiveness of the books per se. Meanwhile, those who live in big cities can get the books easily. The price of the books are usually cheap because of the method of distribution of the books is not as difficult as in the remote areas. Responding that imbalance condition, particularly about the problem of the difficulties in supplying the books as instructional materials, the government which is represented by the Ministry of National Education (Mendiknas) of Indonesia, through PERMENDIKNAS No. 2/2008, has launched BSE (Buku Sekolah Elektronik) or e-books, which absolutely can be downloaded through internet connection, as the alternative instructional materials for students in Indonesian schools. An e-book is an electronic design of an ordinary book. The only distinction between an ordinary book and an e-book is that e-books are paperless. E-books are published in several of electronic file formats (PDF files for instance) and can therefore be attained in formats which suitable for almost any hardware device. E-books can be downloaded in a matter of minutes depending on the size of the file and the speed of the internet connection. E-books have several amount different sizes, depending on the length of the book and the number of images. It is expected to be the solution for every student who cannot get the instructional materials easily or those who cannot buy them because of economical reason. Although realization of the policy of e-books is only for a few subject matters, such as English, Indonesian, Mathematics, etc., but the government can certainly say that the existence of e-books can help many teachers and students to get the cheaper instructional materials rather than buy them in the bookstore or purchase them to the publishers. In line with the notion about the use of internet connection to support the implementation of e- books as instructional materials, Kellough & Kellough (1999: 356) state that teachers can get the

4 Alumnus program Magister Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Malang, tahun 2009.

18 free and inexpensive teaching materials which appropriate with the age or the level of students’ proficiency through internet. The role of the teachers, in this case, is very important to maximize the effectiveness of every new technology (including e-books) to help their students in the process of teaching and learning (Richards & Renandya, 2002: 368). In short, beside the facilities, the qualified human resources, which are mostly represented by the teachers in this case, are really needed to succeed the implementation of this policy. However, the implementation of the policy of e-books nowadays, according to some opinions, is susceptible to fail. The reasons of why it is so will be explained in the following discussion. The discussion will investigate about the challenges, consideration, and controversy in implementing e- books as the instructional materials in Indonesian schools. In addition, the writer proposes the future implementation of e-books in Indonesian schools.

SOME ISSUES IN THE IMPLEMENTATION OF E-BOOKS 1. The Challenges in the Implementation of E-books Responding on the policy of the implementation of e-books, Rattahpinnusa (2008) stated that there are several challenges in using e-books as instructional materials in Indonesian schools. The challenges include several aspects; namely human resources (man), facilities (machine), and method of distribution (method). The more explanation about the challenges is in the following: - Human resources (man): In fact, Indonesia still has low number of qualified-human resources. It is proven by the numbers of teachers in Indonesia who can work with internet (or those who understand how to operate internet) are about 10% - 15% (only). Consequently, it can hamper the implementation of using e-books as instructional materials in Indonesian schools. It can be worst if the teachers are accustomed to apply the conventional pedagogic without the use of instructional media in their teaching practice, while the students are accustomed to be the ‘rote learners’ who always accept whatever the ways of teaching of their teachers are. - Facilities (machine): Ideally, the use of e-books as instructional materials needs some facilities, such as computer / multimedia lab, internet network, and so forth. In fact, the facilities of some schools in Indonesia are still incomplete to support the implementation of e-books. Even if the complete facilities are provided, according to several opinions of those who have tried to get the instructional materials in the form of e-books from JARDIKNAS website, the process of opening and downloading the website is still considerably hard or, let’s say, difficult. - Method of distribution (method): The government claimed that the use of e-books can minimize the educational fund by purchasing the copyright of some ordinary books from the authors (to get the right) to change the format of ordinary books become e-books and uploading them in the website of JARDIKNAS. However, as mentioned before, the process of downloading and transferring e-books or printing them will cost much more money than just buy it in the bookstore (for a certain area of Indonesia). The fact implies condition that the method of distribution of e-books in Indonesia nowadays is not easy or still impractical. The challenges, then, are expected to be some considerations of government to the future implementation of e-books as the instructional materials in Indonesian schools.

19 2. Rethinking of the Use of E-books in Indonesian Schools a. Why should e-books? E-books are used by government to be an alternative of instructional materials in Indonesian schools because of several considerations; such as the advantages of e-books and the prestige of using e-books. By using e-books, it is expected that we can get many advantages as follows: • E-book format is ideal for searching text automatically and having cross-referenced using hyperlinks. • Unlike ordinary books, we only need less physical space to store e-books, and hundreds to thousands of books may be stored on the same device. • For those who have difficulty in reading printed books can take advantage from the adjustment of text size and font face. • E-books can be adapted to audio books automatically by using text-to-speech software. • It does not cost much to reproduce or copy an e-book. • We can purchase e-books from reading devices themselves and we do not oblige to visit a bookstore to obtain. • Etc. Beside the reason of beneficial, the discourse on using e-books as the instructional materials can be seen as the attempt of government to improve the quality of human resources of Indonesian people in general. It also implies the prestige that the government wishes to achieve by doing so; that Indonesian people are not “blind” with the sophistication of a latest technology, including e-books.

b. Controversy on the use of e-books as the instructional materials in Indonesian schools The implementation of e-books as instructional materials emerges some controversy among several members of society of Indonesia. They are debating on some aspects around the use of e-books which has determined by government as the alternative instructional materials for students. The controversy covers several things; about the concept of using e- books, consideration of the publishers in relation to the implementation of e-books, consideration of the disadvantages of e-books, do e-books really overcome the problems of all students of any level?, and are there any solutions of students’ problems beside e-books? The policy of using e-books, as mentioned before, is still become controversy. Although according to several opinions, it is already good but the planning and the implementation of e-books per se are still unsatisfied. Moreover, Yusuf (2008) viewed that the policy of using e- books, especially BSE (Buku Sekolah Elektronik), is conceptually contrast with the concept of KTSP (School-Based Curriculum). The reason is that the policy of the implementation of e- books is still centralized or determined by government, meaning that the Content Standard (Standar Isi) of curriculum, which is represented by the content of instructional materials, is developed by considering more on the exploration of the special quality or national condition of Indonesia in general rather than the exploration of the special quality or condition of every local or area of Indonesia specifically. Meanwhile the policy of School-Based Curriculum is already decentralized, meaning that the content of instructional materials can be adapted based on the exploration of the special quality of every local / area of Indonesia. In other word, the concept of School-Based Curriculum will provide students the instructional materials which match with the real context of their daily life or authentic condition and environment

20 around them. Consequently, if the policy is still maintained, there is a worry that it will hamper the creativity of the teachers who wish to write / adapt the materials which suitable with the concept of School-Based Curriculum; by considering their environment, the level of their students (age, proficiency, etc.), their own preference (teaching styles, personality, etc.), and so forth (Tomlinson & Masuhara, 2005: 12). Furthermore, the implementation of using e-books as the instructional material in Indonesian schools so far has not given any extreme effects towards the quality of education in particular, and the whole aspects of life of Indonesian people yet, whether good effect or bad one. It cannot be said has a very good effect because the implementation of e-book per se is still “infant”. To the extent whether it has or not a very bad effect, IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) has stated that in the future, the implementation of using e-books as the instructional material in Indonesian schools will stop the existing of the publishers. It might happen because students do not need to buy books from publishers anymore. Hence, it will make many workers of any publishers are unemployed. In other word, it will destroy the infrastructures which already exist so far. Next, although there are so many advantages of using e-books, however, there are also several disadvantages of using it, such as: - Some e-books need the purchase of an electronic device and/or nonessential software to display. - An e-book can be affected by faults in external hardware or software because it is really dependent on equipment to be read. - All e-book devices require electrical power, so if the electricity turn off, it is hard for us to display or read an e-book. - Certain e-book designs may become out of date and unsuited with future devices. - Book readers are more easily broken than paper books and more at risk to physical damage. - E-books can be hacked, or distributed without agreement from the author or publisher, through the use of hardware or software mods, etc. Apart from the disadvantages above, there are also many things that we should consider in implementing or using e-books as instructional material at school. Some of them that we should take into account are the level of society, the area (whether or not it can connect to internet), and the completeness of facilities to support the implementation of e-books. Otherwise, the policy of using e-books as instructional materials is only beneficial for a few teachers and students of Indonesian schools. Considering some factors about the implementation of e-books above, IKAPI (2008) offers an alternative solution to government to overcome the problem of instructional materials supply for the whole students and teachers of all over area. IKAPI suggests that it will be better if the financial to implement the policy of e-books are replaced with other policy, by giving the subsidy for purchasing books, for instance, in order to get a low price or free of charge books. Obviously, the suggestion is aimed at two things, solving the problems above, and helping the publishers to be survived.

3. Proposing the future implementation of e-book in Indonesian School Having a small discussion about the implementation of e-books with some colleagues, the writer comes to the crucial thing, proposing the future implementation of e-books as instructional material in Indonesian schools. The proposal covers the format and the method of distribution of

21 e-books. The writer also proposes the notion to train those who will take advantage of using e- books, in this case, students and teachers, particularly if the policy of e-books is still maintained. The proposals are: - the format of e-books The existed format of e-books nowadays (by using electronic device) is considered have many problems in its use as instructional materials in terms of impracticality, either in the process of downloading or in providing facilities to support the implementation, and the budget of government to do so. To the reason of practicality and feasibility, it will be better if the formats of e-books in the future are changed to the form of CD or DVD. The government, in this case, can ask Diknas to download and make copy of the materials in these forms. It will be very beneficial to lessen the budget of government in the attempt to improve the implementation of using e-books rather than to provide facilities, such as internet connection, for schools. Furthermore, it will not only make the method of distribution of e-books easier, but also give the possibility for e-books to be reached by the whole level of society in any area all over Indonesia. - the method of distribution of e-books Relating to the proposed format of e-books as mentioned above, the method of distribution can be easier than the previous format. The copies of CD or DVD of e-books (from the government) are, for instance, distributed to the Depdiknas of every municipality all over Indonesia. Afterwards, Depdiknas can distribute the copies into schools. The practitioners of the schools, then, can print out the copy of materials in order to be shared to their students, so that it can be used as the instructional materials of the schools. - train ‘the man behind the gun’ The use of computers (and the internet) in education generally continues to increase at an extraordinary speed (Harmer, 2002: 145). One of the examples is the implementation of e-books, which absolutely needs not only the use such kind of technology, but also those who can operate or apply it. So, if the policy of e-books is still maintained (particularly in relation with the existed-format of e-books per se), there is a suggestion to the government to socialize more about the policy and give chances to the “man behind the gun of the school” to know more about how to implement the policy well, for example by having a training to apply computer or internet (especially for those who never being touched by the sophisticated technology or those who live in remote area) and so forth. By doing so, it is expected that the use of technology, such as computers, can become an integral part of their daily life (Tompkins & Hoskisson, 1995: 50).

CONCLUSION The policy of using e-books as instructional materials in Indonesian schools nowadays is still considered susceptible to fail. Having several challenges, advantages and disadvantages in using it as instructional materials, make e-books become controversy among several members of Indonesian people. Therefore, some considerations are raised and directed to government in order to rethink about the planning and implementation of the policy of e-books in the future. However, it can be maintained by more and more improvement, in terms of the human resources who implement it, the method and distribution, and the facilities to do so.

22 REFERENCES

Antara. 2008. Ikapi: Buku Elektronik Matikan Penerbit, (Online), (http://www.antara.co.id/arc/ 2008/7/31/ikapi-buku-elektronik-matikan-penerbit/, retrieved on November, 21st 2008). Forum Detik. 2008. E-books.(Online),(http://forum.detik.com/archive/index.php/t-49729.html, retrieved on December, 2nd 2008). Harmer, J. 2002. The Practice of English Language Teaching (3rd edition). Edinburgh: Longman. HH., Rattahpinnusa. 2008. Kontroversi Penggunaan E-Book Sebagai Bahan Ajar, (Online), (http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=25311, retrieved on December, 2nd 2008). Kellough, R. D. & Kellough, N. G. 1999. Middle School Teaching: A Guide to Method and Resourches 3rd edition. New Jersey: An Imprint of Prentice Hall. N.N. 2008. E-book, (Online), (http://en.wikipedia.org/wiki/E-book, retrieved on October, 22nd 2008). N.N. 2008. Why E-Digital E-Books? (Online), (http://www.edigitalbooks.com/, retrieved on October, 22nd 2008). Richard, J. C. & Renandya, W. A .(Eds.). 2002 Methodology in Language Teaching: An Anthology of Current Practice. Cambridge: Cambridge University Press. Tompkins, G.E. & Hoskisson, K. 1995. Language Arts: Content and Teaching Strategies (3rd ed.). New Jersey: Prentice Hall. Tomlinson, B. & Masuhara, H. 2005. Developing Language Course Materials. : SEAMEO Regional Language Centre. Tuhusetya, S. 2008. Buku Sekolah Elektronik: Terobosan yang Jitu dan Visioner? (Online),(http:// sawali.info/2008/06/27/buku-sekolah-elektronik-terobosan-yang-jitu-dan-visioner/, retrieved on November, 21st 2008). Yusuf, I. 2008. Kegagalan Implementasi Program BSE, (Online), (http://www.kabarindonesia.com/ berita.php?pil=20&dn=20081106164311, retrieved on December, 2nd 2008).

23 TINJAUAN STRATEGIS DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BAGI PENUTUR ASING

Zulkifli Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unlam

Abstract

Teaching and learning BIPA (Indonesian Language for Foreign Student) necessarily needs to be paid more attention from many parties. Experts in Indonesian language need to hold a careful study for the success of BIPA learning. They that are involved in the teaching and learning of BIPA ought to consider aspects affecting the success of learning, such as institutional management aspect, academic aspect, marketing aspect, and cooperation aspect. By taking those aspects into account, it is hoped that the teaching and learning BIPA will be more ultimately successful. BIPA students not only learn Indonesian language but also want to know about Indonesia as a country.

Keywords: teaching and learning Indonesian language, foreign student

PENDAHULUAN Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing atau biasa disingkat BIPA sudah cukup dikenal, baik di Indonesia maupun di beberapa negara di luar negeri. Kenyataan menunjukkan bahwa pembelajaran BIPA telah berlangsung cukup lama di banyak tempat, misalnya di Perancis, Jepang, Australia, Amerika, Cina, dan juga di beberapa kota besar di Indonesia (Usman, 2002: 42). Saat ini, bahasa Indonesia telah dipelajari di 35 negara, antara lain di Australia, Amerika, Jepang, Korea, Singapura, serta negara-negara Eropa Barat (Gani, 2000: 58). Orang yang berminat untuk belajar bahasa Indonesia dari waktu ke waktu semakin meningkat. Ada berbagai tujuan dan kepentingan yang melatarbelakangi banyak orang asing mempelajari bahasa Indonesia. Sebagian mereka mempelajari bahasa Indonesia dilatarbelakangi oleh tujuan dan kepentingan untuk pengkajian tentang Indonesia (misalnya pengkajian budaya Indonesia), untuk memperoleh kesempatan (sekaligus kelancaran) bekerja di Indonesia, untuk kelancaran perjalanan wisata, dan termasuk dalam rangka kerjasama pada bidang tertentu. Di lain pihak, keadaan ini tidak terlepas dari keberadaan Indonesia dalam kancah kehidupan dunia internasional. Negara-negara lain merasa berkepentingan untuk menjalin hubungan ekonomi dan politik serta kerjasama dalam banyak hal dengan Indonesia. Salah satu faktor penunjang tercapainya hubungan dan kerjasama tersebut adalah dengan penguasaan bahasa Indonesia. Dengan demikian, mereka berusaha untuk dapat menguasai bahasa Indonesia. Memang, prioritas pertama mereka adalah belajar bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia merupakan alat komunikasi resmi dan dipergunakan secara menasional di Indonesia (Suhardi, 2000: 134).

PENGAJARAN BIPA DAN PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA Pengajaran BIPA tidak bisa dilepaskan dari keberadaan bahasa Indonesia dengan segala perkembangannya. Bahasa Indonesia telah banya mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perkembangan bahasa Indonesia tersebut juga mendapat pengaruh, baik dari bahasa-bahasa daerah maupun dari bahasa-bahasa asing. Hal ini merupakan hal yang wajar karena dalam banyak situasi terjadi kontak antarbudaya, termasuk kontak antarbahasa.Bahasa Indonesia lahir sebagai bahasa kedua bagi sebagian besar warga bangsa Indonesia karena yang pertama kali muncul atas diri seseorang adalah bahasa daerah atau bahasa ibu (Arifin dan Tasai, 2002: 13). Oleh karena 24 itu, penguasaan berbahasa Indonesia bagi sebagian orang Indonesia masih jauh dari diharapkan. Mereka masih menunjukkan unsur-unsur bahasa daerah ketika menggunakan bahasa Indonesia (Chaer, 1998: 9). Hal ini secara langsung mencerminkan situasi penggunaan bahasa Indonesia di masyarakat. Jika dikaitkan dengan proses pembelajaran BIPA, maka dapat menjadi bahan pengalaman dan sumber pengamatan bagi pembelajar BIPA. Bahkan dalam banyak kasus, pembelajar BIPA merasakan adanya perbedaan antara yang dipelajari di kelas dengan kenyataan penggunaan bahasa Indonesia di masyarakat (Widodo, 2004: 6). Pengajaran BIPA tentu mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan bahasa Indonesia, termasuk situasi kebahasaan yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Sebab, akhirnya pembelajar BIPA akan berhadapan dengan kenyataan penggunaan bahasa Indonesia dalam rangka pencapaian dan pemenuhan tujuan atau kepentingannya masing- masing. Pengajaran BIPA tidak bisa berjalan sendiri tanpa mempertimbangkan berbagai konteks yang ada di masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jika pengajaran BIPA berjalan sendiri, cenderung apa adanya, sehingga kemungkinan besar akan semakin jauh dari tujuan. Pada akhirnya, pembelajar BIPA tidak akan memperoleh manfaat yang memadai dari apa yang mereka alami. Hal ini dapat menurunkan wibawa bahasa Indonesia dan dapat merugikan citra Indonesia di dalam pergaulan internasional. Setiap pemikiran dan perumusan yang bersangkut paut dengan pengajaran BIPA sudah sepatutnya mempertimbangkan dan menerima masukan dari berbagai hasil kajian mengenai bahasa Indonesia, termasuk memanfaatkan berbagai fenomena perkembangan bahasa Indonesia.

MANAJEMEN KELEMBAGAAN PENGAJARAN BIPA Keberhasilan pengajaran BIPA juga ditentukan oleh bagaimana pelaksanaan manajemen atau pengelolaan yang dilakukan oleh lembaga penyelenggara pengajaran BIPA. Ada dua hal pokok yang perlu mendapat perhatian. Pertama, yang menyangkut keberadaan lembaga penyelenggara pengajaran BIPA. Kedua, yang menyangkut pelaksanaan manajemen atau pengelolaan pengajaran BIPA. Dengan kata lain, untuk penyelenggaraan pengajaran BIPA dibutuhkan adanya lembaga sebagai penyelenggara dan bagaimana lembaga ini bisa menjalankan fungsinya. Hal ini mengisyaratkan bahwa pengajaran BIPA membutuhkan penanganan secara khusus yang mengedepankan profesionalisme dan berorientasi ke depan, sehingga pengajaran BIPA dapat mencapai hasil yang diinginkan. Aspek kelembagaan (termasuk manajemennya) merupakan salah satu penentu dalam mencapai keberhasilan pengajaran BIPA. Lembaga yang mengelola pengajaran BIPA sebagian besar bernaung (berada) di beberapa perguruan tinggi. Beberapa perguruan tinggi yang selama ini menyelenggarakan pengajaran BIPA, yaitu Universitas Negeri Malang, Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta, IKIP Sanata Dharma Yogyakarta, Universitas Hasanuddin Makassar, dan Universitas Negeri Makassar. Dalam kenyataannya, penyelenggaraan pengajaran BIPA oleh perguruan tinggi tersebut tampak bervariasi, terutama jika ditinjau dari segi lembaga yang menyelenggarakannya. Pengajaran BIPA ada yang ditangani oleh pihak fakultas (biasanya Fakultas Sastra atau Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni), pihak jurusan, pihak program studi, dan ada yang ditangani oleh pusat bahasa yang berada di tingkat universitas, bahkan ada yang melalui pengelola laboratorium bahasa yang di perguruan tinggi yang bersangkutan. Dari segi individunya, pada intinya mereka yang berperan dalam pengajaran BIPA lebih diutamakan mereka yang berkecimpung di bidang bahasa atau pendidikan bahasa (lebih khusus adalah mereka yang berkecimpung di bidang bahasa

25 Indonesia atau pendidikan bahasa Indonesia). Penyelenggara pengajaran BIPA juga ada yang dilakukan oleh lembaga atau pusat kursus bahasa asing. Keberadaan lembaga penyelenggara pengajaran BIPA sebenarnya amat penting dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran BIPA. Oleh karena itu, lembaga penyelenggara yang telah ada hendaknya dapat difungsikan secara lebih intensif lagi. Setiap kebijakan yang diambil haruslah bermuara pada kepentingan pengajaran BIPA, baik untuk masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang. Mereka yang terlibat di dalam lembaga penyelenggara pengajaran BIPA haruslah memahami secara mendasar mengenai pembelajaran BIPA dan perkembangannya, baik untuk lingkup lembaga sendiri maupun untuk lingkup di luar lembaga sendiri sebagai pembanding dan bahan masukan. Lembaga penyelenggara pengajaran BIPA akan terasa semakin penting, jika peminat untuk menjadi pembelajar BIPA semakin banyak. Keadaan demikian tentu membuat lembaga penyelenggara menjadi pusat perhatian dari banyak pihak, terutama dari pembelajar BIPA sendiri. Pada dasarnya, lembaga penyelenggara pengajaran BIPA dapat bersifat otonom atau berdiri sendiri dapat pula berada di bawah kendali fakultas (melalui institusi jurusan atau program studi) atau universitas. Sebenarnya, selama lembaganya berada di bawah naungan universitas atau perguruan tinggi, maka tetap saja tidak bersifat otonom penuh. Apapun bentuk lembaga penyelenggaraanya hendaknya dapat secara profesional melakukan berbagai langkah dalam rangka memajukan atau mengembangkan pengajaran BIPA. Setiap langkah atau kebijakan yang diambil haruslah didasarkan pada program atau perencanaan yang jelas dan selalu berorientasi jauh ke depan bagi kemajuan pengajaran BIPA.

PENATAAN ASPEK AKADEMIK DALAM PENGAJARAN BIPA Pengajar BIPA haruslah profesional atau mampu menjalankan tugas-tugasnya secara profesional. Seorang pengajar BIPA (dalam lingkup umum adalah sebagai guru) yang profesional maka hendaknya memenuhi kriteria sebagai guru profesional, antara lain, yaitu: dari segia fisik, yaitu: sehat jasmani dan rohani, tidak cacat tubuh yang bisa menimbulkan ejekan/cemoohan atau rasa kasihan dari anak didik), secara mental/kepribadian, yaitu: mencintai bangsa dan sesama manusia, berbudi pekerti luhur, berjiwa kreatif, mampu menumbuhkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa, mampu mengembangkan rasa cinta pada profesinya, disiplin, memiliki sense of humor, dari segi kelimiahan, yaitu: memahami ilmu yang melandasi pembentukan kepribadian, memahami ilmu pendidikan dan keguruan, memahami dan mencintai ilmu pengetahuan yang diajarkan, memiliki pengetahuan yang cukup mengenai bidang-bidang lain, senang membaca buku-buku ilmiah, mampu memecahkan persoalan secara sistematis, dan memahami prinsip-prinsip kegiatan belajar-mengajar, dan dari segi keterampilan, yaitu: mampu berperan sebagai organisator proses belajar-mengajar, mampu menyusun bahan pelajaran, mampu menyusun garis-garis besar program pengajaran, mampu memecahkan dan melaksanakan teknik- teknik mengajar yang baik dalam mencapai tujuan pendidikan, dan mampu merencanakan dan melaksanakan evaluasi pendidikan, dan memahami dan mampu melaksanakan kegiatan dan pendidikan di luar sekolah (Hamalik, 2004: 36-38). Bagaimanakah kaitannya dengan pengajar (guru) BIPA yang dikehendaki? Sebagai bekal umum, kiranya apa yang dikemukakan di atas sudah memadai. Namun, sesuai dengan keberadaan pengajaran BIPA yang sifatnya lebih khusus, tentu harus pula dirumuskan kriteria yang layak disandarkan kepada pengajar BIPA. Dengan demikian, pengajar BIPA dapat lebih memahami dan mempermudah dalam melaksanakan tugas- tugas nyata di lapangan. Gani (2000:61) mengemukakan beberapa hal yang perlu dimiliki oleh pengajar BIPA, yaitu: memiliki kompetensi, performansi, dan sikap kebahasaan (terhadap bahasa Indonesia) yang baik, memiliki wawasan kependidikan yang baik, memiliki rasa humor, fleksibel 26 dalam mengambil keputusan, punya kendali emosi, matang dalam kepribadian, mampu memahami kondisi pembelajar, memiliki bakat sebagai guru, serta mempunyai wawasan kebangsaan yang kuat. Pengajar BIPA juga harus dibekali dengan kewenangan mengajar. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan sertifikasi terhadap calon atau yang telah berpengalaman menjadi pengajar BIPA. Sertifikasi bisa dilakukan sesuai dengan statusnya sebagai pengajar bahasa Indonesia atau yang memang diadakan khusus untuk pengajar BIPA. Pengajar BIPA tentu juga harus mengikuti perkembangan bahasa Indonesia. Pengajar BIPA hendaknya berusaha mempelajari dan memahami hal-hal yang berkenaan dengan kebudayaan, terutama sekali kaitannya dengan budaya pembelajar BIPA. Pembelajar BIPA biasanya dilatarbelakangi oleh berbagai budaya bawaan, sehingga situasi kelas menjadi beragam pula dan sekaligus mencerminkan multikultural. Pandangan tentang kehidupan yang dimiliki oleh masing-masing pembelajar BIPA tentu berbeda-beda. Perbedaan itu juga tercermin lewat bahasa bawaan mereka. Sebagai contoh sederhana bahwa persepsi tentang warna, hubungan kekerabatan, tentang tempat, tentang waktu ternyata berbeda antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain dan dari budaya yang satu dengan budaya yang lain (Seelye, 1994:7). Oleh karena itu, seorang pengajar BIPA harus belajar budaya asal pembelajarnya, walaupun sifatnya tidak menyeluruh. Di lain pihak, pengajar juga membawa budayanya sendiri (sebagai orang Indonesia), sehingga ia pun harus dapat memberikan pengetahuan atau pengalaman budayanya kepada pembelajar. Dengan demikian, tidak akan terjadi keterkejutan budaya atau culture shock (Tallei, 2000: 18). Pengajar dapat memanfaatkan berbagai hal yang termasuk dalam budaya untuk secara langsung dimanfaatkan sebagai bagian dari materi pembelajaran BIPA, misalnya dengan menggunakan lagu-lagu Indonesia. Pemanfaatan lagu-lagu (misalnya dengan melalui kaset-kaset) sebagai bagian dalam proses pembelajaran BIPA dapat menghidupkan suasana, sehingga pembelajaran menjadi semakin kondusif (Muliastuti, 2000: 15-16). Pengajar BIPA hendaknya memahami pentingnya prinsip pembelajaran yang memfokuskan pada pembelajar. Pembelajaran bahasa (termasuk dalam rangka pembelajaran BIPA) harus menempatkan pembelajar pada posisi yang tepat. Oleh karena itu, pembelajaran yang berfokus pada pembelajar selalu memperhatikan adanya kebutuhan pembelajar, adanya peran dan kontribusi pembelajar, dan termasuk di dalamnya mengenai bagaimana pembelajar melakukan pemilihan-pemilihan yang cerdas (tepat) dalam hubungannya dengan proses pembelajaran bahasa yang diikutinya (Nunan, 1999). Pengajar hendaknya juga mampu mengamati dan memanfaatkan apa yang dan berlangsung di dalam proses pembelajaran, termasuk dalam hal ini apa yang disebut bahasa antara (interlanguage). Interlanguage merupakan sistem linguistik yang dimiliki pembelajar dalam mempelajari bahasa target (Huda, 1989). Interlanguage ini merupakan salah satu hal yang penting untuk diketahui oleh pengajar, termasuk dalam rangka proses pembelajaran BIPA. Oleh karena itu, pihak pengajar tidak bisa berjalan sendiri tanpa memperhatikan atau memperhitungkan keadaan pembelajar. Memang, proses pembelajaran merupakan proses bersama yang melibatkan pengajar dan pembelajar, bahkan dengan lingkungan yang penuh keragaman.Pengajar sewajarnya memperhatikan adanya kebutuhan pembelajar. Kebutuhan yang dimaksud seperti yang dikemukakan oleh Brendley (dalam Nunan, 1999), yaitu baik yang menyangkut kebutuhan obyektif yang mengacu pada kebutuhan yang dapat didiagnosis oleh pengajar berdasarkan analisis data pribadi tentang pembelajar bersama dengan informasi mengenai kecakapan berbahasa mereka dan pola-pola penggunaan bahasanya dan kebutuhan subyektif atau yang berkaitan pada pola-pola penggunaan bahasanya dan kebutuhan subyektif atau yang berkaitan pada berbagai keinginan atau manifestasi psikologis lainnya. Selanjutnya, Nunan menyebutkan adanya kebutuhan isi dan kebutuhan proses. Kebutuhan isi mencakup pemilihan dan pengurutan topik, tata bahasa, fungsi, kosa kata atau yang berhubungan dengan silabus. Kebutuhan proses mengacu

27 pada seleksi dan pengurutan tugas-tugas belajar dan pengalaman atau yang berhubungan dengan metodologi. Segala jenis kebutuhan tersebut harus dipahami oleh pengajar. Salah satu hal yang perlu mendapat perhatian dalam rangka pengembangan pengajaran BIPA adalah kurikulum. Komponen-komponen yang ada di dalam kurikulum meliputi tujuan pendidikan, tujuan instruksional, alat dan metode instruksional, pemilihan dan pembimbingan siswa, materi program, evaluasi, dan staf pelaksana kurikulum (Hamalik, 2004: 22). Kurikulum merupakan suatu program yang disusun dengan membekali mereka dengan pengalaman belajar, baik di sekolah, di luar sekolah, maupun di masyarakat agar nantinya mereka dapat berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat sekitarnya (Usman, 2002: 22). Sebenarnya, kurikulum dapat diartikan sebagai program pendidikan yang di dalamnya memuat tujuan apa-apa saja yang harus dikuasai oleh pembelajar serta adanya pedoman untuk melakukan interaksi antara pengajar dan pembelajar serta adanya pedoman untuk melakukan interaksi antara pengajar dan pembelajar serta adanya acuan untuk mengevaluasi proses pembelajaran. Dalam kaitan dengan pengajaran BIPA, maka keberadaan kurikulum sangat penting. Berdasarkan realitas yang ada pada pengajaran BIPA, misalnya untuk kasus pengajaran BIPA di luar negeri (Australia), maka yang ditekankan (dimuat) di dalam kurikulum adalah yang berkaitan dengan pembagian materi secara sistematis sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan sebelum pengajaran (dapat berupa kursus), dan mengenai kegiatan dan penjadwalan (Deck, 2000: 44-45). Adanya kurikulum dalam pengajaran BIPA dimaksudkan untuk mencapai tujuan pengajaran BIPA itu sendiri. Di sisi lain, keberadaan kurikulum juga terkait dengan tujuan pembelajar BIPA. Oleh karena itu, dalam proses pembelajarannya perlu mempertimbangkan adanya penyusunan kurikulum yang disepakati. Pembelajar juga berperan dalam menentukan muatan kurikulum (Nunan, 1999). Selain kurikulum, juga ada silabus. Antara kurikulum dan silabus memiliki hubungan yang erat. Silabus sifatnya lebih terbatas dan dapat disebut sebagai bagian dari kurikulum. Silabus merupakan pernyataan tentang rencana untuk beberapa bagian dari kurikulum, namun tidak termasuk evaluasi terhadap kurikulum itu (Usman, 2002: 25). Salah satu unsur penting dalam pengajaran BIPA jika dikaitkan dengan kurikulum dan silabus adalah mengenai tujuan pengajaran BIPA itu sendiri. Tujuan pengajaran BIPA harus dirumuskan secara jelas. Hal ini juga berhubungan dengan tujuan yang mendasari para pembelajar bahasa Indonesia yang berasal dari penutur asing. Dalam belajar- mengajar bahasa Indonesia, terutama untuk pengajaran BIPA, pada hakikatnya, bertujuan agar pembelajar memiliki pengetahuan kebahasaan bahasa Indonesia, secara terampil menerapkan pengetahuan tersebut dalam setiap tindak berbahasa Indonesia (Gani, 2000:59). Bahasa Indonesia sebagai bahasa asing banyak diminati orang dari mancanegara dengan maksud (tujuan) antara lain untuk keperluan berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, untuk melanjutkan studi di Indonesia, untuk mengembangkan bisnis di Indonesia, untuk mendalami bahasa Indonesia, dan untuk mendalami kehidupan masyarakat dan budaya di Indonesia (Suhardi, 2000:135-136). Keragaman tujuan pembelajar BIPA tersebut tentu dijadikan salah satu bahan pertimbangan dan masukan untuk penyusunan kurikulum dan silabus pengajaran BIPA, termasuk bagaimana materi pengajaran dan metode pembelajarannya. Hal ini juga terkait dengan analisis kebutuhan pembelajar BIPA. Oleh karena itu, penelusuran kebutuhan (analisis kebutuhan) pembelajar BIPA merupakan langkah penting untuk memperoleh hasil yang diinginkan.

PENATAAN ASPEK PEMASARAN DAN KERJA SAMA PROGRAM PENGAJARAN BIPA Aspek pemasaran dan kerjasama dalam rangka program pengajaran bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) merupakan hal yang amat penting dan perlu mendapat perhatian segenap pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pengajaran BIPA. Bahkan dalam realisasinya, kegiatan pemasaran dan kerjasama tersebut melibatkan cukup banyak pihak, baik pihak yang ada di

28 Indonesia sendiri maupun yang berada di luar negeri. Perluasan jangkauan pengajaran BIPA harus disertai dengan upaya pemasaran yang terencana dan berkesinambungan. Penyelenggara pengajaran BIPA dapat menghubungi pihak-pihak yang kemungkinan besar membutuhkan penyelenggaraan pengajaran BIPA. Pihak-pihak yang perlu dihubungi antara lain adalah perusahaan-perusahaan asing yang ada di Indonesia, pihak kedutaan besar asing atau para diplomat yang bertugas di Indonesia, juga pihak penyelenggara sekolah-sekolah internasional. Para penyelenggara biro perjalanan juga patut dihubungi oleh penyelenggara BIPA. Pemasaran hendaknya dilakukan dengan memanfaatkan media yang ada, seperti media cetak dan elektronik. Penyelenggara BIPA juga perlu menyebarkan brosur yang berisi program lengkap bagaimana proses pembelajaran BIPA berlangsung, termasuk sejarah singkat lembaga penyelenggara beserta liputan kegiatan dan hasil-hasil yang telah diperoleh selama pembelajaran BIPA. Panduan sebaiknya juga memuat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon pembelaja. Selain pemasaran, aspek kerjasama merupakan hal penting dalam meningkatkan keberhasilan pengajaran BIPA. Kerjasama dapat dilakukan antarpenyelenggara BIPA yang ada di Indonesia dan bisa pula dengan penyelenggara BIPA yang ada di luar negeri. Kerjasama bisa dalam bentuk tukar-menukar informasi mengenai apa-apa yang telah dilakukan (dicapai) oleh masing-masing lembaga, termasuk dengan mengadakan pertemuan. Salah satu pertemuan yang dapat dimafaatkan untuk menjalin kerjasama, baik antarpenyelenggara pengajaran BIPA yang ada di Indonesia maupun yang ada di luar negeri adalah melalui Konferensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (KIPBIPA).

KESIMPULAN DAN SARAN Banyak hal yang perlu diperhatikan dan diperhitungkan untuk meningkatkan keberhasilan pengajaran BIPA. Beberapa hal yang dimaksud antara lain menyangkut manajemen kelembagaan, akademis, pemasaran, dan kerjasama. Lembaga penyelenggara pengajaran BIPA hendaknya ditangani secara profesional, termasuk adanya perencanaan atau arah yang jelas dalam melaksanakan pembelajaran. Manajemen kelembagaan hendaknya dijalankan dengan berorientasi ke depan, yang antara lain memprioritaskan pada tercapainya hasil pembelajaran BIPA yang memenuhi kebutuhan pembelajar. Aspek akademis dalam pengajaran BIPA harus difokuskan pada peningkatan kualitas pengajar dan kemantapan kurikulum, termasuk terlaksananya proses pembelajaran yang mengacu pada prinsip yang menekankan pada pembelajar. Pengajaran BIPA harus dapat dikembangkan sedemikian rupa, sehingga kontinuitas programnya juga terjamin. Oleh karena itu, aspek pemasaran dan kerjasama patut mendapat perhatian bagi penyelenggara pengajaran BIPA.

29 DAFTAR RUJUKAN

Arifin, Zaenal dan Amran Tasai. 2002. Cermat Berbahasa Indonesia: untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Akademi Presindo. Chaer, Abdul. 1998. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta. Deck, David. 2000. “Pengembangan Kurikulum BIPA yang Intensif dan Terpadu: Suatu Perspektif Australia”. Prosiding, KIPBIPA III. Bandung: Andira. Gani, Efrizal. 2000.”Pemberdayaan Pengajaran BIPA”. Prosiding KIPBIPA III. Bandung: Andira. Hamalik, Oemar. 2004. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta: Bumi Aksara. Huda, Nuril. 1989. Language Learning and Teaching: Issue and Trends. Malang: Universitas Negeri Malang Publisher. Muliastuti, Liliana. 2000. Mengajar BIPA Bersama Penyanyi Indonesia. Makalah disajikan dalam Konferensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (KIPBIPA) V, Universitas Negeri Makassar, 6 s.d 8 Oktober 2004. Nunan, David. 1999. Second Language Teaching and Learning. Boston: Heine dan Heine Publisher Seeyle, H. Ned. 1994. Teaching Culture: Strategies for Intercultural Communication. Illinois USA: National Textbox Company. Suhardi.2000.”Pembelajaran BIPA melalui Kegiatan Wisata”. Prosiding KIPBIPA III. Bandung: Andira. Tallei, P Altje. 2000.”Kendala Budaya dalam Pengajaran BIPA”. KIPBIPA III. Bandung: Andira. Usman, Rizman. 2002. Pengembangan Silabus Bidang Studi Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA). Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Widodo. HS. 2004. Pemberdayaan Pelatihan, Pempraktikan, dan Pemajanan dalam Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA). Makalah disajikan dalam Konferensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (KIPBIPA) V, Universitas Negeri Makassar, Makassar, 6 s.d 8 Oktober 2004.

30 MENINGKATKAN KECEPATAN MEMBACA SISWA KELAS XI IPA 1 SMA NEGERI 11 BANJARMASIN DENGAN METODE SQ3R

Syafruddin Noor Guru bahasa Indonesia SMAN 11 Banjarmasin

Abstract The purpose of this study to determine the extent to which reading method SQ3R (Survey, Question, Read, Recite, and Review) can effectively improve students’ understanding of learning and creativity in learning the material quickly read text 250-300 words / minute. Action learning speed reading class research with the SQ3R method is divided into three stages of reading activities, namely: (a) prabaca (survey and question) (b) read (read) and (c) pascabaca (Recite and review), with the same method of action on cycle I and cycle II. The results of this class action are reflected to follow up that learning to read with proper SQ3R method is applied to the learning speed reading 250-300 words / minute so that the objectives are achieved in accordance with the level of capability and thinking of students.

Keywords: reading a text quickly 250-300 words /minute, method SQ3R

PENDAHULUAN Perkembangan ilmu dan teknologi ditandai dengan banyaknya informasi yang dapat dijumpai dalam berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik. Untuk dapat menyerap informasi dalam media cetak dibutuhkan kemampuan membaca yang memadai oleh setiap orang. Tanpa kemampuan membaca yang memadai, seseorang akan lambat dalam memahami informasi yang terdapat dalam media cetak tersebut. Koermin (1997:112) mengemukakan bahwa semua informasi dengan mudah dapat kita ketahui lewat membaca yang memadai. Mengingat begitu pentingnya membaca, maka membaca perlu diajarkan kepada setiap generasi. Hasrat dan minat membaca perlu terus ditumbuhkembangkan pada diri setiap orang. Untuk mencapai itu semua, satu-satunya cara adalah membelajarkan membaca. Dalam dunia pendidikan formal, setiap siswa dituntut memiliki kemampuan membaca yang memadai. Dengan memiliki kemampuan membaca yang memadai, siswa dapat menyerap ilmu pengetahuan yang sedang dipelajarinya dengan lebih mudah. Hal ini sesuai dengan pendapat Burns, dkk. (dalam Wiratin, 2004:1) yang menyatakan bahwa kemampuan membaca merupakan kemampuan yang vital dalam masyarakat melek huruf seperti masyarakat dewasa ini. Anak yang tidak memiliki kemampuan membaca yang baik, tidak akan termotivasi untuk belajar. Sebaliknya, anak yang memiliki kemampuan membaca yang baik, akan termotivasi dalam belajar. Metode SQ3R adalah metode membaca dengan langkah-langkah Survey, Question, Read, Recite, dan Review (Burns, dkk, 1996:428). Dalam penilaian ini, guru berusaha mengetahui perkembangan siswa dalam proses tersebut dengan cara mengamati siswa secara saksama, bertanya kepada siswa, bagian-bagian yang dianggap sulit. Tujuan utama penilaian proses ini untuk melihat apa yang sedang diperoleh siswa, apa yang menjadi masalah siswa dalam pembelajaran dan penilaian ini hasilnya digunakan sebagai dasar penentuan tindakan guru dalam memilih kegiatan pada proses pembelajaran membaca berikutnya. Penilaian hasil belajar membaca dapat dilaksanakan setelah proses pembelajaran. Penilaian dapat dilakukan pada tahap waktu yang berbeda, sesuai dengan tujuan pembelajaran. Hasil

31 penilaian ini dapat diperoleh melalui ulangan formatif, ulangan semester, dan ujian akhir. Djiwandono (1996:64) mengatakan bahwa penilaian keterampilan membaca dapat disajikan dalam bentuk tes subjektif dengan pertanyaan-pertanyaan yang dapat dijawab melalui jawaban panjang atau pendek dan dapat pula dalam bentuk objektif. Pertanyaan-pertanyaan dalam tes subjektif dan objektif dalam keterampilan membaca harus sesuai dengan kemampuan yang diperlukan dalam kegiatan membaca.

METODE Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Jenis penelitian ini termasuk Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian Tindakan Kelas merupakan model penelitian yang dikembangkan di kelas. Penelitian tindakan kelas adalah studi sistematik tentang upaya memperbaiki praktik pendidikan oleh sekelompok peneliti melalui kerja praktik mereka sendiri dan merefleksikannya untuk mengetahui pengaruh-pengaruh kegiatan tersebut (Depdiknas, 2005:4).

Setting Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan, yaitu dimulai dari awal bulan Juli sampai dengan bulan September. Tempat atau lokasi penelitian dilakukan di SMAN 11 Banjarmasin, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Dipilihnya lokasi tersebut didasarkan atas beberapa pertimbangan. Pertama, SMA Negeri 11 Banjarmasin merupakan salah satu sekolah favorit. Kedua, guru-gurunya siap berinovasi. Ketiga, peneliti adalah guru mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah tersebut, sehingga mengetahui beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran membaca. Di antara permasalahan yang cukup mendasar adalah pelaksanaan pembelajaran membaca cepat yang belum optimal sehingga kemampuan siswa dalam membaca cepat masih perlu ditingkatkan.

Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI. IPA1 SMAN 11 Banjarmasin, Tahun Pelajaran 2011/2012 berjumlah 29 orang dengan rincian 7 siswa laki-laki dan 22 orang siswa perempuan.

Faktor yang Diteliti Dari penelitian ini, diharapkan terjadinya peningkatan kemampuan kecepatan siswa dalam membaca. Melalui metode SQ3R maka diharapkan minat, dan motivasi membaca serta kecepatan membaca siswa dapat ditingkatkan. Agar harapan yang dikemukakan di atas tercapai, maka ada beberapa faktor yang perlu diteliti, yaitu (a) faktor siswa, (b) faktor guru, dan (c) faktor sumber belajar.

HASIL DAN PEMBAHASAN Data awal kemampuan membaca cepat (KEM) siswa kelas XI IPA. Data pertama adalah data umum tentang KEM dan kemampuan menjawab pertanyaan isi bacaan. Data itu diperoleh dari hasil tes praktik kecepatan membaca teks artikel dan kemampuan pemahaman siswa terhadap isi bacaan yang dibaca. Data kedua adalah data sikap positif siswa dalam membaca cepat dan data kemampuan dalam mengemukakan kembali isi bacaan dengan bahasa sendiri Adapun data awal tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

32 Tabel 1 Profil Kemampuan Membaca Cepat Pratindakan

33 Rendahnya kemampuan siswa dalam membaca cepat teks 300 kata/menit adalah karena tidak memiliki metode yang tepat dalam dan masih adanya sikap negatif dalam membaca teks sehingga dapat menghambat kecepatan membaca dan kemampuan mengungkapkan kembali isi bacaan secara singkat dan jelas sesuai dengan tema bacaan. Selain itu, rendahnya kemampuan siswa dalam membaca cepat, hal ini juga erat kaitanya dengan sikap membaca dan kemampuan memahami isi bacaan dengan tepat, sehingga siswa malas untuk membaca, hal ini dilakukan setelah pada saat tanya jawab dan pada saat tes dilakukan terhadap kemampuan membaca siswa maka akan tersihat kenyataan seperti pada tabel 2. Tabel 2 Temuan Kebiasaan Negatif yang Menghambat Kecepatan Membaca Siswa Pratindakan

Data Pelaksanaan Tindakan Data pelaksanaan adalah data yang diperoleh dari hasil penerapan metode membaca SQ3R dalam pembelajaran membaca cepat >300 kata/menit. Data ini diperoleh dari perlakuan yang diberikan pada tiap siklus penelitian. Pelaksanaan tindakan penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus. Pelaksanaan siklus I dilakukan sebanyak empat kali pertemuan, yaitu tiga kali pertemuan kegiatan atau pelaksanaan siklus dan satu kali tes hasil pelaksanaan siklus. Pelaksanaan Siklus II dilakukan sebanyak tiga kali pertemuan, yaitu dua kali pertemuan kegiatan atau pelaksanaan siklus dan satu kali tes membaca cepat, menyawab soal, dan wawancara.

Data Siklus I Pada tahap ini peneliti mempersiapkan instrumen penelitian, yaitu: (1) rencana pelaksanaan pembelajaran, (2) lembar kerja siswa, (3) lembar observasi aktivitas siswa, (4) lembar observasi aktivitas pembelajaran, (5) pedoman wawancara siswa, dan (6) tes formatif sebanyak 10 soal. Materi yang disampaikan tentang: (1) cara atau teknik membaca cepat; (2) meningkatkan kemampuan efektif membaca cepat; (3) sikap positif dalam membaca cepat; (4) menemukan informasi dalam bacaan; (5) praktik membaca cepat. Dalam konteks, sebagaimana yang tertera dalam kurikulum KTSP 2006, materi diarahkan pada kemampuan membaca cepat 300 kata per menit dengan metode SQ3R. Pada tahap ini peneliti bersama guru kolaborator menyusun RPP yang terdiri atas standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator pencapaian hasil belajar, materi

34 pembelajaran, teknik dan metode pembelajaran, alat dan sumber pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, dan kompetensi penilaian hasil pembelajaran.

Hasil Tindakan Siklus I Setelah proses belajar mengajar dilaksanakan, diperoleh hasil yang dapat dilihat pada tabel berikut:

35 Dalam pelaksanaan tindakan pada Siklus I aspek Question ini terdapat data pada tabel. Dalam data tersebut terlihat siswa mampu memahami penjelasan dan pengarahan guru dalam latihan membuat pertanyaan (Question) terhadap materi yang dibaca ada 14 orang siswa atau 48%; siswa belum memahami dan langsung bertanya kepada guru cara mengerjakan latihan ada 6 atau 21%, dan siswa ragu-ragu dan malu bertanya kepada guru tetapi mengerjakan dengan bertanya kepada teman yang lain ada 9 orang atau 31%.

Saat Baca (Read) Pada saat siswa melaksanakan tugas membaca teks dengan kecepatan 300 kata/menit dengan metode SQ3R pada siklus I ini masih ada beberapa sikap negatif yang dilakukan siswa pada saat membaca cepat. Kebiasaan ini tentu saja sangat mengganggu kecepatan membaca siswa. Keefektifan membaca menjadi berkurang dan siswa masih banyak memerlukan waktu agar dapat dengan cepat memahami teks bacaan. Ada ada dua katagori temuan sikap membaca yang dilakukan oleh siswa, yaitu (1) pada saat membaca siswa tidak melakukan sikap negatif ada 20 orang siswa atau 68,96% dan (2) melakukan satu atau dua sikap negatif pada saat membaca, ada 7 orang siswa atau 24,14%, (3) melakukan 3 atau 4 sikap negatif ada 2 orang siswa atau 06,90%; dan (4) melakukan 5 – lebih sikap negatif pada saat membaca, tidak ada atau 0%.

Pascabaca (Recite dan Review) Pada kegiatan belajar kelompok atau siswa berpasang-pasangan untuk mengerjakan latihan tahap pascabaca atau recite dan review. Dalam mengerjakan tugas kelompok atau berpasangan dilaksanakan pada saat membaca teks secara keseluruhan. Setelah selesai membaca, siswa 36 melaksanakan kegiatan recite, mengemukakan kembali isi dengan cara menyampaikan pertanyaan dan jawaban dalam diskusi kelas. Pada siklus I, guru telah melaksanakan secara maksimal pembelajaran membaca cepat sesuai tahapan-tahapan membaca dengan metode SQ3R. Guru juga menghimbau supaya siswa berlatih maksimal dan serius mengikuti petunjuk guru dan mempraktikannya memberikan serta mem kepada siswa agar dapat mengikuti tahapan-tahapan pembelajaran membaca cepat, namun pada siklus ini hasilnya belum maksimal. Hal ini karena faktor kesiapan siswa dalam menerima materi yang diberikan guru masih belum maksimal. Di samping itu, pengetahuan siswa tentang membaca cepat dengan metode SQ3R masih kurang. Untuk itu, guru diharapkan pada siklus berikutnya lebih memaksimalkan atau lebih menggali kompetensi siswa dalam melaksanakan kegiatan latihan membaca cepat dengan metode ini. Hal ini dapat dilihat dari perolehan jumlah skor dalam mengamati kegiatan pembelajaran fokus guru diperoleh masih belum maksimal, yaitu secara klasikal jumlah skor 80 dengan persentasi sebesar 86,96% katagori baik. Aktivitas siswa selama pembelajaran pada siklus I dapat diketahui bahwa keterlibatan siswa selama proses pelaksanaan pembelajaran membaca cepat dengan metode SQ3R masih belum maksimal. Hal ini terlihat dari prosentasi keterlibatan siswa dalam tahapan tahapan proses membaca secara keseluruhan dengan jumlah skor yang diperoleh hanya 88 dari total skor maksimal 104 dan persentasinya hanya 84,62%, sedangkan target minimal keaktifan siswa dalam proses pembelajaran membaca cepat dalam penelitian ini adalah 75%, perolehan ini hanya cukup untuk perolehan di atas minimal yang ditentukan. Rendahnya kemampuan seperti ini selain dipengaruhi oleh keaktivitas siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru, hal lain juga dipengaruhi oleh sikap baca atau kebiasaan negatif yang dilakukan siswa pada waktu membaca teks. Sikap baca atau kebiasaan negatif tersebut dapat dilihat pada tabel pengamatan sikap negatif membaca siswa pada pelaksanaan tindakan siklus I: Dari hasil pelaksanaan tindakan terlihat bahwa realisasi pelaksanaan tindakan telah berlangsung dengan baik dan lancar. Hasil pembelajaran menunjukan peningkatan kecepatan membaca siswa walaupun masih ada kebiasaan membaca yang masih perlu dihilangkan. Hal ini perlu tindak lanjut di siklus II.

Refleksi Siklus I Hasil observasi pertemuan pertama (siklus I) merupakan acuan untuk refleksi siklus II sebagai berikut: 1. Alokasi waktu yang terbatas, setiap individu dituntut segera menyelesaikan tugas. Padahal siswa belum memahami benar teknik membaca cepat dengan metode SQ3R dan penerapannya dalam kegiatan membaca, sehingga tugas-tugas yang diberikan guru kepada siswa belum sepenuhnya dapat dikerjakan siswa, sehingga tujuan pembelajaran belum optimal tercapai. 2. Kegiatan pembelajaran yang telah disusun belum terlaksana sesuai dengan rencana hal ini dikarnakan waktu yang terbatas. Pada siklus I uraian materi membaca cepat >300 kata/ menit dengan metode SQ3R (Survey, Question, Read, Recite, dan Review) sudah lengkap dan baik sedangkan respon siswa terhadap penjelasan guru juga sangat positif. Hanya saja waktu latihan siswa sesuai dengan metode yang diinginkan sangat terbatas. Sehingga disarankan guru pada siklus II lebih banyak memberikan waktu untuk latihan dibandingkan penjelasan guru. 3. Guru diharapkan pada siklus II agar dalam menjelaskan unsur-unsur yang menyangkut membaca cepat dengan metode SQ3R secara hati-hati dan terinci sehingga siswa bisa

37 menangkap dan memahami metode membaca yang sesuai tahap demi tahap prosedur membaca tersebut. Namun dalam prakteknya siswa belum mampu menyelesaikan tugas sesuai dengan indikator yang diharapkan. Siswa lemah dalam menyelesaikan tugas recite dan review. 4. Untuk siswa yang bertanya maka guru memberikan bimbingan secara khusus atau perorangan dengan cara siswa maju kedepan dan bertanya langsung kepada guru tentang materi apa yang belum dia mengerti. Karena hal ini untuk menguji kompetensi perindividu siswa dalam membaca cepat. Untuk itu arahan dan bimbingannya pun dilaksanakan secara individu terlebih dahulu. Agar siswa lebih memahami lagi Apabila penjelasan guru tahap demi tahap tentang prosedur membaca dengan metode SQ3R ini kurang dipahami siswa maka guru akan melakukan penjelasan ulang secara kolektif dengan menyertakan tindakan yang cocok pada siklus selanjutnya. Berdasarkan temuan-temuan pada siklus I, maka untuk mengantisipasi kelemahan pelaksanaan siklus II berikutnya direncanakan pelaksanaan: a. Pemantapan pembelajaran dan pembagian waktu kegiatan, pembelajaran secara efektif dan efisien. b. Memotivasi siswa agar tidak pasif dan mengusahakan bentuk tugas kelompok berpasangan yang dapat mengaktifkan siswa baik secara individu maupun kelompok. c. Memberikan informasi tentang materi pembelajaran dengan baik dalam upaya meningkatkan hasil belajar.

Tindakan Siklus II Pada siklus II ini peneliti merencanakan pembelajaran membaca cepat dengan metode yang sama pada siklus I. Penusunan rencana pembelajaran pada Siklus II juga mengacu pada rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) Siklus I, tetapi peneliti lebih menekankan pada kemampuan siswa dalam membaca teks (Read) dan pasca baca (Recite dan Review). Selama pembelajaran aktivitas belajar siswa tetap diamati dengan mengacu pedoman pengamatan siklus I. Hasil tindakan pada siklus dua ini sudah mencapai maksimal karena siswa sudah cukup menguasai tentang langkah-langkah kegiatan membaca dengan metode ini. Siswa dengan mudah melaksanakan tahapan-tahapan pelaksanaan secara mandiri sampai selesai. Untuk lebih lengkapnya mengetahui tentang hasil proses pembelajaran membaca cepat siklus II ini, dapat dilihat pada data tabel di bawah ini. Adapun hasil tersebut adalah:

38 Tabel 3 Profil kemampuan membaca cepat dengan metode SQ3R Siklus II

39 Analisis Profil Kecepatan Membaca Siklus II Kecepatan Efektif Membaca (KEM) Dari data tabel KEM siklus II tersebut dilihat bahwa kecepatan efektif membaca siswa siklus 1, yang termasuk dalam kualifikasi sangat baik berjumlah 16 siswa atau sebesar 55,20% yang termasuk kualifikasi baik ada 13 siswa atau sebesar 44,80%; yang termasuk dalam kualifikasi cukup berjumlah 0 siswa atau sebesar 0 %), dan yang termasuk yang kualifikasi kurang berjumlah 0 siswa atau sebesar 0%. Dari hasil itu menunjukan kecepatan membaca efektif siswa secara klasikal termasuk dalam kualifikasi sangat baik, yaitu 100%.

Penguasaan Materi Bacaan Penguasaan materi bacaan siswa pada siklus II yang termasuk dalam kualifikasi sangat baik berjumlah 18 siswa atau sebesar 62,10%, yang termasuk dalam kualifikasi baik berjumlah 7 siswa atau sebesar 24,14%; yang termasuk dalam kualifikasi cukup berjumlah 4 siswa atau sebesar 13,79%; yang termasuk dalam kualifikasi kurang berjumlah 0 siswa atau sebesar 0%. Dari hasil itu menunjukan penguasaan materi bacaan siswa secara klasikal termasuk dalam kualifikasi sangat baik, yaitu 100%.

Sikap positif membaca Sikap positif membaca siswa pada siklus II yang termasuk dalam kualifikasi sangat baik berjumlah 20 siswa atau sebesar 69,00%, yang termasuk dalam kualifikasi baik berjumlah 9 siswa atau sebesar 31,00%; yang termasuk dalam kualifikasi cukup berjumlah 0 siswa atau sebesar 0%; yang termasuk dalam kualifikasi kurang berjumlah 0 siswa atau sebesar 0%. Dari hasil itu menunjukan sikap positif membaca siswa secara klasikal termasuk dalam kualifikasi baik, yaitu 100%;

Kemampuan mengemukakan kembali isi bacaan Kemampuan mengemukakan kembali isi bacaan siswa pada siklus I yang termasuk dalam kualifikasi sangat baik berjumlah 18 siswa atau sebesar 62,07%, yang termasuk dalam kualifikasi baik berjumlah 8 siswa atau sebesar 27,59 yang termasuk dalam kualifikasi cukup berjumlah 3 siswa atau sebesar 10,34% yang termasuk dalam kualifikasi kurang berjumlah 0 siswa atau sebesar 0%;. Dari hasil itu menunjukan kemampuan mengemukakan kembali isi bacaan siswa secara klasikal termasuk dalam kualifikasi baik, yaitu 100%; Dengan menjumlahkan seluruh persentasi profil kemampuan membaca cepat siswa dengan metode SQ3R, yaitu kecepatan efektif membaca sebesar 100%, penguasaan materi bacaan sebesar 100%, sikap positif membaca sebesar 100%, dan kemampuan mengemukakan kembali isi bacaan 100%, dapat dinyatakan profil kemampuan membaca cepat siswa kelas IX IPA.1 pada siklus II dapat dikatagorikan baik atau sebesar 100%.

Pengamatan Dalam tindakan pelaksanaan pembelajaran siklus II ini ada dua yang perlu diamati, yaitu pertama proses pelaksanaan pembelajaran membaca cepat dengan metode SQ3R fokus guru, dan yang kedua adalah pengamatan proses fokus siswa Pengamatan terhadap guru dan siswa dilakukan secara kolaboratif dengan guru kolaborator. Dari data di atas dapat dikemukakan guru dalam melaksanakan pembelajaran membaca telah melakukan hal yang maksimal kepada siswanya sehingga pada kegiatan siklus II ini hasil yang diperoleh siswa pada waktu kegiatan membaca cepat juga menghasilkan hal yang maksimal karena secara klasikal ada peningkatan

40 prolehan skor. Dengan sendirinya dapat dikatakan proses pembelajaran membaca cepat dengan metode SQ3R ini dapat meningkatkan kompetensi siswa dalam melaksanakan kegiatan membaca. Data untuk hasil aktivitas belajar siswa dapat dilihat pada tabel 4 yang berikut. Tabel 4 Rambu-Rambu Analisis Proses Pelaksanaan Pembelajaran Membaca Cepat dengan Metode SQ3R Siklus II Fokus Siswa

Dari data aktivitas siswa selama pembelajaran dapat diketahui bahwa keterlibatan siswa selama proses pelaksanaan pembelajaran membaca cepat dengan metode SQ3R pada siklus II ini mengalami peningkatan, yaitu dari 75,96% pada siklus I menjadi 97,12% pada siklus II Peningkatan keaktifan siswa telah melampaui target penelitian, yaitu 75%, sedangkan tabel 4 adalah tabel kebiasaan negatif siswa pada saat kegiatan membaca teks. Tabel 5 Temuan Kebiasaan negatif yang menghambat kecepatan membaca siswa setelah dilaksanakan tindakan Siklus II

41 Tanggapan siswa terhadap pembelajaran membaca cepat dengan metode SQ3R. Dari tanggapan siswa terhadap pembelajaran membaca cepat dengan metode SQ3R diperoleh melalui hasil wawancara terhadap siswa. Wawancara ini dengan hanya menanyakan ya atau tidak dan beberapa komentar/tanggapan positif yang siswa berikan terhadap pembelajaran membaca cepat dengan metode ini. Tanggapan-tanggapan siswa itu dapat dideskripsikan sebagai berikut. Sebagian besar siswa menyenangi metode membaca ini, yaitu 28 orang siswa, hanya satu siswa yang tidak. Faktor yang mempengaruhi rasa senang dan tidak senang siswa itu ada tiga, yaitu materi pelajarannya, metode dan tekniknya, suasana belajarnya, dan penggunaan alat dan media pembelajaran.

Refleksi Siklus II Dari hasil pelaksanaan tindakan terlihat bahwa realisasi rencana tindakan telah berlangsung dengan baik dan lancar. Profil Kecepatan efektif membaca siswa telah mengalami peningkatan, yaitu dari 78,40% pada siklus I menjadi 97,30% pada siklus II. Data lain yang peneliti peroleh dari lembar pengamatan selama pembelajaran berlangsung sebagai berikut: 1. Kegiatan pembelajaran yang telah disusun terlaksana sesuai dengan rencana 2. Keaktifan siswa dalam pembelajaran telah melampaui target penelitian 75,00% menjadi 87,50% pada siklus II atau mengalami kenaikan 15,39% 3. Pada saat pembelajaran membaca berlangsung seluruh siswa menunjukkan keakifannya, yaitu siswa dengan aktif dan tertib melaksanakan tahapan-tahapan membaca sesuai dengan metode SQ3R (prabaca, saat baca, dan pascabaca). 4. Guru telah berupaya agar siswa terlibat dalam proses belajar dan bertanggungjawab terhadap tugas dan kegiatan belajar secara individu. Pada saat melaksanaan tahapan membaca siswa aktif melaksanakan. 5. Suasana kelas tertib dan para siswa serius mengikuti pelajaran membaca cepat, mengerjakan latihan membaca cepat, dan merespon apa yang dijelaskan oleh guru. Apabila ada hal-hal yang kurang jelas tidak segan-segan siswa langsung bertanya kepada guru. 6. Untuk materi ajar dan media yang diberikan guru sudah sesuai dengan pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar dan sesuai dengan kurikulum, mampu menimbulkan minat dan motivasi siswa, karena guru menjelaskan cukup lengkap dan bervariasi sesuai dengan kondisi kelas pada saat itu, sehingga siswa tidak merasa bosan dalam mengikuti pelajaran membaca cepat ini. 7. Dalam pelaksanaan kegiatan recite dan review siswa sudah cukup mengalami peningkatan dibanding siklus I hanya saja siswa ada beberapa siswa yang perlu bimbingan dan perhatian saat melaksanakan tahapan-tahapan, hal ini disebabkan siswa tersebut masih malu-malu dan belum terbiasa seperti siswa yang lain.

Pembahasan Analisis Hasil Siklus II Dari hasil refleksi terhadap pembelajaran yang dilaksanakan menunjukan indikasi bahwa pembelajaran pada siklus II ini berhasil, semua subjek pembelajaran menunjukkan hasil yang meningkat, oleh karena itu peneliti menyatakan bahwa penelitian ini dapat dikatakan selesai pada siklus II. Pembelajaran membaca cepat dengan metode membaca SQ3R adalah suatu metode membaca cepat yang dapat diterapkan dalam pembelajaran membaca karena hasil pembelajaran telah mampu meningkatkan kompetensi membaca siswa secara lebih baik dari kompetesi sebelumnya. Sebelum dilaksanakan PTK kompetensi siswa sangat rendah tetapi setelah dilaksanakan mengalami peningkatan.

42 Analisis Fokus Guru Setelah pembelajaran membaca cepat diterapkan dengan menggunakan metode SQ3R yang dilaksanakan selama dua siklus, yaitu siklus I dan siklus II Ternyata hasil yang diperoleh bagi guru dan peneliti, ternyata dengan metode membaca ini sangat tepat dan bermanfaat, bagi guru dan siswa. Hal ini karena metode membaca SQ3R dapat memudahkan guru dalam pengelolaan kelas yang aktif dan kreatif.

Analisis Sarana Pembelajaran Untuk sarana dan prasarana (materi ajar dan bahan pembelajaran) yang digunakan dalam pembelajaran membaca cepat dengan metode SQ3R dapat lebih mudah didapat dan diaplikasikan guru. Karena guru memiliki banyak pariasi bahan ajar membaca dengan metode ini. Semua bahan ajar/sarana pembelajaran membaca mudah didapat di perpustakaan sekolah, baik media cetak maupun elektronik. Guru tinggal menggunakan dan mengembangkan sarana tersebut untuk kemudahan siswa belajar sesuai dengan jenjang dan kompetensi siswa di sekolah peneliti/ guru laksanakan. Unsur sarana dan prasarana pembelajaran ini wajib ada dalam menunjang pembelajaran membaca cepat di kelas.

Analisis Fokus Siswa. Sudah peneliti kemukakan di depan bahwa pembelajaran membaca cepat dengan metode membaca SQ3R ini membuat siswa lebih aktif, kreatif, menyenangkan, dan terintegrasi dalam satu sistem. Dikatakan siswa aktif dalam hal ini, bahwa siswa setelah dibimbing dan diarahkan guru maka dia langsung mempraktikan dan langsung terlibat atau mengalami proses pembelajaran yang diikuti siswa sesuai dengan tahapan-tahapan yang diinginkan dalam metode ini.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. Setelah menerapkan pembelajaran membaca cepat dengan metode SQ3R, terjadi peningkatan kemampuan membaca siswa terutama dalam pembelajaran membaca cepat siswa dari pelaksanaan pratindakan, siklus I dan II.

Saran Berdasarkan simpulan di atas, maka peneliti memberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Diharapkan guru menggunakan metode SQ3R dalam pembelajaran membaca cepat 300 kata/menit sebagai alternatif dalam pembelajaran keterampilan membaca cepat di sekolah untuk meningkatkan kompetensi kecepatan membaca siswa. 2. Guru perlu memperkenalkan dan menerapkan beberapa metode pembelajaran membaca cepat yang inovatif, kreatif, dan efektif, salah satunya metode SQ3R agar aktivitas belajar siswa dapat meningkat, menjadi lebih menarik serta menyenangkan untuk siswa. 3. Guru dalam melaksanakan pembelajaran membaca diharapkan mampu untuk melatih keberanian dan membangkitkan rasa percaya diri.

43 DAFTAR RUJUKAN

Burns, P.C., Betty D.R. & Elinor P.R. 1996. Teaching Reading in Today’s Elementary Schools. Boston: Houghton Mifflin Company. Djiwandono. 1996. Penilaian dalam Pembelajaran Bahasa. Jakarta: Angkasa. Koermin, Imam. 1997. Pembelajaran Keterampilan Membaca. Jakarta: Depdikbud. Wiratin. 2004. Meningkatkan Kemampuan Membaca Pemahaman dengan Strategis Bertanya Siswa Kelas II SMP Negeri 9 . Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2005. Penelitian Tindakan (Action Research). Jakarta: Dirjen Dikdasmen.

44 PENGARUH PERLAKUAN GURU DALAM PROSES PEMBELAJARAN TERHADAP PENGUASAAN KEMAMPUAN SISWA MEMBACA

Ahmad Yasluh*) Dosen Universitas Palangka Raya, Kalimantan Tengah

Abstract

Various studies have been conducted to explore student’s skill in reading problems. Several studies describe the condition was caused by the low ability of teacher to implement learning strategies, but there is also research that states that teachers are implementing learning strategies is better. This study aims to review the issue from the other side, namely to describe the treatment effect of teachers in learning process toward reading abilities 5th grade Elementary School students in Kecamatan Pahandut, Palangka Raya. The aim is to call further elaboration in a few specific goals that can be formulated to as to (1) describe the ability to read (2) describe the treatment patterns of teacher in learning process of reading, and (3) describe the treatment influences of teacher in learning process toward mastery of students reading ability. For the purposes of this study used a quantitative approach with descriptive research methods. The research population is the entire fifth grade Elementary School students as many as 1394 people, spread across five villages in Kecamatan Pahandut, Palangka Raya. The sample totaled 188 people 5th grade students from eight Elementary School in five villages in Kecamatan Pahandut. In general it can be concluded that the treatment effect of teacher on the success of the forming ability to read students’ fifth grade Elementary School in Kecamatan Pahandut is significantly less. Its influence only ranged from 47.05% to 58.36%.

Keywords: treatment of teachers, student reading ability

PENDAHULUAN Kemampuan berbahasa merupakan kemampuan praktis untuk berkomunikasi, yang meliputi kemampuan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Hal ini sesuai dengan pendapat Tarigan (1991:41) yang menyatakan bahwa “Terampil berbahasa berarti terampil menyimak, terampil berbicara, terampil membaca, dan terampil menulis”. Seseorang yang terampil berbahasa adalah seseorang yang terampil berkomunikasi secara lisan maupun tertulis. Untuk melakukan komunikasi secara lisan, seseorang harus menguasai dua jenis keterampilan bahasa lisan, yaitu keterampilan menyimak dan keterampilan berbicara. Untuk berkomunikasi secara tertulis, seseorang harus menguasai dua jenis keterampilan berkomunikasi dalam bahasa tulis, yaitu terampil membaca, dan keterampilan menulis. Keterampilan membaca, pada dasarnya sama dengan keterampilan menyimak, yaitu keterampilan untuk memahami pesan yang disampaikan oleh penyampai pesan dalam bentuk bahasa tulis. Pada saat ini, keterampilan membaca merupakan salah satu kemampuan bahasa yang sangat penting untuk dikuasai karena pada masa ini banyak informasi yang harus kita peroleh melalui aktivitas membaca. Bagi para siswa kemampuan membaca intensif berpengaruh terhadap kemampuan mereka memahami isi buku teks yang dibacanya. Di samping itu, kemampuan membaca juga berpengaruh terhadap kecepatan dan ketepatan menjawab soal-soal tes yang diselenggarakan secara tertulis. Bahkan Wood, dkk. (2005: 73) menyatakan bahwa “Kesulitan membaca mempengaruhi segala aspek kehidupan penderita sejak awal masuk sekolah, yakni ketika ia mulai

45 belajar membaca, hingga bertahun-tahun kemudian tatkala sang anak diharuskan membaca guna mempelajari sesuatu yang lebih spesifik”. Begitu pentingnya kemampuan membaca, berbagai keterampilan membaca harus dilatihkan kepada siswa sejak di sekolah dasar agar menjamin ketercapaian penguasaan kemampuan tersebut. Sehubungan dengan hal itu, Azies dan Alwasilah (1996:110) menyatakan “Kita harus terus mendorong siswa untuk membaca cepat, tetapi [kita juga] harus memperhatikan bentuk teks dan tugas yang diberikan”. Dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 dinyatakan bahwa standar kompetensi membaca yang harus dikuasai oleh siswa kelas V SD/MI adalah “memahami teks dengan membaca teks percakapan, membaca cepat 75 kata per menit, dan membaca puisi.” Pada kolom kompetensi dasar, tuntutan itu dipertegas dalam rumusan kompetensi dasar minimal dapat “menemukan gagasan utama suatu teks yang dibaca dengan kecepatan 75 kata per menit”. Kalau kita cermati, kutipan di atas mengisyaratkan bahwa seluruh siswa kelas V sekolah dasar di Indonesia harus mampu memahami isi teks yang dibaca dengan kecepatan minimal 75 kpm. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa kemampuan membaca siswa pada umumnya masih rendah. Hal ini terbukti dengan hasil berbagai penelitian yang pernah dilakukan oleh beberapa pakar, sebagaimana ditulis dalam Kompas.com (Senin, 15 Maret 2010) bahwa “Kemampuan membaca siswa sekolah di tingkat sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (SD/MI) saat ini memiliki kecenderungan rendah. Lemahnya kemampuan membaca siswa SD/MI patut diduga karena lemahnya pembelajaran bahasa Indonesia, khususnya pembelajaran membaca”. Dalam rubrik tersebut dijelaskan pula bahwa lemahnya kemampuan membaca “rata-rata anak Indonesia berada pada urutan keempat dari bawah dari 45 negara di dunia”. Hasil penelitian Pusat Penelitian Pendidikan Depdiknas (KOMPAS. com, 28 Oktober 2009) menunjukkan bahwa “kemampuan guru dalam mengajarkan kemampuan membaca pemahaman relatif rendah”. Lebih lanjut, dinyatakan bahwa “kemampuan guru-guru tersebut relatif rendah, Hasil penelitian Bejo (2007) menyatakan bahwa (1) pelaksanaan pembelajaran membaca yang berlangsung di SD Negeri 3 Pijiharjo berjalan positif; (2) kesulitan-kesulitan yang dihadapi terletak pada kekurangan fasilitas pendukung pembelajaran; dan (3) strategi pembelajaran membaca yang diterapkan oleh guru sudah baik karena secara konsisten mengarahkan siswa pada keterampilan berbahasa (membaca pemahaman, berbicara, menulis) dengan model silabus tematik. Beberapa penelitian di atas, menunjukkan bahwa penyebab rendahnya kemampuan membaca siswa sekolah dasar itu disebabkan oleh rendahnya kemampuan guru dalam membelajarkan siswanya, Sementara, Bejo menyatakan bahwa strategi pembelajaran membaca yang diterapkan oleh guru sudah baik. Hal ini menunjukkan bahwa kelemahan guru tidak terletak pada penerapan strategi dan metode pembelajaran membaca. Ada kemungkinan, rendahnya kemampuan siswa membaca dipengaruhi oleh perlakuan guru terhadap siswanya selama proses pembelajaran. Asumsi itu bertolak dari pendapat Nunan, dalam Richards (2002:101) yang menyatakan bahwa The effectiveness of language program will be dictated as much by the attitude and expectations of the learner. Efektivitas pelaksanaan program bahasa akan ditentukan oleh sikap dan harapan dari peserta didik. Hasil penelitian pendahuluan yang peneliti lakukan terhadap siswa di 6 sekolah dasar di wilayah Kecamatan Pahandut menunjukkan bahwa kemampuan membaca mereka rata-rata rendah, dengan kecepatan rata-rata 57 kpm, lebih rendah dari tuntutan Permendiknas nomor 22 Tahun 2006, yaitu 75 kpm. Data yang berhasil peneliti kumpulkan menunjukkan bahwa kecepatan membaca siswa tertinggi 116 kpm dan yang terendah 7,7 kpm. Di samping itu, dari hasil tes kemampuan membaca tersebut peneliti menemukan fakta bahwa terdapat beberapa siswa yang kecepatan membacanya tinggi, tetapi kemampuan memahami isi bacaannya rendah, dan

46 sebaliknya, ada beberapa siswa yang kecepatan membacanya rendah, tetapi pemahaman isi bacaannya tinggi. Temuan-temuan penelitian terdahulu dan fakta-fakta yang peneliti temukan dalam penelitian pendahuluan, menimbulkan berbagai pertanyaan, yaitu bagaimana kemampuan membaca siswa sekolah dasar di wilayah Kota Palangka Raya? Apakah kecepatan minimal yang diisyaratkan dalam Permendiknas nomor 22 Tahun 2006 telah tercapai? Kalau belum tercapai, mengapa hal itu terjadi. Pendekatan apa yang dominan digunakan oleh guru dalam pembelajaran membaca? Bagaimana perlakuan guru terhadap siswanya dalam proses pembelajaran membaca yang dilaksanakannya? Bagaimana pula pengaruh perlakuan guru terhadap siswanya dalam pembelajaran membaca yang dilaksanakannya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mendorong rasa ingin tahu peneliti untuk meneliti kemampuan membaca siswa Sekolah Dasar di wilayah Kecamatan Pahandut, Kota Palangka Raya, khususnya di kelas 5, karena siswa di kelas tersebut seharusnya mendapatkan pembelajaran membaca yang intensif untuk membantu siswa mencapai standar kompetensi sebagaimana tuntutan Permendiknas nomor 22 Tahun 2006.

METODE Penelitian ini dilaksanakan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode penelitian deskriptif. Data tentang kemampuan membaca akan dikumpulkan menggunakan tes, data tentang pendidikan dan pengalaman guru dalam mengajar, sebagai data pendukung dikumpulkan menggunakan wawancara, sedangkan data tentang perlakuan guru terhadap siswa dalam proses pembelajaran di kelas dikumpulkan menggunakan observasi tidak berpartisipasi. Data hasil tes diklasifikasikan menurut kecepatan, pemahaman, dan efektifitas kemampuan membaca. Klasifikasi kemampuan membaca siswa dipilah menjadi (1) kecepatan e” 150 Kpm termasuk kategori tinggi, (2) kecepatan antara 75 Kpm – 149 Kpm termasuk kategori sedang, dan (3). Kecepatan < 75 Kpm termasuk kategori rendah, sedangkan klasifikasi kemampuan siswa memahami isi wacana dipilah menjadi (1) pemahaman e” 75 % termasuk kategori tinggi, (2) pemahaman antara 60 % – 74 % termasuk kategori sedang, dan (3) pemahaman < 60 % termasuk kategori rendah. Kategorisasi kemampuan siswa membaca efektif dipilah menjadi (1). Skor e” 75 % kategori tinggi, (2). Skor 60 % – 74 % kategori sedang, dan (3). Skor < 60 % kategori rendah. Untuk keperluan analisis pola perlakuan guru tersebut, data perlakuan guru dipilah menjadi tiga tingkatan, yaitu perlakuan baik, sedang, dan kurang baik. Perlakuan guru yang baik diberi skor tiga, sedang diberi skor dua, dan kurang diberi skor satu. Untuk menguji kebenaran hipotesis tentang pengaruh perlakuan guru terhadap kemampuan siswa membaca efektif digunakan teknik statistik non parametrik. karena data perlakuan guru merupakan data ordinal dan jumlah sampel yang terlalu sedikit, hanya delapan sekolah dasar, hampir dapat dipastikan berdistribusi tidak normal.

HASIL DAN PEMBAHASAN a. Kecepatan Membaca Hasil tes menunjukkan bahwa kemampuan membaca cepat siswa SD di wilayah Kecamatan Pahandut bervariasi. Perbandingan siswa yang tergolong berkemampuan rendah dan sedang dapat dilihat pada diagram berikut.

47 Diagram di atas menunjukkan bahwa siswa SD di wilayah Kecamatan Pahandut memiliki kecepatan membaca sedang termasuk kriteria dominan. b. Kemampuan Siswa Memahami Isi Wacana Hasil tes kemampuan membaca, sebagaimana dikemukakan di atas, juga digunakan untuk menelusuri kemampuan siswa memahami isi wacana. Hasilnya menunjukkan sebagian siswa telah memiliki kemampuan memahami isi wacana bervariasi, ada yang tinggi, sedang, dan rendah. Perbandingan siswa yang tergolong berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi dapat dilihat pada diagram berikut.

c. Kemampuan Siswa Membaca secara Efektif Hasil penelusuran kemampuan siswa membaca efektif menunjukkan bahwa sebagian siswa telah mampu membaca secara efektif. Perbandingan siswa yang tergolong berkemampuan membaca efektif rendah, sedang, dan tinggi dapat dilihat pada diagram berikut.

48 d. Pola Perlakuan Guru terhadap Siswa dalam Proses Pembelajaran membaca Dari hasil observasi terhadap perlakuan guru dalam proses pembelajaran membaca menunjukkan bahwa rata-rata, dalam membelajarkan siswanya guru Sekolah Dasar di Kecamatan Pahandut cenderung memperlakukan siswanya menggunakan pendekatan yang berorientasi pada pembelajaran berpusat pada guru. Secara lebih rinci dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel XX Kriteria Perlakuan Guru

Tabel XIII di atas menjelaskan bahwa terdapat enam guru kelas V dari delapan guru kelas V di SDN sampel (75 %) yang memperlakukan siswanya dalam pembelajaran membaca kurang baik, guru pada sekolah-sekolah tersebut cenderung memperlakukan siswanya menggunakan pendekatan yang berorientasi pada pendekatan teacher-centered, pembelajaran berpusat pada guru. Hanya satu SDN sampel yang perlakuan gurunya masuk kategori baik, cenderung memper- lakukan siswanya menggunakan pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada pendekatan learner-centered, pembelajaran berpusat pada siswa, dan satu SDN yang perlakuan gurunya masuk kategori cukup baik. Untuk menentukan pengaruh perlakuan guru terhadap kemampuan siswa membaca efektif,

Dari analisis korelasi Spearman’s Rho menunjukkan nilai rs = 0,764 dan korelasi Kendall’s tau_b menunjukkan nilai rt = 0,681. Secara sederhana kedua rhitung tersebut yang lebih besar dari 0,05. Karena itu dapat dinyatakan memiliki korelasi yang signifikan. Hasil kedua perhitungan tersebut menunjukkan nilai rhitung lebih besar dari 0,05. R Square dari perhitungan korelasi Spearman’s Rho menunjukkan angka 58,36% dan dari perhitungan korelasi Kendall’s atau b menunjukkan angka 47,05%. Dari perhitungan di atas dapat dimaknai bahwa berdasarkan perhitungan dengan korelasi Spearman’s Rho pengaruh pelakuan guru terhadap keberhasilan membentuk kemampuan membaca efektif sebesar 58,37%, sedang berdasarkan perhitungan dengan korelasi Kendall’s tau_b pengaruh tersebut sebesar hanya 47,05%. Jadi, pengaruh perlakuan guru terhadap keberhasilan membentuk kemampuan siswa dalam membaca efektif dapat dikategorikan kurang signifikan.

KESIMPULAN DAN SARAN Perlakuan guru yang kurang baik saja memiliki pengaruh yang cukup kuat, meskipun kurang signifikan, apalagi jika perlakuan guru rata-rata baik tentu pengaruhnya akan lebih signifikan.

49 Dengan demikian, untuk meningkatkan kemampuan siswa membaca secara efektif perlu diupayakan perbaikan perlakuan guru terhadap siswanya dalam proses pembelajaran membaca. Hal ini penting, karena dengan perbaikan perlakuan guru, berarti akan terjadi perbaikan efektifitas pembelajaran membaca. Jika pembelajaran membaca berlangsung secara efektif tentu akan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam membaca.

50 DAFTAR RUJUKAN

Bejo. 2007. Pembelajaran Membaca di Sekolah Dasar (Studi Kasus di Kelas IV SD Negeri 3 Pijiharjo Manyaran Wonogiri). Tesis Program Studi Bahasa Indonesia. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Wood, Derek, dkk. 2005. Kiat Mengatasi Gangguan Belajar. Terjemahan oleh Ivan Taniputera dan Emestina Vena. Yogyakarta: Katahati. Azies, Furqonul dan Alwasilah, A. Chaedar. 1996. Pengajaran Bahasa Komunikatif: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya. Kemampuan Membaca Anak Indonesia Masih Rendah. Hasil penelitian Pusat Penelitian Pendidikan Depdiknas. (Rabu, 28 Oktober 2009).dalam http//www.KOMPAS.com. Latief, M. (Senin,15 Maret 2010). Kemampuan Anak Indonesia Masih Rendah. http// www.Kompas.Com. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Richards, Jack C. 2002. Curriculum Development in Language Teaching. New York: Cambridge University Press. Tarigan, Henry Guntur. 1991. Metodologi Pengajaran Bahasa. Bandung: Penerbit Angkasa.

51 BENTUK-BENTUK SAPAAN KEKERABATAN BAHASA MAANYAN

Patrisia Cuesdeyeni Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Palangka Raya, Jalan H. Timang, Kampus Tunjung Nyaho, Palangka Raya

Abstract

The process of writing is begin from support the inventarisation of the abundance of Indonesian culture. It is formet in the purpose of research is, (1) to descript the form of Maanyan language, (2) to descript the application of the form of the mentioning of the Maanyan language, and (3) to descript the optional form of Mentioning of Maanyan language. The description of the research is taken in region of East Barito in three subdistricts and three villages. Paju Epat subdistricts is in Siung-Telang Village, East orchard in Didi village, and Benua Lima subdistricts in Bagok village. The research involve by six informen. Every village has two informen including the activist of the community and the house wife. Based on the result of analition of data, the form of greeting and the application in Maanyan language is classify into eleven type of Greetings: (1) mentioning that use in kinship, is come from genetic and relationship through marriage, (2) mentioning that use in the community, ho we use in the formally and informally condition, (3) mentioning that use in the traditional section, (4) mentioning that use in the religion section, (5) mentioning that use in the mystic formula section, (6) mentioning that use in the administration section, (7) mentioning that use in personal pronoun, (8) mentioning that use in the personal name and the nick name, (9) mentioning that use in the animal section,. (10) the intimate mentioning, and (11) mentioning that use in the magic formula section. The form fo optional mentioning analyzed by the relationship between the speaker an the partner in doing conversation and the context of application is classify into the mentioning optional form in kinship, community, culture, religion, faith, administration, personal pronoun, personal name and the nick name, use in animal section, application in magic formula, with the combination from the category, structure, and situational, greeting has classification into three situation like formal situation, non formal situation, and emotional situation.

Keywords: mentioning system, forming system, using of mentioning, choosing of mentioning

PENDAHULUAN Bahasa daerah merupakan salah satu komponen kebudayaan bangsa. Sebagai kebudayaan bangsa, bahasa daerah harus tetap hidup, berkembang, dan dilestarikan. Hal ini bisa dilakukan, baik oleh masyarakat pemakai bahasa itu sendiri, oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, maupun oleh pihak lain yang merasa berkepentingan. Bahasa Maanyan merupakan salah satu bahasa daerah yang hidup dan berkembang di Indonesia yang perlu dilestarikan. Penginventarisasian pun perlu dilakukan agar bahasa Maanyan bisa bertahan bahkan terus berkembang dengan baik di masyarakat. Dengan demikian, bahasa Maanyan ini diharapkan dapat berkembang seirama dengan perkembangan kemajuan bahasa-bahasa daerah lain yang berada di Indonesia. Halim (1984:34) mengatakan bahwa fungsi bahasa daerah adalah sebagai (1) lambang kebanggaan daerah; (2) lambang identitas daerah; dan (3) alat perhubungan dalam keluarga serta masyarakat daerah. Di dalam hubungannya dengan fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah 52 berfungsi sebagai (1) penghubung bahasa nasional; (2) bahasa pengantar di Sekolah Dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lainnya; serta (3) alat pengembangan dan pendukung kebudayaan daerah. Sehubungan dengan pendapat tersebut, dapat dinyatakan bahwa bahasa Maanyan berfungsi sebagai: (1) lambang kebanggaan daerah Dayak Maanyan; (2) lambang identitas daerah Maanyan; (3) alat pemersatu masyarakat penutur bahasa Maanyan; (4) sebagai alat komunikasi dalam keluarga dan antaranggota masyarakat (intraetnik), (5) sebagai bahasa pengantar di Sekolah Dasar kelas satu dan kelas dua; serta (6) sebagai alat pengembangan dan pendukung kebudayaan daerah Dayak Maanyan. Bahasa Maanyan ini dipergunakan sebagai alat untuk berkomunikasi sehari-hari di daerah-daerah yang meliputi: Pupur Matung, Paju Epat, Paju Lima, Paju Sapuluh, Tamiang Layang, Benua Lima, Barito Timur, dan sebagian daerah Barito Selatan, khususnya di daerah Bahau. (Santoso, dkk., 1984:6). Adapun masalah, tujuan, dan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah bentuk-bentuk sapaan kekerabatan bahasa Maanyan? Jawaban atas pertanyaan tersebut yang membuat peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk sapaan kekerabatan bahasa Maanyan. Manfaat hasil penelitian tentang bentuk-bentuk sapaan kekerabatan bahasa Maanyan ini secara teoretis sebagai bahan masukan bagi pembinaan dan pengembangan bahasa daerah dan menginventarisasi sapaan bahasa Maanyan, secara praktis dapat memberikan sumbangan dalam pengembangan muatan lokal di sekolah dan dapat menggunakan bentuk-bentuk sapaan secara benar dalam hubungan sosial antara penutur dengan pendengar. Ilmu bahasa yang mempelajari tentang sistem sapaan adalah sosiolinguistik. Untuk itu, kajian teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sosiolinguistik. Sosiolinguistik biasanya dibatasi sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan fungsi serta hubungannya di antara bahasawan dengan ciri dan fungsi itu dalam berbagai variasi bahasa (Fishman, 1972:4). Teori sosiolinguistik ini dipakai sebagai dasar acuan mengingat teori ini berkaitan langsung dengan permasalahan penelitian ini. Namun, selain teori sosiolinguistik, digunakan juga teori antropologi untuk melihat hubungan kekerabatan. Penelitian terhadap aspek sosiolinguistik ini memperlihatkan betapa aneka warnanya sistem sapaan dalam bahasa. Keanekawarnaan itu ditentukan oleh adanya dialek regional, dialek sosial, variasi bahasa, sifat hubungan di antara pelaku (akrab, biasa, formal, resiprokal, nonresiprokal) serta faktor multilingualisme di Indonesia (Kridalaksana, 1982:15). Secara umum, bentuk sapaan diklasifikasikan menjadi dua, yakni (1) term of reference dan (2) term of address. Term of reference berkaitan dengan sapaan yang menyangkut kekerabatan. Sebaliknya, term of address berkaitan dengan sapaan yang menyangkut panggilan orang di luar lingkungan kekerabatan. Dalam bahasa Maanyan, kedua sapaan tersebut digunakan. Pengertian bentuk bentuk sapaan yang dipakai pada penelitian ini adalah seperangkat kata atau ungkapan yang dipakai untuk menyebut dan memanggil para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa. Para pelaku ialah pembicara (pelaku satu) selanjutnya disebut penyapa, yang diajak berbicara (pelaku kedua) selanjutnya disebut pesapa dan yang disebut dalam pembicaraan (pelaku ketiga). Chaer (1988:136) menyatakan bahwa kata sapaan adalah kata-kata yang digunakan untuk menyapa, menegur, atau menyebut orang kedua atau orang yang diajak bicara. Bentuk sapaan ditentukan oleh beberapa faktor. Faktor tersebut seperti jenis kelamin, usia, kedudukan, atau posisi, penghargaan, sopan santun, dan kekeluargaan. Pemakaian bentuk-bentuk sapaan pun berdasarkan konvensi yang berlaku dalam suatu masyarakat. Setiap bahasa mengenal

53 seperangkat bentuk sapaan yang penggunaannya terbatas pada masyarakat pemakai bahasa tertentu (Robinson, dalam Kamal, 1990:7). Crystal (1991:7)memberi batasan mengenai istilah sapaan, yaitu cara mengacu seseorang di dalam interaksi linguistik yang dilakukan secara langsung. Beliau juga membuat analisis dalam bukunya yang berjudul A Dictionary of Linguistics and Phonetics tentang tipe-tipe partisipan yang dibedakan berdasarkan situasi sosial dan kaidah-kaidah yang dikemukakan untuk menjelaskan penulisan, penggunaan istilah yang dilakukan oleh si pembicara, seperti penggunaan nama pertama, gelar, dan pronomina. Subyakto (1988:38) memberikan pengertian kata sapaan, yaitu kata atau istilah yang dipakai untuk menyapa lawan bicara. Sapaan tersebut terdiri atas (1) nama kecil, (2) gelar, (3) istilah kekerabatan dengan nama seorang kerabatnya disebut tektonimi, (4) kombinasi (seperti nama gelar dan nama kecil), gelar nama keluarga, istilah kekerabatan dan nama keluarga, istilah kekerabatan dan nama kecil. Istilah kekerabatan dalam suatu bahasa timbul karena keperluan untuk menyatakan kedudukan diri seseorang secara komunikatif dalam suatu keluarga (Medan, 1988:87). Seseorang dikatakan berkerabat apabila ada pertalian darah atau pertalian perkawinan. Dengan kata lain, pertalian darah disebut pertalian langsung, sedangkan pertalian perkawinan disebut pertalian tidak langsung. Koentjaraningrat (1992:143) mengatakan bahwa istilah kekerabatan dapat dilihat dari tiga sudut, yaitu (1) cara pemakaian, (2) jumlah susunan unsur-unsur bahasa, (3) jumlah kerabat yang diklasifikasikan. Masih menurut Koentjaraningrat (1992:109), keluarga itu ada beberapa jenis, yaitu (1) keluarga inti dan (2) keluarga luas. Keluarga inti adalah suatu keluarga yang terdiri atas seorang suami, istri, anak-anak yang belum berkeluarga, anak tiri dan anak angkat yang sudah memiliki hak yang sama dengan anak kandung. Ada dua jenis keluarga inti, yaitu (a) keluarga inti yang terdiri atas suami, istri dan anak-anak, baik anak kandung maupun bukan; disebut keluarga inti yang berdasarkan monogami, (b) keluarga inti yang bentuknya lebih kompleks, yaitu (1)) terdiri dari seorang suami, tetapi istrinya lebih dari seorang disebut keluarga inti yang berdasarkan poligami, (2)) seorang istri tetapi suaminya lebih dari seorang, disebut keluarga inti yang berdasarkan poliandri. Keluarga luas adalah kelompok kekerabatan yang terdiri atas lebih dari satu keluarga inti dan seluruhnya merupakan satu kesatuan sosial yang erat dan hidup bersama pada suatu rumah. Pembagian keluarga luas terdiri dari beberapa bagian, yaitu keluarga luas utrolokal, keluarga luas virilokal, dan keluarga luas uxorilokal.

METODE Penelitian Bentuk-bentuk Sapaan Kekerabatan Bahasa Maanyan ini berusaha membuat deskripsi; artinya membuat gambaran, lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai data, sifat- sifat serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti. Berdasarkan tujuan dari penelitian tersebut, penelitian ini dapat dikategorikan sebagai jenis penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa yang ada pada saat penelitian dilakukan (Arikunto, 1993:309). Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah observasi dan wawancara. Data yang diperlukan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk sapaan kekerabatan bahasa Maanyan dalam penelitian ini adalah bentuk bahasa lisan. Dalam hal ini, peneliti menggunakan teknik wawancara yang disebut dengan teknik cakap semuka atau CS (Sudaryanto, 1993:138). Penelitian dilakukan di wilayah Kabupaten Barito Timur. Dipilihnya kabupaten ini karena penutur asli bahasa Maanyan tinggal di wilayah ini. Santoso, dkk. mengatakan (1984:4) daerah ini (Barito Timur) merupakan daerah asal para penutur asli bahasa ini (bahasa Maanyan).

54 Kabupaten ini terdiri atas 10 kecamatan. Dari 10 kecamatan yang ada, peneliti memilih 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Paju Epat, Kecamatan Dusun Timur, dan Kecamatan Benua Lima. Desa dari masing-masing kecamatan tersebut adalah Siung, Didi, dan Bagok. Tingkat keabsahan dan kebenaran suatu data dapat diketahui dengan menggunakan teknik pemeriksaan. Nasution (1996:149) menyatakan bahwa pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan derajat kepercayaan (credibility), pemeriksaan keteralihan (transferability), pemeriksaan kebergantungan (dipendability), dan pemeriksaan kepastian (confirmability). Untuk memeriksa keabsahan dan kebenaran data pada penelitian ini mengacu pada Nasution (1996:149-151), yaitu (1) melakukan triangulasi, (2) melakukan peer debriefing, dan (3) melakukan member check dan auditrial.

HASIL DAN PEMBAHASAN Bentuk sapaan bahasa Maanyan adalah kata sapaan yang biasa digunakan oleh masyarakat Maanyan untuk menyebut dan memanggil para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa. Para pelaku ialah pembicara atau penyapa, yang diajak berbicara atau pesapa, dan yang disebut dalam pembicaraan. Berikut ini adalah tabel bentuk-bentuk sapaan kekerabatan bahasa Maanyan yang digunakan dalam kalimat-kalimat yang terdapat pada data penelitian. Dipaparkan pula bentuk singkat dan arti atau keterangannya dalam bahasa Indonesia. Sapaan kekerabatan adalah sapaan- sapaan yang digunakan dalam keluarga yang masih mempunyai hubungan kerabat, baik dari pertalian darah maupun dari hubungan perkawinan.

1. Sapaan Kekerabatan dari Pertalian Darah Istilah kekerabatan yang dipakai dalam pertalian darah adalah entah, muyang, datu, kakah, nini/itak, amah/ ineh, anak/iya, umpu, alep, alau, mama/amah tueh/amah iya/dueh/busu, tutu/ ineh tueh/ineh iya/dueh/busu, tata, ani tawari (sahinraan, sanruehan, santeluan), aken. Berikut dapat dilihat penggunaannya. 1) Entah Entah adalah orangtua muyang, kakek/nenek dari datuk. Kata entah digunakan oleh alau untuk menyapa orangtua dari moyangnya. Entah merupakan urutan pertama/tertua dalam sistem kekerabatan masyarakat Maanyan. Tidak ada lagi istilah lebih tua dari entah. Entah melahirkan muyang. 2) Muyang Muyang adalah orangtua datuk. Kata muyang digunakan oleh alep untuk menyapa orangtua dari datuk atau moyang. Muyang adalah urutan kedua dari yang tertua dalam sistem kekerabatan masyarakat Maanyan setelah entah. Muyang merupakan anak dari entah. Muyang melahirkan datu. 3) Datu Datu adalah orang tua nenek atau kakek, baik laki-laki atau perempuan. Kata datu di- gunakan oleh seorang buyut untuk menyapa orang tua dari nenek atau kakek. Datu adalah urutan ketiga dalam sistem kekerabatan masyarakat Maanyan. Datu merupakan anak dari muyang. Datu melahirkan kakah atau nini/itak. 4) Kakah Kakah adalah orang tua laki-laki dari ayah dan ibu. Kakah merupakan istilah yang digunakan oleh seorang cucu untuk menyapa kakeknya. Kakah adalah urutan keempat

55 dalam silsilah sistem kekerabatan masyarakat Maanyan. Kakah merupakan anak dari datu. Kakah melahirkan amah atau ineh. 5) Nini/Itak Nini/itak adalah orang tua perempuan dari ayah dan ibu. Nini/Itak merupakan istilah yang digunakan oleh seorang cucu untuk menyapa neneknya. Nini/Itak adalah urutan keempat dalam silsilah sistem kekerabatan masyarakat Maanyan, sama seperti kakah. Nini/ Itak merupakan anak dari datu. Nini/Itak melahirkan amah atau ineh. 6) Amah Amah adalah orang tua laki-laki. Amah merupakan kata yang dipergunakan oleh seorang anak untuk menyapa ayahnya. Amah adalah urutan kelima dalam sistem kekerabatan masyarakat Maanyan. Amah merupakan anak dari Kakah atau nini/itak. Amah melahirkan anak/iya. 7) Ineh Ineh adalah orang tua perempuan. Ineh merupakan kata yang dipergunakan oleh seorang anak untuk menyapa ibunya. Ineh adalah urutan kelima dalam sistem kekerabatan masyarakat Maanyan sama seperti urutan Amah. Ineh merupakan anak dari Kakah atau nini/itak. Ineh melahirkan anak/iya. 8) Mama/Amah Tueh/Amah Iya Mama adalah saudara laki-laki dari ayah atau ibu. Mama merupakan kata yang dipergunakan oleh seorang keponakan untuk menyapa seorang paman. Mama/amah tueh/ amah iya berada dalam silsilah yang sejajar dengan amah atau ineh. Antara mama/amah tueh/ amah iya dengan amah atau ineh mempunyai hubungan satu orang tua atau satu ayah dan ibu. Pada silsilah keturunan orangtua mama/amah tueh/amah iya adalah kakah dan nini/itak. Mama adalah saudara laki-laki dari amah atau ineh. Amah tueh adalah saudara laki-laki yang lebih tua dari ayah atau ibu, sedangkan amah iya adalah saudara laki-laki yang lebih muda dari amah atau ineh. Sebutan amah tueh khusus digunakan untuk menyapa saudara laki-laki dari ayah atau ibu yang lebih tua, sedangkan untuk menyapa saudara laki-laki dari ayah atau ibu yang lebih muda adalah amah iya. 9) Tutu/Ineh Tueh/Ineh Iya Tutu adalah saudara perempuan dari ayah atau ibu. Tutu merupakan kata yang dipergunakan oleh seorang keponakan untuk menyapa seorang bibi. Tutu/ineh tueh/ineh iya berada dalam silsilah yang sejajar dengan amah atau ineh. Antara tutu/ineh tueh/ineh iya dengan amah atau ineh mempunyai hubungan satu orang tua atau satu ayah dan ibu. Pada silsilah keturunan orangtua tutu/ineh tueh/ineh iya adalah kakah dan nini/itak Tutu adalah saudara perempuan dari amah atau ineh. Ineh tueh adalah saudara perempuan dari amah atau ineh yang lebih tua, sedangkan ineh iya adalah saudara perempuan dari amah atau ineh yang lebih muda. Sebutan ineh tueh khusus digunakan untuk menyapa saudara perempuan dari ayah atau ibu yang lebih tua, sedangkan untuk menyapa saudara perempuan dari ayah atau ibu yang lebih muda adalah ineh iya. Istilah lain yang juga dipakai untuk menyapa saudara yang lebih tua dari ayah dan ibu baik laki-laki maupun perempuan adalah dueh. Dueh berada dalam silsilah yang sejajar dengan amah atau ineh. Antara dueh dengan amah atau ineh mempunyai hubungan satu orang tua atau satu ayah dan ibu. Pada silsilah keturunan orangtua dueh adalah kakah dan nini/itak Dueh adalah saudara laki-laki dan perempuan dari amah atau ineh yang lebih tua.

56 Untuk menyapa saudara bungsu dari ayah atau ibu adalah busu. Busu berada dalam silsilah yang sejajar dengan amah atau ineh. Antara busu dengan amah atau ineh mempunyai hubungan satu orang tua atau satu ayah dan ibu. Pada silsilah keturunan orangtua busu adalah kakah dan nini/itak. Busu adalah saudara laki-laki atau perempuan dari amah atau ineh yang paling muda. 10) Anak/Iya/Atak/Utuh/Diang/Iang/Dang Anak/Iya adalah anak baik laki-laki maupun perempuan. Anak/Iya merupakan sebutan orang tua untuk anak. Anak/iya adalah urutan keenam dalam sistem kekerabatan masyarakat Maanyan. Anak/iya adalah anak dari Amah atau ineh. Anak/iya melahirkan umpu. Panggilan untuk anak laki-laki utuh/atak dan panggilan untuk anak perempuan adalah diang/iang/dang. 11) Tata Tata adalah sebutan untuk saudara laki-laki atau perempuan yang lebih tua. Tata mempunyai hubungan saudara dengan ani. Ani dan tata mempunyai hubungan satu orang tua atau satu ayah dan ibu. 12) Ani Ani adalah sebutan untuk saudara laki-laki atau perempuan yang lebih muda. Ani mempunyai hubungan saudara dengan tata. Ani dan tata mempunyai hubungan satu orang tua atau satu ayah dan ibu. 13) Pulaksanai Pulaksanai adalah saudara kandung. Pulaksanai merupakan sebutan lain antara adik dan kakak selain sebutan tata atau ani.. Pulaksanai adalah saudara kandung. Saudara satu orang tua atau satu ayah dan ibu. 14) Aken Aken adalah istilah yang digunakan oleh seseorang untuk menyapa anak dari saudara (tata atau ani), baik laki-laki maupun perempuan. Aken merupakan kata sapaan yang digunakan paman atau bibi untuk menyapa seorang keponakan.

15) Tawari Tawari adalah hubungan sejajar dalam keturunan yang memiliki ikatan darah baik karena satu kakek/nenek, satu datuk, maupun satu muyang. Tawari adalah orang yang mempunyai hubungan darah dan berada dalam silsilah keturunan yang sejajar. Lebih khusus, tawari dibedakan menjadi tiga, yaitu sebagai berikut. Tawari sahinraan adalah orang yang mempunyai hubungan satu kakah dan satu nini/itak, atau sebutan anak dari saudara bapak atau ibu (paman atau bibi). Sahinraan merupakan kata yang dipergunakan oleh seseorang untuk menyapa saudara sekakek atau senenek. Tawari sahinraan disebut juga saudara sepupu sekali. Tawari sanruehan adalah orang yang mempunyai hubungan satu datu atau cucu dari saudara nenek atau kakek. Sanruehan merupakan kata yang dipergunakan oleh seseorang untuk menyapa saudara sedatu. Tawari sanruehan disebut juga saudara sepupu dua kali. Tawari santeluan adalah orang yang mempunyai hubungan satu muyang atau anak dari saudara datu. Santeluan merupakan kata yang dipergunakan oleh seseorang untuk menyapa saudara semoyang. Santeluan disebut juga saudara sepupu tiga kali.

57 16) Umpu Umpu adalah sapaan yang digunakan oleh kakek atau nenek untuk memanggil cucunya baik laki-laki maupun perempuan. Umpu adalah urutan ketujuh dalam sistem kekerabatan masyarakat Maanyan. Umpu merupakan anak dari anak/iya. Umpu melahirkan piut. 17) Piut Piut adalah sapaan yang digunakan oleh datu untuk menyapa buyutnya, baik laki- laki maupun perempuan. Piut adalah urutan kedelapan dalam sistem kekerabatan masyarakat Maanyan. Piut merupakan anak dari umpu. Piut melahirkan alep. 18) Alep Alep adalah sapaan yang digunakan oleh moyang untuk menyapa anak buyutnya baik laki-laki maupun perempuan. Alep adalah urutan kesembilan dalam sistem kekerabatan masyarakat Maanyan. Alep merupakan anak piut. Alep melahirkan alau. 19) Alau Alau adalah sapaan yang digunakan oleh orang tua moyang (entah) untuk menyapa atau menyebut cucu dari buyutnya baik laki-laki maupun perempuan. Alau adalah urutan kesepuluh dan sekaligus urutan terakhir dalam sistem kekerabatan masyarakat Maanyan. Alau merupakan anak dari alep. Tidak ada lagi istilah yang lebih muda daripada alau. Sapaan kekerabatan dari pertalian darah dalam uraian di atas dapat dibagi lagi menjadi dua dua bagian, yaitu hubungan yang berada dalam berbentuk hierarki atau yang berurutan dan yang tidak berurutan. Bentuk hierarki adalah sistem kekerabatan dimulai dari istilah untuk orang yang dianggap paling tua sampai orang yang dianggap paling muda yang mempunyai hubungan darah. Bentuk sapaan dalam sistem kekerabatan dimaksud adalah entah, muyang, datu, kakah dan nini/itak, amah dan ineh, anak/iya, umpu, alep, dan alau. Bentuk sapaan dalam sistem kekerabatan yang tidak berurutan adalah mama/amah tueh/amah iya, tutu/ ineh tueh/ineh iya, dueh, busu, tata, ani, pulaksanaai, aken, tawari (sahinraan, sanruehan, santeluan). Untuk memperjelas hal ini, berikut ditampilkan dalam bentuk bagan.

Bagan 1. Sistem Kekerabatan Secara Berurutan

58 Bagan 2. Sistem Kekerabatan yang Tak Berurutan

59 2. Sapaan Kekerabatan dari Hubungan Perkawinan Perkawinan menciptakan keluarga baru. Dengan perkawinan tersebut terjalin tali kekeluargaan antara dua keluarga. Istilah kekerabatan yang digunakan untuk menyapa anggota keluarga dari hubungan perkawinan dalam masyarakat Maanyan dimaksud adalah darangan, matueh upu, matueh wawei, iwan, daup, sanrui, kasian (kasian upu, kasian wawei), kasian lamung, nantu, dan bulau. 1) Darangan Sapaan darangan muncul setelah dua insan melangsungkan pernikahan. Darangan adalah salah satu panggilan atau sebutan seorang suami untuk istrinya dan juga panggilan atau sebutan seorang istri untuk suaminya. 2) Matueh Upu atau Amah + Nama Anak Matueh upu atau amah yang diikuti nama anak (biasanya anak pertama) merupakan sapaan yang digunakan seorang istri untuk menyapa suaminya. Jika sudah mempunyai anak sapaan amah yang diikuti nama anak (pertama) baru bisa dijadikan pilihan. 3) Matueh Wawei atau Ineh + Nama Anak Matueh wawei atau ineh yang diikuti nama anak (biasanya anak pertama) merupakan sapaan yang digunakan seorang suami untuk menyapa sang istri. Jika sudah mempunyai anak sapaan ineh yang diikuti nama anak (pertama) baru bisa dijadikan pilihan. 4) Iwan Iwan merupakan sapaan untuk saudara suami, baik laki-laki maupun perempuan, atau oleh suami untuk menyapa saudara istri yang perempuan. Iwan adalah sapaan yang muncul dari salah seorang dari pasangan dengan saudara pasangannya. Lebih khusus, sapaan ini berlaku antara saudara suami baik laki-laki maupun perempuan dan saudara istri yang perempuan. Untuk menyapa saudara istri yang laki-laki digunakan sapaan daup. 5) Daup Daup digunakan oleh suami untuk menyapa saudara istri yang laki-laki. 6) Sanrui Sanrui digunakan oleh saudara dari suami dan saudara dari istri untuk saling menyapa, dengan kata lain, sanrui adalah sapaan antara saudara istri dan saudara suami. Saudara istri menyapa saudara suami dengan sanrui begitu pula saudara suami menyapa saudara istri dengan sebutan sanrui. Sapaan sanrui berlaku untuk laki-laki dan perempuan. 7) Kasian Kata kasian digunakan untuk menyapa orangtua suami atau orangtua istri. Kasian artinya mertua. Kasian adalah sapaan yang muncul dari salah seorang dari pasangan dengan orang tua pasangannya. Seorang istri menyapa orangtua suaminya dengan sebutan kasian, begitu pula dengan suaminya menyapa orangtua istrinya dengan sebutan kasian. Kata kasian digunakan untuk menyapa mertua, baik laki-laki maupun perempuan. Untuk mengkhususkan lawan bicara, digunakan istilah (matueh) kasian wawei atau (matueh) kasian upu. 8) Kasian Lamung Kata kasian lamung digunakan untuk menyapa saudara dari orang tua suami atau saudara orang tua istri, baik laki-laki maupun perempuan. Kasian lamung adalah saudara dari kasian. 609) Nantu Kata nantu digunakan untuk menyapa istri atau suami dari anak. Jadi, nantu adalah sapaan yang digunakan oleh orangtua dari suami untuk si istri dan sebaliknya, digunakan oleh orangtua dari istri untuk si suami. Nantu adalah menantu. 10) Bulau Kata bulau digunakan untuk menyapa mertua dari anak kita. Bulau merupakan sapaan antara orangtua suami dan orangtua istri. Bulau adalah besan.

Bagan 3. Kekerabatan dari Hubungan Perkawinan

61 Tabel 2. Keterangan Bagan Kekerabatan dari Hubungan Perkawinan

62 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Bentuk-bentuk sapaan kekerabatan bahasa Maanyan meliputi sapaan kekerabatan dari pertalian darah dan sapaan kekerabatan dari hubungan perkawinan. Sapaan kekerabatan pertalian darah adalah entah, muyang, datu, kakah, nini/itak, amah/ ineh, anak/iya, umpu, alep, alau, mama/amah tueh/amah iya/dueh/busu, tutu/ineh tueh/ineh iya/dueh/busu, tata, ani, tawari (sahinraan, sanruehan, santeluan), aken. Sapaan kekerabatan dari hubungan perkawinan adalah darangan, matueh upu atau amah + nama anak, matueh wawei atau ineh + nama anak, iwan, daup, sanrui, kasian, kasian lamung, nantu, dan bulau.

63 Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan perlu pengembangan penelitian lebih mendalam. Penelitian dimaksud dapat berupa pemanfaatan hasil penelitian ini atau kajian- kajian dari aspek lain seperti pragmatik atau sosiolinguistik, sehingga dapat dimanfaatkan untuk muatan lokal di sekolah di wilayah yang menggunakan bahasa Maanyan dan dapat menambah inventarisasi kebudayaan Indonesia.

64 DAFTAR RUJUKAN

Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian. Jakarta: Aneka Cipta. Chaer, Abdul. 1988. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Bharatara Karya Aksara. Crystal, David. 1991. A Dictionary of Linguistics and Phonetics. Cambridge: Cambridge University Press. Fishman, J.A. 1972. The Sociology of Language. Newbury House: Rowley, Mass. Halim, Amran, (Ed). 1984. Politik Bahasa Nasional. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamal, Mustapa. 1990. Sistem Sapaan Bahasa Iban. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan, Depdikbud. Koentjaraningrat. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat. Kridalaksana, Harimurti. 1982. Fungsi dan Sikap Bahasa. Flores: Nusa Indah. Medan, Tamsin. 1988. Geografi Dialek Bahasa Minangkabau. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud. Nasution, S. 1996. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Santoso, R. Budi, dkk. 1984. Morfo-Sintaksis Bahasa Maanyan. Palangka Raya: Depdikbud. Subyakto, Sri Utari. 1988. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Depdikbud. Sudaryanto. 1993. Metode Penelitian. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

65 ANALISIS KEEFEKTIFAN PENULISAN JUDUL NASKAH BERITA WARTA KALSEL TVRI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2010

Rusma Noortyani Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat email: [email protected]

Abstract

The research report entitled Analysis of Effectiveness of Writing Script Title of News. News , South Kalimantan TVRI in this 2010 aims to describe the effectiveness of the writing of the manuscript title news. News TVRI South Kalimantan in 2010. The method used is descriptive method with data collection techniques in accordance with the prinsiples of descriptive. Then, the data is analyzed and given an explanation of news effectiveness data and then carried out repairs in accordance with the rules of correct Indonesian. News text data that existed for one year in headings 2496 and 1242 was identified as the script news in TVRI news South Kalimantan from January until Desember in 2010. The result obtained by the effectiveness of the writing of the script title news is in terms of a) The title should be concise with the emphasis on writing shorter pieces there are 167, b) Title of article should be made attractive as many as 24, and c) The title is recommended to follow the rules of the official Indonesian there are 36. The result of this study are expected as the material development of language skills to the news script writer. So writing titles can be effective and for subsequent researchers expected that the result of this study can be used as input material and for subsequent comparison.

Keywords: effective title, news script

PENDAHULUAN Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dilakukan melalui usaha-usaha pembakuan agar tercapai pemakaian bahasa yang cermat, tepat, dan efisien dalam berkomunikasi. Sehubungan dengan itu, perlu diciptakan kaidah (aturan) dalam bidang ejaan, kosakata atau istilah, dan tata bahasa. Dalam usaha pembinaan bahasa Indonesia, perlu didahulukan bahasa Indonesia ragam tulis karena corak lebih tepat dan batas cakupnya lebih jelas. Salah satu ragam bahasa yang banyak dan paling sering kita temui adalah ragam bahasa jurnalistik. Bahasa jurnalistik merupakan salah satu varian bahasa Indonesia. Bahasa jurnalistik merupakan bahasa komunikasi massa yang digunakan oleh wartawan dalam surat kabar, majalah, atau tabloid. Dengan demikian, bahasa jurnalistik harus jelas dan mudah dipahami oleh masyarakat (pembaca) dengan ukuran intelektual minimal, sehingga mereka yang dapat membaca mampu melihat isinya. Bahasa jurnalistik juga harus sesuai dengan norma-norma. Dengan kata lain, bahasa jumalistik lebih mengutamakan daya komunikasinya. Hal yang menarik untuk diteliti yakni pembentukan judul dalam naskah berita harus sesingkat mungkin. Jadi, yang harus diperhatikan adalah bahwa sebuah judul mencerminkan isi tulisan. Mungkin karena ketentuan itu, banyak penulis membuat judul tulisan justru setelah tulisannya selesai dituangkan. Salah satu sebabnya adalah pemahaman yang utuh terhadap apa yang ditulis lebih lengkap setelah semua idenya terekam dalam tulisannya.

66 KONSEP DASAR KEEFEKTIFAN PENULISAN JUDUL BERITA Televisi adalah sebuah media telekomunikasi terkenal yang digunakan untuk memancarkan dan menerima siaran gambar bergerak, baik itu yang monokrom (hitam putih) maupun warna, biasanya dilengkapi dengan suara. Fungsi televisi, yakni memberi informasi, mendidik, menghibur, dan membujuk. Fungsi menghibur lebih dominan pada media televisi sebagaimana penelitian- penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi UNPAD yang menyatakan bahawa pada umumnya tujuan utama khalayak menonton televisi adalah untuk memperoleh hiburan, selanjutnya untuk memperoleh informasi. Pemirsa pada umumnya merasa terpenuhi keingintahuannya bila setiap berita televisi dilengkapi dengan film berita. Terlebih lagi bila kualitas rekamannya baik, serta moment pengambilan tepat, seolah-olah pemirsa melihat langsung peristiwa tersebut. Pihak yang bertanggungjawab atas kelancaran acara televisi adalah pengarah acara. Bila ia membuat naskah acara atau membaca naskah acara, ia harus berpikir dalam gambar (think in picture). Begitu pula bagi seorang komunikator yang akan menyampaikan informasi, pendidikan atau persuasi, sebaiknya ia dapat melakukan berpikir dalam gambar. Sekalipun ia tidak membuat naskah, ia dapat menyampaikan keinginannya kepada pengarah acara tentang penggambaran atau visualisasi dari acara tersebut. Jenis informasi pada siaran TV antara lain berita, hiburan, entertainment, iklan. Salah satunya adalah berita. Beberapa stasiun TV mengemas berita ini sesuai dengan selera masing-masing. Misalnya, dengan menamakannya program liputan. Berdasarkan waktu siarnya lalu dikenal dengan nama liputan pagi, liputan siang, liputan petang, dan liputan malam. Sama halnya dengan siaran berita di TVRI Kalimantan Selatan menamakan program liputan beritanya adalah Warta Kalsel. Berkaitan dengan penulisan naskah berita. Hal yang pertama yang perlu diperhatikan adalah penulisan judul. Judul identik dengan kandungan isi tulisan. Judul sering diartikan sebagai pintu masuk. Dari penyataan tersebut, dapat kita ambil kesimpulan bahwa, peranan judul amat penting. Dalam memilih judul dari beberapa opsi yang telah dibuat, pertimbangkanlah hal-hal berikut dan cocokkan dengan judul, apakah sudah sesuai atau belum. Menurut Pewarta Indonesia (http:/ /www.infoskripsi.com) Pertama, judul tulisan harus singkat, dengan penekanan lebih pendek lebih bagus. Kedua, sebuah judul tulisan hendaknya dibuat menarik. Perlu disadari bahwa sebuah judul berfungsi sebagai pintu gerbang bagi sebuah tulisan untuk pembaca yang sedang lewat di antara deretan tulisan yang terpampang di depannya, baik di koran offline, koran online, buku, majalah, dan lain-lain. Ketiga, penulis amat dianjurkan untuk mengikuti aturan-aturan resmi Bahasa Indonesia dalam pembuatan judul karangan. Beberapa di antara kaidah umum yang lazim digunakan adalah sebagai berikut: 1) Penulisan judul artikel atau tulisan/berita harus menggunakan huruf kapital pada setiap huruf awal kata yang digunakan, kecuali kata sambung (dan, oleh, yang, dsb.) dan kata penunjuk tempat (di, ke). 2) Untuk judul tulisan yang menggunakan subjudul (terdiri lebih dari 1 frasa/kalimat), berlaku ketentuan: judul pokok menggunakan huruf kapital semua, diikuti tanda titik dua, dan kemudian sub judul menggunakan huruf kapital di awal kata-katanya saja.

METODE Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan teknik pengumpulan data yang sesuai dengan prinsip deskriptif. Data naskah berita yang ada selama 1 tahun sejumlah 2496 buah kemudian judul tersebut diidentifikasi sebanyak 1242 buah naskah berita Warta Kalsel TVRI Kalimantan Selatan mulai bulan Januari sampai Desember tahun 2010. Dari data judul yang diperoleh kemudian diklasifikasikan dari segi judul tulisan singkat dengan penekanan lebih pendek; 67 judul tulisan dibuat menarik; dan judul mengikuti aturan-aturan resmi bahasa Indonesia. Selanjutnya data tersebut dianalisis dan diberikan penjelasan data keefektifan judul berita kemudian dilakukan perbaikan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang benar.

HASIL DAN PEMBAHASAN Data yang dianalisis ialah 1242 buah naskah berita Warta Kalsel TVRI Kalimantan Selatan mulai bulan Januari sampai Desember tahun 2010. Hasil penelitian yang diperoleh keefektifan penulisan judul naskah berita Warta Kalsel TVRI Kalimantan Selatan tahun 2010 dari segi: a) judul tulisan harus singkat dengan penekanan lebih pendek ada 167 buah; b) judul tulisan hendaknya dibuat menarik 24 buah; dan c) judul dianjurkan untuk mengikuti aturan-aturan resmi bahasa Indonesia 36 buah. Berikut paparan Analisis Keefektifan Penulisan Judul Naskah Berita Warta Kalsel TVRI Kalimantan Selatan Tahun 2010.

A. Keefektifan penulisan judul naskah berita Warta Kalsel TVRI Kalimantan Selatan tahun 2010 dari segi judul tulisan harus singkat dengan penekanan lebih pendek 1) JANUARI 2010 Ada kata depan dari judul ini bisa dihilangkan, yakni “di”. Kata “baru” dari judul ini bisa dihilangkan karena kata cipta berarti kemampuan pikiran untuk mengadakan sesuatu yang baru. menghilangkan kata “terpilih sebagai” diganti dengan “jadi”; menghilangkan afiksasi mem- pada kata “membantu” diganti dengan “bantu”; menghilangkan nama dibelakang kata walikota; menghilangkan keterangan tujuan pada kata “kepada korban kebakaran”; menghilangkan kata “tahun” karena 2011 sudah menunjukkan tahun. menghilangkan keterangan waktu pada kata “hari ini”; menghilangkan konfiksasi pe-an pada kata “pemahaman” diganti dengan “pahami”; menghilangkan afiksasi men- pada kata “menjadi” diganti dengan “jadi” dan kata “yang” dihilangkan; menghilangkan aspek pada kata “akan”; menghilangkan afiksasi me- pada kata “memiliki” diganti dengan “miliki” dan kata “yang” dihilangkan. Kata “ludes” dari judul ini bisa dihilangkan karena kata ludes berarti habis sama sekali; menghilangkan kata “kepastian”; menghilangkan afiksasi me- pada kata “menunggu” diganti dengan “tunggu”; dan menghilangkan afiksasi me- pada kata “menjadi” diganti dengan “jadi”. Ada judul yang harusnya berdasarkan urutan yang tepat. Ada kata perbandingan harusnya bisa tidak digunakan. peletakkan keterangan waktu di awal judul. 2) FEBRUARI 2010 Ada judul tidak jelas apakah harga kebutuhan bahan pokok naik atau turun. Setelah dibaca isinya ternyata harga kebutuhan bahan pokok naik; judul ini tidak jelas HUT PDAM keberapa dan apa kegiatannya. Ada judul yang harusnya meletakkan keterangan waktu di awal judul. Ada kata dalam judul yang dihilangkan, yakni menghilangkan kata “penyelenggara”; menghilangkan nama desa yakni “Desa Simpang Tiga” karena desa itu bagian dari kabupaten; menghilangkan afiksasi me- pada kata “mengalahkan” diganti dengan “kalahkan”; menghilangkan afiksasi me- pada kata “mengalihkan” diganti dengan “alihkan”. 3) MARET 2010 Ada kata dalam judul yang dihilangkan yakni menghilangkan afiksasi pe-an pada kata “peningkatan” diganti dengan “tingkatkan”; menghilangkan afiksasi mem- pada kata “membuka” diganti dengan “buka” dan nama wakil walikota tidak disebutkan; menghilangkan afiksasi ber- pada kata “berswadaya” diganti dengan “swadaya”; menghilangkan afiksasi meng- pada kata “menghadapi” diganti dengan “hadapi”; menghilangkan konfiksasi di-kan pada kata “disembuhkan” diganti dengan “sembuh”; menghilangkan kata “telah”; menghilangkan 68 kata “harus” dan “jadi”; menghilangkan afiksasi mem- pada kata “membangun” diganti dengan “bangun”; menghilangkan afiksasi meng- pada kata “mengikuti” diganti dengan “ikuti”; menghilangkan afiksasi mem- pada kata “memberi” diganti dengan “beri”; menghilangkan afiksasi mem- pada kata “menerima” diganti dengan “terima”; menghilangkan kata “keluar, sebagai, dan dalam”; menghilangkan afiksasi me- pada kata “mewujudkan” diganti dengan “wujudkan”. Kata keterangan “dari peredaran” dari judul ini bisa dihilangkan karena kata ditarik berarti proses menghela; meletakkan subjek di awal judul dan menghilangkan konfiksasi pe-an pada kata “penyampaian” diganti dengan “sampaikan”. Ada judul yang tidak jelas dimana tabliq akbar dilaksanakan. Jadi, sebaiknya judul tulisan ini menjadi: TABLIG AKBAR DI ....; ada juga judul yang harusnya menerima atau mendapat SMS gelap. Judul ini tidak jelas siapa dan dimana menemukan selebaran; judul tidak jelas dimana peringatan maulid. 4) APRIL 2010 Ada kata dalam judul yang dihilangkan, yakni menghilangkan afiksasi me- pada kata “menggelar” diganti dengan “gelar” dan menghilangkan kalimat “tiap tahun tutup buku”; menghilangkan konfiksasi di-kan pada kata “dijadikan” diganti dengan “jadi”; menghilangkan kata “dapat”; menghilangkan afiksasi men- pada kata “mendukung” diganti dengan “dukung” dan menghilangkan kata “selalu”; menghilangkan kata “antara”, “yang lama, yang baru” dan seharusnya ketua pengadilan hanya satu kali saja digunakan; menghilangkan kata keterangan tujuan, yakni “bagi”. 5) MEI 2010 Ada kata dalam judul yang dihilangkan, yakni menghilangkan afiksasi me- pada kata “memerlukan” diganti dengan “perlukan”; menghilangkan konjungsi “dalam”; menghilangkan afiksasi me- pada kata “memerlukan” diganti dengan “perlukan”; menghilangkan afiksasi meng- pada kata “menggunakan” diganti dengan “gunakan”; menghilangkan kalimat “dan makan siang bersama warga”; menghilangkan afiksasi me- pada kata “memantapkan” diganti dengan “mantapkan”; menghilangkan afiksasi di- pada kata “dimulai” diganti dengan “mulai”; menghilangkan kata “alat musik pukul” karena tarbang sudah merupakan salah satu jenis alat musik dan kata “semakin”; menghilangkan kata keterangan “untuk” dan afiks meng- pada kata “melaporkan”. Selain itu, hilangkan juga kalimat “jangan malu dan takut”; menghilangkan kata keterangan “dalam dua hari kedepan” diganti dengan akan; konfiks per-an pada kata “permasalahan” diganti dengan “masalah”; menghilangkan konfiks di-kan pada kata “digratiskan” diganti dengan “gratis”; menghilangkan keterangan pada kata “kedepan” karena kata dua hingga 3 bulan sudah menunjukkan waktu akan datang; menghilangkan keterangan pada kalimat “sebagai kelengkapan dewan”; menghilangkan keterangan pada kata “harus mengena pada”; menghilangkan keterangan pada kata “bagi korban bencana”; menghilangkan keterangan pada kata “untuk selalu dapat”. Selain itu, penggantian konfiks meng-kan pada kata “mengaplikasikan” diubah menjadi sufiks -kan “aplikasikan”; menghilangkan keterangan pada kata “senin mendatang” karena kata “akan” sudah menunjukkan aspek; menghilangkan keterangan pada kata “pada 26 Nov mendatang” karena kata tersebut sudah ada dalam isi berita; menghilangkan kata “jadikan” karena kata tersebut sudah ada kata “menjadi”; menghilangkan kata “merupakan”; menghilangkan predikat “mulai lakukan” karena sudah ada predikat “pembenahan”; menghilangkan kata “masih” dan kata inventarisir tidak baku seharusnya diganti menjadi inventarisasi; menghilangkan kata “pedagang” karena kepanjangan PKL adalah Pedagang Kaki Lima. Selain itu, menghilangkan konfiks meng-kan pada kata “membersihkan” menjadi 69 sufiks -kan “bersihkan”; menghilangkan kata “akan” dan “mendatang” karena kata keterangan 15 Oktober sudah tersirat mendatang seharusnya dihilangkan. Selain itu, menghilangkan konfiks meng-kan pada kata “membersihkan” menjadi sufiks –kan “bersihkan; menghilangkan kata “juga” dan “ikut” karena keterangan; menghilangkan kata keterangan “kloter enam”; menghilangkan kata “dapat” dan prefiks mem- pada kata “mempertahankan”; menghilangkan kalimat “yang akan berangkat” karena secara implisit sudah ditunjukkan dengan kata ke-; menghilangkan kata keterangan “sebagai PTS tertua dan terbesar”; menghilangkan kata keterangan “lahirnya kemandirian”. menghilangkan kata “lomba mewarna dan melukis tong sampah”; menghilangkan kalimat “harus dilaksanakan dengan” dan kata kesungguhan dapat diletakkan di awal kalimat; menghilangkan kata keterangan “untuk”; menghilangkan kata “harus yang”; menghilangkan nama walikota “Yudhi Wahyuni” dan keterangan tempat “di SD Muhammadiyah 8”; menghilangkan kata “Banjarmasin siap berlaga” dan keterangan tempat “di MTQ Marabahan” karena kalimat tersebut akan dijelaskan di dalam isi berita. Ada juga judul yang seharusnya mengganti kalimat “jangan gunakan” menjadi kata “bukan”. 6) JUNI 2010 Ada kata dalam judul yang dihilangkan, yakni menghilangkan kata “yang kekurangan”; menghilangkan kata “bertambah”; menghilangkan kata “jauh”; menghilangkan kata “aliran”; menghilangkan kalimat “pasca banjir” dan kata milyar tidak baku seharusnya miliar; menghilangkan kata keterangan “sudah” dan “ke Banjarbaru”; menghilangkan kata “dengan” dan kata cara sederhana diletakkan di depan kata kemudian dilanjutkan kata “entaskan kemiskinan”; menghilangkan aspek “akan”; menghilangkan kata “terhadap”; menghilangkan kata “gubernur”; menghilangkan kalimat “diumumkan 5 Juni”; menghilangkan nama “HG. Khairul Saleh”; menghilangkan kata “pengembangan kapasitas untuk perbaikan kinerja pelayanan publik”; menghilangkan kata “bertambah”. 7) JULI 2010 Supaya judul bisa lebih efektif dengan menghilangkan kata “jumlah” dan “diperkirakan”; menghilangkan kata “yang lebih baik”; menghilangkan kata “bak kacang goreng di awal tahun pelajaran”; menghilangkan kalimat “di kota Banjarmasin terus”; menghilangkan kata “pada”; menghilangkan kata “bagi”; menghilangkan kata “menuju” dan “bergilir”; menghilangkan kalimat “merupakan wadah menyalurkan” Kata hobi diletakkan di depan kalimat; menghilangkan kalimat “dilaksanakan di Tala”; menghilangkan kata “terhadap”; menghilangkan kata “bisa”; menghilangkan kata “masih”; menghilangkan kata “dipersiapkan”; menghilangkan kata “untuk”; menghilangkan kata “belum ditemui dan berarti”. Ada judul ini terlalu panjang dan bisa lebih efektif dengan mengganti kata “setiap, harus menggunakan” menjadi “pakai” dan menghilangkan keterangan “Desember 2011”. 8) AGUSTUS 2010 Agar judul bisa lebih efektif dengan menghilangkan kata “di” pada kata diminati diganti menjadi “minat” dan diletakkan di awal kalimat. Kata keterangan warga Banjarmasin juga seharusnya dihilangkan; menghilangkan kalimat “kembali penuhi SPBU” dan kata keterangan “di Banjarmasin”; menghilangkan kalimat “tidak dapat berjualan di pasar wadai”; menghilangkan kata keterangan “untuk karyawan”; menghilangkan aspek “akan” dan kata keterangan “di lingkungan”; menghilangkan kata keterangan “17 Juli” dan aspek “akan”; menghilangkan kata “tergiur upah” dan “menjadi”; menghilangkan afiks “meng-” pada kata “mengetahui” menjadi “tahu” dan kata keterangan “di Kalsel”; menghilangkan aspek “akan”; menghilangkan kata keterangan “HST”; menghilangkan konfiks “ke-an” pada kata

70 “kepedulian” menjadi “peduli”. Ada judul yang harus menanggalkan nama H.Muhiddin dan H.M Irwan seharusnya jabatannya saja yang disebutkan. 9) SEPTEMBER 2010 Supaya judul bisa lebih efektif, dengan menghilangkan kalimat “demi kelancaran pelayanan publik”; menghilangkan kata “dilakukan” dan kata keterangan “pekan depan” diletakkan di awal kalimat; menghilangkan kata “tentang”; menghilangkan prefiks “meng-” pada kata “menghambat” menjadi “hambat”; menghilangkan kata “bagi”; menghilangkan prefiks “men-” pada kata “mendapat” menjadi “dapat”; menghilangkan kata “yang”; menghilangkan prefiks “men-” pada kata “menjadi” menjadi “jadi”; menghilangkan kalimat “dimanfaatkan untuk” dan kata rekreasi diletakkan di awal kalimat; menghilangkan konfiks “ke-an” pada kata “keuntungan” menjadi “untung”; menghilangkan kata keterangan “untuk”; menghilangkan keterangan nama SDN, yakni “SDN Melayu 2 dan SDN Melayu 12”. Ada juga judul agar efektif dengan mengganti kalimat “tidak layak makan” dengan “berbahaya”. Kata keterangan 50% diletakkan di awal kalimat; mengganti kata “tinggi” dengan “mahal”. 10) OKTOBER 2010 Judul lebih efektif dengan mengganti kalimat “layak untuk” menjadi “jadi”. Agar judul efektif dengan menghilangkan kalimat permintaan uang tunai; menghilangkan kata “pentingnya” dan “dalam”; menghilangkan prefiks “men-” pada kata “menjadi” diganti menjadi “jadi”; menghilangkan konfiks “ke-an” pada kata “kedatangan” menjadi “datang” kemudian kata tersebut diletakkan di belakang kalimat. 11) NOVEMBER 2010 Ada judul terlalu panjang dan bisa lebih efektif dengan menghilangkan keterangan “dari Desa Awang Bangkal menuju Desa Tiwangan”; menghilangkan kata “puncak” dan keterangan “tahun 2010”; menghilangkan sufiks “-i” pada kata “maknai” menjadi “makna”; menghilangkan kalimat “bila ditunjang”. Subjek kalimat akan lebih tampak jika kata “penyuluh berkualitas” diletakkan di awal kalimat; menghilangkan kalimat “melakukan delay penerbangan selama 3 jam lebih” dan kata “delay” bukan kata baku seharusnya diganti dengan kata tunda; menghilangkan kata “untuk” dan mengganti kata tidak baku “milyar” dan “mesjid” dengan “miliar” dan “masjid” kemudian kalimat “rehap pagar mesjid sabilal” diletakkan di awal kalimat. Ada juga judul agar efektif dengan mengganti kalimat “yang melanda merupakan” menjadi “sebagai” dan menghilangkan keterangan “bagi seluruh rakyat Indonesia”. 12) DESEMBER 2010 Judul bisa lebih efektif dengan menghilangkan kata “untuk” dan mengganti kata tidak baku “berqurban” dan “berkurban”; menghilangkan kata “perkantoran dan kembali” serta mengganti kata tidak baku “aktifitas” menjadi “aktivitas”. Kata aktivitas diletakkan di awal kalimat; menghilangkan prefiks “men-” pada kata “menciptakan” menjadi “ciptakan”; menghilangkan prefiks “ber-” pada kata “bersilaturahmi” menjadi “silaturahmi” dan mengganti kata tidak baku “silaturrahmi” menjadi “silaturahmi”. Kemudian kata silaturahmi diletakkan di awal kalimat; menghilangkan prefiks “men-” pada kata “mendapat” menjadi “dapat” dan menghilangkan kalimat “warga kehormatan Brimob Polri”; menghilangkan kalimat “jika ada laporan istri”; menghilangkan keterangan “sekitar hutan cempaka dan karang intan”; menghilangkan prefiks “meng-” pada kata “mengutamakan” menjadi “utamakan”; menghilangkan kata “tentang”; menghilangkan prefiks “mem-” pada kata “memperluas”

71 menjadi “perluas”. Ada juga agar judul efektif dengan mengganti kata “perlu dilaksanakan dengan” menjadi “terlaksana”.

B. Keefektifan penulisan judul naskah berita Warta Kalsel TVRI Kalimantan Selatan tahun 2010 dari segi judul tulisan hendaknya dibuat menarik Judul menarik antara lain KPU BERSOLEK JELANG PENCOBLOSAN; BISNIS ALAT MUSIK PUKUL TARBANG SEMAKIN MENGGELIAT; GULA RAFINASI MENGHILANG DI PASARAN; GULA RAFINASI MENGHILANG UKM MENJERIT; ROSEHAN BANJIR TAWARAN JADI KETUA PARTAI; MENEROBOS KETERISOLIRAN; PLN HARUS BUKA DIRI; BISNIS PAKAIAN SERAGAM BAK KACANG GORENG DI AWAL TAHUN PELAJARAN; TERGIUR UPAH MAU MENJADI KURIR NARKOBA; PLURALISME VERSUS ISLAM; ACIS HARUS MAMPU MELAHIRKAN BUAH PIKIRAN UNTUK KALSEL; PASCA LIBUR PANJANG AKTIVITAS PERKANTORAN KEMBALI MENGGELIAT; SMS GELAP; WATER BOM DI SERBU PENGUNJUNG; UPAYA MEMPERCANTIK KOTA BJM; BERBURU SEPEDA MAHAL; JIKA BISA DIPERMUDAH KENAPA HARUS DIPERSULIT; TEKAN ANGKA KEMISKINAN; PEKAN KEMILAU SERIBU SUNGAI; YANG TERPILIH ITU PILIHAN MASYARAKAT; PASANGAN MAMING DEPRI MENANG TELAK; HARGA BAWANG & CABE MELONJAK NAIK.

C. Keefektifan penulisan judul naskah berita Warta Kalsel TVRI Kalimantan Selatan tahun 2010 dari segi judul dianjurkan untuk mengikuti aturan-aturan resmi bahasa Indonesia Judul sesuai kaidah bahasa Indonesia antara lain DINAS PERIKANAN DAN KELAUTAN GELAR RAZIA PENANGKAPAN IKAN TIDAK RESMI; 3 JCH KALTENG KLOTER ENAM BELUM DIVAKSIN; 2011 JEMBATAN KELAYAN AKAN DISELESAIKAN; MAFIA HUKUM HARUS DIBERANTAS; TOKO PAKAIAN SERAGAM SEKOLAH DISERBU PEMBELI; WARGA PERLU DIBANTU; MASUK PENGARAHAN BUPATI; PASANGAN DUA RUDY TINGGAL TUNGGU DILANTIK; VETERAN MINTA HAKNYA DIKEMBALIKAN; PENGUNGSI DIKAWAL POLISI; JANJI PLN HARUS DITEPATI; PEMKO BJM BUKA STAN TOKO BINATANG DI PAMERAN KALSEL; TEMPAT HIBURAN MALAM TUTUP SELAMA RAMADAN; GUBERNUR DITUNTUT BENAHI MASALAH KELANGKAAN BBM; TES KESEHATAN JCH TERAKHIR DIEMBARKASI HAJI; HALIM MAMPU BELAJAR DI SEKOLAH UMUM; MAGISTER DISESUAIKAN DENGAN ILMU S-1; PEMPROV MASIH INVENTARISASI MOBIL DINAS DAN RUMAH DINAS; BERJALAN DAN BERSEPEDA RAMAIKAN HARI TATA RUANG 2010; BIMBEL DIMINTA UNTUK PATUHI PERIZINAN; WATER BOM DISERBU PENGUNJUNG; TV SWASTA BELUM REALISASIKAN ISI LOKAL; UPACARA PERINGATAN HARI GURU NASIONAL DAN HARI ULANG TAHUN PGRI KE-65; HARI BAKTI PU KE-65; HARI KESEHATAN NASIONAL KE-46; AKTIVITAS PASCA LIBUR PANJANG; HARI JADI KE- 45 TAPIN; RIBUAN GURU HADIRI HUT PGRI KE-65; PROGRAM DESA BINAAN 2010 BERAKHIR DI SUNGAI PINANG; PERINGATAN HARI DI KAB. BATOLA; HARI GERAKAN PKK KE-38; PERINGATAN HARI IBU KE-82; DANA REHABILITASI JALAN DI KALSEL 50 MILIAR; PESAWAT LION AIR TERTUNDA; REHAB PAGAR MASJID SABILAL 6 MILIAR; POLIGAMI PNS BISA DITINDAK JIKA ADA LAPORAN ISTRI.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa keefektifan penulisan judul naskah berita Warta Kalsel TVRI Kalimantan Selatan tahun 2010 dari segi: a) judul tulisan harus singkat dengan penekanan lebih pendek ada 167 buah; b) judul tulisan hendaknya dibuat menarik 24

72 buah; dan c) judul dianjurkan untuk mengikuti aturan-aturan resmi bahasa Indonesia 36 buah. Dari segi tulisan harus singkat dalam judul berita yang ada terdapat kata yang dihilangkan adalah kata depan “di”, keterangan waktu “hari ini”, afiksasi mem- pada kata “membantu”, nama dibelakang kata walikota, keterangan tujuan pada kata “kepada korban kebakaran”, kata “tahun” karena 2011 sudah menunjukkan tahun, konfiksasi pe-an pada kata “pemahaman” diganti dengan “pahami”, afiksasi men- pada kata “menjadi” diganti dengan “jadi” dan kata “yang” dihilangkan, aspek pada kata “akan”. afiksasi me- pada kata “memiliki” diganti dengan “miliki” dan kata “yang” dihilangkan. Kata “ludes” dari judul ini bisa dihilangkan karena kata ludes berarti habis sama sekali, menghilangkan kata “kepastian”, afiksasi me- pada kata “menunggu” diganti dengan “tunggu”, afiksasi me- pada kata “menjadi” diganti dengan “jadi”. Dari segi judul dibuat menarik, yakni KPU BERSOLEK, BISNIS SEMAKIN MENGGELIAT, GULA MENGHILANG, UKM MENJERIT, BANJIR TAWARAN, MENEROBOS KETERISOLIRAN, PLN BUKA DIRI, BISNIS PAKAIAN BAK KACANG GORENG, TERGIUR UPAH. Judul yang tidak sesuai dengan aturan resmi bahasa Indonesia karena kata Ilegal Fishing sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia, yakni penangkapan ikan tidak resmi, kata di serbu berarti di- sebagai imbuhan seharusnya ditulis serangkai, yakni diserbu, kata diembarkasi berarti di sebagai kata depan seharusnya ditulis terpisah, yakni di embarkasi, kata perijinan seharusnya perizinan. penulisan ke 65 harus menggunakan tanda penghubung, yakni ke-65.

Saran Saran yang dikemukakan dari hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan pengembangan keterampilan berbahasa penulis naskah berita, sehingga penulisan judul dapat efektif. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan agar hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dan perbandingan.

73 DAFTAR RUJUKAN

Pewarta-Indonesia. Tip-Trik/Tips-Membuat-Judul-dan-Abstrak-Skripsi.html. (online) (http:// www.infoskripsi.com diakses12 Desember 2010).

74 PEMEROLEHAN KALIMAT PADA ANAK USIA DINI

Nurril Rahmadani Maliq1 dan Jumadi2 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat

Abstract

Sentence Acquisition Research in Early Childhood aims to describe its structure of sentences and sentence types of children aged 2-4 years. The method used in this research is descriptive method with qualitative approach and the type of research is language acquisition, especially acquisition of sentence children aged 2-4 years. The research was conducted at the Foundation Nur Amalia Banjarmasin. Data collection techniques used in this study are of three kinds of techniques, the techniques of observation, recording techniques, and interview techniques. Results showed that children aged 2 years at the Foundation Nur Amalia obtain more declarative sentences because children this age are likely to still follow the line of people around him and only contains information, obtain an imperative sentence with the word command “grab”, and optative sentences obtained by the word “want”. Children aged 3 years acquire declarative sentences spoken in accordance with the circumstances, obtain more interrogative sentences for children at this age tend to still want to learn new things around him, so that there are still many questions to ask and the words used were: “why “,” who “,” where “,” where “, and” doing “. Obtain more imperative sentences ban the word “do”, get interjektif sentence with cries of “come on”, and obtain the optative sentence using the word “want”. Children aged 4 years acquire declarative sentences are pronounced according to the circumstances, obtain interrogative sentences with question words “who”, “why”, “where”, “where”, obtaining a ban imperative sentence with the word “do” and the sentence ordered by the word “fetch and see”, more gain interjektif sentence because children this age are still making something that is seen is special, so often used the phrase appeal. Appeal the sentence used is the word “come”, and obtain a more optative sentences vary according to context. Children aged 2 years at the Foundation Nur Amalia more use of the structure of the sentence P (predicate), S (subject). Children aged 3 years more use of the structure of the sentence P (predicate), S (subject) and S (subject), P (predicate). Children aged 4 years more use of the structure of sentences S (subject), P (predicate), and O (object).

Keywords: sentence, children, early childhood

PENDAHULUAN Bahasa merupakan alat komunikasi yang dimiliki oleh manusia. Bahasa merupakan suatu kode atau sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer dan dipakai oleh manusia untuk berkomunikasi antarsesamanya. Bahasa juga digunakan untuk menyampaikan suatu ucapan yang nyata dari pikiran seseorang agar orang lain memahaminya. Untuk menguasai bahasa, manusia perlu mengembangkan pemerolehan bahasa yang dimiliki di dalam otak sejak ia lahir dan diperoleh dari bahasa ibu atau bahasa pertamanya.

1 Alumnus Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat tahun 2012 2 Guru Besar bahasa dan Sastra Indonesia spesialisasi Wacana pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat

75 Pemerolehan bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak manusia ketika masih anak-anak yang diperoleh dari bahasa pertamanya, yaitu bahasa ibu. Pemerolehan bahasa berbeda dengan pembelajaran bahasa. Pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua. Bahasa pertama ini menunjang untuk pembelajaran bahasa kedua. Pemerolehan bahasa anak adalah proses anak mengenal komunikasi dengan lingkungan secara verbal. Lingkungan anak sangat mempengaruhi dalam pemerolehan bahasa, baik dari dalam keluarga maupun dari luar keluarga. Telah dipaparkan di atas pemerolehan bahasa anak ialah proses yang terjadi di dalam otak anak ketika ia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibu. Selama pemerolehan bahasa pertama, Chomsky menyebutkan bahwa ada dua proses yang terjadi ketika seorang kanak-kanak memperoleh bahasa pertamanya. Proses yang dimaksud adalah proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini merupakan dua proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) secara tidak disadari. Kompetensi ini dibawa oleh setiap anak sejak lahir. Meskipun dibawa sejak lahir, kompetensi memerlukan pembinaan sehingga anak-anak memiliki performansi dalam berbahasa. Performansi adalah kemampuan anak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Performansi terdiri dari dua proses, yaitu proses pemahaman dan proses penerbitan kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan mengamati atau mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar, sedangkan proses penerbitan melibatkan kemampuan menghasilkan kalimat-kalimat sendiri (Chaer, 2003:167). Teori pemerolehan bahasa dihubungkan dengan psikologi. Ada tiga teori pemerolehan bahasa, salah satunya yang digunakan dalam penelitian ini ialah teori behavioristik. Kaum behavioristik berpendapat bahwa tidak ada struktur linguistik yang dibawa oleh manusia sejak lahir. Manusia lahir tidak memiliki kapasitas maupun kompetensi untuk berbahasa. Mereka beranggapan bahwa manusia lahir seperti kertas putih tanpa coretan apapun, lingkunganlah yang akan membentuk potensi bahasanya. Aliran behavioris mengakui bahwa struktur organisme manusia mempunyai pembatasan-pembatasan tentang jenis struktur linguistik yang dapat dikuasai (Depdikbud, dalam Pateda, 1990: 44). Ada beberapa prinsip pokok yang membedakan pandangan kaum behavioris dengan pandangan lain, misalnya pandangan dalam psikologi unsur, psikologi pikir, psikologi gestalt. Prinsip-prinsip pokok itu terletak pada 1) objek psikologi bagi kaum behavioris adalah kaum atau tingkah laku, 2) segala bentuk tingkah laku adalah susunan refleks, 3) penghargaan diberikan kepada pengaruh pendidikan (Silangen, dalam Pateda, 1990: 44). Dikaitkan dengan pemerolehan bahasa, teori behavioris mendasarkan proses akuisisi itu melalui perubahan tingkah laku yang teramati. Gagasan behavioristik terutama didasarkan pada teori belajar yang pusat perhatiannya tertuju pada peranan lingkungan, baik verbal maupun nonverbal. Bagi kaum behavioris, bahasa adalah keseluruhan tingkah laku manusia yang mendasar dan berkembang sejak anak lahir. Pendekatan kaum behavioris dipusatkan pada pola tingkah laku berbahasa manusia yang diwujudkan melalui hubungan antara stimulus dengan respons yang berlangsung di sekeliling manusia (Pateda, 1990: 45). Pada aliran behavioris ini ada salah satu ahli yang melakukan percobaan dengan binatang tikus. Percobaan ini dilakukan oleh B.F. Skinner. Skinner melakukan percobaan ini dengan tikus yang dimasukkan dalam kotak. Kotak tersebut diberi dua tombol, satu tombol positif dan satu tombol negatif. Jika tikus menekan tombol negatif, akan tertumpah bedak gatal. Jika tikus menekan tombol positif, dia berhasil keluar dari kotak. Hal ini dilakukan oleh Skinner berulang kali dan akhirnya tikus hapal dan akan selalu menekan tombol positif.

76 Berdasarkan percobaan ini, Skinner berpendapat jika perbuatan tertentu terjadi berulang, terjadi pengutan positif atau negatif. Penguatan positif terjadi apabila perbuatan sering berlangsung, dan perbuatan bersifat negatif jika perbuatan itu tidak berulang. Begitu juga dengan pemerolehan bahasa menurut aliran behavioris, anak akan cepat mendapat dan menghapal bahasa apabila lingkungannya memberikan bahasa terus-menerus dan berulang. Anak-anak memperoleh bahasa melalui hubungan dengan lingkungan dengan cara meniru. Dalam hubungan dengan peniruan, faktor yang penting adalah frekuensi berulangnya kata atau urutan kata (Pateda, 1990: 45). Chaer (2009) menyebutkan jenis kalimat berdasarkan kategorinya adalah sebagai berikut. a) Berdasarkan kategori klausanya dibedakan adanya (1) Kalimat verbal, yakni kalimat yang predikatnya berupa verba atau frasa verbal. (2) Kalimat adjektifa, yakni kalimat yang predikatnya berupa adjektifa atau frasa adjektifal. (3) Kalimat nominal, yakni kalimat yang predikatnya berupa nomina atau frasa nominal. (4) Kalimat preposisional, yakni kalimat yang predikatnya berupa frasa prepo sisio nal. (5) Kalimat numeral, yakni kalimat yang predikatnya berupa numeralia atau frasa numeral. (6) Kalimat adverbial, yakni kalimat yang prdikatnya berupa adverbia atau frasa adverbial. b) Berdasarkan jumlah klausanya dibedakan adanya (1) Kalimat sederhana, yakni kalimat yang dibangun oleh sebuah klausa. (2) Kalimat “bersisipan”, yakni kalimat yang pada salah satu fungsinya “disisip kan” sebuah klausa sebagai penjelas atau keterangan. (3) Kalimat majemuk rapatan, yakni sebuah kalimat majemuk yang terdiri dari dua kluasa atau lebih di mana ada fungsi-fungsi klausanya yang dirapatkan karena merupakan substansi yang sama. (4) Kalimat majemuk setara, yakni kalimat yang terdiri dari dua klausa atau lebih dan memiliki kedudukan yang setara. (5) Kalimat majemuk bertingkat, yakni kalimat yang terdiri dari dua buah klausa yang kedudukannya tidak setara. (6) Kalimat majemuk komplek, yakni kalimat yang terdiri dari tiga klausa atau lebih yang di dalamnya terdapat hubungan koordinatif (setara) dan juga hubungan subordinatif (bertingkat). c) Berdasarkan modusnya dibedakan adanya (1) Kalimat berita (deklaratif), yakni kalimat yang berisi pernyataan belaka. (2) Kalimat tanya (interogatif), yakni kalimat yang berisi pertanyaan, yang perlu diberi jawaban. (3) Kalimat peritah (imperatif), yakni kalimat yang berisi perintah, dan perlu diberi reaksi berupa tindakan. (4) Kalimat seruan (interjektif), yakni kalimat yang menyatakan ungkapan perasaan. (5) Kalimat harapan (optatif), yakni kalimat yang menyatakan harapan atau keinginan.

Secara umum, struktur sintaksis terdiri dari susunan subjek (S), predikat (P),objek (O), dan keterangan (K). Menurut Verhaar (dalam Chaer, 2007), fungsi-fungsi sintaksis terdiri dari unsur- unsur S, P, O, dan K merupakan “kotak-kotak kosong” atau “tempat-tempat kosong” yang tidak

77 mempunyai arti apa-apa karena kekosongannya. Tempat-tempat kosong itu akan diisi oleh sesuatu yang berupa kategori dan memiliki peran tertentu (Chaer, 2007: 207). Struktur kalimat ini lebih terarah pada fungsi kalimat. Dilihat dari fungsinya kalimat dapat berperan sebagai kalimat aktif dan kalimat pasif, dapat pula sebagai kalimat inversi (perubahan) letak fungsi kalimat. Susunan fungsi sintaksis tidak harus selalu berurutan S, P, O, dan K. seperti contoh Keluarlah nenek dari kamarnya. Struktur kalimat tersebut berurutan S, P, O, dan K. Dari contoh itu pula, dapat diketahui bahwa keempat fungsi itu tidak harus selalu ada dalam setiap struktur sintaksis. Hanya masalahnya, fungsi-fungsi mana yang bisa tidak muncul dan fungsi- fungsi mana pula yang harus selalu muncul sehingga konstruksi tersebut dapat disebut sebagai sebuah struktur sintaksis (Chaer, 2007: 209). Sebelum anak menduduki tingkat sekolah dasar, anak akan memasuki tahap belajar sambil bermain untuk mengenal lingkungannya, untuk mengenal huruf-huruf, angka-angka, dan benda- benda yang ada di sekitar kehidupannya. Dari situlah anak memperoleh kosakata-kosakata baru. Tahap ini dinamakan dengan prasekolah (kelompok bermain). Hal ini dapat melatih anak beradaptasi dengan lingkungannya agar memudahkan anak memperoleh bahasa keduanya. Berdasarkan hal-hal di atas, peneliti melakukan penelitian dengan judul Pemerolehan Kalimat pada Anak Usia Dini karena pentingnya pemerolehan kalimat anak usia dini untuk mengetahui kemampuan anak dalam pelafalan kalimatnya bedasarkan pemerolehan bahasa dilihat dari jenis kalimat dan struktur kalimat anak. Mengetahui pemerolehan kalimat anak berdasarkan umurnya dari 2,0-4,0 tahun. Penelitian ini penting karena karakteristik anak yang berbeda dan latar belakang anak yang pada umumnya memiliki dwibahasa bahkan multibahasa. Dengan demikian, penelitian ini ditujukan kepada calon guru untuk mempelajari pemerolehan kalimat anak sehingga guru dapat mengatasi perbedaan dan memahami konteks sosial budaya atau lingkungan anak untuk menunjang proses pembelajaran bahasa Indonesia kepada anak didiknya.

METODE Jenis penelitian ini ialah pemerolehan bahasa anak usia dini, khususnya pemerolehan kalimat anak usia 2,0-4,0 tahun. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif. Peneliti bertindak sebagai instrumen sekaligus pengumpul data. Dalam pengumpulan data, peneliti akan menggunakan rekaman video kegiatan anak dalam proses belajar di yayasan. Penelitian ini dilakukan di Yayasan Nur Amalia Banjarmasin. Yayasan ini terletak di Jalan perdagangan blok 8C No. 51 RT 35 HKSN, Banjarmasin. Peneliti memilih Yayasan Nur Amalia sebagai objek penelitian karena berdasarkan hasil observasi, anak- anak di Yayasan Nur Amalia sudah dapat berkomunikasi dengan orang di sekitarnya, sehingga sesuai dengan objek yang diperlukan peneliti. Data dan sumber data dalam penelitian ini adalah anak-anak kelompok bermain pada yayasan tersebut yang berusia 2,0-4,0 tahun. Peneliti sebagai pengamat penuh dalam pengambilan data. Data akan diambil dengan alat perekam suara yang nantinya akan ditranskripsikan ke dalam tulisan. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini antara lain ialah: a. Teknik Observasi Melalui teknik observasi, peneliti dapat melihat secara langsung kegiatan yang dilakukan anak dalam berkomunikasi dengan orang di lingkungan sekitarnya. Penelitian ini menggunakan teknik observasi karena peneliti ingin mengamati secara langsung kegiatan yang dilakukan anak di yayasan.

78 b. Teknik Rekaman Teknik ini dilakukan oleh peneliti yang memegang peran sebagai perekam dan pengamat penuh. Alat perekam yang digunakan ialah kamera digital bermerk Sony berwarna hitam dengan kapasitas 12, 1 Mega Pixel. Rekaman berupa video yang didapat kemudian dipindah ke dalam notebook melalui Bluetooth dan kemudian ditranskripsikan ke dalam bentuk tulisan untuk dianalisis. c. Teknik Wawancara Teknik wawancara juga digunakan dalam penilitian ini karena peneliti yang berperan langsung dalam proses pengambilan data, sehingga dapat dilakukan teknik wawancara guna mengetahui secara langsung kalimat yang diperoleh anak. Melalui teknik ini, dapat diketahui pemerolehan anak dalam berkomunikasi dengan orang di sekitarnya. Analisis data dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut. Mentranskripsikan hasil rekaman anak. Mengelompokkan jenis kalimat anak berdasarkan usianya. Jenis kalimatnya adalah deklaratif (berita), kalimat interogatif (tanya), kalimat imperatif (perintah), kalimat interjektif (seruan), dan kalimat optatif (harapan). Usianya berkisar dari 2,0-4,0 tahun. Menganalisis jenis kalimat anak berdasarkan usianya, yaitu 2,0-4,0 tahun. Menganalisis struktur kalimat anak, yakni melihat kalimat berdasarkan fungsinya apakah berpola S (subjek), P (predikat), O (objek), dan K (keterangan) atau Pel (pelengkap). Menyimpulkan hasil penelitian kalimat anak.

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Analisis Pemerolehan Jenis Kalimat Anak Berdasarkan Usianya. a. Pemerolehan Kalimat Anak: Usia Dua Tahun a) Kalimat Deklaratif (Berita) 1. Dah uyik (‘sudah bulik/sudah pulang’). Kalimat [1] termasuk kalimat deklaratif, karena kalimat tersebut menyatakan pernyataan atau berita yang diberitahukan kepada lawan bicaranya dengan maksud memberikan informasi bahwa ibunya sudah pulang. 2. Ni unya lun (‘ini punya ulun/ini punya saya’). Kalimat [2] termasuk kalimat deklaratif, karena kalimat tersebut menyatakan pernyataan atau berita yang diberitahukan kepada lawan bicaranya dengan maksud memberikan informasi bahwa barang yang dipegangnya adalah kepunyaan dia. 3. Mamana dada (‘mamanya kededa/mamanya tidak ada’). Kalimat [3] termasuk kalimat deklaratif, karena kalimat tersebut menyatakan pernyataan atau berita yang diberitahukan kepada lawan bicaranya dengan maksud memberikan informasi bahwa ibunya tidak ada. 4. Ain ula (‘main bula/bermain bola’). Kalimat [4] termasuk kalimat deklaratif, karena kalimat tersebut menyatakan pernyataan atau berita yang diberitahukan kepada lawan bicaranya dengan maksud memberikan informasi bahwa dia sedang bermain bola. 5. Mam ama elul (‘makan sama telur/makan dengan telur’). Kalimat [4] termasuk kalimat deklaratif, karena kalimat tersebut menyatakan pernyataan atau berita yang diberitahukan kepada lawan

79 bicaranya dengan maksud memberikan informasi bahwa dia sedang makan dengan telur. b) Kalimat Imperatif (Perintah) 1. Ambiyan tu na! (‘ambilkan itu nah!’). Kalimat [1] termasuk kalimat imperatif, karena kalimat tersebut menyatakan sebuah perintah yang ditandai dengan kata “ambilkan” kepada pengasuhnya untuk mengambilkan barang yang dia inginkan. 2. Cucu agi! (‘susunya lagi!’). Kalimat [2] termasuk kalimat imperatif, karena kalimat tersebut menyatakan sebuah perintah kepada pengasuhnya untuk membuatkan segelas susu. 3. Injam! (‘pinjam!’). Kalimat [3] termasuk kalimat imperatif, karena kalimat tersebut menyatakan sebuah perintah kepada temannya untuk meminjam barang yang dipegang oleh temannya. 4. An ambiy! (‘jangan diambil!’). Kalimat [4] termasuk kalimat imperatif, karena kalimat tersebut menyatakan sebuah larangan atau perintah yang ditandai dengan kata “jangan” kepada orang yang ingin mengambil mainannya. c) Kalimat Optatif (Harapan) 1. Au emen (‘mau permen’). Kalimat [1] termasuk kalimat optatif, karena kalimat tersebut menyatakan sebuah harapan atau keinginan dia yang ditandai dengan kata “mau” meminta permen kepada pengasuhnya. 2. Anjak obiy (‘handak mobil/mau mobil’). Kalimat [2] termasuk kalimat optatif, karena kalimat tersebut menyatakan sebuah harapan atau keinginan dia yang ditandai dengan kata “handak/mau” meminjam mobil-mobilan kepada pengasuhnya. 3. Enjong na… (‘gendong na…’). Kalimat [3] termasuk kalimat optatif, karena kalimat tersebut menyatakan sebuah harapan atau keinginan dia untuk digendong kepada pengasuhnya. 4. Iat aa tu. (‘lihat kaka itu’). Kalimat [4] termasuk kalimat optatif, karena kalimat tersebut menyatakan sebuah harapan atau keinginan dia melihat kaka itu yang sedang bermain.

b. Pemerolehan Kalimat Anak: Usia Tiga Tahun a) Kalimat Deklaratif (Berita) 1. Situ beubang tanahna (‘di situ berlubang tanahnya’). Kalimat [1] termasuk kalimat deklaratif, karena kalimat tersebut menyatakan pernyataan atau berita yang diberitahukan kepada lawan bicaranya dengan maksud memberikan informasi bahwa tanah itu ada lubangnya.

80 2. Ini ubangna na (‘ini lubangnya nah’). Kalimat [2] termasuk kalimat deklaratif, karena kalimat tersebut menyatakan pernyataan atau berita yang diberitahukan kepada lawan bicaranya dengan maksud memberikan informasi atau menunjukkan ini lubangnya. 3. Uyun dah dipeyikasa bu ae, katana angan angis (‘ulun sudah diperiksa bu ae, katanya jangan menangis/saya sudah diperiksa, Bu. Katanya jangan menangis’). Kalimat [3] termasuk kalimat deklaratif, karena kalimat tersebut menyatakan pernyataan atau berita yang diberitahukan kepada ibu gurunya dengan maksud memberikan informasi bahwa dia sudah selesai diperiksa dan menyampaikan pesan dokter untuk tidak boleh menangis. 4. Ain balok, kin keleta api (‘main balok, bikin kereta api’). Kalimat [4] termasuk kalimat deklaratif, karena kalimat tersebut menyatakan pernyataan atau berita yang diberitahukan kepada ibu gurunya dengan maksud memberikan informasi bahwa diwaktu istirahat dia bermain balok dan membuat kereta api. 5. Aini ain embakan (‘Zaini main tembakkan’). Kalimat [5] termasuk kalimat deklaratif, karena kalimat tersebut menyatakan pernyataan atau berita yang diberitahukan kepada ibu gurunya dengan maksud memberikan informasi bahwa dia (Zaini) pada waktu istirahat bermain tembak-tembakkan. b) Kalimat Interogatif (Tanya) 1. Napa citu? (‘kenapa di situ?’). Kalimat [1] termasuk kalimat interogatif, karena kalimat tersebut menyatakan sebuah pertanyaan yang ditandai dengan kata tanya “napa” atau “kenapa”. Pertanyaan itu ditujukan kepada temannya saat bermain gasing. 2. Napa macukkan Bu? (‘kenapa masukkan, Bu?’). Kalimat [2] termasuk kalimat interogatif, karena kalimat tersebut menyatakan sebuah pertanyaan yang ditandai dengan kata tanya “napa” atau “kenapa”. Pertanyaan itu ditujukan kepada gurunya ketika lonceng dibunyikan.

3. Mana Nilanya mana? (‘kemana Nilanya ke mana?’). Kalimat [3] termasuk kalimat interogatif, karena kalimat tersebut menyatakan sebuah pertanyaan yang ditandai dengan kata tanya “mana” atau “kemana”. Pertanyaan itu ditujukan kepada temannya karena dia mencari Nila. 4. Ayo, inyi capa? (‘halo, ini siapa?’). Kalimat [4] termasuk kalimat interogatif, karena kalimat tersebut menyatakan sebuah pertanyaan yang ditandai dengan kata tanya “capa” atau “siapa”. Pertanyaan itu ditujukan kepada temannya saat bermain telepon- teleponan.

81 5. Mana Abina? (‘mana Abinya?’). Kalimat [5] termasuk kalimat interogatif, karena kalimat tersebut menyatakan sebuah pertanyaan yang ditandai dengan kata tanya “mana” atau “kemana”. Pertanyaan itu ditujukan kepada temannya karena dia mencari Abi.

c) Kalimat Imperatif (Perintah) 1. Angan iat! Tada boleh (‘jangan liat! Kada boleh/jangan lihat! Tidak boleh’). Kalimat [1] termasuk kalimat imperatif, karena kalimat tersebut menyatakan sebuah larangan kepada temannya yang ditandai dengan kata “jangan” untuk tidak boleh melihat barang yang dibawanya. 2. Bagas na, angan palak-palak pang! (‘Bagas na, jangan parak-parak pang!/Bagas nah, jangan dekat-dekat dong!’). Kalimat [2] termasuk kalimat imperatif, karena kalimat tersebut menyatakan sebuah larangan kepada temannya yang ditandai dengan kata “jangan” untuk tidak dekat-dekat. 3. Aca doa ulu! (‘baca doa dulu!’). Kalimat [3] termasuk kalimat imperatif, karena kalimat tersebut menyatakan sebuah perintah kepada temannya untuk membaca doa. 4. Angan angis! (‘jangan nangis!’). Kalimat [4] termasuk kalimat imperatif, karena kalimat tersebut menyatakan sebuah larangan kepada temannya yang ditandai dengan kata “jangan”. Dengan maksud agar tidak menangis. 5. Eh, angan! (‘eh, jangan!’). Kalimat [5] termasuk kalimat imperatif, karena kalimat tersebut menyatakan sebuah larangan kepada temannya yang ditandai dengan kata “jangan” memegang mainannya.

d) Kalimat Interjektif (Seruan) 1. Ikumsallam (‘wa’alaikumsallam’). Kalimat [1] termasuk kalimat interjektif, karena kalimat tersebut menyatakan seruan yang diucapkan ketika menjawab salam dari temannya ditelepon. 2. Idak e’dengalan Icha! (‘tidak kedengaran Icha!’). Kalimat [2] termasuk kalimat interjektif, karena kalimat tersebut menyatakan seruan yang diucapkan kepada temannya ketika suara temannya (Icha) tidak terdengar ditelepon. 3. Angan bali…ial ja! (‘jangan dibari… biar aja!/jangan diberi… biar saja!’). Kalimat [3] termasuk kalimat interjektif, karena kalimat tersebut menyatakan seruan yang diucapkan ketika temannya ingin mengambil mainan balok dan dia mengucapkannya kepada mamanya untuk tidak memberi balok kepada temannya.

82 4. Ayo…ita alan-alan! (‘ayo… kita jalan-jalan!’). Kalimat [4] termasuk kalimat interjektif, karena kalimat tersebut menyatakan seruan yang ditandai dengan kata “ayo”. Kalimat ini diucapkan ketika mengajak jalan-jalan temannya saat berbicara ditelepon. 5. Dah… ampai umpa anti! (‘dah… sampai jumpa nanti!’). Kalimat [5] termasuk kalimat interjektif, karena kalimat tersebut menyatakan seruan yang ditandai dengan kata “dah” ketika mengakhiri pembicaraan ditelepon.

e) Kalimat Optatif (Harapan) 1. Yifky mau ain! (‘Rifky mau main!’). Kalimat [1] termasuk kalimat optatif, karena kalimat tersebut menyatakan suatu harapan bahwa Rifky ingin main. Ungkapan tersebut diucapkan kepada gurunya. 2. Andak bayon-bayon itu na…! (‘handak balon-balon itu na…/mau balon-balon itu nah…!’). Kalimat [2] termasuk kalimat optatif, karena kalimat tersebut menyatakan suatu harapan yang ditandai dengan kata “handak” atau “mau” bahwa ia ingin balon yang ada di situ. Ungkapan tersebut diucapkan kepada gurunya. 3. Ibu, Yifky ni tada andak belajal, andak ainan aja. (‘ibu, Rifky ni kada handak belajar, handak mainan aja./ibu, Rifky ini tidak mau belajar, mau mainan saja’). Kalimat [3] termasuk kalimat optatif, karena kalimat tersebut menyatakan suatu harapan yang ditandai dengan kata “handak” atau “mau” bahwa Rifky tidak ingin belajar hanya ingin bermain. Ungkapan tersebut diucapkan kepada gurunya. 4. Ibu uyun andak uyik (‘ibu ulun handak bulik/ibu saya mau pulang’). Kalimat [4] termasuk kalimat optatif, karena kalimat tersebut menyatakan suatu harapan yang ditandai dengan kata “handak” atau “mau” bahwa dia ingin pulang. Ungkapan tersebut diucapkan kepada gurunya. 5. Mau embak Abi! (‘mau menembak Abi!’). Kalimat [5] termasuk kalimat optatif, karena kalimat tersebut menyatakan suatu harapan yang ditandai dengan kata “mau” bahwa mereka ingin menembak Abi. Ungkapan tersebut diucapkan ketika menyanyi balonku ada lima. c. Pemerolehan Kalimat Anak: Usia Empat Tahun a) Kalimat Deklaratif (Berita) 1. Tu yang dicangkul olang tu (‘itu yang dicangkul orang itu’). Kalimat [1] termasuk kalimat deklaratif, karena kalimat tersebut menyatakan pernyataan atau berita yang diberitahukan kepada lawan bicaranya dengan maksud memberikan informasi bahwa tanah itu berlubang akibat dicangkul oleh orang.

83 2. Ain lubangnya itu, nyaman menang kita (lain lubangnya itu, nyaman menang kita/bukan lobangnya itu, biar kita menang’). Kalimat [2] termasuk kalimat deklaratif, karena kalimat tersebut menyatakan pernyataan atau berita yang diberitahukan kepada lawan bicaranya dengan maksud memberikan informasi bahwa itu bukan lubangnya dan main di sini bisa menang. 3. Abel udah peliksa gigi, lidah, sama telinga (‘Abel sudah diperiksa gigi, lidah, sama telinga’). Kalimat [3] termasuk kalimat deklaratif, karena kalimat tersebut menyatakan pernyataan atau berita yang diberitahukan kepada gurunya dengan maksud memberikan informasi bahwa Abel sudah diperiksa gigi, lidah, dan telinganya. 4. Abel tada punya kaitu bu ae (‘Abel kada punya kaadalah, Bu ae/ Abel tidak punya seperti itu, Bu’). Kalimat [4] termasuk kalimat deklaratif, karena kalimat tersebut menyatakan pernyataan atau berita yang diberitahukan kepada gurunya dengan maksud memberikan informasi bahwa dia tidak punya seperti itu. 5. Lumah Abel jauh (‘rumah Abel jauh’). Kalimat [5] termasuk kalimat deklaratif, karena kalimat tersebut menyatakan pernyataan atau berita yang diberitahukan kepada ibu gurunya dengan maksud memberikan informasi bahwa rumah Abel jauh.

b) Kalimat Interogatif (Tanya) 1. Napa tu nyanyi-nyanyi ge? (‘kenapa itu nyanyi-nyanyi lagi?’). Kalimat [1] termasuk kalimat interogatif, karena kalimat tersebut menyatakan sebuah pertanyaan yang ditandai dengan kata tanya “napa” atau “kenapa”. Pertanyaan itu ditujukan kepada temannya saat di dalam kelas dan dia bertanya pada temannya dengan maksud “mengapa nyanyi lagi”. 2. Sapa yang menang? (‘siapa yang menang?’). Kalimat [2] termasuk kalimat interogatif, karena kalimat tersebut menyatakan sebuah pertanyaan yang ditandai dengan kata tanya “sapa” atau “siapa”. Pertanyaan itu ditujukan kepada temannya saat bermain gasing, dia menanyakan siapa pemenangnya.

3. Mati kena di cini lo? (‘mati kena di sini lo?/mati nanti di sini kan?’). Kalimat [3] termasuk kalimat interogatif, karena kalimat tersebut menyatakan sebuah pertanyaan yang ditandai dengan partikel “lo” atau “kan” dalam bahasa Banjar yang bisa menjadi sebuah kalimat tanya. Kalimat itu ditujukan kepada temannya saat bermain gasing dengan maksud nanti mati/ kalah kalau mainnya di sini. 4. Kita sama-samalah? (‘kita sama-sama ya?’). Kalimat [4] termasuk kalimat interogatif, karena kalimat tersebut menyatakan sebuah pertanyaan yang ditandai dengan kata tanya “mana” atau

84 “di mana”. Pertanyaan itu ditujukan kepada temannya saat bermain telepon- teleponan. 5. Kita sama-sama menanglah? (‘kita sama-sama menang ya?’). Kalimat [5] termasuk kalimat interogatif, karena kalimat tersebut menyatakan sebuah pertanyaan yang ditandai dengan kata tanya “mana” atau “di mana”. Pertanyaan itu ditujukan kepada temannya saat bermain telepon- teleponan. c) Kalimat Imperatif (Perintah) 1. Awas pang! (‘awas pang!/ke pinggir dong!’). Kalimat [1] termasuk kalimat imperatif, karena kalimat tersebut menyatakan sebuah larangan kepada temannya yang ditandai dengan kata “awas” untuk tidak boleh mendekat kepadanya. 2. Tu jangan picik lah! (‘itu jangan dipicik lah!/itu jangan ditekan ya!’). Kalimat [2] termasuk kalimat imperatif, karena kalimat tersebut menyatakan sebuah larangan kepada temannya yang ditandai dengan kata “jangan” untuk tidak boleh memencet tembakannya. 3. Anggun sini ulu! (‘Anggun ke sini dulu!’). Kalimat [3] termasuk kalimat imperatif, karena kalimat tersebut menyatakan sebuah perintah yang ditandai dengan kata “ke sini” kepada Anggun untuk mendekatinya. 4. Tu na Bu, ambil mainanna! (‘itu na Bu, ambil mainannya!’). Kalimat [4] termasuk kalimat imperatif, karena kalimat tersebut menyatakan sebuah perintah yang ditandai dengan kata [ambil] yang diucapkan kepada gurunya untuk mengambil mainan temannya. 5. Cimpan mainanna alam antong! (‘simpan mainannya dalam kantong!’). Kalimat [5] termasuk kalimat imperatif, karena kalimat tersebut menyatakan sebuah perintah yang diucapkan kepada temannya untuk menyimpan mainannya di dalam kantong. d) Kalimat Interjektif (Seruan) 1. Nyaling-nyaling pang! (‘nyaring-nyaring pang!/keras-keras dong!’). Kalimat [1] termasuk kalimat interjektif, karena kalimat tersebut menyatakan seruan yang diucapkan kepada temannya pada saat main telepon- teleponan. Kalimat tersebut ditandai dengan kata “pang!” yang dalam bahasa banjar dapat menjadi kalimat seruan. 2. Ah…balon…liyati tu balon! (‘ah… balon…lihati itu balon!’). Kalimat [2] termasuk kalimat interjektif, karena kalimat tersebut menyatakan seruan yang diucapkan kepada temannya saat melihat paman berjualan balon. Kalimat tersebut juga ditandai kata “ah!” yang memperjelas bahwa itu kalimat seruan.

85 3. Balon…Man! (‘balon… Paman!’). Kalimat [3] termasuk kalimat interjektif, karena kalimat tersebut menyatakan seruan yang diucapkan kepada paman jualan balon. Anak ini berseru memanggil paman balon karena ingin membalinya. 4. Mama Zain! (‘mama Zain!’). Kalimat [4] termasuk kalimat interjektif, karena kalimat tersebut menyatakan seruan yang diucapkan kepada ibunya Zain. Kalimat ini merupakan seruan anak memanggil ibu dari temannya. 5. Eh…lagi…wiiihhh…ebat lo! (‘eh…lagi…wiiihhh…hebat lo!’). Kalimat [5] termasuk kalimat interjektif, karena kalimat tersebut menyatakan seruan yang diucapkan kepada temannya saat bermain gasing. Kalimat tersebut juga ditandai kata “wih!” yang memperjelas bahwa itu kalimat seruan.

e) Kalimat Optatif (Harapan) 1. Liat ibu… andak meliat! (‘lihat ibu… handak melihat!/lihat ibu… mau melihat!’). Kalimat [1] termasuk kalimat optatif, karena kalimat tersebut menyatakan suatu harapan ditandai dengan kata “handak” atau “mau” bahwa dia ingin melihat hasil rekaman video yang saya rekam. Ungkapan tersebut diucapkan kepada saya. 2. Liat pang Bu! (‘lihat pang Bu!/lihat dong, Bu!’). Kalimat [2] termasuk kalimat optatif, karena kalimat tersebut menyatakan suatu harapan bahwa dia ingin melihat kamera. Ungkapan tersebut diucapkan kepada saya. 3. Ayo nali agi Bu! (‘ayo nari lagi Bu!’). Kalimat [3] termasuk kalimat optatif, karena kalimat tersebut menyatakan suatu harapan bahwa dia ingin menari lagi. Ungkapan tersebut diucapkan kepada temannya. 4. Abel liati aku na… (‘Abel lihati aku na…’). Kalimat [4] termasuk kalimat optatif, karena kalimat tersebut menyatakan suatu harapan bahwa dia ingin dilihat oleh temannya (Abel). Ungkapan tersebut diucapkan kepada temannya. 5. Ibu kita menali agi yo… (‘ibu kita manari lagi yo…’). Kalimat [5] termasuk kalimat optatif, karena kalimat tersebut menyatakan suatu harapan bahwa dia ingin menari lagi. Ungkapan tersebut diucapkan kepada gurunya.

86 2. Analisis Pemerolehan Struktur Kalimat Anak Berdasarkan Usianya. a. Pemerolehan Kalimat Anak: Usia Dua Tahun a) Kalimat Deklaratif (berita) 1. Dah uyik . (‘sudah bulik/sudah pulang’). P Ujaran [1] merupakan kalimat yang hanya memiliki satu pola, yakni P (predikat). Kalimat ini terdiri dari kategori FV (Frasa Verbal) dan jika dilihat dari bentuk katanya dah atau sudah merupakan Adv dan kata buyik atau bulik/ pulang merupakan V. Jadi, kalimat [1] memiliki pola P dengan bentuk kata Adv. dan V. 2. Ni unya lun. (‘ini punya ulun/ini punya saya’). P S Ujaran [2] merupakan kalimat yang hanya memiliki pola minimal, yakni P (predikat) dan S (subjek). Kalimat ini terdiri dari kategori FV (Frasa Verbal) dan FPron. (Frasa Pronominal). Jika dilihat dari bentuk katanya, Ni atau ini merupakan Pron penunjuk, kata unya atau punya merupakan V, dan kata lun atau ulun/saya juga merupakan Pron. Jadi, kalimat [2] memiliki pola P dengan bentuk kata V dan S dengan bentuk kata Pron. 3. Mamana dada. (‘mamanya kededa/mamanya tidak ada’). S P Ujaran [3] merupakan kalimat yang hanya memiliki pola minimal, yakni S (subjek) dan P (predikat). Kalimat ini terdiri dari kategori FN (Frasa Nominal) dan FV (Frasa Verbal), jika dilihat dari bentuk katanya mamana atau mamanya merupakan N dan kata dada atau kadada/tidak ada merupakan V. Jadi, kalimat [3] memiliki pola S dengan bentuk kata N dan P dengan bentuk kata V. 4. Ain ula. (‘main bula/bermain bola’). P O Ujaran [4] merupakan kalimat yang hanya memiliki pola minimal, yakni P (predikat) dan O (objek). Kalimat ini terdiri dari kategori FV (Frasa Verbal) dan FN (Frasa Nominal), jika dilihat dari bentuk katanya ain atau main merupakan V dan kata ula atau bola merupakan N. Jadi, kalimat [4] memiliki pola P dengan bentuk kata V dan O dengan bentuk kata N. 5. Mam ama elul. (‘makan sama telur/makan dengan telur’). P O Ujaran [5] merupakan kalimat yang hanya memiliki pola minimal, yakni P (predikat) dan O (objek). Kalimat ini terdiri dari kategori FV (Frasa Verbal) dan FN (Frasa Nominal), jika dilihat dari bentuk katanya mam atau makan merupakan V, kata ama atau sama merupakan Adj, dan kata elul atau telur merupakan N. Jadi, kalimat [5] memiliki pola P dengan bentuk kata V dan O dengan bentuk kata N.

87 b) Kalimat Imperatif (perintah) 1. Ambiyan tu na!(‘ambilkan itu nah!’). P K Ujaran [1] merupakan kalimat perintah yang terdiri dari pola P (predikat) dan K (keterangan). Jika dilihat berdasarkan kategori frasanya terdiri dari FV (frasa verbal) adalah pada kata ambiyan atau ambilkan yang merupakan V (verba) dan FPron. (frasa pronominal) pada kata tu atau itu yang merupakan Pron. (pronimina) penunjuk. Jadi, kalimat di atas terdiri dari FV dan FPron. Yang memiliki fungsi P dan K. 2. Cucu agi! (‘susunya lagi!’). S P Ujaran [2] merupakan kalimat perintah yang terdiri dari pola S (subjek) dan P (predikat). Jika dilihat berdasarkan kategori frasanya terdiri dari FN (frasa nominal) adalah pada kata cucu atau susu yang merupakan N (nomina) dan FAdv. (frasa adverbal) pada kata agi atau lagi yang merupakan Adv. (adverbal). Jadi, kalimat di atas terdiri dari FN dan FAdv. Yang memiliki fungsi S dan P. 3. Injam! (‘pinjam!’). P Ujaran [3] merupakan kalimat minor perintah yang hanya terdiri dari pola P (predikat). Jika dilihat berdasarkan kategori frasanya terdiri dari FV (frasa verbal) adalah pada kata injam atau pinjam yang merupakan V (verba). Jadi, kalimat di atas hanya terdiri dari FV yang memiliki fungsi P. 4. An ambiy! (‘jangan diambil!’) P Ujaran [4] merupakan kalimat perintah yang hanya terdiri dari pola P (predikat). Jika dilihat berdasarkan kategori frasanya terdiri dari FV (frasa verbal) adalah pada kata an atau jangan yang merupakan Adv. (adverba) dan kata ambiy atau ambil yang merupakan V (verba). Jadi, kalimat di atas terdiri dari FV yang memiliki fungsi P.

c) Kalimat Optatif (harapan) 1. Au emen (‘mau permen’). P S Ujaran [1] merupakan kalimat harapan yang terdiri dari pola P (predikat) dan S (subjek). Jika dilihat berdasarkan kategori frasanya, terdiri dari FAdv. (frasa adverbal) adalah pada kata au atau mau yang merupakan Adv (adverba), FN (frasa nominal) pada kata emen atau permen yang merupakan N (nomina). Jadi, kalimat di atas terdiri dari FAdv. dan FN yang memiliki fungsi P dan S. 2. Anjak obiy (‘handak mobil/mau mobil’). P S Ujaran [2] merupakan kalimat harapan yang terdiri dari pola P (predikat) dan S (subjek). Jika dilihat berdasarkan kategori frasanya, terdiri dari FAdv. (frasa adverbal) adalah pada kata anjak atau handak/mau yang merupakan

88 Adv (adverba), FN (frasa nominal) pada kata obiy atau mobil yang merupakan N (nomina). Jadi, kalimat di atas terdiri dari FAdv. dan FN yang memiliki fungsi P dan S. 3. Enjong na… (‘gendong na…’). P Ujaran [3] merupakan kalimat harapan yang hanya terdiri dari pola P (predikat). Jika dilihat berdasarkan kategori frasanya, hanya terdiri dari FV (frasa verbal) adalah pada kata enjong atau gendong yang merupakan V (verba) dan kata na hanya merupakan partikel penjelas dalam bahasa Banjar bahwa dia mengharapkan gendongan. Jadi, kalimat di atas terdiri dari FV yang memiliki fungsi P. 4. Iat aa tu. (‘lihat kaka itu’). P S Ujaran [4] merupakan kalimat harapan yang terdiri dari pola P (predikat) dan S (subjek). Jika dilihat berdasarkan kategori frasanya, terdiri dari FV (frasa verbal) adalah pada kata iat atau liat yang merupakan V (verba) dan FN (frasa nominal) pada kata aa atau kaka yang merupakan N (nomina) dan kata tu atau itu merupakan partikel penunjuk. Jadi, kalimat di atas terdiri dari FV dan FN yang memiliki fungsi P dan S. b. Pemerolehan Kalimat Anak: Usia Tiga Tahun a) Kalimat Deklaratif (berita) 1. Situ beubang tanahna. (‘di situ berlubang tanahnya’). K P O Kalimat [1] terdiri dari pola K (keterangan), P (predikat), dan S (subjek). Jika dilihat dari bentuk katanya, kata situ atau di situ merupakan Pron petunjuk, kata beubang atau berlubang merupakan V, dan kata tanahna atau tanahnya merupakan N. Jadi, kalimat tersebut terdiri dari pola K dengan bentuk kata Pron, P dengan bentuk kata V, dan S dengan bentuk kata N. 2. Ini ubangna na. (‘ini lubangnya nah’). P Ujaran [2] merupakan sebuah kalimat yang hanya terdiri dari satu pola, yakni P (predikat). Jika dilihat dari bentuk katanya, kata ini merupakan Pron petunjuk, kata ubangna atau lubangnya merupakan V, dan kata nah hanyalah merupakan penekanan saja di dalam bahasa Banjar yang menekankan bahwa ini adalah lubangnya. Jadi, kalimat tersebut terdiri dari pola P dengan bentuk kata Pron dan V. 3. Uyun dah dipeyiksa bu ae katana angan angis. S P Pel. (‘ulun sudah diperiksa bu ae, katanya jangan menangis/saya sudah diperiksa, Bu. Katanya jangan menangis’). Kalimat [3] terdiri dari pola S (subjek), P (predikat), dan Pel. (pelengkap). Jika dilihat dari bentuk katanya, kata uyun atau ulun/saya merupakan Pron,

89 kata dah atau sudah merupakan V, kata dipeyiksa atau diperiksa merupakan V, kata Bu ae merupakan N, dan kata katana atau katanya, angan atau jangan, dan nangis merupakan V. Jadi, kalimat tersebut terdiri dari pola S dengan bentuk kata N, P dengan pentuk kata V, dan Pel dengan bentuk kata V. 4. Ain balok. kin keleta api. (‘main balok. bikin kereta api’). P O P O Ujaran [4] merupakan kalimat yang terdiri dari pola P (predikat), dan O (objek). Ujaran tersebut terdiri dari dua buah frasa yang memiliki pola sama. Jika dilihat dari bentuk katanya, kata ain atau main merupakan V, kata balok merupakan N, kata kin atau bikin merupakan V, dan kata keleta api atau kereta api merupakan N. Jadi, kalimat tersebut terdiri dari pola P dengan bentuk kata V dan O dengan bentuk kata N. 5. Aini ain embakan. (‘Zaini main tembakkan’). S P O Kalimat [5] terdiri dari pola S (subjek), P (predikat), dan O (objek). Jika dilihat dari bentuk katanya, kata Aini atau Zaini merupakan N, kata ain atau main merupakan V, dan kata embakan atau tembakan merupakan N. Jadi, kalimat tersebut terdiri dari pola S dengan bentuk kata N, P dengan bentuk kata V, dan O dengan bentuk kata N.

b) Kalimat Interogatif (tanya) 1. Napa citu? (‘kenapa di situ?’). P S Ujaran [1] merupakan kalimat tanya yang ditandai dengan kata tanya napa atau kenapa yang memiliki fungsi P (predikat) dan pada kategori katanya, kata napa atau kenapa merupakan Pron (pronomina). Kata citu atau di situ berkategori sebagai N (nomina) dan berfungsi sebagai S (subjek). Jadi, kalimat tanya di atas berpola P dan S. 2. Napa macukkan Bu? (‘kenapa masukkan, Bu?’). P S Ujaran [2] merupakan kalimat tanya yang ditandai dengan kata tanya napa atau kenapa yang memiliki fungsi P (predikat) dan pada kategori katanya, kata napa atau kenapa merupakan Pron (pronomina). Kata macukkan Bu atau masukkan Bu berkategori sebagai V (verba) dan berfungsi sebagai S (subjek). Jadi, kalimat tanya di atas berpola P dan S. 3. Mana Nilanya mana? (‘ke mana Nilanya ke mana?’). S P Ujaran [3] merupakan kalimat tanya yang ditandai dengan kata tanya mana atau ke mana yang memiliki fungsi P (predikat) dan pada kategori katanya, kata mana atau kemana merupakan Pron (pronomina). Kata Nilanya berkategori sebagai N (nomina) dan berfungsi sebagai S (subjek). Jadi, kalimat tanya di atas berpola S dan P.

90 4. Ayo, inyi capa? (‘halo, ini siapa?’). Pel. S P Ujaran [4] merupakan kalimat tanya yang ditandai dengan kata tanya capa atau siapa yang memiliki fungsi P (predikat) dan pada kategori katanya, kata capa atau siapa merupakan Pron (pronomina). Kata ayo atau halo berkategori sebagai Partikel cakap dan berfungsi sebagai Pel (pelengkap), kata inyi atau ini berkategori sebagai Pron (pronomina) penunjuk dan berfungsi sebagai S (subjek). Jadi, kalimat tanya di atas berpola Pel, S dan P. 5. Mana Abina? (‘di mana Abinya?’). P S Ujaran [5] merupakan kalimat tanya yang ditandai dengan kata tanya mana atau di mana yang memiliki fungsi P (predikat) dan pada kategori katanya, kata mana atau di mana merupakan Pron (pronomina). Kata Abina atau Abinya berkategori sebagai N (nomina) dan berfungsi sebagai S (subjek). Jadi, kalimat tanya di atas berpola P dan S. c) Kalimat Imperatif (perintah) 1. Angan iat, tada boleh! P Pel. (‘jangan liat, kada boleh!/jangan lihat, tidak boleh!’). Ujaran [1] merupakan kalimat larangan yang terdiri dari pola P (predikat) dan Pel. (pelengkap). Jika dilihat berdasarkan kategori frasanya terdiri dari FV (frasa verbal) adalah pada kata angan atau jangan yang merupakan Adv. (adverba) dan kata liat atau melihat yang merupakan V (verba), FV (frasa verbal) pada kata tada atau tidak yang merupakan Adv. (adverba) dan kata boleh yang merupakan Adv. (adverba). Jadi, kalimat di atas terdiri dari FV dan FV yang memiliki fungsi P dan Pel. 2. Bagas na, angan palak-palak pang! S P (‘Bagas na, jangan parak-parak pang!/Bagas nah, jangan dekat-dekat dong!’). Ujaran [2] merupakan kalimat larangan yang terdiri dari pola S (subjek) dan P (predikat). Jika dilihat berdasarkan kategori frasanya terdiri dari FN (frasa nominal) adalah pada kata Bagas yang merupakan N (nomina), kata na hanya merupakan penekanan bahwa dia tidak mau didekati dan FV (frasa verbal) pada kata angan atau jangan yang merupakan Adv. (adverba), kata palak-palak atau parak-parak/dekat-dekat yang merupakan V (verba) dan kata pang itu adalah penekanan dalam bahasa Banjar yang sama artinya dengan dong. Jadi, kalimat di atas terdiri dari FN dan FV Yang memiliki fungsi S dan P. 3. Aca doa ulu! (‘baca doa dulu!’). P O K Ujaran [3] merupakan kalimat perintah yang terdiri dari pola P (predikat), O (objek), dan K (keterangan). Jika dilihat berdasarkan kategori frasanya terdiri dari FV (frasa verbal) adalah pada kata aca atau baca yang merupakan V (verba), FN (frasa nominal) pada kata doa yang merupakan N (nomina) dan FAdv.

91 (frasa adverbal) pada kata ulu atau dulu yang merupakan Adv. (adverba). Jadi, kalimat di atas terdiri dari FV, FN dan FAdv. Yang memiliki fungsi P, O dan K. 4. Angan angis! (‘jangan nangis!’). P Ujaran [4] merupakan kalimat larangan yang terdiri dari pola P (predikat) saja. Jika dilihat berdasarkan kategori frasanya hanya terdiri dari FV (frasa verbal) adalah pada kata angan atau jangan yang merupakan Adv. (adverba) dan kata angis atau nangis yang merupakan V (verba). Jadi, kalimat di atas terdiri dari FV yang memiliki fungsi P. 5. Eh, angan! (‘eh, jangan!’). P Ujaran [5] merupakan kalimat larangan yang terdiri dari pola P (predikat) saja. Jika dilihat berdasarkan kategori frasanya hanya terdiri dari FAdv. (frasa adverbal) adalah pada kata angan atau jangan yang merupakan Adv. (adverba) dan kata eh hanya merupakan pengganti untuk memanggil orang. Jadi, kalimat di atas terdiri dari FAdv yang memiliki fungsi P.

d) Kalimat Interjektif (seruan) 1. Idak e’dengalan Icha! (‘tidak kedengaran Icha!’). P S Ujaran [1] merupakan kalimat seruan yang terdiri dari pola P (predikat), dan S (subjek). Jika dilihat berdasarkan kategori frasanya, terdiri dari FV (frasa verbal) adalah pada kata idak atau tidak yang merupakan Adv. (adverba) dan kata e’dengalan atau kedengaran yang merupakan V (verba), FN (frasa nominal) pada kata Icha yang merupakan N (nomina). Jadi, kalimat di atas terdiri dari FV, dan FN yang memiliki fungsi P, dan S. 2. Ayo ita alan-alan! (‘ayo… kita jalan-jalan!’). P S Ujaran [2] merupakan kalimat seruan yang terdiri dari pola P (predikat) dan S (subjek). Jika dilihat berdasarkan kategori frasanya, terdiri dari FN (frasa nominal) adalah pada kata ayo yang merupakan Partikel seruan dan kata ita atau kita yang merupakan N (nomina), FV (frasa verbal) pada kata alan-alan atau jalan-jalan yang merupakan V (verba). Jadi, kalimat di atas terdiri dari FN dan FV yang memiliki fungsi P, dan S. 3. Dah… ampai umpa anti! (‘dah… sampai jumpa nanti!’). P S Ujaran [3] merupakan kalimat seruan yang terdiri dari pola P (predikat) dan S (subjek). Jika dilihat berdasarkan kategori frasanya, terdiri dari FV (frasa verbal) adalah pada kata dah yang merupakan Partikel seruan, kata ampai atau sampai yang merupakan V (verba) dan kata umpa atau jumpa yang merupakan V (verba), FV (frasa verbal) pada kata anti atau nanti yang merupakan V (verba). Jadi, kalimat di atas terdiri dari FV dan FV yang memiliki fungsi P, dan S.

92 4. Udah na Bu! (‘sudah na Bu!’). P S Ujaran [4] merupakan kalimat seruan yang terdiri dari pola P (predikat) dan S (subjek). Jika dilihat berdasarkan kategori frasanya, terdiri dari FAdv. (frasa adverbal) adalah pada kata udah atau sudah yang merupakan V (verbal) dan kata na yang merupakan penegas dari kalimat seruan itu, FN (frasa nominal) pada kata Bu yang merupakan N (nomina). Jadi, kalimat di atas terdiri dari FAdv dan FN yang memiliki fungsi P, dan S. 5. Ifky ita alan-lan yu! (‘Rifky kita jalan-jalan yu!’). P S Ujaran [5] merupakan kalimat seruan yang terdiri dari pola P (predikat) dan S (subjek). Jika dilihat berdasarkan kategori frasanya, terdiri dari FN (frasa nominal) adalah pada kata Ifky atau Rifky yang merupakan N (nomina), FV (frasa verbal) pada kata ita atau kita yang merupakan N (nomina), kata alan- alan atau jalan-jalan yang merupakan V (verba), dan kata yu atau ayo yang merupakan partikel seruan. Jadi, kalimat di atas terdiri dari FN dan FV yang memiliki fungsi P, dan S. e) Kalimat Optatif (harapan) 1. Yifky mau ain (‘Rifky mau main’). S P Ujaran [1] merupakan kalimat harapan yang terdiri dari pola S (subjek) dan P (predikat). Jika dilihat berdasarkan kategori frasanya, terdiri dari FN (frasa nominal) adalah pada kata Yifky atau Rifky yang merupakan N (nomina) dan FV (frasa verbal) pada kata mau yang merupakan Adv. (adverba) dan kata ain atau main yang merupakan V (verba). Jadi, kalimat di atas terdiri dari FN dan FV yang memiliki fungsi S dan P. 2. Andak bayon-bayon itu na… P S K (‘handak balon-balon itu na…/mau balon-balon itu nah…’). Ujaran [2] termasuk kalimat harapan yang memiliki pola P (predikat), S (subjek), dan K (keterangan). Jika dilihat dari frasanya, kalimat di atas terdiri dari FAdv. (frasa Adverbial), FN (frasa Nominal), dan FPron. (Frasa Pronominal). Frasa-frasa tersebut dapat dibuktikan dari ketegori kata andak atau handak/mau yang merupakan Adv. (adverbia) pada FAdv., kata bayon- bayon atau balon-balon yang merupakan N (nomina) pada FN, dan kata itu na yang merupakan Pron. (pronomina) penunjuk. Jadi, kalimat di atas terdiri dari FAdv, FN, dan FPron. yang masing-masing memiliki fungsi P, S, dan K. 3. Yifky ni tada andak belajal, andak ainan aja. S P Pel. (‘Rifky ni kada handak belajar, handak mainan aja./Rifky ini tidak mau belajar, mau mainan saja’). Ujaran [2] termasuk kalimat harapan yang memiliki pola S (subjek), P (predikat), dan Pel. (pelengkap). Jika dilihat dari frasanya, kalimat di atas terdiri

93 dari FN (frasa nominal), FV (frasa verbal), dan FV (Frasa verbal). Frasa-frasa tersebut dapat dibuktikan dari ketegori kata Yifky atau Rifky yang merupakan N (nomina) pada FN, kata tada andak atau tidak handak/mau yang merupakan Adv. (adverbia) dan kata belajal atau belajar yang merupakan V (verba) pada FV, kata aianan atau mainan yang merupakan V (verba) dan kata aja atau saja yang merupakan Adv. (adverbia) pada FV. Jadi, kalimat di atas terdiri dari FN, FV, dan FV yang masing-masing memiliki fungsi S, P, dan Pel. 4. Uyun andak uyik .(‘ulun handak bulik/saya mau pulang’). S P Ujaran [4] termasuk kalimat harapan yang memiliki pola S (subjek) dan P (predikat). Jika dilihat dari frasanya, kalimat di atas terdiri dari FN (frasa nominal), dan FV (frasa verbal). Frasa-frasa tersebut dapat dibuktikan dari ketegori kata uyun atau ulun/saya yang merupakan N (nomina) pada FN, kata andak atau handak/mau yang merupakan Adv. (adverbia) dan kata uyik atau bulik/pulang yang merupakan V (verba) pada FV. Jadi, kalimat di atas terdiri dari FN, dan FV yang masing-masing memiliki fungsi S, dan P. 5. Mau embak Abi! (‘mau menembak Abi!’). P O Ujaran [5] termasuk kalimat harapan yang memiliki pola P (predikat), dan O (objek). Jika dilihat dari frasanya, kalimat di atas terdiri dari FV (frasa verbal), dan FN (frasa Nominal). Frasa-frasa tersebut dapat dibuktikan dari ketegori kata mau yang merupakan Adv. (adverbia) dan kata embak atau tembak yang merupakan V (verba) pada FV, kata Abi yang merupakan N (nomina) pada FN. Jadi, kalimat di atas terdiri dari FV dan FN yang masing-masing memiliki fungsi P dan O.

c. Pemerolehan Kalimat Anak: Usia Empat Tahun a) Kalimat Deklaratif (berita) 1. Tu yang dicangkul olang tu. (‘itu yang dicangkul orang itu’). P O Kalimat [1] terdiri dari pola P (predikat) dan O (objek). Kalimat tersebut jika dilihat dari kategori frasanya terdiri dari FV (frasa verbal) dan FN (frasa nominal). Jika dilihat dari katanya, kata tu atau itu merupakan Pron., kata yang merupakan konjungsi, kata dicangkul merupakan V, dan kata olang tu atau orang itu merupakan N. Jadi, kalimat di atas terdiri dari pola P dengan bentuk kata V dan O dengan bentuk kata N. 2. Ain lubangnya itu, nyaman menang kita. P Pel. (‘lain lubangnya itu, nyaman menang kita/bukan lubangnya itu, biar kita menang’). Kalimat [2] terdiri dari pola P (predikat) dan Pel. (pelengkap). Kalimat tersebut jika dilihat dari kategori frasanya terdiri dari FV (frasa verbal) dan FV (frasa verbal). Jika dilihat dari katanya, kata ain atau lain merupakan Adj , kata lubangnya merupakan V, kata itu merupakan Pron., kata nyaman

94 merupakan Adj, kata menang merupakan V, dan kata kita merupakan Pron. Jadi, kalimat di atas terdiri dari pola P dengan bentuk kata V dan Pel dengan bentuk kata V. 3. Abel udah peliksa gigi, lidah, sama telinga. S P O (‘Abel sudah diperiksa gigi, lidah, sama telinga’). Kalimat [3] terdiri dari pola S (subjek), P (predikat), dan O (objek). Kalimat di atas jika dilihat dari kategori frasa terdiri dari FN (frasa nominal), FV (frasa verbal), dan FN (frasa nominal). Jika dilihat dari bentuk katanya, kata Abel merupakan N, kata udah atau sudah merupakan Adv., kata peliksa atau periksa merupakan V, dan kata gigi, lidah, telingga merupakan N, dan kata sama merupakan Adj. Jadi, kalimat tersebut terdiri dari pola S dengan bentuk kata N, P dengan bentuk kata V, dan O dengan bentuk kata N. 4. Abel tada punya kaitu bu ae. S P Pel. (‘Abel kada punya kaadalah, Bu ae/Abel tidak punya seperti itu, Bu’). Kalimat [4] terdiri dari pola S (subjek), P (predikat), dan Pel. (pelengkap). Kalimat di atas jika dilihat dari kategori frasa terdiri dari FN (frasa nominal), FV (frasa verbal), dan FPrep (frasa preposisional). Jika dilihat dari bentuk katanya, kata Abel merupakan N, kata tada atau tidak merupakan Adv., kata punya V, kata kaitu atau kaadalah/seperti merupakan partikel, dan kata Bu ae merupakan N. Jadi, kalimat tersebut terdiri dari pola S dengan bentuk kata N, P dengan bentuk kata V, dan Pel dengan bentuk kata N. 5. Lumah Abel jauh. (‘rumah Abel jauh’). S K Kalimat [5] terdiri dari pola S (subjek), dan K (keterangan). Kalimat di atas jika dilihat dari kategori frasa terdiri dari FN (frasa nominal), dan FV (frasa verbal),. Jika dilihat dari bentuk katanya, kata lumah atau rumah merupakan N, kata Abel merupakan N, dan kata jauh merupakan V. Jadi, kalimat tersebut terdiri dari pola S dengan bentuk kata N dan K dengan bentuk kata V. b) Kalimat Interogatif (tanya) 1. Apa tu nyanyi-nyanyi ge? (‘apa itu nyanyi-nyanyi lagi?’). P S Ujaran [1] merupakan kalimat tanya yang ditandai dengan kata tanya apa yang memiliki fungsi P (predikat) dan pada kategori katanya, kata apa tu atau apa itu merupakan Pron (pronomina). Kata nyanyi-nyanyi atau nyanyi- nyanyi berkategori sebagai V (verba), kata ge atau lagi berkategori sebagai Adv (adverba) dan berfungsi sebagai S (subjek). Jadi, kalimat tanya di atas berpola P dan S. 2. Sapa yang menang? (‘siapa yang menang?’). P S

95 Ujaran [2] merupakan kalimat tanya yang ditandai dengan kata tanya sapa atau siapa yang memiliki fungsi P (predikat) dan pada kategori katanya, kata sapa atau siapa merupakan Pron (pronomina). Kata yang berkategori sebagai partikel kata menang berkategori sebagai V (verba) dan berfungsi sebagai S (subjek). Jadi, kalimat tanya di atas berpola P dan S. 3. Mati kena di cini lo? S P (‘mati kena di sini lo?/mati nanti di sini kan?’). Ujaran [3] merupakan kalimat tanya yang ditandai dengan kata tanya dalam bahasa Banjar, yakni lo yang memiliki fungsi P (predikat) dan pada kategori katanya, kata di cini lo atau di sini lo merupakan Pron (pronomina). Kata mati berkategori sebagai V (verba), kata kena atau nanti yang berkategori sebagai N (nomina) dan berfungsi sebagai S (subjek). Jadi, kalimat tanya di atas berpola S dan P. 4. Kita sama-samalah? (‘kita sama-sama ya?’). S P Ujaran [4] merupakan kalimat tanya yang ditandai dengan kata yang diimbuhi dengan partikel lah pada kata sama-samalah yang memiliki fungsi P (predikat) dan pada kategori katanya, kata sama-samalah yang merupakan V (verba). Kata kita berkategori sebagai Pron (pronomina) dan berfungsi sebagai S (subjek). Jadi, kalimat tanya di atas berpola S dan P. 5. Kita sama-sama menanglah? (‘kita sama-sama menang ya?’). S P Ujaran [5] merupakan kalimat tanya yang ditandai dengan kata yang diimbuhi dengan partikel lah pada kata menanglah yang memiliki fungsi P (predikat) dan pada kategori katanya, kata menanglah yang merupakan V (verba). Kata kita berkategori sebagai Pron (pronomina), kata sama-sama berkategori sebagai V (verba) dan berfungsi sebagai S (subjek). Jadi, kalimat tanya di atas berpola S dan P.

c) Kalimat Imperatif (perintah) 1. Awas pang! (‘awas pang!/ke pinggir dong!’). P Ujaran [1] merupakan kalimat larangan yang terdiri dari pola P (predikat) saja. Jika dilihat berdasarkan kategori frasanya hanya terdiri dari FV (frasa verbal) adalah pada kata awas yang merupakan V (verba) dan kata pang yang merupakan kata penekanan dalam bahasa Banjar yang sama artinya dengan kata dong. Jadi, kalimat di atas terdiri dari FV yang memiliki fungsi P. 2. Tu jangan picik lah! K P (‘itu jangan dipicik lah!/itu jangan ditekan ya!’). Ujaran [2] merupakan kalimat larangan yang terdiri dari pola K (keterangan) dan P (predikat). Jika dilihat berdasarkan kategori frasanya hanya terdiri dari FPron. (frasa pronominal) penunjuk pada kata tu atau itu yang 96 merupakan Pron. (pronomina) dan FV (frasa verbal) adalah pada kata angan atau jangan yang merupakan Adv. (adverba) dan kata picik atau tekan yang merupakan V (verba), kata lah hanya merupakan partikel penjelas dalam bahasa Banjar. Jadi, kalimat di atas terdiri dari FPron dan FV yang memiliki fungsi K dan P. 3. Anggun sini ulu! (‘Anggun ke sini dulu!’). S P Ujaran [3] merupakan kalimat perintah yang terdiri dari pola S (subjek) dan P (predikat). Jika dilihat berdasarkan kategori frasanya, terdiri dari FN (frasa nominal) adalah pada kata Anggun yang merupakan N (nomina) dan FV (frasa verbal) pada kata sini yang merupakan Pron. (pronomina) dan kata ulu atau dulu yang merupakan V (verba). Jadi, kalimat di atas terdiri dari FN dan FV yang memiliki fungsi S dan P. 4. Tu na Bu, ambil mainanna! (‘itu na Bu, ambil mainannya!’). K P O Ujaran [4] merupakan kalimat perintah yang terdiri dari pola K (keterangan), P (predikat), dan O (objek). Jika dilihat berdasarkan kategori frasanya, terdiri dari FPron. (frasa proniminal) pada kata tu atau itu yang merupakan Pron. (pronomina), kata na yang merupakan penekanan dalam bahasa banjar, dan kata Bu merupakan N (nomina), FV (frasa verbal) pada kata ambil yang merupakan V (verba), dan FN (frasa nominal) pada kata mainanna atau mainannya yang merupakan N (nomina). Jadi, kalimat di atas terdiri dari FPron., FV, dan FN yang memiliki fungsi K, P, dan O. 5. Cimpan mainanna alam antong! P O K (‘simpan mainannya dalam kantong!’). Ujaran [5] merupakan kalimat perintah yang terdiri dari pola P (predikat), O (objek), dan K (keterangan). Jika dilihat berdasarkan kategori frasanya, terdiri dari FV (frasa verbal) adalah pada kata cimpan atau simpan yang merupakan V (verba), FN (frasa nominal) pada kata mainanna atau mainannya yang merupakan N (nominal), dan FN (frasa nomina) pada kata alam atau dalam yang merupakan Adj. (adjektiva) dan kata antong atau kantong yang merupakan N (nomina). Jadi, kalimat di atas terdiri dari FV, FN, dan FN yang memiliki fungsi P, O, dan K. d) Kalimat Interjektif (seruan) 1. Nyaling-nyaling pang! P (‘nyaring-nyaring pang!/keras-keras dong!’). Ujaran [1] merupakan kalimat seruan yang terdiri dari pola P (predikat). Jika dilihat berdasarkan kategori frasanya, terdiri dari FAdj. (frasa adjektival) adalah pada kata nyaling-nyaling atau nyaring-nyaring/keras-keras yang merupakan Adj. (adjektiva) dan kata pang yang merupakan partikel seruan penegas dalam bahasa Banjar. Jadi, kalimat di atas terdiri dari FAdj. yang memiliki fungsi P. 97 2. Ah…balon…liyati tu balon! (‘ah… balon…lihati itu balon!’). S P O Ujaran [2] merupakan kalimat seruan yang terdiri dari pola S (subjek), P (predikat), dan O (objek). Jika dilihat berdasarkan kategori frasanya, terdiri dari FN (frasa nominal) adalah pada kata balon yang merupakan N (nomina), FV (frasa verbal) pada kata liyati tu atau lihat itu yang merupakan V (verba). Jadi, kalimat di atas terdiri dari FN, FV dan FN yang memiliki fungsi S, P dan O. 3. Balon…Man! (‘balon… Paman!’). S Ujaran [3] merupakan kalimat seruan yang hanya terdiri dari pola S (subjek). Jika dilihat berdasarkan kategori frasanya, hanya terdiri dari FN (frasa nominal) adalah pada kata balon yang merupakan N (nomina) dan kata man atau paman yang merupakan N (nomina). Jadi, kalimat di atas terdiri dari FN yang memiliki fungsi S. 4. Mama Zain! (‘mama Zain!’). S Ujaran [4] merupakan kalimat seruan yang hanya terdiri dari pola S (subjek). Jika dilihat berdasarkan kategori frasanya, terdiri dari FN (frasa nominal) adalah pada kata mama Zain yang merupakan N (nomina). Jadi, kalimat di atas terdiri dari FN yang memiliki fungsi S. 5. Eh…lagi…wiiihhh…ebat lo! (‘eh…lagi…wiiihhh…hebat lo!’). P Pel Ujaran [5] merupakan kalimat seruan yang terdiri dari pola P (predikat) dan Pel (pelengkap). Jika dilihat berdasarkan kategori frasanya, terdiri dari FV (frasa verbal) adalah pada kata lagi yang merupakan V (verba) dan kata eh yang merupakan kata ganti untuk memanggil orang, FAdj. (frasa adjektival) pada kata ebat atau hebat yang merupakan Adj. (adjektiva), kata wih dan lo merupakan partikel seruan yang memperjelas kalimat seruan. Jadi, kalimat di atas terdiri dari FV dan FAdj. yang memiliki fungsi P dan Pel.

e) Kalimat Optatif (harapan) 1. Liat ibu… andak meliat! S P (‘lihat ibu… handak melihat!/lihat ibu… mau melihat!’). Ujaran [1] termasuk kalimat harapan yang memiliki pola S (subjek), dan P (predikat). Jika dilihat dari frasanya, kalimat di atas terdiri dari FN (frasa nominal), dan FV (frasa verbal). Frasa-frasa tersebut dapat dibuktikan dari kategori kata liat atau lihat yang merupakan V (verba) dan kata Ibu yang merupakan N (nomina) pada FN, kata andak atau handak/mau yang merupakan Adv. (adverbia) dan kata meliat atau melihat yang merupakan V (verba) pada FV. Jadi, kalimat di atas terdiri dari FN dan FV yang masing-masing memiliki fungsi S dan P.

98 2. Liat pang Bu! (‘lihat pang Bu!/lihat dong, Bu!’). P O Ujaran [2] termasuk kalimat harapan yang memiliki pola P (predikat ) dan O (objek). Jika dilihat dari frasanya, kalimat di atas terdiri dari FV (frasa verbal) dan FN (frasa nominal). Frasa-frasa tersebut dapat dibuktikan dari kategori kata liat atau lihat yang merupakan V (verba) dan kata pang yang merupakan partikel penjelas dalam bahasa Banjar pada FV, kata Bu yang merupakan N (nomina) pada FV. Jadi, kalimat di atas terdiri dari FV dan FN yang masing-masing memiliki fungsi P dan O. 3. Ayo nali agi Bu! (‘ayo nari lagi Bu!’). P O Ujaran [3] termasuk kalimat harapan yang memiliki pola P (predikat) dan O (objek). Jika dilihat dari frasanya, kalimat di atas terdiri dari FV (frasa verbal) dan FN (frasa nominal). Frasa-frasa tersebut dapat dibuktikan dari kategori kata ayo yang merupakan partikel seruan, kata nali atau nari yang merupakan V (verba), dan kata agi atau lagi yang merupakan Adv. (adverbia) pada FV, kata Bu yang merupakan N (nomina) pada FN. Jadi, kalimat di atas terdiri dari FV dan FN yang masing-masing memiliki fungsi P dan O. 4. Abel liati aku na… (‘Abel lihati aku na…’). S P O Ujaran [4] termasuk kalimat harapan yang memiliki pola S (subjek), P (predikat), dan O (objek). Jika dilihat dari frasanya, kalimat di atas terdiri dari FN (frasa nominal), FV (frasa verbal), dan FPron (frasa Pronominal). Frasa- frasa tersebut dapat dibuktikan dari kategori kata Abel yang merupakan N (nomina) pada FN, kata liati atau lihatin yang merupakan V (verba) pada FV, dan kata aku na yang merupakan Pron. (pronomina) pada FPron. Jadi, kalimat di atas terdiri dari FN, FV dan FPron. yang masing-masing memiliki fungsi S, P dan O. 5. Kita menali agi yo… (‘kita manari lagi yo…’). S P Ujaran [5] termasuk kalimat harapan yang memiliki pola S (subjek) dan P (predikat). Jika dilihat dari frasanya, kalimat di atas terdiri dari FPron. (frasa Pronominal) dan FV (frasa verbal). Frasa-frasa tersebut dapat dibuktikan dari kategori kata kita yang merupakan Pron. (pronomina) pada FPron. kata menali atau menari yang merupakan V (verba), kata agi atau lagi yang merupakan Adv. (adverbia) dan kata yo atau ayo yang merupakan partikel seruan pada FV. Jadi, kalimat di atas terdiri dari FPron. dan FV yang masing-masing memiliki fungsi S dan P.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Jenis kalimat yang diperoleh anak usia dua tahun di Yayasan Nur Amalia, yaitu pemerolehan kalimat deklaratif yang lebih banyak karena seusia ini anak masih cenderung mengikuti bahasa dari orang sekitarnya yang hanya berupa informasi

99 agar orang lain memahami apa yang dimaksudnya. Selain itu, kalimat yang diucapkan sesuai dengan keadaan yang dialaminya. Struktur kalimat yang diperoleh lebih banyak menggunakan pola P (predikat) dengan bentuk kata V (verba) dan S (subjek) dengan bentuk kata N (nomina) dalam setiap ujarannya. 2. Jenis kalimat yang diperoleh anak usia tiga tahun di Yayasan Nur Amalia, yaitu kalimat interogatif yang lebih banyak diperoleh karena anak seusia ini selalu ingin mengetahui hal-hal baru yang ada di sekitarnya, sehingga masih banyak bertanya. Kalimat tanya yang diperoleh menggunakan kata “kenapa”, “siapa”, “di mana”, “ke mana”, “apa”, dan ada juga yang menggunakan kata “ngapain”. Struktur kalimat yang diperoleh lebih banyak menggunakan pola P (predikat) dengan bentuk kata V (verba), S (subjek) dengan bentuk kata N (nomina) dan pola S (subjek) dengan bentuk kata N (nomina), P (predikat) dengan bentuk kata V (verba) dalam setiap ujarannya. 3. Jenis kalimat yang diperoleh anak usia empat tahun di Yayasan Nur Amalia, yaitu kalimat interjektif lebih banyak diperoleh anak usia empat tahun karena anak seusia ini masih menganggap sesuatu yang dilihatnya itu istimewa dan sering mengucapkan kalimat seruan. Kalimat seruan yang diucapkan lebih banyak menggunakan kata seruan “ayo”. Selain itu, ada juga yang menggunakan kata seruan “nah”, “yah”, “yeee”, “asik”, “yu”, “halo”, “wih”, “menang…menang”, “ah”, dan seruan dalam bahasa Banjar, yaitu “pang”. Struktur kalimat yang diperoleh lebih banyak menggunakan pola S (subjek) dengan bentuk kata N (nomina), P (predikat) dengan bentuk V (verba), dan O (objek) dengan bentuk kata N (nomina) dalam setiap ujarannya.

100 DAFTAR RUJUKAN

Chaer, Abdul. 2003.Psikolinguistik, Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, Abdul. 2009. Sintaksis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Pateda, Mansoer. 1990. Aspek-Aspek Psikolinguistik. Ende, Flores, NTT: Nusa Indah.

101 PELAKSANAAN DAN PELANGGARAN PRINSIP KESANTUNAN DALAM ACARA BIG BROTHER INDONESIA DI TRANS TV

Ifriani Syahwinda3 dan Zakiah Agus Kusasi4 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat

Abstract

This study aims to describe the implementation and violations contained in the Big Brother show on Trans TV Indonesia. This research is qualitative. The method used in research is descriptive method. Sources of data in the form of 30 episodes of the Month September 2011 recorded conversation on the show Big Brother Indonesia. listening and recording techniques used in data collection. Data analysis was done by way of classifying data, description of data, data analysis and inference. The results showed that speech Big Brother Indonesia Program Events include a form of implementation and violations of the sixth maxims Geoffrey Leech, the form of implementation and violations of decency language in the Big Brother show include the following: 1) maxims of wisdom in the form of speech act commissive, 2) the maxim of generosity in the form of speech act imposif, 3) the tangible rewards maxims expressive speech acts, 4) maxims of simplicity in the form of speech act expressive, 5) in the form of maxims agreed assertive speech act, 6) the sympathy in the form of maxims expressive speech acts. Meanwhile, the application of the principles of civility found in the form of positive politeness strategy and negative politeness was able to grow a harmonious relationship between housmates so that a sense of solidarity can be well maintained.

Keywords: implementation and violations, principles of civility, Big Brother Indonesia.

PENDAHULUAN Bahasa memiliki kedudukan dan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena bahasa merupakan sarana komunikasi dan interaksi dalam kehidupan bermasyarakat. Bahasa adalah salah satu ciri yang paling khas manusiawi yang membedakannya dengan makhluk-makhluk lainnya. Oleh karena itu, sebagai makhluk sosial dengan bahasa manusia melakukan percakapan untuk membentuk interaksi antarpersonal dan memelihara hubungan sosial. Tujuan percakapan, bukan semata-mata untuk saling bertukar informasi, melainkan juga dapat menunjukkan keberadaan manusia lain terhadap lingkungannya, sehingga kegiatan ini menduduki posisi penting dalam kehidupan manusia. Kehadiran bahasa merupakan alat penunjuk pribadi seseorang, baik dari segi karakter, watak atau pribadi seseorang dapat dilihat dari pemilihan bahasa yang ia gunakan. Dalam berkomunikasi, tentu seseorang memiliki karakter penggunaan bahasanya masing-masing. Penggunaan bahasa yang baik dan santun tentu dapat langsung tercermin dari kepribadian seseorang. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan bahasa yang lemah, lembut, santun, dan memiliki aturan dalam berbahasanya, sehingga seseorang tersebut memiliki penilaian yang baik oleh masyarakat. Kesantunan berbahasa tercermin dalam tata cara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tata cara berbahasa (Leech, dalam Nadar, 2009: 7). Tata cara berbahasa harus sesuai dengan budaya 3 Alumnus Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, tahun 2012 4 Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat 102 yang ada dalam masyarakat dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tata cara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma dan budaya, maka akan mendapatkan nilai negatif dan penilaian buruk di masyarakat, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya. Dengan mempertimbangkan karakter bahasa masing-masing individu itu, diharapkan komunikasi antara penutur dengan petutur akan menjadi lancar. Oleh karena itu, dalam berkomunikasi perlu diperhatikan kesantunan berbahasa. Penggunaan kesantunan berbahasa memungkinkan transaksi sosial berlangsung tanpa mempermalukan penutur dan petutur (Ismari, 1995:35). Dalam kehidupan, tentu banyak orang menggunakan prinsip kesantunan dalam berbahasa untuk berkomunikasi satu sama lain. Akan tetapi, banyak juga kalangan yang tidak menerapkan prinsip kesantunan tersebut, dalam praktik berbahasa mereka dinilai tidak mampu menunjukkan kesantunan tersebut, akhirnya terjadi sebuah pelanggaran dalam berbahasa yang menunjukkan menipisnya nilai budaya masing-masing individu di masyarakat. Hal ini terlihat dalam acara televisi, yakni Big Brother Indonesia di Trans TV. Big Brother Indonesia menyatukan berbagai karakter dalam satu kelompok tentunya tidak mudah. Yang bisa dilakukan adalah meredam egoisme diri demi kenyamanan bersama. Dalam hal ini, setiap minggunya housemate atau peserta harus mampu melaksanakan tugas yang diberikan oleh Big Brother, tentunya tidak hanya kemudahan yang dapat dirasakan dalam rumah Big Brother, akan tetapi tugas yang berat tiap minggunya telah menanti para peserta Big Brother Indonesia. Beragam ekspresi dan emosi diri para housemate atau peserta dituangkannya ketika mengerjakan tugas harian maupun mingguan oleh Big Brother. Ekspresi dan emosi pun tidak hanya lewat perilaku para housemate atau peserta, akan tetapi yang lebih disorot ialah tuturan dalam berbahasanya. Program Big Brother ini memperlihatkan seluruh aktivitas para housemate atau peserta, baik dalam ekspresi perilaku maupun tuturan berbahasanya ke seluruh masyarakat Indonesia. Berdasarkan hal di atas, Program Acara Big Brother memunculkan banyak fenomena linguistik yang layak untuk dikaji. Fenomena tersebut akan dilihat dari sudut pandang pragmatik dalam kajiannya mengenai pelaksanaan dan pelanggaran kesantunan berbahasa. Ditinjau dari perspektif pragmatik, proses bertutur merupakan tindakan sosial dan kultural, yang di dalamnya terkandung aspek-aspek kesantunan. Oleh karena itu, para ahli pragmatik, memasukkan kesantunan sebagai salah satu parameter pragmatik. Teori kesantunan Leech (1993) (dalam Jumadi, 2010: 75) dikembangkan berdasarkan parameter skala untung rugi. Semakin menguntungkan T, tuturan yang dibuat semakin santun, demikian juga sebaliknya. Salah satu indikator kesantunan adalah dengan menyusun ketidaklangsungan tuturan. Semakin langsung, tuturan itu semakin tidak santun. Leech (dalam Jumadi, 2010: 76) mengembangkan teori kesantunannya dengan menyajikan sejumlah maksim kesantunan berikut ini: 1. Maksim kearifan a. Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin b. Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. 2. Maksim kedermawanan a. Buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin. b. Buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin.

103 3. Maksim pujian a. Kecamlah orang lain sedikit mungkin. b. Pujilah orang lain sebanyak mungkin. 4. Maksim kerendahan hati a. Pujilah diri sendiri sedikit mungkin. b. Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin 5. Maksim kesepakatan a. Usahakan agar ketidaksepakatan antara diri sendiri dan orang lain. b. Usahakan agar kesepakatan antara diri sendiri dengan orang lain sebanyak mungkin. 6. Maksim simpati a. Kurangilah rasa antipati diri sendiri dengan orang lain sekecil mungkin. b. Tingkatkan rasa simpati diri sendiri dengan orang lain sebanyak mungkin. Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut. “Bagaimana wujud pelaksanaan prinsip kesantunan dalam Acara Big Brother Indonesia di Trans TV?”, “Bagaimana wujud pelanggaran prinsip kesantunan dalam Acara Big Brother Indonesia di Trans TV?”, dan “Bagaimana strategi kesantunan dalam Acara Big Brother Indonesia di Trans TV?”. Tujuannya Mendeskripsikan bagaimana wujud pelaksanaan dan pelanggaran dalam Acara Big Brother Indonesia di Trans TV serta strategi apa yang banyak digunakan peserta dalam Acara Big Brother Indonesia di Trans TV.

METODE Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan metodologi kualitatif deskriptif. Bogdan dan Taylor, dalam Moleong (2000:3) mendefinisikan bahwa metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan deskriptif kualitatif dalam penelitian ini adalah prosedur penelitian dengan hasil sajian data deskriptif berupa pelaksanaan dan pelanggaran prinsip kesantunan dalam acara Big Brother Indonesia di Trans TV. Dalam penelitian ini, peneliti berperan sebagai perencana, pelaksana pengumpulan data, penganalisis, penafsir data, dan pada akhirnya menjadi pelapor hasil penelitian (Moleong, 2000:121). Hal ini dikarenakan peneliti menjadi segalanya dari keseluruhan proses penelitian. Jadi, dalam hal ini peneliti berperan sebagai instrumen penelitian. Sumber penelitian ini adalah sebuah program acara televisi yang ditayangkan oleh Trans TV setiap hari Senin sampai Jumat malam pukul 22.00 WIB, yaitu acara “Big Brother Indonesia Daily Show”, dan malam deportasi setiap Sabtu malam pukul 21.00 WIB, yaitu acara “Big Brother Indonesia Malam Deportasi”. Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah rekaman hasil kegiatan percakapan para peserta atau housemates dalam acara Big Brother Indonesia di Trans TV. Rekaman hasil kegiatan percakapan para peserta atau housemates acara Big Brother Indonesia di Trans TV merupakan salah satu data utama dalam penelitian ini. Adapun rekaman tuturan pada acara Big Brother Indonesia di Trans TV yang menjadi sumber data dalam penelitian terdiri dari tiga puluh episode. Rekaman diambil dari bulan September 2011. Kemudian semua rekaman tersebut dibuat dalam bentuk transkrip rekaman. Teknik mengumpulkan data dilakukan dengan cara menonton dan merekam acara Big Brother Indonesia di Trans TV secara berulang-ulang dari hari ke hari sehingga melalui hasil rekaman

104 pelaksanaan dan pelanggaran, serta strategi prinsip kesantunan yang digunakan dalam acara Big Brother di Trans TV Indonesia dapat diketahui secara jelas dan akurat. Untuk mendapatkan data, hasil rekaman diputar kembali menggunakan telepon genggam kemudian dilakukan penyimakan, teknik selanjutnya adalah teknik catat dengan menggunakan catatan observasi penelitian. Teknik catat dilakukan untuk mencatat tuturan para peserta Big Brother Indonesia. Selanjutnya, tuturan yang sudah dicatat dianalisis berdasarkan pelaksanaan, pelanggaran, dan strategi prinsip kesantunan yang digunakan dalam acara Big Brother Indonesia. Proses analisis data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari hasil sadapan dan catatan; 2) mengidentifikasi pelaksanaan, pelanggaran, serta strategi prinsip kesantunan dalam acara Big Brother Indonesia; 3) mengategorikan atau menggolongkan data, menyusun hasil catatan sesuai dengan klasifikasi prinsip kesantunan pada teori pragmatik; 4) mendeskripsikan data dengan menganalisis temuan pelaksanaan, pelanggaran, dan strategi prinsip kesantunan; 5) menyimpulkan tentang pelaksanaan, pelanggaran, dan strategi prinsip kesantunan dalam acara Big Brother Indonesia.

HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam Acara Big Brother analisis dan pembahasannya mengenai a) pelaksanaan dan pelanggaran prinsip kesantunan (maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim penghargaan, maksim kesederhanaan, maksim permufakatan, dan maksim kesimpatian), b) strategi kesantunan (kesantunan positif dan kesantunan negatif).

A. Wujud Pelaksanaan Prinsip Kesantunan 1. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim) Gagasan dasar maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan (Rahardi, 2005: 60) bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Pelaksanaan maksim kebijaksanaan dalam acara Big Brother Indonesia dapat dilihat dalam cuplikan tuturan berikut: Big Brother : Silahkan pilih satu nama housemates yang masuk dalam nominasi deportasi minggu ini. (Silahkan kamu memilih satu nama housemates yang masuk dalam nominasi deportasi minggu ini!) Jane : Aku nggak milih. (Aku tidak mau memilih!) Konteks tuturan : (Dituturkan oleh Jane yang merasa bahwa dia saja yang akan masuk nominasi deportasi minggu ini, walaupun dia telah memenangkan lomba imunitas nominasi yang berarti terbebas dari nominasi minggu ini. Jane tidak mau temannya yang masuk nominasi, akhirnya Jane memutuskan untuk dirinya saja yang lebih baik tetap bertahan dinominasi deportasi). Dari tuturan di atas (1), tampak jelas bahwa tuturan yang disampaikan Jane, yakni “Aku nggak mau milih!”, sungguh memaksimalkan keuntungan housmates lainnya. Dari tuturan 105 yang disampaikan Jane, ia jelas berusaha memaksimalkan keuntungan peserta Big Brother lainnya dan meminimalkan keuntungan bagi dirinya sendiri. 2. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim) Dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Maurice : Aku aja, nggak papa. Kamu istirahat aja. (Aku saja, tidak apa-apa. Kamu istirahat saja!) Konteks tuturan : (Dituturkan oleh Maurice yang saat itu berbicara kepada Kapten (Tengku), bahwa ia yang akan menjaga piket pada malam itu, Maurice memberikan waktu kepada kapten untuk beristirahat karena ia tau bahwa tugas kapten sangat berat, sehingga ia dan Lutfhi yang akan menjaga piket malam itu). Dari tuturan tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa Maurice memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. 3. Maksim Penghargaan (Aprobation Maxim) Maksim penghargaan menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain (Wijana dan Rohmadi, 2009: 54). Tengku : Selamat ya, tiga besar. Kamu bisa, Rene. (Selamat ya, tiga besar. Kamu bisa, Rene!) Konteks Tuturan : (Dituturkan oleh Indra Herlambang sebagai pembawa Acara Big Brother yang memberikan ucapan selamat kepada Rene yang masuk tiga besar grand final, serta Derek yang memuji bahwa Rene memang layak masuk tiga besar di rumah ini, dan Tengku yang terpaksa dideportasi juga memberikan selamat dan semangatnya kepada Rene). Dari percakapan tuturan di atas merupakan wujud dari pelaksanaan aksim penghargaan berupa tindak tutur ekspresif, yakni pujian setinggi-tingginya kepada mitra tuturnya oleh Tengku terhadap Rene. 4. Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim) Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Alan : Ah, aku kan hanya membantu permasalahan kita, Bang. (Ah, aku hanya ingin membantu permasalahan kita saja, Bang) Konteks tuturan : (Dituturkan oleh Derek yang menganggap bahwa Alan yang selama ini sebagai penengah permasalahannya dengan Lutfhi, dan Alan pun hanya merendahkan hatinya dan menganggap bahwa ia selama ini hanya membantu mereka saja). Salah satu wujud nyata dari pernyataan kesederhanaan Alan adalah “Aku kan hanya membantu permasalahan kita, Bang”, terbukti bahwa kesederhanaan, merupakan bukti seseorang yang bersikap santun yang dapat menjadikan parameter penilaian seseorang.

106 5. Maksim Permufakatan (Agreement Maxim) Maksim permufakatan disebut dengan maksim kecocokan (Wijana, dalam Rahardi, 2005: 65). Di dalam maksim ini, ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Rene : Ya, inilah aku. Aku setuju dengan emosional, tidak ada motivasi, jujur ya aku berusaha jujur karena aku nggak terbiasa basa-basi. (Ya, inilah aku. Aku setuju dengan emosional, tidak ada motivasi, jujur aku memang berusaha bersifat jujur, karena aku tidak terbiasa berbohong) Konteks Tuturan : (Dituturkan oleh Alan yang mengungkapkan mengenai sifat serta kepribadian jujur Rene yang telah diperlihatkannya di rumah selama ini. Rene menyetujui hasil pandangan yang diberikan oleh Alan, yang mengungkapkan kejujuran Rene) Pelaksanaan maksim pemufakatan di atas, yakni percakapan yang dituturkan Alan, berupa tindak tutur asertif mengenai ketegasan maksud antara si penutur (Alan) terhadap lawan tuturnya (Rene). Ketegasan yang dimaksudkan di atas, tentang keberanian Rene yang mengungkapkan dengan jujur apa pun yang ada dipikirannya, seperti ekspresi Alan dalam percakapan. 6. Maksim Kesimpatian (Sympath Maxim) Di dalam maksim kesimpatisan, diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan yang lainnya. Maurice : Sebenarnya berat buat saya untuk tidak memilih Patra, untuk bisa menikmati dan saya memilih Derek karena menurut saya dia juga sempet bilang kalo dia pengen makan, pengen berada di rumah, tidur. Patra sendiri tadi bilang, nggak papa Derek aja. (Sebenarnya memang berat bagi saya untuk tidak memilih Patra agar dapat menikmati dan lebih memilih Derek. Menurut saya, dia juga berkata kalau dia ingin makan, ingin berada di rumah, tidur. Patra sendiri tadi berkata apa-apa, katanya Derek saja yang berhak mendapatkan hadiahnya) Konteks Tuturan: (Dituturkan oleh Maurice yang merasa kasihan ketika harus lebih memilih Derek sebagai orang yang berhak mendapatkan hadiah atas lomba cerdas cermat, di mana Big brother hanya memberikan kesempatan dua orang saja untuk menikmatinya, sedangkan Patra terpaksa tidak ikut menikmatinya). Dari tuturan di atas memperlihatkan realisasi dari maksim kesimpatian. Pelaksanaan maksim tersebut, dengan wujud tuturan ekspresif berupa rasa sedih, karena Patra tidak dapat menikmati hadiah yang diberikan oleh Big Brother.

B. Wujud Pelanggaran Prinsip Kesantunan 1. Maksim Kebijaksanaan atau Kearifan (Taxt Maxim) Pelanggaran maksim kebijaksanaan terjadi jika peserta tutur tidak mentaati maksim kebijaksanaan, yaitu selalu menambah keuntungan diri sendiri dan mengurangi keuntungan pihak lain (Wijana, dalam Rahardi, 2005: 60).

107 Lutfhi : Mungkin ini permintaan aku kemarin sama Tengku, tetapi mungkin aku akan menyelamatkan diri aku, dan aku memasukkan Bang Derek. (Mungkin ini permintaan aku kemarin dengan Tengku. Aku akan menyelamatkan diriku dan akan memasukkan Bang Derek) Konteks Tuturan: (Dituturkan ketika Lutfhi merupakan nominasi deportasi minggu ini dan mendapatkan kesempatan untuk menyelamatkan diri karena kemenangannya mendapatkan hadiah, sehingga dia lebih memilih untuk menyelamatkan dirinya daripada memikirkan temannya). Pernyataan Lutfhi di atas merupakan realisasi dari pelanggaran maksim kebijaksanaan. Di dalam tuturan, tampak jelas bahwa Lutfhi tidak menguntungkan pihak lain, yakni dengan mengatakan “Aku akan menyelamatkan diri aku, dan aku memasukkan Bang Derek”. 2. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim) Pelanggaran maksim kedermawanan terjadi apabila peserta tutur melanggar prinsip dari maksim kedermawanan, yaitu menambah keuntungan diri sendiri dan mengurangi pengorbanan terhadap diri sendiri. Lutfhi : Kalau kalian punya strategi, gua juga punya strategi. Gua punya strategi pura-pura baik. Aku tau orangnya, aku tau Patra yang akan dimasukka. Gua pura-pura baik sama mereka, gua tau aslinya, gua diadu domba sama si Alan, gua diadu domba sama yang lain. Biar dia rasakan bagaimana dimasukkan orang! (Kalau kalian memiliki strategi, aku juga memilikinya. Aku memilih memiliki strategi berpura-pura baik. Aku tahu siapa orangnya! Aku tahu Patra akan dimasukkan. Aku memang berpura-pura baik dengan mereka. Aku sudah tahu aslinya, diadu domba dengan Alan, hingga diadu domba dengan yang lainnya. Nanti dia akan rasakan bagaimana kalau dimasukkan orang!) Konteks Tuturan : (Dituturkan oleh Lutfhi yang sangat membenci Derek dan akhirnya ia membalas kembali dengan adanya kesempatan pada diri Lutfhi untuk memasukkan Derek sebagai salah satu nominasi minggu ini). Dari tuturan Lutfhi jelas telah melanggar maksim kedermawanan. Lutfhi lebih memilih meminimalkan keuntungan lawan tuturnya. Jelas terlihat dalam pernyataannya, bahwa Lutfhi memilih membalas dendam kepada Derek. 3. Maksim Penghargaan (Aprobation Maxim) Pelanggaran maksim penghargaan terjadi jika peserta tutur tidak mematuhi prinsip dari maksim penghargaan, yaitu dengan menambah cacian pada orang lain dan mengurangi pujian pada orang lain. Lutfhi : Mau gua hancurin sekarang? Munafik kalian semua. (Mau aku hancurkan, sekarang? Munafik kalian semua!) Konteks Tuturan : (Dituturkan Lutfhi yang sangat membenci terhadap kelompok Derek, sehingga ia berani mengeluarkan kata-kata yang kurang baik untuk temannya)

108 Tuturan di atas merupakan realisasi pelanggaran maksim penghargaan oleh Lutfhi dalam bentuk tindak ekspresif sebagai pernyataan tidak senang terhadap lawan tuturnya. Lutfhi sangat tidak sopan terhadap temannya, ia telah berani mengeluarkan berbagai macam cacian 4. Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim) Maksim kerendahan hati menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri (Wijana, dan Rohmadi, 2009: 55). Lutfhi : Lu, mau tanding fisik, diluar. Gua kasih lawannya. Bukannya ngga bisa ya, gua mah tukang megang pisau, gua tencep bisa aja! (Kamu mau tanding fisik? Ayo diluar! Aku beri lawannya. Bukannya tidak bisa ya, aku juga tukang pegang pisau. Aku tusuk bisa saja!) Konteks tuturan : (Dituturkan oleh Lutfhi yang merasa kemampuannya dapat melawan Derek dengan cara melawan memakai pisau). Dari tuturan Lutfhi tersebut jelas bahwa Lutfhi telah melanggar maksim kesederhanaan. Lutfhi lebih membanggakan dirinya sendiri dibanding dengan kemampuan orang lain, Lutfhi terlihat menyepelekan kemampuan orang lain, karena dia merasa paling pintar di antara semua temannya di Big Brother yang mengaku berprofesi sebagai dokter. 5. Maksim Permufakatan (Agreement Maxim) Pelanggaran terhadap maksim permufakatan itu sebagai akibat salah seorang partisipan tutur tidak mematuhi prinsip-prinsip yang dianjurkan dalam maksim permufakatan, yaitu meminimalkan kecocokan antara penutur dengan lawan tutur dan memaksimalkan ketidakcocokan antara penutur dengan lawan tutur (Wijana dan Rohmadi, 2009: 56). Lutfhi : Aku nggak tau ini mimpi apa sama aku, aku nggak tau kenapa kalian bisa hadir di sini, kenapa bukan keluarga yang membesarkan aku yang ada di sini, aku nggak tau keberadaan, dan bapak kenapa ada di sini. (Aku tak tahu ini mimpi apa? Aku tidak tahu mengapa kalian bisa hadir di sini? Mengapa bukan keluarga yang membesarkanku? Aku tidak tahu keberadaannya sekarang dan mengapa Bapak sampai ada di sini?) Konteks tuturan : (Dituturkan ketika Ayah Lutfhi datang untuk menemuinya tetapi Lutfhi tidak mau kembali dan tidak mengakui keluarga kandungnya sendiri, melainkan ia lebih memilih kepada keluarga angkatnya sekarang). Tuturan di atas merupakan pelanggaran maksim pemufakatan oleh Lutfhi. Lutfhi dengan jelas mengatakan tidak senang atas keberadaan ayah kandungnya sekarang, ia memilih dengan keluarga barunya yang lebih kaya dan telah menjamin hidupnya selama ini. 6. Maksim Kesimpatian (Sympath Maxim) Pelanggaran pelaksanaan maksim kesimpatian terjadi jika peserta tutur melanggar prinsip yang terdapat pada maksim kesimpatian, yakni dengan menambah antipati antara diri sendiri dengan orang lain dan mengurangi kesimpatian antara diri sendiri dengan orang lain.

109 Lutfhi : Jadi aku ngga bisa nahan apa yang aku rasakan, sebenarnya aku ngga mau bertengkar Big Brother, tapi supaya dia tau juga bagaimana rasanya dimasukkan, ketika dia mau ngomongin kita, ngomporin kita ke housemates yang lain, Alan sama ke Aku, Patra juga ngomong, Dereknya juga ngomporin Patra sama aku, dan juga aku dikomporin dengan mereka. (Jadi, aku sudah tidak bisa menahan apa yang telah aku rasakan, sebenarnya aku tidak mau bertengkar Big Brother, tetapi supaya dia juga tau bagaimana rasanya dimasukkan, ketika dia membicarakan kita, membicarakan ke housmates lainnya, Alan juga bicara denganku, Patra juga, Dereknya juga sebaliknya membicarakan Patra dengan aku dan akhirnya aku yang dibicarakannya dengan mereka) Konteks Tuturan : (Dituturkan Lutfhi yang sangat marah terhadap Derek. Lutfhi mengatakan bahwa Dereklah penyebab ia dibenci oleh temannya, dia mengatakan bahwa Derek suka mengadu domba ia dengan teman lainnya). Dari tuturan di atas terbukti bahwa dari pernyataan Lutfhi tersebut sangat tidak memperlihatkan rasa kesimpatian terhadap temannya. Sebaliknya, ia ingin membalas dendam, dengan menambahkan rasa antipatinya antara diri sendiri dengan orang lain.

C. Strategi Kesantunan Brown dan Levinson mengatakan muka itu ada dua segi, yaitu muka negatif dan muka positif. Karena ada dua sisi muka yang terancam, yaitu muka negatif dan muka positif maka kesantunan pun dibagi menjadi dua, yaitu kesantunan negatif untuk menjaga muka negatif, dan kesantunan positif untuk menjaga muka positif. Sopan santun dalam pertuturan direktif termasuk ke dalam kesantunan negatif yang dapat diartikan sebagai usaha untuk menghindarkan konflik penutur dan lawan tutur (Chaer, 2010: 49-52). 1. Strategi Kesantunan Positif Muka positif, yakni mengacu pada citra diri setiap orang yang rasional, yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa yang merupakan nilai-nilai yang ia yakini, sebagai akibat dari apa yang dilakukan atau dimilikinya itu, diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan, yang patut dihargai, dan seterusnya. Strategi kesantunan positif yang terjadi adalah adanya solidaritas antara Derek dan Lutfhi: Lutfhi : Sebenarnya aku ngga nangis, tapi aku dipertemukan dengan orang yang aku benci. (Sebenarnya aku tidak mau menangis, tetapi mengapa aku dipertemukan dengan orang yang aku benci?) Derek : Udah, gini kamu oke, maaf ya Abang, ya kalo emang kamu dipertemukan sama orang yang kamu benci, itu ya sudah, nggak ketemu langsung kan, Fi? Ya sudah gitu lo. Kita kan juga saudara, cerita aja, Fi! (Sudah, kalau begini baiklah, maaf ya Abang, ya kalau memang kamu dipertemukan dengan orang yang kamu benci, itu ya sudah, tidak bertemu langsungkan, Fi? Ya, sudah. Kita-kan juga saudara, cerita saja, Fi?) 110 Konteks Tuturan : (Dituturkan oleh Derek yang berusaha menghibur Lutfhi agar tidak terlalu terpuruk atas kesalahan Lutfhi sendiri yang tidak mengakui ayahnya lagi). Percakapan di atas merupakan realisasi dari penggunaan strategi kesantunan positif. Strategi ini diawali dengan tuturan Lutfhi yang berisikan tindak ekspresif. Tindak yang menggambarkan rasa ketidaksukaannya terhadap ayah kandungnya yang tiba-tiba datang menemuinya. Kemudian, Derek menggunakan strategi positif pada tuturannya dalam bentuk tindak direktif yang berisikan perintah agar Lutfhi mau menceritakan tentang masalahnya. Bentuk yang digunakan dalam strategi ini adalah tuturan langsung yang digunakan melalui penekanan ekspresi solidaritas yang ditandai dengan kata “kita”. Membangun ekspresi solidaritas dengan strategi kesantunan positif sangat penting. Seseorang akan merasa aman dan tidak terintimidasi dalam tekanan jika strategi ini dibangun dengan baik. Ekspresi solidaritas yang dibangun dalam strategi kesantunan positif akan menumbuhkan semangat housmates dalam aktivitasnya.

2. Strategi Kesantunan Negatif Muka negatif itu mengacu pada citra diri setiap orang yang rasional yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan membiarkan bebas melakukan tindakan atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu. Bila tindak tuturnya bersifat direktif yang terancam adalah muka negatif. Hal ini karena dengan memerintah atau meminta seseorang melakukan sesuatu, kita sebenarnya telah menghalangi kebebasannya untuk melakukan (bahkan untuk menikmati tindakannya). Di bawah ini tampak kutipan yang berisikan contoh penggunaan strategi kesantunan negatif untuk memperhalus permintaan. Big Brother : Silahkan pilih satu nama housemates yang masuk dalam nominasi deportasi minggu ini. (Silahkan kamu memilih salah satu nama housemates yang masuk dalam nominasi deportasi minggu ini!) Jane : Aku nggak milih. (Aku tidak mau memilih!) Konteks Tuturan : (Dituturkan ketika Jane harus terpaksa memilih temannya untuk dideportasikan minggu ini dan menggantikan posisi dirinya sebagai nominasi, karena Jane mendapatkan kalung imunitas yang berhak untuk memlih temannya. Sebenarnya Jane tidak mau, tetapi karena terpaksa, akhirnya Jane memilih Patra). Tuturan di atas merupakan contoh penggunaan strategi kesantunan negatif. Terlihat dalam kutipan, “Silahkan pilih satu nama housemates yang masuk dalam nominasi deportasi minggu ini!”. Tindakan tersebut berisi tindak direktif berbentuk perintah. Hal ini terlihat saat Big Brother memerintahkan Jane untuk segera memilih temannya untuk masuk nominasi deportasi sebagai pengganti dirinya, terlihat penggunaan penanda “silakan”. Tuturan dengan penanda “silakan” digunakan Big Brother untuk memperhalus permintaan dalam memerintah kepada Jane. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Big Brother masih memperhatikan muka negatif lawan tuturnya. Tuturan dengan penanda ini bukan untuk memperhalus permintaan, namun juga dapat digunakan sebagai pendorong motivasi seseorang (Jane) agar berani mengemukakan pendapatnya.

111 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa tuturan Program Acara Big Brother Indonesia meliputi wujud pelaksanaan dan pelanggaran Geoffrey Leech dengan keenam maksimnya, yakni wujud pelaksanaan dan pelanggaran kesantunan berbahasa dalam acara Big Brother meliputi: 1) maksim kebijaksanaan yang berwujud tindak tutur komisif, 2) maksim kedermawanan yang berwujud tindak tutur imposif, 3) maksim penghargaan yang berwujud tindak tutur ekpresif, 4) maksim kesederhanaan yang berwujud tindak tutur eskpresif, 5) maksim pemufakatan yang berwujud tindak tutur asertif, 6) maksim simpati yang berwujud tindak tutur ekspresif. Sementara itu, penerapan yang ditemukan dalam prinsip kesantunan berupa strategi kesantunan positif dan kesantunan negatif mampu menumbuhkan hubungan yang harmonis antara housmates sehingga rasa solidaritas dapat terjalin dengan baik. Saran Sehubungan dengan hasil penelitian ini, dapat disarankan bahwa penelitian ini dapat menjadi landasan bagi pengembangan ilmu pengetahuan mengenai pembelajaran pragmatik, yakni kesantunan berbahasa dalam proses belajar mengajar sehingga mahasiswa lebih paham mengenai prinsip kesantunan dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Hendaknya penelitian ini juga dapat dijadikan acuan bagi peneliti lain di masa akan datang untuk menambah referensi dan sebagai bahan perbandingan.

112 DAFTAR RUJUKAN

Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta. Ismari. 1995. Tentang Percakapan. Surabaya: Airlangga University Press. Jumadi. 2010. Wacana, Kajian Kekuasaan Berdasarkan Ancangan Etnografi Komunikasi dan Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Prisma. Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nadar, F.X. 2009. Pragmatik dan Penelitian. Yogyakarta: Graha Ilmu. Rahardi, R. Kunjana. 2005. Pragmatik, Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Yogyakarta: PT Gelora Aksara Pratama. Wijana, I Dewa Putu dan Rohmadi, Muhammad. 2009. Analisis Wacana Pragmatik, Kajian Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka.

113 NILAI-NILAI KARAKTER DALAM ANTOLOGI PUISI INDONESIA MODERN ANAK-ANAK TERBITAN PUSAT BAHASA DEPDIKNAS

Elsy Suriani Guru Bahasa Indonesia SMP Negeri 8 Palangka Raya, Jalan Temanggung Tilung 58 Palangka Raya, Kalimantan Tengah

Abstract

This research entitle Character values in Antologi Puisi Indonesia Modern Anak- Anak for Language Center Depdiknas Issue (2002). The purpose of this research was to describe and explain the characters values contained in the Antologi Puisi Indonesia Modern Anak-Anak for Language Center Depdiknas Issue. The character values described and explained include: (a) religious value, (b) the value of honesty (c) the value of hard work (d) the value of unpatriotic (e) the value of environmental care, (f) the value of social care. This research used a qualitative descriptive approach and study of poem using the model of Paul Ricouer’s hermeneutical approach namely the theory of symbols and metaphors. Research data in the form of quotations of words or phrases in a poem relating to the data values of the characters in the Antologi Puisi Indonesia Modern Anak-Anak for Language Center Depdiknas Issue. Source data obtained from the Antologi Puisi Indonesia Modern Anak-Anak for Language Center Depdiknas Issue compiled by Suyatno et. al (2002). Sampling technique used in this research was purposive sampling (samples intended).

Keywords: character values, poems

PENDAHULUAN Puisi merupakan satu dari tiga genre sastra yang dihasilkan oleh para sastrawan. Sebagaimana karya sastra, puisi memiliki nilai-nilai yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan manusia, khususnya tentang nilai-nilai atau norma-norma kehidupan, baik kehidupan secara individual, kehidupan bermasyarakat, dan kehidupan berbangsa. Menurut Sastrowardoyo (dalam Pradopo, 1994:63), ciri-ciri khas kesusastraan berpusat pada puisi dan di dalam puisi ada konsentrasi unsur pembentuk sastra yang tidak dapat sepenuhnya dicapai oleh prosa. Pernyataan tersebut sesuai dengan kenyataan bahwa puisi memiliki unsur-unsur yang lebih lengkap dan padat dari prosa, seperti bunyi, irama, pemilihan kata-kata, kombinasi kata, bahasa kiasan, ungkapan, dan gaya bahasa yang terkandung dalam puisi terasa begitu dominan dibanding jenis karya sastra lainnya. Menurut Pradopo (1995: 13), puisi sebagai karya seni itu puitis. Kata puitis sudah mengandung keindahan yang khusus untuk puisi. Sifat-sifat puitis bisa membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan yang jelas, menimbulkan keharuan bagi pembacanya. Dampak kepuitisan puisi tentunya dapat dimanfaatkan untuk menanamkan nilai-nilai yang sesuai dengan fungsi dari sastra itu sendiri. Kekuatan puisi melalui kata-katanya yang puitis tentunya akan cepat menyentuh rasa dan estetika pembacanya. Puisi sebagai bagian dari seni dapat dipakai sebagai sarana bagi pembentukan karakter seseorang, dapat membantu jiwa perkembangan individu. Sebagai sebuah karya sastra, puisi memiliki fungsi utama sebagai penghalus budi, peningkatan kepekaan rasa kemanusiaan, kepedulian sosial, penumbuhan apresiasi budaya, penyalur gagasan baik secara tertulis maupun lisan. Pendapat di atas sejalan dengan pendapat Martono (2010: 119)

114 bahwa puisi dapat dijadikan kekuatan moral bagi mereka yang jujur, sebaliknya puisi juga dapat menjadi kritik yang keras bagi para penyeleweng, koruptor, dan penjahat masyarakat. Selanjutnya, Martono (2010: 120) berpendapat agar puisi efektif digunakan sebagai media pembelajaran pengembangan pendidikan karakter di sekolah, maka puisi tersebut haruslah (1) bertemakan keTuhanan; (2) puisi yang bermoral; (3) puisi yang membangkitkan semangat patriotisme, dan (4) puisi yang mengandung nilai-nilai didaktis. Menurut Hidayatullah (2010: 3), suatu bangsa yang berkarakter ditentukan oleh akhlak bangsanya. Tanpa karakter seseorang dengan mudah melakukan sesuatu apa pun yang dapat menyakiti atau menyengsarakan orang lain. Oleh karena itu, kita perlu mengelola diri dari hal- hal negatif. Karakter yang terbangun diharapkan akan mendorong setiap manusia untuk mengerjakan sesuatu sesuai dengan suara hatinya. Pembentukan karakter merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Oleh karena itu, diperlukan kepedulian dari semua pihak, baik oleh pemerintah, masyarakat, keluarga, maupun sekolah (Hidayatullah, 2010: 23). Sekolah dipandang sebagai tempat yang strategis untuk membentuk karakter. Hal tersebut akan tercermin dari peserta didik dalam segala ucapan, sikap, dan perilaku yang mencerminkan karakter yang baik dan kuat. Menurut Sayuti (2010: 799), pembentukan karakter melalui pembelajaran sastra dapat diposisikan secara strategis melalui upaya optimalisasi. Artinya, pendidikan karakter dan pembelajaran sastra di berbagai tingkatan pendidikan secara keseluruhan hendaknya dimaknai sebagai proses pembudayaan. Lebih lanjut, Sayuti mengatakan melalui pemahaman nilai-nilai bersama dan upaya kolaboratif mengatasi masalah-masalah bersama diupayakan, potensi nilai yang bersifat trans- dicahayakan. Melalui pembelajaran apresiasi puisi yang optimal, peserta didik secara tidak langsung akan mendapatkan nutrisi dan gizi batin yang akan mampu memberikan imbas positif terhadap perkembangan kepribadian dan karakter mereka. Dengan puisi, hati dan perasaan peserta didik akan terlibat secara intens dan emosional ke dalam teks puisi yang mereka pelajari, sehingga kepekaan nurani mereka menjadi lebih tersentuh dan terasah, untuk selanjutnya dapat mereka aplikasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Sawali mengatakan (http/www. Agupenajeng. net) untuk mewujudkan proses pembelajaran apresiasi puisi yang kondusif, faktor pemilihan bahan ajar adalah hal yang penting dan mutlak untuk diperhatikan oleh pendidik. Tidak semua puisi cocok untuk digunakan sebagai bahan ajar di sekolah. Pendidik perlu memperhatikan aspek kejiwaan, latar belakang budaya, dan tingkat kebahasaan siswa sehingga siswa bisa terlibat secara intens dan emosional ke dalam teks puisi. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan dan menjelaskan tentang nilai-nilai karakter yang terdapat dalam Antologi Puisi Indonesia Modern Anak-Anak Terbitan Pusat Bahasa Depdiknas. Nilai-nilai pendidikan yang akan dideskripsikan dan dijelaskan mencakup nilai religius, nilai kejujuran, nilai kerja keras, nilai cinta tanah, nilai peduli lingkungan, dan nilai peduli sosial.

METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode hermeneutika Ricoeur. Hermeneutika menurut Ricoeur, dalam Kaelan (2002: 235) adalah suatu teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap suatu teks. Karakteristik untuk menginterpretasikan dengan istilah polisemi, yaitu ciri khas yang menyebabkan kata-kata mempunyai makna lebih dari satu bila digunakan dalam konteks yang bersangkutan. Memahami makna yang tersembunyi di dalam bahasa perlu sebuah interpretasi. Menurut pendapat Ricoeur, dalam Kaelan (2002: 232) untuk menginterpretasikan sebuah teks bukan dengan 115 cara mengadakan suatu relasi intersubjektif antara subjektivitas pengarang dan subjektivitas pembaca, melainkan hubungan antara dua diskursus teks dan diskursus interpretasi. Oleh sebab itu, interpretasi dianggap mencapai tujuannya bilamana “dunia teks” dan “dunia interpreter” telah berbaur menjadi satu. Berdasarkan pemaparan di atas, tidaklah mengherankan jikalau Ricoeur, dalam Kaelan (2002: 233) berpendapat bahwa hermeneutika berupaya untuk menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi di dalam simbol-simbol tersebut. Membicarakan tentang simbol, tentunya tidak lepas juga dari pembicaraan tentang metafora yang merupakan inovasi semantik, yang melihat persamaan yang sebelumnya tidak diketahui dan tidak terpikirkan, merupakan bagian dari penggarapan tentang bahasa yang sepenuhnya. Kedalaman makna simbolik dari metafora dapat dimaknai apabila metafora dalam teks tersebut memproyeksikan arti simbolik. Jadi, hermeneutika membuka makna yang sesungguhnya, sehingga dapat mengurangi keanekaragaman makna dari simbol-simbol, sehingga subjektivitas dalam hermeunetika dapat dikurangi. Metode teoretis yang digunakan dalam analisis ini adalah teori metafora dan simbol dalam hermeneutika Paul Ricoeur. Menganalisis metafora pada puisi berarti berangkat dari analisis metafora kepada teks pada level arti dan penjelasan atas arti, kemudian dari teks kepada metafora pada level interpretasi. Adapun konsep analisis metaforanya mencakup ketegangan (tension) dalam satu baris dalam bait yang komposisinya membentuk proposisi: ketegangan antarbaris, dan ketegangan antarbait sehingga membentuk satu kesatuan wacana. Menganalisis simbol dalam puisi pada dasarnya pengungkapan lebih mendalam terhadap analisis metafora yang telah dilakukan. Oleh karena metafora dapat bertugas sebagai analisis persiapan yang mengarah pada teori simbol, dan teori simbol akan meluaskan makna dengan membebaskan penafsir untuk masuk di dalamnya. Penganalisisan metafora dan simbol yang terdapat dalam puisi yang dianalisis ini, dilakukan tidak secara terpisah. Analisis didahului dulu dengan menganalis metafora, kemudian dilanjutkan dengan simbol yang terdapat dalam puisi tersebut. Hasil analisis yang dilakukan terhadap metafora dan simbol yang terdapat dalam puisi tersebut, selanjutnya akan digunakan untuk mengungkapkan nilai-nilai karakter yang terkandung di dalam puisi-puisi yang dianalisis tersebut.

PEMBAHASAN Nilai-nilai karakter yang menjadi acuan dalam penelitian ini berdasarkan naskah akademik Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Kementerian Pendidikan Nasional (2010). Ada 18 nilai-nilai karakter utama pada tingkat SD dan SMP yang disarikan dari butir- butir Standar Kompetensi Lulusan SD dan SMP (Permendiknas nomor 23 tahun 2006) dan Standar Kompetensi/Kompetensi Dasar (Permendiknas nomor 22 tahun 2006). Nilai-nilai karakter tersebut akan dikembangkan atau ditanamkan kepada anak-anak dan generasi muda bangsa Indonesia. Puisi yang dianalisis berjumlah enam belas puisi dari 93 puisi yang ada dalam Antologi Puisi Indonesia Modern Anak-Anak Terbitan Pusat Bahasa Depdiknas (2002). Puisi yang dijadikan sampel penelitian berdasarkan teknik purposive sampling dan puisi yang dianalisis untuk mendeskripsikan dan menjelaskan nilai-nilai karakter sesuai dengan subfokus penelitian, yaitu (a) nilai religius, (b) nilai kejujuran, (c) nilai kerja keras, (d) nilai cinta tanah air, (e) nilai peduli lingkungan, dan (f) nilai peduli sosial. Puisi-puisi yang akan dianalisis tersebut adalah:

116 1. Kau dan Aku karya Ahmadun Yosi H. 2. Alamku Indonesia karya Bambang Lukito 3. Doa karya Chairil Anwar 4. Perjalanan Senja karya Eka Budianta 5. Ternyata karya Hamid Jabbar 6. Kemiskinan karya Iwan Tatang Hermawan 7. Ratapan Candi Tua karya Kaca B.N 8. Tertegun karya K.H.A Mustofa Bisri 9. Ah, Alam Semakin Cemar karya Lita Hardono 10. Nyanyian Preman karya Rendra 11. Sahabatku karya Soekri St. 12. Doa di Medan Laga karya Subagio Sastrowardoyo 13. Sajak kepada Ibu karya S. Nugroho N.W 14. Bagi Sahabat karya Swasti Pritanhari 15. Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya karya Taufiq Ismail 16. Pahlawan Tak Dikenal karya Toto Sudarto Bachtiar

Hasil Analisis 1.1 Nilai Religius 1.1.1 Puisi “Alamku Indonesia” Karya Bambang Lukito Puisi “Alamku Indonesia” memuji tentang keindahan alam Indonesia yang digambarkan dengan sawah, ladang, gunung, pantai, dan bunga-bunga yang bermekaran. Kecintaan penyair terhadap keindahan alam Indonesia sangat terlihat jelas dalam puisinya, melalui penggunaan kata yang sederhana namun indah. Selain itu, penyair juga ingin mengingatkan kepada pembaca puisinya bahwa keindahan alam yang tercipta di Indonesia ini merupakan anugerah yang diberikan Tuhan kepada kita bangsa Indonesia. Puisi ini ingin mengandung nilai religius karena secara tersirat mengungkapkan bahwa segala ciptaan yang ada di alam Indonesia, maupun di mana saja berada di dunia ini merupakan anugerah yang diberikan Tuhan kepada umatnya. Oleh sebab itu, sebagai umat Tuhan kita wajib mencintai alam dengan menjaga dan melestarikannya. 1.1.2 Puisi “Doa” Karya Chairil Anwar Puisi “Doa” secara keseluruhan ingin menggambarkan keadaan kita manusia bahwa saat kita berdoa dan ketika mendapatkan masalah dalam hidup. Kita terkadang datang dalam keadaan yang masih ragu-ragu, kurang yakin menghadap-Nya. Namun Chairil Anwar ingin meyakini kita bahwa Tuhan meskipun diibaratkan seperti cahaya lilin di kelam sunyi, namun mampu menjadi penerang bagi umat-Nya. Hal ini meyakini kita bahwa Tuhan itu dapat menjadi penolong kita di dunia dan pada bagian terakhir Chairil Anwar ingin mengingatkan kita tetaplah kita meyakini Tuhan, tetaplah kita menyembah- Nya yang ditegaskan dengan kata di pintu-Mu aku tidak bisa berpaling. 1.1.3 Puisi “Ternyata” Karya Hamid Jabbar Puisi “Ternyata” ingin mengungkapkan bahwa ternyata Tuhan itu ada dan Tuhan selalu menjaga umat-Nya untuk selalu berbuat baik dalam hidupnya. Tuhan selalu menjaga umat-Nya bila dalam keadaan yang berbahaya atau berbuat dosa. Tuhan ternyata ada dan itu dirasakan oleh penyairnya setelah mengalami pergolakan dalam hidup yang dirasakannya.

117 1.1.4 Puisi “Doa di Medan Laga” Karya Subagio Sastrowardoyo Puisi “Doa di Medan Laga” merupakan doa yang disampaikan oleh seseorang saat merasa dirinya berada di tempat yang sudah sangat berbahaya karena harus melawan kekejaman secara fisik dan mental. Puisi ini mengungkapkan bagaimana adanya hubungan antara manusia dan Tuhan terjadi, yakni hubungan yang terjadi karena manusia merasa Tuhanlah yang mampu menolong di saat manusia berada pada tempat yang berbahaya atau mengalami cobaan berat dalam hidupnya. 1.1.5 Puisi “Sajak kepada Ibu” Karya S. Nugroho N.W Puisi “Sajak Kepada Ibu” berdasarkan analisis metafora dan simbol yang terkandung di dalamnya berisikan pesan tentang pertobatan seorang anak melalui ketulusan dan kesabaran seorang ibu, sehingga pada akhirnya anak tersebut bertobat memohon ampun dan taat kepada Tuhan. Dalam puisi ini juga mengungkapkan bagaimana hubungan antara manusia dan Tuhan yang putus bisa tersambung kembali berkat kesabaran dan ketulusan seorang ibu yang tidak henti-hentinya mengingatkan kesalahan yang telah dilakukan oleh anaknya. Seperti yang tertuang dalam larik-larik berikut ini. Ketika jemarimu Mengantarkan aku untuk menatap matamu Yang selalu jernih dibasuh Kesabaran Keimanan Ibu, Ajarkan aku Menunduk di hadapan-Nya 1.1.6 Puisi “Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya” Karya Taufiq Ismail Puisi Taufiq Ismail yang berjudul “Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya” ditulis dalam bentuk kisahan atau cerita sehingga kita sebagai pembaca akan merasa tersentuh saat membaca puisi tersebut. Nilai religius seperti terungkap pada bait berikut. “Bapak setuju kami, bukan?” Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara “Doakan perjuangan kami, Pak,” Mereka naik truk kembali Masih meneriakkan terima kasih mereka “Hidup pak rambutan, hidup rakyat!” Dalam larik-larik kalimat puisi di atas diungkapkan, tentang permintaan dari mahasiswa agar perjuangan mereka juga didukung melalui doa. Melalui doa, tentunya segala harapan dan perjuangan akan dikabulkan oleh Tuhan. Sebagai orang yang beragama, doa merupakan kekuatan yang paling tinggi sebab doa merupakan permohonan yang ditujukan kepada Tuhan. Melalui puisi ini ingin mengingatkan kita bahwa selain dukungan yang diperlukan tersebut berupa material dan moral, dukungan doa adalah yang terutama. Dengan berdoa, kita memohon dukungan dari Tuhan. Puisi ini juga ingin mengajarkan kita bahwa segala perjuangan harus selalu dibarengi dengan permohonan kepada Tuhan, sebab tanpa restu dari Tuhan maka perjuangan yang kita lakukan akan sia-sia.

118 2. 1 Nilai Kejujuran 2.1.1 Puisi “Nyanyian Preman” Karya Chairil Anwar Puisi “Nyanyian Preman” menggambarkan bagaimana kehidupan yang dijalani sebagian rakyat Indonesia yang berada di garis kemiskinan. Mereka bukanlah sejenis manusia yang dapat dipermainkan dan diperalat oleh penguasa untuk menancapkan kekuasaannya. Mereka adalah rakyat yang setia terhadap kebenaran dan kejujuran. Meskipun apa yang diyakini mereka tersebut pernah melukai hati dengan ketidakpercayaan mereka yang digambarkan melalui ketidakmampuan penguasa untuk melindungi rakyat jelata. Berikut larik puisi yang mengungkapkan tentang kejujuran. Andresku pojokan jalan tapi merdeka. Hidupku bersatu bersama rakyat. Jiwaku menolak menjadi kuku garuda. Hatiku setia meskipun cacat. 2.1. 2 Puisi “Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya” Karya Taufik Ismail Puisi “Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya” tersebut mengandung nilai kejujuran. Seperti yang terungkap melalui larik-larik berikut. Saya tersedu, bu, saya tersedu Belum pernah seumur hidup Orang berterima kasih begitu jujurnya Pada orang kecil seperti kita. Keempat larik kalimat terakhir dalam puisi tersebut adalah ungkapan perasaan “bapak tukang rambutan” yang disampaikan kepada istrinya. Bagaimana dia merasa terharu dan sampai tersedu. Dapat kita bayangkan, bagaimana perasaan yang dialami oleh “bapak tukang rambutan” saat menerima ucapan terima kasih yang begitu tulusnya, apalagi ia merasa dirinya hanyalah orang kecil dan ucapan terima kasih seperti itu baru pertama kali diterimanya dalam hidupnya.

3. 1 Nilai Kerja Keras 3.1.1 Puisi “Kemiskinan” Karya Iwan Tatang Hermawan Puisi dengan judul “Kemiskinan” karya Iwan Tatang Hermawan ini bukan sekadar ingin mengungkapkan tentang “miskin harta” tetapi juga “miskin ilmu”. Selain itu, kemiskinan dalam puisi ini melambangkan suatu persoalan yang menjadi momok bagi manusia sebab kemiskinan selalu berhubungan dengan hal kebodohan, kemalasan, dan persoalan hidup. Puisi tersebut menyiratkan bahwa sebagai manusia kita tidak dapat menghindari masalah atau kesulitan hidup seperti kemiskinan tetapi dengan cara berjuang dan bekerja keras kita dapat terhindar dari masalah, yaitu kemiskinan. 3.1.2 Puisi “Nyanyian Preman” Karya Rendra Hasil analisis puisi “Nyanyian Preman” ini ingin menggambarkan bagaimana kehidupan yang dijalani sebagian rakyat Indonesia yang berada di garis kemiskinan. Kemiskinan, kesulitan kehidupan, dan kerasnya kehidupan yang dijalani sebagian dari rakyat Indonesia. Nilai kerja keras terdapat dalam larik-larik berikut. Wajahku disabet angin jadi tembaga Ketombe di rambut, celana kusut Umurku ditelan jalan dalam kembara

119 Wajah diibaratkan warnanya seperti tembaga menandakan selalu hidup di tempat yang terbuka dan selalu kena terik matahari. Selanjutnya, larik berikutnya menggambarkan bagaimana keadaan si aku, “ketombe di rambut, celana kusut.” Ketombe sejenis penyakit kulit yang bersarang di kepala seseorang. Masih pada larik kalimat yang sama yang berbunyi “celana kusut” ingin memberikan gambaran kalau pakaian yang digunakannya tidak pernah diurus dengan baik. Begitu juga pada larik ketiga yang dimunculkan dari kata “umurku” dipadankan dengan kata “ditelan” menyiratkan makna bahwa usia yang sudah tidak muda lagi dan kehidupan yang dijalaninya dihabiskan dalam pengembaraan. Dapat dibayangkan dari tiga larik kalimat tersebut bagaimana gambaran kehidupan keras dan liar yang dijalani seseorang. 4. 1 Nilai Cinta Tanah Air 4.1.1 Puisi “Kau dan Aku” Karya Ahmadun Yosi Herfanda Judul puisi “Kau dan Aku” karya Ahmadun Yosi Herfanda ini berdasarkan hasil analisis metafora dan simbol yang terdapat dalam puisi tersebut ingin menyampaikan tentang rasa persaudaraan, persatuan, mencintai tanah air Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau yang dipisahi oleh jarak, tempat, pulau dan laut. Perbedaan keyakinan, perbedaan status sosial, dan sebagainya. Semuanya itu jangan menjadi persoalan di dalam bernegara sebab yang terpenting adalah bagaimana menjaga persatuan antara semua suku yang bersatu dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Berikut kutipan puisi “Kau dan Aku” yang mengungkapkan nilai cinta tanah air. kau dan aku siapakah kau dan aku? jawa, cina, batak, dayak sunda, ambon, atau papua? ah, tanya itu tak penting lagi bagi kita kita, kau dan aku, berjuta wajah satu jiwa ya, apalah artinya rahim pemisah kita apalah artinya tembok-tembok tanpa penjaga jiwaku dan jiwamu tulus menyatu dalam genggaman burung garuda 4.1.2 Puisi “Alamku Indonesia” Karya Bambang Lukito Memaknai puisi “Alamku Indonesia” karya Bambang Lukito ini adalah sebuah pujian tentang keindahan alam Indonesia yang digambarkan dengan sawah, ladang, gunung, pantai, dan bunga-bunga yang bermekaran. Kecintaan penyair terhadap keindahan alam Indonesia sangat terlihat jelas dalam puisinya, melalui penggunaan kata yang sederhana namun indah. Selain itu, penyair juga ingin mengingatkan kepada pembaca bahwa keindahan alam di Indonesia ini merupakan anugerah yang diberikan Tuhan kepada kita bangsa Indonesia. 4.1.3 Puisi “Tertegun” Karya K.H.A Mustofa Bisri Puisi dengan judul “Tertegun” karya K.H.A Mustofa Bisri ini menceritakan tentang keprihatinan seseorang terhadap keadaan negara Indonesia yang sudah mengkhawatirkan sekali kondisinya. Keadaan yang digambarkan dalam puisi ini keprihatinan terhadap kondisi alamnya, juga kondisi rakyatnya sendiri sehingga

120 mengancam perpecahan bangsa. Permasalahan yang mengancam hal tersebut hanya bisa diselesaikan dengan hati nurani yang tulus dari rakyat Indonesia. 4.1.4 Puisi “Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya” Karya Taufik Ismail Puisi Taufiq Ismail yang berjudul “Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya” mengandung nilai karakter cinta tanah air yang terungkap melalui perjuangan para mahasiswa dan pelajar untuk mengontrol sistem pemerintah yang pada saat itu sudah melenceng jauh dari yang terdapat dalam UUD’45. Penyair ingin menyampaikan pesan betapa pentingnya menjaga keutuhan bangsa. Perbedaan pendapat, berlain pandangan, harus diyakini sebagai sesuatu yang sah dalam demokrasi. Kalau tidak, maka akan berujung pada kehancuran. Cinta tanah air merupakan bagian dari kesetiaan dan cinta kasih yang melibatkan interaksi antarmanusia. Sebagai perwujudan cinta tanah air, maka moralitas yang dibangun adalah pentingnya mengedepankan keselamatan bangsa dan tanah air secara luas daripada kepentingan individu atau golongan. Seperti yang terdapat dalam kutipan berikut. Tadi siang ada yang mati, Dan yang mengantar banyak sekali Ya, mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus! Sampai bensin juga turun harganya Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula Mereka kehausan dalam panas bukan main Terbakar muka di atas truk terbuka 4.1.5 Puisi “Pahlawan Tak Dikenal” Karya Toto Sudarto Bachtiar Puisi “Pahlawan Tak Dikenal” mengisahkan tentang perjuangan pahlawan yang masih muda yang dengan rela gugur di medan perang demi mempertahankan kemerdekaan tanah air tercinta. Puisi yang diciptakan oleh Toto Sudarto Bachtiar ini sarat dengan pesan kepada generasi muda penerus bangsa agar dapat melanjutkan perjuangan pahlawan sebelumnya. Perjuangan saat ini tidak harus dilakukan dengan tindakan berperang dengan musuh yang mengancam kemerdekaan. Perjuangan yang dimaksud adalah melanjutkan perjuangan dengan giat belajar dan tetap memperhatikan semangat yang dimiliki oleh pejuang-pejuang kita terdahulu.

5. 1 Nilai Peduli Lingkungan 5.1.1 Puisi “Perjalanan Senja” Karya Eka Budianta Puisi dengan judul “Perjalanan Senja” menyiratkan sesuatu tentang keprihatinan seseorang melihat keadaan yang dianggap sudah mengkhawatirkan. Puisi ini ingin mengungkapkan tentang kehidupan yang berada di garis akhir yang dimunculkan dari kata senja yang dimaknai sebagai sesuatu yang akan berakhir dalam kegelapan atau kehancuran. Puisi “Perjalanan Senja” karya Eka Budianta ini mengandung pesan yang ingin disampaikan penyair kepada pembacanya agar manusia memperhatikan, melestarikan, dan mencintai alam sekitarnya, tempat tumbuh dan berkembangnya makhluk hidup demi kelestarian lingkungan hidup. Kepedulian itulah yang ingin disentuh oleh penyair sebab hal yang sering dilupakan oleh manusia adalah untuk mencintai dan memperhatikan lingkungan yang ada di sekitarnya.

121 5.1.2 Puisi “Ratapan Candi Tua” Karya Kaca B.N Puisi “Ratapan Candi Tua” merupakan suara hati dari seseorang yang peduli terhadap kelestarian budaya bangsa dan kecintaannya terhadap lingkungan yang ada di sekitarnya, khususnya terhadap pelestarian budaya bangsa yang sering terlupakan oleh kita. Penyair ingin menggugah kita dengan judul puisi yang menciptakan rasa kesedihan. Ratapan adalah tangisan yang disertai dengan keluhan atau jeritan. Candi tua menggambarkan keadaan yang tidak terurus dan terawat. Melalui puisi ini penyair ingin menyadarkan pembacanya, betapa pentingnya memperhatikan lingkungan yang ada di sekitar kita. Salah satunya memperhatikan menjaga dan melestarikan budaya peninggalan leluhur bangsa kita yang tidak dapat dinilai dengan uang. Budaya adalah salah satu ciri atau identitas bangsa kita. 5.1.3 Puisi “Tertegun” Karya K.H.A Mustofa Bisri Puisi dengan judul “Tertegun” ini menceritakan tentang keprihatinan seseorang terhadap keadaan negara Indonesia yang sudah mengkhawatirkan sekali kondisinya. Keadaan yang digambarkan dalam puisi ini keprihatinan terhadap kondisi alamnya, juga kondisi rakyatnya sendiri sehingga mengancam perpecahan bangsa. Permasalahan yang mengancam hal tersebut hanya bisa diselesaikan dengan hati nurani yang tulus dari rakyat Indonesia. 5.1.4 Puisi “Ah, Alam Semakin Cemar” Karya Lita Hardono Puisi dengan judul “Ah, Alam Semakin Cemar” karya Lita Hardono ini, berisikan ungkapan perasaan seseorang yang merasa alam yang dilihat dan dipandangnya saat ini sudah tidak kelihatan asri lagi. Penyair berpendapat banyak hal yang membuat alam tidak lagi asri sehingga alam kian cemar. Penilaian terakhir diserahkan kepada pembaca untuk menjawabnya mengapa keadaan alam semakin cemar. Inilah ungkapan rasa keprihatinan yang ingin disampaikan lewat puisi ini dan pada bagian terakhir jawabannya menggantung karena ingin menggugah hati pembacanya untuk peduli terhadap lingkungan. Pesan yang tersirat dari isi puisi tersebut agar kita yang hidup di alam ini lebih memperhatikan keadaan alam yang sudah terpelihara sehingga tidak menjadi cemar.

6.1 Nilai Peduli Sosial 6.1.1 Puisi “Sahabatku” Karya Soekri St. Dibalik kesederhanaan bahasa dan ungkapan puisi dengan judul “Sahabatku” karya Soekri St. ini ingin menyampaikan kepedulian anak-anak terhadap lingkungan sosial di sekitarnya. Hati kecil kita terusik bahkan terpanggil betapa anak-anak sudah mempunyai kepedulian terhadap keadaan orang-orang yang berada di sekelilingnya. Kepekaan anak kecil inilah yang patut kita teladani yang sudah hampir terkikis dari hati orang dewasa saat ini yang dilambangkan dengan pigur sang “ayah.” Puisi ini mengandung pesan agar kita peduli terhadap lingkungan sosial, kita bisa berbagi dengan orang-orang yang memerlukan bantuan kita. Itulah harapan yang ingin disampaikan lewat puisi ini. 6.1.2 Puisi “Bagi Sahabat” Karya Swasti Pritanhari Puisi dengan judul “Bagi Sahabat” berisi nasihat yang ditujukan kepada seseorang yang menjadi sahabatnya. Puisi ini berisi pesan bahwa seberat apapun rintangan dan halangan, itu merupakan perjuangan. Bila kita berjuang tentunya selalu ada harapan. Apa lagi saat usia muda, selalu saja ada harapan. Makna yang tersirat juga dalam puisi ini ingin memberikan gambaran kepada kita bahwa sahabat tidak hanya diperlukan

122 saat kita memerlukan mereka. Tapi sahabat adalah orang-orang yang berada dalam lingkungan sosial kita yang bisa menjadi penolong bagi kita. Oleh sebab itu, dalam puisi ini sarat pesan bagi pembacanya agar kita bisa memperdulikan keadaan yang terjadi di sekeliling kita. Apalagi bila orang itu adalah sahabat kita yang pada saat itu mendapat masalah dalam hidupnya. 6.1.3 Puisi “Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya” Karya Taufik Ismail Puisi Taufiq Ismail yang berjudul “Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya” ditulis dalam bentuk kisahan atau cerita sehingga kita sebagai pembaca akan merasa tersentuh saat membaca puisi tersebut. Pada bagian awal “bapak tukang rambutan” menceritakan kejadian yang dialaminya dengan mahasiswa kepada istrinya. Seperti yang tertulis berikut. Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu Biarlah sepuluh ikat juga Memang sudah rezeki mereka Mereka berteriak-teriak kegirangan dan berebutan Seperti anak-anak kecil Kelima larik kalimat puisi di atas mengisahkan tentang kerelaan “bapak tukang rambutan” memberikan sepuluh ikat rambutan jualannya karena merasa iba melihat para mahasiswa dan pelajar yang kehausan dan kepanasan. Kalimat ini dapat kita maknai bagaimana kepedulian seorang rakyat jelata untuk memberikan jualannya kepada para mahasiswa. Melihat pemberian yang tulus dari bapak penjual rambutan itu para mahasiswa berteriak kegirangan dan saling berebutan. Tentunya, kalau pemberian yang tidak seberapa nilainya tetapi diterima dengan hati senang betapa membahagiakan. Hal itulah yang dirasakan oleh bapak penjual rambutan.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa puisi yang terdapat dalam “Antologi Puisi Indonesia Modern Anak-Anak terbitan Pusat Bahasa Depdiknas” mengungkapkan nilai-nilai karakter, khususnya nilai religius, nilai kejujuran, nilai kerja keras, nilai cinta tanah air, nilai peduli lingkungan, dan nilai peduli sosial. Nilai-nilai tersebut sangat bermanfaat untuk menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai karakter anak agar kelak menjadi anak yang memiliki karakter sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, yaitu menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pengkajian terhadap enam belas puisi yang terdapat dalam “Antologi Puisi Indonesia Modern Anak-Anak Terbitan Pusat Bahasa Depdiknas” ini ditemukan nilai-nilai karakter yang sesuai dengan tujuan penelitian. Nilai religius terdapat dalam puisi Alamku Indonesia, Doa, Ternyata, Doa Di Medan Laga, Sajak kepada Ibu, dan Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya. Nilai kejujuran terdapat dalam puisi Nyanyian Preman, Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya. Nilai kerja keras, terdapat dalam puisi Kemiskinan dan Nyanyian Preman. Nilai cinta tanah air terdapat dalam puisi Kau dan Aku, Alamku Indonesia, Tertegun, Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya, Pahlawan Tak Dikenal. Nilai peduli lingkungan terdapat dalam puisi Perjalanan Senja, Ratapan Candi Tua, Tertegun, dan Ah, Alam Semakin Cemar. Nilai peduli sosial terdapat dalam puisi Sahabatku, Bagi Sahabat, dan Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya.

123 Saran Bagi para peneliti selanjutnya, penelitian ini dapat dilanjutkan dengan penelitian nilai- nilai karakter yang lain, selain yang sudah diteliti dalam “Antologi Puisi Indonesia Modern Anak-Anak terbitan Pusat Bahasa Depdiknas” sebab masih banyak nilai-nilai karakter yang terdapat dalam antologi puisi tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, dalam antologi puisi ini terkandung nilai-nilai karakter yang dapat digunakan sebagai acuan bahan ajar untuk pengembangan nilai-nilai karakter melalui pembelajaran sastra di sekolah, khususnya SD dan SMP.

124 DAFTAR RUJUKAN

Antologi Puisi Indonesia Modern Anak-Anak. 2002. Jakarta: Pusat Bahasa, Depdiknas. Hidayatullah, M. Furqon. 2010. Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa. Surakarta: Yuma Pustaka. Kaelan. 2002. Filsafat Bahasa, Semiotika, dan Hermeneutika. Yogyakarta: Paradigma. Martono. 2010. Pembentukan Karakter Generasi Muda Melalui Pembelajaran Bahasa dan sastra Indonesia. Dalam Anoegrajekti, Novi (Eds), Idiosinkrasi, Pendidikan Karakter Melalui Bahasa dan Sastra (hlm.120). Jakarta: UNJ dan Kepel Press. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Kementerian Pendidikan Nasional. (online), (http:// www.mandikdaspen.depdiknas.go.id) diakses 25 Januari 2011. Permendiknas nomor 22 tahun 2006 Standar Kompetensi/Kompetensi Dasar. Permendiknas nomor 23 tahun 2006 Standar Kompetensi Lulusan SD dan SMP. Pradopo, Rachmat Djoko. 1994. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sawali. 2011. Puisi dan Pendidikan Karakter: Sebuah Pengantar/ Agupena Jawa Tengah, (online), ( http://agupenajateng.net) diakses 20 Maret 2011. Sayuti, Suminto. 2010. Sastra dan Upaya Pendidikan Karakter, Novi (Eds), Idiosinkrasi, Pendidikan Karakter Melalui Bahasa dan Sastra (hlm.795). Jakarta: UNJ dan Kepel Press.

125 STRUKTUR DAN FUNGSI MANTRA MASYARAKAT DAYAK DEAH DESA PANGELAK KECAMATAN UPAU KABUPATEN TABALONG

Isna Kasmilawati5 dan Rustam Effendi6 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

Abstract

The aim of this research is to get a complete description of the structure and the function of magic formula of Dayak Deah people of Pangelak Village in Upau Subdistrict of Tabalong . The method of this research is descriptive method. The technique of data collection is done by listening, taking part, and having conversation, meaning that the researcher accomplishes the conversation by listening, observing, and having library research. The result of the research shows that there are several structures and functions of magic formula of Dayak Deah people of Pangelak Village in Upau Subdistrict of Tabalong Regency. There are eleven magic formulas which are obtained in this research which are then classified into six kinds of magic formulas, each of which are funtioned for (a) medicinal treatment, (b) beauty, (c) loving affection, (d) invulnerability, (e) safety, (f) rain. From the mentioned kinds of magic formula, there are four elements which form the structures of magic formula, they are title, opening, suggestion, and aim.

Keywords: struktur, fungsi, mantra (Dayak Deah)

PENDAHULUAN Kehidupan sastra lisan bagi masyarakat Dayak Deah merupakan satu bagian yang sangat penting, karena banyak sangkut pautnya dengan tradisi peradatan. Dalam perkembangannya, kehidupan sastra secara keseluruhan tidak dapat dilepaskan dari sastra tradisional setiap daerah. Effendi dan Sabhan (2007: 87) menyatakan bahwa sastra daerah merupakan peninggalan budaya masyarakat bangsa kita yang tidak ternilai harganya. Fungsinya sebagai penunjang perkembangan bahasa daerah dan sebagai pengungkap alam pikiran, sikap, dan nilai-nilai kebudayaan masyarakat pendukungnya. Di dalam sastra daerah itu, terpendam berbagai nilai yang dianut oleh nenek moyang kita pada masa lalu. Dari sekian banyak sastra lisan Dayak Deah tersebut, yang menjadi objek penelitian ini adalah mantra. Sastra dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar, yakni sastra tradisional dan sastra kontemporer. Sastra tradisional adalah karya sastra yang ada dan memulai perkembangannya pada minimal dua generasi yang lalu. Sastra kontemporer adalah karya sastra yang dikenal atau telah ada setelah sastra tradisional. Robson (Ismail, 1996: 1) menyatakan tidak ada sastra tradisional dalam bahasa Indonesia, yang ada hanya bahasa Melayu dan bahasa daerah lainnya, maka dalam masyarakat Dayak Deah kini masih dikenal keberadaan sastra lisan. Wujud bahasa yang paling natural adalah bahasa lisan (Effendi, 2011: 2). Sastra (lisan dan tulisan) adalah satu bentuk kesenian yang diwujudkan melalui bahasa yang diucapkan. Sastra lisan, di samping sebagai karya sastra, juga dapat dipandang sebagai folklor.

5 Alumnus Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, tahun 2012 6 Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat. Alumnus S3 Universitas Utara Malaysia. 126 Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun- temurun, dan menggunakan alat bantu, seperti gendang dan bunyi-bunyi lain, atau juga dibantu dengan gerakan anggota badan, seperti mimik, tari-tarian, mamang (gumam), juga benda-benda yang dianggap dapat memperkuat kekuatan tuturan dan mamang. Menurut Danandjaja (Sudikan, 2001: 98), folklor adalah sebagian kebudayaan yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun secara tradisional, baik dalam bentuk lisan atau disertai dengan gerak isyarat atau alat pengingat. Sastra lisan Dayak Deah Desa Pangelak Kecamatan Upau, Kabupaten Tabalong diucapkan dalam bahasa daerah itu sendiri, karena kebudayaan dalam bidang sastra ini adalah berbentuk lisan dalam pengucapannya. Yang memiliki keunikan tersendiri dan berbeda dari mantra yang dimiliki oleh etnik lainnya biasanya diikuti dengan gendang dan bunyi-bunyi lain, atau juga dibantu dengan gerakan anggota badan, seperti mimik, tari-tarian beserta dengan gelang tangan dan kaki yang digunakan, mamang (gumam), juga benda-benda yang dianggap dapat memperkuat kekuatan tuturan dan mamang. Sastra lisan ini mencakup ekspresi sastra warga suatu kebudayaan yang disebarluaskan dan diwariskan turun-temurun secara lisan (dari mulut ke mulut). Membaca mantra adalah upaya untuk memohon perlindungan kepada Tuhan, baik secara langsung maupun dengan melalui perantaraan makhluk gaib. Pembacaan mantra ini, biasanya dipimpin oleh seorang balian atau bawo yang dianggap sakti atau orang pintar yang dapat menghubungkan dunia alam gaib dengan manusia. Pembacaan mantra diikuti dengan tari-tarian dan diiringi dengan tetabuan atau alat musik khas Dayak. Pada masyarakat Dayak Deah, seseorang yang menjadi balian, biasanya didatangkan lewat mimpi atau adanya pewarisan mantra yang dimiliki oleh keluarganya, sehingga mantra itu didapat dari turun-temurun. Peran seorang balian pada masyarakat Dayak Deah ini sangat penting, karena setiap mereka mengadakan acara yang sering disebut dengan aruh, seorang balian sangat berperan penting. Karena seorang pemantra atau balian dianggap sakti atau orang pintar yang dapat menghubungkan dunia alam gaib dengan manusia. Sastra daerah merupakan sastra yang dihasilkan masyarakat yang masih dalam keadaan tradisional masyarakatnya dan tertuang dalam bahasa daerah masyarakat itu sendiri. Masyarakat Dayak Deah memiliki tradisi lisan yang diturunkan dari generasi ke generasi dengan cara menghafal seperti mantra. Mantra adalah ucapan yang dianggap mengandung hikmah dan kekuatan gaib. Karena itu, harus tersimpan rapi di benak atau ditulis dalam buku yang suci penggunanya. Sebagai bentuk tradisi lisan seperti ini, sukar dipastikan penciptanya. Masyarakat Dayak Deah ini masih menganut kepercayaan pada kekuatan gaib, misalnya pada mantra karena masyarakat berada pada pihak yang membutuhkan pertolongan, mereka berupaya kepada yang dapat memberi pertolongan dengan berkomunikasi dengan para dewa-dewi yang dipercayai dengan memberi sesajen. Oleh karena referensi mantra menunjuk pada sistem kepercayaan, religi dan dunia gaib maka eksistensinya mantra hanya dapat dipahami secara lengkap dengan mengembalikan pada kenyataan, emosi, dan asosiasi yang tumbuh dari penghayatan dan pengalaman dunia spiritual dan magis. Seseorang yang ingin menguasai mantra harus belajar dan menyakini sungguh-sungguh hikmat dan kekuatan gaib yang tersimpan di dalam susunan kata-kata yang diucapkan. Mantra yang diucapkan dalam bahasa Dayak Deah lebih menunjukkan pada sifat latennya, yang memerlukan satu upaya serius untuk mengungkapkan fungsi apa dan latar belakang kepercayaan yang bagaimana yang mendasarinya. Karena cara penyebaran mantra ini biasanya adanya keturunan, perguruan, dan penjelmaan melalui mimpi.

127 Penelitian terdahulu dilakukan oleh Hermina (2004) yang membahas tentang “Analisis Struktur dan Fungsi Mantra Pengobatan pada Suku Dayak Dusun Deah dan di Desa Gunung Riwut dan Liyu Kecamatan Halong Kabupaten Balangan”. Objek penelitiannya berkaitan dengan mantra pengobatan untuk penyakit yang tidak terlihat. Dari penelitian Hermina dapat disimpulkan bahwa dalam mantra pengobatan ada mantra untuk penyakit yang dapat dilihat dan mantra penyakit yang tidak dapat terlihat. Pada mantra untuk penyakit yang tidak terlihat (sunan) terdapat tiga mantra, yaitu mantra sunan rototn ulah ulun, mantra sunan koe iblis atau korik, dan mantra sunan tawotn. Juga Heniati (2006) membahas tentang “Fungsi Mantra pada Masyarakat Di Desa Jeweten Kecamatan Dusun Timur Kabupaten Barito Timur”. Objek penelitiannya berkaitan dengan ragam mantra seperti: (a) mantra yang berhubungan dengan pengobatan, (b) mantra yang berhubungan dengan aura/wibawa (kharisma), dan (c) mantra yang berhubungan dengan mata pencaharian. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian sebelumnya, yaitu pada objek penelitian, penulis meneliti berbagai jenis mantra yang terdapat pada Masyarakat Dayak Deah Desa pangelak, Kecamatan Upau, Kabupaten Tabalong. Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan, peneliti tertarik melakukan penelitian yang berjudul Struktur dan Fungsi Mantra Masyarakat Dayak Deah Desa Pangelak, Kecamatan Upau, Kabupaten Tabalong. Koentjaraningrat (Djamaris, 1996: 13) menyebutkan bahwa mantra merupakan unsur penting di dalam teknik ilmu gaib (magic). Mantra berupa kata-kata dan suara-suara yang sering tidak berarti, tetapi yang dianggap berisi kesaktian atau kekuatan mengutuk. Mantra adalah doa yang merupakan rumusan-rumusan, yang terdiri atas suatu rangkain kata-kata gaib yang dianggap mengandung kekuatan dan kesaktian untuk mencapai, secara otomatis, apa yang dihendaki manusia. Menurut Orkas, dalam Soedjijono, dkk (1987: 14) bahwa mantra terikat oleh bentuk atau susunan mutlak yang tidak boleh diubah, sebagai warisan dari ahli gaib zaman dahulu. Mantra tidak wajib dimengerti bahasa dan kalimatnya. Dalam mantra terkandung banyak kias atau simbolik unsur-unsur kepercayaan yang dianggap berisi tenaga magis. Mantra sebenarnya identik dengan pengertian sugesti. Suatu struktur tersusun atas unsur-unsur yang berjalinan erat dan sistematis dalam membantuk kesatuan dan keutuhan karya sastra. Pengertian struktur pada dasarnya mencakup tiga konsep dasar yang dikemukakan oleh Piaget (Soedjijono, dkk, 1987: 11), yaitu (1) The Idea of Wholeness (Gagasan Keutuhan atau Totalitas), (2) The Idea of Transformation (Gagasan Transformasi), dan (3) The Idea of Self Regulation (Gagasan Pengatur Diri Sendiri). Gagasan struktur sebagaimana yang dikemukakan oleh Spet (Soedjijono, dkk, 1987: 11). Spet menganggap struktur merupakan suatu konstruksi konkret, yang bagian-bagiannya sanggup mengubah dimensi dan kualitasnya, dan tidak ada bagian dari keseluruhan yang dapat dihilangkan tanpa merusak keutuhan.

METODE Adapun metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang bertujuan untuk mengumpulkan, mengklarifikasi, dan menganalisis data sehingga diperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai Struktur dan Fungsi Mantra pada Masyarakat Dayak Deah Desa Pangelak Kecamatan Upau Kabupaten Tabalong. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini untuk dapat menggambarkan secara objektif struktur dan fungsi mantra masyarakat Dayak Deah. Peneliti juga berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin mantra yang ada dalam masyarakat Dayak Deah dengan teknik: 1. Observasi langsung untuk mengetahui lingkungan penutur mantra; 2. Teknik simak libat cakap; 3. Menerjemahkan, mengklafikasikan, mendata penutur, menguraikan fungsi serta pelaksanaan mantra dalam masyarakat Dayak Deah; 128 4. Studi Pustaka adalah mencari dan mengumpulkan bahan-bahan referensi yang digunakan sebagai landasan teoretis dalam penelitian ini.

HASIL DAN ANALISIS DATA 1. Struktur dan Fungsi Mantra Masyarakat dayak Deah Desa Pangelak, Kecamatan Upau, Kabupaten Tabalong. 4.1 Analisis Struktur Mantra Secara garis besar, struktur mantra yang didapat (1) mantra yang berhubungan dengan pengobatan sebanyak dua buah, (2) mantra yang berhubungan dengan kecantikan sebanyak dua buah, (3) mantra yang berhubungan dengan cinta kasih dua buah, (4) mantra yang berhubungan dengan kekebalan sebanyak satu buah, (5) mantra yang berhubungan dengan keamana sebanyak dua buah, (6) mantra yang berhubungan dengan hujan sebanyak dua buah, memiliki persamaan dan perbedaan, yaitu setiap varian mantra tersusun atas larik-larik yang jumlahnya berbeda. Unsur yang membentuk struktur mantra tersebut meliputi unsur judul, unsur pembuka, unsur sugesti, dan unsur tujuan. 4.1.1 Unsur Judul Judul merupakan unsur pokok yang penting. Dengan adanya judul pada sebuah buku, puisi, cerpen, lagu, koran dan lain-lain, maka dengan mudah mengetahui isi dari tulisan tersebut. Dalam sebuah mantra, unsur judul merupakan salah satu unsur pokok karena dengan adanya judul dalam sebuah mantra dapat mempermudah membedakannya, dan terlihat jelas tujuan dan fungsi mantra yang bersangkutan. 4.1.2 Unsur Pembuka: Bismillahir rahmanir rahim Setiap mantra memiliki unsur pembuka, kesebelas mantra yang dikumpulkan yang dimiliki oleh masyarakat Dayak Deah mempunyai unsur pembuka yang sama. Unsur pembuka adalah kata pertama yang terdapat pada mantra yang berisi salam pembuka. Biasanya menggunakan kata-kata yang diadopsi dari bahasa Arab, bahasa Sanskerta (Hindu), dan bahasa Jawa. Komponen pembuka merupakan pengakuan tunduk dan mohon perlindungan Allah penguasa semesta. 4.1.3 Unsur Sugesti Unsur sugesti ini adalah unsur yang berisi metafora yang dianggap memiliki kekuatan gaib pada mantra yang diucapkan atau dalam rangka membantu membangkitkan potensi kekuatan magis atau gaib pada mantra. Unsur yang membangun pada mantra-mantra yang dikumpulkan adalah unsur segesti. 4.1.4 Unsur Tujuan Tujuan adalah sesuatu yang hendak dicapai oleh seorang dukun atau pemantra dalam menggunakan mantra atau mengamalkan mantra. Unsur tujuan pada mantra merupakan suatu permohonan atau keinginan agar dengan mantra-mantra yang ia ucapkan dapat berfungsi sebagai menyembuhkan penyakit, memanggil hujan, untuk diri sendiri, dan lain-lainnya. Unsur tujuan juga berfungsi untuk membedakan mantra satu dengan mantra yang lain karena tiap-tiap mantra memiliki tujuannya masing-masing.

129 1. Mantra yang Berhubungan dengan Pengobatan a. Mantra Tawar Seribu ( Mantra menyembuhkan segala penyakit) Bismillahirrahmanirrahim Dengan nama Allah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Nur ne uma ne nur Nur-lah Bapaknya nur-lah Ne anak ne (…) uma ne situ Anaknya (. . .) Bapaknya ini Penyakit 41 masam tindu wa peradu Penyakit 41 macam minta disembuhkan Pekual, langit wa suyu pekual alamp Kibar keluar langit kibar keluar alam Montuk kerakun kuning montuk Kesini kerakun kuning kesini Kedap langit dah basisi Gelap langit tidak bersisi Alamp dah kate duloi ba suwang opu Alam tidak bisa berdiam di dalam tubuh

b. Mantra Tawar Wisa Bismillahirrahmanirrahim Dengan nama Allah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Sumbilint pumpulu ura pe ewu ranu Terbang burung putih menyisih Ke tengah laut Ngurak pe nongga alamp Mengibar ketengah alam Ngumpi tana be menggo-menggo Membuang tanah berminggu- minggu Ngumpi wisa ne ngupe manang ne Membuang racunnya (wisa) membuang sakitnya Ise kono tawas wa idekan Allah ta’ala Siapa terkena dan sembuh dikarenakan oleh Allah ta’ala Se waharap kaint Yang diharapkan oleh kita Hai lah hai lalah harap ampe guru Hay lah hai lalah harap kepada guru Harap ampe Allah Harap kepada Allah

130 Tabel 1 Struktur mantra Pengobatan

2. Mantra yang Berhubungan dengan Kecantikan a. Mantra ketika ingin bersisir Bismillahirrahmanirrahim Dengan nama Allah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Su’urku su’ur tanduk Sisirku sisir gading Su’urku su’ur amas Sisirku sisir emas Naan tarangku doho kate walawant Supaya cahayaku Tidak dapat dibandingkan Tarangku sara tarang amas Persis seperti cahaya emas b. Mantra ketika ingin berpupur (berbedak) Bismillahirrahmanirrahim Dengan nama Allah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Pupurku sekindari umbis Pupurku sekendari berbaring 131 Tempurung tumbu ba watu Tampara tubuh di batu Ompu ku sara gading Badanku seperti gading Wae ku sara bidadari Wajahku seperti bidadari

Tabel 2 Struktur mantra Kecantikan

3. Mantra yang Berhubungan dengan Cinta Kasih/ Kharisma a. Mantra cinta kasih (mantra agar selalu dihormati) Bismillahirrahmanirrahim Dengan nama Allah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Allah uma kunang kuning jin Allah Bapaknya kunang kuning jin Ngintip wae ku ulant olai Melihat mukaku balan besar Bahadapanku mato ondro Didepanku matahari Pakaiku payung ku tarant mato Pakaianku payungku terang mata Ondro junjungan ku nabi Muhammad Hari junjunganku Nabi Muhammad Sakian kasih ampe maras pe aku Sekian kasihnya pada aku Ali runduk kasih ampe aku. Dengan tunduk melihat mukaku

b. Mantra cinta kasih (mantra memikat lawan jenis) Bismillahirrahmanirrahim Dengan nama Allah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

132 Kondro unge kondro Siang bunga siang Kondro putri merayu Siang putri merayu Kasih sayang Kasih sayang Baya di aku Dengan diri aku

Tabel 3 Struktur Mantra Cinta Kasih

4. Mantra yang Berhubungan dengan Kekebalan a. Mantra Kekebalan Bismillahirrahmanirrahim Dengan nama Allah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Kuasa Allah kuasa Muhammad Kuasa Allah kuasa Muhammad Doho aku se ngarak Bukan aku yang membangunkan Tapi nur Fatimah se ngarak Tapi cahaya Fatimah yang mem bangun kan Patah sekinjang kirat bantalku Tikar sekijang kirat bantalku Sedeowari tugunsang kelant ompu ne (. . .) Yang banyak dibuang tergoyang bangun dari tubuh nya (…) Roh ne ator ampe itu Rohnya antar ke sini Mohon pe Allah ta’alla dikabulkan Mohon kepada Allah ta’alla dikabulkan.

133 Tabel 4 Struktur Mantra Kekebalan

5. Mantra yang Berhubungan dengan Keamanan a. Mantra Keamanan (agar terhindar dari bahaya) Bismillahirrahmanirrahim Dengan nama Allah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Tanduk nipo naintku Tanduk ular suaraku Telingoku ompu ne sinop Telingaku badannya masuk Pe ompu ne pe ompuku Dari badannya ke badanku Aku berlindung pe Muhammad Aku berlindung pada Muhammad Tindu keselamatan ampe Allah ta’alla Minta keselamatan pada Allah ta’alla. Doho kono none-none. Agar terhindar dari barabahaya. Alam hawa alip Alam hendak berawal Posa tabal kurus halus Buta tebal kurus kecil Sabak sabun, sabak jari ambun Berserakan sabun, berserakan menjadi embun.

134 Tabel 5 Struktur Mantra Keamanan

6. Mantra yang Berhubungan dengan Hujan a. Mantra Pawang Hujan Bismillahirrahmanirrahim Dengan nama Allah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Ya Allah aku tindu urant Ya Allah aku minta hujan Selopa beta baa lam kayint Minta cerahkan hujan berlimpah ruah di sekeliling kami Ba jubut-jubut ba one-one aku tindu Di hutan-hutan di mana-mana aku mohon Ampe iko Allah Pada Mu Allah Aku tindung pengabulan ne Aku mohon pengabulannya Bismillahirrahmanirrahim Dengan nama Allah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Itu kaint muara ampe nalau semaeh Ini kami menyampaikan ke orang- orang yang sudah meninggal yang baik

135 Kaint naan penindu ampe iko Kami ada permintaan ke orang- orang yang sudah meninggal Maru nalau supaya umi urant Agar diberi turunnya hujan di ampe kaint Kampung kami Sio ka nain penindu ampe kaint Itulah bunyi permintaan dari kami Supaya wa kabulkan Agar dikabulkan.

Tabel 6 Struktur Mantra Pawang Hujan

4.2 Fungsi Mantra Mantra pada masyarakat di Desa Pangelak ini ada bermacam-macam fungsinya dalam memenuhi tujuan tertentu. Pada umumnya, fungsi mantra dapat dikatagorikan menjadi dua fungsi, yakni bersifat individu dan sosial. Fungsi yang bersifat individual dan yang bersifat sosial ini juga berlaku pada masyarakat di Desa Pangelak ini. Mantra bisa berfungsi dalam hubungannya dengan pengobatan, kecantikan, cinta kasih, kekebalan, dan keamanan. Mantra yang dimaksud dalam fungsi individu ini hanya dirasakan atau dinikmati oleh orang-orang yang bersangkutan dalam rangka memenuhi kebutuhannya sendiri, sedangkan fungsi yang bersifat sosial tidak hanya digunakan untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi dapat juga dipergunakan untuk membantu orang lain, sehingga bermanfaat bagi masyarakat banyak.

136 KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis serta pembahasan tentang struktur dan fungsi mantra Masyarakat Dayak Deah Desa Pangelak, Kecamatan Upau, Kabupaten Tabalong, dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Dari 11 mantra yang dikumpulkan dapat diklasifikasikan menjadi 6 (enam) jenis, yaitu: a) mantra yang berhubungan dengan pengobatan, b) mantra yang berhubungan dengan kecantikan, c) mantra yang berhubugan dengan cinta kasih, d) mantra yang berhubungan dengan kekebalan, e) mantra yang berhubungan dengan keamanan, f) mantra yang berhubungan dengan hujan. 2. Mantra merupakan bagian dari sastra lisan, dan termasuk dalam jenis puisi lisan karena mantra termasuk dalam genre puisi lisan atau yang mempunyai kekuatan gaib.

137 DAFTAR RUJUKAN

Djamaris, Edwar, dkk. 1996. Nilai Budaya dalam Beberapa Karya Sastra Nusantara: Sastra Daerah di Kalimantan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Effendi, Rustam. 2011. Sastra Banjar. Banjarbaru, Kalimantan Selatan: Scripta Cendekia. Effendi, Rustam dan Sabhan. 2007. Sastra Daerah. PBS FKIP Universitas Lambung Mangkurat. Heniati. 2010. Fungsi Mantra pada Masyarakat di Desa Jaweten Kecamatan Dusun Timur. Skripsi tidak diterbitkan. Banjarmasin FKIP UNLAM. Hermina. 2004. Analisis Struktur dan Fungsi Mantera Pengobatan pada Suku Dayak Dusun Deah di Desa Gunung Riwut dan Desa Liyu Kecamatan Halong Kabupaten Balangan. Skripsi tidak diterbitkan. Banjarmasin: FKIP UNLAM. Ismail, Abdurachman, dkk. 1996. Fungsi Mantra dalam Masyarakat Banjar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Soedjijono, dkk. 1987. Struktur dan Isi Mantra Bahasa Jawa di Jawa Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Kebudayaan. Surabaya: Unesa Unipress dan Citra Wacana.

138 FORMULIR BERLANGGANAN

Mohon dicatat sebagai pelanggan JBSP Nama : ………………………………………………………………………......

Alamat : ……………………………………………………………………………………. ………………………………..(Kode Pos …………………………………….....)

Harga langganan mulai 1 April 2011 (2 nomor) Untuk satu tahun · Rp. 100.000,- untuk wilayah Banjarmasin · Rp. 150.000,- untuk wilayah luar Banjarmasin

Formulir ini boleh diperbanyak (…………………………)

———————————gunting di sini dan kirimkan ke alamat Jurnal BSP———————— ————————-

BERITA PENGIRIMAN UANG LANGGANAN

Dengan ini saya kirimkan uang sebesar: a. Rp. 100.000,- untuk langganan 1 tahun (2 nomor) mulai Nomor ………… Tahun ……... b. Rp. 150.000,- untuk langganan 1 tahun (2 nomor) mulai Nomor ………… Tahun …….. (Lingkari salah satu)

Uang tersebut telah saya kirim melalui: BNI Capem Universitas Lambung Mangkurat, rekening nomor 0103958218 a.n. Program Studi Pascasarjana Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia

139 Petunjuk bagi (Calon) Penulis Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya (JBSP)

1. Artikel yang ditulis untuk JBSP meliputi hasil pemikiran dan hasil penelitian di bidang bahasa, sastra, dan pembelajarannya. Naskah diketik dengan huruf Times New Roman, ukuran 11 pts, dengan spasi At least 11 pts, dicetak pada kertas A4 sepanjang maksimum 20 halaman, dan diserahkan dalam bentuk print out sebanyak 3 eksemplar beserta disketnya. Berkas (file) dibuat dengan Microsoft Word. 2. Nama penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik dan ditempatkan di bawah judul artikel. Jika naskah ditulis oleh tim, penyunting hanya berhubungan dengan penulis utama atau penulis yang namanya tercantum pada urutan pertama. Penulis perlu memcantumkan alamat e-mail dan/atau alamat korespondensi. 3. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris dengan format esai, disertai judul pada masing-masing bagian artikel kecuali bagian pendahuluan yang disajikan tanpa judul bagian. Judul artikel dicetak dengan huruf besar di tengah-tengah, dengan huruf sebesar 14 poin. Peringkat judul bagian dinyatakan dengan jenis huruf yang berbeda (semua judul bagian dan sub bagian dicetak tebal atau tebal dan miring), dan tidak menggunakan angka atau nomor pada judul bagian:

PERINGKAT 1 (HURUF BESAR SEMUA, TEBAL, RATA TEPI KIRI) Peringkat 2 (Huruf Besar Kecil, Tebal, Rata Tepi Kiri) Peringkat 3 (Huruf Besar Kecil, Tebal-Miring, Rata Tepi Kiri) 4. Sistematika artikel telaah adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); abstrak (maksimum 100 kata); kata kunci; pendahuluan yang berisi latar belakang dan tujuan atau ruang lingkup tulisan; bahasan utama (dapat dibagi ke dalam beberapa subbagian); penutup atau kesimpulan, daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk). 5. Sistematika artikel hasil penelitian adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik), abstrak (maksimum 100 kata) yang berisi tujuan, metode, dan hasil penelitian; kata kunci; pendahuluan (tanpa judul) yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian, metode; hasil; pembahasan; kesimpulan dan saran; daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk). 6. Sumber rujukan sedapat mungkin merupakan pustaka-pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan yang diutamakan adalah sumber-sumber primer berupa laporan penelitian (termasuk skripsi, tesis, disertasi) atau artikel-artikel penelitian dalam jurnal dan/atau majalah ilmiah. 7. Perujukan dan pengutipan menggunakan teknik rujukan berkurung (nama, tahun). Pencantuman sumber pada kutipan langsung hendaknya disertai keterangan tentang nomor halaman tempat asal kutipan. Contohnya: (Rafiek, 2011: 2). 8. Daftar Rujukan disusun dengan tata cara seperti contoh berikut ini dan diurutkan secara alfabetis dan kronologis.

140 Buku: Rafiek, Muhammad. 2010. Psikolinguistik: Kajian Bahasa Anak dan Gangguan Berbahasa. Malang: Universitas Negeri Malang Press.

Buku kumpulan artikel: Saukah, Ali & Waseso, Mulyadi Guntur (Eds.). 2002. Menulis Artikel untuk Jurnal Ilmiah. Malang: Universitas Negeri Malang Press.

Buku terjemahan: Bucaille, Maurice. 1995. Firaun dalam Bibel dan Al-Quran: Menafsirkan Kisah Historis Firaun dalam Kitab Suci Berdasarkan Temuan Arkeologi. Terjemahan oleh Muslikh Madiyant. 2007. Bandung: Mizania.

Artikel dalam buku kumpulan artikel: Bottoms, J. C. 1965. Some Malay Historical Sources: A Bibliographical Note. Dalam Soedjatmoko, Mohammad Ali, G. J. Resink, & G. MCT. Kahin (Eds.), An Introduction to Indonesian Historiography (hlm. 156-193). New York: Cornell University Press.

Artikel dalam jurnal: Bertens, K. 1989. Etika dan Etiket Pentingnya Sebuah Perbedaan. Basis, XXXVIII (7): 266- 273.

Artikel dalam Koran: Antemas, Anggraini. 6 Desember 2006. Adat Istiadat Perkawinan Urang Banjar (III), Bapingit-Badudus Sebelum Akad Nikah. Banjarmasin Post, tanpa halaman.

Dokumen resmi berupa kamus atau pedoman atau undang-undang: Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 1990. Jakarta: PT Armas Duta Jaya.

Skripsi, Tesis, Disertasi, Laporan Penelitian: Rafiek, Muhammad. 2010. Mitos Raja dalam Hikayat Raja Banjar. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

Makalah seminar, lokakarya, penataran: Indriyanto. 2001. Peranan dan Posisi Ilmu Sejarah dalam Menjawab Tantangan Zaman. Makalah disajikan dalam Diskusi Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah di Semarang, Fakultas Sastra UNDIP, Semarang, 30 Mei.

Rujukan dari internet: Ahmad, Syarwan. 2009. Filologi Hikayat Prang Sabi (Online), (http://blog.harian-aceh.com/ filologi-hikayat-prang-sabi.jsp, diakses 18 Desember 2009). Manuaba, Putera. 2001. Hermeneutika dan Interpretasi Sastra, (Online), (http:// www.angelfire.com/journal/fsulimelight/hermen.html, diakses 10 November 2009).

141 9. Tata cara penyajian kutipan, rujukan, tabel, dan gambar mengikuti ketentuan dalam Pedoman Penulisan Karya Ilmiah atau mencontoh langsung dari artikel yang sudah terbit dalam JBSP. 10. Semua naskah ditelaah oleh penelaah ahli yang ditunjuk oleh penyunting menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk memperbaiki artikelnya atas saran perbaikan dari penelaah ahli. Kepastian pemuatan artikel ilmiah akan diberitahukan kepada penulis. 11. Segala sesuatu yang menyangkut izin pengutipan atau penggunaan software komputer untuk pembuatan naskah artikel atau hal ikhwal lain yang terkait dengan HAKI yang dilakukan oleh penulis artikel termasuk konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggung jawab penuh penulis artikel tersebut. 12. Sebagai prasyarat bagi pemrosesan artikel, para penyumbang artikel wajib menjadi pelanggan minimal selama satu tahun. Penulis yang artikelnya dimuat wajib membayar kontribusi biaya cetak sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) per judul. Sebagai imbalannya, penulis menerima nomor bukti pemuatan sebanyak 5 (lima) eksemplar.

142